Jurnal Inovasi Juni 2015

Page 1

ISSN 1829-8079

INOVASI Vol. 12 No. 2, Juni 2015

Evaluasi Dana Percepatan Pembangunan Infrastruktur Daerah (DPPID) dan Percepatan Infrastruktur Daerah (DPID) dari Sisi Ketepatan Bidang dan Fungsi (Joko Tri Haryanto) Analisis Yuridis Pola Rekrutmen Camat dan Kewenangan Camat Sebagai Parameter Pemerintahan Dalam Pelayanan Publik (Muhammad Soleh Pulungan) Identifikasi Disparitas Pembangunan Antar Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara Tahun 2010-2012 (Zainal A bidin Nasution) Pemenuhan Hak Kesehatan Anak di Wilayah Pesisir Sumatera Utara (Ida Y ustina, Dumora Jenny Margaretha Siagian, Dwi Endah Purwanti) Faktor Internal dan Strategi Kebijakan Untuk Pengembangan Pengelolaan Kawasan Konservasi. Studi Kasus: Taman Nasional Batang Gadis (W anda Kuswanda) Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Kinerja Guru Matematika (Martua Manullang) Peran Pemerintah Daerah dalam Implementasi Peraturan Bersama 5 Menteri Tahun 2011 Tentang Penataan dan Pemerataan Guru PNS (Jonni Sitorus)

:

Badan Penelitian dan Pengembangan Provinsi Sumatera Utara Inovasi Vol. 12 No. 2

Hal. 77 - 145

Medan Juni 2015

ISSN 1829 - 8079

Terakreditasi sebagai Majalah Berkala Ilmiah dengan Nomor Akreditasi: 532/AU2/P2MI-LIPI/04/2013


Volume 12, Nomor 2

Juni 2015

ISSN 1829-8079

Jurnal INOVASI adalah jurnal ilmiah bidang ilmu politik dan kebijakan yang terakreditasi dengan Nomor Akreditasi: 532/AU2/P2MI-LIPI/04/2013 berdasarkan Surat Keputusan Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Nomor : 377/E/2013 tanggal 16 April 2013 Jurnal INOVASI sebagai media litbang Provinsi Sumatera Utara memuat karya tulis ilmiah hasil penelitian atau tinjauan kepustakaan dalam bidang pemerintahan dan kemasyarakatan, sosial budaya, ekonomi dan pembangunan, sumberdaya alam dan maritim sebagai bahan kebijakan dan wawasan berpolitik yang terbit empat kali dalam setahun setiap bulan Maret, Juni, September dan Desember.

Penanggung Jawab Redaktur

Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Provinsi Sumatera Utara Prof. Dr. H. Syaiful Sagala, S.Sos, M.Pd (Pendidikan, Universitas Negeri Medan) Prof. Dr. Dra. Ida Yustina, M. Si (Kesehatan, Universitas Sumatera Utara) Prof. Dr. Marlon Sihombing MA (Kebijakan Publik, Universitas Sumatera Utara) Prof. Dr. Ir. Nurhayati, MP (Pertanian, Universitas Islam Sumatera Utara) Ir. Hendarman, M.Sc., PhD (Pendidikan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan) Iskandar Muda, SE, M.Si., Ak (Ekonomi, Universitas Sumatera Utara) Jonni Sitorus, ST., M.Pd (Pendidikan, Balitbang Provinsi Sumut)

Penyunting

Ir. E. Harso Kardhinata, M.Sc Porman Juanda Marpomari Mahulae, ST Nobrya Husni, ST Dumora Jenny Margaretha Siagian, ST Silvia Darina, SP Sahat C. Simanjuntak, ST Anton Parlindungan Sinaga, ST

Sekretariat

Ir. Hj. Ritha Lisda Lubis, M.Hum Drs. Darwin Lubis, MM Irwan Purnama Putra, SE

Mitra Bestari Volume 12, Nomor 2, Juni 2015 Badaruddin (Sosial dan Politik, Universitas Sumatera Utara) Zulkifli Nasution (Pertanian, Universitas Sumatera Utara Julaga Situmorang (Pendidikan, Universits Negeri Medan) Sabam Malau (Pertanian, Universits Nommensen Medan) Fotarisman Zhaluchu (Kesehatan, Kabupaten Nias) Gustam Lubis (Teknik, Institut Teknologi Medan) Zahari Zein (Lingkungan, Universitas Sumatera Utara) Alamat Penerbit : BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PROVINSI SUMATERA UTARA Jl. Sisingamangaraja No. 198 Medan 20126 Tel. (061) 7866225; 7883016 - Fax. (061) 7866248 Website : http://balitbang.sumutprov.go.id Email : inovasibpp@gmail.com

i


PENGANTAR REDAKSI

Pembaca yang terhormat, Sesuai jadwal keberkalaannya, pada bulan Juni 2015 jurnal Inovasi hadir kembali dengan menyajikan berbagai tulisan dari berbagai bidang ilmu pengetahuan. Pada edisi ini tulisan yang berjudul Evaluasi Dana Percepatan Pembangunan Infrastruktur Daerah (DPPID) dan Dana Percepatan Infrastruktur Daerah (DPID) dari Sisi Ketepatan Bidang dan Fungsi menjadi tulisan pembuka, diikuti tulisan yang berjudul Analisis Yuridis Pola Rekrutmen Camat dan Kewenangan Camat Sebagai Parameter Pemerintahan Dalam Pelayanan Publik, menjadi tulisan pembuka. Dipilihnya kedua tulisan ini dipilih sebagai tulisan pembuka didasari pertimbangan bahwa keduanya merupakan tulisan bercakupan luas (berskala nasional) dengan memilih lokasi penelitian di luar wilayah Provinsi Sumatera Utara, sehingga berbeda dengan kelompok tulisan lainnya yang memilih lokasi penelitian di dalam kawasan Provinsi Sumatera Utara. Judul tulisan berikutnya adalah Identifikasi Disparitas Pembangunan Antar Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara Tahun 2010-2012, Pemenuhan Hak Kesehatan Anak di Wilayah Pesisir Sumatera Utara, Faktor Internal dan Strategi Kebijakan Untuk Pengembangan Pengelolaan Kawasan Konservasi Studi Kasus: Taman Nasional Batang Gadis dan Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Kinerja Guru Matematika. Serta ditutup dengan tulisan yang merupakan sebuah tinjauan kepustakaan yang berjudul Peran Pemerintah Daerah dalam Implementasi Peraturan Bersama 5 Menteri Tahun 2011 Tentang Penataan dan Pemerataan Guru PNS. Kembali kami mengharapkan semoga tulisan-tulisan ini menjadi media bagi kita untuk mengetahui perkembangan dan mengevaluasi penelitian yang sudah pernah dilakukan. Terima kasih dan selamat membaca. -Dewan Redaksi-

ii


Volume 12, Nomor 2 Juni 2015 ISSN 1829-8079 Kata kunci yang dicantumkan adalah istilah bebas. Lembar abstrak ini boleh diperbanyak/dicopy tanpa ijin dan biaya. DDC 352.48 Joko Tri Haryanto

dipersyaratkan, kapasitas dan pengalaman yang cukup dalam mewujudkan optimalisasi pelayanan publik.

Evaluasi Dana Percepatan Pembangunan Infrastruktur Daerah (DPPID) dan Dana Percepatan Infrastruktur Daerah (DPID) dari Sisi Ketepatan Bidang dan Fungsi

Kata Kunci: camat, pemerintahan, regulasi, pelayanan, kinerja DDC 338.9 Zainal Abidin Nasution

Inovasi, Jurnal Politik dan Kebijakan, Juni 2015, Vol 12, No. 2, halaman 77-85

Identifikasi Disparitas Pembangunan Antar Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara Tahun 2010-2012

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan melakukan evaluasi DPPID dan DPID dari sisi ketepatan bidang serta alokasi fungsi dan kewenangan. Dengan menggunakan pendekatan statistik deskriptif, dapat disimpulkan bahwa bidang dan fungsi kesehatan serta pendidikan, sudah mendapatkan alokasi anggaran yang cukup signifikan baik dari APBN, APBD, DAK maupun dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Sedangkan infrastruktur jalan sudah mendapatkan alokasi yang cukup signifikan dari alokasi DAK. Keseluruhan anggaran tersebut sekiranya sudah dapat menggambarkan keseriusan pemerintah di dalam mengupayakan kualitas pelayanan dasar yang prima kepada masyarakat.

Inovasi, Jurnal Politik dan Kebijakan, Juni 2015, Vol 12, No.2, halaman 96-107 Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat disparitas yang terjadi akibat dari pembangunan ekonomi antar Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara dari tahun 2010 – 2012. Banyak hal yang melatar belakangi, menyebabkan terjadinya disparitas pembangunan ekonomi, seperti: keragaman potensi sumber-sumber daya alam, kualitas sumber daya manusianya, kondisi demografi dan lainnya yang bermuara kepada terjadinya perbedaan pendapatan per kapita dan tingkat pertumbuhan ekonomi pada masing-masing Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara. PDRB rata-rata Kabupaten/Kota lebih besar dari PDRB rata-rata Provinsi Sumatera Utara adalah sebanyak 17 Kabupaten/Kota. Laju pertumbuhan ekonomi rata-rata Kabupaten/Kota lebih besar dari laju pertumbuhan ekonomi Provinsi Sumatera Utara adalah sebanyak 18 Kabupaten/Kota. Besarnya Indeks Williamson adalah 0,5606 – 0,6302, berdasarkan kriteria penilaian disparitas pembangunannya adalah menengah. Besarnya Indeks Entropi Theil adalah 1,2111, yaitu relative kecil, sehingga dapat dinyatakan tidak terdapat disparitas yang berarti. Kucuran kredit produktif dari Bank Indonesia Provinsi Sumatera Utara untuk lapangan usaha industri pengolahan, perdagangan, hotel dan restoran, serta pertanian adalah senilai Rp. 89,87 triliun, sekitar 46,05 % dari total kredit yang disalurkan oleh Bank Indonesia Provinsi Sumatera Utara pada tahun 2014. Diharapkan pengelolaan dari kredit produktif tersebut dapat meningkatkan pendapatan per kapita dan pertumbuhan ekonomi Propinsi Sumatera Utara pada tahuntahun mendatang, sehingga tingkat disparitas yang terjadi semakin kecil.

Kata Kunci: DPPID, DPID, DAK, alokasi bidang dan fungsi 352.14 Muhammad Soleh Pulungan Analisis Yuridis Pola Rekrutmen Camat dan Kewenangan Camat Sebagai Parameter Pemerintahan Dalam Pelayanan Publik Inovasi, Jurnal Politik dan Kebijakan, Juni 2015, Vol 12, No.2, halaman 86-95 Tulisan ini bertujuan untuk: 1) mengetahui apakah sistem pengangkatan Camat di era Otonomi daerah saat ini masih didasarkan pada Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2008; 2) menganalisis pergeseran kedudukan dan kewenangan Camat sebagai parameter pelayanan publik; dan, 3) mengetahui dan menganalisis mengapa tugas pokok dan fungsi Camat bernilai strategis. Hasil Penelitian menunjukkan bahwa pengangkatan Camat umumnya tidak lagi didasarkan pada PP No. 19 Tahun 2008 tentang kecamatan, yang diangkat atas pertimbangan kompetensi pendidikan atau profesional. Namun, mayoritas diisi oleh tenaga yang kurang memahami teknis pemerintahan, tidak memenuhi syarat pengalaman kerja, tetapi berkaitan dengan tim sukses politik. Padahal jabatan Camat memiliki kekhususan tugas yakni kewajiban untuk mengintegrasikan nilai-nilai sosio kultural, menciptakan stabilitas dalam dinamika politik, social ekonomi dan budaya, mengupayakan terwujudnya ketenteraman dan ketertiban wilayah. Rekomendasi yang diusulkan adalah agar pengangkatan Camat hendaknya lebih selektif sesuai dengan PP. No. 19 tahun 2008, dan melalui inovasi baru lelang jabatan (fit and proper test), agar kinerja Camat terpilih memiliki kompetensi yang

Kata Kunci: disparitas pembangunan ekonomi, Tipologi Klassen, Indeks Williamson, Indeks Entropi Theil dan Kucuran Kredit. DDC 362 Ida Yustina, Dumora Jenny Margaretha Siagian, Dwi Endah Purwanti Pemenuhan Hak Kesehatan Anak di Wilayah Pesisir Sumatera Utara

i


Inovasi, Jurnal Politik dan Kebijakan, Juni 2015, Vol 12, No. 2, halaman 108-119

dan membangun pola kemintraan bersama masyarakat desa hutan.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kondisi pemenuhan hak kesehatan bagi anak di daerah pesisir Sumatera Utara dan faktor–faktor yang menghambat pemenuhan hak kesehatan anak tersebut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kondisi pemenuhan hak kesehatan anak yang telah dipenuhi dengan relatif baik melalui program-program kesehatan adalah: hak anak untuk lahir ditolong penolong persalinan, hak untuk diberikan imunisasi, hak untuk mendapatkan pelayanan gizi, dan hak untuk mendapatkan edukasi tentang kesehatan. Sedangkan hak-hak anak yang belum mendapatkan pemenuhan dengan baik adalah: hak untuk mendapatkan ASI eksklusif, hak untuk mendapatkan tempat bermain, dan hak untuk mendapatkan kesehatan lingkungan. Selain itu terdapat beberapa hambatan dalam pemenuhan hak-hak kesehatan anak tersebut, seperti: persepsi masyarakat yang masih belum baik pada pentingnya ASI eksklusif dan imunisasi, kebiasaan yang menjadi warisan turun temurun dalam pemberian makanan pada anak di usia dini, belum dibangunnya sarana bermain anak yang layak, perilaku buruk masyarakat pesisir dalam memperlakukan lingkungannya, serta kemiskinan sumber daya manusia masyarakat pesisir yang meliputi: kemiskinan ekonomi, pendidikan, yang memberi kontribusi terhadap perilakunya.

Kata konservasi, kekuatan, kelemahan, strategi, Taman Nasional Batang Gadis DDC 371.12 Martua Manullang Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Kinerja Guru Matematika Inovasi, Jurnal Politik dan Kebijakan, Juni 2015, Vol 12, No. 2, halaman 129-137 Penelitian ini bertujuan untuk menguji pengaruh langsung pengetahuan organisasi terhadap motivasi berprestasi, pengambilan keputusan, komitmen organisasi, kinerja guru matematika, dan pengaruh langsung motivasi berprestasi, pengambilan keputusan, dan komitmen organisasi terhadap kinerja guru matematika. Penelitian ini menemukan terdapat pengaruh langsung pengetahuan organisasi terhadap motivasi berprestasi, pengambilan keputusan, komitmen organisasi dan terhadap konerja guru matematika berturut-turut adalah 16,3%, 13,1%, 12,2%, dan 4,54%. Motivasi berprestasi, pengambilan keputusan, dan komitmen organisasi memberi pengaruh langsung terhadap kinerja guru matematika. Besarnya perubahan kinerja yang secara langsung dapat ditentukan pengetahuan organisasi, motivasi berprestasi, pengambilan keputusan dan komitmen organisasi secara berturut-turut adalah 10,24%, 12,32%, 3,42%, dan 2,92%.

Kata Kunci: hak kesehatan anak, wilayah pesisir, Sumatera Utara DDC 634.92 Wanda Kuswanda

Kata kunci: guru, SMP, matematika, kinerja

Faktor Internal dan Strategi Kebijakan Untuk Pengembangan Pengelolaan Kawasan Konservasi. Studi Kasus: Taman Nasional Batang Gadis Inovasi, Jurnal Politik dan Kebijakan, Juni 2015, Vol 12, No.2, halaman 120-128

DDC 379.598 Jonni Sitorus Peran Pemerintah Daerah dalam Implementasi Peraturan Bersama 5 Menteri Tahun 2011 Tentang Penataan dan Pemerataan Guru PNS

Tujuan penelitian ini adalah untuk menyediakan bahan rumusan kebijakan dalam pengelolaan kawasan konservasi dan kawasan hutan lainnya di Sumatera Utara. Hasil penelitian menunjukan bahwa faktor kekuatan yang perlu dikembangkan dalam pengelolaan kawasan konservasi berdasarkan prioritasnya, seperti di TNBG, adalah tersedianya rencana pengelolaan zonasi dan sarana prasarana, kondisi ekosistem dan kerapatan vegetasi yang relatif utuh/tinggi, potensi keragaman satwaliar langka dan dilindungi serta jasa lingkungan dan potensi ekowisata. Faktor kelemahan yang perlu segera diselesaikan adalah pemantapan kawasan dan zonasi (inti, rimba dan zona lainnya) yang belum jelas, pendanaan yang masih minim dan rendahnya tingkat perekonomian dan peran serta masyarakat. Strategi yang direkomendasikan untuk mengoptimalkan faktor kekuatan adalah penguatan kelembagaan dan sumberdaya manusia (SDM), menjaga keutuhan ekosistem hutan beserta satwaliarnya di setiap zonasi dan mengembangkan pemanfaatan potensi kawasan bersama masyarakat secara berkelanjutan. Strategi untuk meminimalisasi faktor kelemahan adalah peningkatan program pemberdayaan masyarakat penyangga dalam pengelolaan zona pemanfaatan, mengembangkan alternatif pendanaan melalui optimalisasi manfaat jasa lingkungan dan ekowisata, pengembangan tata batas dan pemantapan kawasan setiap zonasi dan peningkatan kerjasama penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan dengan stakeholder di daerah maupun skala nasional. Rekomendasi kebijakan bagi instansi daerah, seperti Pemerintah Propinsi Sumatera Utara, Pemerintah Kabupaten Mandailing Natal dan Balai Taman Nasional Batang Gadis, yang perlu segera dilakukan adalah meningkatkan keterampilan dan mendorong masyarakat untuk berperan serta dalam kegiatan perlindungan dan pengamanan hutan secara mandiri, mengatur pemanfaatan hasil hutan bukan kayu, mengembangkan pasar ekowisata, mengurangi konflik lahan

Inovasi, Jurnal Politik dan Kebijakan, Juni 2015, Vol 12, No. 2, halaman 138-145 Kajian kepustakaan ini bertujuan untuk mengkaji peran Pemerintah Provinsi Sumatera Utara dan Pemerintah Kabupaten/Kota terkait penataan dan pemerataan guru sebagai implementasi Peraturan Bersama 5 Menteri tahun 2011 sampai tahun 2014. Dari hasil kajian, direkomendasikan bahwa: 1) Pemerintah Provinsi Sumatera Utara perlu segera: a) Menganggarkan biaya pelaksanaan sosialisasi SKB 5 Menteri (2011) tentang PPG, biaya pelaksanaan pemetaan guru, dan biaya pemindahan guru antar Kab/Kota; b) menfasilitasi kerjasama antar kabupaten/kota yang berdekatan dalam perpindahan guru antar kabupaten, maupun kerjasama dalam penugasan mengajar, misalnya dalam wujud Peraturan Daerah atau Peraturan Gubernur; dan, c) untuk mengatasi kekurangan guru, Pemerintah Provinsi Sumatera Utara perlu memperjuangkan ke Menpan-RB tentang formasi penerimaan guru PNS SD dan SMP lebih dari 20.000 orang; 2) Pemerintah Kabupaten/Kota perlu: a) seleksi ulang kelebihan guru Non PNS di tingkat SD dan menempatkan guru berdasarkan pada jumlah siswa bukan pada jumlah sekolah; b) menyusun struktur pendukung agar guru mau melaksanakan pembelajaran kelas rangkap di sekolah dasar kategori kecil; c) menyusun kebijakan dan mekanisme pendukung guru untuk memungkinkan guru mengajar dua mata pelajaran pada jenjang SMP; d) menerapkan peraturan mengajar 24 jam/minggu secara benar; e) mempertimbangkan kembali pembayaran tunjangan profesi guru kearah pembayaran gaji guru berdasarkan jam mengajar, bukan karena sudah disertifikasi; f) menetapkan agar daerah turut membayar tunjangan fungsional guru; dan g) memperkecil dana BOS yang dapat digunakan untuk pembayaran gaji guru sehingga sekolah

ii


tidak sembarang mengangkat guru honor; 3) Pemerintah Pusat perlu: a) meninjau kembali atau mengupayakan peningkatan relevansi SKB 5 Menteri tahun 2011 tentang PPG, karena banyak Pemerintah Daerah yang tidak melaksanakannya; dan, b) menetapkan sistem Manajemen Guru antar Pusat dan Daerah, dalam wujud Badan khusus Pemantau Tata Kelola Guru. Kata kunci: Peraturan Bersama 5 Menteri, Penataan dan Pemerataan, Guru PNS, Optimalisasi, Peran Pemerintah, Penempatan dan Pemindahan

iii


Volume 12, Nomor 2

June 2015

ISSN 1829-8079

The discriptors given are keywords. The abstrack sheet may by reproduced/ copied without permission or charge DDC 352.48 Joko Tri Haryanto

Keywords: camat, rule, regulation, service, performance

Evaluation Of The Regional Infrastructure Development Acceleration Funds And Acceleration Of Regional Infrastructure Fund From The Accuracy Field And Function

DDC 338.9 Zainal Abidin Nasution Identification Of Disparity Economic Development Districts/Cities In North Sumatera Province In 2010-2012

Inovasi, Journal of Politics and Policy, June 2015, Vol 12, No. 2, p. 77-85

Inter

Inovasi, Journal of Politics and Policy, June 2015, Vol 12, No. 2, p. 96-107

This study was conducted in order to evaluate DPPID and DPID of the precision of the field and the allocation of functions and authority. Using descriptive statistical approach, it can be concluded that the field of health and function, education has been getting a significant budget allocation both from the state budget, the budget, DAK and deconcentration and co-funds. While road infrastructure is already getting significant allocation from the allocation of DAK. The overall budget were already able to describe the government's seriousness in seeking excellent quality of basic services to the community.

The purpose of this study was to determine the level of disparity that occurs as a result of economic development districts/cities in Province of North Sumatra in 2010-2012. Background of the disparity of economic development, namely: the diversity of potential sources of natural resources, human resources and other demographic, that resulted in the difference in per capita income and economic growth in each district/city in Province of North Sumatera. Average GDP districts/cities is greater than the average GDP Province of North Sumatera is as much as 17 districts/cities. Average rate of economic growth districts/cities is greater than the average the rate of economic growth Province of North Sumatera which is 17 district/cities. Magnitude Williamson index is 0,5606 – 0,6302, based on the assesment criteria development disparity is located on the middle level. Magnitude Entropi Theil index is 1,2111, which is relatively small so it can be said there is no significant disparity. Credit productive disbursement of Bank Indonesian Province of North Sumatera for processing industry trade, hotel and restaurants and agriculture is worth Rp. 89,87 trillion, approximately 46,05 % of total loans extended by Bank Indonesia Province of North Sumatera on 2014. Expected management of productive credit can increase per capita income and economic growth in Province of North Sumatera in years to come so that it can decrease the level of disparity.

Keywords: DPPID, DPID, specific allocation fund, budget allocation (function and field)

DDC 352.14 Muhammad Soleh Pulungan Juridical Analysis Of Recrutment Pattern Of Camat And Camat Authority As Parameters Of Government In Public Service Inovasi, Journal of Politics and Policy, June 2015, Vol 12, No. 2, p. 86-95 This paper aims to: 1) determine whether the assignment of the camat system in the era of regional autonomy is still based on Government Regulation No. 19 of 2008; 2) analyze the shift in the position and authority of the camat as parameter of public services: 3) assess and analyze why the duties and functions of camat has a strategic value. Research results shows the fact that the assignment of camat on districts generally no longer based on Government Regulation No. 19 of 2008. Which is assigned on considerations of education or professional competence. However, majority occupied by workers who lack an understanding of the technical government, not eligible work experience, but related to political campaign team. Though the post of camat has the specific task of the obligation to integrate the socio-cultural values, to create stability in the dynamics of political, social, economic and cultural, work towards peace and law and order. The proposed recommendation is that assignment of camat should be selective in line with Government Regulation No. 19 of 2008, and through new innovations auctions position (fit and proper test system), so that the performance of elected camat has the competence required, considerable experience and professional capacity in to realize the optimization of public services.

Keywords: disparities in economic development, Typology Klassen, Index Williamson, Index Entropy Theil and Credit disbursement

DDC 362 Ida Yustina, Dumora Jenny Margaretha Siagian, Dwi Endah Purwanti The Fulfillment Of Children's Health Rights In The North Sumatra Coastal Areas Inovasi, Journal of Politics and Policy, June 2015, Vol 12, No. 2, p. 108-119 This research aims to determine the fulfillment of the health right condition for children in the coastal areas of North Sumatra and factors that impede the fulfillment of the child's health right, either by the government or parents. The results showedthat thefulfillment of the child's health right condition

iv


making, organizational commitment, on mathematic teacher’s performance. The results showed the organizational knowledge directly influenced to achievement motivation, decision making and organizational commitment respectively are : 16,3%, 13,1%, 12,2%, and 4,54% on mathematic teacher’s performance. While achievement motivation, decision making, and organizational commitment made direct effect on the mathematic teacher’s performance. The percentage of transformation performance can be determine directly by organizational knowledge achievement motivation, decision making and organizational comitmen respectively are 10,24%, 12,32%, 3,42%, and 2,92%.

that has been met with relatively well through wellness programs are: the right of the child to be born assisted birth attendants, right to be immunized, the right to nutrition services, and the right to get education about health. While the rights of children who do not get good compliance with are: the right to exclusive breastfeeding, the right to a place to play, and the right to a healthy environment. In addition there are several obstacles to the fulfillment of the child's health right, such as: public perception is still not good on the importance of exclusive breastfeeding and immunization, habits become hereditary legacy in feeding in children at an early age, yet the construction of children's play facilities decent, bad behavior in the coastal communities of treating the environment, and poverty of human resources of coastal communities which include: economic poverty, education, which contributed to his behavior.

Keywords: performance

teacher,

Junior

High

School,

mathematic,

DDC 379.598 Jonni Sitorus

Keyword: rights of the child's health, coastal areas, North Sumatra

The Role Of Local Government In The Implementation Of Joint Regulation Of Five Ministers Year 2011 On Structuring And Equity For Civil Servant Teachers Inovasi, Journal of Politics and Policy, June 2015, Vol 12, No. 2, p. 138-145

DDC 634.92 Wanda Kuswanda The Internal Factors And Policy Strategies For Development Of Management In Conservation Area. Case Study: Batang Gadis National Park

This article aim to study the role of the North Sumatra Provincial and District/City Government to configurate and equalite of servant teachers as the implementation of “The Joint Regulation of 5 Ministers Year 2011” until year 2014 is not optimal. From the results of the study, it is recommended that: 1) North Sumatra provincial government should immediately: a) the cost of implementing socialization Budgeting SKB 5 Ministers (2011) on the PPG, teachers mapping implementation costs, and the cost of removal of teachers among districts / municipalities; b) facilitate cooperation among districts/cities are adjacent in the movement of teachers between districts, as well as cooperation in teaching assignment, for example in the form of Local Rule or Regulation of the Governor; and, c) to overcome the shortage of teachers, North Sumatra provincial government needs to fight to the minister-RB on the formation of the admissions tutor elementary and junior civil servants more than 20,000 people; 2) the District/City should do: a) the excess reselection Non civil servant teachers at the elementary level and put the teacher based on the number of students rather than on the number of schools; b) develop support structures that teachers want to implement multigrade teaching in elementary school small category; c) develop policies and support mechanisms to enable the teachers teach two subjects at the high school level; d) apply the rules to teach 24 hours/weekcorrectly; e) reconsider teacher professional allowance towards payment of salaries of teachers based on teaching hours, not because it has been certified; f) provides for regional co pay teachers functional allowance; and, g) minimize the BOS funds that can be used for the payment of teachers' salaries so that the school not just lift teacher salaries; 3) The Central Government should do: a) review or strive to increase the relevance of the LCS 5 minister in 2011 about PPG, because many local government that not to do so; and, b) establish a teacher management system between central and local, in the form of a special Board Governance Monitoring Master.

Inovasi, Journal of Politics and Policy, June 2015, Vol 12, No. 2, p. 120-128 This study was expected to provide materials policy formulation in the management of conservation areas and other forest areas in North Sumatra. The results showed that the strength factors to developed management conservation areas based on it’s priorities, such as in TNBG, that are the availability a management plan for zoning and infrastructure, ecosystems type and vegetation density were high, the diversity of endangered and protected wildlife as well as environmental services and ecotourism. Factors weakness that needs be resolved are the stabilization of area and zoning (core, sanctuary and other zones) that unclear, funding is minimal and low level of economic and community participation. Recommended strategies are: a) strategies for optimizing the power factor are the institutional strengthening and human resources development, preserving the integrity of forest ecosystems along its wildlife in each zoning as well as the developing utilization area with the community is sustainably; and, b) strategies to minimize weakness factor based priority is the enhancement community empowerment program in utilization zone, to develop funding alternative with optimization of the environmental services and ecotourism benefits, the development boundary and area stabilization in each zoning as well as the cooperation improvement of research and science with stakeholders in the region and national levels. The recommended policy for local government is to improve skills and encourage people to participate in the forest protection activities as independent, regulate the use of no timber forest products, developing ecotourism market, reduce on land conflicts as well as the establish a partnerships pattern with the community forest village.

Keywords: Joint Regulation of 5 Ministers, Structuring and Equity, Civil Servant Teacher, Optimization, Role of Government, Placement and Removal

Keywords: conservation, strength, weakness, strategy, Batang Gadis National Park DDC 371.12 Martua Manullang Factors Affecting The Math Teacher Performance Inovasi, Journal of Politics and Policy, June 2015, Vol 12, No. 2, p. 129-137 This research is to examine the direct effect of the organizational knowledge on achievement motivation, decision making, organizational commitment, mathematic teacher’s performance, and the direct effect of achievement motivation, decicion

v



Volume 12, Nomor 2

Juni 2015

ISSN 1829-8079

DAFTAR ISI

Halaman Evaluasi Dana Percepatan Pembangunan Infrastruktur Daerah (DPPID) dan Dana Percepatan Infrastruktur Daerah (DPID) dari Sisi Ketepatan Bidang dan Fungsi (Joko Tri Haryanto)

77-85

Analisis Yuridis Pola Rekrutmen Camat dan Kewenangan Camat Sebagai Parameter Pemerintahan Dalam Pelayanan Publik (Muhammad Soleh Pulungan)

86-95

Identifikasi Disparitas Pembangunan Antar Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara Tahun 2010-2012 (Zainal Abidin Nasution)

96-107

Pemenuhan Hak Kesehatan Anak di Wilayah Pesisir Sumatera Utara (Ida Yustina, Dumora Jenny Margaretha Siagian, Dwi Endah Purwanti)

108-119

Faktor Internal dan Strategi Kebijakan Untuk Pengembangan Pengelolaan Kawasan Konservasi. Studi Kasus: Taman Nasional Batang Gadis (Wanda Kuswanda)

120-128

Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Kinerja Guru Matematika (Martua Manullang)

129-137

Peran Pemerintah Daerah dalam Implementasi Peraturan Bersama 5 Menteri Tahun 2011 Tentang Penataan dan Pemerataan Guru PNS (Jonni Sitorus)

138-145

i


Evaluasi Dana Percepatan Pembangunan Infrastruktur Daerah (DPPID) dan Dana Percepatan Infrastruktur Daerah (DPID) dari Sisi Ketepatan Bidang dan Fungsi (Joko Tri Haryanto)

Hasil Penelitian EVALUASI DANA PERCEPATAN PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DAERAH (DPPID) DAN DANA PERCEPATAN INFRASTRUKTUR DAERAH (DPID) DARI SISI KETEPATAN BIDANG DAN FUNGSI (EVALUATION OF THE REGIONAL INFRASTRUCTURE DEVELOPMENT ACCELERATION FUNDS AND ACCELERATION OF REGIONAL INFRASTRUCTURE FUND FROM THE ACCURACY FIELD AND FUNCTION) Joko Tri Haryanto Pusat Kebijakan Pembiayaan Perubahan Iklim dan Multilateral Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan email: djohar78@gmail.com Diterima: 10 Maret 2015; Direvisi: 5 Mei 2015; Disetujui: 1 Juni 2015

ABSTRAK Persoalan pembangunan infrastruktur selalu menjadi kendala di daerah. Pelaksanaan otonomi daerah ternyata belum mampu mengakselerasi hal tersebut. Untuk itulah pemerintah kemudian mengalokasikan Dana Percepatan Pembangunan Infrastruktur Daerah (DPPID) dan Dana Percepatan Infrastruktur Daerah (DPID). Permasalahannya alokasi DPPID dan DPID untuk sektor pendidikan, kesehatan dan infrastruktur mengandung potensi tumpang tindih pendanaan serta ketidaktepatan sasaran. Untuk itulah penelitian ini dilakukan dengan tujuan melakukan evaluasi DPPID dan DPID dari sisi ketepatan bidang serta alokasi fungsi dan kewenangan. Dengan menggunakan pendekatan statistik deskriptif, dapat disimpulkan bahwa bidang dan fungsi kesehatan serta pendidikan, sudah mendapatkan alokasi anggaran yang cukup signifikan baik dari APBN, APBD, DAK maupun dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Sedangkan infrastruktur jalan sudah mendapatkan alokasi yang cukup signifikan dari alokasi DAK. Keseluruhan anggaran tersebut sekiranya sudah dapat menggambarkan keseriusan pemerintah di dalam mengupayakan kualitas pelayanan dasar yang prima kepada masyarakat. Kata kunci: DPPID, DPID, DAK, alokasi bidang dan fungsi

ABSTRACT The issue of infrastructure is always an obstacle in the all area. The implementation of regional autonomy was not yet able to accelerate it. For that reason, the government allocates funds Regional Infrastructure Development Acceleration (DPPID) and Regional Infrastructure Acceleration Fund (DPID). The problem is, DPPID and DPID allocation for education, health and infrastructure are potentially overlapping funding and the inappropriateness of the target. For this reason this study was conducted in order to evaluate DPPID and DPID of the precision of the field and the allocation of functions and authority. Using descriptive statistical approach, it can be concluded that the field of health and function, education has been getting a significant budget allocation both from the state budget, the budget, DAK and deconcentration and co-funds. While road infrastructure is already getting significant allocation from the allocation of DAK. The overall budget were already able to describe the government's seriousness in seeking excellent quality of basic services to the community. Keywords: DPPID, DPID, specific allocation fund, budget allocation (function and field)

PENDAHULUAN Sejak tanggal 1 Januari 2001 telah terjadi perubahan yang cukup fundamental dalam mekanisme penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia (Haryanto, 2008). Perubahan tersebut

terkait dengan dilaksanakannya “secara efektif� otonomi daerah sebagaimana yang diamanatkan dalam Undang-Undang (UU) Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang telah

77


Inovasi Vol. 12 No. 2, Juni 2015: 77 - 85

direvisi dengan UU Nomor 23 Tahun 2014 dan UU Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan dan Pemerintahan Daerah yang telah direvisi dengan UU Nomor 33 Tahun 2004. Kedua UU di bidang otonomi daerah tersebut telah menetapkan pemberian kewenangan otonomi dalam wujud otonomi yang luas, nyata, dan bertanggung jawab kepada Daerah. Meskipun sudah melaksanakan otonomi daerah sejak tahun 2001, permasalahan infrastruktur yang kurang memadai masih saja menjadi persoalan di daerah. Padahal salah satu tujuan pelaksanaan otonomi daerah adalah penciptaan kemandirian daerah di dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat khususnya terkait dengan aspek pelayanan dasar. Pertumbuhan dan stabilitas ekonomi daerah justru mengalami permasalahan di era desentralisasi fiskal. Dalam pelaksanaan desentralisasi fiskal di Indonesia, sesuai dengan prinsip money follows function, ketika terjadi pengalihan kewenangan kepada daerah, maka kepada daerah tersebut juga diberikan sumbersumber pembiayaan untuk melaksanakan beberapa fungsi dan urusan yang telah dilimpahkan di daerah tersebut (Vazquez, dkk, 2006 dan Faisal, 2002). Harapannya adalah munculnya aspek kemandirian daerah melalui indikator kemandirian Pendapatan Asli daerah (PAD) di dalam menjalankan segala urusan yang telah dilimpahkan kepada daerah. Meskipun sudah memenuhi prinsip dan asas desentralisasi fiskal yang berlaku secara umum, penyerahan sebagian sumber pembiayaan khususnya sumber perpajakan kepada daerah justru menimbulkan dampak negatif bagi pemerintah pusat (Oates dan Wallace, 1999). Hal ini disebabkan adanya penurunan kapasitas fiskal pemerintah dalam menghadapi bahaya krisis ekonomi yang mungkin akan terjadi khususnya di negara-negara berkembang. Hal yang berbeda diperlihatkan oleh kasus pelaksanaan desentralisasi fiskal di negaranegara maju dimana kondisi ekonomi makronya lebih stabil, sehingga penyerahan sebagian sumber-sumber pembiayaan kepada daerah tidak terlalu mengkhawatirkan. Salah satu faktor mendasar munculnya efek yang berbeda tersebut adalah adanya perbedaan struktur ekonomi antara negara berkembang dan negara maju (Prud’homme, 1990 dan Shadbegian, 1999). Namun demikian, mekanisme tersebut sudah menjadi keharusan dan konsekuensi utama pelaksanaan desentralisasi fiskal di suatu negara (Bahl, 1999). Terlebih kondisi heterogenitas wilayah di

Indonesia yang terlalu besar, dimana masih banyak daerah yang tidak mampu mewujudkan aspek kemandirian daerah. Karenanya peran pemerintah pusat dirasakan masih cukup signifikan melalui mekanisme Transfer ke Daerah baik Dana Perimbangan maupun berbagai Dana Penyesuaian dan Dana Otonomi Khusus serta berbagai belanja yang sifatnya vertikal dari masing-masing Kementerian Teknis dengan tetap mengacu kepada Undangundang No 32 Tahun 2004 yang sudah direvisi menjadi Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah serta Undangundang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (Sidik, 2004). Sayangnya, pelaksanaan desentralisasi fiskal yang awalnya diharapkan mampu mempercepat pembangunan infrastruktur, nyatanya justru hanya dipandang sebagai proses pelimpahan kewenangan belanja rutin semata. Akibatnya, disamping mekanisme dana transfer ke daerah yang sudah senantiasa dialokasikan dalam APBN, pemerintah dan DPR sepakat untuk mengalokasikan Dana Percepatan Pembangunan Infrastruktur Daerah (DPPID) serta Dana Percepatan Infrastruktur Daerah (DPID) sebagai mekanisme tambahan untuk mengakselerasi pembangunan infrastruktur di daerah. Dalam perjalanannya, DPPID dan DPID sudah dialokasikan sejak tahun 2008 dengan nomenklatur yang berbeda-beda. Di tahun 2008, nomenklatur yang digunakan adalah Dana Penyesuaian Infrastruktur Sarana dan Prasarana (DISP). Pada tahun 2009, pemerintah mengubah lagi nomenklatur yang digunakan menjadi Dana Penguatan Desentralisasi Fiskal dan Percepatan Pembangunan Daerah (DPDF dan PPD). Khusus untuk tahun 2010, dibuat tiga program sekaligus yang terdiri dari DPDF-PPD, Dana Penguatan Infrastruktur dan Prasarana Daerah (DPIPD) serta Dana Percepatan Infrastruktur Pendidikan (DPIP). Untuk tahun 2011, pemerintah kembali menggunakan nomenklatur DPID saja. Adapun besaran alokasi anggaran diberikan sejak tahun 2008 hingga 2011 dapat dilihat pada Tabel 1. Dalam rangka memenuhi aspek transparansi dan akuntabilitas publik, sudah sewajarnya jika keseluruhan mekanisme pendanaan tersebut, baik DPPID maupun DPID senantiasa di evaluasi dan dilakukan monitoring secara mendalam untuk mengetahui efektivitas dan efisiensi penggunaan. Berbagai metode dan cara dapat dilakukan dalam melakukan proses evaluasi dan monitoring tersebut, khususnya di level masing-masing daerah. Selain analisis evaluasi per daerah, pelaksanaan evaluasi efektivitas DPPID dan DPID juga dapat

78


Evaluasi Dana Percepatan Pembangunan Infrastruktur Daerah (DPPID) dan Dana Percepatan Infrastruktur Daerah (DPID) dari Sisi Ketepatan Bidang dan Fungsi (Joko Tri Haryanto)

dilakukan melalui mekanisme evaluasi efektivitas per bidang dan fungsi. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah

Kabupaten/Kota, terdapat pembagian yang jelas antara urusan pemerintahan yang sepenuhnya menjadi kewenangan pemerintah pusat dan urusan yang dibagi antar tingkatan dan/atau antar susunan pemerintahan tingkatan dan/atau antar susunan pemerintahan.

Tabel 1. Besaran Alokasi DPPID/DPID (dalam miliar) Nomenklatur DISP

2008

2009

2010

2011

4,006

0

0

0

0

6,993

6,88

0

DPIPD

0

0

6,402

0

DID

0

0

1,387

1,387

DPDF&PPD

DPID 0 0 Sumber: Kementerian Keuangan (2014) Beberapa urusan yang menjadi kewenangan sepenuhnya pemerintah pusat antara lain urusan politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional serta agama. Sedangkan urusan lainnya diluar urusan tersebut menjadi urusan yang dibagi antar tingkatan dan/atau antar susunan pemerintahan. Urusan yang dibagi antar tingkatan dan/atau antar susunan pemerintahan tersebut antara lain urusan pendidikan, kesehatan, pekerjaan umum, perumahan, penataan ruang, perencanaan pembangunan, perhubungan, lingkungan hidup, kehutanan, hingga perdagangan dan perindustrian. Terkait dengan permasalahan urusan yang dibagi antar tingkatan dan/atau antar susunan pemerintahan, dalam pelaksanaannya di daerah diuraikan lagi menjadi urusan wajib dan urusan pilihan daerah. Urusan wajib adalah urusan yang wajib diselenggarakan oleh pemerintahan daerah provinsi, kabupaten dan kota terkait dengan pelayanan dasar. Urusan yang masuk dalam kategori wajib antara lain urusan pendidikan, kesehatan, lingkungan hidup, pekerjaan umum, sosial, kebudayaan, dan perhubungan. Sedangkan urusan yang masuk dalam kategori pilihan adalah urusan pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan daerah, dan potensi unggulan daerah yang bersangkutan. Urusan pilihan antara lain terdiri dari kelautan dan perikanan, kehutanan, pertanian, energi dan sumber daya mineral, pariwisata, industri dan perdagangan, ketransmigrasian. Konsekuensi adanya pemisahan urusan wajib di daerah adalah adanya kewajiban daerah untuk

7,535

menjalankan penyelenggaraan pelayanan tersebut berdasarkan alokasi APBD nya. Dalam pengalokasiannya, DPPID dan DPID dialokasikan untuk fungsi dan bidang kesehatan, pendidikan dan infrastruktur jalan. Harapannya tentu saja meningkatkan kinerja fungsi bidang kesehatan, pendidikan dan infrastruktur jalan dalam mendukung penciptaan tujuan pembangunan nasional. Jika dilihat dari sisi bidang, Pemerintah sendiri sebetulnya sudah mengalokasikan Dana Alokasi Khusus (DAK) untuk bidang kesehatan, pendidikan serta infrastruktur. Rumusan permasalahan dalam tulisan ini adalah bagaimana efisiensi dan efektivitas DPID dan DPPID sebagai sebuah mekanisme pendanaan yang sifatnya ad-hoc dalam mengkaselerasi pembangunan infrastruktur di daerah. Permasalahan ini menjadi semakin penting dalam upaya menghindari overlapping pendanaan melalui kesesuaian alokasi bidang khususnya terkait dengan bidang kesehatan, pendidikan dan infrastruktur jalan. METODE PENELITIAN Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis penelitian eksplanatoris dengan menggunakan pendekatan kuantitatif. Adapun populasi yang diambil adalah sampel secara nasional untuk level provinsi, kabupaten dan kota. Secara umum, jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder terkait dengan alokasi dana DPPID serta DPID dibandingkan dengan beberapa dana APBN yang dialokasikan berdasarkan fungsi serta dana-dana transfer ke daerah khususnya DAK. Data mengenai alokasi dana-dana tersebut didapatkan dari sumber resmi Direktorat

79


Inovasi Vol. 12 No. 2, Juni 2015: 77 - 85

Jenderal Perimbangan Keuangan, Kementerian Keuangan dari tahun 2008 hingga 2012. Data 2008 hingga 2012 tersebut sekaligus menjadi pembatasan masalah dalam penelitian ini mengingat alokasi DPPID dan DPID sendiri bersifat ad-hoc, sehingga kontinuitas alokasi juga didasarkan kepada hasil kepekatan antara Pemerintah dan DPR. Metode analisis yang digunakan adalah metode statistik deskriptif melalui analisis perbandingan alokasi DPPID dan DPID dengan analisis kewenangan urusan baik urusan wajib dan pilihan di daerah serta kesesuaian program dan bidang dalam pendanaan sektoral dan DAK bidang kesehatan, pendidikan dan infrastruktur jalan.

