Jurnal Inovasi Juni 2014

Page 1

ISSN 1829-8079

INOVASI JURNAL POLITIK DAN KEBIJAKAN Vol. 11 No. 2, Juni 2014

Distribusi dan Pemerataan Guru untuk Memperoleh Layanan Pendidikan Berkualitas (Syaiful Sagala) Faktor Budaya dan Kaitannya dengan Rendahnya Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan dalam Pemeriksaan Kehamilan dan Persalinan (Yulfira Media) Strategi Pengembangan Potensi Pelabuhan Khusus Crude Palm Oil (CPO) di Sumatera Utara (Sahat Christian Simanjuntak) Strategi Pengembangan Komoditi Unggulan Sayur Dan Buah (Nobrya Husni, Porman Juanda Marpomari Mahulae) Evaluasi Tata Guna Lahan di Sumatera Utara (Anton Parlindungan Sinaga) Tingkat Perburuan, Pengetahuan Masyarakat dan Kebijakan Perlindungan Trenggiling (Manis Javanica Desmarest, 1822) Di Sekitar Hutan Konservasi (Wanda Kuswanda) Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat di Kawasan Sei Mangkei untuk Mendukung Program MP3EI (Sahat Christian Simanjuntak)

Diterbitkan oleh :

Badan Penelitian dan Pengembangan Provinsi Sumatera Utara Inovasi Vol. 11 No. 2

Hal. 83 - 158

Medan Juni 2014

ISSN 1829 - 8079

Terakreditasi sebagai Majalah Berkala Ilmiah dengan Nomor Akreditasi: 532/AU2/P2MI-LIPI/04/2013


Volume 11, Nomor 2

Juni 2014

ISSN 1829-8079

Jurnal INOVASI adalah jurnal ilmiah bidang ilmu politik dan kebijakan yang terakreditasi dengan Nomor Akreditasi: 532/AU2/P2MI-LIPI/04/2013 berdasarkan Surat Keputusan Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Nomor : 377/E/2013 tanggal 16 April 2013 Jurnal INOVASI sebagai media litbang Provinsi Sumatera Utara memuat karya tulis ilmiah hasil penelitian atau tinjauan kepustakaan dalam bidang pemerintahan dan kemasyarakatan, sosial budaya, ekonomi dan pembangunan, sumberdaya alam dan maritim sebagai bahan kebijakan dan wawasan berpolitik yang terbit empat kali dalam setahun setiap bulan Maret, Juni, September dan Desember.

Penasehat Penanggung Jawab Pemimpin Redaksi Dewan Redaksi

Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Provinsi Sumatera Utara Sekretaris Badan Penelitian dan Pengembangan Provinsi Sumatera Utara Prof. Dr. H. Syaiful Sagala, S.Sos, M.Pd (Pendidikan, Universitas Negeri Medan) Prof. Dr. Dra. Ida Yustina, M. Si (Kesehatan, Universitas Sumatera Utara) Prof. Dr. Ir. Nurhayati, MP (Pertanian, Universitas Islam Sumatera Utara) Prof. Dr. Suharta, M.Si (Teknik, Universitas Negeri Medan) Warjio, MA, PSD (Kesejahteraan Sosial, Universitas Sumatera Utara) Iskandar Muda, SE, M.Si., Ak (Ekonomi, Universitas Sumatera Utara) Suzanna Eddyono, S.Sos., M.Si., MA (Sosiologi, Universitas Muhammadiyah Sumut) Jonni Sitorus, ST., M.Pd (Pendidikan, Balitbang Provinsi Sumut)

Redaksi Pelaksana

Irwan Purnama, SE Nobrya Husni, ST Porman Juanda Marpomari Mahulae, ST

Tata Usaha dan Sirkulasi

Dumora Jenny Margaretha Siagian, ST Silvia Darina, SP Sahat C. Simanjuntak, ST Anton Parlindungan Sinaga, ST

Mitra Bestari Volume 11, 11, Nomor 2, Juni Juni 2014 Badaruddin (Sosial dan Politik, Universitas Sumatera Utara) Zulkifli Nasution (Pertanian, Universitas Sumatera Utara Julaga Situmorang (Pendidikan, Universits Negeri Medan) Harso Kardinata (Pertanian, Universits Sumatera Utara) Fotarisman Zhaluchu (Kesehatan, Kabupaten Nias) Gustam Lubis (Teknik, Institut Teknologi Medan) Marlon Sihombing (Kebijakan Publik, Universitas Sumatera Utara) Alamat Penerbit : BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PROVINSI SUMATERA UTARA Jl. Sisingamangaraja No. 198 Medan 20126 Tel. (061) 7866225; 7883016 - Fax. (061) 7866248 Website : http://balitbang.sumutprov.go.id Email : inovasibpp@gmail.com


PENGANTAR REDAKSI

Pembaca yang terhormat, Jurnal Inovasi kembali hadir di tengah-tengah para pembaca dan peminat ilmu pengetahuan sekalian. Pada edisi kali ini kami menyajikan berbagai tulisan dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan. Pada bidang pendidikan terdapat tulisan mengenai distribusi, penataan dan pemerataan guru untuk mendapatkan kualitas pelayanan pendidikan di Sumatera Utara. Tulisan mengenai faktor budaya tentang penanganan layanan kesehatan ibu hamil. Tulisan mengenai strategi pengembangan potensi pelabuhan khusus Crude Palm Oil (CPO) sangat diperlukan untuk mendukung MP3EI di Sumatera Utara, begitu juga dengan komoditi sayur dan buah dikembangkan di Sumatera Utara. Tulisan mengenai tata guna lahan juga dihadirkan pada jurnal ini. Pengetahuan masyarakat terkait perlindungan tranggiling juga dipaparkan. Terakhir, tulisan ini berupa pemberdayaan ekonomi masyarakat petani sawit di Sei Mangkei Sumatera Utara Kembali kami mengharapkan semoga tulisan-tulisan ini menjadi media bagi kita untuk mengetahui perkembangan dan mengevaluasi penelitian yang sudah pernah dilakukan. Terima kasih dan selamat membaca. -Dewan Redaksi-


Volume 11, Nomor 2

Juni 2014

ISSN 1829-8079

bebas.. Lembar abstrak ini boleh diperbanyak/dicopy Kata kunci yang ddiicantumkan adalah istilah bebas tanpa ijin dan biaya. DDC 371.1 Syaiful Sagala Distribusi dan Pemerataan Guru untuk Memperoleh Layanan Pendidikan Berkualitas Inovasi, Jurnal Politik dan Kebijakan, Juni 2014, Vol 11, No. 2, halaman 83-90 Penelitian ini untuk mengetahui bagaimana distribusi dan pemerataan guru untuk memperoleh layanan pendidikan berkualitas studi kasus Kota Padangsidempuan, Kabupaten Tapanuli Selatan dan Kabupaten Padang Lawas Utara. Data kepegawaian pada Badan Kepegawaian Daerah belum memberi penegasan khusus pada guru, sehingga tidak dapat dilihat pemerataan dan distribusi guru di sekolah sekolah. BKD dan Bappeda sebagai instansi terkait dengan pengelolaan pendidikan di daerah belum merasa bahwa urusan pendidikan khususnya data guru adalah bukanlah bagian dari urusan mereka sesuai bidang kewenangan dan tanggung jawabnya. Sebagai dampaknya urusan pendidikan diurus oleh Dinas Pendidikan tanpa dukungan memadai dari BKD dan Bappeda. Dipihak lain pihak sekolah tidak paham keterkaitannya dengan BKD dan Bappeda. Dinas Pendidikan, BKD, dan Bappeda perlu memiliki data distribusi guru yang akurat, terkini dan rinci. Disarankan kepada Gubernur agar menerbitkan Peraturan Gubernur (Pergub) yang dapat dipedomani oleh pemerintah Kabupaten/Kota yang menegaskan bahwa Dinas Pendidikan, BKD, dan Bappeda di kabupaten/kota wajib memiliki data yang rinci mengenai guru di daerahnya. Kata Kunci: Distribusi guru, Layanan pendidikan berkualitas, Pemerataan, Penataan DDC 362.12 Yulfira Media Faktor Budaya dan Kaitannya dengan Rendahnya Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan Dalam Pemeriksaan Kehamilan dan Persalinan Inovasi, Jurnal Politik dan Kebijakan, Juni 2014, Vol 11, No. 2, halaman 91-99 Tujuan penelitian adalah untuk mendeskripsikan faktor budaya yang melatarbelakangi rendahnya pemanfaatan pelayanan kesehatan dalam pemeriksaan kehamilan dan pertolongan persalinan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rendahnya pemanfaatan pelayanan kesehatan ibu hamil dan bersalin dilatarbelakangi oleh adanya faktor budaya diantaranya adalah masih rendahnya pengetahuan dan pemahaman masyarakat terhadap kehamilan dan persalinan yang aman, masih kuatnya tradisi, norma dan kepercayaan masyarakat untuk memanfaatakan dukun beranak dalam pemeriksaan kehamilan dan pertolongan persalinan. Persepsi, pandangan, dan nilai-nilai budaya (norma tersebut telah memberikan kontribusi yang belum memuaskan.

Kata Kunci: budaya, pelayanan kesehatan, pemanfaatan, ibu hamil dan bersalin DDC 387.1 Sahat Christian Simanjuntak Strategi Pengembangan Potensi Pelabuhan Khusus Crude Palm Oil (CPO) Di Sumatera Utara Inovasi, Jurnal Politik dan Kebijakan, Juni 2014, Vol 11, No. 2, halaman 100-107 Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui potensi CPO dan kondisi pelabuhan ekspor CPO, untuk mengetahui pelabuhan yang telah ada di Provinsi Sumatera Utara apa sudah dapat menampung produksi CPO untuk diekspor dan untuk mengetahui strategi pengembangan pelabuhan khusus CPO di Provinsi Sumatera Utara. Hasil penelitian menunjukkan bahwa potensi produksi CPO mengalami peningkatan dari tahun ke tahun, dan kondisi saat ini pelabuhan Belawan sebagai pelabuhan umum yang cukup padat dalam melakukan pengangkutan barang serta strategi pengembangan pelabuhan khusus CPO dengan menggunakan seluruh kekuatan untuk memanfaatkan peluang yang ada di Provinsi Sumatera Utara dan dikaitkan dengan klaster CPO di Sei Mangke serta program MP3EI maka pelabuhan khusus CPO berada di Kuala Tanjung. Kata Kunci: produksi CPO, ekspor CPO dan pelabuhan khusus. DDC 664.8 Nobrya Husni, Porman Juanda Marpomari Mahulae Strategi Pengembangan Komoditi Unggulan Sayur dan Buah. Inovasi, Jurnal Politik dan Kebijakan, Juni 2014, Vol 11, No. 2, halaman 108-122 Tulisan ini bertujuan untuk mengidentifikasi formulasi dan prioritas strategi pengembangan komoditi pertanian unggulan terutama produk hortikultura sayur dan buah agar berkualitas dan dapat bersaing dipasaran. Meninjau analisis SWOT dapat disimpulkan bahwa potensi lahan yang dimiliki Sumatera Utara dapat dimanfaatkan secara optimal untuk memenuhi permintaan pasar baik didalam maupun diluar negeri. Karena permintaan pasar yang relatif stabil terhadap produk hortikultura merupakan peluang yang harus dimanfaatkan dengan sebaik mungkin untuk meningkatkan tingkat perekonomian petani. Kemampuan petani dalam aplikasi teknologi pertanian seperti pembibitan juga merupakan faktor pendukung dalam peningkatan pengembangan komoditi pertanian berbasis potensi daerah. Kata Kunci: komoditi unggulan, pertanian, hortikultura, pasar global


DDC 634.92 Anton Parlindungan Sinaga Evaluasi Tata Guna Lahan di Sumatera Utara Inovasi, Jurnal Politik dan Kebijakan, Juni 2014, Vol 11, No. 2, halaman 123-139 Perubahan tata guna lahan untuk kawasan pertanian, untuk perkebunan, perumahan dan infrastruktur seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk memang tidak bisa dihindari. Mengingat perubahan penggunaan lahan yang dinamis tersebut, maka evaluasi tata guna lahan penting dilakukan agar pembangunan yang dilaksanakan selama ini berlangsung serasi dan seimbang dengan tetap menjaga keseimbangan ekosistem alam. Penurunan luas kawasan hutan di Provinsi Sumatera Utara ini kemungkinan besar akan berdampak negatif terhadap lingkungan, seperti lahan kritis, banjir dan juga kekeringan sehingga kedepan upaya pencegahan deforestasi dan degradasi serta rehabilitasi hutan menjadi penting. Kata Kunci: evaluasi, tata guna, lahan DDC 639.9 Wanda Kuswanda Tingkat Perburuan, Pengetahuan Masyarakat dan Kebijakan Perlindungan Trenggiling (Manis Javanica Desmarest, 1822) Di Sekitar Hutan Konservasi Inovasi, Jurnal Politik dan Kebijakan, Juni 2014, Vol 11, No. 2, halaman 140-149 Tulisan ini akan memberikan informasi mengenai tingkat perburuan, pengetahuan masyarakat dan strategi kebijakan dalam mengembangkan perlindungan trenggiling, khususnya di sekitar hutan konservasi di Sumatera Utara. Tingkat perburuan masih cukup tinggi dan umumnya pemburu menggunakan bantuan anjing untuk mendeteksi keberadaan trenggiling di dalam lubang. Model perburuan trenggiling dilakukan secara sengaja (pemburu membuat perencanaan dan menginap di dalam hutan secara berkelompok) dan tidak di sengaja (menemukan di kebun atau sekitar pemukiman. Trenggiling yang tertangkap oleh 52,7% responden mengaku dijual dan sisanya dikonsumsi untuk obat. Sebanyak 84,5% responden berharap pemerintah melindungi habitat trenggiling, seperti pada hutan konservasi dan hutan lindung.. Kata kunci: konservasi, trenggiling, perburuan, masyarakat, Tapanuli

DDC 338.04 Sahat Christian Simanjuntak Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat di Kawasan Sei Mangkei untuk Mendukung Program MP3EI Inovasi, Jurnal Politik dan Kebijakan, Juni 2014, Vol 11, No. 2, halaman 150-158 Tulisan ini akan memberikan informasi mengenai Pemberdayaan ekonomi masyarakat di Kawasan Sei Mangkei dalam mendukung Program Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) merupakan suatu upaya sadar untuk mengelola dan memanfaatkan sumberdaya masyarakat baik dari segi sumberdaya alam maupun sumberdaya manusia guna untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dalam rangka memacu pembangunan di Sei Mangkei tersebut, dilakukan melalui pengembangan ekonomi rakyat berbasis kelapa sawit yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan pembangunan ekonomi di sekitar kawasan. Potensi UMKM

berbasis kelapa sawit dan turunannya di sekitar Kawasan Sei Mangkei masih sangat sedikit dieksplorasi dan diberdayakan. Hal ini terlihat dari jenis usaha yang dikelola pelaku UMKM, dimana mayoritas jenis usaha umum yang dikembangkan oleh pelaku UMKM adalah pakan ternak, sapu lidi, minyak goreng, sabun dan furniture, sedangkan usaha lainnya berupa margarin, detergen, sampo, kosmetika dan biogas belum dikelola secara optimal UMKM berbasis kelapa sawit... Kata kunci: modal usaha, jenis usaha, tenaga kerja, MP3EI, dukungan pemerintah


Volume 11, Nomor 2

June 2014

ISSN 1829-8079

The discriptors given are keywords. The abstrack sheet may by reproduced/ copied without permission or charge DDC 371.1 Syaiful Sagala Distribution and Equalization Teacher Education Services to Obtain Quality Inovasi, Journal of Politics and Policy, June 2014, Vol 11, No. 2, p. 83 -90 Study is to examine how the distribution and equalization of teachers to gain quality education services case studies Padangsidempuan City, South Tapanuli and North Padang Lawas regency. Employment data in Regional Employment Board has not given specific assertion on the teacher, so it can not be seen even distribution and the distribution of teachers in schools. BKD and Planning Agency as related to the management of educational institutions in the area have not felt that matters of education, especially teacher data is not part of their affairs according to the field of authority and responsibility. As a result the educational affairs administered by the Department of Education without adequate support from BKD and Bappeda. On the other hand the school did not understand its association with BKD and Bappeda. Department of Education, BKD, and Bappeda need to have accurate data on the distribution of teachers, current and detailed. It is recommended to the Governor that the Governor issued the (gubernatorial) which can be guided by the government of the District / City asserts that the Department of Education, BKD, and the Regional Planning at the district / city are required to have detailed data on teachers in the region. Availability of this data will facilitate the control range by the Regent / Mayor to coordinate effectively the distribution and equalization of teachers in the region. Keywords: Distribution of teachers, quality of education services, Equity, Structuring DDC 362.12 Yulfira Media Cultural Factors and Its Relation to The Use of Low Health Service Examination In Pregnancy and Delivery Inovasi, Journal of Politics and Policy, June 2014, Vol 11, No. 2, p. 91-99 Research objective was to describe the cultural factors behind the low utilization of health services in prenatal care and help labor. The results showed that the low utilization of maternal health services and maternity motivated by the cultural factors of which is still a lack of knowledge and understanding of the pregnancy and safe delivery, the strength of tradition, norms and trust people to take advantage of the TBA for prenatal care and delivery assistance. Perceptions, views, and cultural values (such norms have contributed unsatisfactory. Keywords: culture, health care, utilization, pregnant women and maternity. DDC 387.1

Sahat Christian Simanjuntak Port Development Strategy Potential Special Crude Palm Oil (CPO) In North Sumatra Inovasi, Journal of Politics and Policy, June 2014, Vol 11, No. 2, p. 100-107 The purpose of this study was to determine the potential of CPO and CPO export port conditions, to determine the existing port in the province of North Sumatra what can already accommodate the production of palm oil for export and to know the specific port development strategy of the CPO in the province of North Sumatra. The results showed that the potential of CPO production has increased from year to year, and current conditions as the public port of Belawan port pretty solid in transporting goods and CPO specific port development strategy by using all of the power to take advantage of opportunities that exist in the province of North Sumatra and cluster associated with the CPO program Sei Mangke and CPO MP3EI the special port located in Kuala Tanjung. Keywords: production of crude palm oil, crude palm oil exports and special port. DDC 664.8 Nobrya Husni, Porman Juanda Marpomari Mahulae Development Commodity

Strategy

of

Vegetables

and

Fruits

Prime

Inovasi, Journal of Politics and Policy, June 2014, Vol 11, No. 2, p. 108-122 This paper aims to identify priority development strategy formulation and superior agricultural commodities mainly horticultural products vegetables and fruit for quality and can compete in the market. Review the SWOT analysis can be concluded that the potential of land owned by North Sumatra can be used optimally to meet the market demand both within and outside the country. Due to the relatively stable market demand for products of horticulture is an opportunity that should be used as quickly as possible to increase the level of farmers' economy. The ability of farmers in agricultural technology applications such as breeding is also a contributing factor in the improvement of agricultural commodity-based development potential of the region. Keywords: prime commodities, agriculture, horticulture, global marketplace

DDC 634.92 Anton Parlindungan Sinaga Evaluation of Land Use In North Sumatra


Inovasi, Journal of Politics and Policy, June 2014, Vol 11, No. 2, p. 123-139 Changes in land use for agricultural areas, plantations, housing and infrastructure in line with population growth can not be avoided. Given the dynamic changes of the land use, the evaluation of land use is important so that the development carried out during this on going harmony and balance while maintaining the natural balance of the ecosystem. Decline of forest area in the province of North Sumatra is likely to have a negative impact on the environment, such as degraded land, flooding and drought so that future efforts to prevent deforestation and forest degradation and rehabilitation becomes essential. Keywords: evaluation, use, land DDC 639.9 Wanda Kuswanda The Hunting Level, Community Knowledge and Sunda Pangolin (Manis Javanica Desmarest, 1822) Protection Policy Around The Conservation Forest Inovasi, Journal of Politics and Policy, June 2014, Vol 11, No. 2, p. 140-149 The article will inform the hunt level, the community knowledge and policy strategies in developing Sunda Pangolins protection around forest conservation in North Sumatra. The poaching level is very high and generally hunters use dogs to help pangolin detect in the nest/hole. Model of the pangolin hunting is done deliberately (the hunters make plans and stay in the forests in groups between 1 – 3 days) and accidental (they are finding in the garden or around the settlement). Pangolin is caught by 52.7% of respondents claimed to be sold and consumed especially for medicines. A total of 84.5% respondents expect the government to protect the their habitat, such as in the conservation and protection forests. Keywords: conservation, Sunda pangolin, hunting, community, Tapanuli

DDC 338.04 Sahat Christian Simanjuntak The Community Economic Empowerment in Area of Sei Mangkei to Support MP3EI Programs Inovasi, Journal of Politics and Policy, June 2014, Vol 11, No. 2, p. 150-158 The article will inform the Economic empowerment in area of Sei Mangkei to support Master Plan for Acceleration and Expansion of Indonesia’s Economic Development (MP3EI) Programs is a conscious effort to manage and utilize community resources in terms of both natural resources and human resources in order to improve the welfare of society. In order to spur development in the Mangkei Sei, is done through the development of palm oilbased economy of the people which aims to improve the welfare of the community and economic development in the surrounding area. The potential of SMEs based on palm oil and its derivatives around the area Sei Mangkei still very little explored and empowered. This is evident from the kind of business managed SMEs, where the majority of the general type of business that were developed by SMEs is fodder, broom stick, cooking oil, soap and furniture, while the other businesses in the form of margarine, detergents, shampoos, cosmetics and biogas have not managed optimally palm oil based SMEs Keywords: venture capital, type of business, labor, MP3EI, government support


Volume 11, Nomor 2

Juni 2014

ISSN 1829-8079

DAFTAR ISI

Halaman Distribusi dan Pemerataan Guru untuk untuk Memperoleh Layanan Pendidikan Berkualitas

83-90

(Syaiful Sagala) Faktor Budaya dan dan Kaitannya dengan Rendahnya Pemanfaatan Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan dalam Pemeriksaan Kehamilan dan dan Persalinan

91-99

(Yulfira Media) Strategi Pengembangan Potensi Pelabuhan Pelabuhan Khusus Crude Palm Oil (CPO) di di Sumatera Utara

100-107

(Sahat Christian Simanjuntak) Strategi Pengembangan Komoditi Unggulan Sayur Dan Buah (Nobrya Husni, Porman Juanda Marpomari Mahulae)

108-122

Evaluasi Tata Guna Lahan di di Sumatera Utara

123-139

(Anton Parlindungan Sinaga) Tingkat Perburuan, Perburuan, Pengetahuan Masyarakat dan dan Kebijakan Perlindungan Trenggiling (Manis Javanica Desmarest, 1822) Di Sekitar Hutan Konservasi

140-149

(Wanda Kuswanda) Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat di Kawasan Sei Mangkei untuk Mendukung Program MP MP3EI

(Sahat Christian Simanjuntak)

150-158


Distribusi dan Pemerataan Guru untuk Memperoleh Layanan Pendidikan Berkualitas (Studi Kasus Kota Padangsidempuan, Kabupaten Tapanuli Selatan Dan Kabupaten Padang Lawas Utara) (Syaiful Sagala)

Hasil Penelitian DISTRIBUSI DAN PEMERATAAN GURU UNTUK MEMPEROLEH LAYANAN PENDIDIKAN BERKUALITAS (Studi Kasus Kota Padangsidempuan, Kabupaten Tapanuli Selatan dan Kabupaten Padang Lawas Utara)

(DISTRIBUTION AND EQUALIZATION TEACHER EDUCATION SERVICES TO OBTAIN QUALITY) QUALITY) (A Case Study at Padangsidempuan, South Tapanuli and North Padang Lawas) Syaiful Sagala Universitas Negeri Medan Jl. Willem Iskander Psr V Medan Estate email : syaiful_sagala@yahoo.co.id

Diterima: 21 Maret 2014 Direvisi: 8 April 2014 Disetujui: 10 April 2014

ABSTRAK Penelitian ini untuk mengetahui bagaimana distribusi dan pemerataan guru untuk memperoleh layanan pendidikan berkualitas studi kasus Kota Padangsidempuan, Kabupaten Tapanuli Selatan dan Kabupaten Padang Lawas Utara. Disain penelitian ini, menggunakan disain studi kasus (case study) pendekatan kualitatif deskriptif dengan teknik pengumpulan data melalui Focus Group Discussion (FGD) berupa wawancara, pengamatan yang didukung dengan dokumentasi. Lokasi penelitian ini Kota Padangsidempuan, Kabupaten Tapanuli Selatan dan Kabupaten Padang Lawas Utara. Informan kunci penelitian ini kepala dinas pendidikan dan kepala seksi bidang data pada Badan Kepegawaian Daerah (BKD) dan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) pada situs penelitian ini. Dinas Pendidikan, Badan Kepegawaian Daerah, dan Badan Perencanaan Daerah belum memiliki sistem pendataan guru yang dapat dipedomani bersama. Data kepegawaian pada Badan Kepegawaian Daerah belum memberi penegasan khusus pada guru, sehingga tidak dapat dilihat pemerataan dan distribusi guru di sekolah sekolah. Bappeda jika memerlukan data guru mereka meminta kepada Dinas Pendidikan, dan Bappeda tidak memiliki data guru secara utuh dalam upaya perencanaan pembangunan SDM di daerah. Instansi terkait dengan pengelolaan pendidikan di daerah belum merasa bahwa urusan pendidikan adalah bagian dari urusan mereka sesuai bidang kewenangan dan tanggung jawabnya. BKD dan Bappeda belum merasa bahwa data distribusi dan pemerataan guru adalah bagian dari urusan mereka sesuai bidang kewenangan dan tanggung jawabnya, sehingga rentang kendali dan kualitas layanan pendidikan dari perspektif manajemen SDM belum efektif. Sebagai dampaknya urusan pendidikan diurus oleh Dinas Pendidikan tanpa dukungan memadai dari BKD dan Bappeda. Dipihak lain pihak sekolah tidak paham keterkaitannya dengan BKD dan Bappeda. Secara teoritik dan konseptual ilmu manajemen dipersyaratkan ada rentang kendali yaitu kemampuan manajer (Bupati, Walikota, Kepala Dinas Pendidikan, Kepala BKD, dan Kepala Bappeda) melakukan koordinasi secara efektif yang sebagian besar tergantung jumlah bawahan (guru) yang melapor kepadanya. BKD dan Bappeda sebagai instansi terkait dengan pengelolaan pendidikan di daerah belum merasa bahwa urusan pendidikan khususnya data guru adalah bukanlah bagian dari urusan mereka sesuai bidang kewenangan dan tanggung jawabnya. Sebagai dampaknya urusan pendidikan diurus oleh Dinas Pendidikan tanpa dukungan memadai dari BKD dan Bappeda. Dipihak lain pihak sekolah tidak paham keterkaitannya dengan BKD dan Bappeda. Dinas Pendidikan, BKD, dan Bappeda perlu memiliki data distribusi guru yang akurat, terkini dan rinci. Disarankan kepada Gubernur agar menerbitkan Peraturan Gubernur (Pergub) yang dapat dipedomani oleh pemerintah Kabupaten/Kota yang menegaskan bahwa Dinas Pendidikan, BKD, dan Bappeda di kabupaten/kota wajib memiliki data yang rinci mengenai guru di daerahnya. Kata kunci:

Distribusi guru, Layanan pendidikan berkualitas, Pemerataan, Penataan

83


Inovasi Vol. 11 No. 2 Juni 2014: 83-90

ABSTRACT Study is to examine how the distribution and equalization of teachers to gain quality education services case studies Padangsidempuan City, South Tapanuli and North Padang Lawas regency. The design of this study, using a case study design (case study) descriptive qualitative approach to data collection techniques through Focus Group Discussion (FGD) in the form of interviews, observations are supported by documentation. The location of this study Padangsidempuan Town, South Tapanuli and North Padang Lawas regency. This study key informant head of education and head of the section of data field in the Regional Employment Agency (BKD) and the Regional Development Planning Board (Bappeda) at the study site. Department of Education, Regional Employment Board, and the Regional Planning Agency does not yet have a data collection system that teachers can be guided along. Employment data in Regional Employment Board has not given specific assertion on the teacher, so it can not be seen even distribution and the distribution of teachers in schools. Bappeda if the data require their teachers to ask the Department of Education, and Bappeda not have teacher data intact in human resource development planning efforts in the region. Associated with the management of educational institutions in the area have not felt that business education is part of their affairs according to the field of authority and responsibility. BKD and Bappeda has not feel that the data distribution and equalization of teachers is part of their affairs according to the field of authority and responsibility, so that the span of control and quality of education services from the perspective of human resource management has not been effective. As a result the educational affairs administered by the Department of Education without adequate support from BKD and Bappeda. On the other hand the school did not understand its association with BKD and Bappeda. In theoretical and conceptual knowledge required by existing management span of control is the ability of managers (Regent, Mayor, Head of Education, Head of BKD, and the Head of Planning) to coordinate more effectively, mostly depending on the number of subordinates (teachers) who report to him. BKD and Planning Agency as related to the management of educational institutions in the area have not felt that matters of education, especially teacher data is not part of their affairs according to the field of authority and responsibility. As a result the educational affairs administered by the Department of Education without adequate support from BKD and Bappeda. On the other hand the school did not understand its association with BKD and Bappeda. Department of Education, BKD, and Bappeda need to have accurate data on the distribution of teachers, current and detailed. It is recommended to the Governor that the Governor issued the (gubernatorial) which can be guided by the government of the District / City asserts that the Department of Education, BKD, and the Regional Planning at the district / city are required to have detailed data on teachers in the region. Availability of this data will facilitate the control range by the Regent / Mayor to coordinate effectively the distribution and equalization of teachers in the region. Keywords: Distribution of teachers, quality of education services, Equity, Structuring

Tinjauan Ekonomi dan Keuangan Daerah Provinsi Sumatera Utara, 2012 mengungkapkan indikator keberhasilan pendidikan di Sumatera Utara dilihat berdasarkan Angka Melek Huruf (AMH) masing-masing kabupaten/kota. Angka melek huruf Provinsi Sumatera Utara pada tahun 2009 adalah 97,15 persen. Dari seluruh daerah yang angka melek hurufnya di atas angka melek huruf Provinsi adalah sebanyak 22 daerah. Pada tahun 2010, AMH Provinsi Sumatera Utara meningkat menjadi 97,32 persen dengan 23 daerah memiliki AMH di atas AMH Provinisi Sumatera Utara. Kabupaten Tapanuli Selatan merupakan daerah dengan AMH tertinggi yaitu 99,81% sedangkan daerah yang AMH-nya paling rendah adalah Kabupaten Nias Barat yaitu hanya 84,30%. Salah satu indikator keberhasilan pendidikan dasar di daerah adalah melihat seberapa besar tingkat Angka Partisipasi Murni (APM) anak usia sekolah SD dan SMP. Tingkat APM SD Tahun 2009/2010 tertinggi terdapat di

PENDAHULUAN Manajemen Sumber Daya Manusia (MSDM) adalah pengembangan dan pemanfaatan personel (pegawai) bagi pencapaian efektif mengenai sasaran sasaran dan tujuan tujuan individu, organisasi, masyarakat, nasional dan internasional (Gomes, 2003:4). MSDM telah menjadi kebutuhan pokok bagi organisasi khususnya Pemerintah Daerah dan lebih khusus dalam mengelola, menempatkan, membina, dan mengatur kesejahteraan guru. Guru sebagai SDM utama pendidikan memrlukan tata kelola dengan seni tersendiri, karena mempunyai keunikan khususnya terkait dengan relevansi mata pelajaran dan latar belakang pendidikannya. Ketersediaan guru secara cukup sesuai latar belakang pendidikannya akan menjamin kualitas layanan pendidikan lebih efektif. Selanjudnya dapat disimak penegasan Kementerian Keuangan (2014) mengenai keadaan pendidikan di Sumatera utara.

84


Distribusi dan Pemerataan Guru untuk Memperoleh Layanan Pendidikan Berkualitas (Studi Kasus Kota Padangsidempuan, Kabupaten Tapanuli Selatan Dan Kabupaten Padang Lawas Utara) (Syaiful Sagala)

Kabupaten Deli Serdang yaitu 99,69 dan terendah terdapat di Kabupaten Pakpak Bharat 78,78. Tingkat APM SMP Tahun 2009/2010 yang tertinggi terdapat di Kota Binjai yaitu 83,96 sedangkan APM terendah terdapat di Kabupaten Nias yaitu sebesar 51,70. AMH, APM, dan APK ini juga dipengaruhi berbagai faktor seperti distribusi guru, kualitas guru, ketersediaan dana, ketersediaan sarana dan prasarana pendidikan. Ketersediaan fasilitas pembelajaran, dukungan pemerintah daerah, dukungan masyarakat dan sebagainya menjadi bagian dari pengelolaan Sumber Daya Manusia (SDM) khususnya melalui jalur pendidikan. Masalah mendasar pendidikan di Sumatera Utara adalah kecukupan, kesesuaian, kualifikasi, kesejahteraan dan karier guru. Fokus kajian ini adalah kajian distribusi guru untuk memberikan layanan pendidikan yang berkualitas. Distribusi guru berkualitas yang merata di setiap daerah perlu dilakukan. Namun, guru-guru yang ditugaskan juga harus mendapatkan fasilitas dan tunjangan yang sesuai kebutuhannya agar bisa lebih bersemangat dalam membimbing dan membelajarkan para siswa, sehingga proses belajar mengajar bisa berjalan secara efektif. Di berbagai daerah kabupaten tampak bahwa keberadaan tenaga pendidik dan tenaga kependidikan saat ini menumpuk di perkotaan, seperti ibu kota kabupaten dan kota kota kecamatan. Sedangkan di daerah daerah yang terpencil, terluar dan tertinggal tidak tersedia guru yang memenuhi kualifikasi dan kesesuaian dengan materi pelajaran dengan jumlah yang cukup. Sehingga terjadi kekurangan guru di daerah terpencil, terluar dan tertinggal tidak tersedia guru sesuai yang dibutuhkan. Sementara diperkotaan khususnya di Sumatera Utara seperti di Medan, Binjai, Pematang Siantar, Tebing Tinggi, Tanjungbalai, Sibolga, Padangsidempuan dan berbagai kota lainnya guru dan tenaga kependidikan berlebih baik status guru PNS maupun non PNS (Guru honor). Namun di sejumlah kabupaten di Sumatera Utara ada kekurangan guru dialami baik oleh sekolah negeri maupun sekolah swasta khususnya di daerah terpencil, terluar dan tertinggal. Akibatnya guru di pedalaman yang terpencil, terluar dan tertinggal tak ada, dan pelayanan pembelajaran menjadi tidak efektif. Layanan pendidikan menjadi tidak efektif, karena distribusi guru di kabupaten masih belum merata, kondisi ini berdapak pada kualitas pendidikan yang masih rendah. Baswedan (2014) menyatakan sebanyak 21% sekolah di perkotaan, 37% sekolah di pedesaan, dan 66% sekolah di daerah terpencil masih kekurangan guru. Padahal, jumlah guru tersedia banyak di Indonesia. Baswedan menyadari

bahwa mengajar di pelosok negeri ini, bukan sesuatu yang mudah. Perlu usaha untuk dapat bertahan dengan keterbatasan. Kesediaan guru mengajar di daerah daerah terpencil dan terluar memang dihadapkan pada berbagai tantangan seperti fasilitas listrik yang terbatas, transportasi yang tidak lancar, keperluan komunikasi yang terbatas, respon masyarakat setempat yang tidak memadai, dukungan pemerintah daerah yang tidak fokus dan berbagai keterbatasan lainnya. Oleh karena itu diperlukan manajemen pemerintahan daerah yang fokus pada distribusi guru dengan memperhatikan aspek aspek kemanusiaan, kesejahteraan, dan peningkatan karier yang jelas. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui bagaimana distribusi dan pemerataan guru untuk memperoleh layanan pendidikan berkualitas studi kasus Kota Padangsidempuan, Kabupaten Tapanuli Selatan dan Kabupaten Padang Lawas Utara. Adapun unsur penting yang terkait dengan distribusi guru di daerah kabupaten adalah Dinas Pendidikan, Badan Kepegawaian Daerah, dan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah. METODE Untuk mencapai tujuan penelitian ini, digunakan disain studi kasus (case study) menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif dengan teknik pengumpulan data melalui Focus Group Discussion (FGD) berupa wawancara, pengamatan yang didukung dengan dokumentasi (Yin, 2004). Perencanaan penelitian kualitatif oleh Guba (1984) adalah skema atau program dari penelitian yang berisi outline tentang apa yang harus dilakukan peneliti mulai dari pertanyaan sampai pada analisis final yang dilakukan. Lokasi penelitian ini Kota Padangsidempuan, Kabupaten Tapanuli Selatan dan Kabupaten Padang Lawas Utara masing-masing berada dikawasan pegunungan Bukit Barisan Sumatera Utara sekaligus menjadi situs penelitian ini. Pihak yang menjadi informan kunci dalam penelitian ini dirancang, adalah kepala Dinas Pendidikan, Kepala Badan Kepegawaian Daerah (BKD), dan Kepala Badan Perencanaan Pembangunan (Bappeda) Kota Padangsidempuan, Kabupaten Tapanuli Selatan dan Kabupaten Padang Lawas Utara. Dalam realisasinya informan kunci untuk Kabupaten Padang Lawas Utara dan Kota Padangsidempuan langsung dihadiri Kepala Dinas Pendidikan. Sedangkan untuk Kabupaten Tapanuli Selatan yang hadir adalah Kabid Program Dinas Pendidikan. Untuk mewakili BKD dan Bappeda masing masing menghadirkan kepala seksi yang menangani data personel. Pengumpulan data penelitian ini diperoleh melalui wawancara,

85


Inovasi Vol. 11 No. 2 Juni 2014: 83-90

pengamatan, mengumpulkan dokumen tertulis yang menggambarkan data-data yang relevan dengan penelitian ini. Proses kerjanya dimulai sejak Mei 2014 dengan tahapan mengumpulkan dokumen tertulis mengenai distribusi guru, persiapan FGD, dan selanjudnya melalui Dinas Pendidikan Kota Padangsidempuan peserta diundang untuk hadir dalam FGD yang dilaksanakan pada tanggal 21-22 Juli 2014 berlangsung di aula Dinas Pendidikan Kota Padangsidempuan Informasi digali melalui wawancara mendalam dari kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Padanglawas Utara, Kepala Dinas Pendidikan Kota Padangsidempuan, dan Kabid Program Dinas Pendidikan Tapanuli Selatan mengenai keadaan riel dan kebijakan mengenai distribusi guru di wilayah kewenangannya masing masing. Informasi selanjudnya digali dari kepala seksi data dari BKD dan Bappeda Kabupaten Padang Lawas Utara, Kabupaten Tapanuli Selatan, dan Kota Padangsidempuan terkait kebijakan pemerintah daerah mengenai distribusi guru. Setelah datanya dipandang jenuh, maka dilanjutkan dengan menganalisis seluruh data (wawancara, pengamatan, dan dokumen tertulis), data dipilah sesusi kategori kemudian dipaparkan dalam bentuk display data. Untuk memperoleh keabsahan data dilanjutkan dengan mengklasifikasikan, dan menguji data yang kredibel dengan uji trianggulasi, selanjudnya dianalisis dan dibahas dengan ahli penelitian kualitatif, serta ditarik kesimpulan.

sarjana fisika, juga menguasai materi matematika demikian yang lainnya. Sementara di Kota Padangsidempuan sekolah sekolah mempunyai sumber daya guru yang cukup dan bahkan lebih dilihat secara kuantitatif. Namun secara kualitatif, masih terdapat guru yang mengajar tidak sesuai latar belakang pendidikannya. Secara konseptual keseuaian latar belakang pendidikan dan mata pelajaran yang diampu oleh guru adalah sebagai jaminan bahwa layanan pendidikan memenuhi kualitas dan memenuhi kompetensi bidang keilmuan. Layanan pendidikan yang memenuhi kualitas dan kompetensi secara teoritik dan konseptual akan memberi kontribusi terhadap pencapaian tujuan pendidikan berkualitas. Di kabupaten Padang Lawas Utara dan Kabupaten Tapanuli Selatan faktor sarana, fasilitas dan kesejahteraan guru yang minim cenderung nihil di daerah terpencil, terluar dan terdalam. Keadaan yang demikian ini menjadi salah satu penyebab keengganan guru yang memenuhi kualifikasi untuk mengabdikan diri di wilayah pedesaan pedalaman. Kondisi ini merupakan tantangan tersendiri bagi Pemerintah Kabupaten/Kota bersama Pemerintah Provinsi. Dengan ketiadaan fasilitas seperti rumah tinggal, biaya transportasi yang tinggi untuk kembali ke tempat asal, sarana pendidikan yang tidak memadai, membuat guru lebih terkonsentrasi di perkotaan dan hal ini mengakibatkan kebutuhan guru dan kualitas pendidikan di wilayah pedesaan terpencil, terluar dan terdalam menjadi hanya apa adanya saja, yang penting ada sekolah dan ada guru, meski tidak memenuhi syarat. Selain jumlahnya minim, umumnya tingkat pendidikan atau kualifikasi guru juga rendah serta kesesuaian yang tidak terpenuhi. Untuk Kota Padangsidempuan meski guru secara kuantitatif terpenuhi bahkan melebihi, namun sarana belajar seperti laboratorium dan perpustakaan belum memenuhi standar yang dipersyaratkan, sehingga pembelajaran cenderung hanya di kelas. Data penelitian ini mengungkapkan pelayanan pendidikan baru dalam tahap sekedar ada saja yaitu ada guru dan siswa belajar dengan seadanya. Masih terdapat SD di pedalaman, hanya memiliki dua guru yang berstatus pegawai negeri sipil. Fakta ini menunjukkan bagaimana pelayanan pemerintah dalam memenuhi kebutuhan guru dalam penyelenggaraan pendidikan terutama bagi daerah terpencil, terluar dan terdalam masih kurang dirasakan, dan programnya cenderung tidak fokus. Khusus pada BKD dan Bappeda tidak ada data khusus guru yang menggambarkan distribusi sesuai kebutuhan

HASIL DAN PEMBAHASAN Data penelitian ini mengungkapkan bahwa salah satu masalah pendidikan di daerah terpencil, terluar, dan terdalam di Kabupaten Padang Lawas Utara dan Kabupaten Tapanuli Selatan adalah kebutuhan guru khususnya jenjang pendidikan dasar dan menengah. Kondisi yang ada sekarang banyak guru terkonsentrasi di ibu kota kabupaten dan ibu kota kecamatan. Hal ini menyebabkan distribusi guru tidak merata sampai ke pedesaan terpencil, terluar dan terdalam. Sedangkan di perkotaan secara kuantitatif kebutuhan guru dapat dipenuhi, namun secara kualitatif dilihat dari relevansi kompetensi ternyata tidak dapat dipenuhi. Data ini mengungkapkan bahwa jika ditelusuri secara lebih mendalam ternyata ditemukan guru yang mengajar mata pelajaran tertentu, tetapi latar belakang pendidikannya tidak sesuai. Misalnya sarjana Fisika mengajar matematika< sarjana PKN mengajar Ekonomi, sarjana agama mengajar olah raga dan sebagainya. Meskipun jika dilihat dari penguasaan materi, seorang

86


Distribusi dan Pemerataan Guru untuk Memperoleh Layanan Pendidikan Berkualitas (Studi Kasus Kota Padangsidempuan, Kabupaten Tapanuli Selatan Dan Kabupaten Padang Lawas Utara) (Syaiful Sagala)

dalam hal jenjang pendidikan yaitu pendidikan dasar dan menengah. Kemudian tidak ada data guru berdasarkan kualifikasi dan latar belakang pendidikan. Artinya jika memerlukan data sebaran guru sesuai jenjang pendidikan, kualifikasi pendidikan, latar belakang pendidikan, kesesuaian mata pelajaran dengan kompetensi guru tidaklah ditemukan pada BKD dan Bappeda bahkan tidak ditemukan pada dinas pendidikan di kabupaten Padang Lawas utara, Kabupaten Tapanili Selatan dan Kota Padang Sidempuan dan belum ada kebijakan yang spesifik untuk itu. Sebagai perbandingan dapat disimak Laporan Kementerian Keuangan dalam tinjauan Ekonomi dan Keuangan Daerah Provinsi SUMATERA UTARA tahun 2012 menyatakan bahwa Berdasarkan jumlah murid nya, murid SD di Kota Medan mencapai 260.597 murid dan jumlah murid tersedikit berada di Kota Pakpak Bharat yaitu hanya 7.904 orang. Jumlah guru SD terbanyak juga terdapat di Kota Medan yaitu sebanyak 10.891 orang guru, sedangkan yang tersedikit justru terdapat di Kota sibolga yaitu hanya 643 orang guru. Bila dilihat seberapa daya tampung sekolah dasar maka rasio murid/sekolah di Kota Padang Lawas yang paling tinggi yaitu 345,26 murid per sekolah. Sedangkan rasio murid/sekolah yang paling rendah adalah di Kabupaten Nias Selatan yaitu hanya 88,26 murid per sekolah. Salah satu indikator kualitas pembelajaran yang bisa diterima murid SD adalah perbandingan banyaknya murid yang bisa diampu/diajar oleh setiap guru. Rasio murid/guru yang tertinggi adalah Kabupaten Padang Lawas yaitu 58,15 murid/guru. Sedangkan yang terendah adalah di Kabupaten Pakpak Bharat yaitu hanya 6,24 murid per guru. Bila dilihat seberapa daya tampung SMP maka rasio murid/ sekolah di Kota Sibolga yang paling tinggi yaitu 671,85 murid per sekolah. sedangkan rasio murid/sekolah yang paling rendah adalah di Kabupaten Labuhan Batu yaitu 87,11 murid per sekolah. Salah satu indikator kualitas pembelajaran yang bisa diterima murid/siswa SMP adalah perbandingan banyaknya murid yang bisa diampu/diajar oleh setiap guru. Rasio murid/guru yang tertinggi adalah Kabupaten Pakpak Bharat yaitu 44,55 murid/guru. Sedangkan yang terendah adalah di Kabupaten Deli Serdang yaitu 13,36 murid/guru. Ketersediaan sarana dan prasarana pendidikan dasar khususnya sekolah dasar di Provinsi Sumatera Utara secara total mencapai 10.277 buah sekolah. Kabupaten Simalungun memiliki jumlah sekolah terbanyak yaitu 852 buah sedangkan Kabupaten Pakpak Bharat hanya

memiliki sekolah dasar sebanyak 50 buah. Dari data pembanding ini menunjukkan betapa distribusi guru memerlukan tata kelola pendidikan khususnya di Provinsi memerlukan manajemen khusus yang dapat mengatasi berbagai permasalahannya. Namun menurut PP No. 38 Tahun 2007 menegaskan bahwa kewenangan langsung provinsi dalam pendidikan adalah Sekolah Luar Biasa dan sekolah binaan provinsi yang dituangkan dalam Peraturan Gubernur (Pergub). Sebenarnya dalam UU No. 32 Tahun 2014 Pasal 13 ayat (1) menyatakan urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah Provinsi merupakan urusan dalam skala provinsi huruf f adalah penyelenggaraan pendidikan dan alokasi sumber daya manusia potensial. UU ini tidak dapat diterapkan begitu saja, oleh karena itu perlu diatur dalam Peraturan Daerah Provinsi khusus mengenai penyelenggaraan pendidikan. Untuk hal hal yang spesifik dapat diatur dalam Peraturan Gubernur (Pergub). Berbagai peraturan yang diterbitkan sebagai aturan main manajemen pendidikan khususnya mengenai distribusi dan pemerataan guru tampak belum dapat menyelesaikan masalah-masalah pendidikan. Distribusi guru yang terjadi, khususnya di daerah terpencil, terdalam dan terluar pada situs penelitian ini belum terpenuhi sesuai kebutuhan. Meski secara teoritik dan konseptual data distribusi dan pemerataan guru yang lengkap akan berhasil membawa pengaruh positif bagi perkembangan pendidikan khususnya di Sumatera Utara. Dengan distribusi dan pemerataan guru yang lengkap akan memberi jaminan bahwa kualitas layanan pendidikan menjadi lebih berkualitas. Pandangan teoritik dan konseptual ini tidak dipenuhi dikarenakan berbagai alasan antara lain ketidak tahuan pengambil kebijakan utama bahwa distribusi dan pemerataan guru di daerah terpencil, terluar dan terdalam adalah penting memberikan layanan pendidikan yang berkualitas atau distribusi dan pemerataan guru tidak menjadi fokus dalam kebijakan pendidikan. Memilih profesi sebagai guru bukanlah hal yang mudah, karena secara ekonomi profesi guru tidaklah menggembirakan. Namun dilihat dari kepuasan dapat mendedikasikan diri kepada masyarakat, maka muncul kekayaan jiwa dan kebahagiaan tersendiri. Keikhlasan, keuletan, dan nilai juang yang amat tinggi menjadi persyaratan penting bagi guru. Terlebih bagi guru yang ditempatkan di daerah daerah terdepan, terluar dan terpencil. Kepuasan bathin menjadi guru mengalahkan keinginan untuk menjadi orang yang kaya raya. Sagala (2011:11)

