Jurnal Inovasi Maret 2015

Page 1

ISSN 1829-8079

INOVASI JURNAL POLITIK DAN KEBIJAKAN Vol. 12 No. 1, Maret 2015

Analisis Kebutuhan Hutan Kota Di Kota Medan, Sumater a Utar a (Johansen Silalahi, Subarudi) Potensi Tumbuhan, Aktivitas Masyar akat Dan Kebijakan Pengelolaan Habitat Siamang (Hylobates Syndactylus Raffles) Pada Hutan Pr oduksi Di Kabupaten Tapanuli Selatan (Wanda Kuswanda) Kapasitas Dan Budaya Bir okr asi Dalam Aksesibilitas Infor masi Publik Ber basis E-Government Di Sidoar jo (Totok Wahyu Abadi, Nunung Prajarto, Budi Guntoro) Per bandingan Hasil Belajar Akuntansi Dengan Menggunakan Pembelajar an Aktif (Active Learning) Tipe Quiz Team Dan Konvensional Pada Siswa Kelas X Ak SMK Neger i 1 Pematangsiantar Tahun Pelajar an 2014/2015 (Lisbet Novianti Sihombing) Analisis Faktor – Faktor Yang Mempengar uhi Per tumbuhan Investasi Di Kabupaten Kutai Kar tanegar a Pr ovinsi Kalimantan Timur (Muhammad Soleh Pulungan) Str ategi Pengembangan Pusat Inovasi Usaha Mikr o Kecil Dan Menengah (UMKM) Di Pr ovinsi Banten (O. Oktaviana, D.T. Bachruddin) Kebijakan Pemer intah Dalam Mendor ong Inovasi UKM : Kajian Pembiayaan Modal Ventur a Bagi UKM (Sri Mulatsih)

Diterbitkan oleh :

Badan Penelitian dan Pengembangan Provinsi Sumatera Utara Inovasi Vol. 12 No. 1

Hal. 1 - 76

Medan Maret 2015

ISSN 1829 - 8079

Terakreditasi sebagai Majalah Berkala Ilmiah dengan Nomor Akreditasi: 532/AU2/P2MI-LIPI/04/2013


Volume 12, Nomor 1

Maret 2015

ISSN 1829-8079

Jurnal INOVASI adalah jurnal ilmiah bidang ilmu politik dan kebijakan yang terakreditasi dengan Nomor Akreditasi: 532/AU2/P2MI-LIPI/04/2013 berdasarkan Surat Keputusan Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Nomor : 377/E/2013 tanggal 16 April 2013 Jurnal INOVASI sebagai media litbang Provinsi Sumatera Utara memuat karya tulis ilmiah hasil penelitian atau tinjauan kepustakaan dalam bidang pemerintahan dan kemasyarakatan, sosial budaya, ekonomi dan pembangunan, sumberdaya alam dan maritim sebagai bahan kebijakan dan wawasan berpolitik yang terbit empat kali dalam setahun setiap bulan Maret, Juni, September dan Desember.

Penanggung Jawab Redaktur

Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Provinsi Sumatera Utara Prof. Dr. H. Syaiful Sagala, S.Sos, M.Pd (Pendidikan, Universitas Negeri Medan) Prof. Dr. Dra. Ida Yustina, M. Si (Kesehatan, Universitas Sumatera Utara) Prof. Dr. Marlon Sihombing MA (Kebijakan Publik, Universitas Sumatera Utara) Prof. Dr. Ir. Nurhayati, MP (Pertanian, Universitas Islam Sumatera Utara) Ir. Hendarman, M.Sc., PhD (Pendidikan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan) Iskandar Muda, SE, M.Si., Ak (Ekonomi, Universitas Sumatera Utara) Jonni Sitorus, ST., M.Pd (Pendidikan, Balitbang Provinsi Sumut)

Penyunting

Ir. E. Harso Kardhinata, M.Sc Porman Juanda Marpomari Mahulae, ST Nobrya Husni, ST Dumora Jenny Margaretha Siagian, ST Silvia Darina, SP Sahat C. Simanjuntak, ST Anton Parlindungan Sinaga, ST

Sekretariat

Ir. Hj. Ritha Lisda Lubis, M.Hum Drs. Darwin Lubis, MM Irwan Purnama Putra, SE

Mitra Bestari Volume 12 12, Nomor 1, Maret 2015 2015 Badaruddin (Sosial dan Politik, Universitas Sumatera Utara) Zulkifli Nasution (Pertanian, Universitas Sumatera Utara Julaga Situmorang (Pendidikan, Universits Negeri Medan) Harso Kardinata (Pertanian, Universits Sumatera Utara) Fotarisman Zhaluchu (Kesehatan, Kabupaten Nias) Gustam Lubis (Teknik, Institut Teknologi Medan) Zahari Zein (Lingkungan, Universitas Sumatera Utara) Alamat Penerbit : BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PROVINSI SUMATERA UTARA Jl. Sisingamangaraja No. 198 Medan 20126 Tel. (061) 7866225; 7883016 - Fax. (061) 7866248 Website : http://balitbang.sumutprov.go.id Email : inovasibpp@gmail.com


PENGANTAR REDAKSI

Pembaca yang terhormat, Jurnal inovasi kembali hadir di tengah-tengah para pembaca dan peminat ilmu pengetahuan sekalian. Pada edisi kali ini kami menyajikan berbagai tulisan dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan. Tulisan berjudul Analisis Kebutuhan Hutan Kota Di Kota Medan, Sumatera Utara dan Potensi Tumbuhan, Aktivitas Masyarakat Dan Kebijakan Pengelolaan Habitat Siamang (Hylobates Syndactylus Raffles) Pada Hutan Produksi Di Kabupaten Tapanuli Selatan merupakan tulisan di bidang lingkungan yang menjadi pembuka dalam edisi ini. Kemudian diikuti tulisan yang berjudul Kapasitas Dan Budaya Birokrasi Dalam Aksesibilitas Informasi Publik Berbasis E-Government Di Sidoarjo di bidang kebijakan publik dan Perbandingan Hasil Belajar Akuntansi Dengan Menggunakan Pembelajaran Aktif (Active Learning) Tipe Quiz Team Dan Konvensional Pada Siswa Kelas X Ak SMK Negeri 1 Pematangsiantar Tahun Pelajaran 2014/2015 di bidang pendidikan. Pada bidang ekonomi terdapat tulisan yang berjudul Analisis Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Pertumbuhan Investasi Di Kabupaten Kutai Kartanegara Provinsi Kalimantan Timur dan Strategi Pengembangan Pusat Inovasi Usaha Mikro Kecil Dan Menengah (UMKM) Di Provinsi Banten, serta sebuah tinjauan kepustakaan berjudul Kebijakan Pemerintah Dalam Mendorong Inovasi UKM: Kajian Pembiayaan Modal Ventura Bagi UKM yang menjadi penutup pada edisi ini. Kembali kami mengharapkan semoga tulisan-tulisan ini menjadi media bagi kita untuk mengetahui perkembangan dan mengevaluasi penelitian yang sudah pernah dilakukan. Terima kasih dan selamat membaca. -Dewan Redaksi-


Volume 12, Nomor 1

Maret 2015

ISSN 1829-8079

bebas.. Lembar abstrak ini boleh diperbanyak/dicopy Kata kunci yang ddiicantumkan adalah istilah bebas tanpa ijin dan biaya. DDC 635.977 Johansen Silalahi, Subarudi Analisis Kebutuhan Hutan Kota di Kota Medan, Sumatera Utara Inovasi, Jurnal Politik dan Kebijakan, Maret 2015, Vol 12, No. 1, halaman 303-310 Tingginya aktivitas ekonomi suatu wilayah perkotaan seperti Kota Medan berdampak pada terhadap kualitas lingkungan wilayah tersebut. Penurunan kualitas udara dalam bentuk gas karbondioksida (CO2). Salah satu upaya untuk menekan konsentrasi CO2 di udara perkotaan yaitu dengan menerapkan konsep area hijau atau yang lebih dikenal dengan pembangunan ruang terbuka hijau (RTH). Salah satu RTH yang sesuai dengan perkotaan adalah area hijau. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kecukupan luasan area hijau yang dibutuhkan untuk mengabsorsi emisi yang dihasilkan di Kota Medan. Untuk itu, perlu diidentifikasi kondisi area hijau yang sudah ada yaitu di tiga titik areal hijau di Kota Medan, yaitu: Taman Beringin (TB) di Kecamatan Medan Baru, Bumi Perkemahan Pramuka Cadika (BPPC) di Kecamatan Medan Johor dan Kebun Binatang (KB) di Kecamatan Medan Tuntungan. Ketiga kawasan areal hijau tersebut di atas dipilih karena telah ditetapkan dalam surat Keputusan Walikota Medan Nomor: 522/043 K tanggal 24 Januari 2007 dan Peraturan Daerah Nomor 13 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Medan Tahun 2011-2031. Total emisi wilayah diestimasi dari dua aspek yaitu emisi dari bahan bakar dan emisi yang dihasilkan penduduk. Hasil penelitian menunjukkan luasan area hijau yang ada saat ini belum mampu menyerap total emisi yang dilepaskan. Kota Medan menghasilkan total emisi sebesar 27.746 Gg CO2. Dibutuhkan penambahan area hijau seluas sekitar 474.836 ha dari luas kota Medan sesuai dengan kemampuan menyerap emisi di wilayah. Pemerintah Kota Medan perlu menggalakkan program penanaman pohon dengan jenis pohon yang memiliki daya serap CO2 tinggi seperti pohon Mahoni, Krei Payung dan Beringin untuk mengatasi pencemaran/pemanasan udara. Pemerintah Kota Medan perlu juga membuat kebijakan pembatasan kendaraan pribadi dengan menaikkan pajak kendaran dan hasil pajaknya dapat dimanfaatkan untuk menambahkan jumlah kendaraan umum untuk transportasi publik. Kata Kunci: Area hijau, emisi dan daya serap CO2, luasan ideal DDC 639.92 Wanda Kuswanda Potensi Tumbuhan, Aktivitas Masyarakat dan Kebijakan Pengelolaan Habitat Siamang (Hylobates syndactylus Raffles) Pada Hutan Produksi di Kabupaten Tapanuli Selatan Inovasi, Jurnal Politik dan Kebijakan, Maret 2015, Vol 12, No.1, halaman 311-322

Kerusakan dan berkurangnya kawasan hutan produksi di Sumatera Utara mengakibatkan siamang terus terisolasi dan terfragmentasi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran potensi tumbuhan, aktivitas masyarakat dan strategi kebijakan dalam pengelolaan habitat siamang pada hutan produksi di Kabupaten Tapanuli Selatan, Sumatera Utara. Penelitian dilakukan pada kawasan hutan produksi di daerah Desa Marsada dan Desa Sampean, Kecamatan Sipirok, dari tahun 2013 s/d 2014. Pengumpulan data potensi tumbuhan melalui pembuatan plot analisis vegetasi menggunakan metode garis berpetak (strip transect method), data aktivitas masyarakat melalui penyebaran kuisioner dan wawancara serta pengamatan secara deskriptif. Analisis data mengunakan persamaan kerapatan tumbuhan, tabel frekuensi dan analisis deskriptif. Hasil penelitian menunjukan bahwa potensi kerapatan tumbuhan pada hutan produksi jauh lebih kecil dibanding pada hutan lindung dan hutan konservasi, dengan kerapatan pada tingkat pohon sekitar 285 individu per ha. Berbagai aktivitas masyarakat yang dapat mengancam kelestarian habitat siamang diantaranya pengambilan dan pemanfaatan sumber daya hutan, pembukaan lahan, pembakaran hutan dan pengembangan infrastruktur. Strategi kebijakan yang direkomendasikan untuk dikembangkan dalam pengelolaan habitat siamang pada hutan produksi adalah mempertahankan ekosistem yang masih utuh, melalukan rehabilitasi dengan pemilihan jenis tanaman yang tepat dan sesuai, membangun koridor untuk menghubungkan dengan hutan konservasi, pengkayaan habitat dan pelibatan masyarakat dalam pengelolaan hutan dan jasa lingkungan. Pemerintah daerah Sumatera Utara perlu segera membentuk Tim Satuan Tugas Pengamanan Hutan yang membantu perlindungan habitat dan populasi siamang serta menciptakan model ekonomi alternatif bagi masyarakat yang tidak membutuhkan lahan olahan yang luas, seperti peternakan, perikanan dan usaha lebah madu. Kata Kunci: siamang, hutan produksi, habitat, masyarakat, Tapanuli DDC 351 Totok Wahyu Abadi, Nunung Prajarto, Budi Guntoro Kapasitas Dan Budaya Birokrasi Dalam Aksesibilitas Informasi Publik Berbasis E-Government Di Sidoarjo Inovasi, Jurnal Politik dan Kebijakan, Maret 2015, Vol 12, No.1, halaman 323-335 Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dan menjabarkan kapasitas yang meliputi kesiapan, komitmen, dan kepemimpinan, serta struktur organisasi yang dapat berpengaruh terhadap budaya birokrasi dalam peningkatan aksesibilitas informasi berbasis website di Kabupaten Sidoarjo. Penelitian dengan menggunakan pendekatan mix methods ini dilaksanakan di Kabupaten Sidoarjo dengan sampel sebanyak 60 pegawai pemerintah daerah Sidoarjo sebagai responden


dan enam kepala sub-bidang/sub-bagian sebagai informan. Melalui teknik simple random dan purposive sampling, penelitian ini menggunakan teknik penganalisisan regresi berganda dan interaktif. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kesiapan birokrasi dalam memberikan akses informasi melalui website termasuk cukup siap. Pemerintah daerah Kabupaten Sidoarjo memiliki komitmen yang baik dalam layanan informasi publik berbasis web. Sedangkan kempemimpinan, struktur organisasi, budaya birokrasi dalam aksesibilitas informasi on-line termasuk cukup baik. Aksesibilitas informasi publik berbasis e-government juga termasuk baik (71,01%). Aksesibilitas informasi yang baik tersebut didorong oleh adanya keterbukaan badan publik dalam menginformasikan secara aktif kepada masyarakat baik diminta ataupun tidak; ketersediaan informasi baik kuantitas maupun kualitas serta media yang digunakan untuk menginformasikan maupun memperoleh informasi; kemudahan penggunaan media dalam memperoleh informasi secara cepat, tepat, berbiaya murah, mudah dipahami, dan sederhana caranya/prosedur; kecepatan untuk mendownload/memperoleh informasi; dan kenyamanan dalam mendapatkan/menyampaikan informasi ataupun berinteraksi dengan pemerintah. Secara simultan variabel–variabel bebas seperti kesiapan, komitmen, kepemimpinan, dan struktur organisasi berpengaruh secara signifikan terhadap budaya birokrasi dalam memberikan akses informasi kepada masyarakat. Faktor-faktor yang paling berpengaruh terhadap budaya birokrasi dalam layanan aksesbilitas informasi publik berbasis e-government adalah kepemimpinan dan struktur birokrasi. Besarnya pengaruh kedua faktor tersebut masing– masing adalah 13,9% dan 25% dengan kekuatan regresi sebesar 54,8% dan sisanya 45,2% dipengaruhi faktor lain di luar model. Kata Kunci: kapasitas birokrasi, struktur organisasi, budaya birokrasi, dan aksesibilitas informasi publik. DDC 371.36 Lisbet Novianti Sihombing Perbandingan Hasil Belajar Akuntansi Dengan Menggunakan Pembelajaran Aktif (Active Learning) Tipe Quiz Team Dan Konvensional Pada Siswa Kelas X Ak SMK Negeri 1 Pematangsiantar Tahun Pelajaran 2014/2015 Inovasi, Jurnal Politik dan Kebijakan, Maret 2015, Vol 12, No. 1, halaman 336-347 Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah apakah ada perbandingan hasil belajar siswa yang diajar guru dengan menggunakan model pembelajaran aktif (active learning) tipe quiz team dengan menggunakan model pembelajaran Konvensional dalam pelajaran ekonomi di kelas X Ak1 SMK Negeri I Pematangsiantar Tahun pelajaran 2014/2015. Penelitian ini bertujuan untuk mengungkapkan perbandingan hasil belajar akuntansi dengan menggunakan pembelajaran aktif (Active learning) tipe quiz team dan konvensional pada siswa kelas X ak SMK Negeri 1 Pematangsiantar. Adapun Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode eksperimen. Populasi dalam penelitian ini yakni siswa/siswi kelas X SMK Negeri 1 Pematangsiantar Tahun ajaran 2014/2015 sebanyak 117 Orang. Sebagai sampel penelitian adalah siswa kelas X Ak1 sebagai kelas eksperimen yang terdiri dari 39 siswa dan kelas X Ak2 sebagai kelas kontrol yang terdiri dari 38 siswa. Instrumen yang digunakan adalah berupa hasil tes belajar siswa. Adapun hipotesis yang dipergunakan dalam penelitian ini ada dua yaitu: Hipotesis Kerja (H1) : Ada perbandingan yang signifikan antara hasil belajar siswa yang diajar guru dengan menggunakan Model Pembelajaran aktif (active learning) tipe quiz team dalam proses belajar mengajar dengan guru menggunakan Model Pembelajaran Konvensional dalam proses belajar mengajar di kelas X Ak1 SMK Negeri 1 Pematangsiantar Tahun Pelajaran 2014/2015. Dan Hipotesis Nol (H0) : Tidak ada perbandingan

yang signifikan antara hasil belajar siswa yang diajar guru dengan menggunakan Model Pembelajaran aktif (active learning) tipe quiz team dalam proses belajar mengajar dengan guru menggunakan Model Pembelajaran Konvensional dalam proses belajar mengajar di kelas X Ak1 SMK Negeri 1 Pematangsiantar Tahun Pelajaran 2014/2015. Dalam pengujian hipotesis digunakan uji statistik uji “t”. Dari hasil pengolahan data test akhir untuk kelas X Ak1 dapat diperoleh X1 = 36,24 dan X12 = 926,87 sedangkan untuk kelas X- Ak2 diperoleh X2 = 30,45 dan X22 = 1231,39. Ternyata thitung lebih = 0,05 yakni 4,67 > 1,995. Dengan besar dari ttabel untuk demikian H0 ditolak dan H1 diterima atau dengan kata lain ada perbandingan yang signifikan antara hasil belajar siswa yang diajar guru dengan menggunakan Model Pembelajaran aktif (active learning) tipe quiz team dalam proses belajar mengajar dengan guru menggunakan Model Pembelajaran Konvensional dalam proses belajar mengajar di kelas X Ak1 SMK Negeri 1 Pematangsiantar Tahun Pelajaran 2014/2015.

α

Kata Kunci: Pendidikan, Model pembelajaran aktif, Tipe quiz team, Konvensional, Hasil Belajar DDC 332.6 Muhammad Soleh Pulungan Analisis Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Pertumbuhan Investasi Di Kabupaten Kutai Kartanegara Provinsi Kalimantan Timur Inovasi, Jurnal Politik dan Kebijakan, Maret 2015, Vol 12, No.1, halaman 348-359 Penanaman modal atau investasi memiliki peranan penting dalam pembangunan nasional khususnya untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Pada era otonomi daerah setiap daerah memiliki hak, kewenangan, dan kewajiban yang luas untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakatnya, termasuk kemandirian dan kemampuan untuk membiayai pembangunan daerah dengan menggali sumber ekonomi dan mengolah potensi di daerahnya. Tujuan Penelitian analisis faktor-faktor yang mempengaruhi investasi di Kabupaten Kutai Kartanegara Provinsi Kalimantan Timur adalah : (1). Mengetahui perkembangan dan pelaku Investasi. (2). Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi investasi. (3). Menyusun strategi dan program peningkatan daya tarik investasi di Kabupaten Kutai Kartanegara. Metode Penelitian bersifat deskriptif kualitatif dan deskriptif kuantitatif dengan lingkup penelitian studi analisis faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan investasi yakni: (a). Data pertumbuhan ekonomi, (b). Data perkembangan PDRB, (c). Jumlah investasi yang telah terealisasi, (d). Pertumbuhan investasi, (e). Pendapatan per kapita, dan (f). Jumlah penduduk Kabupaten Kutai Kartanegara. Analisis data yang digunakan yakni analisis kualitatif. Adapun waktu penelitian selama 3 (tiga) bulan kalender. Hasil pembahasan diperoleh bahwa banyak faktor yang menjadi daya tarik investasi di daerah Kutai Kartanegara yakni; potensi sumberdaya alam, PDRB perkapita, ketersediaan sarana prasarana, kualitas sumberdaya manusia, peraturan tenaga kerja, birokrasi perijinan, stabilitas politik dan ekonomi, dan kondisi sosial budaya. Saran-saran yang diberikan dari hasil penelitian adalah perlu upaya yang lebih serius untuk mendorong investasi melalui berbagai kebijakan strategis; melalui promosi, perijinan dalam konteks menumbuhkan investasi. Kata Kunci: pertumbuhan, investasi, ekonomi, sumberdaya, peluang DDC 338.04 O. Oktaviana, D.T. Bachruddin Strategi Pengembangan Pusat Inovasi Usaha Mikro Kecil Dan Menengah (UMKM) Di Provinsi Banten


Inovasi, Jurnal Politik dan Kebijakan, Maret 2015, Vol 12, No. 1, halaman 360-369 Penelitian ini bertujuan untuk menentukan sasaran pada fokus tematik Pengembangan Pusat Inovasi UMKM yang terdapat dalam dokumen roadmap SIDa Provinsi Banten yang harus diberikan prioritas pendampingan terlebih dahulu, serta menentukan strategi pengembangannya agar dapat menjadi contoh sukses bagi sasaran yang lain. Pelaksanaan penelitian dilakukan pada wilayah kabupaten Serang, Pandeglang, dan Lebak. Pengumpulan data lapangan dilakukan melalui observasi dan wawancara mendalam (indepth interview) dengan responden yang menguasai permasalahan terkait objek penelitian. Penentuan prioritas sasaran terpilih dilakukan melalui metode Analytic Hierarchy Process (AHP) dengan menggunakan program komputer expert Choice 2nd edition. Setelah terpilih alternatif sasaran, dilakukan analisis SWOT untuk menentukan strategi pengembangan alternatif terpilih. Hasil penelitian menunjukan bahwa budidaya dan pengelolaan rumput laut di Kabupaten Serang merupakan sasaran terpilih yang dapat diberikan pendampingan terlebih dahulu dalam pengembangan Pusat Inovasi UMKM di Provinsi Banten. Strategi pengembangan yang dapat dilakukan dengan mencukupi kebutuhan pasar rumput laut melalui optimalisasi pemanfaatan lahan dan ketersediaan benih serta memanfaatkan perhatian pemerintah pusat dan keberadaan lembaga riset untuk optimalisasi keberadaan lahan dan ketersediaan benih. Kata kunci: Pusat Inovasi UMKM, rumput laut, Road Map SIDa

DDC 338.04 Sri Mulatsih Kebijakan Pemerintah Dalam Mendorong Inovasi UKM: Kajian Pembiayaan Modal Ventura Bagi UKM Inovasi, Jurnal Politik dan Kebijakan, Maret 2015, Vol 12, No. 1, halaman 370-378 Modal ventura mempunyai arti penting bagi Usaha Kecil Menengah (UKM) di Indonesia sebagai alternatif pembiayaan, mengingat permasalahan utama UKM menghadapi daya saing global adalah modal dan inovasi. Kebijakan pemerintah Indonesia untuk menumbuh kembangkan modal ventura sebagai pembiayaan alternatif telah dicanangkan sejak ditetapkannya Surat Keputusan Menteri Keuangan Nomor 1251/KMK.013/1988 yang berisi tentang tata cara pembiayaan antara lain modal ventura yang berbentuk penyertaan modal dalam perusahaan pasangan usaha (PPU) untuk kegiatan usaha yang berbasis teknologi dan inovasi. Untuk mendorong inovasi bagi UKM ini pemerintah menurunkan peraturan Menteri Keuangan Nomor 18/PMK.010/2012 tentang perusahaan modal ventura yang kegiatannya untuk pembiayaan UKM berbasis teknologi dan inovasi mengingat masalah yang dihadapi UKM umumnya adalah keterbatasan modal dan rendahnya inovasi teknologi. Penelitian terdahulu mengindikasikan bahwa inovasi produk yang dihasilkan UKM/PPU masih tergolong rendah (low-tech), perusahaan modal ventura daerah dalam menyalurkan modalnya tidak disertai pendampingan teknologi. PPU melakukan inovasi menurut kemampuannya sendiri. Tulisan ini bertujuan untuk memberikan informasi mengenai praktik perusahaan modal ventura dan peran pemerintah dalam mendorong inovasi UKM di Indonesia dan menampilkan gambaran yang ada di Cina. Hasilnya menunjukkan bahwa pemerintah Indonesia dan pemerintah Cina sama-sama berperan dalam pengembangan pembiayaan modal ventura. Peran aktif pemerintah Cina sebagai salah satu negara berkembang di Asia dinilai cukup berhasil mendorong berkembangnya modal ventura, keberhasilan ini mengindikasikan bahwa pada umumnya negara berkembang itu mempunyai kebijakan dan peraturan yang teliti.

Pemerintah Indonesia juga berperan dalam mengatur lembaga pembiayaan modal ventura untuk mendorong inovasi UKM, namun perkembangannya berbeda dengan perkembangan industri modal ventura di Cina. Pemerintah Cina sangat mendukung modal ventura sebagai pembiayaan wirausaha berbasis ilmu pengetahuan, teknologi, dan inovasi. Sedikitnya ada sepuluh perusahaan modal ventura yang menginvestasikan pada UKM berbasis high-tech di bidang TI di wilayah yang berpotensi bisnis. Belajar dari keberhasilan praktik pembiayaan modal ventura di Cina untuk mendorong inovasi, pemerintah Indonesia perlu mengeluarkan kebijakan bersama antar lembaga terkait seperti Kemenkeu, Kementerian Koperasi dan UKM, Kementerian Perindustrian, dan Kementrian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi dalam membina UKM baik administrasi maupun kualitas SDM inovatif untuk meningkatkan mutu produk. Kata kunci: kebijakan, modal ventura, pembiayaan, UKM, inovasi



Volume 12, Nomor 1

March 2015

ISSN 1829-8079

The discriptors given are keywords. The abstrack sheet may by reproduced/ copied without permission or charge DDC 635.977 Johansen Silalahi, Subarudi Analysis Of Urban Forest Requirement For Medan, North Sumatera Inovasi, Journal of Politics and Policy, March 2015, Vol 12, No. 1, p. 303 -310 High urban economic activities have an impact on the environmental quality. One of causes of the environmental degradation is pollution by carbondioxide (CO2). An effort to reduce concentration of CO2 in the urban atmospher is applying green area concept or known as Green Open Space (RTH). One of RTH which is appropriate with the urban is urban forest. This study is aim to determine a total of green area needed to absorp total emission generated in Medan. The study focus on the three points of existing urban forest in Medan, namely: Taman Beringin (TB) in Medan Baru District, Bumi Perkemahan Pramuka Cadika (BPPC) in Medan Johor District and Kebun Binatang (KB) in Medan Tuntungan District. These three areas have been legally determined by the Mayor of Medan Decision Number: 522/043 K dated January 24, 2007 and the Regional Rule Number. 13 of 2011 on Spatial Planning Medan Year 20112031. The Total emission calculated from two aspects, such as emission from fuel and residents. The results showed the existing green areas have not enough to absorb the total emissions and Medan city produces 27.746 Gg CO 2 emissions so that it requires additional green areas of 474.836 ha. Medan City Government needs to encourage tree planting program with tree species that have a high CO2 absorption such as Swietenia mahagoni, Fellicium decipiens and Ficus benyamina to tackle pollution/ air heating. Medan City Government should also make personal vehicle restriction policy by raising the vehicle tax and tax proceeds can be used to add a number of vehicles to public transport. Keywords: Green area, CO2 emission and absorption, ideal green area DDC 639.92 Wanda Kuswanda Flora Potential, Community Activities And Policy Habitat Management Of Siamang (Hylobates Syndactylus Raffles) In The Forest Production, South Tapanuli Regency Inovasi, Journal of Politics and Policy, March 2015, Vol 12, No. 1, p. 311-322 Decreasing and damage of production forest area in North Sumatra was caused siamang population more fragmented and isolated. This research aimed to describe the flora potency, community activities as well as strategies policy on the management siamang habitat in the production forests, South Tapanuli, North Sumatra. The study was conducted in the Marsada and Sampean Villages, District of Sipirok, from 2013 to

2014. The data collection were done through vegetation analysis using strip transect method, questionnaires, interviews as well as observations descriptive. Analysis of data are using plant density equation, frequency tables and descriptive analysis. The results showed that the potential of flora density on production forests is smaller than in the protected and conservation forests. The density value on tree stage about 285 individual per ha. Community activities can be threaten to siamang habitat including the utilization of forest resources, land clearing, forest burning and infrastructure development. Policy strategies are recommended on development the siamang habitat management in production forests i.e. the maintaining primary and secondary ecosystems, rehabilitation use the species matching, establish the corridor to link forest conservation, habitat enrichment, the involvement of communities are in forest management and environmental services. The government of North Sumatra was advised immediately formed a forest protection team that helps protection siamang habitat and to create alternative economic models for people who do not need a large area, such as farming, fishing and honey bee business. Keywords: siamang, production forests, habitat, communities, Tapanuli DDC 351 Totok Wahyu Abadi, Nunung Prajarto, Budi Guntoro Capacity And Bureaucratic Culture In Accessibility Of Public Information Based On E-Government In Sidoarjo Inovasi, Journal of Politics and Policy, March 2015, Vol 12, No. 1, p. 323-335 This research is aimed to analyze and describe capacity that included readiness, commitment, and leadership, as well as organizational structure that can affect bureaucratic culture in improving information accessibility based of websites in Sidoarjo Regency. It used mixed methods approach that be done in Sidoarjo Regency with sample of 60 local government employees as respondents and six heads of subdivisions as informants. In addition, it used simple random and purposive sampling with multiple regression analyzing techniques and interactive. The results of this study showed that readiness of bureaucracy in providing access to information via website quite ready. Sidoarjo Regency government has good committed in servicing public information via website. Whereas, leadership, organizational structure, and bureaucratic culture in accessibility of online information quite good. Accessibility of public information based e-government also good (71,01%). Good accessibility of information was driven by the openness of public organization active in informing the public whether requested or not; the availability of both the quantity and quality of information and the media that are used to inform and obtain information; ease of use of the media to obtain information quickly, accurately, low cost, easy to understand, and simple procedures; speed for downloading/obtaining information; and comfort in getting/delivering information or interact with government.


Simultaneously independent variables such as readiness, commitment, leadership, and organizational structure significantly influence the culture of bureaucracy in providing access to information to the public. Simultaneously, independent variables such as readiness, commitment, leadership, and organizational structure significant towards bureaucracy culture in providing access to public information. The factors that most influence on the culture of bureaucracy in the service of public information accessibility based e-government is leadership and bureaucratic structures. The influence of these two factors are respectively 13.9% and 25% with a power regression by 54.8% and the remaining 45.2% are influenced by other factors outside model. Keywords: bureaucratic capacity, organizational structure, bureaucratic culture, and accessibility of public information DDC 371.36 Lisbet Novianti Sihombing The Comparation Of Outcomes Learning On The Students’ Achievement Learning By Using Active Learning Through Quiz Team And Model Conventional In Economy Class Grade Ak 1 In SMK Negeri 1 Pematangsiantar Year 2014/2015 Inovasi, Journal of Politics and Policy, March 2015, Vol 12, No. 1, p. 336-347 The research is to find out a comparative study on the students achievement learning in accounting by using active learning through quiz team and conventional on the students grade X Ak in SMK Negeri 1 Pematangsiantar. The methodology of the research is done by experimental. The population of the research are students grade X in SMK Negeri 1 Pematangsiantar year 2014/2015 which consists of 117 students. There are two classes used for the sample of the research named experimental group and control group. In the experimental group, there are 39 students grade X Ak 1 and 38 students for control group. The instrument of the research is the test. The hypothesis of the research is (H1): There is a significance between the students achievement in learning by using active learning through quiz team and model conventional through economy class grade X Ak 1 in SMK Negeri 1 Pematangsiantar year 2014/2015. And other hypothesis H0 : There is no significance between the students achievement in learning by using active learning through quiz team and model conventional through economy class grade X Ak 1 in SMK Negeri 1 Pematangsiantar year 2014/2015. The hypothesis is used statistic “t”. The result of X1 = 36,24 and X12 = 926,87 in class X- Ak2 the score is X 2 = 30,45 dan X22 = 1231,39. so = 0,05 that is 4,67 > 1,995. It thitung lebih besar dari ttable for mean H0 is rejected and H1 is accepted. We can conclude that there is a significance between the students achievement in learning by using active learning through quiz team and model conventional through economy class grade X Ak 1 in SMK Negeri 1 Pematangsiantar year 2014/2015.

α

Keyword: Education, Model active Learning, Type quiz team, conventional, result Learning DDC 332.6 Muhammad Soleh Pulungan Analysis Of Factors Affecting Growth Investment In Kutai Kartanegara Regency East Kalimantan Province Inovasi, Journal of Politics and Policy, March 2015, Vol 12, No. 1, p. 348-359 Investment has an important role in national development, especially to encourage economic growth. In the era of regional autonomy of each region have the right, authority, and duties wide to organize and manage the interests of society, including the independence and ability to finance the development of the area by digging a potential source of economic and processing

regions. Objective Research on the analysis of the factors that affect investment in Kutai regency of East Kalimantan Province are : (1). Knowing the development and investment actors. (2) Determine the factors that affect investment. (3) Develop strategies and programs to increase the attractiveness of investment in Regency. The methods of this study was descriptive qualitative and quantitative. The scope of the research of studies the factors that affect the growth of investment are: (a) economic growth data (b). GDP growth data (c). The amount of investment has been realized (d). Investment growth (e). Income per capita, and (f).The population of the Kutai district. Analysis of the data used qualitative analysis. The study period for three (3) calendar months. The result of the discussion had gained that many factors into investment attraction area Kutai namely; resource potential, GDP per capita, availability of infrastructure, human resources, labor regulations, licensing bureaucracy, stabilitas politic and economic, and social and cultural conditions. Suggestions are given needed a more serious effort to encourage investment through strategic policies; through promotion, licensing in the context of growing investment. Keywords: growth, investment, economics, resources, opportunities. DDC 338.04 O. Oktaviana, D.T. Bachruddin The Strategy Of Developing Innovation Center For Small And Medium Scale Micro Businesses In Banten Province Inovasi, Journal of Politics and Policy, March 2015, Vol 12, No. 1, p. 360-369 This Researh was aimed to decide which target at thematic focus on Developing Innovation Center for Small and Medium Scale Micro Businesses contained in roadmap document SIDa Banten Province should be given priority to receive the support, and establish their development strategy to become a model and its success can be replicated to other targets. The research was conducted in some regency such as Serang, Pandeglang and Lebak. Field data was collected through observation and indepth interview with respondents who were well-informed on problems related to the research object. The decision to establish selected target priority was conducted using Analytic Hierarchy Process Method with expert Choice 2nd edition computer programme. After the alternative targets were selected, a SWOT analysis was conducted to decide the selected alternative development strategy. The result of the research revealed that seaweed farming and processing in Serang Regency was a selected target which can be given first priority to receive the support and to become a success story to develop Innovation Center for Small and Medium Scale Micro Businesses in Banten Province. The development strategy that can be conducted is to suffice the demand for seaweed market through maximizing the land use and seed supply, taking the advantage of central government’s attention, and the availability of research agency to maximize land and seed supply. Keywords: Innovation Center for Small and Medium Scale Micro Businesses, Seaweed, SIDa Road Map DDC 338.04 Sri Mulatsih Government Policy In Promoting SME’s Innovation: Study Of Venture Capital Financing For SME’s Inovasi, Journal of Politics and Policy, March 2015, Vol 12, No. 1, p. 370-378 Venture capital has significant importance for Small Medium Enterprises (SMEs) in Indonesia as an alternative financing, considering the main problems of SMEs in facing global competitiveness are the capital and innovation. Indonesian


government policy to cultivate venture capital as an alternative financing has been announced since the enactment of the Decree of the Minister of Finance No. 1251 / KMK.013 / 1988 which contains procedures including venture capital financing in the form of equity participation in the joint-venture company (PPU) for activities in technology-based businesses and innovation. To encourage innovation for SMEs, the government lowered the regulations of the Minister of Finance No. 18 / PMK.010 / 2012 on venture capital firm whose activities for the financing of SMEs are based on technology and innovation, given the problems faced by SMEs in general is the lack of capital and lack of technological innovation. Past research has indicated that the resulting product innovation by SME / PPU is still relatively low (low-tech), and the venture capital firms in the region to distribute its capital are not accompanied by technological assistance. PPU innovates according to their own abilities. This paper aims to provide information on the practice of venture capital firms and the government's role in encouraging innovation of SMEs in Indonesia and display picture in China. The results showed that the Indonesian government and the Chinese government are equally instrumental in the development of venture capital financing. This business financing difficulty was also experienced by SMEs in China which affecting the technology innovation of SMEs. Through literature searches, the author wants to know the practice of venture capital firms in China and the government's role in encouraging innovation of SMEs. The Indonesian government and the Chinese government are equally instrumental in the development of venture capital financing. Chinese government's active role as one of the developing countries in Asia was considered quite successful in pushing the development of venture capital, this success indicates that in many developing countries, they have thorough policies and regulations. The Indonesian government also plays a role in regulating venture capital financing institutions to encourage SME innovation, but it is different with the development of the venture capital industry in China. The Chinese government is very supportive of venture capital as an entrepreneurial financing based on science, technology, and innovation. There are at least ten venture capital firms that investing in high-techbased SMEs in the field of IT in the business potential regions. Learning from the success of the practice of venture capital financing in China to encourage innovation, the Indonesian government needs to issue a joint policy between the relevant institutions such as the Ministry of Finance, Ministry of Cooperatives and SMEs, Ministry of Industry, and Ministry of Research, Technology, and Higher Education in fostering SMEs, both in administration and quality of innovative human resources to improve the quality of products Keywords: policy, venture capital, financing, small medium enterprices, innovation



Volume 12, Nomor 1

Maret 2015

ISSN 1829-8079

DAFTAR ISI

Halaman Analisis Kebutuhan Hutan Kota Di Kota Medan, Sumatera Utara

1-8

(Johansen Silalahi, Subarudi) Potensi Tumbuhan, Aktivitas Masyarakat Dan Kebijakan Pengelolaan Habitat Siamang (Hylobates Syndactylus Raffles) Pada Hutan Produksi Di Kabupaten Tapanuli Selatan

9-20

(Wanda Kuswanda) Kapasitas Dan Budaya Birokrasi Dalam Aksesibilitas Informasi Publik Berbasis E-Government Di Sidoarjo

21-33

(Totok Wahyu Abadi, Nunung Prajarto, Budi Guntoro) Perbandingan Hasil Belajar Akuntansi Dengan Menggunakan Pembelajaran Aktif (Active Learning) Tipe Quiz Team Dan Konvensional Konvensional Pada Siswa Kelas X Ak SMK SMK Negeri 1 Pematangsiantar Tahun Pelajaran 2014 2014/2015 /2015 (Lisbet Novianti Sihombing)

34-45

Analisis Faktor – Faktor Yang Mempe Mempengaruhi Pertumbuhan Investasi Di Kabupaten Kutai Kartanegara Provinsi Kalimantan Timur

46-57

(Muhammad Soleh Pulungan) Strategi Pengembangan Pusat Inovasi Usaha Usaha Mikro Kecil Dan Menengah (UMKM (UMKM) MKM) Di Provinsi Banten

58-67

(O. Oktaviana, D.T. Bachruddin) Kebijakan Pemerintah Dalam Mendorong Inovasi UKM: KM: Kajian Pembiayaan Pembiayaan Modal Ventura Bagi UKM UKM

(Sri Mulatsih)

68-76


Analisis Kebutuhan Hutan Kota di Kota Medan, Sumatera Utara (Johansen Silalahi, Subarudi)

Hasil Penelitian ANALISIS KEBUTUHAN HUTAN KOTA DI KOTA MEDAN, SUMATERA UTARA (ANALYSIS OF URBAN FOREST REQUIREMENT FOR MEDAN, NORTH SUMATERA) Johansen Silalahi*, Subarudi** *

Balai Penelitian Kehutanan Aek Nauli Jl. Raya Parapat Km.10,5, Sibaganding, Parapat, Sumatera Utara Telp. 0625-41659, Fax. 0622-5891963 e-mail: johansen_silalahi@yahoo.com **

Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan Kehutanan Jl. Gunung Batu No.5, Bogor 16610 Telp. 0251-8633944, Fax. 0251-8634924 e-mail: rudi.subarudi@yahoo.co.id

Diterima: 02 Pebruari 2015; Direvisi: 25 Pebruari 2015; Disetujui:03 Maret 2015

ABSTRAK Tingginya aktivitas ekonomi suatu wilayah perkotaan seperti Kota Medan berdampak pada terhadap kualitas lingkungan wilayah tersebut. Penurunan kualitas udara dalam bentuk gas karbondioksida (CO2). Salah satu upaya untuk menekan konsentrasi CO2 di udara perkotaan yaitu dengan menerapkan konsep area hijau atau yang lebih dikenal dengan pembangunan ruang terbuka hijau (RTH). Salah satu RTH yang sesuai dengan perkotaan adalah area hijau. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kecukupan luasan area hijau yang dibutuhkan untuk mengabsorsi emisi yang dihasilkan di Kota Medan. Untuk itu, perlu diidentifikasi kondisi area hijau yang sudah ada yaitu di tiga titik areal hijau di Kota Medan, yaitu: Taman Beringin (TB) di Kecamatan Medan Baru, Bumi Perkemahan Pramuka Cadika (BPPC) di Kecamatan Medan Johor dan Kebun Binatang (KB) di Kecamatan Medan Tuntungan. Ketiga kawasan areal hijau tersebut di atas dipilih karena telah ditetapkan dalam surat Keputusan Walikota Medan Nomor: 522/043 K tanggal 24 Januari 2007 dan Peraturan Daerah Nomor 13 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Medan Tahun 2011-2031. Total emisi wilayah diestimasi dari dua aspek yaitu emisi dari bahan bakar dan emisi yang dihasilkan penduduk. Hasil penelitian menunjukkan luasan area hijau yang ada saat ini belum mampu menyerap total emisi yang dilepaskan. Kota Medan menghasilkan total emisi sebesar 27.746 Gg CO2. Dibutuhkan penambahan area hijau seluas sekitar 474.836 ha dari luas kota Medan sesuai dengan kemampuan menyerap emisi di wilayah. Pemerintah Kota Medan perlu menggalakkan program penanaman pohon dengan jenis pohon yang memiliki daya serap CO2 tinggi seperti pohon Mahoni, Krei Payung dan Beringin untuk mengatasi pencemaran/pemanasan udara. Pemerintah Kota Medan perlu juga membuat kebijakan pembatasan kendaraan pribadi dengan menaikkan pajak kendaran dan hasil pajaknya dapat dimanfaatkan untuk menambahkan jumlah kendaraan umum untuk transportasi publik. Kata kunci: Area hijau, emisi dan daya serap CO2, luasan ideal

ABSTRACT High urban economic activities have an impact on the environmental quality. One of causes of the environmental degradation is pollution by carbondioxide (CO2). An effort to reduce concentration of CO2 in the urban atmospher is applying green area concept or known as Green Open Space (RTH). One of RTH which is appropriate with the urban is urban forest. This study is aim to determine a total of green area needed to absorp total emission generated in Medan. The study focus on the three points of existing urban forest in Medan, namely: Taman Beringin (TB) in Medan Baru District, Bumi Perkemahan Pramuka Cadika (BPPC) in Medan Johor District and Kebun Binatang (KB) in Medan Tuntungan District. These three areas have been legally determined by the Mayor of Medan Decision Number: 522/043 K dated January 24, 2007 and the

1


Inovasi Vol 12 No. 1 Maret 2015 : 1 - 8

Regional Rule Number. 13 of 2011 on Spatial Planning Medan Year 2011-2031. The Total emission calculated from two aspects, such as emission from fuel and residents. The results showed the existing green areas have not enough to absorb the total emissions and Medan city produces 27.746 Gg CO2 emissions so that it requires additional green areas of 474.836 ha. Medan City Government needs to encourage tree planting program with tree species that have a high CO2 absorption such as Swietenia mahagoni, Fellicium decipiens and Ficus benyamina to tackle pollution/ air heating. Medan City Government should also make personal vehicle restriction policy by raising the vehicle tax and tax proceeds can be used to add a number of vehicles to public transport. Keywords : Green area, CO2 emission and absorption, ideal green area

Hutan kota merupakan areal hijau yang mampu menjadi penyerap CO2 yang sangat penting. Penyerapan karbon dioksida oleh hutan kota dengan jumlah 10.000 pohon berumur 1620 tahun mampu mengurangi karbon dioksida sebanyak 800 ton per tahun (Simpson dan McPherson 1999). Menurut Dahlan (1992) hutan kota memiliki kemampuan ameliorasi iklim mikro melalui menanam jenis yang memiliki kemampuan yang tinggi dalam menyerap gas CO2 dapat menurunkan konsentrasi salah satu gas rumah kaca yakni gas CO2 yang kemudian menggantinya dengan gas O2 yang sangat diperlukan untuk bernafas. Badan Kesehatan Dunia (WHO) merilis hasil pemantauan polusi udara dari 1.082 kota di 91 negara pada 26 September 2011. WHO menyebutkan lima kota besar di Indonesia memiliki kadar polutan yang tinggi adalah Medan, Surabaya, Bandung, Jakarta dan Pekanbaru. Medan menduduki peringkat ke-59 sebagai kota dengan polutan udara tertinggi dari 1.082 kota dunia yang disurvei (Rumapea, 2012). Suhu udara di Kota Medan pun sudah dirasakan terlalu panas bahkan jika musim kemarau suhunya dapat mencapai 34,2 0 C dan pencemaran udaranya semakin meningkat karena kurangnya jumlah pepohonan di tepi jalan (BPS, 2012). Karliansyah (2014) menyatakan secara umum mutu udara perkotaan di Indonesia buruk. Kota metropolitan yang mengandung pencemar hidrokarbon melebihi batas baku mutu 160 mikrogram per m3 adalah Semarang, Tanggerang, Medan dan Makassar. Pencemaran hidrokarbon di kota besar terjadi di Bandar Lampung, Samarinda, Batam, Banjarmasin dan Pekanbaru. Kajian pengembangan hutan kota Kota Medan sangat diperlukan. Maksud dari kajian ini adalah untuk mengetahui kesesuaian luasan hutan kota dengan total emisi yang dihasilkan di Kota Medan. Sedangkan tujuan kajian ini adalah: (i). memaparkan potensi penyerapan karbondioksida sebagai bentuk pengelolaan lingkungan di tiga titik hutan kota di Kota Medan, (ii). menghitung jumlah emisi

PENDAHULUAN Kota adalah tempat atau pusat aktivitas rutin manusia yang lebih tinggi frekwensinya dibandingkan dengan pedesaan. Tingginya aktivitas suatu kota menunjukkan tingkatan kompleksitas suatu kota yang berdampak kepada persoalan lingkungan perkotaan seperti tingkat polusi udara yang tinggi. Hal ini disebabkan oleh gas karbondioksida (CO2) yang sebagian besar dihasilkan oleh kendaraan bermotor (Irwan, 2005). Gas CO2 tidak beracun namun bila terakumulasi dalam jumlah yang besar dapat berkumpul di atmosfer sehingga menyebabkan suhu udara bumi meningkat (global warming). Pembangunan dan pengembangan hutan kota di Indonesia dan juga di dunia dapat merupakan salah satu jawaban untuk mengatasi menurunnya kualitas lingkungan, khususnya di wilayah perkotaan, yaitu dengan penanaman berbagai jenis tumbuhan yang memiliki kemampuan yang tinggi untuk menyerap pencemar (Pb, SOx, NOx, O3, dan lain-lain) dan ikut meredam pemanasan udara di kota (Dahlan, 1992). Salah satu upaya untuk menekan konsentrasi CO2 di udara yaitu dengan melakukan penanaman pepohonan Ruang Terbuka Hijau (RTH). Luas ideal RTH kawasan perkotaaan adalah sebesar 30% dari luas wilayah kota sebagai daerah resapan air dan perubahan iklim mikro. Angka 30% ini memang belum ada dasar ilmiahnya dan Badan Litbang Kehutanan sedang melakukan riset terkait hal tersebut dalam konteks wilayah DAS (Subarudi, 2014). Luas RTH 30% terdiri dari 20% berasal dari ruang publik dan 10% dari ruang privat sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Menurut Noor Aeni (2011) proporsi RTH ini merupakan ukuran minimal untuk menjamin keseimbangan ekosistem kota, baik keseimbangan sistem hidrologi dan mikroklimat, maupun sistem ekologis lain. Salah satu RTH yang sesuai untuk daerah perkotaan yaitu hutan kota.