Fungsi pelayanan umum masih mendapatkan alokasi anggaran terbesar khususnya terkait dengan fungsi belanja pegawai yang masih besar seperti yang tergambar pada Tabel 2. Namun demikian alokasi beberapa fungsi lainnya yang mendukung pelayanan dasar kepada masyarakat seperti ekonomi, kesehatan dan pendidikan juga memperlihatkan tren peningkatan yang cukup signifikan di dalam mendukung tema pembangunan nasional propoor, pro-job, pro-growth dan pro-environment. Hal yang cukup memprihatinkan sebetulnya dapat dilihat pada rendahnya alokasi anggaran APBN untuk fungsi pariwisata dan budaya serta agama. Pariwisata dan budaya sebetulnya memiliki potensi sebagai sektor unggulan di dalam menciptakan pertumbuhan dan pemerataan nasional. Pengembangan pariwisata dan budaya sebetulnya juga dapat dijadikan sebagai strategi shifting industry dari ketergantungan sumber daya alam yang relatif memiliki keterbatasan pertumbuhan. Faktor lainnya yang menjadikan pariwisata dan budaya menjadi lebih krusial lagi adalah adanya strategi pengembangan industri kreatif yang dipadukan dengan strategi pengembangan pariwisata di daerah. Rendahnya alokasi anggaran untuk fungsi agama juga menjadi hal yang cukup memprihatinkan mengingat maraknya berbagai kejadian yang sifatnya lintas agama dan lintas kepercayaan, yang menggambarkan adanya ketidakmampuan pemerintah di dalam mengelola fungsi agama di masyarakat.

HASIL DAN PEMBAHASAN Alokasi APBN dan APBD Per Fungsi. Dengan mendasarkan kepada data historis alokasi belanja APBN selama kurun waktu 5 (lima) tahun terakhir (tahun 2008 hingga tahun 2012) dapat dilihat bahwa fungsi kesehatan dan pendidikan termasuk ke dalam fungsi yang mendapatkan alokasi anggaran yang relatif besar dibandingkan alokasi fungsi lainnya. Alokasi fungsi pendidikan mendapatkan alokasi sekitar Rp 417 triliun sedangkan alokasi fungsi kesehatan mendapatkan alokasi sekitar Rp 77 triliun. Besarnya alokasi fungsi pendidikan terkait dengan adanya kewajiban pengalokasian anggaran minimal 20% APBN. Besarnya alokasi anggaran untuk fungsi pendidikan dan kesehatan juga menunjukkan adanya keseriusan dari pemerintah untuk memprioritaskan pelayanan dasar terbaik kepada masyarakat.

Tabel 2. Realisasi Belanja APBN Per Fungsi (miliar) No 1 2 3 4 5 6

FUNGSI

2008

2009

2010

2011*

2012**

Total

Pelayanan Umum Pertahanan Ketertiban dan Keamanan Ekonomi Lingkungan Hidup Perumahan dan Fasilitas Umum

534,567 9,159 7,019 50,485 5,315

417,772 13,146 7,754 58,845 10,703

471,558 17,081 13,835 52,178 6,550

580,283 61,275 24,823 92,839 10,122

609,605 64,371 26,077 97,530 10,633

2,613,785 165,031 79,509 351,878 43,323

12,449

14,649

20,053

24,741

25,991

97,883

14,039 1,294 746 55,298 2,986

15,743 1,406 774 84,920 3,102

18,793 1,409 879 90,818 3,342

13,987 2,354 1,809 91,001 5,010

14,693 2,472 1,900 95,600 5,263

77,255 8,935 6,107 417,637 19,703

7 Kesehatan 8 Pariwisata dan Budaya 9 Agama 10 Pendidikan 11 Perlindungan Sosial Sumber: Kementerian Keuangan (2014) Keterangan: *APBNP **RAPBNP

80


Evaluasi Dana Percepatan Pembangunan Infrastruktur Daerah (DPPID) dan Dana Percepatan Infrastruktur Daerah (DPID) dari Sisi Ketepatan Bidang dan Fungsi (Joko Tri Haryanto)

Berdasarkan alokasi anggaran bersumber dari APBD, dalam kurun waktu 4 (empat) tahun terakhir (tahun 2008-2011) pada Grafik 1, dapat diamati bahwa alokasi anggaran untuk fungsi kesehatan dan pendidikan mendapatkan alokasi anggaran yang cukup signifikan. Alokasi anggaran pendidikan rata-rata di atas 23% dalam kurun waktu tersebut sebagai bukti

pemenuhan kewajiban alokasi anggaran minimum pendidikan sebesar 20% dari APBD. Sedangkan alokasi anggaran kesehatan mencapai kisaran di atas 14% secara rata-rata dalam kurun waktu yang sama. Fungsi pelayanan umum secara rata-rata masih cukup mendominasi di dalam pengalokasian APBD.

Grafik 1. Realisasi Belanja APBD Per Fungsi Sumber: Kementerian Keuangan (2014) Hal tersebut juga menggambarkan adanya pola yang hampir sama jika dibandingkan dengan pola pengalokasian APBN. Besarnya alokasi fungsi ekonomi juga dapat di anggap sebagai bentuk dukungan pemda di dalam upaya menciptakan pelayanan dasar yang prima kepada masyarakat. Kondisi yang sama dengan pola APBN juga terjadi pada alokasi belanja APBD. Fungsi pariwisata dan budaya belum mendapatkan alokasi anggaran yang cukup besar dari APBD. Rendahnya alokasi tersebut cukup memprihatinkan sebetulnya jika dihubungkan dengan potensi pengembangan pariwisata dan budaya yang cukup besar dari masing-masing daerah. Alokasi DAK. Pasal 39 UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah menyatakan bahwa Dana Alokasi Khusus (DAK) dialokasikan kepada Pemerintah Daerah tertentu untuk mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah. Sementara itu, Pasal 51 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 55 Tahun 2005 tentang Dana Perimbangan menyebutkan bahwa DAK dialokasikan kepada daerah tertentu untuk mendanai kegiatan khusus yang

merupakan bagian dari program yang menjadi prioritas nasional dan menjadi urusan daerah. Di dalam pengalokasiannya, DAK menggunakan kriteria umum, khusus dan teknis. Kriteria umum dihitung untuk melihat kemampuan APBD untuk membiayai kebutuhan-kebutuhan dalam rangka pembangunan daerah yang dicerminkan dari penerimaan umum APBD dikurangi belanja pegawai. Sedangkan kriteria khusus ditetapkan dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan dan karakteristik daerah. Peraturan perundang-undangan adalah UU yang mengatur tentang kekhususan suatu daerah, seperti UU Otonomi Khusus Papua. Seluruh daerah (Kabupaten/kota) di Provinsi Papua akan diprioritaskan mendapatkan DAK. Beberapa kriteria khusus juga menjadi kesepakatan antara pemerintah dengan legislatif di dalam mekanisme pengalokasian DAK seperti kriteria rawan bencana, daerah dengan pulaupulau terkecil terdepan, daerah rawan pangan, pasca konflik. Sementara itu kriteria teknis dirumuskan oleh Kementerian Negara/Departemen teknis terkait. Kriteria teknis tersebut dicerminkan dengan indikator-

81


Inovasi Vol. 12 No. 2, Juni 2015: 77 - 85

indikator yang dapat digunakan untuk menggambarkan kondisi sarana-prasarana pada masing-masing bidang/kegiatan yang akan didanai oleh DAK. Berdasarkan data realisasi DAK per bidang dari tahun 2008-2011, dapat dilihat bahwa alokasi terbesar terdiri dari bidang pendidikan, kesehatan dan infrastruktur jalan. Bidang pendidikan mendapatkan alokasi rata-rata sekitar 35% dari total DAK nasional. Sedangkan bidang kesehatan mendapatkan alokasi rata-rata

sekitar 14% dari total alokasi DAK nasional. Bidang infrastruktur jalan juga mendapatkan alokasi anggaran yang cukup signifikan rata-rata sekitar 15% dari total aloaksi DAK nasional. Dengan alokasi yang relatif mendominasi selama 2008-2011, kinerja kesehatan, pendidikan dan infrastruktur jalan seharusnya menunjukkan gambaran yang memuaskan bagi pelayanan dasar masyarakat. Secara detail, data alokasi DAK tahun 2008 hingga tahun 2012 dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Alokasi DAK Tahun 2008-2012 dalam Miliar 2011

2012

Pendidikan

Bidang

7,015

9,334

9,334

10,041

10,041

Kesehatan

3,817

4,017

2,829

3,000

3,005

Infras Jln

4,044

4,500

2,810

3,900

4,012

Infras Irigasi

1,497

1,549

968

1,311

1,348

362

562

386

400

444

Kelautan & Perikanan

1,100

1,100

1,207

1,500

1,547

Infras Air Minum

1,142

1,142

357

419

502

Pertanian

1,492

1,492

1,543

1,806

1,879

Lingkungan Hidup

351

351

351

400

479

Kependudukan

279

329

329

368

392

Kehutanan

100

100

250

400

489

Sar Pras Perdesaan

0

190

300

315

356

Perdagangan

0

150

107

300

345

Sanitasi

0

0

357

419

463

Listrik Perdesaan

0

0

0

150

190

Perumahan & Permukiman

0

0

0

150

191

Keselamatan Transport Drt

0

0

0

100

131

Transport Perdesaan

0

0

0

150

171

0

0

100

121

Pras Pem

2008

2009

Sar Pras Perbatasan 0 Sumber: Kementerian Keuangan (2014)

2010

Agar terlaksana pendanaan penyelenggaraan pemerintahan secara efektif dan efisien serta untuk mencegah tumpang tindih ataupun tidak tersedianya pendanaan pada suatu bidang pemerintahan, maka perlu diatur pendanaan penyelenggaraan pemerintahan tersebut. Penyelenggaraan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah didanai dari APBD, sedangkan penyelenggaraan kewenangan pemerintahan yang menjadi tanggung jawab pemerintah didanai dari APBN, baik kewenangan pusat yang didekonsentrasikan kepada gubernur, atau ditugaskan kepada pemerintah daerah dan/atau desa atau sebutan lainnya dalam rangka tugas pembantuan.

Alokasi Pendanaan Bersumber dari Dana Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan (Dekon/TP). Penyelenggaraan pemerintahan daerah di Indonesia dilakukan berdasarkan 3 (tiga) asas pemerintahan, yaitu: asas Desentralisasi, asas Dekonsentrasi, dan asas Tugas Pembantuan (medebewind). Dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah, penyerahan, pelimpahan, dan penugasan urusan pemerintahan kepada daerah secara nyata dan bertanggungjawab harus diikuti dengan pengaturan, pembagian, dan pemanfaatan sumber daya nasional secara adil, termasuk perimbangan keuangan antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah.

82


Evaluasi Dana Percepatan Pembangunan Infrastruktur Daerah (DPPID) dan Dana Percepatan Infrastruktur Daerah (DPID) dari Sisi Ketepatan Bidang dan Fungsi (Joko Tri Haryanto)

Dana Dekonsentrasi dan Dana Tugas Pembantuan merupakan salah satu unsur dalam sistem perimbangan keuangan antara Pemerintah (Pusat) dan Pemerintahan Daerah. Perimbangan keuangan antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah adalah suatu sistem pembagian keuangan yang adil, proporsional, demokratis, transparan, dan bertanggung jawab dalam rangka pendanaan penyelenggaraan desentralisasi, dengan mempertimbangkan potensi, kondisi dan kebutuhan daerah serta besaran pendanaan penyelenggaraan Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan. Menurut UU No. 33 Tahun 2004, pelimpahan kewenangan dalam rangka pelaksanaan Dekonsentrasi dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah diikuti dengan pemberian dana. Dana yang diberikan untuk mendanai kewenangan yang dilimpahkan tersebut merupakan Dana Dekonsentrasi, yaitu dana dari APBN yang dilaksanakan oleh gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat yang mencakup semua penerimaan dan pengeluaran dalam rangka pelaksanaan dekonsentrasi, tidak termasuk dana yang dialokasikan untuk Instansi Vertikal Pusat di daerah. Demikian halnya dengan Tugas Pembantuan, setiap adanya penugasan dari Kementerian/Lembaga kepada kepala daerah akan diikuti dengan pemberian dana. Dana yang diberikan untuk mendanai penugasan tersebut disebut Dana Tugas Pembantuan, yaitu dana yang berasal dari APBN yang dilaksanakan oleh daerah yang mencakup semua penerimaan dan pengeluaran dalam rangka pelaksanaan Tugas Pembantuan. Hal ini berarti bahwa Dana Tugas Pembantuan merupakan bagian anggaran kementerian negara/lembaga yang dialokasikan untuk daerah provinsi/kabupaten/kota sebagai daerah otonom, sesuai dengan beban dan jenis penugasan yang diberikan dengan kewajiban melaporkan dan mempertanggungjawabkan

kepada yang memberikan penugasan. Pemberian Dana Dekonsentrasi kepada Gubernur selaku wakil pemerintah di daerah dilakukan berdasarkan prinsip-prinsip sebagai berikut: 1) Penyelenggaraan urusan Pemerintah yang dilaksanakan oleh Gubernur dalam rangka pelaksanaan Dekonsentrasi didanai dari APBN. 2) Pelimpahan kewenangan dalam rangka pelaksanaan Dekonsentrasi dan/atau penugasan dalam rangka pelaksanaan Tugas Pembantuan dari Pemerintah kepada Pemerintah Daerah diikuti dengan pemberian dana. Berdasarkan Tabel 4 dan Tabel 5, dapat dilihat bahwa dari tahun 2008 hingga 2011, fungsi dan bidang kesehatan, pendidikan, ekonomi dan pelayanan umum mendapatkan alokasi anggaran terbesar dibandingkan fungsi dan bidang lainnya. Jika dilihat dari karakteristik masing-masing dana, fungsi dan bidang pendidikan bahkan mendapatkan alokasi anggaran dekonsentarsi yang begitu besar. Sedangkan fungsi dan bidang ekonomi mendapatkan alokasi yang besar baik dari dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Hubungan Antara Kinerja Kesehatan, Pendidikan dan Infrastruktur Jalan Dengan Kepantasan Pengalokasian DPID dan DPPID. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) /Human Development Index (HDI) adalah pengukuran perbandingan dari harapan hidup, melek huruf, pendidikan dan standar hidup untuk semua negara diseluruh dunia. IPM digunakan untuk mengklasifikasikan apakah sebuah negara adalah negara maju, negara berkembang atau negara terbelakang dan juga untuk mengukur pengaruh dari kebijaksanaan ekonomi terhadap kualitas hidup.

Tabel 4. Realisasi Dana Dekon Per K/L Tahun 2008-2011 (triliun rupiah) No.

K/L

1. Kemendiknas

2008 21.70

2009

2010

32.10

1.10 0.90 2. Kementan 3. Kemenkes 0.00 0.80 4. Kemensos 0.70 0.60 5. Kemhut 0.10 0.08 6. KLH 0.01 0.01 Sumber: Kementerian Keuangan (2014)

83

2011

2012

25.80

10.20

14.10

0.90

1.50

2.30

0.70 0.50 0.10 0.01

0.70 0.50 0.10 0.01

0.80 0.60 0.10 0.20


Inovasi Vol. 12 No. 2, Juni 2015: 77 - 85

Tabel 5. Realisasi Dana Tugas Pembantuan Per K/L Tahun 2008-2012 dalam Triliun 2009 7.10 2.50 1.90

2010 0.70 2.30 1.60

2011 0.20 6.60 1.60

2012 0.60 7.40 1.80

4 Kemen Nakertrans 1.20 1.50 5 Kemenhut 0.02 0.00 6 KLH 0.00 0.00 Sumber : Kementerian Keuangan (2014)

1.20 0.01 0.00

1.20 0.02 0.00

1.50 0.01 0.00

No 1 2 3

K/L Kemendagri Kementan Kemen PU

2008 3.80 2.90 1.50

Tabel 6. IPM Indonesia Tahun 2005-2010 Tahun

Angka Harapan Hidup (tahun)

Rata-rata Lama Sekolah (tahun)

Angka Melek Huruf (%)

Pengeluaran Riil/kapita disesuaikan (Rp)

IPM

2005

68,1

7,3

90,9

619,9

69,6

2006

68,5

7,4

91,4

621,3

70,1

2007

69,0

7,5

91,5

624,6

70,4

2008

69,0

7,5

92,2

628,3

71,2

2009

69,2

7,7

92,6

631,4

71,7

2010 69,4 Sumber : BPS (2014)

7,9

92,9

633,6

72,3

Berdasarkan data Tabel 6 dapat dilihat bahwa pergerakan IPM Indonesia dari tahun 2005 hingga tahun 2010 tidak bertambah dalam angka yang signifikan. Jika tahun 2005 masih bekisar di 69,6 kemudian naik menjadi 71,2 di tahun 2008 dan terakhir menjadi 72,3 di tahun 2010. Kondisi ini tentu wajib menjadi perhatian bersama terlebih jika dibandingkan dengan besarnya alokasi dana yang telah diberikan untuk pengembangan sektor pendidikan, kesehatan dan infrastruktur dasar.

dapat menggambarkan keseriusan pemerintah di dalam mengupayakan kualitas pelayanan dasar yang prima kepada masyarakat. Pemerintah mengalokasikan keseluruhan anggaran tersebut tentu saja dengan pertimbangan utama terciptanya output yang handal dari pelayanan kesehatan, pendidikan di Indonesia. Namun demikian, jika dilihat dari output pendidikan dan kesehatan yang diwakili oleh perkembangan IPM Indonesia tahun 20082010, besarnya alokasi anggaran kesehatan, pendidikan dan infrastruktur jalan sepertinya tidak berbanding lurus dengan pembentukan IPM Indonesia. Jika dilihat dari pergerakan angka harapan hidup sebagai perwakilan kesehatan, rata-rata lama sekolah dan angka melek huruf sebagai perwakilan pendidikan serta pengeluaran riil sebagai perwakilan dari perbaikan kualitas hidup manusia, kenaikan masing-masing angka pada indeks tersebut masih relatif stagnan. Hal ini tentu saja menimbulkan banyak pertanyaan terkait quality spending dari kebijakan penganggaran yang selama ini dialokasikan pemerintah.

KESIMPULAN Berdasarkan hasil analisis dengan membandingkan alokasi DPID/DPPID serta berbagai jenis nomenklatur sebelumnya, dengan alokasi anggaran APBN, APBD, DAK, Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan, dapat disimpulkan bahwa bidang dan fungsi kesehatan dan pendidikan sudah mendapatkan alokasi anggaran yang cukup signifikan baik dari APBN, APBD, DAK maupun dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Bidang dan fungsi kesehatan serta pendidikan mengalami pendanaan yang berifat tumpang tindih (overlapping financing). Sedangkan infrastruktur jalan, hanya mendapatkan alokasi dari pendanaan DAK. Keseluruhan anggaran tersebut sekiranya sudah

REKOMENDASI a) Sesuai dengan kesepakatan, DPID dan DPPID dialokasikan untuk kesehatan,

84


Evaluasi Dana Percepatan Pembangunan Infrastruktur Daerah (DPPID) dan Dana Percepatan Infrastruktur Daerah (DPID) dari Sisi Ketepatan Bidang dan Fungsi (Joko Tri Haryanto)

Economics Department and International Studies Program. Andrew Young School of Policy Studies, Georgia State University.

pendidikan dan infrastruktur jalan. Sebagai sebuah bentuk pengalokasian anggaran yang sifatnya ad-hoc, DPPID dan DPID yang dialokasikan untuk kesehatan, pendidikan dan infrastruktur jalan sepertinya kurang memenuhi aspek kepantasan alokasi, mengingat bidang tersebut sudah mendapatkan alokasi anggaran yang begitu besar. b) Bidang yang dialokasikan seharusnya bidang lainnya di luar kesehatan, pendidikan dan infrastruktur jalan, untuk memberikan bentuk penguatan terhadap pengembangan bidang-bidang tersebut seperti misalnya pariwisata dan budaya, serta lingkungan hidup. DPPID dan DPID seharusnya juga lebih memposisikan sebagai dana akselerasi peningkatan pembangunan, bukan berfungsi sebagai dana utama pembangunan.

Vazquez, Jorge Martinez dan Mark Rider. 2006. Fiscal Decentralization and Economic Growth. A Comparative Study Of China and India. Indian Journal of Economic & Bussiness. Faisal. 2002. Fiscal Decentralization and Economic Growth at Provincial Level in Indonesia 1995-1999. Mini thesis, Georgia State University. Haryanto, Joko Tri. 2008. Desentralisasi Fiskal dan Kontribusinya Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Daerah, Tesis. Universitas Indonesia. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.

DAFTAR PUSTAKA

Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

Bahl, Roy W. 1999. Fiscal decentralization as developmental policy. Public Budgeting & Finance 19.

Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah.

Bahl, Roy W. dan J. Linn. 1994. Fiscal decentralization and intergovernmental transfers in less developed countries: The Journal of Federalism Vol 24 Winter.

Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.

Bahl, Roy W. dan J. Linn. 1992. Urban Public Finance in Developing Countries. New York: Oxford University Press.

Undang-undang Nomor 35 Tahun 2008 tentang Otonomi Khusus Provinsi Papua.

Bahl, Roy W. dan S. Nath. 1986. Public expenditure decentralization in developing countries. Environment and Planning C. Government and Policy Vol 4.

Undang-undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan DIY.

Oates, Wallace. 1999. An Essay on Fiscal Federalism. Journal of Economic Literature 37. Oates, Wallace. 1985. Searching for Leviathan: An Empirical Study. The American Economic Review Vol 75(4). Prud’homme, Remy. 1990. Decentralization of Expenditure or Taxes: The Case of France. Decentralization, Local Governments, and markets ed. Bennett Oxford: Claredon Press. Shadbegian, Ronald J. 1999. Fiscal federalism, collusion, and government size: Evidence from the States. Public Finance Review 27. Sidik, Machfud. 2004. Prinsip dan Pelaksanaan Desentralisasi Fiskal di Berbagai Negara. dalam Bunga Rampai Desentralisasi Fiskal. Jakarta: Kementerian Keuangan. Vazquez, Jorge Martinez dan Robert M. McNabb. 2006. Fiscal Decentralization, Macrostability and Growth.

85


Inovasi Vol. 12 No. 2, Juni 2015: 86 - 95

Hasil Penelitian ANALISIS YURIDIS POLA REKRUTMEN CAMAT DAN KEWENANGAN CAMAT SEBAGAI PARAMETER PEMERINTAHAN DALAM PELAYANAN PUBLIK (JURIDICAL ANALYSIS OF RECRUTMENT PATTERN OF CAMAT AND CAMAT AUTHORITY AS PARAMETERS OF GOVERNMENT IN PUBLIC SERVICE) Muhammad Soleh Pulungan Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah Kabupaten Kutai Kartanegara Provinsi Kalimantan Timur Jl.WR. Mongonsidi Gedung Bappeda-Balitbangda Lt.4 Tenggarong email: solehpulungan66@gmail.com Diterima: 10 Maret 2015; Direvisi: 4 Mei 2015; Disetujui: 15 Juni 2015

ABSTRAK Ekspektasi tinggi terhadap kinerja Camat sebagai parameter pelayanan publik terus digulirkan. Oleh sebab itu figure camat harus memiliki kompetensi dan professional sesuai persyaratan. Tulisan ini bertujuan untuk: 1) mengetahui apakah sistem pengangkatan Camat di era Otonomi daerah saat ini masih didasarkan pada Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2008; 2) menganalisis pergeseran kedudukan dan kewenangan Camat sebagai parameter pelayanan publik; dan, 3) mengetahui dan menganalisis mengapa tugas pokok dan fungsi Camat bernilai strategis. Penelitian ini bersifat penelitian kebijakan dengan metode analisis dokumen atau analisis isi dengan jenis penelitian deskriptif kualitatif. Hasil Penelitian menunjukkan bahwa pengangkatan Camat umumnya tidak lagi didasarkan pada PP No. 19 Tahun 2008 tentang kecamatan, yang diangkat atas pertimbangan kompetensi pendidikan atau profesional. Namun, mayoritas diisi oleh tenaga yang kurang memahami teknis pemerintahan, tidak memenuhi syarat pengalaman kerja, tetapi berkaitan dengan tim sukses politik. Padahal jabatan Camat memiliki kekhususan tugas yakni kewajiban untuk mengintegrasikan nilai-nilai sosio kultural, menciptakan stabilitas dalam dinamika politik, social ekonomi dan budaya, mengupayakan terwujudnya ketenteraman dan ketertiban wilayah. Rekomendasi yang diusulkan adalah agar pengangkatan Camat hendaknya lebih selektif sesuai dengan PP. No. 19 tahun 2008, dan melalui inovasi baru lelang jabatan (fit and proper test), agar kinerja Camat terpilih memiliki kompetensi yang dipersyaratkan, kapasitas dan pengalaman yang cukup dalam mewujudkan optimalisasi pelayanan publik. Kata kunci: camat, pemerintahan, regulasi, pelayanan, kinerja

ABSTRACT High expectations on performance of camat as parameters of public services are continued. Therefore camat figure should have the competence, and professional in accordance with the requirements. This paper aims to: 1) determine whether the assignment of the camat system in the era of regional autonomy is still based on Government Regulation No. 19 of 2008; 2) analyze the shift in the position and authority of the camat as parameter of public services: 3) assess and analyze why the duties and functions of camat has a strategic value. Qualitative descriptive method is using for this policy research, using document analysis method or content analysis. Research results shows the fact that the assignment of camat on districts generally no longer based on Government Regulation No. 19 of 2008. Which is assigned on considerations of education or professional competence. However, majority occupied by workers who lack an understanding of the technical government, not eligible work experience, but related to political campaign team. Though the post of camat has the specific task of the obligation to integrate the socio-cultural values, to create stability in the dynamics of political, social, economic and cultural, work towards peace and law and order. The proposed recommendation is that assignment of

86


Analisis Yuridis Pola Rekrutmen Camat dan Kewenangan Camat Sebagai Parameter Pemerintahan Dalam Pelayanan Publik (Muhammad Soleh Pulungan) camat should be selective in line with Government Regulation No. 19 of 2008, and through new innovations auctions position (fit and proper test system), so that the performance of elected camat has the competence required, considerable experience and professional capacity in to realize the optimization of public services. Keywords: camat, rule, regulation, service, performance.

Pada tahun 2012, terdapat 6.793 kecamatan dan 514 Kabupaten/Kota dengan rata-rata setiap Kabupaten/Kota mempunyai 13 Kecamatan. Dapat dibayangkan jika 6.793 orang camat merupakan aparatur yang handal dan professional, jelas akan berdampak terhadap kualitas pelayanan terjamin dengan baik, tetapi sebaliknya jika 6.793 orang camat tersebut merupakan aparatur yang tidak kompeten dan bermasalah, maka pelayanan publik akan bermasalah dan terhambat. Oleh sebab itu, Camat sebagai salah satu parameter pelayanan publik hendaknya diangkat sesuai ketentuan dan persyaratan kompetensi. Seorang Camat harus mampu menjadi figure pemersatu berbagai elemen masyarakat dari gejala disintegrasi dan diskriminasi. Selain itu Camat harus mampu mengkoordinasikan atau mensinergikan aktifitas pemerintahan di kecamatan dengan berbagai UPT yang ada. Demikian halnya Camat harus mampu menjadi pembina terhadap desa/kelurahan yang menjadi bawahan Kecamatan yang dipimpinnya, baik dari segi administrasi maupun dari segi peningkatan sumberdaya manusia (SDM). Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 19 tahun 2008 tentang Kecamatan yang merupakan petunjuk pelaksanaan UU Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, dinyatakan bahwa Camat mempunyai tugas melaksanakan kewenangan pemerintahan yang dilimpahkan oleh Bupati/Walikota untuk menangani sebagian urusan otonomi daerah, yang meliputi bidang Pemerintahan, ketentraman dan ketertiban umum, ekonomi, pembangunan pendidikan, kebudayaan, pariwisata dan pemberdayaan masyarakat serta kesejahteraan sosial. Jika menelaah dari tugastugas ini cukup komprehensif dari berbagai sektor pembangunan yang memerlukan figure yang handal. Pertanyaannya adalah apakah pengangkatan/rekrutmen seorang camat telah sesuai ketentuan yuridis PP No. 19 tahun 2008, maupun Permendagri No. 30 tahun 2009 tentang Pelaksanaan Pendidikan Teknis Pemerintahan. Fenomena yang terjadi di era otonomi daerah saat ini pengangkatan seorang camat telah banyak mengalami penyimpangan misalnya, pengangkatan Camat sangat erat kaitannya dengan tim sukses politik, artinya tanpa melihat kompetensi atau aspek teknis

PENDAHULUAN Ekspektasi tinggi terhadap peningkatan kinerja Camat dan Lurah sebagai ujung tombak pelayanan publik perlu menjadi perhatian bersama. Hal ini karena baik-buruknya kualitas pelayanan yang dilakukan oleh aparatur kecamatan dan kelurahan menjadi cerminan pelayanan publik oleh Pemerintahan. Oleh sebab itu gagasan agar lurah dan camat itu seharusnya bekerja seperti manajer yang profesional, yang mampu mengelola pemerintahan secara baik dinilai positif dan rasional. Salah satu kebijakan terbaru yang digagas oleh Kementerian Dalam Negeri adalah penyelenggaraan kebijakan PATEN (Pelayanan Administrasi Terpadu Kecamatan). PATEN diarahkan mewujudkan kinerja kecamatan sebagai Pusat Pelayanan masyarakat dan menjadi simpul Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) di Kabupaten/Kota dibidang perijinan dan non-perijinan. Dengan konsep seperti itu, diharapkan optimalisasi penyelenggaraan pelayanan publik di kecamatan dapat berjalan secara normal dan sistematis. Oleh sebab itu, kinerja seorang camat tentu harus memiliki kemampuan manejerial yang baik, karena Camat merupakan perpanjangan tangan Bupati/walikota. Camat harus mampu mensosialisasikan berbagai kebijakan Bupati/Walikota kepada masyarakat, juga diharapkan untuk meningkatkan penguasaan dan pengawasan terhadap wilayah kerjanya masing-masing. Idealnya Camat memiliki kapasitas dan kompetensi untuk mewujudkan pemerintahan yang profesional dan memiliki integritas dan moralitas yang baik. Hingga tahun 2014, Indonesia memiliki 34 provinsi dan 514 kabupaten/kota yang terdiri dari 420 kabupaten dan 94 kota (data ini hingga berlakunya Undang-Undang (UU) Nomor 16 tahun 2014 tentang pembentukan Kabupaten Buton Selatan di Provinsi Sulawesi Tenggara tanggal 23 Juli 2014). Jika dilanjutkan dengan data jumlah kecamatan seluruh Indonesia menurut data Wikipedia Indonesia tahun 2012 terdapat 6.793 kecamatan. Menurut data wilayah administrasi pemerintahan Kementerian Dalam Negeri, Kabupaten/kota dan kecamatan seluruh Indonesia tahun 2013, terdapat 72.944 wilayah administrasi desa dan 8.309 wilayah administrasi kelurahan.

87


Inovasi Vol. 12 No. 2, Juni 2015: 86 - 95

seorang figur, namun apabila memiliki kaitan erat dengan tim sukses politik maka yang bersangkutan dapat direkomendasikan oleh Bupati/Walikota menjadi Camat. Pada daerah tertentu isu putra daerah juga banyak mengemuka sehingga seorang camat harus memiliki latar belakang sejarah kelahiran dengan wilayah Kecamatan yang akan dipimpinnya. Selain itu, yang lebih marak lagi adalah posisi Camat yang banyak diangkat dari latar belakang pendidikan non pamong praja misalnya: Sarjana Pendidikan, Sarjana Sosial, Sarjana Ekonomi, Sarjana Pertanian, atau Sarjana Agama, meskipun keberadaan SDM lulusan pamong praja Sekolah Tinggi Pendidikan Dalam Negeri (SPDN)/Institut Pendidikan Dalam Negeri (IPDN) cukup tersedia didaerah tersebut. Salah satu contoh kasus melalui artikel yang ditulis oleh seorang Pamong Senior Rusdi Lubis (mantan Sekdaprov Sumbar) menyebutkan, bahwa camat tidak lagi didasarkan atas pertimbangan kompetensi atau profesional, banyak pimpinan kecamatan diisi dari tenaga yang kurang mengetahui tentang teknis penyelenggaraan pemerintahan, ataupun pengalaman kerja. Sehingga pengisian jabatan camat disamakan saja dengan pengisian perangkat daerah lainnya. Apa yang telah disampaikan tersebut secara gamblang dapat dilihat di Era Otonomi daerah saat ini, untuk menjadi Camat tidak harus lulusan (APDN/STPDN/IPDN) tetapi lulusan dari perguruan tinggi lainnya juga bisa. Dari beritaberita yang muncul di media, banyak camat yang berlatar belakang pendidikan Guru, Sarjana Ekonomi, Sarjana Hukum dan pendidikan lainnya. Lebih lanjut, dalam tulisannya Rusdi Lubis menyampaikan bahwa pada waktu lalu untuk menjadi camat ada “pertimbangan khusus� dari latar belakang ilmu pendidikan/pelatihan serta pengalaman kerja, sehingga lebih spesifik dan selektif. Beberapa regulasi yang khusus mengatur kecamatan dan Camat dapat dipakai untuk dijadikan pertimbangan atau syarat yang harus dipenuhi sebelum mengangkat seseorang Camat. Salah satu regulasi yang khusus mengatur tentang Kecamatan yaitu PP No. 19 Tahun 2008, dimana dalam regulasi ini camat memiliki kekhususan tugas. Dibalik tugas yang cukup kompleks tersebut, tentu diperlukan aparatur yang handal, namun jika seorang camat tidak memiliki kompetensi dan kapasitas yang disyaratkan jelas akan bermasalah. Permasalahan yang ingin diangkat dalam penelitian ini adalah: 1) apakah sistem pengangkatan (rekrutmen) Camat di era Otonomi daerah saat ini masih didasarkan pada

PP No. 19 Tahun 2008 dan UU No. 32 tahun 2004; 2) bagaimanakah pergeseran kedudukan dan kewenangan Camat sebagai ujung tombak pelayanan publik diera Otonomi daerah; dan, 3) mengapa tugas pokok dan fungsi jabatan Camat di era Otonomi daerah sangat bernilai strategis. Tujuan yang ingin dicapai dalam Penelitian ini yakni: 1) untuk mengetahui dan menganalisis apakah system pengangkatan (rekrutmen) Camat di era Otonomi daerah saat ini masih didasarkan pada PP Nomor 19 Tahun 2008; 2) untuk mengetahui dan menganalisis Bagaimanakah pergeseran kedudukan dan kewenangan Camat sebagai ujung tombak pelayanan publik di era Otonomi daerah; dan, 3) untuk mengetahui dan menganalisis mengapa tugas pokok dan fungsi Camat di era Otonomi daerah sangat bernilai strategis. Landasan Teori dan Kerangka Konsep merupakan �kerangka pemikiran atau butirbutir pendapat, tentang sesuatu kasus atau permasalahan (problem) yang menjadi bahan perbandingan. Teori itu bukanlah pengetahuan yang sudah pasti tetapi harus dianggap petunjuk analisis hasil penelitian sehingga berupa masukan eksternal bagi penelitian ini. Para pakar merumuskan definisi kepemimpinan (leadership) sebagai pola hubungan antara individu-individu yang menggunakan wewenang dan pengaruhnya terhadap kelompok orang agar bekerja bersama-sama untuk mencapai tujuan (Amirin, 1983). Kepemimpinan adalah kemampuan untuk mengajak orang lain mencapai tujuan yang sudah ditentukan (Davis, 1977). Unsur-unsur yang mendasari kepemimpinan dari pendapat diatas, adalah: a) kemampuan mempengaruhi orang lain; b)kemampuan mengarahkan atau memotivasi tingkah laku orang lain atau kelompok; dan, c) adanya unsur kerja sama untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Sifat-sifat yang mendasari kepemimpinan adalah kecakapan memimpin, yang mencakup tiga unsur pokok, yaitu: a) kecakapan memahami individual, artinya mengetahui bahwa setiap manusia mempunyai daya motivasi yang berbeda pada saat dan keadaan yang berlainan. b) kemampuan untuk menggugah semangat dan memberi inspirasi. c) kemampuan untuk melakukan tindakan dalam suatu cara yang dapat mengembangkan suasana (iklim) yang mampu memenuhi dan sekaligus menimbulkan dan mengendalikan motivasimotivasi. Jabatan Camat saat ini di era otonomi daerah adalah merupakan jabatan Struktural eselon (III/a) yang cukup strategis. Jadi, Camat

88


Analisis Yuridis Pola Rekrutmen Camat dan Kewenangan Camat Sebagai Parameter Pemerintahan Dalam Pelayanan Publik (Muhammad Soleh Pulungan)

harus mampu mengelola kepemimpinan secara internal dan mampu mensinergikan kepemimpinan dengan unsur eksternal atau UPT-UPT yang ada sehingga terjalin harmonisasi dan sinergitas yang terpadu dalam memajukan berbagai sektor pembangunan. Selain itu camat harus mampu membina dan mengawasi pembangunan desa/kelurahan termasuk aparaturnya agar berkembang dan berjalan secara dinamis sehingga menjadi motor penggerak pembangunan kecamatan. Birokrasi adalah bentuk organisasi kekuasaan yang sepenuhnya diserahkan kepada para pejabat resmi atau aparat pemerintah yang memiliki syarat technical skills (kemampuan secara teknis melaksanakan tugas yang dipercayakan) bagi bekerjanya sistem administrasi pemerintahan (Max Weber dalam Miftah, 2005). Birokrasi dalam hal ini sering diartikan sebagai suatu organisasi yang dijalankan oleh pemerintah yang bertujuan untuk memberikan pelayanan administrasi kepada publik. Kepemimpinan dalam birokrasi merupakan pemegang peranan strategis dalam setiap organisasi termasuk dalam birokrasi publik. Keberhasilan suatu birokrasi publik didalam menjalankan tugas-tugasnya sangat ditentukan kualitas dari pemimpinnya, sehingga kedudukan pemimpin sangat mendominasi setiap aktivitas yang dilakukan. Oleh sebab itu Camat beserta jajarannya sebagai pemegang jabatan yang cukup strategis atau beranda terdepan dalam pelayanan publik harus mampu menyusun dan mempraktekkan visi dan misi, sehingga tidak hanya digerakkan peraturan yang mengandalkan kewenangan formal yang dimiliki, tetapi mampu menjalankan fungsifungsi manajemen. Pemerintahan yang baik merupakan citra negara berdasarkan supremasi hukum, dimana masyarakatnya merupakan self regulatory society. Dengan demikian, pemerintah sudah dapat mereduksi perannya sebagai pembina dan pengawas implementasi visi dan misi bangsa dalam sendi-sendi kenegaraan. Jadi, melalui sistem informasi yang baik, kegiatan pemerintahan menjadi lebih transparan dan akuntabel, karena pemerintah mampu menangkap feedback dan meningkatkan peran serta masyarakat. Kunci utama memahami good governance adalah pemahaman atas prinsipprinsip good governance didalamnya. Bertolak dari pemahaman itu dapat diuraikan prinsip-prinsip good governance, sebagai berikut: a) Partisipasi masyarakat. Semua warga masyarakat mempunyai suara dalam pengambilan keputusan, baik secara langsung maupun melalui lembaga perwakilan yang sah. Partisipasi menyeluruh tersebut

dibangun berdasarkan kebebasan berkumpul dan mengungkapkan aspirasi, serta berpartisipasi secara konstruktif. Dalam hal ini tingkat partisipasi masyarakat dapat dilihat dalam Pemilu (Praktek demokrasi), dan dalam kontek Musyawarah Rencana Pembangunan (Musrenbang). Menurut Handoko (2001) partisipasi merupakan tindakan ikut serta dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan kegiatan di dalam organisasi. Partisipasi bermaksud untuk menjamin agar setiap kebijakan yang diambil mencerminkan aspirasi masyarakat; b) Efektifitas dan efisiensi proses pemerintahan. Efisiensi berkaitan dengan penghematan keuangan, sedangkan efektivitas berkaitan dengan ketepatan cara yang digunakan untuk menyelesaikan masalah (Handoko, 2001). Prinsip ini menjamin terselenggaranya pelayanan kepada masyarakat dengan menggunakan sumber daya yang tersedia secara optimal dan bertanggung jawab. Indikator yang dapat digunakan untuk mengukur efisiensi dan efektivitas, yaitu meningkatnya kesejahteraan dan nilai tambah dari pelayanan masyarakat, berkurangnya penyimpangan pembelanjaan, berkurangnya biaya operasional pelayanan dan mendapatkan ISO pelayanan, atau terjadinya swastanisasi pelayanan masyarakat, serta meningkatnya control masyarakat terhadap kasus penyimpangan melalui media massa dan berkurangnya penyimpangan (Jeff dan Shah dalam Handoko, 2001); c) akuntabilitas adalah kemampuan mempertanggungjawabkan semua tindakan dan kebijakan yang telah ditempuh (Mardiasmo, 2007). Prinsip ini mengandung makna meningkatkan akuntabilitas para pengambil keputusan dalam segala bidang yang menyangkut kepentingan masyarakat luas. Seluruh pembuat kebijakan harus memahami kebijakan yang diambil harus dipertanggungjawabkan kepada masyarakat.Instrumen dasar akuntabilitas adalah regulasi yang ada, dengan komitmen politik yang kuat dengan mekanisme pertanggungjawaban, sedangkan instrumen pendukungnya adalah pedoman tingkah laku dan sistem pemantauan kinerja pemerintahan dan sistem pengawasan. Pemerintah dalam arti luas adalah segala kegiatan yang terorganisir yang bersumber pada kedaulatan dan kemerdekaan, berlandaskan dasar negara, mengenai rakyat atau penduduk dan wilayah negara itu demi tercapainya tujuan negara. Segi struktural fungsional, pemerintahan dalam arti luas didefinisikan sebagai suatu sistem dari berbagai macam fungsi yang dilaksanakan untuk mewujudkan tujuan negara. Dilihat dari aspek pelakasanaan fungsi/tugas,

89


Inovasi Vol. 12 No. 2, Juni 2015: 86 - 95

d. Peraturan Pemerintah No. 19 tahun 2008 tentang Kecamatan; e. Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 30 tahun 2009 tentang Pelaksanaan Pendidikan Teknis Pemerintahan bagi calon Camat. Analisis data yang digunakan adalah kualitatif dengan berdasarkan atas peraturan perundang-undangan, pendapat dari para pakar, akademisi, praktisi sehingga dapat menjawab permasalahan penelitian ini. Data kemudian diolah dan dianalisis secara kualitatif dan diterjemahkan secara logis sistematis untuk selanjutnya ditarik kesimpulan dengan menggunakan metode pendekatan deduktif.

maka pemerintahan dalam arti luas dapat diartikan sebagai kekuasaan negara. Menurut UU No. 22 Tahun 1999 jo UU No. 32 Tahun 2004, Pemerintah Daerah adalah Penyelenggaraan Pemerintah Daerah Otonom oleh Pemerintah Daerah dan DPRD menurut asas Desentralisasi. Pemerintah Daerah adalah Kepala Daerah beserta perangkat daerah otonom yang lain sebagai badan eksekutif daerah, sedangkan perangkat daerah terdiri atas Sekretariat Daerah, Dinas Daerah dan Lembaga teknis Daerah lainnya sesuai kebutuhan daerah. Oleh karena itu, bentuk dan susunan organisasi pemerintah daerah berbeda, tergantung dari kebutuhan dan kemampuannya.