87


Inovasi Vol. 11 No. 2 Juni 2014: 83-90

mengatakan bahwa guru sebagai pekerjaan profesi, secara holistik adalah berada pada tingkatan tertinggi dalam sistem pendidikan nasional. Karena guru dalam melaksanakan tugas profesinya memiliki otonomi yang kuat. Oleh karena itu guru tidak boleh terisolasi dari perkembangan sosial masyarakatnya. Namun sebagai seorang manusia guru membutuhkan nafkah hidup dan berbagai kebutuhan hidup yang membutuhkan dana. Oleh karena itu penghasilan guru menjadi penting untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, merawat kesehatan, mendidik anak anaknya, melakukan hubungan sosial dengan masyarakat dan sebagainya yang kesemua ini membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Jika kebutuhan tersebut telah terpenuhi, barulah kemudian usaha-usaha yang terus menerus tumbuh dari dalam diri sendiri untuk berada dekat dengan siswa ditempat guru tersebut mengabdikan dirinya dapat terjadi. Karena kebutuhan hidupnya terpenuhi, maka semakin membuka cakrawala berpikir. Tentu pemenuhan kebutuhan guru tidak mudah bagi guru, karena dihadapkan pada jaminan karier dan masa depan yang sulit didefinisikan. Pengorbanan, ketulusan dan kerja keras adalah bukti komitmen yang tinggi bagi guru dan penentu utama pengambil kebijakan dalam upaya memajukan pendidikan di daerah daerah terpencil khususnya di pedalaman. Pemerintah Daerah Kabupaten dan Kota perlu memiliki data distribusi dan pemerataan guru yang detail dan akurat. Dinas pendidikan, BKD, dan Bappeda sebagai organisasi pemerintah daerah yang saling terkait perlu memiliki data yang sama mengenai distribusi dan pemerataan guru dilihat dari berbagai aspek. Melalui Forum Group Discussion (FGD) di Padangsidempuan dengan peserta Dinas Pendidikan, Badan Kepegawaian daerah (BKD) dan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kota Padangsidempuan, Kabupaten Tapanuli Selatan, dan Kabupaten Padang Lawas utara dapat diidentifikasi temuan yaitu (1) Dinas Pendidikan, Badan Kepegawaian Daerah, dan Badan Perencanaan Daerah belum memiliki sistem pendataan guru yang dapat dipedomani bersama; (2) data kepegawaian pada Badan Kepegawaian Daerah belum memberi penegasan khusus pada guru, sehingga tidak dapat dilihat pemerataan dan distribusi guru di sekolah sekolah; (3) Bappeda jika memerlukan data guru mereka meminta kepada Dinas Pendidikan, dan Bappeda tidak memiliki data guru secara utuh dalam upaya perencanaan pembangunan SDM di daerah. Data ini menunjukkan bahwa instansi terkait dengan pengelolaan pendidikan di

daerah belum merasa bahwa urusan pendidikan adalah bagian dari urusan mereka sesuai bidang kewenangan dan tanggung jawabnya. Sebagai dampaknya urusan pendidikan diurus oleh Dinas Pendidikan tanpa dukungan memadai dari BKD dan Bappeda. Dipihak lain pihak sekolah tidak paham keterkaitannya dengan BKD dan Bappeda. Secara teoritik dan konseptual ilmu manajemen dipersyaratkan ada rentang kendali yaitu kemampuan manajer (Bupati, Walikota, Kepala Dinas Pendidikan, Kepala BKD, dan Kepala Bappeda) melakukan koordinasi secara efektif yang sebagian besar tergantung jumlah bawahan (guru) yang melapor kepadanya. Prinsip rentang kendali atau rentang manajemen oleh Aprianto (2012) berkaitan dengan jumlah guru yang dapat dikendalikan secara efektif oleh seorang manajer. Guru yang terlalu banyak kurang baik, demikian pula jumlah guru yang terlalu sedikit juga kurang baik. Prinsip rentang manajemen berkaitan dengan jumlah guru yang dapat dikendalikan secara efektif oleh seorang manajer. Berapa sebenaranya guru mata pelajaran pada setiap bidang studi yang dapat diperlukan agar kegiatan layanan belajar di sekolah dapat dilaksanakan dengan efektif dan efisien. Guru yang terlalu banyak pada mata pelajaran tertentu kurang baik, demikian pula jumlah guru yang terlalu sedikit mata pelajaran tertentu juga kurang baik. Ada dua alasan mengapa penentuan rentang yang baik dan tepat. Pertama rentang manajemen memperngaruhi penggunaan efisien dari manajer dan pelaksanaan kerja efektif dari guru guru mereka. Kedua, adanya hubungan antara rentang manajemen dengan struktur organisasi, dimana semakin sempit rentang manajemen struktur organisasi akan berbentuk “tall� sedang rentang manajemen yang melebar akan membentuk struktur organisasi “flat� yang berarti tingkatan manajemen semakin sedikit. Rentang kendali yang efektif akan menghasilkan tatakelola yang berkualitas. Gaspersz (1997:4) mengatakan kualitas adalah segala sesuatu yang mampu memenuhi keinginan atau kebutuhan pelanggan. Manajemen kualitas (quality management) adalah cara meningkatkan performansi secara terus menerus pada setiap level operasi atau proses dalam setiap area fungsional dari suatu organisasi menggunakan semua sumber daya dan modal yang tersedia. Mengacu pada pandangan teoritik dan konseptual mengenai rentang kendali dan tata kelola yang berkualitas dalam organisasi pemerintahan daerah kabupaten/kota bahwa Dinas Pendidikan, BKD, dan Bappeda perlu memiliki data yang akurat dan terkini mengenai guru yang secara rinci mendeskripsikan

88


Distribusi dan Pemerataan Guru untuk Memperoleh Layanan Pendidikan Berkualitas (Studi Kasus Kota Padangsidempuan, Kabupaten Tapanuli Selatan Dan Kabupaten Padang Lawas Utara) (Syaiful Sagala)

kesesuaian jumlah dengan latar belakang pendidikan, jumlah satuan pendidikan dasar dan menengah dan semua data terkait yang dibutuhkan. Ketersediaan data pada unit organisasi tersebut akan memudahkan untuk menyusun perencanaan pendidikan khususnya terkait dengan SDM guru, sehingga semua layanan pendidikan dapat dilaksanakan secara efektif dan berkualitas. Apabila data guru secara rinci tidak tersedia pada Dinas Pendidikan, BKD dan Bappeda, maka kebijakan yang diambil bersifat parsial dan tidak terpadu, sehingga terjadi pemborosan dan pencapaian tujuan yang tidak efektif, serta layanan pendidikan di sekolah tidak berkualitas. Salah satu unsur yang berkontribusi terhadap pengembangan indeks sumber daya manusia (human development indeks) adalah bidang pendidikan, disamping ekonomi dan kesehatan. Jika tata kelola pendidikan tidak berkualitas dan rentang kendali tidak terukur (distribusi dan pemerataan tidak terpenuhi), maka berkontribusi pada penurunan human development indeks (HDI). Peran Dinas Pendidikan, Badan Kepegawaian Daerah dan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah dalam urusan pendidikan akan jelas jika ada peraturan yang mengatur kedudukan dan peran masing masing. Oleh karena itu diperlukan Peraturan Gubernur (Pergub) untuk pemetaan distribusi guru agar merata dan selanjutnya diterbitkan Peraturan Daerah (Perda). Pergub dan Perda tersebut mengatur cara yang ditawarkan antara lain misalnya adalah dengan melakukan penempatan bergilir sesuai dengan jumlah guru yang ada dan posisi yang dibutuhkan di suatu wilayah. Penempatan bergilir ini membutuhkan biaya dan manajemen khusus untuk memenuhi kebutuhan guru. Dengan penempatan bergilir ini dimungkinkan dapat mengatasi kejenuhan berada di suatu daerah, namun jika guru bersangkutan tidak bersedia bergilir karena sudah betah, tentu akan tetap diberi kesempatan. Program rotasi guru ini memang memerlukan biaya yaitu biaya ongkos pindah dan biaya pemondokan di tempat yang baru. Kebijakan rotasi guru ini memungkinkan ketersediaan guru secara merata lebih terjamin. Program tata kelola pendidikan yang memiliki kualitas transparansi dan akuntabilitas menjadi amat penting untuk mengatasi kerumitan distribusi guru dan mengatasi berbagai permasalahan pendidikan dalam tata kelola pendidikan yang transparan dan berkualitas di daerah. Kebijakan distribusi dan pemerataan guru yang efektif didukung data yang akurat dan

terkini akan memberi jaminan peningkatan kualitas layanan pendidikan secara terus menerus khususnya di daerah terpencil, terluar dan terdepat. Kemauan dan komitmen yang tinggi bagi penentu utama kebijakan menjadi jaminannya. KESIMPULAN Penelitian ini menyimpulkan bahwa pada pemerintahan daerah Kabupaten Padang Lawas Utara, Kabupaten Tapanuli Selatan dan Pemerintahan Daerah Kota Padangsidempuan menunjukkan bahwa (1) Dinas Pendidikan, Badan Kepegawaian Daerah, dan Badan Perencanaan Daerah belum memiliki sistem pendataan guru yang dapat dipedomani bersama; (2) data kepegawaian pada Badan Kepegawaian Daerah belum memberi penegasan khusus pada guru, sehingga tidak dapat dilihat pemerataan dan distribusi guru di sekolah sekolah; (3) Bappeda jika memerlukan data guru mereka meminta kepada Dinas Pendidikan, dan Bappeda tidak memiliki data guru secara utuh dalam upaya perencanaan pembangunan SDM di daerah. Instansi terkait dengan pengelolaan pendidikan di daerah belum merasa bahwa urusan pendidikan adalah bagian dari urusan mereka sesuai bidang kewenangan dan tanggung jawabnya. BKD dan Bappeda belum merasa bahwa data distribusi dan pemerataan guru adalah bagian dari urusan mereka sesuai bidang kewenangan dan tanggung jawabnya, sehingga rentang kendali dan kualitas layanan pendidikan dari perspektif manajemen SDM belum efektif. Sebagai dampaknya urusan pendidikan diurus oleh Dinas Pendidikan tanpa dukungan memadai dari BKD dan Bappeda. Dipihak lain pihak sekolah tidak paham keterkaitannya dengan BKD dan Bappeda. Secara teoritik dan konseptual ilmu manajemen dipersyaratkan ada rentang kendali yaitu kemampuan manajer (Bupati, Walikota, Kepala Dinas Pendidikan, Kepala BKD, dan Kepala Bappeda) melakukan koordinasi secara efektif yang sebagian besar tergantung jumlah bawahan (guru) yang melapor kepadanya. BKD dan Bappeda sebagai instansi terkait dengan pengelolaan pendidikan di daerah belum merasa bahwa urusan pendidikan khususnya data guru adalah bukanlah bagian dari urusan mereka sesuai bidang kewenangan dan tanggung jawabnya. Sebagai dampaknya urusan pendidikan diurus oleh Dinas Pendidikan tanpa dukungan memadai dari BKD dan Bappeda. Dipihak lain pihak sekolah tidak paham keterkaitannya dengan BKD dan Bappeda. Dinas Pendidikan, BKD, dan Bappeda perlu memiliki data distribusi guru yang akurat, terkini dan rinci.

89


Inovasi Vol. 11 No. 2 Juni 2014: 83-90

REKOMENDASI Untuk memperoleh data yang akurat dan terkini mengenai distribusi dan pemerataan guru disarankan kepada Gubernur agar menerbitkan Peraturan Gubernur (Pergub) yang dapat dipedomani oleh pemerintah Kabupaten/Kota yang menegaskan bahwa Dinas Pendidikan, BKD, dan Bappeda di kabupaten/kota wajib memiliki data yang rinci mengenai guru di daerahnya. Ketersediaan data ini akan memudahkan rentang kendali oleh Bupati/Walikota melakukan koordinasi secara efektif mengenai distribusi dan pemerataan guru di daerahnya. DAFTAR PUSTAKA Aprianto, Eko (2012). Rentang Kendali. http://trickyeko.blogspot.com/2012/03/d-rentang kendali.htmlhttp://trickyeko.blogspot.com/2012/03/ d-rentang-kendali.html Baswedan, Anis (2012). Distribusi-Guru-di-IndonesiaBelum-Merata. http://www.umy.ac.id/aniesbaswedan-.html. Gaspersz, Vincent (1997). Manajemen Kualitas Penerapan Konsep Kualitas dalam Manajemen Bisnis Total. Jakarta: Gramedia Pusaka Utama. Guba, E. G. (1985) Naturalistic Inquiry. London: Sage Publications. Gomes, Faustino Cardoso (2003). Manajemen Sumber Daya Manusia. Yogyakarta: Andi. Kementerian Keuangan (2012). Tinjauan Ekonomi dan Keuangan Daerah | Provinsi SUMATERA UTARA. Presiden RI (2004). Undang Undang Republik Indonesia tentang Pemerintahan Daerah. Jakarta: Fokusmedia. Sagala, Syaiful (2011). Kemampuan Profesional Guru dan Tenaga Kependidikan. Bandung: Alfabeta. Yin, R. K. (1984). Case Study (Design and Methods). London: Sage Publications.

90


Faktor Budaya dan Kaitannya dengan Rendahnya Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan Dalam Pemeriksaan Kehamilan dan Persalinan (Studi Kasus: Kabupaten Solok, Sumatera Barat) (Yulfira Media)

Hasil Penelitian FAKTOR BUDAYA DAN KAITANNYA DENGAN RENDAHNYA PEMANFAATAN PELAYANAN KESEHATAN DALAM PEMERIKSAAN KEHAMILAN DAN PERSALINAN (Studi Kasus Kasus: asus: Kabupaten Solok, Sumatera Barat) Barat)

CULTURAL FACTORS AND ITS RELAT RELATION ION TO THE USE OF LOW HEALTH SERVICE EXAMINATION IN PREGNANCY AND DELIVERY Study:: Solok, West Sumatra) (Case Study Yulfira Media Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Provinsi Sumatera Barat Jl. Khatib Sulaiman No. 1 Padang, Telp. (0751) 7054555-7055627 Email: Fira.media@yahoo.com

Diterima: 27 Maret 2014; Direvisi: 1 April 2014; Disetujui: 10 Juni 2014

ABSTRAK Angka Kematian Ibu (AKI) di Indonesia saat ini masih relatif tinggi, dan hal ini terkait dengan masih rendahnya pemanfaatan tenaga dan tempat pelayanan kesehatan dalam pemeriksaan kehamilan dan persalinan, khususnya di pedesaan. Kondisi ini tidak hanya disebabkan oleh karena faktor medis saja, tapi juga dilatarbelakangi adanya faktor budaya dari masyarakat setempat, seperti yang terdapat di Kabupaten Solok (Sumatera Barat).Tujuan penelitian adalah untuk mendeskripsikan faktor budaya yang melatarbelakangi rendahnya pemanfaatan pelayanan kesehatan dalam pemeriksaan kehamilan dan pertolongan persalinan. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan teknik pengumpulan data melalui wawancara mendalam dan observasi. Data terdiri atas data primer dan data sekunder, dengan para informan secara purposive (berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan), terdiri dari ibu hamil yang mempunyai anak balita sebanyak 10 orang, tokoh masyarakat (walinagari, tokoh agama, dukun beranak, kader), bidan dan kepala Puskesmas berjumlah 7 orang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rendahnya pemanfaatan pelayanan kesehatan ibu hamil dan bersalin dilatarbelakangi oleh adanya faktor budaya diantaranya adalah masih rendahnya pengetahuan dan pemahaman masyarakat terhadap kehamilan dan persalinan yang aman, masih kuatnya tradisi, norma dan kepercayaan masyarakat untuk memanfaatakan dukun beranak dalam pemeriksaan kehamilan dan pertolongan persalinan. Persepsi, pandangan, dan nilai-nilai budaya (norma tersebut telah memberikan kontribusi yang belum memuaskan. Rekomendasi yang dapat diusulkan antara lain adalah Dinas Kesehatan bersama jajarannya perlu melaksanakan peningkatan promosi dan pemberdayaan masyarakat berbasis sosial budaya lokal melalui kegiatan penyuluhan dan pelatihan serta penguatan peran tokoh masyarakat/organisasi masyarakat; Dinas Kesehatan Kabupaten perlu melakukan peningkatan monitoring (pengawasan) dan evaluasi serta bimbingan kepada pihak Puskesmas secara berkala berupa kunjungan supervisi dan memberikan umpan balik dalam bentuk tertulis; dan perlu dilakukan peningkatan jumlah tenaga dan kualitas tenaga kesehatan melalui pelatihan seperti pelatihan tentang pemahaman nilai-nilai budaya lokal serta melaksanakan kemitraan bidan dan dukun beranak. Kata Kunci: budaya, pelayanan kesehatan, pemanfaatan, ibu hamil dan bersalin

ABSTRACT Maternal Mortality Rate (MMR) in Indonesia is still relatively high, and it is related to the low utilization of health care and a place in the prenatal care and delivery, especially in rural areas. This condition is not only caused by medical factors alone, but also to a backdrop of cultural factors of the local community, such as those found in Solok (West Sumatra). Research objective was to describe the cultural factors behind the low utilization of health services in prenatal care and help labor. This study used a qualitative approach to data collection techniques through in-

91


Inovasi Vol. 11 No. 2 Juni 2014: 91-99

depth interviews and observation. The data consist of primary and secondary data, informants being choosed purposively (based on the criteria), consist of: 10 pregnant woman with baby, community leaders (walinagari, religious leaders, midwife, cadre), 7 midwife and head of the community health center. The results showed that the low utilization of maternal health services and maternity motivated by the cultural factors of which is still a lack of knowledge and understanding of the pregnancy and safe delivery, the strength of tradition, norms and trust people to take advantage of the TBA for prenatal care and delivery assistance. Perceptions, views, and cultural values (such norms have contributed unsatisfactory. The recommendations can be proposed, among others, is the Department of Health along with his team needs to implement an increase in the promotion and empowerment of local communities through sociocultural-based education and training activities as well as strengthening the role of community leaders/ community organizations; District Health Organisation need to increase monitoring and evaluation as well as guidance to the health center on a regular basis in the form of supervisory visits and provide feedback in written form; and the need to increase the amount of effort and quality of health workers through training such as training on understanding of local cultural values and implement partnerships midwives and traditional birth attendants. Keywords: culture, health care, utilization, pregnant women and maternity

terkait dengan faktor sosial budaya dan kemampuan ekonomi masyarakat. Sebagian besar kelahiran di pedesaan masih ditolong oleh tenaga dukun beranak, dan ini lebih terlihat pada masyarakat miskin di pedesaan (Lolong, 2011). Kematian ibu di negara berkembang biasanya sering terjadi di rumah, pada saat persalinan atau awal masa neonatal, tanpa adanya pertolongan tenaga kesehatan, keterlambatan akses untuk mendapatkan perawatan yang berkualitas dan sebagainya. Pengetahuan ibu dan keluarga tentang pentingnya pelayanan antenatal (pemeriksaan selama kehamilan), pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan terampil, persiapan kelahiran dan kegawatdaruratan yang relatif rendah merupakan beberapa faktor yang dapat mempengaruhi pemanfaatan pelayanan kesehatan ibu hamil dan bayi baru lahir (Afifah, 2010). Supartini (dalam Yenita, 2011) menyatakan bahwa setiap ibu hamil diharapkan dapat memanfaatkan petugas kesehatan seperti dokter dan bidan dalam pemeriksaan kehamilan dan pertolongan persalinan. Namun jika kita lihat di daerah pedesaan, maka sudah tidak dapat dipungkiri bahwa peran dukun beranak pada sebagian besar masyarakat di pedesaan masih cukup besar dalam membantu proses melahirkan. Berdasarkan data dari Survey Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) tahun 2007, persalinan yang memanfaatkan dukun beranak masih cukup tinggi, yaitu mencapai 30,27%. Selanjutnya menurut Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2010 persentase penolong persalinan oleh tenaga kesehatan adalah sebesar 82,2 persen, dan khususnya untuk di perdesaan penolong persalinan oleh tenaga kesehatan adalah sebesar 72,5 persen. Dalam hal ini persalinan di perdesaan yang memanfaatkan tenaga non kesehatan (dukun beranak) masih

PENDAHULUAN Angka kematian ibu (AKI) melahirkan di Indonesia masih dianggap tinggi bila dibandingkan dengan AKI di negara lain. Berdasarkan data hasil Survey Kesehatan Demografi Indonesia (SDKI) tahun 2007 menunjukkan bahwa AKI di Indonesia masih sekitar 228/100 ribu kelahiran (Lolong, 2011). Selajutnya berdasarkan data dari SDKI tahun 2012 (BKKBN, 2013) data AKI tersebut mengalami peningkatan menjadi 359 kematian/100 ribu kelahiran hidup. Padahal target Millenium Development Goals (MDGs) tahun 2015 adalah menurunkan angka kematian ibu sebesar tiga perempatnya (102/100.000 kelahiran hidup) pada tahun 2015. Penyebab utama kematian ibu di Indonesia berupa komplikasi kehamilan, persalinan dan pada masa nifas. Sebagian besar penyebab kematian adalah karena perdarahan, keracunan kehamilan dan infeksi pada masa nifas. Perdarahan disebabkan karena ibu hamil mengidap anemia. Sedangkan kematian ibu akibat infeksi menunjukkan adanya indikasi kurang baiknya upaya pencegahan manajemen infeksi, dan hal ini terkait dengan tenaga yang membantu persalinan (Afifah, 2010). Berbagai upaya untuk menurunkan AKI telah banyak dilakukan antara lain melalui kegiatan posyandu, pendirian Pondok Bersalin Desa (Polindes), penempatan tenaga bidan di desa, dan pencanangan program Making Prenangcy Safer (MPS) atau Gerakan Nasional kehamilan yang aman tahun 2000 (Ristirini, 2007). Selanjutnya upaya terobosan yang paling mutakhir sejak tahun 2011 adalah program Jampersal (Jaminan Persalinan), sebagai upaya menurunkan angka kematian ibu dan bayi menuju pencapaian target Millenium Development Goals (MDGs) tahun 2015 (Masadmin, 2011). Kondisi tingginya angka kematian ibu tidak hanya disebabkan oleh faktor medis, tapi juga 92


Faktor Budaya dan Kaitannya dengan Rendahnya Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan Dalam Pemeriksaan Kehamilan dan Persalinan (Studi Kasus: Kabupaten Solok, Sumatera Barat) (Yulfira Media)

diangap cukup tinggi yaitu 27,5% (Kemenkes, 2010). Seperti yang telah dikemukakan di atas bahwa sudah banyak upaya medis yang dilakukan, namun dari sisi non medis diketahui juga berperan cukup kuat terhadap status kesehatan ibu hamil dan bersalin. Faktor non medis tidak terlepas dari faktor-faktor sosial budaya dan lingkungan dimana mereka berada. Berdasarkan penelitian-penelitian yang ada, faktor sosial budaya merupakan faktor eksternal yang paling besar peranannya dalam membentuk perilaku manusia. Faktor budaya sebagai faktor ekternal yang mempengaruhi perilaku seseorang antara lain mencakup nilainilai, adat istiadat, kepercayaan, kebiasaan masyarakat, tradisi dan sebagainya. Sedangkan faktor internal yang mempengaruhi terbentuknya perilaku seperti persepsi, pengetahuan, motivasi, dan sebagainya (Notoatmojdo, 2010). Berkaitan dengan permasalahan kematian ibu dan rendahnya pemanfaatan pelayanan kesehatan dalam pemeriksaan kehamilan dan pertolongan dengan tenaga kesehatan diatas, Provinsi Sumatera Barat adalah termasuk yang masih relatif tinggi dalam angka kematian ibu, yaitu 212/100 ribu kelahiran hidup. Sedangkan untuk perbandingan antara kabupaten, Kabupaten Solok merupakan kabupaten dengan angka kematian ibu tertinggi di Provinsi Sumatera Barat, yaitu sebesar 449.2/100 ribu kelahiran hidup (Dinkes, 2008). Pada hal target MDGs tahun 2015 untuk AKI adalah 102/100 ribu kelahiran hidup. Begitu juga halnya dengan pemanfaatan pelayanan kesehatan ibu hamil dan bersalin, Kabupaten Solok merupakan kabupaten yang termasuk rendah dalam pencapaian cakupan pelayanan pemeriksaan kehamilan (antenatal) dengan K4 sebanyak 65,6%, dan persalinan yang dilakukan oleh tenaga kesehatan sebanyak 68,4% (Dinkes, 2012). Sehubungan dengan hal di atas, maka tujuan penelitian ini akan mengungkapkan beberapa faktor budaya yang melatarbelakangi rendahnya pemanfaatan pelayanan kesehatan dalam pemeriksaan kehamilan dan persalinan.

40,4% dan paling rendah dalam pencapaian persalinan dengan tenaga kesehatan (40,6%). Kemudian secara purposive dipilih Nagari Batu Bajanjang karena dianggap bahwa cakupan pemeriksaan kehamilan dan pertolongan persalinan dengan tenaga kesehatan di Nagari Batu Bajanjang termasuk rendah. Penelitian dilakukan pada tahun 2013. Data yang dikumpulkan adalah data primer dan data sekunder. Data primer dikumpulkan melalui wawancara mendalam (indepth interview) dengan para informan yang dipilih secara purposive (berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan) yang terdiri dari ibu hamil yang mempunyai anak balita sebanyak 10 orang, tokoh masyarakat (walinagari, tokoh agama, dukun beranak, kader), bidan dan kepala Puskesmas berjumlah 7 orang. Data sekunder diperoleh melalui studi kepustakaan dan dokumen dari Dinas Kesehatan dan instansi terkait, maupun sumber-sumber lain yang sesuai dengan standar keilmiahan. Pengolahan dan analisis data dilakukan secara manual oleh peneliti dengan pendekatan kualitatif. Proses pengolahan dan analisis data dimulai dengan cara menelah seluruh data yang tersedia dari berbagai sumber, yaitu dari wawancara mendalam, observasi/pengamatan yang sudah dituliskan dalam catatan lapangan, dan dokumen resmi dari instansi terkait. Selanjutnya analisis data dilakukan ke dalam tiga tahap, seperti yang dikemukakan oleh Miles dan Huberman (dalam Afrizal, 2008), yaitu tahap pertama adalah tahap kodifikasi data yang merupakan tahap di mana dilakukan koding terhadap data. Tahap kedua merupakan tahap lanjutan analisis, dimana peneliti melakukan kategorisasi data atau pengelompokkan data ke dalam klasifikasiklasifikasi. Selanjutnya tahap ketiga adalah tahap lanjutan dimana pada tahap ini peneliti mencari hubungan antara kategori-kategori yang telah dibuat sebelumnya. HASIL DAN PEMBAHASAN Nagari Batu Bajanjang adalah salah satu dari 5 (lima) nagari yang terdapat di Kecamatan Tigo Lurah, Kabupaten Solok. dan merupakan salah satu daerah terpencil di Kabupaten Solok. Nari Batu Bajanjang memiliki memiliki luas 139.40 Km2, jarak sekitar 96 km dari pusat pemerintahan Kabupaten Solok di Arosuka, dan berjarak sekitar 138 km dari Kota Padang. Waktu tempuh yang diperlukan dari Arosuka ke Nagari Batu Bajanjang jika menggunakan kendaraan roda empat adalah sekitar 4 s/d 6 jam. Sedangkan waktu tempuh yang diperlukan dari Padang jika menggunakan kendaraan roda empat adalah sekitar 7 s/d 9 jam.

METODE Lokasi penelitian adalah di Nagari Batu Bajanjang, Kecamatan Tigo Lurah, Kabupaten Solok, Provinsi Sumatera Barat. Penelitian dilakukan pada tahun 2013, dengan disain penelitian adalah kualitatif dengan pendekatan deskriptif. Kecamatan Tigo Lurah dipilih dengan pertimbangan bahwa kecamatan ini merupakan kecamatan dengan pencapaian antenatal care (ANC) paling rendah di Kabupaten Solok, yaitu

93


Inovasi Vol. 11 No. 2 Juni 2014: 91-99

Sebagian besar masyarakat di Nagari Batu Bajanjang mempunyai latar belakang pendidikan yang relatif rendah, tidak tamat Sekolah Dasar dan tamat Sekolah Dasar (84,33%). Sedangkan mereka yang mempunyai tingkat pendidikan tinggi (sarjana) relatif sangat kecil, yaitu sebesar 0,52% (Gambar 1).

Nagari Batu Bajanjang termasuk dalam wilayah kerja Puskesmas Batu Bajanjang. Wilayah kerja Puskesmas Batu Bajanjang meliputi 5 (lima) nagari dengan kondisi wilayah geografis yang relatif sulit dijangkau, dan merupakan satu-satunya Puskesmas dengan kategori sangat terpencil di Kabupaten Solok. 5,27%

0,47

0,52% Tidak tamat Sekolah Dasar

9,41% 34,41%

Sekolah Dasar

49,92%

SLTP SLTA

Gambar 1. Persentase Jumlah Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan Sumber: Profil Nagari Batu Bajanjang Kec Tigo Lurah (2011) terbentuknya perilaku seperti persepsi, pengetahuan, motivasi, dan sebagainya (Notoatmojdo, 2010). Berdasarkan apa yang dikemukakan oleh Notoatmodjo ini dari hasil penelitian diketahui bahwa pengetahuan masyarakat di Nagari Batu Bajanjang tentang manfaat pemeriksaan kehamilan dengan tenaga kesehatan masih relatif kurang. Hal ini bisa terlihat dari persepsi sebagian besar masyarakat yang menyatakan bahwa kehamilan adalah suatu hal yang wajar, tidak perlu dikhawatirkan dan tidak perlu dilakukan pemeriksaan dengan tenaga kesehatan, terutama pada awal-awal kehamilan. Di samping itu juga adanya pandangan masyarakat bahwa pemeriksaan kehamilan pada awal-awal kehamilan adalah sudah hal yang tabu dan malu untuk dilakukan karena takut nanti kehamilannya tidak jadi atau gagal. Adanya persepsi masyarakat inilah yang menyebabkan masyarakat cenderung untuk tidak mementingkan pemeriksaan kehamilan, terutama pada awal-awal kehamilan. Terkait dengan pemeriksaan kehamilan ini, Suryawati (2007) mengemukakan bahwa jika dilihat dari realita yang ada, masyarakat Indonesia pada umumnya sudah terbiasa menganggap bahwa kehamilan merupakan suatu hal yang wajar yang tidak memerlukan antenal care. Hal ini tentunya juga berkaitan dengan pengetahuan dan pemahaman masyarakat tentang pentingnya antenal care dan pemeliharaan kesehatan reproduksi lainnya. Meskipun demikian, sebagian masyarakat juga sudah ada yang mempunyai pandangan bahwa perlu untuk melakukan pemeriksaan kehamilan, tetapi dengan meminta bantuan

Jika ditinjau dari mata pencaharian penduduk, sebagian besar masyarakat di Nagari Batu Bajanjang mempunyai mata pencaharian sebagai petani, yaitu sebanyak 97,41%. Dalam bidang pertanian ini dapat dikatakan bahwa pada umumnya masyarakat bekerja sebagai petani sawah dengan penghasilan yang relatif kurang memadai dan cenderung cukup untuk memenuhi kehidupan sehari-hari. Sarana kesehatan yang terdapat di Nagari Batu Bajanjang adalah satu Puskesmas (Puskesmas Batu Bajanjang), dua Pos Kesehatan Nagari (Poskesri), yaitu Poskesri Muaro dan Poskesri Panarik. Selanjutnya juga terdapat praktek bidan dan praktek keperawatan masingmasing sejumlah satu. Berdasarkan data yang dikumpulkan diketahui bahwa jumlah tenaga kesehatan di wilayah kerja Puskesmas Batu Bajanjang, dan khususnya di Nagari Batu Bajanjang relatif terbatas. Pada saat dilakukan penelitian jumlah tenaga kesehatan yang tercatat di wilayah kerja Puskesmas Batu Bajanjang adalah 24 orang, sedangkan jumlah tenaga bidan yang bertugas di Poskesri Nagari Batu Banjanjang hanya satu dari dua Poskesri yang ada di Nagari Batu Bajanjang, yaitu bidan di Poskesri Panarik. Jika dibandingkan dengan jumlah tenaga bidan yang terdapat di Nagari Batu Bajanjang, jumlah dukun beranak tampaknya lebih banyak. Setiap jorong memiliki dua atau tiga orang dukun beranak. Dengan kondisi jumlah tenaga dukun yang lebih banyak seperti inilah yang mengakibatkan posisi dukun beranak dianggap masih kuat, dihargai dan dipercaya masyarakat. Notoatmodjo mengemukakan bahwa ada faktor internal yang mempengaruhi 94


Faktor Budaya dan Kaitannya dengan Rendahnya Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan Dalam Pemeriksaan Kehamilan dan Persalinan (Studi Kasus: Kabupaten Solok, Sumatera Barat) (Yulfira Media)

dukun beranak. Adapun alasan mereka untuk memeriksakan kehamilan dengan dukun beranak tersebut adalah untuk memastikan kehamilan dan ingin mengetahui kondisi posisi letak bayi apakah posisinya sudah baik. Jika posisinya melintang, maka dukun beranak akan membentulkan letak posisi bayi yang di dalam kandungan jika dirasakan badan tidak enak atau letak anak melintang. Hasil penelitian yang dilakukan Balitbangkes (2012) di Kabupaten Nias Selatan, Provinsi Sumatera Utara juga mengungkapkan bahwa pemahaman masyarakat akan pentingnya pemeriksaan kehamilan masih relatif kurang. Masyarakat tidak mau memeriksakan kehamilannya secara rutin kepada tenaga kesehatan di pelayananan kesehatan dengan alasan antara lain karena merasa tidak perlu dilakukan pemeriksaan dan tidak ada keluhan, tidak ada biaya (alasan ekonomi), dan jauh dari fasilitas kesehatan. Pemahaman masyarakat di nagari Batu Bajanjang tentang tentang tanda-tanda bahaya persalinan adalah ketika mereka mengalami kesulitan/masalah pada waktu melahirkan, dan dukun sudah menyatakan tidak sanggup menangani persalinan serta menyarankan untuk memanggil bidan. Pada saat kondisi seperti ini biasanya bidan tidak langsung menangani persalinan, tapi ada kecenderungan bidan untuk meminta izin terlebih dahulu dengan dukun beranak terutama kepada dukun beranak yang sudah senior dan dihormati masyarakat karena mempunyai “kemampuan yang lebih�. Namun, dari kasus yang sudah tidak bisa ditangani oleh dukun beranak tersebut biasanya juga tidak bisa ditangani bidan (“bukan makanannya bidan�), dan harus dirujuk ke rumah sakit. Keputusan untuk membawa ke rumah sakit juga harus menunggu keputusan keluarga besar dari ibu hamil, karena walaupun sudah ada Jampersal persoalan ini berkaitan dengan biaya yang harus dikeluarkan. Persepsi masyarakat terhadap tenaga penolong persalinan bahwa dukun beranak dianggap sudah mempunyai banyak pengalaman dalam membantu persalinan (usia mereka pun sudah relatif tua), lebih dipercaya dan biaya persalinan relatif murah, yang mana biasanya masyarakat memberikan beras sekitar dua liter. Pemberian imbalan dengan beras tersebut dengan alasan bahwa sebagai petani mereka cenderung mempunyai penghasilan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan seharihari saja, dan pemberian imbalan beras ini tidak menjadi persoalan bagi dukun beranak. Sedangkan jika dibandingkan biaya melahirkan dengan tenaga kesehatan biasanya relatif mahal, dan sudah ditentukan berapa yang harus

dibayar (kurang lebih Rp. 500.000,- s/d Rp. 700.00,-). Masyarakat di Nagari Batu Bajanjang mempunyai persepsi bahwa dukun beranak adalah seseorang yang dianggap mempunyai “kemampuan yang lebih�. Jika ada kondisi ibu hamil yang sulit untuk melahirkan, ada kaitannya dengan hal yang gaib karena gunaguna (ditahan) yang diberikan dukun. Maksudnya adalah seorang dukun dipercaya mempunyai keahlian dengan membacakan mantra-mantra untuk menahan atau menghalangi kelahiran seorang bayi, meskipun usia kehamilannya sudah melebihi waktu kelahiran. Bahkan ada beberapa kasus persalinan yang mengalami permasalahan dan tidak bisa ditangani dukun beranak, bidan akan meminta izin terlebih dahulu kepada dukun beranak tersebut sebelum menangani persalinan. Setyawati (2010) dalam hal ini juga mengemukakan bahwa dukun beranak merupakan aktor lokal yang dipercaya warga sebagai tokoh kunci di masyarakat terutama yang berkaitan dengan kesehatan dan keselamatan. Dukun dipercayai memiliki kemampuan secara turun-temurun untuk memediasi pertolongan medis dalam masyarakat, dan yang menempatkan status sosial dukun yang karismatik dalam pelayanan medis tradisional. Persepsi masyarakat terhadap tenaga bidan desa adalah tenaga yang belum banyak pengalaman, rata-rata masih usia relatif muda, yang baru berapa tahun lulus pendidikan bidan, dan kehadiran mereka di lokasi relatif kurang serta dianggap kurang bisa melakukan pendekatan kepada masyarakat setempat. Selanjutnya masyarakat beranggapan bahwa Puskesmas tidak bisa menyediakan pelayanan kesehatan secara rutin, di mana intensitas dari pelayanan relatif kurang (jadwal buka pelayanan cenderung rata-rata dua kali dalam satu minggu), yang dikenal dengan istilah SR, yaitu pelayanan Selasa dan Rabu. Begitu juga halnya dengan pelayanan kesehatan yang terdapat di Poskesri dan Posyandu, dan bahkan menurut informan bahwa ada beberapa Poskesri yang cenderung dibuka hanya empat kali dalam satu bulan. Adanya pandangan masyarakat inilah yang menyebabkan masyarakat relatif cenderung kurang memanfaatkan pelayanan kesehatan ibu hamil dan bersalin. Kondisi rendahnya pemanfaatan pelayanan kesehatan ibu hamil ini seperti yang dikemukakan oleh Green (Notoatmojdo, 2010) dilatarbelakangi oleh adanya faktor penguat, yaitu faktor-faktor yang memperkuat atau mendorong terjadinya perilaku, seperti sikap dari perilaku petugas kesehatan dan dukun

95


Inovasi Vol. 11 No. 2 Juni 2014: 91-99

beranak. Dalam hal ini ada sikap dari perilaku petugas kesehatan yang cenderung tidak bisa memberikan pelayanan secara rutin, sedangkan dukun beranak cenderung lebih bisa memberikan pelayanan yang rutin (kapan saja). Green (dalam Notoatmodjo, 2010) mengemukakan bahwa salah satu faktor yang mempermudah seseorang untuk melakukan perilaku adalah kepercayaan, tradisi, nilai-nilai yang dianut masyarakat. Hal ini seperti yang terlihat dalam perilaku masyarakat di Nagari Batu Bajanjang terhadap perawatan kehamilan dan persalinan, yang mana sebagian besar ibu hamil masih mempunyai tradisi, kebiasaan dan kepercayaan untuk melakukan perawatan kehamilan dan pertolongan persalinan dengan memanfaatkan tenaga dukun beranak. Perawatan kehamilan yang diberikan dukun beranak adalah seperti melakukan pemijatan jika ada kelainan di bagian perut, yang mana kadang kala dianggap janin dalam kondisi terjepit, melintang dan sungsang. Dengan bantuan dukun beranak biasanya kondisi letak janin yang kurang baik dapat dibenarkan kembali posisinya. Dukun beranak biasanya akan memperbaiki letak posisi janin dengan menggunakan kain panjang yang diputar pada bagian perut, dan kemudian diurut dengan menggunakan minyak “tanak� (kelapa) yang dibuat sendiri oleh dukun dan kemudian ada mantra dari dukun. Selanjutnya sisa minyak kelapa yang diberikan dukun tersebut disimpan, dan nantinya bisa diminum jika hendak melahirkan untuk memperlancar proses persalinan. Hasil penelitian yang dilakukan Balitbangkes (2012) di Kabupaten Nias Selatan, Provinsi Sumatera Utara juga menemukan hal yang tidak jauh berbeda, yang mana pada umumnya ibu hamil di Desa Hilifadolo, Kecamatan Lolowa’u, Kabupaten Nias Selatan mempunyai kebiasaan untuk memeriksakan kehamilan ke tukang kusuk/dukun beranak. Masyarakat ada melakukan kusuk (urut) setiap bulan, ada yang mendatangi/mengundang tukang kusuk ketika merasa sakit dan agar diperbaiki posisi kehamilannya. Data yang tidak jauh berbeda juga terungkap dari hasil penelitian Sukandi (dalam Swasono, 1997) di Kabupaten Subang bahwa salah satu tujuan dari perawatan kehamilan oleh paraji (dukun beranak) adalah untuk memperoleh keselamatan. Paraji dianggap bisa meneliti kandungan dengan seksama dan bisa membetulkan posisi bayi menjadi kondisi yang seharusnya, sehingga memberi rasa nyaman pada sang calon ibu. Kepercayaan masyarakat pada paraji begitu besar di lingkungan masyarakat setempat.

Pilihan pertama masyarakat (ibu hamil) di Nagari Batu Bajanjang dalam pencarian pertolongan persalinan adalah dengan bantuan tenaga dukun beranak, di samping karena biaya persalinan dengan dukun beranak yang relatif murah, juga dilatarbelakangi oleh adanya kepercayaan masyarakat terhadap dukun beranak. Hal ini merupakan suatu kenyataan yang tidak bisa dipungkiri bahwa kepercayaan masyarakat terhadap dukun masih sangat tinggi, sehingga sudah merupakan tradisi bagi sebagian besar masyarakat untuk melahirkan dengan memanfaatkan tenaga dukun beranak. Hasil penelitian yang dilakukan Balitbangkes (2012) di Kabupaten Nias Selatan, Provinsi Sumatera Utara juga menyatakan bahwa sebagian besar informan melahirkan di rumah dengan penolong persalinan dukun beranak. Mereka percaya bahwa dukun dapat menolong mereka karena mereka sudah terbiasa bertemu dukun yang menolong persalinan tersebut dan yang mengkusuk ibu ketika hamil. Masih tingginya kepercayaan masyarakat terhadap dukun beranak juga didasarkan adanya pandangan masyarakat bahwa peristiwa kehamilan dan kelahiran adalah persoalan biasa, dan bisa ditangani oleh dukun beranak. Afifah dan Media (2010) juga mengungkapkan bahwa walaupun ibu hamil sudah melakukan pemeriksaan kehamilan dengan tenaga kesehatan, namun mereka akan lebih memilih melahirkan di rumah dengan bantuan paraji (dukun beranak). Masih tingginya kepercayaan masyarakat kepada dukun beranak didasarkan pada anggapan bahwa peristiwa hamil dan melahirkan adalah hal biasa. Jika tidak ada masalah dengan kehamilan cukup melahirkan dengan dukun beranak. Selanjutnya jika dukun beranak menyatakan sudah tidak sanggup menangani persalinan, baru dipanggil bidan. Dalam hal ini bidan adalah pilihan yang kedua, dan tak heran jika kondisi kehamilannya cenderung sudah membahayakan kondisi ibu dan anak yang dikandungannya, dan harus dirujuk ke rumah sakit. Hal ini seperti yang diungkapkan informan sebagai berikut: “Jika dukun beranak sudah tidak sanggup untuk menangani persalinan, maka baru dipanggil bidan. Pada hal kondisi kehamilannya sudah tidak makanannya bidan lagi, dan harus dirujuk ke rumah sakit�. Pelayanan yang diberikan oleh dukun beranak kepada ibu hamil di Nagari Batu Bajanjang bisa dikatakan memang lebih prima dan bersifat kekeluargaan. Dukun beranak tidak hanya membantu proses persalinan, tapi juga membantu merawat anak dan ibu yang habis 96


Faktor Budaya dan Kaitannya dengan Rendahnya Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan Dalam Pemeriksaan Kehamilan dan Persalinan (Studi Kasus: Kabupaten Solok, Sumatera Barat) (Yulfira Media)

melahirkan, dan bahkan termasuk membantu mencucikan pakaian ibu hamil yang terkena darah habis melahirkan. Setelah melahirkan (kurang lebih setengah jam setelah melahirkan) biasanya dukun segera memandikan ibu dan anaknya dengan air dingin di halaman rumah. Jika ibu melahirkan pada jam 12 malam, kegiatan tersebut tetap dilaksanakan pada malam itu juga. Adapun alasan dukun beranak untuk segera memandikan ibu dan anak setelah melahirkan tersebut adalah untuk supaya ibu dan anak bersih dan cepat kuat. Namun, masyarakat bisa juga menggunakan air hangat untuk mandi tersebut. Penelitian Suryawati (2007) di Kabupaten Jepara juga mengungkapkan bahwa masih banyak masyarakat yang membutuhkan dukun bayi. Dukun bayi dianggap mempunyai beberapa kelebihan jika dibanding dengan bidan. Dukun bayi mampu memberikan pelayanan yang paripurna mulai dari membantu persalinan sampai memimpin upacara kelahiran bayi. Dukun bayi juga siap setiap saat dibutuhkan, memberikan rasa nyaman dan aman karena mereka kebanyakan dituakan, begitu juga hubungan kekeluargaan membuat kehadiran dukun bayi dalam hal tertentu sulit digantikan oleh bidan. Dukun beranak di Nagari Batu Bajanjang selanjutnya juga memberikan perawatan kepada ibu habis melahirkan dengan melakukan pemijatan (diurut) pada bagian perut ibu oleh dukun beranak. Setelah dilakukan pemijatan, kemudian bagian perut ibu dibalut/diikat dengan kain panjang (babek), dan di dalam kain panjang diletakkan bungkusan kain (kira-kira besarnya segenggam) yang berisikan abu gosok, jarum jahit, ampu kunyit, uang logam (menggo), padi hampa (padi hampo), daun bangun-bangun dan jeruk purut. Tujuan perawatan ini supaya perut (peranakan) ibu yang habis melahirkan tidak turun, dan selama tiga hari kain panjang tersebut tidak boleh dibuka. Perawatan yang dilakukan setelah pemasangan babek tersebut, adalah dengan meminumkan air yang telah dicampurkan dengan tempurung yang telah dibakar terlebih dahulu (arang). Dalam hal ini arang panas dari tempurung tersebut dimasukkan kedalam air mendidih yang dicampur dengan daun bangunbangun, dan setelah kondisi air hangat kuku diminumkan kepada ibu yang habis melahirkan. Tujuan meminum air tersebut supaya perut tidak meruyan (melilit) dan bisa membersihkan darah-darah kotor setelah melahirkan. Setelah umur anak kurang lebih tiga minggu atau satu bulan, masyarakat di Nagari Batu Bajanjang mempunyai tradisi untuk melakukan kegiatan turun mandi yang dipimpin

oleh dukun yang sudah membantu persalinan. Walaupun masyarakat sudah ada yang dibantu persalinannya oleh tenaga kesehatan, namun beberapa tradisi setelah melahirkan tetap mereka jalankan dengan meminta pertolongan dukun beranak. Kegiatan turun mandi tersebut dimaksudkan sebagai tanda syukur dan terima kasih kepada dukun yang telah membantu persalinan. Masyarakat disini beranggapan bahwa jika belum melaksanakan kegiatan turun mandi tersebut, mereka merasa masih mempunyai hutang kepada dukun yang membantu persalinan. Salah satu bentuk kegiatan yang dilakukan ibu adalah mencuci kedua tangan dukun beranak dan suami dengan anggapan bahwa waktu melahirkan atau setelah melahirkan tangan dukun beranak dan suaminya menjadi kotor dengan darah, dan juga telah membantu mencucikan pakaian yang terkena darah. Kegiatan tersebut dilanjutkan dengan acara selamatan/berdoa sebagai rasa syukur. Masyarakat biasanya akan melakukan kegiatan sesuai dengan aturan/anjuran yang diberikan dukun. Masyarakat melakukan kegiatan, aturanaturan dan anjuran yang telah diberikan oleh dukun beranak. Hal inilah yang biasanya dilakukan oleh masyarakat dalam menghadapi peristiwa hidup seperti kehamilan, persalinan dan pasca persalinan. Namun mereka beranggapan bahwa hal tersebut adalah sudah merupakan kepercayaan, tradisi/kebiasaan keluarga dan masyarakat yang sudah mereka lakukan dari orang tua mereka sebelumnya. Berkaitan dengan hal ini Setyawati (2010) juga mengemukakan bahwa dukun beranak tidak hanya berperan saat proses persalinan, namun juga berperan pada saat upacara-upacara adat yang dipercaya membawa keselamatan bagi ibu dan anaknya seperti upacara tujuh-bulanan kehamilan dan mandi dengan air panas. Upacara adat ini tidak dapat dilakukan oleh seorang bidan. Hal inilah yang menyebabkan dukun memiliki tempat yang terhormat dan memperoleh kepercayaan lokal yang jauh lebih tinggi dari pada bidan. Penelitian yang dilakukan Haryono tentang pemanfaatan dukun bayi dan bidan dalam pertolongan persalinan pada masyarakat di Madura juga mengungkapkan bahwa salah satu faktor yang sangat berpengaruh terhadap tingkat pemanfaatan pelayanan kesehatan adalah berkaitan dengan pengetahuan, sikap, dan perilaku masyarakat tentang kesehatan reproduksi. Hal ini tidak terlepas kaitannya dengan kondisi lingkungan sosial, budaya, dan ekonomi masyarakat (Haryono, 2013). Masyarakat di Nagari Batu Bajanjang melaksanakan prosesi kegiatan perawatan

97


Inovasi Vol. 11 No. 2 Juni 2014: 91-99

kehamilan, kelahiran dan pasca kelahiran sesuai dengan tradisi, norma, kepercayaan dan nilainilai budaya yang berlaku dalam masyarakat setempat. Giddens (dalam Ritzer, 2008) mengemukakan bahwa Agen (aktor) merasionalkan kehidupan mereka sebagai upaya untuk mencari perasaan aman. Rasionalisasi yang dimaksudkan adalah mengembangkan kebiasaan sehari-hari yang tidak hanya memberikan perasaan aman kepada aktor, tetapi juga memberikan kemungkinan bagi mereka untuk menghadapi kehidupan sosial mereka secara efisien. Aktor juga memiliki motivasi untuk bertindak, dan motivasi ini meliputi keinginan dan hasrat untuk mendorong tindakan. Selanjutnya dalam melakukan tindakan ada kesadaran praktis yang menunjuk pada apa yang aktor ketahui (percayai) tentang kondisi-kondisi sosial, khususnya kondisikondisi dari tindakannya sendiri. Dalam hal ini aktor (ibu hamil) juga memiliki motivasi untuk bertindak, dan dengan pengetahuan yang dimililikinya dia bisa menjelaskan kenapa tindakan perawatan kehamilan, persalinan dan pasca persalinan tersebut dilakukan. Aktor (ibu hamil) menyadari bahwa tindakan tersebut dilakukan untuk bisa memberikan perasaan aman, menghindari dan mencegah hal-hal yang tidak diinginkan (seperti mencegah supaya kelahiran anak tidak sungsang dan peranakan tidak turun), dan bisa memberikan keselamatan kepada ibu dan bayi yang dilahirkan. Selanjutnya dengan kesadaran praktis aktor melakukan tindakan tersebut, yang menunjuk pada nilai-nilai budaya, tradisi dan apa yang diketahui (dipercayai) aktor tentang kondisikondisi sosial dari tindakannya sendiri. Dengan kata lain masyarakat akan melakukan tindakan untuk memanfaatkan pelayanan pemeriksaan kehamilan dan persalinan yang sesuai dengan kondisi nilai-nilai budaya, tradisi dan kepercayaan masyarakat, yaitu dengan memanfaatkan dukun beranak. Menyikapi persoalan rendahnya pemanfaatan pelayanan kesehatan dalam pemeriksaan kehamilan tersebut, maka sistem sosial budaya yang beraneka ragam di Indonesia haruslah dapat dipahami dan disadari sebagai sumber daya atau modal sosial (social capital) yang telah tersedia di masyarakat. Walaupun di beberapa daerah, sistem sosial budaya tersebut telah mengalami pergeseran dan mulai memudar, namun jika hal ini dimobilisasi kembali dengan cara-cara yang tepat dan sesuai dengan karakteristik sosial-budaya lokal secara bertahap akan memberikan kontribusi yang signifikan dalam pembangunan kesehatan khususnya dalam upaya mengurangi resiko kematian ibu (Hikmat, 2010).

