Jurnal Inovasi September 2014

Page 1

ISSN 1829-8079

INOVASI JURNAL POLITIK DAN KEBIJAKAN Vol. 11 No. 3, September 2014

Pr ogr am Peningkatan Kesejahter aan Dan Pengentasan Kemiskinan Nelayan Di Sumater a Utar a Dalam Per spektif kebijakan Pr o Poor (Dumora Jenny Margaretha Siagian, Suzanna Eddyono) Tingkat Par tisipasi Masyar akat pada Optimalisasi pengelolaan Lahan Di Sub Das Ar un, Kabupaten Samosir (Rospita O.P. Situmorang, Asep Sukmana) Penentuan Dosis Pupuk Optimal Untuk Pembibitan Kelapa Sawit Di Sumater a Utar a (Helmi) Identifikasi Lahan Ter lantar Guna Mendukung Pengembangan Industr i Modified Cassava Flour (Mocaf) (Nobrya Husni, Porman Juanda Marpomari Mahulae) Kebiasaan Masyar akat Mengenai Pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak Di Desa Hilifadolo Kabupaten Nias Selatan Sumater a Utar a (Helper Sahat P. Manalu, Ida) Hasil kiner ja dan kompetensi peneliti Dalam mempublikasikan kar ya tulis ilmiah (Subijanto) Per spektif Ker ugian Akibat Penyakit Gugur Daun Pada Tanaman Kar et Di Sumater a Utar a (Cici Indriani Dalimunthe, Zaida Fairuzah dan Iif Rahmat Fauzi)

Diterbitkan oleh :

Badan Penelitian dan Pengembangan Provinsi Sumatera Utara Inovasi Vol. 11 No. 3

Hal. Medan ISSN 159 - 232 September 2014 1829 - 8079

Terakreditasi sebagai Majalah Berkala Ilmiah dengan Nomor Akreditasi: 532/AU2/P2MI-LIPI/04/2013


Volume 11, Nomor 3

September 2014

ISSN 1829-8079

Jurnal INOVASI adalah jurnal ilmiah bidang ilmu politik dan kebijakan yang terakreditasi dengan Nomor Akreditasi: 532/AU2/P2MI-LIPI/04/2013 berdasarkan Surat Keputusan Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Nomor : 377/E/2013 tanggal 16 April 2013 Jurnal INOVASI sebagai media litbang Provinsi Sumatera Utara memuat karya tulis ilmiah hasil penelitian atau tinjauan kepustakaan dalam bidang pemerintahan dan kemasyarakatan, sosial budaya, ekonomi dan pembangunan, sumberdaya alam dan maritim sebagai bahan kebijakan dan wawasan berpolitik yang terbit empat kali dalam setahun setiap bulan Maret, Juni, September dan Desember.

Penasehat Penanggung Jawab Pemimpin Redaksi Dewan Redaksi

Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Provinsi Sumatera Utara Sekretaris Badan Penelitian dan Pengembangan Provinsi Sumatera Utara Prof. Dr. H. Syaiful Sagala, S.Sos, M.Pd (Pendidikan, Universitas Negeri Medan) Prof. Dr. Dra. Ida Yustina, M. Si (Kesehatan, Universitas Sumatera Utara) Prof. Dr. Ir. Nurhayati, MP (Pertanian, Universitas Islam Sumatera Utara) Warjio, MA, PSD (Kesejahteraan Sosial, Universitas Sumatera Utara) Iskandar Muda, SE, M.Si., Ak (Ekonomi, Universitas Sumatera Utara) Suzanna Eddyono, S.Sos., M.Si.,MA (Sosiologi, Universitas Muhammadiyah Sumut) Jonni Sitorus, ST., M.Pd (Pendidikan, Balitbang Sumut)

Redaksi Pelaksana

Irwan Purnama, SE Nobrya Husni, ST Porman Juanda Marpomari Mahulae, ST

Tata Usaha dan Sirkulasi

Dumora Jenny Margaretha Siagian, ST Silvia Darina, SP Sahat C. Simanjuntak, ST Anton Parlindungan Sinaga, ST

Mitra Bestari Volume 11 11, Nomor 3, September 2014 2014 Badaruddin (Sosial dan Politik, Universitas Sumatera Utara) Zulkifli Nasution (Pertanian, Universitas Sumatera Utara) Harso Kardinata (Pertanian, Universitas Sumatera Utara) Fotarisman Zaluchu (Kesehatan, Pemerintah Kabupaten Nias) Gustam Lubis (Teknik, Institut Teknologi Medan) Marlon Sihombing (Kebijakan Publik, Universitas Sumatera Utara) Hendarman (Kebijakan Pendidikan, Kemdikbud RI)

Alamat Penerbit : BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PROVINSI SUMATERA UTARA Jl. Sisingamangaraja No. 198 Medan 20126 Tel. (061) 7866225; 7883016 - Fax. (061) 7866248 Website : http://balitbang.sumutprov.go.id Email : inovasibpp@gmail.com


PENGANTAR REDAKSI

Pembaca yang terhormat, Jurnal Inovasi kembali hadir di tengah-tengah para pembaca dan peminat ilmu pengetahuan sekalian. Pada edisi kali ini kami menyajikan berbagai tulisan dalam berbagai bidang. Peningkatan kesejahteraan masyarakat dan pengentasan kemiskinan khususnya keluarga nelayan di Sumatera Utara. Tingkat partisipasi masyarakat pada pengoptimalan lahan serta penentuan basis pupuk untuk pembibitan kelapa sawit, juga identifikasi lahan terlantar di Sumatera Utara disajikan dalam tulisan ini guna kesejahteraan masyarakat. Jurnal ini juga menyajikan kebiasaan masyarakat mengenai pelayanan kesehatan di Kabupaten Nias Selatan. Hasil kinerja dan kompetensi peneliti dalam mempublikasikan karya tulis ilmiah juga dapat dibaca melalui jurnal ini. Sebagai penutupnya, kami menyajikan perspektif kerugian akibat penyakit gugur daun tanaman karet di Sumatera Utara. Kembali kami mengharapkan semoga tulisan-tulisan ini menjadi media bagi kita untuk mengetahui perkembangan dan mengevaluasi penelitian yang sudah pernah dilakukan. Terima kasih dan selamat membaca. -Dewan Redaksi-


Volume 11, Nomor 3

September 2014

ISSN 1829-8079

bebas.. Lembar abstrak ini boleh diperbanyak/dicopy Kata kunci yang ddiicantumkan adalah istilah bebas tanpa ijin dan biaya. DDC 362.5 Dumora Jenny Margaretha Siagian, Suzanna Eddyono Program Peningkatan Kesejahteraan Dan Pengentasan Kemiskinan Nelayan Di Sumatera Utara Dalam Perspektif kebijakan Pro Poor Inovasi, Jurnal Politik dan Kebijakan, September 2014, Vol 11, No. 3, halaman 159-173 Kehidupan nelayan di Indonesia yang masih identik dengan kemiskinan telah menjadi salah satu sasaran berbagai program pemerintah yang bertujuan untuk peningkatan kesejahteraan dan pengentasan kemiskinan mereka. Namun program tersebut belum berhasil. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji bagaimana program dan kebijakan peningkatan kesejahteraan nelayan di Sumatera Utara dilihat dari perspektif kebijakan pro poor. Sedangkan manfaat dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi rekomendasi bagi pemerintah dalam merumuskan program. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penyusunan rencana dan penganggaran beberapa program pemerintah yang ditujukan pada nelayan masih belum sepenuhnya dapat dikategorikan sebagai kebijakan yang mengedepankan filosofi pro poor. Sehingga berbagai program dan kebijakan tersebut perlu ditinjau ulang dan dirumuskan kembali dengan mengacu pada indikatorindikator pro-poor, baik dalam merumuskan, mengimplementasikan,serta monitoring dan evaluasi kebijakan yang ditujukan pada nelayan. Kata Kunci : program peningkatan kesejahteraan, pengentasan kemiskinan, kebijakan pro poor DDC 333.76 Rospita O.P. Situmorang, Asep Sukmana Tingkat Partisipasi Masyarakat pada Optimalisasi pengelolaan Lahan Di Sub Das Arun, Kabupaten Samosir Inovasi, Jurnal Politik dan Kebijakan, September 2014, Vol 11, No. 3, halaman 174-183 Pemberdayaan masyarakat dilakukan oleh Balai Penelitian Aek Nauli melalui pembuatan plot optimalisasi lahan seluas satu hektar di kawasan Sub Daerah Aliran Sungai (DAS) Arun Kabupaten Samosir. Kegiatan tersebut bertujuan untuk mengoptimalkan pengelolaan lahan terlantar yang masih cukup tinggi di Daerah Tangkapan Air (DTA) Danau Toba. Penelitian ini bertujuan untuk mengukur tingkat partisipasi masyarakat dalam optimalisasi lahan dan untuk mengetahui hubungan karakteristik sosial ekonomi masyarakat dengan tingkat partisipasinya Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat partisipasi masyarakat untuk melakukan optimalisasi dan pemanfaatan lahan dalam plot percontohan secara umum tergolong rendah.Hal-hal yang mengakibatkan rendahnya partisipasi adalah kurangnya rasa kepemilikan dan kepercayaan terhadap kegiatan yang dikelola secara bersama-

sama, mekanisme komunikasi yang kurang baik internal atau eksternal baik diantara anggota kelompok dan antara kelompok dengan pihak yang bermitra, dan lemahnya pendekatan pemberdayaan kepada masyarakat.Hubungan karakteristik sosial ekonomi masyarakat tidak berpengaruh nyata dan berasosiasi lemah pada tingkat partisipasinya dalam pengelolaan demplot optimasi lahan.Tingkat partisipasi lebih dipengaruhi oleh teknik dan pendekatan pemberdayaaan sehingga akan mempengaruhi penerimaan dan penerapan program secara mandiri. Kata kunci :Tingkat partisipasi, masyarakat, optimalisasi lahan, karakteristik sosial ekonomi. DDC 631.8 Helmi Penentuan Dosis Pupuk Optimal Untuk Pembibitan Kelapa Sawit Di Sumatera Utara Inovasi, Jurnal Politik dan Kebijakan, September 2014, Vol 11, No. 3, halaman 184-191 Penyediaan bibit yang baik dan sehat selama di pembibitan awal (Pre Nursery) maupun di pembibitan utama (Main Nursery) sangat besar pengaruhnya untuk pertumbuhan tanaman. Pemupukan kelapa sawit dalam proses pembibitan penting diperhatikan agar diperoleh bibit yang bermutu dan berkualitas tinggi. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan rekomendasi pemupukan yang optimal pada pembibitan kelapa sawit. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kombinasi perlakuan paket A (NPK Phonska + Kieserit), paket B (NPK Phonska + Kieserit + Urine Sapi), paket C (NPK Mutiara + Kieserit), paket D (NPK Mutiara + Kieserit + Urine sapi), paket E (NPK Bass + Kieserit), dan paket F (NPK Bass + Kieserit + Urine Sapi) pada umur 15 MST berpengaruh baik terhadappertumbuhan bibit kelapa sawit di pembibitan utama, kecuali paket G (Tanpa pupuk, tanpa kiserit hanya pakai Urine sapi) menampilkan pertumbuhan yang kerdil terhadap pertumbuhan bibit kelapa sawit di persemaian. Penelitian ini merekomendasikan kombinasi pupuk optimal untuk pembibitan kelapa sawit, karena pupuk yang beredar dimasyarakat cukup banyak, petani/pengguna dapat memilih dari 3 paket yang ada,yakni(1). Paket1 (NPK Bass + Kieserit + Urine Sapi), paket 2. (NPK Mutiara + Kieserit + Urine sapi), paket 3. (NPK Bass + Kieserit). (2). Usaha pembibitan kelapa sawit yang dilakukan petani harus menggunakan varietas unggul dan bersertifikat, (3) Atap para-para untuk pembibitan sebaiknya menggunakan paranet karena efektif dan tahan lama. Kata Kunci: kelapa sawit, pupuk, optimal, bibit, unggul DDC 333.76 Nobrya Husni, Porman Marpomari Mahulae


Identifikasi Lahan Terlantar Guna Mendukung Pengembangan Industri Modified Cassava Flour (Mocaf) Inovasi, Jurnal Politik dan Kebijakan, September 2014, Vol 11, No. 3, halaman 192-203 Salah satu bahan yang dapat digunakan untuk menurunkan tingkat konsumsi beras adalah tepung modified cassava flour (mocaf) yang sekaligus juga dapat menjadi subtitusi terigu. Sumatera Utara memiliki lahan terlantar yang dapat digunakan untuk budidaya ubikayu. Tulisan ini bertujuan untuk memberikan gambaran tentang kesesuaian lahan terlantar yang dapat dimanfaatkan untuk pengembangan ubikayu; tingkat kelayakan usahatani; analisis nilai tambah dari usaha pengolahan ubikayu menjadi modified cassava flour (mocaf). Berdasarkan analisis kesesuaian lahan, lokasi penelitian sesuai untuk pengembangan tanaman ubikayu. Nilai R-C rasio menunjukkan bahwa usahatani ubi kayu yang dilakukan oleh para petani di lokasi penelitian adalah efisien. Berdasarkan analisis nilai tambah menggunakan metode Hayami diketahui bahwa nilai tambah yang dihasilkan petani ubi kayu untuk setiap kilogramnya bila dikonversi menjadi mocaf dan gaplek adalah sebesar Rp. 600.-/Kg, dengan rata-rata keuntungan sebesar Rp.450 per kilogram atau sebesar 75 persen dari nilai tambah produk. Rekomendasi kepada Pemerintah antara lain melakukan sosialisasi mengenai pemanfaatan lahan-lahan kosong produktif; pembinaan terhadap kelompok tani pengembang MOCAF; serta melakukan pendataan terhadap kebutuhan industri MOCAF terkait dengan peralatan maupun pelatihan sehingga bantuan yang diberikan tepat. Kata kunci: lahan terlantar, ubi kayu, mocaf DDC 613. Helper Sahat P. Manalu, Ida Kebiasaan Masyarakat Mengenai Pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak Di Desa Hilifadolo Kabupaten Nias Selatan Sumatera Utara Inovasi, Jurnal Politik dan Kebijakan, September 2014, Vol 11, No. 3, halaman 204-213 Tulisan ini membahas kebiasaan perawatan kehamilan, persalinan dan nifas dalam bentuk pelayanan kesehatan yang dilakukan oleh masyarakat dalam upaya meningkatkan kesehatan ibu dan anak. Oleh karena itu Kabupaten Nias Selatan terpilih menjadi salah satu daerah penelitian dengan pendekatan etnografi kaitannya dengan kesehatan ibu dan anak (KIA). Hasil penelitian melihat bentuk pelayanan kesehatan yang dilakukan oleh masyarakat dalam pemeliharaan kesehatan ibu dan anak. Pelayanan tradisional seperti dukun, suami atau keluarga masih dipercaya membantu merawat persalinan dengan tujuan meningkatkan kesehatan ibu dan anak karena mereka masih sangat dibutuhkan dalam kehidupan masyarakat. Kata kunci: kebiasaan, pelayanan, kesehatan ibu dan anak DDC 658.306 Subijanto Hasil kinerja dan kompetensi peneliti Dalam mempublikasikan karya tulis ilmiah Inovasi, Jurnal Politik dan Kebijakan, September 2014, Vol 11, No. 3, halaman 214-224 Tujuan penulisan artikel ini yaitu untuk menganalisis kinerja dan penguasaan kompetensi peneliti Balitbang dalam mempublikasikan karya tulis ilmiah dalam wujud artikel hasil penelitian dan/atau pemikiran/gagasan yang diterbitkan dalam Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan Balitbang Kemendikbud selama sepuluh tahun terakhir. Hasil studi menunjukkan bahwa prosentase peneliti yang

mempublikasikan artikel sejak tahun 2004 sampai dengan tahun 2013 secara berturut sebagai berikut: a) 15,96%; b) 8.99%; c) 18.05%; d) 24.44%; e)29.84%; f) 26.66%; g) 38,53%; h) 43,3%; i) 40%; dan j) 55%. Prosentase total ratarata peneliti hanya mencapai 29,57.97%. Hal ini mengindikasikan bahwa kompetensi peneliti di Balitbang dalam mempublikasikan artikel masih belum sesuai yang diharapkan, yaitu 60 persen sesuai kebijakan pimpinan Balitbang. Dengan sedikitnya publikasi artikel dalam jurnal ilmiah, mengindikasikan para peneliti kurang memiliki kompetensi dalam penulisan artikel ilmiah. Agar peneliti Balitbang dapat meningkatkan kompetensi penulisan artikel yang dipublikasikan melalui jurnal ilmiah, disarankan agar peneliti – peneliti senior membimbing penulisan artikel kepada peneliti junior. Kata Kunci: kinerja, kompetensi, peneliti, karya tulis ilmiah, balitbang kemendikbud DDC 632.3 Cici Indriani Dalimunthe, Zaida Fairuzah dan Iif Rahmat Fauzi Perspektif Kerugian Akibat Penyakit Gugur Daun Pada Tanaman Karet Di Sumatera Utara Inovasi, Jurnal Politik dan Kebijakan, September 2014, Vol 11, No. 3, halaman 225-232 Tujuan penulisan ini adalah untuk melihat perspektif kerugian akibat penyakit gugur daun pada tanaman karet di Sumatera Utara dan bagaimana solusi kebijakannya. Kajian dilakukan untuk sampel lokasi Sumatera Utara karena merupakan salah satu sentra agribisnis karet di Indonesia. Penyakit gugur daun merupakan salah satu penyakit penting yang menyerang pembibitan, TBM maupun TM karet. Penyakit gugur daun harus dikendalikan khususnya di daerah yang rawan epidemik. Status dan penyebaran penyakit tersebut tergolong penting untuk wilayah Sumatera Utara baik itu yang disebabkan oleh Corynespora cassiicola, Colletotrichum gloeosporioides maupun Oidium heveae. Hujan panas pada saat terbentuk daun muda merupakan faktor pemicu epidemi Corynespora, sedangkan hujan pada saat terbentuk daun muda merupakan faktor pemicu epidemi Colletotrichum dan Oidium. Penurunan produksi yang disebabkan oleh penyakit ini cukup bervariasi antara 7 – 45% tergantung dari intensitas serangan. Asumsi serangan penyakit gugur daun yang mengakibatkan produksi turun sebesar 30% dapat mengakibatkan kehilangan pendapatan > Rp 2 milyar/tahun dan hal ini akan terus naik sepanjang tahun. Analisis SWOT yang disusun untuk menyiasati permasalahan tersebut menghasilkan empat alternatif strategi. Dari keempat alternatif strategi tersebut maka 1) percepatan difusi klon karet unggul yang resisten terhadap penyakit gugur daun (S-O) dan 2) penyuluhan teknologi penyediaan bahan tanam karet unggul kepada petani (W-O), dianggap relevan untuk menjadi pertimbangan dalam pengambilan kebijakan peningkatan kinerja agribisnis karet di Sumatera Utara. Kata kunci : Hevea brasiliensis, penyakit gugur daun, Corynespora, Colletotrichum, Oidium, analisis SWOT, Sumatera Utara.


Volume 11, Nomor 3

September 2014

ISSN 1829-8079

The discriptors given are keywords. The abstrack sheet may by reproduced/ reproduced/ copied without permission or charge DDC 362.5 Dumora Jenny Margaretha Siagian, Suzanna Eddyono Welfare Enhancementand Fishermen Poverty Alleviation Programs In North Sumatra In Perspective Of Pro Poor Policy Inovasi, Journal of Politics and Policy, September 2014, Vol 11, No. 3, p. 159-173 Life of fishermen in Indonesia that is still synonymous with poverty has become one of the goals of various government programs that aim to increase their welfare and poverty alleviation. But the program has not been successful. This study aims to examine how programs and policies for enhancing the welfare of fishermen in North Sumatra from the perspective of pro-poor policies. While the benefits of this research are expected to be a recommendation to the government in formulating social welfare programs and poverty reduction fishermen in accordance with the rules of perspective of pro-poor policies. The results showed that the planning and budgeting of some government programs aimed at fishermen still not fully be categorized as policies that promote pro-poor philosophy. So that the various programs and policies need to be reviewed and redefined by reference to the indicators of pro-poor, both in formulating, implementing, and monitoring and evaluation of policies aimed at fishing. Keywords : welfare enhancement program, fishermen poverty alleviation, pro poor policy DDC 333.7 Rospita O.P. Situmorang, Asep Sukmana Community Participationin Optimization Of Land Management Insub-Watershed Arun, Samosir Regency Inovasi, Journal of Politics and Policy, September 2014, Vol 11, No. 3, p. 174-183 Community empowerment in Sub Watershed Arun in Samosir District has been conducted by The Aek Nauli Research Institute. It was done with the construction of one-hectare demonstration plots in farmers' fields. The activity aims to optimize the management of abandoned land that is relatively high in Catchment Area of Lake Toba. This study aims to quantify the level of community participation in optimizing land, and to determine the relationship of socio-economic characteristics of the community with their participation level. This study is a descriptive research with the quantitative analysis approach. The results were analyzed by frequency tabulation to determine the participation level, while the relationship between socioeconomic characteristics of the respondents with their participation were analyzed with chi square and contingency coefficient. The result of study shows the low participation level of the community in optimizing land. It was caused by the weak of ownership sense at the activities that have been held, the lack of acceptance in the program that managed jointly, the poor

communication either internally or externally between the group members and the group partnered with the parties, and weak approach in empowering the society. The relationship of socioeconomic characteristics of the community not affect significantly to their participation level. The participation rate is more influenced by the tecniques and empowerment approach. It will affect the acceptance and implementationof the programindependently. Keywords

: The level ofparticipation, community, land optimization, socio-economiccharacteristic

DDC 631.8 Helmi Determination Of Optimal Fertilizer Dose For Palm Oil Nurseries In North Sumatra Inovasi, Journal of Politics and Policy, September 2014, Vol 11, No. 3, p. 184-191 The provision of a good and healthy seedlings in the nursery during the early (Pre Nursery) and in the main nursery (Main Nursery) have a great effect on plant growth. Fertilization of palm oil in the process of seeding is important to note in order to obtain quality seed sand high quality. The purpose of this research was to obtain fertilizer recommendations on the optimal oil palm nursery. The results showed that the seven combinations of fertilizer treatment given combination treatment package A (NPK Phonska + Kieserit), package B (NPK Phonska + Kieserit + Cow Urine), package C (NPK Mutiara + Kieserit), package D (NPK Mutiara + Kieserit + Cow Urine), packet E (NPK + Kieserit Bass), and packet F (NPK + Bass + KieseritCow Urine) can provide a good influence on the growth of oil palm seedlings in the main nursery, except package G (use cow urine) perform small growth on oil palm seedlings in the nursery. This research recommends a combination of optimal fertilizer for oil palm breeding, because fertilizers that circulate in the community are enough, and farmers/users can choose from three pack age sexist, namely (1). Package 1 (NPK + Bass + Kieserit Cow Urine), package 2 (NPK + Pearl+Kieserit cow urine), package 3. (NPK Bass + Kieserit). (2). Oil palm breeding by farmers must use improved varieties and certified, (3) Roof rack for breeding should use paranet as effective and durable. Keywords: oil palm, fertilizer, optimal, seed, and improved varieties DDC 333.76 Nobrya Husni, Porman Marpomari Mahulae Identification Of Abandoned Land For Development Of Modified Cassava Flour (Mocaf) Industry Inovasi, Journal of Politics and Policy, September 2014, Vol 11, No. 3, p. 192-203


One material that can be used to lower the level of consumption of rice is starch modified cassava flour (mocaf) which is also can be substituted wheat. North Sumatra have abandoned land that could be used for the cultivation of cassava. This paper aims to provide an overview of the suitability of abandoned land that can be utilized for the development of cassava; the feasibility of farming; and analysis of the added value of cassava processing business mocaf. Based on the land suitability analysis, research sites suitable for the development of cassava plants. RC value ratios indicate that cassava farming is done by farmers in the study area is efficient. Based on the analysis of value-added method Hayami note that the value added produced cassava farmers for every kilogram when converted into mocaf and cassava is Rp. 600/kg with an average profit of Rp.450/kg or 75 percent of value-added products. Some recommendations to the Government are: to socialize on the utilization of vacant land productive; guidance to developers mocaf farmer groups; and to collect data on mocaf industry needs associated with equipment and training so that aid is appropriate. Keywords: abandoned land, cassava, mocaf DDC 613 Helper Sahat P. Manalu, Ida The Commuity Custom Of Maternal And Children Health Service In The Hilifadolo Village Of South Nias District, North Sumatra Inovasi, Journal of Politics and Policy, September 2014, Vol 11, No. 3, p. 204-213 This paper was discussed about the prenatal care custom, childbirth and post-partum in the health care that it was doneundertaking by community to improve maternal and child health. Therefore South Nias district was selected to be one of research area with the ethnographic approach that it was related to maternal and child health (MCH). The results was constituted of health servicing type, which was performed of the public health for maternal and child health care. Traditional services such as TBAs, husband or family are believed to help childbirth to improving Maternal and child health purpose, because in the existence public that it is still necessary. Keywords: habits, care, maternal and child health DDC 658.306 Subijanto Researchers’s Performance And Writing Competency In Publishing Academic, Writing Inovasi, Journal of Politics and Policy, September 2014, Vol 11, No. 3, p. 214-224 The aim of this article is to analyse the performance and writing competency of researchers in the Research and Development Board, the Ministry of Education and Culture in publishing their scientific papers based on research and development or innovative ideas/literature review through the Journal of Educational and Culture during the last ten years (2004 to 2013). The following data shows researchers’s frequency in publishing scientific articles in the journal from 2004 to 2013 on average was, respectively, as follows: a) 15.96%; b) 8.99%; c) 18.05%; d) 24.44%; e) 29.84%; f) 26.66%; g) 38,53%; h) 43,3%; i) 40% 2012; and j) 55%. Therefore, the total average percentage of the researchers of the Research and Development Board in publishing scientific paper through the Educational and Culture Journal during ten years was 29,57%. This data indicates that the scientific writing skill of the researchers in the Research and Development Board has yet to meet the optimal expectation (less than 60 %) of the internal policy of the head of Research and Development Board. This also indicates that the researchers lack the competency in academic paper writing. Therefore, to improve their competencies it is suggested that the senior researchers give guidance in academic paper writing for junior researchers.

Keywords: performance, competency, researcher, scientific writing skill, Research and development board MoEC DDC 632.3 Cici Indriani Dalimunthe, Zaida Fairuzah, dan Iif Rahmat Fauzi Damages Perspective Of Leaf Fall Diseases On The Rubber Plant In North Sumatra Inovasi, Journal of Politics and Policy, September 2014, Vol 11, No. 3, p. 225-232 Natural rubber is one of the main commodities of foreign The purpose of this paper are to look at the damages perspective of leaf fall diseases in the rubber plant in North Sumatra and the policy solutions. The research was conducted for a sample of North Sumatra location because its one of the rubber agribusiness centers in Indonesia. Leaf fall diseases must be especially controlled in the epidemic areas. The status and the spread of the diseases which are classified as important disease in North Sumatra are caused by Corynespora cassiicola, Colletotrichum gloeosporioides, and Oidium heveae. Raining in hot temperature when young leaves are formed triggering off the epidemic of Corynespora, while in all temperatures for the epidemic of Colletotrichum and oidium. The decreasing of production caused by these diseases is adequately varied with the variable of 7-45% that depends on the attack intensity. The assumptions about leaf fall diseases attack impacted on the production decreasing by 30% can cause lost avenue > Rp. 2 billion/ year and it will continuously increases throughout the year. SWOT Analysis arranged to deal with these problems resulted four alternative strategies. Based one the four alternative strategies, 1) the acceleration of the diffusion of superior resistant clones to leaf fall diseases (S-O) and 2) illumination technology for providing superior rubber planting materials to farmers (W-O), are considered to be relevant to a consideration in the decision making to improve the performance of rubber agribusiness in North Sumatra. Keywords: Hevea brasiliensis, leaf fall diseases, Corynespora, Colletotrichum, Oidium, SWOT Analysis, North Sumatra.


Volume 11, Nomor 3

September 2014

ISSN 1829-8079

DAFTAR ISI

Halaman

Program Peningkatan Peningkatan Kesejahteraan dan Pengentasan Kemiskinan Nelayan di Sumatera Utara Dalam Perspektif Kebijakan Pro Poor

159-173

(Dumora Jenny Margaretha Siagian, Suzanna Eddyono)

Tingkat Partisipasi Masyarakat Pada Optimalisasi Pengelolaan Lahan di di Sub DAS Arun Kabupaten Kabupaten Samosir

174-183

(Rospita O.P. Situmorang, Asep Sukmana)

Penentuan Dosis Pupuk Optimal untuk untuk Pembibitan Kelapa Sawit di di Sumatera Utara

184-191

(Helmi)

Industri tri Identifikasi Lahan Terlantar Guna Mendukung Pengembangan Indus Modified Cassava Flour (Mocaf)

192-203

(Nobrya Husni, Porman Juanda Marpomari Mahulae)

Kebiasaan Masyarakat Mengenai Pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak di di Desa Hilifodo Kabupaten Nias Selatan (Helper Sahat P. Manalu, Ida)

204-213

Hasil Kinerja Kinerja Dan Kompetensi Peneliti Dalam Mempublikasikan Karya Tulis Ilmiah

214-224

(Subijanto)

Perspektif Kerugian Akibat Penyakit Gugur Daun Daun Pada Tanaman Karet di di Sumatera Utara

(Cici Indriani Dalimunthe, Zaida Fairuzah, Iif Rahmat Fauzi)

225-234


Program Peningkatan Kesejahteraan dan Pengentasan Kemiskinan Nelayan di Sumatera Utara Dalam Perspektif Kebijakan Pro Poor (Dumora Jenny Margaretha Siagian dan Suzanna Eddyono)

Hasil Penelitian PROGRAM PENINGKATAN KESEJAHTERAAN DAN PENGENTASAN KEMISKINAN NELAYAN DI SUMATERA UTARA DALAM PERSPEKTIFKEBIJAKAN PRO POOR

ENHANCEMENTAND (WELFARE ENHANCEMENT AND FISHERMEN POVERTY ALLEVIATION PROGRAMS IN NORTH SUMATRA IN PERSPECTIVE OF PRO POOR POLICY) Dumora Jenny Margaretha Siagian*, Siagian*, Suzanna Eddyono** *Badan Penelitian dan Pengembangan Provinsi Sumatera Utara Jl. Sisingamangaraja No. 198 Medan 20126 Telp.(061) 7866225; Fax.(061) 7366248; email: dumora_jenny@yahoo.com **Universitas Muhammadyah Sumatera Utara Jl. Kapt. Mukhtar Basri No.3 Medan

Diterima: 09 Maret 2014; Direvisi: 22 Juli 2014; Disetujui: 29September 2014

ABSTRAK Kehidupan nelayan di Indonesia yang masih identik dengan kemiskinan telah menjadi salah satu sasaran berbagai program pemerintah yang bertujuan untuk peningkatan kesejahteraan dan pengentasan kemiskinan mereka.Namun program tersebut belum berhasil, kenyataannyamasih banyak masyarakat nelayan yang hidup di pemukiman kumuh serta hidup dengan kondisi yang pas – pasan, bahkan kurang.Salah satu penyebab kurang berhasilnya program pemerintah tersebut adalah formulasi kebijakan yang bersifat top down, serta seringkali masih bersifat teknis perikanan.Sehingga perlu dikaji, apakah program pengentasan kemiskinan tersebut telah sesuai dengan indikator – indikator, serta kaidah dan perspektif kebijakan pro poor yang mengedepankan masyarakat miskin dalam segala hal, baik anggaran, perencanaan maupun pelaksanaan program tersebut.Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji bagaimana program dan kebijakan peningkatan kesejahteraan nelayan di Sumatera Utara dilihat dari perspektif kebijakan pro poor.Sedangkan manfaat dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi rekomendasi bagi pemerintah dalam merumuskanprogram peningkatan kesejahteraan dan pengentasan kemiskinan nelayan sesuai dengan perspektif dan kaidah kebijakan pro poor.Kegiatan penelitian ini dilaksanakan di wilayah pesisir Provinsi Sumatera Utara, dengan lokus penelitian adalah Kabupaten Serdang Bedagai dan Kota Tanjungbalai.Metode penelitian adalah metode kualitatif.Teknik pengumpulan data menggunakan studi pustaka, Focus Group Discussion (FGD) dan wawancara mendalam (in-depth interview).Hasil penelitian menunjukkan bahwa penyusunan rencana dan penganggaran beberapa program pemerintah yang ditujukan pada nelayan masih belum sepenuhnya dapat dikategorikan sebagai kebijakan yang mengedepankan filosofi pro poor. Sehingga berbagai program dan kebijakan tersebut perlu ditinjau ulang dan dirumuskan kembali dengan mengacu pada indikator-indikator pro-poor, baik dalam merumuskan, mengimplementasikan,serta monitoring dan evaluasi kebijakan yang ditujukan pada nelayan. Kata Kunci : program peningkatan kesejahteraan, pengentasan kemiskinan, kebijakan pro poor

ABSTRACT Life of fishermen in Indonesia that is still synonymous with poverty has become one of the goals of various government programs that aim to increase their welfare and poverty alleviation. But the program has not been successful, in fact there are many fishing communities who live in slums and live with the condition that fit - barely, even less. One of the causes of the

159


Inovasi Vol. 11 No. 3 September 2014 : 159-173

government's lack of success of the program is the formulation of a policy that is top- down, and often still are technical fisheries. So that needs to be studied, whether the poverty alleviation program in accordance with indicators, as well as the rules andperspective of pro-poor policies that puts the poor in all things, both the budget, planning and execution of the program. This study aims to examine how programs and policies for enhancing the welfare of fishermen in North Sumatra from the perspective of pro-poor policies. While the benefits of this research are expected to be a recommendation to the government in formulating social welfare programs and poverty reduction fishermen in accordance with the rules of perspective of pro-poor policies. The research activities carried out in the coastal areas of North Sumatra province, with its focus on research is Serdang Bedagai and Tanjungbalai. The method is a method of qualitative research. Data collection techniques using literature, Focus Group Discussion (FGD) and in-depth interviews. The results showed that the planning and budgeting of some government programs aimed at fishermen still not fully be categorized as policies that promote pro-poor philosophy. So that the various programs and policies need to be reviewed and redefined by reference to the indicators of pro-poor, both in formulating, implementing, and monitoring and evaluation of policies aimed at fishing. Keywords : welfare enhancement program, fishermen poverty alleviation, pro poor policy

Beberapa program yang bersifat umum antara lain Program Inpres Desa Tertinggal (IDT), Program Keluarga Sejahtera, Program Pembangunan Prasarana Pendukung Desa Tertinggal (P3DT), Program Pengembangan Kecamatan (PPK), dan Program Jaring Pengaman Sosial (JPS). Sedangkan program yang secara khusus ditujukan untuk kelompok sasaran masyarakat nelayan antara lain program Pemberdayaan Masyarakat Pesisir (PEMP) dan Program Pengembangan Usaha Perikanan Tangkap Skala Kecil (PUPTSK). Implementasi program-program ini perlu dijamin efektivitasnya, sehingga nelayan miskin memungkinkan mendapatkan manfaat yang sebesar-besarnya.Salah satu penyebab kurang berhasilnya program-program pemerintah dalam menanggulangi kemiskinan nelayan adalah formulasi kebijakan yang bersifat top down. Formula yang diberikan cenderung seragam padahal masalah yang dihadapi nelayan sangat beragam dan seringkali sangat spesifik lokal (Waluyanto, 2007).Di samping itu, upaya penanggulangan kemiskinan nelayan seringkali sangat bersifat teknis perikanan, yakni bagaimana upaya meningkatkan produksi hasil tangkapan, sementara kemiskinan harus dipandang secara holistik karena permasalahan yang dihadapi sesungguhnya jauh lebih kompleks daripada itu. Secara konseptual, kebijakan pro-poor merupakan jawaban paling tepat untuk mengatasi kemiskinan karena penekanannya pada upayaupaya untuk secara langsung meningkatkan taraf hidup kelompok miskin.Namun, hingga saat ini, dampak berbagai kebijakan tersebut ternyata dirasakan belum mampu meningkatkan kesejahteraan nelayan secara signifikan. Program– program yang ada dilakukan untuk pengentasan

PENDAHULUAN Sampai saat ini, citra nelayan di Indonesia masih sangat identik dengan kemiskinan dan ketidaksejahteraan.Menurut Djoko Pramono (2005), jika dilihat dari data statistik penduduk miskin, sebagian besar daerah kemiskinan di Indonesia adalah desa-desa yang berada di wilayah pesisir. Kenyataan menunjukkan bahwa masyarakat pesisir ini memiliki keterbatasan akses dalam memperoleh layanan pendidikan, layanan kesehatan, layanan sosial, serta layanan publik standar seperti masyarakat lainnya.Sehingga pada umumnya kondisi mereka relatif miskin, tingkat pendidikan rendah atau berkeaksaraan rendah dan tidak memiliki keterampilan, tingkat kesehatan rendah, terbatasnya akses sarana dan prasarana sosial lainnya serta memiliki keterbatasan infrastruktur. Hal senada dinyatakan oleh Retno Winahyu dan Sentiasih dalam Mubyarto (1993) bahwa nelayan, khususnya nelayan kecil dan tradisional, dapat digolongkan sebagai lapisan sosial yang paling miskin jika dibandingkan secara seksama dengan kelompok masyarakat lain di sektor pertanian. Tingkat kehidupan nelayan sedikit di atas pekerja migran atau setaraf dengan petani kecil. Sehingga dengan kondisi di atas, masyarakat nelayan menjadi salah satu kelompok yang selama ini telah memperoleh sentuhan kebijakan “propoor� yang komprehensif, sebagaimana tertera dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pengurangan Kemiskinan Indonesia (MP3KI). MP3KI pada salah satu programnya di Kluster IV (Program Pro Rakyat), telah memuat berbagai Program Peningkatan Kehidupan Nelayan.Banyak program telah dilakukan pemerintah untuk menanggulangi kemiskinan nelayan tersebut.

160


Program Peningkatan Kesejahteraan dan Pengentasan Kemiskinan Nelayan di Sumatera Utara Dalam Perspektif Kebijakan Pro Poor (Dumora Jenny Margaretha Siagian dan Suzanna Eddyono)

Namun kebijakan–kebijakan tersebut masih belum bisa mengangkat taraf hidup mereka, dikarenakan tidak meratanya semua nelayan menerima bantuan tersebut.Hal ini dapat dilihat dari kondisi kehidupan masyarakat nelayan dari survey awal dan hasil–hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan di beberapa wilayah pesisir di Sumatera Utara, seperti penelitian Balitbang Provinsi Sumatera Utara tahun 2012, yang berjudul Kajian Perspektif dan Aspirasi Keluarga Nelayan Terhadap Kesejahteraan Sosial di Sumatera Utara. Hasil penelitian tersebut didapati, bahwa pada umumnya, masyarakat nelayan masih tinggal di pemukiman–pemukiman kumuh yang lingkungannya tidak sehat, masih banyak nelayan yang hanya bisa menjadi buruh di kapal dan hanya mendapat beberapa rupiah saja tiap harinya, sehingga belum bisa memenuhi kebutuhan dasar anggota keluarganya, seperti pendidikan, kesehatan, bahkan kualitas makanan yang sehat. Selain itu juga masyarakat nelayan masih hidup dalam kekurangan dan kemiskinan dengan lilitan utang yang tidak pernah lunas. Berdasarkan kondisi tersebut di atas dapat dilihat bahwa kebijakan dan program yang ada belum bisa mengentaskan kemiskinan di kalangan masyarakat nelayan Sumatera Utara. Saat ini kebijakan pemerintah diketahui belum memihak masyarakat miskin, dilihat dari banyaknya kebijakan terkait penanggulangan kemiskinan bersifat top down dan selalu menjadikan masyarakat sebagai objek, bukan subjek. Selain itu juga bantuan tersebut dianggap belum tepat sasaran dan tidak sesuai dengan kebutuhan mereka. Sejalan dengan upaya mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkualitas, dan semakin besarnya tuntutan terhadap pelaksanaan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance), kebutuhan akan kebijakan pembangunan yang berpihak kepada masyarakat miskin menjadi semakin besar. Tuntutan agar kebijakan tiga jalur pembangunan, yaitu progrowth, pro-job, dan pro-poor, dapat diimplementasikan secara efektif bagi upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat, khususnya masyarakat miskin juga semakin meningkat. Mengingat semakin berkembangnya prinsip pembangunan yang bersifat pro poor tersebut, menjadi menarik untuk mengkaji bagaimana program dan kebijakan pengentasan kemiskinan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat

kemiskinan, namun belum sepenuhnya memenuhi kriteria kebijakan pro poor. Selain itu, pengalokasian anggaran bagi program pengentasan kemiskinan juga sangat perlu diperhatikan pada kebijakan yang pro poor. Alokasi anggaran ini menjadi salah satu kunci keberhasilan dalam kebijakan yang mengedepankan kepentingan rakyat miskin. Dari alokasi anggaran yang disediakan pemerintah, dapat dilihat apakah program pemerintah tersebut konsen pada pengentasan kemiskinan rakyat Indonesia. Anggaran Pemerintah dianggap pro-poor bila sebagian besar pengeluarannya memberi manfaat lebih pada masyarakat miskin. Misalnya, bila 40% masyarakat di suatu daerah miskin, maka minimal 40% manfaat anggaran yang tersebar di berbagai sektor/urusan diarahkan pada masyarakat miskin dan hampir miskin. Secara umum, alokasi anggaran pemerintah Indonesia, khususnya di daerah–daerah untuk pengentasan kemiskinan masih sangat kecil. Sebagai contoh, hal ini senada dengan hasil penelitian yang dilakukan UNICEF berjudul Pemetaan Kebijakan Pro Rakyat Miskin di Provinsi Aceh.Hasil penelitian tersebut menyatakanbahwa pemerintah Aceh telah banyak meluncurkan program pengentasan kemiskinan, namun belum sepenuhnya sesuai dengan kebijakan pro poor.Salah satunya, karena kurangnya alokasi anggaran terhadap program pengentasan kemiskinan di Provinsi Aceh tersebut.Sehingga direkomendasikan perlunya program dan kegiatan pengentasan kemiskinan mendapatkan alokasi yang lebih tinggi, agar manfaat yang diterima masyarakat menjadi lebih tinggi pula. Penelitian ini dilakukan di Provinsi Sumatera Utara, yang merupakan salah satu daerah di Indonesia yang memiliki wilayah pesisir dengan panjang garis pantai 545 km di pantai timur dan 763,47 km di pantai barat. Pemerintah Sumatera Utara dalam “Kebijakan Pembangunan Sumatera Utara Tahun 2013” menunjukkan perhatian dan mendorong kebijakan nasional Masterplan Percepatan dan Perluasan Pengurangan Kemiskinan Indonesia (MP3KI) dalam mengurangi kemiskinan di Sumatera Utara. Sehingga, untuk mendukung program Pemerintah Provinsi Sumatera Utara tersebut, Dinas Kelautan dan Perikanan serta Dinas Kesejahteraan Sosial Provinsi Sumatera Utara juga telah mengeluarkan beberapa program / kebijakan untuk meningkatkan kesejahteraan keluarga nelayan.

161


Inovasi Vol. 11 No. 3 September 2014 : 159-173

nelayan di Sumatera Utara dalam perspektif teori kebijakan pro poor. Hal ini menjadi penting karena hingga saat ini, kebijakan tersebut sering tidak tepat sasaran dan tidak mengangkat masyarakat nelayan dari jerat kemiskinan. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji bagaimana pelaksanaan program–program peningkatan kesejahteraan nelayan di Sumatera Utara dilihat dari perspektif kebijakan pro poor.

kelompok nelayan dan pegawai Satuan Kerja Perangkat daerah (SKPD); dan, (3) catatan lapangan dari hasil wawancara mendalam dan pengamatan. HASIL DAN PEMBAHASAN “Kebijakan Pro - Miskin” diartikan sebagai kebijakan yang mendukung pengentasan kemiskinan. Kebijakan ini merupakan salah satu alat untuk mencapai pertumbuhan yang pro miskin (pro-poor growth). Secara ekstrim, pengertian pertumbuhan pro - miskin adalah suatu kondisi di mana pertumbuhan ekonomi yang dialami kelompok miskin bisa bersifat positif atau negatif, namun tetap lebih besar daripada pertumbuhan ekonomi kelompok tidak miskin. Hal ini sejalan dengan pandangan Klasen (2008) dan Duclos (2009) yang menyatakan bahwa kebijakan yang didorong melalui pertumbuhan ekonomi digolongkan pro-poor jika pertumbuhan ekonomi menimbulkan pertumbuhan rata-rata pendapatan kelompok miskin yang lebih besar dibandingkan dengan pertumbuhan rata-rata pendapatan kelompok yang bukan miskin. Penanggulangan kemiskinan tidak saja merupakan program nasional, namun juga merupakan program internasional melalui kesepakatan 189 negara dalam Millenium Development Goals (MDGs) di tahun 2000. Dalam rangka mendukung program Millenium Development Goals (MDGs) ini Indonesia telah menggulirkan program Masterplan Percepatan dan Perluasan Pengurangan Kemiskinan Indonesia MP3KI untuk mengurangi dan mengentaskan kemiskinan di Indonesia. Saat ini, tiap provinsi dan kabupaten/kota telah membentuk Tim Koordinasi Penanggulang Kemiskinan (TKPK) di daerahnya masing– masing.Demikian pula di Kota Tanjungbalai dan Kabupaten Serdang Bedagai. Program – program Tim Koordinasi Penanggulang Kemiskinan (TKPK) ini tersebar hampir di semua Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) yang ada. Data statistik memperlihatkan terjadinya penurunan angka kemiskinan di Indonesia terutama setelah tahun 2007. Walaupun demikian, terdapat beberapa permasalahan dalam penanggulangan kemiskinan, antara lain: melambatnya penurunan angka kemiskinan secara nasional, tingginya disparitas angka dan persentasi kemiskinan antara Jawa/Bali dan daerah-daerah lainnya, dan tidak tepatnya sasaran penerima program penanggulangan kemiskinan (Bappenas, 2012:57).