2


Analisis Kebutuhan Hutan Kota di Kota Medan, Sumatera Utara (Johansen Silalahi, Subarudi)

gr/liter. Perhitungannya adalah sebagai berikut :

karbondioksida di Kota Medan dan (iii). menganalisis kebutuhan luas hutan kota berdasarkan emisi di Kota Medan.

B=a xbxc METODE Lokasi pengamatan untuk serapan CO2 dilakukan pada tiga titik lokasi hutan kota di Kota Medan, Provinsi Sumatera Utara yaitu Taman Beringin (TB), Bumi Perkemahan Pramuka Cadika (BPPC) dan Kebun Binatang (KB). Pemilihan ketiga kawasan hutan kota tersebut dilakukan secara purposive sampling terkait dengan aspek legalitasnya yang telah ditetapkan melalui Keputusan Walikota Medan Nomor: 522/043 K tanggal 24 Januari 2007 dan Peraturan Daerah Nomor 13 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Medan Tahun 2011-2031. Proses pengumpulan data dilakukan pada bulan April sampai dengan Agustus 2013. Data yang dikumpulkan adalah data sekunder berupa jumlah pohon dan jenis pohon di Hutan Kota TB dan BPPC, diperoleh berdasarkan hasil penelitian Saputra et al (2012), sedangkan pada Hutan Kota KB berdasarkan data Dinas Pertamanan Kota Medan (2012). Data sekunder lain terkait jumlah penduduk dan jumlah kendaraan bermotor diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Medan dan hasil publikasi penelitian yang berkaitan dengan topik penelitian ini. Data yang diperoleh kemudian dilakukan analisis meliputi analisis emisi CO2 yang berasal dari bahan bakar (jumlah kendaraan bermotor) dan pernapasan manusia. Analisis daya serap pohon terhadap karbondioksida yang dilepaskan ke atmosfir yang ada di lapangan dilakukan dengan menggunakan faktor serapan karbon dari berbagai jenis pohon. Kemudian dilakukan analisis kesesuaian kebutuhan luas lahan hutan kota dengan total emisi yang dihasilkan. Perhitungan total emisi karbon tersebut adalah sebagai berikut :

Keterangan : B = Total emisi CO2 dari bahan bakar (Gg/tahun) A : nilai emisi bensin (g/liter) B : jumlah konsumsi bensin (liter/tahun) C : jumlah kendaraan bermotor (unit) (2). Analisis emisi CO2 dari pernapasan manusia; Karbondioksida yang dihasilkan dari aktivitas manusia adalah sama yaitu 0,3456 ton CO2/jiwa/tahun (Grey & Deneke, 1978). Perhitungan gas CO2 yang dihasilkan oleh penduduk adalah sebagai berikut : P = Jp x Cmanusia Keterangan : P = Total emisi CO2 dari penduduk (ton/tahun) Jp = Jumlah penduduk (jiwa) = Jumlah CO2 yang dihasilkan Cmanusia manusia yaitu 0,3456 (ton/jiwa/tahun). Catatan: Emisi dari peternakan terpaksa tidak dicantumkan karena hasil perhitungannya (0,44 Gg per tahun) menunjukkan terlalu kecil dan kurang signifikan kontribusinya terhadap emisi di Kota Medan. Analisis daya serap CO2 pada vegetasi yang ada di hutan kota di Kota Medan dilakukan dengan cara mengalikan jumlah pohon dengan kemampuan pohon tersebut dalam menyerap gas CO2. Kemampuan pohon dalam menyerap gas CO2 diperoleh dari literatur. Kebutuhan akan luasan optimum hutan kota berdasarkan daya serap CO2 dapat diperoleh dari kemampuan hutan kota (vegetasi) dalam menyerap CO2. Pendekatan yang digunakan untuk menentukan luasan tersebut adalah dengan menghitung kebutuhan hutan kota berdasarkan daya serap CO2 serta membandingkannya dengan luasan hutan kota sekarang. Kebutuhan hutan kota diperoleh dari:

(1). Analisis emisi CO2 dari bahan bakar; Asumsi yang dilakukan dalam perhitungan ini yaitu seluruh jumlah kendaraan bermotor menggunakan bahan bakar bensin dengan konsumsi rata-rata 10 liter/hari. Emisi yang dihasilkan bensin sebesar 2.333 gr/liter (DEFRA dalam Dahlan, 2007). Khusus untuk emisi yang dihasilkan oleh penggunaan solar atau biodiesel digunakan faktor konversi emisi BBN (biodiesel) terhadap BBM (bensin), yaitu Emisi BBM = 0,7 BBN (Sheil et al., 2009), sehingga emisi yang dihasilkan solar sebesar 3.333

L1 = B + P K Keterangan : L1 = Kebutuhan luasan area hutan kota (ha)

3


Inovasi Vol 12 No. 1 Maret 2015 : 1 - 8

B P K

Keterangan : L = Penambahan luasan area hutan kota (ha) = Kebutuhan luasan area hutan kota (ha) L1 = Luas area hutan kota sekarang (ha) L0

= Total emisi CO2 dari bahan bakar (ton/tahun) = Total emisi CO2 dari penduduk (ton/tahun) = Kemampuan/nilai serapan CO2 oleh hutan (pohon) sebesar 58,2576 (ton CO2/tahun/ha) (Inverson 1993 diacu dalam Tinambunan, 2006)

HASIL DAN PEMBAHASAN Kota Medan adalah ibu kota Propinsi Sumatera Utara berbatasan dengan Sebelah Utara, Selatan, Barat dan Timur dengan Kabupaten Deli Serdang. Luas wilayah Kota Medan mencapai 265,10 km², kepadatan penduduk mencapai 7.987 jiwa/km² (BPS, 2012). Kondisi eksisting Ruang Terbuka Hijau di Kota Medan berdasarkan hasil interpretasi peta citra Kota Medan tahun 2011 dapat dilihat pada Tabel 1.

Setelah mendapatkan nilai kebutuhan luasan area, maka hutan kota dapat diketahui seberapa luas areanya yang harus disediakan oleh Kota Medan. Penambahan luasan area hutan kota yang harus disediakan diperoleh dengan perhitungan sebagai berikut : L = L1 – L0

Tabel 1. Kondisi eksisting RTH Kota Medan PUBLIK

1. Hutan Lindung (Bakau) 2. Lap. Olah raga 3. Rawa 4. TPU 5. Danau 6. Sungai 7. Taman Kota

LUAS (HA) % 0,19 %

(Ha) 50,37

0,76 % 0,45 % 0,48 % 0,15 % 3,17 %

201,48 119,30 127,25 39,77 840,37

0,095 %

25,32

PRIVATE

1. Belukar 2. Empang 3. Kebun 4. Sawah 5. Tambak 6. Tanah Kosong 7. Ladang

JUMLAH 1.403,84 JUMLAH Sumber (Source) : Bappeda Kota Medan (2012) Selain persoalan rendahnya luas hutan kota, banyaknya kendaraan juga menjadi pemicu tingginya polusi udara. Berdasarkan data yang dirilis Polda Sumut Direktorat Lalu Lintas, bahwa volume kendaraan di Sumut meningkat tajam beberapa tahun terakhir. Dari tahun 2006 hingga 2010 secara berurut adalah 2.555.453 unit, 2.896 912 unit, 3.304.728 unit, 3.613.876 unit, 4.039.127 unit. Dari angka tersebut jika dirata-ratakan maka setiap tahunnya terjadi penambahan kendaraan bermotor sebanyak 400.000 unit. Berbanding lurus dengan hal tersebut, tingkat pencemaran udara khususnya di kota-kota besar sudah sangat mengkhawatirkan. Menurut World Bank, penyebab utama pencemaran udara di perkotaan adalah kegiatan transportasi. Emisi gas buang kendaraan bermotor memberikan kontribusi sebesar 60-70% terhadap pencemaran udara. Jumlah ini empat kali lebih tinggi dibandingkan dengan industri yang hanya

LUAS (HA) % 7,68%

( Ha) 2.035,97

0,48% 7,45% 5,41% 4,38% 11,36%

127,25 1.975,00 1.434,19 1.134,63 3.011,54

6.90%

1.829,19 11.547,76

menyumbang 15% saja (Harian Medan Bisnis, 25/03/2011). Banyaknya kendaraan bermotor mengindikasikan banyaknya konsumsi bahan bakar. Sebagian besar gas CO2 dihasilkan dari proses pembakaran bahan bakar. Dengan asumsi jumlah kendaraan bermotor sebanyak 2.708.511 unit (Dinas Perhubungan, 2010) dimana 60% kendaraan menggunakan bensin dan 40% menggunakan solar dengan konsumsi rata-rata 10 liter/hari serta nilai emisi bensin 2,333 gr/liter dan nilai emisi solar 3,333 gr/liter, maka polusi udara berupa gas CO2 yang dihasilkan dari asap kendaraan bermotor mencapai 27.014 Gg/tahun. Sementara luas hutan kota hanya 108,4 hektar atau setara dengan 0,41 persen dari 26.510 hektar seluruh luas wilayah. Data jumlah kendaraan di Medan tahun 2006 sebanyak 779.540 unit. Dari jumlah ini, mestinya Medan mempunyai hutan kota seluas 38.977 hektar.

4


Analisis Kebutuhan Hutan Kota di Kota Medan, Sumatera Utara (Johansen Silalahi, Subarudi)

menghasilkan energi dan mengeluakan CO2 dan uap air. Jumlah penduduk Kota Medan saat ini adalah 2.117.224 jiwa (BPS, 2012). Dengan asumsi gas CO2 yang dihasilkan dari aktivitas manusia adalah sama yaitu 0,96 Kg/hari (Grey & Deneke, 1978) maka total emisi gas CO2 yang dihasilkan oleh penduduk Kota Medan adalah sebesar 731,713 Gg CO2/tahun. Perhitungan daya serap CO2 pada suatu pohon didasarkan pada kadar karbohidrat yang terdapat pada daun pohon tersebut dan jenis pohon yang ada disesuaikan dengan jenis pohon hasil penelitian (Dahlan dalam Abdurrazaq, 2010). Analisis daya serap CO2 pada tiga titik hutan kota tersaji pada Tabel 2.

Setiap 1 hektar pohon mampu menyerap gas emisi 20 unit kendaraan (Hidayati, 2009). Jika diasumsikan 1 hektar hutan kota terdapat 200 pohon, maka setiap penambahan 1 unit kendaraan diperlukan 10 pohon sebagai penyerap emisi dari kendaraan tersebut. Pemerintah Kota Medan harus menggalakkan program penanam pohon di jalur lalu lintas yang padat. Hal ini untuk mengantisipasi penambahan jumlah kendaraan bermotor yang terus bertambah di kemudian hari. Manusia melakukan melakukan pernafasan atau mengalami respirasi selama masa hidupnya. Respirasi adalah proses menghirup oksigen (O2) dan mengeluarkan gas CO2. Oksigen digunakan manusia untuk proses pembakaran makanan di dalam tubuh yang

Tabel 2. Analisis daya serap CO2 pada berbagai jenis pohon di tiga hutan kota di Kota Medan Jumlah pohon Daya serap CO2 kg/tahun*

TB (1,2 ha)

BPPC (25 ha)

11,12

7**

-

535,90

3**

-

42,20

7**

-

404,83

1**

2**

Mahoni daun besar (Swietenia macrophylla)

114,03

1**

-

Mahoni (Swietenia mahagoni)

295,73

1**

-

Tanjung (Mimusops elengi)

34,29

Jenis Pohon

Angsana (Pterocarpus indicus) Beringin (Ficus benyamina) Flamboyan (Delonix regia) Krei Payung (Fellicium decipiens)

KB (30 ha) Kawasan BKD (0,4 ha) 12 2 1.680

2**

-

2.864,11

809,66

800524.258,40 Total daya serap CO2 9.089,74 Sumber (Source) : *) Dahlan dalam Abdurrazaq (2010), **) Saputra et al., (2012) Vegetasi hutan kota di Kota Medan didominasi oleh jenis Angsana, Flamboyan. Pohon mahoni merupakan pohon dengan jumlah paling banyak pada hutan kota Kebun Binatang (KB). Pada hutan kota Taman Beringin (TB) terbanyak yaitu angsana dan flamboyan sedangkan pada Bumi Perkemahan Pramuka Cadika (BPPC) adalah jenis krei payung (Saputra et al., 2012). Hutan kota di Kebun Binatang memiliki tingkat kemampuan daya serap CO2 yang paling baik dibanding yang lainnya. Jenis dan jumlah binatangnya tidak diperhitungkan karena relatif

sedikit dibandingkan dengan jumlah dan jenis pohonnya. Hal ini dikarenakan luas hutan kota di KB yang paling besar, peruntukannya juga untuk taman hewan dan variasi jenis pohonnya memiliki tingkat kemampuan daya serap CO2 yang baik. Hal berbeda terdapat pada hutan kota Kawasan Bumi Perkemahan Pramuka Cadika, meskipun memiliki luasan hutan kota yang lebih luas dibanding hutan kota Taman Beringin, namun kemampuan daya serap CO2-nya kurang baik dibanding dengan hutan kota Taman Beringin. Hal ini dikarenakan karena hutan kota Taman Beringin termasuk tipe rekreasi dan

5


Inovasi Vol 12 No. 1 Maret 2015 : 1 - 8

pelestarian plasma nutfah sehingga banyak dijumpai berbagai jenis tanaman - tanaman sedangkan Bumi Perkemahan Pramuka Cadika termasuk tipe rekreasi dan pemukiman (Saputra et al., 2012). Variasi jenis dan jumlah pohon di Taman Beringin lebih banyak dibandingkan dengan Bumi Perkemahan Pramuka Cadika sehingga tingkat kemampuan daya serap CO2 oleh pohon yang ditanam di Taman Beringin lebih baik dibanding Bumi Perkemahan Pramuka Cadika (Tabel 2). Pada vegetasi di tiga titik hutan kota di Kota Medan ini, yang memiliki daya serap CO2 tertinggi (peringkat 1) yaitu pohon beringin dengan daya serap mencapai 535,90 Kg CO2/tahun kemudian diikuti oleh pohon krei payung dengan daya serap sebesar 404,83 Kg CO2/tahun, mahoni dengan daya serap sebesar 295,73 Kg CO2/tahun (Dahlan dalam Abdurrazaq, 2010). Keberadaan jenis-jenis pohon dalam hutan kota tersebut memiliki masing-masing keunggulan selain fungsinya sebagai penyerap gas CO2. Mahoni merupakan jenis yang pohon yang memiliki kemampuan

yang tinggi dalam menurunkan kadar timbal di udara. Timbal merupakan sumber utama pencemaran di udara perkotaan yang dihasilkan oleh kendaraan bermotor (Dahlan, 1989). Krei payung memiliki ketahanan tinggi terhadap pencemaran debu semen dan kemampuannya dalam menyerap debu semen sangat baik sehingga banyak ditanam di kawasan pabrik semen (Manan,1976). Pohon beringin merupakan salah satu pohon penghasil oksigen yang sangat baik. Beringin juga dapat meredam suara bising dengan tajuknya yang besar dan rapat serta tempat bersarang berbagai jenis satwa (Dahlan, 1989). Jumlah penduduk suatu kota memiliki pengaruh terhadap emisi CO2 di wilayah tersebut. Aktivitas masyarakat yang tinggi berdampak pada meningkatnya konsumsi bahan bakar dan berkurangnya lahan hijau menjadi pemukiman. Proses pembakaran bahan bakar minyak menghasilkan gas CO2 dan berkurangnya lahan hijau berdampak pada kemampuan mengabsorbsi CO2.

Tabel 3. Kebutuhan luas lahan (1)

(2)

Total emisi CO2 (Gg/tahun)

Kemampuan vegetasi dalam menyerap CO2 (Gg/tahun/ha)

27.745,71

0,0582576

(3) Kebutuhan luasan lahan berdasarkan emisi CO2 (ha) 476.239,44

(4)

(5)

(6)

Luasan hutan saat ini (ha)

Selisih (ha)

Standar luas RTH*

1.403,84

474.835,64

7.953

Sumber (Source): *) UU no. 26 tahun 2007 RTH pada wilayah kota minimal 30% dari luas wilayah kota Sehingga, Kota Medan membutuhkan penambahan area hijau seluas 474.836 ha untuk mampu menyerap emisi CO2 di wilayahnya. Bila mengacu pada UU No. 26 tahun 2007, idealnya Kota Medan memiliki areal hijau minimal 30% dari luas wilayahnya atau seluas 7.953 ha. Diperlukan Penambahan areal hijau seluas 6.441 ha atau 24,3% dari luas wilayah akan menjadikan Kota Medan sebagai daerah yang telah memenuhi kriteria yang sesuai dengan undang-undang penataan ruang (Tabel 3). Penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian Gratimah Guti (2009) yang menyatakan peningkatan luas hutan kota di Kota Medan merupakan suatu keniscayaan karena tingkat pencemaran udara Kota Medan sudah amat memprihatinkan sehingga kehadiran hutan kota dengan multi fungsi dapat menurunkan tingkat pencemaran secara signifikan.

Hasil perhitungan menunjukkan bahwa total emisi CO2 di Kota Medan sebesar 27.745,71 Gg/tahun (Tabel 3). Bila kemampuan daya serap CO2 sebuah vegetasi bernilai 0,0582576 Gg/tahun/ha (Tinambunan, 2006) maka luas lahan hijau ideal yang dibutuhkan untuk menyerap emisi tersebut yaitu seluas 476.239,44 ha. Luasan hijau yang ada saat ini yaitu hutan negara 1.403,84 ha (Bappeda Kota Medan, 2012) ditambah dengan penunjukkan hutan kota seluas 108,4 ha (Keputusan Walikota Medan Nomor: 522/043 K tanggal 24 Januari 2007 tentang Penetapan Lokasi Hutan Kota di Kota Medan dan Peraturaan Daerah Nomor 13 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Medan Tahun 2011-2031) maka total area hijau yang ada saat ini seluas 1.512,24 ha.

6


Analisis Kebutuhan Hutan Kota di Kota Medan, Sumatera Utara (Johansen Silalahi, Subarudi)

Menurut Santoso (2012) saat ini memang agak sulit mencari lahan 1.000 ha untuk mewujudkan pembangunan hutan kota, karena padatnya penduduk, kebutuhan untuk kepentingan perkantoran, pertokoan, pemukiman begitu besarnya. Tapi hal ini harus disiasati dengan pemberian insentif bagi masyarakat yang memelihara pohon di pekarangannya akan diberikan pengurangan nilai nominal Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)nya agar masyarakat kota bisa menghirup udara segar dan hidup lebih sehat lagi. Peristiwa banjir yang melanda kota Medan beberapa waktu yang lalu juga merupakan wujud dari kurangnya luasan ruang terbuka hijau. Hal ini dapat dijelaskan bahwa ketika hujan turun, aliran air hujan mengalami kesulitan untuk dapat meresep masuk ke dalam tanah karena ruang terbuka hijau sebagai areal resapan air berkurang. Dampaknya adalah muncul terjadinya aliran air permukaan (surface run off) yang tinggi dan bila saluran pembuang air permukaan tersebut tersumbat karena adanya sampah, maka air akan meluap ke badan jalan dan terjadilah banjir. Disamping itu, manfaat lain dari adanya hutan kota juga menjadi sarana rekreasi/taman bermain bagi masyarakat Kota Medan seperti yang ada di Hutan Kota Taman Beringin. Berdasarkan catatan Kota Medan yang memiliki luas mencapai 26.510 ha seharusnya memiliki setidaknya 30 persen kawasan hutan kota sebagaimana disyaratkan dalam UU Penataan Ruang. Berdasarkan data yang ada, luas hutan kota yang ada di Kota Medan tidak mencapai 10 persen sesuai dengan peraturan. Menurut Rumapea (2012) ada dua langkah penting yang perlu dilakukan untuk mewujudkan udara bersih di Kota Medan. Langkah pertama yang perlu dilakukan untuk mengatasi pencemaran/pemanasan udara adalah memperbanyak pohon dengan daya serap CO2 tinggi dan areal hutan. Langkah kedua yang perlu diambil adalah melakukan pembatasan kepemilikan dan penjualan kendaraan bermotor karena kendaraan bermotor menyumbang 60-70 % pencemaran udara. Strategi pengurangan kendaraan bermotor sebenarnya sudah dilakukan pemerintah dengan menerapkan pajak kendaraan progresif, dimana pemilik kendaraan yang lebih dari satu akan dipajak lebih tinggi kendaraan yang kedua dan seterusnya. Langkah lainnya adalah jumlah kendaran pribadi harus dikurangi dan diganti dengan kendaraan umum yang nyaman dan aman sehingga masyarakat

kota Medan senang bepergian menggunakan kendaraan umum untuk bekerja dan berniaga. KESIMPULAN Kota Medan menghasilkan total emisi sebesar 27.746 Gg CO2. Bilamana total emisi tersebut dilihat dari dua aspek yaitu emisi dari bahan bakar dan penduduk, maka emisi dari bahan bakar menjadi penyumbang emisi terbesar dengan kisaran 97,4 % dari total emisi. Total area hijau di Kota Medan saat ini belum mampu menyerap total emisi yang dihasilkan. Diperlukan penambahan area hijau seluas 474.836 ha untuk mampu menyerap total emisi di wilayah tersebut. Dengan penambahan area hutan kota seluas 6.441 ha, maka Kota Medan memenuhi kriteria ideal (30%) berdasarkan Undang-Undang penataan ruang daerah. REKOMENDASI 1. Pemerintah Kota Medan perlu menggalakkan program penanaman pohon dengan jenis pohon yang memiliki daya serap CO2 tinggi seperti pohon Mahoni, Krei Payung dan Beringin untuk mengatasi pencemaran/pemanasan udara. 2. Pemerintah Kota Medan perlu juga membuat kebijakan pembatasan kendaraan pribadi dengan menaikkan pajak kendaran dan hasil pajaknya dapat dimanfaatkan untuk menambahkan jumlah kendaraan umum untuk transportasi publik. UCAPAN TERIMA KASIH Penulis menyampaikan penghargaan dan terima kasih kepada pimpinan Balai Penelitian Kehutanan Aek Nauli, peneliti dan teknisi BPK Aek Nauli, pimpinan instansi Pemerintah Kota Medan yang telah memberikan data dan informasi terhadap penelitian ini. DAFTAR PUSTAKA Abdurrazaq. 2010. Daya Serap Pohon terhadap Karbondioksida. Dari: http://ncca19.wordpress.com/2010/02/27/datadaya-serap-pohon-terhadap-karbondioksida/ [Diakses: 20 Maret 2014]. Aeni, N. 2011. Aplikasi SIG dan Penginderaan Jauh Dalam Penentuan Kecukupan Dan Prediksi Luasan Ruang Terbuka Hijau Sebagai Rosot CO2 Di Kabupaten Kudus, Jawa Tengah. Skripsi. Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fakultas Kehutanan IPB. Bogor. Alamendah. 2013. Daftar Kota Peraih Piala Adipura 2012.

7


Inovasi Vol 12 No. 1 Maret 2015 : 1 - 8

Dari: http://alamendah.org/2011/06/07/daftarkota-penerima-piala-adipura-2011/ [Diakses: 20 Maret 2014]

Listyawati, R. 2011. Medan Butuh Hutan Kota. Harian Waspada, tanggal 18 Mei 2011. Medan. Manan, S. 1976. Pengaruh Hutan dan Manajemen Daerah Aliran Sungai. Diktat Kuliah Fakultas kehutanan. Hal : 228.

[BPS] Badan Pusat Statistik Kota Medan. 2012. Medan dalam Angka 2012. Badan Pusat Statistik Kota Medan. Medan.

Mulyadin R.M., Gusti R.E.P. 2013. Analisis Kebutuhan Luasan Area Hijau Berdasarkan Daya Serap CO2 Di Kabupaten Karanganyar Jawa Tengah. Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol.10 No. 4 Desember 2013, Hal. 264-273. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan Kehutanan. Bogor.

Dahlan, E.N. 1989. Studi Kemampuan Tanaman dalam Meyerap Timbal Emisi dari Kendaraan Bermotor. Tesis. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Dahlan, E.N. 1992. Pembangunan Hutan Kota di Indonesia. Media Konservasi Vol. IV (I), Oktober 1992 : 35 – 37. Fakultas Kehutanan, IPB. Bogor.

Rumapea, R. 2012. Mewujudkan Udara Sehat di Langit Sumatera Utara. Dari: http://www.analisadaily.com/news/read/2012/04/ 19/46425/mewujudkan_udara_sehat_di_langit_sumat era_utara.

Dahlan, E.N. 2007. Analisis Kebutuhan Hutan Kota Sebagai Sink gas CO2 Antropogenik dari BBM dan Gas di Kota Bogor dengan Pendekatan Sistem Dinamik. Disertasi. Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan Pascasarjana IPB. Bogor.

Salisbury, F.B dan Cleon W. R. 1995. Fisiologi Tumbuhan Jilid 2. Penerbit : ITB Bandung.

[Depdagri] Departemen Dalam Negeri. 2007. Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 1 Tahun 2007 Tentang: Penataan Ruang Terbuka Hijau Kawasan Perkotaan. Jakarta.

Santoso, B. 2012. Pembangunan Hutan Kota Digenjot. Dari: http://www.hariansumutpos.com/2012/10/44043/ 28-november pembangunan-hutan-kota-digenjot. [Diakses: 20 Maret 2014].

[DPR RI] Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. 2007. Undang-undang Republik Indonesia No. 26 Tahun 2007 Tentang: Penataan Ruang. Jakarta.

Saputra M.H, Cica Ali, Darmawan Edi. 2012. Kajian Jenis Pohon Potensial Untuk Pengembangan Hutan Kota Wilayah Kajian Sumbar dan Sumut. Laporan Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Aek Nauli.

[FAO] Food and Agriculture Organization of The United Nations. 2006. Livestock's Long Shadow: Environmental Issues and Options. Rome. Dari: http://www.worldwatch.org/ww/livestock [Diakses: 20 Maret 2014].

Sheil, D., Casson, A., Meijaard, E., van Nordwijk, M., Gaskell, J., Sunderland-Groves, J., Wertz, K and Kanninen, M. 2009. The impacts and opportunities of oil palm ini Southeast Asia: What we know and what do we nee to know? Occasional paper No. 51. CIFOR, Bogor, Indonesia.

Gratimah RD Guti. 2009. Analisis Kebutuhan Hutan Kota Sebagai Penyerap Gas CO2 di Pusat Kota Medan. Tesis. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam USU. Medan Grey GW and Denake FJ. 1978. Urban Forestry. John Wiley and Sons. New York.

Simpson, J.R dan McPherson E.G. 1999. Carbon dioxide Reduction Through Urban ForestryGuidelines for Professional an Volunteer Tree Planters. Ge. Tech. Rep. PSW-GTR-171. Albany, CA: Pacific Southwest Research Station, Forest Service, U.S. Department of Agriculture.

Hidayati. 2009. Kurangi Polusi Kota Medan Melalui Pengurangan Jumlah Kendaraan. Harian Sumut Pos, tanggal 27 September 2009. Medan. [IPCC] Intergovernmental Panel on Climate Change. 1996. Revised 1996 IPCC Guidelines for National greenhouse gas Inventories Workbook (Volume 2). Dari: http://www.ipccnggip.iges.or.jp/public/gl/invs5.html [Diakses: 20 Maret 2014].

Tinambunan, RS. 2006. Analisis Kebutuhan Ruang Terbuka Hijau di Kota Pekanbaru. Tesis. Program Pascasarjana IPB. Bogor.

Irwan Z.D. 2005. Tantangan Lingkungan dan Lanskap Hutan kota. Bumi Aksara. Jakarta. Karliansyah. 2014. Pencemaran Lingkungan: Kualitas Udara di Perkotaan Buruk. Harian Kompas, tanggal 21 Februari 2014, halaman 13. Jakarta.

8


Potensi Tumbuhan, Aktivitas Masyarakat Dan Kebijakan Pengelolaan Habitat Siamang (Hylobates Syndactylus Raffles) Pada Hutan Produksi Di Kabupaten Tapanuli Selatan (Wanda Kuswanda)

Hasil Penelitian POTENSI TUMBUHAN, AKTIVITAS MASYARAKAT DAN KEBIJAKAN PENGELOLAAN HABITAT SIAMANG (HYLOBATES SYNDACTYLUS RAFFLES) PADA HUTAN PRODUKSI DI KABUPATEN TAPANULI SELATAN

POTENTIAL,, COMMUNITY ACTIVITIES AND POLICY (FLORA POTENTIAL HABITAT MANAGEMENT OF SIAMANG (HYLOBATES SYNDACTYLUS RAFFLES) RAFFLES) IN THE FOREST PRODUCTION, SOUTH TAPANULI REGENCY) Wanda Kuswanda Balai Penelitian Kehutanan Aek Nauli Jl. Raya Sibaganding Km. 10,5 Parapat Sumatera Utara 21174 Telp. (0625) 41653 Email: wkuswan@yahoo.com

Diterima: 30 Desember 2014; Direvisi: 23 Januari 2015; Disetujui:18 Pebruari 2015

ABSTRAK Kerusakan dan berkurangnya kawasan hutan produksi di Sumatera Utara mengakibatkan siamang terus terisolasi dan terfragmentasi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran potensi tumbuhan, aktivitas masyarakat dan strategi kebijakan dalam pengelolaan habitat siamang pada hutan produksi di Kabupaten Tapanuli Selatan, Sumatera Utara. Penelitian dilakukan pada kawasan hutan produksi di daerah Desa Marsada dan Desa Sampean, Kecamatan Sipirok, dari tahun 2013 s/d 2014. Pengumpulan data potensi tumbuhan melalui pembuatan plot analisis vegetasi menggunakan metode garis berpetak (strip transect method), data aktivitas masyarakat melalui penyebaran kuisioner dan wawancara serta pengamatan secara deskriptif. Analisis data mengunakan persamaan kerapatan tumbuhan, tabel frekuensi dan analisis deskriptif. Hasil penelitian menunjukan bahwa potensi kerapatan tumbuhan pada hutan produksi jauh lebih kecil dibanding pada hutan lindung dan hutan konservasi, dengan kerapatan pada tingkat pohon sekitar 285 individu per ha. Berbagai aktivitas masyarakat yang dapat mengancam kelestarian habitat siamang diantaranya pengambilan dan pemanfaatan sumber daya hutan, pembukaan lahan, pembakaran hutan dan pengembangan infrastruktur. Strategi kebijakan yang direkomendasikan untuk dikembangkan dalam pengelolaan habitat siamang pada hutan produksi adalah mempertahankan ekosistem yang masih utuh, melalukan rehabilitasi dengan pemilihan jenis tanaman yang tepat dan sesuai, membangun koridor untuk menghubungkan dengan hutan konservasi, pengkayaan habitat dan pelibatan masyarakat dalam pengelolaan hutan dan jasa lingkungan. Pemerintah daerah Sumatera Utara perlu segera membentuk Tim Satuan Tugas Pengamanan Hutan yang membantu perlindungan habitat dan populasi siamang serta menciptakan model ekonomi alternatif bagi masyarakat yang tidak membutuhkan lahan olahan yang luas, seperti peternakan, perikanan dan usaha lebah madu. Kata kunci : siamang, hutan produksi, habitat, masyarakat, Tapanuli.

ABSTRACT Decreasing and damage of production forest area in North Sumatra was caused siamang population more fragmented and isolated. This research aimed to describe the flora potency, community activities as well as strategies policy on the management siamang habitat in the production forests, South Tapanuli, North Sumatra. The study was conducted in the Marsada and Sampean Villages, District of Sipirok, from 2013 to 2014. The data collection were done through vegetation analysis using strip transect method, questionnaires, interviews as well as observations descriptive. Analysis of data are using plant density equation, frequency tables and descriptive analysis. The results showed that the potential of flora density on production forests is smaller than in the protected and conservation forests. The density value on tree stage about

9


Inovasi Vol 12 No. 1 Maret 2015 : 9 - 20

285 individual per ha. Community activities can be threaten to siamang habitat including the utilization of forest resources, land clearing, forest burning and infrastructure development. Policy strategies are recommended on development the siamang habitat management in production forests i.e. the maintaining primary and secondary ecosystems, rehabilitation use the species matching, establish the corridor to link forest conservation, habitat enrichment, the involvement of communities are in forest management and environmental services. The government of North Sumatra was advised immediately formed a forest protection team that helps protection siamang habitat and to create alternative economic models for people who do not need a large area, such as farming, fishing and honey bee business. Keywords: siamang, production forests, habitat, communities, Tapanuli.

siamang tergolong Appendix I yang merupakan jenis satwa yang dilarang untuk diperdagangkan. Habitat siamang adalah hutan hujan tropika dataran rendah sampai hutan pegunungan di bawah ketinggian 2.000 meter dari permukaan laut. Siamang pada habitatnya hidup dalam kelompok-kelompok sosial terkecil, terdiri dari jantan dan betina dewasa dengan 14 ekor anaknya (O'Brien et al., 2003). Habitat siamang di Sumatera Utara semakin berkurang akibat berubah fungsi menjadi lahan pertanian, perkebunan, pemukinan dan sarana lainnya (O'Brien et al., 2004). Perubahan habitat tersebut terutama terjadi pada kawasan hutan yang statusnya sebagai hutan produksi yang sudah ditinggalkan oleh pemegang Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu/IUPHHK, seperti PT. Teluk Nauli (Kuswanda, 2013). Habitat siamang yang relatif masih utuh secara umum hanya terdapat pada hutan konservasi dan sebagian pada hutan lindung. Oleh karena sebagai kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok untuk pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya, keberadaan hutan konservasi dan hutan lindung pengamanannya lebih terjaga dan program perlindungannya lebih intensif, seperti Cagar Alam Dolok Sipirok, Tapanuli Selatan. Pelestarian siamang yang perlu segera dilakukan adalah pada kawasan hutan produksi yang sudah banyak berubah menjadi lahan olahan masyarakat. Hal ini karena habitatnya terus terfragmentasi dan populasinya semakin terisolasi sehingga lebih mudah untuk diburu dan ditangkap. Namun saat ini acuan informasi untuk mengembangkan strategi kebijakan dalam pengelolaan siamang sisa hutan produksi belum tersedia sehingga masih menyulitkan para pihak untuk mendukung program konservasinya, terutama bagi Pemerintah Daerah dan Pemegang IUPHHK di Sumatera Utara. Berdasarkan permasalahan tersebut, maka penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran potensi tumbuhan, aktivitas masyarakat dan strategi kebijakan dalam pengelolaan habitat siamang pada sisa hutan

PENDAHULUAN Kawasan hutan berdasarkan statusnya di Indonesia dibagi ke dalam hutan produksi, hutan lindung dan hutan konservasi. Pengelolaan semua status kawasan hutan tersebut dikuasai oleh Negara yang dipergunakan sebesar-besar untuk kemakmuran rakyat (Departemen Kehutanan, 1999). Di Propinsi Sumatera Utara, luas kawasan hutan berdasarkan Departemen Kehutanan (2014) sebagai pengganti Surat Keputusan (SK) Menteri Kehutanan No. 44/Menhut – II/2005 dan Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan di Wilayah Propinsi Sumatera Utara seluas + 3.055.795,00 ha, yang terdiri dari hutan konservasi seluas + 427.008,00 ha, hutan lindung seluas + 1.206.881,00 ha, hutan produksi terbatas seluas + 641.769,00 ha, hutan produksi tetap seluas + 709.452,00 ha dan hutan produksi dapat dikonversi seluas + 75.684,00 ha. Berdasarkan perubahan SK tersebut, selama sepuluh tahun terakhir luas kawasan hutan di Sumatera Utara telah berkurang sekitar 686.325 ha, termasuk kawasan hutan yang berada di Kabupaten Tapanuli Selatan. Pengurangan luas kawasan hutan di Tapanuli Selatan tentunya berakibat menyempitnya habitat beragam jenis satwa yang memanfaatkan hutan sebagai tempat hidupnya. Padahal kawasan hutan tersebut diketahui sebagai habitat beragam jenis satwa yang dilindungi, terutama dari kelompok primata, seperti orangutan Sumatera (Pongo abelii Lesson) dan kelompok Hylobathes sp. (Kuswanda, 2014). Salah satu jenis satwa yang dilindungi dan merupakan satwa endemik Pulau Sumatera yang masih tersisa pada kawasan hutan di Kabupaten Tapanuli Selatan adalah siamang (Hylobathes syndactylus Raffles, 1821). Di luar Pulau Sumatera, populasi asli siamang hanya ditemukan di Semenanjung Malaysia, dan sedikit areal di Thailand (Nijman & Geissman, 2008). Siamang saat ini termasuk dalam kategori terancam punah/endangered berdasarkan IUCN Red Data List 2009. Berdasarkan kategori CITES (Convention on International Trade in Endangered Spesies of Wild Fauna and Flora),

10


Potensi Tumbuhan, Aktivitas Masyarakat Dan Kebijakan Pengelolaan Habitat Siamang (Hylobates Syndactylus Raffles) Pada Hutan Produksi Di Kabupaten Tapanuli Selatan (Wanda Kuswanda)

produksi di Kabupaten Sumatera Utara.

Tapanuli

Selatan,

1.

METODE Penelitian ini dilakukan pada hutan produksi yang berada di sekitar hutan konservasi Cagar Alam Dolok Sipirok, Kabupaten Tapanuli Selatan. Pemilihan lokasi penelitian merujuk pada Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 579/Menhut – II/2014 tentang perubahan status kawasan hutan di Propinsi Sumatera Utara (Departemen Kehutanan, 2014). Sebaran lokasi penelitian tersebut seperti pada Gambar 1 :

2.

Plot I di Dusun Huraba, Desa Marsada. Kawasan hutan sebagian besar sudah dikelola oleh masyarakat untuk dijadikan area perkebunan, terutama untuk tanaman kopi dan jeruk. Pembuatan plot penelitian terletak di sekitar koordinat 01o 36’ 44,7” LU dan 99o 13’ 24,3” BT pada ketinggiian antara 1.130 -1.180 meter dpl. Plot II di Dusun Poldung Dolok, Desa Sampean. Pembuatan plot penelitian terletak di sekitar koordinat 01o 38’ 31.8” LU dan 99o 14’ 35,5” BT pada ketinggiian antara 900 – 950 meter dpl.

Gambar 1. Peta lokasi plot penelitian menjadi faktor ancaman terhadap kerusakan hutan dilakukan melalui wawancara dan penyebaran kuisioner. Penyebaran kuisioner dilakukan pada desa-desa yang masyarakatnya berinteraksi langsung dengan kawasan hutan produksi. Penentuan responden menggunakan pendekatan metode purposive random sampling dengan intensitas sampling sekitar 10 % dari jumlah kepala keluarga setiap desa contoh (ratarata 15 responden setiap desa penelitian). Pengamatan deskriptif secara search sampling dilakukan juga pada berbagai lokasi yang diidentifikasi sebagai bentuk ancaman, seperti areal perambahan, pembukaan lahan, penebangan liar, pertanian, dan perkebunan. Data yang diperoleh di lapangan ditabulasi dan kemudian dianalisis secara kuantitatif. Persamaan yang digunakan dalam analisis data terdapat adalah sebagai berikut :

Pengumpulan data dilakukan melalui pengamatan pada potensi tumbuhan, serta wawancara dan penyebaran kuesioner dalam mengetahui aktivitas masyarakat. Potensi Tumbuh. Plot pengukuran potensi tumbuhan dibuat pada area yang masih dihuni oleh siamang dengan tipe tutupan lahan berupa hutan primer, hutan sekunder dan kebun campur. Pengukuran tumbuhan melalui pembuatan plot analisis vegetasi menggunakan metode garis berpetak (strip transect method) yang berukuran 20 m x 20 m (Kusmana, 1997). Jarak antar plot ditetapkan sekitar 40 meter. Plot pengamatan dibuat sebanyak 10 plot pada setiap status hutan sehingga total plot pengamatan 30 plot (1,2 ha). Data yang diamati meliputi jenis, jumlah jenis, keliling dan tinggi pada tingkat tiang dan pohon. Aktivitas Masyarakat. Untuk mengetahui aktivitas masyarakat yang diduga

11


Inovasi Vol 12 No. 1 Maret 2015 : 9 - 20

1. Potensi Tumbuhan Potensi tumbuhan dianalisis berdasarkan nilai kerapatannya dengan persamaan sebagai berikut : a)

b)

Luas bidang dasar (Lbds) = πdଶ , π = 3.14 ସ d = diameter batang pada ketinggian 1.3 m dari permukaan tanan (cm) Jumlah individu Kerapatan tumbuhan (K) = --------------------------Luas plot penelitian

2. Aktivitas Masyarakat Tabel frekuensi digunakan untuk menganalisis persentase aktivitas masyarakat yang diduga merupakan ancaman terhadap habitat siamang berdasarkan isian dalam kuisioner. Tahapan yang dilakukan adalah editing data, pengklasifikasian data, menghitung frekuensi, dan menyusun tabel frekuensi yang memuat jumlah dan persentase frekuensi (Supangat, 2008).

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil analisis potensi tumbuhan yang difokuskan pada tingkat tiang dan pohon pada dua lokasi penelitian seperti pada Tabel 1. Hasil analisis terhadap aktivitas masyarakat yang diduga dapat mengancam habitat siamang meliputi aktivitas pemanfaatan sumberdaya hutan dan pemanfaatan lahan pada sisa area hutan produksi. Hasil analisis kuisioner terhadap aktivitas masyarakat dalam pemanfaatan sumberdaya hutan di dua desa penelitian terdapat pada Tabel 2. Hasil analisis terhadap kepemilikan dan model pemanfaatan lahan oleh masyarakat di sekitar hutan produksi di Kecamatan Sipirok, Tapanuli Selatan seperti pada Tabel 3.

3. Analisis Deskriptif Analisis deskriptif dilakukan untuk menyusun rekomendasi strategi kebijakan dalam mengembangkan pengelolaan habitat siamang pada berbagai kawasan hutan di Kabupaten Tapanuli Selatan.

