Jurnal Inovasi Maret 2014

Page 1

ISSN 1829-8079

INOVASI JURNAL POLITIK DAN KEBIJAKAN Vol. 11 No. 1, Maret 2014

Pengorganisasian Promosi Kesehatan di Era Otonomi Daerah (Ida Yustina, Heldy B.Z.) Dinamika Fertilitas dan Implikasi Kebijakan di Provinsi Sumatera Utara (Heru Santosa) Penanganan Konflik Sumber Daya Alam di Sumatera Utara: Studi Kasus Konflik Pertambangan Emas di Kabupaten Mandailing Natal (Dwi Endah Purwanti) Kajian Partisipasi Masyarakat Nelayan dalam Kebijakan Pro Poor yang ditujukan pada Nelayan di Sumatera Utara. (Dumora Jenny Margaretha Siagian, Sussana Eddyono) Kebijakan Peningkatan Profesionalisme Guru Madrasah Aliyah Ar-Raudhatul Hasanah Medan (Jonni Sitorus) Penentuan Komoditi Sayur dan Buah-buahan Unggulan di Sumatera Utara (Porman Juanda Marpomari Mahulae, Nobrya Husni) Hubungan Antara Faktor-Faktor Demografi dengan Ketersediaan Hutan Kota di Kota Medan (Johansen Silalahi, Rospita Situmorang) Paradigma, Anggaran dan Kerjasama Penelitian Kebijakan (Hendarman) Manajemen Perubahan Tata Kelola Pada Pulau-Pulau Kecil Terdepan (Prakoso Bhairawa Putera, Amelya Gustina)

Diterbitkan oleh :

Badan Penelitian dan Pengembangan Provinsi Sumatera Utara Inovasi Vol. 11 No. 1

Hal. 1-82

Medan Maret 2014

ISSN 1829 - 8079

Terakreditasi sebagai Majalah Berkala Ilmiah dengan Nomor Akreditasi: 532/AU2/P2MI-LIPI/04/2013


Volume 11, Nomor 1

Maret 2014

ISSN 1829-8079

Jurnal INOVASI adalah jurnal ilmiah bidang ilmu politik dan kebijakan yang terakreditasi dengan Nomor Akreditasi: 532/AU2/P2MI-LIPI/04/2013 berdasarkan Surat Keputusan Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Nomor : 377/E/2013 tanggal 16 April 2013 Jurnal INOVASI sebagai media litbang Provinsi Sumatera Utara memuat karya tulis ilmiah hasil penelitian atau tinjauan kepustakaan dalam bidang pemerintahan dan kemasyarakatan, sosial budaya, ekonomi dan pembangunan, sumberdaya alam dan maritim sebagai bahan kebijakan dan wawasan berpolitik yang terbit empat kali dalam setahun setiap bulan Maret, Juni, September dan Desember.

Penasehat Penanggung Jawab Pemimpin Redaksi Dewan Redaksi

Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Provinsi Sumatera Utara Sekretaris Badan Penelitian dan Pengembangan Provinsi Sumatera Utara Prof. Dr. H. Syaiful Sagala, S.Sos, M.Pd (Pendidikan, Universitas Negeri Medan) Prof. Dr. Dra. Ida Yustina, M. Si (Kesehatan, Universitas Sumatera Utara) Prof. Dr. Ir. Nurhayati, MP (Pertanian, Universitas Islam Sumatera Utara) Prof. Dr. Suharta, M.Si (Teknik, Universitas Negeri Medan) Warjio, MA, PSD (Kesejahteraan Sosial, Universitas Sumatera Utara) Iskandar Muda, SE, M.Si., Ak (Ekonomi, Universitas Sumatera Utara) Suzanna Eddyono, S.Sos., M.Si., MA (Sosiologi, Universitas Muhammadiyah Sumut) Jonni Sitorus, ST., M.Pd (Pendidikan, Balitbang Provinsi Sumut)

Redaksi Pelaksana

Irwan Purnama, SE Nobrya Husni, ST Porman Juanda Marpomari Mahulae, ST

Tata Usaha dan Sirkulasi

Dumora Jenny Margaretha Siagian, ST Silvia Darina, SP Sahat C. Simanjuntak, ST Anton Parlindungan Sinaga, ST

Mitra Bestari Volume 11, 11, Nomor 1, Maret 2014 Badaruddin (Sosial dan Politik, Universitas Sumatera Utara) Zulkifli Nasution (Pertanian, Universitas Sumatera Utara Fotarisman Zaluchu (Kesehatan, Balitbang Nias) Julaga Situmorang (Pendidikan, Universits Negeri Medan) Gustam Lubis (Teknik, Institut Teknologi Medan) Marlon Sihombing (Kebijakan Publik, Universitas Sumatera Utara) Alamat Penerbit : BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PROVINSI SUMATERA UTARA Jl. Sisingamangaraja No. 198 Medan 20126 Tel. (061) 7866225; 7883016 - Fax. (061) 7866248 Website : http://balitbang.sumutprov.go.id Email : inovasibpp@gmail.com


PENGANTAR REDAKSI

Pembaca yang terhormat, Jurnal Inovasi kembali hadir di tengah-tengah para pembaca dan peminat ilmu pengetahuan sekalian. Pada edisi kali ini kami menyajikan berbagai tulisan dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan. Pada bidang kesehatan terdapat tulisan mengenai pengorganisasian promosi kesehatan di era otonomi daerah serta dinamika fertilitas dan implikasi kebijakan di Provinsi Sumatera Utara. Tulisan mengenai penanganan konflik sumber daya alam di Sumatera Utara dengan studi kasus konflik pertambangan emas di kabupaten Mandailing Natal juga kami sajikan mengingat isu ini masih menjadi sesuatu yang perlu diperhatikan oleh pemerintah. Mengingat banyaknya kebijakan yang ditujukan kepada masyarakat nelayan untuk meningkatkan kesejahteraannya, hasil penelitian partisipasi masyarakat nelayan dalam kebijakan pro-poor yang ditujukan pada nelayan di Sumatera Utara juga perlu menjadi bahan pertimbangan para pengambil kebijakan. Jurnal ini juga memuat tulisan di bidang pendidikan berupa kebijakan peningkatan profesionalisme guru madrasah Aliyah Ar-Raudhatul Hasanah Medan serta paradigma, anggaran dan kerjasama penelitian kebijakan. Tulisan penentuan komoditi sayur dan buah-buahan unggulan di Sumatera Utara serta hubungan antara faktor-faktor demografi dengan ketersediaan hutan kota di Kota Medan juga dapat menjadi bahan kita dalam meningkatkan pengetahuan. Sebagai penutupnya, kami menyajikan hasil penelitian manajemen perubahan tata kelola pada pulau-pulau kecil terdepan yang merupakan implikasi dari Peraturan Pemerintah Nomor 62 Tahun 2010. Kembali kami mengharapkan semoga tulisan-tulisan ini menjadi media bagi kita untuk mengetahui perkembangan dan mengevaluasi penelitian yang sudah pernah dilakukan. Terima kasih dan selamat membaca. -Dewan Redaksi-


Volume 11, Nomor 1

Maret 2014

ISSN 1829-8079

bebas.. Lembar abstrak ini boleh diperbanyak/dicopy Kata kunci yang ddiicantumkan adalah istilah bebas tanpa ijin dan biaya. DDC 613 Ida Yustina, Heldy B.Z.

penentuan program kegiatan prioritas dan penyerasian kebijakan pembangunan penduduk serta keluarga berencana.

Pengorganisasian Promosi Kesehatan di Era Otonomi Daerah

Kata Kunci: angka kelahiran total, keluarga berencana dan implikasi kebijakan DDC 658.405 Dwi Endah Purwanti

Inovasi, Jurnal Politik dan Kebijakan, Maret 2014, Vol 11, No. 1, halaman 1-6 Penelitian ini untuk menganalisis pengorganisasian upaya promosi kesehatan yang dilakukan kabupaten dan kota di Provinsi Sumatera Utara Hasil penelitian menunjukkan upaya promosi kesehatan yang dilakukan oleh pemerintah, kabupaten dan kota dalam struktur organisasi ditempatkan dalam tingkatan seksi. Meski demikian, penempatan nomenklatur upaya promosi kesehatan diwarnai oleh asumsi tenaga kesehatan di masing-masing kabupaten dan kota. Seyogyanya promosi kesehatan merupakan upaya kesehatan yang melekat pada setiap program yang diselenggarakan oleh pelayanan kesehatan. Dalam kaitan itu diperlukan peningkatan pemahaman tenaga kesehatan tentang konsep promosi kesehatan melalui berbagai program pelatihan. Tulisan ini merekomendasikan Pemahaman tenaga kesehatan di Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota tentang konsep promosi kesehatan yang perlu ditingkatkan dalam rangka membangun pemahaman yang komprehensif tentang upaya kesehatan tersebut, sehingga dalam implementasinya terdapat koordinasi yang baik antara unit-unit kerja yang masing-masing mengklaim melakukan promosi kesehatan. Peningkatan pemahaman tersebut dapat dilakukan dalam program pelatihan yang dirancang khusus untuk menguatkan pemahaman konsep dimaksud. Kata Kunci: promo kesehatan, pengorganisasian, otonomi daerah DDC 613.9 Heru Santosa Dinamika Fertilitas dan Implikasi Kebijakan di Provinsi Sumatera Utara Inovasi, Jurnal Politik dan Kebijakan, Maret 2014, Vol 11, No. 1, halaman 7-14 Penelitian ini untuk mengetahui pola dan dinamika fertilitas dan hubungannya dengan pencapaian keluarga berencana di Provinsi Sumatera Utara Hasil menunjukkan masih tingginya angka kelahiran total di Provinsi Sumatera Utara. Disamping itu, disparitas angka kelahiran total juga terjadi antar daerah kabupaten/kota. Ada korelasi secara signifikan antara penurunan angka kelahiran total dengan keikutsertaan keluarga berencana. Semakin tinggi persentase keikutsertaan keluarga berencana, semakin rendah angka kelahiran total. Oleh karena itu, kebijakan yang perlu dilakukan adalah meningkatkan keikutsertaan keluarga berencana dengan melakukan revitalisasi program keluarga berencana,

Penanganan Konflik Sumber Daya Alam di Sumatera Utara: Studi Kasus Konflik Pertambangan Emas di Kabupaten Mandailing Natal Inovasi, Jurnal Politik dan Kebijakan, Maret 2014, Vol 11, No. 1, halaman 15-23 Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan akar permasalahan terjadinya konflik terkait Sumber Daya Alam di Kabupaten Mandailing Natal, Sumatera Utara, untuk mengetahui aktor-aktor yang terlibat dalam konflik, termasuk posisi, kepentingan, dan hubungan diantara para aktor, serta mengetahui intensitas konflik kekerasan yang terjadi, perluasan konflik, dampak konflik kekerasan tersebut terhadap kehidupan masyarakat, dan respon para aktor dalam penanganan konflik dan menyusun opsi kebijakan bagi Pemerintah Provinsi Sumatera Utara dalam menetapkan skema penyelesaian atas kasus-kasus pertambangan tersebut. Konflik pertambangan yang muncul di Kabupaten Mandailing Natal berakar dari motif ekonomi karena adanya pihak-pihak yang memiliki kepentingan dan tujuan berbeda-beda untuk penguasaan sumber pertambangan emas di wilayah tersebut. Selanjutnya konflik muncul dalam berbagai bentuk isu, yaitu: isu tapal batas wilayah kontrak karya, isu limbah dan kelestarian lingkungan hidup, isu manfaat kehadiran perusahaan tambang bagi peningkatan ekonomi masyarakat, isu pembodohan masyarakat oleh perusahaan, dan isu Corporate Social Responsibility (CSR). Kajian ini memunculkan beberapa rekomendasi kebijakan antara lain perlunya melibatkan masyarakat dalam menetapkan batas, tata ruang dan manajemen pengelolaan sumber daya alam, perlunya sikap keterbukaan dari perusahaan, pentingnya harmonisasi kebijakan antara pemerintah pusat dan daerah dalam pengelolaan sumber daya alam, utamanya pertambangan, serta perlunya mengedepankan proses mediasi sehingga diperoleh penanganan konflik dengan pendekatan win-win solution.

Kata Kunci: konflik sosial, konflik sumber daya alam, konflik pertambangan, PETI (Pertambangan Tanpa Ijin), Kabupaten Mandailing Natal, PT Sorik Mas Mining. DDC 302.14 Dumora Jenny Margaretha Siagian, Sussana Eddyono Kajian Partisipasi Masyarakat Nelayan dalam Kebijakan Pro Poor yang ditujukan pada Nelayan di Sumatera Utara.


Inovasi, Jurnal Politik dan Kebijakan, Maret 2014, Vol 11, No. 1, halaman 24-32 Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis keterlibatan masyarakat nelayan di Sumatera Utara dalam proses perencanaan dan penganggaran kebijakan pro poor yang ditujukan kepada mereka. Hasil penelitian menunjukkan bahwa partisipasi masyarakat nelayan di Sumatera Utara dalam pembuatan kebijakan masih relatif minimal.Begitu juga penyusunan rencana dan penganggaran beberapa program perikanan tangkap yang ditujukan pada nelayan masih belum melibatkan partisipasi nelayan miskin secara langsung. Rekomendasi yang diberikan agar keterlibatan kelompok nelayan miskin dapat dilembagakan, maka diperlukan suatu mekanisme yang dapat secara formal menampung aspirasi nelayan sekaligus memampukan nelayan untuk menyalurkan aspirasinya secara langsung. Kata Kunci: kebijakan, pro poor, nelayan DDC 371 Jonni Sitorus Kebijakan Peningkatan Profesionalisme Guru Madrasah Aliyah Ar-Raudhatul Hasanah Medan Inovasi, Jurnal Politik dan Kebijakan, Maret 2014, Vol 11, No. 1, halaman 33-41 Tujuan penelitian adalah: untuk mengetahui regulasi dan pelaksanaan kebijakan peningkatan profesionalisme guru di Madrasah Aliyah Ar-Raudhatul Hasanah Medan. Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa regulasi terkait peningkatan profesionalisme guru telah diatur pada Tata Tertib Guru Pesantren Tarbiyah Islamiah ArRaudhatul Hasanah Medan Tahun 2012, baik dalam bentuk kebijakan terkait supervisi/pengawasan, pendidikan dan pelatihan, maupun reward dan punishment terhadap guru. Peningkatan profesionalisme guru dalam aspek kompetensinya dilakukan melalui pendidikan dan pelatihan dalam bentuk: pendidikan lanjut, inhouse training, workshop, diskusi dan seminar pendidikan. Direkomendasikan kepada: Pemerintah Kota Medan melalui Dinas Pendidikan dan Kementerian Agama agar memberikan kesempatan yang luas kepada guru-guru untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi; pihak madrasah dapat memberikan kebijakan dan regulasi yang proporsional terkait keempat kompetensi guru (pedagogik, kepribadian, sosial dan profesional); Kata Kunci: Penelitian, Regulasi Pendidikan, Kebijakan Pendidikan, Reward dan Punishment, Pendidikan dan Pelatihan, Supervisi dan Pengawasan DDC 630.7 Porman Juanda Marpomari Mahulae, Nobrya Husni Penentuan Komoditi Sayur dan Buah-buahan Unggulan di Sumatera Utara Inovasi, Jurnal Politik dan Kebijakan, Maret 2014, Vol 11, No. 1, halaman 42-51 Penelitian ini bertujuan untuk menentukan komoditi sayur dan buah-buahan yang menjadi unggulan prioritas dengan menggunakan metode analisa location quotient (LQ) Shift Share. Penelitian ini menyimpulkan bahwa komoditi unggulan yang menjadi prioritas untuk dikembangkan di Sumatera Utara yang didasarkan pertimbangan pasar, ekologi dan sosial ekonomi, secara berurutan adalah cabe besar, kentang, kol/kubis, wortel, bunga kol, tomat, terong, buncis, cabe rawit dan petsay/sawi untuk komoditi sayuran. Sedangkan untuk komoditi buah-buahan secara berurutan adalah nenas, durian, jeruk siam, salak, jeruk besar, belimbing, duku / langsat dan

jambu air. Tulisan ini merekomendasikan agar Pemerintah Sumatera Utara menentukan kawasan atau wilayah sentra pengembangan komoditi pertanian unggulan Sumatera Utara dengan pola penggunaan lahan yang dioptimasi secara spasial. Serta Para stakeholder terkait di lingkungan Sumatera Utara dapat menyusun langkah strategi pengembangan komoditikomoditi tersebut dengan tahapan : 1) mengidentifikasi potensi dan kendala yang dihadapi jika akan mengembangkan produk tersebut hingga mampu meningkatkan kualitas dan bersaing di pasaran; 2) melaksanakan kegiatan pengembangan (pengolahan dan pemasaran) untuk memperoleh nilai tambah dan meningkatkan pendapatan; dan 3) melaksanakan evaluasi untuk meningkatkan kekuatan produk dan kinerja usaha. Kata Kunci: komoditi unggulan, sayur, buah-buahan DDC 635.977 Johansen Silalahi, Rospita Situmorang Hubungan Antara Faktor-Faktor Demografi Ketersediaan Hutan Kota di Kota Medan

Dengan

Inovasi, Jurnal politik dan Kebijakan, Maret 2014, Vol.11, No. 1, halaman 52-59 Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan hubungan ketersediaan hutan kota dengan jumlah penduduk dan tingkat pencemaran di Kota Medan serta menganalisis kebutuhan hutan kota berdasarkan jumlah penduduk dan tingkat pencemaran di Kota Medan. Kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian ini adalah Pemerintah Kota Medan belum mempertimbangkan faktor demografi berupa jumlah penduduk, sebaran penduduk dan tingkat pencemaran dalam penentuan kebutuhan hutan kota. Persentase ketersediaan hutan kota di Kota Medan mencapai 0,41 persen (%), sehingga tidak memenuhi target 10 % dari luas kota seperti yang diamanahkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2002 tentang Hutan Kota. Luas hutan kota yang dibutuhkan jika dikaitkan dengan jumlah penduduk Kota Medan tahun 2011 adalah 846,87 Ha. Perkiraan kebutuhan hutan kota jika dikaitkan dengan tingkat pencemaran tahun 2011 dengan jenis pohon yang ditanam terdiri dari beringin (Ficus benjamina), trembesi (Antidesma bunius), daun kupu-kupu (Bauimia purperea), mahoni (Swietenia macrophylla), pulai (Alstonia scholaris), tanjung (Mimosops elengi) adalah seluas 1.008,2 Ha.

Kata Kunci: Hutan kota, faktor-faktor demografi, penduduk, pencemaran DDC 370.5 Hendarman Paradigma, Anggaran dan Kerjasama Penelitian Kebijakan Inovasi, Jurnal Politik dan Kebijakan, Maret 2014, Vol 11, No. 1, halaman 60-69 Tulisan ini bertujuan untuk mengkaji sejauhmana penelitian kebijakan yang dilakukan didasarkan prinsip integritas dan sinergi dalam rangka perumusan dan perbaikan kebijakan yang dapat diterima pemangku kepentingan.Terdapat tiga tujuan khusus, yaitu menganalisis paradigma penelitian, kondisi anggaran penelitian, dan mekanisme kerjasama. Kajian ini menggunakan ex post facto research dan dianalisis dengan meta-analysis. Untuk memperkuat analisis maka digunakan sejumlah pengalaman dari Badan Penelitian dan Pengembangan khususnya yang berada di Sumatera Utara. Temuan mengungkapkan bahwa ketidakmampuan lembaga penelitian memberikan kontribusi data dan informasi secara akurat, cepat dan tepat waktu bagi pemegang kebijakan karena penelitian kebijakan yang dilakukan bersifat reaktif yaitu baru dilakukan setelah muncul kasus-kasus, tidak didukung oleh alokasi anggaran yang memadai, tidak melibatkan pemangku kepentingan yang terkait, dan tidak dipublikasikan kepada publik. Di masa mendatang penelitian kebijakan seyogianya


memiliki paradigma futuristik, antisipatif, responsif, analitis, dan akuisitif opini publik. Di samping itu, alokasi anggaran untuk melakukan penelitian kebijakan perlu didasarkan atas Pendapatan Domestik Bruto (PDB) sebagaimana yang dilakukan di berbagai negara maju. Agar penelitian kebijakan dapat menghasilkan rekomendasi yang dapat diterima maka keterlibatan dan partisipasi berbagai pemangku kepentingan menjadi suatu keharusan. Kata Kunci: paradigma, anggaran, kerjasama, penelitian kebijakan, Sumatera Utara DDC 658.005 Prakoso Bhairawa Putera, Amelya Gustina Manajemen Perubahan Tata Kelola Pada Pulau-Pulau Kecil Terdepan Inovasi, Jurnal Politik dan Kebijakan, Maret 2014, Vol 11, No. 1, halaman 70-82 Tulisan ini mengkaji penerapan manajemen perubahan dalam penataan kembali tata kelola pulau-pulau kecil terdepan. Metode yang akan digunakan pada penulisan ini adalah studi pustaka. Temuan dari analisis menunjukkan bahwa pengelolaan pulau-pulau kecil terdepan di Indonesia membutuhkan perubahan dalam pengelolaannya. Perubahan tersebut mencakup transformasi dan perubahan visi, sistem kerja, sampai restrukturisasi dan harus terus menerus dilakukan untuk menjaga keseimbangan dalam sistem. Ada empat wujud dari perubahan tersebut, yaitu 1) perubahan paradigma terhadap pulau-pulau kecil terluar, 2) pengembangan sistem pertahanan dan keamanan di pulaupulau kecil, 3) pengembangan sistem perekonomian, dan 4) pengembangan aspek sosial budaya, dan kelembagaan. Rekomendasi mendasar dari hasil menunjukkan bahwa manajemen perubahan sangat layak untuk diimplementasikan dan sejalan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 62 Tahun 2010, karena bukanlah teori tetapi sebuah pendekatan yang memfokuskan pada perubahan strategis dan perubahan operasional. Kata kunci: Manajemen Perubahan, Tata Kelola, Pulau-pulau Kecil Terdepan, Negara Maritim, Implikasi Kebijakan



Volume 10, Nomor 3

Maret 2014

ISSN 1829-8079

The discriptors given are keywords. The abstrack sheet may by reproduced/ copied without permission or charge DDC 613 Ida Yustina, Heldy B.Z. The Organizing Of Health Promotion In Local Autonomy Era Inovasi, Journal of Politics and Policy, Maret 2014, Vol 11, No. 1, p. 1-6 The descriptive survey was done to analyze the organizing of promotion health effort by district and city in Sumatera Utara Province. The research showed that the organizing of health promotion which is shown in the district health office structure caused the activity of health promotion was done partially, only by the unit which had health promotion nomenclature. In organization structure level, health promotion was placed in the section level. It should be involved in each program were implemented by health services. Besides the nomenclature of health promotion in organization structure of health office need to be evaluated, the understanding of health officer about the health promotion also need to increase through trainings program. This paper recommends understanding of health personnel at the District Health Office / City of the concept of health promotion needs to be improved in order to build a comprehensive understanding of the health effort, resulting in the implementation there is good coordination between work units, each of which claims to health promotion. Improved understanding of these can be done in a training program specifically designed to strengthen understanding of the concept in question. Keywords: Health Promotion, Organizing DDC 613.9 Heru Santosa The Dynamics Of Fertility In North Sumatera Province And Its Policy Implications Inovasi, Journal of Politics and Policy, Maret 2014, Vol 11, No. 1, p. 7-14 This study was to determine the pattern and dynamics of fertility and its relationship with the achievement of family planning in the Province of North Sumatra. Total fertility rate was still high in the province of North Sumatera. In addition, the total fertility rate disparity also existed between the district/city. There was a significant correlation between the decrease in the total fertility rate with the participation in family planning. The higher the percentage participation of family planning, the lower of the total fertility rate. Therefore, the policy needs to be done is to increase the participation of family planning, to revitalize family planning programs, to determine program priorities and to harmonize the policy of population development and family planning. Keywords: total fertility rate, family planning and policy implications. DDC 658.405

Dwi Endah Purwanti Conflict Management Of Natural Resources In North Sumatera : Case Studies Conflict Of Gold Mining In Mandailing Natal Regency Inovasi, Journal of Politics and Policy, Maret 2014, Vol 11, No. 1, p. 15-23 This research is conducted to gain some purposes to exploring the root cause of natural resources conflict in Mandailing Natal, North Sumater, identifying actors involved in the conflict, including their position, interests, needs, agenda, and the relationship among these actors, describing their contribution in driving the conflict or otherwise encouraging conflict resolution; to determining the intensity and expansion of the conflict, its impact to people’s lives, and the response of the actors involved; and to formulating policy options for The Governor of North Sumatera in designing conflict prevention and resolution either for short, medium, or long term. The study applied a qualitative approach and conducted in Mandailing Natal, North Sumatera, economic motives become the root cause of the conflict, because of the parties who have interests and different goals for mastery source of gold mining in the region. The next conflict arises in many forms of issues, namely: the issue of the boundary region of the works contract, the issue of waste and environmental sustainability, the issue of mining companies for the benefit of the community economic development, the issue of duping the public by the company, the issue of Corporate Social Responsibility (CSR). Policy recommendations which can be formulated from this study are : the need for people’s involvement community in establishing domain, and natural resources management, the need for transparency of the company, the need for policy harmonization between central and local governments in setting the boundary and natural resource management, and the need for applying win-win solution approch in reaching conflict resolution. Keywords: social conflict, natural resources conflict, mining conflict, Illegal Mining, Mandailing Natal, PT Sorik Mas Mining. DDC 302.14 Dumora Jenny Margaretha Siagian, Susanna Eddyono Participation of Fishermen Citizen in Pro Poor Policy are intended to Fishermen in North Sumatera Inovasi, Journal of Politics and Policy, Maret 2014, Vol 11, No. 1, p. 24-32 This research aims to analyze the involvement of fishing communities in North Sumatra in the process of planning and budgeting programs aimed to them. The results of the study showed that the participation of fishing communities in North Sumatra in policy-making is still relatively minimal. Likewise planning and budgeting some fisheries programs aimed at fishermen still not involve direct participation of poor fishermen. Recommendations are given for the involvement of a group of


poor fishermen can be instituted, we need a mechanism that can formally accommodate the aspirations of fishermen once enabled fishermen to directly aspirations. Keywords: policy, pro poor, fisherman DDC 371 Jonni Sitorus Teacher Professionalism Improved Policy At Madrasah Aliyah Ar-Raudhatul Hasanah Medan Inovasi, Journal of Politics and Policy, Maret 2014, Vol 11, No. 1, p. 33-41 The purpose of the study is : to know the regulations and implementation of policies to improve the professionalism of teachers at Madrasah Aliyah Ar-Raudhatul Hasanah Medan. . From the results of this study concluded that the regulation related increase in the professionalism of teachers has been set on the Teacher’s Rules of Islamic Tarbiyah School Ar-Raudhatul Hasanah Medan in 2012, both in the form of policies related to supervision/monitoring, education and training, as well as reward and punishment to the teacher. Increasing competence in aspects of teacher professionalism through education and training is done in the form of: continuing education, in-house training, workshops, educational discussions and seminars. Recommended for: The Government of Medan Regency through the Department of Education and Religious Affairs in order to provide ample opportunity for teachers to continue their education to a higher level; the madrasah can provide policies and regulations related to the fourth proportional competence of teachers (pedagogical, personal, social and professional); giving criticism/constructive suggestions to the leadership of the Board cottage Pesantern Arraudhatul Hasanah Medan which is based on the results of research by the Madrasah Research; increasing the frequency of supervision and monitoring implementation; implement education and training on a regular basis; and teachers can improve their professionalism, both through education and training, as well as by following seminars or other meetings related to education. Keywords: Research, Regulatory of Education, Education Policy, Reward and Punishment, Education and Training, Supervision and Oversight DDC 630.7 Porman Juanda Marpomari Mahulae, Nobrya Husni Determination of Vegetables and Fruitsprimecommodity in North Sumatera Inovasi, Journal of Politics and Policy, Maret 2014, Vol 11, No. 1, p. 42-51 This research has to determining the vegetables and fruits leading priority commodity using the Location Quotient (LQ), Shift share, typology Klassen and Analytic Hierarchy Process (AHP), the study concluded that the priority commodity for development in North Sumatra are based on consideration of market, economic and social ecology, in sequence is a great chili, potatoes, cabbage, carrots, cauliflower, tomatoes, eggplant, beans, chili and Radish / mustard for vegetables commodity. As for fruits commodities sequentially are pineapple, durian, citrus, bark, grapefruit, starfruit, duku / olive and guava. This paper recommends that the Government of North Sumatra determine the area or areas of agricultural commodities leading center for the development of North Sumatra with land use patterns that are spatially optimized. As well as relevant stakeholders in the North Sumatra can compile step development strategy with the commodities stages: 1) identifying potential and obstacles faced when developing the product to be able to improve quality and

compete in the market; 2) carrying out development activities (processing and marketing) to obtain added value and increase revenue; and 3) implement evaluation to increase product strength and performance of the business. Keywords: prime commodity, vegetables, fruits, OVOP DDC 635.977 Johansen Silalahi, Rospita Situmorang The Relationship Between Demographic Factors With The Existence Of Urban Forest In Medan City, North Sumatera Inovasi, Journal of Politics and Policy, Maret 2014, Vol 11, No. 1, p. 52-59 This study aims to describe the relationship of the existence of urban forest with a population and pollution levels in the city of Medan and to analyze the needs of urban forest based on population and the level of pollution in Medan city. The conclusion that can be drawn from this study is Medan City Government has not considered the sheer number of demographic factors such as population, population distribution and the level of contamination in the determination of the needs of the urban forest. Percentage of availability of urban forest in the city of Medan reached 0.41 percent ( % ), so it does not meet the target of 10 % of the area of the city as mandated in the Government Regulation No. 63 Year 2002 on State Forest. Extensive urban forest is needed if it is associated with a population of Medan in 2011 is 846.87 Ha. Estimation of urban forest if it is associated with the level of pollution in 2011 with the type of trees planted consists of beringin (Ficus benjamina), trembesi (Antidesma bunius), daun kupu-kupu (Bauimia purperea), mahoni (Swietenia macrophylla), Pulai (Alstonia scholaris), tanjung (Mimosops elengi) is an area of 1008.2 hectares. Keywords: Forest City , the factors of demographics , populatin,, pollution DDC 370.5 Hendarman Paradigm, Budget And Collaboration For Policy Research Inovasi, Journal of Politics and Policy, Maret 2014, Vol 11, No. 1, p. 60-69 This research analysed the extent to which policy research has been undertaken on the basis of integrity and synergy principles for the formulation and improvement of policies for stakeholders needs. There were three specific objectives of this research, namely to analyse research paradigm, budget status, and collaborative mechanism. This research was ex post facto research and analysed using meta-analysis. To strengthen the analysis, experiences from board of research and development particularly in North Sumatera were used to explain the paradigm, budget status and possible collaboration. The findings revealed that research institution was unable to provide accurate, immediate and in-time data and information to decision-makers has been resulted from policy research undertaken was (1) reactive in nature in the meaning it is done after cases take place; (2) not supported by sufficient budget, (3) not involved related stakeholders, and (4) not being published to public. In the future, it was suggested that the paradigm of policy research shall be futuristic, anticipative, responsive, analitic, dan aqusitive to public opinion. Also, budget allocation for policy research shall be based on Gross Domestic Income (GDI) as is applied in other developed countries. The involvement and participation of various stakeholders is compulsory in order for policy research brings about accepted recommendation. Keywords: paradigm, budget, collaboration, policy research, sumatera utara DDC 658.005


Prakoso Bhairawa Putera, Amelya Gustina Change Management of Governance in Forefront Small Islands: Implications of Government Regulation No. 62 Year 2010 Inovasi, Journal of Politics and Policy, Maret 2014, Vol 11, No. 1, p. 70-82 This writing is a review on the implementation of the management realignment changes in the governance of small islands "cutting edge". The method will be used in this paper is to study literature. The findings of the analysis indicate that the management of small islands in the Indonesian leading requires a change in management. Such changes include the transformation and changes in vision, work systems, to restructuring and should continue to be done to maintain balance in the system. There are four manifestations of these changes, namely 1) a paradigm shift to the outermost small islands, 2) the development of defense and security systems on small islands, 3) the development of the economic system, and 4) the development of socio-cultural, and institutional. The fundamental recommendation of the results shows that change management is feasible to be implemented and in line with Government Regulation No. 62 of 2010, since it is not a theory but an approach that focuses on strategic change and operational changes. Keywords: Change Management, Governance, Forefront Small Islands, Maritime State, Policy Implications



Volume 11, Nomor 1

Maret 2014

ISSN 1829-8079

DAFTAR ISI

Halaman Pengorganisasian Promosi Kesehatan di Era Otonomi Daerah

1-6

(Ida Yustina, Heldy B.Z.) Dinamika Fertilitas Fertilitas dan Implikasi Kebijakan di Provinsi Sumatera Utara

7-14

(Heru Santosa) Penanganan Penanganan Konflik Sumber Daya Alam di Sumatera Utara: Studi Kasus Konflik Pertambangan Emas di Kabupaten Mandailing Natal

15-23

(Dwi Endah Purwanti) Kajian Partisipasi Masyarakat Nelayan dalam Kebijakan Pro Poor yang ditujukan pada Nelayan di Sumatera Utara.

24-32

(Dumora Jenny Margaretha Siagian, Sussana Eddyono) Kebijakan Peningkatan Profesionalisme Guru Madrasah Aliyah ArAr-Raudhatul Hasanah Medan (Jonni Sitorus)

33-41

Penentuan Komoditi Sayur dan BuahBuah-buahan Unggulan di Sumatera Utara (Porman Juanda Marpomari Mahulae, Nobrya Husni)

42-51

Hubungan Antara FaktorFaktor-Faktor Demografi dengan Ketersediaan Hutan Kota di Kota Medan

52-59

(Johansen Silalahi, Rospita Situmorang) Paradigma, Anggaran dan Kerjasama Penelitian Kebijakan

60-69

(Hendarman) Manajemen Perubahan Tata Kelola Pada PulauPulau-Pulau Kecil Terdepan

(Prakoso Bhairawa Putera, Amelya Gustina)

70-82


Pengorganisasian Promosi Kesehatan di Era Otonomi Daerah (Ida Yustina dan Heldi BZ)

Hasil Penelitian PENGORGANISASIAN PROMOSI KESEHATAN DI ERA OTONOMI DAERAH

(THE ORGANIZING OF HEALTH HEALTH PROMOTION IN LOCAL AUTONOMY ERA ERA) Ida Yustina, Yustina, Heldy BZ Departemen Administrasi dan Kebijakan Kesehatan Universitas Sumatera Utara Medan e-mail: idayust@yahoo.com

Diterima: 27 Desember 2013; Direvisi: 9 Januari 2014; Disetujui: 18 Pebruari 2014

ABSTRAK Sesuai dengan paradigma sehat yang menjadi mainstream pembangunan kesehatan di Indonesia sejak era reformasi, dinas kesehatan kabupaten/kota bertanggung jawab dalam penyelenggaraan promosi kesehatan di wilayah kerjanya sebagai esensi dari otonomi daerah. Tugas kabupaten/kota adalah mengkoordinasikan dan menyelenggarakan pemberdayaan masyarakat di puskesmas, rumah sakit dan fasilitas kesehatan lainnya.Promosi kesehatan adalah suatu kegiatan dan/atau serangkaian kegiatan pelayanan kesehatan yang lebih mengutamakan kegiatan yang bersifat promosi. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengorganisasian upaya promosi kesehatan yang dilakukan kabupaten dan kota di Provinsi Sumatera Utara. Jenis penelitian adalah survei deskriptif yang dilakukan di tiga kabupaten (Langkat, Serdang Bedagai, Karo) dan tiga kota (Medan, Tebing Tinggi, Binjai) di Provinsi Sumatera Utara pada 2012. Informan adalah kepada bidang yang membawahi promosi kesehatan di masing-masing dinas kesehatan. Data dikumpulkan dengan wawancara mendalam. Hasil penelitian menunjukkan pengorganisasian promosi kesehatan yang tertuang dalam struktur organisasi dinas kesehatan menyebabkan aktivitas promosi kesehatan dilakukan secara parsial, hanya dilakukan unit-unit yang memiliki nomenklatur Promosi Kesehatan. Dalam tingkatan struktur organisasi, Promosi Kesehatan ditempatkan dalam tingkatan seksi.Seyogyanya promosi kesehatan merupakan upaya kesehatan yang melekat pada setiap program yang diselenggarakan oleh pelayanan kesehatan. Selain penempatan nomenklatur promosi kesehatan dalam struktur organisasi dinas kesehatan perlu ditinjau ulang, pemahaman tenaga kesehatan tentang konsep promosi kesehatan perlu ditingkatkan melalui berbagai program pelatihan. Kata Kunci: promosi kesehatan, pengorganisasian, otonomi daerah

ABSTRACT According to health paradigm which is become the mainstream of Indonesia health development since reformation era, district/city health office has responsibility to manage health promotion in its area as the essence of local autonomy. The task of district/city is coordinating and managing community development in health centre, hospital and other health facility. The health promotion is an activity and/or a process of health services which is prioritize promotion activity. The descriptive survey was done to analyze the organizing of promotion health effort by district and city in Sumatera Utara Province. The research was taken at three districts (Langkat, Serdang Bedagai, Karo) and three cities (Medan, Tebing Tinggi, Binjai) in 2012. The informan were the persons who in charge the promotion program in each health office. Data were collected by indepth interview. The research showed that the organizing of health promotion which is shown in the district health office structure caused the activity of health promotion was done partially, only by the unit which had health promotion nomenclature. In organization structure level, health promotion was placed in the section level. It should be involved in each program were implemented by health services. Besides the nomenclature of health promotion in organization structure of health office need to be evaluated, the understanding of health officer about the health promotion also need to increase through trainings program. Keywords: health promotion, organizing, regional autonomy

1


Inovasi Vol. 11 No. 1, Maret 2014: 1-6

memudahkan perubahan perilaku dan lingkungan yang kondusif bagi kesehatan. Green menekankan bahwa promosi kesehatan merupakan proses pendidikan. Dinas kesehatan kabupaten/kota merupakan penanggung jawab promosi kesehatan di tingkat kabupaten/kota yang mengkoordinasikan, meningkatkan dan membina pemberdayaan masyarakat yang diselenggarakan puskesmas, rumah sakit dan sarana kesehatan lain di wilayahnya. Promosi kesehatan di kabupaten/kota dikoordinasikan melalui tiga sentra, yakni puskesmas, rumah sakit, dan dinas kesehatan kabupaten/ kota. Puskesmas merupakan pusat kegiatan promosi kesehatan di tingkat kecamatan, dengan sasaran baik individu yang datang ke puskesmas maupun keluarga dan masyarakat di wilayah kecamatan. Rumah sakit bertugas melaksanakan promosi kesehatan kepada individu dan keluarga yang datang ke rumah sakit, sedangkan dinas kesehatan melaksanakan promosi kesehatan untuk mendukung promosi kesehatan yang dilaksanakan puskesmas dan rumah sakit serta sarana-sarana kesehatan lain tingkat kabupaten/kota, seperti Balai Kesehatan Mata Masyarakat (BKMM), Balai Teknik Kesehatan Lingkungan (BTKL), dan lain-lain. Adapun penanggung jawab dari semua kegiatan promosi kesehatan adalah Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota (Kemkes RI, 2006). Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis pengorganisasian upaya promosi kesehatan di tiga kota dan tiga kabupaten di Provinsi Sumatera Utara.

PENDAHULUAN Paradigma sehat sebagaimana yang dinyatakan dalam reformasi kesehatan merupakan cara pandang dalam pengelolaan kesehatan yang menitikberatkan pada upaya promotif dan preventif, tanpa mengabaikan upaya kuratif dan rehabilitatif. Tujuannya adalah untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat Indonesia di mana salah satu prinsip yang digunakan dalam kegiatannya adalah partisipatif. Kebijakan desentralisasi kesehatan antara lain dimaksudkan agar pelayanan kesehatan lebih dapat dilakukan lebih efektif kepada masyarakat, dengan menitikberatkan pelaksanaannyadi kabupaten/kota dalam koordinasi provinsi. Dalam kerangka desentralisasi kesehatan, pencapaian visi Indonesia sehat sangat ditentukan oleh pencapaian provinsi sehat, dan kabupaten/ kota sehat. Untuk mencapai kondisi dimaksud, promosi kesehatan merupakan upaya yang penting dilakukan untuk membangun kapasitas masyarakat agar dapat berpartisipasi dalam memelihara dan meningkatkan kesehatannya. Partisipasi yang dikehendaki dari masyarakat adalah perilaku yang mendukung tercapainya tujuan pembangunan kesehatan. Perilaku merupakan salah satu dari empat faktor yang dinyatakan belumm empengaruhi kesehatan masyarakat. Untuk membentuk perilaku masyarakat sebagaimana yang diharapkan, promosi kesehatan merupakan upaya yang strategis untuk meningkatkan kemampuan masyarakat melalui pembelajaran dari, oleh, untuk, dan bersama masyarakat, agar mereka dapat menolong dirinya sendiri, serta mengembangkan kegiatan yang bersumber daya masyarakat, sesuai sosial budaya setempat dan didukung oleh kebijakan publik yang berwawasan kesehatan. Promosi kesehatan yang dirumuskan Piagam Ottawa sebagai hasil rumusan konferensi internasional promosi kesehatan di Ottawa, Kanada pada 1986 adalah proses untuk memampukan masyarakat dalam memelihara dan meningkatkan kesehatan mereka. Dengan kata lain, promosi kesehatan adalah upaya yang dilakukan terhadap masyarakat sehingga mereka mau dan mampu memelihara dan meningkatkan kesehatan mereka sendiri (Notoatmodjo, 2006). Green (2005) mendefinisikan promosi kesehatan sebagai segala bentuk kombinasi pendidikan kesehatan dan intervensi yang terkait dengan ekonomi, politik, dan organisasi yang dirancang untuk

METODE Penelitian merupakan survei deskriptif, yang dilakukan di tiga kabupaten dan tiga kota di Provinsi Sumatera Utara. Ketiga kabupaten dimaksud adalah Kabupaten Serdang Bedagai, Kabupaten Tanah Karo dan Kabupaten Langkat, sedangkan wilayah kota meliputi Tebing Tinggi, Kota Medan, dan Kota Binjai. Penelitian dilakukan pada 2012. Informan adalah kepala bidang yang membawahi promosi kesehatan di masing-masing dinas kesehatan. Data primer dikumpulkan dengan melakukan wawancara mendalam terhadap informan terpilih. HASIL DAN PEMBAHASAN Pengorganisasian kegiatan promosi kesehatan di tiga Kabupaten dan tiga Kota yang menjadi lokasi penelitian diterangkan sebagai berikut:

2


Pengorganisasian Promosi Kesehatan di Era Otonomi Daerah (Ida Yustina dan Heldi BZ)

pengendalian dan pemberantasan penyakit juga memerlukan upaya promotif. Untuk mengantisipasi hal itu, Dinas Kesehatan Serdang Bedagai melakukan beberapa cara agar semua program yang ada diwarnai dengan kegiatan promotif. Salah satu cara yang dilakukan adalah dengan memasukkan staf promosi kesehatan dalam setiap rapat program. Dalam mekanisme kerja yang mereka tetapkan, dalam pelaksanaan di lapangan nantinya program yang akan menangani isi (content) kegiatannya, sedangkan staf promosi kesehatan akan mengemas bentuk kegiatan promosinya.

1. Dinas Kesehatan Kabupaten Langkat Di Dinas Kesehatan Kabupaten Langkat, promosi kesehatan dan pembinaan peran serta masyarakat merupakan salah satu seksi yang berada dalam Bidang Pembinaan Kesehatan Lingkungan dan Masyarakat, yakni Seksi Promosi Kesehatan dan Peran Serta Masyarakat. Seksi ini diharapkan mengkoordinir kegiatan yang dilakukan masing-masing program teknis. Dengan adanya seksi dimaksud, kegiatankegiatan yang dimaksudkan untuk memberdayakan masyarakat akan dapat dilakukan secara integratif, efisien dan efektif. Rencana kerja yang disiapkan Dinas Kesehatan Langkat antara lain bekerja sama dengan radio lokal untuk diselenggarakannya dialog interaktif dengan masyarakat. Adapun materi yang disampaikan dalam dialog interaktif diisi oleh masing-masing program teknis. Dengan demikian Seksi Promosi Kesehatan dan Peran Serta Masyarakat lebih berperan sebagai penggerak dalam menjalankan programprogram teknis kesehatan yang ada. Penempatan Promosi Kesehatan dan Peran Serta Masyarakat dalam Bidang Pembinaan Kesehatan Lingkungan dan Masyarakat di Kabupaten Langkat bersumber dari asumsi yang dikembangkan menyangkut kesehatan lingkungan yang cenderung dinilai lebih banyak diwarnai upaya promotif.

3. Dinas Kesehatan Kabupaten Karo Di Dinas Kesehatan Kabupaten Karo, Promosi Kesehatan dibuat dalam satu seksi tersendiri, di bawah Bidang Pengendalian dan Peran Serta Masyarakat. Penempatan promosi dalam seksi tersendiri dilandasi pemikiran bahwa seksi tersebut diperlukan untuk mendukung semua kegiatan promosi yang dilakukan oleh dinas kesehatan. Menurut informan, jika tidak dibuat tersendiri seperti itu, maka esensi dari program wajib puskesmas yang menempatkan promosi kesehatan sebagai prioritas tidak akan berjalan secara efisen dan efektif. Seksi promosi kesehatan tersebut nantinya akan mengkoordinir semua kegiatan kesehatan yang bersifat promotif.

2. Dinas Kesehatan Kabupaten Serdang Bedagai Promosi kesehatan di dinas ini digandeng bersama dengan kesehatan keluarga, secara struktural posisinya dalam tingkatan seksi, di bawah Bidang Kesehatan Keluarga dan Promosi Kesehatan. Dinas kesehatan kabupaten di Provinsi Sumatera Utara yang juga menempatkan Promosi Kesehatan dengan Kesehatan Keluarga di antaranya Dinas Kesehatan Toba Samosir, dan Dinas Kesehatan Tapanuli Utara. Penempatan promosi kesehatan dengan kesehatan keluarga dilandasi pemikiran bahwa kesehatan keluarga merupakan program yang terbanyak kegiatan promosinya.Sebagai gambaran, gizi yang merupakan salah satu indikator penting dalam kesehatan perlu terus dipromosikan kepada keluarga, agar sumber daya manusia Indonesia menjadi generasi yang berkualitas baik dalam fisik maupun nonfisik.Indikator lainnya seperti Angka Kematian Ibu (AKI), juga merupakan masalah yang di antaranya bersumber dari keluarga, yang dinilai perlu ditangani melalui kegiatan promotif. Meskipun demikian diakui bahwa programprogram lainnya, seperti: kesehatan lingkungan,

4. Dinas Kesehatan Kota Tebing Tinggi Dalam struktur organisasi Dinas Kesehatan Kota Tebing Tinggi, promosi kesehatan ditempatkan dalam Seksi Kesehatan Keluarga dan Penyuluhan Kesehatan, di bawah Bidang Pelayanan Kesehatan. Sama halnya dengan kerangka berpikir Dinas Kesehatan Serdang Bedagai, penempatan Promosi Kesehatan bergandengan dengan Kesehatan Keluarga dilatarbelakangi oleh pemikiran bahwa porsi promosi kesehatan lebih banyak dilakukan dalam aspek kesehatan keluarga, terkait dengan materi yang menyangkut gizi anak, pemberian ASI eksklusif, pemberian Makanan Pendamping ASI di atas 6 bulan, ibu hamil, ibu bersalin, dan sebagainya. 5. Dinas Kesehatan Kota Medan Promosi kesehatan di Struktur Organisasi Dinas Kesehatan Kota Medan tidak lagi ditempatkan di tingkatan seksi. Sebelum struktur organisasi Dinas Kesehatan Kota Medan disesuaikan dengan PP No. 41 tentang Organisasi Perangkat Daerah dan SK Menteri Kesehatan RI No. 267 Tahun 2008 tentang Pedoman Teknik Pengorganisasian Dinas Kesehatan Republik Indonesia, promosi

3


Inovasi Vol. 11 No. 1, Maret 2014: 1-6

kesehatan berada dalam Sub Dinas Promosi Kesehatan dan Penyehatan Lingkungan. Dasar pemikiran penempatan Promosi Kesehatan dengan Penyehatan Lingkungan dalam satu bagian pada saat itu terkait dengan asumsi yang digunakan, bahwa Penyehatan Lingkungan merupakan program yang isinya lebih berorientasi pada kegiatan pencegahan. Dengan kata lain, promosi kesehatan diasumsikan cenderung banyak dilakukan dalam aspek penyehatan lingkungan. Namun setelah struktur organisasi Dinas Kesehatan Kota Medan disesuaikan dengan SK Menkes RI No. 267/2008, promosi kesehatan tidak terdapat lagi di struktur organisasi Dinas Kesehatan Kota Medan.Kegiatan promosi kesehatan diasumsikan dilakukan di semua program, sehingga tidak lagi perlu dibuat seksi tersendiri.

sebagai suatu cara untuk meningkatkan koordinasi horizontal dan pembagian informasi. Penelitian ini membahas organisasi dinas kesehatan dalam memosisikan upaya promosi kesehatan yang wujudnya tertuang dalam struktur organisasi. Jika dilihat dari struktur organisasi dua dinas kesehatan kota (Tebing Tinggi dan Binjai) dan tiga dinas kesehatan kabupaten (Karo, Serdang Bedagai, dan Langkat), komitmen untuk memprioritaskan promosi kesehatan sebagaimana yang tertuang dalam komitmen nasional telah dilakukan dengan baik. Hal ini dapat dilihat dalam struktur organisasinya di mana terdapat nomenklatur promosi kesehatan pada strukturnya. Dari ketiga dinas kesehatan kota yang diteliti, hanya Dinas Kesehatan Kota Binjai yang menempatkan Promosi Kesehatan dalam satu seksi tanpa digandengkan dengan program lainnya, sedangkan Dinas Kesehatan Kota Tebing Tinggi menempatkan Promosi Kesehatan dengan Kesehatan Keluarga dalam satu seksi. Dari ketiga kabupaten yang diteliti, Dinas Kesehatan Kabupaten Karo dan Kabupaten Langkat menempatkan Promosi Kesehatan dalam satu seksi tanpa digandengkan dengan program lainnya, sedangkan Dinas Kesehatan Kabupaten Serdang Bedagai menempatkan Promosi Kesehatan dengan Kesehatan Keluarga dalam satu seksi. Promosi kesehatan sebagai upaya kesehatan yang diprioritaskan dalam pembangunan kesehatan nasional, penempatannya dalam struktur organisasi dinas kesehatan kota/ kabupaten dari penelitian ini masih sangat diwarnai asumsi yang digunakan tenaga kesehatannya. Sebagai gambaran, di Kabupaten Serdang Bedagai dan Kota Tebing Tinggi misalnya, upaya promosi kesehatan dipersepsikan lebih banyak dilakukan dalam ruang lingkup kesehatan keluarga, sehingga promosi kesehatannya digandeng dengan kesehatan keluarga. Di dalam Kebijakan Nasional Promosi Kesehatan disebutkan bahwa promosi kesehatan adalah upaya untuk meningkatkan kemampuan masyarakat melalui pembelajaran dari, oleh, untuk, dan bersama masyarakat, agar mereka dapat menolong dirinya sendiri, serta mengembangkan kegiatan yang bersumber daya masyarakat, sesuai sosial budaya setempat dan didukung oleh kebijakan publik yang berwawasan kesehatan (Kementerian Kesehatan, 2006). Berdasarkan pengertian tersebut tergambar bahwa pada hakikatnya promosi kesehatan adalah penopang utama bagi setiap program kesehatan.Promosi kesehatan selalu bergandeng tangan dengan setiap

6. Dinas Kesehatan Kota Binjai Di Dinas Kesehatan Kota Binjai, Promosi Kesehatan dan Peran Serta Masyarakat ditempatkan dalam tingkatan seksi di bawah Bidang Pembinaan dan Pelayanan Kesehatan di Dinas Kesehatan Kota Binjai. Dibanding Kota Tebing Tinggi dan Medan, Kota Binjai telah menempatkan seksi Promosi Kesehatan dan Peran Serta Masyarakat secara lebih tegas dalam struktur organisasinya.Hal ini sekaligus menunjukkan komitmen yang kuat Dinas Kesehatan Kota Binjai untuk menyelenggarakan upaya-upaya promotif dalam bidang kesehatan secara lebih profesional, efisien, dan efektif. Seksi tersebut nantinya akan mendukung semua kegiatan promosi yang dilakukan oleh program. Mekanisme baru yang tertuang dalam struktur organisasi tersebut diharapkan dapat mewujudkan kegiatan promosi kesehatan secara terintegrasi. Menurut Griffin (2004), pengorganisasian adalah memutuskan bagaimana cara terbaik untuk mengelompokkan aktivitas dan sumber daya organisasi. Cara tersebut tertuang dalam struktur organisasi, yakni serangkaian elemen yang dapat digunakan untuk membentuk suatu organisasi. Sesuai dengan rekomendasi yang dituangkan dalam SK Menteri Kesehatan RI No. 267 Tahun 2008 tentang Pedoman Teknik Pengorganisasian Dinas Kesehatan Republik Indonesia, bahwa bentuk struktur organisasi dinas kesehatan adalah matriks. Pendekatan matriks mengombinasikan berbagai aspek pada struktur fungsional dan divisional secara simultan dalam bagian organisasi yang sama (Daft, 2003). Struktur matriks berkembang

4


Pengorganisasian Promosi Kesehatan di Era Otonomi Daerah (Ida Yustina dan Heldi BZ)

struktur organisasi merupakan cara organisasi dalam mencapai tujuannya (Winardi, 2003). Langkah yang lebih maju dilakukan oleh Dinas Kesehatan Kota Binjai, Dinas Kabupaten Karo, dan Dinas Kabupaten Langkat yang menempatkan promosi kesehatan dalam seksi tersendiri di struktur organisasinya.Penempatan itu dimaksudkan agar promosi kesehatan yang menjadi program prioritas dapat benar-benar dijalankan secara konsisten. Mekanisme kerja berdasarkan struktur tersebut menempatkan seksi promosi kesehatan sebagai koordinator untuk semua kegiatan program yang ada dalam ruang lingkup organisasi dinas kesehatan tersebut. Struktur organisasi yang tegas semacam itu tentunya diharapkan dapat menopang organisasi dalam mencapai tujuannya secara efektif dan efisien, dalam hal ini Kota Sehat, yakni kota yang hidup dalam lingkungan yang sehat, berperilaku hidup bersih dan sehat, serta dapat menjangkau pelayanan kesehatan yang bermutu secara adil, sehingga memiliki derajat kesehatan yang optimal. Green (2005) mengemukakan, bahwa perilaku kesehatan seseorang dipengaruhi oleh banyak faktor yang disebutnya sebagai faktor predisposing, faktor yang memungkinkan (enabling), dan faktor penguat (reinforcing). Tenaga kesehatan dalam teori Green merupakan salah satu faktor penguat yang memberi pengaruh terhadap terbentuknya perilaku sehat yang diharapkan. Kapasitas tenaga kesehatan dengan demikian memberi pengaruh terhadap kinerjanya untuk memberi pencerahan kepada masyarakat dalam program-program promosi kesehatan. Kinerja tenaga kesehatan dalam hal ini ditentukan pula oleh pengorganisasian yang dilakukan oleh dinas kesehatannya. Robbins (2002) mengatakan, banyak variabel yang memengaruhi pengorganisasian, seperti: struktur tugas, struktur kewenangan, dan struktur komunikasi. Mengacu pada hasil penelitian ini yang menunjukkan bahwa upaya promosi kesehatan masih dilakukan secara parsial sesuai dengan struktur organisasi yang ada, maka perlu dikaji kembali bentuk pengorganisasian yang ada untuk efektifnya kegiatan promosi kesehatan yang dilakukan.

program kesehatan dalam rangka mencegah timbulnya masalah baru dan mengatasi masalah yang ada serta memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. Selanjutnya Kementerian Kesehatan (2006) menyebutkan bahwa kegiatan promosi kesehatan tidak hanya dilakukan oleh tenagatenaga khusus promosi kesehatan, melainkan juga oleh tenaga kesehatan lainnya. Hal ini mengandung arti bahwa sebanyak 27 jenis tenaga kesehatan yang ada dalam Peraturan Pemerintah No. 32 Tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan berkewajiban melakukan promosi kesehatan dalam pelayanan yang diberikannya. Dalam kenyataannya, adanya persepsi yang kurang komprehensif tentang upaya promosi kesehatan yang kemudian terwujud dalam penyusunan masing-masing struktur organisasi memberi pengaruh pada aktivitas yang berlangsung di dinas kesehatan yang menjadi objek penelitian ini. Kegiatan promosi kesehatan hanya dilakukan atau menjadi domain unit-unit tertentu yang di dalamnya melekat nomenklatur promosi kesehatan. Di lain pihak, lemahnya koordinasi antar unit dalam dinas kesehatan menyebabkan upaya promosi kesehatan dilakukan secara partial. Mar’at (1981) mengemukakan bahwa persepsi merupakan suatu proses pengamatan seseorang yang berasal dari komponen kognisi, di mana persepsi dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti: pengalaman, proses belajar, pengetahuan dan cakrawala. Menurut Sarwono (1997), persepsi merupakan proses pencarian informasi untuk dipahami dengan menggunakan indera, sehingga komunikasi menjadi variabel yang penting untuk diperhatikan sebagai variabel yang memengaruhi persepsi. Dalam kaitan faktor-faktor tersebut, perlu dilakukan berbagai upaya untuk meningkatkannya agar persepsi tenaga kesehatan di dinas kesehatan kabupaten/kota tentang promosi kesehatan menjadi lebih baik. Sarana untuk membangun persepsi dimaksud dapat dilakukan dalam berbagai program pelatihan.Komitmen pimpinan untuk perbaikan persepsi dalam hal ini menjadi bagian terpenting dan menentukan berlangsungnya kegiatan dimaksud. Bagaimanapun, penyelenggaraan promosi kesehatan sebagai program prioritas dalam ruang lingkup dinas kesehatan kabupaten/ kota, akan banyak menghadapi hambatan-hambatan yang terkait dengan struktur organisasi jika tidak tegas yang menjadi batas-batas kewenangan masing-masing unit. Orang-orang dalam organisasi akan beraktivitas sesuai dengan struktur organisasi yang ada, mengingat

KESIMPULAN Pengorganisasian upaya promosi kesehatan yang tertuang dalam struktur organisasi dinas kesehatan menyebabkan aktivitas promosi kesehatan masih dilakukan secara parsial. Hanya unit yang memiliki nomenklatur promosi kesehatan yang bertugas melaksanakan kegiatan promosi kesehatan.