METODE Lokus penelitian adalah dua wilayahpesisir di Provinsi Sumatera Utara yakni Kabupaten Serdang Bedagai dan Kota Tanjungbalai. Lokasi ini dipilih berdasarkan pertimbangan jumlah nelayan, keberhasilan Kota / Kabupaten dalam pemberdayaan masyarakat, serta jumlah penduduk yang dikategorikan sebagai penduduk miskin. Populasi penelitian ini adalah seluruh masyarakat nelayan yang berada di Sumatera Utara, dengan sampel diambil secara purposif di daerah Kota Tanjungbalai dan Kabupaten Serdang Bedagai. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan pendekatan penelitian adalah deskriptif analitis. Informan dalam penelitian ini adalah pegawai pemerintah dari Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) terkait, seperti Dinas Perikanan dan Kelautan, Dinas Sosial dan Tenaga Kerja, dll, serta kelompok-kelompok nelayan. Data primer diperoleh dari pemerintah dan masyarakat nelayan melalui wawancara mendalam terhadap beberapa pegawai pemerintah dan pengurus organisasi nelayan, serta Focus group discussion (FGD) yang dilakukan satu kali di Kabupaten Serdang Bedagai dan dua kali di Kota Tanjung Balai dengan peserta kurang lebih 45 (empat puluh lima) orang. Sedangkan data sekunder diperoleh dari instansi terkait berupa Rencana Strategis (Renstra), Rencana Kerja (Renja), Laporan Akuntabilitas Kinerja Pemerintah (LAKIP), Laporan Penanggulangan Kemiskinan, dan Laporan Tahunan. Data ini memuat program/kebijakan yang sedang dan akan dilakukan, serta proses pelaksanaan implementasi kebijakan tersebut. Dalam proses analisis data, peneliti menerapkan teknik tringulasi dan menggunakan program N-Vivo 10, yaitu perangkat lunak yang dirancang untuk analisa data kualitatif. Hal ini mengingat kompleksitas tiga jenis data yang berhasil dihimpun, yakni : (1) data-data dari dokumen pemerintah terkait program-program yang ditujukan kepada nelayan; (2) transkrip hasil Focus Group Discussion (FGD)dengan kelompok-

162


Program Peningkatan Kesejahteraan dan Pengentasan Kemiskinan Nelayan di Sumatera Utara Dalam Perspektif Kebijakan Pro Poor (Dumora Jenny Margaretha Siagian dan Suzanna Eddyono)

Berkaitan dengan tidak tepatnya sasaran program penanggulangan kemiskinan ini, salah satu upaya yang sedang dirintis pemerintah adalah pendekatan kebijakan yang pro-poor atau kebijakan yang berpihak pada masyarakat miskin. Dalam Rencana Kerja Pemerintah Tahun 2013 (Buku 1) (Bappenas, 2012), terdapat sebelas prioritas nasional 2010-2014, dan pada prioritas 4 disebutkan penanggulangan kemiskinan dengan salah satu arah kebijakannya: “meningkatkan efektifitas pelaksanaan program-program pro-rakyat yang bertujuan untuk menyediakan akses fasilitas dasar bagi masyarakat nelayan, masyarakat miskin perkotaan, dan daerah tertinggal” (2012:107). Analisa Data Kemiskinan Berdasarkan Data Pendataan Program Perlindungan Sosial (PPLS, 2011),(Kementerian Sosial RI& BPS, 2012:53-54) menunjukkan bahwa Provinsi Sumatera Utara menempati urutan keempat setelah Provinsi Jawa Timur, Jawa Tengah dan Jawa Barat sebagai provinsi dengan 40 persen rumah tangga terbawah di ndonesia. Besarnya angka kemiskinan di Sumatera Utara membutuhkan informasi dan penelitian mengenai apakah kebijakan pemerintah Kota/Kabupaten di Sumatera Utara telah sungguhsungguh berpihak pada rakyat miskin. Rencana dan anggaran dikatakan berpihak pada masyarakat miskin (pro-poor) menurut Bappenas (2008: 9-11) adalah apabila: • Rencana dan anggaran bertujuan untuk mengatasi penyebab-penyebab kemiskinan dan membantu masyarakat miskin keluar dari kemiskinan. • Masyarakat miskin memperoleh perhatian khusus/lebih, misalnya, prioritas kegiatan lebih banyak dan anggaran yang lebih besar daripada kelompok masyarakat lainnya. • Rencana dan anggaran berbagai sektor diarahkan pada wilayah-wilayah dengan jumlah penduduk miskin cukup besar atau memiliki masalah kemiskinan. • Rencana pembangunan yang disusun ditujukan untuk memberi manfaat maksimal bagi rakyat miskin terkait pencapaian target-target Tujuan Pembangunan Millenium. • Masyarakat miskin secara aktif berperan serta dalam seluruh proses pembangunan dimulai dari identifikasi hingga evaluasi program/kegiatan pengurangan kemiskinan. Sementara itu, Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang dianggap berpihak pada Masyarakat Miskin diartikan sebagai : “Anggaran

berbasis kinerja yang secara jelas dan transparan memberi perhatian lebih bagi target lokasi dan penerima manfaat yang miskin, melebihi proporsi jumlah penduduk miskin dalam masyarakat luas, sehingga diharapkan dapat mengatasi akar masalah kemiskinan dan berdampak terhadap pengurangan kemiskinan/mencapai sasaran/Tujuan Pembangunan Milenium dengan melibatkan masyarakat miskin dalam proses penyusunannya. Idealnya, proporsi anggaran yang diperuntukkan bagi pengentasan kemiskinan melampaui prosentase masyarakat miskin dalam masyarakat luas. Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang Berpihak pada Masyarakat Miskin didasarkan pada prinsip-prinsip sebagai berikut: a) Jelas dan Transparan :Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) harus dapat menyajikan informasi secara transparan, dan mudah diakses oleh masyarakat umum, terutama masyarakat miskin. b) Partisipasi Masyarakat miskin dan Perempuan: dalam proses penyusunan dan penetapan APBD dengan cara memberi mereka kesempatan untuk berdialog. c) Target/Sasaran Program/Kegiatan teridentifikasikan dengan jelas : Dokumendokumen anggaran seperti Kebijakan Umum Anggaran (KUA), Plafon Prioritas Anggaran Sementara(PPAS), Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), dan Rencana Kerja Anggaran Satuan Kerja Perangkat Daerah (RKASKPD) harus mencantumkan target lokasi dan penerima manfaat, dan secara jelas memprioritaskan kelompok miskin. d) Ukuran Kinerja: Kinerja keluaran dan hasil perlu tercantum secara jelas pada berbagai dokumen anggaran tersebut diatas agar dapat diketahui dengan jelas tujuan manfaatnya. Kebijakan anggaran yang pro-poor atau yang berpihak pada rakyat dapat dilihat salah satu diantaranya dari “penyusunan dan pelaksanaan kebijakan di bidang anggaran yang sengaja ditujukan untuk mengakomodir suara dan kepentingan masyarakat miskin” (Mawardi dan Sumarto, 2003:12).Artinya, paling tidak terdapat tiga hal yang idealnya diperhatikan dalam penyusunan anggaran. Pertama, memasukkan pendapat publik baik melalui dengar pendapat, debat di media massa, proses pengambilan keputusan yang terbuka, dengan melibatkan kelompok masyarakat miskin itu sendiri.

163


Inovasi Vol. 11 No. 3 September 2014 : 159-173

Kedua, aspek penerimaan daerah.Ketiga, aspek pembelanjaan daerah. Anggaran pro poor berupaya melakukan pemenuhan terhadap hak-hak dasar masyarakat miskin melalui program-program yang dirancang dalam kebijakan anggaran sesuai dengan tujuannya, yakni meningkatkan kesejahteraan masyarakat miskin. Untuk menentukan kebijakan anggaran yang pro - poor dapat diidentifikasi melalui dua hal, yaitu: proses dan isi atau alokasi dana. Identifikasi melalui proses memfokuskan perhatian pada keterlibatan kelompok miskin dalam memformulasikan kebijakan anggaran, dimana menjadi penting untuk mengamati partisipasi/keterlibatan masyarakat miskin dalam berbagai tahap penganggaran program-program pemerintah. Selain aspek partisipasi, hal lain yang juga perlu diperhatikan adalah aspek transparansi dan akuntabilitas. Akses terhadap semua data yang berkaitan dengan anggaran haruslah disediakan, dalam arti segenap informasi yang berhubungan dengan hal tersebut haruslah tersedia. Meski berbagai peraturan terkait, mulai dari Undang – Undang (UU) No. 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik hingga berbagai peraturan yang berhubungan dengan pedoman penyusunan anggaran pemerintah pusat dan daerah, telah menyatakan kewajiban pemerintah untuk menginformasikan substansi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja daerah(APBD) kepada masyarakat, kenyataan di Tanjungbalai dan Serdang Bedagai menunjukkan bahwa prinsip transparansi anggaran ini belum sepenuhnya dipahami dan dimanfaatkan oleh masyarakat sehingga tidaklah mengherankan bila pelaksanaannya oleh aparat pemerintah pun masih terkesan setengah hati. Artinya, keberadaaan berbagai peraturan tersebut ternyata belum mampu menjamin hak warga negara untuk mengakses berbagai dokumen spesifik yang menjadi kunci dalam praktek penganggaran yang bersifat pro poor.Kenyataan di Tanjungbalai dan Serdang Bedagai menunjukkan bahwa masih ada gap antara persepsi pemerintah daerah dengan persepsi masyarakat tentang tranparansi dan keterbukaan informasi yang berkaitan dengan penganggaran program-program pemerintah. Aparat pemerintah daerah di Tanjungbalai dan Serdang Bedagai pada umumnya belum memiliki kesadaran untuk membangun mekanisme yang memadai untuk mengkomunikasikan berbagai informasi yang berkaitan dengan program-program

pemerintah. Misalnya saja, masih ada anggapan di kalangan pemerintah daerah bahwa pengumuman ringkasan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) di media massa dianggap telah memenuhi amanat berbagai peraturan tentang transparansi dan keterbukaan informasi. Akibatnya, meski pemerintah daerah terkadang telah mengeluarkan biaya yang relatif mahal untuk memasang “iklan APBD� di media cetak, informasi yang disampaikan dalam ringkasan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dalam iklan semacam ini seringkali dianggap kurang informatif oleh masyarakat. Sementara itu masyarakat ternyata seringkali justru tidak bisa melihat atau memiliki akses terhadap dokumen kunci seperti Kebijakan Umum Anggaran – Plafon Penggunaan Anggaran (KUA-PPA), Rencana Kerja Anggaram Satuan Kerja Perangkat Daerah (RKA SKPD) yang relatif lebih informatif dan transparan. Pengamatan terhadap isi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) merupakan tahap berikutnya untuk memastikan apakah sebuah kebijakan alokasi anggaran pro poor atau tidak. Dua sisi yang harus diperhatikan berkenaan dengan isi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) adalah sisi pendapatan dan sisi belanja.Dari sisi belanja pengalokasian anggaran untuk mendesain program dan kegiatan dalam rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat miskin perlu diperiksa dengan teliti.Berkaitan dengan itu, kita mencoba untuk mencermati sejauhmana keberpihakan pemerintah terhadap rakyat miskin melalui pengalokasian anggaran pada program atau kegiatan yang tercermin dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Pengamatan yang cermat terhadap alokasi anggaran yang berkait erat perubahan hak-hak dasar seperti kesehatan, pendidikan, dan perumahan diperlukan untuk mendapatkan gambaran bagaimana kebijakan serta prioritas pemerintah terhadap pelayanan dasar tersebut. Untuk membuktikan adanya kebijakan anggaran pro poor dari sisi pendapatan, antara lain dapat dilihat dari bagaimana mekanisme pajak atau retribusi yang dikenakan kepada masyarakat miskin. Perlu dilihat kelompok mana yang paling diuntungkan dan dirugikan oleh kebijakan pendapatan tersebut. Menurut Muh. Kholid AS (2008), kebijakan negara yang berbentuk Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara/Daerah (APBN/D), yang sebagian besar telah diratifikasi bersama oleh eksekutif dan legislatif, belum sepenuhnya berpihak pada kaum miskin. Sementara, menurut Abdur Rozaki, dkk (2008

164


Program Peningkatan Kesejahteraan dan Pengentasan Kemiskinan Nelayan di Sumatera Utara Dalam Perspektif Kebijakan Pro Poor (Dumora Jenny Margaretha Siagian dan Suzanna Eddyono)

: 7 – 12) bahwa, kemiskinan, ketimpangan dan ketertinggalan sebenarnya berakar pada struktur ekonomi politik anggaran yang timpang, yaitu tidak berorientasi pada kesejahteraan. Ada tiga masalah dalam struktur ekonomi politik anggaran.Pertama, desentralisasi politik sudah dijalankan, namun di sisi lain, potret kemiskinan sangat berakar di bawah dan beragam antardaerah.Kedua, negara mempunyai formasi dan karakter pemangsa (predatory state) terhadap anggaran.Ketiga, alokasi-distribusi anggaran untuk rakyat, bersifat residual atau “sisa-sisanya�. Anggaran Pemerintah dianggap pro-poor bila sebagian besar pengeluarannya memberi manfaat lebih pada masyarakat miskin. Misalnya, bila 40% masyarakat di suatu daerah miskin, maka minimal 40% manfaat anggaran yang tersebar di berbagai sektor/urusan diarahkan pada masyarakat miskin dan hampir miskin. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kabupaten Serdang Bedagai TA. 2011 sebagaimana ditetapkan dalam Perubahan Peraturan Daerah Kabupaten Serdang Bedagai Nomor 14 Tahun 2011 tanggal 21 Oktober 2011, menargetkan Belanja Daerah Kabupaten Serdang Bedagai sebesar Rp.745.848.201.428,95 dan direalisasikan sebesar Rp.731.773.294.426,00, dimana target untuk Belanja Tidak Langsung mencapai Rp. 438.848.865.208,95.-, sementara belanja langsung sebesar Rp.306.999.336.220,-. Realisasi belanja daerah sampai Bulan Desember Tahun 2011 mencapai jumlah Rp.731.773.294.426,00, terdiri dari belanja tidak langsung sebesar Rp.467.666.079.435,00 dan belanja langsung sebesar Rp.264.107.214.991,00.. Data Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Serdang Bedagai tahun 2011 tersebut menunjukkan bahwa, dalam struktur belanja pada Perubahan Anggaran Pendapatan dan Belanja daerah (P-APBD)Kabupaten Serdang Bedagai tahun 2011, jumlah persentase belanja langsung (36,1 %) ternyata masih lebih kecildaripada jumlah anggaran yang dipergunakan untuk belanja tidak langsung (63,9 %). Harus dicatat bahwa alokasi terbesar pada komponen belanja tidak langsung ini adalah pada belanja pegawai (yaitu 87,43 %), yang penggunaannya diperuntukkan bagi gaji Pegawai Negeri Sipil(PNS) dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), Bupati/Wakil Bupati dan Tambahan penghasilan Pegawai Negeri Sipil (PNS). Sesuai Rencana Aksi Daerah Penanggulangan Kemiskinan, Pemerintah Kabupaten Serdang Bedagai, melalui koordinasi yang dilaksanakan oleh Tim

Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan Daerah (TKPKD), telah melaksanakan berbagai program penanggulangan kemiskinan sesuai yang diamanatkan oleh Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2009. APBD kabupaten Serdang Bedagai Tahun Anggaran 2011, mengalokasikan anggaran sebanyak Rp. 97.785.665.800,- pada 3 klaster penanggulangan kemiskinan. Realisasi anggaran pada 3 klaster penanggulangan kemiskinan tersebut pada akhir tahun 2011 mencapai sebanyak 92,27 %, dengan dana yang digunakan sebesar Rp. 90.236.112.700,-. Jumlah anggaran yang dialokasikan untuk penanggulangan kemiskinan tersebut (Âą 97,785 Milyar) hanya mencakup 13,11 % dari APBD Kabupaten Serdang Bedagai Tahun Anggaran 2011. Meski demikian harus dicatat bahwa anggaran penanggulangan kemiskinan tersebut telah mencapai 31,85 % dari alokasi anggaran belanja langsung (belanja proyek) sebesar Rp.306.999.336.220 dalam APBD Kabupaten Serdang Bedagai Tahun Anggaran 2011. Komposisi anggaran penanggulangan kemiskinan di Kota Tanjungbalai pun tampaknya tidak terlalu berbeda. APBD Kabupaten Tanjungbalai TA. 2012 menargetkan Belanja Daerah Kabupaten Serdang Bedagai sebesar Rp. Rp. 484.903.380.096.Alokasi anggaran yang ditargetkan untuk Belanja Tidak Langsung mencapai Rp. 225.708.737.351, sementara belanja langsung sebesar Rp. 259.194.642.745. Struktur belanja P-APBDKabupaten Serdang Bedagai tahun 2012 tersebut menunjukkan bahwa, jumlah persentase belanja langsung (53,45 %) ternyata sedikit lebih besardaripada jumlah anggaran yang dipergunakan untuk belanja tidak langsung (46,55 %). Sementara, anggaran yang diperuntukkan bagi 3 kluster program penanggulangan kemiskinan dan program-program lainnya yang baik secara langsung maupun tidak langsung dapat meningkatkan kegiatan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat miskin pada tahun 2012 mencapai Rp. 33.661.873.555. Jumlah tersebut hanya mencakup sekitar 6,94 % dari alokasi APBD Kota Tanjung Balai untuk Tahun Anggaran 2012 sebesar Rp. 484.903.380.096. Data-data tersebut menunjukkan bahwa meski telah ada komitmen dari pemerintah untuk melakukan pengentasan kemiskinan, termasuk kemiskinan di kalangan nelayan, alokasi sumber daya untuk mendukung upaya pengentasan kemiskinan tersebut sesungguhnya masih belum memenuhi harapan sebagai sebuah kebijakan yang pro poor.

165


Inovasi Vol. 11 No. 3 September 2014 : 159-173

Harus diakui bahwa, upaya pengentasan kemiskinan yang dilakukan oleh pemerintah daerah di Tanjungbalai dan Serdang Bedagai ternyata belum dilakukan secara sistematis.Penerjemahan arah kebijakan strategis penanggulangan kemiskinan ini ke dalam upaya-upaya yang dapat mendukung usaha pengurangan kemiskinan dan kerentanan pada tingkat implementasi belum dilakukan secara maksimal. Di Kabupaten Serdang Bedagai misalnya, meskipun sering mengusung tema penanggulangan kemiskinan dalam program pembangunannya, namun penelitian yang dilakukan LSM SMERU menunjukkan bahwa, upaya penanggulangan kemiskinan dan kerentanan belum menjadi “roh” atau landasan utama dalam berbagai program mereka (Sambhodo, 2013). Kondisi ini terlihat dari masih kurangnya fokus pada usaha keberpihakan pada kelompok miskin dalam pelaksanaan program yang sebenarnya berhubungan erat dengan upaya pengurangan kemiskinan dan kerentanan (dapat dilihat pada dokumen instansi, seperti Renstra, Lakip, dll). Kondisi ini dapat dilihat melalui pelaksanaan beberapa program dibawah dinas-dinas di Serdang Bedagai.Pada tahun 2007, Pemkab Serdang Bedagai mengeluarkan Perda No. 19 tahun 2007 tentang “Penertiban dan Penggunaan Tanah Kosong untuk Komoditi Pertanian dan Perikanan Semusim”.Sebagai fasilitator, peran Pemerintah Kabupaten (Pemkab) adalah mendaftar seluruh masyarakat di sekitar lokasi yang mau memanfaatkan tanah tersebut. Namun dalam pelaksanaannya Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Serdang Bedagai tidak mempertimbangkan status sosial-ekonomi calon penggarap dan menerapkan aturan “siapa yang meminta, dia yang diberi”. Menurut wawancara dengan responden, Dinas Pertanian tidak merasa perlu melihat keterkaitan program ini terhadap usaha pengurangan kemiskinan dan kerentanan karena program-program yang khusus ditujukan untuk orang miskin telah dikerjakan oleh SKPD lain. Pendekatan serupa juga terlihat pada program pemberdayaan koperasi dan Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) pada Dinas Koperasi dan Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) Serdang Bedagai. Di Kabupaten Serdang Bedagai pernah terdaftar sekitar 170 koperasi yang sejak beberapa tahun terakhir berkondisi “mati suri”. Bidang Koperasi mencoba membangkitkan koperasi yang “tidur” tersebut dan sejauh ini baru berhasil mengaktifkan 10 koperasi. Namun dari pengamatan lapangan dan wawancara dengan responden, sejauh ini berbagai

kegiatan Bidang Koperasi masih lebih bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara umum dan belum ada usaha khusus untuk penanggulangan kemiskinan.Kondisi ini menunjukkan ide pengutamaan urusan kemiskinan dan kerentaan belum terlihat di lingkungan gerakan koperasi di Kabupaten Serdang Bedagai. Selain tidak adanya arah keberpihakan pada kelompok miskin dalam program-program sektoral, di Serdang Bedagai juga belum terlihat program pengurangan kemiskinan yang berasal dari inovasi daerah, seperti yang terlihat pada Dinas Sosial.Salah satu Tupoksi Dinas Sosial adalah membantu menyalurkan bantuan langsung kepada Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) dari berbagai sumber. Selain itu Dinas Sosial juga melaksanakan pemberdayaan masyarakat dalam jumlah terbatas, seperti melalui program Usaha Ekonomi Produktif (UEP) dan Kelompok Usaha Bersama (KUBE). Program/kegiatan yang dilakukan oleh Dinas Sosial umumnya hanya bersifat rutin dan tidak ada program/kegiatan yang inovatif. Selain pada tataran implementasi program, belum optimalnya berbagai program penanggulangan kemiskinan yang dilaksanakan oleh Pemkab Serdang Bedagai, antara lain juga oleh kenyataan bahwa berbagai program yang dilaksanakan oleh SKPD, maupun Program Corporate Sosial Responsibility (CSR) masih berjalan sendiri-sendiri. Secara umum, penelitian SMERU menunjukkan bahwa Kabupaten Serdang Bedagai belum memiliki strategi khusus dalam pelaksanaan program penanggulangan kemiskinan yang jelas. Implementasi program pengurangan kemiskinan di daerah ini masih dilakukan secara business as usual. Di saat yang sama, kecenderungan egosektoralisme masih terlihat di daerah ini. Setiap SKPD memfokuskan kegiatannya sesuai dengan Tupoksinya masing-masing.Sejauh ini masih terdapat persepsi yang cukup kuat bahwa upaya penanggulangan kemiskinan merupakan Tupoksi SKPD tertentu saja.Masih saja ada anggapan bahwa upaya penanggulangan kemiskinan umumnya dan pemberdayaan masyarakat miskin khususnya merupakan tanggung jawab Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM). Untuk menjembatani persoalan demikian, Jenis kebijakan publik yang bisa dilakukan dalam membuat “Kebijakan Pro-Miskin” ada dua macam, kebijakan langsung dan kebijakan tidak langsung.Kebijakan langsung adalah kebijakan yang langsung ditujukan pada penduduk miskin, seperti Bantuan Langsung Tunai (BLT), Program Keluarga

166


Program Peningkatan Kesejahteraan dan Pengentasan Kemiskinan Nelayan di Sumatera Utara Dalam Perspektif Kebijakan Pro Poor (Dumora Jenny Margaretha Siagian dan Suzanna Eddyono)

Harapan, dll. Sedangkan kebijakan tidak langsung umumnya membidik sasaran lain sebelum menyentuh tujuan utama. Misalnya industrialisasibertujuan meningkatkan pertumbuhan manufaktur yang akhirnya menimbulkan trickle down effect di sektor lain dan didominasi oleh penduduk miskin, yang identik dengan sektor pertanian. Analisis data dokumen, indepth-interview, dan focus group discussion pada penelitian ini mengidentifikasi lima hal yang berkaitan erat dengan penyusunan program yang kurang berperspektif pro poor, yaitu distribusi program, kelompok sasaran, sosialisasi awal program, kebutuhan nelayan, serta kurangnya keterlibatan dan partisipasi perempuan. Distribusi program. Penyusunan rencana yang tidak melibatkan nelayan miskin dapat berakibat pada distribusi program yang tidak merata dan dapat menimbulkan kecemburuan sosial di kalangan masyarakat nelayan itu sendiri. Sebagai contoh, di Kota Tanjungbalai, pada triwulan I dan IV tahun 2012, Dinas Perikanan dan Kelautan setempat melaksanakan program Pengembangan Perikanan Tangkap dengan rincian sebagai berikut : 5 unit alat penangkap ikan, 5 unit mesin kapal dan kelengkapannya,, 5 unit fish finder,, 5 unit pengadaan kapal motor berkapasitas 5 GT,, dan 5 unit alat penangkap ikan untuk kapal motor berkapasitas 8 GT..Total bantuan di atas bernilai Rp. 4.265.815.000,- . Ditambah dengan Program Optimalisasi Pengelolaan dan Pemasaran Perikanan yang mengadakan satu paket alat pengolahan sosis ikan dan satu paket pengadaan cool box, total biaya program untuk nelayan tangkap di Tanjungbalai pada

2012 mencapai Rp. 4.595.815.000,-. Sebagaimana informasi yang diberikan Staf Dinas Perikanan dan Kelautan (Diskanla) Tanjung Balai, bantuan di tahun 2012 ini didistribusikan antara lain kepada 13 kelompok usaha bersama (KUB) nelayan yang beranggotakan rata-rata 10 orang. Nilai nominal bantuan itu cukup besar, namun distribusi bantuan sangat tidak merata jika jumlah dan jenis bantuan, serta jumlah kelompok penerimanya dibandingkan dengan jumlah kelompok nelayan yang ada di Tanjung Balai. Contoh lain dapat dilihat pada program asuransi nelayan di Tanjung Balai. Sebagaimana disebutkan terdahulu, pada tahun 2013 jumlah penerima asuransi nelayan di Kota ini sangat sedikit, hanya sekitar 50 nelayan.Salah satu penerima klaim ini adalah keluarga almarhum Syafei yang meninggal dunia tahun ini.Dengan jumlah penerima kartu nelayan dan asuransi yang jauh lebih kecil dibandingkan jumlah nelayan di Tanjung Balai, menjadi pertanyaan penting bagaimana almarhum Syafei bisa memiliki kartu nelayan kemudian menjadi peserta asuransi nelayan. Akses almarhum Syafei untuk memperoleh kedua kartu tidak terlepas dari peran ibunya sebagai ketua kelompok nelayan tempat Syafei bergabung sekaligus sebagai kepala dusun di tempatnya tinggal.Akses semacam ini tentu tidak dimiliki oleh nelayan miskin lainnya.Oleh karena itu distribusi yang tidak merata yang tidak disertai dengan tranparansi dan sosialisasi yang memadai dapat menimbulkan rasa ketidakadilan dan kecemburuan sosial di masyarakat nelayan itu sendiri.

Tabel 1.Jumlah Nelayan dan Distribusi Bantuan Program Pengembangan Perikanan Tangkap (Bagian dari Klaster 3) Berdasarkan Kecamatan Kecamatan No.

Kecamatan

1.

Pantai Cermin

2.

Perbaungan

3.

4. 5. 6.

Jumlah Nelayan (Orang) Sambilan Penuh Utama 1.469 368 149

83

Teluk Mengkudu

2.541

1.147

Sei Rempah Tanjung Beringin Bandar Khalifah

60 4.532

138 576

1.045

593

Jenis Bantuan

Jaring udang, jaring kepiting, motor perahu Jaring udang, jaring gembung, rumpon laut Jaring udang, jaring kepiting, jaring kepiting, pancing rawai, aso-aso, jaring gembung, rumpon laut, mesin perahu Cakar kerang Pancing rawai, jaring gembung, alat deteksi ikan, rumpon laut Aso-aso, jaring gembung, jaring gilnet

167

Frekuensi Bantuan

Jumlah Dana

4

154.500.000

3

125.000.000

9

369.000.000

1 4

50.000.000 180.000.000

3

140.000.000


Inovasi Vol. 11 No. 3 September 2014 : 159-173

Sumber: Data olahan berdasarkan Program/Kegiatan Penanggulangan Kemiskinan PerKlaster yang Telah Dilaksanakan Tahun 2012 (diperoleh dari Bappeda) dan Data Nelayan 2012 (diperoleh dari Diskanla), Kabupaten Serdang Bedagai, 2013. Distribusi bantuan dalam rangka Program Pengembangan Perikanan Tangkap di Kabupaten Serdang Bedagai sedikit berbeda.Dinas Perikanan dan Kelautan mendistribusikan kegiatan-kegiatan bantuan Program Pengembangan Perikanan Tangkap (Klaster 3) di enam kecamatan yang ada seperti terlihat pada Tabel 1. Tabel 1 tersebut memperlihatkan secara umum, jenis, frekuensi pemberian bantuan, dan jumlah dana bantuan terbesar dialokasikan di Kecamatan Teluk Mengkudu walaupun jumlah nelayan terbesar berada di Kecamatan Tanjung Beringin (hampir dua kali lipat jumlah nelayan di Teluk Mengkudu). Indikasi distribusi bantuan yang tidak merata juga dapat dilihat di Kecamatan Pantai Cermin dan Perbaungan. Walaupun jumlah nelayan di Perbaungan sepuluh kali lipat nelayan di Pantai Cermin, bantuan yang diberikan bernilai hampir sama. Selain itu, frekuensi bantuan sangatlah sedikit jika dibandingkan dengan data-data berikut. Di tahun 2012,berdasarkan data dalam profilnya, Dinas Perikanan dan Kelautan mencatat 9.796 nelayan penuh dan 2.905 nelayan sambilan. Juga berdasarkan perhitungan Dinas ini, terdapat 141 nelayan dengan perahu tanpa motor, 592 nelayan memiliki kapal dengan kapasitas mesin di bawah 3 GT, 678 nelayan dengan 3-5 GT, 180 orang memiliki kapal bermesin 69 GT, 12 nelayan dengan 10-20 GT. Angka-angka ini menunjukkan bahwa jumlah nelayan pemilik kapal berada di bawah jumlah kapal yang ada. Kemungkinan besar terdapat nelayannelayan yang melaut dengan menggunakan kapal milik pengusaha atau nelayan lain. Jika total nelayan pemilik kapal berjumlah 1979, maka jumlah kapal yang ada (dengan motor dan tanpa motor) mencapai 2267 buah. Walaupun tersedia data jumlah dan variasi kapal nelayan ini dan distribusi nelayan berdarakan kecamatan, sayangnya tidak ditemukan dalam dokumen Diskanla maupun melalui in-depth interview, rasionalitas distribusi jenis bantuan, frekuensi, dan kelompok sasarannya. Kelompok Sasaran. Penyusunan rencana dan penganggaran yang tidak memperhitungkan kepentingan nelayan miskin dapat pula dilihat dari kegiatan atau program yang kelompok sasarannya bukan nelayan miskin. Hal ini tampak dari salah satu

kegiatan di Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Sumatera Utara ditahun 2012, yaitu pengadaan satu buah kapal 30 GT. Berdasarkan data dari Laporan Dinas Perikanan dan Kelautan Kota Tanjung Balai di tahun 2009, kebutuhan biaya melaut untuk kapal 30 GT -50 GT paling tidak mencapai Rp 35 juta untuk dapat melaut selama sebulan dengan jumlah awak kapal lebih dari 1ima belas buruh nelayan. Artinya, kecil kemungkinan bantuan semacam ini sesuai dengan kebutuhan nelayan kecil mengingat besarnya biaya operasional kapal.Selain itu, walaupun bantuan bernilai besar, namun tidak selalu dalam wujud yang segera bisa dimanfaatkan.Misalnya, untuk bantuan kapal lainnya di Kabupaten Tanjung Balai, kelompok nelayan masih harus menyediakan sendiri alat-alat kelengkapan kapal termasuk izin agar kapal dapat beroperasi. Bagi kelompok nelayan yang tidak mampu, kapal bantuan terpaksa dibiarkan sementara sampai mereka menemukan cara terbaik untuk pemanfaatannya. Solusi lain yang ditempuh antara lain adalah berbagi hasil dengan nelayan pengusaha untuk mengoperasikan kapal, atau menjual kapal bantuan itu lalu hasilnya digunakan untuk membeli barang-barang yang dibutuhkan kelompok. Selain itu, kelompok nelayan memilih untuk membagi hasil penjualan kapal dalam bentuk uang kepada anggota kelompok yang sayangnya kemudian tidak menggunakannya untuk pengembangan usaha kelompok. Kurangnya perhatian serius terhadap identifikasi kelompok sasaran ini dapat pula dilihat dari beberapa karakteristik nelayan yang berkembang yang dapat menimbulkan multitafsir terhadap siapakah yang sebetulnya disebut nelayan dan nelayan miskin. Salah seorang peserta focus group discussion mengemukakan perlunya identifikasi yang cermat atas kelompok sasaran ini, sebagai berikut: “Sebelumnya kita kategorikan dulu.Kategori nelayan itu cemana dari sudut pandang pemerintah?Ada buruh nelayan, pengusaha, atau pemilik kapal?Kita harus kategori dulu.Kalau pemerintah itu memberikan bantuan untuk nelayan.Nelayan yang mana? Misalnya HNSI, hanya himpunan nelayan, hanya sebagian dari kami pengurus DPC yang betul-betul turun

168


Program Peningkatan Kesejahteraan dan Pengentasan Kemiskinan Nelayan di Sumatera Utara Dalam Perspektif Kebijakan Pro Poor (Dumora Jenny Margaretha Siagian dan Suzanna Eddyono)

kelompok miskin yang menjadi sasaran program adalah nelayan atau tidak. Di sisi lain, data mengenai nelayan itu sendiri tidak secara eksplisit menginformasikan kondisi atau tingkat sosial dan ekonominya. Dinas Perikanan dan Kelautan (Diskanla) Tanjungbalai, misalnya, mengklasifikasikan nelayan dalam empat kategori: (1) nelayan pelaku usaha yang merupakan pengusaha atau nelayan dengan kapal berkapasitas di atas 30 (GT); (2) nelayan dengan kapal berskala 5-10 GT; (3) nelayan dengan kapal skala kecil atau dengan kapasitas di bawah 5 GT, yang biasanya digunakan untuk menangkap kerang, dengan pola melaut pergi pagi dan pulang sore, dan modal perbulan yang tidak selalu mencapai satu juta perbulan; dan (4) nelayan yang menggunakan jala atau buruh nelayan yang biasanya bekerja kepada pelaku usaha berkapal dengan awak 20 sampai dengan 25 orang. Sementara itu, data yang tersedia dari Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Sumatera Utara maupun Badan Pusat Statistik (BPS) mengenai jumlah nelayan dan kategorisasinya tidak memberi gambaran apakah kategori nelayan penuh mengindikasikan kondisi ekonomi yang lebih baik dibandingkan dengan kategori nelayan sambilan utama dan nelayan sambilan tambahan (Gambar 1).

ke laut sebagai nelayan. Macam sayalah, terus terang saja pencarian saya bukan nelayan, tapi nenek moyang saya nelayanlah saya katakan.Jadi kita tak tahu menurut sudut pandang pemerintah mana kategori nelayan yang (dimaksud), versinya bagaimana?Itu yang perlu dulu. Yang wajar menerima bantuan itu, kategori yang mana?.....menurut pemerintah bagaimana? Setelah itu baru........Ini tidak. Yang diluncurkan beras, perumahan, tapi yang menerima nanti pengusaha nelayannya.....� (Husaini, focus group discussion, Tanjung Balai). Penentuan kelompok sasaran atau penerima program seringkali bermasalah karena walaupun data mengenai peningkatan sektor perikanan, jumlah produksi perikanan laut dan jumlah nelayan tangkap laut di Sumatera Utara tersedia, informasi mengenai kondisi sosial ekonomi nelayan, terutama jumlah dan sebaran nelayan miskin di Sumatera Utara sesungguhnya sukar ditemukan. Di satu sisi, data yang menggambarkan jumlah penduduk miskin maupun penerima bantuan sosial atau kesehatan di kedua kota/kabupaten dan Provinsi Sumatera Utara tidak memberikan informasi mengenai apakah

Sumber: Olahan dari Data Statistik Perikanan Tangkap Provinsi Sumatera Utara 2011, halaman 5. Gambar 1. Kategori Nelayan Perikanan tangkap di Laut Sumatera Utara Tahun 2011

169


Inovasi Vol. 11 No. 3 September 2014 : 159-173

Interpretasi pegawai Dinas Perikanan dan Kelautan (Diskanla) di Tanjung Balai, Serdang Bedagai, dan Provinsi Sumatera Utara terhadap ketiga kategori pada gambar 1 bervariasi: (1) nelayan penuh lebih mampu secara ekonomi, (2) nelayan sambilan utama memiliki akses ekonomi yang lebih baik sebab memiliki tambahan lain ketika cuaca tidak memungkinkan mereka melaut, atau (3) nelayan sambilan utama tidak selalu merupakan orang yang bekerja sebagai nelayan tetapi justru merupakan mitra nelayan, jadi sebagian nelayan yang termasuk kelompok ini bisa jadi merupakan kelompok yang mapan secara ekonomi. Di luar kategori di atas, klasifikasi nelayan berdasarkan Kartu Tanda Penduduk di Tanjungbalai meliputi buruh nelayan, nelayan perikanan, pengusaha nelayan, mitra nelayan (hal ini sesuai dengan hasil FGD kelompok nelayan di Tanjungbalai, pada tanggal 18 Juni 2013). Walaupun tampaknya kategorisasi ini lebih jelas mengindikasikan kondisi ekonomi nelayan, namun pada praktiknya kelompok penerima Pengembangan Usaha Mina Pedesaan (PUMP) tidak selalu merupakan nelayan perikanan ataupun buruh nelayan. Sosialisasi awal program.Sosialiasi awal program program. yang tidak berpihak pada nelayan miskin juga terjadi ketika penyusunan program tidak melibatkan mereka.Dalam hal ini, nelayan tidak menerima informasi mengenai bantuan secara merata karena Dinas Perikanan dan Kelautan tidak secara luas menginformasikan adanya program bantuan kepada masyarakat nelayan. Baik di Tanjung Balai maupun di Serdang Bedagai, nelayan yang mengajukan proposal permintaan bantuan program mengetahui keberadaan program dari informasi “mulut ke mulut”, baik disampaikan langsung oleh pegawai Dinas Perikanan dan Kelautan yang mengenal pengurus kelompok nelayan, maupun dari informasi berantai di kalangan nelayan itu sendiri. Tidak adanya sosialisasi awal membuat sebagian besar kelompok nelayan tidak mengetahui kelengkapan persyaratan seperti Kartu Tanda Penduduk(KTP), Kartu Nelayan, dan keberadaan Kelompok Usaha Nelayan (KUB) pengaju proposal, maupun tata cara penulisan proposal kelompok. Tidak adanya informasi terbuka mengenai kriteria penilaian proposal dan sedikitnya kelompok yang berhasil ditentukan untuk menerima bantuan menimbulkan rasa ketidakadilan dan kecemburuan di kelompok-kelompok nelayan yang tidak berhasil mendapatkan bantuan.Walaupun sosialisasi dilakukan, praktiknya ini berlangsung setelah kelompok penerima bantuan ditentukan.

Kebutuhan nelayan. Indikasi bahwa penyusunan perencanaan belum berpihak pada nelayan miskin dapat pula dilihat dari perbedaan persepsi antara Dinas Perikanan dan Kelautan Kota Tanjung Balai dengan nelayan atau kelompok nelayan penerima bantuan mengenai apakah bantuan tepat sasaran atau tidak. Dari hasil pengumpulan data melalui Focus Group Discussion dan wawancara mendalam dapat dilihat bahwa kebijakan dan program yang dihasilkan ternyata belum sepenuhnya mampu memenuhi kebutuhan masyarakat nelayan. Salah satu alasannya adalah kenyataan bahwa aspirasi masyarakat nelayan belum sepenuhnya dapat ditampung dalam proses pembuatan kebijakan selain belum ada mekanisme yang memadai untuk menampung aspirasi masyarakat serta menjamin hak masyarakat untuk berpartisipasi dalam proses pembangunan sebagai perwujudan dari hak atas pembangunan. Dalam perspektif Dinas Perikanan dan Kelautan, masyarakat tidak menyadari bahwa pemerintah Kota melalui Dinas ini telah memberikan cukup banyak bantuan untuk nelayan, namun bantuan itu dianggap tidak bermakna.Sementara itu, kelompok nelayan berpendapat bahwa bantuan yang diterima masih belum sesuai dengan kebutuhan nelayan.Pernyataan Pak Amin berikut ini mengisyaratkan suatu keinginan agar kebutuhannya sekaligus aspirasinya sebagai nelayan didengarkan. “….jadi begini bu, bantuan-bantuan itu terkadang ...misalnya A yang diminta B yang datang. Jadi kami mintalah......supaya kalau ada program bantuan mohon adakan pertemuan dengan nelayan.jadi pas dengan apa yang diinginkan. Jadi selama ini kan tidak. Mereka...program dibikin tanpa mengikutsertakan nelayan sehingga A yang diminta B yang datang…..” (Pak Amin, FGD, TanjungBalai ). Dalam focus group discussion dan wawancara mendalam dengan kelompok nelayan di kedua kota dan kabupaten, tim peneliti mengajukan pertanyaan berikut kepada penerima program: “Bantuan apakah yang paling Bapak butuhkan? Apakah yang menurut Bapak paling penting dilakukan Dinas Perikanan dan Kelautan kota/kabupaten/provinsi untuk membantu Bapak?” Kelompok-kelompok nelayan di Tanjungbalai dan Serdang Bedagai memberikan jawaban yang bervariasi terhadap pertanyaan ini yang dapat menjadi masukan bagi Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Sumatera Utara, Kota Tanjungbalai, maupun Kabupaten Serdang Bedagai.

170


Program Peningkatan Kesejahteraan dan Pengentasan Kemiskinan Nelayan di Sumatera Utara Dalam Perspektif Kebijakan Pro Poor (Dumora Jenny Margaretha Siagian dan Suzanna Eddyono)

Di Tanjungbalai, preferensi nelayan lebih pada bantuan kapal untuk 1-2 GT, atau kapal kecil maupun alat-alat kelengkapan penangkapan ikan yang dibutuhkan oleh nelayan yang menggunakan kapal kecil ini. Ini karena kapasitas mesin kapal berkorelasi positif dengan kebutuhan modal melaut dan kelengkapan kapal nelayan.Misalnya, kapal 5-10 GT membutuhkan minimal sekitar delapan juta rupiah untuk melaut selama seminggu, kapal 10 -20 GT memerlukan modal lima belas juta rupiah untuk menangkap ikan selama dua minggu (Profil Perikanan Kota Tanjungbalai Tahun 2005-2009). Nelayan di Tanjung Balai juga menilai bahwa bantuan yang ditujukan pada individu dalam kelompok nelayan akan jauh lebih bermakna ketimbang bantuan untuk kelompok. Maksudnya, bantuan tetap diberikan pada kelompok namun dalam bentuk yang dapat dinikmati secara merata oleh anggotakelompok. Sebagai contoh, bantuan dalam bentuk dua kapal berukuran 5 GT untuk satu kelompok, atau sepuluh kapal berukuran 1-2 GT untuk sepuluh anggota kelompok jauh lebih baik daripada bantuan sebuah kapal berkapasitas mesin 30 GT. Kelompok nelayan mengalami kesulitan untuk menyediakan modal awal guna mengoperasikan kapal bantuan dengan kapasitas mesin yang besar dan mengorganisir kelompoknya untuk mengelola bantuan ini secara optimal. Pengelolaan bantuan individual dalam kelompok dinilai lebih memenuhi kebutuhan nelayan dan akan berhasil sebab nelayan memiliki tanggung jawab lebih besar untuk memanfaatkan bantuan yang diterimanya. Selain persoalan bantuan alat tangkap, perlindungan hukum terhadap nelayan di perbatasan provinsi maupun antar negara menjadi isu penting di Tanjung Balai. Beberapa nelayan masih dalam proses pengadilan berkaitan dengan pelanggaran batas wilayah penangkapan ikan dan penggunaan alat tangkap yang tidak sesuai dengan peraturan yang berlaku. Tak kalah pentingnya adalah bantuan yang memungkinkan nelayan mampu mendapatkan kredit sehingga memiliki rumah sendiri yang layak huni. Di Serdang Bedagai, walaupun nelayan masih membutuhkan bantuan kapal dan alat-alat kelengkapannya, namun yang terpenting bagi mereka adalah terjaminnya keamanan dan hak mereka untuk melaut. Nelayan di Kabupaten Serdang Bedagai sangat berharap agar pemerintah daerah memberlakukan peraturan tentang zona penangkapan secara konsisten. Oleh karena itu, nelayan menilai bahwa bantuan yang sangat

diperlukan adalah konsistensi Pemerintah Kabupaten Serdang Bedagai dalam mengimplementasikan Peraturan Daerah (Perda) No. 20 Tahun 2012. Perda ini antara lain mengatur hukum dan ancaman Pidana terhadap penggunaan peralatan tangkap yang tidak ramah lingkungan (termasuk trawl) dan yang merugikan nelayan kecil. Kebutuhan ini dirasakan mendasar sebab dalam kesehariannya melaut nelayan kecil harus bersaing dengan nelayan berkapal besar. Persaingan dengan kapal besar ini tidak hanya berakibat mengurangi hasil tangkapan nelayan kecil, tetapi kadangkala juga mengancam keselamatan jiwa mereka. Berkaitan dengan hal tersebut, kurangnya pengawasan dari Satpol Air diakui oleh pimpinan Diskanla Serdang Bedagai akibat terbatasnya anggaran dan fasilitas (terutama dermaga) yang dimilikinya. Persoalan kedua yang dianggap mengancam keberlangsungan hidup nelayan di Serdang Bedagai adalah pengerusakan lingkungan. Komunitas yang terdiri dari beberapa kelompok nelayan di Desa Naga Lawan Kabupaten Serdang Bedagai telah merintis penanaman kembali hutan mangrove di lingkungan pantai mereka. Hal ini ditujukan untuk mengembalikan kondisi awal habitat pantai sehingga ikan berkembang biak dan dapat tetap berada dalam jangkauan tangkap nelayan. Selain itu, tempat Pelelangan Ikan dan cool box juga masih merupakan kebutuhan penting di kabupaten ini walaupun Tempat Pelelangan Ikan (TPI) swasta sudah berfungsi. Nelayan membutuhkan pengadaan Tempat Pelelangan Ikan (TPI) yang dikelola oleh kelompokkelompok nelayan kecil agar dapat memberi posisi tawar lebih baik atas tangkapan nelayan setempat. Kebutuhan-kebutuhan nelayan ini melengkapi temuan penelitian yang dilakukan oleh peneliti Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) sebelumnya yang berjudul “Kajian Perspektif dan Aspirasi Keluarga Nelayan terhadap Kesejahteraan Sosial� (2012). Menurut penelitian ini, selain terdapat keterbatasan akses keluarga nelayan tradisional terhadap berbagai bentuk pelayanan publik, seperti pendidikan, kesehatan, sarana dan prasarana pemenuhan kebutuhan air bersih, transportasi lokal, juga adanya keterbatasan permodalan, jaminan keselamatan kerja, sarana dan prasarana ekonomi, partisipasi politik, dan berbagai bentuk bantuan pemerintah. Adanya kesenjangan persepsi antara Dinas Perikanan dan Kelautan dan kelompok-kelompok nelayan mengenai distribusi program, kelompok sasaran, sosialisasi awal program, dan kebutuhan

171


Inovasi Vol. 11 No. 3 September 2014 : 159-173

nelayan, menjadi indikasi pentingnya keterlibatan nelayan dalam proses penyusunan rencana program dan penganggarannya. Yang perlu mendapatkan perhatian di sini adalah kenyataan bahwa aparat pemerintah di Serdang Bedagai dan Tanjungbalai tampaknya belum mampu membangun mekanisme penampungan aspirasi masyarakat miskin, termasuk aspirasi dari masyarakat nelayan. Aparat pemerintah di kedua daerah tersebut, sebagai implementor program, tampaknya belum merasa perlu untuk membangun mekanisme pelayanan pengaduan masyarakat.Ketiadaan mekanisme pelayanan pengaduan masyarakat ini menyebabkan tidak adanya feedback dari masyarakat terhadap pelaksanaan program-program pemerintah.Konsekuensi dari tidak terakomodirnya aspirasi nelayan ini adalah tidak sedikit programprogram pemerintah yang akhirnya dirasakan belum sesuai dengan kebutuhan nelayan.

2.

KESIMPULAN Penyusunan rencana dan penganggaran beberapa program pengentasan kemiskinan, seperti program perikanan tangkap yang ditujukan pada nelayan masih belum mengedepankan kebijakan pro poor. Dalam penelitian ini tidak ditemukan adanya dokumentasi yang menunjukkan dilakukannya analisis awal yang memperhitungkan aspirasi kelompok nelayan sebelum Dinas Perikanan dan Kelautan merumuskan program bantuan.Selain itu, dokumen perencanaan atau kegiatan belum secara eksplisit merumuskan nelayan miskin dan atau keluarganya sebagai kelompok sasaran program. Program-program yang ditujukan bagi peningkatan kesejahteraan nelayan di kedua kabupaten/kota di Sumatera Utara tampaknya belum sepenuhnya dapat dikategorikan sebagai kebijakan yang mengedepankan filosofi pro poor.Salah satu indikatornya adalah relatif terbatasnya sumber daya yang dialokasikan bagi peningkatan kesejahteraan nelayan, permasalahan efisiensi dan efektivitas program (misalnya penentuan kriteria kelompok sasaran dan indikator keberhasilan program), serta relatif kurangnya transparansi dan keterbukaan informasi tentang berbagai aspek teknis dan finansial dari program-program yang dijalankan oleh pemerintah daerah.