Tabel 1. Potensi tumbuhan pada hutan produksi di Tapanuli Selatan

Desa Marsada

Sampean

Tutupan Hutan Sekunder tua (tebang pilih tahun 1990 an) Sekunder campur semak belukar

Tingkat pertumbuhan Tiang Pohon Tiang Pohon

Rata-rata diameter pohon (cm) 14,17

Ratarata Lbds (m2) 0,016

30,19 14,35 28,57

550

Ratarata tinggi (m) 11,79

0,079 0,017

285 590

18,69 11,93

0,067

165

16,95

Kerapatan pohon (ind/ha)

Tabel 2. Aktivitas masyarakat dalam pemanfaatan sumberdaya

No

1

2

Pemanfaatan sumberdaya hutan

Lokasi Penelitian Desa Arse Nauli Desa Marsada Jumlah % Jumlah %

Memasuki kawasan hutan sekitar desa a. Sering (lebih dari 5 kali dalam sebulan) b. Jarang (1 -4 kali sebulan) c. Tidak pernah Pergi ke kebun atau ladang a. Sering b. Jarang c. sekali-kali

12

Rerata Jumlah

5 9 1

33,33 60,00 6,67

8 6 1

53,33 40,00 6,67

43,33 50,00 6,67

10 2 3

66,67 13,33 20,00

13 1 1

86,67 6,67 6,67

76,67 10,00 13,33


Potensi Tumbuhan, Aktivitas Masyarakat Dan Kebijakan Pengelolaan Habitat Siamang (Hylobates Syndactylus Raffles) Pada Hutan Produksi Di Kabupaten Tapanuli Selatan (Wanda Kuswanda)

d. Tidak pernah Pemanfaatan terhadap berbagai jenis Sumberdaya Hutan 1. Kayu a. Dimanfaatkan sendiri b. Hanya dijual

3

0

0,00

0

0,00

0,00

10 0

66,67 0,00

8 1

53,33 6,67

60,00 3,33

c. Dijual dan dimanfaatkan sendiri

4

26,67

5

33,33

30,00

d. Tidak memanfaatkan 2. Buah-buahan a. Dimanfaatkan sendiri b. Hanya dijual c. Dijual dan dimanfaatkan sendiri d. Tidak memanfaatkan 3. Satwa a. Dimanfaatkan sendiri b. Hanya dijual c. Dijual dan dimanfaatkan sendiri d. Tidak memanfaatkan

1

6,67

1

6,67

6,67

3 1 3 8

20,00 6,67 20,00 53,33

3 2 10

20,00 13,33 0,00 66,67

20,00 10,00 10,00 60,00

4 0 0 11

26,67 0,00 0,00 73,33

1 1 0 13

6,67 6,67 0,00 86,67

16,67 3,33 0,00 80,00

Tabel 3. Kepemilikan dan pemanfaatan lahan oleh masyarakat

No

1

2

3

4

5

Kepemilikan Lahan

Desa Arse Nauli Jumlah %

Lama menggarap lahan a. Lama (> 4 tahun) b. Sedang (antara 2 - 4 tahun) c. Baru (< 2 tahun) Asal usul kepemilikan lahan a. Membuka hutan/belukar b. Tanah adat c. Warisan orangtua d. Membeli dari orang lain e. Kombinasi antara dua atau lebih dari a,b, c dan d Luas lahan olahan a. < 1 ha b. antara 1 - 2 ha c. > 2 ha d. Tidak memiliki lahan Jumlah jenis tanaman yang dibudidaya pada lahan garapan a. 1 jenis tanaman (monokultur) b. 2 jenis tanaman c. > 2 jenis tanaman Kelompok tanaman yang dibudidaya pada lahan garapan a. Padi b. Buah-buahan c. Sayuran d. Lainnya, karet, kopi, coklat

13

Desa Penelitian Desa Marsada Jumlah %

Rerata %

11 3

73,33 20,00

10 4

66,67 26,67

70,00 23,33

1

6,67

1

6,67

6,67

4

26,67

5

33,33

30,00

5 2 4

33,33 13,33 26,67

4 3 3

26,67 20,00 20,00

30,00 16,67 23,33

6 6 3 0

40,00 40,00 20,00 0

10 4 1 0

66,67 26,67 6,67 0

53,33 33,33 13,33 0

8 1 6

53.33 6.67 40.00

4 2 9

26.67 13.33 60.00

40.00 10.00 50.00

8 0 1 6

53.33 0.00 6.67 40.00

9 1 2 3

60.00 6.67 13.33 20.00

56.67 3.33 10.00 30.00


Inovasi Vol 12 No. 1 Maret 2015 : 9 - 20

Potensi Tumbuhan. Pada lokasi penelitian potensi tumbuhan selama pengumpulan data teridentifikasi tiga kelompok siamang. Jumlah individu setiap kelompok terdiri dari 3 – 4 individu, yang meliputi dua dewasa (jantan dan betina), remaja dan anak/bayi. Kelompok siamang yang ditemukan di lokasi penelitian telah terisolasi karena di sekeliling habitatnya telah berubah menjadi lahan perkebunan dan semak belukar. Pada lokasi tersebut menurut masyarakat sekitar 4-5 tahun yang lalu masih ditemukan sekitar 5 kelompok siamang. Hilangnya siamang di lokasi tersebut kemungkinan mati atau diburu/ditangkap oleh masyarakat. Berdasarkan hasil analisis vegetasi pada plot seluas 0,4 ha di setiap lokasi penelitian diperoleh rata-rata diameter tertinggi pada tingkat tiang yang ditemukan pada hutan sekunder di Desa Sampean sebesar 14,35 cm2 sedangkan untuk tingkat pohon pada hutan primer di Desa Marsada sebesar 30,19 cm2. Hasil analisis kerapatan tumbuhan dan tinggi tumbuhan juga menunjukan bahwa untuk tingkat tiang ditemukan pada hutan sekunder sebesar 590 ind/ha dan 11,93 cm sedangkan untuk tingkat pohon pada hutan primer sebesar 285 ind/ha dan 18,69 cm. Dari hasil analisis tersebut menunjukan bahwa pohon yang ditebang adalah pohon yang berdiameter besar, di atas 20 cm. Penyebab kerusakan hutan pada awalnya adalah adanya penebangan oleh pemilih IUPHHK dan setelah ditinggalkan hutan yang sudah dibuka kemudian dirambah oleh masyarakat dan dibersihkan untuk dijadikan area perkebunan. Keadaan ini hampir terjadi di seluruh kawasan hutan Blok Batang Toru, Tapanuli Selatan (Perbatakusuma et al., 2007) Potensi tumbuhan pada kedua lokasi penelitian bila dibandingkan dengan habitat siamang yang masih utuh, seperti di dalam CA. Dolok Sipirok dan hutan lindung masih lebih rendah. Sebagai contoh, Kuswanda et al. (2013) menyebutkan bahwa rata-rata kepadatan pohon pada hutan lindung yang merupakan habitat siamang mencapai 750 ind/ha pada tingkat tiang dan 277,5 ind/ha pada tingkat pohon. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa perlu ada upaya untuk pembinaan habitat untuk meningkatkan populasi siamang di kawasan sisa hutan produksi. Perlindungan terhadap kawasan tersebut harus menjadi prioritas seiring tingginya perambahan lahan pada kawasan yang sudah ditinggalkan oleh Pemegang IUPHHK. Menurut Mubarok (2012), keberadaan habitat siamang di luar kawasan konservasi, seperti pada area sisa hutan produksi memiliki ancaman kerusakan hutan

yang tinggi sehingga rentan terhadap kepunahan lokal. Kawasan hutan produksi yang masih merupakan hutan primer dan sekunder secara umum memiliki potensi sebagai habitat tambahan bagi siamang di Kabupaten Tapanuli Selatan. Meskipun kerapatan tumbuhannya rendah tapi masih memiliki karakteristik tumbuhan yang hampir sama dengan kondisi hutan konservasi sekitarnya, seperti CA. Dolok Sipirok. Namun karena kawasan hutan produksi pengamanannya rendah mengakibatkan hutan terus mengalami perubahan akibat maraknya pembukaan lahan. Bahkan banyak area semak belukar di sekitar lokasi penelitian yang tidak dikelola karena sudah dimiliki oleh orang-orang yang tinggal di Kota Sidempuan bahkan di Jakarta. Mereka membeli lahan dari masyarakat setempat dengan harga yang murah karena tidak ada sertifikat kepemilikan lahannya. Aktivitas Masyarakat. Berdasarkan pada Tabel 2 dan hasil pengamatan secara deskriptif terdapat berbagai aktivitas masyarakat yang dapat mengancam habitat siamang di Kabupaten Tapanuli Selatan sebagai berikut : 1.

Pengambilan dan Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Masyarakat yang tinggal di desa-desa di Kecamatan Sipirok, Tapanuli Selatan masih memiliki ketergantungan yang tinggi akan sumberdaya hutan yang terdapat di sekitar tempat tinggalnya (Perbatakusuma et al., 2007). Hasil analisis kuisioner pada dua desa penelitian menunjukan bawa lebih dari 90% responden pernah memasuki kawasan hutan, baik yang kategori sering maupun jarang. Responden yang mengakui tidak pernah memasuki hutan adalah pendatang yang bertugas sebagai pendidik maupun pedagang di desa tersebut. Sebagai masyarakat yang bekerja di sektor pertanian di kedua desa tersebut tercermin juga dari hasil isian kuisioner yang mengatakan bahwa lebih dari 76% responden mengakui sering ke ladang atau berkebun. Hasil wawancara dengan responden menyebutkan bahwa mereka pergi ke kebun hampir setiap hari, terutama masyarakat yang menanam tanaman semusim, seperti cabai dan jenis sayuran lainnya. Mereka tidak mengunjungi kebun paling hanya 1-2 hari dalam seminggu, terutama waktu hari pekan (pasar mingguan), yaitu hari kamis di Kota Sipirok. Tingginya aktivitas masyarakat yang sering memasuki hutan dan kebun tentunya akan mengganggu terhadap siamang. Menurut Lappan (2008), siamang merupakan satwa yang sangat sensitif akan kehadiran manusia. Mereka

14


Potensi Tumbuhan, Aktivitas Masyarakat Dan Kebijakan Pengelolaan Habitat Siamang (Hylobates Syndactylus Raffles) Pada Hutan Produksi Di Kabupaten Tapanuli Selatan (Wanda Kuswanda)

kebutuhan protein akibat daya beli yang rendah. Jenis satwa yang sering diburu diantaranya adalah rusa, kijang dan burung. Satwa burung umumnya mereka tangkap untuk dijual, seperti kucica daun dan kacer. Pemanfaatan terhadap satwa liar oleh masyarakat di sekitar TNBT sudah mulai berkurang meskipun ada sebagian kecil masyarakat (umumnya pendatang) yang masih berburu satwa liar ke dalam kawasan TNBT menggunakan senapan angin. Jenis satwa yang diburu umumnya dari kelompok mamalia dan bisa dijual seperti kambing hutan (C. sumatrensis), harimau Sumatera (P. tigris sumatrae) dan rusa. Hal ini tentunya akan mengganggu keseimbangan ekosistem TNBT sebagai areal pelestarian satwa langka, endemik dan dilindungi, seperti harimau sumatera. Pengambilan hasil hutan lainnya ini memang belum secara signifikan merusak habitat siamang, seperti daun dan akar untuk obat-obatan. Namun bila terus dibiarkan lambat laun kerusakan hutan akan terjadi dan siamang akan terganggu. Frekuensi masyarakat yang sering memasuki kawasan hutan, terutama ketika menunggu hasil panen di sawah dan kebun tentunya dapat mempengaruhi perilaku siamang. Siamang adalah satwa yang sangat sensitif dan cenderung menghindari perjumpaan dengan manusia. Aktifitas siamang saat mencari makan dan istirahat akan terganggu dengan kehadiran manusia pada habitatnya. Terganggunya perilaku alami satwa akan menurunkan daya reproduksinya, termasuk pada siamang (Bailey, 1984).

akan menjauh apabila kondisi hutan masih luas, namun ketika habitatnya terbatas dapat mengakibatkan strees yang dapat berpengaruh terhadap perilaku sosialnya (Gitting dan Raemaekers, 1980). Sebagai contoh, ketika habitatnya sempit maka untuk mendapatkan lokasi yang aman akan bersaing dengan kelompok lain yang sudah menguasai wilayah tersebut. Menurut Mubarok (2012), persaingan pada siamang dapat terjadi untuk memperebutkan sumber pakan dan ruang ketika daya dukung habitatnya berkurang. Dampak persaingan ini memungkinkan daya reproduksi siamang menurun bahkan sampai mengalami kematian (Palombit, 1997). Jenis-jenis sumber daya hutan yang dimanfaatkan oleh masyarakat sangat beragam. Jenis-jenis kayu yang banyak dimanfaatkan masyarakat saat ini adalah Ficus sp., hoting (Quercus sp.), medang (Litsea sp.) dan mayang (Palaquium sp.). Oleh karena jenis kayu yang bernilai tinggi, seperti dari jenis meranti (Shorea sp.) dan damar (Hopea sp.) sudah habis ditebang oleh pemilik IUPHHK. Kayu yang ditebang oleh masyarakat sebagian besar memang masih dimanfaatkan untuk kebutuhan sendiri (60%), seperti untuk membangun rumah maupun untuk kayu bakar dan hanya sebagaian kecil yang hanya untuk dijual. Namun apabila kondisi ini terus berlanjut maka bukan tidak mungkin semua jenis kayu akan habis, terutama sumber pakan siamang. Jenis-jenis tumbuhan pakan dan pohon tidur siamang yang banyak ditebang diantaranya adalah mayang durian (Palaquium obovatum Engl., var.), hoteng batu (Podocarpus beccarii Parl), dan hau dolok jambu (Syzygium racemosum DC.). Aktivitas masyarakat lainnya di dalam hutan adalah mengambil buah-buahan. Pemanfaatan buah-buahan dari kawasan hutan memang hanya dilakukan oleh sebagai kecil masyarakat, baik masyarakat di Desa Marsada maupun di Desa Arse Nauli, hanya sekitar 2030% responden. Jenis buah-buahan yang diambil dari hutan diantaranya adalah petai hutan (Parkia speciosa Hassk), durian (Durio zibethinus Murr) dan jengkol yang tumbuh secara alami. Responden lain sekitar 60% mengakui tidak pernah mengambil buah-buahan dari hutan karena sudah mereka tanam di kebunnya. Buah-buahan yang mereka ambil sebagian juga dijual untuk menambah pendapatan keluarga. Aktivitas masyarakat yang dilakukan di dalam hutan, termasuk pada habitat siamang adalah berburu satwa liar. Sebesar 20% responden mengakui sering berburu satwa liar di dalam hutan terutama untuk memenuhi

2.

Pembukaan lahan Lahan merupakan sumberdaya alam yang sangat penting untuk kelangsungan hidup manusia karena lahan merupakan tempat yang diperlukan untuk setiap aktivitas manusia, seperti pertanian, pemukiman, jalan untuk transportasi dan lainnya (Nugroho, 1996). Masyarakat sekitar hutan untuk mendapatkan lahan olahan yang paling mudah adalah dengan membuka hutan. Salah satu lahan yang mudah dirambah adalah hutan negara, yang di mata sebagian masyarakat merupakan tanah terbuka dan tidak dikelola, seperti hutan produksi yang sudah ditinggalkan oleh pemegang ijin usahanya. Hasil analisis pada Tabel 3 menunjukan bahwa masyarakat yang menjadi responden di dua desa secara umum telah menggarap lahan lebih dari empat tahun, sebesar 70%. Hasil pengamatan secara deskriptif lahan mereka sudah merambah sisa area hutan produksi bahkan hutan lindung. Area hutan produksi, termasuk yang berbatasan langsung dengan

15


Inovasi Vol 12 No. 1 Maret 2015 : 9 - 20

(semusim). Rasa ‘takut’ dan keterbatasan modal untuk membuka lahan baru diakui oleh responden, sehingga lebih baik mengoptimalkan lahan yang sudah dimiliki meskipun hasil panennya tidak optimal. Jenis tanaman yang paling banyak dibudidayakan adalah kopi dan sebagian coklat. Menurut responden dengan menanam beragam jenis tanaman diharapkan mereka mendapatkan hasil panen mingguan, bulanan dan musiman. Kegiatan pembukaan lahan secara nyata telah mengakibatkan siamang semakin kehilangan habitatnya dan semakin mudah untuk diburu. Berkurangnya kawasan hutan untuk berbagai kebutuhan manusia, seperti lahan pertanian, perkebunan dan pertambangan terbuka akan menyebabkan kepunahan satwa karena regenerasi hutan tidak mungkin berlangsung lagi dan daya dukung habitat semakin berkurang (Meijaard, et. al, 2001). Pembukaan lahan yang semakin meluas pada hutan produksi dapat mengakibatkan tumbuhan pakan semakin berkurang sehingga pertumbuhan populasi siamang akan terganggu.

kawasan cagar alam sebagian telah dirambah oleh masyarakat. Menurut Kepala Desa Marsada menyebutkan bahwa yang membuka hutan di desanya bukan hanya masyarakatnya akan tetapi berasal dari luar desa bahkan yang tinggal di Kota Padangsidempuan. Masyarakat diberi modal untuk membuka hutan dan nantinya dijanjikan akan dijadikan pegawai untuk mengelola lahan/perkebunannya. Asal usul lahan olahan diakui sendiri oleh 30% responden berasal dari membuka hutan. Meskipun 30% lainnya mengaku berasal warisan orangtuanya akan tetapi dari hasil wawancara menyebutkan bahwa lahan tersebut berasal dari membuka hutan. Masyarakat pembuka hutan, terutama yang di bawah 4 tahun justru lebih banyak dilakukan oleh masyarakat pendatang, yang memilih tinggal di desa mereka mengikuti saudara atau keluarga lainnya. Mereka membuka lahan agar tidak membebani keluarga yang ditumpanginya. Pada beberapa lokasi ditemukan pula kasus bahwa masyarakat sendiri yang menjual lahan pada pendatang atau pemilik modal dari luar sehingga 16,78% masyarakat mengaku lahanya diperoleh dengan cara membeli dan sisanya dari kombinasinya. Lahan yang dikelola masyarakat saat ini diakuinya sebagai lahan milik meskipun bila disesuaikan dengan Peta Lampiran Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 579/Menhut – II/2014 (Departemen Kehutanan, 2014) kawasan tersebut masih merupakan area hutan produksi. Informasi status kepemilikan lahan olahan masyarakat akan menjadi ‘bias’ apabila dikaikan dengan kepemilikan secara legal atau status lahan secara hukum karena hanya menurut ‘pengakuan’ pribadi dan belum memiliki sertifikat lahan. Batas antar lahan pun biasanya hanya dilakukan secara musyawarah antar pemilik lahan yang saling berbatasan. Luas lahan yang dikelola masyarakat sangat bervariasi meskipun sekitar 55% mengaku memiliki lahan olahan kurang dari 1 ha. Seperti diakui oleh Kepala Desa Marsada sebenarnya lahan yang dibuka oleh masyarakat relatif sedikit (< 1 ha) karena keterbatasan modal untuk mengelolanya. Pembukaan lahan secara luas (> 3 ha) sebenarnya dimodali oleh masyarakat luar dan masyarakat desa hanya diupah. Di Desa Arse Nauli teridentifikasi lahan yang baru di buka cukup luas dan setelah dikonfirmasikan dengan masyarakat dimiliki oleh masyarakat luar. Masyarakat yang menjadi responden sekitar 60% mengelola lahan olahanya dengan beragam jenis tanaman (> 2 jenis). Tanaman yang ditanam merupakan tanaman kombinasi antara tanaman perkebunan dan palawija

3.

Pembakaran hutan dan lahan Masyarakat sekitar hutan produksi secara umum membuka lahan untuk perkebunan dengan cara tebas bakar. Hutan yang akan dibuka terlebih dahulu sebagian kayunya ditebang secara tebang pilih terhadap jenis kayu yang bisa digunakan untuk bahan perumahan, kemudian dilakukan pembakaran lahan. Menurut pengakuan responden, membakar adalah cara yang paling mudah dan tidak perlu biaya yang mahal untuk membuka hutan. Selama pembakaran, tidak ada upaya untuk mengawasi api dan api dibiarkan padam dengan sendirinya. Pembakaran hutan tentunya berdampak negatif bagi satwa liar, termasuk siamang. Selain habitat yang rusak dan berkurang, saat terjadi kebakaran, akan timbul kepanikan dan satwa berusaha menyelamatkan diri untuk menghindari api dan banyak yang mengalami kematian. Kelompok satwa yang berhasil menyelamatkan diri pun selanjutnya harus bersaing dengan kelompok lain untuk memperebutkan habitat yang baru. Persaingan pada satwa berakibat akan terganggunya proses reproduksi sehingga pertumbuhan satwa akan terganggu (West, 1982). 4.

Pengembangan infrastruktur Infrastruktur adalah sarana penting untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi masyarakat sekitar hutan, seperti pembangunan pemukiman dan sarana jalan. Permasalahan akan timbul ketika pengembangan infrastruktur

16


Potensi Tumbuhan, Aktivitas Masyarakat Dan Kebijakan Pengelolaan Habitat Siamang (Hylobates Syndactylus Raffles) Pada Hutan Produksi Di Kabupaten Tapanuli Selatan (Wanda Kuswanda)

tersebut menyerobot habitat satwa liar. Berbagai kasus konflik satwa dengan manusia sudah banyak terjadi, seperti dengan harimau, gajah dan orangutan karena habitat mereka diambil alih oleh manusia. Pengembangan infrastruktur pada kawasan hutan secara langsung dan tidak langsung telah mengakibatkan habitat satwa liar terpecah-pecah dan terisolasi oleh berbagai aktivitas manusia. Dampak lainnya adalah satwa mudah ditemukan dan diburu oleh manusia karena keterbasan area untuk ’melarikan diri’. Pada kondisi ini bagaimanapun satwa akan kalah dan mengalami kematian. Dampak negatif pengembangan infrastruktur dapat dikurangi apabila terdapat perencanaan penataan dan pemanfaatan ruang secara cermat dan terpadu. Pembangunan pemukiman, jaringan jalan dan sarana lainnya sebaiknya tidak memotong habitat satwa dan diupayakan membangun koridor bagi satwa. Selain itu, pengembangan infrastruktur seyogyanya dapat dioptimalkan pada area APL yang memang direncanakan untuk mengembangkan pra sarana yang mendukung kehidupan manusia.

produksi yang khususnya merupakan habitat siamang sebagai berikut : 1.

Mempertahankan ekosistem yang masih utuh Penetapan kawasan hutan menjadi hutan produksi adalah untuk memproduksi hasil hutan terutama kayu (Departemen Kehutanan, 1999). Namu kenyataannya lebih dari 70 % hutan produksi menjadi rusak karena sistem pengelolaan oleh pemegang IUPHHK tidak berjalan semestinya. Banyak area yang harus dilindungi, seperti sumber mata air, sempadan sungai dan area kelerengan di atas 40% mengalami penebangan dan terdegradasi. Adanya hutan yang masih utuh pada area HPH biasanya karena ada tuntutan dari masyarakat untuk tidak merusak hutan karena dianggap sebagai air atau tempat budaya mereka, seperti di Daerah Marsada, Tapanuli Selatan. Ekosistem hutan produksi yang masih utuh, terutama yang penutupan lahannya masih primer perlu menjadi perhatian serius untuk dilindungi oleh pemerintah. Tujuan pengelolaannya adalah mempertahankan habitat beragam jenis satwa dilindungi, selain di hutan konservasi. Aktivitas masyarakat yang memasuki area tersebut harus diminimalilasi karena rentan terhadap pencurian kayu dan perambahan lahan. Dalam hal ini pemerintah daerah Tapanuli Selatan dapat membentuk Satuan Tugas dari Polisi Kehutanan di daearah untuk memantau kawasan sisa area hutan produksi yang masih utuh.

Strategi Kebijakan Pengelolaan Habitat Siamang pada Hutan Produksi. Sesuai dengan Undang undang No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan yang menyatakan bahwa penyelenggaraan kehutanan bertujuan untuk mengoptimalkan aneka fungsi hutan yang meliputi fungsi konservasi, fungsi lindung, fungsi produksi untuk mencapai manfaat lingkungan, sosial, budaya dan ekonomi yang seimbang dan lestari. Untuk itu, dalam perkembangannya pengelolaan hutan dan lingkungan hidup mengharuskan bahwa sistem pengelolaan hutan ke depannya harus dapat menjamin kelestarian multidimensi, meliputi kelestarian sumberdaya alam, kelestarian hutan dan hasil hutan, kelestarian fungsi lingkungan dan kelestarian manfaat bagi masyarakat, termasuk pada kawasan hutan produksi. Melihat kondisi sisa hutan produksi yang sudah ditinggalkan oleh pemegang IUPHHK nya yang sebagian besar sudah kritis, dirambah masyarakat bahkan diperjualbelikan secara illegal, maka diperlukan suatu kebijakan pengelolaan yang tepat agar amanah dalam Undang-undang No. 41 tentang Kehutanan dapat diimplementasikan. Salah satu amanah dalam undang-undang tersebut adalah melindungi beragama jenis satwa liar langka dan dilindungi pada setiap status kawasan hutan, termasuk pada hutan produksi. Berdasarkan hal tersebut, maka dalam tulisan ini direkomendasikan berbagai strategi untuk mengembangkan pengelolaan hutan

2.

Rehabilitasi kawasan hutan terdegradasi Rehabilitasi hutan merupakan kegiatan untuk memulihkan, mempertahankan, dan meningkatkan fungsi hutan sehingga daya dukung, produktivitas, dan peranannya dalam mendukung sistem penyangga kehidupan tetap terjaga. Kegiatan rehabilitasi dapat diselenggarakan melalui reboisasi, penghijauan, pemeliharaan, pengayaan tanaman atau penerapan teknik konservasi tanah secara vegetatif dan sipil teknis, pada lahan kritis dan tidak produktif. Rehabilitasi hutan dan lahan dapat diimplementasikan pada semua kawasan hutan kecuali cagar alam dan zona inti taman nasional (Departemen Kehutanan, 1999). Kegiatan rehabilitasi pada hutan produksi sangat diperlukan terutama pada areal kosong/lahan tidak produktif sehingga dapat lebih berfungsi sebagai areal habitat tambahan/perluasan bagi satwaliar yang memiliki wilayah jelajah yang luas, seperti siamang dan menjadi sumber pendapatan ekonomi bagi masyarakat lokal (MacKinnon et al., 1993). Tanaman yang dipilih seyogyanya

17


Inovasi Vol 12 No. 1 Maret 2015 : 9 - 20

lebih didominasi oleh tumbuhan yang berfungsi sebagai sumber pakan, pohon pelindung, dan atau yang sudah langka dan dilindungi. Pemilihan Species Matching harus dilakukan secara cermat untuk menghindari kemungkinan adanya invasi jenis tanaman asing/tertentu yang dapat merusak ekosistem asli (Kuswanda, 2007).

penghasil buah yang sering dikonsumsi oleh siamang (Kuswanda et al., 2012). 5.

Penyadartahuan dan pelibatan masyarakat Prinsip dasar pengelolaan hutan berbasis masyarakat adalah paradigma pembangunan kehutanan yang bertumpu pada pemberdayaan ekonomi rakyat. Sebagai pelaku utama maka masyarakat sekaligus menjadi pemeran utama dalam proses pengambilan keputusan dalam pengelolaan hutan. Hal ini dapat terwujud bila terdapat pengakuan terhadap hak-hak pengelolaan, pengendalian dan pemanfaatan sumberdaya hutan. Operasionalisasi di lapangan diserahkan kepada kelembagaan lokal sesuai dengan sistem sosial, ekonomi dan budaya masyarakat setempat. Penyadartahuan akan pentingnya keberadaan kawasan hutan pada masyarakat perlu terus dilakukan untuk meningkatkan pemahaman bahwa kawasan hutan dibutuhkan juga sebagai lokasi perlindungan bagi satwaliar, bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan manusia. Kurangnya keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan hutan dan rendahnya kepedulian dan kemampuan multipihak dalam pelestarian sumber daya hutan mengakibatkan kawasan hutan terus berkurang dan berubah fungsi menjadi area budidaya, terutama untuk perkebunan. Masyarakat harus diberi pengertian bahwa pemanfaatan sumberdaya hutan, tidak terbatas terhadap produk hasil hutan kayu, akan tetapi telah saatnya untuk mulai memanfaatkan potensi jasa-jasa lingkungannya, seperti potensi karbon, ekowisata dan nilai air. Selain itu, peningkatan pelibatan masyarakat dalam pengelolaan hutan juga perlu terus dikembangkan. Masyarakat harus mendapat keuntungan secara ekonomi dari keberadaan hutan tanpa harus merambah dan mengambil kayunya. Masyarakat sudah saatnya dilibatkan dalam berbagai aktivitas pengelolaan hutan, termasuk dalam melindungi habitat siamang. Masyarakat dapat diikutsertakan dalam kegiatan pengamanan hutan yang biayanya dialokasikan dari APBD/N dan hasil pembayaran untuk jasa lingkungan (Payment for Environmental Services, PES) dari perusahaan.

3.

Pembangunan koridor antar habitat siamang Pembukaan hutan produksi untuk kebutuhan manusia telah mengakibatkan terputusnya konektivitas biologi, terutama bagi satwaliar seperti siamang. Manusia telah menciptakan penghalang buatan yang menyebabkan populasi-populasi terisolasi sehingga rawan terhadap kepunahan karena berkurangnya akses terhadap sumber daya, seperti sumber pakan. Siamang sebagai satwa herbivora selalu melakukan pergerakan harian untuk mencari makan dan mendapatkan pasangan. Konsekuensinya siamang sangat membutuhkan koridor atau penghubung di habitatnya untuk mendapatkan kebutuhannya. Pembangunan koridor diharapkan dapat memfasilitasi terjadinya pergerakan satwa dan pertukaran genetik serta populasi dapat bergerak untuk merespon terjadinya perubahan lingkungan dan bencana alam (Perbatakusuma et al., 2007). Pembangunan koridor sebagai penghubung antar habitat akan mengurangi peluang persaingan satwa, sulit terdeteksi oleh manusia dan menambah wilayah jelajah. Pembuatan koridor dapat dilakukan melalui penanaman jenis pohon yang akan memikili batang besar dan tinggi, tajuk yang rapat dan berkesinambungan, dapat berfungsi sebagai sumber pakan atau pohon sarang, seperti dari beringin, hoteng, dan meranti. Saat menunggu waktu pohon tumbuh dan bisa digunakan oleh siamang, sebagai koridor jangka pendek dapat dibuat tali penghubung dari kawat besi yang dimanipulasi dengan lilitan tumbuhan liana. 4.

Pengkayaan tumbuhan pakan dan pohon sarang Pengkayaan tumbuhan pakan dan pohon sarang bagi siamang dapat difokuskan pada lokasi hutan sekunder yang belum dirambah oleh masyarakat. Pengkayaan tumbuhan pakan untuk sementara bertujuan meningkatkan daya dukung habitat bagi siamang agar populasinya dapat meningkat. Jenis tanaman untuk pengkayaan yang direkomendasikan adalah beringin (Ficus benjamina Linn.), hoteng maranak (Castanopsis inermis Jack), hatopul (Artocarpus rigidus Blume) dan andarasi (Ficus congesta Roxb). Jenis ini merupakan tanaman

KESIMPULAN Kesimpulan dari hasil penelitian yang telah dilakukan ini adalah potensi tumbuhan pada sisa area hutan produksi yang masih utuh untuk kerapatan tumbuhan dan tinggi tumbuhan pada tingkat tiang tertinggi ditemukan pada hutan sekunder sebesar 590 ind/ha dan 11,93 cm sedangkan untuk tingkat pohon pada hutan primer sebesar 285 ind/ha

18


Potensi Tumbuhan, Aktivitas Masyarakat Dan Kebijakan Pengelolaan Habitat Siamang (Hylobates Syndactylus Raffles) Pada Hutan Produksi Di Kabupaten Tapanuli Selatan (Wanda Kuswanda)

dan 18,69 cm. Potensi tumbuhan di hutan produksi lebih rendah dibandingkan di hutan lindung dan hutan konservasi. Aktivitas masyarakat yang dapat mengancam kelestarian habitat siamang diantaranya adalah pengambilan dan pemanfaatan sumber daya hutan, pembukaan lahan, pencurian kayu, pembakaran hutan dan lahan dan pengembangan infrastruktur yang kurang terencana. Strategi kebijakan yang direkomendasikan untuk dikembangkan dalam pengelolaan habitat siamang pada hutan produksi adalah mempertahankan ekosistem yang masih utuh dengan pengamanan secara periodik, melalukan rehabilitasi dengan pemilihan jenis tanaman yang tepat dan sesuai, membangun koridor antar habitat terutama yang dapat menghubungkan ke hutan konservasi, pengkayaan habitat dengan tumbuhan pakan dan meningkatkan pelibatan masyarakat dalam pengelolaan hutan dan jasa lingkungan.

4.

5.

6.

7.

8. REKOMENDASI Rekomendasi kebijakan untuk mengembangkan pengelolaan sisa hutan produksi yang merupakan habitat siamang yang oleh Pemerintah Daerah Sumatera Utara melalui Dinas Kehutanan Propinsi dan Kabupaten, maupun Lembaga Swadaya Masyarakat yang memiliki program kegiatan di Sumatera Utara sesuai hasil penelitian di atas adalah : 1. Membentuk Tim Satuan Tugas Pengamanan yang melibatkan Polisi Kehutanan, masyarakat, LSM dan pihak terkait lainnya untuk melakukan pengamanan kawasan hutan produksi yang masih utuh dalam upaya membantu perlindungan satwa liar endemik Sumatera, seperti siamang. Pengamanan diprioritaskan pada daerah yang rawan pencurian kayu dan pengambilan sumberdaya hutan lainnya. 2. Mengembangkan program monitoring kawasan hutan produksi, baik melalui analisis citra satelit maupun inspeksi langsung di lapangan untuk mengetahui perubahan tutupan hutan dan potensi tumbuhan akibat pembakaran maupun perambahan. 3. Meningkatkan pengembangan budidaya tanaman hutan bersama masyarakat dengan pendanaan dapat dilakukan melalui anggaran APBN yang bersumber dari Kementerian Kehutanan maupun dana CSR perusahaan yang terdapat di Kabupaten Tapanuli Selatan. Jenis tanaman yang dapat dikembangkan untuk merehabilitasi habitat siamang di hutan produksi diantaranya

meranti, durian dan hau dolok salam, petai, cempedak dan mayang durian. Membangun koridor satwa liar yang menghubungkan area hutan produksi dengan kawasan konservasi, seperti CA. Dolok Sipirok dan CA. Dolok Sibual-buali. Mengembangkan sosialisasi dan penyuluhan kepada masyarakat sekitar hutan agar mengurangi aktivitas pengambilan sumberdaya hutan dan pembukaan lahan untuk perkebunan terutama pada kawasan hutan yang masih dihuni oleh satwa langka dan dilindungi. Menciptakan model ekonomi alternative bagi masyarakat yang tidak membutuhkan lahan olahan yang luas, seperti peternakan, perikanan dan lebah madu. Mengembangkan kelembagaan lokal di tingkat kecamatan dan desa yang memiliki tugas untuk memantau aktivitas masyarakat dalam pemanfaatan sumberdaya hutan dan lahan terutama yang terjadi pada hutan Negara. Mencari solusi pendanaan untuk membiaya kegiatan konservasi yang bersumber tidak hanya dari APBD/N dengan regulasi yang jelas, seperti melalui (Payment for Environmental Services, PES), hibah luar negeri dan perdagangan karbon (REDDI+).

DAFTAR PUSTAKA Bailey, J.A. 1984. Principles of Wildlife Management. John Wiley & Sons. Network. Departemen Kehutanan. 1999. Undang-undang No. 41 tentang Kehutanan, tanggal 30 September 1999. Departemen Kehutanan. Jakarta. Departemen Kehutanan. 2014. Lampiran Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 579/Menhut – II/2014 tentang Kawasan Hutan Propinsi Sumatera Utara, tanggal 24 Juli 2014. Departemen Kehutanan Jakarta. Gitting, S. and J.Raemaekers. 1980. Siamang, lar and agile gibbons. In: D.Chivers (ed.), Malayan forest primates. Ten years study in tropical rain forest, pp.63-105. Plenum Press, New York. USA. IUCN. 2009. IUCN Red List of Threatened Species. http ://www.redlist.org/. Diakses tanggal 5 September 2010. Kuswanda, W. 2007. Karakteristik dan Penggunaan Lahan Sekitar Habitat Orangutan (Pongo abelii Lesson), Cagar Alam Dolok Sibual-Buali. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam Vol. IV No. 3. Departemen Kehutanan. Kuswanda, W. 2004. Oranguran Batang Toru : Kritis diambang Punah. Forda Press. Bogor.

19


Inovasi Vol 12 No. 1 Maret 2015 : 9 - 20

Kuswanda, W., S.P. Barus,.J. Ginting dan E.P. Manik. 2013.Teknologi konservasi siamang (Symphalangus syndactylus Raffles, 1821)pada kawasan hutan di Sumatera Utara: analisis kesesuaian dan ancaman habitat siamang. Laporan Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Aek Nauli. Pematangsiantar. Tidak dipublikasikan.

Alam Sungai Batang Toru Provinsi Sumatera Utara. Laporan Teknik Program Konservasi Orangutan Batang Toru. Conservation International IndonesiaDepartemen Kehutanan. Hal: 1-67. West, K. 1982. The ecology and behavior of the siamang (Hylobates syndactylus) in Sumatera. M.Sc. Thesis, University of California.

Kuswanda, W., S.P. Barus, J. Ginting dan E.P. Manik. 2012.Teknologi konservasi siamang (Symphalangus syndactylus Raffles, 1821) pada kawasan hutan di Sumatera Utara: pendugaan daya dukung habitat dan model pertumbuhan populasi. Laporan Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Aek Nauli. Pematangsiantar. Tidak dipublikasikan. Lappan, Susan. 2008. Male care of infants in a siamang (Symphalangus syndactylus) population including sosially monogamous and polyandrous groups. Behavioral Ecology and Sociobiology. 62(8):13071317. MacKinnon, K., J. MacKinnon, G. Child dan J. Thorsell. 1993. Pengelolaan kawasan yang dilindungi di Daerah Tropika. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.Hal : 1-230. Mubarok, A. 2012. Distribusi dan Kepadatan Simpatrik Ungko (Hylobates agilis) dan Siamang (Symphalangus syndactylus) di Kawasan Hutan Batang Toru, Sumatera Utara. Thesis Institut Pertanian Bogor. http://repository.ipb.ac.id. Bogor. Nijman, V. &T.Geissman. 2008. Symphalangus syndactylus. In: IUCN 2009. IUCN Red List of Threatened Species. Version 2009.2. <www.iucnredlist.org>. Diakses pada 26 Januari 2010. Nugroho, S. P. C. 1996. Identifikasi Parameter Fisik Lahan melalui Inventarisasi Sumberdaya Lahan. Bahan Bacaan Kursus Perisalah Lahan Hutan Lanjutan, Perum Perhutani, Pusdik Kehutanan Cepu. Semarang. O’Brien, T., M.Kinnaird, A.Nurcahyo, M.Prasetyaningrum and M.Iqbal. 2003. Fire, demography and the persistence of siamang (Symphalangus syndactylus: Hylobatidae) in a Sumatran rainforest. Animal Conservation 6:115-121. O'Brien, T. G., Kinnaird, M. F., Nurcahyo, A., Iqbal, A. and Rusmanto, M. 2004. Abundance and distribution of sympatric gibbons in a threatened Sumatran rain forest. International Journal of Primatology 25(2): 267-284. Palombit, R.A. 1997. Inter and intraspecific variation in diets of sympatric Siamang (Hylobates syndactylus) and Lar Hylobatidaes (Hylobates lar).Folia primatol68:321-337. Perbatakusuma, E.A, J. Supriatna, R.S.E. Siregar, D. Wurjanto, L. Sihombing dan D. Sitaparasti. 2007. Mengarustamakan kebijakan konservasi biodiversitas dan sistem penyangga kehidupan di kawasan Hutan

20


Kapasitas Dan Budaya Birokrasi Dalam Aksesibilitas Informasi Publik Berbasis E-Government Di Sidoarjo (Totok Wahyu Abadi, Nunung Prajarto, Budi Guntoro)

Hasil Penelitian KAPASITAS DAN BUDAYA BIROKRASI DALAM AKSESIBILITAS INFORMASI PUBLIK BERBASIS E-GOVERNMENT DI SIDOARJO

ACCESSIBILITY SSIBILITY OF (CAPACITY AND BUREAUCRATIC CULTURE IN ACCE E--GOVERNMENT IN SIDOARJO) PUBLIC INFORMATION BASED ON E SIDOARJO) Totok Wahyu Abadi *, Nunung Prajarto**, Budi Guntoro** *

Program Studi Ilmu Komunikasi–FISIP Universitas Muhammadiyah Sidoarjo, Jalan Majapahit 666 B Sidoarjo, e-mail: totokwahyu@umsida.ac.id. **

Program Studi Penyuluhan dan Komunikasi Pembangunan Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah MadaYogyakarta Jalan Teknika Utara, Pogung, Yogyakarta, 55281, email: yanpraz@yahoo.com

Diterima: 23 Desember 2014; Direvisi: 19 Januari 2015; Disetujui: 10 Pebruari 2015

ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dan menjabarkan kapasitas yang meliputi kesiapan, komitmen, dan kepemimpinan, serta struktur organisasi yang dapat berpengaruh terhadap budaya birokrasi dalam peningkatan aksesibilitas informasi berbasis website di Kabupaten Sidoarjo. Penelitian dengan menggunakan pendekatan mix methods ini dilaksanakan di Kabupaten Sidoarjo dengan sampel sebanyak 60 pegawai pemerintah daerah Sidoarjo sebagai responden dan enam kepala sub-bidang/sub-bagian sebagai informan. Melalui teknik simple random dan purposive sampling, penelitian ini menggunakan teknik penganalisisan regresi berganda dan interaktif. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kesiapan birokrasi dalam memberikan akses informasi melalui website termasuk cukup siap. Pemerintah daerah Kabupaten Sidoarjo memiliki komitmen yang baik dalam layanan informasi publik berbasis web. Sedangkan kempemimpinan, struktur organisasi, budaya birokrasi dalam aksesibilitas informasi on-line termasuk cukup baik. Aksesibilitas informasi publik berbasis e-government juga termasuk baik (71,01%). Aksesibilitas informasi yang baik tersebut didorong oleh adanya keterbukaan badan publik dalam menginformasikan secara aktif kepada masyarakat baik diminta ataupun tidak; ketersediaan informasi baik kuantitas maupun kualitas serta media yang digunakan untuk menginformasikan maupun memperoleh informasi; kemudahan penggunaan media dalam memperoleh informasi secara cepat, tepat, berbiaya murah, mudah dipahami, dan sederhana caranya/prosedur; kecepatan untuk men-download/memperoleh informasi; dan kenyamanan dalam mendapatkan/menyampaikan informasi ataupun berinteraksi dengan pemerintah. Secara simultan variabel–variabel bebas seperti kesiapan, komitmen, kepemimpinan, dan struktur organisasi berpengaruh secara signifikan terhadap budaya birokrasi dalam memberikan akses informasi kepada masyarakat. Faktor-faktor yang paling berpengaruh terhadap budaya birokrasi dalam layanan aksesbilitas informasi publik berbasis e-government adalah kepemimpinan dan struktur birokrasi. Besarnya pengaruh kedua faktor tersebut masing–masing adalah 13,9% dan 25% dengan kekuatan regresi sebesar 54,8% dan sisanya 45,2% dipengaruhi faktor lain di luar model. Keywords: kapasitas birokrasi, struktur organisasi, budaya birokrasi, dan aksesibilitas informasi publik

ABSTRACT This research is aimed to analyze and describe capacity that included readiness, commitment, and leadership, as well as organizational structure that can affect bureaucratic culture in improving information accessibility based of websites in Sidoarjo Regency. It used mixed methods approach that be done in Sidoarjo Regency with sample of 60 local government employees as respondents and six heads of subdivisions as informants. In addition, it used simple random and purposive sampling with multiple regression analyzing techniques and interactive. The results of this study showed that readiness of bureaucracy in providing access to information via website quite ready. Sidoarjo Regency government has good committed in servicing public information via website. Whereas, leadership, organizational structure, and bureaucratic culture in accessibility of

21


Inovasi Vol 12 No. 1 Maret 2015 : 21 - 33

online information quite good. Accessibility of public information based e-government also good (71,01%). Good accessibility of information was driven by the openness of public organization active in informing the public whether requested or not; the availability of both the quantity and quality of information and the media that are used to inform and obtain information; ease of use of the media to obtain information quickly, accurately, low cost, easy to understand, and simple procedures; speed for downloading/obtaining information; and comfort in getting/delivering information or interact with government. Simultaneously independent variables such as readiness, commitment, leadership, and organizational structure significantly influence the culture of bureaucracy in providing access to information to the public. Simultaneously, independent variables such as readiness, commitment, leadership, and organizational structure significant towards bureaucracy culture in providing access to public information. The factors that most influence on the culture of bureaucracy in the service of public information accessibility based egovernment is leadership and bureaucratic structures. The influence of these two factors are respectively 13.9% and 25% with a power regression by 54.8% and the remaining 45.2% are influenced by other factors outside model. Keywords: bureaucratic capacity, organizational structure, bureaucratic culture, and accessibility of public information

masyarakat, 5) pembuatan kebijakan baru dan manajemen pengetahuan, 6) meningkatkan akses dan kualitas pelayanan publik, dan 7) efisiensi manajemen sumber (Hana, 2008). Aksesibilitas informasi publik berbasis egovernment merupakan salah satu bentuk pelayanan publik yang menjadi fokus perhatian secara serius pemerintah pusat untuk mewujudkan tercapainya tata kelola pemerintahan yang baik. Hal tersebut seperti termaktub dalam Undang-Undang 25/2009 tentang Pelayanan Publik dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia 81/2010 tentang Grand Desain Reformasi Birokrasi. Undang-Undang Nomor 25/2009 menyatakan bahwa penyelenggaraan pelayanan publik sekurang-kurangnya meliputi pelaksanaan pelayanan, pengelolaan pengaduan masyarakat, pengelolaan informasi, pengawasan internal, penyuluhan kepada masyarakat, dan pelayanan konsultasi. Grand Desain Reformasi Birokrasi 2010– 2025 yang diatur dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 81 Tahun 2010 menjelaskan bahwa sasaran keberhasilan reformasi birokrasi adalah selain terwujudnya pemerintahan yang bersih dan bebas KKN juga terkait dengan terwujudnya peningkatan pelayanan publik yang berkualitas serta peningkatan kapasitas dan akuntabilitas kinerja birokrasi. Survei integritas pelayanan publik yang dilakukan Direktorat Litbang - Deputi Pencegahan KPK (2014) menjelaskan bahwa integritas pelayanan publik di Indonesia dari tahun 2012 hingga 2014 mengalami peningkatan. Indeks integritas pelayanan tahun 2012 sebesar 6,41, 2013 sebesar 6,81, dan tahun 2014 sebesar 7,22. Meski mengalami peningkatan, target integritas pelayanan publik pada tahun 2014 masih jauh dari yang diharapkan, seperti yang tertera dalam Grand Desain Reformasi Birokrasi, yaitu sebesar 8,0.