5


Inovasi Vol. 11 No. 1, Maret 2014: 1-6

Penempatan nomenklatur upaya promosi kesehatan dalam tingkatan seksi pada struktur organisasi dinas kabupaten/kota diwarnai oleh asumsi yang digunakan pelaku kebijakan di dinas kesehatan kabupaten/kota tentang konsep promosi.

Kementerian Kesehatan RI. 2006. Pedoman Pelaksanaan Promosi Kesehatan di Daerah.

REKOMENDASI 1. Perlu dilakukan pengkajian ulang penempatan nomenklatur promosi kesehatan dalam struktur organisasi dinas kesehatan kabupaten/kota mengingat seharusnya upaya tersebut dilakukan dalam setiap bentuk pelayanan kesehatan yang dilakukan oleh tenaga kesehatan. 2. Pemahaman tenaga kesehatan di dinas kesehatan kabupaten/kota tentang konsep promosi kesehatan perlu ditingkatkan dalam rangka membangun pemahaman yang komprehensif tentang upaya kesehatan tersebut, sehingga dalam implementasinya terdapat koordinasi yang baik antara unitunit kerja yang masing-masing mengklaim melakukan promosi kesehatan. Peningkatan pemahaman tersebut dapat dilakukan dalam program pelatihan yang dirancang khusus untuk menguatkan pemahaman konsep dimaksud.

Machfoedz, Ircham. 2005. Pendidikan Kesehatan Bagian dari Promosi Kesehatan. Yogyakarta: Fitramaya.

Kementerian Kesehatan RI. 2008. SK Menteri Kesehatan RI No. 267 Tahun 2008 tentang Pedoman Teknik Pengorganisasian Dinas Kesehatan Republik Indonesia

Mar’at. 1981. Sikap Manusia Perubahan Pengukuran. Jakarta: Ghalia Indonesia.

serta

Muninjaya, A.A. Gde. 2004. Manajemen Kesehatan. Jakarta : EGC Notoatmodjo, Soekidjo. 2006. Promosi Kesehatan, Teori dan Aplikasi. Jakarta : Rineka Cipta Notoatmodjo, Soekidjo. 2007. Kesehatan Masyarakat, Ilmu dan Seni. Jakarta: Rineka Cipta. Notoatmodjo, Soekidjo. 2003. Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta. Robbins, Stephen P. 2002. Teori Organisasi (Struktur, Desain & Aplikasi). Arcan. Sarwono, S.W. 1997. Psikologi Sosial; Individu dan Teori-teori Sosial. Jakarta: Balai Pustaka.

DAFTAR PUSTAKA

Sutarto. 2000. Dasar-dasar Organisasi. Yogyakarta : Gajah Mada University Press.

Daft, Richard L. 2003. Manajemen.Jakarta : Erlangga. Dinas Kesehatan Kota Tebing Tinggi.2010. Profil Kesehatan Kota Tebing Tinggi 2010. Tebing Tinggi.

Winardi, J. 2003. Teori Organisasi Pengorganisasian.Jakarta : Rajawali Pers.

Dinas Kesehatan Kota Medan.2010. Profil Kesehatan Kota Medan 2010. Tebing Tinggi. Dinas Kesehatan Kabupaten Langkat. 2010. Profil Kesehatan Kabupaten Langkat. Langkat. Dinas Kesehatan Kabupaten Serdang Bedagai. 2010. Profil Kesehatan Kabupaten Serdang Bedagai. Sei Rampah. Dinas Kesehatan Kota Binjai.2010. Profil Kesehatan Kota Binjai. Binjai Dinas Kesehatan Kabupaten Karo. 2010. Profil Kesehatan Kabupaten Karo. Kabanjahe. Gibson, James., Ivencevich, Jhon. dan Donnely, James H. 1993. Organisasi dan Manajemen (Perilaku Struktur Proses).Jakarta : Erlangga. Green, Lawrence. 2005. Health Program Planning. An Educational and Ecological Approach. New York: McGraw-Hill. Griffin, Ricky W. 2004. Manajemen.Jakarta : Erlangga

6

dan


Dinamika Fertilitas dan Implikasi Kebijakan di Provinsi Sumatera Utara (Heru Santosa)

Hasil Penelitian DINAMIKA FERTILITAS DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN DI PROVINSI SUMATERA UTARA

SUMATERA (THE DYNAMICS OF FERTILITY FERTILITY IN NORTH SUMAT ERA PROVINCE AND ITS POLICY IMPLICATIONS IMPLICATIONS) CATIONS) Heru Santosa Fakultas Kesehatan Masyarakat USU, Medan Departemen Kependudukan dan Biostatistika email : heru_php2@yahoo.com

Diterima: 6 Januari 2014; Direvisi: 21 Januari 2014; Disetujui: 20 Pebruari 2014

ABSTRAK Provinsi Sumatera Utara sesuai dengan hasil Sensus Penduduk 2010 mengalami peningkatan jumlah penduduk sebesar 1,11 persen dengan jumlah penduduk sekitar 13 juta jiwa yang sebelumnya sekitar 11,5 juta jiwa menurut Sensus penduduk 2000. Sejauh ini angka kelahiran di Provinsi Sumatera Utara cukup tinggi, yaitu dengan angka kelahiran total 3. Kondisi ini cukup mengkhawatirkan jika tidak ditangani sejak dini maka ancaman ledakan penduduk di Provinsi Sumatera Utara tidak akan terbendung lagi. Kajian ini bersifat deskriptif analitik, yaitu untuk mengetahui pola dan dinamika fertilitas di Provinsi Sumatera Utara. Data utama yang digunakan dalam kajian ini adalah data hasil pencacahan Sensus Penduduk 2010. Selanjutnya, selain data utama dari hasil pengolahan Sensus Penduduk 2010, dalam kajian ini juga digunakan data pendukung lainnya yang merupakan dokumen dan data-data yang bersumber dari instansiinstansi terkait sesuai kebutuhan.Hasil menunjukkan masih tingginya angka kelahiran total di Provinsi Sumatera Utara. Disamping itu, disparitas angka kelahiran total juga terjadi antar daerah kabupaten/kota. Ada korelasi secara signifikan antara penurunan angka kelahiran total dengan keikutsertaan keluarga berencana. Semakin tinggi persentase keikutsetaan keluarga berencana, semakin rendah angka kelahiran total.Oleh karena itu, kebijakan perlu dilakukan adalah meningkatkan keikutsertaan keluarga berencana dengan melakukan revitalisasi program keluarga berencana, penentuan program kegiatan prioritas dan penyerasian kebijakan pembangunan penduduk serta keluarga berencana. Kata Kunci: angka kelahiran total, keluarga berencana dan implikasi kebijakan

ABSTRACT The population of North Sumatra Province in accordance with the results of the 2010 population census increased by 1.11 percent of the total population of around 13 million people who was previously about 11,5 million people according to the population census of 2000. So far, the number of births in the province of North Sumatra is quite high, namely the total fertility rate 3. This condition may be as threat without well and early treatment such as the threat of population explosion in North Sumatera province. This was descriptive analytic study, namely to know the pattern and dynamics of fertility and its relationship with the achievement of family planning in the province of North Sumatera. The main data used in this study was data from the 2010 Population Census enumeration. Furthermore, in addition to the main data from the 2010 Population Census processing, this study also used other supporting data such as the document and data derived from relevant agencies within their needs. Total fertility rate was still high in the province of North Sumatera. In addition, the total fertility rate disparity also existed between the district/city. There was a significant correlation between the decreasing in the total fertility rate with the participation in family planning. The higher the percentage participation of family planning, the lower of the total fertility rate. Therefore, the policy needs to be done is to increase the participation of family planning, to revitalize family planning programs, to determine program priorities and to harmonize the policy of population development and family planning. Keywords: total fertility rate, family planning and policy implications

7


Inovasi Vol. 11 No. 1, Maret 2014: 7-14

akanmempengaruhi demand yang kemudian harus dipenuhi oleh sektor lainnya, misalnya penyediaan kebutuhan dasar manusia, yaitu papan, pangan dan pakaian. Kekhwatiran banyak orang tentang keamanan pangan misalnya, secara langsung berhubungan dengan peningkatan jumlah penduduk yang tidak terkontrol. Secara empiris banyak hasil kajian membuktikan bahwa pertumbuhan penduduk terkait dengan banyak determinan (Departemen Kesehatan. 2006; Faturochman, 2004; Hardee, 2008).Salah satu kajian menunjukkan bahwa transisi demografi dan transisi kesehatan memberikan konsekuensi terhadap pembangunan. Artinya dinamika fertilitas sangat berhubungan dengan dinamika kesehatan seperti program keluarga berencana (Ananta, 1993).Dengan demikian masih tingginya angka fertilitas tersebut diduga karena revitalisasi program keluarga berencana paska otonomi daerah yang belum maksimal.Mendasarkan kenyataan tersebut, kajian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui pola dan dinamika fertilitas dan hubungannya dengan pencapaian keluarga berencana di Provinsi Sumatera Utara.

PENDAHULUAN Pelaksanaan kebijakan kependudukan di Provinsi Sumatera Utara hingga saat ini telah menunjukkan keberhasilannya, terutama jika dilihat dari sisi kuantitas penduduk.Sebagai contoh adalah penurunan angka kelahiran total (TFR) dan penurunan pertumbuhan penduduk secara konsisten selama periode 1971-2010. Akan tetapi, hasil sensus penduduk maupun survei akhir-akhir ini, misalnya Sensus Penduduk 2010 dan SDKI 2012, menunjukkan kecenderungan yang cukup mengkhawatirkan. Hasil Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2012 misalnya menunjukkan bahwa TFR mengalami stagnasi (BKKBN,2013; Badan Pusat Statistik, 2011). Demikian juga halnya dengan hasil Sensus Penduduk (SP) 2010 yang secara umum di kabupaten/kota menunjukkan TFR dalam keadaan relative tetap. Hasil lain dari SP 2010 menunjukkan bahwa angka pertumbuhan penduduk meningkat dibandingkan dengan SP tahun 2000 meskipun peningkatannya tidak signifikan. Jika hal ini tidak dicermati secara seksama, dikhwatirkan tujuan kebijakan kependudukan dari sisi kuantitatif untuk mencapai Penduduk Tumbuh Seimbang (PTS) tidak dapat dicapai (Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat, 2012). Bahkan, bukan hanya target yang telah dicanangkan tidak dapat dicapai, tetapi perubahan tersebut akan menimbulkan masalah baru, baik dibidang kependudukan maupun masalah pembangunan pada umumnya. Oleh karena itu dalam rangka mewujudkan pembangunan yang berwawasan kependudukan dan mewujudkan keluarga kecil bahagia sejahtera maka misi dilakukan adalah menyangkut (1)penyerasian kebijakan pengendalian penduduk, (2) penetapan parameter penduduk, (3) peningkatan penyediaan dan kualitas analisis data dan informasi, (4) pengendalian penduduk dalam pembangunan kependudukan dan keluarga berencana, serta (5) mendorong stakeholder dan mitra kerja untuk menyelenggarakan pembangunan keluarga berencana dalam rangka penyiapan kehidupan berkeluarga bagi remaja, pemenuhan hak-hak reproduksi, peningkatan ketahanan dan kesejahteraan keluarga peserta KB. Bagi sebagian pengambil kebijakan, pertumbuhan penduduk yang meningkat dianggap tidak merisaukan.Akan tetapi, bagi sebagian yang lain, pertumbuhan penduduk yang meningkat dianggap sebagai salah satu hambatan dalam mencapai tujuan pembangunan secara luas. Sebagai salah satu ilustrasi, perubahan jumlah penduduk

METODE Kajian ini bersifat deskriptif analitik, yaitu untuk mengetahui pola dan dinamika fertilitas di Provinsi Sumatera Utara. Data utama yang dikumpulan kajian ini adalah data hasil pencacahan Sensus Penduduk 2010. Sebagaimana diketahui bahwa Sensus Penduduk 2010 hanya diadakan tiap 10 tahun sekali dan sensus penduduk menghasilkan angka-angka aatau data yang berimplikasi pada pengambilan kebijakan di seluruh sektor pembangunan. Selanjutnya, selain data utama dari hasil pengolahan Sensus Penduduk 2010, maka dalam kajian ini juga digunakan data pendukung lainnya yang merupakan dokumen dan datadata yang bersumber dari instansi-instansi terkait sesuai kebutuhan (BKKBN, 2008; Badan Pusat Statistik, 2010 dan 2011). Analisis data dilakukan secara deskriptifanalitik mengacu pada pola dan kecenderungan data dengan metode analisis kandungan (content analysis). Analisis kandungan adalah merupakan analisis data yang dapat dilakukan melalui dua cara, yaitu analisis kandungan ketara (manifest content) dan analisis kandungan tidak ketara (latent content). Analisis kandungan ketara berdasarkan kepada isi kandungan yang tertera dalam teks atau dokumen, dan analisis kandungan tidak ketara berasaskan penilaian dan tafsiran terhadap dokumen yang berhubungan dengan kajian

8


Dinamika Fertilitas dan Implikasi Kebijakan di Provinsi Sumatera Utara (Heru Santosa)

(Bungin, 2003; Mohamed, 2004; Montgomery, 1985). Selanjutnya, terhadap faktor yang diduga berhubungan dengan fertilitas dilakukan uji korelasi.

(aborsi).Fertilitas alamiah ini dipengaruhi baik oleh faktor biologis yang biasa disebutfekunditas dan faktor sosial budaya. Oleh karena itu tinggi rendahnya fertilitas alamiah ditentukan oleh variabel-variabel seperti kemandulan sekunder ketidaksuburan setelah melahirkan (lactational infecundability), frekuensi hubungan sex, kemandulan permanen, kematian janin dan lama masa subur. Tentu saja suatu pasangan suami isteri dapat mengatur kelahiran anak-anak mereka.Oleh sebab itu dari sejumlah anak-anak yang mungkin dilahirkan seorang perempuan sampai akhir masa reproduksinya (yaitu sesuai dengan fertilitas alamiah mereka) tidak harus terwujud semuanya. Dengan demikian ada sejumlah kelahiran yang akan tercegah karena pasangan suami isteri mengatur kelahiran anakanaknya secara sadar/sengaja. Oleh sebab itu, kelompok ketiga terdiri kelompok variabel pencegah kelahiran atau kesertaan keluarga berencana. Fertilitas adalah hasil reproduksi nyata dari seorang wanita atau sekelompok wanita (Adioetomo, 2010).Angka fertilitas (kelahiran) sangat erat hubungannya dengan tingkat kesehatan masyarakat, khususnya dengan bidang keluarga berencana. Ukuran yang sering digunakan untuk melihat angka fertilitas yang umum digunakan adalah angka kelahiran total (Total Fertlity Rate=TFR). Dalam kajian ini perilaku TFR menggunakan angka estimasi berdasarkan Sensus Penduduk 2010.

HASIL DAN PEMBAHASAN Secara teoritis sejak munculnya tulisan Davis dan Blake (1956) telah banyak analisis fertilitas yang menggunakan "variabel antara" sebagai variabel yang menjadi perantara dari variable sosial ekonomi ke variabel fertilitas. Variabel antara (intermediate variable) ini adalah variabel yang secara langsung mempengaruhi fertilitas. Di pihak lain, variabel sosial ekonomi hanya dapat mempengaruhi variabel fertilitas melalui pengaruh mereka pada variabel antara (Davis dan Blake, 1956; Tien, 1968). Davis dan Blake menyebutkan 11 variabel antara yang dikategorikan menjadi tiga kelompok yaitu pertama, kelompok sexual intercourse yang terdiri dari usia kawin pertama, selibat permanen, lama berstatus kawin, abstinensi sukarela, abstinensi terpaksa, dan frekuensi “intercourse”; kedua, kelompok pembuahan atau conception yaitu fekunditas atau infekunditas karena disengaja, fekunditas atau infekunditas yang terjadi oleh sebab-sebab yang tak disengaja, dan kontrasepsi; serta ketiga, kelompok gestation yaitu keguguran, dan aborsi. Pengelompokan ini dirasakan terlalu luas oleh Bongaarts (1996). Kemudian Bongaart mereklasifikasi kesebelas variabel tersebut menjadi delapan variabel dalam tiga kelompok yaitu kelompok faktor exposure, kelompok fertilitas alamiah dan kelompok pengaturan fertilitas. Selanjutnya Bongaarts menyebut variabel antara ini sebagai “proximate determinant” (Bongaarts, 1996),. Pertama, kelompok “exposure factors”, yaitu apakah seorang perempuan beresiko berhubungan seks atau tidak.Untuk sebagian masyarakat Indonesia saat ini perempuan tidak dalam status kawin tidak berisiko berhubungan sex.Oleh sebab itu, variabel sexual exposure ini merupakan salah satu variable antara yang penting. Mereka yang tidak berisiko berhubungan seks tidak akan pernah melahirkan. Kedua, kelompok fertilitas alamiah. Fertilitas alamiah adalah fertilitas yang akan terjadi bila seorang perempuan dan atau suaminya tidak pernah mengatur kelahiran secara sadar selama masa reproduksi perempuan tersebut. Ada tidaknya kelahiran yang diatur secara sengaja dapat dilihat dari ada tidaknya pengaturan kelahiran dan/atau praktek pengguguran kandungan

8

7,2

7 6 6 5

4,3

4

3,2

3

2000

2010

3 2 1 0 1971

1980

1990

Gambar 1. Kecenderungan angka kelahiran total Provinsi Sumatera Utara Periode 19712010. Mengacu kecenderungan TFR,berdasarkan Sensus Penduduk 1971-2010 pada gambar1,

9


Inovasi Vol. 11 No. 1, Maret 2014: 7-14

maka angka TFR Sumatera Utara menunjukkan penurunan, walaupun dipandang dari hasil Sensus Penduduk 2010 masih relative tinggi dan menempatkan Sumatera Utara sebagai urutan ketujuah setelah Nusa Tenggara Timur (3,8), Maluku (3,6), Maluku Utara (3,3), Sulawesi Barat (3,3), Papua Barat (3,2) dan Sulawesi Tenggara (3,2). Masih tingginya angka fertilitas tersebut diduga karena revitalisasi program keluarga berencana paska otonomi daerah yang belum maksimal.Seperti ketahui dengan adanya pengalihan kewenangan anggaran program keluarga berencana yang sepenuhnya menjadi tanggung jawab daerah kabupaten/kota, maka belum sepenuhnya setiap daerah kabupaten/kota dapat mengalokasikan anggaran maksimal.Disamping itu, faktor kesertaan keluarga berencana, yang secara langusng juga berpengaruh terhadap fertilitas. Perilaku angka kelahiran total (TFR) menurut daerah kabupaten/kota di Sumatera Utara terlihat bahwa angka kelahiran total (TFR) menurut daerah kabupaten/kota di Sumatera Utara masih menunjukkan variasi yang cukup menyolok antar kabupaten/kota. Apabila diikuti dari estimasi data Sensus Penduduk 2010, maka angka kelahiran total (TFR) paling rendah adalah Kota Medan sebesar 2,2 dan angka kelahitan total (TFR) paling tinggi adalah di Kabupaten Humbang Hasundutan sebesar 4,9 (Santosa, 2012). Perbedaan angka fertilitas ini tentunya terjadi karena memang perbedaan intervensi program keluarga berencana dari memangmasing kabupaten/kota. Ada beberapa faktor yang berpengaruh terhadap keputusan untuk mengupayakan penurunan fertilitas. Mengetahui faktor-faktor tersebut sangat berguna dalam rangka mengefektifkan pencapaian tujuan penurunan fertilitas. Banyak studi empirik telah menunjukkan adanya peranan aktor sosial, ekonomi, budaya. Pada bahasan ini dicoba untuk ditelusuri peranan keluarga berencana. Selanjutnya, penambahan jumlah penduduk di Indonesia pada beberapa dekade ini terjadi peningkatan. Masalah tingginya jumlah penduduk di Indonesia dipengaruhi oleh angka kelahiran yang lebih tinggi dari pada angka kematian. Untuk menanggulangi masalah ini, Indonesia mencanangkan program Keluarga Berencana. Program Keluarga Berencana Nasional adalah program untuk membantu keluarga termasuk individu anggota keluarga untuk merencanakan kehidupan berkeluarga yang baik sehingga dapat mencapai keluarga berkualitas. Dengan terbentuknya keluarga berkualitas maka generasi mendatang sebagai sumber daya manusia yang berkualitas akan

dapat melanjutkan pembangunan. Program Keluarga Berencana dalam pembangunan berkelanjutan yang berwawasan kependudukan dapat memberikan kontribusi dalam hal mengendalikan jumlah dan pertumbuhan penduduk juga diikuti dengan peningkatan kualitas penduduk. Medan Binjai Pem. Siantar Tebing Tinggi Deli Serdang Langkat Pdg.Sidemp… Serdang… Sibolga Asahan Karo SUMUT Simalungun Batu Bara* Gunung… Labuhan Batu Lab.Batu… Tanjung Balai Lab.batu… Madina Tapanuli… Nias Barat* Nias Selatan* Nias Utara* Tapanuli… Toba Samosir Dairi Padang… Nias Pdg. Lawas… Pak-Pak… Samosir* Tapanuli… Hbg.…

0

2,2 2,4 2,6 2,6 2,7 2,8 2,9 2,9 2,9 3 3 3 3,1 3,2 3,2 3,2 3,3 3,3 3,4 3,8 3,8 3,9 3,9 3,9 3,9 3,9 4,1 4,1 4,2 4,2 4,3 4,3 4,4 4,9

2

4

6

Sumber : BPS, Estimasi Hasil SP

Gambar 2.Angka Kelahiran Total Menurut DaerahProvinsi Sumatera Utara Tahun 2010. Keluarga Berencana adalah upaya peningkatan kepedulian dan peran serta masyarakat melalui pendewasaan usia perkawinan, pengaturan kelahiran, pembinaan ketahanan keluarga, peningkatan kesejahteraan keluarga untuk mewujudkan keluarga kecil bahagia dan sejahtera. Tujuan Keluarga Berencana adalah mewujudkan keluarga kecil bahagia sejahtera yang menjadi dasar bagi

10


Dinamika Fertilitas dan Implikasi Kebijakan di Provinsi Sumatera Utara (Heru Santosa)

terwujudnya masyarakat yang sejahtera melalui pengendalian kelahiran dan pertumbuhan penduduk Indonesia. Dengan demikian keikutsertaan keluarga berencana secara langsung akan mempengaruhi penurunan fertilitas. Hasil sensus penduduk 2010 menunjukkan bahwa angka pemakaian kontrasepsi (contraceptive prevalence rate) sebagai indikator pencapaian program keluarga berencana di Provinsi Sumatera Utara sebesar 49 %. Angka ini jauh dibawah angka nasional sebesar 61 %. Selanjutnya, bila dilihat menurut daerah kabupaten/kota ternyata juga masih menunjukkan variasi pencapaian yang cukup menyolok. Range angka pemakaian kontrasepsi sebesar 37 engan angka terendah di Kabupaten Mandailing Natal dan Padang Lawas sebesar 25 % dan angka tertinggi di Kabupaten Langkat sebesar 62 %. Hal ini bila dibandingkan dengan target dari grand design pengendalian kuantitas penduduk Indonesia sebesar 61 % pada tahun 2010 dan 70 % pada tahun 2035 tentunya masih merupakan tantangan yang memerlukan perhatian. Gambar 3 berikut memberikan gambaran terhadap disparitas pencapaian program keluarga berencana melalui indikator angka pemakaian kontrasepsi tahun 2010 di Provinsi Sumatera Utara. Selanjutnya, apabila angka fertilitas total sebagai indikator fertilitas dihubungkan dengan angka pemakaian kontrasepsi sebagai indikator pencapaian program keluarga berencana maka terlihat seperti pada Tabel 1. Hasil uji dalam Tabel 1 tersebut menunjukkan bahwa angka kelahiran total (TFR) mempunyai hubungan negatif yang signifikan dengan angka pemakian kontrasepsi. Nilai-p yang diperoleh adalah sebanyak 0.000, iaitu lebih kecil daripada tingka kepercayaan 0.05 malahan 0.01 atau 99 %. Dengan memperhatikan nilai korelasi sebesar – 0,739 sesuai dengan kategori dari Pallant (2001) termasuk hubungan kuat, dan tanda negatip nilai korelasi memberikan makna bahwa semakin tinggi angka pemakaian kontrasepsi (CPR), semakin rendah angka kelahiran total dihasilkan. Hasil uji korelasi ini mengindikasikan bahwa tingginya pencapaian program keluarga berencana di suatu daerah akan memberikan konsekuensi kepada rendahnya fertilitas atau angka kelahiran. Kajian ini selaras dengan hasil kajian dari Speizer (2006) di Burkina Faso dan Ghana bahwa fertilitas juga sangat terkait dengan pencapaian program keluarga berencana, Oleh karena itu, langkah perlu dilakukan adalah meningkatkan keikutsertaan keluarga berencana dengan melakukan

revitalisasi program keluarga berencana, penentuan program kegiatan prioritas dan penyerasian kebijakan pembangunan penduduk serta keluarga berencana.

Serdang… Deli Serdang Lab.Batu… Asahan Simalungun Labuhan Batu SUMUT Sibolga Pdg.Sidempu… Nias Utara* Nias Selatan* Tapanuli Utara Hbg.… Samosir* Tapanuli… Nias Barat* Padang Lawas*

0

62 59 57 57 55 55 54 53 53 53 52 51 50 49 48 47 46 46 43 42 41 40 37 37 34 34 33 33 31 31 31 30 25 25

50

100

Sumber : BPS, Estimasi Hasil SP 2010

Gambar 3.Angka Pemakaian Kontrasepsi Menurut DaerahProvinsi Sumatera Utara Tahun 2010. Implikasi kebijakannya adalah bahwa pembangunan kependudukan tidak lagi dipahami secara sempit hanya sebagai usaha untuk mempengaruhi pola dan arah demografi saja, akan tetapi sasarannya jauh lebih luas untuk mencapai kesejahteraan rakyat, baik dalam arti fisik maupun non fisik. Hal ini berarti bahwa kebijakan kependudukan merupakan bagian integral dan kebijakan pembangunan secara keseluruhan, serta kebijakan kependudukan harus diletakkan dalam rangka kebijakan kependudukan jangka panjang. Secara

11


Inovasi Vol. 11 No. 1, Maret 2014: 7-14

garis besar Pembangunan Kependudukan meliputi 5 (lima) aspek penting, yaitu : Pertama, berkaitan dengan kuantitas penduduk, antara lain jumlah, struktur dan komposisi penduduk, laju pertumbuhan penduduk serta penyebaran penduduk. Kedua, berkenaan dengan kualitas penduduk yang berkaitan dengan status kesehatan dan angka kematian, tingkat pendidikan dan angka kemiskinan. Ketiga, berkaitan dengan mobilitas penduduk seperti tingkat migrasi yang mempengaruhi persebaran penduduk antara wilayah, baik antar pulau maupun antara perkotaan dan pedesaan. Keempat, berkaitan dengan data dan informasi data kependudukan. Kelima, adalah berkaitan penyerasian kebijakan kependudukan. Komitmen pemerintah terhadap program keluarga berencana mulai tumbuh kembali dan hal ini tercermin dengan diterbitkannya Peraturan Presiden Nomor 62 Tahun 2010, tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga yang menetapkan BKKBN mempunyai tugas pemerintah di bidang Pengendalian Penduduk dan Penyelenggaraan Keluarga Berencana. Terbitnya Peraturan Presiden tersebut pada hakekatnya adalah penjabaran dari amant Undang-Undang No. 52 tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga. Dengan undang-undang tersebut sangat diharapkan persoalan-persoalan terkait dengan masalah kependudukan dan pembangunan keluarga dapat teratasi dan dikelola dengan baik yang akan dapat membawa perubahan mendasar bagi penyelenggaraan Perkembangan Kependudukan dan Program Keluarga Berencana Nasional. Berdasarkan undang-undang yang dikuatkan dengan Peraturan Presiden tersebut di atas sesungguhnya pembangunan di bidang kependudukan dan keluarga berencana diarahkan untuk menciptakan pertumbuhan penduduk yang seimbang dan keluarga berkualitas melalui upaya pengendalian angka kelahiran, penurunan angka kematian, pengarahan mobilitas penduduk, peningkatan ketahanan dan kesejahteraan keluarga, penyiapan dan pengaturan perkawinan serta kehamilan, sehingga penduduk menjadi sumber daya manusia yang tangguh bagi pembangunan dan ketahanan nasional. Untuk mewujudkan hal tersebut memerlukan dukungan penyelenggaraan advokasi dan KIE, penggerakan masyarakat dan penyediaan data dan informasi kependudukan dan keluarga berencana.

Pembangunan kependudukan dan keluarga berencana bersifat multi sektor, melibatkan seluruh elemen masyarakat, maka sangat diperlukan komitmen dan sinergitas dalam pengelolaannya baik di tingkat pemerintah, pemerintah provinsi maupun pemerintah kabupaten/kota agar seluruh potensi yang ada di wilayah masing-masing dapat dioptimalkan dalam mewujudkan amanat Undang Undang No. 52 Tahun 2009. Selanjutnya, Rencana Strategis Program Keluarga Berencana Tahun 2010-2014 diarahkan untuk meningkatkan mobilitas pelaksanaan pengendalian kependudukan dan program keluarga berencana dalam mendukung terwujudnya Visi dan Misi BKKBN, yaitu Penduduk Tumbuh Seimbang 2015 dan mewujudkan Pembangunan Berwawasan Kependudukan dan mewujudkan keluarga kecil, bahagia dan sejahtera. Dalam upaya mewujudkan Penduduk Tumbuh Seimbang dan Keluarga Kecil bahagia Sejahtera sebagai Visi Pembangunan Kependudukan, maka perlu dirumuskan kebijakan strategis sebagai pedoman dan arah pelaksanaan pencapaian. Secara garis besar kebijakan strategis pembangunan kependudukan dalam keupayaan pengendalian kuantitas penduduk di Provinsi Sumatera Utara telah dijalankan adalah menyangkut revitalisasi program keluarga berencana dan penyerasian kebijakan pengendalian penduduk. Tabel 1.Hasil Uji Korelasi Antara Angka kelahiran Total (TFR) DenganAngka Pemakaian Kontrasepsi (CPR) Di Provinsi Sumatera Utara

Indikator

AngkaPemakaian Kontrasepsi (CPR) Nilai Nilai – p korelasi Pearson

Angka Fertilitas - 0.739** 0.000** Total (TFR) **Signifikan taarf 0.01 atau kepercayaan 99 % Note: Menurut Pallant (2001), nilai korelasi ± 0.10 – 0.29 adalah lemah, ± 0.30 – 0.49 adalah sederhana dan ± 0.50 – 1.00 adalah kuat Selanjutnya, revitalisasi program keluarga berencana dilakukan melalui serangkaian kegiatan yang meliputi pengembangan dan sosialisasi kebijakan pengendalian kependudukan yang responsive gender, pembinaan dan peningkatan kemandirian keluarga berencana, advokasi, promosi dan penggerakan masyarakat, peningkatan dan

12


Dinamika Fertilitas dan Implikasi Kebijakan di Provinsi Sumatera Utara (Heru Santosa)

sasaran parameter kependudukan disepakati semua sektor terkait.

pemanfaatan sistem informasi managemen berbasis teknologi informasi, pelatihan, penelitian dan pengembangan program kependudukan dan keluarga berencana dan peningkatan kualitas managemen program. Sebaliknya, penyerasian kebijakan pengendalian penduduk dilakukan melalui serangkaian kegiatan yang meliputi penyusunan peraturan perundang-undangan tentang pengendalian penduduk, perumusan kebijakan kependudukan yang sinergis antara aspek kuantitas, kualitas dan mobilitas dan penyediaan sasaran parameter kependudukan yang disepakati sektor terkait.

yang

DAFTAR PUSTAKA Adioetomo, Sri Moertiningsih; Omas Bulan Samosir. 2010. Dasar-Dasar Demografi.Jakarta : Salemba Empat. Ananta, Aris dan Hisar Sirait.1993. Transisi Demografi, Transisi Kesehatan, dan Pembangunan Ekonomi. Aris Ananta (e.d). Ciri Demografis Kualitas Penduduk dan Pembangunan Ekonomi. Jakarta: Lembaga Demografi, Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia. Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional, Badan Pusat Statsistik, Kementerian Kesehatan dan USAID. 2008. Indonesia Demographic and Health Survey 2007. Jakarta: BKKBN.

KESIMPULAN Masih tingginya angka kelahiran total di Provinsi Sumatera Utara. Bila dilihat menurut daerah kabupaten/kota ternyata juga masih menunjukkan variasi pencapaian yang cukup menyolok. Range angka pemakaian kontrasepsi sebesar 37 dengan angka terendah di Kabupaten Mandailing Natal dan Padang Lawas sebesar 25 % dan angka tertinggi di Kabupaten Langkat sebesar 62 %. Disamping itu, disparitas angka kelahiran total juga terjadi antar daerah kabupaten/kota. Ada korelasi secara signifikan antara penurunan angka kelahiran total dengan keikutsertaan keluarga berencana. Semakin tinggi persentase keikutsetaan keluarga berencana, semakin rendah angka kelahiran total.

Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional, Badan Pusat Statsistik, Kementerian Kesehatan dan USAID.2013. Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia 2012. Jakarta : BKKBN. Badan Pusat Statistik,2010. Sumatera Utara Dalam Angka 2012. Medan : BPS, Provinsi Sumatera Utara. Badan Pusat Statistik,.2011. Hasil Sensus Penduduk 2010 Provinsi Sumatera Utara : Data Agregat Per Kabupaten/Kota. Medan : BPS. Badan Pusat Statistik. 2011. Fertilitas Penduduk Indonesia : Hasil Sensus Penduduk 2010. Jakarta : BPS. Bongaarts, John; Watkins, Susan C. 1996.“Social interactions and contemporary fertility transitions.� Population and Development Review 22(4): 639-682.

REKOMENDASI Oleh karena itu, kebijakan perlu dilakukan adalah meningkatkan keikutsertaan keluarga berencana dengan melakukan 1). revitalisasi program keluarga berencana; 2). penentuan program kegiatan prioritas dan 3). penyerasian kebijakan pembangunan penduduk serta keluarga berencana. Revitalisasi program keluarga berencana dilakukan dengan tujuan menurunkan tingkat kelahiran dan menuju terbentuknya keluarga kecil berkualitas. Penentuan program kegiatan prioritas dilakukan dengan tujuan peningkatan kemampuan teknis dan generik yang meliputi program pelatihan, penelitian dan pengembangan program kependudukan dan KB; program peningkatan kualitas manjemen; program peningkatan sarana dan prasarana; dan program pengawasan dan peningkatan akuntabilitas aparatur. Selanjutnya, penyerasian kebijakan menyangkut penyusunan peraturan perundangan pengendalian penduduk; perumusan kebijakan kependudukan yang bersinergi antara aspek kuantitas, kualitas, mobilitas; dan penyediaan

Bungin, Burhan. 2003. Analisis Data Penyelidikan Kualitatif: Pemahaman Filosofis Dan Metodologis Ke Arah Penguasaan Model Aplikasi. Jakarta: PT. Raja Grafika Persada. Departemen Kesehatan. 2006. Estimate of the People Living with HIV/AIDS. Jakarta, Indonesia: DEP. KES. Faturochman. 2004. Dinamika Kependudukan Dan Kebijakan. Yogyakarta : Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan UGM. Hardee, Karen and Elizabeth Leahy, 2008.Population, Fertility and Family Planning in Pakistan: A Program in Stagnation. Population Journal, Vol.3 (3): 113-131. Kementerian Koordinator Bidang Rakyat. 2012. Grand Design Kependudukan 2011-2035. Jakarta.

Kesejahteraan Pembangunan

Mohamed Izham Muhamed Ibrahim. 2004. Konsep Asas Proses Penyelidikan Dan Statistik Dalam Praktis Kesihatan. Pulau Pinang : USM.

13


Inovasi Vol. 11 No. 1, Maret 2014: 7-14

Pallant, Jullie. 2001. SPSS Survival Manual: A Step By Step, Guide To Data Analysis Using SPSS, For Window (Version 10). Canada: Open University Press. Santosa, Heru. 2012. Parameter Demografi Sumatera Utara Berdasarkan Sensus Penduduk 2010. (Makalah Seminar). Medan : Koalisi Kependudukan dan BKKBN Provinsi Sumatera Utara. Speizer, Ilene S. 2006. “Using Strength of Fertility Motivations to Identify Family Planning Program Strategies�. International Family Planning Perspectives, Vol.32(4): 185-191.

14


Penanganan Konflik Sumber Daya Alam di Sumatera Utara : Studi Kasus Konflik Pertambangan Emas di Kabupaten Mandailing Natal (Dwi Endah Purwanti)

Hasil Penelitian PENANGANAN KONFLIK SUMBER DAYA ALAM DI SUMATERA UTARA: UTARA: STUDI KASUS KONFLIK PERTAMBANGAN EMAS DI KABUPATEN MANDAILING NATAL

(CONFLICT MANAGEMENT OF NATURAL RESOURCES IN NORTH SUMATERA SUMATERA:: CASE STUDIES CONFLICT OF GOLD MINING IN REGENCY)) MANDAILING NATAL REGENCY Dwi Endah Purwanti Badan Penelitian dan Pengembangan Provsu Jl. Sisingamangaraja No. 198 Medan 20126 email : dwipurwanti_73@yahoo.co.id

Diterima: 24 Januari 2014; Direvisi: 17 Pebruari 2014; Disetujui: 4 Maret 2014

ABSTRAK Sumber Daya Alam yang dimiliki Sumatera Utara akan menjadi salah satu pilar penting dalam mendukung pertumbuhan ekonomi dan pembangunan daerah jika dikelola dengan baik. Sebaliknya, kesalahan pengelolaan Sumber Daya Alam berdampak pada terjadinya konflik sosial yang bermuara pada bencana dan kesengsaraan masyarakat lokal.Diperlukan kebijakan yang tepat untuk pencegahan dan upaya-upaya resolusi konflik sosial sehingga kehadiran perusahaan pertambangan dapat memberikan manfaat bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat. Penelitian ini dilaksanakan dengan tujuan (1) mendeskripsikan akar permasalahan terjadinya konflik terkait Sumber Daya Alam di Kabupaten Mandailing Natal, Sumatera Utara, (2) mengetahui aktor-aktor yang terlibat dalam konflik, termasuk posisi, kepentingan, dan hubungan diantara para aktor (3) mengetahui intensitas konflik kekerasan yang terjadi, perluasan konflik, dampak konflik kekerasan tersebut terhadap kehidupan masyarakat, dan respon para aktor dalam penanganan konflik (4) menyusun opsi kebijakan bagi Pemerintah Provinsi Sumatera Utara dalam menetapkan skema penyelesaian atas kasus-kasus pertambangan tersebut. Kajian dilaksanakan melalui pendekatan deskriptif kualitatif.Temuan dari kajian ini mengungkapkan bahwa konflik sosial yang muncul di Kabupaten Mandailing Natal berakar dari motif ekonomi akibat banyaknya aktor yang berkepentingan dengan potensi tambang emas.Pihak-pihak yang berkepentingan diantaranya meliputi Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, kelompok masyarakat, perusahaan PT Sorik Mas Mining, dan Taman Nasional Batang Gadis. Intensitas konflik sangat tinggi, mulai dari ketegangan, bentrokan kecil hingga penyerangan, pemblokiran jalan lintas Sumatera dan bentrokan fisik yang menyebabkan tertembaknya lima warga masyarakat. Kajian ini memunculkan beberapa rekomendasi kebijakan antara lain (1) perlunya melibatkan masyarakat dalam menetapkan batas, tata ruang dan manajemen pengelolaan sumber daya alam, (2) perlunya sikap keterbukaan dari perusahaan, (3) pentingnya harmonisasi kebijakan antara pemerintah pusat dan daerah dalam pengelolaan sumber daya alam, utamanya pertambangan, (4) pentingnya penyelesaian konflik dengan mengedepankan peran mediasi sehingga diperoleh penanganan konflik dengan pendekatan win-win solution. Kata Kunci:

konflik sosial, konflik sumber daya alam, konflik pertambangan, PETI (Pertambangan Tanpa Ijin), Kabupaten Mandailing Natal, PT Sorik Mas Mining

ABSTRACT The natural resources of North Sumatera could become one of fundamental pillars in supporting economic growth and regional development as long as they are managed properly. Otherwise, the guilty in managing natural resources will result in the emergence of social conflict which cause social suffering for local community. Indeed, proper policy is nedded to prevent and recommend conflict resolution.This research is conducted to gain some purposes : (1) exploring

15


Inovasi Vol. 11, No. 1, Maret 2014: 15-23

the root cause of natural resources conflict in Mandailing Natal, North Sumatera; (2) identifying actors involved in the conflict, including their position, interests, needs, agenda, and the relationship among these actors, describing their contribution in driving the conflict or otherwise encouraging conflict resolution; (3) determining the intensity and expansion of the conflict, its impact to people’s lives, and the response ot the actors involved; (4) formulating policy options forThe Governorof North Sumatera in designing conflict prevention and resolution either for short, medium, or long term. The study applied a qualitative approach and conducted in Mandailing Natal, North Sumatera. Data collected by field observation techniques, Forum Group Discussion (FGD) and in-depth interviews. Informants include community leaders, goverment official, representation from company, and other stakeholders. From this study it is concluded that economic motives become the root cause of the conflict. Furthermore, the existance of numerous groups whose interests in and actions concerning a region’s natural resources can lead to or exacarbate conflict. These groups of interest may include local communities or ancestral domain, governments, bussiness/companies, agents, and others actors who fell having authority to natural resources exploitation. Policy recommendations which can be formulated from this study are : (1) the need for people’s involvement community in establishing domain, and natural resources management (2) the need for transparency of the company (3) the need for policy harmonization between central and local governments in setting the boundary and natural resource management (4) the need for applying win-win solution approch in reaching conflict resolution. Keywords: social conflict, natural resources conflict, mining conflict, illegal mining, Mandailing Natal, PT Sorik Mas Mining

potensi konflik politik, ekonomi, sosial dan budaya, dan 9 (sembilan) titik potensi konflik suku, agama, ras dan antar golongan. Tulisan ini diarahkan untuk membahas salah satu konflik yang terjadi di Provinsi Sumatera Utara yakni konflik pertambangan emas.Sebagaimana yang sering terjadi, tidak saja di Indonesia namun juga di negara-negara luar, kehadiran perusahaan pertambangan mengakibatkan terjadinya peminggiran orangorang asli/penduduk lokal akibat ulah perusahan tambang yang pada akhirnya menimbulkan resistensi masyarakat. Dalam kaitan ini, Whaiteman (2002) menyatakan, “Conflict between indigenous peoples and the international mining industry is widespread, and hostilities can be deeply entrenched and explosive. Community blockades, lawsuits, adversarial negotiations, public protests and nongovernmental campaigns are common examples of the conflictual relations that exist between many indigenous groups and mining companies around the world. At the extreme end, such conflict has also resulted in violence, civil war, death, human rights abuses, and sexual assault on indigenous women and girls. While each situation is unique, conflict over minerals can have significant costs to both companies and local indigenous communities.” Bagi Pemerintah Provinsi Sumatera Utara sektor energi dan pertambangan sangat diharapkan menjadi salah satu pilar penopang pertumbuhan ekonomi, beriringan dengan sektor pertanian, perkebunan dan perikanan.Hal ini didasarkan pada besarnya potensi pertambangan yang tersebar hampir di seluruh wilayah Sumatera Utara. Data dari Dinas Pertambangan dan Energi Provinsi Sumatera Utara sebagaimana tertuang di dalam RPJMD

PENDAHULUAN Sebagai salah satu provinsi besar dengan ciri pluralitas tinggi serta dukungan sumber daya alam melimpah, terbuka peluang yang sangat besar bagi Sumatera Utara untuk berhadapan dengan bermacam-macam konflik sosial.Berbagai persoalan dengan latar belakang ekonomi, sosial, ketidakadilan, kepentingan politik, hubungan antar daerah, kepentingan penguasaan sumber ekonomi bisa menjadi pemicu muncul dan meledaknya konflik sosial tersebut. Coser sebagaimana dikutip Oberschall (1978) mendefinisikan konflik sosial sebagai berikut, “social conflict is a struggle over values or claims to status, power, and scarce resources, in which the aims of the conflict groups are not only to gain the desired values, but also to neutralise, injure, or eliminate rivals”. Undang-Undang No 7 Tahun 2012 menyatakan terdapat 5 (lima) sumber yang dapat menyebabkan munculnya konflik di Indonesia, yakni : (1) permasalahan yang berkaitan dengan politik, ekonomi, dan sosial budaya; (2) perseteruan antarumat beragama dan/atau interumat beragama, antarsuku, dan antaretnis; (3) sengketa batas wilayah desa, kabupaten/kota, dan/atau provinsi; (4) sengketa sumber daya alam antarmasyarakat dan/atau antarmasyarakat dengan pelaku usaha; (5) distribusi sumber daya alam yang tidak seimbang dalam masyarakat. Berdasarkan data dari Badan Kesbang Polinmas Sumut dan Komunitas Intelijen Daerah (Kominda) Sumut, terdapat 183 titik potensi konflik di Provinsi Sumatera Utara, tersebar di 33 kabupaten/kota yang terdiri dari 5 (lima) titik potensi konflik batas wilayah, 129 titik potensi konflik sumber daya alam, 40 titik

16


Penanganan Konflik Sumber Daya Alam di Sumatera Utara : Studi Kasus Konflik Pertambangan Emas di Kabupaten Mandailing Natal (Dwi Endah Purwanti)