(Tanjungbalai dan Serdang Bedagai), harus mulai mengerahkan upaya untuk memiliki data yang akurat tentang kondisi dan jumlah nelayan, sehingga distribusi program dapat merata dan sesuai dengan kebutuhan nelayan. Proses pemberian bantuan ini harusnya memerlukan analisis perencanaan yang memperhitungkan dan mengedepankan peningkatan kehidupanan nelayan miskin. Untuk itu, perlu mengacu secara eksplisit pada indikator-indikator pro-poor sebagai acuan dalam merumuskan, mengimplementasikan, dan monitoring dan evaluasi kebijakan yang ditujukan pada nelayan. Dinas Kelautan dan Perikanan Tanjung Balai beserta Kementerian Kelautan dan Perikanan dan Dinas Kelautan Provinsi Sumatera Utara perlu lebih memperhatikan kebutuhan dan aspirasi masyarakat nelayan, misalnya preferensi nelayan Tanjungbalai terhadap kapal yang lebih kecil. Mekanisme pemberian bantuan yang ditujukan langsung kepada individu-individu nelayan sepertinya akan lebih bermanfaat dalam peningkatan kesejahteraan ketimbang pemberian bantuan yang ditujukan kepada kelompok nelayan.

DAFTAR PUSTAKA Abdul Rozaki, dkk, 2008, Menabur Benih di Lahan Tandus :Pelajaran Berharga dari Advokasi Perencanaan dan Penganggaran di Bantul dan Kebumen, Yogyakarta, Penerbit IRE. Asian Development Bank. 2008. Proyek Perencanaan dan Penganggaran yang Berpihak pada Kaum Miskin. Kertas Kerja. Hasil Review dan Evaluasi atas Program-program yang Berpihak pada Rakyat Miskin di Indonesia: Rangkuman. Jakarta: Hickling. Badan Penelitian dan Pengembangan Provinsi Sumatera Utara.2012. Kajian Perspektif dan Aspirasi Keluarga Nelayan Terhadap Kesejahteraan Sosial di Sumatera Utara.Medan : BPP Provsu. Bappenas, 2008, Buku Panduan Perencanaan dan Penganggaran yang Berpihak pada Masyarakat Miskin存 Jakarta : Bappenas. BPS Kabupaten Serdang Bedagai, 2012, Indeks Pembangunan Manusia Kabupaten Serdang Bedagai Tahun 2011, Sei Rampah : Badan Pusat Statistik Kabupaten Serdang Bedagai.

REKOMENDASI Berdasarkan kesimpulan di atas, beberapa hal yang menjadi saran peneliti, yakni : 1. Pemerintah daerah, baik di tingkat provinsi (Sumatera Utara) maupun Kabupaten/Kota

BPS Kabupaten Serdang Bedagai, 2010, Serdang Bedagai dalam Angka 2011, Sei Rampah : Badan Pusat Statistik Kabupaten Serdang Bedagai.

172


Program Peningkatan Kesejahteraan dan Pengentasan Kemiskinan Nelayan di Sumatera Utara Dalam Perspektif Kebijakan Pro Poor (Dumora Jenny Margaretha Siagian dan Suzanna Eddyono)

Pemkab Serdang Bedagai. Maret 2012, Laporan Keterangan Pertanggung Jawaban (LKPJ) Bupati Serdang Bedagai Tahun 2011, Sei Rampah : Pemerintah Kabupaten Serdang Bedagai.

BPS Kota Tanjungbalai, 2011, Tanjungbalai dalam Angka 2011, Tanjungbalai : Badan Pusat Statistik Kota Tanjungbalai. Data Penanggulangan dan Bantuan Fakir Miskin di Provinsi Sumatera Utara Tahun 2009-2012, Dinas Sosial, Pemprovsu 2013.

Pemprovsu.2013, Laporan Keterangan Pertanggung Jawaban (LKPJ) Gubernur Sumatera Utara Akhir.

Data Statistik Perikanan Tangkap Provinsi Sumatera Utara 2011. Medan: Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Sumatera Utara. Diskanla Kabupaten Serdang Bedagai, 2012, Laporan Tahunan Pelaksanaan Program dan Kegiatan Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Serdang Bedagai Tahun Anggaran 2011, Sei Rampah : Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Serdang Bedagai. Diskanla Kabupaten Serdang Bedagai, 2013, Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP) Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Serdang Bedagai Tahun 2012, Sei Rampah : Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Serdang Bedagai. Diskanla Kota Tanjungbalai, 2012, Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP) Dinas Perikanan dan Kelautan Kota Tanjungbalai Tahun 2011, Sei Rampah : Dinas Perikanan dan Kelautan Kota Tanjungbalai. Diskanla Kota Tanjungbalai, 2011, Rencana Strategis Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Serdang Bedagai Tahun 2011-2016, Tanjungbalai: Dinas Perikanan dan Kelautan Kota Tanjungbalai. Diskanla Kota Tanjungbalai, Profil Perikanan Tanjungbalai Tahun 2005-2009,diperoleh Juni 2013.

Kota

Duclos, Jean-Yves. 2009. “What is Pro-Poor?” SocialChoice and Welfare Journal Vol. 32. Hilman.2012. Analisa Data Kemiskinan Berdasarkan Data Pendataan Program Perlindungan Sosial (Ppls) 2011. Jakarta: Pusat Data dan Informasi Kesejahteraan Sosial Kementrian Sosial RI dan BPS RI. Klasen, S. 2008. “Economic Growth and PovertyReduction: Measurement Issues Using Income andNonincome Indicators.” World Development, vol 36,No. 3 Korayem, Karima. 2004. “Pro-Poor Policies in Egypt :Identification and Assessment”, International Journalof Political Economy, vol. 32 No.2 Mawardi, Sulton, and Sudarno Sumarto. 2003. "Kebijakan Publik Yang Memihak Orang Miskin (Fokus: Pro-Poor Budgeting)." Jakarta: SMERU.

173


Inovasi Vol. 11 No 3. September 2014 : 174-183

Hasil Penelitian TINGKAT PARTISIPASI MASYARAKAT PADA OPTIMALISASI PENGELOLAAN LAHAN DI SUB DAS ARUN ARUN, KABUPATEN SAMOSIR

(COMMUNITY PARTICIPATION IN OPTIMIZATION OF LAND SUB--WATERSHED ARUN, REGENCY)) MANAGEMENT IN SUB ARUN, SAMOSIR REGENCY Rospita O. P. Situmorang, Situmorang, Asep Sukmana Balai Penelitian Kehutanan Aek Nauli Jln. Raya Parapat Km.10,5 Desa Sibaganding Parapat, Sumatera Utara Email: pita_80s@yahoo.com dan asep_sukmana@yahoo.co.id

Diterima: 16 Juli 2014; Direvisi: 24 September 2014; Disetujui: 29 September 2014

ABSTRAK Pemberdayaan masyarakat dilakukan oleh Balai Penelitian Aek Nauli melalui pembuatan plot optimalisasi lahan seluas satu hektar di kawasan Sub Daerah Aliran Sungai (DAS) Arun Kabupaten Samosir. Kegiatan tersebut bertujuan untuk mengoptimalkan pengelolaan lahan terlantar yang masih cukup tinggi di Daerah Tangkapan Air (DTA) Danau Toba. Penelitian ini bertujuan untuk mengukur tingkat partisipasi masyarakat dalam optimalisasi lahan dan untuk mengetahui hubungan karakteristik sosial ekonomi masyarakat dengan tingkat partisipasinya. Penelitian ini bersifat deskriptif dengan pendekatan analisis secara kuantitatif. Hasil penelitian dianalisis dengan menggunakan analisis tabulasi frekuensi untuk mengetahui tingkat partisipasi masyarakat, sementara hubungan dan keeratan hubungan antara karakteristik sosial ekonomi responden dengan tingkat partisipasinya dianalisis dengan analisis khi kuadrat dan koefisien kontingensi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat partisipasi masyarakat untuk melakukan optimalisasi dan pemanfaatan lahan dalam plot percontohan secara umum tergolong rendah. Hal-hal yang mengakibatkan rendahnya partisipasi adalah kurangnya rasa kepemilikan dan kepercayaan terhadap kegiatan yang dikelola secara bersama-sama, mekanisme komunikasi yang kurang baik internal atau eksternal baik diantara anggota kelompok dan antara kelompok dengan pihak yang bermitra, dan lemahnya pendekatan pemberdayaan kepada masyarakat. Hubungan karakteristik sosial ekonomi masyarakat tidak berpengaruh nyata dan berasosiasi lemah pada tingkat partisipasinya dalam pengelolaan demplot optimasi lahan. Tingkat partisipasi lebih dipengaruhi oleh teknik dan pendekatan pemberdayaaan. Kata kunci : Tingkat partisipasi, masyarakat, optimalisasi lahan, karakteristik sosial ekonomi.

ABSTRACT Community empowerment in Sub Watershed Arun in Samosir District has been conducted by The Aek Nauli Research Institute. It was done with the construction of one-hectare demonstration plots in farmers' fields. The activity aims to optimize the management of abandoned land that is relatively high in Catchment Area of Lake Toba. This study aims to quantify the level of community participation in optimizing land, and to determine the relationship of socio-economic characteristics of the community with their participation level. This study is a descriptive research with the quantitative analysis approach. The results were analyzed by frequency tabulation to determine the participation level, while the relationship between socio-economic characteristics of the respondents with their participation were analyzed with chi square and contingency coefficient. The result of study shows the low participation level of the community in optimizing land. It was caused by the weak of ownership sense at the activities that have been held, the lack of acceptance in the program that managed jointly, the poor communication either internally or externally between the group members and the group partnered with the parties, and weak approach in empowering the society. The relationship of socio-economic characteristics of the community not affect significantly to their participation level. The participation rate is more influenced by the tecniques and empowerment approach. It will affect. Keywords :

The level of characteristic

participation,

community,

174

land

optimization,

socio-economic


Tingkat Partisipasi Masyarakat Pada Optimalisasi Pengelolaan Lahan di Sub Das Arun, Kabupaten Samosir (Rospita O. P. Situmorang dan Asep Sukmana)

tergolong tinggi, namun kenyataan yang dapat dilihat adalah di kawasan ini terdapat hamparan lahan tidur yang luas. Hasil skoring kekritisan lahan di Sub DAS Arun yang dilakukan dalam penelitian Antoko, et al, (2012) adalah 47,0% lahan mempunyai tingkat degradasi berkategori agak rentan, kategori rentan sebanyak 43,0%, dan kategori sedikit rentan sebesar 10,0%. Berdasarkan tingkat kerentanan tersebut, sebanyak 90% lahan memerlukan perhatian untuk direhabilitasi dan dioptimalkan fungsinya. Sejalan dengan hasil penelitian tersebut, Menteri Kehutanan melalui Keputusan Menteri Kehutanan No. SK. 328/Menhut-II/2009, juga telah menetapkan DTA Danau Toba termasuk di dalam Sub DAS Arun sebagai DAS dengan kategori DAS prioritas yang memerlukan penyelenggaraan reboisasi, penghijauan, dan konservasi tanah dan air, baik vegetatif, agronomis, struktural, maupun manajemen untuk tahun 2010 sampai tahun 2014. Jika tidak ditangani dengan segera, masalah tersebut akan mengakibatkan menurunnya daya dukung DAS dan mengakibatkan bencana banjir dan kekeringan, serta dapat menurunkan kesejahteraan masyarakat. Upaya pemulihan ekosistem Danau Toba telah banyak dilakukan. Kegiatan-kegiatan tersebut seperti gerakan rehabilitasi lahan (GERHAN), Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL), penghijauan yang dilakukan oleh pemerintah, pihak swasta, dan lembaga swadaya masyarakat. Kegiatan konservasi juga dilakukan oleh Balai Penelitian Kehutanan Aek Nauli tahun sejak tahun 2011 hingga saat ini. Kegiatan tersebut berupa konservasi embung dan pertanian agroforestri dengan pembuatan demplot seluas 1 (satu) hektar di Desa Salaon Dolok. Kegiatan tersebut bertujuan untuk mengoptimalkan lahan tidur yang masing tinggi di kawasan Sub DAS Arun. Lahan yang digunakan sebagai demplot adalah lahan milik masyarakat yang berada di sekitar embung (pea-pea) dan sudah tidak diolah selama bertahun-tahun. Dalam pembangunan demplot tersebut dilakukan pelibatan masyarakat yaitu gabungan kelompok tani (Gapoktan). Bentuk pelibatannya adalah pembahasan pola pengelolaan lahan dengan teknik Focus Group Discussion (FGD), penanaman jenis-jenis tanaman yang konservatif, pembuatan plot percontohan (mikro DAS) yang ditunjuk di lahan masyarakat dan terlibat langsung dalam pengelolaan plot, serta pemilihan komoditi berdasarkan keinginan masyarakat. Menurut Antoko, et al, (2012), demplot seluas 1 Ha terdiri dari areal tanaman

PENDAHULUAN Kawasan Danau Toba merupakan kawasan andalan di Sumatera Utara karena berfungsi sebagai pusat pertanian khususnya buahbuahan dan sayuran, daerah tujuan wisata dengan keindahannya, dan sumber air untuk pembangkit listrik tenaga air. Kawasan Danau Toba juga dikenal sebagai daerah tangkapan air (cathcment area) yang memiliki dua fungsi, yaitu fungsi lindung dan budidaya. Sebagai kawasan lindung, Daerah Tangkapan Air (DTA) Danau Toba berfungsi sebagai tangkapan air dan menopang wilayah-wilayah di bawahnya. Sub DAS Arun merupakan salah satu Sub DAS yang berada di bagian hulu DTA Danau Toba yang perlu diperhatikan kelestariannya. Masyarakat merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan pengelolaan DAS karena mereka adalah pelaku dan pengelola DAS. Peningkatan jumlah penduduk dan tuntutan ekonomi dapat mengakibatkan peningkatan ketergantungan penduduk terhadap lahan, khususnya untuk kegiatan pertanian. Kawasan Danau Toba merupakan kawasan andalan di Sumatera Utara karena berfungsi sebagai pusat pertanian khususnya buahbuahan dan sayuran, daerah tujuan wisata dengan keindahannya, dan sumber air untuk pembangkit listrik tenaga air. Kawasan Danau Toba juga dikenal sebagai daerah tangkapan air (cathcment area) yang memiliki dua fungsi, yaitu fungsi lindung dan budidaya. Sebagai kawasan lindung, Daerah Tangkapan Air (DTA) Danau Toba berfungsi sebagai tangkapan air dan menopang wilayah-wilayah di bawahnya. Sub DAS Arun merupakan salah satu Sub DAS yang berada di bagian hulu DTA Danau Toba yang perlu diperhatikan kelestariannya. Masyarakat merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan pengelolaan DAS karena mereka adalah pelaku dan pengelola DAS. Peningkatan jumlah penduduk dan tuntutan ekonomi dapat mengakibatkan peningkatan ketergantungan penduduk terhadap lahan, khususnya untuk kegiatan pertanian. Penelitian Antoko, et al, (2012) menyebutkan bahwa kerentanan lahan terhadap penduduk di Kab. Samosir masih tergolong rendah. Tingkat kerentanan yang dimaksud adalah perbandingan antara ketersediaan lahan dan banyaknya jumlah masyarakat yang mengelola lahan. Tingkat kerentanan yang rendah menunjukkan bahwa lahan pertanian yang tersedia masih mencukupi untuk dikelola dan kepemilikan lahan oleh masyarakat masih tinggi. Peluang pemanfaatan lahan untuk usaha pertanian di kawasan Sub DAS Arun masih

175


Inovasi Vol. 11 No 3. September 2014 : 174-183

kehutanan pilihan masyarakat (tanaman ingul) seluas 0,3 ha di sepanjang tepi embung dan selasela tanaman dan batas tanaman kopi, areal tanaman rumput pakan ternak seluas 0,2 ha, areal tanaman kopi atau tanaman pertanian lainnya 0,3 ha, dan areal penggembalaan ternak berpagar pohon pinang/tanaman gamal/ tanaman pilihan lain seluas 0,2 ha. Pada plot contoh juga dibuat plot erosi serta pembuatan atau perbaikan teras. Keterlibatan masyarakat merupakan kunci suksesnya pengelolaan DAS karena sebagian besar lahan yang berada di DAS dikuasai oleh masyarakat. Perhatian kepada kawasan Danau Toba baik melalui penelitian-penelitian, sosialiasasi, pelatihan, bantuan sosial kegiatan dari pemerintah dan pihak non pemerintah, baik lokal, regional, nasional maupun internasional, diharapkan mampu merangsang keterlibatan masyarakat dalam mengelola hutan dan lahan secara lestari. Dengan adanya pelibatan yang sudah sering dilakukan termasuk yang dilakukan oleh Balai Penelitian Kehutanan Aek Nauli di Sub DAS Arun, belum diketahui sejauh mana dukungan dan tingkat partisipasi masyarakat dalam mengelola DAS. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk: - Mengukur tingkat partisipasi masyarakat di dalam demplot optimalisasi lahan. - Mengetahui hubungan karakteristik sosial ekonomi masyarakat dengan tingkat partisipasinya dalam optimalisasi lahan.

dan secara random untuk anggota kelompok. Responden tersebut terdiri dari 9 (sembilan) orang pengurus kelompok, 3 (tiga) orang pemilik lahan, dan 38 orang anggota kelompok. Responden dari Gapoktan Murni dijadikan sebagai sampel untuk dianalisis karena keterlibatan mereka (dalam kelompok) secara langsung sebagai pengelola demplot sehingga perlu dievaluasi tingkat partisipasinya. Untuk memperkaya informasi tentang sistem pengelolaan lahan kemitraan petani dan pemerintah di Sub DAS Arun, dilakukan wawancara dengan berbagai stakeholder baik dari instansi pemerintah maupun kelompokkelompok tani yang berada di sekitar demplot. Responden tersebut terdiri dari pengurus Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM) dan pengurus Perhimpunan Petani Pengguna Air (P3A), dan aparat pemerintah dari Dinas Kehutanan dan Dinas Pertanian dan Peternakan. Analisis data menggunakan metoda analisis kuantitatif. Sugiyono (2010) mendefinisikan metode penelitian kuantitatif sebagai metode penelitian yang berlandaskan pada filsafat positivisme, digunakan untuk meneliti populasi atau sampel tertentu. Pengumpulan data menggunakan instrumen penelitian dan analisis data bersifat kuantitatif/statistik dengan tujuan untuk menguji hipotesis. Dalam penelitian ini, tingkat partispasi masyarakat diukur dengan pemberian bobot (nilai) pada setiap indikator proses pengelolaan DAS yang dituangkan dalam instrumen penelitian yaitu kuesioner. Indikator proses pengelolaan DAS dalam kegiatan ini terdiri dari tahapan pengambilan keputusan (perencanaan dan pengorganisasian), pelaksanaan, monitoring dan evaluasi kegiatan. Hal ini sesuai dengan indikator-indikator proses program/kegiatan pengelolaan sumberdaya yang diungkapkan oleh Cohen & Uphoff (1977). Tingkat partisipasi masyarakat diperoleh dari pembobotan jawaban menurut skala sikap (likert) yaitu 0, 1, 2, 3 dan 4. Kemudian seluruh bobot dalam masing-masing butir pertanyaan dijumlahkan dan diberi skor (total nilai). Masing-masing rentang nilai yang diperoleh dikelompokkan dan dianalisis dengan tabulasi frekuensi (dilakukan dalam penelitian Yudilastiantoro, 2003; Aprianto, 2008). Tingkat partisipasi dinilai berdasarkan total nilai yang diurutkan berdasarkan interval kelas sebagai berikut :

METODE Kegiatan penelitian dilakukan di beberapa desa di Sub DAS Arun yaitu di Desa Salaon Dolok, Salaon Tonga, Salaon Toba, Pardugul, dan Panampangan. Penelitian dilakukan bulan Oktober tahun 2013. Data yang dikumpulkan berupa data primer dan sekunder. Data primer diperoleh melalui pengisian kuesioner dan wawancara. Data sekunder diperoleh dari dokumen pemerintah dan hasil-hasil penelitian terdahulu. Sampel terdiri dari masyarakat yang terlibat langsung dalam kegiatan penelitian yaitu Gapoktan Murni. Gapoktan Murni yaitu gabungan beberapa kelompok tani yang dilibatkan dalam kegiatan pengelolaan DAS yang dimulai sejak tahun 2010. Jumlah anggota sebanyak 150 kepala keluarga (KK). Sampel diambil 30 % dari total populasi yaitu sebanyak 50 orang (KK). Sampel terdiri dari ketua/pengurus kelompok tani / gabungan kelompok tani, anggota kelompok tani/gapoktan, pemilik lahan plot percontohan. Penarikan sampel dilakukan secara secara purposive kepada pengurus dan pemilik lahan

Nilai Nilai Nilai Nilai

176

0-20 21-40 41-60 61-80

= partisipasi sangat rendah = partisipasi rendah = partipasi sedang = partisipasi tinggi


Tingkat Partisipasi Masyarakat Pada Optimalisasi Pengelolaan Lahan di Sub Das Arun, Kabupaten Samosir (Rospita O. P. Situmorang dan Asep Sukmana)

Nilai 81-100 = partisiasi sangat tinggi

Kontingensi. Rumus uji Koefisien Kontingensi (Djarwanto, 1996; Sudjana,1996) sebagai berikut :

Hubungan karakteristik sosial ekonomi masyarakat dengan tingkat partisipasi dianalisis dengan tehnik Khi Kuadrat (Chi Square) merujuk pada penelitian Yudilastiantoro (2003) dan Ayunita & Hapsari (2012). Khi Kuadrat adalah teknik statistik yang digunakan untuk menguji hipotesis bila dalam populasi terdiri atas dua atau lebih kelas dimana data berbentuk nominal (Sugiyono, 2011). Penelitian ini bertujuan menguji hubungan tingkat partisipasi masyarakat. Tingkat partisipasi yang dikategorikan dalam beberapa kelas dihubungkan dengan karakterististik masyarakat yang terdiri dari beberapa variabel sosial ekonomi. Variabel tersebut adalah usia produktif, tingkat pendidikan, tingkat pendapatan, dan jumlah tanggungan keluarga. Variabel-variabel tersebut dianggap sebagai faktor yang mempengaruhi tingkat partisipasi seseorang terhadap program/kegiatan yang sudah/sedang dikerjakan. Rumus melakukan uji Khi Kuadrat (Sugiyono, 2011) adalah sebagai berikut: ௞

ܺ =෍ ଶ

௜ୀଵ

‫ݔ‬ଶ C= ඨ ଶ ‫ ݔ‬+ ݊ dimana : C = Koefisien Kontingensi X2 = Nilai X2 hitung n = Jumlah Responden Nilai C berkisar antara 0 – 1,00. Pedoman untuk memberikan interpretasi koefisien kontingensi digunakan batasan sebagai berikut :

Tabel 1. Interpretasi koefisien kontingensi Interval Koefisien Tingkat Hubungan 0,00 – 0,19 Sangat rendah 0,20 – 0,39 Rendah 0,40 – 0,59 Sedang 0,60 – 0,79 Kuat 0,80 – 1,00 Sangat kuat Sumber : Sugiyono (1997)

(݂଴ − ݂௛ )ଶ f୦

dimana : X2 f0 fh

HASIL DAN PEMBAHASAN Partisipasi masyarakat dapat diartikan sebagai upaya terencana untuk melibatkan masyarakat dalam proses pembuatan kebijakan, pelaksanaan, dan pengambilan keputusan. Cohen & Uphoff (1977) menyatakan bahwa tahapan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya terdiri dari indikator pengambilan keputusan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi kegiatan. Dalam hal ini, partisipasi masyarakat pada tahap pengambilan keputusan yaitu pelibatan masyarakat sejak awal dalam proses perencanaan dan perancangan kegiatan. Partisipasi dalam tahap pelaksanaan (implementasi) adalah pengupayaan keterlibatan masyarakat dalam pelaksanaan kegiatan. Dengan demikian, masyarakat dapat mengontrol bagaimana kegiatan dilaksanakan di lapangan. Masyarakat disini dapat memberikan tenaga, uang ataupun material/barang serta ideide sebagai salah satu wujud partisipasinya pada pekerjaan tersebut. Pada tahap evaluasi, masyarakat juga melakukan evaluasi secara periodik pada tahap pelaksanaan dan pada akhir pelaksanaan kegiatan. Keseluruhan proses tersebut hendaknya dilaksanakan agar diperoleh keberhasilan pengelolaan sumberdaya dan

= uji Khi kuadrat = frekuensi yang diobservasi dalam kategori ke-i = frekuensi yang diharapkan dibawah f0 dalam kategori ke-i

Hipotesis yang dibangun adalah: H0

: Tingkat partisipasi tidak dipengaruhi oleh variabel sosial ekonomi masyarakat. H1 : Tingkat partisipasi dipengaruhi oleh variabel sosial ekonomi masyarakat. Hipotesis yang dibangun diuji dengan penghitungan nilai X2 hitung dengan X2 tabel dengan penjelasan sebagai berikut : -

-

Jika X2 hitung > X2 tabel; berarti tingkat partisipasi dipengaruhi oleh variabel sosial ekonomi. Jika X2 hitung < X2 tabel; berarti tingkat partisipasi tidak dipengaruhi oleh variabel sosial ekonomi.

Selanjutnya, untuk mengetahui keeratan hubungan antara tingkat partisipasi dengan variabel sosial ekonomi, dilakukan uji Koefisien

177


Inovasi Vol. 11 No 3. September 2014 : 174-183

sekaligus tercapainya kemandirian dan keswadayaan masyarakat. Tingkat partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya pada demplot optimalisasi lahan di Sub DAS Arun sebagai berikut :

Tabel 2 menunjukkan bahwa tingkat partisipasi masyarakat dalam optimalisasi lahan dalam pengelolaan DAS tergolong rendah. Sebanyak 46 persen responden mendapat nilai yang berada pada rentang nilai yang rendah yaitu 21-40. Tingkat partisipasi dapat dilihat dari keaktifan masyarakat dalam : partisipasi dalam perencanaan pengelolaan demplot, pemeliharaan demplot dalam pemberian waktu, tenaga, dan pikiran agar diperoleh keberhasilan demplot, serta kepedulian dalam bentuk monitoring dan evaluasi terhadap kelangsungan demplot. Selanjutnya tingkat partisipasi pada masing-masing tahap kegiatan dapat dilihat pada tabel berikut :

Tabel 2. Tingkat partisipasi 50 responden No 1. 2. 3. 4. 5.

Tingkat partisipasi Sangat rendah (0-20) Rendah (21-40) Sedang (41-60) Tinggi (61- 80) Sangat tinggi (81-100)

Frekuensi 3 23 16 7 1

% 6 46 32 14 2

Sumber : Data primer (2013)

Tabel 3. Tingkat partisipasi masyarakat dalam setiap tahapan pengelolaan lahan Tahap Partisipasi Kelas interval (kategori partispasi)

Perencanaan %

Pelaksanaan % F

3

6

7

14

5

10

9

18

26

52

18

36

40-60 (sedang)

23

46

15

30

13

26

60-80 (tinggi)

13

26

2

4

13

26

80-100 (sangat tinggi)

2

4

0

0

1

2

50

100

50

100

50

100

F 0-20

(sangat rendah)

20-40 (rendah)

Total reponden Sumber : Data primer (2013)

Berdasarkan Tabel 3 dapat dilihat tingkat partisipasi responden pada tahap perencanaan berada pada kategori sedang (skor 40-60) sebanyak 46 persen, sementara pada tahap pelaksanaan dan evaluasi berada pada kategori rendah yaitu sebesar 52 persen dan 36 persen. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat lebih banyak berperan pada tahapan perencanaan, namun berkurang pada tahap pelaksanaan dan evaluasi. Tingkat partisipasi pada tahap perencanaan lebih tinggi karena masyarakat dilibatkan dalam perumusan rencana pembuatan demplot. Keterlibatan tersebut dilihat dari peran serta masyarakat pada penentuan lokasi dan penentuan jenis tanaman. Petani juga adalah sebagai pemilik lahan, dan sekaligus sebagai pelaksana pembanguan demplot sementara instansi pemerintah merupakan pendukung dana dan sekaligus sebagai pendamping. Menurut Mitchell (1997), pelibatan masyarakat dalam perencanaan partisipatif dengan pola kemitraan dinilai dapat meningkatkan keberhasilan program atau kegiatan. Kemitraan antara lembaga pemerintah dengan masyarakat dapat memberi sisi positif pada masing-masing pihak. Partisipasi dalam

Evaluasi F

%

tahap perencanaan dapat dilihat dari keinginan masyarakat untuk terlibat dalam identifikasi masalah, penunjukan lokasi demplot, serta jenis tanaman yang akan ditanam. Identifikasi masalah, penajaman isu-isu, dan penyusunan dokumen perencanaan dilakukan di tahun 2011. Lokasi yang ditunjuk adalah lahan masyarakat yang dimiliki oleh beberapa kepala keluarga. Namun partisipasi yang tinggi tersebut tidak merata pada seluruh anggota kelompok, pertemuan kelompok tidak berjalan secara rutin, dan rencana pengelolaan demplot tidak pernah dibahas secara mandiri di tingkat kelompok. Ketertarikan masyarakat yang lebih tinggi di awal kegiatan terlihat tidak sejalan pada tahap pelaksanaan pembangunan demplot. Kontribusi dalam bentuk pemberian perhatian, waktu, tenaga dan materi tergolong rendah. Keberhasilan plot yang rendah ditandai dengan rendahnya persen tumbuh tanaman. Persen tumbuh tanaman di lahan demplot kurang dari 20% dari 800 tanaman yang ditanam (Sukmana, et al, 2013). Selain penanaman pada demplot, masyarakat juga diberi bantuan bibit untuk ditanam di lahan masing-masing. Persen

178


Tingkat Partisipasi Masyarakat Pada Optimalisasi Pengelolaan Lahan di Sub Das Arun, Kabupaten Samosir (Rospita O. P. Situmorang dan Asep Sukmana)

tumbuh tanaman diperoleh jauh lebih tinggi, yaitu 95% dari 400 tanaman dengan jenis yang sama seperti yang ditanam pada plot percontohan. Berdasarkan kondisi di atas, optimalisasi lahan di plot percontohan yang dikelola secara bersama-sama kurang berhasil sementara tanaman yang dikelola secara pribadi memiliki keberhasilan yang lebih tinggi. Pembangunan demplot dilakukan oleh Gapoktan Murni yang bermitra dengan pemerintah. Rencana awal kegiatan adalah pembangunan demplot yang dikoordinir oleh tim teknis dari instansi pemerintah dan ketua gapoktan/kelompok. Sementara anggota kelompok terlibat dalam penanaman dan perawatan tanaman. Namun selama pelaksanaan kegiatan, sebagian besar anggota kelompok tidak terlibat. Mereka tidak terlibat karena adanya anggapan bahwa pengelolaan dilakukan oleh pemilik lahan atau tenaga kerja harian yang diupah. Berdasarkan keterangan tersebut dapat dilihat bahwa kelompok tani tidak merasa memiliki tanggunggjawab terhadap demplot. Akibatnya, rasa kepemilikan terhadap kegiatan pun rendah. Rasa kepemilikan yang rendah terhadap demplot juga dapat dilihat dari rendahnya pengawasan terhadap areal. Areal demplot sering dijadikan sebagai lahan penggembalaan sehingga merusak tanaman yang ditanam. Sistem peternakan dengan pelepasliaran ternak kerbau di padang penggembalaan dianggap sebagai sistem peternakan yang sudah membudaya sehingga penanganan gangguan ternak sulit dilakukan. Kerbau yang berkeliaran di lahan terbuka dapat menjadikan tanah memadat sehingga sulit diolah, dan pada akhirnya akan mengakibatkan degradasi lahan dan penurunan kesuburan tanah. Kurang berhasilnya pelaksanaaan pengelolaan demplot juga diakibatkan oleh masih rendahnya pemahaman masyarakat pada pertanian konservatif. Kawasan hulu DAS identik dengan kawasan lindung, sehingga segala aktifitas masyarakat yang ada di hulu DAS harus mempertimbangkan aspek konservasi tanah dan air, termasuk dalam kegiatan pertanian. Pola pertanian yang disarankan adalah pola agroforestri. Pola tanam agroforestri adalah pola pertanian dengan mengutamakan penanaman tanaman keras atau tanaman kehutanan dalam satu hamparan lahan dan mengkombinasikannya dengan komoditi pertanian atau peternakan. Partisipasi dalam menerapkan pola pertanian agroforestri yang berfokus pada tanaman keras masih kurang diminati karena dianggap lama menghasilkan. Petani masih banyak yang berusaha menanam tanaman

semusim yang hasilnya kurang baik karena pengairan yang tidak teratur, curah hujan yang rendah. Akhirnya lahan yang terbengkalai semakin meningkat karena tidak diolah. Tahapan selanjutnya dalam pelaksanaan suatu program/kegiatan adalah tahap evaluasi. Dalam konteks ini, masyarakat tidak hanya berfungsi sebagai pengawas, tetapi juga sebagai penerima manfaat dari kegiatan pembangunan (Stiefel and Wolfe, 1994; Wang, 2007). Tingkat partisipasi masyarakat dalam kegiatan monitoring dan evaluasi berada pada kategori rendah yaitu 36 persen (Tabel 3). Etnik Batak Toba yang dominan di Sub DAS Arun pada umumnya tergolong vokal dalam adat istiadat, dalam kegiatan-kegiatan formal maupun informal. Mereka biasanya membahas serta mengevaluasi program-program pemerintah secara tidak formal di tempattempat perkumpulan seperti warung (lapo atau kedai). Tingkat partispasi yang rendah ini tentu tidak sejalan dengan kebiasaaan masyarakat yang sering berdiskusi. Evaluasi dan monitoring yang rendah pada tingkat masyarakat disebabkan oleh rasa kepemilikan dan tanggungjawab yang rendah. Hal ini juga mengakibatkan rendahnya upaya peningkatkan keberhasilan program. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan di atas, diperoleh tingkat keberhasilan yang rendah dalam pelibatan masyarakat dalam program peningkatan kualitas lahan. Menurut Mitchell (1997), elemen kesuksesan dalam pengelolaan sumberdaya dengan pola kemitraan adalah kecocokan antar peserta, keuntungan semua peserta, keseimbangan perwalian dan kekuasaan, mekanisme komunikasi peserta baik internal maupun eksternal, penyesuaian pada perubahan-perubahan yang mungkin dapat dihadapi, integritas dan kesabaran peserta dalam melewati saat-saat sulit. Faktor-faktor tersebut dianggap sebagai modal sosial yang menjadi dasar evaluasi dalam kegiatan pelibatan masyarakat dalam suatu kegiatan. Ketidakberhasilan demplot optimasi lahan dan rendahnya partisipasi masyarakat dapat dipengaruhi oleh satu atau beberapa hal. Jika dibandingan dengan pendapat Mitchell (1997) seperti tersebut di atas, dapat dilihat bahwa rendahnya partisipasi dalam pengelolaan demplot optimasi lahan di Sub DAS Arun adalah sebagai berikut: 1. Kurangnya kejelasan keuntungan bagi masing-masing peserta. Anggota kelompok yang bukan pemilik lahan menganggap lahan demplot tidak dikelola secara bersama-sama. Mereka tidak ikut terlibat karena

179


Inovasi Vol. 11 No 3. September 2014 : 174-183

menganggap tidak akan mendapat keuntungan dari program tersebut. Hal ini mengakibatkan rendahnya tanggungjawab dan tidak adanya rasa memiliki. Sebaliknya, petani yang dilibatkan masih menganggap keterlibatan mereka sebatas petani yang mengerjakan lahan yang diberi upah harian. Mereka juga kurang mengerti visi dan misi kegiatan sehingga mereka hanya bekerja sesuai dengan suruhan pihak yang bermitra dan mendapat keutungan dari upah yang diberikan. 2. Mekanisme komunikasi yang kurang baik secara internal atau eksternal baik diantara anggota kelompok dan antara kelompok dengan pihak yang bermitra. Komunikasi internal di dalam kolompok tani terlihat tidak erat. Pertemuan kelompok dilakukan tidak rutin dan jarang membahas tentang demplot yang berada di lokasi mereka. Anggota kelompok sering tidak mempercayai ketua/pengurus kelompok karena mengganggap bahwa mereka mendapat keuntungan lebih jika dibanding anggota. Komunikasi kelompok dengan instasi yang bermitra juga masih lemah. Dokumen reancana pengelolaan demplot tidak dimiliki oleh kelompok sehingga petani menganggap kegiatan tersebut sebagai proyek saja dan bukan kegiatan pelibatan masyarakat yang sesungguhnya. 3. Lemahnya pendekatan pemberdayaan masyarakat. Menurut Soetomo (2012) pemberdayaan masyarakat yang efektif adalah menempatkan masyarakat sebagai subjek, bukan sebagai objek. Dalam

pendekatan ini, masyarakat seharusnya lebih aktif dan kreatif melakukan perubahan guna meningkatkan kehidupannya secara mandiri. Pemerintah atau stakeholder adalah lembaga eksternal yang berperan sebagai fasilitator untuk mendampingi menyempurnakan program swadaya masyarakat. Pencapaian kemandirian sosial tersebut akan diperoleh jika terdapat modal sosial yang terdiri dari rasa tanggungjawab sosial, kepercayaan dan kesadaran akan kapasitas sosial. Selama ini, pendekatan pemberdayaan masyarakat yang dilakukan belum tepat yaitu memperlakukan masyarakat masih sebagai objek, belum sebagai subjek pembangunan. Perlakuan tersebut mungkin tidak disengaja, namun karena kelemahan dalam pendekatan, mengakibatkan masyarakat masih diperlakukan sebagai objek. Ide-ide pengelolaan dan konservasi lahan masih belum datang dari masyarakat. Ide-ide pembangunan yang tidak berasal dari masyarakat akan mengakibatkan ketergantungan yang tinggi terhadap pemerintah, tingkat penerimaan yang rendah dan berakhir pada rendahnya tanggungjawab dan partisipasi. Keterlibatan masyarakat dalam suatu program kegiatan, dapat dinilai dari karakteristik orang yang dilibatkan. Karakteristik sosial ekonomi masyarakat yang dijadikan responden terdapat dalam Tabel 4 berikut :

Tabel 4. Karakteristik sosial ekonomi responden No. 1

Karaktersitik Individu

Frekuensi

Usia Porduktif a. Produktifitas rendah (< 25 tahun, > 60 thn)

2

4

8.0

b. Produktifitas sedang (51-60 tahun)

10

20.0

c. Produktivitas tinggi (26-50 tahun)

36

72.0

a. Dasar (tidak tamat SD – tamat SD)

16

32.0

b. Menengah (SMP-SMA)

33

66.0

1

2.0

a. < 1 juta

19

38.0

b. 1-2 jt

29

58.0

c. 2-3 jt

2

4.0

d. >3 juta

-

-

6

12.0

Tingkat Pendidikan

c. Tinggi (universitas) 3

4

Persentase (%)

Tingkat pendapatan (X13)

Jumlah tanggungan keluarga (X14) a. Kecil (< 3 orang)

180


Tingkat Partisipasi Masyarakat Pada Optimalisasi Pengelolaan Lahan di Sub Das Arun, Kabupaten Samosir (Rospita O. P. Situmorang dan Asep Sukmana)

b. Sedang (4-5 orang)

15

30.0

c. Besar (≼ 6 orang) Sumber : Data primer (2013)

29

58.0

Tabel 5. Hubungan karakteristik sosial ekonomi responden dengan tingkat partisipasi

No. 1. 2. 3.

4.

Nilai X2 tabel

Asosiasi

Nilai

Pendidikan dengan Tingkat Partisipasi Usia produktif dengan tingkat partisipasi

9.02

Derajat kebebas an (dk) 8

7,53

8

15,507

0,36

Jumlah Tanggungan Keluarga dengan tingkat partisipasi Pendapatan dengan Tingkat Partisipasi

5,59

8

15,507

0,32

Tidak signifikan/ Rendah

3,39

4

9,488

0,25

Tidak signifikan/ Sangat rendah

X2

Nilai C

15,507

0,39

Hubungan/ Tingkat asosiasi Tidak signifikan/ rendah Tidak signifikan/ Rendah

Keterangan : nilai X2 tabel pada taraf kesalahan 5% Hasil analisis chi square (X2), koefisien kontingensi (C) dan tingkat hubungan (asosiasi) masing-masing parameter terdapat dalam Tabel 5 di atas. Tabel 5 tersebut menunjukkan tingkat partisipasi responden dalam mengoptimalkan lahan memiliki hubungan yang tidak signifikan serta tingkat asosiasi yang rendah pada seluruh kerakteristik sosial ekonomi responden yang diuji. Hal ini menunjukkan bahwa usia, tinggi rendahnya pendidikan responden, tingkat pendapatan dan jumah tanggungan keluarga tidak memberi pengaruh yang signifikan pada partisipasinya. Pendidikan merupakan bagian terpenting dalam pembangunan karena seseorang dapat menguasai ilmu pengetahuan, teknologi, dan penerapannya. Pendidikan dapat membuat seseorang berpikir secara logis, sistematis dan bijaksana. Seseorang yang memiliki pendidikan formal lebih tinggi biasanya memiliki tingkat pemahaman yang lebih tinggi terhadap suatu program karena mereka lebih mampu menganalisis manfaat yang akan diperoleh dari kegiatan yang akan dilakukan. Sebagian besar anggota kelompok yang dilibatkan pada demplot memiliki tingkat pendidikan SLTP sampai SLTA (Tabel 4). Pendidikan tersebut tergolong tinggi untuk kategori masyarakat pedesaan. Namun jika dilihat pada Tabel 5, tingkat pendidikan tidak berkorelasi dengan tingkat partisipasinya. Tingkat pendidikan tidak berpengaruh signifikan terhadap tingkat partispasi karena pemilik lahan demplot justru memiliki pendidikan yang rendah dan pengurus kelompok tidak seluruhnya memiliki pendidikan

yang lebih tinggi dibandingkan dengan anggota kelompok. Sesuai dengan pembahasan sebelumnya disebutkan bahwa anggota kelompok yang lebih banyak berperan dalam demplot adalah anggota yang merasakan manfaat langsung dari kegiatan pelibatan yaitu pemilik lahan dan pengurus kelompok. Faktor usia memiliki pengaruh terhadap kemampuan seseorang untuk berperan serta, karena usia dapat menunjukkan kedewasaan seseorang dalam menganalisa segala sesuatu. Secara teoritis, Slamet (1994) mengatakan bahwa usia berpengaruh pada keaktifan seseorang untuk berperan serta. Seseorang yang berada pada usia dewasa dan memiliki produktivitas tinggi akan menerima dan mengaplikasikan suatu program yang baik. Namun, jika dilihat dalam Tabel 5, perbedaan tingkatan usia dari segi produktivitasnya tidak berkorelasi dengan tingkat partisipasinya. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat kematangan seseorang dari segi umur tidak sejalan dengan tingkat partispasinya. Sesuai dengan pendapat Hapsari, et al (2012) bahwa tingkat kematangan berpikir tidak hanya ditentukan oleh tingkat kedewasaan. Tidak jarang ditemukan seseorang yang memiliki umur yang matang, memiliki tingkat berpikir yang rendah. Hal ini juga terjadi dalam pengelolaan lahan di demplot DAS mikro di Sub DAS Arun, dimana tingkat partispasi yang rendah diakibatkan kurangnya kematangan berpikir terhadap dampak pengelolaan lahan tidur di Sub DAS Arun. Partisipasi mereka tidak dipengaruhi oleh usia tetapi lebih kapada nilai keuntungan yang

181


Inovasi Vol. 11 No 3. September 2014 : 174-183

melibatkan totalitas dirinya dan egonya yang sifatnya lebih daripada keterlibatan dalam pekerjaan atau tugas saja. Keterlibatan diri juga berarti keterlibatan pikiran dan perasaan. Hal ini menyebabkan partisipasi lebih ditekankan pada aspek psikologis, artinya dengan jalan melibatkan seseorang, maka orang tersebut akan ikut bertanggungjawab (Davis et al, 1995; Moore & Egeth, 1997).

didapat dari program. Komunikasi kelompok yang lemah dan pendekatan yang tidak tepat mengakibatkan keuntungan pembangunan demplot masih belum diresapi oleh sebagian besar anggota kelompok. Faktor jumlah tanggungan keluarga menurut Simanjuntak (2001), mempengaruhi curahan jam kerja. Jumlah tanggungan keluarga mencerminkan jumlah kebutuhan sandang, perumahan dan makanan bagi seluruh anggota keluarganya. Besar kecilnya tanggungan keluarga akan mempengaruhi pola pikir seseorang dalam mengadopsi sesuatu yang bermanfaat secara ekonomi dalam hidupnya termasuk dalam pengelolaan lahan tidur di demplot optimalisasi lahan di Sub DAS Arun. Sesuai dengan hasil yang terdapat dalam Tabel 5, dapat dilihat bahwa jumlah tanggungan keluarga tidak berpengaruh signifikan terhadap tingkat partisipasinya. Hal ini menunjukkan kebutuhan ekonomi yang tinggi tidak mempengaruhi tingkat partisipasinya dalam pengoptimalan lahan tidur pada demplot. Penyebabnya adalah konsep berpikir yang belum matang pada manfaat keberhasilan demplot untuk menunjang ekonomi rumah tangga. Hal ini juga terbukti dari banyaknya lahan tidur di Sub DAS Arun akibat rendahnya tenaga yang dicurahkan oleh petani untuk mengelola lahan. Dalam hubungan pendapatan dengan kegiatan partisipasi suatu kegiatan, kemiskinan dan tingkat pendidikan adalah merupakan faktor yang dapat mempengaruhi partisipasi masyarakat dalam mengelola lingkungan hidup. Selain itu ambisi seseorang untuk mencapai tujuan tertentu juga mempunyai hubungan dengan tingkat ekonomi keluarganya. Jadi dengan tingkat pendapatan yang lebih baik/tinggi dapat mendorong seseorang berpartisipasi lebih baik/tinggi pula (Erwiantono, 2006). Hasil yang terdapat pada Tabel 5, menunjukkan bahwa tingkat pendapatan tidak berpengaruh signifikan terhadap tingkat partisipasi. Hal ini menunjukkan bahwa tinggi rendahnya partisipasi masyarakat tidak dipengaruhi oleh tingkat penghasilan masyarakat. Tingkat partisipasi yang rendah lebih dipengaruhi oleh kurangnya pemahaman dan lemahnya komunikasi internal dan eksternal. Faktor sosial ekonomi masyarakat secara teoritis disebutkan akan mempengaruhi keikutsertaan masyarakat dalam mendukung program pembangunan, namun kualitas pemberdayaan merupakan hal yang sangat penting diperhatikan dalam pemberdayaan masyarakat. Partisipasi yang mandiri akan

KESIMPULAN Tingkat partisipasi masyarakat untuk melakukan optimalisasi dan pemanfaatan lahan dalam pengelolaan DAS di plot percontohan di Sub DAS Arun berada pada kategori rendah. Kendala-kendala yang mengakibatkan rendahnya partispasi adalah kurangnya rasa kepemilikan dan kepercayaan terhadap kegiatan yang dikelola secara bersama-sama, mekanisme komunikasi yang kurang baik internal atau eksternal baik diantara anggota kelompok dan antara kelompok dengan pihak yang bermitra, dan lemahnya pendekatan pemberdayaan masyarakat oleh pemerintah. Hubungan karakteristik sosial ekonomi masyarakat tidak berpengaruh nyata dan berasosiasi lemah pada tingkat partisipasinya dalam pengelolaan dempot optimasi lahan di sub DAS Arun. Tingkat partisipasi lebih dipengaruhi oleh teknik dan pendekatan pemberdayaaan sehingga akan mempengaruhi penerimaan dan penerapan program secara mandiri. SARAN Saran yang dapat diambil dari penelitian ini adalah: 1. Dalam perencanaan pemberdayaan masyarakat, hendaknya masyarakat diberi kemandirian dalam menjalankan kegiatan yang akan dikerjakan. Dokumen rencana harus dimiliki oleh masyarakat agar anggota memiliki kesamaan visi dan misi dalam pelakasanaan seatu kegiatan. Dengan adanya dokumen bersama, masyarakat dapat mengembangkan teknik pencapaian target rencana dan diketahui oleh masingmasing peserta. 2. Diperlukan peningkatan pendampingan kepada masyarakat untuk optimalisasi lahan terbuka yang relatif luas di Sub DAS Arun dengan pola agroforestri. Penyuluhan dan pendampingan juga sangat diperlukan untuk mengatasi sistem pelepasliaran ternak yang sering mengganggu program rehabilitasi dan reboisasi lahan di DTA Danau Toba. 3. Dibutuhkan evaluasi pada program yang dikerjakan secara kelompok karena sering

182


Tingkat Partisipasi Masyarakat Pada Optimalisasi Pengelolaan Lahan di Sub Das Arun, Kabupaten Samosir (Rospita O. P. Situmorang dan Asep Sukmana)

Slamet, Y. 1994. Pembangunan Masyarakat Berwawasan Partisipasi. Surakarta: Sebelas Maret Universitas Press.

terjadi pengabaian dan tanggungjawab yang lemah. Pelatihan dan training konservasi lahan dapat dilakukan langsung ke pemilik lahan yang berkompeten untuk dijadikan sebagai kader konservasi sehingga dapat memberi dampak kepada masyarakat di sekitarnya.

