Jurnal inovasi juni 2013

Page 1

ISSN 1829-8079

INOVASI JURNAL POLITIK DAN KEBIJAKAN

Vol. 10 No. 2, Juni 2013

Analisis Per mintaan Air Minum Isi Ulang di Kota Pematang Siantar (Zahari Zen, Deri Sutraningsih) Analisis Faktor -Faktor Minat Beli Konsumen Ter hadap Pr oduk Ramah Lingkungan (Nobrya Husni, Porman Juanda Marpomari Mahulae) Kondisi Dan Aspir asi Nelayan Tentang Kesejahter aan Sosial Di Pr ovinsi Sumater a Utar a (Dwi Endah Purwanti, Dumora Jenny Margaretha Siagian, Jonni Sitorus) Kajian Kar akter istik Load Factor Dan Headway Pada Sistem Angkutan Massal Sebagai Solusi Kemacetan Di Pr ovinsi Sumater a Utar a (Anton Parlindungan Sinaga) Kajian Pener apan Manajemen Sumber Daya Manusia Di SMP Syafiyyatul Amaliyyah Medan (Jonni Sitorus) Per spektif Dan Per an Ilmu Pengetahuan Dan Teknologi Dalam Membangun Kemandir ian Bangsa Pada Tatanan Negar a Mar itim (Prakoso Bhairawa Putera) Kajian Kebijakan Bantuan Keuangan Par tai Politik: Mencar i For mat Besar an Yang Ideal (Sorni Paskah Daeli)

Diterbitkan oleh :

Badan Penelitian dan Pengembangan Provinsi Sumatera Utara Inovasi Vol. 10 No. 2

Hal. 76-154

Medan Juni 2013

ISSN 1829 - 8079

Terakreditasi sebagai Majalah Berkala Ilmiah dengan Nomor Akreditasi: 532/AU2/P2MI-LIPI/04/2013


Volume 10, Nomor 2

Juni 2013

ISSN 1829-8079

Jurnal INOVASI adalah jurnal ilmiah bidang ilmu politik dan kebijakan yang terakreditasi dengan Nomor Akreditasi: 532/AU2/P2MI-LIPI/04/2013 berdasarkan Surat Keputusan Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Nomor : 377/E/2013 tanggal 16 April 2013 Jurnal INOVASI sebagai media litbang Provinsi Sumatera Utara memuat karya tulis ilmiah hasil penelitian atau tinjauan kepustakaan dalam bidang pemerintahan dan kemasyarakatan, sosial budaya, ekonomi dan pembangunan, sumberdaya alam dan maritim sebagai bahan kebijakan dan wawasan berpolitik yang terbit empat kali dalam setahun setiap bulan Maret, Juni, September dan Desember.

Penasehat Penanggung Jawab Pemimpin Redaksi Dewan Redaksi

Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Provinsi Sumatera Utara Sekretaris Badan Penelitian dan Pengembangan Provinsi Sumatera Utara Prof. Dr. Marlon Sihombing, MA (Kebijakan Publik, Universitas Sumatera Utara) Prof. Dr. Badaruddin, M.Si (Sosial dan Politik, Universitas Sumatera Utara) Prof. Dr. Ir. Nurhayati, MP (Pertanian, Universitas Islam Sumatera Utara) Prof. Dr. H. Syaiful Sagala, S.Sos, M.Pd (Pendidikan, Universitas Negeri Medan) Dr. Ir. Zahari Zein, M.Sc (Kesejahteraan Sosial, Universitas Sumatera Utara) Ir. E. Harso Kardhinata, M.Sc (Ekonomi Pertanian, Universitas Medan Area) Iskandar Muda, SE, M.Si., Ak (Ekonomi, Universitas Sumatera Utara) Fotarisman Zaluchu, SKM, MSi, MPH (Kesehatan, BPP Provinsi Sumut)

Redaksi Pelaksana

Drs. Darwin Lubis, MM Nobrya Husni, ST Silvia Darina, SP

Tata Usaha dan Sirkulasi

Jonni Sitorus, ST, M.Pd Dumora Jenny Margaretha Siagian, ST Porman Juanda Marpomari Mahulae, ST Anton Parlindungan Sinaga, ST

Mitra Bestari Volume 10, Nomor 2, Juni 2013 Ilmi Abdullah (Teknik, Institut Teknologi Medan) Djanius Djamin (Pendidikan, Universitas Negeri Medan) Gunarto (Kesejahteraan Sosial, B2P3KS Jogjakarta) Gustam Lubis (Teknik, Institut Teknologi Medan) Harmein Nasution (Teknik Management, Universitas Sumatera Utara) Mhd. Assad (Perencanaan Pembangunan, UISU) Suharta (Pendidikan, Universitas Negeri Medan)

Alamat Penerbit : BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PROVINSI SUMATERA UTARA Jl. Sisingamangaraja No. 198 Medan 20126 Tel. (061) 7866225; 7883016 - Fax. (061) 7866248 Website : http://balitbang.sumutprov.go.id Email : inovasibpp@gmail.com


PENGANTAR REDAKSI

Pembaca yang terhormat, Jurnal Inovasi kembali hadir ke hadapan anda sekalian, komunitas ilmiah dan penikmat perkembangan teknologi. Kali ini, pada Edisi Juni 2013 ini kami memuat beragam kajian dan termasuk tinjauan kepustakaan. Permasalahan air minum di salah satu wilayah di Provinsi Sumatera Utara diangkat untuk mengetahui persepsi masyarakat. Demikian juga mengenai persepsi masyarakat, mengenai produk ramah lingkungan. Sebagai kelompok masyarakat yang terpinggirkan, kami mencoba mengangkat masalah aspirasi mereka. Perhitungan teknologi untuk mengurangi kemacetan di Provinsi Sumatera Utara juga menjadi salah satu tulisan yang disajikan pada edisi ini, selain kajian pengelolaan SDM di salah satu SMP. Dua tulisan kajian pustaka, mengenai pembangunan dan kemandirian bangsa melalui IPTEK dan kemandirian keuangan parpol melengkapi hasil-hasil penelitian di atas. Harapan kami, dengan terbitnya edisi kali ini, para pembaca dapat memperoleh informasi dan manfaat dari pengetahuan baru. Terima kasih dan selamat membaca. -Dewan Redaksi-


Volume 10, Nomor 2

Juni 2013

ISSN 1829-8079

bebas.. Lembar abstrak ini boleh diperbanyak/dicopy Kata kunci yang ddiicantumkan adalah istilah bebas tanpa ijin dan biaya. DDC 663 Zahari Zen, Deri Sutraningsih Analisis Permintaan Air Minum Isi Ulang Di Kota Pematang Siantar Inovasi, Jurnal Politik dan Kebijakan, Juni 2013, Vol 10, No. 2, halaman 76-84 Penelitan ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh harga AMIU, jumlah anggota rumah tangga, pendapatan rumah tangga, pengeluaran rekening PDAM bulanan terhadap permintaan AMIU (AMIU) di Kota Pematang Siantar dan menganalisis persepsi masyarakat Kota Pematang Siantar terhadap AMIU. Hasil penelitian menunjukkan bahwa harga AMIU berpengaruh negatif dan signifikan sedangkan harga PDAM bulanan tidak signifikan terhadap permintaan AMIU. DDC 628 Nobrya Husni, Porman Juanda Marpomari Mahulae Analisis Faktor-Faktor Minat Beli Konsumen Terhadap Produk Ramah Lingkungan Inovasi, Jurnal Politik dan Kebijakan, Juni 2013, Vol 10, No. 2, halaman 85-96 Tujuan penelitian ini adalah: untuk mengetahui potensi dan prospek pengembangan produk-produk ramah lingkungan di Sumatera Utara; mengetahui faktor-faktor yang mendukung konsumen untuk membeli produk ramah lingkungan di Sumatera Utara; mengetahui produk-produk ramah lingkungan apa saja di Sumatera Utara yang dapat membangun citra masyarakat untuk cinta produk Indonesia; serta, mengetahui kebijakan pengembangan produk-produk ramah lingkungan di Sumatera Utara. Dari penelitian yang telah dilakukan terlihat bahwa kondisi pasar produk ramah lingkungan di Sumatera Utara khususnya produk organik masih sangat terbatas karena masih rendahnya kesadaran konsumen untuk membeli produk organik, hal ini juga terlihat dengan masih sedikitnya perusahaan yang memproduksi produk organik. DCC 362.9162 Dwi Endah Purwanti, Dumora Jenny Margaretha Siagian, Jonni Sitorus Kondisi Dan Aspirasi Nelayan Tentang Kesejahteraan Sosial Di Provinsi Sumatera Utara Inovasi, Jurnal Politik dan Kebijakan, Juni 2013, Vol 10, No. 2, halaman 97-110 Penelitian ini dilaksanakan untuk melihat kondisi dan aspirasi nelayan terhadap kesejahteraan sosial. Dengan mengetahui kondisi dan aspirasi nelayan tersebut diharapkan dapat memberi masukan dalam merumuskan program dan kegiatan yang sesuai dengan keinginan dan kebutuhan para nelayan.

Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa tingkat kehidupan nelayan masih dikategorikan rendah. Sedangkan aspirasi sosial dalam persepktif nelayan di Sumatera Utara adalah tata kehidupan nyaman, tenang, dan aman yang memungkinkan kelancaran berusaha untuk memenuhi kebutuhan material, spiritual, dan sosial. Nelayan juga mendefinisikan sukses apabila mereka memiliki rumah, bisa menyekolahkan anak, memiliki sampan sendiri dan tidak sakit-sakitan. DDC 625.7 Anton Parlindungan Sinaga Kajian Karakteristik Load Factor Dan Headway Pada Sistem Angkutan Massal Sebagai Solusi Kemacetan Di Provinsi Sumatera Utara Inovasi, Jurnal Politik dan Kebijakan, Juni 2013, Vol 10, No. 2, halaman 111-119 Penelitian ini mengkaji tentang karakteristik sistem transpotasi massal (Rapid Transportation) sebagai solusi kemacetan transportasi perkotaan di Provinsi Sumatera Utara. Pada dasarnya pemakaian kendaraan angkutan umum, penumpang menghendaki tingkat pelayanan yang memadai yang meliputi waktu tempuh, waktu tunggu, keamanan dan kenyamanan yang terjamin selama dalam perjalanan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa karakteristik pengguna transportasi, sebagian besar pengguna adalah captive user yang rutin menggunakan angkutan kota adalah pelajar atau mahasiswa. Bangkitan dan tarikan yang ditimbulkan zona sangat dipengaruhi oleh waktu dan hari. Untuk daerah tertentu memiliki karakteristik bangkitan/tarikan yang berbeda pada hari dan waktu yang berbeda pula. Volume bangkitan dan tarikan pergerakan juga mempengaruhi tingkat pengisian angkutan kota DDC 658.3 Jonni Sitorus Kajian Penerapan Manajemen Sumber Daya Manusia Di SMP Syafiyyatul Amaliyyah Medan Inovasi, Jurnal Politik dan Kebijakan, Juni 2013, Vol 10, No. 2, halaman 120-128 Tujuan penelitian ini adalah: untuk mengetahui perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi sumber daya manusia di SMP Syafiyyatul Amaliyyah Medan. Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa: 1) perencanaan SDM tertuang pada beberapa buku/laporan sekolah seperti: Rencana Kerja Sekolah (RKS); dan program sekolah; 2) pelaksanaan SDM diarahkan pada rekrutmen dan seleksi guru dan pegawai administrasi, pelaksanaan supervisi, dan peningkatan kompetensi guru dan pegawai dalam penguasaan bahasa Inggris dan teknologi; 3) pengorganisasian SDM sekolah dilakukan sangat sistematis dengan melibatkan beberapa pihak, khususnya stakeholder (pengambil


kebijakan).; 4) pengawasan SDM diarahkan untuk penjaminan mutu/kualitas program kerja sekolah; dan 5) Evaluasi SDM dilakukan untuk mengukur kinerja guru dan pegawai DDC 607.2598 Prakoso Bhairawa Putera Perspektif Dan Peran Ilmu Pengetahuan Dan Teknologi Dalam Membangun Kemandirian Bangsa Pada Tatanan Negara Maritim Inovasi, Jurnal Politik dan Kebijakan, Juni 2013, Vol 10, No. 2, halaman 129-140 Kemandirian adalah satu sikap yang mengutamakan kemampuan diri sendiri dalam mengatasi pelbagai masalah demi mencapai satu tujuan, tanpa menutup diri terhadap pelbagai kemungkinan kerjasama yang saling menguntungkan. Kekayaan dari sektor kelautan dan perikanan Indonesia yang besar masih belum dimanfaatkan bagi pembangunan nasional secara maksimal dan cenderung terabaikan. Dalam kerangka Negara Maritim, membangun kemandirian dimulai dari penempatkan character building and nation building sebagai bangsa yang memiliki orientasi pembangunan negara Archipelagic Based Oriented National Development, lalu diikuti dengan strategi ekonomi keluar dari keterpurukan dengan menjadikan sektor kelautan dan perikanan sebagai sektor andalan, kemudian konsistensi implementasi, dan menciptakan lingkungan sosial dan politik yang kondusif, serta low inforcement dan pengamanan wilayah laut. DDC 324.2598 Sorni Paskah Daeli Kajian Kebijakan Bantuan Keuangan Partai Politik: Mencari Format Besaran Yang Ideal Inovasi, Jurnal Politik dan Kebijakan, Juni 2013, Vol 10, No. 2, halaman 141-154 Tujuan kajian ini adalah untuk mendapatkan format besaran yang ideal terhadap bantuan keuangan pemerintah kepada partai politik. Hasil kajian menunjukkan bahwa agar peran partai politik lebih optimal, maka besaran bantuan keuangan partai politik yang ada saat ini masih perlu penambahan sampai pada titik toleransi, di mana partai politik tidak mencari tambahan pemasukan yang tidak legal


