Jurnal Inovasi Desember 2014

Page 1

ISSN 1829-8079

INOVASI JURNAL POLITIK DAN KEBIJAKAN Vol. 11 No. 4, Desember 2014

Per an Dan Fungsi Kecamatan Dalam Penyelenggar aan Pemer intahan Daer ah (Studi Kasus: Pr ovinsi Sumater a Utar a) (Djoko Sulistyono, Anwar Siregar, Anung S.Hadi) Pengar uh Corporate Social Responsibility (CSR) Per usahaan Penanaman Modal Asing (Azizul Kholis) Faktor Penyebab Konflik Per tanahan di Sumater a Utar a (Anton Parlindungan Sinaga) Posyantek Sebagai Komponen Ekosistem Inovasi Untuk Pember dayaan UMKM (Carolina, Arie Sudaryanto, Arief Setyabudhi) Identifikasi Potensi Peluang Ekspor Komoditi Unggulan Daer ah di Sumater a Utar a (Silvia Darina) Studi Mekanisme Pengembangan Kur ikulum Tingkat Pendidikan Dasar dan Menengah di Amer ika Ser ikat (Studi Kasus Sistem Pendidikan di Amer ika Pada Level State) (Syaiful Sagala) Potensi, Kendala Dan Per an Teknologi Inovatif Budidaya Tebu Dalam Mendukung Pengembangan Tebu di Sumater a Utar a (Helmi, Catur Hermanto)

Diterbitkan oleh :

Badan Penelitian dan Pengembangan Provinsi Sumatera Utara Inovasi Vol. 11 No. 4

Hal. Medan ISSN 233 - 302 Desember 2014 1829 - 8079

Terakreditasi sebagai Majalah Berkala Ilmiah dengan Nomor Akreditasi: 532/AU2/P2MI-LIPI/04/2013


Volume 11, Nomor 4

Desember 2014

ISSN 1829-8079

Jurnal INOVASI adalah jurnal ilmiah bidang ilmu politik dan kebijakan yang terakreditasi dengan Nomor Akreditasi: 532/AU2/P2MI-LIPI/04/2013 berdasarkan Surat Keputusan Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Nomor : 377/E/2013 tanggal 16 April 2013 Jurnal INOVASI sebagai media litbang Provinsi Sumatera Utara memuat karya tulis ilmiah hasil penelitian atau tinjauan kepustakaan dalam bidang pemerintahan dan kemasyarakatan, sosial budaya, ekonomi dan pembangunan, sumberdaya alam dan maritim sebagai bahan kebijakan dan wawasan berpolitik yang terbit empat kali dalam setahun setiap bulan Maret, Juni, September dan Desember.

Penasehat Penanggung Jawab Pemimpin Redaksi Dewan Redaksi

Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Provinsi Sumatera Utara Sekretaris Badan Penelitian dan Pengembangan Provinsi Sumatera Utara Prof. Dr. H. Syaiful Sagala, S.Sos, M.Pd (Pendidikan, Universitas Negeri Medan) Prof. Dr. Dra. Ida Yustina, M. Si (Kesehatan, Universitas Sumatera Utara) Prof. Dr. Ir. Nurhayati, MP (Pertanian, Universitas Islam Sumatera Utara) Prof. Dr. Suharta, M.Si Teknik, Universitas Negeri Medan) Warjio, MA, PSD (Kesejahteraan Sosial, Universitas Sumatera Utara) Iskandar Muda, SE, M.Si., Ak (Ekonomi, Universitas Sumatera Utara) Suzanna Eddyono, S.Sos., M.Si.,MA (Sosiologi, Universitas Muhammadiyah Sumut) Jonni Sitorus, ST., M.Pd (Pendidikan, Balitbang Sumut)

Redaksi Pelaksana

Irwan Purnama, SE Nobrya Husni, ST Porman Juanda Marpomari Mahulae, ST

Tata Usaha dan Sirkulasi

Dumora Jenny Margaretha Siagian, ST Silvia Darina, SP Sahat C. Simanjuntak, ST Anton Parlindungan Sinaga, ST

1, Nomor 4, Desember 2014 Mitra Bestari Volume 111 2014 Badaruddin (Sosial dan Politik, Universitas Sumatera Utara) Zulkifli Nasution (Pertanian, Universitas Sumatera Utara) Julaga Situmorang (Pendidikan, Universitas Negeri Medan)) Harso Kardinata (Pertanian, Universitas Sumatera Utara) Fotarisman Zhaluchu (Kesehatan, Kabupaten Nias) Gustam Lubis (Teknik, Institut Teknologi Medan) Marlon Sihombing (Kebijakan Publik, Universitas Sumatera Utara)

Alamat Penerbit : BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PENGEMBANGAN PROVINSI SUMATERA UTARA Jl. Sisingamangaraja No. 198 Medan 20126 Tel. (061) 7866225; 7883016 - Fax. (061) 7866248 Website : http://balitbang.sumutprov.go.id Email : inovasibpp@gmail.com


PENGANTAR REDAKSI REDAKSI

Pembaca yang terhormat, Jurnal Inovasi kembali hadir di tengah-tengah para pembaca dan peminat ilmu pengetahuan sekalian. Pada edisi kali ini kami menyajikan berbagai tulisan dalam berbagai bidang. Tulisan yang berjudul Peran Dan Fungsi Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (Studi Kasus: Provinsi Sumatera Utara) menjadi tulisan pembuka dalam edisi ini, diikuti tulisan dengan judul Pengaruh Corporate Social Responsibility (CSR) Perusahaan Penanaman Modal Asing dan tulisan yang berjudul Faktor penyebab konflik pertanahan di Sumatera Utara. Untuk bidang ekonomi, edisi ini menyajikan tulisan berjudul Posyantek Sebagai Komponen Ekosistem Inovasi Untuk Pemberdayaan UMKM dan juga tulisan yang berjudul Identifikasi potensi peluang ekspor komoditi unggulan daerah di Sumatera Utara. Sedangkan tulisan yang berjudul Studi Mekanisme Pengembangan Kurikulum Tingkat Pendidikan Dasar dan Menengah di Amerika Serikat (Studi Kasus Sistem Pendidikan di Amerika Pada Level State) akan mengisi bidang pendidikan. Potensi, Kendala Dan Peran Teknologi Inovatif Budidaya Tebu Dalam Mendukung Pengembangan Tebu di Sumatera Utara merupakan tulisan yang menjadi penutup edisi ini. Kembali kami mengharapkan semoga tulisan-tulisan ini menjadi media bagi kita untuk mengetahui perkembangan dan mengevaluasi penelitian yang sudah pernah dilakukan. Terima kasih dan selamat membaca. -Dewan Redaksi-


Volume 11, Nomor 4

Desember 2014

ISSN 1829-8079

bebas.. Lembar abstrak ini boleh diperbanyak/dicopy Kata kunci yang ddiicantumkan adalah istilah bebas tanpa ijin dan biaya. DDC 320.8 Djoko Sulistyono, Anwar Siregar, Anung S.Hadi

Pengaruh Corporate Social Responsibility (CSR) Perusahaan Penanaman Modal Asing

Peran Dan Fungsi Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (Studi Kasus: Provinsi Sumatera Utara)

Inovasi, Jurnal Politik dan Kebijakan, Desember 2014, Vol 11, No. 4, halaman 242-249

Inovasi, Jurnal Politik dan Kebijakan, Desember 2014, Vol 11, No. 4, halaman 233-241

Penelitian ini secara kajian filosofis dan akademis didasarkan pada stakeholder theory, sedangkan secara praktis untuk memberikan kontribusi yang berkenaan dengan penerapan CSR dan CSP di Indonesia, secara khusus juga diharapkan dapat menjadi rujukan para pihak penentu kebijakan dunia usaha khususnya Pemerintah Provinsi Sumatera Utara dalam menyusun regulasi yang berkenaan dengan CSR, CSP dan investasi asing di daerah Provinsi Sumatera Utara. Sumber data penelitian ini adalah data primer, dan teknik pengumpulan data melalui Penyebaran kuesioner tahap I dilaksanakan selama 4 (empat) minggu dengan pengambilan sampel secara bertahap (multistage step sampling). Tahap 1 dilakukan sampel pengiriman kuesioner kepada seluruh Perusahaan sebagai popuasi penelitian melalui bantuan dari sub bidang pendataan PMA Badan Investasi dan Promosi Pemprovsu, Kemudian tahap 2 dikirimkan kembali kuesioner kepada perusahaan PMA selama 3 (tiga) minggu. Pengujian dilaksanakan dengan menggunakan alat analisis Structure Equation Model (SEM). dengan variabel CSR, CSP dan faktor internal maupun eksternal yang menjadi penentunya. Hasil pengembalian keseluruhan kuesioner adalah sebanyak 144 Perusahaan, namun setelah dilakukan pengecekan kembali pada lembar jawaban kuesioner maka data valid yang tersedia hanya 127 perusahaan, dengan tingkat pengembalian kuesioner (response rate 40,83%), hal ini sudah dapat memenuhi kriteria response rate yang baik diatas 30% dan memenuhi persyaratan jumlah sampel untuk pengolahan data statistik menggunakan analisis SEM dengan software AMOS versi 20. Berdasarkan pengujian hipotesis 1 sampai dengan Hipotesis 8 dapat disimpulkan bahwa keseluruhan variabel yang menjelaskan hubungan antara keseluruhan variabel penelitian yaitu CSR, berhubungan secara terstruktur dan simultan, berpengaruh secara signifikan. Artinya bahwa penggabungan faktor internal dan eksternal perusahaan dapat diterima. Saran penelitian ini untuk penelitian berikutnya adalah dapat dilaksanakan pada perusahaan bursa efek Indonesia, untuk melihat pelaksanaan penerapan CSR bagi perusahaan publik yang ada di Indonesia. Untuk penelitian berikutnya juga disarankan agar memasukkan variabel keuangan untuk diuji dalam penelitian CSR.

Tujuan penelitian ini adalah memposisikan camat agar dapat melakukan fungsi pelayanan publik di garda depan pemerintahan daerah, dan melakukan tugas umum pemerintahan dilakukan secara profesional sehingga camat secara otomatis mendapatkan pelimpahan kewenangan dari kepala daerah bupati atau walikota. Metode yang digunakan yaitu deskriptif analitis. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan kualitatif. Unit analisis yaitu kelembagaan kecamatan dan camat sebagai subyeknya. Saat ini banyak perubahan yang dihadapi camat dalam melakukan peran dan fungsinya. Nilai-nilai pamongpraja yang ideal terlihat dalam pelaksanaan pemilihan umum. Camat ikut berperan aktif, akan tetapi pada saat ini dituntut netral dalam menjalankan fungsinya yang semakin administratif, teritorial (kewilayahan) dan besarnya koordinasi yang harus dilakukan. Berdasarkan hasil penelitian di Provinsi Sumatera Utara menunjukan bahwa secara kelembagaan camat masih dibutuhkan. Oleh karena itu, akan sangat diperlukan penyerahan sebagian kewenangan dari bupati/walikota kepada camat dalam konteks sebagai “Kepala Wilayah� sesuai dengan proporsi, kapasitas dan spesifikasinya. Pemerintah daerah cenderung mengedepankan logika sektoral dan belum mampu memberdayakan kecamatan dalam logika kewilayahan. Diperlukan adanya regulasi yang dapat mengarahkan bupati/walikota untuk mendelegasikan sebagian kewenangan kepada camat secara terperinci. Selama ini, tidak ada kewajiban apalagi sanksi yang tegas kepada bupati/walikota yang tidak mendelegasikan sebagian kewenangannya kepada camat. Hal inilah yang harus dicermati oleh Pemerintah pada masa datang. Dengan adanya UndangUndang Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa, yang menyebutkan peran Camat hanya sebatas konsultatif semata. Hal ini merupakan kontras dengan tuntutan masyarakat yang heterogen yang dilematis dan masih menganggap Camat sebagai Kepala Wilayah. Hal ini menjadi tantangan tugas-tugas yang pada satu sisi melaksanakan tugas-tugas langsung ke masyarakat terkait hak-hak dasar warga masyarakat yang harus dipenuhi (tugas pelayanan publik dan pemerintahan umum) dengan yang menuntut fungsi Camat sebagai administratur kewilayahan.

Kata kunci : Internal, Eksternal, CSR, CSP, PMA

Kata Kunci : kecamatan, pemerintahan umum, kewenangan, kelembagaan, sumber daya manusia

DDC 361.2 Anton Parlindungan Sinaga

DDC 654.408 Azizul Kholis

Faktor Penyebab Konflik Pertanahan di Sumatera Utara Inovasi, Jurnal Politik dan Kebijakan, Desember 2014, Vol 11, No. 4, halaman 250-261


Konflik pertanahan menjadi permasalahan yang terjadi pada saat ini terutama konflik pertanahan yang ada di Sumatera Utara. Konflik pertanahan dapat terjadi antara warga dan pemerintah, warga dan perusahaan, dan warga dengan warga. Penjarahan tanah atau umum disebut landgrabbing dimaknai sebagai pelepasan tanah yang membutuhkan tanah dalam skala yang luas untuk kebutuhan usaha yang secara langsung maupun tidak langsung dapat memicu perebutan sumberdaya dan konflik tanah yang tidak terelakkan yang berujung pada pelanggaran hak asasi manusia karena ketidakseimbangan antara kekuatan capital versus masyarakat. Adapun tujuan penelitian ini adalah mengkaji apakah faktor masyarakat, faktor pemerintah, faktor hukum, faktor budaya, faktor penegakan hukum, dan faktor administrasi pertanahan yang menjadi penyebab konflik pertanahan berpengaruh terhadap banyaknya jumlah konflik pertanahan yang ada di Sumatera Utara dan diantara faktor-faktor tersebut faktor apakah yang paling berpengaruh terhadap banyaknya konflik pertanahan yang terjadi di Sumatera Utara. Metode yang digunakan adalah metode kualitatif dan kuantitatif. Analisis kuantitatif yang digunakan adalah analisis regresi untuk melihat pengaruh faktor masyarakat, pemerintah, budaya, penegakan hukum, pertanahan dan administrasi pertanahan terhadap jumlah konflik tanah yang ada di Sumatera Utara. Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor masyarakat, pemerintah, hukum, budaya, penegakan hukum, dan administrasi pertanahan yang menjadi penyebab konflik pertanahan secara bersamaan berpengaruh signifikan terhadap jumlah konflik pertanahan yang ada di Sumatera Utara dengan tingkat kepercayaan hingga 90,08%, diantara faktor masyarakat, pemerintah, hukum, budaya, penegakan hukum, dan administrasi tanah maka faktor yang berpengaruh secara parsial terhadap banyaknya jumlah konflik pertanahan di Sumatera Utara adalah faktor masyarakat dan faktor pemerintah. Kata Kunci: konflik tanah, hukum, agraria DDC 302.14 Carolina, Arie Sudaryanto, Arief Setyabudhi Posyantek Sebagai Komponen Ekosistem Inovasi Untuk Pemberdayaan UMKM Inovasi, Jurnal Politik dan Kebijakan, Desember 2014, Vol 11, No. 4, halaman 262-270 Pos Pelayanan Teknologi (Posyantek) adalah lembaga pelayanan teknologi tepat guna yang berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 20 Tahun 2010 disarankan agar dibentuk di setiap kecamatan. Posyantek diharapkan dapat menjembatani kepentingan masyarakat terhadap teknologi tepat guna, sehingga inovasi di masyarakat khususnya usaha mikro kecil menengah dapat ditingkatkan. Meskipun dikuatkan oleh Peraturan Menteri, hanya beberapa wilayah di Indonesia yang menanggapi kebijakan ini, diantaranya adalah Kabupaten Bandung. Didasari oleh kebijakan pemerintah kabupaten, setiap kecamatan membentuk Posyantek dan salah satu diantaranya adalah Posyantek Mitra Mandiri di Kecamatan Cimaung. Pada tahun 2012, Posyantek ini mendapatkan penghargaan nasional sebagai salah satu Posyantek terbaik di Indonesia. Sampai saat ini, Posyantek Mitra Mandiri mampu membuktikan keberlanjutannya sebagai unit pendamping UMKM di kecamatan, bahkan menjadi inspirasi bagi Posyantek di wilayah lain. Melalui studi kasus, langkah tindak mereka dalam menyelenggarakan fungsi intermediasi bagi usaha mikro kecil menengah dipelajari. Diskusi terarah dan wawancara mendalam dilakukan terhadap pengurus Posyantek dan kelompok usaha yang didampingi untuk mengenali peran lembaga tersebut khususnya dalam mendukung pengembangan inovasi masyarakat. Dapat disimpulkan bahwa kemampuan Posyantek Mitra Mandiri dalam memanfaatkan berbagai komponen didalam ekosistem inovasi daerah menjadi salah satu hal pokok yang menentukan keberhasilan mereka. Komponen penting yang didayagunakan adalah pemerintah, UMKM, lembaga pendidikan, dan masyarakat. Selanjutnya,

faktor tim dan organisasi yang dibangun berdasarkan musyawarah dengan wakil masyarakat ikut menentukan, sehingga unit ini diterima sebagai bagian integral dari ekosistem di wilayah tersebut. Terwujudnya jalinan kerjasama dengan daerah lain dalam menjembatani kebutuhan teknologi tepat guna menegaskan peran strategis Pos Pelayanan Teknologi Tepat Guna potensial sebagai komponen penting di ekosistem inovasi nasional. Kata kunci: Kecamatan Cimaung, lembaga intermediasi, posyantek, UMKM DDC 658.401 Silvia Darina Identifikasi Potensi Peluang Ekspor Komoditi Unggulan Daerah di Sumatera Utara Inovasi, Jurnal Politik dan Kebijakan, Desember 2014, Vol 11, No. 4, halaman 271-287 Sumatera Utara memiliki potensi besar untuk menggandakan perolehan ekspor berbagai komoditi pertanian di satu sisi dan menekan impor, terutama komoditi-komoditi pertanian yang dapat dibudidayakan di daerah. Pelaksanaan kegiatan Identifikasi Potensi Peluang Ekspor Komoditi Unggulan Daerah di Sumatera Utara bertujuan untuk menganalisis secara lebih mendalam mengenai potensi, daya saing dan peluang ekspor dari masing-masing komoditi unggulan sektor pertanian daerah di Sumatera Utara. Komoditi unggulan daerah Sumatera Utara yang memiliki potensi pangsa ekspor dan peningkatan pertumbuhan proyeksi volume ekspornya, adalah : Kopi di Kabupaten Dairi, Jagung di Kabupaten Simalungun dan Kubis di Kabupaten Karo. Hasil analisis indeks Location Quotient (LQ) pada masing-masing komoditi dan daerah di Sumatera Utara, diperoleh komoditi-komoditi yang dibedakan berdasarkan yakni : Komoditi unggulan, terdiri dari : Kelapa di Kabupaten Asahan, Kakao di Kabupaten Serdang Bedagai, Ubi Kayu di Kabupaten Simalungun, Nenas di Kabupaten Tapanuli Utara, Pisang di Kabupaten Deli Serdang, Salak di Kabupaten Tapanuli Selatan, Kedelai di Kabupaten Langkat dan Jeruk di Kabupaten Karo. Komoditi bukan unggulan adalah cabe di Kabupaten Karo. Hasil analisis Revealed Comparative Advantage (RCA) untuk mendapatkan daya saing masingmasing komoditi di Sumatera Utara dibedakan, yakni: Komoditi unggulan yang memiliki daya saing dengan nilai pangsa ekspor komoditi Sumatera Utara lebih besar dibandingkan pangsa ekspor komoditi Indonesia, terdiri dari : Kelapa, Cabe, Jeruk. Komoditi dengan nilai pangsa ekspor komoditi Sumatera Utara lebih kecil dibandingkan pangsa ekspor komoditi Indonesia, terdiri dari : Kakao, Ubi Kayu. Nenas, Pisang, Kedelai. Berdasarkan hasil analisis peramalan untuk peluang ekspor dari masing-masing komoditi unggulan sektor pertanian di Sumatera Utara dibedakan, yakni : Komoditi dengan peningkatan pertumbuhan proyeksi volume ekspor, terdiri dari : Ubi Kayu, Nenas, Pisang, Kedelai. Komoditi dengan penurunan pertumbuhan proyeksi volume ekspor, terdiri dari : Jeruk, Kelapa, Kakao, dan Cabe. Komoditi yang tidak memiliki nilai pertumbuhan proyeksi volume ekspor yakni salak. Kata kunci: Identifikasi, peluang, ekspor, komoditi, unggulan DDC 375.001 Syaiful Sagala Studi Mekanisme Pengembangan Kurikulum Tingkat Pendidikan Dasar dan Menengah di Amerika Serikat (Studi Kasus Sistem Pendidikan di Amerika Pada Level State) Inovasi, Jurnal Politik dan Kebijakan, Desember 2014, Vol 11, No. 4, halaman 288-295 Penelitian ini untuk mengetahui bagaimana mekanisme pengembangan kurikulum tingkat Pendidikan Dasar dan


Menengah di Amerika Serikat. Penelitian ini adalah studi kasus dengan pendekatan kualitatif. Data dan informasi pengamatan dan wawancara diperoleh melalui Focus Group Discussion. Data tertulis diperoleh dari dokumen dokumen tertulis yang terkait dengan penelitian ini. Tempat penelitian ini adalah U. S. Departement of Education Office of Elementary and Secondary Education di Washington DC, Seminole County Public Charter School dan Seminole County Public School Lyman High Scool di Orlando Florida, dan Salam Academy dan Rio Americano High School di Sacramento California. Temuan penelitian ini kurikulum dikembangkan oleh suatu tim yang terdiri dari guru, orang tua siswa, pakar pendidikan. Setelah kurikulum diuji publik, maka Dewan Pendidikan mengesahkan kurikulum dan pihak sekolah dapat menerapkannya. Tidak ada kurikulum nasional, sesuai aturan kurikulum menjadi urusan pemerintah negara bagian dan menjadi tanggung jawab pemerintah lokal. Mekanisme penyusunan kurikulum bottom up dan menjunjung tinggi asas demokrasi maupun keadilan. Semua kurikulum di atasi oleh State, County, District, dan School (Negara bagian dan pemerintah Lokal) sebagai perwujudan demokrasi pendidikan. Pemerintah Federal (pusat) tidak terlibat dalam merumuskan kurikulum. Pemerintah Federal mendukung dana pengembangan kurikulum dan kebutuhan tes yang diperlukan negara bagian, pemerintah lokal, dan sekolah. Masyarakat, Teachers Union berkolaborasi dengan State, District, dan Sekolah untuk menjamin tersedianya kurikulum sesuai kebutuhan dan terhindar dari kesalahan. State bertanggung jawab tentang kurikulum, penerimaan guru, dan ujian. District boleh mencetak buku, menentukan gaji guru, dan alokasi anggaran di sekolah atas persetujuan Dewan Pendidikan setempat. Proses pembelajaran dalam implementasi kurikulum, tidak mendikte murid, tetapi menggali potensi murid dan melatih murid mampu memecahkan masalah secara tepat dan terhindar dari kesalahan. Rekomendasi pnelitian: (1) pemerintah hendaknya cukup hanya menentukan standar kurikulum, tetapi yang mengembangkannya adalah masing masing daerah sesuai semangat otonomi daerah; dan (2) guru agar proses pembelajaran tidak mendikte tetapi memfasilitasi murid belajar. Kata Kunci: Kurikulum, Pembelajaran, kebijakan, pemerintah lokal DDC 630.7 Helmi, Catur Hermanto Potensi, Kendala Dan Peran Teknologi Inovatif Budidaya Tebu Dalam Mendukung Pengembangan Tebu di Sumatera Utara Inovasi, Jurnal Politik dan Kebijakan, Desember 2014, Vol 11, No. 4, halaman 296-302 Di Sumatera Utara terdapat beberapa perkebunan tebu yang cukup luas (mencapai 11,997 ha), baik itu perkebunan tebu milik rakyat maupun milik negara yang dikelola oleh Peseroan Terbatas Perkebunan Nusantara II (PTPN II). Kendala yang dihadapi untuk target pencapaian swasembada gula antara lain produktivitas, rendemen gula yang masih rendah dan luas lahan yang terbatas. Metodologi yang digunakan adalah desk study, dimana dilakukan untuk mengidentifikasi potensi dan kendala yang ada dalam upaya mendukung program swasembada gula di Sumatera Utara. Hasil kajian menunjukkan bahwa meskipun tanaman tebu sudah lama dibudidayakan oleh petani, namun produktivitas dan rendemen gula yang dihasilkan petani masih tergolong rendah yaitu 70 ton/ha dengan rendemen 6%. Hal ini salah satunya disebabkan oleh iklim yang kurang mendukung untuk budidaya tebu karena jumlah bulan kering yang kurang dari 6 bulan. Upaya pencapaian swasembada gula di Sumatera Utara direkomendasikan melalui dua jalur, yakni melalui peningkatan produktivitas tebu per satuan luas, serta peningkatan rendemen tebu. Hal ini dapat dilakukan melalui: 1. rawat ratoon dengan menerapkan rekomendasi teknologi budidaya yang baik terhadap pertanaman tebu yang sudah ada; 2. Perbaikan teknik panen; 3. Penerapan sistem tanam

juring ganda dan menggunakan varietas tebu rendemen tinggi yang adaptif. Selain itu juga perlu ditempuh kebijakan berupa penyediaan alsintan dalam upaya pengolahan tanah dan penebangan tebu yang efektif dalam upaya efisiensi biaya dan tenaga dan pengurangan kehilangan hasil, serta penguatan kelembagaan Asosiasi Petani Tebu Rakyat Intensif (APTRI). Kata Kunci: tebu, potensi, kendala, rekomendasi



Volume 11, Nomor 4

Desember 2014

ISSN 1829-8079

The discriptors given are keywords. The abstrack abstrack sheet may by reproduced/ copied without permission or charge DDC 362.5 Djoko Sulistyono, Anwar Siregar, Anung S.Hadi Role And Functions Of District In Local Governance (Case Studies: North Sumatera Province) Inovasi, Journal of Politics and Policy, Desember 2014, Vol 11, No. 4, p. 233-241 The purpose of this study is to position the Sub-district in order to perform the functions of public service at the forefront of local Government and public administration tasks done profesionally so that sub-district automatically get transferred authority of the Head of Region, namely the Regent or the Mayor. The method used is descriptive. The approach used is a qualitative approach. The unit of analysis is the institutional district and sub-district as a subject. Today, many changes facing the district head in performing its role and function. The values shown in the ideal municipal elections. Camat take on active role, but the moment demanded neutral in carrying out its functions are more administrative, territorial (region) and the amount of coordination that must be done. Based on the results of research in the province of North Sumatra shows that the institutional still needed. Therefore, it is necessarry delivery of some of the authority of the Regent or Mayor District Head in the context as “Head Region”. In proportion, and the specifications capacity. Local governments tend to promote sectoral logic and have not been able to empower sub- districts with in the territorial logic. Would be necessarry any regulations that may force the Regent or Mayor to delegate some authority to the sub-district in detail. So far, there is no doubt much less strict obligations to the Regent or Mayor who does not delegate be observed in the future government. With the Law No.6 of 2014 on the village, which mentions only a consultative role of the sub-district alone. It is contrast with the demands of a heterogeneous society dilemma and still considers sub-district as Regional Chief. It becomes challenging tasks on the one hand carrying out tasks directly related to the community’s basic rights of people who have to be met (the task of public services and public adminstration) with the demand function as a sub-district regional administrator. Keywords

:

districts, public administration, institutional, human resources

authority,

DDC 333.7 Azizul Kholis Corporate Social Responsibility (CSR) Influences of Foreign Investment Company Inovasi, Journal of Politics and Policy, Desember 2014, Vol 11, No. 4, p. 242-249 This research study is based on the philosophical and academic stakeholder theory, while in practice to contribute with regard to the implementation of CSR and CSP in Indonesia, in particular also expected to be a reference for the business world policy

makers, especially North Sumatra provincial government in drafting regulations with respect to CSR, CSP and foreign investment in the province of North Sumatra. Source of this research is the primary data, and data collection through questionnaires Deployment Phase I held since July 15 s / d August 24, 2014 by sampling in stages (step multistage sampling). Phase 1 study sample questionnaire delivery to the entire company as popuasi research through the assistance of data sub.bidang PMA Investment and Promotion Agency Pemprovsu, then phase 2 questionnaires sent back to the foreign company since the date of 27 September 2014 s / d October 11, 2014. Tests conducted with using analytical tools Structure Equation Model (SEM) with variable CSR, CSP and internal and external factors which became the determining. Returns the overall results of the questionnaire are as many as 144 company, but after checking back on the answer sheet the data is valid questionnaires are available only 127 companies, with a return rate of questionnaires (response rate of 40, 83%), it has been able to meet the criteria of a good response rate above 30% (we have now, 2002), and meet the requirements of the number of samples for statistical data processing using analysis of Structure Equation Model (SEM) with AMOS software version 20. Based on hypothesis testing hypotheses 1 through 8 can be concluded that the overall variables that explain the relationship between the overall CSR research variables namely, dealing in a structured and simultaneously, a significant effect. This means that the incorporation of internal and external factors can be accepted. This research suggestions for the next research is that it can be implemented on the Indonesian stock exchange company, to see the implementation of CSR peenerapan for public companies in Indonesia. For subsequent studies also suggested that incorporate financial variables to be tested in the CSR research.. Keywords : Internal factors, External, CSR, CSP, Foreign Investment DDC 631.8 Anton Parlindungan Sinaga Caused Factor Of Land Conflict In North Sumatra Inovasi, Journal of Politics and Policy, Desember 2014, Vol 11, No. 4, p. 250-261 The problem of land conflicts that occur at this time, especially conflict over land in North Sumatra. Land conflict can occur between the citizens and the government, citizens and companies, and citizens with citizens. Looting public lands or called land grabbing interpreted as a waiver of land requiring land on a broad scale to the needs of businesses that directly even can indirectly lead to the seizure of land resources and the inevitable conflicts that lead to human rights violations because of the imbalance between the power of capital versus community . The purpose of this study is to examine whether the factors of society, government factors, legal factors, cultural factors, factors of law enforcement, and land administration factors that cause land conflicts affect the large number of land conflict in


North Sumatra and among these factors factor what are the most influence on the amount of land conflict that occurred in North Sumatra. The method used was qualitative and quantitative methods. quantitative analysis used regression analysis to see the influence of society, government, culture, law enforcement, land and land administration to conflict amount of land in North Sumatra. The results showed that the factors of society, government, law, culture, law enforcement, and administration of land is the cause of conflict over land simultaneously significant effect on the amount of land conflict in North Sumatra with a confidence level of up to 90.08%, factor among the society, government, law, culture, law enforcement, and administration of the factors that influence soil partially to the large number of land conflict in North Sumatra is a factor of society and government factors. Keywords : land conflicts, legal, agrarian DDC 333.76 Carolina, Arie Sudaryanto, Arief Setyabudhi Posyantek As a Component Of Innovation Ecosystem For Sme’s Empowerment Inovasi, Journal of Politics and Policy, Desember 2014, Vol 11, No. 4, p. 262-270 According to Regulation of the Ministry of Internal Affairs 20 – 2010, Technology Service Unit (TSU), or Posyantek, is a recommended unit to be developed in every Sub District. It is hoped that Posyantek could serve as abrigde of appropriate technology sources to people’s need. Only few regions respond positively, and one of it is Bandung District that promote the establishment of Mitra Mandiri TSU in Cimaung Sub District. Through a case study approach, we conducted an investigation on how they perform the intermediary role for micro-small and medium scale enterprises. Guided discussion and in depth interview were conducted with the Posyantek managers and also small businesses who are assisted by the Posyantek. It can be concluded that important determining factors for their performance are the support from the social system and local government as well The fact that Posyantek is an integrated part of the regional ecosystem, be it social and physical, is undoubtly the strength for developing effective bridge for community’s need of appropriate technology to relevant external bodies. The capability of Posyantek Mitra Mandiri to support other regions need is an evident that Posyantek could be considered as important part of the national innovation ecosystem. Keywords : Cimaung district, intermediary role, posyantek, SME’s DDC 613 Silvia Darina Identifying Potential for Commodity Export Opportunities in North Sumatra Inovasi, Journal of Politics and Policy, Desember 2014, Vol 11, No. 4, p. 271-287 North Sumatera has a great potential to double the export earnings of various agricultural commodities on the one hand and reduce imports, especially of agricultural commodities that can be cultivated in the area. Implementation of activities Identification of Potential Regional Commodity Export Opportunities in North Sumatra aims to analyze in more depth about the potential, competitiveness and export opportunities of each commodity agricultural sector in the region of North Sumatra. Leading commodities North Sumatra that have the potential share of exports and an increase in export volume growth projections, are: Coffee in Dairi. Corn in Simalungun. Cabbage in Karo. The results of the analysis of the index Location Quotient (LQ) for each commodity and region in North Sumatra,

obtained commodities which are distinguished by the: Main commodity, consisting of: Coconut in Asahan, in Serdang Bedagai Cocoa, Cassava in Simalungun, Pineapple in North Tapanuli, Bananas in Deli Serdang, Salak South Tapanuli, Soybean in Langkat and Orange in Karo. Commodity unseeded is chili in Karo. The results of the analysis of Revealed Comparative Advantage (RCA) to get the competitiveness of each commodity in North Sumatra distinguished, namely: commodity of which are competitive with the value of the commodity export share of North Sumatra is greater than the share of commodity exports Indonesia, consisting of: Coconut, Chilli, Orange. Commodities to the value of the commodity export share of North Sumatra is smaller than the share of commodity exports Indonesia, consisting of: Cocoa, Cassava. Pineapple, Banana, Soy. Based on the analysis of forecasting for export opportunities of each commodity agricultural sector in North Sumatra distinguished, namely: Commodities with an increase in export volume growth projections, consisting of: Cassava, Pineapple, Banana, Soy. Commodities with a decrease in the projected growth of export volumes, consisting of: Citrus. Coconut. Cocoa. Cabe. Commodity which does not have a projected growth rate of export volume of the bark. Keywords : Identification, opportunity, export, commodity, featured DDC 658.306 Syaiful Sagala Study Of Curriculum Development Mechanism For Basic and Secondary Education in United State (Case Study in American Education System in State Level) Inovasi, Journal of Politics and Policy, Desember 2014, Vol 11, No. 4, p. 288-295 The aim of this study is to know how mechanism of curriculum development at Elementary School and Junior High School in United States. This study is a case study with qualitative approach. The data and the information of observation and interview were gained through Focus Group discussion. The written data was gained from written documents which related to this study. The place of this study is U. S. Departement of Education Office of Elementary and Secondary Education in Washington DC, Seminole County Public Charter School and Seminole County Public School Lyman High Scool di Orlando Florida, and Salam Academy and Rio Americano High School in Sacramento California. The finding of this study is curriculum which is developed by a team which consists of teachers, students’ parents and educational experts. After the curriculum is tested by public, so educational council made validity of curriculum and school can apply it. There is no national curriculum, it is appropriate with curriculum rules which become state government business and it is the responsibility of local government. The mechanism of bottom up curriculum arrangement and hold in the high esteem of democracy principle and justice. All curriculum solved by State, County, District, and School (State and Local Government) as the embodiment of democracy education. Federal Government (center) is not involved in formulating the curriculum. Federal Government funding support curriculum development and testing requirements necessary state, local governments, and schools. Society, Teachers Union in collaboration with the State, District, and School to ensure the curriculum as needed and avoid mistakes. State in charge of curriculum, teacher acceptance, and exams. District may print books, determine the salaries of teachers, and the school budget allocation with the approval of the local Board of Education. The learning process in the implementation of the curriculum, students do not dictate, but to explore the potential of students and to train students able to solve the problem properly and avoid mistakes. Recommendation: (1) the government should quite simply sets the standard curriculum, but which developed it is each area corresponding spirit of regional autonomy; and (2) the teacher


for the learning process does not dictate but to facilitate student learning. Keywords : Curriculum, Instruction, Policy, Local Government DDC 658.306 Helmi, Catur Hermanto Potential, Challenges and the Role Of Innovative Technology of Sugarcane Cultivation to Support Sugarcane Development in North Sumatra Inovasi, Journal of Politics and Policy, Desember 2014, Vol 11, No. 4, p. 296-302 In North Sumatra, there are some fairly extensive sugar cane plantations, about 11.997ha of either sugar cane plantation owned by the people or the State under management of Perseroan Terbatas Perkebunan Nusantara II (PTPN II). The production, however, did not sufficient sugar need of the province. This metodology desk study has been done to identify potency and problems of the province to support sugar self sufficiency of North Sumatera. The result showed that even though sugar cane has been cultivated for long time, but the productivity and yield of sugar produced are still relatively low at 70 tonnes/hawith 6% of sugar yield. Of theobstacles encountered, climate is one of the factors, where the number of dry months less than 6 months a year unfavourable toobtain a high sugar yield. Target of sugar sufficiency can be reached through increase productivity of sugar cane, and increase of sugar yield. It can be done throgh the following recommendations: 1. Ratoon cultivation and implementation of optimum mangement of the existing crops; 2. Improvement of harvesting techniques; and 3. Implementation of double row system, and planting of high yiled – adaptive varieties. Beside of that, a policy should be built to provide agriculture machinery such as effective plower and harvester tools, and empowerment of the existing Intensive Cane Farmers Association(Asosiasi Petani Tebu Rakyat Intensif = APTRI) Keywords : sugar cane, potency, obstacle, recommendation



Volume 11, Nomor 4

Desember 2014

ISSN 1829-8079

DAFTAR ISI

Halaman Peran Dan Fungsi Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (Studi Kasus: Provinsi Sumatera Utara) Utara)

233-241

(Djoko Sulistyono, Anwar Siregar, Anung S.Hadi) Pengaruh Pengaruh Corporate Social Responsibility (CSR) Perusahaan Penanaman Modal Asing

242-249

(Azizul Kholis) Faktor Penyebab Konflik Pertanahan di Sumatera Utara

250-261

(Anton Parlindungan Sinaga) Posyantek Sebagai Komponen Ekosistem Inovasi Untuk Pemberdayaan UMKM

262-270

(Carolina, Arie Sudaryanto, Arief Setyabudhi) Identifikasi Potensi Peluang Ekspor Komoditi Unggulan Daerah di Sumatera Utara (Silvia Darina)

271-287

Studi Mekanisme Pengembangan Kurikulum Tingkat Pendidikan Dasar dan Menengah di Amerika Serikat (Studi Kasus Sistem Pendidikan di Amerika Pada Level State)

288-295

(Syaiful Sagala) Potensi, Kendala Dan Peran Teknologi Inovatif Budidaya Tebu Dalam Mendukung Pengembangan Tebu di Sumatera Utara

(Helmi, Catur Hermanto)

296-302


Peran Dan Fungsi Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (Studi Kasus: Provinsi Sumatera Utara) (Djoko Sulistyono, Anwar Siregar, Anung S.Hadi)

Hasil Penelitian PERAN DAN FUNGSI KECAMATAN DALAM PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DAERAH (STUDI KASUS: PROVINSI SUMATE SUMATERA UTARA)

(ROLE AND FUNCTIONS FUNCTIONS OF DISTRICT IN LOCAL GOVERNANCE (CASE STUDIES: NORTH SUMATE SUMATERA PROVINCE) PROVINCE)) Djoko Sulistyono, Sulistyono, Anwar Siregar, Anung S.Hadi Pusat Litbang Pemerintahan Umum dan Kependudukan Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Dalam Negeri Jl. Kramat Raya No. 132 Jakarta Pusat e-mail: djoksul2013@gmail.com

Diterima: 15 September 2014; Direvisi: 13 September 2014; Disetujui:24 November 2014

ABSTRAK Tujuan penelitian ini adalah memposisikan camat agar dapat melakukan fungsi pelayanan publik di garda depan pemerintahan daerah, dan melakukan tugas umum pemerintahan dilakukan secara profesional sehingga camat secara otomatis mendapatkan pelimpahan kewenangan dari kepala daerah bupati atau walikota. Metode yang digunakan yaitu deskriptif analitis. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan kualitatif. Unit analisis yaitu kelembagaan kecamatan dan camat sebagai subyeknya. Saat ini banyak perubahan yang dihadapi camat dalam melakukan peran dan fungsinya. Nilai-nilai pamongpraja yang ideal terlihat dalam pelaksanaan pemilihan umum. Camat ikut berperan aktif, akan tetapi pada saat ini dituntut netral dalam menjalankan fungsinya yang semakin administratif, teritorial (kewilayahan) dan besarnya koordinasi yang harus dilakukan. Berdasarkan hasil penelitian di Provinsi Sumatera Utara menunjukan bahwa secara kelembagaan camat masih dibutuhkan. Oleh karena itu, akan sangat diperlukan penyerahan sebagian kewenangan dari bupati/walikota kepada camat dalam konteks sebagai “Kepala Wilayah� sesuai dengan proporsi, kapasitas dan spesifikasinya. Pemerintah daerah cenderung mengedepankan logika sektoral dan belum mampu memberdayakan kecamatan dalam logika kewilayahan. Diperlukan adanya regulasi yang dapat mengarahkan bupati/walikota untuk mendelegasikan sebagian kewenangan kepada camat secara terperinci. Selama ini, tidak ada kewajiban apalagi sanksi yang tegas kepada bupati/walikota yang tidak mendelegasikan sebagian kewenangannya kepada camat. Hal inilah yang harus dicermati oleh Pemerintah pada masa datang. Dengan adanya Undang-Undang Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa, yang menyebutkan peran Camat hanya sebatas konsultatif semata. Hal ini merupakan kontras dengan tuntutan masyarakat yang heterogen yang dilematis dan masih menganggap Camat sebagai Kepala Wilayah. Hal ini menjadi tantangan tugas-tugas yang pada satu sisi melaksanakan tugas-tugas langsung ke masyarakat terkait hak-hak dasar warga masyarakat yang harus dipenuhi (tugas pelayanan publik dan pemerintahan umum) dengan yang menuntut fungsi Camat sebagai administratur kewilayahan. Kata kunci:

kecamatan, pemerintahan umum, kewenangan, kelembagaan, sumber daya manusia

ABSTRACT The purpose of this study is to position the Sub-district in order to perform the functions of public service at the forefront of local Government and public administration tasks done profesionally so that sub-district automatically get transferred authority of the Head of Region, namely the Regent or the Mayor. The method used is descriptive. The approach used is a qualitative approach. The unit of analysis is the institutional district and sub-district as a subject. Today, many changes facing the district head in performing its role and function. The values shown in the ideal municipal elections. Camat take on active role, but the moment demanded neutral in carrying

233


Inovasi Vol 11 No. 4 Desember 2014 : 233-241

out its functions are more administrative, territorial (region) and the amount of coordination that must be done. Based on the results of research in the province of North Sumatra shows that the institutional still needed. Therefore, it is necessarry delivery of some of the authority of the Regent or Mayor District Head in the context as “Head Region”. In proportion, and the specifications capacity. Local governments tend to promote sectoral logic and have not been able to empower sub- districts with in the territorial logic. Would be necessarry any regulations that may force the Regent or Mayor to delegate some authority to the sub-district in detail. So far, there is no doubt much less strict obligations to the Regent or Mayor who does not delegate be observed in the future government. With the Law No.6 of 2014 on the village, which mentions only a consultative role of the sub-district alone. It is contrast with the demands of a heterogeneous society dilemma and still considers sub-district as Regional Chief. It becomes challenging tasks on the one hand carrying out tasks directly related to the community’s basic rights of people who have to be met (the task of public services and public adminstration) with the demand function as a sub-district regional administrator. Keywords: districts, public administration, authority, institutional, human resources

dikurangi dan sebagian diserahkan kepada Onder District. Keadaan ini berjalan terus sampai saat sesudah kemerdekaan di mana menurut hukum positif, Kecamatan pengganti nama dari Onder District, ditetapkan sebagai wilayah administratif yang menjalankan asas dekonsentrasi. Sedangkan district atau Kawedanan mengalami likuidasi ataupun akhirnya mengalami metamorfosa sebagai Pembantu Bupati/Walikota. Di tanah Pasundan dahulu kala dikenal istilah “Cutak” yang tugas dan kewenangannya hampir sama dengan Camat dewasa ini, yaitu membina dan mengawasi suatu wilayah yang terdiri dari beberapa Desa atau Dusun (Sadu Wasistiono, dkk, 2009). Selain itu dikenal pula istilah “Kemantren”, yaitu suatu wilayah tertentu yang dibina secara intensif oleh seorang Mantri Polisi (Pagar Praja). Kemantren ini merupakan bagian dari suatu Kecamatan, yang sekaligus merupakan embrio bagi pembentukan kecamatan baru. Studi tentang kecamatan yang pernah dilakukan ahli asing yaitu: Donald D. Fagg (1958), yang mengkaji Camat dengan kantornya. Selain itu, terdapat studi lain yang dilakukan oleh Nico Schulte Nordholt (1987), yang mengkaji organisasi pemerintah kecamatan dengan menitikberatkan pada hubungan camat dengan lurah (kepala desa). Menurut Nordholt, kajian tentang kecamatan berarti mencakup tiga lingkungan kerja, yaitu: a) Kecamatan dalam arti kantor camat; b) Kecamatan dalam arti wilayah, dalam arti seorang camat sebagai kepalanya; dan, c) Camat sebagai Bapak “Pengetua Wilayahnya” (Nordholt, 1987). Perbincangan tentang Kecamatan dan mendudukannya sebagai salah satu subsistem pemerintahan khususnya sistem pemerintahan daerah dapat dimulai dengan pendekatan konstitusional. Menurut Pasal 18 UndangUndang Dasar (UUD) 1945 dan penjelasannya, daerah Indonesia dibagi atas daerah besar dan

PENDAHULUAN Kecamatan dalam sejarah perjalanan Indonesia sejak kemerdekaan hingga saat ini memiliki eksistensi yang sangat penting dan unik dengan peran-peran penting yang disandangnya. Pengingkaran terhadap Kecamatan dan Camat sebenarnya merupakan sesuatu yang tidak berdasar, a-historis, dan perlu segera diluruskan kembali oleh Pemerintah. Bila hal ini dapat menimbulkan permasalahan-permasalahan yang mengganggu jalannya pemerintahan dan pelayanan publik di daerah-daerah. Kecamatan merupakan salah satu entitas pemerintahan yang memberikan pelayanan langsung maupun tidak langsung. Kecamatan mempunyai kedudukan cukup strategis dan memainkan peran fungsional dalam pelayanan dan administrasi pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan. Keberadaan lembaga Kecamatan di Indonesia, sudah cukup lama, jauh sebelum masa kemerdekaan Indonesia. Pada zaman Kediri (abad XII-XIII), telah terdapat suatu organisasi yang disebut Wiyasa yang membawahi beberapa Desa. Wiyasa ini setingkat dengan Kecamatan yang ada pada masa sekarang. Dengan demikian, masyarakat Indonesia sudah sangat mengenal bentukbentuk organisasi seperti Kecamatan (Djuliati, 1989). Keberadaan institusi Kecamatan telah lama ada dan berakar pada budaya bangsa Indonesia. Pada zaman penjajahan Belanda telah terbentuk organisasi pemerintah setingkat Kecamatan yang disebut “Onder District”. Sesuai dengan namanya Onder District merupakan bagian dari suatu district (kawedanan). Kepala Onder District atau juga disebut Asisten Wedana mempunyai tugas dan fungsi membantu Kepala District. Dalam perjalanan waktu serta seiring dengan perubahan di bidang politik pemerintahan, wewenang dan peranan district

