Jurnal Inovasi September 2013

Page 1

ISSN 1829-8079

INOVASI JURNAL POLITIK DAN KEBIJAKAN

Vol. 10 No. 3, September 2013

GIS Untuk Sur veilans Penyakit Men ular Di Sumater a Utar a (Fotarisman Zaluchu) Kajian Daer ah Pembentukan Pr ovinsi Sumater a Tenggara (Jonni Sitor us, Marlon Sihombing) Identifikasi Dan Analisis Kawasan Hutan Mangrove Di Kawasan Pesisir Pantai Timur Sumater a Utara (Nobr ya Husni, Porman Juanda Marpomar i Mahulae) Keter libatan Wan ita Dalam Memper tahankan Kemerd ekaan Di Su matera Utar a (Dumora Jenny Margaretha Siagian, Dwi Endah Purwanti) Pengar uh Penambahan Tepung Bit Merah Dan Hasil Par utan Bit Mer ah Dalam Pembuatan Bisku it Ter hadap Cita Rasanya (Winda Melisa Br. Gtg, Evawany Ar itonang, Jumirah) Kajian Kebijakan Kewir au sah aan Pada Pen didikan Tinggi (Hendar man)

Diterbitkan oleh :

Badan Penelitian dan Pengembangan Provinsi Sumatera Utara Inovasi Vol. 10 No. 3

Medan Hal. ISSN 155-229 September 2013 1829 - 8079

Terakreditasi sebagai Majalah Berkala Ilmiah dengan Nomor Akreditasi: 532/AU2/P2MI-LIPI/04/2013


Volume 10, Nomor 3

September 2013

ISSN 1829-8079

Jurnal INOVASI adalah jurnal ilmiah bidang ilmu politik dan kebijakan yang terakreditasi dengan Nomor Akreditasi: 532/AU2/P2MI-LIPI/04/2013 berdasarkan Surat Keputusan Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Nomor : 377/E/2013 tanggal 16 April 2013 Jurnal INOVASI sebagai media litbang Provinsi Sumatera Utara memuat karya tulis ilmiah hasil penelitian atau tinjauan kepustakaan dalam bidang pemerintahan dan kemasyarakatan, sosial budaya, ekonomi dan pembangunan, sumberdaya alam dan maritim sebagai bahan kebijakan dan wawasan berpolitik yang terbit empat kali dalam setahun setiap bulan Maret, Juni, September dan Desember.

Penasehat Penanggung Jawab Pemimpin Redaksi Dewan Redaksi

Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Provinsi Sumatera Utara Sekretaris Badan Penelitian dan Pengembangan Provinsi Sumatera Utara Prof. Dr. Marlon Sihombing, MA (Kebijakan Publik, Universitas Sumatera Utara) Prof. Dr. Badaruddin, M.Si (Sosial dan Politik, Universitas Sumatera Utara) Prof. Dr. Ir. Nurhayati, MP (Pertanian, Universitas Islam Sumatera Utara) Prof. Dr. H. Syaiful Sagala, S.Sos, M.Pd (Pendidikan, Universitas Negeri Medan) Dr. Ir. Zahari Zein, M.Sc (Kesejahteraan Sosial, Universitas Sumatera Utara) Ir. E. Harso Kardhinata, M.Sc (Ekonomi Pertanian, Universitas Medan Area) Iskandar Muda, SE, M.Si., Ak (Ekonomi, Universitas Sumatera Utara) Fotarisman Zaluchu, SKM, MSi, MPH (Kesehatan, BPP Provinsi Sumut)

Redaksi Pelaksana

Drs. Darwin Lubis, MM Nobrya Husni, ST Silvia Darina, SP

Tata Usaha dan Sirkulasi

Jonni Sitorus, ST, M.Pd Dumora Jenny Margaretha Siagian, ST Porman Juanda Marpomari Mahulae, ST Anton Parlindungan Sinaga, ST

Mitra Bestari Volume 10, Nomor 3, September 2013 (Ekonomi dan Pembangunan, Universitas Negeri Medan) Ida Yustina (Kesehatan, Universitas Sumatera Utara) Ilmi Abdullah (Teknik, Institut Teknologi Medan) Ritha F Dalimunthe (Usaha Kecil dan Ekonomi Kerakyatan, Universitas Sumatera Utara) Gustam Lubis (Teknik, Institut Teknologi Medan)

Alamat Penerbit : BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PROVINSI SUMATERA UTARA Jl. Sisingamangaraja No. 198 Medan 20126 Tel. (061) 7866225; 7883016 - Fax. (061) 7866248 Website : http://balitbang.sumutprov.go.id Email : inovasibpp@gmail.com


PENGANTAR REDAKSI

Pembaca yang terhormat, Jurnal Inovasi kembali hadir di tengah-tengah para pembaca dan peminat ilmu pengetahuan sekalian. Pada edisi kali ini kami menyajikan berbagai tulisan dalam berbagai bidang. Aplikasi penggunaan Teknologi GIS (Geographic Information System) dalam bidang kesehatan adalah salah satu diantaranya. Tulisan mengenai pemekaran Sumatera Tenggara juga kami sajikan mengingat isu ini masih relevan menjadi pengetahuan kita bersama. Masih adanya potensi hutan manggrove di Provinsi Sumatera Utara kami ketengahkan untuk menjadi bahan bagi para penentu keputusan. Jurnal ini juga menyajikan peran wanita di dalam sejarah mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Sebagai alternatif pangan, kami menyajikan eksperimen biskuit untuk dijadikan model bagi pengembangan gizi di masa depan. Sebagai penutupnya, kami menyajikan hasil penelitian meta-analisi mengenai kewirausahaan di Indonesia. Kembali kami mengharapkan semoga tulisan-tulisan ini menjadi media bagi kita untuk mengetahui perkembangan dan mengevaluasi penelitian yang sudah pernah dilakukan. Terima kasih dan selamat membaca. -Dewan Redaksi-


Volume 10, Nomor 3

September 2013

ISSN 1829-8079

bebas.. Lembar abstrak ini boleh diperbanyak/dicopy Kata kunci yang ddiicantumkan adalah istilah bebas tanpa ijin dan biaya. DDC 614.4 Fotarisman Zaluchu

Identifikasi Dan Analisis Kawasan Hutan Mangrove Di Kawasan Pesisir Pantai Timur Sumatera Utara

GIS Untuk Surveilans Penyakit Menular Di Sumatera Utara

Inovasi, Jurnal Politik dan Kebijakan, September 2013, Vol 10, No. 3, halaman 179-194

Inovasi, Jurnal Politik dan Kebijakan, September 2013, Vol 10, No. 3, halaman 155-168 Penelitian ini bertujuan untuk memetakan penyakit menular di Provinsi Sumatera Utara menggunakan GIS. Penelitian ini menggunakan rancangan analisis spasial berupa pemetaan menggunakan data sekunder. Data sekunder yang dimaksud diperoleh dari pencatatan dan pelaporan surveilans penyakit menular di Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Utara. Peta yang terbentuk disusun berdasarkan rate setidaknya selama 5 tahun terakhir menggunakan program ArcView 3.3. Peta dasar diperoleh dari peta dasar Provinsi Sumatera Utara yang diperoleh dari Bappeda Provinsi Sumatera Utara. Telah dilakukan pemetaan dengan metode digitasi terhadap 9 penyakit menular yaitu: diare, tipus perut klinis, TB dan suspect TB, campak, malaria, DBD, pneumonia dan influenza. Diharapkan kepada Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Utara untuk meneruskan pemanfaatan data yang sebelumnya telah dibuat dalam bentuk peta dan dijadikan basis data untuk pengembangan program surveilans di masa mendatang. Kata Kunci: surveilans penyakit, pemetaan penyakit, penyakit menular DDC 351.598 Jonni Sitorus, Marlon Sihombing Kajian Daerah Pembentukan Provinsi Sumatera Tenggara Inovasi, Jurnal Politik dan Kebijakan, September 2013, Vol 10, No. 3, halaman 169-178 Penelitian ini mengaitkan dan menggambarkan gejala-gejala yang ada dan berkembang dikaitkan dengan berbagai peraturan atau kebijakan yang ada. Penelitian ini menjelaskan bahwa perhitungan menurut PP No. 78 Tahun 2007, skor total calon Provinsi Sumatera Tenggara berdasarkan data yang diperoleh adalah sebesar 366 dengan kategori mampu (direkomendasikan). Dengan demikian kesimpulan normatif dikategorikan direkomendasikan menjadi daerah otonom baru. Maka Calon Provinsi Sumatera Tenggara direkomendasi dapat dimekarkan menjadi daerah otonom baru.Hasil rekomendasi ini sejalan dengan data kualitatif, data lapangan menunjukkan bahwa komitmen masyarakat Sumatera Tenggara untuk menjadi provinsi sangat kuat, aspirasi publik yang sangat kuat ini perlu disikapi oleh pemerintah pusat. Kata Kunci: pembentukan Provinsi, Sumatera Tenggara, Administratif, Teknis dan Kewilayahan DDC 333.7 Nobrya Husni, Porman Juanda Marpomari Mahulae

Penelitian ini melakukan identifikasi dan analisis atas kondisi kawasan hutan mangrove di pesisir pantai timur Sumatera Utara. Berdasarkan hasil penelitian disimpulkan bahwa kondisi kawasan hutan mangrove di pesisir pantai timur Sumatera Utara cenderung rusak. Ini dibuktikan dengan data jumlah vegetasi mangrove dengan indeks nilai penting tinggi yang sedikit, dan nilai keanekaragaman yang rendah. Kerapatan individu per hektar dilokasi penelitian hanya 584 pohon. Adapun jenis mangrove yang dominan di lokasi penelitian adalah Rhizopora., Bruguirea dan Avecinea. Kata Kunci: pesisir pantai Timur, hutan mangrove, ekosistem DDC 959.803 Dumora Jenny Margaretha Siagian, Dwi Endah Purwanti Keterlibatan Wanita Dalam Mempertahankan Kemerdekaan Di Sumatera Utara Inovasi, Jurnal Politik dan Kebijakan, September 2013, Vol 10, No. 3, halaman 195-212 Penelitian ini dilakukan di kabupaten/kota yang menjadi domisili para informan yang merupakan pelaku sejarah mempertahankan kemerdekaan di Kotamadya Medan, Kabupaten Langkat, Kabupaten Karo, dan Kotamadya Binjai. Hasil dari penelitian mengungkapkan bahwa keterlibatan kaum wanita dalam revolusi kemerdekaan disebabkan banyak hal, diantaranya adalah mengikuti perjuangan suami dan teman – teman, dan terbawa arus oleh situai dan kondisi bangsa yang tidak menentu, serta karena dendam pada penjajah yang telah membunuh anggota keluarganya. Hal ini menumbuhkan jiwa patriotisme di kalangan kaum wanita. Banyak aktivitas dan peran yang dilakukan kaum wanita tersebut dalam membantu perjuangan bangsa, seperti berjuang melalui Barisan Srikandi, membantu mengobati pejuang yang terluka dalam Palang Merah, menyediakan makan bagi pejuang di dapur umum, bahkan banyak diantaranya yang menjadi kurir dan mata – mata. Mereka melakukan semua kegiatan itu dengan semangat yang tidak kalah dari kaum pria, bahkan hingga mengorbankan harta dan nyawa demi membantu perjuangan bangsa. Kata Kunci: Wanita, Kemerdekaan, Sumatera Utara DDC 664.7 Winda Melisa Br. Gtg, Evawany Aritonang, Jumirah Pengaruh Penambahan Tepung Bit Merah Dan Hasil Parutan Bit Merah Dalam Pembuatan Biskuit Terhadap Cita Rasanya


Inovasi, Jurnal Politik dan Kebijakan, September 2013, Vol 10, No. 3, halaman 213-220 Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh penambahan tepung bit merah dan hasil parutan bit merah terhadap cita rasa biskuit. Analisis organoleptik yang meliputi aroma, warna, rasa, dan tekstur biskuit ditentukan dengan menggunakan skala hedonik. Berdasarkan hasil penelitian, hasil uji organoleptik menunjukkan bahwa biskuit dengan penambahan parutan bit merah disukai panelis baik dari segi aroma, warna, rasa, maupun tekstur dibandingkan dengan penambahan tepung bit merah. arna, rasa, maupun tekstur dibandingkan dengan penambahan tepung bit merah. Berdasarkan analisis sidik ragam, penambahan tepung bit merah dan hasil parutan bit merah memberi pengaruh yang berbeda nyata terhadap aroma, rasa, dan tekstur. Disarankan kepada masyarakat agar dapat menjadikan biskuit bit sebagai makanan alternatif. Kata Kunci: biskuit, bit merah, cita rasa DDC 338.04 Hendarman Kajian Kebijakan Kewirausahaan Pada Pendidikan Tinggi Inovasi, Jurnal Politik dan Kebijakan, September 2013, Vol 10, No. 3, halaman 221-229 Kajian ini difokuskan untuk menganalisis kebijakan pendidikan kewirausahaan pada pendidikan tinggis secara khusus, terutama akan digunakan pengalaman Universitas Sumatera Utara (USU) melalui pembentukan Student Entrepreneurship Center digunakan untuk menjelaskan komitmen perguruan tinggi untuk menjadikan kebijakan ini sebagai program berkesinambungan. Temuan mengungkapkan bahwa kebijakan pendidikan kewirausahaan telah diimplementasikan secara berkesinambungan, dan menghasilkan wirausahawanwirausahawan (entrepreneurs) yang tetap melanjutkan usahanya walaupun telah lulus. Disarankan agar kebijakan kewirausahaan tetap dijadikan salah satu prioritas Pemerintah karena berkontribusi terhadap pengurangan jumlah pengangguran in Indonesia. Kata Kunci: Kewirausahaan, pendidikan tinggi, pengangguran, Sumatera Utara


Volume 10, Nomor 3

September 2013

ISSN 1829-8079

The discriptors given are keywords. The abstrack sheet may by reproduced/ copied without permission or charge DDC 614.4 Fotarisman Zaluchu

Inovasi, Journal of Politics and Policy, September 2013, Vol 10, No. 3, p. 179-194

GIS Application For Commmunicable Diseases Surveillance In North Sumatra Inovasi, Journal of Politics and Policy, September 2013, Vol 10, No. 3, p. 155-168 This study aimed to map infectious diseases in North Sumatra Province using GIS.The study used a spatial analysis mapping by using secondary data. Secondary data is obtained from report and monitoring of communicable disease surveillance in the North Sumatra Provincial Health Office. Map is based on rates established for at least the last 5 years using the program ArcView 3.3. Base map derived from the base map of North Sumatra Province, assessed from Bappeda of North Sumatra Province.Mapping has been carried out by the method of digitizing for the nine diseases which are: diarrhoea, enteric fever, clinically suspected TB and TB, measles, malaria, dengue, pneumonia and influenza. It is recommended to North Sumatra Health Office to continue the use of the data that had previously been made in the form of maps and databases in order to improve their surveillance programs in the future. Keywords: disease surveillance, mapping disease, infectious disease DDC 351.598 Jonni Sitorus, Marlon Sihombing Studies Of South East Sumatra Establishing Inovasi, Journal of Politics and Policy, September 2013, Vol 10, No. 3, p. 169-178 The research associate and describe the symptoms associated with existing and emerging regulations or policies that exist. This study describes the results of that calculation according to the PP. 78 In 2007, the total score of the prospective South Sumatra province is based on data obtained at 366 with category capable (recommended). Thus the normative conclusions recommended categorized into a new autonomous region. Then the recommended candidate Southeast Sumatra province can be expanded into a new autonomous region. This recommendation is in line with the results of the qualitative data, field data show that the public commitment of South Sumatra province to be very strong, a very strong public aspirations need to be taken by the central government. Keywords: establishing Province, Southeast administrative, technical and territorial DDC 333.7 Nobrya Husni, Porman Juanda Marpomari Mahulae

This research tried to identify and analyse the east coast coastal of North Sumatera. Research results shows that mangrove forests in east coast coastal is tend to be damagedit proofs by quantity of mangrove vegetation with the low of Indeks Nilai Penting and low of Nilai Keanekaragaman. Kerapatan Individu per acre in the research location is 584 trees only. Mangrove type in the research location are dominant by Rhizopora, Bruguirea dan Avecinea. Keywords: east coast coastal, mangrove forests, ecosystem DDC 959.803 Dumora Jenny Margaretha Siagian, Dwi Endah Purwanti Women Involvement In Defending The Independence At North Sumatera Province Inovasi, Journal of Politics and Policy, September 2013, Vol 10, No. 3, p. 195-212 The research was conducted at the district/city of the informant residence who became an actor in the history at Medan City, Langkat district, Karo District, and Binjai City. Results of the study revealed that the involvement of women in the revolution caused by many things, including the struggle to follow her husband and their friends, swept away by situation and conditions of uncertainty, as well as revenge on the invaders who had killed members of his family. This is growing the soul of patriotism among women. Many of the activities and the role played by the women in the struggle of the nation, like struggling through Barisan Srikandi, helped treat wounded fighters in the Red Cross, providing food for the fighters in the common kitchen, even a lot of them are into courier and spy. They do all the activities with the spirit is no less than the men, even to the expense of treasure and lives to help fight the nation. Keywords : Women, Independence, North Sumatra. DDC 664.7 Winda Melisa Br. Gtg, Evawany Aritonang, Jumirah Influence The Addition Beetroot Flour And Beetroot Grated To Making Biscuit Of its Flavor Inovasi, Journal of Politics and Policy, September 2013, Vol 10, No. 3, p. 213-220

Sumatra,

Analysis And Identification Of Mangrove Forests Of North Sumatera East Coast Coastal Area

The purpose of this experimental study to find inflence the addition beetroot flour and beetroot grated flavor of biscuit. For organoleptic test including aroma, color, flavor and texture of biscuit was conducted through hedonic scale. Based on the study result, organoleptic test show that biscuit by beetroot grated of 20 % more preferred by the panelists in terms of aroma, color, flavor and texture than the addition flour


beetroot. Based on the analysis of variance, the addition of beetroot flour and beetroot grated brought a significant influence on aroma, flavor,and texture of biscuit. It’s recommended for people to take beetroot biscuit as alternative food. Keywords: biscuit, beetroot, flavor DDC 338.04 Hendarman Analysis Of Entrepreneurship Policy At Higher Education Inovasi, Journal of Politics and Policy, September 2013, Vol 10, No. 3, p. 221-229 The focus of this research is to analyse policy on entrepreneurship education at higher education level in particular, the experiences of North Sumatra University (USU) through the establishment of Student Entrepreneurship Center were used to explain the college's commitment to make this policy as an ongoing program. The findings reveal that the implementation of entrepreneurship policy has been sustainable and produces entrepreneurs who still continue their busineses after having graduated. A number of higher education institutions establish such breakthroughs. It is suggested that the Government prioritizes this entrepreneurship policy as it plays pivotal role in reducing unemployment rate in Indonesia. Keywords: Entrepreneurship, higher education, unemployment, Sumatera Utara


Volume 10, Nomor 3

September 2013

ISSN 1829-8079

DAFTAR ISI

Halaman GIS Untuk Surveilans Penyakit Menular Di Sumatera Utara

155-168

(Fotarisman Zaluchu) Kajian Daerah Pembentukan Provinsi Sumatera Tenggara

169-178

(Jonni Sitorus, Marlon Sihombing) Identifikasi Dan Analisis Kawasan Hutan Mangrove Di Kawasan Pesisir Pantai Timur Sumatera Utara

179-194

(Nobrya Husni, Porman Juanda Marpomari Mahulae) Keterlibatan Wanita Dalam Mempertahankan Kemerdekaan Di Sumatera Utara

195-212

(Dumora Jenny Margaretha Siagian, Dwi Endah Purwanti) Pengaruh Penambahan Tepung Bit Merah Dan Hasil Parutan Bit Merah Dalam Pembuatan Biskuit Terhadap Cita Rasanya (Winda Melisa Br. Gtg, Evawany Aritonang, Jumirah)

213-220

Kajian Kebijakan Kewirausahaan Pada Pendidikan Tinggi

221-229

(Hendarman)


GIS Untuk Surveilans Penyakit Menular di Sumatera Utara (Fotarisman Zaluchu)

Hasil Penelitian GIS UNTUK SURVEILANS PENYAKIT MENULAR DI SUMATERA UTARA

(GIS APPLICATION FOR COMMMUNICABLE DISEASES SURVEILLANCE IN NORTH SUMATRA) Fotarisman Zaluchu Badan Penelitian dan Pengembangan Provinsi Sumatera Utara Jl. Sisingamangaraja No. 198 Medan 20126 email : fotarisman@yahoo.com

Diterima: 10 April 2013; Direvisi: 1 Juli 2013; Disetujui: 5 Agustus 2013

ABSTRAK Surveilans penyakit menular adalah salah satu hal penting yang kurang diterapkan, salah satunya pada mahalnya penerapan hal tersebut. Padahal, teknologi Geographic Information System (GIS) dan mapping penyakit bukan saja memberikan informasi mengenai keberadaan penderita dalam konteks geografisnya, namun juga memberikan pengetahuan mengenai terbentuknya kluster penyakit, dinamika penyakit di dalam masyarakat seiring dengan perubahan waktu, serta model penularan penyakit ini. Penelitian ini bertujuan untuk memetakan penyakit menular di Provinsi Sumatera Utara menggunakan GIS. Penelitian ini menggunakan rancangan analisis spasial berupa pemetaan menggunakan data sekunder. Data sekunder yang dimaksud diperoleh dari pencatatan dan pelaporan surveilans penyakit menular di Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Utara. Peta yang terbentuk disusun berdasarkan rate setidaknya selama 5 tahun terakhir menggunakan program ArcView 3.3. Peta dasar diperoleh dari peta dasar Provinsi Sumatera Utara yang diperoleh dari Bappeda Provinsi Sumatera Utara. Telah dilakukan pemetaan dengan metode digitasi terhadap 9 penyakit menular yaitu: diare, tipus perut klinis, TB dan suspect TB, campak, malaria, DBD, pneumonia dan influenza. Diharapkan kepada Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Utara untuk meneruskan pemanfaatan data yang sebelumnya telah dibuat dalam bentuk peta dan dijadikan basis data untuk pengembangan program surveilans di masa mendatang. Kata Kunci: surveilans penyakit, pemetaan penyakit, penyakit menular

ABSTRACT Surveillance of infectious diseases is one of the important things that are less to be applied, due to the expensive of it. In fact, Geographical Information System (GIS) technology and mapping of disease not only provide information about the presence of patient in a geographic context, but also provide knowledge about the formation of clusters of disease, the dynamics of the disease in the community along with the change of time, as well as the models of disease transmission. This study aimed to map infectious diseases in North Sumatra Province using GIS.The study used a spatial analysis mapping by using secondary data. Secondary data is obtained from report and monitoring of communicable disease surveillance in the North Sumatra Provincial Health Office. Map is based on rates established for at least the last 5 years using the program ArcView 3.3. Base map derived from the base map of North Sumatra Province, assessed from Bappeda of North Sumatra Province.Mapping has been carried out by the method of digitizing for the nine diseases which are: diarrhoea, enteric fever, clinically suspected TB and TB, measles, malaria, dengue, pneumonia and influenza. It is recommended to North Sumatra Health Office to continue the use of the data that had previously been made in the form of maps and databases in order to improve their surveillance programs in the future. Keywords: disease surveillance, mapping disease, infectious disease

155


Inovasi Vol. 10 No. 3, September 2013: 155-168

kehati-hatian, termasuk dengan pemetaan terhadap perilaku masyarakat, keberadaan vektor dan kondisi lingkungannya. Informasi yang didapatkan dengan pemetaan hal-hal tersebut menyebabkan intervensi menjadi lebih tepat sasaran. Metode pengendalian seperti di atas pada berbagai penyakit menular lain, patut dilakukan dan diaplikasikan untuk mempercepat pengambilan keputusan serta di dalam mengendalikan masalah penyakit menular dengan lebih baik. Metode pendekatan menggunakan GIS seperti ini sebelumnya tidak pernah diterapkan di Indonesia, termasuk di Provinsi Sumatera Utara. Belum ada metode mapping yang diharapkan menjadi dasar bagi perencanaan, pengawasan dan evaluasi bagi pengendalian penyakit menular. Diharapkan dengan mendisain metode pemetaan penyakit ini yang terintegrasi dalam mekanisme surveilans, dapat dirintis upaya mengendalikan penyakit menular dengan lebih baik. Dampak penerapannya jelas sangat besar, baik terhadap pengurangan korban jiwa akibat penyakit menular maupun sumber daya yang akan bisa dihemat. Tujuan penelitian ini adalah untuk memetakan penyakit menular di Provinsi Sumatera Utara menggunakan GIS serta melakukan analisis spasial berdasarkan Kabupaten/Kota.

PENDAHULUAN Saat ini, persoalan penyakit menular masih menjadi titik pusat perhatian Kementerian Kesehatan RI. Karena itu, peningkatan pencegahan dan pengendalian penyakit menular menjadi salah satu fokus dalam upaya meningkatkan program pelayanan kesehatan di Indonesia. Akan tetapi, upaya pencegahan dan pengendalian penyakit menular tersebut sering sekali menemui berbagai kendala termasuk diantaranya infrastruktur, dana, keterbatasan sumber daya manusia, dan metode surveilans yang digunakan. Surveilans penyakit menular adalah salah satu hal penting yang sering kurang maksimal diterapkan. Berbagai alasan kurang efektifnya penerapan surveilans penyakit menular telah sering diungkapkan oleh Kementerian Kesehatan, dan yang paling utama adalah pada mahalnya penerapan hal tersebut. Akan tetapi, salah satu metode yang bisa dilakukan untuk menerapkan surveilans di tengah keterbatasan sumber daya surveilans adalah dengan menerapkan pemetaan. Teknologi ini layak dipergunakan di Indonesia yang terbatas dalam sumber daya. Teknologi Geographic Information System (GIS) dan mapping penyakit ini bukan saja memberikan informasi mengenai keberadaan penderita dalam konteks geografisnya, namun juga memberikan pengetahuan mengenai terbentuknya kluster penyakit, dinamika penyakit di dalam masyarakat seiring dengan perubahan waktu, serta model penularan penyakit ini. Menurut WHO, informasi mengenai pemetaan penyakit akan menolong memantau perjalanan penyakit dan secara tidak langung merekomendasikan pencegahan-pencegahan yang seharusnya dilakukan. Informasi mengenai kluster penyakit di masyarakat adalah pengetahuan yang amat penting untuk mengambil keputusan di dalam pencegahan, penanggulangan, dan pengendalian penyakit secara efektif dan efisien. WHO (2009) bahkan telah merekomendasikan pengendalian penyakit menular diantaranya dengue, melalui penerapan GIS karena ternyata terbukti efektif (Pfeiffer et al., 2008) dan mampu mengarahkan pengambil keputusan di dalam menentukan kebijakan yang akan ditempuh untuk mengendalikan penyakit tersebut (Eisen dan Lozano-Fuentes, 2009) Pemetaan yang harus diperhitungkan bukan hanya distribusi kasus di sebuah wilayah sebagaimana selama ini dilakukan. Kay et al. (2002) menyimpulkan bahwa program intervensi penyakit dengue di tiga provinsi di Vietnam berhasil dengan baik karena penerapannya dipersiapkan dengan penuh

METODE Penelitian ini menggunakan rancangan analisis spasial berupa pemetaan menggunakan data sekunder. Data sekunder yang dimaksud diperoleh dari penacatatan dan pelaporan surveilans penyakit menular di Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Utara. Proses pelaksanaan penelitian meliputi tahapan berikut ini: 1) Verifikasi Data. Kegiatan ini meliputi pekerjaan meng-cross check data yang ada sebagaimana ada dalam laporan yang dicatat oleh sumber data sekunder, yaitu Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Utara. 2) Pembuatan Peta Dasar. Peta dasar dibuat dari peta Sumatera Utara yang diperoleh secara digitasi. Data mentah diolah dengan menggunakan database pada program ArcView 3.3. Sementara peta dasar diperoleh dari peta dasar Provinsi Sumatera Utara yang diperoleh dari Bappeda Provinsi Sumatera Utara. 3) Pembuatan Peta Risiko. Kegiatan ini meliputi upaya melakukan transisi risiko penyakit sesuai dengan prevalensinya di Provinsi Sumatera Utara. Analisa data digunakan dengan membuat peta-peta tematik berdasarkan perhitungan risiko terhadap masing-masing penyakit di masing-masing Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara. Prevalensi masing-masing faktor risiko diolah 156


GIS Untuk Surveilans Penyakit Menular di Sumatera Utara (Fotarisman Zaluchu)

ulang dengan menggunakan data jumlah penduduk yang sesuai dengan Kabupaten/ Kota di Provinsi Sumatera Utara untuk mendapatkan nilai rate-nya. Setidak-tidaknya, data selama 5 tahun ke belakang digunakan sebagai informasi. Data sekunder meliputi 33 Kabupaten/Kota yang memiliki laporan data surveilans penyakit menular di Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Utara.

Asahan. Beberapa wilayah lain masih memiliki populasi yang tidak terlalu banyak. Pemetaan penyakit di Provinsi Sumatera Utara amat penting untuk dijadikan sebagai bagian dari sistem surveilans di bidang kesehatan di Provinsi Sumatera Utara. Secara umum, pemetaan yang berasal dari laporan kasus ini menggunakan perhitungan rate penyakit yang berasal dari: jumlah kasus yang dilaporkan di Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Utara (basis Puskesmas/ Puskesmas Sentinel)/ jumlah populasi pada tahun yang bersangkutan (k=konstanta, yang dalam penelitian ini secara konstan menggunakan 10.000). Dengan demikian, maka diperoleh informasi yang lebih akurat sehingga dapat membandingkan rate masing-masing penyakit di wilayah yang berbeda-beda sekalipun. Sebagaimana akan diuraikan, terdapat 9 penyakit menular utama yang dapat dipetakan. Pola distribusi kasus diare di Provinsi Sumatera Utara selama 5 tahun terakhir dapat dilihat pada Gambar 2.

HASIL DAN PEMBAHASAN Pemetaan terhadap penyakit-penyakit menular di Provinsi Sumatera Utara menghasilkan beberapa peta. Untuk mengetahui kondisi umum di Provinsi Sumatera Utara, maka pemetaan distribusi jumlah penduduk di Provinsi Sumatera Utara dapat dilihat pada Gambar 1. Gambar tersebut memperlihatkan bahwa wilayah padat penduduk adalah kawasan Timur, diantaranya Kabupaten Deli Serdang dan Kota Medan. Beberapa wilayah memperlihatkan peningkatan kepadatan penduduk, diantaranya Langkat, Serdang Bedagai, Simalungun dan

Gambar 1. Distribusi Kab/ Kota di Provinsi Sumatera Utara berdasarkan jumlah penduduk tahun 2011.

157


Inovasi Vol. 10 No. 3, September 2013: 155-168

(a) 2007

(b) 2008

(c) 2009

Keterangan: Kategori Prevalensi Rate

(d) 2010 (e) 2011 Gambar 2. Distribusi pemetaan GIS terhadap penyakit diare di Provinsi Sumatera Utara (a) 2007; (b). 2008; (c) 2009; (d) 2010; dan (e) 2011 berdasarkan Prevalensi Rate.

(a) 2007

(b) 2008

(c) 2009

Keterangan: Kategori Prevalensi Rate

(d) 2010 (e) 2011 Gambar 3. Distribusi pemetaan GIS terhadap penyakit tipus perut klinis di Provinsi Sumatera Utara (a) 2007; (b). 2008; (c) 2009; (d) 2010; dan (e) 2011 berdasarkan Prevalensi Rate.

158


GIS Untuk Surveilans Penyakit Menular di Sumatera Utara (Fotarisman Zaluchu)

Gambar 2 memperlihatkan bahwa penyakit diare telah menyebar di sebagian besar wilayah Provinsi Sumatera Utara sejak tahun 2007 dan semakin berkembang mencapai puncak kepadatan kasus dan luasnya area yang melaporkan kasus ini pada tahun 2010 tetapi kemudian menurun kepadatannya pada tahun 2011. Jika dilihat penyakit tipus perut klinis di Provinsi Sumatera Utara selama 5 tahun terakhir hasilnya dapat dilihat pada Gambar 3. Gambar 3 memperlihatkan bahwa penyakit tipus perut klinis pada tahun 2007 hanya dilaporkan terjadi pada beberapa wilayah di kawasan Barat provinsi Sumatera Utara. Pada tahun 2008 menyebar ke wilayah sekitarnya, kemudian menurun pada tahun 2009 tetapi menyebar luas pada tahun 2010. Pada tahun 2011 laporan kasus ini sudah mencapai wilayah yang lebih luas. Sementara itu, tipus perut klinis adalah infeksi perut yang disebabkan oleh salmonella typhii, yang dapat berakibat fatal jika

(a) 2007

mengenai anak balita. Berdasarkan catatan Kementerian Kesehatan, tifus perut klinis adalah salah satu masalah kesehatan masyarakat di Indonesia yang mencapai 500 per 100 ribu penduduk dengan kematian 0,65% (Herwati dan Ghani, 2009). Tifus perut klinis sering dikaitkan dengan kebersihan makanan serta kebersihan pribadi dan lingkungan. Gambar 3 memperlihatkan pemetaan masalah tipus perut klinis ini. Amat jelas terlihat dari gambar tersebut bahwa penyakit tipus perut klinis ini semakin menyebar dalam 5 tahun terakhir. Salah satu rekomendasi dari hasil penelitian tipus di Indonesia sebagaimana diajukan oleh Herwati dan Gani (2009) adalah dengan perbaikan kualitas air bersih untuk minum dan penyediaan fasilitas kesehatan yang lebih memadai dan terjangkau di daerah-daerah dengan prevalensi tinggi.

(b) 2008

(c) 2009 Keterangan: Kategori Prevalensi Rate

(d) 2010 (e) 2011 Gambar 4. Distribusi pemetaan GIS terhadap penyakit TB Paru (BTA+) di Provinsi Sumatera Utara (a) 2007; (b). 2008; (c) 2009; (d) 2010; dan (e) 2011 berdasarkan Prevalensi Rate.

159


Inovasi Vol. 10 No. 3, September 2013: 155-168

(a) 2007

(b) 2008

(c) 2009 Keterangan: Kategori Prevalensi Rate

(e) 2011 (d) 2010 Gambar 5. Distribusi pemetaan GIS terhadap penderita suspect TB di Provinsi Sumatera Utara (a) 2007; (b). 2008; (c) 2009; (d) 2010; dan (e) 2011 berdasarkan Prevalensi Rate.

(a) 2007

(b) 2008

(c) 2009

Keterangan: Kategori Prevalensi Rate

(d) 2010 (e) 2011 Gambar 6. Distribusi pemetaan GIS terhadap penderita Campak di Provinsi Sumatera Utara (a) 2007; (b). 2008; (c) 2009; (d) 2010; dan (e) 2011 berdasarkan Prevalensi Rate. 160


GIS Untuk Surveilans Penyakit Menular di Sumatera Utara (Fotarisman Zaluchu)

Natal dan sekitarnya serta Karo dan sekitarnya yang melaporkan kejadian campak. Pola distribusi malaria klinis di Provinsi Sumatera Utara selama 5 tahun terakhir dapat dilihat pada Gambar 7. Malaria klinis dilaporkan cukup tinggi rate-nya di daerah endemis malaria yaitu di kawasan Tapanuli Selatan dan Mandailing Natal pada tahun 2007. Akan tetapi rate tinggi juga dilaporakan terjadi pada tahun 2010 di Kabupaten Deli Serdang. Terlihat pada Gambar 7 penyakit malaria menyebar secara bergantian di seluruh wilayah di Provinsi Sumatera Utara. Malaria masih menjadi masalah serius, terutama jika terjadi pada ibu hamil. Pada tahun 1990-2010, jumlah kasus malaria hanya tinggal menjadi 1,96 per 1000 penduduk, akan tetapi masih terjadi kesenjangan yang begitu lebar diantara wilayah (Kodim, 2011). Di Sumatera Utara, masih banyak ditemukan kasus malaria. Meski dari gambar 4.19 tidak terlihat dengan jelas keterkaitan antara penggunaan obat malaria dengan rate-nya pada tahun 2007, akan tetapi berdasarkan peta GIS, penyakit malaria telah menyebar di daerah-daerah yang sebelumnya tidak menjadi wilayah endemisnya. Kejadian ini barangkali menunjukkan perubahan dari habitat vektor dan mobilitas penderita yang umumnya semakin terbuka. Karena itu, diperlukan penanganan yang lebih spesifik terhadap kasus ini dan bukan hanya mengandalkan laporan konsumsi obat sebagaimana selama ini digunakan. Pola distribusi DBD di Provinsi Sumatera Utara selama 5 tahun terakhir dapat dilihat pada Gambar 8. Terlihat bahwa pada tahun 2007 sd 2008 rate DBD terjadi secara sporadis namun kemudian menunjukkan penularan ke berbagai wilayah terutama pada tahun 2010 dimana puncak rate terjadi. Sehubungan dengan masalah DBD, sudah sejak lama didasari mengenai keberadaan masalah ini. Pada tahun 2008, Kementrian Kesehatan melaporkan peningkatan yang sangat signifikan terhadap pasien DBD dalam 6 tahun terakhir. Pada tahun 2000, hanya ada 33.443 kasus DBD dengan 472 merupakan kasus fatal, sementara pada tahun 2007 terjadi 158.115 kasus DBD dengan 1.599 berujung kepada kematian (Depkes, 2008). Peningkatan kasus juga diiringi dengan perluasan wilayah yang terkena penyakit ini. Sekarang ini penyakit DBD telah menyebar di 362 Kabupaten/ Kota di Indonesia, dibandingkan dengan penyebaran serupa pada tahun 2001 yang hanya ditemukan pada 231 wilayah saja. Dengan demikian kita dapat simpulkan penyebaran DBD telah terjadi secara pasif di seluruh wilayah Indonesia dengan konsentrasi pada kota-kota besar seperti Jakarta, Semarang, Bali, Surabaya dan Medan.

Tidak dapat dipungkiri bahwa salah satu masalah penyakit menular penting di seluruh dunia adalah masalah tuberkulosis (TB). Penyakit TB adalah salah satu masalah kesehatan masyarakat penting di Indonesia sejak lama. Bersama-sama dengan India dan China, Indonesia berkontribusi terhadap 50 persen kasus TB di dunia (Kodim, 2012). Saat ini, menurut Kemenkes RI, angka kematian akibat TB di Indonesia mencapai 250 orang per hari, dengan jumlah kasus TB yang dilaporkan pada tahun 2009 adalah 528.063 dengan 236.029 diantaranya adalah BTA (+) (Kodim, 2011). Pola distribusi TB paru di Provinsi Sumatera Utara selama 5 tahun terakhir dapat dilihat pada Gambar 4. Penyakit TB paru sejak tahun 2007 sudah terjadi di hampir seluruh wilayah di Provinsi Sumatera Utara. Terjadi kecenderungan laporan kasus TB paru yang semakin banyak pada tahun 2010. Wilayah yang sebelumnya tidak melaporkan kasus (Pulau Nias) melaporkan keberadaan kasus ini dalam jumlah yang banyak sejak tahun 2010. Sementara itu rate penderita di kawasan Mandailing Natal terlihat tidak banyak berubah. Jika dilihat menurut pola distribusi tersangka TB di Provinsi Sumatera Utara selama 5 tahun terakhir dapat dilihat pada Gambar 5. Gambaran rate suspect TB tidak jauh berbeda dengan kasus TB dengan BTA (+). Rate tertinggi suspect TB ditemukan pada tahun 2010. Selama lima tahun terakhir, sebaran temuan suspect TB ini semakin meluas di seluruh wilayah Provinsi Sumatera Utara. Penyebaran kasus penderita TB maupun suspect TB di Provinsi Sumatera Utara memperlihatkan bahwa masalah ini telah meluas. Wilayah padat penderita TB dan suspect TB dalam 5 tahun terakhir sayangnya adalah wilayah yang jauh dari perkotaan. Kondisi ini mungkin menyebabkan penanganannya menjadi lebih rumit dan berkepanjangan. Versitaria dan Kusnoputranto (2011) menyebutkan bahwa masalah TB ini erat kaitannya dengan persoalan lingkungan, diantaranya kebersihan lingkungan dan kepadatan lingkungan perumahan masyarakat. Oleh karena itu, penanganannya juga seharusnya melibatkan modifikasi lingkungan pada kawasan dengan prevalensi padat penduduk, selain dengan strategi pengobatan lainnya. Pola distribusi campak di Provinsi Sumatera Utara selama 5 tahun terakhir dapat dilihat pada Gambar 6. Kasus campak yang ditemukan di Provinsi Sumatera Utara cenderung menurun jika dilihat dari distribusi rate campak selama lima tahun terakhir. Pada tahun 2011 hanya tinggal beberapa wilayah di kawasan Mandailing

161


Inovasi Vol. 10 No. 3, September 2013: 155-168

(a) 2007

(b) 2008

(c) 2009 Keterangan: Kategori Prevalensi Rate

(d) 2010 (e) 2011 Gambar 7. Distribusi pemetaan GIS terhadap penderita Malaria Klinis di Provinsi Sumatera Utara (a) 2007; (b). 2008; (c) 2009; (d) 2010; dan (e) 2011 berdasarkan Prevalensi Rate.