PENDAHULUAN Informasi (publik) termasuk salah satu kebutuhan yang diperlukan seseorang baik sebagai individu maupun organisasi. Semakin tinggi kebutuhan terhadap informasi, semakin tinggi pula pencarian informasi yang dilakukan. Pentingnya informasi (publik) bagi seseorang ataupun organisasi terkait sekali dengan tingkat keinginan untuk mengaktualisasikan diri dalam memenuhi kebutuhan. Tingkat kebutuhan informasi yang memiliki added value bagi masing-masing individu ataupun organisasi juga berbeda-beda. Setidaknya kebutuhan informasi bagi individu dapat menambah pengetahuan atau wawasan, meningkatkan pemahaman, mengurangi kecemasan dan situasi yang uncertainty, dan dapat meningkatkan kemampuan diri. Sementara itu bagi organisasi, informasi memiliki nilai tambah guna menentukan langkah-langkah strategis serta mengambil kebijakan/keputusan yang terkait dengan pengembangan kelembagaan ataupun lingkungan. Di era teknologi komunikasi informasi, kebutuhan masyarakat terhadap informasi publik melalui media online menunjukkan peningkatan yang cukup signifikan, yaitu sebesar 63% (Abadi,2015). Dan secara teoretis, media baru (internet) memiliki potensi solusi memberikan ruang kepada masyarakat dalam banyak hal. Diantaranya adalah untuk mendapatkan informasi, berinteraksi dengan siapa pun termasuk pemerintah, bertransaksi, mendorong dan meningkatkan partisipasi masyarakat (Moon, 2002; Tat - Kei Ho, 2002; Macintosh, 2004; Afriani dan Wahid, 2007; Charalabidis, 2008). Aplikasi media baru ini juga dapat mendorong peningkatan : 1) pembangunan masyarakat informasi, 2) iklim investasi dan kompetisi, 3) transparansi, akuntabilitas, dan good governance, 4) meningkatkan partisipasi

22


Kapasitas Dan Budaya Birokrasi Dalam Aksesibilitas Informasi Publik Berbasis E-Government Di Sidoarjo (Totok Wahyu Abadi, Nunung Prajarto, Budi Guntoro)

respoden dari staf pemerintah daerah Sidoarjo. Pengambilan sampel dilakukan melalui teknik random sampling sederhana. Sedangkan enam informan dipilih secara purposive sampling diantaranya adalah tiga kepala bidang dan tiga kepala subbidang yang membidangi masalah teknologi informasi, kehumasan, PPID, Pusat Pelayanan dan Pengaduan Masyarakat (P3M), sekretariat Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (Bappeda). Penentuan lokasi penelitian ini didasarkan pada argumentasi bahwa pengelolaan e-government di Kabupaten Sidoarjo meraih prestasi juara III pada tahun 2010 dengan kategori daerah berkemampuan sumber daya terbesar serta mendapatkan penghargaan ICT Pura pada tahun 2012. Meski telah meraih prestasi, website pemerintah Kabupaten Sidoarjo masih saja menunjukkan beberapa kekurangan. Pertama, content website masih belum menunjukkan informasi publik yang up to date dan terpercaya baik secara kuantitas maupun kualitas. Kedua, belum adanya layanan informasi publik melalui pemanfaatan situs. Ketiga, belum terdapatnya pengelolaan pendapat umum sebagai input perumusan kebijakan (feedback) baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Keempat, interopabilitas antarsitus sampai di tingkat dinas dan kecamatan masih belum optimal. Pengumpulan data dilakukan dengan distribusi angket kepada masyarakat yang berkunjung pada situs resmi pemerintah daerah Kabupaten Sidoarjo dan staf. Sementara itu wawancara mendalam dilakukan untuk mendapatkan data yang dapat memberikan makna terhadap data kuantitatif kepada pejabat yang berkompeten mengenai informasi publik dan pengelolaan e-government. Angket disusun dengan menggunakan variabel–variabel kapasitas birokrasi yang meliputi kesiapan, komitmen, dan kepemimpinan; struktur organisasi, budaya pelayanan, dan aksesibilitas informasi. Data dalam penelitian kemudian dikoding dan dianalisis dengan menggunakan tiga teknik penganalisisan, yaitu statistik deskriptif, regresi linier berganda, dan interaktif. Analisis regresi linier berganda digunakan untuk menguji keberpengaruhan kesiapan, komitmen, kepemimpinan, dan struktur organisasi terhadap budaya birokrasi. Penelitian ini juga berupaya untuk membuktikan hipotesis bahwa kesiapan, komitmen, kepemimpinan, dan struktur organisasi berpengaruh secara positif dan signifikan terhadap budaya birokrasi dalam peningkatan akses informasi publik bermedia egovernment.

Begitu halnya dengan indeks keterbukaan informasi dan pemanfaatan teknologi informasi tahun 2014, masing-masing hanya sebesar 6,49 dan 6,73. Terkait dengan keterbukaan informasi di tingkat badan publik provinsi, menurut hasil monitoring dan evaluasi Komisi Informasi Pusat pada tahun 2012, informasi wajib yang disampaikan secara berkala melalui website di Jawa Timur dan Sumatera Selatan berada pada urutan ke sembilan dengan skor 59,88. Sementara itu untuk kategori informasi publik yang tersedia setiap saat di website, Jawa Timur menempati urutan pertama dengan skor 73,5 (Komisi Informasi Pusat, 2012). Kondisi tersebut menunjukkan bahwa penyelenggaraan pelayanan publik yang berkualitas oleh pemerintah masih menunjukkan adanya permasalahan. Begitu halnya dengan pelayanan publik di Kabupaten Sidoarjo. Pelayanan publik yang dirasakan oleh masyarakat Sidoarjo tampaknya masih perlu mendapatkan perhatian yang sangat serius. Meski data di RPJM Kabupaten Sidoarjo 20102014 menunjukkan bahwa tingkat kepuasan masyarakat terhadap pelayanan publik (seperti kesehatan, administrasi kependudukan, dan pendidikan) termasuk baik, Pemerintah Kabupaten Sidoarjo perlu terus berupaya untuk meningkatkan kapasitas birokrasi dan budaya pelayanan yang berkualitas dengan didukung struktur organisasi yang baik guna melaksanakan agenda pembangunan secara berkelanjutan. Hal ini penting karena kapasitas birokrasi, budaya pelayanan yang berorientasi pada masyarakat, dan struktur organisasi yang baik diasumsikan dapat mendukung pengelolaan egovernment sebagai media aksesibilitas informasi publik yang berkualitas. Sehingga penelitian ini perlu untuk dilaksanakan dengan tujuan untuk menganalisis dan memaparkan 1) kapasitas, struktur, dan budaya birokrasi dalam meningkatkan aksesibilitas informasi publik berbasis e-government; dan 2) pengaruh kapasitas dan struktur birokrasi terhadap budaya birokrasi dalam meningkatkan aksesibilitas informasi publik berbasis egovernment. METODE Penelitian survei ini menggunakan pendekatan mix methods dengan kuantitatif sebagai dominan dan kualitatif sebagai lessdominant. Responden penelitian ini ada dua kelompok. Kelompok pertama adalah masyarakat pengunjung website resmi pemerintah Kabupaten Sidoarjo sebanyak 233 orang. Kelompok kedua adalah enam puluh (60)

23


Inovasi Vol 12 No. 1 Maret 2015 : 21 - 33

satuan kerja perangkat daerah masih kurang optimal, yaitu 64,10%. Capaian aksesibilitas informasi bermedia e-government di pemerintah Kabupaten Sidoarjo secara keseluruhan sebesar 71,01% berada pada interval skor konversi 61% – 80%. Ini berarti bahwa aksesibilitas informasi berbasis web yang ada di Kabupaten Sidoarjo termasuk dalam kategori baik. Aksesibilitas tersebut meliputi keterbukaan dalam memberikan informasi; ketersediaan media website, ruang publik untuk berinteraksi, dan informasi; kemudahan memperoleh dan menyampaikan informasi; kecepatan untuk memperoleh informasi dan mendapatkan respon; serta yang terakhir adalah kenyamanan dan keamanan untuk menyampaikan dan mendapatkan informasi.

HASIL DAN PEMBAHASAN Aksesibilitas Informasi Publik Berbasis E-Government. Aksesibilitas informasi publik dalam penelitian ini adalah kemudahan bagi pengguna (masyarakat) dalam berinteraksi dengan pemerintah melalui media website guna menyampaikan ataupun memperoleh informasi publik yang tersedia. Unsur–unsur yang digunakan untuk mengukur aksesibilitas informasi adalah keterbukaan badan publik dalam menyebarluaskan informasi secara aktif yang dibutuhkan masyarakat baik diminta ataupun tidak; ketersediaan website pemerintah, bentuk informasi, dan isi informasi baik secara kuantitatif maupun kualitatif; kemudahan untuk mendapatkan informasi secara tepat, berbiaya murah, mudah dipahami, dan sederhana caranya/prosedur (efisiensi); kecepatan untuk mendownload/memperoleh informasi; kenyamanan dalam mendapatkan/ menyampaikan informasi ataupun berinteraksi dengan pemerintah.

Kapasitas Birokrasi, Struktur Organisasi, Dan Budaya Pelayanan. Kapasitas birokrasi dalam penelitian ini adalah kemampuan pemerintah daerah dalam mengelola ketersediaan sumber daya yang ada dengan mengimplementasikan kebijakan guna mencapai tujuan yang efektif, efisien, dan berkelanjutan. Kapasitas pemerintah daerah dapat meliputi 1) kesiapan birokrasi dalam memberikan akses informasi publik bermedia on-line, 2) komitmen dalam pengembangan egovernment sebagai media informasi publik, dan 3) kepemimpinan yang memiliki visi ke depan dalam pelayanan publik. Kesiapan merupakan berbagai upaya yang dilakukan pemerintah daerah terkait dengan pengelolaan teknologi komunikasi informasi, dan informasi publik. Indikator yang digunakan untuk mengukur kesiapan tersebut adalah tersedianya grand design rencana strategi, kebijakan–kebijakan yang disusun sebagai dasar hukum pelaksanaan, sarana dan prasarana serta teknologi komunikasi informasi, sumber daya manusia, anggaran yang dialokasikan, kelembagaan yang menanganinya, serta komunikasi kebijakan ke lembaga-lembaga terkait guna memperoleh kesepahaman yang sama. Kesiapan pemerintah daerah Sidoarjo dalam aksesibilitas informasi publik bermedia egovernment termasuk cukup baik yaitu 60,53%. Kegiatan – kegiatan yang dilakukan pemerintah dalam meng-implementasikan dan meng-operasionalisasikan kebijakan yang telah disusun merupakan bentuk komitmen pemerintah daerah. Kegiatan–kegiatan tersebut dapat meliputi pembuatan subdomain informasi yang interaktif, pembuatan subdomain e-mail dan fasilitas mendownload, pembuatan subdomain transaksi secara legal melalui sistem on-line, pembuatan subdomain partisipasi

Tabel 1: Indikator Aksesibilitas Informasi No

%

1

Keterbukaan

73.89

2

Ketersediaan

72.29

3

Kemudahan

69.52

4

Kecepatan

64.10

5

Kenyamanan

75.09

Persentase Rerata Total

71,01

Sumber : Analisis Data Primer 2014 Tabel 1 menunjukkan bahwa keterbukaan pemerintah Kabupaten Sidoarjo dalam informasi publik baik yang berupa informasi serta merta, berkala, dan setiap saat yang disampaikan melalui website termasuk dalam kategori baik (73,89%). Begitu halnya dengan ketersediaan informasi di media on-line, media website untuk menyampaikan informasi, ruang publik untuk berinteraksi dan berdialog juga termasuk dalam kategori baik (72,29%). E-government sebagai media baru dapat memberikan kenyamanan dan keamanan bagi masyarakat untuk berinteraksi dengan pemerintah dalam meminta, memperoleh, dan menyampaikan informasi ataupun berdialog. Tingkat keamanan dan kenyamanan masyarakat dalam berinteraksi dengan pemerintah termasuk baik, yaitu sebesar 75,09. Namun demikian yang terkait dengan kemudahan untuk memperoleh dan menyampaikan informasi melalui media on-line secara interaktif masih belum optimal (69,52%). Sama halnya dengan kecepatan respon yang diberikan

24


Kapasitas Dan Budaya Birokrasi Dalam Aksesibilitas Informasi Publik Berbasis E-Government Di Sidoarjo (Totok Wahyu Abadi, Nunung Prajarto, Budi Guntoro)

masyarakat seperti forum publik on-line, pembuatan interopabilitas (keterkaitan) aplikasi maupun data dengan lembaga lain dalam satu pintu pemerintah daerah, pengelolaan layanan informasi dan partisipasi masyarakat, terdapatnya respon dari pemerintah, dan terdapatnya tindak lanjut dari respon pemerintah terhadap partisipasi masyarakat. Komitmen pemerintah daerah Sidoarjo dalam penelitian ini termasuk tinggi yaitu sebesar 64,98%. Kepemimpinan merupakan bagian dari komitmen untuk mempengaruhi persepsi anggota–anggota dalam suatu organisasi untuk melaksanakan visi–misi yang telah ditetapkan serta meningkatkan kualitas organisasi secara

No 1 2 3

lebih baik dan berkelanjutan. Kepemimpinan yang baik dan berhasil adalah kepemimpinan yang visioner, mampu menjadi agen perubahan, penggerak nilai kebersamaan, keterbukaan, mampu bekerja sama, berani mengambil risiko, dan dapat dipercaya. Kepemimpinan birokrasi dalam aksesibilitas informasi publik berbasis egovernment di Kabupaten Sidoarjo termasuk dalam kategori cukup baik, yaitu 56,86%. Paparan tersebut menunjukkan bahwa kapasitas birokrasi yang meliputi kesiapan, komitmen, dan kepemimpinan dalam aksesibilitas informasi publik berbasis e-government termasuk belum optimal, yaitu 59,85%.

Tabel 2 : Persentase Rerata Variabel Kapasitas Birokrasi Sub-variabel % Kesiapan birokrasi 57.47 Komitmen birokrasi 65.22 Kepemimpinan dalam pelayanan 56.86 Persentase Rerata total 59.85

Sumber: Pengolahan Data Primer, 2014 Belum optimalnya kapasitas birokrasi disebabkan oleh beberapa faktor. Faktor–faktor tersebut di antaranya adalah belum memadainya sarana teknologi informasi dan sarana prasarana pendukung pelayanan, belum optimalnya manajemen karier khususnya bagi jabatan struktural, belum adanya tindak lanjut hasil analisis kepegawaian berbasis kompetensi dan kebutuhan masyarakat, belum optimalnya pelayanan administrasi kepegawaian melalui tata kelola kearsipan dan manajemen data yang baik, belum optimalnya sumber daya/sarana dan prasarana. Kecuali itu rendahnya kapasitas kecamatan dan kelurahan dalam menjalankan tugas pokok dan fungsinya dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat turut berkontribusi kurang berkembangnya kapasitas birokrasi di tingkat kabupaten (Sumber: FGD Musrenbang, 2012). Pernyataan yang sama juga disampaikan Arsiyah (57 tahun), mantan kepala bidang organisasi tata laksana, kepala bidang kepegawaian Badan Kepegawaian Daerah, serta terakhir sebagai Kepala Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana Kabupaten Sidoarjo, seperti berikut: “……..orang–orang yang berkompeten di bidang IT banyak dipindah ke SKPD lainnya yang pekerjaannya tidak terkait dengan IT. Analisis jabatan yang ada selama ini tidak pernah

berjalan dengan baik. Naruh orang tidak sesuai dengan kompetensi yang dimiliki, sehingga begini ini hasilnya. Pelayanan kepada masyarakat tidak maksimal”. (Sumber: Hasil wawancara dengan Arsiyah, 28 Maret 2014) Untuk mencapai tujuan dan kinerja organisasi yang efektif guna mendukung pelayanan yang berkualitas, komponen struktur organisasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah formalisasi. Formalisasi adalah pembakuan pekerjaan oleh organisasi. Pembakuan tersebut dapat dilihat dari indikator adanya tugas pokok dan fungsi (tupoksi), standar operasional prosedur (SOP), serta pengambilan keputusan oleh satuan kerja perangkat daerah yang terkait dengan aksesibilitas informasi publik bermedia egovernment. Secara keseluruhan rerata skor pembagian tugas pokok dan fungsi di antara unit kerja dalam struktur organisasi di pemerintah Kabupaten Sidoarjo sebesar 51,86%. Persentase tersebut menunjukkan bahwa formalisasi sebagai komponen dari struktur organisasi di pemerintahan daerah Kabupaten Sidoarjo termasuk belum optimal (cukup baik). Beberapa faktor yang menyebabkan tidak optimalnya formalisasi dalam struktur organisasi diantaranya adalah : 1) tidak semua

25


Inovasi Vol 12 No. 1 Maret 2015 : 21 - 33

lembaga/unit kerja yang ada menyusun dan memiliki standar operasional prosedur (SOP) dan standar pelayanan publik (SPP) sesuai Permen PAN dan Reformasi Birokrasi Nomor 35 Tahun 2012 tentang Pedoman Penyusunan SOP; 2) belum maksimalnya bimbingan teknis terkait dengan penyusunan SPP dan SOP; 3) masih tingginya ego-sektoral di masing–masing unit kerja, 4) masih adanya persepsi bahwa UPTD jenis pelayanan yang diberikan sudah melekat

pada SKPD induknya. Dari Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah Sidoarjo (2013) diketahui bahwa persentase unit/lembaga yang telah menyusun SPP sekitar 116 unit (57,71%) sedangkan 85 unit (42,29%) belum menyusun. Sementara untuk penyusunan SOP masih akan dilakukan melalui bimbingan teknis yang diselenggarakan 2014.

Tabel 3: Budaya Organisasi dalam Pelayanan No

Budaya Organisasi dalam Pelayanan

1

Layanan yang berfokus kepada masyarakat

3.38

% a/b*100 67.57

2

Tanggung jawab kepada unit kerja

1.41

28.26

3

Tanggung jawab kepada pimpinan

1.38

27.61

4

Tanggung jawab kepada masyarakat

1.29

25.78

2.96

59.12

2.96

59.12

2.32

46.38

8

Keterbukaan dalam berkomunikasi dengan bawahan Keterbukaan dalam berkomunikasi dengan pimpinan Keterbukaan dalam berkomunikasi dengan masyarakat Kerjasama dengan tim dan unit kerja yang lain

9

Koordinasi dengan tim dan unit kerja yang lain

5 6 7

Total Sumber : Data Primer 2014 Budaya organisasi merupakan pola pikir dan pola perilaku yang efektif dan efisien untuk mengatur perilaku individu dalam organisasi serta hubungannya dengan masyarakat yang berorientasi pada kualitas pelayanan. Budaya kualitas dalam organisasi dapat diamati melalui fokus pelayanan pada masyarakat, pertanggungjawaban staf kepada pimpinan, atasan kepada bawahan ataupun masyarakat, melakukan komunikasi yang terbuka, dapat melakukan kerjasama dengan tim, dan mampu melaksanakan koordinasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa budaya pelayanan utamanya aksesibilitas informasi publik berbasis e-government masih belum maksimal (Tabel 3). Beberapa faktor menjadi penyebab tidak optimalnya budaya organisasi dalam pelayanan kepada masyarakat. Pertama, kurangnya koordinasi dan kerjasama diantara tim dan unit kerja lainnya serta keterbukaan dalam berkomunikasi dengan masyarakat. Kedua, belum berkembangya budaya bersih dan akuntabilitas juga merupakan salah satu pemantik yang berkontribusi dalam rendahnya budaya organisasi dalam memberikan layanan berbasis teknologi informasi maupun

Rerata Skor

2.48

49.69

2.43

48.63

20.61

45.79

pengelolaan informasi dari masyarakat mengenai rusaknya infrastruktur jalan/jalan raya di Kabupaten Sidoarjo. Isu ini sejatinya juga menjadi perhatian dan topik bahasan dalam penyusunan rencana jangka panjang Kabupaten Sidoarjo tahun 2015 – 2025, utamanya reformasi birokrasi yang menjadi prioritas pembangunan di Kabupaten Sidoarjo. Ketiga, kepuasan masyarakat teryata masih belum optimal meski termasuk dalam kategori baik (76,11). Kepuasan tersebut merupakan tolak ukur berkualitas tidaknya pelayanan yang diberikan pemerintah kepada masyarakat serta terwujudnya reformasi birokrasi yang menjadi salah satu prioritas pembangunan. Faktor-Faktor Yang Berpengaruh Terhadap Budaya Pelayanan. Untuk menjelaskan beberapa variabel yang menjadi faktor berpengaruh terhadap budaya birokrasi dalam pelayanan publik, penganalisisannya menggunakan regresi linear berganda dengan bantuan program SPSS 20. Variabel–variabel yang diduga berpengaruh terhadap budaya birokrasi dalam pelayanan publik di antaranya yaitu kesiapan, komitmen, kepemimpinan, dan struktur organisasi.

26


Kapasitas Dan Budaya Birokrasi Dalam Aksesibilitas Informasi Publik Berbasis E-Government Di Sidoarjo (Totok Wahyu Abadi, Nunung Prajarto, Budi Guntoro)

Hasil penganalisaan seperti yang tertampak pada Tabel 4 menunjukkan bahwa kesiapan, komitmen, kepemimpinan, dan struktur organisasi secara bersama-sama berpengaruh secara signifikan terhadap budaya pelayanan pemerintah daerah Kabupaten

Sidoarjo kepada masyarakat. Hal tersebut dapat dilihat dari F hitung (18,845) yang memiliki nilai lebih besar dari F tabel (2,53) dengan signifikansi kesalahan (P) sebesar 0,000.

Tabel 4: Faktor-Faktor Berpengaruh Terhadap Budaya Pelayanan No

Variabel

1 2 3 4 5

Konstan Kesiapan (X1) Komitmen (X2) Kepemimpinan (X3) Struktur Organisasi (X4)

Koefisien Regresi 2,325 -0,113 0,038 0,139 0,250

T – hitung

P

0,507 -1,626 0,509 4,085 5,589

0,614 0,110 0,613 0,000 0,000

Keterangan: N : 60 R :0,760 R Square : 0,578 Adjusted R Square : 0,548 F hitung : 18,848 df = 4 Sig F : 0,000 Sig ι : 0,05 Durbin – Watson : 1,65 < 1,739 < 2,35 (tidak ada autokorelasi) Distribusi Data : Normal Persamaan model : Y = 2,325 + (-0,113) kesiapan + 0,038 komitmen+ 0,139 kepemimpinan + 0,250 struktur organisasi Predictors: (Constant), kesiapan, komitmen, kepemimipinan, struktur organisasi Dependent Variable: budaya birokrasi (Y) Sumber : Pengolahan Data Primer 2014 juga didukung oleh besaran koefisien determinasi 25%. Hal ini berarti bahwa setiap peningkatan implementasi standar operasional prosedur yang menjadi formalisasi layanan dalam struktur organisasi dapat meningkatkan kualitas pelayanan kepada masyarakat sebesar 25 satuan. Hasil analisis ini juga didukung oleh penelitian lain yang menyatakan bahwa struktur organisasi memiliki pengaruh penting dalam implementasi suatu kebijakan untuk mencapai tujuan (Winarno, 2002), efektivitas pelayanan (Prasetyaningsih, 2009), dan kinerja organisasi (Suaedi, 2005; Kusuma,2009). Kesiapan dan persiapan yang dilakukan secara terencana dan terstruktur dapat memberikan hasil yang efektif dalam pelayanan publik maupun pembangunan infrastuktur. Upaya persiapan yang dilakukan pemerintah daerah dalam penyediaan akses informasi kepada masyarakat maupun pengelolaan partisipasi bermedia on-line dapat dilakukan melalui penyediaan blue print berupa rencana induk pengembangan e-government, informasi publik, dan pengelolaan partisipasi masyarakat, kebijakan dan strategi yang disusun sebagai pijakan hukum, sarana dan prasarana serta

Secara parsial terdapat dua faktor paling berpengaruh terhadap budaya pelayanan, yaitu kepemimpinan dan formalisasi dalam struktur organisasi yaitu adanya standar operasional prosedur. Pengaruh kepemimpinan terhadap budaya pelayanan memiliki nilai t hitung 4,085 lebih besar daripada t tabel 2,00 dengan signifikansi kesalahan (P) 0,000. Koefisien determinasi pengaruh kepemimpinan terhadap budaya pelayanan sebesar 13,9%. Hal ini berarti bahwa kepemimpinan yang visioner berkontribusi secara signifikan terhadap budaya pelayanan yang berkualitas. Hal sama juga disampaikan oleh peneliti lain yang menyatakan bahwa kepemimpinan memiliki kontribusi dalam efektivitas pelayanan publik (Prasetyaningsih, 2000) serta budaya birokrasi (Utaminingsih, 2006; Gani, 2006). Struktur organisasi juga berpengaruh terhadap budaya birokrasi dalam memberikan layanan informasi publik dan pengelolaan egovernment yang berkualitas sebesar t hitung 5,589. Skor t hitung tersebut lebih besar daripada t tabel 2,00 dengan signifikansi kesalahan sebesar 0,000. Keberpengaruhan struktur organisasi terhadap budaya layanan

27


Inovasi Vol 12 No. 1 Maret 2015 : 21 - 33

teknologi komunikasi informasi, ketersediaan sumber daya manusia, pengalokasian anggaran, satuan kerja yang melaksanakan, serta sosialiasasi peraturan dan kebijakan ke lembaga terkait. Melitzki (2003) menyatakan bahwa perencanaan strategis yang dimiliki pemerintah dan dilaksanakan secara terkoordinasi di antara departemen dengan didukung penataan sumber daya manusia yang tepat, anggaran yang memadai, serta pengevaluasian secara berkelanjutan dapat meningkatkan kinerja pemerintah yang lebih baik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa keterbukaan, ketersediaan, kenyamanan, kecepatan, dan kemudahan yang diberikan pemerintah Sidoarjo dalam hal akses informasi bermedia on-line termasuk dalam ketegori baik (62,76%). Sementara itu pengembangan dan pengelolaan e-government sebagai wujud penyelenggaraan pemerintahan yang transparan dan akuntabel, persiapan tata laksananya masih belum optimal (58,30%). Begitu halnya dengan manajemen pengelolaan informasi dari masyarakat sebagai bentuk partisipasi dalam pembangunan oleh tim atau bagian dalam stuktur organisasi, hasilnya juga masih belum optimal meski termasuk dalam kategori cukup baik/siap (51,47%). Minimnya pengalokasian anggaran serta penyediaan sarana prasarana teknologi komunikasi informasi menjadi salah satu kendala belum optimalnya pemerintah Kabupaten Sidoarjo dalam pengembangan egovernment. Akibatnya, upaya peningkatan pelayanan publik berkualitas seperti penyediaan akses informasi berbasis e-government yang dapat mendorong partisipasi masyarakat serta pembangunan infrastruktur jalan menjadi terhambat. Hal sama juga disampaikan Tat Kei Ho (2002) dan Moon (2002) bahwa faktor yang dapat menghambat pengembangan egovernment diantaranya adalah minimnya anggaran yang tersedia, rendahnya kemampuan organisasi untuk melakukan transformasi, kesenjangan digital, serta staf yang tidak memadai. Penganalisaan dan penataan sumber daya manusia yang berkualitas dan produktif di pemerintahan daerah kabupaten Sidoarjo menjadi sangat penting guna mencapai tujuan yang telah ditetapkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) 2010– 2015. RPJM Kabupaten Sidoarjo mengamanatkan bahwa prioritas pertama dalam visi pembangunan adalah reformasi birokrasi dan pelayanan publik. Untuk itu, peningkatan kapasitas birokrasi utamanya pembinaan,

pengembangan, dan penataan sumber daya manusia yang berkualitas harus menjadi sebuah kebutuhan yang segera dilakukan. Penempatan staf juga harus sesuai dengan analisis jabatan dan kompetensi yang dimiliki masing–masing individu. Aparatur yang berkomptensi dan berkualitas akan memberikan kontribusi bagi pemerintah daerah secara maksimal untuk mewujudkan pembangunan yang menyejahterakan rakyat serta efektivitas pelayanan publik. Hasil kajian menunjukkan bahwa penataan sumber daya manusia yang tersedia dalam pengelolaan website pemerintah daerah guna memberikan kemudahan masyarakat mengakses informasi maupun berpartisipasi masih belum optimal (60,18%). Untuk mewujudkan pelayanan yang berkualitas, diperlukan satuan unit kerja yang memiliki kemampuan dalam menjalankan misi dan tujuannya untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Tanpa adanya kemampuan satuan unit kerja yang disertai tugas pokok dan fungsi beserta standar operasional prosedur (SOP), tidak menutup kemungkinan tujuan yang telah ditetapkan seperti pengembangan e-government yang memampukan masyarakat untuk berpartisipasi dalam pembangunan maupun mengakses informasi, tidak dapat tercapai dengan efektif dan efisien. Karenanya, koordinasi di antara team work pada satuan unit kerja yang berbeda dalam pengelolaan partisipasi masyarakat maupun aksesibilitas informasi bermedia on-line sangat penting untuk dilakukan dan bukan sekedar dianggap penting untuk dibicarakan. Data di lapangan menunjukkan bahwa kemampuan unit kerja dalam pengelolaan partisipasi masyarakat, website, dan aksesibilitas informasi masih belum optimal (51,37). Karenanya, kerjasama dan koordinasi tim kerja di antara satuan kerja yang berbeda harus diwujudkan secara lebih baik. Tim kerja yang kompak dapat membangun spirit dan sinergi dalam menghasilkan pelayanan yang berkualitas serta dapat mengembangkan interaksi yang saling membelajarkan. Kemauan atau komitmen pemerintah dalam meng-implementasikan dan mengoperasionalkan kebijakan terkait dengan penyediaan akses informasi publik, pengelolaan dan pengembangan e-government, pengelolaan partisipasi masyarakat dalam pembangunan, serta pembangunan infrastruktur di Kabupaten Sidoarjo dapat mewujudkan budaya birokrasi yang lebih baik. Komitmen harus dapat dilaksanakan oleh semua jajaran organisasi mulai dari tingkat yang paling rendah hingga tingkat yang tinggi. Komitmen pemerintah daerah Kabupaten Sidoarjo dalam penyediaan akses informasi,

28


Kapasitas Dan Budaya Birokrasi Dalam Aksesibilitas Informasi Publik Berbasis E-Government Di Sidoarjo (Totok Wahyu Abadi, Nunung Prajarto, Budi Guntoro)

arti penting dalam aksesibilitas informasi dan pengelolaan partisipasi masyarakat dalam pembangunan infrastruktur. Bahkan Grand Desain Reformasi Birokrasi yang tertuang dalam Peraturan Presiden RI Nomor 81/2010 menegaskan bahwa ketersediaan SOP dan kesesuaian SOP dengan proses pelayanan menjadi salah satu indikator keberhasilan pelayanan yang berkualitas. Dengan SOP, semua rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh aparatur pemerintah daerah untuk menyelesaikan pekerjaan yang menjadi tugasnya dapat distandarisasikan. Formalisasi kegiatan yang terbakukan dalam bentuk SOP tersebut menggambarkan kapasitas pekerjaan pegawai pemerintah daerah yang didasarkan pada peraturan, prosedur, instruksi, dan arus komunikasi. Harapan terhadap ketercapaian target yang sesuai dengan perencanaan (efektivitas) dan ketepatan upaya yang dilakukan (efisiensi) dalam pelaksanaan tugas dan tanggung jawab pegawai dapat dilakukan dengan baik. Budaya birokrasi yang berorientasi pada “melayani dan bukan dilayani� harus ditumbuhkembangkan sesuai dengan tujuan yang diharapkan reformasi birokrasi. Peraturan Presiden RI Nomor 81/2010 tentang Grand Desain Reformasi Birokrasi menjelaskan bahwa tujuan reformasi birokrasi adalah membangun profil dan perilaku aparatur yang memiliki integritas, produktivitas, bertanggung jawab dan memiliki kemampuan dalam pelayanan prima melalui perubahan mindset (pola pikir) dan budaya kerja. Budaya yang berorientasi pada pelayanan prima merupakan kunci sukses keberhasilan organisasi pemerintah daerah dalam menjalankan tata pemerintahan yang lebih. Budaya kualitas dalam pelayanan seharusnya menjadi inti kehidupan organisasi pemerintah daerah seperti yang disampaikan Callahan (2007) dan Littlejohn (1999) bahwa budaya organisasi adalah esensi dari kehidupan organisasi. Terlebih lagi bila didukung teknologi komunikasi informasi. Adopsi e-government secara inovatif, misalnya, dapat memberikan kontribusi yang positif (Holden,2003) bagi organisasi dalam peningkatan pelayanan, kepuasan pengguna, dan penyampaian informasi (West,2001), peningkatan partisipasi masyarakat (Afriani dan Wahid,2007; Moon,2002), serta akuntabilitas (Wibisono,2006). Era teknologi komunikasi informasi telah menyadarkan masyarakat tentang arti penting keterbukaan komunikasi dan akuntabilitas organisasi. Robins (1996) mengatakan bahwa

pengelolaan dan pengembangan e-government, manajemen partisipasi masyarakat, dan peningkatan infrastruktur jalan termasuk baik. Kepemimpinan visioner di birokrasi sangat menentukan tingkat keberhasilan pembangunan dan pelayanan publik yang berkualitas. Pemimpin harus mampu mempersuasi dan memberdayakan sumber daya yang ada baik manusia maupun dana guna mencapai visi–misi yang telah ditetapkan serta meningkatkan kualitas pemerintah daerah yang lebih baik secara berkelanjutan. Pemimpin juga harus mampu memberikan pelayanan yang baik serta mengawal proses pembangunan dan hasilhasilnya yang dapat dirasakan oleh masyarakat. Untuk itu, kepemimpinan dalam birokrasi harus memenuhi kriteria-kriteria minimal seperti memiliki visi ke depan dalam pembangunan, pelayanan publik, pengembangan e-government, serta berkinerja secara transparan dan akuntabel, mampu menjadi penggerak perubahan pola pikir, budaya kerja, serta perilaku, mampu menjadi penggerak kebersamaan di antara aparatur pemerintah daerah yang ada, mampu menjadi penggerak keterbukaan antara pimpinan dengan bawahan ataupun bawahan dengan pimpinan maupun kepada masyarakat, mampu menjadi penggerak kerjasama di antara satuan kerja di bawah lingkungannya, berani mengambil risiko, dan terakhir dapat dipercaya. Beberapa karakteristik kepemimpinan tersebut setidaknya dapat terimplementasikan dalam pengembangan akses informasi dan pengembangan e-government. Dari ketiga komponen kapasitas yang telah dipaparkan tersebut dapat dikatakan bahwa kapasitas pemerintah daerah Kabupaten Sidoarjo dalam memberikan akses informasi cukup baik meski kurang optimal. Mengelola informasi publik berbasis media on-line yang dapat diakses oleh masyarakat diperlukan koordinasi dan pola– pola hubungan yang jelas sesuai dengan ketentuan yang berlaku tanpa harus mengesampingkan kepentingan masyarakat serta mengurangi kualitas pelayanan. Siapa menangani apa, kapan dan dimana, serta media apa yang digunakan untuk merespon informasi dari masyarakat serta tindak lanjut penanganannya seperti apa haruslah tetap menjadi fokus perhatian yang tidak terpisahkan dari tugas satuan kerja terkait. Untuk itu, formalisasi kegiatan–kegiatan yang dilakukan harus terstandarisasikan dalam bentuk standar operasional prosedur (SOP) dan ditetapkan melalui peraturan pemerintah daerah. Standar operasional prosedur dalam struktur organisasi (baca: birokrasi) memiliki

29


Inovasi Vol 12 No. 1 Maret 2015 : 21 - 33

keterbukaan komunikasi dalam organisasi mengacu pada kesediaan untuk berbagi gagasan dan informasi secara bebas antara pimpinan dengan bawahan (downward communication), kecuali informasi rahasia, ataupun sebaliknya antara bawahan dengan pimpinan (upward communication). Iklim komunikasi yang terbuka terbuka baik downward communication maupun upward communication mampu meningkatkan kinerja individu ataupun tim dalam organisasi (Wibisono, 2006) serta dapat meningkatkan kredibilitas dan trust organisasi pemerintah daerah kepada masyarakat (Scokley–Zalabak, 2006). Keterbukaan dan kejujuran merupakan salah satu komponen transparansi yang juga mampu memberikan kontribusi terhadap tingkat kepercayaan publik kepada organisasi pemerintah daerah. Dimensi yang ditonjolkan tidak hanya jumlah dan keakuratan, tetapi juga ketulusan (sincerely), ketersediaan informasi yang memadai, dan ketepatan (appropriately) informasi yang dikomunikasikan kepada publik lewat media. Transparansi, meski bukan solusi yang sederhana, merupakan barometer untuk mengukur tingkat keterbukaan organisasi dalam melakukan sharing informasi dengan stakeholder yang membutuhkan untuk membuat sebuah keputusan. Ini berarti bahwa setiap organisasi harus mampu bertanggung jawab (akuntabilitas) dan transparan dalam menyampaikan informasi secara resmi. Akuntabilitas sebagai bentuk pertanggungjawaban hasil penyelenggaraan pelayanan memainkan peran penting dalam pertumbuhan organisasi yang lebih baik. Pertanggungjawaban tersebut dapat dilakukan staf kepada unit kerja, pimpinan kepada bawahan ataupun masyarakat. Data empiris mengenai akuntabilitas di pemerintah daerah Kabupaten Sidoarjo, menurut penilaian pegawai pemerintah daerah Kabupaten Sidoarjo, termasuk dalam kategori buruk (27,22). Hal tersebut juga dapat diperhatikan dari LAKIP 2013 yang telah disusun dan dipublikasikan oleh masing–masing satuan kerja yang ada melalui website resmi pemerintah Kabupaten Sidoarjo. Dari satuan kerja yang ada, yang telah menyusun dan mempublikasikan LAKIP di domain www.sidoarjokab.go.id sebanyak empat satuan kerja, yaitu Kabupaten Sidoarjo, Bappeda, BPMPKB (Badan Pemberdayaan Masyarakat, Perempuan, dan Keluarga Berencana), PU Pengairan, dan Inspektorat Kabupaten Sidoarjo. Kerjasama tim dan koordinasi merupakan kondisi sangat penting yang harus dicapai. Keduanya merupakan kesatuan yang harus

terintegrasi dengan sukses dalam organisasi pemerintah daerah untuk mewujudkan pelayanan prima. Individu–individu dalam satuan kerja pemerintah daerah Kabupaten Sidoarjo juga harus mampu bekerja sama dan melakukan koordinasi di tiap level manajemen untuk merespons perubahan lingkungan yang berada di sekitarnya yaitu tuntutan pelayanan yang berkualitas baik pelayanan informasi publik maupun pengembangan e-government. KESIMPULAN Dari paparan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa tingkat keteraksesan informasi publik melalui media e-government di Kabupaten Sidoarjo termasuk dalam kategori baik (71,01%). Keteraksesan informasi tersebut didorong oleh adanya keterbukaan badan publik dalam menginformasikan secara aktif kepada masyarakat baik diminta ataupun tidak; ketersediaan informasi baik kuantitas maupun kualitas serta media yang digunakan untuk menginformasikan maupun memperoleh informasi; kemudahan penggunaan media dalam memperoleh informasi secara cepat, tepat, berbiaya murah, mudah dipahami, dan sederhana caranya/prosedur; kecepatan untuk men-download/memperoleh informasi; dan kenyamanan dalam mendapatkan/ menyampaikan informasi ataupun berinteraksi dengan pemerintah. Kapasitas birokrasi dalam penyediaan akses informasi publik, pengembangan egovernment sebagai media komunikasi dan informasi di Kabupaten Sidoarjo termasuk belum optimal (59,85%). Kapasitas tersebut meliputi beberapa komponen yaitu kesiapan, komitmen, dan kepemimpinan dalam layanan publik. Kesiapan yang disertai dengan kemauan atau komitmen yang sangat kuat dari pemerintah daerah akan dapat mewujudkan terselenggaranya tata kelola pelayanan yang lebih baik. Komitmen tersebut tentunya harus dimiliki tidak hanya di level pimpinan satuan kerja tetapi juga staf di bawah. Karenanya, kepemimpinan memiliki arti penting dalam pengembangan kapasitas birokrasi di Kabupaten Sidoarjo. Kepemimpinan yang berkarakter akan mampu mendorong perubahan manajemen dalam pengelolaan pelayanan publik yang lebih berkualitas. Karakteristik kepemimpinan yang diharapkan mampu mendorong perubahan manajemen pelayanan yang lebih prima adalah kepemimpinan yang memiliki visi ke depan, mampu menjadi agen perubahan, menjadi penggerak kebersamaan dan keterbukaan serta kerjasama di antara tim yang ada, berani mengambil risiko, dan dapat dipercaya.

30


Kapasitas Dan Budaya Birokrasi Dalam Aksesibilitas Informasi Publik Berbasis E-Government Di Sidoarjo (Totok Wahyu Abadi, Nunung Prajarto, Budi Guntoro)

Kepemimpinan yang mampu membawa perubahan sesuai dengan visi akan berdampak pada budaya kualitas dalam pelayanan serta tata kelola pemerintahan yang baik pula. Budaya birokrasi yang baik merupakan cerminan kualitas pelayanan yang diberikan pemerintah daerah kepada masyarakat, baik pelayanan yang berupa jasa, barang, maupun administrasi. Budaya birokrasi dalam pemberian pelayanan kepada masyarakat terkait dengan pengelolaan dan penyediaan informasi publik secara terbuka, akurat, sesuai dengan kebutuhan di Kabupaten Sidoarjo termasuk belum sesuai dengan yang diharapkan (45,79%). Meski belum optimal, budaya birokrasi tersebut tentunya harus menjadi perhatian untuk mendapatkan perbaikan dan peningkatan yang lebih baik serius. Formalisasi dalam bentuk pembakuan operasional prosedur (SOP) tentang aksesibilitas informasi publik berbasis egovernment memiliki arti penting. Struktur birokrasi yang cenderung membesar dan tupoksi antar - instansi yang tumpang tindih sering menyebabkan hubungan kerja menjadi tidak jelas dan rumit. Untuk itu SOP mengenai aksesibilitas informasi publik berbasis egovernment harus disusun dan diimplementasikan dengan baik. Formalisasi yang menjadi unsur utama dalam struktur organisasi penelitian ini masih belum sesuai dengan yang diharapkan, yaitu 51,86%. Kesiapan, komitmen, dan kepemimpinan yang menjadi komponen dari kapasitas birokrasi secara bersama–sama dengan struktur organisasi berpengaruh terhadap budaya pelayanan yang berkualitas. Keempat faktor tersebut secara bersama-sama berpengaruh terhadap budaya pelayanan sebesar 54,8% dengan signifikansi kesalahan 0,000. Secara parsial, dua faktor paling berpengaruh terhadap budaya birokrasi dalam pelayanan publik, yaitu kepemimpinan dan struktur organisasi. Pengaruh kepemimpinan terhadap budaya layanan sebesar 13,9% dengan signfikansi kesalahan 0,000. Keberpengaruhan struktur organisasi terhadap budaya menunjukkan koefisien sebesar 25% dengan signifikansi kesalahan 0,000.

Sidoarjo menuju visi-misi yang telah ditetapkan, yaitu Sidoarjo yang mandiri, sejahtera, dan madani. Kepemimpinan visioner tersebut tidak harus berawal dari level tertinggi seperti bupati, tetapi kepemimpinan visioner harus ditumbuhkembangkan mulai dari level bawah hingga yang tertinggi karena hakikatnya setiap individu adalah pemimpin yang memiliki tanggung jawab masing-masing sesuai dengan kapabilitasnya. 2. Standar operasional prosedur (SOP) bukanlah rutinitas yang dibakukan dalam sebuah dokumen tanpa ada implementasi sama sekali. SOP yang telah disusun harus dapat dilaksanakan dengan baik dan benar karena telah disahkan melalui peraturan bupati. SKPD yang belum memiliki SOP seyogyanya harus segera menyusun dan melaksanakannya sesuai dengan yang telah disepakati dan dibakukan dalam dokumen dengan penuh tanggung jawab. 3. Beberapa hal yang perlu ditingkatkan dalam budaya organisasi adalah unsur tanggung jawab staf kepada unit kerja, pimpinan, dan masyarakat; keterbukaan dalam berkomunikasi di antara pimpinan, bawahan dan pimpinan atau sebaliknya, pegawai dengan masyarakat; serta kerjasama dan koordinasi dengan tim ataupun unit kerja lain. DAFTAR PUSTAKA Abadi,T.W. 2015. “Aksesibilitas Informasi Publik Berbasis e-Government dan Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan Infrastruktur di Kabupaten Sidoarjo�. Disertasi. Yogyakarta: Sekolah Pascasarjana. Afriani, K. dan Fathul W. 2007. "Dampak eGovernment pada Good Governance: Temuan Empiris dari Kota Jambi". dalam Seminar Nasional Aplikasi Teknologi Informasi (SNATI). ISSN: 1907-5022. http://digilib.uii.ac.id/ diunduh 18 Agustus 2010. Callahan, F. 2008. Teori Budaya Organisasi Berdasarkan Penelitian Clifford Geertz, Michael Pacanowsky, dan Nick O'Donnel-Trujillo. dalam Richard West dan Lynn H.Turner. Pengantar Teori Komunikasi: Analisis dan Aplikasi. Jakarta: Salemba Humanika Charalabidis, Y. dan Dimitris A. 2008. "Interoperability Registries in e-Government: Developing a Semantically Rich Repository for Electronic Services and Documents of the New Public Administration" dalam Proceedings of the 37th Hawaii International Conference on System Sciences. National Technical University of Athens. Dalam http://www.istor.org/stable/3381113. diunduh 21 Februari2010

REKOMENDASI Berdasarkan hasil penelitian tersebut, rekomendasi yang dapat disampaikan kepada pemerintah daerah Kabupaten Sidoarjo adalah : 1. Kapasitas birokrasi dalam pelayanan publik perlu ditingkatkan terutama kepemimpinan transformatif di setiap satuan kerja perangkat daerah (SKPD). Kepemimpinan yang transformatif mampu membawa kabupaten

31


Inovasi Vol 12 No. 1 Maret 2015 : 21 - 33

Chen, Yu-Che J.P. 2003. "Outsourcing for eGovernment: Managing for Success” dalam Public Performance & Management Review. Vol. 26, No.4 (June, 2003).pp.404-421. Published by: ME.Sharpe,Inc.Stable. URL:: http://www.jstor.org/stable/3381115. Accessed: 24/05/2010 01:38:

Nomor 4 (Juni 2003), hal. 376 - 390. Dalam http://ww.istor.org/stable/3381113. diunduh 21 Februari 2010 Moon, M. J. 2002. " The Evolution of e-Govemment among Municipalities: Rhetoric or Reality?" dalam Public Administration Review. Blackwell Publishing on behalf of the American Society for Public Admmistration. Vol. 62, No. 4 (Jul. - Aug., 2002), pp. http://www.jstor.org/ 424-433. Stable URL: stable/3110357 Accessed: 22/02/2010 22:19

Direktorat Litbang-Deputi Pencegahan KPK. 2014. Integritas Sektor Publik Indonesia 2014. dalam www.kpk.go.id. diunduh 2 Januari 2015.