Volume 10, Nomor 2

June 2013

ISSN 1829-8079

The discriptors given are keywords. The abstrack sheet may by reproduced/ copied without permission or charge DDC 663 Zahari Zen, Deri Sutraningsih Analysis Of Refill Drinking Water Demand In The Pematang Siantar City Inovasi, Journal of Politics and Policy, June 2013, Vol 10, No. 2, p. 85-96 The research aims at analysis of the influence of drinking water refill (AMIU) price, number of household members, household income, monthly family expenses for PDAM water on (AMIU) demand in Pematang Siantar and to analysis of public perception towards AMIU expansion. The results show that the price of AMIU is negative and significant while the monthly water utility prices is not significant to AMIU demand. DDC 628 Nobrya Husni, Porman Juanda Marpomari Mahulae Factors Analysis of Customer’s Buying Interest Against Green Product Inovasi, Journal of Politics and Policy, June 2013, Vol 10, No. 2, p. 85-96 The purpose of this study is to determine the potential and prospects of the development of environmentally friendly products in North Sumatra; to define the factors that support consumers to buy environmentally friendly products in North Sumatra; to define environmentally friendly products in North Sumatra anything that can build image of Indonesian people to use the product, as well as, determine policy development ecofriendly products in North Sumatra. Result of the research shows that environmentally friendly product market conditions in North Sumatra in particular organic products is still very limited due to the low awareness of consumers to buy organic products, it is also seen with low number of companies that produce organic products DDC 362.9162 Dwi Endah Purwanti, Dumora Jenny Margaretha Siagian, Jonni Sitorus Condition And Aspiration Of Fishermen For Social Welfare At North Sumatera Province Inovasi, Journal of Politics and Policy, June 2013, Vol 10, No. 2, p. 97-110 This study was conducted to see the condition and aspiration of the fishermen for social welfare. By knowing the conditions and aspirations of fishermen are expected to provide input in the formulation of programs and activities in accordance with the wishes and needs of the fishermen. Results of the study showed that the level of fishermen life is still considered as a low life. While social aspirations in perspective fishermen in North Sumatra is the livelihood comfortable, quiet, and safe which

enables effort fluency to meet the needs of material, spiritual, and social. Fishermen also define success if they have a home, can send their children to school, have their own boat and not sickly. DDC 625.7 Anton Parlindungan Sinaga The Study Of Load Factor Characteristics And Headway Of Mass Rapid Transportation System Solutions For Traffic In North Sumatra Province Inovasi, Journal of Politics and Policy, June 2013, Vol 10, No. 2, p. 111-119 This study examines the characteristics of Mass Rapid Transportation as urban transportation congestion solutions in North Sumatra Province. The results showed that the characteristics of the transportation users, most users are captive users who regularly use public transportation is a student or college. Generation and attraction zones caused strongly influenced by time and day. For a certain region has a characteristic rise / pull on different days and different times. Generation volume and pull movements also affect the charge level of urban transportation. DDC 658.3 Jonni Sitorus Studies Of Human Resource Management Implementation In SMP Syafiyyatul Amaliyyah Medan Inovasi, Journal of Politics and Policy, June 2013, Vol 10, No. 2, p. 120-128 The purpose of this study is: to determine planning, organizing, implementing, monitoring, and evaluation of human resources in SMP Syafiyyatul Medan. From the result, it can be concluded that: 1) HR planning contain several books/school reports such as: Work Plan School, and school programs. Planning focused on human resource development of teachers and staff as well as increased school infrastructure; 2) The HR implementation directed the recruitment and selection of teachers and administrative staff, implementation supervision, and improving the competence of teachers and employees in mastery English and technology; 3) The school HR organization performed very systematically involving multiple parties, especially the stakeholders (policy makers).; 4) The HR supervision directed to quality assurance/quality of schoolwork programs; 5) Evaluation of human Resources conducted to measure the performance of teachers and employees. DDC 607.2598 Prakoso Bhairawa Putera The Perspective And Contribution Of Science And Technology To Build A National Self Reliance In The Framework Of The Maritime Nation Inovasi, Journal of Politics and Policy, June 2013, Vol 10, No. 2, p. 129-140


Nation self reliance is an attitude that promotes self-dependency in addressing various issues in order to achieve a goal, without covering themselves against the various possibilities of mutually beneficial cooperation. potential of Indonesian maritime and fisheries sector are still largely used for national development to the fullest and tend to ignore In the framework of the Maritime Nation, construct to nation self reliance starts from repositioning character building and nation building as a nation which has the country's development orientation Archipelagic Oriented Based National Development, followed by an economic strategy out of the slump by making the marine and fisheries sector as the leading sectors, then the consistency of implementation, and create an environment conducive social and political, as well as securing low inforcement and marine areas DDC 324.2598 Sorni Paskah Daeli Financial Aid Policy Studies Political Party: To Find An Ideal Amount Inovasi, Journal of Politics and Policy, June 2013, Vol 10, No. 2, p. 141-154 The purpose of this study was to gain scale format is ideal for government financial assistance to political parties The findings showed that the role of political parties in order to be optimal, then the amount of financial aid a political party that there is still need to increase to the point of tolerance, where political parties are not looking for additional income that is not legal


Volume 10, Nomor 2

Juni 2013

ISSN 1829-8079

DAFTAR ISI Halaman Analisis Permintaan Air Minum Isi Ulang di Kota Pematang Siantar

(Zahari Zen, Deri Sutraningsih)

76-84

Analisis FaktorFaktor-Faktor Minat Beli Konsumen Terhadap Produk Ramah Lingkungan

(Nobrya Husni, Porman Juanda Marpomari Mahulae) Kondisi Dan Aspirasi Nelayan Tentang Kesejahteraan Sosial Di Provinsi Sumatera Utara

85-96 97-100

(Dwi Endah Purwanti, Dumora Jenny Margaretha Siagian, Jonni Sitorus) Kajian Karakteristik Load Factor Dan Headway Pada Sistem Angkutan Massal Sebagai Solusi Kemacetan Di Provinsi Sumatera Utara

101-119

(Anton Parlindungan Sinaga) Kajian Penerapan Manajemen Sumber Daya Manusia Di SMP Syafiyyatul Amaliyyah Medan

(Jonni Sitorus)

120-128

Perspektif Dan Peran Ilmu Pengetahuan Dan Teknologi Dalam Membangun Kemandirian Bangsa Pada Tatanan Negara Maritim

(Prakoso Bhairawa Putera)

129-140

Kajian Kebijakan Bantuan Keuangan Partai Politik: Mencari Format Besaran Yang Ideal

(Sorni Paskah Daeli)

141-154


Inovasi Vol. 10 No. 2, Juni 2013: 76-84

Hasil Penelitian ANALISIS PERMINTAAN AIR MINUM ISI ULANG DI KOTA PEMATANG SIANTAR

(ANALYSIS OF REFILL DRINKING WATER DEMAND IN THE PEMATANG SIANTAR CITY) CITY) Zen n, Deri Sutraningsih Zahari Ze Universitas Sumatera Utara Jl. Dr. Mansyur, Medan; E-mail: zahari.zen@gmail.com

Diterima: 8 April 2013; Direvisi: 22 Mei 2013; Disetujui: 12 Juni 2013

ABSTRAK Masalah penyediaan kebutuhan air minum menjadi isu yang sangat penting di kota-kota besar di Indonesia. Kota Pematang Siantar adalah salah satu kota dengan peningkatan jumlah penduduk yang cukup tinggi. Sementara penyediaan air bersih oleh PDAM sangat terbatas. Keterbasan penyediaan air bersih telah memicu persaingan usaha-usaha kecil air isi ulang. Penelitan ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh harga AMIU, jumlah anggota rumah tangga, pendapatan rumah tangga, pengeluaran rekening PDAM bulanan terhadap permintaan AMIU (AMIU) di Kota Pematang Siantar dan menganalisis persepsi masyarakat Kota Pematang Siantar terhadap AMIU. Data primer bersumber dari masyarakat seluruh kecamatan yang ada di Kota Pematang Siantar yang memenuhi kriteria yakni telah berlangganan AMIU dan PDAM masing-masing minimal selama 6 bulan berturut-turut. Sample diambil secara purposive random sampling dengan jumlah 200 responden. Analisis data dilakukan secara kuantitatif dan kualitatif. Untuk analisis data kuantitatif dilakukan dengan menggunakan regresi berganda metode OLS (Ordinary Least Square) dengan menggunakan bantuan program Eviews 5.1. Hasil penelitian menunjukkan bahwa harga AMIU berpengaruh negatif dan signifikan sedangkan harga PDAM bulanan tidak signifikan terhadap permintaan AMIU. Hal ini disebabkan karena tarif PDAM diperlakukan sama pada setiap range penggunaan air minum jadi harga hanya berbeda pada tiga kelas penggunaan air. Sedangkan jumlah anggota keluarga dan jumlah pendapatan rumahtangga berpengaruh positif dan signifikan terhadap permintaan AMIU Pematang Siantar. Persepsi masyarakat pelanggan AMIU di Kota Pematang Siantar mendukung dan menyambut baik berkembangnya AMIU. Dari segi harga AMIU relatif terjangkau dan mudah mendapatkannya. Adanya ketidakpuasan pelanggan terhadap PDAM bukan dari segi kebersihan dan kesehatan, melainkan lebih dirasakan pelanggan pelayanan yang kurang baik seperti sering matinya aliran air yang dan respon yang lamban dari petugas PDAM sehingg membuat pelanggan beralih sebagian ke AMIU. Kata Kunci: permintaan AMIU, PDAM, persepsi masyarakat konsumen.

ABSTRACT The problem of providing drinking is very important issue in big cities in Indonesia. Siantar city is one of the cities with the increase in population that need clean water. While the water supply by PDAM is very limited. Limitation of water supply has fueled competition of small businesses of refill clean water. Therefore, the study of the market potential for water refills and the problems need to be studied. The research aims at analysis of the influence of drinking water refill (AMIU) price, number of household members, household income, monthly family expenses for PDAM water on (AMIU) demand in Pematang Siantar and to analysis of public 76


Analisis Permintaan Air Minum Isi Ulang Di Kota Pematang Siantar (Zahari Zen dan Deri Sutraningsih)

perception towards AMIU expansion. The source of primary data is taken from the entire districts in Pematang Siantar city that meet with the specified criteria i.e. respondents who have been customer of AMIU for at least 6 consecutive months. 200 Samples have been taken with the purposive random sampling method. Interview with customers were conducted by using questionnaire. The data and information were analyzed quantitatively and qualitatively. For quantitative analysis is performed by using multiple regression equation of OLS (Ordinary Least Square) with Eviews 5.1 program. The results show that the price of AMIU is negative and significant while the monthly water utility prices is not significant to AMIU demand. This is because the tariff is treated the same in each range of water usage so the price is only different in the three classes of water use. The number of family members and the amount of household income have a positive and significant impact on AMIU demand. Public perception toward AMIU are welcomes AMIU development progress. In terms of AMIU price, customers feel that AMIU price id relatively affordable and easy to get. On the other hand Customers perceive that PDAM provides poor customer service and the slow response of the PDAM officers that cause the customer switch to AMIU. Keywords: AMIU Demand, PDAM water, customer perception. PENDAHULUAN Air adalah sumberdaya esensi di dalam kehidupan, Tidak ada satupun makhluk hidup di bumi ini yang tidak membutuhkan air. Kebutuhan terhadap air sehari-hari untuk keperluan dilingkungan rumah tangga, ternyata berbeda-beda pada setiap tempat, berbeda-beda pada setiap tingkatan kehidupan bahkan berbeda-beda untuk tiap bangsa dan Negara. Dari sekitar 40 juta milkubik air yang berada di bumi, baik merupakan air yang berada di dalam bumi ataupun pada permukaannya, ternyata tidak lebih dari 0,5% atau 0,2 juta mil kubik yang secara langsung dapat dipergunakan untuk kepentingan manusia. Sisanya, yaitu 95% berbentuk air laut yang mengandung garam tinggi, serta 2,5% berbentuk salju es abadi yang dalam keadaan mencair baru akan dapat dipergunakan secara langsung oleh manusia dan dalam bentuk uap air yang dapat mengembun (Salim, 1986). Mengingat sangat urgennya air bagi kehidupan manusia, dengan semakin meningkat jumlah penduduk, maka semakin meningkat pula jumlah kebutuhan terhadap air. Jadi kebutuhan terhadap air akan terus meningkat, baik kebutuhan dalam rumah tangga, untuk keperluan pabrik/industri, keperluan kantor, sekolah dan untuk pertanian juga meningkat. Di lain pihak, sumber air mulai terbatas yang bahkan cenderung berkurang yang disebabkan oleh faktor-faktor yang bersumber dari kegiatan manusia, seperti penggundulan hutan, kerusakan alam, pengurangan kawasan resapan air, kepadatan gedung/rumah penduduk, kontur tanah dan pencemaran air. Untuk menangani masalah penyediaan air bersih Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) hadir sebagai solusi, khusus untuk bagi masyarakat Kota Pematangsiantar yang banyak

bergantung sumber airnya pada PDAM. Kotamadya Pematangsiantar merupakan salah satu daerah swatantra (otonomi) yang memiliki sebuah perusahaan daerah yang bergerak didalam bidang pelayanan air bersih yang diberi nama PDAM Tirtauli. PDAM Tirtauli sebagai Perusahaan Daerah Tingkat II Kotamadya Pematang Siantar berdiri pada tahun 1978 dimana perusahaan ini memiliki fungsi sosial dan keuntungan. Di daerah perkotaan khususnya, masyarakat sangat memerlukan tersedianya bersih untuk air minum dan untuk kebutuhan manusiawi lainnya. Dalam hubungannya dengan pembangunan, bentuk fisik perkotaan harus dikaitkan dengan pembangunan dibidang air minum, sehingga pembangunan yang diadakan dapat memberikan manfaat ganda yang saling berkaitan yaitu pembangunan kota yang disertai dengan fasilitas-fasilitas infrastrukur air minum. Selain dari pada itu, pembangunan lingkungan perkotaan juga sangat membutuhkan penyediaan air yang cukup untuk pertamanan, pemadam kebakaran, kebersihan dan lain sebagainya. Begitu juga dengan masyarakat Kotamadya Pematang Siantar yang memiliki jumlah penduduknya semakin bertambah setiap tahunnya, serta tingginya aktivitas masyarakat Kota Pematang Siantar didalam bidang perekonomian, sosial, pendidikan, transportasi, industri dan lain sebagainya sangatlah membutuhkan akan adanya sarana air bersih dan air minum.