(a) 2007

(b) 2008

(c) 2009 Keterangan: Kategori Prevalensi Rate

(d) 2010 (e) 2011 Gambar 8. Distribusi pemetaan GIS terhadap penderita DBD di Provinsi Sumatera Utara (a) 2007; (b). 2008; (c) 2009; (d) 2010; dan (e) 2011 berdasarkan Prevalensi Rate. 162


GIS Untuk Surveilans Penyakit Menular di Sumatera Utara (Fotarisman Zaluchu)

(a) 2007

(b) 2008

(c) 2009

Keterangan: Kategori Prevalensi Rate

(d) 2010 (e) 2011 Gambar 9. Distribusi pemetaan GIS terhadap penderita Pneumonia di Provinsi Sumatera Utara (a) 2007; (b). 2008; (c) 2009; (d) 2010; dan (e) 2011 berdasarkan Prevalensi Rate.

Gambar tersebut memperlihatkan bahwa kasus penyakit DBD telah menyebar cukup luas di seluruh Provinsi Sumut kecuali beberapa wilayah saja. Beberapa wilayah dengan konsentrasi padat menunjukkan kejadian luar biasa (KLB) yang menimpa wilayah tersebut. Meski Case Fatality Rate (CFR) dari DBD hanya berkisar 1 persen (WHO, 2009), biaya akibat dengue sesungguhnya tidak kecil. Perhitungan pembiayaan sebenarnya tidak hanya mencakup biaya rawat inap (hospitalisasi) saja. Analisis pembiayaan dengue yang meliputi biaya rumah sakit, petugas kesehatan, dan keluarga sejak perawatan (morbidity) sampai dengan kasus fatal (mortalitas) pernah dilakukan oleh Thailand. Dengan jumlah penderita yang hanya setengah dari jumlah penderita DBD di Indonesia, total biaya yang harus dikeluarkan adalah sebesar US$ 417.796.124 (1998) yang meningkat lebih dari tiga kali lipat hanya dalam waktu 3 tahun saja. Sementara itu, perhitungan biaya yang dilakukan oleh Huy et.al (2009) di Kamboja menemukan bahwa biaya akibat dengue di masyarakat, mencapai US$ 23,1; angka ini

mencapai lebih dari 3 kali lipat pendapatan masyarakat dalam seharinya, padahal biaya akibat dengue ini kebanyakan diperoleh dari utang. Penyakit DBD erat kaitannya dengan masalah lingkungan. Salah satu yang menyebabkan penularannya berjalan dengan begitu cepat adalah padatnya lingkungan pemukiman (gambar 4.20). Barreto et al. (2008) menemukan bahwa penduduk di perkotaan memiliki risiko yang lebih tinggi untuk terinfeksi dengue jika terjadi epidemi. Penelitian tersebut menemukan kasus penularan yang lebih tinggi jika hubungan antar rumah lebih dekat. Kasus dengue dilaporkan tinggi pada wilayah yang padat berpendapatan rendah, serta sanitasi yang buruk (Hasyimi dkk, 2011). Kejadian letusan penyakit kini semakin kerap, karena sekali anggota keluarga terinfeksi, semua anggota keluarga berpotensi untuk terinfeksi pula (Gubler and Kuno, 1997). Banyak kota kini menjadi lebih padat dan lebih besar. Karena itu, penularan dengue menjadi lebih mudah dan menciptakan efek domino. 163


Inovasi Vol. 10 No. 3, September 2013: 155-168

(a) 2007

(b) 2008

(c) 2009 Keterangan: Kategori Prevalensi Rate

(e) 2011 (d) 2010 Gambar 10. Distribusi pemetaan GIS terhadap penyakit Influenza di Provinsi Sumatera Utara (a) 2007; (b). 2008; (c) 2009; (d) 2010; dan (e) 2011 berdasarkan Prevalensi Rate.

Pola distribusi pneumonia di Provinsi Sumatera Utara selama 5 tahun terakhir dapat dilihat pada Gambar 9. Laporan kasus pneumonia pada tahun 2007 (Gambar 9) hanya berasal dari beberapa wilayah saja. Akan tetapi sampai dengan tahun 2010 terjadi laporan yang berasal dari lebih banyak Kab/Kota meski kemudian menurun pada tahun 2011. Sehubungan dengan profil penyakit diare (Gambar 2), campak (Gambar 6), dan pneumonia (Gambar 9), maka imunisasi anak balita sering dikaitkan dengan kejadian penyakit tersebut. Berdasarkan hasil Riskesdas 2007, kejadian penyakit-penyakit di atas lebih banyak ditemukan pada anak balita yang tidak mendapatkan imunisasi dasar lengkap dibandingkan dengan yang mendapatkannya secara lengkap (Lestari dkk, 2009). Dalam pemetaan ini, identifikasi terhadap balita penderita penyakit tersebut memang tidak dapat dilakukan oleh karena ketidaktersediaan data, namun pada surveilans di waktu

mendatang diharapkan akan dapat dikumpulkan sehingga grafik distribusi menurut kelompok umur dapat di overlay di atas peta tersebut. Pola distribusi influenza di Provinsi Sumatera Utara selama 5 tahun terakhir dapat dilihat pada Gambar 10. Laporan penderita influenza dilaporkan bervariasi hampir di seluruh wilayah. Namun rate tertinggi pada tahun 2007 adalah di Kabupaten Toba Samosir (2007), lalu Tapanuli Selatan (2009 dan 2011), serta Labuhan Batu dan Pakpak Barat (2011). Geographic Information System (GIS) adalah metode sistem komputer yang memungkinkan untuk menangkap, menyimpan, menganalisa dan menggambarkan kondisi geografi yang berhubungan dengan informasi tertentu yang mengidentifikasi lokasi tertentu. GIS juga meliputi prosedur, pengoperasionalan personil dan data spasial yang berada dalam satu sistem. Metode GIS telah memberikan perubahan yang luar biasa termasuk dalam bidang 164


GIS Untuk Surveilans Penyakit Menular di Sumatera Utara (Fotarisman Zaluchu)

kesehatan. Kekuatan GIS adalah pada kemampuannya untuk menghubungkan informasi dalam konteks spasial dan menyimpulkan hubungan-hubungan yang mungkin terjadi. Kebanyakan informasi yang diketahui umumnya disebabkan karena perbedaan lokasi-lokasi. Oleh karena itulah, maka GIS akan sangat bermanfaat di dalam membantu penentu keputusan mengambil sebuah keputusan. Model penyampaian informasi melalui GIS umumnya berbeda dari sebuah informasi yang disampaikan melalui kertas kerja. Data yang ditampilkan melalui GIS umumnya lebih menarik dan mudah di akses terlebih bagi penentu keputusan yang tidak memiliki waktu kerja banyak. Sebagai tambahan, dengan adanya variasi warna memungkinkan informasi yang tersedia lebih mendalam lagi. Dengan demikian pola dan variasi penyakit misalnya akan dapat diketahui dengan lebih mudah dan lebih jelas. Prinsip dasar GIS adalah penyampaian informasi di atas sebuah peta sehingga hubungan antar keduanya akan lebih mudah disajikan. Dengan cara itu maka pengambil keputusan akan lebih cepat, efisien dan efektif. Dalam ilmu kesehatan masyarakat, epidemiologi adalah ilmu yang mempelajari

salah satunya mengenai konsep wilayah atau geografi. Mengetahui tempat penyakit pada mereka yang terkena, masalah, atau sumber daya, adalah metode yang efektif dan efisien untuk meningkatkan kualitas pelayanan di sebuah wilayah. Epidemiologi berfokus pada tempat (geografi) yang berperan penting di dalam mengerti dinamika penyakit, masalah kesehatan, penyebab, konsekuensi (dampak) dan penyebaran dari sebuah penyakit. Jika selama ini epidemiologi klasik hanya memandang masalah penyakit dengan menghubungkannya dengan keberadaan agent penyakit, host dan lingkungan, keberadaan GIS membantu menghadirkan hubungan yang lebih baik lagi, termasuk diantaranya dengan gaya hidup, lingkungan bahkan dengan pelayanan kesehatan yang diberikan. Karena itu, tidak mengherankan jika aplikasi GIS telah dilaksanakan di berbagai sektor kesehatan, diantaranya lembaga penelitian kesehatan masyarakat, rumah sakit-rumah sakit, pusat kesehatan masyarakat dan lembaga asuransi. Sebagaimana disarikan oleh Dever (2008), aplikasi dan contoh penelitian yang menggunakan metode pemetaan dengan teknik GIS digambarkan pada Tabel 1.

Tabel 1. Pemanfaatan analisis GIS dalam bidang kesehatan masyarakat Kepentingan Aplikasi Deskripsi Monitoring Status Kesehatan Untuk Sebagai bagian dari Kartu Laporan Kesehatan Mengidentifikasi Masalah Komunitas Komunitas, Dinas Kesehatan yang melayani 300 ribu penduduk dan 10 SMU melakukan pemetaan terhadap tingkat kehamilan remaja di setiap wilayah sekolah. Mengingat informasi tersebut bersifat rahasia dan bahwa rumah masing-masing anak remaja tersebut diproyeksikan, Dinas Kesehatan meng-kode setiap rumah dan jalan anak remaja yang hamil. Untuk memperkaya informasi yang didapatkan, untuk setiap sekolah digabungkan dengan pelayanan antenatal, menurut trimester kehamilan, untuk meningkatkan keterlibatan orangtua, sekolah dan siswa dalam dialog yang bertujuan untuk mengembangkan intervensi yang terbaik atas masalah tersebut. Mendiagnosa dan menginvestigasi masalah Para epidemiolog di sebuah rumah sakit kawasan kesehatan dan bahaya dalam masyarakat kota besar menggunakan data dari medical record untuk kasus-kasus asma untuk memetakan kasus setiap minggu dan periode sebelumnya. Dengan melakukan hal tersebut ternyata ditemukan adanya pola peningkatan asma yang dirawat inap dan menghitung rate masing-masing kasus. Ternyata ditemukan bahwa 8 dari 10 kasus yang menderita asma berasal dari sebuah perusahaan yang sama. Akhirnya, GIS kemudian memetakan potensi risiko yang dialami pekerja dan memberikan rekomendasi untuk dilakukannya perbaikan. Menginformasikan, memberikan pendidikan dan Di sebuah komunitas dikembangkan kampanye anti 165


Inovasi Vol. 10 No. 3, September 2013: 155-168

meningkatkan pemahaman masyarakat mengenai masalah kesehatan

Menggerakkan partisipasi masyarakat dan kerjasama serta aksi untuk mengidentifikasi dan menyelesaikan masalah kesehatan

Mengembangkan kebijakan dan rencana yang mendukung upaya individu maupun komunitas

Meningkatkan hukum dan perlindungan terhadap kesehatan dan menjamin keselamatan

Menghubungkan masyarakat dengan pelayanan kesehatan yang dibutuhkan dan menjamin layanan kesehatan tetap tersedia

Menjamin pelayanan kesehatan dan personil kesehatan yang kompeten Mengevaluasi efektifitas, aksesbilitas dan kualitas dari personil dan pelayanan kesehatan

Penelitian untuk mengetahui hal-hal baru untuk mengatasi masalah kesehatan

Surveilans penyakit

merokok. Kelompok ini memetakan kelompok mana yang paling berisiko merokok, serta menyusun blok (berdasarkan sensus) dimana perokok aktif umumnya bertempat tinggal, dan mengidentifikasi media komunikasi yang paling efektif dan waktu yang paling tepat untuk menyampaikan pesan anti merokok pada kelompok-kelompok khusus ini. Di sebuah komunitas, lokasi-lokasi gereja yang memiliki anak-anak balita dipetakan. Setelah itu Kementerian Kesehatan mengundang mereka untuk terlibat di dalam upaya meningkatkan cakupan imunisasi. Pada akhirnya, turut dipetakan tempattempat di sekitar gereja dimana imunisasi bisa didapatkan. Dengan demikian, para petugas gereja bisa membawa anak-anak balita dengan jarak yang lebih singkat. Pemetaan ini juga menolong mengidentifikasi wilayah mana yang memiliki cakupan imunisasi paling rendah, untuk mengembangkan intervensi yang lebih fokus. Sebuah peta berisi setiap klinik kesehatan dalam sebuah komunitas dibuat, termasuk rumah sakit yang aktif dan pelayanan kesehatan lainnya. Peta lain juga didisain untuk memperlihatkan pemanfaatan fasilitas tersebut. Dengan menggabungkan kedua hal itu maka utilisasi fasilitas kesehatan dapat ditingkatkan. Untuk menjamin perlindungan dan penanganan terhadap masalah lingkungan, maka sebuah wilayah merancang kode setiap aktifitas yang berada di wilayah tertentu dan membangun sebuah polygon berisi wilayah masing-masing. Setiap kali terdapat masalah, maka penanganannya berada di wilayah masing-masing dengan cara menemukannya dalam kode area masing-masing. Ditemukan bahwa penderita TB Paru umumnya berasal dari luar USA. Karena itu, dipetakanlah pelayanan kesehatan yang memiliki bahasa yang sama dengan asal usul penderita tersebut. Dengan menggunakan GIS juga disusun sebuah jalur transportasi mengenai bagaimana pasien tersebut bisa mencapai sarana pelayanan kesehatan dimaksud. Pelatihan jarak jauh oleh CDC menggunakan caller ID untuk mengidentifikasi peserta dengan menggunakan peta GIS Pelayanan kesehatan menyusun data GIS mengenai fasilitas pelayanan kesehatan termasuk pelayanan yang diberikan di setiap unit pelayanan, biaya, dan informasi demografis. Dengan menggunakan data ini, maka penentu keputusan dapat mengetahui apakah pelayanan kesehatan telah mengatasi masalah utama atau belum Pemetaan terhadap pertumbuhan populasi dalam perjalanan waktu disusun dalam sebuah peta, lalu menyusun perubahan dari setiap pengembangan kota, termasuk perumahan, jalan dan cakupan lahan lainnya. Peta ini berguna untuk pengembangan rencana penataan kota dan masalah yang mungkin muncul Pusat Pengendalian Penyakit Menular di Amerika 166


GIS Untuk Surveilans Penyakit Menular di Sumatera Utara (Fotarisman Zaluchu)

Statistik Vital

Pengendalian Penyakit Menular

Sanitasi Akses Maternal

Promosi Kesehatan

Respon terhadap bencana memulihkan masyarakat

dan

menolong

bekerjasama dengan negara-negara bagian berupaya menyusun data penyakit secara real-tima dan mengimplementasikan pemetaan penyakit berdasarkan pemetaan GIS dapat memberikan informasi mengenai pola kelahiran, kematian dan penyakit-penyakit yang dilaporkan GIS dapat mendokumentasikan populasi berisiko berdasarkan perilaku dan lingkungan masyarakatnya. GIS dapat memberikan risiko kesehatan kepada populasi untuk dapat mencegahnya secara dini. GIS dapat memetakan fasilitas makanan dan frekuensi pemeriksaan makanan di lokasi tersebut. GIS dapat memetakan fasilitas pelayanan kesehatan maternal yang ada dan akses ibu hamil terhadap pelayanan tersebut GIS dapat memberikan informasi mengenai pengetahuan masyarakat kemudian memetakan masyarakat yang paling membutuhkan. Dengan menggunakan fasilitas internet, maka promosi kesehatan dapat diberikan kepada mereka Bencana alam dapat merusak dan menghancurkan segala sesuatu tetapi GIS dapat mendokumentasikan informasi sebelum bencana dan prediksi mengenai akibat dari bencana.

Dalam konteks pengendalian penyakit, peran pemerintah daerah sangat penting. Sekarang ini penyakit menjadi lebih mudah dikendalikan karena masing-masing daerah memiliki perangkat untuk melaksanakanya. Dengan menyatukan berbagai daerah yang berbeda-beda dalam lingkup provinsi, maka perangkat surveilans bisa dilaksanakan dengan lebih mendetail. Selain itu, karena otoritas pengambilan keputusan atas penyakit berada dalam ruang lingkup masing-masing daerah, maka pengendalian penyakit menjadi sangat mudah. Akan tetapi model pemetaan untuk menjadikan surveilans penyakit menjadi lebih efektif ternyata masih belum dilaksanakan secara khusus di banyak daerah termasuk di Provinsi Sumatera Utara. Perangkat dan kemampuan sumber daya manusia, serta cara pandang terhadap peran pemetaan adalah salah satu kendala. Karena itulah diharapkan dengan adanya pemetaan ini, maka Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Utara akan memiliki kemampuan yang lebih di dalam mengendalikan penyakit menular.

penyakit menular data laporan kasus dari Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Utara telah memberikan peluang baru di dalam melaksanakan pemantauan dan pengendalian penyakit. Metode GIS juga memberikan alokasi risiko yang lebih besar antar wilayah sehingga dapat meningkatkan efisiensi dan efektifitas penanganan masalah di dalam keberadaan sumber daya yang terbatas. Memang masih diperlukan untuk melakukan digitasi yang lebih terperinci terhadap peta yang ada. Akan tetapi metode ini sudah dapat dikembangkan dan dijadikan topik penting dalam diskusi-diskusi dan workshop di dalam rangka membantu stakeholder kesehatan dalam hal-hal teknis. REKOMENDASI a. Diharapkan kepada Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Utara untuk meneruskan pemanfaatan data yang sebelumnya telah dibuat dalam bentuk peta dan dijadikan basis data untuk pengembangan program surveilans di masa mendatang serta menyampaikan hasilnya dalam bentuk diseminasi kepada unit surveilans di masingmasing Kabupaten/ Kota di Provinsi Sumatera Utara. b. Diharapkan kepada Dinas Kesehatan Kabupaten/ Kota untuk menggunakan metode pemetaan pada wilayah yang lebih

KESIMPULAN Penggunaan pemetaaan melalui GIS terhadap pengendalian penyakit menular ternyata dapat menjelaskan pola penyakit menular tersebut. Metode digitasi terhadap 9 167


Inovasi Vol. 10 No. 3, September 2013: 155-168

spesifik dengan menggunakan data spasial yang mendetail dengan menggunakan dua cara: mendapatkan peta dengan file shp atau melakukan digitasi seperti dilakukan dalam penelitian ini. c. Diharapkan kepada Dinas Kesehatan Provinsi untuk memantau faktor risiko penyakit sebagai bagian dari surveilans penyakit. Dengan adanya pemantauan terhadap faktor risiko ini maka profil penyakit akan lebih mudah dijelaskan konteksnya. d. Diharapkan kepada masing-masing Dinas Kesehatan di Provinsi Sumatera Utara untuk melakukan pertemuan rutin di dalam mengupgrade kemampuan pemetaan dengan melakukan modifikasi atau penambahan penyakit-penyakit lainnya. e. Diharapkan kepada masing-masing Dinas Kesehatan di Provinsi Sumatera Utara untuk dapat melakukan perencanaan sampai dengan evaluasi kegiatan sedapat mungkin menggunakan pemetaan sehingga lebih mudah melakukan sosialisasi dan diseminasi kepada pihak terkait.

Kamso, S., Purwantyastuti, Lubis, U., Dharmayati, Juwita, R., Robbi, K., Yull, Besral. 2011. Prevalensi Dan Determinan Sindrom Metabolik Pada Kelompok Eksekutif Di Jakarta Dan Sekitarnya. Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional, Vol. 6 (2) halaman 85-90. Kementrian Kesehatan RI. 2007. Laporan Hasil Riskesdas Provinsi Sumatera Utara 2007. Jakarta: Kemenkes RI. Kirch, W. 2008. Encyclopedia of Public Health, Volume 1. Springer Lawson, AB. dan Fiona LRW. 2001. An Introduction Guide to Disease Mapping. Jhon Wiley and Sons. Lai, P. dkk. Spatial Epidemiological Approaches in Disease Mapping and Analysis. CRC Press. Lestari, W., C.S, Tjira, E., dan Sandjaja. 2009. Dampak Status Imunisasi Anak Balita Di Indonesia Terhadap Kejadian Penyakit. Media Penelitian Dan Pengembangan Kesehatan, Vol. XIX halaman 5-12. Maheswaran, R dan Massimo C. 2004. GIS in Public Health. CRC Press. M’Ikanatha, NM. dkk. 2007. Infectious Disease Surveillance. Blackwell Publishing.

Daftar Pustaka Albert, PA. dkk. 2005. Spatial Analysis, GIS and Remote Sensing Applications in The Health Sciences. Ann Arbor Press

Nasrin, K., 2011. Hari Tuberkulosis Dunia. Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional, Vol. 5 (5) halaman 193-194.

Bailey L., dkk. 2005. Introduction to Epidemiology. Open University Press.

Nasrin, K., 2011. Elininasi malaria: Penting, Mampu, dan Harus. Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional, Vol. 5 (6) halaman 241-242

Budiyanto, E. 2002. Sistem Informasi Geografis Menggunakan ArcView GIS. Andi

Nasrin, K., 2012. Seberkas Harapan Deteksi Kasus Tuberkolosis Dini Di Tingkat Rumah Tangga. Jurnal Keseshatan Masyarakat Nasional, Vol. 6 (5) halaman 193-194.

Handayani, L., dan Siswanto. 2007. Pemodelan Risiko Kejadian Diabetes Mellitus. Buletin Penelitian Kesehatan, Vol. 35 (1) halaman 25-35. Hawker, dkk. 2005. Communicable Disease Control

Pffeifer, D.U. dkk. 2008. Spatial Epidemiology. Oxford University Press

Analysis

in

Handbook. Blackwell Publishing. Prahasta, E. 2007. Tutorial ArcView. Informatika Herawati, H., Maria dan Ghani, L. 2009. Hubungan Faktor Determinan Dengan Kejadian Tipoit Di Indonesia Tahun 2007, Media Penelitian Dan Pengembangan Kesehatan. Vol. XIX (4) halaman 165173.

Siahaan, L., 2011. Perbandingan Rapid Diagnostic Test dan Pemeriksaan Mikroskopik Pada Diagnosis Malaria. Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional, Vol. 5 (6) halaman 250-253.

Hasyimi, M., Ariati, Y., dan Hananto, M. 2011. Hubungan Tempat Penampungan Air Minum Dan Faktor Lainnya Dengan Kejadian Demam Berdarah Dengue (DBD) Di Provinsi DKI Jakarta Dan Bali. Media Penelitian Dan Pengembangan Kesehatn, Vol. XXI (2) halaman 55-61.

Soetiarto, F., Reselinda, dan Suhardi. 2010. Hubungan Diabetes Mellitus Dengan Obesitas Berdasarkan Indeks Masa Tubuh Dan Lingkar Pinggang Data Riskesda 2007. Buletin Penelitian Kesehatan, Vol. 38 (1) halaman 36-42. Versitaria, U., Hery dan Kusnoputranto, H,. 2011. Tuberkolosis Paru Di Palembang Sumatera Selatan. Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional, Vol. 5 (5) halaman 234-240.

Kay, B., V. Nam, T. Tien, N. Yen, T. Phong, V. Diep, et al. 2002. Cotrol of Aedes Vectors of Dengue in Three Provinces of Vietnam by use of Mesocylops (Cocepoda) and Commuity-Based Methods Validated by Entomologic, Clinical, and Serological Surveillance. Am J Trop Med Hyg, 66(1):40-48.

Wolfgang Ahrens dan Iris Pigeot. 2005. Handbook of Epidemiologi. Springer.

168


Kajian Daerah Pembentukan Provinsi Sumatera Tenggara (Jonni Sitorus dan Marlon Sihombing)

Hasil Penelitian KAJIAN DAERAH PEMBENTUKAN PROVINSI SUMATERA TENGGARA

(STUDIES OF SOUTH EAST SUMATRA ESTABLISHING) Jonni Sitorus* Sitorus*, Marlon Sihombing** Sihombing** * Badan Penelitian dan Pengembangan Provinsi Sumatera Utara Jl. Sisingamangaraja No. 198 Medan 20126 email: sitorus_jonni@yahoo.co.id **FISIP-Universitas Sumatera Utara

Diterima: 28 Maret 2013; Direvisi: 5 Mei 2013; Disetujui: 15 Juni 2013

ABSTRAK Pemekaran Provinsi Sumatera Utara menjadi salah satunya Provinsi Sumatera Tenggara telah diusulkan kepada pemerintah. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui dan menelaah secara mendalam tentang untuk memperoleh kelayakan administratif, teknis dan fisik kewilayahan dalam pembentukan Calon Provinsi Sumatera Tenggara sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pembentukan, Penghapusan, dan Penggabungan Daerah.Penelitian ini menggunakan suatu kekhususan metode penelitian sosial teknikal yang bersifat kualitatif deskriptif dengan fokus utamannya adalah masalahmasalah yang sifatnya sangat teknis.Penelitian sosial teknikal (tecnical social research) merupakan proyek penelitian yang terstruktur atau diselenggarakan untuk memecahkan masalah sosial melalui kebijakan yang sangat spesifik dan masalahnya dirumuskan secara khusus. Karena itu, penelitian ini mengaitkan dan menggambarkan gejala-gejala yang ada dan berkembang dikaitkan dengan berbagai peraturan atau kebijakan yang ada. Sehingga dapat ditarik sebuah kesimpulan:apakah wilayah Sumatera Tenggara layak menjadi satu provinsi atau tidak, yang ditinjau dari segi kelayakan administratif, teknis dan fisik kewilayahan. Selanjutnya data penelitian tersebut dianalisis menggunakan teknik analisa deskriptif dengan menggunakan PP No. 78 Tahun 2007 sebagai pedoman, sehingga menghasilkan kesimpulan yang komprehensif. Hasil penelitian ini menjelaskan bahwa perhitungan menurut PP No. 78 Tahun 2007, skor total calon Provinsi Sumatera Tenggara berdasarkan data yang diperoleh adalah sebesar 366 dengan kategori mampu (direkomendasikan). Dengan demikian kesimpulan normatif dikategorikan direkomendasikan menjadi daerah otonom baru. Maka Calon Provinsi Sumatera Tenggara direkomendasi dapat dimekarkan menjadi daerah otonom baru.Hasil rekomendasi ini sejalan dengan data kualitatif, data lapangan menunjukkan bahwa komitmen masyarakat Sumatera Tenggara untuk menjadi provinsi sangat kuat, aspirasi publik yang sangat kuat ini perlu disikapi oleh pemerintah pusat. Sebab, Sumatera Tenggara termasuk kategori pulau terluar yang harus dijaga untuk menghindari para warga negara lain masuk ke Indonesia dari Negara Magadaskar atau Hindia. Kata Kunci: pembentukan Provinsi, Sumatera Tenggara, administratif, teknis dan kewilayahan

ABSTRACT The South Sumatra Province has been proposed to be developed from North Sumatra Province. The purpose of this study was to determine and examine in depth the feasibility of obtaining administrative, technical and physical territorial establishment candidate in South Sumatra province as provided for in Article 4 paragraph (1) of Government Regulation No. 78 Year 2007 on Procedures for the Establishment, Abolition, and Region Merging . This study uses a technical specificities of social research methods qualitative descriptive utamannya focus is the issues are highly technical. Socio-technical study (tecnical social research) is a research project which is structured or organized to solve social problems through a very specific policy and the problem is formulated specifically. Therefore, the research associate and describe the symptoms associated with existing and emerging regulations or policies that exist. So it can be drawn a conclusion: if

169


Inovasi Vol. 10 No. 3, September 2013: 169-178

the Southeast Sumatra province deserves to be one or not, the eligibility terms of administrative, technical and physical territorial. Further study data were analyzed using descriptive analysis techniques using PP. 78 of 2007 as a guide, so as to produce a comprehensive conclusion. This study describes the results of that calculation according to the PP. 78 In 2007, the total score of the prospective South Sumatra province is based on data obtained at 366 with category capable (recommended). Thus the normative conclusions recommended categorized into a new autonomous region. Then the recommended candidate Southeast Sumatra province can be expanded into a new autonomous region. This recommendation is in line with the results of the qualitative data, field data show that the public commitment of South Sumatra province to be very strong, a very strong public aspirations need to be taken by the central government. Therefore, Southeast Sumatra category outer islands to be maintained to avoid the other citizens of the State in Indonesia Magadaskar or Indian. Keywords: establishing Province, Southeast Sumatra, administrative, technical and territorial

mengurus urusan pemerintah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia�. Tjokroamijoyo (1987) membedakan bentukbentuk desentralisasi (pelimpahan administrasi pemerintahan di daerah) dalam empat kelompok. Pertama adalah dekonsentrasi, dalam arti pelaksanaan kegiatan didaerah dilakukan oleh cabang-cabang unit kegiatan-kegiatan pemerintah pusat. Delegasi kewenangan tidak diberikan sepenuhnya, dan dalam banyak hal hanya merupakan alat pelaksanaan tugas-tugas pemerintah pusat yang perlu dilakukan di daerah tersebut.Kedua adalah devolusi atau desentralisasi dalam arti sebenarnya, seringkali disebut pemberian otonomi. Dalam hal ini terdapat suatu delegasi kewenangan serta hukum yang berarti penyerahan tugas-tugas pemerintahan kepada tingkat daerah, kewenangan ini tidak saja bersifat administratif, tetapi juga politik. Pengambilan keputusan terakhir di bidang-bidang tertentu, dalam hal pemberian otonomi atau desentralisasi ini diserahkan kepada pemerintah daerah. Pengertian pemerintah daerah juga berarti peranan perwakilan rakyat daerah. Ketiga adalah sertatantra. Untuk kegiatan-kegiatan tertentu di daerah, beberapa bagian kegiatan pemerintah pusat dapat dilakukan dalam hubungan kerja dengan pemerintah daerah. Bentuk-bentuk sertatantra adalah tugas-tugas pekerjaan dalam kewenangan pemerintah pusat diserahkan penyelenggaraannya kepada pemerintah daerah. Keempat bentuk-bentuk kegiatan yang merupakan pembinaan pemerintah (pusat maupun daerah) tetapi dilakukan berdasarkan inisiatif dan partisipasi masyarakat setempat. Program-program partisipatif ini biarpun ada kaitannya dengan suatu kebijakan pemerintah, tetapi pelaksanaannya didesentralisir bahkan dihubungkan dengan kegiatan masyarakat secara langsung. Contoh bentuk ini adalah

PENDAHULUAN Pembangunan mengalami perubahan secara signifikan dengan diterapkannya aktivitas pembangunan yang adil dan merata yang didasarkan karakteristik kewilayahan. Pembangunan membawa perubahan yang sangat signifikan terhadap perubahan sistem kepemerintahaan di Indonesia, yaitu menjadi suatu sistem kepemerintahan yang desentralistis dan yang lebih terfokus pada wujud public service, citizens empowerment serta warna perilaku pemerintahan yang membuka lebar pintu partisipasi publik. Dalam konteks ini, eksistensi manusia sebagai subyek dan obyek pembangunan semakin proporsional. Simon (1982) mengatakan bahwa pelaksanaan desentralisasi akan membawa efektivitas dalam pemerintahan, sebab wilayah negara pada umumnya terdiri dari pelbagai satuan kawasan yang masing-masing memiliki karakter tersendiri, baik dari sudut pandang fisik-geografis, seperti kondisi tanah, iklim, curah hujan, flora-fauna, sudut pandang kebudayaan, sampai sudut pandang ekonomi. Pendapat Mardiasmo (2002) mengatakan secara teoritis desentralisasi diharapkan akan menghasilkan dua manfaat yaitu; pertama, mendorong peningkatan partisipasi, prakarsa dan kreativitas masyarakat dalam pembangunan, serta mendorong pemerataan hasil-hasil pembangunan (keadilan) diseluruh daerah dengan memanfaatkan sumber daya dan potensi yang tersedia di masing-masing daerah. Kedua, memperbaiki alokasi sumber daya produksi melalui pergeseran pengambilan keputusan publik ke tingkat pemerintah yang paling rendah yang memiliki informasi yang paling lengkap. Berdasarkan Undang – Undang Nomor 32 tahun 2004 desentralisasi adalah “penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada daerah otonomi untuk mengatur dan

170


Kajian Daerah Pembentukan Provinsi Sumatera Tenggara (Jonni Sitorus dan Marlon Sihombing)

program pembangunan masyarakat desa, perkoperasian dan lain-lain. Bryant dan White (1989) mengatakan “desentralisasi dapat bersifat administratif dan politik. Desentralisasi administratif biasanya disebut dekonsentrasi dan berarti delegasi wewenang kepada tingkat-tingkat lokal.Para pejabat tingkat lokal bekerja dalam batas-batas rencana dan sumber-sumber anggaran, namun mereka memiliki elemenen kebijakasanaan dan kekuasaan (diskresi) serta tanggung jawab tertentu dalam hal sifat hakekat jasa dan pelayanan tingkat lokal. Diskresi mereka dapat bervariasi mulai dari peraturan-peraturan proforma sampai keputusan-keputusan yang substansial. Desentralisasi politik atau devolusi berarti wewenang pembuatan keputusan dan kontrol tertentu terhadap sumber-sumber daya diberikan pada pejabat-pejabat regional dan lokal Terdapat gejala yang samaberkembang di hampir semua daerah, yakni bahwa masingmasing daerah ingin mencapai percepatan dalam pembangunan, tidak ingin mengalami ketertinggalan dari daerah yang lain. Gejalagejala perkembangan seperti ini sangat umum terjadi baik dalam satuan masyarakat, baik pada tingkat provinsi maupun kabupaten dan kota di Indonesia. Secara umum masyarakat di daerahdaerah saat ini menuntut lebih keras agar berbagai masalah dan kendala yang yang terjadi dalam proses pembangunan direspon dan diselesaikan dengan cepat. Tuntutan ini meliputi masalah dan kendala pembangunan di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, kelembagaan, infrastruktur dan lain-lain. Demikian kerasnya tuntutan tersebut, sehingga tidak jarang menimbulkan permasalahan baru dan berdampak negatif dalam pembangunan yang sedang berlangsung. Demikian halnya dengan masyarakat yang ada di wilayah Tapanuli bagian Selatan ternyata juga memiliki aspirasi tersendiri, dimana masyarakat di kelima kabupaten dan kota tersebut menginginkan pemekaran wilayah dalam bentuk lain. Jika sebelumnya mereka menginginkan pemekaran wilayah dengan melahirkan daerah otonom kabupaten, maka aspirasi masyarakat kemudian berkembang dalam bentuk pendirian daerah otonom baru dalam bentuk provinsi. Demikianlah, pada awalnya lima kabupaten/kota yang ada di wilayah Tapanuli bagian Selatan menyampaikan aspirasinya dengan mengusulkan pendirian provinsi baru yaitu Provinsi Tapanuli, ternyata masyarakat yang dari wilayah Tapanuli Bagian Selatan secara sistematis dan aklamatis menyampaikan aspirasi perihal yang sama, yaitu

pembentukan provinsi baru. Disebut aklamatis karena gaung tersebut hampir tidak diwarnai polemik, sebagaimana terjadi pada perkembangan aspirasi pemekaran wilayah dalam bentuk usulan pembentukan provinsi baru di wilayah Sumatera Utara sebelumnya. Sabarno (2007) penentuan pemekaran wilayah menjadi dua atau lebih daerah pada dasarnya disebabkan oleh konsep objektif agar fungsi pemekaran wilayah dapat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat dengan mendasarkaan pada hukum dan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dengan demikian, pemekaran daerah otonom merupakan kesimbangan antara hak dan tanggung jawab antara pemerintah daerah dan warga masyarakatnya. Suatu wujud tuntutan yang sering muncul dan kuat dari masyarakat daerah pada saat ini adalah anggapan bahwa setiap wilayah memiliki hak yang sama untuk memekarkan diri menjadi daerah otonom baru, apalagi jika dikaitkan dengan keadilan pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya serta efektifitas dan efisiensi pelayanan publik. Upaya pemekaran wilayah selalu menjadi jawaban utama yang tidak dapat ditawar-tawar untuk menyelesaikan berbagai persoalan (J. Kaloh, 2007). Demikianlah, bahwa Provinsi SumateraTenggara yang direncanakan meliputi tujuh kabupaten/kota, masing-masing kabupaten Tapanuli Selatan, kabupaten Mandailing Natal, kabupaten Padang Lawas Utara,kabupaten Padang Lawas Selatan dan kabupaten Tapanuli Tengah, serta Kota Padangsidimpuan dan kota Sibolga, dengan Padangsidimpuan sebagai ibukota. Dalam waktu yang relatif singkat, rencana pembentukan Provinsi Sumatera Tenggara ini sudah disepakati para bupati/wali kota dan DPRD ketujuh daerah. Hal yang sangat perlu dicatat, bahwa dasar pemikiran sebagai landasan rencana pengusulan pembentukan provinsi baru, yaitu provinsi Sumatera Tenggara ini seperti yang diutarakan dalam seminar “Percepatan Pembangunan Tabagsel yang terintegrasi Memenuhi Harapan Stakeholder“pada tanggal 22 Januari tahun 2012, bahwa pembentukan Provinsi Sumatera Tenggara sangat layak karena kawasan ini dinilai memiliki potensi yang sangat besar dan menjadi modal awal bagi percepatan pembangunan. Adapun tujuan penelitian ini adalahmenganalisis dan menelaah secara komprehensif dan terukur tingkat kelayakan pembentukan calon Provinsi Sumatera Tenggara. 171


Inovasi Vol. 10 No. 3, September 2013: 169-178

calon provinsi tentang persetujuan pembentukan calon provinsi; c) Keputusan DPRD provinsi induk tentang persetujuan pembentukan calon provinsi berdasarkan hasil Rapat Paripurna; d) Keputusan gubernur tentang persetujuan pembentukan calon provinsi; dan e) Rekomendasi Menteri. Berdasarkan persyaratan administratif pembentukan daerah provinsi khususnya calon provinsi Sumatera Tenggara dari Kelima persyaratan administratif yang terpenuhi sebanyak 3 (Tiga) surat rekomendasi dari kabupaten/ kota yang ada, Rekomendasi masing-masing Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/ Kota serta Rekomendasi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Sumatera Utara. Sedangkan untuk rekomendasi Gubernur Sumatera Utara belum dapat diberikan mengingat masih ada proses penelitian terhadap kebijakan ini pada tahun 2012. Rekomendasi Menteri Dalam Negeri dapat diberikan setelah menelaah dan mempelajari persaratan yang diajukan dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 78 Tahun 2007 setelah persyaratan administrasi hingga tingkat Gubernur Sumatera Utara (Provinsi Induk) diselesaikan. Beberapa Kabupaten/Kota Calon Provinsi Sumatera Tenggara merupakan pemekaran dari Kabupaten/Kota yang ada sebelumnya. Melalui Aspirasi masyarakat dan Pemerintah Tingkat II Kabupaten Tapanuli Selatan, serta Peraturan Pemerintah Nomor 32 tahun 1982, dan melalui rekomendasi DPRD Tapanuli Selatan Nomor 15/KPTS/1992 dan Nomor 16/KPTS/1992, maka kota Administratif Padangsidimpuan diusulkan menjadi Kotamadya Daerah Tingkat II, bersamaan dengan pembentukan Kabupaten Daerah Tingkat II Mandailing Natal. Setelah dibentuknya Kabupaten Mandailing Natal, maka melalui:1.Surat Bupati Tapanuli Selatan Nomor 135/1078/2000 tanggal 30 Nopember 2000; 2. KEP.DPRD Tapanuli Selatan Nomor 01/PIMP/2001 tanggal 25 Januari 2001 serta; 3. Surat Gubernur Sumatera Utara Nomor 135/1595/2001 tanggal 5 Pebruari 2001, maka diusulkanlah pembentukan kota Padangsidimpuan. Usulan tersebut kemudian dipenuhi Pemerintah (Pusat), yaitudengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 4 tahun 2001 tentang Pembentukan Kota Padangsidimpuan. Selanjutnya pada tanggal 17 Oktober 2001, Menteri Dalam Negeri atas nama Presiden RI meresmikan Padang Sidimpuan menjadi Kota. Pembagian daerah administrasi pemerintahan mengalami perubahan. Pada tahun 1956, daerah Tapanuli Bagian Selatan

METODE Tipe penelitian ini dirancang sebagai suatu penelitian deskriptif yang bertujuan menggambarkan dan mempelajari fenomenafenomena dalam masyarakat, serta tata cara yang berlaku dalam masyarakat serta situasi tertentu, termasuk tentang hubungan kegiatan yang ada, sikap dan pandangan, serta proses– proses yang sedang berlangsung dari suatu fenomena sosial.Adapun populasi penelitian ini mencakup keseluruhan objek data dan informasi yang berkaitan dengan keberadaan persyaratan administrasi, persyaratan teknis serta persyaratan fisik kewilayahan yang melekat pada Kabupaten Tapanuli Selatan, Kota Padang Sidimpuan, Kabupaten Mandailing Natal, Kabupaten Padang Lawas, Kabupaten Padang Lawas Utara, Kabupaten Tapanuli Tengah dan Kota Sibolga. Data dianalisis secara kuantitatif dan kualitatif. Khusus untuk analisis data-data statistik digunakan teknik analisis statistik berupa: penilaian yang digunakan adalah sistem skoring untuk pembentukan daerah otonom baru. HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Calon Provinsi Sumatera Tenggara dari aspekpersyaratan administrative dapat disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Rekomendasi/keputusan persyaratan administratif Keterangan No Rekomendasi/Keputusan Tidak Ada Ada 1 Keputusan masing-masing √ DPRD kabupaten/ kota 2 Keputusan bupati/ √ walikota 3 Keputusan DPRD provinsi √ induk 4 Keputusan gubernur √ tentang persetujuan 5 Rekomendasi Menteri √ Sumber : Data Penelitian 2012 Jika dicermati Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 78 Tahun 2007 tentang Tata cara Pembentukan, Penghapusan, dan Penggabungan Daerah. Pada pasal 4 disebut syarat administratif pembentukan daerah provinsi terdiri dari: a) Keputusan masingmasing DPRD kabupaten/kota yang akan menjadi cakupan wilayah calon provinsi tentang persetujuan pembentukan calon provinsi berdasarkan hasil Rapat Paripurna; b) Keputusan bupati/walikota ditetapkan dengan keputusan bersama bupati/walikota wilayah 172


Kajian Daerah Pembentukan Provinsi Sumatera Tenggara (Jonni Sitorus dan Marlon Sihombing)

dibentuk menjadi satu kabupaten tersendiri, dengan nama Kabupaten Tapanuli Selatan. Hal ini dinyatakan dalam Undang-Undang Darurat Nomor 7 Tahun 1956. Dalam Pasal 1 ayat 10 Undang-Undang tersebut disebutkan, bahwa Kabupaten Tapanuli Selatan dengan batas-batas yang meliputi wilayah Afdeeling Padangsidimpuan sesuai Staatsblad 1937 No. 563. Perubahan nama wilayah Tapanuli Bagian Selatan menjadi Kabupaten Tapanuli Selatan ini mengakibatkan seluruh pegawai yang ada pada kantor Bupati Angkola Sipirok, Kantor Bupati Padang Lawas dan Kantor Bupati Mandailing Natal diakuisisi menjadi pegawai Kantor Bupati Kabupaten Tapanuli Selatan yang ibukotanya di Padangsidimpuan. Sebelum Mandailing Natal menjadi sebuah kabupaten, wilayah ini masih termasuk Kabupaten Tapanuli Selatan. Setelah terjadi pemekaran, dibentuklah Kabupaten Mandailing Natal berdasarkan undang-undang Nomor 12 tahun 1998, secara formal diresmikan oleh Menteri Dalam Negeri pada tanggal 9 Maret 1999. Kabupaten Padang Lawas adalah hasil pemekaran dari KabupatenTapanuli Selatan.Kabupaten ini resmi berdiri sejak diundangkannya Undang-Undang Republik Indonesia, Nomor 38, Tahun 2007, tepatnya pada tanggal 10 Agustus 2007, bersama-sama dengan dibentuknya Kabupaten Padang Lawas Utara, menyusul RUU yang disetujui pada 17 Juli2007. Ibukota kabupaten ini adalah Sibuhuan.Adapun dasar hukum pendirian Kabupaten Padang Lawas Utara adalah UndangUndang Republik Indonesia Nomor 37 tahun 2007, yang ditetapkan pada tanggal 10 Agustus 2007.Kabupaten yang menjadi pemekaran dari Kabupaten Tapanuli Selatan ini memiliki ibukota, yaitu Gunung Tua, sebagai pusat pemerintahan dan perdagangan. Tapanuli Tengah adalah sebuah kabupaten di Sumatera Utara.Ibu kotanya adalah Pandan. Kabupaten Tapanuli Tengah sebagai Daerah Otonom dipertegas oleh Pemerintah dengan Undang-undang Nomor 7 Drt 1956 tentang Pembentukan Daerah Otonom kabupatenkabupaten dalam lingkungan Daerah Propinsi Sumatera Utara. Berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Tapanuli Tengah Nomor 19 Tahun 2007 maka ditetapkan Hari Jadi Kabupaten Tapanuli Tengah adalah tanggal 24 Agustus 1945. Ditinjau dari sudut persyaratan teknis,untuk menentukan nilai kelulusan menjadi daerah otonom baru diatur dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 78 Tahun 2007seperti pada Tabel 2.