234


Peran Dan Fungsi Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (Studi Kasus: Provinsi Sumatera Utara) (Djoko Sulistyono, Anwar Siregar, Anung S.Hadi)

perlu menjadi catatan, bahwa Peraturan Pemerintah (PP) No. 19 Tahun 2008 tentang Kecamatan (sebagai aturan pelaksana UU No. 32 Tahun 2004), telah mengatur secara cukup rinci mengenai Kecamatan dan Camat. Akan tetapi, pelaksanaan PP tersebut pada sejumlah daerah terhambat oleh sikap para Bupati/ Walikota yang diikuti dengan berbagai alasan yang mereka buat, cenderung untuk melakukan “sentralisasi kekuasaan� dan segan untuk berbagi kekuasaan/kewenangan (desentralisasi) kepada para Camat. Bila kita melihat kepustakaan tentang camat dan lembaga kecamatan dapat diketahui di Indonesia ataupun di Nusantara sudah cukup lama, jauh sebelum masa kemerdekaan Indonesia. Istilah camat telah dikenal pada masyarakat khususnya di Jawa dan Madura, sejak sebelum penjajahan Belanda. Di Jawa Barat terdapat istilah Cutak yang peranannya sama dengan Camat, yaitu seseorang yang mengepalai dan membina suatu wilayah yang biasanya terdiri beberapa Desa (Bayu Surianingrat, 1981). Didalam pasal 70 R.R (R.R= Regeringsreglement, singkatan dari Reglement op het beleid der Regering in Nederlands Indie- Reglemen tentang kebijaksanaan Pemerintah di Hindia Belanda, Stbl.1854 No.2) yang menjadi peraturan pokok dari pemerintahan dalam negeri di Hindia Belanda, dan baru dikeluarkan pada tahun 1854. Pasal tersebut menunjukkan dan membuktikan adanya struktur Pemerintahan Indonesia yang asli sejak sebelum kedatangan Belanda. Pemerintahan di daerah yang disusun menutut R.R sebenarnya hanya memasukkan struktur pemerintahan di dalam hukum dan hanya meniru atau melanjutkan atau sesuai dengan susunan Pemerintahan asli Indonesia, bahkan sebutan-sebutan jabatan yang ada tetap dipergunakan. Misalnya: Lurah, Kuwu, Camat, Wedana, Bupati. Demikian pula gelar-gelar yang ada tetap dipakai seperti Aria, Adipati, Tumenggung, Pangeran, dan sebagainya. Sebagai suatu organisasi yang hidup dan melayani kehidupan masyarakat yang penuh dinamika, Kecamatan menghadapi banyak masalah. Kompleksitas masalah yang dihadapi berkaitan erat dengan banyaknya jumlah penduduk yang dilayani, tingkat heterogenitasnya (asal-usul, pendidikan, umur, maupun kemampuan ekonomi), karakteristik wilayah maupun banyaknya Desa/ Kelurahan di lingkungan kerjanya. Salah satu implikasi negatif dari penafsiran berlebihan dimaksud adalah pengubahan status, fungsi dan kedudukan Kecamatan dari organisasi kewilayahan menjadi Perangkat Daerah. Berbicara tentang kedudukan Kecamatan, di mana UU Nomor 5 Tahun 1974,

daerah kecil. Daerah besar disebut provinsi, sedangkan daerah kecilnya ditentukan menurut perundang-undangan. Selain dibagi menurut pendekatan sifat, yaitu daerah yang bersifat otonom dan daerah yang bersifat administratif belaka. Pengaturannya juga ditentukan dengan Undang-Undang (UU). The Liang Gie (1977), menyebutkan bahwa penjelasan dalam UUD 1945, memberikan keterangan-keterangan tambahan yang yang tidak cocok. Selanjutnya dikatakan bahwa keterangan tambahan kedua yang mengatakan daerah besar dan kecil itu dapat merupakan daerah otonom atau daerah administrasi telah mengubah secara mendasar makna Pasal 18 UUD 1945. Secara hukum, apabila ada perbedaan penafsiran antara pasal dengan penjelasannya maka yang akan dipakai sebagai pedoman adalah apa yang tercantum di dalam pasalnya. Beberapa studi tentang Kecamatan yang pernah dilakukan oleh Nico Schulte Nordholt (1987) ataupun disertasi Donald D. Fagg (1958), menyebutkan bahwa Kecamatan mempunyai posisi yang penting karena “Camat sebagai wakil terbawah pemerintahan Pusat dalam kedudukannya mewakili kebijakan pemerintahan terhadap penduduk� (Nordholt, 1987). Pada UU Nomor 32 Tahun 2004, Camat merupakan alterego dari Bupati/ Walikota. Dengan demikian, urusan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan di kecamatan sudah selayaknya ditangani oleh camat. Artinya, sebagai alterego Bupati/ Walikota di wilayah Kecamatan, camat bertanggung jawab terhadap wilayah dan isinya. Apabila alterego dapat memainkan peran secara optimal, maka sang ego (dalam hal ini bupati/ walikota) mempunyai cukup waktu, tenaga dan pikiran untuk memikirkan hal-hal yang bersifat strategis, misalnya mengundang investor untuk menanamkan modalnya di daerah. Waktu, tenaga dan pikiran bupati/walikota tidak lagi habis untuk menyelesaikan masalah-masalah elementer skala Kecamatan, yang sebenarnya dapat diselesaikan oleh Camat apabila menerima delegasi kewenangan yang cukup dari bupati/walikota. Penelitian ini merupakan evaluasi terhadap eksistensi Kecamatan dan Camat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) pada masa UU No. 32 Tahun 2004 diberlakukan. Selain itu, berusaha mengungkap permasalahan-permasalahan yang dihadapi Kecamatan dan Camat, khususnya terkait dengan relasinya dengan berbagai tingkatan pemerintahan (Pemerintahan Kabupaten/ Kota, Provinsi dan Pemerintah Pusat) dan tingkat di bawahnya, yaitu: Desa dan Kelurahan. Hal ini

235


Inovasi Vol 11 No. 4 Desember 2014 : 233-241

Kecamatan merupakan wilayah administrasi pemerintahan. UU Nomor 22 Tahun 1999, kecamatan merupakan ”wilayah kerja Camat sebagai perangkat daerah kabupaten dan daerah kota” (pasal 1 huruf m). Dengan demikian, kecamatan bukan lagi wilayah administrasi pemerintahan. Camat bukan lagi kepala wilayah yang memiliki kewenangan sebagai ”penguasa wilayah”. Menurut UU Nomor 22 tahun 1999, kecamatan hanyalah merupakan wilayah kerja camat sebagai perangkat daerah, artinya kedudukan camat di kecamatan tidak berbeda jauh dengan perangkat daerah lainnya yang ada di kecamatan seperti kepala cabang dinas, kepala UPTD. Sehingga camat tidak secara otomatis mempunyai kewenangan untuk menjalankan urusan pemerintahan umum yang meliputi pengawasan, koordinasi serta kewenangan lainnya. Camat hanya menjalankan tugas pokok sebagai unsur lini yakni ”to do, to act” artinya kegiatan camat beserta jajarannya bersifat operasional, memberikan pelayanan langsung kepada masyarakat. Camat tidak lagi memiliki kewenangan atributif melainkan hanya memiliki kewenangan delegatif artinya Camat menerima pelimpahan sebagian kewenangan pemerintahan dari bupati/walikota; tanpa adanya pelimpahan kewenangan dari bupati/walikota. Camat tidak dapat menjalankan aktivitasnya secara sah, sebagai kewenangan yang delegatif diberikan oleh bupati/walikota. Pada masa berlakunya UU Nomor 5 Tahun 1974, camat merupakan kepala wilayah. Pada pasal 76 dinyatakan setiap wilayah dipimpin oleh seorang kepala wilayah. Dalam pasal 77 dinyatakan bahwa kepala wilayah kecamatan disebut camat. Dalam pasal 80 dinyatakan kepala wilayah sebagai wakil pemerintah adalah penguasa tunggal di bidang pemerintahan dalam wilayahnya dalam arti memimpin pemerintahan mengoordinasikan pembangunan dan membina kehidupan masyarakat di segala bidang. Wewenang, tugas dan kewajiban camat selaku kepala wilayah kecamatan sama dengan wewenang, tugas, dan kewajiban kepala wilayah lainnya, yakni gubernur, bupati, dan walikota. Pasal 81 secara lengkap dijelaskan bahwa wewenang, tugas dan kewajiban kepala wilayah adalah membina ketentraman dan ketertiban di wilayahnya sesuai dengan kebijaksanaan yang ditetapkan oleh pemerintah; melaksanakan segala usaha dan kegiatan di bidang pembinaan ideologi. Menurut Terry (1960) menyatakan bahwa “authority is the power or the right to act, to

command, or to exact action by others”. Kewenangan berkaitan dengan kekuasaan atau hak untuk melakukan atau memerintah, atau mengambil tindakan melalui orang lain. Sedangkan menurut Sadu Wasisitono (2005) mengemukakan bahwa pelimpahan kewenangan dari seorang eksekutif atau unit organisasi kepada yang lain adalah untuk menyelesaikan sebagian tugas-tugas tertentu. Sedangkan menurut Terry (1960) bahwa: “delegation means conferring authority from one executive or organizational unit to another in order to accomplish particular assignment”. Selanjutnya, Terry mengemukakan tentang adanya dua alas an penting mengenai perlunya pelimpahan kewenangan, yaitu: 1) kemampuan seseorang menangani pekerjaan ada batasnya; dan 2) perlu adanya pembagian tugas dan kaderisasi kepemimpinan. Pelimpahan kewenangan memperhatikan nilai-nilai 4E, yakni: a) nilai efektifitas (Terry, 1961); b) nilai efisiensi (Terry, 1961); c) nilai equity/keadilan (Frederickson,1982); d) nilai ekonomik (Savas,1987). Nilai efektivitas dan efisiensi adalah nilai tradisional dalam setiap organisasi. Perbedaannya, apabila organisasi bisnis mengutamakan efisiensi baru kemudian efektivitas, pada organisasi pemerintah yang utama adalah efektivitas, kemudian baru efisiensinya. Kedua nilai tradisional tersebut ternyata tidak cukup, karena perlu ditambah dengan nilai lainnya yakni nilai keadilan ataupun kesetaraan. Organisasi pemerintah tidak boleh hanya mengejar nilai efektivitas dan efisiensi saja, tetapi juga mempertimbangkan nilai keadilan dalam setiap kegiatannya. Dalam perkembangan terbaru, ketiga nilai tersebut dianggap belum cukup. Savas (1987), kemudian menambahkan satu nilai baru yakni nilai ekonomik, yang artinya bahwa setiap entitas pemerintahan harus dapat mengubah potensi ekonomi masyarakat menjadi kekuatan nyata, bukan sebaliknya. Dari sini terlihat betapa kuatnya posisi dan kewenangan seorang camat di wilayah kecamatan. Camat adalah kepala wilayah, wakil pemerintah pusat, dan penguasa tunggal di wilayah kecamatan yang dapat mengambil segala tindakan yang dianggap perlu untuk menjamin kelancaran penyelenggaraan pemerintah. Meskipun camat adalah bawahan bupati/walikota, camat mempunyai kewenangan yang cukup besar di wilayahnya. Tidak heran pada masa UU Nomor 5 Tahun 1974, camat dapat memutuskan segala sesuatu tanpa perlu mengkonsultasikannya dengan bupati.

236


Peran Dan Fungsi Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (Studi Kasus: Provinsi Sumatera Utara) (Djoko Sulistyono, Anwar Siregar, Anung S.Hadi)

Pada masa setelah berlakunya UU Nomor 22 Tahun 1999 dan kemudian UU Nomor 32 Tahun 2004, camat tidak lagi menjadi kepala wilayah, melainkan sebagai perangkat daerah. Pasal 120 ayat (2) UU Nomor 32 Tahun 2004 dinyatakan bahwa perangkat daerah kabupaten/kota terdiri atas sekretariat daerah, sekretariat DPRD, dinas daerah, lembaga teknis daerah, kecamatan, dan kelurahan. Jadi, sebenarnya dilihat secara hukum posisi camat disejajarkan dengan posisi para kepala dinas daerah dan lurah. Hal ini tentu sangat berbeda jauh ketika camat waktu itu masih mengacu pada UU Nomor 5 Tahun 1974. Lebih lanjut pada Pasal 126 ayat (2) UU Nomor 32 Tahun 2004 menyatakan bahwa Camat yang dalam pelaksanaan tugasnya memperoleh pelimpahan sebagian wewenang bupati atau walikota untuk menangani sebagian urusan otonomi daerah. Jadi, berdasarkan ayat (2) ini seorang Camat mendapat kewenangan yang dilimpahkan atau diberikan oleh Bupati atau Walikota, untuk menangani sebagian urusan otonomi daerah. Pasal 126 Ayat 3 UU No 32 Tahun 2004. Tugas umum yang dimaksud itu berbeda maknanya dengan urusan pemerintahan umum sebagaimana termaktub dalam UU No. 5 Tahun 1974. Pada saat ini tugas umum pemerintahan yang diselenggarakan oleh camat, tidak dimaksudkan sebagai pengganti urusan pemerintahan umum melainkan hanya mencakup tiga jenis kewenangan, yaitu kewenangan melakukan koordinasi yang meliputi lima bidang kegiatan, kewenangan melakukan pembinaan dan kewenangan melaksanakan pelayanan kepada masyarakat. Hal ini yang mengakibatkan Camat terasa “tidak mempunyai gigi” ketika berhadapan dengan Unit Pelaksana Teknis (UPT), padahal masyarakat masih memposisikan camat berperan sebagai “Kepala Wilayah”. Kalau diperhatikan dalam tata hubungan kerja kecamatan yang dimanifestasikan pada peran camat melakukan hubungan dengan berbagai instansi seperti: (a) Bupati/walikota melalui sekretaris daerah, sifatnya hirarkis karena camat adalah bawahan bupati/walikota, (b) hubungan dengan dinas daerah dan lembaga teknis daerah lainnya, bersifat koordinatif dan teknis fungsional, apabila di dalam organisasi kecamatan terdapat seksi-seksi yang menjalankan fungsi dinas teknis dalam rangka memberikan pelayanan kepada masyarakat, (c) hubungan dengan pemerintah desa, bersifat koordinatif dan fasilitatif (tidak lagi bersifat hirarkhis) tetapi desa sebagai kesatuan masyarakat yang memiliki

kewenangan mengatur dirinya sendiri (self governing community), secara organisatoris desa tidak memiliki hubungan hirarkhis dengan kabupaten/kota, akan tetapi dilihat dari kepentingannya terdapat hubungan yang bersifat hirarkhis dengan melihat pada prinsip umum yang dipakai artinya bahwa kepentingan masyarakat yang lebih kecil tunduk pada kepentingan masyarakat luas, (d) hubungan dengan pemerintahan kelurahan, (lurah) bersifat hirarkhis, sebab lurah adalah bawahan dari camat. Di dalam hubungan kewenangan camat dengan lurah ada hal yang tidak lazim secara teoritis, bila diamati pada pasal 67 ayat (4) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, dinyatakan bahwa ”Lurah menerima pelimpahan sebagian kewenangan pemerintahan dari camat”, pada hal prinsip utama dalam pendelegasian kewenangan adalah kewenangan yang bersifat atributif, sedangkan kewenangan yang bersifat delegatif tidak dapat didelegasikan kepada pihak lain, karena mempersulit pembiayaan yang pertanggungjawabannya, dan (e) hubungan dengan instansi vertikal yang ada di kecamatan tidak otomatis bersifat koordinatif, karena camat tidak lagi sebagai kepala wilayah, sehingga Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 6 tahun 1988 tentang Koordinasi Instansi Vertikal di Daerah, tidak berlaku lagi bagi camat. Koordinasi dapat dilakukan oleh camat apabila ada delegasi kewenangan dari bupati/walikota, hanya sebatas untuk dinas daerah saja, sedangkan terhadap instansi vertikal yang ada di kecamatan (Polsek, PLKB dan lainnya) sifatnya hubungan kerja biasa. Atas dasar uraian tersebut maka secara umum dapat dikatakan bahwa faktor-faktor penyebab permasalahan yang dihadapi Camat antara lain: UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, terutama pada Pasal 126, yang mengamanatkan bupati dan walikota untuk menetapkan dan menuangkan tugas dan fungsi kecamatan ke dalam Peraturan Bupati/Walikota belum diikuti sebagaimana mestinya. Adanya PP No. 19 Tahun 2008 tentang Kecamatan belum menguraikan tugas dan fungsi kecamatan secara lebih rinci, sehingga sulit digunakan oleh bupati dan walikota sebagai norma yuridis untuk menetapkan Peraturan Bupati/Walikota tentang pelimpahan sebagian wewenang pemerintahan daerah kepada camat. Informasi dari Ditjen PUM Kemendagri (April 2014) didapatkan data, dari 486 kabupaten/kota di Indonesia hanya ada sekitar 193 kabupaten/kota yang telah melimpahkan sejumlah kewenangan pemerintahan daerah kepada Camat. Jadi bila dipresentasekan hanya

237


Inovasi Vol 11 No. 4 Desember 2014 : 233-241

Dengan adanya pemilihan responden penelitian, diharapkan digali data dan informasi mengenai jenis dan isi kewenangan yang dapat diselenggarakan berdasarkan kemampuannya serta sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan pelayanan dari masyarakat, struktur organisasi Kecamatan, keadaan personil yang mendukung penyelenggaraan pemerintahan di Kecamatan, beban tugas, pembinaan dan rentang kendali antara bupati/walikota dengan Camat. Metode pengumpulan data dalam kajian ini dilakukan dengan studi kepustakaan, observasi lapangan, dan wawancara melalui informan kunci. Pengumpulan data sekunder diarahkan untuk mempelajari bahan-bahan tertulis yang berhubungan dengan camat dan kecamatan. Hal ini dapat dilakukan dengan melihat hasil-hasil penelitian sebelumnya yang terkait dengan camat dan kecamatan. Data sekunder ini diperoleh atas kegiatan membaca semua keterangan yang ada hubungannya dengan penelitian ini.

sekitar 39,71% Kepala Daerah (bupati dan walikota) yang telah memberi wewenang kepada camat dalam melaksanakan sebagian penyelenggaraan pemerintahan daerah. Tujuan penelitian ini adalah memposisikan camat agar dapat melakukan fungsi pelayanan publik di garda depan pemerintahan daerah, dan memposisikan camat dalam melakukan tugas umum pemerintahan secara profesional sehingga camat secara otomatis mendapatkan pelimpahan kewenangan dari kepala daerah dalam kerangka NKRI. Sasaran diperolehnya gambaran yang jelas tentang peran dan fungsi Camat; dan diiperolehnya usulan agar Camat dapat memegang peran dan fungsinya secara tepat sesuai perundangan yang berlaku. Ruang lingkup Penelitian ini meliputi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004; Peraturan Pemerintah No 19 Tahun 2008. METODE Metode penelitian yang digunakan jika dilihat dari tujuan penelitian dikaitkan dengan tipologi kecamatan (pelimpahan sebagian kewenangan dari bupati/walikota kepada camat, SOTK, personil, logistik; sarana dan prasarana dan pembiayaan dan anggaran Kecamatan. Penelitian ini bersifat deskriptif terapan. Sedangkan dilihat dari sisi pendekatannya, makan penelitian ini termasuk ke dalam jenis penelitian kebijakan publik (policy research). Penelitian kebijakan adalah “penelitian empirik� yang dilakukan untuk memverifikasikan proposisi-proposisi mengenai beberapa aspek hubungan antara alat tujuan dalam pembuatan kebijakan. Penelitian kebijakan berorientasi pada tujuan� (Mayer dan Greewood, 1984). Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif. Unit analisis penelitian ini adalah camat dan kelembagaan kecamatan. Alasannya adalah camat merupakan pejabat yang terkait langsung dan tahu persis dengan keadaan organisasi baik struktur, personil, logistik, kebutuhan maupun pengembangan organisasi kecamatan. Mengingat obyek penelitian maka yang digunakan adalah sampel purposif yaitu camat yang telah mendapatkan pelimpahan kewenangan dari kepala daerah, maupun yang belum mendapatkan pelimpahan kewenangan. Dari lokus penelitian maka ditentukan 1 (satu) kabupaten dan 1 (satu) kota yang telah mengimplementasikan pelimpahan kepada Camat maupun yang belum. Lokasi penelitian ditentukan secara purposif yaitu Provinsi Sumatera Utara.

HASIL DAN PEMBAHASAN Administrasi tunggal pada pemerintahan kecamatan hilang baik tugas pemikir, dan perencana. Dengan perannya yang besar akan tetapi tapi tidak terlihat peran sebagai administratur/kepala wilayah ditambah hanya sebagai bagian dari perangkat daerah, maka diharapkan fungsi dan peran kecamatan sebagai tugas kewilayahan (UU 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah) dan melaksanakan sebagian dari tugas pemerintahan umum sebagian dari tugas Presiden dengan penyerahan urusan yang spesifik di Kecamatan dengan perkuatan. Bahkan payung hukum di tingkat provinsi sebagai pendukung perkuatan pendananan kecamatan dalam melaksanakan tugas, peran dan fungsinya dalam tugas atributif dan kewilayahan sekaligus mendukung peran dan fungsi gubernur sebagai wakil pemerintah di daerah. Proses rekruitmen camat dan SDM pendukungnya saat ini sudah tidak tertata, sehingga SDM yang ada tidak fokus pada tugasnya karena rotasi tugas yang dapat dengan cepat dilakukan. Dukungan SDM yang diperlukan saat ini adalah bentuk materi pelatihan SDM Camat dan dukungan dana yang cukup. Idealnya kewenangan tidak perlu banyak, tetapi aplikasinya perlu dibarengi SDM yang kuat dibarengi dukungan alokasi dana yang mapan. Secara manajerial tugas dan peran fungsi camat sebagai adminitrasi tunggal pada pemerintahan kecamatan semakin luntur atau bahkan hilang baik itu sebagai tugas/peran

238


Peran Dan Fungsi Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (Studi Kasus: Provinsi Sumatera Utara) (Djoko Sulistyono, Anwar Siregar, Anung S.Hadi)

pemikir dan perencana, kecenderungan adanya penurunan fungsi. Selain itu pengelolaan keuangan daerah dan pusat terkait pemerintahan Kecamatan saat ini terputus, maka diperlukan penyeragaman nomenklatur keuangan camat yang sama. Sejak pemberlakuan sebagai perangkat daerah (berdasarkan UU No.32 Tahun 2004), maka tugas-tugas kecamatan semakin banyak, tetapi kewenangan makin berkurang. Pada era UU Nomor 5 Tahun 1974, ketika fungsi kewilayahan masih ada, maka Kecamatan menerbitkan Laporan Tahunan Kegiatan Camat. Akan tetapi sejak pencanangan otonomi daerah diberlakukan, maka Laporan Tahunan sudah tidak ada lagi. Di sisi lain tugas Camat banyak dan kadang melewati batas jam kerja. Muspika masih tetap berjalan, akan tetapi saat ini tidak ada alokasi anggaran sejak PUMC (Pemegang Uang Muka Camat) ditiadakan, dahulu saat masih ada mampu menunjang kegiatan Muspika. Dengan adanya perubahan regulasi tentang Pemerintah Daerah, perannya yang diemban semakin bertambah akan tetapi di satu sisi kewenangan secara administratif dibatasi. Ada persepsi masyarakat masih memandang Camat sebagai tujuan langsung terkait peristiwa kejadian pemerintahan sampai sosial budaya setempat di wilayahnya. Secara kelembagaan, peran camat masih dibutuhkan, maka diperlukan penyerahan sebagian kewenangan dari bupati/walikota kepada camat dalam konteks kepala wilayah karena proporsi kerja yang dilaksanakan camat saat ini tidak sebanding dengan tugas saat ini. Fungsi kewilayahan pada camat hilang, termasuk administrasi tunggal pada pemerintahan kecamatan hilang baik tugas pemikir, perencana. Dengan perannya yang besar akan tetapi tapi tidak terlihat peran sebagai administratur/kepala wilayah, hanya sebagai bagian dari perangkat daerah. Revisi yang diharapkan; (1) Fungsi kecamatan sebagai tugas kewilayahan, terlihat pada UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah; (2) melaksanakan tugas pemerintahan umum yang diambilkan dari sebagian tugas dan fungsi Presiden. Sebenarnya itu tugas dari bagian Camat karena begitu besarnya tugas Camat tapi saat ini dibatasi, padahal menyangkut tugas umum pemerintahan saat ini masih diperlukan. Sedangkan di tingkat provinsi membutuhkan “payung hukum� untuk mendukung pendanaan Kecamatan dalam melaksanakan tugas, peran dan fungsinya dalam tugas atributif dan kewilayahan.

Di Kabupaten Deli Serdang terbagi atas desa sejumlah 382 buah. Dengan melihat peran camat dan perangkatnya sebagai “Kepala Wilayah�, maka tugas pemerintahan umum akan semakin terkikis. Jika melihat realita di lapangan dikaitkan dengan regulasi peran dan fungsi camat, maka undang-undangnya yang saat ini bersifat generalis. Akan tetapi tugas yang diemban di lapangan, ditambah adanya perkembangan masyarakat saat ini semakin heterogen tetapi pembentukan undangundangnya yang relatif homogen. Saat ini banyak perubahan yang dihadapi Camat, jika melihat peran dan fungsi kecamatan, maka nilai-nilai ideal kepamongprajaan yang masih bagus jangan malah luntur. Pada waktu lalu, pada saat pelaksanaan pemilihan umum, maka camat ikut berperan secara aktif. Akan tetapi pada saat ini, camat dituntut netral untuk melaksanakan fungsinya semakin baik dan dituntut untuk meningkatkan administratif kewilayahan dan adanya koordinasi antar kelembagaan. Jika melihat Kecamatan Pancur Batu Kabupaten Deli Serdang, maka bentuk impelementasi peran kewilayahannya dalam bentuk setiap tanggal 17 diadakan pertemuan Muspida plus Kejaksaaan, Dinas Teknis, Pendidikan dan Kebudayaan, Dinas Perhubungan (Terminal), Dinas Pasar dan Kepala Desa. Manfaat dari pertemuan ini dapat memonitor dan evaluasi kegiatan di Kecamatan Pancur Batu. Secara kelembagaan nama nomenklatur kecamatan harus dibedakan, karena tiap kecamatan beda spesifikasi, nama nomenklaturnya. Permasalahan Muspika yang ditemui dilapangan berupa payung hukum tidak ada, di tingkat Provinsi hanya ada PP 19 Tahun 2008 tentang Kecamatan, namun belum jelas tupoksinya terkait peran dan fungsi camat dalam tugas kewilayahan. SDM Kecamatan sudah dapat melaksanakan Pelayanan e-KTP, (seperti di lokasi sample di Kecamatan Binjai Timur), sudah dilaksanakan tetapi terkendala peralatan pendukung mengalami kerusakan sehingga sementara dialihkan di Dinas Dukcapil, kendala yang dihadapi adalah dokumentasi photo-photo awal data kependudukan (KTP) belum terbit itu yang menjadi pertanyaan masyarakat sedangkan kewenangan camat memproses belum jelas. Proses rekruitmen camat dan SDM pendukungnya saat ini sudah tidak tertata, terkadang baru berjalan 3 bulan menjabat sudah mutasi/rotasi, sehingga kerap SDM yang ada tidak fokus pada tugasnya dan hanya menunggu mutasi.

239


Inovasi Vol 11 No. 4 Desember 2014 : 233-241

Saat ini yang perlukan adalah bentuk materi penerapan pelatihan SDM Camat, dukungan dana, karena satu sisi Camat sebagai Perangkat Daerah tetapi di sisi lain sebagai Kepala Wilayah dengan atributifnya adalah perangkat wilayah sehingga kadang menimbulkan kebingungan camat memposisikannya perannya. Idealnya kewenangan tidak perlu banyak, tetapi aplikasinya perlu dibarengi SDM yang kuat diberengi dukungan alokasi dana yang mapan. Secara manajerial tugas dan peran fungsi camat sebagai adminitrasi tunggal pada pemerintahan kecamatan semakin luntur atau bahkan hilang baik itu sebagai tugas/peran pemikir dan perencana, ada kecenderungan penurunan fungsi. Selain itu pengelolaan keuangan daerah dan pusat terkait pemerintahan kecamatan saat ini terputus, maka diperlukan penyeragaman nomenklatur keuangan camat yg sama. Hasil penelitian di Provinsi Sumatera Utara menunjukan bahwa adanya rencana perubahan UU tentang Pemerintahan Daerah, maka peranan yang diemban akan semakin bertambah. Akan tetapi, pada satu sisi kewenangan secara administratif dibatasi. Akan sangat berbeda pada masyarakat yang masih memandang camat sebagai tujuan langsung terkait peristiwa kejadian pemerintahan sampai sosial budaya setempat di wilayahnya. Secara kelembagaan masih dibutuhkan, maka diperlukan penyerahan sebagian kewenangan dari Bupati/Walikota kepada Camat dalam konteks kepala wilayah sesuai dengan proporsi, kapasitas dan spesifikasinya.

kewenangan atributif, tetap ada sebagai pendamping dan kewenangan yang didelegasikan oleh bupati/walikota. Dalam hubungan itu, camat dipertegas akan menerima sebagian kewenangan dari bupati/walikota. Hal ini harus ditindaklanjuti dengan adanya regulasi yang dapat memaksa bupati/walikota untuk mendelegasikan sebagian kewenangan kepada camat secara terperinci. Dari tataran regulasi yang ada tidak merangkum hal itu. Tidak ada kewajiban apalagi sanksi yang tegas kepada bupati/walikota yang tidak mendelegasikan sebagian kewenangannya kepada camat. Hal inilah yang harus dicermati oleh pemerintah dengan baik. UU tentang pemerintahan yang ada bahasannya tentang kecamatan, maka perannya yang diemban semakin bertambah akan tetapi di satu sisi kewenangan secara administratif dibatasi. Hal ini berbeda jika ada masyarakat yang masih memandang camat sebagai tujuan langsung terkait peristiwa kejadian pemerintahan sampai sosial budaya setempat di wilayahnya. Secara kelembagaan masih dibutuhkan, maka diperlukan penyerahan sebagian kewenangan dari bupati/walikota kepada camat dalam konteks kepala wilayah sesuai dengan proporsi, kapasitas dan spesisifikasinya. Administrasi tunggal pada pemerintahan kecamatan hilang baik selaku tugas pemikir dan perencana. Adanya perannya yang cukup besar, akan tetapi tidak terlihat perannya sebagai administratur/kepala wilayah. Hal ini ditambah dengan adanya camat hanya sebagai bagian dari perangkat daerah. Oleh karena itu, adanya refungsionalisasi atas peran kecamatan yang menyandang tugas kewilayahan sesuai dengan UU 32 tahun 2004. Selanjutnya akan melaksanakan sebagian dari tugas pemerintahan umum, yang diambil dari sebagian tugas Presiden dengan penyerahan urusan yang spesifik di kecamatan harus didukung dengan perkuatan dalam payung hukum di tingkat provinsi. Adanya dukungan perkuatan pendananan/anggaran kecamatan dalam melaksanakan tugas, peran dan fungsinya dalam bidang tugas atributif dan kewilayahan sekaligus mendukung peran dan fungsi Gubernur sebagai wakil pemerintah di daerah. Tantangan lain yang dihadapi adanya regulasi tentang Desa dengan keluarnya UU Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa, di mana peran camat hanya sebatas konsultatif. Hal ini kontras dengan tuntutan warga masyarakat yang semakin heterogen dengan dilema sebagai perangkat daerah yang terbatas. Hal ini menjadi tantangan tugas-tugas umum pemerintahan

KESIMPULAN Pada kenyataannya, kepala daerah (bupati/walikota) tidak/enggan melimpahkan sebagian kewenangan tersebut. Data dari Ditjen Pemerintahan Umum Kementerian Dalam Negeri menyebutkan, baru ada sekitar 38 persen kepala daerah (bupati/walikota) yang telah mendelegasikan sebagian kewenangannya kepada camat. Hal ini ditambah dengan adanya masalah anggaran operasional camat yang sangat minimal. Hal ini berakibat dan berdampak kepada masyarakat yang terkena imbasnya. Dalam posisi seperti ini, camat dan perangkatnya tidak segan menolak dan menyuruh masyarakat mencari layanan di tempat lain karena kecamatan tidak mampu memenuhi permintaan masyarakat. Hal seperti itu saat ini tidak bisa diterapkan lagi. Dalam UU No 32 Tahun 2004 dan PP No 19 tahun 2008 menegaskan bahwa, camat adalah bagian dari perangkat daerah dalam konteks desentralisasi. Meskipun camat memiliki

240


Peran Dan Fungsi Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (Studi Kasus: Provinsi Sumatera Utara) (Djoko Sulistyono, Anwar Siregar, Anung S.Hadi)

pada tingkat kecamatan, di mana pada satu sisi camat melaksanakan tugas-tugas langsung ke masyarakat. Jika dikaitkan hak-hak dasar warga negara atau warga masyarakat memang harus dipenuhi (tugas pelayanan publik dan pemerintahan umum) yang menuntut peran fungsi camat sebagai administratur kewilayahan.

Terry, George R. 1960. Principles of Management. Illinois: Richard D. Irwin Inc. Homewood. Terry, George R., 1961. Principles of Management. Illinois: Richard D.Irwin,Inc.Homewood. Wasistiono, Sadu. 2005. Pengembangan Organisasi Fungsional di lingkungan Pemerintah Daerah (Uji coba pada organisasi Satuan Polisi Pamong Praja, Jurnal Administrasi Pemerintahan. Vol I Edisi Ketiga.

REKOMENDASI Beberapa rekomendasi yang dapat diberikan kepada Menteri Dalam Negeri melalui Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kemendagri, yaitu: 1. Melakukan teguran secara tertulis kepada kepala daerah (bupati dan walikota) yang belum mengimplementasikan PP Nomor 19 Tahun 2008 dikarenakan adanya faktor kelalaian dan perlunya penerapan sanksi jika ada kepala daerah yang melanggar. 2. Melakukan teguran kepada Gubernur yang telah mengetahui adanya peraturan mengenai pendelegasian kewenangan yang telah dilimpahkan oleh bupati/walikota kepada camat sudah ada secara normatif, namun dalam pelaksanaannya masih “setengah hati� untuk diberikan hendaknya diikuti dengan anggaran yang cukup memadai. Fungsi Gubernur selaku wakil Pemerintah Pusat di bidang pengawasan akan terus melekat.

Wasistiono, Sadu, Ismail Nurdin dan M.Fahrurozi, 2009. Perkembangan Organisasi Kecamatan Dari Masa Ke Masa. Bandung: Penerbit Fokus Media Staatblad Nomor 2 Tahun 1854 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pemerintahan Daerah Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

DAFTAR PUSTAKA Djuliati. 1989. Pemilihan Kepala Desa Sebagai Perwujudan Nilai-Nilai Demokrasi. Disertasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Diponegoro Semarang. Fagg, D.Donald. 1958. Authority and Social Structure: A Study in Javanese bureaucracy. Cambridge Massachusetts: Harvard University (microfilm). Fredericson. 1982. The Spirit Administration. California: Jossey Bass.

of

Public

Gie, The Liang. 1977. Pertumbuhan Pemerintahan Daerah di Negara Republik Indonesia. Jakarta: Gunung Agung Nordholt, Nico Schulte. 1987. Ojo DumehKepemimpinan Lokal Dalam Pembangunan. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan Savas, E.S. 1987. Privatization, The Key to better Government. New Jersey: Chatam House Publisher Inc. Surianingrat, Bayu. 1981. Wewenang, Tugas dan Tanggung Jawab Camat. Jakarta-Surabaya: Penerbit Patco.

241


Inovasi Vol 11 No. 4 Desember 2014 : 242-249

Hasil Penelitian PENGARUH CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY (CSR) PERUSAHAAN PERUSAHAAN PENANAMAN MODAL ASING

(CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY (CSR) INFLUENCES OF FOREIGN INVESTMENT COMPANY) COMPANY) Azizul Kholis Universitas Negeri Medan email: azizul_kholis@yahoo.com

Diterima: 28 Agustus 2014; Direvisi: 30 Oktober 2014; Disetujui: 10 November 2014

ABSTRAK Penelitian ini secara kajian filosofis dan akademis didasarkan pada stakeholder theory, sedangkan secara praktis untuk memberikan kontribusi yang berkenaan dengan penerapan CSR dan CSP di Indonesia, secara khusus juga diharapkan dapat menjadi rujukan para pihak penentu kebijakan dunia usaha khususnya Pemerintah Provinsi Sumatera Utara dalam menyusun regulasi yang berkenaan dengan CSR, CSP dan investasi asing di daerah Provinsi Sumatera Utara. Sumber data penelitian ini adalah data primer, dan teknik pengumpulan data melalui Penyebaran kuesioner tahap I dilaksanakan selama 4 (empat) minggu dengan pengambilan sampel secara bertahap (multistage step sampling). Tahap 1 dilakukan sampel pengiriman kuesioner kepada seluruh Perusahaan sebagai popuasi penelitian melalui bantuan dari sub bidang pendataan PMA Badan Investasi dan Promosi Pemprovsu, Kemudian tahap 2 dikirimkan kembali kuesioner kepada perusahaan PMA selama 3 (tiga) minggu. Pengujian dilaksanakan dengan menggunakan alat analisis Structure Equation Model (SEM). dengan variabel CSR, CSP dan faktor internal maupun eksternal yang menjadi penentunya. Hasil pengembalian keseluruhan kuesioner adalah sebanyak 144 Perusahaan, namun setelah dilakukan pengecekan kembali pada lembar jawaban kuesioner maka data valid yang tersedia hanya 127 perusahaan, dengan tingkat pengembalian kuesioner (response rate 40,83%), hal ini sudah dapat memenuhi kriteria response rate yang baik diatas 30% dan memenuhi persyaratan jumlah sampel untuk pengolahan data statistik menggunakan analisis SEM dengan software AMOS versi 20. Berdasarkan pengujian hipotesis 1 sampai dengan Hipotesis 8 dapat disimpulkan bahwa keseluruhan variabel yang menjelaskan hubungan antara keseluruhan variabel penelitian yaitu CSR, berhubungan secara terstruktur dan simultan, berpengaruh secara signifikan. Artinya bahwa penggabungan faktor internal dan eksternal perusahaan dapat diterima. Saran penelitian ini untuk penelitian berikutnya adalah dapat dilaksanakan pada perusahaan bursa efek Indonesia, untuk melihat pelaksanaan penerapan CSR bagi perusahaan publik yang ada di Indonesia. Untuk penelitian berikutnya juga disarankan agar memasukkan variabel keuangan untuk diuji dalam penelitian CSR. Kata kunci: Internal, Eksternal, CSR, CSP, PMA

ABSTRACT This research study is based on the philosophical and academic stakeholder theory, while in practice to contribute with regard to the implementation of CSR and CSP in Indonesia, in particular also expected to be a reference for the business world policy makers, especially North Sumatra provincial government in drafting regulations with respect to CSR, CSP and foreign investment in the province of North Sumatra. Source of this research is the primary data, and data collection through questionnaires Deployment Phase I held since July 15 s / d August 24, 2014 by sampling in stages (step multistage sampling). Phase 1 study sample questionnaire delivery to the entire company as popuasi research through the assistance of data sub.bidang PMA Investment and Promotion Agency Pemprovsu, then phase 2 questionnaires sent back to the foreign company since the date of 27 September 2014 s / d October 11, 2014. Tests conducted with using analytical tools Structure Equation Model (SEM) with variable CSR, CSP and internal and external factors which became the determining. Returns the overall results of the questionnaire are as many as 144 company, but after checking back on the answer sheet the

242


Pengaruh Corporate Social Responsibility (CSR) Perusahaan Penanaman Modal Asing (Azizul Kholis) data is valid questionnaires are available only 127 companies, with a return rate of questionnaires (response rate of 40, 83%), it has been able to meet the criteria of a good response rate above 30% (we have now, 2002), and meet the requirements of the number of samples for statistical data processing using analysis of Structure Equation Model (SEM) with AMOS software version 20. Based on hypothesis testing hypotheses 1 through 8 can be concluded that the overall variables that explain the relationship between the overall CSR research variables namely, dealing in a structured and simultaneously, a significant effect. This means that the incorporation of internal and external factors can be accepted. This research suggestions for the next research is that it can be implemented on the Indonesian stock exchange company, to see the implementation of CSR peenerapan for public companies in Indonesia. For subsequent studies also suggested that incorporate financial variables to be tested in the CSR research. Keywords: Internal factors, External, CSR, CSP, Foreign Investment

jawab perusahaan (Corporate Responsibility), dengan asumsi dasar bahwa pencapaian tujuan perusahaan tidak hanya menjadi kepentingan Prinsipil dan Agen saja, namun juga sangat berkaitan erat pula dengan para pemangku kepentingan lainnya (stakeholder), dan setting lingkungan dimana perusahaan beradayang tentunya bermuara pada permasalahan keberlangsungan hidup perusahaan. Tuodolo (2009) merinci beberapa contoh fenomena yang berkenaan dengan CSR dan Stakeholder perusahaan yang terjadi dibeberapa negara pada perusahaan eksplorasi minyak yang diuraikan pada Tabel 1. Data lainnya berdasarkan hasil survei “The Millenium Poll on CSR� (1999) yang dilakukan oleh Environcis International (Toronto), Conference Board (New York) dan Prince of Wales Business Leader Forum (London) terhadap 25.000 responden di 23 negara, di survei terkait social responsibility dalam membentuk opini dan image (citra) perusahaan, menunjukkan 60% dari responden, menyatakan bahwa etika bisnis, praktik sehat terhadap karyawan, dampak terhadap lingkungan paling berperan dalam membentuk reputasi perusahaan. Sementara 40% responden juga berpendapat bahwa citra perusahaan dan brand image paling mempengaruhi kesan positif. Apalagi ternyata hanya 1/3 (sepertiga) opini responden terbentuk dari faktor-faktor bisnis fundamental, seperti faktor finansial, ukuran perusahaan, strategi perusahaan dan manajemen. Lebih lanjut, sikap dari 40% konsumen terhadap perusahaan yang dinilai tidak melakukan program CSR dan 50% dari responden berpendapat tidak akan membeli atau menggunakan produk yang dihasilkan perusahaan jika tidak berkomitmen terhadap social responsibility, dan para konsumen tersebut akan mengkampanyekan tentang reputasi jelek perusahaan yang bersangkutan.

PENDAHULUAN Fakta empiris menunjukkan banyak penelitian dilakukan oleh para pakar yang membahas tentang permasalahan tanggung jawab sosial perusahaan (Corporate Social Responsibility) dan kinerja sosial perusahaan (Corporate Social Performance), diantaranya Cohon (1970), Holmes (1977), Carrol (1993, 1994, 1995), Graves dan Waddock (1994), Sadosrky (1995), Tuodolo (2009), Chopra (2010) yang membuktikan bahwa tanggung jawab dan kinerja sosial perusahaan tidak sebatas mencari keuntungan saja, akan tetapi bisnis juga harus memperhatikan masyarakat (society), yang justru menjadi bagian terpenting dari bisnis itu sendiri. Menurut Rongiyati (2008), permasalahan tanggungjawab sosial perusahaan/Corporate Social Responsibility (CSR) mengalami suatu kemajauan yang sangat pesat dan bahkan dewasa ini CSR tumbuh menjadi kecenderungan global terlebih dengan dikeluarkannya agenda World Summit di Afrika Selatan Johannesburg tahun 2002 yang menekankan pentingnya tanggung jawab sosial perusahaan/Corporate Social Responsibility (CSR) tersebut. Dengan adanya CSR, maka perusahaan tidak lagi sekedar menjalankan kegiatan ekonomi untuk menciptakan profit (keuntungan) dalam menjaga kelangsungan usahanya, melainkan juga memiliki tanggung jawab terhadap masyarakat (sosial) dan lingkungannya (Wibisono, 2007), sebagai salah satu faktor eksternal perusahaan. Faktor internal dan eksternal tersebut kemudian mendorong pengelolaan bisnis yang didasarkan pada Agency Theory mengalami transformasi paradigmatik dengan munculnya Stakeholder Theory (Teori pemangku Kepentingan), yang menjelaskan keterkaitan para pihak luar yang juga memiliki kepentingan terhadap perusahaan, sehingga konsekuensi logisnya adalah terdapatnya perluasan tanggung

243


Inovasi Vol 11 No. 4 Desember 2014 : 242-249

NEGARA Georgia

Inggris dan Amerika Burma Colombia Irlandia, Skotlandia dan Swedia

Tabel 1. Permasalahan Sosial yang Dihadapi oleh Perusahaan PERUSAHAAN PERMASALAHAN British Petroleum Fokus terhadap lingkungan atas pemasangan pipa minyak ExxonMobil

Perubahan iklim (Climate Change)

Unocol dan Chevron Occidental

Hak Asasi Manusia (HAM) Pelanggaran atas tanah-tanah ulayat

Shell

Pemasangan pipa gas yang dianggap merugikan warga sipil

Chad dan Kamerun

Shell dan Chevron

Pemasangan pipa gas dan hak-hak warga sipil

zxTurkey

Shell, Mobil dan British Petroleum

Hak-hak pekerja

Nigeria Papua New Guinea Norwegia Sumber : Tuodolo (2009)

Shell

Isu Lingkungan atas eksplorasi minyak

Chevron

Konservasi sumberdaya alam

Statoil

Pelatihan HAM untuk karyawan Perbedaan utama penelitian ini dengan berbagai penelitian sebelumnya adalah penggabungan faktor internal dan eksternal menjadi sebuah model yang menguatkan stakeholder teori sebagai salah satu faktor yang turut menentukan Reputasi dan Keberlangsungan hidup perusahaan. Disamping secara teoritis tentang pentingnya pengujian model CSR yang berbasiskan pada stakeholder teori, tuntutan praktis akan CSR juga akan menjadi satu bagian penting bagi dunia usaha di Indonesia, sebab CSR merupakan salah satu kewajiban yang harus dilaksanakan oleh perusahaan sesuai pasal 74 Undang-Undang No 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Beberapa contoh kasus tentang peranan stakeholder yang berkaitan dengan masalah sosial yang dihadapi oleh perusahaan di Indonesia dapat di ikhtisarkan pada Tabel 2. Berbagai hasil penelitian dengan CSR di Indonesia banyak terfokus di Bursa Efek dan untuk kepentingan pasar modal serta investor saja. Masih sangat terbatas penelitian tentang CSR yang terkait dengan operasional perusahaan yang berpraktik pada dunia usaha diluar perusahaan yang terdaftar di bursa Efek Indonesia (BEI). Hal ini juga menjadi salah satu alasan utama penelitian ini untuk mengkaji lebih jauh praktik CSR dunia usaha di Indonesia khususnya di daerah-daerah yang memilikiketerkaitan pula dengan masuknya arus penanaman modal asing (PMA) di berbagai wilayah di Indonesia.

Jika ditelusuri dari beberapa penelitian terdahulu, banyak faktor yang mempengaruhi CSR. Amran dan Devi (2008) menyebutkan setidaknya ada enam faktor internal yang diindikasikan mempengaruhi penerapan CSR di Malaysia. Faktor-faktor tersebut adalah foreign shareholder, government shareholding, dependence on government, dependence on foreign partner, industry, size, dan profitability. Untuk faktor eksternal setidaknya dapat merujuk pada Henrique dan Sadosrky (1999), pada 750 perusahaan di Negara Kanada sebagai perwujudan persepsi manajemen perusahaan terhadap stakeholder. Kemudian Azhar Maksum (2003), telah menguji variabel regulasi pemerintah (Government Regulation), tekanan masyarakat (Community Pressuro), Tekanan media massa (Mass Media Pressure). Stead (1996) menambahkan variabel tekanan pelanggan (costumers pressure), serta Turner dan Stephenson (1994) memasukkan pula variabel informasi lingkungan (environmental information) sebagai kontribusi faktor yang mempengaruhi pentingnya tanggung jawab sosial Perusahaan. Cowen, dkk. (2006) dalam Hackston & Milne (1999), Retno (2006) mengatakan bahwa perusahaan yang berorientasi pada konsumen diperkirakan akan memberikan informasi mengenai pertanggungjawaban sosial karena hal ini akan meningkatkan image perusahaan dan meningkatkan penjualan.