HASIL DAN PEMBAHASAN Regulasi yang mengatur tentang Kecamatan yaitu PP No. 19 Tahun 2008 yang merupakan juklak yang diamanatkan oleh UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam peraturan ini kekhususan jabatan Camat dibandingkan dengan perangkat daerah lainnya adanya kewajiban untuk mengintegrasikan nilai-nilai sosio kultural, menciptakan stabilitas dalam dinamika politik, ekonomi dan budaya, mengupayakan terwujudnya ketenteraman dan ketertiban wilayah kecamatan. Dalam hal ini, fungsi utama camat selain memberikan pelayanan kepada masyarakat, juga melakukan tugas-tugas pembinaan wilayah. Mengingat kecamatan adalah ujung tombak yang langsung bersentuhan dengan masyarakat, maka pelayanan yang diberikan Camat beserta jajarannya sangat berpengaruh terhadap citra pelayanan publik dimata masyarakat. Artinya jika pelayanan di tingkat Kecamatan baik, maka secara umum tanggapan masyarakat terhadap pelayanan publik juga baik, begitu pula sebaliknya. Oleh karena itu PP tersebut dalam Pasal 24, 25 dan 26 secara tegas mengatur persyaratan untuk diangkat menjadi Camat, yaitu menguasai pengetahuan teknis pemerintahan yang dibuktikan dengan ijazah pendidikan Diploma/Sarjana pemerintahan dan pernah bertugas di desa, kelurahan, atau kecamatan paling singkat dua tahun. Jika hal tersebut tidak dapat dipenuhi,karena keterbatasan sumber daya Pegawai Negeri Sipil (PNS), maka yang bersangkutan harus telah lulus pendidikan Teknis Pemerintahan sesuai dengan Permendagri No. 30 tahun 2009 tentang Pelaksanaan Pendidikan Teknis Pemerintahan bagi calon Camat. Disamping itu juga patut diperhatikan persyaratan lainnya terkait pengangkatan seseorang dalam jabatan struktural yang prinsipnya untuk melakukan pembinaan karir PNS.

METODE PENELITIAN Penelitian ini bersifat Penelitian kebijakan (Policy Research). Dengan demikian, metode yang digunakan adalah metode analisis dokumen atau content analysis (analisis isi) dengan jenis penelitian yaitu deskriptif kualitatif. Melalui penelitian dokumen ini hendak melakukan penelusuran atau telaahan dokumen yang menyangkut penerapan kebijakan tentang kecamatan yang ditetapkan dalam (PP No. 19 tahun 2008). Metode pendekatan yang digunakan yakni pendekatan kualitatif dengan pendekatan masalah pendekatan peraturan perundang-undangan (statute approach), pendekatan historical (historical approach), dan pendekatan kasus (case approach). Teknik pengumpulan data dilakukan melalui penyebaran kuesioner terhadap 60 (enam puluh) informan yakni; Camat, mantan Camat, dan lulusan STPDN di Kabupaten/Kota Provinsi Kalimanan Timur. Selain itu, untuk menggali informasi yang lebih mendalam dilakukan wawancara (indepth interview) terhadap 3 (tiga) orang Asisten I Bidang Pemerintahan dan Hukum di Kabupaten/Kota di Provinsi Kalimantan Timur, dengan waktu Penelitian ini selama 3 (tiga) bulan. Sumber bahan penelitian sendiri dapat dibedakan menjadi bahan hukum primer, bahan hukum skunder, dan bahan hukum tertier. Pengertian data primer adalah analisis atau telaahan terhadap Peraturan Perundangundangan yang berlaku dalam hal ini UU No. 32 tahun 2004, dan PP No. 19 tahun 2008 tentang kecamatan. Sedangkan data skunder adalah berbagai informasi yang tertulis, teori-teori dari bukulainnya. Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang mengikat, yaitu; a. Undang-Undang Dasar 1945; b. Undang-Undang No. 5 Tahun 1974; c. Undang-Undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah;

90


Analisis Yuridis Pola Rekrutmen Camat dan Kewenangan Camat Sebagai Parameter Pemerintahan Dalam Pelayanan Publik (Muhammad Soleh Pulungan)

Dalam Keputusan Kepala Badan Kepegawaian Negara (BKN) No. 13 Tahun 2002 yang memuat ketentuan Pelaksanaan (PP) tentang Pengangkatan PNS dalam Jabatan Struktural, diatur pedoman dalam memproses pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian PNS dalam dan dari jabatan struktural dan halhal lain yang berkaitan. Misalnya, untuk diangkat menjadi Pejabat Struktural harus dipenuhi ketentuan-ketentuan mengenai kepangkatan, kualitas dan tingkat pendidikan, prestasi kerja, kemampuan dan karakteristik, sehat jasmani dan rohani. Disamping itu harus diperhatikan faktor senioritas dalam kepangkatan, usia, pendidikan dan pelatihan (Diklat) dan pengalaman jabatan. Tetapi fakta dilapangan menunjukkan bahwa regulasi regulasi yang bertujuan untuk memberikan pedoman kepada pejabat yang berwenang seperti (Baperjakat) maupun Bupati/Walikota sebagai Pejabat Pembina Kepegawaian, seringkali diabaikan. Apalagi pengangkatan Camat pasca Pemilukada, banyak diantara camat yang diangkat tidak memenuhi syarat sesuai PP No. 19 Tahun 2008, Permendagri No. 30 Tahun 2009 serta Keputusan Ka. BKN No. 13 Tahun 2002. Hal itu dapat dilihat dengan banyaknya Camat yang tidak memiliki latar belakang Ilmu Pemerintahan (IP) bahkan ada yang cuma berijazah SLTA, belum pernah bertugas di kecamatan bahkan memiliki pangkat lebih rendah dari bawahannya. Lebih parahnya, Baperjakat maupun Bupati/Walikota tidak melakukan “pembinaan� dengan tidak memberdayakan potensi aparatur di kecamatan seperti PNS yang telah bertugas sebagai Sekretaris Camat (Eselon IIIb) atau Kepala Seksi (Eselon IVa). Padahal, banyak PNS yang merupakan alumni (APDN/STPDN/IPDN) yang sering disebut sebagai “Sekolah Camat�, tetapi tidak menjadi pilihan. Disamping itu ada pula Bupati/Walikota yang melakukan mutasi Camat seperti sebuah revolusi, Camat dipindahkan ke jabatan lain yang tidak relevan dengan kompetensi pendidikan atau pengalaman kerjanya. Sebagai penggantinya dilantik Camat baru yang tidak memenuhi kompetensi yang telah diatur dalam peraturan.Hal ini bukan saja menyalahi aturan yang berlaku, tetapi sekaligus menyulitkan tujuan mewujudkan pemerintahan daerah yang professional, karena Camat tersebut tidak memiliki pengetahuan dan keterampilan teknis dibidang pemerintahan. Hasil jawaban responden tentang issu aktual tujuan penelitian pertanyaan inti-1, apakah system Pengangkatan Camat saat ini masih didasarkan pada PP No. 19 tahun 2008,

jawaban responden adalah: 43 orang (72%) menyatakan tidak, sedangkan 17 orang (28%) menyatakan ya. Pertanyaan inti ke-2, apakah telah terjadi pergeseran kedudukan dan kewenangan Camat sesuai dengan regulasi yang berlaku, jawaban responden 56 orang (93%) menjawab (ya) sedangkan 4 orang (7%) menyatakan (tidak). Pertanyaan inti yang ke-3 apakah Tugas pokok dan fungsi camat diera otonomi daerah bernilai strategis, jawaban responden cukup bervariasi: 13 orang ( 21 %) sangat strategis, 23 orang (38 %) strategis, 15 orang (25 %) cukup strategis, 6 orang (10 %) kurang strategis, dan 3 orang (5%), menyatakan tidak strategis. Hasil analisis terhadap jawaban responden yaitu: a) mayoritas responden (72%) menjawab bahwa saat ini pola rekrutmen camat tidak lagi didasarkan pada PP No. 19 tahun 2008 tentang kecamatan dan ketentuan Permendagri No. 30 Tahun 2009 serta Keputusan Kepala BKN No. 13 Tahun 2002, tetapi cenderung terjadi penyimpangan diangkat berdasarkan hubungan personal atau Tim Sukses Politik; b) secara normatif telah terjadi pergeseran kedudukan dan kewenangan camat, dimana mayoritas responden (93%) menjawab (ya), sedangkan yang menjawab tidak, hanya (7%). Jawaban ini menggambarkan terjadi perubahan yang signifikan terhadap tugas dan kewenangan camat sejak berlakunya UU No. 22 Tahun 1999 juncto UU No. 32 Tahun 2004 yang mengubah kedudukan Camat yang semula Perangkat Pusat menjadi Perangkat Daerah yang bertanggung jawab kepada Bupati/Walikota; c) tentang nilai strategis kedudukan dan kewenangan Camat di era otonomi daerah (21 %) menyatakan sangat strategis, (38 %) strategis, (25 %) cukup strategis, (10 %) kurang strategis, dan (5%), menyatakan tidak strategis. Dari hasil jawaban responden ini dapat dianalisis mayoritas responden menjawab tugas dan kedudukan Camat di era Otonomi Daerah tetap bernilai strategis, meskipun telah mengalami pergeseran nilai, namun Jabatan Camat tetap dipandang sebagai kepala wilayah dan kepala pemerintahan yang memiliki beban tanggung jawab dan sebagai simbol Citra pelayanan publik dimata masyarakat. Dalam konteks ini dapat diutarakan beberapa masalah, seperti informasi Kepala Biro Pemerintahan Pemerintahan Provinsi Sumatera Selatan Edward Chandra dalam (Medan Bisnis, 23 Oktober 2014), menyatakan banyak camat di Provinsi Sumatera Selatan yang belum memenuhi persyaratan pendidikan. Dari 231 camat di Kabupaten dan kota di Sumsel, hanya 126 orang di antaranya memiliki pendidikan ilmu pemerintahan yang diharuskan dalam

91


Inovasi Vol. 12 No. 2, Juni 2015: 86 - 95

peraturan pemerintah. Contoh lain yaitu jabatan Camat yang dilantik era Bupati Raja Bonaran Situmeang di Kabupaten Tapanuli Tengah Sumut, umumnya didominasi Sarjana Pendidikan (S.Pd). Demikian halnya fenomena di Kabupaten Kutai Kartanegara, Kutai Timur dan Kutai Barat di Provinsi Kalimantan Timur, Camat yang non Ilmu Pemerintahan masih banyak mendominasi. Padahal, bagi mereka yang tidak memiliki latar belakang Ilmu Pemerintahan seyogianya harus lulus mengikuti (Diklat) teknis. Salah satu konsep rekrutmen camat inovatif dilakukan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dengan mengubah konsep lurah dan camat agar mampu menjadi manajer wilayah disetiap kelurahan dan kecamatan. Rencana tersebut digagas secara langsung oleh Gubernur

DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama ketika membuka acara Sosialisasi kebijakan Inovasi Pelayanan Publik dalam rangka meningkatkan kualitas Pelayanan Publik di DKI Jakarta. Lebih lanjut di Provinsi DKI Jakata, salah satu kebijakan yang telah diterapkan yakni kebijakan lelang jabatan (promosi jabatan secara terbuka) camat dan lurah yang digagas oleh gubernur DKI Jakarta yang lalu Ir. Joko Widodo. Jabatan Camat dan Lurah yang merupakan garis depan dalam memberikan pelayanan publik kepada masyarakat sehingga citranya harus diperbaiki dan ditingkatkan. Berbagai patologi birokrasi pelayanan publik yang terjadi di Indonesia menyebabkan rendahnya kinerja pelayanan publik, oleh sebab itu diperlukan landasan yang kuat untuk optimalisasi pelayanan publik.

Tabel 1. Perbandingan Persyaratan pengangkatan camat No

Peraturan Pemerintah No 19 Tahun 2008 Tentang Kecamatan

1.

Peraturan Gubernur DKI Jakarta No 19 Tahun 2013 tentang Seleksi Terbuka Camat dan Lurah Pasal 6 angka (1) Setiap PNS dapat mengikuti Seleksi Terbuka Camat dengan memenuhipersyaratan sebagai berikut : a. usia paling tinggi 52 (lima puluh dua tahun); b. pangkat paling rendah III/d dan paling tinggi IV/b; c. telah mengikuti Pendidikan dan Pelatihan Kepemimpinan Tingkat IV, kecuali yang menduduki Jabatan Fungsional; d. menduduki jabatan Eselon IV/a atau Eselon III, kecuali yang menduduki Jabatan Fungsional; e. pendidikan paling rendah Strata 1 (S1); f. semua unsur penilaian prestasi kerja paling kurang bernilai baik dalam 2 (dua) tahun terakhir; g. tidak sedang menjalani hukuman disiplin; h. tidak berstatus sebagai tersangka; i. sehat jasmani dan rohani yang dibuktikan dengan surat keterangan sehat dan bebas narkoba dari Rumah Sakit Pemerintah yang j. ditunjuk; dan k. bukan merupakan Pejabat Fungsional yang berasal dari Rumpun Pendidikan dan Rumpun Kesehatan.

Pasal 24 Camat diangkat oleh bupati/walikota atas usul sekretaris daerah kabupaten/kota dari pegawai negeri sipil yang menguasai pengetahuan teknis pemerintahan dan memenuhi persyaratan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. 2. Pasal 25 Pengetahuan teknis pemerintahan sebagai mana dimaksud dalam Pasal 24 meliputi: a) menguasai bidang ilmu pemerintahan dibuktikan dengan ijazah diploma/sarjana pemerintahan; dan, b) pernah bertugas di desa, kelurahan, atau kecamatan paling singkat 2 (dua) tahun. 3. Pasal 26 1) Pegawai negeri sipil yang akan diangkat menjadi Camat dan tidak memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25, wajib mengikuti pendidikan teknis pemerintahan yang dibuktikan dengan sertifikat. 2)Pelaksanaan pendidikan teknis pemerin tahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri. Sumber: Makalah Lelang Jabatan oleh Widya Yuliantika (2013) Ir. Joko Widodo selaku Gubernur DKI Jakarta ketika itu merintis lelang (promosi) jabatan camat tahun 2013 lalu, dimana gagasan tersebut atas aspirasi masyarakat. Oleh karena itu Jokowi merespon cepat dan memasang target untuk melaksanakan terobosan baru tersebut. Adapun Jabatan yang dilelang berjumlah 311 Jabatan dengan rincian 44 Jabatan Camat dan

267 Jabatan Lurah. Jabatan Sekretaris Daerah DKI Jakarta juga termasuk jabatan yang dilelang. Sementara itu, Kemenpan RB serta (LAN) juga melelang jabatan terutama untuk eselon I. Promosi jabatan secara terbuka juga pernah dilakukan untuk memilih kepala Badan Kepegawaian Negara (BKN).

92


Analisis Yuridis Pola Rekrutmen Camat dan Kewenangan Camat Sebagai Parameter Pemerintahan Dalam Pelayanan Publik (Muhammad Soleh Pulungan)

Contoh lain tentang praktek lelang (promosi) Jabatan camat dan lurah juga telah dilakukan oleh Pemerintah Kota Makassar pada bulan September 2014. Wali Kota Makassar Moh. Ramdhan Pomanto menunjuk beberapa institusi independen menjadi Tim Seleksi seperti Lembaga Administrasi Negara, akademisi, dan profesional. Mereka yang memberikan penilaian terhadap kompetensi Camat, Lurah, latar belakang pendidikan, dan pengalaman calon yang bersangkutan. Konsep Lelang Jabatan dapat dijelaskan sebagai seleksi promosi jabatan publik secara terbuka. Salah satu perubahan yang cukup essensial yaitu menyangkut kedudukan, tugas pokok dan fungsi kecamatan yang sebelumnya merupakan perangkat wilayah dalam kerangka asas dekonsentrasi, berubah statusnya menjadi perangkat daerah dalam kerangka asas desentralisasi. Camat secara administratif dalam menjalankan tugasnya bertangungjawab kepada

Bupati / Walikota melalui Seketaris Daerah. Camat berperan sebagai kepala wilayah (wilayah kerja, namun tidak memiliki daerah kewenangan), karena melaksanakan tugas umum pemerintahan di kecamatan, khususnya tugas administratif dalam bidang koordinasi pemerintahan terhadap seluruh instansi pemerintah diwilayah kecamatan. Pada masa berlakunya UU No. 5 Tahun 1974, Kecamatan merupakan wilayah administrasi atau menjadi perangkat Pemerintah Pusat di daerah. Namun, berdasarkan UU No. 22 Tahun 1999 jo UU No. 32 Tahun 2004 kecamatan merupakan perangkat daerah Kabupaten dan kota yang dipimpin oleh Camat. Oleh karena itu, pembentukan kecamatan tidak lagi menjadi kewenangan Pemerintahan tetapi kewenangan Kabupaten/ Kota dan cukup ditetapkan dengan Peraturan Daerah.

Gambar 1. Sifat Hubungan Koordinasi Camat dengan SKPD lainnya BUPATI/WALIKOTA

CAMAT

Hub. Koor. Teknis fungsional & teknis operasional

SKPD Dinas, Badan, Kab./Kota

Hub.Koor. Teknis Fungsional

Koramil, Polsek, KUA, UPT

Hub.Koor. Operasional dan Fasilitasi

LSM, Swasta, Parpol, Ormas

Sumber: Diolah dari Penjelasan Umum PP. 19 Tahun 2008 bahkan tiap-tiap Camat dalam Kabupaten/Kota juga dapat berbeda.

Menurut pasal 66 ayat (3) dan (4) UU No. 22 Tahun 1999 juncto UU No. 32 Tahun 2004 bahwa “Camat diangkat oleh Bupati/Walikota atas usul Sekretaris Daerah/Kota dari PNS yang memenuhi syarat. Camat menerima pelimpahan sebagian kewenangan pemerintahan dari Bupati/Walikota�. Oleh karenanya, Camat bertanggungjawab kepada Bupati/Walikota. Intinya tugas, fungsi dan tanggung jawab Camat disamping ditentukan oleh Peraturan Daerah yang menjadi dasar pembentukannya juga oleh kewenangan yang dilimpahkan Bupati kepadanya. Dengan kata lain tugas dan wewenang Camat tidak lagi seragam, tetapi dapat berbeda untuk masing-masing daerah

satu

Kebijakan otonomi daerah dalam UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, secara eksplisit memberikan otonomi luas kepada pemerintah daerah untuk mengurus dan mengelola kepentingan dan kesejahteraan masyarakat daerah. Pemerintah Daerah harus mengoptimalkan pembangunan yang berorientasi kepada kepentingan dan kesejahteraan masyarakat. Pemerintah Daerah dan masyarakat lebih diberdayakan sekaligus diberi tanggung jawab yang lebih besar untuk mempercepat laju pembangunan daerah. Sejalan dengan hal tersebut, maka implementasi

93


Inovasi Vol. 12 No. 2, Juni 2015: 86 - 95

kebijakan otonomi daerah telah mendorong terjadinya perubahan, baik secara struktural, fungsional maupun kultural dalam tatanan penyelenggaraan pemerintahan daerah.

KESIMPULAN Merujuk pada uraian data, informasi dan analisis yang dikemukakan diatas, maka dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Berdasarkan pendekatan fenomena kasus dan hasil jawaban responden bahwa di Era Otonomi daerah saat ini, bahwa sistem rekrutmen Camat tidak lagi didasarkan pada ketentuan PP No. 19 tahun 2008 tentang kecamatan, dimana dalam Pasal 24, 25 dan 26 secara tegas mengatur persyaratan untuk dapat diangkat menjadi Camat, tetapi pola rekrutmen Camat cenderung diangkat dengan pertimbangan non teknis, sebagai kompensasi Tim Sukses Politik atau hubungan personal pejabat Bupati/ Walikota, meskipun dengan latar belakang pendidikan diluar Ilmu Pemerintahan. 2. Secara normatif telah terjadi pergeseran kedudukan Camat, dimana dalam penyelenggaraan Pemerintahan Daerah pada masa UU No. 5 Tahun 1974 juncto UU No. 5 Tahun 1979 diatur secara terpusat yakni Camat adalah perangkat Pusat di daerah yang merupakan kepala wilayah dengan kebijakan sangat luas, tetapi berdasarkan UU No. 22 Tahun 1999 juncto UU No. 32 Tahun 2004 mengubah kedudukan Camat menjadi perangkat daerah, yang mendapat limpahan tugas dan bertanggungjawab kepada Bupati/Walikota melalui Sekretaris Daerah. 3. Nilai strategis kedudukan dan fungsi Camat di era Otonomi daerah yakni memiliki kewajiban khusus mengintegrasikan nilainilai sosio kultural, menciptakan stabilitas dalam dinamika politik, ekonomi dan budaya, mengupayakan terwujudnya ketenteraman dan ketertiban sebagai wujud kesejahteraan rakyat dalam membangun integritas kesatuan wilayah. Selain itu, Camat melaksanakan kewenangan pemerintahan dari dua sumber yakni: bidang kewenangan dalam lingkup tugas umum pemerintahan; dan, kewenangan bidang pemerintahan yang dilimpahkan oleh Bupati/Wali kota dalam rangka otonomi daerah. Sehingga, Camat harus mampu meningkatkan citra dan kinerjanya sebagai parameter pelayanan publik.

Camat dalam menjalankan tugasnya dibantu oleh perangkat kecamatan dan bertanggung jawab kepada Bupati/Wali kota melalui sekretaris daerah kabupaten/kota. Berdasarkan UU No. 32 tahun 2004 Pasal 126 ayat 2 dinyatakan bahwa dalam pelaksanaan tugasnya Camat memperoleh limpahan sebagian wewenang Bupati/Walikota untuk menangani sebagian urusan otonomi daerah. Sedangkan ayat (3) Pasal 126 UU No. 32 tahun 2004 dinyatakan bahwa Camat juga menyelenggarakan tugas umum pemerintahan meliputi; a) mengkoordinasikan kegiatan pemberdayaan masyarakat; b) mengkoordinasikan upaya penyelenggaraan ketentraman dan ketertiban umum; c) mengkoordinasikan penegakan peraturan perundang-undangan; d) mengkoordinasikan pemeliharaan prasarana dan fasilitas pelayanan umum; e) mengkoordinasikan penyelenggaraan kegiatan pemerintahan di kecamatan; f) membina penyelenggaraan pemerintahan desa dan/atau kelurahan; g) melaksanakan pelayanan masyarakat yang menjadi ruang lingkup tugasnya dan/ atau yang belum dapat dilaksanakan pemerintahan desa atau kelurahan; Camat juga berperan sebagai kepala wilayah dalam konteks karena penyelenggaraan tugas instansi pemerintahan lainnya harus berada dalam koordinasi Camat. Oleh karena itu, Camat sebagai perangkat daerah juga mempunyai kekhususan dibandingkan dengan perangkat daerah lainnya dalam pelaksanaan tugas pokok dan fungsinya untuk mendukung pelaksanaan asas desentralisasi. Secara filosofis, kecamatan yang dipimpin oleh Camat perlu diperkuat dari aspek sarana prasarana, sistem administrasi, keuangan dan kewenangan bidang pemerintahan dalam upaya penyelenggaraan pemerintahan di kecamatan sebagai ciri pemerintahan kewilayahan yang memegang posisi strategis dalam hubungan dengan pelaksanaan kegiatan pemerintahan Kabupaten/Kota yang dipimpin oleh Bupati/Wali kota. Jadi, kesuksesan pelayanan publik pemerintahan di kecamatan akan menjadi citra pelayanan publik ditingkat kabupaten/kota, dan secara hirarkis merupakan citra pelayanan nasional.

REKOMENDASI Sejalan dengan Reformasi Birokrasi saat ini, dalam rangka rekrutmen Camat profesional dan kompeten maka Pemerintah hendaknya merevisi PP No. 19 tahun 2008 tentang kecamatan. Dimana, sistem pengangkatan Camat hendaknya mengadopsi model yang dilakukan oleh beberapa daerah seperti Pemerintah

94


Analisis Yuridis Pola Rekrutmen Camat dan Kewenangan Camat Sebagai Parameter Pemerintahan Dalam Pelayanan Publik (Muhammad Soleh Pulungan)

Surat Kabar Harian Haluan. 11 April 2011 Opini, H. Rusdi Lubis, Apakah Camat masih diperlukan?,

Provinsi DKI Jakarta dan Pemerintah Kota Makassar melalui kebijakan promosi lelang jabatan dengan persyaratan khusus. Inovasi baru ini dengan system fit and proper test, diharapkan Camat terpilih merupakan aparatur yang handal, professionaldan berpengalaman dalam upaya mewujudkan optimalisasi pelayanan publik. Disarankan kepada Bupati/Walikota dan Baperjakat di Provinsi Kalimantan Timur khususnya dan berlaku secara nasional umumnya dalam konteks kebijakan pengangkatan Camat hendaknya harus lebih selektif dan sesuai PP No. 19 tahun 2008. Ketentuan ini juga harus mengacu Permendagri No. 30 tahun 2009 dimana calon harus telah lulus pendidikan Teknis Pemerintahan, dan dasar pertimbangan lainnya yakni Keputusan Kepala BKN No. 13 Tahun 2002 tentang Pengangkatan PNS dalam Jabatan Struktural.

Yuliantika, Widya. 2013 Lelang Jabatan dalam Perspektif Implementasi Kebijakan Publik. Makalah

DAFTAR PUSAKA Fiedler, F.E. 1967. A Theory of Leadership Effectivens. New York: Mc.Graw-Hill. Handoko, T. Hani. 2001. Manajemen Personalia dan Sumberdaya manusia. Yogyakarta: BPFE Mardiasmo. 2007. Otonomi dan Manajemen Keuangan Daerah. Yogyakarta: Andi Thoha, Miftah. 2005. Birokrasi dan Politik di Indonesia. Jakarta: PT. Raja Grafindo P.

Tatang, Amirin. 1984. Pokok-Pokok Teori Sistem. Jakarta: PT. Rajawali Poerwodarminto, WJS. 1984. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Rasyid, Muhammad Ryass. 1998. Makna Pemerintah Tinjauan dari Segi Etika Dan Kepemimpinan. Jakarta: PT. Yarsif Watampone. Talizidahu, Ndraha. 2005. Kybernologi sebuah Rekonstruksi Ilmu Pemerintahan. Jakarta: Rineka Cipta Undang-Undang Dasar 1945 Undang-Undang No. Pemerintahan Daerah

22

Tahun

1999

tentang

Undang-Undang No. Pemerintahan Daerah

32

Tahun

2004

tentang

Peraturan Pemerintah No. 19 tahun 2008 tentang Kecamatan Permendagri No. 30 Tahun 2009 tentang Pelaksanaan Pendidikan Teknis Pemerintahan bagi calon Camat.

95


Inovasi Vol. 12 No. 2, Juni 2015: 96 - 107

Hasil Penelitian IDENTIFIKASI DISPARITAS PEMBANGUNAN ANTAR KABUPATEN/KOTA DI PROVINSI SUMATERA UTARA TAHUN 2010 – 2012 (IDENTIFICATION OF DISPARITY ECONOMIC DEVELOPMENT INTER DISTRICTS/CITIES IN NORTH SUMATERA PROVINCE IN 2010-2012) Zainal Abidin Nasution Balai Riset dan Standarisasi Industri Medan Jln. Sisingamarangaja No. 24 Medan 20217 e-mail : zainal_an7@yahoo.com Diterima: 10 Maret 2015; Direvisi: 30 April 2015; Disetujui: 15 Juni 2015

ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat disparitas yang terjadi akibat dari pembangunan ekonomi antar Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara dari tahun 2010 – 2012. Banyak hal yang melatar belakangi, menyebabkan terjadinya disparitas pembangunan ekonomi, seperti: keragaman potensi sumber-sumber daya alam, kualitas sumber daya manusianya, kondisi demografi dan lainnya yang bermuara kepada terjadinya perbedaan pendapatan per kapita dan tingkat pertumbuhan ekonomi pada masing-masing Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara. PDRB rata-rata Kabupaten/Kota lebih besar dari PDRB rata-rata Provinsi Sumatera Utara adalah sebanyak 17 Kabupaten/Kota. Laju pertumbuhan ekonomi ratarata Kabupaten/Kota lebih besar dari laju pertumbuhan ekonomi Provinsi Sumatera Utara adalah sebanyak 18 Kabupaten/Kota. Besarnya Indeks Williamson adalah 0,5606 – 0,6302, berdasarkan kriteria penilaian disparitas pembangunannya adalah menengah. Besarnya Indeks Entropi Theil adalah 1,2111, yaitu relative kecil, sehingga dapat dinyatakan tidak terdapat disparitas yang berarti. Kucuran kredit produktif dari Bank Indonesia Provinsi Sumatera Utara untuk lapangan usaha industri pengolahan, perdagangan, hotel dan restoran, serta pertanian adalah senilai Rp. 89,87 triliun, sekitar 46,05 % dari total kredit yang disalurkan oleh Bank Indonesia Provinsi Sumatera Utara pada tahun 2014. Diharapkan pengelolaan dari kredit produktif tersebut dapat meningkatkan pendapatan per kapita dan pertumbuhan ekonomi Propinsi Sumatera Utara pada tahun- tahun mendatang, sehingga tingkat disparitas yang terjadi semakin kecil. Kata kunci: disparitas pembangunan ekonomi, Tipologi Klassen, Indeks Williamson, Indeks Entropi Theil dan Kucuran Kredit

ABSTRACT The purpose of this study was to determine the level of disparity that occurs as a result of economic development districts/cities in Province of North Sumatra in 2010-2012. Background of the disparity of economic development, namely: the diversity of potential sources of natural resources, human resources and other demographic, that resulted in the difference in per capita income and economic growth in each district/city in Province of North Sumatera. Average GDP districts/cities is greater than the average GDP Province of North Sumatera is as much as 17 districts/cities. Average rate of economic growth districts/cities is greater than the average the rate of economic growth Province of North Sumatera which is 17 district/cities. Magnitude Williamson index is 0,5606 – 0,6302, based on the assesment criteria development disparity is located on the middle level. Magnitude Entropi Theil index is 1,2111, which is relatively small so it can be said there is no significant disparity. Credit productive disbursement of Bank Indonesian Province of North Sumatera for processing industry trade, hotel and restaurants and agriculture is worth Rp. 89,87 trillion, approximately 46,05 % of total loans extended by Bank Indonesia Province of North Sumatera on 2014. Expected management of productive credit can increase

96


Identifikasi Disparitas Pembangunan Antar Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara Tahun 2010-2012 (Zainal Abidin Nasution) per capita income and economic growth in Province of North Sumatera in years to come so that it can decrease the level of disparity. Keywords:

disparities in economic development, Typology Klassen, Index Williamson, Index Entropy Theil and Credit disbursement

Pembangunan ekonomi di Indonesia, di arahkan untuk mewujudkan masyarakat yang semakin sejahtera, makmur dan berkeadilan. Pembangunan ekonomi daerah adalah suatu proses dimana pemerintah daerah (Kabupaten/Kota) dan masyakatnya mengelola sumber daya yang ada dan membentuk suatu pola kemitraan antar pemerintah daerah dan sektor swasta untuk menciptakan suatu lapangan pekerjaan dan merangsang perkembangan kegiatan ekonomi di dalam wilayah tersebut (Tadaro, 2004). Munculnya otonomi daerah, diharapkan dapat memberikan pengaruh perubahan, dikarenakan otonomi daerah memberikan kesempatan kepada Kabupaten/Kota untuk dapat berfungsi sebagai subjek dan objek pembangunan daerahnya sekaligus. Otonomi daerah diharapkan mendorong pemerintah Kabupaten/Kota, melalui program-program pembangunannya dan meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya. Pelaksanaan pembangunan Kabupaten/Kota akan selalu terkait dengan kemampuan Kabupaten/Kota untuk mengelola dan memanfaatkan sumber daya yang tersedia secara optimal. Harold D. Laswell dalam Widayanto (2008) menjelaskan bahwa kebijakan publik adalah suatu program pencapaian tujuan, nilai-nilai dan praktek-praktek yang terarah. Menurut Carl Frederich dalam Widayanto (2008), kebijakan adalah sebagai arah tindakan yang diusulkan oleh seseorang, kelompok atau pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu yang memberikan hambatan dan kesempatan terhadap kebijakan yang diusulkan untuk menggunakan dan mengatasi dalam rangka mencapai suatu tujuan, atau merealisasikan suatu sasaran atau maksud tertentu. Dari penjelasan-penjelasan tersebut di atas, dapat diketahui bahwa kebijakan publik, memiliki implementasi sebagai berikut : a. Bentuk awalnya adalah merupakan penetapan tindakan-tindakan pemerintah. b. Kebijakan publik tidak cukup hanya dinyatakan dalam bentuk-bentuk teks formal, namun harus dapat diimplementasikan secara nyata. c. Kebijakan publik harus mempunyai tujuan dan dampak, baik jangka panjang maupun pendek, yang telah dipikirkan secara matang terlebih dahulu.

PENDAHULUAN Pembangunan ekonomi adalah suatu proses yang menyebabkan pendapatan per kapita penduduk suatu negara meningkat dalam jangka panjang (Arsyad, 1999). Pertumbuhan ekonomi merupakan indikator kesejahteraan masyarakat pada suatu daerah. Apabila pertumbuhan ekonomi meningkat, diharapkan pertumbuhan tersebut dapat dinikmati merata oleh seluruh masyarakat (Nurfatimah, 2013). Disparitas (ketimpangan/kesenjangan) akan terjadi ketika terdapat perbedaan potensi sumber daya yang dimiliki pada suatu daerah. Pembangunan ekonomi, didefinisikan sebagai suatu proses yang berdampak terhadap pendapatan per kapita masyarakat pada suatu daerah menjadi meningkat dalam jangka panjang (Sukirno, 2006). Untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dibutuhkan pertumbuhan ekonomi yang meningkat dan distribusi pendapatan yang merata. Pertumbuhan ekonomi ini diukur berdasarkan Produk Domestik Bruto Regional (PDRB) atas dasar harga konstan 2000, laju pertumbuhan ekonomi dan jumlah penduduk pada suatu wilayah (Lili, 2008). Pertumbuhan ekonomi yang cepat akan menimbulkan disparitas distribusi pendapatan, karena apabila tidak memperhatikan apakah pertumbuhan tersebut lebih besar atau lebih kecil dari tingkat pertumbuhan penduduk. Provinsi Sumatera Utara terdiri atas 33 Kabupaten/Kota yang memiliki latar belakang perbedaan antar wilayah, seperti memiliki wilayah pantai (mulai dari pantai Timur yaitu Selat Malaka sampai ke Pantai Barat yaitu Samudera Hindia), ataupun ke pegunungan (Pegunungan Bukit Barisan). Perbedaan tersebut tentu saja akan menjadi permasalahan dalam pelaksanaan pembangunan ekonomi antar Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara . Disparitas memiliki dampak positif dan dampak negatif. Dampak positif dari adanya disparitas adalah dapat mendorong wilayah lain yang kurang maju, untuk dapat bersaing dan meningkatkan pertumbuhan ekonominya sehingga kesejahteraannya meningkat. Sedangkan dampak negatif dari disparitas antara lain adalah inefisiensi ekonomi, melemahkan stabilitas sosial dan solidaritas, serta disparitas yang tinggi pada umumya dipandang tidak adil (Tadaro, 2004).

97


Inovasi Vol. 12 No. 2, Juni 2015: 96 - 107

d.

Pada akhirnya segala proses yang di atas, ditujukan sebesar-besarnya dan seluasluasnya untuk kepentingan masyarakat.

Faktor-faktor penyebab terjadinya disparitas (ketimpangan/kesenjangan) pembangunan ekonomi adalah (Emilia, 2006): 1. Konsentrasi kegiatan ekonomi wilayah Konsentrasi kegiatan ekonomi yang tinggi di daerah tertentu merupakan salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya disparitas pembangunan antar daerah. Ekonomi dari daerah dengan konsentrasi tinggi, cenderung tumbuh pesat, sedangkan daerah dengan tingkat konsentrasi ekonomi yang rendah, cenderung mempunyai tingkat pembangunan dan pertumbuhan ekonomi yang lebih rendah. Seperti disparitas pembangunan sektor industri pengolahan (manufaktur) ataupun tingkat industrialisasi antar provinsi (wilayah) sebagai salah satu faktor penyebab terjadinya disparitas ekonomi antar wilayah. Industri pengolahan merupakan sektor ekonomi yang secara potensial sangat produktif dilihat dari sumbangan terhadap pembentukan PDRB. 2. Alokasi investasi Berdasarkan teori pertumbuhan ekonomi dari R.F. Harrod dan Evsey Domar, menerangkan bahwa adanya korelasi positif antar tingkat investasi dan laju pertumbuhan ekonomi. Rendahnya investasi di suatu wilayah membuat pertumbuhan ekonomi dan tingkat pendapatan masyarakat per kapita di wilayah tersebut rendah, karena tidak ada kegiatan ekonomi yang produktif. 3. Tingkat mobilitas faktor-faktor produksi yang rendah antar wilayah Kurang lancarnya mobilitas faktor-faktor produksi seperti modal, tenaga kerja dan lainnya, antar wilayah / daerah, penyebab terjadinya disparitas ekonomi regional. Hubungan antara faktor-faktor produksi dan disparitas pembangunan atau pertumbuhan antar regional dapat dijelaskan dengan pendekatan mekanisme pasar. Perbedaan laju pertumbuhan ekonomi akan menyebabkan perbedaan pendapatan per kapita antar wilayah degan asumsi bahwa mekanisme pasar berlangsung dengan bebas. Menurut teori Arthur Lewis, jika perpindahan faktorfaktor produksi antar daerah tidak ada hambatan, maka pada akhirnya pembangunan ekonomi yang optimal antar daerah akan tercapai dan semua daerah akan lebih baik. Mobilitas tenaga kerja

4.

5.

6.

98

cenderung bergerak dari daerah yang tingkat upahnya rendah ke daerah yang tingkat upahnya lebih tinggi, dengan asumsi ada lowongan kerja. Begitu juga dengan permodalan, yang cenderung berpindah dari daerah yang tingkat produktifitasnya rendah ke daerah yag tingkat produktifitasnya tinggi. Perbedaan sumber daya alam antar wilayah Pembangunan ekonomi di daerah yang kaya sumber daya alamnya, akan lebih maju dan masyarakatnya lebih makmur bila dibandingkan dengan daerah yang miskin sumber daya alamnya. Sumber daya alamnya harus dilihat sebagai modal awal untuk pembangunan. Selanjutnya harus dikembangkan faktor-faktor produksi yang lainnya, yaitu penguasaan teknologi dan peningkatan kualitas sumber daya manusianya. Perbedaan kondisi demografi antar wilayah Disparitas ekonomi, juga dapat disebabkan oleh perbedaan kondisi geografis antar daerah terutama dalam hal jumlah dan pertumbuhan penduduk, tingkat kepadatan penduduk, pendidikan, kwalitas kesehatan penduduk baik, disiplin masyarakatnya dan etos kerja juga baik. Jumlah penduduk yang banyak, merupakan potensi besar bagi pertumbuhan, yang berarti terhadap faktor pendorong bagi pertumbuhan kegiatan ekonomi. Sedangkan jumlah populasi yang besar, dengan tingkat pendidikan yang tinggi, kualitas kesehatannya adalah baik, disiplin kerja yang tinggi, etos kerja yang mumpuni, merupakan aset penting bagi suatu produktifitas. Kurang lancarnya perdagangan antar wilayah Kurang lancarnya perdagangan antar daerah, merupakan suatu unsur yang menciptakan disparitas ekonomi regional. Tidak lancarnya perdagangan antar wilayah dapat disebabkan oleh keterbatasan transportasi dan komunikasi. Tidak lancarnya arus barang dan jasa antar daerah, akan mempengaruhi pembangunan dan pertumbuhan ekonomi suatu wilayah berdasarkan teori permintaan dan penawaran. Dari segi permintaan, bahwa kelangkaan barang dan jasa untuk konsumen, mempengaruhi permintaan pasar terhadap kegiatan ekonomi lokal yang sifatnya komplementer dengan barang dan jasa tersebut. Dari segi penawaran, bahwa sulitnya mendapatkan barang-barang modal, menyebabkan kegiatan ekonomi suatu wilayah tidak dapat beroperasi secara optimal.


Identifikasi Disparitas Pembangunan Antar Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara Tahun 2010-2012 (Zainal Abidin Nasution)

Ketimpangan pembangunan ekonomi antar wilayah merupakan fenomena umum yang terjadi pada proses pembangunan ekonomi suatu daerah. Ketimpangan ini pada awalnya disebabkan oleh perbedaan kandungan demografi yang terdapat pada masing masin wilayah. Akibatnya pertumbuhan ekonomi jadi berbeda, sehingga terdapat wilayah maju dan wilayah terbelakang (Syafrizal, 2012). Abdurachman dalam Widayanto (2008) menyatakan bahwa bank sebagai pranata finansial yang melaksanakan jasa-jasa keuangan yang cukup beraneka ragam, seperti memberikan pinjaman (kredit), menyediakan mata uang, mengadakan pengawasan mata uang, bertindak sebagai tempat penyimpanan untuk uang, benda-benda berharga dan lainnya. Siswanto dalam Widayanto (2008) menjelaskan bahwa pemberian kredit oleh Bank, artinya memberikan suatu sumbangan yang penting terhadap perputaran roda ekonomi bangsa Indonesia. Oleh karena itu pemerintah melalui Bank Indonesia sebagai pemegang otoritas keuangan dan perbankan, berusaha membuat suatu kebijakan yang digunakan sebagai acuan dan pedoman bagi perbankan nasional, dalam kegiatan usahanya, khusus mengenai pemberian kredit. Kebijakan tersebut harus memuat mengenai prinsip kehati-hatian (prudent banking principle), yang merupakan prinsip dasar di dalam menjalankan usaha perbankan, sebagaimana diatur di dalam Undang-Undang Perbankan. Adapun kebijakan tersebut dituang ke dalam bentuk peraturan perundangundangan, yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia seperti Peraturan Bank Indonesia dan Surat Edaran Bank Indonesia. Menurut Kantor Kementerian Negara Pembangunan Daerah Tertinggal RI, untuk mengatasi permasalahan pembangunan daerah tertinggal (disparitas), dilakukan strategi dasar melalui 4 (empat) pilar, yaitu : 1. Pilar Pertama, meningkatkan kemandirian masyarakat melalui : a. Pengembangan ekonomi lokal b. Pemberdayaan masyarakat c. Penyediaan prasarana dan sarana lokal/pedesaan. d. Peningkatan kapasitas kelembagaan pemerintah daerah dunia usaha dan masyarakat. 2. Pilar Kedua, mengoptimalkan pemanfaatan potensi wilayah melalui : a. Penyediaan informasi potensi sumber daya wilayah b. Pemanfaatan TTG c. Peningkatan investasi dan kegiatan produksi

3.

4.

d. Pemberdayaan dunia usaha dan UMKM e. Pembangunan kawasan produksi. Pilar Ketiga, memperkuat integrasi ekonomi antara daerah tertinggal dan daerah maju melalui : a. Pengembangan jaringan ekonomi antar wilayah. b. Pengembangan jaringan pemasaran antar wilayah c. Pengembangan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi daerah. Pilar Keempat, meningkatkan daerah khusus yang memiliki karakteristik keterisolasian, melalui : a. Pembukaan keterisolasian daerah (pedalaman, pesisir dan pulau kecil terpencil). b. Penanganan komunitas adat terasing. c. Pembangunan daerah perbatasan dan pulau-pulau kecil.