Perda Kabupaten Sidoarjo Nomor 12 Tahun 2011 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Kabupaten Sidoarjo Tahun 2010-2015.

Gani, A. 2006. Pengaruh Gaya Kepemimpinan, Budaya Organisasi, dan Motivasi Kerja Terhadap Kinerja Karyawan Industri Kayu Olahan di Kota Makassar Sulawesi Selatan. Disertasi. Malang: Universitas Brawijaya. Tidak ditcrbitkan.

Prasetyaningsih. 2009. Pengaruh Struktur Organisasi, Kepemimpinan, dan Kemampuan Sumber Daya Manusia Terhadap Efektivitas Pelayanan Persertifikatan Hak Atas Tanah Pada Kantor Pertanahan Kabupaten Kendal. Semarang: Undip.

Hanna, N.K. 2010. Transforming Government and Building the Information Society: Challenges and Opportunities for the Developing World. Springer New York: University of Maryland.

Purwanto, E.A.2006. “Pelayanan Publik Partisipatif” dalam Agus Dwiyanto (ed). Mewujudkan Good Governance Melalui Pelayanan Publik. Yogjakarta: GMU Press. Hal.173–222.

Holden, S.H., Donald F. N, Patricia D.F. 2003. "Electronic Government at the Local Level: Progress to Date and Future Issues." Dalam Public Performance & Management Review. Vol. 26, No. 4 (Jun., 2003), pp. 325-344 Published by: M.E. Sharpe, Inc. Stable

Reitz, J.C. 2006. “e-Government” dalam The American Journal of Comparative Law. Vol.54, American Law in the 21st Century: U.S. National Reports to the XVIIth International Congress of Comparative Law (Fall,2006),pp.733 – 754. Published by: American Society of Comparative Stable. URL: http://www.jstor.org. Accesed: 24/05/2010 01:29

Indrajit, R E, dkk. 2005. E-government in Action. Yogjakarta: Penerbit Audi. Hal: 27-28 Instruksi Presiden Nomor 3 Tahun 2003 Tentang Kebijakan dan Strategi Nasional Pengembangan ewww.bappenas.go.id. Diunduh 7 government. November 2008.

Robbins, S.P. 2001. Perilaku Organisasi, Konsep, Kontroversi, Aplikasi. Jakarta: Prenhalindo.

Kementrian PAN Reformasi Birokrasi. 2011. Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 11 Tahun 2011 tentang Kriteria dan Ukuran Keberhasilan Reformasi Birokrasi. Jakarta: Kementrian PAN RB.

Scokley–Zalabak, P. 2006. “The Communication of Trust” dalam Tamara L. Gillis. The IABC Handbook of Organizational Communication. IABC International Association of Bussiness Communicators. Hal 44-55

KIP RI.2012. Laporan Independent Implementasi Open Government Partnership di Indonesia. Jakarta: Komisi Informasi Publik

Suaedi, F. 2005. “Pengaruh Struktur Organisasi, Budaya Organisasi, Kepemimpinan, Aliansi Strategis Terhadap Inovasi Organisasi dan Kinerja Organisasi Hotel Bintang Tiga di Jawa Timur”. Ringkasan Disertasi. Malang: Universitas Brawijaya.

Kusumo. 2009. “Analisis Pengaruh Kepemimpinan Manajemen, Teknologi Informasi, dan Struktur Organisasi Terhadap Kinerja Perusahaan”. Tesis. Semarang: Universitas Diponegoro.

Tambouris, E; E. Kalampokis dan K. Tarabanis. 2008. “e-Participation Research Project in The European Union: A Survey,” International Journal Electronic Business, Vol. 6, No. X.

Littlejohn, S. W. 1999. Theories of Human Communication. Edisi 6. Albuquerque, New Mexico: Wadsworth Publishing Company.

Tashakkori, A. dan Charles T. 1998. Mixed Methodology: Combining Qualitative and Quantitative Approach. London: Sage Publications ltd.

Macintosh, A. 2004. “Characterizing e-Participation in Policy-Making.” Proceedings of the 37th Hawaii International Conference on System Sciences. Dalam http://www.jstor.org/stable/3381113. diunduh 21 Februari 2010. Melitski, J. Performance of Internet Performance

2003, "Capacity an Analysis Based Technologies in and Management

Tat-Kei Ho, A. 2002. "Reinventing Local Government and the E-Government Iniative." Public Performance and Management Review. Volume 62, Nomor 4 (Juli Agustus 2002), hal. 434 - 444. Blackwell Publishing. http://www.istor.org/stable/3381113. Dalam diunduh 21 Februari2010.

and e-Government on Early: Adopters New Jersey". Public Review. Volume 26,

32


Kapasitas Dan Budaya Birokrasi Dalam Aksesibilitas Informasi Publik Berbasis E-Government Di Sidoarjo (Totok Wahyu Abadi, Nunung Prajarto, Budi Guntoro)

Utaminingsih, A. 2006. "Pengaruh Budaya Organisasi Terhadap Gaya Kepemimpinan, Kepercayaan, dan Komitmen pada Organisasi (Studi Persepsi Dosen Tetap Yayasan Perguruan Tinggi Swasta Jenjang Strata 1 di Kota Malang)". Disertasi. Malang: Universitas Brawijaya. Tidak diterbitkan. West, J.P. dan Evan M.B. 2001. "The Impact of Revitalized Management Practices on The Adoption of Information Technology." Dalam Public Performance & Management Review. Vol.24 Nomor 3 edisi Maret. Pp 233-253. Published by: M.E. Sharpe, Inc. http://www.istor.org/ stable/3381113. diunduh 21 Februari 2010. Wibisono, D. 2006. Manajemen Kinerja: Konsep, Desain, dan Teknik Meningkatkan Daya Saing Perusahaan. Jakarta: Penerbit Airlangga. Hal: 137-144. Winarno, B.2002. Kebijakan Publik:Teori dan Proses. Yogjakarta: Media Pressindo.

33


Inovasi Vol 12 No. 1 Maret 2015 : 34 - 45

Hasil Penelitian PERBANDINGAN HASIL BELAJAR AKUNTANSI DENGAN MENGGUNAKAN PEMBELAJARAN AKTIF (ACTIVE LEARNING) TIPE QUIZ TEAM DAN KONVENSIONAL PADA SISWA KELAS X Ak SMK NEGERI 1 PEMATANGSIANTAR TAHUN PELAJARAN 2014 2014/2015 /2015

(THE COMPARATION OF OUTCOMES LEARNING ON THE STUDENTS’ ACHIEVEMENT LEARNING BY USING ACTIVE LEARNING THROUGH QUIZ TEAM AND MODEL CONVENTIONAL IN ECONOMY CLASS 2014/2015) GRADE Ak 1 IN SMK NEGERI 1 PEMATANGSIANTAR YEAR 2014/ 2015) Lisbet Novianti Sihombing Universitas HKBP Nommensen email: lisbetsihombings@yahoo.co.id

Diterima: 08 Januari 2015; Direvisi: 30 Januari 2015; Disetujui: 09 Pebruari 2015

ABSTRAK Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah apakah ada perbandingan hasil belajar siswa yang diajar guru dengan menggunakan model pembelajaran aktif (active learning) tipe quiz team dengan menggunakan model pembelajaran Konvensional dalam pelajaran ekonomi di kelas X Ak1 SMK Negeri I Pematangsiantar Tahun pelajaran 2014/2015. Penelitian ini bertujuan untuk mengungkapkan perbandingan hasil belajar akuntansi dengan menggunakan pembelajaran aktif (Active learning) tipe quiz team dan konvensional pada siswa kelas X ak SMK Negeri 1 Pematangsiantar. Adapun Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode eksperimen. Populasi dalam penelitian ini yakni siswa/siswi kelas X SMK Negeri 1 Pematangsiantar Tahun ajaran 2014/2015 sebanyak 117 Orang. Sebagai sampel penelitian adalah siswa kelas X Ak1 sebagai kelas eksperimen yang terdiri dari 39 siswa dan kelas X Ak2 sebagai kelas kontrol yang terdiri dari 38 siswa. Instrumen yang digunakan adalah berupa hasil tes belajar siswa. Adapun hipotesis yang dipergunakan dalam penelitian ini ada dua yaitu: Hipotesis Kerja (H1) : Ada perbandingan yang signifikan antara hasil belajar siswa yang diajar guru dengan menggunakan Model Pembelajaran aktif (active learning) tipe quiz team dalam proses belajar mengajar dengan guru menggunakan Model Pembelajaran Konvensional dalam proses belajar mengajar di kelas X Ak1 SMK Negeri 1 Pematangsiantar Tahun Pelajaran 2014/2015. Dan Hipotesis Nol (H0) : Tidak ada perbandingan yang signifikan antara hasil belajar siswa yang diajar guru dengan menggunakan Model Pembelajaran aktif (active learning) tipe quiz team dalam proses belajar mengajar dengan guru menggunakan Model Pembelajaran Konvensional dalam proses belajar mengajar di kelas X Ak1 SMK Negeri 1 Pematangsiantar Tahun Pelajaran 2014/2015. Dalam pengujian hipotesis digunakan uji statistik uji “t”. Dari hasil pengolahan data test akhir untuk kelas X Ak1 dapat diperoleh X1 = 36,24 dan X12 = 926,87 sedangkan untuk kelas X- Ak2 diperoleh X2 = 30,45 dan X22 = 1231,39. Ternyata thitung lebih besar = 0,05 yakni 4,67 > 1,995. Dengan demikian H0 ditolak dan H1 diterima atau dari ttabel untuk dengan kata lain ada perbandingan yang signifikan antara hasil belajar siswa yang diajar guru dengan menggunakan Model Pembelajaran aktif (active learning) tipe quiz team dalam proses belajar mengajar dengan guru menggunakan Model Pembelajaran Konvensional dalam proses belajar mengajar di kelas X Ak1 SMK Negeri 1 Pematangsiantar Tahun Pelajaran 2014/2015.

α

KATA KUNCI : Pendidikan, Model pembelajaran aktif, Tipe quiz team, Konvensional, Hasil Belajar

ABSTRACT 34


Perbandingan Hasil Belajar Akuntansi Dengan Menggunakan Pembelajaran Aktif (Active Learning) Tipe Quiz Team Dan Konvensional Pada Siswa Kelas X Ak Smk Negeri 1 Pematangsiantar Tahun Pelajaran 2014/2015 (Lisbet Novianti Sihombing)

The research is to find out a comparative study on the students achievement learning in accounting by using active learning through quiz team and conventional on the students grade X Ak in SMK Negeri 1 Pematangsiantar. The methodology of the research is done by experimental. The population of the research are students grade X in SMK Negeri 1 Pematangsiantar year 2014/2015 which consists of 117 students. There are two classes used for the sample of the research named experimental group and control group. In the experimental group, there are 39 students grade X Ak 1 and 38 students for control group. The instrument of the research is the test. The hypothesis of the research is (H1): There is a significance between the students achievement in learning by using active learning through quiz team and model conventional through economy class grade X Ak 1 in SMK Negeri 1 Pematangsiantar year 2014/2015. And other hypothesis H0 : There is no significance between the students achievement in learning by using active learning through quiz team and model conventional through economy class grade X Ak 1 in SMK Negeri 1 Pematangsiantar year 2014/2015. The hypothesis is used statistic “t�. The result of X1 = 36,24 and X12 = 926,87 in class X- Ak2 the score is X2 = 30,45 dan X22 = 1231,39. so thitung lebih besar dari ttable for = 0,05 that is 4,67 > 1,995. It mean H0 is rejected and H1 is accepted. We can conclude that there is a significance between the students achievement in learning by using active learning through quiz team and model conventional through economy class grade X Ak 1 in SMK Negeri 1 Pematangsiantar year 2014/2015.

Îą

Keyword: Education, Model active Learning, Type quiz team, conventional, result Learning

pada mata pelajaran akuntansi yaitu dengan penggunaan metode belajar aktif Tipe Quiz Team. Pembelajaran Tipe Quiz Team merupakan salah satu pembelajaran aktif yang dikembangkan oleh Mel Silberman dimana siswa dibagi ke dalam tiga tim. Setiap siswa dalam tim bertanggung jawab untuk menyiapkan kuis jawaban dan tim yang lain menggunakan waktu untuk memeriksa catatannya. Dengan adanya pertandingan akademis ini terciptalah kompetisi antar kelompok, para siswa akan senantiasa berusaha belajar dengan motivasi yang tinggi agar dapat memperoleh nilai yang tinggi dalam pertandingan. Active Learning Tipe Quiz Team. Active Learning adalah suatu proses pembelajaran dengan maksud untuk memperdayakan peserta didik agar belajar dengan menggunakan berbagai cara/strategi secara aktif. Dalam hal ini proses aktivitas pembelajaran didominasi oleh peserta didik dengan menggunakan otak untuk menemukan konsep dan memecahkan masalah yang sedang dipelajari, disamping itu juga untuk menyiapkan mental dan melatih keterampilan fisiknya. Dari pengertian tersebut menunjukkan bahwa Pembelajaran Aktif (Active Learning) menempatkan siswa sebagai inti dalam kegiatan belajar mengajar. Siswa dipandang sebagai objek dan sebagai subjek. Pada waktu mengajar harus ada interaksi antara guru dengan siswa dalam rangka mencapai tujuan pengajaran, oleh karena itu guru harus menciptakan lingkungan belajar yang mendorong semua siswa aktif melakukan kegiatan belajar secara nyata. Hakekat Active Learning Tipe Quiz Team. Active learning dimaksudkan untuk mengoptimalkan penggunaan semua potensi yang dimiliki oleh anak, sehingga semua anak

PENDAHULUAN Pendidikan adalah usaha sadar untuk mengembangkan potensi, sadar untuk menumbuhkembangkan potensi Sumber Daya Manusia (SDM) melalui kegiatan pengajaran. Tujuan pendidikan adalah membentuk sumber daya manusia yang berkualitas tinggi yaitu manusia yang mampu menghadapi perkembangan zaman. Guna mencapai pendidikan tersebut diperlukan proses pendidikan. Pendidikan dapat ditempuh melalui jalur formal dan non formal. Pendidikan formal merupakan pendidikan yang dimulai dari jenjang terendah hingga tertinggi yang harus ditempuh dengan serangkaian persyaratan tertentu jika akan naik ke jenjang selanjutnya. Pendidikan non formal merupakan jenjang pendidikan yang diperoleh dalam sebuah lembaga pendidikan yang berorientasi memberi dan meningkatkan keterampilan yang dibutuhkan untuk berkompetensi dalam meraih kesuksesan hidup. Metode pembelajaran yang umumnya dilakukan oleh guru adalah metode konvensional yaitu menggunakan metode ceramah dalam pemberian materi, siswa hanya pasif menerima materi dari guru. Hal ini cenderung menjadikan suasana belajar kaku, monoton dan kurang menggairahkan, sehingga siswa kurang aktif dan tidak bersemangat dalam belajar. Banyak sekali metode pembelajaran yang dapat digunakan dalam proses belajar mengajar. Agar hasil yang dicapai memuaskan diperlukan metode pembelajaran yang tepat, yaitu metode yang dapat membangkitkan minat belajar dan pemahaman siswa terhadap mata pelajaran akuntansi. Salah satu upaya untuk membangkitkan minat dan pemahaman siswa

35


Inovasi Vol 12 No. 1 Maret 2015 : 34 - 45

didik dapat mencapai hasil belajar yang memuaskan sesuai dengan karakteristik pribadi yang dimiliki oleh siswa. Active Learning adalah suatu proses pembelajaran dengan maksud untuk memperdayakan peserta didik agar belajar dengan menggunakan berbagai cara/strategi secara aktif. Dalam hal ini proses aktivitas pembelajaran didominasi oleh peserta didik dengan menggunakan otak untuk menemukan konsep dan memecahkan masalah yang sedang dipelajari, disamping itu juga untuk menyiapkan mental dan melatih keterampilan fisiknya. Dari pengertian tersebut menunjukkan bahwa Pembelajaran Aktif (Active Learning) menempatkan siswa sebagai inti dalam kegiatan belajar mengajar. Siswa dipandang sebagai objek dan sebagai subjek. Raka Joni dalam bukunya Dimyati (2009) mengatakan bahwa penerapan pembelajaran aktif, siswa diharapkan akan lebih mampu mengenal dan mengembangkan kapasitas belajar dan potensi yang dimilikinya secara penuh, menyadari dan dapat menggunakan potensi sumber belajar yang terdapat di sekitarnya. Selain itu, siswa diharapkan lebih terlatih untuk berprakarsa, berpikir secara teratur, kritis, tanggap dan dapat menyelesaikan masalah sehari-hari, serta lebih terampil dalam menggali, menjelajah, mencari dan mengembangkan informasi yang bermakna baginya. Pembelajaran Aktif (Active Learning) Tipe Quiz Team yang dikemukakan oleh Dalvi bahwa: “Merupakan salah satu tipe pembelajaran yang mampu meningkatkan keaktifan siswa dalam proses belajar”. Dalam tipe ini siswa dibentuk dalam kelompok-kelompok dengan masingmasing anggota kelompok mempunyai tanggung jawab yang sama atas keberhasilan kelompoknya dalam memahami materi dan menjawab soal. Dalam tipe quiz team ini, diawali dengan guru menerangkan materi secara klasikal, lalu siswa dibagi ke dalam tiga kelompok besar. Semua anggota kelompok bersama-sama mempelajari materi tersebut, saling memberi arahan, saling memberikan pertanyaan dan jawaban untuk memahami mata pelajaran tersebut. Setelah selesai materi maka diadakan suatu pertandingan akademis. Dengan adanya pertandingan akademis ini maka terciptalah kompetisi antar kelompok, para siswa akan senantiasa berusaha belajar dengan motivasi yang tinggi agar dapat memperoleh nilai yang tinggi dalam pertandingan. Pembelajaran Konvensional. Pembelajaran Konvensional adalah model pembelajaran tradisional atau disebut juga

dengan metode ceramah, karena sejak dulu model ini telah dipergunakan sebagai alat komunikasi lisan antara guru dengan anak didik dalam proses belajar dan pembelajaran. Dalam pembelajaran, sejarah model konvensional ditandai dengan ceramah yang diiringi dengan penjelasan, serta pembagian tugas dan latihan. Pembelajaran konvensional merupakan model pembelajaran yang masih berlaku dan sangat banyak digunakan guru. Pembelajaran Konvensional adalah interaksi antara guru dan siswa dalam rangka mencapai tujuan pembelajaran. Pembelajaran ini pada umumnya memiliki kekhasan tertentu, misalnya lebih mengutamakan hafalan dan pengajaran berpusat pada guru. Pembelajaran ini bersifat dinamis sesuai dengan cara mengajar guru di suatu sekolah. Di dalam proses belajar mengajar yang selama ini berlangsung di setiap kelas, guru lebih dominan menggunakan metode ceramah, dimana guru sebagai pemberi pembelajaran lebih banyak sehingga menciptakan situasi dan kondisi komunikasi yang searah. Pembelajaran Konvensional merupakan suatu penyampaian informasi dengan lisan kepada sejumlah siswa. Syaiful Bahri Djamarah dan Aswan Zain (2006:97) menyatakan bahwa metode konvensional adalah metode yang boleh dikatakan metode tradisional, karena sejak dulu metode ini telah dipergunakan sebagai alat komunikasi lisan antara guru dengan anak didik dalam proses belajar mengajar. Mesti metode ini banyak menuntut keaktifan guru dari pada anak didik, tetapi metode ini tetap tidak bisa ditinggalkan begitu saja dalam kegiatan pengajaran. Syaiful Sagala (2008:201) menambahkan bahwa, “Model konvensional adalah bentuk interaksi melalui penerangan dan penuturan lisan dari guru kepada peserta didik”. Menurut Wina Sanjaya (dalam Istarani, 2012:5) “Model konvensional dapat diartikan sebagai cara menyajikan pelajaran melalui penuturan secara lisan atau penjelasan langsung kepada sekelompok siswa”. METODE Penelitian ini dilaksanakan di SMK Negeri 1 Pematangsiantar, yang akan dilaksanakan di kelas X Ak-1 dan X Ak-2 Tahun Pelajaran 2014/2015. Pelaksanaan perlakuan (treatment) dalam bentuk kegiatan pembelajaran disesuaikan dengan kalender pendidikan, sedangkan perlakuan diberikan sesuai dengan keadaan di lapangan dengan 6 (enam) kali pertemuan. Menurut Suharsimi Arikunto (2006:3) “Metode eksperimen adalah suatu cara untuk mencari hubungan sebab akibat

36


Perbandingan Hasil Belajar Akuntansi Dengan Menggunakan Pembelajaran Aktif (Active Learning) Tipe Quiz Team Dan Konvensional Pada Siswa Kelas X Ak Smk Negeri 1 Pematangsiantar Tahun Pelajaran 2014/2015 (Lisbet Novianti Sihombing)

(hubungan kausal) antara dua faktor yang sengaja ditimbulkan oleh peneliti dengan mengeliminasi atau mengurangi atau menyisihkan faktor-faktor lain yang mengganggu”. Instrumen yang digunakan peneliti untuk memperoleh data adalah tes. Tes yang digunakan adalah tes tulisan berbentuk objektif tes berupa pilihan berganda sebanyak 50 butir soal. Masing-masing soal mempunyai empat alternatif jawaban. Untuk soal yang dijawab dengan benar diberi skor 1 dan untuk jawaban yang salah diberi skor 0, sehingga skor maksimum adalah 50. Waktu yang diberikan untuk menyelesaikan soal 60 menit.

Teknik Pengujian Hipotesis. Metode pengolahan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode eksperimen kuantitatif dengan menggunakan rumus uji t yaitu :

t=

Sejalan dengan itu peneliti melakukan uji terhadap data yang diperoleh yaitu uji normalitas data baik terhadap variabel X maupun variabel Y dengan menggunakan 2

peluang normal dan uji chi kuadrat ( x ). Untuk chi kuadrat ini adalah membandingkan ( x 2

X2 = ∑

2

Dimana : X2 : Kuadrat chi yang dicari fi : Frekuensi yang tampak sebagai hasil pengamatan fh : Frekuensi yang diharapkan

( fi − fh)2 fh

Sedangkan

(Suharsimi Arikunto 2009:290)

2 xtabel

diperoleh dari daftar

chi kuadrat pada taraf 1 - α dan dk = k – 3.

Dimana : X2 : Kuadrat chi yang dicari Fi : Frekuensi yang tampak sebagai hasil pengamatan fh : Frekuensi yang diharapkan

Kriteria Pengujian : Data berdistribusi normal jika chi kuadrat hitung lebih kecil dari chi kuadrat tabel, dengan taraf pengujian α = 0,05. Untuk mendukung hasil perhitungan chi kuadrat hitung, penulis menggambarkan kurva distribusi normal dari data penelitian ke dalam kertas peluang. Grafik distribusi normal kita gambarkan bila telah disusun suatu daftar distribusi frekuensi kumulatif kurang dari, dengan rata-rata pembentuk daftar diambil dari batas kelas interval.

diperoleh dari daftar chi

kuadrat pada taraf 1 - α dan

fh

(Suharsimi Arikunto 2009:290)

2

2 xtabel

( fi − fh)2

2

)hitung dengan ( x )tabel. Sesuai dengan jalan pendapat di atas, maka peneliti menguji normalitas dengan rumus :

Sedangkan

2

)hitung dengan ( x )tabel. Sesuai dengan jalan pendapat di atas, maka peneliti menguji normalitas dengan rumus :

peluang normal dan uji chi kuadrat ( x ). Untuk

X2 = ∑

 Σx2 + Σx2  1 1  2   1  +   n1 + n2 − 2  n1 n2   

(sudjana, 2011:224)

Uji Normalitas. Sebelum melakukan pengujian hipotesis terlebih dahulu dilakukan pengujian terhadap normalitas data apakah data yang diperoleh tersebut berdistribusi normal atau tidak. Apabila data berdistribusi normal, maka perlu ditinjau kembali cara memperoleh data dan penarikan sampel tersebut. Sejalan dengan itu peneliti melakukan uji terhadap data yang diperoleh yaitu uji normalitas data baik terhadap variabel X maupun variabel Y dengan menggunakan chi kuadrat ini adalah membandingkan ( x

x1 − x2

dk = k – 3.

Kriteria Pengujian : Data berdistribusi normal jika chi kuadrat hitung lebih kecil dari chi kuadrat tabel, dengan taraf pengujian α = 0,05. Untuk mendukung hasil perhitungan chi kuadrat hitung, penulis menggambarkan kurva distribusi normal dari data penelitian ke dalam kertas peluang. Grafik distribusi normal kita gambarkan bila telah disusun suatu daftar distribusi frekuensi

HASIL DAN PEMBAHASAN Uji Normalitas tes prestasi belajar dimana guru menggunakan model pembelajaran. Aktif (active learning) tipe quiz team(X1). Untuk menyusun daftar

37


Inovasi Vol 12 No. 1 Maret 2015 : 34 - 45

distribusi frekuensi dari X1 peneliti melakukan prosedur sebagai berikut:

Membuat daftar distribusi frekuensi (organisasi data) skor tes prestasi belajar ekonomi kelas X - 5 sebagai kelas Eksperimen:

Tabel 1. Daftar distribusi frekuensi (organisasi data) skor tes prestasi belajar ekonomi kelas X - 5 sebagai kelas Eksperimen 38

32

29

42

34

30

46

38

34

42

38

32

29

42

34

30

37

34

33

46

34

32

37

30

37

33

46

38

30

43

41 42 37 32 36 Sumber : Data Primer

37

33

37

Dari data pada tabel 1., diketahui bahwa : Panjang Kelas (i) Rentang

: Skor terbesar – Skor terkecil = 46 – 26 = 20

= =

Re n tan g

BanyakKelas 20 6,21

= 3,33

Maka dapat dihitung banyaknya kelas, yakni : Banyak Kelas = 1 + 3,33 log n = 1 + 3,33 log 38 = 1 + 5,21 = 6,21

Jadi panjang kelas dapat ditentukan sebanyak 3 atau 4 kelas. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan panjang kelas sebanyak 3 kelas.

Jadi banyak kelas dapat ditentukan sebanyak 6 atau 7 buah. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan 7 kelas.

Tabel 2. Tabulasi Daftar Tes Prestasi Dengan Menggunakan Model pembelajaran model mapping (LSQ) ( X1 ) Kelas Interval

Tabulasi

F

26-28

I

1

29-31

IIII I

6

32-34

IIII IIII I

11

35-37

IIII III

8

38-40

IIII

4

41-43

IIII I

6

44-46

III

3 39

Sumber : Data primer Tabel 3. Distribusi Frekuensi Tes Hasil Belajar Ekonomi (X1) Dengan Menggunakan Model pembelajaran aktif (active learning) tipe quiz team Kelas Interval

x

F

D

fd2

Fd

26-28

27

1

-2

-2

4

29-31 32-34

30 33

5 11

-1 0

-5 0

5 0

35-37

36

8

1

8

8

38-40

39

4

2

8

16

38


Perbandingan Hasil Belajar Akuntansi Dengan Menggunakan Pembelajaran Aktif (Active Learning) Tipe Quiz Team Dan Konvensional Pada Siswa Kelas X Ak Smk Negeri 1 Pematangsiantar Tahun Pelajaran 2014/2015 (Lisbet Novianti Sihombing)

41-43

42

6

3

18

54

44-46

45

3

4

12

48

39

135

38 Sumber : Data primer Berdasarkan hasil perhitungan pada tabel, maka dapat dihitung rata – rata (x) dan simpangan baku (s) sebagai berikut :

Hasil perhitungan di bawah diperoleh nilai (ܺത) dan nilai (s) yang diperlukan untuk menyusun tabel perhitungan chi kuadrat.

 ∑ fd 2 s = i   n 

 ∑ fd  x = xt + i   n   39  = 33 + 3   38 

=3

= 36,08

= 4,74

  ∑ fd  −    n    

 135   39  −    38   38 

2

2

Tabel 4. Daftar perhitungan chi kuadrat (X1)

Kelas Interval

Batas Nyata 25,5

z-score -2,23207

Batas Luas Daerah

-1,59916 -0,96624 -0,33333

0,299578

0,932489 1,565401 2,198312

419

1,6341

1

0,6341

0,402083

0,246058

1112

4,3368

5

0,6632

0,439834

0,101419

2047

7,9833

11

3,0167

9,100479

1,139939

2472

9,6408

8

1,6408

2,692225

0,279253

2059

8,0301

4

4,0301

16,24171

2,022603

1180

4,602

6

1,398

1,954404

0,424686

443

1,7277

3

1,2723

1,618747

0,936938

4418

44-46 46,5

܎‫ܐ‬

3238

41-43 43,5

ሺ܎‫ܐ܎ିܗ‬ሻ ૛

1179

38-40 40,5

ሺfo − fhሻଶ

1293

35-37 37,5

fo-fh

3340

32-34 34,5

fo

4452

29-31 31,5

Fh

4871

26-28 28,5

Luas Daerah

4861 38

5,150896

Sumber : pengolahan data Dari daftar frekuensi harapan dan pengamatan tersebut dapat dihitung chi kuadrat dengan rumus :

Derajat kebebasan dikurangi tiga karena dk tersebut telah kehilangan kebebasannya sebanyak tiga kali, yang pertama pada saat menghitung rata-rata, yang kedua pada saat menghitung simpangan baku dan yang ketiga pada saat menghitung ukuran sampel. Dalam hal ini jumlah kategori sama dengan 7 (tujuh) , oleh sebab itu dk = 7 – 3 = 4.

 ( f0 − fh )2   = 5,15 fh  

χ2 = Σ

39


Inovasi Vol 12 No. 1 Maret 2015 : 34 - 45

learning) tipe quiz ( X1 ) adalah berdistribusi normal

Kriteria pengujian : Data berdistribusi normal jika chi kuadrat hitung lebih kecil dari chi kuadrat tabel dengan a = 0,05. Pengujian hasil perhitungan diperoleh

Uji Normalitas tes prestasi belajar dimana guru menggunakan strategi pembelajaran konvensional (X2). Untuk menyusun daftar distribusi frekuensi dari X2 peneliti melakukan prosedur sebagai berikut : Membuat daftar distribusi frekuensi (organisasi data) skor hasil belajar Ekonomi kelas X - 6 sebagai kelas kontrol:

χ 2 hitung = 4,98 sedangkan χ 2 tabel = 9,49 dengan a = 0,05. Dengan demikian maka χ 2 hitung < χ 2 tabel yakni 5,15 < 9,49 sehingga distribusi frekuensi skor hasil belajar Ekonomi dengan menggunakan model pembelajaran aktif (Active

Tabel 5. Daftar distribusi frekuensi skor tes prestasi belajar ekonomi kelas X - 6 sebagai kelas Kontrol 34

22

31

26

35

30

22

42

26

38

23

28

30

26

39

30

30

26

34

30

30

26

34

27

30

22

38

27

34

30

22 38 32 34 34 Sumber : Data Primer

30

22

45

Dari data pada tabel 5., diketahui bahwa : Rentang

Panjang Kelas (i)

: Skor terbesar – Skor terkecil = 45 – 22 = 23

= =

Maka dapat dihitung banyaknya kelas, yakni : Banyak Kelas

Re n tan g

BanyakKelas 23 6,21

= 3,70

= 1 + 3,33 log n = 1 + 3,33 log 38 = 1 + 5,1821 = 6, 21

Jadi panjang kelas dapat ditentukan sebanyak 3 atau 4 kelas. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan panjang kelas sebanyak 4 kelas.

Jadi banyak kelas dapat ditentukan sebanyak 6 atau 7 buah. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan 6 kelas. Tabel 6. Tabulasi Daftar Tes Prestasi Dengan tidak Menggunakan Strategi Pembelajaran Konvensional ( X2 )

Kelas Interval

Tabulasi

f

22-25

IIII I

6

26-29

IIII III

8

30-33

IIII IIII I

11

34-37

IIII II

7

38-41

IIII

4

42-45

II

2 38

Sumber : Data Primer Tabel 7. Distribusi Frekuensi hasil Belajar Ekonomi (X2) Dengan Menggunakan Strategi Pembelajaran Konvensional Kelas Interval

X

F

D

40

Fd

f(d)2


Perbandingan Hasil Belajar Akuntansi Dengan Menggunakan Pembelajaran Aktif (Active Learning) Tipe Quiz Team Dan Konvensional Pada Siswa Kelas X Ak Smk Negeri 1 Pematangsiantar Tahun Pelajaran 2014/2015 (Lisbet Novianti Sihombing)

22-25

23,5

6

-2

-12

24

26-29

27,5

8

-1

-8

8

30-33

31,5

11

0

0

0

34-37

35,5

7

1

7

7

38-41

39,5

4

2

8

16

42-45

43,5

2

3

6

18

1

73

38 Sumber : Data Primer Berdasarkan hasil perhitungan pada tabel 7, maka dapat dihitung rata – rata (x) dan simpangan baku (s) sebagai berikut :

Hasil perhitungan di bawah diperoleh nilai (ܺത) dan nilai (s) yang diperlukan untuk menyusun tabel perhitungan chi kuadrat.

 ∑ fd 2 s = i   n 

 ∑ fd  x = xt + i   n  1 = 31,5 + 4   38 

=4

= 31,6

= 5,54

  ∑ fd  −    n    

 73   1   −   38   38 

2

2

Tabel 8. Daftar perhitungan chi kuadrat (X2)

Kelas Interval

Batas Nyata 21,5

z-score -1,8231

Batas Luas Daerah

-1,10108

-0,37906 0,34296

1,064982

1,787004 2,509025

1013

3,8494

6

2,1506

4,62508

1,201507

2163

8,2194

8

0,2194

0,048136

0,005856

2811

10,6818

11

0,3182

0,101251

0,009479

2223

8,4474

7

1,4474

2,094967

0,248001

1079

4,1002

4

0,1002

0,01004

0,002449

307

1,1666

2

0,8334

0,694556

0,595367

4633

42-45 45,5

܎‫ܐ‬

3554

38-41 41,5

ሺ܎‫ܐ܎ିܗ‬ሻ ૛

1331

34-37 37,5

fo-fh

1480

30-33 33,5

Fo

3643

26-29 29,5

Fh

ሺ܎‫ ܗ‬− ܎‫ܐ‬ሻ૛

4656

22-25 25,5

Luas Daerah

4940 38

Sumber : Pengolahan Data

 ( f0 − fh )2  χ = Σ  =2,06 fh  

Dari daftar frekuensi harapan dan pengamatan tersebut dapat dihitung chi kuadrat dengan rumus :

2

41

2,06266


Inovasi Vol 12 No. 1 Maret 2015 : 34 - 45

Derajat kebebasan dikurangi tiga karena dk tersebut telah kehilangan kebebasannya sebanyak tiga kali, yang pertama pada saat menghitung rata-rata, yang kedua pada saat menghitung simpangan baku dan yang ketiga pada saat menghitung ukuran sampel. Dalam hal ini jumlah kategori sama dengan 6 (enam), oleh sebab itu dk = 6 – 3 = 3.

Untuk taraf 5% (

X = 1,995 Kriteria pengujian : Terima H 0 jika - t1 -

a ≤ t ≤ t1 − 12 a

harga-harga t lainnya H 0 ditolak. Berdasarkan harga kritik distribusi t ternyata dk 74 ( 0,05 ) = 1,995. Dari hasil perhitungan ternyata t hitung <

t tabel

pada taraf

α = 0,05 yakni ( 0,23< 1,995 )

dengan demikian H 0 diterima dan

_

X1 − X 2  X + X  1 1  +   n1 + n2 − 2  n1 n2 2 2

H1

ditolak.

Selanjutnya, untuk menghitung nilai t tes akhir prestasi belajar siswa kelas X Ak-1 dengan Ak-2 setelah eksperimen dilakukan menggunakan menggunakan rumus sebagai berikut :

  

_

t=

Dari perhitungan di atas peneliti menghitung t dengan menggunakan rumus sebagai berikut : _

X1 − X 2  X12 + X 22  1 1  +   n1 + n2 − 2  n1 n2

2

t1 − 12 a di dapat dari daftar distribusi dengan dk = (n1 + n 2 − 2) dan α = 0,05 untuk

(Suharsimi Arikunto, 2009)

t=

1

dimana

Uji hipotesis. Untuk mengetahui apakah ada pengaruh yang positif dan signifikan antara model pembelajaran Concept mapping terhadap hasil belajar siswa pada mata pelajaran Ekonomi kelas X SMA Negeri 1 Pematangsiantar, dicari dengan menggunakan rumus sebagai berikut:

_

)

46 1,98 − X = 60 − 0,02

frekuensi skor hasil belajar Ekonomi dengan strategi pembelajaran konvensional (X2) adalah normal

2 1

α

46 1,98 − X = 60 1,98 − 2,00

χ 2 hitung = 2,06 sedangkan χ 2 tabel = 7,81 dengan a = 0,05. Dengan demikian maka χ 2 hitung < χ 2 tabel yakni 2,06 < 7,81 sehingga distribusi

t=

2

120 − 74 1,98 − X = 120 − 60 1,98 − 2,00

Kriteria pengujian : Data berdistribusi normal jika chi kuadrat hitung lebih kecil dari chi kuadrat tabel dengan a = 0,05. Pengujian hasil perhitungan diperoleh

_

1

t=   

_

X1 − X 2  X12 + X 22  1 1  +   n1 + n2 − 2  n1 n2 36,24 − 30,45

  

1   926,8688 + 1231,395  1  +   38 + 38 − 2  38 38   t = 4,67

t=

20,37 − 20,03

Dari daftar distribusi t peneliti menghitung beberapa probabilitas dengan cara interpolasi yakni :

1   1608,842 + 1476,974  1  +   38 + 38 − 2  38 38  

Untuk taraf 5% (

1

2

α

)

t = 0,23

120 − 74 1,98 − X = 120 − 60 1,98 − 2,00

Dari daftar distribusi t peneliti menghitung beberapa probabilitas dengan cara interpolasi yakni :

42


Perbandingan Hasil Belajar Akuntansi Dengan Menggunakan Pembelajaran Aktif (Active Learning) Tipe Quiz Team Dan Konvensional Pada Siswa Kelas X Ak Smk Negeri 1 Pematangsiantar Tahun Pelajaran 2014/2015 (Lisbet Novianti Sihombing)

46 1,98 − X = 60 1,98 − 2,00

e.

46 1,98 − X = 60 − 0,02 f.

X = 1,995 Kriteria pengujian : Terima H 0 jika - t1 -

1

2

a ≤ t ≤ t1 − 12 a

g.

t1 − 12 a di dapat dari daftar distribusi dengan dk = (n1 + n2 − 2) dan α = 0,05 untuk

dimana

h.

harga-harga t lainnya H 0 ditolak. Berdasarkan harga kritik distribusi t ternyata dk 74 ( 0,05 ) = 1,995. Dari hasil perhitungan ternyata t hitung >

t tabel

pada taraf

i.

α = 0,05 yakni ( 4,67 > 1,995 )

dengan demikian H 0 ditolak dan

H1

diterima.

Dari pengolahan data di atas kita dapat melihat kelas eksperimen lebih tinggi daripada kelas konvensional dikarenakan dalam kelas eksperimen sesuai dengan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No.20 tahun 2003 pasal 3 (2009:64), menyatakan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab. Dalam UU Sistem Pendidikan Nasional ini juga sudah tercakup dalam langkah-langkah yang berbeda dengan kelas konvensional. Adapun Langkah-langkah Pembelajaran Aktif Tipe Quiz Team menurut Suprijono (2009) yang mengungkapkan prosedur pembelajaran dengan menggunakan Tipe Quiz Team sebagai berikut: a. Pilihlah topik yang dapat disampaikan dalam tiga bagian. b. Bagilah siswa menjadi tiga kelompok yaitu A, B dan C. c. Sampaikan kepada siswa format penyampaian pelajaran kemudian mulai penyampaian materi. Batasi penyampaian materi maksimal 10 menit. d. Setelah penyampaian, minta kelompok A menyiapkan pertanyaan-pertanyaan berkaitan dengan materi yang baru saja disampaikan. Kelompok B dan C

menggunakan waktu ini untuk melihat lagi catatan mereka. Mintalah kepada kelompok A untuk memberi pertanyaan kepada kelompok B. Jika kelompok B tidak dapat menjawab pertanyaan lempar pertanyaan tersebut kepada kelompok C. Kelompok A memberikan pertanyaan kepada kelompok C, jika kelompok C tidak bisa menjawab, lemparkan kepada kelompok B. Jika Tanya jawab selesai, lanjutkan pertanyaan ke dua dan tunjuk kelompok B untuk menjadi kelompok penanya. Lakukan seperti proses untuk kelompok A. Setelah kelompok B selesai dengan pertanyaanya, lanjutkan penyampaian pelajaran ke tiga dan tunjuk kelompok C sebagai kelompok penanya. Akhiri pelajaran dengan menyimpulkan tanya jawab dan jelaskan sekiranya ada pemahaman siswa yang keliru.

Kelebihan Pembelajaran Aktif Tipe Quiz Team menurut suprijono (2009) adalah : a. Dapat meningkatkan keseriusan b. Dapat menghilangkan kebosanan dalam lingkungan belajar c. Mengajak siswa untuk terlibat penuh d. Meningkatkan proses belajar e. Membangun kreatifitas diri f. Meraih makna belajar melalui pengalaman g. Memfokuskan siswa sebagai subjek belajar h. Menambah semangat dan minat belajar siswa Bahriyatul Azizah (http://digilib.unnces.ac.id/2006/09) mengemukakan tahap-tahap pelaksanaan pembelajaran model konvensional sebagai berikut : 1. Guru memberikan informasi atau mendiskusikan bersama siswa dari materi pelajaran yang disampaikan 2. Guru memberikan latihan soal yang dikerjakan secara individu oleh siswa 3. Guru bersama siswa membahas latihan soal dengan cara beberapa siswa disuruh mengerjakan di papan tulis 4. Guru memberi tugas kepada siswa sebagai pekerjaan rumah. KESIMPULAN Berdasarkan hasil pengolahan data hingga pengujian hipotesis, maka peneliti membuat kesimpulan sebagai berikut, bahwa Prestasi belajar siswa kelas X Ak1 sebagai kelas eksperimen dimana guru dalam mengajar menggunakan model pembelajaran AKTIF

43


Inovasi Vol 12 No. 1 Maret 2015 : 34 - 45

(ACTIVE LEARNING) TIPE QUIZ TEAM sebelum eksperimen dilakukan peneliti memperoleh nilai sebesar 4,03 (Kurang). Sedangkan Prestasi belajar siswa kelas X Ak2 sebagai kelas kontrol dimana guru dalam mengajar menggunakan strategi konvensional sebelum eksperimen dilakukan peneliti memperoleh nilai sebesar 3,89 (Kurang). Kemudian Prestasi belajar siswa kelas X Ak1 sebagai kelas eksperimen dimana guru dalam mengajar menggunakan model pembelajaran AKTIF (ACTIVE LEARNING) TIPE QUIZ TEAM setelah eksperimen dilakukan, peneliti memperoleh nilai sebesar 7,68 (Baik). Selain itu juga Prestasi belajar siswa kelas X Ak2 sebagai kelas kontrol dimana guru dalam mengajar tidak menggunakan strategi konvensional setelah eksperimen dilakukan peneliti memperoleh nilai sebesar 6,24 (Cukup). Sehingga hasil perhitungan data tes awal untuk kelas eksperimen dan tes awal untuk kelas kontrol adalah 0,23 ternyata t hitung lebih

2. Rekomendasi Kepada Siswa a. Siswa sebaiknya dapat lebih aktif dalam berdiskusi dengan kelompoknya. b. Setiap siswa hendaknya mengerjakan tugas/PR ekonomi yang diberikan guru dengan sebaik-baiknya. c. Setiap siswa seharusnya selalu gemar untuk menyelesaikan soal-soal di papan tulis.

DAFTAR PUSTAKA Arikunto, Suharsini. 2009. Prosedur Penelitian. Jakarta: Penerbit Rineka Cipta. Djamarah, Syaiful Bahri, dkk. 2010. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: Rineka Cipta. Dimyati dan Mudjiono. 2009. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Rineka Cipta. Hamalik, Oemar. 2010. Proses Belajar Mengajar. Bandung: Bumi Aksara.

Îą = 0,05 yakni, ( 0,23 < 1,995 ). Dengan demikian H 0 diterima dan H 1 ditolak kecil

t tabel

dengan

Purwanto. 2011. Evaluasi Yogyakarta: Pustaka Belajar.

atau dengan kata lain tidak ada pengaruh yang positif dan signifikan antara model pembelajaran AKTIF (ACTIVE LEARNING) TIPE QUIZ TEAM terhadap hasil belajar siswa pada mata pelajaran Ekonomi kelas X SKA Negeri 1 Pematangsiantar sebelum eksperimen dilakukan. Selanjutnya hasil perhitungan pengujian hipotesis adalah 4,67 ternyata t hitung lebih besar

t tabel

dengan

Îą=

Hasil

Belajar.

Sanjaya, Wina. 2008. Perencanaan dan Desain Sistem Pembelajaran. Jakarta: Prenada Media Group. Slameto, 2010. Belajar dan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhinya. Jakarta: Rineka Cipta. Suprijono, Agus. 2009. Cooperative Learning.Yogyakarta: Pustaka Belajar.