Provinsi Sumatera Utara menyatakan setidaknya ada 19 jenis pertambangan logam dan non logam yang terkandung di wilayah Sumatera Utara dan tersebar hampir di seluruh kabupaten/kota yang ada di Sumatera Utara. Sayangnya kekayaan pertambangan tersebut tidak serta-merta memberikan jaminan terwujudnya kesejahteraan bagi masyarakat sekitar.Kesalahan pengelolaan sumber daya alam merupakan pemicu munculnya pertentangan diantara berbagai aktor yang terlibat dan memiliki kepentingan dengan suatu wilayah pertambangan.Diperlukan pengelolaan SDA yang berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, rasional, optimal dan terpadu untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat, sebagaimana diamanatkan Pasal 33 UUD 1945. Ada beberapa hal yang mendasari munculnya konflik pertambangan. Billon P.L dan Porto J.G menyatakan bahwa Konflik yang ditimbulkan oleh penguasaan sumberdaya alam lebih dipicu adanya nafsu tamak dan rakus, yang berakibat pada diskriminasi, ketidakadilan, dan marjinalisasi kepentingan masyarakat lain (Billon, 2001 dan Porto, 2002). Ohlsson (2000), dalam tulisannya Water Conflicts and Sosial Resource Scarcity menampilkan index mengenai Hydrological Water Stress Index (HWSI) dan Sosial Water Stress Index (SWSI), memprediksi bahwa antara 1995 hingga 2025 terus terjadi peningkatan tekanan atas sumber daya alam menuju kelangkaan yang semakin parah di berbagai negara, khususnya negara miskin. Tulisan ini merupakan penelitian yang ditujukan untuk: (1) mendeskripsikan akar permasalahan terjadinya konflik terkait Sumber Daya Alam di Kabupaten Mandailing Natal, Sumatera Utara, (2) mengetahui aktor-aktor yang terlibat dalam konflik, termasuk posisi, kepentingan, dan hubungan diantara para aktor (3) mengetahui intensitas konflik kekerasan yang terjadi, perluasan konflik, dampak konflik kekerasan tersebut terhadap kehidupan masyarakat, dan respon para aktor dalam penanganan konflik (4) menyusun opsi kebijakan bagi Pemerintah Provinsi Sumatera Utara dalam menetapkan skema penyelesaian atas kasus-kasus pertambangan tersebut.

merujuk pada keunikan karakteristik konflik pertambangan yang terjadi di wilayah tersebut.Sebagaimana lazimnya konflik pertambangan terjadi sebagai satu konsekuensi kehadiran perusahaan multinasional yang melakukan eksploitasi di suatu wilayah, di Kabupaten Mandailing Natal konflik justru telah mencuat saat pengelolaan pertambangan masih berada pada fase eksplorasi.Idealnya, masih terbuka kesempatan bagi pemerintah untuk menghentikan eksplorasi tersebut jika mengingat tingginya resistensi dan kompleksitas konflik sosial yang ditimbulkan. Sumber data meliputi data primer yakni hasil catatan observasi lapangan, FGD, wawancara mendalam (in-depth interview), dan data sekunder berupa dokumen, laporan, suratsurat yang dihimpun peneliti selama melakukan kajian. Selanjutnya data dianalisis melalui beberapa tahapan, dimulai dari proses pemilahan dan pemilihan data, dilanjutkan penyajian data, hingga dapat dilakukan penarikan kesimpulan. HASIL DAN PEMBAHASAN Pada perspektif yang sederhana, konflik pertambangan di Mandailing Natal terjadi karena adanya pihak-pihak yang berada pada posisi berseberangan dan sama-sama memiliki kepentingan untuk penguasaan sumber daya alam, yakni tambang emas.Motif ekonomi menjadi penggerak utama munculnya persaingan diantara para pihak yang didasari keinginan memperoleh keuntungan sebesarbesarnya atas pengelolaan tambang emas.Keinginan untuk menguasai sumber daya alam secara mutlak menyebabkan munculnya aksi-aksi dari pihak yang kuat untuk memarginalkan atau bahkan menyingkirkan eksistensi pihak lainnya. Konflik sosial muncul ketika masyarakat lokal/penduduk asli yang telah lebih lama mendiami kawasan dengan kekayaan emas tersebut merasa terancam sehingga perlu melakukan perlawanan secara bersama-sama demi menjaga kelangsungan hidup mereka. Upaya perlawanan inilah yang selanjutnya menempatkan dua aktor penting pada dua posisi berseberangan. Di satu pihak PT Sorikmas Mining merasa memiliki aspek legal berupa Kontrak Karya yang secara yuridis memiliki kewenangan untuk melaksanakan eksplorasi di kawasan kontrak karya. PT. Sorikmas Mining merupakan perusahaan eksplorasi tambang emas dan mineral lainnya di Sumatera Utara berdasarkan kontrak karya yang ditandatangani Presiden Soeharto pada tahun tahun 1998. Wilayah kontrak karya terletak di Kabupaten Mandailing Natal dengan luas semula 201.600 Ha, setelah dua kali penciutan wilayah

METODE Penelitian ini dilaksanakan secara kualitatif dengan pendekatan deskriptif. Pendekatan tersebut dianggap lebih sesuai untuk mendeskripsikan fenomena dan fakta, termasuk memaparkan dinamika konflik yang terjadi di Kabupaten Mandailing Natal. Pemilihan lokasi penelitian di Kabupaten Mandailing Natal

17


Inovasi Vol. 11, No. 1, Maret 2014: 15-23

menjadi 66.200 Ha (32,83% dari luas wilayah kontrak karya pertama). Di pihak lain, masyarakat yang tinggal di Kawasan Kecamatan Naga Juang (antara lain Desa Naga Juang, Humbang, Tambiski, Banua Rakyat, Tarutung Panjang, Sayur Matua), memiliki kekuatiran akan dampak kerusakan lingkungan akibat eksplorasi dan eksploitasi tambang nantinya. Masyarakat tidak menginginkan bencana-bencana sebagaimana yang terjadi di Jawa Timur terkait dengan Lapindo, Freeport di Irian Jaya, atau Newmont di Nusa Tenggara, juga terjadi di wilayah yang telah lama mereka diami secara turuntemurun.Apalagi yang terjadi belakangan eksplorasi PT. Sorikmas Mining sudah mencapai Tor Sambung yang jika ditarik garis lurus hanya berjarak 2-3 km dari perkampungan terdekat.Kekuatiran masyarakat semakin besar setelah terjadinya bencana banjir bandang yang menewaskan 3 orang warga pada bulan April 2013. Dari peristiwa tersebut masyarakat semakin menyadari bahwa kelestarian lingkungan adalah sesuatu yang harus mereka perjuangkan demi kelangsungan generasi mendatang.Mereka pun membulatkan tekat

untuk berjuang menentang penambangan di Tor Sambung. Ketegangan antara warga masyarakat dengan perusahaan tambang juga disebabkan oleh keterbatasan masyarakat dalam mengakses informasi kegiatan pertambangan PT Sorikmas Mining, sehingga memunculkan persepsipersepsi negatif terkait aktivitas perusahaan. Persepsi negatif yang terbangun antara lain kebohongan besar adanya kegiatan eksploitasi dibalik status eksplorasi yang dilakukan perusahaan. Masyarakat mempertanyakan lamanya fase eksplorasi, yakni sejak tahun 1998 hingga saat ini, untuk meneliti kandungan emas dan mineral lainnya di Tor Sihayo dan Tor Sambung.Persepsi ini didasari oleh logika awam yang membandingkan dengan pertambangan oleh kelompok-kelompok masyarakat, dimana siang hari mereka menambang sore hari sudah bisa mendapatkan hasil emas. Masyarakat juga menuding perusahaan tidak jujur dalam melaporkan kandungan emas. Dalam laporannya PT. Sorik Mas Mining menyatakan potensi pertambangan di dua bukit yakni Tor Sihayo dan Tor Sambung adalah seperti pada Tabel 1. sebagai berikut :

Tabel 1. Potensi Pertambangan di Bukit Tor Sihayo dan Tor Sambung, Kabupaten Mandailing Natal WILAYAH POTENSI TAMBANG TOR SIHAYO • Emas : 1.322.000 ounce • Bijih : 15.300.000 ton • Kandungan dalam 1 ton : 2,7 ounce emas • Masa produksi 8 – 10 tahun TOR SAMBUNG • Emas : 1.322.000 ounce • Bijih : 15.300.000 ton • Kandungan dalam 1 ton : 2,7 ounce emas • Masa produksi 8 – 10 tahun Sumber : wawancara via telephone dengan Humas PT Sorikmas Mining Menanggapi laporan kandungan emas di dua bukit yang disampaikan perusahaan tersebut, masyarakat membandingkan dengan hasil yang diperoleh penambang-penambang liar, dimana dari setiap satu karung batuan yang beratnya kurang lebih 50 kg dihasilkan emas murni minimal 2 gram. Nampaknya dalam hal ini terjadi kesalahan persepsi di masyarakat yang mengira hitungan 1 ounce sama dengan 1 ons yang sebanding dengan 100 gram. Sesungguhnya kesalahan tersebut dapat diluruskan jika perusahaan memiliki sikap terbuka dan memberi ruang dialog dengan masyarakat yang mudah terprovokasi. Resistensi masyarakat terhadap kehadiran perusahaan penambangan PT Sorikmas Mining dipertajam oleh kebijakan perusahaan yang

menempatkan tenaga pengamanan Sekuriti Pengamanan Dalam (SPD) yang mayoritas beranggotakan preman-preman dilengkapi dengan persenjataan. Tindakan SPD seringkali mereka anggap kejam dalam menghadapi masyarakat dengan mengejar-ngejar bahkan menyiksa anggota masyarakat yang tertangkap di wilayah kontrak karya. Ketidakjelasan batasbatas wilayah kontrak karya seringkali menjadi senjata bagi perusahaan untuk memperluas wilayah mereka hingga memasuki lahan-lahan yang telah digarap warga dan menuding masyarakat memasuki wilayah kontrak karya. Lebih jauh, konflik perusahaan tambang tersebut sesungguhnya tidak hanya menyangkut hubungan perusahaan dengan masyarakat.Perlu diketahui bahwa sebagian wilayah kontrak

18


Penanganan Konflik Sumber Daya Alam di Sumatera Utara : Studi Kasus Konflik Pertambangan Emas di Kabupaten Mandailing Natal (Dwi Endah Purwanti)

karya berada pada kawasan Taman Nasional Batang Gadis. Dari wilayah kontrak karya seluas 66.200 Ha, ± 33.721 Ha, merupakan kawasan tumpang tindih atau berada di dalam kawasan Taman Nasional Batang Gadis, sementara hanya ± 32.479 lainnya yang berada di luar Taman Nasional Batang Gadis, yang terdiri ± 20.927 Ha kawasan hutan lindung, ± 10.106 Ha hutan produksi terbatas dan ± 1.446 areal penggunaan lainnya. Untuk memperjelas batas wilayah kontrak karya tersebut Menteri Kehutanan RI mengeluarkan keputusan No. 126/MenhutII/2004 tanggal 29 April 2004 tentang Penetapan Batas Sementara Wilayah Taman Nasional Batang Gadis (TNBG) di sebagian wilayah Kontrak Karya PT Sorikmas Mining, dan menyebabkan wilayah Kontrak Karya terbagi menjadi 2 (dua) blok yaitu Blok Aktif (32.560 Ha) dan Blok Non Aktif (33.640 Ha). Sayangnya pada penyelesaian konflik wilayah melalui jalur hukum dimenangkan melalui Amar Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 29P/HUM/2004 tanggal 17 September 2008, yang membatalkan SK Menteri Kehutanan No. 126/Menhut-II/2004 tersebut, sehingga sampai saat ini sebagian wilayah Kontrak Karya PT Sorikmas Mining berada di dalam kawasan Taman Nasional Batang Gadis. Disela-sela perseteruan antara masyarakat dengan PT Sorikmas Mining, muncul peran stakeholders lain yang juga memiliki kepentingan terkait keberadaan kawasan pertambangan. Banyak spekulan, pemilik modal PEMERINTAH DAERAH

MASYARAKAT

yang notabene adalah orang-orang kaya dan beberapa lainnya adalah orang-orang yang berkuasa yang terlibat di dalam penambangan liar, atau yang menurut Inpres Nomor 3 Tahun 2000 disebut Pertambangan Tanpa Ijin (PETI). Para pemilik modal tersebut secara sengaja mendatangkan tenaga kerja dari Sukabumi, Bogor atau daerah-daerah lain di Pulau Jawa yang sudah berpengalaman dalam penambangan emas. Temuan empiris di lapangan, kegiatan PETI yang tidak mengikuti kaidah-kaidah pertambangan dan prosedur kerja, bahan-bahan dan pembuangan limbah mereka tidak memenuhi standar baku, mendatangkan keserasahan, diantaranya dalam konsumsi air minum dan kelestarian lingkungan hidup di Mandailing Natal. Dari keterangan seorang informan menyatakan bahwa proses pemisahan emas dari batuan dan mineral lain dilakukan dengan menggunakan zat mercuri yang membahayakan kesehatan. Dari hasil investigasi di lapangan juga jelas-jelas ditemukan limbah sisa proses pengolahan hasil penambangan di galundung-galundung yang banyak dijumpai di wilayah Naga Juang dibuang begitu saja di lahan terbuka dan airnya dengan bebas merembes ke parit-parit yang mengaliri sawah-sawah warga. Secara lebih jelasnya hubungan antar aktor yang terlibat dalam konflik pertambangan emas di Kabupaten Mandailing Natal dapat digambarkan pada Gambar 1.sebagai berikut :

PEMERINTAH PUSAT

KONFLIK PERTAMBANGAN

PT SORIKMAS MINING

APARAT

KONFLIK WILAYAH

TAMAN NASIONAL BATANG GADIS

SPD

PETI -

Minoritas masyarakat sekitar areal pertambangan Mayoritas masyarakat dari luar Madina

Gambar 1. Hubungan Antar Aktor Yang Terlibat Dalam Konflik Pertambangan Emas di Kabupaten Mandailing Natal.

19


Inovasi Vol. 11, No. 1, Maret 2014: 15-23

Sebagai bentuk perlawanan mempertahankan eksistensi, masyarakat Mandailing Natal utamanya dari Kecamatan Naga Juang telah melakukan beberapa aksi, diantaranya: 1. Forum Masyarakat Naga Juang Tolak Tambang (Formantam) dari Desa Banua pada tanggal 07 Oktober 2010 mengajukan surat kepada Bupati Mandailing Natal perihal Sikap Tolak Tambang. 2. Warga Desa Huta Padang Kecamatan Ulu Pungkut, sebanyak 142 orang, menyusun Nota Kesepakatan tentang Penolakan terhadap Kontrak Karya PT Sorikmas Mining tanggal 06 Maret 2011 . 3. Forum Formantam kembali mengajukan surat kepada Bupati Mandailing Natal pada tanggal 18 Juli 2011 Nomor 07/FMN.TT/IV/2011 perihal menolak segala kegiatan PT Sorikmas Mining. 4. Pada tanggal 21 Mei 2012 masyarakat melakukan aksi damai menolak kehadiran SPD yang didatangkand ari luar wilayah Mandailing Natal. 5. Terjadi bentrok fisik dan pembakaran Camp Tor [baca : bukit] Sihayo Kecamatan Naga Juang antara masyarakat dengan pihak pengamanan perusahaan, pertama pada hari Jum’at tanggal 29 Mei 2011 yang mengakibatkan korban luka tembak sebanyak 5 (lima) orang dari pihak masyarakat, dan kedua tanggal 7 Juli 2012 mengakibatkan satu orang menjadi korban yang mengalami luka tembak. 6. Pada hari Jum’at tanggal 22 Maret 2013 masyarakat menduduki secara paksa Camp. Sambung PT Sorikmas Mining yang mengakibatkan tertangkapnya 188 orang warga masyarakat Naga Juang dan dilanjutkan peristiwa pemblokiran Jalan Lintas Sumatera di Desa Jambur Kecamatan Panyabungan Utara dari pukul 15.00 – 21.00 WIB sebagai bentuk negosiasi warga untuk melepas 188 warga yang ditangkap. 7. Pada hari Senin tanggal 8 April 2013 masyarakat kembali melakukan aksi demonstrasi dan pemblokiran Jalan Lintas Sumatera di Desa Siramram Kecamatan Panyabungan Utara untuk mendesak DPRD Kabupaten Mandailing Natal menggelar Rapat Dengar Pendapat (RDP). Sementara itu dalam upaya penyelesaian konflik sosial antara masyarakat dengan pihak perusahaan, baik Pemerintah Provinsi Sumatera Utara dan Pemerintah Kabupaten Mandailing Natal, telah memberikan dukungan dengan mendesak Kementerian Koordinator

Perekonomian untuk melakukan langkahlangkah : 1. Pembebasan Areal Camp Tor Sambung dari wilayah konsesi Kontrak Karya PT Sorikmas Mining dengan landasan pemikiran kerusakan lingkungan Tor Sambung akan mengancam keselamatan mereka yang tinggal di desa-desa terdekat. 2. Penetapan tapal batas yang jelas antara wilayah kontrak Karya PT Sorikmas Mining dengan lahan masyarakat. 3. Mendesak Kementerian ESDM dan Kehutanan RI untuk menurunkan Tim Evaluasi dan Monitoring terhadap Kontrak Karya PT Sorikmas Mining ke wilayah Kabupaten mandailing Natal. 4. Mengeluarkan Security Pengamanan Dalam (SPD) dari wilayah Kecamatan Naga Juang. 5. Penghentian sementara aktivitasPT Sorikmas Mining di Kawasan Tor Sambung. 6. Meminta PT Sorikmas Mining agar tidak melaksanakan pertambangan terbuka (surface mining) yang dikhawatirkan akan menimbulkan bencana besar yang akan merugikan masyarakat di sekitar areal penambangan. Jika mencermati tuntutan dan perlawanan yang dilakukan masyarakat, nampaknya ada tiga faktor penting yang mendorong semakin meningkatnya intensitas konflik, yakni: 1. Adanya ketidakpuasan dari kelompok masyarakat terhadap penanganan konflik SDA yang telah dilakukan oleh pihak pengelola tambang SDA dan pemerintah 2. Kurangnya komitmen, khususnya dari pihak perusahaan terhadap kesepakatan yang telah dilakukan dengan pihak masyarakat 3. Masyarakat dan pemerintah daerah belum merasakan langsung secara adil pengelolaan sumberdaya alama oleh perusahaan atau pemerintah pusat Untuk itu sangat diperlukan upaya penyelesaian oleh pihak-pihak terkait yang menitikberatkan pada peran pemerintah pusat sebagai pemegang kewenangan pemberian ijin pengelolaan pertambangan di daerah. Langkahlangkah yang mendesak untuk dilakukan sebagai wujud keberpihakan kepada kepentingan masyarakat sebagaimana diamanatkan dalam UUD 1945 pasal 33 adalah : 1. Pemerintah pusat harus segera menurunkan Tim Renegosisi ke wilayah konflik untuk mengetahui kondisi sebenarnya, utamanya menyangkut tapal batas wilayah kontrak karya. 2. Pemerintah harus mendorong perusahaan untuk menghentikan segala bentuk penanganan konflik dengan cara kekerasan.

20


Penanganan Konflik Sumber Daya Alam di Sumatera Utara : Studi Kasus Konflik Pertambangan Emas di Kabupaten Mandailing Natal (Dwi Endah Purwanti)

3.

Pemerintah pusat bersama-sama dengan pemerintah daerah membentuk lembaga khusus yang berfungsi menyelesaikan konflik SDA dengan menerbitkan rekomendasi. 4. Pemerintah pusat dan daerah harus menindaklanjuti rekomendasi dari komisi penyelesaian konflik SDA tersebut dengan tindakan tegas seperti mencabut izin perusahaan dan menindak aparat pemerintah yang merampas tanah rakyat. 5. Pemerintah pusat dan daerah harus meninjau ulang kebijakan dan izin yang diterbitkan pemerintah pusat atau daerah di bidang SDA. 6. Pemerintah harus mengembalikan tanah hasil rampasan perusahaan ataupun pemerintah kepada rakyat. Disamping langkah-langkah tegas tersebut diatas, salah satu inisiatif yang juga dapat dilakukan dalam penyelesaian konflik adalah merubah konflik menjadi kemitraan sejajar.Oleh karena itu perlu mengedepankan pendekatan informal untuk mendapatkan kepercayaan masyarakat, terutama melalui hubungan informal yang sudah terbangun dari pengalaman advokasi konflik yang pernah dilakukan. Dalam hal ini proses mediasi konflik menjadi pilihan yang bijaksana demi terwujudnya win-win solution diantara pihak-pihak yang terlibah di dalam konflik. Langkah awal yang penting yang dilakukan dalam melakukan mediasi konflik adalah : 1. Menciptakan saling percaya antar kedua belah pihak yang berkonflik (trust building). Ini merupakan kegiatan pra kondisi menuju negosiasi yang sangat menentukan proses selanjutnya, karena konflik yang sudah berlangsung (apalagi sudah lama) akan membuat kedua belah pihak saling mencurigai satu sama lain, atau bahkan tidak jarang sudah saling membenci dan menyerang. Kelemahan mediasi yang selama ini dilakukan pemerintah terletak pada tidak dibangunnya kondisi yang kondusif bagi kedua belah pihak yang berkonflik untuk bernegosiasi, sehingga emosi dan ego sepihak sering kali terjadi yang mengakibatkan gagal menghasilkan kesepakatan. Kuncinya, membangun trust building ini bisa dilakukan setelah memahami secara utuh peta konflik di lapangan, sehingga assessment awal harus sudah dilakukan sebelum masuk tahapan ini. Perusahaan ada baiknya memulai dengan melakukan proyek-proyek kecil yang menyentuh kepentingan publik seperti pembangunan infrastruktur publik yang saat ini sangat dibutuhkan, ini

2.

3.

4.

21

akanmembantu mengembalikan keperecayaan masyarakat ke perusahaan. Menumbuh kembangkan kelembagaan komunitas/desa. Kelembagaan ini diperlukan sebagai wadah untuk membicarakan segala tuntutan dan mengevaluasi capaian serta sebagai refresentatif/perwakilan dalam forum negosiasi. Di samping itu, pentingya transformasi pengetahuan teoritis dan teknis tentang proses dan capaian negosiasi kepada masyarakat sebelum masuk tahap negosiasi. Hal ini penting untuk memastikan agar delegasi masyarakat tidak mudah putus asa terhadap capaian dan proses negosiasi yang membosankan dan berlikuliku. Menyiapkan Tim Ahli yang Independen. Diperlukan tim ahli yang memiliki komitmen untuk bekerja secara independen menurut keahliannya masing-masing sebagai mediator konflik. Pelibatan tim ahli tersebut perlu ditawarkan kepada kedua belah pihak, dan jika dirasakan kurang mendapat persetujuan terhadap individuindividu yang ditawarkan, maka perlu diberikan kesempatan kepada kedua belah pihak untuk mengajukan usulan tim ahli dengan prasyarat utama independen dan profesionalitas yang terjamin. Pendapat para ahli ini sangat dibutuhkan manakala dalam negosiasi nanti terdapat perbedaan pengertian yang bersifat substantif, yang bisa menyebabkan negosiasi terhenti (deadlock). Kesepakatan menjadikan pendapat ahli sebagai data/fakta bersama yang akan digunakan dalam negosiasi ditahap awal perlu disepakati dalam aturan tata laksana negosiasi (code of conduct). Tim Ahli bekerja untuk membuat analisis sosial, ekonomi untuk melihat dampak jangka panjang konflik bagi masyarakat maupun perusahaan. Hasilnya memperlihatkan tren adanya ancaman terhadap kesejahteraan masyarakat jika tanah mereka diambilalih oleh perusahaan, ancaman berikutnya akan berujung pada hubungan yang tidak harmonis dan keberlansungan investasi semakin tidak terjamin. Pertemuan Silang (awal) menjajaki kebutuhan. Memulai pertemuan dengan keduabelah pihak yang berkonflik secara silang dilakukan oleh Scale Up untuk mendapatkan gambaran sejauhmana perbedaan kepentingan kedua belah pihak dan unsurunsur yang menjadi dasar bertahan masingmasing pihak. Melalui tahapan ini


Inovasi Vol. 11, No. 1, Maret 2014: 15-23

5.

6.

masing-masing pihak. Artinya disini kedua belah pihak telah siap berperang tapi tidak dengan senjata (emosi dan egoisme). Pada proses ini peran mediator dalam negosiasi sangat penting untuk menghindari situasi kritis yang tidak bisa dipecahkan.

kebutuhan-kebutuhan dan gambaran proses berikutnya dapat dirumuskan sehingga mediator sudah memiliki rancangan untuk di tawarkan. Pertemuan silang bisa dilakukan berulang-ulang jika ingin mendapatkan gambaran yang lebih sempurna. Menyepakati tahapan penting secara bersama. Hal ini bisa menjadi bagian dari capaian pertemuan silang atau dicapai melalui pertemuan perdana kedua belah pihak.Mediator sebaiknya menawarkan tahapan-tahapan kepada kedua belah pihak berdasarkan hasil penjajakan kebutuhan awal yang sudah dilakukan, jangan membuatnya menjadi bola liar. Jika konfliknya menyangkut tumpang tindih pengeloalaan (pemanfaatan dan penguasaan), maka langkah awal yang selalu penting untuk dilakukan adalah; (a) Memperjelas batas klaim masing-masing pihak melalui pemetaan partisipatif yang dilakukan tim gabungan masyarakat, perusahaan, dan mediator serta pihak pemerintah (sebagai saksi). Pengambilan titik koordinat harus dilakukan bersama dengan satu alat (GPS/Global Position system) atau masing-masing pihak memegang GPS sebagai pembanding.Sebelum survey kedua belah pihak harus mendapat pengetahuan standar pemetaan melalui pelatihan kecil yang dilakukan oleh mediator dengan mengundang tenaga terampil.Penggambaran harus dilakukan bersama dengan menunjuk perwakilan, lalu kemudian disahkan secara bersama-sama pula dengan disaksikan/diketahui oleh mediator dan pemerintah setempat. (b) Pemetaan sosial ekonomi untuk menemukan peluang kerjasama/kemitraan antara kedua belah pihak sebagai gambaran penyelesaian atas konflik lahan. Pemetaan ini harus dibuat keterkaitan langsung dengan areal konflik yang sudah dipetakan. Karena itu keberadaan tim ahli yang sudah disepakati bersama sebelumnya sangat penting dalam pekerjaan ini. Negosiasi mencari titik temu (kesepakatan). Untuk memasuki proses ini hubungan kedua belah pihak sudah harus kondusif, sudah memiliki pemahaman yang baik tentang proses negosiasi, sudah mengenali persoalan dan tuntutan masing-masing dengan baik, dan sudah memiliki data tentang objek konflik serta gambaran tentang peluang-peluang kerjasama yang bisa dibangun sesuai potensi yang dimiliki

KESIMPULAN Konflik pertambangan yang muncul di Kabupaten Mandailing Natal berakar dari motif ekonomi karena adanya pihak-pihak yang memiliki kepentingan dan tujuan berbeda-beda untuk penguasaan sumber pertambangan emas di wilayah tersebut. Dari motif ekonomi selanjutnya konflik muncul dalam berbagai bentuk isu, utamanya (1) isu tapal batas wilayah kontrak karya (2) isu limbah dan kelestarian lingkungan hidup (3) isu manfaat kehadiran perusahaan tambang bagi peningkatan ekonomi masyarakat (4) isu pembodohan masyarakat oleh perusahaan (5) isu Corporate Social Responsibility (CSR). Penanganan konflik yang mengedepankan kekerasan fisik dengan melibatkan aparat yang Sekuriti Pengamanan Dalam (SPD) justru menyebabkan intensitas konflik semakin meningkat dari waktu ke waktu, sehingga diperlukan langkah penyelesaian konflik utamanya dengan mengedepankan peran mediasi antara masyarakat dengan pihak perusahaan. REKOMENDASI 1. Pemerintah Provinsi Sumatera Utara bersama-sama dengan Pemerintah Kabupaten Mandailing Natal harus mendesak Pemerintah Pusat untuk memasukkan masyarakat lokal sebagai salah satu unsur dalam membangun skema pengelolaan tata ruang pengelolaan perekonomian di wilayah pertambangan di daerah. Selama ini masyarakat lebih dilihat sebagai masalah, padahal mereka tinggal secara turun-temurun di wilayah tersebut. Sudah selayaknya mereka mendapatkan keuntungan yang wajar atas pengelolaan sumber daya alam di wilayahnya, seperti diberi sebagian saham atas hasil dari pengelolaan sumber daya alam di wilayahnya. 2. Pentingnya perubahan sikap dari perusahaan, yang selama sebelumnya bersifat tertutup menjadi lebih terbuka dengan masyarakat dan pemerintah. Hal ini penting karena munculnya berbagai konflik antara masyarakat dan perusahaan selama ini karena adanya ketertutupan dari perusahaan. Terbukti bahwa sikap terbuka perusahaan cukup efektif untuk

22


Penanganan Konflik Sumber Daya Alam di Sumatera Utara : Studi Kasus Konflik Pertambangan Emas di Kabupaten Mandailing Natal (Dwi Endah Purwanti)

3.

4.

Panama”Journal of Business and Management 8.3 (Summer 2002): 293-329.

meminimalisir dan meredakan konflik yang terjadi. Pemerintah pusat dan daerah harus membuat dan menentukan tapal batas yang jelas antara taman nasional, hutan lindung, hutan produksi, dan hutan adat/ulayat. Terbukti selama ini konflik yang muncul ke permukaan selalu lebih banyak didominasi permasalahan tapal batas lahan, akibat dari adanya tumpang tindih dan kerancauan atas permasalahan hak atas pengelolaan lahan. Pemerintah Pusat dan Daerah perlu mengedepankan peran mediasi di dalam penanganan konflik, sehingga diperoleh penanganan konflik dengan pendekatan win-win solution.

William Godnick, Diana Klein, Camilo González, et all. 2008. Conflict, Economy,International Cooperation and Non-Renewable Natural Resources, International for Peace Building.

UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan rasa terima kasih yang tak terhingga kepada masyarakat di Kecamatan Naga Juang Kab. Mandailing Natal, yang telah menerima penulis dan memberikan informasi-informasi berharga, baik melalui pertemuan formal maupun perbincangan di warung kopi dan perjalanan malam di kaki Tor Sambung.

DAFTAR PUSTAKA A. Peter Castro dan Erik Nielsen. 2003. Natural Resource Conflict Management Case Studies: an Analysis of Power, Participation and Protected Areas. Roma :Food And Agriculture Organization Of The United Nations. Baiquni, M. 2003. Membangun Pusat-Pusat di Pingiran: Otonomi Dalam Perspektif Geografi. Yogyakarta : IdeAs. Bebbington, A. 1997. Social Capital and Rural Intensification: Local Organizations and Islands of Sustainability in the Rural Andes. Geographic Journal, Vol. 163/2, pp. 189-197 Billon, P.L. 2001. The Political Ecology of War: Natural Resurce and Armed Conflicts. Political Geography no. 20, pp. 561-584. Elsevier Science Inc. Cornwall, R. 2002. Where to go from Here? (Conclusion).In Lind, J. et al. 2002.Scarcity and Surveit: The Ecology of Africa’s Conflicts. Kenya : ACTS. M. Akhmad Abdul Jawwad. 2005. Konflik.Bandung : Syamil Cipta Media.

Manajemen

Ohlsson, L. 2000. Water Conflicts and Sosial Resource Scarcity.Physical Chemistry Earth, Vol 25, No. 3. pp. 213-220. Elsevier Science Ltd. Porto, J.G. 2002.Contemporary Conflict Analysis in Perspective (Chapter One).In Lind, J. et al. 2002.Scarcity and Surveit: The Ecology of Africa’s Conflicts. Kenya : ACTS. Safroedin Bahar & A.B. Tangdiling, Edt, 1996, Integrasi Nasional: Teori, Masalah dan Strategi, Jakarta : Ghalia. J. Robinson West. 2007. Natural Resources, Conflict, and Conflict Resolution. Washington DC : United States Institute of Peace Press Whiteman, Gail; Mamen, Katy,” Examining justice and conflict between mining companies and indigenous peoples: Cerro Colorado and the Ngabe-Bugle in

23


Inovasi Vol. 11 No. 1, Maret 2014: 24-32

Hasil Penelitian PARTISIPASI MASYARAKAT NELAYAN DALAM KEBIJAKAN PRO POOR YANG DITUJUKAN PADA NELAYAN DI SUMATERA UTARA

(PARTICIPATION OF FISHERMEN CITIZEN IN PRO POOR POLICY ARE SUMATERA)) INTENDED TO FISHERMEN IN NORTH SUMATERA Dumora Jenny Margaretha Siagian*, Siagian*, Suzanna Suzanna Eddyono** *Badan Penelitian dan Pengembangan Provinsi Sumatera Utara Jl. Sisingamangaraja No. 198 Medan 20126 Telp.(061) 7866225; Fax.(061) 7366248; email: dumora_jenny@yahoo.com **Universitas Muhammadyah Sumatera Utara Jl. Kapt. Mukhtar Basri No.3 Medan

Diterima: 20 Januari 2014; Direvisi: 10 Pebruari 2014; Disetujui: 28 Pebruari 2014

ABSTRAK Masyarakat nelayan merupakan salah satu kelompok yang telah memperoleh sentuhan kebijakan “pro-poor� yang komprehensif.Namun, secara umum kebijakan tersebut belum membuat nasib nelayan menjadi lebih baik daripada sebelumnya.Angka kemiskinan rumah tangga nelayan di Indonesia masih relatif tinggi.Banyak program tersebut tidak tepat sasaran dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat nelayan.Salah satu penyebab program tidak tepat sasaran, diakibatkan oleh kurangnya partisipasi masyarakat dalam penyusunan program.Pengembangan konsep Propoor Planning and Budgeting menunjukkan peningkatan pemahaman di kalangan pemerintah bahwa pembangunan nasional haruslah dilaksanakan dengan partisipasi masyarakat yang lebih tinggi, terutama dalam rangka mempercepat peningkatan kesejahteraan dan penurunan kemiskinan.Penyusunan dan pelaksanaan program- program pembangunan haruslah mengutamakan partisipasi dan peran aktif masyarakat, tidak saja pada tahap perencanaan namun juga pada tahap pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi.Di sisi perencanaan yang bersifat partisipatif, penyusunan rencana yang lebih mengutamakan dan menampung aspirasi masyarakat sangat diperlukan.Demikian pula penyusunan alokasi anggaran yang lebih sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan lebih berpihak kepada masyarakat yang kurang beruntung terus dilakukan.Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis keterlibatan masyarakat nelayan di Sumatera Utara dalam proses perencanaan dan penganggaran kebijakan pro poor yang ditujukan kepada mereka. Sedangkan manfaat dari penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan rekomendasi dalam membuat rumusan kebijakan yang berkaitan dengan pengentasan kemiskinan nelayan melalui pengakuan dan pemberian kesempatan dalam menggunakan hak mereka untuk berpartisipasi dalam pembangunan.Kegiatan penelitian ini dilaksanakan di Provinsi Sumatera Utara.Metode yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif.Teknik pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan studi pustaka, Focus Group Discussion (FGD) dan wawancara mendalam (in-depth interview).Hasil penelitian menunjukkan bahwa partisipasi masyarakat nelayan di Sumatera Utara dalam pembuatan kebijakan masih relatif minimal.Begitu juga penyusunan rencana dan penganggaran beberapa program perikanan tangkap yang ditujukan pada nelayan masih belum melibatkan partisipasi nelayan miskin secara langsung.Rekomendasi yang diberikan agar keterlibatan kelompok nelayan miskin dapat dilembagakan, maka diperlukan suatu mekanisme yang dapat secara formal menampung aspirasi nelayan sekaligus memampukan nelayan untuk menyalurkan aspirasinya secara langsung. Kata Kunci: kebijakan, pro poor, nelayan

ABSTRACT Fishing community is one of group that has acquired a touch of comprehensive "pro - poor" policies. However, in general the policy has not been made the life of fisherman better than before. The number of poverty of fishermen households in Indonesia is still relatively high. Many

24


Partisipasi Masyarakat Nelayan Dalam Kebijakan Pro-poor Yang Ditujukan Pada Nelayan di Sumatera Utara (Dumora Jenny Margaretha Siagian dan Suzanna Eddyono) of the policies/programs aren’t on target and in accordance with the needs of fishing communities.One of the reasons the program is not on target, due to the lack of community participation in the program.The development of the Pro - poor Planning and Budgeting concept showed an increased of understanding among governments that national development must be carried out with higher citizen participation, especially in order to accelerate the improvement of welfare and poverty reduction. The preparation and implementation of development programs should give priority to community participation and active role, not only in the planning stage but also at the stage of implementation, monitoring and evaluation. On the side of the participatory planning, preparation of a plan that prioritizes and accommodate community aspirations is needed. Similarly, preparation of budget allocations in accordance with the needs of society and pro- disadvantaged society continued.This research aims to analyze the involvement of fishing communities in North Sumatra in the process of planning and budgeting programs aimed to them. While the benefits of this research can be used as an ingredient in making the formulation of policy recommendations related to the alleviation of Fishermen poverty through confession and giving an oppurtinity in using their right to participate in development. The research activities carried out in the province of North Sumatra. The method used in this study is a qualitative method. Data was collected using literature review, focus group discussions (FGDs) and in-depth interviews.The results of the study showed that the participation of fishing communities in North Sumatra in policy-making is still relatively minimal. Likewise planning and budgeting some fisheries programs aimed at fishermen still not involve direct participation of poor fishermen. Recommendations are given for the involvement of a group of poor fishermen can be instituted, we need a mechanism that can formally accommodate the aspirations of fishermen once enabled fishermen to directly aspirations. Keywords: policy , pro poor , fishermen

pelaksanaan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance), maka kebijakan pembangunan yang berpihak kepada masyarakat miskin harus lebih ditingkatkan dan dioptimalkan.Partisipasi masyarakat menjadi hal yang sangat penting dalam mencapai keberhasilan dan keberlanjutan program pembangunan. Partisipasi berartikeikutsertaan seseorang ataupun sekelompok masyarakat dalam suatu kegiatan secarasadar. Jnabrabota Bhattacharyya (Ndraha, 1990) mengartikan partisipasi sebagai pengambilan bagian dalam kegiatan bersama. Partisipasi dalam sebuah sistem politik yang demokratis merupakan sarana utama untuk menjaga kedaulatan rakyat.Kedaulatan rakyat tersebut terutama diwujudkan melalui penyaluran aspirasi rakyat (warga) kepada pemerintah serta keterlibatan warga dalam pengambilan keputusan.Partisipasi masyarakat juga sangat penting untuk menghindari terjadinya penyalahgunaan kekuasaan oleh penyelenggara negara.Singkatnya, partisipasi merupakan hak sekaligus kewajiban warga untukmenegakkan tata pemerintahan yang baik (good governance). Kondisi inilah yang mendorong Bappenas mengembangkan Konsep Pro-poor Planning and Budgeting sejak tahun 2008 dalam rangka pengembangan kebijakan Pro Poor.Penyusunan dan pelaksanaan program program pembangunan haruslah mengutamakan partisipasi masyarakat, tidak saja pada tahap perencanaan namun juga pada tahap pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi.Hal ini dilakukan untuk mempercepat peningkatan kesejahteraan dan penurunan kemiskinan.

PENDAHULUAN Masyarakat nelayan sebagai golongan yang paling miskin di Indonesia (Haeruman, 1987) menjadi salah satu kelompok yang telah memperoleh sentuhan kebijakan “pro-poor� yang komprehensif, sebagaimana tertera dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pengurangan Kemiskinan Indonesia (MP3KI). MP3KI pada salah satu programnya di Kluster IV (Program Pro Rakyat), telah memuat berbagai Program Peningkatan Kehidupan Nelayan. Namun, secara umum program-program tersebut tidak membuat nasib nelayan menjadi lebih baik daripada sebelumnya (Fauzi, 2005), dikarenakan tidak meratanya semua nelayan menerima bantuan tersebut. Dapat dilihat kondisi nelayan di Sumatera Utara berdasarkan hasil penelitian BPP Provsu Tahun 2012 berjudul Kajian Perspektif dan Aspirasi Keluarga Nelayan Terhadap Kesejahteraan Sosial, dikatakan bahwa kondisi nelayan Sumatera Utara masih pada tingkat kesejahteraan yang rendah. Dapat dikatakan, kebijakan pemerintah saat ini tidak memihak masyarakat miskin, dilihat dari banyaknya kebijakan penanggulangan kemiskinan bersifat top down dan selalu menjadikan masyarakat sebagai objek, bukan subjek. Kebijakan tersebut juga dianggap belum tepat sasaran dan tidak sesuai dengan kebutuhan mereka. Kegagalan dalam mencapai sasaran dari sebuah program pembangunan biasanya terjadi akibat kurangnya partisipasi masyarakat. Sehingga sejalan dengan upaya mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkualitas, dan semakin besarnya tuntutan terhadap

25


Inovasi Vol. 11 No. 1, Maret 2014: 24-32

Di sisi perencanaan yang bersifat partisipatif, penyusunan rencana yang lebih mengutamakan dan menampung aspirasi masyarakat sangat diperlukan. Demikian pula penyusunan alokasi anggaran yang lebih berpihak kepada masyarakat yang kurang beruntung terus dilakukan. Anggaran Pro poor dapat dipahami sebagai anggaran yang berpihak pada orang miskin. Proses anggaran mulai dari perencanaan sampai pelaksanaan didesain untuk memenuhi kebutuhan dasar masyarakat miskin. Keberpihakan ini tercermin dalam kebijakan program serta proyek-proyek yang disusun dan dilaksanakan. Dengan demikian anggaran pro poor adalah kebijakan anggaran yang dampaknya dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat miskin, sehingga hak-hak dasarnya dapat dipenuhi melalui program-program yang dirancang dalam kebijakan anggaran. Di dalam Permendagri No. 30 Tahun 2007 tentang Pedoman Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Tahun Anggaran 2008, sudah diatur secara jelas, bahwa prinsip penyusunan APBD mensyaratkan 6 hal yang harus dipenuhi, yaitu: partisipasi masyarakat, transparansi dan akuntabilitas anggaran, disiplin anggaran, keadilan anggaran, efisiensi dan efektivitas anggaran, serta taat azas (Sony Yuwono, dkk; 2008; 126 - 128). Melalui proses dapat dilihat keterlibatan kelompok miskin dalam memformulasikan kebijakan anggaran. Oleh karena itu partisipasi masyarakat miskin untuk terlibat dalam tahaptahap penggangaran menjadi penting untuk diamati. Hal ini sejalan dengan pengakuan PBB pada hak masyarakat atas pembangunan, yang merupakan salah satu hak asasi yang fundamental yang berakar. Hak atas pembangunan ini juga tertera pada Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia, Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik, serta Kovenan Internasional Tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya. Deklarasi ini menyatakan dengan tegas bahwa hak atas pembangunan adalah hak yang tidak dapat dicabut (an inalienable right) dengan dasar pemikiran bahwa setiap individu memiliki hak untuk berpartisipasi, berkontribusi, dan menikmati pembangunan ekonomi, sosial, budaya, dan politik Berdasarkan hal tersebut di atas, dapat dilihat bahwa kebijakan dan program yang ada belum bisa mengentaskan kemiskinan di kalangan masyarakat nelayan, termasuk di Sumatera Utara, terutama dikarenakan belum maksimalnya partisipasi masyarakat dalam proses kebijakan dan pembangunan tersebut.

Mengingat semakin berkembangnya prinsip pembangunan yang bersifat pro poor, yang antara lain menggariskan perlunya partisipasi masyarakat dalam proses perencanaan dan penganggaran kebijakan, menjadi menarik untuk mengkaji partisipasi masyarakat nelayan dalam kebijakan pro poor yang ditujukan pada nelayan–nelayan di Sumatera Utara. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis keterlibatan masyarakat nelayan di Sumatera Utara dalam proses perencanaan dan penganggaran kebijakan pro poor yang ditujukan kepada mereka. METODE Penelitian ini dilaksanakan di Provinsi Sumatera Utara dengan lokus utamanya adalah Kabupaten Serdang Bedagai dan Kota Tanjungbalai. Pemilihan lokus penelitian didasarkan atas pertimbangan jumlah nelayan berkategori nelayan penuh, keberhasilan Kota/Kabupaten dalam pemberdayaan masyarakat, serta jumlah penduduk yang dikategorikan sebagai penduduk miskin. Populasi penelitian adalah seluruh masyarakat nelayan yang berada di Sumatera Utara, dimana sampel diambil secara purposif pada beberapa nelayan yang baru pulang melaut, pengurus organisasi nelayan, nelayan kerang, dan wanita yang aktif melakukan pengolahan hasil perikanan di Kota Tanjungbalai dan Kabupaten Serdang Bedagai. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif, dimana teknik pengumpulan data yang digunakan adalah analisis dokumen, wawancara mendalam (indepth interview), dan Focus Group Discussion (FGD). Data sekunder berupa data dokumen pada penelitian ini dikumpulkan dari arsip dan dokumen yang diperoleh dari berbagai sumber, seperti Dinas Kelautan dan Perikanan, Dinas Kesehatan,dan Dinas Sosial. Dokumen yang dikumpulkan berupa data kondisi nelayan saat ini, program / kebijakan yang sedang dan akan dilakukan, serta proses pelaksanaan implementasi kebijakan tersebut. Sedangkan data primer akan diperoleh dari pemerintah dan masyarakat nelayan melalui wawancara mendalam dan Focus group discussion (FGD). FGD dilakukan masing-masing satu kali di Kabupaten Serdang Bedagai dan dua kali di Kota Tanjung Balai dengan menggunakan daftar pertanyaan yang telah disusun, namun daftar ini bisa berkembang dalam proses FGD. Hal penting yang ditanyakan pada nelayan adalah manfaat yang mereka rasakan atas program pemerintah dan apakah mereka diikutsertakan dalam proses perencanaan dan pelaksanaan program tersebut. Sedangkan inti pertanyaan yang

26


Partisipasi Masyarakat Nelayan Dalam Kebijakan Pro-poor Yang Ditujukan Pada Nelayan di Sumatera Utara (Dumora Jenny Margaretha Siagian dan Suzanna Eddyono)

tahun 2008. Dari kesebelas program ini, review dan evaluasi terhadap program BOS, Raskin, BLT dan pembangunan masyarakat maupun infrastruktur desa mengindikasikan bahwa manfaat program-program tersebut bagi kelompok miskin belum sesuai dengan yang direncanakan dan diharapkan. Selain itu, tidak terwujudnya potensi manfaat bagi kelompok miskin diduga disebabkan oleh disain program, penargetan, pelaksanaan dan manajemen yang buruk. Review ini juga menyebutkan bahwa penerima bantuan masih banyak merupakan warga yang tidak miskin (ADB, 2008:15). Ini bukanlah hal baru. Sebagai contoh, sebuah studi yang mengukur besaran jumlah dana yang hilang dari proses pengucuran dana IDT pada tahun 1990an menunjukkan bahwa hanya 69 persen dana yang dialirkan sampai pada kelompok sasaran (Suryadarma dan Yamauchi, 2013). Selain faktor-faktor yang telah disebutkan di atas, tidak tercapainya sasaran suatu program pembangunan dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor berikut: (1) program hanya menguntungkan sebagian kecil masyarakat; (2) meskipun dimaksudkan untuk menguntungkan rakyat, namun rakyat kurang mengerti maksud program itu; (3) program ditujukan untuk keuntungan rakyat, rakyat juga memahami hal ini, namun cara pelaksanaannya tidak sesuai dengan pemahaman mereka; dan (4) program dipahami untuk keuntungan rakyat, tetapi sejak awal mereka tidak diikutsertakan(Kartasasmita, 1997). Keikutsertaan masyarakat atau partisipasi masyarakat merupakan salah satu faktor penting agar program berpihak pada masyarakat (Mawardi dan Sumarto, 2003; Bräutigam, 2004). Dalam kaitannya dengan partisipasi nelayan, berpijak pada pemikiran Ndraha (1990) dan Ericson (dalam Slamet, 1994:89), secara ideal partisipasi nelayan dapat dilihat dari empat tahap, yaitu partisipasi dalam proses pembentukan keputusan, pelaksanaan program, pemanfaatan hasil, dan evaluasi (Ndraha, 1990). Bentuk partisipasi itu sendiri dapat dilihat dari tiga tahap yang meliputi (1) partisipasi dalam tahap perencanaan (idea planning stage), di mana nelayan terlibat dalam tahap penyusunan rencana program dengan memberikan usulan, saran dan kritik di pertemuan-pertemuan yang diselenggarakan; (2) partisipasi dalam pelaksanaan (implementation stage), ketika nelayan terlibat dalam tahap pelaksanaan program dengan antara lain menyumbangkan tenaga, uang ataupun material/barang maupun gagasangagasannya untuk keberlangsungan program

ditujukan pada pemerintah adalah bagaimana mereka melibatkan masyarakat nelayan pada setiap proses perencanaan dan pelaksanaan program nelayan. FGD antara kelompok nelayan dan pemerintah dilakukan secara terpisah. Hal ini dilakukan untuk memberikan keleluasaan pada masing–masing peserta FGD untuk menjawab pertanyaan yang diajukan. Sehingga FGD dilakukan sebanyak 3 (tiga) kali dengan jumlah peserta kurang lebih 45 (empat puluh lima) orang pada 2 lokasi penelitian tersebut. Karena pada setiap FGD dilibatkan kurang lebih 15 orang partisipan yang dapat mewakili pada setiap unsur Wawancara dilakukan dengan dua bentuk. Wawancara terstruktur yang dilakukan dipandu oleh pertanyaan-pertanyaan yang telah disiapkan sesuai dengan permasalahan yang akan diteliti. Sedangkan wawancara tak terstruktur dilakukan ketika jawaban berkembang diluar pertanyaan-pertanyaan terstruktur namun tidak terlepas dari permasalahan penelitian. Dalam penelitian ini wawancara dilakukan baik terhadap pegawai pemerintah kota/kabupaten dan provinsi maupun dengan nelayan guna memperoleh penjelasan atau informasi lebih lanjut tentang informasi yang belum diperoleh dari observasi, FGD dan dokumentasi. Wawancara mendalam dilakukan pada beberapa SKPD seperti Dinas Kelautan dan Perikanan, Dinas Sosial, Dinas Kesehatan,dan pengurus organisasi nelayan yakni Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) dan Serikat Nelayan Sumatera Utara (SNSU), serta nelayan itu sendiri. SKPD yang di wawancara adalah Dinas Kelautan dan Perikanan, Dinas Sosial dan Tenaga Kerja, Dinas Kesehatan, dan Dinas Pendidikan di 2 lokasi penelitian, yakni Kota Tanjungbalai dan Kabupaten Serdang Bedagai. Sesuai dengan sifat penelitian kualitatif, teknik analisa data kualitatif memiliki tujuan antara lain menemukan konsep atau teori yang dapat menjelaskan fenomena yang diteliti berpijak pada data-data empirik yang berhasil dihimpun selama proses penelitian. Atas dasar pikiran ini, maka data yang dihasilkan dari penelitian lapangan (data primer) maupun melalui kepustakaan (data sekunder), disusun sedemikian rupa secara sistematis HASIL DAN PEMBAHASAN Belum optimalnya pencapaian sasaran program pembangunan yang ditujukan untuk masyarakat miskin di Indonesia terungkap dari review dan evaluasi sebelas program-program pengentasan kemiskinan di Indonesia yang dilakukan oleh Asian Develompent Bank pada