Soetomo, 2012. Keswadayaan Masyarakat: Manifestasi Kepasitas Masyarakat untuk Berkembang secara Mandiri. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Stiefel, M. and M. Wolfe, 1994. A Voice for the Exluded: Popular Participation in Development: Utopia or Necessity? London: Zed Books.

DAFTAR PUSTAKA Antoko, B.S., B. Napitupulu, dan A. Sukmana. 2012. Optimalisasi Pemanfatan Lahan di Daerah Tangkapan Air Danau Toba (Sistem Implementasi, Pengelolaan DAS Mikro secara Partisipatif dan Terpadu). Laporan Hasil Penelitian. Balai Penelitian Kehutanan, Aek Nauli.

Sudjana. 1996. Metode Statistika. Bandung: Tarsito. Sugiyono. 1997. Metodologi Penelitian Administrasi. Bandung: Alfabeta.

Aprianto, Y. 2008. Tingkat Partisipasi Warga dalam Pengelolaan Lingkungan Berbasis Masyarakat. (Kasus: Kampung Hijau Rawajati, RW 03, Kelurahan Rawajati, Kecamatan Pancoran, Kotamadya Jakarta Selatan, Provinsi DKI Jakarta). Skripsi. Fakultas Pertanian, IPB Bogor.

Sugiyono. 2010. Metode Penelitian Kualitatif dan R&D. Alfabeta. Bandung.

Kuantitatif,

Sugiyono. 2011. Statistika untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta. Sukmana, A., B. Napitupulu, dan W. Kuswanda. 2013. Optimalisasi Pemanfaatan Lahan di Daerah Tangkapan Air Danau Toba (Kajian Sistem Monev Kinerja DAS Mikro pada Sub DAS Binanga Arun di DTA Danau Toba). Laporan Hasil Penelitian. Balai Penelitian Kehutanan Aek Nauli.

Ayunita, D. dan T.D. Hapsari. 2012. Analisis Persepsi dan Partisipasi Masyarakat Pesisir Pada Pengelolaan KKLD Ujungnegoro Kabupaten Batang. Sepa. 9 (1) : 117-124. Cohen and Uphoff. 1977. Rural Development: Concept and Measures for Project Design, Implementation, and Evaluation. Cornel University. New York.

Wang, X. 2007. When Public Participation in Administration Leads to Trust: An Empirical Assessment of Managers’s Perceptions. Public Administration Review 256-278.

Davis, Keith and J. W. Newstrom, 1995. Perilaku dalam Organisasi. Edisi ketujuh. Jakarta: Erlangga.

Yudilastiantoro, C. 2003. Partisipasi Masyarakat terhadap Pengelolaan Hutan Lindung di DAS Palu (hulu), Sulawesi Tengah. Diakses dari http://puslitsosekhut.web.id/ uploaded/file/publikasi/info/Partisipasi%20%20Masy arakat%20terhadap%20Pengelolaan%20Hutan%20Li ndung.pdf, tanggal 07 Nopember 2013.

Djarwanto. 1996. Mengenal Beberapa uji Statistik Dalam Penelitian. Liberty. Erwiantono, 2006. Kajian Tingkat Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan Ekosistem Mangrove di Kawasan Teluk Pangpang Banyuwangi. EPP. V3(1): 44-50. Hapsari, D.T., Suprijanto, M. Sangen, dan Susilawati. 2012. Faktor - Faktor yang Mempengaruhi Partisipasi Masyarakat pada Kebun Bibit Rakyat (Studi Kasus Pengadaan Bibit Karet Untuk Petani di Kota Banjarbaru). EnviroScienteae 8 (2012) : 55-61. Mitchell, 1997. Resource and Environmental Management. Diterjemahkan oleh B. Setiawan dan D.H. Maharani. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Moore, C.M. and H. Egeth.1997. Perception Without Attention: Evidence of Grouping Under Condition of Inattention. Journal of Experimental Psychology: Human Perception and Performance 23(2): 339-352. Simanjutak, P. J. 2001. Pengantar Ekonomi Sumber Daya Manusia. Jakarta: Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.

183


Inovasi Vol. 11 No 3. September 2014 : 184-191

Hasil Penelitian PENENTUAN DOSIS PUPUK OPTIMAL UNTUK PEMBIBITAN KELAPA SAWIT DI SUMATERA UTARA

(DETERMINATION OF OPTIMAL FERTILIZER DOSE FOR PALM OIL NURSERIES IN NORTH SUMATRA SUMATRA)) Helmi Balai Pengkajian teknologi Pertanian Sumatera Utara Jln. Jend. Besar A. H. Nasution No. 1 B Medan Email : helmi_syahnur@yahoo.co.id

Diterima: 25 April 2014; Direvisi: 18 Agustus 2014; Disetujui: 10 September 2014

ABSTRAK Pemupukan kelapa sawit dalam proses pembibitan penting diperhatikan agar diperoleh bibit yang bermutu dan berkualitas tinggi. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan rekomendasi pemupukan yang optimal pada pembibitan kelapa sawit. Penelitian dilaksanakan di dua lokasi yaitu (1) Desa Pematang Kuala, Kecamatan Teluk Mengkudu, Kabupaten Serdang Bedagai. (2) Desa Damuli Kebun, Kecamatan Kualu Selatan, Kabupaten Labuhan Batu Utara, dimulai dari bulan Maret sampai Oktober 2012. Penelitian menggunakan rancangan acak kelompok (RAK) dengan tujuh perlakuan dan diulang 4 kali. Satu perlakuan terdiri dari 20 polibag bibit kelapa sawit. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kombinasi perlakuan paket A (NPK Phonska + Kieserit), paket B (NPK Phonska + Kieserit + Urine Sapi), paket C (NPK Mutiara + Kieserit), paket D (NPK Mutiara + Kieserit + Urine sapi), paket E (NPK Bass + Kieserit), dan paket F (NPK Bass + Kieserit + Urine Sapi) pada umur 15 MST berpengaruh baik terhadap pertumbuhan bibit kelapa sawit di pembibitan utama, kecuali paket G (Tanpa pupuk, tanpa kiserit hanya pakai Urine sapi) menampilkan pertumbuhan yang kerdil terhadap pertumbuhan bibit kelapa sawit di persemaian. Penelitian ini merekomendasikan kombinasi pupuk optimal untuk pembibitan kelapa sawit, karena pupuk yang beredar di masyarakat cukup banyak, petani/pengguna dapat memilih dari 3 paket yang ada, yakni (1). Paket 1 (NPK Bass + Kieserit + Urine Sapi), paket 2. (NPK Mutiara + Kieserit + Urine sapi), paket 3. (NPK Bass + Kieserit). (2). Usaha pembibitan kelapa sawit yang dilakukan petani harus menggunakan varietas unggul dan bersertifikat, (3) Atap para-para untuk pembibitan sebaiknya menggunakan paranet. Kata Kunci: Kelapa sawit, pupuk, optimal, bibit, unggul

ABSTRACT Fertilization of palm oil in the process of seeding is important to note in order to obtain quality seeds and high quality. The purpose of this research was to obtain fertilizer recommendations on the optimal oil palm nursery. The research was applied in 2 location: (1) Pematang Kuala Village, Teluk Mengkudu Sub Regency, Serdang Bedagai Regency and (2) Damuli Kebun Village, Kualu Selatan Sub Regency, Labuhan Batu Utara Regency, begin from March – October 2012. The research used Random Block Design by seven treatments and 4 replications. One treatment consist of 20 polibags of oil palm seed. The results showed that the seven combinations of fertilizer treatment given combination treatment package A (NPK Phonska + Kieserit), package B (NPK Phonska + Kieserit + Cow Urine), package C (NPK Mutiara + Kieserit), package D (NPK Mutiara + Kieserit + Cow Urine), packet E (NPK + Kieserit Bass), and packet F (NPK + Bass + KieseritCow Urine) can provide a good influence on the growth of oil palm seedlings in the main nursery, except package G (use cow urine) perform small growth on oil palm seedlings in the nursery. This research recommends a combination of optimal fertilizer for oil palm breeding, because fertilizers that circulate in the community are enough, and farmers / users can choose from three packages exist, namely (1). Package 1 (NPK + Bass + Kieserit Cow Urine), package 2 (NPK + Pearl + Kieserit cow urine), package 3. (NPK Bass + Kieserit). (2). Oil palm breeding by farmers must use improved varieties and certified, (3) Roof rack for breeding should use paranet. Keywords: oil palm, fertilizer, optimal, seed, improved varieties

184


Penentuan Dosis Pupuk Optimal untuk Pembibitan Kelapa Sawit di Sumatera Utara (Helmi)

akan diperoleh jika pemeliharaan di pembibitan dilakukan dengan sempurna, dan pemberian pupuk yang tepat adalah salah satu faktor penting. Menurut Lubis dkk (1997), pembibitan merupakan suatu tahapan penting dalam pembangunan perkebunan kelapa sawit. Faktor bibit memegang peranan penting dalam menentukan keberhasilan penanaman kelapa sawit. Penyediaan bibit kelapa sawit untuk memenuhi kebutuhan tersebut di atas tentu tidak terlepas dari kegiatan pengadaan benih, penyemaian dan pembibitan di lapangan. Oleh karenanya di masa datang dibutuhkan jumlah bibit kelapa sawit yang besar guna untuk memenuhi kebutuhan bibit kelapa sawit baik untuk memenuhi kebutuhan perluasan perkebunan maupun untuk kebutuhan bibit dalam rangka transplanting. Menurut Solahuddin (2004) bahwa keberhasilan pertumbuhan tanaman kelapa sawit di lapangan sangat ditentukan oleh kondisi bibit yang ditanam. Bibit yang pertumbuhannya baik di pembibitan akan memberikan tanaman yang pertumbuhannya baik pula di lapangan. Media yang baik untuk pembibitan kelapa sawit adalah perakaran tanaman dapat berkembang dan drainasenya baik sehingga pada saat dipindahkan ke lapangan tanahnya masih melekat pada akar tanaman (Muluk dan Paimin, 1987). Jika penerapan teknologi tepat dilakukan maka potensi peningkatan produktivitas sawit dapat tercapai. Pemupukan kelapa sawit dalam proses pembibitan penting diperhatikan agar diperoleh bibit bermutu dan berkualitas tinggi. Selanjutnya Risza (1994) menekankan bahwa pembibitan kelapa sawit merupakan titik awal yang paling menentukan masa depan pertumbuhan kelapa sawit di lapangan. Bibit yang unggul merupakan modal dasar untuk mencapai produktivitas yang tinggi dan standar bibit yang baik dapat dilihat dari diameter batang yang tegap, tinggi bibit yang jagur, jumlah daun yang cukup dan tidak terserang hama dan penyakit. Perlakuan pemberian zat makanan yang cukup terhadap pertumbuhan tanaman di pembibitan salah satunya adalah dengan jalan pemupukan. Petani kelapa sawit pada perkebunan rakyat masih belum memperhatikan cara pembibitan dan pemupukan yang baik pada pembibitan yang dilakukan, sehingga bibit yang dihasilkan kurang baik dan pertumbuhan dan produktivitas di lapangan juga tidak optimal. Pertumbuhan bibit yang baik akan diperoleh jika pemeliharaan pembibitan dilakukan dengan sempurna, di mana pemberian pupuk yang tepat adalah salah

PENDAHULUAN Sumatera Utara merupakan salah satu provinsi sentra perkebunan kelapa sawit, baik perkebunan rakyat maupun perkebunan besar dengan total luas areal mencapai + 855.333,00 Ha dengan total produksi sebesar + 12.070.507,81 (TBS). Dimana perkebunan sawit rakyat hanya 28 %, hal tersebut tentu akan membutuhkan bibit yang lebih banyak untuk memenuhi kebutuhan pertanaman perkebunan sawit (Kemtan, 2012). Prospek usaha kelapa sawit di masa mendatang diproyeksikan masih baik seiring dengan meningkatnya konsumsi minyak nabati dunia (edible oils and fats), baik untuk pangan maupun non pangan, termasuk sebagai sumber energi alternatif pengganti minyak bumi untuk keperluan bahan bakar (Erningpraja et al., 2006). Usaha perkebunan sawit yang dilakukan di Sumatera Utara terdiri dari perkebunan swasta, perkebunan Negara dan perkebunan rakyat. Produktivitas perkebunan sawit rakyat rata-rata 16 ton Tandan Buah Segar (TBS) per ha, sedangkan potensi produksi bila menggunakan bibit sawit yang baik biasa mencapai 30 ton TBS/ha. Salah satu penyebab rendahnya produktivitas perkebunan sawit rakyat adalah karena teknologi produksi yang diterapkan masih relatif sederhana, mulai dari pembibitan sampai dengan panennya dan bibit yang digunakan belum bersertifikat. Penggunaan bahan tanaman yang tidak jelas sumbernya dapat menyebabkan timbulnya kerugian bagi pemilik kebun. Selain itu faktor yang harus diperhatikan adalah penyemaian bibit dari pembibitan awal hingga ke pembibitan utama (Akiyat, 2005). Untuk memenuhi kebutuhan bibit dalam usaha meningkatkan luas areal penanaman kelapa sawit, ada beberapa faktor yang perlu diperhatikan dalam pemilihan bibit yang dipergunakan untuk penanaman di lapangan agar diperoleh tanaman yang sehat dan berproduksi tinggi. Untuk mendapatkan kwalitas bibit yang baik, sangat berkaitan erat dengan pemupukan, dan diusahakan juga persyaratan tumbuh sebaik-baiknya. Rahutomo dan Arsyad (2001) mengatakan bahwa pemupukan merupakan salah satu faktor yang mutlak memerlukan perhatian penuh, karena pertumbuhan dan produktivitas kelapa sawit ditentukan oleh input hara melalui pemupukan dan tanaman harus mendapatkan makanan yang cukup untuk pertumbuhannya. Perlakuan pemberian zat makanan yang cukup terhadap pertumbuhan tanaman di lapangan adalah dengan jalan pemupukan (Chaniago dan Tobing, 1992). Pertumbuhan bibit yang baik

185


Inovasi Vol. 11 No 3. September 2014 : 184-191

sehingga akan didapatkan 1 - 2 paket rekomendasi dosis pupuk optimal untuk pembibitan kelapa sawit rakyat di Sumatera Utara.

satu faktor penting dalam upaya mendapatkan bibit yang berkualitas dan peningkatan produktivitas kelapa sawit. Bertitik tolak dari hal tersebut di atas perlu dilakukan penelitian mengenai : Kajian Penentuan Dosis Pupuk Optimal untuk Pembibitan Kelapa Sawit di Sumatera Utara,

Tabel 1. Rekomendasi Aplikasi masing-masing perlakuan umur pembibitan pada penentuan dosis pupuk optimal untuk pembibitan kelapa sawit Tahun Anggaran 2012.

PERLAKUAN

Paket A

Paket B

Paket C

Paket D

Paket E

Paket F

Paket G

Umur (minggu)

PONSKA

0 5 10 15 20 0 5 10 15 20 0 5 10 15 20 0 5 10 15 20 0 5 10 15 20 0 5 10 15 20 0 5 10 15 20

5 g/btg 10 g/btg 15 g/btg 20 g/btg 25 g/btg 5 g/btg 10 g/btg 15 g/btg 20 g/btg 25 g/btg -

Jenis dan Dosis Pupuk MUTIARA BASS KIESERITE 5 g/btg 10 g/btg 15 g/btg 20 g/btg 25 g/btg 5 g/btg 10 g/btg 15 g/btg 20 g/btg 25 g/btg -

186

5 g/btg 10 g/btg 15 g/btg 20 g/btg 25 g/btg 5 g/btg 10 g/btg 15 g/btg 20 g/btg 25 g/btg -

2 g/btg 4 g/btg 6 g/btg 8 g/btg 10 g/btg 2 g/btg 4 g/btg 6 g/btg 8 g/btg 10 g/btg 2 g/btg 4 g/btg 6 g/btg 8 g/btg 10 g/btg 2 g/btg 4 g/btg 6 g/btg 8 g/btg 10 g/btg 2 g/btg 4 g/btg 6 g/btg 8 g/btg 10 g/btg 2 g/btg 4 g/btg 6 g/btg 8 g/btg 10 g/btg -

URINE SAPI 2 cc/btg 2 cc/btg 2 cc/btg 2 cc/btg 2 cc/btg 2 cc/btg 2 cc/btg 2 cc/btg 2 cc/btg 2 cc/btg 2 cc/btg 2 cc/btg 2 cc/btg 2 cc/btg 2 cc/btg 2 cc/btg 2 cc/btg 2 cc/btg 2 cc/btg 2 cc/btg


Penentuan Dosis Pupuk Optimal untuk Pembibitan Kelapa Sawit di Sumatera Utara (Helmi)

pelepah daun, luas daun, lingkaran batang bibit, jumlah akar bibit, panjang akar bibit terpanjang, berat segar bagian atas bibit (daun dan pelepah), berat segar bagian bawah bibit (akar), berat kering bagian atas bibit (daun dan pelepah), berat kering bagian bawah bibit (akar).

METODE Penelitian dilaksanakan di dua lokasi yaitu (1) Desa Pematang Kuala, Kecamatan Teluk Mengkudu, Kabupaten Serdang Bedagai, (2) Desa Damuli Kebun, Kecamatan Kualu Selatan, Kabupaten Labuhan Batu Utara, yang dimulai dari bulan Maret sampai Oktober 2012. Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian adalah bibit kelapa sawit umur 3 bulan, bibit kelapa sawit yang baru dipindah dari pre nursery (pembibitan awal) ke main nursery (pembibitan utama), yang diperoleh dari Pusat Penelitian Kelapa Sawit Medan, kantong plastik (polibag), berukuran 40 x 50 cm, tali plastik, kayu ajir, bambu untuk tiang para-para, paku, kawat, jaring paranet, NPK Phonska, NPK Mutiara, NPK Bass, Urine Sapi, Kieserit, Dithane M 45, Sevin, plank merek, kantong plastik, dan air. Alat yang digunakan ember, meteran, timbangan, pisau, sperayer, glas ukuran, cangkul, gembor, meja lapang dan alat-alat tulis. Penelitian dilaksanakan dengan menggunakan rancangan acak kelompok (RAK) dengan tujuh perlakuan dan di ulang 4 kali. Satu perlakuan terdiri dari 20 polibag bibit kelapa sawit. Perlakuan yang diuji pada percobaan ini adalah sebagai berikut :

HASIL DAN PEMBAHASAN Kegiatan berjalan dengan baik sesuai dengan juknis yang telah di tentukan berdasarkan perlakuan. Pelaksanaan yang berhubungan dengan teknis di lapangan berjalan dengan baik, karena petani kooperator pelaksana kegiatan juga sangat merespon adanya kegiatan ini. Sebelum ada kajian petani kooperator membuat para-para pembibitan di atap dengan daun kelapa. Sekarang petaninya telah termotivasi untuk membuat pembibitan yang diusahakannya para-para pembibitanya juga telah menggunakan atap dari paranet. Temuan ini sejalan dengan pendapat Akiyat (2005) bahwa faktor yang harus diperhatikan adalah penyemaian bibit dari pembibitan awal hingga ke pembibitan utama. Lebih lanjut, Lubis (1997) menyatakan bahwa pembibitan merupakan suatu tahapan penting dalam pembangunan perkebunan kelapa sawit, Faktor bibit memegang peranan penting dalam menentukan keberhasilan penanaman kelapa sawit. Artinya, ketika petani salah memilih bibit, dimungkinkan hasil produksi sawiit ketika panen tidak maksimal. Tinggi Tanaman (cm) pada Pembibitan Utama Kelapa Sawit. Rata-rata tinggi tanaman (cm) pada Umur 0 Minggu Setelah Tanam (MST), Umur 5 MST, Umur 10 MST dan Umur 15 MST pada Kajian Penentuan Dosis Pupuk Optimal Untuk Pembibitan Kelapa Sawit di Sumatera Utara disajikan pada Tabel 2.

Paket A = NPK Ponska + Kieserite Paket B = NPK Ponska + Kieserite + Urine Sapi Paket C = NPK Mutiara + Kieserite Paket D = NPK Mutiara + Kieserite + Urine Sapi Paket E = NPK Bass + Kieserite Paket F = NPK Bass + Kieserite + Urine Sapi Paket G = Urine Sapi Rekomendasi aplikasi masing-masing perlakuan umur pembibitan pada penentuan dosis pupuk optimal untuk pembibitan kelapa sawit Tahun Anggaran 2012 dapat dilihat pada Tabel 1. Karakteristik agronomis yang diamati pada penelitian ini adalah tinggi tanaman, jumlah

Tabel 2. Rata-rata tinggi tanaman (cm) pada Umur 0 Minggu Setelah Tanam (MST), Umur 5 MST, Umur 10 MST dan Umur 15 MST Kabapaten Serdang Bedagai Labuhan Batu Utara Perlakuan Umur Pengamatan Umur Pengamatan 0 MST 5 MST 10 MST 15 MST 0 MST 5 MST 10 MST 15 MST Paket A 24,35 a 25,83 cd 33,38 ef 54,38 bc 23,78 a 26,35 bc 35,10 d 55,93 b Paket B 24,45 a 26,05 cd 34,00 de 55,73 ab 23,83 a 26,70 b 36,70 cd 55,90 b Paket C 24,30 a 26,25 c 34,85 cd 54,98 abc 24,60 a 26,65 b 37,00 bc 55,45 b Paket D 24,25 a 26,63 bc 35,95bc 57,18 a 23,35 a 27,20 b 37,23 bc 63,85 a Paket E 24,40 a 27,30 ab 36,30 b 52,58 c 24,40 a 27,33 b 38,68 ab 52,50 b Paket F 23,78 a 27,75 a 38,35 a 57,58 a 24,00 a 28,30 a 39,45 a 63,95 a Paket G 23,70 a 25,25 d 32,30 f 48,03 d 23,75 a 25,48 c 32,95 e 41,25 c CV 2,83 % 2,10 % 2,32 % 3,04 % 2,91 % 2,30 % 3,24 % 7,62 %

187


Inovasi Vol. 11 No 3. September 2014 : 184-191

Pemberian berbagai kombinasi pupuk terhadap tinggi bibit kelapa sawit di pembibitan utama pada umur 0 minggu setelah tanam (MST), dimana bibit yang ditanam pada pembibitan utama (main nursery) telah berumur 3 bulan. Pertumbuhan tinggi tanaman bibit di dua lokasi baik di kabupaten Serdang Bedagai maupun di kabupaten Labuhan Batu Utara tidak berpengaruh nyata. Semua perlakuan tidak berbeda nyata, hal ini diduga bibit sawit pada pembibitan awal (pra nursery) diberikan perlakuan pupuk yang sama sehingga pertumbuhan tinggi bibit penampilannya tidak berbeda nyata dan merata walaupun secara angka terlihat pebedaan namun secara statistik tidak berbeda nyata. Tinggi bibit pada umur 5 MST, 10 MST dan 15 MST di kedua lokasi pengkajian dengan pemberian berbagai kombinasi pemupukan berpengaruh nyata terhadap tinggi bibit di pembibitan utama. Pemberian berbagai kombinasi pemupukan berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan bibit di pembibitan utama. Perlakuan paket G (tanpa pemberian pupuk dan hanya pemberian urin sapi) berbeda nyata terhadap perlakuan lainnya baik pada umur 5 MST, 10 MST dan 15 MST. Pertumbuhan tinggi tanaman pada paket G memberikan tinggi bibit terendah baik pada umur bibit 5 MST, 10 MST dan 15 MST dengan masing-masing tinggi bibit di Serdang Bedagai 25,25 cm, 32,30 cm, 48,03 cm dan tinggi bibit di Labuhan Batu Utara masing-masing 25,48 cm, 32,95 cm, dan 41,25 cm. Rendahnya tinggi bibit yang dihasilkan oleh perlakuan G diduga tidak tersedianya unsur hara yang cukup di dalam tanah, karena tidak diberi pupuk N, P dan K sehingga pertumbuhan tinggi bibit tidak akan tumbuh dengan optimal.

Pertumbuhan tinggi bibit yang diuji secara umum perlakuan paket A, perlakuan paket B, perlakuan paket C, perlakuan paket D, perlakuan paket E, perlakuan paket F, bibit tumbuh dengan baik, kecuali perlakuan paket G bibit tumbuh kerdil dan daun agak menguning. Namun tinggi bibit tertinggi pada umur bibit 5 MST, 10 MST, dan 15 MST pada kedua lokasi cenderung diberikan oleh perlakuan paket F dan paket D. Perlakuan F (NPK Bass + Kieserit + Urine Sapi) sedangkan Perlakuan D (NPK Mutiara + Kieserit + Urine Sapi). Tingginya pertumbuhan bibit dari kombinasi pemupukan ini diduga karena hara untuk pertumbuhan bibit tersedia denga baik. Ketersediaan unsur hara yang cukup terutama unsur N yang merupakan unsur penyusun kehidupan dalam sel tanaman. Menurut Setyamidjaya (1986) bahwa unsur Nitrogen berperan penting di dalam merangsang pertumbuhan vegetatif terutama dalam hal pertubuhan tinggi tanaman. Unsur hara yang tersedia bagi tanaman sangat berperan di dalam meningkatkan pertumbuhan tinggi tanaman, hal ini dijelaskan oleh Lubi (1986) bahwa unsur P berperan dalam proses pembelahan sel untuk membentuk organ tanaman. Kemudian ditambahkan oleh Sarief (1986) bahwa unsur K merangsang titik-titik tumbuh tanaman sedangkan unsur Mg diperlukan sebagai penyusun khlorofil. Jumlah Pelepah Daun pada Pembibitan Kelapa Sawit. Pemberian berbagai kombinasi pupuk terhadap jumlah pelepah daun kelapa sawit di pembibitan utama umur 0 MST pada kedua lokasi tidak berpengaruh nyata terhadap jumlah pelepah daun kelapa sawit di pembibitan utama, untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Rata-rata Jumlah Pelepah Daun (lembar) pada Umur 0 Minggu Setelah Tanam (MST), Umur 5 MST, Umur 10 MST dan Umur 15 MST Kajian Penentuan Dosis Pupuk Optimal Untuk Pembibitan Kelapa Sawit di Sumatera Utara.

Perlakuan Paket A Paket B Paket C Paket D Paket E Paket F Paket G CV

Kabapaten Serdang Bedagai Umur Pengamatan 0 MST 5 MST 10 MST 15 MST 3,50 a 4,35 c 7,53 a 9,20 ab 3,35 a 4,50 c 7,70 a 9,20 ab 3,35 a 4,65 bc 7,55 a 9,05 ab 3,60 a 4,65 bc 7,80 a 9,15 ab 3,55 a 4,85 ab 7,45 a 8,95 ab 3,50 a 5,00 a 7,90 a 9,25 a 3,35 a 4,35 c 6,00 b 8,90 b 3,46 % 4,10 % 5,00 % 5,56 %

188

0 MST 3,45 a 3,55 a 3,55 a 3,40 a 3,25 a 3,30 a 3,45 a 6,68 %

Labuhan Batu Utara Umur Pengamatan 5 MST 10 MST 4,65 b 6,60 ab 4,55 b 6,75 a 4,55 b 6,80 a 4,75 ab 7,00 a 4,55 b 6,70 a 5,00 a 6,80 a 4,40 b 6,05 b 4,57 % 5,97 %

15 MST 8,20 ab 8,50 ab 8,45 ab 8,40 ab 7,95 ab 8,70 a 7,83 b 5,56 %


Penentuan Dosis Pupuk Optimal untuk Pembibitan Kelapa Sawit di Sumatera Utara (Helmi)

Hasil Analisis ragam menunjukkan bahwa jumlah pelepah daun bibit kelapa sawit pada umur 5 MST di dua lokasi dipengaruhi secara nyata oleh berbagai kombinasi perlakuan pemupukan. Perlakuan paket F (NPK Bass + Kieserit + Urine Sapi) memberikan jumlah pelepah daun terbanyak walaupun tidak berbeda nyata dengan beberapa perlakuan kombinasi pemupukan yang lain, tetapi berbeda nyata dengan perlakuan paket G (pemberian urine sapi). Rendahnya jumlah pelepah daun yang dihasilkan perlakuan paket G diduga unsur hara dalam media tanam (polibag) pada perlakuan paket G kurang mencukupi ketersediaan untuk pertumbuhan jumlah pelepah daun. Hal ini diperkuat oleh Sarief (1986) yang menyatakan unsur-unsur hara yang tersedia akan mempengaruhi pertumbuhan unsur P dan berperan dalam proses pembelahan sel untuk membentuk organ tanaman, sedangkan unsur K merangsang titik tumbuh tanaman. Berbagai kombinasi pemupukan untuk pembibitan kelapa sawit di dua lokasi pada umur 10 MST dan 15 MST berpengaruh nyata terhadap jumlah pelepah daun bibit sawit. Perlakuan paket G (pemberian urine sapi) berpengaruh nyata dengan perlakuan paket A (NPK Phonska + Kieserit), perlakuan paket B (NPK Phonska + Kieserit + Urine Sapi), perlakuan paket C (NPK Mutiara + Kieserit), perlakuan paket D (NPK Mutiara + Kieserit + Urine sapi), perlakuan paket E (NPK Bass + Kieserit), dan perlakuan paket F (NPK Bass + Kieserit + Urine Sapi). Namun perlakuan paket A, B, C, D, E, dan F tidak berbeda nyata sesamanya terhadap jumlah pelepah daun bibit sawit. Hal ini diduga karena kombinasi paket pemupukan A, B, C, D, E, dan paket F yang diberikan sebagai perlakuan sama-sama

mengandung unsur Nitrogen, Phosfat dan Kalium (N, P, K) sehingga memberikan pertumbuhan pelepah daun yang lebih baik, dibandingkan dengan perlakuan paket G yang hanya memberikan unsur hara yang bersumber dari urine sapi, sehingga kebutuhan hara yang dibutuhkan tidak mencukupi untuk pertumbuhan jumlah pelepah daun bibit. Apabila diperhatikan secara angka-angka, maka ada kecenderungan perlakuan paket F (NPK Bass + Kieserit + Urine Sapi) dan perlakuan paket D (NPK Mutiara + Kieserit + Urine sapi), menunjukkan jumlah pelepah daun bibit lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Rata-rata Luas Daun (cm)2. Pemberian berbagai kombinasi pupuk terhadap luas daun bibit kelapa sawit di pembibitan utama pada umur 0 minggu setelah tanam di dua lokasi baik di kabupaten Serdang Bedagai maupun di kabupaten Labuhan Batu Utara tidak berpengaruh nyata. Semua perlakuan tidak berbeda nyata, hal ini diduga bibit sawit pada pembibitan awal (pra nursery) diberikan perlakuan pupuk yang sama sehingga pertumbuhan luas daun bibit penampilannya hampir sama dan merata walaupun secara angka terlihat pebedaan namun secara statistik tidak berbeda nyata. Pemberian berbagai kombinasi pupuk secara umum pada umur bibit 5 MST, 10 MST, dan 15 MST pada kedua lokasi seperti yang terlihat pada Tabel 4. berpengaruh nyata terhadap perkembangan luas daun bibit sawit. Perlakuan paket G (pemberian urine sapi) memberikan luas daun terendah. Perlakuan paket F (NPK Bass + Kieserit + Urine Sapi) cenderung memberikan luas daun yang terluas walaupun tidak berbeda nyata dengan perlakuan lain.

Tabel 4. Rata-rata Luas Daun (cm2) pada Umur 0 Minggu Setelah Tanam (MST), Umur 5 MST, Umur 10 MST dan Umur 15 MST Kajian Penentuan Dosis Pupuk Optimal Untuk Pembibitan Kelapa Sawit di Sumatera Utara.

Perlakuan Paket A Paket B Paket C Paket D Paket E Paket F Paket G CV

Kabapaten Serdang Bedagai Umur Pengamatan 0 MST 5 MST 10 MST 15 MST 42,87 a 60,62 c 119,40 de 228,07 a 43,39 a 61,47 c 128,48 cd 230,23 a 43,69 a 69,98 b 131,86 cd 230,37 a 43,33 a 68,55 b 139,56 bc 236,32 a 43,80 a 72,92 ab 146,10 ab 221,86 a 43,16 a 75,22 a 153,04 a 238,04 a 43,15 a 57,96 c 108,35 e 187.34 b 2,10 % 4,76 % 6,19 % 8,19 %

189

0 MST 42,71 ab 41,72 b 42,18 b 43,68 a 42,05 b 41,94 b 42,62 ab 2,81 %

Labuhan Batu Utara Umur Pengamatan 5 MST 10 MST 57,34 de 137,48 c 59,67 cd 150,01 b 57,01 de 156,25 ab 62,46 bc 157,93 ab 64,21 ab 164,55 a 68,02 a 167,14 a 54,64 e 109,99 d 4,34 % 4,94 %

15 MST 216.63 b 219,49 ab 218,41 ab 223,17 ab 208,38 b 248,47 a 143,91 c 11,05 %


Inovasi Vol. 11 No 3. September 2014 : 184-191

Tabel 5. Rata-rata Lingkaran Batang (cm) pada Umur 0 Minggu Setelah Tanam (MST), Umur 5 MST, Umur 10 MST dan Umur 15 MST Kajian Penentuan Dosis Pupuk Optimal Untuk Pembibitan Kelapa Sawit di Sumatera Utara.

Perlakuan A B C D E F G CV

Kabapaten Serdang Bedagai Umur Pengamatan 0 MST 5 MST 10 MST 15 MST 3,28 a 3,60 c 5,23 b 7,40 a 3,15 a 3,67 c 5,30 b 7,58 a 3,38 a 3,78 bc 5,45 ab 7,53 a 3,05 a 3,90 ab 5,23 b 7,60 a 3,30 a 4,05 a 5,75 a 7,43 a 3,00 a 4,05 a 5,80 a 7,80 a 3,00 a 3,62 c 4,68 c 6,48 b 7,20 % 3,00 % 4,26 % 7,09 %

Perkembangan yang cepat pada luas daun bibit dari kombinasi pemupukan ini diduga karena hara untuk pertumbuhan bibit tersedia dengan baik. Ketersediaan unsur hara yang cukup terutama unsur N yang merupakan unsur penyusun kehidupan dalam sel tanaman. Karena komposisi yang terdapat dalam kombinasi pemupukan antara satu dengan yang lainnya, terkomposisi secara seimbang sesuai yang dibutuhkan oleh tanaman. Sutarta (2007) menyatakan bahwa unsur nitrogen merupakan unsur hara penting untuk pertumbuhan tanaman, yaitu untuk pembentukan protein, sintesa cloropyl, luas daun dan proses metabolisme, kalium diperlukan dalam proses pembukaan, penutupan stomata daun, pengangkutan hasil-hasil fotosintesis, dan pengaktifan enzim dalam metabolisme tanaman. Rata-rata Lingkaran Batang (cm) Bibit Kelapa Sawit. Pemberian berbagai kombinasi pupuk terhadap lingkaran batang bibit kelapa sawit di dua lokasi pada umur 5 MST, umur 10 MST dan Umur 15 MST memperlihatkan pengaruh yang berbeda nyata. Untuk lebih jelasnya disajikan pada tabel 5. Berbagai kombinasi pemupukan untuk pembibitan kelapa sawit di dua lokasi pada umur 5 MST, 10 MST dan 15 MST berpengaruh nyata terhadap lingkaran batang bibit kelapa sawit. Perlakuan paket G (pemberian urine sapi) berpengaruh nyata dengan beberapa perlakuan lainnya. Namun perlakuan paket G lingkaran batang yang dihasilkan paling rendah dibandingkan dengan lingkaran batang yang dihasilkan perlakuan lainnya. Dari perlakuan paket A, B, C, D, E, dan F, perlakuan paket F (NPK Bass + Kieserit + Urine Sapi), perlakuan paket D (NPK Mutiara + Kieserit + Urine sapi), perlakuan paket E (NPK Bass + Kieserit), cenderung memberikan lingkaran batang yang lebih besar dibandingkan perlakuan lain. Besarnya lingkaran batang yang

0 MST 3,23 a 3,23 a 3,10 a 3,10 a 3,10 a 3,00 a 3,00 a 6,90 %

Labuhan Batu Utara Umur Pengamatan 5 MST 10 MST 3,25 bc 5,25 b 3,25 bc 5,30 b 3,25 bc 5,48 ab 3,40 ab 5,73 a 3,35 abc 5,25 b 3,58 a 5,75 a 3,13 c 4,60 c 4,74 % 6,26 %

15 MST 6,38 a 6,20 a 6,13 a 6,23 a 5,55 ab 6,38 a 5,00 b 10,50 %

dihasilkan oleh pemberian kombinasi pupuk perlakuan F, E dan D diduga karena mampu menyediakan unsur hara bagi tanaman secara kontiniu dan menyediakan hara sesuai yang dibutuhkan tanaman, hal ini juga didukung sewaktu aplikasi pupuk ke polibag terlebih dahulu pupuk dicairkan menggunakan air dan pupuk lebih mudah terurai dan tidak meninggalkan sisa-sisa seperti bahan keras lainnya. Unsur hara makro seperti unsur N, P, dan K merupakan unsur hara yang berperan dalam pertumbuhan tanaman. Unsur hara yang tersedia bagi tanaman dapat meningkatkan pertumbuhan lingkaran batang, sesuai pendapat Suwandi dan Chan (1992) bahwa unsur N berperan dalam meningkatkan perkembangan batang baik secara horizontal maupun secara vertikal, kemudian dikemukan oleh Lingga dan Lubis (1986) unsur K berfungsi menguatkan vigor tanaman yang dapat mempengaruhi besar lingkaran batang. Unsur Ca berperan dalam menguatkan dinding sel sehingga sangat dibutuhkan untuk memperkokoh batang tanaman (Prawiranata, at.al, 1988). KESIMPULAN Dari hasil penelitian dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut : Penggunaan pupuk dengan kombinasi perlakuan paket A (NPK Phonska + Kieserit), paket B (NPK Phonska + Kieserit + Urine Sapi), paket C (NPK Mutiara + Kieserit), paket D (NPK Mutiara + Kieserit + Urine sapi), paket E (NPK Bass + Kieserit), dan paket F (NPK Bass + Kieserit + Urine Sapi) nyata pengaruhnya terhadap keragaan pertumbuhan bibit kelapa sawit di pembibitan utama. Kombinasi perlakuan paket F (NPK Bass + Kieserit + Urine Sapi), perlakuan paket D (NPK Mutiara + Kieserit + Urine sapi), dan perlakuan paket A (NPK Ponska + Kieserit + Urine sapi),

190


Penentuan Dosis Pupuk Optimal untuk Pembibitan Kelapa Sawit di Sumatera Utara (Helmi)

Perkebunan Kelapa Sawit. Prossiding Lokakarya Manajemen Industri kelapa Sawit Vol. 1. Balai Penelitian Perkebunan Medan. Pusat Penelitian Marihat.

cenderung memberikan hasil yang lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan lain. REKOMENDASI 1. Hasil kajian ini merekomendasikan kombinasi pupuk optimal pembibitan kelapa sawit pada persemaian utama, karena pupuk yang beredar di masyarakat cukup banyak. Petani/pengguna dapat memilih dari 3 paket yang ada, yakni :

2.

3.

4.

Muluk. M., dan K. Paiman. 1987. Perbandingan Antara Klon dan Semaian Kelapa Sawit Sex Ratio dan Sejumlah Sifat Vegetatif. Medan: Buletin BPP. Pahan. 2007. Kelapa Sawit, Usaha Budidaya, Pemanfaatan Hasil dan Aspek Pemasaran. Jakarta: Penebar Swadaya. Rahutomo, S,. dan arsyad, D. Koedadiri. 2001. Sterategis Pengawasan Mutu Pupuk di Perkebunan Kelapa Sawit. Warta Vol. 9 No.2. Pusat Penelitian Kelapa Sawit. Medan: Asosiasi Penelitian Perkebunan Indonesia.

Paket 1. (Pupuk NPK Bass dengan dosis 5 g, 10 g, 15 g, 20 g dan 25 g, pupuk Kieserit 2 g, 4 g, 6 g, 8 g, dan 10 g, dan Urine Sapi 2 g, 2 g, 2 g, 2 g, dan 2 g, per polibag tanaman. Paket 2. (Pupuk NPK Mutiara dengan dosis 5 g, 10 g, 15 g, 20 g dan 25 g, pupuk Kieserit 2 g, 4 g, 6 g, 8 g, dan 10 g, dan Urine Sapi 2 g, 2 g, 2 g, 2 g, dan 2 g, per polibag tanaman. Paket 3. (Pupuk NPK Ponska dengan dosis 5 g, 10 g, 15 g, 20 g dan 25 g, pupuk Kieserit 2 g, 4 g, 6 g, 8 g, dan 10 g, dan Urine sapi 2 g, 2 g, 2 g, 2 g, dan 2 g, per polibag tanaman. Interval pemupukan dilakukan pada umur 0, 5, 10, 15, dan 20 minggu setelah tanam (MST), dimana aplikasi pupuk NPK dicairkan (Cor), pupuk kieserit ditabur dan urine sapi disemprotkan, Usaha pembibitan kelapa sawit yang mau dikomersilkan atau yang akan digunakan sendiri, varietas yang digunakan harus yang telah direkomendasikan lembaga penelitian dan benih bersertifikat, karena benih salah satu faktor utama penentuan keberhasilan dari pertanaman kelapa sawit. Sebaiknya atap yang digunakan untuk parapara pembibitan adalah menggunakan paranet karena efektif dan tahan lama.

Risza, S., 1994. Kelapa sawit. Upaya Peningkatan Produktivitas. Yogyakarta: Kanisius. Sarief, E. Saipuddin. 1986. Kesuburan dan Pemupukan Tanah Pertanian. Bandung: Pustaka Buana. Setyamidjaja dan Djoehana. 1991. Budidaya Kelapa Sawit. Yogyakarta: Kanisius. Solahuddin, 2004. Petunjuk Teknis Pelaksanaan Pembibitan Kelapa Sawit di PT. Kerinci Agung. Makalah pada Training Senior Konduktor dan Supervisor. PT TKA dan PT SSS Sungai Talang. Suwandi dan F. Chan. 1992. Pemupukan pada tanaman kelapa sawit yang telah menghasilkan, hal 229 – 238. Dalam A. U. Lubis (Ed). Budidaya Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.). Pematang Siantar: PT Perkebunan VI – VII Pusat Penelitian Marihat. Sutarta, E.S, Rahutomo.S. Darmosukoro.W, dan Winarna. 2007. Peranan Unsur Hara dan Sumber Hara Pada Pemupukan Kelapa Sawit. Medan: Pusat Penelitian Kelapa Sawit. Suroso I.A. Kudang B. S. dan P. Satriawan. 2003. Pengenbangan Sistem Informasi Geografis untuk Pengelolaan Perkebunan Kelapa Sawit. http://ipb.ac.id/docs/jma_online pdf_. Diakses pada 1 september 2012.