77


Inovasi Vol. 10 No. 2, Juni 2013: 76-84

Tabel 1. Standar kebutuhan air bersih Standar (liter/orang/hari) Kota metropolitan >1.000.000 170 – 190 L/org/hari Kota besar 500.000 s/d < 1.000.000 150 – 170 L/org/hari Kota sedang 100.000 s/d < 500.000 130 – 150 L/org/hari Kota kecil 20.000 s/d < 100.000 100 – 130 L/org/hari Kota kecamatan 3.000 s/d < 20.000 90 – 100 L/org/hari Sumber: Ditjen Cipta Karya Departemen Pekerjaan Umum 2007 Kategori kota

Jlh penduduk (jiwa)

Tabel 2. Penduduk Kota Pematang Siantar tahun 2011 Luas No. 1 2 3 4 5 6 7 8

Penduduk

Nama Kecamatan SIANTAR MARIHAT SIANTAR MARIMBUN SIANTAR SELATAN SIANTAR BARAT SIANTAR UTARA SIANTAR TIMUR SIANTAR MARTOBA SIANTAR SITALASARI PEMATANG SIANTAR

Jmlh RT (Km2)

LK

PR

Jlh

7,8250 18,0060 2,0200 3,2050 3,6500 4,5200 18,0220 22,7230 79,9710

8.980 7.255 8.139 17.392 22.535 18.442 19.397 13.539 115.679

9.216 7.650 9.012 18.046 24.073 20.128 19.362 13.727 121.214

18.196 14.905 17.151 35.438 46.608 38.570 38.759 27.266 236.893

Tabel 1 memperlihatkan bahwa semakin tinggi kategori kota, maka tingkat ketergantungan masyarakat terhadap air akan semakin besar. Idealnya kebutuhan air dibandingkan dengan jumlah penduduk Kota Pematang Siantar khususnya pada tahun 2011 terlihat pada Tabel 2. Dari Tabel 1 dan Tabel 2 dapat dilihat bahwa Kota Pematang Siantar dengan jumlah Penduduk Tahun 2011 sebanyak 236.893 jiwa membutuhkan air bersih sebesar 30.796.090liter/hari. Jumlah ini didapatkan dari jumlah penduduk dikalikan jumlah/kebutuhan dasar penduduk untuk klasifikasi Kota sedang (130 liter/org/hari). Jika dibandingkan dengan kepadatan jumlah penduduk Kota Pematang Siantar pada tahun 2011, maka Kota Pematang Siantar memiliki jumlah penduduk sebanyak 236.893 jiwa dengan tingkat kepadatan penduduk sebanyak 2.962 penduduk/km2. Artinya setiap luas km2 di Kota Pematang Siantar memerlukan 385.050 liter/hari yang sebagian diantara keperluan air digunakan untuk pemenuhan kebutuhan air minum. Kecamatan yang paling potensial sebagai pemasaran AMIU atau dari Depot AMIU (AMIU) di Kota Pematang Siantar adalah kecamatan Siantar Utara dengan jumlah penduduk

4.296 3.532 4.302 8.587 10.628 8.813 9.117 6.416 55.691

sebanyak 46.608 jiwa penduduk dengan kepadatan penduduk sebesar 12.769 penduduk/km2dengan jumlah rumah tangga sebanyak 10.628 ruta. (BPS, 2012). Fenomena yang muncul beberapa tahun ini adalah pergeseran peran PDAM yang semula diandalkan sebagai kebutuhan air bersih dan air minum kini mulai tergeser perannya dengan semakin menjamurnya Depot AMIU(AMIU). Jadi selain dari PDAM Tirtauli, upaya penduduk Kota Pematang Siantar dalam memenuhi kebutuhan air minumnya juga diperoleh dari AMIU atau dari Depot AMIU(AMIU). Permasalahannya sekarang adalah apa yang melatarbelakangi tumbuh kembangnya usaha AMIU ini. Setidaknya menurut hasil observasi, Kota Pematang Siantar telah memiliki 43 AMIU yang tersebar dalam 8 kecamatan yakni Siantar Barat, Siantar Marihat, Siantar Martoba, Siantar Selatan, Siantar Timur, Siantar Utara, Siantar Marimbun dan Siantar Sitalasari. Artinya di tiap kecamatan di Kota Pematang Siantar rata-rata setidaknya memiliki 5 Depot AMIU yang beroperasi. Penelitian ini bertujuan untuk: 1) mengetahui pengaruh pengeluaran AMIU, jumlah anggota rumah tangga, pendapatan rumah tangga, pengeluaran rekening air PDAM Tirtauli terhadap permintaan AMIU di Kota 78


Analisis Permintaan Air Minum Isi Ulang Di Kota Pematang Siantar (Zahari Zen dan Deri Sutraningsih)

Pematang Siantar; dan, 2) mengetahui persepsi masyarakat Kota Pematang Siantar terhadap AMIU.

݊=

METODE Penelitian ini memfokuskan kepada masalah permintaan AMIU di Kota Pematang Siantar, dimana pembahasan dalam penelitian ini mencakup beberapa faktor seperti: harga AMIU, jumlah anggota rumah tangga, pendapatan rumah tangga, dan harga pengeluaran air PDAM terhadap permintaan AMIU Kota Pematang Siantar. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan data primer dan data sekunder. Data primer yang bersumber dari responden penelitian yang diperoleh berdasarkan hasil kuesioner dan wawancara yang membahas harga AMIU, jumlah anggota rumah tangga, pendapatan rumah tangga, dan harga pengeluaran air PDAM rata-rata perbulan terhadap permintaan AMIU masyarakat Kota Pematang Siantar. Sedangkan data sekunder diperoleh berdasarkan hasil studi kepustakaan. Populasi penelitian ini adalah masyarakat Kota Pematang Siantar yang telah berlangganan AMIU minimal 6 bulan dan berlangganan PDAM. Penentuan besarnya sampel digunakan pendekatan Slovin (Umar, 2008) sebagai berikut: ܰ ݊= 1 + ܰ݁ ଶ Dimana: n = Ukuran sampel N = Ukuran populasi e = Tingkat kelonggaran kesalahan (Term of error) Dengan mensubstitusikan ukuran populasi 43 AMIU ke dalam persamaan di atas, maka diperoleh ukuran sampel:

No. 1 2 3 4 5 6 7 8

43 1 + 43 (0,1)ଶ = 30,06 (dibulatkan menjadi 30 AMIU)

Rincian distribusi sampel tersaji pada tabel 3. Penentuan sampel yang diambil sebagai responden adalah menggunakan penarikan purposive sampling dengan mensyaratkan bahwa responden berlangganan tetap AMIU minimal 6 bulan berturut-turut dan responden memiliki jaringan PDAM Tirtauli. Penelitian ini menggunakan analisis kualitatif dan analisis kuantitatif. Analisis kualitatif digunakan untuk mampu menggambarkan bagaimana persepsi masyarakat terhadap AMIU. Sedangkan analisis kuantitatif dalam penelitian ini, spesifikasi model yang digunakan di adaptasi dari beberapa penelitian sebelumnya dengan melakukan penyesuaian-penyesuaian yang dianggap memberikan hasil yang lebih baik untuk menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan AMIU di Kota Pematang Siantar dengan menggunakan analisis regresi berganda dengan metode Ordinary Least Square (OLS). Untuk itu fungsi-fungsi yang digunakan dalam penelitian ini adalah: PAG= f (HAG, HPB, JAK, JPR)

...........(1)

Dari persamaan 1, kemudian dispesifikasikan kedalam model sebagai berikut: PAG =

βo + β1HAG + β2HPB + β3JAK + β4JPR + e .............(2)

Tabel 3. Perincian pengambilan jumlah sampel penelitian Sampel Populasi Nama Kecamatan Depot AMIU Depot AMIU Pelanggan SIANTAR MARIHAT 4 3 20 SIANTAR MARIMBUN 3 2 13 SIANTAR SELATAN 4 3 21 SIANTAR BARAT 7 5 36 SIANTAR UTARA 8 5 37 SIANTAR TIMUR 7 5 40 SIANTAR MARTOBA 6 4 15 SIANTAR SITALASARI 4 3 18 PEMATANG SIANTAR 43 30 200

79


Inovasi Vol. 10 No. 2, Juni 2013: 76-84

Dimana: PAG HAG HPB JAK JPR βo β1 ---- β4 e

= Permintaan AMIU (Galon/Bulan) = Harga AMIU (Rp). =Harga pengeluaran PDAM bulanan (Rp./Bulan). = Jumlah Anggota Keluarga (Jiwa). =Jumlah Pendapatan Rumahtangga (Rp/bulan) = Konstanta = Koefisien regresi = Variabel gangguan (error term)

Harga Air Minum Galon Isi Ulang (X1)

Jumlah Anggota Keluarga (X2)

Permintaan Air Minum Isi Ulang (Y)

Pendapatan Rumah Tangga (X3)

Pengeluaran Rekening PDAM Tirtauli (X4)

Gambar 1. Kerangka analisis penelitian.

variance inflating factor untuk mendeteksi adanya multikolinearitas, terlihat pada Tabel 4.

Pengolahan data statistik dalam penelitian ini menggunakan program Eviews 5.1 yang dibuat khusus untuk membantu pengolahan data sehingga diperoleh ketepatan perhitungan sekaligus human error, dengan tingkat signifikansi pada level of confidence 95% atau α 0,05. Kerangka konsep dari penelitian tersaji pada Gambar 1. Berdasarkan perumusan masalah yang telah diuraikan diatas, maka dikemukakan hipotesis sebagai berikut : 1) harga AMIU, Pengeluaran rekening PDAM berpengaruh negatif terhadap permintaan AMIU di Kota Pematang Siantar, jumlah anggota rumah tangga dan pendapatan rumah tangga berpengaruh positif terhadap permintaan AMIU di Kota Pematang Siantar; dan, 2) persepsi masyarakat Kota Pematang Siantar positif terhadap perkembangan usaha AMIU.

HAG HPB JAK JPR

HASIL DAN PEMBAHASAN Untuk lebih meyakinkan dan sesuai dengan metode penelitian, multikolinearitas dalam penelitian ini diuji dengan menggunakan

Berdasarkan Tabel 4, dengan kriteria bahwa jika nilai VIF < 10 artinya di dalam model tidak terdapat multikolinearitas, maka dapat

HAG HPB JAK JPR

80

Tabel 4. Matriks korelasi dan VIF Matriks Korelasi HAG HPB JAK JPR 1 0.058 -0.027 0.076 0.058 1 0.242 0.110 -0.027 0.242 1 0.412 0.076 0.110 0.412 1 VIF HAG HPB JAK JPR 1 1.061 0.973 1.082 1.061 1 1.320 1.124 0.973 1.320 1 1.701 1.082 1.124 1.701 1


Analisis Permintaan Air Minum Isi Ulang Di Kota Pematang Siantar (Zahari Zen dan Deri Sutraningsih)

disimpulkan bahwa tidak terjadi permasalahan multikolinearity dalam data penelitian ini. Pengujian terhadap uji heteroskedastisitas dalam penelitian ini dengan menggunakan uji white. Hasil uji ini diperoleh tersaji pada Tabel 5. Berdasarkan Tabel 5 diatas diperoleh hasil nilai Prob. Obs*R-squared sebesar 0,112805 > 0,05, maka dapat disimpulkan bahwa tidak terjadi gejala heteroskedastisitas dalam penelitian ini. Uji normalitas diperoleh hasil nilai probabilitas JB > 0,05 artinya Ho ditolak berarti tidak terjadi penyimpangan asumsi normalitas atau residu terdistribusi secara normal. Adapun hasil uji normalitas dalam penelitian ini terlihat pada Gambar 2. Berdasarkan Gambar 2 diperoleh nilai probability sebesar 0,350208 > 0,05 artinya Ho ditolak berarti tidak terjadi penyimpangan asumsi normalitas dalam penelitian ini.