Provinsi Sumatera Utara, merupakan provinsi yang memiliki berbagai sumber daya yang potensial,dan dapat dijadikan modal bagi pembangunan Kabupaten/Kota. Dengan harapan dapat terus berkesinambungan, sehingga akan meningkatkan pendapatan domestik regionalnya. Dari uraian-uraian latar belakang seperti yang tersebut diatas, rumusan permasalahan yang akan diteliti meliputi: a. Gambaran klasifikasi disparitas wilayah antar Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara; b. Tingkat kesejahteraan yang terjadi antar Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara; dan, c. Posisi laju pertumbuhan ekonomi antar Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara. Tulisan ini bertujuan untuk mengidentifikasi disparitas pembangunan antar Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara pada tahun 2010 – 2012. METODE Penelitian ini diklasifikasikan sebagai penelitian dasar, yang menggunakan pendekatan deduktif, yaitu merupakan operasionalisasi dari proses pengembangan teori yang menitikberatkan pada aspek pengujian konstruksi teori (Sugiyono, 2008). Penelitian ini dirancang dalam bentuk kausal komparatif, yaitu merupakan tipe penelitian dengan karakteristik masalah berupa sebabakibat antara dua variabel atu lebih. Merupakan penelitian terhadap beberapa subjek penelitian dalam tahun berjalan (time series). Data penelitian merupakan data sekunder yang diperoleh secara tidak langsung atau

99


Inovasi Vol. 12 No. 2, Juni 2015: 96 - 107

melalui media perantara (Indriantoro, dkk, 1999). Data-data sekunder tersebut diperoleh dari Badan Pusat Statistik Provinsi Sumatera Utara, yang meliputi data-data: Produk Domestik Regional Bruto Per Kapita Menurut Kabupaten/Kota Provinsi Sumatera Utara Atas Dasar Harga Konstan 2000, dari tahun 2010 – 2012; Laju Pertumbuhan Ekonomi Menurut Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara Atas dasar Harga Konstan 2000, Dari Tahun 2010 – 2012; Jumlah Penduduk Per Kabupaten/Kota Di Provinsi Sumatera Utara Dari Tahun 2010 – 2012; dan, Distribusi PDRB di Provinsi Sumatera Utara Menurut Lapangan Usaha Tahun 2010 – 2012. Data-data yang berhasil dihimpun, diolah dengan analisis statistik deskriptif. Untuk datadata yang berskala rasio akan diperoleh hasilnya berupa nilai minimum, nilai maksimum, nilai rata-rata dan standar deviasi. Untuk mengetahui sejauh mana terjadinya disparitas, maka dapat dilakukan dengan: a. Analisis Tipologi Klassen Untuk mendapatkan gambaran tentang pola dan struktur ekonomi suatu daerah dapat dilihat dari pertumbuhan ekonomi suatu daerah dan PDRB per kapita daerah tersebut. Dengan melaksanakan pendekatan wilayah/daerah akan menghasil klasifikasi wilayah daerah seperti berikut ini : • Daerah maju dan cepat tumbuh Daerah yang mengalami laju pertumbuhan ekonomi dan tingkat pendapatan per kapita yang lebih tinggi dari rata-rata seluruh daerah. Daerah ini merupakan daerah yang mempunyai potensi pembangunan yang besar dan telah dimanfaatkan secara baik untuk kemakmuran masyarakat pada daerah tersebut. • Daerah maju tapi tertekan Daerah maju tapi tertekan adalah daerah yang relatif maju tetapi dalam beberapa tahun terakhir laju pertumbuhan menurun akibat tertekannya kegiatan utama daerah tersebut. • Daerah berkembang cepat Daerah berkembang cepat adalah daerah yang memiliki potensi pengembangan sangat besar, tetapi masih belum diolah dengan baik. • Daerah relatif tertinggal Daerah relatif tertinggal adalah daerah yang mempunyai tingkat pertumbuhan ekonomi dan pendapatan perkapita berada di bawah rata-rata dari seluruh daerah. b.

Rumus: Iw = Dimana : Iw : Indeks Williamson Yi : Pendapatan per kapita di Kabupaten/Kota-i per tahun : Pendapatan per kapita rata-rata di Provinsi Sumatera Utara/tahun fi : Jumlah penduduk di Kabupaten/Kota -i per tahun n : Jumlah penduduk di Provinsi Sumatera Utara per tahun Untuk mengetahui besarnya disparitas yang terjadi pada suatu daerah, dinyatakan kriteria penilaiannya seperti berikut : indeks > 1 disparitas sangat tinggi, indeks 0,7- 1,0 disparitas tinggi, indeks 0,40 – 0,69 disparitas menengah dan indeks 0,40 – 0,69 disparitas rendah. Indeks Williamson berkisar antara 0 < IW < 1, dimana semakin mendekati angka nol, artinya pembangunan di wilayah tersebut tidak mengalami disparitas. Tetapi bila mendekati angka satu, artinya pembangunan di wilayah tersebut mengalami disparitas. c.

Indeks Entropi Theil(Kuncoro,2004) Indeks lainnya yang juga lazim digunakan untuk mengukur disparitas pembangunan antar wilayah adalah indeks Theil. I(y) = Σ (yi/ Dimana : I(y) : yi : :

fi

:

n

:

)/(fi/n)]

Indeks Theil Pendapatan perkapita di Kabupaten/Kota-i per tahun Pendapatan per kapita ratarata di Provinsi Sumatera Utara per tahun Jumlah penduduk di Kabupaten/Kota -i per tahun. Jumlah penduduk di Provinsi Sumatera Utara per tahun

Menurut Ting dalam Kuncoro (2004), menjelaskan bahwa untuk mengukur disparitas pendapatan regional provinsi, dapat digunakan indeks Entropi Theil. Dengan indikator bahwa semakin besar selisih nilai indeks Entropi Theil, maka semakin besar disparitas yang terjadi. Tetapi sebaliknya apabila semakin kecil selisih nilai indeks Entropi Theil, maka tidak terjadi disparitas di daerah tersebut.

Indeks Williamson (Rustiadi,2009)

100


Identifikasi Disparitas Pembangunan Antar Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara Tahun 2010-2012 (Zainal Abidin Nasution)

Pertumbuhan PDB sangat penting dicapai untuk pembangunan ekonomi, karena pembangunan ekonomi dapat mendorong terjadinya pertumbuhan ekonomi dan peningkatan struktur perekonomiannya. Di bawah ini berhasil dihimpun data-data seperti berikut :

HASIL DAN PEMBAHASAN Tingkat kesejahteraan masyarakat di Provinsi Sumatera Utara dapat dilihat/diukur aspek ekonominya, yaitu berdasarkan pendapatan per kapita, yang selalu disebut dengan PDB (Produk Domestik Bruto).

Tabel 1. Produk Domestik Regional Bruto Per Kapita Menurut Kabupaten/ Kota Provinsi Sumatera Utara Atas Dasar Harga Konstan 2000 Tahun 2010 – 2012 (dalam Rp) No.

Kabupaten

1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15.

Nias Mandailing Natal Tapanuli Selatan Tapanuli Tengah Tapanuli Utara Toba Samosir Labuhan Batu Asahan Simalungun Dairi Karo Deli Serdang Langkat Nias Selatan Humbang Hasundutan Pakpak Bharat Samosir Serdang Bedagai Batubara Padang Lawas Utara Padang Lawas Labuhan Batu Selatan Labuhan Batu Utara Nias Utara Nias Barat Kota Sibolga Tanjung Balai Pematang Siantar Tebing Tinggi Medan Binjai Padang Sidimpuan Gunung Sitoli Jumlah (B) = (B/33)

16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31. 32. 33.

2010 3.887.995 5.017.248 6.761.855 3.850.124 5.780.955 10.198.909 7.857.113 8.065.320 6.812.974 7.593.589 9.594.214 8.107.953 7.452.266 4.251.261 5.864.032

Tahun 2011 4.114.201 5.289.454 7.054.246 4.054.842 6.044.495 10.612.548 8.229.694 8.420.068 7.141.767 7.920.146 10.131.858 8.515.516 7.809.889 4.399.593 6.154.766

2012 4.362.338 5.598.362 7.372.397 4.247.764 6.359.204 11.190.724 8.616.226 8.844.690 7.523.392 8.325.890 10.637.029 8.843.683 8.249.329 4.627.730 6.467.289

4.070.571 8.846.290 7.656.139 19.672.216 3.479.380 3.356.540 10.212.617

4.274.131 9.287.062 8.039.104 20.485.047 3.710.435 3.510.898 10.737.944

9.565.185 3.851.851 3.103.831 8.759.806 9.046.443 8.687.439 8.027.187 17.077.638 8.209.884 4.884.071 6.877.659 246.460.555 7.468.502

Jumlah (A)

j = (A/3)

12.364.534 15.905.064 21.188.498 12.152.730 18.184.654 32.002.181 24.703.033 25.330.078 21.478.133 23.839.625 30.363.101 25.467.152 23.511.484 13.278.584 18.486.087

4121511 5301688 7062833 4050910 6061551 10607394 8234344 8443359 7159378 7946542 10121034 8489051 7837161 4426195 6162029

4.464.988 9.784.127 8.463.565 21.288.665 3.887.968 3.665.380 11.235.828

12.809.690 27.917.479 24.158.808 61.445.928 11.077.783 10.532.818 32.186.389

4269897 9305826 8052936 20445928 3692594 3510939 10728796

10.065.377 4.071.108 3.285.312

10.654.210 4.307.351 3.441.874

30.284.772 12.230.310 9.831.017

10094924 4076770 3277086

9.120.584 9.394.860 9.125.714 8.481.007 18.220.195 8.644.670 5.126.794 7.254.352 258.727.677 7.840.233

9.542.938 9.782.507 9.644.800 8.981.782 19.651.288 9.127.004 5.295.987 7.652.430 272.138.739 8.246.628

27.423.328 28.223.810 27.457.953 25.489.976 54.949.121 25.981.558 15.306.852 21.784.441 777.326.971

9141109 9407931 9152651 8496659 18316374 8660519 5102284 7261480

= Sumber : Data diolah dari Sumatera Utara Dalam Angka Tahun 2013 diperoleh variasi yang sangat besar. PDRB Per Kapita Kabupaten Batubara tahun 2010 adalah Rp. 19.672.216 (terbesar) dan PDRB Per Kapita Kabupaten Nias Barat tahun 2010 adalah Rp.

Tabel 1 menunjukkan bahwa pada periode Tahun 2010 – 2012 terjadi peningkatan PDRB per kapita Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatra Utara. Tetapi apabila dilihat nilainya, akan

101


Inovasi Vol. 12 No. 2, Juni 2015: 96 - 107

3.103.831 (terkecil). PDRB Per Kapita Kabupaten Batubara Tahun 2011 adalah Rp. 20.485.047 (terbesar) dan PDRB Per Kapita Kabupaten Nias Barat Rp. 3.285.312 (terkecil). PDRB Per Kapita Kabupaten Batubara Tahun 2012 adalah Rp. 21.288.665 (terbesar) dan

PDRB Per Kapita Kabupaten Nias Barat adalah Rp. 3.941.874 (terkecil). Melihat besarnya perbedaan nilai PDRB Per Kabupaten/Kota, perlu diteliti tingkat disparitas yang terjadi akibat dari pada pembangunan ekonomi.

Tabel 2. Laju Pertumbuhan Ekonomi Menurut Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara Atas Dasar Harga Konstan 2000, Tahun 2010-2012 (%) No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31. 32. 33.

Kabupaten Nias Mandailing Natal Tapanuli Selatan Tapanuli Tengah Tapanuli Utara Toba Samosir Labuhan Batu Asahan Simalungun Dairi Karo Deli Serdang Langkat Nias Selatan Humbang Hasundutan Pakpak Bharat Samosir Serdang Bedagai Batubara Padang Lawas Utara Padang Lawas Labuhan Batu Selatan Labuhan Batu Utara Nias Utara Nias Barat Kota Sibolga Tanjung Balai Pematang Siantar Tebing Tinggi Medan Binjai Padang Sidimpuan Gunung Sitoli Jumlah (B) i = (B/33)

=

2010

Tahun 2011

2012

Jumlah (A)

6,75 6,41 5,06 6,13 5,56 5,50 5,15 4,97 5,12 5,02 6,03 5,98 5,74 4,12 5,45

6,81 6,40 5,30 6,28 5,54 5,26 5,72 5,37 5,81 5,28 6,59 6,01 5,78 4,46 5,94

6,24 6,41 5,22 6,35 5,95 5,52 6,11 5,57 6,06 5,44 6,34 6,06 5,66 5,78 5,99

19,80 19,22 15,58 18,76 17,05 16,28 16,98 15,91 16,99 15,74 18,96 18,05 17,18 14,36 17,38

(A/3) 6,60 6,41 5,19 6,25 5,68 5,43 5,66 5,30 5,66 5,25 6,32 6,02 5,73 4,79 5,79

6,77 5,59 6,14 4,64 6,74 5,56 5,61

5,98 5,96 5,98 5,11 6,81 6,39 6,13

6,02 6,07 6,00 4,37 6,38 6,31 6,33

18,77 17,62 18,12 14,13 19,93 18,26 18,31

6,26 5,87 6,04 4,71 6,04 6,09 6,10

5,68 6,73 6,30

6,21 6,68 6,76

6,38 5,88 4,93

18,27 18,99 17,99

6,09 6,33 5,99

6,04 4,76 5,85 6,04 7,16 6,07 5,81 6,73 191,22 5,79

5,09 4,86 6,02 6,67 7,69 6,28 5,88 6,46 197,51 5,98

5,34 4,99 5,71 6,75 7,63 6,34 6,23 6,28 196,64 5,95

16,47 14,61 17,58 19,46 22,48 18,69 17,92 19,47 585,37

5,49 4,87 5,86 6,49 7,49 6,23 5,97 6,49

= 5,91 Sumber : Data diolah dari Sumatera Utara Dalam Angka Tahun 2013 Laju Pertumbuhan Ekonomi menurut Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara dari tahun 2010 – 2012 yang ditunjukkan pada Tabel 2. Laju pertumbuhan ekonomi Kota Medan pada

tahun 2010 adalah 7,16% (terbesar) dan laju pertumbuhan ekonomi Kabupaten Batubara pada tahun 2010 adalah 4,64% (terkecil). Laju pertumbuhan ekonomi Kota Medan pada tahun

102


Identifikasi Disparitas Pembangunan Antar Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara Tahun 2010-2012 (Zainal Abidin Nasution)

2011 adalah 7,69% (terbesar) dan laju pertumbuhan ekonomi Kota Sibolga pada tahun 2011 adalah 5,09% (terkecil) Laju pertumbuhan

ekonomi Kota Medan pada tahun 2012 adalah 7,63 % (terbesar) dan laju pertumbuhan ekonomi Kabupaten Batubara adalah 4,37%.

Tabel 3. Jumlah Penduduk Per Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara Tahun 2010 – 2012 (Jiwa) No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25.

Kabupaten

Nias Mandailing Natal Tapanuli Selatan Tapanuli Tengah Tapanuli Utara Toba Samosir Labuhan Batu Asahan Simalungun Dairi Karo Deli Serdang Langkat Nias Selatan Humbang Hasundutan Pakpak Bharat Samosir Serdang Bedagai Batubara Padang Lawas Utara Padang Lawas Labuhan Batu Selatan Labuhan Batu Utara Nias Utara Nias Barat Kota 26. Sibolga 27. Tanjung Balai 28. Pematang Siantar 29. Tebing Tinggi 30. Medan 31. Binjai 32. Padang Sidimpuan 33. Gunung Sitoli PDRB Rata-rata Sumber : BPS (2013)

2010 131.377 404.945 263.815 311.232 279.257 173.129 415.110 668.272 817.720 270.053 350.960 1.790.431 967.535 289.708 171.650 40.505 119.653 594.383 375.885 223.531 225.259 277.673 330.701 127.244 81.807

Tahun 2011 132.605 408.731 266.282 314.142 281.868 174.748 418.992 674.521 825.366 272.578 354.242 1.807.173 976.582 292.417 173.255 40.884 120.772 599.941 379.400 225.021 227.365 280.269 333.793 128.434 82.572

2012 132.860 410.931 268.095 318.908 283.871 174.815 424.644 677.876 830.896 273.394 358.823 1.845.615 976.885 294.069 174.765 41.492 121.594 604.206 381.023 229.064 232.166 284.809 335.459 128.533 82.701

84.481 154.445 234.698 145.248 2.097.610 246.154 191.531 126.202 12.982.204

85.271 155.889 236.893 146.606 2.117.224 248.456 193.322 127.382 13.103.596

85.852 157.175 236.947 147.771 2.112.804 250.252 198.809 128.337 13.215.401

Pada Tabel 3 menunjukkan jumlah penduduk Per Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara dari tahun 2010 – 2012. Terjadi pertambahan penduduk pada seluruh Kabupaten/Kota yang ada di Provinsi Sumatera Utara dari tahun 2010 – 2012. Jumlah penduduk Kota Medan pada tahun 2010 adalah 2.097.610 jiwa (terbesar) dan jumlah penduduk Kabupaten Pakpak Bharat pada tahun 2010 adalah 40.505 jiwa (terkecil). Jumlah penduduk Kota Medan pada tahun 2011 adalah 2.117.224 jiwa (terbesar) dan jumlah penduduk Kabupaten Pakpak Bharat pada tahun 2011 adalah 40.884 jiwa (terkecil). Jumlah penduduk Kota Medan

pada tahun 2012 adalah 2.112.804 (terbesar) dan jumlah penduduk Kabupaten Pakpak Bharat pada tahun 2012 adalah 41.492 jiwa (terkecil). Distribusi PDRB di Provinsi Sumatera Utara menurut Lapangan Usaha pada tahun 2010 – 2012 pada Tabel 4, terlihat bahwa lapangan usaha pertanian pada tahun 2010 memberikan konstribusi sebesar 23,62%, lapangan usaha industri pengolahan pada tahun 2010 memberikan kontribusi sebesar 20,97% dan lapangan usaha perdagangan, hotel dan restoran adalah 18,89%. Demikian juga halnya pada tahun 2011 sampai 2012, bahwa dominasi lapangan usaha yang memberikan kontribusi

103


Inovasi Vol. 12 No. 2, Juni 2015: 96 - 107

yang besar adalah pertanian, industri pengolahan serta perdagangan hotel dan

restoran.

Tabel 4. Distribusi PDRB di Provinsi Sumatera Utara menurut Lapangan Usaha Tahun 2010 – 2012 (%)

No.

Lapangan Usaha

Berlaku 2011 22,48 1,38 22,48 0,94 6,42 19,21

Atas Dasar Harga Konstan 2000 2012 2010 2011 2012 21,88 23,62 23,22 22,89 1,32 1,18 1,18 1,13 22,07 21,91 20,97 20,46 0,91 0,73 0,76 0,73 6,72 6,79 6,92 6,95 19,09 18,46 18,72 18,89

2010 Pertanian 22,90 Pertambangan/Penggalian 1,37 Industri Pengolahan 22,91 Listrik, Gas dan Air 0,95 Bangunan 6,37 Perdagangan, Hotel dan 19,05 Restoran 7. Pengangkutan dan Komunikasi 9,06 9,21 9,36 8. Keuangan, Asuransi, Usaha 6,60 6,96 7,53 Persewaan Bangunan dan Tanah, Jasa Perusahaan 9. Jasa Kemasyarakatan, sosial 10,80 10,92 11,12 dan Perorangan PDRB 100,00 100,00 100,00 PDRB Tanpa Migas 99,21 99,25 99,34 Sumber : Sumatera Utara Dalam Angka Tahun 2013 (BPS, 2013) 1. 2. 3. 4. 5. 6.

9,80 7,41

10,11 7,89

10,31 8,26

10,09

10,25

10,37

100,00

100,00

100,00

Tabel 5. Klasifikasi Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara menurut Tipologi Klassen (20102012) PDRB Per Kapita Laju Pertumbuhan Ekonomi Daerah cepat maju dan cepat tumbuh Karo, Deli Serdang, Serdang Bedagai, Labuhan Batu Selatan, Labuhan Batu Utara, Tebing Tinggi, Medan, Binjai. Daerah Maju Tapi Tertekan Toba Samosir, Labuhan Batu, Asahan, Dairi, Samosir, Batubara, Sibolga, Tanjung Balai, Pematang Siantar. Sumber : Data diolah (2015) Untuk mengetahui gambaran tentang pola struktur pertumbuhan ekonomi dan pendapatan per kapita masing-masing daerah digunakan analisis Tipologi Klassen. Melalui analisis ini diperoleh 4 (empat) karakteristik pola dan struktur pertumbuhan ekonomi yang berbeda, yaitu: daerah cepat maju dan cepat tumbuh (high growth and high income), daerah maju tapi tertekan (high income but low growth), daerah berkembang cepat (high growth but low

Daerah Berkembang Nias, Mandailing Natal, Tapanuli Tengah, Pakpak Bharat, Padang Lawas Utara, Padang Lawas, Nias Utara, Nias Barat, Padang Sidempuan, Gunung Sitoli. Daerah Tertinggal Tapanuli Selatan, Tapanuli Utara, Simalungun, Langkat, Nias Selatan, Humbang Hasundutan.

income), dan daerah tertinggal (low growth and low income). Berdasarkan data-data dari Tabel 1 dan Tabel 2, dapat dilihat: ӯj adalah PDRB per kapita rata-rata Kabupaten/Kota dari tahun 2010adalah PDRB per kapita rata-rata 2012, Provinsi Sumatera Utara dari tahun 2010-2012, j adalah laju pertumbuhan ekonomi rata-rata Kabupaten/Kota dari tahun 2010 – 2012 dan adalah laju pertumbuhan ekonomi rata-rata

104


Identifikasi Disparitas Pembangunan Antar Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara Tahun 2010-2012 (Zainal Abidin Nasution)

Provinsi Sumatera Utara dari tahun 2010 –

2012.

Tabel 6. Indeks Williamson dan Indeks Entropi Theil Terhadap Pendapatan Per Kapita dan Jumlah Penduduk Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara dari tahun 2010-2012 No

Tahun

Indeks Williamson (IW)

1. 2010 2. 2011 3. 2012 Sumber : Data diolah (2015)

0,5606 0,6362 0,6301

Dari Tabel 6 dapat dilihat besarnya indeks Williamson dari tahun 2010-2012, yang berada di dalam rentang indeks 0,4 – 0,69. Menunjukkan bahwa tingkat disparitas pembangunan antar Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara berada pada tingkat menengah. Belum terjadi perbedaan yang signifikan terhadap hasil-hasil pembangunan antar Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara. Demikian juga dengan indeks Entropi Theil dari tahun 2010 sampai 2012, selisih nilai indeks Entropi Theil, dapat dinyatakan relatif kecil. Belum terjadi perbedaan yang signifikan dari pendapatan per kapita antar Kabupaten/Kota terhadap pendapatan regional di Provinsi Sumatera Utara. Dari analisis Tipologi Klassen diketahui bahwa : a) PDRB rata-rata Kabupaten/Kota lebih besar dari PDRB rata-rata Provinsi Sumatera Utara dari tahun 2010-2012 adalah sebanyak 17 Kabupaten/Kota; b) PDRB rata-rata Kabupaten/Kota lebih kecil dari PDRB rata-rata Provinsi Sumatera Utara dari tahun 2010-2012 adalah sebanyak 16 Kabupaten/Kota; c) Laju pertumbuhan ekonomi rata-rata Kabupaten/Kota lebih besar dari laju pertumbuhan ekonomi rata-rata Provinsi Sumatera Utara dari tahun 2010-2012 adalah sebanyak 18 Kabupaten/Kota; dan, d) Laju pertumbuhan ekonomi rata-rata Kabupaten/Kota lebih kecil dari laju pertumbuhan ekonomi rata-rata Provinsi Sumatera Utara dari tahun 2010 – 2012 adalah sebanyak 15 Kabupaten/Kota. Berdasarkan teori pertumbuhan ekonomi Harrod dan Domar, menerangkan bahwa dapat terjadi korelasi yang positif antar tingkat investasi dan laju pertumbuhan ekonomi. Rendahnya investasi pada suatu wilayah berdampak terhadap pertumbuhan ekonomi dan tingkat pendapatan masyarakat per kapita di wilayah tersebut menjadi rendah, karena tidak ada kegiatan ekonomi yang produktif. Untuk mengatasi permasalahan pembangunan daerah tertinggal (disparitas), menurut Kantor Menteri Negara Pembangunan

Indeks Entropi Theil (Iy) 54,8065 54,5258 55,7469

Daerah Tertinggal RI dapat dilakukan strategi dasar melalui 4 (empat) pilar, yaitu: a) pilar pertama (meningkatkan kemandirian masyarakat); b) pilar kedua (mengoptimalkan potensi wilayah); c) pilar ketiga (memperkuat integrasi antar daerah tertinggal dan daerah maju); dan, d) pilar ke empat (meningkatkan daerah khusus yang memiliki karakteristik keterisolasian). Dari 4 (empat) pilar tersebut bahwa Pilar Kedua, mengoptimalkan pemanfaatan potensi wilayah melalui peningkatan investasi dan kegiatan produksi adalah strategi yang baik dan tepat untuk mengurangi terjadinya disparitas pembangunan di Kabupaten/Kota yang ada di Provinsi Sumatera Utara, berdasarkan potensi yang dimiliki. Investasi merupakan salah satu indicator yang dapat mempengaruhi pertumbuhan ekonomi disuatu wilayah.Investasi yang masuk baik dari pemerintah maupun swasta dapat mendorong peningkatan pertumbuhan ekonomi pada suatu wilayah (Angelia, 2010). Menyimak informasi dari Harian Medan Bisnis (2015) menyebutkan bahwa Kepala Bank Indonesia (BI) Provinsi Sumatera Utara, Difi A. Johansyah, menjelaskan bahwa total penyaluran kredit hingga Oktober 2014 mencapai Rp.195,15 triliun. Kredit yang disalurkan kepada sektor yang produktif yaitu, sektor perdagangan, hotel dan restoran menyerap kredit sebesar Rp.39,7 triliun; sektor industri pengolahan menyerap kredit sebesar Rp.34,1 triliun; dan, sektor pertanian menyerap kredit sebesar Rp.16,07 triliun(total Rp. 89,87 triliun). Keuntungan berlokasi pada tempat konsentrasi atau terjadinya agglomerasi disebabkan oleh faktor skala ekonomi dan aglomerasi ekonomi. Skala ekonomi adalah keuntungan karena dapat berproduksi berdasarkan spesialisasi sehingga produksi lebih besar dan biaya per unit lebih efisien. Sedangkan aglomerasi ekonomi adalah keuntungan karena ditempat itu terdapat berbagai keperluan dan fasilitas yang dapat digunakan oleh perusahaan (Tarigan, 2004).

105


Inovasi Vol. 12 No. 2, Juni 2015: 96 - 107

Berdasarkan Tabel 4 dapat dimonitor bahwa persentase distribusi terhadap PDRB rata-rata dari tahun 2010-2012 Atas Dasar Harga Konstan (ADHK) 2000 di Provinsi Sumatera Utara, untuk sektor pertanian adalah 23,24 %, sektor industri pengolahan adalah 21,11 % serta sektor perdagangan, hotel dan restoran adalah 18,69 %. Total kontribusi dari sektor-sektor tersebut terhadap PDRB rata rata ADHK 2000 dari tahun 2010-2012 adalah 63,04 %. Kemudian dengan dikucurkan kredit kepada sektor produktif sebesar Rp.89,87 triliun dari Rp.195,15 triliun, artinya sekitar 46,05 % dari total kredit yang tersalur, berada pada sektor yang produktif. Dampak positif dari kredit yang tersalurkan pada sektor produktif tersebut, diharapkan pada tahun tahun yang mendatang dapat meningkatkan pendapatan dari masyarakat di Propinsi Sumatra Utara dan pertumbuhan ekonomi yang positif.

REKOMENDASI Bahwa terjadinya disparitas pembangunan antar Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara, tahun 2010-2012, diukur berdasarkan pendapatan per kapita dan tingkat pertumbuhan ekonomi. Hal ini terjadi antara lain akibat adanya perbedaan potensi sumber-sumber daya wilayah, infrastruktur transportasi, kepadatan penduduk dan lain sebagainya. Sehingga oleh karena itu tipe perencanaan dan kebijakan publik yang ditempuh pada setiap Kabupaten/Kota, antara lain adalah sebagai berikut : a. Pemerintah Kabupaten/Kota yang memiliki potensi pada sektor perkebunan/pertanian/perikanan harus lebih mendorong pada pembiayaan dan pengeluaran daerah untuk menunjang pembangunan ekonomi pada sektor tersebut. b. Pemerintah Kabupaten/Kota harus menetapkan kerja sama untuk saling mengintegrasikan program-program pembangunan ekonomi antar Kabupaten/Kota, terutama daerah-daerah yang mempunyai fungsi kawasan yang sama. c. Pemerintah Kabupaten/Kota yang termasuk daerah tertinggal (Tapanuli Selatan, Tapanuli Utara, Simalungun, Langkat, Nias Selatan dan Humbang Hasundutan) harus melakukan konsolidasi dengan Pemerintah Provinsi Sumatera Utara, agar pelaksanaan pembangunan dapat terlaksana secara menyeluruh. Sehingga pemerataan pembangunan dapat tercapai dan disparitas pembangunan antar Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara dapat diminimalisir.

KESIMPULAN Berdasarkan Hasil Analisis Tipologi Klassen, diperoleh klasifikasi wilayah seperti berikut: a) Daerah Kabupaten/Kota yang merupakan daerah cepat maju dan cepat tumbuh sebanyak 8 Kabupaten/Kota yaitu Karo, Deli Serdang, Serdang Bedagai, Labuhan Batu Selatan, Labuhan Batu Utara, Tebing Tinggi, Medan dan Binjai; b) Daerah Kabupaten/Kota yang merupakan derah berkembang sebanyak 10 Kabupaten/Kota yaitu Nias, Mandailing Natal, Tapanuli Tengah, Pakpak Bharat, Padang Lawas Utara, Padang Lawas, Nias Utara, Nias Barat, Padang Sidempuan dan Gunung Sitoli; c) Daerah Kabupaten/Kota yang merupakan daerah yang maju tapi tertekan sebanyak 9 Kabupaten/Kota yaitu Toba Samosir, Labuhan Batu, Asahan, Dairi, Samosir, Batubara, Sibolga, Tanjung Balai dan Pematang Siantar; dan, d) Daerah Kabupaten/Kota yang merupakan daerah tertinggal sebanyak 6 Kabupaten/Kota yaitu Tapanuli Selatan, Tapanuli Utara, Simalungun, Langkat, Nias Selatan dan Humbang Hasundutan. Rata-rata Produk Domestik Regional Bruto per Kapita dari Kabupaten/Kota lebih besar dari rata-rata Produk Domestik Regional Bruto per Kapita Provinsi Sumatera Utara tahun 2010 – 2012 adalah sebanyak 17 Kabupaten/Kota (daerah cepat maju dan cepat tumbuh dengan daerah berkembang). Rata-rata laju pertumbuhan ekonomi dari Kabupaten/Kota lebih besar dari rata-rata laju pertumbuhan ekonomi Provinsi Sumatera Utara dari tahun 2010–2012 adalah sebanyak 15 Kabupaten/Kota (daerah cepat maju dan cepat tumbuh dengan daerah maju tapi tertekan).

DAFTAR PUSTAKA Angelia, Yuki. 2010. Analisis Ketimpangan Pembangunan Wilayah Di Provinsi DKI Jakarta Tahun 1995-2008. Skripsi, Universitas Diponegoro, Semarang. Arsyad, Lincoln. 1999. Pengantar Perencanaan dan Pembangunan Ekonomi Daerah, Edisi 2. Yogyakarta: BPFE. Badan Pusat Statistik Provinsi Sumatera Utara. 2013. Perhitungan PDRB Provinsi Sumatera Utara Tahun 2013. Badan Pusat Statistik Provinsi Sumatera Utara. Badan Pusat Statistik Provinsi Sumatera Utara. 2013. Sumatera Dalam Angka Tahun 2013. Badan Pusat Statistik Provinsi Sumatera Utara. Emilia dan Imelia. 2006. Modul Ekonomi Regional, Makalah. Universitas Jambi. Harian Medan Bisnis. 2015. Industri Pengolahan Sumatera Utara Serap Kredit Rp. 34,1 Triliun (12 Januari 2015).

106


Identifikasi Disparitas Pembangunan Antar Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara Tahun 2010-2012 (Zainal Abidin Nasution)

Indriantoro, Nur dan Bambang Supomo. 1999. Metodologi Penelitian Bisnis Untuk Akuntansi dan Manajemen, Edisi Pertama. Yogyakarta: BPFE. Kementerian Negara Pembangunan Daerah Tertinggal. 2008. Kebijakan Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal Dalam Rangka Penanggulangan Kemiskinan, Makalah. Kuncoro, Mudrajat. 2004. Pertumbuhan Ekonomi dan Ketimpangan Antar Wilayah Dalam Buku Otonomi dan Pembangunan Daerah. Jakarta: Penerbit Erlangga. Lili, Masli. 2008. Analisis Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Pertumbuhan Ekonomi dan Ketimpangan Regional Antar Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Barat [Online]. Dari: http: www.stanim.ae.id [Diakses: 20 Desember 2014]. Nurfatimah, Annisa. 2013. Analisis Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten/Kota di Provinsi Bali. Skripsi, Universitas Islam Negeri Syarief Hidayatullah, Jakarta. Rustiadi, Eman. 2009. Perencanaan dan Pengembangan Wilayah. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Sugiyono. 2008. Metode Penelitian Kuantitatif/Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfa Beta. Sukirno, Sadono. 2006. Ekonomi Pembangunan: Proses Masalah dan Dasar Kebijaksanaan. Jakarta: Prenada Media Group. Syafrizal. 2012. Ekonomi Wilayah dan Perkotaan. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada. Tadaro, Michael dan Stephen C. Smith. 2004. Pembangunan Ekonomi Di Dunia Ketiga. United Kingdom: Pearsur Education Limited. Tarigan, Robinson. 2004. Perencanaan Pembangunan Wilayah. Jakarta: Yayasan Obor. Widayanto, Inggar. 2008. Analisis Yuridis Kebijakan Bank Indonesia Mengenai Prinsip Kehati-hatian Dalam Pemberian Kredit Perbankan. Tesis, Universitas Sebelas Maret, Surakarta.

107


Inovasi Vol. 12 No. 2, Juni 2015: 108 - 119

Hasil Penelitian PEMENUHAN HAK KESEHATAN ANAK DI WILAYAH PESISIR SUMATERA UTARA (THE FULFILLMENT OF CHILDREN'S HEALTH RIGHTS IN THE NORTH SUMATRA COASTAL AREAS) Ida Yustina*, Dumora Jenny Margaretha Siagian**, Dwi Endah Purwanti** *Universitas Sumatera Utara Jl. Dr. Mansyur Medan **Badan Penelitian dan Pengembangan Provinsi Sumatera Utara Jl. Sisingamangaraja No. 198 Medan 20126 Telp. (061) 7866225; Fax.(061) 7366248; email: dumora_jenny@yahoo.com Diterima: 30 Maret 2015; Direvisi: 16 April 2015; Disetujui: 28 April 2015

ABSTRAK Setiap orang memiliki hak untuk memperoleh pelayanan kesehatan dan menikmati standar tertinggi yang dapat dicapai dalam kesehatan fisik dan mentalnya, termasuk anak–anak yang tinggal di wilayah pesisir.Tinggal di daerah yang jauh dari kondisi bersih akibat pasang surut air laut, ditambah dengan kondisi kehidupan orangtua yang memiliki penghasilan rendah, membuat anak–anak tersebut banyak yang hidup dalam kondisi yang kurang sehat dan kurang sejahtera. Secara umum, pemerintah sesuai kewajibannya telah melakukan program–program pemenuhan hak kesehatan anak sesuai dengan Standar Pelayanan Minimal (SPM) yang ditetapkan dalam peraturan menteri kesehatan. Namun pelaksanaan program tersebut sering mengalami hambatan dan belum menjangkau semua masyarakat. Di samping itu, upaya pemerintah dalam memberikan pelayanan kesehatan belum maksimal dan belum menjadikan kesehatan sebagai pertimbangan penting dalam setiap kebijakan pembangunan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kondisi pemenuhan hak kesehatan bagi anak di daerah pesisir Sumatera Utara dan faktor–faktor yang menghambat pemenuhan hak kesehatan anak tersebut. Lokasi penelitian yaitu wilayah pesisir Sumatera Utara, dengan menggunakan metode kualitatif. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan studi pustaka, Focus Group Discussion (FGD) dan wawancara mendalam (in-depth interview). Lokasi penelitian yang dipilih adalah Kabupaten Tapanuli Utara, Kabupaten Serdang Bedagai, Kabupaten Batubara, dan Kota Tanjungbalai yang mewakili daerah pesisir barat dan timur Sumatera Utara. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kondisi pemenuhan hak kesehatan anak yang telah dipenuhi dengan relatif baik melalui programprogram kesehatan adalah: hak anak untuk lahir ditolong penolong persalinan, hak untuk diberikan imunisasi, hak untuk mendapatkan pelayanan gizi, dan hak untuk mendapatkan edukasi tentang kesehatan. Sedangkan hak-hak anak yang belum mendapatkan pemenuhan dengan baik adalah: hak untuk mendapatkan ASI eksklusif, hak untuk mendapatkan tempat bermain, dan hak untuk mendapatkan kesehatan lingkungan. Selain itu terdapat beberapa hambatan dalam pemenuhan hak-hak kesehatan anak tersebut, seperti: persepsi masyarakat yang masih belum baik pada pentingnya ASI eksklusif dan imunisasi, kebiasaan yang menjadi warisan turun temurun dalam pemberian makanan pada anak di usia dini, belum dibangunnya sarana bermain anak yang layak, perilaku buruk masyarakat pesisir dalam memperlakukan lingkungannya, serta kemiskinan sumber daya manusia masyarakat pesisir yang meliputi: kemiskinan ekonomi, pendidikan, yang memberi kontribusi terhadap perilakunya. Kata kunci: hak kesehatan anak, wilayah pesisir, Sumatera Utara.