Berdasarkan Tabel 2. di atas bahwa total nilai minimum yang harus dipenuhi oleh sebuah calon daerah otonom baru dan daerah induknya untuk dapat direkomendasikan minimum memiliki skor 340 dengan kategori “mampu�. Formulasi nilai ini diperoleh dari pemberian skor pada indikator-indikator yang ditetapkan sebagaai kriteria kelulusan. Penilaian yang digunakan adalah sistem skoring, untuk pembentukan daerah otonom baru terdiri dari 2 macam metode yaitu: 1) metode rata-rata, dan 2) metode kuota. Hasil penilaian indikator Calon Provinsi Sumatera Tenggarayang mengacu pada PP No. 78 Tahun 2007 disajikan pada Tabel 3. Berdasarkan Tabel 3 terlihat bahwa skor total calon Provinsi Sumatera Tenggara sementara berdasarkan data terakhir yang diperoleh adalah sebesar 405(kategori mampu). Bila merujuk kepada syarat penerimaan atau penolakan pemekaran daerah menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 78 tahun 2007 yang menyatakan bahwa usulan pembentukan daerah otonom baru ditolak apabila calon daerah otonom atau daerah induknya (setelah pemekaran) mempunyai total nilai seluruh indikator dengan kategori kurang mampu (skor total: 260-339), tidak mampu (skor total: 180-259) dan sangat tidak mampu (skor total: 100-179) dalam menyelenggarakan otonomi daerah. Dengan membandingkan hasil penilaian dan kriteria persyaratan teknis maka calon Provinsi Sumatera Tenggara cenderung dapat dikatakan mampu berdiri sebagai daerah otonom baru setingkat provinsi. Masing-masing Kabupaten/Kota Calon Provinsi Sumatera Tenggara memiliki wilayah yang sangat berpotensi untuk dikembangkan. Saat ini aset pendidikan berupa sekolah di Kota Padangsidimpuan tercatat TK sebanyak 13 unit negeri dan swasta. Tingkat SD, MIN (Madrasah Ibtidaiyah Negeri) dan swasta sebanyak 91 unit. Setingkat SMP, MTs negeri dan swasta 34 unit dan SMA, MA, dan SMK negeri dan swasta sebanyak 37 unit. Sedangkan Perguruan Tinggi negeri dan swasta sebanyak 10 unit. Satusatunya Perguruan Tinggi Negeri di kota Padangsidimpuan adalah STAIN Padangsidimpuan. Bahkan satu di antara perguruan tingi swasta, yakni Universitas Graha Nusantara saat ini sedang tahap proses menjadi Perguruan Tinggi Negeri.

173


Inovasi Vol. 10 No. 3, September 2013: 169-178

Tabel 2. Kriteria kelulusan daerah otonom baru Kategori Total nilai seluruh indikator Keterangan Sangat mampu 420 s/d 500 Rekomendasi Mampu 340 s/d 419 Rekomendasi Kurang mampu 260 s/d 339 Ditolak Tidak mampu 180 s/d 259 Ditolak Sangat tidak mampu 100 s/d 179 Ditolak Sumber:Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 78 Tahun 2007 Tabel 3. Hasil penilaian indikator untuk calon Provinsi Sumatera Tenggara Nilai RataFaktor Indikator Skor Rata Jumlah penduduk. 0,530868996 3 Kependudukan 5 Kepadatan penduduk 2,783174113 2 PDRB non migas perkapita. 0,327787283 Kemampuan 5 Pertumbuhan ekonomi. 0,897742076 Ekonomi Kontribusi PDRB non migas 0,949190356 5 Rasio bank dan lembaga keuangan non bank 2 per 10.000 penduduk. 0,244897959 Rasio kelompok pertokoan per 10.000 3 Potensi penduduk. 0,570258196 daerah 4 Rasio pasar per 10.000 penduduk 0,757044929 5 Rasio sekolah SD per penduduk usia SD. 0,964919614 5 Rasio sekolah SLTP per penduduk usia SLTP. 1,817641942 5 Rasio sekolah SLTA per penduduk usia SLTA. 6,489703182 Rasio fasilitas kesehatan per 10.000 5 penduduk. 1,951809713 2 Rasio tenaga medis per 10.000 penduduk. 0,346306076 Persentase rumah tangga yang mempunyai kendaraan bermotor atau perahu atau 2 perahu motor atau kapal motor. 0,225862774 Persentase pelanggan listrik terhadap jumlah 3 rumah tangga. 0,551200175 Potensi Rasio panjang jalan terhadap jumlah 5 daerah kendaraan bermotor. 27,81265424 Persentase pekerja yang berpendidikan minimal SLTA terhadap penduduk usia 18 5 tahun ke atas. 0,831488315 Persentase pekerja yang berpendidikan minimal S-1 terhadap penduduk usia 25 5 tahun ke atas. 1,206587411 Rasio pegawai negeri sipil terhadap 5 penduduk. 4,070166191 Jumlah PDS. 5,600622540 5 Kemampuan Keuangan

Sosial Budaya

Sosial Politik

15 5 5 5 5

(Skor X Bobot) 45 25 10 25 25

2

4

1

3

1 1 1 1

4 5 5 5

1

5

1

2

1

2

1

3

1

5

1

5

1

5

1

5

5

25

Bobot

Rasio PDS terhadap jumlah penduduk.

8,562711739

5

5

25

Rasio PDS terhadap PDRB non migas. Rasio sarana peribadatan per 10.000 penduduk. Rasio fasilitas lapangan olahraga per 10.000 penduduk.

8,812535584

5

5

25

4

2

8

4

2

8

Jumlah balai pertemuan Rasio penduduk yang ikut pemilu legislatif penduduk yang mem-punyai hak pilih.

0,356307142

2

1

2

5

3

15

174

0,758644729 0,771223705

1,292307692


Kajian Daerah Pembentukan Provinsi Sumatera Tenggara (Jonni Sitorus dan Marlon Sihombing)

Faktor

Luas Daerah

Pertahanan

Keamanan Tingkat Kesejahteraan masyarakat

Indikator Jumlah organisasi kemasya-rakatan. Luas wilayah keseluruhan. Luas wilayah efektif yang dapat dimanfaatkan. Rasio jumlah personil aparat per-tahanan terhadap luas wilayah. Karakteristik wilayah, dilihat dari sudut pandang pertahanan. Rasio jumlah personil aparat keamanan terhadap jumlah penduduk.

Indeks Pembangunan Manusia Rata-rata jarak kabupaten/kota atau kecamatan ke pusat pemerintahan (provinsi atau kabupaten/kota). Rentang Rata-rata waktu perjalanan dari Kendali kabupaten/kota atau kecamatan ke pusat pemerintahan (provinsi atau kabupaten/kota) Skor total 405 Sumber: Hasil Pengolahan Data Primer/ Sekunder, 2012

Penghasilan masyarakat Padangsidimpuan sebagian besar bertani, meliputi persawahan dan perkebunan. Produksi perkebunan yang utama adalah salak, karet, kopi, kelapa, kakao, cengkeh, kemiri dan kulit manis. Masih banyak lagi jenis produk perkebunan lainnya di kota ini.Tepat di pusat kota, terdapat alun-alun yang disebut dengan Alaman Bolak (Halaman Luas), Plaza Anugrah dan Masjid Raya. Kota ini juga memiliki klub sepakbola yang bernama PSKPS (Persatuan Sepakbola Kota Padangsidimpuan) yang bermarkas di stadion Naposo. Untuk pengelolaan air bersih di Kota Padangsidimpuan dikelola oleh PDAM Kota Padangsidimpuan dengan menggunakan sistem BNA, dengan sumber air bersih dari sumber air permukaan. Kabupaten Tapanuli Selatan banyak memiliki objek wisata yang menarik, antara lain Danau Buatan Cekdam (di daerah Pargarutan), Danau Siasis, Danau Marsabut, Pemandian Aek Parsariran (di daerah Batang Toru), Pemandian Aek Sijorni, bukit (tor) Simago-mago (sipirok), Istana Adat di Muara Tais, wisata kerajinan tenun kain ulos tradisional dan panorama alam yang sejuk di daerah Sipirok, yang kesemuanya dapat dikelola dengan baik dan dikembangkan, sehingga dapat menjadi sumber aset daerah tersebut. Perekonomian Kabupaten Mandailing Natal ditopang sarana prasarana ekonomi berupa: 1) tersedia tenaga listrik dengan kapasitas terpasang sebesar 60 MVA dan daya produksi

Nilai RataRata 0,898487395 1,247941209 0,014099158 0,215476872 0,857142857 0,686838463

Skor

Bobot

5 5

2 2

(Skor X Bobot) 10 10

1

3

3

2

3

6

5

2

10

4

5

20

5

5

25

5

2

10

5

3

15

0,938719495

1,716851676 0,921058078

49.507.816 MWH; 2) tersedianya sarana telekomunikasi berupa telepon kabel dengan kapasitas terpasang 4.872 SST, dan telepon selular dari berbagai operator seperti Telkomsel, Indosat, XL, AXIS dan 3) Sarana jalan sepanjang 2.110 km terdiri dari jalan negara 297,70 km, jalan propinsi 161,65 km dan jalan kabupaten 1.423,18 km; 4) tersedia pelabuhan laut 1 (satu) buah yakni pelabuhan Sikara-Kara yang dapat dilabuhi kapal dalam negeri; 5) tersedianya 9 buah bank, terdiri dari 4 buah bank Pemerintah dan 5 buah bank swasta, serta 1 buah kantor Pegadaian; dan 6) Tersedianya 30 pasar, terdiri dari 1 unit pasar kelas I di Panyabungan 1 unit pasar kelas II di Kotanopan dan 28 unit pasar kelas III tersebar pada 22 kecamatan. Dan sedang dibangun 1 unit pasar modern (Madina Square) di kota Panyabungan. Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB) Kabupaten Mandailing Natal tahun 2007 sebesar Rp. 2.260.838.780.000 dengan pendapatan perkapita Rp. 5.464.263 dan tingkat pertumbuhan ekonomi 6,12 % per tahun. Struktur perekonomian Kabupaten Mandailing Natal secara umum adalah: pertanian sebesar 45,42 %; pertambangan dan penggalian sebesar 1,54 %; industri pengolahan sebesar 3,53 %; listrik, gas dan air bersih sebesar 0,32 %; bangunan: 10,05 %; perdagangan hotel dan restoran sebesar 17,79%; pengangkutan dan komunikasi sebesar 4,63 %; keuangan, 175


Inovasi Vol. 10 No. 3, September 2013: 169-178

persewaan dan jasa perusahaan sebesar 2,01 %; dan jasa-jasa sebesar 14,67 %. Kemajuan pembangunan manusia secara umum dapat dilihat dari perkembangan angka Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Angka tersebut mencerminkan pencapaian kemajuan di bidang pendidikan, kesehatan, dan ekonomi. IPM diukur dengan menggunakan 4 variabel pokok yaitu Angka Harapan Hidup, Angka Melek Huruf, Rata-rata Lama Sekolah, dan Pengeluaran Per-Kapita “Riilâ€?, sesuai dengan indikator yang direkomendasikan oleh PBB. IPM Kabupaten Padang Lawas Utara pada tahun 2009 sedikit naik bila dibandingkan tahun sebelumnya, yaitu sebesar 72,11 dan 71,85 pada tahun 2008. Kabupaten Padang Lawas Utara mempunyai banyak potensi pariwisata yang nantinya bisa menjadi potensi Pendapatan Daerah yang begitu memungkinkan meningkatkan pendapatan daerah. Seperti, Candi Bahal di Kecamatan Portibi, Tugu Perjuangan di Pusat Pasar Gunungtua, Pemandian air panas di Pangirkiran, Tugu Perjuangan di Sigama, dan masih banyak lagi.Jika seandainya pemerintah setempat mau menggali potensi yang begitu besar itu. Masyarakat Padang Lawas Utara pasti akan lebih makmur. Potensi utama perekonomian Kota Sibolga bersumber dari perikanan, pariwisata, jasa, perdagangan dan industri maritim. Hasil utama perikanan, antara lain, kerapu, tuna, kakap, kembung, bambangan, layang, sardines, lencam dan teri. Pelabuhan laut kota Sibolga cukup ramai disinggahi kapal-kapal yang akan menuju pulau Nias. Pulau-pulau yang termasuk tempat wisata dalam kawasan kota Sibolga adalah Pulau Poncan Gadang, Pulau Poncan Ketek, Pulau Sarudik dan Pulau Panjang. Sementara sungaisungai yang dimiliki, yakni Aek Doras, Sihopohopo, Aek Muara Baiyon dan Aek Horsik. Secara demografis, penduduk Tapanuli Tengah tahun 2012 berjumlah 311.228 jiwa dengan kepadatan penduduk 142 jiwa per km². Laju pertumbuhan penduduk periode tahun 2000-2005 sebesar 1,86% per tahun. Komposisi penduduk di Tapanuli Tengah yaitu 50,20% lakilaki dan 49,80% perempuan.Jumlah penduduk yang relatif besar serta tingkat kepadatannya dengan rentang kendali ke Ibu Kota Provinsi Sumatera Utara saat ini menjadikan pelayanan perlu ditingkatkan melalui pembentukan calon provinsi Sumatera Tenggara nantinya. Analisis selanjutnya menyangkut kondisi persyaratan teknis Calon Provinsi Sumatera Tenggara dan Provinsi Sumatera Utara yang dibandingkan dengan Kondisi Rerata Kabupaten/ Kota yang ada di seluruh Provinsi di wilayah Pulau Sumatera yaitu Nanggroe Aceh

Darussalam, Provinsi Sumatera Barat, Provinsi Riau, Provinsi Kepulauan Riau, Provinsi Jambi,Provinsi Sumatera Selatan, Provinsi Bengkulu dan Provinsi Lampung. Secara teknis Calon Provinsi Sumatera Tenggara termasuk ke dalam kategori mampu untuk dimekarkan menjadi Provinsi Baru di Wilayah NKRI dengan skor 405. Artinya bahwa Provinsi Sumatera Tenggara sebagai salah satu Provinsi Baru di Indonesia justru tidak memberikan efek negatif kepada Provinsi Sumatera Utara sebagai Provinsi Induk yang ditinggalkan. Temuan ini dikuatkan bahwasanya Provinsi Sumatera Utara masih terkategorikan ke dalam kelas yang sangat mampu (Total Skor 420). Dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 78 Tahun 2007 tentang Tata cara Pembentukan, Penghapusan, dan Penggabungan Daerah, pada pasal 7 disebut syarat fisik kewilayahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 meliputi cakupan wilayah, lokasi calon ibukota, sarana dan prasarana pemerintahan. Kemudian pada pasal 8 disebut cakupan wilayah pembentukan provinsi paling sedikit 5 (lima) kabupaten/kota. Berdasarkan hasil wawancara dengan masyarakat tentang calon ibukota provinsi mereka lebih dominan menyetujui di Kota Padangsidimpuan. Sebagai salah satu wilayah yang termasuk dalam usulan pembentukan daerah otonom baru yakni Provinsi Sumatera Tenggara, Kota Padangsidimpuan secara umum memiliki gambaran kondisi yang sangat baik. Kota Padangsidimpuan termasuk dalam kategori sangat mampu untuk menjadi salah satu daerah dalam Cakupan Usulan Calon Provinsi Sumatera Tenggara. Jumlah penduduk yang relatif besar serta tingkat kepadatan yang cukup signifikan menjadikan kotaini juga cocok dijadikan sebagai ibukota Provinsi Sumatera Tenggara nantinya. Dalam hal gambaran kondisi perekonomian Kota Padangsidimpuan juga memiliki indikasi yang baik. Jumlah PDRB Perkapita Nonmigas yang juga besar serta kontribusi yang sangat dominan bagi pembentukan PDRB kota tersebut, memberikan arti bahwa dalam kaca mata perekonomian di daerah, kondisi ini justru menunjukkan ciri dan karakter kemandiriannya sebagai suatu wilayah. KESIMPULAN Berdasarkan hasil kajian daerah ini dapat disimpulkan beberapa hal yang sangat penting berkaitan dengan Pembentukan Provinsi Sumatera Tenggara antara lain yakni :1) Pembentukan Provinsi Sumatera Tenggara yang mencakup 5 (lima) wilayah kabupaten dan 2 (dua) kota secara integral bukanlah disebabkan 176


Kajian Daerah Pembentukan Provinsi Sumatera Tenggara (Jonni Sitorus dan Marlon Sihombing)

Utara, Kabupaten Tapanuli Tengah dan Kota Sibolga.

jauhnya jarak geografis ibu kota provinsi kepada masing-masing wilayah daerah saja namun berbagai kondisi kinerja daerah yang lain juga diyakini dapat berkembang secara signifikan apabila usulan pembentukan Provinsi Sumatera Tenggara ini nantinya dapat segera diwujudkan.; 2) Secara teknis Calon Provinsi Sumatera Tenggara termasuk ke dalam kategori mampu untuk dimekarkan menjadi Provinsi Baru di Wilayah NKRI dengan skor 405; 3) Provinsi Sumatera Utara masih berada dalam kategori sangat mampu dengan total skor sebesar 420. Dengan demikian dapat dijelaskan bahwa Calon Provinsi Sumatera Tenggara sebagai salah satu Calon Provinsi Baru di Indonesia justru tidak memberikan efek negatif kepada Provinsi Sumatera Utara sebagai Provinsi Induk yang ditinggalkan. Temuan ini dikuatkan bahwasanya Provinsi Sumatera Utara masih terkategorikan ke dalam kelas yang sangat mampu (Total Skor 420).

DAFTAR PUSTAKA Arif dan Utomo http://www.akademik.unsri.Ac.id/download/jurnal/f iles), diakses 7 April 2012. BPS Kota Padangsidimpuan, 2012, KotaPadangsidimpuan Dalam Angka Tahun 2012, Kota Padangsidimpuan. BPS Kota Sibolga, 2012, KotaSibolga Dalam Angka Tahun 2012, Kota Sibolga. BPS Kabupaten Mandailing Natal, 2012, KabupatenMandailing Natal Dalam Angka Tahun 2012, Sipirok. BPS Kabupaten Padang Lawas, 2012, Kabupaten Padang LawasDalam Angka Tahun 2012, Gunung Tua. BPS Kabupaten Padang Lawas Utara, 2012, Kabupaten Padang Lawas Utara Dalam Angka Tahun 2012, Sibuhuan.

REKOMENDASI 1. Sebagaimana hasil kajian yang menjelaskan bahwasanya Calon Provinsi Sumatera Tenggara masuk ke dalam kategori � Mampu � menjadi calon provinsi baru di Pulau Sumatera, serta Provsu sebagai daerah ini justru termasuk kedalam kategori Sangat Mampu, maka Pemerintah Provinsi Sumatera Utara sudah selayaknya menindaklanjuti langkah konkrit untuk mendukung usulan pembentukan Provinsi Sumatera Tenggara. 2. Dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 78 Tahun 2007 tentang Tata cara Pembentukan, Penghapusan, dan Penggabungan Daerah, pada pasal 7 disebut syarat fisik kewilayahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 meliputi cakupan wilayah, lokasi calon ibukota, sarana dan prasarana pemerintahan. Kemudian pada pasal 8 disebut cakupan wilayah pembentukan provinsi paling sedikit 5 (lima) kabupaten/kota. Berdasarkan hasil wawancara dengan masyarakat tentang calon ibukota provinsi mereka lebih dominan menyetujui di Kota Padangsidimpuan. 3. Calon Provinsi Sumatera Tenggara adalah suatu usulan wilayah baru yang terdiri dari 7 (Tujuh) kabupaten dan kota yakni Kota Padangsidimpuan sebagai ibu kota kabupaten, Kabupaten Tapanuli Selatan, Kabupaten Mandailing Natal, Kabupaten Padang Lawas, Kabupaten Padang Lawas

BPS Kabupaten Tapanuli Selatan, 2012, Kabupaten Tapanuli SelatanDalam Angka Tahun 2012, Batang Toru. BPS Kabupaten Tapanuli Tengah, 2012, Kabupaten Tapanuli TengahDalam Angka Tahun 2012, Pandan. Bryant,Coralie dan White, Louise, 1989, Manajemen Pembangunan Untuk NegaraBerkembang, LP3ES, Jakarta Dwijowijoto, RiantNugroho, Iwan, dan Rohmin Dahuri, 2004, Pembangunan Wilayah Perspektif Ekonomi, Sosial dan Lingkungan. LP3E, Jakarta. J. Kaloh, 2007, Mencari Bentuk Otonomi Daerah, Suatu Solusi dalam Menjawab Kebutuhan Lokal dan Tantangan Global, Rineka Cipta, jakarta. Mardiasmo, 2002 Otonomi&Manajemen Keuangan Daerah, Yogyakarta, Andi Offset. Peraturan Pemerintah Nomor 129 Tahun 2000 tentang Pembentukan, Penghapusan dan Penggabungan Daerah. Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pembentukan, Penghapusan dan Penggabungan Daerah. Simon, Herbert A, 1982, Administrative Behaviour,Perilaku Administrasi, edisi ketiga cetakan pertama, penterjemah, St Dianjung, PT Bina Aksara, Jakarta. Sabarno, Hari., 2007, Memandu Otonomi Daerah Menjaga Kesatuan Bangsa, Sinar Grafika, Jakarta.

177


Inovasi Vol. 10 No. 3, September 2013: 169-178

Tjokrowinito, Muljarto,2002, Pembangunan, Dilema dan Tantangan,Yogyakarta, Pustaka Pelajar. Undang-Undang Dasar 1945 dan Amandemennya, Edisi 2011. Undang-Undang N0 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang N0 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah.

178


Identifikasi dan Analisis Kawasan Hutan Mangrove di Kawasan Pesisir Pantai Timur Sumatera Utara (Nobrya Husni dan Porman Juanda Marpomari Mahulae)

Hasil Penelitian IDENTIFIKASI DAN ANALISIS KAWASAN HUTAN MANGROVE DI KAWASAN PESISIR PANTAI TIMUR SUMATERA UTARA (ANALYSIS AND IDENTIFICATION OF MANGROVE FORESTS OF NORTH SUMATERA EAST COAST COASTAL AREA) Nobrya Husni, Porman Juanda Marpomari Mahulae Badan Penelitian dan Pengembangan Provinsi Sumatera Utara Jl. Sisingamangaraja No. 198 Medan; e-mail: nobrya@gmail.com

Diterima: 8 Februari 2013; Direvisi: 15 Juni 2013; Disetujui: 20 Agustus 2013

ABSTRAK Wilayah pesisir memiliki manfaat keanekaragaman hayati yang beragam, salah satu diantaranya adalah keberadaan hutan mangrove. Hutan mangrove mempunyai manfaat ekonomis diantaranya terdiri atas hasil berupa kayu (kayu bakar, arang, kayu konstruksi) dan hasil bukan kayu (hasil hutan ikutan dan pariwisata). Adapun manfaat ekologis terdiri atas berbagai fungsi lindungan baik bagi lingkungan ekosistem daratan dan lautan maupun habitat berbagai jenis fauna, diantaranya; sebagai proteksi dari abrasi/erosi, gelombang atau angin kencang, pengendali intrusi air laut, habitat berbagai jenis fauna, sebagai tempat mencari makan, memijah dan berkembang biak berbagai jenis ikan dan udang, pembangun lahan melalui proses sedimentasi, pengontrol penyakit malaria, memelihara kualitas air (meredukasi polutan, pencemar air), penyerap CO2 dan penghasil O2 yang relatif tinggi dibanding tipe hutan lain. fungsi fisik; menjaga garis pantai agar tetap stabil, melindungi pantai dari erosi laut (abrasi) dan intrusi air laut; dan mengolah bahan limbah. Fungsi biologis; tempat pembenihan ikan, udang, tempat pemijahan beberapa biota air; tempat bersarangnya burung; habitat alami bagi berbagai jenis biota. Fungsi ekonomi antara lain sebagai sumber bahan bakar (arang kayu bakar), pertambakan, tempat pembuatan garam, dan bahan bangunan. Melihat manfaat dan fungsinya, perlu dilakukan identifikasi dan analisis atas kondisi kawasan hutan mangrove di pesisir pantai timur Sumatera Utara. Berdasarkan hasil penelitian disimpulkan bahwa kondisi kawasan hutan mangrove di pesisir pantai timur Sumatera Utara cenderung rusak. Ini dibuktikan dengan data jumlah vegetasi mangrove dengan indeks nilai penting tinggi yang sedikit, dan nilai keanekaragaman yang rendah. Kerapatan individu per hektar dilokasi penelitian hanya 584 pohon. Adapun jenis mangrove yang dominan di lokasi penelitian adalah Rhizopora., Bruguirea dan Avecinea. Kata kunci: pesisir pantai timur, hutan mangrove, ekosistem

ABSTRACT Coastal area has various biological diversity, one of those is mangrove forests. Ecomical benefit of mangrove forests are wood (firewood, charcoal, wood construction). The ecological benefits are patronage function for mainland and ocean ecosystem as well as mullet of any kind of sea life, i. e: protector of abrasion/erosion, wave or gale, stabilizer of seawater intrusion, mullet of sea life, construct land throught sedimentation process, controlling malaria disease, maintaining water quality (reduce polutant, water pollution), CO2 absorber and highly effective O2 producent compare to other forests. The physical function are; coastal line stabilizer; protect sea abrasion and seawater intrusion; processing waste material. The biological function are: fish and shrimp hatchery, bird nest, natural mullet for sea life. The economical function are for fuel (charcoal), fishpond, pond salt, and construction material. Due its functions and benefit, identification and analysys has to be done at the east coast coastal of North Sumatera. Research results shows that mangrove forests in east coast coastal is tend to be damagedit proofs by quantity of mangrove vegetation with the low of Indeks Nilai Penting and low of Nilai Keanekaragaman. Kerapatan Individu per acre in the research location is 584 trees only. Mangrove type in the research location are dominant by Rhizopora, Bruguirea dan Avecinea. Keywords: east coast coastal, mangrove forests, ecosystem

179


Inovasi Vol. 10 No. 3, September 2013: 179-194

pasang naik dan bebas dari genangan pada saat pasang rendah. Ekosistem mangrove adalah suatu sistem yang terdiri atas lingkungan biotik dan abiotik yang saling berinteraksi di dalam suatu habitat mangrove.Menurut Steenis (1978), yang dimaksud dengan “mangrove� adalah vegetasi hutan yang tumbuh di antara garis pasang surut. Secara garis besar ekosistem hutan mangrove mempunyai dua fungsi utama, yaitu fungsi ekologis dan fungsi sosial ekonomi (Dahuri, 2002). Hutan mangrove merupakan sumberdaya alam daerah tropis yang mempunyai manfaat ganda baik dari aspek sosial ekonomi maupun ekologi. Besarnya peranan ekosistem hutan mangrove bagi kehidupan dapat diketahui dari banyaknya jenis hewan baik yang hidup di perairan, di atas lahan maupun di tajuk- tajuk pohon mangrove atau manusia yang bergantung pada hutan mangrove tersebut (Naamin, 1991). Manfaat ekonomis diantaranya terdiri atas hasil berupa kayu (kayu bakar, arang, kayu konstruksi) dan hasil bukan kayu (hasil hutan ikutan dan pariwisata). Manfaat ekologis, yang terdiri atas berbagai fungsi lindungan baik bagi lingkungan ekosistem daratan dan lautan maupun habitat berbagai jenis fauna, diantaranya; sebagai proteksi dari abrasi/erosi, gelombang atau angin kencang, pengendali intrusi air laut, habitat berbagai jenis fauna, sebagai tempat mencari makan, memijah dan berkembang biak berbagai jenis ikan dan udang, pembangun lahan melalui proses sedimentasi, pengontrol penyakit malaria, memelihara kualitas air (meredukasi polutan, pencemar air), penyerap CO2 dan penghasil O2 yang relatif tinggi dibanding tipe hutan lain. Kerusakan ekosistem hutan mangrove di pesisir Pantai Timur Sumatera Utara misalnya, semakin cepat berlangsung seiring dengan bertambahnya usaha-usaha perekonomian yang lebih mengarah pada daerah pantai. Perubahanperubahan yang dilakukan terhadap daerah pesisir telah mengorbankan luas kawasan mangrove sehingga banyak areal mangrove yang tidak berfungsi lagi sebagaimana mestinya. Kerusakan ini sebagian besar disebabkan oleh tekanan manusia dalam memanfaatkan dan membabat mangrove untuk usaha pertambakan, perindustrian, pertanian, pemukiman, dan tempat rekreasi, serta sebagian kecil karena bencana alam (banjir, kekeringan, dan badai tsunami) serta serangan hama penyakit. Saenger (1983) menyatakan bahwa fungsi ekosistem mangrove mencakup: fungsi fisik; menjaga garis pantai agar tetap stabil, melindungi pantai dari erosi laut (abrasi) dan intrusi air laut; dan mengolah bahan limbah. Fungsi biologis; tempat pembenihan ikan,

PENDAHULUAN Wilayah pesisir merupakan suatu daerah peralihan antara ekosistem daratan dan lautan yang memiliki produktivitas hayati tinggi. Adanya pasokan unsur hara dari daratan melalui aliran sungai dan aliran air permukaan ketika hujan, serta tumbuh dan berkembangnya berbagai ekosistem alami seperti hutan mangrove, terumbu karang, padang lamun dan estuaria, menyebabkan wilayah pesisir sangat subur. Dengan potensi tersebut dan aksesibilitasnya yang mudah, wilayah pesisir dimanfaatkan untuk berbagai tujuan. Sumberdaya pesisir berperan penting dalam mendukung pembangunan ekonomi daerah dan nasional untuk meningkatkan penerimaan devisa, lapangan kerja, dan pendapatan penduduk. Sumberdaya pesisir tersebut mempunyai keunggulan komparatif karena tersedia dalam jumlah yang besar dan beranekaragam serta dapat dimanfaatkan dengan biaya eksploitasi yang relatif murah, sehingga mampu menciptakan kapasitas penawaran yang kompetitif. Namun demikian, di balik potensi tersebut, keberadaan sumberdaya sering terancam akibat pembangunan yang tidak berwawasan lingkungan. Dalam dekade terakhir ini, kegiatan pembangunan di wilayah pesisir cukup pesat, baik untuk perikanan, pemukiman, pertambangan, pariwisata dan sebagainya. Pesatnya pembangunan ini serta ditambah dengan tingkat kepadatan penduduk yang tinggi, telah menimbulkan berbagai permasalahan lingkungan di beberapa wilayah pesisir Indonesia. Permasalahan tersebut diantaranya adalah terjadinya degradasi ekosistem alami. Salah satu ekosistem pesisir yang mengalami tingkat degradasi cukup tinggi akibat pola pemanfaatannya yang cenderung tidak memperhatikan aspek kelestariannya adalah hutan mangrove. Luas hutan mangrove Indonesia menurut Departemen Kehutanan pada Tahun 1982 sekitar 4,25 juta ha. Hasil Inventarisasi Hutan Nasional yang dilakukan oleh Departemen yang sama menyebutkan bahwa luas hutan mangrove Indonesia pada tahun 1996 tinggal 3,53 juta ha. Dengan demikian dalam kurun waktu 14 Tahun Indonesia telah kehilangan hutan mangrove sekitar 700 ribu ha dan hal ini terjadi hampir di seluruh kepulauan Indonesia. Kusmana (2002), mengemukakan bahwa mangrove adalah suatu komunitas tumbuhan atau suatu individu jenis tumbuhan yang membentuk komunitas tersebut di daerah pasang surut. Hutan mangrove adalah tipe hutan yang secara alami dipengaruhi oleh pasang surut air laut, tergenang pada saat

180


Identifikasi dan Analisis Kawasan Hutan Mangrove di Kawasan Pesisir Pantai Timur Sumatera Utara (Nobrya Husni dan Porman Juanda Marpomari Mahulae)

udang, tempat pemijahan beberapa biota air; tempat bersarangnya burung; habitat alami bagi berbagai jenis biota. Fungsi ekonomi sebagai sumber bahan bakar (arang kayu bakar), pertambakan, tempat pembuatan garam, dan bahan bangunan. Ekosistem mangrove, baik secara sendiri maupun secara bersama dengan ekosistem padang lamun dan terumbu karang berperan penting dalam stabilisasi suatu ekosistem pesisir, baik secara fisik maupun secara biologis, disamping itu, ekosistem mangrove merupakan sumber plasma nutfah yang cukup tinggi (misal, mangrove di Indonesia terdiri atas 157 jenis tumbuhan tingkat tinggi dan rendah, 118 jenis fauna laut dan berbagai jenis fauna darat (Kusmana, 2002). Ekosistem mangrove juga merupakan perlindungan pantai secara alami untuk mengurangi resiko terhadap bahaya tsunami. Hasil penelitian yang dilakukan di Teluk Grajagan, Banyuwangi, Jawa Timur, menunjukkan bahwa dengan adanya ekosistem mangrove telah terjadi reduksi tinggi gelombang sebesar 0,7340, dan perubahan energi gelombang sebesar (E) = 19635.26 joule (Pratikto dkk., 2002). Karena karakter pohon mangrove yang khas, ekosistem mangrove berfungsi sebagai peredam gelombang dan badai, pelindung abrasi, penahan lumpur, dan perangkap sedimen. Disamping itu, ekosistem mangrove juga merupakan penghasil detritus dan merupakan daerah asuhan (nursery ground), daerah untuk mencari makan (feeding ground), serta daerah pemijahan (spawning ground) bagi berbagai jenis ikan, udang, dan biota laut lainnya. Juga sebagai pemasok larva ikan, udang, dan sebagai tempat pariwisata. Menurut Hardjosento (1981) dalam Saenger (1983), hasil dari hutan mangrove dapat berupa kayu, bahan bangunan, chip, kayu bakar, arang kulit kayu yang menghasilkan tanin (zat penyamak)dan lain-lain. Luas ekosistem mangrove di Indonesia mencapai 75% dari total mangrove di Asia Tenggara, atau sekitar 27% dari luas mangrove di dunia. Kekhasan ekosistem mangrove Indonesia adalah memiliki keragaman jenis yang tertinggi di dunia. Sebaran mangrove di Indonesia terutama di wilayah pesisir Sumatera, Kalimantan dan Papua. Luas penyebaran mangrove terus mengalami penurunan dari 4,25 juta hektar pada tahun 1982 menjadi sekitar 3,24 juta hektar pada tahun 1987, dan tersisa seluas 2,50 juta hektar pada tahun 1993. Kecenderungan penurunan tersebut mengindikasikan bahwa terjadi degradasi hutan mangrove yang cukup nyata, yaitu sekitar 200 ribu hektar/tahun. Hal tersebut disebabkan

oleh kegiatan konversi menjadi lahan tambak, penebangan liar dan sebagainya (Dahuri, 2002). Indonesia memiliki vegetasi hutan mangrove yang keragaman jenis yang tinggi. Jumlah jenis yang tercatat mencapai 202 jenis yang terdiri dari 89 jenis pohon, 5 jenis palem, 19 jenis liana, 44 jenis epifit, dan 1 jenis sikas. Terdapat sekitar 47 jenis vegetasi yang spesifik hutan mangrove. Dalam hutan mangrove, paling tidak terdapat salah satu jenis tumbuhan mangrove sejati, yang termasuk ke dalam empat famili: Rhizoporaceae (Rhizophora, Bruguiera, dan Ceriops), Sonneratiaceae (Sonneratia), Avicenniaceae (Avicennia), dan Meliaceae (Xylocarpus). Pohon mangrove sanggup beradaptasi terhadap kadar oksigen yang rendah, terhadap salinitas yang tinggi, serta terhadap tanah yang kurang stabil dan pasang surut (Kusmana, 2002). Ekosistem mangrove terdiri dari hutan atau vegetasi mangrove yang merupakan komunitas pantai tropis. Dengan melihat manfaat hutan mangrove yang begitu besar, maka penelitian ini akan mengidentifikasi dan menganalis kondisi kawasan hutan mangrove di Sumatera Utara, khususnya di kawasan pesisir pantai timur. METODE Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan deskriptif analitik dengan metode survei. Penentuan sampel dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan teknik sampel bertujuan atau purposive sampling. Sampling dimana pengambilan elemen-elemen yang dimasukkan dalam sampel dilakukan dengan sengaja, dengan catatan bahwa sampel tersebut representative atau mewakili populasi. Lokasi penelitian adalah Kecamatan Pantai Labu di Kabupaten Deli Serdang, dan Kecamatan Bandar Khalipah di Kabupaten Serdang Bedagai. Data primer dikumpulkan lewat pengamatan/ analisis langsung dilapangan atau wawancara langsung dengan masyarakat yang disebut dengan survei primer, dan kemudian juga melakukan survei sekunder berupa studi literatur dan dokumen-dokumen terkait dengan kondisi kawasan hutan mangrove khususnya di lokasi penelitian. Menurut Bengen (2000), data-data yang diperlukan untuk mengidentifikasi kondisi kawasan hutan mangrove dimulai dengan mengetahui jenis, jumlah tegakan dan diameter pohon yang telah dicatat. Kemudian data tersebut diolah lebih lanjut untuk memperoleh nilai penting jenis (kerapatan jenis, frekuensi jenis, luas area penutupan) dan keanekaragamannya.