Berdasarkan Tabel 5 secara simultan keempat variabel tersebut menunjukkan nilai FStat yang tinggi yaitu 249,3564, dengan nilai probabilitas (F-Statistic) sebesar 0,000. Nilai probabilitas tersebut lebih kecil dibanding Îą=0,05 sehingga Ho ditolak yang berarti bahwa secara bersama-sama perubahan variable independen berpengaruh terhadap variabel dependen secara signifikan dengan tingkat kepercayaan 95%. Adapun hasil perhitungan uji parsial tersebut terlihat pada Tabel 6. Berdasarkan Tabel 6. diperoleh kesimpulan sebagai berikut: a. Harga AMIU berpengaruh negatif dan signifikan terhadap permintaan AMIU dengan perolehan nilai Probabilitas sebesar 0.0144 atau signifikan pada taraf alpha 5 persen. b. Harga pengeluaran PDAM bulanan hubungan negatif dan tidak berpengaruh signifikan terhadap permintaan AMIU dengan perolehan nilai Probabilitas sebesar 0.4320 atau tidak signifikan pada Îą = 5% c. Jumlah anggota keluarga berpengaruh positif dan signifikan terhadap permintaan AMIU dengan perolehan nilai Prob. sebesar 0.0000 atau signifikan pada taraf Îą = 1 persen. d. Jumlah pendapatan rumahtangga berpengaruh positif dan tidak signifikan terhadap permintaan AMIU dengan perolehan nilai Prob. sebesar 0.0000 atau signifikan pada taraf alpha Îą = 1 persen.

25 Series: Residuals Sample 1 200 Observations 200

20

15

10

Mean Median Maximum Minimum Std. Dev. Skewness Kurtosis

1.15e-15 0.058476 3.201293 -4.097461 1.115049 0.096029 3.463604

Jarque-Bera Probability

2.098457 0.350208

5

0 -3.75

-2.50

-1.25

0.00

1.25

2.50

Gambar 2. Uji normalitas.

Tabel 5. Uji heteroskedastisitas White Heteroskedasticity Test:

F-statistic

1.5159

Prob. F(14,185)

0.1086

Obs*R-squared

20.583

Prob. Chi-Square(14)

0.1128

Tabel 6. Hasil estimasi koefisien regresi secara parsial Variable

Coefficient

Std. Error

t-Statistic

Prob.

C HAG HPB JAK JPR

4.230368 -0.000160 -1.68E-06 1.018302 1.28E-06

0.466288 6.48E-05 2.13E-06 0.095905 5.67E-08

9.072434 -2.468309 -0.787321 10.61779 22.54780

0.0000 0.0144 0.4320 0.0000 0.0000

81


Inovasi Vol. 10 No. 2, Juni 2013: 76-84

menjelaskan bahwa jika terjadi peningkatan harga, maka permintaan akan berkurang. Selain itu, hasil penelitian ini mendukung pendapat Lipsey, Steiner dan Purvis (1993) yang mengemukakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat permintaan (determinant of demand) adalah harga komoditi itu sendiri. Variabel pengeluaran PDAM bulanan ternyata memiliki hubungan negatif terhadap permintaan air minum galon. Hal ini sesuai dengan hipotesis awal penelitian. Penurunan permintaan AMIU terjadi karena perubahan peningkatan harga pengeluaran PDAM bulanan. Hasil penelitian ini mengungkapkan bahwa setiap peningkatan harga pengeluaran PDAM bulanan sebesar 1 rupiah, maka akan menurunkan besaran permintaan AMIU sebesar 0,00000168 galon. Dalam analisis ekonomi diasumsikan bahwa permintaan seseorang atau masyarakat terhadap suatu barang ditentukan oleh banyak faktor, salah satunya adalah harga barang lain yang mempunyai kaitan erat dengan barang tersebut (subtitusi atau komplementer), maka dapat dikatakan bahwa permintaan dipengaruhi oleh banyak variabel (Nicholson, 1991). PDAM dan AMIU merupakan suatu barang yang saling melengkapi (komplementer) terlihat dari tanda minus didepan koefisien. Bila dua jenis barang saling melengkapi, maka penurunan harga salah satunya mengakibatkan penurunan permintaan akan yang lainnya Dari hasil estimasi regresi terlihat bahwa bila kenaikan harga PDAM menyebabkan permintaan AMIU menurun (hubungan negatif), ada hubungan komplementer. Dari survey diketahui bahwa ternyata sebagian besar produsen AMIU menggunakan air PDAM. Variabel jumlah anggota keluarga ternyata memiliki hubungan positif terhadap permintaan AMIU. Hal ini sesuai dengan hipotesis awal penelitian. Peningkatan permintaan AMIU terjadi karena perubahan peningkatan tenaga kerja. Hasil penelitian ini mengungkapkan bahwa setiap kenaikan jumlah anggota keluarga sebesar 1 orang, maka akan meningkatkan besaran permintaan AMIU sebesar 1.018302 galon. Hasil penelitian ini ternyata mendukung penelitian sebelumnya Rumahorbo (2009) yang menyatakan jumlah pengguna berpengaruh nyata terhadap permintaan air bersih di kecamatan Medan Timur. Hasil penelitian ini juga mengungkapkan bahwa semakin tinggi jumlah pengguna atau jumlah anggota keluarga, maka akan meningkatkan jumlah permintaan AMIU. Hal ini sejalan dengan pendapat Sukirno (2002), bahwa permintaan suatu barang fluktuasinya akan

Uji statistik untuk nilai R2 adjusted, sebesar 0.836468. Hal ini menjelaskan bahwa variasi permintaan AMIU ditentukan oleh kontribusi variasi perubahan variabel independen sebesar 83,64 persen. Artinya 16,36 persen dijelaskan oleh variabel lain yang tidak terdeteksi pada penelitian ini . Nilai koefisien mampu menunjukkan besarnya proporsi perubahan besaran permintaan AMIU dalam satu satuan pada masing-masing variabel. Adapun koefisien masing-masing variabel seperti terlihat pada persamaan berikut : PAG = 4.230368 - 0.000160 HAG --1.68E-06 HPB + 1.018302 JAK + 1.28E-06 JPR Berdasarkan besaran koefisien diatas, maka dapat dijelaskan sebagai berikut: a. Konstanta sebesar 4.230368 menunjukkan bahwa jika variabel bebas seperti harga AMIU, harga pengeluaran PDAM bulanan, jumlah anggota keluarga dan jumlah pendapatan rumahtangga konstan, maka permintaan AMIU akan tetap menghasilkan sebanyak 4.230368 galon. Ini mengambarkan kebutuhan dasar akan air bersih ada atau tidak ada AMIU. b. Setiap kenaikan harga AMIU sebesar 1 rupiah, maka akan menurunkan besaran permintaan AMIU sebesar 0.000160 galon. c. Setiap kenaikan jumlah anggota keluarga sebesar 1 orang, maka akan meningkatkan besaran permintaan AMIU sebesar 1.018302 galon. d. Setiap kenaikan jumlah pendapatan rumahtangga sebesar 1 rupiah, maka akan meningkatkan besaran permintaan AMIU sebesar 0.00000128 galon. Variabel harga AMIU ternyata memiliki hubungan negatif terhadap permintaan AMIU. Hal ini telah sesuai dengan teori dan hipotesis awal penelitian. Peningkatan permintaan AMIUterjadi karena perubahan peningkatan AMIU. Hasil penelitian ini mengungkapkan bahwa setiap kenaikan harga AMIU sebesar 1 rupiah, maka akan menurunkan besaran permintaan AMIU sebesar 0.000160 galon. Hasil penelitian ini ternyata mendukung penelitian sebelumnya Rumahorbo (2009) yang menyatakan harga air bersih berpengaruh nyata terhadap permintaan air bersih di kecamatan Medan Timur. Serta penelitian Plamonia (2007) yang menyatakan tarif harga air bersih berpengaruh signifikan terhadap permintaan air minum pada PDAM Tirtasari Binjai. Hal ini sesuai dengan teori permintaan yang 82


Analisis Permintaan Air Minum Isi Ulang Di Kota Pematang Siantar (Zahari Zen dan Deri Sutraningsih)

sangat tergantung kepada beberapa faktor, salah satunya adalah faktor pertumbuhan penduduk. Adanya peningkatan jumlah penduduk akan menyebabkan peningkatan permintaan akan kebutuhan-kebutuhan masyarakat, termasuk sandang, pangan dan papan. Variabel jumlah pendapatan rumahtangga ternyata memiliki hubungan positif terhadap permintaan AMIU. Hal ini sesuai dengan hipotesis awal penelitian. Peningkatan permintaan AMIU terjadi karena perubahan peningkatan jumlah pendapatan rumah tangga. Hasil penelitian ini mengungkapkan bahwa setiap kenaikan jumlah pendapatan rumahtangga sebesar 1 rupiah, maka akan meningkatkan besaran permintaan AMIU sebesar 0.00000128 galon. Hasil penelitian ini ternyata mendukung penelitian sebelumnya Rumahorbo (2009) yang menyatakan pendapatan konsumen berpengaruh nyata terhadap permintaan air bersih di kecamatan Medan Timur. Demikian pula hasil penelitian Plamonia (2007) bahwa pendapatan perkapita berpengaruh signifikan terhadap permintaan air minum pada PDAM Tirtasari Binjai. Dalam teori ekonomi dikatakan bahwa permintaan seseorang atau masyarakat terhadap suatu barang ditentukan oleh banyak faktor, salah satunya adalah pendapatan masyarakat (Nicholson, 1991). Demikian pula Lipsey, Steiner dan Purvis (1993) bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi tingkat permintaan (determinant of demand) adalah rata-rata penghasilan rumah tangga. Sukirno (2002), menyatakan ketika pendapatan seseorang naik, akan meningkatkan jumlah konsumsi yang berarti juga akan meningkatkan permintaan terhadap suatu jenis barang dalam hal ini adalah air bersih. Hasil wawancara tentang persepsi masyarakat terhadap perkembangan AMIU, bahwa masyarakat Kota Pematangsiantar memberikan sambutan positif, ini dapat dilihat dari banyaknya permintaan masyarakat terhadap AMIU yang selanjutnya menyebabkan menjamurnya usaha AMIU. Kurangnya informasi masyarakat tentang bahan baku air yang digunakan oleh AMIU membuat masyarakat beranggapan bahwa AMIU itu semuanya bersumber dari mata air pegunungan, namun pada kenyataannya dari hasil observasi berasal dari PDAM atau sumur bor. Kondisi ini pada dasarnya tidak menyalahi karena memang telah diatur dalam Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor : 167/MPP/05/1997 bahwa bahan baku adalah bahan baku yang diolah menjadi air minum berasal dari lapisan yang mengandung air

dibawah permukaan tanah, mata air yang muncul secara alamiah dipermukan tanah dan Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM). Dalam kaitan itu yang perlu diawasi oleh pemerintah adalah proses pengolahan bahan baku air tersebut sampai menjadi air minum yang higienis. Proses pengolahan AMIU menggunakan teknologi maju dengan penyinaran ultra violet atau proses ozonisasi dengan tujuan untuk menghilangkan bau, warna, rasa, bahan kimia berbahaya serta menghilangkan mikroorganisme yang terkandung pada sumber air baku tersebut, agar supaya mutu air bersih menjadi air layak minum. Apakah alat dan proses dapat berjalan dengan baik perlu ada monitoring dari instansi pemerintah terkait misalnya Badan Pengawan Obat dan Makanan (BPOM). Tidak adanya keseragaman instansi yang mengeluarkan izin usaha AMIU membuat AMIU tidak memahami syarat dan ketentuan yang harus dipenuhi oleh pengelola AMIU yang pada akhirnya banyak AMIU yang tidak mendapat pengawasan mutu air. Standar penggunaan mesin sebagai alat untuk mengelola bahan baku air belum ada di Pematang Siantar. Pengolahan bahan baku yang bersumber dari mata air pegunungan dengan yang bahan baku yang bersumber dari PDAM atau sumur bor tentu membutuhkan proses pengolahan yang berbeda dan juga hasil yang berbeda, tetapi hasil akhir tetap harus memenuhi baku mutu air layak minum. Kapasitas produksi yang tidak dibatasi yang tidak diimbangi dengan monitoring pengambilan sampel mutu air yang seharusnya dilakukan secara rutin hanya dilakukan 3 bulan sekali bahkan kadang kala hanya setahun 2 kali. Dari penelitian in terungkap bahwa konsumen tidak mengetahui mutu air AMIU yang mereka beli. Kurangnya pengetahuan tentang kualitas air AMIU, membuat konsumen hanya berpendapat sebatas yang dilihat dan didengar. Selama tidak ada gangguan terhadap kesehatan atau gejala-gejala negatif yang dirasakan ketika mengkonsumsi AMIU mereka beranggapan kualitas air minum sudah baik. Persepsi konsumen terhadap perkembangan AMIU adalah positif, karena dinilai dari aspek kepraktisan, harga yang semakin murah dan mudah mendapatkannya. Sedangkan ketidakpuasan terhadap pelayanan PDAM bukan dari segi kebersihan dan kesehatan. Pengusaha AMIU juga seringkali membuat papan iklan yang bukan informasi sebenarnya. Seperti informasi sumber bahan baku dan tidak dicantumkannya izin usaha. Meskipun penggunaan bahan baku PDAM dan 83


Inovasi Vol. 10 No. 2, Juni 2013: 76-84

DAFTAR PUSTAKA

sumur bor tidak dilarang akan tetapi bila konsumen mengetahui informasi sesunguhnya tentang sumber air, hal ini dapat mempengaruhi konsumen untuk tidak membeli air minum AMIU dan mereka akan memilih pengusaha AMIU yang lebih higienis.