KESIMPULAN Berdasarkan hasil dan pembahasan tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa ada beberapa faktor budaya yang turut melatarbelakangi rendahnya pemanfaatan pelayanan pemeriksaan kehamilan dan pertolongan persalinan. Faktor budaya ini antara lain meliputi persepsi, pandangan, nilainilai budaya (norma), tradisi, dan kepercayaan dari masyarakat. Kondisi budaya yang dimiliki dan di percaya masyarakat tersebut telah memberikan kontribusi terhadap pemanfaatan pelayanan kesehatan ibu hamil dan bersalin yang belum memuaskan tersebut. REKOMENDASI Berdasarkan hasil dan pembahasan di atas tampak bahwa berbagai daerah di Indonesia mempunyai keaneka ragaman etnik dan caracara budaya dalam memahami dan menanggapi kehamilan dan persalinan dengan berbagai implikasinya terhadap partisipasi masyarakat masyarakat dalam pemanfaatan pelayanan kesehatan ibu hamil dan bersalin. Sehubungan dengan hal ini beberapa rekomendasi yang bisa disampaikan untuk pemerintah daerah setempat dan provinsi lainnya di Indonesia, yaitu sebagai berikut: 1. Dalam upaya meningkatkan pengetahuan dan kesadaran masyarakat terhadap pelayanan kesehatan ibu hamil dan bersalin khususnya di daerah terpencil, Dinas Kesehatan bersama jajarannya perlu melaksanakan peningkatan promosi dan pemberdayaan masyarakat berbasis sosial budaya lokal melalui kegiatan penyuluhan dan pelatihan serta penguatan peran tokoh masyarakat/organisasi masyarakat. 2. Dalam upaya peningkatan pemanfaatan pelayanan kesehatan dalam pemeriksaan kehamilan dan pertolongan persalinan, Dinas Kesehatan Kabupaten perlu melakukan peningkatan monitoring (pengawasan) dan evaluasi serta bimbingan kepada pihak Puskesmas secara berkala berupa kunjungan supervisi dan memberikan umpan balik dalam bentuk tertulis. 3. Mengingat keterbatasan jumlah dan kualitas sumber daya kesehatan, maka perlu dilakukan peningkatan jumlah tenaga dan kualitas tenaga kesehatan melalui pelatihan seperti pelatihan tentang pemahaman nilai-nilai budaya lokal serta melaksanakan kemitraan bidan dan dukun beranak.

98


Faktor Budaya dan Kaitannya dengan Rendahnya Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan Dalam Pemeriksaan Kehamilan dan Persalinan (Studi Kasus: Kabupaten Solok, Sumatera Barat) (Yulfira Media)

Suryawati, Chriswardani. 2007. Faktor Sosial Budaya dalam Praktik Perawatan Kehamilan, Persalinan, dan Pasca Persalinan (Studi di Kecamatan Bangsri Kabupaten Jepara. Jurnal Promosi Kesehatan Indonesia Vol. 2 / No. 1 / Januari 2007.

DAFTAR PUSTAKA Afifah, Tin dan Yulfira Media. 2010. “Perilaku Pemeriksaan Kesehatan Ibu Hamil dan Pemilihan Pertolongan Persalinan di Kabupaten Sukabumi”. Jurnal Ekologi Kesehatan. Volume 9, No. 3 September 2010. Jakarta: Badan Litbang Kesehatan.

Yenita, Sri. 2011. Faktor Determinan Pemilihan Tenaga Penolong Persalainan di Wilayah Kerja Puskesmas Desa Baru Kabupaten Pasaman Barat Tahun 2011. Padang: Tesis Program Pasca Sarjana Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kedokteran Universitas Andalas.

Afrizal. 2008. Pengantar Metode Penelitian Kualiatatif. Padang: Laboratorium Sosiologi Fisip Unand. Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional. 2013. Laporan Survey Demografi dan Kesehatan Indonesia 2012. Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Barat. 2008. Studi Kematian Ibu dan Kematian Bayi di Propinsi Sumatera Barat tahun 2007 Faktor Determinan dan Permasalahannya. Padang: Laporan Penelitian. Dinas Kesehatan Kab. Solok. 2012. Laporan PWS KIA Kabupaten Solok. Haryono, Tri Joko. 2013. “Pemanfaatan Dukun Bayi dan Bidan dalam Pertolongan Persalinan pada Masyarakat Madura”. http://psantosofisip.web.unair.ac.id. Diakses 10 April 2012 Hikmat, Harry. 2010. Strategi Pemberdayaan Masyarakat. Bandung, Humaniora Press. Kementerian Kesehatan. 2010. Laporan Riset Kesehatan Dasar 2010. Jakarta: Badan Penelitian Pengembangan Kesehatan. Lolong, Dina Bisara. 2011. “Analisa Kematian Ibu dan Neonatal”. Jurnal Ekologi Kesehatan, Vol. 10 No.3 September 2011. Jakarta: Badan Litbang Kesehatan. Masadmin. 2011. “Depkes Siapkan 1,2 Milyar Untuk Jampersal”. http://mediabidan.com/depkes. Diakses 6 Desember 2012. Notoatmodjo, Soekidjo. 2010. Promosi Kesehatan: Teori dan Aplikasi. Jakarta: PT Rineka Cipta. Ristirini. 2007. “Upaya Pemberdayaan Masyarakat Miskin di Pedesaan dalam Rangka making Pregnancy Safer (Analisis Situasi Upaya Pelayanan Kesehatan Maternal)”. Jurnal Kedokteran Indonesia No. 2. Tahun XXXIII, Februari 2007. Ritzer, George. 2008. Teori Sosiologi Modern, Edisi Ke-6. Jakarta: Kecana Prenada Media Group. Styawati, Gita. 2010. “Modal Sosial dan Pemilihan Dukun Dalam Proses Persalinan: Apakah Relevan?”. Makara, Kesehatan, Vol.14, No.1, Juni 2010. Sukandi, Vita Priantina. 1997. “Pandangan dan Perilaku Ibu Selama Kehamilan dan Pengaruhnya Pada Kematian Bayi di Desa Jalancagak, Subang, Jawa Barat” Dalam: Swasono, Meutia. Kehamilan, Kelahiran, Perawatan Ibu dan Bayi dalam Konteks Budaya dalam. Jakarta: Universitas Indonesia (UI-Press).

99


Inovasi Vol. 11 No. 2 Juni 2014: 100-107

Hasil Penelitian STRATEGI PENGEMBANGAN POTENSI PELABUHAN KHUSUS CRUDE PALM OIL (CPO) DI SUMATERA UTARA

(PORT DEVELOPMENT STRATEGY POTENTIAL SPECIAL CRUDE PALM OIL (CPO) IN NORTH SUMATRA) Sahat Christian Simanjuntak Badan Penelitian dan Pengembangan Provinsi Sumatera Utara Jl. Sisingamangaraja No. 198 Medan 20126 email: sahat_christians@yahoo.co.id

Diterima: 21 Maret 2014; Direvisi: 11 April 2014; Disetujui: 30 April 2014

ABSTRAK Minyak kelapa sawit (Crude Palm Oil/CPO) merupakan salah satu komoditi ekspor andalan perekonomian Provinsi Sumatera Utara. Permintaan minyak kelapa sawit setiap tahun terus meningkat sebagai akibat semakin meluasnya pemanfaatannya. Bukan hanya untuk kebutuhan konsumsi, melainkan sudah dimanfaatkan sebagai bahan dasar obat-obatan dan kosmetik. Kondisi ini membuat petani terus menambah areal pengembangan perkebunan dan produksi minyak kelapa sawit serta pengembangan pelabuhan khusus untuk ekspor CPO. Pelabuhan khusus diselenggarakan untuk kepentingan sendiri guna menunjang kegiatan ekspor CPO ke luar negeri. Pelabuhan khusus dibangun oleh suatu perusahaan baik pemerintah maupun swasta, yang berfungsi untuk prasarana pengiriman hasil produksi CPO. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui potensi CPO dan kondisi pelabuhan ekspor CPO, untuk mengetahui pelabuhan yang telah ada di Provinsi Sumatera Utara apa sudah dapat menampung produksi CPO untuk diekspor dan untuk mengetahui strategi pengembangan pelabuhan khusus CPO di Provinsi Sumatera Utara. Alat analisis yang digunakan dengan analisis deskriptif dan analisis SWOT. Hasil penelitian menunjukkan bahwa potensi produksi CPO mengalami peningkatan dari tahun ke tahun, dan kondisi saat ini pelabuhan Belawan sebagai pelabuhan umum yang cukup padat dalam melakukan pengangkutan barang serta strategi pengembangan pelabuhan khusus CPO dengan menggunakan seluruh kekuatan untuk memanfaatkan peluang yang ada di Provinsi Sumatera Utara dan dikaitkan dengan klaster CPO di Sei Mangke serta program MP3EI maka pelabuhan khusus CPO berada di Kuala Tanjung. Hal ini dilakukan karena dari segi geografis terdapatnya dengan mudah konektivitas antara area perkebunan dengan industri pengolahan kelapa sawit, konektivitas antara kawasan industri dengan akses keluarnya CPO ke luar negeri. Dari segi teknis, pelabuhan Kuala Tanjung memiliki kedalam laut yang cukup dalam dan panjang dermaga yang memadai. Untuk mendorong terwujud pelabuhan khusus CPO maka diperlukan dukungan pendanaan dan partisipasinya oleh pemerintah daerah, pemerintah pusat dan peran swasta asing dan domestik. Kata Kunci: produksi CPO, ekspor CPO dan pelabuhan khusus

ABSTRACT Palm oil (crude palm oil / CPO) is one of the main export commodity economy of North Sumatra Province. Demand for palm oil continues to increase each year as a result of the widespread utilization. Not only for drinking, but has been used as a base for medicines and cosmetics. This condition makes the farmers continue to increase the acreage of plantation development and production of palm oil and the development of a special port for the export of CPO. Held a special port for the benefit of its own to support CPO exports abroad. Special port built by a company both public and private, which serves to infrastructure delivery CPO production. The purpose of this study was to determine the potential of CPO and CPO export port conditions, to determine the existing port in the province of North Sumatra what can already accommodate the production

100


Strategi Pengembangan Potensi Pelabuhan Khusus Crude Palm Oil (CPO) Di Sumatera Utara (Sahat Christian Simanjuntak) of palm oil for export and to know the specific port development strategy of the CPO in the province of North Sumatra. The analytical tool used by descriptive analysis and SWOT analysis. The results showed that the potential of CPO production has increased from year to year, and current conditions as the public port of Belawan port pretty solid in transporting goods and CPO specific port development strategy by using all of the power to take advantage of opportunities that exist in the province of North Sumatra and cluster associated with the CPO program Sei Mangke and CPO MP3EI the special port located in Kuala Tanjung. This is done because in terms of geographic presence with easy connectivity between plantation area with palm oil processing industry, the connectivity between the industrial park with access to the overseas release of CPO. From a technical perspective, the port of Kuala Tanjung has deep enough into the sea and the pier adequate. To encourage materialized special port CPO will require financial support and participation by the local government, central government and private foreign and domestic roles. Keywords: production of crude palm oil, crude palm oil exports and special port

mencapai jutaan ton lebih, aktivitas ekspor CPO Provinsi Sumatera Utara melalui Pelabuhan Belawan pada triwulan I tahun 2012 sudah mencapai 104.601 ton. Sejak pada awal tahun 2011 bea keluar CPO cukup tinggi yakni mencapai 25%, namun hingga semester I tahun 2011 aktivitas ekspor CPO Provinsi Sumatera Utara yang dikapalkan melalui dermaga pipa terpadu Pelabuhan Belawan tercatat masih meningkat yakni sekitar 2,97%. Selama semester I tahun 2011, volume ekspor CPO Provinsi Sumatera Utara melalui dermaga pipa terpadu Pelabuhan Belawan tercatat sebanyak 1.239.465 ton. Sedangkan pada periode serupa 2010 volumenya 1.203.665 ton atau masih tetap mengalami kenaikan yakni sekitar 2,97% (Pelindo I, 2011). Peraturan Menteri Keuangan No 223/PMK.011/2008 tentang penetapan barang ekspor yang dikenakan bea keluar yang besaran tarifnya berlaku secara progresif. Pengapalan CPO asal Provinsi Sumatera Utara direncanakan terus naik ke mancanegara melalui dermaga curah cair di Pelabuhan Belawan, dengan menggunakan 15 kapal komoditas ekspor CPO tersebut terdapat tiga kapal Indonesia yakni kapal tanker MT. Palmgri Satu bermuatan 11.500 ton dengan tujuan India, MT. Phoebe bermuatan 3.550 ton dengan tujuan Pasir Gudang Malaysia dan kapal tanker MT. UBT Ocean bermuatan 2.000 ton CPO dengan tujuan Port Klang. Adapun kapal lain pengangkut komoditas ekspor CPO Provinsi Sumatera Utara yakni berbendera Panama, Malta, Thailand, China, Hongkong, Singapura. Sementara negara tujuan yakni India, China, Thailand, Malaysia dan Eropa. Menyikapi kebutuhan akan pengapalan CPO di Provinsi Sumatera Utara, PT. Pelabuhan Indonesia (Pelindo) I memulai pembangunan terminal curah cair untuk memuat minyak sawit mentah (Crude Palm Oil/CPO) di Pelabuhan Kuala Tanjung Kabupaten Batubara, dimana pembangunan dermaga sawit ini menelan investasi Rp. 570 miliar.

PENDAHULUAN Crude Palm Oil (CPO) dan turunannya merupakan salah satu komoditas strategis dalam perekonomian Provinsi Sumatera Utara. Pertama, sebagai bahan utama minyak goreng yang dikonsumsi masyarakat, CPO memainkan peran penting dalam menentukan tingkat inflasi. Kedua, industri palm oil menyerap penggunaan tenaga kerja yang cukup tinggi. Ketiga, ekspor CPO merupakan sumber devisa bagi negara hingga saat kini. Provinsi Sumatera Utara merupakan salah satu pusat perkebunan di Indonesia dengan komoditi hasil perkebunan yang paling penting dari daerah ini antara lain kelapa sawit, karet, kopi, coklat dan tembakau. Luas tanaman perkebunan kelapa sawit rakyat di Provinsi Sumatera Utara selama periode 2006-2010 mengalami peningkatan dari 363.095,36 ha menjadi 394.656,96 ha, sedangkan produksi Tandan Buah Segar selama periode mengalami peningkatan dari 4.474.520,79 ton menjadi 5.084.166,83 ton (BPS, 2011). Di Provinsi Sumatera Utara terdapat tiga perkebunan besar BUMN dan ratusan perkebunan besar swasta serta perkebunan rakyat dengan tanaman utamanya adalah kelapa sawit. Minyak kelapa sawit (Crude Palm Oil/CPO) merupakan salah satu komoditi ekspor andalan perekonomian daerah Provinsi Sumatera Utara dan Indonesia pada saat ini. Provinsi Sumatera Utara sebagai salah satu daerah yang memiliki lahan perkebunan kelapa sawit mencapai 15,71 persen atau seluas 1.023.350 hektar dengan kontribusi minyak sawit mentah (Crude Palm Oil/CPO) sebesar 21,33 persen. Dinas Perkebunan Provinsi Sumatera Utara pada tahun 2011 merinci data luas perkebunan rakyat dan perkebunan swasta hampir berimbang luasnya, dimana perkebunan swasta seluas 377.336,70 ha, perkebunan rakyat seluas 367.741,02 ha dan PT. Perkebunan Nusantara seluas 278.272,28 ha. Setiap tahun aktivitas ekspor komoditas ini yang dikapalkan melalui Pelabuhan Belawan 101


Inovasi Vol. 11 No. 2 Juni 2014: 100-107

sama digunakan secara menyebar dalam seluruh wilayah yang bersangkutan (Adisasmita, 2005). Menurut Todaro (2000) ekspor adalah kegiatan perdagangan internasional yang memberikan rangsangan guna menumbuhkan permintaan dalam negeri yang menyebabkan tumbuhnya industri-industri pabrik besar, diikuti dengan struktur politik yang stabil dan lembaga sosial yang fleksibel. Mill (dalam Jhingan, 2002), menambahkan adanya perdagangan luar negeri memberi manfaat langsung dan tidak langsung. Secara langsung, perdagangan luar negeri akan menimbulkan spesialisasi dan melakukan ekspor. Perluasan pasar sendiri, disitir Hicks (dalam Jhingan, 2002) akan menghasilkan sejumlah ekonomi internal dan eksternal dan karenanya mengurangi biaya produksi. Hill Hall dan Anna Weidman (1987), menyebut rendahnya komoditi ekspor di daerah Indonesia disebabkan pola pengembangan komoditi ekspor yang tanpa memperhatikan keunggulan komparatif. Dengan demikian langkah-langkah yang harus dilakukan untuk meningkatkan komoditi ekspor adalah dengan merubah kebijaksanaan yang tidak efektif dan tidak efisien, melalui paket deregulasi baik sektor moneter, fiskal maupun sektor riil. Perencanaan wilayah adalah mengetahui dan menganalisis kondisi saat ini, meramalkan perkembangan berbagai faktor tidak dikontrol yang relevan, memperkirakan faktor-faktor pembatas, menetapkan tujuan dan sasaran yang diperkirakan dapat dicapai, menetapkan langkah-langkah untuk mencapai tujuan tersebut, serta menetapkan lokasi dari berbagai kegiatan usaha yang akan dilaksanakan untuk mencapai tujuan atau sasaran, seperti meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat (Tarigan, 2004). Menuurt Miraza (2005) bahwa perencanaan wilayah adalah suatu perencanaan berjangka panjang, bertahap, dan tersistimatik dengan suatu tujuan wilayah yang jelas. Tujuan yang jelas itu adalah yang menyangkut pada keseluruhan kepentingan stakeholders, baik masyarakat dari berbagai lapisan, kelompok pengusaha maupun pemerintah sendiri. Perencanaan wilayah menyangkut pada bagaimana pemanfaatan potensi wilayah, baik potensi alam maupun potensi buatan, harus dilaksanakan secara fully dan efficiently agar pemanfaatan potensi dimaksud benar-benar berdampak pada kesejahteraan masyarakat secara maksimal. Pelabuhan (port) adalah daerah perairan yang terlindung terhadap gelombang, yang dilengkapi dengan fasilitas terminal laut

Prospek pelabuhan ini sangat cerah karena langsung berhadapan dengan Selat Malaka dengan kedalaman alur di Kuala Tanjung mencapai 12 meter dan dapat dilalui kapal berbobot besar merupakan keunggulan dibandingkan dengan Belawan. Kuala Tanjung saat ini telah memiliki dermaga sepanjang 20 kilometer dan mampu menampung 25 juta TEUs (Twenty Equivalen Units) peti kemas per tahun. Perkebunan merupakan sistem pertanian modern yang menghasilkan produksi pertanian yang mampu bersaing di pasar luar negeri terus dikembangkan dan diintensifkan dengan tetap memperhatikan kaitannya yang saling menunjang dan saling menguntungkan dengan pertanian rakyat (Syahza. A, 2003). Teori economic base menyatakan bahwa faktor penentu utama pertumbuhan ekonomi suatu daerah berhubungan langsung dengan permintaan barang dan jasa dari luar daerah. Masalah pokok dalam pembangunan daerah terletak pada penekanan terhadap kebijakankebijakan pembangunan yang didasarkan pada kekhasan daerah yang bersangkutan (endogenous development) dengan menggunakan potensi sumberdaya manusia, kelembagaan, dan sumberdaya fisik secara lokal (daerah). Orientasi ini mengarahkan orang kepada pengambilan inisiatif-inisiatif yang berasal dari daerah tersebut dalam proses pembangunan untuk menciptakan kesempatan kerja baru dan merangsang peningkatan kegiatan ekonomi (Arsyad L, 1999). Ferroux dalam Kuncoro dan Suhardjono (2002) merupakan orang pertama mengemukakan konsep pusat pertumbuhan ekonomi (economic growth center). Ferroux menyatakan pusat pertumbuhan ekonomi itu merupakan suatu tempat dalam suatu ruang atau suatu wilayah, dari mana kekuatankekuatan sentrifugal memancar dan kemana kekuatan-kekuatan sentripental ditarik. Konsep pusat pertumbuhan ekonomi ini sebagai suatu gugusan industri-industri, baik yang saling terkait maupun yang berdiri sendiri-sendiri, yang kemudian berkembang menjadi kota dan berlokasi pada suatu tempat tertentu dalam suatu wilayah. Pusat pertumbuhan ekonomi akan menimbulkan efek rembesan ke bawah (trickling down effect atau spread effect) dan efek polarisasi (polarization effect atau backwash effect) pada wilayah yang ada disekitarnya (hinterland), pendapatan wilayah akan lebih besar jika investasi pembangunan dikonsentrasikan pada pusat pertumbuhan dibandingkan jika investasi pembangunan yang 102


Strategi Pengembangan Potensi Pelabuhan Khusus Crude Palm Oil (CPO) Di Sumatera Utara (Sahat Christian Simanjuntak)

Provinsi Sumatera Utara, Dinas Pertanian dan Tanaman Pangan Provinsi Sumatera Utara, Dinas Perkebunan Provinsi Sumatera Utara, dan instansi lainnya. Teknik analisis data dalam penelitian ini dilakukan dengan pendekatan deskriptif untuk melihat potensi CPO dan kondisi pelabuhan ekspor CPO. Potensi CPO didasarkan kepada: (a) Luas lahan yang tersedia, baik lahan kebun yang telah menghasilkan (TM) maupun kebun yang belum menghasilkan (TBM); (b) Kemampuan petani kelapa sawit dalam memproduksi tandan buah segar (TBS) dari kebun yang dimiliki; (c) Daya tampung pabrik pengolah TBS yang tersedia di wilayah studi. Untuk menganalisis daya dukung wilayah pelabuhan terhadap menampung produksi CPO dilakukan dengan cara analisis deskriptif yaitu menyesuaikan kemampuan daya dukung wilayah pelabuhan di Provinsi Sumatera Utara dalam menampung produksi CPO (Ufran dan Setijoprajudo, 2011). Sedangkan untuk memformulasikan strategi kebijakan pengembangan pelabuhan khusus CPO ke depan digunakan analisis SWOT (Rangkuti, 2000).

meliputi dermaga dimana kapal dapat bertambat untuk bongkar muat barang, krankran untuk bongkar muat barang, gudang laut (transito) dan tempat-tempat penyimpanan dimana kapal membongkar muatannya, dan gudang-gudang dimana barang-barang dapat disimpan dalam kurun waktu yang lebih lama selama menunggu pengiriman ke daerah tujuan atau pengapalan. Pelabuhan dapat dibedakan menjadi beberapa macam yang tergantung pada sudut tinjauannya, yaitu: (a) Segi penyelenggaraannya: (1) Pelabuhan umum, (2) Pelabuhan khusus; (b) Segi pengusahaannya: (1) Pelabuhan yang diusahakan, (2) Pelabuhan yang tidak diusahakan; (c) Fungsinya dalam perdagangan nasional dan internasional: (1) Pelabuhan laut, (2) Pelabuhan pantai; (d) Segi Penggunaannya: (1) Pelabuhan ikan, (2) Pelabuhan minyak, (3) Pelabuhan barang, (4) Pelabuhan penumpang, (5) Pelabuhan campuran, (6) Pelabuhan militer; (6) Menurut letak geografis: (1) Pelabuhan alam, (2) Pelabuhan buatan, (3) Pelabuhan semi alam. Tujuan dari penelitian ini adalah: (a) Untuk mengetahui potensi CPO dan kondisi pelabuhan ekspor CPO di Provinsi Sumatera Utara; (b) Untuk mengetahui pelabuhan yang telah ada di Provinsi Sumatera Utara apa sudah dapat menampung produksi CPO untuk diekspor; (c) Untuk mengetahui strategi pengembangan pelabuhan khusus CPO di Provinsi Sumatera Utara.

HASIL DAN PEMBAHASAN Luas tanam kebun kelapa sawit rakyat di Provinsi Sumatera Utara pada tahun 2010 sebesar 394.656,96 ha dengan produksi 5.084.166,80 ton Tandan Buah Segar (TBS) kelapa sawit. Kabupaten Asahan merupakan pusat perkebunan kelapa sawit rakyat di Provinsi Sumatera Utara, dimana di daerah ini terdapat sebesar 70.455,47 ha kebun sawit rakyat atau 17,86 persen dari seluruh perkebunan kelapa sawit rakyat Provinsi Sumatera Utara. Kelapa sawit adalah penghasil minyak nabati yang dapat diandalkan karena minyak yang dihasilkan memiliki berbagai keunggulan dibandingkan dengan minyak yang dihasilkan oleh tanaman lain. Keunggulan tersebut diantaranya memiliki kadar kolesterol rendah dan bahkan ada beberapa peneliti yang mengatakan tanpa kolesterol. CPO dan PKO banyak digunakan sebagai bahan baku industri pangan (minyak goreng dan margarine), industri sabun (bahan penghasil busa), industri baja (bahan pelumas), industri tekstil, kosmetik dan sebagai bahan baku alternatif. Tanaman kelapa sawit baru dapat berproduksi setelah berumur sekitar 3 (tiga) tahun ke atas setelah ditanam di lapangan. Buah yang dihasilkan disebut tandan buah segar (TBS) atau Fresh Fruit Bunch (FFB). TBS diolah di pabrik pengolahan kelapa sawit untuk diambil minyak dan intinya. Minyak dan inti yang

METODE Lokasi kegiatan penelitian adalah Provinsi Sumatera Utara Sedangkan waktu pelaksanaan kegiatan penelitian ini berlangsung selama 4 (empat) bulan dari bulan Juli hingga Nopember 2012. Populasi dalam penelitian ini adalah pelabuhan yang ada di Provinsi Sumatera Utara, sedangkan yang menjadi sampel dalam penelitian ini adalah pengelolaan pelabuhan khusus CPO di Provinsi Sumatera Utara yaitu: pelabuhan Kuala Tanjung dan pelabuhan Belawan. Penelitian ini menggunakan dua jenis data yaitu data primer dan sekunder. Data primer diperoleh melalui wawancara dengan menggunakan daftar pertanyaan (kuesioner) dan observasi lapangan dengan pengamatan secara fisik. Sedangkan untuk data sekunder diperoleh dengan melakukan survei institusional dan studi pustaka. Institusi yang dituju untuk mendukung penelitian ini adalah PT. Pelabuhan Indonesia Cabang Sumatera Utara, Bappeda Provinsi Sumatera Utara, BPS Provinsi Sumatera Utara, Dinas Perhubungan 103


Inovasi Vol. 11 No. 2 Juni 2014: 100-107

dihasilkan dari pabrik kelapa sawit (PKS) merupakan produk setengah jadi. Minyak CPO terdiri dari fraksi padat yang merupakan asam lemak jenuh (miristat 1%, palmitat 45%, stearat 4%) serta fraksi cair merupakan asam lemak tidak jenuh (oleat 39%, linoleat 11%). CPO diekstrak dari daging buah (mesokarp). Sifat fisik CPO adalah warna orange/jingga, bau khas, bentuk pasta, kadar air sekitar 3,7589x10-3 ml/g CPO, indeks bias 1,4692, massa jenis 0 863 kg/m3 dengan kelarutan pada eter dan cukup larut dalam aseton, sedikit larut dalam etanol dan tidak larut dalam air payau akan mengalami proses adaptasi dengan lingkungan estuarin Indonesia adalah negara net exporter minyak sawit, tetapi dalam keadaan mendesak Indonesia juga mengimpor minyak sawit. Negara tujuan utama ekspor minyak sawit Indonesia adalah Eropa Barat, India, Pakistan, Cina, dan Jepang. Produk yang diekspor adalah minyak olahan tahap awal seperti RBD palm oil, CPO, dan beberapa produk oleokimia. Secara umum, ekspor minyak sawit Indonesia 1988 - 2000 meningkat dengan laju 13,5%/tahun. Pergerakan harga minyak sawit di pasar internasional ditransmisikan ke pasar domestik (border price dan whole sale price) melalui mekanisme pasar. Secara umum pergerakan harga minyak sawit domestik searah dengan perkembangan harga minyak sawit di pasar internasional. Beberapa instrumen kebijakan harga dalam rangka melindungi petani produsen yang umum dilakukan pemerintah adalah melalui penetapan harga tertinggi-terendah dan atau harga pembelian pemerintah, penetapan waktu dan atau volume impor, pengaturan volume stock (cadangan) pemerintah dan pelepasan stock ke pasar, dan penetapan larangan ekspor. Pemasaran CPO ke luar negeri sejak berdirinya Perusahaan Negara Perkebunan pada tahun 1968 dilaksanakan dengan sistem pooling yaitu dengan menunjuk kantor pemasaran bersama (KPB) dengan penyaluran tunggal. Prospek pasar bagi olahan kelapa sawit cukup menjanjikan karena permintaan dari tahun ke tahun mengalami peningkatan yang cukup besar, tidak hanya di dalam negeri, tetapi juga diluar negeri. Dalam ekspor CPO, bentuk perdagangan yang umum digunakan dalam ekspor CPO yaitu free on board (FOB) dan cost insurance freight (CIF). Free on board artinya peralihan segala

resiko atas barang dari penjual kepada pembeli terjadi ketika barang telah melewati rail kapal (pagar pengaman kapal) di pelabuhan muat yang telah disebutkan. Pengurusan prosedur ekspor berdasarkan terminologi ini dibebankan kepada penjual. FOB berlaku khusus hanya bagi alat transportasi laut dan perairan pedalaman. Cost Insurance and Freight (CIF) artinya bahwa segala resiko atas kerusakan atau kehilangan barang serta segala macam biaya yang timbul setelah barang melewati rail kapal beralih dari penjual kepada pembeli. Berdasarkan terminologi ini maka penjual berkewajiban untuk menanggung segala biaya pengangkutan yang dibutuhkan agar barang sampai pada pelabuhan tujuan yang disebutkan termasuk menyediakan asuransi pengangkutan laut (marine insurance) untuk menanggung resiko pembeli atas kehilangan atau kerusakan barang selama masa pengangkutan laut tersebut. Ada dua bagian utama yang berkaitan dengan pengapalan CPO, yaitu para pelaku dalam subsistem pengapalan CPO dan kapal yang akan digunakan dalam mengangkut CPO. Bidang usaha yang dijalankan PT. (Persero) Pelabuhan Indonesia I Cabang Belawan adalah menyelenggarakan pengusahaan pelayanan jasa kepelabuhan dan usaha lainnya yang menunjang terhadap kelancaran arus kapal, barang dan penumpang melalui pelabuhan. Pelabuhan harus memiliki fasilitas dan peralatan yang memadai untuk mendukung kegiatan bongkar muat agar dapat berjalan sebagaimana mestinya. Secara umum fasilitas pokok yang harus dimiliki pelabuhan terdiri dari: (a) Fasilitas Tambatan; (b) Fasilitas Penumpukan dan Penyimpanan; (c) Peralatan Bongkar Muat. Pelabuhan merupakan salah satu pusat ekonomi suatu wilayah. Karena peranannya yang sangat penting ini, maka pemilihan lokasi pelabuhan yang tepat harus dilakukan. Suatu pelabuhan dinyatakan mempunyai lokasi yang tepat dapat ditinjau dari beberapa faktor, yaitu: (a) Secara Geografis; (b) Secara Teknis. Berdasarkan beberapa strategi pengembangan pelabuhan khusus CPO di atas, maka dapat dirangkum pada Tabel 1.

104


Strategi Pengembangan Potensi Pelabuhan Khusus Crude Palm Oil (CPO) Di Sumatera Utara (Sahat Christian Simanjuntak)

Tabel 1. Matriks Analisis SWOT Internal

Eksternal

• • • •

Peluang (O) Jarak ke pelabuhan lainnya, seperti : pelabuhan Batam, Singapura yang lebih dekat. Adanya kebijakan MP3EI. Trend CPO yang semakin meningkat Permintaan CPO meningkat. Era globalisasi meningkatkan teknologi komunikasi.

Kelemahan (W) • Produk yang mudah rusak. • Keterbatasan modal untuk pengembangan pelabuhan CPO • Kapasitas kapal di pelabuhan Belawan yang cukup tinggi sehingga menyulitkan akses pengangkutan barang. • Sarana dan prasarana seperti : jalan, angkutan kereta api yang belum memadai

Kekuatan (S) Jarak yang dekat antara pelabuhan Kuala Tanjung dengan wilayah penghasil CPO. • Adanya program pemerintah berupa kluster industri hilir pengolahan kelapa sawit di Sei Mangkei. • Distribusi CPO yang lebih efisien. • Sesuai dengan MP3EI dan RTRW Provinsi Sumatera Utara. • Potensi luas areal pelabuhan yang cukup luas untuk dikembangkan. • Kedalaman laut pelabuhan yang cukup dalam sehingga memudahkan kapal untuk bersandar ke dermaga. Strategi SO 1. Kebijakan pembangunan dan peningkatan sarana dan prasana transportasi darat untuk menjangkau sentra-sentra produksi CPO yang terisolir atau masih sulit dijangkau. 2. Upaya peningkatan ekspor yaitu memperluas pasar internasional melalui pelabuhan Kuala Tanjung ke beberapa daerah dan negaranegara lainnya. •

Strategi WO 1. Perbaikan sarana dan teknologi yang berkaitan dengan pelabuhan Kuala Tanjung. 2. Pengembangan pelabuhan Kuala Tanjung dengan fasilitas gudang, cold storage, tangki timbun CPO dan lain-lain. 3. Peningkatan sumber daya manusia dan riset yang berkaitan dengan pengembangan pelabuhan laut. 4. Koordinasi atau kerjasama pengelolaan kegiatan pelabuhan antar instansi maupun ke masyarakat setempat.

Tabel 2. Lanjutan Matriks Analisis SWOT

Internal

• • Eksternal

• •

• •

• •

Kekuatan (S) Jarak yang dekat antara pelabuhan Kuala Tanjung dengan wilayah penghasil CPO. Distribusi CPO yang lebih efisien. Sesuai dengan MP3EI dan RTRW Provinsi Sumatera Utara. Potensi luas areal pelabuhan yang cukup luas untuk dikembangkan. Kedalaman laut pelabuhan yang cukup dalam sehingga memudahkan kapal untuk bersandar ke dermaga.

Ancaman (T) Kelangkaan tenaga kerja skill. Otonomi daerah dapat mengakibatkan pengelolaan tidak menyatu. Adanya pelabuhan pribadi atau illegal. Pengelolaan pelabuhan yang kurang baik/buruk.

• • •

Kelemahan (W) Produk yang mudah rusak. Keterbatasan modal untuk pengembangan pelabuhan CPO. Kapasistas kapal di pelabuhan Belawan yang cukup tinggi sehingga menyulitkan akses pengangkutan barang. Sarana dan prasarana seperti: jalan, angkutan kereta api yang belum memadai.

Strategi WT 1. Pengelolaan sumber daya labuhan secara tepat, optimal dan berkelanjutan. 2. Melakukan kerja sama dengan aparat keamanan setempat dalam rangka meningkatkan stabilisasi keamanan di pelabuhan. 3. Melakukan diversifikasi pengangkutan di pelabuhan dengan tidak mengurangi pengangkutan CPO dalam rangka mencari pengangkutan CPO yang terbaik.

Sumber : Data Diolah 2012

105


Inovasi Vol. 11 No. 2 Juni 2014: 100-107

Tahap terakhir yaitu tahap pengambilan keputusan yaitu tahap yang bertujuan untuk menyusun strategi yang telah digambarkan oleh matrik SWOT, sehingga grand strategi yang muncul dapat dijadikan acuan untuk dapat meningkatkan strategi pengangkutan CPO di Provinsi Sumatera Utara. Adapun strategi yang dimaksud adalah: (1) Strategi pengembangan Pelabuhan dengan program melakukan zonasi, pembinaan, pelatihan yang terlibat dalam pengembangan Pelabuhan Kuala Tanjung; (2) Strategi pengelolaan pelabuhan, dengan program koordinasi dan kerjasama antar instansi dan antar wilayah untuk menghindari konflik dan meningkatkan kinerja; (3) Strategi partisipasi stakeholders, dengan program kemitraan masyarakat, swasta dan pemerintah, melibatkan semua stakeholders.

pembangunan infrastruktur jalan, kereta api, dan pelabuhan dengan segera mungkin untuk memudahkan melakukan ekspor CPO ke luar negeri. 3. Pemerintah Pusat perlu memberikan tax holiday bagi investor yang berminat mengembangkan industri hilir kelapa sawit dan pengembangan pelabuhan khusus CPO di Provinsi Sumatera Utara. 4. Perlu adanya tax holiday bagi investor yang berminat mengembangkan industri hilir kelapa sawit dan pengembangan pelabuhan khusus CPO di Provinsi Sumatera Utara. 5. Kebijakan industrialisasi pertanian, seperti pengembangan hilirisasi CPO yang berbasis sumberdaya alam lokal perlu dikembangkan. 6. Peningkatan peran pemerintah daerah sebagai regulator dan fasilitator dalam mendukung konektivitas antara area perkebunan kelapa sawit dengan industri pengolahan CPO dan pelabuhan sebagai pengangkutan.

KESIMPULAN Berdasarkan hasil pembahasan di atas, maka dapat ditarik kesimpulan: Potensi produksi CPO dan perkembangan ekspor CPO dari Provinsi Sumatera Utara mengalami peningkatan setiap tahunnya. Kegiatan pelabuhan Belawan yang cukup beragam telah mengakibatkan terjadi kepadatan dalam pelabuhan dan kepadatan pada tangki timbun komoditas Crude Palm Oil (CPO). Desain pengelolaan pelabuhan khusus CPO ke depan di Provpinsi Sumatera Utara terletak di Kuala Tanjung. Secara umum fasilitas pokok yang harus dimiliki pelabuhan terdiri dari fasilitas tambatan, fasilitas penumpukan dan penyimpanan, serta fasilitas bongkar muat. Suatu pelabuhan dinyatakan mempunyai lokasi yang tepat dapat ditinjau dari aspek geografis dan aspek teknis. Desain pengelolaan pelabuhan khusus CPO ke depan di Provinsi Sumatera Utara terletak di Kuala Tanjung, dengan strategi menggunakan seluruh kekuatan untuk memanfaatkan peluang yang ada. Mendorong terwujud pelabuhan khusus CPO, diperlukan dukungan pemerintah dan peran swasta dalam menyediakan konektivitas pendukung.

DAFTAR PUSTAKA Adisasmita, H.R. 2005. Dasar-dasar Ekonomi Wilayah. Yogyakarta: Graha Ilmu. Arsyad, L. 1999. Ekonomi Pembangunan. Yogyakarta: Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Yayasan Keluarga Pahlawan Negara. Badan Pusat Statistik. 2011. Sumatera Utara Dalam Angka 2010. Medan: Badan Pusat Statistik. Jhingan, M.L. 2002. Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan (Terjemahan). Jakarta: CV. Radjawali, Jakarta. Kementrian Koordinator Bidang Perekonomian dan Bappenas, 2011. Master Plan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia, 2011 - 2025. Kuncoro, Mudrajad dan Suhardjono. 2002. Manajemen Perbankan (Teori dan Aplikasi), Edisi Pertama. Yogyakarta: BPFE.

REKOMENDASI Beberapa saran dan rekomendasi yang dapat disampaikan sebagai berikut: 1. Pemprov dan Kabupaten/Kota di Sumatera Utara, perlu melakukan koordinasi atau pengelolaan regional antar kabupaten/kota dalam rangka melakukan pembebasan lahan yang terlibat dalam program pengembangan dan perluasan pelabuhan khusus CPO di Kuala Tanjung. 2. Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota di Sumatera Utara, perlu melakukan percepatan

Miraza, B.H., 2005. Perencanaan dan Pengembangan Wilayah. Bandung: Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia Cabang Bandung, Koordinator Jawa Barat. Rangkuti, F. 2000. Analisis SWOT Teknik Membedah Kasus Bisnis. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

106


Strategi Pengembangan Potensi Pelabuhan Khusus Crude Palm Oil (CPO) Di Sumatera Utara (Sahat Christian Simanjuntak)

Syahza, A. 2003. Paradigma Baru Pemasaran Produk Pertanian Berbasis Agribisnis di Daerah Riau. Jurnal Ekonomi, 8 (1), hal 1-11. Tarigan, R. 2004. Ekonomi Regional : Teori dan Aplikasi. Jakarta: Bumi Aksara. Todaro, M.P. dan S.C. Smith. 2000. Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga. Edisi Ketujuh. Jakarta: Erlangga. Ufran, M. dan Setijoprajudo, 2011. Studi Penentuan Lokasi Pelabuhan CPO Ekspor dari Wilayah Sumatera Tengah. Surabaya: Jurusan Teknik Perkapalan Fakultas Teknologi Kelautan, ITS.

107


Inovasi Vol. 11 No. 2 Juni 2014: 108-122

Hasil Penelitian STRATEGI PENGEMBANGAN KOMODITI UNGGULAN SAYUR DAN BUAH

(DEVELOPMENT STRATEGY OF VEGETABLES AND COMMODITY)) FRUITS PRIME COMMODITY Nobrya Husni, Porman Juanda Marpomari Mahulae Badan Penelitian dan Pengembangan Provinsi Sumatera Utara Jl. Sisingamangaraja No. 198 Medan 20126 Email: nobrya@gmail.com

Diterima: 21 Maret 2014 Direvisi: 11 April 2014 Disetujui: 30 April 2014

ABSTRAK Keberagaman sumberdaya alam khususnya jenis tanaman pangan di Indonesia memiliki menjadikannya memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif dibanding negara lain. Kondisi lahan juga mendukung untuk dikembangkannya komoditi pertanian yang dapat bersaing di pasar global. Tulisan ini bertujuan untuk mengidentifikasi formulasi dan prioritas strategi pengembangan komoditi pertanian unggulan terutama produk hortikultura sayur dan buah agar berkualitas dan dapat bersaing dipasaran. Lokasi penelitian berada di Kabupaten Karo, Kabupaten Simalungun dan Kabupaten Langkat. Teknik pengumpulan data primer dilakukan dengan observasi dan wawancara mendalam terhadap narasumber yang berkompeten, untuk kemudian dianalisis secara kualitatif dengan menggunakan matriks IFE (Internal Faktor Evaluation) dan EFE (External Faktor Evaluation), Analisis Matriks SWOT, serta QSPM (Quantiative Strategy Planning Matrix). Potensi tanaman hortikultura khususnya sayur dan buah-buahan di Sumatera Utara sangat beragam dan akan memberikan daya ungkit bagi perekonomian masyarakat khususnya petani jika dikelola secara maksimal. Meninjau analisis SWOT dapat disimpulkan bahwa potensi lahan yang dimiliki Sumatera Utara dapat dimanfaatkan secara optimal untuk memenuhi permintaan pasar baik didalam maupun diluar negeri. Karena permintaan pasar yang relatif stabil terhadap produk hortikultura merupakan peluang yang harus dimanfaatkan dengan sebaik mungkin untuk meningkatkan tingkat perekonomian petani. Kemampuan petani dalam aplikasi teknologi pertanian seperti pembibitan juga merupakan faktor pendukung dalam peningkatan pengembangan komoditi pertanian berbasis potensi daerah. Untuk menjamin ketersediaan suplai produk dapat diatasi dengan perhatian yang konsisten dari Pemerintah dalam memberikan bantuan peralatan produksi sesuai kebutuhan petani, serta memberikan penyuluhan terkait prosedur pasca panen. Selain itu, ketersediaan bibit/benih unggul juga sangat berperan untuk menjaga suplai produk tetap stabil di pasaran sehingga harga jual berfluktuasi secara normal. Ketersediaan industry pengolahan juga mampu menjaga kestabilan harga sehingga mengurangi kerugian di tingkat petani. Untuk mengatasi masalah permodalan dapat dilakukan dengan mengadakan kerjasama dengan lembaga keuangan. Kata kunci: komoditi unggulan, pertanian, hortikultura, pasar global

ABSTRACT The diversity of natural resources, especially food crops in Indonesia has a comparative advantage and making it competitive compared to other countries. Land conditions are also conducive to the development of the agricultural commodities that can compete in the global marketplace. This paper aims to identify priority development strategy formulation and superior agricultural commodities mainly horticultural products vegetables and fruit for quality and can compete in the market. The research location is in Karo, Simalungun and Langkat. Primary data collection technique is done by observation and depth interviews with competent resource persons, and then analyzed qualitatively using a matrix IFE (Internal Factor Evaluation) and EFE (External Factor Evaluation) Matrix SWOT analysis, and QSPM (Quantiative Strategy Planning Matrix). The potential of horticultural crops, especially vegetables and fruits in North Sumatra is very diverse and will give leverage to the economy of the people, especially farmers if managed

108


Strategi Pengembangan Komoditi Unggulan Sayur dan Buah (Nobrya Husni dan Porman Juanda Marpomari Mahulae) optimally. Review the SWOT analysis can be concluded that the potential of land owned by North Sumatra can be used optimally to meet the market demand both within and outside the country. Due to the relatively stable market demand for products of horticulture is an opportunity that should be used as quickly as possible to increase the level of farmers' economy. The ability of farmers in agricultural technology applications such as breeding is also a contributing factor in the improvement of agricultural commodity-based development potential of the region. To ensure availability of supply of products can be addressed with consistent attention of the Government to provide assistance as needed farmer production equipment, as well as provide counseling related to post-harvest procedures. In addition, the availability of seeds / seedlings are also very instrumental superior to maintain steady supply of products on the market so that the selling prices normally fluctuate. Availability processing industry is also able to maintain price stability, thereby reducing losses at the farm level. To solve the problem of capital can be entered into a collaboration with financial institutions. Keywords: prime commodities, agriculture, horticulture, global marketplace

Program pengembangan komoditi pertanian berbasis potensi daerah yang telah berhasil meningkatkan kesejahteraan para petani lokal di berbagai Negara adalah gerakan One Village One Product (OVOP). Melalui program sejenis OVOP ini beberapa negara di Asia Tenggara menemukan keunggulan bersaing berdasarkan potensi sumberdaya dan competitiveness masing-masing produk negara tersebut (Dahliani, 2009). Instruksi Presiden Nomor 6 Tahun 2007 Tentang Percepatan Sektor Riil dan Pembangunan Usaha Mikro Kecil dan Menengah tanggal 8 Juni 2007, telah mengamanatkan pengembangan sentra melalui pendekatan One Village One Product (OVOP). One Village One product (OVOP) atau satu desa satu produk adalah pendekatan pengembangan potensi daerah di satu wilayah untuk menghasilkan satu produk kelas global yang unik khas daerah dengan memanfatkan sumber daya lokal. Satu desa sebagaimana dimaksud dapat diperluas menjadi kecamatan, kabupaten/kota, maupun kesatuan wilayah lainnya sesuai dengan potensi dan skala usaha secara ekonomis (Kementrian Koperasi dan UKM, 2009). Secara khusus, Gerakan OVOP adalah pemberdayaan desa untuk menghasilkan produk yang unik. Dalam teori ekonomi, keefektifan proyek ini dapat dipahami dari konsep produk yang memiliki nilai tambah (diferensiasi). Jika perusahaan memproduksi komoditi tanpa memiliki nilai tambah (diferensiasi), yang dalam hal ini banyak terjadi dalam kasus komoditikomoditi pertanian, akan sangat sulit bersaing di pasaran. Harga akan bergantung pada persediaan dan permintan pasar, perusahaan akan dipaksa untuk menerima harga yang diberikan pasar (Haraguchi, 2008). Secara teori, semakin besar tingkat nilai tambah (diferensiasi) produk di pasaran atau penjualan dan berikutnya elastisitas harga yang rendah, dan semakin tingginya harga pokok, perusahaan dapat menjual produk di atas harga pokok, seperti ilustrasi pada gambar 1.

PENDAHULUAN Keberagaman sumberdaya yang dimiliki Indonesia merupakan anugerah tak ternilai yang dapat dimanfaatkan semaksimal mungkin untuk kesejahteraan masyarakat. Selain plasma nuftah dengan biodiversity yang beragam, menjadikan Indonesia memiliki comparative dan sekaligus keunggulan competitive dibanding juga kondisi lahan yang mendukung sehingga potensi unggul dan daya saing tanaman tergali, dengan negara lain di Asia Tenggara (Dahliani, 2009). Namun potensi pertanian tersebut belum dikelola secara optimal sehingga sampai saat ini sebagian besar petani masih masih termasuk golongan orang miskin (Susanto, 2004). Beberapa masalah yang dihadapi dalam pembangunan pertanian antara lain: a) penurunan kualitas dan kuantitas sumber daya lahan pertanian; b) terbatasnya aspek ketersediaan infrastruktur penunjang pertanian, seperti fasilitas irigasi; c) kelemahan dalam sistem alih teknologi; c) terbatasnya akses layanan usaha terutama di permodalan; dan e) panjangnya mata rantai tata niaga pertanian, sehingga menyebabkan petani tidak dapat menikmati harga yang lebih baik, karena pedagang telah mengambil untung terlalu besar dari hasil penjualan (Nugrayasa, 2012). Selain permasalahan yang telah disebutkan diatas, globalisasi dan liberalisasi perdagangan juga memberikan peluang sekaligus tantangan baru yang harus dihadapi dalam pembangunan pertanian. Globalisasi dan liberalisasi perdagangan memberikan peluang karena pasar komoditas akan semakin luas sejalan dengan dihapuskannya berbagai hambatan perdagangan antar Negara. Namun globalisasi dan liberalisasi perdagangan juga dapat menimbulkan masalah jika komoditas yang diproduksi secara lokal tidak mampu bersaing dengan Negara luas sehingga pasar domestik semakin dibanjiri oleh komoditas impor. Oleh karena itu peningkatan daya saing merupakan tuntutan yang tidak dapat dihindari dalam pelaksanaan pembangunan pertanian (Andayani, 2010).