ABSTRACT Everyone has the right to obtain medical care and enjoy the highest attainable standard of physical and mental health, including children who live in coastal areas. Live in areas where far from pristine condition due to the tide is, coupled with the conditions of life of parents who have a low income, making the children living in conditions that are less healthy and less prosperous. So it needsmore attention from parents and the government toguarantee and protect their rights,

108


Pemenuhan Hak Kesehatan Anak di Wilayah Pesisir Sumatera Utara (Ida Yustina, Dumora Jenny Margaretha Siagian, Dwi Endah Purwanti) especially in health, in order to grow and develop optimally, healthy and intelligent as children in other areas. In general, due to the appropriate government obligations, government has been doing the fulfillment of child health right programs in accordance with the Minimum Service Standards (SPM) are set out in the regulation of health minister. However, the implementation of such programs is often challenging and does not reach all the people. In addition, the government's efforts in providing health services have not yet made the maximum and health don’t use yet as an important consideration in any development policy. This is research aims to determine the fulfillment of the health right condition for children in the coastal areas of North Sumatra and factors that impede the fulfillment of the child's health right, either by the government or parents. This research was conducted in the coastal areas of North Sumatra, the research method used is qualitative method. Data was collected using literature study, Focus Group Discussion (FGD) and in-depth interviews (in-depth interviews).The results showedthat thefulfillment of the child's health right condition that has been met with relatively well through wellness programs are: the right of the child to be born assisted birth attendants, right to be immunized, the right to nutrition services, and the right to get education about health. While the rights of children who do not get good compliance with are: the right to exclusive breastfeeding, the right to a place to play, and the right to a healthy environment. In addition there are several obstacles to the fulfillment of the child's health right, such as: public perception is still not good on the importance of exclusive breastfeeding and immunization, habits become hereditary legacy in feeding in children at an early age, yet the construction of children's play facilities decent, bad behavior in the coastal communities of treating the environment, and poverty of human resources of coastal communities which include: economic poverty, education, which contributed to his behavior. Keywords: rights of the child's health, coastal areas, North Sumatra

kunjungan imunisasi dalam upaya pencegahan penyakit. Berdasarkan laporan Badan PBB untuk masalah anak-anak (UNICEF), tingkat kematian anak/bayi di Indonesia masih relatif tinggi. Angka kematian bayi ini menunjukkan derajat kesehatan anak. Kepala Bagian kelangsungan hidup dan perkembangan anak UNICEF, Dr. Robin Nandy, dalam sebuah pernyataan resmi menyebutkan, saat ini diperkirakan 150.000 anak meninggal di Indonesia setiap tahunnya sebelum mereka mencapai ulang tahun kelima. Begitu juga dengan status gizi anak yang masih perlu diperbaiki. Data Riset Kesehatan Dasar (Riskedas) 2010 menunjukkan, prevalensi gizi buruk balita di Indonesia masih 4,9%, meskipun angka ini sudah menurun dari 2007 yang mencapai 5,4%. Anak balita yang masuk dalam kategori gizi kurang menurut Riskesdas 2010 masih bertahan pada angka 13%. Sedangkan prevalensi tubuh pendek (stunting) pada balita mencapai 35,7% atau mengalami penurunan dibanding 2007 (36,7%). Dari sisi pencegahan penyakit, hak anak Indonesia mendapatkan imunisasi masih belum optimal. Berdasarkan data Kementerian Kesehatan, cakupan Universal Child Immunization (UCI) tahun 2010 adalah 75,3%. Tahun 2011, pencapaian UCI turun menjadi 74,1%. Laporan yang disampaikan organisasi medis kemanusiaan dunia (Médecins Sans Frontières (MSF) atau Dokter Lintas Batas menyebutkan, Indonesa termasuk sebagai salah satu dari enam negara yang teridentifikasi memiliki jumlah tertinggi anak-anak yang tak terjangkau imunisasi. Disamping indikator di atas, pemberian ASI eksklusif juga merupakan hal yang perlu

PENDAHULUAN Hak atas kesehatan merupakan salah satu hak asasi manusia yang fundamental dan tak ternilai demi terlaksananya hak asasi manusia yang lainnya seperti tercantum dalam Piagam Hak Asasi Manusia. Tanpa kesehatan, seseorang tidak akan mampu memperoleh hak-hak lainnya. Setiap orang berhak untuk menikmati standar tertinggi yang dapat dicapai atas kesehatan fisik dan mental (International Covenant on Economic, Social and Cultural Right (ICESCR), 2000), tak terkecuali anak – anak yang tinggal di wilayah pesisir. Menurut Ibid J. Asher dalam The Right to Health, hak atas kesehatan adalah harus dipahami sebagai hak atas pemenuhan berbagai fasilitas, pelayanan dan kondisi – kondisi yang penting bagi terealisasinya standar kesehatan yang memadai dan terjangkau. Anak merupakan tumpuan masa depan keluarga, bangsa, dan negara. Pada Pasal 8 Undang-Undang (UU) Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak dinyatakan, bahwa setiap anak berhak memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial sesuai dengan kebutuhan fisik, mental, spiritual, dan sosial. Hak anak atas standar kesehatan tertinggi menggariskan bahwa anak-anak berhak mendapatkan pelayanan kesehatan yang berkualitas, mulai dari pencegahan, penyuluhan, pengobatan, rehabilitasi, serta layanan perawatan paliatif. Dari laporan berbagai sumber, kualitas kesehatan anak Indonesia saat ini masih perlu mendapat perhatian serius. Hal itu dapat dilihat dari berbagai indikator kesehatan anak, seperti angka kematian bayi, status gizi anak, dan

109


Inovasi Vol. 12 No. 2, Juni 2015: 108 - 119

dilakukan bagi pertumbuhan bayi, terutama pada masa usia 0 hingga 6 bulan, yang disebut masa ‘golden age.’ Hal ini menjadi bagian penting dalam upaya memberikan nutrisi dasar dan menurunkan angka kematian bayi. Hasil penelitian membuktikan, pemberian ASI dapat menurunkan risiko kematian bayi hingga 22%. Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) nomor 33 tahun 2012 yang menjamin pemberian ASI eksklusif. Namun pada kenyataannya, masih banyak ditemukan kendala di lapangan dan belum semua ibu–ibu memberikan hak mendapatkan ASI eksklusif ini pada bayinya. Secara umum, pemerintah telah melakukan program–program pemenuhan hak kesehatan anak sesuai dengan Standar Pelayanan Minimal (SPM) yang ditetapkan dalam peraturan menteri kesehatan. Namun pelaksanaan program tersebut sering mengalami hambatan dan belum menjangkau semua masyarakat. Di samping itu, upaya pemerintah dalam memberikan pelayanan kesehatan belum maksimal dan belum menjadikan kesehatan sebagai pertimbangan penting dalam setiap kebijakan pembangunan terlihat dari besarnya anggaran yang disediakan untuk sektor kesehatan. Pada suatu opini dikatakan, dalam alokasi anggaran, kesehatan masih dianggap sebagai sektor pengeluaran, sehinga rata-rata alokasi anggaran APBD maupun APBN masih jauh dari yang diharapkan. Dari beberapa data yang didapatkan rata-rata alokasi anggaran untuk kesehatan masih di bawah angka 5%, padahal menurut standard WHO minimal 5% dari total APBD/APBN, dan hasil kesepakatan para Bupati dan Walikota pada Tahun 2004 alokasi anggaran untuk kesehatan minimal 15%. Permasalahan kesehatan ini juga terjadi pada masyarakat di wilayah pesisir. Berdasarkan hasil penelitian Badan Penelitian dan Pengembangan Provinsi Sumatera Utara Tahun 2012 yang berjudul Kajian Perspektif dan Aspirasi Keluarga Nelayan Terhadap Kesejahteraan Sosial di Sumatera Utara, dikatakan bahwa masyarakat yang tinggal di wilayah pesisir mempunyai karakteristik tersendiri. Masyarakat di pesisir pantai secara umum merupakan nelayan tradisional dengan penghasilan pas-pasan. Rendahya pendapatan keluarga ini dapat mempengaruhi kualitas hidup mereka. Sehingga berdampak terhadap ketersediaan pangan dan gizi keluarga, serta ketersediaan rumah yang layak dan sehat. Selain itu tingkat pendidikan dan budaya masyarakat pesisir seringkali tidak bisa menerima penyuluhan yang diberikan tentang pentingnya memenuhi kesehatan keluarga, terutama bagi anak–anak. Dari survey awal yang

dilakukan, masih banyak orangtua di wilayah pesisir yang tidak memberi ASI eksklusif dan tidak membawa anak–anaknya untuk mendapatkan imunisasi. Masih banyak orangtua yang tidak perduli akan asap rokok yang terhirup oleh bayi yang sedang tidur di rumahnya, juga tidak perduli terhadap kebersihan lingkungan rumah dan sekitarnya. Sebagian besar wilayah pemukiman masyarakat nelayan di Sumatera Utara berada di daerah pasang surut air laut, yang mengakibatkan menjadi tempat berkumpulnya sampah–sampah yang dibawa oleh air laut. Daerah ini menjadi tempat yang membawa penyakit bagi masyarakat, terutama anak - anak yang tidak memiliki tempat bermain, sehingga mereka pun bermain di sekitar rumah yang dipenuhi sampah. Kondisi tersebut mempengaruhi tingkat kesehatan masyarakat yang tinggal di wilayah pesisir. Bahkan pemenuhan untuk hak kesehatan anak sulit untuk dipenuhi. Selain itu, belum ada program kesehatan yang dikhususkan bagi masyarakat pesisir. Karena perbedaan karakteristik masyarakat pesisir dengan golongan masyarakat lainnya menjadikannya perlu diberikan perhatian ekstra, terutama dalam hal kesehatan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui kondisi pemenuhan hak kesehatan bagi anak di daerah pesisir Sumatera Utara, serta faktor-faktor yang menghambat pemenuhan hak kesehatan anak di daerah pesisir Sumatera Utara. METODE Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan pendekatan penelitian kebijakan (policy research) yang mendeskripsikan kondisi kesehatan masyarakat, terutama anak–anak dan indikator–indikator kesehatan yang ada, kondisi realitas pemenuhan hak kesehatan anak di daerah pesisir melalui program–program pemerintah, sarana prasarana fasilitas kesehatan, serta hambatan– hambatan yang dialami dalam pemenuhan hak kesehatan anak tersebut. Populasi penelitian adalah seluruh puskesmas dan sarana kesehatan lainnya yang memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat nelayan yang tinggal di wilayah pesisir Sumatera Utara, dengan menggunakan purposive sampling. Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli s/d Oktober 2014 di wilayah pesisir Sumatera Utara, yang berlokasi pada daerah yang memiliki wilayah pesisir dan mata pencaharian penduduk di wilayah tersebut sebagai nelayan. Lokasi penelitian masing-masing mewakili pantai barat

110


Pemenuhan Hak Kesehatan Anak di Wilayah Pesisir Sumatera Utara (Ida Yustina, Dumora Jenny Margaretha Siagian, Dwi Endah Purwanti)

dan pantai timur. Untuk pantai barat, yakni Kabupaten Tapanuli Tengah, serta lokasi yang mewakili pantai timur, yakni Kabupaten Serdang Bedagai, Kabupaten Batubara, dan Kota Tanjung Balai. Terdapat 5 (lima) kecamatan di Kabupaten Serdang Bedagai yang memiliki wilayah pesisir dan menjadi lokasi penelitian yakni Kecamatan Perbaungan, Kecamatan Pantai Cermin, Kecamatan Teluk Mengkudu, Kecamatan Tanjung Beringan, dan Kecamatan Bandar Khalifah. Sedangkan untuk Kabupaten Tanjung Balai, lokasi penelitian yang diambil adalah Kecamatan Teluk Nibung dan Kecamatan Sei Tualang Raso yang mata pencaharian penduduknya pada umumnya adalah nelayan. Lokasi penelitian di Kabupaten Tapanuli Tengah adalah Kecamatan Barus, terutama di Desa Pasar Terandam dan Desa Kade Gadang yang berbatasan langsung dengan Samudera Indonesia. Sedangkan di Kabupaten Batubara, lokasi penelitian yang dipilih adalah juga daerah yang memiliki wilayah pesisir dan sebagian penduduknya bermata pencaharian nelayan, yakni Kecamatan Tanjung Tiram, Kecamatan Medang Deras, dan Kecamatan Talawi. Pengumpulan data primer diperoleh dari wawancara dan Focus Group Discussion (FGD) yang dilakukan pada semua kepala puskesmas, perwakilan bidan tiap puskesmas dan pegawai dari Dinas Kesehatan di lokasi penelitian. Puskesmas dan bidan yang diundang merupakan puskesmas yang lokasinya berada pada tiap kecamatan yang memiliki wilayah pesisir dan cakupan wilayah pelayanannya adalah nelayan seperti tersebut sebelumnya di masing–masing kabupaten/kota. Peserta FGD pada masing–masing lokasi penelitian berjumlah 15 orang. Sedangkan data sekunder diperoleh dari studi dokumentasi dan literatur.

dan terjangkaunya sarana pelayanan untuk semua dalam kemungkinan waktu yang secepatnya, seperti yang tertera dalam publikasi WHO tentang 25 Question and Answer on Health and Human Rights pada tahun 2002. Karenanya pemerintah punya kewajiban untuk memelihara dan memenuhi hak kesehatan anak melalui program/kegiatan yang dilaksanakan di puskesmas sebagai unit kesehatan yang terdekat dengan masyarakat. Program/kegiatan yang dilaksanakan puskesmas di lokasi penelitian berkaitan dengan pemenuhan hak-hak kesehatan anak umumnya relatif sama, sesuai dengan upaya yang diselenggarakan oleh Puskesmas yakni upaya kesehatan wajib, dan upaya kesehatan pengembangan yang disesuaikan dengan Keputusan Menteri Kesehatan No. 128/MENKES/SK/II/2004 tentang Kebijakan Dasar Pusat Kesehatan Masyarakat. Upaya Kesehatan Wajib yang dilaksanakan puskesmas memiliki keterkaitan dengan pemenuhan hak-hak kesehatan anak. Dalam pelaksanaannya, puskesmas bermitra dengan kelompok-kelompok masyarakat seperti: posyandu, polindes, Bina Keluarga Balita (BKB), Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) dalam melaksanakan upaya kesehatan yang meliputi: promotif, preventif, termasuk juga pengobatan. Upaya kesehatan yang bersifat promotif meliputi kegiatan-kegiatan yang bermaksud mengubah perilaku masyarakat untuk menerapkan perilaku hidup bersih dan sehat. Perilaku dimaksud seperti: memberi ASI eksklusif kepada anak baru lahir sampai 6 (enam) bulan, memberikan imunisasi kepada anak sebagai tindakan preventif dalam kaitan mengantisipasi anak mengidap penyakitpenyakit menular, memperhatikan pola makan anak untuk menghindari anak mengalami kekurangan gizi dan sebagainya. Berkaitan dengan Keputusan Menteri Kesehatan No. 128/MENKES/SK/II/2004 tentang Kebijakan Dasar Pusat Kesehatan Masyarakat di atas, dimana Upaya Kesehatan Wajib yang dilaksanakan pemerintah melalui puskesmas memiliki keterkaitan dengan pemenuhan hak-hak kesehatan anak. Maka program–program pelayanan kesehatan anak di puskesmas wajib diberikan dimulai dari anak dalam kandungan hingga remaja. Berdasarkan hal tersebut serta disesuaikan dengan SPM Bidang Kesehatan di Kabupaten/Kota, Permenkes RI No. 741/Menkes/PER/VII/2008 yang menyebutkan 11 indikator kesehatan anak. Indikator pemenuhan hak anak dalam bidang kesehatan, yaitu: a) Hak anak untuk ditolong penolong persalinan

HASIL DAN PEMBAHASAN Kovenan PBB tentang Hak – Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya yang sudah diratifikasi menjadi UU No. 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Economic, Social and Cultural Right (Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya) memberikan jaminan atas hak kesehatan anak. Meski demikian, haruslah dicatat bahwa hak atas kesehatan sesungguhnya tidak diartikan sebagai hak agar setiap orang untuk menjadi sehat atau pemerintah harus menyediakan sarana pelayanan kesehatan yang mahal di luar kesanggupan pemerintah. Tetapi lebih menuntut agar pemerintah dan pejabat publik dapat membuat berbagai kebijakan dan rencana kerja yang mengarah kepada tersedia

111


Inovasi Vol. 12 No. 2, Juni 2015: 108 - 119

b) c) d)

Hak anak untuk diberi ASI eksklusif Hak anak untuk diberi imunisasi Hak anak untuk mendapatkan tempat bermain e) Hak anak untuk mendapatkan edukasi tentang kesehatan f) Hak anak untuk mendapatkan pelayanan gizi g) Hak anak untuk mendapatkan kesehatan lingkungan Berdasarkan klasifikasi yang dilakukan, maka laporan ini akan menguraikan hasil penelitian berkaitan dengan pemenuhan hak-hak anak dalam bidang kesehatan. Hak anak untuk ditolong penolong persalinan. Sesuai dengan indikator yang tertuang dalam program Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS), setiap persalinan seyogianya berlangsung di fasilitas kesehatan dengan tenaga kesehatan sebagai penolongnya. Tenaga kesehatan yang dimaksud adalah dokter spesialis kandungan dan kebidanan, dokter umum dan bidan. Dalam hal penolong persalinan ini, Kementerian Kesehatan pada 2012 menargetkan 90% persalinan ditolong oleh tenaga kesehatan. Hasil Riskesdas 2013 menunjukkan bahwa sebanyak 80,9% persalinan ditolong oleh tenaga bidan/dokter, adapun yang ditolong dukun ada sebesar 10,9%. Secara nasional penggunaan tenaga kesehatan sebagai penolong persalinan dengan demikian dapat dinyatakan telah semakin meningkat. Dari pengamatan di semua lokasi penelitian, kelahiran anak yang ditolong oleh penolong persalinan secara umum telah menggunakan tenaga kesehatan. Program Jaminan Persalinan (Jampersal) yang memfasilitasi pembiayaan kepada ibu hamil yang belum memiliki jaminan persalinan, mulai dari pemeriksaan, pertolongan persalinan, pemeriksaan nifas dan pelayanan KB, memberi pengaruh dalam hal terpenuhinya hak anak untuk ditolong oleh tenaga persalinan. Meski demikian, AKI di Provinsi Sumatera Utara masih tergolong tinggi yakni 230 per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 2012. Kematian ibu dalam hal ini disebabkan banyak faktor. Secara nasional penyebab langsung kematian ibu melahirkan di Indonesia adalah perdarahan, infeksi, dan eklampsia. Adapun yang menjadi penyebab tidak langsungnya adalah anemia, kurang energi kronis (KEK) dan keadaan “4 terlalu� (terlalu muda/tua, sering, dan banyak), juga faktor keterlambatan (tiga terlambat), yakni: terlambat diperiksa, terlambat dalam memperoleh pelayanan persalinan dari tenaga kesehatan, dan terlambat sampai di fasilitas pelayanan kesehatan pada saat dalam keadaan darurat.

Menurut narasumber dalam FGD yang dilakukan di lokasi penelitian penggunaan tenaga kesehatan sebagai penolong persalinan memang semakin meningkat. Namun demikian untuk tempat persalinan, persentase persalinan yang dilangsungkan di rumah masih tergolong cukup tinggi di mana hal tersebut memberi kontribusi terhadap kematian ibu melahirkan. Secara nasional persalinan yang dilangsungkan di rumah sebesar 29,6% (Riskesdas 2013), berkurang secara signifikan dari data Riskesdas 2010 yakni sebesar 43,2%. Meski penggunaan bidan sebagai penolong persalinan telah merupakan pilihan yang banyak dilakukan oleh masyarakat di lokasi penelitian, namun persalinannya masih banyak dilakukan di rumah masyarakat bersangkutan. Menurut salah seorang bidan yang bertugas di Puskesmas Pantai Cermin Kabupaten Serdang Bedagai, masyarakat memang lebih cenderung meminta persalinan dilangsungkan di rumah mereka. Persoalan muncul ketika terdapat masalah dalam persalinan. Fasilitas persalinan, jarak rumah penduduk ke rumah sakit, moda transportasi, pengambilan keputusan keluarga, antara lain menjadi faktor-faktor yang mempengaruhi terlambatnya pasien dirujuk ke rumah sakit. Idealnya tempat persalinan adalah di rumah sakit karena tersedia fasilitas yang dibutuhkan sewaktu-waktu memerlukan penanganan kegawatdaruratan atau minimal bersalin di fasilitas kesehatan lainnya sehingga apabila perlu rujukan dapat segera dilakukan. Hak anak untuk diberi Air Susu Ibu (ASI) eksklusif. Anak yang baru lahir memiliki hak untuk diberi ASI eksklusif, yaitu hanya ASI tanpa tambahan atau mengganti dengan makanan/minuman apapun selama enam bulan. Untuk menjamin terpenuhinya hak bayi dalam mendapatkan ASI eksklusif ini, UU Kesehatan No. 36 Tahun 2009 Pasal 128 ayat (1) menyatakan bahwa setiap bayi berhak mendapatkan air susu ibu eksklusif sejak dilahirkan selama 6 (enam) bulan, kecuali atas indikasi medis, ayat (2) menyatakan bahwa selama pemberian air susu ibu, pihak keluarga, pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat harus mendukung ibu bayi secara penuh dengan penyediaan waktu dan fasilitas khusus, dan ayat (3) menyatakan bahwa penyediaan fasilitas khusus diadakan di tempat kerja dan tempat umum. Dalam praktiknya pemberian ASI eksklusif di lokasi penelitian yakni daerah pesisir masih belum sesuai dengan ketentuan yang termaktub dalam Undang-Undang maupun PP tersebut. Kondisinya hampir sama di setiap lokasi penelitian. Di Kota Tanjungbalai misalnya, pencapaian ASI sangat rendah, hanya 8,5% dari

112


Pemenuhan Hak Kesehatan Anak di Wilayah Pesisir Sumatera Utara (Ida Yustina, Dumora Jenny Margaretha Siagian, Dwi Endah Purwanti)

1.822 bayi pada tahun 2013. Di daerah ini, karena himpitan ekonomi, para ibu yang melahirkan cenderung mencari kerja sehabis melahirkan ketimbang menyusui bayinya. Banyak faktor yang menjadi penyebab rendahnya pemberian ASI eksklusif di wilayah pesisir yang notabene masyarakatnya banyak bermata pencaharian nelayan ini. Masalah ekonomi merupakan salah satu faktor penyebabnya. Selain itu kebiasaan yang selama ini terpelihara dalam masyarakat menjadi faktor yang juga signifikan. Kebiasaan yang dimaksud adalah memberi makan pada anak usia dini. Puskesmas Lalang Kabupaten Batubara misalnya, keluarga biasanya telah memberi makanan pada bayi sebelum bayi berusia 6 (enam) bulan.

Dini (IMD), sedangkan mereka perlu mengerjakan tugas lain. Di tingkat masyarakat, yang menjadi faktor penghambat terlaksananya ASI eksklusif di antaranya berkaitan dengan kepercayaan yang dianut masyarakat dengan memberikan makanan/minuman tertentu yang akan memberi efek yang baik bagi kehidupan anak kelak di kemudian hari, kebiasaan yang sudah berlangsung secara turun temurun sehingga masyarakat tidak “nyaman” jika tidak melakukannya, dan pengetahuan yang rendah tentang manfaat ASI eksklusif bagi pertumbuhan dan perkembangan anak. Hak Anak untuk diberi Imunisasi. Mengimunisasi anak secara lengkap merupakan salah satu indikator Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) di tingkat rumah tangga. Imunisasi adalah pemberian vaksin ke dalam tubuh anak untuk memberikan kekebalan terhadap berbagai penyakit. Adapun yang dimaksud dengan imunisasi lengkap adalah pemberian BCG, DPT, Hepatitis, Polio, dan Campak. UU No. 36 Tahun 2009 Pasal 132 ayat 3 menyatakan bahwa setiap anak berhak memperoleh imunisasi dasar sesuai dengan ketentuan yang berlaku untuk mencegah terjadinya penyakit yang dapat dihindari melalui imunisasi. Perilaku mengimunisasi anak di seluruh lokasi penelitian kondisinya hampir sama, yakni menghadapi tantangan yang cukup signifikan dari masyarakat.

“ASI ibu yang melahirkan dinilai membutuhkan waktu untuk sampai lancar keluarnya. Dalam proses ini biasanya neneknya sudah langsung memberi susu formula atau makanan” Komentar diatas disampaikan oleh bidan Puskesmas Lalang yang menjadi narasumber dalam FGD. Di lain pihak kurangnya sosialisasi pada ibu-ibu hamil dalam perawatan payudara mulai saat mereka hamil juga memberi kontribusi atas ketidaklancaran ASI pasca persalinan. Menurut bidan dari Puskesmas Ruka bahwa intensitas penyuluhan terhadap ibu-ibu hamil perlu ditingkatkan dalam kaitan menyukseskan program ASI eksklusif. Pengarusutamaan pemberian ASI eksklusif dari segi kebijakan memang telah dinyatakan secara eksplisit oleh pemerintah. Namun di tingkat masyarakat pemberian ASI eksklusif masih belum dilakukan dengan berbagai faktor penyebab, di antaranya tenaga kesehatan yang tidak secara intens mewajibkan masyarakat untuk memberi anaknya ASI saja selama 6 (enam) bulan. Hasil-hasil penelitian menunjukkan tenaga kesehatan seperti bidan yang terbilang banyak menolong persalinan ibu masih cenderung tidak melakukan Inisiasi Menyusui Dini (IMD), bahkan menstimulasi ibu memberi anaknya susu formula di usia yang tidak direkomendasi, yakni di bawah 6 bulan. Alasan yang dikemukakan oleh bidan tidak melakukan Inisiasi Menyusui Dini (IMD) berkaitan dengan keterbatasan sumber daya dalam artian jumlah mereka yang biasanya hanya sendiri menolong persalinan, sedangkan pekerjaan Inisiasi Menyusui Dini (IMD) membutuhkan tenaga tambahan, serta waktu yang relatif lama dalam proses Inisiasi Menyusui

“Apalagi yang menyangkut imunisasi HB-0, sangat sulit untuk diterapkan sesuai dengan waktu pemberian yang dianjurkan, yakni 7 hari setelah anak dilahirkan. Bahkan ada orang tua yang sampai membawa parang karena tidak mau anaknya diimunisasi” Hal ini diungkapkan Kepala Bidang Pelayanan Kesehatan Kabupaten Tapanuli Tengah. Alasan tidak berkenannya orang tua mengimunisasi anaknya karena masih terlalu kecil untuk disuntik, takut kena penyakit, kulitnya masih terlalu tipis, tidak tega, dan lainnya. Akibatnya, pencapaian Universal Children Immunization (UCI) sulit untuk dicapai. Kabupaten Tapanuli Tengah hanya mencapai UCI sebesar 30-40%. Meski demikian, tenaga kesehatan tetap memotivasi masyarakat mengingat pentingnya imunisasi HB-0 untuk mengantisipasi anaknya dari keterpaparan dengan penyakit hati. Di Kabupaten Batubara, kunjungan ibu ke posyandu untuk mengimunisasi anaknya terbilang rendah. Keengganan ibu-ibu membawa anaknya ke posyandu karena khawatir anaknya demam jika diimunisasi.

113


Inovasi Vol. 12 No. 2, Juni 2015: 108 - 119

“Orang dulu tidak diimunisasi, sehat-sehat aja”

anaknya. Dijelaskan oleh bidan tersebut, bahwa jika ada orang tua yang tidak membawa anaknya ke Posyandu, mereka akan melakukan kunjungan ke rumah (sweeping) untuk menanyakan ketidakhadiran orang tua ke posyandu, seperti disampaikan bidan Asmiati.

Demikian disampaikan petugas bidan mengutip kalimat ibu-ibu tersebut. Anak baru lahir di wilayah ini bahkan biasa langsung diberi madu atau diberi makan pisang. Selain itu, ibu–ibu tersebut juga enggan untuk meninggalkan aktivitasnya dalam mencari kepah. Menurut bidan yang bertugas di Kabupaten Batubara, berkaitan dengan masalah yang dihadapi tentang imunisasi, diperlukan penyuluhan tentang imunisasi dengan sasaran suami. Hal ini disebabkan dukungan suami merupakan kunci boleh tidaknya anak dibawa ke posyandu untuk diimunisasi.

“Dalam kesempatan itu kami melakukan penyuluhan dan menganjurkan orang tua tersebut untuk memberikan imunisasi pada anaknya” Cakupan imunisasi di Kabupaten Serdang Bedagai mencapai 80% - 90% untuk setiap jenis imunisasi. Khusus untuk wilayah penelitian, jumlah bayi yang mendapat tiap jenis imunisasi, yakni DPT, HB, dan Campak tidak sama, yang menunjukkan setiap bayi tidak rutin dibawa oleh orangtuanya. Meskipun posyandu jumlahnya banyak, namun dari data cakupan desa/kelurahan UCI Kabupaten Serdang Bedagai tahun 2012, umumnya desa yang penduduknya mayoritas nelayan belum ada yang mencapai UCI. Dalam upaya meningkatkan kesehatan ibu dan anak yang notabene merupakan bagian dari tujuan MDGs (Millennium Development Goals), pemerintah dalam hal ini melalui Kementerian Kesehatan RI telah meluncurkan program BOK (Bantuan Operasional Kesehatan) pada tahun 2014. Program ini bertujuan untuk meningkatkan upaya kesehatan yang bersifat promotif dan preventif. Menurut keterangan dari para kepala puskesmas, sejauh ini penggunaan dana BOK telah mereka manfaatkan sesuai dengan petunjuk teknis penggunaannya. Namun diakui juga jika program ini masih belum banyak memberi efek terhadap perubahan perilaku masyarakat sesuai yang diharapkan. Seperti yang diungkapkan Kepala Puskesmas Teluk Nibung.

“Itu ada yang sampai berantam sama suaminya.Kalau diberi tetesan dibolehkan, tapi anaknya tak boleh diberi suntikan” Seperti diungkapkan bidan yang menjadi narasumber dalam Focus Group Discussion (FGD) seraya menambahkan adanya anggapan pada para suami kalau disuntik badan anaknya bisa cacat, “Nanti jadi kocik (kecil) sebelah” Seperti yang diungkapkan salah seorang responden. Namun di sisi lain ironisnya jika kegiatan posyandu dibarengi dengan pemberian makanan tambahan, para ibu pada datang ke posyandu. Apalagi ada jatah pemberian susu. Di wilayah ini ada 5 (lima) anak yang mengalami gizi buruk pada tahun 2014. Di Kecamatan Teluk Nibung Kota Tanjungbalai, animo masyarakat untuk mengimunisasi anaknya juga hampir sama dengan daerah penelitian lainnya, terbilang rendah. Di wilayah ini masyarakatnya bahkan ada yang mempertanyakan halal haramnya pemberian imunisasi. Di sisi lain, mereka juga tidak percaya terhadap imunisasi karena dapat membuat anak mereka demam. Pada umumnya keluarga di sini merupakan keluarga besar dengan anak minimal 4 (empat) orang, di mana hampir semua anaknya tidak pernah mendapatkan imunisasi. Pencapaian kegiatan imunisasi yang dilakukan puskesmas Di Kabupaten Serdang Bedagai melalui Posyandu relatif baik. Menurut bidan yang bekerja di wilayah Puskesmas Tanjung Beringin ~ wilayah yang penduduknya mayoritas bermata pencaharian nelayan ~ ibuibu di sana telah mulai mengerti dan mau mengimunisasi anaknya, meski masih ada juga orang tua yang tidak mau mengimunisasikan

“Apalagi orang Tanjung Balai ini yang dikenal gingging. Mereka susah mau menerima informasi yang kita berikan. Mereka tidak mau diajari dan diberikan nasehat atau penyuluhan, sehingga sangat sulit bagi tenaga kesehatan untuk masuk dalam lingkungan dan pola pikir mereka, terutama dalam memberikan penyuluhan masalah kesehatan. Bahkan masih ada di antara mereka yang mempertanyakan apakah imunisasi tersebut halal atau haram. Ada juga yang mengancam tenaga kesehatan karena melihat anaknya demam sehabis menerima imunisasi”

114


Pemenuhan Hak Kesehatan Anak di Wilayah Pesisir Sumatera Utara (Ida Yustina, Dumora Jenny Margaretha Siagian, Dwi Endah Purwanti)

“Mereka sudah tahu uang.Di sini cuci sampan saja bisa mendapat Rp 20 ribu dalam sehari”.

Hak anak untuk mendapatkan tempat bermain. Undang-Undang Kesehatan No. 36 Tahun 2009 Pasal 135 ayat 1 menyatakan bahwa pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat wajib menyediakan tempat dan sarana lain yang diperlukan untuk bermain anak yang memungkinkan anak tumbuh dan berkembang secara optimal serta mampu bersosialisasi secara sehat. Selanjutnya ayat 2 menyatakan bahwa tempat bermain dan sarana lain yang diperlukan sebagaimana dimaksud wajib dilengkapi sarana perlindungan terhadap risiko kesehatan agar tidak membahayakan kesehatan anak. Berdasarkan hasil penelitian di seluruh lokasi terpilih, tempat dan sarana yang dimaksud belum terpenuhi sebagaimana yang diamanatkan UU Kesehatan dalam kaitan memenuhi pengertian sehat yakni keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spiritual maupun sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis. Tempat bermain yang representatif, fasilitas olah raga untuk anak-anak seperti lapangan terbuka, termasuk taman bacaan tidak dijumpai di lokasi penelitian. Hal tersebut diutarakan oleh seluruh narasumber pada saat FGD dilakukan. Ketiadaan tempat dan sarana bermain ini tampaknya berkorelasi dengan fenomena yang ditemukan peneliti pada anak-anak nelayan di wilayah pesisir yang saat ini banyak melakukan aktivitas yang tidak produktif, bahkan dapat dikatakan destruktif. Wahana untuk menyalurkan kreativitas tidak ada, sementara di sisi lain ada pihak-pihak yang memanfaatkan situasi itu untuk mencari keuntungan pribadi tanpa peduli dengan masa depan anak-anak pesisir tersebut. Selain fenomena anak nelayan yang minatnya bersekolah rendah, anak-anak di wilayah pesisir saat ini telah banyak yang terpapar dengan narkotika. Anak-anak di wilayah pesisir cenderung enggan melanjutkan pendidikan formalnya ke jenjang yang lebih tinggi. Anak-anak itu umumnya telah meninggalkan formal pada jenjang Sekolah Dasar (SD). Salah satu sebab yang umum menjadi alasan mereka meninggalkan sekolahnya adalah kemudahan anak-anak tersebut mendapatkan uang dari aktivitas nelayan yang ada di sekeliling mereka seharihari, seperti yang disampaikan Kepala Puskesmas Tanjung Tiram yang menyatakan wilayahnya tergolong padat, menyebabkan sulitnya untuk membangun tempat bermain untuk anak.

Mudahnya anak-anak ini mendapatkan uang membawa efek yang kurang baik dalam kehidupan mereka terutama yang berkaitan dengan kesehatan. Sebagai contoh, anak-anak nelayan saat ini banyak yang melakukan aktivitas “ngelem”, kegiatan yang dilakukan dengan cara menghirup lem kambing untuk mendapatkan sensasi seperti layaknya orang menggunakan narkoba. Praktek ngelem yang dilakukan anak-anak biasanya dilakukan secara kolektif. Lem yang harganya berkisar Rp 5.000,- dimasukkan ke dalam plastik, kemudian dihirup secara bersama-sama. Selain ‘ngelem’, anak-anak SD juga sudah banyak yang merokok. Menyikapi kondisi ini, pihak-pihak terkait dalam hal ini dinilai perlu untuk membuat kebijakan dalam kaitan penjualan lem kambing. Kebijakan yang dimaksud misalnya dengan melarang penjualan lem kambing di tempat-tempat umum. Lem tersebut hanya boleh dijual di tempat-tempat yang mendapat izin untuk menjualnya, dan untuk mendapatkannya dibuat persyaratan. Semua peserta FGD sepakat bahwa tempat dan sarana bermain perlu untuk mendukung tumbuh kembang anak menjadi anak-anak yang sehat dan berpendidikan. Bahkan ada yang mengusulkan perlunya dibuat Madrasah yang diperuntukkan buat anak-anak sebagai sarana dalam memperdalam agama. Rendahnya perhatian pemerintah daerah dan masyarakat dalam hal pengadaan tempat dan sarana bermain telah membawa efek yang tidak baik dalam kehidupan anak dewasa ini. Salah seorang staf Puskesmas Tanjung Tiram Kabupaten Batubara mengungkapkan; “Saat ini warnet yang menyediakan game on line menjadi sasaran anak-anak menghabiskan waktunya, bahkan sampai tengah malam. Prihatin melihatnya, membayangkan bahwa mereka adalah penerus bangsa kita ini nantinya” . Hak anak untuk mendapatkan edukasi tentang kesehatan. UU Kesehatan Nomor 36 tahun 2009 Pasal 137 menyatakan bahwa pemerintah berkewajiban menjamin agar remaja dapat memperoleh edukasi, informasi dan layanan mengenai kesehatan remaja agar mampu hidup sehat dan bertanggung jawab. Dalam teori perubahan perilaku, edukasi merupakan salah satu strategi dalam upaya perubahan perilaku selain persuasi, paksaan, dan fasilitasi.

115


Inovasi Vol. 12 No. 2, Juni 2015: 108 - 119

Kegiatan yang bersifat edukatif terhadap anak dalam pelaksanaannya diselenggarakan puskesmas dalam program-program seperti Usaha Kesehatan Sekolah (UKS), program Pendidikan Kesehatan Reproduksi Remaja (PKRR). Menurut tenaga kesehatan yang terlibat dalam FGD yang dilakukan di setiap wilayah penelitian, isi program yang mereka edukasikan berkenaan dengan persoalan-persoalan kekinian yang berpotensi merusak masa depan anak seperti: narkoba, seks bebas, merokok, keluarga berencana, penyakit HIV/ AIDS dan persoalanpersoalan perilaku yang memberi efek terhadap kesehatan anak. Perhatian terhadap edukasi anak ini didukung oleh dana BOK yang berorientasi pada kegiatan promotif dan preventif. Kegiatan tersebut diharapkan dapat memiliki daya ungkit dalam pencapaian target MDG’s, terutama yang berkaitan dengan bidang kesehatan. Persoalan anak yang membutuhkan edukasi, cukup banyakn ditemukan dilokasi penelitian. Menurut salah seorang kepala puskesmas di Kabupaten Batubara, kurangnya informasi merupakan salah satu sebab alasan merebaknya perilaku-perilaku destruktif seperti anak ngelem, menggunakan narkoba jenis sabu sabu.

“Saya menilai informasi kepada anak-anak itu tidak berimbang. Mereka tidak tahu dampak dari penggunaan narkoba, tidak ada yang memberi informasi kepada mereka, ditambah mereka banyak yang tidak sekolah pula�. Informasi yang bersifat edukatif kepada anak diharapkan dapat menekan penggunaan narkoba pada anak-anak di daerah tersebut. Hak Anak untuk Mendapatkan Pelayanan Gizi. Pasal 142 UU Kesehatan Nomor 36 tahun 2009 menyatakan bahwa upaya perbaikan gizi dilakukan pada seluruh siklus kehidupan sejak dalam kandungan sampai dengan lanjut usia dengan prioritas kepada bayi dan balita. Dalam kaitan pelayanan gizi kepada anak, didukung oleh Bantuan Operasional Kesehatan (BOK) puskesmas menyelenggarakan kegiatan di antaranya pemantauan status gizi, pemberian makanan tambahan (PMT) pemulihan balita, dan pemberian vitamin A. Kegiatan yang berkaitan dengan pelayanan gizi ini umumnya dilakukan dengan memanfaatkan posyandu yang ada di wilayah kerja puskesmas. Selain itu puskesmas juga mengadakan sweeping ke rumah-rumah yang diidentifikasi memiliki anak balita. Menurut Dinas Kesehatan, Kota Tanjungbalai masih belum terlepas dari masalah gizi makro, khususnya balita dengan KEP (Kurang Energi Protein), dan masalah gizi mikro, terutama kurang vitamin A, Anemia gizi besi dan gangguan akibat kurang yodium. Balita yang mengalami KEP dapat diukur berdasarkan 3 pengukuran, yaitu: Tinggi Badan/Umur disebut Balita Pendek, Berat Badan/Tinggi Badan disebut juga Balita Kurus, dan Berat Badan/Umur disebut juga Kurang berat Badan. Pemberian vitamin A pada balita dan ibu nifas sangat perlu dilakukan, terutama untuk menghindari terjadinya kebutaan. Vitamin A merupakan salah satu zat mikro yang dibutuhkan tubuh dan berguna untuk meningkatkan daya tahan tubuh dan kesehatan mata. Melalui program Puskesmas, Vitamin A ini diberikan sekali dalam 6 bulan, yakni biasanya bulan Februari dan bulan Agustus. Ibu nifas hanya diberikan 1 (satu) kali saja. Hak Anak untuk Mendapatkan Kesehatan Lingkungan. Salah satu faktor yang ikut memberi pengaruh terhadap status kesehatan masyarakat adalah lingkungan. UU Nomor 36 tentang Kesehatan Pasal 163 ayat 1 mengatakan bahwa pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat menjamin ketersediaan lingkungan yang sehat dan tidak mempunyai risiko buruk bagi kesehatan.

“Maunya dibuat poster-poster dalam skala besar yang memuat informasi tentang bahaya narkoba�. Informasi dibutuhkan untuk membangun pengetahuan anak tentang efek dari penggunaan narkoba yang berkorelasi dengan kesehatan dan masa depan mereka. Namun disayangkan, kondisi tersebut dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab melalui aktivitas jual beli narkoba di wilayah itu dengan sasaran anakanak tersebut. Bahan-bahan narkoba itu dijual dalam kemasan kecil-kecil, sehingga harganya dapat dijangkau anak-anak dengan uang yang diperoleh mereka dari kerja serabutan dalam membantu nelayan. Mencermati fenomena dan kondisi anakanak yang sangat mudah mendapatkan dan menggunakan narkoba di lokasi penelitian, pemerintah, melalui Kepala Desa/Lurah lantas berinisiatif untuk mengundang pihak-pihak terkait yang dapat memberikan edukasi kepada anak-anak di wilayah kerjanya itu untuk memberikan informasi yang relevan dengan narkoba, terutama efek penggunaan narkoba bagi kesehatan, yang lebih luas lagi masa depan anak. Seperti yang disampaikan salah seorang Kepala Desa,

116


Pemenuhan Hak Kesehatan Anak di Wilayah Pesisir Sumatera Utara (Ida Yustina, Dumora Jenny Margaretha Siagian, Dwi Endah Purwanti)

Jika melihat kondisi lapangan di semua lokasi penelitian, hak anak yang berada di wilayah pesisir untuk mendapatkan kesehatan lingkungan sebagaimana yang dimaksudkan sesuai UU Kesehatan masih jauh dari yang diharapkan. Kondisi yang menyangkut limbah cair, limbah padat, terlebih sampah sangat buruk. Fenomena Mandi Cuci Kakus (MCK) di daerah pesisir umumnya juga sangat memprihatinkan. Laut masih menjadi tempat masyarakat untuk membuang semuanya, termasuk MCK. Pada wilayah kerja Puskesmas Tanjung Nibung Kota Tanjungbalai, masalah kesehatan lingkungan memang cukup mengkhawatirkan. Selain perilaku masyarakat yang tidak mendukung kebersihan lingkungan, di wilayah ini terdapat banyak pabrik–pabrik yang menghasilkan limbah ke Sungai Asahan. Menurut Kepala Puskesmas Teluk Nibung, masalah kebersihan dan kesehatan lingkungan di wilayahnya memerlukan campur tangan tokoh masyarakat dan tokoh agama. Masyarakat Kota Tanjungbalai, khususnya di Teluk Nibung lebih mau mendengarkan tokoh agama dan tokoh masyarakatnya, daripada tenaga kesehatan, sehingga perlu ada kerjasama antara pemerintah, dinas kesehatan, puskesmas dan tokoh masyarakat/agama di Kota Tanjungbalai dalam mewujudkan masyarakat yang peduli akan kesehatan dan kebersihan lingkungannya. Perhatian pemerintah daerah melalui puskesmas untuk mengelola kesehatan lingkungan dalam rangka memenuhi kebutuhan anak mendapatkan lingkungan yang sehat belum intensif sebagaimana layaknya programprogram lainnya, seperti imunisasi, ASI eksklusif, dan program peningkatan gizi anak. Program yang berkaitan dengan aspek ini kurang diperhatikan meski merupakan salah satu program wajib puskesmas; buruknya kesehatan lingkungan di wilayah pesisir seolaholah merupakan ciri yang melekat pada penduduknya. Akibatnya warga wilayah pesisir tetap mengeksploitasi laut untuk menjadikannya sebagai tempat pembuangan sampah. Seperti disampaikan Kepala Puskesmas Teluk Nibung.

Seyogianya hal ini dapat dibersihkan jika pihakpihak terkait di wilayah itu intens menstimulasi warga untuk melakukan gotong royong membersihkannya, dan mengajak warga secara terus menerus untuk tidak membuang sampah lagi ke laut. Tentu saja pemerintah daerah harus membangun sarana pembuangan sampah yang baik sebagai konsekwensi dari tidak dibenarkannya masyarakat membuang sampah ke laut. Dalam konteks anak mendapatkan kualitas udara yang baik, hal ini juga masih belum diperhatikan oleh pihak-pihak terkait, termasuk masyarakat. Keluarga sebagai unit terkecil dari masyarakat diharapkan memenuhi hak anak untuk mendapatkan kualitas udara dimaksud dengan mempraktekkan tidak merokok di rumah misalnya. Namun dari hasil penelitian di Kabupaten Serdang Bedagai, masih banyak didapati orangtua yang bebas merokok dalam rumah, meski ada bayi dan anak–anak juga tinggal di rumah tersebut. Tidak merokok merupakan salah satu program Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) yang diharapkan dipraktekkan dalam tatanan keluarga. UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan bahkan telah menetapkan tempat-tempat yang dilarang untuk merokok yang disebut Kawasan Tanpa Rokok (KTR), yaitu: a) fasilitas pelayanan kesehatan; b) tempat proses belajar mengajar; c) tempat anak bermain; d) tempat ibadah; e) angkutan umum; f) tempat kerja; dan, g) tempat umum dan tempat lain yang ditetapkan. Sesuai amanat UU tersebut, masing-masing daerah kabupaten/kota diperintahkan untuk membuat Perda KTR di masing-masing daerahnya. Dari enam kabupaten/kota daerah penelitian, yang telah memiliki Perda dimaksud adalah Kota Medan dan Kabupaten Serdang Bedagai. Namun sayangnya, dari kondisi yang terlihat di lapangan implementasi dari KTR tersebut belum terlihat secara signifikan. Hambatan Pemenuhan Hak Kesehatan Anak. Berdasarkan hasil penelitian di lapangan, dapat diidentifikasi hambatan-hambatan yang dialami dalam pemenuhan hak kesehatan anak di wilayah pesisir seperti: 1. Masyarakat masih banyak yang tidak mau mengimunisasi anaknya secara suka rela, disebabkan adanya persepsi yang keliru tentang imunisasi. Persepsi masyarakat tersebut dipengaruhi oleh informasi yang berkembang tentang efek dari imunisasi yang dapat menimbulkan berbagai ekses, seperti: demam, kakinya bisa cacat, bahkan termasuk membangun opini bahwa imunisasi merupakan tindakan haram.

“Kalau kita buat kegiatan gotong royong untuk membersihkan lingkungan yang mereka tinggali, mereka menonton kita tanpa mau ikut berpartisipasi� . Kecamatan Tanjung Tiram Kabupaten Batubara merupakan wilayah yang tergolong kumuh dengan kondisi padat dan tidak difasilitasi MCK dengan baik. Di wilayah ini ketika air surut, kolong rumah penduduknya dipenuhi dengan lautan sampah plastik.

117


Inovasi Vol. 12 No. 2, Juni 2015: 108 - 119

2.

3.

4.

5.

6.

Pemberian ASI eksklusif juga masih menghadapi hambatan dalam masyarakat sehubungan dengan adanya kebiasaan masyarakat memberi makan anak dalam usia dini (< 6 bulan). Kebiasaan tersebut berdasarkan keyakinan bahwa pemberian makanan pada usia sangat dini akan membawa keberuntungan bagi masa depan si anak. Kebiasaan memberi makanan secara dini juga dilakukan karena adanya asumsi bahwa tangisan anak terkait dengan laparnya anak, serta ASI atau susu yang diberikan dinilai tidak cukup untuk membuat anak kenyang. Posyandu sebagai Usaha Kesehatan Berbasis Masyarakat (UKBM) untuk memberi pelayanan kesehatan kepada anak cenderung tidak direspons secara positif oleh masyarakat mengingat kegiatannya yang dinilai monoton. Contoh kegiatan yang dimaksud adalah penimbangan anak. Bagi ibu-ibu yang memiliki anak balita, kegiatan dalam posyandu dinilai tidak menarik, apalagi untuk itu mereka harus meninggalkan pekerjaannya yang menghasilkan uang. Pemerintah dan masyarakat di masingmasing daerah belum memenuhi tempat bermain bagi anak yang memadai, sehingga hak anak untuk mendapatkan tempat bermain yang layak belum terpenuhi. Dalam hal ini hambatannya adalah ketersediaan tempat bermain belum difasilitasi oleh pemerintah daerah dan masyarakat. Hak anak untuk mendapatkan edukasi kesehatan telah dipenuhi oleh puskesmas sebagai pelayanan kesehatan di tingkat primer, terlebih dengan adanya Bantuan Operasional Kesehatan (BOK) yang memang berorientasi pada kegiatan-kegiatan yang bersifat promotif dan preventif. Namun skala kegiatan perlu ditingkatkan baik dalam hal frekuensi, kualitas, termasuk materi/content yang berkaitan dengan masalah-masalah kesehatan anak yang sangat membutuhkan intervensi informasi yang banyak, seperti: narkoba, merokok, kesehatan reproduksi, keluarga berencana, dan lainnya. Hak anak untuk mendapatkan kesehatan lingkungan masih belum dipenuhi puskesmas dan masyarakat sesuai standar kesehatan lingkungan yang ada. Hambatan yang ditemukan berkaitan dengan perilaku masyarakat, khususnya attitude masyarakat pesisir dalam mendukung kebersihan lingkungan permukiman mereka yang tergolong rendah.