Bilas, R, A, 1984. Teori Ekonomi Mikro. Terjemahan dari Microeconomic Theory oleh Djoerban Wahid. Jakarta: Erlangga. Gujarati, Damodar N. 2006. Ekonometrika Dasar. Jakarta: Penerbit Erlangga.

KESIMPULAN Secara simultan harga AMIU, harga pengeluaran PDAM bulanan, jumlah anggota keluarga dan jumlah pendapatan rumahtangga berpengaruh secara signifikan terhadap permintaan AMIU pada tingkat kepercayaan 95 %. Secara parsial disimpulkan bahwa harga AMIU berpengaruh negatif dan signifikan Sedangkan jumlah anggota keluarga dan jumlah pendapatan rumahtangga berpengaruh positif dan signifikan terhadap permintaan AMIU.Koefisien determinasi dalam penelitian ini sebesar 0.836468 atau sebesar 84 persen. Hal ini menunjukkan bahwa harga air galon isi ulang, harga pengeluaran PDAM bulanan, jumlah anggota keluarga dan jumlah pendapatan rumahtangga secara bersama-sama dapat menjelaskan permintaan AMIU. Serta sisanya 16 persen dipengaruhi oleh variabel lain yang tidak terdeteksi dalam penelitian ini. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa variabel yang paling mempengaruhi produksi AMIU adalah jumlah anggota keluarga. Persepsi masyarakat pelanggan AMIU di Kota Pematang Siantar pada umumnya memberikan sambutan positif. Hal ini dikarenakan masyarakat menilai AMIU memiliki aspek kepraktisan, harga yang terjangkau, dan mudah mendapatkannya. Dari penelitian ini juga diketahui bahwa ketidakpuasan pelanggan terhadap PDAM bukan dari segi kebersihan dan kesehatan, melainkan karena pelayanan yang kurang optimal seperti sering matinya aliran air yang cukup lama sehingga membuat pelanggan beralih ke AMIU untuk air minum.

Lipsey, RG, Steiner, P.O dan Purvis, D, D. 1993. Pengantar Mikro Ekonomi. Jakarta : Erlangga. Miler, Roger Le Roy. Roger E. Meiners, 2000. Teori Ekonomi Intermediate. Edisi ketiga. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Mubyarto, 1991. Yokyakarta: BPFE.

Membangun

Sistem

Ekonomi.

Mubyarto, 1984. Ekonomi Pertanian. Jakarta: LP3S. Nicholson, W, 1995. Mikroekonomi Intermediate dan Aplikasinya. Terjemahan dari Intermediate Microeconomics oleh Agus Maulana. Jakarta: Bina Rupa Aksara. Nicholson, W, 1991. Teori Ekonomi Mikro I. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Pappas James, L dan Mark Hirschey. 1995. Ekonomi Managerial. Jakarta: Bina Rupa Aksara. Plamonia, Lia. 2007. Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Permintaan Air Minum Pada Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Tirtasari Binjai. Skripsi. Universitas Sumatera Utara. Reksoprayitno, S. 2000. Pengantar Ekonomi Mikro. Edisi Millenium. Yogyakarta: Penerbit BPFE UGM. Sukirno, S. 2002. Ekonomi Pembangunan Proses, Masalah dan Dasar Kebijakan. Jakarta: LP FEUI. Sudarsono. 1990. Pengantar Teori Ekonomi Mikro. Jakarta: LP3S. Sugiarto, dkk. 2000. Ekonomi Mikro Suatu Pendekatan Praktis. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

REKOMENDASI 1. Perlunya perhatian pemerintah dalam upaya peningkatan kualitas pelayanan dari PDAM Tirtauli dalam melayani asupan air bersih untuk masyarakat Kota Pematangsiantar. Perlunya badan BPOM melakukan monitoring kualitas air PDAM. 2. Perlunya perhatian pemerintah dalam secara regular mengontrol, mengevaluasi kualitas air minum, tingkat kesehatan, kebersihan, dan sumber air yang digunakan pemilik AMIU sebagai upaya meningkatkan kenyamanan dan derajat kesehatan masyarakat Kota Pematang Siantar.

Umar, Husein. 2008. Metodologi Penelitian. Jakarta: Salemba Empat.

84


Inovasi Vol. 10 No. 2, Juni 2013: 85-96

Hasil Penelitian ANALISIS FAKTORFAKTOR-FAKTOR MINAT BELI KONSUMEN TERHADAP PRODUK RAMAH LINGKUNGAN

(FACTORS ANALYSIS OF CUSTOMER’S BUYING INTEREST AGAINST GREEN PRODUCT) PRODUCT) Husni,, Porman Juanda Marpomari Mahulae Nobrya Husni Badan Penelitian dan Pengembangan Provinsi Sumatera Utara Jl. Sisingamangaraja No. 198 Medan email: nobrya@gmail.com

Diterima: 8 Maret 2013; Direvisi: 15 Mei 2013; Disetujui: 10 Juni 2013

ABSTRAK Kesadaran konsumen akan kesehatan diikuti oleh perilaku konsumen untuk menngkonsumsi produk-produk organik. Minat terhadap produk organik semakin meningkat dewasa ini seiring dengan kesadaran akan pentingnya menjaga lingkungan hidup tetap sehat. Tujuan penelitian ini adalah: untuk mengetahui potensi dan prospek pengembangan produk-produk ramah lingkungan di Sumatera Utara; mengetahui faktor-faktor yang mendukung konsumen untuk membeli produk ramah lingkungan di Sumatera Utara; mengetahui produk-produk ramah lingkungan apa saja di Sumatera Utara yang dapat membangun citra masyarakat untuk cinta produk Indonesia; serta, mengetahui kebijakan pengembangan produk-produk ramah lingkungan di Sumatera Utara. Data yang digunakan dalam adalah data primer dan data skunder. Data primer dikumpulkan melalui survey dan wawancara dengan menggunakan daftar pertanyaan (kuesioner). Responden yang diwawancarai mencakup petani organik dan masyarakat pengguna pertanian organik serta pedagang pertanian organik. Data sekunder diperoleh dari berbagai stakeholders terkait dengan pertanian organik dan produk ramah lingkungan di Provinsi Sumatera Utara dan berbagai sumber informasi lainnya dari studi literatur, internet, publikasi dari instansi terkait dan hasil-hasil penelitian. Lokasi penelitian adalah Kota Medan, Kota Binjai, Kabupaten Deli Serdang, Kabupaten Serdang Bedagai dan Kabupaten Langkat, dengan waktu penelitian selama 4 (empat) bulan. Teknik pengumpulan data menggunakan kuesioner dengan metode accidental sampling. Jumlah responden sebanyak 150 responden, terdiri dari konsumen produk organik yang membeli produk di beberapa tempat penjualan produk organik. Teknik analisa data menggunakan analisis Structural Equation Modeling (SEM). Dari penelitian yang telah dilakukan terlihat bahwa kondisi pasar produk ramah lingkungan di Sumatera Utara khususnya produk organik masih sangat terbatas karena masih rendahnya kesadaran konsumen untuk membeli produk organik, hal ini juga terlihat dengan masih sedikitnya perusahaan yang memproduksi produk organik. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi dalam penggunaan produk organik adalah: pengetahuan organik, pengetahuan lingkungan, pengetahuan kesehatan, pengaruh harga; pengaruh norma subjektif terhadap pengaruh sikap; pengaruh niat; serta perilaku konsumen organik. Kata kunci: produk organik, konsumen, ramah lingkungan

ABSTRACT Consumer awareness of health followed by consumer behavior to consume organic products. Interest in organic products is increasing these days along with the awareness of the importance of keeping the environment healthy. The purpose of this study is: to determine the potential and prospects of the development of environmentally friendly products in North Sumatra; to define the factors that support consumers to buy environmentally friendly products in North Sumatra; to define environmentally friendly products in North Sumatra anything that can build image of Indonesian people to use the product, as well as, determine policy development eco-friendly products in North Sumatra. This research using primary data and secondary data. Primary data was collected through surveys and interviews using a questionnaire. Respondents were interviewed include organic farmers and organic farming as well as the user community merchants organic farming. Secondary data obtained from various stakeholders associated with organic farming and eco-friendly products in North Sumatra Province and various other resources

85


Analisis Faktor-Faktor Minat Beli Konsumen Terhadap Produk Ramah Lingkungan (Nobrya Husni dan Porman Juanda Marpomari Mahulae) from literature, internet, publication of relevant agencies and research results. Research locations are Medan city, Binjai City, Deli Serdang regency, Serdang Bedagai Regency and Langkat Regency, the time for research is for 4 (four) months. Techniques of data collection using questionnaires with accidental sampling method. Number of respondents were 150 respondents, consisting of organic product consumers buy products at several places selling organic products. The data analysis using analysis of Structural Equation Modeling (SEM). Result of the research shows that environmentally friendly product market conditions in North Sumatra in particular organic products is still very limited due to the low awareness of consumers to buy organic products, it is also seen with low number of companies that produce organic products. The factors that influence the use of organic products are: organic knowledge, knowledge of environmental, health knowledge, the effect of price; influence of subjective norms to influence attitudes, intentions influence, as well as organic consumer behavior. Keywords: green product, consumers, eco-friendly

meningkatkan perlindungan konsumen, pelaku usaha dan masyarakat untuk keselamatan, kesehatan maupun pelestarian fungsi lingkungan hidup. Hal tersebut akan sulit terwujud apabila tidak didukung oleh sikap konsumen Indonesia untuk mendukung produk ramah lingkungan. Menurut biro konsultan riset dan marketing Frontier Consulting Group, Indonesia termasuk negara yang jumlah konsumen sadar lingkungannya sangat kecil. Pangsa pasar di Indonesia adalah pangsa yang tidak terlalu mencintai lingkungan, ini tentu ada hubungannya dengan masalah pendidikan dan pendapatan (greenradio, 2012). Salah satu upaya untuk meningkatkan produk ramah lingkungan adalah dengan meningkatkan pengetahuan lingkungan dan pengetahuan produk ramah lingkungan atau produk organik (Sapp, 1991). Pilihan gaya hidup yang ramah lingkungan dan keputusan untuk membeli barang-barang yang ramah lingkungan, sehingga dapat membantu mempertahankan lingkungan dari pada menguranginya (Soonthonsmai, 2000). Keuntungan memilih produk ramah lingkungan adalah meningkatnya kualitas kesehatan, mengingat produk ramah lingkungan umumnya menghindari zat kimia sintetis. Produk yang mengandung bahan kimia, apabila dikonsumsi dalam jangka panjang bisa berpengaruh pada kesehatan tubuh, terutama mereka yang alergi atau rentan terhadap zat tertentu. Produk-produk tersebut selain berbahaya bagi kesehatan dan juga berdampak pada kelestarian lingkungan. Untuk mengurangi dampak negatif tersebut, pilihlah produk yang mengandung senyawa yang mudah terurai dan ramah lingkungan, tidak mengandung klorofluorokarbon, pewarna, zat kimia, dan bebas racun. Kita juga dapat menyikapinya dengan selalu berusaha memilih produk dengan kandungan bahan alami dan organik. Saat ini sudah banyak negara yang menggunakan konsep sustainable development. Indonesia sudah saatnya meninggalkan cara-

PENDAHULUAN Permasalahan lingkungan menjadi topik utama sejak tahun 1990-an hampir di seluruh dunia. Untuk mendukung permasalahan lingkungan, terdapat beberapa kebijakan lingkungan yang semakin ketat. Salah satunya yaitu dengan menentukan standar internasional. Selain itu, saat ini telah berkembang suatu perubahan bahwa produk yang dihasilkan merupakan green product di beberapa negara atau sering disebut ecolabelling (Millock, Hansen, Wier, Anderson, 2002). Green consumer atau konsumen hijau adalah konsumen yang berwawasan lingkungan dan merupakan suatu konsep perilaku konsumen yang peduli lingkungan hidup. Konsep green consumer ini tidak hanya menjadi gaya hidup, mereka selalu membeli green product atau produk hijau terutama pangan maupun untuk kebutuhan lainnya (Sjoberg dan Engelberg, 2005). Kerusakan lingkungan yang terjadi dikarenakan eksploitasi sumberdaya alam untuk memenuhi kebutuhan manusia tanpa memperhatikan kelestarian lingkungan, telah mengakibatkan terganggunya fungsi ekologi alam. Masalah lingkungan tidak berdiri sendiri, tetapi selalu saling terkait erat. Untuk itu salah satu penyelesaian utama adalah memahami konsumen dengan mendalami faktor-faktor konsumen untuk membeli produk yang ramah lingkungan. Apabila masyarakat sudah sadar lingkungan maka alam akan dapat lebih terjaga. Penggunaan produk ramah lingkungan pada intinya adalah untuk mencegah, mengurangi dan menghilangkan terbentuknya limbah atau bahan pencemar pada sumbernya. Adapun tujuan dikembangkannya produk ramah lingkungan adalah menciptakan produk yang sehat, aman dan berkualitas, meminimalkan potensi kontaminasi bahan-bahan yang beracun atau berbahaya pada produk, melindungi kesehatan dan keselamatan pekerja. Pengembangan produk ramah lingkungan sejalan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 102 Tahun 2000 tentang Standardisasi Nasional disebutkan bahwa salah satu tujuannya adalah 86