0,05 yakni, (4,67 > 1,995).

Dengan demikian H 0 ditolak dan H1 diterima

Sudjana, N. 2008. Cara Belajar Siswa Aktif Dalam Proses Belajar Mengajar. Bandung: Sinar Baru Algensindo.

atau dengan kata lain ada pengaruh yang positif dan signifikan antara model pembelajaran AKTIF (ACTIVE LEARNING ) TIPE QUIZ TEAM terhadap hasil belajar siswa pada mata pelajaran Ekonomi kelas X SMA Negeri 1 Pematangsiantar setelah eksperimen dilakukan.

Sudjana, N. 2009. Penilaian hasil belajar Proses Belajar Mengajar. Bandung: PT Remaja Rosda karya. Sudijono, Anas. 2011. Pengantar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Sumardi,dkk. 2011. Terampil Akuntansi.Jakarta: PT Piranti Darma Kalokatama.

REKOMENDASI 1. Rekomendasi Kepada Guru Bidang Akuntansi a. Guru hendaknya selalu menggunakan model pembelajaran aktif (active learning) tipe quiz team. b. Dalam proses belajar mengajar guru hendaknya memberi penguatan penuh kepada siswa agar lebih termotivasi dalam belajar.

Undang-Undang No. 20 Tahun 2003, Sistem Pendidikan Nasional. Citra Umbara, Bandung, 2010 Bahriyatul Azizah (http://digilib.unnces.ac.id/2006/09.

44


Inovasi Vol 12 No. 1 Maret 2015 : 46 - 57

Hasil Penelitian ANALISIS FAKTOR – FAKTOR YANG MEMPE MEMPENGARUHI PERTUMBUHAN INVESTASI DI KABUPATEN KUTAI KARTANEGARA PROVINSI KALIMANTAN TIMUR

(ANALYSIS OF FACTORS AFFECTING GROWTH INVESTMENT IN KUTAI KARTANEGARA REGENCY EAST KALIMANTAN PROVINCE) PROVINCE) Muhammad Muhammad Soleh Pulungan Badan Penelitian dan Pengembangan Kutai Kartanegara Provinsi KalimantanTimur E-mail: solehpulungan66@gmail.com

Diterima: 14 Januari 2015; Direvisi: 30 Januari 2015; Disetujui: 24 Pebruari 2015

ABSTRAK Penanaman modal atau investasi memiliki peranan penting dalam pembangunan nasional khususnya untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Pada era otonomi daerah setiap daerah memiliki hak, kewenangan, dan kewajiban yang luas untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakatnya, termasuk kemandirian dan kemampuan untuk membiayai pembangunan daerah dengan menggali sumber ekonomi dan mengolah potensi di daerahnya. Tujuan Penelitian analisis faktor-faktor yang mempengaruhi investasi di Kabupaten Kutai Kartanegara Provinsi Kalimantan Timur adalah : (1). Mengetahui perkembangan dan pelaku Investasi. (2). Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi investasi. (3). Menyusun strategi dan program peningkatan daya tarik investasi di Kabupaten Kutai Kartanegara. Metode Penelitian bersifat deskriptif kualitatif dan deskriptif kuantitatif dengan lingkup penelitian studi analisis faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan investasi yakni: (a). Data pertumbuhan ekonomi, (b). Data perkembangan PDRB, (c). Jumlah investasi yang telah terealisasi, (d). Pertumbuhan investasi, (e). Pendapatan per kapita, dan (f). Jumlah penduduk Kabupaten Kutai Kartanegara. Analisis data yang digunakan yakni analisis kualitatif. Adapun waktu penelitian selama 3 (tiga) bulan kalender. Hasil pembahasan diperoleh bahwa banyak faktor yang menjadi daya tarik investasi di daerah Kutai Kartanegara yakni; potensi sumberdaya alam, PDRB perkapita, ketersediaan sarana prasarana, kualitas sumberdaya manusia, peraturan tenaga kerja, birokrasi perijinan, stabilitas politik dan ekonomi, dan kondisi sosial budaya. Saran-saran yang diberikan dari hasil penelitian adalah perlu upaya yang lebih serius untuk mendorong investasi melalui berbagai kebijakan strategis; melalui promosi, perijinan dalam konteks menumbuhkan investasi. Kata kunci: pertumbuhan, investasi, ekonomi, sumberdaya, peluang.

ABSTRACT Investment has an important role in national development, especially to encourage economic growth. In the era of regional autonomy of each region have the right, authority, and duties wide to organize and manage the interests of society, including the independence and ability to finance the development of the area by digging a potential source of economic and processing regions. Objective Research on the analysis of the factors that affect investment in Kutai regency of East Kalimantan Province are : (1). Knowing the development and investment actors. (2) Determine the factors that affect investment. (3) Develop strategies and programs to increase the attractiveness of investment in Regency. The methods of this study was descriptive qualitative and quantitative. The scope of the research of studies the factors that affect the growth of investment are: (a) economic growth data (b). GDP growth data (c). The amount of investment has been realized (d). Investment growth (e). Income per capita, and (f).The population of the Kutai district. Analysis of the data used qualitative analysis. The study period for three (3) calendar months. The result of the discussion had gained that many factors into investment attraction area Kutai namely; resource potential, GDP per capita, availability of infrastructure, human resources, labor regulations, licensing bureaucracy, stabilitas politic and economic, and

46


Analisis Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Pertumbuhan Investasi di Kabupaten Kutai Kertanegara Provinsi Kalimantan Timur (Muhammad Soleh Pulungan) social and cultural conditions. Suggestions are given needed a more serious effort to encourage investment through strategic policies; through promotion, licensing in the context of growing investment. Keywords: growth, investment, economics, resources, opportunities.

investasi mendorong pertambahan pendapatan nasional (pertumbuhan ekonomi) secara berlipat ganda lewat proses multiplier effect. Maksudnya jika ada investasi Rp.100 trilyun misalnya, maka target pertambahan pendapatan nasional akan lebih besar dari Rp. 100 trilyun. Kedua, investasi juga akan mendorong penciptaan lapangan kerja, berdampak mengurangi pengangguran, juga akan menurunkan angka kemiskinan, dan permasalahan ikutan lainnya seperti gizi buruk, buta huruf, kejahatan dll. Ketiga, investasi juga bisa dipakai sebagai alat untuk pemerataan baik pembangunan atau pendapatan pemerataan antar daerah, antar sektor dan antar perorangan. Namun, investasi sebagai alat pemerataan tidak bisa dibiarkan berjalan intervensi sendiri tetapi harus ada pemerintah. Faktanya Kabupaten Kutai Kartanegara pada skala regional masih membutuhkan investasi yang besar karena masih menghadapi berbagai tantangan perekonomian, seperti tingkat pengangguran, angka kemiskinan dan lain-lain. Jika Kabupaten dan Kota di Propinsi Kalimantan Timur pada skala nasional ingin memperbesar investasi baik investasi domestik maupun asing maka perlu dikenali terlebih dahulu faktor-faktor yang mempengaruhi investasi tersebut untuk kemudian mengevaluasi apakah faktor-faktor tersebut kondisinya cukup mendorong investasi. Realitanya pada tahun 2012 Kutai Kartanegara, ditetapkan sebagai Kabupaten terbanyak realisasi investasi di Provinsi Kalimantan Timur, dari total rencana investasi 2,3 trillun rupiah di berbagai sektor usaha tahun 2011 rencana investasi tersebut berhasil terealisasi kurang lebih 1,4 triliun rupiah. Realisasi dimaksud umumnya didominasi oleh perusahaan (PMDN) yakni sekitar 90% dan sisanya sekitar 10% diisi oleh perusahaan (PMA) (Data BPPMD Kukar, 2012). Dari jumlah 4,18 triliun rupiah investasi yang mengalir ke Provinsi Kalimantan Timur hingga akhir November 2012 lalu tercatat kurang lebih 1,4 triliun rupiah investasi di Kutai Kartanegara, sehingga daerah ini merupakan wilayah paling diminati investor. Berdasarkan uraian di atas adapun tujuan penelitian yang ingin dicapai adalah sebagai

PENDAHULUAN Perkembangan investasi di Indonesia merupakan salah satu indikator kemajuan pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Investasi yang dilakukan secara tepat dapat mendukung peningkatan kesejahteraan masyarakat Indonesia. Tantangan pelaksanaan investasi di Indonesia, salah satunya adalah dengan pemberlakuan otonomi daerah di Indonesia. Investasi memang mendapat perhatian serius pemerintahan Jokowi-JK, karena itu, sejak awal masa pemerintahan fokusnya sudah jelas yakni bagaimana perbaikan iklim investasi. Hal itu dikemukakan Menko Perekonomian Sofyan Djalil, dimana pemerintah menyadari investasi bisa menjadi motor penggerak pertumbuhan ekonomi. Oleh sebab itu Presiden menginstruksikan agar mereformasi izin investasi. Hal ini mengingat potensi pasar Indonesia yang sedemikian besar, ekspektasinya investor bisa berbondongbondong masuk, asalkan mampu menciptakan iklim investasi yang kondusif. Otonomi daerah yang mulai diberlakukan sejak Januari 2001, telah mengubah struktur pemerintahan yang semula sentralistik menjadi desentralistik. Sesuai Undang-Undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan, bahwa dengan pemberlakuan regulasi tersebut Pemerintah Pusat memberikan wewenang penuh kepada Pemerintah Daerah untuk mengatur dan mengurus pemerintahan masing-masing dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pada era otonomi daerah setiap daerah memiliki hak, kewenangan, dan kewajiban yang luas untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakatnya menurut prakarsa sendiri, sesuai aspirasi dan regulasi yang berlaku. Sejalan dengan otonomi daerah, untuk melaksanakan pembangunan tentu diperlukan kemandirian dan kemampuan untuk membiayai dana pembangunan dengan menggali sumber-sumber ekonomi dan mengolah potensi di daerahnya. Selain dengan cara menggali sumber-sumber ekonomi daerah, tentunya diperlukan penanaman modal baik yang berasal dari dalam negeri (PMDN) maupun dari luar negeri (PMA). Investasi atau penanaman modal merupakan salah satu variabel yang penting dalam sebuah perekonomian. Pertama,

47


Inovasi Vol 12 No. 1 Maret 2015 : 46 - 57

berikut: (1). Untuk mengetahui bagaimanakah perkembangan dan pelaku investasi di Kabupaten Kutai Kartanegara (2). Untuk mengetahui apakah faktor-faktor yang mempengaruhi investasi di Kabupaten Kutai Kartanegara, dan (3). Untuk menyusun bagaimanakah strategi dan program peningkatan daya tarik investasi di Kabupaten Kutai Kartanegara. Lingkup kegiatan studi Analisis Faktorfaktor yang mempengaruhi Pertumbuhan Investasi di Kabupaten Kutai Kartangera meliputi lingkup wilayah studi dan lingkup substansi materi. Investasi yang dimaksud adalah investasi untuk seluruh sektor pembangunan, baik yang berasal dari (PMDN) atau (PMA), tahun 2009-2013. Lingkup materi penelitian menitik beratkan pada : (1) Kajian mengenai gambaran umum wilayah dan kondisi perekonomian Kabupaten Kutai Kartanegara. (2). Analisis data pertumbuhan investasi Kabupaten Kutai Kartanegara. (3). Analisis peluang investasi di masing-masing kecamatan Kabupaten Kutai Kartanegara, dan (4). Analisis strategi, kebijakan dan program untuk meningkatkan daya tarik terhadap pertumbuhan investasi. Landasan Teori dan Penjelasan Konsep ; Tentunya terdapat banyak pendapat tentang investasi. Paul A. Samuelson dan WiIIiam D. Nordhous (Paul dan William,1997:560) mendefinisikan investasi adalah aktivitas ekonomi yang mengorbankan konsumsi pada hari ini untuk meningkatkan output dimasa mendatang. Hal ini meliputi investasi modal yang bersifat tangible, misalnya pabrik, peralatan dan perlengkapan, serta investasi yang bersifat intangible seperti pendidikan, modal manusia dan pengembangan serta kesehatan. pengertian investasi Sedangkan menurut Kamaruddin Akhmad adalah penempatan uang atau dana dengan harapan untuk memperoleh tambahan atau keuntungan tertentu atas uang atau dana tersebut (Kamaruddin,1996:3). Keputusan mengenai rencana investasi memang harus diperhitungkan secara komprehensif. Sebab investasi memerlukan penilaian mengenai situasi dimasa yang akan datang. Investasi menurut Mulyadi Pudjosumatro(1995:45), adalah sebagai berikut: a. Antonomus Investment, yaitu semacam investasi yang tidak dipengaruhi tingkat pendapatan. Misalnya, investasi pada rentabilitas prasarana jalan, irigasi dan sebagainya, dana investasi tersebut di dalam kenyataannya memperlancar roda

perekonomian itu sendiri. Induce Investment, yaitu investasi yang mempunyai ikatan dengan tingkat pendapatan. Seperti adanya kenaikan tingkat pendapatan yang ada pada masyarakat di suatu tempat atau Negara kenaikan atau menyebabkan pertambahan permintaan terhadap barang sudah tentu akan mendorong untuk melakukan investasi. c. Investasi yang sifatnya dipengaruhi oleh tingkat bunga uang atau modal yang berlaku, misalnya investasi dalam suatu badan usaha atau perusahaan dan kegiatan-kegiatan lainnya yang dapat menguntungkan. Akan dilakukan bila tingkat bunga yang berlaku saat itu lebih rendah dibandingkan keuntungan (reuturns) investasi. Bentuk investasi yang dilakukan oleh pemerintah termasuk aspek modal sosial budaya yang ada di masyarakat. Sedangkan bentuk investasi yang dilakukan oleh sektor swasta adalah, untuk menghasilkan laba dimasa yang akan datang. Selanjutnya dikatakan oleh Paul A Samuelson (1997:124) bahwa kunci pokok dalam pemecahan masalah pengangguran adalah melalui investasi , hal ini mengingat dimensi permasalahannya, jelas tidak dapat ditekan oleh hanya satu sektor saja. Penanggulangan pengangguran adalah identik dengan masalah pembangunan itu sendiri dan inti dari proses pembangunan dan penciptaan lapangan kerja adalah investasi. Menurut Soediyono R. (1995:83) Pendapatan nasional didapat dari komponen pengeluaran konsumsi, investasi dan pemerintah yang berakibat peningkatan produksi nasional. Kemudian dikatakan bahwa kapasitas produksi nasional ditentukan oleh komposisi, kualitas dan kuantitas dari pada sumber daya yang tersedia dalam perekonomian dimana salah satunya adalah sumber daya alam. Sebagaimana yang telah dijabarkan di atas bahwa untuk menangulangi masalah pengangguran dan perluasan kesempatan kerja adalah dapat ditempuh melalui investasi. Jadi pada dasarnya luasnya kesempatan kerja itu dipengaruhi besar kecilnya tingkat investasi. Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) ; Pembangunan adalah usaha untuk menciptakan kemakmuran dan kesejahteraan, peningkatan taraf hidup yang ingin dicapai dapat terwujud melalui peningkatan kemampuan ekonomi. Oleh karena itu perlu peningkatan produksi dan percepatan pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi. Sebagai upaya akselerasi pertumbuhan b.

48


Analisis Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Pertumbuhan Investasi di Kabupaten Kutai Kertanegara Provinsi Kalimantan Timur (Muhammad Soleh Pulungan)

ekonomi, pemerintah daerah telah berusaha menarik investor untuk menanamkan modal di Provinsi Kalimantan Timur. Undang-Undang No. 6 Tahun 1968 pasal 4 tentang penanaman modal dalam negeri adalah pemberian kebebasan bagi swasta untuk berusaha di semua sektor perekonomian kecuali di bidang yang menguasai hajat hidup orang banyak dan strategis. Penanaman Modal Asing (PMA) ; Dalam peranan pembangunan di negara Indonesia mengatur tentang penanaman modal asing secara langsung. Undang-undang No. 1 tahun 1967 tentang (PMA) ditegaskan bahwa pengguna penanaman modal asing diperlukan dan dimanfaatkan secara maksimal untuk mempercepat pembangunan ekonomi Indonesia. Bertitik tolak dari penegasan-penegasan di atas, setidaknya ada makna bahwa setiap penanaman modal dalam mengembangkan usahanya diharapkan tidak menyimpang dari ketentuan perundangundangan dan asas demokrasi Pancasila. Konsep otonomi daerah ini diacu juga dalam hukum investasi, yakni di Pasal 1, angka (11), UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, yang memperbaharui UU No. 1 Tahun 1967 dan sebagaimana telah diubah dengan UU No. 11 Tahun 1970 tentang Perubahan dan Tambahan Undang-Undang No. 1 Tahun 1967 tentang PMA. Lantas, Undang-Undang No. 6 Tahun 1968 tentang PMDN sebagaimana telah diubah dengan UU No. 12 Tahun 1970 tentang Perubahan dan Tambahan UU No. 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri. Hubungan Investasi dengan tenaga kerja ; Investasi atau penanaman modal sebagai salah satu faktor produksi merupakan faktor yang sangat krusial dalam peningkatan kapasitas produksi. Peningkatan investasi sangat dipengaruhi oleh permintaan terhadap hasil produksi baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri. Permintaan t ersebut merupakan pasar bagi barang yang dihasilkan oleh produsen. Ekonom dunia, Adam-Smith (1981:35) mengemukakan hubungan peningkatan investasi (capital) adanya pasar. Yaitu setiap penambahan atau pengurangan capital pasti cenderung untuk menambah atau capital/modal. mengurangi akumulasi Peningkatan kapital mempengaruhi kenaikan tingkat produksi atau out put, dan memungkinkan tingkat spesialisasi dan pembagian kerja. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) ; Laju pertumbuhan ekonomi adalah proses output perkapita jangka panjang yang diciptakan melalui produksi barang jasa sebagai hasil kombinasi faktor-faktor produksi

di berbagai sektor ekonomi. Salah satu parameter yang dipergunakan mengukur kegiatan ekonomi adalah perhitungan pendapatan nasional atau produk nasional. Untuk keperluan analisa biasanya digunakan konsep produk domestik bruto atau disingkat PDRB. Dalam konteks Perhitungan Pendapatan Nasional LP3S menyebutkan bahwa barang dan jasa yang belum dikoreksi dengan pendapatan bersih dari faktor produksi, konsep PDB ini menjadi (PDRB) yang meliputi pendapatan regional. Dengan demikian, PDRB merupakan cermin kemampuan daerah untuk menghasilkan output-input. Tanpa membedakan apakah produksi itu diciptakan oleh faktor produksi yang berasal dari negara itu sendiri, ataukah faktor produksi negara-negara lain yang digunakan, seluruh produksi mereka termasuk ke dalam pendapatan nasional atau regional. Dia menjelaskan manfaat atau kegunaan dari perhitungan pendapatan nasional adalah ; (1). Mengetahui dan memperoleh struktur atau susunan perekonomian. (2). Membandingkan perekonomian dari waktu ke waktu dengan rumus (t-1):(t+1). (3). Membandingkan antar daerah dengan perekonomian perbandingan PDRB, maka dapat diketahui tingkat pertumbuhan ekonomi suatu daerah, dan (4). Merumuskan kebijakan pemerintah berdasarkan pertumbuhan sektor dalam PDRB. METODE Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian survey, merupakan salah satu metode yang bertujuan untuk memperoleh gambaran umum tentang karakteristik populasi. Penelitian survei menurut Suhartono (2000:54) mempunyai dua (2) tujuan; pertama untuk memberikan gambaran tentang sesuatu (survey deskriptif), dan kedua melakukan analisis (suvey analitik). Teknik pengumpulan data dilakukan melalui penyebaran kuesioner dan wawancara mendalam terhadap pimpinan instansi yang terkait dengan investasi. Pengumpulan data sekunder dilakukan melalui studi kepustakaan dan studi dokumentasi pada instansi yang terkait dalam penelitian ini. Sumber data sekunder diperoleh dari berbagai publikasi instansi tertentu yang terdiri dari Kantor Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Kutai Kartanegara, Badan Penanaman Modal dan Promosi Daerah (BPMPD) Kutai Kartanegara, Badan Pelayanan dan Perijinan Terpadu (BP2T), Bappeda Kabupaten Kutai Kartanegara dan

49


Inovasi Vol 12 No. 1 Maret 2015 : 46 - 57

Bagian Ekonomi dan SDA Setkab Kutai Kartanegara, dan instansi yang terkait dengan investasi. Jumlah responden adalah 50 orang yang terdiri dari Kabid, Kasi, dan Staf yang terkait dengan investasi pengelolaan investasi. Adapun data yang dihimpun berupa: a). Data pertumbuhan ekonomi di Kabupaten Kutai Kartanegara. b). Data perkembangan PDRB Kabupaten Kutai Kartanegara. c). Jumlah investasi yang terealisasi di Kabupaten Kutai Kartanegara. d). Pertumbuhan investasi Kabupaten Kutai Kartanegara. e). Pendapatan per kapita Kabupaten Kutai Kartanegara, dan f). Jumlah penduduk Kabupaten Kutai Kartanegara. Sedangkan jangka waktu penelitian selama 3 (tiga) bulan. Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan metode deskriptif kualitatif dan deskriptif kuantitatif. Data yang dianalisis antara lain; a). Analisis data pertumbuhan investasi Kabupaten Kutai Kartanegara. b). Analisis peluang investasi pada masing-masing kecamatan Kabupaten Kutai Kartanegara. c). Analisis strategi, kebijakan dan program untuk meningkatkan daya tarik daerah agar pertumbuhan investasi meningkat. Gambaran umum Kabupaten Kutai Kartanegara memiliki luas wilayah 27.263,10 km2 (12,89% dari luas wilayah Provinsi

Kalimatan Timur), dengan luas lautan diperkirakan 4.097 Km2 (¹15%). Hal ini menunjukkan potensi besar sumber daya alam baik di daratan maupun lautan untuk kegiatan ekonomi. Daerah ini dibagi dalam 18 kecamatan dengan 223desa/kelurahan. Kondisi Fisiografi Kabupaten Kutai Kartanegara dapat dikelompokkan dalam 10 satuanfisiografi sebagai berikut : (1) Daerah Endapan Pasir Pantai (Sediment); (2) Daerah Rawa Pasang Surut (Tidal Swamp);(3) Daerah Dataran Alluvial (Alluvial Plain); (4) Daerah Jalur Kelokan Sungai (Meander Belt); (5) Daerah Rawa (Swamp); (6) Daerah Lembah Aluvial (Alluvial Valley); (7) Daerah Teras (Terrain); (8) Daerah Dataran (Plain); (9) Daerah perbukitan (Hili); dan (10) Daerah Pegunungan (Mountain). (Profil Kutai Kartanegara hal: 27-28). Jenis-jenis tanah yang ditemukan menurut Soil Taxonomi USDA, termasuk ke dalam unsur Ultisol, Entisol, Histosol, Inceptisol dan Mollisol. Namun, menurut Lembaga Riset Tanah Bogor terdiri dari; jenis tanah Podsolik, Alluvbial, Andosol dan Renzina. Iklim di wilayah ini dipengaruhi oleh iklim tropis basah yang bercirikan curah hujan cukup tinggi dengan penyebaran merata sepanjang tahun, jadi tidak ada pergantian musim yang jelas. Iklim dipengaruhi tropika humida dengan suhu ratarata 26°C.

Tabel 1. Kawasan Sentra Produksi Hasil Hutan Kecamatan Sebulu, Kembang Janggut, Kota Bangun, Muara Wis Sebulu, Kembang Janggut, Muara Wis, Tabang Sebulu, Kembang Janggut, Sanga-sanga, Kota Bangun, Muara Wis, Tabang Acasia 4. Muara Muntai, Loa Kulu, Muara Jawa, Sanga-Sanga, Anggana, Muara Badak, Sebulu, Samboja, Loa Janan, Tenggarong, Tenggarong Seberang, Kota Bangun, Ma. Wis. Muara Jawa, Loa Kulu, Sanga-sanga, Sebulu, Kembang Janggut, 5. Leusaena Muara Muntai, Anggana, Muara Badak, Kota Bangun, Muara Wis Sumber: Dinas Kehutanan Kabupaten Kutai Kartanegara tahun 2012 No. 1. 2. 3.

Komoditas Mahoni Albisia Pinus

Tabel 2. Kawasan Sentra Produksi Pertanian Tanaman Pangan Komoditas Kecamatan Padi Sawah Kec. Loa Kulu, Tenggarong, Tenggarong Seberang, Sebulu Padi Ladang dan Seluruh Kecamatan Kecuali Kecamatan Muara Kaman Jagung 3. Ketela Pohon Seluruh Kecamatan kecuali Kecamatan Loa Kulu dan Muara Kaman Seluruh kecamatan 4. Ubi Jalar Kec.Loa Kulu, Muara Jawa, Samboja, Loa Janan, sangasanga, 5. Kacang Kedelai Anggana, Mr Badak, Tenggarong, Sebulu, Kota Bangun. Kec. Loa Kulu, Muara Jawa, Loa Janan, Sanga-sanga, Anggana, Muara Badak, Tenggarong, Sebulu, Kota Bangun, Tabang. 6. Kacang Tanah Sumber: Dinas Pertanian Tanaman Pangan Kabupaten Kutai Kartanegara tahun 2012 No 1. 2.

50


Analisis Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Pertumbuhan Investasi di Kabupaten Kutai Kertanegara Provinsi Kalimantan Timur (Muhammad Soleh Pulungan)

No 1. 2. 3. 4. 5.

Tabel 3. Kawasan Sentra Produksi Tanaman Perkebunan Kecamatan Seluruh kecamatan kecuali kecamatan muara Kaman Kec. Loa Kulu, Tenggarong Kec. Muara Kaman, Marang Kayu, Tenggarong, sebulu Kec. Samboja, Sebulu, Kembang Janggut, Marang Kayu, Muara Jawa, Tabang Kec. Kenohan, Muara Jawa, samboja, Sebulu, Kembang Janggut, Tabang Kelapa Sawit Kec. Muara Jawa, Loa Janan, samboja Lada Komoditas Kopi Coklat Karet Kelapa

6 Sumber: Dinas Perkebunan Kabupaten Kutai Kartanegara tahun 2012 Kegiatan Lokal (PKL) berdasarkan kriteria sebagai berikut : a) Pusat jasa keuangan/bank yang melayani kabupaten atau beberapa kecamatan; b) Pusat pengeluaran /pengumpulan barang secara kabupaten atau beberapa kecamatan; c) Simpul transportasi untuk satu kabupaten atau untuk beberapa kecamatan; d) Bersifat khusus karena mendorong perkembangan sektor strategis atau kegiatan khusus lainnya di wilayah kabupaten. Kedudukan Kota Tenggarong tersebut berada pada hirarki fungsi ruang yang dilayani oleh Samarinda (sebagai Pusat Kegiatan Wilayah) dan Balikpapan (sebagai Pusat Kegiatan Nasional) yang terletak pada Delta Sungai Mahakam. Sebagai Pusat Kegiatan Lokal, Kota Tenggarong memiliki peran strategis sebagai kota pendistribusian kegiatan ekonomi di Kabupaten Kutai Kartanegara. UndangUndang No. 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang menyebutkan bahwa arahan pemanfaatan ruang dibagi menjadi dua unsur yaitu; kawasan budidaya dan kawasan lindung. Budidaya Pertanian; Kegiatan budidaya pertanian tanaman pangan masih merupakan kegiatan perekonomian utama di Kabupaten Kutai Kartanegara. Hal ini didukung oleh potensi lahan yang cukup luas dan menyebar di hampir seluruh wilayahnya, walaupun luasnya bervariasi untuk setiap kecamatan. Luas kawasan budidaya pertanian menurut peta dari persediaan tanah yang dialokasikan sebagai kawasan budidaya mencapai 67,86% dari wilayah Kabupaten Kutai Kartanegara. Pola Penggunaan Lahan untuk Kehutanan; Secara umum areal hutan masih merupakan jenis penggunaan lahan yang dominan yaitu seluas 2.637.657 Ha (83,31% dari luas wilayah). Perinciaan jenis hutan yang ada meliputi: (1) hutan lindung (239.816 Ha); hutan produksi (1.325.198 Ha); hutan suaka

Berdasarkan karakteristik topografi, fisiografi, dan kliniatologi Kabupaten Kutai Kartanegara, berikut ini diuraikan potensi sumberdaya alam untuk pembangunan alam yang ekonomi. Sumberdaya diidentifikasi sebagai kawasan sentra produksi hasil hutan dapat dilihat pada Tabel 1, kawasan sentra produksi pertanian tanaman pangan pada Tabel 2, serta kawasan produksi tanaman perkebunan dapat dilihat pada Tabel 3. Selanjutnya Kawasan Sentra Produksi Perikanan, meliputi; kecamatan Muara Muntai, Muara Jawa, dan Kec. Muara Badak. Kawasan Wisata Alam dan Budaya, meliputi: Wisata Alam berupa danau-danau (Semayang, Melintang, dan Ngayau), Kawasan Wisata dikembangkan Budaya yang perlu kegiatannya berupa peninggalan sejarah yang tersimpan dalam museum dan wisata sejarah Kutai lama di Kec. Anggana, Museum Arkeologi di Muara Kaman dan wisata atraksi budaya suku asli pedalaman. Kawasan Industri dan Pertambangan,, dimana prioritas pengembangan agroindustri ada di beberapa kecamatan potensial, meliputi; Kecamatan Tenggarong, Muara Badak, Kota Bangun, dan Samboja. Lokasi pertambangan Batubara di Kecamatan Sebulu, Kota Bangun, Tenggarong, Loa Kulu, Loa Janan, Muara Kaman, danTenggarong Seberang; di Sedangkan Pertambangan Migas Kecamatan Sanga-Sanga, Samboja, Muara Badak, Muara Jawa, Marang Kayu, dan Anggana. Besarnya potensi sumberdaya alam yang dimiliki daerah ini perlu mendapat perhatian serius khususnya dalam pemanfataan dan upaya perlindungan kerusakan lingkungan. Konstelasi Regional Kabupaten Kutai Kartanegara; Berdasarkan struktur tata ruang nasional (PP No. 47 Tahun 1997 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional), Kota Tenggarong sebagai ibukota Kabupaten Kutai Kartanegara telah ditetapkan sebagai Pusat

51


Inovasi Vol 12 No. 1 Maret 2015 : 46 - 57

alam (68.884 Ha); hutan riset pendidikan (14.099 Ha); dan hutan konversi (989.960 Ha). Table 4. Areal penangkapan ikan di Kabupaten Kutai Kartanegara Tahun 2012 Sungai ( Danau Rawa Waduk No Kecamatan Jumlah Ha ) ( Ha ) ( Ha ) ( Ha ) Samboja 1. 15 200 140 30 385 Maura Jawa 2. Anggana 3. 4. Sanga-sanga 32 10 42 Muara Badak 5. 189 189 6. Marang Kayu 7. Loa Janan 1.925 2 1.927 8. Loa Kulu 2.520 8 2.528 9. Tenggarong 3.705 18 3.723 10. Tenggarong Sbrang 11. Sebulu 2.810 2.810 12. Muara Kaman 280.615 5.275 5.275 289.635 13. Kota Bangun 3.550 13.770 13.770 30.445 14. Muara Wis 1.228 2.782 6.300 10.310 15. Muara Muntai 705 65 281 1.051 16. Kembang Janggut 1.845 14.345 11.885 28.075 17. Kenohan 675 685 18. Tabang 685 Jumlah 299.814 34.291 37.651 48 371.804 Sumber: Dinas Perikanan dan Kelautan Kutai Kartanegara tahun 2012 Sektor Perikanan; Data menunjukan mengenai adanya grafik peningkatan produksi yang cukup baik dari tahun ke tahun. Mengingat terdapat perbedaan alamiah dalam penyebaran sumber dan potensi alam, maka intensitas kegiatan pembangunan wilayah tertentu mungkin lebih tinggi dibandingkan wilayah lainnya. Namun demikian, ketimpangan pembangunan tersebut dapat diatasi dengan kebijakan spasial bertujuan dan menyeimbangkan pertumbuhan pemerataan pembangunan. Kependudukan; Penduduk Kabupaten Kutai Kartanegara dari tahun ke tahun mengalami peningkatan secara dinamis. Jumlah penduduk pada tahun 1990 sebesar 340.069 jiwa, meningkat tahun 2000 sebesar 427.791 jiwa. Lantas, berdasarkan Sensus Penduduk 2010, jumlah penduduk mencapai 674.464 jiwa. Hal ini berarti pertumbuhan penduduk rata-rata sebesar 4,2% per tahun melalui pertumbuhan alamiah dan migrasi penduduk. Pola persebaran penduduk menurut luas wilayah sangat timpang khususnya kepadatan penduduk antar kecamatan. Data penduduk usia kerja mengacu pada International Labour Organization (ILO) adalah usia 15 tahun ke atas. Sehingga usia kerja yang tercatat saat ini sebanyak 332.045 orang. Jumlah usia kerja/angkatan

kerja mencapai 332.045 orang jika dikorelasikan dengan realisasi investasi mencapai lebih dari 1,4 triliun rupiah, maka diestimasikan akan mampu menyerap tenaga kerja bukan hanya lokal tetapi juga bersifat regional. HASIL DAN PEMBAHASAN Penanaman modal di Indonesia pada dasarnya merujuk pada ketentuan pasal 33 Undang - Dasar 1945. Essensinya bahwa pasa1 33 UUD 1945 adalah perekonomian Indonesia yang berorientasi pada ekonomi kerakyatan. Hal itu merupakan penuangan yuridis konstitusional dari amanat yang dikandung di dalam konstitusi, yaitu mewujudkan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Guna meningkatkan pendapatan perkapita, dalam arti meningkatkan kegiatan ekonomi dan taraf kesejahteraan masyarakat, salah satu sumber pembiayaan bagi kepentingan pembangunan nasional tersebut adalah penanaman modal baik PMA maupun PMDN. Salah satu kebijakan yang terkait dengan kepentingan tersebut, adalah penerapan sistem Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) yang didasarkan pada UU No. 25/2007 tentang Penanaman Modal. Substansi kebijakan ini mirip Keppres 29/2004 tentang PMA dan PMDN melalui Sistem Pelayanan Satu Atap. Perkembangan Investasi di Kabupaten Kutai Kartanegara; Kegiatan investasi di daerah ini apabila dilihat dari sisi

52


Analisis Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Pertumbuhan Investasi di Kabupaten Kutai Kertanegara Provinsi Kalimantan Timur (Muhammad Soleh Pulungan)

nilainya terus meningkat secara signifikan baik untuk investasi dalam bentuk PMDN maupun PMA. Nilai Investasi di Kutai Kartanegara tahun 2012 sebesar $ 516.144,54 terdiri dari $ 418.520,00 Investasi PMDN dan $97,624,54 investasi PMA. Nilai $516.144,54 tersebut jika dikonversikan dengan nilai rupiah dengan nilai tukar $ 1 = Rp 9.500,- diperoleh nilai investasi sebesar Rp 4.903.373.130,00 tediri dari investasi PMDN Rp 3.975.940.000,00 dan PMA Rp 927.433.130. Sedang untuk tahun 2010, nilai investasi untuk PMDN Rp 1.978.658.350.306,00 dan

untuk PMA $ 68.559.950,76 yang setara dengan Rp 651.319.541.720,00 artinya nilai investasi tahun 2009 kalau dihitung dalam rupiah mencapai Rp 2.629.977.892.202. Berarti dalam kurun waktu 4 tahun meningkat dengan investasi mencapai 99.814%. Perkembangan nilai investasi menjadi lebih besar untuk tahun 2013 karena sampai dilakukan penelitian ini berdasarkan data yang diperoleh nilai investasi sebesar Rp 12,1 Trilyun terdiri dari Rp 3,4 Trilyun investasi PMDN dan Rp 8,7 Trilyun investasi PMA.

Tabel 5. Nilai Investasi Di Kutai Kartanegara Tahun 2009 – 2013. Nilai Investasi No Tahun PMDN PMA 1. 2009 $ 418.520,00 $ 97.624,54 2. 2010 Rp. 191.407.560.000,00 $ 64.350.000,00 3. 2011 Rp. 25.000.000.000,00 $ 40.094.590,00 4. 2012 Rp. 1.978.658.350.306,00 $ 68.559.951,76 5. 2013 Rp. 3.400.000.000.000,00 $ 8.700.000.000.000,00 Sumber : Badan Penanaman Modal Dan Promosi Daerah ( BPMPD ) Th. 2013 Tabel 6. Nilai Investasi Di Kutai Kartanegara Tahun 2009 – 2013 Nilai Investasi No Tahun PMDN PMA 1. 2009 Rp 927.433.130, Rp. 3.975.940.000,00 2. 2010 Rp. 191.407.560.000, Rp. 611.325.000.000,00 3. 2011 Rp. 25.000.000.000, Rp. 380.898.609.940,00 4. 2012 Rp. 1.978.658.350.306 Rp. 622.819.541.720,00 5. 2013 Rp. 3.400.000.000.000, $ 8.700.000.000.000,00 Sumber : Badan Penanaman Modal Dan Promosi Daerah Kukar (BPMPD) Th. 2013, Tabel 7. Jumlah Perusahaan menurut status dan lapangan kerja Perusahaan Golongan dan Lapangan Usaha Pusat Cabang (buah) 15 38 1. Pertanian, peternakan, kehutanan, 53 perburuan dan perikanan 2. Pertambangan dan penggalian 45 137 182 20 15 3. Industri Pengolahan 35 2 4. Listrik, gas dan air bersih 6 8 98 5. Bangunan dan konstruksi 183 281 27 6. Perdagangan, hotel dan restoran 13 40 7. 12 Pengangkutan dan komunikasi 15 27 6 8. Keuangan, persewaan dan jasa 9 15 perusahaan 3 Jasa - jasa 9. 1 4 Jumlah 251 394 645 Sumber: BPS Kabupaten Kutai Kartanegara tahun 2012 Meskipun nilai investasi di Kabupaten Kutai Kartanegara tahun 2013 sebesar Rp. 12,1 Trilyun namun dengan kekayaan sumberdaya alam yang besar dan kondisi infrastruktur yang masih minim maka kebutuhan investasi di Kabupaten Kutai Kartanegara tahun 2014 diperkirakan sebesar Rp. 22,3 Trilyun dan tahun 2015 diperlukan 23,1 Trilyun. Sementara itu,

jumlah perusahaan yang melakukan investasi dalam bentuk PMDN sejak tahun 2009-2012 sebanyak 13 perusahaan dengan lokasi tempat investasi di beberapa kecamatan. Sedangkan untuk investasi berupa PMA sejak tahun 20092012 sejumlah 46 perusahaan dengan lokasi yang tersebar di seluruh kecamatan.

53


Inovasi Vol 12 No. 1 Maret 2015 : 46 - 57

Pelaku Investasi; Kekayaan sumberdaya alam yang demikian besar di daerah ini menjadi daya tarik utama investasi di berbagai berbagai sektor usaha. Tercatat 645 perusahaan di Provinisi Kaltim yang melakukan investasi pada bebagai golongan dan lapangan usaha. Apabila dirinci menurut status perusahaan, maka sebagian besar yaitu 394 perusahaan (61,09 %) merupakan cabang perusahaan dan yang lainnya yaitu 251 perusahaan (38,91 %) merupakan perusahaan pusat. Namun, apabila dirinci menurut golongan dan lapangan usaha maka kegiatan investasi yang dilakukan tersebar 9 golongan/lapangan usaha. Berbeda halnya dengan skala perusahaan dilingkup Provinsi Kalimantan Timur dan

nasional merupakan skala usaha mikro dan kecil. Sedangkan di Kabupaten Kutai Kartanegara perusahaan yang berskala besar cukup banyak yaitu 236 perusahaan (36,59%). Hal ini disebabkan banyak usaha yang bergerak di bidang pertambangan dan perkebunan dengan tenaga kerja lebih dari 100 orang. Apabila ditinjau dari sisi permodalan maka sebagian besar perusahaan yang berusaha di Kutai Kartanegara menggunakan sumber dana dari swasta nasional yaitu 502 perusahaan (77,83%), sebaliknya yang paling sedikit adalah permodalan dalam bentuk Joint Venture yaitu 13 perusahaan (2,02%).

Tabel 8. Jumlah Tenaga Kerja menurut Lapangan Usaha & Kewarganegaraan

Golongan dan Lapangan usaha

PMDN

1.

23 Pertanian, peternakan, kehutanan, dan perikanan 2. Pertambangan dan penggalian 20 3. 7 Industri Pengolahan 4. 1 Listrik, gas dan air bersih 5. 18 Bangunan dan konstruksi 6. 5 Perdagangan, hotel dan restoran 2 7. Pengangkutan dan komunikasi 1 8. Keuangan, persewaan dan jasa perusahaan Jasa - jasa 9. 2 Jumlah 79 Sumber: BPS Kabupaten Kutai Kartanegara tahun 2013

Status Permodalan Swasta Joint PMA Nasional venture 3 27 -

Jumlah 53

28 4 1 12 1

129 23 6 248 30

5 1 3 4

182 35 8 281 40

2

25 12

-

27 15

51

2 502

13

4 645

diperbaharui (renewable). Sumberdaya alam yang tidak dapat diperbaharui antara lain minyak bumi, gas alam, batubara, emas, dll. Sedangkan potensi sumberdaya alam yang dapat diperbaharui juga sangat besar seperti danau-danau yang berpotensi untuk pengembangan perikanan dan pariwisata, lahan yang cukup luas untuk budidaya tanaman, perternakan dan plasma nutfah hutan sebagai bahan baku obat-obatan. Suku bunga merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam menarik minat investasi karena sebagian besar investasi biasanya dibiayai dari pinjaman bank. Jika suku bunga pinjaman turun maka akan mendorong investor untuk meminjam modal untuk kegiatan investasi. Selain itu, PDRB Perkapita dapat digunakan sebagai indikator penentuan minat investasi karena PDRB dapat mencerminkan perkapita kemampuan/daya beli masyarakat. Dengan daya beli masyarakat yang meningkat maka

Berdasarkan data dari Tabel 8. diperoleh gambaran bahwa sebagian besar lnvestasi yang dilakukan di Kabupaten Kutai Kartanegara sumber pendanaannya masih bersumber dari dana-dana yang berasal dari masyarakat (swasta). Faktor - faktor yang mempengaruhi Investasi di Kutai Kartanegara; Pada dasarnya banyak faktor yang mempengaruhi investasi termasuk investasi di Kabupaten Kutai Kartanegara. Faktor- faktor yang dianggap sebagai penentu investasi antara lain potensi sumberdaya alam, suku bunga, PDRB per kapita, ketersediaan sarana dan prasarana, birokrasi perizinan, kualitas SDM, peraturan ketenagakerjaan, stabilitas politik dan keamanan serta kondisi sosial budaya. Potensi sumberdaya alam menjadi faktor penentu utama untuk menarik investor berinvestasi di Kabupaten Kutai Kartanegara, baik sumberdaya alam yang tidak dapat diperbaharui (unrenewable) maupun yang dapat

54


Analisis Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Pertumbuhan Investasi di Kabupaten Kutai Kertanegara Provinsi Kalimantan Timur (Muhammad Soleh Pulungan)

barang yang dihasilkan dari kegiatan investasi diharapkan terserap oleh pasar. PDRB Kabupaten Kutai Kartanegara tahun 2012 sebesar Rp 98,8 Trilyun yang merupakan PDRB Kabupaten/Kota terbesar di Kalimantan Timur. Disusul Kota Bontang dengan nilai Rp 53,1 Trilyun dan Kota Balikpapan dengan Rp 40,3 Trilyun. Sedangkan untuk PDRB per kapita, Kabupaten Kutai Kartanegara menempati urutan kedua setelah Bontang. Pendapatan per kapita netto atau pendapatan yang diterima penduduk Kabupaten Kutai Kartanegara pada tahun 2011 sebesar Rp. 151.083.416(dengan migas) dan Rp42.271.937 (tanpa migas). Meskipun pendapatan per kapita cukup besar namun belum pasti menjadi pendapan rill masyarakat karena PDRB akan dibagi jumlah penduduk, apalagi PDRB daerah ini banyak bersumber dari perusahaan berskala besar. Berkaitan pertumbuhan pendapatan per kapita penduduk Kutai Kartanegara yang tahun 2011 sebesar 15,68% dengan migas dan 6,29% tanpa migas serta prediksi pertumbuhan perkapita akan terus meningkat. Ketersediaan Sarana dan Sarana dan prasarana Prasarana; merupakan faktor yang sangat menentukan dalam menarik minat investor untuk berinvestasi. Sarana dan prasarana dimaksud adalah bidang transportasi (jalan, terminal, pelabuhan, Bandar udara dll). Sarana dan prasarana komunikasi (jaringan telpon kabel dan nirkabel, jaringan internet, pos dll), sarana dan prasarana utilitas (air bersih, listrik dan lain-lain). Ketersediaan sarana dan prasarana sampai saat ini menjadi kendala utama yang dihadapi dalam menarik minat investasi khususnya di kawasan Timur termasuk Kutai Indonesia Kartanegara. Menyadari pentingnya ketersediaan sarana dan prasarana ini Pemerintah Daerah hendaknya memprioritaskan APBD untuk pembangunan sarana dan prasarana. Kualitas Sumber daya manusia; Kualitas SDM saat ini merupakan keharusan dan menjadi factor penting dalam mendukung kegiatan investasi. Sebab teknologi yang digunakan dalam kegiatan usaha makin lama makin modern. Teknologi tersebut menuntut skill dari tenaga kerja. Pengelolaan sumberdaya alam memerlukan sumberdaya manusia sebagai tenaga kerja. Kualitas SDM yang dimiliki oleh Kabupaten Kutai Kartanegara masih relatif rendah dan ketersediaan sumberdaya tersebar pada wilayah yang cukup luas. Kondisi SDM ini

masih menjadi kendala, namun, komitmen Pemkab melalui 20% dari APBD terus diupayakan memacu kualitas SDM sesuai dengan amanat undang-undang. Peraturan Ketenagakerjaan; Regulasi ini mencakup peraturan tentang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), Upah Minimum, Kontrak kerja dll. Ada anggapan dari kalangan dunia usaha bahwa regulasi ketenagakerjaan di Indonesia terlalu membela tenaga kerja. Demikian pula dalam hal kebijakan upah minimum dianggap banyak memberatkan dunia usaha, meskipun ada juga yang tidak keberatan. Akibat kondisi tersebut menjadi bumerang bagi tenaga kerja, dimana elastisitas pertumbuhan ekonomi terhadap pencapaian peluang kerja menurun. Jika dulu 1% pertumbuhan ekonomi menciptakan peluang kerja baru bagi 400.000 orang, tetapi sekarang 1% pertumbuhan ekonomi hanya menciptakan peluang kerja 200.000 orang. Ini indikasi pengusaha atau investor memilih teknologi dan meminimalisir tenaga kerja. Birokrasi Perizinan dan Peraturan Perpajakan; Birokrasi perizinan merupakan faktor yang cukup urgen dalam menarik investasi karena birokrasi yang panjang akan memperbesar biaya bagi investor. Merujuk data Doing Business 2014 dari Bank Dunia, Indonesia berada di peringkat ke-120 di antara 189 negara dalam hal kemudahan berusaha. Sebagai perbandingan, Singapura tertinggi dengan menempati posisi pertama. Lalu, Malaysia berada di posisi ke-6, Thailand 18, Brunei Darussalam 59, Vietnam 99, dan Filipina 108. Indonesia hanya unggul atas Myanmar yang menempati peringkat ke-182. Selain birokrasi perizinan ini, masalah pungutan pajak dan retribusi dalam meningkatkan (PAD) telah didukung oleh Peraturan Daerah (Perda) yang intinya memungut pajak dan retribusi daerah. Namun, masalah birokrasi perizinan diupayakan lebih efisien dengan terbitnya Peraturan Bupati No. 13 Tahun 2011 tentang Pelayanan Perizinan Terpadu Satu Pintu (PTSP) dibidang penanaman modal, untuk memudahkan urusan perizinan. Stabilitas Politik dan Ekonomi; Stabilitas politik dan keamanan sangat penting bagi investor karena akan menjamin kelangsungan investasinya untuk jangka panjang. Kondisi stabilitas politik dan keamanan saat ini baik dalam skala nasional, regional maupun lokal Kabupaten Kutai Kartanegara relatif cukup baik. Hal ini terbukti, misalnya pada pelaksanaan PILKADA tidak menimbulkan konflik dan kerusuhan yang cukup membahayakan stabilitas politik dan keamanan.