244


Pengaruh Corporate Social Responsibility (CSR) Perusahaan Penanaman Modal Asing (Azizul Kholis)

Tabel 2. Masalah Sosial yang Dihadapi Perusahaan di Indonesia PERUSAHAAN PERMASALAHAN PT. Bank Century Kebijakan pemerintah terhadap bail-out yang berdampak politik PT. Dirgantara Indonesia

Pendirian dan penutupan perusahaan karena faktor kebijakan pemerintah, serta struktur kepemilikan saham

PT. Krakatau Steel

Penjualan saham dibawah harga pasaran, yang mendapat reaksi dari pihak legislatif (DPR-RI)

PT. Freeport Indonesia

Penembakan karyawan oleh OTK, dan penolakan atas kegiatan perusahaan

PT. Angkasa Pura (Persero)

Pembebasan tanah untuk lahan beberapa bandara di Indonesia yang berhadapan dengan masyarakat adat

Perusahaan Perkebunan di Lampung dan Sumsel

Konflik horizontal status hak atas tanah

Perusahaan yang beroperasi di Kawasan Industri Jababeka

Konflik tentang penghapusan sistem outsourching dan penetapan UMP

PT. Kereta Api Indonesia

Tuntutan penyediaan gerbong kereta khusus penumpang wanita dan Lansia

Perusahaan - perusahaan BUMN

Terjadinya konflik kepentingan dalam penentuan dewan komisaris dan dewan direksi antara pemerintah dan DPR

PT. Maskapai Penerbangan Lion Indonesia

Tuntutan dari Konsumen yang sering mengalami jadwal penundaan (delay) penerbangan

Perusahaan produsen makanan dan Kewajiban untuk Sertfifikasi halal oleh Majelis Ulama Minuman Indonesia (MUI) Sumber: Berbagai media cetak dan media on-line (2005-2013) Salah satu daerah di Indonesia yang menjadi pusat pertumbuhan ekonomi di wilayah barat adalah provinsi Sumatera Utara (Sumut) yang saat ini masuk kedalam koridor II Master Plan Percepatan Pertumbuhan Ekonomi Indonesia (MP3EI). Dalam agenda tersebut Sumatera Utara ditetapkan sebagai zona ekonomi utama untuk produk unggulan Kelapa Sawit dan Karet. Penguatan MP3EI didukung dengan keberadaan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Sei Mangkei dan Pelabuhan Inalum sebagai hub internasional port. Tentunya KEK akan menarik masuknya investor asing di Sumut sehingga keberadaan PMA yang sudah ada saat ini perlu juga untuk dikaji dari sisi CSR agar bermanfaat bagi Pemerintah provinsi Sumatera Utara. Pada sisi lainnya, Provinsi Sumut juga berada dalam kawasan kerjasama ekonomi regional Indonesia Malaysia Thailand–Growth Triangle (IMT-GT), sehingga dengan kerja sama tersebut diharapkan kemudahan dalam berbagai bidang investasi terus mengalami kemajuan di

daerah ini. Penanaman modal asing di Sumut terus meningkat dalam tahun-tahun terakhir ini. Salah satunya adalah tersedianya bahan baku dalam jumlah besar di daerah ini. Pelaku industri datang ke Sumut, karena Sumut memiliki banyak sumber bahan baku, terutama kelapa sawit, kakao, dan karet. Akan tetapi banyak juga investasi asing di Sumut mengalami beberapa kendala, baik dari aspek regulasi pemerintah, birokrasi, maupun hambatan dilapangan yang berkenaan dengan permasalahan tanah adat dan permasalahan sosial masyarakat lainnya. Data dari Badan Investasi dan Promosi Daerah Sumut, sampai dengan tahun 2013 yaitu sebanyak 783 perusahaan Penanam Modal Asing (PMA) yang telah masuk ke Sumut, akan tetapi yang beroperasi hanya sekitar 284 perusahaan, kemudian berkenaan dengan permasalahan sosial PMA juga menghadapi beberapa permasalahan seperti yang diikhtisarkan pada Tabel 3.

245


Inovasi Vol 11 No. 4 Desember 2014 : 242-249

Tabel 3. Masalah Sosial yang Dihadapi Perusahaaan PMA di Sumatera Utara PERUSAHAAN Lokasi PERMASALAHAN PT. Indonesia Asahan Kuala Tanjung Tuntutan Pemerintah daerah Aluminium (Inalum) Kab. Batubara memiliki saham perusahaan PT. Toba Pulp Lestari, Tbk d/h PT. Inti Indo Rayon Utama PT. Sorik Mas Mining

PT. Aqua Farm

G-Recources Group, Ltd

Porsea Kab. Toba Samosir

Tuntutan masyarakat adat Kompensasi hutan masyarakat

Huta Bargot Kab. Mandailing Natal

untuk

dan

Demonstrasi besar-besar warga sekitar perusahaan menolak operasi pertambangan Isu pencemaran air danau toba

Danau Toba Kab. Simalungun Batang Toru Kab. Tapanuli Selatan

Permasalahan pemasangan pembuangan limbah tambang

pipa

PT. Unilever

Sei Mangkei Terkendala pasokan listrik, gas dan Kab. Simalungun inftrastruktur pendukung Sumber: Badan Investasi dan Promosi Pemerintah Provinsi Sumatera Utara (2013) 4(empat) bulan. Jumlah seluruh perusahaan PMA yang telah beroperasi di Sumatera Utara berdasarkan data dari Badan Investasi dan Promosi Pemerintah Provinsi Sumatera Utara tahun 2013 sebanyak 229 perusahaan. Jika merujuk pada pendaftaran izin PMA di Provinsi Sumatera Utara, jumlah perusahaan yang terdaftar sejak tahun 1952 adalah sebanyak 759 perusahaan, namun banyak perusahaan yang tidak melanjutkan operasionalnya, dan ada juga yang perusahaan tidak beroperasi sama sekali. Dengan demikian yang termasuk dalam populasi penelitian ini hanyalah perusahaan yang sudah beroperasi secara normal dan masih aktif hingga tahun 2013. Dari 33 kabupaten/kota yang ada di Sumut, PMA hanya beroperasi di 21 kabupaten/kota saja. Populasi tersebar di seluruh kabupaten/kota yang ada di Provinsi Sumut dengan sebaran PMA. Penelitian menggunakan metode sensus, yaitu menjadikan seluruh anggota polulasi sebagai sampel untuk tujuan peningkatan tingkat respon (response rate) penelitian. Teknik Pengumpulan data penelitian ini menggunakan teknik pengiriman kuesioner melalui pos (mail survey) dan didatangi langsung ke perusahaan, dengan memilih beberapa tahapan (multi stages step) untuk meningkatkan tingkat pengembalian responden (response rate) dengan pengembalian melalui faximili, email dan pos. Sumber Data penelitian ini adalah data primer, dan teknik pengumpulan data melalui Penyebaran kuesioner tahap I dilaksanakan selama 4 (empat) minggu dengan pengambilan

Dalam konteks praktis khususnya penanaman modal asing, penelitian ini menjadi sangat urgent untuk dilaksanakan sebab para investor sebelum menanamkan modalnya dalam suatu kegiatan usaha pasti memperhitungkan bagaimana tentang kelangsungan usaha akan yang dijalankan dan permasalahan apa saja yang mungkin akan dihadapi oleh perusahaan ketika sudah beroperasi. Penelitian ini sendiri menggabungkan beberapa hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Lichtenstein et al.’s (2004), serta Peterson (2004) and Smidts et al. (2001) dan khususnya penelitian yang dilaksanakan oleh Imran Ali dan Jawaria Fatima (2010). Berdasarkan paparan di atas, tentunya untuk mengkaji lebih dalam terkait permasalahan tersebut, maka sangat perlu dilakukan penelitian untuk membuktikan keilmiahannya. Adapun tujuan tulisan ini adalah untuk mengetahui: (1) pengaruh Corporate Social Responsibility (CSR) terhadap Corporate Social Performance (CSP); (2) pengaruh faktor internal yang meliputi Company Regulation (CRG), Company Reputation (CRP), dan Employmenet Engagement (EE) terhadap CSR; dan (3) pengaruh faktor Eksternal yang meliputi Government Regultion (GR), Community Pressure (CP), dan tekanan Media Massa Pressure (MP) terhadap CSR. METODE Penelitian ini dilaksanakan di seluruh kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Utara yang terdapat perusahaan PMA, selama

246


Pengaruh Corporate Social Responsibility (CSR) Perusahaan Penanaman Modal Asing (Azizul Kholis)

40,83%), hal ini sudah memenuhi kriteria response rate yang baik diatas 30 dan memenuhi persyaratan jumlah sampel untuk pengolahan data statistik menggunakan analisis Strukture Equation Model (SEM) dengan software AMOS versi 20.

sampel secara bertahap (multistage step sampling). Tahap 1 dilakukan sampel pengiriman kuesioner kepada seluruh Perusahaan sebagai popuasi penelitian melalui bantuan dari sub bidang pendataan PMA Badan Investasi dan Promosi Pemprovsu, Kemudian tahap 2 dikirimkan kembali kuesioner kepada perusahaan PMA selama 3 (minggu). Hasil Pengembalian keseluruhan kuesioner adalah sebanyak 144 Perusahaan, namun setelah dilakukan pengecekan kembali pada lembar jawaban kuesioner maka data valid yang tersedia hanya 127 perusahaan, dengan tingkat pengembalian kuesioner (response rate

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil uji hipotesis menunjukkan bahwa semua variabel signifikan berhubungan antara variabel penghubung dengan CSR dan CSP. Untuk pengujian hipotesis dapat dijelaskan sebagai berikut:

Tabel 4. Hasil Analisis dan Interpretasi Parameter Estimasi untuk Structural Equation Modeling Variabel Estimate S.E C.R P Keputusan CSR - CSP 0.277 0.118 3.034 0.002 Positif, Signifikan CRG - CSR 0.021 0.077 0.215 0.029 Positif, Signifikan CRP - CSR 0.238 0.057 2.710 0.007 Positif, Signifikan GR - CSR 0.036 0.077 0.380 0.004 Positif, Signifikan CP - CSR 0.226 0.166 2.204 0.027 Positif, Signifikan EP - CSR 0.041 0.173 0.473 0.036 Positif, Signifikan MM - CSR 0.033 0.167 0.370 0.002 Positif, Signifikan Sumber: Data primer diolah (2013) Parameter estimasi CSR kepada CSP menunjukkan hasil yang positif (0,277) dan signifikan, hal ini tercermin dari nilai C.R sebesar 3,034 (C.R > Âą 1,96) dengan probabilitas p=0,002 yang berada di bawah nilai signifikansi 0,05, sehingga hipotesis alternatif yang menyatakan Terdapat pengaruh CSR terhadap CSP dapat diterima. Parameter estimasi antara pengaruh regulasi perusahaan terhadap CSR mempunyai bobot sebesar 0,021 dengan nilai C.R sebesar 0,215 (C.R < Âą 1,96) pada taraf signifikansi p=0,029 (signifikan). Jadi, hipotesis alternatif yang menyatakan bahwa Pengaruh Regulasi Perusahaan terhadap CSR dapat diterima. Fakta empiris dalam penelitian ini menunjukkan hasil bahwa terdapat pengaruh positif dan signifikan antara Ha3: Terdapat Pengaruh Reputasi perusahaan terhadap CSR dengan mempunyai bobot sebesar 0,238 dengan nilai C.R sebesar 2,710 pada taraf signifikansi p=0,007 (signifikan). Sehingga hipotesis alternatif yang menyatakan bahwa Ha3: Terdapat Reputasi perusahaan terhadap CSR, dapat diterima. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa meskipun terdapat pengaruh positif (parameter estimasi=0,036) antara Ha 4: Terdapat Pengaruh Regulasi pemerintah Terhadap CSR juga signifikan. Hal ini dapat dilihat dari nilai C.R yang dihasilkan adalah sebesar 0,380 (CR < Âą 1,96) pada taraf signifikansi p=0,004 (p>0,05)

sehingga hipotesis alternatif yang menyatakan bahwa Pengaruh Regulasi pemerintah Terhadap CSR Juga berpengaruh positif dan signifikan dapat diterima. Bukti empiris dalam penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif dan signifikan antara Ha5: Terdapat Pengaruh tekanan masyarakat Terhadap CSR mempunyai bobot sebesar 0,226 dengan nilai C.R sebesar 2,204 pada taraf signifikansi p=0,027 (signifikan) sehingga hipotesis alternatif yang menyatakan bahwa komitmen tujuan anggaran berpengaruh positif dan signifikan dapat diterima. Bukti empiris pada penelitian ini yang menunjukkan bahwa terdapat pengaruh positif (parameter estimasi = 0,041) antara Ha6: Terdapat Pengaruh Peran Karyawan terhadap CSR, (nilai C.R sebesar 0,473 pada taraf signifikansi p=0,036). Sehingga hipotesis alternatif yang menyatakan dapat diterima. Bukti empiris pada penelitian ini yang menunjukkan bahwa terdapat pengaruh positif (parameter estimasi=0,041) antara Ha6: Terdapat Pengaruh Peran Karyawan terhadap CSR, (nilai C.R sebesar 0,473 pada taraf signifikansi p=0,036). Sehingga hipotesis alternatif yang menyatakan dapat diterima. Bukti empiris pada penelitian ini yang menunjukkan bahwa terdapat pengaruh positif (parameter estimasi=0,033) antara Ha7: Terdapat Pengaruh Tekanan Media Massa

247


Inovasi Vol 11 No. 4 Desember 2014 : 242-249

terhadap CSR, (nilai C.R sebesar 0,370 pada taraf signifikansi p=0,002). Sehingga hipotesis alternatif yang menyatakan Tekanan Media massa berpengaruh terhadap CSR dapat diterima. Berdasarkan pengujian hipotesis 1 sampai dengan Hipotesis 7 dapat disimpulkan bahwa, keseluruhan Variabel yang menjelaskan hubungan antara keseluruhan variabel penelitian yaitu CSR, berhubungan secara terstruktur dan simultan, berpengaruh secara signifikan. Artinya bahwa penggabungan faktor internal dan eksternal perusahaan dapat diterima.

DAFTAR PUSTAKA Amran, Azlan dan Susela Devi. 2008. The Impact of Government and Foreign Affiliate Influence on Corporate Social Reporting in Malaysia. Accounting, Auditing and Accountibility Journal 23(4). Bursa Efek Jakarta. 2007. Institute for Economic and Financial Research. Jakarta: Indonesian Capital Market Directory. Business for Social Responsibility. 2008. Overview of Corporate Social Responsibility [Online]. Dari: http://www.bsr.org/CSRResources/IssueBriefDetail.c fm?DocumentID=48809 [Diakses: 20 Februari 2013]. Cowen, S., Ferreri, L.D., dan L.D. Parker. 2006. The Impact of Corporate Characteristics on Social Responsibility Disclosure. Accounting, Organization and Society Journal 12(2).

KESIMPULAN Berdasarkan analisis sebelumnya dapat disimpulkan bahwa: (1) hipotesis1 yang menjelaskan hubungan antara Corporate Social Responsibility (CSR) berpengaruh terhadap Corporate Social Performance (CSP), dapat diterima; (2) hipotesis 2 yang menjelaskan hubungan antara Company Regulation (CRG) Berpengaruh terhadap CSR, dapat diterima; (3) hipotesis 3 yang menjelaskan hubungan antara Company Reputation (CRP) Berpengaruh terhadap CSR, dapat diterima; (4) hipotesis 4 yang menjelaskan hubungan antara Employment Engagement (EE) Berpengaruh terhadap CSR, dapat diterima; (5) hipotesis 5 yang menjelaskan hubungan antara Government Regultion (GR) Berprengaruh terhadap CSR, dapat diterima; (6) Hipotesis 6 yang menjelaskan hubungan antara Community Pressure (CP) Berprengaruh terhadap CSR, dapat diterima; dan (7) hipotesis 7 yang menjelaskan hubungan antara Massa Pressure (MP) Berprengaruh terhadap CSR, dapat diterima.

CSR Indonesia. 2007. Masalah Sosial Perusahaan Penanaman Modal Asing (PMA) di Indonesia [Online]. Dari:http://www.csrindonesia.com/data/articles/20 070716115225-a.pdf [Diakses: 16 Februari 2013] Hackston, David dan Marcus J. Milne. 1999. Some Determinants of Social and Environmental Disclosures in New Zealand Companies. Accounting, Auditing and Accountability Journal 9(1). Holmes, S. L. 1977. Corporate Social Performance: Past and Present Areas of Commitment. Academy of Management Journal 20. Maksum, Azhar dan Azizul Kholis. 2003. Analisis tentang Pentingnya Tanggung Jawab dan Akuntabilitas Sosial Perusahaan (Corporate Social Responsibilities and Social Accounting), Studi Empiris di Kota Medan�. Media Riset Akuntansi, Auditing dan Informasi 3(2). Retno, Anggraini dan Fr. Reni. 2006. Pengungkapan Informasi Sosial dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pengungkapan Informasi Sosial dalam Laporan Keuangan Tahunan (Studi Empiris pada Perusahaan-Perusahaan yang terdaftar Bursa Efek Jakarta). Simposium Nasional Akuntansi IX, Padang.

REKOMENDASI Rekomendasi dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Perusahaan asing agar memberikan kontribusi Sumatera Utara khususnya untuk masyarakat. 2. Pemerintah Provinsi Sumatera Utara agar menyusun regulasi yang berkenaan dengan CSR, CSP dan investasi asing di daerah Provinsi Sumatera Utara. 3. Saran Penelitian untuk penelitian berikutnya adalah dapat dilaksanakan pada perusahaan bursa efek Indonesia, untuk melihat pelaksanaan peenerapan CSR bagi perusahaan publik yang ada di Indonesia. Untuk penelitian berikutnya juga disarankan agar memasukkan variabel keuangan untuk diuji dalam penelitian CSR.

Rongiyati, Sulasi. 2008. Laporan Penelitian tentang Aspek Hukum Pengaturan TJSL dalam UU PT. Aspek Hukum Pengaturan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan dalam Undang-Undang Perseroan Terbatas. Jakarta. Sadosrky, Irene. 1995. The Relationship between Environmental Commitment and Managerial Perception Of Stakeholder Importance. Academy of Management Journal 42(1). Tuodolo, Felix. 2009. Corporate Social Responsibility:Between Civil Society and the Oil Industry in the Developing World. ACME: An International E-Journal for Critical Geographies 8(3).

248


Pengaruh Corporate Social Responsibility (CSR) Perusahaan Penanaman Modal Asing (Azizul Kholis)

Waddock, Sandra A dan Samuel B. Graves. 1994. The Corporate Social Performance-Financial Performance Link. Strategic Management Journal 18(4). Wibisono, Yusuf. 2007. Membedah Konsep dan Aplikasi Corporate Social Responsibility. Surabaya: Fascho Publishing.

249


Inovasi Vol 11 No. 4 Desember 2014 : 250-261

Hasil Penelitian FAKTOR PENYEBAB KONFLIK PERTANAHAN DI SUMATERA UTARA

(CAUSED CAUSED FACTOR OF LAND CONFLICT SUMATRA)) IN NORTH SUMATRA Anton Parlindungan Parlindungan Sinaga Badan Penelitian dan Pengembangan Provinsi Sumatera Utara Jl. Sisingamangaraja No. 198 Medan 20126 email : antonsinaga94@gmail.com

Diterima: 5 Agustus 2014; Direvisi: 30 Oktober 2014; Disetujui: 14 November 2014

ABSTRAK Konflik pertanahan menjadi permasalahan yang terjadi pada saat ini terutama konflik pertanahan yang ada di Sumatera Utara. Konflik pertanahan dapat terjadi antara warga dan pemerintah, warga dan perusahaan, dan warga dengan warga. Penjarahan tanah atau umum disebut landgrabbing dimaknai sebagai pelepasan tanah yang membutuhkan tanah dalam skala yang luas untuk kebutuhan usaha yang secara langsung maupun tidak langsung dapat memicu perebutan sumberdaya dan konflik tanah yang tidak terelakkan yang berujung pada pelanggaran hak asasi manusia karena ketidakseimbangan antara kekuatan capital versus masyarakat. Adapun tujuan penelitian ini adalah mengkaji apakah faktor masyarakat, faktor pemerintah, faktor hukum, faktor budaya, faktor penegakan hukum, dan faktor administrasi pertanahan yang menjadi penyebab konflik pertanahan berpengaruh terhadap banyaknya jumlah konflik pertanahan yang ada di Sumatera Utara dan diantara faktor-faktor tersebut faktor apakah yang paling berpengaruh terhadap banyaknya konflik pertanahan yang terjadi di Sumatera Utara. Metode yang digunakan adalah metode kualitatif dan kuantitatif. Analisis kuantitatif yang digunakan adalah analisis regresi untuk melihat pengaruh faktor masyarakat, pemerintah, budaya, penegakan hukum, pertanahan dan administrasi pertanahan terhadap jumlah konflik tanah yang ada di Sumatera Utara. Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor masyarakat, pemerintah, hukum, budaya, penegakan hukum, dan administrasi pertanahan yang menjadi penyebab konflik pertanahan secara bersamaan berpengaruh signifikan terhadap jumlah konflik pertanahan yang ada di Sumatera Utara dengan tingkat kepercayaan hingga 90,08%, diantara faktor masyarakat, pemerintah, hukum, budaya, penegakan hukum, dan administrasi tanah maka faktor yang berpengaruh secara parsial terhadap banyaknya jumlah konflik pertanahan di Sumatera Utara adalah faktor masyarakat dan faktor pemerintah. Kata kunci : konflik tanah, hukum, agraria

ABSTRACT The problem of land conflicts that occur at this time, especially conflict over land in North Sumatra. Land conflict can occur between the citizens and the government, citizens and companies, and citizens with citizens. Looting public lands or called land grabbing interpreted as a waiver of land requiring land on a broad scale to the needs of businesses that directly even can indirectly lead to the seizure of land resources and the inevitable conflicts that lead to human rights violations because of the imbalance between the power of capital versus community . The purpose of this study is to examine whether the factors of society, government factors, legal factors, cultural factors, factors of law enforcement, and land administration factors that cause land conflicts affect the large number of land conflict in North Sumatra and among these factors factor what are the most influence on the amount of land conflict that occurred in North Sumatra. The method used was qualitative and quantitative methods. quantitative analysis used regression analysis to see the influence of society, government, culture, law enforcement, land and land administration to conflict amount of land in North Sumatra. The results showed that the factors of society, government, law, culture, law enforcement, and administration of land is the cause of conflict over land simultaneously significant effect on the amount of land conflict in North Sumatra with a confidence level of up to 90.08%, factor among the society, government, law,

250


Faktor Penyebab Konflik Pertanahan Di Sumatera Utara (Anton Parlindungan Sinaga) culture, law enforcement, and administration of the factors that influence soil partially to the large number of land conflict in North Sumatra is a factor of society and government factors.

Keyword : land conflicts, legal, agrarian

tidak diinvestasikan dimana seharusnya dilakukan. Persoalan lainnya adalah kurangnya koordinasi instansi terkait, dalam hal ini Pemda, DPR, dan juga aparat setempat, sehingga isu-isu terkait dengan potensi timbulnya konflik ini menjadi sering terlambat dalam penanganannya. Akhirnya timbul persoalanpersoalan muncul di masyarakat dalam bentuk unjuk rasa, atau bahkan berkembang dan berakumulasi menjadi anarkis, kemudian terjadinya bentrokan dengan petugas keamanan. Inilah kadang-kadang yang sering dianggap seolah polisi kurang pro kepada masyarakat. Peran polisi dalam menangani konflik berkaitan dengan agraria perkebunan mengacu pada Undang-undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia. Khususnya di pasal 5 menyebutkan bahwa “Kepolisian Negara Republik Indonesia merupakan alat negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat menegakan hukum serta memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dan ketertiban� Ini adalah tugas pokok Polisi dan tugas pokok Polri khususnya dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat; kemudian menegakan hukum; dan ketiga memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan masyarakat. Jadi kalau ada konflik di masyarakat, kehadiran polisi di situ adalah dalam rangka memberikan rasa aman, rasa tenteram pada masyarakat. Konflik juga terjadi antara pemerintah dengan rakyat atau antara rakyat dengan pihak perkebunan yang membutuhkan tanah, karena kurangnya koordinasi antar instansi terkait di bidang pertanahan. Misalnya, tidak adanya sinkronisasi antara suatu sektor dengan sektor lainnya. Banyak sekali peraturan-peraturan yang tidak berjalan, ataupun saling bertabrakan dengan peraturan lain. Sebagai contoh dapat kita ajukan Undang-Undang Darurat Nomor 8 Tahun 1954 yang mengatur tentang penyelesaian soal pemakaian tanah perkebunan oleh rakyat, UU Darurat Nomor 1 Tahun 1956 tentang perubahan dan tambahan atas perubahan UU Darurat Nomor 8 Tahun 1954 mengenai penyelesaian soal pemakaian tanah perkebunan oleh rakyat, UU Nomor 28 Tahun 1956 tentang pengawasan terhadap

PENDAHULUAN Setiap saat kebutuhan tanah terus meningkat, terutama untuk tempat tinggal maupun kegiatan usaha, hal ini akan mendorong persaingan terhadap hak milik tanah yang dapat menyebabkan orang-orang yang terlibat didalamnya akan mengerahkan kemampuan yang ada untuk melakukan ekspansi kepemilikan atas hak milik tanah secara besarbesaran. Hal ini akan memicu perebutan hak milik tanah antara satu pihak dengan yang lain sehingga dapat memicu terjadinya konflik tanah. Konflik yang terjadi juga tidak terlepas dari pengaruh ekonomi pada masyarakat, desakan ekonomi membuat orang semakin bersifat individual, terjadinya monetisasi ekonomi serta harta komunal yang banyak dijadikan milik pribadi sehingga menyebabkan terjadinya keretakan dalam hubungan masyarakat (Undri, 2004). Penjarahan tanah atau umum disebut landgrabbing dimaknai sebagai pelepasan tanah yang membutuhkan tanah dalam skala yang luas untuk kebutuhan usaha yang secara langsung maupun tidak langsung dapat memicu perebutan sumberdaya sehingga konflik tanah tidak terelakkan yang berujung pada pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) karena ketidakseimbangan antara kekuatan capital lawan masyarakat. Faktor yang harus diperhatikan dalam konflik pertanahan adalah masalah hukum pertanahan. Hukum pertanahan di Indonesia dipengaruhi oleh sistem hukum yang bersifat kolonial dan feodal sebagai akibat penjajahan yang dilakukan oleh Belanda selama ratusan tahun, sehingga ada dua macam tanah yaitu tanah-tanah dengan hak barat dan tanah-tanah dengan hak adat, yang berakibat pada perbedaan dalam peralihannya, termasuk perolehan hak melalui jual beli dan perlindungan hukum bagi pemilik tanah yang bersangkutan (Efendi, 2009). Sumber lain yang menjadi pesoalan juga adalah belum terdaftarnya tanah-tanah masyarakat. Kepastian pemegang hak atas tanah itu belum semuanya terdaftar sehingga tidak dapat memberikan kepastian hukum kepada pemilik tanah. Perusahaan-perusahaan yang memiliki izin, ada yang memiliki izin lokasi maupun izin usaha saja. Bahkan terkadang izin sudah dipegang dimanfaatkan hanya untuk mencari kredit dari bank. Tetapi bantuan ini

251


Inovasi Vol 11 No. 4 Desember 2014 : 250-261

pemindahan hak atas tanah-tanah perkebunan, UU Nomor 29 Tahun 1956 tentang peraturanperaturan dan tindakan-tindakan mengenai tanah-tanah perkebunan, UU Nomor 76 Tahun 1957 tentang perubahan UU Nomor 24 Tahun 1954 dan UU Nomor 28 Tahun 1956, UU Nomor 51 Prp Tahun 1960 tentang larangan pemakaian tanah tanpa ijin yang berhak atau kuasanya, dan UU Nomor 20 Tahun 1961 tentang pencabutan hak-hak atas tanah dan benda-benda yang terletak di atasnya, dan lain-lain (Kalo, 2004). Namun, keberadaan dari semua peraturan tersebut, ternyata tidak dapat meredam terjadinya kasus pertanahan yang menimbulkan kegoncangan dalam masyarakat. Dalam realita, banyak terjadi konflik antara pemerintah dan rakyat atau antara rakyat dengan pihak badan usaha perkebunan yang masing-masing pihak membutuhkan tanah. Kecenderungan pemerintah mengabaikan faktor-faktor juridis dalam pembebasan atau pelepasan hak-hak atas tanah masyarakat, disebabkan instansi pemerintah tersebut lebih mementingkan target pemasukan produksi ekonomi sesuai dengan tahap-tahapnya. Oleh karena kuota produksi yang lebih diutamakan, maka pemerintah cenderung tidak teliti dalam memeriksa dokumen-dokumen kepemilikan dan hak-hak rakyat yang memiliki tanah, misalnya bukti kepemilikan. Disamping itu selalu terjadi pemaksaan kehendak, sehingga musyawarah tidak berjalan dan bentuk penyelesaian sengketa hanya ditetapkan secara sepihak oleh pemerintah dengan pendekatan politik dan kekuasaan. Keberadaan hak ulayat di Sumatera Utara, telah mengalami pasang surut khususnya hak ulayat yang berada di atas tanah perkebunan, sejak zaman kolonial telah diakui oleh pemerintah Hindia Belanda. Terbukti dalam klausula akte konsesi, yang diberikan kepada onderneming perkebunan, hak ulayat masyarakat adat diakui dan dilindungi. Kepada masyarakat diberikan hak atas tanah jaluran di areal perkebunan, untuk ditanami tanaman semusim. Tetapi dalam perkembagan selanjutnya mulai akan dihilangkan oleh pemerintah kolonial dengan keluarnya ordonansi hak erfacht 1931. Dalam ketentuan ini ditegaskan, bahwa hak ulayat yang berada di areal hak erfacht dihapuskan sehingga pemerintah kolonial mengizinkan para imigran, untuk menggarap tanah di luar areal perkebunan. Hal ini menimbulkan kegelisahan petani rakyat penunggu sehingga terjadi konflik horizontal.

hak itu masih ada. Pengakuan hak ulayat ini, hanya secara formil tetapi, secara materil hukum adat hanya dirumuskan secara umum dan abstrak. Keberadaan hak ulayat tidak terlindungi dalam UUPA karena, para penegak hukum melaksanakan substansi norma hukum yang terdapat dalam UUPA, hanya berorientasi pada sistem hukum barat yang menganut aliran positivisme, yang bersifat legalistik. Pemahaman seperti ini, sudah barang tentu mengenyampingkan keberadaan hak ulayat yang berdasarkan hukum adat. Konflik tanah perkebunan juga karena adanya kecemburuan sosial terhadap kebijakan dalam melakukan pelepasan tanah-tanah perkebunan (HGU). Areal HGU yang dilepaskan tersebut kemudian dikuasai oleh kelompok elit tertentu untuk kepentingan bisnis dan sosial (Sembiring, 2009). Sengketa tanah yang terjadi di Sumatera Utara cukup besar. Tuntutan itu demikian besar terutama di sector perkebunan dari para penggarap yang mengaku dirinya petani. Ini dimulai dari Kotamadya Medan, Kabupaten Deli Serdang dan Kabupaten Langkat yang menjadi korban adalah PTPN II dan PTPN III, sebagian besar areal HGU-nya jatuh dan diduduki oleh rakyat penggarap. Disamping itu juga, penguasaan tanah oleh rakyat tanpa alas hak yang sah dan dokumen kepemilikan tanah tidak lengkap. Hal ini terutama terjadi pada tanahtanah yang belum bersertifikat, yang disebabkan oleh pandangan adat yang masih melekat pada rakyat bahwa tanah merupakan hak milik komunal (hak ulayat) sehingga mereka menggap hak penguasaan otomatis melekat pada hak penghuniaan atas tanah tersebut secara turun temurun (Kalo, 2004). Konflik berbasis sumberdaya agraria yang terlihat jelas terutama dalam tipe bandit sosial dan perebutan kembali lahan antara lain memiliki titik kritis pada saat HGU (Hak Guna Usaha) atas lahan perkebunan selesai kembali. Hal ini disebabkan oleh banyak lahan masyarakat yang dialihkan menjadi lahan HGU bagi perkebunan tanpa inventarisasi kepemilikan lahan yang lengkap. Akibatnya, pada saat ini hingga sepuluh tahun mendatang (sesuai banyaknya masa HGU perkebunan yang habis atau diperbarui) muncul klaim dan perebutan kembali lahan perkebunan masyarakat sekitar (Agusta dan Fadjar, 2010). Masalah selanjutnya adalah ratusan kasus pertanahan di Sumatera Utara (Sumut) hingga kini belum terselesaikan. Jika kebijakan Pemerintah Provinsi (PEMPROV) Sumut belum berubah dalam menangani masalah pertanahan, terutama yang berkaitan dengan sengketa antara rakyat dengan pengusaha, maka kasus pertanahan tidak akan selesai sampai kapan

Hak ulayat dalam Undang-Undang Pokok Agraria, diakui sepanjang dalam kenyataannya

252


Faktor Penyebab Konflik Pertanahan Di Sumatera Utara (Anton Parlindungan Sinaga)

pun. Kini masih terdapat 540 kasus pertanahan yang belum terselesaikan. Selain itu, tercatat 850 kasus pertanahan di Sumut yang penyelesaiannya melalui pengadilan maupun di luar pengadilan. Berdasarkan paparan diatas maka dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor penyebab terjadinya konflik tanah dapat ditinjau dari faktor masyarakat, faktor pemerintah, faktor hukum, faktor budaya, faktor penegakan hukum, dan faktor administrasi pertanahan. Besarnya pengaruh faktor-faktor dan faktor penyebab apa yang paling berpengaruh di dalam konflik tanah sangat perlu untuk diteliti.

adalah data yang diperoleh melalui arsip-arsip, pustaka-pustaka, data-data resmi pada instansi, undang-undang dan tulisan lainnya yang ada kaitannya dengan masalah yang akan diteliti. Metode yang dipergunakan dalam penulisan ini adalah pendekatan yuridis empiris. Menurut Donald Black (1989) pendekatan yuridis empiris adalah suatu pendekatan yang dilakukan/digunakan untuk menjadi acuan dalam menyoroti permasalahan berdasarkan aspek hukum yang berlaku. Sedangkan pendekatan empiris adalah suatu cara pendekatan yang mengkaji atau menelusuri prilaku dan sikap masyarakat terhadap hukum yang berlaku. Metode analisis data yang digunakan di dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan metode analisis kuantitatif dan kualitatif (Arikunto, S, 2002). Alasan digunakan kedua analisis tersebut yaitu digunakan untuk secara bergantian untuk mengecek atau memperkuat validitas data. Pertama terkumpul data melalui kuesioner (kuantitatif), selanjutnya untuk memperkuatnya dilengkapi dengan observasi atau wawancara (kualitatif) kepada responden yang menjawab kuesioner tersebut. Analisis kuantitatif yang digunakan adalah analisis regresi. Metode analisis regresi yang digunakan adalah metode analisis regresi berganda yaitu untuk melihat apakah variabel bebas berpengaruh terhadap variabel terikat. Peneliti menggunakan metode ini karena lebih akurat dalam melakukan analisis korelasi, karena pada analisis itu mengalami kesulitan dalam menunjukan slope (tingkat perubahan suatu variable lain). Jadi dengan analisis regresi, peramalan atau perkiraan nilai variable terikat pada nilai variable bebas lebih akurat pula (Rusiadi, dkk, 2014 : 142).

METODE Penentuan daerah penelitian dilakukan secara Purpossif yaitu dengan memilih daerah yang memenuhi kriteria masalah penelitian. Konflik pertanahan mencakup kriteria konflik pertanahan yang terjadi di tingkat masyarakat maupun perusahaan seperti penyerobotan lahan rakyat oleh perusahaan perkebunan, masalah sengketa tanah antarwarga, pemidahan batas tanah oleh pihak-pihak tertentu dan masalah tanah adat. Daerah yang dipilih pada penelitian ini adalah daerah yang berada di daerah Provinsi Sumatera Utara yang terdiri atas sembilan daerah antara lain Kota Binjai, Kabupaten Langkat, Kabupaten Deli Serdang Kabupaten Serdang Bedagai, Kabupaten Batu Bara, Kabupaten Padang Lawas, Tapanuli Tengah, Kabupaten Mandailing Natal, danTapanuli Utara. Jenis data yang dikumpulkan adalah data deskriptif terutama dalam bentuk data primer dengan tidak mengesampingkan data sekunder. Sumber data primer diperoleh dari sumber informasi/nara sumber yakni dari pihak-pihak yang terkait Di lokasi penelitian yang menurut rencana dilakukan di Provinsi Sumatera Utara, sedangkan sumber data sekunder yaitu peraturan, dokumen-dokumen, makalah, disertasi, tesis, skripsi, dan tulisan atupun penelitian-penelitian yang berkaitan dengan obyek penelitian. Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari lapangan atau masyarakat, melalui observasi/pengamatan, interview atau wawancara yang dilakukan terhadap beberapa pihak terkait yang terlibat dalam proses konflik tanah seperti BPN, Pengadilan, Pemda, Polda, Polres, Polresta, Bakormas dan LSM-LSM sebagai sampel dalam penelitian ini, pertanyaan yang dilakukan telah dipersiapkan terlebih dahulu sebagai pedoman bagi penerima informasi, akan tetapi dimungkinkan juga timbul pertanyaan lain yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi pada saat berlangsunya wawancara. Data sekunder

HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan analisa data dapat diketahui bahwa masalah konflik pertanahan yang paling lama yang dimulai pada tahun 1942 sampai dengan tahun 2013 adalah masalah konflik tanah antara Kelompok Masyarakat Dusun V Jati Mulyo Desa Tebing Tanjung Selamat Kec. Padang Tualang dengan luas areal konflik sebesar 23,6 ha, masalah ini hingga saat ini masih belum dapat terselesaikan penyebabnya disebabkan oleh masyarakat masih memastikan kelengkapan berkas dari warga. Berdasarkan analisa data juga dapat diketahui bahwa pihak yang terlibat dalam konflik pertanahan dapat dikelompokkan menjadi beberapa kategori yaitu: 1). Konflik tanah antara kelompok masyarakat dengan pihak perusahaan BUMN dan perusahaan swasta.

253


Inovasi Vol 11 No. 4 Desember 2014 : 250-261

2). Konflik tanah antara kelompok tani dengan pihak perusahaan BUMN dan perusahaan swasta. 3). Konflik tanah antara majelis adat dengan pihak perusahaan BUMN. Berdasarkan fakta ini, masyarakat merupakan pihak yang paling dirugikan, khususnya masyarakat petani yang dengan segala keterbatasan kemampuan yang selalu dililit kemiskinan ekonomi, ketiadaan kemampuan hukum dalam memperjuangkan hak, ketiadaan akses untuk mendapat bantuan dukungan dan segudang kelemahan lainnya menjadikan mereka pada posisi yang sangat sulit dan bahkan tak jarang menjadi korban kezaliman dan keserakahan managemen perusahaan perkebunan (PTPN & Perkebunan Swasta) yang dengan kemampuan yang mereka miliki dengan mudah memperalat tangantangan penguasa (Birokrat Pemerintah, Penguasa Keamanan/Polri, TNI, Lembaga Peradilan, bahkan Preman) untuk memukul dan memberangus masyarakat petani miskin papah yang memperjuangkan haknya. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Mu’adi (2008) tentang penyelesaian sengketa hak atas perkebunan melalui cara non litigasi (suatu studi litigasi dalam situasi transisional), dapat ditempuh dengan penyelesaian yang bervariasi antara lain sebagai berikut : a.Penyelesaian sengketa dengan litigasi (kalur peradilan). b.Penyelesaian dengan non litigasi (mediator parlemen/mediasi). c.Penyelesaian sengketa dengan cara negoisasi. d.Penyelesaian sengketa dengan konsiliasi yang diawali dengan negoisasi (konsiliasi). Selain hal-hal yang dikemukan oleh Mua’adi diatas hal yang lain yang perlu untuk diperhatikan adalah perlindungan hukum bagi pihak yang menguasai dan mengelolah tanah, perlindungan hukum tersebut dapat dilakukan dengan membuat sertifikat terhadap tanah tersebut. Dengan pemberian sertifikan tersebut diharapkan dapat memberikan jaminan kepada masyarakat bahwa negara akan memberikan jaminan keamanan terhadap pemilikan tanah serta agar dapat dimanfaatkan secara optimal. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Mu’adi (2008) berdasarkan studi kasus di Perkebunan Sengon (Desa Ngadirenggo, Kec. Wlingi), Perkebunan Pijimbo (Desa Ngadirenggo, Kec. Wlingi), perkebunan Kulonbambang (Desa Sumberurip, Kec. Doko) dan Perkebunan Branggah Banaran (Desa Sidorejo, Kec. Doko) pendekatan penyelesaian dilakukan dengan cara mereka yang terlibat konflik biasanya akan mendatangi DPRD,

kemudian parlemen akan menjadi mediator untuk menangani konflik tanah. Penyelesaian dengan cara non litigasi ini dapat juga dilakukan dengan musawarah, penyelesaian melalui musawarah ini pada umumnya dilakukan pada tanah-tanah ulayat. Penyelesaian melalui musawarah ini pada umumnya dipimpin oleh kepala adat. Konflik pertanahan banda udara nabire dengan Suku Wate dan Suku Yeresiam di Kabupaten Nabire menurut penelitian yang dilakukan oleh Amahorseya (2008) dilakukan secara non litigasi yaitu secara musawarah yang dilakukan melalui dua tahap yaitu tahap musawarah dan tahap pelakasanaan musawarah. pengelola Bandara Udara Nabire yaitu kompensasi pembayaran lokasi Bandar Udara Nabire seluas 571.525 m² dengan harga yang disepakati sebesar Rp.27.000,- (dua puluh tujuh ribu rupiah) per meter persegi atau sebesar Rp.15.431.175.000,- (lima belas milyar empat ratus tiga puluh satu juta seratus tujuh puluh lima ribu rupiah). Pada tahap pelaksanaan hasil musyawarah dilakukan realisasi hasil kesepakatan yaitu pembayaran kompensasi/ganti kerugian lokasi Bandar Udara Nabire yang dilakukan dalam enam (6) tahap pembayaran, untuk tahap ke I dimulai pada tahun 2003 dan sampai saat ini telah dilaksanakan sampai pada tahap ke V. Penelitian ini menggambarkan mengenai konflik tanah yang sedang terjadi di Sumatera Utara. Konflik tanah tersebut terjadi di banyak daerah yang tersebar di berbagai lokasi. Penelitian ini mengambil sampel daerah yang ada di Daerah Batu Bara, Binjai, Deli Serdang, Langkat, Mandailing Natal, Padang Lawas, Serdang Bedagai, Tapanuli Tengah dan Tapanuli Utara. Adapun proporsi besarnya konflik di masing-masing daerah dapat dilihat pada Tabel 1. Besar konflik disini diartikan luasnya lahan yang mengalami konflik dibandingkan dengan lahan yang tidak berkonflik pada satu Kabupaten/Kota. Tabel 1. Proporsi Daerah Konflik Kab/Kota Besar Konflik (%) Batu Bara 10 % Binjai 4% Deli Serdang 40 % Langkat 21 % Mandailing Natal 4% Padang Lawas 4% Tapanuli Utara 4% Serdang Bedagai 5% Tapanuli Tengah 8% Sumber : Data Penelitian (2013)

254


Faktor Penyebab Konflik Pertanahan Di Sumatera Utara (Anton Parlindungan Sinaga)

Berdasarkan Tabel 1. Dimana sumber data telah diolah dan bersumber dari data BPN, Pengadilan , Pemda, Polda, Polres, Polresta dapat diketahui bahwa proposi daerah yang memiliki jumlah konflik terbesar berada di daerah Deli Serdang yaitu sebesar 40 persen sedangkan proporsi wilayah yang memiliki jumlah daerah yang sedang mengalami konflik terendah berada di daerah Mandailing Natal, Padang Lawas, Serdang Bedagai dan Binjai yaitu dengan persentase masing-masing sebesar 4 persen. Selanjutnya adalah proporsi daerah konflik berdasarkan luasan daerah yang mengalami konflik dapat dilihat pada Gambar 1. Gambar 1. memperlihatkan bahwa daerah terluas yang mengalami konflik berada di daerah Tapanuli Tengah dengan luas daerah konflik sebesar 15.050 ha, menyusul di peringkat kedua adalah daerah Mandailing Natal sebesar 15.000 ha, sedangkan luas daerah konflik paling rendah berada di daerah Binjai dengan luasa sebesar 641 ha. Pada dasarnya ada banyak pihak yang terlibat dalam perebutan hak milik tanah untuk berbagai kepentingan, terutama untuk kepentingan ekonomi. Pada Gambar 2. dapat dilihat proporsi pihak-pihak yang terlibat dalam konflik tanah. Berdasarkan Gambar 2. dapat diketahui bahwa pihak-pihak yang terlibat dalam konflik tanah terdiri atas kelompok tani, perusahaan BUMN, perusahaan swasta, kelompok adat dan masyarakat, dari gambar dapat diketahui bahwa jumlah pihak yangh paling banyak adalah kelompok tani, selanjutnya adalah perusahaan BUMN sedangkan yang paling sedikit adalah kelompok adat. Hipotesis menyatakan bahwa faktor masyarakat, pemerintah, hukum, penegakan hukum, budaya dan administrasi pertanahan yang menjadi penyebab konflik pertanahan berpengaruh terhadap banyaknya jumlah konflik pertanahan yang ada di Sumatera Utara. Hasil analisis uji koefisien regresi berganda dapat dilihat pada Tabel 2. Berdasarkan Tabel 2. dapat diketahui bahwa, maka analisis regresi berganda dalam penelitian adalah sebagai berikut :

pengaruh variabel bebas terhadap variabel terikat adalah : 0.908 x100% = 90,08 % Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa besarnya variabel bebas (faktor masyarakat, pemerintah, hukum, penegakan hukum, budaya dan administrasi pertanahan) terhadap variabel terikat (jumlah konflik) adalah sebesar 90,08 %. Dengan kata lain 90,08 persen variabel terikat (jumlah konflik) dapat dijelaskan oleh variabel bebas (faktor masyarakat, pemerintah, hukum, penegakan hukum, budaya dan administrasi pertanahan), sedangkan sisanya (9,2%) dijelaskan oleh variabel lain yang tidak dimasukkan kedalam penelitian. Uji-F digunakan untuk melihat apakah variabel terikat (jumlah konflik) dipengaruhi secara bersama-sama oleh variabel bebas (faktor masyarakat, pemerintah, hukum, penegakan hukum, budaya dan administrasi pertanahan). Hasil uji-F dapat dilihat pada Tabel 4. Berdasarkan Tabel 4. dapat diketahui bahwa nilai signifikansi F adalah sebesar 0,000 yang lebih kecil dari nilai sig. Îą = (0,05). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa variabel bebas yang menjadi penyebab konflik pertanahan (faktor masyarakat, pemerintah, hukum, penegakan hukum, budaya dan administrasi pertanahan) secara bersamaan berpengaruh terhadap variabel terikat (jumlah konflik). Hal ini berarti bahwa faktor-faktor yang diteliti sangat menentukan dalam jumlah konflik tanah yang ada di Sumatera Utara. Untuk mengetahui secara parsial diantara faktor penyebab konflik pertanahan (konflik masyarakat, pemerintah, hukum, penegakan hukum, budaya dan administrasi pertanahan) yang berpengaruh terhadap jumlah konflik pertanahan yang ada di Sumatera Utara maka dilakukanlah uji-t (parsial test). Hasil uji-t (parsial test) dapat dilihat pada Tabel 5. Berdasarkan Tabel 5. dapat diketahui bahwa faktor penyebab konflik yang berpengaruh secara parsial terhadap jumlah konflik di Sumatera Utara adalah faktor masyarakat dan pemerintah yang secara statistik memperlihatkan nilai signifikansi lebih kecil dari 0,05; sedangkan faktor penyebab konflik lainnya (faktor hukum, penegakan hukum, budaya dan administrasi pertanahan) tidak menunjukkan pengaruh yang signifikan terhadap jumlah konflik yang ada di Sumatera Utara.