Inovasi Vol. 10 No. 2, Juni 2013: 85-96

perilaku mereka dalam konsumsi produk ramah lingkungan atau produk organik. Untuk itu perlu kajian tentang sikap khususnya sikap yang berkaitan dengan lingkungan dan produk ramah lingkungan. Selanjutnya studi tentang perilaku normatif lebih dapat memahami perilaku konsumen. Masalah lingkungan yang dihadapi dewasa ini pada dasarnya adalah masalah ekologi manusia. Masalah itu timbul karena perubahan lingkungan yang menyebabkan lingkungan itu kurang sesuai lagi untuk mendukung kehidupan manusia. Jika hal ini tidak segera diatasi pada akhirnya berdampak kepada terganggunya kesejahteraan manusia. Untuk mendukung permasalahan lingkungan, terdapat beberapa kebijakan lingkungan yang semakin ketat. Salah satunya yaitu dengan menentukan standar internasional melalui sertifikasi ISO 14000. Selain itu, saat ini telah berkembang suatu perubahan bahwa produk yang dihasilkan merupakan green product di beberapa negara atau sering disebut ecolabelling (Sembiring, 2009). Menurut Johri dan Sahasakmontri (1998), green product (produk hijau) adalah produk ramah lingkungan, sedangkan konsumen hijau didefenisikan sebagai konsumen yang dalam membeli produk lebih memilih membeli dari perusahaan yang memiliki tanggungjawab terhadap lingkungan. Menurut Herbig (dalam Lanasier, 2002), terdapat beberapa karakteristik sebuah produk yang dianggap sebagai produk hijau, yaitu: menggunakan bahan non toxic (bahan kimia yang tidak beracun); lebih tahan lama; menggunakan bahan baku yang dapat didaur ulang; menggunakan bahan baku dari bahan daur ulang. Pasar hijau atau organik di Indonesia terus berkembang, hal ini merupakan peluang sekaligus ancaman jika produsen tidak bisa membuktikan klaim atas produk-produk hijau mereka. Produsen diharapkan jujur dan transparan dalam menjual produknya. Produsen juga disarankan menjual produk yang mampu membantu konsumen mengurangi bahkan mengatasi masalah lingkungan. Sebagai contoh, mereka dapat menciptakan kemasan produk yang ramah lingkungan yang bisa terurai lebih cepat di alam sehingga bisa membantu konsumen mengurangi sampah rumah tangga. Produk makanan dan minuman adalah produk yang menjadi incaran konsumen yang peduli lingkungan. Hal ini membuka peluang bagi produsen untuk menjual produk yang sesuai dengan permintaan pasar, produk yang sehat dan ramah lingkungan. Produk ramah lingkungan di Provinsi Sumatera Utara masih pada tahap awal, dimana

cara pembangunan yang kuno dan memanfaatkan energi-energi terbarukan, serta konsep yang lebih ramah lingkungan. Konsep pembangunan masa depan yang diterapkan di seluruh dunia akan berbasis sustainable development (pembangunan berkelanjutan) dimana seluruh pembangunan akan diarahkan pada konsep ramah lingkungan dan jangka panjang sehingga produk ramah lingkungan akan mampu bersaing di pasaran. Kendati saat ini harganya dinilai masih lebih mahal dari produk biasa yang menggunakan sistem konvensional. Kedepannya produk ramah lingkungan akan menjadi tren seiring meningkatnya tingkat kesadaran konsumen terhadap produk ramah lingkungan. Perubahan sosial ekonomi turut mempengaruhi perilaku konsumen dalam membeli, baik untuk kebutuhan primer maupun sekunder. Perubahan sosial ekonomi meliputi pendapatan dan tingkat pendidikan yang merupakan karakteristik pembeli. Terdapat korelasi langsung antara tingkat pendidikan, pendapatan dan kemampuan membeli seseorang. Pendidikan secara langsung berkaitan dengan kemampuan membeli karena terdapat korelasi yang kuat antara pendidikan dan pendapatan. Pendidikan mempengaruhi konsumen dalam membuat keputusan, konsumen dengan tingkat pendidikan tinggi mempunyai pandangan yang berbeda terhadap alternatif merek dan harga dibandingkan dengan konsumen berpendidikan yang lebih rendah (Tedjakusuma, Sri Hartini, dan Muryani, 2010). Mowen dan Minor (2002) mengemukakan bahwa sikap sangat terkait dengan konsep kepercayaan (belief) dan perilaku (behavior). Istilah pembentukan sikap konsumen (consumer attitude formation) seringkali menggambarkan hubungan antara kepercayaan, sikap dan perilaku. Kepercayaan, sikap dan perilaku juga terkait dengan konsep atribut produk (product attribute). Atribut produk adalah karakteristik dari suatu produk, dimana konsumen biasanya memiliki kepercayaan terhadap atribut produk. Jadi sikap terhadap atribut produk menggambarkan perilaku/selera konsumen terhadap produk itu. Perilaku yang bertanggungjawab dan kesadaran terhadap lingkungan telah muncul seiring dengan masalah-masalah lingkungan yang terjadi. Bagi mereka yang prihatin terhadap lingkungan maka mereka akan bertindak dengan membeli produk-produk yang ramah lingkungan, salah satunya adalah produk organik. Bukan berarti menunjukkan makin meningkatnya kesadaran dan keprihatinan publik terhadap lingkungan bukan berarti konsumen langsung mengubah 87


Analisis Faktor-Faktor Minat Beli Konsumen Terhadap Produk Ramah Lingkungan (Nobrya Husni dan Porman Juanda Marpomari Mahulae)

produk yang dikembangkan terlebih dahulu adalah produk makanan organik seperti: beras, sayuran dan buah organik. Produk ramah lingkungan masih belum begitu dikenal oleh masyarakat. Ada berbagai jenis produk ramah linkungan yang sedang dikembangkan selain beras, sayuran dan buah-buahan seperti: kratom asli dan extract, kopi luwak, tepung mocaf, nata de coco, susu kedele dan obat-obatan alami. Produk-produk ini sudah beredar di pasar namun produk-produk ramah lingkungan ini belum mampu menarik konsumen untuk membelinya. Pada saat ini produk ramah lingkungan masih belum bersaing dengan produk konvensional. Konsumen ramah lingkungan tidak banyak, hanya terbatas pada konsumen-konsumen yang telah mengerti manfaat produk tersebut baik bagi konsumen maupun produsen (Manongko, dkk. 2011). Upaya penyelamatan lingkungan perlu didorong oleh adanya peningkatan kesadaran masyarakat serta penentuan strategi perancangan dan pengembangan produk dengan memperhatikan dampak negatif lingkungan. Masyarakat atau konsumen merupakan faktor yang tidak dapat dipisahkan dari pembuatan suatu produk. Hal ini dikarenakan konsumen sebagai tujuan/target dari pembuatan suatu produk. Kesadaran konsumen dalam pengambilan keputusan (product involvement) semakin meningkat. Hal tersebut dapat dilihat dari banyaknya konsumen yang menjadikan faktor-faktor seperti: fungsi produk, kegunaan produk, ketersediaan produk di pasar, dampak terhadap lingkungan dan biaya produk sebagai pertimbangan dalam mengambil keputusan untuk mengonsumsi produk (Lagerstedt, 2003). Sejalan hal tersebut, penelitian ini menekankan pada produk-produk pertanian organik yang merupakan produk ramah lingkungan yang ditemui di Provinsi Sumatera Utara. Pemahaman akan pentingnya produk ramah lingkungan perlu dilakukan guna mendorong para konsumen untuk beradaptasi terhadap produk-produk hijau atau produkproduk ramah lingkungan sebagai bagian dari usaha untuk memahami keinginan konsumen terhadap produk organik. Penelitian ini bertujuan untuk: mengetahui potensi dan prospek pengembangan produkproduk ramah lingkungan di Sumatera Utara; mengetahui faktor-faktor yang mendukung konsumen untuk membeli produk ramah lingkungan di Sumatera Utara; mengetahui produk-produk ramah lingkungan apa saja di Sumatera Utara yang dapat membangun citra masyarakat untuk cinta produk Indonesia; serta,

mengetahui kebijakan pengembangan produkproduk ramah lingkungan di Sumatera Utara. Hipotesa pada penelitian ini adalah: ada pengaruh pengetahuan organik terhadap sikap pada produk organik; ada pengaruh pengetahuan lingkungan terhadap sikap pada produk organik; ada pengaruh kesehatan terhadap sikap pada produk organik; ada pengaruh harga terhadap sikap pada produk organik; ada pengaruh norma subjektif terhadap sikap pada produk organik; ada pengaruh sikap pada produk organik terhadap niat pada produk organik; dan, ada pengaruh niat pada produk organik terhadap prilaku konsumen organik.

METODE Data primer dikumpulkan melalui survey dan wawancara bersumber dengan responden. Responden yang diwawancarai mencakup petani organik dan masyarakat pengguna pertanian organik serta pedagang pertanian organik. Untuk variabel bebas terdiri dari faktor budaya, faktor lingkungan sosial, faktor individu/perorangan, faktor psikologis konsumen. Dalam hal ini penelitian menggunakan skala ordinal. Dengan diimplikasikan ke dalam kuesioner dengan skala kepuasan jenis Skala Likert. Data sekunder diperoleh dari berbagai stakeholders terkait dengan pertanian organik dan produk ramah lingkungan di Provinsi Sumatera Utara dan berbagai sumber informasi lainnya dari studi literatur, internet, publikasi dari instansi terkait dan hasil-hasil penelitian. Lokasi penelitian adalah Kota Medan, Kota Binjai, Kabupaten Deli Serdang, Kabupaten Serdang Bedagai dan Kabupaten Langkat, dengan waktu penelitian selama 4 (empat) bulan. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah kuesioner yang dilakukan dengan metode accidental sampling dengan membatasi sebanyak 150 responden terdiri dari kosumen organik yang membeli produk di beberapa tempat penjualan produk organik. Adapun langkah-langkah pengumpulan tersaji pada Tabel 1. Pengukuran variabel menggunakan skala penilaian Likert dengan interval penilaian satu (1) sampai lima (5). Dengan skoring sangat setuju/SS = 5, Setuju/S = 4, Tidak Pasti Setuju atau Tidak Setuju/TP = 3, Tidak Setuju/TS = 2 , Sangat Tidak Setuju/STS = 1. Metode analisis yang digunakan peneliti adalah metode kuantitatif yaitu analisis statistik untuk uji tentang data digunakan uji reliabilitas dan variance extract, uji normalitas univariat/multivariat, uji outliers

88


Inovasi Vol. 10 No. 2, Juni 2013: 85-96

univariat/multivariat dan pola korelasi/ kovarians. Alat uji data yang digunakan terdiri atas 2 (dua) tahapan yaitu: 1) uji validitas dan reliabelitas; dan 2) uji normalitas. Analisis Structural Equation Modeling atau SEM tidak lain adalah analisis regresi berganda terhadap data yang dibakukan. Dengan demikian, perangkat lunak statistika yang mampu melakukan analisis regresi berganda dapat pula dipakai untuk analisis jalur. Subjek utama analisis ini adalah variabel-variabel yang saling berkorelasi. Analisis ini mendasarkan diri pada model hubungan antarvariabel yang ditentukan sebelumnya oleh peneliti. Penentuan model didasarkan pada hipotesis mengenai berbagai variabel yang diamati. Dalam perkembangan saat ini teknik analisis jalur dapat dilakukan dalam kerangka pemodelan persamaan struktur (Structural Equation Modeling atau SEM), suatu teknik analisis yang menggabungkan analisis faktor dan analisis regresi. Variabel dan konsep yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah variabel-variabel pengetahuan organik, harga, pengetahuan lingkungan, dan kesehatan. Sedangkan definisi operasional adalah penyebaran konsep dalam kegiatan yang lebih kongkret. Hal ini dilakukan dengan mencari indikator yang tepat dari masing-masing variabel sehingga variabelvariabel tersebut dapat dihitung dengan tepat. Rancangan model penelitian ini menggunakan analisis faktor dalam menganalisis faktor-faktor perilaku konsumen terhadap produk ramah lingkungan. Model ini merupakan perpaduan dua model yaitu model struktural yang menghubungkan antar peubah laten/faktor, dan model pengukuran yang menerangkan keterkaitan peubah laten dengan

Target Populasi Populasi terjangkau Kerangka Sampel Sampel

indikator-indikatornya. Peubah laten adalah peubah yang tidak dapat diukur secara langsung dan informasinya diperoleh dari indikatorindikator penyusunnya. HASIL DAN PEMBAHASAN Dalam penelitian ini yang bertidak sebagai variabel eksogen adalah variabel Pengetahuan organik (X1), Pengetahuan lingkungan (X2), Pengetahuan kesehatan (X3), Harga (X4), dan Norma subjektif (X5), sedangkan variabel endogen adalah Sikap terhadap produk organik (Y1), Niat terhadap produk organik (Y2) dan Perilaku konsumen organik (Y3). Dari hasil analisis data dengan menggunakan SEM, dapat dilihat variabel yang memprediksi positif terhadap sikap pada produk organik terhadap yaitu norma subjektif (X5) sebesar 0.67, pengetahuan organik (X1) sebesar 0.32, pengetahuan lingkungan (X2) sebesar 0.30, dan pengetahuan kesehatan (X3) sebesar 0.31. Sementara variabel harga (X4) memprediksi negatif pada sikap terhadap produk organik yaitu sebesar -0.04. Sedangkan sikap terhadap produk organik dapat memprediksi niat untuk membeli produk organik sebesar 0,72 dan niat untuk membeli produk organik dapat memprediksi perilaku konsumen organik sebesar 0,64. Setelah model pengukuran dari model penelitian yang valid dan reliabel diperoleh, langkah berikutnya adalah melakukan analisis model struktural dari model penelitian, dimana analisis ini berkaitan dengan uji hipotesishipotesis penelitian. Hipotesis penelitian diterima jika angka absolut nilai t > 1,96 dengan tanda koefisien sesuai dengan hipotesis penelitian yang diajukan (positif atau negatif).