109


Inovasi Vol. 11 No. 2 Juni 2014: 108-122

Gambar 1. Keunggulan pemasaran komoditi OVOP (sumber: Haraguchi, 2008) Sektor pertanian merupakan kontributor PDRB terbesar kedua Provinsi Sumatera Utara. Atas Dasar Harga Berlaku (ADHB) pada tahun 2010 yaitu sebesar Rp 275,70 triliun, sektor pertanian menyumbangkan kontribusi sebesar 22,92 persen. Sektor pertanian juga penyerap tenaga kerja terbesar di Sumatera Utara. Pada Agustus 2010, sektor pertanian menyerap 46.94 persen (sekitar 2.88 juta jiwa) angkatan kerja yang bekerja di Sumatera Utara (BPS, 2011). Sektor pertanian Sumatera Utara diklasifikasikan menjadi lima subsektor (dinas pertanian Provsu, 2010), yaitu: (1) Subsektor Tanaman pangan yang terdiri atas Kelompok padi dan palawija, (2) Subsektor Hortikultura (Kelompok sayur-sayuran dan Kelompok buahbuahan); (3) Subsektor Perikanan yang terdiri atas Kelompok perikanan laut dan Kelompok perikanan darat; (4) Subsektor Peternakan yang terdiri atas kelompok ternak besar, kelompok ternak kecil dan kelompok unggas; (5) Subsektor Kehutanan yang terdiri atas hasil utama dan hasil ikutan dan (6) Subsektor Perkebunan yang terdiri atas perkebunan rakyat dan perkebunan Negara. Dari keenam subsektor pertanian yang ada di Sumatera Utara, dalam kurun dua tahun terakhir para petani subsektor hortikultura dalam kelompok sayur mayur dan buah-buahan terpukul menyusul membanjirnya komoditikomoditi pertanian sayur mayur dan buahbuahan impor di pusat pasar daerah (Simanungkalit, 2013). Untuk menjawab tantangan persaingan global khususnya untuk komoditi hortikultura, maka perlu disusun suatu formulasi dan prioritas strategi pengembangan komoditi pertanian unggulan tersebut agar

berkualitas dan dapat bersaing dipasaran. Sehingga dapat diketahui potensi dan kendala yang dihadapi untuk pengembangan produk hortikultura dengan menggunakan konsep OVOP. Tahapan operasional untuk pelaksanaannya mencakup pemilihan komoditi pertanian unggulan spesifik lokal, mengidentifikasi potensi dan kendala yang dihadapi jika akan mengembangkan produk tersebut hingga mampu meningkatkan kualitasdan bersaing di pasaran, melaksanakan kegiatan pengembangan (pengolahan dan pemasaran) untukmemperoleh nilai tambah dan meningkatkan pendapatan, dan melaksanakan evaluasi untuk meningkatkankekuatan produk dan kinerja usaha (Pasaribu, 2011). Fokus dalam tulisan ini adalah bagaimana/dirumuskan prioritas strategi pengembangan komoditi pertanian dengan mengidentifikasi formulasi dan prioritas strategi pengembangan komoditi pertanian unggulan terutama produk hortikultura sayur dan buah, agar berkualitas dan bersaing dipasaran. Sehingga dapat dihasilkan potensi dan kendala yang dihadapi jika akan mengembangkan produk tersebut hingga mampu meningkatkan kualitas dan bersaing di pasaran. METODE Lokasi penelitian berada di Kabupaten Karo, Kabupaten Simalungun dan Kabupaten Langkat yang mewakili sentra pengembangan komoditi sayur mayur dan buah-buahan di Sumatera Utara, dan dilakukan selama 4 (empat) bulan. Data yang digunakan adalah data primer dan skunder. Teknik pengumpulan data primer ini

110


Strategi Pengembangan Komoditi Unggulan Sayur dan Buah (Nobrya Husni dan Porman Juanda Marpomari Mahulae)

dilakukan dengan Observasi dan wawancara mendalam terhadap narasumber yang berkompeten, untuk kemudian dianalisis secara kualitatif dengan menggunakan matriks IFE (Internal Faktor Evaluation) dan EFE (External Faktor Evaluation), Analisis Matriks SWOT, serta QSPM (Quantiative Strategy Planning Matrix). Responden atau informan dalam kajian ini ditetapkan secara purposive sampling dengan pertimbangan bahwa responden atau informan merupakan pihak yang berperan penting dalam pengembangan pertanian di Provinsi Sumatera Utara dan daerah-daerah Kabupaten/Kota yang merupakan wilayah basis pengusahaan komoditi-komoditi pertanian hortikultura unggulan di Sumatera Utara. Responden atau informan berasal dari Dinas Pertanian Provinsi Sumatera Utara dan di lokasi penelitian; Dinas Koperasi dan UKM Provinsi Sumatera Utara dan di lokasi penelitian; Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Sumatera Utara dan di lokasi penelitian; pengamat ekonomi atau pasar di Sumatera Utara; petani sayur mayur dan buah-buahan di lokasi penelitian; pengusaha atau penyalur produk sayur mayur dan buahbuahan di lokasi penelitian; pedagang sayur mayur di pasar domestik daerah Sumatera Utara; konsumen sayur mayur dan buah-buahan provinsi Sumatera Utara. Data sekunder berasal dari studi dokumentasi atau kepustakaan yang bersumber dari Badan Pusat Statistik (BPS), Dinas Pertanian dan Bappeda di Kabupaten/Kota yang merupakan wilayah basis pengusahaan komoditi-komoditi pertanian hortikultura unggulan di Sumatera Utara dan Provinsi Sumatera Utara sebagai acuan.

penanganan panen dan pasca panen, permodalan, kebijakan Pemerintah Daerah, serta tingkat manajemen petani. Berdasarkan aspek ketersediaan sarana input, luas lahan pertanian komoditas hortikultura di Sumatera Utara memerlukan penanganan yang optimal sehingga bisa menghasilkan produk yang unggul dari segi kualitas maupun kuantitas. Pemerintah melalui Dinas Pertanian telah memberikan kontribusi berupa penyediaan benih, pupuk, pestisida dan obat-obatan pertanian, maupun alat-alat pertanian seperti traktor. Namun, petani merasa bantuan dan perhatian dari Pemerintah kurang maksimal, seperti masih ditemukannya bibit palsu yang berasal dari bantuan Pemerintah. Alat pertanian seperti traktor yang diberikan juga dirasa masih kurang, petani terpaksa masih menggunakan cara tradisional dengan menggunalan cangkul. Untuk beberapa Gapoktan yang memiliki modal lebih, mereka mengusahakannya secara swadaya dan digunakan secara bergantian antara sesama anggota. Selain masalah benih palsu, ketersediaan benih juga dirasa masih kurang, dan belum ada tindak lanjut yang berarti dari Pemerintah untuk menanggulangi masalah tersebut. Dalam hal teknologi budidaya, untuk mengantisipasi masalah ketersediaan bibit, petani mencoba untuk melakukan pembibitan sendiri. Hal ini telah dilakukan oleh Gapoktan Gaung Merdeka yang membuat pembibitan wortel dan Gapoktan Purba Tongah yang menangkarkan benih kentang. Peran Pemerintah dalam pembinaan terhadap petani dalam hal pembibitan masih kurang. Ketersediaan bibit yang masih kurang merupakan salah satu permasalahan mendasar dalam hal budidaya, ini mengakibatkan petani kesulitan memenuhi permintaan pasar. Dalam hal pemeliharaan tanaman, Petugas Penyuluh Lapangan (PPL) memegang peranan penting dalam mengarahkan masyarakat untuk menerapkan sistem pemeliharaan dan penanggulangan terhadap hama. Saat ini, kendala yang dihadapi oleh petani dalam membudidayakan jeruk yaitu adanya serangan lalat buah yang selama 2 (dua) tahun terakhir belum dapat diselesaikan. Badan Penyuluh Pertanian telah mencoba mengarahkan petani untuk secara bersama-sama menanggulangi hama tersebut karena hama lalat buah hanya dapat dibasmi secara serentak. Namun, karena koordinasi antar petani jeruk masih belum maksimal, hama lalat buah belum dapat dibasmi secara menyeluruh. Selain itu, adanya hama fusarium juga mengakibatkan petani tidak lagi membudidayakan markisa karena belum

HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan pertimbangan pasar, ekologi, dan sosial ekonomi, komoditi hortikultura memiliki potensi yang cukup besar untuk dikembangkan. Komoditi unggulan hortikultura di Sumatera Utara yang menjadi prioritas untuk dikembangkan yaitu: cabe besar, kentang, kol/kubis, wortel, bunga kol, tomat, terong, buncis, cabe rawit, dan petsay/sawi putih, untuk komoditi sayuran. Adapun untuk komoditi buahbuahan, jenis yang memiliki potensi untuk dikembangkan adalah nenas, durian, jeruk siam, slak, jeruk besar, belimbing, duku/langsat, dan jambu air (Badan Penelitian dan Pengembangan Provinsi Sumatera Utara, 2013). Dalam penerapan konsep OVOP untuk komoditi hortikultura, penentuan strategi prioritas pengembangan komoditi dimulai dengan mengkaji kinerja eksisting pertanian. Indikator yang digunakan yaitu: ketersediaan sarana produksi, teknologi budidaya,

111


Inovasi Vol. 11 No. 2 Juni 2014: 108-122

ditemukannya cara yang efektif untuk membasmi hama tersebut. Dalam hal pemanenan, mayoritas petani masih menggunakan peralatan tradisional seperti parang dengan memperkerjakan buruh tani. Buruh tani yang dilibatkan berasal dari daerah setempat dengan upah berkisar dari Rp. 75.000,_ – Rp. 100.000,_ per orang/per hari. Dengan upah buruh tani yang demikian tinggi, pada saat harga komoditi hortikultura mengalami penurunan, petani memilih untuk tidak memanen hasil pertanian. Hal ini disebabkan karena harga jual dari komoditi yang dipanen tidak dapat menutupi biaya yang dikeluarkan untuk ongkos produksi mulai dari penanaman sampai pemanenan. Penanganan pascapanen yang dilakukan petani, antara lain melakukan sistem pengemasan yang baik (packing grading) terhadap komoditi hortikultura yang telah dipanen. Biasanya hal ini dilakukan untuk memenuhi permintaan dari pembeli yang memiliki Nota Kesepahaman (Memorandum of Understanding) dengan petani mengenai spesifikasi produk (ukuran, mutu dan volume) yang diinginkan oleh pembeli. Namun untuk produk yang langsung dijual ke pasar maupun ke pedagang pengumpul, masih dikemas dengan cara tradisional dengan menggunakan keranjang bambu. Pengemasan secara tradisional mengakibatkan tingginya kehilangan hasil produksi (loses) ditingkat petani sehingga berdampak pada penurunan pendapatan. Pemerintah sampai saat ini belum memberikan pelatihan mengenai pengemasan yang baik dan benar. Dengan belum adanya standar harga di level pasar domestik untuk produk pertanian dengan spesifikasi tertentu, petani merasa pemilahan dan pengemasan terhadap komoditi hortikultura bukan sesuatu yang perlu dilakukan. Hal yang harus dicermati oleh Pemerintah dalam hal penanganan produksi pasca panen adalah bagaimana menyediakan industri pengolahan di sentra penghasil hortikultura sehingga hasil pertanian dapat langsung diolah dan meningkatkan harga jual. Industri pengolahan yang sudah tersedia pada saat ini adalah, pengolahan nenas menjadi produk buah kaleng di Kecamatan Silimakuta Kabupaten Simalungun. Namun hal ini tidak menjanjikan bagi petani dikarenakan harga beli bahan baku nenas dari pabrik jauh dibawah harga pasar. Ini mengakibatkan industri pengolahan tidak bisa beroperasi secara maksimal. Industri pengolahan, selain dapat menaikkan harga suatu komoditi, juga dapat menjadi solusi untuk menanggulangi kelebihan produksi yang sering terjadi pada komoditi cabe dan tomat. Petani hortikultura telah

memberikan usulan kepada Dinas Perindustrian dan Perdagangan dan Dinas Koperasi dan UMKM untuk memberikan pelatihan pengolahan produk hortikultura dalam skala industri rumahan (home industry) sehingga volume produk yang beredar dipasaran tetap stabil yang akan berdampak pada stabilnya harga komoditi. Pola pemasaran yang masih umum dilakukan oleh petani adalah melalui pedagang pengumpul. Dengan harga yang bersaing dan kemudahan yang diberikan pedagang pengumpul seperti langsung menjemput hasil panen ke kebun petani, petani merasa keberadaan pedagang pengumpul memudahkan mereka menjual hasil panen. Bahkan tidak jarang, pedagang pengumpul juga bertindak sebagai pemodal. Beberapa metode pemasaran yang lazim digunakan petani adalah seperti pada gambar 2. Keberadaan pasar pada hakikatnya adalah tempat bertemunya produsen dan penjual. Dalam hal pemasaran komoditas hortikultura, dominasi pedagang pengumpul tidak dapat dihindari. Pemerintah bahkan telah menyediakan sarana pemasaran seperti Sentra Terpadu Agribisnis (STA) yang pada dasarnya sebagai tempat petani untuk langsung memasarkan hasil panennya langsung ke penjual. Namun, keberadaan STA dirasa kurang maksimal karena tidak beroperasi setiap hari. Sehingga, pemasaran komoditas hortikultura lebih banyak dilakukan di pasar-pasar grosir yang tersebar di Kabupaten. Dari segi permodalan, petani masih sangat membutuhkan bantuan permodalan. Salah satu upaya yang telah dilakukan pemerintah untuk mengatasi hal ini dengan memberikan bantuan dalam bentuk Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan (PUAP) yang merupakan dana bergulir yang diberikan kepada Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) yang diawasi oleh Koordinator Petugas Penyuluh Lapangan dari Badan Penyuluh Pertanian. Permodalan yang berasal dari kredit Bank, sulit diperoleh oleh petani disebabkan prosedur yang rumit dan membutuhkan agunan. Kebijakan Pememerintah Daerah dalam mendukung petani dalam pengembangan pertanian hortikultura, diberikan dalam bentuk pengadaan sarana dan prasarana produksi, serta penyuluhan tentang pemeliharaan tanaman hortikultura. Beberapa petani yang merupakan binaan Pemerintah juga telah diikutsertakan dalam pelatihan-pelatihan diluar Sumatera Utara dalam rangka meningkatkan kemampuan petani dalam mengelola tanaman hortikultura. Dalam pengelolaannya, petani yang telah diikutsertakan dalam pelatihan-pelatihan yang

112


Strategi Pengembangan Komoditi Unggulan Sayur dan Buah (Nobrya Husni dan Porman Juanda Marpomari Mahulae)

telah

difasilitasi

oleh

Pemerintah,

telah

menerapkan manajemen secara modern.

PETANI

Pedagang Pengumpul

Pedagang Pengumpul

Pedagang Pengumpul

Pedagang Antar Kota

Pedagang Antar Kota

Pedagang Antar Kota

Pedagang Lokal

Pedagang Besar

Eksportir

Grosir

Importir

Pedagang Pengecer

Gambar 2. Diagram Sistem Komoditas Hortikultura Sumber: Dinas Koperasi Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Karo (2010) Sesuai dengan Inpres No. 6 Tahun 2007 tentang Kebijakan Percepatan Pengembangan Sektor Riil dan Pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah, Pemerintah daerah dituntut untuk memberikan dorongan secara maksimal kepada pelaku usaha mikro dan kecil untuk mampu membuat terobosan dalam meningkatkan kualitas dan produktivitas produknya. Salah satu kegiatan untuk mendukung Inpres tersebut, Pemerintah Daerah diharapkan dapat menggiring usaha yang ada di daerah dan mengaplikasikannya melalui metode One Village One Product (OVOP). Berdasarkan hasil wawancara dengan pihak narasumber dari Dinas Pertanian, Dinas Perindustrian, Dinas Koperasi dan Usaha Kecil Menengah, Badan Koordinasi Penyuluhan, petani, serta konsumen yang ada di pasar tradisional dan modern, dapat disimpulkan halhal sebagai berikut. Kekuatan (Strength) dalam pengembangan komoditas pertanian berbasis potensi daerah adalah: luas lahan untuk pengembangan tanaman hortikultura memadai; kondisi ekologi lahan sangat memungkinkan untuk pengembangan tanaman hortikultura; antusiasme petani dalam mengaplikasikan teknologi yang diinformasikan oleh Petugas Penyuluh Lapangan; sumberdaya manusia sangat mendukung, ketersediaan bibit/benih unggul, pupuk, insektisida/obat-obatan dan alat-

alat pertanian; keberadaan Petugas Penyuluh Pertanian dalam memfasilitasi bantuan maupun arahan terkait pengembangan produk hortikultura; keberadaan Kelompok Tani sebagai wadah bertukar informasi terkini; dana bantuan bergulir dari Pemerintah dalam bentuk Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan (PUAP); serta adanya Sentra Terpadu Agribisnis (STA) Memperhatikan kondisi pertanian dan stakeholder yang terkait dengan pengembangan tanaman hortikultura melalui pendekatan OVOP, berikut kelemahan (Weakness) yang ditemui dilapangan: produk hortikultura mempunyai masa simpan yang relatif pendek sehingga mudah rusak; sarana dan prasarana seperti jalan, alat pertanian, dan sistem pengairan yang diberikan Pemerintah belum memadai; kurangnya koordinasi antar instansi yang bergerak dalam bidang pertanian hortikultura dalam menyalurkan bantuan kepada petani; bantuan bibit/benih dari Pemerintah masih belum memadai; belum ada pola tertib tanam; sistem pengemasan masih tradisional sehingga tingkat kehilangan hasil panen (loses) masih tinggi; mayoritas petani masih belum menggunakan manejemen tradisional; belum tersedia industri pengolahan; serta, petani belum mengoptimalkan keberadaan STA sebagai sarana pemasaran.

113


Inovasi Vol. 11 No. 2 Juni 2014: 108-122

Adapun peluang (opportunity) yang dapat mendorong terlaksananya pengembangan komoditi pertanian berbasis potensi daerah adalah sebagai berikut: komoditi hortikultura adalah produk dengan tingkat permintaan pasar yang relatif stabil; permintaan pasar dalam dan luar negeri terhadap komoditi hortikultura dari Sumatera Utara semakin meningkat; keberadaan Credit Union yang dapat membantu petani dari sektor permodalan; teknologi pasca panen semakin berkembang; serta, teknologi informasi yang semakin berkembang dapat memudahkan petani untuk berhubungan langsung dengan pembeli (buyer) tanpa harus melalui pedagang pengumpul. Beberapa hal yang dapat menjadi ancaman (threat) dalam pengembangan potensi pengembangan komoditi pertanian berbasis potensi daerah, yaitu: banyak beredar benih/bibit, pupuk, insektisida/obat-obatan palsu; distribusi benih/bibit tidak stabil sehingga menyebabkan kelangkaan dan petani tidak bisa menanami lahannya; membanjirnya komoditi buah dan sayuran impor yang masuk ke pasar domestik dengan harga murah; prosedur kredit melalui bank yang dianggap petani sangat rumit dan membutuhkan agunan; belum adanya standar harga untuk komoditas hortikultura; harga komoditi ditentukan oleh pedagang pengumpul; adanya serangan hama dan belum ditemukan penanganan yang dapat

membasmi hama secara optimal; serta, perubahan iklim gobal sehingga mengganggu pola tanam. Analisis IFE dan EFE dilakukan untuk menilai dan mengevaluasi faktor-faktor strategis dalam pengembangan komoditi pertanian berbasis potensi daerah di Sumatera Utara. Pembobotan dilakukan terhadap faktor internal dan eksternal yang diperoleh melalui wawancara dengan Dinas Pertanian, Dinas Perindustrian dan Perdagangan, Badan Penyuluh Pertanian, Dinas Koperasi dan UKM, petani, pedagang di pasar tradisional dan modern, serta konsumen di pasar tradisional dan modern. Berdasarkan kekuatan dan kelemahan yang ada, penilaian bobot strategis untuk faktorfaktor internal menghasilkan skor bobot 1,837 untuk elemen kekuatan dan 0,767 untuk elemen kelemahan. Skor bobot tersebut memperlihatkan bahwa para responden memberikan respon yang tinggi terhadap faktorfaktor yang menjadi kekuatan dalam pengembangan komoditi pertanian berbasis potensi daerah di Sumatera Utara. Dengan nilai skor pembobotan (Tabel 40) untuk setiap unsur kelemahan dan kekuatan yang bernilai diatas 2,5 menunjukkan kondisi internal wilayah Sumatera Utara berada diatas rata-rata untuk pengembangan komoditi pertanian berbasis potensi daerah.

Tabel 1. Matriks IFE Pengembangan Komoditi Pertanian Berbasis Potensi Daerah di Sumatera Utara No Faktor Strategis Internal Bobot Rating Skor Bobot A Kekuatan 1 Lahan yang tersedia memadai 0,107 4 0,428 2 Bantuan benih/bibit, pupuk, insektisida/obat0,113 4 0,452 obatan, saprodi 3 kemampuan menangkarkan benih 0,080 3 0,240 4 Adanya STA 0,093 3 0,279 5 Penyuluhan yang kontinyu dari PPL 0,107 4 0,428 1,827 B Kelemahan 1 Perhatian Pemerintah masih kurang 0,093 1 0,093 2 Peralatan pertanian masih tradisional 0,053 1 0,053 3 Upah buruh tinggi 0,040 1 0,040 4 Tingkat loses tinggi 0,093 2 0,186 5 Pengemasan masih tradisional 0,087 2 0,174 6 STA belum dimanfaatkan secara maksimal 0,087 2 0,174 7 Modal masih kurang 0,047 1 0,047 0,767 Total 1,000 2,594 Sumber : Data Penelitian (2013)

Berdasarkan matriks IFE pada Tabel 1, dapat dijelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi pengembangan komoditi

pertanian berbasis potensi daerah di Sumatera Utara, dari unsur kekuatan dan kelemahan.

114


Strategi Pengembangan Komoditi Unggulan Sayur dan Buah (Nobrya Husni dan Porman Juanda Marpomari Mahulae)

Unsur kekuatan dengan bobot tertinggi yaitu: bantuan benih/bibit, pupuk, insektisida/obat-obatan, saprodi dengan bobot 0,113. Ini menunjukkan bahwa dalam pengembangan komoditi hortikultura, bantuan dari Pemerintah berupa benih/bibit, pupuk, insektisida/obat-obatan, saprodi memegang peranan yang sangat penting. Dari bobot faktor Lahan yang tersedia memadai dan Penyuluhan yang kontinyu dari PPL yang memiliki bobot 0,107 jelas terlihat bahwa ketersediaan lahan dan ketersediaan tenaga penyuluh yang berpengalaman tidak dapat memberikan dampak yang signifikan tanpa didukung oleh ketersediaan benih/bibit, pupuk, insektisida/obat-obatan, saprodi yang diberikan oleh Pemerintah. Keberadaan Sentra Terpadu Agribisnis (STA) yang memiliki bobot 0,093 menunjukkan bahwa faktor ini memiliki dampak yang tidak terlalu tinggi dalam menunjang pengembangan komoditi hortikultura. Hal ini dapat dimaklumi mengingat masih banyaknya sarana pemasaran lain selain STA yang dapat digunakan oleh petani untuk memasarkan hasil panennya. Begitu juga dengan besarnya peranan pedagang pengumpul dalam pemasaran, dimana pedagang pengumpul terkadang juga bertindak sebagai pemodal, sehinggal petani tidak perlu menjual hasil panen ke STA namun langsung disalurkan ke pedagang pengumpul yang memberikan bantuan permodalan kepada petani. Faktor kemampuan petani dalam menangkarkan benih mempunyai bobot terendah yaitu 0,080. Hal ini jelas menunjukkan bahwa kemampuan petani dalam mengembangkan komoditi hortikultura akan sia-sia jika tidak didukung oleh empat faktor kekuatan lainnya. Karenanya diharapkan perhatian dan keseriusan Pemerintah dalam menindaklanjuti faktor kekuatan yang memiliki bobot terbesar sehingga pengembangan komoditi hortikultura dapat berjalan seperti yang diharapkan. Unsur kelemahan dengan bobot tertinggi adalah perhatian Pemerintah masih kurang dan tingkat loses tinggi dengan bobot 0,093. Perlu dicermati bahwa bantuan yang diberikan Pemerintah masih sangat minim dirasakan petani. Beberapa bantuan yang diberikan Pemerintah bahkan tidak dapat dimanfaatkan secara maksimal oleh petani. Seperti keberadaan STA yang hanya beroperasi pada hari-hari tertentu, sehingga petani memilih untuk memasarkan hasil panennya ke pasar-pasar grosir yang transaksinya terjadi setiap hari. Begitu juga dengan bantuan pergudangan yang dianggap tidak bisa memenuhi kebutuhan petani karena kapasitasnya yang sangat kecil.

Faktor pengemasan masih tradisional dan STA belum dimanfaatkan secara maksimal sama-sama memiliki bobot 0,087. Berdasarkan observasi dan wawancara dengan petani diperoleh gambaran bahwa pengemasan hasil panen masih menggunakan peralatan tradisional yaitu menggunakan rajut atau keranjang bambu, plastik, dan fish net atau keranjang jala. Penggunaan kemasan ini masih dipertahankan petani karena belum ada pelatihan yang diberikan Pemerintah khususnya untuk pengemasan. Namun, beberapa petani yang memiliki MoU dengan pembeli, telah mengemas komoditi hortikultura dengan kemasan yang modern seperti palet maupun keranjang kontainer. Hal ini disesuaikan dengan kontrak yang telah disepakati oleh petani dan pembeli. Faktor peralatan pertanian masih tradisional memiliki bobot 0,053. Beberapa petani terkendala dalam mengelola lahan karena peralatan pertanian yang mereka miliki masih sangat minim. Untuk mengelola lahan pertanian yang luas tentu diperlukan traktor sehingga dapat menghemat waktu untuk menggemburkan tanah sebelum ditanami. Bantuan yang diberikan Pemerintah belum merata dan hanya beberapa kelompok tani yang diberikan bantuan. Terkait dengan faktor modal masih kurang yang memiliki bobot 0,047, dalam menyikapi hal ini beberapa petani dengan kemampuan permodalan yang relatif banyak, mengusahakan peralatan bertani yang moderen secara swadaya dan menggunakannya secara bergantian diantara sesama anggota kelompok tani. Bagi petani dengan kemampuan modal yang kecil tetap bertahan dengan menggunakan peralatan yang mereka miliki. Faktor dengan bobot terendah 0,040 adalah upah buruh tinggi. Dalam proses penanaman maupun pemanenan yang masih dikerjakan secara manual, kebutuhan akan buruh sangat tinggi. Begitu juga dengan upah buruh tani yang relatif tinggi, dengan kisaran upah Rp. 75.000,_ – Rp. 100.000,_ per orang/per hari. Dengan upah yang demikian tinggi, petani tetap mengusahakan lahannya secara maksimal sesuai dengan kemampuan permodalan yang mereka miliki. Hasil analisis matriks EFE untuk unsur peluang memiliki skor bobot 1,641 dan unsur ancaman memiliki skor bobot 1,735. Dengan total skor bobot 2,516 dan perhatian responden yang lebih tinggi terhadap faktor-faktor ancaman, menunjukkan bahwa Sumatera Utara merespon unsur ancaman dalam mengembangkan komoditi pertanian berbasis potensi daerah. Matriks Analisis IFE dapat dilihat pada Tabel 2.

115


Inovasi Vol. 11 No. 2 Juni 2014: 108-122

Tabel 2. Matriks EFE Pengembangan Komoditi Pertanian Berbasis Potensi Daerah di Sumatera Utara No Faktor Strategis Eksternal Bobot Rating Skor Bobot A Peluang 1 Permintaan pasar relatif stabil 0,141 4 0,564 2 Keberadaan sumber permodalan (Credit Union) 0,156 4 0,468 3 Teknologi pasca panen 0,109 3 0,327 Teknologi informasi untuk menunjang 4 pemasaran 0,094 3 0,282 Total 1,641 B Ancaman Beredarnya benih/bibit, pupuk, insektisida / 1 obat-obatan palsu 0,094 4 0,376 2 Kekurangan bibit unggul 0,078 4 0,312 3 Belum tersedia industri pengolahan 0,109 3 0,327 4 Harga komoditi ditentukan oleh pasar 0,078 4 0,312 5 Prosedur pengajuan kredit rumit 0,078 2 0,156 6 Serangan hama 0,063 4 0,252 1,735 Total 1,000 2,516 Sumber : Data Penelitian (2013) Faktor permintaan pasar yang relatif stabil dengan bobot 0,141 menempati posisi kedua dalam unsur peluang. Seperti diketahui komoditi hortikultura merupakan kebutuhan dasar manusia. Permintaan terhadap komoditi hortikultura relatif stabil setiap tahunnya. Kenaikan jumlah impor komoditi hortikultura juga menunjukkan bahwa kebutuhan terhadap produk hortikultura menunjukkan peningkatan. Kebutuhan yang tinggi yang tidak diimbangi oleh suplai dari dalam negeri yang stabil akan menyebabkan Pemerintah harus mengimpor untuk memenuhi kebutuhan lokal. Hal ini merupakan peluang yang sangat menjanjikan bagi petani untuk berusaha secara tekun dan maksimal dalam mengembangkan usahanya. Komoditi hortikultura Sumatera Utara seperti kol, kentang, wortel, dan jeruk memiliki rasa khas tersendiri sehingga memiliki pasar yang luas baik didalam maupun diluar negeri. Faktor teknologi pasca panen dengan bobot 0,109 adalah peluang berikutnya yang harus dimanfaatkan secara maksimal oleh Pemerintah dan petani. Diperlukan dukungan penuh dari Pemerintah untuk memberikan penyuluhan maupun bantuan alat terkait proses pasca panen secara modern. Hal ini dapat meningkatkan efisiensi dan efektivitas, seperti dapat mengurangi loses (kehilangan hasil panen) secara signifikan. Berdasarkan observasi dan wawancara terhadap responsden, proses pengemasan terhadap komoditi hortikultura masih dilakukan secara tradisional.. Teknologi pengemasan yang telah berkembang pesat saat ini, patut dicermati secara seksama. Konsumen dipasar modern relatif memperhatikan kemasan dalam membeli suatu produk. Kecenderungan

konsumen untuk membeli produk hortikultura impor, salah satunya adalah kemasannya yang menarik. Keseriusan Pemerintah untuk mengakomodasi petani dalam pemberian penyuluhan maupun bantuan alat pengemasan akan mempengaruhi nilai jual produk. Kecenderungan petani untuk fokus pada proses penanaman sampai pemanenan, membuat petani mengabaikan kemasan produk hortikultura. Faktor teknologi informasi untuk menunjang pemasaran dengan bobot 0,094 adalah faktor yang mulai dimanfaatkan secara maksimal oleh petani. Kemudahan berkomunikasi menggunakan telepon seluler membantu petani untuk berhubungan dengan pembeli. Dengan kemudahan tersebut kesepakatan harga antara petani dan pembeli dapat diselesaikan dalam waktu yang singkat sehingga hasil panen dapat langsung dijual. Untuk membuka peluang yang lebih besar dan dengan volume yang lebih tinggi, diperlukan campur tangan pemerintah dalam mencarikan pembeli yang potensial sehingga petani dapat berfokus dalam mengelola tanaman hortikultura. Unsur ancaman dengan bobot tertinggi 0,109 adalah faktor belum tersedia industri pengolahan. Dengan kecenderungan petani menanam komoditi yang memiliki harga jual tinggi, menyebabkan resiko produksi berlebih (over production) pada saat pemanenan. Produk yang berlebih dipasaran secara otomatis mengakibatkan penurunan harga terhadap komoditi. Salah satu cara untuk menjaga kestabilan pasokan dan harga di pasaran adalah dengan menyediakan industri pengolahan.

116


Strategi Pengembangan Komoditi Unggulan Sayur dan Buah (Nobrya Husni dan Porman Juanda Marpomari Mahulae)

Berdasarkan hasil observasi dan wawancara ditemukan bahwa salah satu komoditi yang telah memiliki industri pengolahan adalah nenas. Faktor beredarnya benih/bibit, pupuk, insektisida/obat-obatan palsu, memiliki bobot 0,094. Faktor ini sangat berpengaruh terhadap kestabilan pasokan. Hal ini dapat menyebabkan kesalahan perhitungan disisi petani dalam proses penanaman hingga pemanenan, yang berujung pada kerugian. Demikian juga untuk pemeliharaan, hasil panen yang diharapkan petani tidak sesuai dengan usaha yang telah mereka lakukan dalam pemupukan maupun pemberian insektisida. Faktor-faktor dengan bobot 0,078 yaitu kekurangan bibit unggul, harga komoditi ditentukan oleh pasar, dan prosedur pengajuan kredit rumit. Kekurangan bibit unggul yang dialami petani menyebabkan mereka tidak bisa memanfaatkan lahannya secara optimal sehingga hasil yang mereka peroleh juga tidak maksimal. Beberapa petani yang tergabung dalam kelompok tani berusaha secara swadaya untuk melakukan pembibitan. Fakta yang dijumpai dilapangan, petani kentang dan wortel telah melakukan usaha pembibitan secara mandiri untuk mengantisipasi langkanya bibit unggul yang beredar di pasaran. Keberadaan pedagang pengumpul yang menjadi tumpuan petani dalam memasarkan produknya, mengakibatkan petani tidak dapat menentukan harga jual dari komoditi hortikultura yang dihasilkan. Pedagang pengumpul yang langsung berhadapan dengan pembeli maupun pedagang grosir memiliki kemampuan dalam menentukan harga beli dari petani. Demikian juga dengan kemudahan yang diberikan pedagang pengumpul kepada petani seperti hasil panen yang dijemput langsung ke ladang maupun bantuan permodalan. Kemudahan yang diberikan secara tidak langsung menggiring petani untuk bergantung kepada pedagang pengumpul dalam pemasaran komoditi hortikultura. Keberadaan bank swasta maupun pemerintah yang ada dinilai tidak memberikan pengaruh yang besar bagi pengembangan komoditi hortikultura. Prosedur yang rumit menyulitkan petani dalam memperoleh bantuan modal dari pihak bank. Hal ini juga yang menyebabkan petani sangat bergantung kepada pedagang pengumpul yang juga dapat bertindak sebagai pemodal tanpa syarat yang rumit. Faktor serangan hama dengan bobot 0,063 adalah kenyataan yang harus dihadapi petani dalam pengembangan komoditi hortikultura. Pemerintah melalui Petugas Penyuluh Lapangan (PPL) telah berupaya menyebarkan informasi

kepada petani terkait pemberantasan hama maupun OPT (Organisme Pengganggu Tanaman). Petani yang merasa bahwa penyuluhan yang diberikan belum mampu untuk memberantas hama yang ada, berusaha secara mandiri menemukan formula yang ideal dalam pemberantasan hama. Pada Tabel 3 ditampilkan matriks SWOT, guna membantu dalam menentukan strategi yang akan digunakan dalam pengembangan komoditi pertanian berbasis potensi daerah di Sumatera Utara. Strategi S – O disusun dengan menggunakan kekuatan untuk memanfaatkan peluang yang ada. Strategi yang diusulkan yaitu menggunakan SDA dan SDM yang tersedia untuk meningkatkan hasil produksi. Potensi lahan yang dimiliki Sumatera Utara dapat dimanfaatkan secara optimal untuk memenuhi permintaan pasar baik didalam maupun diluar negeri. Permintaan pasar yang relatif stabil terhadap produk hortikultura merupakan peluang yang harus dimanfaatkan dengan sebaik mungkin untuk meningkatkan tingkat perekonomian petani. Kemampuan petani dalam aplikasi teknologi pertanian seperti pembibitan juga merupakan faktor pendukung dalam peningkatan pengembangan komoditi pertanian berbasis potensi daerah. Strategi W – O digunakan untuk mengatasi kelemahan dengan memanfaatkan peluang yang ada. Strategi yang diusulkan adalah sebagai berikut: a) Memberikan bantuan peralatan produksi sesuai kebutuhan petani. Luas lahan pertanian hortikultura akan memberikan dampak yang signifikan apabila dikelola dengan baik. Pengelolaan tersebut dimulai dari pengolahan lahan sampai pasca panen. Pengolahan lahan dapat dilakukan secara optimal oleh petani apabila didukung oleh ketersediaan alat pertanian. Bantuan sarana produksi yang diberikan oleh Pemerintah umumnya diberikan tanpa memperhatikan kebutuhan petani. Sebagai contoh, petani yang memiliki lokasi lahan dengan prasarana jalan yang sempit, tentunya akan lebih optimal apabila diberikan bantuan traktor tangan. Karenanya diperlukan koordinasi antara Dinas Pertanian dengan Badan Penyuluh Pertanian dalam hal penyaluran bantuan sehingga bantuan yang diberikan tepat sasaran dan dapat digunakan secara optimal oleh petani; b) Memberikan penyuluhan terkait prosedur pasca panen. Produksi komoditi hortikultura yang melimpah tentunya akan menguntungkan petani. Namun, hal ini akan terjadi jika perlakuan pasca panen terhadap produk hortikultura diperhatikan dengan baik. Perlakuan pasca panen meliputi dari pemilahan (grading) hingga pengemasan (packing) akan

117


Inovasi Vol. 11 No. 2 Juni 2014: 108-122

memberikan nilai lebih terhadap produk hortikultura. Komoditi hortikultura yang telah melalui proses pemilahan dan dikemas dengan baik dan menarik tentunya akan memiliki harga

jual yang lebih tinggi, terutama di pasar modern dan pasar luar negeri. Namun, konsumen pasar tradisional umumnya tidak mempermasalahkan masalah ukuran maupun kemasan produk.

Tabel 3. Matriks SWOT pengembangan komoditi pertanian berbasis potensi daerah di Sumatera Utara Kekuatan/Strenghts (S) Faktor Internal Kelemahan/Weakness (W) Lahan yang tersedia Perhatian Pemerintah masih memadai kurang Bantuan benih/bibit, pupuk, Peralatan pertanian masih insektisida/obat-obatan, tradisional. saprodi Upah buruh tinggi kemampuan menangkarkan Tingkat loses tinggi Faktor Eksternal Pengemasan masih benih tradisional Adanya STA Penyuluhan yang kontinyu STA belum dimanfaatkan dari PPL. secara maksimal Modal masih kurang Peluang/Opportunity (O) Strategi S – O Strategi W – O Permintaan pasar relatif Menggunakan SDA dan SDM Memberikan bantuan stabil peralatan produksi sesuai yang tersedia untuk Keberadaan sumber meningkatkan hasil kebutuhan petani. permodalan (Credit Union) produksi. Memberikan penyuluhan Teknologi pasca panen terkait prosedur pasca panen. Teknologi informasi untuk menunjang pemasaran Ancaman/Threats (T) Strategi S – T Strategi W – T Beredarnya benih/bibit, Memberikan jaminan Mengadakan kerjasama pupuk, insektisida / obatketersediaan bibit/benih dengan lembaga keuangan obatan palsu untuk mengatasi untuk unggul. Kekurangan bibit unggul mengatasi masalah Membuat industri Belum tersedia industri permodalan. pengolahan untuk pengolahan mengatasi produksi Harga komoditi ditentukan berlebih. oleh pasar Prosedur pengajuan kredit rumit Serangan hama Sumber : Data Penelitian (2013) Strategi S – T menggunakan kekuatan untuk mengatasi atau mengatasi ancaman. Strategi yang diusulkan adalah sebagai berikut: a) memberikan jaminan ketersediaan bibit/benih unggul. Kemampuan petani di Sumatera Utara untuk mengolah lahan tidak diikuti oleh ketersediaan bibit/benih unggul. Hal ini merugikan petani karena biaya produksi yang dikeluarkan untuk menanam benih/bibit unggul relatif sama dengan biaya produksi jika menggunakan bibit/benih biasa. Peran Pemerintah sangat diharapkan untuk menjaga kestabilan distibusi bibit/benih sehingga kestabilan pasokan di pasaran dapat terjaga; b) Membuat industri pengolahan untuk mengatasi produksi berlebih. Kelebihan produksi yang kerap terjadi, mengakibatkan petani harus menanggung kerugian. Dengan berlimpahnya

pasokan yang ada di pasaran, mengakibatkan harga menjadi anjlok dan petani harus menanggung biaya produksi. Keberadaan industri pengolahan sangat diperlukan untuk menjaga kestabilan pasokan dan harga di pasaran, sehingga petani tidak mengalami kerugian. Strategi W – T digunakan untuk meminimalisasi kelemahan serta menghindari ancaman yang ada. Strategi yang diusulkan yaitu mengadakan kerjasama dengan lembaga keuangan untuk mengatasi untuk mengatasi masalah permodalan. Keberadaan lembaga keuangan seperti Credit Union dapat dimanfaatkan petani dalam mengembangkan usaha pertanian yang mereka jalankan. Persyaratan yang dimiliki juga relatif lebih gampang jika dibandingkan lembaga perbankan

118


Strategi Pengembangan Komoditi Unggulan Sayur dan Buah (Nobrya Husni dan Porman Juanda Marpomari Mahulae)

seperti Bank Sumut atau Bank Rakyat Indonesia. Hanya dengan menabung dalam jumlah tertentu, petani otomatis menjadi anggota dan dapat memperoleh pinjaman modal tanpa agunan. Berdasarkan analisis matriks SWOT, strategi yang akan diusulkan dalam pengembangan komoditi pertanian berbasis potensi daerah yaitu: a) menggunakan SDA dan SDM yang tersedia untuk meningkatkan hasil produksi; b) memberikan bantuan peralatan produksi sesuai kebutuhan petani; c) memberikan penyuluhan terkait prosedur pasca panen; d) memberikan jaminan ketersediaan bibit/benih unggul; e) membuat industri pengolahan untuk mengatasi produksi berlebih; dan, f) mengadakan kerjasama dengan lembaga keuangan untuk mengatasi untuk mengatasi masalah permodalan. Hasil analisis matriks QSPM menunjukkan bahwa strategi prioritas yang memiliki Total Attractiveness Score (TAS) terbesar adalah strategi “menggunakan SDA & SDM yang tersedia untuk meningkatkan hasil produksi� dengan skor 6,436. Sedangkan strategi dengan TAS terendah adalah “Mengadakan kerjasama dengan lembaga keuangan untuk mengatasi untuk mengatasi masalah permodalan� dengan skor 4,903. Berdasarkan skor TAS tertinggi sampai terendah adalah sebagai berikut: menggunakan SDA dan SDM yang tersedia untuk meningkatkan hasil produksi (6,436); memberikan penyuluhan terkait prosedur pasca panen (5,871); memberikan bantuan peralatan produksi sesuai kebutuhan petani (5,833); membuat industri pengolahan untuk mengatasi produksi berlebih (5,469); memberikan jaminan ketersediaan bibit/benih unggul (5,188); dan, mengadakan kerjasama dengan lembaga keuangan untuk mengatasi untuk mengatasi masalah permodalan (4,903). Untuk mencapai sasaran penelitian yang akan berdampak kepada pengembangan komoditi pertanian berbasis potensi daerah (One Village One Product) di Sumatera Utara, berikut strategi komprehensif yang dapat diusulkan, yaitu: 1) Strategi optimalisasi SDA dan SDM yang tersedia untuk meningkatkan hasil produksi; dan, 2) Strategi peningkatan kelembagaan untuk mendukung pengembangan komoditi pertanian berbasis potensi daerah (One Village One Product). Penjelasan atas strategi tersebut adalah sebagai berikut: a. Strategi optimalisasi SDA dan SDM yang tersedia untuk meningkatkan hasil produksi Strategi ini bertujuan untuk mengoptimalkan luas lahan pertanian

b.

hortikultura yang ada di Sumatera Utara untuk mendapatkan hasil yang maksimal. Selain itu, kemampuan beberapa petani yang telah mampu melakukan pembibitan secara mandiri merupakan faktor pendukung untuk optimalisasi lahan. Modal yang dimiliki tersebut tentunya harus didukung oleh ketersediaan bibit/benih, pupuk, obat-obatan/insektisida dan saprodi yang memadai. Strategi peningkatan kelembagaan untuk mendukung pengembangan komoditi pertanian berbasis potensi daerah (One Village One Product) Dengan melimpahnya produksi hortikultura tentunya harus diikuti dengan pengelolaan hasil hortikultura sehingga akan memberikan dampak yang signifikan bagi petani. Pemerintah berperan dalam mensosialisasikan dari proses pra produksi hingga pasca panen. Kesesuaian lahan dengan jenis tanaman akan memberikan kontribusi pada meningkatnya hasil produksi. Ketersediaan komoditi hortikultura yang melimpah tentu akan berdampak pada harga produk. Suplai produk yang melimpah akan menyebabkan harga produk menjadi rendah. Untuk menjaga kestabilan harga di pasaran dapat di antisipasi dengan mengaplikasi pola tertib tanam yang diatur oleh Pemerintah daerah. Selain itu, perlu dilakukan pemilahan dan pengemasan yang menarik sehingga akan meningkatkan harga jual produk. Karenanya diperlukan koordinasi dari Dinas Pertanian, Dinas Perindustrian dan Perdagangan, Dinas Koperasi dan UKM, serta Badan Penyuluh sehingga strategi dapat berjalan dengan baik.

Strategi tersebut diharapkan dapat menjawab permasalahan dalam pembangunan pertanian yaitu: a) penurunan kualitas dan kuantitas sumber daya lahan pertanian; b) terbatasnya aspek ketersediaan infrastruktur penunjang pertanian, seperti fasilitas irigasi; c) kelemahan dalam sistem alih teknologi; d) terbatasnya akses layanan usaha terutama di permodalan; dan e) panjangnya mata rantai tata niaga pertanian, sehingga menyebabkan petani tidak dapat menikmati harga yang lebih baik, karena pedagang telah mengambil untung terlalu besar dari hasil penjualan (Nugrayasa, 2012). Pola tertib tanam diharapkan memberikan perbaikan terhadap kualitas lahan pertanian. Selain berdampak pada kestabilan pasokan komoditi di pasaran, secara tidak langsung juga berdampak pada kestabilan harga.