Y = -32.948 + 0,56 X1 + 0,547 X2 + 0,046 X3 + 0,253 XÂŹ4 + 0,048 X5 - 0,048 X6 Selanjutnya, untuk mengetahui besarnya pengaruh variabel bebas terhadap variabel terikat adalah dengan menggunakan uji determinasi R. Dari Tabel 3. dapat diketahui bahwa nilai R=0,908, hal ini berarti bahwa besarnya

255


Inovasi Vol 11 No. 4 Desember 2014 : 250-261

Proporsi Sebaran Luas (ha) Daerah Konflik Tanah di Sumatera Utara 16000 14000 12000 10000 8000 6000 4000 2000 0

15050

15000

9260 6492

5783,6

4748

2010

1207,21

641 Batu Bara

Binjai

Deli Serdang

Langkat Mandailing Natal

Padang Lawas

Tapanuli utara

Serdang Bedagai

Tapanuli Tengah

Gambar 1. Proporsi Sebaran Luas (ha) Daerah Konflik Tanah di Sumatera Utara

Masyarakat Kelompok Adat

Kelompok Tani Perusahaan BUMN

Perusahaan Swasta

Perusahaan Swasta

Perusahaan BUMN

Kelompok Adat Masyarakat

Kelompok Tani 0

10 20 30 40 50 60 Jumlah Aktor yang Terlibat Konflik

Gambar 2. Jumlah aktor yang terlibat konflik Tabel 2. Hasil Uji Koefisien Regresi Model (Constant) Masyarakat Pemerintah Hukum Penegakan Hukum Budaya Administrasi_Pertanahan a. Dependent Variable: Jumlah_Konflik Sumber : Hasil Penelitian, 2013 (Data diolah)

Unstandardized Coefficients B

Std. Error

-32.948 .556 .547 .046 .253 .048 -048

5.143 .148 .124 .085 .157 .105 .177

256


Faktor Penyebab Konflik Pertanahan Di Sumatera Utara (Anton Parlindungan Sinaga)

Tabel 3. Hasil Uji Determinasi Change Statistics

Std. Error Model 1

R

Adjusted

of the

R

Square

R Square

Estimate

.953a

.908

.880

3.028

R Square Change F Change df1 .908

32.917

df2

Sig. F Change

20

.000

6

a. Predictors: (Constant), Administrasi_Pertanahan, Hukum, Budaya, Masyarakat, Pemerintah, Penegakan_Hukum b. Dependent Variable: Jumlah_Konflik Sumber : Hasil Penelitian, 2013 (Data diolah)

Model

1

Regression Residual Total

Tabel 4. Hasil Uji-F Sum of Squares Df Mean Square 1811.316

6

301.886

183.425

20

9.171

1994.741

26

F 32.917

Sig. .000a

a. Predictors: (Constant), Administrasi_Pertanahan, Hukum, Budaya, Masyarakat, Pemerintah, Penegakan_Hukum b. Dependent Variable: Jumlah Konflik Sumber : Hasil Penelitian, 2013 (Data diolah)

Model

Tabel 5. Hasil Uji-t (parsial test) T

(Constant) -6.407 Masyarakat 3.766 Pemerintah 4.405 Hukum .539 Penegakan_Hukum 1.610 Budaya .457 Administrasi_Pertanahan -.271 a. Dependent Variable: Jumlah_Konflik Sumber : Hasil Penelitian, 2013 (Data diolah)

Sig. .000 .001 .000 .596 .123 .653 .789

rakyat penggarap, pemerintah dan pengusaha perkebunan. Berdasarkan hasil analisis data statistik bahwa faktor-faktor penyebab konflik yang dijadikan sebagai objek penelitian yaitu faktor masyarakat, pemerintah, hukum, budaya, penegakan hukum badan adiministrasi pertanahan secara bersamaan berpengaruh terhadap jumlah konflik tanah yang ada di Sumatera Utara. Hal ini berarti bahwa ke enam faktor tersebut secara bersamaan dapat mempengaruhi besar kecilnya jumlah konflik pertanahan yang ada di Sumatera Utara. Keenam faktor tersebut saling terkait antara yang satu dengan yang lainnya. Penjelasan mengenai keenam faktor terebut

Konflik kepentingan muncul antara pihakpihak yang terlibat, dimana masing-masing bertindak sebagai petani penggarap (konflik horizontal) dan adanya kepentingan pihak pengusaha perkebunan untuk mempertahankan areal konsesi atau hak Erfacht/ HGU mereka, yang bernuansa ekonomi untuk memperoleh keuntungan (konflik vertikal). Disamping itu muncul kepentingan pengusaha untuk menertibkan para penggarap diatas tanah perkebunan. dalam rangka membangun perekonomian sebagai negara yang baru merdeka, pemerintah cenderung untuk melindungi pihak pengusaha perkebunan daripada rakyat penggarap. kenyataan ini akhirnya menimbulkan sengketa diantara pihak

257


Inovasi Vol 11 No. 4 Desember 2014 : 250-261

dapat dibahas berdasarkan Kajian UU Sumber Daya Alam yang konteksnya berangkat dari Pasal 33 UU Penataan Ruang Tahun 2007, telah menyimpulkan bahwa ada banyak kejanggalan didalamnya. Diantaranya adalah: a. Istilah “sumberdaya alam lainnya� didalam pasal tersebut tidak memiliki definisi yang jelas, begitu juga filosofi, orientasi, hubungan hukumnya, dan lain sebagainya. Ini mencerminkan kekurangpahaman pembuat UU dan diabaikannya hirearki dan materi muatan peraturan perundang-undangan. Akibatnya, aspek kepastian hukum sebagai salah satu pilar penegak hukum telah dilanggar. b. Peraturan yang terkait dengan pengaturan SDA, yang menjadi induk dari berbagai PP keberadaannya jauh dari prinsip keterpaduan, pendekatan sistem, kepastian hukum dan keadilan seperti yang dicanangkan dalam UU Penataan Ruang tahun 2007. c. UU yang mengatur tentang SDA cenderung tidak konsisten dans aling tumpang tindih satu sama lain. Konflik antara hukum negara (UUPA) dan hukum adat/tradisi tak tertulis, terjadi karena hukum negara yang tertulis dan disistematisasi dalam UUPA, dianggap tidak melestarikan tatanan tradisi masyarakat adat/lokal yang lama, dengan cara mengakomodasi tradisi dan hukum adat lokal ke dalam UUPA. Tetapi hanya menggantikannya dengan yang baru dalam rangka mengupayakan unifikasi hukum tanah. Maka dalam praktek penegakan UUPA terdapat selisih paham mengenai keberadaan hukum itu (legal gaps), yaitu selisih pahaman dan atau keyakinan masyarakat antara apa yang dikehendaki oleh pelaksana administratur negara agar dipatuhi dengan apa yang masih diyakini dan dipatuhi oleh masyarakat, sebagai tradisi sehari-hari oleh masyarakat setempat. Legal gaps terjadi karena substansi pasal 2 UUPA, mengenai hak menguasai negara, tidak ada yang membatasinya secara tegas tentang sejauh mana hak menguasai negara itu dapat berlangsung. Apabila dikaitkan dengan pasal 3 UUPA yang mengakui hak ulayat sepanjang kenyataannya masih ada, juga tidak dirumuskan persyaratan-persyaratan yang konkrit sebagai elemen-elemen untuk menentukan ada tidaknya hak ulayat. Hak menguasai negara yang dimaksudkan dalam pasal 2 UUPA tersebut di atas adalah meliputi semua bumi, air dan ruang angkasa, baik yang sudah dihakki oleh seorang maupun tidak. Kekuasaan tanah terhadap tanah yang sudah dipunyai orang dengan sesuatu hak dibatasi oleh isi dari hak itu, artinya sampai

seberapa negara memberikan kekuasaan kepada seorang yang mempunyainya untuk menggunakan haknya. Sedangkan kekuasaan negara atas tanah yang tidak dipunyai dengan sesuatu hak oleh seseorang atau pihak lain adalah sangat luas. Misalnya negara dapat memberikan tanah yang sedemikian itu kepada seseorang atau badan hukum dengan suatu hak menurut peruntukkannya dan keperluannya, misalnya Hak Milik dan Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai ataupun dengan memberikan hak pengelolaan pada suatu badan penguasa. Analisis selanjutnya adalah dengan melihat diantara enam faktor tersebut dapat dilihat faktor apa yang paling berpengaruh terhadap jumlah konflik tanah yang ada di Sumatera Utara yaitu berdasarkan hasil uji-t (t-test). Berdasarkan hasil analisis dapat diketahui bahwa diantara keenam faktor yang diuji ternyata hanya ada dua faktor yang paling berpengaruh signifikan terhadap jumlah konflik pertanahan yang ada di Sumatera Utara yaitu faktor masyarakat dan faktor pemerintah. Faktor masyarakat menjadi salah satu penyebab konflik karena disebabkan oleh adanya aturan hukum yang tidak dapat diterapkan secara langsung di tengah-tengah masyarakat, hal itu juga diperparah oleh ketidaktahuan masyarakat mengenai hukum yang ada. Seperti telah banyak diulas, persoalan pelik agraria di Indonesia disebabkan tumpang tindih UU yang berkaitan dengan agraria (pertanahan, hutan, tambang, perkebunan, mineral batu bara dan migas) yang tidak mengacu kepada konstitusi UUD 1945 dan UUPA 1960. Akibatnya terjadi tumpang tindih kewenangan di bidang agraria. Hal tersebut telah mengakibatkan tanah-tanah yang ditempati masyarakat, khususnya masyarakat kecil di pedesaan dan pedalaman, menjadi tidak terlindungi, rentan terhadap aksi-aksi perampasan tanah yang dilegalkan atas nama pembangunan dan investasi, yang pada akhirnya mengakibatkan akses dan hak masyarakat terhadap tanah dan sumber-sumber agraria lain yang tersedia menjadi tertutup. Munculnya konflik pertanahan dapat juga disebabkan oleh karena pemahaman masyarakat tentang kepemilikan hak atas tanah perkebunan yang dipersepsikan berbeda kepemilikan hak atas tanah perkebunan sebagaimana yang diatur dalam hukum secara formal. Hal ini jugalah yang menyebabkan terjadinya konflik pertanahan atas tanah ulayat. Masyarakat menganggap bahwa kepemilikan hak atas tanah didasarkan pada sejarah turun temurun kepemilikan tanah, anggapan ini sering disebut dengan paham ipso facto.

258


Faktor Penyebab Konflik Pertanahan Di Sumatera Utara (Anton Parlindungan Sinaga)

Faktor selanjutnya yang berpengaruh terhadap konflik pertanahan yang ada di Sumatera Utara adalah faktor pemerintah, pemerintah dinilai belum mampu untuk memberikan solusi ditangah-tengah konflik. Pemerintah cenderung bermuka dua dalam melaksanakan peraturan yang sedang berlaku. Salah satu kerancuan itu adalah Surat Keputusan Gubernur No. 370/III/SU/1968. Sejak keluarnya Surat Keputusan Gubernur No. 370/III/SU/1968 telah banyak menimbulkan perdebatan pro dan kontra mengenai keberadaan tanah jaluran di areal perkebunan. Pemerintahpun tidak dapat disalahkan sepenuhnya karena penegakan hukum ataupun peraturan yang ada tidak dapat diterapkan seratus persen yang apabila hukum dan aturan ditegakkan seratus persen maka akan dapat menyakitkan untuk pihak yang terlibat. Hal ini diakibatkan oleh perbedaan keadaan dan kebutuhan yang berbeda-beda antara masyarakat, hukum dan pemerintah. Hal ini sesuai dengan pernyataan Soepomo dalam Sodiki (2013) yang mengatakan bahwa “Persamaan hukum hanyalah bisa diterima, jikalau didasarkan kepada persamaan keadaan dan kebutuhan jika tidak, keseragaman hukum akan dirasakan sebagai ketidakadilan yang menyakitkan�. Konflik batas wilayah menimbulkan konflik horizontal antar warga yang sering mengakibatkan tindakan anarkis dan destruktif sehingga konflik batas wilayah antar daerah membawa efek yang negatif dalam perkembangan kehidupan berbangsa dan bernegara. Faktor hukum ada dua yaitu pertama subtansi hukum disebabkan oleh proses pembentukan Undang-undang yang terlalu tergesa, kaburnya pengaturan tentang batas wilayah, dan kedua kurangnya sosialisasi undang-undang pemekaran wilayah. Selanjutnya adalah struktur hukum yang belum jelas karena perubahan Undang-undang yang terlalu singkat. Faktor non hukum, yaitu sosial budaya, ekonomi, politik dan pendekatan pelayanan. Menurut Lawrence Friedman (2011), bahwa dalam sistem hukum itu terdapat tiga elemen yang perlu diperhatikan yaitu : Structure; Substance; dan Culture. Struktur dalam suatu sistem hukum, misalnya mengenai kedudukan dari peradilan, eksekutif, yudikatif. Sedangkan substansi dari sistem hukum adalah, mengenai norma, peraturan maupun undang-undang, tetapi lebih manarik dari ketiga elemen itu adalah mengenai budaya hukum yang berarti pandangan, kebiasaan maupun prilaku dari masyarakat mengenai pemikiran nilai-nilai dan pengharapan dari sistem hukum yang berlaku, dengan perkataan lain, budaya hukum itu adalah

Pandangan hukum formal, pandangan bahwa kepemilikan hak atas tanah didasarkan kepada akte kepemilikan dan penguasaan terhadap akte tanah tersebut, maka siapapun yang memiliki akte dan menguasai akte tersebut maka dialah pemilik sah dari tanah tersebut, pemahaman ini disebut dengan ipso jure. Pemahaman mengenai ipso facto dan ipso jure di jelaskan dalam Prasetyo, dkk (2013) yang menuliskan bahwa paham ipso facto adalah siapapun yang secara turun temurun memiliki hak atas tanah dan menguasai tanah maka merekalah sebetulnya pemilik sah hak atas tana dan ipso jure adalah pandangan hukum terhadap kepemilikan hak atas tanah didasarkan pada akte kepemilikan dan penguasaan terhadap tanah tersebut, sehingga siapapun yang memiliki sertifikat atas nama pemilik tanah tersebut maka dia adalah pemilik sah hak atas tanah secara hukum. Penyebab lainnya adalah kesalahan persepsi antara pihak-pihak yang terlibat dalam konflik tanah menyebabkan masalah semakin kusut, pihak yang tidak bertanggung jawab ini memiliki kepentingan langsung dan tidak langsung terhadap tanah yang sedang diperebutkan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Wulan,dkk (2004) yang menyatakan bahwa pihak-pihak yang terlibat adalah pihak yang mempunyai kepentingan dan/atau terkait dengan konflik baik secara langsung ataupun tidak langsung. Pihak yang terlibat langsung adalah mereka yang bersengketa karena masalah tata batas, akses dan sebagainya. Sedangkan pihak yang tidak terlibat langsung misalnya LSM yang mempunyai kepedulian terhadap konflik, atau organisasi lain seperti Dinas Kehutanan, perguruan tinggi, maupun lembaga penelitian. Keberadaan mafia tanah yang ada ditengah-tengah masyarakat turut memperkeruh keadaan. Mafia tanah menjual tanah tersebut kepada pihak lain padahal tanah tersebut telah dimiliki oleh pihak lainnya. Hal inilah yang menyebabkan terjadinya tumpang tindih kepemilikan akta tanah. Secara umum dari beberapa kasus tersebut diatas dapat dianalisa, bahwa tindakan penggarapan yang dilakukan oleh masyarakat diatas tanah perkebunan, terjadi karena adanya perbedaan persepsi tentang hak menguasai negara dengan hak ulayat masyarakat adat. Dalam pasal 2 UUPA ditegaskan bahwa bumi, air dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya pada tingkatan tertinggi di kuasai oleh negara, tetapi disisi lain dalam pasal 3 menegaskan, bahwa hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat hukum adat, sepanjang kenyataannya masih ada tetap diakui.

259


Inovasi Vol 11 No. 4 Desember 2014 : 250-261

iklim dari pemikiran sosial tentang bagaimana hukum itu diaplikasikan, dilanggar atau dilaksanakan oleh masyarakat. Berdasarkan pendapat tersebut, maka dapat kita katakan bahwa UUPA belum memperhatikan pandangan, kebiasaan maupun perilaku masyarakat mengenai pemikiran, nilainilai dan pengharapan yang merupakan budaya hukum dalam masyarakat. Seharusnya UUPA dapat berfungsi sebagai pengontrolan perilaku masyarakat dalam sistem hukum yang berlaku. Bahkan fungsi hukum merupakan fungsi redistribusi (redistributive function) atau fungsi rekayasa sosial (social engineering function) yang mengarah pada penggunaan hukum untuk mengadakan perubahan sosial yang berencana, dan ditentukan dari atas yaitu oleh pemerintah, dengan memperhatikan budaya hukum yang hidup dalam masyarakat.

4.

5.

KESIMPULAN Faktor penyebab konflik pertanahan (Faktor masyarakat, pemerintah, hukum, budaya, penegakan hukum, dan administrasi tanah) yang berpengaruh signifikan terhadap banyaknya jumlah konflik pertanahan di Sumatera Utara dengan tingkat kepercayaan hingga 90,08%. Diantara faktor masyarakat, pemerintah, hukum, budaya, penegakan hukum, dan administrasi tanah maka faktor yang berpengaruh secara parsial terhadap banyaknya jumlah konflik pertanahan di Sumatera Utara adalah faktor masyarakat dan faktor pemerintah.

6.

7.

REKOMENDASI Berdasarkan kesimpulan di atas beberapa Rekomendasi kebijakan yang dapat diusulkan adalah sebagai berikut: 1. Perlu adanya persamaan persepsi antara pemerintah daerah dengan masyarakat hukum adat mengenai eksistensi dan kedudukan hukum hak ulayat dengan jalan peningkatan penyuluhan hukum di bidang pertanahan, terutama yang berkaitan dengan tanah ulayat. 2. Diharapkan kepada pemerintah untuk mengambil alih lahan yang sedang mengalami konflik, kemudian dilakukan musawarah dengan masyarakat dan melibatkan ketua adat, pemuka agama dan kerjasama dengan aparat penegak hukum untuk menemukan solusi yang paling sesuai dengan prinsip win-win solution. 3. Pemerintah beserta aparat terkait lain yang terlibat dalam urusan pertanahan melakukan penyelesaian terhadap pemetaan, penentuan batas-batas wilayah, pemberian sertifikat,

dan perlindungan hukum terhadap pemilik sah atas tanah. Bagi tanah-tanah perkebunan yang telah diduduki oleh mayarakat dengan syarat mayarakat yang bersangkutan merupakan warga yang menggantungkan hidupnya dari hasil kebun di tanah yang sedang bersengketa tersebut, disarankan untuk diberikan sertifikat hak atas tanah untuk mencegah pertikaian yang berlarut-larut dan sebaiknya dibentuk sebuah korporasi dimana secara bersama-sama masyarakat mengolah hasil taninya dan seluruh hasil pertanian atau kegiatan pertanaman tersebut digunakan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Pemerintah memberikan sertifikat tanah atas tanah milik ulayat, tanah masyarakat dan tanah perusahaan. Hal ini dilakukan untuk menghindari adanya konflik tanah yang berkelanjutan dan adanya kesadaran dari para masyarakat, untuk tidak melakukan jual beli di bawah tangan, karena pada akhirnya hal itu akan merugikan para pihak yang terlibat didalamnya. Agar pemerintah membentuk aturan yang berupa undang-undang mengenai pemberian perlindungan baik yang bersifat preventif (pencegahan) maupun represif bagi setiap orang atau badan hukum yang mempunyai hak ata tanah. Penyelesaian sengketa tanah perkebunan hendaknya tetap mengacu pada pemilik tanah bekas perkebunan maupun pemegang HGU yang sah.

DAFTAR PUSTAKA I Agusta, I. dan Fadjar, U. 2010. Konflik Perekbunan Mutakhir dan Manajemen Sosial di Indonesia (The Recent Plantation Conflict and Social Management in Indonesia). Jurnal Sosiolog Pedesaan IPB Bogor. Amahorseya, R. 2008. Penyelesaian Sengketa Tanah Hak Ulayat di Kabupaten Nabire Provinsi Papua (Studi Kasus sengketa Tanah Bandar Udara Nabire). Program Studi Kenotariatan. Program Pasca Sarjana. Universitas Diponegoro. Semarang. Efendi, M. 2009. Peralihan Hak Atas Tanah yang Belum Bersertifikasi di Kecamatan Medan Johor dan Pendaftaran Haknya di Kantor Pertanahan Medan. Tesis. Sekolah Pascasarjana. Universitaas Sumatera Utara. Medan. Sembiring, J. 2009. Konflik Tanah Perkebunan di Indonesia. Jurnal Hukum No. 3 Vol.16. Yogyakarta.

260


Faktor Penyebab Konflik Pertanahan Di Sumatera Utara (Anton Parlindungan Sinaga)

Kalo,S., 2004. Perbedaan Persepsi Mengenai Penguasaan Tanah dan Akibatnya Terhadap Masyarakat Petani di Sumatera Utara. Pada Masa Kolonial yang Berlanjut Pada Masa Kemerdekaan, Orde Baru dan Reformasi. Program Studi Ilmu Hukum Pidana. Fakultas Hukum. Universitas Sumatera Utara, Medan. Mu’adi, S. 2008. Penyelesaian Sengketa Hak Atas Tanah Perkebunan Melalui Cara Non Litigasi (Suatu Studi Litigasi dalam Situasi Transisional). Disertasi. Departemen Pendidikan Nasional. Program Doktor Ilmu Hukum. Pascasarjana Universitas Diponegoro. Semarang. Prasetyo, T., Kadarwati, B., dan Purwadi. 2013. Hukum dan Undang-Undang Perkebunan. Penerbit Nusa Media. Bandung. Sembiring, J. 2000. Konflik Tanah Perkebunan di Indonesia. Jurnal Fakultas Hukum. Yogyakarta. Sodiki, A. 2013. Politik Hukum Agraria. Penerbit Konstitusi Press. Jakarta. Undri, 2006. Konflik Tanah di Daerah Perbatasan (Studi Kasus Tiga Kelompok Etnik di Pasaman, Sumatera Barat, 1930-1960). Makalah yang dipresentasikan pada Konfrensi Nasional Sejarah VIII, Jakarta 14-17 November 2006. Wulan, Y.C., Yasmi, Y., Purba, C., dan Wollenberg, E. 2004. Jurnal Analisa Konflik Kehutanan di Indonesia 1997-2003. Center for International Forestry Research. Jakarta. Friedman, M. Lawrence 2011. The Human Rights Culture : A Study in History and Context. New Orleans. Black, Donald 1989 : 21. Sociological Justice. New York. Rusiadi, dkk. 2014 : 142. Metode Penelitian : Manajemen, Akutansi dan Ekonomi Pembangunan. Penerbit USU Press. Medan. Arikunto, S. 2002. Prosedur Penelitian : Suatu Pendekatan Praktek. Penerbit Rineka Cipta. Jakarta.

261


Inovasi Vol 11 No. 4 Desember 2014 : 262-270

Hasil Penelitian POSYANTEK SEBAGAI KOMPONEN KOMPONEN EKOSISTEM INOVASI INOVASI UNTUK PEMBERDAYAAN UMKM

(POSYANTEK AS A COMPO COMPONENT NENT OF INNOVATION ECOSYSTEM ECOSYSTEM FOR SME’S EMPOWERMENT) EMPOWERMENT) Carolina**, Arie Sudaryanto Sudaryanto**, Arief Setyabudhi Setyabudhi** ** Carolina *Pusat Pengembangan Teknologi Tepat Guna Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Jalan KS Tubun No. 5 - Subang Email : carolina@lipi.go.id **Fasilitator Nasional Pemberdayaan Masyarakat Email : ariefdesa@gmail.com

Diterima: 22 September 2014; Direvisi: 30 Oktober 2014; Disetujui: 8 Desember 2014

ABSTRAK Pos Pelayanan Teknologi (Posyantek) adalah lembaga pelayanan teknologi tepat guna yang berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 20 Tahun 2010 disarankan agar dibentuk di setiap kecamatan. Posyantek diharapkan dapat menjembatani kepentingan masyarakat terhadap teknologi tepat guna, sehingga inovasi di masyarakat khususnya usaha mikro kecil menengah dapat ditingkatkan. Meskipun dikuatkan oleh Peraturan Menteri, hanya beberapa wilayah di Indonesia yang menanggapi kebijakan ini, diantaranya adalah Kabupaten Bandung. Didasari oleh kebijakan pemerintah kabupaten, setiap kecamatan membentuk Posyantek dan salah satu diantaranya adalah Posyantek Mitra Mandiri di Kecamatan Cimaung. Pada tahun 2012, Posyantek ini mendapatkan penghargaan nasional sebagai salah satu Posyantek terbaik di Indonesia. Sampai saat ini, Posyantek Mitra Mandiri mampu membuktikan keberlanjutannya sebagai unit pendamping UMKM di kecamatan, bahkan menjadi inspirasi bagi Posyantek di wilayah lain. Melalui studi kasus, langkah tindak mereka dalam menyelenggarakan fungsi intermediasi bagi usaha mikro kecil menengah dipelajari. Diskusi terarah dan wawancara mendalam dilakukan terhadap pengurus Posyantek dan kelompok usaha yang didampingi untuk mengenali peran lembaga tersebut khususnya dalam mendukung pengembangan inovasi masyarakat. Dapat disimpulkan bahwa kemampuan Posyantek Mitra Mandiri dalam memanfaatkan berbagai komponen didalam ekosistem inovasi daerah menjadi salah satu hal pokok yang menentukan keberhasilan mereka. Komponen penting yang didayagunakan adalah pemerintah, UMKM, lembaga pendidikan, dan masyarakat. Selanjutnya, faktor tim dan organisasi yang dibangun berdasarkan musyawarah dengan wakil masyarakat ikut menentukan, sehingga unit ini diterima sebagai bagian integral dari ekosistem di wilayah tersebut. Terwujudnya jalinan kerjasama dengan daerah lain dalam menjembatani kebutuhan teknologi tepat guna menegaskan peran strategis Pos Pelayanan Teknologi Tepat Guna potensial sebagai komponen penting di ekosistem inovasi nasional. Kata kunci: Kecamatan Cimaung, lembaga intermediasi, posyantek, UMKM

ABSTRACT According to Regulation of the Ministry of Internal Affairs 20 – 2010, Technology Service Unit (TSU), or Posyantek, is a recommended unit to be developed in every Sub District. It is hoped that Posyantek could serve as abrigde of appropriate technology sources to people’s need. Only few regions respond positively, and one of it is Bandung District that promote the establishment of Mitra Mandiri TSU in Cimaung Sub District. Through a case study approach, we conducted an investigation on how they perform the intermediary role for micro-small and medium scale enterprises. Guided discussion and in depth interview were conducted with the Posyantek managers and also small businesses who are assisted by the Posyantek. It can be concluded that important determining factors for their performance are the support from the social system and local government as well The fact that Posyantek is an integrated part of the regional ecosystem, be it social and physical, is undoubtly

262


Posyantek Sebagai Komponen Ekosistem Inovasi Untuk Pemberdayaan UMKM (Carolina, Arie Sudaryanto, Arief Setyabudhi) the strength for developing effective bridge for community’s need of appropriate technology to relevant external bodies. The capability of Posyantek Mitra Mandiri to support other regions need is an evident that Posyantek could be considered as important part of the national innovation ecosystem. Keywords: Cimaung district, intermediary role, posyantek, SME’s

diimplementasikan oleh semua daerah di Indonesia, dengan sendirinya akan terjadi gelombang peningkatan penguasaan iptek secara nasional. Posyantek diharapkan dapat menjadi perangkat kelembagaan penting di masyarakat yang mampu menjembatani kebutuhan masyarakat dengan pihak-pihak terkait yang melalui keterhubungan tersebut akan memicu kreatifitas dan inovasi masyarakat. Penguatan sistem inovasi diisyaratkan pula melalui Peraturan Bersama Menteri Negara Riset dan Teknologi dan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia No 03 Tahun 2012 tentang Penguatan Sistem Inovasi Daerah. Pada kebijakan tersebut, inovasi didefinisikan sebagai kegiatan penelitian, pengembangan, penerapan, pengkajian, perekayasaan, dan pengoperasian yang selanjutnya disebut kelitbangan yang bertujuan mengembangkan penerapan praktis nilai dan konteks ilmu pengetahuan yang baru atau cara baru untuk menerapkan ilmu pengetahuan dan teknologi yang telah ada ke dalam produk atau proses produksi. Hal itu menegaskan bahwa inovasi bukan hanya milik intelektual atau pun pihak bermodal besar, inovasi selalu ada di kehidupan manusia, tanpa batas budaya maupun sosial ekonomi (Seyfang & Smith, 2007). Kebijakan tersebut membuka peluang bagi Posyantek sebagai lembaga masyarakat yang dibangun di wilayah kecamatan, untuk dapat berperan aktif sebagai jembatan efektif bagi terjalinnya komunikasi masyarakat dengan berbagai pihak di dalam ekosistem inovasi. Misi kebijakan-kebijakan tersebut jelas tersurat, namun tanggapan pemerintah daerah tampaknya belum memadai. Pembentukan Posyantek di wilayah kecamatan ditanggapi secara beragam. Berdasarkan jumlah kecamatan seharusnya terdapat 6694 Posyantek lahir di 34 propinsi dari Sabang sampai Merauke. Pada kenyataannya, berdasarkan catatan Kementerian Dalam Negeri di tahun 2013 hanya terdapat 39 Posyantek di 23 propinsi saja yang layak disebut “percontohan”. Salah satu diantaranya adalah Posyantek Mitra Mandiri yang berada di Kecamatan Cimaung Kabupaten Bandung. Mengacu pada peluang untuk menjadikan Posyantek sebagai lembaga efektif dalam memicu inovasi masyarakat, dilakukan kajian terhadap Posyantek Mitra Mandiri yang memiliki wilayah kerja Kecamatan Cimaung di

PENDAHULUAN Sebagai sebuah negara yang menduduki peringkat 34 dari 144 negara dalam hal daya saing bangsa (Anonimus, 2014), Indonesia masih harus memprioritaskan pengentasan kemiskinan sebagai sasaran utama pembangunan. Berangkat dari pemikiran Metcalfe (2009) bahwa “innovation is the only sustainable route out of poverty”, maka penguatan iklim inovasi untuk menggerakkan roda ekonomi rakyat adalah pemikiran yang relevan. Salah satu kebijakan pemerintah yang mendukung hal tersebut adalah Undang Undang No 18 tahun 2002 yang diterbitkan oleh Kementerian Riset dan Teknologi tentang Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. Kebijakan tersebut mengemukakan bahwa perguruan tinggi, lembaga litbang, badan usaha dan lembaga penunjang lainnya merupakan lembaga yang secara bersama dan interaktif diharapkan menjalin jejaring dan berperan aktif dalam mendorong percepatan difusi dan penggunaan pengetahuan baru yang bermanfaat secara ekonomis. Para pihak di sistem inovasi ini dipopulerkan dalam istilah ABG, sebuah konsep kebijakan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi nasional yang menyiratkan kerjasama antara Akademisi, Bisnis dan Pemerintah (G: Government). Etzkowitz dan Leydesdorft (1995) menyebutnya sebagai triple helix yang digambarkan sebagai jalinan serupa rantai DNA menyiratkan suatu proses transisi tanpa akhir dan dinamis yang dibangun atas dasar hubungan/interaksi antar lembaga dalam “pusaran spiral”. Pesan tersirat ini yang tampaknya masih menjadi tantangan untuk diwujudkan dalam ekosistem inovasi nasional Indonesia yakni keterhubungan para pihak yang memiliki peran penting dalam membangun sistem inovasi yang efektif (Lakitan, 2013). Berbagai kebjakan pemerintah secara langsung dan tidak langsung- mendukung terwujudnya sistem inovasi efektif melahirkan berbagai bentuk lembaga. Salah satu diantaranya adalah Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 10 tahun 2010 yang merupakan pengejawantahan Instruksi Presiden No 3 tahun 2001, menganjurkan pembentukan Pos Pelayanan Teknologi atau Posyantek di setiap kecamatan. Misi pembentukan Posyantek adalah untuk mendekatkan masyarakat kepada sumber-sumber teknologi tepat guna sehingga bila kebijakan ini secara efektif

263


Inovasi Vol 11 No. 4 Desember 2014 : 262-270

Kabupaten Bandung. Sejak pembentukannya pada tahun 2011, Posyantek ini telah mendapatkan berbagai penghargaan, baik lokal maupun nasional. Melalui kupasan terhadap kinerjanya, diharapkan akan diperoleh embrio cetak biru yang dapat digunakan oleh pemangku kepentingan di Indonesia untuk membentuk Posyantek yang mampu menjalankan perannya sebagai pendamping dalam pengembangan inovasi masyarakat khususnya di entitas usaha mikro kecil menengah.

tersebut bergerak di bidang pertanian dan kerajinan. Terhadap pengurus Posyantek, ditelusur proses pembentukan organisasi sejak tahap sosialisasi kebijakan pemerintah daerah sampai terbentuknya Posyantek. Selain itu, pemahaman terhadap misi Posyantek juga dibahas bersama untuk menera kesamaan persepsi team. Diskusi terarah dan wawancara mendalam adalah teknik yang digunakan dalam menggali informasi mengenai pendampingan dan pelayanan yang diberikan oleh Posyantek. Data dan informasi yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan metode deskriptif yang memanfaatkan rasionalisasi ekologi yang mengapresiasi keberadaan dan peran berbagai komponen dalam sebuah ekosistem, khususnya ekosistem inovasi serta mengenali interaksi antar subsistem dan komponen-komponen di dalamnya. Dengan demikian dapat disimpulkan peran dari Posyantek sebagai bagian integral dari ekosistem tersebut.

METODE Studi kasus dipilih sebagai metodologi dalam melakukan kajian terhadap Pos Pelayanan Teknologi Mitra Mandiri di Kecamatan Cimaung Kabupaten Bandung. Metodologi ini membantu untuk mengarahkan perhatian pada permasalahan stakeholder yang berdasar pada “real-life events� (Yin, 2003). Penggalian data dan informasi dilakukan melalui diskusi terarah (guided discussion), wawancara dan pengamatan langsung yang dilaksanakan dalam rentang waktu 6 (enam) bulan di tahun 2013. Dalam konteks kasus yang dikaji, pengamatan langsung atau direct observation dapat memberikan ruang dan peluang untuk memperoleh pemahaman lebih jauh terhadap suatu fenomena (USAID, 1996), khususnya mengenai pengelolaan lembaga termasuk didalamnya interaksi antara Posyantek dengan kelompok usaha yang didampingi. Responden yaitu 5 (lima) kelompok usaha yang memperoleh manfaat Posyantek, dan 2 (dua) warung teknologi. Lima kelompok usaha

HASIL DAN PEMBAHASAN Kecamatan Cimaung berada di 15 km sebelah selatan kota Soreang Ibukota Kabupaten Bandung, dan 25 km dari Bandung Ibukota Propinsi Jawa Barat, dengan luas wilayah seluas 48,47 km2. Sebagai salah satu dari 31 Kecamatan yang ada di Kabupaten Bandung, Kecamatan Cimaung terdiri dari 117 RW, 395 RT, dan didiami oleh sekitar 170.325 jiwa atau 3514 jiwa / km2 yang tersebar di 9 desa yakni Campaka Mulya, Cikalong, Cimaung, Cipinang, Jagabaya, Malasari, Mekarsari, Pasirhuni dan Sukamaju (Anonimus, 2013).

Kecamatan Cimaung

Gambar 1. Peta Lokasi Kabupaten Bandung

264


Posyantek Sebagai Komponen Ekosistem Inovasi Untuk Pemberdayaan UMKM (Carolina, Arie Sudaryanto, Arief Setyabudhi)

Dari catatan pemerintah kabupaten, jumlah keluarga miskin di Kecamatan Cimaung masuk dalam kategori 2 yakni ada di kisaran 2793 sampai 7503, sehingga pemerintah daerah melakukan berbagai upaya untuk memberdayakan masyarakatnya agar keluar dari kungkungan kemiskinan. Salah satu diantaranya adalah dukungan peningkatan kemampuan masyarakat melalui kegiatankegiatan yang sifatnya pengembangan kreatifitas dan inovasi yang diharapkan menjadi modal penting bagi pembangunan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM). Meskipun mempunyai masalah di kesejahteraan masyarakat, Kecamatan Cimaung memiliki potensi kewirausahaan yang bagus terlihat dari banyaknya jumlah pengrajin di sana, seperti pengrajin sepatu kulit, petani jamur, pembuat gitar, bengkel logam, penjahit tas dan ransel dan lainnya. Lahan pertaniannya dengan komoditi sayur-sayuran seperti ubi jalar, kol, sawi, tomat dan lainnya, serta palawija seperti jagung, tanaman perkebunan seperti kopi dan lahan sawah yang dioleh secara intensif. Gambaran ini mengindikasikan luasnya ruang pendampingan teknologi untuk memicu kreativitas dan inovasi masyarakat dalam mengelola usahanya agar mampu menjadi entitas yang berdaya-saing. Pembentukan Posyantek Mitra Mandiri adalah tanggapan terhadap himbauan Bupati Bandung kepada setiap kecamatan. Didampingi oleh Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Desa Kabupaten Bandung, serta pihak Kecamatan, proses pembentukan organisasi ini berjalan lancar. Diawali dengan sosialisasi peran dan fungsi Posyantek maka formalisasi pembentukan unit Posyantek akhirnya dinaungi oleh SK Bupati Nomor 416/Kep.445-bpmpd-2010 tanggal 9 Desember 2010. Khusus di Kecamatan Cimaung, motivasi dan dukungan dari pihak kecamatan tampaknya turut memantapkan langkah pembentukan posyantek yang mengusung visi Terwujudnya Masyarakat kecamatan Cimaung yang Maju, Mandiri dan Berdaya Saing melalui percepatan alih Teknologi Tepat Guna. Adapun misinya yaitu: 1) Memberikan kemudahan kepada masyarakat dalam memperoleh pelayanan teknis; 2) Pelayanan informasi dan promosi Berbagai Jenis Teknologi Tepat Guna (TTG) Kepada Masyarakat; 3) Menjembatani Masyarakat Sebagai Pengguna TTG dengan Pencipta/Produsen TTG; (4) Memfasilitasi kebutuhan alat TTG di Masyarakat dengan pihak- pihak terkait; dan (5) Menciptakan atau mengadopsi kebutuhan TTG yang dibutuhkan masyarakat.

Salah satu hal penting yang menjadi pemicu kesepakatan pembentukan Pos Pelayanan Teknologi yang berperan sebagai pendamping masyarakat khususnya UMKM adalah potensi wilayahnya yang membuka ruang kiprah kewirausahaan yang luas. Ibukota kabupaten dan ibukota propinsi yang mudah diakses oleh sarana dan prasarana transportasi, serta dinamika kegiatan wirausaha yang telah ada di wilayah kecamatan Cimaung menjadi aset pendukung penting, sehingga himbauan Bupati untuk membentuk unit Posyantek tidak terlalu sulit untuk di sepakati. Menarik untuk dikemukakan bahwa perancangan, penjabaran dan formalisasi visi misi dari Posyantek Mitra Mandiri merupakan sebuah proses yang diselenggarakan dengan pelibatan pengurus yang berasal dari unsur masyarakat sendiri, dengan didampingi oleh pihak Badan Penanaman Modal Daerah (BPMD) Kabupaten dan pihak Kecamatan. Visi dan misi tersebut menjadi pengarah penyelenggaraan peran dan fungsi lembaga yang sejak awal sudah dikenalkan pada kalangan masyarakat melalui kegiatan sosialisasi. Proses ini tampaknya menjadi salah satu kekuatan yang dimiliki oleh Posyantek Mitra Mandiri karena kemudian anggota pengurus posyantek mengetahui, mengerti dan memahami alasan keberadaan unit ini di ekosistem Kecamatan Cimaung. Ketua Posyantek dipilih oleh forum wakilwakil desa, dan kemudian organisasi dibentuk berdasarkan petunjuk dari Kantor Menteri Dalam Negeri, khususnya Direktorat Jenderal Pemberdayaan Masyarakat dan Desa yang merupakan pemangku kepentingan pembentukan dan pengembangan Pos Pelayanan Teknologi se-Indonesia. Pengurus Posyantek Mitra Mandiri mempunyai latar belakang pendidikan dan profesi yang beragam, dari mulai lulusan Sekolah Dasar sampai dengan Sarjana Strata – 1. Pengurus umumnya adalah personal yang mempunyai pekerjaan sebagai wirausahawan yang dipilih berdasarkan suara terbanyak, melalui pemilihan terbuka di pertemuan yang difasilitasi oleh BPMD Kabupaten dan pihak Kecamatan. Meskipun latar belakang pendidikan dan profesi mereka berbeda, yang menarik untuk dikemukakan adalah adanya kesamaan pandang terhadap nilai penting kehadiran Posyantek bagi masyarakat kecamatan. Hal ini tercermin dari penyelenggaraan kegiatan Posyantek yang sudah menjadi tanggung-jawab bersama sehingga tidak ada persoalan dalam pembagian peran pengurus. Terlihat bahwa komunikasi antar pengurus sudah terjalin dengan baik, dan secara bersama mereka bersepakat untuk

265


Inovasi Vol 11 No. 4 Desember 2014 : 262-270

bekerja melayani masyarakat sebaik mungkin melalui posyantek. Segera setelah formalisasi pembentukan organisasi Posyantek Mitra Mandiri, setiap desa dihimbau untuk memiliki sebuah Warung Teknologi atau Wartek. Wartek di setiap desa memungkinkan Posyantek Mitra Mandiri mampu melayani masyarakat desa lebih dekat lagi. Dari 9 (sembilan) desa di Kecamatan Cimaung, hanya 5 (lima) desa saja yang membentuk warung teknologi, dan yang paling aktif dalam berkiprah adalah wartek Desa Campaka Mulya.

Sebagai sebuah lembaga masyarakat yang dibentuk atas dasar himbauan Kepala Daerah yang menyikapi Peraturan Menteri Dalam Negeri, Posyantek Mitra Mandiri telah berupaya menyelenggarakan kegiatannya berdasarkan pada urai tugas yang dipandu oleh kebijakan tersebut. Sejak berdiri hingga saat ini, Posyantek telah menjalin hubungan kerja dengan berbagai pihak yakni wartek di 5 desa, Usaha Kecil Menengah (UKM), dan instansi terkait seperti tergambar berikut ini:

Posyantek Mitra Mandiri

Lembaga Pendidikan (Universitas & Lembaga Litbang)

Warung Teknologi (Desa Campaka Mulya, Cipinang, Cikalong, Pasirhuni, Cimaung)

Pemerintah UMKM dan Masyarakat

Instansi Terkait (Kemkominfo, STT Telkom, BPMD, Deskranasda, Bapepsi dll)

Gambar 2. Keterkaitan Posyantek Mitra Mandiri dengan Berbagai Pihak di dalam Ekosistem Inovasi Secara kelembagaan, selain dukungan Kementerian Komunikasi dan Informasi, Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Desa Kabupaten Bandung dan Pemerintah Kecamatan juga merupakan partner kerja Posyantek dalam menyelenggarakan fungsi intermediasi. Terhadap UMKM dan masyarakat, Posyantek Mitra Mandiri memberikan pelayanan berupa berbagai pelatihan keterampilan atau pun sosialisasi informasi yang terkait dengan penguatan UMKM. Biasanya kegiatan-kegiatan ini dilakukan sebagai wujud kerjasama dengan lembaga terkait seperti Dinas Koperasi dan UKM, Perindustrian dan Perdagangan dll. Posyantek juga “menemani� UMKM yang ada di ranah binaannya dengan melakukan kunjungan rutin seraya menampung informasi yang dapat dijadikan masukan untuk merancang kegiatan. Masukan-masukan ini lah yang kemudian menjadi bahan komunikasi dengan pihak pemerintah daerah dan dinas instansi terkait.

UMKM milik masyarakat mendapatkan manfaat dari kerjasama yang dijalin oleh Posyantek dengan instansi-instansi terkait dalam bentuk berbagai program. Salah satu yang signifikan adalah koneksitas Posyantek Mitra Mandiri dengan Kementerian Komunikasi dan Informasi melalui fasilitator nasional yang kemudian membantu membuka jejaring komunikasi melalui PLIK (Program Layanan Internet Kecamatan) di tahun 2013. Adanya warung internet kecamatan memberikan manfaat pada pengembangan organisasi Posyantek dan masyarakat sekitar. Melalui warung internet yang difasilitasi PLIK, masyarakat mengenal teknologi komunikasi, mencari informasi melalui internet menjadi hal yang tidak asing dan menjadi bagian dari pelayanan Posyantek kepada masyarakat. Posyantek memanfaatkan keterhubungan dengan dunia luar ini juga untuk berjejaring; namun juga untuk mengumpulkan dan menelusur informasi teknologi tepat guna yang sekiranya dapat dimanfaatkan oleh masyarakat.