Tabel 1. Target sampel Konsumen Produk Organik di Medan Konsumen yang mengujungi pasar yang membeli produk organik di Medan Konsumen yang membeli produk makanan organik di Sumatera Utara Konsumen yang membeli produk ramah lingkungan pada : Koperasi JAPPSA (Jaringan Pemasaran Produk Selaras Alam), LSM BITRA (Bina Keterampilan Pedesaan Indonesia), Pasar Ramai, Pasar Beruang, CV. Chandika, CV. Rahmad Paralim, CV. Puri Kencana, PT. Natural Nusantara, dan Anugrah Makmur Sejati

89


Analisis Faktor-Faktor Minat Beli Konsumen Terhadap Produk Ramah Lingkungan (Nobrya Husni dan Porman Juanda Marpomari Mahulae)

Gambar 1. Hasil analisis data dengan menggunakan listrel 8.5.

Gambar 2. Hasil perhitungan Lisrel T-Value.

90


Inovasi Vol. 10 No. 2, Juni 2013: 85-96

Tabel 2. Hasil uji signifikansi model struktural penelitian Nilai t hitung

Pengaruh Antar Variabel Laten

Kesimpulan Hasil Uji Signifikansi

H1: Pengaruh pengetahuan organik (X1) terhadap Sikap pada produk organik (Y1)

0,74

H1 ditolak, data mendukung model penelitian

H2 : Pengaruh pengetahuan lingkungan (X2) terhadap Sikap pada produk organik (Y1) H3 : Pengaruh pengetahuan kesehatan (X3) terhadap Sikap pada produk organik (Y1) H4 : Pengaruh harga (X4) terhadap Sikap pada produk organik (Y1) H5 : Pengaruh norma subjektif (X5) terhadap Sikap pada produk organik (Y1) H6 : Pengaruh sikap pada produk organik (Y1) terhadap Niat pada produk organik (Y2) H7 : Pengaruh Niat pada produk organik (Y2) terhadap Prilaku konsumen organik (Y3 Sumber : Data Primer Diolah, 2012

1,83

H2 ditolak, data mendukung model penelitian H3 diterima, data mendukung model penelitian H4 ditolak, data mendukung model penelitian H5 diterima, data mendukung model penelitian H6 diterima, data mendukung model penelitian H6 diterima, data mendukung model penelitian

Hasil analisis Structural Equation Modeling (SEM) menunjukkan bahwa model hipotesis atau model teori sudah mampu menjelaskan fakta empiris yang ada di lapangan walaupun masih ada variabel yang memiliki nilai faktor muatan < 1,96 dimana model tersebut merupakan model yang paling optimal. Dari hasil analisa data sebagaimana pada Tabel 2, terlihat bahwa hanya variabel norma subjektif dan pengetahuan kesehatan yang dapat mempengaruhi sikap pada produk organik secara positif dan signifikan, sementara itu variabel pengetahuan lingkungan, pengetahuan organik dan harga tidak dapat menunjukkan hasil yang signifikan terhadap sikap pada produk organik. Selanjutnya pengaruh sikap pada produk organik terhadap niat pada produk organik adalah positif dan signifikan serta pengaruh niat pada produk organik terhadap perilaku konsumen organik adalah positif dan signifikan. Dari hasil diatas maka terlihat bahwa pengaruh dari lingkungan pergaulan dan kepedulian terhadap kesehatan sangat mempengaruhi konsumen untuk membentuk prilaku membeli produk organik. Dari survey yang dilakukan diketahui bahwa pengetahuan responden tentang manfaat makanan organik bagi kesehatan sudah cukup baik, dimana responden telah merasakan secara langsung manfaat kesehatan yang diperolehnya. Salah satunya adalah dapat memperoleh manfaat kesehatan jangka panjang lainnya dengan cara diet makanan organik yang lebih sehat dimana bila dikombinasikan dengan perilaku hidup sehat dapat membantu menyingkirkan penyakit dalam di tubuh. Selain itu makanan organik membuat konsumen mendapatkan manfaat dari setiap kalori

1,98 -0,93 2,68 8,03 6,32

makanan dengan pasti, mencegah penambahan kalori, mempertahankan berat badan ideal dan membantu penurunan berat badan. Selain itu responden juga mengetahui konsumsi makanan organik dapat membantu meminimalkan zat beracun yang dapat tertelan melalui makanan. Racun berbahaya dalam makanan dapat menyebabkan beberapa masalah kesehatan seperti risiko kanker. Produk organik saat ini masih sulit dijangkau oleh masyarakat di Kota Medan secara luas. Selain faktor harganya yang lebih tinggi dibandingkan sayuran non organik, masyarakat juga belum sepenuhnya memahami manfaat produk pertanian bagi kesehatan sehingga produk pertanian ini masih sedikit diserap pasar. Tingginya harga produk sayur organik selama ini ditenggarai karena tingginya biaya produksi dan rendahnya kapasitas produksi organik jika dibandingkan dengan produk anorganik, sehingga membuat konsumen mempertimbangkan membeli produk organik. Kesadaran akan harga tidak dapat dibuktikan, dimana tidak didukung dengan semua hipotesis. Hasil ini tidak konsisten dengan penelitian yang menunjukkan harga merupakan variabel yang signifikan dalam pembelian organik (Lea and Worsley, 2005). Namun pada hipotesis yang didukung menunjukkan bahwa peningkatan pengetahuan organik meningkatkan tingkat sikap positif digelar. Hasil uji tersebut tidak didukung, ini menunjukkan bahwa pengetahuan tidak memiliki efek pada sikap pembelian dan perilaku. Hal ini mungkin disebabkan oleh fakta bahwa meskipun konsumen mengekspresikan sikap positif mereka mungkin masih skeptis terhadap klaim produk organik yang tercermin dalam pembelian mereka, dimana hal ini berati 91


Analisis Faktor-Faktor Minat Beli Konsumen Terhadap Produk Ramah Lingkungan (Nobrya Husni dan Porman Juanda Marpomari Mahulae)

penelitian ini sesuai dengan penelitian sebagaimana yang dilakukan Lockie et al. (2002). Keputusan pembelian produk organik, responden tidak hanya dipengaruhi oleh faktor internalnya (sikap) tetapi juga dipengaruhi oleh faktor eksternal di luar produk tersebut yaitu norma subjektif. Norma subyektif melihat pengaruh dari orang dalam lingkungan sosial seseorang pada niat perilakunya dan keyakinan orang yang dihitung dengan pentingnya satu atribut untuk masing-masing pendapat mereka yang akan mempengaruhi niat perilaku seseorang. Diasumsikan bahwa norma subyektif ditentukan oleh total keyakinan normatif diakses mengenai harapan acuan penting. Dalam mengambil keputusan pembelian, responden tidak hanya dipengaruhi oleh faktor internalnya (sikap), tetapi juga dipengaruhi oleh faktor eksternal diluar produk tersebut yaitu norma subjektif. Berdasarkan ini sikap berpengaruh positif dan signifikan terhadap niat untuk membeli produk organik dan diikuti dengan timbulnya tindakan membeli produk organik. Untuk melakukan sesuatu yang penting, biasanya konsumen organik mempertimbangkan apa harapan orang lain (orang-orang terdekat, keluarga, teman, suami/istri) terhadap dirinya. Dalam kajian ini peran norma subjektif signifikan terhadap sikap pada produk organik yang berarti konsumen organik lebih banyak mendapatkan pengaruh untuk menjadi konsumen organik berasal dari orang-orang sekitarnya yang terlebih dahulu telah menjadi konsumen organik yang dimotivasi untuk mengikuti pendapat orang lain. Dengan demikian tekanan sosial mempengaruhi sikap konsumen produk organik yang didukung oleh penelitian Tarkiainen dan Sundqvist (2005). Produk-produk ramah lingkungan yang terdapat di Sumatera Utara yang dapat digunakan dalam membangun kecintaan masyarakat terhadap produk Indonesia masih sebatas hasil-hasil produk pertanian yang mulai banyak dijumpai di pasaran. Keberadaan berbagai produk ramah lingkungan tersebut masih ditandai dengan berbagai permasalahan dalam pengelolaannya mulai dari tingkat budidaya, produksi, pasca panen maupun pemasaraannya. Di pihak lain, keterlibatan pemerintah daerah khususnya instansi terkait dalam melakukan pembinaan terhadap pengembangan produk ramah lingkungan ini ditandai dengan masih sangat rendahnya komitmen di dalam pengembangan produk ramah lingkungan di daerah ini. Selain itu juga minat para petani untuk pengembangan pertanian organik juga masih sangat rendah

sebagai akibat masih belum adanya jaminan harga terhadap produk-produk ramah lingkungan yang selama ini beredar di pasaran. Adapun beberapa produk dan perusahaan yang sudah mengembangkan produk ramah lingkungan di Sumatera Utara, antara lain sebagai berikut : 1. CV. Puri Kencana beralamat Jl. Bukit Barisan No.25 Medan, Sumatera Utara Indonesia. Perusahaan menyediakan Kratom asli dan extract. Kratom adalah sangat populer di pasar. Perusahaan ini salah satu pemasok mencoba untuk memberikan produk yang baik dengan kualitas yang baik dan dengan nilai-nilai tambah tidak hanya dalam daun kratom tetapi dalam ekstrak kratom. Mayoritas kratom tersedia saat ini adalah dari hutan liar dan hanya ada beberapa tempat khusus kratom yang tumbuh secara alami dan organik. 2. PT. Natural Nusantara Indonesia beralamat Jl. Sisingamangaraja Gg. Purnama No.1 Samping CV. Domestik Gold Trayek Medan 20118 yang menjual obat-obat untuk kebutuhan laki-laki. Ramuan obat ini berasal dari produk-produk yang bersifat alami dan natural. 3. Klinik Sukses Tani - Kopi Luwak Sidilakang yang memang sudah terkenal di dunia. Bagi penggemar kopi sejati tentu saja kenal kopi Sidikalang, dimana produk Kopi Luwak Arabika Sidikalang merupakan salah satu kopi yang dihasilkan asli dari tanah Sumatera Utara. Hampir setiap daerah di Sumatera memiliki kopi khas dan sebahagian besar. Kopi Luwak Sidikalang ini asli dari hasil permenatasi hewan liar Fam Viverridae yang berasal dari perkebunan kopi organik di Kabupaten Dairi dan Kabupaten Pakpak Barat yang jauh dari keramaian juga polusi udara. 4. CV. Rahmad Paralim beralamat Jl. Sosro No.24 Medan- 20224 Sumatera Utara sebagai produsen tepung mocaf dengan kapasitas produksi 2 ton perhari. Usaha membuat tepung mocaf tanpa limbah. Selain bisa untuk menciptakan lapangan kerja sendiri, juga bisa untuk membantu warga di sekitar anda ikut bekerja mengelola limbah turunannya, baik untuk dijadikan nata de mocaf atau produk turunan yang lain sehingga menjadikan proses produksinya bersih, tidak mengganggu lingkungan dan aman bagi kehidupan. 5. CV. Anugerah Makmur Sejati beralamat di Komplek Serdang Medan-20233 Sumatera Utara sebagai penghasil Nano VCO yang dibuat dengan higienes tanpa campuran dan telah teruji di Laboratorium Sucofindo 92


Inovasi Vol. 10 No. 2, Juni 2013: 85-96

6.

7.