27


Inovasi Vol. 11 No. 1, Maret 2014: 24-32

terkait; dan (3) partisipasi dalam pemanfaatan program (utilization stage), yakni partisipasi melayan dalam bentuk tenaga maupun uang untuk melanjutkan pengoperasian dan pemeliharaan program yang selesai pelaksanaannya. Sesuai dengan judulnya, penelitian ini membatasi kajiannya pada partisipasi nelayan miskin dalam proses perencanaan dan penganggaran program-program yang ditujukan pada mereka. Untuk tahap formulasi kebijakan ini, UNDP merumuskan pertanyaan-pertanyaan kunci sebagai panduan utama untuk melihat partisipasi berbagai stakeholder, yaitu: (1) apakah kapasitas dan kemampuan si miskin (atau pihak-pihak yang mewakilinya) untuk terlibat dalam rancangan kebijakan? (2) apakah si miskin secara langsung terlibat dalam perencanaan dan penganggaran program? (3) dapatkah kelompok-kelompok masyarakat sipil dan pemimpin-pemimpin gerakan sosial mempengaruhi rancangan kebijakan tanpa takut akan intimidasi dan ancaman? (4) aktor-aktor yang manakah yang melindungi prinsip-prinsip non-diskriminasi dan kesetaraan? (5) apakah rancangan kebijakan didiskusikan dalam organisasi yang partisipatoris (misalnya asosiasi lokal atau media nasional)? (6) apakah aktoraktor dapat secara penuh mengemukakan persoalan mereka di arena publik? (7) apakah proses formulasi program mengikutsertakan perspektif perempuan, kelompok minoritas, warga miskin, dan atau perwakilan mereka? (UNDP, 2009:22). Selanjutnya, walaupun partisipasi warga dapat mempengaruhi alokasi anggaran yang berpihak pada si miskin sesungguhnya hal ini tergantung pada tiga hal: (1) menitikberatkan pada aktor: siapakah yang sesungguhnya berpartisipasi? Artinya, perlu dirinci apakah partisipasi itu dilakukan oleh warga miskin itu sendiri, kelompok atau organisasi yang mewakilinya, ataukah partai politik yang berpihak pada program-program yang pro-poor; (2) secara institusional: apakah ideologi yang dominan mendukung preferensi terhadap program yang pro-poor, apakah pemerintah memiliki lembaga audit yang independen, menggunakan media, internet, pamflet, pertemuan-pertemuan dengan masyarakat untuk menyebarluaskan informasi mengenai biaya program dan persoalan-persoalan yang muncul dengan khalayak luas; dan (3) menitikberatkan pada pengeluaran yang berkelanjutan: apakah dana yang dialokasikan untuk dana sosial tidak mengabaikan aspek revenue (Br채utigam, 2004:653-655). Bahasan berikut meliputi hal yang dikemukakan Br채utigam (2004) dalam

pemaparan mengenai bagaimana partisipasi nelayan miskin dalam proses perencanaan dan penganggaran program-program yang ditujukan pada mereka utamanya program-program kartu nelayan, asuransi nelayan, dan PUMP-PT. Di Indonesia, dapat dikatakan bahwa salah satu indikator untuk perencanaan yang berpihak pada nelayan adalah adanya keterlibatan nelayan miskin baik sebagai narasumber, pelaku, maupun sebagai salah satu penentu keputusan baik dalam forum Musrenbang yang merupakan bagian dari proses perencanaan formal pemerintah lokal, maupun dalam mekanisme-mekanisme lainnya. Partisipasi masyarakat yang tercermin dalam Musyawarah perencanaan dan pembangunan (Musrenbang) dimulai dari tingkat desa. Hasil Musrenbang ini sebagai dasar bagi pemerintah daerah utuk menyusun Kebijakan Umum APBD (KUA) dan Plafon dan Prioritas Anggaran (PPA) yang kemudian akan dijadikan dasar oleh Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) untuk menyusun Rencana Kerja Anggaran (RKA) SKPD. Dan RKA-SKPD ini kemudian akan dibahas oleh TAPD dengan Tim anggaran DPRD untuk menyusun Rencana Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (RAPBD). Permasalahannya, regulasi tentang musrenbang ternyata masih membatasi ruang partisipasi masyarakat dalam pembangunan Indonesia. Dalam Musrenbang, masyarakat hanya dilibatkan pada konteks perencanaan dan pembangunan, sedangkan pada fase penyusunan anggaran masyarakat tidak dilibatkan, fase penyusunan anggaran menjadi kewenangan pemerintah Pemerintah Daerah Kota Tanjungbalai dan Pemerintah Daerah Serdang Bedagai secara rutin selalu menyelenggarakan Musrenbang ini setiap tahun. Di Serdang Bedagai, musrenbang ini dilaksanakan mulai dari tingkat desa, kecamatan dan kota/kabupaten yang dihadiri oleh beberapa orang perwakilan desa dan kecamatan. Misalnya, di Kecamatan Teluk Mengkudu, Kabupaten Serdang Bedagai, Musrenbang kecamatan di tahun 2013 dihadiri oleh perwakilan desa yang terdiri dari Kades, LKMD, BPD dan KPMP (PNPM) dari dua belas desa di kecamatan tersebut. Di kabupaten ini musrenbang memungkinkan dialog aktif antara peserta dengan camat. Terdapat juga upaya pemerintah Kabupaten Serdang Bedagai untuk pelibatan masyarakat, utamanya perempuan. Walaupun demikian, distorsi aspirasi dapat terjadi.Misalnya, mereka yang menjadi perwakilan desa tidak selalu dapat merepresentasikan kepentingan-kepentingan para nelayan. Kalaupun mereka membawa program yang nantinya ditujukan pada nelayan,

28


Partisipasi Masyarakat Nelayan Dalam Kebijakan Pro-poor Yang Ditujukan Pada Nelayan di Sumatera Utara (Dumora Jenny Margaretha Siagian dan Suzanna Eddyono)

proses perumusan program ini belum tentu dikonsultasikan secara langsung kepada nelayan itu sendiri. Selain itu, terlibat tidaknya nelayan dalam rapat atau musrenbang desa tergantung pada penting tidaknya perannya menurut persepsi aparat desa.Hal ini terungkap dalam sebuah focus group discussion yang dihadiri oleh perwakilan kelompok nelayan di Serdang Bedagai.Beberapa nelayan mengatakan bahwa mereka tidak pernah mendapat undangan secara langsung untuk mengikuti FGD.Biasanya kepala desa yang mendapat undangan, dan nelayan tidak diikutsertakan.Namun ada juga beberapa desa yang mengundang kelompok nelayan untuk ikut serta dalam musrenbang. Di Tanjungbalai, wawancara mendalam dengan pegawai DKP setempat dan nelayan memperlihatkan bahwa rapat-rapat desa belum menjadi mekanisme pelibatan nelayan yang optimal. Di satu sisi, terdapat asumsi di kalangan aparatur pemerintah bahwa nelayan kurang memiliki kemauan untuk terlibat dalam pertemuan-pertemuan yang menyangkut kepentingan mereka sendiri. Di sisi lain, musyawarah ataupun rapat-rapat direncanakan dalam waktu kerja kantor desa atau kecamatan, dimana hampir selalu bertepatan dengan saat para nelayan harus melaut. Akibatnya, nelayan dihadapkan pada pilihan sulit, yaitu antara memenuhi kebutuhan pokok keluarga atau menghadiri pertemuan desa. Walaupun demikian, ternyata di luar mekanisme Musrenbang terdapat mekanisme yang digunakan organisasi ataupun asosiasi nelayan untuk mempengaruhi program. Ini dimungkinkan oleh adanya akses melalui jaringan sosial yang dimiliki pengurus organisasi/asosiasi nelayan sehingga dapat menyampaikan aspirasi kelompok nelayan kepada dinas terkait dan anggota legislatif setempat. Pengurus-pengurus organisasi ini seringkali adalah mitra nelayan, yakni nelayan pengusaha yang relatif bertaraf sosial dan ekonomi lebih baik. Sebagian mereka merupakan pengurus organisasi nelayan setempat di bawah Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) atau organisasi nelayan lainnya seperti Serikat Nelayan Sumatera Utara (SNSU).Sebagian lagi, adalah pemilik kapal nelayan yang berkapasitas awak lebih dari sepuluh orang. Selain relatif bisa meluangkan waktu untuk pertemuan-pertemuan dengan aparatur pemerintah tanpa resiko mengorbankan kebutuhan ekonomi sehari-hari keluarga, mereka juga sangat artikulatif menyampaikan gagasan dan tuntutan mereka, serta memiliki kemampuan bernegosiasi yang baik. Posisi sosial dan ekonomi serta kemampuan mereka

menjalin hubungan yang relatif baik dengan para nelayan maupun dengan aparatur desa, pegawai dan pimpinan Diskanla setempat, memungkinkan mereka kadangkala berperan sebagai penghubung bahkan broker antara pegawai pemerintah dan para nelayan. Pengurus HNSI di Kota Tanjungbalai, misalnya dapat melakukan audiensi untuk menemui walikota maupun anggota DPRD dalam hal membicarakan penyelesaian konflik nelayan terkait perebutan wilayah tangkap antara nelayan berkapal kecil (1-2 GT) dan besar (30 GT).Pengurusnya juga memiliki akses untuk berbicara langsung secara informal dengan pimpinan Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Serdang Bedagai guna mengusulkan program bantuan yang lebih sesuai dengan kebutuhan nelayan.Mereka juga memiliki akses untuk berbicara langsung dengan anggota DPRD yang mereka nilai dapat mempengaruhi keputusan pelaksanaan program yang mereka harapkan. Sebagaimana Pak Sayuti, pengurus HNSI di Kota Tanjungbalai menjelaskan bahwa HNSI sudah cukup sering memberikan suara mengenai bantuan yang mereka butuhkan ke DPRD, dan memang bantuan yang diberikan kadang sudah sesuai dengan permintaan mereka. Namun bantuan tersebut disebut para nelayan Tanjung Balai dengan istilah “kentang�, yang artinya tanggung. Misalnya yang diberikan kapal tanpa adanya peralatan di dalamnya atau malah tidak sesuai dengan kultur masyarakat. Sehingga mereka pun perlu membeli peralatan dan perlengkapan lagi yang dananya tidak sedikit.Selain itu Pak Sayuti juga menemui anggota DPRD untuk menyampaikan keluhan masyarakat mengenai administrasi kapal yang melibatkan dua instansi sehingga dianggap merugikan nelayan. Walaupun demikian, potensi HNSI sebagai jembatan bagi nelayan miskin dan pengambil kebijakan tidak selalu berpihak pada nelayan. Hal ini terlihat dari konsensus tak tertulis antara dinas setempat dan pengurus HNSI untuk tidak membagikan kartu nelayan yang telah tercetak kepada nelayan yang berhak menerimanya akibat asumsi yang berkembang di kalangan nelayan bahwa kartu nelayan identik dengan kartu asuransi nelayan. Mengingat pentingnya kartu nelayan sebagai syarat untuk mengakses kegiatan Dinas Perikanan dan Kelautan setempat, penahanan kartu ini dapat menutup akses nelayan berpartisipasi dalam kegiatan tersebut. Di Kabupaten Serdang Bedagai, selain pengurus HNSI yang menghubungkan antara dinas setempat dengan kelompok nelayan terdapat pula Serikat Nelayan Sumatera Utara

29


Inovasi Vol. 11 No. 1, Maret 2014: 24-32

ruang bagi nelayan miskin dan keluarganya untuk secara langsung maupun tidak langsung berpartisipasi dalam proses perencanaan dan penganggaran. Keterlibatan nelayan dalam penyusunan rencana program dan penganggarannya lewat Musrenbang sangatlah terbatas. Oleh karena sifat mekanisme ini yang formal, inisiatif untuk melibatkan nelayan lebih berada di tangan aparatur desa, ataupun kecamatan ketimbang di tangan nelayan sendiri. Kedua, di luar mekanisme Musrenbang, ketimbang berpartisipasi secara langsung, nelayan miskin diwakili oleh pengurus organisasi-organisasi nelayan yang berperan sebagai penghubung atau broker antara nelayan dan petugas Dinas Perikanan dan Kelautan baik di Kota Tanjung Balai, Kabupaten Serdang Bedagai, maupun Provinsi Sumatera Utara. Ketiga, di bawah organisasi-organisasi nelayan tersebut, sebagian kelompok-kelompok nelayan aktif berpartisipasi dalam proses penyusunan rencana programnya. Mereka juga pro-aktif untuk terlibat dalam pelaksanaan program maupun monitoring program tersebut.Walaupun demikian, proses yang mereka lakukan informal dan sangat tergantung pada luas tidaknya dan bertahan tidaknya jaringan sosial yang mereka miliki. Selanjutnya, mekanisme dan proses informal dan lobi yang telah dilakukan oleh asosiasi, organisasi dan kelompok nelayan di luar Musrenbang sebagai alternatif keterlibatan nelayan menunjukkan adanya strategi organisasi-organisasi yang mewakili nelayan untuk berpartisipasi dalam proses perencanaan program. Walaupun demikian, strategi alternatif yang ditempuh ini tidak selalu membuka jalan bagi partisipasi dalam forum yang formal dan tidak selalu mendorong nelayan miskin untuk secara langsung berpartisipasi dalam penyusunan dan penganggaran program yang ditujukan padanya. Agar keterlibatan kelompok nelayan miskin dapat dilembagakan, diperlukan suatu mekanisme yang dapat menjembatani Musrenbang dengan kelompok-kelompok nelayan tersebut. Tidak adanya pelibatan nelayan miskin juga tercermin dari dokumen perencanaan Dinas Perikanan dan Kelautan di Kota Tanjungbalai maupun di Kabupaten Serdang Bedagai di tahun 2012 yang tidak secara eksplisit memasukkan nelayan miskin atau kecil dalam rincian perencanaan maupun penganggaran programprogram yang ditujukan pada kelompok nelayan. Tidak pula terdapat suatu dokumentasi data yang mengidentifikasi jumlah nelayan miskin untuk penentuan kelompok sasaran program-program perikanan tangkap.

(SNSU) dan pengurus asosiasi lainnya. Pengurus SNSU, misalnya, bersama-sama dengan pengurus kelompok nelayan aktif mencari informasi mengenai program yang akan dilaksanakan. Dalam hal perencanaan program dan penganggaran, mereka aktif menyampaikan saran melalui diskusi informal maupun formal, tertulis (proposal) maupun tidak tertulis kepada pimpinan atau staf Dinas Perikanan dan Kelautan serta anggota DPRD setempat agar program yang digulirkan sesuaikebutuhan nelayan. Proses lobi dengan secara pro-aktif mengikuti informasi program dan menyampaikan rencana kegiatan semacam ini merupakan bagian dari upaya mereka mengawal program untuk nelayan. Sebagian saran - saran tertulis para pengurus organisasi nelayan ini ditampung dalam penyusunan kegiatan program Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Serdang Bedagai tahun 2013. Saat ditemui dalam focus group discussion, kelompok-kelompok nelayan telah menerima informasi bahwa akan ada pengurangan jumlah kelompok yang akan mendapatkan dana bantuan PUMP yang semula 23 di tahun 2012, menjadi hanya sekitar 16 kelompok saja di tahun 2013 sebagaimana ditegaskan Pak Nuh, salah seorang pengurus organisasi nelayan di Kabupaten Serdang Bedagai, dalam suatuFGD. Menurut Pak Nuh mereka mengetahui berita ini karena memang sering menanyakan perkembangan setiap program kepada Diskanla. Mereka harus mengawal setiap program karena memang merekalah yang paling dekat dengan nelayan. Sehingga nelayan mempercayakan pada organisasi setiap masalah mereka. Walaupun untuk mendapatkan akses informasi demikian membutuhkan kedekatan hubungan antara pengurus organisasi nelayan dengan pegawai Diskanla, namun hubungan mereka dengan aparatur setempat tidak selalu harmonis karena aktivitas mereka yang berada dalam jaringan sosial yang melampaui lingkup Kabupaten Serdang Bedagai. Pihak aparatur desa kadangkala mencurigai aktifitas mereka sebagai pengurus kelompok nelayan sekaligus sebagai aktivis organisasi nelayan dan lingkungan yang memungkinkan mereka untuk bergerak di luar birokrasi setempat. Konsekuensinya, beberapa proposal yang mereka ajukan untuk diikutsertakan sebagai kelompok penerima program PUMP tidak berhasil lolos dari seleksi sebab gagal mendapat surat keterangan dari Kepala Desa setempat. Ini menjadi penghalang bagi beberapa kelompok nelayan yang bergabung di bawah SNSU. Temuan di atas menunjukkan dua hal. Pertama, Musrenbamg belum memberikan

30


Partisipasi Masyarakat Nelayan Dalam Kebijakan Pro-poor Yang Ditujukan Pada Nelayan di Sumatera Utara (Dumora Jenny Margaretha Siagian dan Suzanna Eddyono)

analisis awal yang memperhitungkan aspirasi kelompok nelayan sebelum Dinas Perikanan dan Kelautan merumuskan program bantuan dalam bentuk yang direncanakan, termasuk rasionalitas penunjukan kelompok yang menjadi sasaran program.

Tidak adanya kategori nelayan yang dicantumkan sebagai kelompok sasaran kegiatan program, memungkinkan interpretasi yang berbeda baik bagi implementor program, maupun bagi kelompok nelayan itu sendiri.Konsekuensinya, nelayan penerima program belum tentu merupakan nelayan dengan kategori yang perlu dibantu peningkatan kesejahteraannya.

REKOMENDASI 1. Pemerintah daerah, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota, perlu mengoptimalkan fungsi Musrenbang dalam menampung dan mempertimbangkan aspirasi masyarakat miskin dalam membuat perencanaan program yang sesuai dengan kebutuhan mereka. 2. Dinas Kelautan dan Perikanan perlu menyediakan suatu mekanisme yang dapat secara formal menampung aspirasi nelayan sekaligus memampukan nelayan untuk menyalurkan aspirasinya secara langsung di luar dari mekanisme Musrenbang, agar keterlibatan kelompok nelayan miskin dapat dilembagakan.

KESIMPULAN Penyusunan rencana dan penganggaran beberapa program perikanan tangkap yang ditujukan pada nelayan masih belum melibatkan partisipasi nelayan miskin secara langsung. Sebagai mekanisme formal untuk perencanaan pembangunan, Musrenbang belum menjadi wadah yang membuka ruang bagi nelayan untuk mempraktikkan hak partisipasinya dalam proses perencanaan dan penganggaran program-program yang ditujukan kepadanya. Hal ini mengingat musrenbang di Tanjungbalai dan Serdang Bedagai lebih didisain untuk menampung aspirasi-apirasi masyarakat melalui perwakilan desa dan kecamatan. Walaupun teorinya mekanisme perumusan rencana dalam musrenbang berlangsung secara bottom up, namun proses formal ini cenderung berlaku untuk aparatur desa, kecamatan, dan SKPD terkait. Sebagaimana dikemukakan di bagian temuan penelitian, keterwakilan ini berpotensi mendistorsi suara nelayan, dan melupakan aspek konsultatif kepada nelayan itu sendiri. Selain itu, penelitian ini menemukan bahwa walaupun keterlibatan nelayan dalam penyusunan rencana program dan penganggarannya melalui Musrenbang sangatlah terbatas, namun di luar mekanisme Musrenbang, terdapat organisasi-organisasi nelayan dengan kelompok-kelompok nelayannya yang mewakili nelayan miskin dalam proses penyusunan rencana program dan penganggarannya. Mereka juga pro-aktif untuk terlibat dalam pelaksanaan program maupun monitoring program tersebut. Akan tetapi, strategi yang mereka tempuh untuk berpartisipasi dalam proses formulasi program masih bersifat diskusi informal dan lobi-lobi personal baik dengan anggota legislatif maupun pimpinan dan petugas di Dinas Perikanan dan Kelautan setempat dan provinsi. Konsekuensinya, proses ini tidak selalu menjamin tertampungnya aspirasi nelayan miskin dalam program, dan belum memampukan nelayan miskin itu sendiri untuk dapat menyalurkan aspirasinya secara langsung. Penelitian ini juga tidak menemukan adanya dokumentasi yang menunjukkan dilakukannya

DAFTAR PUSTAKA Asian Development Bank. 2008. Proyek Perencanaan dan Penganggaran yang Berpihak pada Kaum Miskin. Kertas Kerja. Hasil Review dan Evaluasi atas Programprogram yang Berpihak pada Rakyat Miskin di Indonesia: Rangkuman. Jakarta: Hickling. Badan Penelitian dan Pengembangan Provinsi Sumatera Utara. 2012. Kajian Perspektif dan Aspirasi Keluarga Nelayan Terhadap Kesejahteraan Sosial di Sumatera Utara. Medan : BPP Provsu. Bappenas, 2008, Buku Panduan Perencanaan dan Penganggaran yang Berpihak pada Masyarakat Miskin¸ Jakarta : Bappenas. Bräutigam, Deborah. 2004. The People’s Budget? Politics, participation and Pro-poor Policy. Development Policy Review, 22(6):653-668. Data Statistik Perikanan Tangkap Provinsi Sumatera Utara 2011. Medan: Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Sumatera Utara. Democratic Governance Group Bureau for Development Policy, UNDP. 2009. Pro-Poor Governance and the Policy Process: A Framework. Framework Paper 2, UNDP Oslo Governance Centre. Oslo:UNDP Diskanla Kabupaten Serdang Bedagai. 2012.Laporan Tahunan Pelaksanaan Program dan Kegiatan Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Serdang Bedagai Tahun Anggaran 2011. Sei Rampah : Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Serdang Bedagai. Diskanla Kabupaten Serdang Bedagai. 2013.Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP) Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Serdang

31


Inovasi Vol. 11 No. 1, Maret 2014: 24-32

Bedagai Tahun 2012. Sei Rampah : Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Serdang Bedagai.

Kabupaten Serdang Bedagai, pengurus HNSI, pengurus SNSU, serta nelayan dan ibu – ibu Kelompok Nelayan (KUB) yang aktif melestarikan dan mengolah hutan mangrove di Desa Naga Lawan Kabupaten Serdang Bedagai.

Diskanla Kota Tanjungbalai. 2012.Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP) Dinas Perikanan dan Kelautan Kota Tanjungbalai Tahun 2011. Sei Rampah : Dinas Perikanan dan Kelautan Kota Tanjungbalai. Diskanla Kota Tanjungbalai. 2011.Rencana Strategis Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Serdang Bedagai Tahun 2011-2016. Tanjungbalai: Dinas Perikanan dan Kelautan Kota Tanjungbalai. Diskanla Kota Tanjungbalai.Profil Perikanan Kota Tanjungbalai Tahun 2005-2009. diperoleh Juni 2013. Fauzi A, Anna S. 2005. Pemodelan Sumberdaya Perikanan dan Kelautanuntuk Analisis Kebijakan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. 343 hlm. Kartasasmita, Ginanjar. 1997. Pemberdayaan Masyarakat: Konsep Pembangunan Yang Berakar Pada Masyarakat. Surabaya. Mawardi, Sulton, and Sudarno Sumarto. 2003. "Kebijakan Publik Yang Memihak Orang Miskin (Fokus: Pro-Poor Budgeting)." Jakarta: SMERU. Ndraha, Taliziduhu. 1990. Pembangunan Masyarakat, Mempersiapkan Masyarakat Tinggal Landas. Jakarta: Rineka Cipta. Pemkab Serdang Bedagai. Maret 2012.Laporan Keterangan Pertanggung Jawaban (LKPJ) Bupati Serdang Bedagai Tahun 2011. Sei Rampah : Pemerintah Kabupaten Serdang Bedagai. Pemprovsu. 2013.Laporan Keterangan Pertanggung Jawaban (LKPJ) Gubernur Sumatera Utara Akhir Tahun Anggaran 2012. Medan: Pemerintah Provinsi Sumatera Utara. Peraturan Bupati Serdang Bedagai No. 17 Tahun 2012 tentang Pedoman Pelaksanaan Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda). Slamet, Y. 1994. Pembangunan Masyarakat Berwawasan Partisipasi. Surakarta: Sebelas Maret University Press. Suryadarma, Daniel & Chikako Yamauchi. 2013. Missing Public Funds and Targeting Performance: Evidence from an Anti-poverty Transfer Program in Indonesia. Journal of Development Economics, 103: 62-76. Yuwono, Sony; dkk. 2008.Memahami APBD dan Permasalahannya : Panduan Pengelolaan Keuangan Daerah. Malang, Penerbit Bayumedia Publishing.

UCAPAN TERIMA KASIH Penulis menyampaikan penghargaan dan terima kasih kepadaBadan Penelitian dan Pengembangan Provinsi Sumatera Utara, Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Tanjungbalai dan

32


Kebijakan Peningkatan Profesionalisme Guru Madrasah Aliyah Ar-Raudhatul Hasanah Medan (Jonni Sitorus)

Hasil Penelitian KEBIJAKAN PENINGKATAN PROFESIONALISME GURU MADRASAH ALIYAH ARAR-RAUDHATUL HASANAH MEDAN (TEACHER PROFESSIONALISM IMPROVED POLICY AT

MADRASAH ALIYAH ARAR-RAUDHATUL HASANAH MEDAN MEDAN) Jonni Sitorus Badan Penelitian dan Pengembangan Provinsi Sumatera Utara Jl. Sisingamangaraja No. 198 Medan 20126 email: sitorus_jonni@yahoo.co.id

Diterima: 3Januari2014; Direvisi:13 Februari2014; Disetujui: 20Februari2014

ABSTRAK Kebijakan peningkatan profesionalisme guru perlu mendapatkan perhatian serius dengan rumusan aturan yang jelas agar kualitas pendidikan menjadi lebih baik. Tujuan penelitian adalah: untuk mengetahui regulasi dan pelaksanaan kebijakan peningkatan profesionalisme guru di Madrasah Aliyah Ar-Raudhatul Hasanah Medan. Instrumen yang digunakan untuk mengumpulkan data terdiri dari wawancara, observasi, dan studi dokumentasi. Data dianalisis secara deskriptif kualitatif. Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa regulasi terkait peningkatan profesionalisme guru telah diatur pada Tata Tertib Guru Pesantren Tarbiyah Islamiah Ar-Raudhatul Hasanah Medan Tahun 2012, baik dalam bentuk kebijakan terkait supervisi/pengawasan, pendidikan dan pelatihan, maupun reward dan punishment terhadap guru. Peningkatan profesionalisme guru dalam aspek kompetensinya dilakukan melalui pendidikan dan pelatihan dalam bentuk: pendidikanlanjut, inhouse training, workshop, diskusi dan seminar pendidikan. Direkomendasikan kepada: Pemerintah Kota Medan melalui Dinas Pendidikan dan Kementerian Agama agar memberikan kesempatan yang luas kepada guru-guru untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi; pihak madrasah dapat memberikan kebijakan dan regulasi yang proporsional terkait keempat kompetensi guru (pedagogik, kepribadian, sosial dan profesional); memberikan kritikan/saran yang membangun kepada pimpinan Pengurus Pondok Pesantren Arraudhatul Hasanah Medan yang dilandasi hasil penelitian oleh Litbang Madrasah; meningkatkan frekuensi pelaksanaan supervisi dan pengawasan; melaksanakan pendidikan dan pelatihan secara rutin; dan guru dapat meningkatkan profesionalitasnya, baik melalui pendidikan dan pelatihan, maupundengan cara mengikuti seminar atau pertemuan lain terkait pendidikan. Kata Kunci: penelitian, regulasi pendidikan, kebijakan pendidikan, reward dan punishment, pendidikan dan pelatihan, supervisi dan pengawasan

ABSTRACT Policy to improve the professionalism of the teachers need to get serious attention to the formulation of clear rules so that the quality of education for the better. The purpose of the study is : to know the regulations and implementation of policies to improve the professionalism of teachers at Madrasah AliyahAr-RaudhatulHasanah Medan. The instrument used to collect the data consist of interviews, observation, and study documentation. Data was analyzed by descriptive qualitative. From the results of this study concluded that the regulation related increase in the professionalism of teachers has been set on the Teacher’s Rules of Islamic Tarbiyah School ArRaudhatulHasanah Medan in 2012, both in the form of policies related to supervision/monitoring, education and training, as well as reward and punishment to the teacher. Increasing competence in aspects of teacher professionalism through education and training is done in the form of: continuing education, in-house training, workshops, educational discussions and seminars. Recommended for: The Government of Medan Regency through the Department of Education and Religious Affairs in order to provide extensive opportunity for teachers to continue their education to a higher level; the madrasah can provide policies and regulations related to the

33


Inovasi Vol. 11 No. 1, Maret 2014: 33-41

fourth proportional competence of teachers (pedagogical, personal, social and professional); giving criticism/constructive suggestions to the leadership of the Board cottage PesanternArraudhatulHasanahMedan which is based on the results of research by the Madrasah Research; increasing the frequency of supervision and monitoring implementation; implement education and training on a regular basis; and teachers can improve their professionalism, both through education and training, as well as by following seminars or other meetings related to education. Keywords:

Research, Regulatory of Education, Education Policy, Reward and Punishment, Education and Training, Supervision and Oversight

(2) kualifikasisebagaimanadimaksud di atasadalahtingkatpendidikan minimum yang harusdipenuhiolehseorangpendidik yang dibuktikandenganijazahdanatausertifikatkeahlia n yang relevansesuaiketentuan yang berlaku; (3) kompetensisebagaiagenpembelajaranmeliputi: kompetensipedagogik, kompetensiprofesional, kompetensisosial, dankompetensikepribadian; dan (4) seseorang yang tidakmemilikiijazahdanatausertifikatkeahlianse bagaimanadimaksud di atastetapimemilikikeahliankhusus yang diakuidandiperlukandapatdiangkatmenjadipend idiksetelahmelewatiujikelayakandankesetaraan. Hamalik(2003:35) menyatakankompetensi guru sangatpentingbagiduniapendidikanuntukbebera pamanfaat, diantaranya : (1) kompetensi guru sebagaialatseleksipenerimaan guru; (2) kompetensi guru pentingdalamrangkapembinaan guru; (3) kompetensi guru pentingdalamrangkapenyusunankurikulum; (4) kompetensi guru pentingdalamhubungannyadengankegiatandanh asilbelajarsiswa. Oleh sebagian guru memahami bahwa peraturan dan perundang-undangan hanya sebagai formalitas untuk memenuhi tuntutan kebutuhan yang sifatnya administratif. Minimnya guru, khususnya daerah terpencil yang kekurangan tenaga pengajar, juga memberikan celah kepada guru untuk mengajar secara tidak profesional karena tidak sesuai dengan keahliannya. Tidak kompetennya seorang guru dalam penyampaian bahan ajar, baik dalam hal metode ataupun media pembelajaran sebagai alat penunjang dalam proses belajar mengajar secara tidak langsung akan berpengaruh terhadap hasil belajar. Berkaitan hal di atas, diperlukan sebuah kebijakan terkait pembinaan dan pengembangan profesi guru serta supervisi/pengawasan etika profesi yang disertai upaya memberi penghargaan, perlindungan, kesejahteraan, dan pemartabatan sebagai reward, serta pemberian punishment (sanksi) atas konsekuensi pelaksanaan regulasi

PENDAHULUAN Salah satu komponen pendidikan yang perlu ditingkatkan mutunya adalah guru sebagai penentu utama kualitas pendidikan. Keberadaan guru perlu mendapatkan perhatian serius dengan rumusan aturan yang jelas agar kualitas pendidikan Indonesia menjadi lebih baik. Menurut Djamarah (2002:73), guru memegang tugas ganda yaitu sebagai pengajar dan pendidik. Sebagai pengajar, guru bertugas menuangkan sejumlah bahan pelajaran kedalam otak anak didik, sedangkan sebagai pendidik guru bertugas membimbing dan membina anak didik agar menjadi manusia susila yang cakap, aktif, kreatif, dan mandiri. Mengajar maupun mendidik merupakan tugas dan tanggung jawab guru sebagai tenaga profesional.Oleh karenanya, tugas tersebut hanya dapat dilaksanakan oleh guru yang memiliki kompetensi profesional yang tinggi. Menurut Aqib (2002:22), kemampuan atau kompetensi profesional seorang guru sangat menentukan mutu pendidikan. Undang-Undang Guru dan Dosen (UUGD) tahun 2005 secara jelas menyatakan bahwa guru merupakan tenaga profesional yang memiliki kompetensi meliputi pedagogik, kepribadian, sosialdan profesional yang diperoleh melalui pendidikan profesi. Usman (2006:15) mendefinisikan bahwa guru profesional adalah orang yang memiliki kemampuan dan keahlian khusus dalam bidang keguruan sehingga mampu melakukan tugas dan fungsinya sebagai guru dengan kemampuan maksimal. Sholeh (2006:4)mengatakan guru tidak hanya menjalankan fungsi alih ilmu pengetahuan (transfer of knowledge), tapi juga berfungsi untuk menanamkan nilai (values) serta membangun karakter (character building) peserta didik secara berkelanjutan. PeraturanPemerintahNomor 19 Tahun 2005 tentangStandarNasionalPendidikan, menetapkanstandarbagi guru sebagaipendidik yang meliputi: (1) pendidikharusmemilikikualifikasiakademikdank ompetensisebagaiagenpembelajaran, sehatjasmanidanrohanisertamemilikikemampua nuntukmewujudkantujuanpendidikannasional;

34


Kebijakan Peningkatan Profesionalisme Guru Madrasah Aliyah Ar-Raudhatul Hasanah Medan (Jonni Sitorus)

sekolah. Profesionalisme guru sangat dituntut dalam kemajuan suatu organisasi pendidikan, terutama dalam pengembangan SDM guru secara profesional di sekolah, salah satunya adalah guru-guru Madrasah Aliyah ArRaudhatul Hasanah Medan. Madrasah ini menatasistempendidikannyadenganterobosanin ovatif melalui pengembangan kemampuan guru yang berperadaban dan sangat fokus pada peningkatan profesionalisme guru dengan berbagai kebijakan sekolah. Para guru Madrasah Aliyah ArRaudhatulHasanahmenampilkanbudayakerjaisla misecara profesionalsekaligusmemilikiintegritas yang tinggi sertasemangatmenuntutilmu yang tinggi. Berdasarkan paparan di atas, tentunya untuk mengkaji lebih dalam terkait kebijakan peningkatan profesionalisme guru, khususnya keempat kompetensi guru yang diamanatkan oleh UUGD tahun 2005, yaitu: pedagogik, kepribadian, sosial, dan profesional serta permasalahannya, maka sangat perlu dilakukan penelitian di Madrasah Aliyah Ar-Raudhatul Hasanah Medan.Adapun tujuan penelitian adalah untukmengetahui: (1) regulasi peningkatan profesionalisme guru di Madrasah Aliyah Ar-Raudhatul Hasanah Medan; (2) kebijakan terkait supervisi/pengawasan terhadap profesionalisme guru; (3) kebijakan terkait pendidikan dan pelatihan untuk meningkatkan profesionalisme guru; dan (4) kebijakan terkait reward dan punishment atas pelaksanaan regulasi peningkatan profesionalisme guru.

HASILDAN PEMBAHASAN Hasil dan pembahasantentang kebijakan peningkatan profesionalisme guru Madrasah Aliyah Ar-Raudhatul Hasanah Medan lebihdifokuskanpada2 (dua) hal, yaitu: regulasi dan kebijakan terkait supervisi/pengawasan, pendidikan dan pelatihan, serta reward dan punishment. Pertama,bentuk regulasi terkait peningkatan profesionalisme guru diatur pada Tata Tertib (Tatib) Guru Pesantren Tarbiyah Islamiah Ar-Raudhatul Hasanah Medan Tahun 2012. Bab I tentangKetentuan Umum (pasal 1) dinyatakan bahwa guru Pesantren Ar-Raudhatul Hasanah Medan adalah seorang yang menyampaikan pengetahuan, sikap, dan keterampilan kepada santri dan santriwati, berdasarkan kurikulum yang telah ditetapkan dan bertanggungjawab atas kelangsungan kegiatan belajar mengajar santri dan santriwati serta berfungsi sebagai pendidik dan pengajar, pembimbing dan fasilitator, dan pengawas kegiatan santri dan santriwati. Madrasah Aliyah Ar-Raudhatul Hasanah sangat memperhatikan kompetensi masingmasing guru yang dimilikinya, termasuk saat merekrut guru baru. Bab II tentangProsedur dan Syarat MenjadiGuru di Ar-Raudhatul Hasanah (pasal 3) dinyatakan bahwa selain persyaratan administrasi umum guru, beberapa syarat khusus yang harus diikuti para pelamar guru baru, diantaranya: para pelamar guru harus: (1) mengikuti interview terkait kompetensi guru serta tes bacaan Al-Qur’an; (2) melakukan praktek micro teaching di kelas pada mata pelajaran yang diampu; dan (3) mampu berbahasa Arab dan bahasa Inggris. Mencermati temuan di atas, kebijakan yang dimulai dari tahap seleksi penerimaan guru baru, sejalan dengan pendapat Hamalik(2003:35) menyatakanbahwa salah satu manfaat kompetensi guru bagiduniapendidikanadalah sebagaialatseleksipenerimaan guru. Regulasi terkait peningkatan profesionalisme guru di atas, juga sejalan dengan PeraturanPemerintahNomor 19 Tahun 2005 tentangStandarNasionalPendidikan. Pemerintah juga menetapkanstandarbagi guru sebagaipendidik yang meliputi: (1) pendidikharusmemilikikualifikasiakademikdank ompetensisebagaiagenpembelajaran, sehatjasmanidanrohanisertamemilikikemampua nuntukmewujudkantujuanpendidikannasional; (2) kualifikasisebagaimanadimaksud di atasadalahtingkatpendidikan minimum yang harusdipenuhiolehseorangpendidik yang dibuktikandenganijazahdanatausertifikatkeahlia

METODE Jenispenelitianadalahpenelitiankebijakan (policy research).Penelitiandilakukan di Madrasah Aliyah Ar-Raudhatul Hasanah MedanpadabulanSeptember s/d Desember 2013.Informan penelitian adalah: Pimpinan Pesantren, Direktur, Kepala Bidang Litbang, Kepala Biro Pendidikan, Kepala Sekolah Madrasah Aliyah, Pembantu Kepala Sekolah Madrasah Aliyah, dan beberapa guru profesional. Penentuan guru profesional yang dijadikan informan penelitian didasari atas penilaian/evaluasi pihak sekolah yang dianggap kompeten untuk memberikan informasi dan data terkait fokus penelitian. Adapun Teknikpengumpulan data dilakukandenganbeberapacara: wawancara, observasi, dan studidokumen. Data dianalisissecaradeskriptifkualitatif.

35


Inovasi Vol. 11 No. 1, Maret 2014: 33-41

n yang relevansesuaiketentuan yang berlaku; (3) kompetensisebagaiagenpembelajaranmeliputi: kompetensipedagogik, kompetensiprofesional, kompetensisosial, dankompetensikepribadian; dan (4) seseorang yang tidakmemilikiijazahdanatausertifikatkeahlianse bagaimanadimaksud di atastetapimemilikikeahliankhusus yang diakuidandiperlukandapatdiangkatmenjadipend idiksetelahmelewatiujikelayakandankesetaraan. Bab III tentang Tugas, Kewajiban, dan Hak Guru (pasal 6) Tatib Guru Ar-Raudhatul Hasanah Medan Tahun 2012, dinyatakan bahwa tugas dan kewajiban pokok guru ditinjau dari kompetensinya adalah: (1) mengetahui dan memahami: tujuan Pendidikan Nasional, tujuan institusional Pesantren Ar-Raudhatul Hasanah, tujuan pembelajaran umum, dan tujuan pembelajaran khusus; (2) mendidik santri dan santriwati sesuai dengan tujuan pendidikan; (3) menguasai dengan baik materi yang diajarkan; (4) mengadakan ulangan harian minimal 1 (satu) kali setiap bulan; (5) melaksanakan disiplin guru terkait: hari dan jam pelajaran berjalan efektif, memulai dan mengakhiri pelajaran tepat waktu, memeriksa tugas-tugas yang diberikan kepada santri dan santriwati, dan menyelesaikan tugas-tugas tepat waktu; (6) melaksanakan pendidikan dan pengajaran sesuai dengan kurikulum yang berlaku; (7) membuat program satuan pembelajaran (RPP/i’dad); dan (8) membuat laporan pencapaian target kurikulum setiap bulan kepada guru supervisi. Merujuk pada Undang-Undang Guru dan Dosen tahun 2005, dijelaskan bahwa indikator penilaian kompetensiguru, diantaranya: memahami peserta didik dengan memanfaatkan prinsip-prinsip perkembangan kognitif; memahami peserta didik dengan memanfaatkan prinsip-prinsip kepribadian; mengidentifikasi bahanajar awal peserta didik; memahami landasan kependidikan; menerapkan teori belajar dan pembelajaran; menentukan strategi pembelajaran berdasarkan karakteristik peserta didik, kompetensi yang akan dicapai, dan materi ajar; menyusun rancangan pembelajaran berdasarkan strategi yang dipilih; memilih latar pembelajaran; melaksanakan pembelajaran yang kondusif; merancang dan melaksanakan evaluasi pembelajaran proses dan hasil belajar secara berkesinambungan dengan berbagai metode; menganalisis hasil evaluasi proses dan hasil belajaruntuk menemukan tingkat ketuntasan belajar; dan memanfaatkan hasil penilaian pembelajaran untuk perbaikan kualitas program pembelajaran secara umum.

Kedua, kebijakan terkait supervise/pengawasanterhadap profesionalisme guru dalam aspek kompetensinya, juga diatur pada Tatib Guru Pesantren Tarbiyah Islamiah Ar-Raudhatul Hasanah Medan Tahun 2012. Supervisi terhadap guru Madrasah Aliyah Ar-Raudhatul Hasanah dilakukan oleh Guru Supervisi. Bab I tentang Ketentuan Umum (pasal 2) dinyatakan bahwa guru supervisi adalah guru yang bertugas membimbing dan mengarahkan serta mengevaluasi guru pada mata pelajaran yang ditentukan. Bab III tentang Tugas, Kewajiban dan Hak guru (pasal 11), dinyatakan bahwa tugas dan kewajiban guru supervisi terkait kompetensinya adalah: (1) mengetahui bahan ajar dan batas-batas pelajaran per semester; (2) mengadakan pertemuan dengan guru-guru pengajar untuk menentukan batas-batas pelajaran, bahan ajar, dan membuat Rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) pada setiap awal semester; (3) membimbing dan mengevaluasi metodologi pembelajaran; (4) memeriksa dan menandatangani RPP; meminta laporan tertulis bulanan kepada pengajar tentang pelajaran yang telah diajarkan dan atau yang akan diajarkan; dan (5) mengadakan penyuluhan pelajaran secara berkala. Guru supervisi diangkat dari anggota Dewan Guru Pesantren Tarbiyah Islamiah ArRaudhatul Hasanah. Bab I tentang Ketentuan Umum (pasal 2) dinyatakan bahwa Dewan Guru Pesantren Tarbiyah Islamiah Ar-Raudhatul Hasanah adalah keseluruhan guru yang bertugas di Pesantren yang memenuhi syarat-syarat tertentu dan telah ditetapkan sebagai anggota Dewan Guru melalui SK Pimpinan Pesantren. Bab IV tentang Syarat, Tugas, dan Klasifikasi Dewan Guru (pasal 15), dinyatakan bahwa syarat-syarat menjadi Dewan Guru di Pesantren Tarbiyah Islamiah Ar-Raudhatul Hasanah adalah: (1) telah aktif mengajar sebagai guru tetap dengan baik minimal 8 (delapan) tahun berturut-turut di Pesantren Ar-Raudhatul Hasanah; (2) memiliki kemampuan dalam pendidikan dibuktikan dengan ijazah S1, pembelajaran dan pengelolaan kelas, dan lulus uji kompetensi sebagai Dewan Guru dengan materi Bahasa Arab atau Bahasa Inggris dan kepesantrenan; dan (3) membuat surat pernyataan tentang kesanggupan dan bersedia melaksanakan tugas dan kewajiban Dewan Guru. Lebih lanjut, pasal 16 dinyatakan bahwa tugas dan kewajiban Dewan Guru terkait kompetensinya adalah: (1) bersedia menerima jam tambahan untuk mengevaluasi proses belajar mengajar di kelas; dan (2) bersedia menjadi guru supervisi pelajaran.

36


Kebijakan Peningkatan Profesionalisme Guru Madrasah Aliyah Ar-Raudhatul Hasanah Medan (Jonni Sitorus)

Mencermati temuan di atas, bahwa untuk menjadi Dewan Guru yang bertugas sebagai guru supervisi harus memiliki kualifikasi akademik dibuktikan drngan ijazah minimal S1 dan lulus uji kompetensi, sejalan dengan PeraturanPemerintahNomor 19 Tahun 2005 tentangStandarNasionalPendidikan. Pemerintah menetapkanstandarbagi guru sebagaipendidikyang salah satunya adalah kualifikasiakademik minimum S1 dibuktikandenganijazahdanatausertifikatkeahlia n yang relevansesuaiketentuan yang berlaku. Selain itu, guru harus memilikikeahliankhususmalaluiujikelayakandan kesetaraan. Berdasarkan wawancara dan temuan di lapangan, bentuk supervisi/pengawasan di Madrasah Aliyah Ar-Raudhatul Hasanah fokus pada masalah-masalah teknis-edukatif (penyelenggaraan proses belajar-mengajar). Dewan Guru sebagai supervisor lebih tertuju pada upaya membantu guru memecahkan masalah-masalah yang dihadapi dalam melaksanakan tugas pokok utama kaitannya kompetensi guru. Kebijakan terkait supervisi terhadap profesionalisme guru dimaknai sebagai salah satu bagian yang melekat pada tujuan Total Quality Management (TQM) dan tidak dapat dipisahkan antara sistem yang satu dengan lainnya seperti: kelembagaan, kepemimpinan, kebijakan, dan kualitas layanan dalam pendidikan. Peningkatan profesionalisme guru merupakan kualitas layanan pendidikan di sekolah tersebut. Kegiatan supervisi mencakup: pengelolaan kurikulum dan pelaksanaannya; tindak lanjut serta program peningkatan mutu berkelanjutan secara total; hasil belajar (keberhasilan mencapai kriteria, pelaksanaan program remedial, pelaksanaan program pengayaan); dan dampak penyelenggaraan kurikulum terhadap guru. Selain supervisi, kebijakan terkait pengawasan terhadap profesionalisme guru juga diatur pada Tatib Guru Pesantren Tarbiyah Islamiah Ar-Raudhatul Hasanah Medan Tahun 2012. Pengawasan terhadap guru Madrasah Aliyah Ar-Raudhatul Hasanah dilakukan oleh para pengurus Pesantren. Bab I (Pasal 1) tentang Tatib Pengurus Pesantren Tarbiyah Islamiah Ar-Raudhatul Hasanah dinyatakan bahwa pengurus adalah guru atau bukan guru di Pesantren Tarbiyah Islamiah Ar-Raudhatul Hasanah yang diusulkan oleh Direktur dan ditetapkan melalui Surat Keputusan Pimpinan Pesantren. Bab III (pasal 3) tentang Tugas dan Kewajiban Pengurus, dinyatakan bahwa tugas

dan kewajiban pimpinan pesantren terkait pengawasan kompetensi guru adalah mengawasi jalannya proses pendidikan, pengasuhan, dan administrasi seluruh lembaga. Dalam menjalankan tugas dan kewajibannya sebagai pengawas terkait kompetensi guru, pimpinan pesantren dibantu oleh Biro Kulliyatul Mu’alimin Al-Islamiyah (KMI). Pasal 8 dinyatakan bahwa tugas dan kewajiban Biro KMI terkait pengawasan terhadap kompetensi guru adalah mengawasi dan bertanggungjawab atas semua kegiatan belajar mengajar. Pasal 9 dinyatakan bahwa tugas dan kewajiban Madrasah Aliyah terkait kompetensi guru adalah: (1) berkoordinasi dengan Biro KMI dan bertanggungjawab terhadap pelaksanaan pelajaran umum; (2) bertanggungjawab terhadap pelaksanaan ujian semester, ujian praktik, dan ujian akhir sekolah, dan ujian nasional; (3) bertanggungjawab terhadap peningkatan pembelajaran materi umum berkoordinasi dengan dengan Kabid. Pendidikan; dan (4) mengkoordinir pembuatan program tahunan, program semester, dan kurikulum. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan BAB IV pasal 19 ayat (3) menyebutkan bahwa setiap tahun pendidikan melakukan perencanaan proses pembelajaran, pelaksanaan proses pembelajaran, penilaian hasil pembelajaran, dan pengawasan proses pembelajaran untuk terlaksananya proses pembelajaran yang efektif dan efisien. Ayat ini secara eksplisit menyatakan bahwa pengawasan dilakukan untuk terlaksananya proses pembelajaran yang efektif dan efisien. Ayat di atas dipertegas lagi oleh pasal 23 dan pasal 24, secara lebih spesifik pasal 23 menyatakan bahwa pengawasan proses pembelajaran sebagaimana dimaksud dalam pasal 19 ayat (3) meliputi pemantauan, supervisi, evaluasi, pelaporan, dan pengambilan langkah tindak lanjut yang diperlukan. Pasal ini dengan tegas menggunakan kata supervisi. Permendiknas Nomor 41Tahun 2007 Tentang Standar Proses Untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah, meneguhkan eksistensi pengawasan di sekolah yang termaktub pada bab V Pengawasan Proses Pembelajaran, Huruf B, supervisi, menyebutkan: (1) supervisi proses pembelajaran dilakukan pada tahap perencanaan,pelaksanaan, dan penilaian hasil pembelajaran; (2) supervisi pembelajaran dilakukan dengan cara pemberian contoh,diskusi,pelatihan, dan konsultasi; dan (3) kegiatan supervisi dilakukan oleh kepala dan pengawas satuan pendidikan.