181


Inovasi Vol. 10 No. 3, September 2013: 179-194

Kerapatan Relatif Spesies (RDi) adalah perbandingan antara jumlah individu spesies i (ni) dan jumlah total individu seluruh spesies (Σn) :

A. Nilai Penting Jenis atau Indeks Nilai Penting (INP) digunakan untuk menentukan dominansi dari suatu jenis vegetasi. Indeks Nilai Penting didapat dari perhitungan sebagai berikut: Untuk tingkat semai dan pancang, INP = KR + FR Untuk tingkat pohon, INP = KR + FR + DR Keterangan : • KR = kerapatan relatif • FR = frekuensi relatif • DR = dominasi relatif

RDi = (ni / Σn)x100 Atau dalam penulisan notasi yang telah dituliskan di atas adalah sebagai berikut: a. Kerapatan suatu jenis (K), dihitung dengan rumus : Jumlah individu suatu jenis K= Luas petak contoh

Kerapatan relatif, frekuensi relatif dan dominasi relatif dapat dihitung sebagaimana yang telah dituliskan sebelumnya di atas: a. Kerapatan suatu jenis (K), dihitung dengan rumus : Jumlah individu suatu jenis K= Luas petak contoh

b. Kerapatan Relatif (KR) suatu jenis, dihitung dengan rumus : KerapatanSuatu Jenis KR = Kerapatan Seluruh Jenis •

b. Kerapatan Relatif (KR) suatu jenis, dihitung dengan rumus : KerapatanSuatu Jenis KR = Kerapatan Seluruh Jenis

×100%

×100%

Frekuensi Spesies (Fi) adalah peluang ditemukannya spesies i dalam petak contoh/plot yang diamati: Fi = pi / Σp

Keterangan : Fi adalah frekuensi spesies i, pi adalah jumlah petak contoh/plot dimana ditemukan spesies i, dan Σp adalah jumlah total petak contoh/plot yang diamati.

c. Frekuensi (F) suatu jenis, dihitung dengan rumus : Jumlah petak ditemukan suatu jenis F= Luas petak contoh d. Frekuensi Relatif (FR) suatu jenis, dihitung dengan rumus : Frekwensi suatu jenis FR = ×100% Frekwensi seluruh jenis

Frekuensi Relatif Spesies (RFi) adalah perbandingan antara frekuensi spesies i (Fi) dan jumlah frekuensi untuk seluruh spesies (ΣF) :

e. Dominasi (D) suatu jenis, dapat dihitung dengan rumus: Luas bidang dasar suatu jenis D= Luas petak contoh

RFi = (Fi /ΣF) x 100 Atau dalam penulisan notasi yang telah dituliskan di atas adalah sebagai berikut: a. Frekuensi (F) suatu jenis, dihitung dengan rumus : Jumlah petak ditemukan suatu jenis F= Luas petak contoh

f. Dominasi Relatif (DR) suatu jenis, dapat dihitung dengan rumus : Dominasi suatu jenis DR = ×100% Dominasi seluruh jenis Dalam beberapa literatur secara ekivalen dapat dituliskan bahwa: • Kerapatan Spesies (Di) adalah jumlah tegakan jenis i dalam suatu unit area:

b. Frekuensi Relatif (FR) suatu jenis, dihitung dengan rumus : Frekwensi suatu jenis FR = Frekwensi seluruh jenis

Di = ni / A •

Keterangan: Di adalah kerapatan spesies i, ni adalah jumlah total individu dari spesies i dan A adalah luas total area pengambilan contoh (luas total petak contoh/plot).

Penutupan Spesies (Ci) adalah luas penutupan spesies i dalam suatu unit area: Ci = ΣBA/A

182

×100%


Identifikasi dan Analisis Kawasan Hutan Mangrove di Kawasan Pesisir Pantai Timur Sumatera Utara (Nobrya Husni dan Porman Juanda Marpomari Mahulae)

Keterangan: BA =πDBH2/4 (dalam cm2), π (3,1416) adalah suatu konstanta dan DBH adalah diameter pohon dari jenis i, A adalah luas total area pengambilan contoh (luas total petak contoh/plot). DBH=CBH /π (dalam cm), CBH adalah lingkaran pohon setinggi dada. Penutupan Relatif Spesies (RCi) adalah perbandingan antara luas area penutupan spesies i (Ci) dan luas total area penutupan untuk seluruh spesies (ΣCi) : RCi = (Ci /ΣCi)xl00 Atau dalam penulisan notasi yang telah dituliskan di atas adalah sebagai berikut: a. Dominasi (D) suatu jenis, dapat dihitung dengan rumus: Luas bidang dasar suatu jenis D= Luas petak contoh b. Dominasi Relatif (DR) suatu jenis, dapat dihitung dengan rumus : Dominasi suatu jenis DR = Dominasi seluruh jenis

B. Indeks keanekaragaman (H1)dihitung dengan menggunakan Indeks Shannon Wienner:

H1 pi ke–i

= =

Indeks Shannon Wienner Kelimpahan relatif dari spesies

= ni = i N = individu

(ni/N) jumlah individu suatu jenis ke– jumlah total untuk semua

Menurut Barbour et al., (1987) menyatakan bahwa nilai H1dengan kriteria 0-2 tergolong rendah, 2-3 tergolong sedang dan >3 tergolong tinggi. HASIL DAN PEMBAHASAN Untuk mendapatkan gambaran vegetasi mangrove di Kabupaten Deli Serdang, pada sample desa penelitian dibuat jalur dengan lebar 10 m x 60 m dengan arah tegak lurus tepi laut. Kemudian jalur seluas 600 m2 tersebut dibagi 6 petak dan pada setiap petak dibuat sub petak dengan ukuran 2m x 2m untuk tingkat semai,

5m x 5m untuk tingkat pancang, 10m x 10m untuk tingkat pohon. Selanjutnya dilakukan identifikasi jenis vegetasi dengan menggunakan buku kunci determinasi tumbuhan, dengan menggunakan jasa teknisi dari Dinas Kehutanan Kabupaten Deli Serdang dan dari jasa ketua kelompok tani hutan mangrove terutama dalam penamaan nama lokal dari jenis yang ditemukan. Identifikasi dilakukan pada tumbuhan yang ditemui yaitu; a) tingkat semai, adalah permudaan dari mulai kecambah hingga tinggi 1,5 m; 2) tingkat pancang, adalah permudaan dengan tinggi > 1,5 m dan diameter batang < 10 cm; dan 3) tingkat pohon, adalah tumbuhan berkayu yang memiliki diameter batang ≥ 10 cm. Untuk tingkat semai dicatat nama daerah dan nama ilmiah dengan menggunakan buku acuan Kusmana et al., (2003) lalu dihitung jumlah individu. Untuk tingkat pancang dan pohon dicatat nama ilmiah dan nama daerah, dihitung jumlah individu, diukur tinggi dan diameter batang dari tiap individu. Data yang diperoleh selanjutnya dianalisis untuk memperoleh gambaran kondisi vegetasi hutan mangrove pada petak-petak penelitian. Data dan rujukan yang digunakan dalam laporan ini ×100% menggunakan penelitian yang dilakukan oleh Ningsih (2008). Hasil analisis vegetasi berupa komposisi jenis-jenis tumbuhan di hutan mangrove berupakerapatan (individu/ha) vegetasi hutan mangrove yang ditemui pada plot penelitian pada desa yang dikaji untuk tingkat semai, pancang dan pohon terlihat pada Tabel 1. Menurut Kementerian Lingkungan Hidup (2004), suatu kawasan hutan mangrove tingkat kerusakannya dapat diketahui dari luas penutupan tajuk dan kerapatan pohon/ha, seperti pada Tabel 2 dapat diketahui apakah hutan tersebut sudah mengalami kerusakan atau tidak. Penentuan jenis pohon dominan dilakukan dengan menggunakan indeks nilai penting. Indeks Nilai Penting (INP) beberapa jenis tumbuhan yang ditemui pada plot penelitian pada desa yang dikaji untuk tingkat semai, pancang, dan tingkat pohon. pada Desa Paluh Sibaji yang mendominasi adalahjenis E. agallocha (188.30%), dapat dilihat pada Tabel 3. Pada tingkat pancang, jenis yang mendominasi di Desa Paluh Sibaji adalah X. granatum (INP 99,25%). Di tingkat semai, tidak ditemukan jenis vegetasi di Desa Paluh Sibaji. Di Desa Paluh Sibaji jenis vegetasi yang mempunyai INP tertinggi pada tingkat pancang adalah X. granatum (INP 99,25%) diikuti oleh E. agallocha (INP 58,67%), tetapi di tingkat pohon jenis vegetasi yang memiliki INP tertinggi adalah

183


Inovasi Vol. 10 No. 3, September 2013: 179-194

Tabel 1. Kerapatan individu/Ha vegetasi hutan mangrove yang ditemui pada plot penelitian pada desa yang dikaji untuk tingkat semai, pancang dan pohon Kerapatan Lokasi Kriteria Semai Pancang Pohon Desa Paluh Sibaji 100 584 rusak Sumber: Data diolah (2012)

Tabel 2. Kriteria baku kerusakan mangrove Kriteria Deskripsi Kepadatan Penutupan (%) Baik Sangat Padat > 70 Rusak Sedang > 50 - < 70 Rusak Jarang < 50 Sumber Kementerian Lingkungan Hidup, 2004

Kerapatan (pohon/ha) > 1500 > 1000 - < 1500 < 1000

Tabel 3. Indeks nilai penting beberapa jenis mangrove yang ditemui pada plot penelitian pada desa yang dikaji untuk tingkat semai, pancang dan pohon INP (%) No Jenis Vegetasi Semai Pancang Pohon 1 Excoecaria agallocha 58.67 188.30 2 Xylocarpus granatum 99.25 12.06 3 Rhizophora apiculata 58.86 4 Avicennia marina 13.55 5 Lumnitzera racemosa 12.06 6 Bruguiera sexangula 45.03 15.18

Tabel 4. Indeks keanekaragaman pada plot penelitian pada desa yang dikaji untuk tingkat semai, pancang dan pohon H1 Lokasi Semai Pancang Pohon Desa Paluh Sibaji 0.6930 0.3808

Kabupaten Deli Serdang

Tabel 5. Luas dan kondisi mangrove di Kabupaten Deli Serdang Kondisi Mangrove Luas Lahan Mangrove (Ha) Rusak (Ha) Sedang (Ha) Baik (Ha) 6.070 5.800 270

Jenis Mangrove Dominan Rhizophora, Bruguirea

Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Sumatera Utara, 2011

E. agallocha (INP 188,30%) diikuti oleh R. apiculata (INP 58,86%), B. sexangula (INP 15,18%), A. marina (INP 13,55%), dan pada tingkat semai tidak ditemukan jenis vegetasi. Untuk hasil perhitungan indeks keanekaragaman, di tingkat pancang nilai keanekaragaman cukup tinggi yaitu H1 = 0.6930, namun di tingkat pohon nilai H1hanya 0.3808, sebagaimana yang ditunjukkan pada Tabel 4. Untuk Pantai Timur Sumatera selisih pasang tertinggi dengan surut terendah adalah 2,5 m (Bappeda – SU dan PKSPL – IPB, 2002). Berdasarkan Undang-Undang No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, dalam Pasal 50 ditentukan

bahwa ketebalan mangrove 130 x selisih pasang tertinggi dan surut terendah, dalam hal ini diperoleh nilai 325 m, di Desa Paluh Sibaji ketebalan mangrove tergolong tipis, dengan nilai 90 m. Di Desa Paluh Sibaji nilai kerapatan lebih tinggi di tingkat pohon daripada di tingkat pancang. Adanya penurunan kerapatan vegetasi dari tingkat pancang ke tingkat pohon kemungkinan disebabkan berbagai faktor antara lain terjadi penebangan secara liar oleh masyarakat setempat atau yang dilakukan oleh pengusaha-pengusaha tambak. Di Desa Paluh Sibaji pada tingkat semai tidak ditemukan adanya vegetasi mangrove hal

184


Identifikasi dan Analisis Kawasan Hutan Mangrove di Kawasan Pesisir Pantai Timur Sumatera Utara (Nobrya Husni dan Porman Juanda Marpomari Mahulae)

ini kemungkinan karena tidak adanya siklus pertumbuhan dan perkembangan yang kontinyu dan juga diduga bahwa biji yang dihasilkan dari tingkat pohon terbawa oleh air pasang surut sehingga tidak ada dijumpai di sekitar lokasi tersebut dan kemungkinan biji yang dihasilkan tidak dapat tumbuh akibat kondisi lingkungan yang tidak menguntungkan bagi perkecambahan biji. Berdasarkan laporan penelitian Ningsih (2008) jenis vegetasi yang dominan di beberapa desa di Kabupaten Deli Serdang dari tingkat pancang sampai ke tingkat pohon adalah jenis yang sama yaitu A. marina, hal ini disebabkan jenis vegetasi tersebut merupakan jenis vegetasi yang toleran terhadap perubahan lingkungan sehingga mampu tumbuh dan bertahan sampai ke tingkat pohon. Sebagai bahan perbandingan selanjutnya, menurut laporan Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Sumatera Utara, di Kabupaten Deli Serdang terdapat 6.070 Ha luas mangrove yang didominasi oleh jenis Rhizophora dan Bruguirea. Laporan dari Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Sumatera Utara ini sepertinya lebih mirip dengan hasil penelitian yang dilakukan di Desa Paluh Sibaji, selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 5. Timbulnya perbedaan jenis yang mendominasi dari tingkat semai sampai ke tingkat pohon kemungkinan karena jenis A. marina mampu beradaptasi dengan lingkungannya sehingga dapat tumbuh dengan baik dari tingkat semai ke tingkat pancang dan ke tingkat pohon. Jenis vegetasi tersebut diduga memiliki batas toleransi yang lebar terhadap lingkungannya, misalnya lebih toleran terhadap naungan sehingga pada intensitas cahaya matahari yang rendah tetap mampu tumbuh dengan baik, disamping itu juga toleran terhadap tanah-tanah salin. Indeks keanekaragaman (H1) menunjukkan keanekaragaman jenis yang rendah baik di tingkat semai maupun di tingkat pancang. Hal ini menunjukkan bahwa telah terjadi tekanan oleh faktor luar yang mengakibatkan kepunahan pada jenis-jenis tumbuhan tertentu, mungkin akibat penebangan, tumbangnya pohon akibat gangguan angin, rendahnya persentase perkecambahan biji akibat tingginya genangan air atau naiknya suhu tanah akibat tingginya intensitas matahari yang masuk ke lantai hutan. Di Desa Paluh Sibaji luas penutupan tajuk tergolong rusak dengan kerapatan jarang. Jenis vegetasi mangrove dan jumlah individu yang dijumpai dari mulai tingkat semai, pancang dan pohon di Desa Paluh Sibaji dari mulai tingkat semai, pancang dan pohon dijumpai 6 jenis vegetasi dengan jumlah individu 6 pada tingkat pancang dan 35 pada tingkat pohon.

Data hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah, keanekaragaman vegetasi dan regenerasi vegetasi dari tingkat semai sampai ke tingkat pohon tidak menunjukkan ekosistem mangrove seperti data di atas. Hal ini dapat dilihat bahwa yang mendominasi berbeda-beda mulai dari tingkat semai sampai ke tingkat pohon, sehingga tidak menggambarkan kondisi hutan mangrove yang stabil yang artinya telah terjadi kerusakan kawasan magrove yang diakibatkan oleh faktor manusia baik secara sengaja maupun tidak sengaja, dimana hutan mangrove tersebut telah ditebang secara liar untuk dijadikan kayu bakar, pembuatan arang, bahan bangunan di samping itu lahan hutan mangrove sudah beralih fungsi sebagai tempat tinggal penduduk, lokasi tambak maupun persawahan dan perkebunan. Dilihat dari kerapatan pohon yang rendah dan luas penutupan tajuk yang rendah di beberapa desa hutan mangrove di wilayah pesisir Kabupaten Deli Serdang, maka disarankan pada hutan mangrove Desa Paluh Sibaji perlu direhabilitasi. Pada Desa Paluh Sibaji ditanam jenis mangrove Rhizophoraapiculata dan Bruguiera cylindrical. Berdasarkan Undang-undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan bahwa mangrove merupakan ekosistem hutan dan oleh karena itu pemerintah bertanggung jawab dalam pengelolaan yang berasaskan manfaat dan lestari, kerakyatan, keadilan, kebersamaan, keterbukaan dan keterpaduan. Dalam kaitannya dengan kondisi mangrove yang rusak, kepada setiap orang yang memiliki, pengelola dan atau memanfaatkan hutan kritis atau produksi, wajib melaksanakan rehabilitasi hutan untuk tujuan perlindungan konservasi. Untuk merehabilitasi kerusakan hutan mangove di Kecamatan Pantai Labu (Desa Paluh Sibaji) tercatat sejak tahun 1993 reboisasi hutan mangrove dimulai dengan penanaman seluas 8 ha pada tahap pertama dan tahap kedua seluas 5 ha, namun usaha penanaman kembali hutan mangrove di daerah ini mengalami hambatan akibat perhitungan pemerintah yang tidak tepat tentang waktu penanaman. Berdasarkan inventarisasi flora diketahui bahwa hutan mangrove di Bandar Khalipah disusun oleh 10 jenis tumbuhan berhabitus pohon yang tercakup ke dalam 6 suku. Jenisjenis yang dijumpai tersebut berdasarkan Tomlinson (1986) terdiri dari 8 jenis mangrove sejati, 1 jenis mangrove pendukung dan 1 jenis asosiasi mangrove. Untuk lebih jelasnya hasil inventarisasi flora disajikan pada Tabel 6. Jenis permudaan pada hutan tanaman adalah bakau minyak (Rhizophora apiculata), bakau kurap (Rhizophora mucronata), mata

185


Inovasi Vol. 10 No. 3, September 2013: 179-194

buaya (Bruguiera sexangula) dan api-api putih (Avicennia marina). Hasil analisis vegetasi menghasilkan 10 jenis flora berhabitus pohon yang menyusun tegakan hutan mangrove Bandar Khalipah dalam petak contoh hutan mangrove alami seluas 0,25 ha (Harahap, 2008). Pada hutan mangrove tanaman umur 4 tahun ditemukan 4 jenis flora berhabitus pohon yang menyusun tegakan hutan tanaman seluas 0,25 ha. Pada tingkat pohon hanya ditemui satu jenis vegetasi penyusun hutan mangrove yaitu api-api putih (Avicennia marina) dengan INP sebesar 300,00 %. Pada tingkat pancang INP tertinggi ditemui pada jenis bakau kurap (Rhizophora mucronata) dengan INP sebesar 183,31 % dan INP terendah terdapat pada jenis mata buaya (Bruguiera sexangula) yaitu sebesar 31,17 %. Pada tingkat semai bakau kurap (Rhizopora mucronata) memiliki INP tertinggi sebesar 76,02 % dan INP terendah terdapat pada jenis mata buaya (Bruguiera sexangula) yaitu sebesar 27,89 %. Pada hutan mangrove tanaman umur 9 tahun ditemukan 6 jenis flora berhabitus pohon yang menyusun tegakan hutan tanaman seluas 0,25 ha. INP terbesar pada tingkat pohon terdapat pada jenis bakau kurap (Rhizophora

mucronata) yaitu sebesar 248,00 %, untuk INP terendah terdapat pada bakau minyak (Rhizophora apiculata) yaitu sebesar 17,00 %. Pada tingkat pancang bakau minyak (Rhizophora apiculata) memiliki INP tertinggi sebesar 102,49 % dan INP terendah terdapat pada jenis tengar (Ceriops tagal) yaitu sebesar 4,40 %. Pada tingkat semai bakau kurap (Rhizophora mucronata) memiliki INP tertinggi yaitu sebesar 75,05 % dan INP terendah terdapat pada jenis mata buaya (Bruguiera sexangula) yaitu sebesar 26,12 %. Hutan mangrove tanaman umur 10 tahun disusun oleh 7 jenis flora berhabitus pohon pada petak ukur seluas 0,25 ha. Pada tingkat pohon mata buaya (Bruguiera sexangula) memiliki INP tertinggi sebesar 133,00 % dan INP terendah terdapat pada jenis bakau minyak (Rhizophora apiculata) yaitu sebesar 16,00 %. Pada tingkat pancang mata buaya (Bruguiera sexangula) memiliki INP tertinggi yaitu sebesar 138,85 dan INP terendah terdapat pada jenis tengar (Ceriops tagal) yaitu sebesar 8,08. Pada tingkat semai mata buaya (Bruguiera sexangula) yaitu sebesar 76,87 dan INP terendah terdapat pada jenis teruntum (Bruguiera gymnorrhiza) yaitu sebesar 5,61.

Tabel 6. Jenis vegetasi hutan mangrove Desa Kayu Besar

186


Identifikasi dan Analisis Kawasan Hutan Mangrove di Kawasan Pesisir Pantai Timur Sumatera Utara (Nobrya Husni dan Porman Juanda Marpomari Mahulae)

Gambar 1. Penyebaran jenis-jenis pohon pada berbagai komunitas hutan mangrove di desa Kayu Besar menurut klas frekuensi Raunkaier.

Berdasarkan hukum frekuensi (law frequency) dari klas frekuensi Raunkaier diketahui bahwa penyebaran individu pada berbagai komunitas hutan mangrove di desa Kayu Besar, kecamatan Bandar Khalipah terdistribusi secara tidak normal, dimana perbandingan jumlah jenis antara klas adalah A > B > C > D = E, Penyebaran jenis-jenis pohon di hutan mangrove disajikan pada Gambar 1. Pola distribusi spasial (Tabel 7) dengan menggunakan perhitungan sesuai dengan analisis vegetasi, menyatakan bahwa jenis yang ditemui pada setiap tingkat pertumbuhan di hutan mangrove alami desa Kayu Besar mayoritas tersebar secara mengelompok

(clumped). Jenis yang terdistribusi secara acak (random) pada tingkat pohon adalah Bruguiera sexangula, Rhizopora mucronata, Ceriops tagal, dan Sonneratia griffithi. Pada tingkat pancang jenis yang terdistribusi secara acak (random) adalah Rhizopora apiculata, Exoecaria agalocha, dan Ceriops tagal. Pada tingkat semai jenis yang terdistribusi secara acak (random) adalah Sonneratia griffithi. Pada hutan mangrove tanaman umur 4 tahun, jenis dominan pada tingkat pohon terdistribusi secara acak (random), sedangkan jenis dominan dan kodominan pada tingkat tiang dan semai terdistribusi secara mengelompok (clumped).

187


Inovasi Vol. 10 No. 3, September 2013: 179-194

Tabel 7. Pola distribusi dari setiap tingkat pertumbuhan pada lokasi studi di hutan mangrove alami desa Kayu Besar

Pada hutan mangrove buatan umur 9 tahun, jenis dominan dan kodominan setiap tingkat pertumbuhan di hutan mangrove tanaman umur 9 tahun terdistribusi secara mengelompok, hanya dua jenis flora pada tingkat tiang yang terdistribusi secara acak, yaitu Ceriops tagal dan Bruguiera gymnorrhiza. Pada hutan mangrove

tanaman umur 10 tahun, jenis dominan dan kodominan pada setiap tingkat pertumbuhan pada hutan mangrove tanaman umur 10 tahun terdistribusi secara mengelompok. Pada tingkat pohon jenis Lumnitzera racemosa terdistribusi secara acak, pada tingkat tiang dan semai jenis Ceriops tagal terdistribusi secara acak.

188


Identifikasi dan Analisis Kawasan Hutan Mangrove di Kawasan Pesisir Pantai Timur Sumatera Utara (Nobrya Husni dan Porman Juanda Marpomari Mahulae)

348 individu/ha) pohon penyusun hutan mangrove termasuk ke dalam kelas diameter 5,1 – 10 cm, selebihnya berada pada klas diameter 10,1-15 cm sebesar 13,86 % atau 56 ind/ha. Pada hutan mangrove tanaman umur 10 tahun, diketahui bahwa sebagian besar (54,39 % atau 248 individu/ha) pohon penyusun hutan mangrove termasuk ke dalam kelas diameter 5,1 – 10 cm, selebihnya berada pada klas diameter 10,1-15 cm (39,47 % atau 180 ind/ha) dan 15,120 cm sebesar 6,14 % atau 28 ind/ha. Untuk lebih jelasnya, penyebaran pohon di hutan mangrove Desa Kayu Besar, Kecamatan Bandar Khalipah pada setiap komunitas hutan menurut klas diameter disajikan pada Gambar 2.

Berdasarkan klas diameter, diketahui bahwa sebagian besar (44,83 % atau 156 individu/ha) pohon penyusun hutan mangrove di lokasi hutan mangrove alami termasuk ke dalam kelas diameter 10,1 – 15 cm. Selanjutnya pohon-pohon dengan diameter melebihi 30 cm sangat jarang dijumpai, yakni 1,15 % atau 4 ind/ha yang memiliki diameter diatas 30 cm. Pada hutan mangrove tanaman umur 4 tahun, diketahui bahwa sebagian besar (91,80 % atau 448 individu/ha) pohon penyusun hutan mangrove termasuk ke dalam kelas diameter 5,1 – 10 cm, untuk kelas diameter diatas 10 cm hanya terdapat 0,82 % atau 4 ind/ha. Pada hutan mangrove tanaman umur 9 tahun, diketahui bahwa sebagian besar (86,14 % atau

Gambar 2. Distribusi klas diameter pada setiap komunitas tegakan hutan mangrove Desa Kayu Besar.

189


Inovasi Vol. 10 No. 3, September 2013: 179-194

Berdasarkan hasil analisis vegetasi (Gambar 2) diketahui bahwa pohon di hutan mangrove alami desa Kayu Besar memiliki sebaran tinggi pohon antara 1,5 – 10,9 m. Sebagian besar (64,37 % atau 224 ind/ha) termasuk ke dalam klas tinggi 6,0 – 10,9 m, untuk klas tinggi > 15 m sangat sedikit dijumpai flora penyusun di hutan mangrove alami. Struktur flora pada hutan mangrove alami berdasarkan klas tinggi, pada klas tinggi 6,0 – 10,9 m yang memiliki kerapatan (224 ind/ha atau 64,37%) dengan kerapatan tertinggi terdapat pada jenis Avicennia marina (40 ind/ha atau 6,1%), disusun oleh 8 jenis flora, yaitu Avicennia marina, Bruguiera sexangula, Rhizopora apiculata, Exoecaria agallocha, Ceriops tagal, Rhizopora mucronata, Bruguiera gymnorrhiza, Sonneratia griffithi, Hibiscus tiliaceus, dan Lumnitzera racemosa. Pada klas tinggi 1,5-5,9 disusun oleh 3 jenis flora, yaitu Avicennia marina, Bruguiera sexangula, dan

Lumnitzera racemosa, dengan kerapatan masing-masing sebesar 8 ind/ha atau 2,29%. Pohon di hutan mangrove tanaman umur 4 tahun di desa Kayu Besar hanya memiliki sebaran tinggi pohon antara 1,5 – 10,9 m, yaitu sebesar 484 ind/ha atau 99,18 %. Struktur flora hutan mangrove tanaman umur 4 tahun berdasarkan klas tinggi 1,5 – 5,9 m (Gambar 4.12) disusun oleh 4 jenis flora, yaitu Rhizopora mucronata, Bruguiera sexangula, Avicennia marina, dan Rhizopora apiculata dimana jenis yang memiliki kerapatan tertinggi adalah Rhizopora mucronata, Rhizopora apiculata, dan Avicennia marina. Kerapatan masing-masing jenis secara berturut-turut adalah 236 ind/ha atau 48,36 %, 96 ind/ha atau 19,67%, dan 88 ind/ha atau 18,03%. Pada klas tinggi 6,0 – 10,9 disusun oleh jenis Avicennia marina dengan kerapatan 4 ind/ha atau 0,82%.

Gambar 3. Stratifikasi berdasarkan klas tinggi pada setiap komunitas hutan mangrove di hutan mangrove Desa Kayu Besar.

190


Identifikasi dan Analisis Kawasan Hutan Mangrove di Kawasan Pesisir Pantai Timur Sumatera Utara (Nobrya Husni dan Porman Juanda Marpomari Mahulae)

Pohon di hutan mangrove tanaman umur 9 tahun memiliki sebaran tinggi pohon antara 1,5 – 15,9 dimana sebagian besar (95,01% atau 388 ind/ha) termasuk ke dalam klas 6,0 – 10,9 m (Gambar 4.12), yang disusun oleh 6 jenis flora, yaitu Rhizopora mucronata, Rhizopora apiculata, Bruguiera sexangula, Ceriops tagal, Bruguiera gymnorrhiza, dan Avicennia marina. Kerapatan tertinggi ditemui pada jenis Rhizopora mucronata dan Rhizopora apiculata, dengan kerapatan masing-masing jenis secara berturut-turut adalah 184 ind/ha atau 45,09% dan 156 ind/ha atau 38,24%. Pada klas tinggi 1,5 – 5,9 m dengan kerapatan 12 ind/ha atau 2,94%, disusun oleh 3 jenis flora penyusun, yaitu Rhizopora mucronata, Rhizopora apiculata, dan Bruguiera sexangula. Berdasarkan hasil analisis vegetasi di hutan mangrove tanaman umur 10 tahun (Gambar 4.12) diketahui bahwa pohon di hutan mangrove tanaman umur 10 tahun memiliki sebaran tinggi pohon antara 1,5 – 20,9 m. Sebagian besar (78,07% atau 356 ind/ha) termasuk ke dalam klas 6,0 – 10,9 m, yang disusun oleh 6 jenis flora, yaitu Avicennia marina, Bruguiera sexangula, Rhizopora mucronata, Lummnitzera racemosa, Ceriops tagal, dan Rhizopora apiculata, dimana jenis yang memiliki kerapatan tertinggi adalah Bruguiera sexangula dengan kerapatan sebesar

148 ind/ha atau 32,21%. Pada klas tinggi 11,0 – 15,9 m dengan kerapatan (6,9% atau 32 ind/ha) disusun oleh 3 jenis flora, yaitu Avicennia marina, Bruguiera sexangula, dan Rhizopora mucronata, dimana kerapatan tertinggi terdapat pada jenis Rhizopora mucronata dan Bruguiera sexangula dengan kerapatan masing-masing sebesar 2,62% atau 12 ind/ha. Pada klas tinggi 16,0 – 20,9 m disusun oleh jenis Bruguiera sexangula dengan kerapatan 4 ind/ha atau 0,87%. Pada klas tinggi 1,5 – 5,9 m disusun oleh 2 jenis flora, yaitu Avicennia marina, dan Bruguiera sexangula dengan kerapatannya masing-masing secara berturut-turut adalah 16 ind/ha atau 3,49% dan 48 ind/ha atau 10,48%. Perbandingan antara Kerapatan dengan LBDS (luas bidang dasar) dari setiap komunitas pada hutan mangrove alami dan hutan mangrove tanaman di Desa Kayu Besar dapat dilihat pada Gambar 4.13. Kerapatan tertinggi terdapat pada komunitas hutan mangrove tanaman umur 9 tahun (1837,13 ind/ha) dan kerapatan terendah terdapat pada hutan mangrove tanaman umur 4 tahun (738,10 ind/ha). Untuk luas bidang dasar tertinggi terdapat pada hutan mangrove alami sebesar 1,14 m2/ha dan luas bidang dasar tertinggi terdapat pada hutan mangrove tanaman umur 4 tahun sebesar 0,34 m2/ha.

Gambar 4. Perbandingan Kerapatan (ind/ha) dengan LBDS (m2/ha) pada setiap komunitas hutan mangrove di Desa Kayu Besar.

Kabupaten

Tabel 8. Luas dan kondisi mangrove di Kabupaten Serdang Bedagai Luas Lahan Kondisi Mangrove Jenis Mangrove Mangrove Dominan Rusak (Ha) Sedang (Ha) Baik (Ha) (Ha) 1.773,3 723,72 524,79 524,79 Avecinea,Rhizophora

Serdang Bedagai Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Sumatera Utara, 2011

191


Inovasi Vol. 10 No. 3, September 2013: 179-194

Tabel 9. Hasil perhitungan indeks keanekaragaman jenis pada komunitas hutan mangrove alami dan hutan mangrove tanaman

Sebagai bahan perbandingan selanjutnya, menurut laporan Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Sumatera Utara, di Kabupaten Serdang Bedagai terdapat 1.773,3 Ha luas mangrove yang didominasi oleh jenis Avecinea dan Rhizophora, selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 8. Indeks keanekaragaman jenis di petak pengamatan hutan mangrove alami termasuk dalam kategori sedang (1,0–3,322) dengan kisaran indeks 1,53–2,13, dan indeks pada petak pengamatan hutan mangrove tanaman umur 4, dan 9 tahun termasuk dalam kategori rendah (<1,0) dengan kisaran indeks 0–0,54. Indeks keanekaragaman yang rendah pada hutan mangrove tanaman disebabkan pada komunitas tersebut didominasi oleh 4 jenis pohon mangrove saja (Rhizophora mucronata, Rhizophora apiculata, Brugiera sexangula, dan Avicennia marina). Pada hutan mangrove alami komunitasnya lebih heterogen dibandingkan dengan komunitas hutan mangrove tanaman. Untuk lebih jelasnya hasil perhitungan indeks keanekaragaman Shannon-Wiener disajikan pada Tabel 9. Hutan mangrove tanaman umur 4, 9 dan 10 tahun ditanami dengan 4 jenis permudaan yaitu

bakau minyak (Rhizopora apiculata), bakau kurap (Rhizopora mucronata), mata buaya (Bruguiera sexangula) dan api-api putih (Avicennia marina). Berdasarkan penelitian ditemukan jenis lain yang tidak ditanami, yakni Ceriops tagal, Bruguiera gymnorrhiza, Lumnitzera racemosa, Hibiscus tiliaceus, ke dalam komunitas hutan mangrove tanaman. Masuknya jenis lain ke dalam komunitas hutan mangrove tanaman diduga disebabkan oleh terbawanya propagul tumbuhan yang lain oleh pasang surut ke dalam komunitas hutan mangrove tanaman, yang selanjutnya tumbuh dengan baik pada komunitas hutan mangrove tanaman. Berdasarkan indeks keanekaragaman Shannon Wienner diketahui bahwa indeks keragaman pada hutan mangrove Desa Kayu Besar memiliki keanekaragaman sedang, yang berarti produktivitas cukup, kondisi ekosistem cukup seimbang, dengan tekanan ekologis sedang. Pada tingkat pohon indeks keragaman tertinggi terdapat pada hutan mangrove alami (2,13), untuk indeks keragaman terendah dengan nilai 0 (nol) terdapat pada hutan mangrove tanaman umur 4 tahun, yang berarti

192


Identifikasi dan Analisis Kawasan Hutan Mangrove di Kawasan Pesisir Pantai Timur Sumatera Utara (Nobrya Husni dan Porman Juanda Marpomari Mahulae)

Perlindungan Lingkungan Mangrove dan Tambak di Bogor 19 - 22 Oktober 1998.

keanekaragaman rendah, produktivitas sangat rendah sebagai indikasi adanya tekanan yang berat dan ekosistem tidak stabil. Pada tingkat pancang indeks keragaman tertinggi terdapat pada hutan mangrove alami (1,96), dan indeks keragaman terendah terdapat pada hutan mangrove umur 9 tahun (1,18), dan pada tingkat semai indeks keragaman tertinggi terdapat pada hutan mangrove alami (1,53), untuk indeks keragaman terendah pada tingkat semai terdapat pada hutan mangrove tanaman umur 4 tahun (1,29), sehingga dapat disimpulkan bahwa tinggi rendahnya nilai indeks keanekaragaman suatu komunitas ditentukan oleh jumlah jenis dan jumlah individu jenis yang ditemukan pada komunitas tersebut. Michael (1984), menyatakan bahwa indeks keanekaragaman berfungsi untuk menandai jumlah jenis diantara jumlah total individu dari seluruh jenis yang ada. Selain itu indeks keanekaragaman juga sangat penting dalam menentukan batas kerusakan sistem alam oleh campur tangan manusia.

Bengen, D.G. 2000. Teknik Pengambilan Contoh dan Analisis Data Biofisik Sumberdaya Pesisir. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor. Dahuri, R, J. Rais, S.P. Ginting dan M.J. Sitepu. 1996. pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan lautan Secara Terpadu. Jakarta: PT Saptodadi. Dahuri, R. 2000. Pengelolaan Sumber Daya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. Jakarta: PT Pradnya Paramita. Dahuri, R. 2002. Integrasi Kebijakan Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Makalah disampaikan pada Lokakarya Nasional Pengelolaan Ekosistem Mangrove di Jakarta, 6-7 Agustus 2002. Departemen Kehutanan. 1997. Strategi Nasional Pengelolaan Mangrove di Indonesia Jilid II: Strategi dan Rancang Teknik. Jakarta: Penerbit Departemen Kehutanan.

KESIMPULAN Kondisi kawasan hutan mangrove di pesisir Pantai Timur Sumatera Utara cenderung rusak, hal ini dipertegas lagi dengan data jumlah vegetasi mangrove yang memiliki indeks nilai penting tinggi yang sedikit dan nilai keanekaragaman yang rendah. Adapun jenis mangrove yang dominan di Kabupaten Deli Serdang adalah Rhizopora dan Bruguirea. Sedangkan di Kabupaten Serdang Bedagai didominasi oleh Rhizopora dan Avecinea.

Harahap, Asnawi Krismastopo. 2008. Karakteristik Tapak Hutan Mangrove di Desa Kayu Besar Kecamatan Bandar Khalipah Kabupaten Serdang Bedagai. Skripsi, Departemen Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara Medan. Kusmana, C. 2002. Pengelolaan Ekosistem Mangrove Secara Berkelanjutan dan Berbasis Masyarakat. Makalah Disampaikan pada Lokakarya Nasional Pengelolaan Ekosistem Mangrove di Jakarta 6-7 Agustus 2002.

REKOMENDASI 1. Dilihat dari kerapatan pohon yang rendah dan luas penutupan tajuk yang rendah di beberapa hutan mangrove di wilayah pesisir, maka disarankan pada hutan mangrove Desa Paluh Sibaji perlu direhabilitasi. 2. Jenis mangrove yang direkomendasikan untuk dibudidayakan adalah Rhizophoraapiculata dan Bruguiera cylindrical, yang relatif tahan terhadap ancaman dari luar maupun dari dalam ekosistem mangrove. 3. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk menyusun strategi pengelolaaan hutan mangrove yang berbasis masyarakat.

Kusmana, dkk. 2008. Manual Silvikultur Mangrove di Indonesia. Banda Aceh: Korea International Cooperation Agency.. Ningsih, Sri Susanti. 2008. Inventarisasi Hutan Mangrove sebagai Bagian dari Upaya Pengelolaan Wilayah Pesisir Kabupaten Deli Serdang. Thesis, Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara. Pratikto, W. 2002. Perencanaan Perlindungan Pantai Alami untuk Mengurangi Risiko Bahaya Tsunami. Makalah Disampaikan pada Lokakarya Nasional Pengelolaan Ekosistem Mangrove di Jakarta 6-7 Agustus 2002.