KESIMPULAN Berdasarkan penjelasan hasil penelitian, maka dapat disimpulkan bahwa hak-hak anak dalam bidang kesehatan di wilayah pesisir Provinsi Sumatera Utara yang telah dipenuhi dengan relatif baik melalui program-program kesehatan yang dilaksanakan oleh puskesmas adalah: hak anak untuk ditolong penolong persalinan di fasilitas pelayanan kesehatan, hak untuk diberikan imunisasi, hak untuk mendapatkan pelayanan gizi, dan hak untuk mendapatkan edukasi tentang kesehatan. Sedangkan hak-hak anak yang belum mendapatkan pemenuhan dengan baik adalah: hak untuk mendapatkan ASI eksklusif, hak untuk mendapatkan tempat bermain, dan hak untuk mendapatkan kesehatan lingkungan. Beberapa hambatan yang didapat dalam pemenuhan hak-hak anak tersebut adalah: a) persepsi masyarakat yang masih belum baik terutama dalam hal ASI eksklusif dan imunisasi; b) kebiasaan masyarakat yang diwariskan secara turun temurun terutama menyangkut pemberian makanan pada anak di usia dini; c) pemerintah dan masyarakat yang belum membangun sarana bermain anak yang layak; d) perilaku buruk masyarakat pesisir dalam memperlakukan lingkungannya; dan, e) kemiskinan sumber daya manusia masyarakat pesisir meliputi: kemiskinan ekonomi, pendidikan, yang memberi kontribusi terhadap perilakunya. REKOMENDASI 1. Mengingat Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan menyatakan bahwa anak memiliki hak untuk diberi ASI, imunisasi, pelayanan gizi, kesehatan lingkungan, tempat bermain, dan hak untuk mendapatkan edukasi kesehatan, maka pemerintah daerah harus melaksanakan ketentuan dimaksud dengan menyediakan sarana dan prasarana untuk terpenuhinya hak-hak anak tersebut. 2. Puskesmas sebagai pelaksana pelayanan kesehatan primer melalui tenaga kesehatannya perlu untuk membuat terobosan-terobosan dalam cara kerjanya melakukan pendekatan kepada masyarakat, mengingat hasil penelitian ini menemukan masih sulitnya mengajak masyarakat pesisir untuk melakukan hal-hal yang positif seperti memelihara kesehatan lingkungan, imunisasi, dan memberikan ASI Eksklusif pada anak-anak mereka. 3. Usaha Kesehatan Berbasis Masyarakat (UKBM) seperti Posyandu dan Polindes perlu distimulasi lagi agar ibu-ibu balita termotivasi untuk membawa anak-anaknya

118


Pemenuhan Hak Kesehatan Anak di Wilayah Pesisir Sumatera Utara (Ida Yustina, Dumora Jenny Margaretha Siagian, Dwi Endah Purwanti)

ke Posyandu melalui program-program yang inovatif dan disesuaikan dengan kondisi budaya masyarakatnya. DAFTAR PUSTAKA Badan Penelitian dan Pengembangan Provinsi Sumatera Utara. 2012. Laporan Penelitian: Kajian Perspektif dan Aspirasi Keluarga Nelayan Terhadap Kesejahteraan Sosial di Sumatera Utara. Medan: Balitbang Provsu. Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas). 2010. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas). 2013. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia Ibid. dan J. Asher. 2004. The right to health : A resource manual for NGOs. Amersfoort, The Netherlands: Printing B.V. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 128/MENKES/SK/II/2004 tentang Kebijakan Dasar Pusat Kesehatan Masyarakat. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 741/Menkes/PER/VII/2008 tentang Standar Pelayanan Minimal Bidang Kesehatan di Kabupaten/Kota. Peraturan Pemerintah Nomor 33 tahun 2012 tentang Inisiasi Menyusui Dini. Undang – Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Undang – Undang Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Convenant on Economic, Social, and Cultural Right. Undang – Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. United Nations Economic and Social Council. Committee on Economic.Social and Cultural Rights. 2000. Substantive Issues Arising in the Implementation of the International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights. General Comment No. 14 : The Rights to the Highest Attainable Standard of Health (article 12 of the International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights). United Nations. Geneva. World Health Organization. 2002. Question and Answer on Health and Human Rights. Health and Human Rights. Publication Series, issue No. 1.

119


Inovasi Vol. 12 No. 2, Juni 2015: 120 - 128

Hasil Penelitian FAKTOR INTERNAL DAN STRATEGI KEBIJAKAN UNTUK PENGEMBANGAN PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI STUDI KASUS : TAMAN NASIONAL BATANG GADIS (THE INTERNAL FACTORS AND POLICY STRATEGIES FOR DEVELOPMENT OF MANAGEMENT IN CONSERVATION AREA CASE STUDY: BATANG GADIS NATIONAL PARK) Wanda Kuswanda Balai Penelitian Kehutanan Aek Nauli Jl. Raya Sibaganding Km. 10,5 Parapat Sumatera Utara 21174 Email: wkuswan@yahoo.com Diterima: 2 Maret 2015; Direvisi: 9 April 2015; Disetujui: 4 Mei 2015

ABSTRAK Pengelolaan secara lestari pada kawasan konservasi di Sumatera Utara belum optimal. Penelitian ini bertujuan mendapatkan informasi dan prioritas faktor internal (kekuatan dan kelemahan) dan strateginya dalam optimalisasi pengelolaan kawasan konservasi menurut berbagai stakeholder terkait di Sumatera Utara, khususnya untuk Taman Nasional Batang Gadis (TNBG). Hasil penelitian ini diharapkan dapat menyediakan bahan rumusan kebijakan dalam pengelolaan kawasan konservasi dan kawasan hutan lainnya di Sumatera Utara. Penelitian dilakukan pada berbagai kantor pemerintah terkait, lembaga swadaya masyarakat dan lembaga masyarakat di desa penyangga. Waktu penelitian dilaksanakan mulai tahun 2013 sampai dengan 2014. Penelitian ini merupakan penelitian survei dengan metode pengumpulan data melalui penyebaran kuisioner kepada 25 responden dan wawancara (Focus Group Discussion) kepada anggota masyarakat, pemuka adat/agama, dan kepala dusun/desa. Analisis data untuk mengindentifikasi faktor internal menggunakan teknik SWOT. Selanjutnya, untuk menentukan prioritas faktor kekuatan, kelemahan dan strateginya diolah dengan menggunakan sistem AHP. Hasil penelitian menunjukan bahwa faktor kekuatan yang perlu dikembangkan dalam pengelolaan kawasan konservasi berdasarkan prioritasnya, seperti di TNBG, adalah tersedianya rencana pengelolaan zonasi dan sarana prasarana, kondisi ekosistem dan kerapatan vegetasi yang relatif utuh/tinggi, potensi keragaman satwaliar langka dan dilindungi serta jasa lingkungan dan potensi ekowisata. Faktor kelemahan yang perlu segera diselesaikan adalah pemantapan kawasan dan zonasi (inti, rimba dan zona lainnya) yang belum jelas, pendanaan yang masih minim dan rendahnya tingkat perekonomian dan peran serta masyarakat. Strategi yang direkomendasikan untuk mengoptimalkan faktor kekuatan adalah penguatan kelembagaan dan sumberdaya manusia (SDM), menjaga keutuhan ekosistem hutan beserta satwaliarnya di setiap zonasi dan mengembangkan pemanfaatan potensi kawasan bersama masyarakat secara berkelanjutan. Strategi untuk meminimalisasi faktor kelemahan adalah peningkatan program pemberdayaan masyarakat penyangga dalam pengelolaan zona pemanfaatan, mengembangkan alternatif pendanaan melalui optimalisasi manfaat jasa lingkungan dan ekowisata, pengembangan tata batas dan pemantapan kawasan setiap zonasi dan peningkatan kerjasama penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan dengan stakeholder di daerah maupun skala nasional. Rekomendasi kebijakan bagi instansi daerah, seperti Pemerintah Propinsi Sumatera Utara, Pemerintah Kabupaten Mandailing Natal dan Balai Taman Nasional Batang Gadis, yang perlu segera dilakukan adalah meningkatkan keterampilan dan mendorong masyarakat untuk berperan serta dalam kegiatan perlindungan dan pengamanan hutan secara mandiri, mengatur pemanfaatan hasil hutan bukan kayu, mengembangkan pasar ekowisata, mengurangi konflik lahan dan membangun pola kemintraan bersama masyarakat desa hutan. Kata kunci : konservasi, kekuatan, kelemahan, strategi, Taman Nasional Batang Gadis

ABSTRACT The sustainable management on conservation areas at North Sumatra has not optimized. This

120


Faktor Internal dan Strategi Kebijakan Untuk Pengembangan Pengelolaan Kawasan Konservasi Studi Kasus: Taman Nasional Batang Gadis (Wanda Kuswanda) research aims to get information and internal factors (strength and weakness) priority as well as a strategy for optimizing the management of protected areas according the stakeholders in North Sumatra, especially to Batang Gadis National Park (BGNP). The results of this study are expected to provide materials policy formulation in the management of conservation areas and other forest areas in North Sumatra. The study was conducted BGNP office, Forestry and Plantation District in Mandailing Natal Regency, non-governmental organizations (NGO) and rural communities institution, from 2013 until 2014 years. This study is a survey with primary data collecting based on questionnaires for 25 respondent and interviews (Focus Group Discussion). The respondents are community members, traditional leaders/religious, and the head of the hamlet/village. Data analysis to identification internal factors using SWOT. Furthermore, the priority factors of strength, weakness and strategy were processed by using the AHP. The results showed that the strength factors to developed management conservation areas based on it’s priorities, such as in TNBG, that are the availability a management plan for zoning and infrastructure, ecosystems type and vegetation density were high, the diversity of endangered and protected wildlife as well as environmental services and ecotourism. Factors weakness that needs be resolved are the stabilization of area and zoning (core, sanctuary and other zones) that unclear, funding is minimal and low level of economic and community participation. Recommended strategies are: a) strategies for optimizing the power factor are the institutional strengthening and human resources development, preserving the integrity of forest ecosystems along its wildlife in each zoning as well as the developing utilization area with the community is sustainably; and, b) strategies to minimize weakness factor based priority is the enhancement community empowerment program in utilization zone, to develop funding alternative with optimization of the environmental services and ecotourism benefits, the development boundary and area stabilization in each zoning as well as the cooperation improvement of research and science with stakeholders in the region and national levels. The recommended policy for local government is to improve skills and encourage people to participate in the forest protection activities as independent, regulate the use of no timber forest products, developing ecotourism market, reduce on land conflicts as well as the establish a partnerships pattern with the community forest village. Keywords: conservation, strength, weakness, strategy, Batang Gadis National Park

zonasi yaitu, zona inti, zona pemanfaatan dan zona lainnya (Departemen Kehutanan, 2006). Secara legalitas, Kawasan TNBG ditunjuk berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan No.126/Menhut-II/2004 tentang Perubahan Fungsi dan Penunjukan Hutan Lindung, Hutan Produksi Terbatas dan Hutan Produksi Tetap di Kabupaten Madina Provinsi Sumatera Utara seluas ±108.000 Ha. Selanjutnya, peruntukan kawasan TNBG mengalami perubahan (pengurangan luas kawasan) dengan dikeluarkannya SK. Menhut No. 121/MenhutII/2012 yang semula 108.000 ha menjadi sekitar 72.150 Ha (Departemen Kehutanan, 2012). Adanya perubahan tersebut tentunya menimbulkan konsekuensi perlu disusun reevaluasi rencana pengelolaan yang lebih sesuai dengan kondisi dan peruntukan kawasan saat ini. Pengembangan rencana pengelolaan TNBG tentunya harus mampu sinergi berbagai aspek, mulai dari kondisi bio-fisik, sosial, ekonomi serta interaksi lingkungan lainnya pada lingkup internal maupun eksternal. Berdasarkan hasil wawancara dengan Kepala Balai TNBG (2012), informasi untuk mendukung rencana pengelolaan TNBG yang sangat dibutuhkan dan masih kurang adalah mengidentifikasi berbagai faktor yang berpengaruh secara internal maupun lingkungan eksternal , terutama setelah adanya perubahan kawasan dengan terbitnya SK. Menhut No. 121/Menhut-II/2012. Hal ini

PENDAHULUAN Hutan konservasi atau sering disebut sebagai kawasan konservasi adalah kawasan hutan dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya. Penetapan hutan konservasi bertujuan untuk mengelola sumberdaya alam hayati secara bijaksana untuk menjamin kesinambungan persediannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas keanekaragaman dan nilainya (Departemen Kehutanan, 1999 dan Departemen Kehutanan, 1990). Luas kawasan konservasi di Sumatera Utara adalah sekitar lebih dari 427.008,00 Ha dari seluruh luas kawasan hutan di Provinsi Utara seluas lebih dari 3.055.795 Ha (Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 579/Menhut – II/2014 sebagai pengganti Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 44/Menhut–II/2005, Departemen Kehutanan, 2014). Kawasan konservasi di Sumatera Utara yang statusnya sebagai taman nasional salah satunya adalah Taman Nasional Batang Gadis (TNBG). Kawasan taman nasional adalah kawasan pelestarian alam yang memiliki ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata dan rekreasi (Departemen Kehutanan, 1990). Sistem zonasi pada taman nasional paling sedikit dibentuk tiga sistem

121


Inovasi Vol. 12 No. 2, Juni 2015: 120 - 128

untuk mengotimalkan pelestaraian dan pemanfaatan potensi TNBG sebagai kawasan konservasi yang cukup luas di Sumatera Utara. Untuk itu, penelitian ini bertujuan mendapatkan: 1) informasi faktor internal (kekuatan dan kelemahan); dan, 2) prioritas strateginya dalam optimalisasi pengelolaan kawasan konservasi menurut berbagai stakeholder terkait di Sumatera Utara, khususnya untuk Taman Nasional Batang Gadis. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menyediakan bahan rumusan kebijakan dalam pengelolaan taman nasional dan kawasan konservasi pada umumnya di Sumatera Utara.

search sampling terhadap pegawainya yang merupakan informan kunci yang secara kelembagaan dan tupoksi (tugas dan kewenangan) memahami tentang kondisi dan pengelolaan kawasan konservasi, khususnya TNBG. Penentuan jumlah responden pada lembaga contoh menggunakan pendekatan metode purposive random sampling sebanyak 5-10 responden pada setiap lembaga (Saaty, 1993) yang dianggap sebagai informan kunci di setiap lembaga. Responden pada lembaga masyarakat desa meliputi anggota masyarakat, pemuka adat/agama, dan kepala dusun/desa. Responden terpilih dipandu untuk memberikan penilaian (preferensi opini) terhadap isian kuisioner faktor internal yang terkait dalam pengelolaan TNBG. Skala penilaian yang diajukan kepada responden dalam kuisioner meliputi angka 1 (nilai rendah), angka 2 (sedang), angka 3 (tinggi) dan angka 4 (sangat tinggi) merujuk Kurtila, dkk (2000). Wawancara mendalam dilakukan pula untuk mengetahui pengetahuan dan pengalaman responden terkait dengan isian kuisioner. Selanjutnya, identifikasi faktor internal dilakukan dengan merangking bobot penilaian berdasarkan penilaian responden yang mana faktor yang memiliki nilai sama dan di atas median atau rata-rata dari sebaran distribusi probabilitasnya (≼ 2) disebut dengan ‘kekuatan’ dan di bawah nilai rata-rata merupakan Faktor kelemahan (Kurtila, dkk, 2000).

METODE PENELITIAN Penelitian dilakukan pada Kantor Balai TNBG, Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kab. Mandailing Natal, lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan lembaga masyarakat desa penyangga di Kabupaten Mandailing Natal dan Badan Litbang Kehutanan di Bogor. Penelitian dilakukan secara berkesinambungan/time series selama 2 (dua) tahun, yaitu untuk mengetahui faktor kekuatan dan stratengi pengembangannya dilakukan pada tahun 2013 dan faktor kelemahan pada tahun 2014. Penelitian ini merupakan menggunakan pendekatan survai dengan pengumpulan data primer melalui penyebaran kuisioner kepada 25 (dua puluh lima) responden dan wawancara (Focus Group Discussion). Pemilihan lembaga/instansi yang dijadikan contoh penelitian dan respondennya ditentukan secara

Tabel 1. Skala Komparasi Proses Hirarki Analisis/PHA Skala 1 3

Definisi Kedua elemen sama pentingnya (equal importance of both elements) Elemen yang satu sedikit lebih penting ketimbang lainnya (moderate importance of one element over another) 5 Elemen yang satu esensial atau sangat penting ketimbang lainnya (strong importance of one element over another) 7 Satu elemen jelas lebih penting dari elemen lainnya (very strong importance of one element over another) 9 Satu elemen mutlak lebih penting dari elemen lainnya (extreme importance of one element over another) 2,4,6,8 Kompromi antara dua nilai yang berdekatan (intermediate value between two adjacent judgments) 1/(1/9) Kebalikan nilai tingkat kepentingan setiap elemen (inverting or intensity of less importance of both elements) Sumber: Saaty (1993) Setelah diketahui faktor kekuatan dan kelemahan maka disusun kuisioner AHP (Analytic Hierarchy Process) untuk menentukan faktor yang paling prioritas sehingga menjadi bahan rekomendasi untuk penyusunan kebijakan dalam mengoptimalisasikan pengelolaan TNBG secara efektif dan efisien

(Saaty, 1993; Kangas, dkk, 2008). Nilai prioritas yang digunakan dalam kuisioner seperti pada Tabel 1. Analisis data kuisioner untuk mengindentifikasi faktor internal menggunakan teknik analisis SWOT (Strengths, Weaknesses, Opportunities and Threats) (Dess and Miller,

122


Faktor Internal dan Strategi Kebijakan Untuk Pengembangan Pengelolaan Kawasan Konservasi Studi Kasus: Taman Nasional Batang Gadis (Wanda Kuswanda)

mengembangkan pengelolaan zonasi kawasan konservasi, khususnya di TNBG secara optimal.

1993; Wheelen and Hunger, 1995; Kurtilla, dkk, 2000; www. elearning.amikom.ac.id, 2012). Selanjutnya untuk menentukan prioritas faktor kekuatan, kelemahan dan strateginya diolah dengan menggunakan sistem AHP (Analytic Hierarchy Process) merujuk Saaty (1993) dan Kurtilla, dkk (2000). AHP dapat digunakan untuk menganalisa data secara kuantitatif khususnya untuk data dengan skala ordinal/perbandingan (Kangas, dkk, 2008). Penghitungan matrik (vektor dan akar ciri matrik) menggunakan komputer dalam paket program expert choice versi 10,0 dan MS Excel 2007. Hasil perhitungan bobot/nilai tersebut (paling besar) selanjutnya digunakan untuk menentukan faktor kekuatan, kelemahan dan strategi yang paling prioritas/tepat untuk

HASIL PENELITIAN Hasil penilaian semua responden (25 responden penelitian) dari lima lembaga, yang meliputi Balai TN. Batang Gadis, Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kab. Mandailing Natal, Badan Litbang Kehutanan, Kementerian Kehutanan, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM Conservation International Indonesia dan Sumatera Rainforest Institute (SRI) dan Lembaga Masyarakat Desa di Desa Sibanggor Julu, Desa Muara Bangko dan Desa Pastap Julu dalam menentukan faktor kekuatan dan prioritasnya disajikan pada Tabel 2. Hasil penilaian semua responden (25 responden penelitian) menentukan faktor kelemahan dan prioritasnya disajikan pada Tabel 3.

Tabel 2. Faktor kekuatan dan strategi prioritas pengembangannya menurut berbagai kelembagaan No 1

Faktor Kekuatan Adanya legalitas, rencana zonasi dan sanpras 2 Kondisi ekosistem dan vegetasi yang relatif utuh 3 Potensi keragaman jenis satwaliar langka dan dilindungi di setiap zonasi 4 Potensi IPTEK, jasling, dan ekowisata yang tinggi Sumber : Data Penelitian (2013)

Bobot/nilai 0,403 0,271 0,209 0,117

Strategi Penguatan kelembagaan dan sumberdaya manusia Pemanfaatan potensi TNBG bersama masyarakat Menjaga keutuhan hutan beserta satwaliarnya Pemanfaatan potensi TNBG bersama masyarakat

Bobot/nilai 0,618 0,349 0,459 0,366

Tabel 3. Faktor kelemahan dan strategi prioritasnya menurut berbagai kelembagaan No 1

2

3

4

Faktor Kelemahan Pemantapan kawasan dan zonasi (inti, rimba dan lainnya) TNBG yang belum jelas. Pelaksanaan pengelolaan dan pendanaan yang masih minim Tingkat perekonomian dan peranserta masyarakat masih rendah

Tata kelola hasil hutan bukan kayu (HHBK) dan pengelolaan lahan belum optimal

Bobot/nilai 0,420

Strategi Pengembangan tata batas dan pemantapan area setiap zonasi TNBG Mengembangkan alternatif pendanaan melalui optimalisasi manfaat jasa lingkungan dan ekowisata Peningkatan program pemberdayaan masyarakat penyangga dalam pengelolaan zona pemanfaatan Peningkatan program pemberdayaan masyarakat penyangga dalam pengelolaan zona pemanfaatan

0,268

0,159

0,152

Sumber : Data primer (2014)

123

Bobot/nilai 0,448

0,283

0,310

0,301


Inovasi Vol. 12 No. 2, Juni 2015: 120 - 128

Berdasarkan hasil analisis SWOT kemudian dikelompokkan berbagai faktor kekuatan untuk mendukung pengelolaan TNBG (Tabel 2) yaitu sebagai berikut : 1. Adanya legalitas, rencana pengelolaan zonasi dan sanpras Legalitas kawasan secara hukum merupakan salah satu faktor yang penting agar pengelolaan kawasan konservasi, seperti TNBG berjalan secara efektif. Secara legalitas, peruntukan kawasan TNBG telah mengalami perubahan terutama adanya pengurangan kawasan sesuai SK. Menhut No. 121/MenhutII/2012 yang semula 108.000 ha menjadi sekitar 72.150 ha (Departemen Kehutanan, 2012). Perubahan tersebut karena sebagaian wilayah TNBG, terutama di Seksi Pengelolaan I (Siabu) berubah peruntukan menjadi area pertambangan PT. Sorikmas Mining (PTSM).

merupakan faktor kekuatan untuk mengembangkan kawasan konservasi. Satwaliar langka telah menjadi perhatian dunia sehingga dapat menjadi peluang untuk mendapatkan bantuan/hibah dana. 4. Potensi IPTEK, jasa lingkungan dan ekowisata yang tinggi Keragaman jenis tumbuhan dan keberadaan satwa adalah sumber pengetahuan yang menurut responden merupakan potensi kekuatan TNBG yang harus dikembangkan sehingga bernilai guna bagi masyarakan umum. Begitu juga nilai jasa lingkungannya yang secara ekonomi sangat tinggi dan mencapai Rp. 630.844.459.565,06 per tahun (Kuswanda, dkk, 2010). Saat ini, pasar pemanfaatan jasa lingkungan sudah mulai berkembang dan kondisi ini harus dimanfaatkan oleh pemerintah untuk menjadi sumber pendapatan Negara bukan pajak (PNBP). Pengembangan ekowisata di TNBG juga memiliki prospek yang baik dengan menjual keindahan ekosistem, satwaliar dan keragaman tumbuhan yang tentunya sangat menarik bagi masyarakat internasional. Fenomena alam yang sangat berkualitas dan kelangkaan atraksi satwaliar merupakan potensi yang menarik untuk obyek ekowisata (Fandeli, 2002). Saat ini, kondisi dan atraksi alam yang masih alami, indah dan langka sering menjadi tujuan utama ekoturis/wisatawan ekowisata. Menurut responden pada lembaga masyarakat menyebutkan bahwa masyarakat sekitar TNBG akan mendukung upaya pengembangan ekowisata dengan catatan masyarakat dilibatkan dan diajak kerjasama dalam pengembangannya.

2. Kondisi ekosistem dan kerapatan vegetasi yang relatif utuh Kondisi kawasan TNBG yang merupakan perwakilan ekosistem di Sumatera Utara yang lengkap, mulai dari ekosistem dataran rendah sampai pegunungan dan merupakan koridor keanekaragaman hayati di Sumatera Bagian Utara menurut responden merupakan faktor kekuatan untuk mendukung pengembangan pengelolaan TNBG. Kerapatan dan keragaman jenis tumbuhan di TNBG, terutama di zona inti dan zona rimba, yang masih tinggi menurut responden dapat menjadi nilai jual yang tinggi karena diduga memiliki nilai kandungan nilai ekonomi lingkungan yang besar, seperti sebagai penghasil oksigen (cadangan karbon) dan sumber air. Hasil penelitian Kuswanda, dkk (2012) diperoleh informasi bahwa kerapatan pohon pada zona inti sebesar 477,5 pohon/ha dengan nilai kerejaman jenis tumbuhan di atas 3 (ekosistem yang stabil).

Hasil analisis AHP menunjukan bahwa setiap lembaga masih memiliki penilaian yang berbeda-beda terhadap faktor prioritas kekuatan yang harus dikembangkan dalam pengelolaan TNBG. Menurut Pegawai Balai TNBG, kekuatan yang paling prioritas adalah perlunya legalitas, rencana penyusunan zonasi dan pengembangan sarana dan prasarana pendukung, dengan nilai 0,421, yang artinya bahwa 42,1 % hal tersebut dinilai responden dari Balai TNBT sebagai kekuatan untuk pengembangan zonasi di TNBG. Sedangkan penilaian responden dari LSM menyebutkan bahwa yang menjadi faktor kekuatan paling utama adalah masih ditemukannya satwa langka dan dilindungi (bobot = 0,403). Menurut responden LSM keberadaan satwa langka yang tersebar di kawasan konservasi TNBG adalah satu kekuatan untuk mendapat dukungan dunia internasional dalam pengembangan pengelolaan.

3. Potensi keragaman satwaliar langka dan dilindungi di setiap zonasi Kawasan konservasi TNBG merupakan habitat bagi berbagai jenis satwaliar langka khas Sumatera dan memiliki nilai penting konservasi global. Jenis mamalia di TNBG telah ditemukan sekitar 47 jenis, diantaranya harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae), kambing hutan (Naemorhedus sumatrensis), tapir (Tapirus indicus), beruang madu (Helarctos malayanus) dan sedikitnya lima jenis primata yang dilindungi. Menurut Kuswanda (2009), tidak kurang dari 140 jenis burung terindentifikasi di kawasan TNBG dan sebagaian merupakan jenis langka dan dilindungi, seperti rangkong gading (Buceros vigil Forster). Menurut responden keberadaan satwaliar langka sangat penting dan

124


Faktor Internal dan Strategi Kebijakan Untuk Pengembangan Pengelolaan Kawasan Konservasi Studi Kasus: Taman Nasional Batang Gadis (Wanda Kuswanda)

Hasil analisis dari semua penilaian responden dapat disimpulkan, seperti pada Tabel 2. Terlihat bahwa adanya legalitas, rencana zonasi dan sarana prasarana merupakan faktor prioritas kekuatan yang harus terus dikembangkan untuk pengelolaan TNBG (bobot = 0,403) dan mempertahankan kondisi ekosistem agar satwaliar yang dilindungi terap lestari. Penilaian responden yang paling rendah adalah penilaian terhadap IPTEK, potensi jasa lingkungan dan ekowisata. Penilaian rendah terhadap potensi tersebut sangat wajar karena masih rendahnya hasil IPTEK dan pengembangan jasling di kawasan konservasi, seperti TNBG. Begitu pula potensi ekowisata belum menjadi prioritas pengembangan karena anggaran yang terfokus untuk penyusunan rencana dan pengamanan kawasan. Selanjutnya berdasarkan Tabel 3, faktor kelemahan untuk mendukung pengelolaan TNBG yang sering menjadi permasalahan adalah kondisi kawasan yang berubah dan terpecah oleh area konsesi PT. Sorik Mas Mining di bagian Utara TNBG di Daerah Siabu. Hal ini tentunya akan menyulitkan pengawasan dan pengamanan kawasan. Tingkat perekonomian masyarakat juga merupakan faktor internal yang sulit untuk diatasi karena banyaknya desa kelompok miskin di sekitar TNBG. Menurut petugas di wilayah seksi I (Siabu) seringkali kondisi ini menjadi pemicu konflik antara petugas dengan masyarakat karena seringkali masyarakat memasuki kawasan TNBG untuk mengambil sumberdaya hutan bahkan membuka lahan. Penilaian dari para pihak atau stakeholder terhadap prioritas faktor kelemahan secara umum sudah sama, kecuali penilaian dari lembaga masyarakat. Dari hasil analisis rata-rata penilaian semua responden, seperti pada Tabel 3, menunjukan bahwa kondisi kawasan dan zonasi yang belum mantap merupakan prioritas kelemahan dalam pengembangan pengelolaan zonasi di TNBG (bobot = 0,420) dan selanjutnya pelaksanaan pengelolaan dan pendanaan yang minim (bobot = 0,268). Sedangkan kondisi perekonomian masyarakat dinilai oleh semua responden sebagai prioritas ketiga yang menjadi kelemahan untuk mengembangkan pengelolaan ekosistem TNBG (bobot = 0,159). Menurut pegawai Dinas Kehutanan mengatakan bahwa untuk meningkatkan perekonomian masyarakat, pihak Balai TNBG dapat bekerjasama dengan pihak lainnya, sedangkan fokus program balai TNBG diharapkan dapat menyelesaikan ketidakjelasan batas kawasan dan zonasi. Apabila tata batas dan kawasan sudah jelas maka program lainnya dapat dilaksanakan, termasuk untuk meningkatkan tata kelola HHBK di zona pemanfaatan dan lahan di daerah

penyangga, seperti pengembangan budidaya madu alam. Strategi Kebijakan untuk Mengembangkan setiap Faktor Internal adalah sebagai berikut: 1. Strategi Pengembangan Faktor Kekuatan Pembahasan setiap strategi dan usulan kegiatan dalam mengoptimalkan faktor kekuatan/potensi di TNBG adalah sebagai berikut: a) Penguatan kelembagaan dan SDM untuk mengembangkan pengelolaan TNBG. Strategi ini menurut semua penilaian responden sangat tepat untuk mengembangkan faktor legalitas, rencana pengelolaan zonasi dan pengembangan sarana dan prasarana. Responden memberikan opini bahwa strategi ini dinilai 61,8% sangat tepat untuk dikembangkan agar pengelolaan TNBG secara managemen dapat berjalan optimal. Rencana yang baik apabila tidak didukung oleh SDM dan prasarana yang memadai maka sulit untuk diimplementasikan. Menurut Kepala Tata Usaha TNBG menyatakan bahwa pegawai TNBG saat ini masih sangat terbatas untuk mengelola kawasan sekitar 80.000 ha yang di dalamnya banyak permasalahan yang kompleks, seperti konflik lahan. Untuk membantu jalannya kelembagaan TNBG maka pihak managemen disarankan mengambil kebijakan untuk merekrut tenaga honorer dan PamSwakarsa untuk membantu pengamanan; b) menjaga keutuhan ekosistem hutan beserta satwaliarnya di setiap zonasi. Strategi ini dinilai responden sangat tepat untuk mengembangkan potensi keragaman jenis satwaliar langka dan dilindungi di setiap zonasi, dengan bobot 45,9%. Keragaman jenis satwaliar yang ditemukan di seluruh kawasan TNBG dapat apabila ekosistem di dalammya dapat terjaga. Keberadaan hutan primer di zona inti dan rimba telah menjadi habitat beragam jenis satwa seperti harimau sumatera dan tapir (Kuswanda et al., 2012). Merujuk Balai Besar TNGL (2010) dan hasil analisis deskriptif, program untuk mengembangkan strategi di atas dalam menjaga keutuhan ekosistem dan satwaliar pada kawasan konservasi seperti di TNBG adalah partoli rutin, minimal tiap 2 bulan sekali di wilayah zona inti dan zona rimba, meningkatkan penegakan hukum terhadap pelanggaran di dalam kawasan dan berkoordinasi dengan berbagai pihak terkait, seperti kepolisian, penyiapan prakondisi dan pemulihan ekosistem melalui upaya restorasi dengan tanaman asli dan bernilai guna bagi masyarakat dan pengembangan program pengelolaan dan kelembagaan mitigasi konflik satwaliar; c) pemanfaatan potensi TNBG bersama masyarakat secara berkelanjutan. Strategi ini merupakan prioritas yang paling tepat untuk mengembangkan faktor kondisi ekosistem dan

125


Inovasi Vol. 12 No. 2, Juni 2015: 120 - 128

vegetasi yang relatif utuh dan potensi IPTEK, jasling, dan ekowisata yang tinggi, masingmasing dengan nilai 34,9% dan 36,6%. Hasil ini sedikitnya memberi gambaran bahwa untuk menjaga keutuhan ekosistem dan keragaman vegetasi di setiap zonasi keterlibatan masyarakat sangat penting. Hutan TNBG yang ada diharapkan oleh responden dapat dimanfaatkan secara lestari bersama masyarakat. Oleh karena masyarakat merasa memiliki kawasan hutan TNBG dan berharap bernilai guna secara langsung bagi mereka. Untuk mengoptimalkan pemanfaatan potensi kawasan bersama masyarakat sangat penting juga meningkatkan peran kelembagaan hutan adat yang terdapat di desa-desa untuk meminimalisasi kegiatan yang merusak ekosistem TNBG, mengembangkan desa hijau di setiap Seksi Wilayah Pengelolaan yang masyarakatnya diikutsertakan dalam penyediaan bibit untuk rehabilitasi kawasan yang terdegradasi dan membangun sistem informasi manajemen pengamanan kawasan yang terintegrasi dengan Pemerintah Daerah dan lembaga masyarakat desa.

diselesaikan. Rendahnya penilaian responden akan pentingnya penelitian secara umum menunjukan bahwa hasil-hasil penelitian belum banyak dirasakan manfaatnya oleh responden. Padahal informasi hasil penelitian merupakan tahap awal yang dapat menjadi rujukan untuk pengelolaan lainnya. Menurut responden dari LSM dan Lembaga Masyarakat menyatakan bahwa sosialisasi hasil penelitian masih sangat kurang padahal dibutuhkan untuk membantu meningkatkan pemahaman masyarakat akan pentingnya potensi kawasan TNBG. Untuk itu, kedepannya hasil penelitian yang dilakukan oleh berbagai lembaga kajian dan penelitian di TNBG harus lebih disosialisasikan dan didesimenasikan pada berbagai kelembagaan. Dalam hal ini, Balai TNBG dapat meningkatkan koordinasi dan kerjamana dengan lembaga penelitian, seperti Balai Penelitian Kehutanan Aek Nauli dan perguruan tinggi di Sumatera Utara; c) mengembangkan alternatif pendanaan melalui optimalisasi manfaat jasa lingkungan dan ekowisata. Strategi ini dinilai oleh semua responden merupakan prioritas yang paling tepat untuk meningkatkan pelaksanaan pengelolaan dan pendanaan yang masih minim untuk pengembangan TNBG (bobot = 0,283) dan prioritas kedua untuk menangani tingkat perekonomian masyarakat masih rendah (bobot = 0,279). Pengembangan jasa lingkungan di saat ini sangat penting dilakukan karena TNBG memiliki potensi yang besar sebagai penghasil jasa lingkungan, seperti karbon dan air. Apabila dikuantifikasikan secara ekonomi maka nilai jasa lingkungan di TNBG akan sangat tinggi. Menurut Suparmoko (1997), penilaian ekonomi jasa lingkungan saat ini telah sangat penting karena seperti hasil hutan lainnya secara bersama-sama dapat memberikan kesejahteraan bagi masyarakat maupun kontribusi bagi sumber pendapatan daerah sampai nasional. Beragam jenis jasa lingkungan yang dihasilkan oleh Kawasan TNBG dapat digunakan juga sebagai dasar perhitungan manfaat hutan yang lebih realistis, sehingga dapat memberikan gambaran yang lebih nyata peranan sektor kehutanan dalam perekonomian nasional. Hasil penelitian Kuswanda, dkk. (2011) menyatakan bahwa nilai ekonomi dari tiga jasa lingkungan di TNBG (sumber air PDAM, satwaliar dan pencegah erosi) untuk saat ini mencapai 630 milyard dan apabila dapat dipertahankan selama 25 tahun diperkirakan mencapai 5,72 triliun. Belum lagi apabila ditambahkan dengan nilai ekonomi sebagai penyerap karbon maka nilai jasa lingkungan kawasan TNBG akan sangat tinggi. Saat ini, isu perdagangan karbon yang dihasilkan dari hutan sedang berkembang sejak ditandatanganinya

2. Strategi Meminimalisasi Faktor Kelemahan Uraian konsep pemikiran mengenai strategi kebijakan untuk mengurangi faktor kelemahan dalam mengembangkan pengelolaan di TNBG adalah sebagai berikut: a) pengembangan tata batas dan pemantapan area setiap zonasi TN. Batang Gadis. Strategi ini dinilai oleh semua responden dari lima kelembagaan yang menjadi responden adalah paling prioritas untuk mengatasi kelemahan batas kawasan dan zonasi (inti, rimba dan lainnya) TNBG yang belum jelas, dengan nilai = 0,448. Menurut semua responden bahwa untuk meminimalisasi konplik kawasan maka pengembangan tata batas sangat penting. Begitu juga agar arah perlindungan dan pemanfaatan zonasi optimal makan pemantafan peruntukan area dan batas setiap zonasi harus segera diselesaikan. Penataan batas dan zonasi dapat mengikuti SK. Menhut No. 121/MenhutII/2012 tentang status kawasan TNBG yang terbaru seluas 72.150 ha; dan, b) peningkatan kerjasama penelitian dan pengembangan IPTEK dengan stakeholder di daerah. Strategi ini dinilai responden merupakan strategi lanjutan untuk mengurangi setiap faktor kelemahan. Sebagai contoh, strategi ini merupakan prioritas ketiga untuk penanganan faktor tata kelola hasil hutan bukan kayu (HHBK) dan pengelolaan lahan belum optimal (bobot = 0,214). Penilaian responden kerjasama penelitian dan pengembangan IPTEK sangat penting setelah masalah batas kawasan, pendanaan dan rendahnya ekonomi masyarakat dapat

126


Faktor Internal dan Strategi Kebijakan Untuk Pengembangan Pengelolaan Kawasan Konservasi Studi Kasus: Taman Nasional Batang Gadis (Wanda Kuswanda)

Protokol Kyoto pada tahun 1997. Hal ini tentunya perlu ditangkap oleh Balai TNBG sehingga menjadi area percontohan dalam pemberian dana kompensasi pemeliharaan hutan sebagai penghasil karbon. Pedoman untuk mengembangkan jasa karbon dapat merujuk pada Peraturan Menteri Kehutanan (Permenhut) No. : P.20/Menhut-II/2012 sebagai payung hukum yang menjadi pedoman mekanisme semua kegiatan terkait penurunan emisi karbon hutan dan pelaksanaan proyekproyek REDD+; d) peningkatan program pemberdayaan masyarakat penyangga dalam pengelolaan zona pemanfaatan. Berdasarkan hasil analisis penilaian semua responden, strategi ini merupakan prioritas pertama untuk meminimalisasi faktor tata kelola hasil hutan bukan kayu (HHBK) dan pengelolaan lahan belum optimal, dengan bobot = 0,301 dan tingkat perekonomian dan peran serta masyarakat masih rendah, dengan bobot = 0,310. Strategi ini menurut responden adalah prioritas utama yang harus dikembangkan oleh Balai TNBG selain melakukan pemantapan kawasan. Perekonomian masyarakat yang masih rendah dinilai responden perlu segera ditingkatkan agar keberadaan TNBG bisa lestari. Selama masyarakat masih memiliki ketergantungan yang tinggi akan sumberdaya dari TNBG, program pengelolaan TNBG akan sulit untuk berjalan. Untuk membantu peningkatan ekonomi masyarakat juga, perlu adanya pengaturan pengambilan HHBK. Pengambilan HHBK sebaiknya hanya diperbolehkan dari peruntukan zona pemanfaatan. Regulasi pengaturan HHBK perlu dibuat agar tidak adanya salah pengertian antara masyarakat dengan petugas. Jenis HHBK yang dapat diambil adalah yang dapat dimanfaatkan buah, getah atau daunnya, seperti durian, petai, getah kemenyan, getah damar, bahan obat-obatan tradisional dan lainnya. Selain itu, lahan terdegradasi yang terdapat di zona pemanfaatan, pengelolaaanya dapat dikerjasamakan dengan masyarakat. Pengembangan rehabilitasi tanaman dapat sebaiknya terus ditingkatkan untuk memperbaiki produktivitas lahan terdegradasi. Pola tanam yang diusulkan adalah dengan sistem agroforestri. Masyarakat diperbolehkan untuk menanam tanaman musiman dan tanaman hutan hasil rehabilitasi harus dipelihara. Saat ini banyak lahan di kawasan TNBG yang tidak dikelola karena masyarakat merasa takut untuk mengelolanya.

2.

adalah adanya legalitas, rencana pengelolaan zonasi dan sanpras (40,3%) dan faktor kelemahannya adalah pemantapan kawasan dan zonasi (inti, rimba dan lainnya) TNBG yang belum jelas (nilai = 42%). Strategi untuk mengoptimalkan faktor kekuatan adalah penguatan kelembagaan dan sumberdaya manusia (SDM), menjaga keutuhan ekosistem hutan beserta satwaliarnya di setiap zonasi dan mengembangkan pemanfaatan potensi TNBG bersama masyarakat secara berkelanjutan. Strategi untuk meminimalisasi faktor kelemahannya adalah peningkatan program pemberdayaan masyarakat penyangga, mengembangkan alternatif pendanaan melalui optimalisasi manfaat jasa lingkungan dan ekowisata, pengembangan tata batas dan pemantapan area zonasi dan peningkatan kerjasama penelitian dan pengembangan IPTEK dengan stakeholder di daerah maupun skala nasiona.

REKOMENDASI Berdasarkan hasil dan analisis data penelitian di atas, direkomendasikan berbagai hal yang dapat dijadikan acuan dalam pengembangan kebijakan bagi Pemerintah Propinsi Sumatera Utara, Kabupaten Mandailing Natal dan Balai Taman Nasional Batang Gadis antara lain : 1. Pemerintah Daerah Sumatera Utara melalui Dinas Kehutanan menyebarluaskan pengetahuan, meningkatkan keterampilan dan mendorong masyarakat untuk berperan serta dalam kegiatan perlindungan dan pengamanan hutan secara mandiri, seperti di Desa Pastap Julu dan Desa Sibanggor. 2. Pemerintah Daerah Sumatera Utara melalui Badan Penelitian dan Pengembangan meningkatkan program riset mengenai valuasi nilai ekonomi kawasan hutan dan strategi kebijakan untuk mengatur pemanfaatan hasil hutan bukan kayu, seperti satwaliar dan obat-obatan. 3. Pemerintah Kabupaten Mandailing Natal meningkatkan program identifikasi potensi wisata alam, studi analisis pasar, dukungan masyarakat dan pengorganisasian usaha ekowisata serta pengembangan sarana dan prasarana pendukungnya di tingkat lokal/desa, terutama di sekitar Taman Nasional Batang Gadis. 4. Pihak Balai Taman Nasional Batang Gadis terus memelihara batas dan tanda batas serta sosialisasi batas kawasan untuk

KESIMPULAN 1. Faktor kekuatan yang paling prioritas untuk mengembangkan pengelolaan TNBG

127


Inovasi Vol. 12 No. 2, Juni 2015: 120 - 128

5.

Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 579/Menhut – II/2014 tentang Kawasan Hutan Propinsi Sumatera Utara tanggal 24 Juli 2014.

mengurangi konplik pemanfaatan lahan oleh masyarakat, seperti di Kecamatan Siabu. Para pihak terkait terus mengembangkan pola kemitraan, mulai dari aspek perencanaan program, pelaksanaan, sampai pemantauan dengan pihak swasta, terutama perusahaan lokal di Sumatera Utara untuk mengembangkan potensi daerah, khususnya Taman Nasional Batang Gadis di Kabupaten Mandailing Natal.

Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 121/Menhut-II/2012 tentang Perubahan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 126/MenhutII/2004 tentang penunjukan Taman Nasional Batang Gadis, di Kabupaten Mandailing Natal tanggal 1 Maret 2012. Undang-undang Nomor 5 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya tanggal 10 Agustus 1990.

DAFTAR PUSTAKA Balai Taman Nasional Batang Gadis. 2010. Laporan Balai Taman Nasional Batang Gadis. Panyabungan. Tidak dipublikasikan.

Undang-undang No. 41 tentang Kehutanan tanggal 30 September 1999. Wheelen, T.L., Hunger, J.D., 1995. Strategic Management and Business Policy, 5th edn. Addison Wesley, Reading, MA.

Basak, I. 1998. Probabilistic Judgments Specified Partially in the AHP. European Journal of Operational Research (108) hal: 153-164.

www.ekowisata.info. 2009. Garis Besar Pedoman Pengembangan Ekowisata Indonesia. [Online] Dari: http://www.ekowisata.info/ pedoman_ekowisata.html [Diakses tanggal 27 Januari 2010].

Dess, G.G. and Miller, A. 1993. Strategic Management. New York: McGraw-Hill. Fandeli, C. 2002. Perencanaan Kepariwisataan Alam. Thesis Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Kangas, A., J. Kangas and M. Kurtila. 2008. Decision Support for Forest Management. Springer Science + Business Media B. V. Springer.com hal: 35-53. Kurttila, M., M.Pesonen, J. Kangas, M. Kajanus. 2000. Utilizing the analytic hierarchy process AHP : in SWOT analysis a hybrid method and its application to a forest-certification case. Journal of Forest Policy and Economics 1 (2000) hal: 41-52 Kuswanda, W. 2010. Pengaruh Komposisi Tumbuhan terhadap Populasi Burung di Taman Nasional Batang Gadis, Sumatera Utara. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam ( VII/2) hal: 193 – 213. Kuswanda, W., A. Sukmana dan P. Mudiana. 2010. Teknik Penetapan dan Pengelolaan Taman Nasional Batang Gadis. Laporan Hasil Penelitian. Balai Penelitian Kehutanan Aek Nauli. Kuswanda, W., Sanudin, A. Sukmana dan Maskulino. 2011. Valuasi Nilai Ekonomi Jasa Lingkungan di Taman Nasional Batang Gadis. Laporan Hasil Penelitian. Balai Penelitian Kehutanan Aek Nauli. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P. 56/MenhutII/2006 tentang Pedoman Zonasi Taman Nasional, tanggal 29 Agustus 2006. Saaty, T. L. 1993. Pengambilan Keputusan Bagi Pemimpin: Proses hirarki analitik untuk pengambilan keputusan dalam situasi yang kompleks. Jakarta: PT. Pustaka Binaman Pressindo. Suparmoko, M. 1997. Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan. Yogyakarta: Badan Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada.

128


Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Kinerja Guru Matematika (Martua Manullang)

Hasil Penelitian FAKTOR – FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KINERJA GURU MATEMATIKA (FACTORS AFFECTING THE MATH TEACHER PERFORMANCE) Martua Manullang FMIPA Universitas Negeri Medan Jl. Willem Iskandar Medan e-mail: m.manulang@yahoo.com Diterima: 2 Maret 2015; Direvisi: 31 Maret 2015; Disetujui: 4 Mei 2015

ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk menguji pengaruh langsung pengetahuan organisasi terhadap motivasi berprestasi, pengambilan keputusan, komitmen organisasi, kinerja guru matematika, dan pengaruh langsung motivasi berprestasi, pengambilan keputusan, dan komitmen organisasi terhadap kinerja guru matematika. Metode penelitian adalah metode survei dengan jumlah responden sebanyak 102 guru matematika yang diambil dengan stratified proporsional random sampling. Penelitian ini menemukan terdapat pengaruh langsung pengetahuan organisasi terhadap motivasi berprestasi, pengambilan keputusan, komitmen organisasi dan terhadap konerja guru matematika berturut-turut adalah 16,3%, 13,1%, 12,2%, dan 4,54%. Motivasi berprestasi, pengambilan keputusan, dan komitmen organisasi memberi pengaruh langsung terhadap kinerja guru matematika. Besarnya perubahan kinerja yang secara langsung dapat ditentukan pengetahuan organisasi, motivasi berprestasi, pengambilan keputusan dan komitmen organisasi secara berturut-turut adalah 10,24%, 12,32%, 3,42%, dan 2,92%. Kata kunci: guru, SMP, matematika, kinerja

ABSTRACT This research is to examine the direct effect of the organizational knowledge on achievement motivation, decision making, organizational commitment, mathematic teacher’s performance, and the direct effect of achievement motivation, decicion making, organizational commitment, on mathematic teacher’s performance. Research method is a survey method with number of respondents are 102 people who were taken by stratified proportional random sampling. The results showed the organizational knowledge directly influenced to achievement motivation, decision making and organizational commitment respectively are : 16,3%, 13,1%, 12,2%, and 4,54% on mathematic teacher’s performance. While achievement motivation, decision making, and organizational commitment made direct effect on the mathematic teacher’s performance. The percentage of transformation performance can be determine directly by organizational knowledge achievement motivation, decision making and organizational comitmen respectively are 10,24%, 12,32%, 3,42%, and 2,92%. Keywords: teacher, Junior High School, mathematic, performance

PENDAHULUAN Rendahnya kualitas pendidikan pada suatu bangsa mencerminkan rendahnya kinerja guru dan buruknya sistem pengelolaan pendidikan pada suatu bangsa. Keberhasilan suatu organisasi sangat tergambar pada kinerja Sumber Daya Manusia (SDM) yang terlibat dalam organisasi tersebut. Untuk itu dalam rangka meningkatkan sumber daya manusia yang handal dan mampu bersaing dalam era

globalisasi dan otonomi daerah, perlu diperhatikan hal-hal yang berkaitan dengan kinerja guru dalam mencapai tujuan pendidikan. Tujuan pembelajaran matematika adalah untuk mempersiapkan siswa agar mampu menghadapi perubahan didalam dunia yang selalu berkembang, melalui latihan bertindak atas dasar pemikiran secara logis, rasional, kritis, cermat, jujur, efisien, dan efektif.

129


Inovasi Vol. 12 No. 2, Juni 2015: 129 - 137

Selanjutnya menurut National Council of Teacher of Matematics (Colquit, 2009) bahwa tujuan pembelajaran matematika adalah: 1) belajar untuk pemecahan masalah; 2) belajar untuk penalaran pembuktian; 3) belajar untuk kemampuan mengaitkan ide matematika: 4) belajar untuk komunikasi matematis; dan, 5) belajar untuk representasi matematis. Sehingga dapat disimpulkan bahwa pelajaran matematika sangat diperlukan seluruh siswa. Terkait dengan pembelajaran matematika dimana matematika yang mengacu kepada tujuan pembelajaran matematika di sekolah dasar dan menengah yang terhubung dalam Permendiknas No. 22 Tahun 2006 (Sinaga, 2007) adalah agar siswa dapat: 1) memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antar konsep dan mengaplikasikan konsep atau logaritma secara luwes, akurat, efisien, dan tepat dalam pemecahan masalah; 2) menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti atau menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika; 3) memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah merancang modul matematika, menyelesaikan model dan menafsirkan solusi yang diperoleh; 4) mengkomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau neraca untuk memperjelas keadaan atau masalah; dan, 5) memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu rasa ingin tahu, perhatian dan minat mempelajari matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah yang bersifat abstak, logis, sistematis, dan penuh dengan lambang-lambang dan rumus. Guru harus memiliki kompetensi mengajar serta mampu mendesain pembelajaran yang menjadi tanggung jawab dalam kemajuan hasil belajar. Perbaikan nilai hasil belajar tidak terlepas dari peranan guru dalam mentransfer ilmu pengetahuan kepada peserta didik. Seorang guru disebut kompeten, ahli, dan terampil dalam mengajar, bila ia menguasai kompetensi pedagogik. Oleh karena itulah dalam rangka sertifikasi guru, kompetensi pedagogik diuji. Berdasarkan Uji Kompetensi Awal (UKA) guru tahun 2012 yang diumumkan Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) yang dilaksanakan pada bulan Februari 2012, Mendikbud Mohammad Nuh menyampaikan bahwa posisi 10 besar ditempati oleh DI Yogyakartai dengan nilai tertinggi disusul oleh DKI Jakarta (49,2), Bali (48,9), Jawa Timur (47,1), Jawa Tengah (45,2), Jawa Barat (44,0), Kepulauan Riau (43,8), Sumatera Barat (42,7), Papua (41,1). Hasil tertinggi nasional adalah 97,0 dan nilai terendah adalah 1,0. Berdasarkan

perhitungan Kemendikbud, hasil rata-rata nasional UKA 2012 adalah 42,25 yang mencakup seluruh peserta dari jenjang TK sampai jenjang Sekolah Menengah Pertama (SMP). Distribusi hasil UKA 2012 menunjukkan gambaran kompetensi guru yang beragam (Waspada, 2012). Berdasarkan penjelasan Mendikbud tersebut dapat dilihat bahwa Sumatera Utara khususnya Kota Medan tidak termasuk dalam kategori provinsi dengan nilai rata-rata UKA tertinggi. Performance is defined as the record of outcomes prodused on a specified job function or activity during a specified time period yang dapat diartikan bahwa kinerja adalah catatan tentang hasil-hasil yang diperoleh dari fungsi-fungsi pekerjaan tertentu atau kegiatan tertentu selama kurun waktu tertentu (Bernardin, 1993). Secara umum kinerja dapat diartikan sebagai hasil kerja atau unjuk kerja. Kinerja mempunyai makna luas, bukan hanya menyatakan sebagai hasil kerja, tetapi bagaimana proses kerja berlangsung (Wibowo, 2007). Kinerja merupakan hasil pekerjaan yang mempunyai hubungan kuat dengan tujuan strategis organisasi, kepuasan konsumen dan memberikan kontribusi ekonomi (Amstrong, 1998). Kinerja juga dapat didefinisikan sebagai hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh seorang dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya (Mangkunegara, 2000). Kinerja merupakan suatu efek logis seseorang yang didorong oleh kategori dasar atribusi. Atribusi pertama bersifat internal atau disposisional, yaitu dihubungkan dengan sifatsifat orang itu sendiri misalnya kemampuan dan upaya. Atribusi kedua bersifat eksternal atau situasional, yaitu dihubungkan dengan lingkungan seperti tingkat kesulitan tugas, sikap, dan tindakan-tindakan kerja bawahan, sumber daya, keadaan ekonomi, dan sebagainya (Hersey, 1988). Bagi seorang guru, kinerjanya sangat ditentukan oleh kompetensi yang dimiliki oleh guru dalam melaksanakan tugasnya. Kompetensi yang dimilikinya akan mendukungnya dalam mencapai tujuan dan bagaimana tujuan itu dapat dicapai. Indikasi guru yang berkinerja akan tampak dari kemampuannya dalam hal: 1) merencanakan pembelajaran; 2) pengorganisasian; 3) implementasi / pelaksanaaan pembelajaran; dan, 4) mengevaluasi hasil pembelajaran. Dalam penelitian ini yang dimaksud kinerja guru matematika adalah kemampuan guru dalam merumuskan tujuan, pemilihan / pengorganisasian materi ajar, pemilihan sumber belajar, media pembelajaran, pemilihan model,

130


Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Kinerja Guru Matematika (Martua Manullang)

dalam melaksanakan tugas sementara (Warsanto, 2002). Motivasi secara sederhana adalah keinginan seseorang untuk melakukan pekerjaan, ia bertindak dan tertantang sehingga ia rela bekerja keras dan senang melakukannya (Sasse, 1981). Dari banyaknya kebutuhan manusia, yang paling ditekankan adalah: 1) kebutuhan pencapaian; 2) kebutuhan kewenangan atau kekuasaan; dan, 3) kebutuhan berafiliasi atau bekerja sama (Mc Clelland, 2000). Kebutuhan berafiliasi adalah dorongan yang dimiliki seseorang untuk melakukan tugasnya agar ia dapat memperoleh perhatian dari orang lain (teman kerja, atau orang dilingkungannya) baik melalui kerja sama atau persahabatan. Dari beberapa studi yang dilakukan para ahli terbukti bahwa motivasi karyawan sangat berhubungan dengan kinerja. Kebutuhan berafiliasi ini adalah bagian dari motivasi berprestasi. Orang yang memiliki motivasi berprestasi adalah orang yang menetapkan tujuan yang tinggi tetapi dapat dicapai, lebih mengutamakan pencapaian individu dari pada imbalan (uang), dan menginginkan umpan balik yang sesuai dengan apa yang dikerjakannya dibandingkan umpan balik sikap dari orang lain (McClelland, 1976). Terdapat 6 (enam) karakteristik individu yang memiliki motivasi berprestasi yaitu: 1) menyukai situasi atau tugas yang menuntut tanggung jawab pribadi atas hasil-hasilnya dan bukan atas dasar untung-untungan, nasib, atau kebetulan; 2) memilih tujuan yang realistis tetapi menantang dari pada tujuan yang terlalu mudah dicapai atau terlalu besar resikonya; 3) mencari situasi atau pekerjaan dimana ia memperoleh umpan balik dengan segera dan nyata untuk menentukan baik atau tidak hasil pekerjaannya; 4) senang bekerja sendiri dan bersaing untuk mengungguli orang lain; 5) mampu menangguhkan pemuasan keinginannya demi masa depan yang lebih baik; dan, 6) Ttdak tergugah untuk sekedar mendapat uang, status, atau keuntungan lainya Djaali (2008). Sehingga dapat disintesiskan bahwa motivasi berprestasi adalah dorongan dari dalam diri guru matematika untuk melakukan kegiatan atau tugas secara sungguh-sungguh agar dapat mencapai keunggulan dan mencapai sukses atau prestasi kerja yang gemilang dalam pekerjaan. Indikator dari motivasi berprestasi adalah: keinginan berprestasi unggul, berorientasi kemandirian, bersemangat/bekerja keras dan pantang menyerah, pekerjaan menuntut tanggung jawab, pola pikir berorinetasi ke depan, menyukai pekerjaan yang menantang, mengkehendaki umpan balik dengan segera dan susah jika gagal dalam pekerjaan.

strategi, pendekatan, metode dan teknik mengajar, penilaian hasil belajar. Sedangkan untuk melihat kinerja ini, langsung digunakan observasi ke dalam kelas dalam hal ini indikator fokus perhatian adalah memulai pembelajaran, mengelola kegiatan pembelajaran, mengorganisir waktu, peserta didik dan fasilitas belajar, melaksanakan penilaian dan mengakhiri pembelajaran. Pengetahuan digambarkan sebagai perilaku dari tes situasi yang menekankan pada mengigat sesuatu ataupun melalui pengenalan atau daya ingat (Bloom, 1974). Disebutkan juga bahwa pengetahuan merupakan produk dan bagian dari sebuah kebudayaan. Pengetahuan ini dikembangkan manusia lewat proses belajar mengenai berbagai aspek dalam kehidupannya. Secara filosofis pengetahuan adalah segenap apa yang diketahui manusia apakah itu agama, kepercayaan, seni, moral atau ilmu pengetahuan (science). Kriteria yang membedakan pengetahuan yang satu dengan pengetahuan lainnya atau disiplin keilmuan yang satu dengan disiplin yang lainnya adalah landasan ontologi, epistemologi dan axiologi (Suriasumantri, 2002). Pandangan teori organisasi modern dipandang sebagai sistem. Sistem digambarkan sebagai suatu perakitan yang terintegrasi interaksi antara unsur-unsur yang dirancang untuk menyelesaikan suatu fungsi yang ditentukan dengan cara kerja sama (a system may be defined as an itegrated assembly of inteacting elements designed to carry out cooperatively a predetermined function) (McClelland, 1969). Berdasarkan uraian teori di atas dapat disintesiskan bahwa pengetahuan organisasi adalah pengetahuan guru matematika terhadap prinsip-prinsip dasar organisasi yang terdiri dari teori dan praktek organisasi. Teori organisasi meliputi; pengertian organisasi, pembagian pekerjaan, tujuan organisasi, pendelegasian kewenangan, prosedur kerja, formalisasi, kerjasama kelompok, penyusunan uraian tugas, struktur organisasi, rentang kendali. Praktek organisasi mencakup; penerapan teknologi, mengkoordinasikan sumber, perencanaan program, sistem imbalan, interaksi antar personal, analisis sistem. Motivasi berasal dari bahasa latin, movere yang artinya menggerakkan. Ada tiga aspek motivasi yang dapat di identifikasi yaitu : 1) kekuatan yang menggerakkan atau menyebabkan seseorang berperilaku dalam kegiatan tertentu; 2) adanya tujuan yang kuat; dan, 3) semangat kerja yang dipertahankan setiap waktu. Ini menunjukkan bahwa seseorang yang termotivasi memiliki kekuatan yang menggerahkan perilaku keinginan yang kuat untuk mencapai tujuan dan tetap semangat

131


Inovasi Vol. 12 No. 2, Juni 2015: 129 - 137

Pengambilan keputusan didefinisikan sebagai rangkaian kegiatan yang berhubungan dengan pemecahan masalah. Terdapat tiga model untuk pengambilan keputusan yaitu: model rasional (rational), model optimasi (optimizing) dan model pemuasan (satisficing). Model rasional dilakukan melalui lima langkah yaitu: mengidentifikasi masalah dan merumuskan tujuan pemecahan masalah, merumuskan alternatif solusi, mengevaluasi seluruh alternatif, memilih suatu alternatif solusi, menerapkan dan mengevaluasi alternatif solusi. Model optimasi dilakukan dengan cara mengetahui konsekuensi dari semua alternatif dan memilih satu alternatif terbaik (Kreitner, 2003). Pengambilan keputusan dengan pendekatan pemuasan (satisficing) di mana pembuat keputusan memilih satu alternatif solusi terbaik dan memuaskan, sedangkan pendekatan idealis (idealizing), yaitu mengubah situasi dan masalah menjadi hilang, sehingga pendekatan ini sering tidak digunakan (Robbins, 1991). Berdasarkan uraian teori di atas dapat disintesiskan bahwa pengambilan keputusan adalah rangkaian kegiatan yang ada kaitannya dengan pemecahan masalah dengan indikasi: memaksimalkan pencapaian tujuan, menyederhanakan konsekuensi yang mungkin mempersulit pilihan, mengumpulkan fakta, melibatkan bawahan dalam pengambilan keputusan, mencari alternatif yang memuaskan sesuai dengan tujuan, memilih jenis tindakan yang layak untuk dilakukan, memaksimalkan kemungkinan solusi yang terbaik, memilih satu

alternatif solusi yang memuaskan, menilai /mengevaluasi keputusan. Komitmen organisasi adalah orientasi seorang pegawai terhadap organisasi dalam bentuk kesetiaan melaksanakan tugas, identifikasi terhadap nilai-nilai dan tujuan organisasi, dan keterlibatan kerja untuk berprestasi (Robbins, 1991). Komitmen menyebabkan terjadinya kesatuan tim kerja dan meningkatkan kinerja (Bryson, 1995). Suatu pekerjaan boleh jadi memerlukan interaksi kelompok, yang bertindak sebagai penguatan untuk seorang pekerja pada kondisi ini adalah kebutuhan untuk bergabung (afiliasi) yang lebih tinggi. Dari pernyataan tersebut sangat jelas bahwa timbulnya komitmen organisasi disebabkan adanya kebutuhan otonomi, dan kebutuhan untuk bergabung. Dapat disintesiskan bahwa komitmen organisasi adalah tekad dan kemampuan guru matematika menerima keberadaan sekolah sebagai kehidupannya sendiri dengan melakukan segala aktivitasnnya secara suka rela, sungguhsungguh, penuh tanggung jawab dan loyalitas yang tinggi. Dengan indikator: kemauan bekerja keras, memiliki rasa tanggung jawab, loyal terhadap pekerjaan, rasa bangga terhadap pekerjaan dan kepedulian terhadap pekerjaan. METODE Berdasarkan rumusan masalah, tujuan penelitian, landasan teori dan kerangka konseptual maka diajukan model hipotesis sebagaimana ditampilkan pada gambar 1 berikut ini:

X2 X1

X3

X5

X4 Gambar 1. Model Hipotesis Hubungan Antar Variabel Penelitian Keterangan:

X1 = Pengetahuan Organisasi X3 = Pengambilan Keputusan X5 = Kinerja

Berdasarkan kajian teori dan paradigma maka diajukan hipotesis sebagai berikut: 1. Pengetahuan organisasi berpengaruh langsung positif dan signifikan terhadap motivasi berprestasi. 2. Pengetahuan organisasi berpengaruh langsung positif dan signifikan terhadap pengambilan keputusan.

X2 = Motivasi Berprestasi X4 = Komitmen Organisasi

3. Pengetahuan organisasi berpengaruh langsung positif dan signifikan terhadap komitmen organisasi. 4. Pengetahuan organisasi berpengaruh langsung positif dan signifikan terhadap kinerja guru matematika.

132


Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Kinerja Guru Matematika (Martua Manullang)

5. Motivasi berprestasi berpengaruh langsung positif dan signifikan terhadap kinerja guru matematika. 6. Pengambilan keputusan berpengaruh langsung positif dan signifikan terhadap kinerja guru matematika. 7. Komitmen organisasi berpengaruh langsung positif dan signifikan terhadap kinerja guru matematika. Penelitian dilakukan di SMP Kota Medan pada bulan April sampai Juli 2012. Populasi dalam penelitian ini adalah semua guru matematika Sekolah Menegah Pertama (SMP) di kota Medan, yang berjumlah 348 orang guru matematika. Sampel dalam penelitian ini adalah sebanyak 102 orang yang ditarik menggunakan teknik stratified proporsional random sampling.

Dengan penentuan besar sampel berdasarkan formula Cochran akan diperoleh proporsi SMP negeri dan swasta. Penelitian ini dilakukan melalui metode survei dengan menggunakan angket, tes dan observasi sebagai instrumen. Sedangkan untuk menguji hipotesis digunakan analisis jalur. HASIL DAN PEMBAHASAN Data hasil penelitian memuat 5 (lima) variabel yakni: 1) variabel pengetahuan organisasi; 2) variabel motivasi berprestasi; 3) variabel komitmen organisasi; 4) variabel pengambilan keputusan; dan, 5) kinerja guru matematika. Hasil angket, tes dan lembar observasi tersebut dapat diamati pada. Tabel 1 berikut:

Tabel 1. Rangkuman Hasil Deskripsi Data Variabel Penelitian X2 X3 X4 X5 X1 Sampel (n) 102 102 102 102 102 Mean Skor Total 99,39 117,69 89,08 103,84 198,37 Mean pada Skala 1-5 3,55 4,06 3,43 3,58 4,31 Tingkat Capaian 71 % 81 % 69 % 72 % 86 % Simpangan Baku 8,53 9,83 9,11 8,03 14,48 Skor Minimum 81 90 72 83 158 Skor Maksimum 117 135 110 121 223 Sumber: Data Penelitian diolah (2012) Sesuai dengan model teoretis yang dikembangkan dalam penelitian ini, ada 7 (tujuh) hipotesis yang diuji dengan Analisis Jalur. Secara diagramatik, diagram jalur yang menggambarkan struktur hubungan kausal antara variabel eksogenus dengan variabel

endogenus dibuat seperti paradigma penelitian sebagaimana ditampilkan pada Gambar 1. Dengan menggunakan alat bantu komputer aplikasi program didapatkan rangkuman hasil analisis korelasi dan analisis jalur antara variabel eksogenus dengan variabel endogenus seperti pada Tabel 2.

Tabel 2. Rangkuman Hasil Analisis Korelasi dan Analisis Jalur antara Variabel Eksogenus dengan Variabel Endogenus, dan Keberartiannya Koefisien Koefisien Nomor Signifikansi thitung Signifikansi Keterangan Korelasi Jalur Hipotesis 1

r12 = 0,404

0,000

ρ21 = 0,404

4,422

0,000

Jalur Berarti

2

r13 = 0,362

0,000

ρ31 = 0,362

3,884

0,000

Jalur Berarti

3

r14 = 0,349

0,000

ρ41 = 0,349

3,724

0,000

Jalur Berarti

4

r15 = 0,481

0,001

ρ51 = 0,213

2,362

0,020

Jalur Berarti

5

r25 =0,557

0,000

ρ52 = 0,3151

3,966

0,000

Jalur Berarti

6

r35 = 0,392

0,006

ρ53 = 0,185

2,176

0,032

Jalur Berarti

7

r45 = 0,372

0,003

ρ54 = 0,171

2,028

0,045

Jalur Berarti

Sumber: Data Penelitian diolah (2012) Keterangan: Semua koefisien jalur signifikan karena memiliki (thitung) lebih besar dari ttabel 5 %, yaitu: 1,66. Dengan demikian, semua jalur berarti.

133


Inovasi Vol. 12 No. 2, Juni 2015: 129 - 137

Jadi, berdasarkan hasil penelitian ditemukan diagram jalur yang menggambarkan struktur hubungan kausal antara variabel

eksogenus dengan variabel endogenus seperti pada gambar 2 berikut ini:

ρ21 = 0,404 r12 = 0,404

(X2)

ρx2e1= 0,915 ρ52 = 0,3151 r25 =0,557

ρ51 = 0,213 r15 = 0,481

(X1)

(X5) ρ31 = 0,362 r13 = 0,362

ρ53 = 0,185 r35 = 0,392 ρx5e4= 0,752

(X3) ρ41 = 0,349 r14 = 0,349

ρx3e2= 0,932 ρ54 = 0,171 r45 = 0,372

(X4)

ρx4e3= 0,937

Gambar 2. Hubungan Kausal X1, X2, X3, dan X4 terhadap X5 Sumber: Data Penelitian diolah (2012)

Berdasarkan hasil perhitungan dibuat rangkuman pengaruh langsung Pengetahuan Organisasi (X1) terhadap Motivasi Berprestasi

(X2), Pengambilan Keputusan (X3), dan Komitmen Organisasi (X4) seperti pada Tabel 3 berikut ini.

Tabel 3. Rangkuman Pengaruh Langsung X1 terhadap X2, X3, dan X4 Pengaruh Langsung Terhadap Pengambilan Komitmen Motivasi Berprestasi Keputusan (X3) Organisasi (X4) (X2) Pengetahuan Organisasi (X1) 0,163 0,131 0,122 Sumber: Data Penelitian diolah (2012) Berprestasi (X2), Pengambilan Keputusan (X 3), dan Komitmen Organisasi (X4) terhadap Kinerja (X5) seperti pada Tabel 4 berikut ini. Berdasarkan Tabel 4 di atas dapat diketahui bahwa pengaruh langsung Pengetahuan Organisasi (X1) terhadap Kinerja (X5) sebesar 0,054. Pengaruh tidak langsung Pengetahuan Organisasi (X1) terhadap Kinerja (X5) melalui Motivasi Berprestasi (X2) sebesar 0,030. Pengaruh tidak langsung Pengetahuan Organisasi (X1) terhadap Kinerja (X5) melalui Pengambilan Keputusan (X3) sebesar 0,014. Pengaruh tidak langsung Pengetahuan Organisasi (X1) terhadap Kinerja (X5) melalui Komitmen Organisasi (X4) sebesar 0,013. Sehingga total pengaruh langsung dan tidak langsung Pengetahuan Organisasi (X1) terhadap Kinerja (X5) sebesar 0,1024. Dengan demikian, kekuatan Pengetahuan Organisasi (X1) yang

Berdasarkan Tabel 3 di atas dapat diketahui bahwa pengaruh langsung Pengetahuan Organisasi (X1) terhadap Motivasi Berprestasi (X2) sebesar 0,163. Dengan cara yang sama diperoleh pengaruh langsung pengetahuan organisasi terhadap pengambilan keputusan sebesar 0,131. Sedangkan untuk variabel pengetahuan organisasi terhadap komitmen organisasi adalah sebesar 0,122. Sehingga pengetahuan organisasi (X1) secara langsung mempengaruhi perubahan motivasi berprestasi (X2), pengambilan keputusan (X3) dan komitmen organisasi (X4) secara berturut-turut adalah sebesar 16,3%, 13,1%, dan 12,2%. Selanjutnya, berdasarkan hasil perhitungan dibuat rangkuman pengaruh langsung dan pengaruh tidak langsung Motivasi Pengetahuan Organisasi (X1),

134


Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Kinerja Guru Matematika (Martua Manullang)

adalah sebesar 10,24 %.

secara langsung dan tidak langsung menentukan perubahan-perubahan Kinerja (X5)

Tabel 4. Rangkuman Pengaruh Langsung dan Pengaruh Tidak Langsung X1, X2, X3, X4, dan X5

Variabel

Langsung terhadap X5 0,0454 0,1232 0,0342 0,0292

Pengaruh Tidak langsung terhadap X5 melalui : X1 X2 X3 X4 0,030 0,014 0,013

Efek Total

X1 0,1024 X2 0,1232 X3 0,0342 X4 0,0292 Jumlah 0,2890 Keterangan: S = Komponen Spurious; dan U = Komponen Unanalyzed Sumber: Data Penelitian diolah (2012) Dengan cara yang sama pengaruh variabel X2, X3, dan X4 secara langsung/tidak langsung dapat dipahami dengan cara membaca hasil tabel di atas. Sehubungan dengan temuan penelitian dilakukan pembahasannya sebagai berikut: 1. Kinerja guru matematika Kota Medan cenderung cukup, karena terdapat 43 orang atau 42,15 % berada pada kategori ini. Sedangkan mereka yang berada pada kategori kurang ada sebanyak 45 orang atau 44,11 % dan pada kategori rendah ada sebanyak 13 orang atau 12,75 %. Sementara untuk kategori tinggi hanya sebanyak 15 orang atau 14,70 %; dan, 2. Pengetahuan Organisasi guru matematika adalah cenderung cukup 46 orang (45,09%) dan 19 orang (18,63%) termasuk kategori tinggi. Sementara yang termasuk kategori kurang ada sebanyak 20 orang (19,61%). Hasil diatas menunjukkan bahwa guru matematika masih perlu ditingkatkan pemahamannya tentang organisasi, melalui pemahaman terhadap tugas-tugas yang diberikan terhadap guru matematika dari mulai perencanaan pembelajaran, pelaksanaan hingga ke tahap evaluasi terhadap keberhasilan proses pembelajarannya.

Non Jalur S 0,030 0,014 0,013 0,057

U 0,042 0,024 0,022 0,088

kerja. Kemudian hasil penelitian ini mendukung teori dari Mathis dan Jackson (1997) dan teori dari Colquit, LePine, dan Wesson (2009) yang menyatakan bahwa kinerja secara langsung dan tidak langsung dipengaruhi oleh mekanisme organisasi, mekanisme tim, karakteristik individu. Skor pengambilan keputusan termasuk kategori cukup, karena terdapat 52 orang (50,98%) di atas rata-rata, sementara 16 orang (15,69%) masih berada dibawah rata-rata. Hasil ini menunjukkan bahwa pemahaman guru matematika terhadap pengambilan keputusan masih rendah (masih dominan dibawah ratarata), sementara tugas seorang guru matematika selalu membuat keputusan dalam proses pembelajaran baik menyangkut aspek materi matematika maupun aspek proses pembelajaran. Karena guru matematika adalah seorang pemimpin di kelas, maka inti tugas para pemimpin adalah membuat keputusan. Hasil penelitian ini mendukung pernyataan/teori dari Mondy (1993) menyatakan bahwa kepemimpinan yang efektif harus melibatkan bawahan dalam pengambilan keputusan. Artinya pemimpin yang selalu melibatkan bawahan dalam pengambilan keputusan akan lebih efektif kinerjanya. mengatakan inti tugas para pemimpin adalah membuat keputusan Baron (1991). Temuan ini juga sejalan dengan hasil penelitian Ayu Oktaviani (2003) dan Wahidil (2007) yang menyimpulkan bahwa terdapat pengaruh proses pengambilan keputusan terhadap kinerja. Komitmen organisasi guru matematika cenderung kurang, walaupun masih terdapat 60 orang (58,82%) berada di atas kelas rata-rata dan 11 orang (10,78%) termasuk kategori rendah. Kondisi komitmen organisasi pada guruguru matematika di SMP Kota Medan perlu ditingkatkan. Karena komitmen adalah sesuatu kemampuan melaksanakan sesuatu sesuai

Sebaran skor Motivasi Berprestasi termasuk kategori cukup hanya 18 orang (17,63%) berada di atas kelas rata-rata, sementara masih terdapat 45 orang (44,12%) dibawah kelas rata-rata. Kondisi motivasi berprestasi ini masih perlu ditingkatkan melalui pemberian motivasi dari Kepala Sekolah, Pengawas serta Kepala Dinas Pendidikan setempat. Temuan ini mendukung pernyataan dari Grifin (2004) yang menyatakan bahwa kinerja seseorang adalah ditentukan tiga hal yaitu: motivasi, kemampuan dan lingkungan

135


Inovasi Vol. 12 No. 2, Juni 2015: 129 - 137

dengan kesepakatan, dalam arti sesuatu kesepakatan yang tidak dilaksanakan secara bersama, akan menimbulkan kekacauan. Misalnya kalau sudah ada kesepakatan melarang siswa memakai kaus oblong ke sekolah, tetapi oleh beberapa guru membolehkannya, hal ini akan menimbulkan kekacauan. Oleh karena itu, karena guru matematika adalah guru yang selalu komitmen terhadap konsep-konsep matematika sebaiknya harus komit dalam melaksanakan tugas. Temuan ini sesuai dengan teori/pernyataan Jackson (1997), Lewis (1989), dan Hoy (1991) yang menyatakan bahwa komitmen organisasi akan memengaruhi secara langsung kinerja. Untuk peningkatan kelima variabel ini, maka orang yang terdekat dan berkepentingan /bertanggung jawab dalam peningkatan kinerja guru matematika adalah Kepala Sekolah, Pengawas dan Kepala Dinas Pendidikan khususnya Kota Medan.

matematikanya dengan masing-masing pengaruhnya, secara berturut-turut adalah 10,24%, 12,32%, 3,42% dan 2,92%. Kesimpulan penelitian ini merupakan substruktur yang membentuk suatu model teoretis kinerja guru matematika yang ditemukan berdasarkan teori dan dukungan data empirik. Sehingga hasil penelitian ini merekomendasikan. REKOMENDASI Adapun rekomendasi yang diajukan sesuai dengan hasil penelitian ini adalah: 1. Guru matematika Sesuai dengan kemajuan ilmu dan teknologi maka untuk meningkatkan kinerja guru matematika SMP secara efektif dan efisien ada beberapa hal yang mereka lakukan yaitu: a) meningkatkan pemahaman tentang pengetahuan organisasi dan aplikasinya, sehingga sekolah sebagai organisasi dapat terbina secara efektif dan efisien; b) meningkatkan motivasi berprestasi secara baik, melalui keinginan berprestasi unggul dan tanggung jawab terhadap tugas; c) meningkatkan efektivitas pengambilan keputusan melalui, pengumpulan data, untuk pengambilan keputusan dan memaksimalkan solusi yang terbaik; dan, d) meningkatkan komitmen terhadap organisasi melalui; peningkatan kemauan bekerja keras, loyal terhadap pekerjaan dan keperdulian terhadap pekerjaan. 2. Kepala dan Pengawas Sekolah Sehubungan dengan berbagai faktor yang memengaruhi kinerja sebagai mana telah ditemukan di atas, maka Kepala sekolah dan pengawas sekolah perlu memperhatikan kekuatan dan kelemahan dalam pengetahuan organisasi, motivasi berprestasi, pengambilan keputusan dan komitmen organisasi, dalam memberi masukan guna meningkatkan variabel tersebut, Kepala sekolah dan pengawas dapat melakukan supervisi klinis membina keakraban, membangun komunikasi yang baik, meningkatkan keterbukaan dan kerja sama yang baik dengan guru matematika guna peningkatan mutu pendidikan. 3. Dinas Pendidikan Kepala Dinas Pendidikan Kota Medan sangat berkepentingan meningkatkan kualitas pendidikan melalui peningkatan kinerja guru matematika Kota Medan. Dalam hal tersebut ada beberapa upaya yang dapat meningkatkan kinerja guru matematika. yaitu: a) memberikan pembekalan dan pelatihan kepada kepala-guru matematika tentang pengetahuan dasar organisasi,

KESIMPULAN Berdasarkan hasil analisis data dan perhitungan secara parametrik sebagaimana yang diuraikan pada bagian sebelumnya, maka pengaruh antara variabel eksogen dan variabel endogen menyimpulkan sebagai berikut: 1) pengetahuan organisasi berpengaruh secara langsung terhadap motivasi berprestasi guru matematika di kota Medan; 2) pengetahuan organisasi berpengaruh secara langsung terhadap pengambilan keputusan guru matematika di kota Medan; 3) pengetahuan organisasi berpengaruh secara langsung terhadap komitmen organisasi guru matematika di kota Medan; dan 4) pengetahuan organisasi berpengaruh secara langsung terhadap kinerja guru matematika di kota Medan. Hasil analisis juga menunjukkan bahwa motivasi berprestasi berpengaruh secara lansung terhadap kinerja guru matematika di kota Medan, pengambilan keputusan berpengaruh secara langsung terhadap kinerja guru matematika di kota Medan, dan komitmen organisasi berpengaruh secara langsung terhadap kinerja guru matematika di kota Medan. Berdasarkan temuan di atas dapat disimpulkan, bahwa semakin tinggi pengetahuan organisasi semakin tinggi pula motivasi berprestasi, pengambilan keputusan, komitmen organisasi dan kinerja guru matematika SMP Kota Medan, dengan masing-masing pengaruhnya secara berturut-turut adalah 16,3%, 13,1%, 12,2%, dan 4,54%. Selanjutnya semakin tinggi motivasi berprestasi, pengambilan keputusan, komitmen organisasi akan semakin tinggi pula kinerja guru

136


Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Kinerja Guru Matematika (Martua Manullang)

Hersey, P. dan Blancard, KH. 1998. Management of Organizational Behaviour. New Jersey: Prentice Hall.

terutama dalam topik analisis system, mengkoordinasikan sumber, perencanaan program, sistem imbalan dan interaksi personal; b) memberikan pembekalan dan pelatihan tentang peningkatan motivasi berprestasi, melalui pemberian lomba penyusunan proposal tentang upaya peningkatan mutu sekolah, serta pemberian hadiah yang memadai; c) melakukan kegiatan studi banding pada sekolah-sekolah yang sudah berhasil dalam meningkatkan mutu sekolahnya, baik dalam maupun luar negeri; d) mendukung dan mendorong guru matematika dalam kenaikan pangkat/golongan; e) melibatkan guru matematika secara aktif dalam setiap kegiatan yang mendukung pelaksanaan tugas pokok dan fungsi mereka; dan, f) memberikan penghargaan berupa pujian atau sertifikat, maupun insentif tambahan bagi guru matematika yang melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya dengan sangat baik.

Hoy, Wayne K, dan Miskel Cecil G. 1991. Educational Administration. New York: Mc Graw Hill Inc. Jackson, David. 1997. Dynamic Organization, The Challenge of Change. London: Macmilian Press. LTD. Kreitner, Robert and Knicki, Angelo. 2003. Perilaku Organisasi, terjemahan Erly Suandi. Jakarta: Salemba Empat. Lewis Jr James. 1989. School Management By Objectives. New York: Parker Publishing Company, Inc. Mangkunegara, A.P. 2000. Manajemen Sumber Daya Manusia Perusahaan. Bandung: Remaja Rosda Karya. McClelland, David et al. 1976. The Achievement Motive. New York: Irvington Publishers. McClelland, David C. 2000. Achievement Motivation. [Online] Dari: http://www.accel-team.com/human relations/hrels 06 mcclleland.html [Diakses: 18 Desember 2012]

UCAPAN TERIMA KASIH Terima kasih kepada Lembaga Penelitian Universitas Negeri Medan atas ijin penelitiannya. Demikian juga disampaikan terima kasih kepada Kepala Dinas Pendidikan Kota Medan atas dukungannya selama pelaksanaan penelitian. Terakhir, ucapan terima kasih kepada Tim Redaktur dan Staf Jurnal Politik dan Kebijakan INOVASI Provinsi Sumatera Utara, yang telah memberikan review dan kesempatan untuk menerbitkan artikel ini.

Mondy, R. Wayne dan Premeaux, Shane R. 1993. Management, Concepts, Proctices, and Skills. Massachuset: Allyn and Bachon. Oktaviani, Ayu. 2003. Pengaruh Proses Pengambilan Terhadap Peningkatan Kinerja Karyawan Perkebunan Sumatera Utara. Bandung, Tesis. Robbins, Stephen P. 1991. Organizational Behavior Concept, Controvercies, Aplications. New Jersey: Prentice Hall International, Inc. Sasse, Connie R. 1981. Person to Person. New York: McGraw-Hill, Inc.

DAFTAR PUSTAKA Baron, Robert A., dan Byme Donn. 1991. Social Psychology, Understanding Human Interaction. Boston: Allyn and Bacon.

Sinaga, B. 2007. Pengembangan Modul Pembelajaran Matematika berdasarkan masalah Berbasis Budaya Batak. Disertasi tidak dipublikasikan. Bandung : PPs Unesa.

Bernardin, H.J. dan Russel, J.E.A. 1993. Human Resource Management. New York: MC Graw Hill, Inc.

Suriasumantri, Jujun S. 2002. Filsafat Ilmu : Sebuah Pengatar Populer. Jakarta: Sinar Harapan.

Bloom, Benjamin S. 1974. Taxonomy Of Educational Objectives, The Clasification Educational Goals, Handbook Cognitive Domine. New York: David Mc. Kay Company, Inc.

Wahidil. 2007. Pengaruh Disentralisasi Pengambilan Keputusan Terhadap Kinerja Satuan Kerja Daerah, Sistem Kontrol Akutansi Sebagai Variabel Intervenning, Studi Empiris Pada Penyelenggara Pemerintah Daerah Kabupaten Kudus. Semarang.

Bryson, John M. 1995. Strategic Planning for Public and Nonpropit Organizations, A Guide to Strengthening and Sustaining Organizational Achievement. San Francisco: Jossey-Bass Publishers. Colquit, Lepine and Wesson. 2009. Organizational Behavior, Improving Performance and Comitmen in the workplace.New York : Mc Graw Hill.

Waspada.co.id. [Online] Dari: http://www.notpen.com/2012/12/mutu-pendidikandi-Medan-Mengenaskan,2012m [Diakses: 20 November 2012]

Djaali. 2008. Psikologi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.

Warsanto. 2002. Dasar-Dasar Yogyakarta: Andi Offset.

Grifin. 2004. Manajemen Jilid 2 Edisi 7 Terjemahan Gina Gania. Jakarta: Erlangga.

Ilmu

Organisasi.

Wibowo. 2007. Manajemen Kerja. Jakarta: Raja Grafindo Perkasa.