37


Inovasi Vol. 11 No. 1, Maret 2014: 33-41

Ketiga, kebijakan terkait pendidikan dan pelatihan untuk meningkatkan profesionalisme guru. Berdasarkan hasil wawancara dan informasi yang diperoleh bahwa kebijakan peningkatan kompetensi guru Madrasah Aliyah Ar-Raudhatul Hasanah dilakukan melaluiberbagai bentuk pendidikan dan pelatihan. Pendidikan lanjut merupakan kebijakan madrasah sebagai alternatif bagi guru untuk meningkatkan kompetensi akademik dalam upaya pengembangan profesinya. Pihak madrasah mengikutsertakan guru dalam pendidikan lanjut yang dilaksanakan dengan memberikan tugas belajar di dalam maupunluarnegeri. Dari dokumen Profil Madrasah Aliyah ArRaudhatul Hasanah diperoleh informasi bahwa beberapa guru yang melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, diantaranya: (1) beasiswa S-2 Kementrian Agama DIPA 2007 untuk 3 orang guru, dengan masing-masing ke Institut Pertanian Bogor (IPB), Bogor; IAIN Walisongo, Semarang; dan IAIN Sunan Ampel, Surabaya; (2) beasiswa S-2 Kementrian Agama DIPA 2009 untuk 1 orang guru ke Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Bandung; dan (3) beasiswa S-1 Kementrian Agama DIPA 2010 untuk 1 orang guru ke Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Bandung. Selain pendidikan, pihak sekolah telah melakukan beberapa bentuk pelatihan. Inhouse training (IHT) merupakan pelatihan yang dilaksanakan secara internal di KKG/MGMP. Pembinaan melalui IHT dilaksanakan berdasarkan pemikiran bahwa sebagian kemampuan dalam meningkatkan kompetensi dan karir guru tidak harus dilakukan secara eksternal, tetapi dapat dilakukan oleh guru yang dinilai layak memiliki kompetensi untuk memberikan pelatihan kepada guru lain yang belum memiliki kompetensi. Pengurus madrasah juga melaksanakan kegiatan pendidikan lain yang dapat menunjang profesionalisme guru. Diskusi masalah pendidikan diselenggarakan secara berkala dengan topik berkaitan pada proses pembelajaran di sekolah ataupun masalah peningkatan kompetensi guru dan pengembangan karirnya. Mengikutsertakan guru dalam kegiatan seminar dan pembinaan publikasi ilmiah untuk meningkatkan kompetensi memberi peluang kepada guru untuk berinteraksi secara ilmiah dengan kolega seprofesinya berkaitan dengan hal terkini dalam upaya peningkatan kualitas pendidikan. Workshopjuga dilakukan oleh pengurus madrasah untuk menghasilkan produk yang bermanfaat bagi pembelajaran, peningkatan

kompetensi maupun pengembangan karir guru. Workshop dilakukan dalam menyusun KTSP, analisis kurikulum, pengembangan silabus, dan penulisan RPP. Bab III (pasal 4) tentang Tugas dan Kewajiban Tatib Guru Pesantren Tarbiyah Islamiah Ar-Raudhatul Hasanah Medan Tahun 2012, dinyatakan bahwa tugas dan kewajiban Direktur dan Majelis Pengasuh terkait peningkatan profesionalisme guru adalah: (1) mengadakan pembinaan dan pemberdayaan guru dan pengurus; (2) bertanggungjawab terhadap pendidikan, pembinaan, dan pemberdayaan kader pesantren; dan (3) mengadakan studi banding bagi guru, jika dibutuhkan. Pasal 7 dinyatakan bahwa tugas dan kewajiban Kepala Bidang Pendidikan terkait peningkatan profesionalisme guru adalah bertanggungjawab terhadap pengembangan guru dan penataran guru baru. Menurut Undang-Undang No. 14.Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen menegaskan bahwa salah satu yang menjadi hak guru adalah kesempatanuntukmengembangkandanmeningk atkankualifikasiakademikdankompetensinya, sertauntukmemperolehpelatihandanpengemban ganprofesidalambidangnya. Artinya, MA Ar Raudhatul Hasanah Medan telah melakukan pendidikan dan pelatihan seperti yang tertuang pada UUGD tahun 2005 di atas. Keempat, kebijakan terkaitreward dan punishment sebagai konsekuensi pelaksanaan regulasi yang dibuat. Kedua hal ini merupakan motivasi bagi guru untuk melakukan dan meningkatkan kinerja, juga sekaligus hukuman bagi guru yang tidak menjalankan profesinya secara benar sesuai peraturan madrasah. Sebagai tenaga profesional, guru memiliki hak yang sama untuk mendapatkan penghargaan dan kesejahteraan. Penghargaan diberikan kepada guru yang berprestasi luar biasa, atau berdedikasi luar biasa. Hasil wawancara dan temuan di lapangan diperoleh informasi bahwa penghargaan kepada guru sifatnya beragam jenis, seperti: finansial, piagam, jabatan, atau penghargaan lain sesuai dengan kriteria dan ketentuan madrasah. Sistem pemberian reward dan punishmentdi madrasah dilakukan mingguan dan semesteran.Reward dan punishment sebagai kebijakan madrasah sangat ideal dan strategis digunakan sesuai dengan prinsip-prinsip regulasi untuk merangsang guru dalam kerangka meningkatkan kinerja dan mengembangkan potensi guru. Kebijakan Pimpinan Pesantren untuk peningkatan kualitas guru dan kelangsungan Pesantren Ar-Raudhatul Hasanah Medanadalah

38


Kebijakan Peningkatan Profesionalisme Guru Madrasah Aliyah Ar-Raudhatul Hasanah Medan (Jonni Sitorus)

memberikan penghargaansebagai guru teladan dengan etos kerja yang tinggi.Disamping itu,madrasah juga melakukan pengkaderan sebagai bentuk konkrit untuk memotivasi guru. Kaderisasiterbagi dalam tiga kategori, yaitu: mula, madya, dan pasca. Kader mulaadalah para kader yang dibimbing dan dibina serta diberi perhatian khusus oleh pesantren. Kader madya adalah para kader yang mengajukan dirisebagai kader. Kader pascaadalah para kader yang terpanggil untuk mengabdikan diri di Pesantren.Pihak pesantren menyediakan biro khusus berupa Biro Kaderisasi di bawah koordinasi Bidang Litbang di madrasah tersebut. Kebijakan terkait punishment diatur pada Bab III (pasal 19) Tatib Guru Pesantren Tarbiyah Islamiah Ar-Raudhatul Hasanah Medan Tahun 2012 tentang Larangan dan Sanksi dinyatakan bahwa sanksi guru yang tidak melaksanakan tugas dan kewajiban terkait kompetensinya adalahsanksi administratif berupa peringatan secara tertulis atau lisan, skorsing atas perilaku guru yang tidak sesuai dengan profesi yang diembannya, dan pemutusan hubungan kerja. Sanksi ini tergantung kesalahan dan pelanggaran yang dilakukan oleh guru.

guru ditinjau dari kompetensinya adalah: (1) mengetahui dan memahami: tujuan Pendidikan Nasional, tujuan institusional Pesantren ArRaudhatul Hasanah, tujuan pembelajaran umum, dan tujuan pembelajaran khusus; (2) mendidik santri dan santriwati sesuai dengan tujuan pendidikan; (3) menguasai dengan baik materi yang diajarkan; (4) mengadakan ulangan harian minimal 1 (satu) kali setiap bulan; dan (5) melaksanakan disiplin guru terkait: hari dan jam pelajaran berjalan efektif, memulai dan mengakhiri pelajaran tepat waktu, memeriksa tugas-tugas yang diberikan kepada santri dan santriwati, dan menyelesaikan tugas-tugas tepat waktu. Lebih lanjut dijelaskan bahwa tugas dan kewajiban guru dalam administrasi terkait kompetensinya adalah: (1) melaksanakan pendidikan dan pengajaran sesuai dengan kurikulum yang berlaku; (2) membuat program satuan pembelajaran (RPP/i’dad); dan (3) membuat laporan pencapaian target kurikulum setiap bulan kepada guru supervisi.Kebijakan terkait supervisi/pengawasan terhadap profesionalisme guru dalam aspek kompetensinya, juga diatur pada Tatib Guru Pesantren Tarbiyah Islamiah Ar-Raudhatul Hasanah Medan Tahun 2012. Supervisi terhadap guru-guru Pesantren Tarbiyah Islamiah ArRaudhatul Hasanah Medan dilakukan oleh Guru Supervisi. Bab I tentang Ketentuan Umum (pasal 2) dinyatakan bahwa guru supervisi adalah guru yang bertugas membimbing dan mengarahkan serta mengevaluasi guru pada mata pelajaran yang ditentukan. Bab III tentang Tugas, Kewajiban dan Hak guru (pasal 11), dinyatakan bahwa tugas dan kewajiban guru supervisi terkait kompetensi guru adalah: (1) mengetahui bahan ajar dan batas-batas pelajaran per semester; (2) mengadakan pertemuan dengan guru-guru pengajar untuk menentukan batasbatas pelajaran, bahan ajar, dan membuat Rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) pada setiap awal semester; (3) membimbing dan mengevaluasi metodologi pembelajaran; (4) memeriksa dan menandatangani RPP; meminta laporan tertulis bulanan kepada pengajar tentang pelajaran yang telah diajarkan dan atau yang akan diajarkan; dan (5) mengadakan penyuluhan pelajaran secara berkala. Kebijakan terkait pendidikan dan pelatihan unutk meningkatkan profesionalisme dilakukan dalam bentuk: pendidikan lanjut, inhouse training, workshop, diskusi pendidikan, dan seminar pendidikan. Kebijakan ini telah diatur pada Bab III (pasal 4) tentang Tugas dan Kewajiban Tatib Guru Pesantren Tarbiyah Islamiah Ar-Raudhatul Hasanah Medan Tahun 2012, dinyatakan bahwa tugas dan kewajiban Direktur dan Majelis

KESIMPULAN Regulasi peningkatan profesionalisme guru Madrasah Aliyah Ar-Raudhatul Hasanah Medan telah diatur pada Tatib Guru Pesantren Tarbiyah Islamiah Ar-Raudhatul Hasanah Medan Tahun 2012. Bab I tentangKetentuan Umum (pasal 1) dinyatakan bahwa guru Pesantren Ar-Raudhatul Hasanah Medan adalah seorang yang menyampaikan pengetahuan, sikap, dan keterampilan kepada santri dan santriwati, berdasarkan kurikulum yang telah ditetapkan dan bertanggungjawab atas kelangsungan kegiatan belajar mengajar santri dan santriwati serta berfungsi sebagai pendidik dan pengajar, pembimbing dan fasilitator, dan pengawas kegiatan santri dan santriwati.Bab II tentangProsedur dan Syarat MenjadiGuru di Pesantren Ar-Raudhatul Hasanah Medan (pasal 3) dinyatakan bahwa selain persyaratan administrasi umum guru, beberapa syarat khusus yang harus diikuti para pelamar guru baru, diantaranya: para pelamar guru harus: (1) mengikuti interview terkait kompetensi guru serta tes bacaan Al-Qur’an; (2) melakukan praktek micro teaching di kelas pada mata pelajaran yang diampu; dan (3) mampu berbahasa Arab dan bahasa Inggris. Bab III tentang Tugas, Kewajiban, dan Hak Guru (pasal 6) Tatib Guru Pesantren Tarbiyah Islamiah ArRaudhatul Hasanah Medan Tahun 2012, dinyatakan bahwa tugas dan kewajiban pokok

39


Inovasi Vol. 11 No. 1, Maret 2014: 33-41

Pengasuh terkait peningkatan profesionalisme guru adalah: (1) mengadakan pembinaan dan pemberdayaan guru dan pengurus; (2) bertanggungjawab terhadap pendidikan, pembinaan, dan pemberdayaan kader pesantren; dan (3) mengadakan studi banding bagi guru, jika dibutuhkan. Pasal 7 dinyatakan bahwa tugas dan kewajiban Kepala Bidang Pendidikan terkait peningkatan profesionalisme guru adalah bertanggungjawab terhadap pengembangan guru dan penataran guru baru.Sebagai konsekuensi kebijakan peningkatan profesionalisme guru, maka guru yang berprestasi diberi reward berupa finansial, piagam, jabatan, dan penghargaan. Sebaliknya, bagi guru yang melanggar peraturan pesantren atau tidak menjalankan profesinya sesuai dengan kompetensinya, maka guru mendapat punishment (sanksi) berupa teguran secara tertulis atau lisan. Kebijakan ini telah diatur pada terkait punishment diatur pada Bab III (pasal 19) Tatib Guru Pesantren Tarbiyah Islamiah Ar-Raudhatul Hasanah Medan Tahun 2012 tentang Larangan dan Sanksi dinyatakan bahwa sanksi guru yang tidak melaksanakan tugas dan kewajiban terkait kompetensinya adalahsanksi administratif berupa peringatan secara tertulis atau lisan, skorsing atas perilaku seorang guru yang tidak sesuai dengan profesi yang diembannya, dan pemutusan hubungan kerja. Sanksi ini tergantung kesalahan dan pelanggaran yang dilakukan oleh guru.

4. Kepada Guru supervisi Ar-Raudhatul Hasanah Medan agar meningkatkan frekuensi pelaksanaan supervisi dan pengawasan. 5. Kepada Kepala Sekolah Madrasah Aliyah ArRaudhatul Hasanah Medan agar melaksanakan pendidikan dan pelatihan bagi guru secara rutin di sekolah. 6. Kepada para guru Madrasah Aliyah ArRaudhatul Hasanah Medan agar tetap meningkatkan profesionalismenya, baik melalui pendidikan dan pelatihan, maupun dengan cara mengikuti seminar atau pertemuan lain terkait pendidikan. DAFTAR PUSTAKA Aqib, Zainal. 2002. Profesionalisme Guru Dalam Pembelajaran. Surabaya: Cendekia. Departemen Agama RI. 2003. Profesionalisme Pengawas Pendais. Jakarta: Direktorat Jenderal kelembagaan Agama Islam Depag RI. Depdiknas. 2003. Undang-Undang Sisdiknas No. 20 Tahun 2003. Depdiknas. 2007. Pengembangan Profesionalisme Guru yang Berkelanjutan. Jakarta: Dirjen Manajemen pendidikan Dasar dan Menengah Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Pertama. Djamarah, Syaiful.2002.Psikologi Rineka Cipta.

Belajar.Jakarta:

Hamalik, Oemar. 2002.Psikologi Belajar Mengajar. Bandung: PT. Sinar Baru Algensindo.

REKOMENDASI 1. Kepada Pemerintah Kota Medan melalui Dinas Pendidikan dan Kementerian Agama untuk menambah jumlah guru-guru untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, dengan memberi beasiswa pendidikan 2. Kepada pimpinan Pengurus Pondok Pesantern Ar Raudhatul Hasanah Medan sebagai pimpinan tertinggi sekolah memberikan kebijakan dan regulasi yang proporsional terkait peningkatan dan pengembangan profesionalisme guru terhadap keempat kompetensi yang dimilki guru (pedagogik, kepribadian, sosial, dan profesional). 3. Kepada pengurus dan pengelola sekolah (direktur, kepala bidang, kepala sekolah) sebagai partner kerja pimpinan/atasan agar tetap memberikan kritikan/saran yang membangun kepada pimpinan Pengurus Pondok Pesantern Ar Raudhatul Hasanah Medan, khususnya peningkatan kompetensi guru melalui hasil penelitian yang dilakukan oleh bidang kelitbangan sekolah.

Imron, Ali. 1995.KebijaksanaanPendidikan di Indonesia: Proses Produk dan MasaDepannya. Jakarta: BumiAksara. Muhaimin, dkk. KontroversiPemkiranFazlurRahman: SudiKritisPembaharuanPendidikan Dinamika.

2000. Islam.Cirebon:

MuhaminindanMujib, Abdul. 2003. PemikiranPendidikan Islam (KajianFilosofidanKerangkaDasarOperasionalisasinya. Bandung: TrigendaKarya. Mulyasa, E. 2004.Manajemen Sekolah.Bandung: PT. Remaja Rosda Karya. Musbikim, Imam. 2010. Menakjubkan.Yogyakarta: BukuBiru.

Guru

Berbasis

yang

Natsir, Nanat Fatah. 2007. PemberdayaanKualitas Guru DalamPerspektifPendidikan Islam,Jurnal EDUCATIONIST No.I Vol. I. Bandung: UPI. Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 38 tahun 1992 Tentang Sisdiknas.

40


Kebijakan Peningkatan Profesionalisme Guru Madrasah Aliyah Ar-Raudhatul Hasanah Medan (Jonni Sitorus)

Pidarta. 2003. Landasan Kependidikan Stimulus Ilmu Pendidikan Bercorak Indonesia.Jakarta: PT. Bina Rineka Cipta. Prasetiyo, Eko. 2007.Guru, MendidikituMelawan.Jogjakarta: Resist Book. Rohman, Arif &Wiyono, Teguh. 2009.Education Policy.Yogyakarta: PustakaPelajar. Sholeh, Asrorun Ni’am.2006. Membangun Profesionalitas Guru Analisis Kronologis atas Lahirnya UU Guru dan Dosen. Jakarta: eLSAS. Soetjipto& Kosasi, Raflis. 2000. Profesi Keguruan. Jakarta: RinekaCipta. Sulaiman, TathiyahHasan.2000. AlamPikiranAlGhazaliMengenaiPendidikandanIlmu.Bandung: CV. Diponegoro. Supriadi, Dedi.2000. Mengangkat Citra danMartabat Guru.Yogyakarta: AdiCitaKarya Nusa. Suryabrata.2001. Psikologi Kepribadian. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Tafsir, Ahmad. 2005. Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Undang-Undang Republik Indonesia No. 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen. Usman, Husaini. 2001. PeranBaruAdministrasiPendidikandariSistemSentralist ikMenujuSistemDesentralistik.JurnalIlmuPendidikan, Jilid 8 Nomor 1. Usman, M. Uzer. 2006. Menjadi Guru Profesional. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

41


Inovasi Vol. 11 No. 1, Maret 2014: 42-51

Hasil Penelitian PENENTUAN KOMODITI SAYUR DAN BUAHBUAH-BUAHAN UNGGULAN DI SUMATERA UTARA

VEGETABLES ETABLES AND FRUITSPRIME (DETERMINATION OF VEG FRUITSPRIMECOMMODITY PRIMECOMMODITY SUMATE ERA RA)) IN NORTH SUMAT Porman Juanda Marpomari Mahulae, Mahulae, Nobrya Husni Badan Penelitian dan Pengembangan Provinsi Sumatera Utara Jl. Sisingamangaraja No. 198 Medan 20126 email: pormanj@yahoo.co.id

Diterima: 28 Pebruari 2014; Direvisi: 13 Pebruari 2014; Disetujui: 10 Maret 2014

ABSTRAK Merefleksi keberhasilan penerapan konsep One Village One Product (OVOP) yang sangat berhasil meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat lokal di berbagai negara, maka pendekatan yang sama dapat diaplikasikan dalam pengembangan potensi pertanian di daerahdaerah dalam kawasan Indonesia termasuk Sumatera Utara. Dengan pendekatan OVOP, langkah awal dalam pengembangan sektor pertanian dilakukan dengan operasional yang pelaksanaannya adalah pemilihan komoditi pertanian unggulan spesifik lokal. Konsep dan pengertian komoditi unggulan dapat dilihat dari dua sisi, yaitu sisi penawaran (supply) dan sisi permintaan (demand). Penelitian ini memiliki tujuan akhir untuk menentukan komoditi sayur dan buah-buahan yang menjadi unggulan prioritas dengan menggunakan metode analisis Location Quotient (LQ), Shift share, tipologi klassen dan Analytic Hierarchy process (AHP). Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data perkembangan luas panen, produksi, produktivitas dan harga pasar komoditi sayur dan buah-buahan di Sumatera Utara dan Indonesia periode tahun 2007 s/d 2011. Sedangkan untuk metode AHP penelitian ini menggunakan data primer dari hasil pengisian kuisioner AHP dan hasil wawancara dari responden yang terpilih pada bulan Juni 2013. Setelah melewati tahapan-tahapan analisis, penelitian ini menyimpulkan bahwa komoditi unggulan yang menjadi prioritas untuk dikembangkan di Sumatera Utara yang didasarkan pertimbangan pasar, ekologi dan sosial ekonomi, secara berurutan adalah cabe besar, kentang, kol/kubis, wortel, bunga kol, tomat, terong, buncis, cabe rawit dan petsay/sawi untuk komoditi sayuran. Sedangkan untuk komoditi buah-buahan secara berurutan adalah nenas, durian, jeruk siam, salak, jeruk besar, belimbing, duku / langsat dan jambu air. Kata Kunci: komoditi unggulan, sayur, buah-buahan, OVOP

ABSTRACT Reflect the successful implementation of the One Village One Product (OVOP)concept which had very successful to increasing the income and welfare of local communities in various countries, the same approach can be applied to develope the agricultural potential at areas in the Indonesianregion including North Sumatera.With OVOP approach, the first step in agriculture sector development with implementation’s opertional is the selection of a locally agricultural specific commodity. The concept and definition of commodity can be viewed from two sides, namely the supply and demand side.This research has the ultimate goal to determining the vegetables and fruits leading priority commodity using the Location Quotient (LQ), Shift share, typology Klassen and Analytic Hierarchy Process (AHP). The data used in this research is the development of data harvested area, production, productivity and commodity market prices of vegetables and fruits in North Sumatra and Indonesia during 2007 s / d 2011.Where as for the AHP method this research using primary data from the AHP questionnaires and interviews results of selected respondents in June 2013. After passing through the stages of analysis, the study concluded that the priority commodity for development in North Sumatra are based on consideration of market, economic and social ecology, in sequence is a great chili, potatoes, cabbage, carrots, cauliflower, tomatoes, eggplant, beans, chili and Radish / mustard for

42


Penentuan Komoditi Sayur dan Buah-Buahan Unggulan di Sumatera Utara (Porman Juanda Marpomari Mahulae dan Nobrya Husni) vegetables commodity. As for fruits commodities sequentially are pineapple, durian, citrus, bark, grapefruit, starfruit, duku / olive and guava. Keywords: prime commodity, vegetables, fruits, OVOP

Village One Product (OVOP) yang sangat berhasil meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat lokal di berbagai Negara (Haraguchi, 2008), Maka pendekatan yang sama dapat diaplikasikan dalam pengembangan potensi pertanian di daerah-daerah dalam kawasan Indonesia termasuk Sumatera Utara. Dengan pendekatan OVOP, langkah awal dalam pengembangan sektor pertanian dilakukan dengan pemilihan komoditi pertanian unggulan spesifik lokal (Pasaribu, 2011). Konsep dan pengertian komoditi unggulan dapat dilihat dari dua sisi, yaitu sisi penawaran (supply) dan sisi permintaan (demand). Dilihat dari sisi penawaran, komoditi unggulan merupakan komoditi yang paling superior dalam pertumbuhannya pada kondisi biofisik, teknologi dan kondisi sosial ekonomi petani di suatu wilayah tertentu. Pengertian tersebut lebih dekat dengan pengertian locational advantages. Sedangkan dilihat dari sisi permintaan, komoditi unggulan merupakan komoditi yang mempunyai permintaan yang kuat baik untuk pasar domestik maupun pasar internasional. Dengan pengertian tersebut maka komoditi unggulan bersifat dinamis baik dilihat dari sisi penawaran karena perubahan teknologi maupun dilihat dari sisi permintaan karena adanya pergeseran permintaan konsumen (Syafaat dan Priyatno, 2000. Dalam Setiawan, 2010). Pemilihan komoditi pertanian unggulan pada suatu wilayah dari sisi penawaran biasanya dilakukan dengan analisa Location Quotient (LQ). Analisa LQ dapat mengukur tingkat konsentrasi suatu komoditas bila dibandingkan dengan wilayah yang lebih luas (Hendayana, 2003). Selain LQ, analisa yang dapat digunakan adalah analisa Shift Share. Analisa ini biasanya digunakan untuk mengidentifikasi pertumbuhan wilayah atau sektor dalam suatu daerah, namun kajian digunakan untuk mengidentifikasi pertumbuhan suatu komoditi dalam satuan wilayah dibandingkan dengan wilayah yang lebih luas. Selanjutnya adalah adalah analisa tipologi klassen.Analisa ini menggunakan matriks perbandingan dari faktor yang berpengaruh.Keunggulan komparatif dapat dinyatakan dengan memperhatikan aspek sumberdaya lahan untuk berproduksi (produktivitas), sedangkan keunggulan kompetitif dinyatakan dengan estimasi nilai

PENDAHULUAN Globalisasi dan liberalisasi perdagangan memberikan peluang sekaligus tantangan baru yang harus dihadapi dalam pembangunan pertanian. Globalisasi dan liberalisasi perdagangan memberikan peluang karena pasar komoditas akan semakin luas sejalan dengan dihapuskannya berbagai hambatan perdagangan antar Negara. Namun globalisasi dan liberalisasi perdagangan juga dapat menimbulkan masalah jika komoditas yang diproduksi secara lokal tidak mampu bersaing dengan negara luas sehingga pasar domestik semakin dibanjiri oleh komoditas impor (Andayani (2010), Hak denny (2009), Triharini (2012)). Dalam kurun dua tahun terakhir para petani lokal subsektor hortikultura dalam kelompok sayur dan buah-buahan di Sumatera Utara terpukul menyusul membanjirnya komoditi-komoditi sayur dan buah-buahan impor di pusat pasar daerah. (Simanungkalit, 2013). Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) Sumatera Utara, pada periode November 2012, impor sayur-sayuran mengalami lonjakan hingga 125,51% dari US$ 2,067 juta dan volume 3.241 ton pada Oktober 2012 menjadi US$ 4,655 juta dan volume 6.711 ton. Selain sayuran, Sumut juga masih mengimpor buah-buahan. Tercatat, sepanjang Januari-November 2012, impornya mengalami kenaikan 23,50% menjadi US$ 50,285 juta dan volume 53.278 ton dari tahun 2011 yang hanya US$ 46,826 juta dan volume 50.816 ton (Medan bisnis, 2013). Ritonga, 2012 (dalam www.citizenjurnalism.com, 2012) menyatakan, kalah bersaingnya produk hortikultura lokal Sumatera Utara dengan komoditas impor cenderung diakibatkan oleh produksi yang belum stabil (tidak kontinyu/musiman), mutu yang kurang memenuhi ketentuan dan biaya produksi yang tinggi. Produksi yang stabil dan kualitas yang memenuhi standard dapat dicapai dengan adanya komoditi unggulan di suatu daerah. Syafruddin (2004) dalam Setiawan (2010) mengemukakan bahwa untuk membangun sektor pertanian daerah yang kuat, berproduksi tinggi, efisien, berdaya saing tinggi dan berkelanjutan perlu dilakukan penataan sistem pertanian dan penetapan komoditas unggulan disetiap wilayah pengembangan disertai kebijakan pemerintah daerah yang tepat. Merefleksi keberhasilan penerapan konsep One 43


Inovasi Vol. 11 No. 1, Maret 2014: 42-51

ekonomi yang diapresiasi oleh pasar. Keunggulan tersebut diperbandingkan dan diletakkan pada empat kuadran, setiap kuadran merupakan interaksi antara suatu wilayah dibandingkan terhadap daerah acuan pasar yang lebih luas yang lebih tinggi (Setiawan, 2010). Faktor-faktor yang mempengaruhi pengembangan suatu komoditi yang dijadikan unggulan dalam suatu daerah harus diperhatikan dalam menentukan prioritas komoditi yang akan diusahakan. Faktor-faktor tersebut adalah ekologi, pasar dan sosial ekonomi yang merefleksikan kondisi penguasaan teknologi, kemampuan sumberdaya manusia, infrastruktur dan kebiasaaan petani setempat. Dengan menggunakan Analytic Hierarchy process (AHP) berbagai faktor atau kriteria-kriteria tersebut diberikan pertimbangan tingkat prioritasnya terhadap suatu tujuan yang diinginkan. Langkah yang dilakukan adalah membangun hirarki dengan tingkatan 1). Tujuan yang merupakan penentuan prioritas komoditi unggulan; 2) kriteria-kriteria yang menjadi prioritas dalam penentuan komoditi unggulan; dan 3) sekumpulan komoditi unggulan alternatif yang telah ditetapkan dari beberapa analisa sebelumnya (Setiawan, 2010). Berdasarkan latar belakang tersebut, maka penelitian ini ditujukan untuk menentukan

komoditi hortikultura (sayur dan buah-buahan) unggulan alternatif dan yang menjadi unggulan prioritas di Sumatera Utara, untuk dapat dipakai para stakeholder dalam penyusunan strategi pengembangan lebih lanjut. METODE Penentuan komoditi sayur dan buahbuahan unggulan alternatif di Sumatera Utara yang menjadi tujuan pertama penelitian ini dilakukan dengan tahapan analisis terhadap data sekunder.Data sekunder dimaksud berupa data perkembangan luas panen, produksi, produktivitas dan harga jual/pasar komoditi sayur dan buah-buahan tingkat nasional dan tingkat Provinsi Sumatera Utara periode tahun 2007 s/d 2011. Sedangkan untuk menentukan komoditi unggulan prioritas, analisis dilakukan dengan menggunakan data primer berupa hasil pengisian kuisioner dan hasil wawancara terhadap responden atau informan yang ditetapkan secara purposive sampling pada bulan Juni 2013, dengan pertimbangan bahwa responden atau informan merupakan pihak yang berperan penting dalam pengembangan pertanian di Provinsi Sumatera Utara. Matriks hubungan antara tujuan penelitian, metode analisis, data yang diperlukan, sumber data dan output yang dihasilkan dapat dilihat pada tabel 1.

Tabel 1. Matriks Hubungan antara Tujuan Penelitian, Metode Analisis, Data yang diperlukan, Sumber Data dan Output yang dihasilkan Tujuan Kajian Metode Data yang Sumber data Out put Analisis diperlukan Luas panen, Buku lima tahun Komoditi sayur Menentukan komoditi LQ, Shift Produksi, statistik sayur dan buah-buahan Share dan dan buahproduktivitas, pertanian Sumut buahan unggulan unggulan alternatif tipologi dan harga jual 2007 – 2011, klassen alternatif daerah komoditi sayur Statistik dan buah- pertanian buahan di Sumut Indonesia 2012, dan Indonesia. Hasil Survey Pasar AHP Persepsi Kuisionerdan Komoditi sayur Menentukan komoditi wawancara dan buahsayur dan buah-buahan buahan unggulan prioritas unggulan prioritas daerah Quotient (LQ). Metode LQ menggunakan konsentrasi relatif atau derajat spesialisasi kegiatan ekonomi melalui pendekatan perbandingan dan umumnya untuk mendapatkan informasi penetapan sektor atau komoditas unggulan sebagai leading sector

HASIL DAN PEMBAHASAN Pendekatan yang digunakan untuk menginisiasi komoditi pertanian kelompok sayur dan buah-buahan yang merupakan komoditi basis (memiliki konsentrasi pengusahaan relatif di suatu wilayah) di Sumatera Utara adalah metode Location 44


Penentuan Komoditi Sayur dan Buah-Buahan Unggulan di Sumatera Utara (Porman Juanda Marpomari Mahulae dan Nobrya Husni)

(Hendayana, (2003), Setiawan (2010) dan wulandari (2010)). Dalam penginterpretasiannya, nilai LQ yang diperoleh akan berada dalam kisaran lebih kecil atau sama dengan satu sampai lebih besar dari angka 1, atau 1 ≥ 1 LQ > 1. Besaran nilai LQ menunjukkan besaran derajat konsentrasi dari komoditi itu diwilayah yang bersangkutan relatif terhadap wilayah referensi. Artinya semakin besar nilai LQ suatu komoditi tertentu di suatu daerah dari angka 1, semakin besar pula konsentrasi pengusahaan komoditi tersebut di daerah itu. Rumus yang digunakan dalam penentuan nilai koefisien LQ adalah :

penginterpretasian akan besar. Seperti contoh pada komoditi markisa dalam kelompok buahbuahan. Bila analisa LQ ini dilakukan dengan hanya menggunakan data luas panen, maka interpretasinya akan sangat mendominasi disebabkan nilai derajat konsentrasi dari komoditi tersebut pada kriteria luas panen relatif besar dibandingkan wilayah referensi, padahal sebenarnya hal tersebut tidak terjadi pada tingkat konsentrasi produksi dan produktivitasnya. Khusus untuk komoditi markisa yang merupakan salah satu komoditi kebanggaan Sumatera Utara karena merupakan salah satu wilayah sentra produksi markisa di Indonesia harus menerima kenyataan bahwa ternyata pada periode tahun 2007 s.d 2011 produktivitasnya masih jauh dibawah rata-rata produktivitas nasional. Hal ini juga diperkuat oleh pernyataan salah satu pejabat dari Dinas Pertanian Kabupaten karo yang menyatakan bahwa “markisa adalah masa lalu bagi petani hortikultura di Kabupaten Karo”. Disebabkan penyakit tanaman pada markisa yang tak kunjung dapat diatasi di Kabupaten tersebut, pembudidayaan komoditi markisa telah lama ditinggalkan oleh para petani. Terbukti beberapa industri pengolahan komoditi markisa di Sumatera utara terkendala dalam berproduksi diakibatkan ketersediaan bahan baku yang tidak mendukung lagi di Sumatera utara. Setelah ditentukannya komoditi-komoditi sayur dan buah-buahan unggulan alternative dengan mengukur tingkat konsentrasi pengusahaan komoditi-komoditi tersebut di Sumatera Utara yang dibandingkan dengan wilayah Indonesia sebagai acuan. Maka langkah selanjutnya adalah menentukan komoditikomoditi sayur dan buah-buahan unggulan alternatif di Sumatera Utara yang diukur dari tingkat pertumbuhannya yang dibandingkan wilayah Indonesia sebagai acuan. Metode yang digunakan dalam analisa ini adalah metoda analisa Shift dan Share. Analisa Shift dan Share digunakan untuk menganalisis perubahan pertumbuhan komoditi sayur dan buah-buahan di Sumatera Utara relatif terhadap pertumbuhan wilayah administrasi yang lebih tinggi (Indonesia) sebagai referensi atau acuan. Formula yang digunakan untuk analisis shift share ini adalah sebagai berikut :

Dimana : Xij

=

Xi.

=

X.j

=

X..

=

luas panen,produksi,produktivitas komoditi j pada tingkat wilayah Total luas panen,produksi,produktivitas subsektor komoditi j pada tingkat wilayah luas panen,produksi,produktivitas komoditi j di wilayah atasan/acuan Total luas panen,produksi, produktivitas subsektor komoditi yang diuji wilayah atasan/acuan

Dalam perhitungan nilai LQ gabungan berdasarkan data perkembangan luas panen, produksi dan produktivitas tiap komoditi pertanian sayuran dan buah-buahan Provinsi Sumatera Utara periode tahun 2007 s.d 2011, yang merujuk terhadap kondisi luas panen, produksi dan produktivitas komoditi-komoditi tersebut di Indonesia sebagai referensi, untuk kelompok sayuran Provinsi Sumatera Utara merupakan salah satu wilayah basis pengusahaan komoditi kentang, kol/kubis, petsay/sawi, wortel, cabe besar, tomat, terung, buncis dan bunga kol. Sedangkan untuk kelompok buah-buahan Provinsi Sumatera Utara merupakan salah satu wilayah basis pengusahaan komoditi salak, jeruk siam, durian, jambu air, belimbing, nenas dan duku / langsat yang diindikasikan dengan nilai LQ masingmasing komoditi lebih besar dari 1. Dilakukannya analisa LQ ini dengan menggunakan data perkembangan luas panen, produksi dan produktivitas sekaligus adalah untuk mereduksi tingkat kesalahan dalam interpretasi keunggulan (basis/non basis) tiap komoditi yang dianalisa. Bila analisa LQ ini dilakukan dengan menggunakan satu atau dua kriteria maka resiko kesalahan dalam

• Dampak riil pertumbuhan komoditi daerah D ij = N ij + M ij + C ij atau E ij* - E ij • Pengaruh pertumbuhan komoditi di daerah referensi N ij = E ij x r n 45


Inovasi Vol. 11 No. 1, Maret 2014: 42-51

buncis, kangkung, bayam cabe rawit, bunga kol dan labu siam. Pada pengaruh national growth effect (Nij), semua komoditi yang termasuk dalam kelompok sayuran bernilai positif, artinya pertumbuhan komoditi yang sama pada tingkat nasional memberikan efek positif pada perkembangan komoditi tersebut di Sumatera utara. Pada pengaruh Nij ini, pertumbuhan komoditi sayuran pada tingkat nasional memberikan efek pertumbuhan pada luasan panen sayuran di Sumatera Utara seluas 3,453.33 ha, produksi sebesar 124,833.83 ton dan produktivitas sebesar 47.41 ton/ha. Untuk efek bauran industri (Mij), komoditi yang bernilai positif (kriteria (luas panen, propduksi dan produktivitas) yang bernilai positif ≥ 2 kriteria) adalah komoditi wortel, cabe besar, tomat, terong, buncis dan labu siam. Hal ini menjelaskan bahwa pertumbuhan komoditikomoditi tersebut lebih cepat dari komoditi yang sama di tingkat Nasional. Sedangkan pada pengaruh Differential Shift (Cij) komoditikomoditi yang bernilai posistif adalah komoditi kentang, kol/kubis,kacang panjang, cabe besar, terung, buncis, kangkung, bayam cabe rawit dan labu siam. Untuk komoditi kelompok buah-buahan, hasil analisa shift dan share menunjukkan bahwa pada kriteria luasan panen komoditi buah-buahan Sumatera Utara mengalami penurunan. Sedangkan untuk kriteria produksi dan produktivitas cenderung positif. Pada periode tahun 2007 s.d 2011 luas panen komoditi buah-buahan Sumatera Utara berkurang sekitar 11,153.45 ha, produksi bertambah sekitar 13,667.49 ton dan produktivitas berkembang sekitar 337.61 ton/ha. Komoditi-komoditi yang berkontribusi positif pada pertumbuhan komoditi buahbuahan di Sumatera utara adalah komoditi alpukat, belimbing, duku/langsat, jambu biji, jeruk besar, manggis, nenas, pepaya, pisang dan salak. Pada pengaruh national growth effect (Nij), semua komoditi dalam kelompok buah-buahan (kecuali komoditi sawo) di Sumatera utara bernilai positif. Hal ini berarti pertumbuhan komoditi-komoditi yang sama pada tingkat nasional berdampak positif kepada komoditikomodit tersebut. Pengaruh positif pertumbuhan komoditi-komoditi tersebut pada tingkat nasional menyebabkan pertumbuhan luas panen kelompok buah-buahan di Sumatera Utara seluas 5,121.06 Ha, Produksi sebesar 214,147.86 ton dan produktivitas sebesar 92.33 ton/ha.

• Pergeseran proporsional (proportional shift) atau pengaruh bauran industri M ij = E ij (r in – r n) • Pengaruh keunggulan kompetitif C ij = E ij (r ij – r in) Keterangan : E ij = kesempatan kerja di sektor i daerah j E in = kesempatan kerja di sektor i nasional r ij = laju pertumbuhan di sektor i daerah j r in = laju pertumbuhan di sektor i nasional rn = laju pertumbuhan komoditi nasional Analisis yang penentuan komoditi yang memiliki keunggulan pada analisis shift share ini adalah komponen Nij, Mij dan Cij. Dalam interpretasinya, bila Nij bernilai posistif maka maka dapat dinyatakan bahwa pertumbuhan komoditi yang sama pada tingkat nasional berdampak positif terhadap pertumbuhan komoditi yang sama di Sumatera utara. Pada pengaruh bauran industry (Mij) bila bernilai positif, maka pengusahaan pada komoditi tersebut pertumbuhannya relatif lebih cepat daripada tingkat nasional. Demikian juga pada differential shift (Cij), bila nilai Cij pada suatu komoditi bernilai positif maka dapat direpresentasikan bahwa daya saing atau tingkat kekompetitipan komoditi tersebut di Sumatera Utara cenderung lebih tinggi dari tingkat Nasional. Interpretasi Mij dan Cij juga dapat membedakan apakah faktor eksternal atau internal yang paling dominan berpengaruh pada pertumbuhan komoditi tersebut di Sumatera Utara. Dalam penentuan komoditi mana yang paling kompetitif maka faktor yang paling diutamakan adalah faktor pengaruh Cij, disebabkan tingginya daya saing dari komoditikomoditi yang bernilai positif pada pengaruh ini diakibatkan oleh kinerja pelaku-pelaku lokal di Sumatera utara. Berdasarkan hasil perhitungan metoda shift share dalam penentuan komoditi sayur dan buah-buahan alternative di Sumatera Utara, untuk komoditi sayuran, pertumbuhan kelompok komoditi ini memperlihatkan trend positif yang dilihat dari kumulatif pertumbuhan bersih setiap komoditi. Sepanjang periode 2007 s.d 2011 untuk luas panen komoditi sayuran di Sumatera Utara berkembang sebesar 9,452.21 ha, produksi sebesar 181,334.87 ton dan produktivitas sebesar 43.06 ton/ha. Komoditi yang memberikan kontribusi positif dalam pertumbuhan kelompok komoditi ini adalah komoditi bawang merah, kentang, kol/kubis, kacang panjang, cabe besar, tomat, terong 46


Penentuan Komoditi Sayur dan Buah-Buahan Unggulan di Sumatera Utara (Porman Juanda Marpomari Mahulae dan Nobrya Husni)

Pada pengaruh bauran industri (Mij), komoditi-komoditi yang bernilai positif adalah alpukat, belimbing, durian, jambu biji, jeruk besar, mangga, manggis, markisa, nangka, pepaya, rambutan, salak, sawo dan sukun. Artinya pertumbuhan komoditi-komoditi tersebut ralatif lebih cepat dari pertumbuhan komoditi yang sama pada tingkat nasional. Sedangkan pada pengaruh local share (Cij), komoditi-komoditi yang bernilai positif adalah komoditi duku/langsat, jambu biji, jambu besar, nenas dan pisang. Sebagai upaya mengukur keunggulan komoditi-komoditi sayuran dan buah-buahan dari sisi permintaan, dapat dilakukan dengan memperhatikan aspek sumberdaya lahan untuk berproduksi (produktivitas) dikaitkan dengan nilai ekonomi yang diapresiasi konsumen terhadap komoditi tersebut (harga). Karena pengusahaan komoditi maupun usaha tani pada umumnya haruslah berorientasi pasar (Setiawan, 2010). Kedua aspek tersebut dapat dianalisis secara simultan dengan metode tipologi klassen.

Indikator utama yang digunakan dalam tipologi klassen dalam kajian ini adalah tingkat produktivitas dan nilai ekonomi komoditi yang dianalisa di pasar Provinsi Sumatera Utara maupun di Indonesia. Setiap komoditi tersebut selanjutnya dianalisis kedalam matriks yang terbagi menjadi empat kuadran. Kuadran I (Komoditi Maju dan Cepat Berkembang) diisi dengan komoditi-komoditi yang memiliki tingkat produktivitas dan nilai ekonomi di Sumatera utara lebih besar atau sama dengan rata-rata Indonesia. Kuadran II (Komoditi Berkembang Cepat) merupakan komoditi dengan tingkat produktivitas lebih tinggi atau sama dengan rata-rata Indonesia namun nilai ekonominya lebih rendah. Kuadran III (Komoditi Tumbuh Lambat Tertekan) merupakan komoditi-komoditi yang memiliki tingkat produktivitas lebih rendah tetapi nilai ekonominya lebih tinggi dari Indonesia. Kuadran IV (Komoditi Terbelakang) merupakan komoditi-komoditi dengan tingkat produktivitas dan nilai ekonomi yang lebih rendah dari rata-

Tabel 2.Posisi Masing-Masing Komoditi Sayur dan Buah-Buahan di Sumatera Utara Berdasarkan Tipologi Klassen Nilai ekonomi P sumut > P indo

P sumut < P indo

KOMODITI MAJU DAN TUMBUH CEPAT

KOMODITI BERKEMBANG CEPAT

Produktivitas

bawang putih, papaya

W sumut > W indo

MAJU DAN TUMBUH LAMBAT (TERTEKAN) W sumut < W indo

-

kentang, kol/kubis, petsay/sawi, wortel, kacang panjang, cabe besar, tomat, terung, buncis, ketimun, kangkung, bayam, cabe rawit, bunga kol,alpukat, belimbing, duku/langsat, durian, jambu air, jeruk besar, jeruk siam, manga, manggis, nangka / cempedak, nenas, pepaya, pisang, rambutan, salak, sawo, sirsak sukun KOMODITI TERBELAKANG

bawang merah, bawang daun, kacang merah, labu siam, jambu biji, markisa

Keterangan : P sumut

: Nilai ekonomi komoditi j di Provinsi Sumut

P Indo

: Nilai ekonomi komoditi j di Indonesia

W Sumut

: Produktivitas komoditi j di Provinsi Sumut

W Indo

: Produktivitas komoditi j di indonesia 47


Inovasi Vol. 11 No. 1, Maret 2014: 42-51

rata di Indonesia. Tabel 2 menyajikan posisi masing-masing komoditi berdasarkan tipologi klassen. Berdasarkan hasil analisa tipologi klassen dengan memperhatikan aspek sumberdaya lahan untuk berproduksi (produktivitas) dikaitkan dengan nilai ekonomi yang diapresiasi konsumen terhadap komoditi tersebut (harga), komoditi yang berada pada kuadran I (Komoditi Maju dan Tumbuh Cepat) adalah pepaya dan bawang putih. Setiawan (2010) menyatakan bahwa komoditi-komoditi yang berada pada kuadran ini merupakan komoditi-komoditi yang mampu memberikan kontribusi yang pesat terhadap total penerimaan dengan tingkat efisiensi usaha yang tinggi. Artinya pengembangan usaha pada kedua komoditi ini tergolong sangat prospek di Sumatera utara dibuktikan dengan nilai produktivitasnya yang yang lebih tinggi dari rata-rata Indonesia, dan para pengusaha tidak perlu memasarkan kedua komoditi tersebut keluar daerah Sumatera Utara dikarenakan apresiasi konsumen di wilayah ini sudah lebih tinggi dari rata-rata wilayah lain di Indonesia. Komoditi-komoditi yang terdapat pada kuadran II (komoditi berkembang cepat) adalah bayam, bunga kol, buncis, cabe besar, kacang panjang, kentang, ketimun, kol/kubis, petsay/sawi, terung, tomat, wortel, belimbing, duku/langsat, durian, jambu biji, jeruk siam, jeruk besar, manggis, nenas, pisang, salak, sawo, kangkung, rambutan, cabe rawit, alpukat, nangka / cempedak, sirsak, mangga dan sukun. Komoditi-komoditi yang berada pada kuadran ini memiliki keunggulan dari sisi penawaran ditunjukkan dari nilai produktivitasnya yang lebih besar dari rata-rata Indonesia. Namun konsumen di wilayah Sumatera Utara kurang memberikan apresiasi terhadap komoditi-komoditi tersebut, ditunjukkan oleh harga konsumen Sumatera Utara yang lebih kecil dari rata-rata harga konsumen di Indonesia. Hal ini dimungkinkan terjadi akibat lebih besarnya ketersediaan komoditi-komoditi tersebut di pasaran dari permintaan pasar (demand > Supply) di Sumatera Utara. Besarnya nilai produksi dari komoditi-komoditi tersebut di Sumatera Utara menggambarkan bahwa pengusahaan komoditi-komoditi tersebut bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan lokal, namun untuk dipasarkan diluar wilayah Sumatera Utara. Terbukti beberapa komoditi dalam kuadran ini termasuk komoditi-komoditi ekspor dari Sumatera Utara. Pada analisa ini tidak ada komoditi yang memiliki nilai produktivitas lebih kecil yang diikuti apresiasi konsumen yang lebih besar dari

rata-rata Indonesia. Sehingga tidak ada komoditi yang termasuk komoditi yang tumbuh lambat tertekan, sedangkan komoditi yang termasuk komoditi terbelakang (kuadran IV) terdapat komoditi-komoditi jambu air, markisa, bawang daun, kacang merah, labu siam dan bawang merah. Komoditi-komoditi ini termasuk terbelakang diakibatkan nilai produktivitas dan apresiasi konsumennya di Sumatera Utara lebih kecil dari rata-rata Indonesia. Dalam hal penentuan komoditi yang menjadi unggulan, komoditi-komoditi dalam kuadran ini tidak termasuk kedalam komoditi unggulan yang menjadi alternatif. Dengan selesainya analisa pemilihan komoditi unggulan alternatif dengan metode Location Quotient (LQ), shift share dan tipologi klassen, maka dapat diurutkan beberapa komoditi yang dapat dijadikan alternatif komoditi unggulan di Sumatera Utara. Metoda dalam pengurutan komoditi unggulan alternatif kelompok sayuran dan buah-buahan ini menggunakan metoda skoring. Masing-masing interpretasi dalam metode analisis LQ, Shift Share dan tiplogi klassen diberi nilai skor. Untuk interpretasi basis dan non basis dalam LQ diberi skor masing-masing 1 dan 0. Untuk nilai positif pada Nij dan Dij diberi skor 0.5, sedangkan negatif diberi nilai 0. Untuk kuadran I sampai dengan IV pada analisis tipologi klassen, secara berurutan diberi skor 1 untuk kuadran 1, 0.75 untuk kuadran II, 0.5 untuk kuadran III dan 0.25 untuk kuadran IV. Bila ada komoditi yang memiliki skor yang sama, maka berlaku urutan pengutamaan secara berurut yang mengutamakan hasil analisa tipologi klassen diikuti hasil analisa LQ lalu shift share. Dengan pertimbangan hasil analisa tipologi klassen telah menganalisa keunggulan secara komparatif (ketersediaan) dan kompetitif (permintaan), sedangkan LQ dan shift share hanya mengukur keunggulan berdasarkan keunggulan komparatif (ketersediaan). Berdasarkan hasil pengurutan dengan metode skoring, maka secara berurut dipilih komoditi-komoditi unggulan yang menjadi alternatif di Sumatera Utara. Untuk komoditi sayuran terpilih komoditi cabe besar, terung, buncis, kentang, kol/kubis, wortel, tomat, cabe rawit, bunga kol dan petsay/sawi. Sedangkan untuk kelompok buah-buahan terpilih komoditi duku/langsat, nenas, belimbing, durian, salak, jeruk siam, jambu air dan jeruk besar. Dalam penentuan komoditi unggulan prioritas, peneliti tidak menentukan sendiri komoditi apa yang menjadi prioritas. Penentuan komoditi sayur dan buah-buahan unggulan prioritas dilakukan dengan menggunakan metode 48


Penentuan Komoditi Sayur dan Buah-Buahan Unggulan di Sumatera Utara (Porman Juanda Marpomari Mahulae dan Nobrya Husni)

Analytic Hierarchy process (AHP). Data yang dianalisis diperoleh dari penyebaran kuisioner terhadap responden terpilih. Para responden tersebut dipilih secara sengaja berdasarkan hubungan langsung mereka terhadap pengembangan pertanian (khususnya komoditi sayur dan buah-buahan) di Sumatera utara. Responden memberikan pertimbangan (judgements) dalam membandingkan setiap kriteria yang ada. Perbandingan berpasangan (pairwise comparation) diberikan skala absolut dari angka 1 hingga 9 yang menunjukkan berapa kali lebih besar satu kriteria lebih penting dari kriteria lainnya. Tujuan, kriteria dan alternatif komoditi terpilih disusun dalam suatu hirarki. Dalam analisa ini, yang menjadi tujuan adalah penentuan komoditi unggulan sayur dan buahbuahan prioritas di Sumatera Utara. Kriteria yang ditentukan adalah pasar, ekologi dan sosial ekonomi yang menjabarkan kebiasaan pelaku, penguasaan teknologi, ketersedian sarana dan prasarana serta modal. Sedangkan alternatif komoditi dipisah antara komoditi-komoditi yang termasuk kelompok sayur atau buah unggulan alternatif.

akan berkembang dengan baik bila ditunjang oleh kelancaran pemasaran baik untuk kepentingan domestik maupun internasional. Sama halnya seperti pernyataan para petani sayur mayur dan buah-buahan si Sumatera utara yang menyatakan bahwa mereka cenderung akan membudidayakan komoditi-komoditi dengan permintaan pasar yang tinggi, karena menurut mereka ekologi dan kondisi sosial ekonomi yang baik merupakan modal yang sudah mereka miliki. Dalam hal penentuan komoditi sayuran dan buah-buahan unggulan prioritas di Sumatera utara peneliti memberikan pilihan komoditikomoditi unggulan alternatif yang telah ditentukan sebelumnya, yang akan dipilih para informan untuk mengetahui komoditi apa yang paling prioritas untuk dikembangkan di Sumatera Utara. Pada kelompok sayuran komoditi-komoditi unggulan alternatif yang ditentukan adalah cabe besar, terung, buncis, kentang, kol/kubis, wortel, tomat, cabe rawit, bunga kol dan petsay/sawi. Sedangkan untuk kelompok buah-buahan komoditi yang menjadi unggulan alternatif adalah duku / langsat, nenas, belimbing, durian, salak, jeruk siam, jambu air dan jeruk besar. Untuk kelompok komoditi sayuran, secara berurut berdasarkan hasil perhitungan analisa AHP penentuan komoditi sayuran unggulan prioritas di Sumatera utara, cabe besar memiliki skor tertinggi dengan nilai 20.4% yang selanjutnya diikuti komoditi kentang (19.1%), kol/kubis (16.9%), wortel (11.6%), bunga kol (8.4%), tomat (8.1%), terong (4.8%), buncis (3.8%), petsay/sawi (3.6%) dan cabe rawit (3.4 %). Komoditi utama yang terpilih menjadi komoditi unggulan unggulan prioritas kelompok buah-buahan berdasarkan analisis AHP secara berurut terpilih komoditi nenas sebagai menjadi utama dengan skor 17.6%, diikuti komoditi durian (17.3%), jeruk siam (17.1%), salak (15.6%), jeruk besar (14.5%), belimbing (7.3%), duku/langsat (6.6%) dan jambu air (3.9%). Terpilihnya cabe besar sebagai komoditi unggulan sayuran di Sumatera Utara disebabkan konsistennya permintaan pasar akan komoditi ini. Para petani mengakui, bahwa mereka tetap menyisihkan sedikit lahan pertaniannya untuk membudidayakan komoditi cabe besar ini, walaupun sedang berkonsentrasi untuk membudidayakan komoditi lainnya. Terbukti dari 32 Kabupaten kota yang memiliki data perkembangan pertanian, semuanya merupakan daerah produsen komoditi cabe besar. Untuk komoditi kentang, kol/kubis, wortel dan bunga kol yang menempati urutan 2,3,4 dan

Gambar 1.Skor Kriteria Prioritas dalam Penentuan Komoditi Sayur dan Buah-Buahan Unggulan di Sumatera Utara. Gambar 1 menjelaskan bahwa dalam penentuan komoditi unggulan prioritas di Sumatera Utara para responden lebih memprioritaskan kriteria pasar yang diindikasikan dengan peluang tingginya permintaan pasar dari kriteria-kriteria lainnya. Kriteria pasar memiliki skor 53.3%, diikuti kriteri ekologi dengan skor 31.1%, kriteria sosial ekonomi memiliki skor 11.6%. Pasar sangat berperan penting dalam pengembangan pertanian sayuran dan buahbuahan di Sumatera Utara. Setiawan (2010) menyatakan bahwa hal seperti ini dimungkinkan karena pengusahaan suatu komoditi pertanian 49


Inovasi Vol. 11 No. 1, Maret 2014: 42-51

5 dalam penentuan komoditi sayuran unggulan prioritas di Sumatera utara juga juga menggambarkan tingginya apreasiasi pasar terhadap ketiga komoditi ini. Para informan mengakui memilih komoditi-komoditi sebagai komoditi sayuran unggulan prioritas setelah cabe besar karena komoditi-komoditi ini merupakan komoditi-komoditi sayuran andalan Sumatera Utara dari pintu ekspor. Para petani banyak yang mengakui bahwa mereka membudidayakan komoditi ini untuk memenuhi permintaan para kolektor ekspor sekaligus untuk memenuhi permintaan pasar domestik daerah di bagian wilayah lain Indonesia. Pada kelompok komoditi buah-buahan, hasil penentuan komoditi buah-buahan berdasarkan pendapat para informan melalui kuisioner pilihan berpasangan ternyata berbeda dengan hasil penentuan komoditi yang menjadi unggulan di Sumatera Utara yang dikeluarkan oleh Dirjen Hortikultura pada tahun 2008 yang menyatakan bahwa komoditi unggulan Sumatera Utara dalam kelompok buah-buahan adalah komoditi jeruk atau yang dikenal dengan jeruk medan di pasaran. Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan dengan metode AHP berdasarkan pendapat para informan yang merupakan para pemangku kepentingan dalam pengembangan pertanian sayur dan buahan di Sumatera utara komoditi yang menjadi unggulan prioritas di Sumatera Utara adalah komoditi nenas diurutan pertama dan diikuti komoditi durian diurutan kedua. Sedangkan komoditi jeruk siam menempati posisi ketiga. Para informan berpendapat bahwa sekarang komoditi nenas dan durian Sumatera utara lebih mendapat apresiasi yang baik daripada jeruk siam. Mereka menyatakan bahwa untuk komoditi nenas, apresiasi yang tinggi diberikan pasar terhadap komoditi ini akibat konsistennya ketersedian komoditi ini di pasaran. Sedangkan untuk komoditi durian, terpilihnya komoditi ini sebagai komoditi kedua komoditi unggulan prioritas di sumatera utara diakibatkan populernya komoditi ini dipasaran dan banyaknya industri olahan makanan yang menjadikan komoditi ini sebagai bahan baku di Sumatera utara. Tidak konsistennya ketersediaan jeruk siam (jeruk Medan) di pasaran berdasarkan hasil wawancara dengan para petani komoditi ini di Kabupaten karo adalah diakibatkan belum selesainya permasalahan serangan OPT lalat buah yang menyerang tanaman jeruk di daerah tersebut. Berdasarkan data perkembangan produksi komoditi ini di Kabupaten karo, Produksi komoditi jeruk siam di Kabupaten ini pernah mencapai puncak produksi pada tahun

2007 dengan jumlah 927,862.00 ton yang kemudian turun menjadi 773,773.00 ton pada tahun 2008 dan 671,100.00 ton pada tahun 2009. Produksi komoditi ini pernah naik kembali menjadi 744,466.80 ton pada tahun 2010 dan kembali terpuruk 502,493.20 ton pada tahun 2011. Para petani di kabupaten Karo pada saat ini mulai merasa pesimis dalam membudidayakan komoditi jeruk siam ini pada lahan mereka dan kondisi ini menurut mereka dapat menjadikan nasib komoditi jeruk siam sama seperti komoditi markisa yang telah lama mereka tinggalkan. KESIMPULAN Komoditi sayur yang menjadi komoditi unggulan alternatif di Sumatera Utara adalah cabe besar, terung, buncis, kentang, kol/kubis, wortel, tomat, cabe rawit, bunga kol, petsay/sawi. Komoditi buah-buahan yang menjadi komoditi unggulan alternatif di Sumatera Utara adalah duku / langsat, nenas, belimbing, durian, salak, jeruk siam, jambu air, jeruk besar. Sedangkan komoditi unggulan yang menjadi prioritas untuk dikembangkan di Sumatera Utara yang didasarkan pertimbangan pasar, ekologi dan sosial ekonomi, secara berurutan adalah cabe besar, kentang, kol/kubis, wortel, bunga kol, tomat, terong, buncis, cabe rawit dan petsay/sawi untuk komoditi sayuran. Sedangkan untuk komoditi buah-buahan secara berurutan adalah nenas, durian, jeruk siam, salak, jeruk besar, belimbing, duku / langsat dan jambu air. REKOMENDASI 1. Setelah ditentukannya komoditi sayuran dan buah-buahan yang menjadi unggulan alternatif dan unggulan prioritas di Sumatera Utara, maka langkah selanjutnya yang dapat dilakukan adalah menentukan kawasan atau wilayah sentra pengembangan komoditi pertanian unggulan Sumatera Utara dengan pola penggunaan lahan yang dioptimasi secara spasial. 2. Para stakeholder terkait di lingkungan Sumatera Utara dapat menyusun langkah strategi pengembangan komoditi-komoditi tersebut dengan tahapan : 1) mengidentifikasi potensi dan kendala yang dihadapi jika akan mengembangkan produk tersebut hingga mampu meningkatkan kualitas dan bersaing di pasaran; 2) melaksanakan kegiatan pengembangan (pengolahan dan pemasaran) untuk memperoleh nilai tambah dan meningkatkan pendapatan; dan 3) melaksanakan evaluasi 50


Penentuan Komoditi Sayur dan Buah-Buahan Unggulan di Sumatera Utara (Porman Juanda Marpomari Mahulae dan Nobrya Husni)

untuk meningkatkan kekuatan produk dan kinerja usaha.