55


Inovasi Vol 12 No. 1 Maret 2015 : 46 - 57

PERDA tentang (RTRW) telah disyahkan pada tahun 2011 untuk mendukung iklim investasi yang lebih maju. c). Sejalan dengan UU No. 32 tahun 2004 bahwa Urusan Pemerintah di bidang Investasi, maka telah didirikan BPMPD sejak tahun 2001. (d). PDRB Per Kapita, (e). dan Ketersediaan Sarana dan Prasarana. Berdasarkan hasil analisis bahwa peluang untuk melakukan investasi di wilayah Kutai Kartanegara sangat besar dan terbuka yang tersebar di 18 kecamatan. Strategi dan program peningkatan daya tarik investasi baik melalui PMA maupun PMDN dalam konteks menciptakan iklim investasi yang kondusif perlu adanya kebijakan Pemerintah Daerah yakni; Menetapkan Peraturan Daerah yang mendukung penciptaan iklim investasi yang kondusif bagi investor, disamping itu menyesuaikan kebijakan pengaturan hukum yang relevan dengan ketentuan penanaman modal skala regional, nasional maupun internasional, dengan prinsip pelayanan prima, cepat, mudah, murah, dan memiliki transparansi dan akuntabilitas.

Kondisi Sosial Budaya; Kondisi sosial budaya masyarakat yang ada di sekitar lokasi usaha akan mempengaruhi kelangsungan usaha investor. Lingkungan masyarakat yang mendukung kegiatan usaha yang dilakukan investor berdampak baik bagi kelangsungan kegiatan usaha tersebut. Selain itu dukungan masyarakat sekitar berdampak pada keamanan dan kelangsungan usaha. Masyarakat umumnya mendukung kegiatan usaha yang ada di sekitar lingkungan mereka asalkan pelaku usaha tersebut juga berusaha untuk menjaga dan melakukan kegiatan lingkungan pemberdayaan bagi masyarakat setempat. Peluang Investasi di tiap - tiap Kecamatan; Sebagai daerah yang cukup luas dan kaya sumberdaya alam maka Kabupaten Kutai Kartanegara telah menjadi daerah tujuan investasi baik investor dalam negeri maupun investor luar negeri. Kabupaten Kutai Kartanegara saat ini terdiri dari 18 kecamatan dengan karakteristik wilayah dan potensi sumberdaya alam yang beragam serta kondisi sosial budaya yang kondusif memberikan banyak peluang bagi pelaku usaha untuk berinvestasi.

REKOMENDASI 1. Perlu optimalisasi penerapan Peraturan Gubernur Kaltim No. 17 tahun 2011 tentang penyelenggaraan PTSP di bidang penanaman modal, dimana PTSP menggunakan Sistem Pelayanan Informasi dan Perijinan Investasi secara Electronic (SPIPISE) yang terintegrasi antara BKPM/Kementrian, BPMPD Provinsi Kaltim dan BPMPD Kabupaten/Kota se-Kalimantan Timur. 2. Pemprov Kaltim dan Pemkab/Kota hendaknya terus menggali dan mengidentifikasi potensi unggulan daerah yang ditawarkan kepada investor, termasuk pemetaan wilayah yang akan dikembangkan berdasarkan potensi sumber daya alam sesuai dengan Program Pembangunan Daerah (PROPEDA). 3. Terkait pengembangan dan pemberdayaan kualitas SDM, Pemerintah Daerah hendaknya membuka Diklat/kursus BLK yang relevan dengan kebutuhan Dunia Usaha/Dunia Industri seperti operator alat berat untuk pertambangan, teknologi bidang pertanian, bidang perkebunan, bidang perikanan sehingga tenaga kerja lokal dapat terserap dan mendukung investasi di daerah.

KESIMPULAN Salah satu kebijakan dalam menciptakan iklim investasi di Kabupaten Kutai Kartanegara, adalah penerapan sistem Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) yang didasarkan pada UU No. 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal, yang disinergikan dengan Keppres No. 29 tahun 2004 tentang PMA dan PMDN melalui Sistem Pelayanan Satu Atap, termasuk Perlindungan Hukum terhadap investor. Kegiatan investasi di Kabupaten Kutai Kartanegara telah berkembang dengan signifikan baik yang dilakukan melalui PMDN maupun PMA. Pelaku investasi sebagian besar adalah perusahaan skala besar yang utamanya bergerak di sektor pertambangan dan penggalian serta sektor pertanian khususnya perkebunan kelapa sawit. Sebagai bukti daya tarik investasi di Kabupaten Kutai Kartanegara bahwa tahun 2013 nilai investasi sebesar Rp. 12,1 Trilyun, sedangkan kebutuhan investasi meningkat tahun 2014 sebesar Rp. 22,3 Trilyun dan tahun 2015 diperlukan 23,1 Trilyun. Adapun faktor faktor yang mempengaruhi investasi di Kabupaten Kutai Kartanegara Provinsi Provinsi Kaltim adalah sebagai berikut : a). Sumberdaya alam yang cukup besar baik sektor migas dan non migas seperti; batubara, industri kimia, industri kayu, industri logam, kehutanan, perkebunan, pertanian, perikanan, dan peternakan. b).

DAFTAR PUSTAKA BKPMD Provinsi Kalimantan Timur. Edisi 2010-2012. Realisasi Penanaman Modal di Provinsi Kalimantan Timur.

56


Analisis Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Pertumbuhan Investasi di Kabupaten Kutai Kertanegara Provinsi Kalimantan Timur (Muhammad Soleh Pulungan)

Herlambang, Tedy, Sugianto (2001) Ekonomi Makro, Teori, Analisis dan Kebijakan, Penerbit: Jakarta. PT. Raja Grafindo Persada. Irawan, Suhartono, 2000, Metode Penelitian Sosial Penerbit: PT. Rosda Karya Bandung Kutai Kartanegara Dalam Angka (KDA) tahun 20122013, Badan Pusat Statistik Kabupaten Kutai Kartanegara; Kamarudin, Akhmad (1996) Dasar-Dasar Manajemen Investasi: Penerbit: Jakarta: Rineka Cipta. Profil Kabupaten Kutai Kartanegara Dalam Angka (KDA) tahun 2010, BPS Kabupaten Kutai Kartanegara – Balitbangda Kabupaten Kutai Kartanegara; Porter, Michael E. 2000. Competitive Strategy.The Free Press - A Division of Macmillan Publishers. London. Rencana Pembangunan Jangkan Menengah (RPJMD) Kabupaten Kutai Kartanegara Periode tahun 20102015; Samuelson, A. Paul & Nordhaus D William (1997 Pengantar Ekonomi. Penerbit: Erlangga Jakarta Salim, (2008) Hukum investasi di Indonesia, Penerbit: RajaGrafindo Persada, Edisi 2, Jakarta Singarimbun, Masri, 2008, Metode Penelitian Sosial. Penerbit: LP3ES Jakarta Simanjuntak, Payaman, J. 1998. Pengantar Ekonomi Sumberdaya Manusia. Penerbit Jakarta: Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Sudarwan, 2004.Ekonomi Sumberdaya Manusia. Edisi Pertama.Bandung: Pustaka Setia offset Undang No. 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal; Undang-undang No. 32 tahun 2004 Pemerintahan Daerah;

tentang

Undang-undang No. 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah;

57


Inovasi Vol 12 No. 1 Maret 2015 : 58 - 67

Hasil Penelitian STRATEGI PENGEMBANGAN PUSAT INOVASI USAHA MIKRO KECIL DAN MENENGAH (UMKM) DI PROVINSI BANTEN (THE STRATEGY OF DEVELOPING INNOVATION CENTER FOR

SMALL AND MEDIUM SCALE MICRO BUSINESSES IN BANTEN PROVINCE) O. Oktaviana, Oktaviana, D.T. Bachruddin Balitbangda Provinsi Banten Gedung Bappeda Lantai II Kawasan Pusat Pemerintahan Provinsi Banten Jl Raya Palima-Pakupatan Serang Banten Email: ekbang001@yahoo.com

Diterima: 27 September 2014; Direvisi: 06 Januari 2015; Disetujui:28 Januari 2015

ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk menentukan sasaran pada fokus tematik Pengembangan Pusat Inovasi UMKM yang terdapat dalam dokumen roadmap SIDa Provinsi Banten yang harus diberikan prioritas pendampingan terlebih dahulu, serta menentukan strategi pengembangannya agar dapat menjadi contoh sukses bagi sasaran yang lain. Pelaksanaan penelitian dilakukan pada wilayah kabupaten Serang, Pandeglang, dan Lebak. Pengumpulan data lapangan dilakukan melalui observasi dan wawancara mendalam (indepth interview) dengan responden yang menguasai permasalahan terkait objek penelitian. Penentuan prioritas sasaran terpilih dilakukan melalui metode Analytic Hierarchy Process (AHP) dengan menggunakan program komputer expert Choice 2nd edition. Setelah terpilih alternatif sasaran, dilakukan analisis SWOT untuk menentukan strategi pengembangan alternatif terpilih. Hasil penelitian menunjukan bahwa budidaya dan pengelolaan rumput laut di Kabupaten Serang merupakan sasaran terpilih yang dapat diberikan pendampingan terlebih dahulu dalam pengembangan Pusat Inovasi UMKM di Provinsi Banten. Strategi pengembangan yang dapat dilakukan dengan mencukupi kebutuhan pasar rumput laut melalui optimalisasi pemanfaatan lahan dan ketersediaan benih serta memanfaatkan perhatian pemerintah pusat dan keberadaan lembaga riset untuk optimalisasi keberadaan lahan dan ketersediaan benih. Kata Kunci: Pusat Inovasi UMKM, rumput laut, Road Map SIDa

ABSTRACT This Researh was aimed to decide which target at thematic focus on Developing Innovation Center for Small and Medium Scale Micro Businesses contained in roadmap document SIDa Banten Province should be given priority to receive the support, and establish their development strategy to become a model and its success can be replicated to other targets. The research was conducted in some regency such as Serang, Pandeglang and Lebak. Field data was collected through observation and indepth interview with respondents who were well-informed on problems related to the research object. The decision to establish selected target priority was conducted using Analytic Hierarchy Process Method with expert Choice 2nd edition computer programme. After the alternative targets were selected, a SWOT analysis was conducted to decide the selected alternative development strategy. The result of the research revealed that seaweed farming and processing in Serang Regency was a selected target which can be given first priority to receive the support and to become a success story to develop Innovation Center for Small and Medium Scale Micro Businesses in Banten Province. The development strategy that can be conducted is to suffice the demand for seaweed market through maximizing the land use and seed supply, taking the advantage of central government’s attention, and the availability of research agency to maximize land and seed supply. Keywords: Road Map

Innovation Center for Small and Medium Scale Micro Businesses, Seaweed, SIDa

58


Strategi Pengembangan Pusat Inovasi Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) di Provinsi Banten (O. Oktaviana, D.T. Bachruddin)

PENDAHULUAN Dalam Undang- Undang nomor 18 tahun 2002 tentang Sistem Nasional Penelitian Pengembangan dan Penerapan Teknologi disebutkan bahwa penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi dapat mempercepat pencapaian tujuan serta meningkatkan daya saing dan kemandirian dalam memperjuangkan kepentingan negara dalam pergaulan internasional. Dalam konteks tata pemerintah daerah penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi diarahkan pada percepatan pencapaian tujuan pembangunan daerah serta peningkatan kemandirian dan daya saing daerah. Terkait hal tersebut dalam UndangUndang yang sama, daerah diberikan kewenangan untuk membangun kawasan, pusat peragaan, serta sarana dan prasarana ilmu pengetahuan dan teknologi lain untuk memfasilitasi sinergi dan pertumbuhan unsurunsur kelembagaan dan menumbuhkan budaya ilmu pengetahuan dan teknologi di kalangan masyarakat. Salah satu kebijakan pemerintah daerah Provinsi Banten terkait peran ilmu pengetahuan dan teknologi adalah dengan memasukkan program strategis Penelitian, Pengembangan Kebijakan Strategis, Inovasi Daerah dan IPTEK dalam dokumen Rencana Pembangunan Jangka Panjang Menengah Daerah (RPJMD) 2012 – 2017. Dengan dimasukannya program tersebut diharapkan akselarasi pembangunan di segala bidang dapat lebih cepat terlaksana. Melihat struktur ekonomi provinsi Banten yang digambarkan dalam kontribusi Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) tahun 2011 sektor industri pengolahan memiliki kontribusi paling besar terhadap produk domestik regional bruto atas dasar harga berlaku (47,6%). Hal ini menunjukan bahwa sektor sekunder berupa kegiatan produksi yang mengolah bahan mentah menjadi bahan jadi atau setengah jadi memberikan sumbangsih terbesar bagi perekonomian Banten. Namun kontribusi yang besar tersebut ternyata sebagian besar disumbang daerah Tangerang Raya dan Cilegon. Faktor inilah yang menyebabkan ketimpangan cukup besar yang ditandai dengan nilai indeks ekonomi yang mencapai 0,4 (Banten dalam Angka 2012). Karena itu perlu pemerataan pembangunan melalui pembangunan Pusat Inovasi UMKM yang kontribusi ekonominya kecil. Sejalan dengan Undang-Undang Nomor 18/2002 dan Program Strategis Penelitian, Pengembangan Kebijakan Strategis, Inovasi Daerah dan IPTEK (RPJMD provinsi Banten

2012 – 2017), Kementerian Riset dan Teknologi dalam buku Inovasi Untuk Kesejahteraan mengeluarkan program Sistem Inovasi Daerah untuk menjawab permasalahan yang telah disebutkan sebelumnya. Dalam kerangka penguatan sistem inovasi, dimensi lokalitas sangatlah penting dalam memperhatikan kearifan lokal masing-masing daerah (Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, 2012). Peran pemerintah dan perguruan tinggi memiliki hubungan yang positif dengan peningkatan paten dan pendaftaran desain baru produk Usaha Kecil dan Menengah di Korea Selatan (Doha dan Kim, 2014). Untuk memperkuat kebijakan inovasi dalam lingkup Pemerintah Daerah, Kementerian Riset dan Teknologi dan Kementerian Dalam Negeri telah mengeluarkan Peraturan Bersama Negeri Nomor 03 Tahun 2012 dan Nomor 36 tahun 2012 tentang Penguatan Sistem Inovasi Daerah. Penguatan Sistem Inovasi Daerah (SIDa) merupakan faktor penting dalam mewujudkan Sistem Inovasi Nasional yang efektif dan produktif, dan secara signifikan memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi (Herliana, 2014). Karena itu, sebagai turunan dari Peraturan bersama tersebut, Pemerintah Provinsi Banten mengeluarkan kebijakan berupa Keputusan Gubernur Banten Nomor 075.05/Kep.221-Huk/2013 tentang Pembentukan tim koordinasi SIDa provinsi Banten yang ditandatangani pada tanggal 1 April 2012. Salah satu tugas tim ini adalah menyusun road map SIDa provinsi Banten yang dapat menjadi acuan bagi implementasi SIDa di tingkat provinsi. Dalam Dokumen road map tersebut disebutkan fokus tematik Pusat Pengembangan Inovasi UMKM dengan sasaran: Peternakan Domba dan Etawa Budidaya Melon (golden) Budidaya dan pengolahan Rumput laut Industri Minyak Atsiri Kerajinan Gerabah Dari beberapa sasaran tersebut, perlu dilakukan pendalaman terkait sasaran mana yang harus diberikan prioritas pendampingan terlebih dahulu dan dicari strategi pengembangannya agar dapat menjadi contoh sukses (best practise) sehingga potret keberhasilannya dapat direplikasi pada sasaran yang lainnya. Menurut Doha dan Kim (2014) bantuan keuangan pemerintah sangat penting dalam peningkatan inovasi UMKM. Untuk itu, perlu dilakukan pengkajian terhadap pemilihan prioritas terbaik serta penentuan strategi yang tepat.

59


Inovasi Vol 12 No. 1 Maret 2015 : 58 - 67

METODE Pelaksanaan penelitian dilakukan pada wilayah yang telah ditetapkan sebagai sasaran fokus tematik Pengembangan Pusat Inovasi UMKM pada dokumen road map SIDa Provinsi Banten yang secara administratif termasuk dalam wilayah Kabupaten Serang, Pandeglang, dan Lebak. Penelitian lapangan dilakukan melalui observasi dan wawancara mendalam (indepth interview) dengan responden yang menguasai permasalahan terkait objek penelitian. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan data dan informasi awal yang dapat mendukung pemilihan kriteria penilaian dan pembobotan untuk dijadikan panduan pada saat penentuan sasaran terpilih oleh stakeholder. Penentuan prioritas sasaran terpilih dilakukan melalui metode Analytic Hierarchy

Process (AHP) dengan menggunakan program komputer expert choice 2nd edition. AHP pada prinsipnya melakukan perbandingan berpasangan (pairwaise comparison) yaitu membandingkan setiap elemen dengan elemen lainnya pada setiap tingkat hierarki secara berpasangan sehingga didapat nilai tingkat kepentingan elemen dalam bentuk pendapat kualitatif. Untuk mengkuantifikasikan pendapat kualitatif tersebut digunakan skala penilaian sehingga akan diperoleh nilai pendapat dalam bentuk angka (kuantitatif). Nilai-nilai perbandingan relative kemudian diolah untuk menentukan peringkat relatif dari seluruh alternatif (Forman and Selly, 2002).

Tujuan

Kriteria 1

Kriteria 2

Alternatif 1

Kriteria 3

Alternatif 2

Kriteria 4

Alternatif 3

Gambar 1. Proses Penentuan Alternatif Sasaran Menurut Subagjo (2011) PI UMKM berperan sebagai simpul dari suatu jaringan kemitraan yang memberikan jasa pelayanan terpadu untuk menumbuhkembangkan UMKM inovatif baik melalui peningkatan kinerja UMKM yang telah ada maupun penumbuhkembangan UMKM baru yang inovatif. Untuk itu, jasa layanan terpadu yang diberikan PI UMKM meliputi : 1). Jasa layanan berbasis teknologi, 2). Pengembangan SDM UMKM, 3). Intermediasi bisnis UMKM, dan 4). Fasilitasi akses pembiayaan bisnis. Untuk dapat menjalankan jasa layanan terpadu tersebut tentunya harus diketahui terlebih dahulu komoditas unggulan yang menjadi fokus perhatian PI UMKM. Penentuan Kriteria komoditas unggulan mengadaptasi dari Permendagri nomor 9 tahun 2014 tentang Pedoman Pengembangan Produk Unggulan Daerah yakni :

d) dapat diperbaharui; e) ketersediaan pasar; serta kriteria indikator daya saing inovatif yang dikemukakan oleh Noviandi (2010) yakni : • • •

Nilai Margin/Keuntungan (rupiah) Keberlanjutan Produksi (Ton/Thn) Posisi Pasar (Market Share(%))

Setelah terpilih alternatif sasaran, dilakukan analisis SWOT untuk menentukan strategi pengembangan alternatif terpilih. Analisis SWOT adalah identifikasi berbagai faktor secara sistemik untuk merumuskan strategi. Analisis didasarkan pada logika yang dapat memaksimalkan kekuatan (Strengths) dan peluang (opportunities) yang secara bersamaan dapat meminimalkan kelemahan (weakness) dan ancaman (threats) (Rangkuti, 2006).

a) penyerapan tenaga kerja; b) sumbangan terhadap perekonomian; c) sektor basis ekonomi daerah;

60


Strategi Pengembangan Pusat Inovasi Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) di Provinsi Banten (O. Oktaviana, D.T. Bachruddin)

Gambar 2. Kerangka Berpikir Penelitian lain: penyerapan tenaga kerja, sumbangsih terhadap perekonomian daerah, ketersediaan bahan baku, keberlanjutan, ketersediaan pasar dan adanya regulasi penunjang baik di tingkat pusat maupun daerah. Hasil pengolahan menggunakan software Expert Choice 2nd edition, pembobotan masing-masing indikator disajikan sebagai berikut :

HASIL DAN PEMBAHASAN Penentuan Prioritas Sasaran terpilih Pengembangan Pusat Inovasi UMKM. Berdasarkan hasil observasi lapangan dan data sekunder yang diperoleh, tim peneliti menentukan indikator yang dianggap memiliki peran penting dalam pengembangan komoditi sebuah pusat inovasi. Indikator tersebut antara

Gambar 3. Hasil pembobotan indikator pengembangan komoditas PI-UMKM

61


Inovasi Vol 12 No. 1 Maret 2015 : 58 - 67

Dari data tersebut nampak bahwa indikator ketersediaan pasar merupakan faktor utama dalam menilai komoditas yang dapat dikembangkan untuk menunjang kinerja sebuah Pusat Inovasi UMKM, selanjutnya diikuti indikator kemampuan Pusat Inovasi UMKM dalam menyerap tenaga kerja, dan sumbangsih terhadap perekonomian daerah. Ketersediaan pasar dianggap penting mengingat Pusat Inovasi

UMKM harus dapat melayani kebutuhan teknologi produksi, pemasaran serta kemungkinan peningkatan akses terhadap permodalan. Namun semua fungsi tersebut akan bermuara pada faktor yang selama ini menjadi kendala utama yakni pemasaran produk (Subagjo, 2011).

Gambar 4. Hasil penilaian untuk Pusat Inovasi UMKM di Provinsi Banten . pun menghambat arah pengembangan Pusat Inovasi UMKM budidaya dan pengembangan rumput laut di Kabupaten Serang. Berdasarkan data pada tabel 1, dilakukan pembobotan untuk masing-masing kriteria. Proses pembobotan melibatkan pendapat dan masukan peserta Focus Group Discussion agar rekomendasi yang dihasilkan menumbuhkan konsekuensi dan komitmen stakeholder dalam bentuk eksekusi program dan kegiatan. Nilai bobot yang tinggi menunjukkan peranan kriteria tersebut dalam penentuan keberhasilan pengembangan instansional, sedangkan nilai urgensi menunjukkan faktor keterikatan kriteria dalam satu lingkungan dalam pencapaian tujuannya.

Berdasarkan gambar 4. terlihat bahwa budidaya dan pengelolaan rumput laut di Kabupaten Serang merupakan sasaran terpilih yang dapat diberikan pendampingan terlebih dahulu untuk dijadikan success story dalam pengembangan Pusat Inovasi UMKM di Provinsi Banten. Secara over all Pusat Inovasi UMKM budi daya dan pengembangan rumput laut di Kabupaten Serang lebih unggul dibandingkan calon sasaran lainnya. Pusat inovasi UMKM budidaya dan pengembangan rumput laut hanya kalah dari kampung ternak domba dan etawa Juhut Pandeglang dalam hal indikator dukungan regulasi. Berdasarkan hasil analisis tersebut maka perlu dilakukan analisis SWOT untuk memperoleh strategi pengembangan di masa yang akan datang. Penentuan Strategi Pusat Inovasi UMKM Budi Daya dan Pengembangan Rumput Laut. Analisis SWOT dilakukan melalui kegiatan Focus Group Discussian bersama stakeholder terkait baik di lingkup Pemerintah Provinsi Banten maupun Kabupaten Serang. Berdasarkan hasil FGD diperoleh faktor internal maupun eksternal yang dapat mendukung atau

62


Strategi Pengembangan Pusat Inovasi Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) di Provinsi Banten (O. Oktaviana, D.T. Bachruddin)

Tabel 1. Hasil Analisis Lingkungan Internal dan Eksternal Budidaya dan Pengelolaan Rumput Laut di Kabupaten Serang Kekuatan (Strengths) Kelemahan (Weakness) - Kurangnya kemampuan penguasaan teknik - Adanya Regulasi Daerah Penunjang (Ditetapkan sebagai pasca panen kawasan minapolitan) - Belum tersedianya perangkat teknologi pasca - Kemampuan teknik produksi panen pembudidaya - Adanya kendala permodalan - Ketersediaan Bibit - Kelompok tani belum berfungsi optimal - Ketersediaan lahan - Produk turunan rumput laut belum - Keberadaan kelompok tani diproduksi massal Ancaman (Threats) Peluang (Opportunities) - Pasar global mempengaruhi - Kebutuhan pasar rumput laut yang tinggi harga rumput laut (harga jual - Ketersediaan Tenaga Kerja fluktuatif) - Kondisi Lingkungan yang menunjang - Perkembangan industrialisasi di - Perhatian dari pemerintah pusat (Kebijakan daerah sekitar nasional) - Praktek tengkulak - Adanya lembaga riset pengolahan pasca - Kepemilikan lahan oleh pihak panen di bawah pemerintah pusat luar Tabel 2. Analisis Lingkungan Eksternal Budidaya dan Pengelolaan Rumput Laut di Kabupaten Serang Faktor Lingkungan Analisis Lingkungan Eksternal Peluang Kebutuhan pasar rumput laut yang tinggi Ketersediaan Tenaga Kerja Kondisi Lingkungan yang menunjang Perhatian dari pemerintah pusat (Kebijakan nasional) Adanya lembaga riset pengolahan pasca panen di bawah pemerintah pusat Sub Jumlah Peluang Ancaman Pasar global mempengaruhi harga rumput laut (harga jual fluktuatif) Perkembangan industrialisasi di daerah sekitar Praktek tengkulak Kepemilikan lahan oleh pihak luar Sub Jumlah Ancaman Total

Bobot

Urg

BxU

0,30

4

1,2

Permintaan dari industri belum semua terpenuhi

0,05

2

0,1

0,05

2

0,1

0,10

2

0,2

0,15

3

0,45

Adanya kelompok tani yang membudidayakan rumput laut Gracilaria relatif tahan terhadap kondisi lingkungan Penetapan program minapolitan sebagai salah satu program Kementerian Kelautan dan Perikanan Adanya Badan Litbang KKP yang menangani pasca panen

0,65

Komentar

2,05

0,10

4

0,40

Harga fluktuatif, petani relatif tidak memiliki posisi daya tawar

0,10

3

0,30

0.05 0,10

1 1

0,05 0,10

Arus industrialisasi dapat berimplikasi pada degradasi lingkungan Masih adanya sistem ijon Banyak pendatang yang tertarik untuk Penguasaan lahan budi daya

0,35

0,85

1,00

2,9

63


Inovasi Vol 12 No. 1 Maret 2015 : 58 - 67

Berdasarkan hasil analisis lingkungan eksternal upaya yang harus dilakukan adalah optimalisasi pemanfaatan peluang yang ada untuk meminimalisir ancaman terhadap pengembangan organisasi Pusat Inovasi UMKM budi daya dan Pengembangan Rumput Laut. Kebutuhan pasar rumput laut yang tinggi

merupakan peluang yang harus dapat dimanfaatkan. Berdasarkan data dari Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Serang produksi rumput laut Gracillaria di Kabupaten Serang baru mencapai 55.579 ton dari total permintaan 250.000 ton kebutuhan industri.

Tabel 3. Analisis Lingkungan Internal Budidaya dan Pengelolaan Rumput Laut di Kabupaten Serang Faktor Lingkungan Analisis Lingkungan Internal Kekuatan Adanya Regulasi Daerah Penunjang (Ditetapkan sebagai kawasan minapolitan)

Kemampuan teknik produksi pembudidaya Ketersediaan Bibit Ketersediaan lahan Keberadaan Kelompok Tani Sub Jumlah Kekuatan Kelemahan Kurangnya kemampuan penguasaan teknik pasca panen Belum tersedianya perangkat teknologi pasca panen Adanya kendala permodalan Kelompok tani belum berfungsi optimal Produk turunan

Bobot

Urg

0,05

2

0,10

0,30

4

1,2

0,15

3

0,45

Bibit mudah diperoleh

0,15

3

0,45

0,15

2

0,30

Prosentase lahan tambak yang belum termanfaatkan masih banyak Dengan berkelompok akan semakin kuat

0,80

BxU

Komentar

Perda Kab. Serang Nomor 2 tahun 2009 Tentang RTRW Tahun 2009-2029 (Penetapan Kecamatan Pontang, Tirtayasa, dan Tanara sebagai pusat pengembangan pelabuhan, pertanian dan perikanan). Minapolitan (Kecamatan Pontang (Desa Domas) sebagai pusat pengembangan serta Kecamatan Tirtayasa (Desa Lontar) dan Tanara yang menjadi daerah pendukung atau hinterland. Penguasaan Teknologi Budidaya oleh masyarakat

2,50

0,03

3

0,09

Kemampuan masyarakat baru sebatas budidaya dan pengeringan

0,03

3

0,09

Peralatan pengolah pasca panen belum dimiliki

0,07

4

0,28

Akses terhadap perbankan

0,03

2

0,26

Fungsi kelembagaan kelompok belum berjalan optimal

0,04

2

0,08

Produksi olahan masih berjalan insidental

64


Strategi Pengembangan Pusat Inovasi Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) di Provinsi Banten (O. Oktaviana, D.T. Bachruddin)

rumput laut belum diproduksi massal Sub Jumlah Kelemahan Total

20

0,8

100

3,3

Tabel 4. Matrik Penentuan Strategi Budidaya dan Pengelolaan Rumput Laut di Kabupaten Serang

Kekuatan (S) (2,50)

Kelemahan (W) (0,8)

Peluang (O) (2,05)

Strategi O-S 2,o5 + 2,50 = 4,55

Strategi OW 2,05 + 0,8 = 2,85

Ancaman (T) (0,85)

Strategi T-S 0,85 + 2,50 = 3,35

Strategi T-W 0,85 + 0,8 = 1,65

Berdasarkan hasil analisis pada tabel 4, strategi dasar yang diambil yaitu menangkap peluang dengan memanfaatkan kekuatan yang ada, skor 4,55. Berdasarkan formulasi strategi matriks SWOT di atas, maka alternatif strategi yang sesuai dengan keadaan usaha yakni strategi O-S diantaranya strategi:

1.

2.

Berupaya mencukupi kebutuhan pasar rumput laut dengan optimalisasi pemanfaatan lahan dan ketersediaan benih Memanfaatkan perhatian pemerintah pusat dan keberadaan lembaga riset untuk optimalisasi keberadaan lahan dan ketersediaan benih.

Tabel 5. Formulasi strategi SWOT untuk usaha Budidaya dan Pengelolaan Rumput Laut di Kabupaten Serang EKSTERNAL ANCAMAN (Threats) PELUANG (Opportunities) INTERNAL

KEKUATAN (Strengths)

KELEMAHAN (Weakness)

KUADRAN II KUADRAN I STRATEGI T-S STRATEGI O-S 1. Meminimalisir degradasi 1. Berupaya mencukupi lingkungan akibat kebutuhan pasar rumput industrialisasi dengan laut dengan optimalisasi Penguatan implementasi pemanfaatan lahan dan Perda Zonasi. ketersediaan benih 2. Meminimalisir praktek 2. Memanfaatkan perhatian tengkulak dan maraknya pemerintah pusat dan penguasaan lahan oleh keberadaan lembaga riset pihak luar dengan untuk optimalisasi mengoptimalkan keberadaan lahan dan ketersediaan benih dan ketersediaan benih ketersediaan lahan dengan Peningkatan peran pemerintah dan kelompok. KUADRAN IV KUADRAN III STRATEGI T-W STRATEGI O-W 1. Mengantisipasi 1. Memanfaatkan dukungan fluktuatifnya harga jual pasar melalui peningkatan rumput laut dengan akses permodalan dan memperbanyak produksi penguatan kelembagaan

65


Inovasi Vol 12 No. 1 Maret 2015 : 58 - 67

2.

olahan melalui peningkatan kemampuan 2. teknik pasca panen dan penyediaan teknologi pasca panen. Pengawasan praktek Praktek tengkulak dan Kepemilikan lahan oleh pihak luar melalui peningkatan akses permodalan dan penguatan kelembagaan kelompok

Kebutuhan pasar yang tinggi dari industri rumput laut yang ada di wilayah provinsi Banten (PT. Agarindo Bogatama, CV. Banten Agung Mina, PT. Ohama dan PT. Perkasa) serta industri pengolah rumput laut di luar wilayah Provinsi Banten dapat dipenuhi dengan optimalisasi penggunaan lahan maupun pemanfaatan ketersediaan benih. Data Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Banten tahun 2012 menunjukan bahwa dari potensi luas lahan tersedia bagi pengembangan budidaya rumput laut di Kecamatan Tanara seluas 1.445,70 hektar baru tergarap sebesar 682.75 hektar / sebesar 47,23%. Pemanfaatan teknologi yang dihasilkan oleh lembaga riset harus dapat diarahkan pada upaya pemenuhan benih dan peningkatan nilai tambah produk. Penguasaan teknologi budidaya oleh masyarakat harus diimbangi dengan ketersediaan benih dan penyediaan lahan. Untuk itu perlu dilakukan adopsi inovasi hasil penelitian terkait penggunaan bibit rumput laut gracillaria maupun alur proses penyediaan benih. Faktor lain yang dapat dilakukan adalah optimalisasi Unit Pelayanan Teknis Terpadu Dinas Kelautan dan Perikanan Energi Sumber Daya Mineral (UPTT DKPESDM) yang ada di kecamatan Pontang. Lembaga ini harus dapat memenuhi kebutuhan petani rumput laut mulai dari proses produksi, peningkatan nilai tambah produk melalui pengolahan, pemasaran sampai dengan peningkatan akses permodalan. Keberadaan infrastruktur gedung, sarana pelatihan serta peralatan penunjang lainnya harus dioptimalkan pada tujuan tersebut. Pada dasarnya inovasi merupakan sebuah proses dan/atau hasil pengembangan dan/atau pemanfaatan/mobilisasi pengetahuan, keterampilan (termasuk keterampilan teknologis) dan pengalaman untuk menciptakan dan/atau memperbaiki produk (barang dan/atau jasa), proses, dan/atau sistem yang baru, yang memberikan nilai (terutama ekonomi dan sosial) yang berarti (Tatang S. Taufik, 2005).

petani. Mengoptimalkan Ketersediaan Tenaga Kerja dan Kondisi Lingkungan yang menunjang melalui Peningkatan kemampuan penguasaan dan penyediaan teknologi pasca panen

Karena itu Pusat Inovasi UMKM budi daya dan Pengembangan Rumput Laut di Kabupaten Serang harus dapat merubah paradigma dari menjual rumput laut dalam bentuk bahan baku menjadi produk olahan atau pun turunan yang dapat meningkatkan nilai tambah ekonomi maupun peningkatan penyerapan tenaga kerja sebagaimana dinyatakan Clark dan Guy dalam bukunya, Innovation and Competitiveness (1997) bahwa inovasi adalah aplikasi komersial yang pertama kali dari suatu produk atau proses yang baru. Rumput laut Gracillaria mengandung agar-agar sebagai hasil metabolisme primernya. Agar-agar diperoleh melalui ekstraksi rumput laut pada suasana asam setelah diberi perlakuan basa serta diproduksi dan dipasarkan dalam bentuk agar-agar tepung, agar-agar kertas dan agar-agar batangan. Setelah menjadi agar-agar kemudian diolah menjadi bentuk pangan (kue) seperti puding dan jeli atau dijadikan bahan tambahan dalam industri farmasi (Kementerian Perdagangan Republik Indonesia (2013). Karena itu, Pemerintah Provinsi Banten atau Pemerintah Kabupaten Serang harus mengalokasikan teknologi ekstraksi rumput laut di UPTT DKPESDM yang ada di daerah Pontang. KESIMPULAN Berdasarkan uraian sebelumnya, maka kesimpulan yang didapat adalah bahwa ketersediaan pasar merupakan faktor utama dalam penilaian komoditas unggulan yang menjadi fokus perhatian sebuah Pusat Inovasi UMKM, selanjutnya diikuti indikator kemampuan Pusat inovasi UMKM dalam menyerap tenaga kerja, dan sumbangsih terhadap perekonomian daerah. Selain itu pengembangan Budidaya dan Pengolahan Rumput Laut di Kabupaten Serang merupakan sasaran terpilih yang dapat dikembangkan terlebih dahulu pada fokus tematik Pengembangan Pusat Inovasi UMKM pada dokumen Road Map SIDa Provinsi Banten.

66


Strategi Pengembangan Pusat Inovasi Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) di Provinsi Banten (O. Oktaviana, D.T. Bachruddin)

Untuk itu, strategi pengembangan yang dapat dilakukan adalah dengan : a. Berupaya mencukupi kebutuhan pasar rumput laut dengan optimalisasi pemanfaatan lahan dan ketersediaan benih b. Memanfaatkan perhatian pemerintah pusat dan keberadaan lembaga riset untuk optimalisasi keberadaan lahan dan ketersediaan benih

Herliana, Sri .2014. Regional Innovation Cluster for Small and Medium Enterprises (SME): A Triple Helix Concept. The 6th Indonesia International Conference on Innovation, Entrepreneurship and Small Business, 12 – 14 August 2014.

REKOMENDASI Rekomendasi yang dapat diberikan sesuai dengan hasil penelitian tersebut adalah : 1. Pemanfaatan teknologi yang dihasilkan oleh lembaga riset harus dapat diarahkan pada upaya pemenuhan benih dan peningkatan nilai tambah produk. 2. Penguasaan teknologi budidaya oleh masyarakat harus diimbangi dengan ketersediaan benih dan penyediaan lahan. Untuk itu perlu dilakukan adopsi inovasi hasil penelitian terkait penggunaan bibit rumput laut gracillaria maupun alur proses penyediaan benih di wilayah Kabupaten Serang. 3. Optimalisasi Unit Pekayanan Teknis Terpadu Dinas Kelautan dan Perikanan Energi Sumber Daya Mineral (UPTT DKPESDM) yang ada di kecamatan Pontang. Lembaga ini harus dapat memenuhi kebutuhan petani rumput laut mulai dari proses produksi, peningkatan nilai tambah produk melalui pengolahan, pemasaran sampai dengan peningkatan akses permodalan. 4. Pemerintah Provinsi Banten atau Pemkab Serang harus mengalokasikan teknologi ekstraksi rumput laut di UPTT DKPESDM yang ada di daerah Pontang.

Kementerian Perdagangan Republik Indonesia. 2013. Market Brief: Potensi Eksport Produk Rumput Laut di Pasar Thailand. Office of Comercial Attache Embassy of The Republic of Indonesia for Kingdom of Thailand. Bangkok.

Kementerian Riset dan Teknologi (2011). Inovasi Untuk Kesejahteraan: Arah Penguatan Sinas Untuk Meningkatkan Kontribusi Iptek terhdap Pembangunan Nasional. Jakarta.

Keputusan bersama Menteri Riset dan Teknologi dan Menteri Dalam Negeri No 03 dan No 36 tahun 2012 tentang Penguatan Sistim Inovasi Daerah. Noviandi, N. 2010. Pemodelan Kebijakan Pengembangan Umkm Inovatif. Pusat Pengkajian Kebijakan Peningkatan Daya Saing Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi. Peraturan Menteri Dalam Negeri nomor 9 Tahun 2014 tentang Pedoman Pengembangan Produk Unggulan Daerah. Peraturan Daerah Provinsi Banten Nomor 3 Tahun 2012 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Menengah Daerah Provinsi Banten tahun 2012-2017. Rangkuti, F. 2006. Analisis SWOT: Teknik Membedah Kasus Bisnis. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Subagjo, Ignatius. 2011. Pengembangan Pusat Inovasi Usaha Mikro,Kecil dan Menengah (PI UMKM) dalam Kerangka Sistem Inovasi Daerah (SIDa). http://ejurnal.bppt.go.id/index.php/JSI/article/view/ 5. Diakses tanggal 7 April 2014. Taufik, Tatang A. 2005. Pengembangan Sistem Inovasi Daerah : Perspektif Kebijakan, P2KT PUDPKMBPPT. Jakarta.

DAFTAR PUSTAKA Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi. 2012. Buku Putih Penguatan Sistem Inovasi Nasional. Jakarta.

Tim Koordinasi SIDa Provinsi Banten. 2013. Roadmap Sistem Inovasi Daerah Provinsi Banten. Provinsi Banten.

Badan Pusat Statistik Provinsi Banten. 2012. Banten Dalam Angka 2012.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2002 tentang Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan, dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi.

Clark, John And Ken Guy. 1997. Innovation and Competitiveness, Brighton: Technopolis. Doha Soogwan dan Kim Byungkyu. 2014. Government support for SME innovations in the regional industries: The case of government financial support program in South Korea. Research Policy 43: 1557– 1569. Forman, E.H And Selly, M.A. 2002. Decision By Objectives: How To Convince Others Thats You Are Right. World Scientific Publishing Co.Pte.Ltd. 5 Toh Tuc Link, Singapore, 596224.