DAFTAR PUSTAKA

Raymond P., Graziano, dkk. 2010. Pengelolaan Hutan Mangrove Berbasis Masyarakat di Kecamatan Gending, Probolinggo. AGRITEK Vol. 18 No. 2. Malang.

Awang, S.A., Suhardi, M.A. Safitri, dan Kustomo. 2000. Kelembagaan Kehutanan Masyarakat. Aditya Media. Yogyakarta.

Saenger. 1983. Global Status of Mangrove Ecosystem. IUCN Commission on Ecology Papers No. 3.

Bengen, D. 1998. Ekosistem dan Sumber Daya Hutan Mangrove. Makalah dalam Pelatihan Singkat

Saptarini, D., Suprapti, dan H. R. Santosa. 1996. Pengelolaan Sumberdaya Kelautan dan Wilayah Pesisir. Proyek Pengembangan Pusat Studi

193


Inovasi Vol. 10 No. 3, September 2013: 179-194

Lingkungan (PPPSL). Surabaya: Institut Teknologi Surabaya. Undang-undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan.

194


Keterlibatan Wanita Dalam Mempertahankan Kemerdekaan di Sumatera Utara (Dumora Jenny Margaretha Siagian dan Dwi Endah Purwanti)

Hasil Penelitian KETERLIBATAN WANITA DALAM MEMPERTAHANKAN KEMERDEKAAN DI SUMATERA SUMATERA UTARA (WOMEN INVOLVEMENT IN DEFENDING THE INDEPENDENCE AT NORTH SUMATERA PROVINCE) Dumora Jenny Margaretha Siagian, Dwi Endah Purwanti Badan Penelitian dan Pengembangan Provinsi Sumatera Utara Jl. Sisingamangaraja No. 198 Medan email: dumora_jenny@yahoo.com

Diterima: 8 Februari 2013; Direvisi: 15 Juni 2013; Disetujui: 20 Agustus 2013

ABSTRAK Kemerdekaan yang dicapai bangsa Indonesia melalui Proklamasi yang dibacakan pada tanggal 17 Agustus tahun 1945, bukanlah menjadi akhir perjuangan bangsa melawan penjajahan. Setelah kemerdekaan tersebut, banyak hal yang perlu dilakukan, seperti membentuk Negara Kesatuan Indonesia yang berkedaulatan, dan juga mempertahankan kemerdekaan tersebut dari sisa – sisa penjajahan yang masih berkeinginan merebutnya melalui Agresi Militer nya. Segenap lapisan masyarakat memiliki semangat juang yang tinggi berjuang kembali mempertahankan kemerdekaan yang sudah dicapai tersebut, tak terkecuali kaum wanita di Sumatera Utara. Penelitian ini merupakan penelitian sejarah yang menggunakan pendekatan kualitatif, dimana tujuannya adalah untuk mengkaji faktor – faktor penyebab kaum wanita turut aktif berperan dalam perjuangan, meski nyawa sebagai taruhannya, serta mengungkapkan dan mendeskripsikan peranan mereka dalam revolusi kemerdekaan di Sumatera Utara. Penelitian ini dilakukan di kabupaten/kota yang menjadi domisili para informan yang merupakan pelaku sejarah di Kotamadya Medan, Kabupaten Langkat, Kabupaten Karo, dan Kotamadya Binjai. Metode yang dilakukan dalam mengumpulkan data adalah metode dokumenter dan metode wawancara. Hasil dari penelitian mengungkapkan bahwa keterlibatan kaum wanita dalam revolusi kemerdekaan disebabkan banyak hal, diantaranya adalah mengikuti perjuangan suami dan teman – teman, dan terbawa arus oleh situai dan kondisi bangsa yang tidak menentu, serta karena dendam pada penjajah yang telah membunuh anggota keluarganya. Hal ini menumbuhkan jiwa patriotisme di kalangan kaum wanita. Banyak aktivitas dan peran yang dilakukan kaum wanita tersebut dalam membantu perjuangan bangsa, seperti berjuang melalui Barisan Srikandi, membantu mengobati pejuang yang terluka dalam Palang Merah, menyediakan makan bagi pejuang di dapur umum, bahkan banyak diantaranya yang menjadi kurir dan mata – mata. Mereka melakukan semua kegiatan itu dengan semangat yang tidak kalah dari kaum pria, bahkan hingga mengorbankan harta dan nyawa demi membantu perjuangan bangsa. Kata Kunci : Wanita, kemerdekaan, Sumatera Utara.

ABSTRACT Indonesian nation achieved independence through Proclamation was read on August 17, 1945, not to be the end of the struggle against colonialism. After independence, many things that need to be done , such as establishing the sovereignty Unity State of Indonesia, and also to maintain the independence of the rest of colonialism who still willing to take it through its military aggression. All levels of society have high morale fought back to maintain that independence has been achieved, not least the women in North Sumatra. This study is a history of using a qualitative approach, where the objective is to examine the factors that cause women to actively participate in the fight, even though their lives are at stake, to disclose and describe their role in the independence revolution in North Sumatra. The research was conducted at the district/city of the informant residence who became an actor in the history at Medan City, Langkat district, Karo District, and Binjai City. The method is performed in the data collection is a method

195


Inovasi Vol. 10 No. 3, September 2013: 194-211

of documentary and interviews. Results of the study revealed that the involvement of women in the revolution caused by many things, including the struggle to follow her husband and their friends, swept away by situation and conditions of uncertainty, as well as revenge on the invaders who had killed members of his family. This is growing the soul of patriotism among women. Many of the activities and the role played by the women in the struggle of the nation, like struggling through Barisan Srikandi, helped treat wounded fighters in the Red Cross, providing food for the fighters in the common kitchen, even a lot of them are into courier and spy. They do all the activities with the spirit is no less than the men, even to the expense of treasure and lives to help fight the nation. Keywords : Women, Independence, North Sumatra.

PENDAHULUAN Dalam sejarah panjang perjuangan melawan penjajahan di Indonesia, telah tercatat berat dan panjangnya perjuangan masyarakat dalam mencapai kemerdekaan. Bukan hanya mencapai kemerdekaan, tetapi mempertahankan kemerdekaan tersebut dalam beberapa tahun setelah kemerdekaan tahun 1945 pun memerlukan rangkaian perjuangan yang cukup berat. Meskipun Proklamasi kemerdekaan telah dibacakan, bukan berarti Indonesia telah mencapai tujuan kemerdekaan yang sesungguhnya, namun itu hanyalah jembatan menuju kebebasan dan kemakmuran masyarakat Indonesia. Secara kronologis, Revolusi Kemerdekaan dapat dibagi dalam tiga tahapan. Pertama, sejak proklamasi kemerdekaan sampai agresi militer Belanda I tanggal 21 Juli 1947. Kedua, selama agresi militer pertama sampai tanggal 19 Desember 1948. Dan Ketiga, terjadi selama agresi militer ke dua, yakni sejak tanggal 19 desember 1948 sampai pengakuan kedaulatan tanggal 27 Desember 1949. Pada masa tersebut, segenap lapisan masyarakat, baik langsung maupun tidak langsung, turut melibatkan diri dalam mempertahankan kemerdekaan, tak terkecuali kaum wanita. Peranan kaum wanita dalam sejarah Revolusi Kemerdekaan sudah cukup terbukti, diantaranya adalah memberikan bantuan dalam bidang logistik (bahan makanan) dan informasi militer kepada pasukan TNI. Bahkan pada kasuskasus tertentu mereka menjadi pelopor dan pemimpin perjuangan. Bantuan mereka terasa sangat penting mengingat masalah logistik dan informasi tentang kondisi militer pasukan Belanda sangat menentukan jalannya operasi militer itu sendiri. Organisasi–organisasi wanita yang terbentuk pada masa itu pun memberikan peran yang sangat luas dalam memberi dorongan semangat bagi para pejuang, baik itu di garis depan, di medan pertempuran, di dapur umum, dan kegiatan lainnya, seperti kurir, mata-mata, dan sebagainya.

Djamin Ginting, dalam bukunya Bukit Kadir menjelaskan aktivitas wanita Karo dalam membantu TNI maupun laskar rakyat mengusir penjajah, memainkan peranan penting dalam organisasi Pertahanan Rakyat Semesta (PRS), khususnya dalam menyampaikan informasi dari daerah pendudukan ke markas-markas TNI. Informasi itu disampaikan melalui sepucuk surat. Surat itu biasanya hanya selembar daun yang lebar atau secarik kertas kecil, dibawa dalam bentuk lipatan-lipatan dan diikat ke dalam rambut wanita muda. Dengan cara ini, para pejuang memperoleh keperluan yang dibutuhkan dari wilayah pendudukan Belanda. Ini membuktikan bahwa kaum wanita telah sejak lama memainkan peran yang selama ini dimainkan oleh kaum laki-laki. Lebih dari itu, peristiwa itu membuktikan bahwa revolusi kemerdekaan telah melibatkan semua segmen masyarakat di seluruh Indonesia termasuk di Sumatera Utara. Anton Lucas dalam Prisma, 1996 menyatakan, bahwa sejumlah wanita merasa menjadi bagian dari proses revolusi karena apa yang dilakukan oleh suaminya, dan lainnya karena mereka bebas dari ikatan keluarga, dan dapat secara langsung bergabung dalam perlawanan revolusioner. Meskipun Anton Lucas hanya menganalisa peran wanita di Jawa, tetapi kerangka teoritisnya dapat dijadikan perbandingan dalam melihat peranan wanita di Sumatera Utara dalam Revolusi Kemerdekaan. Meskipun sudah tercatat dalam sejarah bahwa kaum wanita berperan penting dalam memecahkan persoalan yang dihadapi masyarakat pada masa itu, tetapi pengalaman mereka masih jarang diungkapkan dalam sebuah penelitian yang komprehensif. Dalam kebanyakan studi tentang daerah Sumatera Utara baik yang dilakukan oleh peneliti asing maupun Indonesia, terutama studi tentang masa revolusi, masih memfokuskan pada tematema yang bersifat umum. Di samping itu kajianpun masih terfokus pada peran yang 196


Keterlibatan Wanita Dalam Mempertahankan Kemerdekaan di Sumatera Utara (Dumora Jenny Margaretha Siagian dan Dwi Endah Purwanti)

dimainkan oleh kaum pria, terutama untuk tema perang dan revolusi, padahal dalam suatu pertempuran tercakup banyak dimensi yang harus juga diungkapkan. Masalah logistik, persenjataan, komunikasi, termasuk masalah pendistribusiannya belum diteliti secara khusus dalam kebanyakan studi tentang masa revolusi di Sumatera Utara. Masalah-masalah itu sebenarnya lebih banyak diperankan oleh kaum wanita, sebagaimana pernah dilakukan oleh wanita di Sumatera Utara. Berdasarkan latar belakang dan permasalahan di atas, maka penelitian ini menjadi sangat penting untuk dilakukan, dalam upaya memberikan perhatian yang lebih besar kepada kelompok wanita dalam studi sejarah dimaksudkan juga untuk memberikan porsi yang seimbang antara pria dan wanita dalam sejarah Indonesia. Di samping itu, dalam upaya memberikan perhatian yang lebih besar kepada kelompok wanita dewasa ini perlu memperhatikan kearifan sosial dari masa lalu wanita di Sumatera Utara. Oleh karena itu sangat pantas apabila dalam rangka pengembangan sumber daya manusia di kalangan wanita dewasa ini, diperlukan suatu studi yang komprehensif tentang peranan wanita dalam Revolusi Kemerdekaan di Sumatera Utara. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengungkapkan faktor-faktor yang menyebabkan kaum wanita di Sumatera Utara ikut berperan aktif dalam revolusi kemerdekaan. serta peranan apa saja yang dilakukan oleh kaum wanita di Sumatera Utara dalam masa revolusi kemerdekaan tersebut. . METODE Penelitian ini fokus pada peranan kaum wanita dalam masa revolusi kemerdekaan di Sumatera Utara 1945-1950. Secara kronologis dan objektif penelitian ini termasuk dalam penelitian sejarah dan secara metodologis (data dan pendekatan) termasuk penelitian kualitatif. Sampel penelitian ini adalah kaum wanita yang terlibat dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan RI di Sumatera Utara. Di samping tidak menutup kemungkinan kaum pria dijadikan sebagai informan. Lokasi penelitian meliputi wilayah Medan, Binjai, Langkat, dan Tanah Karo, yang merupakan beberapa tempat domisili para pelaku sejarah (informan) dan lokasi peristiwa sejarah masa agresi militer I dan II di Sumatera Utara. Penelitian dilaksanakan

sejak bulan September sampai bulan November 2012. Penelitian dilakukan dalam dua tahap. Pertama, Tim peneliti mewawancarai para informan yang berdomisili di Medan dan Binjai dan fokus kepada peristiwa perang Medan-Area sampai Agresi Militer I. Kedua, Tim peneliti mewancarai informan yang pernah aktif terlibat dalam membantu TNI melakukan perang gerilya setelah Agresi Militer Belanda II di Langkat dan Tanah Karo. Fokus kepada keterlibatan mereka dalam Barisan Srikandi, palang merah, dapur umum, mata-mata (Seko), dan kurir di daerah-daerah pendudukan Belanda atau di garis depan pertempuran dan di markasmarkas TNI di garis belakang pertempuran. Metode yang dilakukan dalam mengumpulkan data adalah metode dokumenter, yakni mengumpulkan berbagai sumber-sumber tertulis seperti buku, surat kabar, dan majalah. Dan juga metode wawancara, yakni mengadakan wawancara terutama dengan wanita yang pernah terlibat aktif di dalam revolusi kemerdekaan. Wawancara dilakukan dengan menggunakan pedoman wawancara. Dalam hal ini dipakai teknik informan kunci (key informan). Dari informan kunci ini kemudian akan dikembangkan untuk melacak informan lainnya. Untuk menentukan informan terlebih dahulu dicari melalui sumbersumber tertulis seperti arsip, sebab kaum wanita yang pernah terlibat dalam revolusi saat itu terkadang terdapat dalam sumber tertulis. Cara ini akan memperkecil kesalahan dalam memilih informan dan sekaligus menjadi alat seleksi yang penting dalam penelitian sejarah lisan. Metode yang digunakan adalah dengan merekam dalam bentuk data digital. Masing-masing diestimasikan memakan waktu sekitar satu setengah jam. Teknik analisis data dalam penelitian ini dilakukan dengan dua cara yaitu teknik analisis deskriptif dan kualitatif. Analisis kualitatif dipergunakan untuk mengkritik semua sumber tertulis dan sumber lisan. Prinsipnya sebuah sumber sejarah tidak ditentukan oleh kuantitasnya tetapi kualitas dari penyampai informasi. Keabsahan data diperoleh dengan diperbandingkan terhadap dokumen dan sumber informasi lainnya. Dari tahapan kritik sumber maka diperoleh data.. Analisis deskriptif adalah mendeskripsikan semua data dalam sebuah narasi sejarah berdasarkan prinsip-prinsip kronologis dan tematik

197


Inovasi Vol. 10 No. 3, September 2013: 194-211

HASIL DAN PEMBAHASAN Salah satu faktor yang menentukan berhasilnya perjuangan bangsa Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaan adalah kepiawaian tokoh-tokoh militer dan sipil dalam memobilisasi seluruh lapisan masyarakat Indonesia dalam membantu perjuangan. Di antara lapisan masyarakat yang tidak kalah penting dalam membantu perjuangan kemerdekaan itu adalah kaum wanita. Di seluruh wilayah Indonesia, kaum wanita bahu membahu dengan kaum pria mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia dari serbuan militer Belanda, tidak terkecuali di Sumatera Utara. Ada banyak aspek yang bisa diungkapkan dalam periode revolusi kemerdekaan menyangkut kaum wanita di Sumatera Utara. Namun mengingat keterbatasan data, ruang dan waktu, maka keterlibatan kaum wanita dalam revolusi kemerdekaan di Sumatera Utara hanya akan dipaparkan pada beberapa aspek yang dapat mewakili, yakni aktivitas wanita dalam barisan srikandi, sebagai tenaga palang merah, dapur umum, dan mata-mata atau kurir.

persiapan mengahadapi pertempuran dengan pasukan asing yang akan menjajah kembali Indonesia. Menurut laporan Nurmala Dahlan ada sekitar 30 orang anggota wanita, termasuk dirinya yang mengikuti pelatihan di pusatpusat pelatihan kilat TKR. Setelah tamat dari pelatihan mereka diberi pangkat, yang tertinggi sersan dan lainnya kopral. Dari sinilah kemudian mereka membentuk Barisan Srikandi Indonesia yang kemudian juga mendirikan pusat-pusat pelatihan untuk menggembleng para wanita menjadi tenaga perjuangan membantu kaum pria di medan tempur melawan Belanda. Di antara pusat latihan itu adalah di Jalan Duyung dengan pelatihnya antara lain Nurmala Dahlan. Di pusat latihan ini terdapat tiga angkatan, dan masing-masing angkatan berjumlah 60 orang. Mereka berasal dari berbagai daerah di Sumatera Utara seperti, Binjai, Kisaran, Siantar dan sebagainya. Setelah mendapatkan pelatihan, mereka kembali ke daerahnya masing-masing membentuk pusat latihan sejenis. Di Tanah Karo aktivitas Barisan Srikandi tidak bisa dilepaskan dari pusat pelatihan di Jalan Duyung Medan. Proses perekrutan, pendidikan, dan pendistribusian anggota Barisan Srikandi digambarkan oleh Ny. Nelang Sembiring sebagi berikut:

1. Barisan Srikandi Setelah terbentuknya BPI dan TKR di Medan, maka dengan segera cabang-cabang BPI bermunculan di daerah Sumatera Utara. Para pimpinan TKR dan BPI tidak hanya merekrut kaum pria saja, tetapi juga menerima kaum wanita yang merasa terpanggil untuk ikut mempertahankan Kemerdekaan Indonesia. Selain itu, para komandan laskar rakyat juga tidak mau ketinggalan ikut melatih kaum wanita di kesatuannya masing-masing dalam usaha menghadapi setiap ancaman terhadap kemerdekaan Indonesia yang baru saja diproklamasikan. Proses pembentukan Barisan Srikandi memang tidak bisa dilepaskan dengan riwayat BPI, TKR, dan laskar rakyat di Sumatera Utara. Seruan untuk segera memasuki pusat pelatihan TKR, segera mendapat tanggapan dari sebagian kaum wanita di Sumatera Utara. Tidak mengherankan jika pada masa itu, kaum wanita dari Binjai, Siantar, Kabanjahe, Tebing Tinggi dan lain-lain ikut bergabung di Jalan Asia Medan untuk mengikuti latihan. Dalam pusat pelatihan itu mereka diberi pelajaran-pelajaran yang berkaitan dengan masalah pembelaan terhadap proklamasi kemerdekaan, seperti latihan menggunakan senjata, kepalangmerahan, dapur umum, mata-mata dan kurir. Semuanya berkaitan erat dengan

“Beberapa orang putri Karo dikumpulkan di Asrama Palang Merah TKR Kabanjahe, ada sepuluh orang putri yang sudah bersedia menjadi Srikandi. Batalion III Resimen IV mengutus ke sepuluh orang itu ke Medan (Jalan Duyung) untuk mengikuti latihan Srikandi selama satu bulan. Latihan berjalan lancar, tekun penuh kedisiplinan. Kepada peserta kursus diajarkan Tata Negara, Sejarah, pertolongan pertama yang dilaksanakan pada waktu malam, dan latihan ketenteraan pada waktu siang hari. Setelah selesai latihan peserta kusus kembali ke Kabanjahe dan mereka dipersiapkan untuk terjun ke kecamatan-kecamatan. Sebagai pengurus organisasi keputrian dalam bidang Srikandi di Tanah Karo.� Dengan cara demikian maka dengan cepat di seluruh pelosok Tanah Karo berdiri Barisan Srikandi yang siap membantu TKR mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Peran mereka sangat penting misalnya menjahit tanda pangkat untuk TKR, meminta sumbangan untuk dana perjuangan kepada masyarakat, menyebarkan lencana merah putih di kalangan masyarakat desa, dan 198


Keterlibatan Wanita Dalam Mempertahankan Kemerdekaan di Sumatera Utara (Dumora Jenny Margaretha Siagian dan Dwi Endah Purwanti)

melaksanakan kegiatan PMI serta dapur umum. Di samping itu tidak jarang mereka juga ikut memanggul senjata dan menjadi mata-mata atau kurir bagi pasukan republik. Tentang Barisan Srikandi di Tanah Karo A.R. Surbakti menyatakan bahwa "dalam BPI juga termasuk Barisan Keputrian yang lazim disebut pada waktu itu dengan Barisan Srikandi, yang sangat aktif menyelenggarakan dapur umum dan memberikan pertolongan pada kecelakaan". Dalam beberapa kesatuan laskar rakyat, usaha merekrut kaum wanita juga dilakukan. Chadidjah, salah seorang tokoh wanita di Kota Medan atas perintah M. Yakub Siregar dan Saleh Umar memobilisasi kekuatan wanita di seluruh daerah yang terdapat pada pasukan Harimau Liar (BHL) dan Napindo Halilintar. Di seluruh Sumatera Timur, Tapanuli dan Aceh Timur dibentuklah Barisan Srikandi kedua pasukan itu. Beberapa basis tempat pelatihan Barisan Srikandi adalah di Kota Gadung Tanah Karo, Bah Butong, Bah Birong Ulu dan Kebun Susu di Simalungun. Dimana ada pasukan Harimau Liar dan Napindo Halilintar, kaum wanita direkrut untuk digembleng secara fisik dan mental. Mereka dilatih untuk setiap saat dapat menggantikan kaum pria, siap melakukan perang gerilya, membunuh musuh, menjadi penghubung, mata-mata, Palang Merah, memasak di dapur umum, memberi penerangan dan bimbingan kepada masyarakat pedesaan. Kaum wanita yang masuk dalam Barisan Srikandi mendapat latihan dasar kemiliteran dari para pemuda mantan heiho dan gyugun. Oleh karena itu model latihannya mirip dengan militer Jepang. Mereka misalnya diajarkan latihan baris berbaris, kedisiplinan, bela diri, teknik menyamar, cara menggunakan senjata dan sebagainya. Berkaitan dengan itu salah seorang mantan anggota barisan putri Laskar Barisan Harimau Liar (Maimunah) di Langkat menyatakan:

Belanda melakukan serangan terhadap sejumlah basis-basis tentara republik, para srikandi itupun bersama-sama dengan kaum pria mengadakan perlawanan dan tidak jarang ikut menyerang atau menghadang pasukan Belanda. Dalam hubungan ini, para srikandi selalu ada di barisan belakang; di dapur umum, bertugas sebagai palang merah, mata-mata, penghubung dan juga menjalankan serangkian aksi sabotase di daerah pendudukan Belanda. Untuk mengetahui seberapa besar keterlibatan wanita dalam revolusi kemerdekaan saat itu berikut ini kita kutip beberapa kisah mereka. Mirah Rosalina Mingranti memulai kegiatannya di Barisan Putri Indonesia di Jalan Thamrin Medan. Dalam BPI ia ditugaskan sebagai inteligent atau matamata, di bawah pimpinan Siagian. Setelah menjalani latihan militer di pusat latihan TKR dan BPI ia kemudian berangkat ke Pulau Berayan untuk bergabung dengan pasukan suaminya (Bedjo). Bersama-sama Bedjo, ia pernah melakukan serangan terhadap basisbasis militer Belanda, seperti di Kamp Helvetia. Mirah juga sering menyerang konvoi militer Belanda di Jalan MedanBelawan dan berhasil mendapatkan senjata dari pasukan Belanda. Pada masa itu pasukan Bedjo merupakan pasukan yang sangat ditakuti oleh pihak Belanda maupun Inggris. Mereka menganggap daerah sekitar koridor Jalan Medan Belawan menjadi daerah maut bagi pasukan Belanda. Oleh karena itu perjalanan pasukan Belanda yang selalu didatangkan dengan kapal laut melalui Pelabuhan Belawan menjadi terancam oleh aksi-aksi pasukan Bedjo. Akibatnya basis pasukan yang berada di bawah pimpinan Bedjo dan Mirah menjadi sasaran penggerebekan pasukan Belanda. Mirah dan pasukan Bedjo kemudian mundur dari Mabar ke Labuhan dan kemudian ke Hamparan Perak. Di sinipun mereka tidak bertahan lama, karena Belanda terus melakukan serangan terhadap markas mereka, yang akhirnya mereka mundur ke Saentis dan Sampali. Dengan menunggang seekor kuda yang diberi nama Dahlia, Mirah selalu melakukan tugas menghubungi kawan-kawannya yang berada di front Percut dan Sampali. Setelah Belanda melancarkan Agresi Militernya yang pertama, Mirah dan pasukan Bedjo mengundurkan diri ke Tebing Tinggi dengan menyelusuri jalan-jalan Tembung, Batang Kuis dan Tanjung Morawa, kemudian ke Lubuk Pakam dan Simpang Tiga. Dari Tebing kemudian perjalanan diteruskan ke

“Latihannya itulah kalau ibaratnya ada yang kena pelor, kita belajar merawat, membungkusnya pakai perban, mengangkatnya pakai tandu, dites lari, kadang-kadang diajari menggunakan senjata karben, sumpit. Asal latihan kami dikasih satu seorang. Kami latihannya di daerah Timbang Langkat, di perkebunan-perkebunan.� Masa persiapan yang dilakukan Barisan Srikandi sebenarnya belum selesai, namun tantangan sudah ada di depan mata. Setelah

199


Inovasi Vol. 10 No. 3, September 2013: 194-211

Perkebunan Bah Apel, Tangga Batu, Pondok Gelugur, Babirong Ulu, Sidamanik daerah Simalungun. Pada Agresi II Belanda menyerang Pematang Siantar, akibatnya Mirah bersama pasukan Bedjo mundur ke Aek Nabara, Huta Godang dan Gunung Tua. Di daerah Gunung Tua, Mirah seringkali diundang oleh para Kepala Kampung untuk memberikan penerangan kepada penduduk tentang pentingnya memupuk semangat perjuangan, persatuan, kebersamaan, dan tentang kelaskaran. Bersama-sama dengan Suparmi, ia memenuhi undangan para kepala kampung dan dari sinilah dijalin kerjasama yang erat untuk saling membantu. Perbekalan pangan dan lainnya sering di dapat melalui cara-cara seperti ini. Ketika teman seperjuangannya Rame Bodo tertembak oleh Belanda dalam penyerangan ke Aek Nabara, Mirah mengambil inisiatif sendiri untuk menyelamatkan sahabatnya yang telah dianggap sebagai saudaranya itu. Mirah berhasil membawa Rame Bodo ke Laban Jantung. Di Laban Jantung Rame Bodo dirawat oleh seorang dukun patah hingga sembuh. Mirah kembali ke Medan untuk menjemput istri Rame Bodo. Dari Medan Mirah langsung ke Pematang Siantar dan bersama teman-temannya ia mengorganisir sabotase ke daerah Pendudukan Belanda. Akan tetapi sebelum gerakan itu berhasil, ia keburu ditangkap oleh pasukan Belanda karena pengkhianatan seorang sahabatnya. Dalam tahanan militer Belanda di Pematang Siantar ia tidak pernah mau memberikan informasi tentang pasukan Bedjo, meski berulangkali diinterogasi oleh tentara Belanda. Akibatnya ia selalu mendapat siksaan yang kejam. Dari Pematang Siantar ia dipindahkan ke Medan. Di kantor Nefis Medan ia diinterogasi dengan pertanyaan yang itu-itu juga, tapi ia tetap memberikan jawaban yang sama, "tidak tahu". Dari Medan kemudian ia dibawa ke Labuhan Batu. Akibat tetap tidak memberikan jawaban sesuai dengan keinginan Belanda, maka Mirah disuruh menjadi pembantu bagi pasukan Belanda. Siksaan batin yang sangat berat ini dijalani sampai akhir tahun 1949, saat Belanda mengakui kedaulatan Republik Indonesia. Kisah menarik lainnya dari salah seorang anggota Barisan Srikandi di Sumatera Utara juga dialami oleh Siti Zalecha. Setelah proklamasi, Siti Zalecha aktif membuat buletin untuk disebarkan kepada seluruh masyarakat yang isinya mengajak masyarakat agar senantiasa waspada

terhadap segala kemungkinan yang akan terjadi setelah Indonesia merdeka. Pada saat pasukan sekutu mendarat bulan Desember 1945, di Medan telah terbentuk Barisan Srikandi TKR. Siti Zalecha adalah salah satu anggota pengurus Barisan Srkandi itu. Ia adalah Wakil Kepala Barisan Srikandi Divisi IV TKR Sumatera Timur yang bermarkas di Jalan Asia Medan. Para Srikandi yang telah mendapatkan latihan di Jalan Duyung, telah siap dikirim ke seluruh daerah. Mereka bersedia ditempatkan di medan tempur, dapur umum, di PMI, perawat, dan juga sebagai inteligent atau mata-mata. Pada saat tentara Sekutu menyerang basis pertahanan tentara republik di Jalan Asia, barisan srikandi yang dipimpin oleh Rajiem dan Siti Zalecha bersama-sama dengan laskar rakyat bahu membahu menghadapi serangan sekutu. Barisan srikandi ada yang ditempatkan di dapur umum, PMI dan ada yang langsung ke tengah-tengah pertempuran. Dalam pertempuran itu, TKR Divisi IV dibawah komandannya A.Tahir mundur ke daerah Berastagi dan kemudian ke Pematang Siantar. Barisan srikandi ikut mengungsi bersama-sama. Siti Zalecha bersama dengan suaminya Kapten TRI Ruslan ikut berjuang di Berastagi, Pancur Batu, Pematang Siantar, Lawe Sigala-gala, dan di Kuta Cane. Di dua daerah yang disebut terakhir itu, Siti Zalecha kemudian aktif di bidang pendidikan. Ia memberantas buta aksara secara massal. Cerita lainnya berasal dari Kamisah. Setelah pusat pelatihan bagi para srikandi di Jalan Duyung Medan digempur oleh Pasukan Belanda, Kamisah dan teman-temannya yang berhasil meloloskan diri, kemudian berangkat ke Naga Huta (Pematang Siantar). Di sini mereka belajar kembali cara-cara menggunakan senjata dan teknik perang lainnya. Setelah itu Kamisah dan kawankawannya kembali lagi ke Medan untuk bergabung dengan Laskar Rakyat Napindo dibawah pimpinan Sakti Lubis. Basis pertahanan mereka ada di Titi Denai. Anggota Barisan Srikandi pada saat tertentu juga ikut memanggul senjata di garis depan. Kamisah misalnya, ia dipersenjatai dengan sepucuk karaben dan ditugaskan oleh komandannya untuk berjaga-jaga di Stasiun Kereta Api Tembung, Kebun Pisang, dan Aras Kabu. Di sini ia bergabung dengan pasukan Akub Pesek, Ubah Batubara, Manaf Lubis, Burhanuddin, Mahmud, dan Selamat Ludruk. Dalam sebuah kesempatan, Sakti Lubis menugaskan Kamisah dan anggota lasyar lainnya untuk menyerang Belanda yang 200


Keterlibatan Wanita Dalam Mempertahankan Kemerdekaan di Sumatera Utara (Dumora Jenny Margaretha Siagian dan Dwi Endah Purwanti)

berada di Kebon Pisang. Kamisah dan temantemannya Kartini, Tasmiah, dan Tince terlibat dalam pertempuran selama sekitar tiga jam. Dalam pertempuran itu Belanda menggunakan pesawat udara untuk memukul mundur seluruh pasukan republik. Akibatnya pertempuran yang tidak seimbang itu, para pejuang mengundurkan diri ke Tanjung Morawa dan kemudian ke Tapanuli dengan meningalkan banyak korban, tidak hanya para pejuang, tetapi juga masyarakat umum. Tugas anggota Barisan Srikandi dapat dikatakan sangat serabutan. Tidak jarang ketika mereka ditugaskan di garis depan memanggul senjata tapi secara bersamaan juga bertugas sebagai perawat, menyiapkan makanan di dapur umum, sebagaimana yang dialami oleh Nur Amrah Lubis. Beberapa bulan setelah Proklamasi Kemerdekaan, di Sumatera Utara dibuka kesempatan kepada para pemuda umur 18-20 tahun untuk memasuki Srikandi Napindo. Nur Amrah Lubis, sebagai salah seorang gadis turut terpanggil jiwanya memasuki Barisan Srikandi Napindo tersebut. Di Napindo ia diberi pelatihan tentang Palang Merah, menggunakan senjata, dapur umum, inteligen atau mata-mata. Komandannya waktu itu adalah Marzuki Lubis dan pelatih militernya adalah bekas anggota KNIL, Hasan Juneidi. Di samping itu mereka diberi latihan tentang membuat granat botol di Jalan Emas dan mengikuti kursus untuk menjadi operator radio dengan teman-temannya sebanyak 20 orang. Instrukturnya pada waktu itu adalah H. Anwar Effendi. Setelah menamatkan latihan, Nur Amrah Lubis dan Sukati Mulyaningsih diangkat sebagai ketua dan wakil Ketua Barisan Srikandi Napindonya Marzuki Lubis. Sebagian temannya dikirim ke berbagai daerah untuk melatih para srikandi lainnya, seperti ke Berastagi, Pematang Siantar, dan Kabanjahe. Di daerah pertempuran Medan Timur, Nur Amrah Lubis bergabung dengan anggota laskar lainnya seperti Pasukan Bedjo (Medan Utara; Tanjung Mulia, Pulu Brayan), pasukan Manaf Lubis (Medan Timur; Tembung, Batang Kuis), Pasukan Jalan Sepat pimpinan Lahi Radja Munthe. Dalam pertemuran yang terjadi saat itu, Nur Amrah adakalanya bertugas di garis depan, mengangkat para korban, tapi juga tidak jarang merawat para korban perang, mempersiapkan makanan di dapur umum. Pada masa sebelum agresi pertama, daerah Simalungun merupakan basis bagi pelatihan anggota Barisan Srikandi Laskar

Rakyat Napindo. Hal ini dapat kita ketahui dari S.A. Maryati yang masuk ke dalam Barisan Srikandi Napindo Resimen Simalungun. Menurutnya Bah Butong merupakan pusat pelatihan militer bagi anggota Srikandi Laskar Napindo dengan instrukturnya Umbar Subroto. Tahun 1946, pimpinan Srikandi Napindo Andalas Utara, Chadidjah Yakub Siregar datang ke Bah Butong untuk memberikan latihan dan pengarahan kepada semua pimpinan srikandi di daerah itu. Setelah itu Maryati diperintahkan untuk memperdalam strategi dan siasat perang gerilya di Balimbingan. Tiga minggu setelah ia mengikuti pelatihan, ia kembali ke Bah Butong untuk melatih para srikandi lainya di daerah perkebunan. Di samping itu, ia juga berperan dalam upaya mengumpulkan dana bagi keperluan perjuangan laskar dan tentara di garis depan. 2. Tenaga Palang Merah Palang Merah Indonesia dibentuk pada tanggal 17 September 1945 di Jakarta dan mulai menampakkan kehadirannya di tengah-tengah masyarakat sejak tanggal 19 September 1945 di Jakarta. Di Sumatera Utara, kehadiran PMI tidak dapat dipisahkan dengan pembentukan BPI dan Barisan Srikandi, yang mulai muncul akhir tahun 1945. Keterkaitan itupun bisa dimengerti mengingat kaum wanita yang mengkuti latihan di pusat pelatihan di Jalan Duyung, Jalan Asia dan lainnya, juga diajarkan tentang kepalangmerahan. Akan tetapi mengingat keterbatasan data, uraian tentang wanita dalam PMI tidak disertai dengan struktur PMI di Sumatera Utara. Meskipun demikian, mengingat aspek terpenting dari kegiatan PMI adalah sisi kemanusiaanya, yakni menolong dan membantu para korban perang, maka di bawah ini tekanan uraiannya adalah pada aktivitas kaum wanita di PMI. Secara umum dapat digambarkan bahwa cikal bakal PMI di Sumatera Utara bersumber dari pusat pelatihan bagi para pemuda dan pemudi calon anggota TKR Sumatera Utara, yakni di beberapa tempat di Kota Medan. Para anggota TKR direkrut dari bekas heiho, gyugun, dan masyarakat luas. Di antara para peserta yang berdatangan dari segala penjuru Sumatera Utara adalah kaum wanita. Dalam pusat-pusat pelatihan kilat itu mereka diajarkan berbagai macam pelajaran yang berkaitan dengan usaha mempertahankan kemerdekaan Indonesia, termasuk cara menolong korban perang. Hal terakhir ini dimungkinkan mengingat dalam

201


Inovasi Vol. 10 No. 3, September 2013: 194-211

struktur komando TKR terdapat bagian kesehatan dibawah pimpinan Letnan Burhan Ali dan Letnan Satu dr. Pirngadi, salah seorang tokoh pergerakan yang juga bertugas sebagai dokter di Rumah Sakit Umum saat itu. Sebenarnya PMI di Sumatera Utara dibentuk di setiap kesatuan laskar dan tentara republik. Pembentukannya sebagaimana dituturkan para informan, berdasarkan inisiatif para komandan pasukan itu sendiri, bahkan tidak jarang para komandan itu sendiri bertindak sebagai instruktur atau pelatih bagi para anggotanya. Bedjo, misalnya sebagai salah seorang komandan pasukan bertindak langsung sebagai instruktur atau melatih para wanita yang bergabung dalam pasukannya, caracara merawat korban dan tidak jarang Bedjo langsung yang mengambil peluru yang bersarang di tubuh para korban. Di samping itu beliau juga berusaha mencari obat-obatan bagi keperluan pasukannya. Seperti yang telah disebutkan, bahwa para anggota PMI sekaligus merupakan anggota pasukan tersebut. Anggota PMI memang bukan didominasi oleh kaum wanita saja, melainkan juga kaum lelaki. Bahkan pengurus PMI Tanah Karo yang dibentuk setelah pembentukan BPI bulan Oktober 1945 semuanya adalah kaum lelaki dengan ketuanya dr. Marjono. Di front Medan Tembung terdapat anggota wanita PMI Napindo Andalas Utara berjumlah sekitar 14 orang dan anggota wanita PMI Napindo Medan Utara berjumlah sekitar 15 orang. Pada dasarnya keterlibatan mereka dalam PMI karena desakan situasi, seperti halnya Rahmah Karim yang pada awalnya aktif di Pesindo Putri. Akan tetapi, kemudian ia ditarik dan ditempatkan di Palang Merah untuk ikut membantu dan menolong para korban, meskipun orang tuanya melarang. Keinginan yang kuat untuk merdeka dan bebas dari penindasan kolonial Belanda menyebabkan Rahmah Karim tetap dengan tekadnya. Begitu juga himbauan bagi para wanita untuk menjadi anggota PMI membuat tersentuh seorang wanita bernama Asmah untuk masuk sebagai juru rawat ketika masih di Rantau Prapat. Selama di PMI beliau pernah merawat korban terkena tembakan dengan hanya memberi balsem. Hal ini dilakukan karena minimnya persediaan obatobat-obatan. Mobilisasi dan penyebaran berita proklamasi oleh para anggota BPI/TKR yang dilakukan sampai ke kampung-kampung telah berhasil menggugah kesadaran kaum

wanita untuk ikut memecahkan persoalan bangsa yang sedang diancam oleh kekuatan militer Belanda. Demikian juga dengan adanya tindakan teror dan agitasi yang disertai dengan ancaman fisik terhadap masyarakat oleh Belanda, telah ikut mempertebal semangat kaum wanita untuk membela Republik Indonesia. Mereka menjadi terpanggil untuk ikut membantu menolong korban-korban pertempuran, baik dari kalangan tentara dan laskar atau masyarakat luas. Kondisi ini yang menyebabkan mereka mau memasuki pusatpusat pelatihan untuk menjadi tenaga PMI atau menjadi perawat di rumah sakit rumah sakit. Beberapa kegiatan PMI di Tanah Karo adalah sebagai berikut. Pertama, memberikan petolongan pertama dalam pertempuran di Berastagi melawan Inggris dan pertempuran di Tiga Panah melawan Jepang. Kedua, mendidik kader-kader P3K di Tanah Karo yang kemudian banyak menjadi petugas kesehatan di markas-markas pasukan republik. Ketiga, mengirimkan tenaga-tenaga kesehatan dari RSU Kabanjahe ke pusat-pusat pertahanan pasukan republik di Bandar Baru, Pancur Batu, Padang Bulan, Namorambe, dan Batang Kuis. Keempat, mengirim Miling Barus ke Prapat menjadi pelatih P3K. Keempat, yakni setalah terbentuknya Komando Medan Area, PMI Tanah Karo mengirim B.G. Munte, Batase Tarigan, dan Ngosar Ginting menjadi petugas kesehatan di Markas KMA Tanjung Morawa. Para anggota wanita PMI ini dengan peralatan yang serba minim tidak hanya bertugas di garis belakang saja, tetapi terkadang mereka langsung berada di tengah-tengah pertempuran. Biasanya mereka langsung diberangkatkan bersamasama dengan kesatuan-kesatuan tempur pasukan republik. Mengenai hal ini Setia Anna br. Tarigan mengungkan kembali sekelumit pengalamannya di Daerah Tanah Karo: “Seperti saya sendiri saya pernah ikut ke front pertempuran. Jadi di situkan rumah-rumah waktu itukan ditinggalkan sesudah pendudukan Belanda..., yang di Kabanjahe malah dibumihanguskan. Jadi di situlah asal ada pertempuran kami langsung di pertempuran itu. Bila ada tentara kita yang luka-luka, dibawalah waktu itu dirawat di situ. Sesudah itu barulah dikirim ke rumah sakit darurat di pedalaman. Saya ikut sendiri langsung waktu itu.�

202


Keterlibatan Wanita Dalam Mempertahankan Kemerdekaan di Sumatera Utara (Dumora Jenny Margaretha Siagian dan Dwi Endah Purwanti)

Pengalaman ikut langsung ke front tidak hanya ada Tanah Karo, tapi juga di daerah lainnya di Sumatera Utara. Di front Medan Timur pada masa sebelum agresi militer Belanda yang pertama tahun 1946, merupakan daerah yang sering terjadi bentrokan bersenjata antara pasukan republik dengan tentara Inggris dan Belanda. Hal itu mengherankan karena basis militer laskar rakyat ada di Tembung dan daerah itu menjadi daerah yang selalu digempur oleh tentara Inggris dan Belanda yang menurut mereka sebagai tempat tawanan tentera sekutu. Dalam pertempuran itupun banyak kisah menarik dan menunjukkan betapa semangat heroisme dan tidak takut mati telah diperlihatkan oleh kaum wanita yang masuk menjadi anggota PMI atau menjadi perawat. Pada saat itu empat orang anggota PMI diantaranya Rohaya, Rajmah, Satimah Izah ditugaskan dari Tembung untuk mengambil korban-korban pertempuran yang sedang dirawat di Rumah Sakit Umum. Dari situlah mereka secara bergantian membawa korban dengan tandu berjalan kaki sampai ke Tembung. Bagaimana gawatnya keadaan waktu itu dijelaskan oleh Rajmah sebagai berikut:

berjasa membantu perjuangan republik. Di bawah bimbingan dan arahan dr. Pringadi, para juru rawat rumah sakit, di antaranya Nurmala Dachlan, menjadi perawat-perawat yang sekaligus berperan sebagai srikandi pejuang tanah air. Dengan kondisi demikian tidak mengherankan apabila kemudian rumah sakit itu digrebek oleh pasukan Belanda. Dalam sebuah penggrebekan, Nurmala Dachlan berhasil ditangkap Belanda dan kemudian di penjara di Jalan Durian. Setelah agresi pertama dan kedua, Nur Amrah Lubis bergabung dengan pasukan Brigade B Batalion IX Sub Terr VII Sumatera, di bawah komandan Manaf Lubis. Di dalam pasukan ini, ia diserahi tugas mengurusi bagian kesehatan dengan daerah operasi Labuhan Batu dan Tapanuli Selatan/Padang Sidempuan. Masalah utama yang dihadapi saat itu tidak hanya bagaimana mengangkat para korban, tetapi bagaimana cara merawatnya. Dalam hal ini masalah obat-obatan dan tenaga dokter masih sangat langka sekali. Meski demikian kaum wanita yang ikut dalam PMI tidak kehilangan akal. Dalam kondisi yang serba kekurangan dan keadaan perang tidak mungkin semuanya dapat dipenuhi oleh badan-badan resmi republik, dalam hal ini adalah bagian kesehatan dari pasukan republik. Untuk menggambarkan bagaimana sulit dan berbahayanya bagian kesehatan mengusahakan obat-obatan, berikut ini kita kutip sebagian dari kisah seorang wanita Sumatera Utara yang turut aktif mendistribusikan obat-obatan ke markas-markas tentara republik. Pada tanggal 14 Januari 1946, Halma Hera, seorang gadis Batak kelahiran Sipirok Tapanuli Selatan yang aktif di Angkatan Pemuda Indonesia, PMI Jakarta Area dan aktif sebagai petugas Depkes, diperintahkan oleh Menteri Kesehatan untuk mengantarkan obat-obatan ke Sumatera Timur dan Tapanuli. Bersama dengan anggota TKR di bawah pimpinan Mayor Amiruddin Doos dan M. Yakub Siregar, ia berangkat dari Pasar Ikan Jakarta malam hari dengan menumpang kapal kayu berukuran 70 ton. Kapal kayu itu berlayar menuju Tanjung Cina dan kemudian sampai di Teluk Lampung dengan menembus ombak yang besar dan ganas. Di tengah ketenangan, tiba-tiba muncul kapal patroli Belanda yang dengan sengaja menabrak kapal kayu hingga bocor. Kapal dihentikan oleh kapten kapal yang bermarga Harahap dan selanjutnya pasukan Belanda naik ke kapal untuk memeriksa. Beruntung karena sebelumnya M. Yakub Siregar telah

“Kalau dipikir ya mengurusi korban-korban yang kena, yang mati, oh..sampai-sampai ke Pasar II, ke daerah Kebon Pisang, Denai kamilah itu. Di Sungai Tembung itu, dimana airnya dibawah berputar, di situlah kami mengangkati para korban pertempuran terus dibawa menyeberang menuju ke gardu PMI di Tembung. Saat itu di atas kapal terbang musuh terus melayan-layang memuntahkan pelurunya dan dibawahnyalah kami dengan tandu membawa para korban....� Pada masa itu Rumah Sakit Umum Medan menjadi tempat merawat para korban pertempuran di front Medan Timur dan sekaligus tempat persembunyian para pejuang kemerdekaan sebagaimana terlihat dari pengalaman Nur Amrah Lubis. Nur Amrah Lubis bersama-sama temannya mengungsikan seorang rekannya bernama Indra Jaya yang terkena peluru di dadanya ke Rumah Sakit Umum. Di Rumah sakit umum itu, seorang rekannya bernama Sabariah juga ikut merawat para korban pertempuran itu. Di rumah sakit umum waktu itu banyak sekali para perawat yang berjasa dalam menangani para korban perang, terutama para pejuang. Apalagi di situ ada dr. Pringadi seorang tokoh pergerakan yang sangat

203


Inovasi Vol. 10 No. 3, September 2013: 194-211

pada saat itu menjadi anggota pasukan Umbar Subroto ikut mundur ke Tapanuli. Dalam perjalanan itu, Maryati dan kakaknya Siti Kasih dan Nurdianna bertugas merawat Umbar Subroto yang mengalami luka-luka, akibat tindakan seorang mata-mata Belanda yang menyusup di antara pengungsi di Ambarita. Perjalanan kemudian dilanjutkan ke Balige dan seterusnya ke Tarutung. Akan tetapi karena Tarutung kemudian diserang Belanda, mereka mundur ke Bukit Tinggi. Di Bukit Tinggi, pasukan Umbar Subroto tidak lama, karena kemudian diperintahkan untuk bergerilya di daerah Simalungun. Di daerah pendudukan Belanda, Maryati ditugaskan menjadi mata-mata. Saat menemui orang tuanya di Siantar, ia pernah ditangkap Belanda, tetapi Belanda tidak berhasil memperoleh keterangan apapun dari dirinya. Di antara peranannya yang penting saat itu adalah ketika ia bertugas menjadi penghubung antara pasukan yang tertawan di daerah pendudukan dengan pasukan yang ada di pedalaman. Selama komandannya, Umbar Subroto, ditawan Belanda, ia tetap menjalin hubungan dengan menyamar sebagai pengantar makanan bagi para tahanan. Melalui rokok yang di dalamnya diisi dengan secarik kertas berisi pesan-pesan militer, kontak itu terus dipelihara. Maryati tidak hanya melakukan tugas itu, tetapi ia juga pernah menjadi pemasok obat-obatan bagi pasukan republik di pedalaman. Melalui temannya yang bertugas di Rumah Sakit Pematang Siantar, ia berhasil membawa obat-obatan keluar rumah sakit untuk keperluan para pejuang. Caranya terkesan sangat unik dan berani. Seperti menyeludupkan obat-obatan itu dengan memasukkan ke dalam bantal, dan berlagak sebagai seorang pasien yang baru sembuh dari rumah sakit untuk pulang kembali ke rumahnya. Dalam menjalankan tugasnya itu ia pernah ditangkap Belanda untuk kedua kalinya. Kali ini terjadi pada tahun 1949. Saat itu ia diperintahkan untuk mengantarkan obat-obatan ke Bakaran Batu Sinaksak, namun malang baginya, sebelum tugas itu terlaksana, ia keburu ditangkap Belanda lengkap dengan barang buktinya, berupa obat-obatan. Maryati kemudian dipenjarakan di Pematang Siantar. Mengangkat dan memberi pertolongan bagi para korban pertempuran di medan pertempuran memerlukan tingkat keberanian yang tinggi. Para wanita anggota PMI membuktikan keberaniannya dan rela mempertaruhkan nyawanya dalam mengatasi kondisi itu.

memerintahkan kepada semua pejuang termasuk Halma Hera untuk menyamar. Halma Hera menyamar sebagai pembantu rumah tangga dengan mengendong seorang anak kecil yang tidak lain adalah anak M. Yakub Siregar. M. Yakub Siregar dan Amiruddin Doos bersikap sebagai orang yang sedang sakit keras. Penyamaran ini berhasil mengelabui Belanda. Setelah sampai di daratan Sumatera, perjalanan selanjutnya dilakukan dengan jalan darat dan akhirnya rombongan sampai ke Sumatera Utara. Halma Hera ditempatkan di Rumah Sakit Tentara Kisaran sebagai asisten apoteker dengan pangkat Letnan. Pimpinan rumah sakit itu adalah Mayor dr. Girhard L. Tobing. Tugas utama Halma Hera adalah mengirim obat-obatan ke daerah pedalaman tempat markas pasukan republik. Ia bersama rombongan pejuang lainnya pernah mengunjungi Marihat, Tangga Batu, Simpangan Bolon, Tarutung, Padang Sidempuan, dan Padang Lawas. Di kota kecil Sibuhuan Halma Hera bertugas sebagai perawat, yang aktif memberikan perawatan tidak hanya kepada pejuang, tetapi juga masyarakat desa. Dalam tugasnya ia pernah memberantas penyakit cacar yang mewabah di tengah-tengah masyarakat di Kampung Mondang, Papaso, dan Pasir Pangarian. Di samping itu, ia juga aktif memberikan pelatihan tentang kepalang merahan kepada wanita-wanita yang mengikuti latihan di Kebon Susu, Bah Birong Ulu dibawah pimpinan Chadidjah. Pada agresi pertama, Pematang Siantar berhasil dikuasai oleh Belanda. Keterlibatan kaum wanita dalam upaya merawat para korban pertempuran sangat berjasa sekali. Di antara sekian banyak wanita itu adalah Kasikem. Kasikem dan tentara republik mundur ke pedalaman. Bersama-sama dengan para perawat rumah sakit tentara, ia ikut membantu tentara republik melawan Belanda. Di Simpang Pane, Kasikem melaksanakan tugas berat karena mengurusi banyak korban pertempuran di Simpang Gambir. Oleh karena minimnya perawatan medis dan luka-luka yang cukup parah, maka ada enam korban tewas akibat pertempuran itu. Dari sini kemudian Kasikem ditugaskan ke Sidamanik untuk memberi pertolongan kepada para korban yang berjatuhan dalam pertempuran melawan Belanda di daerah itu. Pada tahun 1947, Belanda menyerang Sidamanik dan Bah Butong. Serangan ini menyebabkan pasukan Brigade A Divisi X dibawah pimpinan Saragih Ras/Umbar Subroto mundur ke Tapanuli. Maryati yang 204


Keterlibatan Wanita Dalam Mempertahankan Kemerdekaan di Sumatera Utara (Dumora Jenny Margaretha Siagian dan Dwi Endah Purwanti)

Pengiriman para korban perang ke rumah sakit-rumah sakit itu terkadang tanpa pengawalan dan selalu mendapat gangguan dari pihak musuh. Untuk mendapatkan bahan obat-obatan dan bahan makanan, mereka sering masuk ke daerah yang dikuasai oleh Belanda. Sebuah laporan tertulis dari salah seorang wanita anggota PMI di Tanah Karo menjelaskan sebagai berikut:

agresi I, Chadidjah dengan sigap mengangkat dan merawat para korban pertempuran langsung ke luar Kota Binjai, yakni ke Rumah Sakit Padang Brahrang. Bersama dengan pasukan TKR Chadidjah mengungsi ke Langkat Hulu. Di sini ia juga melaksanakan tugas yang sama, mengurusi para korban perang. Akibat serangan Belanda ke Langkat Hulu, akhirnya TKR dan Palang Merahnya mundur ke Bahorok dan kemudian mundur lagi ke Pangkalan Berandan, Kuala Simpang dan Langsa. Chadidjah bergabung terus dalam pasukan Batalion XII pimpinan Kapten Burhanuddin. Para wanita yang bertugas sebagai anggota PMI sangat berjasa dalam mendukung aktivitas pasukan republik. Mereka sanggup memberikan dukungan dari garis belakang terutama sekali upaya mereka merawat para anggota pasukan yang lukaluka atau yang terkena penyakit malaria dan sebagai- nya. Mereka juga merawat penduduk yang ikut bersama mereka mengungsi ke daerah yang tidak dikuasai pasukan Belanda. Di daerah pengungsian atau dalam perjalanan mengungsi itu penyakit disentri, malaria adalah penyakit yang selalu menyerang mereka. Penyebabnya tentu saja karena faktor kekurangan gizi, gigitan nyamuk malaria, dan keletihan. Salah seorang informan menjelaskan kepada penulis tentang pengalamanya selama ikut mengungsi bersama pasukan Bedjo. Ia adalah seorang wanita anggota PMI yang direkrut langsung oleh Bedjo, karena fisiknya yang kuat untuk melakukan tugas-tugas mengangkat korban perang. Sebagai anggota PMI yang tugasnya selalu di front bersama pasukan Bedjo, ia menyatakan bahwa situasi saat itu benar-benar menakutkan. Kami dengan berlindung di balik pohon-pohon berusaha terus menyertai pasukan Bedjo dan membawa mereka yang terkena peluru untuk dirawat di garis belakang, di tendatenda darurat. Dengan tandu yang terbuat dari bambu kami bawa para korban-korban itu. Di samping itu, dalam perjalanan pengungsian keluar dari daerah Sumatera Timur, mereka selalu dilanda kekurangan makanan. Tidak jarang di tengah perjalanan mereka harus meminum air parit, karena mereka tidak memiliki persediaan air atau tidak membawa alat-alat dapur. Bila menjumpai perkampungan penduduk barulah mereka dapat makanan yang bisa berupa nasi dengan lauk sederhana. Biasanya atas pemberian penduduk kampung atau para komandannya yang langsung meminta

“Saya diantar langsung oleh Let. R. Peranginangin lewat Buluh Sepayung menuju titi Lau Bengap, saya menyamar sambil menjinjing air dalam ember, untuk menjualkan sepasang gelang untuk belanja pasukan sabotase. Sangat berat sekali hati saya untuk menjualkan barang tersebut karena barang itu adalah pemberian orang tuaku. Mengingat sulitnya apakah tentara sabotase harus makan dan kami menyerahkan Rp.300,-(tiga ratus rupiah) uang Belanda dan selebihnya saya belikan obat-obatan untuk dibawa ke Dairi, maka kamipun berpisah di titi Lau Bengap�. Kisah-kisah yang menunjukan sifat heroisme dan semangat rela berkorban itupun juga terjadi di Labuhan Batu. Di daerah Labuhan Batu pada masa revolusi terkenal sebagai daerah yang sangat parah kondisi ekonominya. Kaum wanita yang berjuang di daerah ini menghadapi ujian berat. Dalam kondisi yang seperti ini, mereka membuktikan keberaniannya menerobos garis perbatasan dan masuk ke daerah yang dikuasai oleh pasukan Belanda untuk mendapatkan bahan-bahan kebutuhan pasukan, di antaranya obat-obatan dan bahan makanan. Dari Pulau Rakyat naik sampan mereka membawa getah ke Sungai Kepayang ditukar dengan bahan makanan untuk kebutuhan pasukan. Di Binjai pada tanggal 15 Desember 1945 diadakan latihan palang merah. Chadidjah adalah salah satu peserta yang ikut dalam latihan tersebut, karena ia tergerak oleh himbauan dari BPI agar para pemuda dan pemudi segera memasuki Palang Merah Indonesia. Di samping latihan tentang kepalangmerahan, dalam diri mereka juga ditanamkan tentang rasa cinta tanah air, makna kemerdekaan bagi suatu bangsa dan konsekuensi yang ditimbulkannya. Selesai mengikuti latihan itu, Chadidjah pada tanggal 20 Mei 1946 ditugaskan menjadi perawat di Rumah Sakit Tentara Batalion IV Binjai di bawah pimpinan Kapten Burhanuddin. Ketika Belanda menyerang Kota Binjai pada

205


Inovasi Vol. 10 No. 3, September 2013: 194-211

telah direbus dahulu biar hilang kumannya. Dilaksanakan, ya mudah-mudahan waktu itu tidak infeksi.... Memang sedih kalau dipikirkan, sedih rasanya. Begitu ada kena pelor ya hanya diberi obat seadanya kemudian diperban. Perban-perban itupun hanya itu-itu saja, setelah dipakai direbus kemudian dijemur dan dipakai berulang-ulang, habis tidak ada.�

kepada penduduk kampung yang mereka lalui. Bila mereka memiliki alat-alat masak, mereka diberi beras atau bahan mentah. Akan tetapi bila alat-alat itu tidak ada, terpaksa mereka meminta nasik bungkus dari penduduk. Wanita memainkan peranan besar dalam kondisi seperti ini, misalnya mereka memasak makanan di dalam tendatenda darurat, kadang di tengah hutan. Para wanita PMI membuat obat-obat tradisional untuk mengobati para korban yang terserang penyakit baik karena terkena peluru, disentri, malaria atau yang lainnya. Untuk mengobati penyakit disentri mereka mempergunakan jantung pisang yang diiris halus kemudian direbus sampai masak, kemudian airnya diminumkan kepada si sakit. Orang yang terkena penyakit malaria, diberi air rebusan akar pohon pepaya. Penyakit kembung karena masuk angin diatasi dengan gambir, jagung yang digongseng sampai hangus dan batuk diatasi dengan memberikan air hangat ditambah garam. Selain itu untuk mengobati luka bakar digunakan daun ubi yang ditumbuk dan ditempelkan di tempat yang terbakar. Untuk mengobati para pejuang yang terkena peluru, dipakai daun sirih. Caranya adalah daun sirih dikunyah sampai lumat, kemudian dibubuhkan ke atas daerah yang luka. Hal ini dimaksudkan untuk menghentikan pendarahan akibat luka. Setelah darah tidak mengalir, baru diusahakan untuk mengeluarkan peluru dari dalam tubuh si korban. Cara mengeluarkan peluru itupun sangat sederhana sekali, hanya dengan menggunakan pisau. Sarang tawon pun dipakai sebagai obat untuk menghilangkan infeksi pada luka atau menghilangkan bengkak/memar dikulit. Mengatasi para korban yang terkena peluru dan lukanya sudah terlanjur membusuk, dilakukan amputasi. Proses amputasi yang dilakukan sebenarnya secara medis tidak diperkenankan. Akan tetapi mengingat situasi darurat dan korban sudah tidak tahan lagi menderita, terpaksa hal itu dilakukan. Bagaimana prosesnya sebaiknya perlu dikutip apa yang diungkapkan oleh Setia Anna br. Tarigan sebagai berikut:

Para perawat atau anggota PMI dari kaum wanita ini ternyata tidak hanya memberikan pertolongan secara medis, tetapi juga dorongan moral yang secara psikologis dapat mempertebal semangat para pejuang. Bantuan seperti ini memang amat diperlukan pada saat itu mengingat rasa jemu, letih, dan sakit akibat sering bertempur, megungsi dapat mengendurkan semangat para pejuang. Dalam kondisi inilah wanita, khususnya yang bergabung dalam PMI, perawat rumah sakit atau yang bertugas di bagian lainnya dalam kesatuan tentara republik menunjukkan peranan yang penting. Biasanya wanita menemani para pejuang yang sakit atau beristrirahat setelah selesai bertempur dengan sebagai teman berbicara atau bersama-sama menyanyikan lagu-lagu perjuangan seperti Erkata Bedil, Oh Turang, Bunga Darah untuk menggugah semangat. Ada juga yang menghibur para pejuang yang sedang sakit dan mengalami tekanan jiwa sebagaimana yang dilakukan oleh Setia Anna br. Tarigan pada saat ia bertugas di Tanah Karo sebagai perawat rumah sakit tentara di Lawe Sigala-gala dan kemudian di Lau Biang. Di Stabat banyak para wanita yang ikut menjadi anggota PMI di bawah komando Laskar Pesindo (Laskar Pesindo Putri), seperti yang dituturkan olah Rahmah salah seorang informan dari legiun veteran. Beliau menuturkan ketika berusia 17 tahun mendaftar menjadi anggota organisasi palang merah. Para wanita yang tergabung dalam organisasi tersebut diberi bimbingan mengenai cara-cara menolong korban seperti mengobati, membalut dengan perban dan membawa tandu. Dua orang pembimbing (mantri) yang bernama M. Daud Hasibuan dan M. Syukur merupakan utusan dari rumah sakit untuk mengajar dan melatih di organisasi PMI.

“Pernah terjadi ada tentara kita yang kena tembak kakinya, jadi harus diamputasi. Kebetulan waktu itu ada tawanan seorang dokter Belanda. Dokter ini disuruh melakukan pemotongan itu, tetapi ia menolak karena tidak memiliki alat-alat yang cukup. Tetapi mengingat situasi gawat, mantri yang bertugas di situ dengan gergaji biasa yang

3.

Dapur Umum Dapur umum adalah salah satu tempat penting yang harus ada bagi pemenuhan kebutuhan perbekalan pasukan baik ketika sedang tidak bertempur maupun ketika pertempuran sedang berkecamuk. Oleh 206


Keterlibatan Wanita Dalam Mempertahankan Kemerdekaan di Sumatera Utara (Dumora Jenny Margaretha Siagian dan Dwi Endah Purwanti)

karena itu tidak mengherankan bila lokasi dapur umum sewaktu-waktu dapat berpindah tempat akibat serangan pasukan Belanda, karena dianggap membantu perjuangan. Di tempat ini bahan-bahan makanan disimpan, diolah, dan di tempat inilah para wanita memainkan peranan cukup penting. Di Desa Sarinembah kecamatan Munthe, kegiatan di dapur umum melibatkan para wanita remaja yang berusia sekitar 15 tahun. Menurut P. boru Sembiring ajakan untuk menjadi “relawan� di dapur umum dicetuskan oleh Sibayak Padi Meliala. Bahu membahu mereka membangun dapur umum di sebuah tanah lapang desa itu. Sebelum bekerja di dapur umum, mereka terlebih dahulu mendapat pelatihan untuk memudahkan mereka bertugas di dapur umum dan pelatihan tersebut dilakukan di rumah Sibayak. Dalam kegiatan di dapur umum, tidak ada yang bertindak sebagai kepala, karena semua pekerjaan dilakukan secara bersama-sama. Kegiatan memasak di dapur umum dilakukan dua kali dalam sehari, yakni pada pagi dan sore hari. Bahan makanan yang diolah di dapur umum adalah beras, sayur-sayuran dan hewan ternak di samping buah-buahan. Bahan-bahan makanan ini hasil sumbangan dari penduduk setempat. Untuk membantu mengumpulkan bahan makanan yang berasal dari sumbangan penduduk, ditugaskan kepada seorang tentara bernama Ngunduk. Pengalaman mengumpulkan makanan (beras) untuk kepentingan dapur umum pernah juga dialami oleh seorang informan yang bernama Asmah ketika mengungsi ke Gunung Tua. Suami Asmah yang bernama Legiman adalah laskar dari Manaf Lubis, yang bertanggungjawah di bagian logistik. Untuk membantu suaminya memenuhi kebutuhan dapur umum, Asmah dengan menunggang seekor kuda harus keluar dari hutan menuju perkampungan terdekat untuk mendapatkan bantuan beras dari penduduk. Pekerjaan ini dilakukan oleh Asmah tanpa pamrih walaupun pada saat itu ia dalam keadaan hamil. Setiap kalinya, Asmah mampu mengumpulkan sepuluh kilogram beras. Oleh karena pada masa itu tidak ada goni beras, beras-beras itu dibawa Asmah dalam bungkusan kain blacu. Kegiatan mengumpulkan bantuan bahan makanan dari penduduk tentu saja dapat mengundang resiko. Mereka dapat menjadi sasaran peluru Belanda, terutama jika pesawat terbang Belanda sedang berpatroli di kampungkampung.

Pekerjaan wanita di dapur umum tidak hanya mengolah makanan atau mengumpulkan makanan, terkadang ada juga yang ditugaskan untuk mengantar makanan ke garis depan. Dalam jumlah delapan hingga sepuluh orang dan sambil menjunjung bakul atau sumpit yang berisi nasi bungkus. Perjalanan menuju garis depan yang berjarak sekitar lima kilometer dilakukan oleh para wanita ini dengan berjalan kaki dan sukarela tanpa rasa lelah. Untuk melindungi mereka dari serangan musuh, biasanya mereka ditemani oleh beberapa orang tentara. Seorang informan bernama Nursiah, yang bekerja di dapur umum namun bukan sebagai tukang masak melainkan bertugas sebagai pengantar makanan ke garis depan di Secanggang. Ia menceritakan makanan yang sudah dibungkus dengan daun pisang atau daun jati dimasukkan ke dalam bakul. Bersama seorang teman (laki-laki) makanan ini dipikul hingga ke garis depan. Walaupun bertubuh kecil namun Nursiah tidak pernah merasa lelah dalam menjalankan tugasnya. Masa bergerilya merupakan masa yang paling berat, yang harus dialami para wanita yang bekerja di dapur umum. Selama bergerilya mereka tetap berusaha untuk mendapatkan bahan makanan dan itu hanya dapat dilakukan pada malam hari. Dengan cara mengendap-endap mereka masuk ke kampung untuk memperoleh beras. Tidak jarang mereka hanya memperoleh beras yang sudah hancur (meniran). Terkadang mereka harus menyusup ke sawah mengambil padi untuk dibawa ke tempat pengungsian. Bila mereka kesulitan memperoleh bahan makanan pokok (beras) mereka mencari ubi, pisang, keladi, atau sagu di hutan untuk di konsumsi. Pada masa revolusi, Aceh merupakan daerah republik yang tidak pernah diduduki oleh tentara Belanda. Dengan demikian Daerah Aceh khususnya Aceh Timur menjadi daerah tujuan para pengungsi dari Daerah Langkat termasuk para pejuang republik. Di daerah ini wanita juga memainkan peranan penting dalam mendukung perjuangan dari garis belakang. Contohnya adalah Syaripah Rukiah yang aktif bersama-sama dengan anggota Perwari (Persatuan Wanita Republik Indonesia) membangun dapur umum di Daerah Aceh Timur untuk perbekalan pasukan yang bertempur di Daerah Gebang. Di antara desingan peluru, mereka dengan semangat tinggi dan tidak kenal takut mengirimkan makanan bagi para pejuang yang bertempur melawan Belanda di garis depan.

207


Inovasi Vol. 10 No. 3, September 2013: 194-211

sederhana sekali yakni bila habis mengantar pisang ke dapur umum, Kardiyem kemudian pura-pura beristirahat sambil mencuri dengar apa yang dibicarakan oleh anggota tentara Belanda yang sedang makan. Oleh karena penyamaran yang sangat rapi ini, Belanda sama sekali tidak menyangka ia adalah anggota pasukan Bedjo. Hal ini terbukti karena Kardiyem pernah diberi pakaian oleh salah seorang anggota pasukan Belanda. Sayang ia tidak dapat mengingat kembali secara tepat infromasi yang pernah ia peroleh. Hanya yang teringat dalam ingatan diantaranya ia pernah mendengar informasi tentang rencana Belanda akan menyerang Air Batu dan Si Gambal. Namun persisnya kapan dan siapa anggota pasukan Bedjo yang datang ke rumahnya, ia tidak ingat lagi. Di samping itu, mereka juga berperan sebagai pembuka jalan bagi pasukan republik yang akan bergerak serta berperan sebagai kurir untuk menyampaikan informasi baik dari daerah pendudukan atau juga dari satu markas tentara atau laskar rakyat ke markas lainnya di daerah republik. Sebagaimana yang dilakukan oleh Salbiyah, salah seorang anggota pasukan Bedjo yang ditugaskan sebagai mata-mata selama perjalanan mengungsi ke daerah Simalungun. Ia menjelaskan, bahwa pasukan Bedjo selalu bergerak pada malam hari. Sebelum bergerak, ia dan beberapa temannya yang berjumlah 5 orang ditugaskan untuk menyelidiki daerah yang akan dilaluinya. Bila tidak ada musuh ia memberikan kode khusus, yakni menirukan suara burung, kode yang langsung diajarkan oleh Bedjo. Sementara itu aksi militer Belanda semakin meluas sampai ke daerah pedalaman. Akibatnya banyak pasukan republik yang tidak terkordinasikan dengan baik. Anggota pasukan banyak yang terpencar-pencar karena masing-masing menyelamatkan diri dengan segala daya yang ada pada mereka. Kasikem Pardede salah seorang anggota PMI menggabungkan diri dengan Kompi Bantuan Batalion V dibawah pimpinan Komandannya Letnan Umbar Subroto yang daerah operasinya di daerah Simalungun/Pematang Siantar. Dalam pasukan ini ia ditugaskan sebagai mata-mata. Dalam operasinya ia berhasil menyusup ke daerah pendudukan Belanda, dengan menyamar sebagai perawat di Rumah Sakit Jiwa. Rumah Sakit Jiwa dijadikan Belanda sebagai tempat tawanan para pejuang republik yang tertangkap. Kasikem

4. Peranan Wanita Sebagai Mata-Mata atau Kurir Satu lagi peranan wanita yang penting adalah mata-mata atau kurir. Mata-mata atau dalam istilah militer disebut sebagai spion adalah satu hal yang sangat penting dalam mendukung gerakan militer, baik untuk menghindar atau menyerang basis pertahanan musuh. Seperti yang telah disebutkan istilah seko pada masa revolusi dahulu adalah untuk orang yang menjalankan kegiatan mata-mata ini. Tidak diketahui berasal dari bahasa apa sebutan seko ini, tapi yang jelas istilah ini dikenal luas di daerah operasi tentara republik seperti di Tanah Karo dan juga di daerah Medan Timur. Pada umumnya dalam kesatuankesatuan tentara atau laskar rakyat seko ditempatkan di bagian unit sabotase. Dalam kegiatannya, seorang seko biasanya ditugaskan untuk menyamar sebagai masyarakat biasa; petani atau pedagang. Mereka disusupkan ke daerah musuh untuk mengamati atau mencari tahu tentang kekuatan militer Belanda. Dalam aksinya mereka terkadang bersikap sebagai pedagang sayur atau buah-buahan di daerah pendudukan Belanda. Setelah dagangannya terjual, mereka menyempatkan diri untuk mencari tahu tentang keadaan pasukan Belanda. Di daerah Labuhan Batu, tepatnya di Kota Rantau Prapat pernah ditempatkan seorang wanita anggota unit sabotase pasukan Bedjo. Wanita yang bernama Kardiyem ini ditugaskan oleh pasukan Bedjo untuk mencari informasi tentang pergerakan militer Belanda di daerah tersebut. Ia diperintahkan untuk menyamar sebagai penjual buah pisang dan kue di daerah itu. Dalam menjalankan tugasnya, Kardiyem pertama menjual kue ke pasar, kemudian dari hasil jualan itu ia beli pisang untuk dijual ke dapur umum tentara Belanda. Semuanya dilakukan tanpa pamrih, soal bagaimana makan itu ia usahakan sendiri. Dengan cara demikian ia hampir setiap hari masuk ke dapur umum tentara Belanda, tanpa diketahui oleh tentara Belanda bahwa ia adalah seorang mata-mata pasukan Bedjo. Menurut pengakuannya, hampir setiap minggu ia mendapatkan informasi dari dapur umum itu tentang daerah-daerah mana yang akan dijadikan sasaran serangan militer Belanda. Informasi penting ini kemudian akan diberitahukan kepada para pejuang yang pasti datang pada petang hari ke rumahnya. Cara yang dipergunakan cukup 208


Keterlibatan Wanita Dalam Mempertahankan Kemerdekaan di Sumatera Utara (Dumora Jenny Margaretha Siagian dan Dwi Endah Purwanti)

ditugaskan oleh komandannya untuk membantu pembebasan para tawanan itu. Di Rumah Sakit, ia berhasil menjadi pengawas atas bantuan Makmur Nasution, Kepala Administrasi Rumah Sakit Jiwa. Dalam upaya pembebasan itu, ia memainkan peranan penting, karena selama bertugas berhasil menjadi penghubung antara para pejuang yang ada dalam tawanan Belanda dengan para pejuang yang ada di Batu Lima. Tugas itu antara lain dengan mengantarkan secarik kertas yang berisi perintah-perintah para pejuang baik dari luar tahanan maupun dari dalam tahanan. Bagaimana cara dan proses pembebasan para tawanan itu kita kutip sebagian dari pengalamannya sebagai berikut:

tahanan penjara.�

untuk...bergerak

meninggalkan

Di samping itu ada beberapa anggota barisan srikandi yang setelah agresi ditugaskan sebagai penghubung atau kurir. Mereka ditugaskan untuk memobilisasi masyarakat desa guna mendukung perjuangan. Mularia Saragih adalah salah satu dari sekian wanita yang melakukan tugas itu. Sebelumnya ia adalah anggota Laskar B.H.L. Pimpinan srikandinya adalah Chadidjah Yakub Siregar. Setelah agresi militer I dan II, Mularia Saragih bersama dengan pasukan Brigade A di bawah pimpinan A.E. Saragih Ras mundur sampai ke Tapanuli Utara. Akan tetapi sebagai petugas penghubung, ia bersama teman-temannya yang lain diperintahkan untuk menuju Tapanuli Selatan. Di Sipirok ia ditugaskan sebagai staf CPM di bawah pimpinan Pieter dan wakilnya Djatongan Saragih. Di samping bertugas di kantor CPM, ia juga menjalankan misinya yakni memompa semangat juang para pemuda-pemudi di Sipirok untuk bersama-sama berjuang melawan Belanda. Para pemuda desa dikumpulkannya dan diberi pengarahan agar mau bekerjasama mengumpulkan dana perjuangan. Dana-dana itu diperoleh antara lain lewat pertunjukan sandiwara. Di Kota Nopan, ia berhasil mendekati para tokoh masyarakat untuk bekerjasama membantu perjuangan. Dengan cara-cara seperti itu, akhirnya bantuan berupa sayur sayuran dan beras terus mengalir untuk keperluan para pejuang. Pada awal tahun 1949, ia bersama dengan teman-temannya diperintahkan untuk meninggalkan Kota Nopan bergabung dengan pasukan lainnya di Pasar Matanggor, karena Belanda telah berhasil menguasai Kota Padang Sidempuan. Dengan menyamar ia berhasil sampai ke Pasar Matangor dengan melintasi pinggiran Kota Padang Sidempuan yang sudah dikuasai Belanda. Di Pasar Matanggor ia tidak lama, karena ia diperintahkan untuk menghubungi tokohtokoh pejuang lainnya yang ada di Sihepeng. Untuk mendapatkan informasi, ia menghubungi Camat Sihepeng. Dari isteri Camat itulah ia mengetahui informasi tentang para pejuang lainnya, seperti Darwin Rangkuti. Di daerah Tanah Karo dan Labuhan Batu para petugas penghubung khususnya wanita juga memainkan peranan penting. Sama seperti di daerah lainnya, mereka ditugaskan untuk membakar semangat rakyat desa untuk melawan Belanda. Suparmi bersama-

“Minggu tanggal 2 September 1949... Kasikem Pardede mengitari Kota Siantar dengan mengenderai sepeda...ia mencari khabar tentang Tuan Alting (Kepala Penjara) yang menurut khabar berangkat ke Parapat dan menginap di sana. Mengetahui Tuan Alting belum kembali, maka Kasikem segera memberi khabar ke Batu Lima... dan di samping itu Kasikem juga membawa surat dari komandannya Letnan Umbar Subroto (yang juga ditawan) kepada komandan Kompi di Batu Lima, yang antara lain berbunyi bahwa pemberontakan siang itu harus segera dilaksanakan. Sekembalinya Kasikem dari Batu Lima Srikandi ini bertugas seperti semula...merawat dan mengawasi orang sakit. Awal mulanya terjadi pemberontakan itu pada siang menjelang sore pada jam 14.30....Pertamatama Kasikem mendengar bahwa di kamar sebelah terjadi keributan yang ditimbulkan oleh "perkelahian" antara sesama tahanan; suatu "sandiwara" yang disutradarai oleh Letnan Umbar Subroto.... Rikimahu... menyeret keduanya ke depan para pengawal penjara.... Mendengar laporan itu Tuan Brack tidak segera bertindak, malah sebaliknya Kasikem melihat Komandan Pengawal Penjara Pematang Siantar itu tampak santai di kursinya. Nah...kesempatan ini tidak disiasiakan oleh Rikimahu. Dengan sigap ia menyergap ketiga pengawal penjara itu serentak bersama-sama dengan beberap orang temannya. Tuan Brack dan dua orang kopral digiring mereka ke dalam sel tahanan lalu dikunci dari luar. Secepatnya Amir selaku penjaga pintu...membuka pintu selebarlebarnya. Sementara itu Letnan Umbar Subroto memerintahkan kepada seluruh

209


Inovasi Vol. 10 No. 3, September 2013: 194-211

sama dengan para srikandi Tanah Karo, aktif memberikan penerangan kepada masyarakat untuk mau membantu perjuangan melawan Belanda. Suparmi juga bertugas mengantarkan makanan untuk anggota pasukan yang ada di garis depan. Pada saat itulah ia mendapat perintah dari Chadidjah pimpinan Barisan Srikandi di Sipirok untuk bergabung dengan pasukan Batalion B pimpinan Bedjo menjadi petugas kesehatan. Setelah enam bulan bertugas, ia dikirim lagi ke front Asahan Labuhan Batu untuk membentuk organisasi Himpunan Keluarga Ketentraan. Pada masa agresi II, Belanda melancarkan serangan ke Labuhan Batu (Wingfoot). Suparmi dan pasukan Bedjo mundur ke daerah Huta Godang. Di daerah Gunung Tua, Suparmi aktif kembali sebagai petugas perhubungan pasukan. Melalui kerjasama dengan tokoh-tokoh masyarakat setempat, ia mengurus soal perbekalan dan konsumsi pasukan. Tugas ini cukup melelahkan, mengingat Suparmi harus mengumpulkan bahan makanan sampai ke Sibuhuan, Panyabungan dan Tangga Begu. Dengan berkuda ia seringkali menempuh perjalanan sampai 70 km. Di samping itu, ia juga memberikan pengarahan kepada penduduk untuk melakukan pertahanan semesta. Ketika sedang memberikan penerangan di Aek Nabara, yaitu sebuah desa antara Binanga dan Sibuhuan, kuda tungganganya tewas terkena peluru. Pada bulan Desember 1949, Suparmi bersama dengan Pasukan Sektor I pimpinan Bedjo berada di Gunung Tua. Dari sini kemudian ia turun ke Medan pada tahun 1950. Pada bulan Maret 1949, pemerintahan gabungan sipil dan militer atau dikenal dengan pemerintahan gerilya telah bertanggung jawab untuk membentuk pertahanan rakyat semesta (PRS). Di daerah yang dikuasai TNI baik di Tapanuli dan Sumatera Timur PRS memainkan peranan penting. PRS dikendalikan oleh para kepala desa atau negeri dan berada langsung di bawah Komandan TNI setempat. Organisasi PRS memberikan dukungan kuat bagi operasional TNI di lapangan, misalnya memberikan makanan, perlindungan dan informasi kepada unit-unit TNI. Wanita memainkan peranan penting dalam organisasi PRS ini, khususnya dalam menyampaikan informasi dari daerah pendudukan ke markas-markas TNI. Djamin Ginting menyatakan bahwa di Tanah Karo,

“Surat kepada teman-teman yang tinggal di daerah yang diduduki oleh pasukan Belanda selalu dikirim melalui wanita-wanita muda. Surat itu yang biasanya hanya selembar daun yang lebar atau secarik kertas kecil, harus dibawa dalam bentuk lipatan-lipatan dan diikat ke dalam rambut wanita muda itu. Juga melalui cara ini, yakni melalui wanita muda itu, para perjuangkan memperoleh keperluan yang dibutuhkan dari wilayah pendudukan Belanda. Surat ini sering dikirim dengan cara seperti itu ke Sibolangit, sebuah kota kecil diantara Jalan Raya Berastagi-Medan, dimana pada hari pekan, hari Jum`at, kota itu ramai dikunjungi orang....Rakyat datang untuk menjual dan juga membeli barang-barang. Di kota itu, mereka datang untuk bertemu dengan teman-temannya dan saudaranya. Kedai kopi dipenuhi dengan orang-orang. Banyak anggota pasukan kami juga duduk diantara mereka dan pendukung-pendukung kami ikut aktif. Wanita muda datang dan pergi, membeli keperluan yang dibutuhkan oleh pasukan kami.� Informasi yang di dapat dari para wanita itu ternyata sangat penting bagi TNI, baik untuk menghindari serangan militer Belanda, maupun untuk menghadang patroli Belanda dan menyerang pos-pos militer Belanda. Juga melalui jaringan PRS yang di dalamnya banyak melibatkan kaum wanita, propaganda pro-republik disebarkan ke tengah-tengah penduduk desa baik yang berada di daerah pendudukan maupun di daerah pedalaman. Dengan demikian wanita di Sumatera Utara pada masa revolusi fisik antara tahun 1947-1950 telah memainkan peran penting bersama-sama kaum pria mempertahankan Kemerdekaan Indonesia. Sebuah peranan yang pada masa sekarang oleh sebagian masyarakat dianggap didominasi kaum pria. KESIMPULAN Keikutsertaan sebagian wanita dalam revolusi kemerdekaan disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya adalah merasa terpanggil untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia, mengikuti apa yang dilakukan oleh suaminya, terbawa oleh situasi revolusi yang tidak menentu, tersentuh melihat penderitaan bangsa, hingga menggugah semangat mereka untuk turut berjuang, bahkan bisa hanya karena mengikuti orang lain atau teman-temannya yang turut terlibat. Aspek lain yang mendorong keterlibatan wanita dalam revolusi kemerdekaan adalah balas dendam 210


Keterlibatan Wanita Dalam Mempertahankan Kemerdekaan di Sumatera Utara (Dumora Jenny Margaretha Siagian dan Dwi Endah Purwanti)

DAFTAR PUSTAKA

atau sakit hati terhadap Belanda. Perasaan dendam itu dapat muncul tidak hanya karena ada anggota keluarganya yang dibantai Belanda, tetapi karena setiap hari mereka melihat aksi-aksi teror yang kejam dari militer Belanda yang terlihat di sekitar mereka. Hal itu juga menumbuhkan jiwa patriotisme kaum wanita, terhadap kerinduan turut membela tanah air. Peranan yang dimainkan kaum wanita di Sumatera Utara pada masa revolusi kemerdekaan tersebut tidak bisa dianggap enteng, namun bahkan menjadi suatu hal yang sangat penting dalam sejarah revolusi kemerdekaan di Sumatera Utara. Beberapa aspek dimana kaum wanita sangat berperan diantaranya adalah dalam berjuang melalui Barisan Srikandi, membantu mengobati pejuang yang terluka dalam Palang Merah, menyediakan makan bagi pejuang di dapur umum, bahkan banyak diantaranya yang menjadi kurir dan mata – mata. Pelatihan TKR dan BPI yang mereka jalankan, tidak hanya dalam keterampilan bersenjata, berperang dan menjadi mata-mata, tapi mereka juga dibekali dengan pengetahuan mengobati dan merawat yang terluka akibat perang. Sehingga karena kondisi, maka kaum wanita pun bisa berada di front depan berperang, namun juga bisa di front belakang dalam barisan PMI merawat para korban perang. Mereka melakukan semua kegiatan itu dengan semangat yang tidak kalah dari kaum pria, bahkan hingga mengorbankan harta dan nyawa demi membantu perjuangan bangsa.