Kabupaten Grobokan. Diponegoro Semarang

DAFTAR PUSTAKA Andayani, A. 2010. Analisis Pengembangan Komoditas Unggulan Utama Holtikultura Di Kawasan Agropolitan Ciwidey Kabupaten Bandung. Tesis master. Institut Pertanian Bogor. Hak Denny. 2009. Arahan Pengembangan Usahatani Tanaman Pangan Berbasis Agribisnis Di Kecamatan Toroh, Kabupaten Grobogan. Tugas Akhir. Universitas Diponegoro Semarang. Haraguchi Nobuya. 2008. The One-Village-One-Product (OVOP) movement: What it is, how it has been replicated, and recommendations for a UNIDO OVOPtype project. Research and statistics branch Working paper. United Nations Industrial Development Organization. Vienna. Hendayana, R. 2003. Aplikasi Metode Location Quotient (LQ) Dalam Penentuan Komoditas Unggulan Nasional. Jurnal Informatika Pertanian Vol 12, hal 121. http://www.bisnis-sumatra.com/index.php/2013/01 /imporbuah melalui pelabuhan belawan menyusut/ (diakses pada tanggal 6 Maret 2013). http://www.citizenjurnalism.com/hot-topics/sayurimpor-serbu-pasar-lokal, (diakses pada tanggal 6 Maret 2013). Pasaribu, S. 2011. Pengembangan agro-industri perdesaan dengan pendekatan One village one product (OVOP). Forum Penelitian Agro Ekonomi, Volume 29 No. 1, Juli 2011 : 1 – 11. Setiawan, I. 2010. Arahan pengembangan sektor pertanian kabupaten Sumbawa berbasis komoditas unggulan daerah. Tesis master. Institut Pertanian Bogor. Simanungkalit, Amos. 2013. Manuver Politik Petani pada Pilgubsu 2013. www.hariansumutpos.com. Diakses pada tanggal 6 Maret 2013. Syarifuddin, 2004. Penataan Sistem Pertanian Dan Penetapan Komodias Ungulan Berdasakan Zona Agroekologi di Sulawesi Tengah. Dalam: Setiawan, iwan. 2010. Arahan pengembangan sektor pertanian kabupaten Sumbawa berbasis komoditas unggulan daerah. Tesis Master, Institut Pertanian Bogor Triharini Meirina. 2012. Pendekatan One Village One Product (OVOP) untuk Mengembangkan Potensi Kerajinan Daerah Studi Kasus: Kerajinan Gerabah di Kecamatan Plered, Kabupaten Purwakarta. Jurnal Visual. Art & Design, Vol. 6, No. 1, 2012, 28-41. Wulandari, 2010. Penentuan agribisnis unggulan komoditi pertanian berdasarkan nilai produksi di

51

Tesis

master.

Universitas


Inovasi Vol. 11 No. 1, Maret 2014: 52-59

Hasil Penelitian HUBUNGAN ANTARA FAKTORFAKTOR-FAKTOR DEMOGRAFI DENGAN KETERSEDIAAN HUTAN KOTA DI KOTA MEDAN (THE RELATIONSHIP RELATIONSHIP BETWEEN DEMOGRAPHIC FACTORS WITH THE EXISTENCE OF URBAN FOREST IN MEDAN CITY, NORTH SUMATERA) Johansen Silalahi, Rospita Situmorang Balai Penelitian Kehutanan Aek Nauli Kampus Kehutanan Aek Nauli; Km.10,5 Sibaganding, Parapat E-mail: johansen_silalahi@yahoo.com dan pita_80s@yahoo.com

Diterima: 15 Januari 2014; Direvisi: 6 Pebruari 2014; Disetujui: 5 Maret 2014

ABSTRAK Pertambahan penduduk menyebabkan meningkatnya kebutuhan penduduk berupa fasilitas seperti jalan, kendaraan bermotor dan gedung-gedung yang dapat menggeser keberadaan hutan yang ada di wilayah perkotaan. Kepadatan penduduk dan tingkat pencemaran merupakan faktorfaktor yang perlu dipertimbangkan dalam penyediaan hutan kota. Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan hubungan ketersediaan hutan kota dengan jumlah penduduk dan tingkat pencemaran di Kota Medan serta menganalisis kebutuhan hutan kota berdasarkan jumlah penduduk dan tingkat pencemaran di Kota Medan. Penelitian dilakukan dengan pendekatan deskriptif deduktif dengan analisis secara kuantitatif. Hubungan faktor-faktor demografi dengan ketersediaan hutan kota dianalisis dengan analisis korelasi Pearson product moment. Sementara kebutuhan hutan kota dianalisis berdasarkan standar kebutuhan hutan kota minimal berdasarkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 05/PRT/M/2008 dan perkiraan kemampuan penyerapan gas pencemar (CO2) oleh sejumlah pohon-pohonan. Kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian ini adalah Pemerintah Kota Medan belum mempertimbangkan faktor demografi berupa jumah penduduk, sebaran penduduk dan tingkat pencemaran dalam penentuan kebutuhan hutan kota. Persentase ketersediaan hutan kota di Kota Medan mencapai 0,41 persen (%), sehingga tidak memenuhi target 10 % dari luas kota seperti yang diamanahkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2002 tentang Hutan Kota. Luas hutan kota yang dibutuhkan jika dikaitkan dengan jumlah penduduk Kota Medan tahun 2011 adalah 846,87 Ha. Perkiraan kebutuhan hutan kota jika dikaitkan dengan tingkat pencemaran tahun 2011 dengan jenis pohon yang ditanam terdiri dari beringin (Ficus benjamina), trembesi (Antidesma bunius), daun kupukupu (Bauimia purperea), mahoni (Swietenia macrophylla), pulai (Alstonia scholaris), tanjung (Mimosops elengi) adalah seluas 1.008,2 Ha. Kata Kunci: Hutan kota, faktor-faktor demografi, penduduk, pencemaran

ABSTRACT Population growth led to increasing needs of the population in the form of facilities such as roads, vehicles and buildings that can shift the existence of forests in urban areas. Overcrowding and pollution levels are all factors that need to be considered in the provision of urban forest. This study aims to describe the relationship of the existence of urban forest with a population and pollution levels in the city of Medan and to analyze the needs of urban forest based on population and the level of pollution in Medan city. The study was conducted with descriptive deductive approach to quantitative analysis. Relationship with demographic factors of urban forest availability analyzed using Pearson's product moment correlation. While the needs of urban forest based on demographic factors were analyzed using the minimal standart of urban fores in Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 05/PRT/M/2008 and estimates the carbondyoxide absorbtion ability of many trees. The conclusion that can be drawn from this study is Medan City Government has not considered the sheer number of demographic factors such as population, population distribution and the level of contamination in the determination of the needs of the

52


Hubungan Antara Faktor-Faktor Demografi Dengan Ketersediaan Hutan Kota di Kota Medan (Johansen Silalahi dan Rospita Situmorang) urban forest. Percentage of availability of urban forest in the city of Medan reached 0.41 percent ( % ), so it does not meet the target of 10 % of the area of the city as mandated in the Government Regulation No. 63 Year 2002 on State Forest. Extensive urban forest is needed if it is associated with a population of Medan in 2011 is 846.87 Ha. Estimation of urban forest if it is associated with the level of pollution in 2011 with the type of trees planted consists of beringin (Ficus benjamina), trembesi (Antidesma bunius), daun kupu-kupu (Bauimia purperea), mahoni (Swietenia macrophylla), Pulai (Alstonia scholaris), tanjung (Mimosops elengi) is an area of 1008.2 hectares. Keywords: Forest City , the factors of demographics , population , pollution

menggeser lahan hutan dan kawasan terbuka lainnya. Berbagai implikasi yang diakibatkan adalah perubahan ekosistem, udara mengalami perubahan kelembaban dan temperatur udara mengalami perubahan, mobilitas manusia yang meningkat, industrialisasi dan diskonkurensi masalah kependudukan terhadap daya dukung yang makin melebar, dan sampai pada efek estetika yang semakin suram menurun. Pencemaran udara di kota-kota besar seperti Jakarta menurut Zoer’aini (2004) mengalami peningkatan dan disebut sebagai kota penghasil karbondioksida terbanyak, yaitu 378.200,4 ton/tahun dan debu 7.382,0 ton/tahun. Fungsi hutan kota adalah untuk memperbaiki dan menjaga iklim mikro dan nilai estetika, meresapkan air, menciptakan keseimbangan dan keserasian lingkungan fisik kota dan mendukung pelestarian keanekaragaman hayati Indonesia. Syarat-syarat dalam penentuan lokasi dan luas hutan kota harus berdasarkan pada luas wilayah yaitu minimal 10 % dari luas kota, jumlah penduduk, tingkat pencemaran, dan kondisi biofisik kota. Berdasarkan syarat-syarat tersebut, kota diharapkan mampu meningkatkan kualitas lingkungan di kota melalui pembangunan hutan kota yang didasarkan pada pertimbangan faktor-faktor tersebut. Kota Medan adalah ibu kota Propinsi Sumatera Utara yang menjadi salah satu pusat administrasi, pusat ekonomi dan pusat layanan publik yang mampu menarik penduduk dari luar untuk tinggal dan bekembang dengan pesat. Pertumbuhan penduduk Kota Medan setiap tahunnya mengalami trend kenaikan. Pada tahun 2011, penduduk Kota Medan mencapai 2.117.224 jiwa. Dibandingkan dengan hasil sensus penduduk tahun 2010, terjadi pertambahan penduduk sebesar 19.614 jiwa (0,94 %). Dengan luas wilayah 265,10 km2, kepadatan penduduk mencapai 7.987 jiwa/ km2 (BPS Kota Medan, 2012). Pertumbuhan penduduk yang tinggi dan tidak disertai dengan peningkatan kualitas lingkungan perkotaan melalui pembangunan hutan kota akan menimbulkan permasalahan berkurangnya

PENDAHULUAN Kota merupakan pusat budaya, kreativitas dan perjuangan keras manusia. Kota merefleksikan vitalitas dan berbagai peluang umat manusia, juga melambangkan kemajuan ekonomi dan sosial. Salah satu isu lingkungan yang mendapat perhatian di wilayah perkotaan beberapa tahun terakhir adalah fenomena menurunnya kualitas lingkungan perkotaan. Pertumbuhan kota-kota besar yang mengarah ke pertumbuhan fisik dan ekonomi telah mengubah kawasan ruang terbuka hijau dan hutan kota sebagai kawasan lindung perkotaan menjadi kawasan fisik terbangun yang dapat mengancam kelestarian lingkungan perkotaan. Hutan Kota (urban forest) menurut Fakuara dalam Ginting (2004) adalah tumbuhan atau vegetasi berkayu di wilayah perkotaan yang memberikan manfaat lingkungan yang sebesarbesarnya dalam kegunaan-kegunaan proteksi, estetika, rekreasi dan kegunaan-kegunaan khusus lainnya. Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor: P.71/MenhutII/2009 menyebutkan bahwa hutan kota adalah suatu hamparan lahan yang bertumbuhan pohon-pohon yang kompak dan rapat di dalam wilayah perkotaan baik pada tanah negara maupun tanah hak, yang ditetapkan sebagai hutan kota oleh pejabat yang berwenang. Enam puluh persen umat manusia diperkiraan akan tinggal di wilayah perkotaan pada tahun 2020 (Fuchs, et al, 1994). Penelitian Wu (2008) juga menyatakan bahwa penduduk kota mengalami pertumbuhan tiga kali lebih cepat dibandingkan pertumbuhan penduduk di desa. Struktur dan proses penduduk di suatu wilayah dikenal dengan istilah demografi. Demografi adalah struktur penduduk meliputi jumlah, persebaran, dan komposisi penduduk. Struktur ini selalu berubah-ubah, dan perubahan tersebut disebabkan karena proses demografi, yaitu : kelahiran (fertilitas), kematian (mortalitas), dan migrasi penduduk (Anonim, 2010). Aktivitas kota yang tinggi telah menimbulkan berbagai masalah lingkungan. Seiring dengan pertambahan jumlah penduduk dan bertambahnya kawasan fisik, akan

53


Inovasi Vol. 11 No. 1, Maret 2014: 52-59

daerah resapan air, polusi udara, perubahan iklim dan menurunnya keindahan kota. Keseriusan Pemerintah Kota Medan untuk meningkatkan kualitas lingkungan kota dilihat dari jumlah ketersediaan dan lokasi hutan kota. Setelah dikeluarkannya peraturan perundangundangan yang mengatur pembangunan hutan kota, belum diketahui apakah Pemerintah Kota Medan sudah mempertimbangkan aspek kependudukan dan tingkat pencemaran dalam penyediaan dan penunjukan lokasi hutan kota. Berdasarkan permasalahan tersebut, maka penelitian ini bertujuan untuk : Menggambarkan hubungan ketersediaan hutan kota dengan jumlah penduduk dan tingkat pencemaran di Kota Medan, serta Menganalisis kebutuhan hutan kota berdasarkan jumlah penduduk dan tingkat pencemaran yang diakibatkan oleh aktivitas penduduk di Kota Medan.

koordinat suatu lokasi serta alat pendukung kegiatan penelitian lainnya. Penelitian dilakukan dengan pendekatan deskriptif deduktif dengan analisis kuantitatif. Seluruh populasi Kota Medan per kecamatan dijadikan sebagai unit analisis. Jumlah Populasi Kota Medan tahun 2011 adalah 2.117.224 jiwa yang tersebar di 21 kecamatan. Data yang dikumpulkan adalah data kependudukan, luas dan lokasi hutan kota, dan data tingkat pencemaran. Data diperoleh dari pengamatan langsung di lapangan, wawancara dengan pihak terkait serta data sekunder dari instansi terkait dan penelitian-penelitian sebelumnya. Hipotesis pada penelitian ini adalah: Ho : Ketersediaan hutan kota di Kota Medan tidak dipengaruhi oleh faktor-faktor demografi yang terdiri dari jumlah penduduk dan tingkat pencemaran. Ha : Ketersediaan hutan kota di Kota Medan dipengaruhi oleh faktor-faktor demografi yang terdiri dari jumlah penduduk dan tingkat pencemaran. Hipotesis dan kekuatan hubungan ketersediaan kota di setiap kecamatan dengan jumlah penduduk dan tingkat pencemaran diuji dengan analisis korelasi Pearson product moment, dengan rumus sebagai berikut :

METODE Penelitian dilakukan di Kota Medan, Provinsi Sumatera Utara. Waktu pelaksanaan kegiatan penelitian adalah Bulan April sampai dengan Nopember 2013. Bahan dan alat yang diperlukan dalam penelitian ini adalah pedoman wawancara, perlengkapan lapangan, alat tulis, kamera digital untuk mendokumentasikan kegiatan penelitian, GPS untuk mengetahui titik

r=

N =

N (ΣXY) − (ΣXΣY) n(ΣX ) − (ΣX )2 n(ΣY 2 ) − (ΣY)2

{

}{

2

}

Dimana: R = Koefisien validitas item yang dicari. X = Skor yang diperoleh subyek dalam setiap item. Y = Skor total yang diperoleh subjek dalam seluruh item. ΣX = Jumlah skor dalam distribusi X. ΣY = Jumlah skor dalam distribusi Y Jumlah Kuadrat masing- masing Skor X. ΣX2 = 2 ΣY = Jumlah Kuadrat masing- masing Skor Y. Jumlah sampel ( Umar, 2002).

Untuk pengujian validitas instrument penelitian, penulis menggunakan program SPSS 15. 0 for windows.

kompak dan memiliki luasan minimal 0,25 hektar. Amanah dalam peraturan tersebut disebutkan bahwa persentase keberadaan hutan kota adalah paling sedikit 10 % (sepuluh per seratus) dari wilayah perkotaan dan atau disesuaikan dengan kondisi setempat. Respon pemerintah kota dalam pembangunan hutan kota tergambar dalam implementasi ketersediaan hutan kota di wilayah kota. Secara administratif Kota Medan memiliki luasan 26.510 Ha. Pemerintah Kota

HASIL DAN PEMBAHASAN Peraturan Pemerintah Nomor 63 tahun 2002 tentang pembangunan hutan kota menyatakan bahwa salah satu pedoman pembangunan hutan kota adalah penunjukan hutan kota dan memenuhi syarat-syarat yaitu ditumbuhi oleh sekelompok pepohonan yang

54


Hubungan Antara Faktor-Faktor Demografi Dengan Ketersediaan Hutan Kota di Kota Medan (Johansen Silalahi dan Rospita Situmorang)

Medan merespon peraturan perundangundangan tentang pembangunan hutan kota tersebut dengan menunjuk hutan kota di

beberapa tempat yang ada di Kota Medan. Beberapa hutan kota yang ada di Kota Medan dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Hutan Kota Di Kota Medan No. 1 2 3 4 5 6 7

Lokasi Taman Beringin

Kecamatan Medan Baru

Bumi Perkemahan Pramuka Cadika Hutan kota CBD Polonia Kebun Binatang Kanal Sungai Deli Zona A dan D Hutan kota

Hutan kota Kelurahan Baru Ladang Bambu LUAS HUTAN KOTA

Luas (Ha) 1,2

Medan Johor

Dasar Penunjukan Keputusan Walikota Medan Nomor: 522/043 K tanggal 24 Januari 2007 Peraturan Daerah No.13 tahun 2011

Medan Polonia

Peraturan Daerah No.13 tahun 2011

40

Medan Tuntungan Medan Johor

Keputusan Walikota Medan Nomor: 522/043 K tanggal 24 Januari 2007 Peraturan Daerah No.13 tahun 2011

30

Medan Labuhan Medan Tuntungan

Peraturan Daerah No.13 tahun 2011

1,5

Peraturan Daerah No.13 tahun 2011

8,7

25

2

108,4

Sumber: Peraturan Daerah Kota Medan Nomor 13 Tahun 2011 dengan jumlah penduduk dan sebaran penduduk, seperti yang terlihat pada Tabel 3. Berdasarkan Tabel 3 ini, nilai r = - 0,22 dan P-value = 0,34 lebih besar dari Îą = 0,01 dan 0,05, maka H0 diterima dan Ha ditolak. Hal ini menunjukkan bahwa ketersediaan dan lokasi hutan kota di Kota Medan tidak dipengaruhi oleh faktor demografi jumlah penduduk dan sebaran penduduk. Berdasarkan hasil uji statistik tersebut, dapat dilihat tidak ada korelasi kebutuhan penduduk dan lokasi penduduk dalam menunjuk dan menetapkan lokasi hutan kota di Kota Medan. Hal ini menunjukkan bahwa Pemerintah Kota Medan belum mempertimbangkan jumlah penduduk dan sebaran penduduk per kecamatan dalam menentukan kebutuhan hutan kota. Sebaliknya terdapat ketidaksesuaian dasar penunjukan lokasi hutan kota jika dikaitan dengan sebaran dan jumlah penduduk dalam Tabel 2, dimana terdapat beberapa kecamatan di Kota Medan yang berpenduduk besar tetapi tidak memiliki hutan kota demikian sebaliknya yang penduduknya sedikit justru memiliki hutan kota. Kondisi ini membuktikan bahwa orientasi pembangunan kota di Kota Medan masih mengarah kepada pembangunan fisik dan ekonomi dan belum mempertimbangkan keseimbangan lingkungan dan daya dukung lahan. Daerah dengan penduduk yang tinggi identik dengan daerah dengan mobilitas penduduk yang tinggi, perputaran ekonomi yang

Hutan kota di Kota Medan yang ada saat ini seluas 108,4 hektar sementara luas area Kota Medan adalah 26.510 Ha. Persentase keberadaan hutan kota di Kota Medan berdasarkan kondisi eksisting hanya mencapai 0,41 %. Hal ini menunjukkan bahwa respon pemerintah Kota Medan dalam memenuhi ketersediaan hutan kota 10% seperti yang diamanatkan oleh Undang - Undang belum terpenuhi. Jika dibandingkan dengan pengamatan citra satelit, luas Ruang Terbuka Hijau (RTH) Kota Medan yang sudah mencakup hutan kota didalammnya adalah 48,85 % (Bappeda Kota Medan, 2012). Berdasarkan persentase RTH yang masih memenuhi tersebut, masih terdapat kemungkinan penambahan luasan hutan kota di kota Medan. Jumlah penduduk merupakan salah satu dasar penentuan hutan kota. Kriteria ini dianggap sebagai dasar penentuan kebijakan penyediaan hutan kota karena salah satu fungsi hutan kota adalah menjaga keseimbangan dan kesehatan lingkungan. Kualitas lingkungan yang sehat di setiap titik wilayah perkotaan merupakan tujuan yang harus dicapai oleh pemerintah kota. Oleh karena itu, RTH maupun hutan kota sebaiknya dilakukan secara menyebar atau tidak mengumpul. Pada tabel 2 dapat dilihat data luas hutan kota dan sebaran penduduk di Kota Medan. Sehingga melalui Uji Korelasi Pearson, dapat diuji hubungan ketersediaan eksisting dan lokasi hutan kota di Medan saat ini jika dikaitkan

55


Inovasi Vol. 11 No. 1, Maret 2014: 52-59

cepat, yang akan memberikan pemasukan yang penyeimbang lingkungan, berubah tinggi pada daerah. Lahan-lahan terbuka yang lahan-lahan fisik terbangun. seharusnya disediakan menjadi daerah Tabel 2. Luas Hutan Kota, Luas Kecamatan, Jumlah Penduduk di Kota Medan

manjadi

Luas Hutan Kota Jumlah Penduduk Yang Tersedia (Jiwa) (Ha) 1 Medan Tuntungan 20,68 81.798 38,7 2 Medan Johor 14,58 125.456 27 3 Medan Amplas 11,19 115.543 0 4 Medan Denai 9,05 141.866 0 5 Medan Area 5,52 96.647 0 6 Medan Kota 5,27 72.663 0 7 Medan Maimun 2,98 39.646 0 8 Medan Polonia 9,01 53.384 40 9 Medan Baru 5,84 39.564 1,2 10 Medan Selayang 12,81 99.982 0 11 Medan Sunggal 15,44 112.918 0 12 Medan Helvetia 13,16 145.239 0 13 Medan Petisah 6,82 61.832 0 14 Medan Barat 5,33 70.881 0 15 Medan Timur 7,76 108.758 0 16 Medan Perjuangan 4,09 93.483 0 17 Medan Tembung 7,99 133.784 0 18 Medan Deli 20,84 170.013 0 19 Medan Labuhan 36,67 112.316 1,5 20 Medan Marelan 23,82 145.788 0 21 Medan Belawan 26,25 95.663 0 TOTAL 265,10 2.117.224 108.4 Sumber: BPS Medan (2012) dan Perda Kota Medan Nomor 13 Tahun 2011 (data diolah) No.

Kecamatan

Luas Area (Km²)

Tabel 3: Hasil Uji Korelasi Pearson Hubungan Ketersediaan Hutan Kota dengan Jumlah Penduduk per Kecamatan di Kota Medan Uji

Hutan kota

Penduduk

1

-0.22

Pearson Correlation Sig. (2-tailed)

0.34

N 21 21 Sumber : diolah dari Perda Kota Medan Nomor 13 Tahun 2011 dan BPS kota Medan (2012) sebanyak 39,6 gr/jam. Sementara Bahan bakar bensin/premium, solar dan gas berturut-turut menghasilkan CO2 2,31 Kg/lt, 2,68 Kg/lt, 1,51 Kg/lt. Rata-rata penggunaan bahan bakar minyak dan gas tahun 2010 di Kota Medan adalah adalah 190,97 lt/orang/tahun untuk bensin, 542,92 ltr/org/thn untuk solar, dan 19,59 Kg/org/thn untuk gas (BPS Sumut, 2011). Berdasarkan data tersebut, jika diasumsikan konsumsi Bahan Bakar Minyak (BBM) dan gas masih sama tahun 2011, maka perkiraan produksi gas CO2 oleh respirasi manusia dan penggunaan bahan bakar di Kota Medan dapat dilihat pada Tabel 4.

Tingkat pencemaran udara merupakan salah satu faktor yang menentukan penetapan hutan kota. Komposisi udara normal terdiri dari 78 % nitrogen, 20 % oksigen, 0,93 % argon, 0,03 % karbondioksida dan sisanya terdiri dari neon, helium, metan dan hidrogen. Pencemaran udara adalah berubahnya komposisi udara normal yang biasanya diakibatkan oleh meningkatnya dan kandungan karbondioksida (CO2) menurunnya kandungan oksigen (O2). Proses respirasi manusia serta pemakaian bahan bakar fosil dan gas menyuplai CO2 ke udara. Menurut Growth (2005) dalam Gratimah (2009), manusia mengeluarkan CO2

56


Hubungan Antara Faktor-Faktor Demografi Dengan Ketersediaan Hutan Kota di Kota Medan (Johansen Silalahi dan Rospita Situmorang)

Tabel 4. Perkiraan Tingkat Pencemaran Udara oleh Gas CO2 Tahun 2011 di Kota Medan

No

Jlh penduduk (Orang)

Kecamatan

Tingkat Pencemaran CO2 (ton/tahun)

1

Medan Tuntungan

81,798.00

185,897.67

2

Medan Johor

125,456.00

285,116.73

3

Medan Amplas

115,543.00

262,588.01

4

Medan Denai

141,866.00

322,410.80

5

Medan Area

96,647.00

219,644.15

6

Medan Kota

72,663.00

165,137.07

7

Medan Maimun

39,646.00

90,101.21

8

Medan Polonia

53,384.00

121,322.78

9

Medan Baru

39,564.00

89,914.86

10

Medan Selayang

99,982.00

227,223.41

11

Medan Sunggal

112,918.00

256,622.32

12

Medan Helvetia

145,239.00

330,076.43

13

Medan Petisah

61,832.00

140,522.07

14

Medan Barat

70,881.00

161,087.22

15

Medan Timur

108,758.00

247,168.13

16

Medan Perjuangan

93,483.00

212,453.50

17

Medan Tembung

133,784.00

304,043.30

18

Medan Deli

170,013.00

386,378.89

19

Medan Labuhan

112,316.00

255,254.19

20

Medan Marelan

145,788.00

331,324.11

21 Medan Belawan 95,663.00 Sumber : Diolah dari BPS Kota Medan (2012) dan BPS Sumut (2011)

217,407.87

Untuk meningkatkan keseimbangan dan kelestarian lingkungan di perkotaan, sudah selayaknya faktor-fakor kependudukan (kepadatan penduduk) dan tingkat pencemaran menjadi pertimbangan utama. Hal ini dikarenakan hutan kota perlu ada untuk menjamin kesehatan kesejahteraan penduduk melalui meningkatkan kualitas lingkungan. Hal yang harus dilakukan adalah menunjuk, menetapkan, dan membangun hutan kota melalui penanaman pohon-pohonan dalam luasan minimal yang dibutuhkan. Kemampuan tanaman menyerap gas CO2 merupakan salah satu acuan penentuan jenis tanaman yang akan ditanam dan berapa luas dan jumlah yang akan ditanam. Hasil penelitian Gratimah (2009) telah diidentifikasi kemampuan penyerapan CO2 oleh 16 jenis pohon-pohonan di Kota Medan. Pada Tabel 6 berikut terdapat data 6 jenis pohon dan daya serap CO2 tertinggi dari 16 jenis pohon yang telah dianalisis.

Pada Tabel 5 dapat dilihat Hubungan eksistensi hutan kota dalam Tabel 2 dengan tingkat pencemaran udara dalam Tabel 4. Hubungan ini didapat dari hasil Korelasi Pearson yang menunjukkan nilai r = - 0,22 dan P-value = 0,34 lebih besar dari Îą = 0,01 dan 0,05, maka H0 diterima dan Ha ditolak. Kondisi ini menunjukkan bahwa penyediaan dan penunjukan hutan kota di Kota Medan belum dipengaruhi oleh faktor tingkat pencemaran udara. Tingkat kepadatan penduduk tinggi pada umumnya sebanding dengan tingkat pencemaran yang dihasilkan. Namun dalam kenyataannya, Pemerintah Kota Medan belum mengalokasikan hutan kota dan lokasi hutan kota berdasarkan tingkat pencmarannya. Lokasi dengan pencemaran udara yang tinggi seperti di Kecamatan Medan Amplas, Helvetia, Medan Tembung, Medan Deli, dan Medan Marelan justru tidak memilki hutan kota.

57


Inovasi Vol. 11 No. 1, Maret 2014: 52-59

Tabel 5. Korelasi Pearson Eksisting Hutan Kota di Kota Medan dengan Tingkat Perncemaran

Hutan kota

Pearson Correlation

Hutan kota

Pencemaran

1

-0.22

Sig. (2-tailed)

0.34

N

21

21

Sumber : Diolah dari BPS Kota Medan (2012) dan BPS Sumut (2011) Total emisi CO2 di Kota Medan tahun 2011 yang dihitung berdasarkan respirasi manusia, BBM dan penggunaan gas yang terdapat pada Tabel 4 adalah 217.407,87 ton.

Berdasarkan Tabel 6 tersebut terdapat 6 jenis pohon dari 16 jenis yang diteliti yang memiliki kemampuan menyerap gas CO2 tertinggi. Kemampuan dan kecukupan tanaman sangat dibutuhkan untuk menyerap emisi CO2.

Tabel 6. Daya Serap CO2 Beberapa Jenis Pohon Lokal di Kota Medan No.

Penyerapan CO2 per pohon/tahun (ton)

Nama Pohon

1

Beringin (Ficus benjamina)

2.73

2

Trembesi (Antidesma bunius)

31.31

3

Daun Kupu-kupu (Bauimia purperea)

3.17

4

Mahoni (Swietenia macrophylla)

7.42

5

Pulai (Alstonya scholaris)

3.14

6

Tanjung (Mimosops elengi)

5.04

rata-rata Sumber : Gratimah (2009)

8.80

Kebutuhan hutan kota di kota Medan ditinjau dari total emisi CO2 yang dihasilkan dengan kemampuan tanaman menyerap CO2 dapat dapat diketahui melalui perkiraan jenis jenis pohon yang ditanam, jumlah tanaman dan jarak tanam. Perkiraannya adalah, jumlah tanaman yang dibutuhkan yang terdiri dari 6 jenis tanaman (beringin, trembesi, daun kupukupu, mahoni, pulai dan tanjung) adalah 630.125 batang. Jarak tanam yang dibutuhkan untuk penanaman pohon di lokasi hutan kota yang akan dibangun adalah 4x4 meter, maka jumlah pohon yang terdapat dalam 1 hektar adalah 625 batang. Perkiraan kebutuhan luas hutan kota di Kota Medan adalah seluas 1.008,2 hektar. Dengan teknik penentuan yang berbeda, kebutuhan hutan kota dapat didasarkan pada peraturan pemerintah. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 05/PRT/M/2008 adalah 4 m2 per kapita. Berdasarkan peraturan tersebut dapat dihitung bahwa luas hutan kota minimal yang dibutuhkan oleh penduduk Kota Medan adalah 846,87 hektar. Kebutuhan hutan kota minimal berdasarkan tingkat pencemaran udara

di kota Medan adalah 1.008,2 hektar sementara kebutuhan bedasarkan jumlah penduduk adalah 846,87 hektar. Hal ini menunjukkan jumlah penduduk dan tingkat pencemaran adalah faktor-faktor yang sangat penting dipertimbangkan dalam membangun hutan kota. KESIMPULAN Kesimpulan dari penelitian ini adalah Pemerintah Kota Medan belum mempertimbangkan faktor demografi berupa jumah penduduk, sebaran penduduk dan tingkat pencemaran dalam penentuan kebutuhan hutan kota. Persentase ketersediaan hutan kota di Kota Medan mencapai 0,41 %, sehingga masih jauh dari target 10 % dari luas kota seperti yang diamanahkan dalam PP Nomor 63 Tahun 2002. Luas hutan kota yang dibutuhkan jika dikaitan dengan jumlah penduduk Kota Medan tahun 2011 adalah 846,87 Ha. Perkiraan kebutuhan hutan kota jika dikaitkan dengan tingkat pencemaran tahun 2011 dengan jenis pohon yang ditanam terdiri dari beringin

58


Hubungan Antara Faktor-Faktor Demografi Dengan Ketersediaan Hutan Kota di Kota Medan (Johansen Silalahi dan Rospita Situmorang)

Peraturan Menteri Kehutanan No. P.71 MenhutII/2009 tanggal 07 Desember 2009 tentang Pedoman Penyelenggaraan Hutan Kota.

(Ficus benjamina), trembesi (Antidesma bunius), daun kupu-kupu (Bauimia purperea), mahoni (Swietenia macrophylla), pulai (Alstonia scholaris), tanjung (Mimosops elengi) adalah seluas 1.008,2 hektar.

Peraturan Daerah Kota Medan Nomor 13 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Medan Tahun 2011-2031.

REKOMENDASI 1. Pemerintah Kota Medan disarankan sebaiknya memiliki komitmen yang tinggi disertai dengan tindakan yang nyata dalam pembangunan hutan kota untuk meningkatkan kualitas lingkungan di Kota Medan. Penunjukan dan penetapan lokasi sangat diperlukan untuk menjamin tidak terjadinya konversi lahan hutan menjadi lahan fisik terbangun pada masa yang akan datang. 2. Penunjukan lokasi dan luas hutan kota di Kota Medan sebaiknya mempertimbangkan luas wilayah dan faktor-faktor demografi berupa jumlah penduduk, sebaran penduduk dan tingkat pencemaran. 3. Pengakomodiran RTH privat yang memungkinkan dijadikan lokasi hutan kota privat dapat ditelusuri dengan tetap mempertimbangkan nilai jasa lingkungan bagi masyarakat yang memberikan lokasinya menjadi lokasi hutan kota.

Peraturan Pemerintah No. 63 tahun 2002 tentang Hutan Kota. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No.: 05/PRT/M/2008. Tentang Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau di Kawasan Perkotaan. Umar, H. 2000. Metodologi Penelitian, Aplikasi dalam Pemasaran. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Wu, J. 2008. Toward A Landscape Ecology of Cities – Beyond Building, Trees and Urban Forest. In: Carreiro. M.M., Song, Y.C., & Wu, J. (eds). Ecology, planning and management of urban forest: international perspectives. Springer-Verlag, New York. Pp: 10-28. Zoer’aini, D.I. 2004. Tantangan Lingkungan dan Lansekap Hutan Kota. Jakarta: Bumi Aksara.

DAFTAR PUSTAKA Anonim. 2010. Rencana Penelitian Integratif 20102014. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Badan Perencanaan Daerah. 2012. Laporan Draft Rencana Induk Kota Hijau. Medan: Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah. Badan Pusat Statistik Propinsi Sumatera Utara. 2011. Sumatera Utara Dalam Angka. Medan: Badan Pusat Statistik. Badan Pusat Statistik Kota Medan. 2012. Kota Medan Dalam Angka. Medan: Badan Pusat Statistik. Fuchs, R J., E.Brennan, J.Chamie, F.Lo and J I Uitto. 1994. Mega-city Growth and the Future. Tokyo: United Nations University Press. Ginting, B. 2004. Peran Hutan Kota sebagai Salah Satu Upaya Mengurai Tingkat Pencemaran Udara di Kota Surabaya. Surabaya: Badan Penelitian dan Pengembangan Jawa Timur. Gratimah, R. D.2009. Analisis Kebutuhan Hutan Kota Sebagai Penyerap Gas CO2Antropogenik di Pusat Kota Medan. Tesis. Program Pascasarjana Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Universitas Sumatera Utara.

59


Inovasi Vol. 11 No. 1, Maret 2014: 60-69

Tinjauan Kepustakaan PARADIGMA, ANGGARAN DAN KERJASAMA PENELITIAN KEBIJAKAN

(PARADIGM, BUDGET AND COLLABORATION FOR POLICY RESEARCH) Hendarman Pusat Penelitian Kebijakan Badan Penelitian dan Pengembangan, Kemdikbud Dosen Pascasarjana, Universitas Pakuan Bogor email: hendarman@kemdikbud.go.id dan hendarmananwar@gmail.com

Diterima: 20 Januari 2014; Direvisi: 11 Pebruari 2014; Disetujui: 27 Pebruari 2014

ABSTRAK Berbagai kebijakan yang ditetapkan Pemerintah khususnya di sektor pendidikan seringkali mendapat kritikan dari berbagai pemangku kepentingan dengan alasan yang berbeda. Pemerintah selama ini cenderung mengalami kesulitan untuk dapat segera memberikan tanggapan terhadap kritikan-kritikan dimaksud karena belum tersedianya data dan informasi yang akurat, yang didasarkan atas hasil penelitian kebijakan. Tulisan ini bertujuan untuk mengkaji sejauhmana penelitian kebijakan yang dilakukan didasarkan prinsip integritas dan sinergi dalam rangka perumusan dan perbaikan kebijakan yang dapat diterima pemangku kepentingan. Terdapat tiga tujuan khusus, yaitu menganalisis paradigma penelitian, kondisi anggaran penelitian, dan mekanisme kerjasama. Kajian ini menggunakan ex post facto research dan dianalisis dengan meta-analysis. Untuk memperkuat analisis maka digunakan sejumlah pengalaman dari badan penelitian dan pengembangan khususnya yang berada di Sumatera Utara. Temuan mengungkapkan bahwa ketidakmampuan lembaga penelitian memberikan kontribusi data dan informasi secara akurat, cepat dan tepat waktu bagi pemegang kebijakan karena penelitian kebijakan yang dilakukan (1) bersifat reaktif yaitu baru dilakukan setelah muncul kasus-kasus, (2) tidak didukung oleh alokasi anggaran yang memadai, (3) tidak melibatkan pemangku kepentingan yang terkait, dan (4) tidak dipublikasikan kepada publik. Di masa mendatang penelitian kebijakan seyogianya memiliki paradigma futuristik, antisipatif, responsif, analitis, dan akuisitif opini publik. Di samping itu, alokasi anggaran untuk melakukan penelitian kebijakan perlu didasarkan atas Pendapatan Domestik Bruto (PDB) sebagaimana yang dilakukan di berbagai negara maju. Agar penelitian kebijakan dapat menghasilkan rekomendasi yang dapat diterima maka keterlibatan dan partisipasi berbagai pemangku kepentingan menjadi suatu keharusan. Kata Kunci: paradigma, anggaran, kerjasama, penelitian kebijakan, Sumatera Utara.

ABSTRACT Government policies in particular those in education sector have been often criticized by stakeholders with different reasons. Government tend to have difficulties to respond the critics due to the fact that accurate data and information, which is based on policy research, is not available. This research analysed the extent to which policy research has been undertaken on the basis of integrity and synergy principles for the formulation and improvement of policies for stakeholders needs. There were three specific objectives of this research, namely to analyse research paradigm, budget status, and collaborative mechanism. This research was ex post facto research and analysed using meta-analysis. To strengthen the analysis, experiences from board of research and development particularly in North Sumatera were used to explain the paradigm, budget status and possible collaboration. The findings revealed that research institution was unable to provide accurate, immediate and in-time data and information to decision-makers has been resulted from policy research undertaken was (1) reactive in nature in the meaning it is done after cases take place; (2) not supported by sufficient budget, (3) not involved related stakeholders, and (4) not being published to public. In the future, it was suggested that the paradigm of policy research shall be futuristic, anticipative, responsive, analitic, dan aqusitive to

60


Paradigma, Anggaran dan Kerjasama Penelitian Kebijakan (Hendarman) public opinion. Also, budget allocation for policy research shall be based on Gross Domestic Income (GDI) as is applied in other developed countries. The involvement and participation of various stakeholders is compulsory in order for policy research brings about accepted recommendation. Keywords: paradigm, budget, collaboration, policy research, Sumatera Utara

tersebut, baik dikehendaki (intended-impact) maupun tidak dikehendaki (unintended-impact). Perubahan dimaksud dapat menimbulkan dampak yang berimplikasi potensi timbulnya masalah-masalah yang mengharuskan pembuat kebijakan atau pihak yang terkait dengan kebijakan dimaksud sudah harus memikirkan langkah antisipasi atau upaya pemecahannya. Putra dan Hendarman (2012) berpendapat bahwa penelitian kebijakan (policy research) memiliki peran sangat penting untuk dapat segera menjawab kritikan dan dampak dari setiap kebijakan yang ditetapkan. Penelitian ini dapat memberikan sejumlah data dan informasi yang dapat menjelaskan faktor - faktor penghambat dan pendukung terhadap setiap kebijakan yang ditetapkan, di samping juga memberikan alternatif solusi dalam bentuk rekomendasi kebijakan terhadap kebijakan yang ada. Penelitian ini juga memberikan kesempatan kepada berbagai pemangku kepentingan untuk memberikan masukan walaupun pada saat-saat tertentu kemungkinan besar akan terjadi intervensi politik terhadap perumusan atau perubahan kebijakan yang akan dilakukan. Secara umum, definisi luas dari penelitian kebijakan adalah “A broad definition of "public policy research" is adopted to cover academic research that will have explicit policy implications on public policy development..” atau dalam terjemahan bebas yaitu penelitian yang bersifat akademik, tetapi memiliki implikasi kebijakan dalam konteks pembangunan nasional termasuk sektor pendidikan (Hendarman, 2012). Penelitian kebijakan dapat dilakukan oleh pihak pemerintah baik di tingkat pusat maupun daerah, maupun non-Pemerintah, melalui adanya suatu analisis kebijakan yang sangat cermat. Analisis tersebut pada akhirnya akan menentukan alternatif-alternatif yang dapat digunakan secara lebih efektif dan efisien oleh berbagai pemangku kepentingan (stakeholders) untuk mencapai tujuan yang ditetapkan dengan melihat hubungan (relasi) antara kebijakan dan tujuan. Pertanyaannya adalah sejauhmana pemangku kepentingan pada tingkat pusat maupun tingkat daerah dapat melakukan integrasi dan sinergi makro penelitian kebijakan yang dapat menghasilkan sejumlah rekomendasi yang dapat dipertanggungjawabkan secara empiris dan akademis dalam rangka perumusan

PENDAHULUAN Kebijakan yang ditetapkan oleh Pemerintah khususnya di bidang pendidikan sering mendapat kritikan dari berbagai pemangku kepentingan (stakeholders). Kritikan dimaksud ditinjau dari aspek filosofi, peraturan perundangan, implementasi dan dampak dari kebijakan tersebut. Kritikan menggunakan argumentasi, justifikasi, metodologi, logika, dan indikator tertentu. Namun, terdapat juga sejumlah kritikan yang cenderung didasarkan ungkapan emosi atau ekspresi karena adanya perasaan ketidakadilan terhadap implementasi kebijakan tersebut. Salah satu contoh adalah masalah kebijakan kesetaraan yaitu pengakuan untuk mengikuti ujian nasional bagi peserta didik yang berasal dari paket kesetaraan atau setara sekolah formal (Harian Kompas, 2011a), yaitu ”Peserta didik sekolah rumah atau homeschooling yang mampu menyelesaikan pendidikan lebih cepat di jenjangnya sulit untuk mengikuti ujian nasional paket kesetaraan atau setara sekolah formal. Ini disebabkan Badan Standar Nasional Pendidikan mensyaratkan siswa sekolah rumah yang boleh melakukan percepatan belajar atau akselerasi harus memiliki IQ 130. Pada kenyataannya, banyak anak sekolah rumah yang berkategori anak usia belajar di jenjang SD-SMA, baik yang dilaksanakan secara penuh oleh orangtua maupun bergabung di komunitas bisa menyelesaikan pendidikan lebih cepat….”. Kritik terhadap pemanfaatan fasilitas pendidikan di perguruan tinggi, yaitu “Penggunaan fasilitas penelitian bersama antara lembaga penelitian dan perguruan tinggi di Indonesia selama ini sulit terjadi. Akibatnya, tumpang tindih penelitian sering terjadi, penelitian diulang-ulang, hingga tidak optimalnya penggunaan fasilitas penelitian yang ada” atau “Jangankan digunakan bersama dengan institusi lain, antar unit organisasi dalam satu institusi saja tidak mudah untuk menggunakan fasilitas penelitian bersama...”(Harian Kompas, 2011b). Menurut Widodo (2007), setiap kebijakan yang telah ditetapkan pada saatnya perlu dicermati kembali akibat adanya perubahan yang terjadi baik di lingkungan internal (internal environment) maupun lingkungan eksternal (external environment). Perubahan tersebut dapat menimbulkan dampak terhadap kebijakan

61


Inovasi Vol. 11 No. 1, Maret 2014: 60-69

maupun perbaikan kebijakan. Penelitian ini bertujuan untuk dapat menjawab pertanyaan penelitian tersebut yang selanjutnya diuraikan atas beberapa pertanyaan khusus penelitian sebagai berikut (1) bagaimana paradigma lembaga penelitian dan pengembangan yang ada sekarang dan yang seharusnya dilakukan; (2) bagaimana ketersediaan anggaran penelitian dan pengembangan yang ada sekarang dan yang seharusnya dialokasikan; dan (3) bagaimana kerjasama yang seharusnya dilakukan berbagai pemangku kepentingan dalam upaya menghasilkan kebijakan penelitian dan pengembangan yang dapat dimanfaatkan.

analysis of other analyses” (halaman 291). Untuk melakukan meta-analysis yang memiliki keakuratan data dan informasi maka dilakukan tahapan untuk melakukan kodifikasi terhadap berbagai studi atau dokumen terkait agar tidak terjadi bias yang cukup besar terhadap masalah yang dikaji dalam suatu penelitian (Cooper, 2010). Kodifikasi tersebut dikategorikan atas (1) berbagai paradigma dalam penelitian kebijakan, (2) status penganggaran untuk penelitian kebijakan bagi berbagai lembaga penelitian dan pengembangan serta komparasi alokasi ideal, dan (3) sinergi pelaksanaan penelitian kebijakan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah di provinsi/kabupaten/kota.