137


Inovasi Vol 12 No. 1 Maret 2015 : 138 - 145

TINJAUAN KEPUSTAKAAN PERAN PEMERINTAH DAERAH DALAM IMPLEMENTASI PERATURAN BERSAMA 5 MENTERI TAHUN 2011 TENTANG PENATAAN DAN PEMERATAAN GURU PNS THE ROLE OF LOCAL GOVERNMENT IN THE IMPLEMENTATION OF JOINT REGULATION OF FIVE MINISTERS YEAR 2011 ON STRUCTURING AND EQUITY FOR CIVIL SERVANT TEACHERS Jonni Sitorus Badan Penelitian dan Pengembangan Provinsi Sumatera Utara Jl. Sisingamangaraja No. 198 Medan 20126 email: sitorus_jonni@yahoo.co.id Diterima: 31 Desember 2014; Direvisi:16 Januari 2015; Disetujui:02 Februari 2015

ABSTRAK Peran Pemerintah Provinsi Sumatera Utara dan Pemerintah Kabupaten/Kota terkait penataan dan pemerataan guru sebagai implementasi Peraturan Bersama 5 Menteri tahun 2011 sampai tahun 2014 belum optimal. Untuk mengatasi kelebihan maupun kekurangan (kesenjangan) guru, baik pada jenjang SD maupun SMP di Sumatera Utara diperlukan kebijakan Pemerintah Provinsi dengan mengedepankan peningkatan mutu layanan pendidikan. Beberapa pilihan kebijakan yang dapat ditempuh, yaitu: mutasi guru antarsekolah didalam kabupaten/kota sendiri, atau dari kabupaten/kota sendiri ke kabupaten/kota lain; guru kunjung (mobile teacher), maksudnya guru tersebut selain mengajar di sekolah asalnya juga mengajar di sekolah lain di kabupaten/kota yang sama, tetapi basecamp-nya tetap di sekolah asal; multigrade atau mengajar di beberapa kelas pada sekolah yang sama; seleksi ulang bagi guru bukan PNS untuk mengurangi kelebihan guru bukan PNS di beberapa kabupaten/kota; penempatan guru didasarkan pada jumlah siswa dan penempatan guru di sekolah-sekolah kategori kecil sehingga kekurangan guru dapat ditekan; membuat kelas rangkap bila jumlah keseluruhan siswa yang terdaftar di tiga atau lebih kelas yang berturut-turut adalah 20 atau kurang, atau bila jumlah keseluruhan siswa yang terdaftar di dua kelas berturut-turut adalah 30 atau kurang; dan suatu unit khusus pemantau guru sekolah didirikan di tingkat daerah untuk mendukung penilaian ulang persyaratan guru secara terus menerus. Dari hasil kajian, direkomendasikan bahwa: 1) Pemerintah Provinsi Sumatera Utara perlu segera: a) Menganggarkan biaya pelaksanaan sosialisasi SKB 5 Menteri (2011) tentang PPG, biaya pelaksanaan pemetaan guru, dan biaya pemindahan guru antar Kab/Kota; b) menfasilitasi kerjasama antar kabupaten/kota yang berdekatan dalam perpindahan guru antar kabupaten, maupun kerjasama dalam penugasan mengajar, misalnya dalam wujud Peraturan Daerah atau Peraturan Gubernur; dan, c) untuk mengatasi kekurangan guru, Pemerintah Provinsi Sumatera Utara perlu memperjuangkan ke Menpan-RB tentang formasi penerimaan guru PNS SD dan SMP lebih dari 20.000 orang; 2) Pemerintah Kabupaten/Kota perlu: a) seleksi ulang kelebihan guru Non PNS di tingkat SD dan menempatkan guru berdasarkan pada jumlah siswa bukan pada jumlah sekolah; b) menyusun struktur pendukung agar guru mau melaksanakan pembelajaran kelas rangkap di sekolah dasar kategori kecil; c) menyusun kebijakan dan mekanisme pendukung guru untuk memungkinkan guru mengajar dua mata pelajaran pada jenjang SMP; d) menerapkan peraturan mengajar 24 jam/minggu secara benar; e) mempertimbangkan kembali pembayaran tunjangan profesi guru kearah pembayaran gaji guru berdasarkan jam mengajar, bukan karena sudah disertifikasi; f) menetapkan agar daerah turut membayar tunjangan fungsional guru; dan g) memperkecil dana BOS yang dapat digunakan untuk pembayaran gaji guru sehingga sekolah tidak sembarang mengangkat guru honor; 3) Pemerintah Pusat perlu: a) meninjau kembali atau mengupayakan peningkatan relevansi SKB 5 Menteri tahun 2011 tentang PPG, karena banyak Pemerintah Daerah yang tidak melaksanakannya; dan, b) menetapkan sistem Manajemen Guru antar Pusat dan Daerah, dalam wujud Badan khusus Pemantau Tata Kelola Guru. Kata Kunci:

Peraturan Bersama 5 Menteri, Penataan dan Pemerataan, Guru PNS, Optimalisasi, Peran Pemerintah, Penempatan dan Pemindahan

138


Peran Pemerintah Daerah dalam Implementasi Peraturan Bersama 5 Menteri Tahun 2011 Tentang Penataan dan Pemerataan Guru PNS (Jonni Sitorus)

ABSTRACT The role of the North Sumatra Provincial and District/Municipal Government associated with configuration and equalization of teachers as the implementation of “The Joint Regulation of 5 Ministers Year 2011� until year 2014 is not optimal. To cope with the excess or shortage (gap) of teachers, both in elementary and junior high schools in North Sumatra provincial government policies are needed to promote improved quality of education services. Several policy options that can be taken, namely: mutation teachers between schools in the district/city itself, or from the district/city itself to other districts/municipalities; itinerant teacher (mobile teacher), the meaning that in addition to teaching teachers in the school of origin also taught at other schools in the district/city the same, but the base camp remained in the school of origin; multigrade or teaching in some classes at the same school; reselection private teacher to reduce excess teachers in some districts/cities; teacher placement is based on the number of students and placement of teachers in small schools category so that shortage of teachers can be suppressed; make multigrade when the total number of students enrolled in three or more classes in a row is 20 or less, or if the total number of students enrolled in two classes in a row is 30 or less; a special monitoring unit established school teacher at the local level to support the re-assessment of teachers' ongoing requirements. From the results of the study, it is recommended that: 1) North Sumatra provincial government should immediately: a) the cost of implementing socialization Budgeting SKB 5 Ministers (2011) on the PPG, teachers mapping implementation costs, and the cost of removal of teachers among districts / municipalities; b) facilitate cooperation among districts/cities are adjacent in the movement of teachers between districts, as well as cooperation in teaching assignment, for example in the form of Local Rule or Regulation of the Governor; and, c) to overcome the shortage of teachers, North Sumatra provincial government needs to fight to the minister-RB on the formation of the admissions tutor elementary and junior civil servants more than 20,000 people; 2) the District/City should do: a) the excess reselection Non civil servant teachers at the elementary level and put the teacher based on the number of students rather than on the number of schools; b) develop support structures that teachers want to implement multigrade teaching in elementary school small category; c) develop policies and support mechanisms to enable the teachers teach two subjects at the high school level; d) apply the rules to teach 24 hours/weekcorrectly; e) reconsider teacher professional allowance towards payment of salaries of teachers based on teaching hours, not because it has been certified; f) provides for regional co pay teachers functional allowance; and, g) minimize the BOS funds that can be used for the payment of teachers' salaries so that the school not just lift teacher salaries; 3) The Central Government should do: a) review or strive to increase the relevance of the LCS 5 minister in 2011 about PPG, because many local government that not to do so; and, b) establish a teacher management system between central and local, in the form of a special Board Governance Monitoring Master. Keywords: Joint Regulation of 5 Ministers, Structuring and Equity, Civil Servant Teacher, Optimization, Role of Government, Placement and Removal

berkualitas yang hadir menanamkan nilai-nilai luhur dan memberikan motivasi kepada anak didik. Terbitnya Peraturan Bersama 5 Menteri tahun 2011 tentang Penataan dan Pemerataan Guru PNS, mendorong setiap pemerintah daerah untuk secara sungguh-sungguh memperhatikan ketersediaan, penyebaran, dan relevansi guru disetiap jenjang dan jenis pendidikan. Apabila Pemerintah Daerah Provinsi/Kabupaten/Kota tidak melakukan perencanaan dan pelaksanaan penataan dan pemerataan guru Pegawai Negeri Sipil (PNS), maka konsekuensinya adalah: 1) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dapat memberikan surat peringatan tertulis pada bulan April tahun berjalan bagi pemerintah provinsi / kabupaten /kota yang belum mengirimkan usulan perencanaan penataan dan pemerataan guru PNS dan memberikan rekomendasi kepada Kementerian terkait untuk diberikannya sanksi sesuai dengan kewenangannya dan pelanggaran yang dilakukan; 2) Kementerian Negara

PENDAHULUAN Berbicara tentang upaya pembangunan pendidikan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa tentunya tidak terlepas dari peran dan eksistensi guru sebagai elemen penting pendidikan. Harus diakui, guru merupakan salah satu aktor kunci dalam upaya mewujudkan pembangunan pendidikan yang berkualitas. Banyak penelitian telah membuktikan adanya korelasi yang signifikan antara kualitas dan kinerja guru dengan keberhasilan belajar siswa. Performance dan karakteristik guru secara nyata memberikan kontribusi yang signifikan bagi keberhasilan belajar siswa (Wengkinsky, 2003). Guru memegang peranan yang strategis terutama dalam membentuk watak bangsa melalui pengembangan kepribadian dan nilainilai yang diinginkan (Fakry, 1998). Pernyataan ini secara tidak langsung menegaskan bahwa pembangunan sumber daya manusia berdaya saing yang unggul, bermoral, berkepribadian bangsa, serta memiliki kompetensi tinggi akan sulit terwujud tanpa dukungan guru-guru

139


Inovasi Vol 12 No. 1 Maret 2015 : 138 - 145

Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi atas dasar rekomendasi yang diberikan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dapat menunda pemberian formasi guru PNS kepada pemerintah provinsi/kabupaten/kota; 3) Kementerian Keuangan atas dasar rekomendasi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dapat menunda penyaluran dana perimbangan kepada pemerintah provinsi/kabupaten/kota; dan, 4) Kementerian Dalam Negeri atas dasar rekomendasi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dapat memberikan penilaian kinerja dalam penyelenggaraan urusan penataan dan pemerataan guru dengan penilaian kurang baik. Selain itu, Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendiknas) Nomor 32 Tahun 2013 tentang Standar Pelayanan Minimum untuk jenjang Pendidikan Dasar mengharuskan setiap daerah untuk memenuhi standar ketersediaan guru disetiap satuan pendidikan sesuai dengan kebutuhan dan kualifikasi yang dipersyaratkannya. Tahun 2010, juga keluar Permendiknas Nomor 20 tentang Norma, Standar, Prosedur dan Kriteria bidang pendidikan, yang salah satunya mengatur tentang pendistribusian guru. Namun karena tidak disertai sanksi, maka semua peraturan tersebut menjadi mandul dan akhirnya tidak diimplementasikan oleh daerah. Keluarnya Peraturan Bersama 5 Menteri tahun 2011, oleh semua menteri yang memiliki garis koordinasi kerja dalam peraturan tersebut melengkapi dengan sanksi bagi daerah yang belum melakukan penataan dan pemerataan guru. Menteri PAN-RB lebih dahulu mengeluarkan sanksi penundaan formasi guru PNS bagi daerah yang sudah kelebihan guru dan ditunjukkan dengan alokasi belanja tidak langsung melebihi 50%. Tahun 2013 sudah ada ratusan kabupaten/kota yang ditunda penerimaan formasi Calon PNS dan hanya menyetujui di 226 kabupaten/kota saja (Dinas Pendidikan Kota Medan, 2014). Sementara itu, sanksi dari Menteri Keuangan adalah akan mengurangi alokasi dana perimbangan, Mendikbud akan mengurangi bantuan finansial pendidikan, Mendagri akan menjadikannya sebagai bagian dari penilaian kinerja Kepala Daerah. Ukuran kecukupan dan relevansi serta pemerataan merupakan standar pelayanan yang harus senantiasa diupayakan oleh pemerintah daerah dalam rangka meningkatkan mutu pelayanan pendidikan. Disinyalir selama ini guru banyak tersebar di daerah ataupun sekolahsekolah perkotaan, sementara daerah pinggiran masih mengalami kekurangan guru. Jika dilihat

secara rasio guru siswa dalam lingkup kabupaten/kota, maka rasio guru siswa relatif memadai (Balitbang Sumut, 2014). Untuk konteks Sumatera Utara, data rasio siswa terhadap guru untuk jenjang Pendidikan Dasar menurut Badan Pusat Statistik Sumatera Utara tahun 2013 menunjukkan bahwa hampir seluruh Kabupaten/Kota di Sumatera Utara memiliki rasio guru dengan murid berada di bawah garis standar rasio minimal yang dipersyaratkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 41 Tahun 2007 yaitu 1:28. Artinya bahwa hampir semua Kabupaten/Kota di Sumatera Utara mengalami kecukupan jumlah guru. Hanya ada beberapa kabupaten/kota yang memiliki rasio diatas standar nasional maupun Permendagri, misalnya: Kabupaten Padang Lawas Utara untuk SD memiliki rasio guru dan siswa 1:41; Kabupaten Batubara untuk SMP rasionya 1:29; Kabupaten Deli Serdang untuk SMP rasionay 1:31; dan Kabupaten Labuhan Batu untuk SMP rasionya 1:38 (BPS, 2013). Sumatera Utara memiliki ketersediaan guru yang cukup, bahkan cenderung berlebih. Sayangnya kecukupan guru tersebut tidak diimbangi dengan distribusi yang merata. Bila dilihat dari rasio guru siswa, Kabupaten Batubara untuk SD memiliki rasio guru siswa 1:2; Kabupaten Phakpak Barat untuk SMP rasionya 1:8; dan Kota Gunung Sitoli untuk SMP rasionya 1:8 (BPS, 2013). Kabupaten/kota yang memiliki kelebihan guru, utamanya di wilayah perkotaan. Hal ini terjadi karena rekrutmen pegawai negeri sipil untuk formasi guru belum berdasarkan kebutuhan, begitu juga dengan Kabupaten/Kota yang lain, namun tidak terlalu besar. Total inefisiensi anggaran akibat kelebihan guru di Sumatera Utara untuk membayar guru bukan PNS pada jenjang SDN dan SMPN adalah sekitar Rp. 263.654.400.000,- per tahun. Jumlah ini mendekati APBD salah satu kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Utara. Kesenjangan guru antar daerah masih tinggi karena distribusi guru yang tidak merata. Rata-rata daerah perkotaan memiliki jumlah guru PNS di atas jumlah rombelnya, sementara 4 dari 10 kabupaten/kota yang memiliki guru PNS paling di bawah jumlah rombelnya adalah: Padang Sidimpuan, Medan, Nias Selatan, dan Nias Utara (Balitbang Sumut, 2014). Untuk mengoptimalkan layanan pendidikan di daerah adalah dengan melakukan penataan dan pemerataan guru PNS melalui Peraturan Bersama 5 Menteri tahun 2011. Melalui Perencanaan, Penataan dan Pemerataan Guru (PNS), maka: 1) tersedia dana yang lebih besar untuk meningkatkan mutu pendidikan; 2) peluang bagi guru menjadi lebih besar untuk

140


Peran Pemerintah Daerah dalam Implementasi Peraturan Bersama 5 Menteri Tahun 2011 Tentang Penataan dan Pemerataan Guru PNS (Jonni Sitorus)

pengembangan keprofesian berkelanjutan; 3) pencapaian kinerja dinas pendidikan untuk mencapai Standar Pelayanan Minimal dan Standar Nasional Pendidikan; dan, 4) mengurangi kesenjangan mutu pendidikan. Pemerintah Provinsi Sumatera Utara belum berperan terkait penataan dan pemerataan guru sebagai implementasi Peraturan Bersama 5 Menteri tahun 2011 sampai tahun 2014 untuk melakukan sosialisasi peraturan dimaksud kepada Kabupaten/Kota yang ada di Sumatera Utara. Peran dan tugas pemerintah Kabupaten/Kota terkait penataan dan pemerataan guru-guru PNS di Sumatera Utara juga belum berjalan seperti yang diamanatkan pada Peraturan Bersama 5 Menteri tahun 2011. Sampai tahun 2014 belum ada produk hukum yang mengatur pendistribusian guru yang dikeluarkan oleh Pemerintah Provinsi Sumatera Utara (Balitbang Sumut, 2014). Berdasarkan pemetaan kebutuhan dan kekurangan guru PNS, Dinas Pendidikan Kabupaten/kota di Sumatera Utara sebagai Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) yang membidangi pendidikan, mempunyai tugas menyusun rencana dan tindak lanjut Penataan dan Pemerataan Guru (PPG) PNS. Hal tersebut sejalan dengan amanat Peraturan Bersama 5 Menteri tahun 2011 tentang Penataan dan Pemerataan Guru PNS. Dengan kata lain, Pemerintah Provinsi Sumatera Utara dan Pemerintah kabupaten/Kota belum maksimal melaksanakan tugasnya dalam PPG. Padahal, daerah-daerah yang memiliki kecukupan guru PNS memiliki dampak terhadap mutu pendidikan. Tulisan ini bertujuan untuk mengkaji secara ilmiah peran pemerintah daerah dalam mengimplementasikan Peraturan Bersama 5 Menteri Tahun 2011 dalam bentuk kebijakan daerah untuk penataan dan pemerataan PNS yang optimal.

Analisis yang dilakukan pada dasarnya merupakan meta-analysis. Untuk dapat melakukan meta-analysis yang memiliki keakuratan data dan informasi, maka diperlukan tahapan untuk melakukan kodifikasi terhadap berbagai studi atau dokumen terkait agar tidak terjadi bias yang cukup besar terhadap masalah yang akan dikaji dalam suatu penelitian (Cooper, 2010). HASIL DAN PEMBAHASAN Kewenangan Pemerintah Provinsi dalam penataan dan pemerataan guru sesungguhnya cukup strategis apabila menerapkan Peraturan Bersama 5 Menteri tahun 2011 tentang Penataan dan Pemerataan Guru PNS. Peraturan dimaksud menyatakan bahwa perpindahan guru dari satu Kabupaten/Kota ke Kabupaten/Kota lain misalnya adalah menjadi kewenangan Pemerintah Provinsi. Selain itu, pelaksanaan penataan dan pemerataan guru ini juga didasarkan pada: 1) PP 38 tahun 2007 tentang Pembagian Kewenangan antara Pusat dan Daerah; 2) Permendiknas No. 20 Tahun 2010 tentang SNPK (Norma, Standar, Prosedur dan Kriteria) di Bidang Pendidikan; 3) Permendikbud No. 62 tahun 2013 tentang Sertifikasi Guru dalam Jabatan dalam rangka Penataan dan Pemerataan Guru; dan, 4) Undang_Undang No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Kekurangan guru pada jenjang SD maupun SMP di Sumatera Utara jumlahnya cukup banyak, sementara ada daerah yang kelebihan guru PNS. Maka diperlukan kebijakan Pemerintah Provinsi dengan mengedepankan peningkatan mutu layanan pendidikan. Jika hal ini disadari dengan sungguh-sungguh, maka ada beberapa pilihan kebijakan yang dapat ditempuh. Kebijakan dimaksud berorientasi empat hal, yaitu Pertama, mutasi guru: a) antarsekolah di dalam kabupaten/kota sendiri; dan, b) dari Kabupaten/Kota sendiri ke Kabupaten/Kota lain. Untuk melakukan mutasi guru antarkabupaten/kota, diperlukan berupa Surat Keputusan Gubernur atau Peraturan Daerah Provinsi. Kedua, Guru kunjung (mobile teacher), dimana guru tersebut selain mengajar di sekolah asalnya juga mengajar di sekolah lain di Kabupaten/Kota yang sama, tetapi basecampnya tetap di sekolah asal. Ketiga, Multigrade atau mengajar di beberapa kelas pada sekolah yang sama, misalnya guru A mengajar di kelas 1 dan 2; si B mengajar di kelas 3 dan 4, dan guru C mengajar di kelas 5 dan 6. Opsi ini dipilih untuk mengatasi kekurangan guru di sekolah yang berkategori Sekolah Kecil (siswanya 1-90 orang). Keempat, Seleksi ulang bagi Guru bukan

METODE Tulisan ini pada dasarnya merupakan “ex post facto research� karena menggunakan data dan informasi dari yang sudah terjadi. Dalam konteks penelitian sosial maka ex posto facto research merujuk kepada studi-studi atau penelitian-penelitian yang menginvestigasi kemungkinan hubungan yang terjadi antara suatu keputusan dan akibat yang dihasilkan di samping juga untuk mengkaji kemungkinan hubungan sebab-akibat. Dengan ex posto facto research maka peneliti mempertanyakan faktorfaktor yang kemungkinan dapat diasosiasikan dengan kejadian-kejadian atau kondisi-kondisi yang terjadi dan tidak terjadi (Cohen, 2007).

141


Inovasi Vol 12 No. 1 Maret 2015 : 138 - 145

PNS untuk mengurangi kelebihan guru bukan PNS di beberapa kabupaten/kota. Seleksi ulang ini dapat dilakukan masing-masing Pemerintah Kabupaten/Kota dengan menggunakan uji kompetensi guru dan uji kemampuan lainnya yang dianggap penting oleh Pemerintah Daerah (Peraturan Bersama 5 Menteri tahun 2011 tentang Penataan dan Pemerataan Guru PNS). Opsi kebijakan dalam rangka peningkatan layanan pendidikan di daerah Kabupaten/kota dapat diajukan sebagai berikut. Pertama, Pemberian Insentif bagi guru yang bertugas di daerah yang sulit dijangkau (hard to reach), terisolir, dan tertinggal. Kedua, Peningkatan Kualifikasi Guru, Kepala Sekolah (S1) dan Pengawas (S2) agar makin tinggi tingkat pencapaian standar pelayanan minimal pendidikan dasar di wilayah Provinsi Sumatera Utara. Ketiga, Asset Base Community Development (ABCD), pembangunan masyarakat berbasis asset daerah, khususnya di daerah Kabupaten/Kota yang memiliki daerah yang sulit dijangkau (hard to reach), terisolir, dan tertinggal. Dalam jangka panjang, untuk meningkatkan kualitas pelayanan pendidikan perlu didik warga dari daerah yang sulit dijangkau (hard to reach), terisolir, dan tertinggal untuk menjadi guru setara S1. Hal ini diusulkan mengingat bahwa daerah yang sulit dijangkau (hard to reach), terisolir, dan tertinggal ini mengalami dalam kekurangan guru jumlah yang besar, sementara guru-guru dari daerah perkotaan jika ditugaskan ke daerah seperti itu maka tidak mau tinggal lama disana.Jika kondisi daerah tersebut dibiarkan terlalu lama dengan kekurangan guru, maka dampaknya adalah mundurnya kemampuan SDM di daerah tersebut untuk bersaing/berkompetisi secara menyeluruh. Pemerintah Kabupaten/Kota yang dianggap perlu melakukan opsi kebijakan ini adalah Nias Selatan, Labuhan Batu, Mandailing Natal, Nias Utara, Langkat, Simalungun, Tobasa. Sesungguhnya jika Pemerintah Provinsi memiliki komitmen untuk melaksanakan Peraturan Bersama 5 Menteri Tahun 2011, maka ada beberapa opsi kebijakan yang dapat dilakukan. Kewenangan dimaksud, misalnya membuat Peraturan Daerah yang didalamnya mengatur tentang sejumlah opsi kebijakan, diantaranya: 1) penempatan guru didasarkan pada jumlah siswa dan penempatan guru di sekolah-sekolah kategori kecil sehingga kekurangan guru dapat ditekan; 2) Membuat kelas rangkap bila jumlah keseluruhan siswa yang terdaftar di tiga atau lebih kelas yang berturut-turut adalah 20 atau kurang, atau bila jumlah keseluruhan siswa yang terdaftar di dua

kelas berturut-turut adalah 30 atau kurang; dan, 3) Suatu unit khusus pemantau guru sekolah didirikan di tingkat daerah untuk mendukung penilaian ulang persyaratan guru secara terus menerus. Unit ini bertugas antara lain menentukan kebutuhan guru di masing-masing sekolah, meninjau ulang dan memperbarui rasio muridguru sekolah dan daerah, memantau kecenderungan pendaftaran siswa dan memproyeksi permintaan akan guru, meninjau beban kerja guru, dan menjalin hubungan dengan Lembaga Penjamin Tenaga Pendidik dan Kependidikan (LPTK) untuk masalah permintaan akan guru, terutama yang terkait dengan kebutuhan akan guru dengan keterampilan khusus. Unit ini juga dapat memonitor kualifikasi guru yang dipekerjakan di sekolah, terutama untuk menghindari terjadinya ketidakcocokan dan kelebihan guru.Kebijakan yang ditawarkan ini jelas untuk meningkatkan mutu pendidikan. Kebijakan pendidikan harus memiliki tujuan pendidikan yang jelas dan terarah untuk memberikan kontribusi pada pendidikan (Imron, 1995). Tantangan utama bagi pemerintah daerah adalah dalam memberikan dukungan yang khusus dan disesuaikan bagi masing-masing sekolah. Sebagian besar sumber daya finansial selayaknya diperuntukkan bagi sekolah-sekolah yang berkinerja paling buruk atau yang paling membutuhkan, dengan dukungan kuat dan pemantauan melekat dari daerah.Sekarang ini, kesenjangan antardaerah dalam hal hasil pembelajaran, fasilitas sekolah, dan kualitas guru, serta latar belakang sosioekonomi siswa cukup besar. Sekolah yang berkinerja rendah atau kekurangan dana harus menjadi target penerima dukungan tambahan dari daerah, sejalan dengan kewajiban daerah untuk membantu sekolah memenuhi standar minimum pelayanan pendidikan. Penugasan langsung dari pemerintah daerah kepada guru untuk bertugas di sekolah-sekolah ini mungkin akan berlanjut hingga jangka waktu menengah demi memastikan mutu dan tersedianya guru. Seharusnya pemerintah provinsi peduli akan hal ini dan menjadikan salah satu prioritas program pemerintah provinsi di bidang pendidikan. Peraturan Daerah tersebut hendaknya memuat tentang kewajiban kepala sekolah untuk memberikan data kinerja guru kepada dinas pendidikan di daerah. Dinas pendidikan dapat menyikapi informasi ini dengan memastikan bahwa: a) guru yang mengikuti program perbaikan untuk sementara waktu tidak naik golongan (merujuk pada skala kenaikan golongan dan gaji PNS; b) kepala

142


Peran Pemerintah Daerah dalam Implementasi Peraturan Bersama 5 Menteri Tahun 2011 Tentang Penataan dan Pemerataan Guru PNS (Jonni Sitorus)

sekolah memberikan dukungan kepada guruguru yang berkinerja rendah dengan melakukan observasi dan memberikan konseling secara reguler, atau merekomendasikan pemindahan maupun pemecatan; c) kepala sekolah mendukung tinjauan tahunan atas semua guru melalui pertemuan berkala dengan para guru, observasi kelas tinjauan dokumentasi (misalnya rencana pembelajaran, bahan pengajaran, dan catatan pekerjaan siswa); dan, (d) pada saat menjalankan tinjauan tahunan, kepala sekolah memperhatikan tingkat pengalaman masing masing guru agar perhatian bisa lebih banyak diberikan bagi guru yang kurang berpengalaman. Kepala sekolah harus bekerja sama dengan para guru yang berkinerja kurang bagus dalam mengembangkan suatu rencana aksi perbaikan. Rencana demikian harus dimulai dengan kesepakatan pada bidang-bidang yang memerlukan perhatian.Beberapa contoh kinerja yang kurang baik ini harus disebutkan dengan jelas. Untuk memperbaiki kekurangan sang guru, kepala sekolah harus menyetujui jenis bantuan seperti apa yang diberikan. Dalam banyak kasus, proses ini akan melibatkan banyak masukan dari guru lain yang lebih berpengalaman, yang akan bekerja mendampingi guru yang lebih lemah. Serangkaian tenggat waktu dan sasaran harus ditetapkan, dan berbagai pertemuan juga perlu dijadwalkan. Kepala sekolah harus mengundang beberapa kali pertemuan untuk mendiskusikan perkembangan guru agar ia bisa berhasil hingga akhir program. Seluruh tindakan dan dukungan yang diberikan harus tercatat dengan baik.Guru juga harus selalu diberikan salinan catatan itu. Dalam hal terjadi pemindahan penugasan atau pemecatan, keputusan itu harus diambil berdasarkan pada bukti dokumentasi yang sahih. Implementasi kebijakan merupakan jembatan yang menghubungkan formulasi kebijakan dengan hasil (outcome) kebijakan yang diharapkan. Proses kebijakan pendidikan implementasi kebijakan adalah sesuatu yang penting, bahkan jauh lebih penting daripada pembuatan kebijakan (Wahab, 1991). Sampai tahun 2014 Pemerintah Provinsi sudah seharusnya melaksanakan tugasnya sesuai Peraturan Bersama 5 Menteri, meliputi: sosialisasi Penataan dan Pemertaan Guru; menyusun analisis kebutuhan guru per daerah; menyiapkan peta guru; menfasilitasi pemindahan guru PNS antar Kabupaten/Kota; dan, menyediakan dana mulai dari sosialisasi sampai pemindahan guru. Pelaksanaan penataan dan pemerataan guru ini juga didasarkan pada Peraturan

Pemerintah No. 38 tahun 2007 tentang Pembagian Kewenangan antara Pusat dan Daerah, dan Permendiknas No 20 Tahun 2010 tentang SNPK (Standar, Norma, Prosedur dan Kriteria) di Bidang Pendidikan. KESIMPULAN Optimalisasi peran Pemerintah Daerah untuk mengatasi kelebihan maupun kekurangan (kesenjangan) guru, baik pada jenjang SD maupun SMP di Sumatera Utara diperlukan kebijakan Pemerintah Provinsi dengan mengedepankan peningkatan mutu layanan pendidikan. Beberapa pilihan kebijakan yang dapat ditempuh, yaitu: 1) mutasi guru antar sekolah di dalam Kabupaten/Kota sendiri, atau dari Kabupaten / Kota sendiri ke Kabupaten / Kota lain; 2) guru kunjung (mobile teacher), maksudnya guru tersebut selain mengajar di sekolah asalnya juga mengajar di sekolah lain di kabupaten/kota yang sama, tetapi basecampnya tetap di sekolah asal; 3) multigrade atau mengajar di beberapa kelas pada sekolah yang sama; 4) seleksi ulang bagi Guru bukan PNS (BPNS) untuk mengurangi kelebihan guru BPNS di beberapa kabupaten/kota; 5) penempatan guru didasarkan pada jumlah siswa dan penempatan guru di sekolah-sekolah kategori kecil sehingga kekurangan guru dapat ditekan; 6) membuat kelas rangkap bila jumlah keseluruhan siswa yang terdaftar di tiga atau lebih kelas yang berturut-turut adalah 20 atau kurang, atau bila jumlah keseluruhan siswa yang terdaftar di dua kelas berturut-turut adalah 30 atau kurang; dan, 7) suatu unit khusus pemantau guru sekolah didirikan di tingkat daerah untuk mendukung penilaian ulang persyaratan guru secara terus menerus. REKOMENDASI 1. Pemerintah Provinsi Sumatera Utara perlu segera: a. Menganggarkan biaya pelaksanaan sosialisasi SKB 5 Menteri (2011) tentang PPG, biaya pelaksanaan pemetaan guru, dan biaya pemindahan guru antar Kab/Kota. b. Menfasilitasi kerjasama antar Kabupaten/Kota yang berdekatan dalam perpindahan guru antar kabupaten, maupun kerjasama dalam penugasan mengajar, misalnya dalam wujud Peraturan Daerah atau Peraturan Gubernur. c. Untuk mengatasi kekurangan guru, Pemerintah Provinsi Sumatera Utara perlu mengusulkan kepada Menteri PAN-RB tentang formasi penerimaan

143


Inovasi Vol 12 No. 1 Maret 2015 : 138 - 145

guru PNS SD dan SMP lebih dari 20.000 orang. 2.

3.

Cooper, Harris. 2010. Research Synthesis and Meta-Analysis: A Step-by-Step Approach (4th ed.). London: SAGE Publications Ltd.

Pemerintah Kabupaten/Kota: a. Seleksi ulang kelebihan guru Non PNS di tingkat SD dan menempatkan guru berdasarkan pada jumlah siswa bukan pada jumlah sekolah. b. Menyusun struktur pendukung agar guru mau melaksanakan pembelajaran kelas rangkap di sekolah dasar kategori kecil. c. Menyusun kebijakan dan mekanisme pendukung guru untuk memungkinkan guru mengajar dua mata pelajaran pada jenjang SMP. d. Menerapkan peraturan mengajar 24 jam/minggu secara benar. e. Mempertimbangkan kembali pembayaran tunjangan profesi guru kearah pembayaran gaji guru berdasarkan jam mengajar, bukan karena sudah disertifikasi. f. Menetapkan agar daerah turut membayar tunjangan fungsional guru. g. Memperkecil dana BOS yang dapat digunakan untuk pembayaran gaji guru sehingga sekolah tidak sembarang mengangkat guru honor.

Fakry, Gaffar. M. 1998. Administrasi Pendidikan. Mimbar Pendidikan, No. 2 Tahun XVII April 1998. Imron, Ali. 1995. Pembinaan Guru di Indonesia. Jakarta: Pustaka Jaya. Peraturan Bersama Menteri Pendidikan Nasional, Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Dan Reformasi Birokrasi, Menteri Dalam Negeri, Menteri Keuangan, Dan Menteri Agama Tahun 2011 Tentang Penataan Dan Pemerataan Guru Pegawai Negeri Sipil. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 41 tahun 2007 tentang Organisasi Pemerintah Daerah. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No.62 Tahun 2013 tentang Sertifikasi Guru dalam Jabatan dalam Rangka Penataan dan Pemerataan Guru. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.

Pemerintah Pusat: a. Meninjau kembali atau mengupayakan peningkatan relevansi SKB 5 Menteri tahun 2011 tentang PPG, karena banyak Pemerintah Daraerah yang tidak melaksanakannya. b. Menetapkan sistem Manajemen Guru antarPusat dan Daerah, dalam wujud Badan khusus Pemantau Tata Kelola Guru.

Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Kewenangan antara Pusat dan Daerah. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 32 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 15 Tahun 2010 Tentang Standar Pelayanan Minimal Pendidikan Dasar di Kabupaten/Kota. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 15 Tahun 2010 tentang Standar Pelayanan Minimum.

DAFTAR PUSTAKA Badan Penelitian dan Pengembangan Provinsi Sumatera Utara. 2014. Kajian Distribusi Guru. Hasil Penelitian. Medan: Balitbang Sumut.

Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 16 tahun 2007 tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru.

Badan Pusat Statistik (BPS) Sumatera Utara. 2013. Sumatera Utara Dalam Angka 2013. Medan: BPS.

Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2010 tentang Norma, Standar, Prosedur, dan Kriteria.

Badan Penelitian dan Pengembangan Kota Medan. 2014. Penataan dan Pemerataan Guru. Laporan Penelitian. Medan: Dinas Pendidikan Kota Medan.

Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.

Cohen, Louis, Manion, Lawrence, dan Morrison, Keith. 2007. Research Methods in Education. New York: Routledge.

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

144


Peran Pemerintah Daerah dalam Implementasi Peraturan Bersama 5 Menteri Tahun 2011 Tentang Penataan dan Pemerataan Guru PNS (Jonni Sitorus)

Wahab, A, & Mustaqim. 1991. Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta.

Psikologi

Wengkinsky, H. 2003.How School Matter: the Link between Teachers Classroom Practices and Student Academic Performance. Education Policy Analysis Archieve (online: http//epaa.asu.edu/apaa, diakses September 2015).

145


Pedoman Penulisan Naskah Ilmiah Jurnal INOVASI Jurnal INOVASI memuat karya tulis ilmiah hasil penelitian atau tinjauan kepustakaan dalam bidang pemerintahan dan kemasyarakatan, sosial budaya, ekonomi dan pembangunan, sumberdaya alam dan maritim sebagai bahan kebijakan dan wawasan berpolitik. Jurnal INOVASI terbit empat kali dalam setahun setiap bulan Maret, Juni, September dan Desember.

g.

h.

Naskah yang akan diterbitkan dalam Jurnal INOVASI Balitbang Provinsi Sumatera Utara, harus memenuhi ketentuan berikut : Bentuk Naskah 1. Naskah berupa karya asli yang belum pernah dipublikasikan di tempat lain dan tidak sedang diajukan ke tempat lain. 2. Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris sesuai dengan kaidah masingmasing bahasa yang digunakan. Komponen Naskah Komponen utama naskah wajib mencantumkan dan memuat hal-hal berikut: a. Judul, dalam bahasa Indonesia disertai dengan terjemahannya dalam bahasa Inggris, ditulis dengan jelas menggambarkan isi tulisan. b. Identitas Penulis, dimuat di bawah judul tulisan, memuat nama, alamat korespondensi dan e-mail. c. Abstrak ditulis dalam Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris beserta kata kunci sebanyak 37. Abstrak ditulis dalam 1 alinea berisi latar belakang masalah, tujuan penelitian, hasil, dan rekomendasi. Panjang abstrak dibatasi 200450 kata. d. Pendahuluan, tidak menggunakan subjudul, berisi penjelasan padat dan ringkas tentang latar belakang dilakukannya penelitian, studi pustaka yang mendukung dan relevan, serta tujuan penelitian. e. Metode berisikan disain penelitian yang digunakan, lokasi penelitian, populasi, sampel, sumber data, instrumen, pendekatan terhadap analisis data serta teknik analisis/ uji statistik yang digunakan. Bagian metode ditulis tanpa subjudul. f. Hasil dan Pembahasan, adalah temuan penelitian yang disajikan apa adanya tanpa pendapat penulis, kemudian dilanjutkan dengan bahasan argumentatif-interpretatif tentang jawaban terhadap hasil penelitian yang ditulis secara sistematis sesuai tujuan penelitian dan relevan dengan penelitian

i.

j.

terdahulu. Bagian Hasil dan Pembahasan ditulis tanpa subjudul. Kesimpulan menjawab tujuan penelitian tanpa melampauinya. Sedapat mungkin bagian kesimpulan ditulis dalam bentuk narasi. Rekomendasi berisi usulan-usulan kebijakan yang memungkinkan dihasilkan, berisi bentuk dan telaahannya untuk dilaksanakan mengacu pada prinsip tepat-guna, logis dan relevan. Jika tidak memungkinkan dalam bentuk narasi, rekomendasi dapat dibuat dalam bentuk butir-butir rekomendasi. Daftar Pustaka menuliskan sesuai dengan acuan model Harvard (lihat contoh), berurutan sesuai abjad. Jumlah kepustakaan untuk tulisan hasil penelitian minimum 10 rujukan sementara untuk Tinjauan Kepustakaan minimum 20 rujukan. Ucapan Terima Kasih, jika ada, merupakan wujud penghargaan kepada pihak-pihak yang terlibat dalam penelitian atau penulisan naskah.

Tabel dan Gambar Tabel, gambar dan grafik dapat terbaca dengan jelas serta diberi penjelasan yang memadai, mudah dipahami dan proporsional. Judul tabel diletakkan di atas tabel dan judul gambar di bawah gambar. Tabel dan atau gambar yang diacu dari sumber lain harus disebutkan, kecuali merupakan hasil penelitian penulisnya sendiri. Peta yang dicantumkan dalam tulisan harus dibuat dalam resolusi yang tinggi sehingga memudahkan pencetakkan dan menampilkan hasil yang baik. Penulis yang mencantumkan peta diminta untuk membayar tambahan biaya pencetakan peta dimaksud. Contoh Penulisan Daftar Pustaka Buku Abel, R. 2004. Revolusi Kesehatan Mata: Pencegahan dan Pengembalian Masalah Penglihatan. New York: Kensington Book Chaniago, A. 2010. Studi Pustaka dan Konseptualisasi Penelitian. Dalam: Zaluchu, F. Metodologi Penelitian Kesehatan. Bandung: Citapustaka Media, hal 79-92. Artikel dari Jurnal Ang, L. dan Taylor, B. 2005. Memanajemen Keuntungan Konsumen Menggunakan Matriks Portofolio. Jurnal Pemasaran dan Manajemen Konsumen Strategik 12 (5), hal 298-304 Bagian di dalam buku Ballinger, A. dan Clark, M. 2001. Nutrisi, Pengendalian Nafsu Makan dan Penyakit. Dalam: Payne-James, J. dkk.


editor. Dukungan Artifisial bagi Praktik Klinik. Edisi kedua. London: Greenwich Medical, hal 225-239 Laporan Komisi Eropa. 2004. Laporan Pendahuluan terhadap Implementasi dari Strategi Pemasaran Internal 2003-2006. Luxemburg: Unit Publikasi Komisi Eropa. Konferensi Fiedelius, H.C. 2000. Miopi dan Penurunan Visual: Aspek Global. Dalam: Lin, L.L.K. dkk. editor. Miopia Terbarukan II: Prosiding Konferensi Internasional ke-7. Taipei, 17-20 Nopember 1998. Tokyo: Springer, hal 31-37. Tesis Garcia-Sierra, A. 2000. Investigasi Penyebab Ca-Serviks pada Wanita Usia Subur di Perkotaan. Tesis PhD, Universitas Indonesia. Jurnal Artikel Elektronik (yang diunduh) Merchant, A.T. 2009. Diet dan Aktifitas Fisik pada AnakAnak di Kawasan Kumuh Perkotaan: sebuah Studi Cross Sectional. Jurnal Nutrisi [Online] Edisi 6. Dari: http://www.nutritionj.com/content/pdf/1475-28916.1.pdf [Diakses: 10 Mei 2007]. Web Page (yang dibaca) Thompson, B. 2006. Mengapa Balita Butuh ASI [Online]. Dari: http://news.bbc.co.uk/1/hi/health/459876 [Diakses: 10 Mei 2007]. Depkes RI. 2006. Panduan Imunisasi [Online]. Dari: http://www.depkes.go.id/bayi_panduan_imunisasi/2345 [Diakses: 19 Februari 2011].

Penulisan Naskah dituliskan dengan menggunakan Times New Roman 12, maksimal 20 halaman A4 spasi ganda, ditulis dengan program komputer Microsoft Word. Prosedur Naskah Naskah yang masuk hendaknya diterima 2 (dua) bulan sebelum waktu penerbitan untuk di-review oleh anggota dewan redaksi dan reviewer (mitra bestari) yang ditunjuk oleh Dewan Redaksi. Dewan Redaksi berhak menolak naskah ilmiah yang dianggap tidak layak muat di Jurnal Inovasi. Naskah diserahkan dalam 2 (dua) media yaitu hardcopy dan softcopy yang keduanya harus memuat isi yang sama. Nama file, judul dan nama penulis naskah dituliskan pada label CD. Pengiriman naskah ke alamat redaksi melalui surat elektronik ke : inovasibpp@gmail.com atau melalui pos ke : Dewan Redaksi Jurnal INOVASI Badan Penelitian Dan Pengembangan Provinsi Sumatera Utara Jl. Sisingamangaraja No. 198 Medan 20126 Redaksi berhak menolak naskah yang isi dan formatnya tidak sesuai dengan pedoman

penulisan naskah di atas dan redaksi tidak berkewajiban untuk mengembalikan naskah tersebut. Setiap penerimaan atau penolakan naskah akan disertai dengan surat resmi yang ditandatangani oleh Dewan Redaksi dan dikirimkan kepada penulis. Setiap penulis yang karya tulisnya telah diterbitkan, akan mendapat satu buah cetak lepas dan satu buah full print. Hak Cipta Setiap penulis menyetujui untuk mengalihkan hak ciptanya ke Jurnal Inovasi jika naskahnya diterima untuk diterbitkan.


INOVASI – Vol. 12, No.2, Juni 2015, halaman 77 - 145


Alamat Redaksi : BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PROVINSI SUMATERA UTARA Jl. Sisingamangaraja No. 198 Medan 20126 Tel. (061) 7866225; 7883016; Fax. (061) 7866248 Email : inovasibpp@gmail.com


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.