266


Posyantek Sebagai Komponen Ekosistem Inovasi Untuk Pemberdayaan UMKM (Carolina, Arie Sudaryanto, Arief Setyabudhi)

Pelayanan Posyantek Mitra Mandiri juga diselenggarakan melalui Warung Teknologi yang berada di 5 Desa. Dari 5 Warung Teknologi yang terbentuk, paling aktif berkiprah adalah Wartek di Desa Campaka Mulya. Faktor kegigihan ketua Wartek sangat mempengaruhi kinerja warung teknologi. Ketika Warung Teknologi dipimpin oleh seorang wirausahawan yang memiliki pemikiran terbuka, sehingga hal utama yang dikerjakan adalah menjalin serta memelihara interaksi di dalam dan di luar ekosistem Posyantek. Wartek Campaka Mulya memanfaatkan posisi tersebut dengan baik, sehingga Posyantek Mitra Mandiri menjadi kendaraan pengembangan usaha yang dikelola melalui Wartek. Interaksi seperti ini berlangsung efektif, dan saling memberikan manfaat. Pembentukan Warung Teknologi ini pun sebetulnya merupakan pesan strategis dari kebijakan nasional yang terkait dengan penerapan teknologi tepat guna yang berkedudukan di desa. Dengan demikian, UMKM dan masyarakat menjadi terhubung secara lebih dekat karena mereka dapat berkomunikasi langsung dengan pengurus-pengurus Posyantek yang berkedudukan di desa yang berarti bagian dari komunitas satu wilayah desa sendiri. Artinya, jarak fisik yang kerap menjadi hambatan geografis diperkecil dengan adanya Warung Teknologi. Kenyamanan berkomunikasi dengan anggota komunitas satu desa juga menjadi kelebihan dari kedudukan Warung Teknologi sebagai perpanjangan tangan organisasi Pos Pelayanan Teknologi. Meskipun pada kenyataannya, tidak mudah untuk mengimplementasikan pemikiran ini karena masih ada ketidak-sepakatan mengenai fungsi wartek untuk desa. Salah satunya UKM lebih nyaman berinteraksi langsung dengan Posyantek, dibandingkan dengan menyatukan diri dalam sebuah organisasi skala desa. Kelemahan warung teknologi di kasus Posyantek Kecamatan Cimaung menurut pendapat responden adalah ketidak-siapan pengurus dalam menyandang peran dan fungsi unitnya dalam melayani masyarakat. Wartek berfungsi baik bila dipimpin oleh seorang kader yang berjiwa wirausaha, paham terhadap tugas dan tanggung-jawabnya serta memiliki motivasi dan kemampuan untuk melayani masyarakat. Undang Undang Nomor 18 tahun 2002 tentang Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, secara substantif dapat disebut sebagai prototipe dari Sistem Inovasi Nasional (SIN). Didalamnya terdapat perguruan tinggi, lembaga litbang, badan usaha dan lembaga penunjang lain yang secara

bersama dan interaktif diharapkan berjejaring dan berperan aktif dalam mendorong percepatan difusi dan penggunaan pengetahuan baru yang bermanfaat secara ekonomis (Haryanto, 2004). Para pihak di ekosistem inovasi ini secara spesifik dipopulerkan dalam istilah ABG, sebuah konsep kebijakan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi nasional yang menyiratkan kerjasama antara 3 pihak yakni Akademisi, Bisnis dan Pemerintah (G: Government). Di dunia akademis disebut juga sebagai triple helix yang menggambarkan kerjasama 3 pihak tersebut dalam jalinan yang menyerupai rantai DNA. Landasan makna kata inovasi yang menjadi rujukan pikir yang berkembang adalah sudut pandang inovasi sebagai suatu proses transisi tanpa akhir dan dinamis yang dibangun atas dasar hubungan/interaksi antar kelembagaan dalam “pusaran spiral� yang dikenal dengan Triple Helix (Etzkowitz dan Leydesdorf, 1995) Evolusi pemikiran mengenai inovasi pada akhirnya mengapresiasi peran pihak lain untuk menjamin terwujudnya perkembangan inovasi dalam jangka panjang. Liljemark (2004) menyebut pilar ke-4 dari inovasi sebagai lembaga intermediasi (intermediate organizations) atau lembaga penggerak inovasi (innovation-enabler-organization). Sementara Yawson (2009) mengemukakan bahwa helix berikut seharusnya adalah pengguna, sehingga muncul istilah user driven innovation yang mengarah pada diakuinya peran masyarakat pengguna sebagai pemicu inovasi. Struktur Quadruple Helix menjadi pemikiran baru yang merupakan evolusi dari Triple Helix yang dianggap tidak cukup untuk mengakomodasi dinamika interaksi pihak-pihak yang berkepentingan di dalam mewujudkan inovasi yang mengarah pada pencapaian kesejahteraan masyarakat. Tak lepas dari hiruk pikuk perubahan konsep pikir mengenai inovasi di dunia akademisi, pada tahun 2012, terbitlah Peraturan Bersama Menteri Negara Riset dan Teknologi dan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia No 03 Tahun 2012 dan Nomor 36 Tahun 2012 tentang Penguatan Sistem Inovasi Daerah yang menegaskan bahwa untuk menumbuhkembangkan inovasi yang dilakukan diperlukannya kerjasama antar institusi pemerintah, pemerintahan daerah, lembaga kelitbangan, lembaga pendidikan, lembaga penunjang inovasi, dunia usaha,dan masyarakat di daerah di dalam sebuah sistem yang dinamakan sistem inovasi daerah atau SIDa. Meskipun secara khusus dikemukakan peran penting sebuah lembaga daerah yakni Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah untuk

267


Inovasi Vol 11 No. 4 Desember 2014 : 262-270

menata-kelola iptek dan inovasi untuk dijadikan pemicu perkembangan ekonomi daerah. Jelaslah bahwa bagi Indonesia, inovasi sebagai penggerak ekonomi negara sudah menjadi konsep strategis yang siap diterjemahkan dalam tindak bahkan oleh komunitas pemerintah daerah sekalipun. Melalui aplikasi pola pikir SIDa, inovasi, baik yang berasal dari masyarakat maupun lembaga-lembaga pendidikan dan litbang diapresiasi sebagai unsur penting bagi penguatan ekonomi wilayah. Sebagai negara yang masuk ke dalam kelompok Medium Human Development dengan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) ranking 121 (Anonimus, 2014), Indonesia masih berjuang untuk meningkatkan daya saingnya. Berbagai kebijakan dicanangkan oleh pemerintah yang menggambarkan upaya penting bagi terwujudnya iklim inovasi yang kondusif. Diantaranya adalah kebijakan penerapan teknologi tepat guna dalam meletakkan peran lembaga Pos Pelayanan Teknologi yang mengusung fungsi intermediasi antara komunitas pengguna teknologi dengan pemilik/pencipta teknologi. Fungsi yang sangatlah strategis mengingat salah satu persoalan bangsa dewasa ini adalah sinkronisasi antara kerja dan kinerja penelitian dan pengembangan dengan kebutuhan masyarakat. Tantangannya adalah bagaimana agar kebijakan tersebut memberikan dampak bermakna bagi penguatan ekonomi rakyat khususnya usaha mikro kecil menengah. Fungsi intermediasi diselenggarakan oleh Posyantek Mitra Mandiri Kecamatan Cimaung melalui berbagai kegiatan yang menghubungkan sumber teknologi, pemerintah, badan usaha dan masyarakat. Misalnya pelayanan informasi teknologi tepat guna melalui sosialisasi kepada para Kepala Desa, BPD, LPMD, Karang Taruna melalui Visualisasi dan Brosur, menyiapkan informasi pasar dari produk-produk yang dihasilkan oleh UMKM, dan mengikutsertakan produk-produk UMKM pada berbagai jenis kegiatan pameran dan peragaan teknologi tepat guna setingkat propinsi maupun nasional. Dari waktu ke waktu, Posyantek Mitra Mandiri juga memfasilitasi pelaku usaha untuk mendapatkan informasi relevan dari pemerintah ataupun swasta. Sebagai lembaga masyarakat yang berkedudukan di wilayah kecamatan, Posyantek Mitra Mandiri menyelenggarakan semua kegiatannya dengan dukungan penuh dari Pemerintah Kecamatan, selain juga dengan Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Desa baik di Kabupaten Bandung maupun di Propinsi Jawa Barat. Interaksi yang terjadi antara Posyantek dan lembaga pemerintah relevan menghasilkan

peningkatan pemasaran produk UMKM. Sebuah karya kerja sama Posyantek Mitra Mandiri di skema Quadruple Helix adalah penerapan teknologi tepat guna terkait dengan budidaya jamur tiram yang berhasil menggugah semangat masyarakat sehingga terbentuk 9 kelompok usaha jamur tiram. Inovasi tersebut disebarluaskan ke berbagai wilayah di luar kecamatan Cimaung bahkan sampai ke wilayah di luar Propinsi Jawa Barat dan diadopsi oleh sedikitnya 60 (enam puluh) kelompok usaha. Penyebaran ini membuktikan bahwa masyarakat dapat berperan sebagai sumber inovasi potensial (Gupta, 2006) dan Posyantek Mitra Mandiri mampu mendudukan diri sebagai lembaga intermediasi yang efektif dalam mendukung pengembangan inovasi masyarakat. Upaya mendorong pengetahuan masyarakat pun dilakukan melalui Taman Bacaan Masyarakat dan Warung Internet. “Warung internet” yang dibangun dari hasil kerjasama dengan Kementerian Komunikasi dan Informasi serta Kementerian Dalam Negeri melalui penyelenggaraan Program Layanan Internet Kecamatan (PLIK), telah membuat masyarakat menjadi lebih “melek informasi”. Unik dikemukakan bahwa salah satu warung teknologi yang kegiatan usahanya mengontruksi peralatan teknologi tepat guna menjadikan internet sebagai “sumber informasi” utama untuk memicu kreatifitas dan menghasilkan inovasi baru. Interaksi antar komponen ini mengunndikasikan terwujudnya sebuah sistem inovasi yang mewadahi unsur-unsur (pelaku SIN) dan hubungan interaktifnya di dalam produksi, difusi dan penggunaan pengetahuan baru yang bermanfaat secara ekonomis (Lundvall, 1992) Karya-karya teknologi tepat guna lokal yang dihasilkan oleh masyarakat Kecamatan Cimaung melalui pembinaan dan pendampingan Pos Pelayanan Teknologi Mitra Mandiri telah banyak memperoleh penghargaan. Baik lokal maupun nasional. Akan tetapi yang terpenting, peran intermediasi yang diselenggarakan oleh unit ini telah mampu membantu UMKM meningkatkan kinerjanya baik melalui teknologi tepat guna yang diciptakan maupun ditingkatkan. Hal lain adalah telah pula terjadi penyebaran inovasi yang diterapkan sebagai kegiatan usaha tidak hanya di lingkungan Kecamatan Cimaung akan tetapi ke wilayah kecamatan lain di Kabupaten Bandung. Pada dasarnya gerak langkah Pos Pelayanan Teknologi yang ditunjukkan oleh Mitra Mandiri di Kecamatan Cimaung dalam menerjemahkan tugas dan tanggung jawabnya menggambarkan berfungsinya konsep pikir Quadruple Helix seperti dikemukakan oleh Liljemark (2004) dan

268


Posyantek Sebagai Komponen Ekosistem Inovasi Untuk Pemberdayaan UMKM (Carolina, Arie Sudaryanto, Arief Setyabudhi)

Yawson (2009) dimana kelompok masyarakat berperan aktif dalam mendorong terwujudnya inovasi yang berorientasi pada kepentingan masyarakat itu sendiri. Oleh karena kedekatan posisi fisik dan sosial Posyantek dengan masyarakat se kecamatan, maka hubungan yang baik dengan komunitas yang dibinanya yakni masyarakat di kecamatan itu sendiridapat terwujud. Interaksi sosial yang terjalin baik merupakan jembatan efektif untuk mendekatkan kebutuhan masyarakat yang dibina dengan pihak sumber teknologi dan pemangku kebijakan, sehingga mampu membuahkan hasil positif khususnya bagi upaya penguatan kreatifitas dan inovasi di kalangan UMKM dan masyarakat. Selain itu, dengan adanya lembaga yang memiliki peran sebagai penyedia kebutuhan teknologi tepat guna yang berada di tengah masyarakat, jarak dengan tacitknowledge yang dimiliki oleh masyarakat maupun sumber teknologi lainnya menjadi lebih dekat. Proses alih teknologi akan dapat diharapkan untuk berlangsung lebih efektif bilamana masalah proximity terhadap sumber teknologi dapat ditangani (Bramwell, 2012). Dengan kata lain, kebutuhan UMKM dan masyarakat terhadap teknologi tepat guna dapat lebih mudah dipenuhi. Tidak salah bila kita menyimpulkan bahwa keberadaan Pos Pelayanan Teknologi dapat didorong untuk dijadikan komponen penting di dalam ekosistem inovasi nasional yang akan mendukung terwujudnya masyarakat yang berdaya-saing. Meskipun menciptakan iklim inovasi yang efektif bukan hal yang sederhana, karena menyangkut begitu banyak pihak yang mengusung persepsi dan misi nya sendirisendiri (Lakitan, 2013). Namun, kinerja Pos Pelayanan Teknologi Mitra Mandiri di Kabupaten Bandung menunjukkan bahwa di skala mikro, ekosistem inovasi dapat berfungsi efektif manakala berbagai persyaratan dapat dipenuhi baik yakni adanya kebijakan selaras, pemerintah daerah yang berpihak pada tercapainya misi posyantek, pengurus yang memiliki komitmen kuat dalam menyelenggarakan tugas dan tanggung jawab posyantek, masyarakat yang ikut serta dalam mengusung peran dan fungsi posyantek. Bagaimana menjaga keberlanjutannya, adalah pemikiran bersama antara berbagai komponen di dalam ekosistem inovasi.

tahun 2010 sebagai upaya pemberdayaan masyarakat melalui penerapan teknologi tepat guna. Pembentukannya yang diawali dengan proses sosialisasi peran dan fungsi Posyantek di masyarakat, menjadi langkah penting untuk mengintegrasikan organisasi ini ke dalam ekosistem wilayah yang dilayani. Didalam penyelenggaraan peran dan tugas nya sebagai lembaga intermediasi yang memberikan pelayanan teknologi tepat guna pada masyarakat, Posyantek Mitra Mandiri berhasil menjadi jembatan efektif bagi pemenuhan kebutuhan masyarakat terhadap teknologi tepat guna melalui interaksi dengan berbagai pihak yang mewakili unsur pemerintah di berbagai level dan sektor, lembaga pendidikan, kelompok usaha, dan masyarakat. REKOMENDASI Berdasarkan kajian terhadap Pos Pelayanan Teknologi Mitra Mandiri di Kecamatan Cimaung Kabupaten Bandung, pembentukan Posyantek sebaiknya dimulai dari penyamaan persepsi mengenai lembaga masyarakat ini di tingkat masyarakat. Dengan demikian, dukungan terhadap pembentukan lembaga ini akan diperoleh meluas setelah memahami peran dan fungsi posyantek dengan baik. Oleh adanya dukungan tersebut, maka anggota tim Posyantek adalah mereka yang memperoleh dukungan masyarakat, bukannya mereka yang “ditugasi� oleh birokrasi. Sesuai dengan tugas dan fungsinya, sektor di tatanan Pemerintah Daerah yang tepat menjadi pendamping penyelenggaraan peran dan tugas Posyantek sebagai lembaga intermediasi yang memberikan pelayanan teknologi tepat guna pada masyarakat, adalah Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Desa baik di level kecamatan, kabupaten maupun propinsi. Pos Pelayanan Teknologi potensial untuk diapresiasi sebagai komponen penting dalam ekosistem inovasi nasional di Indonesia mengingat peran dan fungsinya sebagai lembaga intermediasi bagi masyarakat pengguna teknologi dengan pihak-pihak pemilik teknologi. Hal ini karena sebagai organisasi masyarakat, keberpihakan terhadap kepentingan masyarakat menjadi dasar pikir yang menguatkan UCAPAN TERIMAKASIH Kajian ini didukung oleh Pusat Pengembangan Teknologi Tepat Guna Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia dan Direktorat Sumber Daya Alam dan Teknologi Tepat Guna Kementerian Dalam Negeri. Terimakasih disampaikan pada rekan-rekan di komunitas Posyantek Mitra Mandiri, khususnya Cecep Kurnia, Dede, Surahmat, Jajang, Obay. Pelajaran

KESIMPULAN Posyantek Mitra Mandiri Kecamatan Cimaung adalah sebuah contoh konkrit penerapan kebijakan pemerintah khususnya amanat Instruksi Presiden No 3 tahun 2001 dan Peraturan Menteri Dalam Negeri nomor 20

269


Inovasi Vol 11 No. 4 Desember 2014 : 262-270

terpenting yang kami peroleh dari anda semua adalah mengartikan kata “melayani” masyarakat.

USAID Center for Development Information and Evaluation. 1996. Performance Evaluation and Monitoring TIPS. No. 4: Using Direct Observation Techniques. Dari: http://www.usaid.gov/pubs/usaid_eval/ascii/p naby208.txt [Diakses 8 September 2014].

DAFTAR PUSTAKA Anonimus, 2013. Kabupaten Bandung dalam Angka. Bandung: Badan Pusat Statistik Kabupaten Bandung.

Yawson, R. M. 2009 The Ecological System of Innovation: A New Architectural Framework for a Functional Evidence-Based Platform for Science and Innovation Policy. The Future of Innovation Proceedings of the XXIV ISPIM 2009 Conference. Vienna, Austria, June.

Anonimus, 2014. The Global Competitiveness Report. Dari: http://www.weforum.org/reports/globalcompetitiveness-report-2014-2015 [Diakses: 14 Desember 2014].

Yin, RK. 2003. Case Study Research : Design and Methods. Thousand Oak: Sage Publications.

Bramwell, A., Hepburn,N. and Wolfe, DA. 2012. Growing Innovation Ecosystems: UniversityIndustry Knowledge Transfer and Regional Economic Development in Canada. Program on Globalization and Regional Innovation Systems Munk School of Global Affairs. University of Toronto. Knowledge Synthesis Paper on Leveraging Investments in HERD. Final Report to the Social Sciences and Humanities Research Council of Canada. Etzkowitz, H., Leydesdorff, L. 1995. The triple helix–university–industry–government relations: a laboratory forknowledge-based economic development. EASST Review 14 (1) hal 14–19. Gupta, A K. 2006. From Sink to Source. The Honey Bee Network Documents Indigenous Knowledge and Innovations in India Innovations. India: MIT Press. Haryanto, S. 2004. Dari SIN ke ABG: Catatan Kebijakan Iptek Nasional. INOVASI Online. Edisi Vol.2/XVI/November. Dari: http://io.ppijepang.org [Diakses, 8 September 2014]. Lakitan, B. 2013. Connecting All the Dots: Identifying the “Actor Level” Challenges of Establishing Effective Innovation System in Indonesia. Technology in Society 35 hal 41-54. Liljemark, T. 2004. Innovation Policy in Canada. Strategy and Realities. Stockholm: Swedish Institute for Growth Policy Studies. Lundvall, B-A (ed.). 1992. National Innovation System: Towards a Theory of Innovation and Interactive Learning. London: Pinter. Seyfang, G. dan A. Smith. 2007. Grassroots Innovation for Sustainable Development: Towards a New Research and Policy Agenda. Environmental Politics 16 (4) hal 584-603.

270


Inovasi Vol 11 No. 4 Desember 2014 : 271-287

Hasil Penelitian IDENTIFIKASI POTENSI PELUANG EKSPOR KOMODITI UNGGULAN DAERAH DI SUMATERA UTARA

(IDENTIFYING POTENTIAL FOR COMMODITY EXPORT OPPORTUNITIES IN NORTH SUMATRA SUMATRA)) Silvia Darina Badan Penelitian dan Pengembangan Provinsi Sumatera Utara Jl. Sisingamangaraja No. 198 Medan 20126 Email: silvia.darina@gmail.com

Diterima: 3 November 2014; Direvisi: 10 November 2014; Disetujui:27November 2014

ABSTRAK Sumatera Utara memiliki potensi besar untuk menggandakan perolehan ekspor berbagai komoditi pertanian di satu sisi dan menekan impor, terutama komoditi-komoditi pertanian yang dapat dibudidayakan di daerah. Pelaksanaan kegiatan Identifikasi Potensi Peluang Ekspor Komoditi Unggulan Daerah di Sumatera Utara bertujuan untuk menganalisis secara lebih mendalam mengenai potensi, daya saing dan peluang ekspor dari masing-masing komoditi unggulan sektor pertanian daerah di Sumatera Utara. Komoditi unggulan daerah Sumatera Utara yang memiliki potensi pangsa ekspor dan peningkatan pertumbuhan proyeksi volume ekspornya, adalah : Kopi di Kabupaten Dairi, Jagung di Kabupaten Simalungun dan Kubis di Kabupaten Karo. Hasil analisis indeks Location Quotient (LQ) pada masing-masing komoditi dan daerah di Sumatera Utara, diperoleh komoditi-komoditi yang dibedakan berdasarkan yakni : Komoditi unggulan, terdiri dari : Kelapa di Kabupaten Asahan, Kakao di Kabupaten Serdang Bedagai, Ubi Kayu di Kabupaten Simalungun, Nenas di Kabupaten Tapanuli Utara, Pisang di Kabupaten Deli Serdang, Salak di Kabupaten Tapanuli Selatan, Kedelai di Kabupaten Langkat dan Jeruk di Kabupaten Karo. Komoditi bukan unggulan adalah cabe di Kabupaten Karo. Hasil analisis Revealed Comparative Advantage (RCA) untuk mendapatkan daya saing masing-masing komoditi di Sumatera Utara dibedakan, yakni: Komoditi unggulan yang memiliki daya saing dengan nilai pangsa ekspor komoditi Sumatera Utara lebih besar dibandingkan pangsa ekspor komoditi Indonesia, terdiri dari : Kelapa, Cabe, Jeruk. Komoditi dengan nilai pangsa ekspor komoditi Sumatera Utara lebih kecil dibandingkan pangsa ekspor komoditi Indonesia, terdiri dari : Kakao, Ubi Kayu. Nenas, Pisang, Kedelai. Berdasarkan hasil analisis peramalan untuk peluang ekspor dari masing-masing komoditi unggulan sektor pertanian di Sumatera Utara dibedakan, yakni : Komoditi dengan peningkatan pertumbuhan proyeksi volume ekspor, terdiri dari : Ubi Kayu, Nenas, Pisang, Kedelai. Komoditi dengan penurunan pertumbuhan proyeksi volume ekspor, terdiri dari : Jeruk, Kelapa, Kakao, dan Cabe. Komoditi yang tidak memiliki nilai pertumbuhan proyeksi volume ekspor yakni salak. Kata Kunci: Identifikasi, peluang, ekspor, komoditi, unggulan

ABSTRACT North Sumatera has a great potential to double the export earnings of various agricultural commodities on the one hand and reduce imports, especially of agricultural commodities that can be cultivated in the area. Implementation of activities Identification of Potential Regional Commodity Export Opportunities in North Sumatra aims to analyze in more depth about the potential, competitiveness and export opportunities of each commodity agricultural sector in the region of North Sumatra. Leading commodities North Sumatra that have the potential share of exports and an increase in export volume growth projections, are: Coffee in Dairi. Corn in Simalungun. Cabbage in Karo. The results of the analysis of the index Location Quotient (LQ) for each commodity and region in North Sumatra, obtained commodities which are distinguished by the: Main commodity, consisting of: Coconut in Asahan, in Serdang Bedagai Cocoa, Cassava in Simalungun, Pineapple in North Tapanuli, Bananas in Deli Serdang, Salak South Tapanuli, Soybean in Langkat and Orange in Karo. Commodity unseeded is chili in Karo. The results of the analysis of Revealed Comparative Advantage (RCA) to get the competitiveness of each commodity in North Sumatra distinguished, namely: commodity of which are competitive with the value of the commodity export share of North Sumatra is greater than the

271


Identifikasi Potensi Peluang Ekspor Komoditi Unggulan Daerah di Sumatera Utara (Silvia Darina) share of commodity exports Indonesia, consisting of: Coconut, Chilli, Orange. Commodities to the value of the commodity export share of North Sumatra is smaller than the share of commodity exports Indonesia, consisting of: Cocoa, Cassava. Pineapple, Banana, Soy. Based on the analysis of forecasting for export opportunities of each commodity agricultural sector in North Sumatra distinguished, namely: Commodities with an increase in export volume growth projections, consisting of: Cassava, Pineapple, Banana, Soy. Commodities with a decrease in the projected growth of export volumes, consisting of: Citrus. Coconut. Cocoa. Cabe. Commodity which does not have a projected growth rate of export volume of the bark. Keywords: Identification, opportunity, export, commodity, featured

PENDAHULUAN Komoditi unggulan harus mampu menjadi penggerak utama (prime mover) pembangunan yang artinya mempunyai kontribusi yang menjanjikan pada peningkatan produksi dan pendapatan, memiliki keterkaitan kedepan yang kuat, baik secara komoditi unggulan maupun komoditi lainnya, mampu bersaing dengan produksi sejenis dari wilayah lain di pasar nasional baik dalam harga produk, biaya produksi, kualitas pelayanan, maupun aspekaspek lainnya, memiliki keterkaitan dengan daerah lain baik dalam hal pasar (konsumen) maupun pemasok bahan baku. Mampu menyerap tenaga kerja berkualitas secara optimal sesuai dengan skala produksinya, pengembangan komoditi unggulan harus mendapatkan berbagai dukungan, misalnya sosial, budaya, informasi dan peluang pasar, kelembagaan, pengembangan komoditi unggulan berorientasi pada kelestarian sumberdaya dan lingkungan. Dalam rangka akselerasi ekspor dan mengurangi impor, komoditi pertanian harus berdaya saing di pasar internasional. Daya saing ekspor dapat diartikan sebagai kemampuan komoditi untuk memasuki pasar luar negeri dan kemampuan untuk bertahan didalam pasar tersebut. Tolak ukurnya adalah persentase pangsa pasar dari total impor komoditi sejenis dari suatu negara tujuan ekspor dalam masa tertentu. Pengembangan komoditi unggulan di daerah akan membuka peluang usaha bagi masyarakat terutama di pedesaan. Menurut Basri (2003), suatu peluang usaha akan menjadi sumber pendapatan yang memberikan tambahan penghasilan kepada masyarakat jika mampu menangkap peluang usaha yang potensial dikembangkan menjadi suatu kegiatan usaha yang nyata, dengan demikian kemampuan masyarakat memanfaatkan peluang yang ada akan dipengaruhi oleh kemampuan masyarakat dalam menangkap peluang itu sendiri. Hal kedua adalah kemampuan mengorganisir sumberdaya yang dimiliki sedemikian rupa sehingga peluang yang potensial menjadi usaha yang secara aktual dapat dioperasikan Sumatera Utara merupakan daerah yang kaya akan sumber daya alam pertanian yang ditandai dengan sektor pertanian menjadi salah

satu penopang perekonomian daerah dan sebagian besar penduduk dengan rmata pencaharian sebagai petani. Sektor pertanian memberikan kontribusi sebesar 21,88% kepada PDRB Sumatera Utara setelah sektor industri. Sebagian besar Kabupaten/Kota di Sumatera Utara menjadikan sektor pertanian sebagai leading sector dalam peningkatan perekonomian daerahnya. Potensi komoditi unggulan yang dimiliki ini apabila dapat dikelola secara optimal akan mempunyai nilai jual yang tinggi dan sekaligus memberikan peningkatan pendapatan kepada masyarakat dan sumber penerimaan daerah. Namun saat ini hanya tanaman dari komoditi perkebunan dan produk turunannya yang baru dapat dipasarkan keluar negeri, sedangkan jenis tanaman lain banyak dikonsumsi di dalam negeri. Oleh karena itu perlu dilihat peluang komoditi lain yang dapat dijadikan komoditi ekspor primadona daerah di Sumatera Utara. Terdapat beberapa komoditi yang menjadi peluang ekspor baru bagi Sumatera Utara antara lain: kelapa, kopi, kakao, ubi kayu, jagung, kedelai, cabe, kubis, jeruk, nenas, pisang, salak sesuai dengan potensi yang dimiliki masing-masing daerah kabupaten. Untuk melihat nilai jual dan peluang ekspor tersebut, maka perlu dilakukan identifikasi terhadap berbagai komoditi unggulan yang dimiliki tersebut dan sekaligus untuk melihat daya saing dan peluang ekspornya. Untuk menentukan komoditi unggulan pertanian yang dihasilkan di Sumatera Utara yang dapat ditentukan menjadi komoditi unggulan atau bukan komoditi unggulan digunakan analisis Location Quotient (LQ), daya saingnya dapat dilihat melalui Revealed Comparative Advantage dan peluang ekspor komoditi pertanian diproyeksi dengan menggunakan metode Least Square. Pelaksanaan kegiatan Identifikasi Potensi Peluang Ekspor Komoditi Unggulan Daerah di Sumatera Utara bertujuan untuk menganalisis secara lebih mendalam mengenai potensi komoditi unggulan sektor pertanian daerah di Sumatera Utara. Daya saing dari masing-masing komoditi unggulan sektor pertanian daerah di Sumatera Utara dan peluang ekspor dari

272


Inovasi Vol 11 No. 4 Desember 2014 : 271-287

masing-masing komoditi unggulan pertanian daerah di Sumatera Utara.

sektor

komoditi cabe dan jeruk; Kabupaten Tapanuli Utara dengan komoditi nenas; Kabupaten Deli Serdang dengan komoditi pisang; Kabupaten Tapanuli Selatan dengan komoditi salak; dan Kabupaten Langkat dengan komoditi kedelai. Adapun analisis data yang digunakan dalam penelitian ini, adalah : a. Komoditi unggulan pertanian yang dihasilkan di Sumatera Utara yang dapat ditentukan menjadi komoditi unggulan atau bukan komoditi unggulan. Untuk menentukan komoditi unggulan digunakan analisis Location Quotient. b. Metode Revealed Comparative Advantage (RCA) digunakan untuk melihat daya saiang atau pangsa ekspor suatu komoditi suatu negara terhadap pangsa ekspor komoditi tersebut dari seluruh dunia. Untuk penelitian ini indeks RCA digunakan untuk melihat keunggulan komparatif komoditi Sumatera Utara terhadap Indonesia. c. Untuk mengetahui peluang ekspor komoditi unggulan dapat dilihat melalui proyeksi ekspor untuk lima tahun ke depan volume ekspor masing-masing komoditi unggulan Sumatera Utara. Data yang digunakan adalah data time series volume ekspor masing-masing komoditi Sumatera Utara yang dianalisa dengan menggunakan persamaan trend dengan metode Least Square.

METODE Metode pendekatan studi yang dilakukan adalah penelitian deskriptif yang merupakan akumulasi data dasar dalam cara deskriptif semata-mata tidak perlu mencari atau menerangkan hubungan, menguji hipotesis, membuat ramalan, atau mendapatkan makna dan implikasinya. Sedangkan daerah yang digunakan sebagai sampel dalam penelitian ini adalah 9 (sembilan) daerah Kabupaten di Sumatera Utara yang memiliki potensi di sektor pertanian yang dipilih secara purposive sampling dan pelaksanaan kegiatan berlangsung selama 4 (empat) bulan. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Metode pengambilan data primer di lokasi penelitian ini dilakukan secara deskriptif (descriptive research). Metode pengumpulan data sekunder dilaksanakan di beberapa daerah Kabupaten di Sumatera Utara dengan cara mengumpulkan dokumen-dokumen pendukung atau laporan dari dinas/instansi terkait, antara lain : Bappeda, Dinas Pertanian, Badan/Kantor Ketahanan Pangan, Badan Pusat Statistik, dan Dinas Perdagangan dan Perindustrian di Provinsi dan Kabupaten di Sumatera Utara. Di samping itu, dikumpulkan dari berbagai sumber literatur, hasil kajian dan laporan yang terkait dengan komoditi unggulan pertanian yang berasal dari stakeholders terkait di Provinsi dan beberapa daerah Kabupaten di Sumatera Utara. Adapun data sekunder yang dibutuhkan dalam penelitian ini antara lain : a. PDRB Sumatera Utara b. Produksi, produktivitas dan luas lahan komoditi. c. Nilai ekspor komoditi dan nilai total ekspor Sumatera Utara. d. Nilai ekspor komoditi dan nilai total ekspor Indonesia. Data pemilihan komoditi unggulan dari masing-masing daerah Kabupaten yang digunakan sebagai sampel dalam penelitian didasarkan pada komoditi spesifik lokasi yang dimiliki masing-masing daerah yang ditandai dengan produksinya tinggi dengan trend yang terus mengalami peningkatan setiap tahunnya. Adapun daerah dan komoditi unggulan perkebunan, tanaman pangan dan hortikultura yang digunakan dalam penelitian ini adalah : Kabupaten Asahan dengan komoditi kelapa; Kabupaten Dairi dengan komoditi kopi; Kabupaten Serdang Bedagei dengan komoditi kakao; Simalungun dengan komoditi jagung, ubi kayu, dan kubis; Kabupaten Karo dengan

HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan analisis yang dilakukan maka diperoleh komoditi unggulan pertanian Sumatera Utara adalah sebagai berikut : Kabupaten Asahan merupakan salah satu sentra produksi perkebunan di Sumatera Utara. Salah satu komoditi perkebunan yang potensial yang ada di Asahan yaitu tanaman kelapa disamping kelapa sawit dan karet. Hal ini dapat dilihat dari tingkat produksi kelapa di Kabupaten Asahan yang sangat tinggi. Pada tahun 2012 produksi kelapa di Kabupaten Asahan mencapai angka 28.178,02 ton dengan produksi tertinggi terjadi pada tahun 2006 yang mencapai sebesar 140.428,91 ton. Nilai Location Quotient tanaman kelapa di Kabupaten Asahan memiliki nilai lebih besar dari 1. Dengan nilai Location Quotient rata-rata yaitu 23,5 yang berarti bahwa komoditi kelapa Kabupaten Asahan dapat memenuhi kebutuhan daerahnya sendiri dan dapat mengekspor ke daerah lain baik domestik maupun internasional. Kondisi ini tentunya tidak menutup kemungkinan peluang ekspor bagi Sumatera Utara untuk memenuhi kebutuhan kelapa dunia. Hal ini disebabkan kelapa sebagai the tree of life meningkat konsumsinya di pasar

273


Identifikasi Potensi Peluang Ekspor Komoditi Unggulan Daerah di Sumatera Utara (Silvia Darina)

dunia, dimana banyak industri menjadikan kelapa sebagai bahan baku primer dan sekunder untuk industri makanan ternak, industri oleokimia dan lain-lain. Peluang ekspor komoditi kelapa Sumatera Utara dapat dilihat dari pertumbuhan ekspor kelapa setiap tahunnya yang terus meningkat selama periode tahun 2006-2013 yaitu mencapai 40,78%. Dengan melihat persentase pertumbuhan ekspor kelapa di Sumatera Utara yang sangat tinggi tersebut, maka hal ini menunjukkan bahwa peran komoditi kelapa perlu ditingkatkan sebagai salah satu komoditi ekspor yang mempunyai nilai jual yang baik di pasar regional maupun pasar internasional. Komoditi kelapa memiliki daya saing yang sangat baik untuk diekspor, hal ini dikarenakan kelapa memiliki RCA rata-rata sebesar 4,33 selama periode tahun 2006-2012. Brazil merupakan negara importir terbesar untuk komoditi kelapa yang berasal dari Sumatera Utara, diikuti oleh beberapa negara lainnya yaitu : Mesir, Arab Saudi, Spanyol, Turki, China dan Jerman. Trend ekspor kelapa dunia yang terus meningkat merupakan peluang yang sangat baik bagi komoditi kelapa yang berasal dari Sumatera Utara untuk lebih meningkatkan lagi. Meskipun Kabupaten Asahan yang merupakan daerah sentra penghasil kelapa di Sumatera Utara, namun tingkat pertumbuhan produksi yang sangat kecil hanya sebesar 5% selama periode tahun 2006-2012 dengan tingkat pertumbuhan ekspor kelapa Sumatera Utara mencapai sebesar 40%. Permintaan produk-produk kelapa akan semakin meningkat terutama untuk produk setengah jadi seperti kopra. Hal ini harus menjadi fokus pemerintah daerah maupun provinsi untuk meningkatkan pertumbuhan produksi kelapa Sumatera Utara. Proyeksi ekspor komoditi kelapa dari Sumatera Utara dilihat dari trend volume ekspor kelapa pada tahun ke tahun selama periode tahun 2006-2013. Pertumbuhan rata-rata volume ekspor kelapa Sumatera Utara untuk lima tahun ke depan mengalami penurunan sebesar 26,65%. Penurunan volume ekspor kelapa Sumatera Utara disebabkan berkurangnya luas tanam kelapa dan produktifitas yang rendah akibat tanaman yang sudah tua. Oleh karena itu perlu adanya peremajaan tanaman kelapa, khususnya di Kabupaten Asahan sebagai daerah sentra produksi kelapa lainnya di Sumatera Utara. Upaya peremajaan perkebunan kelapa perlu terus ditingkatkan guna untuk meningkatkan produksi dan produktivitas perkebunan kelapa dengan terus melakukan diversifikasi dengan konsep zero waste untuk meningkatkan kuantitas dan kualitas produk turunan kelapa

sebagai komoditi ekspor dan domestik. Pengembangan tanaman kelapa saat ini harus terus diupayakan, karena terdapat banyak tanaman yang sudah tidak produktif akibat umur tanaman yang tua dan serangan hama penyakit. Di satu sisi, kebutuhan terhadap tanaman kelapa terus meningkat baik untuk konsumsi rumah tangga maupun untuk bahan baku industri. Di pihak lain, kelapa sebagai salah satu tanaman perkebunan dapat memberikan kontribusi besar dalam produksi dan ekspor sebagai komoditi unggulan daerah. Untuk itu, maka tanaman kelapa harus dikembangkan baik dari sisi on farm di perkebunan atau diversifikasi horizontal maupun sisi off farm pada pengolahan atau diversifikasi vertikal. Peluang untuk meningkatkan pendapatan petani kelapa melalui pelaksanaan diversifikasi vertikal pada dasarnya sangat terbuka mengingat tersedianya luas areal dan produksi kelapa sebagai bahan baku industri yang cukup mendukung, serta banyaknya industri dalam negeri yang masih memerlukan bahan baku dan teknologi pengolahan yang tersedia. Dengan demikian komoditi kelapa sebagai bahan baku mempunyai banyak peluang untuk melakukan diversifikasi produk olahannya. Untuk pengembangan kelapa sebagai komoditi unggulan daerah salah satunya dapat dilakukan melalui upaya pendekatan klaster industri yang merupakan program dari pemerintah pusat yakni Kementerian Perindustrian RI dalam rangka meningkatkan daya saing komoditi dan produk turunannya. Upaya lainnya adalah dengan meningkatkan sinergitas dan intensitas stakeholders klaster, agar dapat mengakselerasi semua anggota klaster untuk tumbuh bersama dalam industri berbahan baku kelapa sehingga akan meningkatkan daya saing industri kelapa di Sumatera Utara. Kabupaten Dairi merupakan sentra produksi kopi di Sumatera Utara baik kopi Robusta maupun Arabica. Kopi adalah komoditi perkebunan yang melekat pada daerah Dairi karena merupakan komoditi unggulan yang sudah cukup terkenal. Hal ini didukung dari potensi budidaya yang dimiliki oleh Dairi baik dari letak geografis maupun sumber daya manusia dalam membudidayakan kopi yang ada di daerah ini, dikarenakan kopi sudah ditanam sejak lama di daerah ini. Areal produksi kopi robusta dan kopi arabika sudah tersebar di 13 kecamatan. Untuk kopi robusta luas pertanamannya mencapai 14.117 hektare dengan produksi 6.770,33 ton per tahun, sedangkan pertanaman kopi arabika mencapai luas 5.771,5 ha dengan produksi 2.639,05 ton per tahun. Produksi kopi Kabupaten Dairi pada

274


Inovasi Vol 11 No. 4 Desember 2014 : 271-287

tahun 2012 mencapai sebesar 8.541,5 ton dan selama periode 2011-2012 terjadi penurunan tingkat produksi apabila dibandingkan dengan produksi tiga tahun sebelumnya yang mencapai tingkat produksi di atas 10.000 ton. Nilai Location Quotient tanaman kopi di Kabupaten Dairi yang memiliki nilai lebih besar dari 1 dan bahkan terdapat beberapa tahun yang mencapai nilai Location Quotient di atas 100. Dengan nilai Location Quotient rata-rata yaitu 122,5 menunjukkan bahwa komoditi kopi Kabupaten Dairi dapat memenuhi kebutuhan daerahnya sendiri dan dapat mengekspor ke daerah lain baik domestik maupun internasional. Komoditi kopi memiliki daya saing yang sangat baik untuk diekspor, hal ini dapat dilihat dari pertumbuhan ekspor kopi yang setiap tahunnya terus meningkat dengan pertumbuhannya selama periode tahun 2006-2012 mencapai sebesar 19%. Dengan melihat persentase pertumbuhan ekspor kopi di Sumatera Utara yang cukup tinggi tersebut, maka hal ini menunjukkan bahwa peran komoditi kopi perlu terus ditingkatkan sebagai salah satu komoditi ekspor yang mempunyai nilai jual yang baik di pasar dunia. Komoditi kopi memiliki daya saing ekspor yang sangat baik yang ditandai dengan rata-rata Revealed Comparative Advantage (RCA) mencapai sebesar 5,5 selama periode 20062012, yang menunjukkan bahwa pangsa pasar kopi Sumatera Utara lebih besar dari pangsa rata-rata kopi di Indonesia. Adapun negara importir kopi terbesar dari Sumatera Utara adalah Amerika dengan jumlah impor sebanyak 40.303 ton pada tahun 2012, diikuti dengan beberapa negara lainnya yaitu: Jerman, Kanada, Jepang dan Singapura. Komoditi kopi dari Sumatera Utara memiliki trend peluang ekspor yang sangat baik. Untuk itu perlu ditingkatkan lagi produksi kopi terutama pada daerah sentrasentra produksi kopi yang ada di Sumatera Utara, terutamanya Kabupaten Dairi yang merupakan daerah sentra penghasil kopi di Sumatera Utara yang tingkat pertumbuhan ratarata masih sangat kecil yang hanya mencapai sebesar 0% sepanjang periode 2006-2012, namun sebaliknya tingkat pertumbuhan ekspor kopi Sumatera Utara cukup baik yang mencapai sebesar 19%. Permasalahan yang dihadapi Indonesia adalah pengembangan industri pengolahan kopi masih terkendala oleh image bahwa negara produsen belum mampu menghasilkan produk olahan sesuai dengan permintaan pasar, disamping ketatnya persaingan pasar produk olahan di pasar dunia. Lambannya pengembangan industri hilir kopi di Indonesia berturut-turut mulai dari masalah terberat adalah : masalah dalam menembus jaringan pasar ekspor produk hilir kopi;

kurangnya keterdiaan sarana dan prasarana; adanya hambatan dalam peraturan khususnya ketenagakerjaan, perpajakan dan perdagangan; kurangnya motivasi dari pengusaha; kekurangan modal; teknologi pengolahan dan pengemasan yang belum dikuasai sepenuhnya; dan kualitas SDM untuk pemasaran produk hilir yang belum memadai. Proyeksi ekspor komoditi kopi dari Sumatera Utara dapat dilihat dari trend volume ekspor dari tahun ke tahun selama periode tahun 2006-2013. Pertumbuhan rata-rata volume ekspor kopi Sumatera Utara untuk lima tahun ke depan sebesar 2,71%. Hal ini menunjukkan bahwa Sumatera Utara masih berpotensi meningkatkan ekspornya walau pertumbuhannya kecil. Pertumbuhan yang kecil ini harus menjadi perhatian pemerintah daerah maupun provinsi, dimana produktifitas kopi masih sangat rendah dan harus lebih ditingkatkan karena pertmintaan ekspor yang cukup tinggi. Salah satu produk perkebunan yang manjadi unggulan daerah Sumatera Utara adalah kakao dengan salah satu daerah penghasil kakao adalah Kabupaten Serdang Bedagai. Meskipun Kabupaten Serdang Bedagai bukan merupakan daerah sentra produksi di Sumatera Utara seperti Kabupaten Simalungun, Deli Serdang dan Mandailing Natal, namun daerah ini merupakan salah daerah potensial untuk pengembangan kakao. Tanaman kakao di Kabupaten Serdang Bedagai masih diusahakan oleh penduduk masih belum dibudidayakan secara intensif. Pada tahun 2012 tercatat jumlah produksi tanaman kakao di daerah ini mencapai sebesar 1.053,9 ton, jumlah ini turun dari tahun sebelumnya yaitu sebesar 1.197,21 ton. Namun pertumbuhan rata-rata produksi kakao di Kabupaten Serdang Bedagai memiliki tingkat pertumbuhan sebesar 5%. Nilai Location Quotient tanaman kakao dari Kabupaten Serdang Bedagei yang memiliki nilai lebih besar dari pada 1 yaitu sebesar 2,76. Hal ini menunjukkan bahwa Kabupaten Serdang Bedagai dapat memenuhi kebutuhan kakao di daerahnya sendiri dan mampu mengekspor keluar daerah baik domestik maupun internasional. Nilai ini menunjukkan potensi pengembangan kakao bagi Kabupaten Serdang Bedagai yang mempunyai peluang untuk dikembangkan dikarenakan banyak negara yang mengimpor komoditi kakao tersebut. Komoditi kakao Sumatera Utara memiliki pertumbuhan ekspor rata-rata selama periode 2006-2012 mencapai 11%. Komoditi kakao dari Sumatera Utara memiliki daya saing yang lebih baik apabila dibandingkan dengan provinsi

275


Identifikasi Potensi Peluang Ekspor Komoditi Unggulan Daerah di Sumatera Utara (Silvia Darina)

lainnya. Hal ini dapat dilihat dari nilai Revealed Comparative Advantage (RCA) kakao selama periode tahun 2006-2012 yang rata-rata mencapai sebesar 2,04. Nilai RCA kakao Sumatera Utara yang lebih besar dari pada 1 ini menunjukkan bahwa pangsa pasar komoditi kakao Sumatera Utara mempunyai pangsa ratarata lebih besar dari pada pangsa komoditi kakao daerah lainnya di Indonesia. Permasalahan dalam pengembangan industri pengolahan kakao di Indonesia hingga saat ini yang masih belum berkembang dan bahkan tertinggal dibandingkan negara-negara produsen olahan kakao lainnya disebabkan kurangnya dukungan ketersediaan bahan baku yang memadai sebagaimana di Malaysia. Adapun negara importir kakao terbesar dari Sumatera Utara, antara lain adalah: Malaysia, Singapura dan Amerika Serikat. Untuk dapat meraih peluang pasar ekspor kakao di Sumatera Utara tersebut, diperlukannya peningkatan produktivitas, penggunaan varietas unggul, perlakuan fermentasi dengan benar penanganan gangguan OPT (Organisma Pengganggu Tanaman) di sektor on farm. Sedangkan di sektor off farm, perlu perbaikan industri pengolahan sehingga dalam perdagangan internasional produk kakao dari Indonesia dapat diakui dan dihargai bahkan mampu memperoleh harga premium. Untuk pengembangan dan peningkatan daya saing produk kakao, pemerintah telah mengeluarkan serangkaian kebijakan produksi dan perdagangan produk olahan kakao. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa Indonesia memiliki potensi untuk meningkatkan daya saing dengan meningkatkan produk olahan kakao. Pengembangan daya saing diperlukan untuk meningkatkan kemampuan penetrasi kakao dan produk kakao Indonesia di pasar ekspor baik dalam kaitan pendalaman maupun perluasan pasar. Peningkatan daya saing dapat dilakukan dengan melakukan efisiensi biaya produksi dan pemasaran, peningkatan mutu dan konsistensi standar mutu. Salah satu cara untuk mendorong pengembangan industri pengolahan biji kakao dalam negeri diperlukan juga instrumen fiskal berupa insentif dan disinsentif fiskal yang disediakan pemerintah. Demikian juga dengan pelaku usaha terutama eksportir agar tidak hanya mencari keuntungan semata, tetapi juga selalu berorientasi ekspor bukan dalam bentuk biji kakao agar niai tambah produk kakao meningkat sehingga akan terjadi peningkatan daya saing produk kakao Indonesia. Proyeksi ekspor komoditi kakao Sumatera Utara dapat dilihat dari trend volume ekspor dari tahun ke tahun selama periode tahun 20062013. Pertumbuhan rata-rata volume ekspor

kakao Sumatera Utara untuk lima tahun ke depan mengalami penurunan sebesar 6,70%. Salah satu penyebab turunnya volume ekspor adalah tingkat produktifitas yang rendah dan luas tanam yang semakin berkurang. Oleh karena itu perlu adanya peningkatan produktifitas kakao dan pembatasan alih fungsi lahan kakao menjadi komoditi lainnya. Kabupaten Simalungun merupakan salah satu daerah sentra penghasil tanaman pangan di Sumatera Utara, dimana jagung merupakan salah satu dari komoditi yang dihasilkan dari daerah ini selain Kabupaten Karo. Jumlah produksi jagung pada tahun 2012 mencapai sebesar 383.813 ton dengan tingkat pertumbuhan 2% selama periode tahun 2006 2012. Adapun rata-rata nilai Location Quotient jagung dari Kabupaten Simalungun selama periode tahun 2006-2012 lebih besar dari pada 1 yaitu sebesar 1,44 yang menunjukkan bahwa Kabupaten Simalungun dapat memenuhi kebutuhan jagung di daerahnya sendiri dan mampu mengekspor keluar daerahnya baik domestik maupun internasional. Jagung merupakan salah satu komoditi yang bernilai ekonomis serta mempunyai peluang untuk dikembangkan karena jagung sebagai sumber utama karbohidrat dan protein setelah padi/beras. Akan tetapi dengan berkembang pesatnya industri peternakan, jagung merupakan komponen utama (60%) dalam ransum pakan. Beberapa tahun terakhir kebutuhan jagung terus meningkat, hal ini sejalan dengan semakin meningkatnya laju pertumbuhan jumlah pendudukan dan peningkatan kebutuhan untuk pakan. Sepanjang tahun 2006- 2012 nilai rata-rata RCA jagung dari Sumatera Utara memiliki nilai 1,74 dan lebih besar dari pada 1. Hal ini menunjukkan bahwa pangsa komoditi jagung Sumatera Utara lebih besar dari pangsa rata-rata komoditi jagung di Indonesia. Namun yang menjadi catatan penting bahwa selama periode tahun 2006-2011 Sumatera Utara tidak pernah mengekspor jagung, dimana produksi jagung yang ada hanya dikonsumsi untuk domestik. Konsumsi jagung sekitar 55% dipergunakan untuk kebutuhan industri pakan, sedangkan konsumsi pangan hanya 30% dan selebihnya untuk kebutuhan industri lain dan bibit. Pada tahun 2012 Sumatera Utara mampu mengekspor jagung ke Singapura dan Malaysia, walau tidak dalam jumlah yang besar. Pencapaian produksi yang tinggi perlu diikuti dengan adanya pemasaran yang pasti untuk tahun-tahun ke depannya dengan terus meningkatkan produksi jagung Sumatera Utara serta mampu menciptakan keuntungan bagi petani. Proyeksi ekspor komoditi jagung