METODE Penelitian ini merupakan suatu kajian dengan tujuan untuk menjawab tiga isu utama, yaitu (1) paradigma penelitian kebijakan, (2) ketersediaan anggaran untuk penelitian kebijakan, dan (3) kerjasama penelitian kebijakan yang efektif dan efisien. Kajian ini bersifat eksploratif dalam arti menggali berbagai informasi yang relevan sesuai dengan tujuan dan fokus kajian. Data yang digunakan merupakan data sekunder yang bersumber pada berbagai dokumen dan publikasi baik yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan. Dokumen dimaksud terdiri dari peraturan perundang-undangan yang berlaku, laporan, hasil studi yang relevan dan berbagai informasi dalam berbagai media. Penelitian ini pada dasarnya merupakan “ex post facto research” karena menggunakan data dan informasi dari yang sudah terjadi dan sedang berlangsung atau “ex post facto means from what is done afterwards” dimana peneliti menyampaikan laporan hanya terhadap apa yang sudah terjadi atau yang sedang terjadi (Cooper dan Schindler, 2001). Dalam konteks penelitian sosial maka ex posto facto research merujuk kepada studi-studi atau penelitianpenelitian yang menginvestigasi kemungkinan hubungan yang terjadi antara suatu keputusan dan akibat yang dihasilkan di samping juga untuk mengkaji kemungkinan hubungan sebabakibat. Dengan ex posto facto research maka peneliti mempertanyakan faktor-faktor yang kemungkinan dapat diasosiasikan dengan kejadian-kejadian atau kondisi-kondisi yang terjadi dan tidak terjadi (Cohen, Manion, dan Morrison, 2007). Data yang berasal dari berbagai sumber dokumen tersebut kemudian dianalisis dengan menggunakan meta-analysis. Secara sederhana, meta-analysis dimaknai sebagai melakukan analisis terhadap berbagai analisis sebagaimana diungkapkan oleh Cohen, Manion dan Morrison (2007) yaitu “meta-analysis is, simply, the

HASIL DAN PEMBAHASAN Paradigma. Keberadaan lembaga atau badan penelitian dan pengembangan tampaknya masih belum mendapat perhatian khusus dari berbagai pemangku kepentingan (stakeholders) baik pada tingkat pemerintah pusat maupun pemerintah daerah provinsi/kabupaten/kota. Persepsi yang berkembang selama ini adalah bahwa lembaga ini dipandang sebagai “tempat buangan” yaitu tempat mengabdi bagi mereka yang tidak berhasil atau “tidak produktif” di lembaga atau unit lain. Persepsi tersebut muncul karena lembaga ini dianggap kurang mampu memberikan masukan atau menjadi sumber referensi data dan informasi secara cepat kepada pengambil keputusan (decision-makers) pada saat diperlukan. Ketika pemegang kebijakan akan membuat suatu kebijakan seringkali tidak didukung oleh hasil-hasil penelitian atau kajian-kajian yang relevan, yang menyebabkan pemegang kebijakan seringkali mengalami kesulitan untuk mengemukakan filosofi lahirnya suatu kebijakan baru atau penyempurnaan kebijakan yang ada. Dilain pihak adanya kecenderungan lembaga ini baru bergerak melakukan suatu penelitian ketika muncul suatu peristiwa yang berdampak makro terhadap publik dan bukan telah mengantisipasi lebih awal terhadap setiap implikasi yang muncul sebagai akibat penerapan suatu kebijakan. Sebagai contoh, ketika terjadi sejumlah peristiwa perkelahian atau tawuran antar pelajar, informasi dan data yang diperlukan untuk membantu para pengambil kebijakan dalam penentuan alternatif solusi secara strategis dan sistematis tidak tersedia secara lengkap, empiris dan akurat pada lembaga tersebut. Contoh dari kurang pro-aktif dan sensitif lembaga tersebut semakin terlihat ketika dicetuskan adanya kurikulum 2013 oleh Pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, yaitu belum disajikannya data

62


Paradigma, Anggaran dan Kerjasama Penelitian Kebijakan (Hendarman)

Keberhasilan ataupun kegagalan dari berbagai program termasuk bidang pendidikan yang ada di lingkup instansi tertentu akan ditentukan oleh berbagai penelitian yang dilakukan oleh lembaga semacam ini. Mempertimbangkan dinamika strategis tersebut, lembaga seperti ini harus menggeser paradigmanya agar dapat menjalankan peran tersebut secara optimal. Salah satu contoh yang menarik untuk dipertimbangkan adalah mengadopsi paradigma Badan Penelitian dan Pengembangan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yaitu bahwa penelitian dan pengembangan harus memiliki dimensi futuristik, antisipatif, responsif, analitis, dan akuisitif opini publik (Balitbang Kemdikbud, 2012). Dimensi futuristik dimaknai bahwa produkproduk yang dihasilkan dapat menafsirkan dan menerjemahkan berbagai kemungkinan perubahan-perubahan program dan kebijakan. Misalnya, apabila lembaga ini terkait sektor pendidikan maka produk yang dihasilkan harus menuju kepada potensi perubahan program dan kebijakan pendidikan di berbagai satuan pendidikan yang terjadi di masa mendatang, sehingga rencana strategis yang dilakukan dapat menjawab kekinian serta tuntutan dan tantangan di masa depan. Responsif dimaknai bahwa berbagai penelitian kebijakan dapat menjawab berbagai permasalahan dan isu kritis yang terjadi pada implementasi kebijakan pendidikan yang sedang berjalan yang bermuara pada penyempurnaan berbagai implementasi kebijakan pendidikan dalam konteks kekinian, efektivitas, efisiensi dan akuntabilitas. Dimensi antisipatif dimaknai bahwa perencanaan dan pelaksanaan penelitian kebijakan harus beorientasi ke masa depan dengan mendasarkan pada pengalaman di masa lalu, masa sekarang, dan tantangan serta aspek sosial, budaya, ekonomi, politik yang berkembang secara dinamis di dalam berkehidupan, berbangsa dan bernegara dalam rangka menuju keunggulan mutu dan relevansi pendidikan Indonesia di masa mendatang. Sedangkan dimensi analitis dimaknai bahwa rumusan rekomendasi dan kebijakan yang dihasilkan melalui proses penelitian dan pengembangan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, akademis, yuridis, maupun empiris. Dimensi terakhir yaitu akuisitif opini publik dimaknai bahwa penelitian kebijakan yang dilaksanakan akan menyeimbangkan pandangan, harapan, dan kebutuhan dari berbagai pelaku dan pemangku kepentingan di bidang pendidikan yang bermuara pada suatu produk yang relevan, akurat, terandal, dan

dan fakta secara akurat dan empiris bahwa memang diperlukan adanya perubahan kurikulum. Karena data dan fakta ini seyogianya dipersiapkan atau dihasilkan oleh lembaga dimaksud yang ada pada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Dalam hal pembuatan keputusan terhadap suatu kebijakan, terdapat sejumlah kriteria yang harus dipertimbangkan secara terpadu baik dari aspek ekonomi, sosial, budaya dan lingkungan (Loomis dan Helfand, 2001). Marshall (1998) mengemukakan bahwa dalam konteks kebijakan pendidikan, kriteria yang penting untuk dipertimbangkan antara lain yaitu (1) efisiensi secara ekonomi (economi efficiency), (2) kesamaan distribusi (distributional equity), (3) keberterimaan sosial dan budaya (social/cultural acceptability), (4) penerapan secara operasional (operational practicality), dan (5) legalitas. Kriteria pertama yaitu efisiensi secara ekonomi (economi efficiency) secara umum bermakna biaya dan keuntungan (benefits and costs) yang umumnya dalam bentuk indikator outcomes dan output. Kriteria kedua yaitu keseimbangan distribusi (distributional equity) merujuk kepada dampak dari kebijakan terhadap perbedaan demografi yang ada termasuk efek distribusi lokasi, etnis, penghasilan dan pekerjaan. Kriteria keberterimaan sosial dan budaya dimaksudkan bahwa kebijakan yang akan ditetapkan seyogianya tidak terlalu bertentangan dengan norma-norma sosial dan nilai-nilai budaya yang ada dalam lingkungan tertentu. Kriteria penerapan secara operasional diartikan sebagai kapasitas yang diperlukan termasuk sumber daya manusia, keuangan, dan politik untuk menyelenggarakan kebijakan dimaksud. Kriteria terakhir yaitu legalitas lebih dimaksudkan kepada potensi bahwa kebijakan yang akan diterapkan masih sejalan dengan peraturan perundang-undangan yang sudah ada dan masih berlaku atau dalam hal tertentu dapat dilakukan penerapan kebijakan melalui suatu peraturan baru. Lembaga penelitian yang acceptable dalam setiap dinamika strategi dan program yang dilaksanakan senantiasa berorientasi pada kemampuan untuk menjawab fenomena yang bersifat kekinian dan yang akan datang. Lembaga seperti ini sesungguhnya memiliki peran strategis dan fundamental yaitu dapat menjadi "penunjuk jalan" dalam arti lembaga ini bisa melihat ke depan dan "lebih dahulu mengetahui". Berbagai produk yang dihasilkan lembaga ini dapat menjadi sumber kebijakan dan rekomendasi bagi pemangku kepentingan baik dalam lingkup internal maupun eksternal.

63


Inovasi Vol. 11 No. 1, Maret 2014: 60-69

berdayaguna sebagai akibat suatu proses pelibatan berbagai pemangku tanggung jawab dan pemangku kepentingan secara intensif dan produktif. Dalam prosesnya, keterbukaan dan konsultasi terhadap publik atau masyarakat pengguna serta pemangku kepentingan menjadi syarat mutlak terkait penelitian kebijakan. Hal ini perlu dilakukan untuk mengantisipasi kemungkinan para pemangku kepentingan yang tidak memahami atau mempunyai persepsi yang sama terhadap kebijakan dimaksud yang selanjutnya akan mendorong mereka untuk tidak mendukung atau memberikan penilaian kurang obyektif terhadap kebijakan yang dilakukan. Contoh dari perwujudan beberapa dimensi paradigma penelitian sebagaimana diuraikan di atas yaitu pengalaman Badan Penelitian dan Pengembangan Kota Medan yang pada tahun 2012 melaksanakan suatu studi yaitu “Evaluasi Ujian Nasional & Penerimaan Siswa Baru dalam Upaya Meningkatkan Mutu Pembelajaran di Kota Medan� (Badan Penelitian dan Pengembangan Kota Medan, 2012). Studi ini dilakukan untuk memberikan pemahaman kepada para pemangku kepentingan (stakeholders) di Kota Medan bahwa Ujian Nasional (UN) merupakan gambaran dari mutu pembelajaran dan Penerimaan Siswa Baru (PSB) didasarkan atas kualitas siswa. Studi ini untuk merespon berbagai persepsi di masyarakat bahwa mengingat belum ada data akurat tentang proses pembelajaran yang terjadi di semua jenjang pendidikan maka belum dapat dikatakan sebagai indikator sahih hasil belajar siswa, dan bahwa sistem PSB yang selama ini dilaksanakan di kota Medan dinilai tidak seluruhnya mencerminkan kualitas siswa khususnya hasil belajar siswa. Populasi dalam penelitian ini adalah Sekolah Menengah Atas (SMA) negeri dan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) negeri di wilayah kota Medan Provinsi Sumatera Utara. Sampel penelitian adalah siswa kelas XII sebanyak 388 orang dari 5 SMA Negeri dan 1 SMK Negeri, yang ditentukan secara cluster random sampling. Yang dilakukan Balitbang Kota Medan tersebut menunjukkan penerapan paling tidak tiga dimensi paradigma penelitian dan pengembangan yaitu dimensi responsif, dimensi antisipatif, dan dimensi akuisitif terhadap opini publik. Contoh lain adalah analisis yang dilakukan Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Provinsi Sumatera Utara terhadap kebutuhan pendidikan kejuruan dalam mendukung pengembangan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Sei Mangkei di Provinsi Sumatera

Utara (Jaringan Penelitian Pendidikan Provinsi Sumatera Utara, 2013). KEK Sei Mangkei ini merupakan kawasan strategis dari Program Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia yang dijadikan percontohan pertama dan dirancang untuk mengakomodir 200 unit industri pengolahan produk kelapa sawit, aneka industri, logistik, pariwisata, serta UMKM dari hulu hingga hilir berkelas dunia. Industri semacam ini disamping membutuhkan tenaga ahli, juga membutuhkan tenaga terampil dalam jumlah yang sesuai kebutuhan dan bidang keahlian. Untuk itu diperlukan adanya pemetaan kemampuan dan keterampilan Sumber Daya Manusia Ilmu dan Pengetahuan (SDM-Iptek) di KEK Sei Mangkei melalui jalur pendidikan yaitu melalui penyiapan SDM terampil tenaga menengah antara lain pada Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). Analisis yang dilakukan Balitbang Provinsi Sumatera Utara ini menerapkan dimensi futuristik, antisipatif, responsif, sistematis dan akusitif terhadap opini publik. Pada akhirnya analisis tersebut akan sangat bermanfaat bagi pemegang kebijakan karena dapat memberdayakan dan mengoptimalkan keberadaan sumber daya manusia yang berada di sekitar lokasi KEK Sei Mangke. Anggaran. Ketersediaan anggaran menjadi salah satu faktor yang sangat menentukan dalam pelaksanaan penelitian-penelitian yang hasilnya memiliki tingkat kepercayaan dan tingkat keberterimaan yang tinggi dalam rangka perumusan atau penyempurnaan kebijakan. Berbagai data mengungkapkan bahwa anggaran penelitian dan pengembangan (litbang) yang dialokasikan pada berbagai badan atau lembaga khususnya di instansi pemerintah cenderung masih belum memadai. Data Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (2012) menunjukkan alokasi anggaran untuk penelitian dan pengembangan di beberapa Kementerian/Lembaga (K/L) pada tahun anggaran 2013, di antaranya (1) Program Penelitian dan Pengembangan Kementerian Dalam Negeri sebesar Rp. 68.594.566.000,-; (2) Program Penelitian dan Pengembangan Kementerian Kehutanan sebesar Rp. 274.386.900.000,-; (3) Program Penelitian dan Pengembangan Kementerian Perindustrian sebesar Rp 458.853.728.000,-; (4) Program Penelitian dan Pengembangan dan Pendidikan dan Pelatihan, Kementerian Agama sebesar Rp 475.663.000.000,-; dan (5) Program Penelitian dan Pengembangan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sebesar Rp 1.295,460.000,-. Dalam Nota Keuangan dan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun 2013 (Kementerian Keuangan, 2012)

64


Paradigma, Anggaran dan Kerjasama Penelitian Kebijakan (Hendarman)

dinyatakan bahwa pemanfaatan anggaran untuk penelitian dan pengembangan (litbang) pada Kementerian-Kementerian tersebut di atas untuk mencapai outcome tertentu. Pada Kementerian Kehutanan maka outcome adalah “minimal 60 % hasil penelitian dan pengembangan kehutanan dapat dimanfaatkan dalam pengambilan kebijakan, pengelolaan teknis kehutanan, dan pengayaan ilmu pengetahuan termasuk pengembangan kebijakan dan teknis yang berkaitan dengan isuisu”; pada Kementerian Dalam Negeri (Kemdagri) maka outcome yang ditetapkan adalah “meningkatnya pemanfaatan hasil penelitian sebagai bahan rekomendasi perumusan kebijakan”; sedangkan pada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) yaitu “tersedianya model pembelajaran, data, dan informasi serta standar mutu PAUD, pendidikan dasar, menengah, tinggi dan pendidikan orang dewasa, dan akreditasinya”. Ketersediaan anggaran program penelitian dan pengembangan (litbang) pada contoh empat kementerian tersebut tampaknya masih belum dapat dikatakan layak. Belum layaknya alokasi anggaran litbang tersebut diperkuat oleh argumentasi Maarif (2012) yang membandingkan anggaran belanja untuk penelitian dan pengembangan (litbang) berdasarkan Pendapatan Domestik Bruto (PDB). Dibandingkan dengan negara-negara lainnya, anggaran belanja untuk litbang di Indonesia masih kurang dari 1% dari Pendapatan Domestik Bruto (PDB) yaitu sebesar 0,07%. Sedangkan pemerintah Jepang dan Korea telah menetapkan belanja untuk keperluan litbang sebesar 0,3% dan 0,4% dari PDB. Pengamatan Maarif menunjukkan bahwa dalam kurun waktu 40 tahun, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) di Indonesia telah naik 4000 kali akan tetapi kenaikan untuk belanja litbang hanya naik sebesar 400 kali. Rendahnya anggaran penelitian juga dikemukakan oleh Surapranata (2011), mantan Menteri Negara Riset dan Teknologi, terutama dikaitkan dengan upaya mengejar ketertinggalan teknologi dibandingkan negara lain. Secara ideal, Indonesia seharusnya menyediakan anggaran penelitian setidaknya 1 persen dari produk domestik bruto yaitu mencapai Rp 63 triliun setiap tahunnya. Pada kenyataannya, anggaran penelitian Indonesia yang dibiayai melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) baru mencapai Rp 10 triliun. Dana tersebut tersebar di 35 kementerian dan lembaga sebagai dana penelitian dan pengembangan institusi. Dengan demikian, masih diperlukan tambahan dana

setidaknya Rp 53 triliun guna memenuhi kebutuhan dana penelitian ini. Mengingat keterbatasan anggaran penelitian tersebut, peran pihak swasta dan masyarakat madani (civil society) menjadi penting untuk dapat berkontribusi dalam memenuhi kebutuhan dana penelitian. Namun, belum ada suatu data akurat yang dapat menunjukkan besarnya kontribusi swasta dalam dana penelitian nasional. Di luar negeri, porsi dana penelitian yang berasal dari swasta sebesar 80 persen. Di samping terbatasnya anggaran, jumlah peneliti di Indonesia masih belum memadai dibandingkan negara tetangga. Data tahun 2008 menunjukkan bahwa jumlah peneliti Indonesia mencapai 42.722 orang yang berarti bahwa untuk setiap 1 juta penduduk terdapat 199 peneliti. Jumlah tersebut relatif rendah apabila dibandingkan dengan Singapura yang sudah mencapai 5000 peneliti untuk 1 juta penduduk dan di Malaysia yang memiliki 503 peneliti untuk setiap 1 juta penduduk. Sejalan dengan jumlah peneliti, Indonesia ternyata juga kecil dalam publikasi karya ilmiah. Jumlah artikel ilmiah yang dipublikasikan di Indonesia hanya 0,9 artikel per 1 juta penduduk. Bila dibandingkan dengan Singapura yang bisa mencetak 831 artikel, Malaysia mencetak 24 artikel dan Thailand yang mencetak 20 artikel per satu juta penduduk (Maarif, 2012). Kerjasama. Mengingat keterbatasan anggaran penelitian tersebut, kerjasama antara pusat, daerah dan perguruan tinggi untuk mengembangkan pemanfaatan potensi unggulan menjadi sangat penting (http://edukasi.kompas.com/read/2012/01/03 /09381517/Alokasi.Anggaran.bagi.Peneliti.di.Da erah, 2012). Kerjasama tersebut antara lain dapat difokuskan untuk penguatan sistem inovasi di tingkat nasional ataupun daerah. Pada kenyataannya, kegairahan dan minat kalangan dosen di perguruan tinggi untuk melaksanakan kegiatan penelitian masih relatif rendah. Di Universitas Udayana (Unud) Bali misalnya, dari 1600 orang dosen yang mengabdi di Unud, hanya sekitar 30 persen secara intensif menekuni kegiatan penelitian. Secara ideal, presentase dosen yang melakukan penelitian di lembaga pendidikan tinggi minimal 50 persen. Rendahnya minat terhadap penelitian di perguruan tinggi ternyata tidak terlepas dari minimnya dana penelitian. Sumber dana untuk penelitian di perguruan tinggi sampai saat ini, berasal dari dekonsentrasi Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Ditjen Dikti Kemendikbud), dana mandiri dan juga bantuan pihak ketiga (http://www.sinarharapan.co/duniakampus/de tile-908-gairah-dosen-peneliti-di-kampus.html,

65


Inovasi Vol. 11 No. 1, Maret 2014: 60-69

2012). Menarik untuk mencermati upaya yang telah dilakukan oleh Universitas Indonesia (UI) dalam rangka menciptakan iklim penelitian dan penghargaan pada peneliti. Universitas Indonesia telah melakukan langkah penataan dosen (career path) sebagai bentuk perhatian kepada peneliti yaitu membagi dosen dalam dua jenis yaitu dosen inti penelitian dan dosen inti pengajaran. Para dosen yang berkarya di bidang penelitian mendapat gaji yang lebih tinggi. Para dosen yang memilih karier di penelitian mendapatkan beban mengajar yang lebih sedikit. Gaji dosen peneliti di UI Rp 15 juta-Rp 38 juta. Argumentasi kebijakan ini adalah “Riset terkait inovasi yang bisa dikembangkan jika ada mindset untuk mengedepankan riset serta menghargai hasil riset dan perisetnya” (http://www.sinarharapan.co/duniakampus/de tile-908-gairah-dosen-peneliti-di-kampus.html, 2012). Dalam konteks ini, penting untuk mempertimbangkan sebuah adagium “Publish or Perish” yang sangat terkenal di kalangan para dosen peneliti di kampus berkelas dunia, khususnya dalam tradisi akademik Amerika. Adagium ini secara sederhana dimaknai sebagai melakukan publikasi atau binasa/hancur, sudah diterapkan secara konsisten dimana kalangan akademik dituntut untuk produktif dalam menghasilkan publikasi berkualitas. Para akademisi dan dosen peneliti berlomba-lomba secara sehat untuk terus meneliti, menulis hasil penelitian dalam sebuah paper dan mengirimkan ke jurnal-jurnal kredibel di dunia untuk dinilai oleh para "peer reviewer" berkelas dunia. Tujuan mengirimkan ke jurnal-jurnal yang kredibel tersebut adalah untuk menguji sejauhmana karya penelitiannya layak muat atau hanya tergolong paper kelas “ecek-ecek”. Bila para dosen peneliti apalagi guru besar (profesor) tak mampu berkarya yang salah satu indikator utamanya adalah tidak dimuat di jurnal-jurnal kelas dunia, banyak dari mereka yang dengan jiwa ksatria mundur dari kampus kelas dunia untuk alih profesi. Bahkan terdapat kasus dimana para penyandang PhD di Amerika Serikat yang menjadi supir taksi atau pencuci piring di restoran karena kegagalan mereka menembus jurnal-jurnal kredibel dunia tersebut. Berdasarkan data dari Scopus yang mengindeks lebih dari 17.000 judul publikasi, termasuk jurnal dan prosiding, menunjukkan bahwa selama 15 tahun (1996-2010), akademisi Amerika menghasilkan lebih dari 5 juta publikasi. Indeks dari Scopus inilah yang juga digunakan untuk menghitung sitasi publikasi per dosen oleh QS World University Rankings. Peringkat versi 2011/2012 masih menunjukkan

supremasi universitas dari Amerika Serikat dan Eropa. Publikasi hasil penelitian dalam jurnaljurnal tersebut merupakan suatu tanggung jawab sosial dari peneliti sehingga setiap orang dapat mengerti seterang - terangnya mengapa peneliti melakukan sesuatu. Menarik untuk mengutip pernyataan Ketua LIPI pada workshop yang mempunyai tema "Meningkatkan Penerimaan Karya Tulis Ilmiah di Jurnal Ilmiah Internasional" di Cibinong Science Center, Cibinong, Jawa Barat, yaitu "Kita sebagai peneliti memiliki tanggung jawab sosial untuk mengkomunikasikan hasil – hasil penelitian kepada seluruh lapisan masyarakat umum" (http://nationalgeographic.co.id/berita/2012/1 2/peneliti-indonesia-dituntut-tingkatkankualitas-publikasi-ilmiah, 2012). Dalam konteks kerjasama ini, inisiatif yang dilakukan Pusat Penelitian Kebijakan (Puslitjak) Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Balitbang Kemdikbud) dapat digunakan sebagai salah satu contoh untuk dikaji. Kerjasama dilakukan melalui pembentukan jaringan penelitian (jarlit) dengan pemerintah daerah pada tingkat provinsi/kabupaten/kota termasuk Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Provinsi Sumatera Utara dan Balitbang di kabupaten/kota dalam lingkup provinsi Sumatera Utara. Kerjasama dimaksud sekaligus sebagai suatu bentuk efektivitas dan efisiensi karena dapat mengatasi permasalahan keterbatasan anggaran dan sumber daya manusia (peneliti) yang ada. Di samping itu, melalui kegiatan kerjasama tersebut maka penelitian-penelitian dapat mencakup sampel penelitian yang lebih besar, data yang lebih akurat, dan informasi yang terkini karena adanya komunikasi secara intensif dari waktu ke waktu. Kota Tebingtinggi telah mengembangkan jaringan penelitian berdasarkan SK Walikota No. 420/205 Tahun 2003 tentang pembentukan kelompok kerja jaringan kerjasama penelitian kebijakan, pendidikan nasional di Kota Tebing Tinggi. Surat Keputusan (SK) Walikota tersebut menggariskan bahwa (1) Pemerintah Kota Tebing Tinggi bekerjasama dengan dinas pendidikan menawarkan layanan Profesional di Bidang SDM kepada guru negeri/swasta tingkat SMP, SMA dan SMK, (2) Pemerintah Kota Tebing Tinggi bekerjasama dengan Jarlitbangdik Provinsi Sumatera Utara, Universitas Negeri Medan sebagai narasumber, dan (3) Pemerintah Kota Tebing Tinggi bekerjasama dengan Jarlitbang Kementerian Pendidikan Nasional sebagai narasumber.

66


Paradigma, Anggaran dan Kerjasama Penelitian Kebijakan (Hendarman)

anggota jaringan penelitian. Keterlibatan unsur unsur penentu kebijakan di tingkat daerah provinsi/kabupaten/kota yaitu agar jaringan penelitian harus melibatkan unsur perguruan tinggi, pemerhati pendidikan maupun pakar-pakar lainnya dalam keanggotaan jaringan penelitian. Keterlibatan tersebut harus mendapat pengesahan secara formal dari pimpinan daerah yang ditindaklanjuti dengan komitmen pimpinan daerah untuk mengalokasikan anggaran khusus dalam APBD bagi pelaksanaan kegiatan-kegiatan jaringan penelitian. Kejelasan status yaitu bahwa anggota-anggota jaringan penelitian di provinsi/kabupaten/kota seyogianya bersifat permanen dalam arti mereka tidak dimutasi dari waktu ke waktu. Pemindahan anggota dari waktu ke waktu akan melemahkan koordinasi di samping juga menyebabkan pemborosan terutama bagi mereka yang pernah mengikuti pelatihan khusus terkait penelitian tetapi kemudian dibebaskan sebagai anggota peneliti akibat promosi atau mutasi. Hal lain yaitu agar anggota-anggota jaringan penelitian daerah dimotivasi dan didorong untuk menjadi pejabat fungsional peneliti dengan berpedoman pada ketentuan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Hal ini sebagai suatu bentuk insentif karena jabatan struktural jumlahnya terbatas dan pengamatan di berbagai kasus bahwa jabatan struktural sangat rentan terhadap perubahan yang terjadi akibat proses politisasi dan lain-lain. Pendekatan eksternal yaitu mendorong setiap jaringan penelitian yang ada di tingkat provinsi/kabupaten/kota untuk secara proaktif membuka diri dengan membuka kemungkinan kerjasama dengan perguruan tinggi yang di daerah dengan tidak membedakan antara perguruan tinggi negeri maupun swasta. Pentingnya kerjasama tersebut didasarkan atas kenyataan bahwa perguruan tinggi khususnya negeri pada umumnya memperoleh hibah penelitian dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan melalui Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Kerjasama dapat dilakukan dengan cara menyelaraskan fokus penelitian sesuai dengan rencana kegiatan maupun peta-jalan (roadmap) penelitian pendidikan yang telah dikembangkan oleh jaringan penelitian di tingkat provinsi/kabupaten/kota maupun badan penelitian dan pengembangan tingkat provinsi/kabupaten/kota.

Adapun kegiatan yang sudah dilakukan oleh jaringan penelitian kota Tebingtinggi di antaranya (1) melakukan kajian perluasan akses efisien dan mutu pendidikan Kota Tebing Tinggi pada tahun 2007, (2) melaksanakan pelatihan penelitian bagi guru-guru dari tingkat SD sampai SLTA sebanyak 7 orang dan guru-guru tersebut mengikuti simposium tingkat Nasional di Jakarta pada tahun 2008, (3) melaksanakan pelatihan jaringan penelitian yang diikuti guru-guru dari tingkat SD sampai SLTA sebanyak 11 orang dimana 5 orang mengikuti simposium tingkat Nasional di Jakarta pada tahun 2009, dan (4) melaksanakan pelatihan jaringan penelitian yang diikuti guru-guru dari tingkat SMP sampai SLTA sebanyak 13 orang pada tahun 2010. Di samping itu, Jarlit kota Tebingtinggi juga sudah menganalisis perhitungan kebutuhan dana Biaya Operasional Satuan Pendidikan (BOSP) Kota Tebingtinggi, menganalisis kesesuaian kompetensi lulusan SMK dengan kebutuhan dunia usaha/dunia industri, dan mengembangkan model audit kinerja guru dalam mendukung program sertifikasi pendidik. Pada kenyataannya, masyarakat dan pemangku kepentingan (stakeholders) belum banyak yang mengetahui adanya inisiatif tersebut. Kerjasama antara Puslitjak dan jarlit di tingkat provinsi/kabupaten/kota sampai saat ini masih baru dalam bentuk pemahaman tentang pentingnya melakukan kolaborasi dan belum mengarah kepada pentingnya publikasi penelitian. Hasil-hasil penelitian yang telah dilakukan masih terbatas dalam konteks lokalitas jaringan penelitian semata-mata dan belum dapat diakses publik secara langsung dan transparan. Akses dimaksud baik dalam bentuk online ataupun bentuk cetak lainnya sekaligus akan menjadi bentuk akuntabilitas kinerja dari jaringan penelitian yang ada, di samping sekaligus dapat menjadi bahan tambahan bagi pemegang kebijakan di daerah untuk secara bijaksana menetapkan keputusan baru yang lebih layak dan sesuai dengan kebutuhan dan potensi daerah masing-masing. Dengan demikian, seharusnya pembuat kebijakan pendidikan serta pemangku kepentingan lainnya hanya akan mempertimbangkan dan mengacu kepada data dan informasi hasil dari jaringan penelitian tersebut sebelum menyusun atau mengusulkan program-program serta kegiatan di bidang pendidikan. Untuk dapat mempertahankan dan memberdayakan kerjasama jaringan penelitian tersebut di masa mendatang perlu dilakukan pendekatan internal maupun eksternal (Hendarman, 2011). Pendekatan internal yaitu berupa (1) keterlibatan unsur penentu kebijakan di tingkat daerah, dan (2) kejelasan status anggota-

KESIMPULAN Keberadaan dan peran lembaga penelitian dan pengembangan cenderung masih belum dianggap penting karena belum dapat memberikan masukan dan kontribusi secara cepat terhadap kebijakan yang akan dan sedang diimplementasikan yang merupakan implikasi dari menggunakan paradigma konvensional. Penelitian lebih sebagai tindakan reaktif dan

67


Inovasi Vol. 11 No. 1, Maret 2014: 60-69

dilakukan setelah adanya peristiwa atau isu, tidak berinteraksi dengan pemangku kepentingan terkait yang menjadi pengguna dari penelitian yang dilakukan. Hasil penelitian tidak dikomunikasikan kepada pihak lain melainkan digunakan untuk keperluan penambahan angka kredit peneliti, dan tidak bersinergi dengan pakar yang relevan. Alokasi anggaran kegiatan penelitian dan pengembangan termasuk penelitian kebijakan masih cenderung belum memadai. Alokasi anggaran yang diberikan karena mempertimbangkan aturan yang mengatur lembaga penelitian dan pengembangan merupakan bagian dari organisasi dan tata kerja kementerian/lembaga tertentu yang sudah diatur secara formal dalam peraturan perundang-undangan. Kerjasama penelitian kebijakan yang dilakukan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah di tingkat provinsi/kabupaten/kota merupakan suatu alternatif model yang cukup efektif dan efisien untuk mengatasi permasalahan keterbatasan anggaran dan sumber daya manusia (SDM) peneliti yang sekaligus memungkinkan untuk memperoleh data dan informasi lebih luas, banyak, cepat, akurat dan terkini dengan biaya yang tidak terlalu besar dari daerah-daerah yang dapat memperkuat pengambilan keputusan bagi pemangku kepentingan terkait baik di tingkat pusat maupun daerah.

3.

memadai baik dalam Anggaran Pendapat dan Belanja Negara (APBN) maupun dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) atau pemberian kesempatan kepada mereka yang aktif dalam kegiatan-kegiatan penelitian untuk memperkuat kompetensi dan kualifikasi dalam melakukan penelitian kebijakan. Sinergitas dengan berbagai lembaga baik di tingkat pusat maupun tingkat pemerintah daerah provinsi/kabupaten/kota perlu difasilitasi dan diprioritaskan di masa mendatang karena dapat mengatasi permasalahan kendala keterbatasan anggaran yang dialokasikan untuk penelitian dan keterbatasan sumber daya manusia yang memiliki kompetensi melakukan penelitian. Sinergitas dimaksud sebaiknya dilakukan dalam suatu bentuk mengikat yaitu dalam bentuk kesepakatan bersama yang sekaligus dapat menjadi rasional formal untuk pengajuan dan persetujuan anggaran dari pihak legislatif selaku pemegang kewenangan hak anggaran.

DAFTAR PUSTAKA Alokasi Anggaran bagi Peneliti di Daerah. 2012. (Online). Dari: http://edukasi.kompas.com/read/2012/01/03/0938 1517/Alokasi.Anggaran.bagi.Peneliti.di.Daerah. (Diakses: 15 Agustus 2013). Badan Penelitian dan Pengembangan Kota Medan. 2012. Studi Evaluasi Ujian Nasional & Penerimaan Siswa Baru dalam Upaya Meningkatkan Mutu Pembelajaran di Kota Medan (Laporan). Medan: Badan Penelitian dan Pengembangan Kota Medan.

REKOMENDASI 1. Keberterimaan hasil penelitian kebijakan oleh berbagai pemangku kepentingan mempersyaratkan adanya perubahan dalam paradigma pelaksanaan penelitian kebijakan yaitu menjadi futuristik, antisipatif, responsif, analitis, dan akuisitif opini publik. Paradigma dimaksud akan berimplikasi bahwa setiap penelitian kebijakan harus mampu menjawab apa yang akan terjadi ke depan dengan memperhatikan isu-isu yang berkembang khususnya yang berasal dari pemangku kebijakan yang dilakukan dengan segera sebelum muncul kritikan-kritikan. 2. Perhatian dan dukungan dari pemerintah pusat maupun pemerintah daerah harus ditingkatkan sehingga penelitian kebijakan yang dilakukan dapat memberikan kontribusi rekomendasi untuk sejumlah intervensi kebijakan yang seyogianya diambil khususnya oleh pemerintah daerah dalam rangka pencapaian kinerja yang lebih baik dan bermutu khususnya di sektor pendidikan. Dukungan dimaksud termasuk pengalokasian anggaran dalam jumlah yang

Balitbang Kemdikbud. 2012. Rencana Strategis Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (draf). Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Cohen, Louis; Manion, Lawrence; dan Morrison, Keith. 2007. Research Methods in Education. New York: Routledge. Cooper, Harris. 2010. Research Synthesis and Metaanalysis: A Step-by-Step Approach (4th ed.). London: SAGE Publications Ltd. Cooper, Donald C., dan Schindler, Pamela.S. 2001. Business Research Methods (7th edition). New York: McGraw-Hill. Gairah Dosen Peneliti di Kampus. 2012. (Online). Dari: http://www.sinarharapan.co/duniakampus/detile908-gairah-dosen-peneliti-di-kampus.html. (Diakses: 20 Agustus 2013).

68


Paradigma, Anggaran dan Kerjasama Penelitian Kebijakan (Hendarman)

Harian Kompas. 2011a. Layanan Pendidikan: Siswa Sekolah Rumah Sulit Ikuti Ujian Kesetaraan. 10 Mei 2011, halaman 12

Putra, Nusa. dan Hendarman. 2012. Metodologi Penelitian Kebijakan. Bandung: Penerbit PT Remaja Rosdakarya.

Harian Kompas. 2011b. Gunakan Fasilitas Penelitian Bersama: 17 Laboratorium BPPT Bisa Digunakan ITB. 9 April 2011, halaman 12.

Surapranata, Suharna. 2011. Menristek: Kebutuhan Dana Penelitian Rp 63 Triliun. Tempo Interaktif. Jum'at, 22 April 2011 (Pukul 13:14 WIB)

Hendarman. 2012. Roadmap (Peta Jalan) Penelitian Kebijakan Pendidikan. (Prosiding “Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan: Peranan Budaya dan Inovasi Pembelajaran dalam Pemantapan Pendidikan Karakter� diselenggarakan oleh Pusat Studi Kebijakan dan Pusat Studi Budaya, Lembaga Penelitian Universitas Negeri Yogyakarta) – ISBN 978-979-562023-5

Widodo, Joko. 2007. Analisis Kebijakan Publik: Konsep dan Aplikasi Analisis Proses Kebijakan Publik. Malang: Bayumedia Publishing.

UCAPAN TERIMA KASIH Penulis menyampaikan penghargaan dan terima kasih kepada pimpinan Badan Penelitian dan Pengembangan Provinsi Sumatera Utara, pimpinan Badan Penelitian dan Pengembangan Kota Medan, serta Kepala Bidang Perencanaan SDM dan Sosbud Bappeda Kota Tebing Tinggi yang telah memberikan data dan informasi terkait paradigma dan sejumlah kegiatan penelitian yang telah dilakukan yang setelah dianalisis, menjadi contoh konkret dan refleksi dari berbagai teori dan gagasan yang diajukan dalam penelitian ini.

Hendarman. 2011. Jaringan Penelitian: Pemberdayaan dan Penguatan Lembaga serta Sumber Daya Manusia dalam Rangka Kontribusi Kebijakan di Bidang Pendidikan Kabupaten/Kota/Provinsi. (Makalah disampaikan pada kegiatan Kajian Bidang Pendidikan dalam rangka Pengembangan Forum Kerjasama Penelitian dan Pengembangan Kebijakan Pendidikan (Jarlitbangdik) di Sumatera Utara yang diselenggarakan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Provinsi Sumatera Utara, di Medan: 10 Mei 2011) Jaringan Penelitian Pendidikan Provinsi Sumatera Utara. 2013. Analisis Kebutuhan Pendidikan Kejuruan dalam Mendukung Pengembangan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Sei Mangkei di Provinsi Sumatera Utara (laporan belum dipublikasi). Medan: Badan Penelitian dan Pengembangan Provinsi Sumatera Utara. Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. 2012. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2012 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2013. Jakarta: Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Kementerian Keuangan. 2012. Nota Keuangan dan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun 2013. Jakarta: Direktorat Jenderal Anggaran, Kementerian Keuangan. Loomis, John. dan Helfand, Gloria. 2001. Environmental Policy Analysis for Decision Making. Kluwer Academic. ISBN 0792365003. Maarif, Syamsul. 2012. Anggaran Penelitian Indonesia Cuma 0,07% dari PDB, dalam Neraca.co.id Senin, 12/03/2012). Marshall, Gordon. 1998. A Dictionary of Sociology. (Encyclopedia.com: http://www.encyclopedia.com/doc/1O88policyresearch.html. Diunduh tanggal 5 Januari 2014). Peneliti Indonesia Dituntut Tingkatkan Kualitas Publikasi Ilmiah. 2012. (Online). Dari: http://nationalgeographic.co.id/berita/2012/12/pen eliti-indonesia-dituntut-tingkatkan-kualitaspublikasi-ilmiah.

69


Inovasi Vol. 11 No. 1, Maret 2014: 70-82

Tinjauan Kepustakaan MANAJEMEN PERUBAHAN TATA KELOLA PADA PULAUPULAU-PULAU KECIL TERDEPAN: IMPLIKASI PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 62 TAHUN 2010

CHANGE MANAGEMENT OF GOVERNANCE IN FOREFRONT SMALL ISLANDS: ISLANDS: IMPLICATIONS OF GOVERNMENT REGULATION NO. 62 YEAR 2010 Prakoso Bhairawa Putera*, Amelya Gustina** *Pusat Penelitian Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (Pappiptek-LIPI) Jln. Jend. Gatot Subroto, No. 10, Gedung A (PDII-LIPI) Lantai 4 – Jakarta 12710 Telp. 021-5251542 ext. 4033 Email: prak001@lipi.go.id, prakoso.bp@gmail.com **Pusat Penelitian dan Pengembangan, Kejaksaan Agung Republik Indonesia Jln. Sultan Hasanuddin, No. 1, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan Email: amelya.gustina0808@gmail.com

Diterima: 10 April 2013; Direvisi: 1 Juli 2013; Disetujui: 5 Agustus 2013

ABSTRAK Berbagai persoalan yang muncul dari wilayah perbatasan terutama keberadaan pulau-pulau kecil terluar dikarenakan lemahnya dalam pengelolaan (manajemen). Saat ini keberadaan pulau-pulau terluar tidak dapat lagi disebutkan sebagai wilayah terluar tetapi justru menjadi wilayah terdepan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hal ini sejalan dengan semangat dari Peraturan Pemerintah Nomor 62 Tahun 2010 bahwa pulau-pulau kecil terluar sebagai Kawasan Stratagis Nasional Tertentu (KSNT) sangat berperan penting untuk kepentingan pertahanan dan keamanan karena berada di beranda depan NKRI. Guna memberikan penguatan dalam pengelolaan, maka tulisan ini memberikan perspektif kritis terhadap perubahan pengelolaan yang berorientasi pada pencapaian tujuan, yaitu penguatan kedaulatan dan stabilitas nasional. Tulis ini mengkaji penerapan manajemen perubahan dalam penataan kembali tata kelola pulau-pulau kecil “terdepan”. Metode yang akan digunakan pada penulisan ini adalah studi pustaka. Temuan dari analisis menunjukkan bahwa pengelolaan pulau-pulau kecil terdepan di Indonesia membutuhkan perubahan dalam pengelolaannya. Perubahan tersebut mencakup transformasi dan perubahan visi, sistem kerja, sampai restrukturisasi dan harus terus menerus dilakukan untuk menjaga keseimbangan dalam sistem. Ada empat wujud dari perubahan tersebut, yaitu 1) perubahan paradigma terhadap pulau-pulau kecil terluar, 2) pengembangan sistem pertahanan dan keamanan di pulau-pulau kecil, 3) pengembangan sistem perekonomian, dan 4) pengembangan aspek sosial budaya, dan kelembagaan. Rekomendasi mendasar dari hasil menunjukkan bahwa manajemen perubahan sangat layak untuk diimplementasikan dan sejalan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 62 Tahun 2010, karena bukanlah teori tetapi sebuah pendekatan yang memfokuskan pada perubahan strategis dan perubahan operasional. Kata kunci: Manajemen Perubahan, Tata Kelola, Pulau-pulau Kecil Terdepan, Negara Maritim, Implikasi Kebijakan

ABSTRACT Various issues that arise from the border areas, especially where the outermost small islands due to the weakness in management (management). When the existence of the outer islands can no longer mentioned as the outlying areas but it became the leading region of the Republic of Indonesia. This is in line with the spirit of the Government Regulation No. 62 of 2010 that the outermost small islands as National Stratagis Region Specific ( KSNT ) plays an important role for the defense and security interests because it was in front of the Homeland porch. In order to

70


Manajemen Perubahan Tata Kelola Pada Pulau-Pulau Kecil Terdepan: Implikasi Peraturan Pemerintah Nomor 62 Tahun 2010 (Prakoso Bhairawa Putera dan Amelya Gustina) provide reinforcement in the management, this paper gives a critical perspective on the management of change -oriented achievement goals, namely the strengthening of sovereignty and national stability. Write a review on the implementation of this management realignment changes in the governance of small islands "cutting edge". The method will be used in this paper is to study literature. The findings of the analysis indicate that the management of small islands in the Indonesian leading requires a change in management. Such changes include the transformation and changes in vision, work systems, to restructuring and should continue to be done to maintain balance in the system. There are four manifestations of these changes, namely 1) a paradigm shift to the outermost small islands, 2) the development of defense and security systems on small islands, 3) the development of the economic system, and 4) the development of socio-cultural, and institutional. The fundamental recommendation of the results shows that change management is feasible to be implemented and in line with Government Regulation No. 62 of 2010, since it is not a theory but an approach that focuses on strategic change and operational changes .

Keywords: Change Management, Governance, Forefront Small Islands, Maritime State, Policy Implications PENDAHULUAN Republik Indonesia merupakan negara kesatuan dengan lebih dari 17.504 pulau dan diyakini masih ada pulau-pulau yang belum diketahui. Pulau-pulau tersebut terpisahkan oleh perairan (laut) yang amat luas, dengan 5,8 juta km persegi atau dengan kata lain tiga kali lebih luas daratan. Wajar jika kemudian Indonesia dijuluki negara maritim terbesar di dunia. Namun sebutan ”Negara Maritim” tersebut tidak tercermin dari kegiatan penduduknya, yang amat sedikit berorientasi ke laut. (Putera, 2009c). Indonesia yang dikenal sebagai kawasan dengan kepulauan dan perairan laut memiliki sumber ketetapan yang jelas mengenai pengakuan wilayah perairan. Deklarasi Djoeanda (1957) yang berisikan tentang konsepsi negara Nusantara yang diterima masyarakat dunia dan ditetapkan dalam Konvensi Hukum Laut Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB), United Nation Convention on Law of the Sea (UNCLOS) 1982, yang menyatakan wilayah laut Indonesia. Ironisnya, Pulau Sipadan dan Ligitan jatuh menjadi bagian dari negara Malaysia dengan putusan legal dari Mahkamah Internasional, yang kemudian disusul dengan sengketa di Perairan Ambalat. (Putera, 2008). Kedua hal ini muncul disaat pemerintah sedang mengupayakan proses perubahan paradigma yang tidak hanya meletakkan daratan sebagai pokok pembangunan. Namun disatu sisi, peristiwa tersebut memberikan hikmah positif bagi bangsa Indonesia untuk meningkatkan kepedulian nasional mengenai urgensi penataan dan pemeliharaan terhadap batas wilayah serta pembangunan di daerahdaerah di kawasan perbatasan terutama isu pengelolaan pulau-pulau kecil terluar. Selama ini, perhatian dan kepedulian pemerintah pusat terhadap pembangunan di kawasan pulau-pulau terluar yang berbatasan langsung dengan negara tetangga masih sangat

rendah. Dikarenakan oleh kendala keterbatasan anggaran serta lebih riuh rendahnya gemuruh perpolitikan di tingkat pusat membuat daerahdaerah perbatasan seolah ‘wilayah tak bertuan’. Penduduk di wilayah perbatasan lalu menjadi ‘terasing dari negerinya sendiri’ dan memang secara politis maupun juga ekonomis dari komunikasi menjadi terisolir. Realitas faktual ini terutama kasus Ambalat mendorong dan menggerakkan kemauan politik (political will) yang lebih kuat dan terarah dari Pemerintah RI untuk secara riil, koordinatif dan terfokus semakin memberikan aksentuasi pada pembangunan dan pengawasan di wilayah perbatasan, termasuk dan terutama di kawasan yang oleh karena suatu faktor atau beberapa faktor tertentu dapat menjadi ‘lahan perebutan’ antar negara. Sebutlah, misalnya karena di wilayah tersebut terkandung deposit minyak atau sumber daya alam lainnya yang melimpah namun belum sempat tersentuh serta belum dapat digali dan dikelola. Kurangnya kemampuan pemerintah pusat membangun dan mengawasi wilayah perbatasan RI menjadi salah satu kelemahan fundamental yang mengakibatkan mudahnya terjadi tindak pencurian ikan (illegal fishing) ataupun pencurian dan penyelundupan kayu (illegal logging) serta berbagai kekayaan Indonesia lainnya. (Putera, 2008). Dari perspektif sosial-politik, hal ini sesungguhnya mencerminkan bahwa kedaulatan kita atas negara/wilayah sendiri masih sangat rapuh dan rentan, sehingga memungkinkan terjadinya pelanggaran perbatasan bahkan yang lebih merugikan lagi ’pencaplokan wilayah perbatasan’ sebagaimana yang nyaris terjadi di Ambalat. (Putera, 2009c). Wilayah perbatasan sebagai batas kedaulatan suatu negara secara universil memiliki peran strategis dalam penentuan kebijakan pemerintak baik untuk kepentingan nasional maupun hubungan antar negara

71


Inovasi Vol. 11 No. 1, Maret 2014: 70-82

(Kurnia, 2006). Tanpa disadari wilayah perbatasan laut merupakan beranda depan keseluruhan wilayah negara. Sebagai beranda depan, maka sudah barang tentu perbatasan merupakan daerah yang mudah diakses oleh negara-negara yang berbatasan, sehingga secara otomatis wajar bila wilayah ini yang paling rentan terhadap pengaruh dari luar baik dalam bentuk ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya dan Hankam. Komitmen pemerintahan menyangkut keutuhan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) memerlukan upaya di berbagai bidang penyelenggaraan negara di

pemerintahan yang baik dan sinergis. Kawasankawasan perbatasan laut pada umumnya ditandai pulau-pulau terluar yang jumlahnya 92 pulau. Hingga kini beberapa di antaranya masih perlu penataan dan pengelolaan yang lebih intensif karena ada kecenderungan permasalahan dengan negara tetangga. Terdapat 12 pulau kecil terluar yang mendapatkan prioritas, seperti terlihat pada Gambar 1., yakni Pulau Rondo, Pulau Sekatung, Pulau Nipa, Pulau Berhala, Pulau Marore, Pulau Miangas, Pulau Marampit, Pulau Dana, Pulau Fani, Pulau Fanildo, Pulau Bras, dan Pulau Batek.

Sumber: http://www.faridyuniar.web.ugm.ac.id/tampil_peta.html Gambar 1. Sebaran Pulau-pulau Kecil Terluar dalam Wilayah NKRI. Pulau-pulau kecil secara harfiah merupakan kumpulan pulau berukuran yang secara fungsional saling berinteraksi dari sisi ekologi, ekonomi, sosial, dan budaya. Interaksi ini menyebabkan pulau-pulau kecil tersebut terpisah dari pulau induknya. Menurut Griffith dan Inniss (1992) serta (Beller, 1990) seperti yang dirangkum oleh Mustafa (2006), pulaupulau kecil memiliki karakteristik yang sangat menonjol yaitu a) Terpisah dari habitat pulau induk sehingga bersifat insuler, b) Memiliki persediaan air tawar yang terbatas, termasuk air tanah atau air permukaan, c) Rentan terhadap gangguan eksternal, baik alami maupun akibat kegiatan manusia. d) Memiliki spesies endemik yang memiliki fungsi ekologi yang tinggi, e) Tidak mempunyai daerah hinterland. Berdasarkan sudut pandang luas, Brookfield (1990) mengemukakan bahwa pulaupulau kecil memiliki luas tidak lebih dari 1.000 kilometer persegi dengan jumlah penduduk lebih kecil dari 100.000 jiwa. Pandangan ini berbeda dengan Keputusan Menteri Kelautan

dan Perikanan Nomor 41 Tahun 2000, yang mendefinisikan pulau-pulau kecil sebagai pulau yang ukuran luasnya kurang dari 10.000 kilometer persegi dengan jumlah penduduk sekitar 500.000 jiwa. Pulau-pulau kecil di Indonesia terdiri dari pulau-pulau yang mempunyai nilai ekonomis tinggi dan nilai strategis penting, yaitu pulaupulau kecil terluar yang secara geografis berbatasan dengan laut lepas dan perbatasan yang menjadi titik dasar (TD) sebagai acuan dalam penetapan batas wilayah NKRI. Menurut Departemen Pertahanan (2003), Dishidros (Dinas Hidrografi dan Oseanografi) TNI AL (2003) dan berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 78 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Pulau-pulau Kecil Terluar, dari 17.504 pulau yang dimiliki oleh Indonesia terdapat 92 pulau kecil berada di posisi terluar, 67 pulau di antaranya berbatasan langsung dengan negara tetangga sebagai pulau-pulau kecil terluar. Berikut rekapitulasi sebaran 67

72


Manajemen Perubahan Tata Kelola Pada Pulau-Pulau Kecil Terdepan: Implikasi Peraturan Pemerintah Nomor 62 Tahun 2010 (Prakoso Bhairawa Putera dan Amelya Gustina)

pulau kecil terluar tersebut terlihat pada Tabel 1. Tabel 1. Jumlah Pulau yang Berhadapan Langsung dengan Negara Tetangga Negara India Malaysia Singapura Vietnam Filipina Australia Timor Leste Palau Papua Nugini Samudra Pasifik Jumlah Sumber: diolah dari Departemen Pertahanan, (2003) Guna memberikan batasan yang jelas, maka pada penulisan ini pulau kecil terluar didefinisikan sebagai pulau dengan luas area kurang atau sama dengan 2000 km2 (dua ribu kilometer persegi) yang memiliki titik-titik dasar koordinat geografis yang menghubungkan garis pangkal laut kepulauan sesuai dengan hukum internasional dan nasional. Definisi ini telah diselaraskan dengan pengertian mengenai pulau-pulau kecil terluar berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 62 Tahun 2010. Untuk pulau-pulau terluar, pengamanan selama ini lebih banyak ditujukan kepada usaha simbolis seperti pemberian nama, daripada usaha membangun daerah dan pulau-pulau perbatasan dan memasukkan mereka ke dalam main stream kehidupan ekonomi dan politik Indonesia secara keseluruhan. beberapa kasus Timor Gap, Natuna (sengketa landas kontinen antara Indonesia dan Vietnam), Sipadan Ligitan, Ambalat, dan Karang Unarang (Putera, 2009c). Kondisi yang telah terjadi mengisyaratkan bahwa kedaulatan wilayah laut adalah wajib untuk dikuatkan. Semua hal tersebut dikarenakan lemahnya dalam pengelolaan (manajemen). Guna memberikan kekuatan terhadap beberapa kepentingan dalam pengelolaan, maka diperlukan perubahan pengelolaan yang berorientasi pada pencapaian tujuan. Manajemen perubahan (MP) merupakan pendekatan baru yang dikembangkan dan populer dalam menyelesaikan permasalahan pada setiap tatanan. Manajemen perubahan, sesuai dengan namanya digunakan untuk melakukan perubahan atau untuk menghadapi perubahan. Perubahan perlu dilakukan karena situasi dan kondisi berubah, tuntutan, dan bahkan perkembangan pada tataran praktispun mengharuskannya. Manajemen Perubahan tidak hanya perlu diterapkan pada perubahan yang

Jumlah 5 22 3 3 10 15 1 6 1 1 67

sifatnya relatif dapat diprediksi (predictable), tetapi MP juga relevan untuk menghadapi perubahan drastis yang disebabkan oleh hal-hal yang tidak dapat diprediksikan jauh sebelumnya (unpredictable). Contoh penyebab perubahan itu adalah bencana alam (seperti gempa, angin kencang, banjir, kelaparan, dan sebagainya), dan masih banyak lagi. Berdasarkan pemikiran inilah maka pada tulisan ini mengungkapkan pendekatan manajemen perubahan dalam penataan kembali tata kelola pulau-pulau kecil terluar. Hal ini sarat akan pemikiran bahwa perubahan sesuai dengan definisi yang disampaikan oleh Davidson (2005) bisa bermakna melakukan hal-hal dengan cara baru, mengikuti jalur baru, mengadopsi teknologi baru, memasang dan menggunakan sistem baru, mengikuti prosedurprosedur manajemen baru, menggabungkan, melakukan reorganisasi, atau terjadinya peristiwa yang berisfat mengganggu (disruptive) yang sangat signifikan. Semangat ini sejalan dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 62 Tahun 2010 tentang pemanfaatan Pulau-Pulau Kecil Terluar (PPKT). Kebijakan ini merupakan pelaksanaan dari ketentuan Pasal 27 ayat (2) Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Pendekatan manajemen perubahan cocok dengan paradigma pemanfaat menurut PP Nomor 62 Tahun 2010 tersebut, dimana Pemanfaatan PPKT hanya dapat dilakukan untuk pertahanan dan keamanan, kesejahteraan masyarakat; dan/atau pelestarian lingkungan. Setelah merujuk pada pandangan dan teori yang dikemukan para ahli maka setidaknya ada empat model pendekatan yang umum dilakukan dalam manajemen perubahan. Keempat model tersebut telah dipraktikan dalam sejarahnya, yang harus disadari bahwa perubahan perlu

73


Inovasi Vol. 11 No. 1, Maret 2014: 70-82

mencakup mind-setting sehingga tidak sekedar basa basi atau formalitas. Empat pendekatan tersebut adalah (a) pendekatan rasionalempiris, (b) pendekatan normatif-reedukatif, (c) pendekatan kekuasaan-koersif, dan (d) pendekatan lingkungan-adaptif. Namun, pada penulisan ini lebih cocok untuk didekati dengan pendekatan keempat yaitu lingkungan-adaptif. (Putera, 2011b) Pendekatan lingkungan-adaptif dipilih karena didasarkan pada hipotesa bahwa setiap orang mempunyai kemampuan untuk menyesuaikan diri atau beradaptasi dengan lingkungan atau situasi terbaru sekalipun. Ekstrimnya, jika lingkungan baru telah berubah sama sekali, maka orang mau tidak mau harus menyesuaikan diri agar tetap survive (bertahan). Sehingga manajemen perubahan melakukan fungsi menyusun semacam strusktur operasi baru dan secara bertahap menggeser pada target perubahan dari struktur lama ke struktur baru yang memberikan nilai kemanfaatan (Putera, 2011b). Oleh sebab itu, pada tulis ini

dikaji bagaimana penerapan manajemen perubahan dalam penataan kembali tata kelola pulau-pulau kecil “terdepan�. Tujuan dari tulisan ini untuk mengungkapkan penerapan manajemen perubahan dalam penataan kembali tata kelola pulau-pulau kecil terdepan. Selain itu bertujuan pula untuk mengembangkan konsep manajemen perubahan yang selama ini belum diimplementasikan pada sektor kelautan dan perikanan di Indonesia. METODE Metode yang akan digunakan pada penulisan ini adalah studi pustaka. Data yang digunakan merupakan data sekunder berupa bahan rujukan berasal dari buku, majalah, jurnal ilmiah dan pustaka yang berhubungan dengan masalah penulisan. Disamping itu, memanfaatkan juga data telaah dokumentasi. Dari bahan ini, kemudian diuraikan masalah dan pembahasan masalah penulisan. Alur pikir pada penulisan ini terlihat pada Gambar 2 berikut ini.