Anton Lucas. Wanita dalam Revolusi: Pengalaman Selama Pendudukan dan Revolusi 1942-1945. PRISMA. No. 5, Jakarta: LP3ES, 1996. A.R. Surbakti. Perang Kemerdekaan di Karo Area, Jilid I. Medan: Yayasan Pro Pratia, 1978. hlm.41. Biro Sejarah Prima. Medan Area Mengisi Proklamasi. Medan: Badan Musyawarah Pejuang Republik Indonesia Medan Area, 1976. hlm.752754. Djamin Gintings. Bukit Kadir. Medan: CV Umum, 1962, hlm. 256. Edisaputra. Bejo Harimau Sumatera dalam Perang Kemerdekaan. Yayasan Bina Satria’45. Jakarta. hlm. 68-69. Fauzi Rizal dkk. (ed). Dinamika Gerakan Perempuan. Jakarta: Tiara Wacana, 1993. Hlm. 100. George Mc. Turnan Kahin. Nasionalisme dan Revolusi di Indonesia. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka Kementerian Pelajaran Malaysia. 1980, hlm. 206-207. Hamka. Merantau ke Deli. Kuala Lumpur: Pustaka Antara, 1962. hlm.69. Hasan Basrie Z. T. Perang Kemerdekaan di Sumatera Utara. tanpa tahun dan penerbit. hlm. 10-11. H.L. Zwitzer. Documenten Betreffende de Eerste Politionale Actie (20/21 Juli-4 Agustus 1947). s’Gravenhage: 1983, hlm. 86, 115-117, 146-149. J.J van de Velde. Politike Verslag Sumatera Over Januari en Februari 1948. hlm. 10;

REKOMENDASI a. Direkomendasikan kepada Pemerintah Provinsi Sumatera Utara melalui Biro Pemberdayaan Perempuan Provinsi Sumatera Utara untuk memperhatikan keberadaan/nasib para veteran wanita dan memberi penghargaan atas peranan yang dilakukan pada masa revolusi. b. Direkomendasikan kepada Pemerintah Provinsi Sumatera Utara melalui Biro Pemberdayaan Perempuan Provinsi Sumatera Utara untuk memberdayakan kaum wanita lebih berperan aktif dalam memecahkan masalah sosial sebagai dampak pembangunan nasional. c. Direkomendasikan kepada Pemerintah Provinsi Sumatera Utara melalui Dinas Pendidikan Provinsi Sumatera Utara untuk mensosialisasikan hasil penelitian ini kepada anak didik melalui bahanbahan bacaan untuk pembelajaran.

Marnicus Hutasoit. Percikan Revolusi di Sumatera. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1986. hlm. 68-69; Kementrian Penerangan, 1953, op.cit., hlm. 145. Kementerian Penerangan, Republik Indonesia Propinsi Sumatera Utara, 1953: hlm.29. Koesno Diprojo. Himpunan Undang Undang, Praturan-peraturan, penetapan-penetapan Pemerintah Republik Indonesia 1945. Jakarta, 1955, hlm. 117-120. Kuntowijoyo. Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta: PT Bentang Pustaka, 2005. hlm. 102-103. Lasmidjah Hardi. Sumbangsihku Bagi Ibu Pertiwi. Jakarta: Sinar Harapan, 1984. hlm. 56. Michael van Lengenberg. National Revolution in North Sumatra : Sumatera Timur and Tapanuli 1942-1950. Tesis Doktor. University of Sidney, 1976. hlm. 276,

211


Inovasi Vol. 10 No. 3, September 2013: 194-211

Moleong. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosda Karya, 1996. hlm. 178. Muhammad TWH dkk., Veteran Pejuang Kemerdekaan dan Legiun Veteran RI Sumatera Utara. Medan: Legiun Veteran RI Provinsi Sumatera Utara, 2001. hlm. 192-193. P. Lim Pui Huen dkk. (ed). Sejarah Lisan di Asia Tenggara: Teori dan Metode. Jakarta: LP3ES, 2000. Reh Malem Sitepu. Peranan Wanita Karo pada Masa Revolusi Fisik di Tanah Karo 1945-1949. Skripsi, Jurusan Sejarah Fakultas Sastra USU, 1986. hlm. 76. Sofyan Effendi. Transkrip Wawancara dengan Mr.T.M Hasan. Brastagi, 1 Agustus 1990, hlm. 9. J.J. van de Velde. Verslag Politiek Sumatra over de Maand Maart-April 1947. Suara Merdeka, 21 Juli 1947. Suprayitno dkk. Inventarisasi Sumber sejarah Lisan di Sumatera Utara 1942-1966. Proyek BPSNT Nad-Sumut, 2003. J.J. van de Velde. Rapport van den Recomba voor Noord Sumatra over de Maand Augustus 1947. Waspada, 14-5-1986; hlm. 3 Zuraida Zainal. Serumpun Melati di Bumi Pertiwi. Medan: Tanpa Penerbit, 1985, hlm. 87.

212


Pengaruh Penambahan Tepung Bit Merah Dan Hasil Parutan Bit Merah Dalam Pembuatan Biskuit Terhadap Cita Rasanya (Winda Melisa Br. Gtg, Evawany Aritonang, Jumirah)

Hasil Penelitian PENGARUH PENAMBAHAN TEPUNG BIT MERAH DAN HASIL PARUTAN BIT MERAH DALAM PEMBUATAN BISKUIT TERHADAP CITA RASANYA

ď´žINFLUENCE INFLUENCE THE ADDITION BEETROOT FLOUR AND BEETROOT GRATED TO MAKING BISCUIT OF ITS FLAVOR) Gtg**, Evawany Aritonang** Aritonang**,, Jumirah Jumirah** ** Winda Melisa Br. Gtg *

Alumni Mahasiswa Gizi Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kesehatan Masyarakat USU **Staf Pengajar Departemen Gizi Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kesehatan Masyarakat USU Departemen Gizi, FKM-USU email: winda_melisa@yahoo.co.id

Diterima: 19 Juni 2013; Direvisi: 28 Juli 2013; Disetujui: 10 Agustus 2013

ABSTRAK Untuk mendukung program diversifikasi pangan, perlu diperkenalkan hasil olahan bit merah untuk mendapatkan alternatif makanan baru. Bit merah (Beta vulgaris L) sangat layak untuk dipertimbangkan dalam menunjang diversifikasi pangan. Bit merah cukup berpotensi sebagai sumber zat gizi karena mengandung sejumlah zat gizi makro maupun zat gizi mikro. Salah satu olahan yang dapat dibuat dari bit merah yaitu biskuit, sehingga dapat menambah keanekaragaman biskuit yang telah ada di pasaran. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen pembuatan biskuit dengan penambahan tepung bit merah dan hasil parutan bit merah sebesar 20%. Eksperimen dilakukan di Laboratorium Gizi-FKM USU. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh penambahan tepung bit merah dan hasil parutan bit merah terhadap cita rasa biskuit. Analisis organoleptik yang meliputi aroma, warna, rasa, dan tekstur biskuit ditentukan dengan menggunakan skala hedonik. Berdasarkan hasil penelitian, hasil uji organoleptik menunjukkan bahwa biskuit dengan penambahan parutan bit merah disukai panelis baik dari segi aroma, warna, rasa, maupun tekstur dibandingkan dengan penambahan tepung bit merah. arna, rasa, maupun tekstur dibandingkan dengan penambahan tepung bit merah. Berdasarkan analisis sidik ragam, penambahan tepung bit merah dan hasil parutan bit merah memberi pengaruh yang berbeda nyata terhadap aroma, rasa, dan tekstur. Disarankan kepada masyarakat agar dapat menjadikan biskuit bit sebagai makanan alternatif. Kata kunci: biskuit, bit merah, cita rasa.

ABSTRACT To support food diversification need to be introduced products beetroot to get a new food alternative. Beetroot (Beta vulgaris L) is significantly suitable to consider in supporting the food diversification. Beetroot is potential as a source of nutrients, as well of its macro and micro nutrients contents. One of processed that can be made from beetroot that is biscuit that can be kind of biscuit on the market. This study was the experiment of making biscuit with the addition beetroot flour and beetroot grated for 20% took place at FKM USU Nutrition Laboratory. The purpose of this experimental study to find inflence the addition beetroot flour and beetroot grated flavor of biscuit. For organoleptic test including aroma, color, flavor and texture of biscuit was conducted through hedonic scale. Based on the study result, organoleptic test show that biscuit by beetroot grated of 20 % more preferred by the panelists in terms of aroma, color, flavor and texture than the addition flour beetroot. Based on the analysis of variance, the addition of beetroot flour and beetroot grated brought a significant influence on aroma, flavor,and texture of biscuit. It’s recommended for people to take beetroot biscuit as alternative food. Keywords: biscuit, beetroot, flavor

213


Inovasi Vol. 10 No. 3, September 2013: 213-220

tambahan dalam pembuatan makanan yang sudah dikenal oleh masyarakat, salah satunya adalah biskuit. Penetapan perbandingan sebesar 20% dilakukan karena peneliti telah melakukan penelitian pendahuluan sebelum melakukan penelitian ini. Berdasarkan hasil penelitian pendahuluan, apabila persentase terlalu besar akan menghasilkan adonan biskuit yang sulit dicetak. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh penambahan tepung bit merah dan hasil parutan bit merah terhadap cita rasa biskuit.

PENDAHULUAN Komoditas sayuran sangat layak untuk dipertimbangkan dalam menunjang program diversifikasi pangan. Mengingat, Indonesia sudah lama menerapkan sistem diversifikasi pangan. Pemerintah sendiri sudah menyadari pentingnya dilakukan diversifikasi pangan, karena program tersebut dapat meningkatkan mutu gizi makanan yang dikonsumsi sehingga dapat meningkatkan status gizi masyarakat (Almatsier, 2011). Salah satu sayuran yang mempunyai potensi untuk dikembangkan di Indonesia adalah bit. Pemilihan bit merah sebagai bahan penambahan karena bit merah merupakan salah satu jenis sayuran yang mempunyai banyak manfaat bagi kesehatan. Menurut Wirakusumah (2007) beberapa nutrisi yang terkandung dalam umbi bit antara lain, vitamin A, B, C. Selain vitamin, umbi bit juga merupakan sumber mineral seperti fosfor, kalsium dan zat besi. Selain itu, kandungan zat gizi lain yang terkandung dalam umbi bit adalah serat atau fiber jenis selulosa yang dapat membantu mengatasi gangguan kolesterol. Tanaman umbi bit dengan nama latin Beta vulgaris L termasuk kedalam famili Chenopodiaceae. Tanaman bit ini biasanya dimanfaaatkan sebagai pewarna alami makanan karena mengandung senyawa betalain yang membuat daging umbi bit berwarna merah keunguan ataupun sering juga dikonsumsi sebagai sari buah. Walaupun sudah diolah menjadi sari buah namun terkadang tidak semua masyarakat menyukai bit, karena rasa bit sedikit langu dan masih ada tercium aroma tanah. Biskuit adalah salah satu jenis kue kering yang sampai saat ini banyak digemari oleh masyarakat sebagai makanan jajanan atau camilan dari berbagai kelompok ekonomi dan kelompok umur. Menurut Moehji (2000) biskuit sering dikonsumsi oleh anak balita, anak usia sekolah, dan orang tua, yang biasa dikonsumsi sebagai makanan selingan atau makanan bekal. Harga biskuit yang terjangkau oleh berbagai kelompok ekonomi juga menjadi satu alasan mengapa biskuit banyak disukai oleh masyarakat. Pada penelitian ini akan dilakukan pembuatan biskuit dengan penambahan tepung bit merah dan hasil parutan bit merah dengan perbandingan sebesar 20% dari berat tepung terigu dimana biskuit akan menghasilkan kepadatan dan kerenyahan yang baik. Pengenalan penggunaan tepung bit merah dan hasil parutan bit merah kepada masyarakat akan lebih efektif bila diterapkan sebagai bahan baku atau

METODE Jenis penelitian yang digunakan adalah bersifat eksperimen dengan menggunakan desain penelitian deskriptif. Sedangkan untuk mengetahui pengaruhnya, maka digunakan uji statistik. Eksperimen dan pengambilan data untuk uji organoleptik biskuit bit dilakukan di Laboratorium Gizi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara (FKM-USU). Data yang dikumpulkan, ditabulasikan dan dianalisis menggunakan uji varians (ANOVA) dan dilanjutkan dengan uji Ganda Duncan. HASIL DAN PEMBAHASAN Dari hasil penelitian, karakteristik biskuit dengan penambahan tepung bit merah 20% (perbandingan antara tepung terigu 80% dan tepung bit merah 20%) berwarna cokelat, beraroma khas bit, rasanya didominasi oleh khas bit sehingga menyebabkan adanya rasa sedikit pahit pada biskuit, dan teksturnya sedikit keras. Biskuit dengan penambahan hasil parutan bit merah 20% (perbandingan tepung terigu 80% dan hasil parutan bit merah 20%) berwarna merah muda, beraroma khas biskuit, rasanya khas biskuit dan teksturnya renyah. Pengujian organoleptik terhadap aroma oleh panelis menunjukkan bahwa panelis menyukai aroma biskuit dengan penambahan hasil parutan bit merah 20% dengan kriteria suka. Berdasarkan uji organoleptik terhadap aroma oleh panelis menunjukkan bahwa panelis menyukai aroma biskuit A2 dengan skor tertinggi yaitu 98 (81,7%) sedangkan aroma biskuit A1 mendapatkan skor 86 (71,7%). Penilaian organoleptik aroma biskuit dapat dilihat pada Gambar 1.

214


Pengaruh Penambahan Tepung Bit Merah Dan Hasil Parutan Bit Merah Dalam Pembuatan Biskuit Terhadap Cita Rasanya (Winda Melisa Br. Gtg, Evawany Aritonang, Jumirah)

45

40

40

40 35

Persentase

35 30 25 20 16,7

A1

15

15

A2

6,7

10 5

0

0

0

Sangat Suka Suka Kurang Suka Tidak Suka Tingkat Kesukaan berdasarkan Organoleptik Aroma Gambar 1. histogram hasil analisis organoleptik aroma biskuit.

Tabel 1. Hasil analisa sidik ragam terhadap aroma Sumber db JK JKR FH FT Keragaman Perlakuan 1 2,43 2,43 Panelis 29 10,73 0,37 4,26* 4,18 Error 29 16,57 0,57 Total 59 29,73 Keterangan: *ada perbedaan yang bermakna

Tabel 2. Hasil uji ganda duncan terhadap aroma A2 Perlakuan A1 Rata-rata 2,87 3,27 Jadi, A2≠A1 A2- A1 = 3,27-2,87 = 0,4 > 0,37

Hasil analisa sidik ragam terhadap aroma biskuit bit dapat dilihat pada Tabel 1. Berdasarkan hasil analisis sidik ragam terhadap rasa dari kedua perlakuan pada biskuit diperoleh FHitung 4,26 > FTabel 4,18 yang bermakna bahwa penambahan tepung bit merah dan hasil parutan bit merah memberi pengaruh yang berbeda nyata terhadap aroma biskuit yang dihasilkan. Untuk mengetahui perlakuan biskuit yang aromanya paling disukai panelis dilakukan Uji Ganda Duncan dan didapatkan hasilnya pada Tabel 2. Berdasarkan Uji Ganda Duncan dapat disimpulkan bahwa tingkat kesukaan panelis terhadap aroma biskut A1, dan A2, berbeda

satu sama lain dan yang paling disukai aromanya adalah biskuit A2. Munculnya aroma pada biskuit disebabkan karena bahan-bahan yang digunakan dalam pembuatan biskuit yaitu seperti tepung terigu, tepung bit merah, hasil parutan bit merah, mentega dan tepung susu yang masing-masing mempunyai aroma yang khas. Menurut Kartika yang dikutip oleh Dewinta (2010), aroma yaitu bau yang sukar diukur sehingga biasanya menimbulkan pendapat yang berlainan dalam menilai kualitas aromanya.

215


Inovasi Vol. 10 No. 3, September 2013: 213-220

40 36,7 35

33,3

32,5

Persentase

30 22,5

25 20

16,7

15

A1

10

10

A2

5

0

0 Sangat Suka

0,83

Suka

Kurang Tidak Suka Suka Tingkat Kesukaan Berdasarkan Organoleptik Warna

Gambar 2. Histogram hasil analisis organoleptik warna biskuit.

Tabel 3. Hasil analisa sidik ragam terhadap warna FT Sumber db JK JKR FH Keragaman Perlakuan 1 0,15 0,15 0,15* Panelis 29 14,35 0,49 4,18 Error 29 28,35 0,98 Total 59 42,85 Keterangan: *tidak ada pengaruh yang bermakna

nilai gizi. Suatu bahan yang dinilai bergizi, enak, dan teksturnya sangat baik tidak akan dimakan apabila memiliki warna yang tidak sedap dipandang atau memberi kesan telah menyimpang dari warna yang seharusnya. Warna makanan yang menarik dan tampak alamiah dapat meningkatkan cita rasa. Warna makanan yang menarik dapat memengaruhi dan membangkitkan selera makan konsumen, bahkan warna dapat menjadi petunjuk bagi kualitas makanan yang dihasilkan. Warna juga mempunyai peran dan arti yang sangat penting pada komoditas pangan karena memengaruhi penerimaan konsumen terhadap komoditas tersebut (Winarno, 1997). Pengujian organoleptik terhadap rasa oleh panelis menunjukkan bahwa panelis menyukai rasa biskuit A2 dengan nilai skor tertinggi yaitu 102 (85%). Rasa biskuit A1 mendapatkan nilai skor terendah yaitu 87 (72,5%). Penilaian organoleptik rasa biskuit dapat dilihat pada Gambar 3. Sementara hasil

Perbedaan pendapat disebabkan setiap orang memiliki perbedaan penciuman, meskipun mereka dapat membedakan aroma namun setiap orang mempunyai kesukaan yang berlainan. Pengujian organoleptik terhadap warna oleh panelis menunjukan bahwa panelis menyukai warna biskuit A2 dengan skor tertinggi yaitu 92 (76,63%). Warna biskuit A1 mendapatkan skor 91 (75,9%). Penilaian organoleptik warna biksuit dapat dilihat pada Gambar 2. Hasil analisa sidik ragam terhadap warna biskuit dapat dilihat pada Tabel 3. Berdasarkan hasil analisa sidik ragam terhadap warna dari kedua biskuit dengan nilai FHitung 0,15 ternyata lebih kecil dari FTabel 4,18 bermakna bahwa penambahan tepung bit merah dan hasil parutan bit merah tidak memberi pengaruh yang berbeda nyata terhadap warna biskuit yang dihasilkan. Penampakan warna suatu bahan pangan merupakan faktor pertama yang dinilai sebelum pertimbangan lain seperti rasa dan 216


Pengaruh Penambahan Tepung Bit Merah Dan Hasil Parutan Bit Merah Dalam Pembuatan Biskuit Terhadap Cita Rasanya (Winda Melisa Br. Gtg, Evawany Aritonang, Jumirah)

analisa sidik ragam terhadap rasa biskuit dapat dilihat pada Tabel 5. Berdasarkan hasil analisa sidik ragam terhadap rasa dari kedua perlakuan pada biskuit diperoleh FHitung 7,60 > FTabel 4,18 yang bermakna bahwa penambahan tepung bit merah dan hasil parutan bit merah memberi pengaruh yang berbeda nyata terhadap rasa biskuit yang dihasilkan. Untuk mengetahui perlakuan biskuit yang rasanya paling disukai panelis dilakukan Uji Ganda Duncan dan didapatkan hasilnya pada Tabel

60

5. Berdasarkan Uji Ganda Duncan dapat disimpulkan bahwa tingkat kesukaan panelis terhadap rasa biskuit A1, dan A2, berbeda satu sama lain dan yang paling disukai rasanya adalah biskuit A2. Rasa lebih banyak melibatkan panca indera yaitu lidah, agar suatu senyawa dapat dikenali rasanya, senyawa tersebut harus dapat mengadakan hubungan dengan mikrovilus dan impuls yang terbentuk yang dikirim melalui syaraf ke pusat susunan syaraf.

56,7

Persentase

50 37,5

40 30 20

A1

20

20

A2

15 8,3

10

0

0 Sangat Suka

0

Suka Kurang Suka Tidak Suka Tingkat Kesukaan Berdasarkan Organoleptik Rasa

Gambar 3. Histogram hasil analisis organoleptik rasa biskuit.

Tabel 4. Hasil analisa sidik ragam terhadap rasa db JK JKR FH FT Sumber Keragaman Perlakuan 1 5,4 5,4 Panelis 29 13,4 0,46 7,60* 4,18 Error 29 20,6 0,71 Total 59 39,4 Keterangan: *ada pengaruh yang bermakna

Tabel 5. Hasil uji ganda duncan terhadap rasa A2 Perlakuan A1 Rata-rata 2,8 3,4 Jadi, A2≠A1 A2- A1 = 3,4-2,8 = 0,6 > 0,42

217


Inovasi Vol. 10 No. 3, September 2013: 213-220

40

36,7

37,5 35

35

Persentase

30 25 20

16,7

A1

15 10

A2 10

6,7

5

1,7

2,8

0 Sangat Suka Suka Kurang Suka Tidak Suka Tingkat Kesukaan Berdasarkan Organoleptik Tekstur Gambar 4. Histogram Hasil Analisis Organoleptik Tekstur Biskuit.

Tabel 6. Hasil analisa sidik ragam terhadap tekstur FT Ket Sumber d JK JKR FH Keragaman b Perlakuan 1 4,27 4,2 Ada 7 14, 4,1 Perb Panelis 2 26,4 0,9 2 8 e 9 1 daan Error 2 28,35 0,3 9 0 Total 5 42,85 9

Tabel 7. Hasil uji ganda duncan terhadap tekstur Perlakuan A1 A2 Rata-rata 2,63 3,17 Jadi, A2≠A1 A2- A1 = 3,17-2,63 = 0,54 > 0,283

Rasa suatu bahan makanan dipengaruhi oleh senyawa kimia, suhu, konsentrasi dan interaksi dengan komponen rasa yang lain. Setiap orang mempunyai batas konsentrasi terendah terhadap suatu rasa agar masih bisa dirasakan (threshold). Batas ini tidak sama pada tiap-tiap orang dan threshold seseorang terhadap rasa yang berbeda juga tidak sama. Akibat yang ditimbulkan mungkin peningkatan intensitas rasa atau penurunan intensitas rasa (Winarno 1997). Hasil uji organoleptik terhadap tekstur oleh para panelis menunjukkan bahwa panelis menyukai tekstur biskuit A2 dengan

nilai skor yaitu 95 (79,23%). Untuk tekstur biskuit A1 mendapatkan skor 79 (65,9%). Penilaian organoleptik tekstur biskuit dapat dilihat pada Gambar 4. Sementara itu, hasil analisa sidik ragam terhadap tekstur biskuit dapat dilihat pada Tabel 6. Berdasarkan hasil analisis sidik ragam terhadap tekstur dari kedua perlakuan pada biskuit diperoleh FHitung 14,2 > FTabel 4,18 menunjukkan bahwa penambahan tepung bit merah dan hasil parutan bit merah memberi pengaruh yang berbeda nyata terhadap tekstur biskuit yang dihasilkan.

218


Pengaruh Penambahan Tepung Bit Merah Dan Hasil Parutan Bit Merah Dalam Pembuatan Biskuit Terhadap Cita Rasanya (Winda Melisa Br. Gtg, Evawany Aritonang, Jumirah)

Tabel 8. Sumbangan kecukupan gizi biskuit bit merah pada anak usia 1-9 tahun, ibu hamil, dan ibu menyusui Zat Gizi Zat Besi Kalsium Fosfor (mg) Kandungan 0,08 1,8 2,6 A1 Biskuit per A2 0,06 1,3 1,8 keping (10 gr) 1-9 thn 10 600 400 AKG * Bumil 39 950 600 Busui 32 950 200 15,21 32,4 1-9 thn 39,5 9,6 21,6 Bumil 10,0 % AKG Busui 12,0 9,6 21,6 *Dikutip dari Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi, 2004.

Untuk mengetahui perlakuan biskuit yang teksturnya paling disukai panelis dilakukan Uji Ganda Duncan dan didapatkan hasilnya pada Tabel 8. Berdasarkan Uji Ganda Duncan dapat disimpulkan bahwa tingkat kesukaan panelis terhadap tekstur biskuit A1, dan A2, berbeda satu sama lain dan yang paling disukai teksturnya adalah biskuit A2. Menurut Winarno (1997), tekstur dan konsistensi suatu bahan akan memengaruhi cita rasa yang ditimbulkan bahan tersebut karena dapat memengaruhi kecepatan timbulnya rangsangan terhadap sel reseptor olfaktori dan kelenjar air liur. Semakin kental suatu bahan, penerimaan terhadap intensitas rasa, bau, dan cita rasa semakin berkurang. Menurut Brenann (1989) yang dikutip oleh Dalimunthe (2011), tekstur adalah atribut suatu bahan pangan yang dihasilkan dari kombinasi sifat-sifat fisik dan diterima oleh indera peraba yang meliputi kinestesis dan mouthfeel, penglihatan dan pendengaran. Volume pengembangan biskuit erat kaitannya dengan jumlah dan kualitas gluten yang terkandung dalam tepung.

kalsium, 12,0% kecukupan zat besi, dan 21,6% kecukupan fosfor. Untuk memenuhi kandungan zat gizi mikro khususnya vitamin A, dan C baik pada anak usia 1-9 tahun, ibu hamil, maupun ibu menyusui, dapat mengonsumsi bit merah dengan cara pengolahan dijus. KESIMPULAN Penambahan tepung bit merah dan penambahan hasil parutan bit merah ternyata memberi pengaruh yang berbeda nyata terhadap aroma, rasa, dan tekstur. Selain itu ditemukan bahwa berdasarkan indikator aroma, warna, rasa, dan tekstur, biskuit yang disukai panelis adalah biskuit A2 yaitu biskuit dengan perbandingan 20% tepung bit merah dan 80% tepung terigu. REKOMENDASI 1. Diharapkan masyarakat dapat menjadikan biskuit bit sebagai salah satu makanan alternatif baik pada balita, ibu hamil maupun ibu menyusui karena mengandung zat gizi yang dibutuhkan oleh tubuh. 2. Perlu dilakukan penelitian lanjutan dalam rangka penganekaragaman makanan lainnya dengan penambahan tepung bit merah dan hasil parutan bit merah sebagai makanan yang kaya akan zat gizi.

Berdasarkan analisis dengan menggunakan acuan biskuit bit A1, diperoleh takaran saji sebesar 100 g (Âą 10 keping biskuit). Konsumsi satu takaran saji biskuit A1 dapat memenuhi 15,21% kecukupan kalsium, 32,4% kecukupan fosfor dan 39,5% kecukupan zat besi anak usia 7-9 tahun. Konsumsi satu takaran saji biskuit A1 juga dapat memenuhi 9,6% kecukupan kalsium, 10,0% kecukupan zat besi, 21,6% kecukupan fosfor, pada ibu hamil. Sedangkan untuk ibu menyusui konsumsi satu takaran saji biskuit A1 dapat memenuhi 9,6% kecukupan

DAFTAR PUSTAKA Almatsier, S. 2004. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta __________ 2011. Gizi Seimbang dalam Daur Kehidupan. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Dalimunte, Nurfatimah. 2011. Pengaruh Penambahan Tepung Biji Durian (Durio zibethinus

219


Inovasi Vol. 10 No. 3, September 2013: 213-220

Murr) Terhadap Cita Rasa Mi Basah. Skripsi. Jurusan Gizi Kesehatan Masyarakat. Fakultas Kesehatan Masyarakat. Universitas Sumatera Utara. Hanafiah, Kemas Ali. 2005. Rancangan Percobaan : Teori dan Aplikasi. PT RajaGrafindo Persada. Jakarta. Moehji, Sjahmien. 2000. Ilmu Gizi dan Diet. Bharata Karya Aksara. Jakarta. Sari, Puspita. Dewinta. 2010. Pengaruh Penambahan Tepung Daun Ubi Terhadap Daya Terima Kue Klepon. Skripsi. Jurusan Gizi Kesehatan Masyarakat. Fakultas Kesehatan Masyarakat. Universitas Sumatera Utara. Susiwi, S. 2009. Penilaian Organoleptik. Jurusan Pendidikan Kimia. Universitas Pendidikan Indonesia. Bandung Winarno.F.G. 1997. Kimia Pangan Dan Gizi. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Wirakusumah, Emma S. 1999. Buah dan Sayuran untuk Terapi. Cetakan V. Penerbit Swadaya. Jakarta ____________ 2007. 202 Jus Buah dan Sayur. Penebar Plus + Jakarta.

220


Kajian Kebijakan Kewirausahaan Pada Pendidikan Tinggi (Hendarwan)

Hasil Penelitian KAJIAN KEBIJAKAN KEWIRAUSAHAAN PADA PENDIDIKAN TINGGI

(ANALYSIS OF ENTREPRENEURSHIP POLICY AT HIGHER EDUCATION) Hendarman Pusat Penelitian Kebijakan, Badan Penelitian dan Pengembangan, Kemdikbud Dosen FKIP, Universitas Pakuan Bogor

email: hendarman@kemdikbud.go.id dan hendarmananwar@gmail.com Diterima: 12 Juli 2013; Direvisi: 28 Juli 2013; Disetujui: 20 Agustus 2013

ABSTRAK Tingginya keberadaan wirausahawan (entrepreneur) suatu negara turut menentukan tingkat kemajuan suatu bangsa. Akan tetapi, pada kenyataannya sebagian besar lulusan perguruan tinggi di Indonesia merupakan pencari kerja (job-seeker) dan bukan sebagai pencipta lapangan pekerjaan (job-creator). Salah satu kemungkinan adalah sistem pembelajaran yang diterapkan di berbagai perguruan tinggi belum difokuskan untuk menghasilkan lulusan yang siap menciptakan pekerjaan. Upaya meningkatkan aktivitas kewirausahaan bagi para mahasiswa sebelum lulus dari perguruan tinggi perlu dilakukan agar mampu menjadi wirausahawan atau entrepreneur yang tangguh dimasa yang akan datang. Pendidikan kewirausahaan merupakan salah satu kebijakan utama di berbagai perguruan tinggi yang dimaksudkan untuk mengatasi persentase pengangguran lulusan perguruan tinggi. Kajian ini difokuskan untuk menganalisis kebijakan pendidikan kewirausahaan pada pendidikan tinggi dengan menggunakan ex post facto research dan dianalisis dengan meta-analysis. Untuk memperkuat analisis maka digunakan sejumlah pengalaman perguruan tinggi dalam mengimplementasikan pendidikan kewirausahaan. Secara khusus, terutama akan digunakan pengalaman Universitas Sumatera Utara (USU) melalui pembentukan Student Entrepreneurship Center digunakan untuk menjelaskan komitmen perguruan tinggi untuk menjadikan kebijakan ini sebagai program berkesinambungan. Temuan mengungkapkan bahwa kebijakan pendidikan kewirausahaan telah diimplementasikan secara berkesinambungan, dan menghasilkan wirausahawan-wirausahawan (entrepreneurs) yang tetap melanjutkan usahanya walaupun telah lulus. Disarankan agar kebijakan kewirausahaan tetap dijadikan salah satu prioritas Pemerintah karena berkontribusi terhadap pengurangan jumlah pengangguran in Indonesia. Kata Kunci: Kewirausahaan, pendidikan tinggi, pengangguran, Sumatera Utara

ABSTRACT The numbers of entrepreneurs (entrepreneur) in one country determine a country's level of progress. However, most of graduates from high level of education in Indonesia are job seekers (job-seekers) and not as a creator of jobs (job-creator). One possibility reason of this is that the learning systems applied in various universities have not focused on producing graduates who are to it. Efforts to increase entrepreneurial activity for students before graduating needs to do in order to become a entrepreneur or entrepreneurs in the future.