119


Inovasi Vol. 11 No. 2 Juni 2014: 108-122

Tabel 4. Alternatif dan prioritas strategi pengembangan komoditi pertanian berbasis potensi daerah di Sumatera Utara Alternatif Strategi Faktor Sukses Kritikal Peluang Permintaan pasar relatif stabil Keberadaan sumber permodalan (Credit Union) Teknologi pasca panen Teknologi informasi untuk menunjang pemasaran Ancaman Beredarnya benih/bibit, pupuk, insektisida/obatobatan palsu

Bobot

Strategi 1

Strategi 2

Strategi 3

Strategi 4

Strategi 5

Strategi 6

AS

AS

AS

AS

TAS

AS

TAS

AS

TAS

TAS

TAS

TAS

0,141

3

0,423

2

0,282

3

0,423

3

0,423

2

0,282

3

0,423

0,156

2

0,312

3

0,468

2

0,312

2

0,312

2

0,312

4

0,624

0,109

2

0,218

2

0,218

4

0,436

2

0,218

4

0,436

2

0,218

0,094

3

0,282

2

0,188

3

0,282

2

0,188

3

0,282

2

0,188

0,094

4

0,376

4

0,376

2

0,188

4

0,376

3

0,282

2

0,188

Kekurangan bibit unggul Belum ada industri pengolahan Harga komoditi ditentukan oleh pasar Prosedur pengajuan kredit rumit

0,078

4

0,312

4

0,312

3

0,234

4

0,312

3

0,234

2

0,156

0,109

2

0,218

2

0,218

4

0,436

2

0,218

4

0,436

2

0,218

0,078

3

0,234

2

0,156

4

0,312

3

0,234

4

0,312

2

0,156

0,078

2

0,156

3

0,234

2

0,156

2

0,156

3

0,234

4

0,312

Serangan hama

0,063

4

0,252

3

0,189

2

0,126

2

0,126

2

0,126

2

0,126

0,107

4

0,428

3

0,321

2

0,214

3

0,321

3

0,321

3

0,321

0,113

4

0,452

4

0,452

2

0,226

4

0,452

3

0,339

2

0,226

0,080

3

0,240

3

0,24

2

0,16

3

0,24

3

0,24

2

0,16

0,093

3

0,279

3

0,279

3

0,279

3

0,279

2

0,186

2

0,186

0,107

4

0,428

4

0,428

3

0,321

3

0,321

2

0,214

2

0,214

0,093

4

0,372

4

0,372

4

0,372

4

0,372

3

0,279

3

0,279

0,053

4

0,212

4

0,212

3

0,159

2

0,106

2

0,106

2

0,106

Upah buruh tinggi

0,04

4

0,160

3

0,12

4

0,16

2

0,08

2

0,08

2

0,08

Tingkat loses tinggi Pengemasan masih tradisional STA belum dimanfaatkan secara maksimal

0,093

4

0,372

3

0,279

4

0,372

2

0,186

3

0,279

2

0,186

0,087

3

0,261

2

0,174

4

0,348

1

0,087

2

0,174

2

0,174

0,087

3

0,261

2

0,174

3

0,261

1

0,087

2

0,174

2

0,174

Modal masih kurang

0,047

4

0,188

3

0,141

2

0,094

2

0,094

3

0,141

4

0,188

Total

2,000

Kekuatan Lahan yang tersedia memadai Bantuan benih/bibit, pupuk, insektisida/obatobatan, saprodi kemampuan menangkarkan benih Adanya STA Penyuluhan yang kontinyu dari PPL Kelemahan Perhatian Pemerintah masih kurang Peralatan pertanian masih tradisional

6,436

Urutan Prioritas Strategi 1 Keterangan : AS = Attractiveness Score TAS = Total Attractiveness Score Sumber : Data Penelitian (2013)

120

5,833

5,871

5,188

5,469

4,903

3

2

5

4

6


Strategi Pengembangan Komoditi Unggulan Sayur dan Buah (Nobrya Husni dan Porman Juanda Marpomari Mahulae)

Hal ini sejalan dengan pernyataan Haraguchi (2008), bahwa harga akan bergantung pada persediaan dan permintan pasar, perusahaan akan dipaksa untuk menerima harga yang diberikan pasar. Penerapan pola tertib tanam memberikan peluang bagi petani untuk mengontrol harga di pasaran melalui pasokan yang didistribusikan secara regular dan dalam jumlah yang tetap (stabil). Peningkatan harga jual produk juga dapat dilakukan dengan memberikan nilai tambah (diferensiasi) yang dapat berupa keunikan dari segi rasa maupun dari kemasan produk. Salah satu yang dapat direkomendasikan adalah Gapoktan Gaung Merdeka yang membudidayakan wortel dan berfokus dalam menjaga kualitas sehingga produknya dapat merambah pasar ekspor, khususnya ke Malaysia dan Singapur. Dukungan kelembagaan selain dapat meningkatkan ketersediaan infrastruktur pertanian, juga dapat memberikan control terhadap sistem tata niaga pertanian agar lebih berpihak pada petani selaku produsen komoditi hortikultura.

mengadakan kerjasama dengan lembaga keuangan. Berdasarkan hasil analisis QSPM, strategi yang dapat dilakukan dalam pengembangan komoditi unggulan hortikultura, adalah: a) optimalisasi SDA dan SDM yang tersedia untuk meningkatkan hasil produksi; dan b) peningkatan kelembagaan untuk mendukung pengembangan komoditi pertanian berbasis potensi daerah (One Village One Product). REKOMENDASI Tidak semua program pengembangan pertanian berhasil dengan memuaskan, termasuk program dengan pendekatan One Village One Product (OVOP). Di satu pihak, keterbatasan faktor-faktor internal dalam berbagai bentuk, seperti peraturan perundangan, ketersediaan dana, kelemahan manajemen dan teknik berproduksi serta kurangnya fasilitas layanan merupakan faktorfaktor yang dapat mengganggu kelancaran usaha. Keterbatasan ini juga masih ditambah dengan lemahnya koordinasi antar instansi terkait, terutama dalam hal pembiayaan yang mengakibatkan tersekatnya pelaksanaan kegiatan di lapangan. Namun demikian, faktorfaktor yang mempengaruhi keberhasilan program ini dapat ditanggulangi melalui berbagai perbaikan instrumen kebijakan. Sementara di lain pihak, faktor-faktor eksternal di luar jangkauan pengetahuan atau diluar kemampuan otoritas yang ada, seperti perubahan cuaca atau fluktuasi harga di pasar global merupakan faktor-faktor yang dapat mengakibatkan kegagalan program pembangunan. Patut dipertimbangkan bahwa upaya peningkatan pengetahuan serta kemampuan menganalisis, beradaptasi dan merancang pendekatan yang lebih akurat diharapkan dapat mengendalikan faktor eksternalitas ini kearah yang lebih diinginkan. Untuk itu, berdasarkan data-data empirik yang dihasilkan dari Kajian Pengembangan Komoditi Pertanian Berbasis Potensi Daerah di Sumatera Utara ini, direkomendasikan kepada Pemerintah Provinsi Sumatera Utara untuk: 1. menentukan kawasan atau wilayah sentra pengembangan komoditi pertanian unggulan Sumatera Utara dengan pola penggunaan lahan yang dioptimasi secara spasial (Pelaku: Dinas Pertanian (Provinsi dan Kabupaten/Kota); 2. menyusun petunjuk teknis penerapan program One village One Product (OVOP) untuk mengembangkan komoditi-komoditi pertanian unggulan berbasis potensi daerah di masing-masing daerah sentra pengembangan di Sumatera Utara. (Pelaku :

KESIMPULAN Potensi tanaman hortikultura khususnya sayur dan buah-buahan di Sumatera Utara sangat beragam dan akan memberikan daya ungkit bagi perekonomian masyarakat khususnya petani jika dikelola secara maksimal. Berdasarkan analisis SWOT dapat disimpulkan bahwa potensi lahan yang dimiliki Sumatera Utara dapat dimanfaatkan secara optimal untuk memenuhi permintaan pasar baik didalam maupun diluar negeri. Karena permintaan pasar yang relatif stabil terhadap produk hortikultura merupakan peluang yang harus dimanfaatkan dengan sebaik mungkin untuk meningkatkan tingkat perekonomian petani. Kemampuan petani dalam aplikasi teknologi pertanian seperti pembibitan juga merupakan faktor pendukung dalam peningkatan pengembangan komoditi pertanian berbasis potensi daerah. Untuk menjamin ketersediaan suplai produk dapat diatasi dengan perhatian yang konsisten dari Pemerintah dalam memberikan bantuan peralatan produksi sesuai kebutuhan petani, serta memberikan penyuluhan terkait prosedur pasca panen. Selain itu, ketersediaan bibit/benih unggul juga sangat berperan untuk menjaga suplai produk tetap stabil di pasaran sehingga harga jual berfluktuasi secara normal. Ketersediaan industry pengolahan juga mampu menjaga kestabilan harga sehingga mengurangi kerugian di tingkat petani. Untuk mengatasi masalah permodalan dapat dilakukan dengan

121


Inovasi Vol. 11 No. 2 Juni 2014: 108-122

3.

Simanungkalit, Amos. 2013. Manuver Politik Petani pada Pilgubsu 2013. [Online] Dari: www.hariansumutpos.com [Diakses pada tanggal 6 Maret 2013]

Dinas Pertanian, Dinas Koperasi dan UMKM, Dinas Perindustrian dan perdagangan (Provinsi dan Kabupaten/Kota); dan, Berkoordinasi dengan lembaga/instansi swasta dan petani/kelompok tani dalam bentuk kemitraan usaha yang dapat mendorong percepatan pengembangan usaha dalam skala ekonomi yang menguntungkan dalam koridor program One Village One Product (OVOP) untuk mengembangkan komoditi pertanian unggulan di Sumatera Utara. (Pelaku : Dinas Pertanian, Dinas Koperasi dan UMKM, Dinas Perindustrian dan perdagangan (Provinsi dan Kabupaten/Kota).

Pasaribu, Sahat. 2011. Pengembangan agro-industri perdesaan dengan pendekatan One village one product (OVOP). Forum Penelitian Agro Ekonomi 29 (1) hal: 1 – 11

DAFTAR PUSTAKA Dahliani, Lili. 2009. One Village One Product: Tinjauan dari manajemen produksi tanaman. Yogyakarta: Lembaga Pendidikan Pertanian. Haraguchi, Nobuya. 2008. The One-Village-OneProduct (OVOP) movement: What it is, how it has been replicated, and recommendations for a UNIDO OVOP-type project. Research and statistics branch Working paper. Vienna: United Nations Industrial Development Organization. Kementerian Koperasi dan UKM. 2013 Pengembangan produk unggulan daerah melalui pendekatan OVOP (One Village One Product). Jakarta: Kementrian Koperasi dan UKM. Susanto, Hari, 2004. Strategi Pengembangan Subsektor Kuhutanan dan Perkebunan Dalam Rangka Otonomi Daerah di kabupaten Rembang. Tesis. Universitas Diponegoro. Andayani, asti. 2010. Analisis Pengembangan Komoditas Unggulan Utama Holtikultura Di Kawasan Agropolitan Ciwidey Kabupaten Bandung.Tesis. Institut Pertanian Bogor. Nugrayasa, Oktavio. 2012. 5 Masalah Yang Membelit Pembangunan Pertanian di Indonesia [Online] Dari: http://setkab.go.id/artikel-5746-5-masalah-yangmembelit-pembangunan-pertanian-di-indonesia.html [Diakses: 6 Maret 2013] Instruksi Presiden Nomor 6 Tahun 2007 Tentang Percepatan Sektor Riil dan Pembangunan Usaha Mikro Kecil dan Menengah. Badan Pusat Statistik. 2011. Sumatera Utara Dalam Angka. Medan: Badan Pusat Statistik. Badan Penelitian dan Pengembangan Provinsi Sumatera Utara. 2013. Laporan Kajian Pengembangan Komoditi Pertanian Berbasis Potensi Daerah (One Village One Product) di Sumatera Utara. Medan: Balitbang Provsu.

122


Evaluasi Tata Guna Lahan di Sumatera Utara (Anton Parlindungan Sinaga)

Hasil Penelitian EVALUASI TATA GUNA LAHAN DI SUMATERA UTARA

(EVALUATION OF LAND USE IN NORTH SUMATRA) Anton Parlindungan Parlindungan Sinaga Badan Penelitian dan Pengembangan Provinsi Sumatera Utara Jl. Sisingamangaraja No. 198 Medan 20126 email : antonsinaga94@gmail.com

ABSTRAK Perubahan tata guna lahan untuk kawasan pertanian, untuk perkebunan, perumahan dan infrastruktur seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk memang tidak bisa dihindari. Mengingat perubahan penggunaan lahan yang dinamis tersebut, maka evaluasi tata guna lahan penting dilakukan agar pembangunan yang dilaksanakan selama ini berlangsung serasi dan seimbang dengan tetap menjaga keseimbangan ekosistem alam. Keseimbangan ekosistem alam diindikasikan dengan tercapainya luas hutan minimal 30% dalam suatu wilayah provinsi, kabupaten maupun kota. Dinamika perubahan tutupan lahan di Sumatera Utara selama kurang lebih satu dekade terakhir menunjukkan bahwa antara tahun 2000 sampai tahun 2011 telah terjadi penurunan luas hutan sebesar 188.451 Ha, pertanian lahan kering menurun seluas 190.555 Ha, semak belukar mengalami penurunan luas 5.813 Ha dan rawa yang mengalami penurunan sebesar 1900 Ha. Sebaliknya tutupan lahan yang mengalami peningkatan luasan adalah perkebunan meningkat sebesar 190.555 Ha, lahan terbuka meningkat sebesar 39.689 Ha dan juga sawah yang meningkat luasannya sebesar 47.047 Ha. Meskipun secara agregat terjadi peningkatan luas sawah dan areal pertanian lahan kering, namun di beberapa kabupaten terjadi konversi sawah dan areal pertanian lahan kering menjadi areal non pertanian. Selama kurang lebih satu dekade terakhir, prosentase luas hutan terhadap luas administrasi Provinsi Sumatera Utara terus mengalami penurunan. Mengacu pada luas minimal hutan dalam suatu wilayah administrasi yang sebesar 30%, maka luas hutan di Provinsi Sumatera Utara masih lebih rendah dari luas minimal hutan yang harus ada. Secara berturut turut prosentase luas hutan terhadap luas wilayah Provinsi Sumut untuk tahun 2000, 2003, 2006, 2009 dan 2011 adalah 29,11%, 28,94%, 28,16%, 26,47% dan 26,47%. Namun demikian jika diuraikan per kabupaten luas hutan ini, maka terjadi ketimpangan luas hutan yang cukup lebar diantara masing-masing kabupaten. Dari 8 (delapan) kabupaten yang dijadikan basis analisis diperoleh hasil variasi prosentase luas hutan yang hanya sebesar 0,11% (Kabupaten Asahan) sampai sebesar 42,56% (Tapanuli Selatan). Rincian prosentase luas hutan dari delapan kabupaten pewakil adalah Kabupaten Serdang Bedagai sebesar 0,61%, Batubara sebesar 1,04%, Deli Serdang sebesar 7,19%, Padang Lawas Utara sebesar 11,36%, Simalungun sebesar 12,34% dan sebesar 35,9% di Kabupaten Toba Samosir. Penurunan luas kawasan hutan di Provinsi Sumatera Utara ini kemungkinan besar akan berdampak negatif terhadap lingkungan, seperti lahan kritis, banjir dan juga kekeringan sehingga kedepan upaya pencegahan deforestasi dan degradasi serta rehabilitasi hutan menjadi penting. Kata kunci : evaluasi, tata guna, lahan

ABSTRACT Changes in land use for agricultural areas, plantations, housing and infrastructure in line with population growth can not be avoided. Given the dynamic changes of the land use, the evaluation of land use is important so that the development carried out during this on going harmony and balance while maintaining the natural balance of the ecosystem. The balance of natural ecosystems is indicated by the achievement of a minimum of 30% forest cover in the region provinces, counties and cities. The dynamics of land cover change in North Sumatra for approximately the last decade shows that between 2000 and 2011 there has been a decline in forest area of 188 451 hectares, dryland farming area of 190 555 ha decreased, decreased shrub and marsh area of 5,813 hectares, which dropped 1,900 Ha. Conversely land cover increased plantation area is increased by 190 555 hectares, open land increased by 39 689 hectares of rice fields and also increased its range of 47,047 Ha. Although there was an increase in the aggregate area of paddy and upland agricultural areas, but in some districts it is converted paddy and upland agricultural areas into non-agricultural areas. For approximately the last decade, the

123


Inovasi Vol. 11 No. 2, Juni 2014: 123-139

percentage of forest area to the area of North Sumatra administration continues to decline. Referring to the minimum area of forest in an administrative region of 30%, then the area of forest in the province of North Sumatra is still lower than the minimum area of forest that should be there. Consecutive terms of the percentage of forest area of North Sumatra province for the year 2000, 2003, 2006, 2009 and 2011 were 29.11%, 28.94%, 28.16%, 26.47% and 26.47%. However, if the forest area outlined by the district, then the imbalance occurs fairly wide area of forest between each district. Of 8 (eight) districts that form the basis of the analysis of the results obtained by variation of the percentage of forest area is only 0.11% (Asahan) up to 42.56% (South Tapanuli). Details of the percentage of forest area of eight districts Serdang Bedagai pewakil is 0.61%, Coal of 1.04%, 7.19% of Deli Serdang, North Padang Lawas by 11.36%, 12.34% and amounted Simelungun for 35.9% in Toba Samosir. Decline of forest area in the province of North Sumatra is likely to have a negative impact on the environment, such as degraded land, flooding and drought so that future efforts to prevent deforestation and forest degradation and rehabilitation becomes essential. Keyword : evaluation, use, land

dalamnya penggunaan lahan untuk tanaman pangan, perkebunan, kawasan pariwisata, pemukiman dan daerah konservasi. Evaluasi lahan merupakan suatu proses analisis untuk mengetahui potensi lahan untuk penggunaan tertentu yang berguna untuk membantu perencanaan penggunaan dan pengelolaan lahan. Perubahan lahan pertanian berbentuk sawah dan ladang yang terbesar di Sumatera Utara untuk perkebunan, perumahan, kawasan industri, perkantoran dan jaringan jalan. Perubahan penggunaan lahan ini jika tidak diimbangi dengan penambahan luas lahan untuk pertanian tanaman pangan dalam jangka panjang akan mengganggu ketahanan pangan di daerah ini. Kondisi ini terjadi sebagai akibat pelaksanaan pembangunan dan aktivitas ekonomi yang dilakukan selama ini belum mengacu kepada pembangunan yang berkelanjutan sehingga menyebabkan peningkatan pembukaan lahan, antara lain untuk : pertanian dan hutan, industri, permukinan yang tidak terkendali dan bahkan berpotensi untuk terjadinya konflik kepentingan dalam penggunaan lahan tersebut di masyarakat. Oleh sebab itu diperlukan evaluasi lahan agar penggunaan lahan di masa mendatang dapat berjalan dengan baik guna untuk mendukung pembangunan yang berkelanjutan di Sumatera Utara. Di pihak lain, kecenderungan terus meningkatnya kebutuhan akan lahan ini menyebabkan alih fungsi lahan pertanian sulit untuk dihindari. Tingginya alih fungsi lahan di wilayah Sumatera Utara akan berdampak pada keberlangsungan usaha pertanian di daerah ini. Perubahan penggunaan lahan yang terjadi di Sumatera Utara sangat dinamis, sehingga evaluasi tata guna lahan merupakan hal penting perlu dilakukan agar pembangunan yang dilaksanakan selama ini berlangsung serasi dan seimbang dengan tetap menjaga keseimbangan ekosistem alam. Keseimbangan ekosistem alam dalam suatu wilayah provinsi, kabupaten

PENDAHULUAN Provinsi Sumatera Utara memiliki luas sebesar 71.680,68 km2 di dalam perkembangannya pada akhir-akhir ini telah banyak mengalami mengalami perubahan terutama dalam hal penggunaan lahannya. Hal ini terjadi seiring dengan semakin meningkatnya pelaksanaan pembangunan dan perekonomian di daerah sehingga menyebabkan terjadinya peningkatan perubahan alih fungsi lahan yang berakibat kepada tidak sesuainya lagi penggunaan lahan sebagaimana yang ditentukan sesuai dengan kaidah pembangunan yang berkelanjutan. Penggunaan lahan yang semakin meningkat oleh manusia, seperti untuk tempat tinggal, tempat melakukan usaha, pemenuhan akses umum dan fasilitas lain akan membuat lahan yang tersedia semakin menyempit. Timbulnya permasalahan penurunan kualitas lingkungan tentunya akan mengganggu keseimbangan ekosistem. Hal tersebut dikarenakan penggunaan lahan yang tidak memperhatikan kemampuan lahan, daya dukung dan bentuk peruntukannya. Lahan selalu mengalami perubahan dari waktu ke waktu seiring meningkatnya kebutuhan manusia akan lahan. Perubahan tersebut dikarenakan memanfaatkan lahan untuk kepentingan hidup manusia. Kebutuhan akan lahan non pertanian cenderung terus mengalami peningkatan, seiring pertumbuhan dan perkembangan peradaban manusia, maka penguasaan dan penggunaan lahan mulai beralih fungsi. Alih fungsi lahan pertanian yang tidak terkendali apabila tidak ditanggulangi dapat mendatangkan permasalahan yang serius, antara lain dapat mengancam kapasitas penyediaan pangan (Iqbal dan Sumaryanto, 2007). Pengembangan lahan merupakan proses penting dalam perubahan suatu penggunaan lahan ke penggunaan lainnya. Dent and Young (1987) menyatakan bahwa evaluasi lahan suatu proses untuk memprakirakan potensi lahan untuk penggunaan tertentu termasuk di

124


Evaluasi Tata Guna Lahan di Sumatera Utara (Anton Parlindungan Sinaga)

maupun kota yang ideal diindikasikan dengan tercapainya luas hutan atau ruang terbuka hijau yang mencapai minimal sebesar 30% sebagaimana amanat UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dan UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.

Adapun bentuk Bagan Alir Interpretasi Citra dalam penelitian ini dapat dicermati seperti yang terlihat didalam Gambar 1. Adapun dalam penelitian ini, tahapan penelitian terdiri dari tiga tahap utama, yaitu pengolahan awal citra (pre-image processing), pengolahan citra digital (image processing), dan analisis perubahan tutupan dan penggunaan lahan.

METODE Lokasi pelaksanaan kegiatan Kajian Evaluasi Tata Guna Lahan di Provinsi Sumatera Utara ini adalah wilayah Provinsi Sumatera Utara meliputi 8 (delapan) Kabupaten yaitu Asahan, Batubara, Deli Serdang, Padang Lawas Utara, Serdang Bedagei, Simalungun, Tapanuli Selatan dan Toba Samosir. Sedangkan waktu pelaksanaan kegiatan kajian berlangsung selama 4 (empat) bulan terhitung mulai bulan Juli sampai dengan Nopember 2013. Kajian ini dilakukan dengan pendekatan analisis penginderaan jarak jauh (remote sensing) dengan memanfaatkan citra landsat. Selain itu juga dilakukan pengolahan data spasial dan non spasial (atribut) dengan memanfaatkan sistem informasi geografis (SIG). Dengan memanfaatkan teknik analisis penginderaan jarak jauh dan sistem informasi geografis, maka dapat dilakukan analisis data secara terintegrasi baik data yang bertipe raster (citra satelit), bertipe vektor (peta digital yang umumnya berekstensi shp), dan data non spasial. Hasil dari studi ini adalah sebaran spasial penggunaan dan tutupan lahan di lokasi terpilih dan basis data yang sewaktu-waktu bisa dilakukan pemutakhiran manakala ditemukan data input terbaru. Pada dasarnya ada enam tahap pada suatu pemrosesan citra, yakni : (1) Proses pembacaan data, yaitu membaca data citra dari suatu rekaman Computer Compatible Tape (CCT), dimana data terekam dalam bentuk numeric; (2) Akuisisi citra (image acquisition), antara lain pemilihan band sesuai dengan keperluan, dan pembuatan format rekaman data; (3) Menampilkan (display) citra. Ada beberapa proses pengerjaan, seperti menampilkan tabel numerik, histogram, atau citra dengan tingkat keabuan (grey level) tertentu; (4) Pemotongan (croping) citra, sesuai dengan daerah analisis; (5) Pemulihan citra (image restoration), yakni memperbaiki citra yang mengalami perubahan (distorsi), termasuk koreksi radiometrik dan geometrik; (6) Penajaman citra (image enhancement), bertujuan mempertajam kontras citra agar lebih mudah dianalisis secara visual. Selanjutnya citra yang telah mengalami berbagai proses di atas, dapat diolah sesuai dengan keperluan, misalnya untuk klasifikasi tutupan lahan.

HASIL DAN PEMBAHASAN Provinsi Sumatera Utara memiliki kawasan darat seluas 71.680 km² serta kawasan laut sepanjang 12 mil laut dari garis pantai ke arah laut lepas. Berdasarkan hasil interpretasi citra landsat tahun 2008 tutupan lahan Provinsi Sumatera Utara tahun 2008 didominasi oleh kegiatan pertanian dan perkebunan seluas 4.139.625,131 Ha atau sekitar 58,71% dan lahan hutan seluas 1.910.101,54 Ha atau sekitar 27,09%. Penggunaan lahan untuk kegiatan pertanian terbesar berada di wilayah Pantai Timur, yaitu meliputi areal seluas lebih kurang 57% dari luas areal pertanian Sumatera Utara. Sebagian besar lahan hutan berada di wilayah Pantai Barat, yaitu seluas ¹ 69% dari luas hutan di Provinsi Sumatera Utara. Kegiatan pertanian mendominasi wilayah Pantai Timur, sedangkan wilayah Pantai Barat didominasi oleh kegiatan pertanian dan hutan secara relatif berimbang. Kondisi penggunaan lahan di Sumatera Utara pada tahun 2011 masih didominasi pertanian lahan kering mencapai seluas 2.562.715,73 ha atau 35,78%, diikuti masingmasing hutan seluas 1.896.444,17 ha atau 26,48%, perkebunan seluas 1.330.424,85 ha atau 18,57%, semak belukar seluas 685.533,86 ha atau 9,75%, sawah seluas 284.925,40 ha atau 3,97%, dan lahan terbuka seluas 230.887,84 atau 3,22%. Kondisi Penggunaan Lahan di Provinsi Sumatera Utara Tahun 2011 seperti terlihat pada tabel 1. Selama periode 2003-2012, jumlah rumah tangga usaha pertanian di Provinsi Sumatera Utara ini mengalami penurunan sebanyak 160.259 rumah tangga dari 1.487.624 rumah tangga pada tahun 2003 menjadi 1.327.365 rumah tangga pada tahun 2012, yang berarti terjadi rata-rata penurunan sebesar 1,13 persen per tahun. Secara absolut, penurunan terbesar terjadi di Kabupaten Deli Serdang dan penurunan terendah terjadi di Kabupaten Toba Samosir, yaitu masing- masing turun sebanyak 43.058 rumah tangga dan 106 rumah tangga selama sepuluh tahun. Namun secara persentase, Kota Medan adalah kota yang paling banyak mengalami penurunan yaitu sebesar 11,93 persen per tahun, sedangkan yang mengalami penurunan paling sedikit adalah

125


Inovasi Vol. 11 No. 2, Juni 2014: 123-139

Kabupaten Tapanuli Tengah yaitu sebesar 0,03

persen per tahun (BPS, 2013).

Tabel 1. Kondisi Penggunaan Lahan di Provinsi Sumatera Utara Tahun 2011 No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13.

Penggunaan Lahan Awan Bandara/Pelabuhan Hutan Lahan Terbuka Permukiman Perkebunan Pertanian Lahan Kering Rawa Sawah Semak Belukar Tambak Transmigrasi Tubuh Air Total

Luas (Ha) 324,18 947,95 1.896.444,17 230.887,84 81.000,18 1.330.424,85 2.562.715,73 10.325,69 284.925,40 685.533,86 36.597,64 1.555,08 38.960,35 7.160.642,92

Dari sekitar 7.159.642,909 hektar luas Provinsi Sumatera Utara, luas areal persawahan pada tahun 2011 adalah 284.925 ha, selain itu diperoleh hasil perhitungan luas areal pertanian lahan kering seluas 2.562.715,73 ha. Pada periode tahun 2009 sampai 2011 menunjukkan bahwa di Provinsi Sumatera Utara telah terjadi perubahan tutupan lahan yang cukup besar, terutama dari lahan hutan menjadi lahan terbuka yang mencapai 29.266 ha, seluas 740 ha lahan hutan menjadi semak belukar, selain itu juga terjadi perubahan sekitar 1.293 ha lahan yang pada tahun 2009 berupa perkebunan beralih fungsi menjadi lahan terbuka pada tahun 2011. Sekitar 101 ha luas areal pertanian lahan kering berubah menjadi lahan terbuka. Di sisi lain, selama periode tersebut terindikasi ada peningkatan lahan hutan yang berasal dari lahan terbuka seluas 1.193 ha, dan perkebunan seluas 359 ha. Selama periode tersebut terlihat estimasi laju deforestasi di Provinsi Sumatera Utara adalah 15.003 ha/tahun. Penurunan luasan hutan ini disinyalir akan semakin meningkatkan resiko bencana alam di Provinsi Sumatera Utara seperti banjir dan kekeringan. Pada kurun waktu antara 2006 sampai 2011, dinamika penggunaan lahan di Provinsi Sumatera Utara cukup tinggi, sawah banyak dikonversi menjadi penggunaan lain, namun disisi lain terjadi konversi dari non sawah menjadi sawah, sehingga terjadi peningkatan luas sawah sekitar 39.796,58 ha. Perubahan hutan menjadi lahan terbuka seluas 84.014 ha, hutan menjadi perkebunan seluas 23.340 ha, hutan menjadi pertanian lahan kering seluas 6.946 ha, hutan menjadi semak belukar sekitar 45.035 ha dan hutan yang dikonversi menjadi tambak sekitar 176 ha. Kondisi ini menjadikan

Distribusi (%) 0,0045 0,0132 26,4843 3,2244 1,1312 18,5797 35,7889 0,1442 3,9790 9,5736 0,5111 0,0217 0,5441 100,00

luasan hutan di Sumatera Utara berkurang seluas 120.555 ha atau laju deforestasinya mencapai 24.111 ha/tahun. Antara tahun 2006 – 2011 juga terjadi penurunan luas lahan untuk pertanian lahan kering seluas 9.921 ha. Konversi hutan menjadi lahan terbuka, perkebunan, semak belukar dan pertanian lahan kering adalah perubahan tutupan lahan yang paling utama pada kurun waktu antara 2003 2011 yang secara berturut-turut sebesar 87.849 ha, 61.485 ha, 57.993 ha dan 7.757 ha. Sisi positifnya dari sisi ketahanan pangan adalah semakin luasnya lahan sawah untuk kegiatan pertanian padi, hasil analisis menunjukkan bahwa antara tahun 2003 sampai 2011 di Provinsi Sumatera Utara terjadi peningkatan luas sawah sekitar 39.689 ha. Hasil analisis menunjukkan bahwa luasan tutupan lahan yang mengalami penurunan selama kurun waktu antara tahun 2000 - 2011 adalah hutan yang mengalami penurunan luas sekitar 188.451 ha, pertanian lahan kering menurun seluas 190.555 ha, semak belukar mengalami penurunan luas 5.813 ha dan rawa yang mengalami penurunan sebesar 1900 ha. Sebaliknya tutupan lahan yang mengalami peningkatan luasan adalah perkebunan meningkat sebesar 190.555 ha, lahan terbuka meningkat sebesar 39.689 ha dan juga sawah yang meningkat luasannya sebesar 47.047 ha, sisanya mengalami peningkatan namun tidak sebesar keempat tutupan lahan tersebut. Terkait dengan kecukupan luas minimal hutan dalam suatu wilayah administrasi, hasil perhitungan prosentase luas hutan terhadap luas wilayah

126


Evaluasi Tata Guna Lahan di Sumatera Utara (Anton Parlindungan Sinaga)

administrasi

di

Provinsi

Sumatera

Utara

disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Prosentase Luas Hutan Terhadap Luas Wilayah Provinsi Sumatera Utara No

Tahun

Luas Hutan (Ha)

Luas Administrasi (Ha)

Prosentase Luas Hutan

1

2000

2

2003

2.083.895,94

7.159.642,91

29,11

2.071.943,76

7.159.642,91

28,94

3

2006

2.015.999,29

7.159.642,91

28,16

4

2009

1.895.444,17

7.159.642,91

26,47

5

2011

1.895.444,17

7.159.642,91

26,47

Selama kurang lebih satu dekade terakhir, prosentase luas hutan terhadap luas administrasi Provinsi Sumatera Utara terus mengalami penurunan. Mengacu pada luas minimal hutan dalam suatu wilayah administrasi yang sebesar 30%, maka luas hutan di Provinsi Sumatera Utara masih lebih rendah dari luas minimal hutan yang harus ada. Kondisi ini adalah prosentase agregat luas hutan dalam wilayah administrasi Provinsi Sumatera Utara. Sedangkan apabila dihitung untuk masingmasing wilayah kabupaten/kota, maka prosentase luasan hutan luasan akan sangat bervariasi melebihi kisaran prosentase luas hutan. Guna mendapatkan informasi penting terkait perubahan lahan, khususnya yang terkait dengan ketahanan pangan, maka dari 33 kabupaten/kota yang ada di Provinsi Sumatera Utara diambil sebanyak 8 (delapan) kabupaten. Kedelapan kabupaten dipilih dengan pertimbangan bahwa kabupaten tersebut mempunyai lahan pertanian yang luas dan di Provinsi Sumatera Utara termasuk dalah lumbumg pangan. Kedelapan kabupaten yang dimaksud adalah Kabupaten Asahan, Kabupaten Batubara, Kabupaten Deli Serdang, Kabupaten Padang Lawas Utara, Kabupaten Serdang Bedagai, Kabupaten Simalungun, Kabupaten Tapanuli Selatan dan Kabupaten Toba Samosir. Uraian untuk masing-masing kabupaten disajikan berikut ini. Hasil analisis menunjukkan antara tahun 2009 sampai 2011 di Kabupaten Asahan tidak dijumpai adanya perubahan lahan yang ditandai dengan tutupan lahan pada kedua tahun tersebut tidak ada perbedaan. Sedangkan yang menunjukkan perubahan lahan yang terjadi antara tahun 2006 sampai 2011, terlihat bahwa perkebunan mengalami peningkatan seluas 31.355 ha, disusul oleh peningkatan lahan sawah sebesar 2.159 ha dan terakhir adalah peningkatan pertanian lahan kering seluas 1.843 ha. Sedangkan yang mengalami penurunan adalah hutan menurun seluas 8.769 ha, lahan

terbuka menurun 17.505 ha, semak belukar menurun seluas 8.586 ha dan rawa yang menurun seluas 497 ha. Kondisi perubahan tutupan lahan yang terjadi di Kabupaten Asahan antara tahun 2003 sampai 2011 adalah ditandai dengan menurunnya luas hutan sebesar 11.786 ha dan meningkatnya perkebunan sebesar 31.148 ha, areal pertanian lahan kering sebesar 1.238 dan sawah sebesar 2.159 ha. Selama periode tahun 2000 sampai 2011, luas hutan di daerah ini telah berkurang seluas 11.845 ha, sedangkan yang mengalami peningkatan adalah sawah sebesar 2.160 ha, demikian juga perkebunan sebesar 30.815 ha dan areal pertanian lahan kering sebesar 1.239 ha. Hasil analisis menunjukkan bahwa luas hutan di Kabupaten Asahan jika diprosentasekan terhadap luas wilayah kabupaten untuk tahun 2000, 2003, 2006, 2009 dan 2011 secara berturut turut adalah 14%, 14%, 13%, 11% dan 11%. Jika mengacu pada peraturan bahwa luas minimal hutan dalam suatu wilayah kabupaten adalah 30%, maka di Kabupaten Asahan sampai tahun 2011 mengalami defisit luas hutan mencapai sebesar 19% dari luas wilayah atau sekitar 80.000 Ha. Hasil analisis terhadap citra landsat rekaman tahun 2000, 2003 dan 2006 di Kabupaten Batubara diperoleh informasi bahwa antara tahun 2000 sampai 2006 juga tidak dijumpai adanya perubahan penggunaan lahan. Perubahan lahan di Kabupaten Batubara terindikasi mulai terjadi antara tahun 2006 sampai 2009, sedangkan antara tahun 2009 sampai 2011 hasil analisis juga tidak menunjukkan adanya perubahan lahan pada kurun waktu tersebut. Antara tahun 2006 sampai 2009 di Kabupaten Batubara terjadi peningkatan luas, antara lain : perkebunan yang mencapai 1968 ha, lahan pertanian lahan kering seluas 576 ha, dan lahan persawahan seluas 1.857 ha (18.974 ha pada tahun 2006 menjadi 20.831 ha pada tahun 2009). Dengan luasan areal persawahan yang mencapai 20.831 ha tersebut, tidak bisa dipungkiri Kabupaten

127


Inovasi Vol. 11 No. 2, Juni 2014: 123-139

Batubara termasuk daerah penyangga ketahanan pangan di Provinsi Sumatera Utara. Namun sebaliknya prosentase luas hutan hanya sebesar 1,05% pada tahun 2000, 2003 dan 2006, kemudian turun menjadi 1,03% pada tahun 2009 dan 2001. Dengan demikian kecukupan luas hutan minimal 30% sangat sulit tercapai dalam upaya untuk mencapai keseimbangan ekosistem di Kabupaten Batubara kalau tidak ada usaha serius dalam meningkatkan tutupan hutan tersebut. Perubahan tutupan lahan di Kabupaten Deli Serdang selama periode 2009 sampai 2011 terindikasi tidak begitu besar, perubahan terjadi pada menurunnya hutan seluas 107 ha dan meningkatnya lahan terbuka seluas 8.21 ha dan semak belukar seluas 99 ha. Penutupan lahan yang lain pada periode ini tidak ada indikasi mengalami perubahan. Selama kurun waktu antar tahun 2006 sampai 2009, di Kabupaten Deli Serdang terjadi peningkatan luas sawah yang mencapai 4.649 ha, demikian pula dengan tambak meningkat karena adanya konversi hutan mangrove. Perkebunan terindikasi mengalami peningkatan luas yang mencapai 1.370 ha. Sedangkan tutupan lahan yang lain seperti hutan mengalami penurunan luasan 423 ha, pertanian lahan kering juga mengalami penurunan seluas 4.602 ha. Selama periode antara tahun 2003 sampai 2011 di Kabupaten Deli Serdang telah terjadi peningkatan luas sawah sebesar 4.469 ha. Tambak juga mengalami peningkatan luasan yang mencapai 826 ha antara tahun 2003 dan 2011. Sedangkan hutan dan pertanian lahan kering mengalami penurunan luasan secara berturut-turut seluas 424 ha dan 4903 ha. Peningkatan luas sawah yang terjadi mengindikasikan bahwa pengembangan sawah sebenarnya dilakukan pada kurun waktu antara tahun 2000 sampai 2003, setelah itu tidak ada lagi usaha untuk pengembangan lahan sawah. Hal ini mengindikasikan bahwa penambahan luas lahan sawah yang sangat vital bagi ketahanan pangan pada dekade terakhir tidak menjadi prioritas pembangunan Kabupaten Deli Serdang. Luasan lainnya yang menurun adalah hutan mengalami penurunan sebesar 1.017 ha dan pertanian lahan kering mengalami penurunan sebesar 4.903 ha. Dengan demikian prosentase luas hutan di Kabupaten Deli Serdang selama satu dekade terakhir cenderung terus menurun, pada tahun 2000 prosentase hutan mencapai seluasr 7,58% dari wilayahkabupaten dan selanjutnya secara terus menerus mengalami penurunan yang berturut-turut untuk tahun 2003, 2006, 2009 dan 2011 adalah 7,35%, 7,35%, 7,23% dan 7,19%, artinya bahwa luas minimal hutan yang 30% tidak terpenuhi.

Hasil analisis perubahan tutupan lahan di Kabupaten Padang Lawas Utara menunjukkan bahwa antara tahun 2009 sampai 2011 di daerah ini telah terjadi deforestasi menjadi lahan terbuka seluas 1.361 ha. Perubahan menunjukkan bahwa dari tahun 2006 sampai 2011 di daerah ini telah terjadi penurunan luas hutan yang mencapai 7.691 ha dan sawah mengalami penurunan sebesar 80 ha, sedangkan yang meningkat adalah penggunaan untuk perkebunan yang mencapai luasan 3.661 ha. Hasil analisis terhadap perubahan tutupan lahan antara tahun 2000 sampai 2011, di Kabupaten Padang Lawas Utara terindikasi terjadi penurunan luas tutupan hutan seluas 8.008 ha diikuti dengan tutupan rawa dan sawah secara berturut-turut menurun sebesar 420 ha dan 80 ha. Prosentase luas hutan terhadap luas Kabupaten Paluta sejak tahun 2000 terus mengalami penurunan. Secara prosentase luas hutan di daerah ini turun secara berturut-turut tahun 2000, 2003, 2006, 2009 dan 2011 adalah 13,35%, 13, 35%, 13, 27%, 11, 70% dan 11,36% yang berarti bahwa luasannya masih di bawah luas minimal hutan yang 30%. Dengan kecenderungan luasan yang terus menurun ini, maka perlu ada upaya serius agar luas hutan bisa bertambah guna mencapai batas minimal 30% guna untuk menjaga keseimbangan alam di daerah ini. Hasil analisis perubahan tutupan lahan di Kabupaten Serdang Bedagai selama kurun waktu 2009 sampai 2011 terlihat hanya hutan, lahan terbuka dan perkebunan yang terindikasi mengalami perubahan. Adapun luasan yang mengalami penurunan di daerah adalah hutan sebesar 220 ha dan perkebunan sebesar 52 ha, sedangkan lahan terbuka menunjukkan peningkatan sekitar 272 ha. Selama kurun waktu antara tahun 2006 sampai 2011, di Kabupaten Serdang Bedagai telah terjadi perubahan tutupan lahan yang mencolok yaitu sawah yang mencapai seluas 4.128 ha dan hutan seluas 444 ha. Sebaliknya pemukiman mengalami peningkatan seluas 247 Ha, hal ini terjadi kemungkinan pada periode ini adalah awal pemekaran Kabupaten Serdang Bedagai sehingga terjadi peningkatan lahan untuk kawasan pemukiman dan perkantoran. Perkebunan dan pertanian lahan kering juga mengalami peningkatan secara berturut-turut sebesar 2.389 ha dan 4.920 ha, sebaliknya tambak mengalami pengurangan yang ditandai dengan hal menarik pada periode ini bahwa di Kabupaten Serdang Bedagai telah terjadi konversi tambak menjadi perkebunan. Meskipun di Kabupaten Serdang Bedagai pada tahun 2011 masih mempunyai luasan sawah yang mencapai 35.137 ha, namun dibandingkan

128


Evaluasi Tata Guna Lahan di Sumatera Utara (Anton Parlindungan Sinaga)

dengan kondisi tahun 2003 telah terjadi penurunan luas sawah yang mencapai 4.276 ha. Berkaitan dengan program ketahanan pangan, penurunan luas sawah ini berdampak negatif terhadap usaha penyediaan pangan khususnya beras. Hutan di Kabupaten Serdang Bedagai juga mengalami penurunan, sedangkan lahan terbuka yang mengalami peningkatan adalah pemukiman dan perkebunan. Kondisi yang hampir sama antara tahun 2003 sampai 2011, yaitu ditandai dengan terjadinya perubahan tutupan lahan antara tahun 2000 sampai 2011 yang menonjol adalah konversi sawah menjadi penggunaan lain yang mencapai 4.275 ha dan penurunan luas hutan yang mencapai 490 ha. Prosentase luas hutan di Kabupaten Serdang Bedagai sangat kecil dibandingkan dengan luas wilayah Kabupaten. Hasil analisis menunjukkan bahwa prosentase luas hutan di Serdang Bedagai untuk tahun 2000 hanya 0,86%. Luas ini cenderung menurun, dimana secara berturut-turut prosentase luas hutan untuk tahun 2003, 2006, 2009 dan 2011 adalah sebesar 0,86%, 0,84%, 0,72% dan 0,61%. Dampak yang bisa diakibatkan dari kondisi ini adalah tidak seimbangnya alam yang diindikasikan oleh minimnya luas hutan sehingga daerah ini termasuk wilayah yang rawan banjir. Selama kurun waktu tahun 2009 sampai 2011 di Kabupaten Simalungun relatif tidak banyak mengalami perubahan tutupan lahan yang ditandai dengan penurunan luas hutan yang mencapai sebesar 302 ha dan peningkatan luas perkebunan seluas 274 ha, tutupan lahan lain berupa lahan terbuka seluas 27 ha. Selama kurun waktu 2006 sampai 2011, di Kabupaten Simalungun telah mengalami penurunan tutupan hutan dan pertanian lahan kering masing-masing sebesar 1.504 ha dan 6.635 ha. Hal ini mengindikasikan bahwa selama kurun waktu tersebut telah terjadi peningkatan luas sawah yang cukup signifikan yaitu sebesar 7.573 ha. Peningkatan luas persawahan berarti telah terjadi penambahan luas lahan untuk mendukung ketahanan pangan di daerah ini khususnya padi, namun disayangkan pada kurun waktu yang sama terjadi juga penurunan luasan pertanian lahan kering yang besar. Hasil analisis terhadap perubahan tutupan lahan yang terjadi di Kabupaten Simalungun ntara tahun 2003 sampai 2011 menunjukkan peningkatan luas sawah sebesar 7.573 ha, luas perkebunan sebesar 1.080 ha dan luas lahan terbuka yang mencapai 4.087 ha. Sebaliknya untuk hutan mengalami penurunan luasan yang mencapai 2.945 ha dan juga penurunan semak belukar sebesar 1.740 ha. Penurunan areal hutan dan pertanian lahan kering seluas 2.945 ha dan

8.055 ha ini yang menggembirakan adalah terjadi peningkatan luas tutupan berupa lahan sawah yang mencapai 7.573 ha. Prosentase luas hutan terhadap luas wilayah Kabupaten Simalungun selama satu dekade terakhir (tahun 2000 sampai 2011) terus mengalami penurunan. Pada tahun 2000 prosentase luas hutannya hanya 13,01% dan cenderung terus menurun menjadi tinggal 12,34% pada tahun 2011. Jika luas minimal hutan seharusnya adalah 30%, maka penggunaan lahan di Kabupaten Simalungun masih harus mendapatkan perhatian guna peningkatan luas tutupan lahan. Secara geografis posisi Kabupaten Simalungun sebagian besarnya adalah daerah hulu DAS. Dengan kondisi prosentase tutupan lahan yang kecil ini dapat berdampak negatif pada wilayahnya sendiri maupun wilayah kabupaten yang berada di daerah hilir. Dalam hal ini, di wilayah Kabupaten Simalungun dapat meningkatkan terjadinya lahan kritis, sedangkan di daerah hilir seperti Kabupaten Serdang Bedagai dapat menerima bencana banjir dan sedimentasi. Hasil analisis terhadap perubahan tutupan lahan yang terjadi di Kabupaten Tapanuli Selatan selama periode tahun 2009 sampai 2011 bahwa terindikasi konversi hutan menjadi lahan terbuka seluas 2354 ha, sedangkan tutupan lahan lainnya dapat dikatakan tidak mengalami perubahan. Hasil analisis terhadap tutupan lahan antara tahun 2006 dan 2011, terindikasi bahwa di Kabupaten Tapanuli Selatan telah terjadi penurunan tutupan berupa hutan dan semak belukar. Hutan mengalami penurunan luas sebesar 12.283 ha, dan semak belukar mengalami penurunan sebesar 4.328 ha. Tutupan lahan yang mengalami peningkatan adalah penggunaan lahan perkebunan seluas 14.617 ha, lahan terbuka seluas 1.667 ha, pertanian lahan kering seluas 279 ha dan sawah seluas 73 ha. Hutan dan semak belukar di Kabupaten Tapanuli Selatan selama kurun waktu 2003 sampai 2011 telah mengalami penurunan luasan yang masing-masingnya sebesar 20.720 ha dan 1.330 ha. Sedangkan tutupan yang mengalami peningkatan berupa perkebunan sebesar 14.800 ha, lahan terbuka sebesar 6.922 ha, pertanian lahan kering sebesar 279 ha, dan sawah seluas 73 ha. Hutan mengalami konversi menjadi perkebunan dan pertanian lahan kering serta menjadi lahan terbuka dan semak belukar. Perubahan tutupan lahan yang signifikan selama periode tahun 2000 sampai 2011 di Kabupaten Tapanuli Selatan adalah berkurangnya luas hutan sebesar 25.020 ha dan terjadinya peningkatan luas lahan terbuka, perkebunan, pertanian lahan kering dan sawah. Lahan

129


Inovasi Vol. 11 No. 2, Juni 2014: 123-139

terbuka mengalami peningkatan sebesar 7.472 ha, perkebunan meningkat sebesar 2.119 ha, sawah meningkat 73 ha dan pertanian lahan kering meningkat sebesar 20.128 ha. Prosentase luas hutan Kabupaten Tapanuli Selatan masih cukup tinggi sampai dengan tahun 2011 masih sebesar 42,56%. Namun sejak tahun 2000, luasan hutan terus menurun dari 48,61% pada tahun 2000 menjadi 47,57% pada tahun 2003, sebesar 45,53% pada tahun 2006 dan sebesar 43,13% pada tahun 2009. Daerah yang mengalami penurunan luas hutan ini adalah daerah yang termasuk rawan bencana seperti gempa dan tanah longsor, dan pada beberapa wilayah sering terjadi banjir. Guna menjaga keseimbangan ekosistem, maka perlu upaya yang keras untuk terus bisa mempertahankan luas hutan minimal tanpa mengabaikan kebutuhan masyarakat akan lahan untuk pangan. Selama kurun waktu antara tahun 2009 sampai 2011 di Kabupaten Toba Samosir telah terjadi konversi dari hutan menjadi lahan terbuka sekitar 241,83 ha. Tipe tutupan lahan yang lain dalam periode ini dapat dikatakan tidak mengalami perubahan. Perubahan lahan yang terjadi di Kabupaten Toba Samosir pada periode analisis antara tahun 2006 sampai 2011, tutupan lahan yang mengalami penurunan adalah hutan berkurang seluas 4.358 ha dan pertanian lahan kering seluas 5.802 ha. Sedangkan tutupan lahan yang mengalami peningkatan di daerah ini adalah semak belukar, lahan terbuka dan sawah yang secara berturutturut bertambah seluas 5.901 ha, 2.574 ha dan 1.683 ha, artinya bahwa terjadi peningkatan luas lahan sawah, namun sebaliknya terjadi penurunan luas lahan untuk pertanian lahan kering. Jika analisis terhadap tutupan lahan dilakukan dengan basis awal tahun 2003, maka di Kabupaten Toba Samosir luasan yang mengalami penurunan adalah areal pertanian lahan kering dan hutan yang secara berturutturut mengalami penurunan seluas 5.802 ha dan 4.371 ha. Adapun tutupan lahan yang mengalami peningkatan luas adalah semak belukar seluas 5.903 ha, lahan terbuka seluas 2.586 ha dan sawah seluas 1.683 ha. Penurunan luasan pertanian lahan kering sebagian karena menjadi lahan terbuka dan semak belukar. Dengan demikian selama periode tahun 2000 sampai 2011 di Kabupaten Toba Samosir telah terjadi penurunan luas hutan sebesar 4.371 ha, pertanian lahan kering seluas 6.086 ha. Adapun luasan tutupan hutan yang mengalami peningkatan adalah semak belukar, lahan terbuka, sawah dan perkebunan yang secara berturut-turut mengalami peningkatan seluas 5.903 ha, 2.586 ha, 1.683 ha dan 284 ha.

Kabupaten Toba Samosir sampai tahun 2011 masih memiliki luas hutan sebesar 35,90% dari luas wilayahnya. Namun jika diamati selama satu dekade terakhir, luas hutan di daerah ini cenderung terus menurun dari sebesar 38,01% pada tahun 2000 berubah menjadi sebesar 36,02% pada tahun 2009 dan terakhir menurun menjadi sebesar 38,01% pada tahun 2011. Hasil analisis citra landsat liputan tahun 2013 terpilih pada 8 (delapan) wilayah kabupaten di Provinsi Sumatera Utara menunjukkan indikasi tutupan lahan yang terjadi pada tahun tersebut. Mengingat citra yang digunakan adalah citra landsat yang memiliki resolusi spasial sedang yaitu 30 x 30 meter, maka secara umum peta ini maksimum hanya bisa digunakan untuk pemetaan dengan skala 1:100.000 dengan skala normal yang biasa dipergunakan adalah 1:25.0000. Adapun hasil analisis untuk masing-masing kabupaten terpilih adalah sebagai berikut. Indikasi tutupan lahan tahun 2013 di Kabupaten Asahan didominasi oleh pertanian lahan kering (50,83%) dan perkebunan (35,08%). Secara lengkap indikasi tutupan lahan tahun 2013 disajikan pada Tabel 4.40. Dibandingkan tahun 2011, telah terjadi penurunan lahan sawah di Kabupaten Asahan dari seluas 10.791,26 hektar di tahun 2011 menjadi 4.416,08 hektar di tahun 2013. Penurunan luas sawah dapat mengakibatkan penurunan kemampuan produksi beras di wilayah tersebut. Indikasi ini menuntut adanya usaha yang serius agar usaha pertanian sawah sebagai penopang produksi beras terus dapat berlanjut. Tutupan lahan hutan tahun 2013 di Kabupaten Asahan hanya sebesar 10,45% dari total wilayah kabupaten atau sekitar 39.062,54 hektar. Hal ini secara ekologis dapat memicu terjadinya bencana terutama banjir pada saat musim hujan. Mengingat tata guna lahan yang belum ideal, dimana luas hutannya masih kurang dari 30%, maka perlu adanya kegiatan untuk mencegah terjadinya becana banjir di wilayah ini, terutama di bagian hilir DAS. Pertanian lahan kering adalah penggunaan lahan paling dominan di Kabupaten Asahan yang mencapai 50,83% dari luas wilayah kabupaten. Banyak ditemukan pola pertanian lahan kering yang tidak menerapkan teknik konservasi air dan tanah. Demikian halnya juga terjadi pada lahan-lahan perkebunan yang mencapai 35,08% dari luas wilayah kabupaten juga banyak yang tidak menerapkan teknik konservasi tanah dan air. Hasil analisis citra landsat 8 liputan tahun 2013 menunjukkan bahwa tutupan lahan di Kabupaten Batubara didominasi oleh perkebunan dan pertanian lahan kering.