DAFTAR PUSTAKA Chaniago, F. dan E.L. Tobing. 1992. Pemupukan Biji Kelapa Sawit. Pedoman Teknik No. 56.PT/PPM/82. Pusat penelitian Marihat. Pematang siantar: Sumatera Utara. Erningpraja, L., T. Wahyono, M. Akmal, N. Ratnawati dan A. Kurniawan. 2006. Strategi Mengembalikan Kejayaan Kelapa Sawit Indonesia Dengan Barometer Malaysia. Jurnal Penelitian Kelapa Sawit, 14(1): 47 – 67. Kemtan. 2012. Komoditas - komoditas Unggulan. http://www.deptan.go.id/ daerah -new/ sumut/ disbun_sumut/index.htm. Diakses tanggal 10 Januari 2012. Lubis, S., A. Panjaitan dan B. Taniputra. 1997. Beberapa Produksi Berkaitan dengan Pengelolaan

191


Inovasi Vol. 11 No 3. September 2014 : 192-203

Hasil Penelitian IDENTIFIKASI LAHAN TERLANTAR GUNA MENDUKUNG PENGEMBANGAN INDUSTRI MODIFIED CASSAVA FLOUR (MOCAF (MOCAF) MOCAF)

IDENTIFICATION OF ABANDONED LAND FOR DEVELOPMENT OF MODIFIED CASSAVA FLOUR (MOCAF) INDUSTRY Nobrya Husni, Porman Juanda Marpomari Mahulae Badan Penelitian dan Pengembangan Provinsi Sumatera Utara Jl. Sisingamangaraja No. 198 Medan 20126 Email: nobrya@gmail.com

Diterima: 3 Juli 2014 Direvisi: 10 Agustus 2014 Disetujui:27Agustus 2014

ABSTRAK Keberlangsungan program strategis negara khususnya ketahanan pangan membutuhkan luas lahan yang memadai sehingga swasembada pangan dapat tercapai. Meningkatnya konsumsi pangan seperti beras dan terigu tidak diikuti dengan meningkatnya produksi beras menyebabkan impor yang semakin tinggi dan harga jual yang ikut meningkat. Menyikapi fenomena tersebut Pemerintah Provinsi Sumatera Utara mengeluarkan kebijakan manggadong yaitu mengkonsumsi umbi-umbian sebelum makan nasi, program ini diharapkan dapat menurunkan tingkat konsumsi beras. Salah satu bahan yang dapat digunakan untuk menurunkan tingkat konsumsi beras adalah tepung modified cassava flour (mocaf) yang sekaligus juga dapat menjadi subtitusi terigu. Sumatera Utara memiliki lahan terlantar yang dapat digunakan untuk budidaya ubikayu. Tulisan ini bertujuan untuk memberikan gambaran tentang kesesuaian lahan terlantar yang dapat dimanfaatkan untuk pengembangan ubikayu; tingkat kelayakan usahatani; analisis nilai tambah dari usaha pengolahan ubikayu menjadi modified cassava flour (mocaf). Metode penelitian yang digunakan yaitu deskriptif kualitatif dengan lokasi penelitian di Kabupaten Langkat, Kabupaten Serdang Bedagai, Kabupaten Batubara, Kabupaten Asahan dan Kabupaten Simalungun. Data primer diperoleh melalui pengamatan langsung, wawancara dan kuesioner. Analisis kesesuaian lahan menggunakan metode matching, sedangkan analisis usahatani ubikayu menggunakan metode Hayami. Berdasarkan analisis kesesuaian lahan, lokasi penelitian sesuai untuk pengembangan tanaman ubikayu. Nilai R-C rasio menunjukkan bahwa usahatani ubi kayu yang dilakukan oleh para petani di lokasi penelitian adalah efisien. Berdasarkan analisis nilai tambah menggunakan metode Hayami diketahui bahwa nilai tambah yang dihasilkan petani ubi kayu untuk setiap kilogramnya bila dikonversi menjadi mocaf dan gaplek adalah sebesar Rp. 600./Kg, dengan rata-rata keuntungan sebesar Rp.450 per kilogram atau sebesar 75 persen dari nilai tambah produk. Rekomendasi kepada Pemerintah antara lain melakukan sosialisasi mengenai pemanfaatan lahan-lahan kosong produktif; pembinaan terhadap kelompok tani pengembang MOCAF; serta melakukan pendataan terhadap kebutuhan industri MOCAF terkait dengan peralatan maupun pelatihan sehingga bantuan yang diberikan tepat. Kata kunci: lahan terlantar, ubikayu, mocaf

ABSTRACT Sustainability of the country's strategic programs, especially food security requires adequate land area that can be achieved food self-sufficiency. Increased consumption of food such as rice and wheat are not followed by increasing rice production, imports are higher and selling prices also increased. Addressing the phenomenon, North Sumatra provincial government issued a policy manggadong that consume tubers before eating rice, the program is expected to reduce rice consumption. One material that can be used to lower the level of consumption of rice is starch modified cassava flour (mocaf) which is also can be substituted wheat. North Sumatra have abandoned land that could be used for the cultivation of cassava. This paper aims to provide an overview of the suitability of abandoned land that can be utilized for the development of cassava; the feasibility of farming; and analysis of the added value of cassava processing business mocaf. The method used is descriptive qualitative, research sites are in Langkat, Serdang Bedagai,

192


Identifikasi Lahan Terlantar Guna Mendukung Pengembangan Industri Modified Cassava Flour (Mocaf) (Nobrya Husni, Porman Juanda Marpomari Mahulae)

Batubara, Asahan and Simalungun. The primary data obtained through direct observation, interviews and questionnaires. Land suitability analysis using matching methods, while the analysis of cassava farming using Hayami method. Based on the land suitability analysis, research sites suitable for the development of cassava plants. RC value ratios indicate that cassava farming is done by farmers in the study area is efficient. Based on the analysis of valueadded method Hayami note that the value added produced cassava farmers for every kilogram when converted into mocaf and cassava is Rp. 600/kg with an average profit of Rp.450/kg or 75 percent of value-added products. Some recommendations to the Government are: to socialize on the utilization of vacant land productive; guidance to developers mocaf farmer groups; and to collect data on mocaf industry needs associated with equipment and training so that aid is appropriate. Keywords: abandoned land, cassava, mocaf

PENDAHULUAN Data dari Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian Kementerian Pertanian menunjukkan pada tahun 2005/2006 terdapat 12.418.056 Ha lahan terlantar di Indonesia, disebutkan bahwa terdapat 241.193 Ha lahan terlantar berada di Sumatera Utara (tabel 1).

negara agraris, Indonesia belum dapat mencapai swasembada pangan. Lahan pertanian yang semakin sempit akibat alih fungsi lahan menjadi salah satu kendala (Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian, 2007). Ketahanan pangan dapat diwujudkan, selain melalui peningkatan produktifitas lahan pertanian, juga ketersediaan lahan produksi. Dengan ketersediaan lahan produksi yang luas yaitu pemanfaatan lahan terlantar akan memfasilitasi dan mendukung ketahanan pangan (Saragih, 2013). Sistem ketahanan pangan di Indonesia mengalami permasalahan atas rendahnya tingkat diversifikasi (penganekaragaman) pangan, dimana mayoritas masyarakat masih menggantungkan beras sebagai sumber pangan utamanya. Padahal, dalam konsep ketahanan pangan diversifikasi pangan merupakan salah satu syarat untuk mencapai ketahanan pangan yang tangguh (Jafar, 2012). Untuk itu, Pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 22 Tahun 2009 tentang Kebijakan Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan Berbasis Sumber Daya Lokal yang ditindaklanjuti oleh Peraturan Menteri Pertanian Nomor 43/Permentan/OT.140/10/2009 tentang Gerakan Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan Berbasis Sumber Daya Lokal, yang bertujuan untuk melakukan percepatan penganekaragaman konsumsi pangan berbasis sumber daya lokal secara terintegrasi dan berkesinambungan. Peraturan tersebut kini menjadi acuan untuk mendorong upaya penganekaragaman konsumsi pangan dengan cepat melalui basis kearifan lokal serta kerja sama terintegerasi antara pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat. Di tingkat Provinsi, kebijakan tersebut telah ditindaklanjuti melalui surat edaran atau Peraturan Gubernur (Pergub), dan di tingkat kabupaten/kota ditindaklanjuti dengan surat edaran atau Peraturan Bupati/Walikota (Perbup/Perwalikota). Dalam sistem ketahanan

Luas lahan terlantar di Indonesia Tahun 2005/2006 Luas Lahan Pulau Ha % Sumatera 3.039.390 24.5 Jawa 53.330 0.4 Bali dan Nusa Tenggara 913.785 7.4 Kalimantan 7.424.375 59.8 Sulawesi 987.176 7.9 Maluku dan Papua Td Td Total 12.418.056 100.00 Td = Tidak ada Sumber: Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian Kementerian Pertanian RI (2007)

Tabel 1.

Penelantaran tanah akan menimbulkan kesenjangan sosial, ekonomi, dan kesejahteraan rakyat serta menurunkan kualitas lingkungan, menyikapi hal tersebut Pemerintah Republik Indonesia menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 11 tahun 2010 mengenai penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar sebagai pelaksanaan amanat Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) Nomor 5 tahun 1960. Aturan pelaksanaan untuk penertiban tanah terlantar diterbitkan melalui Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) No. 4 tahun 2010 mengenai Tata Cara Penertiban Tanah Terlantar. Dalam kaitannya dengan program strategis negara terutama ketahanan pangan, dengan jumlah penduduk yang semakin bertambah maka Pemerintah berupaya untuk menargetkan surplus bahan pangan pada tahun 2014. Sebagai 193


Inovasi Vol. 11 No 3. September 2014 : 192-203

pangan, diversifikasi pangan dipilih sebagai langkah utama. Selain waktu yang diperlukan dibandingkan dengan program lain, seperti ekstensifikasi dan intensifikasi, hal ini juga mendorong masyarakat (petani) lebih kreatif dalam memanfaatkan lahan yang ada dengan menanam tanaman yang dapat menjadi bahan makanan pokok selain padi, seperti jagung, ketela, dan umbi-umbian (Martianto, 2005). Pada tahun 2010 penurunan konsumsi beras hampir mencapai 1,5 % per tahun seperti diamanatkan Peraturan Presiden No. 22 tahun 2009. Namun, penurunan konsumsi beras rumah tangga belum sesuai dengan rencana pemerintah untuk mengalihkan konsumsi beras ke komoditas nusantara seperti umbi-umbian dan jagung, tetapi beralih ke jenis terigu dan kentang. Konsumsi terigu rumah tangga Indonesia naik sebesar 0,2 persen dari sebesar 10,32 kg/kapita/ tahun (pada tahun 2009) menjadi 10,34 kg/kapita/tahun (pada tahun 2010). Sedangkan konsumsi kentang naik dari 1,73 kg/kapita/tahun (pada tahun 2009) menjadi 1,84 kg/ kapita/tahun (pada tahun 2010). Pemerintah Provinsi telah melakukan upaya melakukan diversifikasi pangan berbasis

sumber daya lokal dengan menggalakkan konsumsi umbi-umbian sebagai makan tambahan melalui slogan manggadong, dimana Pada tahun 2009/2010, tingkat konsumsi beras di Sumatera Utara mencapai 136 kilogram/per kapita/per tahun, lebih tinggi dibanding ratarata konsumsi beras nasional sebesar 102 kg per kapita setiap tahunnya. Kondisi ini membuat Sumatera Utara menjadi salah satu Provinsi rawan pangan di Indonesia. Kebutuhan akan konsumsi pangan beras sebagai bahan makanan pokok di kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Utara belum tergantikan oleh komoditi lain seperti jagung dan umbi-umbian. Sehingga kebutuhan beras akan terus meningkat seiring dengan peningkatan pertumbuhan penduduk (Harahap, 2013). Mengatasi ketergantungan terhadap beras yang cukup tinggi di Sumatera Utara, Pemerintah Provinsi menggalakkan untuk mengkonsumsi ubi sebelum mengkonsumsi nasi. Luas panen dan produksi ubikayu dari tahun 2000-2010 mengalami fluktuasi seperti pada Tabel 2.

Tabel 2. Luas Panen dan Produksi Ubikayu di Sumatera Utara tahun 2000-2012 Luas Panen

Produksi

Produktivitas

ha

Ton

kw/ha

2000

40.315

408.128

101.23

2001

41.233

507.519

123.09

2002

36.119

441.819

122.32

2003

33.452

411.995

123.16

2004

37.313

464.961

124.61

2005

40.717

509.796

125.20

2006

35.996

452.450

125.69

2007

34.812

438.573

125.98

2008

37.941

736.771

194.19

2009

38.611

1.007.284

260.88

2010

32.402

905.571

279.48

2011

37.929

1.091.711

287,83

2012

38.749

1.171.520

302,34

Tahun

Sumber : Sumatera Utara Dalam Angka (2013) Ubikayu segar mempunyai komposisi kimiawi terdiri dari kadar air sekitar 60%, pati 35%, serat kasar 2,5%, protein 1%, lemak, 0,5% dan abu 1%. Karakterisasi sifat fisik dan kimia ubi kayu ditentukan olah sifat pati yang merupakan komponen utamanya. Kandungan pati dalam ubikayu bervariasi bergantung pada varietas (faktor genetik), kondisi tempat tumbuh dan umur panen.

Data tentang kandungan pati ubikayu dibutuhkan terutama jika ubikayu akan diolah menjadi bahan makan sumber karbohidrat. Ubikayu dapat diolah menjadi berbagai produk, seperti gaplek (cassava chip), namun beberapa tahun belakangan ini ubikayu diolah modified cassava flour (mocaf) yaitu tepung yang dapat menggantikan terigu.

194


Identifikasi Lahan Terlantar Guna Mendukung Pengembangan Industri Modified Cassava Flour (Mocaf) (Nobrya Husni, Porman Juanda Marpomari Mahulae)

Penemuan teknologi pembuatan mocaf ini memberikan sumbangan yang sangat penting bagi Indonesia mengingat sudah sejak lama Indonesia menjadi negara pengimpor tepung terigu yang sangat besar. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) 2013, sepanjang tahun 2012 impor biji gandum Indonesia mencapai 6.3 juta ton dengan nilai US$ 2,3 miliar. Pada tahun 2010 masih mengimpor 4.8 juta ton dengan nilai US$ 1.4 miliar, sehingga dalam kurun 2 tahun sudah terjadi peningkatan impor sebesar 1.5 juta ton atau US$ 0.9 miliar.

Sejak Tahun 2010, Badan Ketahanan Pangan Provinsi Sumatera Utara (BKP Provsu) telah membina 17 Kelompok Tani yang tersebar di beberapa Kabupaten/Kota di Sumatera Utara sebagai kelompok tani pengembang mocaf (Tabel 3), yang bertujuan untuk mendukung program diversifikasi pangan dan sebagai tindak lanjut program manggadong yang dicanangkan oleh Pemerintah Provinsi Sumatera Utara sebelumnya.

Tabel 3. Daftar kelompok tani pengembang industri mocaf binaan Badan Ketahanan Pangan Provinsi Sumatera Utara Kabupaten Deli Serdang Deli Serdang Deli Serdang Deli Serdang Serdang Bedagai Serdang Bedagai Simalungun Simalungun Pematang Siantar

Kelompok Tani Makmur Sari Telo Cikal Bakal Rukun Sidodadi Tani Makmur Tani Jaya Rosella Tambun Nabolon

Tahun 2010 2011 2012 2012 2012 2012 2011 2012 2012

Kecamatan Jaharum Percut Seituan Percut Seituan Pagar Merbau Dolok Masihul Sei Rampah Pematang Bandar Gunung Malela Siantar Martoba

Batubara Tani Maju 2011 Lima Puluh Batubara Sinar Tani 2012 Sei Suka Binjai Cipta Karya 2012 Binjai Utara Asahan Selasih 2010 Kisaran Timur Asahan Singkong Asahan 2012 Pulo Bandring Medan Serasi 2011 Medan Tuntungan Langkat Tawakal 2011 Wampu Langkat Subur tani 2012 Secanggang Sumber : Badan Ketahanan Pangan Provinsi Sumatera Utara (2013)

Desa Galang Medan Estate Saentis Pasar Miring Bajaronggi Dusun IX Simp.4 Purwosari Syah Kuda Bayu Tambun Nabolon Antara Brohol Damai Sentang Gedangan Namo Gajah Bingai Selotong

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui pengamatan langsung/observasi (pengambilan sampel, uji sampel), wawancara langsung dan pengisian kuisioner yang diajukan kepada responden. Responden atau informan ditetapkan secara purposive sampling, yaitu: Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kantor Wilayah Sumatera Utara, Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten/Kota, 3 (tiga) orang camat, dan 5 (lima) orang anggota kelompok tani. Data sekunder diperoleh dari buku, majalah pertanian, jurnal penelitian, internet, Dinas Pertanian Provinsi Sumatera Utara dan Kabupaten/Kota lokus penelitian, BPN Kantor Wilayah dan BPN Kabupaten/Kota, serta Badan Pusat Statistika (BPS). Lahan terlantar yang dianggap potensial dari segi luasan untuk dijadikan lokasi pengembangan ubikayu dianalisis dengan

Tulisan ini bertujuan untuk memberikan gambaran tentang kesesuaian lahan terlantar yang dapat dimanfaatkan untuk pengembangan ubikayu; tingkat kelayakan usahatani; analisis nilai tambah dari usaha pengolahan ubikayu menjadi modified cassava flour (mocaf). METODE Penelitian dilakukan di Kabupaten Langkat, Kabupaten Serdang Bedagai, Kabupaten Batubara, Kabupaten Asahan dan Kabupaten Simalungun. Penelitian dilakukan selama 4 (empat) bulan. Lokasi penelitian dipilih secara sengaja (purposive) dengan pertimbangan faktor keberadaan para kelompok tani pengembang usaha industri mocaf binaan dari Badan Ketahanan Pangan (BKP) Provinsi Sumatera Utara di wilayah Kabupatenkabupaten tersebut.

195


Inovasi Vol. 11 No 3. September 2014 : 192-203

berpedoman pada Peraturan Menteri Pertanian Nomor 79/Permentan/OT.140/8/2013 tentang Pedoman Kesesuaian Lahan Pada Komoditas Tanaman Pangan. Pendapatan usahatani ubi kayu dianalisis berdasarkan status pengusahaan lahan yaitu pendapatan petani. Pendapatan usahatani adalah selisih antara penerimaan dan pengeluaran. Perhitungan penerimaan, total biaya dan pendapatan usahatani dapat dituliskan secara matematis sebagai berikut:

HASIL DAN PEMBAHASAN Data Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Sumatera Utara menyebutkan belum tersedia data lahan yang terindikasi terlantar, hal ini disebabkan kehati-hatian tim inventarisasi dalam melaksanakan tahapantahapan inventarisasi. Pengamatan lapangan menunjukkan petani ubi kayu biasa memanfaatkan lahan-lahan kosong yang sengaja atau tidak sengaja dikosongkan oleh para pemilik hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, dan hak pakai dari lahan-lahan tersebut, baik dari pihak perseorangan, swasta maupun tanah yang dikuasai pemerintah baik secara langsung maupun tidak langsung dan sudah berstatus maupun belum berstatus Barang Milik Negara/Daerah yang tidak sengaja tidak dipergunakan sesuai dengan keadaan atau sifat dan tujuan pemberian haknya. Jenis-jenis lahan tersebut masing-masing: lahan kosong PT. Perkebunan Nusantara II; lahan bekas tambak udang; pinggiran jalan, bekas tambang batubata; lahan dibawah aliran sutet; lahan pinggiran rel kereta api; dan sempadan sungai. Dari kelima daerah penelitian, Kabupaten Serdang Bedagai merupakan salah satu contoh daerah yang telah jauh hari sudah memberdayakan lahan-lahan kosong yang produktif. Sejak tahun 2007 Pemerintah Daerah Kabupaten Serdang Bedagai telah mengeluarkan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 19 Tahun 2007 tentang Pemanfaatan Tanah Kosong. Perda tersebut mengamatkan bahwa untuk pemanfaatan lahan kosong yang dikuasai oleh perorangan maupun yang dikuasai oleh badan hukum, perlu diberdayakan dengan menanam tanaman pangan dan hortikultura atau perikanan semusim. Perda tersebut secara tidak langsung mempengaruhi pola pemanfaatan lahan dan pemberdayaan masyarakat, memudahkan dalam kegiatan inventarisasi dan identifikasi lahan kosong. Tingginya permintaan akan komoditi ubi kayu untuk konsumsi industri tepung tapioka dan konsumsi lainnya berdampak terhadap pemanfaatan lahan kosong di Kabupaten Serdang Bedagai, sebagai contoh pola pemanfaatan lahan di Kecamatan Perbaungan, Sei rampah dan Dolok Masihul. Mayoritas lahan produktif telah diusahakan sebagai lahan pertanian ubi kayu. Bahkan, areal perkebunan komoditi sawit, karet atau kakao telah banyak beralih menjadi lahan pertanian ubi kayu. Analisis kesesuaian lahan terhadap sampel yang diambil di lokasi penelitian menunjukkan bahwa mayoritas kriteria lahan digolongkan dalam kelas S1 (sangat sesuai), dengan pH 5-6. Lahan tidak memiliki faktor pembatas yang berarti atau nyata terhadap penggunaan secara

TR = P x Q Keterangan: TR = Total penerimaan usahatani (Rp) P = Harga output (Rp/Kg) Q = Jumlah output (Kg) Biaya penyusutan rumus:

dihitung

Biaya Penyusutan =

menggunakan (Nb – Ns) -----------N

Keterangan: Nb = Nilai pembelian (Rp) Ns = Nilai sisa (Rp) N = Umur ekonomis (tahun) Pendapatan dianalisis menggunakan R-C rasio. Analisis R-C rasio yang digunakan adalah R-C rasio atas biaya tunai dan R-C rasio atas biaya total. R – C rasio atas biaya tunai = TR tunai/biaya tunai R – C rasio atas biaya total = TR/TC Keterangan : TR = Total penerimaan usahatani (Rp) TC = Total biaya usahatani (Rp) Suatu usaha dapat dikatakan menguntungkan dan efisien untuk diusahakan apabila nilai R-C rasio lebih besar dari satu (R/C > 1), makin tinggi nilai R-C rasio menunjukkan bahwa penerimaan yang diperoleh semakin besar. Namun apabila R-C rasio lebih kecil dari satu (R/C < 1), usaha tersebut tidak menguntungkan sehingga tidak efisien untuk diusahakan, dan apabila nilai R-C rasio sama dengan satu (R/C = 1) artinya kegiatan usahatani tersebut tidak untung dan tidak rugi. Analisis pertambahan nilai komoditi dilakukan dengan menggunakan metode Hayami (Pohan, 2011).

196


Identifikasi Lahan Terlantar Guna Mendukung Pengembangan Industri Modified Cassava Flour (Mocaf) (Nobrya Husni, Porman Juanda Marpomari Mahulae)

1.500 – 2.500 mm/tahun (Wargiono, 2009). Berdasarkan prakiraan musim kemarau di Sumatera Utara tahun 2013, musim kemarau di Sumatera Utara berkisar antara bulan Februari sampai bulan Juni dengan sifat hujan Normal, dengan suhu rata-rata 25-27°C dan curah hujan 1501 – 2000 mm/tahun (BMKG, 2013), kondisi iklim di Sumatera Utara sesuai untuk pengembangan tanaman ubikayu. Analisis keragaan usahatani ubi kayu dilakukan dengan mengidentifikasi penggunaan input, teknik budidaya, dan output yang dihasilkan pada usahatani ubi kayu di lokasi penelitian. Input yang digunakan pada usahatani ubi kayu di lokasi penelitian terdiri dari bibit, pupuk, dan tenaga kerja (Tabel 4). Bibit yang digunakan oleh para petani di lokasi penelitian adalah bibit yang berasal dari varietas lokal. Jenis ubi kayu yang ditanam petani adalah varietas Adira 4 atau biasa dikenal petani sebaga ubi kayu malaysia. Petani menggunakan varietas ini karena bibitnya mudah diperoleh. Rata-rata penggunaan bibit ubi kayu per hektar pada petani adalah sebanyak 10.000 batang/Ha, Bibit yang digunakan oleh petani berasal dari pertanaman sebelumnya, sehingga petani tidak perlu membeli bibit. Bibit dalam kegiatan usahatani ubi kayu merupakan biaya yang diperhitungkan. Harga bibit ubi kayu diasumsikan Rp 100 per batang. Total biaya yang diperhitungkan untuk bibit pada petani pemilik adalah sebesar Rp.1.000.000.

berkelanjutan. Adapun faktor pembatas seperti: kelas tekstur, bahan kasar, pH, kedalaman tanah, C-organik, salinitas dan bahaya erosi, dapat diatasi petani dengan memberikan perlakukan terhadap lahan sebelum proses penanaman. Faktor pembatas tersebut bersifat tidak dominan dan tidak akan mereduksi produktivitas lahan secara nyata. Tanah yang paling sesuai untuk ubi kayu adalah tanah yang berstruktur remah, gembur, tidak terlalu liat dan tidak terlalu poros, serta kaya bahan organik. Tanah dengan struktur remah mempunyai tata udara yang baik, unsur hara lebih mudah tersedia, dan mudah diolah. Jenis tanah yang sesuai untuk tanaman ubi kayu adalah jenis aluvial, latosol, podsolik merah kuning, mediteran, grumosol, dan andosol. Derajat kemasaman (pH) tanah yang sesuai untuk budidaya ubi kayu berkisar antara 4,5–8,0 dengan pH ideal 5,8. Pada tanah ber-pH rendah (asam), yaitu berkisar 4,0–5,5 tanaman ubi kayu ini pun dapat tumbuh dan cukup subur bagi pertumbuhannya (Wargiono, 2009). Pada umumnya tanaman ubi kayu ditanam di daerah yang relatif kering. Namun, tanaman ubi kayu ini dapat tumbuh di daerah antara 30o lintang selatan dan 300 lintang utara, sinar matahari yang dibutuhkan bagi tanaman ubi kayu sekitar 10 jam/hari, terutama untuk kesuburan daun dan perkembangan umbinya. Suhu udara rata-rata lebih dari 180C dengan curah hujan di atas 500 mm/tahun. Curah hujan yang sesuai untuk tanaman ubi kayu antara

Tabel 4. Rata-Rata Penggunaan Input Usahatani Ubikayu per hektar di lokasi penelitian No.

Komponen

1.

Bibit (batang)

2.

Pupuk Urea (zak) Total biaya pupuk

Tenaga Kerja Pembersihan lahan (TKLK(HOK)) (TKDK(HOK)) Penggemburan lahan (TKLK(HOK) (TKDK(HOK)) Penanaman (TKLK(HOK)) (TKDK(HOK)) Pemupukan (TKLK(HOK)) (TKDK(HOK)) Penyiangan (TKLK(HOK)) (TKDK(HOK)) Total biaya tenaga kerja Sumber: Data Penelitian diolah (2013)

Jumlah 10000 4

Harga (Rp)

Nilai (Rp) 1.000.000

25,06

520.000 520.000

13,03

60.000 60.000 30.000/rante

240.000 60.000 750.000

6,02 1,50 18,80

60.000 60.000 40.000 60.000 40.000 60.000

540.000 60.000 320000 120.000 320.000 60.000 2.470.000

13,53 1,50 8,02 3,01 8,02 1,50 61,90

100

%

Keterangan

130.000 1x pemupukan

3.

4 1 1 ha 9 1 8 2 8 2

197

menggunakan mesin traktor


Inovasi Vol. 11 No 3. September 2014 : 192-203

Penggunaan pupuk kandang berbeda-beda sesuai dengan pengalaman dan pengetahuan masing-masing petani. Rata-rata petani ubikayu di lokasi penelitian menggunakan pupuk kimia. Pupuk kimia yang digunakan oleh petani adalah pupuk urea. Rata-rata penggunaan pupuk urea per hektar untuk petani adalah sebanyak 4 zak/Ha. Harga eceran pupuk urea per zak adalah Rp.130.000/zak. Total biaya yang dikeluarkan untuk pupuk urea pada petani adalah sebesar Rp.520.000 Persentase biaya total pupuk yang dikeluarkan oleh adalah 13,03 %. Tenaga kerja merupakan salah satu faktor produksi yang mempunyai pengaruh yang cukup besar terhadap biaya usahatani ubi kayu. Biaya tenaga kerja adalah biaya terbesar yang dikeluarkan yaitu sebesar Rp. 2.470.000.- atau 61.90 persen. Tenaga Kerja yang digunakan terdiri dari Tenaga Kerja Dalam Keluarga (TKDK) dan Tenaga Kerja Luar Keluarga (TKLK). Sebagian besar kegiatan usahatani memanfaatkan tenaga kerja pria. Tenaga kerja wanita hanya dibutuhkan pada saat penyiangan rumput dan gulma. Dalam hal upah tenaga kerja per hari, tenaga kerja perempan dan laki-laki memiliki nilai yang berbeda. Untuk tenaga kerja perempuan biasa dibayar sebesar Rp. 40.000/hari, sedangkan tenaga kerja laki-laki sebesar Rp. 60.000/hari. Ubi kayu di lokasi penelitian ditanam sepanjang tahun atau tidak bersifat musiman. Penanaman ubi kayu dapat dilakukan sepanjang tahun karena lokasi-lokasi penelitian merupakan daerah yang memiliki curah hujan yang cukup tinggi dan merata sepanjang tahun. Petani ubi kayu akan segera menanam kembali lahannya setelah selesai panen. Petani membudidayakan ubi kayu secara monokultur. Kegiatan usahatani ubi kayu di lokasi-lokasi penelitian meliputi pengolahan tanah, penanaman, pemeliharaan, dan panen. Pengolahan lahan bertujuan untuk memperbaiki struktur tanah, sehingga tanah menjadi gembur serta aerasi dan drainase tanah menjadi lebih baik. Pemeliharaan tanaman ubi kayu tergolong mudah. Kegiatan pemeliharaan ubikayu di lokasi-lokasi penelitian meliputi kegiatan pemupukan, penggemburan tanah, dan penyiangan. Pupuk yang digunakan oleh petani responden adalah pupuk kimia yaitu pupuk urea. Pupuk urea diberikan satu atau dua kali dalam satu musim tanam, tergantung kemampuan petani. Sebagian besar petani responden memberikan pupuk urea sebanyak satu kali, yaitu pada saat tanaman berumur tiga sampai empat bulan. Penyiangan dilakukan

sebelum pemberian pupuk agar tanaman dapat menyerap pupuk urea secara maksimal. Pengendalian hama dan penyakit tanaman dengan penggunaan pestisida dan sejenisnya tidak dilakukan oleh petani responden dengan tujuan untuk menghemat biaya. Selain itu petani beranggapan bahwa tanaman ubikayu cukup tahan terhadap serangan hama dan penyakit tanaman. Panen ubikayu dilakukan setelah umbi ubikayu memiliki kadar pati optimal, yaitu pada saat tanaman berumur sembilan hingga 12 bulan. Mayoritas petani melakukan panen pada saat tanaman berumur 12 bulan. Dengan alasan bobot umbi meningkat dengan bertambahnya umur tanaman, sedangkan kadar pati cenderung stabil pada umur sembilan hingga 12 bulan. Panen ubikayu di lokasi-lokasi penelitian dilakukan oleh pengolah tapioka dan para pedagang langsung (penggalas). Ubikayu yang dipanen diangkut ke tempat pengolahan tapioka, kepasar atau ke para pengguna lainnya. Penggunaan tenaga kerja untuk kegiatan pemanenan dan pengangkutan dibayar oleh pengolah tapioka atau pedagang langsung. Usahatani ubikayu membutuhkan waktu budidaya yang cukup lama yaitu rata-rata satu tahun, sehingga penanaman hanya dapat dilakukan sekali dalam satu tahun. Hasil produksi usahatani ubikayu adalah berupa ubikayu segar, dan biasanya dihitung dengan menggunakan satuan kilogram. Rata-rata produksi usahatani ubikayu per hektar di lokasi penelitian pada tahun 2012/2013 adalah sebesar (2.5 kilogram x 10.000 batang) atau sekitar 25 ton/hektar. Analisis usahatani dilakukan dengan menghitung tingkat pendapatan dan R-C rasio usahatani ubikayu. Analisis usahatani yang dilakukan mengacu kepada konsep pendapatan atas biaya yang dikeluarkan yaitu biaya tunai dan biaya total. Biaya tunai adalah biaya yang dikeluarkan dalam bentuk tunai seperti pupuk dan biaya TKLK. Biaya total adalah biaya tunai ditambah dengan biaya diperhitungkan. Biaya diperhitungkan adalah biaya yang pengeluarannya tidak dalam bentuk tunai seperti bibit, sewa lahan diperhitungkan, penyusutan peralatan, dan biaya TKDK. Rata-rata produksi usahatani ubikayu per hektar adalah sebesar 20.000 kilogram, sehingga penerimaan total yang diperoleh petani ubikayu per hektar adalah (Rp 800 x 25000 kg) atau sebesar Rp. 20.000.000.-. Rata-rata harga jual ubikayu segar pada tahun 2012/2013 disetiap wilayah penelitian adalah Rp.800.-/Kg. Biaya produksi adalah seluruh biaya yang dikeluarkan untuk menghasilkan suatu komoditi 198


Identifikasi Lahan Terlantar Guna Mendukung Pengembangan Industri Modified Cassava Flour (Mocaf) (Nobrya Husni, Porman Juanda Marpomari Mahulae)

atau produk baik secara tunai maupun diperhitungkan. pengeluaran yang tergolong ke dalam biaya tunai adalah biaya pupuk dan TKLK sedangkan biaya yang tergolong ke dalam biaya yang diperhitungkan adalah biaya bibit, TKDK dan biaya lain-lain (pajak lahan, peralatan produksi, penyusutan peralatan). Total biaya usahatani ubikayu per hektar yang dikeluarkan oleh petani adalah sebesar Rp 4.490.000 dimana 59.91 persen dari biaya total atau sebesar Rp. 2.690.000 merupakan biaya

No. 1

tunai sedangkan sisanya merupakan biaya yang diperhitungkan. Biaya terbesar yang dikeluarkan oleh petani adalah biaya untuk tenaga kerja yaitu sebesar Rp 2.470.000 per hektar (55.01 persen dari biaya total) yang terdiri dari 48.33 persen dari biaya total merupakan biaya untuk TKLK dan 6.68 persen dari biaya total merupakan biaya yang diperhitungkan untuk TKDK. Rincian total biaya selanjutnya dijelaskan pada Tabel 5 berikut.

Tabel 5. Rincian pembiayaan usaha pertanian ubikayu di lokasi penelitian periode tahun 2012/2013 Komponen Jumlah % Biaya Tunai Pupuk urea 520.000 11,58 TKLK (HOK) 2.170.000 48,33 Total biaya tunai 2.690.000 59,91

2

Biaya diperhitungkan Bibit(batang) TKDK (HOK) lain-lain (pajak lahan, peralatan produksi, penyusutan peralatan) Total biaya diperhitungkan Total biaya Sumber: Data Penelitian (2013) Analisis pendapatan usahatani dilakukan untuk menentukan pendapatan yang diperoleh petani dari kegiatan usahatani ubi kayu. Analisis pendapatan ini meliputi analisis pendapatan atas biaya tunai dan analisis pendapatan atas biaya total. Pendapatan atas biaya tunai

1.000.000 300.000 500.000

22,27 6,68 11,14

1.800.000 4.490.000

40,09 100,00

diperoleh dari pengurangan penerimaan total dengan pengeluaran tunai. Pendapatan atas biaya total diperoleh dari pengurangan penerimaan total dengan pengeluaran total. Rincian analisis usahatani ubi kayu dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Analisis usahatani ubi kayu di lokasi penelitian periode tahun 2012/2013 Komponen Jumlah Harga Nilai (Rp) % (Rp) A. Total penerimaan (kg) 25000 800 20.000.000 B Biaya tunai Pupuk urea (zak) 4 130.000 520.000 11,58 TKLK (HOK) 1 ha 2.170.000 48,33 Total biaya tunai 2.690.000 59,91 C Biaya diperhitungkan Bibit (batang) 10000 100 1.000.000 22,27 TKDK (HOK) 5 60.000 300.000 6,68 Lain-lain (pajak lahan, 1 ha 500.000 11,14 peralatan produksi, penyusutan peralatan) Total biaya diperhitungkan 1.800.000 40,09 D. Total biaya 4.490.000 100,00 E. Pendapatan atas biaya tunai 17.310.000 F. Pendapatan atas biaya total 15.510.000 G. R/C Rasio atas biaya tunai 7,43 H. R/C Rasion atas biaya total 4,45 Sumber: Data Penelitian (2013) No

199


Inovasi Vol. 11 No 3. September 2014 : 192-203

Pendapatan yang diperoleh petani dari kegiatan usahatani ubikayu merupakan pendapatan usahatani ubi kayu selama satu musim tanam ubikayu yaitu selama 12 bulan. Pendapatan atas biaya tunai pada petani pemilik adalah sebesar Rp 20,000,000 per hektar dan pendapatan atas biaya total adalah Rp 15.510.000 per hektar, sedangkan pendapatan atas biaya tunai adalah Rp 17.310.000 per hektar. Usahatani dikatakan efisien apabila R-C rasio lebih besar dari satu. Nilai R-C rasio atas

biaya tunai untuk petani adalah 7.43 artinya setiap Rp 1 biaya yang dikeluarkan maka akan menghasilkan penerimaan sebesar Rp 7,43 dan R-C rasio atas biaya total adalah 4.45. Nilai R-C rasio tersebut menunjukkan bahwa usahatani ubi kayu yang dilakukan oleh para petani di lokasi penelitian adalah efisien. Analisis nilai tambah pengolahan ubi kayu menjadi mocaf dilakukan dengan menggunakan metode Hayami.

Tabel 7. Analisis nilai tambah ubi kayu bila dikonversi menjadi mocaf dan tepung Gaplek Keterangan Perhitungan Nilai No. Output, Input, Harga 1 Output (kg/proses produksi) A Utama 150 Sampingan 50 2 Input komoditi (kg/proses B 500 produksi) 3 Tenaga kerja (HOK/proses C 3 produksi) 4 Faktor konversi D = A/B Utama 0,30 Sampingan 0,10 5 Koefisien tenaga kerja E = C/B 0,006 6 Harga output (Rp/kg) F Utama 6000 Sampingan 4000 Pendapatan dan Keuntungan 7 Upah tenaga kerja (Rp/HOK) G 25000 8 Harga bahan baku (Rp/kg) H 1500 9 Sumbagan input lain (Rp/kg) I 100 10 Nilai output (Rp) J=DxF Utama 1800 Sampingan 400 11 a. Nilai tambah K=J–H–I 600 b. Rasio nilai tambah (%) L = (K/J) x 100% 27,27 12 a. Pendapatan tenaga kerja (Rp/kg) M=ExG 150 b. Bagian tenaga kerja (%) N = (M/K) x 100% 37,50 13 a. Keuntungan (Rp/kg) O=K-M 450 b. Tingkat keuntungan (%) P = (O/K) x 100% 75 Balas jasa untuk faktor produksi Marjin (Rp/kg) Q = (J – H) 700 14 a. Pendapatan tenaga kerja (%) R = (M/Q) x 100% 21,43 b. Sumbangan input lain (%) S = (I/Q) x 100% 14,29 c. Keuntungan pengolah (%) T = (O/Q) x 100% 64,29 Sumber: Data Penelitian (2013)

200


Identifikasi Lahan Terlantar Guna Mendukung Pengembangan Industri Modified Cassava Flour (Mocaf) (Nobrya Husni, Porman Juanda Marpomari Mahulae)

dikeluarkan meliputi biaya pembelian bahan baku sebesar Rp.1.500 per kilogram dan sumbangan input lain sebesar Rp.100 per kilogram. Sumbangan input lain terdiri dari seluruh biaya variabel kecuali biaya bahan baku dan upah tenaga kerja. Input lain di dalamnya mencakup biaya pembelian bahan bakar mesin dan biaya bahan-bahan lainnya. Rasio nilai tambah ubikayu per proses produksi pada pengembang mocaf adalah sebesar 27.27 %. Rasio nilai tambah yaitu perbandingan antara nilai tambah dengan output. Rata-rata keuntungan yang diperoleh dari proses pembuatan mocaf dan gaplek yaitu sebesar Rp.450 per kilogram atau sebesar 75 persen dari nilai tambah produk, artinya setiap satu kilogram ubikayu yang dihasilkan mampu memberikan keuntungan sebesar Rp.450. Balas jasa faktor produksi terdiri atas balas jasa untuk faktor produksi tenaga kerja, input lain, dan tingkat keuntungan. Rata-rata margin dari produksi mocaf dan gaplek adalah sebesar Rp.700 per kilogram ubi kayu, yang terdiri atas 21.43 persen pendapatan tenaga kerja, 14.29 persen sumbangan input lain, dan 64,29 persen keuntungan pengolah mocaf. Marjin keuntungan perusahaan merupakan marjin yang terbesar. Marjin keuntungan perusahaan lebih besar dibandingkan dengan marjin pendapatan tenaga kerja. Hal tersebut menunjukkan bahwa usaha pengolahan ubi kayu menjadi mocaf merupakan usaha padat modal, yang membutuhkan kelengkapan berupa mesin-mesin produksi mekanis sehingga tidak membutuhkan tenaga kerja yang terlalu banyak.

Dari kesepuluh kelompok tani responden pengembang mocaf binaan Badan Ketahanan Pangan Provinsi Sumatera Utara ternyata hanya sebagian kecil yang melakukan proses produksi. Minimnya kemampuan/pengetahuan tentang proses produksi mocaf merupakan alasan utama belum berproduksinya kelompok-kelompok pengembang mocaf tersebut. Kurangnya pasar, rusaknya alat serta terlalu tingginya kebutuhan mesin pengering dalam proses produksi juga merupakan alasan para kelompok tani tidak berproduksi. Analisis nilai tambah yang dilakukan mengambil sampel Kelompok Tani Selasih dari Kecamatan Kisaran Timur Asahan dan Kelompok Tani Rosella dari kecamatan Gunung Malela Simalungun. Penggunaan bahan baku berupa ubikayu dalam proses pembuatan mocaf untuk sekali produksi membutuhkan 500 kilogram. Bahan baku ini biasanya diambil dari hasil produksi pertanian kelompok petani pengembang mocaf itu sendiri. Setelah ditambah biaya proses panen, maka harga bahan baku untuk setiap kilogramnya disamakan dengan harga ubikayu segar di pasaran yaitu Rp.1.500/kg. Hasil produksi dari pengolahan rata-rata bahan baku per proses produksi adalah 150 kilogram produk utama berupa mocaf dan 50 kilogram produk sampingan berupa gaplek (Tabel 7). Berdasarkan analisis nilai tambah dengan metode Hayami ini diketahui bahwa nilai tambah yang dihasilkan petani ubi kayu untuk setiap kilogramnya bila dikonversi menjadi mocaf dan gaplek adalah sebesar Rp.600.-/Kg. Besarnya pendapatan yang diterima oleh tenaga kerja diperoleh dari hasil kali antara koefisien tenaga kerja dengan rata-rata upah tenaga kerja. Besarnya rata-rata upah tenaga kerja per proses produksi yaitu Rp 25.000 per HOK. Besarnya upah tersebut diperoleh dari upah riil yang diterima oleh tenaga kerja secara keseluruhan pada masing-masing proses produksi. Jadi besarnya pendapatan yang diterima oleh tenaga kerja langsung dari pengolahan satu kilogram ubi kayu menjadi mocaf dan gaplek adalah Rp.150 per kilogram, dengan bagian tenaga kerja sebesar 21.43 persen dari nilai tambah. Hasil perhitungan nilai tambah yang diperoleh dari pengolahan ubi kayu menjadi mocaf dan gaplek menunjukkan bahwa besarnya rata-rata nilai tambah pada pengolah tapioka adalah Rp 600 per kilogram bahan baku ubikayu. Perhitungan nilai tambah bertujuan untuk mengetahui besarnya nilai tambah dalam satu kilogram ubi kayu setelah diolah menjadi mocaf dan gaplek. Hal tersebut bertujuan sebagai bahan informasi bagi pengembang mocaf dalam meningkatkan usahanya. Besarnya nilai tambah tergantung pada biaya yang

KESIMPULAN Petani ubi kayu di Sumatera Utara umumnya telah menggunakan lahan-lahan kosong produktif yang sengaja atau tidak sengaja dikosongkan oleh pemilik hak, untuk dikembangkan menjadi lahan pertanian ubi kayu. Jenis-jenis lahan terlantar atau lahan kosong yang sering dimanfaatkan sebagai lahan pengembangan tanaman ubi kayu di lokasi penelitian terdiri atas lahan PT. Perkebunan Nusantara II yang di garap masyarakat, DAS sungai, lahan sutet, pinggiran jalan, pinggiran rel kereta api, lahan bekas tambak udang, lahan bekas pertambangan dan kawasan hutan. Berdasarkan analisis kesesuaian lahan terhadap lahan-lahan kosong produkstif yang biasa digunakan oleh para petani ubi kayu di lokasi penelitian menunjukkan bahwa lokasi penelitian sesuai untuk pengembangan tanaman ubikayu. Untuk mengatasi faktor-faktor pembatas diperlukan peran petani secara proaktif untuk melakukan perlakuan terhadap lahan 201


Inovasi Vol. 11 No 3. September 2014 : 192-203

sehingga dapat meningkatkan produktivitas lahan yang akan berdampak pada peningkatan penghasilan. Teknologi pertanian yang telah berkembang dengan pesat juga merupakan suatu peluang untuk mengembangkan tanaman ubikayu pada lahan yang memiliki faktor pembatas. Output yang diterima olah petani ubi kayu di lokasi penelitian (Kabupaten Langkat, Serdang Bedagai, Batubara, Asahan dan Simalungun) rata-rata sebesar Rp.20,000,000.00 per hektar, dimana pendapatan atas biaya total adalah Rp.15.510.000,00 per hektar sedangkan pendapatan atas biaya tunai adalah Rp.17.310.000,00 per hektar. Nilai R-C rasio atas biaya tunai untuk petani adalah 7,43 artinya setiap Rp 1 biaya yang dikeluarkan maka akan menghasilkan penerimaan sebesar Rp 7,43 dan R-C rasio atas biaya total adalah 4,45. Nilai R-C rasio tersebut menunjukkan bahwa usahatani ubi kayu yang dilakukan oleh para petani di lokasi penelitian adalah efisien. Berdasarkan analisis nilai tambah dengan metode hayami ini diketahui bahwa nilai tambah yang dihasilkan petani ubi kayu untuk setiap kilogramnya bila dikonversi menjadi mocaf dan gaplek adalah sebesar Rp. 600.-/Kg, dengan rata-rata keuntungan sebesar Rp.450 per kilogram atau sebesar 75 persen dari nilai tambah produk. Artinya setiap satu kilogram ubi kayu yang dihasilkan mampu memberikan keuntungan sebesar Rp.450.

b.

c.

d. REKOMENDASI Beberapa hal yang dapat dilakukan untuk Pemanfaatan lahan terlantar dalam pengembangan tanaman ubi kayu (manihot utilissima) dan potensinya untuk pengembangan industri subsitusi terigu menggunakan modified cassava flour (mocaf) adalah: a. Pemangku kebijakan (stakeholders) di Provinsi Sumatera Utara yang bertanggung jawab dalam penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar seperti yang diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 11 tahun 2010 perlu meningkatkan kinerja dalam pendataan lahan-lahan yang termasuk kriteria terlantar di Sumatera Utara. Langkah konkrit awal yang dapat dilakukan adalah dengan menertibkan data luasan lahan menurut fungsinya serta pendataan penguasaan (hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai dan hak pengelolaan) di kawasan Sumatera Utara. Disamping itu, melibatan masyarakat dalam proses inventarisasi lahan-lahan yang terindikasi terlantar dapat mempercepat proses inventarisasi.

Pemerintah Daerah Provinsi Sumatera Utara melalui Dinas Pertanian hendaknya melakukan sosialisasi mengenai pemanfaatan lahan-lahan kosong produktif agar segera diusahakan, mengingat fungsi ekonomi dan sosial yang dimiliki oleh tanah, serta bukti dari analisa yang menerangkan besaran pendapatan usaha tani yang diperoleh untuk setiap pemanfaatan lahan kosong tersebut. Langkah konkrit seperti yang telah dilaksanakan oleh Pemerintah Kabupaten Serdang Bedagai dengan menerbitkan Perda mengenai pemanfaatan lahan kosong merupakan kebijakan yang baik dicontoh. Pembinaan terhadap kelompok tani pengembang mocaf oleh Badan Ketahanan Pangan Provinsi Sumatera Utara merupakan langkah positif yang telah dilakukan Pemerintah Provinsi untuk mendukung program diversifikasi pangan dan sebagai tindak lanjut program manggadong. Namun dengan temuan penelitian terhadap kurang optimalnya pemanfaatan peralatan yang telah diberikan kepada beberapa kelompok tani binaan, maka dianjurkan kepada pihak Badan Ketahanan Pangan Provinsi Sumatera Utara untuk dapat mengevaluasi kembali kebijakan pembinaan terhadap beberapa kelompok tani yang telah menerima peralatan tersebut. Badan Ketahanan Pangan Provinsi Sumatera Utara agar melakukan pendataan terhadap kebutuhan industri mocaf terkait dengan peralatan maupun pelatihan sehingga bantuan yang diberikan tepat sasaran serta berkoordinasi dengan Dinas Koperasi dan UKM dalam hal pemberian bantuan.

UCAPAN TERIMAKASIH Penulis mengucapkan terimakasih kepada Badan Penelitian dan Pengembangan Provinsi Sumatera Utara yang mendanai penelitian ini. Para responden dan semua pihak yang telah berkontribusi dalam pelaksanaan penelitian. DAFTAR PUSTAKA Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian. 2007. Pemanfaatan Lahan Terlantar untuk Menunjang P2BN. Jakarta: Kementerian Pertanian. Badan Pusat Statistik Provinsi Sumatera Utara. 2013. Sumatera Utara Dalam Angka 2012. Medan: BPS Sumatera Utara. Harahap, Hasyrul Aziz. 2013. Analisis Permintaan Beras Di Sumatera Utara. QE Journal Vol. 01 No.03 – 38.