276


Inovasi Vol 11 No. 4 Desember 2014 : 271-287

Sumatera Utara dapat dilihat dari trend volume ekspor dari tahun ke tahun selama periode tahun 2006-2013. Pertumbuhan rata-rata volume ekspor jagung Sumatera Utara untuk lima tahun ke depan mengalami peningkatan sebesar 10,12%. Hal ini menunjukkan peluang ekspor yang besar bagi Sumatera Utara untuk lebih dapat meningkatkan produksi jagungnya tiap tahun, mengingat tingkat konsumsi jagung meningkat setiap tahun. Namun sebaliknya trend proyeksi jagung cenderung menurun, hal ini juga untuk menjadi perhatian bagi pemerintah daerah untuk dapat mempertahankan tingkat produksi dan meningkatkan produktifitas jagung. Salah satu sumber pangan lokal adalah ubi kayu. Peranan ubi kayu cukup besar dalam memenuhi kebutuhan pangan maupun mengatasi ketimpangan ekonomi dan pengembangan industri. Kabupaten Simalungun merupakan produsen ubi kayu terbesar di Sumatera Utara yang diikuti Serdang Bedagai, Deli Serdang dan Batubara. Kenaikan jumlah penduduk, kenaikan taraf hidup masyarakat banyak dan untuk kepentingan kesejahteraan masyarakat menjadi alasan masyarakat mengkonsumsi ubi kayu mengakibatkan peningkatan permintaan terhadap komoditi ini sangat besar. Dari analisis nilai rata-rata Location Quotient komoditi ubi kayu di Simalungun sebesar 1,67 yang berarti bahwa ubi kayu merupakan komoditi unggulan, dimana Simalungun dapat memenuhi kebutuhan ubi kayu didaerahnya sendiri dan mampu mengekspor keluar daerah. Namun yang menjadi perhatian adalah trend nilai LQ yang menurun yang salah satunya disebabkan menurunnya produksi ubi kayu di Simalungun. Komoditi ubi kayu Sumatera Utara tidak memiliki daya saing yang baik di pasar internasional, hal ini dapat dilihat dari nilai RCA ubi kayu yang lebih kecil dari 1 yaitu dengan nilai rata 0,14 yang menunjukkan bahwa pangsa pasar komoditi ubi kayu Sumatera Utara lebih kecil dari pangsa rata-rata ubi kayu di Indonesia. Namun trend RCA dari ubi kayu ini memiliki trend yang meningkat. Adapun negara importir ubi kayu dari Sumatera Utara antara lain : Korea Selatan, Singapura, Malaysia, Thailand dan Vietnam. Rendahnya nilai daya saing ubi kayu Sumatera Utara disebabkan ubi kayu banyak dipasarkan di domestik sehingga ketersediaan untuk ekspor berkurang. Proyeksi ekspor komoditi ubi kayu dari Sumatera Utara dapat dilihat dari trend volume ekspor dari tahun ke tahun selama periode tahun 2006-2013. Pertumbuhan rata-rata volume ekspor ubi kayu Sumatera Utara untuk lima tahun ke depan mengalami penurunan

sebesar 3,15%. Berkurangnya volume ekspor ubi kayu Sumatera Utara disebabkan sebagian besar hasil produksi dipasarkan di domestik untuk memenuhi kebutuhan industri pengolahan ubi kayu. Dari 33 kabupaten/kota yang ada di Sumatera Utara hanya ada 8 daerah kabupaten yang memproduksi kol/kubis dan Kabupaten Simalungun merupakan sentra produksi kol/kubis di Sumatera Utara yang diikuti Kabupaten Karo dan Dairi. Tingkat produksi kubis di Kabupaten Simalungun cukup tinggi terjadi pada tahun 2006 dengan produksi mencapai sebesar 31.524 ton, keadaan ini juga terjadi pada tahun 2012 mencapai angka produksi tertinggi yaitu 81.036 ton. Nilai Location Quotient komoditi kubis di Kabupaten Simalungun memiliki nilai lebih besar dari 1. Dengan nilai Location Quotient rata-rata yaitu 1,70 yang berarti bahwa komoditi kubis di Kabupaten Simalungun merupakan komoditi unggulan karena dapat memenuhi kebutuhan wilayah Kabupaten Simalungun dan dapat mengekspor ke daerah lain baik domestik maupun internasional. Ratarata pertumbuhan produksi kubis di Kabupaten Simalungun selama periode tahun 2006-2012 yakni sebesar 24,92%. Tingkat pertumbuhan produksi kubis yang sangat besar harus diimbangi dengan pasar dari kubis itu sendiri, sehingga tidak mengakibatkan harga kubis menjadi rendah yang disebabkan banyaknya jumlah penawaran terhadap kubis dipasar. Oleh karena itu pemerintah daerah maupun petani harus melebarkan pasarnya tidak hanya ditingkat domestik namun juga internasional. Daya saing komoditi kubis Sumatera Utara dapat dilihat bahwa nilai RCA komoditi kubis Sumatera Utara yang memiliki nilai lebih besar dari 1. Dengan nilai rata-rata RCA komoditi kubis yakni 12,04 yang berarti bahwa pangsa komoditi kubis Sumatera Utara lebih besar dari pangsa rata-rata ekspor kubis di Indonesia. Rata-rata pertumbuhan ekspor kubis di Sumatera Utara selama periode tahun 20062012 yakni 7%. Trend nilai yang positif menunjukkan adanya peningkatan ekspor terhadap kubis yang berarti bahwa trend dari permintaan terhadap kubis cukup tinggi setiap tahunnya. Salah satu ciri kubis yang diminta pasar ekspor adalah yang berbentuk pipih. Namun yang lebih penting lagi bobotnya berkisar antara 1,5-2 kg atau dalam 20 kilogram kubis berisi 10 hingga 14 buah, karena kalau lebih dari itu tidak akan diterima karena terlalu besar dan kurang diminati pasar. Malaysia merupakan negara importir terbesar untuk komoditi kubis yang berasal dari Sumatera Utara. Beberapa negara importir komoditi kubis lainnya dari Sumatera Utara

277


Identifikasi Potensi Peluang Ekspor Komoditi Unggulan Daerah di Sumatera Utara (Silvia Darina)

dan Jawa Tengah sebagai penghasil cabe di Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa Sumatera Utara khususnya Kabupaten Karo sebagai sentra produksi cabe mempunyai peranan penting dalam memenuhi kebutuhan cabe baik domestik maupun dunia. Demikian pula dengan Indonesia yang merupakan negara ke 4 terbesar produsen cabe di dunia, oleh karena itu peluang ekspor terbuka lebar dikarenakan cabe merupakan salah satu kebutuhan primer bagi banyak orang baik dalam bentuk segar maupun olahan. Malaysia merupakan negara importir terbesar untuk komoditi cabe yang berasal dari Sumatera Utara. Adapun beberapa negara importir komoditi cabe dari Sumatera Utara lainnya adalah : Singapura, Malaysia, India, dan Inggris. Proyeksi ekspor komoditi cabe dari Sumatera Utara dapat dilihat dari trend volume ekspor dari tahun ke tahun selama periode tahun 2006-2013. Pertumbuhan rata-rata volume ekspor cabe dari Sumatera Utara untuk lima tahun ke depan mengalami penurunan sebesar 38%. Penurunan ini disebabkan cabe banyak dipasarkan di domestik sehingga hanya sebagian kecil saja yang dapat diekspor. Sejalan dengan semakin meningkatnya jumlah penduduk menyebabkan semakin meningkatnya jumlah konsumsi akan cabe sebagai bagian dari kebutuhan konsumsi sehari-hari. Kabupaten Karo merupakan salah satu sentra produksi jeruk di Sumatera Utara selain Simalungun, Tapanuli Selatan dan Langkat. Varietas jeruk yang ditanam di Kabupaten Karo sekarang ini adalah jenis Siam, Washington, Sunkist, Padang, Siam Madu dan lain sebagainya. Jenis yang disukai oleh konsumen lokal adalah varietas Siam Madu, sehingga varietas jeruk ini mendominasi penanaman jeruk di Kabupaten Karo. Tingkat produksi jeruk Kabupaten Karo yang cukup tinggi terjadi pada tahun 2006 dengan produksi jeruk mencapai sebesar 588.706 ton, sedangkan pada tahun 2012 mencapai sebesar 250.139 ton. Nilai Location Quotient komoditi jeruk di Kabupaten Karo memiliki nilai lebih besar dari 1. Dengan nilai Location Quotient rata-rata yaitu 2,37 yang berarti bahwa komoditi jeruk di Kabupaten Karo merupakan komoditi unggulan karena dapat memenuhi kebutuhan wilayah Kabupaten Karo dan dapat mengekspor ke daerah lain baik domestik maupun internasional. Rata-rata pertumbuhan produksi jeruk di Kabupaten Karo pada tahun 2006-2012 termasuk tinggi yakni mencapai 6.676,75%. Daya saing komoditi jeruk Sumatera Utara dapat dilihat bahwa nilai RCA komoditi jeruk Sumatera Utara yang memiliki nilai lebih besar dari 1, dengan nilai rata-rata RCA komoditi jeruk

yakni Jepang, Hongkong, Korea Selatan, Taiwan, China, Singapura, Malaysia, Brunei Darussalam, Vietnam, Pakistan, Uni Emirat Arab, Djibouti, Australia, Meksiko, Antigua and Barbuda, Slovenia. Proyeksi ekspor komoditi kubis dari Sumatera Utara dapat dilihat dari trend volume ekspor dari tahun ke tahun selama periode tahun 2006-2013. Pertumbuhan rata-rata volume ekspor kubis Sumatera Utara untuk lima tahun ke depan tidak mengalami peningkatan atau sebesar 0%. Pertumbuhan kubis dapat dikatakan tetap sepanjang tahun, hal ini disebabkan produksi kubis Sumatera Utara yang stabil, disamping itu juga ketika pada musim paceklik terkadang para eksportir mengambil kubis dari luar Sumatera Utara. Tingkat produksi cabe Kabupaten Karo pada tahun 2006 dengan produksi mencapai sebesar 27.677 ton dan pada tahun 2012 mencapai angka produksi tertinggi sebesar 50.734 ton. Nilai Location Quotient komoditi cabe di Kabupaten Karo memiliki nilai lebih kecil dari 1. Dengan nilai Location Quotient rata-rata yaitu 0,63 yang berarti bahwa komoditi cabe di Kabupaten Karo bukan merupakan komoditi unggulan karena tidak dapat memenuhi kebutuhan wilayah Kabupaten Karo, sehingga tidak dapat mengekspor ke daerah lain baik domestik maupun internasional. Rata-rata pertumbuhan produksi cabe di Kabupaten Karo selama periode tahun 2006-2012 yakni sebesar 11,35%. Namun hal menarik dari apa yang terjadi di lapangan bahwa cabe di Kabupaten Karo diperjualbelikan ke luar daerah tersebut dan hanya sebagian kecil saja diperjualbelikan di dalam di Kabupaten Karo. Pasar-pasar di Kabupaten Karo didatangi pedagang luar daerah/wilayah seperti : Medan, Aceh, Padang dan Pekan Baru, dimana pada musim panen biasanya jumlah pedagang cukup banyak dan beroperasi sampai ke kebun petani. Pasar tujuan produksi cabe dari Kabupaten Karo sudah cukup luas baik domestik seperti : Medan, Aceh, Padang, Pekan Baru, Batam, Jakarta, Bandung dan lain-lain yang secara temporal juga mengekspor keluar negeri seperti : Malaysia dan Inggris. Daya saing komoditi cabe Sumatera Utara dapat dilihat bahwa nilai RCA komoditi cabe Sumatera Utara yang memiliki nilai lebih besar dari 1. Dengan nilai rata-rata RCA komoditi cabe yakni 8,35 yang berarti bahwa pangsa komoditi cabe Sumatera Utara lebih besar dari pangsa rata-rata ekspor cabe di Indonesia. Rata-rata pertumbuhan ekspor cabe di Sumatera Utara pada tahun 2006-2012 termasuk cukup tinggi yakni 9%. Sumatera Utara merupakan provinsi terbesar ke 4 setelah Jawa Barat, Jawa Timur

278


Inovasi Vol 11 No. 4 Desember 2014 : 271-287

sebesar 7,22 yang berarti bahwa pangsa komoditi jeruk Sumatera Utara lebih besar dari pangsa rata-rata ekspor komoditi jeruk di Indonesia. Rata-rata pertumbuhan ekspor jeruk di Sumatera Utara selama periode tahun 2006-2012 termasuk tinggi yakni mencapai sebesar 6.676,75%. Tingginya tingkat pertumbuhan ini disebabkan pertumbuhan ekspor yang terjadi pada tahun 2008 sangat tinggi yang mencapai sebesar 2.857,45%. Sementara itu pada tahun 2012, Sumatera Utara sama sekali tidak melakukan ekspor yang disebabkan tanaman jeruk kalah saing dari produk jeruk yang berasal impor khususnya dari China walau permintaan jeruk selalu tetap ada. Rendahnya daya saing jeruk asal Kabupaten Karo, antara lain disebabkan bentuk dan warna jeruk yang tidak seragam tidak sesuai dengan permintaan pasar luar negeri dan umur tanaman jeruk khususnya di Kabupaten Karo yang sudah tua sekitar 20-25 tahun sehingga produktifitasnya semakin menurun. Beberapa negara importir komoditi jeruk terbesar dari Sumatera Utara adalah Malaysia Singapura, Inggris dan Hongkong. Di samping mengekspor, Sumatera Utara juga mengimpor jeruk dari luar negeri khususnya dari China. Jeruk impor ini membanjiri pasar buah tidak hanya di Sumatera Utara namun juga hampir seluruh provinsi di Indonesia semenjak diberlakukannya China ASEAN Free Trade Area (CAFTA). Untuk itu, perlu dibuat suatu terobasan kebijakan yang melibatkan stakeholders terkait dengan jeruk guna untuk meningkatkan produktifitas dan kualitas serta daya saing komoditi jeruk dari Sumatera Utara di masa mendatang dalam upaya mengantipasi membanjirnya produk jeruk impor di daerah ini. Proyeksi ekspor komoditi jeruk dari Sumatera Utara dapat dilihat dari trend volume ekspor dari tahun ke tahun selama periode tahun 2006-2013. Pertumbuhan rata-rata volume ekspor jeruk Sumatera Utara untuk lima tahun ke depan mengalami penurunan sebesar 20,08%. Menurunnya volume ekspor jeruk disebabkan jeruk domestik tidak dapat bersaing dengan jeruk impor, sehingga jeruk Sumatera Utara hanya dipasarkan di tingkat domestic dengan harga yang juga tidak dapat bersaing dengan jeruk impor. Di samping itu juga terjadi akibat produksi jeruk yang cenderung menurun yang terjadi pada tahun 2011 dan 2012 dengan penurunan produksi yang terjadi mencapai sebesar 37%. Sentra produksi komoditi nenas di Indonesia terdapat di 5 (lima) provinsi, yaitu Lampung (dengan kontribusi 32,80% terhadap produksi nenas nasional), Jawa Barat (20,45%), Sumatera Utara (11,89%), Riau (7,10%) dan

Jawa Tengah (6,03%). Kelima provinsi ini berkontribusi secara kumulatif sebesar 78,27% terhadap total produksi nenas Indonesia (Pusdatin, 2013). Kabupaten Tapanuli Utara merupakan salah sentra produksi nenas di Sumatera Utara dengan produksi pada tahun 2006 mencapai sebesar 22.694,70 ton, sedangkan pada tahun 2012 terjadi peningkatan produksi menjadi sebesar 32.757,41 ton atau naik sebesar 78,72% dari produksi nenas di Sumatera Utara. Nilai Location Quotient komoditi nenas yang berasal dari Kabupaten Tapanuli Utara yang memiliki nilai lebih besar dari 1. Dengan nilai Location Quotient rata-rata yaitu 7,24 yang berarti bahwa komoditi nenas di Kabupaten Tapanuli Utara merupakan komoditi unggulan karena dapat memenuhi kebutuhan wilayah Kabupaten Tapanuli Utara dan dapat mengekspor ke daerah lain baik domestik maupun internasional. Kecamatan penghasil nenas di Tapanuli Utara adalah Kecamatan Sipahutar yang dikenal dengan nenas Sipahutar. Hal ini juga didukung dengan adanya industri pengolahan nenas yaitu PT. Alami Agro Industry. Industri nenas ini memperoleh bahan baku yang berasal dari perkebunan nenas rakyat yang tergabung dalam kemitraan. Rata-rata pertumbuhan produksi nenas di Kabupaten Tapanuli Utara selama periode 2006-2012 mencapai sebesar 7%. Daya saing komoditi nenas Sumatera Utara dapat dilihat bahwa nilai RCA komoditi nenas Sumatera Utara yang memiliki nilai lebih kecil dari 1. Dengan nilai rata-rata RCA komoditi nenas yang hanya sebesar 0,02 yang hal ini berarti bahwa pangsa komoditi nenas Sumatera Utara lebih kecil dari pangsa rata-rata ekspor komoditi nenas di Indonesia. Rata-rata pertumbuhan ekspor nenas di Sumatera Utara selama periode tahun 2006-2012 yakni 0% dengan Jepang dan Uni Emirat Arab sebagai negara importir terbesar nenas yang berasal dari Sumatera Utara. Ekspor nenas yang dilakukan oleh Sumatera Utara baru dimulai pada tahun 2011 dengan nilai yang sangat kecil, namun hal ini menunjukkan bahwa peluang ekspor nenas sebenarnya cukup besar. Komoditi nenas di Sumatera Utara banyak dibudidayakan oleh petani dengan produktifitasnya rendah, sehingga jumlah produksi yang dihasilkan tidak optimal apabila dibandingkan dengan daerah Jawa yang telah dibudidayakan oleh PTPN. Selama ini nenas yang berasal dari Tapanuli Utara banyak di pasarkan di tingkat domestik baik antar daerah maupun provinsi untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.

279


Identifikasi Potensi Peluang Ekspor Komoditi Unggulan Daerah di Sumatera Utara (Silvia Darina)

Proyeksi ekspor komoditi jeruk dari Sumatera Utara dapat dilihat dari trend volume ekspor selama periode tahun 2006-2013. Pertumbuhan rata-rata volume ekspor nenas Sumatera Utara untuk lima tahun ke depan mengalami peningkatan sebesar 10%. Trend pertumbuhan yang positif menunjukkan bahwa peluang ekspor nenas ke depannya cukup baik. Ekspor nenas Sumatera Utara dimulai pada tahun 2011 dan 2012, namun pada tahun 2013 Sumatera Utara tidak mengekspor lagi sementara produksi nenas meningkat. Oleh karena itu perlu adanya tindak lanjut pemasaran nenas keluar negeri untuk diekspor. Komoditi pisang yang dibudidayakan oleh petani di Provinsi Sumatera Utara di tanam dengan skala pekarangan untuk kebutuhan sendiri maupun di tanam dalam skala luas berupa kebun untuk kebutuhan komersil keluarga. Produksi pisang yang diusahakan dalam bentuk komersil terutama dijumpai di Kabupaten Deli Serdang yang berada dalam hamparan yang merupakan daerah sentra produksi pisang barangan yang terdapat di Kecamatan STM Hilir. Keunggulan pisang barangan memiliki rasa, tekstur dan aroma yang khas dan memiliki daya simpan yang lebih lama. Tingkat produksi pisang di Kabupaten Deli Serdang yang sangat tinggi pada tahun 2006 dengan produksi mencapai 17.060,71 ton, sedangkan pada tahun 2012 mencapai angka produksi tertinggi yaitu 422.488 ton. Nilai Location Quotient komoditi pisang di Kabupaten Deli Serdang yang memiliki nilai lebih besar dari 1. Dengan nilai Location Quotient rata-rata yaitu 4,13 yang berarti bahwa komoditi pisang di Kabupaten Deli Serdang merupakan komoditi unggulan karena dapat memenuhi kebutuhan wilayah Kabupaten Deli Serdang dan dapat mengekspor ke daerah lain baik domestik maupun internasional. Kabupaten Deli Serdang merupakan sentra penghasil pisang terbesar di Sumatera Utara dengan pangsa pasar mencapai 60,5% dari seluruh kabupaten/kota yang ada di Sumatera Utara. Namun Location Quotient pisang memiliki trend yang negatif, hal ini disebabkan rendahnya tingkat produksi akibat berkurang tingkat produktifitas. Di pihak lain, sebenarnya rata-rata pertumbuhan produksi pisang di Kabupaten Deli Serdang selama periode tahun 2006-2012 sangat tinggi yakni mencapai sebesar 208,15%. Sumatera Utara adalah produsen pisang terbesar keenam, sentra produksi utama pisang di Indonesia adalah provinsi Jawa Barat, Jawa Tengah dan Lampung. Namun berdasarkan data Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Sumatera Utara masih memiliki potensi 554.670 ha untuk perluasan budidaya

komoditi pisang. Provinsi Sumatera Utara baru pada tahun 2012 mengekspor pisang yang meningkat cukup drastis, selama ini hasil produksi pisang Sumatera Utara banyak dipasarkan di domestik saja seperti Aceh, Batam, Jakarta dan lain-lain. Kondisi ini menunjukkan bahwa potensi peluang ekspor pisang Sumatera Utara terbuka lebar dengan trend ekspor yang positif. Varietas yang ditanam di Indonesia sangat beragam, pasar internasional menghendaki pisang dari kelompok cavendish seperti williams dan grand naine. Pengembangan kultivar kelompok cavendish ini di Indonesia menghadapi kendala serangan penyakit layu fusarium. Beberapa negara importir komoditi pisang Sumatera Utara yakni Singapura, Malaysia dan Jepang. Komoditi pisang dari Sumatera Utara daya saingnya dapat dilihat bahwa nilai RCA yang memiliki nilai lebih kecil dari 1. Dengan nilai rata-rata RCA komoditi pisang yakni 0,09 yang berarti bahwa pangsa komoditi pisang Sumatera Utara lebih kecil dari pangsa rata-rata ekspor komoditi pisang di Indonesia. Rata-rata pertumbuhan ekspor pisang di Kabupaten Deli Serdang selama periode tahun 2006-2011 yakni 0,00%. Proyeksi ekspor komoditi pisang dari Sumatera Utara dapat dilihat dari trend volume ekspor selama periode tahun 2006-2013. Pertumbuhan rata-rata volume ekspor pisang Sumatera Utara untuk lima tahun ke depan mengalami peningkatan sebesar 5%. Pertumbuhan volume ekspor pisang yang positif menunjukkan bahwa komoditi pisang memiliki potensi ekspor yang cukup baik, namun trend ekspor cenderung menurun disebabkan produksinya yang tidak kontinu. Hal ini tentunya harus menjadi perhatian penting pemerintah daerah mengingat produksi pisang Sumatera Utara terus meningkat setiap tahunnya. Untuk itu, perlu adanya strategi pemasaran yang baik dan juga jenis produk pisang disesuaikan dengan permintaan negara eksportir yaitu pisang dari kelompok cavendish. Kabupaten Tapanuli Selatan merupakan daerah penghasil komoditi salak terbesar di Sumatera Utara. Buah salak memiliki keunggulan karena dapat berbuah sepanjang tahun dalam jumlah maupun mutu yang sesuai dengan permintaan konsumen. Hal ini menjadi penting karena tidak akan terjadi panen buah salak secara serempak yang mengakibatkan harganya tidak stabil. Tingkat produksi salak di Kabupaten Tapanuli Selatan yang sangat tinggi terjadi pada tahun 2006 mencapai sebesar 430.718 ton, namun produksinya pada tahun 2012 mengalami penurunan menjadi sebesaru 301.314 ton.

280


Inovasi Vol 11 No. 4 Desember 2014 : 271-287

Nilai Location Quotient komoditi salak di Kabupaten Tapanuli Selatan memiliki nilai lebih besar dari 1. Dengan nilai Location Quotient rata-rata yaitu 6,89 yang berarti menunjukkan bahwa komoditi salak di Kabupaten Tapanuli Selatan merupakan komoditi unggulan karena dapat memenuhi kebutuhan wilayah Kabupaten Tapanuli Selatan dan dapat mengekspor ke daerah lain baik domestik maupun internasional. Rata-rata pertumbuhan produksi salak di Kabupaten Tapanuli Selatan selama periode 2006-2012 termasuk tinggi yakni mencapai 7,92%. Namun terkadang harga salak yang tidak stabil ataupun rendahnya harga menyebabkan petani tidak melakukan pemanenan dikarenakan tingginya biaya operasional yang tidak sebanding dengan nilai jual yang rendah. Oleh karena itu perlu adanya strategi pemasaran yang dapat membantu petani seperti melakukan pengolahan terhadap salak menjadi sirup, selai dan lain lain dalam bentuk kemasan sehingga jangkauan pasarnya menjadi lebih luas dan sekaligus nantinya dapat meningkatkan nilai tambah kepada masyarakat dalam memanfaatkan produksi dari salak yang dihasilkannya. Komoditi salak yang dihasilkan di Kabupaten Tapanuli Selatan masih hanya dikonsumsi untuk kebutuhan domestik yang masih sangat tinggi mengingat hampir seluruh penduduk di Indonesia menyukai salak. Salak yang berasal dari Kabupaten Tapanuli Selatan banyak dipasarkan keluar daerah seperti Sibolga, Tanjung Balai, Parapat, Kisaran, Mandailing Natal dan Medan. Oleh karena itu pemerintah perlu melakukan perluasan pemasaran sampai keluar negeri agar salak sebagai produk unggulan Sumatera Utara khususnya yang berasal dari Tapanuli Selatan menjadi dapat dikenal di mancanegara karena salak yang diproduksi di daerah ini memeliki rasa yang khas, sehingga pada akhirnya dapat meningkatkan kesejahteraan petani salak. Produksi salak yang hanya masih untuk memenuhi kebutuhan lokal menyebabkan komoditi salak tidak diekspor keluar negeri sehingga dalam penelitian ini tidak dapat dilakukan pengukuran daya saing komoditi salak di Sumatera Utara dengan menggunakan metode Revealed Comparative Advantage (RCA).

unggulan daerah Sumatera Utara dikarenakan salak yang dihasilkan adalah merupakan komoditi spesifik lokal yang dimiliki daerah ini. Kedelai merupakan salah satu tanaman sumber protein yang penting di Indonesia. Berdasarkan luas panen, kedelai menempati urutan ketiga terbesar setelah jagung dan ubi kayu dari subsektor palawija. Sumatera Utara merupakan salah satu sentra penghasil kedelai dengan daerah penghasil kedelai di daerah ini adalah Kabupaten Langkat dan Deli Serdang. Produksi kedelai terbesar di Kabupaten Langkat berada di Kecamatan Stabat dengan tingkat produksi kedelai di Kabupaten Langkat pada tahun 2006 mencapai sebesar 2827 ton, namun produksi kedelai pada tahun 2011 dan 2012 mengalami penurunan masing-masing menjadi 879 ton dan 922 ton. Nilai Location Quotient komoditi kedelai di Kabupaten Langkat memiliki nilai lebih besar dari 1. Dengan nilai Location Quotient rata-rata yaitu 2,35 yang berarti bahwa komoditi kedelai di Kabupaten Langkat merupakan komoditi unggulan karena dapat memenuhi kebutuhan wilayah Kabupaten Langkat dan dapat mengekspor ke daerah lain baik domestik maupun internasional. Namun dari grafik tersebut dapat kita lihat trend yang menurun dari nilai LQ kedelai yang terjadi pada tahun 2011 dan 2012. Penurunan produksi kedelai di Kabupaten Langkat ini disebabkan terjadinya penurunan luas tanam kedelai pada beberapa tahun terakhir, pada tahun 2010 yang menjadi mencapai 1.444 ha, pada tahun 2011 menjadi seluas 598 ha dan pada tahun 2012 menjadi seluas 595 ha. Kondisi ini menyebakan menurunnya produksi kedelai di Kabupaten Langkat melebihi 50% dari produksi pada tahun 2010. Permasalahan yang yang terjadi ini tentunya harus menjadi perhatian serius dari pemerintah Kabupaten Langkat maupun Provinsi Sumatera Utara dalam upaya untuk mendorong keberhasilan pelaksanaan ketahanan pangan di Sumatera Utara. Salah satu program yang dapat dilakukan pemerintah untuk mengantisipasi berkurangnya lahan pertanian kedelai adalah dengan menjadikan Kabupaten Langkat sebagai salah satu sentra produksi kedelai di Sumatera Utara. Komoditi kedelai yang dihasilkan di Sumatera Utara masih hanya untuk memenuhi konsumsi untuk kebutuhan domestik yang masih sangat tinggi, hal ini terjadi mengingat hampir sebagian besar penduduk di Sumatera Utara masih mengandalkan kedelei sebagai salah satu sumber protein nabati. Nilai RCA komoditi kedelai di Sumatera Utara memiliki nilai lebih kecil dari 1. Dengan nilai rata-rata RCA komoditi kedelai yakni 0,0002 yang berarti

Proyeksi ekspor komoditi salak dari Sumatera Utara tidak dapat dilakukan dalam penelitian ini dikarenakan tidak adanya data yang digunakan sebagai pembanding untuk melihat trend volume ekspor salak selama periode tahun 2006-2013. Di pihak lain, sebenarnya salak dapat dijadikan komoditi

281


Identifikasi Potensi Peluang Ekspor Komoditi Unggulan Daerah di Sumatera Utara (Silvia Darina)

bahwa pangsa komoditi kedelai Sumatera Utara lebih kecil dari pangsa rata-rata ekspor komoditi kedelai di Indonesia. Rata-rata pertumbuhan ekspor kedelai dari Sumatera Utara selama periode tahun 2006-2012 turun menjadi sebesar 3,33% yang berarti bahwa komoditi kedelai yang diproduksi selama ini sebagian besar untuk memenuhi kebutuhan domestik. Ekspor kedelai yang dilakukan Sumatera Utara ditujukan ke negara Malaysia, namun ekspor ini hanya berjalan selama dua tahun yang terjadi pada tahun 2007 dan 2008. Sampai saat ini Sumatera Utara masih mengimpor kedelai dari luar negeri terutama kedelai yang berasal dari Amerika, hal ini terjadi disebabkan semakin meningkatnya tingkat konsumsi kedelai domestik dari tahun ke tahun. Permintaan akan kedelai dalam negeri untuk memenuhi kebutuhan bahan pangan maupun bahan pakan dan bahan baku industri. Salah satu kebijakan pemerintah yang membuat para petani kurang bergairah untuk menanam kedelai adalah tidak adanya tarif impor kedelai yang dikenakan, dimana kebijakan ini dilakukan guna untuk memenuhi kebutuhan kedelai dalam negeri untuk mengatasi kekurangan produksi. Kondisi ini tentunya sangat merugikan petani karena biaya produksi kedelai mereka tidak dapat bersaing dengan produksi impor sebagai akibat tingginya biaya produksi dan tidak adanya proteksi pemerintah kepada petani kedelai. Di samping itu, petani dengan budidaya produk pertanian lainnya lebih menguntungkan dari pada budidaya kedelai. Permasalahan ini menyebabkan komoditi kedelai kurang bergairah untuk dikembangkan oleh petani. Proyeksi ekspor komoditi kedelai dari Sumatera Utara dapat dilihat dari trend volume ekspor kedelai selama periode tahun 20062013. Pertumbuhan rata-rata volume ekspor kedelai Sumatera Utara untuk lima tahun ke depan mengalami peningkatan sebesar 5,64%. Pertumbuhan ekspor kedelai ini cukup baik, dimana produksi kedelai Sumatera Utara cenderung fluktuatif setiap tahunnya. Namun yang menjadi perhatian adalah tingkat konsumsi kedelai domestik yang terus meningkat yang selama ini kebutuhannya harus mengimpor dari Amerika Serikat, sehingga pemerintah daerah di Sumatera Utara perlu membuat kebijakan agar petani berminat untuk membudidayakan kedelai dengan cara memberikan insentif yang memadai kepada petani. Dalam rangka pengembangan sistem agribisnis yang berwawasan agroekosistem dan mendukung upaya-upaya peningkatan pendapatan petani, maka dipandang perlu untuk dirancang model pengembangan komoditi unggulan wilayah, yang mengacu kepada

pendekatan konsep dan terapan sistem manajemen bisnis di pedesaan. Salah satunya adalah melalui pengembangan komoditi unggulan yang merupakan hasil usaha masyarakat yang memiliki peluang pemasaran yang tinggi dan menguntungkan bagi masyarakat di daerah. Beberapa kriteria dari komoditi unggulan yang dapat dikembangkan tersebut adalah : a. Mempunyai daya saing yang tinggi di pasaran (keunikan/ciri spesifik, kualitas bagus, harga murah); b. Memanfaatkan potensi sumberdaya lokal yang potensial dapat dikembangkan; c. Mempunyai nilai tambah tinggi bagi masyarakat perdesaan; d. Secara ekonomi menguntungkan dan bermanfaat untuk meningkatkan pendapatan dan kemampuan sumberdaya manusia; e. Layak didukung oleh bantuan permodalan atau kredit. Dengan kondisi pasar domestik yang sangat terbuka bagi produk peretanian dari luar yang berkualitas dan dengan harga murah karena terdistorsi, menyebabkan produk-produk pertanian dalam negeri makin terdesak dan terancam pengembangannya. Di sisi lain, perhatian terhadap upaya penguatan daya saing produk pertanian Indonesia termasuk Sumatera Utara masih relatif kurang karena terbatasnya sumberdaya keuangan daerah. Dewasa ini, masih ada ruang bagi kebijakan pembangunan sektor pertanian yang lebih mengarah kepada kebijakan proteksi, promosi dan perbaikan infrastruktur yaitu melalui kebijakan yang mendorong pengembangan komoditi pertanian unggulan secara intensif sambil melakukan perlindungan yang memadai untuk mendukung program pembangunan yang sedang diupayakan. Dalam rangka meningkatkan daya saing produk unggulan daerah, pemerintah masih ada ruang untuk menggunakan intrumen kebijakan proteksi, promosi dan infrastruktur yang perlu direncanakan untuk diimplementasikan di lapangan secara lebih operasional. 1. Kebijakan Proteksi Untuk melindungi komoditi unggulan pertanian domestik terhadap ancaman produk sejenis dari luar negeri, pemerintah Indonesia dapat menempuh kebijakan proteksi namun harus memenuhi dalam batas toleransi sebagaimana yang diterapkan WTO. Kebijakan yang diperlukan dapat berupa kebijakan tarif impor, subsidi, dan perizinan yang diharapkan dapat mendorong peningkatan daya saing agribisnis komoditi unggulan daerah. Bentuk

282


Inovasi Vol 11 No. 4 Desember 2014 : 271-287

berkembang lebih cepat. Produksi pertanian untuk komoditi yang tahan kondisi alam berat (lahan marginal, kering), seperti mangga dan jeruk dapat ditingkatkan dengan memanfaatkan lahan-lahan tersebut. Dengan meluasnya dan membaiknya jaringan infrastruktur jalan, maka arus barang berupa hasil-hasil pertanian juga dapat lebih cepat dikirim dengan biaya lebih murah dan lebih cepat, sehingga kerugian karena kerusakan atau mahalnya biaya angkut dapat dikurangi. Pengembangan penanganan pascapanen, pengolahan, dan pemasaran hasil diperlukan dengan memanfaatkan infrastruktur pasar yang telah dibangun pemerintah (subterminal agribisnis, terminal agribisnis, pasar lelang, pasar petani, cold storage, dan pasar induk hortikultura). Sejalan hal tersebut, beberapa alternatif strategi yang dapat diterapkan oleh Pemerintah Provinsi maupun Kabupaten/Kota di Sumatera Utara dalam pengembangan agribisnis komoditi unggulan daerahnya adalah melalui strategi tumbuh dan membangun seperti strategi intensif (penetrasi pasar, pengembangan pasar dan pengembangan produk) atau strategi integratif, diantaranya: 1) mendorong petani untuk memaksimalkan ketersediaan lahan untuk peningkatan produksi; 2) mendorong petani melakukan pengolahan terhadap setiap hasil panen komoditi unggulan; 3) membangun sarana industri pengolahan komoditi unggulan sehingga didapatkan diversifikasi produk untuk membuka pangsa pasar tersendiri; 4) mempermudah petani terhadap akses permodalan; 5) melakukan pelatihan dan pembinaan kegiatan agribisnis komoditi unggulan secara kontiniu; 6) melakukan promosi komoditi unggulan; 7) menjajaki kerjasama dengan pihak pengusaha atau eksportir untuk pemasaran komoditi unggulan; 8) melakukan kerjasama dengan pemerintah daerah provinsi dan kabupaten dengan perguruan tinggi dan lembaga penelitian dalam hal pemenuhan kebutuhan bibit unggul; dan, 9) melakukan kerjasama antara petani dengan koperasi dalam hal budidaya dan pengolahan komoditi unggulan untuk industri pengolahan. Selain itu, diharapkan Pemda dapat menerapkan strategi-strategi yang telah dihasilkan dan strategi-strategi tersebut hendaknya dimasukkan dalam program kerja Pemerintah Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota demi pengembangan agribisnis komoditi unggulan daerah menjadi lebih baik lagi pada waktu yang akan datang. Agar strategi tersebut dapat terlaksana, maka Pemerintah Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota di Sumatera Utara agar melakukan peningkatan kualitas sumber daya manusia dengan tetap

proteksi lainnya pemerintah dapat melakukan kebijakan subsidi harga dan perbaikan sistem distribusi pupuk untuk meringankan beban biaya petani dalam melakukan usahataninya dengan tujuan agar petani mampu menerapkan teknologi anjuran untuk meningkatkan produksi dan pendapatan. Kebijakan subsidi yang selama ini ditempuh pemerintah, khususnya untuk sektor pertanian, adalah untuk pupuk kimia (urea, ZA, SP36, dan NPK) yang perlu terus ditingkatkan dan ditambah jenis subsidinya sesuai dengan kebutuhan pertanian modern saat ini. 2. Kebijakan Promosi Untuk memperkenalkan produk komoditi unggulan daerah Sumatera Utara di pasar dunia perlu dilakukan promosi ekspor. Kegiatan ini dapat dilakukan di dalam negeri dan di luar negeri. Beberapa temu bisnis yang dimotori oleh Dinas Pertanian, Dinas Perkebunan, Dinas Perdagangan dan Perindustrian dan Badan Invesatasi dan Promosi baik Provinsi mapun Kabupaten/Kota di Sumatera Utara dapat dilakukan dengan mengundang pelaku agribisnis dari daerah lain dan para pembeli dari luar negeri seperti: Singapura dan Malaysia yang ditujukan untuk mempromosikan produk komoditi unggulan daerah. Selain itu, Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota di Sumatera Utara perlu melakukan kerjasama dengan para atase bidang pertanian di kantorkantor kedutaan besar atau konsulat di berbagai negara secara aktif untuk melakukan promosi, baik melalui pameran maupun penyebaran brosur-brosur dan website yang menarik perhatian konsumen luar negeri sebagaimana yang pernah dilakukan oleh beberapa pemerintah daerah Indonesia. Di dalam negeri sendiri, promosi produkproduk pertanian unggulan perlu dilakukan baik melalui media elektronik (TV, radio, website) maupun media cetak (koran, majalah, brosur) karena potensi pasar domestik sendiri sangat besar. Oleh karena itu, masing-masing instansi terkait baik di pusat maupun di daerah, perlu melakukan promosi produk-produk unggulan daerah masing-masing khususnya yang memiliki potensi dari segi sfesifik lokal. Selain itu, pengembangan kantor sekretariat dan lapaklapak atau tempat penjualan dan promosi di negara tujuan ekspor utama juga perlu untuk dipertimbangkan. 3. Kebijakan Infrastruktur Pemerintah sudah banyak membangun infrastruktur, seperti : jalan, jembatan, dan pelabuhan, namun masih belum mencukupi. Oleh karena itu, kegiatan pembangunan dan rehabilitasi infrastruktur perlu terus dilakukan untuk membuka isolasi daerah, sehingga dapat

283


Identifikasi Potensi Peluang Ekspor Komoditi Unggulan Daerah di Sumatera Utara (Silvia Darina)

memberikan penyuluhan dan pelatihan kepada stakeholders agribisnis komoditi unggulan dan meningkatkan intensitas pelaksanaannya, serta penyediaan sarana dan prasarana penunjang sehingga pelaku agribisnis komoditi unggulan di Sumatera Utara dapat memahami dan melakukan agribisnis komoditi unggulan daerah dengan lebih baik dan intensif lagi. Dengan demikian untuk pengembangan komoditi unggulan yang memiliki peluang ekspor di Sumatera Utara, beberapa hal mendasar yang perlu mendapat perhatian adalah: Pertama, perangkat informasi sudah saatnya untuk dikembangkan melalui pola-pola jaringan komunikasi yang saat ini juga berkembang di tingkat internasional, sehingga dengan demikian akses informasi tidak hanya terbatas antar lembaga pada tingkat domestik tetapi juga bias akses langsung pada sumbersumber informasi di tingkat internasional untuk pasaran ekspor. Kedua, masalah yang dikaitkan dengan pengembangan kelembagaan. Model kelembagaan kemitraan usaha di sentra produksi pertanian di Sumatera Utara memerlukan: a) suatu bentuk kerjasama antara petani, kelompok tani, pengrajin (kotak, keranjang atau pakaging), lembaga tata niaga dalam menghasilkan produk yang memenuhi standard ekspor; b) dukungan lembaga pembiayaan yang bersifat sederhana, mudah, cepat, dan murah; c) revitalisasi kelompok tani ke arah kelembagaan yang lebif formal; d) dukungan dan peran yang lebih aktif dari lembaga atau dinas terkait dalam membangun kemitraan usaha agribisnis yang saling membutuhkan, saling memperkuat, serta saling menguntungkan; e) koordinasi antar pelaku agribisnis (kelompok tani atau asosiasi petani, pedagang pengumpul, dan pedagang besar/eksportir); f) lapak-lapak atau tempat penjualan komoditi sayuran negara tujuan ekspor terutama Malaysia dan Singapura; dan, g) komitmen dan kepercayaan antar pihak-pihak yang bermitra. Kebijaksanaan operasional untuk menumbuh kembangkan usaha pertanian yang berdaya saing antara lain harus diarahkan kepada: a) pengembangan usaha tani melalui pola kemitraan usaha dan kewirausahaan; b) pengembangan kelembagaan agribisnis pedesaan; dan c) peningkatan keterkaitan sektor pertanian dengan sektor-sektor hilir. Jaringan kelembagaan agribisnis dan agroindustri yang dibutuhkan adalah jaringan kelembagaan yang lebih menitikberatkan pada pemberdayaan petani sekaligus yang dapat mengarahkan para pelaku bisnis dalam menghadapi era perdagangan bebas. Dalam hal ini suatu kelembagaan agribisnis dan

agroindustri perlu dimantapkan di tingkat lokal, melalui: a) memberikan dorongan kepada pengusaha yang terkait sebagai pelaku-pelaku agribisnis untuk melakukan pembenahanpembenahan di sektor produksi; b) sebagai pusat informasi mengenai sektor agribisnis termasuk di dalamnya agroindustri; dan, c) memberikan bimbingan kepada para pelaku agribisnis khususnya yang bergerak di sektor hulu, sehingga mereka mampu memperkuat posisi tawarnya dalam era pasar bebas. Akhirnya diharapkan garis kebijaksanaan untuk membangun pertanian modern bercirikan agribisnis akan mampu meningkatkan daya saing komoditi unggulan pertanian secara maksimal sesuai dengan dinamika pasar. Berbagai usaha pengembangan perlu dilakukan, diantaranya dengan membuat suatu perencanaan yang tepat dan rasional baik melalui aspek teknis maupun non teknis. Aspek teknis dapat dilakukan diantaranya dengan menentukan potensi wilayah sedangkan aspek non teknis dapat dilakukan dengan pendekatan kebijaksanaan bagi pengembangan wilayah tersebut. Kedua aspek ini akan saling berkaitan erat terhadap keberhasilan proses dan hasil pembangunan suatu wilayah. Aspek teknis merupakan salah satu cara yang tepat dan mendasar bagi perencanaan pembangunan wilayah karena dengan cara ini dapat diketahui potensi dan daya dukung lahan di wilayah tersebut untuk jenis-jenis penggunaan lahan yang dipertimbangkan. Penilaian potensi wilayah merupakan salah satu cara yang dapat digunakan untuk mencari lahan yang memang berpotensi bagi pembangunan pertanian. Dengan dilakukannya penilaian potensi wilayah ini diharapkan akan dihasilkan suatu perencanaan pembangunan pertanian yang tepat dan rasional, dimana pemanfaatan lahannya dapat optimum, lestari dan berkelanjutan. Penilaian potensi wilayah ini dilakukan melalui analisis potensi wilayah baik secara fisik maupun sosial ekonomi. Dengan pendekatan tersebut diharapkan dihaslkan potensi wilayah berupa komoditas unggulan yang mempunyai keunggulan komparatif dan kompetitif. Dengan demikian peningkatan daya saing difokuskan pada pengembangan produk berbasis sumberdaya lokal yang dapat meningkatkan pemenuhan permintaan untuk konsumsi dalam negeri dan dapat mengurangi ketergantungan impor. Sedangkan peningkatan ekspor difokuskan pada pengembangan produk yang berdaya saing di pasar internasional baik segar maupun olahan yang kebutuhan di pasar dalam negeri sudah tercukupi. Pengembangan daya saing dan ekspansi pasar produk pertanian

284


Inovasi Vol 11 No. 4 Desember 2014 : 271-287

harus lebih ditingkatkan, terutama pengembangan produk olahan pertanian. Di samping juga pengembangan komoditas dan produk pertanian baru yang memiliki permintaan pasar yang tinggi harus segera dirintis dan diwujudkan secara optimal dan berkelanjutan. KESIMPULAN Berdasarkan uraian sebagaimana pembahasan di atas, maka dapat disimpulkan sebagai berikut: Komoditi unggulan daerah Sumatera Utara yang memiliki potensi pangsa ekspor dan peningkatan pertumbuhan proyeksi volume ekspornya, adalah : Kopi di Kabupaten Dairi. Jagung di Kabupaten Simalungun. Kubis di Kabupaten Karo. Hasil analisis indeks Location Quotient (LQ) pada masing-masing komoditi dan daerah di Sumatera Utara, diperoleh komoditikomoditi yang dibedakan berdasarkan yakni : Komoditi unggulan, terdiri dari : Kelapa di Kabupaten Asahan, Kakao di Kabupaten Serdang Bedagai, Ubi Kayu di Kabupaten Simalungun, Nenas di Kabupaten Tapanuli Utara, Pisang di Kabupaten Deli Serdang, Salak di Kabupaten Tapanuli Selatan, Kedelai di Kabupaten Langkat, Jeruk di Kabupaten Karo, Komoditi bukan unggulan adalah cabe di Kabupaten Karo. Hasil analisis Revealed Comparative Advantage (RCA) untuk mendapatkan daya saing masing-masing komoditi di Sumatera Utara dibedakan, yakni : Komoditi unggulan yang memiliki daya saing dengan nilai pangsa ekspor komoditi Sumatera Utara lebih besar dibandingkan pangsa ekspor komoditi Indonesia, terdiri dari : Kelapa, Cabe, Jeruk. Komoditi dengan nilai pangsa ekspor komoditi Sumatera Utara lebih kecil dibandingkan pangsa ekspor komoditi Indonesia, terdiri dari : Kakao, Ubi Kayu, Nenas, Pisang, Kedelai. Komoditi dengan tidak memiliki nilai pangsa ekspor komoditi Sumatera Utara adalah salak. Berdasarkan hasil analisis peramalan untuk peluang ekspor dari masingmasing komoditi unggulan sektor pertanian di Sumatera Utara dibedakan, yakni : Komoditi dengan peningkatan pertumbuhan proyeksi volume ekspor, terdiri dari : Ubi Kayu, Nenas, Pisang, Kedelai. Komoditi dengan penurunan pertumbuhan proyeksi volume ekspor, terdiri dari : Jeruk, Kelapa,Kakao, Cabe. Komoditi yang tidak memiliki nilai pertumbuhan proyeksi volume ekspor yakni salak. REKOMENDASI 1. Pemerintah Provinsi dan Kabupaten di Sumatera Utara agar bekerjasama untuk pengembangan potensi yang dimiliki dari masing-masing komoditi unggulan daerah yang memiliki peluang ekspor, seperti: kopi di Kabupaten Dairi, jagung dan kubis di

2.

285

Kabupaten Simalungun dan Kabupaten Karo dengan beberapa kebijakan sebagai berikut: a. Penetapan kopi, jagung dan kubis sebagai komoditi unggulan daerah yang dituangkan ke dalam bentuk ketentuan hukum (Perda atau Surat Keputusan Gubernur/Bupati) dan memasukkannya ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Provinsi dan Kabupaten serta Rencana Strategis (Renstra) SKPD terkait, sehingga dapat menjadi acuan bagi semua pihak atau pemangku kepentingan untuk mengembangkan kopi, jagung dan kubis sebagai komoditi unggulan yang memiliki peluang ekspor. b. Penetapan kawasan pertanian Kabupaten untuk pengembangan komoditi unggulan kopi, jagung dan kubis mulai dari subsistem hulu hingga subsistem hilir melalui peningkatan kuantitas dan kualitas sarana prasarana, teknologi, sumberdaya manusia, kelembagaan dan sistem informasi. c. Pengembangan jangkauan pasar komoditi kopi, jagung dan kubis dengan memperhatikan mutu, kemasan dan harga yang dapat dilakukan dengan beberapa program yakni : Program pelatihan bagi petani kopi, jagung dan kubis berdasarkan : aspek teknis dan teknologi produksi, manajemen usaha dan kewirausahaan. Program kemitraan dengan usaha menengah/besar yang terkait. Program pendampingan melalui kegiatan pengabdian kepada masyarakat yang dilaksanakan oleh perguruan tinggi bekerjasama dengan pemerintah daerah Provinsi dan Kabupaten di Sumatera Utara. d. Penyusunan informasi profil investasi komoditi kopi, jagung dan kubis sebagai sebagai komoditi unggulan yang memiliki peluang ekspor oleh dinas terkait, asosiasi, praktisi dan akademisi. e. Pemerintah Provinsi Sumatera dengan masing-masing pemerintah Kabupaten Dairi, Kabupaten Simalungun dan Kabupaten Karo agar dapat menjalin kerjasama perdagangan dengan negaranegara importir kopi, jagung dan kubis guna untuk peningkatan pertumbuhan volume ekspor secara berkelanjutan. Untuk meningkatkan produksi cabe menjadi sebagai komoditi unggulan di Kabupaten Karo, dapat dilakukan dengan beberapa program yakni :


Identifikasi Potensi Peluang Ekspor Komoditi Unggulan Daerah di Sumatera Utara (Silvia Darina)

a.

3.