130


Evaluasi Tata Guna Lahan di Sumatera Utara (Anton Parlindungan Sinaga)

Perkebunan di Kabupaten Batubara pada tahun 2013 diindikasikan mencapai luasan 52.469,46 hektar atau sekitar 56,81% dari total wilayah kabupaten. Tutupan lahan terluas kedua adalah pertanian lahan kering yang mencapai 15.743,91 hektar (17,05 %). Wilayah Kabupaten Batubara juga termasuk daerah lumbung padi, dimana luasan sawah tahun 2013 diindikasikan seluas 10.507,72 hektar (11,38%). Luasan hutan di Kabupaten Batubara hanya sebesar 1,96% atau seluas 1.806,91 hektar. Secara lanskap (bentang lahan) sebagian besar posisi Kabupaten Batubara berada di wilayah dataran rendah dan pesisir atau dalam perspektif DAS berada di wilayah hilir DAS. Hal ini secara ekologis memungkinkan wilayah ini sebagai wilayah dampak dari aktifitas penggunaan lahan di bagian hulu DAS. Dibandingkan tahun 2011, luasan sawah di Kabupaten Batubara pada tahun 2013 menurun drastis. Meskipun secara detail belum bisa menggambarkan secara persis lokasi yang berubah, namun saat dilakukan ground check ditemukan adanya upaya mengkonversi sawah menjadi areal perkebunan sawit. Kondisi tutupan lahan di Kabupaten Deli Serdang pada tahun 2013 berdasarkan analisis citra landsat 8 menunjukkan bahwa tutupan lahan yang mendominasi adalah perkebunan dan pertanian lahan kering. Dari luasan wilayah Kabupaten Deli Serdang seluas 26.0942.20 hektar, sebesar 47,05% atau seluas 122.765,38 hektar berupa pertanian lahan kering dan seluas 73.443,49 hektar atau sebesar 28,15% berupa perkebunan. Sedangkan luasan hutan hanya sekitar 22.835,36 hektar atau sebesar 8,75%. Mengingat luasan hutan hanya 8,75% dari luas wilayah kabupaten dan pertanian lahan kering menjadi faktor penggunaan lahan dominan, maka tidak heran jika di wilayah ini terutama pada wilayah hilirnya akan banyak terkena dampak bencana banjir. Hal ini dikarenakan daya resap penggunaan lahan terhadap air hujan yang jatuh sedikit. Penggunaan lahan sawah di Kabupaten Deli Serdang termasuk luas yaitu mencapai 16.389,29 hektar. Secara kultural banyak masyarakat di wilayah ini yang mata pencahariannya sebagai petani. Namun dengan semakin sulitnya usaha di bidang pertanian pangan terutama sawah, banyak juga lahan sawah yang dikonversi dan petani alih profesi. Perkebunan dan pertanian lahan kering adalah yang mendominasi tutupan lahan di Kabupaten Padang Lawas Utara berdasarkan hasil analisis terhadap citra landsat liputan tahun 2013. Sebesar 64,01% luas wilayah Kabupaten Padang Lawas Utara terindikasi berupa pertanian lahan kering atau seluas 258.337,37%, selanjutnya seluas 92.917,72 hektar berupa perkebunan dan seluas 38226,85

hektar berupa hutan. Luasan hutan Kabupaten Padang Lawas Utara masih kurang dari 30% karena jika dibandingkan dengan luasan wilayah kabupaten maka luasan hutan hanya sekitar 9,47%. Kondisi ini tentunya secara ekologis tidak ideal, karena fungsi hutan yang secara hidroorologis sangat penting menjadi tidak maksimal. Tutupan lahan berupa sawah terindikasi hanya seluas 1.342,00 hektar atau hanya sebesar 0,33% dari luasan kabupaten. Hal ini mengindikasikan bahwa pasokan pangan berupa beras di wilayah ini dipenuhi dari wilayah lainnya. Dengan demikian produktifitas pertanian lahan kering juga perlu diarahkan untuk produksi pangan non padi. Hal ini guna meningkatkan ketahanan pangan di wilayah tersebut sehingga tidak tergantung pada wilayah lainnya. Wilayah Kabupaten Serdang Bedagai termasuk wilayah yang penting dalam produksi padi di Provinsi Sumatera Utara. Hasil analisis citra landsat 8 liputan tahun 2013 menunjukkan bahwa di wilayah ini terdapat sekitar 18.526,71 hektar lahan sawah. Jika dibandingkan luasannya dengan kondisi tutupan lahan berupa sawah pada tahun 2011 telah terjadi pengurangan luasan sawah, maka sebagai lumbung pangan daerah Sumatera Utara kegiatan pertanian di wilayah ini harus senantiasa mendapatkan dukungan secara nyata. Tutupan lahan yang paling dominan di Kabupaten Serdang Bedagai adalah perkebunan yaitu seluas 138.362,66 hektar atau sekitar 71,74% dari luasan wilayah kabupaten. Umumnya perkebunan di wilayah ini adalah perkebunan besar yang sahamnya dimiliki oleh PMDN maupun PMA. Aktifitas perkebunan ini sangat mempengaruhi kondisi hidroorologis di DAS yang bersangkutan, terutama perkebunan yang posisinya berada di wilayah hulu DAS. Selain perkebunan, kegiatan pertanian lahan kering juga mendominasi yang mencapai luasan 29.344,89 hektar atau sebesar 15,22% dari total wilayah kabupatenyang ditandai pada wilayah hulu DAS akan ditemukan kegiatan pertanian pada lahan-lahan yang memiliki kelerengan yang terjal. Kondisi ini secara hidroorologis juga sangat berbahaya, terutama jika tidak menerapkan teknik konservasi tanah dan air yang baik. Tanpa teknik konservasi tanah dan air yang baik maka tanahnya akan semakin terdegradasi dan pada bagian hilir akan menerima dampak sedimentasinya. Kondisi tutupan lahan di Kabupaten Simalungun pada tahun 2013 didominasi oleh penggunaan lahan pertanian lahan kering, hutan dan sawah. Pertanian lahan kering mencapai 325084,64 hektar atau 74,02% dari luasan kabupaten. Hutan di wilayah ini sekitar

131


Inovasi Vol. 11 No. 2, Juni 2014: 123-139

66164,41 hektar atau sebesar 15,07% dari luas wilayah kabupaten. Sawah mencapai luasan 26916,49 hektar atau setara dengan 6,13% dari luas wilayah kabupaten. Luasan hutan juga masih kurang dari 30%, kondisi ini tentunya akan semakin meningkatkan tingkat kekritisan DAS. Keberadaan hutan yang salah satunya adalah menurunkan koefisien runoff saat terjadi hujan karena luasannya yang sedikit menjadi tidak efektif. Untuk itu pada pertanian lahan kering terutama di dataran tinggi Kabupaten Simalungun perlu diupayakan adanya pola pertanian agroforestry, dimana usaha pertanian selain menerapkan teknik konservasi tanah dan air juga diselingi dengan tanaman keras (kehutanan). Dengan agroforestry diharapkan akan semakin meningkat luas areal yang bervegetasi pohon dan tetap produktif tanaman semusimnya. Di Kabupaten Simalungun juga terdapat lahan sawah dengan areal yang luas yaitu mencapai 26.916,49 hektar atau setara dengan 6,13% dari luas wilayah kabupaten. Hal ini menunjukkan bahwa Kabupaten Simalungun termasuk dalam daerah andalan penghasil padi di Provinsi Sumatera Utara. Untuk itu perlu berbagai upaya serius dan terintegrasi agar lahan pertanian sawah yang ada di Kabupaten Simalungun dapat terus berproduksi secara maksimal. Produksi pertanian yang baik akan mendukung tercapainya ketahanan pangan yang handal. Kabupaten Tapanuli selatan mempunyai luas wilayah sekitar 413.574,39 hektar, dimana pada tahun 2013 terindikasi mumpunyai luas hutan seluas 130.929,72 hektar (31,66%), pertanian lahan kering seluas 177.257,49 (42,86%), perkebunan seluas 23.977,34 hektar (5,80%) dan sawah seluas 12.789,67 hektar (3,09%). Hasil ground chek menunjukkan bahwa telah terjadi banyak kegiatan konversi areal hutan menjadi pertanian lahan kering maupun perkebunan. Pertanian lahan kering di Kabupaten Tapanuli Selatan sebagian besar tidak menerapkan teknik konservasi tanah dan air. Hal ini tentunya berdampak negatif terhadap kondisi lahannya, maupun kondisi DAS di wilayah hilir. Beberapa kejadian banjir yang terjadi di wilayah ini adalah karena penggunaan lahan tidak sesuai kelas kemampunanya sehingga lahan tidak mampu menahan curah hujan yang jatuh untuk disimpan dalam lahan. Akibatnya curah hujan yang jatuh di wilayah tersebut sebagian besarnya dijadikan sebagai aliran permukaan. Konversi hutan menjadi perkebunan juga akan berdampak negatif terhadap fungsi hidrologis DAS. Kondisi DAS yang sebagian besar masuk dalam wilayah Kabupaten Tapanuli Selatan termasuk dalam kategori DAS prioritas karena kekritisannya.

Daerah aliran sungai yang dimaksud adalah DAS Batang Angkola, DAS Batang Gadis dan DAS Batang Toru. Karena kekritisannya, maka di DAS ini sering terjadi longsor dan banjir sehingga perlu dilakukan tata guna lahan untuk meminimalkan bencana. Diantara upaya yang perlu dilakukan adalah dengan meningkatkan luas hutan pada wilayah hulu DAS, pada areal areal yang terjal serta menerapkan teknik konservasi tanah dan air yang baik. Dengan penerapan teknik konservasi tanah dan air yang baik pada areal pertanian lahan kering diharapkan dapat meminimalkan bencana longsor, banjir dan erosi. Pada akhirnya akan meminimalkan laju degradasi lahan, bahkan jika memungkinkan dapat memperbaharui kondis lahan yang terdegradasi menjadi lebih baik. Penggunaan lahan sawah di Kabupaten Tapanuli Selatan termasuk yang mendapatkan prioritas karena terdapat daerah irigasi yang luas. Hasil analisis terhadap citra landsat 8 liputan tahun 2013 menunjukkan bahwa di Kabupaten Tapanuli Selatan terindikasi terdapat areal sawah seluas 12.789,67 hektar atau sekitar 3,09% dari luas wilayah kabupaten. Dibuatnya bendungan irigasi di daerah Sayur Matinggi adalah untuk memenuhi kebutuhan air pada areal sawah di wilayah ini, dimana jika pasokan air irigasi baik maka akan mendukung produktifitas padi. Hal ini sangat baik untuk meningkatkan ketahanan pangan khususnya penyediaan beras. Hasil analisis terhadap citra landsat 8 liputan tahun 2013 di wilayah Kabupaten Toba Samosir menunjukkan bahwa tutupan lahan di dominasi oleh hutan dan pertanian lahan kering. Liputan citra landsat tahun 2013 yang terbaik yang dapat dipergunakan untuk wilayah ini, ternyata masih banyak awan. Awan menutupi luasan wilayah sekitar 38.835,27 hektar atau sebesar 18,73% dari wilayah Kabupaten Toba Samosir. Karena posisi wilayah ini sebagian besarnya adalah hulu DAS-DAS yang menuju ke Danau Toba maupun sungai lainnya yang menuju ke laut, maka keberadaan hutan di wilayah ini sangat penting artinya secara ekologis. Hutan di wilayah ini terindikasi seluas 140.917,47 hektar atau sebesar 67,97%. Meskipun ada kemungkinan penggunaan lain yang secara spektral mirip dengan hutan sehingga dikategorikan menjadi tutupan lahan hutan yang mengakibatkan luasan hutan menjadi sangat besar. Hutan di wilayah ini didominasi oleh hutan tanaman yang diusahakan oleh PT. Toba Pulp Lestari. Jenis tanaman yang diusahakan adalah jenis ekaliptus dengan berbagai macam spesies maupun klon. Sawah di wilayah ini terindikasi seluas 8.746,79 hektar pada tahun 2013 atau setara dengan

132


Evaluasi Tata Guna Lahan di Sumatera Utara (Anton Parlindungan Sinaga)

4,22% dari luas wilayah kabupaten. Dengan luasan lahan sawah yang cukup besar, maka kegiatan pertanian lahan sawah ini harus mendapatkan dukungan nyata dari pemerintah. Ketahanan pangan di Kabupaten Toba Samosir selain didukung oleh adanya lahan yang akan diusahakan juga ditentukan oleh kebijakan pemerintah daerah. Kebijakan pemerintah Kabupaten Toba Samosir menjadi faktor paling utama dalam rangka mensukseskan swasembada pangan atau minimal menjaga ketahanan pangan dalam kondisi aman di daerah ini. Pertanian lahan kering di wilayah ini pada tahun 2013 mencapai luasan 13.274,81 hektar atau sekitar 6,40% dari luas wilayah kabupaten. Karena kondisi pertanian lahan kering ini umumnya pada hulu DAS sehingga harus ada kegiatan konservasi tanah dan air. Konservasi tanah dan air selain menjaga kondisi lahan usaha taninya sendiri (in situ) juga akan menjadi kondisi di wilayah lainnya terutama di bagian hilirnya (ex situ). Jika kegiatan pertanian lahan kering dilakukan secara sembarangan, maka selain pada lahan tersebut akan terjadi degradasi karena erosi juga pada bagian hilir DAS akan terjadi sedimentasi yang mengakibatkan pendangkalan alur sungai sehingga akan meningkatkan resiko banjir di bagian hilir DAS. Evaluasi tata guna lahan merupakan alat yang seringkali digunakan sebagai dasar untuk penilaian lahan, yang dapat memberikan gambaran bagaimana lahan ke depan dan bagaimana lahan dapat dikelola secara optimal, sehingga mendukung aktivitas pengembangan daerah. Kerusakan lingkungan yang terjadi saat ini, bukan tidak mungkin disebabkan karena prinsip dasar dalam evaluasi lahan seringkali diabaikan. Dalam konteks penentuan penggunaan lahan, hal ini yang menjadi titik kritis dalam menentukan keberhasilan perkembangan daerah itu sendiri. Dalam sistem perencanaan daerah, penentuan penggunaan lahan sangat ditentukan dari besarnya skala kegiatan penggunaan lahan. Sebagai contoh, skala kegiatan di bidang pertanian akan sangat berbeda nyata dengan skala kegiatan pada bidang industri. Hal inilah yang harus dipikirkan, karena penentuan penggunaan lahan juga berkaitan dengan menata sistem di sekitarnya. Pada kota-kota besar saat ini, penentuan penggunaan lahan cenderung tanpa arahan sehingga kita menemukan sistem penggunaan lahan yang bersifat campuran. Kelemahan dalam sistem penggunaan lahan macam ini berpengaruh pada semua sistem (sosial, ekonomi, budaya, dan fisik) mengakibatkan pada ketidakjelasan arahan dan penataan sistem. Hal inilah yang realitas terjadi

pada kota-kota di Indonesia pada umumnya termasuk di Sumatera Utara. Sebagai contoh kasus, saat ini kita menjadi sulit dalam menentukan batasan kota dan desa. Kota dengan sistem ekonomi yang cepat bahkan cenderung individualistis, sedangkan desa menjunjung tinggi rasa kekeluargaan. Kota selalu menawarkan sistem yang praktis, kompleks, dan cepat, sedangkan desa cenderung lebih lambat dan sederhana. Dua hal yang kontradiktif ini sebenarnya mengandung makna bahwa lingkungan dan budaya masyarakat tercipta dari kondisi tata ruang yang sesuai. Pada tata ruang yang cenderung sederhana (desa) kondisi lingkungan akan semakin terjaga, akan tetapi pada tata ruang yang komplek dan cepat kondisi lingkungan menjadi terabaikan dan tergantikan oleh prinsip-prinsip ekonomi. Batasan inilah yang seharusnya ada dan jelas pada proses pengembangan wilayah. Pada kenyataannya, desa sekarang secara sporadis diminta untuk merubah sehingga menjadi kota. Hal ini mengandung implikasi semakin sulitnya lagi penataan ruang yang akan dilakukan, terlebih prinsip dasar penataan kota mengutamakan kepentingan ekonomi sesaat. Pada proses inilah seharusnya prinsip dasar dalam penentuan tata ruang dan penggunaan lahan diutamakan sehingga menjadi dasar pijakan arahan penggunaan lahan ke depan. Evaluasi lahan adalah salah satu prinsip dasar yang sering digunakan untuk menentukan penggunaan lahan. Evaluasi lahan pada kenyataanya, seringkali tidak menjadi salah satu bahan dalam penentuan perencanaan penggunaan lahan. Hal ini dapat terlihat dari semakin banyaknya lahan yang kurang produktif terjadi karena kesalahan pengelolaan lahan. Kelalaian ini sudah seharusnya menjadi perhatian kritis bagi kita, mengingat kebutuhan akan lahan semakin meningkat dan luas lahan dalam kondisi tetap. Hal inilah yang menjadi dasar bahwa setiap unit lahan seharusnya dapat berproduksi maksimal, sehingga turut menjadi magnet dalam pembangunan. Terlebih, saat ini kita melihat banyaknya lahan terlantar yang kurang terperhatikan. Dalam konteks inilah perencanaan evaluasi lahan sangat kuat kepentingannya. Menurut FAO (1985), perencanaan penggunaan lahan merupakan penilaian yang sistematik terhadap lahan untuk mendapatkan alternatif penggunaan lahan dan memperoleh opsi yang terbaik dalam memanfaatkan lahan agar terpenuhi kebutuhan manusia dengan tetap menjaga agar lahan tetap dapat digunakan pada masa yang akan datang. Dalam konteks ini, perencanaan penggunaan lahan akan sangat berarti jika pelaksanaannya

133


Inovasi Vol. 11 No. 2, Juni 2014: 123-139

memakai prinsip-prinsip dalam pembangunan berkelanjutan. Pembangunan berkelajutan merupakan rangkaian upaya dari pembangunan yang berlandaskan pada orientasi jangka panjang untuk kepentingan generasi sekarang dan akan datang. Oleh karena itu, upaya pembangunan berkalanjutan selalu mengedepankan lingkungan hidup. Berkaitan dengan penggunaan lahan, maka sudah selayaknya penentuan penggunaan lahan seharusnya dapat memberikan keuntungan sebanyak-banyaknya bagi kehidupan manusia, tanpa merugikan lingkungan hidup dan generasi yang akan datang. Meningkatnya kebutuhan akan tanah misalnya untuk berbagai kegiatan telah mendorong timbulnya upaya-upaya ekstensifikasi, intensifikasi maupun diversifikasi usaha guna memanfaatkan tanah secara lebih efektif dan efisien untuk berbagai bidang kegiatan baik dibidang pertanian maupun bidang-bidang non pertanian. Efisiensi pemanfaatan tanah, di sisi lain juga mendorong timbulnya kompetensi maupun konflik kepentingan antar pengguna tanah yang pada kenyataannya sering kali yang dirugikan adalah pihak-pihak ekonomi yang lemah. Kebutuhan akan tanah dari tahun ketahun semakin meningkat karena laju pertumbuhan penduduk yang pesat sedangkan luas tanah relatif tidak bertambah, maka dampak yang sering terjadi adalah persengketaan tanah. Untuk mengatasi hal tersebut perlu adanya pengendalian pertanahan yang harus mendapatkan penanganan khusus dari pemerintah agar ketertiban, kepastian, perlindungan hukum bagi pemegang hak atas tanah dapat terwujud (Mayasari, 2007). Di pihak lain, pembangunan yang dilaksanakan tidak secara terpadu antara satu sektor dengan sektor lainnya. Kondisi ini disebabkan izin pembangunan yang direkomendasikan Pemerintah Daerah sering tidak terpadu dengan peraturan daerah yang telah ditetapkan. Seperti daerah hijau (sebagai penyangga) diijinkan untuk daerah permukiman (Baiquni dan Susilawardani, 2002). Dengan demikian bahwa pola pengelolaan tata guna tanah (penatagunaan tanah) adalah merupakan proses penyesuaian terhadap kondisi penggunaan tanah pada saat ini untuk mewujudkan kondisi yang dikehendaki menurut Rencana Tata Ruang yang dalam hal ini adalah Rencana Tata Ruang Provinsi mapun Kabupaten/Kota. Atau dengan kata lain, apabila rencana tata ruang merupakan kondisi ideal yang akan dicapai, maka pengelolaan tata guna tanah (penatagunaan tanah) merupakan rangkaian proses untuk mewujudkan kondisi

ideal tersebut (Baiquni dan Susilawardani, 2002). Penggunaan lahan sebagai salah satu produk kegiatan manusia di permukaan bumi memang menunjukkan variasi yang sangat besar, baik di dalam kota besar, baik di dalam kota lokal maupun didalam kota regional. Pemahaman bentuk-bentuk penggunaan lahan yang mewarnai daerah terbangun, daerah peralihan kota-desa serta daerah pedesaan sendiri merupakan suatu hal yang prinsipil untuk melakukan diferensiasi struktur keruangannya (Howard, J. I996). Untuk membedakan jenis penggunaan lahan kekotaan dan penggunaan lahan kedesaan, pada umumnya keterkaitan jenis tersebut dengan lahan peranian menjadi fokus utamanya. Memang diakui bahwa sebahagian besar jenis penggunaan lahan pedesaan selalu berasosiasi dengan kegiatan pertanian, namun diakui pula bahwa ada lahan perkotaan yang digunakan untuk kegiatan-kegiatan pertanian dan ada pula lahan-lahan perdesaan yang berkaitan dengan kepentingan non pertanian (Yunus, 2005). Keberhasilan penataan ruang akan ditentukan oleh seberapa besar masyarakat dapat terlibat dalam kegiatan perencanaan, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang yang difasilitasi oleh pemerintah. Sebagai tahapan pertama dari penataan ruang, maka perencanaan memegang peran strategis dan vital untuk dapat menentukan keberhasilan pemanfaatan dan serta pengendalian pemanfaatan ruang yang efektif dan efisien. Perencanaan yang partisipatif memberikan peluang yang lebih besar untuk terciptanya pemanfaatan ruang yang terpadu dan sinergis, proses partisipatif dalam tahapan perencanaan tata ruang dengan peran dan kontribusi yang dapat dilakukan oleh para perencana (Andy, 2005). Sesuai UU No. 27 Tahun 2006 tentang Penataan Ruang, disiplin penataan ruang terdiri atas 3 (tiga) unsur utama, yakni : perencanaan tata ruang yang menghasilkan rencana tata ruang wilayah (RTRW), pemanfaatan ruang berupa rancangan program dan kebutuhan investasi untuk pelaksanaan pembangunan dan pengendalian pemanfaatan ruang untuk menjaga konsistensi pelaksanaan pembangunan supaya sesuai dengan rencana tata ruang. Ketiga unsur penataan ruang tersebut merupakan satu kesatuan yang utuh dan saling terkait dalam suatu siklus yang berlangsung secara terus-menerus, seiring dinamika kehidupan masyarakat. Perencanaan menyeluruh dan integral merupakan sauatu rencana tata guna lahan hanya merupakan fungsional dari suatu proses

134


Evaluasi Tata Guna Lahan di Sumatera Utara (Anton Parlindungan Sinaga)

menyeluruh. Namun deikian perencanaan tata ruang kota mesti dilengkapi dengan unsur-unsur fungsional dan hasil-hasil penelitian yang mendukung. Seperti salah satu contoh yang dikemukakan oleh Andy (2005) pengembangan lahan pemerintahan daerah negara bagian Florida menyusun serta mensahkan rencana menyeluruh yang mencakup unsur-unsur sebagai berikut : perbaikan modal, rencana tata guna lahan untuk masa depan, sirkulasi lalu lintas, saluran pembangunan limbah, pelestarian alam, rekreasi dan ruangan terbuka, perumahan, pengolahan daerah pantai, serta koordinasi antar instansi pemerintah. Untuk dapat mengatasi berbagai permasalahan antara kepentingan pemerintah dan masyarakat yang berkaitan dengan RUTRW sebagai suatu model dalam penggunaan dan pemanfaatan tanah modern adalah suatu model yang mengatur semua bentuk pertanahan sesuai dengan RUTRW yang berlaku dari penataan tanah yang tidak teratur menjadi lebih teratur. Perkembangan dan pertumbuhan wilayah secara spesifik tercermin dari perubahanperubahan fisik wilayah, yaitu sebagai akibat dari semakin meningkatnya kebutuhan akan perumahan, fasilitas sosial dan fasilitas umum, fasilitas ekonomi, fasilitas transportasi, fasilitas komunikasi, serta meningkatnya hubungan fungsional dengan wilayah atau daerah lainnya. Pada umumnya penyimpangan terhadap rencana tata ruang kota justru berawal dari kebijaksanaan pemerintah. Hal ini berarti pemerintah daerah sebagai penanggung jawab rencana tata ruang wilayah dirasa kurang konsekuen dalam melaksanakan pembangunan daerah. Sebagai penyebab utama kurang efektifnya rencana tata ruang wialyah (dengan indikator adanya berbagai penyimpangan) adalah selain kurang adanya koordinasi antar dinas/instansi juga kurang dilibatkannya unsur masyarakat, sehingga aspirasi masyarakat kurang terakomodasikan di dalam rencana tata ruang wilayah. Perubahan jumlah manusia dan bentuk kegiatannya akan mengakibatkan perubahan dalam penggunaan lahan dan selanjutnya akan menyebabkan perubahan dalam kualitas lingkungan. Perubahan lingkungan ini sering merupakan akibat pemanfaatan sumberdaya alam sudah melampaui daya dukung lingkungan. Dampak yang sering terlihat adalah bertambahnya lahan kritis, meningkatnya erosi tanah dan sedimentasi serta terjadinya banjir pada musim hujan dan kekeringan pada musim kemarau. Perubahan penggunaan lahan ini dalam jangka pendek terlihat rasional secara ekonomis karena banyak nilai dan manfaat langsung yang diperoleh tetapi pada sisi lain

banyak manfaat dari perlindungan lingkungan dengan adanya kawasan lindung/berhutan yang tidak dihitung dalam pengambilan kebijakan untuk merubah penggunaan lahan (Crook dan Clapp, 1988). Hal ini memberikan gambaran bahwa keinginan manusia untuk memperbaiki kehidupan ekonomi tidak berarti manusia boleh mengorbankan kelestarian lingkungan. Proses perubahan penggunaan lahan ini selain menghasilkan manfaat yang dapat dinikmati oleh masyarakat juga tidak lepas dari resiko terjadinya kerusakan lahan akibat erosi, pencemaran lingkungan, banjir dan lainnya. Erosi yang tinggi dan banjir pada musim penghujan tidak hanya menimbulkan dampak negatif pada aspek bio-fisik sumberdaya alam dan lingkungan tetapi juga berdampak pada aspek sosial ekonomi masyarakat. Erosi dan banjir dapat menurunkan kualitas dan kuantitas sumberdaya alam. Produksi pertanian, perikanan dan penggunaan sumberdaya alam yang berkaitan dengan air akan menurun. Upaya pencegahan banjir dan sedimentasi dapat dilakukan dengan perbaikan pola penggunaan lahan dan melakukan usaha konservasi tanah dan air. Upaya ini umumnya masih dilakukan parsial terutama karena aktivitas ini masih dihitung sebagai biaya sosial dan bukan sebagai aktivitas ekonomi yang menguntungkan. Untuk itu perlu dikembangkan evaluasi pola penggunaan lahan yang dapat mengurangi erosi, banjir tetapi secara ekonomi menguntungkan. Evaluasi ini harus juga mengukur nilai ekonomi dari manfaat atau kerugian lingkungan yang terjadi baik langsung maupun tidak langsung. Penggunaan lahan dapat memberikan kesejahteraan bagi masyarakat bila pembangunan yang dilakukan di atasnya selaras dengan lingkungan. Dari segi pertanian, penggunaan lahan sebaiknya sesuai dengan daya dukung dan kelas kemampuan lahan. Hal ni dapat dikembangkan dalam perencanaan penggunaan lahan atau alokasi lahan. Pemanfaatan lahan yang mengabaikan tingkat kemampuan atau kesuburan lahan akan menyebabkan lahan rusak. Lahan yang rusak ini akan menurunkan produktivitas lahan, meningkatkan biaya sosial baik in-situ maupun lingkungan sekitarnya. Kriteria penggunaan lahan yang baik adalah alokasi lahan sesuai dengan kemampuannya, fluktuasi debit di sungai kecil, erosi dan sedimentasi rendah, produktivitas lahan optimal dan lestari serta memberikan kesejahteraan bagi masyarakat. Perubahan penggunaan lahan merupakan proses dinamis sesuai dengan perubahan jumlah dan kebutuhan masyarakat. Akan tetapi saat ini perubahan penggunaan lahan umumnya terjadi sebagai akibat dari kebutuhan yang mendesak,

135


Inovasi Vol. 11 No. 2, Juni 2014: 123-139

seperti kebutuhan akan pemenuhan pangan. Jika proses ini terjadi dalam waktu lama maka akan terjadi kerusakan lingkungan. Sebaliknya perubahan penggunaan lahan ini dapat dilihat rasional secara ekonomis karena ada nilai atau manfaat dari penggunaan lahan tersebut. Upaya pengelolaan lingkungan lewat penataan penggunaan lahan yang baik dan terencana diharapkan dapat mengatasi permasalahan tersebut. Perencanaan dan penataan penggunaan lahan membutuhkan dana. Hal ini menjadi kendala karena seringkali manfaat yang dihasilkan secara langsung tidak sebanding dengan biaya yang dibutuhkan untuk penataan, terutama akibat nilai manfaat lingkungan yang diyakini besar tetapi tidak terkuantifikasi. Akhir-akhir ini, sejalan dengan meningkatnya taraf hidup dan terbukanya kesempatan untuk menciptakan peluang kerja yang ditandai oleh banyaknya investor ataupun masyarakat dan pemerintah dalam melakukan pembangunan, semakin meningkat kebutuhan akan lahan. Peningkatan kebutuhan lahan didorong oleh peningkatan jumlah penduduk, sementara ketersediaan dan luas lahan bersifat tetap. Hal ini mengakibatkan terjadinya realokasi penggunaan lahan dari aktivitas yang kurang menguntungkan pada aktivitas yang lebih menguntungkan. Aktivitas yang selalu terancam terutama adalah aktivitas pertanian yang dinilai kurang menguntungkan dibanding aktivitas ekonomi lainnya. Korban ekonomi dan sosial alih fungsi lahan pertanian di nilai sangat besar mengingat tingginya biaya investasi dan lamanya waktu yang dibutuhkan sejak awal waktu pembentukkan sawah sampai terbentuknya lahan sawah dengan tingkat produktivitas yang cukup tinggi. Beban alih fungsi lahan bagi pembangunan pertanian dirasa semakin berat karena menyangkut pemanfaatan lahan pertanian produktif serta terjadi di daerah dengan aksesibilitas fisik dan ekonomi yang baik. Alih fungsi lahan pertanian telah menjadi isu global tidak hanya di negara berkembang yang masih bertumpu pada sektor pertanian, namun juga di negara maju untuk menghindari ketergantungan terhadap impor produk pertanian. Dalam prosesnya, alih fungsi lahan pertanian senantiasa berkaitan erat dengan ekspansi atau perluasan kawasan perkotaan dan perdesaan. Beberapa hal yang menjadi permasalahan sektor pertanian terkait dengan pertanahan di Sumatera Utara adalah terbatasnya sumber daya tanah yang cocok untuk kegiatan pertanian, sempitnya tanah pertanian per kapita (900 m2/kapita), makin banyaknya petani gurem (lebih dari 0,5 Ha per keluarga), tidak amannya status penguasaan tanah (land tenure), dan

cepatnya konversi tanah pertanian menjadi nonpertanian. Selain itu, faktor penyebab alih fungsi tanah pertanian adalah peningkatan jumlah penduduk dan taraf kehidupan, lokasi tanah pertanian banyak diminati untuk kegiatan nonpertanian, menurunnya nilai ekonomi sektor pertanian, fragmentasi tanah pertanian, kepentingan pembangunan wilayah yang seringkali mengorbankan sektor pertanian, dan lemahnya peraturan dan penegakan hukum. Lebih lanjut lagi, masalah pengelolaan pertanahan dalam pengendalian alih fungsi tanah pertanian adalah belum adanya peraturan perundangan yang secara khusus mencegah alih fungsi tanah pertanian. Untuk itu diperlukan penetapan tanah pertanian yang dilindungi. Saat ini, proses administrasi pertanahan untuk tanah pertanian mengacu pada arahan peruntukan dalam RTRW, dengan memberikan persyaratan penggunaan dan pemanfaatan tanah sebagaimana PP No. 16/2004 tentang Penatagunaan Tanah. Dalam upaya pengendalian dan perlindungan tanah pertanian di Sumatera Utara, terdapat beberapa strategi, yaitu : Pertama, memperkecil peluang terjadinya konversi, dengan : (1) mengembangkan pajak tanah progresif, (2) meningkatkan efisiensi kebutuhan tanah nonpertanian sehingga mengurangi tanah terlantar, (3) mengembangkan prinsip hemat lahan untuk industri, perumahan dan perdagangan (misalnya rusun). Kedua, mengendalikan kegiatan konversi dengan : (1) membatasi konversi tanah pertanian yang produktif, menyerap tenaga kerja dan memiliki fungsi lingkungan, (2) mengarahkan konversi pada tanah kurang produktif, (3) membatasi luas konversi dengan mengacu pada penyediaan pangan mandiri di kabupaten/kota, (4) menetapkan kawasan pangan berkelanjutan dengan insentif bagi pemilik tanah dan pemerintah daerah setempat. Ketiga, dengan instrumen pengendalian konversi yaitu: (1) instrumen yuridis berupa peraturan perundang-undangan yang mengikat dengan sanksi yang sesuai, (2) instrumen insentif dan disinsentif bagi pemilik tanah dan pemda setempat, (3) pengalokasian dana dekonsentrasi untuk merangsang pemda melindungi tanah pertanian terutama sawah, dan (4) instrumen RTRW dan perizinan lokasi (Pertimbangan Teknis Pertanahan). Berdasarkan strategi di atas, terdapat kebijakan prioritas pengendalian konversi yang dapat dilakukan di Sumatera Utara, yaitu : (1) menyusun peraturan perundang-undangan perlindungan tanah pertanian produktif (PP, Perpres maupun UU), (2) menetapkan zonasi tanah-tanah pertanian berkelanjutan, (3)

136


Evaluasi Tata Guna Lahan di Sumatera Utara (Anton Parlindungan Sinaga)

menetapkan bentuk insentif dan disinsentif terhadap pemilik tanah dan pemerintan daerah setempat, (4) mengintegrasikan ketiga ketentuan tersebut dalam RTRW Nasional, provinsi dan kabupaten/ kota, (5) membentuk Komisi Pengendali Tanah Sawah tingkat nasional, provinsi dan kabupaten/kota, dengan keputusan pada kepala daerah yang bersangkutan. Pengendalian alih fungsi tanah pertanian secara sistematis, berjenjang dan berkelanjutan perlu menjadi perhatian semua pihak. Adapun strategi pengendalian alih fungsi tanah pertanian antara lain penetapan peraturan perundang-undangan tentang pengendalian tanah pertanian produktif, penetapan zonasi perlindungan tanah pertanian abadi berikut kebijakan pengelolaannya dan implementasi peraturan dan zonasi perlindungan tanah pertanian dalam RTRW Nasional, Provinsi dan Kabupaten/Kota, sebagai acuan pengarahan lokasi pembangunan, perizinan dan administrasi pertanahan. Upaya pengendalian lainnya yang sesuai diterapkan di Sumatera Utara adalah seperti yang diuraikan oleh Muhammad Iqbal dan Sumaryanto (2007:174-176) yaitu pengendalian alih fungsi lahan pertanian dengan mewujudkan suatu kebijakan alternatif. Kebijakan alternatif tersebut diharapkan mampu memecahkan kebuntuan pengendalian alih fungsi lahan sebelumnya. Adapun komponennya antara lain instrumen hukum dan ekonomi, zonasi, dan inisiatif masyarakat. Instrumen hukum meliputi penerapan perundang-undangan dan peraturan yang mengatur mekanisme alih fungsi lahan. Sementara itu, instrumen ekonomi mencangkup insentif, disinsentif, dan kompensasi. Kebijakan pemberian insentif diberikan kepada pihakpihak yang mempertahankan lahan dari alih fungsi. Pola pemberian insentif ini antara lain dalam bentuk keringanan pajak bumi dan bangunan (PBB) serta kemudahan sarana produksi pertanian. Sebaliknya, disinsentif diberikan kepada pihak-pihak yang melakukan alih fungsi lahan yang implementasinya berlawanan dengan perundang-undangan dan peraturan yang berlaku. Sementara itu, kompensasi ditujukan untuk pihak-pihak yang dirugikan akibat alih fungsi lahan untuk kegiatan pembangunan, atau yang mencegah terjadinya alih fungsi demi kelestarian lahan sebagai sumber produksi pertanian (pangan). Kebijakan zonasi berhubungan dengan ketatalaksanaan tata ruang wilayah melalui pengelompokan (cluster) lahan menjadi tiga kategori zona pengendalian, yaitu lahan yang dilindungi (tidak boleh dialihfungsikan), alih fungsi terbatas, dan boleh dialihfungsikan.

Zonasi diatur berdasarkan kriteria klasifikasi irigasi, intensitas tanam, dan produktivitas lahan sawah. Kriteria irigasi dibedakan atas lahan sawah beririgasi dan non irigasi (Jamal, E. 2001). Menurut pendapat Ir. Rija Sudirja, M.S. dalam Isa I. (2011), adapun alasan petani mnjual lahannya antara lain karena : pertama, melihat kondisi sawah yang tanahnya tidak bisa diharapkan untuk berproduksi optimal; kedua, harga tanah di sekitar lokasi meningkat pesat; ketiga, kebutuhan ekonomi yang tidak bisa dihindari, misalnya makan, sekolah, dan lainlain. Pengalihfungsian tanah pertanian itu sendiri tidak harus dilakukan dengan menjualnya kepada pihak lain lebih dulu, tetapi juga dapat dilakukan oleh pemilik tanah pertanian itu sendiri. Misalnya di Jawa Barat, sawah dengan sistem irigasi tehnis dikeringkan lebih dulu agar terkesan tidak produktif untuk pertanian (seperti tegalan), baru kemudian difungsikan untuk tanah non pertanian. Pemerintah sayangnya tidak banyak memberi perhatian pada permasalahan ini, dalam arti tindakan preventif. Pada kasus impor beras misalnya, Pemerintah menanggapi minimnya stok beras dengan suatu kebijakan yang pragmatis dan insidental. Bukan lebih menitikberatkan pada kebijakan subsidi pupuk dan peralatan pertanian lainnya untuk meningkatkan produktivitas pertanian itu sendiri, atau dengan pemaksimalan sumbersumber produksi di daerah-daerah yang produktif/subur, atau pendistribusian yang merata antar daerah, atau bahkan dengan infrastruktur pertanian yang tepat, atau kebijakan nasional lainnya yang dilakukan secara internal (bukan melibatkan faktor eksternal dengan mengimpor beras dari luar negeri). Dalam konteks otonomi daerah dimana kewenangan pertanahan termasuk tentang penatagunaan tanah juga menjadi kewenangan masing-masing daerah yang seharusnya kebijakan mengenai penatagunaan tanah akan benar-benar dapat meliputi kepentingan daerah secara tepat dan menjadi lebih terkontrol, ternyata banyak pula yang kemudian menambah jumlah konversi tanah pertanian. Apalagi jika pemerintah daerah lebih berorientasi pembangunan ekonomi yang menitik beratkan pada usaha-usaha non pertanian sehingga komitmen pemerintah dan pemerintah daerah memang sangat penting dalam hal ini. Bukan hanya membuat peraturan yang melarang pengalihfungsian tanah pertanian menjadi nonpertanian, tetapi kebijakan antisipatif yang berpihak pada pertanian, dan segala kebijakan yang terkait dengan pertanian, harus mendapat

137


Inovasi Vol. 11 No. 2, Juni 2014: 123-139

perhatian utama. Contoh, subsidi atau minimal perbaikan manajemen dan distribusi pupuk dan sarana pertanian lainnya, pengendalian harga dan stok beras nasional, pembangunan infrastruktur pertanian yang tepat, dan kebijakan lainnya. Akan halnya dengan tanah pertanian abadi yang direncanakan oleh pemerintah, haruslah dengan perencanaan dan pengelolaan yang tepat. Jika dikelola oleh negara (pemerintah), swasta atau pun diredistribusikan kepada rakyat, maka pengawasan terhadap pemanfaatan tanah pertanian tersebut harus benar-benar dilakukan secara jelas dan tegas sehingga tidak dimungkinkan perubahan fungsi menjadi tanah non pertanian. Menjadi hal penting adalah untuk tidak sekedar membuat peraturan-peraturan yang penegakannya harus didukung oleh seluruh kalangan terutama dari pemerintah sendiri sebagai pembuat kebijakan, pemberi izin, sekaligus pelaksana dari penatagunaan tanah. Pengaturan oleh pemerintah daerah seharusnya menjadi lebih efektif dan diharapkan dapat menjadikan penatagunaan tanah tersebut benarbenar tepat. Bukan justru menjadikan penatagunaan tanah yang mengeksploitasi sumber daya alam demi kepentingan ekonomi semata yang pragmatis.

Prosentase luas hutan terhadap luas wilayah Provinsi Sumatera Utara selama kurang lebih satu dekade terakhir terus mengalami penurunan yang secara berturut-turut pada tahun 2000, 2003, 2006, 2009 dan 2011 adalah 29,11%, 28,94%, 28,16%, 26,47% dan 26,47%. Kecenderungan yang terus menurun ini mengindikasikan bahwa pembangunan yang dilakukan di Sumatera Utara masih belum mengacu kepada pembangunan yang berkelanjutan sebagaimana yang diamanatkan UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dan UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang dengan luas minimal hutan atau ruang terbuka hijau yang mencapai sebesar 30%. Beberapa strategi yang harus dilakukan dalam tata guna lahan pertanian di Sumatera Utara, yaitu : Pertama, memperkecil peluang terjadinya konversi, dengan : (1) mengembangkan pajak tanah progresif, (2) meningkatkan efisiensi kebutuhan tanah nonpertanian sehingga mengurangi tanah terlantar, (3) mengembangkan prinsip hemat lahan untuk industri, perumahan dan perdagangan (misalnya rusun). Kedua, mengendalikan kegiatan konversi dengan : (1) membatasi konversi tanah pertanian yang produktif, menyerap tenaga kerja dan memiliki fungsi lingkungan, (2) mengarahkan konversi pada tanah kurang produktif , (3) membatasi luas konversi dengan mengacu pada penyediaan pangan mandiri di kabupaten/kota, (4) menetapkan kawasan pangan berkelanjutan dengan insentif bagi pemilik tanah dan pemerintah daerah setempat. Ketiga, dengan instrumen pengendalian konversi yaitu : (1) instrumen yuridis berupa peraturan perundangundangan berupa Peraturan Daerah Kabupaten/Kota yang mengikat dengan sanksi yang sesuai, (2) instrumen insentif dan disinsentif bagi pemilik tanah oleh pemda setempat, (3) pengalokasian dana dekonsentrasi untuk merangsang pemda melindungi tanah pertanian terutama sawah, dan (4) instrumen RTRW dan perizinan lokasi.

KESIMPULAN Berdasarkan uraian di atas, maka beberapa kesimpulan yang dapat diperoleh dalam penelitian ini, antara lain adalah : Dinamika perubahan tutupan lahan di Sumatera Utara selama kurang lebih satu dekade terakhir menunjukkan bahwa antara tahun 2000 sampai tahun 2011 telah terjadi penurunan luas hutan sebesar 188.451 ha, pertanian lahan kering menurun seluas 190.555 ha, semak belukar mengalami penurunan luas 5.813 ha dan rawa yang mengalami penurunan sebesar 1900 ha. Sebaliknya tutupan lahan yang mengalami peningkatan luasan adalah perkebunan meningkat sebesar 190.555 ha, lahan terbuka meningkat sebesar 39.689 ha dan sawah meningkat luasannya sebesar 47.047 ha. Secara agregat terjadi peningkatan luas sawah dan areal pertanian lahan kering di Sumatera Utara, namun di beberapa kabupaten terjadi konversi sawah dan areal pertanian lahan kering menjadi areal non pertanian yang cukup signifikan. Kegiatan pertanian baik pada lahan perkebunan maupun pertanian lahan kering sebagian besar tidak menerapkan teknik konservasi tanah dan air, hal ini akan berdampak pada degradasi lahan pertanian itu sendiri maupun berdampak pada wilayah lainnya terutama pada hilir DAS.

REKOMENDASI Berdasarkan kesimpulan di atas beberapa Rekomendasi kebijakan yang dapat diusulkan adalah sebagai berikut: 1. Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota di Sumatera Utara, perlu menerapkan kebijakan penatagunaan lahan pertanian khususnya pencegahan dan pengendalian konversi lahan pertanian menjadi nonpertanian secara tepat dan tegas dengan melibatkan berbagai aspek dalam dimensi ekonomi, sosial budaya, hukum, dan politik di daerah, hal ini dikarenakan dampak kerugian

138


Evaluasi Tata Guna Lahan di Sumatera Utara (Anton Parlindungan Sinaga)

ekonomi yang ditimbulkannya dapat menghambat ketahanan pangan di daerah. 2. Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota di Sumatera Utara, perlu menerapkan peraturan yang tegas untuk pencegahan dan pengendalian konversi lahan pertanian yang didukung oleh keakuratan pemetaan dan pendataan penggunaan lahan yang dilengkapi dengan teknologi yang memadai seperti sistem informasi geografis (SIG) yang databasenya daftar dimutakhir secara berkala. 3. Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota di Sumatera Utara, perlu melakukan sosialisasi mengenai perundang-undangan tentang alih fungsi lahan pertanian dan penindakan secara tegas terhadap pelanggaran, mengingat alih fungsi lahan pertanian berdampak pada stabilitas daerah dikarenakan pengadaan pangan sifatnya sangat vital. 4. Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota di Sumatera Utara, perlu mengendalikan kawasan budidaya produktif dengan menerapkan mekanisme disinsentif secara ketat, sedangkan untuk pengembangan kawasan budidaya nonproduktif didorong dengan menerapkan mekanisme insentif. Untuk melaksanakan amanat UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dan UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang guna untuk mencapai luas minimal hutan atau ruang terbuka hijau sebesar 30% dalam upaya melaksanakan pembangunan yang berkelanjutan di daerah, Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota di Sumatera Utara perlu melakukan berbagai upaya pencegahan deforestasi dan degradasi hutan dengan melakukan rehabilitasi hutan. Untuk mengendalikan alih fungsi pertanian di Sumatera Utara, Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota di Sumatera Utara harus melakukan upaya-upaya, antara lain : (a) Perbaikan sarana dan prasarana penunjang usaha pertanian, seperti perbaikan sarana irigasi, penyediaan bibit unggul, pupuk dengan harga yang terjangkau oleh petani; (b) Penyuluhan pertanian, terutama tentang akibat alih fungsi tanah pertanian bagi ketahanan pangan nasional, terutama bahaya sosial bagi petani yang mengalih fungsikan tanah pertaniannya ke sektor non pertanian; (c) Pemberian insentif bagi petani, berupa kemudahan kredit untuk usaha tani, bantuan penunjang usaha tani, pemberian keringanan pajak; (d) Meningkatkan koordinasi antara dinas terkait dengan melibatkan DPRD, masyarakat dan pihak swasta selaku investor; (e) Pemberian sanksi yang tegas

terhadap pelanggar Rencana Tata Ruang Wilayah, terutama pengalihan lahan pertanian yang kemudian diselewengkan untuk peruntukan nonpertanian; (f) Pelibatan masyarakat dalam penataan ruang; (g) Penyediaan lahan pertanian abadi, mengingat perebutan pemanfaatan tanah antara sektor pertanian dan sektor nonpertanian semakin tajam, dalam hal ini pihak yang seringkali dirugikan dan dikalahkan adalah petani. DAFTAR PUSTAKA Isa, I. 2011. Strategi Pengendalian Alih Fungsi Tanah Pertanian. Makalah Pada Seminar Multifungsi (Multifunctionality of Agriculture). Bogor, 27-28 Juni 2006. Balai Besar Sumberdaya Lahan, Balitbang Pertanian RI. Hartono, Dulbahri, Suharyadi, Danoedoro P, Jatmiko RH., 1996. Penginderaan Jauh Untuk Sumberdaya Hutan: Teori dan Aplikasi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Howard, J. I996. Penginderaan Jauh Untuk Sumberdaya Hutan : Teori dan Aplikasi. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Jamal, E. 2001. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pembentukan Harga Lahan Sawah Pada Proses Alih Fungsi Lahan ke Penggunaan Non Pertanian: Studi Kasus di Beberapa Desa, Kabupaten Karawang, Jawa Barat. Jurnal Agro Ekonomi, Volume 9 Nomor 1:45-63. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian. Peraturan Pemerintah No. 16 Tahun 2004 tentang Penatagunaan Tanah Sumaryanto. 2010. Faktor-Faktor Sosial Ekonomi Yang Mempengaruhi Keputusan Petani Menjual Lahan. Informatika Pertanian Volume 19 No. 2, 2010. Sutanto, 1994a. Penginderaan Jauh Jilid Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

1.

Sutanto, 1994b. Penginderaan Jauh Jilid Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

2.

UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Watts, DC. 2001. Land Cover Mapping by Combinations of Multiple Artificial Neural Networks Calgary: Department of Geomatics Engineering, The University of Calgary

139


Inovasi Vol. 11 No. 2 Juni 2014: 140-149

Hasil Penelitian TINGKAT PERBURUAN, PENGETAHUAN MASYARAKAT DAN KEBIJAKAN PERLINDUNGAN TRENGGILING (Manis javanica Desmarest, 1822) DI SEKITAR HUTAN KONSERVASI

(THE HUNTING LEVEL, COMMUNITY KNOWLEDGE AND (MANIS IS JAVANICA DESMAREST, SUNDA PANGOLIN (MAN DESMAREST, 1822) AROUND OUND THE CONSERVATION FOREST)) PROTECTION POLICY AR CONSERVATION FOREST Wanda Kuswanda Balai Penelitian Kehutanan Aek Nauli Jl. Raya Sibaganding Km. 10,5 Parapat Sumatera Utara 21174 Telp. (0625) 41653 Email: wkuswan@yahoo.com Diterima: 10 Februari 2014; Direvisi: 28 Februari 2014; Disetujui: 28 Maret 2014

ABSTRAK Perburuan trenggiling (Manis javanica Desmarest, 1822) terus meningkat karena dapat dimanfaatkan sebagai makanan, bahan baku kosmetik, hiasan, dan obat analgetik. Saat ini, trenggiling telah diklasifikasikan sebagai satwa yang dilindungi dan terancam punah (endangered). Tulisan ini akan memberikan informasi mengenai tingkat perburuan, pengetahuan masyarakat dan strategi kebijakan dalam mengembangkan perlindungan trenggiling, khususnya di sekitar hutan konservasi di Sumatera Utara. Penelitian dilakukan pada desa-desa di sekitar Suaka Margasatwa Siranggas (Kabupaten Pakpak Bharat), Suaka Margasatwa Barumun (Kabupaten Padang Lawas) dan Cagar Alam Sibual-buali (Kabupaten Tapanuli Selatan), selama enam bulan, mulai Mei sampai Oktober 2013. Pengumpulan data dilakukan melalui penyebaran kuisioner dan wawancara. Analisis data menggunakan tabel frekuensi dan analisis deskriptif. Masyarakat di sekitar hutan konservasi sekitar 79,9% bekerja sebagai petani dengan pendapatan di bawah Rp. 2.000.000,- per bulan (88,1%). Tingkat perburuan masih cukup tinggi dan umumnya pemburu menggunakan bantuan anjing untuk mendeteksi keberadaan trenggiling di dalam lubang. Model perburuan trenggiling dilakukan secara sengaja (pemburu membuat perencanaan dan menginap di dalam hutan secara berkelompok) dan tidak di sengaja (menemukan di kebun atau sekitar pemukiman). Trenggiling yang tertangkap oleh 52,7% responden mengaku dijual dan sisanya dikonsumsi untuk obat. Sebanyak 84,5% responden berharap pemerintah melindungi habitat trenggiling, seperti pada hutan konservasi dan hutan lindung. Rekomendasi kebijakan untuk mengembangkan konservasi trenggiling di tingkat Propinsi Sumatera Utara diantaranya: 1) menyusun regulasi tentang konservasi satwaliar lingkup propinsi dan kabupaten; 2) menjaga kelestarian hutan lindung melalui penataan ulang batas kawasan, pengamanan intensif oleh petugas maupun pengamanan mandiri oleh masyarakat; 3) mencegah meningkatnya perburuan trenggiling melalui penegakan hukum terhadap pemburu, penadah maupun oknum aparat; 4) penguatan kelembagaan dan sumberdaya manusia dalam pengelolaan hutan dan konservasi satwa; dan 5) pengembangan ekonomi alternatif bagi masyarakat yang tinggal di sekitar habitat trenggiling melalui usaha budidaya lebah madu, peternakan dan perikanan. Kata kunci : konservasi, trenggiling, perburuan, masyarakat, Tapanuli

ABSTRACT The hunting of Sunda Pangolin has been continuously rising because used as food, cosmetic materials, decoration as well as analgesics. Currently, the Sunda pangolin has been classified as a protected and endangered species. The article will inform the hunt level, the community

140


Tingkat Perburuan, Pengetahuan Masyarakat dan Kebijakan Perlindungan Trenggiling (Manis Javanica Desmarest, 1822) di Sekitar Hutan Konservasi (Wanda Kuswanda) knowledge and policy strategies in developing Sunda Pangolins protection around forest conservation in North Sumatra. The study was conducted in the villages surrounding Siranggas Game Reserve (Pakpak Bharat Regency), Barumun Game Reserve (Padang Lawas) and Sibualbuali Nature Reserve (South Tapanuli), during 6(six) months, from May to October 2013. Data was collected by using questionnaires and interviews. Analysis of data are applying frequency tables and descriptive. Communities around the conservation forest about 79,9 % respondents have working as farmers with incomes below IDR 2,000,000,- per month (88,1 %). The poaching level is very high and generally hunters use dogs to help pangolin detect in the nest/hole. Model of the pangolin hunting is done deliberately (the hunters make plans and stay in the forests in groups between 1 – 3 days) and accidental (they are finding in the garden or around the settlement). Pangolin is caught by 52.7% of respondents claimed to be sold and consumed especially for medicines. A total of 84.5% respondents expect the government to protect the their habitat, such as in the conservation and protection forests. Policy recommendations to develop the pangolins conservation in North Sumatra include : 1) the making up regulations on the province and district scopes about wildlife conservation; 2) to keep protection forest by restructuring of boundary, intensive patrol and independent control by the communities, 3) preventing is the pangolin hunting through law enforcement to hunters, buyer as well as in discipliner apparatus, 4) the reinforcement of human resources and institutional are the forest management and wildlife conservation and 5) to develop economic alternative to the people who live around the pangolin habitat through honey cultivation, livestock as well as fishery. Keywords : conservation, Sunda pangolin, hunting, community, Tapanuli

untuk membuat obat analgetik/mengurangi rasa sakit, terutama pasca operasi. Populasi trenggiling saat ini sebagian besar hanya tersisa pada hutan konservasi karena pada lahan masyarakat hampir habis akibat diburu (Kuswanda et al., 2012). Namun, informasi mengenai tingkat perburuan trenggiling yang dilakukan oleh masyarakat sampai saat ini masih sangat kurang, apalagi yang disajikan secara ilmiah. Begitu pula informasi sejauh mana pengetahuan masyarakat terhadap konservasi trenggiling belum tersedia. Padahal informasi tingkat perburuan dan pengetahuan masyarakat sangat penting diketahuai untuk mengembangkan kebijakan dalam pelestarian trenggiling, khususnya di sekitar hutan konservasi. Menurut Departemen Kehutanan (1999), hutan konservasi adalah kawasan hutan dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya, yang terdiri dari kawasan hutan suaka alam, kawasan hutan pelestarian alam dan taman buru. Melihat manfaat trenggiling yang tinggi maka upaya konservasinya harus menjadi prioritas pada berbagai kelembagaan terkait, baik secara in-situ (pada habitat alaminya) maupun pengembangan secara eks-situ, untuk mencegah kepunahan dan memenuhi kebutuhan konsumsi trenggiling. Untuk itu, penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan informasi mengenai tingkat perburuan, pengetahuan masyarakat dan strategi kebijakan dalam mengembangkan konservasi trenggiling, khususnya di dan sekitar hutan konservasi di Sumatera Utara. Hasilnya diharapkan dapat menjadi bahan acuan penyusunan kebijakan

PENDAHULUAN Trenggiling (Manis javanica Desmarest, 1822) telah diklasifikasikan sebagai satwa yang dilindungi (Departemen Kehutanan, 1999). Menurut IUCN Red List of Threatened Species (2008), status konservasi saat ini sudah termasuk endangered (terancam punah). Daftar Lampiran CITES (Convention on International Trade in Endangered Species) tahun 2009 menggolongkan trenggiling ke dalam Appendix II yang berarti dilarang diperdagangkan kecuali dengan aturan kuota tertentu dan pengekspor harus mendapat ijin dari Negara terkait. Namun, perburuan trenggiling dalam lima tahun terakhir meningkat cepat seiring permintaan di pasar lokal maupun internasional makin tinggi. Lee (2012) pada harian Kompas menuliskan bahwa sering terjadi penangkapan dan penyelundupan trenggiling yang jumlahnya mencapai ratusan ekor yang akan di eksport secara illegal. Trenggiling merupakan satwa nocturnal atau satwa yang melakukan aktivitas pada malam hari. Pada siang hari, trenggiling tidur pada lubang-lubang di permukaan tanah atau pada cabang dan batang di atas pohon. Trenggiling diketahui sangat kuat dalam menggali lubang di tanah dengan menggunakan cakar kakinya, terutama untuk mendapatkan semut dan rayap dengan menggunakan indera penciumannya (Yang et al., 2003; Lim & Ng, 2008). Trenggiling merupakan salah satu satwa yang dipercaya dapat menjadi makanan, obat, bahan baku kosmetik dan hiasan, khususnya bagian sisik dan dagingnya (Bain and Humphrey, 1982; Hertanto, 2010; Hassan et al., 2013). Menurut Amri (2010), daging trenggiling dapat dijadikan sop dan sisiknya mengandung zat aktif Tramadol HCl, merupakan partikel pengikat 141


Inovasi Vol. 11 No. 2 Juni 2014: 140-149

perburuan, seperti aktivitas pembukaan lahan, penggunaan bahan kimia dan bentuk ancaman lainnya, baik di dalam maupun di sekitar kawasan jual. Pengamatan secara deskriptif dan konservasi. Hasil isian kuisioner masyarakat untuk mengetahui karakteristik masyarakat, model perburuan dan tingkat ancaman terhadap populasi trenggiling ditabulasi dengan menggunakan tabel frekuensi. Tabel frekuensi digunakan untuk menganalisis persentase hasil isian kuisioner dengan tahapan editing data, pengklasifikasian data, menghitung frekuensi, dan menyusun tabel frekuensi yang memuat jumlah dan persentase frekuensi (Supangat, 2008). Analisis secara deskriptif dilakukan pula terhadap hasil pengamatan dan berbagai peraturan terkait untuk mengembangkan strategi kebijakan dalam upaya konservasi trenggiling, khususnya di sekitar hutan konservasi di Sumatera Utara.

dalam mengembangkan konservasi trenggiling, bagi Kementerian Kehutanan, pemerintah daerah di Provinsi Sumatera Utara, LSM di bidang konservasi dan pihak-pihak lainnya yang bergerak dalam program pelestarian hutan dan konservasi satwaliar. METODE Penelitian ini dilakukan pada desa-desa yang berada di sekitar hutan konservasi yang masih merupakan habitat trenggiling di Sumatera Utara (Balai Besar KSDA Sumut, 2011). Waktu penelitian dilaksanakan sekitar enam bulan, mulai Mei sampai Oktober 2013. Sebaran desa yang menjadi lokasi penelitian meliputi: 1) Desa Batu Nanggar yang berada di sekitar Suaka Margasatwa/SM. Barumun, Kecamatan Batang Onang, Kabupaten Padang Lawas Utara (Paluta); 2)Desa Kecupa I yang berada di sekitar Suaka Margasatwa/SM. Siranggas, Kecamatan Pargetteng-getteng Sengkut, Kabupaten Pakpak Bharat; dan 3) Desa Aek Nabara yang berada di sekitar Cagar Alam/CA. Sibual-buali, Kecamatan Marancar, Kabupaten Tapanuli Selatan. Pengumpulan data untuk mengetahui cara/model perburuan trenggiling oleh masyarakat dilakukan melalui penyebaran kuisioner dan pengamatan secara deskriptif. Pada setiap desa contoh dipilih responden secara purposive sampling pada kelompok masyarakat, terutama yang sering berburu satwaliar. Jumlah responden pada setiap desa ditentukan secara proporsional terhadap jumlah kepala keluarga dengan intensitas sampling sekitar 5-10 % (Alikodra, 2010). Hasil wawancara terhadap Kepala Desa dari tiga desa penelitian (2013) diperoleh informasi bahwa jumlah kepala keluarga (KK) di Desa Batu Nanggar sebesar 190 KK (ditetapkan sebanyak 14 responden), di Desa Kecupa I sekitar 231 KK (17 responden) dan di Desa Aek Nabara sekitar 168 KK (13 responden). Total seluruh responden dalam penelitian ini adalah 44 responden yang tersebar pada tiga desa penelitian. Untuk mendapatkan informan/target responden yang sering berburu trenggiling dikembangkan juga metode pengintaian melalui investigasi/penelusuran terhadap informasi awal dari petugas Balai Besar KSDA dan/atau masyarakat lokal (Bookhout, 1994). Data yang dikumpulkan dalam kuisioner meliputi frekuensi berburu, cara berburu, waktu berburu, hasil tangkapan dan harg dilakukan secara search sampling untuk mengetahui ancaman secara umum yang dapat mengakibatkan penurunan populasi trenggiling selain

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil analisis kuisioner terhadap karakteristik masyarakat yang menjadi responden dan tinggal di sekitar tiga kawasan konservasi yang menjadi lokasi penelitian disajikan pada Tabel 1. Masyarakat yang tinggal di desa-desa sekitar kawasan konservasi (SM. Barumun, SM. Siranggas dan CA. Sibual-buali) yang masih merupakan habitat trenggiling menganut agama yang berbeda-beda. Hal ini terkait dengan latar belakang sebaran penganut agama di Sumatera Utara. Masyarakat di Daerah Tapanuli, seperti di sekitar SM. Barumun dan CA. Sibual-buali secara umum menganut agama islam. Responden penelitian di kedua lokasi tersebut 100% beragama islam. Hal ini berbeda dengan masyarakat yang terdapat di sekitar SM. Siranggas yang sekitar 70,6% beragama Kristen. Masyarakat Pakpak umumnya beragama Kristen dan yang beragama islam adalah masyarakat pendatang. Pekerjaan sebagian besar responden adalah sebagai petani/peladang. Rata-rata responden di ketiga desa penelitian yang merupakan petani adalah 79,9%. Keadaan masyarakat yang sebagian besar sebagai petani tentunya memberikan konsekuensi akan penambahan lahan olahan yang dapat dikelola selain milik orangtuanya. Untuk mendapatkan lahan tersebut yang paling mudah adalah dengan membuka hutan Negara. Lahan tersebut dianggap mereka sebagai area ‘tak bertuan’ karena jarangnya petugas Dinas Kehutanan yang mengawasi hutan lindung atau Polhut yang berpatroli di hutan konservasi. Jenis tanaman 142


Tingkat Perburuan, Pengetahuan Masyarakat dan Kebijakan Perlindungan Trenggiling (Manis Javanica Desmarest, 1822) di Sekitar Hutan Konservasi (Wanda Kuswanda)

yang banyak dibudidayakan oleh masyarakat Desa Kecupa I di sekitar SM. Siranggas adalah

No

1

2 3

4

5

6

gambir dan sekitar CA. Sibual-buali adalah kopi robusta.

Tabel 1. Distribusi karakteristik masyarakat sebagai responden penelitian Lokasi Penelitian Desa Aek Desa Batu Desa Kecupa I RataNabara (CA. Nanggar (SM. Karakteristik Responden (SM. Siranggas) rata Sibual-buali) Barumun) (%) Jumlah % Jumlah % Jumlah % Agama a. Islam 14 100.0 5 29.4 13 100.0 76.5 b. Lainnya 0 0.0 12 70.6 0 0.0 23.5 Jenis Kelamin a. Laki-laki 12 85,7 8 47,1 9 69,2 67,3 b. Perempuan 2 14,3 9 52,9 4 30,8 32,7 Anggota Keluarga a. Kecil ( 2-4 orang) 6 42,9 6 35,3 4 30,8 36,3 b. Sedang (5-7 orang) 3 21,4 7 41,2 5 38,5 33,7 c. Besar (> 7 orang) 5 35,7 4 23,5 4 30,8 30,0 Pendidikan Terakhir a. Tidak tamat/ sampai SD 6 42,9 4 23,5 6 46,2 37,5 b. Tamat SMTP atau SLTA 8 57,1 12 70,6 6 46,2 58,0 c. Tamat Perguruan Tinggi/Akademi 0 0,0 1 5,9 1 7,7 4,5 Mata Pencaharian Utama a. Petani/Peladang 11 78,6 13 76,5 11 84,6 79,9 b. Buruh 1 7,1 0,0 1 7,7 4,9 c. Pedagang 1 7,1 1 5,9 1 7,7 6,9 d. Pegawai negeri 0,0 1 5,9 0,0 2,0 e. Pegawai swasta 1 7,1 2 11,8 0,0 6,3 Pendapatan Keluarga per Bulan a. Kecil 6 42,9 10 58,8 5 38,5 46,7 (< Rp. 1.000.000,-) b. Sedang 6 42,9 6 35,3 6 46,2 41,4 (Rp. 1.000.000 - 2.000.000) c. Besar 2 14,3 1 5,9 2 15,4 11,9 (> Rp. 2.000.000,-)

Sumber : Data Penelitian 2013 Palawan/Manis culionensis (Bain dan Humphrey, 1982; Gaubert and Antunes. 2005). Menurut Myres (2000), semut merupakan makanan kesukaan trenggiling dan satwa ini mampu membuka dan menutupi lubang

Permasalahan lain yang terkait dengan pengelolaan lahan adalah penggunaan pestisida dan pupuk kimia lainnya oleh petani, seperti di sekitar kawasan SM. Siranggas. Masyarakat di sekitar SM. Siranggas banyak yang membudidayakan tanaman semusim, seperti cabai, tomat dan sayuran lainnya. Untuk mencegah penyakit dan mempercepat pertumbuhan dan pemeliharaan tanaman, masyarakat sudah banyak menggunakan obatobatan buatan. Hal tersebut dapat berdampak terhadap kematian semut dan serangga yang merupakan makanan utama bagi trenggiling, seperti yang terjadi pada trenggiling

hidungnya untuk melindunginya dari gigitan semut saat dikonsumsi. Pendapatan masyarakat yang menjadi responden sekitar 87% berpenghasilan di bawah Rp. 2.000.000,- per bulan. Pendapatan ini umumnya diperoleh dari menjual hasil perkebunan, seperti gambir bagi masyarakat di sekitar SM. Siranggas, karet bagi masyarakat di 143


Inovasi Vol. 11 No. 2 Juni 2014: 140-149

sekitar SM. Barumun dan gula aren bagi masyarakat di sekitar CA. Dolok Sibual-buali. Saat menunggu hasil panen, untuk menambah pendapata, sebagian masyarakat sering memasuki kawasan hutan guna mengambil hasil hutan kayu dan berburu satwa. Bahkan, beberapa masyarakat berkelompok memasuki kawasan hutan untuk berburu selama 3-4 hari dan menginap di dalam hutan, seperti yang terjadi di Desa Aek Nabara. Mereka hampir menangkap seluruh satwa yang ditemukannya saat berburu, termasuk trenggiling. Hasil wawancara dengan pelaku menyebutkan bahwa mereka berburu untuk mendapatkan penghasilan tambahan karena hasilnya dapat dijual, seperti rusa dan burung. Perburuan

No

1

2

3

4

5

satwa semakin meningkat ketika masyarakat mengetahui permintaan trenggiling yang tinggi dan harganya yang mahal. Masyarakat di sekitar tiga kawasan konservasi yang menjadi responden menyatakan bahwa pernah menemukan trenggiling sebesar 76% responden dan 21,4 % responden menyatakan tidak pernah menemukan trenggiling (Tabel 2). Responden yang menyatakan tidak pernah menemukan trenggiling adalah responden yang usianya masih mudah dan bekerja sebagai pedagang atau pegawai yang memang umumnya merupakan masyarakat pendatang dan tidak mempunyai lahan olahan atau jarang masuk kawasan hutan konservasi.

Tabel 2. Lokasi dan model perburuan trenggiling oleh masyarakat Lokasi Penelitian Desa Batu Desa Aek Nabara Desa Kecupa I Pernyataan Nanggar (CA. Sibual-buali) (SM. Siranggas) Responden (SM. Barumun) Jumlah % Jumlah % Jumlah % Pernah menemukan trenggiling a. Ya 14 100,00 10 58,82 9 69,23 b. Ragu-ragu 0 0,00 0 0,00 1 7,69 c. Tidak Pernah 0 0,00 7 41,18 3 23,08 Tempat menemukan trenggiling a. Hutan 4 28,57 3 17,65 5 38,46 Kebun/ ladang 9 64,29 7 41,18 4 30,77 c. Sawah 1 7,14 0,00 1 7,69 d. Tidak pernah 0,00 7 41,18 3 23,08 Pernah berburu/menangkap trenggiling a. Sengaja 6 42,86 6 35,29 7 53,85 b. Tidak di sengaja 3 21,43 3 17,65 2 15,38 c. Tidak Pernah 5 35,71 8 47,06 4 30,77 Cara berburu trenggiling a. Dijerat 0 0,00 0 0,00 1 7,69 b. Berburu dengan anjing 6 42,86 5 29,41 6 46,15 c. Menggunakan senapan/jerat 0 0,00 1 5,88 0,00 d. Tidak sengaja 3 21,43 3 17,65 2 15,38 e. Tidak pernah berburu 5 35,71 8 47,06 4 30,77 Cara/tempat menjual trenggiling a. Tengkulak/agen 4 28,57 6 35,29 5 38,46 b. Perantara/titip tetangga 1 7,14 0 0,00 0 0,00 c. Desa Lain 1 7,14 1 5,88 1 7,69 d. Pasar 2 14,29 1 5,88 1 7,69 c. Tidak pernah 6 42,9 9 52,9 6 46,2

Ratarata (%) 76,0 2,6 21,4 28,2 45,4 4,9 21,4 44,0 18,2 37,8 2,6 39,5 2,0 18,2 37,8 34,1 2,4 6,9 9,3 47,3

menemukan di ladang/kebun dan sekitar 28,2% menemukannya di hutan. Menurut responden, sebelum tahun 2010 mereka masih sering menemukan trenggiling di kebun ketika mereka menginap atau pulang di malam hari. Bahkan di

Hasil analisis kuisioner terhadap aktivitas masyarakat terkait perburuan trenggiling di sekitar tiga hutan konservasi disajikan pada Tabel 2. Masyarakat yang pernah menemukan trenggiling, sebanyak 45,5% mengaku 144


Tingkat Perburuan, Pengetahuan Masyarakat dan Kebijakan Perlindungan Trenggiling (Manis Javanica Desmarest, 1822) di Sekitar Hutan Konservasi (Wanda Kuswanda)

sekitar pemukiman mereka pun masih ditemukan sarang trenggiling. Lebih dari 50% responden mengaku terakhir menemukan trenggiling diatas 1 tahun (Tabel 2). Responden yang mengaku menemukan trenggiling dalam beberapa bulan terakhir setelah diwawancarai mengaku karena mereka secara sengaja mencari trenggiling untuk di jual. Semua responden pada tiga desa tersebut mengaku pernah berburu trenggiling (mencari trenggiling secara sengaja) sebanyak 44% dan tidak pernah berburu sekitar 37,8%. Berdasarkan wawancara terhadap pemburu trenggiling mengatakan bahwa hasil buruan setiap berburu tidak tentu, biasanya 1 – 3 ekor setiap berburu, meskipun ada responden yang menyatakan pernah menangkap 5 ekor dalam sekali berburu. Bahkan sebagaian responden mengaku saat ini sering tidak menemukan sama sekali trenggiling ketika berburu. Sebagian responden juga mengaku bahwa mereka menemukan secara tidak sengaja, seperti waktu pergi ke kebun, lalu menangkapnya. Trenggiling yang tertangkap oleh 52,7% responden mengaku dijual dan/atau untuk obat terutama bila diminta oleh tetangganya. Perdagangan beragam jenis trenggiling, terutama di kawasan Asia terus meningkat dan trenggiling yang diperjualbelikan sebagian besar masih diperoleh dari hasil berburu di alam (Pantel & Chin, 2008). Akibat perburuan tersebut, populasi trenggiling di Sumatera Utara diperkirakan hanya tersisa sekitar 1.000 ekor (Ridin, 2013). Masyarakat berburu trenggiling biasanya menggunakan bantuan anjing, seperti yang diakui oleh 39,5% responden. Menurut responden berburu trenggiling dengan menggunakan anjing adalah cara yang paling mudah. Anjing yang terlatih atau biasa digunakan untuk berburu satwa mampu mendeteksi keberadaan trenggiling di dalam lubang. Anjing tersebut biasanya menggali lubang yang ada trenggilingnya. Apabila kondisi lubang sarang cukup dalam, biasanya pemburu membuat bakaran api di permukaan lubang agar asapnya masuk dan trenggiling keluar dari lubangnya. Selain itu juga, apabila berburu di malam hari, maka anjing yang terlatih dapat mendeteksi keberadaan trenggiling dan mengejarnya sampai dapat ditangkap. Sebagian responden juga menggunakan jerat untuk menangkap trenggiling. Mereka memasangnya di setiap mulut lubang trenggiling (tempat masuk keluarnya trenggiling). Jerat dipasang pada lubang yang diduga masih baru yang ditandai dengan tanah di bawah mulut lubang masih gembur dan ditemukan bekas cakaran atau jejak kaki trenggiling. Namun

pemasangan jerat tersebut terkadang kurang efektif karena bias saja di pasang pada lokasi lubang sarang yang sudah ditinggalkan oleh trenggiling. Hasil analisis kuisioner menunjukkan bahwa tingkat perburuan trenggiling di sekitar tiga hutan konservasi tersebut masih cukup tinggi. Sebagian responden mengaku secara sengaja memasuki hutan untuk berburu trenggiling. Secara umum model berburu trenggiling pada tingkat pemburu/masyarakat penangkap dapat dikelompokkan menjadi: a) Disengaja: Perburuan trenggiling dilakukan secara khusus (sengaja berburu). Pada tipe ini pemburu biasanya melalukan persiapan dan perencanaan. Perlengkapan berburu (alat), logistik, dan anjing pemburu sudah disiapkan. Pemburu biasanya berupa tim yang terdiri dari 1 - 3 orang dan dalam jangka waktu tertentu (lebih dari 1 hari) menginap di hutan. Pemburu dengan metode seperti ini biasanya juga mengincar jenis satwa lainnya, selain trenggiling. Pemburu jenis ini terkadang diberi modal oleh agen untuk logistik, Hasil dari berburu secara otomatis harus di jual kepada agen pemberi modal dengan harga yang lebih murah; b) Tidak disengaja, yaitu tanpa melakukan persiapan khusus tetapi hanya di lakukan sambil pergi ke kebun/hutan atau di sela-sela waktu istirahat di kebun atau secara tidak sengaja menjumpai trenggiling pada waktu menginap di kebun/hutan atau di sekitar pemukiman mereka. Trenggiling yang berhasil ditangkap oleh masyarakat umumnya untuk di jual. Hal ini terjadi juga pada trenggiling China (Manis pentadactyla) yang banyak diburu masyarakat Nangkholyang, Nepal untuk di jual (Thapa, 2014). Masyarakat menjual hasil tangkapan trenggiling biasanya kepada agen yang sering mengunjungi desa mereka, bahkan ada agen yang sudah memberi modal untuk membeli bahan makanan selama berburu. Namun ada juga masyarakat yang menjualnya langsung ke agen apabila tempat tinggal agen terletak di sekitar desa mereka. Bahkan sebelumnya, mereka menjual trenggiling di bawa ke pasar ‘pekan’ seperti oleh masyarakat di sekitar CA. Dolok Sibual-buali. Penjualan trenggiling dari tingkat pengumpul/masyarakat pemburu ke Agen, secara umum meliputi dua cara: a) Agen datang ke desa, yaitu orang yang berprofesi sebagai agen trenggiling datang ke desa, beberapa diantaranya sambil membeli hasil kebun (contoh : kayu manis, pinang, gambir dan hasil kebun lainnya); dan, b) Warga/pemburu mengantarkan kepada agen. Model ini biasanya untuk warga desa yang lokasinya tidak jauh dari 145


Inovasi Vol. 11 No. 2 Juni 2014: 140-149

tempat tinggal si agen, terutama agen di tetangga desa atau kecamatan. Selain itu, terkadang ada warga desa yang berfungsi sebagai agen “sementara� untuk mengumpulkan trenggiling, sehingga agen yang lebih besar tinggal menjemput di rumah agen “sementara�. Warga/pemburu kadang menjual ke agen

langsung untuk mengejar keuntungan yang lebih besar. Hasil analisis kuisioner untuk mengetahui pengetahuan masyarakat terhadap upaya konservasi trenggiling disajikan pada Tabel 3

Tabel 3. Distribusi pengetahuan responden terhadap konservasi trenggiling

No

1

2

3

4

5

Lokasi Penelitian Desa Batu Pengetahuan Desa Kecupa I Nanggar (SM. Responden (SM. Siranggas) Barumun) Jumlah % Jumlah % Trenggiling sebagai binatang dilindungi a.Ya/Tahu 7 50,0 16 94,1 b. Ragu-ragu 1 7,1 0 0,0 c. Tidak tahu 6 42,9 1 5,9 Jumlah trenggiling a. Semakin sedikit 11 78,6 9 52,9 b. Tetap 2 14,3 3 17,6 c. Semakin banyak 1 7,1 5 29,4 Siapa yg dirugikan bila trenggiling punah a. Pemerintah 9 64,3 6 35,3 b. Masyarakat 3 21,4 9 52,9 c. antara a, dan b 2 14,3 2 11,8 Populasi trenggiling untuk dilindungi Setuju 12 85,7 13 76,5 b. Ragu-ragu 1 7,1 0,0 c. Tidak setuju 1 7,1 4 23,5 Untuk melindungi trenggiling perlu melestarikan hutan a.Ya/Tahu 13 92,9 14 82,4 b. Ragu-ragu 1 7,1 1 5,9 c. Tidak tahu 0 0,0 2 11,8

Desa Aek Nabara (CA. Sibual-buali) Jumlah %

Ratarata (%)

10 1 2

76,9 7,7 15,4

73,7 4,9 21,4

12 1 0

92,3 7,7 0,0

74,6 13,2 12,2

2 10 1

15,4 76,9 7,7

38,3 50,4 11,2

12 1

92,3 0,0 7,7

84,8 2,4 12,8

9 3 1

69,2 23,1 7,7

81,5 12,0 6,5

Sumber : Data Penelitian 2013 kebutuhan ekonomi dan sulitnya mencari pekerjaan lain membuat mereka terpaksa berburu satwa yang dilindungi karena mudah untuk di jual. Menurut pengetahuan 74,6% responden diperoleh informasi bahwa jumlah trenggiling semakin sedikit/menurut. Pendapat masyarakat yang menyatakan populasi trenggiling semakin menurun diakui juga telah terjadi pada trenggiling China oleh sekitar 84,6% responden (Thapa, 2014). Responden umumnya mengakui sudah lama tidak menemukan lagi trenggiling di sekitar pemukiman dan ladang mereka. Selanjutnya, responden menyatakan apabila trenggiling sampai punah maka masyarakat yang akan dirugian dibandingkan pemerintah. Menurut masyarakat di sekitar CA. Siranggas menyatakan bahwa trenggiling sering dijadikan obat-obatan. Mereka memiliki kepercayaan

Berdasarkan data kuisioner pada Tabel 3, diperoleh informasi bahwa masyarakat yang menjadi responden di tiga kawasan konservasi yang menjadi lokasi penelitian, sekitar 73% mengetahui bahwa trenggiling merupakan salah satu hewan yang dilindungi oleh pemerintah. Menurut responden, pengetahuan itu mereka peroleh dari penyuluhan dan poster-poster yang disebarkan di desa mereka, baik oleh Petugas Balai Besar KSDA Sumatera Utara, Pemerintah Daerah maupun LSM. Mereka mengetahui juga dari surat kabar daerah yang sering memuat berita tentang penangkapan trenggiling dan menjelaskan bahwa penangkapan trenggiling merupakan perbuatan melawan hukum karena merupakan binatang yang dilindungi. Pendapat ini juga sebenarnya diungkapkan oleh pelaku yang pernah berburu trenggiling. Namun alasan 146


Tingkat Perburuan, Pengetahuan Masyarakat dan Kebijakan Perlindungan Trenggiling (Manis Javanica Desmarest, 1822) di Sekitar Hutan Konservasi (Wanda Kuswanda)

bahwa sisik trenggiling berhasiat untuk melindungi anak-anak dari penyakit kulit apabila dibuat kalung dan dipakai anak-anaknya. Begitu juga lidahnya dianggap sebagai bahan untuk menarik pelanggan bagi masyarakat yang berdagang. Olah karena itu, mereka berharap ada upaya konservasi terhadap trenggiling dari pemerintah, terutama menangkap pemburu yang sering masuk kawasan konservasi yang diakuinya sebagaian besar berasal dari luar desa mereka. Berdasarkan informasi diatas, masyarakat sebenarnya sangat berkepentingan terhadap konservasi trenggiling. Sebanyak 84,8% sangat setuju apabila populasi trenggiling dan habitatnya dapat dijaga dan dilindungi oleh pemerintah. Meskipun menurut mereka berharap akan digunakan untuk obat dan mereka menangkapnya di kebun atau ladang tidak dilarang. Sekitar 81% responden juga menyatakan bahwa kawasan hutan, terutama hutan konservasi perlu dilestarikan agar trenggiling dapat berkembangbiak. Menurut mereka kawasan hutan konservasi adalah habitat yang cocok bagi kehidupan trenggiling karena sedikitnya manusia memasuki kawasan tersebut. Untuk itu, upaya perlindungannya harus segera dilakukan agar populasinya di alam tidak terus menurun, seperti yang telah terjadi pada trenggiling Cina yang statusnya sudah kritis terancam punah (Wu et al., 2004).

ditemukan dan sebagian besar sebarannya hanya tersisa pada kawasan konservasi. Berdasarkan analisis terhadap karakteristik masyarakat, diperoleh gambaran bahwa masyarakat di sekitar hutan konservasi yang masih merupakan habitat trenggiling sebagian besar masih tergolong usia produktif (93%), berpendidikan sampai tingkat SLTP/SLTA (58%) dan bekerja sebagai petani (79,9%) dengan pendapatan umumnya di bawah Rp. 2.000.000,- per bulan. Tingkat perburuan trenggiling oleh masyarakat masih cukup tinggi, seperti di akui oleh 44% responden. Mereka berburu menggunakan bantuan anjing agar mudah mendeteksi keberadaan trenggiling, terutama yang ada di dalam lubang. Model berburu trenggiling ada yang dilakukan secara sengaja (terencana untuk mencari dan menginap di dalam hutan secara berkelompok) dan tidak sengaja menemukan di ladang atau kebun. Pemburu biasanya menjual kepada ‘agen kecil’ di desa/kecamatan dan selanjutnya dijual ke ‘agen besar’ yang berada di kabupaten / kota Medan. Masyarakat menganggap penting perlunya program konservasi trenggiling oleh pemerintah. Sebanyak 74,6% responden mengakui populasinya semakin menurun dan berharap pemerintah melindungi habitat trenggiling (84,5% responden), seperti hutan konservasi di sekitar tempat tinggalnya. Masyarakat akan rugi apabila trenggiling punah karena dibutuhkan juga untuk obat-obatan.

KESIMPULAN Masyarakat dunia telah sepakat akan pentinya melindungi keanekaragaman plasma nutfah, jenis spesies dan ekosistem yang terdapat di bumi ini seperti tertuang dalam Undang-undang No. 5 tahun 1994 tentang Penetapan United Nations Convention on Biological Diversity (konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Keanekaragaman Hayati). Salah satu keragaman hayati Negara kita yang terancam punah adalah trenggiling. Upaya konservasi satwaliar yang dilindungi, seperti trenggiling merupakan tanggungjawab dan kewajiban Pemerintah dan masyarakat (Undang-undang No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Keanekaragaman Hayati beserta Ekosistemnya, Departemen Kehutanan, 1990). Namun kenyataannya, populasi trenggiling di Sumatera Utara saat ini terus menurun akibat perburuan yang masih sulit untuk dihentikan. Apabila tidak ada upaya konservasi yang diprakarsai pemerintah maka dikwatirkan dalam beberapa tahun terakhir akan punah di alam. Hasil penelitian Kuswanda et al., (2012) menyebutkan bahwa trenggiling pada hutan lindung maupun lahan masyarakat semakin sulit

REKOMENDASI Berdasarkan hasil penelitian di atas maka disusun strategi kebijakan dalam upaya konservasi trenggiling, khususnya untuk konservasi in-situ (pada habitat alaminya alami) yang dapat menjadi rujukan bagi Kementerian Kehutanan, pemerintah daerah di Sumatera Utara dan para pihak lainnya, sebagai berikut : 1. Menyusun regulasi tentang konservasi satwaliar lingkup propinsi dan kabupaten Peraturan terkait untuk pengelolaan kawasan konservasi dan pelestarian satwaliar pada tingkat nasional sudah banyak disusun oleh pemerintah, mulai dari Undang-undang No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, Undang-undang No. 5 tentang Konservasi Keanekaragaman Hayati beserta Ekosistemnya, Peraturan Pemerintah (PP) No. 8 tahun 1999 tentang pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwa dan PP No. 28 tahun 2011 tentang Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Pelestarian Alam. Namun belum banyak pemerintah daerah menjabarkan peraturan tersebut ke dalam peraturan daerah, 147


Inovasi Vol. 11 No. 2 Juni 2014: 140-149

2.

3.

termasuk di Sumatera Utara. Penyusunan peraturan daerah untuk mengimplementasikan konservasi satwa liar dapat difokuskan pada spesies tertentu yang terdapat di daerah masing-masing, seperti orangutan Sumatera dan trenggiling bagi Propinsi Sumatera Utara. Menjaga kelestarian hutan lindung yang berbatasan dengan hutan konservasi Pengelolaan hutan lindung berada dibawah kewenangan pemerintah daerah, terutama pada tingkat kabupaten/kota. Banyak hutan konservasi yang berbatasan langsung dengan hutan lindung, seperti SM. Siranggas, SM. Barumun dan CA. Sibualbuali. Sesuai dengan PP No. 3 tahun 2008 tentang tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan serta pemanfaatan hutan maka keberadaan hutan lindung diharapkan menjadi pelindung bagi hutan konservasi dan mempunyai peranan strategis bagi kehidupan masyarakat yang ada di sekitarnya. Harus diakui selama ini keberadaan hutan lindung telah banyak beralih fungsi untuk kepentingan pembangunan, seperti pemukiman, perkebunan dan sarana kehidupan lainnya sehingga banyak yang terdegradasi. Program yang dapat dikembangkan untuk mengembalikan fungsi hutan lindung yang pertama dilakukan adalah melakukan penataan batas. Pemerintah Daerah dapat mengusulkan pelaksanaan penataan batas hutan lindung tersebut kepada Kementerian Kehutanan. Langkah selanjutnya yang penting adalah mengintensifkan kegiatan pengamanan kawasan. Program pengamanan kawasan harus mendapat prioritas dalam pengusulan rencana kerja di Dinas Kehutanan Kabupaten. Pengadaan Polhut dan anggaran untuk pengamanan perlu ditingkatkan dan bagian dari APBD. Untuk jangka panjang pemerintah daerah dapat membentuk dan memberdayakan Pamswakarsa dari masyarakat untuk menciptakan pengamanan hutan secara mandiri. Tujuannya agar kawasan hutan lindung dapat menjadi habitat tambahan bagi trenggiling untuk hidup dan berkembang biak. Pencegahan terhadap meningkatnya perburuan trenggiling Perburuan trenggiling terus terjadi di sebagian besar kabupaten di Provinsi Sumatera Utara. Kolaborasi antara lembaga terkait dengan instansi penegak hukum,

4.

5.

148

seperti Polisi harus terus ditingkatkan. Penempatan petugas sebagai ‘mata-mata’ di sekitar hutan konservasi sangat penting untuk menangkap pemburu maupun penadah yang berada di daerah. Hal ini sanagt penting untuk memutus rantai perdagangan trenggiling mulai dari tingkat yang paling keci, yaitu penadah di desa atau kecamatan. Penindakan tegas juga harus dilakukan terhadap oknum pemerintah maupun penegak hukum yang terlibat dalam perdagangan satwaliar secara illegal, seperti trenggiling. Pada masyarakat untuk mengurangi perburuan harus dilakukan penyuluhan tentang pentingnya melestarikan dan memanfaatkan satwa secara bijaksana dan berkelanjutan dan melarang menangkap dan memperjualbelikan satwa yang dilindungi. Penguatan kelembagaan dan kapasitas SDM pengelola hutan Kelembagaan dan sumberdaya manusia (SDM) yang memahami teknik pengelolaan hutan secara lestari dan berkelanjutan di daereh masih kurang. Saat ini penguatan kelembagaan dan pengembangan sumberdaya manusia, termasuk pada masyarakat sekitar hutan sangat penting seiring tantangan dan ancaman terhadap usaha konservasi terus meningkat. Pemerintah daerah dapat menjalin kerjasama dengan perusahaan setempat menciptakan program-program yang tepat guna, tepat sasaran, dan berkelanjutan dalam mengembangkan sumberdaya manusia yang peduli akan kelestaraian hutan beserta satwaliarnya. Program tersebut dapat membatu keterbatasan anggaran, ketersediaan petugas, maupun prasarana lapangan yang dimiliki oleh pemerintah. Pengembangan ekonomi alternatif bagi masyarakat sekitar habitat trenggiling. Berdasarkan hasil penelitian wawancara dengan pemburu menyatakan bahwa mereka terpaksa berburu trenggiling karena kesulitan mendapatkan penghasilan tambahan untuk menghidupi keluarganya. Pengembangan ekonomi alternatif tentunya dapat menjadi solusi agar ketergantungan masyarakat terhadap sumberdaya hutan dapat berkurang. Berbagai area budidaya sebenarnya telah dikembangkan oleh masyarakat sekitar hutan konservasi, seperti perkebunan dan pertanian. Namun hasil panen yang diperoleh belum optimal karena pengelolaan masih dilakukan secara


Tingkat Perburuan, Pengetahuan Masyarakat dan Kebijakan Perlindungan Trenggiling (Manis Javanica Desmarest, 1822) di Sekitar Hutan Konservasi (Wanda Kuswanda)

teknik konservasi trenggiling (Manis javanica Desmarest, 1822) pada hutan konservasi di Sumatera Utara. Aek Nauli: Balai Penelitian Kehutanan Aek Nauli.

tradisional. Untuk itu, pemerintah daearah Provinsi Sumatera Utara harus mampu membantu menumbuhkan alternatifalternatif ekonomi baru yang mendorong lahirnya sumber-sumber pendapatan untuk memenuhi kebutuhan ekonomi masyarakat dengan kebutuhan lahan yang minimal. Program yang dapat dikembangkan adalah usaha lebah madu, peternakan, perikanan, budidaya tumbuhan obat dan tanaman gaharu serta pengembangan ekowisata berbasis alam dan masyarakat.

Lee, A., editor. (2012). 7,4 ton trenggiling dimusnahkan. [Online] Dari: http://megapolitan. kompas.com/read [Diakses 11 Februrui 2013]. Lim, NTL. and PKL. Ng. 2008. Homerange, activity cycle and natal den usage of a female sunda pangolin (Manis javanica) in Singapure. Endangered Species Research 4: 233-240. Myres, P. 2000. “Pholodota”, Animal diversity. [Online] Dari: http://animaldiversity. ummz.umich.edu/site/accounts/information.html. [Diakses 12 Januari 2009].

DAFTAR PUSTAKA Alikodra, H. S. 2010. Teknik pengelolaan satwaliar dalam rangka mempertahankan keanekaragaman hayati Indonesia. Edisi ke-2. Bogor: IPB Press.

Pantel, S. & Chin, S. Y. 2008 (eds.). Proceedings of the workshop on trade and conservation of pangolins native to South and Southeast Asia. Malaysia: S.Y. TRAFFIC Southeast Asia.

Amri. 2010. Awas! Sisik trenggiling disalahgunakan jadi sabu-sabu. [Online]. Dari: http:// www.antaranews.com/berita/184002 [Diakses tanggal 14 Januari 2014]

Ridin. 2013. Populasi trenggiling di Sumut hanya 1.000 ekor. [Online] Dari: http://www.waspada.co.id [Diakses 03 Maret 2013]

Bain JR and Humphrey SR. 1982. A Profile of the Endangered Species in Thailand. Report No.4. Florida: Office of Ecological Services, Florida State Museum, University of Florida.

Supangat, A. 2008. Statistik dalam kajian deskriptif, inferensi dan nonparametrik. Jakarta: Penerbit Kencana Prenada Media Group.

Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (KSDA) Sumatera Utara. 2011. Buku informasi kawasan konservasi. Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (KSDA) Sumatera Utara. Medan: Kementerian Kehutanan.

Thapa, P., A. P. Khatiwada, S. C. Nepali, S Paudel. 2014. Distribution and conservation status of chinese pangolin (Manis pentadactyla) in Nangkholyang VDC, Taplejung, Eastern Nepal. American Journal of Zoological Research 2 (1), hal 16-21.

Bookhout, T. A. (editor). 1994. Research and management techniques for wildlife and habitat. Fifth. ed. The Wildlife Society, Bethesda, Md. 740 pp.

Undang-undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya.

Gaubert, P. and A. Antunes. 2005. Assessing the taxonomic status of the Palawan pangolin Manis culionensis (Pholidota) using discrete morphological characters. Journal of Mammalogy 86, hal 1068–1074.

Undang-undang No. 41 Kehutanan.

Tahun 1999 tentang

Wu, S.B., Liu, N.F., Zhang, Y.M. & Ma, G.Z. 2004. Assessment of threatened status of chinese pangolin (Manis pentadactyla). Chinese Journal of Applied Environmental Biology 10 (4), hal 456-461.

Hassan, M., M. H. Sulaiman, C. J. Lian. 2013. The prevalence and intensity of Amblyomma javanense infestation on Malayan Pangolins (Manis javanica Desmarest) from Peninsular Malaysia. Acta Tropica 126 (2), hal 142-145.

Yang CW., S. Chen, CY. Chang, MF. Lin, E. Block, R. Lorentsen, JSC. Chin and ES Dierenfeld. 2007. History and dietary husbandry of pangolins in captivity [abstract]. Zoo Biology 26(3): 223-230. [Online] Dari: http://onlinelibrary.wiley.com/doi/10.1002/zoo.201 34/ abstract [Diakses: 8 Februari 2011].

Hertanto. 2010. Sejuta kilo daging trenggiling dijual. [Online]. Dari: http://megapolitan.kompas.com/read./2010/04/17 [Diakses 15 Juni 2011] IUCN 2009. 2009 IUCN Red List of Threatened Species. Dari: www.iucnredlist.org. [Diakses 2 Februari 2013]

Zainuddin H. 2008. Satwa jelmaan setan itu kini jadi barang dagangan. [Online] Dari: http://www.antara.co.id/view/?i=1208940642&c=W BM&s= [Diakses: 15 Juni 2011].