221


Inovasi Vol. 10 No. 3, September 2013: 221-229

Entrepreneurship education is one of the main policies at higher education institutions as it intends to overcome high-unemployment rate for higher education graduates. The focus of this research is to analyse policy on entrepreneurship education at higher education level using ex post facto research and analysed using meta-analysis. To strengthen the analysis, a number of high education experiences in implementing entrepreneurship education were used. In particular, the experiences of North Sumatra University (USU) through the establishment of Student Entrepreneurship Center were used to explain the college's commitment to make this policy as an ongoing program. The findings reveal that the implementation of entrepreneurship policy has been sustainable and produces entrepreneurs who still continue their busineses after having graduated. A number of higher education institutions establish such breakthroughs. It is suggested that the Government prioritizes this entrepreneurship policy as it plays pivotal role in reducing unemployment rate in Indonesia. Keywords: Entrepreneurship, higher education, unemployment, Sumatera Utara

PENDAHULUAN Data Badan Pusat Statistik (2012) pada Februari 2012 menunjukkan bahwa pekerja pada jenjang pendidikan SD ke bawah masih tetap mendominasi yaitu sebesar 55,5 juta orang (49,21%), sedangkan pekerja dengan pendidikan diploma sekitar 3,1 juta orang (2,77%) dan pekerja dengan pendidikan universitas hanya sebesar 7,2 juta orang (6,43%). Pada Februari 2013 (BPS, 2013), angka tersebut tidak begitu mengalami perubahan yang berarti yaitu dimana penduduk bekerja pada jenjang pendidikan SD ke bawah masih tetap mendominasi yaitu sebanyak 54,6 juta orang (47,90 persen), sedangkan penduduk bekerja dengan pendidikan diploma sebanyak 3,2 juta orang (2,82 persen) dan penduduk bekerja dengan pendidikan universitas hanya sebanyak 7,9 juta orang (6,96 persen). Data tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar lulusan perguruan tinggi merupakan pencari kerja (job-seeker) dan bukan sebagai pencipta lapangan pekerjaan (job-creator). Salah satu kemungkinan adalah sistem pembelajaran yang diterapkan di berbagai perguruan tinggi belum difokuskan untuk menghasilkan lulusan yang siap menciptakan pekerjaan. Upaya meningkatkan aktivitas kewirausahaan bagi para mahasiswa sebelum lulus dari perguruan tinggi perlu dilakukan agar mampu menjadi wirausahawan atau entrepreneur yang tangguh dimasa yang akan datang. Menarik untuk mengutip Kartawan (2012) yang menunjukkan peranan perguruan tinggi seperti MIT di Amerika Serikat yang dari tahun 1980 sampai tahun 1996 telah menghasilkan 4000 unit perusahaan yang mampu menyerap 1,1 juta tenaga kerja dengan nilai jual sekitar USD 232

milyar/tahun dan di Universitas Beijing, Cina dimana mata kuliah Marxisme diganti dengan mata kuliah Kewirausahaan yang telah memiliki 1000 unit inkubator berbasis teknologi. Tingginya keberadaan wirausahawan (entrepreneur) suatu negara turut menentukan tingkat kemajuan suatu bangsa. Menurut David McClelland yang dikutip dalam Ciputra (2008), suatu negara menjadi makmur apabila didukung oleh minimum jumlah wirausahawan 2%. Amerika Serikat pada tahun 2007 memiliki 11,5% wirausahawan sedangkan Singapura pada tahun 2005 jumlah wirausahawan mencapai 7,2% dari total populasi. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik dalam laman resmi Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Republik Indonesia (2012), jumlah wirausahawan per Januari 2012 mencapai 3,75 juta orang atau 1,56 persen dari total penduduk Indonesia yang meningkat cukup signifikan dibandingkan pada 2010 yang tercatat masih 0,24 persen. Angka ini masih kalah jauh dibanding negara Asia lain, seperti Cina dan Jepang, yang memiliki wirausahawan lebih dari 10 persen jumlah populasi. Dalam konteks regional Asia Tenggara, Indonesia masih kalah dibanding Malaysia (5 persen) atau Singapura (7 persen). Thurow (1999) dalam bukunya “Building Wealth: The New Rules for Individuals, Companies, and Nations in a Knowledge-Based Economy� memperkuat pentingnya keberadaan wirausahawan bagi suatu bangsa dengan mengatakan “There are no institutional substitutes for individuals entrepreneurial change agents. The entrepreneur winners of the game become wealthy and powerful, but without entrepreneurs, economies become poor and

222


Kajian Kebijakan Kewirausahaan Pada Pendidikan Tinggi (Hendarwan)

selanjutnya dapat dijadikan sebagai patokduga (benchmarking)

weak. The old will not exit; the new cannot enter.” Pemerintah telah menetapkan berbagai kebijakan untuk meningkatkan kebekerjaan lulusan pendidikan melalui penyiapan wirausahawan pada sistem pendidikan nasional. Presiden Soesilo Bambang Yoedhoyono dalam National Summit 2010 telah menyatakan dukungan terhadap perlunya penggalakan jiwa kewirausahaan dan memberikan tekanan pada perlunya metodologi pendidikan yang lebih mengembangkan kewirausahaan. Kebijakan presiden tersebut ditindaklanjuti oleh Kementerian Pendidikan Nasional dengan menetapkan pendidikan kewirausahaan sebagai prioritas dalam bentuk sinergitas antara lembaga pendidikan dengan pengguna lulusan untuk mengatasi masalah ketenagakerjaan dan terciptanya pusat kewirausahaan pada perguruan tinggi. Beberapa pihak masih meragukan apakah kewirausahaan itu bakat dan melekat hanya pada etnis tertentu dan apakah dapat dibentuk melalui suatu proses pendidikan? Dalam bukunya “Quantum Leap: Bagaimana Entrepreneurship dapat Mengubah Masa Depan Anda dan Masa Depan Bangsa”, Ciputra (2008) menyatakan bahwa kewirausahaan dapat dikembangkan melalui pendidikan termasuk di Perguruan Tinggi, karena lahirnya pengusaha dapat terjadi melalui 3L yaitu Lahir, Lingkungan dan Latihan. Ciputra mengatakan lebih lanjut “Dengan bekal 2-L yang pertama (lahir dan lingkungan) saya dapat menciptakan lapangan kerja untuk diri sendiri dan sekarang berkembang menjadi lapngan kerja untuk lebih dari 14.000 orang” (Ciputra, 2008, halaman 55). Tulisan ini merupakan suatu penelitian untuk mengkaji sejauhmana kebijakan pendidikan kewirausahaan pada pendidikan tinggi telah diimplementasikan dan menghasilkan wirausahawan-wirausahawan (entrepreneurs). Secara khusus, kajian ditujukan untuk: (1) menganalisis kebijakan pendidikan kewirausahaan baik untuk mahasiswa dan dosen, dan (2) hasil-hasil yang telah dicapai dari adanya kebijakan yang dimaksud. Dalam pembahasan digunakan antara lain pengalaman Universitas Sumatera Utara (USU) dalam pelaksanaan pendidikan kewirausahaan di pendidikan tinggi, yang

METODE Kajian ini pada dasarnya merupakan “ex post facto research” karena menggunakan data dan informasi dari yang sudah terjadi dan sedang berlangsung. Dalam konteks penelitian sosial maka ex posto facto research merujuk kepada studi-studi atau penelitian-penelitian yang menginvestigasi kemungkinan hubungan yang terjadi antara suatu keputusan dan akibat yang dihasilkan di samping juga untuk mengkaji kemungkinan hubungan sebabakibat. Dengan ex posto facto research maka peneliti mempertanyakan faktor-faktor yang kemungkinan dapat diasosiasikan dengan kejadian-kejadian atau kondisi-kondisi yang terjadi dan tidak terjadi (Cohen, L., Manion, L., dan Morrison, K, 2007). Analisis yang dilakukan pada dasarnya merupakan meta-analysis. Sebagaimana dikatakan oleh Cooper (2010) bahwa untuk dapat melakukan meta-analysis yang memiliki keakuratan data dan informasi maka diperlukan tahapan untuk melakukan kodifikasi terhadap berbagai studi atau dokumen terkait agar tidak terjadi bias yang cukup besar terhadap masalah yang akan dikaji dalam suatu penelitian. Sehubungan dengan hal tersebut, penelitian ini menggunakan sumber data yang relevan dengan masalah yang akan dikaji, dimana sumber data tersebut berasal dari sejumlah dokumen sebagai data sekunder maupun data primer berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan terhadap pengelola pendidikan kewirausahaan dan para mahasiswa yang bertindak sebagai pelaku pendidikan kewirausahaan di perguruan tinggi. Untuk memperkuat analisis maka digunakan sejumlah pengalaman perguruan tinggi dalam mengimplementasikan pendidikan kewirausahaan. Secara khusus, pengalaman Universitas Sumatera Utara (USU) melalui pembentukan Student Entrepreneurship Center digunakan untuk menjelaskan komitmen perguruan tinggi untuk menjadikan kebijakan ini sebagai program berkesinambungan. HASIL DAN PEMBAHASAN Program kewirausahaan di sektor pendidikan tinggi sebenarnya bukan merupakan hal yang baru. Apabila ditelusuri 223


Inovasi Vol. 10 No. 3, September 2013: 221-229

bulan. Berbeda dengan program magang yang berdasarkan kepada kebutuhan nyata dunia kerja (work-based learning/work-integrated learning) maka program Co-op adalah program pilihan. Mahasiswa yang dapat mengikuti program hanyalah mahasiswa yang telah diseleksi oleh perguruan tinggi dan perusahaan/industri tempat mahasiswa akan melaksanakan program Co-op serta dinyatakan memenuhi kualifikasi yang telah ditetapkan. Perusahaan berkewajiban untuk memberikan kompensasi kepada mahasiswa atas pekerjaan yang mereka lakukan, serta surat keterangan bekerja setelah mahasiswa menyelesaikan dengan baik program tersebut. Di sisi lain, perusahaan dapat memecat mahasiswa dengan mengembalikannya ke perguruan tinggi apabila mahasiswa perusahaan tidak puas dengan kinerja atau perilaku mahasiswa. Program Co-op dinyatakan berhasil apabila 3 (tiga) pihak yang terlibat di dalam program, yaitu, perusahaan, mahasiswa dan perguruan tinggi mendapat manfaat dari program ini. Manfaat terhadap perusahaan yaitu selain dapat meningkatkan citra perusahaan kepada masyarakat, juga memperoleh kesempatan untuk mendapat karyawan yang bermutu. Mahasiswa peserta program pada umumnya akan memperoleh manfaat yaitu tidak akan mengalami kesulitan untuk memperoleh pekerjaan karena mereka tidak hanya memperoleh surat keterangan bekerja tetapi melalui program ini mereka mengalami peningkatan kualitas soft skills dan hard skillnya. Manfaat bagi perguruan tinggi yaitu terbuka kesempatan untuk membuka hubungan antara perguruan tinggi dengan dunia kerja sehingga memungkinkan perguruan tinggi untuk memperbaiki kurikulum maupun materi pembelajarannya. Mengingat bahwa program ini mempersyaratkan adanya pembimbing dari perguruan tinggi maupun perusahaan maka staf pengajar mendapat kesempatan untuk memahami kebutuhan hakiki dunia kerja. Disamping kedua program tersebut, dikenal juga Program Mahasiswa Wirausaha (PMW). Kebijakan dan program penguatan kelembagaan yang mendorong peningkatan aktivitas berwirausaha dan percepatan pertumbuhan wirausaha–wirausaha baru dengan basis IPTEKS sangat diperlukan. Didasarkan latar belakang tersebut, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi melalui Direktorat

sudah diperkenalkan berbagai program yang diharapkan mampu membuka wacana dan pola pikir mahasiswa untuk dapat melihat peluang yaitu menjadi pencipta kerja (job-creator). Program-program dimaksud di antaranya: (1) Program Kreativitas Mahasiswa (PKM), (2) Cooperative Education (Co-op); dan (3) Program Mahasiswa Wirausaha. Program Kreativitas Mahasiswa, pada awalnya dikenal sebagai Program Pengembangan Budaya Kewirausahaan di Perguruan Tinggi (PBKPT) yang dimulai oleh Direktorat Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat (DP2M) Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi pada tahun 1997. Salah satu program kunci di dalamnya adalah Program Karya Alternatif Mahasiswa (KAM) dimana program ini hanya dapat diakses dan dilaksanakan oleh mahasiswa. Program Karya Alternatif Mahasiswa (KAM) merupakan wahana kreasi bagi mahasiswa dalam menciptakan produk (barang atau jasa) yang akan menjadi komoditas usahanya kelak. Dalam perkembangannya, KAM dirasa sangat membatasi ruang kreasi mahasiswa yang pada kenyataannya memiliki minat, bakat, dan intelektualitas yang beragam. Program lainnya adalah Kuliah Kewirausahaan (KWU), Kuliah Kerja Usaha (KKU), Magang Kewirausahaan (MKU), Konsultasi Bisnis dan Penempatan Kerja (KBPK) dan Inkubator Wirausaha Baru (INWUB). Program-program tersebut diajukan oleh kelompok dosen melalui pengajuan proposal. Kelompok dosen tersebut diwajibkan menyertakan mahasiswa sebagai pelaku lapangan. Pada tahun 2001, DP2M kemudian meluaskan KAM menjadi Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) yang membuka peluang mahasiswa dalam berkarya seluas seperti yang diperoleh oleh para dosen. Sejak saat itu dikenal berbagai jenis PKM yaitu: (1) PKMPenelitian (PKM-P); (2) PKM-Penerapan Teknologi (PKM-T); (3) PKM Kewirausahaan (PKM-K); (4) PKM-Pengabdian kepada Masyarakat (PKM-M); dan (5) PKM-Penulisan Artikel Ilmiah (PKM-I). Sementara itu, program Co-op di perusahaan/industri besar sebagai sebuah strategi pendidikan bertujuan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia/lulusan perguruan tinggi dengan pengalaman belajar bekerja di perusahaan/industri selama tiga hingga enam

224


Kajian Kebijakan Kewirausahaan Pada Pendidikan Tinggi (Hendarwan)

dan efisiensi penggunaan dana, serta eksistensi lembaga pengelola kewirausahaan. Dana yang dialokasikan sebagai bantuan modal usaha dalam Program Mahasiswa Wirausaha (PMW) ini digunakan untuk membiayai kegiatan-kegiatan memulai usaha. Besarnya biaya ditinjau dari aspek mahasiswa dan perguruan tinggi. Pada awal PMW ini diimplementasikan pada tahun 2009, besarnya dana adalah maksimum Rp 8 juta rupiah per mahasiswa untuk usaha perorangan dan maksimum Rp 40 juta per kelompok untuk usaha kelompok yang terdiri dari maksimum 5 mahasiswa. Besarnya dana tergantung pada jenis usaha dan rencana bisnis yang diajukan mahasiswa. Skema penyediaan modal usaha dan mekanisme pencairan dana kepada para mahasiswa diatur oleh perguruan tinggi pengelola program. Dari aspek perguruan tinggi, berbeda dengan program-program terkait kewirausahaan lainnya, pendanaan untuk program ini ditempatkan langsung pada perguruan tinggi bagi perguruan tinggi negeri (PTN) dan pada Kordinator Perguruan Tinggi Swasta (Kopertis) bagi perguruan tinggi swasta (PTS). Pada awal PMW ini diluncurkan maka besarnya dana per individu PT BHMN (Perguruan Tinggi Badan Hukum Milik Negara) adalah Rp 1,5 milyar per perguruan tinggi, PTS (Perguruan Tinggi Swasta) Rp 1,25 milyar per kopertis (koordinator perguruan tinggi swasta), PTN (Perguruan Tinggi Negeri) Rp 1 milyar per perguruan tinggi, dan politeknik Rp 500 juta. Program ini dapat diikuti oleh mahasiswa S1 Universitas/Institut/Sekolah Tinggi yang telah menyelesaikan kuliah 4 semester atau minimal telah menempuh 80 SKS, dan mahasiswa program diploma dan politeknik yang telah menyelesaikan kuliah 3 semester atau minimal telah menempuh 60 SKS. Di samping itu mahasiswa harus menempuh seleksi yang meliputi aspek minat, motivasi berwirausaha, kelayakan usaha dan soft skills yang dilakukan oleh tim profesional yang terdiri dari unsur perguruan tinggi, UKM, dan perbankan. Hal ini penting mengingat mahasiswa harus didampingi oleh mentor dari perguruan tinggi yang terlibat langsung dalam proses pendidikan kewirausahaan, sedangkan UKM merupakan tempat magang dan yang mempunyai pengalaman praktis berusaha, dan perbankan merupakan fihak yang terkait serta berpengalaman dalam hal kelayakan finansial (Direktorat Kelembagaan, Direktorat Jenderal

Kelembagaan pada tahun 2009 telah mengembangkan Program Mahasiswa Wirausaha (PMW). Program ini mempunyai tiga tujuan, yaitu untuk (1) menumbuhkembangkan wirausahawan-wirausahawan baru yang berpendidikan tinggi, (2) mendorong terbentuknya model pendidikan kewirausahaan di perguruan tinggi, dan (3) mendorong pertumbuhan dan perkembangan kelembagaan pengelola kewirausahaan mahasiswa di perguruan tinggi. Program ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi tiga pihak, yaitu mahasiswa, perguruan tinggi, serta usaha kecil dan menengah (UKM). Manfaat bagi mahasiswa adalah (1) memberikan kesempatan untuk terlibat langsung dengan kondisi dunia kerja guna meningkatkan soft skill, (2) memberikan kesempatan langsung untuk terlibat dalam kegiatan nyata di UKM guna mengasah jiwa wirausaha, dan (3) menumbuhkan jiwa bisnis (sense of business) sehingga memiliki keberanian untuk memulai usaha didukung dengan modal yang diberikan dan pendampingan secara terpadu. Manfaat bagi bagi perguruan tinggi adalah (1) meningkatkan kemampuan perguruan tinggi dalam pengembangan pendidikan kewirausahaan, (2) mempererat hubungan antara dunia akademis dan dunia usaha, khususnya UKM, (3) membuka jalan bagi penyesuaian kurikulum yang dapat merespon tuntutan dunia usaha, dan (4) menghasilkan wirausahawan-wirausahawan muda pencipta lapangan kerja dan calon pengusaha sukses masa depan. Sedangkan manfaat bagi UKM adalah (1) mempererat hubungan antara UKM dengan dunia kampus dan (2) memberikan akses terhadap informasi dan teknologi yang dimiliki perguruan tinggi. Dari aspek model pendidikan kewirausahaan, indikator operasional dari PMW adalah pendidikan dan pelatihan kewirausahaan serta keterlibatan berbagai pihak yang relevan dalam pelaksanaan program. Dari aspek lembaga perguruan tinggi pengelola kewirausahaan indikator operasional tingkat keberhasilan mencakup: jumlah mahasiswa yang terlibat, jumlah mahasiswa yang mulai berwirausaha, jumlah unit bisnis yang berhasil diciptakan dan dikelola, keberlanjutan program, jumlah pengusaha yang terlibat dan tingkat kepuasan mereka terhadap pelaksanaan PMW, efektifitas 225


Inovasi Vol. 10 No. 3, September 2013: 221-229

serta memiliki daya juang tinggi dan tidak mengenal putus asa. Agar jumlah mahasiswa serta perguruan tinggi yang terlibat dalam program Co-op UMKM meningkat, pada tahun 2006 Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi telah menandatangani kerjasama dengan Kantor Deputi Sumber Daya Manusia Kementerian Negara Koperasi dan UMKM. Salah satu kegiatan yang dilaksanakan adalah memberi pelatihan kepada mahasiswa yang akan melaksanakan program Co-op di UMKM. Terdapat perbedaan yang cukup nyata dari program Co-op dan program UMKM. Setelah dua belas tahun dikembangkan maka hingga tahun 2008 jumlah perusahaan/industri besar yang terlibat dalam program Co-op adalah 25 perusahaan/industri dengan jumlah mahasiswa lebih kurang 1800 orang dari 32 perguruan tinggi. Sedangkan untuk program UMKM, dalam waktu enam tahun program ini dikembangkan terlibat 647 UMKM dengan jumlah mahasiswa 903 orang dari 28 perguruan tinggi. Sementara itu, Program Wirausaha Mahasiswa (PMW) pada tahun 2009 sudah diselenggarakan di seluruh PTN dan 179 PTS. Data pada tahun pertama pelaksanaan PMW tersebut yaitu tahun 2009, menunjukkan bahwa mahasiswa yang mendapatkan dana bantuan kewirausahaan mencapai 8.296 orang yang mencakup 6.779 mahasiswa (82 %) dari PTN dan sisanya merupakan mahasiswa dari PTS-PTS yang dibawah koordinasi Kopertis (Direktorat Kelembagaan, 2009b). Dengan demikian, pada tahun pertama tersebut berarti rata-rata mahasiswa yang terlibat berjumlah 36 orang per perguruan tinggi.

Pendidikan Tinggi, Kementerian Pendidikan Nasional, 2009a). Terkait dengan program Co-op, hingga tahun 1998 pada umumnya perusahaan/industrI pelaksana program ini adalah perusahaan/industri multi-nasional. Jumlah perusahaan/industri yang melaksanakan program Co-op lebih kurang 25 perusahaan/industri besar, dengan jumlah mahasiswa yang diterima bekerja berkisar antara 50-70 orang per tahun. Ketika terjadi krisis ekonomi pada tahun berikutnya maka jumlah perusahaan/industri besar yang berpartisipasi menurun drastis. Jumlah pengangguran lulusan perguruan tinggi serta kemampuan perusahaan/industri kecil untuk bertahan dan menyumbang kepada perputaran ekonomi negara, telah mendorong Ditjen. Pendidikan Tinggi serta Dewan Pengembangan Program Kemitraan (DPPK) pada tahun 2003 mengembangkan program Co-op di perusahaan/industri mikro, kecil dan menengah UMKM). Bilamana di perusahaan/industri besar kompensasi bagi mahasiswa diberikan oleh perusahaan, pada Co-op di UMKM kompensasi bagi mahasiswa disandang bersama oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (75%) dan oleh UMKM (25%). Dasar pertimbangan dari hal ini adalah karena modal UMKM terbatas. Namun, dengan turut berpartisipasi maka UMKM akan merasa turut berkepentingan terhadap keberhasilan program ini terutama bagi peningkatan kualitas usahanya. Perbedaan lain dari program Co-op di Industri/perusahaan besar adalah bahwa pada program Co-op di UMKM mahasiswa diharapkan dapat belajar berwirausaha, mengembangkan kreatifitas

Tabel 1. Program Mahasiswa Wirausaha (PMW) di Universitas Sumatera Utara (USU) tahun 2010-2012 Tahun Jumlah Proposal Proposal Didanai Jumlah Total Status Sampai Tahun Mahasiswa Dana 2013 Terlibat (Rp Kelompok Individu Kelompok Individu Usaha Usaha juta) Berjalan Tidak Berjalan 2010 98 32 46 15 151 664 43 18 2011 73 37 40 18 129 600 47 11 2012 97 100 11 4 353 120 15 0 Sumber: Student Entrepreneurship Center (SEC), Universitas Sumatera Utara. (2013).

226


Kajian Kebijakan Kewirausahaan Pada Pendidikan Tinggi (Hendarwan)

Pendidikan Tinggi melalui Direktorat Kelembagaan sejak tahun anggaran 2008 dan 2009 berturut-turut telah mengadakan pelatihan bagi pelatihan (Training of Trainers) bagi dosen-dosen. TOT dimaksud bertujuan untuk mempersiapkan dosen-dosen yang akan menjadi pendamping bagi mahasiswamahasiswa yang memiliki minat untuk mempelajari mengenai kewirausahaan. Pelatihan dimaksud ditawarkan terbuka baik bagi dosen-dosen di PTN maupun PTS. Dari setiap lembaga diberikan kesempatan untuk mengirimkan maksimal sebanyak 5 (lima) orang dosen. Walaupun telah dibuka kesempatan, ternyata tidak dimanfaatkan secara maksimal oleh berbagai perguruan tinggi yang ada. Hal ini terungkap dari target Direktorat Kelembagaan pada tahun 2009 yaitu untuk melatih 1.600 (seribu enam ratus) dosen dengan alokasi dana sebesar Rp 10 milyar. Ternyata, dari sejumlah pelatihan di beberapa kota tercatat hanya 1.146 (seribu seratus enam puluh enam) dosen yang berpartisipasi yaitu 792 dosen PTS dan 354 dosen PTN yang berasal dari 208 PTS dan 82 PTN (Direktorat Kelembagaan, 2009b). Hasil monitoring dan evaluasi yang dilakukan mengungkapkan hal yang memprihatinkan yaitu sekembalinya dosen dari pelatihan ke perguruan tingginya, mereka tidak diberdayakan sepenuhnya. Terkait dengan faktor keberadaan pusat pengelolaan kewirausahaan di perguruan tinggi maka diperlukan adanya ketersediaan sarana dan prasarana, termasuk lokasi khusus atau tempat-tempat atau ruangan atau pusat kewirausahaan di masing-masing kampus atau lembaga perguruan tinggi. Keberadaan komponen dimaksud setidak-tidaknya akan memberikan jaminan bahwa telah ada komitmen dan kemauan dari perguruan tinggi dimaksud untuk menjadi kewirausahaan sebagai program yang esensial bagi mahasiswa-mahasiswanya. Di samping itu, ketersediaan sumber-sumber rujukan juga menjadi komponen prasyarat yang tentu saja harus tersedia di perpustakaan. Data Direktorat Kelembagaan (2010) menunjukkan bahwa PTN maupun PTS telah mengupayakan adanya pusat-pusat kewirausahaan dengan status ada yang masih beroperasi secara aktif maupun mengalami hambatan. Terdapat pusat-pusat pengelola kewirausahaan pada 48 (empat puluh delapan)

Tabel 1 menunjukkan salah satu contoh kesinambungan implementasi Program Mahasiswa Wirausaha (PMW) yang telah dicapai oleh Universitas Sumatera Utara (USU). Ada 2 (dua) hal menarik dari data pada Tabel1 di atas, yaitu (1) penentuan penerima hibah semakin selektif, dan (2) dana yang tersedia bukan menjadi faktor penentu. Selektif terlihat dari jumlah proposal yang didanai pada tahun 2012 hanya 4% (untuk proposal individu) dan 11% (untuk proposal kelompok) dibandingkan pada tahun 2011 yaitu 48.65% (untuk proposal individu) dan 54.80% (untuk proposal kelompok). Dana bukan menjadi penentu pada implementasi PMW di USU dibuktikan oleh ketersediaan anggaran (APBN) yang menurun pada tahun 2012 (Rp 120 juta) tetapi mahasiswa yang berpartisipasi meningkat menjadi 353 orang dibandingkan pada tahun 2011 dengan alokasi anggaran Rp 600 juta tetapi mahasiswa yang terlibat hanya 129 orang. Kebijakan pendidikan kewirausahaan pada pendidikan tinggi yang telah ditetapkan oleh Pemerintah melalui Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi sebagaimana diuraikan di atas merupakan langkah-langkah strategis sebagai jawaban terhadap Kebijakan Pendidikan Kewirausahaan yang telah digariskan dalam RPJMN 2010-2014. Dalam dokumen RPJMN tersebut, terdapat 2 (dua) tujuan prioritas untuk sektor pendidikan, yaitu (1) menciptakan lapangan kerja atau kewirausahaan, dan (2) menjawab tantangan kebutuhan tenaga kerja. Kebijakan dimaksud juga sebagai perwujudan dari Renstra Kemdiknas 2010-2014 dimana pengembangan pendidikan kewirausahaan diarahkan pada pengembangan metodologi pendidikan yang membangun manusia yang berjiwa kreatif, inovatif, sportif, dan wirausaha (Hendarman, 2012). Keberlanjutan kebijakan-kebijakan pendidikan kewirausahaan di perguruan tinggi akan ditentukan oleh beberapa faktor, antara lain oleh: (1) sejauhmana dosen-dosen atau tenaga pengajar yang ada di perguruan tinggi memiliki kompetensi yang memadai untuk menjadi pengajar atau pendamping kegiatan kewirausahaan, dan (2) sejauhmana pusat pengelolaan kegiatan kewirausahaan telah dibentuk di perguruan tinggi. Terkait dengan faktor kesiapan dosen atau tenaga pengajar, Direktorat Jenderal 227


Inovasi Vol. 10 No. 3, September 2013: 221-229

pakar multimedia, kedutaan asing maupun instansi pemerintah. KESIMPULAN Pendidikan kewirausahaan pada perguruan tinggi sudah ditetapkan sejak lama sebagai kebijakan dalam rangka mengurangi angka pengangguran lulusan perguruan tinggi. Kebijakan pendidikan kewirausahaan telah diterapkan pada berbagai perguruan tinggi baik negeri maupun swasta walaupun dengan status yang beragam dalam konteks pelaksanaan dan kesinambungannya serta telah menghasilkan wirausahawan yang berasal dari mahasiswa dengan status masih ada di antara mereka yang terus melanjutkan usahanya walaupun telah menamatkan kuliahnya. Dalam konteks kesinambungan program, perguruan tinggi telah melakukan terobosan-terobosan atau kebijakan internal untuk menyuseskan kebijakan pendidikan kewirausahaan.

universitas negeri, 24 (dua puluh empat) politeknik negeri, dan 4 (empat) institut negeri. Adapun untuk PTS, data yang ada hingga pertengahan 2010, yaitu: (1) wilayah Kopertis I terdapat di 11 PTS; (2) wilayah Kopertis II di 25 PTS; (3) wilayah Kopertis III di 30 PTS; (4) wilayah Kopertis IV di 32 PTS; (5) wilayah Kopertis V di 32 PTS; (6) wilayah Kopertis VI di 12 PTS; (7) wilayah Kopertis VII di 38 PTS; (8) wilayah Kopertis VIII d 9 PTS; (9) wilayah Kopertis IX di 31 PTS; (10) wilayah Kopertis X di 16 PTS; dan (11) wilayah Kopertis XII di 14 PTS (Direktorat Kelembagaan, 2010). Yang perlu dicermati adalah apabila perguruan tinggi sudah memiliki lembaga khusus pengelola kegiatan kewirausahaan adalah sejauh mana lembaga tersebut sudah difungsikan dan diberikan bantuan baik secara pendanaan maupun fasilitasi dari perguruan tingginya, dan sejauhmana lembaga tersebut memberikan kontribusi terhadap kegiatan kewirausahaan baik bagi mahasiswa maupun civitas akademika Salah satu perguruan tinggi yang dapat dijadikan patok-duga (benchmarking) adalah Universitas Sumatera Utara (USU) dengan mempertimbangkan beberapa terobosan yang telah dilakukan. Pertama, USU secara khusus telah membentuk Student Entrepreneurship Center (SEC) yang menjadi wadah untuk menjamin pengelolaan pendidikan kewirausahaan di kampus USU. Kedua, USU melalui SEC tetap melakukan pembinaan terhadap mahasiswa yang pernah menjadi penerima hibah PMW untuk dapat mengikuti kegiatan kewirausahaan baik di lingkungan Universitas Sumatera Utara maupun di lingkungan luar kampus seperti dalam pameran/expo yang diselenggarakan oleh BUMN, pihak swasta maupun instansi pemerintah lainnya. Di samping itu, mahasiswa PMW yang telah memiliki usaha satu tahun mendapat rekomendasi dan pendampingan dalam mengikuti kompetisi-kompetisi tingkat lokal maupun nasional seperti Wirausaha Muda Mandiri oleh Bank Mandiri. Ketiga, SEC USU menyelenggarakan business-gathering yang memungkinkan mahasiswa PMW dapat berbagi pengalaman dan pengetahuan dalam menjalankan bisnis dengan praktisi secara langsung. Pada kesempatan tersebut dihadirkan narasumber dari berbagai kalangan seperti pengusaha, pakar dalam bidang hukum,

REKOMENDASI 1. Sebagai bahan evaluasi keberlanjutan dukungan program dari pemerintah, perguruan tinggi yang paling efisien dalam penggunaan dana dan dengan jumlah mahasiswa peserta program yang lebih banyak terlibat seyogianya mendapatkan jumlah hibah yang lebih besar secara proporsional pada tahun berikutnya. Sebaliknya, perguruan tinggi yang tidak efisien dalam penggunaan dana seyogianya dikurangi jumlah hibahnya secara proporsional pula. 2. Terkait kemungkinan keterbatasan anggaran pada masa yang akan datang, perguruan tinggi perlu melakukan sinergi dan kordinasi yang lebih intensif dengan berbagai pemangku kepentingan (stakeholders) terkait, termasuk dalam pemetaan kompetensi yang diperlukan dan pemasaran dari bentuk usaha yang dilakukan oleh mahasiswa. 3. Pembelajaran Kewirausahaan di perguruan tinggi seyogianya menjadi kewenangan dari perguruan tinggi untuk menentukan berbagai alternatif baik sebagai mata kuliah sendiri, atau terintegrasi dalam mata-mata kuliah tertentu, atau dapat juga sebagai bagian dari program pengabdian kepada masyarakat.

228


Kajian Kebijakan Kewirausahaan Pada Pendidikan Tinggi (Hendarwan)

n/kementerian-negara-koperasi-a-ukm/485ukm/10924-minimnya-jumlah-pengusaha-ancamperekonomian.html (17 Desember 2012) Student Entrepreneurship Center (SEC), Universitas Sumatera Utara. 2013. Laporan Kemajuan Program Mahasiswa Wirausaha (PMW) Universitas Sumatera. (tidak dipublikasikan). Medan: Universitas Sumatera Utara.

DAFTAR PUSTAKA Badan Pusat Statistik. 2013. Berita Resmi Statistik, Badan Pusat Statistik No. 35/05/Tahun. XVI, 6 Mei 2013 “Keadaan Ketenagakerjaan Februari 2013”. http://www.bps.go.id/brs_file/naker_06mei13.pdf Badan Pusat Statistik. 2012. Berita Resmi Statistik, Badan Pusat Statistik No. 35/05/Th. XV, 7 Mei 2012 “Keadaan Ketenagakerjaan Februari 2012”. http://www.bps.go.id/brs_file/naker_07mei12.pdf

Thurow, Lester C. 1999. Building Wealth: The New Rules for Individuals, Companies, and Nations in a Knowledge-Based Economy. New York: HarperCollins Publishers.

Ciputra. 2008. Quantum Leap: Bagaimana Entrepreneurship Dapat Mengubah Masa Depan Anda dan Masa Depan Bangsa. Jakarta: Percetakan PT Gramedia.

UCAPAN TERIMA KASIH Penulis menyampaikan penghargaan dan terima kasih kepada Sdr. Arwina Sufika, S.E., M.Si selaku Dosen Kewirausahaan dan Koordinator Departemen Pelatihan Bisnis UKM di SEC USU (Universitas Sumatera Utara) yang telah memberikan data dan informasi terkait implementasi pendidikan kewirausahaan pada Universitas Sumatera Utara (USU).

Cohen, Louis, Manion, Lawrence, dan Morrison, Keith. 2007. Research Methods in Education. New York: Routledge. Cooper, Harris. 2010. Research Synthesis and MetaAnalysis: A Step-by-Step Approach (4th ed.). London: SAGE Publications Ltd. Direktorat Kelembagaan. 2010. Data Kewirausahaan di Pendidikan Tinggi (laporan tidak dipbulikasikan). Jakarta: Direktorat Kelembagaan, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Kementerian Pendidikan Nasional. Direktorat Kelembagaan, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Kementerian Pendidikan Nasional. 2009a. Panduan Program Mahasiswa Wirausaha (PMW). Jakarta: Direktorat Kelembagaan. Direktorat Kelembagaan, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Kementerian Pendidikan Nasional. 2009b. Laporan Kegiatan PMW 2009 (tidak dipublikasikan). Jakarta: Direktorat Kelembagaan. Direktorat Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Kementerian Pendidikan Nasional. 2010. Pedoman Program Kreativitas Mahasiswa (PKM). Jakarta: Direktorat Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat. Hendarman. 2012. Kebijakan Pendidikan Indonesia. Surabaya: Jenggala Pustaka Utama.

di

Kartawan. 2012. Kewirausahaan untuk Para Calon Entrepreneur. Bandung: Penerbit Guardaya Intimarta. Kementerian Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Republik Indonesia. 2012. “Minimnya Jumlah Pengusaha Ancam Perekonomian”. Dari http://indonesia.go.id/in/kementerian/kementeria

229


Pedoman Penulisan Naskah Ilmiah Jurnal INOVASI Jurnal INOVASI memuat karya tulis ilmiah hasil penelitian atau tinjauan kepustakaan dalam bidang pemerintahan dan kemasyarakatan, sosial budaya, ekonomi dan pembangunan, sumberdaya alam dan maritim sebagai bahan kebijakan dan wawasan berpolitik. Jurnal INOVASI terbit empat kali dalam setahun setiap bulan Maret, Juni, September dan Desember.

g.

h.

Naskah yang akan diterbitkan dalam Jurnal INOVASI Balitbang Provinsi Sumatera Utara, harus memenuhi ketentuan berikut : Bentuk Naskah 1. Naskah berupa karya asli yang belum pernah dipublikasikan di tempat lain dan tidak sedang diajukan ke tempat lain. 2. Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris sesuai dengan kaidah masingmasing bahasa yang digunakan. Komponen Naskah Komponen utama naskah wajib mencantumkan dan memuat hal-hal berikut: a. Judul, dalam bahasa Indonesia disertai dengan terjemahannya dalam bahasa Inggris, ditulis dengan jelas menggambarkan isi tulisan. b. Identitas Penulis, dimuat di bawah judul tulisan, memuat nama, alamat korespondensi dan e-mail. c. Abstrak ditulis dalam Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris beserta kata kunci sebanyak 37. Abstrak ditulis dalam 1 alinea berisi latar belakang masalah, tujuan penelitian, hasil, dan rekomendasi. Panjang abstrak dibatasi 200450 kata. d. Pendahuluan, tidak menggunakan subjudul, berisi penjelasan padat dan ringkas tentang latar belakang dilakukannya penelitian, studi pustaka yang mendukung dan relevan, serta tujuan penelitian. e. Metode berisikan disain penelitian yang digunakan, lokasi penelitian, populasi, sampel, sumber data, instrumen, pendekatan terhadap analisis data serta teknik analisis/ uji statistik yang digunakan. Bagian metode ditulis tanpa subjudul. f. Hasil dan Pembahasan, adalah temuan penelitian yang disajikan apa adanya tanpa pendapat penulis, kemudian dilanjutkan dengan bahasan argumentatif-interpretatif tentang jawaban terhadap hasil penelitian yang ditulis secara sistematis sesuai tujuan penelitian dan relevan dengan penelitian

i.

j.

terdahulu. Bagian Hasil dan Pembahasan ditulis tanpa subjudul. Kesimpulan menjawab tujuan penelitian tanpa melampauinya. Sedapat mungkin bagian kesimpulan ditulis dalam bentuk narasi. Rekomendasi berisi usulan-usulan kebijakan yang memungkinkan dihasilkan, berisi bentuk dan telaahannya untuk dilaksanakan mengacu pada prinsip tepat-guna, logis dan relevan. Jika tidak memungkinkan dalam bentuk narasi, rekomendasi dapat dibuat dalam bentuk butir-butir rekomendasi. Daftar Pustaka menuliskan sesuai dengan acuan model Harvard (lihat contoh), berurutan sesuai abjad. Jumlah kepustakaan untuk tulisan hasil penelitian minimum 10 rujukan sementara untuk Tinjauan Kepustakaan minimum 20 rujukan. Ucapan Terima Kasih, jika ada, merupakan wujud penghargaan kepada pihak-pihak yang terlibat dalam penelitian atau penulisan naskah.

Tabel dan Gambar Tabel, gambar dan grafik dapat terbaca dengan jelas serta diberi penjelasan yang memadai, mudah dipahami dan proporsional. Judul tabel diletakkan di atas tabel dan judul gambar di bawah gambar. Tabel dan atau gambar yang diacu dari sumber lain harus disebutkan, kecuali merupakan hasil penelitian penulisnya sendiri. Peta yang dicantumkan dalam tulisan harus dibuat dalam resolusi yang tinggi sehingga memudahkan pencetakkan dan menampilkan hasil yang baik. Penulis yang mencantumkan peta diminta untuk membayar tambahan biaya pencetakan peta dimaksud. Contoh Penulisan Daftar Pustaka Buku Abel, R. 2004. Revolusi Kesehatan Mata: Pencegahan dan Pengembalian Masalah Penglihatan. New York: Kensington Book Chaniago, A. 2010. Studi Pustaka dan Konseptualisasi Penelitian. Dalam: Zaluchu, F. Metodologi Penelitian Kesehatan. Bandung: Citapustaka Media, hal 79-92. Artikel dari Jurnal Ang, L. dan Taylor, B. 2005. Memanajemen Keuntungan Konsumen Menggunakan Matriks Portofolio. Jurnal Pemasaran dan Manajemen Konsumen Strategik 12 (5), hal 298-304 Bagian di dalam buku Ballinger, A. dan Clark, M. 2001. Nutrisi, Pengendalian Nafsu Makan dan Penyakit. Dalam: Payne-James, J. dkk.


editor. Dukungan Artifisial bagi Praktik Klinik. Edisi kedua. London: Greenwich Medical, hal 225-239 Laporan Komisi Eropa. 2004. Laporan Pendahuluan terhadap Implementasi dari Strategi Pemasaran Internal 2003-2006. Luxemburg: Unit Publikasi Komisi Eropa. Konferensi Fiedelius, H.C. 2000. Miopi dan Penurunan Visual: Aspek Global. Dalam: Lin, L.L.K. dkk. editor. Miopia Terbarukan II: Prosiding Konferensi Internasional ke-7. Taipei, 17-20 Nopember 1998. Tokyo: Springer, hal 31-37. Tesis Garcia-Sierra, A. 2000. Investigasi Penyebab Ca-Serviks pada Wanita Usia Subur di Perkotaan. Tesis PhD, Universitas Indonesia. Jurnal Artikel Elektronik (yang diunduh) Merchant, A.T. 2009. Diet dan Aktifitas Fisik pada AnakAnak di Kawasan Kumuh Perkotaan: sebuah Studi Cross Sectional. Jurnal Nutrisi [Online] Edisi 6. Dari: http://www.nutritionj.com/content/pdf/1475-28916.1.pdf [Diakses: 10 Mei 2007]. Web Page (yang dibaca) Thompson, B. 2006. Mengapa Balita Butuh ASI [Online]. Dari: http://news.bbc.co.uk/1/hi/health/459876 [Diakses: 10 Mei 2007]. Depkes RI. 2006. Panduan Imunisasi [Online]. Dari: http://www.depkes.go.id/bayi_panduan_imunisasi/2345 [Diakses: 19 Februari 2011].

Penulisan Naskah dituliskan dengan menggunakan Times New Roman 12, maksimal 20 halaman A4 spasi ganda, ditulis dengan program komputer Microsoft Word. Prosedur Naskah Naskah yang masuk hendaknya diterima 2 (dua) bulan sebelum waktu penerbitan untuk di-review oleh anggota dewan redaksi dan reviewer (mitra bestari) yang ditunjuk oleh Dewan Redaksi. Dewan Redaksi berhak menolak naskah ilmiah yang dianggap tidak layak muat di Jurnal Inovasi. Naskah diserahkan dalam 2 (dua) media yaitu hardcopy dan softcopy yang keduanya harus memuat isi yang sama. Nama file, judul dan nama penulis naskah dituliskan pada label CD. Pengiriman naskah ke alamat redaksi melalui surat elektronik ke : inovasibpp@gmail.com atau melalui pos ke : Dewan Redaksi Jurnal INOVASI Badan Penelitian Dan Pengembangan Provinsi Sumatera Utara Jl. Sisingamangaraja No. 198 Medan 20126 Redaksi berhak menolak naskah yang isi dan formatnya tidak sesuai dengan pedoman

penulisan naskah di atas dan redaksi tidak berkewajiban untuk mengembalikan naskah tersebut. Setiap penerimaan atau penolakan naskah akan disertai dengan surat resmi yang ditandatangani oleh Dewan Redaksi dan dikirimkan kepada penulis. Setiap penulis yang karya tulisnya telah diterbitkan, akan mendapat satu buah cetak lepas dan satu buah full print. Hak Cipta Setiap penulis menyetujui untuk mengalihkan hak ciptanya ke Jurnal Inovasi jika naskahnya diterima untuk diterbitkan.


Alamat Redaksi : BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PROVINSI SUMATERA UTARA Jl. Sisingamangaraja No. 198 Medan 20126 Tel. (061) 7866225; 7883016; Fax. (061) 7866248 Email : inovasibb@gmail.com


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.