Pengembangan kegiatan penelitian yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Karo berkerjasama dengan perguruan tinngi dan badanbadan penelitian yang terkait lainnya. b. Penerapan penelitian pada kawasan agribisnis cabe yang dilakukan melalui penyuluhan atau pelatihan, dan demplot. c. Adopsi teknologi yang efisien dan ramah lingkungan. d. Penyusunan profil pengelolaan cabe sebagai informasi pengelolaan cabe. e. Peningkatan peranan kelembagaan usahatani cabe di perdesaan seperti koperasi atau lembaga mikro keuagan di perdesaan. f. Melakukan monitoring dan evaluasi kegiatan pengelolaan usahatani cabe yang bertujuan untuk mengevaluasi, menginformasikan keberhasilan dan kendala yang dihadapi dalam kegiatan pengelolaan usahatani cabe. Untuk meningkatkan pangsa ekspor komoditi-komoditi yang masih kecil peningkatan pertumbuhan proyeksi ekspornya seperti : kakao, ubi kayu, nenas, pisang, kedelai, salak, jeruk, kelapa, cabe dapat dilakukan dengan beberapa upaya yang terdiri dari : a. Pengembangan subsistem hilir untuk meningkatkan nilai tambah dengan beberapa program, yakni : Penyusunan dan sosialisasi profil investasi masingmasing komoditi yang berorientasi lokal dan ekspor. Peningkatan anggaran untuk perbaikan dan penambahan infrastruktur. Pelatihan pengolahan produk, aplikasi teknologi dan manajemen usaha bagi pelaku pertanian masing-masing komoditi. Pendirian perusahaan daerah atau badan usaha sebagai organisasi bisnis pengolahan masing-masing komoditi yang dijalankan dan diawasi oleh pemerintah daerah dengan melibatkan petani dan masyarakat. b. Pengembangan perangkat pemasaran masing-masing komoditi unggulan berdasarkan karakteristik masingmasing komoditi yang secara umum dapat dilakukan dengan beberapa program, yakni : Pelaksanaan hubungan perdagangan dengan negara-negara pengimpor masing-masing komoditi. Penyediaan layanan informasi profil masing-masing komoditi dan sistem informasi pemasaaran yang dapat diakses secara langsung oleh negara-

4.

5.

6.

286

negara pengimpor. Restrukturisasi kelembagaan ekonomi perdesaan seperti koperasi yang melibatkan petani secara aktif dalam kegiatan pemasaran. c. Kemitraan yang dapat dilakukan dengan pengusaha skala menengah dan besar agar petani dapat meningkatkan ketersediaan modal. Untuk menjadikan kopi, kakao dan kelapa sebagai komoditi unggulan perkebunan selain kelapa sawit dan karet dalam upaya peningkatan ekspor daerah, Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota di Sumatera Utara perlu membentuk Kawasan Industri Masyarakat Perkebunan (KIMBUN) kopi, kakao dan kelapa rakyat melalui beberapa cluster yaitu : cluster produksi (ecolabelling) berupa kawasan sentra produksi kebun rakyat; cluster pengolahan berupa kawasan sentra pengolahan berbasis komoditi; cluster perdagangan dan kemitraan pemasaran; dan cluster kebun teknologi. Untuk meningkatkan ekspor dan pendapatan masyarakat di daerah pedesaan, Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota di Sumatera Utara agar mengembangkan komoditi unggulan daerah melalui program One Village One Product (OVOP) yang harus didukung infrastruktur, pemasaran dan pendanaan yang memadai. Model kelembagaan kemitraan usaha di sentra produksi hortikultura di Sumatera Utara memerlukan: a) suatu bentuk kerjasama antara petani, kelompok tani, pengrajin (kotak, keranjang atau pakaging), lembaga tata niaga dalam menghasilkan produk yang memenuhi standard eksport; b) dukungan lembaga pembiayaan yang bersifat sederhana-mudah, cepat, dan murah; c) revitalisasi kelompok tani ke arah kelembagaan yang lebif formal; d) dukungan dan peran yang lebih aktif dari lembaga atau dinas terkait dalam membangun kemitraan usaha agribisnis yang saling membutuhkan, saling memperkuat, serta saling menguntungkan; e) koordinasi antar pelaku agribisnis (kelompok tani atau asosiasi petani, pedagang pengumpul, dan pedagang besar/eksportir); f) lapak-lapak atau tempat penjualan komoditi sayuran negara tujuan ekspor terutama Singapura; dan, g) komitmen dan kepercayaan antar pihakpihak yang bermitra.


Inovasi Vol 11 No. 4 Desember 2014 : 271-287

Pertumbuhan Ekonomi Pedesaan. Lembaga Penelitian Universitas Riau.

UCAPAN TERIMAKASIH Penulis mengucapkan terimakasih kepada Badan Penelitian dan Pengembangan Provinsi Sumatera Utara yang mendanai penelitian ini. Para responden dan semua pihak yang telah berkontribusi dalam pelaksanaan penelitian.

Pekanbaru

:

Tambunan, T.H. 2004. Globalisasi dan Perdagangan Internasional. Bogor: Ghalia Indonesia. Tarigan, R. 2002. Perencanaan Pembangunan Wilayah Pendekatan Ekonomi dan Ruang. Medan: Departemen Pendidikan Nasional.

DAFTAR PUSTAKA Baladina, Nur, dkk. 2013. Identifikasi Potensi Komoditi Pertanian Unggulan Dalam Penerapan Konsep Agropolitan di Kecamatan Poncokusumo Kabupaten Malang. Jurnal Agrise XIII(1).

Yohanes, Rante, 2012. Pengembangan, Peningkatan Daya Saing Produk Agribisnis dan Agroindustri di Kabupaten Keerom Provinsi Papua Guna Pemberdayaan Ekonomi Rakyat Serta Menunjang Ekspor Non Migas Indonesia dalam Era Perdagangan Bebas. Fakultas Ekonomi, Universitas Cendrawasih Jayapura. Jurnal Mitra Ekonomi dan Manajemen Bisnis 3(1).

Badan Pusat Statistik Provinsi Sumatera Utara. 2013. Sumatera Utara Dalam Angka. Medan: Badan Pusat Statistik Provinsi Sumatera Utara. Bank Indonesia. 2013. Kajian Ekonomi Regional Provinsi Sumatera Utara. Jakarta: Bank Indonesia. Chuzaimah dan Mabruroh. 2008. Identifikasi Produk Unggulan Berbasis Ekonomi Lokal Untuk Meningkatkan PAD di Era OTDA. Seminar Nasional Aplikasi Sains dan Teknologi - IST AKPRIND. Yogyakarta. Darwanto, Herry. 2006. Prinsip Dasar Pembangunan Ekonomi Daerah. Jakarta: Bappenas. Glasson, John. 1977. Pengantar Perencanaan Regional Bagian Satu dan Dua Terjemahan Paul Sitohang. Jakarta: Lembaga Penerbitan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Hanafita, D. 2010. Strategi Pengembangan Agribisnis Kakao (Theobroma cacao L) di Kabupaten Padang Pariaman. Dari: http://www.scribd.com/doc/4757721/StrategiPengembangan-Agribisnis-Kakao-Theobroma-cacaoL-di-Kabupaten Padang-Pariaman Ma’aruf, M.Imam. 2011. Analisis Perdagangan Jagung Indonesia. Pascasarjana Ekonomi Pertanian. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada. Muhammad Amir Solihin, 2007. Sebaran Komoditas Unggulan Sayuran di Wilayah Utara Kabupaten Garut Berdasarkan Analisis Potensi Wilayah. Soilrens 8(16). Nainggolan, H.T. dan Johndikson Aritonang. 2012. Peranan Identifikasi Komoditi Pangan Unggulan Pada Tiga Kabupaten di Kawasan Tapanuli Dalam Rangka Peningkatan Ketahanan Pangan Wilayah. Fakultas Pertanian Universitas. Medan: HKBP Nomensen. Saliem, H.P dan Sri Nuryanti. 2011. Perspektif Global Kedelai dan Ubi Kayu Mendukung Swasembada. Jakarta: PSEK Kementrian Pertanian. Saptana dan Prajogo U. Hadi. 2008. Perkiraan Dampak Kebijakan Proteksi Dan Promosi Terhadap Ekonomi Hortikultura Indonesia. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan. Jurnal Agro Ekonomi 26(1) hal 21 – 46. Syahza, A. 2007. Model Pemasaran Produk Pertanian Berbasis Agribisnis Sebagai Upaya Percepatan

287


Inovasi Vol 11 No. 4 Desember 2014 : 288-295

Hasil Penelitian STUDI MEKANISME PENGEMBANGAN KURIKULUM TINGKAT PENDIDIKAN DASAR DAN MENENGAH DI AMERIKA SERIKAT (STUDI KASUS SISTEM PENDIDIKAN DI AMERIKA PADA LEVEL STATE)

(STUDY OF CURRICULUM DEVELOPMENT MECHANISM FOR BASIC AND SECONDARY EDUCATION IN UNITED STATE (CASE STUDY IN LEVEL))) AMERICAN EDUCATION SYSTEM IN STATE LEVEL) Syaiful Sagala Universitas Negeri Medan Jl. Willem Iskandar pasar V Medan email : syaiful_sagala@yahoo.co.id

Diterima: 5 Agustus 2014; Direvisi: 30 Oktober 2014; Disetujui: 14 November 2014

ABSTRAK Penelitian ini untuk mengetahui bagaimana mekanisme pengembangan kurikulum tingkat Pendidikan Dasar dan Menengah di Amerika Serikat. Penelitian ini adalah studi kasus dengan pendekatan kualitatif. Data dan informasi pengamatan dan wawancara diperoleh melalui Focus Group Discussion. Data tertulis diperoleh dari dokumen dokumen tertulis yang terkait dengan penelitian ini. Tempat penelitian ini adalah U. S. Departement of Education Office of Elementary and Secondary Education di Washington DC, Seminole County Public Charter School dan Seminole County Public School Lyman High Scool di Orlando Florida, dan Salam Academy dan Rio Americano High School di Sacramento California. Temuan penelitian ini kurikulum dikembangkan oleh suatu tim yang terdiri dari guru, orang tua siswa, pakar pendidikan. Setelah kurikulum diuji publik, maka Dewan Pendidikan mengesahkan kurikulum dan pihak sekolah dapat menerapkannya. Tidak ada kurikulum nasional, sesuai aturan kurikulum menjadi urusan pemerintah negara bagian dan menjadi tanggung jawab pemerintah lokal. Mekanisme penyusunan kurikulum bottom up dan menjunjung tinggi asas demokrasi maupun keadilan. Semua kurikulum di atasi oleh State, County, District, dan School (Negara bagian dan pemerintah Lokal) sebagai perwujudan demokrasi pendidikan. Pemerintah Federal (pusat) tidak terlibat dalam merumuskan kurikulum. Pemerintah Federal mendukung dana pengembangan kurikulum dan kebutuhan tes yang diperlukan negara bagian, pemerintah lokal, dan sekolah. Masyarakat, Teachers Union berkolaborasi dengan State, District, dan Sekolah untuk menjamin tersedianya kurikulum sesuai kebutuhan dan terhindar dari kesalahan. State bertanggung jawab tentang kurikulum, penerimaan guru, dan ujian. District boleh mencetak buku, menentukan gaji guru, dan alokasi anggaran di sekolah atas persetujuan Dewan Pendidikan setempat. Proses pembelajaran dalam implementasi kurikulum, tidak mendikte murid, tetapi menggali potensi murid dan melatih murid mampu memecahkan masalah secara tepat dan terhindar dari kesalahan. Rekomendasi penelitian: (1) pemerintah hendaknya cukup hanya menentukan standar kurikulum, tetapi yang mengembangkannya adalah masing masing daerah sesuai semangat otonomi daerah; dan (2) guru agar proses pembelajaran tidak mendikte tetapi memfasilitasi murid belajar. Kata kunci : Kurikulum, Pembelajaran, kebijakan, pemerintah lokal

ABSTRACT The aim of this study is to know how mechanism of curriculum development at Elementary School and Junior High School in United States. This study is a case study with qualitative approach. The data and the information of observation and interview were gained through Focus Group discussion. The written data was gained from written documents which related to this study. The place of this study is U. S. Departement of Education Office of Elementary and Secondary Education in Washington DC, Seminole County Public Charter School and Seminole County Public School Lyman High Scool di Orlando Florida, and Salam Academy and Rio Americano High School in Sacramento California. The finding of this study is curriculum which is developed by a team

288


Studi Mekanisme Pengembangan Kurikulum Tingkat Pendidikan Dasar dan Menengah di Amerika Serikat (Studi Kasus Sistem Pendidikan di Amerika Pada Level State) (Syaiful Sagala) which consists of teachers, students’ parents and educational experts. After the curriculum is tested by public, so educational council made validity of curriculum and school can apply it. There is no national curriculum, it is appropriate with curriculum rules which become state government business and it is the responsibility of local government. The mechanism of bottom up curriculum arrangement and hold in the high esteem of democracy principle and justice. All curriculum solved by State, County, District, and School (State and Local Government) as the embodiment of democracy education. Federal Government (center) is not involved in formulating the curriculum. Federal Government funding support curriculum development and testing requirements necessary state, local governments, and schools. Society, Teachers Union in collaboration with the State, District, and School to ensure the curriculum as needed and avoid mistakes. State in charge of curriculum, teacher acceptance, and exams. District may print books, determine the salaries of teachers, and the school budget allocation with the approval of the local Board of Education. The learning process in the implementation of the curriculum, students do not dictate, but to explore the potential of students and to train students able to solve the problem properly and avoid mistakes. Recommendation: (1) the government should quite simply sets the standard curriculum, but which developed it is each area corresponding spirit of regional autonomy; and (2) the teacher for the learning process does not dictate but to facilitate student learning. Keyword : Curriculum, Instruction, Policy, Local Government

membuat penilaian dalam bentuk narasi untuk setiap siswa. Hal ini bermasalah bagi guru yang mengelola murid dalam jumlah besar seperti di tingkat SMP. Seorang guru harus menilai lebih dari 200 murid secara naratif, padahal mengenal nama mereka saja selama tahun ajaran belum tentu bisa mereka lakukan. Guru hanya mampu mengingat murid yang menonjol dan menarik perhatiannya. Oleh karena itu jumlah murid paling banyak 32 orang perkelas akan memudahkan guru mengingat muridnya. Guru belum memiliki buku pegangan guru terkait kurikulum 2013, jadi guru mengajar hanya berdasarkan bahan yang diunduh. Murid SMA hanya disediakan buku teks untuk mata pelajaran Imapel) wajib, sedangkan untuk penjurusan ditanggung oleh siswa itu sendiri. Dengan demikian, buku kurikulum 2013 tidak gratis sepenuhnya. Berdasarkan berbagai permasalahan ini ICW menilai, kekacauan penerapan kurikulum 2013 merupakan bentuk kelalaian pemerintah dalam menunaikan kewajibannya menyediakan pendidikan bermutu. Akibatnya, hak murid dan guru atas pendidikan bermutu tersebut terancam. Menyikapi hal itu, maka ICW merekomendasikan untuk menghentikan pelaksanaan kurikulum 2013 dan kembali ke kurikulum 2006 atau Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Nara, Hartini (2014) mengemukakan bahwa permasalahan mendasar Kurikulum 2013 antara lain (1) tidak melalui riset dan evaluasi yang mendalam; (2) menitikberatkan siswa; (3) ketidaksiapan guru karena terkesan mendadak; (4) tematik lebih cocok di kelas dasar; (5) tidak memperhatikan konteks sosiologis ke Indonesiaan; dan (6) menyederhanakan persoalan dan tidak terdengar dengung uji coba yang resmi. Struktur kurikulum, jumlah jam yang teralu banyak

PENDAHULUAN Harahap, Rachmad Faisal (2014) mengatakan mulai diragukan efektivitas kurikulum 2013. Kurikulum yang secara serentak diberlakukan mulai tahun ajaran 2014/2015 di semua jenjang sekolah, mulai dasar hingga menengah ini dinilai terlalu dipaksakan untuk diterapkan. ada beberapa hal penting yang patut diperhatikan Pertama, guru tidak siap mengajarkan kurikulum 2013 ini. Kedua, infrastruktur kurikulum belum tersedia sepenuhnya. Keterangan tertulis yang diterima Okezone, Kamis (28/8/2014), Indonesia Corruption Watch (ICW) telah melakukan pemantauan di Jakarta selama tiga minggu pertama sejak kurikulum ini diterapkan. Dari pemantauan tersebut, diperoleh beberapa temuan, seperti buku pelajaran siswa belum tersedia seluruhnya terutama di jenjang pendidikan dasar dan menengah (SD dan SMP). Untuk mengatasinya, murid dan orangtua murid menggandakan buku melalui fotokopi, membeli di toko buku, atau mengunduh dari internet, dan orangtua dan murid harus mengeluarkan biaya untuk mendapatkan bahan kurikulum 2013. Pihak sekolah tidak bersedia membayar biaya unduh, print, fotokopi atau pembelian buku di toko buku dengan alasan bahwa dana bantuan operasional sekolah (BOS) terbatas dan hanya untuk membayar buku yang telah dipesan oleh sekolah. Di lain pihak guru sudah mengikuti paling sedikit selama dua hari dan paling banyak satu minggu pelatihan, meski yakin bisa mengajarkan materi pelajaran sebagaimana mengajar saat kurikulum sebelumnya, akan tetapi mereka merasa belum cukup mendapatkan materi kurikulum 2013 seutuhnya, artinya guru tidak menguasai materi kurikulum 2013 sepenuhnya. Guru juga mengeluhkan metode penilaian siswa yang dianggap memberatkan, yaitu

289


Inovasi Vol 11 No. 4 Desember 2014 : 288-295

bukan pemecahan masalah, sehingga kesukaan terhadap belajar akan menurun. Untuk mencoba menerapkan model pembelajaran yang sederhana saja, guru mengalami kesulitan dan prosesnya panjang, karena tidak memperoleh pembimbing yang diperlukan di Kantor Dinas Pendidikan. Pengawas sekolah tidak memahami secara tepat bagaimana proses pembelajaran dilakukan dalam implementasi kurikulum 2013. Permasalahan lain yang dialami guru pada umumnya adalah menerapkan pembelajaran yang seimbang aspek afektif dan psikomotorik guru lebih banyak menekankan aspek kognitif. Masih banyak guru kurang menguasai teknologi informasi, lemahnya penguasaan bidang administrasi, sulit mengubah mindset guru, sulit mengubah proses pembelajaran dari teacher centered ke student centered, rendahnya moral spiritual, masih rendah budaya membaca dan meneliti. Di lain pihak sebagian besar pengawas sekolah juga tidak mampu melatih guru proses pembelajaran student centered dan model pembelajaran yang interaktif dan berkarakter. Penerapan Kurikulum 2013 (K13) sebagaimana dipaparkan Kompas.com (2014) dianggap hanya sekadar formalitas hal ini tampak dari minimnya persiapan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dalam menerapkan kurikulum tersebut di semua sekolah. Proses penyusunan desain K13 dinilai tidak transparan. Selain itu, proses uji publik juga dinilai asalasalan serta minim sosialisasi, tidak ada koordinasi yang baik antara desain awal dengan tim teknis. Pada tingkat implementasi, banyak guru bingung saat menerapkan K13 di kelas, guru tidak memiliki buku panduan yang memadai dalam penerapan K13. Penjelasan Menteri Pendidikan secara konseptual penyusunan K13 memenuhi asas ilmiah perubahan kurikulum dilakukan sangat hati-hati melalui proses dialog (transparansi), analisis (kajian mendalam), dan uji coba (untuk memastikan implementasi tidak gagal). Konsep dan makna kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran mencapai tujuan pendidikan tertentu. Kurikulum juga dipahami sebagai produk perencanaan mengenai strategi pengalaman belajar yang disiapkan sedemikian rupa (Sagala, 2011:142). Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. Selain itu kurikulum dipandang sebagai suatu interaksi antara murid

dan guru yang dirancang untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. Pendekatan-pendekatan implementasi kurikulum yang berkembang hingga saat ini pada dasarnya menurut Miller and Seller (1985) berpijak dari pandangan/orientasi dalam menempatkan/memposisikan hubungan antara kurikulum dengan siswa sebagai subjek pembelajar. Artinya bahwa pendekatan implementasi kurikulum dalam bentuk kegiatan belajar mengajar sangat bergantung pada konsep orientasi menempatkan hubungan antara kurikulum dengan peserta didik dan pendidik itu sendiri. Arends (2007:106) mengemukakan guru sering dibingungkan tentang dari mana isi kurikulum, dan dalam memutuskan apa yang akan diajarkan guru tidak independen. Miller and Seller (1985:6-8) menjelaskan terdapat tiga orientasi mendasari penyelenggaraan pembelajaran sebagai suatu aktivitas implementasi kurikulum, yakni: (a) orientasi transmisi (transmission position); (b) orientasi transaksi (transaction position); dan (c) orientasi transformasi (transformation position). Proses pengembangan kurikulum menurut Miller dan Seler (1985:3) rangkaian kegiatan dilakukan secara terus menerus dimulai dari menentukan orientasi kurikulum, yakni kebijakan umum. Misalnya arah dan tujuan pendidikan, pandangan tentang hakekat belajar dan hakekat anak didik, pandangan tentang keberhasilan implementasi kurikulum, dan lainnya. Pengembangan kurikulum juga memberikan implikasi praktis terhadap para pembuat kebijakan, pengelola lembaga, pendidik, peserta didik, alumni, pengguna, dan stakeholders. Mulai diragukan efektivitas K13 karena (1) guru mengajar hanya berdasarkan bahan yang diunduh; (2) murid SMA hanya disediakan buku teks untuk mata pelajaran (mapel) wajib, sedangkan penjurusan ditanggung siswa itu sendiri; dan (3) tematik lebih cocok di kelas dasar. Untuk membandingkan konsep dan implementasi kurikulum yang diimplementasikan di Indonesia, perlu ada pembanding yang diterapkan di negara maju. Dalam penelitian ini dipilih Negara Amerika Serikat untuk mengetahui bagaimana mekanisme pengembangan kurikulum tingkat Pendidikan Dasar dan Menengah di Amerika Serikat. METODE Untuk mencapai tujuan penelitian ini, digunakan disain studi kasus (case study) menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif dengan teknik pengumpulan data melalui Focus

290


Studi Mekanisme Pengembangan Kurikulum Tingkat Pendidikan Dasar dan Menengah di Amerika Serikat (Studi Kasus Sistem Pendidikan di Amerika Pada Level State) (Syaiful Sagala)

Group Discussion (FGD) berupa wawancara, pengamatan yang didukung dengan dokumentasi (Yin, 2004). Perencanaan penelitian kualitatif oleh Guba (1984) adalah skema atau program dari penelitian yang berisi outline tentang apa yang harus dilakukan peneliti mulai dari pertanyaan sampai pada analisis final yang dilakukan. Lokasi penelitian ini adalah U. S. Departement of Education Office of Elementary and Secondary Education di Washington DC, Seminole County Public Charter School dan Seminole County Public School Lyman High Scool di Orlando Florida. Kemudian Salam Academy dan Rio Americano High School di Sacramento California sekaligus menjadi situs dan tempat penelitian ini. Pihak yang menjadi informan kunci dalam penelitian ini, adalah Ms. Sambia Shivers Barclay, M. Ed sebagai manager International Visitors and Dignitaries pada U. S. Departement of Education, Office of Elementary and Secondary Education. Dr. Janet Kearney sebagai Principal pada Seminole County Public Charter School dan Mr. Brian Urichko sebagai Principal dan Ms. Patricia Reyes sebagai Head of The Engineering Magnet Program pada Seminole County Public School Lyman High Scool di Orlando Florida. Ms. Rihana Ahmad sebagai Principal Salam Academy, Ms. Nina Seibel sebagai Civitas Teacher dan Mr. Tom Nelson sebagai Civitas Assisten pada Rio Americano High School di Sacramento California. Informan kunci ini memberi informasi kebijakan pendidikan sesuai tugas dan tanggung jawabnya masing masing. Sebelum pengumpulan data dan informasi penelitian di AS, peneliti lebih dulu melakukan sejumlah pertemuan dengan Ms. Kathryn T. Crockart (Consul) dan Meta Christy (Economic Assistant) pada American Consulate di Medan. Kegiatan studi pendahuluan ini merencanakan langkah langkah penting dilakukan dalam pengumpulan data penelitian di situs penelitian. Pengumpulan data penelitian ini diperoleh melalui wawancara mendalam melalui FGD, pengamatan yaitu hadir di ruang kelas saat pelajaran berlangsung, mengumpulkan dokumen tertulis yang menggambarkan datadata yang relevan dengan penelitian ini. Proses kerjanya di Consulate General AS Medan dimulai sejak Mei 2014 sebagai tahapan studi pendahuluan dan pengaturan mekanisme kunjungan ke situs penelitian. Kemudian 27 Oktober sampai 4 November 2014 dilakukan Focus Group Discussion (FGD) di situs (lokasi) penelitian. Prosesnya dilakukan dengan tahapan mengumpulkan dokumen tertulis mengenai kurikulum, persiapan FGD, dan selanjudnya melalui Ms. Wendy Cronin sebagai Deputy IVLP

dan Ms. Sara Delson Program Officer Bureau of Educational and Cultulal Affairs pada Unitet States Departement of State (Kementerian Luar Negeri AS) peserta dan peneliti diundang untuk hadir dalam FGD yang dilaksanakan di sekolah sekolah yang menjadi situs penelitian ini. Informasi digali melalui wawancara mendalam dari key informan pada setiap sekolah sebagai situs penelitian ini mengenai keadaan riel dan kebijakan mengenai kurikulum di wilayah kewenangannya masing masing. Informasi selanjudnya digali dari dokumen tertulis terkait kebijakan pemerintah setempat mengenai kurikulum. Peneliti juga melakukan pengamatan di kelas untuk melihat secara langsung implementasi kurikulum dalam bentuk pembelajaran. Setelah datanya dipandang jenuh, maka dilanjutkan dengan menganalisis seluruh data (wawancara, pengamatan, dan dokumen tertulis), data dipilah sesuai kategori kemudian dipaparkan dalam bentuk display data. Untuk memperoleh keabsahan data dilanjutkan dengan mengklasifikasikan, dan menguji data yang kredibel dengan uji trianggulasi, selanjudnya dianalisis dan dibahas dengan ahli penelitian kualitatif, serta ditarik kesimpulan. HASIL DAN PEMBAHASAN Dari data dan informasi yang digali dan dianalisis menunjukkan bahwa Pemerintah Federal tidak terlibat dalam merumuskan kurikulum dan tidak ada test dilakukan pemerintah Federal. Tetapi Federal mendukung dana pengembangan kurikulum yang dirumuskan dan diusulkan State. Semua kurikulum di atasi oleh State, County, District, dan School (Negara bagian dan pemerintah Lokal) tidak ada akreditasi, tetapi ada sistem acountabilitas. Dari data ini menegaskan bahwa pada pemerintahan AS tidak ada kurikulum nasional. Sistem pendidikan yang diterapkan di sekolah tidak ada anak yang tertinggal, dan ada banyak testing untuk melihat bagaimana anak berprestasi, tidak ada ujian nasional (UN), tetapi ada penjajagan (pemetaan) nasional sebagai upaya menjamin adanya keseimbangan. Dalam Common Call diatur bahwa jika sekolah memenuhi standar yang lebih tinggi, mereka akan mendapat insentif. Negara bagian (State) tidak mengumpulkan informasi satu sama lain, oleh karena itu pemrintah Federal mengumpulkan data data sebagai dasar mempromosikan pendidikan nasional dengan menyediakan grand. Tiap negara bagian mengurus sendiri tata kelola pendidikan di wilayahnya. State bertanggungjawab tentang kurikulum, penerimaan guru, dan ujian. District boleh

291


Inovasi Vol 11 No. 4 Desember 2014 : 288-295

mencetak buku, menentukan gaji guru, dan alokasi anggaran di sekolah. Tanggung jawab Federal adalah mengevaluasi perencanaan kurikulum yang diajukan oleh State dan State melakukan assesment dilanjutkan dengan menganalisa yang menjamin bagaimana anak mengetahui dan memiliki keterampilan dengan menjunjung tinggi keadilan. Profil lulusannya adalah memiliki keterampilan dan prosesnya menjunjung tinggi keadilan. Elemen lain dari masyarakat yang ikut bertanggung jawab dalam pengembangan kurikulum adalah Teachers Union. Organisasi ini ikut menilai kurikulum, oleh karena itu kolaborasi antara State, District, dan Sekolah dengan Teachers Union amat dijaga untuk menjamin tersedianya kurikulum yang sesuai kebutuhan, perolehan gaji yang adil, bekerja di lingkungan yang sehat, dan siswanya mencapai kompetensi internasional. Dalam mengimplementasikan kurikulum, maka proses pembelajaran tidak mendikte murid. Jika siswa bisa lebih maju, maka sekolah dan pemerintah memberi kesempatan dengan memberikan fasilitas dan dukungan lainnya sehingga siswa lebih berprestasi. Public Charter School yaitu Sekolah yang mengasuh anak usia 5-12 tahun (Setara SD), sekolah ini memilih kurikulum yang telah disediakan oleh negara bagian. Dalam melaksanakan pekerjaan guru secara bersama sama memecahkan masalah dan bekerjasama team. Pembelajaran berdasarkan project, menonjolkan mata pelajaran bukan pembelajaran tematik, pembelajaran tematik tidak dikenal. Guru kelas bawah untuk Sekolah Dasar (SD) pegang kelas dan guru kelas tersebut harus memahami dan cocok karakter siswa. Pembelajaran langsung lebih menonjolkan interaksi, kebersamaan dan semua anak harus berhasil. Jumlah siswa 20-22 orang dengan sistem pembelajaran membangun suasana interaktif di mana siswa sebelumnya diminta melakukan research dengan tema yang telah diberikan oleh guru. Research dapat dilakukan dengan mengumpulkan data dan informasi melalui internet. Dari penelitian itu siswa diminta mengungkapkan masalah, dan selanjutnya berdiskusi dengan satu orang temannya memecahkan masalah. Semua siswa harus dapat menjawab pertanyaan yang sebelumnya telah disiapkan oleh guru. Semua guru memberi informasi kemajuan belajar kepada orang tua siswa yang bersangkutan dan orang tua menerima informasi penting mengenai kemajuan belajar anaknya. Di sekolah Salam Academy mengajarkan siswa memecahkan berbagai masalah dan semua guru terampil untuk itu.

Guru dalam melaksanakan tugasnya memenuhi aturan langkah demi langkah dalam pembelajaran. Setiap siswa baru diajarkan mengenai meja damai (Peace Table) yaitu memperaktekkan dalam hidup anak mengenai toleransi, mengenal apa masalah, bicarakan apa masalah, mengatasi masalah dan berbuat baik, mendengarkan dengan pikiran terbuka, respect dan responsibility, keterampilan sosialisasi dan bertanggung jawab terhadap kata kata dan perbuatan. Dewan Pendidikan tidak terlibat dalam menyusun kurikulum, tetapi ikut mengevaluasi kurikulum yang diajukan sekolah. Proses penyusunan kurikulum di California dimulai dengan membentuk Focus Group Discussion (FGD) terdiri dari guru guru, kepala sekolah, dan pemimpin penyusun dan pengembang kurikulum biasanya beranggotakan 20 orang dengan tugas menyusun kerangka dan naskah kurikulum melalui research yang terukur dan bertanggung jawab. Setelah naskah kurikulum selesai diberikan kepada komite yaitu “Curricullum Framework and Evaluation Criteria Committe (CFCC) untuk dinilai dan dievaluasi kelayakan dan standar naskah kurikulum yang diajukan oleh tim FGD. Tim evaluasi kurikulum akan mengundang pakar sesuai mata pelajaran, dan pakar itu berpendidikan Ph. D. Kemudian mengundang orang tua siswa dan stakeholders lainnya. Jika hasil evaluasi kurikulum telah final selanjutnya diserahkan ke Dewan Pendidikan, didokumentasikan, dan dipublikasikan untuk diketahui masyarakat luas. Setelah 60 hari kemudian dan mendapat masukan dari masyarakat, selanjutnya Dewan Pendidikan menentukan apakah menggunakannya atau tidak. UUD State California menyatakan finalisasi dokumen kurikulum oleh Dewan Pendidikan California. Sedangkan State tidak memberikan mandatory, tetapi memberi dokumen kepada masyarakat untuk dinilai apakah sesuai kebutuhan atau tidak. Di AS ada ujian standar, tetapi tidak harus, siswa bisa menyelesaikan studi bila telah memenuhi persyaratan dan siswa memperoleh pembelajaran yang sempurna. Pemerintah Federal mendukung dana pengembangan kurikulum. Pemerintah Federal tidak terlibat dalam merumuskan kurikulum dan tidak ada test dilakukan pemerintah Federal. Model kebijakan kurikulum mengacu pada sistem pemerintahan AS seperti dijelaskan Targonski (2000:126) kekuasaan memerintah ada ditangan rakyat dan menjunjung tinggi asas demokrasi, pemerintah didirikan untuk melindungi hak milik dan kebebasan pribadi dan memperoleh perlindungan hukum yang adil.

292


Studi Mekanisme Pengembangan Kurikulum Tingkat Pendidikan Dasar dan Menengah di Amerika Serikat (Studi Kasus Sistem Pendidikan di Amerika Pada Level State) (Syaiful Sagala)

Dalam hal pengembangan kurikulum yang menjadi tanggung jawab pemerintah lokal adalah bagian dari perwujudan menjunjung tinggi demokrasi dan ada kebebasan pemerintah lokal untuk mengembangkan kurikulum sesuai kebutuhan masyarakatnya yang diproses secara adil. Sebagai perwujudan demokrasi pendidikan, maka semua kurikulum di atasi oleh State, County, District, dan School (Negara bagian dan pemerintah Lokal). Tidak ada ujian nasional (UN), tidak ada akreditasi, tetapi ada sistem acountabilitas. State bertanggung jawab tentang kurikulum, penerimaan guru, dan ujian. District boleh mencetak buku, menentukan gaji guru, dan alokasi anggaran di sekolah. Sejalan dengan pandangan Gibson, Ivancevich, dan Donnelly (1997:276) setiap keputusan merupakan proses yang dinamik yang dipengaruhi oleh berbagai kekuatan. Keputusan adalah mekanisme organisasional merupakan respon organisasional terhadap suatu masalah untuk mencapai suatu tujuan. Untuk menjamin tersedianya kurikulum yang sesuai kebutuhan, dalam prosesnya masyarakat ikut bertanggung jawab dalam pengembangan kurikulum, organisasi profesi (Teachers Union) berkolaborasi dengan State, District, dan Sekolah. Dalam implementasi kurikulum, proses pembelajaran tidak mendikte murid, tetapi menggali potensi murid. Jika siswa bisa lebih maju, maka sekolah dan pemerintah memberi kesempatan dengan memberikan fasilitas dan dukungan lainnya sehingga siswa tersebut lebih berprestasi. Arends (2008:43) menegaskan guru harus memberi perhatian pada dasar pengetahuan substansial yang mendeskripsikan tentang apa yang sebenarnya terjadi pada anak anak dengan kebutuhan khusus ketika mereka belajar di kelas, dan tentang praktik praktik terbaik untuk menangani anak anak sesuai sifat kemampuan belajar siswa. Sistem ini menggambarkan otonomi yaitu keleluasaan melaksanakan apa yang dianggap terbaik dalam situasi tertentu sampai tingkat mana pekerjaan itu memberikan kebebasan, ketidaktergantungan, dan keleluasaan yang cukup besar menentukan prosedur digunakan dalam menyelesaikan pekerjaan (Sagala, 2008:59). Proses pembelajaran tidak mendikte murid, tetapi memfasilitasi murid belajar, guru secara bersama sama memecahkan masalah dan bekerjasama team. Johnson (2009:199) menyatakan bahwa sikap guru terhadap muridnya adalah factor utama mencapai keberhasilan siswanya, guru membantu siswanya meyakini bahwa keberhasilan dalam belajar adalah suatu yang mungkin, dengan

keyakinan itu siswa akan terus berupaya dan belajar. Jika siswa telah paham dan yakin bahwa keberhasilan itu suatu yang mungkin diperoleh, maka guru telah memegang kunci yang membuka pintu keberhasilan proses belajar siswanya. Dalam upaya memberhasilkan siswanya belajar, guru menerapkan pembelajaran berdasarkan project, menonjolkan mata pelajaran bukan pembelajaran tematik. Jumlah siswa 20-22 orang dengan sistem pembelajaran membangun suasana interaktif di mana siswa sebelumnya diminta melakukan reseach dengan tema yang telah diberikan oleh guru. siswa memecahkan berbagai masalah dan semua guru terampil untuk itu. Guru dalam melaksanakan tugasnya memenuhi aturan langkah demi langkah dalam pembelajaran. Arends (2008:15) mengatkan guru harus memikirkan tentang diri sendiri bila mereka akan membantu orang lain untuk memikirkan tentang dirinya sendiri. Guru yang professional termpil dan mampu bertindak secara mandiri maupun kolaboratif dengan orang lain dan memberikan judgment kritis. Data ini menunjukkan bahwa hanya guru yang terampil yang diangkat menjadi guru. Mereka terampil dalam membantu memecahkan masalah murid dalam belajar dengan cara memfasilitasi, bukan mendikte. Gaya pembelajaran menurut Joyce, Weil, dan Calhoun (2009:449) sangatlah penting, karena ia merupakan ungkapan pendidikan yang berkait erat dengan keunikan masing masing individu siswa. Keterampilan memecahkan masalh belajar murid dengan menggunakan model pembelajaran dalam kegiatan mengajar oleh guru, dengan demikian keterampilan memecahkan masalah murid dalam belajar akan menjauhkan kesalahan. Dewan Pendidikan tidak terlibat dalam menyusun kurikulum, tetapi ikut mengevaluasi kurikulum yang diajukan oleh sekolah. Proses penyusunan kurikulum dimulai dengan membentuk Focus Group Discussion (FGD) yang terdiri dari guru guru, kepala sekolah, dan pemimpin penyusun dan pengembang kurikulum biasanya beranggotakan 20 orang dengan tugas menyusun kerangka dan naskah kurikulum. Joyce, Weil, dan Calhoun (2009:499) mengemukakan dalam menyusun dan merancang sebuah kurikulum perlu dipertimbangkan beberapa model kurikulum yang mungkin sesuai dengan kurikulum yang sedang dirancang. Pengembang kurikulum berkeinginan menggunakan beberapa diantara model kurikulum tersebut yang berkaitan dengan aspek instruksional. Pengembang kurikulum memulainya dari sasaran sasaran pemecahan masalah, karena hal tersebut akan

293


Inovasi Vol 11 No. 4 Desember 2014 : 288-295

membimbing pengembang kurikulum menyeleksi sasaran yang akan ditetapkan dalam kurikulum, dengan menghindari kesalahan. Setelah naskah kurikulum selesai diberikan kepada komite yaitu “Curricullum Framework and Evaluation Criteria Committee� (CFCC) untuk dinilai dan dievaluasi kelayakan naskah kurikulum yang diajukan oleh tim FGD. Tim evaluasi kurikulum akan mengundang pakar sesuai mata pelajaran, dan pakar itu bidang keahliannya sesuai kurikulum mata pelajaran yang dibahas dan berpendidikan Ph. D. Setelah 60 hari kemudian dan mendapat masukan dari masyarakat dan masyarakat menilai apakah kurikulum itu sesuai kebutuhan atau tidak, dan apakah sudah terhindar dari kesalahan. Hasil uji public kurikulum, kemudian Dewan Pendidikan menentukan apakah menggunakannya atau tidak. Mekanisme dan suasana penyusunan kurikulum ini menunjukkan tingginya tanggung jawab masing masing pihak yang ikut serta dalam menyusun kurikulum. Untuk memastikan secara akademik maupun secara ilmiah kualitas kurikulum itu telah memenuhi syarat dan semua sasarannya sudah tepat dan teruji, maka tim pengembang mengikutsertakan ahli yang berkualifikasi pendidikan Doktor sesuai bidang keahliannya untuk menguji semua sasaran kurikulum, sehingga diyakini kurikulum yang dirumuskan adalah kurikulum yang diinginkan. Kurikulum yang dikembangkan CFCC dan telah dilakukan perbaikan seperlunya, sehingga diyakini akan mamu meningkatkan kualitas pendidikan. Mekanisme ini sejalan dengan otonomi daerah (Sagala, 2008:59) menegaskan adanya kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai peraturan perundang undangan yang berlaku di tempat itu. Peran dan fungsi stakeholders mendapat tempat yang memadai, dan setiap mereka yang ikut menyusun kurikulum, maka tugas itu dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab dalam suasana yang demokratis untuk memenuhi misi pendidikan berkeadilan dan berkualitas global. Kurikulum yang dikembangkan memastikan bahwa siswa memiliki pengetahuan dan keterampilan tentang semua mata pelajaran yang diterimanya di sekolah. Ilmu pengetahuan dan keterampilan yang diterima siswa merespon isu isu penting yang dihadapi manusia di seluruh belahan, dan telah siap berinteraksi secara produktif dengan orang dari kultur yang sama maupun yang berbeda.

oleh State, County, District, dan School (Negara bagian dan pemerintah Lokal), hal ini dilakukan sebagai perwujudan demokrasi pendidikan. Pemerintah Federal (pusat) tidak terlibat dalam merumuskan kurikulum, tidak ada kurikulum nasional, tidak ada test nasional dan tidak ada Ujian Nasional (UN) dilakukan pemerintah Federal. Pemerintah Federal mendukung dana pengembangan kurikulum dan kebutuhan tes yang diperlukan negara bagian, pemerintah lokal, dan sekolah. Masyarakat, Teachers Union berkolaborasi dengan State, District, dan Sekolah untuk menjamin tersedianya kurikulum sesuai kebutuhan dan terhindar dari kesalahan. State bertanggung jawab tentang kurikulum, penerimaan guru, dan ujian. District boleh mencetak buku, menentukan gaji guru, dan alokasi anggaran di sekolah atas persetujuan Dewan Pendidikan setempat. Proses pembelajaran dalam implementasi kurikulum, tidak mendikte murid, tetapi menggali potensi murid dan melatih murid mampu memecahkan masalah secara tepat dan terhindar dari kesalahan. Jika siswa bisa lebih maju, maka sekolah dan pemerintah memberi kesempatan dengan memberikan fasilitas dan dukungan lainnya sehingga siswa lebih berprestasi dan berkarakter. Pembelajaran berdasarkan project, menonjolkan mata pelajaran bukan pembelajaran tematik, dalam menyelesaikan project tidak boleh ada kesalahan dan harus sempurna. Jumlah siswa perkelas sebanyak 2022 orang dengan sistem pembelajaran membangun suasana interaktif, memecahkan berbagai masalah secara tim dan semua guru terampil untuk itu. Secara bersama guru membangun suasana interaktif memecahkan masalah dan bekerjasama team, dan semua proses pembelajaran terhindar dari kesalahan. REKOMENDASI 1. Pemerintah agar memberi ruang yang cukup terhadap pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/kota didukung stakeholders pendidikan setempat untuk mengembangkan kurikulum. 2. Pemerintah hendaknya cukup hanya menentukan standar kurikulum, tetapi yang mengembangkannya adalah masing masing daerah sesuai semangat otonomi daerah 3. Guru agar proses pembelajaran tidak mendikte tetapi memfasilitasi murid belajar, guru secara bersama sama memecahkan masalah dan bekerjasama team membangun suasana interaktif dengan jumlah siswa tidak lebih dari 32 siswa setiap kelas menonjolkan mata pelajaran bukan pembelajaran tematik.

KESIMPULAN Berdasarkan data dan informasi penelitian ini, dapat disimpulkan semua kurikulum di atasi

294


Studi Mekanisme Pengembangan Kurikulum Tingkat Pendidikan Dasar dan Menengah di Amerika Serikat (Studi Kasus Sistem Pendidikan di Amerika Pada Level State) (Syaiful Sagala)

4. Pemerintah dan sekolah menyiapkan model pembinaan guru agar dalam melaksanakan tugas professional sebagai pendidik terhindar dari kesalahan. DAFTAR PUSTAKA Arends, Richard I. 2008. Learnng to Teach: Belajar untuk Mengajar. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Gibson, James L., Ivancevich, John M., dan Donnelly, James H. 1997. Organisasi: Perilaku, Struktur, Proses. Jakarta: Binarupa Aksara. Harahap, Rachmad Faisal. 2014. Kampus – Okezone: Tanda-Tanda Kegagalan-Kurikulum2013.http://news.okezone.com/read/2014/08/28/37 3/1031255/. Diakses 2 Januari 2015. Joyce, Bruce., Marsha, Weil, dan Calhoun, Emily. 2009. Models of Teaching (Model Model Pengajaran). Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Johson, LouAnne. 2009. Pengajaran yang Kreatif dan Menarik: Cara Membangkitkan Minat Siswa Melalui Pemikiran. Jakarta: Indeks. Miller and Seller. 1985. Curriculum Perspectives and Practice. New York: Longman, Inc. Nara, Hartini. 2014. Sejumlah Masalah Dalam Kurikulum 2013. http://edukasi.kompasiana.com /2013/04/08/sejumlah-masalah-dalam-kurikulum2013-549347.html. . Diakses 2 Januari 2015. Kompas.com. 2014. Penerapan Kurikulum.2013 hanya. Sekadar Formalitas. http://edukasi.kompas.com/read/2014/01/02/16115 98. Diakses 2 Januari 2015. Lincoln, Y. S. dan Guba, E. G. 1985. Naturalistic Inquiry. London: Sage Publications. Sagala, Syaiful. 2008. Budaya dan Reinventing Organisasi Pendidikan. Bandung: Alfabeta. Sagala, Syaiful. 2011. Kemampuan Profesional Guru dan Tenaga Kependidikan: Pemberdayaan Guru, Tenaga Kependidikan dan Masyarakat dalam Manajemen Sekolah. Bandung: Alfabeta. Targonski, Rosalie. 2000. Garis Besar Pemerintahan Amerika Serikat. Washington: Departemen Luar Negeri AS. Yin, R. K. 1984. Case Study Research (Design and methods). London: Sage Publications. Ltd.

295


Inovasi Vol 11 No. 4 Desember 2014 : 296-302

Hasil Penelitian POTENSI, POTENSI, KENDALA DAN PERAN TEKNOLOGI INOVATIF BUDIDAYA TEBU DALAM MENDUKUNG PENGEMBANGAN TEBU DI SUMATERA UTARA

(POTENTIAL, POTENTIAL, CHALLENGES AND THE ROLE OF INNOVATIVE TECHNOLOGY OF SUGARCANE CULTIVATION TO SUPPORT SUGARCANE NORTH SUMATRA)) SUGARCANE DEVELOPMENT IN NO RTH SUMATRA Helmi, Helmi, Catur Hermanto Balai Pengkajian teknologi Pertanian Sumatera Utara Jln. Jend. Besar A. H. Nasution No. 1 B Medan Email:helmi_syahnur@yahoo.co.id

Diterima: 20 September 2014; Direvisi: 30 September 2014; Disetujui: 7 Oktober 2014

ABSTRAK Di Sumatera Utara terdapat beberapa perkebunan tebu yang cukup luas (mencapai 11,997 ha), baik itu perkebunan tebu milik rakyat maupun milik negara yang dikelola oleh Peseroan Terbatas Perkebunan Nusantara II (PTPN II). Kendala yang dihadapi untuk target pencapaian swasembada gula antara lain produktivitas, rendemen gula yang masih rendah dan luas lahan yang terbatas. Metodologi yang digunakan adalah desk study, dimana dilakukan untuk mengidentifikasi potensi dan kendala yang ada dalam upaya mendukung program swasembada gula di Sumatera Utara. Hasil kajian menunjukkan bahwa meskipun tanaman tebu sudah lama dibudidayakan oleh petani, namun produktivitas dan rendemen gula yang dihasilkan petani masih tergolong rendah yaitu 70 ton/ha dengan rendemen 6%. Hal ini salah satunya disebabkan oleh iklim yang kurang mendukung untuk budidaya tebu karena jumlah bulan kering yang kurang dari 6 bulan. Upaya pencapaian swasembada gula di Sumatera Utara direkomendasikan melalui dua jalur, yakni melalui peningkatan produktivitas tebu per satuan luas, serta peningkatan rendemen tebu. Hal ini dapat dilakukan melalui: 1. rawat ratoon dengan menerapkan rekomendasi teknologi budidaya yang baik terhadap pertanaman tebu yang sudah ada; 2. Perbaikan teknik panen; 3. Penerapan sistem tanam juring ganda dan menggunakan varietas tebu rendemen tinggi yang adaptif. Selain itu juga perlu ditempuh kebijakan berupa penyediaan alsintan dalam upaya pengolahan tanah dan penebangan tebu yang efektif dalam upaya efisiensi biaya dan tenaga dan pengurangan kehilangan hasil, serta penguatan kelembagaan Asosiasi Petani Tebu Rakyat Intensif (APTRI). Kata kunci: tebu, potensi, kendala, rekomendasi

ABSTRACT In North Sumatra, there are some fairly extensive sugar cane plantations, about 11.997ha of either sugar cane plantation owned by the people or the State under management of Perseroan Terbatas Perkebunan Nusantara II (PTPN II). The production, however, did not sufficient sugar need of the province. This metodology desk study has been done to identify potency and problems of the province to support sugar self sufficiency of North Sumatera. The result showed that even though sugar cane has been cultivated for long time, but the productivity and yield of sugar produced are still relatively low at 70 tonnes/hawith 6% of sugar yield. Of theobstacles encountered, climate is one of the factors, where the number of dry months less than 6 months a year unfavourable toobtain a high sugar yield. Target of sugar sufficiency can be reached through increase productivity of sugar cane, and increase of sugar yield. It can be done throgh the following recommendations: 1. Ratoon cultivation and implementation of optimum mangement of the existing crops; 2. Improvement of harvesting techniques; and 3. Implementation of double row system, and planting of high yiled – adaptive varieties. Beside of that, a policy should be built to provide agriculture machinery such as effective plower and harvester tools, and empowerment of the existing Intensive Cane Farmers Association(Asosiasi Petani Tebu Rakyat Intensif = APTRI). Keywords: sugar cane, potency, obstacle, recommendation

296


Potensi, Kendala Dan Peran Teknologi Inovatif Budidaya Tebu Dalam Mendukung Pengembangan Tebu di Sumatera Utara (Helmi, Catur Hermanto)

bibit unggul, rendemen gula yang rendah dan kondisi pabrik gula yang telah tua.