Junandar. 2007. Gambaran morfologi hati trenggiling (Manis javanica). Skripsi, Institut Pertanian Bogor IPB. Kuswanda, W, S. P. Barus, E. P. Manik dan J. Ginting. 2012. Laporan Hasil Penelitian Kajian ekologi dan

149


Inovasi Vol. 11 No. 2 Juni 2014: 150-158

Hasil Penelitian PEMBERDAYAAN EKONOMI MASYARAKAT DI KAWASAN SEI MANGKEI UNTUK MENDUKUNG PROGRAM MP3EI

(THE COMMUNITY ECONOMIC EMPOWERMENT IN AREA OF SEI MANGKEI TO SUPPORT MP3EI PROGRAMS) PROGRAMS) Sahat Christian Simanjuntak Badan Penelitian dan Pengembangan Provinsi Sumatera Utara Jl. Sisingamangaraja No. 198 Medan 20126 email: sahat_christians@yahoo.co.id

Diterima: 21 Maret 2014; Direvisi: 11 April 2014; Disetujui: 30 April 2014

ABSTRAK Pemberdayaan ekonomi masyarakat di Kawasan Sei Mangkei dalam mendukung Program Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) merupakan suatu upaya sadar untuk mengelola dan memanfaatkan sumberdaya masyarakat baik dari segi sumberdaya alam maupun sumberdaya manusia guna untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dalam rangka memacu pembangunan di Sei Mangkei tersebut, dilakukan melalui pengembangan ekonomi rakyat berbasis kelapa sawit yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan pembangunan ekonomi di sekitar kawasan tersebut. Populasi dan sampel penelitian ini adalah pelaku Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) berbasis kelapa sawit yang berada di sekitar Kawasan Sei Mangkei yang meliputi beberapa kelurahan di Kabupaten Simalungun dan Kabupaten Batubara. Sedangkan unit analisis penelitian adalah individu dari masing-masing masyarakat sebagai pelaku UMKM tersebut. Adapun teknik pengambilan sampel yang dilakukan dalam penelitian ini adalah teknik cluster sampling dengan cara mengelompokkan sampel penelitian ke dalam beberapa kelompok yang keseluruhannya sebanyak 190 responden. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa potensi UMKM berbasis kelapa sawit dan turunannya di sekitar Kawasan Sei Mangkei masih sangat sedikit dieksplorasi dan diberdayakan. Hal ini terlihat dari jenis usaha yang dikelola pelaku UMKM, dimana mayoritas jenis usaha umum yang dikembangkan oleh pelaku UMKM adalah pakan ternak, sapu lidi, minyak goreng, sabun dan furniture, sedangkan usaha lainnya berupa margarin, detergen, sampo, kosmetika dan biogas belum dikelola secara optimal UMKM berbasis kelapa sawit. Kata Kunci: modal usaha, jenis usaha, tenaga kerja, MP3EI, dukungan pemerintah

ABSTRACT The Economic empowerment in area of Sei Mangkei to support Master Plan for Acceleration and Expansion of Indonesia’s Economic Development (MP3EI) Programs is a conscious effort to manage and utilize community resources in terms of both natural resources and human resources in order to improve the welfare of society. In order to spur development in the Mangkei Sei, is done through the development of palm oil-based economy of the people which aims to improve the welfare of the community and economic development in the surrounding area. Population and sample of this study were the perpetrators of Micro, Small and Medium Enterprises (SMEs) that are based palm around Sei Mangkei area covering several villages in the district Simalungun and Batubara. While the unit of analysis is the individual study of each community as the SMEs. The sampling technique used in this research is cluster sampling technique by classifying the sample into several groups which in total of 190 respondents. The study concluded that the potential of SMEs based on palm oil and its derivatives around the area Sei Mangkei still very little explored and empowered. This is evident from the kind of business managed SMEs, where the majority of the general type of business that were developed by SMEs

150


Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat di Kawasan Sei Mangkei untuk Mendukung Program MP3EI (Sahat Christian Simanjuntak) is fodder, broom stick, cooking oil, soap and furniture, while the other businesses in the form of margarine, detergents, shampoos, cosmetics and biogas have not managed optimally palm oil based SMEs. Keywords: venture capital, type of business, labor, MP3EI, government support

potensi daerah yang berpeluang untuk dikembangkan khususnya sektor perkebunan (kelapa sawit). Hal ini dikarenakan sampai saat ini kelapa sawit masih merupakan tanaman primadona masyarakat Sumatera Utara. Ada beberapa alasan Pemerintah Provinsi Sumatera Utara menetapkan kelapa sawit sebagai komoditas utama, antara lain : Pertama, dari segi fisik dan lingkungan keadaan daerah Sumatera Utara memungkinkan bagi pengembangan perkebunan kelapa sawit. Kondisi daerah Sumatera Utara yang relatif datar memudahkan dalam pengelolaan dan dapat menekan biaya produksi; Kedua, kondisi tanah yang memungkinkan untuk ditanami kelapa sawit menghasilkan produksi lebih tinggi dibandingkan daerah lain; Ketiga, dari segi pemasaran hasil produksi kelapa sawit memberikan keuntungan kepada Provinai Sumatera Utara karena letaknya yang strategis dengan pasar internasional; dan Keempat, berdasarkan hasil yang telah dicapai menunjukkan bahwa kelapa sawit memberikan pendapatan yang lebih tinggi kepada petani dibandingkan dengan jenis tanaman perkebunan lainnya (Syahza, 2002). Salah satu bentuk usaha pemberdayaan ekonomi masyarakat tersebut adalah melalui pemberdayaan UMKM yang berbasis kelapa sawit. Pemberdayaan ekonomi masyarakat melalui UMKM ini sangat penting karena selama ini UMKM mempunyai kedudukan yang strategis dalam perekonomian nasional dan daerah. Hal ini dikarenakan jumlah unit usaha yang ada sangat besar dengan menyerap tenaga kerja yang banyak serta dapat membuka lapangan usaha secara luas. Selain itu, UMKM mempunyai produk yang sangat bervariasi dan beragam dan mampu mengolah sumberdaya lokal dengan pasar global. Dengan kemampuannya untuk pengisian wilayah pasar yang luas dan populasi penyebarannya merata di seluruh wilayah Indonesia, menyebabkan UMKM sebagai salah satu usaha yang dapat untuk mengurangi angka kemiskinan. Di pihak lain, keberadaan UMKM selama ini di dalam perkembangannya mengalami berbagai permasalahan, antara lain: 1) produk UMKM belum memiliki daya saing yang kuat; 2) jiwa kewirausahaan yang dimiliki UMKM masih sangat lemah; 3) aksesibilitas terhadap sumberdaya permodalan yang dibutuhkan

PENDAHULUAN Pemberdayaan ekonomi masyarakat di Kawasan Sei Mangkei dalam mendukung Program Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) merupakan suatu upaya sadar untuk mengelola dan memanfaatkan sumberdaya masyarakat baik dari segi sumberdaya alam maupun sumberdaya manusia guna untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dalam rangka memacu pembangunan di Sei Mangkei tersebut, salah satu yang dapat dilaksanakan adalah dalam bentuk pengembangan ekonomi masyarakat yang berbasis perkebunan kelapa sawit rakyat yang bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat di sekitar kawasan tersebut. Untuk melaksanakan pembangunan tersebut tidaklah mudah karena pembangunan harus memperhatikan tiga aspek kelayakan, yaitu: kelayakan teknis, kelayakan usaha, kelayakan sosial ekonomi dan budaya. Begitu juga pembangunan perkebunan kelapa sawit rakyat yang direncanakan di Kawasan Sei Mangkei harus memperhatikan ketiga aspek tersebut. Secara spesifik pembangunan tersebut bertujuan, antara lain: 1) mendukung perekonomian lokal dan pembangunan daerah; 2) meningkatkan kesejahteraan masyarakat di Kawasan Sei Mangkei; 3) membuka lapangan kerja dan kesempatan berusaha khususnya bagi masyarakat di sekitarnya; 4) turut meningkatkan devisa dan pendapatan asli daerah serta masyarakat melalui produksi perkebunan kelapa sawit. Dalam upaya percepatan pemberdayaan ekonomi di Kawasan Sei Mangkei tersebut, berbagai kebijakan ekonomi yang akan dilaksanakan harus menganut paradigma baru, dimana pemberdayaan ekonomi rakyat harus menjadi perhatian utama. Hal ini dikarenakan sebagian besar masyarakat yang berada di sekitar kawasan tersebut hidup dari perkebunan kelapa sawit dan subsektor selama ini masih memberikan kontribusi yang besar pada perekonomian daerah dan nasional, sehingga melalui pemberdayaan ekonomi rakyat sekaligus dapat membangun perkebunan kelapa sawit. Pembangunan UMKM di Kawasan Sei Mangkei sangat ditentukan oleh potensi yang dimiliki, sehingga kebijakan yang dibuat oleh pemerintah daerah harus mengacu kepada

151


Inovasi Vol. 11 No. 2 Juni 2014: 150-158

UMKM untuk pengembangan usahanya masih sangat terbatas; 4) kemampuan manajemen dan teknis yang dimiliki untuk pengembangan usahanya masih rendah; 5) pemanfaatan mesin peralatan dengan teknologi maju masih terbatas dengan mutu tidak standar, desain produk lambat dan belum mengikuti selera pasar; 6) lemah dalam akses pasar keluar daerah dan internasional akibat kurangnya sarana dan informasi yang dimililki. Pemberdayaan masyarakat adalah sebuah konsep pembangunan ekonomi yang merangkum nilai-nilai sosial. Konsep ini mencerminkan paradigma baru pembangunan, yakni yang bersifat “people-centered, participatory, empowering, and sustainable” (Chambers, 1995). Konsep ini lebih luas dari hanya semata-mata memenuhi kebutuhan dasar (basic needs) atau menyediakan mekanisme untuk mencegah proses pemiskinan lebih lanjut (safety net), yang pemikirannya belakangan ini banyak dikembangkan sebagai upaya mencari alternatif terhadap konsep-konsep pertumbuhan dimasa yang lalu. Konsep ini berkembang dari upaya banyak ahli dan praktisi untuk mencari apa yang antara lain oleh Friedmann (1992) disebut alternative development, yang menghendaki “inclusive democracy, appropriate economic growth, gender equality and intergenerational equity”. Konsep pemberdayaan tidak mempertentangkan pertumbuhan dengan pemerataan, karena seperti dikatakan oleh Donald Brown (1995) bahwa keduanya tidak harus diasumsikan sebagai “incompatible or antithetical”. Konsep ini mencoba melepaskan diri dari perangkap “zero-sum game” dan “trade off”. Hal ini bertitik tolak dari pandangan bahwa dengan pemerataan tercipta landasan yang lebih luas untuk pertumbuhan dan yang akan menjamin pertumbuhan yang berkelanjutan. Oleh karena itu seperti dikatakan, “the pattern of growth is just as important as the rate of growth”. Sedangkan yang dicari adalah “the right kind of growth” yakni bukan yang vertikal menghasilkan “trickle-down”, seperti yang terbukti tidak berhasil, tetapi yang bersifat horizontal (horizontal flows) yakni “broadly based, employment intensive, and not compartmentalized” (Ranis, 1995). Lahirnya konsep pemberdayaan sebagai antitesa terhadap model pembangunan yang kurang memihak pada rakyat mayoritas. Konsep ini dibangun dari kerangka logika sebagai berikut: (1) bahwa proses pemusatan kekuasaan terbangun dari pemusatan kekuasaan faktor produksi; (2) pemusatan kekuasaan faktor produksi akan melahirkan masyarakat pekerja

dan masyarakat pengusaha pinggiran; (3) kekuasaan akan membangun bangunan atas atau sistem pengetahuan, sistem politik, sistem hukum dan sistem ideologi yang manipulatif untuk memperkuat legitimasi; (4) pelaksanaan sistem pengetahuan, sistem politik, sistem hukum dan ideologi secara sistematik akan menciptakan dua kelompok masyarakat, yaitu masyarakat berdaya dan masyarakat tunadaya (Prijono dan Pranarka, 1996). Akhirnya yang terjadi adalah dikotomi, yaitu masyarakat yang berkuasa dan manusia yang dikuasai. Untuk membebaskan situasi menguasai dan dikuasai, maka harus dilakukan pembebasan melalui proses pemberdayaan bagi yang lemah (empowerment of the powerless). Alur pikir di atas sejalan dengan terminologi pemberdayaan itu sendiri atau yang dikenal dengan istilah empowerment yang berawal dari kata daya (power). Daya dalam arti kekuatan yang berasal dari dalam tetapi dapat diperkuat dengan unsurunsur penguatan yang diserap dari luar. Ini merupakan sebuah konsep untuk memotong lingkaran setan yang menghubungkan power dengan pembagian kesejahteraan. Keterbelakangan dan kemiskinan yang muncul dalam proses pembangunan disebabkan oleh ketidakseimbangan dalam pemilikan atau akses pada sumber-sumber power. Proses historis yang panjang menyebabkan terjadinya power dis powerment, yakni peniadaan power pada sebagian besar masyarakat, akibatnya masyarakat tidak memiliki akses yang memadai terhadap akses produktif yang umumnya dikuasai oleh mereka yang memiliki power. Pada gilirannya keterbelakangan secara ekonomi menyebabkan mereka makin jauh dari kekuasaan. Oleh karena itu, pemberdayaan bertujuan dua arah, yaitu : Pertama, melepaskan belenggu kemiskinan, dan keterbelakangan; serta Kedua, memperkuat posisi lapisan masyrakat dalam struktur ekonomi dan kekuasaan. Secara konseptual, pemberdayaan masyarakat adalah upaya untuk meningkatkan harkat dan martabat lapisan masyarakat yang dalam kondisi sekarang tidak mampu untuk melepaskan diri dari perangkap kemiskinan dan keterbelakangan. Dengan kata lain memberdayakan adalah memampukan dan memandirikan masyarakat. Dalam konsep pemberdayaan, menurut Prijono dan Pranarka (1996), manusia adalah subyek dari dirinya sendiri. Proses pemberdayaan yang menekankan pada proses memberikan kemampuan kepada masyarakat agar menjadi berdaya, mendorong atau memotivasi individu agar mempunyai kemampuan atau keberdayaan 152


Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat di Kawasan Sei Mangkei untuk Mendukung Program MP3EI (Sahat Christian Simanjuntak)

untuk menentukan pilihan hidupnya. Lebih lanjut dikatakan bahwa pemberdayaan harus ditujukan pada kelompok atau lapisan masyarakat yang tertinggal. Menurut Sumodiningrat (1999), bahwa pemberdayaan masyarakat merupakan upaya untuk memandirikan masyarakat lewat perwujudan potensi kemampuan yang mereka miliki. Adapun pemberdayaan masyarakat senantiasa menyangkut dua kelompok yang saling terkait, yaitu masyarakat sebagai pihak yang diberdayakan dan pihak yang menaruh kepedulian sebagai pihak yang memberdayakan. Mubyarto (1998) menekankan bahwa terkait erat dengan pemberdayaan ekonomi rakyat. Dalam proses pemberdayaan masyarakat diarahkan pada pengembangan sumberdaya manusia (dipedesaan), penciptaan peluang berusaha yang sesuai dengan keinginan masyarakat. Masyarakat menentukan jenis usaha, kondisi wilayah yang pada gilirannya dapat menciptakan lembaga dan sistem pelayanan dari, oleh dan untuk masyarakat setempat. Upaya pemberdayaan masyarakat ini kemudian pada pemberdayaan ekonomi rakyat. Pemberdayaan adalah upaya untuk membangun daya itu sendiri, dengan mendorong, memotivasi dan membangkitkan kesadaran akan potensi yang dimilikinya serta berupaya untuk mengembangkannya. Selanjutnya, upaya tersebut diikuti dengan memperkuat potensi atau daya yang dimiliki oleh masyarakat itu sendiri. Dalam konteks ini diperlukan langkah-langkah lebih positif, selain dari hanya menciptakan iklim dan suasana yang kondusif. Perkuatan ini meliputi langkahlangkah nyata, dan menyangkut penyediaan berbagai masukan (input), serta pembukaan akses kepada berbagai peluang (opportunities) yang akan membuat masyarakat menjadi makin berdaya (Kartasasmita, 1996). Menurut Wrihatnolo dan Dwijowijoto (2007) pemberdayaan merupakan sebuah proses sehingga mencakup tahapan-tahapan tertentu, yaitu penyadaran, capacity building, dan pendayaan. Tahap penyadaran merupakan tahap dimana target yang hendak diberdayakan diberi “pencerahan” dalam bentuk pemberian penyadaran bahwa mereka mempunyai hak untuk mencapai “sesuatu”. Tahap kedua yaitu “capacity building” atau pengkapasitasan, memampukan atau enabling. Target harus mempunyai kemampuan terlebih dahulu sebelum mereka diberikan daya atau kuasa. Proses capacity building terdiri atas tiga jenis, yaitu manusia, organisasi, dan sistem nilai. Pengkapasitasan manusia misalnya training (pelatihan), workshop (loka latih), dan seminar.

Pengkapasitasan organisasi dilakukan dalam bentuk restrukturisasi organisasi yang hendak menerima daya atau kapasitas tersebut. Namun pengkapasitasan organisasi ini jarang dilakukan karena ada anggapan apabila pengkapasitasan manusia sudah dilakukan maka pengkapasitasan organisasi akan berlaku dengan sendirinya. Jenis yang ketiga adalah pengkapasitasan sistem nilai. Sistem nilai adalah “aturan main”. Dalam cakupan organisasi sistem nilai berkenaan dengan Anggaran Dasar atau Anggaran Rumah Tangga, atau sistem dan prosedur. Pada tingkat yang lebih maju, sistem nilai terdiri pula atas budaya organisasi, etika, dan good governance. Pengkapasitasan sistem nilai dilakukan dengan membantu target dan membuatkan “aturan main”. Pengkapasitasan ini jarang dilakukan juga karena sama dengan pengkapasitasan organisasi ada stereotype bahwa pengkapasitasan ini dapat terbentuk dengan sendirinya setelah pengkapasitasan manusia. Tahap yang terakhir adalah pemberian daya atau “empowerment” dalam makna sempit. Target diberikan daya, kekuasaan, otoritas, atau peluang sesuai dengan kapasitas kecakapan yang telah dimiliki. Praktek pemberdayaannya dapat dibedakan menjadi dua menurut sasarannya (Sumodiningrat, 1999). Pertama, pemberdayaan masyarakat modern yang telah maju lebih diarahkan pada penciptaan iklim yang menunjang dan peluang untuk tetap maju, sekaligus pada penanaman pengertian bahwa suatu saat mereka wajib membantu yang lemah. Kedua, pemberdayaan masyarakat yang masih tertinggal tidak cukup hanya dengan meningkatkan produktivitas, memberikan kesempatan usaha yang sama, dan memberikan suntikan modal, tetapi juga dengan menjamin adanya kerja sama dan kemitraan yang erat antara yang telah maju dan yang lemah atau belum berkembang. Pemberdayaan masyarakat perlu dilaksanakan dengan prinsip-prinsip kemitraan yang saling menguntungkan. Kemudian Sumodiningrat (1999) juga merumuskan indikator keberhasilan yang dipakai untuk mengukur pelaksanaan programprogram pemberdayaan masyarakat ini, antara lain: (1) Berkurangnya jumlah penduduk miskin; (2) Berkembangnya usaha peningkatan pendapatan yang dilakukan oleh penduduk miskin dengan memanfaatkan sumber daya yang tersedia; (3) Meningkatnya kepedulian masyarakat terhadap upaya peningkatan kesejahteraan keluarga miskin di lingkungannya; (4) Meningkatnya kemandirian kelompok yang ditandai dengan makin berkembangnya usaha produktif anggota dan

153


Inovasi Vol. 11 No. 2 Juni 2014: 150-158

kelompok, makin kuatnya permodalan kelompok, makin rapinya sistem administrasi kelompok, serta makin luasnya interaksi kelompok dengan kelompok lain di dalam masyarakat; serta (5) Meningkatnya kapasitas masyarakat dan pemerataan pendapatan yang ditandai oleh peningkatan pendapatan keluarga miskin yang mampu memenuhi kebutuhan pokok dan kebutuhan sosial dasarnya. Iwantono (2008) mengemukakan tentang permasalahan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) di Indonesia yang sangat bervariasi. Permasalahan tersebut meliputi: (1) Akses pasar, pada umumnya UMKM tidak memiliki pengetahuan yang memadai mengenai pasar; (2) Kelemahan dalam pendanaan dan akses pada sumber pembiayaan; (3) Kelemahan dalam organisasi dan manajemen; (4) Kelemahan dalam kapasitas dan penguasan teknologi; (5) Kelemahan dalam jaringan usaha. Tujuan dari penelitian ini adalah: untuk mengetahui pemberdayaan ekonomi masyarakat khususnya UMKM berbasis kelapa sawit di Kawasan Sei Mangkei Provinsi Sumatera Utara

(2) Wawancara mendalam (depth interview); dan (3) Dokumentasi. Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis kualitatif (qualitative-descriptive analysis). HASIL DAN PEMBAHASAN Pemberdayaan UMKM berbasis kelapa sawit di Kabupaten Simalungun membutuhkan suatu pendekatan baru yang terdesentralisasi dan bersifat bottom–up. Rata-rata penerimaan UMKM terbesar di Kelurahan Adil Makmur berdasarkan urutannya diperoleh dari usaha furniture, pakan ternak, pupuk, sapu lidi dan minyak goreng. UMKM yang ada di Kelurahan Adil Makmur ini masih tergolong sederhana. Keuntungan yang terbesar dari usaha UMKM yang terdapat di Kelurahan Adil Makmur adalah dari pakan ternak dan yang terendah adalah dari usaha minyak goreng. Rata-rata penerimaan UMKM terbesar di Kelurahan Boluk berdasarkan urutannya diperoleh dari usaha pakan ternak, furniture, kompos, sapu lidi, pupuk dan minyak goreng. UMKM yang ada di Kelurahan Boluk ini juga masih tergolong sederhana. Keuntungan yang terbesar dari usaha UMKM yang terdapat di Kelurahan Boluk adalah dari pakan ternak dan yang terendah adalah dari usaha minyak goreng. Rata-rata penerimaan UMKM terbesar di Kelurahan Gunung Bayu berdasarkan urutannya diperoleh dari usaha sapu lidi, pakan ternak dan minyak goreng. UMKM yang ada di Kelurahan Gunung Bayu ini lebih sedikit dibandingkan kelurahan lainnya, hal ini ditandai dengan jenisjenis produk-produk yang dihasilkan di daerah ini hanya terdiri dari sapu lidi, pakan ternak dan minyak goreng dengan tingkat pendapatan yang juga rendah. Keuntungan yang terbesar dari usaha UMKM yang terdapat di Kelurahan Boluk adalah dari sapu lidi dan yang terendah adalah dari usaha pakan ternak. Penerimaan rata-rata UMKM terbesar di Kelurahan Marihat Butar berdasarkan urutannya diperoleh dari usaha sapu lidi, pakan ternak, kompos, sampo, pupuk, furniture dan minyak goreng. Keuntungan yang diterima pelaku UMKM yang ada di Kelurahan Marihat Butar ini lebih sedikit dibandingkan kelurahan lainnya. Keuntungan yang terbesar dari usaha UMKM yang terdapat di Kelurahan Boluk adalah dari sapu lidi dan yang terendah adalah dari usaha minyak goreng. Rata-rata penerimaan UMKM terbesar di Kelurahan Marihat Tanjung berdasarkan urutannya diperoleh dari usaha sapu lidi, furniture, kompos, pakan ternak, pupuk, sampo dan minyak goreng. UMKM yang ada di Kelurahan Marihat Tanjung ini masih tergolong

METODE Lokasi penelitian adalah Kabupaten Simalungun dan Kabupaten Batubara. Sedangkan waktu pelaksanaan penelitian berlangsung selama 4 (empat) bulan terhitung mulai Agustus s.d Nopember 2013. Populasi penelitian ini adalah para petani kelapa sawit di sekitar Kawasan Sei Mangkei. Sampel penelitian ini adalah para petani yang memiliki UMKM berbasis kelapa sawit di sekitar Kawasan Sei Mangkei. Jumlah sampel dalam penelitian ini sebanyak 190 orang petani kebun sawit. Adapun metode penentuan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik cluster sampling. Jenis data yang dipakai dalam penelitian ini adalah data yang bersifat kualitatif. Sumber data yang dipakai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: (1) data primer yaitu data yang langsung diperoleh dari lokasi penelitian berupa hasil observasi ataupun dengan memberikan daftar pertanyaan berupa kuisioner dan wawancara mendalam dengan masyarakat petani sawit dan lembaga yang terkait dengan pelaksanaan Program MP3EI; (2) data sekunder yaitu data yang dikumpulkan oleh instansi lain seperti: Bappeda, Dinas Perindustrian dan Perdagangan, Dinas Koperasi dan UKM, Dinas Pertanian, Badan Pusat Statistik, PTPN III dan lain-lain. Teknik pengambilan data dilakukan dengan cara, sebagai berikut: (1) Observasi langsung; 154


Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat di Kawasan Sei Mangkei untuk Mendukung Program MP3EI (Sahat Christian Simanjuntak)

kestrategisan lingkungan usaha sebesar 60%. Sedangkan untuk minyak goreng dan furniture merupakan lingkungan usaha yang cukup strategis untuk dikembangkan dengan tingkat persentase kestrategisan lingkungan usaha sebesar 40%. Lingkungan usaha UMKM berbasis kelapa sawit di Kelurahan Boluk menunjukkan bahwa jenis usaha pakan ternak, sapu lidi dan pupuk merupakan aspek lingkungan usaha yang strategis untuk dikembangkan di Kawasan Sei Mangkei dengan tingkat persentase kestrategisan lingkungan usaha sebesar 33%. Sedangkan untuk minyak goreng, furniture dan kompos merupakan lingkungan usaha yang cukup strategis untuk dikembangkan dengan tingkat persentase kestrategisan lingkungan usaha sebesar 67%. Lingkungan usaha UMKM berbasis kelapa sawit di Kelurahan Bunung Bayu menunjukkan bahwa jenis usaha pakan ternak dan sapu lidi merupakan aspek lingkungan usaha yang strategis untuk dikembangkan di Kawasan Sei Mangkei dengan tingkat persentase kestrategisan lingkungan usaha sebesar 66%. Untuk pupuk merupakan lingkungan usaha yang cukup strategis untuk dikembangkan dengan tingkat persentase kestrategisan lingkungan usaha sebesar 34%. Lingkungan usaha UMKM berbasis kelapa sawit di Kelurahan Marihat Butar menunjukkan bahwa jenis usaha pakan ternak, sapu lidi, pupuk, minyak goreng, sabun, furniture dan kompos merupakan aspek lingkungan usaha yang cukup strategis untuk dikembangkan di Kawasan Sei Mangkei dengan tingkat persentase kestrategisan lingkungan usaha sebesar 100%. Lingkungan usaha UMKM berbasis kelapa sawit di Kelurahan Marihat Tanjung menunjukkan bahwa jenis usaha pakan ternak, pupuk, minyak goreng, sabun, sampo dan kompos merupakan aspek lingkungan usaha yang cukup strategis untuk dikembangkan di Kawasan Sei Mangkei dengan tingkat persentase kestrategisan lingkungan usaha sebesar 86%. Untuk sapu lidi merupakan jenis usaha yang strategis untuk dikembangkan dengan tingkat persentase sebesar 14%. Lingkungan usaha UMKM berbasis kelapa sawit di Kelurahan Mayang menunjukkan bahwa jenis usaha pakan ternak, sapu lidi, pupuk, sabun, sampo dan furnitur merupakan aspek lingkungan usaha yang cukup strategis untuk dikembangkan di Kawasan Sei Mangkei dengan tingkat persentase kestrategisan lingkungan usaha sebesar 100%. Lingkungan usaha UMKM berbasis kelapa sawit di Kelurahan Sei Mangkei menunjukkan

sederhana. Keuntungan yang terbesar dari usaha UMKM yang terdapat di Kelurahan Marihat Tanjung adalah dari pupuk dan yang terendah adalah dari usaha sabun. Rata-rata penerimaan UMKM terbesar di Kelurahan Mayang berdasarkan urutannya diperoleh dari usaha sapu lidi, furniture, kompos, minyak goreng, pupuk pakan ternak, sampo dan sabun. UMKM yang ada di Kelurahan Mayang ini masih juga tergolong sederhana. Keuntungan yang terbesar dari usaha UMKM yang terdapat di Kelurahan Marihat Tanjung adalah dari pupuk dan yang terendah adalah dari usaha sabun. Rata-rata penerimaan UMKM terbesar di Kelurahan Sei Mangkei berdasarkan urutannya diperoleh dari usaha sapu lidi, pakan ternak, dan pupuk. UMKM yang ada di Kelurahan Mayang masih tergolong sederhana. Keuntungan yang terbesar dari usaha UMKM yang terdapat di Kelurahan Mayang ini adalah dari sapu lidi dan yang terendah adalah dari pupuk. Rata-rata penerimaan UMKM terbesar di Kelurahan Sei Torop berdasarkan urutannya diperoleh dari usaha sapu lidi, sampo, pakan ternak, pupuk, kompos, sabun dan furniture. UMKM yang ada di Kelurahan Sei Torop masih tergolong sederhana. Keuntungan yang terbesar dari usaha UMKM yang terdapat di Kelurahan Sei Torop ini adalah dari sapu lidi dan yang terendah adalah dari furniture. Rata-rata penerimaan UMKM terbesar di Kelurahan Sidomulyo berdasarkan urutannya diperoleh dari usaha sapu lidi, pakan ternak, furniture, pupuk, dan sabun. UMKM yang ada di Kelurahan Sidomulyo masih tergolong sederhana. Keuntungan yang terbesar dari usaha UMKM yang terdapat di Kelurahan Sidomulyo ini adalah dari pakan ternak dan yang terendah adalah dari usaha sabun. Rata-rata penerimaan UMKM terbesar di Kelurahan Teladan berdasarkan urutannya diperoleh dari usaha sapu lidi, pakan ternak, pupuk, dan sabun. UMKM yang ada di Kelurahan Teladan masih tergolong sederhana, hal ini ditandai dengan produk-produk yang dihasilkan dengan tingkat pendapatan yang relatif masih rendah. Keuntungan yang terbesar dari usaha UMKM yang terdapat di Kelurahan Teladan ini adalah dari usaha sapu lidi dan yang terendah adalah usaha pupuk. Lingkungan usaha UMKM berbasis kelapa sawit di Kelurahan Adil Makmur menunjukkan bahwa jenis usaha: pakan ternak, sapu lidi dan pupuk merupakan aspek lingkungan usaha yang strategis untuk dikembangkan di Kawasan Sei Mangkei dengan tingkat persentase

155


Inovasi Vol. 11 No. 2 Juni 2014: 150-158

bahwa jenis usaha pakan ternak dan sapu lidi merupakan aspek lingkungan usaha yang strategis untuk dikembangkan di Kawasan Sei Mangkei dengan tingkat persentase kestrategisan lingkungan usaha sebesar 66%. Sedangkan pupuk merupakan jenis usaha yang cukup strategis untuk dikembangkan dengan tingkat persentase sebesar 34%. Lingkungan usaha UMKM berbasis kelapa sawit di Kelurahan Sei Torop menunjukkan bahwa jenis usaha pakan ternak merupakan aspek lingkungan usaha yang strategis untuk dikembangkan di Kawasan Sei Mangkei dengan tingkat persentase kestrategisan lingkungan usaha sebesar 14%. Sedangkan sapu lidi, pupuk, sabun, sampo, furnitur dan kompos merupakan jenis usaha yang cukup strategis untuk dikembangkan dengan tingkat persentase sebesar 86%. Lingkungan usaha UMKM berbasis kelapa sawit di Kelurahan Sidomulyo menunjukkan bahwa jenis usaha pakan ternak dan sapu lidi merupakan aspek lingkungan usaha yang strategis untuk dikembangkan di Kawasan Sei Mangkei dengan tingkat persentase kestrategisan lingkungan usaha sebesar 33%. Sedangkan pupuk, minyak goreng, sabun dan furnitur merupakan jenis usaha yang strategis untuk dikembangkan dengan tingkat persentase sebesar 67%. Lingkungan usaha UMKM berbasis kelapa sawit di Kelurahan Teladan menunjukkan bahwa jenis usaha sapu lidi merupakan aspek lingkungan usaha yang strategis untuk dikembangkan di Kawasan Sei Mangkei dengan tingkat persentase kestrategisan lingkungan usaha sebesar 16%. Sedangkan pakan ternak, pupuk, minyak goreng, sabun dan sampo merupakan jenis usaha yang strategis untuk dikembangkan dengan tingkat persentase sebesar 84%. Sumber bahan baku UMKM berbasis kelapa sawit di Kelurahan Adil Makmur menunjukkan bahwa jenis usaha pakan ternak, sapu lidi, pupuk, minyak goreng dan furnitur bersumber dari sumber lokal, namun sumber bahan baku pakan ternak, minyak goreng dan furnitur juga diperoleh dari kelurahan lain. Tingkat persentase penggunaan sumber bahan baku lokal sebesar 62,5%, sedangkan untuk sumber bahan baku dari kelurahan lain sebesar 37,5%. Sumber bahan baku UMKM berbasis sawit di Kelurahan Boluk menunjukkan bahwa jenis usaha pakan ternak, sapu lidi, pupuk, minyak goreng dan furnitur bersumber dari sumber lokal, namun sumber bahan baku pakan ternak, minyak goreng dan furnitur juga diperoleh dari kelurahan lain. Tingkat persentase penggunaan

sumber bahan baku lokal sebesar 43,5%, sedangkan untuk sumber bahan baku dari kelurahan lain sebesar 56,5%. Sumber bahan baku UMKM berbasis kelapa sawit di Kelurahan Gunung Bayu menunjukkan bahwa jenis usaha pakan ternak dan sapu lidi bersumber dari sumber lokal, namun sumber bahan baku pupuk diperoleh dari kelurahan lain. Tingkat persentase penggunaan sumber bahan baku lokal sebesar 40%, sementara untuk sumber bahan baku dari kelurahan lain sebesar 60%. Sumber bahan baku UMKM berbasis kelapa sawit di Kelurahan Marihat Butar menunjukkan bahwa jenis usaha pakan ternak, sapu lidi, pupuk, minyak goreng dan furnitur bersumber dari sumber lokal, sementara itu juga sumber bahan baku pakan ternak, sapu lidi, pupuk, minyak goreng, sabun, furniture dan kompos diperoleh dari kelurahan lain. Tingkat persentase penggunaan sumber bahan baku lokal sebesar 41,7 % dan sumber bahan baku dari kelurahan lain sebesar 58,3%. Sumber bahan baku UMKM berbasis kelapa sawit di Kelurahan Marihat Tanjung menunjukkan bahwa jenis usaha pakan ternak, sapu lidi dan pupuk bersumber dari sumber lokal, sementara itu juga sumber bahan baku pakan ternak, pupuk, minyak goreng, sabun, sampo dan kompos diperoleh dari kelurahan lain. Tingkat persentase penggunaan sumber bahan baku lokal sebesar 33,4%, sedangkan untuk sumber bahan baku dari kelurahan lain sebesar 66,6%. Sumber bahan baku UMKM berbasis kelapa sawit di Kelurahan Mayang menunjukkan bahwa jenis usaha pakan ternak, sapu lidi, pupuk, dan furnitur bersumber dari sumber lokal, namun sumber bahan baku pakan ternak, sapu lidi, pupuk, sabun, sampo, furniture juga diperoleh dari kelurahan lain. Tingkat persentase penggunaan sumber bahan baku lokal sebesar 40%, sedangkan sumber bahan baku dari kelurahan lain sebesar 60%. Sumber bahan baku UMKM berbasis kelapa sawit di Kelurahan Sei Mangkei menunjukkan bahwa jenis usaha pakan ternak, sapu lidi dan pupuk bersumber baik dari lokal maupun kelurahan lain. Tingkat persentase penggunaan sumber bahan baku lokal dan kelurahan lain masing-masing sebesar 50%. Sumber bahan baku UMKM berbasis kelapa sawit di Kelurahan Sei Torop menunjukkan bahwa jenis usaha pakan ternak, sapu lidi, pupuk dan furnitur bersumber dari sumber lokal, namun sumber bahan baku pakan ternak, sapu lidi, pupuk, sabun, sampo, furniture dan kompos diperoleh dari kelurahan lain. Tingkat 156


Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat di Kawasan Sei Mangkei untuk Mendukung Program MP3EI (Sahat Christian Simanjuntak)

Rata-rata penerimaan UMKM terbesar di Desa Mangkai Baru berdasarkan urutannya diperoleh dari pakan ternak, sapu lidi, furniture dan pupuk. UMKM yang ada di Desa Mangkai Baru juga belum berkembang dengan baik, hal ini ditandai dengan jenis-jenis produk-produk yang dihasilkan masih dengan kualitas rendah. Keuntungan yang terbesar dari usaha UMKM yang terdapat di Desa Mangkai Baru adalah dari pakan ternak dan terendah dari sapu lidi. Lingkungan usaha UMKM berbasis sawit di Desa Lima Puluh Kota menunjukkan bahwa jenis usaha pakan ternak, sapu lidi dan pupuk memiliki aspek lingkungan usaha yang strategis untuk dikembangkan di Kawasan Sei Mangkei dengan tingkat persentase kestrategisan lingkungan usaha sebesar 38%. Sedangkan untuk pakan ternak, sapu lidi, pupuk sabun dan furniture merupakan lingkungan usaha yang cukup strategis untuk dikembangkan dengan tingkat persentase kestrategisan lingkungan usaha sebesar 62%. Lingkungan usaha UMKM berbasis kelapa sawit di Desa Lubuk Besar menunjukkan bahwa jenis usaha pakan ternak, sapu lidi dan pupuk memiliki aspek lingkungan usaha yang strategis untuk dikembangkan di Kawasan Sei Mangkei dengan tingkat persentase kestrategisan lingkungan usaha sebesar 100%. Lingkungan usaha UMKM berbasis sawit di Desa Mangkai Baru menunjukkan bahwa jenis usaha pakan ternak, sapu lidi dan pupuk merupakan aspek lingkungan usaha yang strategis untuk dikembangkan di Kawasan Sei Mangkei dengan tingkat persentase kestrategisan lingkungan usaha sebesar 60%. Sedangkan untuk minyak goreng dan furniture merupakan lingkungan usaha yang cukup strategis untuk dikembangkan dengan tingkat persentase kestrategisan lingkungan usaha sebesar 40%. Sumber bahan baku UMKM berbasis sawit Desa Lima Puluh Kota menunjukkan bahwa jenis usaha pakan ternak, sapu lidi, pupuk, minyak goreng dan furnitur bersumber dari sumber lokal, sedangkan sumber bahan baku pakan ternak, minyak goreng dan furniture juga diperoleh dari kelurahan lain. Tingkat persentase penggunaan sumber bahan baku lokal sebesar 62,5% untuk sumber bahan baku dari kelurahan lain sebesar 37,5%. Sumber bahan baku UMKM berbasis sawit Desa Lubuk Besar menunjukkan bahwa jenis usaha pakan ternak, sapu lidi, dan pupuk bersumber dari sumber lokal, namun sumber bahan baku pakan ternak, minyak goreng dan furniture juga diperoleh dari kelurahan lain. Tingkat persentase penggunaan sumber bahan

persentase penggunaan sumber bahan baku lokal sebesar 36%, sementara itu untuk sumber bahan baku dari kelurahan lain sebesar 64%. Sumber bahan baku UMKM berbasis kelapa sawit di Kelurahan Sidomulyo menunjukkan bahwa jenis usaha pakan ternak dan sapu lidi bersumber dari sumber lokal, namun sumber bahan baku pakan ternak, sapu lidi, pupuk, minyak goreng, sabun dan furniture juga diperoleh dari kelurahan lain. Tingkat persentase penggunaan sumber bahan baku lokal sebesar 25%, sementara itu untuk sumber bahan baku dari kelurahan lain sebesar 75%. Sumber bahan baku UMKM berbasis kelapa sawit di Kelurahan Teladan menunjukkan bahwa jenis usaha pakan ternak, sapu lidi dan pupuk bersumber dari sumber lokal, namun sumber bahan baku pakan ternak, pupuk, minyak goreng, sabun dan furnitur juga diperoleh dari kelurahan lain. Tingkat persentase penggunaan sumber bahan baku lokal sebesar 37,5%, sedangkan sumber bahan baku dari kelurahan lain sebesar 62,5%. Pemberdayaan UMKM berbasis sawit di Kabupaten Batubara juga membutuhkan suatu pendekatan baru yang terdesentralisasi dan bersifat bottom–up. Pengelolaan UMKM berbasis kelapa sawit di sekitar Kawasan Sei Mangkei Kabupaten Batubara selama ini telah berlangsung seiring dengan semakin berkembangnya perkebunan kelapa sawit yang berada di sekitar kawasan tersebut. Penerimaan rata-rata UMKM terbesar di Desa Lima Puluh Kota berdasarkan urutannya diperoleh dari usaha pakan ternak, furniture, sabun, pupuk dan sapu lidi. UMKM yang ada di Desa Lima Puluh Kota masih belum berkembang sebagaimana mestinya, hal ini ditandai dengan jenis-jenis produk-produk yang dihasilkan dengan kualitas rendah. Keuntungan yang terbesar dari usaha UMKM yang terdapat di Desa Lima Puluh Kota adalah dari pakan ternak dan terendah dari usaha sapu lidi. Kondisi ini terjadi disebabkan usaha yang dilakukan di daerah ini masih menggunakan teknologi sederhana dengan kemampuan sumberdaya manusia yang juga terbatas. Adapun penerimaan rata-rata UMKM terbesar di Desa Lubuk Besar berdasarkan urutannya diperoleh dari usaha pupuk, pakan ternak, dan sapu lidi. UMKM yang ada di Desa Lubuk Besar masih belum berkembang sebagaimana mestinya, hal ini ditandai dengan jenis-jenis produk-produk yang dihasilkan juga dengan kualitas rendah. Keuntungan yang terbesar dari usaha UMKM yang terdapat di Desa Lubuk Besar adalah dari pupuk dan terendah dari usaha sapu lidi.

157


Inovasi Vol. 11 No. 2 Juni 2014: 150-158

baku lokal sebesar 50% untuk sumber bahan baku dari kelurahan lain sebesar 50%. Sumber bahan baku UMKM berbasis sawit Desa Mangkai Baru menunjukkan bahwa jenis usaha pakan ternak, sapu lidi, pupuk, minyak goreng dan furniture bersumber dari sumber lokal, namun sumber bahan baku pakan ternak, minyak goreng dan furnitur juga diperoleh dari kelurahan lain. Tingkat persentase penggunaan sumber bahan baku lokal sebesar 62,5% untuk sumber bahan baku dari kelurahan lain sebesar 37,5%.

DAFTAR PUSTAKA Almasdi Syahza,, 2002. Potensi Pembangunan Industri Hilir Kelapa Sawit di Daerah Riau, Usahawan Indonesia. Nomor 04/TH XXXI April 2002. Lembaga Manajemen FE UI, Jakarta. Chambers, Robert. 1995. “Poverty and Livelihood: Whose Reality Count?” People From Improverishment to Empowemnet. Uner Kirdar dan Leonard Silk (ed.). New York: New York University Press. Brown, Donald. 1995. “Poverty-Growth Dichotomy”, People From Impoverishment to Empowerment. Uner Kirdar dan Leonard Silk (ed.). New York: New York University Press.

KESIMPULAN Berdasarkan hasil analisa sebagaimana dalam pembahasan di atas, maka dapat disimpulkan sebagai berikut : Potensi UMKM berbasis kelapa sawit beserta turunannya yang ada di sekitar Kawasan Sei Mangkei masih sangat sedikit yang diusahkan oleh masyarakat dan dikelola secara sederhana atau tradisional dengan jenis usaha yang dikembangkan adalah pakan ternak, sapu lidi, minyak goreng, sabun dan furniture. UMKM yang berada di sekitar Kawasan Sei Mangkei masih sangat lemah dan memiliki keterbatasan dalam hal: aspek administrasi, inovasi, informasi dan wilayah pemasaran hasil produksi UMKM yang sebagian besar masih bersifat lokal. Sumber bahan baku pelaku UMKM sebagian besar diperoleh dari perkebunan kelapa sawit yang berada di sekitar Kawasan Sei Mengkei.

Friedman, John. 1992. Empowerment: The Politics of Alternative Development. Cambridge: Blackwell. Hadi, Sutrisno. 1996. Yogyakarta: Andi Offset.

Metodologi Research I.

Iwantono, Sutrisno. 2008. Kiat Sukses Berwirausaha : Strategi Baru Mengelola Usaha Kecil dan Menengah. Jakarta: PT. Grasindo. Kartasasmita, Ginanjar. 1996. Pemberdayaan Masyarakat: Konsep Pembangunan yang Berakar pada Masyarakat. Jakarta: Bappenas. Mubyarto. 1998, Pengantar Ekonomi Pertanian. Jakarta: Pustaka LP3ES. Prijono, Onny S. Prijono dan Pranarka, A.M.W. 1996. Pemberdayaan : Konsep, Kebijakan dan Implementasi. Jakarta: CSIS.

REKOMENDASI Beberapa saran dan rekomendasi yang dapat disampaikan sebagai berikut: 1. Pemerintah Provinsi Sumatera Utara bersama dengan Kabupaten Simalungun dan Kabupaten Batubara yang berada di sekitar Kawasan Sei Mangkei agar memprioritaskan pengembangan sentra UMKM yang berbasis kelapa sawit beserta turunannya dengan jenis-jenis yang dapat dikembangkan diantaranya adalah pakan ternak, sapu lidi, minyak goreng, sabun, furniture dengan menggunakan teknologi maju. 2. Dinas Koperasi dan UKM dan Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Sumatera Utara dengan Kabupaten Simalungun dan Kabupaten Batubara dapat mengembangkan sentra UMKM yang berbasis kelapa sawit guna mendukung pemberdayaan ekonomi masyarakat di sekitar Kawasan Sei Mangkei melalui pembinaan, bantuan manajemen dan teknis, permodalan, teknologi serta informasi dan pemasaran secara berkesinambungan.

Ranis, Gustav. 1995. “Reducing Poverty: Horizontal Flows Instead of Trickle Down”, People From Impoverishment To Empowerment. Uner Kirdar dan Leonard Silk (ed.). New York: New York University Press. Sumodiningrat, Gunawan. 1999. Pemberdayaan Masyarakat dan Jaringan Pengaman Sosial. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

158


Pedoman Penulisan Naskah Ilmiah Jurnal INOVASI Jurnal INOVASI memuat karya tulis ilmiah hasil penelitian atau tinjauan kepustakaan dalam bidang pemerintahan dan kemasyarakatan, sosial budaya, ekonomi dan pembangunan, sumberdaya alam dan maritim sebagai bahan kebijakan dan wawasan berpolitik. Jurnal INOVASI terbit empat kali dalam setahun setiap bulan Maret, Juni, September dan Desember.

g.

h.

Naskah yang akan diterbitkan dalam Jurnal INOVASI Balitbang Provinsi Sumatera Utara, harus memenuhi ketentuan berikut : Bentuk Naskah 1. Naskah berupa karya asli yang belum pernah dipublikasikan di tempat lain dan tidak sedang diajukan ke tempat lain. 2. Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris sesuai dengan kaidah masingmasing bahasa yang digunakan. Komponen Naskah Komponen utama naskah wajib mencantumkan dan memuat hal-hal berikut: a. Judul, dalam bahasa Indonesia disertai dengan terjemahannya dalam bahasa Inggris, ditulis dengan jelas menggambarkan isi tulisan. b. Identitas Penulis, dimuat di bawah judul tulisan, memuat nama, alamat korespondensi dan e-mail. c. Abstrak ditulis dalam Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris beserta kata kunci sebanyak 37. Abstrak ditulis dalam 1 alinea berisi latar belakang masalah, tujuan penelitian, hasil, dan rekomendasi. Panjang abstrak dibatasi 200450 kata. d. Pendahuluan, tidak menggunakan subjudul, berisi penjelasan padat dan ringkas tentang latar belakang dilakukannya penelitian, studi pustaka yang mendukung dan relevan, serta tujuan penelitian. e. Metode berisikan disain penelitian yang digunakan, lokasi penelitian, populasi, sampel, sumber data, instrumen, pendekatan terhadap analisis data serta teknik analisis/ uji statistik yang digunakan. Bagian metode ditulis tanpa subjudul. f. Hasil dan Pembahasan, adalah temuan penelitian yang disajikan apa adanya tanpa pendapat penulis, kemudian dilanjutkan dengan bahasan argumentatif-interpretatif tentang jawaban terhadap hasil penelitian yang ditulis secara sistematis sesuai tujuan penelitian dan relevan dengan penelitian

i.

j.

terdahulu. Bagian Hasil dan Pembahasan ditulis tanpa subjudul. Kesimpulan menjawab tujuan penelitian tanpa melampauinya. Sedapat mungkin bagian kesimpulan ditulis dalam bentuk narasi. Rekomendasi berisi usulan-usulan kebijakan yang memungkinkan dihasilkan, berisi bentuk dan telaahannya untuk dilaksanakan mengacu pada prinsip tepat-guna, logis dan relevan. Jika tidak memungkinkan dalam bentuk narasi, rekomendasi dapat dibuat dalam bentuk butir-butir rekomendasi. Daftar Pustaka menuliskan sesuai dengan acuan model Harvard (lihat contoh), berurutan sesuai abjad. Jumlah kepustakaan untuk tulisan hasil penelitian minimum 10 rujukan sementara untuk Tinjauan Kepustakaan minimum 20 rujukan. Ucapan Terima Kasih, jika ada, merupakan wujud penghargaan kepada pihak-pihak yang terlibat dalam penelitian atau penulisan naskah.

Tabel dan Gambar Tabel, gambar dan grafik dapat terbaca dengan jelas serta diberi penjelasan yang memadai, mudah dipahami dan proporsional. Judul tabel diletakkan di atas tabel dan judul gambar di bawah gambar. Tabel dan atau gambar yang diacu dari sumber lain harus disebutkan, kecuali merupakan hasil penelitian penulisnya sendiri. Peta yang dicantumkan dalam tulisan harus dibuat dalam resolusi yang tinggi sehingga memudahkan pencetakkan dan menampilkan hasil yang baik. Penulis yang mencantumkan peta diminta untuk membayar tambahan biaya pencetakan peta dimaksud. Contoh Penulisan Daftar Pustaka Buku Abel, R. 2004. Revolusi Kesehatan Mata: Pencegahan dan Pengembalian Masalah Penglihatan. New York: Kensington Book Chaniago, A. 2010. Studi Pustaka dan Konseptualisasi Penelitian. Dalam: Zaluchu, F. Metodologi Penelitian Kesehatan. Bandung: Citapustaka Media, hal 79-92. Artikel dari Jurnal Ang, L. dan Taylor, B. 2005. Memanajemen Keuntungan Konsumen Menggunakan Matriks Portofolio. Jurnal Pemasaran dan Manajemen Konsumen Strategik 12 (5), hal 298-304 Bagian di dalam buku Ballinger, A. dan Clark, M. 2001. Nutrisi, Pengendalian Nafsu Makan dan Penyakit. Dalam: Payne-James, J. dkk.


editor. Dukungan Artifisial bagi Praktik Klinik. Edisi kedua. London: Greenwich Medical, hal 225-239 Laporan Komisi Eropa. 2004. Laporan Pendahuluan terhadap Implementasi dari Strategi Pemasaran Internal 2003-2006. Luxemburg: Unit Publikasi Komisi Eropa. Konferensi Fiedelius, H.C. 2000. Miopi dan Penurunan Visual: Aspek Global. Dalam: Lin, L.L.K. dkk. editor. Miopia Terbarukan II: Prosiding Konferensi Internasional ke-7. Taipei, 17-20 Nopember 1998. Tokyo: Springer, hal 31-37. Tesis Garcia-Sierra, A. 2000. Investigasi Penyebab Ca-Serviks pada Wanita Usia Subur di Perkotaan. Tesis PhD, Universitas Indonesia. Jurnal Artikel Elektronik (yang diunduh) Merchant, A.T. 2009. Diet dan Aktifitas Fisik pada AnakAnak di Kawasan Kumuh Perkotaan: sebuah Studi Cross Sectional. Jurnal Nutrisi [Online] Edisi 6. Dari: http://www.nutritionj.com/content/pdf/1475-28916.1.pdf [Diakses: 10 Mei 2007]. Web Page (yang dibaca) Thompson, B. 2006. Mengapa Balita Butuh ASI [Online]. Dari: http://news.bbc.co.uk/1/hi/health/459876 [Diakses: 10 Mei 2007]. Depkes RI. 2006. Panduan Imunisasi [Online]. Dari: http://www.depkes.go.id/bayi_panduan_imunisasi/2345 [Diakses: 19 Februari 2011].

Penulisan Naskah dituliskan dengan menggunakan Times New Roman 12, maksimal 20 halaman A4 spasi ganda, ditulis dengan program komputer Microsoft Word. Prosedur Naskah Naskah yang masuk hendaknya diterima 2 (dua) bulan sebelum waktu penerbitan untuk di-review oleh anggota dewan redaksi dan reviewer (mitra bestari) yang ditunjuk oleh Dewan Redaksi. Dewan Redaksi berhak menolak naskah ilmiah yang dianggap tidak layak muat di Jurnal Inovasi. Naskah diserahkan dalam 2 (dua) media yaitu hardcopy dan softcopy yang keduanya harus memuat isi yang sama. Nama file, judul dan nama penulis naskah dituliskan pada label CD. Pengiriman naskah ke alamat redaksi melalui surat elektronik ke : inovasibpp@gmail.com atau melalui pos ke : Dewan Redaksi Jurnal INOVASI Badan Penelitian Dan Pengembangan Provinsi Sumatera Utara Jl. Sisingamangaraja No. 198 Medan 20126 Redaksi berhak menolak naskah yang isi dan formatnya tidak sesuai dengan pedoman

penulisan naskah di atas dan redaksi tidak berkewajiban untuk mengembalikan naskah tersebut. Setiap penerimaan atau penolakan naskah akan disertai dengan surat resmi yang ditandatangani oleh Dewan Redaksi dan dikirimkan kepada penulis. Setiap penulis yang karya tulisnya telah diterbitkan, akan mendapat satu buah cetak lepas dan satu buah full print. Hak Cipta Setiap penulis menyetujui untuk mengalihkan hak ciptanya ke Jurnal Inovasi jika naskahnya diterima untuk diterbitkan.


INOVASI – Vol. 11, No.2, Juni 2014, halaman 83 - 158

Alamat Redaksi : BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PROVINSI SUMATERA UTARA Jl. Sisingamangaraja No. 198 Medan 20126 Tel. (061) 7866225; 7883016; Fax. (061) 7866248 Email : inovasibb@gmail.com


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.