202


Identifikasi Lahan Terlantar Guna Mendukung Pengembangan Industri Modified Cassava Flour (Mocaf) (Nobrya Husni, Porman Juanda Marpomari Mahulae)

Jafar, Nurhaedar. 2012. Diversifikasi Konsumsi Dan Ketahanan Pangan Masyarakat. Program Studi Ilmu Gizi Fakultas Kesehatan Masyarakat. Makassar: Universitas Hasanuddin. Martianto, 2005. Pengembangan Diversifikasi Konsumsi Pangan. Seminar Pengembangan Diversifikasi Pangan. Bappenas, Jakarta. 2005 Peraturan Pemerintah Nomor 11 tahun 2010 tentang penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar sebagai pelaksanaan amanat Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) Nomor 5 tahun 1960 Peraturan Menteri Pertanian Nomor 79/Permentan/OT.140/8/2013 Tentang Pedoman Kesesuaian Lahan Pada Komoditas Tanaman Pangan Pertanian. Pohan, Rizki Rosyanni. 2011. Analisis Pendapatan Usahatani, Pemasaran Dan Nilai Tambah Ubi Kayu (Kasus Desa Cikeas, Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Bogor). Skripsi, Institut Pertanian Bogor. Saragih, Arion Euodia. 2013. Kewaspadaan Nasional Terhadap Pemanfaatan Lahan Terlantar Dapat Mewujudkan Ketahanan Pangan [Online]. Dari: www.kompasiana.com [Diakses: 30 Agustus 2013] Wargiono dan Suyamto. 2009. Kebijakan Pengembangan Agribisnis Ubikayu. Dalam (Wargiono, Hermanto dan Sunihardi) Ubikayu. Inovasi Teknologi dan Kebijakan Pengembangan. Puslitbangtan. Badan Litbang Pertanian.

203


Inovasi Vol. 11 No 3. September 2014 : 204-213

Hasil Penelitian KEBIASAAN MASYARAKAT MENGENAI PELAYANAN KESEHATAN IBU DAN ANAK DI DESA HILIFADӦLӦ HILIFADӦLӦ KABUPATEN NIAS SELATAN SUMATERA UTARA

THE COMMUITY CUSTOM OF MATERNAL AND CHILDREN HEALTH HILIFADӦLӦ SERVICE IN THE HILIFAD ӦLӦ VILLAGE OF SOUTH NIAS DISTRICT, NORTH SUMATRA Helper Sahat P Manalu, Ida Pusat Teknologi Intervensi Kesehatan Masyarakat, Balitbangkes Kemenkes RI Jl. Percatakan Negara No.29 Jakarta Pusat Email:manalu@litbang.depkes.go.id

Diterima: 3 Maret 2014 Direvisi: 10 September 2014 Disetujui:15 September 2014

ABSTRAK Kesehatan ibu dan anak (KIA) perlu mendapat perhatian karena berkaitan dengan status kesehatan masyarakat yang masih rendah. Di Kabupaten Nias Selatan dalam konteks budaya lokal diperkirakan dapat berpengaruh terhadap perilaku KIA termasuk persalinan dan nifas. Selain itu mengingat bahwa salah satu masalah kesehatan yang masih banyak terjadi di Indonesia terutama di daerah pedesaan adalah kasus kematian ibu dan anak karena pertolongan persalinan oleh dukun bayi, suami dan keluarganya. Tulisan ini membahas kebiasaan perawatan kehamilan, persalinan dan nifas dalam bentuk pelayanan kesehatan yang dilakukan oleh masyarakat dalam upaya meningkatkan kesehatan ibu dan anak. Oleh karena itu Kabupaten Nias Selatan terpilih menjadi salah satu daerah penelitian dengan pendekatan etnografi kaitannya dengan kesehatan ibu dan anak (KIA). Desa Hilifadölö Kecamatan Lölöwa’u dipilih untuk dijadikan daerah penelitian berdasarkan pertimbangan kasus kematian ibu dan anak di desa tersebut. Penelitian bersifat kualitatif, untuk itu beberapa orang dijadikan informan sebagai sumber informasi. Wawancara mendalam dilakukan dengan beberapa orang yang terdiri dari ibu hamil, bidan dan dukun beranak dengan sejumlah tokoh kunci sebagai sumber informasi terkait dengan kesehatan ibu dan anak. Hasil penelitian melihat bentuk pelayanan kesehatan yang dilakukan oleh masyarakat dalam pemeliharaan kesehatan ibu dan anak. Pelayanan tradisional seperti dukun, suami atau keluarga masih dipercaya membantu merawat persalinan dengan tujuan meningkatkan kesehatan ibu dan anak karena mereka masih sangat dibutuhkan dalam kehidupan masyarakat. Kata kunci: kebiasaan, pelayanan, kesehatan ibu dan anak

ABSTRACT Maternal and child health (MCH) were related with the lowest community health status that it was needs attention. In South Nias district, the local culture as acontext was expected to influence the behavior of MCH including childbirth and post-partum. Beside the maternal cases and child maternity due to childbirth assistance through a traditional birth attendant’s (TBAs), which was done by the husband and his family especially in rural areas that it is one of health problem was occurred in Indonesia. This paper was discussed about the prenatal care custom, childbirth and post-partum in the health care that it was doneundertaking by community to improve maternal and child health. Therefore South Nias district was selected to be one of research area with the ethnographic approach that it was related to maternal and child health (MCH). Hilifadölö Villageof

204


Kebiasaan Masyarakat Mengenai Pelayanan Kesehatan Ibu Dan Anak di Desa Hilifadӧlӧ Kabupaten Nias Selatan Sumatera Utara (Helper Sahat P Manalu, Ida) Lölöwa'u Sub district was chosen to serve as an area of study based on maternal and child deaths cases in the village. The qualitative methodwas used in the study that it was used a few people as an informant to be a sources. The qualitative methodwas used in the study that it was used a few people as an informant to be a sources. The In-depth interviews were conducted with several people consists pregnant women, midwives and TBAs, including a few of personality core as a sources for information which was related to maternal and child health. The results was constituted of health servicing type, which was performed of the public health for maternal and child health care. Traditional services such as TBAs, husband or family are believed to help childbirth to improving Maternal and child health purpose, because in the existence public that it is still necessary.

Keywords: habits, care, maternal and child health

PENDAHU ENDAHULUAN HULUAN Kematian ibu di Indonesia masih sangat tinggi. Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) menyatakan bahwa pada periode 2008-2012, angka ini mencapai 359 per 100 ribu kelahiran hidup, jauh meningkat dari periode 2002-2003 yang hanya 307 per 100 ribu kelahiran hidup. Notoatmodjo S (2003), menjelaskan ada empat faktor utama yang merupakan determinan derajat kesehatan masyarakat yaitu perilaku/gaya hidup (life style), faktor lingkungan yang terdiri atas keadaan ekonomi, sosial, politik, dan budaya, faktor pelayanan kesehatan, dan faktor genetik atau keturunan. Harus diakui bahwa salah satu sebab mendasar masih tingginya kematian ibu dan anak adalah budaya, selain faktor-faktor yang lain, seperti kondisi geografis, penyebaran penduduk, atau kondisi sosial ekonomi. Masalah Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) memang tidak terlepas dari faktor-faktor sosial budaya dan lingkungan di dalam masyarakat tempat mereka berada. Latar belakang budaya mempengaruhi keyakinan, nilai, dan kebiasaan individu, termasuk sistem pelayanan kesehatan dan cara pelaksanaan kesehatan pribadi. Disadari atau tidak, masih banyak kepercayaan dan pengetahuan tradisional masyarakat yang membawa dampak negatif terhadap kesehatan ibu dan anak. Permasalahan KIA sering kali merupakan masalah kesehatan yang bersifat lokal spesifik, terkait dengan sosial budaya setempat yang perlu digali untuk mengetahui permasalahan mendasar. Masalah KIA tidak terlepas dari faktor-faktor sosial budaya dan lingkungan di dalam masyarakat tempat mereka tinggal, yang mempengaruhi keyakinan, nilai, dan kebiasaan individu termasuk sistem pelayanan kesehatan dan cara-cara pelaksanaan kesehatan pribadi sering kali membawa dampak negatif terhadap kesehatan ibu dan anak. Sebagaimana halnya upaya peningkatan kesehatan

bayi atau anak balita di setiap daerah dengan etnis tertentu, menjadi permasalahan yang memerlukan suatu kajian lebih mendalam dan spesifik menyangkut aspek sosial budaya masyarakat yang bersangkutan (Kasnodihardjo, 2013). Kebijakan pembangunan kesehatan telah diarahkan dan diprioritaskan pada upaya kesehatan dasar, yang lebih menitik beratkan pada upaya pencegahan dan penyuluhan kesehatan. Namun, persepsi masyarakat cenderung masih tetap berorientasi pada upaya penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan. Upaya meningkatkan kesadaran masyarakat untuk dapat menciptakan pola hidup sehat (paradigma sehat) sulit dicapai karena tidak ditunjang oleh faktor sosial ekonomi, tingkat pendidikan dan budaya masyarakat. Pulau Nias berada di wilayah Provinsi Sumatera Utara. Berdasarkan laporan Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Utara dalam lima tahun terakhir kematian ibu di Pulau Nias masih tinggi, dibandingkan dengan wilayah lain di Provinisi yang sama. Kondisi sosial budaya masyarakat Nias diduga menjadi salah satu penyebab masih tingginya permasalahan KIA. Tulisan ini merupakan bagian dari hasil penelitian etnogarfi kaitannya dengan kesehatan ibu dan anak. Pada tulisan ini dibahas mengenai kebiasaan perawatan kehamilan, persalinan dan nifas dalam bentuk pelayanan kesehatan yang dilakukan oleh masyarakat dalam upaya meningkatkan kesehatan ibu dan anak. METODE Penelitian etnografi ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan kualitatif dan observasi partisipasi, dilaksanakan di wilayah kerja Puskesmas Kecamatan Lölöwa’u yang terletak di Desa Hilifadölö, Kecamatan Lölöwa’u Kabupaten Nias Selatan. Dengan menggunakan pendekatan teknik snow ball, penelitian diawali dengan mencari informasi melalui aparat desa setempat yang diharapkan dapat 205


Inovasi Vol. 11 No 3. September 2014 : 204-213

memberikan rekomendasi tentang beberapa orang yang dapat dijadikan sebagai informan awal. Sebanyak 47 orang terpilih meliputi: aparat pemerintah desa, tokoh masyarakat, ibu hamil atau ibu yang pernah hamil dan pernah melahirkan beserta keluarganya, petugas kesehatan beserta jajarannya, dukun bayi dan warga masyarakat biasa. Hasil wawancara mendalam kemudian dimasukan ke dalam tabel matrik data berdasarkan tipe data misalnya pengamatan, catatan lapangan, alat perekam hasil wawancara dan bahan-bahan dokumen. Pengolahan data dimulai dengan melakukan analisis lapangan dan validasi data dengan melakukan trianggulasi untuk kemudian dimasukkan dalam tabel matrik tersebut, yang lebih menekankan pada esensi dari fenomena yang diteliti yang terkait dengan issue pokok dan makna yang berkaitan dengan masalah KIA. Dalam penelitian ini digunakan teknik analisis deskriptif kualitatif dan analisis matriks.

(BPS Kab. Nias Selatan, 2012). Mata pencaharian pokok penduduk di Kecamatan Lölöwa’u sebagian besar adalah berkebun tanaman keras seperti karet, kelapa, dan coklat, menanam padi, dan berkebun tanaman palawija seperti jagung, ubi kayu, dan ubi jalar. Sedangkan jenis ternak yang dimiliki penduduk sebagian besar adalah babi, tetapi meskipun demikian ada juga yang beternak kambing dan sapi. Penduduk Kecamatan Lölöwa’u sebanyak 85,6% beragama Kristen Protestan, 14% beragama Katolik, dan 0,35% beragama Islam. Sedangkan sarana ibadah yang ada adalah terdapat 109 gereja. Sarana kesehatan yang ada di Kecamatan Lölöwa’u adalah satu buah Puskesmas Perawatan Plus Lölöwa’u yang merupakan puskesmas induk, 12 buah Puskesmas Pembantu (Pustu), 2 buah Pos Kesehatan Desa (Poskesdes), dan 51 buah Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu). Sedangkan tenaga kesehatan yang ada disarana kesehatan wilayah puskesmas pada tahun 2011 berjumlah 41 orang. Berdasarkan hasil wawancara mendalam, sebagian besar informan menyatakan bahwa kehamilan, persalinan dan nifas merupakan peristiwa yang istimewa atau anugerah, berkah yang harus disyukuri. Sehingga jika Ibu hamil mereka akan senang dan bahagia. Berikut pernyataan informan tentang arti kehamilan bagi suatu keluarga. “Kehamilan adalah berkah, apalagi di Nias ini jika satu tahun setelah menikah tidak mempunyai anak maka akan bertanya-tanya. Jadi kehamilan adalah berkah yang disyukuri, dan jadi sangat senang dengan kehamilan.” Tentang pantangan selama kehamilan, ada beberapa pantangan yang masih dilakukan antara lain tidak boleh memotong ayam dan babi baik oleh istri maupun suami. Bila pantangan ini dilanggar maka nanti gerak anaknya sama dengan binatang yang dipotong tersebut yaitu akan kejang-kejang. Membunuh ular juga tidak boleh, hal itu merupakan pantangan dari nenek moyang dan sampai sekarangpun masih diikuti. Pantangan lainnya, tidak boleh mandi siang atau terlalu sore dan malam karena takut masuk angin dan sakit, tidak boleh duduk di depan pintu karena dapat berakibat lama melahirkan, dilarang melewati sungai karena nanti bisa kena buru air, artinya ibu akan terkena penyakit dan anaknya tidak bisa dilahirkan. Pantangan makanan selama hamil juga ada, contohnya dilarang makan cabe dan sebaiknya makan garam secukupnya saja. Kalau terlampau banyak makan cabe maka dia akan sakit. Saat hamil juga tidak boleh pelit, dan tidak boleh marah-marah. Katanya nanti kalau pelit, anaknya susah dilahirkan. Jika ibu

HASIL DAN PEMBAHASAN Wilayah administrasi Kecamatan Lölöwa’u terdiri dari 41 desa. Tiap desa terdiri dari sekitar 3 sampai 4 dusun atau lorong. Kecamatan Lölöwa’u merupakan daerah pegunungan yang ditempuh melalui jalan darat dari kota Teluk dalam sebagai Ibu Kota Kabupaten Nias Selatan dengan jarak tempuh ± 63 km dengan waktu tempuh 2 jam. Kondisi jalan menuju kecamatan Lölöwa’u cukup baik, karena jalan beraspal hanya saja sarana angkutan umum belum memadai karena belum ada trayek khusus menuju kecamatan ini, jikalau ada kendaraan umum ke daerah ini sifatnya sewa. Sedangkan desa penelitian terdiri dari 4 lorong pemukiman lorong 1 dan 2 berada dekat jalan raya, sementara lorong 3 dan 4 berada sekitar 5-8 km dari lorong 1 dan 2. Lorong 3, yang sering disebut hiliwa’ele, berada dipegunungan untuk menuju lorong 3 tersebut harus menyusuri pinggir sungai Siwalawa dan dapat ditempuh dalam waktu ± 1 jam dari lorong 2. Sementara lorong 4 yang sering di sebut Hilidaura berada dekat pantai dan berbatasan dengan desa lain, yakni desa Sehe kecamatan Lölöwa’u. Untuk mencapai lorong 4 dapat menggunakan kendaraan roda 2 dan 4, namun harus melewati desa lain (Manalu, dkk., 2012). Sedangkan jalan menuju desa-desa di Kecamatan Lölöwa’u ini ada yang bisa dilalui kendaraan roda dua dan hanya ada yang bisa dilalui dengan berjalan kaki, karena sarana angkutan umum belum memadai. Jumlah penduduk kecamatan Lölöwa’u tahun 2011 adalah 30.366 jiwa yang terdiri dari penduduk laki-laki sebanyak 15.014 jiwa dan 15.325 penduduk perempuan, dengan kepadatan 248,41 jiwa per km2. 206


Kebiasaan Masyarakat Mengenai Pelayanan Kesehatan Ibu Dan Anak di Desa HilifadÓ§lÓ§ Kabupaten Nias Selatan Sumatera Utara (Helper Sahat P Manalu, Ida)

suka maka marah-marah nanti anaknya juga akan memiliki sifat pemarah. Kalau ibunya suka “gosipâ€? waktu hamil maka anaknya nanti susah dilahirkan. Berikut tentang pantangan ibu hamil yang disampaikan oleh seorang informan ibu. “Iya... ada pantangannya, nggak boleh dilangkahi, nggak boleh dilewati orang...tidak boleh dilangkahi kita orang...katanya kalau dilangkahi nanti lewat bulannya, lewat sembilan bulan lahirnya.... terus tidak boleh mandi di sungai kalau jam-jam enam sore itu tidak boleh mandi di sungai katanya...bisa kena angin katanya... anginlah..terus katanya jangan makan yang pedas, nanti keguguran, panas perutnya katanya nanti kalau panas, gugur...makanya jangan makan cabe, nanti bahaya.... tapi kalau akupun, dibilang jangan dimakan tetap saya makan juga....nggak ada buat-buat syukuran kalau hamil, yang penting hamil aja... iya...biasa aja, nggak dipedulikan....â€? Selain pantangan, ada beberapa anjuran yang harus dilakukan ibu selama hamil. Anjuran tersebut adalah melakukan banyak aktifitas (harus banyak bergerak), dan makan makanan bergizi dan banyak makan sayuran serta buah-buahan yang bervitamin agar bayinya sehat. Selain itu anjuran lainnya adalah selama hamil harus banyak berdoa, tidak boleh melawan terhadap suami dan mertua, tidak boleh marah-marah, dan yang pasti harus banyak sabar. Hasil penelitian lainpun menjelaskan bahwa kepercayaan masyarakat terhadap dukun mulai terlihat pada kehamilan mulai bulan pertama, ibu hamil mendatangi dukun untuk pasang jimat. Jimat tersebut berfungsi untuk mengusir setan yang dapat mengganggu kehamilan seorang ibu. Hal ini dilakukan karena dukun dianggap satu-satunya orang yang mampu mengusir setan yang dianggap mengganggu kehamilan seorang ibu, sedangkan bidan desa dianggap tidak bisa mengusir setan tersebut (Yunita dkk 2012). Di desa HilifadĂślĂś, sebagian besar informan mengatakan memakai jimat selama kehamilan yaitu berupa kain yang diberi minyak kemudian diikatkan ke perut dengan tujuan sebagai pelindung ibu dan bayinya. Ada juga bentuk jimat yang lain berupa batu kecil, rambut yang dibungkus kain dan ada bacaan doa-doa dari dukun. Jimat tersebut diminta dari dukun dan diikatkan di pinggang. Mengenai kepercayaan tertentu selama masa kehamilan, masih ada yang mempercayai hal-hal mistik seperti matiana dan buru. uru Masih ada warga yang percaya tapi banyak pula yang tidak mempercayainya.

Menurut mereka yang percaya, matiana merupakan setan dari ibu yang meninggal saat melahirkan dan dia mencari teman-temannya. Menurut salah seorang informan, setan ini tidak hanya mengganggu ibu hamil tetapi matiana ini juga sering ditemui di kebun, mengembek seperti kambing. Supaya dia lari, harus memakinya (talele ia) dan dikatakan padanya â€?jangan dekati akuâ€?. Matiana inilah yang menyebabkan buru (penyakit), seperti buru yang ada air (buru nidanĂś), buru yang ada di udara (buru angi), buru seperti ular (buru ulĂś). Berikut penjelasan informan tentang perbedaan Matiana dengan Buru. “Matiana itu sebenarnya bertujuan mengambil anak yang ada di dalam perut ibunya tapi ini tidak sama dengan buru. Disini banyak yang meninggal karena buru tapi kalau matiana tidak pernah. Karena buru ini mengunci jalan bayi.â€? Perawatan dan penggunaan obat-obatan selama kehamilan dilakukan sebagian besar perempuan hamil. Informan di desa penelitian menyatakan bahwa selama kehamilan ada yang melakukan perawatan tradisional ataupun perawatan modern. Perawatan dengan meminum obat tradisional yang telah dikenal oleh masyarakat, seperti bulu hine safusi, bulu hendrifo, bulu golalu, bulu nazalĂśu. Keempat jenis daun itu direbus dan air rebusannya dijadikan air minum dan dicampur dengan air mandi. Obat tradisional tersebut mulai diminum sejak usia kehamilan 6 bulan, dan dipercaya berguna untuk memperlancar proses kehamilan dan persalinan. Menurut kepercayaan, obat tersebut harus setiap hari diminum agar darah ibu tidak beku. Menurut informan, dia sudah membuktikan khasiatnya, sepanjang kehamilan sampai dengan melahirkan dia tidak pernah ke rumah sakit. Selain itu untuk menghindari dari penyakit yang disebabkan oleh perbuatan manusia seperti buru atau kedatangan matiana, ibu hamil harus menggunakan “obatâ€?. Caranya, ketika usia kehamilan 6 bulan, di telapak kaki ibu hamil ditulis tanda salib dengan menggunakan kapur sirih dan setiap pagi setelah bangun dan kalau mau tidur, rambut ibu hamil digerai biar hal-hal yang buruk jatuh. Harapan dari tindakan tersebut, dengan pertolongan Tuhan dapat terhindar dari hal gaib yang dipasang di jalan. Cara ini juga dapat menghindarkan dari matiana. Setelah ibu melahirkan, di pergelangan kaki dan tangan dibuat lingkaran menggunakan kapur sirih. Cara ini untuk menghindari dari buru yang biasanya bisa menyerang ibu hamil sampai 40 hari setelah melahirkan meskipun ibu tersebut mandi di sungai 207


Inovasi Vol. 11 No 3. September 2014 : 204-213

atau bekerja di ladang. Meskipun demikian, ada juga informan yang melakukan pemeriksaan kehamilannya ke bidan dan minum obatyang diberikan oleh bidan meskipun tidak paham nama dan manfaat obat tersebut. “Di kasih obat waktu periksa kehamilan tetapi tidak tahu obat apa itu, disuntik juga sekali...” Pemeriksaan kehamilan yang dilakukan informan yang pernah hamil dan sedang hamil ternyata beraneka ragam. Ada pula yang sama sekali tidak pernah memeriksakan kehamilan ke petugas kesehatan. Pemeriksaan kehamilan sesuai dengan anjuran adalah minimal satu kali pada trimester pertama, satu kali pada trimester kedua, dan 2 kali pada trimester ketiga. Namun petunjuk ini tidak selalu ditaati. Secara umum pola pemeriksaan kehamilan di Desa Hilifadölö masih kurang baik dan pentingnya pemeriksaan kehamilan kurang mereka pahami. “Pemeriksaan kehamilan pada waktu umur 3 bulan dan 6 bulan, hanya 2 kali.., alasan periksa kehamilan karena sering pening karena memang mengidap kurang darah....” Banyak alasan mengapa mereka tidak mau memeriksakan kehamilan secara rutin ke tenaga kesehatan di pelayanan kesehatan. Diantara alasan yang dikemukakan adalah merasa tidak perlu karena kehamilan merasa sehat tidak ada keluhan, disamping itu juga mereka tidak mempunyai uang untuk biaya transportasi ke bidan praktek atau ke puskesmas karena bidan dan puskesmas berada jauh dari tempat tinggalnya. Berikut disampaikan informan, bahwa alasan ekonomi merupakan salah satu kendala dalam melakukan pemeriksaan kehamilan. Biaya untuk membayar tenaga kesehatan juga mereka keluhkan. “Nggak pernah periksa... karena dananya...kan mata pencaharian kami kan nggak ada...apalagi karet kami nggak, cuma yang kontrak...mana bisa, mana cukup... sedangkan makanan sehari-hari susah...saya nggak punya jamkesmas...” Alasan lain mengapa mereka tidak memeriksakan kehamilannya adalah mereka lebih suka memeriksakan kehamilan ke tukang kusuk (urut) di dukun beranak. Ada yang melakukan kusuk tersebut setiap bulan, dan ada yang mendatangi mengundang tukang kusuk ketika merasa sakit. Tetapi ada juga ibu hamil yang tidak melakukan kusuk sama sekali. Biasanya mereka yang biasa bekerja di kebun pergi ke tukang kusuk agar diperbaiki posisi kehamilannya. Bekerja di kebun menyadap karet dirasa dapat menyebabkan kesakitan pada kehamilan mereka. Ada beberapa orang perempuan yang

menjadi tukang kusuk dan dukun beranak, dan sudah terbiasa mengkusuk para ibu hamil. Informan berikut menceritakan pengalamannya dalam melakukan kusuk. “Periksa hamil ke dukun untuk dikusuk, yaitu umur kehamilan 1 bulan sampai umur 9 bulan setiap seminggu sekali ke dukun untuk dikusuk, karena bekerja cukup keras (menyadap karet) sehingga harus seminngu sekali di kusuk (diurut) ke dukun. Pada saat dikusuk tersebut, hanya menggunakan minyak untuk mengkusuk. Minyak yang dipakai adalah minyak kelapa..” Seringkali mereka mengkombinasikan antara pemeriksaan ke bidan dengan di kusuk oleh tukang kusuk. “Tapi kami selalu periksa di rumah ibu ina Robert sekali sebulan. Selain itu juga saya dikusuk, selama kehamilan saya sudah dikusuk 4 kali sejak usia kehamilan 3 bulan. ” Permasalahan kesehatan yang sering dikeluhkan ibu hamil adalah pusing, rasa mau pingsan, badannya sakit semua, sakit perut karena masuk angin, sakit pinggang, mual-mual, tidak nafsu makan, kaki bengkak-bengkak, dan lain-lain. Penyelesaian keluhan banyak dilakukan melalui kusuk seperti yang dinyatakan seorang informan sebagai berikut ini. “Selama kehamilan anak terakhir ada merasakan sakit, yaitu sakit kepala, sakit kaki, sakit perut.. Tidak berobat ke bidan/puskesmas, tetapi dikusuk di bagian perut...” Pola kegiatan dan pekerjaan ibu hamil di desa penelitian tampaknya tidak banyak berbeda dengan saat tidak hamil. Secara umum ibu yang sedang hamil masih melakukan pekerjaan rumah tangga seperti biasa dan melakukan pekerjaan berat sampai menjelang melahirkan. Berikut pernyataan seorang ibu (informan) tentang kegiatan yang dilakukan selama hamil. “Boleh kerja aku waktu hamil, sering kerja menyadap karet, kerjanya dari jam delapan sampai jam sebelas.., setelah itu pulang ke rumah.., kemudian jam setengah satu kembali kerja sampai jam setengah empat.., kemudian balik ke rumah.. Masih bekerja menyadap (menderes) karet dari umur satu bulan sampai 9 bulan kehamilan...Selain menderes karet, juga mengerjakan pekerjaan rumah, memasak, mencuci, dan mencari makanan babi..” Tentang pola makan ibu hamil, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa jenis makanan sehari-hari yang dimakan oleh ibu hamil masih kurang baik karena biasanya mereka hanya makan dengan ikan asin dan sayur daun ubi kayu. Tentunya hal ini tidak sebanding dengan kebutuhan yang harus dipenuhi untuk 208


Kebiasaan Masyarakat Mengenai Pelayanan Kesehatan Ibu Dan Anak di Desa HilifadÓ§lÓ§ Kabupaten Nias Selatan Sumatera Utara (Helper Sahat P Manalu, Ida)

kebutuhan makanan ibu dan bayi. Di sisi lain dalam masa kehamilannya selain harus mengerjakan pekerjaan rumah tangga, ibu juga harus bekerja keras membantu keluarga dengan membantu menderes (menyadap) karet sebagai mata pencaharian keluarga, dan mencari daun ubi jalar untuk makanan ternak babi mereka. Pekerjaan yang berat tersebut tentunya sebagai salah satu faktor resiko yang dapat membahayakan kehamilan ibu seperti terjadinya keguguran. Oleh karena itu tidak mengherankan jika selama ibu hamil, ibu sering merasakan sakit dan pergi ke dukun beranak untuk dikusuk (diurut) sebagai akibat dari pekejaan tersebut. Berdasarkan hasil wawancara pada sebagian besar informan yang pernah melahirkan, penolong persalinan adalah dukun beranak dan tempat melahirkannya sebagian besar adalah di rumah ibu yang melahirkan. Ada juga ibu yang melahirkan ditolong oleh suaminya sendiri. Rasa percaya bahwa dukun dapat menolong mereka karena sudah terbiasa bertemu dukun yang menolong orang melahirkan dan mengkusuk ibu ketika hamil. Beberapa ibu diketahui melahirkan ditolong suaminya sendiri. Namun demikian terdapat juga ibu melahirkan ditolong oleh bidan praktek. Pertolongan bidan kadang dilakukan karena terpaksa seperti pengakuan seorang ibu berikut ini. “Biasanya yang menolong persalinan adalah dukun dan bidan. Alasan memilih dukun karena baru pertama melahirkan dan juga dukun ini bisa mengusuk dan mengatur posisi bayi. Trus bisa juga mengurangi biaya makanya anak pertama dan kedua ditolong oleh dukun. Tapi anak ketiga dan keempat dibantu oleh bidan, alasannya karena waktu mau melahirkan sudah malam dan dukunnya sudah tua jadi gak bisa jalan, terpaksalah kami bawa ke Puskesmas.� Bahkan seringkali mereka memanggil bidan untuk menolong persalinan di rumah karena mengalami masalah dalam melahirkan. Jika bidan tidak bisa menolongnya, maka akan dirujuk ke RS Gunung Sitoli atau RS Saint Lukas di Teluk Dalam yang berjarak kurang lebih 63 km dari Kecamatan Lolowa'u. “Kalau warga di sini kalau mau melahirkan kebanyakan di rumah, kalau yang bantu persalinan kadang ina ini juga bisa bantuin untuk melahirkan pake alat bambu untuk memotong pusat bayinya...�. Menurut bidan puskesmas, terkadang alotnya musyawarah dalam keluarga saat pengambilan keputusan merujuk ke rumah sakit untuk ibu

bermasalah dengan persalinan yang ditolong dukun beranak, mengakibatkan kematian ibu dan bayi akibat keterlambatan pertolongan di RS. Namun demikian, masih saja ada anggapan masyarakat bahwa kematian ibu atau bayi disebabkan hal gaib akibat perbuatan orang lain. Penuturan berikut menguatkan kenyataan tersebut. “....pernah juga di sini pas ibu mau melahirkan duaduanya mati, ibu dan anaknya, bulannya sudah pas untuk melahirkan tapi nggak sempat dibawa ke rumah sakit, dia meninggal karena sakit karena penyakit-penyakit dari luar gitu, dikasi-kasi orang gitu, makanya bisa mati dia... anaknya masih belum sempat dilahirkan, masih di perut...darah ibu itu keluar terus...� Gambaran beberapa hal di atas menunjukkan bahwa masih banyaknya ibu yang melahirkan bukan di tenaga kesehatan. Alasan mengapa mereka melakukan persalinan ditolong bukan oleh tenaga kesehatan tetapi oleh dukun dan suaminya adalah karena masih kurangnya pengetahuan mereka tentang pentingnya menjaga kesehatan baik ketika hamil, melahirkan, maupun setelah melahirkan. Faktor lain adalah kurangnya kemampuan mereka dalam mengakses tenaga dan fasilitas kesehatan dikarenakan jarak rumah mereka yang cukup jauh dan sulit terhadap tenaga dan fasilitas kesehatan. Mereka keberatan terhadap ongkos yang dikeluarkan untuk mencapai tenaga dan fasilitas kesehatan tersebut, dan juga keberatan harus membayar jika melahirkan di bidan praktek. Hal tersebut sejalan dengan yang dikemukakan oleh Lestari H (2013) mengatakan bahwa masyarakat pedesaan di Indonesia umumnya sulit untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang dapat menyediakan persalinan aman dikarenakan jarak antara tempat pelayanan persalinan dengan kediaman ibu hamil sangat jauh, selain juga kendala keuangan dan ketersediaan alat transportasi.. Adanya rasa kepercayaan masyarakat terhadap dukun beranak karena dukun beranak sudah terbiasa menolong orang yang melahirkan dan terbiasa mengkusuk ibu ketika hamil. Hasil tersebut tidak berbeda dengan penelitian lain seperti penelitian di Kabupaten Tangerang yaitu hampir sebagian besar persalinan ditolong oleh dukun bayi. Kenyataan hampir semua masyarakat Indonesia baik yang tinggal di pedesaan maupun perkotaan sekalipun lebih senang ditolong oleh dukun. Hal tersebut disebabkan oleh tradisi dan adat istiadat setempat (Rina Anggorodi, 2009).

209


Inovasi Vol. 11 No 3. September 2014 : 204-213

Menurut para informan, tidak ada tradisi khusus yang dilakukan ibu pada saat nifas. Juga tidak ada obat-obatan yang diminum selama nifas, hanya jika diberi obat penambah darah dari bidan. Sebagian besar mengatakan bahwa lama masa nifas mereka rata-rata 2 minggu. Tidak ada anjuran tertentu yang harus dilakukan selama masa nifas. Anjuran yang sering diterima adalah untuk meningkatkan air susu ibu. Caranya dengan banyak mengkonsumsi kuah ayam dan banyak makan sayur seperti sayur daun ubi, dan daun pepaya. Selama masa nifas pada umumnya ibu belum melakukan kegiatan rumah tangga.Suami dan mama mertua yang menangani pekerjaan rumah seperti mencuci pakaian, mencuci piring, memasak, dan mengurus anak-anak. Tidak semua informan menyatakan terdapat larangan atau yang tidak boleh ibu lakukan selama masa nifas, tetapi ada juga beberapa larangan selama masa nifas. Larangan tersebut antara lain, tidak boleh keluar rumah selama satu minggu setelah melahirkan, karena bisa terkena penyakit. Larangan lainnya setelah melahirkan adalah ibu tidak boleh makan cabe, karena jika ibu makan cabe maka perutnya panas yang menyusui nanti. Ibu tidak boleh kerja menyadap karet selama bayi satu minggu setelah melahirkan, tidak boleh membuang pembalut di sembarangan tempat karena ditakutkan ada orang tidak baik yang mengambilnya dan jahil membuat ibu nifas menjadi perdarahan kembali, dan tidak boleh berjalan jauh karena jika ibu berjalan jauh dikhawatirkan perut ibu jatuh/turun. Larangan yang ditegakkan selain kebiasaan termasuk terkait dengan makanan yang boleh atau tidak boleh dikonsumsi. Berikut ini pengakuan seorang ibu tentang larangan yang harus dia lakukan. “Setelah melahirkan, kata mama mertua gak boleh jalan jauh nanti perutnya jatuh, kalau berdiri jangan berdiri tegak harus sedikit dicondongkan nanti perutnya jatuh...Dibilang mama jangan makan buah rambutan nanti anaknya sakit, gak boleh makan buah jeruk, nanti sakit anaknya...� Hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa tidak ada budaya atau tradisi tertentu yang dilakukan selama masa nifas. Beberapa pantangan memang ada yang dilakukan selama masa nifas yang bertujuan untuk menjaga kesehatan ibu dan bayi. Beberapa hal yang harus diperhatikan dari hasil penelitian ini adalah masih rendahnya kunjungan ibu ke tenaga kesehatan setelah melahirkan. Selain itu masih rendahnya pemakaian alat kontrsepsi KB untuk mengatur kehamilan berikutnya.

Pengetahuan yang kurang baik terhadap sesuatu hal akan menyebabkan seseorang mempunyai sikap negatif dan berperilaku negatif. Rendahnya pengetahuan masyarakat tentang kehamilan dan masih rendahnya sikap tentang pentingnya melahirkan di tenaga kesehatan menyebabkan mereka masih menggunakan bukan tenaga kesehatan pada saat melahirkan. Pengetahuan ibu hamil yang masih rendah tersebut memang terkait dengan pendidikan ibu yang rata-rata masih rendah yang sebagian besar tamatan SD. Hal terebut terkait dengan budaya yang masih melekat di daerah penelitian bahwa nilai anak laki-laki lebih berharga dibandingkan dengan anak perempuan, karena anak laki-laki sebagai penerus keturunan atau marga dikeluarga. Kesempatan anak perempuan untuk mengeyam pendidikan masih rendah dibandingkan anak laki-laki. Hal ini terjadi karena adanya “kebiasaan� untuk mengutamakan pendidikan lakilaki dari pada anak perempuan. Pengetahuan yang masih rendah tersebut juga menunjukkan mereka masih kurang terpapar oleh informasi kesehatan terutama yang berkaitan dengan kehamilan dan melahirkan sehingga mereka masih memilih melahirkan dengan bukan tenaga kesehatan. Hasil penelitian ini sesuai dengan teori tentang pendidikan menurut Notoatmodjo Soekidjo (2003), bahwa semakin rendah pendidikan maka penilaian akan kesehatan sangat sulit untuk dicapai, terutama dalam hal ini adalah pendidikan ibu yang masih rendah, sehingga sulit menerima informasi-informasi dan tekhnologi baru. Apalagi jika diperkuat dengan adanya pengalaman atau kebiasaan dalam keluarga sebelumnya seperti ibu atau ibu mertua atau saudara perempuan lainnya yang sudah terbiasa menggunakan dukun beranak atau bukan tenaga kesehatan sebagai penolong persalinan, sehingga contoh tersebut memperkuat mereka untuk memilih dukun beranak. Menurut Iram Barida M dkk (2007), bahwa pendidikan yang rendah menyebabkan seseorang acuh tak acuh terhadap program kesehatan. Walaupun ada sarana persalinan yang baik, belum tentu masyarakat yang berpendidikan rendah tahu menggunakannya, mereka merasa tidak perlu untuk memeriksakan kehamilannya atau melahirkan di pelayanan kesehatan. Juga berhubungan dengan pola pencarian pertolongan dimana makin tinggi pendidikan mereka lebih banyak mencari pertolongan nakes. Oleh karena itu pentingnya peningkatan promosi kesehatan berupa pemberian pendidikan dan pemahaman kesehatan yang berkaitan dengan 210


Kebiasaan Masyarakat Mengenai Pelayanan Kesehatan Ibu Dan Anak di Desa HilifadÓ§lÓ§ Kabupaten Nias Selatan Sumatera Utara (Helper Sahat P Manalu, Ida)

pentingnya melahirkan dengan tenaga kesehatan. Selain faktor pendidikan, faktor ekonomi masyarakat juga mempengaruhi kemampuan dalam mengakses tenaga kesehatan. Kurangnya kemampuan secara ekonomi untuk membayar tenaga kesehatan menyebabkan mereka memilih dukun sebagai tenaga penolong pada saat melahirkan. Program Jaminan Persalinan (Jampersal) memang sudah diterapkan di wilayah kerja Puskesmas disamping program pengobatan gratis di puskesmas, tetapi sayangnya program Jampersal tersebut belum maksimal pelaksanaannya. Ketidak maksimalan tersebut diantaranya adalah masih adanya potongan uang klaim Jampersal sehingga uang klaim yang diterima bidan dibawah standar klaim yang berlaku. Jika bersalin di bidan atau tenaga kesehatan, uang klaim jampersal hanya sebagai uang jasa pertolongan saja, sehingga peralatan untuk ibu dan bayi misalnya kain untuk melahirkan, harus ditanggung oleh pasien. Oleh karena itu, para bidan atau tenaga kesehatan praktek masih memungut bayaran dari pasien yang melahirkan. Namun demikian, kalaupun ada pasien yang memang benar-benar tidak mampu, maka tidak dipungut bayaran sama sekali atau semampunya pasien bisa membayar. Akibat ketidakmampuan membayar bidan atau tenaga kesehatan praktek tersebut, mereka lebih memilih dukun beranak sebagai penolong pada saat melahirkan. Kendala lain adalah masalah administrasi seperti sering keluarga tersebut tidak mempunyai KTP sebagai salah satu syarat untuk pengurusan klaim Jampersal. Untuk halhal tersebut, maka diperlukan perbaikan pelaksanaan program Jampersal. Di Kabupaten Nias Selatan, peran bidan masih kecil sebagai penolong kelahiran bukan karena biaya yang lebih mahal, namun karena jumlah bidan yang tidak sebanding dengan kebutuhan dan lokasi persebaran bidan yang jauh dari desa atau dusun tempat tinggal masyarakat yang akhirnya semua jadi mahal. Demikian data persentase balita menurut penolong waktu lahir di Kabupaten Nias Selatan tahun 2010 sebagai berikut, persalinan yang ditolong oleh tenaga kesehatan seperti dokter dan bidan dapat dianggap lebih baik dari yang ditolong oleh dukun, famili atau lainnya. Penolong persalinan terbanyak di Kabupaten Nias selatan pada tahun 2010 masih didominasi oleh dukun dan sanak famili sebanyak 31,01 % dan 35,08 %. Persalinan yang dibantu oleh bidan berada pada posisi ketiga dengan 27,96 % (IPM Kab.Nias Selatan 2010). Dukun masih menjadi penolong persalinan yang cukup dominan terutama di daerah pedesaan, tidak terkecuali di Desa

HilifadĂślĂś. Faktor sosial budaya, seperti pendidikan penduduk yang rata-rata hanya SMP, kepercayaan terhadap mahluk gaib pengganggu kehamilan dan persalinan yang masih tinggi seperti matiana dan buruh sebagai penyebab kematian ibu, ekonomi masyarakat yang kurang baik, lapangan kerja yang tidak memadai, dan jarak menuju fasilitas kesehatan yang tidak terjangkau oleh penduduk yang tinggal di hutan/perkebunan (Manalu dkk 2012). Berbicara mengenai masalah kesehatan di Indonesia, Nico S. Kalangi (1994), bahwa kenyataan pelayanan dan perawatan yang diberikan belum seluruhnya memenuhi syarat sesuai dengan harapan, baik dari segi masyarakat maupun organisasi pelayanan kesehatan primer. Berbagai masalah kesehatan dikalangan penduduk masih memerlukan penanganan yang intensif, sedangkan diharapkan institusi kesehatan yang dimaksud, seperti puskesmas, puskesmas pembantu, posyandu, dapat menangani secara memuaskan. Tidak menutup kemungkinan apa yang disampaikan oleh dukun bayi berdampak buruk baik pada kondisi kesehatan si ibu maupun bayi jika konsep-konsep yang disampaikan oleh dukun ke pasien justru berlawanan dengan apa yang dianjurkan oleh tenaga medis secara bio medikal tentang praktek pemeliharaan kesehatan untuk ibu sehabis melahirkan atau bayi/anak. Namun demikian dengan masih adanya kepercayaan warga masyarakat terhadap dukun bayi hal ini dapat menjadi sesuatu hal yang positip selama ke dua sistem pelayanan kesehatan yang ada dapat dipadukan melalui sistem kemitraan sehingga dapat menunjang program KIA. Dukun bayi umumnya merupakan orang yang cukup dikenal di desa, dianggap sebagai orang-orang tua yang dapat dipercayai dan sangat besar pengaruhnya pada keluarga yang mereka tolong. Barangkali seorang dukun bayi dalam menjalankan perannya telah dapat menumbuhkan jalinan emosional terhadap pasien yang membutuhkan jasanya dan ini yang tidak dimiliki dan tidak dapat dilakukan oleh seorang tenaga medis dalam melayani pasien di masyarakat seperti bidan ataupun dokter. Oleh karena itu, perlu peningkatan penjangkauan oleh tenaga kesehatan ke rumah-rumah yang sulit dijangkau tersebut meskipun dengan demikian diperlukan pengorbanan lebih dari petugas kesehatan. Nurhafidah (2009), juga mengatakan untuk meningkatkan pelayanan perawatan masa nifas kepada ibu rumah tangga, perlu adanya penempatan tenaga kesehatan yang dapat menjangkau masyarakat di daerah-daerah pedalaman, terpencil 211


Inovasi Vol. 11 No 3. September 2014 : 204-213

dan terisolir. Disamping itu perlu dikaji pula hambatan di lapangan yang ditemui oleh para bidan dalam melakukan pencatatan kematian disamping tugas pokoknya untuk memberikan pelayanan kesehatan ibu dan anak tetap berjalan lancar. Dalam rangka peningkatan kualitas dan mutu pelayanan guna meningkatkan angka Kesehatan Ibu dan Bayi (KIA) diperlukan pendekatan-pendekatan khususnya sosial budaya, untuk itu sebagai tenaga kesehatan khususnya calon bidan agar mengetahui dan mampu melaksanakan berbagai upaya untuk meningkatkan peran aktif masyarakat agar masyarakat sadar pentingnya kesehatan. Di negara-negara maju, terdapat unsur-unsur kebudayaan yang dapat menunjang tingginya status kesehatan masyarakat seperti pendidikan yang optimal, keadaan sosial-ekonomi yang tinggi, dan kesehatan lingkungan yang baik. Dengan demikian, pelayanan kesehatan menjadi sangat khusus sehingga dapat memenuhi kebutuhan masyarakat.

2. Perlu adanya peningkatan penjangkauan ke masyarakat oleh petugas kesehatan selain adanya usaha peningkatan pengetahuan kesehatan dengan cara pemberian Komunikasi Informasi dan Edukasi (KIE) kepada masyarakat. UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih ini kami sampaikan kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Nias Selatan, Kepala Puskesmas Kecamatan Lölöwa’u beserta stafnya, dan Kepalakecamatan Lölöwa’u yang telah memfasilitasi serta sarana sehingga terselenggaranya penelitian tersebut. Tidak kalah pentingnya juga kami ucapkan terima kasih kepada Kepala Pusat Humaniora Dan Pemberdayaan Masyarakat yang memberikan kesempatan sehingga dapat menyelesaikan penelitian ini. Juga ucapan terima kasih kami sampaikan kepada rekan sejawat anggota tim peneliti terutama yang telah bersama-sama di lapangan dilapangan maupun pembuatan laporan akhir. Kami ucapkan terima kasih kepada Bapak DR. dr. Trihono M.Sc selaku Kepala Badan Penelitian Dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan pada saat penelitian berlangsung yang telah memberikan dorongan sejak awal penelitian ini dimulai hingga selesai. Ucapan terima kasih juga kami tujukan kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Nias Selatan, Kepala Puskesmas Kecamatan Lölöwa’u beserta stafnya, dan Kepala kecamatan Lölöwa’u yang telah memfasilitasi membantu kegiatan penelitian ini dilapangan.

KESIMPULAN Memperhatikan kondisi kehidupan sebagian masyarakat di wilayah penelitian, tampak bahwa kesehatan ibu dan anak tidak lepas dari kondisi geografi dan sosial budaya, meliputi faktor jarak rumah dari fasilitas dan tenaga kesehatan yang cukup jauh serta medan yang sulit, faktor kemampuan ekonomi yang rendah sehingga tidak dapat mengakses fasilitas dan tenaga kesehatan. Kurangnya pengetahuan, pemahaman dan kesadaran masyarakat mengenai kesehatan masih tampak terlihat dengan masih adanya kepercayaan terhadap matiana dan buru sebagai penyebab kematian ibu sehingga mereka lebih memilih dukun sebagai tempat meminta pertolongan dalam hal melahirkan. Dan hal lain yang perlu diperhatikan kurangnya kehadiran dan petugas kesehatan di masyarakat, untuk itu perlu dibutuhkan tenaga kesehatan yang memiliki kemampuan komunikasi yang sesuai dengan kondisi sosial budaya dari masyarakat setempat serta anggaran yang memadai. Upaya pelayanan kesehatan yang diberikan oleh puskesmas secara umum dengan belum diterima oleh sebagian masyarakat dengan baik. Hal tersebut diantaranya disebabkan luasnya wilayah kerja puskesmas dengan jumlah desa cukup banyak.

DAFTAR PUSTAKA PUSTAKA Anggrodi Rina. 2009. Dukun Bayi Dalam Persalinan Oleh Masyarakat Indonesia, Makara, Kesehatan, Vol. 13, No. 1, Juni 2009: 9-14. Badan Pusat Statistik (BPS). 2012. Nias Selatan dalam Angka Tahun 2011. Diakses tanggal 25 September 2014 dari http://niasselatankab.bps.go.id/index.php?hal=publikasi_de til&id=1 Iram Barida Maisya, Dwi Hapsari Tjandrarini. 2007. Faktorfaktor yang berhubungan dengan pemanfaatan dukun bayi sebagai penolong persalinan di Kabupaten Sukabumi, Jurnal Ekologi Kesehatan, Vol. 6 No 3.h. 636-644. Indeks Pembangunan Manusia Kabupaten tahun 2010.