PENDAHULUAN Perkebunan merupakan bagian dari sistem perekonomian pertanian yang diwujudkan dalam bentuk usaha pertanian tanaman komersial. Komoditas tanaman perkebunan yang banyak diusahakan di Indonesia, terbagi atas tanaman semusim dan tanaman tahunan. Salah satu tanaman perkebunan semusim yang dibudidayakan pada masa penjajahan hingga sekarang adalah tanaman tebu. Sumatera Utara memiliki beberapa perkebunan tebu yang cukup luas, yaitu sekitar 11,997 ha baik itu perkebunan tebu milik rakyat maupun milik negara, dengan proporsi tebu rakyat sebesar 8,52 % yang dikelola oleh PT Perkebunan Nusantara II (PTPN II)(Dinas Perkebunan Sumatera Utara, 2008). Perkebunan tebu ini didukung dua pabrik gula yaitu pabrik gula Sei Semayang yang terletak diKabupaten Deli Serdang dan pabrik gula Kwala Madu diKabupaten Langkat. Beberapa tahun terakhir produksi dan produktivitas gula PTPN II Sumatera Utara masih berfluktuatif pada tingkat produktivitas dibawah normal. Jika mencermati perkembangan produksi selama 20 tahun giling (1983-2002), rendahnya produksi terjadi sejak tahun giling 1999, rataan produktivitas hablur yang dihasilkan hanya mencapai 4,6 ton per ha (Dinas Perkebunan Sumatera Utara, 2012). Percepatan penerapan teknologi tebu terpadu (P2T3) merupakan salah satu langkah untuk meningkatkan produktivitas tebu dan rendemen gula nasional yang diharapkan berdampak terhadap peningkatan produktivitas gula nasional (BadanLitbangtan, 2014). Permasalahan yang dihadapi sekarang adalah gula sebagai salah satu kebutuhan pokok, kebutuhan gula terus meningkat dari tahun ke tahun seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk. Peningkatan konsumsi ini tidak dapat dipenuhi dari produksi gula dalam negeri tetapi juga melalui impor. Hal ini yang menjadikan Indoensia sebagai salah satu importer gula terbesar di dunia. Pada tahun 2014, pemerintah mencanangkan program swasembada gula, selain daging sapi, beras, jagung, kedelai, kemudian ditambah dua komoditas lagi, yaitu cabe dan bawang merah. Roadmap swasembada gula nasional menargetkan peningkatan produksi dari tahun ke tahun, yaitu produksi tahun 2012 sebesar 4.396.195 ton, 2013 sebesar 4.934.725 ton dan 2014 sebesar 5.700.000 ton.Swasembada gula dengan produksi di tahun 2014 sebesar 5,7 juta ton yang dicanangkan pemerintah menghadapi beberapa kendala antara lain: keterbatasan lahan, infrasturuktur,

METODE Penelitian dilaksanakan pada bulan April – Juli 2014 di Sumatera Utara melalui studi literatur dan data sekunder (desk study). Referensi dan data diambil dari Perpustakaan Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Sumatera Utara, publikasi Badan Pusat Statistik (BPS) Sumatera Utara dan Nasional, web site dan media cetak Dinas Pertanian Propinsi Sumatera Utara, Dinas Perkebunan Propinsi Sumatera Utara, web site Kementerian Pertanian. Validasi lapangan dilakukan dan dikaitkan dengan kegiatan Percepatan Penerapan Teknologi Tebu Terpadu (P2T3) yang dilaksanakan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Material dan data yang dikumpulkan meliputi perkembangan tanaman Tebu di Sumatera Utara dan Indonesia, potensi, kendala, keragaan komponen teknologi, perkembangan teknologi, produktivitas dan produksi, dan data pendukung lainnya yang terkait dan relevan. Analisis yang digunakan analisis deskriptif dimana data yang dikumpulkan diterangkan dan dideskripsikan. Luas lahan yang dimanfaatkan untuk tanaman tebu di Sumatera Utara hanya dilakukan pada lahan kering, karena lahan sawah tidak terbiasa petani untuk melakukan pertanaman tebu. Keragaan areal luas lahan tebu di Sumatera Utara dapat dilihat pada Tabel 1. Keberadaan lahan tebu milik rakyat dan PTPN II merupakan jalinan kerjasama usaha yang merupakan strategi bisnis yang dilakukan antara dua pihak atau lebih dengan prinsip saling membutuhkan, saling memperkuat dan saling menguntungkan yang disertai adanya satu pembinaan dan pengembangan. Hal ini dapat terjadi karena pada dasarnya masing-masing pihak pasti mempunyai kelemahan dan kelebihan, justru dengan kelemahan dan kelebihan masing- masing pihak akan saling melengkapi. Kemitraan merupakan suatu konsep yang memadukan kelebihan yang dimiliki oleh masing-masing pelaku ekonomi. Kemitraan yang dilandasi oleh pemahaman etika bisnis akan menperkuat pondasi kemitraan yang selanjutnya akan memudahkan pelaksanaan kemitraan itu sendiri (Hafsah, 2000). Kemitraan antara petani tebu dengan pabrik gula bermula sejak pihak pabrik gula kekurangan pasokan bahan baku tebu dan menggiling tebu di bawah kapasitas giling, sedangkan petani tidak memiliki jaminan pasar dan butuh pengolahan

297


Inovasi Vol 11 No. 4 Desember 2014 : 296-302

lebih lanjut agar tebu lebih bernilai. Dengan demikian, terdapat hubungan saling membutuhkan antara pabrik gula dan petani tebu rakyat.

dan PSBM 901, KK dan PS 881 tahan penyakit hangus daun dapat dipertimbangkan sebagai calon varietas yang segera diperluas apabila adaptasinya cukup baik. Varietas secara nyata memberikan pengaruh terhadap kandungan gula tebu (Aries, dkk. 2012). Budidaya tebu rakyat belum efisien, produktivitas 75 ton/ha pada lahan kering dan 80 ton/ha pada lahan sawah. dan rendemen (7,69%) sedangkan potensinya bisa mencapai 120 ton/ha dan rendemen di atas 9%. Usaha tani tebu lahan sawah banyak menghadapi persaingan dari komoditas lain seperti padi. Meskipun areal tebu lahan kering mengalami peningkatan, ternyata produktivitas tebu lahan kering lebih rendah daripada produktivitas tebu lahan sawah. Hal ini dapat mengakibatkan rendahnya pendapatan petani, pemborosan lahan dan mempengaruhi kinerja pabrik gula pada proses pengolahan tebu menjadi gula (Logamarta, Renny, 1999). Menurut Isma’il (2001) terdapat tiga faktor di dalam meningkatkan produksi gula, yaitu produktivitas tebu, luas areal dan rendemen. Dua faktor terpenting adalah meningkatkan rendemen dan produktivitas tebu per hektar areal dengan cara menggunakan bibit unggul yang tepat dan teknik budidaya sesuai standar bakunya. Produktivitas tebu, luas areal dan rendemen akan sangat mempengaruhi kondisi industri gula nasional agar tetap memiliki produktivitas yang tinggi. Sektor pertanian mencirikan beberapa kekhasan seperti: melibatkan banyak orang dengan kepemilikan sumber daya terbatas, relatif rendahnya tingkat keterampilan dan pengetahuan, kurangnya dukungan social network khususnya untuk memasuki era ekonomi modern saat ini. Upaya peningkatan dari aspek budidaya antara lain, meningkatkan densitas dengan mempersempit jarak antar barisan seperti yang diteliti oleh Nguyen, dkk. (1997), Jintakanon, dkk. (2002) dan Singel & Smith (2002). Penggunaan pupuk organik pada tanah ternyata dapat meningkatkan roduksi tanaman (Hallmark, dkk., 1995 dalam Viator, dkk., 2002). Dosis pupuk optimum umumnya berkisar diantara 100–200 kg N ha-1 tahun-1 (Altafur, 1995). Pemupukan nitrogen pada 150 kg ha-1 tahun-1 tidak memperlihatkan perbedaan yang nyata, tetapi pemberian pupuk NPK, S dan Zn dapat meningkatkan produktivitas tebu (Singh et al. 2003). Kajian usaha tani tebu yang telah dilakukan oleh Rahmat (1992) yang mendeskripsikan profil tebu rakyat di Jawa Timur secara umum bahwa tebu telah diterima petani sebagai komoditas yang memberi harapan sumber

Tabel 1. Areal Tebu Sumatera Utara 2012 No

Kebun Tebu

1.

Tebu Petani

2.

Tebu Petani Mitra APTRI

Luas Areal (Ha) 207.00 1,064.12

Keterangan

Lahan Milik Petani Rental Fee Ptpn II (1.5 Jt/Thn)

Total Tebu Rakyat 1,271.12 3. Karpeda 333.30 4. Kso Pihak III 926.85 5. Tebu Dikelola 926.85 LahanPtpn II PTPN II 11.790 Ha 6. Tebu Dikelola 9,672.73 PTPN II Total 11,997.00 Sumber: Dinas Perkebunan Provinsi Sumut Varietas unggul merupakan salah satu teknologi utama yang mampu meningkatkan produktivitas. Tersedianya varietas unggul yang telah dilepas pemerintah, kini petani dan PTPN dapat memilih varietas yang sesuai dengan kondisilingkungan setempat, berdaya hasil dan bernilai jual tinggi. Varietas unggul merupakan teknologi yang paling mudah diadopsi petani karena teknologi ini murah dan penggunaannya sangat praktis. Secara umum varietas yang berkembang di Sumatera Utara adalah F 156 (BZ 134). Beberapa varietas bina yang telah ditanam dalam jumlah terbatas antara lain BL, PS 891 dan PSBM 901. Sementara itu melihat tipologi wilayah dan curah hujan di Sumatera Utara, beberapa varietas bina yang direkomendasi segera dilakukan kajian adaptasi adalah PS 862, PS 881 dan KK, bersama-sama PS 891 dan PSBM 901 segera dipeluas penangkarannya. BL tampaknya sangat rentan terhadap penyakit hangus daun yang telah berkembang di Sumatera Utara, dan F 156 yang telah banyak terserang penyakit kerdil ratoon segera dibongkar diganti varietas baru. Sumber bibit F 156 yang masih sehat dalam jumlah terbatas masih dipertahankan untuk komposisi di pertanaman tebu rakyat. Penyakit hangus daun dan luka api yang telah tampak di wilayah Sumatera Utara akan menjadi kendala besar dalam pengelolaan varietas tebu di wilayah tersebut. Oleh karena itu adaptasi varietas baru mulai memperhatikan sifat ketahanan terhadap ke dua penyakit tersebut. PSJT 941 yang tahan penyakit luka api

298


Potensi, Kendala Dan Peran Teknologi Inovatif Budidaya Tebu Dalam Mendukung Pengembangan Tebu di Sumatera Utara (Helmi, Catur Hermanto)

pendapatan rumah tangga.Produksi dan Konsumsi Gula pada 9 propinsi yang memiliki

pabrik gula disajikan dalam bentuk grafik pada Gambar 1.

PRODUKSI DAN KONSUMSI GULA DI 9 PROVINSI YANG TERDAPAT PABRIK GULA TAHUN 2012 1,200,000.0 1,000,000.0 800,000.0 600,000.0 400,000.0 200,000.0 Sumut

Sumsel Lampung

Jabar

Produksi

Jateng

D.I.Y

Jatim

Sulsel

Gorontalo

Konsumsi

Gambar 1. Produksi dan Konsumsi Gula di 9 Porvinsi yang terdapat Pabrik Gula Tahun 2012 Produksi dan konsumsi gula pada 9 provinsi yang memiliki pabrik gula, hanya 3 provinsi yang mampu memenuhi kebutuhan gula, yaitu Lampung dengan produksi 70.396 ton/th, konsumsi 84.582 ton/th; Jawa Timur produksi 1.051.642 ton/th, konsumsi 416.629 ton/th dan Gorantalo produksi 39.817 ton/th, konsumsi 11.53 ton/th. Sedangkan 6 provinsi tidak mampu memenuhi kebutuhan akan konsumsi gula, yaitu Sumatera Utara produksi 47.122 ton/th, konsumsi 144.323 ton/th; Sumatera Selatan produksi 52.232 ton/th, konsumsi 82.826 ton/th; Jawa Barat produksi 91.820 ton/th, konsumsi 478.628 ton/th; Jawa tengah produksi 187.344 ton/th, konsumsi 359.997 ton/th; Daerah Istimewa Yogyakarta produksi 27.945 ton/th, konsumsi 38.436 ton/th; dan Sulawesi Selatan produksi 27.945 ton/th, dan konsumsi 89.322 ton/th. Sehingga kekurangan kebutuhan gula harus didatangkan dari luar provinsi atau diimpor dari negara produsen gula. Teknik panen juga dapat menurunkan produksi tebu apalagi tenaga yang digunakan tenaga manusia, banyak tunggul tebu yang tertinggal. Tingginya komponen biaya tersebut merupakan petunjuk bahwa efisiensi penggunaan tenaga kerja merupakan faktor penting dalam usaha peningkatan keuntungan usahatani tebu (Irawan dan Budiman, 1991). Selain itu pengangkutan tebu kepabrik juga sering terlambat. Santoso, B.E (2002) menyatakan kandungan gula tebu akan semakin menurun seiring dengan penundaan giling. Kuswurj (2002) menambahkan terjadi perbedaan kualitas gula antara metode tebang secara manual dengan panen secara mekanik.

Biasa petani untuk memacu pemasakan menggunakan zat pemacu kemasakan (ZPK). Hal ini menurut Harmin, dkk (2011). Pemberian zat pemacu kemasakan akan menyebabkan jaringan pucuk tebu menjadi lebih lunak sehingga lebih disukai oleh hama penggerek pucuk. Permasalahan yang dihadapi industri gula nasional adalah menurunnya produktivitas tebu terutama di Pulau Jawa. Perluasan tanaman tebu di luar Jawa juga sedang dikembangkan sebagai upaya pemenuhan kebutuhan dalam negeri (Jayanto, 2002). Pabrik gula di Sumatera Utara ada 2 buah yaitu milik Perusahaan Terbatas Perkebunan Nusantara (PTPN II) yaitu 1. Pabrik gula Sei Semayang yang terletak di Kabupaten Deli Serdang dengan kapasitas @ 4000 TCD. 2). Pabrik gula Kuala Madu yangterletak di Kabupaten Langkat dengan kapasitas @ 4000 TCD dengan hari giling 3 s/d 6 bulan. Pabrik Gula memberikan segala kemudahan kepada petani agar mudah mendapatkan fasilitas seperti bibit, pupuk dan sistem pengangkutan kepabrik gula. Simatupang (2003), Peluang kesempatan kerja yang diciptakan dengan adanya pengembangan industri gula pendapatan dan kesejahteraan lebih merata dinikmati oleh petani (Simatupang, 1999). Hal ini dilakukan untuk menjamin seluruh kegiatan penanaman tebu berjalan lancar. Sejak tahun 2000 berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan No. 345/KMK.017/2000 Keputusan Menteri Keuangan No. 417/KMK.017/2000 Salinan Keputusan Menteri Keuangan No 110/KMK.06/2004 tanggal 12

299


Inovasi Vol 11 No. 4 Desember 2014 : 296-302

Maret 2004 Tentang pendanaan kredit ketahanan pangan petani lebih mudah mendapatkan pinjaman kredit untuk tanaman tebu. Dengan adanya Kepmen ini petani jauh lebih mudah mendapatkan kredit melalui KUD. Adanya pabrik gula memotivasi petani untuk menanam tebu, walau tak banyak tetapi peningkatan ini menguntungkan pabrik gula karena pasokan tebu yang akan ia dapatkan akan terus meningkat (Mubyarto, 2003). Berjalannya waktu, pabrik gula terus meningkatkan kinerjanya agar hasil-hasil tebu yang mereka dapatkan juga berkualitas dari petani. Untuk hal ini pabrik gula banyak melakukan pennyuluhan-penyuluhan pertanian kepada petani. Penggunaan bibit unggul dan penggunaan pupuk yang benar dapat menghasilkan tebu yang berkualitas dan hasilnya juga dapat menguntungkan pabrik gula. Banyak kendala yang dihadapi di tingkat on farm diantaranya: iklim yang kurang mendukung untuk memperoleh rendemen gula yang tinggi (jumlah bulan kering kurang dari 6 bulan), hal ini salah satu faktor rendahnya produktivitas tebu karena dalam satu tahun lebih banyak musim hujannya sehingga proses pembentukan gula pada tebu tidak optimal. Proporsi luas areal tanaman pertama (plant crop) dan tanaman keprasan (ratoon crop) belum seimbang (20:80) karena petani masih kekurangan biaya dalam upaya melakukan bongkar ratoon sehingga tanaman dipelihara dalam bentuk ratoon sampai ratoon 5 dan ke 6, setelah itu baru dilakukan bongkar ratoon. Terbatasnya areal pencadangan tebu PTPN II seluas 11.790 hektar (Kab. Deli Serdang & Langkat), kebutuhan areal tebu untuk swasembada = seluas 42.860 hektar, dan terbatasnya lahan petani tebu (di Deli Serdang dan langkat (kompetisi dengan kelapa sawit) karena menurut petani daya saing komoditas tebu lebih rendah dibandingkan kelapa sawit. Menurut Inman (2002), jika tanaman tidak mengalami kekurangan air produksinya dapat mencapai 123 ton/ha/tahun, tetapi jika tanaman mengalami stres sedang (4−5 minggu tidak turun hujan) maka produksinya turun menjadi 108 ton/ha/tahun. Masa tanam dan masa kepras sebagian besar belum tepat waktu, aplikasi pemupukan belum tepat jenis, waktu, dosis. Keterbatasan traktor untuk pengolahan tanah, pendanaan usaha tani kurang dan manajemen tebang angkut lemah. Akselerasi Peningkatan Produktivitas Tebu adalah Upaya percepatan peningkatan produksi dan produktivitas gula tebu dalam mendukung program pencapaian swasembada gula nasional pada tahun 2014 dan menuju modernisasi industri gula berbasis tebu. Di tahun 2025

dengan dukungan fasilitas baik pemerintah maupun publik (Badan Litbangtan, 2014). Dukungan Badan Litbang dalam swasembada gula secara nasional, 1). Perakitan varietas unggul rendemen tinggi (>12%), tahan kering dan tahan hujan berkepanjangan, 2). Pemetaan varietas dan kesesuaian lahan tebu (peta digital, juga berfungsi sebagai kalender tanam), 3). Produksi bibit tebu kultur jaringan (target 10.000.000 budset G2 tahun 2013), dan 4). Percepatan Penerapan Teknologi Tebu Terpadu (P2T3) di 11 Provinsi (26 Kabupaten) untuk meningkatkan produktivitas tebu dan rendemen gula. Menurut Direktur Jenderal Perkebunan, kebutuhan gula nasional akan terus meningkat dengan seiring meningkatnya jumlah penduduk. Pada tahun 2014, kebutuhan gula diprediksi akan mencapai 5,7 juta ton yang terdiri dari kebutuhan konsumsi langsung (rumah tangga) dan untuk keperluan industri, masing-masing sekitar 2,5 juta ton dan 3,2 juta ton (Nasir, G; 2013). Sementara itu produksi gula nasional pada tahun 2012 hanya sekitar 2,6 juta ton (BPS, 2014), sehingga tdak dapat memenuhi kebutuhan. Di Sumatera Utara, taksasi kebutuhan konsumsi gula pasir yaitu: 1) Kebutuhan gula konsumsi: 12,5 kg/kapita/tahun x 12.982.204 orang = 162.277 ton; 2) Kebutuhan gula Industri = 77.723 ton. Untuk mencapai swasembada gula di Sumatera Utara diperlukan; 1) Luas tanaman tebu: 240.000 ton gula/5,6 ton = 42.860 ha pertanaman tebu. Maka untuk swasembada gula diperlukan ektensifikasi tanaman tebu seluas 31.844 ha. (Disbun Sumut, 2012). Dukungan Badan Litbang melalui Balai Pengkajian teknologi Pertanian Sumatera Utara untuk mendukung tercapainya swasebada gula di Sumatera Utara dengan melakukan pendampingan teknologi peningkatan produktivitas tebu dengan hasil antara lain; 1) Teknologi rawat ratoon (RC) menggunakan teknologi introduksi dengan paket budidaya intensif, memberikan pertumbuhan tebu yang lebih baik dibanding cara petani; 2) Teknologi bongkar ratoon (PC) sistem tanam juring ganda memberikan populasi per hektar lebih tinggi dibandingkan teknologi bongkar ratoon (PC) sistem tanam juring tunggal sebesar lebih kurang 40%; 3) Teknologi bongkar ratoon (PC) sistem tanam juring ganda pada umumnya menampilkan komponen hasil yang lebih baik, dibandingkan teknologi bongkar ratoon (PC) sistem tanam juring tunggal; dan, 4) Produktivitas dan rendemen untuk Rawat Ratoon (RC) Teknologi introduksi produktivitas mencapai 75 t/ha dengan rendemen 6,5 %.

300


Potensi, Kendala Dan Peran Teknologi Inovatif Budidaya Tebu Dalam Mendukung Pengembangan Tebu di Sumatera Utara (Helmi, Catur Hermanto)

Rawat Ratoon (RC) cara petani produktivitas 70 ton/ha dengan rendemen 6%. Sedangkan untuk teknologi bongkar ratun sistem juring tunggal produktivitas mencapai 75 t/ha dengan rendemen 7% dan teknologi bongkar ratun sistem juring ganda produktivitas bisa mencapai 80 t/ha dengan rendemen berkisar 7% sampai dengan 7,5% (Helmi, 2013).

2.

KESIMPULAN Banyak kendala yang ditemui pada On farm diantaranya: Perbandingan luas areal tanaman pertama (plant crop) dan rawat ratoon (ratoon crop) belum seimbang yaitu (20:80) karena petani masih kekurangan biaya dalam upaya melakukan bongkar ratoon sehingga tanaman dipelihara dalam bentuk ratoon sampai ratoon 5 dan ke 6, dan baru dilakukan bongkar ratoon. Terbatasnya areal tanaman tebu di Sumatera Utara, berkendala untuk mencapai swasembada gula, karena luas lahan tebu di Kabupaten Deli Serdang dan Kabupaten Langkat hanya seluas 11.790 hektar, sedangkan kebutuhan areal tebu untuk swasembada gula di Sumatera Utara seluas 42.860 hektar, dengan kebutuhan taksasi konsumsi gula pasir: 1) Kebutuhan gula konsumsi: 12,5 kg/kapita/tahun x 12.982.204 orang = 162.277 ton; 2) Kebutuhan gula Industri = 77.723 ton. Untuk mencapai swasembada gula di Sumatera Utara diperlukan: Luas tanaman tebu: 240.000 ton gula/5,6 ton = 42.860 ha pertanaman tebu. Maka untuk swasembada gula diperlukan ektensifikasi tanaman tebu seluas 31.844 ha. Selain itu faktor iklim yang kurang mendukung untuk memperoleh rendemen gula yang tinggi (jumlah bulan kering kurang dari 6 bulan dalam satu tahun), hal ini salah satu faktor rendahnya produktivitas tebu karena dalam satu tahun lebih banyak musim hujannya sehingga proses pembentukan kadar gula pada tebu kurang optimal. Perlu dilakukan akselerasi peningkatan produktivitas tebu dalam upaya mendukung program pencapaian swasembada gula adalah dengan melaksanakan rawat ratoon yang intensif dan penanam tebu sistem juring ganda dan menggunakan varietas unggul tebu yang adaptif.

bonggol tebu bekas tebang yang tertingga sekitar 10 sampai 15 cm di lapangan. Rekomendasi Kebijakan, perlu diupayakan mesin alsintan dalam upaya pengolahan tanah dan alat tebang tebu yang efektif dalam upaya efisiensi kehilangan hasil, biaya dan tenaga, serta penguatan kelembagaan Asosiasi Petani Tebu Rakyat Intensif (APTRI).

DAFTAR PUSTAKA Altafur, R. 1995. Nitrogen Requirements of Sugarcane Varieties under Different Soil Moisture. PhD thesis, Sindh Agriculture University, Tando Jam. Aries, D.K, Burhan dan M. Fadly. 2012. Pengaruh Varietas Tebu, Potongan dan Penundaan Giling terhadap kualitas gula. Agrotek 6(2). Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2014. Panduan dan Pengawalan P2T3 Percepatan Penerapan Teknologi Tebu Terpadu. Medan: Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Kementerian Pertanian. Badan Pusat Statistik. 2014. Produksi Bulanan Perkebunan Besar, Indonesia. Dari: http://www.bps.go.id/aboutusPhpsearch=1[Diakses: 14 April 2014]. Dinas Perkebunan Provinsi Sumatera Utara. 2012. Kondisi dan kendala Swasembada Gula di Sumatera Utara. Medan: Dinas Perkebunan Propinsi Sumatera Utara Direktur Jenderal Perkebunan. 2013. Pedoman Teknis Pengembangan tanaman Tebu. Peningkatan Produksi, Produktivitas dan Mutu Tanaman Semusim. Jakarta: Kementerian Pertanian. Hafsah, M.J. 2000. Kemitraan Usaha: Konsepsi dan Strategi. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Harmin, S, Sunaryo dan Saefudin. 2011. Intensitas Kerusakan pada Beberapa Varieetas tebu Akibat Penggerek Pucuk Tebu Setelah Aplikasi ZPK. Jurnal Penelitian Pertanian Terapan 11(3) hal. 73 – 81. Helmi. 2013. Laporan Hasil pengkajian Pendampingan Swasembada Gula di Sumatera Utara. Medan: Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Utara. Inman, NGB. 2002. Crop Response to water stress, Best Practice Irrigation in Sugarcane Production. Short Course, Townville, Qld 4812

REKOMENDASI 1. Rekomendasi teknologi, untuk meningkatkan produktivitas dan rendemen tebu perlu diterapkan sistem rawat ratoon yang intensif, sistem tanam juring ganda, menggunakan varietas tebu yang adaptif dan perbaikan pasca panen. Pada saat sekarang cara panen manual masih banyak

Irawan, B. dan Budiman H. 1991. Analisis Efisiensi Penggunaan Masukan dan Ekonomi Skala UsahaTani Tebu di Jawa Timur. Jurnal Agro Ekonomi 10(1) hal. 73–90. Isma’il, N.M. 2001. Peningkatan Daya Saing Industri Gula Nasional Sebagai Langkah Menuju Persaingan

301


Inovasi Vol 11 No. 4 Desember 2014 : 296-302

Bebas. Journal Institute for Science and Technology Studies II hal 3-14. Jayanto, G. 2002. Identifikasi Potensi Lahan untuk Pengembangan Industri Gula di luar pulau Jawa. Bulletin Teknik Pertanian 7(1). Jintakanon, S., Klinhoun S, Jintakanon P. 2002. Increasing Yield and Quality of Sugarcane by adjusting Row Spacing and fertilizer rate: off season planting, Symp no 14, 17th WCSS August, Depart of Soil, Kasetsart University, Bangkok, Thailand. Kuswurj, R. 2009. Degradasi Kualitas Tebu Setelah Ditebang. Dari: http://risvan kuswurj.com [Diakses: 14 April 2013]. Logamarta, Renny. 1999. Analisis Usaha Tani Tebu Lahan Kering Serta Analisis Nilai Tambah dan Titik Impas Pabrik Gula (Kasus di Wilayah Kerja Pabrik Gula Sumberharjo, Kabupaten Pemalang, Propinsi Jawa Tengah). Dari: http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/2188 9 Mubyarto. 2003. Penelitian Kebijakan untuk Mendukung Akselerasi Peningkatan Produktivitas Industri Gula Nasional. Workshop Strategi Penelitian dan Pengembangan untuk Memacu Program akselerasi Peningkatan Produktivitas Industri Gula Nasional. 16 Juli 2003, LPP Yogyakarta. Nasir, G. 2013. Kebutuhan gula Nasional mencapai 5,7 juta ton tahun 2014. Dari: http://ditjenbun.deptan.go.id/berita-2014.html [Diakses: 15 April 2014]. Nguyen, TM, TR Preston dan I. Ohlsson. 1997. Responses of four varieties of sugar cane to planting distance and mulching. Livestock Research for Rural Dev 9(3). Singel, A. dan MA Smith. 2002. The effect of row spacing on an irrigated plant crop of sugarcane variety NCO376. Proc. South African Sugar Technol Ass (2002) 76. Singh, A. RN Srivastava dan SB Singh. 2003. Effect of Nutrient Combinations Productivity on Sugarcane, Sugar Tech 5(4) hal 311 – 313.

302


Inovasi, Jurnal Politik dan Kebijakan, Vol 11: 1-302

Indeks Penulis C Carolina, “Posyantek Sebagai Komponen Ekosistem Inovasi Untuk Pemberdayaan UMKM”, 11(4): 262-270

D Dalimunthe, Cici Indriani, “Perspektif Kerugian akibat penyakit Gugur Daun Pada Tanaman Karet Di Sumatera Utara”, 11(3): 225-232 Darina, Silvia, “Identifikasi Potensi Peluang Ekspor Komoditi Unggulan Daerah Di Sumatera Utara”, 11(4): 271-287

E Eddyono, Suzanna, lihat Siagian, Dumora J. M. Eddyono, Suzanna, lihat Siagian, Dumora J. M.

F Fairuzah, Zaida, lihat Dalimunthe, Cici Indriani Fauzi, Iif Rahmat, lihat Dalimunthe, Cici Indriani

G Gustina, Amelya, lihat Putera, Prakoso Bhairawa

H Hadi, Anung S., lihat Sulistyono, Djoko Helmi, “Penentuan Dosis Pupuk Optimal Untuk Pembibitan Kelapa Sawit di Sumatera Utara”, 11(3): 184191 Helmi, “Potensi, Kendala dan Peran Teknologi Inovatif Budidaya Tebu Dalam Mendukung Pengembangan Tebu di Sumatera Utara”, 11(4): 306-312 Hendarman , “Paradigma, Anggaran dan Kerjasama Penelitian Kebijakan”, 11(1): 60-69 Hermanto, Catur, lihat Helmi Husni, Nobrya, lihat Mahulae, Porman Juanda Marpomari Husni, Nobrya , “Strategi Pengembangan Komoditi Unggulan Sayur dan Buah”, 11(2): 108-122 Husni, Nobrya, “Identifikasi Lahan Terlantar Guna Mendukung Pengembangan Industri Modifiend Cassava Flour (mocaf)”, 11(3): 192-203

I Ida, lihat Manalu, Helper Sahat P.

K Kholis, Azizul, “Pengaruh Corporate Social Responsibility (CSR) Perusahaan Penanaman Modal Asing”, 11(4): 242-249 Kuswanda, Wanda, “Tingkat Perburuan, Pengetahuan Masyarakat dan Kebijakan Perlindungan Trenggiling (Manis Javanica Desmarest, 1822) di Sekitar Hutan Konservasi”, 11(2): 140-149

M Mahulae, Porman Juanda Marpomari, “Penentuan Komoditi Sayur dan Buah-buahan Unggulan di Sumatera Utara”, 11(1): 42-51 Mahulae, Porman Juanda Marpomari, lihat Husni, Nobrya Mahulae, Porman Juanda Marpomari, lihat Husni, Nobrya Manalu, Helper Sahat P., “Kebiasaan Masyarakat Mengenai Pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak di Desa Hilifadolo Kabupaten Nias Selatan Sumatera Utara”, 11(3): 204-213 Media, Yulfira, “Faktor Budaya dan Kaitannya dengan Rendahnya Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan dalam Pemeriksaan Kehamilan dan Persalinan”, 11(2): 91-99


P Purwanti, Dwi Endah, “Penanganan Konflik Sumberdaya Alam di Sumatera Utara: Studi Kasus Konflik Pertambangan Emas di Kabupaten Mandailing Natal”, 11(1):15-23 Putera, Prakoso Bhairawa, “Manajemen Perubahan Tata Kelola Pada Pulau-Pulau Kecil Terdepan”, 11(1): 70-82

S Sagala, Syaiful, “Distribusi dan Pemerataan Guru untuk Memperoleh Layanan Pendidikan Berkualitas”, 11(2): 83-90 Sagala, Syaiful, “Studi Mekanisme Pengembangan Kurikulum Tingkat Pendidikan Dasar dan Menengah di Amerika Serikat (Studi Kasus Sistem Pendidikan di Amerika Serikat Pada Level State)”, 11(4): 288-295 Santoso, Heru, “Dinamika Fertilitas dan Implikasi Kebijakan di Provinsi Sumatera Utara”, 11(1):7-14 Setyabudhi, Arief, lihat Carolina Siagian, Dumora J. M., “Kajian Partisipasi Masyarakat Nelayan dalam Kebijakan Pro Poor yang ditujukan pada Nelayan di Sumatera Utara”, 11(1): 24-32 Siagian, Dumora J. M., “Program Peningkatan Kesejahteraan dan Pengentasan Kemiskinan Nelayan di Sumatera Utara dalam Perspektif Kebijakan Pro Poor”, 11(3): 159-173 Silalahi, Johansen, “Hubungan Antara Faktor-faktor Demografi dengan Ketersediaan Hutan Kota di Kota Medan”, 11(1): 52-59 Simanjuntak, Sahat Christian., “Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat di Kawasan Sei Mangkei untuk Mendukung Program MP3EI”, 11(2): 150-158 Simanjuntak, Sahat Christian., “Strategi Pengembangan Potensi Pelabuhan Khusus Crude Palm Oil (CPO) di Sumatera Utara”, 11(2): 100-107 Sinaga, Anton Parlindungan, “Evaluasi Tata Guna Lahan di Sumatera Utara”, 11(2): 123-139 Sinaga, Anton Parlindungan, “Faktor Penyebab Konflik Pertanahan di Sumatera Utara”, 11(4): 250-261 Siregar , Anwar, lihat Sulistyono, Djoko Situmorang, Rospita, lihat Silalahi, Johansen Situmorang, Rospita, Tingkat Partisipasi Masyarakat Optimalisasi Pengelolaan Lahan di Sub DAS Arun Kabupaten Samosir, 11(3): 174-183 Sitorus, Jonni, “Kebijakan Peningkatan Profesionalisme Guru Madrasah Aliyah Ar-Raudhatul Hasanah Medan”, 11(1): 33-41 Subijanto, “Hasil Kinerja dan Kompetensi Peneliti Dalam Mempublikasikan Karya Tulis Ilmiah”, 11(3): 214-224 Sudaryanto, Arie, lihat Carolina Sulistyono, Djoko, “Peran dan Fungsi Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (Studi Kasus: Provinsi Sumatera Utara)”, 11(4): 233-241 Sukmana, Asep, lihat Situmorang, Rospita

Y Yustina, Ida, “Pengorganisasian Promosi Kesehatan di Era Otonomi Daerah”, 11(1): 1-6

Z Z. Heldy B., lihat Ida Yustina


DAFTAR ISI VOLUME 11 Pengorganisasian Promosi Kesehatan di Era Otonomi Daerah (Ida Yustina, Heldy B. Z)

Halaman 1-6

Dinamika Fertilitas dan Implikasi Kebijakan di Provinsi Sumatera Utara (Heru Santoso)

7-14

Penanganan Konflik Sumberdaya Alam di Sumatera Utara: Studi Kasus Konflik Pertambangan Emas di Kabupaten Mandailing Natal (Dwi Endah Purwanti)

15-23

Kajian Partisipasi Masyarakat Nelayan dalam Kebijakan Pro Poor yang ditujukan pada Nelayan di Sumatera Utara (Dumora J. M. Siagian, Suzanna Eddyono)

24-32

Kebijakan Peningkatan Profesionalisme Guru Madrasah Aliyah Ar-Raudhatul Hasanah Medan (Jonni Sitorus)

33-41

Penentuan Komoditi Sayur dan Buah-buahan Unggulan di Sumatera Utara (Porman Juanda Marpomari Mahulae dan Nobrya Husni)

42-51

Hubungan Antara Faktor-faktor Demografi dengan Ketersediaan Hutan Kota di Kota Medan (Johansen Silalahi, Rospita Situmorang)

52-59

Paradigma, Anggaran dan Kerjasama Penelitian Kebijakan (Hendarman)

60-69

Manajemen Perubahan Tata Kelola Pada Pulau-Pulau Kecil Terdepan (Prakoso Bhairawa Putra, Amelya Gustina)

70-82

Distribusi dan Pemerataan Guru untuk Memperoleh Layanan Pendidikan Berkualitas (Syaiful Sagala)

83-90

Faktor Budaya dan Kaitannya dengan Rendahnya Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan dalam Pemeriksaan Kehamilan dan Persalinan (Yulfira Media)

91-99

Strategi Pengembangan Potensi Pelabuhan Khusus Crude Palm Oil (CPO) di Sumatera Utara (Sahat C. Simanjuntak)

100-107

Strategi Pengembangan Komoditi Unggulan Sayur dan Buah (Nobrya Husni, Porman Juanda Marpomari Mahulae)

108-122

Evaluasi Tata Guna Lahan di Sumatera Utara (Anton Parlindungan Sinaga)

123-139

Tingkat Perburuan, Pengetahuan Masyarakat dan Kebijakan Perlindungan Trenggiling (Manis Javanica Desmarest, 1822) di Sekitar Hutan Konservasi (Wanda Kuswanda)

140-149

Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat di Kawasan Sei Mangkei untuk Mendukung Program MP3EI (Sahat Christian Simanjuntak)

150-158

Program Peningkatan Kesejahteraan dan Pengentasan Kemiskinan Nelayan di Sumatera Utara dalam Perspektif Kebijakan Pro Poor (Dumora J. M. Siagian, Suzanna Eddyono)

159-173

Tingkat Partisipasi Masyarakat Optimalisasi Pengelolaan Lahan di Sub DAS Arun Kabupaten Samosir (Rospita Situmorang)

174-183

Penentuan Dosis Pupuk Optimal Untuk Pembibitan Kelapa Sawit di Sumatera Utara (Helmi)

184-191

Identifikasi Lahan Terlantar Guna Mendukung Pengembangan Industri Modifiend Cassava Flour (mocaf) (Nobrya Husni, Porman Juanda Marpomari Mahulae)

192-203


Kebiasaan Masyarakat Mengenai Pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak di Desa Hilifadolo Kabupaten Nias Selatan Sumatera Utara (Helper Sahat P. Manalu, Ida)

204-213

Hasil Kinerja dan Kompetensi Peneliti Dalam Mempublikasikan Karya Tulis Ilmiah (Subijanto)

214-224

Perspektif Kerugian akibat penyakit Gugur Daun Pada Tanaman Karet Di Sumatera Utara� (Cici Indriani Dalimunthe, Zaida Fairuzah, Iif Rahmat Fauzi)

225-232

Peran dan Fungsi Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (Studi Kasus: Provinsi Sumatera Utara) (Djoko Sulistyono, Anwar Siregar, Anung S. Hadi)

233-241

Pengaruh Corporate Social Responsibility (CSR) Perusahaan Penanaman Modal Asing (Azizul Kholis)

242-249

aktor Penyebab Konflik Pertanahan di Sumatera Utara (Anton Parlindungan Sinaga)

250-261

Posyantek Sebagai Komponen Ekosistem Inovasi Untuk Pemberdayaan UMKM (Carolina, Arie Sudaryanto, Arief Setyabudhi)

262-270

Identifikasi Potensi Peluang Ekspor Komoditi Unggulan Daerah Di Sumatera Utara (Silvia Darina)

271-287

Studi Mekanisme Pengembangan Kurikulum Tingkat Pendidikan Dasar dan Menengah di Amerika Serikat (Studi Kasus Sistem Pendidikan di Amerika Serikat Pada Level State) (Syaiful Sagala)

288-295

Potensi, Kendala dan Peran Teknologi Inovatif Budidaya Tebu Dalam Mendukung Pengembangan Tebu di Sumatera Utara (Helmi, Catur Hermanto)

296-302


Pedoman Penulisan Naskah Ilmiah Jurnal INOVASI Jurnal INOVASI memuat karya tulis ilmiah hasil penelitian atau tinjauan kepustakaan dalam bidang pemerintahan dan kemasyarakatan, sosial budaya, ekonomi dan pembangunan, sumberdaya alam dan maritim sebagai bahan kebijakan dan wawasan berpolitik. Jurnal INOVASI terbit empat kali dalam setahun setiap bulan Maret, Juni, September dan Desember. Naskah yang akan diterbitkan dalam Jurnal INOVASI Balitbang Provinsi Sumatera Utara, harus memenuhi ketentuan berikut : 1. Naskah berupa karya asli yang belum pernah dipublikasikan di tempat lain dan tidak sedang diajukan ke tempat lain. 2. Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia atau Inggris sesuai kaidah masing-masing bahasa yang digunakan. 3. Komponen utama naskah memuat hal-hal berikut: a. b.

c.

d.

e.

f.

g.

h.

setidak-tidaknya

Judul, ditulis dengan jelas menggambarkan isi tulisan. Identitas Penulis, dimuat di bawah judul tulisan, memuat nama, nama instansi, alamat korespondensi dan e-mail. Abstrak ditulis dalam Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris beserta kata kuncinya. Abstrak ditulis dalam 1 alinea berisi masalah, tujuan penelitian, hasil dan saran/ usulan, dengan jumlah kata 200-450 kata. Pendahuluan, tidak menggunakan subjudul, berisi penjelasan padat dan ringkas tentang latar belakang penelitian, studi pustaka yang mendukung dan relevan, serta tujuan penelitian. Metode Penelitian berisikan disain penelitian yang digunakan, populasi, sampel, sumber data, instrumen, analisis dan teknik analisis yang digunakan. Hasil dan Pembahasan adalah temuan penelitian yang disajikan apa adanya tanpa pendapat penulis, argumentatif tentang temuan penelitian serta relevansinya dengan penelitian terdahulu. Disajikan tanpa subjudul. Kesimpulan menjawab tujuan penelitian tanpa melampauinya, disajikan dalam bentuk narasi. Rekomendasi berisi usulan-usulan kebijakan yang memungkinkan dihasilkan berupa pointer, berisi bentuk dan telaahannya untuk dilaksanakan mengacu pada prinsip tepat-guna, logis dan relevan.

4. Tabel, gambar dan grafik dapat terbaca dengan jelas dan hendaknya agar dilampirkan secara terpisah serta diberi penjelasan yang memadai. 5. Penulisan rujukan sesuai dengan model Harvard. Pada isi tulisan, nama penulis ditulis disertai dengan tahun penulisannya. Pada bagian Daftar Pustaka, penulisan diurut sesuai dengan abjad. 6. Beberapa contoh bentuk referensi dalam jurnal ini adalah: Buku Abel, R. 2004. Revolusi Kesehatan Mata: Pencegahan dan Pengembalian Masalah Penglihatan. New York: Kensington Book Chaniago, A. 2010. Studi Pustaka dan Konseptualisasi Penelitian. Dalam: Zaluchu, F. Metodologi Penelitian Kesehatan. Bandung: Citapustaka Media, hal 79-92. Artikel dari Jurnal Ang, L. dan Taylor, B. 2005. Memanajemen Keuntungan Konsumen Menggunakan Matriks Portofolio. Jurnal Pemasaran dan Manajemen Konsumen Strategik 12 (5), hal 298-304 Bagian di dalam buku Ballinger, A. dan Clark, M. 2001. Nutrisi, Pengendalian Nafsu Makan dan Penyakit. Dalam: Payne-James, J. dkk. editor. Dukungan Artifisial bagi Praktik Klinik. Edisi kedua. London: Greenwich Medical, hal 225-239 Koran Benoit, B. 2007. Peran G8 dalam Pemanasan Global. Harian Kompas 29 Mei 2007, hal 9. Laporan Komisi Eropa. 2004. Laporan Pendahuluan terhadap Implementasi dari Strategi Pemasaran Internal 2003-2006. Luxemburg: Unit Publikasi Komisi Eropa. Konferensi Fiedelius, H.C. 2000. Miopi dan Penurunan Visual: Aspek Global. Dalam: Lin, L.L.K. dkk. editor. Miopia Terbarukan II: Prosiding Konferensi Internasional ke-7. Taipei, 17-20 Nopember 1998. Tokyo: Springer, hal 31-37. Tesis Garcia-Sierra, A. 2000. Investigasi Penyebab Ca-Serviks pada Wanita Usia Subur di Perkotaan. Tesis PhD, Universitas Indonesia. Jurnal Artikel Elektronik Merchant, A.T. 2009. Diet dan Aktifitas Fisik pada AnakAnak di Kawasan Kumuh Perkotaan: sebuah Studi Cross Sectional. Jurnal Nutrisi [Online] Edisi 6. Dari: http://www.nutritionj.com/content/pdf/1475-2891-6.1.pdf [Diakses: 10 Mei 2007]. Web Page Thompson, B. 2006. Mengapa Balita Butuh ASI [Online]. Dari: http://news.bbc.co.uk/1/hi/health/459876 [Diakses: 10 Mei 2007].


Depkes RI. 2006. Panduan Imunisasi [Online]. Dari: http://www.depkes.go.id/bayi_panduan_imunisasi/2345 [Diakses: 19 Februari 2011].

7. Naskah dituliskan dengan menggunakan Times New Roman 12, maksimal 20 halaman A4 spasi ganda, ditulis dengan program komputer Microsoft Word. 8. Naskah yang masuk hendaknya diterima 2 (dua) bulan sebelum waktu penerbitan untuk direview oleh anggota dewan redaksi dan reviewer (mitra bestari) yang ditunjuk oleh Dewan Redaksi. 9. Dewan Redaksi berhak menolak naskah ilmiah yang dianggap tidak layak muat di Jurnal Inovasi. Naskah diserahkan dalam 2 (dua) media yaitu hardcopy dan softcopy yang keduanya harus memuat isi yang sama. Nama file, judul dan nama penulis naskah dituliskan pada label CD. Naskah dipersiapkan dengan menggunakan pengolah kata Microsoft Word. Pengiriman naskah ke alamat redaksi melalui surat elektronik ke : inovasibpp@gmail.com atau melalui pos ke : Dewan Redaksi Jurnal INOVASI Badan Penelitian Dan Pengembangan Provinsi Sumatera Utara Jl. Sisingamangaraja No. 198 Medan 20126 10. Redaksi berhak menolak naskah yang isi dan formatnya tidak sesuai dengan pedoman penulisan naskah di atas dan redaksi tidak berkewajiban untuk mengembalikan naskah tersebut. 11. Setiap penerimaan atau penolakan naskah akan disertai dengan surat resmi yang ditandatangani oleh Dewan Redaksi dan dikirimkan kepada penulis. 12. Setiap penulis yang karya tulisnya telah diterbitkan, akan mendapat satu buah cetak lepas dan satu buah full print. 13. Setiap penulis menyetujui untuk mengalihkan hak ciptanya ke Jurnal Inovasi jika naskahnya diterima untuk diterbitkan.


INOVASI – Vol. 11, No. 4, Desember 2014, halaman 233-302

Alamat Redaksi : BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PROVINSI SUMATERA UTARA Jl. Sisingamangaraja No. 198 Medan 20126 Tel. (061) 7866225; 7883016; Fax. (061) 7866248 Email : inovasibpp@gmail.com


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.