67


Inovasi Vol 12 No. 1 Maret 2015 : 68 - 76

TINJAUAN KEPUSTAKAAN KEBIJAKAN PEMERINTAH DALAM MENDORONG INOVASI UKM: KAJIAN PEMBIAYAAN MODAL VENTURA BAGI UKM (GOVERNMENT POLICY IN PROMOTING SMEs INNOVATION: STUDY

OF VENTURE CAPITAL FINANCING FOR SMEs) Sri Mulatsih Pusat Penelitian Perkembangan Iptek, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Gedung A-PDII Lantai 4, JL.Gatot Subroto No.10, Jakarta Selatan 12710 Telp.08161436473; Email: mulatsihsri@yahoo.com

Diterima: 30 Desember 2014; Direvisi: 23 Januari 2015; Disetujui:18 Pebruari 2015

ABSTRAK Modal ventura mempunyai arti penting bagi Usaha Kecil Menengah (UKM) di Indonesia sebagai alternatif pembiayaan, mengingat permasalahan utama UKM menghadapi daya saing global adalah modal dan inovasi. Kebijakan pemerintah Indonesia untuk menumbuh kembangkan modal ventura sebagai pembiayaan alternatif telah dicanangkan sejak ditetapkannya Surat Keputusan Menteri Keuangan Nomor 1251/KMK.013/1988 yang berisi tentang tata cara pembiayaan antara lain modal ventura yang berbentuk penyertaan modal dalam perusahaan pasangan usaha (PPU) untuk kegiatan usaha yang berbasis teknologi dan inovasi. Untuk mendorong inovasi bagi UKM ini pemerintah menurunkan peraturan Menteri Keuangan Nomor 18/PMK.010/2012 tentang perusahaan modal ventura yang kegiatannya untuk pembiayaan UKM berbasis teknologi dan inovasi mengingat masalah yang dihadapi UKM umumnya adalah keterbatasan modal dan rendahnya inovasi teknologi. Penelitian terdahulu mengindikasikan bahwa inovasi produk yang dihasilkan UKM/PPU masih tergolong rendah (low-tech), perusahaan modal ventura daerah dalam menyalurkan modalnya tidak disertai pendampingan teknologi. PPU melakukan inovasi menurut kemampuannya sendiri. Tulisan ini bertujuan untuk memberikan informasi mengenai praktik perusahaan modal ventura dan peran pemerintah dalam mendorong inovasi UKM di Indonesia dan menampilkan gambaran yang ada di Cina. Hasilnya menunjukkan bahwa pemerintah Indonesia dan pemerintah Cina sama-sama berperan dalam pengembangan pembiayaan modal ventura. Peran aktif pemerintah Cina sebagai salah satu negara berkembang di Asia dinilai cukup berhasil mendorong berkembangnya modal ventura, keberhasilan ini mengindikasikan bahwa pada umumnya negara berkembang itu mempunyai kebijakan dan peraturan yang teliti. Pemerintah Indonesia juga berperan dalam mengatur lembaga pembiayaan modal ventura untuk mendorong inovasi UKM, namun perkembangannya berbeda dengan perkembangan industri modal ventura di Cina. Pemerintah Cina sangat mendukung modal ventura sebagai pembiayaan wirausaha berbasis ilmu pengetahuan, teknologi, dan inovasi. Sedikitnya ada sepuluh perusahaan modal ventura yang menginvestasikan pada UKM berbasis high-tech di bidang TI di wilayah yang berpotensi bisnis. Belajar dari keberhasilan praktik pembiayaan modal ventura di Cina untuk mendorong inovasi, pemerintah Indonesia perlu mengeluarkan kebijakan bersama antar lembaga terkait seperti Kemenkeu, Kementerian Koperasi dan UKM, Kementerian Perindustrian, dan Kementrian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi dalam membina UKM baik administrasi maupun kualitas SDM inovatif untuk meningkatkan mutu produk. Kata kunci: kebijakan, modal ventura, pembiayaan, UKM, inovasi

ABSTRACT Venture capital has significant importance for Small Medium Enterprises (SMEs) in Indonesia as an alternative financing, considering the main problems of SMEs in facing global competitiveness are the capital and innovation. Indonesian government policy to cultivate venture capital as an alternative financing has been announced since the enactment of the Decree of the Minister of Finance No. 1251 / KMK.013 / 1988 which contains procedures including venture capital financing in the form of equity participation in the joint-venture company (PPU) for activities in technologybased businesses and innovation. To encourage innovation for SMEs, the government lowered the regulations of the Minister of Finance No. 18 / PMK.010 / 2012 on venture capital firm whose

68


Kebijakan Pemerintah Dalam Mendorong Inovasi UKM: Kajian Pembiayaan Modal Ventura Bagi UKM (Sri Mulatsih) activities for the financing of SMEs are based on technology and innovation, given the problems faced by SMEs in general is the lack of capital and lack of technological innovation. Past research has indicated that the resulting product innovation by SME / PPU is still relatively low (low-tech), and the venture capital firms in the region to distribute its capital are not accompanied by technological assistance. PPU innovates according to their own abilities. This paper aims to provide information on the practice of venture capital firms and the government's role in encouraging innovation of SMEs in Indonesia and display picture in China. The results showed that the Indonesian government and the Chinese government are equally instrumental in the development of venture capital financing. This business financing difficulty was also experienced by SMEs in China which affecting the technology innovation of SMEs. Through literature searches, the author wants to know the practice of venture capital firms in China and the government's role in encouraging innovation of SMEs. The Indonesian government and the Chinese government are equally instrumental in the development of venture capital financing. Chinese government's active role as one of the developing countries in Asia was considered quite successful in pushing the development of venture capital, this success indicates that in many developing countries, they have thorough policies and regulations. The Indonesian government also plays a role in regulating venture capital financing institutions to encourage SME innovation, but it is different with the development of the venture capital industry in China. The Chinese government is very supportive of venture capital as an entrepreneurial financing based on science, technology, and innovation. There are at least ten venture capital firms that investing in high-tech-based SMEs in the field of IT in the business potential regions. Learning from the success of the practice of venture capital financing in China to encourage innovation, the Indonesian government needs to issue a joint policy between the relevant institutions such as the Ministry of Finance, Ministry of Cooperatives and SMEs, Ministry of Industry, and Ministry of Research, Technology, and Higher Education in fostering SMEs, both in administration and quality of innovative human resources to improve the quality of products Keywords: policy,venture capital, financing, small medium enterprices, innovation

di bidang keterampilan memasarkan produk, informasi dan pengelolaan. Penelitan ini juga merekomendasikan pentingnya PMV bukan hanya sebagai sumber pendanaan tetapi juga membina UKM sebagai perusahaan pasangan usaha (PPU) lebih maju (Pratomo,2009). Modal ventura sebagai alternatif pembiayaan UKM yang disalurkan melalui PMVD dalam upaya membina usaha kepada PPU di daerah masih menghadapi berbagai masalah, antara lain : 1) arah bisnis belum jelas; 2) modal kerja minim; 3) manajemen belum profesional; 4) kurang tenaga kerja terampil; 5) pemasaran kurang gencar; 6) biaya produksi tinggi; dan 7) mutu produk masih rendah. Oleh karena itu, diperlukan langkah-langkah untuk mengatasinya dan PMV sebagai sarana pembiayaan memiliki peluang besar untuk mengembangkan UKM dan koperasi. Karena PMV bukan hanya akan terlibat dengan menginvestasikan modalnya melainkan sekaligus juga ikut berperan secara aktif dalam manajemen perusahaan yang dibantunya (Wardoyo, 2003). Dari sisi hukum, pernah dilakukan penelitian hukum empiris tentang karakteristik modal ventura yang hasilnya dapat disimpulkan bahwa tidak berkembangnya modal ventura sesuai dengan karakteristiknya disebabkan karena: 1) faktor internal, yaitu sifat kehatihatian dari manajemen modal ventura yang tidak mau perusahaannya merugi dan keharusan mempertanggungjawabkan usahanya kepada pemilik modal; 2) faktor eksternal, yaitu belum adanya penemuan baru yang sangat prospektif

PENDAHULUAN Modal ventura sebagai salah satu pembiayaan mempunyai arti penting bagi pertumbuhan ekonomi suatu negara, termasuk Indonesia. Pentingnya modal ventura bagi Usaha Kecil Menengah (UKM) di Indonesia karena merupakan alternatif pembiayaan. Seperti diketahui bahwa pembiayaan kegiatan UKM itu bisa diperoleh dari berbagai sumber, baik bank maupun bukan bank, serta modal ventura sebagai satu pembiayaan non bank. Beberapa hasil studi tentang UKM sering menunjukkan bahwa kendala utama terhadap pertumbuhan dan daya saing UKM itu karena terbatasnya akses permodalan dan tingginya biaya untuk memperoleh kredit. Hasil studi juga merekomendasikan bahwa kebijakan pemerintah dalam pendirian dan pembinaan perusahaan modal ventura (PMV) melalui Keputusan Menteri Keuangan No.469/KMK.17/1995 monitoringnya tidak efektif, dan sosialisasi konsep modal ventura seharusnya dilakukan sampai tingkat kabupaten/kota. Mengingat UKM di Indonesia relatif potensial di tingkat kabupaten/kota (Ikhwan,2001). Hasil penelitian lain menyimpulkan bahwa PMV sebagai lembaga pembiayaan modal ventura di Indonesia perlu terus didorong. Berbagai upaya pemerintah untuk membantu pendanaan UKM kurang berhasil, karena bantuan tersebut hanya berbentuk kredit tanpa pendampingan. Dari data yang diperoleh menunjukkan bahwa kelemahan UKM terutama

69


Inovasi Vol 12 No. 1 Maret 2015 : 68 - 76

kegiatan yang intensif inovasi. Hasil penelitian yang dilakukan LIPI menunjukkan bahwa tiga PMV di tiga wilayah yang diteliti yaitu Jabar Ventura, Jogja Ventura, dan Sumut Ventura menyalurkan modal kepada PPU tidak disertai pendampingan dalam kegiatan inovasi (Mulatsih,S; M.Arifin, 2011). UKM sebagai PPU melakukan kegiatan inovasinya menurut kemampuannya sendiri, pendampingan yang disertakan oleh PMV lebih bersifat manajemen usaha. Bahkan kebijakan terkini tentang perusahaan modal ventura yang ditetapkan bulan Februari 2012, pasal 3 masih menyebutkan bahwa tujuan PMV ini untuk pengembangan perusahaan (UKM) berbasis teknolgi dan inovasi. Namun, implementasi kebijakannya belum efektif memberi perubahan yang nyata terhadap perkembangan inovasi UKM. Sementara Cina saat ini merupakan salah satu negara Asia yang mempraktikkan modal ventura dan paling berhasil di dunia. Masa krisis ekonomi beberapa tahun lalu, Cina juga mengalami penurunan. Tahun 2011 investasi menurun 40% (US$ 3,7 juta), namun total investasi modal ventura di Cina berada di atas total yang dicapai di Inggris ( Landa, 2013). Permasalahan modal tersebut merupakan unsur penting bagi pengusaha baik di tingkat usaha mikro, menengah, maupun usaha besar yang harus diatasi. Berbagai lembaga pembiayaan menawarkan jasa keuangan untuk memenuhi kebutuhan modal tersebut, dan modal ventura merupakan salah satu bentuk pembiayaan usaha UKM di Indonesia. Pembiayaan ini akan menjadi solusi mencapai target usaha. Target akhir dari produk UKM Indonesia diarahkan berorientasi ekspor. Pencapaian target ekspor sebuah produk harus berdaya saing global agar dapat masuk dalam komoditi perdagangan internasional. World Economic Forum dalam The Global Competitiveness Report 2013-2014 menyebutkan bahwa daya saing Indonesia menempati peringkat ke-38 dari 148 negara, mengalami loncatan peringkat dibandingkan tahun 20122013 yaitu naik 12 peringkat (Burhani, R, 2013). Belajar dari keberhasilan Cina, maka kajian ini mencoba menggali informasi terkait dengan praktik pembiayaan modal ventura dalam pengembangan inovasi dan bisnis sektor UKM. Keberhasilan-keberhasilan lembaga pembiayaan modal ventura di Cina mengangkat perusahaan pengguna modal ventura itu berhasil mengembangkan inovasi dan usaha di bidangnya masing-masing.

dan menjanjikan keuntungan yang besar (Budisulistyowati, 2006). Beberapa kajian tentang UKM dan kebijakan pembiayaan menjelaskan bahwa kebijakan UKM di Indonesia lebih berorientasi sosial, bukan berorientasi pasar dan daya saing. Maksudnya adalah bahwa kebijakan UKM itu hanya mendorong pertumbuhan untuk meningkatkan kesempatan kerja atau kemiskinan, dan lebih diarahkan untuk meningkatkan ekspor, dan pangsa pasar domestik sehingga UKM Indonesia tetap lemah (Tambunan, 2010). Oleh karena itu kebijakan UKM di Indonesia lebih difokuskan pada pemberian kredit bukan memberikan fasilitas agar melakukan inovasi. Sehingga secara umum kredit UKM di Indonesia ini lebih dimanfaatkan untuk modal kerja bukan untuk membiayai R&D/inovasi. Salah satu negara Asia yang cukup berhasil mengembangkan modal ventura adalah Tiongkok (Cina). Di Cina terdapat 30 lembaga/badan modal ventura internasional yang menanamkan modalnya di Tiongkok. PT Infotech merupakan perusahaan modal ventura di Tiongkok yang didirikan tahun 2000, menanamkan modalnya di bidang teknologi informasi, yaitu pada jenis sirkuit terpadu, piranti lunak (software) dan komponen. Perusahaan ini juga menanamkan modalnya pada PT Vimicro, yang mengembangkan produk TI seperti chip multimedia digital. Sejumlah taman industri teknologi tinggi di Tiongkok juga sedang berupaya menyerap lebih banyak modal ventura (http://indonesian.cri.cn/2006). Keberhasilan negara-negara itu dalam menerapkan pembiayaan modal ventura antara lain karena didukung pemerintah, dan kebanyakan perusahaan modal ventura melakukan investasi di sektor yang berkaitan dengan teknologi ataupun yang memberikan nilai tambah yang cukup signifikan. Praktik pembiayaan di negara Asia ini dapat menjadi perbandingan bagi negara Asia Tenggara lainnya seperti Indonesia. Industri modal ventura Indonesia menempati posisi terkecil terhadap total capital per GDP (150 $ Miliar/0,1%), untuk tahun 2004. Urutan terbesar di Asia adalah Jepang (30.317 $ Miliar), posisi di bawahnya adalah Singapore (11.612 $ Miliar) (BAV, 2009). Bagi Indonesia dukungan pemerintah untuk menumbuhkembangkan pembiayaan modal ventura sebagai pembiayaan alternatif menjadi kebijakan sejak dikeluarkannya SK Mentri Keuangan Nomor 1251/KMK.013/1988 tentang tata cara pelaksanaan lembaga pembiayaan, antara lain modal ventura yang kegiatannya berbentuk penyertaan modal dalam Perusahaan Pasangan Usaha (PPU) untuk

70


Kebijakan Pemerintah Dalam Mendorong Inovasi UKM: Kajian Pembiayaan Modal Ventura Bagi UKM (Sri Mulatsih)

start-up teknologi lebih banyak membutuhkan modal finansial dibandingkan aktivitas kewirausahaan lainnya. Dengan gambaran resiko tinggi dan keuntungan yang diharapkan, perusahaan-perusahaan modal ventura mencari target investasi dengan potensi pasar yang signifikan. Para kapitalis ventura mengharapkan start-up teknologi tinggi dapat menghasilkan produk eksklusif dengan nilai tambah yang tinggi (Bigrave & Timmons 1992). Dalam praktik pembiayaan modal ventura Cina telah menggerakkannya di sektor usaha skala kecil menengah (UKM) untuk mengatasi kesulitan finansial khususnya pembiayaan inovasi. Gelombang pertama gerakan di Cina sekitar tahun 1990 an, diawali dengan gerak menjauh dari sistem negara yang hanya bergantung pada komando dan pengawasan ekonomi. Start-up dan UKM ini membutuhkan biaya untuk kegiatan teknologinya, dan ini mendapat tanggapan dari pusat-pusat R & D dan universitas dengan memberikan teknologi dan seed capital bagi start-up baru, yang disebut sebagai gelombang pertama start-up. Gelombang kedua menyangkut gerakan investor teknologi yaitu bank-bank Cina yang memberikan mayoritas investasi tahap akhir pada Program Obor (Torch Program) dan pembiayaan dari bank ini untuk ekspansi dan tahap berikut dari ventura baru dengan garansinya pemerintah daerah. Selanjutnya zona teknologi Cina dengan Science and Technology Industrial Park adalah sumber dukungan ketiga bagi ventura-ventura baru. Pemerintah daerah secara finansial mendukung start-ups karena dengan lokasi di zona ini pada usaha baru dipandang sebagai kontribusi bagi pengembangan ekonomi lokal. Ini membantu kualitas start-up dalam pembiayaan baik dari bank maupun perusahaan modal ventura. Pada pertengahan tahun 1990 an tampaknya para pemimpin Cina menyatakan bahwa Torch Program itu tidak dapat menjadi sumber seluruh modal bagi start-up. Pada waktu itu juga baik bank maupun pemerintah daerah harus melunasi keuangan start-up pada skala yang dibutuhkan negara. Kemudian pemerintah membentuk investasi modal ventura di Cina. Namun sayangnya regulasi-regulasi Cina sekarang ini mempunyai dampak negatif terhadap investasi modal ventura. Semua kendala kebijakan terhadap pengembangan modal ventura di Cina tidak mampu mendaftar di bursa saham domestik Cina, dan ini mungkin kendala yang paling mengikat (Feng Zeng, 2004). Ada tiga hal penting berpengaruh terhadap pembiayaan inovasi teknologi UKM di Cina yaitu kebijakan dan regulasi termasuk kebijakan perpajakan, pembiayaan inovasi

METODE Metode yang digunakan dalam kajian adalah studi pustaka atau studi literatur yaitu bahwa informasi dan data diperoleh berdasarkan penelusuran pustaka sesuai dengan variabel yang dikaji mencakup pembiayaan modal ventura, kebijakan pemerintah, dan UKM yang melakukan inovasi. Pembahasan tulisan ini dikaji secara deskriptif untuk menjelaskan dan menggambarkan peran pemerintah dalam mendorong inovasi UKM melalui pembiayaan modal ventura. HASIL DAN PEMBAHASAN Usaha kecil menengah (UKM) akhir-akhir ini menjadi sektor usaha yang sangat diandalkan untuk menopang ekonomi negara, termasuk negara berkembang seperti Indonesia, karena disamping menyerap tenaga kerja juga dapat diandalkan menghasilkan komoditas ekspor yang memberi nilai ekonomis bagi negara. Namun, keberlanjutan usaha ini seringkali terputus, khususnya di Indonesia karena keterbatasan modal usaha. Sedangkan modal merupakan faktor penting untuk membiayai kegiatan usaha. Kendala terbatasnya pembiayaan ini menjadi hambatan dan tantangan yang harus dihadapi oleh UKM berbagai bidang usaha di Indonesia. Sumber pembiayaan UKM dapat diperoleh dari modal sendiri, bank, bukan bank, dan sebagainya. Modal ventura merupakan salah satu pembiayaan alternatif non-bank, yang keberadaannya sebenarnya sangat dibutuhkan untuk usaha khususnya oleh UKM yang sering terbentur dengan kesulitan pembiayaan/modal usaha. Sebagai bentuk pembiayaan, modal ventura ini sarat dengan resiko oleh karena itu sering disebut sebagai pembiayaan alternatif. Pada umumnya modal ventura memfokuskan pada perusahaan kecil yang memiliki potensi pertumbuhan yang besar, dan berperan aktif dalam pengembangan kewirausahaan teknologi. Cina/Tiongkok merupakan salah satu negara Asia yang berhasil mengembangkan modal ventura, hasil studi menyebutkan bahwa Cina telah menempatkan komersialisasi ilmu pengetahuan dan inovasi teknologi sebagai salah satu strategi yang paling penting dalam pembangunan jangka panjang yang menempatkan investasi ventura menjadi fuel bagi pengembangan entrepreneurship teknologi tinggi yang mentransformasi ekonomi AS dari ekonomi manufakturing ke ekonomi berbasis pengetahuan(Chen, 2003). Diantara seluruh inisiatif kewirausahaan, tampaknya start-up teknologi (high-tech) ini yang mendapat perhatian dari perusahaan modal ventura dengan beberapa alasan, karena

71


Inovasi Vol 12 No. 1 Maret 2015 : 68 - 76

perusahaan modal ventura yaitu PT. Bahana Pembinaan Usaha Indonesia (BPUI). PT.BPUI merupakan sebuah badan usaha milik negara (BUMN) yang kepemilikan sahamnya dikuasai oleh pemerintah dalam hal ini Kementerian Keuangan sebesar 82,2 % dan selebihnya (17,8%) dimiliki oleh Bank Indonesia. Tahun 1993, BPUI mendirikan PT. Bahana Artha Ventura (BAV), sebuah lembaga keuangan yang berfungsi memberikan dukungan permodalan kepada UKM di Indonesia melalui pembiayaan modal ventura. Kemudian PT. BAV mendirikan perusahaan modal ventura daerah (PMVD) untuk memperluas jaringan penyertaan modalnya di 27 provinsi di Indonesia. Sampai saat ini PT. Bahana Artha Ventura membawahi 27 PMVD yang masih aktif beroperasi di 26 provinsi. Pembiayaan modal ventura di Indonesia ini dilaksanakan melalui tiga jenis : a) penyertaan modal langsung, yaitu penyertaan modal perusahaan modal ventura kepada perusahaan pasangan usaha (PPU), b) semi equity financing, dengan cara membeli obligasi konversi yang diterbitkan oleh PPU berdasarkan waktu yang disepakati kedua pihak yang dapat dikonversi menjadi saham penyertaan modal pada perseroan, dan c) pembiayaan bagi hasil, yaitu persentase tertentu atas keuntungan PPU akan diberikan kepada perusahaan modal ventura (dalam hal ini perusahaan modal ventura daerah/PMVD). Dana modal ventura ini bersumber/berasal dari: 1) investor perorangan, 2) investor institusi, 3) perusahaan asuransi dan atau dana pensiun, 4) perbankan, dan 5) lembaga keuangan internasional. Pembiayaan modal ventura dari PT. BAV ini disalurkan melalui PT. Mitra Ventura Indonesia (MVI) dan 27 Perusahaan Modal Ventura Daerah (PMVD) yang berada di 26 Provinsi. Tampaknya tidak seluruh provinsi di Indonesia ada PMVD, dari 27 perusahaan modal ventura daerah itu berada di wilayah Sumatera, Jawa, Bali, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, NTT, NTB, dan Papua. Pola pembiayaannya bersifat a) langsung, b) kerjasama kemitraan, dan c) kerjasama inti plasma. Pembiayaan langsung dilakukan dengan cara PT. BAV memberikan dana kepada perusahaan pasangan usaha (PPU)-UMKM serta bekerja sama dengan pihak terkait (instansi terkait) dan jasa profesional untuk membantu PPU dalam bentuk pelatihan, audit, jasa hukum, manajemen, dan sebagainya. Program penting yang dilakukan BAV kepada PPU adalah program pendampingan untuk pengembangan UKM, mencakup pembiayaan, manajemen, dan bantuan akses perluasan pasar. Padahal kebijakan pemerintah menekankan

teknologi UKM, dan menaikkan biaya input (Jingting, 2010). Kurangnya definisi tunggal tentang innovative financing tidak meninggalkan konsepnya karena ada beberapa elemen-elemen yang sama menyambung konsep-konsep pembiayaan inovatif. Salah satu elemennya adalah innovative financing mechanisms atau mekanisme pembiayaan inovatif. Mekanisme ini ada yang bersifat tradisional yaitu untuk menaikkan dan menyalurkan bantuan /dana (Michaud,J and Jen Kates, 2011 ). Ada beberapa penulis yang mengkaji tentang pembiayaan inovasi UKM di Cina, utamanya mengkaji mengenai kesulitan pembiayaan UKM dan pengaruh-pengaruhnya pada teknologi inovasi UKM. Mengapa UKM di Cina menghadapi kesulitan pembiayaan? Ada tiga aspek yang dapat dikaji mengenai kesulitan pembiayaan inovasi di Cina, yaitu: 1) aspek internal, dari UKM nya sendiri, 2) bank, dan 3) sistem keuangan (Ziyuan, X, WU Yuejin, 2011). Metrick dan Yasuda ( 2011) mengartikan modal ventura berdasarkan lima karakter utama, mencakup perantara keuangan (financial intermediary), investasi pada perusahaan pribadi, mengambil peran aktif memonitor dan membantu perusahaan dalam hal portofolionya, memaksimalkan keuntungan finansial, serta mendanai pertumbuhan internal perusahaan. Landa menyebutkan bahwa masuknya modal ventura di Cina terjadi pada akhir tahun 1970 an, sepuluh tahun kemudian masuk lingkup internasional. Tahun 1984 Pusat Riset Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi bagi Pembangunan di Cina (National Research Center of Science and Technology for Development) mendorong pemerintah membentuk sistem modal ventura untuk meningkatkan pertumbuhan teknologi ( Landa, 2013, et.al) Keberhasilannya menginvestasikan modal ventura, menjadikan di Cina terdapat 10 lembaga modal ventura top yang dapat diidentifikasi aspek-aspek manfaat investasi khususnya bagi pengembangan inovasi. Adapun sepuluh lembaga modal ventura tersebut adalah: 1) Shenzhen science and technology investment company limited, 2) Shanghai Alliance investment management limited, 3) The Guangdong technology venture capital group, 4) Shandong province high-tech investment ltd, 5) Beijing science and technology venture capital company limited, 6) Shanghai venture capital limited, 7) Lee investment limited, 8) Xian high-tech industry venture capital company, 9) Legend capital limited, and 10) The founder’s investment limited (chinavc.wordpress.com 2014) Di Indonesia praktik pembiayaan modal ventura diawali dari sejarah terbentuknya

72


Kebijakan Pemerintah Dalam Mendorong Inovasi UKM: Kajian Pembiayaan Modal Ventura Bagi UKM (Sri Mulatsih)

pembiayaan modal ventura untuk peningkatan inovasi UKM di wilayah tiga perusahaan modal ventura daerah (PT. Sarana Jabar Ventura, PT. Sarana Jogja Ventura, dan PT Sumut Ventura) memberikan bukti bahwa UKM-UKM sebagai perusahaan pasangan usaha (PPU) menghasilkan produk dengan kategori inovasi teknologi rendah (low tech) (Mulatsih & Arifin, 2011). Sementara dalam SK Menteri Keuangan tersebut di atas menyiratkan dua kata kunci: pengembangan usaha (pendanaan) dan pengembangan teknologi/inovasi. Jenis usaha yang dilakukan oleh PPU tiga perusahaan modal ventura daerah (PMVD) di Jawa Barat, Jogjakarta, dan Sumatera Utara mencakup usaha yang lebih padat keterampilan seperti kerajinan, konveksi, pupuk dari bahan tanah, mesin penyaring air, usaha makanan dan minuman (berbahan baku singkong), sehingga masing-masing inovasi produknya berbedabeda. Di Deli Serdang ada yang menghasilkan energi panas dengan memanfaatkan limbah minyak goreng (bekas masak /jlantah) yang dicampur solar sebagai energi panas ada pula yang mampu menciptakan robot untuk mengolah limbah singkong (sisa bahan keripik singkong beserta kulitnya) sebagai bahan baku pakan ternak. Masing-masing negara berkembang yaitu Indonesia dan Cina ini memiliki karakter bisnis UKM yang sangat berbeda dalam memanfaatkan investasi modal ventura, mereka tentu memiliki keberhasilan dalam menghasilkan inovasi dan bahkan menggunakan inovasi dalam kegiatan usahanya yang berbasis pengetahuan. Dua tabel/maktrik di bawah ini dapat digunakan sebagai gambaran perbandingan mengenai pemanfaatan investasi modal ventura berbasis pengetahuan dan inovasi di Indonesia (dalam hal ini hasil studi kasus) dan di Cina. Pada tabel 1 dan tabel 2, menunjukkan perbedaan jenis usaha dan tingkat inovasi baik inovasi produk dan inovasi proses dalam pemanfaatan modal ventura. Kasus di tiga PMVD di Indonesia investasi modal ventura dimanfaatkan untuk beragam jenis usaha dengan tingkat inovasi tergolong lebih rendah dibandingkan dengan inovasi pada perusahaan Cina. Perusahaan modal ventura di Cina khususnya untuk sepuluh perusahaan menginvestasikan pada perusahaan (enterprises) high-tech yang memfokuskan pada bidang informasi teknologi (IT), biomedicine, new material, dan environment technology.

pendampingan itu untuk mendorong dan meningkatkan inovasi produk UKM. Peran pemerintah mengembangkan modal ventura sebagai pembiayaan di Indonesia sebenarnya diawali sejak dikeluarkannya kebijakan pembentukan lembaga pembiayaan dengan Keputusan Presiden Nomor 61 Tahun 1988 tanggal 20 Desember yang cukup dikenal dengan Paket Desember 1988, pada saat pemerintahan Orde Baru. Keputusan ini ditetapkan dalam rangka menunjang pertumbuhan ekonomi yang membutuhkan perluasan sarana penyediaan dana, serta untuk meningkatkan peran lembaga pembiayaan sebagai salah satu sumber pembiayaan pembangunan ekonomi. Keputusan tersebut kemudian disempurnakan melalui Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan dengan mencabut Keppres Nomor 61 Tahun 1988 yang dinyatakan tidak berlaku lagi. Peraturan Presiden Nomor 9/2009 (PP Nomor 9/2009) ini menjadi landasan kebijakan yang berkaitan dengan pembiayaan modal ventura, karena pada pasal 1 PP itu disebutkan bahwa perusahaan modal ventura adalah badan usaha yang melakukan usaha pembiayaan dalam bentuk penyertaan modal ke dalam suatu perusahaan yang menerima bantuan pembiayaan (investee company) untuk jangka waktu tertentu dalam bentuk penyertaan saham, penyertaan melalui pembelian obligasi konservasi, dan/atau pembiayaan berdasarkan pembagian hasil usaha. Perlu dipahami mengapa kebijakan ini menjadi landasan mengarahkan UKM Indonesia inovatif dan berbasis ilmu pengetahuan, ini bertujuan agar produk UKM mampu berdaya saing di pasar global. Implementasi dari kebijakan pembiayaan modal ventura yang berbasis inovasi ini masih mengacu/diatur berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan RI Nomor 1251/KMK.013/1988, pasal 1 menyebutkan bahwa kegiatan modal ventura dilakukan dalam bentuk penyertaan modal ke dalam suatu perusahaan pasangan usaha (PPU) untuk: a) pengembangan suatu penemuan baru; b) pengembangan perusahaan yang pada tahap awal usahanya mengalami kesulitan dana; c) membantu perusahaan yang berada pada tahap pengembangan; d) membantu perusahaan yang berada dalam tahap kemunduran; e) pengembangan proyek penelitian dan rekayasa; f) pengembangan pelbagai penggunaan teknologi baru dan alih teknologi, baik dari dalam maupun dari luar negeri; dan g) membantu pengalihan pemilikan perusahaan. Hasil penelitian LIPI tentang

73


Inovasi Vol 12 No. 1 Maret 2015 : 68 - 76

Tabel 1. Sepuluh lembaga modal ventura papan atas di Cina Nama lembaga Investasi Fokus bidang Shenzhen science & technology investment Shenzhen innovation information technology, company investment bio-pharmaceuticals, new material 2. Shanghai Alliance investment Chinese high-tech information technology, enterprises biomedicine, new materials, environmental protection 3. The Guangdong technology venture capital Long-term venture light mechanical and group electrical integration, bio-medicine, IT, new materials, new energy and environmental technology 4. Shandong province high-tech investment High-tech enterprises electronic information, registered in Shandong biological engineering, province new materials, high technological content of the project 5. Beijing science and technology venture Seed company (30%), information technology, capital company limited growth-expansion company modern agriculture, (60%), other businesses biomedicine, new (10%) materials, new technology of four parts 6. Shanghai venture capital limited Early-stage and growth – information, biological stage of the SMEs medicine 7. Lee investment limited China high-tech private media enterprises 8. Xian high-tech industry venture capital High-tech, for seed stage information industry, limited and long term investment biomedicine, communications industries, light mechanical and electrical integration 9. Legend capital limited Total investment capital of large IT area: telecom 70%, and small amount network device, vertical investment for the seed industry of software, stage and PRE IPO company industry IT service, designing products (lowcost chip) 10. The founder’s investment limited High-tech industry information technology: software, internet technology, e-commerce technology, computer and peripheral equipment, network access devices, chip design. Sumber : chinavc.wordpress.com/2011/06/15 No. 1.

74


Kebijakan Pemerintah Dalam Mendorong Inovasi UKM: Kajian Pembiayaan Modal Ventura Bagi UKM (Sri Mulatsih)

Tabel 2. Matriks investasi modal ventura dari tiga perusahaan modal ventura daerah (PMVD) di Indonesia menurut jenis usaha dan hasil inovasi No. Jenis usaha Hasil inovasi 1. Makanan/minuman penghemat energi, pengemasan produk, variasi rasa, penyaring air minum, pasteurisasi jamur, pengolah limbah bahan pangan. 2. Kerajinan menciptakan model baru, mendesain-membuat produk (contoh) 3. Konveksi membuat sprei dari kain perca (sisa potongan kain), mendesain pakaian 4. Permesinan membuat pegas dan mesin lain berkualitas impor, (al bantalan mesin untuk meredam getaran dan kebisingan; alat pengatur tekanan air) 5. Pupuk mengolah tanah pegunungan menjadi pupuk dolomit (serbuk) dan cristite (butiran) 6. Perdagangan/jasa membeli peralatan untuk pelayanan kesehatan Sumber : Hasil penelitian LIPI tahun 2011, diolah tim investasinya memberi daya tarik ekuitas asing masuk ke pasar Cina. Namun sayangnya pihak pemerintah kurang memiliki keahlian dalam investasi modal ventura, dan kurang menghargai para entrepreneur. Sementara itu pemerintah daerah dan pusat berperan menyusun modal ventura di Cina, tapi daya tariknya terbatas sehingga modal ventura sebagai industri tidak cukup mampu mempengaruhi regulator pasar keuangan Cina. Pemerintah Cina sangat mendukung modal ventura sebagai pembiayaan usaha (entrepreunership) berbasis ilmu pengetahuan dan teknologi serta inovasi, dan harus diakui bahwa pembiayaan modal ventura di Cina jauh lebih berkembang dibandingkan dengan praktik modal ventura di Indonesia. Kebijakan pemerintah Cina mengembangkan industri modal ventura ini menghasilkan paling tidak sepuluh perusahaan modal ventura yang diinvestasikan pada UKM berbasis high-tech yang berkembang di wilayah-wilayah potensial bisnis.

KESIMPULAN Belajar dari praktik pembiayaan modal ventura di Cina dapat ditarik kesimpulan ada kesamaan dan perbedaan dengan praktik modal ventura di Indonesia. Dukungan dan peran pemerintah adalah variabel kesamaan di dua negara ini dalam upaya mengembangkan modal ventura sebagai lembaga pembiayaan, khususnya dalam mendorong UKM berinovasi. Dukungan dan peran pemerintah Indonesia dilandasi dengan kebijakan tentang lembaga pembiayaan dan tata cara pelaksanaannya yang masih berlaku sekarang mengikuti Kepmen Keuangan (KMK) RI Nomor 1251/KMK.013/1988 yang isinya menekankan kepada perusahaan modal ventura dan PPU nya untuk mengembangkan usaha yang mengutamakan kegiatannya padat pengetahuan, teknologi dan inovasi. Namun dalam implementasinya, bahwa perusahaan modal ventura (dalam hal ini perusahaan modal ventura daerah) dalam pendampingannya kepada PPU tidak merambah pada inovasi dan teknologi. Akibatnya UKM sebagai mitra usaha pembiayaannya (PPU) masih menghasilkan inovasi produk pada tingkatan yang masih rendah (low-tech). Sangat berbeda konsistensi kebijakan antara pemerintah Cina dan pemerintah Indonesia, pemerintah Cina dari awal mengarahkan pengembangan industri modal ventura untuk pembiayaan usaha yang berbasis ilmu pengetahuan, teknologi, dan inovasi. Perlu dipahami dari sejarahnya bahwa modernisasi iptek itu merupakan salah satu sasaran landasan pembangunan negara. Pemerintah Cina tidak hanya membuat peraturan (regulator) tetapi juga aktif terlibat dalam pembiayaan modal ventura, usaha industri, dan wira usaha. Keterlibatannya ini telah melahirkan teknologi start-up yang menumbuhkan akses modal yang

REKOMENDASI 1. Perusahaan modal ventura di Indonesia masih dibutuhkan oleh UKM karena memberi manfaat bagi pembiayaan kegiatan usaha terutama untuk meningkatkan inovasi dan mengembangkan usaha. 2. Pemerintah diharapkan terus mendorong inovasi UKM melalui lembaga pembiayaan ini dengan mengeluarkan kebijakan bersama antar lembaga terkait seperti Kementerian Keuangan, Kementerian Koperasi dan UKM, Kementerian Perindustrian, serta Kementerian Riset Teknologi dan Perguruan Tinggi dalam membina UKM baik administrasi maupun kualitas SDM inovatif untuk meningkatkan mutu produk yang dihasilkan

75


Inovasi Vol 12 No. 1 Maret 2015 : 68 - 76

Pentingnya Modal Ventura di Indonesia. Policy Discussion Paper Series. Center for Industry, SME & Business Competition Studies. Trisakti University. Jakarta.

DAFTAR PUSTAKA Anonim, 2011. China’stop ten venture capital institutions. Dari : www. chinavc.wordpress.com/2011/06/15. (Diakses 13 Januari 2013)

Salinan Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Republik Indonesia Nomor: 1251/KMK.013/1988 Tentang Ketentuandan Tata Cara Pelaksanaan Lembaga Pembiayaan

Burhani, R. 2013. Indeks Daya Saing Indonesia naik 12 peringkat. Antara News. (Online). Dari http://www.antaranews.com/berita/406970/indeksdaya-saing-indonesia-naik-12-peringat. 27 Nov 2013. (Diakses 10 Juni 2014)

Salinan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 18/PMK.010/2012 Tentang Perusahaan Modal Ventura

Bahana Artha Ventura. 2009. Industri Modal Ventura di Indonesia. Jakarta.

Tambunan, T. 2010. Perkembangan Industri Nasional dan Peran PMA. Jurnal Ekonomi Pembangunan, Vol. 18 (1), hal 21-34

Budisulistyowati, A. 2006. Karakteristik Modal Ventura sebagai Lembaga Pembiayaan. Jurnal Yustisia Edisi Nomor 68 Mei – Agustus

Wardoyo. 2003. Modal Ventura Salah Satu Alternatif Pembiayaan UKMK. Harian Republika. 23 September 2003. Jakarta

Bygrave, William D. & Timmons, Jeffry A.,1992, Venture Capital at the Crossroads. Harvard Business School Press, Boston, MA.

XIE, Ziyuan, WUYuejin. 2011. Financing Innovations of SMEs in China. School of business, Zhejiang Wanli University, P.R.China. (Dari http//www.seiotduemountain.com/upload/product/ 2009112009zxqyhy03a4.pdf. (Diakses 1 November 2011)

Chen, Juming. 2003. The Role Venture Capital in China’s Technology Entrepreunership Development. The alfred P. Sloan School of Management. China Radio International, 2006. Perusahaan yang Tumbuh Pesat Disenangi oleh Modal Ventura Dalam dan Luar Negeri. Dari: http://indonesian.cri.cn/1/2006/05/08/1@42716.ht m. Diakses 18 Agustus 2014

Zeng, F. 2004. Venture Capital Investments in China. Pardee Rand Graduate School.

Ikhwan, A. 2001. Strengthening Venture Capital Company as a Source of Mid-Term Finance for SME in Indonesia (Bahasa Indonesia). ADB Technical Assistance SME Development State Ministry for Cooperatives & SME. Jakarta. Jingting,Ma. 2010. A Study on Influences of Financing on Technological Innovation in Small and MediumSized Enterprices. International Journal of Business and Management. Vol. 5, Nomor 2 February 2010. Landa, Efraim. 2013. Venture Capital in China. Dari: http://globalventurecapital.worpress.com. /2013/05/07/venture-capital-in-china/. Diunduh Agustus, 2013. Metrick, A. & Yasuda, Ayako. 2011. Venture Capital & The Finance of Innovation. John Wiley & Sons, Inc. Second Edition. Michaud, Jhose; Jen Kates. 2011. Innovative Financing Mechanisms for Global Health: Overview & Considerations for U.S. Government Participation. The Henry L KAISER FAMILY Foundation Mulatsih, S. & M. Arifin. 2011. Studi Pembiayaan Modal Ventura Terhadap Peningkatan Inovasi Usaha Kecil & Menengah. Jakarta: LIPI Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2009 Tentang Lembaga Pembiayaan. Pratomo, Sartika

T. 2009. Peranan UKM dan

76


Pedoman Penulisan Naskah Ilmiah Jurnal INOVASI Jurnal INOVASI memuat karya tulis ilmiah hasil penelitian atau tinjauan kepustakaan dalam bidang pemerintahan dan kemasyarakatan, sosial budaya, ekonomi dan pembangunan, sumberdaya alam dan maritim sebagai bahan kebijakan dan wawasan berpolitik. Jurnal INOVASI terbit empat kali dalam setahun setiap bulan Maret, Juni, September dan Desember.

g.

h.

Naskah yang akan diterbitkan dalam Jurnal INOVASI Balitbang Provinsi Sumatera Utara, harus memenuhi ketentuan berikut : Bentuk Naskah 1. Naskah berupa karya asli yang belum pernah dipublikasikan di tempat lain dan tidak sedang diajukan ke tempat lain. 2. Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris sesuai dengan kaidah masingmasing bahasa yang digunakan. Komponen Naskah Komponen utama naskah wajib mencantumkan dan memuat hal-hal berikut: a. Judul, dalam bahasa Indonesia disertai dengan terjemahannya dalam bahasa Inggris, ditulis dengan jelas menggambarkan isi tulisan. b. Identitas Penulis, dimuat di bawah judul tulisan, memuat nama, alamat korespondensi dan e-mail. c. Abstrak ditulis dalam Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris beserta kata kunci sebanyak 37. Abstrak ditulis dalam 1 alinea berisi latar belakang masalah, tujuan penelitian, hasil, dan rekomendasi. Panjang abstrak dibatasi 200450 kata. d. Pendahuluan, tidak menggunakan subjudul, berisi penjelasan padat dan ringkas tentang latar belakang dilakukannya penelitian, studi pustaka yang mendukung dan relevan, serta tujuan penelitian. e. Metode berisikan disain penelitian yang digunakan, lokasi penelitian, populasi, sampel, sumber data, instrumen, pendekatan terhadap analisis data serta teknik analisis/ uji statistik yang digunakan. Bagian metode ditulis tanpa subjudul. f. Hasil dan Pembahasan, adalah temuan penelitian yang disajikan apa adanya tanpa pendapat penulis, kemudian dilanjutkan dengan bahasan argumentatif-interpretatif tentang jawaban terhadap hasil penelitian yang ditulis secara sistematis sesuai tujuan penelitian dan relevan dengan penelitian

i.

j.

terdahulu. Bagian Hasil dan Pembahasan ditulis tanpa subjudul. Kesimpulan menjawab tujuan penelitian tanpa melampauinya. Sedapat mungkin bagian kesimpulan ditulis dalam bentuk narasi. Rekomendasi berisi usulan-usulan kebijakan yang memungkinkan dihasilkan, berisi bentuk dan telaahannya untuk dilaksanakan mengacu pada prinsip tepat-guna, logis dan relevan. Jika tidak memungkinkan dalam bentuk narasi, rekomendasi dapat dibuat dalam bentuk butir-butir rekomendasi. Daftar Pustaka menuliskan sesuai dengan acuan model Harvard (lihat contoh), berurutan sesuai abjad. Jumlah kepustakaan untuk tulisan hasil penelitian minimum 10 rujukan sementara untuk Tinjauan Kepustakaan minimum 20 rujukan. Ucapan Terima Kasih, jika ada, merupakan wujud penghargaan kepada pihak-pihak yang terlibat dalam penelitian atau penulisan naskah.

Tabel dan Gambar Tabel, gambar dan grafik dapat terbaca dengan jelas serta diberi penjelasan yang memadai, mudah dipahami dan proporsional. Judul tabel diletakkan di atas tabel dan judul gambar di bawah gambar. Tabel dan atau gambar yang diacu dari sumber lain harus disebutkan, kecuali merupakan hasil penelitian penulisnya sendiri. Peta yang dicantumkan dalam tulisan harus dibuat dalam resolusi yang tinggi sehingga memudahkan pencetakkan dan menampilkan hasil yang baik. Penulis yang mencantumkan peta diminta untuk membayar tambahan biaya pencetakan peta dimaksud. Contoh Penulisan Daftar Pustaka Buku Abel, R. 2004. Revolusi Kesehatan Mata: Pencegahan dan Pengembalian Masalah Penglihatan. New York: Kensington Book Chaniago, A. 2010. Studi Pustaka dan Konseptualisasi Penelitian. Dalam: Zaluchu, F. Metodologi Penelitian Kesehatan. Bandung: Citapustaka Media, hal 79-92. Artikel dari Jurnal Ang, L. dan Taylor, B. 2005. Memanajemen Keuntungan Konsumen Menggunakan Matriks Portofolio. Jurnal Pemasaran dan Manajemen Konsumen Strategik 12 (5), hal 298-304 Bagian di dalam buku Ballinger, A. dan Clark, M. 2001. Nutrisi, Pengendalian Nafsu Makan dan Penyakit. Dalam: Payne-James, J. dkk.


editor. Dukungan Artifisial bagi Praktik Klinik. Edisi kedua. London: Greenwich Medical, hal 225-239 Laporan Komisi Eropa. 2004. Laporan Pendahuluan terhadap Implementasi dari Strategi Pemasaran Internal 2003-2006. Luxemburg: Unit Publikasi Komisi Eropa. Konferensi Fiedelius, H.C. 2000. Miopi dan Penurunan Visual: Aspek Global. Dalam: Lin, L.L.K. dkk. editor. Miopia Terbarukan II: Prosiding Konferensi Internasional ke-7. Taipei, 17-20 Nopember 1998. Tokyo: Springer, hal 31-37. Tesis Garcia-Sierra, A. 2000. Investigasi Penyebab Ca-Serviks pada Wanita Usia Subur di Perkotaan. Tesis PhD, Universitas Indonesia. Jurnal Artikel Elektronik (yang diunduh) Merchant, A.T. 2009. Diet dan Aktifitas Fisik pada AnakAnak di Kawasan Kumuh Perkotaan: sebuah Studi Cross Sectional. Jurnal Nutrisi [Online] Edisi 6. Dari: http://www.nutritionj.com/content/pdf/1475-28916.1.pdf [Diakses: 10 Mei 2007]. Web Page (yang dibaca) Thompson, B. 2006. Mengapa Balita Butuh ASI [Online]. Dari: http://news.bbc.co.uk/1/hi/health/459876 [Diakses: 10 Mei 2007]. Depkes RI. 2006. Panduan Imunisasi [Online]. Dari: http://www.depkes.go.id/bayi_panduan_imunisasi/2345 [Diakses: 19 Februari 2011].

Penulisan Naskah dituliskan dengan menggunakan Times New Roman 12, maksimal 20 halaman A4 spasi ganda, ditulis dengan program komputer Microsoft Word. Prosedur Naskah Naskah yang masuk hendaknya diterima 2 (dua) bulan sebelum waktu penerbitan untuk di-review oleh anggota dewan redaksi dan reviewer (mitra bestari) yang ditunjuk oleh Dewan Redaksi. Dewan Redaksi berhak menolak naskah ilmiah yang dianggap tidak layak muat di Jurnal Inovasi. Naskah diserahkan dalam 2 (dua) media yaitu hardcopy dan softcopy yang keduanya harus memuat isi yang sama. Nama file, judul dan nama penulis naskah dituliskan pada label CD. Pengiriman naskah ke alamat redaksi melalui surat elektronik ke : inovasibpp@gmail.com atau melalui pos ke : Dewan Redaksi Jurnal INOVASI Badan Penelitian Dan Pengembangan Provinsi Sumatera Utara Jl. Sisingamangaraja No. 198 Medan 20126 Redaksi berhak menolak naskah yang isi dan formatnya tidak sesuai dengan pedoman

penulisan naskah di atas dan redaksi tidak berkewajiban untuk mengembalikan naskah tersebut. Setiap penerimaan atau penolakan naskah akan disertai dengan surat resmi yang ditandatangani oleh Dewan Redaksi dan dikirimkan kepada penulis. Setiap penulis yang karya tulisnya telah diterbitkan, akan mendapat satu buah cetak lepas dan satu buah full print. Hak Cipta Setiap penulis menyetujui untuk mengalihkan hak ciptanya ke Jurnal Inovasi jika naskahnya diterima untuk diterbitkan.


INOVASI – Vol. 12, No.1, Maret 2015, halaman 1 - 76

Alamat Redaksi : BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PROVINSI SUMATERA UTARA Jl. Sisingamangaraja No. 198 Medan 20126 Tel. (061) 7866225; 7883016; Fax. (061) 7866248 Email : inovasibpp@gmail.com


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.