REKOMENDASI 1. Dalam rangka meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan kepada masyarakat, maka perlu peningkatan kualitas dan kuantitas tenaga kesehatan di wilayah kerja Puskesmas Lölöwa’u.

Nias Selatan

Kasnodihardjo dan Tri Juni Angkasawati. 2013. Upaya Pencegahan dan Penyembuhan Penyakit Pada Bayi dan Anak Berdasarkan Konsepsi Budaya, Jurnal Ekologi Kesehatan, Vol. 12 No.2.h. 139-150

212


Kebiasaan Masyarakat Mengenai Pelayanan Kesehatan Ibu Dan Anak di Desa Hilifadӧlӧ Kabupaten Nias Selatan Sumatera Utara (Helper Sahat P Manalu, Ida)

Lestari H. Ida dan Manalu Helper SP.2013. Perempuan Nias Selatan Di Antara Dua Pilihan; Modernisasi Dan Tradisi. Dalam:Tri Juni A.dkk editor. Simpang Jalan Pelayanan Kesehatan Ibu & Anak. Kanisius, hal 81-103 Manalu, Helper Sahat P, Ida, Oktavianus P, Arif Kristian Lawolo, Lestari Handayani. 2012. Etnik Nias Desa Hilifadölö Kecamatan Lölöwa’u Kabupaten Nias Selatan, Provinsi Sumatera Utara. Jakarta: Badan Litbang Kesehatan Kemenkes RI Notoatmodjo Soekidjo. 2003. Pendidikan Kesehatan. Jakarta: Penerbit Rineka Cipta,

Dan Perilaku

Notoatmodjo Soekidjo. 1989. Perilaku Sakit Badan Jakarta: Penerbit FKM UI. Nurhafidah. 2009. Peranan Bidan Desa Dalam Usaha Meningkatkan Pelayanan Kesehatan Masyarakat Desa Nancawa Kecamatan Simeulue Timur Kabupaten Simeulue, Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik USU Medan. Diakses tanggal 23 September 2014 dari http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/14959/1/ 09E01095.pdf S Kalangi Nico. 1994. Kebudayaan dan Kesehatan, Jakarta: Megapoin. Yunita F. Fahmi I dan Niniek Lely P. 2013. Peran Dukun Kampung Gayo Dalam Kesehatan Ibu. Dalam: Tri Juni A. dkk editor. Simpang Jalan Pelayanan Kesehatan Ibu & Anak. Kanisius, hal 31-46

213


Inovasi Vol. 11 No 3. September 2014 : 214-224

Tinjauan Kepustakaan HASIL KINERJA DAN KOMPETENSI PENELITI DALAM MEMPUBLIKASIKAN KARYA TULIS ILMIAH

(RESEARCHERS’s RESEARCHERS’s PERFORMANCE AND WRITING COMPETENCY IN PUBLISHING ACADEMIC WRITING) WRITING) Subijanto Pusat Penelitian Kebijakan Badan Penelitian dan Pengembangan, Kemdikbud Jl. Jenderal Sudirman, Gedung E lantai 19, Senayan-Jakarta Email : subijanto2012@gmail.com

Diterima: 04 Juni 2014; Direvisi: 23 Juli 2014; Disetujui: 15 Agustus 2014

ABSTRAK Salah satu kompetensi peneliti yang dipersyaratkan yaitu publikasi penulisan karya tulis ilmiah (artikel) pada jurnal ilmiah yang terakreditasi masih belum optimal. Hal ini terindikasikan masih rendahnya frekuensi peneliti dalam mempublikasikan artikel melalui Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan Balitbang setiap tahunnya. Tujuan penulisan artikel ini yaitu untuk menganalisis kinerja dan penguasaan kompetensi peneliti Balitbang dalam mempublikasikan karya tulis ilmiah dalam wujud artikel hasil penelitian dan/atau pemikiran/gagasan yang diterbitkan dalam Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan Balitbang Kemendikbud selama sepuluh tahun terakhir. Hasil studi menunjukkan bahwa prosentase peneliti yang mempublikasikan artikel sejak tahun 2004 sampai dengan tahun 2013 secara berturut sebagai berikut: a) 15,96%; b) 8.99%; c) 18.05%; d) 24.44%; e)29.84%; f) 26.66%; g) 38,53%; h) 43,3%; i) 40%; dan j) 55%. Prosentase total rata-rata peneliti hanya mencapai 29,57.97%. Hal ini mengindikasikan bahwa kompetensi peneliti di Balitbang dalam mempublikasikan artikel masih belum sesuai yang diharapkan, yaitu 60%. Dengan sedikitnya publikasi artikel dalam jurnal ilmiah, mengindikasikan para peneliti kurang memiliki kompetensi dalam penulisan artikel ilmiah. Agar peneliti Balitbang dapat meningkatkan kompetensi penulisan artikel yang dipublikasikan melalui jurnal ilmiah, disarankan agar peneliti – peneliti senior membimbing penulisan artikel kepada peneliti junior. Kata kunci : kinerja, kompetensi, peneliti, karya tulis ilmiah, Balitbang Kemendikbud

ABSTRACTS One of the required competencies for researcher is publishing academic writing in the accredited scientific journals. Nowdays, The performance of the researchers in the Research and Development Board, the Ministry of Education and Culture has yet to meet the optimal requirement. This is indicated by the low frequency of researchers’s academic writing publications in a year. The aim of this article is to analyse the performance and writing competency of researchers in the Research and Development Board, the Ministry of Education and Culture in publishing their scientific papers based on research and development or innovative ideas/literature review through the Journal of Educational and Culture during the last ten years (2004 to 2013). The following data shows researchers’s frequency in publishing scientific articles in the journal from 2004 to 2013 on average was, respectively, as follows: a) 15.96%; b) 8.99%; c) 18.05%; d) 24.44%; e) 29.84%; f) 26.66%; g) 38,53%; h) 43,3%; i) 40% 2012; and j) 55%. Therefore, the total average percentage of the researchers of the Research and Development Board in publishing scientific paper through the Educational and Culture Journal during ten years was 29,57%. This data indicates that the scientific writing skill of the researchers in the Research and Development Board has yet to meet the optimal expectation (less than 60 %). This also indicates that the researchers lack the competency in academic paper writing. Therefore, to improve their competencies it is suggested that the senior researchers give guidance in academic paper writing for junior researchers. Keywords:

performance, competency, researcher, development board MoEC

214

scientific

writing

skill,

Research

and


Hasil Kinerja dan Kompetensi Peneliti Dalam Mempublikasikan Karya Tulis Ilmiah (Subijanto)

kompetensi yang dipersyaratkan oleh Peraturan Ka.LIPI Nomor 04/E/2009, sehingga hasil penelitiannya dapat dijadikan bahan pertimbangan kebijakan yang diperlukan secara tepat waktu dan tepat guna (bermanfaat). Dengan kata lain, sesuai dengan tugas dan fungsi Balitbang Kemendikbud, maka hasil penelitian peneliti Balitbang diharapkan memiliki kontribusi terhadap rumusan opsi kebijakan sehingga bermanfaat bagi pimpinan institusi dalam menyusun sebuah kebijakan dan/atau menyempurnakan kebijakan yang sedang berlangsung (Subijanto, 2011). Dalam rangka peningkatan kemampuan dan membangun keterampilan (capacity building) perlu ada program khusus yang dipogramkan secara sistematis dan komprehensif bagi peneliti. Melalui program dimaksud, kualitas penelitian yang dihasilkan dapat dikaitkan dengan kepentingan institusi dalam konteks keseimbangan yaitu terpenuhinya kelangsungan hidup organisasi/institusi di satu sisi dan terpenuhinya tanggung jawab sosial peneliti di sisi lain, terutama dalam mewujudkan masyarakat berbasis informasi (information based society) dan masyarakat berbasis pengetahuan (knowledge based society) serta masyarakat berbasis penelitian (research based community). Bagi peneliti, indikator peningkatan kinerja peneliti dapat dilakukan dengan menggunakan tiga ukuran, yaitu ukuran hasil kerja (output), ukuran perkembangan hasil kerja (outgrowth), dan ukuran manfaat hasil kerja (outcome). Bagi lembaga-lembaga penelitian dapat melakukannya dengan satu ukuran, yakni ukuran manfaat hasil kerja (outcome) peneliti, khususnya untuk kepentingan masyarakat banyak (Friedri, Ebert, dan Stiftung, 2005 dalam Subijanto, 2011). Selain itu, peneliti perlu penguasaan keterampilan untuk mengakses internet (internet/web-based) seperti mengoperasikan email, mailing list, newsgroup, dan menyusun laporan riset dalam format internet (Subijanto, 2011). Mengingat luasnya kajian terkait dengan kinerja dan kompetensi peneliti, dalam kajian ini dibatasi pada hasil kinerja peneliti dalam mempublikasikan karya tulis ilmiahnya (KTI) melalui Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan Balitbang Kemendikbud. Keberadaan Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan Balitbang Kemendikbud yang telah mendapat izin terbit sejak tahun 1986 (SK Menpen No.1045/SK/Ditjen PPG/STT/1986) merupakan jurnal ilmiah yang pada awalnya diperuntukkan bagi staf Balitbang khususnya sebagai wahana untuk mempublikasikan

PENDAHULUAN Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) sebagai salah satu dari 9 (sembilan) unit utama di lingkungan Kemendikbud Pusat, memiliki tugas melaksanakan penelitian dan pengembangan di bidang pendidikan dalam rangka mendukung kebijakan yang digariskan oleh Mendikbud pada (Kepmendikbud No. 1/2012 jo. No. 89/2012, 2012). Berkaitan tugas tersebut, Balitbang Kemendikbud berfungsi: a) merumuskan kebijakan penelitian dan pengembangan pendidikan; b) melaksanakan penelitian dan pengembangan pendidikan; c) melaksanakan koordinasi penelitian dan pengembangan pendidikan; dan d) melaksanakan urusan administrasi Badan. Dalam bidang penelitian pendidikan, Balitbang memiliki kewenangan untuk: 1) memformulasikan kebijakan penelitian dan pengembangan pendidikan; 2) merencanakan dan melaksanakan penelitian dan pengembangan pendidikan; 3) melaksanakan koordinasi penelitian dan pengembangan pendidikan; serta 4) mengevaluasi dan melaporkan hasil penelitian dan pengembangan pendidikan (Kepmendikbud Nomor 1/2012 jo.Nomor 89/2012, 2012). Idealnya, peningkatan kinerja dan kompetensi peneliti perlu dilakukan evaluasi secara terus-menerus agar kinerja peneliti dalam lingkungan Balitbang memiliki peran dan fungsi sebagaimana organisasi profesi lainnya. Oleh karena itu, semestinya peneliti dituntut untuk memiliki kriteria: a) bekerja penuh waktu (full-time); b) sangat berdedikasi pada tujuan profesinya; c) memiliki standar profesi; d) diterima dalam komunitas profesi setelah mengikuti pendidikan formal yang khusus dan mendapatkan seperangkat pengetahuan khusus (ijazah/surat keterangan); e) melayani masyarakat; dan f) pekerjaan yang diampunya memiliki tingkat otonomi tinggi (Udi Rusadi dalam Subijanto, 2011). Setelah tunjangan peneliti dinaikkan maka kinerja peneliti seharusya semakin meningkat atau lebih produktif (Keppres. Nomor 100/2012). Oleh karena itu, dalam melaksanakan penelitian untuk menghasilkan data dan informasi yang berkualitas termasuk menyediakan rumusan hasil penelitian dan/atau opsi kebijakan, peneliti diharapkan mampu menghasilkan penelitian yang dapat dijadikan bahan pertimbangan kebijakan bagi pengambil keputusan. Atas dasar harapan tersebut, peneliti sekurang-kurangnya dituntut untuk memiliki 215


Inovasi Vol. 11 No 3. September 2014 : 214-224

dan/atau mendiseminasikan hasil-hasil penelitian dan pengembangan dalam bentuk artikel (hasil litbang dan/atau hasil pemikiran/ide/gagasan). Namun dalam perkembangannya, pemasok artikel KTI meluas sampai ke perguruan tinggi negeri dan swasta baik di dalam maupun di luar Pulau Jawa Berdasarkan hasil observasi dokumen pada Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan Balitbang, wahana tersebut ternyata belum dimanfaatkan secara optimal oleh para peneliti maupun perekayasa Balitbamg. Sebaliknya, justru penulis dari luar Balitbang seperti para dosen dari berbagai perguruan tinggi negeri/swasta yang secara intensif memanfaatkan media tersebut, terutama para dosen yang akan mengajukan/promosi guru besar. Dari uraian di atas, rumusan masalah dalam kajian ini yaitu bagaimana kinerja peneliti dan seberapa banyak peneliti Balitbang yang mampu mempublikasikan hasil penelitian dan pengembangan dan/atau hasil pemikiran/gagasan/ide dalam bentuk KTI (artikel) yang diterbitkan melalui Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan Balitbang? Mengacu pada rumusan masalah, maka studi ini bertujuan untuk; 1) mengkaji kinerja peneliti Balitbang dalam mempublikasikan KTI selama sepuluh tahun terakhir yang diterbitkan melalui Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Balitbang Kemendikbud dan 2) mengkaji kompetensi peneliti Balitbang Kemendikbud. Kinerja dapat dimaknai sebagai “achievement” yang berarti hasil, atau prestasi, atau pencapaian. Berdasarkan model manajemen kinerja Kreitner dan Kinicki (2008), performance management adalah: ”Continuous cycle of improving job performance with goal setting, feedback and coaching and rewards and positive reinforcement.”. Selanjutnya, kinerja atau performance sering disebut sebagai “outcome” yang berarti hasil akhir. Outcome dalam konteks kinerja, penggunaannya tergantung dari sudut pandang dan kondisi orang yang menggunakannya. Istilah-istilah tersebut memiliki makna yang sama sebagai hasil dari sesuatu tindakan atau kejadian yang secara sadar direncanakan untuk menghasilkan sesuatu. Sementara itu, Kanfer dalam George dan Jones (2005) berpendapat bahwa “Performance is an evaluation of the results of a person’s behavior. It involves determining how well or poorly a person has accomplished a task or done a job.” Definisi ini menjelaskan makna kinerja sebagai suatu penilaian terhadap hasil perilaku

individu yang di dalamnya termasuk bagaimana pengukuran tentang baik dan buruknya tindakan individu tersebut dalam menyelesaikan tugas atau pekerjaannya. Dengan kata lain, yang menjadi indikator sukses tidaknya melaksanakan pekerjaannya yaitu kompetensi yang dimiliki oleh seseorang untuk menyelesaikan pekerjaan tugas yang menjadi tanggungjawabnya. Bernardin dan Russel sebagaimana dikutip oleh Ruki (2001) menyatakan, “Performance is defined as record of outcomes produced on specified job function or activity during a specified time period”. Definisi ini menjelaskan bahwa kinerja merupakan rekaman tentang hasil-hasil yang diproduksi pada suatu fungsi tugas atau kegiatan tertentu pada suatu kurun waktu tertentu. Kinerja diukur melalui “hasil kerja” seseorang sesuai dengan kompetensi yang dipersyaratkan dalam melaksanakan tugasnya. Mengacu pada tingkat keberhasilan kerja seseorang, Hellriegel dan Slocum (1994), menyatakan bahwa kinerja menunjukkan tingkat keberhasilan seseorang dalam melaksanakan kewajiban sesuai dengan bidang tugasnya dalam rangka mencapai tujuan pekerjaan (task) dalam suatu organisasi. Pengertian kinerja ini sejalan dengan definisi yang dikemukakan oleh Schermerhorn, Hunt, dan Osboorn (1994) yang mengatakan bahwa kinerja adalah ukuran baik kuantitatif maupun kualitatif terhadap pelaksanaan tugas yang dilakukan seseorang atau kelompok dalam unit kerja. Berdasarkan uraian tersebut, kinerja disintesiskan sebagai keberhasilan penyelesaian tugas baik dari aspek kualitas maupun kuantitas “hasil kerja”. Berkenaan dengan beberapa pengertian kinerja tersebut di atas, berikut ini digambarkan secara sederhana variable - variabel yang mempengaruhi kinerja, baik yang bersifat internal maupun eksternal, serta pengaruh kinerja terhadap variabel lain (Gambar 1). Skema Newstorm dan Davis (2002) tersebut menunjukkan bahwa kinerja dipengaruhi oleh kemampuan (ability), usaha (effort), kesempatan (opportunity), tujuan dan insentif (goal and insentives), perhatian (attention), lingkungan (environment), kebutuhan (need), keinginan (desire), kepuasan (satisfaction), dan penghargaan (reward) baik dari lingkup internal maupun eksternal secara individu atau organisasi.

216


Hasil Kinerja dan Kompetensi Peneliti Dalam Mempublikasikan Karya Tulis Ilmiah (Subijanto)

Environment

Needs and desire

Opportunity

Attention

Effort

Performance

Goal and insentives

Reward

Ability

Need Satisfaction

Sumber: John W. Newstrom and Keith Davis (2002) Gambar 1. Lingkungan eksternal dan internal yang mempengaruhi kinerja

Dalam kajian ini, evaluasi kinerja terkait dengan evaluasi kinerja seorang peneliti, yaitu orang yang bertugas dan bertanggung jawab mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan data dan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala jenis saluran atau media yang tersedia sebagai wadah untuk mempublikasikan karya tulis ilmiah (artikel). Dalam pelaksanaan tugas, seorang peneliti dilihat dari kualitas dan kuantitas dari hasil penelitian yang dipublikasikan. Dalam konteks ini, McQuail (2001) berpandangan bahwa pada dasarnya tidak satupun penilaian kinerja yang sangat memuaskan mengingat keterkaitan yang sangat erat dengan nilai yang dianut oleh masing-masing negara. Berkenaan dengan aspek kinerja, McQuail (2001) menyatakan bahwa struktur dan kinerja berhubungan dengan tingkat kebebasan (freedom), keseimbangan (equality), keragaman penyajian (diversity), kualitas informasi (information quality), dan kebutuhan sosial, solidaritas dan kebutuhan budaya (social order and solidarity and culture order). Dengan demikian, kinerja peneliti dapat dilihat dengan mengacu pada persyaratan kualitas dan manfaat bagi masyarakat, meliputi relevansi (relevance), ragam penyajian (diversity), dapat dipercaya (reliability), ketertarikan (interest), keaslian (originality), dan kepuasan pribadi (personal satisfaction). Pandangan ini sejalan dengan pendapat Siebert dan Peterson yang mengemukakan bahwa ukuran kinerja yang profesional didasarkan

pada kombinasi teori berdasarkan kebebasan (authoritarian theory) dengan teori tanggung jawab sosial (social responsibility theory) dari Hocking yang menghasilkan rumusan penting tentang dampak pengetahuan dengan tanggung jawab sosial (Elvinaro, Lukiati, dan Karlinah, 2007). Rumusan yang dikenal dengan rumusan Komisi Hutchin (Elvinaro, Lukiati, dan Karlinah, 2007) menegaskan bahwa dalam melaksanakan tugas profesional memiliki kebebasan, namun sertamerta dibarengi dengan tanggungjawab sosial. Oleh karena itu, dalam membuat karyakarya ilmiahnya, peneliti harus memperhatikan berbagai kepentingan, termasuk membangun hubungan kemitraan dengan sumber-sumber berita. Kepentingan berbagai pihak dan hubungan kemitraan adalah suatu keniscayaan dan oleh karena itu perlu dibangun hubungan yang saling menguntungkan (simbiosis-mutualistik) dalam rangka meningkatkan efektivitas dan efisiensi kerja. Hubungan kemitraan ini tidak saja berguna bagi diri peneliti sendiri, tetapi juga dengan para pengguna lainnya yang memerlukan sumber-sumber data. Selain itu, hubungan harmonis yang dibangun peneliti juga akan berdampak pada peningkatkan kualitas hubungan antara institusi dengan sumbersumber hasil penelitian, tanpa harus mengingkari independensi penelitian. Selain hal-hal yang telah dikemukakan di atas, dalam perkembangan akhir-akhir ini kinerja peneliti dituntut untuk mampu melakukan riset investigasi dengan metaanalisis, menggunakan sumber-sumber rujukan dan data yang tersedia di perpustakaan dan sumber lainnya; mampu memanfaatkan rujukan 217


Inovasi Vol. 11 No 3. September 2014 : 214-224

di perpustakaan atau melalui internet. Di samping itu, peneliti juga perlu memiliki kemampuan menilai otentisitas informasi yang begitu banyak tersebar atau diperoleh melalui internet, seperti ketepatan dan kesahihan dan informasinya. Dengan peran dan fungsi seperti itu, peneliti yang profesional selalu dituntut untuk mampu: a) menguji kebijakan yang dibuat penyelenggara kekuasaan; b) memberikan pandangan, analisis, dan penafsiran terhadap masalah-masalah sosial, politik, dan ekonomi yang rumit; c) mengembangkan minat kultural dan intelektual di kalangan masyarakat; d) memperkenalkan gagasan dan kecenderungan baru dalam masyarakat; dan e) menegakkan dan mematuhi etika keilmiahan (Luwarso dan Gaty, 2005). Kemampuan tersebut sekaligus sebagai kinerja peneliti yang didasarkan atas kesadaran, pengetahuan, dan keterampilan/kompetensinya untuk mencari, mengumpulkan, menganalisis data dan informasi dalam bentuk laporan penelitian serta menyajikan menjadi informasi fungsional dalam memecahkan masalah dan pengambilan keputusan, dalam arti memenuhi prinsip-prinsip keilmiahan dan berfungsi untuk mencerdaskan masyarakat. Kinerja peneliti akan berpengaruh pada peningkatan kualitas penelitian, yang secara sederhana terwadahi dalam kata “efektivitas� data dan informasi yang berguna bagi pendidikan masyarakat dan sering digambarkan sebagai aspek hasil (output). Namun selain aspek hasil, dalam kata kualitas dapat juga terkandung makna efisiensi masukan (input), ketepatan waktu proses, ketepatan distribusi, keandalan, tanggap, terbukti, jaminan dan akuntabilitas, serta kebermanfaatannya (aplicable). Berdasarkan uraian tersebut di atas, dapat disintesiskan bahwa perbaikan kinerja merupakan perbaikan kinerja individu yang secara terus menerus dengan indikasi: 1) hasil kerja (faktualitas, relevansi, kebenaran, keseimbangan, keadilan dan akuntabilitas/dapat dipercaya, ketertarikan, ragam penyajian, keaslian, kepuasan pribadi); 2) penyelesaian kerja (ketepatan waktu proses, akurasi, dan ketepatan distribusi); 3) perilaku kerja (mengikuti etika ilmiah), dan 4) penguasaan penelitian. Dalam upaya meningkatkan kualitas para peneliti, pendidikan dan pelatihan (diklat) telah diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) tentang Pendidikan dan Pelatihan Jabatan Pegawai Negeri Sipil (PP No. 101/2000). Tujuan diklat yang dirumuskan dalam PP ini yaitu untuk menambah pengetahuan, keahlian, keterampilan, dan sikap secara profesional

untuk dapat digunakan dalam menjalankan tugas jabatan yang dilandasi oleh kepribadian dan etika PNS, menciptakan aparatur yang mampu berperan sebagai pembaharu dan perekat persatuan dan kesatuan bangsa, serta memantapkan sikap dan semangat pengabdian yang berorientasi pada pelayanan, pengayoman, dan pemberdayaan masyarakat. Berdasarkan Pedoman Penyelenggaraan Pendidikan dan Pelatihan Prajabatan (Keputusan Ka.LAN No 1/2003) disebutkan bahwa pendidikan dan pelatihan diberikan untuk membentuk PNS agar mempunyai kompetensi dan perilaku yang penuh dengan kesetiaan dan ketaatan kepada negara, bermoral dan bermental baik, profesional, sadar akan tanggung jawabnya sebagai pelayan publik, serta mampu menjadi perekat persatuan dan kesatuan bangsa. Pendidikan dan Pelatihan bagi PNS terdiri atas dua jenis, yaitu: 1) Diklat Prajabatan dan 2) Diklat Dalam Jabatan. Diklat Prajabatan merupakan salah satu syarat bagi Calon Pegawai Negeri Sipil untuk diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil, yang terdiri atas Diklat Prajabatan Golongan I untuk PNS golongan I, Diklat Prajabatan Golongan II untuk PNS golongan II, dan Diklat Prajabatan Golongan III untuk PNS golongan III, serta Diklatpim bagi eselon II dan eselon I. Di samping itu, diklat fungsional seperti bagi para Peneliti (Diklat Jabatan Fungsional Peneliti Tingkat Pertama dan Diklat Jabatan Fungsional Peneliti Tingkat Lanjutan untuk Peneliti Madya). Diklat bagi calon peneliti juga dilaksanakan untuk memberikan pengetahuan dalam rangka pembentukan wawasan kebangsaan, kepribadian dan etika dan metodologi penelitian. Di samping pengetahuan dasar tentang penulisan ilmiah, pendekatan penelitian, juga tentang sistem penyelenggaraan pemerintahan negara, bidang tugas, dan budaya organisasinya agar mampu melaksanakan tugas dan perannya sebagai pelayan masyarakat. Mengacu pada Surat Edaran Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Nomor 5782/K/HK/XII/2012 tentang Penjelasan Atas Hasil Kerja Minimal Standar Kompetensi Jabatan Fungsional Peneliti dan Standar Kompetensi Jabatan Fungsional Peneliti (Peraturan Ka. LIPI No 04/E/2009) Kompetensi adalah �kemampuan dan karakteristik yang dimiliki oleh seorang PNS berupa gabungan antara pengetahuan (knowledge), kecakapan atau kemahiran (skill) sikap perilaku (atittude) yang diperlukan dalam pelaksanaan tugas jabatannya, sehingga PNS tersebut dapat melaksanakan tugas secara profesional, efektif, dan efisien. 218


Hasil Kinerja dan Kompetensi Peneliti Dalam Mempublikasikan Karya Tulis Ilmiah (Subijanto)

Dengan kata lain, kompetensi merupakan “seperangkat pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang saling terkait mempengaruhi sebagian besar peran dan tanggung jawab jabatan, berkorelasi dengan kinerja pada jabatan tersebut dan dapat diukur dengan standar yang dapat diterima serta dapat ditingkatkan melalui upaya-upaya pelatihan dan pengembangan”. Dalam melaksanakan tugasnya, seorang peneliti dipersyaratakan untuk memiliki standar kompetensi minimal yang harus dimiliki seorang PNS dalam pelaksanaan tugas jabatan fungsionalnya. Sebagai calon peneliti maupun peneliti, kompetensi Karya Tulis Ilmiah merupakan unsur utama yang wajib dipenuhi. Pedoman Karya Tulis Ilmiah sebagaimana telah ditetapkan oleh Kepala LIPI (Peraturan.Ka.LIPI Nomor 04/E/2009) dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan Karya Tulis Ilmiah (KTI) adalah “tulisan hasil litbang dan/atau tinjauan, ulasan (review),

No 1

Jabatan Peneliti Peneliti Pertama

kajian, dan pemikiran sistematis yang dituangkan oleh perseorangan atau kelompok yang memenuhi kaidah ilmiah”. Dengan kata lain, KTI merupakan tulisan ilmiah yang berasal dari hasil litbang dan/atau suatu tinjauan pemikiran/gagasan, ulasan, kajian yang ditulis secara sistematis dengan mengikuti kaidah ilmiah (LOSADAK: logis, objektif, sistematis, andal, dirancang, dan akumulatif, serta komunikatif) yang ditulis oleh perorangan, berpasangan, dan/atau kelompok. Selanjutnya, kaidah ilmiah adalah aturan baku yang berlaku secara umum berkaitan dengan ilmu pengetahuan (tata cara penulisan/penyajian) yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Dalam kajian ini, kompetensi minimal peneliti yang dikaji terkait dengan “hasil kerja” sebagaimana ditetapkan dalam Standar Kompetensi Jabatan Fungsional Peneliti seperti pada tabel berikut.

Tabel 1 Hasil Kerja Minimal Peneliti Golongan Hasil kerja minimal III/a dan III/b a) KTI terbit dalam majalah ilmiah nasional tidak terakreditasi; b) KTI hasil penelitian dan pengembangan atau tinjauan/ ulasan, tidak/ belum diterbitkan dan disampaikan dalam pertemuan ilmiah; dan c) KTI yang tidak diiterbitkan.

2

Peneliiti Muda

III/c dan III/d

a) KTI terbit dalam majalah ilmiah nasional terakreditasi; b) KTI terbit dalam prosiding pertemuan ilmiah nasional; dan c) Memimpin kelompok Peneliti dan erlibat langsung dalam penelitian.

3

Peneliti Madya

IV/a, IV/b, IV/c

4

Peneliti Utama

IV/d dan IV/e

a) Pembinaan kader; dan b) KTI terbit dalam bentuk bagian dari buku , penerbit nasional. KTI terbit dalam bentuk buku, penerbit nasional

Sumber: Peraturan Kepala LIPI Nomor 04/E/2009 Balitbang Kemendikbud. Studi ini dilakukan di Balitbang Kemendikbud selama kurun waktu 2 (dua) minggu yaitu pada bulan Juli 2014.

METODE Penelitian ini dilakukan melalui studi dokumen yaitu dengan cara melakukan identifikasi berbagai dokumen hasil publikasi KTI peneliti Balitbang dalam bentuk artikel yang dipublikasikan oleh Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan selama 10 (sepuluh) tahun, mulai tahun 2004 sampai dengan tahun 2013. Hasil identifikasi kemudian dianalisis berdasarkan capaian kinerja peneliti dalam mempublikasikan tulisan ilmiahnya (artikel) melalui Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan,

HASIL DAN PEMBAHASAN Kinerja Peneliti. Sebagaimana teori-teori yang melandasi kajian kinerja, salah satu tolok ukur hasil kerja (kinerja) dilakukan dengan menggunakan keluaran (outcome) publikasi hasil karya tulis ilmiah (KTI) dalam bentuk artikel. Publikasi dimaksud yaitu artikel yang

219


Inovasi Vol. 11 No 3. September 2014 : 214-224

telah dipublikasikan dalam Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan Balitbang Kemendikbud. Berdasarkan observasi dokumen penerbitan Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan Balitbang Kemendikbud selama sepuluh tahun terakhir (2004-2013), para peneliti Balitbang yang

mempublikasikan artikelnya baik artikel hasil penelitian dan/atau pengembangan maupun hasil pemikiran/gagasan/kajian dapat disimak pada tabel berikut.

Tabel 2 Publikasi KTI Peneliti Balitbang Dalam Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan (2004-2013) No

1

2

3

4

5

6

7

8

Edisi dan tahun terbit

Nomor Jurnal

Januari 2004 Maret 2004 Mei 2004 Juli 2004 September 2004 November 2004 Januari 2005 Maret 2005 Mei 2005 Juli 2005 September 2005 November 2005 Januari 2006 Maret 2006 Mei 2006 Juli 2006 September 2006 November 2006 Januari 2007 Maret 2007 Mei 2007 Juli 2007 September 2007 November 2007 Januari 2008 Maret 2008 Mei 2008 Juli 2008 September 2008 November 2008 Januari 2009 Maret 2009 Mei 2009 Juli 2009 September 2009 November 2009

046 047 048 049 050 051 052 053 054 055 056 057 058 059 060 061 062 063 064 065 066 067 068 069 070 071 072 073 074 075 Vol.15 No.01 Vol.15 No. 02 Vol.15 No.03 Vol.15 No.04 Vol.15 No.05 Vol.15 No.06

Jumlah terbitan artikel 8 9 9 8 9 8 9 7 8 7 7 7 6 9 8 9 9 9 9 9 10 10 9 10 11 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10

Januari 2010 Maret 2010 Mei 2010 Juli 2010 September 2010 November 2010 Januari 2011 Maret 2011 Mei 2011 Juli 2011

Vol.16, No.01 Vol.16, No. 02 Vol.16, No.03 Vol.16, No.04 Vol.16, No.05 Vol.16, No.06 Vol.17. No.01 Vol.17. No.02 Vol.17, No.03 Vol.17. No.04

10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 220

Jumlah penulis Balitbang 4 1 1 1 1 0 1 0 0 1 0 2 1 0 1 1 0 2 1 3 4 2 2 2 1 6 5 3 2 1 3 2 1 4 4 2

(%)

% Rerata

50 11.10 11.10 12.50 11.10 0 11.10 0 0 14.28 0 28.57 16.66 0 12.50 11.10 0 22.22 11.10 33.33 40 20 22.22 20 9.09 60 50 30 20 10 30 20 10 40 40 20

15,96

3 5 6 3 1 3 3 4 4 5

30 50 60 30 10 30 30 40 40 50

8,99

18.05

24.44

29.84

26.66

38,53

43,30


Hasil Kinerja dan Kompetensi Peneliti Dalam Mempublikasikan Karya Tulis Ilmiah (Subijanto)

9

10

September 2011 November 2011 Maret 2012 Juni 2012 September 2012 Desember 2012 Maret 2013 Juni 2013 September 2013 Desember 2013

Vol.17. No.05 Vol.17. No.06 Vol. 18 No.01 Vol. 18 No.02 Vol. 18 No.03 Vol. 18, No.04 Vol. 19 No.01 Vol. 19 No.02 Vol. 19 No.03 Vol. 19 No.04

10 10 10 10 10 10 10 10 10 10

5 5 5 3 5 3 5 5 5 7

50 50 50 30 50 30 50 50 50 70 Total rata-rata

40

55

29,57

Sumber: Data diolah sendiri (2014). Catatan: semenjak tahun 2012 Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan Balitbang Kemendikbud terbit 4 (empat) kali dalam setiap tahunnya. Penyebab rendahnya frekuensi peneliti Balitbang dalam mempublikasikan hasil karya tulis ilmiah (artikel) diasumsikan pada umumnya peneliti kurang mampu dalam mengelola waktu (memanfaatkan waktu) untuk menulis dan mempublikasikan artikel sebagai bagian dari hasil pelaksanaan tugas pokoknya. Di samping itu, patut diduga bahwa peneliti tidak memiliki sasaran/target yang jelas terkait dengan karya tulis ilmiah (artikel) yang harus dipublikasikan dalam kurun waktu tertentu. Dampak salah pengelolaan waktu akan berakibat pada waktu menjelang masa berlakunya penetapan angka kredit (PAK) akan berakhir da manakala peneliti akan mengajukan usulan penilaian peneliti ke jenjang yang lebih tinggi, di mana yang bersangkutan dalam mengumpulkan angka kredit (AK) berupaya untuk menulis artikel dalam waktu singkat dan mendesak sehingga kualitas artikelnya dapat dipastikan kurang memenuhui syarat dan pada akhirnya di tolak oleh pengelola Jurnal. Dengan kata lain, peneliti cenderung melalaikan diri karena sibuk dengan kegiatan rutinitasnya sehingga mereka baru sadar manakala yang bersangkutan memerlukan tambahan angka kredit (AK) untuk pengajuan penelitinya menjelang masa berlakuknya status peneliti sudah diambang batas waktu (terancam Bebas Sementara). Semestinya, sekurang-kurangnya, setiap peneliti (Pertama s.d. Muda) memiliki target 1 (satu) artikel per tahun yang dipublikasikan oleh Jurnal Ilmiah terakreditasi dan 2 (dua) Jurnal Ilmiah tidak terakreditasi, sehingga selama 4 tahun memiliki jumlah angka kredit dari unsur utama IIA.6 (KTI terbitan jurnal nasional terakreditasi) dan IIA.9 (KTI terbitan jurnal nasional tidak terakreditasi). Dengan demikian, setiap jenjang Peneliti (Pertama s.d. Muda) selama 4 (empat) tahun mampu mengumpulkan angka kredit sebanyak

Selama 10 tahun Jurnal Balitbang telah terbit sebanyak 56 kali, namun rata-rata peneliti Balitbang Kemendikbud yang mampu mempublikasikan hasil KTI dalam bentuk artikel sebanyak 29,57 persen. Pengertian mampu dalam hal ini adalah peneliti yang lolos dalam penyuntingannya sesuai dengan tatacara penulisan karya tulis ilmiah dan gaya selingkung penulisan Jurnal Balitbang Kemendikbud. Hal ini dapat dimaknai bahwa peneliti Balitbang kurang mampu mempublikasikan karya tulis ilmiah berupa artikel yang dipublikasikan dalam Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan. Fakta ini didukung dengan data bahwa usulan penilaian peneliti di lingkungan Balitbang yang diajukan ke Tim Penilai Peneliti Instansi (TP2I) Balitbang menunjukkan masih jarang sekali peneliti Balitbang yang mempublikasikan hasil KTI (artikel) di luar Jurnal Ilmiah Balitbang terakreditasi LIPI atau Dikti dan bahkan dalam Jurnal Ilmiah yang belum terakreditasi LIPI/Dikti. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pada umumnya peneliti Balitbang sesuai dengan tingkat jabatan fungsional penelitinya belum menunjukkan tingkat kompetensi publikasi penulisan karya tulis ilmiah yang tinggi, khususnya dalam bentuk artikel sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan oleh LIPI (S.E. Ka. LIPI Nomor 5782/K/HK/XII/2012). Tabel 2 menunjukkan bahwa tingkat frekuensi peneliti Balitbang dalam mempublikasikan KTI masih rendah (rerata selama sepuluh tahun mencapai 29.57%). Hal ini masih jauh di bawah harapan Kebijakan Pimpinan Balitbang yang menetapkan komposisi penulis internal peneliti Balitbang mendapat porsi 60 persen untuk setiap kali Jurnal Balitbang terbit dan 40 persen bagi penulis di luar Balitbang, seperti dosen, peneliti, guru, widyaiswara, mahasiswa, dsb).

221


Inovasi Vol. 11 No 3. September 2014 : 214-224

(4 terbitan x 25 angka kredit) + (2x4x5angka kredit) = 140 kredit. Untuk 1 (satu) tahun terakhir menjelang BS, peneliti mengusulkan usulan penilaian untuk kenaikan pangkat dan golongan serta status penelitinya ke jenjang lebih tinggi. Adapun bagi peneliti Madya, sekurangkurangnya setiap tahun mentargetkan 2 (dua) artikel/tahun yang dipublikasikan oleh Jurnal Ilmiah nassional terakreditasi dan 2 (dua) artikel/tahun yang dipublikasikan jurnal ilmiah nasional tidak terakreditasi. Dengan demikian, selama 4 (empat) tahun Peneliti Madya mampu mengumpulkan angka kredit unsur utama (IIA.6 dan IIA.9) sebanyak (2 terbitan x 4 x25 angka kredit) + (2 terbitanx4 x 5 angka kredit) = 240 kredit. Jika setiap peneliti mampu berkonsentrasi pada pencapaian target unsur utama tersebut, maka tidak aka nada lagi kejadian pinalti “Bebas Sementara� selama 1 (satu) tahun. Sebaliknya, bisa jadi akan terjadi lompatan status peneliti dari Peneliti Pertama ke Peneliti Muda dan/atau bahkan mungkin saja naik menjadi ke Peneliti Madya. Jika peneliti memiliki target yang terukur. Selanjutnya, tinggal merencanakan kenaikan yang lebih tinggi (Peneliti Utama) sekalipun dituntut untuk memiliki kompetensi yang lebih tinggi, antara lain membimbing kader peneliti dalam penulisan KTI (menulis artikel) kepada peneliti yang setara atau dibawahnya serta menulis buku sebagai penulis tunggal sesuai dengan persyaratan yang berlaku. Kompetensi peneliti. Berdasarkan hasil observasi dokumen, terdapat beberapa temuan mengapa para peneliti Balitbang pada umumnya kurang produktif dalam menghasilkan KTI, antara lain: 1) sebagian besar peneliti waktunya dihabiskan/disibukkan untuk pekerjaan rutin atau pekerjaan lainnya selain penelitian, sehingga tidak sempat menyusun hasil penelitiannya dalam bentuk KTI/artikel; 2) para peneliti lalai mengelola waktu untuk tetap menghasilkan KTI secara produktif sehingga manakala yang bersangkutan sudah mendekati batas waktu harus mengajukan penilaian untuk kenaikan status penelitinya, baru mereka menyadari segera menulis artikel dalam waktu yang mendesak atau the last minute berupaya agar tidak terkena pinalti “BS� (Bebas Sementara); 3) masih terbatasnya peneliti Balitbang mampu mempublikasikan KTI melalui Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan atau jurnal ilmiah nasional lainnya yang terakreditasi (Sekretariat Pengelola Jurnal P dan K, 2013). Berdasarkan hasil penilaian usulan peneliti di lingkungan Balitbang Kemendikbud, beberapa kelemahan atau kekurangpenguasaan kompetensi Peneliti Pertama sampai dengan

Peneliti Madya pada umumnya berkisar pada kompetensi: 1) Pengetahuan (knowledge), khususnya kompetensi teknik penelusuran kepustakaan dan teknik penulisan ilmiah; 2) Kecakapan (skill), khususnya kompetensi menulis dalam bahasa Indonesia dengan baik dan benar; dan 3) Sikap kerja (attitude) dalam hal pelanggaran etika peneliti (Sekretariat TP2I, 2013). Hal ini mengindikasikan bahwa penguasaan kompetensi peneliti belum dikuasai secara holistik (utuh/menyeluruh) sesuai dengan Peraturan Kepala LIPI Nomor 2 Tahun 2014 tentang Pedoman Karya Tulis Ilmiah. Lebih lanjut, kelemahan penguasaan kompetensi para peneliti tersebut tercermin pula dalam hal yang lebih luas lagi yaitu mewujudkan penulisan KTI dalam bentuk buku ilmiah, bunga rampai, prosiding, dan artikel (khususnya yang dipublikasikan oleh jurnal luar negeri). Dalam mendiseminasikan hasil KTI dalam bentuk artikel yang dipublikasikan pada Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan Balitbang Kemendikbud, peneliti antara lain masih melakukan kesalahan-kesalahan: 1) penulis tidak menuliskan sumber kutipan yang ditulis dalam tubuh teks (batang tubuh artikel) ke dalam Daftar Pustaka (DP) atau Pustaka Acuan (PA); 2) penulis mencantumkan sumber acuan yang tidak dipakai sebagai sumber acuan langsung ke dalam DP/PA; 3) penulis menuliskan tahun terbitan pada sumber acuan dalam bodi teks berbeda penulisannya dengan yang ditulis dalam DP/PA, misalnya dalam narasi kutipan artikel tertulis (H.A.R, Tilaar, 2007) namun dalam Pustaka Acuan ditulis tahun berbeda (H.A.R, Tilaar, 2009). Selain itu, dalam kutipan narasi artikel misalnya tertulis (Sutrisno Hadi, 2005) namun dalam PA tidak ditulis tahun terbitan (Sutrisno Hadi, tanpa tahun); 4) penulis menuliskan gaya penulisan DP/PA tidak konsisten, ada yang menuliskan kurung setelah nama penulis, misalnya Raka Joni (2000) ada yang tidak pakai kurung setelah penulis (misalnya Raka Joni. 2000); 5) penulis menuliskan tahun ada yang ditulis setelah nama dan ada yang ditulis di belakang institusi penerbit; 6) penulis menuliskan sitasi pada bodi teks yang ditulis dengan et al. (misalnya Colquitt et al. 2009) namun dalam DP/PA et al. tidak ditulis lengkap nama-nama penulis lainnya. Seharusnya ditulis lengkap Colquitt, Jason A., Jeffery A. LePine & Michael J. Wesson, 2009), begitu pula sumber ditulis dengan ditambahkan dan kawan-kawan (dkk), maka dkk harus ditulis lengkap nama-nama penulis lainnya (contoh dalam narasi artikel mengutip Edi Suhardi Ekajati, dkk., maka dalam Pustaka Acuan, dkk harus ditulis lengkap Ekajati, E.S., Darsa, U.A., 222


Hasil Kinerja dan Kompetensi Peneliti Dalam Mempublikasikan Karya Tulis Ilmiah (Subijanto)

dan Oman F. 1992.; 7), penulis menuliskan tahun sumber (pengarang) dalam tahun yang sama, namun judul berbeda, seharusnya ditulis dengan menambahkan urutan huruf abjad setelah tahun, misalnya 2011a dan 2011b. Sekalipun peneliti telah mengikuti sosialiasasi Pedoman Karya Tulis Ilmiah dan mendapat koreksi atau masukan dari Editor Jurnal Penddikan dan Kebudayaan, namun kesalahan tersebut terjadi berulang kali dan dilakukan oleh hampir sebagian besar penulis/peneliti (Sekretariat TP2I, 2013)

2.

3.

KESIMPULAN Mengacu pada hasil analisis disimpulkan bahwa kinerja dan kompetensi peneliti Balitbang dalam mempublikasikan KTI masih belum sesuai dengan yang diharapkan. Dari target sekurang-kurangny 60 persen, ternyata baru 29.57 persen yang mempublikasikan KTI pada Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan Balitbang Kemendikbud. Kelemahan kompetensi peneliti Balitbang tersebut didukung oleh data pada Sekretariat Pengelola Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan Balitbang di mana pada setiap menjelang edisi penerbitan jumlah peneliti Balitbang yang mempublikasikan artikel cenderung tidak memenuhi porsi yang telah ditetapkan (60:40). Dalam tataran makro, peneliti Balitbang yang mengirimkan KTI untuk dipublikasikan pada Jurnal Balitbang belum sepenuhnya dapat berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Artinya, dalam pemenuhan jumlah peneliti Balitbang yang mempublikasikan KTI (artikel) jarang sekali mencapai quota (60:40). Hal ini pun Bagian Pengelola Jurnal P dan K Balitbang telah melakukan upaya pro-aktif (menjemput penulis) melalui pendekatan formal maupun informal. Dengan kata lain, pemasok KTI untuk diterbitkan Jurnal Ilmiah Balitbang terakreditasi (LIPI) masih belum seutuhnya tercapai kuota yang ditetapkan dalam setiap edisi terbitan.

4.

Yogyakarta, Universitas Negeri Malang, Universitas Negeri Makassar, dan yang lainnya; Berupaya memenuhi persyaratan kompetensi yang harus dikuasai sesuai dengan Peraturan Kepala LIPI Nomor 04/E/2009 tentang Standar Kompetensi Jabatan Fungsional Peneliti melalui produk penelitian dan/atau gagasan inovatif dan kreatif; membudayakan pemberdayaan peneliti senior (Madya dan Utama) untuk memberi bimbingan penulisan KTI dalam bentuk artikel kepada peneliti junior atau peneliti yang setara dan/atau peneliti yang dibawahnya; serta Peneliti secara individu memaksakan diri untuk dapat menghasilkan sesuatu sebagai perwujudan akuntabilitas peneliti secara mandiri. Untuk dapat mencapai hal tersebut diperlukan pembiasaan untuk membaca buku sesuai dengan bidang kepakaran penelitinya dan melatih diri serta mencari berbagai sumber literatur di perpustakaan dan/atau mencarinya melalui website untuk mendukung penulisan artikel (KTI) secara bertahap dan berkesinambungan.

DAFTAR PUSTAKA Ardianto, Elvinaro., Komala, Lukiati., dan Karlinah, Siti. 2004. Komunikasi Masa: Suatu Pengantar. Edisi Revisi. Bandung: Simbiosa Rekatama Media. Refika Offset. Colquitt, J. A., Jeffery A. L.P., dan Michael J.W. 2009. Organiza-tional Behavior: Improving Performance and Commitment in the Workplace,New York : McGraw Hill. Ekajati, E. S., Darsa, U.A., dan Oman F. 1992. Jawa Barat. Koleksi Lima Lembaga. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia dan Ecole française d'Extrême-Orient. Hellriegel, David dan Slocum, J. W. Jr. 1994. Management, Manila: Addison Wesley Publishing Company, Inc.