Gambar 2. Alur Pikir Penulisan “Manajemen Perubahan Tata Kelola Pada Pulau-Pulau Kecil Terdepan�.

74


Manajemen Perubahan Tata Kelola Pada Pulau-Pulau Kecil Terdepan: Implikasi Peraturan Pemerintah Nomor 62 Tahun 2010 (Prakoso Bhairawa Putera dan Amelya Gustina)

Kesembilan, Kurangnya sosialisasi tentang keberadaan dan pentingnya pulau-pulau terluar.� Persoalan yang terjadi pada pulau-pulau kecil terluar sudah coba diselesaikan oleh pemerintah melalui penerbitan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 62 Tahun 2010 tentang Pemanfaatan Pulau-Pulau Kecil Terluar (PPKT). Kebijakan ini diterbitkan dengan tujuan untuk memberikan pengaturan pemanfaatan pulau-pulau kecil terluar sehingga fungsi pertahanan dan keamanan, kesejahteraan masyarakat dan pelestarian lingkungan dapat terjaga.

HASIL DAN PEMBAHASAN Konsep tata kelola dengan pendekatan manajemen perubahan dapat ditambah dengan konsep pembangunan berkelanjutan. Hal ini menjadi penting mengingat manajemen perubahan juga menitik beratkan pada keberlanjutan perubahan. Konsep ini sejalan dengan pembangunan berkelanjutan. Pembangunan berkelanjutan pada dasarnya mencakup tiga dimensi penting, yakni ekonomi, sosial, dan ekologi. Dengan demikian tujuan pembangunan berkelanjutan terfokus pada keberlanjutan laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi, berkelanjutan kesejahteraan sosial yang adil dan merata, serta keberlanjutan ekologi dalam tata kehidupan yang serasi dan seimbang. Pembangunan berkelanjutan pada pengelolaan pulau-pulau kecil terluar merupakan sebuah keharusan. Hal ini juga dapat diimplementasikan pada konsep manajemen perubahan, sekaligus sebagi solusi dalam penanganan permasalahan seputar pengelolaan terhadap pulau-pulau kecil terluar. Adiyanto, dkk (2007) mencatat ada sembilan permasalahan yang dihadapi pulau-pulau kecil terluar sebagai wilayah perbatasan, antara lain: “Pertama, belum adanya kepastian sebagian garis batas laut dengan negara tetangga. Kedua, untuk pulau-pulau yang berpenduduk, kondisi masyarakat di wilayah tersebut masih terisolir dan termajinalkan, sehingga memifiki tingkat kerawanan yang tinggi di bidang eonomi, politik, dan keamanan. Ketiga, maraknya pelanggaran hukum yang terjadi di wilayah perbatasan seperti penyelundupan, pencurian ikan, trafficking, dan perompakan. Keempat, terbatasnya prasarana dan sarana untuk melakukan pembinaan, pengawasan, dan pengembangan, khususnya terhadap pulaupulau yang terpencil, sulit dijangkau dan tidak berpenghuni. Kelima, ukuran pulau di perbatasan umumnya pulau-pulau yang sangat kecil sehingga sangat rentan terhadap kerusakan baik oleh alam maupun manusia. Keenam, belum sinkronnya pengelolaan perbatasan, baik yang mencakup kelembagaan, program, maupun kejelasan kewenangan. Ketujuh, belum adanya peraturan perundangan yang jelas dan menyeluruh dalam pengelolaan pulaupulau terluar. Kedelapan, adanya salah penafsiran tentang Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Otonomi Daerah yang menimbulkan berbagai konflik dalam kewenangan pengelolaan wilayah perairan.

Implikasi Peraturan Pemerintah Nomor 62 Tahun 2010. Implikasi merupakan pemaknaan kata tersimpul. Pada kebijakan publik, Surjadi (2008) menyebutkan bahwa implikasi merupakan bentuk nyata dari sesuatu tindakan yang dilandasi maksud dan tujuan tertentu. Namun, pada makalah ini implikasi dimaknai sebagai konsekuensi atas diterbitkannya sebuah kebijakan ataupun peraturan. Implikasi pertama, bahwa pemanfaatan PPKT dilakukan secara bersama oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Pemanfaatan tersebut ditujukan untuk menjaga kedaulatan negara (Pasal 2). Artinya pemanfaata PPKT tidak dapat dilakukan secara sepihak, apakah oleh pemerintah pusat saja, atau oleh pemerintah daerah. Sejalan dengan itu pemerintah membentuk badan-badan perbatasan di setiap provinsi/kabupaten/kota yang berbatasan dengan negara lain, sebagaimana diatur oleh Permendagri Nomor 2 Tahun 2011 tentang Pedoman Pembentukan Badan Pengelola Perbatasan di Daerah. Tujuannya, untuk melaksanakan kebijakan pemerintah dan menetapkan kebijakan lainnya dalam rangka otonomi daerah dan tugas pembantuan, melakukan koordinasi pembangunan di kawasan perbatasan, melakukan pembangunan kawasan perbatasan antar-pemerintah daerah dan/atau antara pemerintah daerah dan pihak ketiga (Wuisang, 2013). Implikasi kedua, PPKT merupakan Kawasan Strategis Nasional Tertentu (KSNT), yaitu sebuah kawasan yang terkait dengan kedaulatan negara, pengendalian lingkungan hidup, dan/atau situs warisan dunia, yang pengembangannya diprioritaskan bagi kepentingan nasional. PPKT sebagai KSNT ditetapkan dengan Keputusan Presiden (Pasal 3). Implikasi ketiga, PPKT peruntukannya hanya untuk pemanfaatan bagi pertahanan dan

75


Inovasi Vol. 11 No. 1, Maret 2014: 70-82

yang tidak bertentangan dengan hukum nasional, dan menjaga, memelihara, dan meningkatkan efisiensi dan efektifitas, serta kelestarian fungsi lingkungan di PPKT. Sementara itu, pada tahapan pengawasan, mastarakat dapat berperan sebagai pemberi informasi atau laporan dalam pelaksanaan pemanfaatan PPKT, penyampai laporan dan/atau pengaduan atas kerugian yang ditimbulkan berkaitan dengan pelaksanaan pemanfaatan PPKT, dan pelapor adanya pencemaran dan/atau kerusakan PPKT yang merugikan kelestarian lingkungan. Implikasi kedelapan, mengenai pengawasan dan pengendalian dari pemanfaatan PPKT yang dilakukan oleh pemerintah dan pemerintah daerah. Bahwa sesuai dengan kewenangannya dapat melakukan pemantauan, pengamatan lapangan, dan/atau evaluasi terhadap perencanaan dan pelaksanaannya. Pengawasan dan pengendalian pemanfaatan PPKT dilakukan oleh pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang menangani bidang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil sesuai dengan sifat pekerjaan yang dimilikinya. Berdasarkan kondisi inilah, maka manajemen perubahan diperlukan, sehingga penataan dan pengelolaan pulau-pulau kecil terluar menjadi lebih berdaya. Manajemen perubahan difokuskan pada empat pengembangan sistem; 1) perubahan paradigma terhadap pulau-pulau kecil terluar, 2) pengembangan sistem pertahanan dan keamanan di pulau-pulau kecil, 3) pengembangan sistem perekonomian, dan 4) pengembangan aspek sosial budaya, dan kelembagaan. Perubahan Paradigma Pulau Terluar Menjadi Halaman Depan. Pulau-pulau di garis depan nusantara selama ini ditulis sebagai pulau-pulau kecil terluar. Bahkan pada kebijakan nasional dalam bentuk Undangundang Nomor 27 Tahun 2009 tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, Pasal 27 menuliskan “...pulau-pulau kecil terluar..�. Barulah pada penjelasan Peraturan Pemerintah Nomor 62 Tahun 2010 disebutkan bahwa “...memiliki arti penting sebagai garda depan dalam menjaga dan melindungi keutuhan NKRI.� Walaupun pada judul kebijakan tersebut masih pulau-pulau kecil terdepan. Istilah semacam ini justru membuat citra yang tidak menguntungkan bagi pulau-pulau tersebut terlebih bagi para penduduknya yang notabene masih saudara sebangsa dan setanah air kita (Indonesia). Seharusnya dan tidak ada pilihan lain untuk mulai mengubah cara pandang dan cara pikir bahwa pulau terluar adalah pekarangan depan rumah kita.

keamanan, kesejahteraan masyarakat, dan/atau pelestarian lingkungan. Pemanfaatan ini harus dilakukan sesuai dengan daya dukung dan daya tampung PPKT (Pasal 5). Lebih lanjut disebutkan bahwa pemanfaatan PPKT dilakukan berdasarkan rencana zonasi yang ditetapkan oleh Menteri dengan mempertimbangkan masukan menteri/pimpinan lembaga pemerintah nonkementerian terkait. Rencana zonasi pun harus terdiri atas sub zona dari ketiga unsur pemanfaatan. Implikasi keempat, Pemanfaatan PPKT untuk pertahanan dan keamanan diperuntukan bagi, 1) akselerasi proses penyelesaian batas wilayah negara di laut; 2) penempatan pos pertahanan, pos keamanan, dan/atau pos lain; 3) penempatan aparat Tentara Nasional Indonesia dan/atau Kepolisian Negara Republik Indonesia; 4) penempatan bangunan simbol negara dan/atau tanda batas negara; 5) penempatan sarana bantu navigasi pelayaran; dan/atau 6) pengembangan potensi maritim lainnya. Implikasi kelima, Pemanfaatan PPKT untuk kesejahteraan masyarakat diperuntukan bagi, 1) usaha kelautan dan perikanan; 2) ekowisata bahari; 3) pendidikan dan penelitian; 4) pertanian subsisten; 5) penempatan sarana dan prasarana sosial ekonomi; dan/atau 6) industri jasa maritim. Implikasi keenam, Pemanfaatan PPKT untuk pelestarian lingkungan dilaksanakan dengan penetapan PPKT sebagai kawasan yang dilindungi. Kawasan yang dilindungi dapat ditetapkan sebagian atau seluruhnya sebagai kawasan konservasi (pasal 8). Kawasan konservasi tersebut dapat ditetapkan sebagai: a. kawasan konservasi pesisir dan PPK; b. kawasan konservasi maritim; c. kawasan konservasi perairan; dan/atau d. sempadan pantai (Pasal 9). Ketentuan lebih lanjut mengenai hal ini harus berdasarkan peraturan perundang-undangan yang ada. Implikasi ketujuh, terkait dengan peran serta masyarakat. Pasal 13 menyebutkan bahwa masyarakat dapat berperan serta dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan pemanfaatan PPKT. Peran serta masyarakat dalam perencanaan berupa mengidentifikasi berbagai potensi dan masalah PPKT, memberikan informasi dalam perencanaan pemanfaatan PPKT, memberikan masukan dalam menentukan arah perencanaan PPKT, dan menyampaikan masukan/usulan terhadap rencana kegiatan pemanfaatan PPKT. Dalam pelaksanaan, peran serta masyarakat dapat berupa memprioritaskan rencana yang telah disepakati, melakukan kegiatan pemanfaatan sumber daya PPKT berdasarkan hukum adat

76


Manajemen Perubahan Tata Kelola Pada Pulau-Pulau Kecil Terdepan: Implikasi Peraturan Pemerintah Nomor 62 Tahun 2010 (Prakoso Bhairawa Putera dan Amelya Gustina)

Layaknya halaman depan rumah, maka kita tentulah sebagai pemilik berusaha untuk mempercantik pekarangan dengan taman, memberikan ornamen-ornamen yang mencirikan penghuninya, dan tentulah kita akan mengusahakan agar pekarangan depan tetap terjaga dan dipelihara sepanjang waktu. Jika pulau-pulau terluar yang selama ini terasingkan dari penghuninya (Indonesia) wajar jika penduduk lokal pulau mencari kenyamanan kepada tetangga. Harmen Batubara (2006) dalam Putera (2011) menyebutkan bahwa isu yang acapkali muncul dari pulau-pulau terluar adalah keterbatasan sarana prasarana dan rendahnya akses untuk memperoleh hak layaknya penduduk lain di pulau-pulau besar macam Jawa ataupun Sumatera. Dengan terbatasnya akses transportasi, sanitasi yang layak, penerangan dan juga informasi komunikasi menjadikan masyarakat harus rela hidup keterbatasan termasuk juga dalam tingkat kesejahteraan hidup. Akibatnya untuk dapat tetap bertahan maka menyeberang ke negara tetangga menjadi pilihan. Jika sudah seperti ini, mau tidak mau, suka tidak suka adanya rasa ketergantungan yang besar terhadap tetangga. Hal ini pun terus menerus berlangsung hingga saudara-saudara kita lebih kenal dengan lagu kebangsaan negara tetangga ketimbang Indonesia Raya, bahwa mereka tidak sadar jika SBY adalah presiden mereka. Kondisi semacam ini memang butuh penyadaran secara bersama, tidak hanya menyadari akan keberadaan pulau-pulau terluar menjadi sangat penting sebagai tapal batas wilayah NKRI. Akan tetapi penyadaran pada tiap diri elemen bangsa bahwa ada penafsiran yang keliru dalam melihat problematik pulau-pulau terluar, dan itu dimulai dari cara pandang. Reorientasi menjadikan pulau terluar sebagai “Halaman Depan� adalah pilihan tepat dan harus segera menjadi senjata dalam menggerakkan seluruh potensi dan sumber daya yang dimiliki bangsa ini itu mulai mempercantik pekarangan depan rumah kita sendiri. Penegakan rasa-rasa persamaan hak sebagai bagian dari bangsa dan keadilan sebagai penduduk di wilayah negara Republik Indonesia, serta pemenuhan rasa dan hak menjadi penting guna penyadaran dan sikap bagian dalam diri saudara-saudara kita di halaman depan sebagai jiwa merah putih. Pengembangan Sistem Pertahanan dan Keamanan di Halaman Depan. Setelah melakukan perubahan terhadap cara pandang, maka langkah selanjutnya dengan pengembangan sistem pertahanan dan keamanan. Keamanan wilayah perbatasan

menjadi perhatian setiap pemerintah yang wilayahnya langsung berbatasan dengan negara lain. Langkah perubahan dalam mengatasi permasalahan yang ada. Pertama, pengembangan program pengawasan dan pemantauan di pulau-pulau kecil terluar, yang termuat dalam administrasi pemerintahan disertai dengan kunjungan atau pengawasan secara kontinyu. Ide ini sejalan dengan Kusumo (2010:334) menjelaskan bahwa “pulau-pulau terluar sebagai fungsi pertahanan bahwa pulau-pulau terluar (terutama di perbatasan) berperan sebagai pintu gerbang ataupun garda depan dalam menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).Melalui pengawasan dan perlindungan pulau-pulau terluar maka sekaligus batas-batas wilayah akan terjaga dan terawasi. Dengan demikian ketahanan nasional dan kesatuan wilayah NKRI dapat senantiasa terjaga dan terlindungi dari ancaman.� Kedua, penegasan batas maritim untuk menjamin kepastian hukum bagi NKRI baik yang memiliki kedaulatan penuh maupun hak berdaulat. Kepastian hukum ini menjadi penting untuk pemanfaatan sumber-sumber potensi yang dimiliki pulau-pulau kecil terluar tersebut. Beberapa pengalaman menunjukkan lemahnya sistem dalam penangan permasalahan perbatasan terlebih terkait pulau-pulau perbatasan. Penegasan batas antar dua negara yang saling berhadapan dapat merujuk pada tata hukum internasional sebagai berikut: Menentukan dan menyepakati peta dasar yang akan digunakan untuk mempertegas batas oleh kedua negara selama proses perundingan berlangsung. Menentukan titik-titik dasar dan garis pangkal yang akan digunakan oleh kedua negara. Menyepakati metode penentuan titik batas dan garis batas yang akan digunakan oleh kedua negara. Masing-masing mengajukan klaim sesuai dengan metode yang telah disepakati bersama. Langkah selanjutnya adalah dengan mengkaryakan kembali aparatur ataupun sumber daya manusia di pulau-pulau yang menjadi halaman depan republik ini. mengkaryakan menjadi lebih baik dari pada menempatkan kembali, karena konotasi menempatkan pada kenyataanya hanya ditempatkan saja tanpa diberikan fasilitas dan kebutuhan kepada sumber daya manusia pada pulau-pulau kecil terdepan. Adapun program yang dapat dilakukan: a. mengkaryakan petugas atau aparat baik dari TNI AL, POLRI dan Bea Cukai yang berfungsi sebagai pengawas di kawasan pulau-pulau kecil tersebut. Tidak hanya

77


Inovasi Vol. 11 No. 1, Maret 2014: 70-82

menempatkan tetapi pemberian insentif kepada petugas yang telah bersedia ditempatkan berupa tunjangan hidup aparatur di pulau-pulau kecil ‘terdepan’ dengan pembiayaan negara. b. Melakukan pengawasan dan pemantauan melalui patroli secara teratur di kawasan pulau-pulau kecil baik TNI AL, POLRI dan Bea Cukai, berikut dengan kebutuhan sarana prasarana, seperti kapal-kapal pengawasan dan pemantauan yang memenuhi standar internasional. c. Melakukan relokasi dan pengkaryaan nelayan ke kawasan pulau-pulau yang tidak berpenghuni, dalam rangka meningkatkan pengawasan wilayah pulau-pulau perbatasan. Relokasi diikuti dengan memberikan bantuan permodalan dan akses informasi serta kemudahan dalam memperoleh kebutuhan dasar. d. Melakukan kerjasama bilateral dan regional denga negara tetangga untuk menjaga stabilitas keamanan kawasan. Pengembangan Perekonomian Halaman Depan NKRI. Strategi pembangunan pulau-pulau terluar “Halaman Depan” dapat dilakukan dengan pengembangan ekonomi halaman depan menjadi kota industri mandiri dan kota pertahanan keamanan. Penyediaan infrastruktur menjadi penting. Menempatkan sarana dan prasarana dasar seperti sanitasi, listrik, transporasi, dan distribusi kebutuhan pokok menjadi prioritas utama. Hal inilah yang selama bertahun-tahun berganti generasi diperoleh saudara-saudara kita di pulau terluar dari para tetangga yang tentu sangat senang menerima kedatangan saudara kita. Keberpihakan terhadap nasib saudara di halaman depan bukan sekadar jargon politik penarik suara ketika pemilihan umum, tetapi adalah kewajiban untuk menjaga keutuhan dan keberlangsungan NKRI yang semakin hari rawan akan pencaplokan dari tetangga. Setelah pemenuhan hak-hak dasar terselenggarakan, mulai merawat halaman depan dengan mainstreaming pembangunan yang terpegang pada dual economics. Dual economics dipadang sebagai sebuah pendekatan yang tidak hanya berorientasi pada kelautan perikanan saja tetapi memperhatikan agraris juga. Teori ini dipopulerkan oleh Boeke dan Ferroux yang menegaskan adanya penyertaan kegiatan pertanian dalam pengembangan wilayah berbasis kelautan perikanan. Masyarakat Pulau Enggano telah mengenal tradisi ini yaitu dengan menjadi nelayan dan juga mengelola perkebunan lada. Praktik khas tersebut sebenarnya telah sejak lama berada

dalam masyarakat lokal yang dikenal dengan kearifan lokal. Pengetahuan masyarakat lokal yang terakumulasi sepanjang sejarah hidup mereka mempunyai peranan sangat besar. Pandangan bahwa manusia merupakan bagian dari alam dan sistem kepercayaan yang menekankan penghormatan terhadap lingkungan alam merupakan nilai yang sangat positif untuk pembangunan berkelanjutan (Gadgil, et al., 1993). Perspektif pengetahuan lokal didasarkan pada sistem pengetahuan dan pengelolaan lokal atau tradisional (Mitchell, 1997). Selanjutnya, pengembangan program kota perbatasan sebagai pintu gerbang negara. Seperti yang diungkapkan Sabarno (2003) bahwa wilayah perbatasan mempunyai nilai strategis dalam mendukung keberhasilan pembangunan nasional, karena karakteristisk kegiatan yang berlangsung di dalamnya seperti: (1) mempunyai dampak penting bagi kedaulatan negara; (2) merupakan faktor pendorong bagi peningkatan kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat; (3) mempunyai keterkaitan yang saling mempengaruhi dengan kegiatan diwilayah lain; (4) mempunyai dampak terhadap kondisi pertahanan dan keamanan, baik skala regional maupun nasional. Alternatif penemuhan kebutuhan pokok juga dapat dilakukan dengan menggiatkan program mobile market. Program ini menjadi solusi cerdas mengingat jangkauan pasar sangat terbatas bagi masyarakat di pulau-pulau terluar. Langkah semacam ini telah dijalankan oleh TNI AL di Pulau Miangas, Pulau Ternate dan Pulau Tidore dengan menggunakan kapal-kapal TNI AL. Dalam kunjungan ke pulau-pulau kecil, TNI AL membawa bahan-bahan kebutuhan pokok untuk dijual dengan harga pasar. Hal semacam ini jika terus disokong oleh pemerintah dapat menjadi alternatif paling ampuh untuk memutus mata rantai suplai barang pokok dari negara tetangga terhadap pulau-pulau di perbatasan, sehingga masyarakat setempat merasa diperhatikan dengan tersedianya kebutuhan pokok dari pemerintah Indonesia. Langkah semacam ini bisa menjadi program kerja yang secara terorganisir dikelola oleh kementerian terkait dan tentunya bekerjasama dengan TNI AL. Program subsidi dan raskin seharusnya lebih banyak diberikan kepada masyarakat di ‘halaman depan’ sehingga mereka bisa mendapatkan kebutuhan pokok dengan murah dan mudah. Pengembangan Aspek Sosial Budaya dan Kelembagaan. Berpijak pada pengetahuan masyarakat setempat dalam pengelolaan wilayah dan sumber daya yang dimiliki, dalam pembangunan nilai-nilai demokrasi lokal harus

78


Manajemen Perubahan Tata Kelola Pada Pulau-Pulau Kecil Terdepan: Implikasi Peraturan Pemerintah Nomor 62 Tahun 2010 (Prakoso Bhairawa Putera dan Amelya Gustina)

juga mengacu pada pendekatan tersebut. Dekontruksi dan rekontruksi nilai-nilai tradisional dan budaya diarahkan untuk meningkatkan kesejahteraan. Kuatnya nilai keterbukaan (outword looking), egalitarian, kejujuran dan keberanian menjadi modal sosial dalam pengembangan pembangunan di pulaupulau terdepan. Perencanaan pengembangan kawasan pulau-pulau ‘halaman depan’ harus dilakukan dengan model inklusif. Hal ini penting mengingat selama ini muncul konflik karena masih mengadopsi konsep ‘pengelolaan eksklusif’ yang secara tegas memisahkan antara kepentingan kawasan konservasi dengan keinginan masyarakat lokal dalam mengelolaan kawasan. Sehingga kuat sekali dominasi negara atau pihak swasta dalam mengelola kawasan. Padahal seharusnya model ‘pengelolaan inklusif’ yang dikembangkan. Pada model ini keinginan masyarakat lokal dan administrasi setempat dilibatkan dalam pengelolaan kawasan. Kedua model ini masing-masing memiliki kelebihan masing-masing, pengelolaan eksklusif sukses melindungi hidupan liar dan keindahan panorama, walaupun tanpa pelibatan masyarakat lokal. Sedangkan pengelolaan inklusif berhasil memasukan peranan masyarakat lokal dalam arus pengelolaan kawasan. Hal ini menandakan adanya pengelolaan bersama atau kolaboratif dalam pengembangan aspek ini. PHKA-Dephut (2002) dalam panduan implementatif sebagai upaya mengelola kawasan konservasi di Indonesia menggunakan pemikiran Borrini-Feyerabend (1997) dalam pengelolaan kolaboratif. Prinsip tersebut dapat juga diimplementasikan untuk pengembangan aspek sosial budaya dan kelembagaan dari manajemen perubahan ini, yaitu: a. Pengelolaan kolaboratif menggunakan pendekatan pluralistik. Pendekatan ini digunakan untuk mengurus sumberdaya; memadukan peranan para pihak kepentingan; tujuan akhirnya pada umumnya adalah konservasi lingkungan, pemanfaatan berkelanjutan sumberdaya. Pada kontek ini tentu saja sumber daya dari pulau-pulau kecil terluar, dan pembagian yang adil yang berkaitan dengan manfaat dan tanggung-jawab. b. Pada proses pengelolaan kolaboratif membutuhkan beberapa kondisi dasar untuk dikembangkan di antaranya: akses penuh terhadap informasi dan opsi-opsi, kebebasan dan kapasitas untuk mengorganisasi, kebebasan untuk mengekspresikan kebutuhan dan kepedulian, lingkungan sosial non-

c.

d.

e.

79

diskriminatif, keinginan para mitra untuk bernegosiasi, saling percaya dalam menghargai kesepakatan-kesepakatan yang dipilih. Kesemua ini mencerminkan bahwa dalam pengelolaan pulau-pulau kecil terluar haruslah memperhatikan aspek/kondisi yang menjadi prasyarat untuk dapat diimplementasikan manajemen perubahan seperti yang dikemukakan tersebut. Pengelolaan bersama merupakan proses perubahan politik dan budaya untuk mencapai keadilan sosial dan demokrasi dalam pengelolaan sumberdaya pada pulau-pulau kecil terluar. Di dalam tatanan ini, masyarakat sipil yang terorganisir dalam bentuk-bentuk serta cara-cara yang sesuai dengan berbagai kondisi dapat mengambil peran dan tanggung jawab yang semakin lama semakin penting. Lebih dari itu, suatu kesepakatan manajemen kolaboratif yang adil memberikan jaminan bagi kepentingan dan hak semua stakeholder – terutama yang terlemah – dengan demikian menciptakan keadilan sosial dan mengatasi ketimpangan dalam kekuasaan. Hal ini tentu saja terkait erat dengan keterbukaan dan ketersediaan terhadap akses, mulai dari akses informasi hingga akses terhadap ekonomi bagi masyarakat pulau-pulau kecil terluar. Pengelolaan kolaboratif mempunyai asas kepentingan bersama, keyakinan bahwa ada kemungkinan untuk menjalankan suatu bentuk pengelolaan yang memadukan berbagai kepentingan, tetapi juga menanggapi – dengan cara terkecilpun – semua kepentingan itu. Khususnya, manajemen kolaboratif berpendapat bahwa sumber daya alam dapat dikelola dengan efektif sambil memperlakukan semua dengan rasa hormat dan setara. Proses yang kompleks dan seringkali membutuhkan waktu panjang serta terjadi kekeliruan proses. Proses juga menghendaki perubahan setiap waktu dan perubahan mendadak, informasi yang kontradiktif serta membutuhkan peninjauan kembali dan perbaikan terusmenerus, dibandingkan dengan penerapan serangkaian peraturan yang baku dapat tidak dapat diganggu gugat. Hal yang paling penting adalah kerjasama pengelolaan, bukan rencana pengelolaan, yang sanggup menanggapi berbagai kebutuhan secara efektif. Jika direfleksikan dalam pengelolaan pulau-pulau kecil terluar maka kerjasama antar aktor


Inovasi Vol. 11 No. 1, Maret 2014: 70-82

menjadi penting dalam implementasi setiap program yang akan dilaksanakan. f. Mengekspresikan masyarakat sipil yang dewasa dan memahami tidak ada solusi yang ‘unik dan tidak berat sebelah’ dalam mengelola sumber daya alam, tetapi keanekaragaman dari perbedaan pilihan sesuai dengan pengetahuan lokal dan scientifik serta berkemampuan untuk mempertemukan kebutuhan konservasi dengan pembangunan. g. Pengelolaan kolaboratif mempunyai asas prinsip mengaitkan antara hak-hak pengelolaan dan tanggung jawab. ‘Wewenang dan tanggung jawab terkait secara konseptual. Apabila tidak dikaitkan, dan diberikan kepada aktor yang berbeda, maka keduanya akan hancur’ h. Tantangan dalam pengelolaan kolaboratif adalah bagaimana menciptakan situasi di mana semua mendapatkan keuntungan yang lebih besar jika berkolaborasi dibandingkan dengan berkompetisi. Artinya semangat yang dibawa pada pengelolaan pulau-pulau kecil terluar adalah semangat kebersamaan untuk menciptakan kondisi lebih baik, bukan berkompetisi satu sama lain untuk mempergunakan sumber daya yang ada untuk kepentingan sendiri. i. Secara khusus dalam proses pengelolaan kolaboratif, persetujuan yang dibangun dalam bentuk kemitraan di antaranya: fungsi dan tanggung-jawab masing-masing pemangku kepentingan, luasan dan sumberdaya perikanan dan kelautan, kisaran fungsi dan penggunaan berkelanjutan yang dapat diselenggarakan, pengakuan bagi para pemangku kepentingan yang terlibat, prosedur untuk mengatasi konflik dan bernegosiasi pengambilan keputusan kolektif, persetujuan prioritas pengelolaan dan rencana pengelolaan, prosedur menjalankan setiap keputusan dan aturan spesifik untuk pemantauan, evaluasi dan kaji ulang persetujuan-persetujuan kemitraan dan rencana pengelolaan. j. Menekankan proses negosiasi ketimbang proses litigasi dalam mengatasi konflik yang hanya memenangkan salah satu pihak yang bertikai, dan k. Mengkombinasikan pengetahuan scientifik ‘barat’ dengan pengetahuan lokal. Hal ini dapat dipergunakan dalam implementasi pengelolaan. Keempat langkah perubahan tersebut sangat penting untuk diimplementasikan, karena bagaimanapun juga konsep tetaplah

konsep apabila tidak diimplementasikan. Banyak kegagalan yang terjadi selama ini kareana pada tataran implementasi acap kali menyimpang dengan perencanaan. Improvisasi bisa saja dilakukan dengan tetap mengacu pada tujuan bersama. Tujuan bersamanya adalah menjadikan pulau-pulau ‘terdepan’ sebagai penguatan kedaulatan dan stabilitas nasional. KESIMPULAN Manajemen perubahan merupakan pendekatan yang digunakan untuk melakukan perubahan atau untuk menghadapi perubahan. Perubahan perlu dilakukan karena situasi dan kondisi berubah, tuntutan, dan bahkan perkembangan pada tataran praktispun mengharuskannya. Jika melihat kondisi pengelolaan pulau-pulau kecil terluar di Indonesia saat ini, maka dibutuhkan perubahan dalam pengelolaannya. Manajemen perubahan sangat layak untuk diimplementasikan, karena ia bukanlah teori tetapi sebuah pendekatan yang memfokuskan pada perubahan strategis dan perubahan operasional. Perubahan inipun sejalan dengan semangat Peraturan Pemerintah Nomor 62 Tahun 2010 tentang Pemanfaatan Pulau-Pulau Kecil Terluar (PPKT). Kegiatan pengelolaan PPKT selama ini menghadapi berbagai ancaman, baik dari aspek ekologi yaitu terjadinya penurunan kualitas lingkungan, seperti pencemaran, perusakan ekosistem, dan penangkapan ikan yang berlebihan (overfishing) maupun dari aspek sosial yaitu rendahnya aksesibilitas dan kurangnya kesejahteraan masyarakat lokal. Oleh karena itu, untuk mengantisipasi perubahan dan ancaman tersebut, pemanfaatan PPKT harus dilakukan secara komprehensif dan terpadu (Penjelesan PP Nomor 62 Tahun 2010). Manajemen perubahan mampu mengarahkan pada perubahan yang dapat berkontribusi bagi perbaikan untuk pertahanan dan keamanan, kesejahteraan masyarakat; dan/atau pelestarian lingkungan secara bijak. Perubahan tersebut meliputi 1) perubahan paradigma terhadap pulau-pulau kecil terluar, 2) pengembangan sistem pertahanan dan keamanan di pulaupulau kecil, 3) pengembangan sistem perekonomian, dan 4) pengembangan aspek sosial budaya, dan kelembagaan. Perubahan operasional mencakup transformasi dan perubahan visi, sistem kerja, sampai restrukturisasi; dan perubahan operasional menghendaki adanya perubahan yang harus terus menerus dilakukan untuk menjaga keseimbangan dalam sistem. Pembenahan bagian atau unit-unit di dalam sistem menjadi bagian dari perubahan ini. Manajemen perubahan tidak hanya berguna

80


Manajemen Perubahan Tata Kelola Pada Pulau-Pulau Kecil Terdepan: Implikasi Peraturan Pemerintah Nomor 62 Tahun 2010 (Prakoso Bhairawa Putera dan Amelya Gustina)

Borrini-Feyerabend, G. (Ed.) 1997. (reprinted 2001). Beyond Fences: Seeking Social Sustainability in Conservation. 2 vols. IUCN, Gland, Switzerland and Cambridge, UK.

untuk meraih keberhasilan di masa depan, tetapi juga diperlukan sebagai solusi atau terapi atas permasalahan yang sedang dihadapi saat ini. REKOMENDASI Sebagaimana telah dibahas, maka ada sejumlah rekomendasi dari hasil telaahan tulisan ini, yaitu: 1. Konsep “Manajemen Perubahan” dapat diimplementasikan untuk menata ulang pulau-pulau kecil terdepan. Konsep ini mampu memberikan berbagai catatan dan solusi penting dalam penataan kembali tata kelola pulau-pulau kecil ‘terdepan’. Sekaligus merupakan implikasi dari Peraturan Pemerintah Nomor 62 Tahun 2010 tentang Pemanfaatan Pulau-Pulau Kecil Terluar (PPKT). 2. Tindakan nyata adalah solusi terbaik. Seperti yang dijelaskan oleh BorriniFeyerabend (1997) bahwa hal yang paling penting adalah kerjasama pengelolaan, bukan rencana pengelolaan, yang sanggup menanggapi berbagai kebutuhan secara efektif. Ini mengindikasi bahwa kerjasama pengelolaan adalah tindakan nyata untuk perbaikan. Karya tulis ini setidaknya memberikan pemahaman baru dan langkah strategis untuk menjadikan pulau-pulau kecil yang dulu dikenal sebagai pulau terluar menjadi pulau terdepan.

Dam, S. 2010. Politik Kelautan. Jakarta: Bumi Aksara. Davidson, J. 2005. Change Management. Terjemahan. Jakarta: Prenada. Dj, Ruchyat Deni. 2009. Bahari Nusantara Untuk Kesejahteraan Masyarakat dan Ketahanan Nasional. Jakarta: The Media of Social and Cultural Communication (MSCC). Gadgil, M., Berkes, F. & Folke, C. 1993. Indigenous Knowledge for Biodiversity Conservation. Ambio 22: 266-270. Hadiwijoyo, S.S. 2009. Batas Wilayah Negara Indonesia: Dimensi Permasalahan, dan Strategi Penanganan (Sebuah Tinjauan Empiris dan Yuridis). Yogyakarta: Gama Media. Karim, M. 2009. Partisipasi Daerah Dalam Mengantisipasi Ancaman Perubahan Iklim Bagi Eksistensi Pulau-pulau Kecil terluar. Jurnal Pembangunan Daerah, edisi 03 Tahun 2009: 3-16. Kasali, R. 2005. Change!. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 41 Tahun 2000 tentang Pedoman Umum Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil yang Berkelanjutan dan Berbasis Masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA Abubakar, M. 2006. Menata Pulau-pulau Kecil Perbatasan: Belajar dari Kasus Sipadan, Ligitan, dan Sebatik. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.

Kurnia, M.P. 2006. Upaya Penanganan Permasalahan Perbatasan Maritim Republik Indonesia. Risalah Hukum Fakultas Hukum Universitas Mulawarman. Volume 2 Nomor 1, Juni 2006: 49-57.

Adiyanto, E., Eidman, E., & Adrianto, L. 2007. Tinjauan Hukum dan Kebijakan Pengelolaan Pulau-pulau Kecil Terluar Indonesia (Studi Kasus Pulau Nipa). Buletin Ekonomi Perikanan, Volume VII, Nomor 2 Tahun 2007: 51-62.

Kusumo, A.T.S. Optimalisasi Pengelolaan dan Pemberdayaan Pulau-pulau Terluar dalam Rangka Mempertahankan Keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Jurnal Dinamika Hukum, Volume 10, Nomor 2, September 2010: 327-337.

Azizy, A.Q. 2007. Change Management dalam Reformasi Birokrasi. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

Lembaga Laut Indonesia. 2009. Negara Kepulauan Menuju Negara Maritim. Jakarta: Lembaga Laut Indonesia & Ind Hill Co.

Burhanuddin, A.I. 2011. The Sleeping Giant: Potensi dan Permasalahan Kelautan. Surabaya: Brilian Internasional Surabaya.

Maleong, Lexy J. 1989. Metodologi Penulisan Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Brookfield, H.C. 1990, An Approach to Sslands, in W.Beller, P. d’Ayala and P. Hein (eds.), Sustainable Development and Environmental Management of Small Islands, Paris: UNESCO.

Mitchell, B. 1997. Resource and Environmental Management. Longman, Essex. Paonganan, Y., Zulkipli, R.M., &Agustina, K. 2012. 9 Perspektif Menuju Masa Depan Maritim Indonesia. Jakarta: Yayasan Institut Maritim Indonesia.

Borrini-Feyerabend, G., Farvar, M.T., Nguinguiri, J.C. & Ndangang, V.A. 2000. Comanagement of Natural Resources: Organising, Negotiating and Learning-byDoing. GTZ and IUCN, Kasparek Verlag: Heidelberg Germany.

Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 78 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Terluar.

81


Inovasi Vol. 11 No. 1, Maret 2014: 70-82

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 62 Tahun 2010 tentang Pemanfaatan Pulau-pulau Kecil Terluar.

UCAPAN TERIMA KASIH Karya tulis ini merupakan bentuk diseminasi dari karya tulis dengan judul “Pendekatan Change Management dalam Penataan Kembali Tata Kelola Pulau-pulau Kecil Terluar: Penguatan Kedaulatan dan Stabilitas Nasional” yang diikut sertakan dalam Lomba Karya Tulis Hari Dharma Samudera Tahun 2011 yang diselenggarakan oleh TNI-AL. Terima kasih kepada Dinas Penerangan TNI AL (Dispenal) atas kesempatan untuk melakukan Diseminasi ini.

PHKA-Dephut. 2002. Membangun Kembali Upaya Mengelola Kawasan Konservasi di Indonesia Melalui Manajemen Kolaboratif: Prinsip, Kerangka Kerja dan Panduan Implementasi. Jakarta: US Agency for International Development. Putera, P.B. 2013. Perspektif dan Peran Ilmu Pengetahuan dan Teknologi dalam Membangun Kemandirian Bangsa Pada Tatanan Negara Maritim. Inovasi: Jurnal Politik dan Kebijakan, Volume 1, Nomor 2, Juni 2013: 129-140. Putera, P.B. 2011a. Mempercantik Halaman Depan Indonesia. Suara Karya, Jumat, 7 Januari 2011. Putera, P.B. 2011b. Pendekatan Change Management dalam Penataan Kembali Tata Kelola Pulau-pulau Kecil Terluar: Penguatan Kedaulatan dan Stabilitas Nasional. Karya Tulis Hari Dharma Samudera Tahun 2011. (Tidak dipublikasikan). Putera, P.B. 2010. Kearifan Lokal Alternatif Pengelolaan Sumber Daya Perikanan dan Kelautan Berkelanjutan di Indonesia. Jurnal Pembangunan Daerah Edisi 02 Tahun 2010. Ditjen Bina Bangda Kementerian Dalam Negeri – Jakarta. Putera, P.B. 2009a. Teknologi Informasi Untuk Kelautan Indonesia. Majalah Biskom, edisi April 2009. Putera, P.B. 2009b. Ecoregion Dalam Pengembangan dan Penataan Ruang Wilayah Pesisir Berkelanjutan Era Desentralisasi. Jurnal Nasion Volume 6 Nomor 1 Tahun 2009: 83-105. Putera, P.B. 2009c. Wajib, Penguatan Kedaulatan Wilayah Laut. Surabaya Post, 13 Mei 2009. Putera, P.B. 2008. Strategi Pemeliharaan Batas Wilayah Melalui Penguatan Pengelolaan Tata Ruang Pulau-Pulau Kecil Terluar. Inovasi Volume 12/XX/November 2008: 30-39. Sabarno. 2003. Arti Penting Penataan Batas Wilayah Dalam Negera Kesatuan Republik Indonesia. Majalah Perbatasan, Januari 2003. Surjadi. 2010. Kajian Manajemen Publik. Pokok Bahasan: Analisis Kebijakan Publik. Modul Pendidikan dan Latihan, LAN-RI: Badan Diklat Provinsi Jawa Timur. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2009 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan PulauPulau Kecil. Wuisang, E.J.H. 2013. Komitmen Pemerintah Membangun Wilayah Perbatasan. Diakses dari http://www.setkab.go.id/artikel-7605-komitmenpemerintah-membangun-wilayah-perbatasan.html, tanggal 29 April 2014.

82


Pedoman Penulisan Naskah Ilmiah Jurnal INOVASI Jurnal INOVASI memuat karya tulis ilmiah hasil penelitian atau tinjauan kepustakaan dalam bidang pemerintahan dan kemasyarakatan, sosial budaya, ekonomi dan pembangunan, sumberdaya alam dan maritim sebagai bahan kebijakan dan wawasan berpolitik. Jurnal INOVASI terbit empat kali dalam setahun setiap bulan Maret, Juni, September dan Desember.

g.

h.

Naskah yang akan diterbitkan dalam Jurnal INOVASI Balitbang Provinsi Sumatera Utara, harus memenuhi ketentuan berikut : Bentuk Naskah 1. Naskah berupa karya asli yang belum pernah dipublikasikan di tempat lain dan tidak sedang diajukan ke tempat lain. 2. Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris sesuai dengan kaidah masingmasing bahasa yang digunakan. Komponen Naskah Komponen utama naskah wajib mencantumkan dan memuat hal-hal berikut: a. Judul, dalam bahasa Indonesia disertai dengan terjemahannya dalam bahasa Inggris, ditulis dengan jelas menggambarkan isi tulisan. b. Identitas Penulis, dimuat di bawah judul tulisan, memuat nama, alamat korespondensi dan e-mail. c. Abstrak ditulis dalam Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris beserta kata kunci sebanyak 37. Abstrak ditulis dalam 1 alinea berisi latar belakang masalah, tujuan penelitian, hasil, dan rekomendasi. Panjang abstrak dibatasi 200450 kata. d. Pendahuluan, tidak menggunakan subjudul, berisi penjelasan padat dan ringkas tentang latar belakang dilakukannya penelitian, studi pustaka yang mendukung dan relevan, serta tujuan penelitian. e. Metode berisikan disain penelitian yang digunakan, lokasi penelitian, populasi, sampel, sumber data, instrumen, pendekatan terhadap analisis data serta teknik analisis/ uji statistik yang digunakan. Bagian metode ditulis tanpa subjudul. f. Hasil dan Pembahasan, adalah temuan penelitian yang disajikan apa adanya tanpa pendapat penulis, kemudian dilanjutkan dengan bahasan argumentatif-interpretatif tentang jawaban terhadap hasil penelitian yang ditulis secara sistematis sesuai tujuan penelitian dan relevan dengan penelitian

i.

j.

terdahulu. Bagian Hasil dan Pembahasan ditulis tanpa subjudul. Kesimpulan menjawab tujuan penelitian tanpa melampauinya. Sedapat mungkin bagian kesimpulan ditulis dalam bentuk narasi. Rekomendasi berisi usulan-usulan kebijakan yang memungkinkan dihasilkan, berisi bentuk dan telaahannya untuk dilaksanakan mengacu pada prinsip tepat-guna, logis dan relevan. Jika tidak memungkinkan dalam bentuk narasi, rekomendasi dapat dibuat dalam bentuk butir-butir rekomendasi. Daftar Pustaka menuliskan sesuai dengan acuan model Harvard (lihat contoh), berurutan sesuai abjad. Jumlah kepustakaan untuk tulisan hasil penelitian minimum 10 rujukan sementara untuk Tinjauan Kepustakaan minimum 20 rujukan. Ucapan Terima Kasih, jika ada, merupakan wujud penghargaan kepada pihak-pihak yang terlibat dalam penelitian atau penulisan naskah.

Tabel dan Gambar Tabel, gambar dan grafik dapat terbaca dengan jelas serta diberi penjelasan yang memadai, mudah dipahami dan proporsional. Judul tabel diletakkan di atas tabel dan judul gambar di bawah gambar. Tabel dan atau gambar yang diacu dari sumber lain harus disebutkan, kecuali merupakan hasil penelitian penulisnya sendiri. Peta yang dicantumkan dalam tulisan harus dibuat dalam resolusi yang tinggi sehingga memudahkan pencetakkan dan menampilkan hasil yang baik. Penulis yang mencantumkan peta diminta untuk membayar tambahan biaya pencetakan peta dimaksud. Contoh Penulisan Daftar Pustaka Buku Abel, R. 2004. Revolusi Kesehatan Mata: Pencegahan dan Pengembalian Masalah Penglihatan. New York: Kensington Book Chaniago, A. 2010. Studi Pustaka dan Konseptualisasi Penelitian. Dalam: Zaluchu, F. Metodologi Penelitian Kesehatan. Bandung: Citapustaka Media, hal 79-92. Artikel dari Jurnal Ang, L. dan Taylor, B. 2005. Memanajemen Keuntungan Konsumen Menggunakan Matriks Portofolio. Jurnal Pemasaran dan Manajemen Konsumen Strategik 12 (5), hal 298-304 Bagian di dalam buku Ballinger, A. dan Clark, M. 2001. Nutrisi, Pengendalian Nafsu Makan dan Penyakit. Dalam: Payne-James, J. dkk.


editor. Dukungan Artifisial bagi Praktik Klinik. Edisi kedua. London: Greenwich Medical, hal 225-239 Laporan Komisi Eropa. 2004. Laporan Pendahuluan terhadap Implementasi dari Strategi Pemasaran Internal 2003-2006. Luxemburg: Unit Publikasi Komisi Eropa. Konferensi Fiedelius, H.C. 2000. Miopi dan Penurunan Visual: Aspek Global. Dalam: Lin, L.L.K. dkk. editor. Miopia Terbarukan II: Prosiding Konferensi Internasional ke-7. Taipei, 17-20 Nopember 1998. Tokyo: Springer, hal 31-37. Tesis Garcia-Sierra, A. 2000. Investigasi Penyebab Ca-Serviks pada Wanita Usia Subur di Perkotaan. Tesis PhD, Universitas Indonesia. Jurnal Artikel Elektronik (yang diunduh) Merchant, A.T. 2009. Diet dan Aktifitas Fisik pada AnakAnak di Kawasan Kumuh Perkotaan: sebuah Studi Cross Sectional. Jurnal Nutrisi [Online] Edisi 6. Dari: http://www.nutritionj.com/content/pdf/1475-28916.1.pdf [Diakses: 10 Mei 2007]. Web Page (yang dibaca) Thompson, B. 2006. Mengapa Balita Butuh ASI [Online]. Dari: http://news.bbc.co.uk/1/hi/health/459876 [Diakses: 10 Mei 2007]. Depkes RI. 2006. Panduan Imunisasi [Online]. Dari: http://www.depkes.go.id/bayi_panduan_imunisasi/2345 [Diakses: 19 Februari 2011].

Penulisan Naskah dituliskan dengan menggunakan Times New Roman 12, maksimal 20 halaman A4 spasi ganda, ditulis dengan program komputer Microsoft Word. Prosedur Naskah Naskah yang masuk hendaknya diterima 2 (dua) bulan sebelum waktu penerbitan untuk di-review oleh anggota dewan redaksi dan reviewer (mitra bestari) yang ditunjuk oleh Dewan Redaksi. Dewan Redaksi berhak menolak naskah ilmiah yang dianggap tidak layak muat di Jurnal Inovasi. Naskah diserahkan dalam 2 (dua) media yaitu hardcopy dan softcopy yang keduanya harus memuat isi yang sama. Nama file, judul dan nama penulis naskah dituliskan pada label CD. Pengiriman naskah ke alamat redaksi melalui surat elektronik ke : inovasibpp@gmail.com atau melalui pos ke : Dewan Redaksi Jurnal INOVASI Badan Penelitian Dan Pengembangan Provinsi Sumatera Utara Jl. Sisingamangaraja No. 198 Medan 20126 Redaksi berhak menolak naskah yang isi dan formatnya tidak sesuai dengan pedoman

penulisan naskah di atas dan redaksi tidak berkewajiban untuk mengembalikan naskah tersebut. Setiap penerimaan atau penolakan naskah akan disertai dengan surat resmi yang ditandatangani oleh Dewan Redaksi dan dikirimkan kepada penulis. Setiap penulis yang karya tulisnya telah diterbitkan, akan mendapat satu buah cetak lepas dan satu buah full print. Hak Cipta Setiap penulis menyetujui untuk mengalihkan hak ciptanya ke Jurnal Inovasi jika naskahnya diterima untuk diterbitkan.


Alamat Redaksi : BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PROVINSI SUMATERA UTARA Jl. Sisingamangaraja No. 198 Medan 20126 Tel. (061) 7866225; 7883016; Fax. (061) 7866248 Email : inovasibb@gmail.com


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.