REKOMENDASI Mengacu pada kesimpulan, disarankan agar setiap peneliti Balitbang: 1. Memiliki target penulisan KTI secara terjadwal pada setiap tahunnya untuk dipublikasikan melalui Jurnal Ilmiah Pendidikan dan Kebudayaan Balitbang Kemendikbud dan/atau jurnal ilmih nasional terakreditasi lainnya di luar Balitbang Kemendikbud yang relevan dengan bidang kepakaran peneliti, seperti Jurnal terakreditasi LIPI, maupun terakreditasi Dikti (Universitas Negeri

Jennifer, M. G dan Gareth R. J. 2002. Organizational Behavior. Third Edition. New Jersey: Pearson Education, Inc. John R. S. Jr., Hunt, G. H, & Osboorn, R. N. 1994. Management Organizational Behavior. New York, John Wiley & Son Inc., John, W. N., dan Keith, D. 2002. Organizational Behavior: Human Behavior at Work. New Delhi: McGraw-Hill Publishing Company. Jerald, Greenberg. dan Robert, A. B. 2003. Organizational Behavior. Eight Edition. International. New Jersey: Pearson Education, Inc.,

223


Inovasi Vol. 11 No 3. September 2014 : 214-224

Pendidikan dan Kebudayaan. Jakarta: Balitbang Depdikbud.

Kreitner dan Kinicki. 2008. Organizational Behavior.� 8th Edition. Mc Graw-Hill International Edition.

Surat Edaran Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Nomor 5782/K/HK/XII/2012 Tentang Penjelasan Atas Hasil Kerja Minimal Standar Kompetensi Jabatan Fungsional Peneliti.

Keputusan Presiden Nomor 100 Tahun 2012 Tentang Tunjangan Jabatan Fungsional Peneliti. Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 1 Tahun 2012 jo. Nomor 89 Tahun 2012 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Badan Penelitian dan Pengembangan.

Subijanto. 2011. Pengaruh Budaya Organisasi, Kepercayaan, dan Pengambilan Keputusan Terhadap Konerja: Studi Kausal Terhadap Tenaga Fungsional Di Balitbang Kementerian Pendidikan Nasional, Disertasi Doktor Universitas (tidak dipublikasikan) Universitas Negeri Jakarta.

Keputusan Kepala Lembaga Administrasi Negara Nomor 1 tahun 2003 Tentang Pedoman Penyelenggaraan Pendidikan dan Pelatihan Prajabatan. Keputusan Bersama Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia dan Kepala Badan Kepegawaian Negara Nomor: 3719/D/2004 dan Nomor 60 Tahun 2004 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Jabatan Fungsional Peneliti dan Angka Kreditnya. Luwarso, Lukito, dan Gayatri, Gati. 2005. Kompetensi Wartawan. Pedoman Peningkatan Profesionalisme Wartawan dan Kinerja Pers. Dewan Pers dengan Dukungan Fredirich Ebert Stiftung (FES) Cetakan Kedua. Oktober 2005 McQuail. 2001. Mass Communication Theory. 4th Edition. New York: SAGE Publication. Peraturan Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Nomor 04/E/2009 Tentang Pedoman Karya Tulis Ilmiah Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 101 Tahun 2000 tentang Pendidikan dan Pelatihan Jabatan Pegawai Negeri Sipil. Peneglola Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan Balitbang. 2013. Daftar Penulis Artikel, Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta: Balitbang Kemendikbud. Ruki, A. S. 2001. Sistem Manajemen Kinerja. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Surat Keputusan Menteri Penerangan Republik Indonesia No.1045/SK/Ditjen PPG/STT/1986 Izin terbit Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan. Jakarta: Balitbang Dedpikbud. Sekretariat Pengelola Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan. 2013. Daftar Penulis Artikel Tahun 2004-2013 Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Bagian Tata laksana dan Kepegawaian, Sekretariat Balitbang. Sekretariat Tim Penilai Peneliti Instansi (TP2I). 2013. Notulensi Hasil Sidang Pleno Penetapan Angka Kreedit (PAK) Tahun 2013, Bogor, Sekretariat TP2I Surat Keputusan Menteri Penerangan Republik Indonesia Nomor 1045/Surat Keputusan Ditjen PPG/STT/1986 Tentang Izin Penerbitan Jurnal

224


Perspektif Kerugian Akibat Penyakit Gugur Daun Pada Tanaman Karet di Sumatera Utara (Cici Indriani Dalimunthe, Zaida Fairuzah, Iif Rahmad Fauzi)

TINJAUAN KEPUSTAKAAN PERSPEKTIF KERUGIAN AKIBAT PENYAKIT GUGUR DAUN PADA TANAMAN KARET DI SUMATERA UTARA

(DAMAGES PERSPECTIVE OF LEAF FALL DISEASES ON THE RUBBER PLANT IN NORTH SUMATRA) SUMATRA) Cici Indriani Dalimunthe, Dalimunthe, Zaida Fairuzah, Fairuzah, Iif Rahmat Fauzi Balai Penelitian Sungei Putih, Pusat Penelitian Karet PO. BOX. 1415 Medan 20001 Email: cc_dalimunthe@yahoo.com

Diterima: 28 Juni 2014; Direvisi: 10 Juli 2014; Disetujui: 18 September 2014

ABSTRAK Karet alam merupakan salah satu komoditas utama penghasil devisa negara dan memberikan lapangan kerja yang luas bagi rakyat Indonesia. Salah satu faktor yang menyebabkan rendahnya produktivitas tanaman karet adalah serangan penyakit. Tujuan penulisan ini adalah untuk melihat perspektif kerugian akibat penyakit gugur daun pada tanaman karet di Sumatera Utara dan bagaimana solusi kebijakannya. Kajian dilakukan untuk sampel lokasi Sumatera Utara karena merupakan salah satu sentra agribisnis karet di Indonesia. Data yang digunakan adalah data sekunder yang direview dari beberapa literatur terkait yang kemudian dianalisis secara deskriftif kualitatif dan kuantitatif. Penyakit gugur daun merupakan salah satu penyakit penting yang menyerang pembibitan, TBM maupun TM karet. Penyakit gugur daun harus dikendalikan khususnya di daerah yang rawan epidemik. Status dan penyebaran penyakit tersebut tergolong penting untuk wilayah Sumatera Utara baik itu yang disebabkan oleh Corynespora cassiicola, Colletotrichum gloeosporioides maupun Oidium heveae. Hujan panas pada saat terbentuk daun muda merupakan faktor pemicu epidemi Corynespora, sedangkan hujan pada saat terbentuk daun muda merupakan faktor pemicu epidemi Colletotrichum dan Oidium. Penurunan produksi yang disebabkan oleh penyakit ini cukup bervariasi antara 7 – 45% tergantung dari intensitas serangan. Asumsi serangan penyakit gugur daun yang mengakibatkan produksi turun sebesar 30% dapat mengakibatkan kehilangan pendapatan > Rp 2 milyar/tahun dan hal ini akan terus naik sepanjang tahun. Analisis SWOT yang disusun untuk menyiasati permasalahan tersebut menghasilkan empat alternatif strategi. Dari keempat alternatif strategi tersebut maka 1) percepatan difusi klon karet unggul yang resisten terhadap penyakit gugur daun (S-O) dan 2) penyuluhan teknologi penyediaan bahan tanam karet unggul kepada petani (W-O), dianggap relevan untuk menjadi pertimbangan dalam pengambilan kebijakan peningkatan kinerja agribisnis karet di Sumatera Utara. Kata kunci :

Hevea brasiliensis, penyakit gugur daun, Corynespora, Colletotrichum, Oidium, analisis SWOT, Sumatera Utara.

ABSTRACT Natural rubber is one of the main commodities of foreign exchange earnings and provide bigger employment opportunities for the people of Indonesia (for Indonesian people). One of the factors that causes low productivity of rubber plant is disease. The purpose of this paper are to look at the damages perspective of leaf fall diseases in the rubber plant in North Sumatra and the policy solutions. The research was conducted for a sample of North Sumatra location because its one of the rubber agribusiness centers in Indonesia. The data used are secondary data were reviewed from several related literature which was then analyzed by descriptive qualitative and quantitative. Leaf fall diseases must be especially controlled in the epidemic areas. The status and the spread of the diseases which are classified as important disease in North Sumatra are caused by Corynespora cassiicola, Colletotrichum gloeosporioides, and Oidium heveae. Raining in hot temperature when young leaves are formed triggering off the epidemic of Corynespora, while in all temperatures for the epidemic of Colletotrichum and oidium. The decreasing of production caused by these diseases is adequately varied with the variable of 7-45% that depends on the attack intensity. The assumptions about leaf fall diseases attack impacted on the production

225


Inovasi Vol. 11 No 3. September 2014 : 225-232

decreasing by 30% can cause lost avenue > Rp. 2 billion/ year and it will continuously increases throughout the year. SWOT Analysis arranged to deal with these problems resulted four alternative strategies. Based one the four alternative strategies, 1) the acceleration of the diffusion of superior resistant clones to leaf fall diseases (S-O) and 2) illumination technology for providing superior rubber planting materials to farmers (W-O), are considered to be relevant to a consideration in the decision making to improve the performance of rubber agribusiness in North Sumatra. Keywords:

Hevea brasiliensis, leaf fall diseases, Corynespora, Colletotrichum, Oidium, SWOT Analysis, North Sumatra.

umumnya terjadi pada saat daun muda, baik terjadi pada akhir musim rontok ataupun sepanjang tahun selama terbentuk tunastunas baru. Secara alami tanaman karet mengalami rontok daun sekurang-kurangnya satu kali dalam setahun, kemudian diikuti dengan pembentukan tunas baru dan pertumbuhan daun muda. Pada saat pertumbuhan daun muda berlangsung, sering terjadi berbagai macam penyakit yang dapat mengakibatkan daun muda gugur kembali, kejadian ini disebut gugur daun sekunder (SLF=Secondary Leaf Fall) (Soepena, 1985). Penyakit penting pada daun antara lain disebabkan oleh Corynespora cassiicola, Colletotrichum gloeosporioides dan Oidium heveae secara signifikan menurunkan produktivitas kebun. Serangan yang luas banyak terjadi di berbagai negara penghasil karet alam seperti Indonesia, Malaysia, Thailand, Sri Langka, India dan beberapa negara lain di Afrika. Ketiga penyakit gugur daun tersebut menjadi penting karena dapat menyerang tanaman di pembibitan, tanaman muda, tanaman menghasilkan maupun di kebun kayu okulasi/entres. Pada tanaman menghasilkan, penyakit ini dapat merugikan karena daun-daun muda berguguran, yang mengakibatkan pertumbuhan tanaman terhambat, produksi lateks menurun bahkan mengakibatkan kematian tanaman (AidiDaslin, 2013). Perilaku patogen penyebab penyakit gugur daun sangat dipengaruhi oleh ketahanan tanaman dan lingkungan cuaca/ilkim. Epidemi penyakit gugur daun karet timbul karena adanya tanaman yang rentan dan pola iklim yang menyimpang. Klon karet rentan yang terdapat dalam suatu areal perkebunan karet akan menjadi sumber inokulum terhadap klon lainnya, sehingga dapat menimbulkan epidemi penyakit gugur daun yang lebih luas dan cepat (Pawirosoemardjo, 2007). Sejauh ini metode pengendalian yang diterapkan untuk mengendalikan penyakit gugur daun adalah secara kimiawi dengan menggunakan berbagai jenis fungisida. Pengendalian secara kimiawi memerlukan biaya yang mahal dan juga tingkat

PENDAHULUAN Indonesia tercatat memiliki lahan karet terluas atau 3,492 juta hektar dan disusul Thailand 2,761 juta hektar, Malaysia 1,071 juta hektar dan Vietnam 970.000 hektar. Namun begitu, produksi Thailand lebih tinggi akibat produktivitas karet Thailand yang lebih besar atau 1,72 ton per hektar dari Indonesia yang masih 1,16 ton per hektar. Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Sumut Wien Kusdiatmono, mengakui, devisa dari karet tercatat kedua terbesar setelah produk sawit atau sebesar US$ 814,544 juta hingga semester I (Antara, 2014). Masih rendahnya produksi karet alam di Indonesia disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain penanaman karet berasal dari biji yang dikumpulkan dari induk yang berproduksi rendah dan kurangnya perawatan pertanaman karet rakyat. Faktor pembagi yang dominan berasal dari perkebunan rakyat, itulah yang membuat produktivitas karet kita rendah (Majid, 1974). Usaha untuk meningkatkan produktivitas karet nasional dapat dilakukan melalui percepatan peremajaan karet rakyat dengan menggunakan klon-klon unggul baru yang lebih produktif dan tahan penyakit daun (Anwar, 2006). Pada perkebunan karet terdapat beberapa jenis penyakit yang sering menyebabkan kerusakan seperti penyakit akar, batang/cabang dan penyakit daun. Di antara 22 jenis penyakit di perkebunan karet, terdapat 11 jenis penyakit penting yang mengakibatkan kerugian yang cukup berarti, diantaranya penyakit jamur akar putih (Rigidoporus microporus), penyakit gugur daun Corynespora (Corynespora cassiicola), Colletotrichum (Colletotrichum gloeosporioides) dan Oidium (Oidium heveae), serta penyakit cabang/batang yakni penyakit lapuk batang/cabang (Fusarium sp.) dan penyakit jamur upas (Corticium salmonicolor) (Dalimunthe et al., 2011). Penyakit daun diartikan sebagai gejala yang ditimbulkan sekelompok patogen yang menyerang perdaunan. Gejala umum pada daun adalah terbentuknya bercak (nekrosis) atau klorosis pada daun, kemudian diikuti dengan gugur daun. Serangan penyakit daun 226


Perspektif Kerugian Akibat Penyakit Gugur Daun Pada Tanaman Karet di Sumatera Utara (Cici Indriani Dalimunthe, Zaida Fairuzah, Iif Rahmad Fauzi) pencemaran lingkungan yang tinggi. Penggunaan klon karet unggul yang resisten merupakan salah satu strategi pengendalian NN yang murah dan ramah lingkungan untuk mencegah epidemi dan kerusakan yang ditimbulkan oleh penyakit gugur daun (Rahayu et al., 2005). Dalam artikel ini disampaikan tentang perspektif kerugian akibat penyakit daun pada tanaman karet di Sumatera Utara dan alternatif pengendaliannya.

v: Nilai skala dari setiap kategori serangan Z : Nilai skala tertinggi dari kategori serangan N : Jumlah daun yang diamati Penilaian kualitatif ketahanan klon terhadap serangan penyakit gugur daun ditentukan berdasarkan nilai intensitas serangan Pawirosoemardjo (1999), dengan kriteria sebagai berikut : Resisten : 0 – 20 % Moderat resisten : 21 – 40 % Moderat : 41 – 60 % Moderat rentan : 61 – 80 % Rentan : 81 – 100 %

METODE Penelitian ini merupakan suatu kajian untuk melihat perspektif kerugian akibat penyakit gugur daun pada tanaman karet di Sumatera Utara dan bagaimana solusi kebijakannya. Kajian dilakukan untuk sampel lokasi Sumatera Utara. Penentuan sampel dilakukan secara sengaja (purposive) dengan pertimbangan bahwa Sumatera Utara merupakan salah satu sentra agribisnis karet di Indonesia. Data yang digunakan adalah data sekunder yang direview dari beberapa literatur terkait yang kemudian dianalisis secara deskriftif kualitatif dan kuantitatif. Analisis deskriftif kualitatif digunakan untuk mengetahui lingkungan internal dan eksternal yang terkait dengan aspek kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman dalam lingkup permasalahan. Sedangkan analisis kuantitatif dilakukan melalui pendekatan analisi laba-rugi dan analisis SWOT (Strenght-Weakness-OpportunityThreat) yang dikembangkan berdasarkan konsep manajemen strategis David (2009). Untuk mengetahui tingkat ketahanan tanaman terhadap penyakit gugur daun perlu dilakukan pengujian resistensi tanaman di lapangan. Dalam mengamati dan menghitung tingkat keparahan atau kejadian penyakit daun di lapangan dilakukan dengan cara menskoring skala serangan penyakit baik tajuk maupun daun. Nilai yang diperoleh dari setiap skala serangan kemudian dikonversikan ke dalam rumus sehingga diperoleh tingkat keparahan penyakit (disease severity). Rumus Intensitas Serangan penyakit yang dikembangkan Pawirosoemardjo (1999) adalah sebagai berikut :

HASIL DAN PEMBAHASAN Pada pertanaman karet di lapangan, serangan penyakit daun C. cassiicola mengakibatkan gugurnya daun karet terus menerus sepanjang tahun karena dapat menyerang daun muda maupun tua, sehingga tanaman tidak dapat berproduksi dan lambat laun mengalami kematian (Situmorang et al., 1996). Pada daun muda biasanya tidak membentuk bercak yang jelas, tetapi anak daun berubah warna menjadi kuning (klorosis) dan gugur. Pada daun yang lebih tua, jamur membentuk bercak coklat tua sampai hitam pada urat-urat daun sehingga bercak nampak menyirip seperti tulang ikan (Gambar 1a). Serangan Oidium mengakibatkan daun-daun muda yang baru terbentuk menjadi hitam dan akhirnya gugur, yang juga diikuti gugurnya tangkai daun, Pada daun yang sempat tua, jamur membentuk bercak klorosis bekas tumbuhnya miselium dan konidia berwarna putih atau lebih dikenal dengan penyakit embun tepung (Gambar 1b). Sedangkan serangan C. gloeosporioides mengakibatkan gugurnya daun-daun muda sehingga tajuk tanaman tipis, perkembangan lilit batang terhambat dan tertundanya matang sadap (Sujatno et al., 1998). Gejala awal penyakit ini ditandai dengan terjadinya perubahan warna pada daun muda dari sepia menjadi kehitaman kemudian daun menjadi keriting dan akhirnya gugur. Gugur daun yang terus menerus bisa menyebabkan mati pucuk (die back) (Gambar 1c). Pada umumnya semua jenis penyakit daun terdistribusi merata di semua sentra perkebunan Indonesia dengan tingkat kerusakan yang berbeda-beda (Pawirosoemardjo, 1992). Perbedaan tingkat kerusakan ini dipengaruhi oleh 3 faktor yaitu

∑ (n x v) I=

x 100 % ZxN

dimana : I : Intensitas serangan n : Jumlah daun tiap kategori serangan

227


Inovasi Vol. 11 No 3. September 2014 : 225-232

Gambar 1. Gejala Serangan Penyakit Daun Corynespora (a), Oidium (b), Colletotrichum (c) pada tanaman karet. Tanaman klonal karet diperoleh dari okulasi. Lingkungan (tanah, ketinggian tempat, Hasil pengamatan menunjukkan bahwa laju iklim/cuaca), klon karet (tanaman inang) dan kenaikan produksi pada pertanaman klon virulensi ras patogen yang timbulkan unggul nyata lebih tinggi apabila (Situmorang et. al., 2005). dibandingkan dengan laju kenaikan produksi Penyakit gugur daun Corynespora sering pada pertanaman yang diperoleh dari biji. menimbulkan kerusakan berat pada kebun Perkebunan besar di Indonesia umumnya karet di dataran rendah Sumatera dan telah menanam klon-klon unggul. Sebaliknya Kalimantan Selatan (Tabel 1). Epidemi karet rakyat pada umumnya masih berupa penyakit tersebut terjadi apabila terdapat pertanaman yang berasal dari biji. Salah satu kelembaban tinggi 89%, suhu rata-rata 27oC cara untuk meningkatkan produksi karet dan hujan tiap hari atau adanya hujan unggul adalah menanam klon yang bersamaan terik matahari pada saat berproduksi tinggi (Pawirosoemardjo, 2007). terbentuk daun muda (Situmorang et.al. Penyakit C. gloeosporioides menimbulkan 2004). Penyakit oidium sering terjadi di sentra perkebunan karet Jambi dan Jawa epidemi pada tahun 1974 dan 1975 di Jawa, Barat. Epidemi penyakit ini terjadi apabila 1976 di Sumatera Utara dan 1989 di terdapat hujan rintik-rintik pada awal musim Kalimantan Barat dengan mengakibatkan hujan bersamaan dengan pembentukan daun penurunan produksi 7 – 45%, tergantung dari muda. Penyakit gugur daun Colletotrichum intensitas serangan (Pawirosoemardjo dan sering menimbulkan kerusakan berat di Suryaningtyas, 2008). Penyakit gugur daun C. daerah dengan curah hujan tinggi dan cassiicola menimbulkan epidemi pada tahun ketinggian > 200 m dpl di perkebunan karet 1980 dan 1990 dengan mengakibatkan sumatera utara, sumatera Barat, Bengkulu penurunan produksi 30 – 40 %. Hal yang dan Kalimantan Barat. Epidemi penyakit ini sama dilaporkan adanya kerugian produksi terjadi apabila tanaman membentuk daun yang disebabkan penyakit O. heveae di muda pada musim hujan (Situmorang et al. beberapa perkebunan, ditaksir 30 – 40 %. 2005). Epidemi penyakit tersebut timbul karena 1). Secara umum kondisi perkebunan karet terjadi penyimpangan pola iklim dari yang di Provinsi Sumatera Utara berkembang normal, yaitu kemarau panjang yang diikuti cukup baik. Hal ini terlihat dari data yang musim hujan sepanjang tahun, 2). Kondisi menunjukkan bahwa terjadi peningkatan luas tanaman karet yang lemah karena kurang areal tanaman karet dengan persentase perawatan, dan 3). ditanamnya klon-klon pertumbuhan lahan dan produktivitas karet yang tergolong rentan, seperti RRIC 103, LCB masing-masing sebesar 3% per tahun (Tabel 479, PR 228, PR 225, PR 300, PR 303, PR 305 2). Hasil ini diperoleh dari perhitungan luas dan GT 1 (Pawirosoemardjo, 2004). areal tanaman karet tahun 2012 sebesar Tabel 3 menunjukkan bahwa setiap 575.236 ha dengan produktivitas karet tahunnya apabila serangan penyakit daun sebesar 468.668 ton. menurunkan produksi lateks sebesar 30% Tanaman karet masih didominasi oleh maka pekebun/petani akan kehilangan perkebunan rakyat dengan produktivitas pendapatan >2 Milyar-an/tahun dan hal ini sebesar 0,76 ton/ha jauh dibandingkan meningkat setiap tahunnya, dimana untuk dengan perkebunan swasta/PTPN yang asumsi tahun 2018 pendapatan dapat produktivitasnya mencapai 1,13 ton/ha. berkurang >3 Milyar-an/tahun. Besarnya Dalam budidaya karet dikenal dengan adanya potensi kerugian yang disebabkan oleh tanaman yang berasal dari biji dan klon. penyakit daun ini tentunya harus menjadi 228


Perspektif Kerugian Akibat Penyakit Gugur Daun Pada Tanaman Karet di Sumatera Utara (Cici Indriani Dalimunthe, Zaida Fairuzah, Iif Rahmad Fauzi) perhatian khusus dalam mengantisipasi terjadinya hal tersebut. Oleh karena itu perlu

menejemen pengendalian untuk memperkecil tingkat serangan penyakit daun tersebut.

Tabel 1. Kondisi kerusakan yang disebabkan oleh ketiga penyakit Gugur Daun di Sentra Perkebunan karet Indonesia Penyakit Gugur Daun No Propinsi Corynespora Oidium Colletotrichum 1. Nangro Aceh Darussalam + + + 2. Sumatera Utara +++ + ++ 3. Sumatera Barat + + + 4. Riau +++ + + 5. Jambi +++ ++ ++ 6. Bengkulu ++ + + 7. Sumatera Selatan +++ ++ + 8. Lampung +++ ++ + 9. Jawa Barat +++ ++ +++ 10. Jawa Tengah + + ++ 11. Jawa Timur + + + 12. Kalimantan Barat + + +++ 13. Kalimantan Tengah + + ++ 14. Kalimantan Selatan ++ + ++ 15. Kalimantan Timur + + ++ Keterangan : +++ (berat), ++ (sedang), + (ringan) Sumber : (Situmorang, et. al., 2005) (telah dikoreksi ulang) Tabel 2. Potensi Kerugian akibat penyakit daun di perkebunan karet Sumatera Utara Asumsi

Jumlah

Luas lahan (2012)

575.236 ha

Produksi (2012)

468.668 ton

% kehilangan produksi akibat gugur daun

30 %

Harga karet

1,7 USD

Kurs

Rp 11.700

Tingkat pertumbuhan lahan

3%

Tingkat pertumbuhan produksi

3%

Trend harga karet

1,78%

Harga Jual karet 85% diolah berdasarkan sumber luas areal dan produksi karet 2012 dari Dinas Perkebunan Provinsi Sumatera Utara Tahun 2009-2013 Tabel 3. Keragaan hasil dari perhitungan potensi kerugian akibat penyakit daun di perkebunan karet Sumatera Utara Tahun

Lahan

Produksi

2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020 2021

575.236 592.493 610.268 628.576 647.433 666.856 686.862 707.468 728.692 750.553

468.668 482.728 497.210 512.126 527.490 543.315 559.614 576.403 593.695 611.505

Trend Harga 19.890 20.244 20.503 20.766 21.031 21.301 21.573 21.849 22.129 22.412

Harga Jual 16.907 17.207 17.428 17.651 17.877 18.106 18.337 18.572 18.810 19.050

Pendapatan Kehilangan kebun produksi 7.923.535.542 140.600 8.306.511.709 144.818 8.665.220.111 149.163 9.039.418.976 153.638 9.429.777.245 158.247 9.836.992.745 162.994 10.261.793.440 167.884 10.704.938.728 172.921 11.167.220.802 178.108 11.649.466.065 183.452

Produksi akhir 328.068 337.910 348.047 358.488 369.243 380.320 391.730 403.482 415.586 428.054

Pendapatan akhir 5.546.474.879 5.814.558.196 6.065.654.077 6.327.593.283 6.600.844.071 6.885.894.922 7.183.255.408 7.493.457.110 7.817.054.561 8.154.626.246

Potensi Kehilangan kehilangan pendapatan per kg 2.377.060.663 5.072 2.491.953.513 5.162 2.599.566.033 5.228 2.711.825.693 5.295 2.828.933.173 5.363 2.951.097.824 5.432 3.078.538.032 5.501 3.211.481.618 5.572 3.350.166.241 5.643 3.494.839.820 5.715

diolah berdasarkan sumber luas areal dan produksi karet 2012 Dinas Perkebunan Provinsi Sumatera Utara tahun 2009-2013 Strategi penggunaan klon karet resisten merupakan salah satu tindakan yang tepat yakni dengan cara menggunakan banyak klon yang sifat resistensinya berbeda. Membatasi

penanaman klon yang telah ditanam dalam skala luas ditujukan untuk mengurangi resiko munculnya ras baru patogen pada tanaman. Penanaman banyak klon secara berimbang. 229


Inovasi Vol. 11 No 3. September 2014 : 225-232

Sedikitnya ditanam enam lebih klon dengan proporsi genetika resistensinya berimbang dalam satu hamparan (150-300 ha). Penempatan klon pada lokasi tertentu pada suatu sentra perkebunan dengan melihat informasi perkembangan penyakit, data iklim/cuaca, ketinggian tempat dan kesesuaian suatu klon tersebut (Situmorang et al., 2007). Resistensi Klon Karet. Interaksi genotipe dan lingkungan memberikan pengaruh yang nyata terhadap kinerja klon (Aidi-Daslin dan Sayurandi, 2006). Kemajuan pemuliaan karet dapat dilihat dari pencapaian produktivitas dari klon-klon unggul baru yang dihasilkan dibandingkan dengan klon sebelumnya. Indikator kemajuan diukur dari peningkatan potensi klon menghasilkan lateks serta adanya perbaikan sifat-sifat sekunder penting seperti kejaguran pertumbuhan tanaman dan ketahanan terhadap penyakit (Aidi-Daslin, 2014). Penggunaan klon resisten sebagai tetua dalam persilangan buatan, akan memberikan peluang untuk menghasilkan keturunan (progeny) yang memiliki tingkat resistensi yang tinggi. Karakter potensi hasil lateks diwariskan secara poligenik (poligenic inheritance), sedangkan ketahanan terhadap penyakit umumnya diturunkan dengan gen sederhana (simplegenic inheritance)). Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk memperoleh klon penghasil lateks tinggi yang tahan penyakit adalah dengan teknik konvensional yaitu menyilangkan tetua karet tahan penyakit daun dengan tetua produksi tinggi secara berulang-ulang, sehingga terdapat peluang untuk menyeleksi progeni yang tahan penyakit dari populasi F1. Hasil penelitian Aidi-Daslin (2013) menunjukkan bahwa RRIC 100 dan PB 260 memiliki ketahanan yang paling baik terhadap ketiga penyakit gugur daun tersebut (Tabel 4). Dari data pengamatan memperlihatkan, semua klon karet mempunyai peluang terinfeksi patogen, tetapi tingkat kerusakan yang timbul berbeda antara klon yang satu dengan yang lain. Patogen menyebabkan penyakit pada tanaman dengan cara melemahkan inang yaitu menyerap makanan secara terus menerus dari sel inang, menghentikan dan mengganggu metabolisme sel inang dengan toksin, enzim atau zat pengatur tumbuh yang disekresikannya, menghambat transportasi makanan, hara mineral dan air melalui jaringan pengangkut serta mengkonsumsi kandungan sel inang setelah terjadi kontak (Agrios, 1996).

Tabel 4. Resistensi klon karet introduksi terhadap penyakit daun di Sumatera Utara Klon Nilai resistensi (rate of resistances) Clones C.gloeosp orioides O.heveae C.cassiicola PB 260 MR MR R PB 217 MR MS MR PB 254 MR MR MR PB 312 MR MR MR PB 314 MR MR MR PB 330 M M MR PB 340 MS MR MR MR PB 350 M MR MR PB 359 M M M MR PB 366 MR M RRIM 901 M MR RRIM 908 M MR MR RRIM 911 MR MR M RRIM 921 MR MR MR RRIM 937 MS MR MR RRIC 100 R MR R RRIC 102 MR M MR RRIC 110 M MR MR Suatu pendekatan strategi penanggulangan kerugian akibat penyakit gugur daun di Sumatera Utara dapat disusun melalui analisis SWOT (kekuatan-strengths, kelemahan-weakness, peluang-opportunities, dan ancaman-threats). Rumusan strategi tersebut diperoleh berdasarkan kombinasi faktor lingkungan internal (kekuatan dan kelemahan) dan eksternal (peluang dan ancaman) yang terlibat dalam ruang lingkup masalah. Pada akhirnya pendekatan tersebut dapat dijadikan sebagai dasar pertimbangan dalam pengambilan kebijakan pemerintah daerah dalam upaya peningkatan kinerja agribisnis karet di Sumatera Utara. Berikut Tabel 5 dan 6 merupakan hasil identifikasi lingkungan masalah dan alternatif strategi yang dituangkan ke dalam analisis SWOT. Matriks analisis SWOT memperlihatkan empat alternatif strategi yang dapat dijadikan sebagai dasar pertimbangan terhadap rumusan kebijakan pemerintah yang relevan untuk dijalankan dalam upaya meningkatkan kinerja agribisnis karet. Rumusan tersebut diperoleh melalui pendekatan minimalisasi peluang terjadinya serangan penyakit gugur daun. Keempat alternatif strategi tersebut yaitu : Percepatan difusi klon karet unggul yang resisten terhadap penyakit gugur daun (S-O). Program penyuluhan teknologi penyediaan bahan tanam karet unggul kepada petani (W-O), Penguatan/revitalisasi litbang perkebunan untuk perbaikan kualitas klon karet secara berkesinambungan (S-T). 230


Perspektif Kerugian Akibat Penyakit Gugur Daun Pada Tanaman Karet di Sumatera Utara (Cici Indriani Dalimunthe, Zaida Fairuzah, Iif Rahmad Fauzi) Inisiasi teknologi semusim (W-T).

intercropping

tanaman

Tabel 5. Matriks Identifikasi Lingkungan Internal dan Eksternal Lingkungan internal Kekuatan Potensi areal Provinsi dengan areal kedua terbesar dan terus bertumbuh Organisasi pengelola Kondisi tanaman Lingkungan eksternal Perkembangan litbangtek Kebijakan pemerintah Cuaca/iklim

Peluang Terciptanya klon karet resisten Inisiasi Gernas karet -

Kelemahan Pengelolaan masih tradisional (rakyat) Tanaman asal biji. Ancaman Perubahan cuaca/iklim yang tidak menentu

Tabel 6. Analisis SWOT Penanggulangan Kerugian Akibat Penyakit Gugur Daun di Sumatera Utara. S W - Provinsi dengan areal kedua - Pengelolaan masih Kriteria Analisis terbesar dan terus bertumbuh tradisional (rakyat) - Tanaman asal biji O S–O W–O - Terciptanya klon - Percepatan difusi klon karet - Program karet resisten unggul yang resisten terhadap penyuluhan - Inisiasi gernas penyakit gugur daun teknologi karet penyediaan bahan tanam karet unggul kepada petani T S–T W–T - Perubahan - Penguatan/revitalisasi litbang - Inisiasi teknologi cuaca/iklim yang perkebunan untuk perbaikan intercropping tidak menentu kualitas klon karet secara tanaman semusim berkesinambungan. sebagai hasil sampingan KESIMPULAN Bahan tanaman yang baik sangat memegang peranan penting pada budidaya karet. Adanya klon-klon unggul baru dari lembaga penelitian yang mempunyai potensi produksi yang lebih tinggi akan memudahkan pekebun untuk memperoleh pendapatan yang maksimal. Besarnya potensi kerugian yang ditimbulkan akibat penyakit daun setiap tahunnya perlu diwaspadai dengan cara tidak menanam klon-klon yang rentan terhadap penyakit tersebut. Peran pemerintah sangat dibutuhkan dalam hal ini mengingat jumlah areal perkebunan karet rakyat lebih besar dibandingkan dengan perkebunan swasta/BUMN. Analisis SWOT yang disusun berdasarkan hasil identifikasi lingkungan masalah, menyediakan beberapa alternatif strategi yang dapat dijadikan sebagai dasar pengambilan kebijakan pemerintah dalam upaya meningkatkan kinerja agribisnis karet di Sumatera Utara.

REKOMENDASI Diantara beberapa alternatif strategi yang dikemukakan di atas, alternatif strategi yang dianggap relevan untuk mencegah potensi terjadinya kerugian akibat penyakit gugur daun adalah program percepatan difusi klon karet unggul yang resisten terhadap penyakit gugur daun (S-O) dan program penyuluhan teknologi penyediaan bahan tanam karet unggul kepada petani (W-O). DAFTAR PUSTAKA Agrios, G.N., 1996. Ilmu Penyakit Tumbuhan. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Aidi-Daslin. 2013. Ketahanan genetik berbagai klon karet introduksi terhadap penyakit gugur daun. Jurnal Penelitian Karet, 2013, 31(2): 79-87. Aidi-Daslin. 2014. Perkembangan penelitian klon karet unggul IRR Seri 100 sebagai penghasil lateks dan kayu. Warta Perkaretan, 33(1): 1-10. Aidi-Daslin dan Sayurandi. 2006. Pengaruh interaksi genotipe dan lingkungan terhadap pertumbuhan dan produksi klon IRR seri 100 pada

231


Inovasi Vol. 11 No 3. September 2014 : 225-232

uji lanjutan. Jurnal Penelitian Karet, 2006, 24(2): 91-100.

7-10 Desember 1992. PPP Sungei Putih dan PPP Tanjung Morawa: 4p.

Antara. 2014. Gapkindo minta pemerintah pro petani. http://ekonomi.metrotvnews.com/ diakses tanggal 02 Oktober 2014.

Rahayu, S., Sujatno dan S. Pawirosoemardjo. 2005. Resistensi klon karet harapan terhadap penyakit gugur daun Corynespora dan Colletotrichum. Pros. Lok. Nas. Pemuliaan Tanaman Karet. Medan, 22-23 Nopember 2005. Balai Penelitian Sungei Putih. Pusat Penelitian Karet. Hal 275-289.

Anwar, C. 2006. Perkembangan pasar dan prospek agribisnis karet di Indonesia. Pros. Lok. Nas. Budidaya Tanaman Karet 2006. 10-23. Dalimunthe, C.I., Z. Fairuzah dan Aidi-Daslin. 2011. Pemanfaatan Mikroorganisme antagonis untuk mengendalikan penyakit penting pada tanaman karet. Pros. Seminar Nasional Mikologi dan Pembentukan Perhimpunan Mikologi Indonesia. Purwokerto, 15-16 Mei 2012: hal 482-488.

Situmorang, A., M. Lasminingsih dan T. Wijaya. 2005. Resistensi klon karet anjuran dan strategi penggunaannya dalam pengendalian penyakit penting di perkebunan karet Indonesia. Pros. Lok. Nas. Pemuliaan Tanaman Karet. Medan, 22-23 Nopember 2005. Balai Penelitian Sungei Putih. Pusat Penelitian Karet. Hal 141-156.

David, R. Fred. 2009. Manajemen Strategis Konsep. Salemba Empat. Jakarta. Majid, A. 1974. Bahan Tanam Karet Unggul untuk peremajaan. Menara Perkebunan. 42: 267-269.

Situmorang, A., M.S. Sinaga., R. Suseno, S.H. Hidayat, Siswanto dan A. Darussamin. 2004. Status dan managemen pengendalian penyakit gugur daun Corynespora di Perkebunan Karet. Pertemuan Teknis Strategi Pengelolaan Penyakit Tanaman Karet untuk Mempertahankan potensi produksi mendukung industri perkaretan Indonesia tahun 2020 di Palembang, 6-7 Oktober 2004. Balit Sembawa. 21p.

Pawirosoemardjo, S. 1999. Laporan hasil penelitian epidemiologi dan pengendalian penyakit gugur daun Corynespora dan Colletotrichum secara terpadu. Proyek Penelitian Karet Sungei Putih, 5p. Pawirosoemardjo, S. 2004. Managemen pengendalian penyakit penting dalam upaya mengamankan target produksi karet nasional tahun 2020. Pertemuan Teknis Strategi Pengelolaan Penyakit Tanaman Karet untuk Mempertahankan Potensi Produksi Mendukung Industri Perkaretan Indonesia Tahun 2020 di Palembang, 6–7 Oktober 2004. Balit Sembawa. 17p.

Situmorang, A., A. Budiman, S. Pawirosoemardjo dan M. Lasminingsih. 1996. Epidemic of corynespora leaf fall disease and its preventive methods in rubber plantation. Proc. CLF Disease of Hevea Ruber Medan, 1617 Dec 1996. Pusat Penelitian Karet. 260p.

Pawirosoemardjo, S. 2007. Perilaku Patogen dan Epidemi Beberapa Penyakit pada tanaman karet. Warta Perkaretan. 26(1):27-39.

Soepena, H. 1985. Penyakit Daun Pada Tanaman Karet. Balai Penelitian Sungei Putih. Pusat Penelitian Karet. 8 hal.

Pawirosoemardjo, S dan H. Suryaningtyas. 2008. Strategi pengendalian penyakit gugur daun dan pencegahan penyakit hawar daun Amerika Selatan pada tanaman karet di Indonesia. Pros. Lokakarya Nasional Agribisnis Karet 2008. Yogyakarta 20-

Sujatno, Syafiuddin dan S. Pawirosoemardjo. 1998. Resistensi klon harapan terhadap penyakit utama tanaman karet. Lokakarya Nasional Pemuliaan Karet 1998 dan Diskusi Nasional Prospek Karet dalam abad 21. Pusat Penelitian Karet. Asosiasi Peneliti Perkebunan Indonesia. Hal 223-235.

21 Agustus 2008. 194–212. Pawirosoemardjo, S., A. Situmorang, H. Soepena. 1992. Sebaran penyakit utama tanaman karet di Indonesia. Pros. Lokakarya Nasional Pemuliaan Tanaman Karet, Medan,

232


Pedoman Penulisan Naskah Ilmiah Jurnal INOVASI Jurnal INOVASI memuat karya tulis ilmiah hasil penelitian atau tinjauan kepustakaan dalam bidang pemerintahan dan kemasyarakatan, sosial budaya, ekonomi dan pembangunan, sumberdaya alam dan maritim sebagai bahan kebijakan dan wawasan berpolitik. Jurnal INOVASI terbit empat kali dalam setahun setiap bulan Maret, Juni, September dan Desember.

g.

h.

Naskah yang akan diterbitkan dalam Jurnal INOVASI Balitbang Provinsi Sumatera Utara, harus memenuhi ketentuan berikut : Bentuk Naskah 1. Naskah berupa karya asli yang belum pernah dipublikasikan di tempat lain dan tidak sedang diajukan ke tempat lain. 2. Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris sesuai dengan kaidah masingmasing bahasa yang digunakan. Komponen Naskah Komponen utama naskah wajib mencantumkan dan memuat hal-hal berikut: a. Judul, dalam bahasa Indonesia disertai dengan terjemahannya dalam bahasa Inggris, ditulis dengan jelas menggambarkan isi tulisan. b. Identitas Penulis, dimuat di bawah judul tulisan, memuat nama, alamat korespondensi dan e-mail. c. Abstrak ditulis dalam Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris beserta kata kunci sebanyak 37. Abstrak ditulis dalam 1 alinea berisi latar belakang masalah, tujuan penelitian, hasil, dan rekomendasi. Panjang abstrak dibatasi 200450 kata. d. Pendahuluan, tidak menggunakan subjudul, berisi penjelasan padat dan ringkas tentang latar belakang dilakukannya penelitian, studi pustaka yang mendukung dan relevan, serta tujuan penelitian. e. Metode berisikan disain penelitian yang digunakan, lokasi penelitian, populasi, sampel, sumber data, instrumen, pendekatan terhadap analisis data serta teknik analisis/ uji statistik yang digunakan. Bagian metode ditulis tanpa subjudul. f. Hasil dan Pembahasan, adalah temuan penelitian yang disajikan apa adanya tanpa pendapat penulis, kemudian dilanjutkan dengan bahasan argumentatif-interpretatif tentang jawaban terhadap hasil penelitian yang ditulis secara sistematis sesuai tujuan penelitian dan relevan dengan penelitian

i.

j.

terdahulu. Bagian Hasil dan Pembahasan ditulis tanpa subjudul. Kesimpulan menjawab tujuan penelitian tanpa melampauinya. Sedapat mungkin bagian kesimpulan ditulis dalam bentuk narasi. Rekomendasi berisi usulan-usulan kebijakan yang memungkinkan dihasilkan, berisi bentuk dan telaahannya untuk dilaksanakan mengacu pada prinsip tepat-guna, logis dan relevan. Jika tidak memungkinkan dalam bentuk narasi, rekomendasi dapat dibuat dalam bentuk butir-butir rekomendasi. Daftar Pustaka menuliskan sesuai dengan acuan model Harvard (lihat contoh), berurutan sesuai abjad. Jumlah kepustakaan untuk tulisan hasil penelitian minimum 10 rujukan sementara untuk Tinjauan Kepustakaan minimum 20 rujukan. Ucapan Terima Kasih, jika ada, merupakan wujud penghargaan kepada pihak-pihak yang terlibat dalam penelitian atau penulisan naskah.

Tabel dan Gambar Tabel, gambar dan grafik dapat terbaca dengan jelas serta diberi penjelasan yang memadai, mudah dipahami dan proporsional. Judul tabel diletakkan di atas tabel dan judul gambar di bawah gambar. Tabel dan atau gambar yang diacu dari sumber lain harus disebutkan, kecuali merupakan hasil penelitian penulisnya sendiri. Peta yang dicantumkan dalam tulisan harus dibuat dalam resolusi yang tinggi sehingga memudahkan pencetakkan dan menampilkan hasil yang baik. Penulis yang mencantumkan peta diminta untuk membayar tambahan biaya pencetakan peta dimaksud. Contoh Penulisan Daftar Pustaka Buku Abel, R. 2004. Revolusi Kesehatan Mata: Pencegahan dan Pengembalian Masalah Penglihatan. New York: Kensington Book Chaniago, A. 2010. Studi Pustaka dan Konseptualisasi Penelitian. Dalam: Zaluchu, F. Metodologi Penelitian Kesehatan. Bandung: Citapustaka Media, hal 79-92. Artikel dari Jurnal Ang, L. dan Taylor, B. 2005. Memanajemen Keuntungan Konsumen Menggunakan Matriks Portofolio. Jurnal Pemasaran dan Manajemen Konsumen Strategik 12 (5), hal 298-304 Bagian di dalam buku Ballinger, A. dan Clark, M. 2001. Nutrisi, Pengendalian Nafsu Makan dan Penyakit. Dalam: Payne-James, J. dkk.


editor. Dukungan Artifisial bagi Praktik Klinik. Edisi kedua. London: Greenwich Medical, hal 225-239 Laporan Komisi Eropa. 2004. Laporan Pendahuluan terhadap Implementasi dari Strategi Pemasaran Internal 2003-2006. Luxemburg: Unit Publikasi Komisi Eropa. Konferensi Fiedelius, H.C. 2000. Miopi dan Penurunan Visual: Aspek Global. Dalam: Lin, L.L.K. dkk. editor. Miopia Terbarukan II: Prosiding Konferensi Internasional ke-7. Taipei, 17-20 Nopember 1998. Tokyo: Springer, hal 31-37. Tesis Garcia-Sierra, A. 2000. Investigasi Penyebab Ca-Serviks pada Wanita Usia Subur di Perkotaan. Tesis PhD, Universitas Indonesia. Jurnal Artikel Elektronik (yang diunduh) Merchant, A.T. 2009. Diet dan Aktifitas Fisik pada AnakAnak di Kawasan Kumuh Perkotaan: sebuah Studi Cross Sectional. Jurnal Nutrisi [Online] Edisi 6. Dari: http://www.nutritionj.com/content/pdf/1475-28916.1.pdf [Diakses: 10 Mei 2007]. Web Page (yang dibaca) Thompson, B. 2006. Mengapa Balita Butuh ASI [Online]. Dari: http://news.bbc.co.uk/1/hi/health/459876 [Diakses: 10 Mei 2007]. Depkes RI. 2006. Panduan Imunisasi [Online]. Dari: http://www.depkes.go.id/bayi_panduan_imunisasi/2345 [Diakses: 19 Februari 2011].

Penulisan Naskah dituliskan dengan menggunakan Times New Roman 12, maksimal 20 halaman A4 spasi ganda, ditulis dengan program komputer Microsoft Word. Prosedur Naskah Naskah yang masuk hendaknya diterima 2 (dua) bulan sebelum waktu penerbitan untuk di-review oleh anggota dewan redaksi dan reviewer (mitra bestari) yang ditunjuk oleh Dewan Redaksi. Dewan Redaksi berhak menolak naskah ilmiah yang dianggap tidak layak muat di Jurnal Inovasi. Naskah diserahkan dalam 2 (dua) media yaitu hardcopy dan softcopy yang keduanya harus memuat isi yang sama. Nama file, judul dan nama penulis naskah dituliskan pada label CD. Pengiriman naskah ke alamat redaksi melalui surat elektronik ke : inovasibpp@gmail.com atau melalui pos ke : Dewan Redaksi Jurnal INOVASI Badan Penelitian Dan Pengembangan Provinsi Sumatera Utara Jl. Sisingamangaraja No. 198 Medan 20126 Redaksi berhak menolak naskah yang isi dan formatnya tidak sesuai dengan pedoman

penulisan naskah di atas dan redaksi tidak berkewajiban untuk mengembalikan naskah tersebut. Setiap penerimaan atau penolakan naskah akan disertai dengan surat resmi yang ditandatangani oleh Dewan Redaksi dan dikirimkan kepada penulis. Setiap penulis yang karya tulisnya telah diterbitkan, akan mendapat satu buah cetak lepas dan satu buah full print. Hak Cipta Setiap penulis menyetujui untuk mengalihkan hak ciptanya ke Jurnal Inovasi jika naskahnya diterima untuk diterbitkan.


INOVASI – Vol. 11, No.3, September 2014, halaman 159 - 232

Alamat Redaksi : BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PROVINSI SUMATERA UTARA Jl. Sisingamangaraja No. 198 Medan 20126 Tel. (061) 7866225; 7883016; Fax. (061) 7866248 Email : inovasibpp@gmail.com


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.