Medan dan produknya 100% murni dengan proses alami dan organik. Nata de coco adalah hidangan penutup yang terlihat seperti jeli, berwarna putih hingga bening dan bertekstur kenyal yang merupakan makanan yang dihasilkan dari fermentasi air kelapa. JAPPSA (Jaringan Pemasaran Produksi Selaras Alam) beralamat di Jalan Setia Budi Medan menjual hasil-hasil produk organik di Sumatera Utara, diantaranya beras organik (KKB, Ramos, dan Pandan Wangi) yang bersumber dari Desa Lubuk Bayas, Serdang Bedagai, Kecamatan Namorambe dan Sibolangit Kabupaten Deli Serdang, Kabupaten Toba Samosir, Sisandi, Desa Baruara dan Kabupaten Tanah Karo di Desa Rumah Berastagi Kecamatan Berastagi. Selain menjual beras, JAPPSA juga menjual sayuran dan beraneka ragam makanan lainnya. BITRA Indonesia (Bina Keterampilan Pedesaan Indonesia) berlamat di Jl. Bahagia By Pass No.11/35 Medan-20218 Sumatera Utara. Selain membina petani organik, BITRA juga mencoba menghasilkan produkproduk organik seperti susu kedele dan obat-obatan alami.

tersebut adalah produk yang potensial untuk dikembangkan dalam suatu wilayah dengan memanfaatkan sumberdaya alam, sumberdaya manusia dan teknologi serta ramah lingkungan sehingga tercipta keunggulan bersaing yang siap menghadapi persaingan global. Untuk pengembangan produk-produk ramah lingkungan dalam upaya membangun citra masyarakat untuk cinta produk Indonesia di Sumatera Utara, dapat dilakukan dengan membangun berbagai aspek antara lain : • Kebijakan pemerintah Berkembangnya UKM sebagai penghasil produk massal yang dikonsumsi masyarakat, membuat kegiatan ini menghasilkan limbah yang beresiko merusak lingkungan. Karenanya, regulasi Pemerintah terkait dengan UKM agar lebih terkonsep dan memuat himbauan agar pengolahan produk pada UKM bersifat ramah lingkungan. • Kelembagaan Untuk mendukung regulasi yang dikeluarkan pemerintah diperlukan sinergitas antara pengusaha dan Pemerintah, sehingga konsep yang dihasilkan dapat disebarluaskan kepada para pelaku UKM. • Sosialisasi bagi pelaku usaha/operator Sosialisasi dapat dilakukan melalui seminarseminar yang diadakan oleh Pemerintah khusus bagi pelaku UKM, maupun lembaga sertifikasi organik atau lembaga pelatihan lain yang bersifat independen. Untuk itu, pemerintah daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota di Sumatera Utara dapat melakukan fasilitasi/pendampingan terhadap berbagai lembaga sebagai infrastruktur penunjang maupun terhadap pelaku (operator). Sasaran utama dalam pendampingan agar lembaga/operator paham terhadap sistem pengembangan produk ramah lingkungan khususnya pertanian organik yang diwujudkan dalam Dokumen Sistem Mutu. Selain itu, Pemerintah Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota di Sumatera Utara juga dapat melakukan upaya harmonisasi standar dengan negara lain dengan fungsi pemerintah selaku regulator mempunyai kewenangan mengatasi klaim yang marak terjadi di masyarakat pada akhir-akhir ini. Kementerian Pertanian RI juga juga perlu menerbitkan regulasi terkait produk ramah lingkungan sebagai bentuk dukungan terhadap sistem pertanian berbasis organik yang ramah lingkungan yang saat ini sedang ada penyusunan peraturan terkait produk organik. Kualitas produk pangan organik saat ini ditangani oleh lembaga sertifikasi yang menentukan apakah

Dalam Peraturan Pemerintah No.102 Tahun 2000 tentang Standardisasi Nasional disebutkan bahwa salah satu tujuan standardisasi nasional adalah meningkatkan perlindungan konsumen, pelaku usaha dan masyarakat untuk keselamatan, kesehatan maupun pelestarian fungsi lingkungan hidup. Dalam perdagangan dunia yang sudah tidak lagi mengenal batas negara, standardisasi mempunyai peranan penting dan perlu terus dikembangkan guna menunjang peningkatan mutu barang dan jasa dalam menghadapi persaingan yang semakin ketat. Di samping itu dengan semakin meningkatnya pembangunan di sektor industri dan perdagangan, maka timbullah berbagai masalah sebagai akibat dari proses pembanguan tersebut yang berupa resiko gangguan dan kerusakan lingkungan. Keadaan ini semakin diperparah oleh pelaku usaha/industri dalam menggunakan sumber daya alam yang ada tanpa memperhitungkan resiko kerusakan alam tersebut untuk generasi mendatang. Pemerintah Provinsi Sumatera Utara dalam pengembangan produk ramah lingkungan di daerah ini sebenarnya dapat membuat kebijakan sebagaimana yang dilakukan Provinsi Jawa Timur dengan Peraturan Daerah No. 2 Tahun 2010 tentang Tata Kelola Produk-Produk Unggulan Pertanian dan Perikanan di Jawa Timur, dimana produk-produk unggulan 93


Analisis Faktor-Faktor Minat Beli Konsumen Terhadap Produk Ramah Lingkungan (Nobrya Husni dan Porman Juanda Marpomari Mahulae)

sebuah produk pangan masuk dalam kategori organik atau tidak. Lembaga sertifikasi ini menjaga kualitas produk pangan organik sebelum adanya peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah. Lembaga sertifikasi ini sendiri berada di bawah pengawasan Komite Akreditasi Nasional, dimana komite tersebut diawasi oleh lembaga sertifikasi internasional. Selama ini sertifikasi terhadap sebuah produk tidak diwajibkan karena mahalnya biaya proses sertifikasi terlebih lagi bagi petani. Selain itu, kewajiban sertifikasi diyakini juga bakal mematikan produk pangan organik lokal dan menyuburkan produk impor. Untuk itu, pemerintah harus siap membantu proses sertifikasi bagi petani yang serius untuk menghasilkan produk organik secara berkelanjutan.

produk Indonesia di daerah ini, dengan produkproduk ramah lingkungan yang dihasilkan antara lain adalah kratom, kopi luwak Sidilakang, nata de coco, beras, sayuran, buahbuahan, susu kedele dan obat-obatan alami serta kopi organik. REKOMENDASI 1. Pemerintah Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota melalui Dinas Pertanian dan Badan Ketahanan Pangan di Sumatera Utara untuk pengembangan produkproduk-produk pertanian organik perlu secara bersama-sama melakukan sosialisasi produk ramah lingkungan guna meningkatkan kesadaran akan pentingnya produk ramah lingkungan bagi konsumen maupun bagi masyarakat secara keseluruhan melalui mengembangkan pengetahuan masyarakat tentang lingkungan dan produk organik daerah ini. 2. Perlu adanya kerjasama antara LSM BITRA (Bina Keterampilan Pedesaan Indonesia), JAPPSA (Jaringan Pemasaran Produk Selaras Alam) dengan Dinas Pertanian dan Badan Ketahanan Pangan Provinsi dan Kabupaten/Kota di Sumatera Utara untuk mensosialisasikan produk organik kepada masyarakat pada setiap event-event penting yang dilakukan pemerintah daerah. 3. Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota di Sumatera Utara perlu membuat kebijakan dalam bentuk peraturan daerah tentang produk organik dan produk ramah lingkungan guna meningkatkan daya saing produk-produk lokal di pasaran global yang menuntut produkproduk yang ramah lingkungan dan meningkatkan cinta produk dalam negeri. 4. Kementerian Pertanian RI agar dapat menerbitkan peraturan terkait produk pangan organik guna merangsang pengembangan pertanian organik di daerah dan memberikan perlindungan bagi petani dan konsumen organik. 5. Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota di Sumatera Utara perlu mendorong pelaku-pelaku pertanian organik dalam penserfikasian produk-produk organik yang dihasilkan dengan dukungan instansi terkai di daerah sehingga ada jaminan kualitas dan keamanan sesuai dengan standar nasional maupun standar internasional guna menyakinkan konsumen untuk membeli produk ramah lingkungan tersebut.

KESIMPULAN Dari penelitian yang telah dilakukan terlihat bahwa kondisi pasar produk ramah lingkungan di Sumatera Utara khususnya produk organik masih sangat terbatas karena masih rendahnya kesadaran konsumen untuk membeli produk organik, hal ini juga terlihat dengan masih sedikitnya perusahaan yang memproduksi produk organik. Konsumen yang secara rutin membeli produk organik tidak sampai 500 orang, namun potensi pasar produk ramah lingkungan masih bisa dikembangkan karena setiap tahun terjadi peningkatan paling sedikit 10% sejalan dengan semakin meningkatnya tingkat kesejahteraan masyarakat khususnya yang berada di perkotaan dan seiring dengan meningkatnya pengetahuan tentang lingkungan dan produk organik. Konsumen sudah mulai mempertimbangkan untuk mengkonsumsi produk organik guna mengurangi dampak negatif produk berbahan kimia bagi kesehatan sehingga turut mendorong berkembangnya pasar-pasar produk organik atau pasar hijau di Sumatera Utara. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi dalam penggunaan produk organik adalah: pengetahuan organik, pengetahuan lingkungan, pengetahuan kesehatan, pengaruh harga; pengaruh norma subjektif terhadap pengaruh sikap; pengaruh niat; serta perilaku konsumen organik. Berdasarkan analisis dari faktor-faktor tersebut diperoleh bahwa faktor kesehatan dan faktor norma subjektif mempengaruhi konsumen untuk menggunakan produk organik. Sedangkan faktor-faktor lainnya tidak dapat mempengaruhi konsumen untuk menggunakan produk organik di Sumatera Utara. Produkproduk organik ramah lingkungan yang terdapat di Sumatera Utara dapat digunakan untuk membangun citra masyarakat untuk cinta 94


Inovasi Vol. 10 No. 2, Juni 2013: 85-96

Keputusan Pembelian Melalui Minat Membeli Produk Organik (Studi Pada Pelanggan Produk Organik di Kota Manado). Thesis Pascasarjana Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya Malang.

DAFTAR PUSTAKA Ajzen, I. dan Fishbein, M. 1980. Understanding Attitudes and Predicting Social Behavior. New Jersey: Prentice Hall. Becker, G.S. dan Murphy K. M. 2001. Social Economics: Market Behavior in a Social Environment. Massachusetts: Harvard University Press

Millock, K. Hansen, L.G. Wier, M. Anderson, L.M. 2002. Willingness to Pay for Green Foods: A Comparison between Survey Data and Panel Data from Denmark. http://orgprints.org/00001754

Engel J.F., Blackwell R. D. dan P.W. Miniard. 1995. Perilaku Konsumen (Translation of Consumer Behavior Six Edition). Jakarta: Binarupa Aksara.

Mowen, J. dan M, Minor. 2002. Perilaku Konsumen (Edisi Konsumen Jilid I). Jakarta: Penerbit Erlangga.

Ferdinand, A. 2002. Structural Equation Modeling Dalam Penelitian Manajemen. Fakultas Ekonomi Universitas Diponegoro.

Mutlu, N. 2007. Consumer Attitude and Behaviour Towards Organic Food : Cross-Cultural Study of Turkey and Germany. Thesis Institute for Agricultural Policy and Markets Universitat Hohenheim.

http://www.greenradio.fm/news/1-latestnews/5160. [Diakses pada 24/09/2012]

Naoimi, Nadia. 2011. Analisis Perilaku Konsumsi Produk Ramah Lingkungan pada Remaja: Aplikasi Model AIDA (Attention, Interest, Desire, and Action). Thesis Institut pertanian Bogor.

Hutchins, R. dan Greenhalgh, L. 1997. Organic confusion: sustaining competitive advantage. British Food Journal, hal 336-338.

Peraturan Pemerintah No. 102 Tahun 2000 tentang Standardisasi Nasional.

Johri L. Dan Sahasakmontri, K. 1998. Green marketing of Cosmetic and Toiletries in Thailand. The Journal of Consumers Marketing. hal 265 – 281.

Pujari, D. Wright, G. dan Peattie, K. 2003. Green And Competitive, Influences On Environmental New Product Development Performance. Journal of Business Research 56 hal 657– 671.

Juneadi, M.F. dan Shellyana. 2006. Pengembangan Model Perilaku Konsumen Berwawasan Lingkungan di Indonesia: Studi Perbandingan Kota Metropolitan dan Non Metropolitan. Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia. vol 21 No. 4 hal 399 – 419.

Radman, M. 2005. Consumer consumption and perception of organik products in Croatia. British Food Journal. 107(4) hal 263-273.

Kotler, Philip. 2002. Manajemen Pemasaran Analisis Perencanaan Implementasi dan Kontrol (Jilid I). Jakarta: Penerbit Prenhallindo.

Reksoprayitno, S. 2000. Pengantar Ekonomi Mikro. Edisi Millenium. Yogyakarta: Penerbit BPFE UGM.

Lanasier, E.V. 2002. Perilaku Konsumen Hijau Indonesia : Tinjauan Sudut Demografi dan Psikografi. Jurnal Media Riset Bisnis and Manajemen. vol 2 no. 2 hal 89 -111.

Roberts, J. A. dan Bacon, D.R. 1997. Exploring The Subtle Relationship Between Environmental Concern and Ecological Conscious Consumer Behavior. Journal of Business Research. 40 hal 79-89.

Lea, E. J. dan Worsley. 2007. Australian consumers' food-related environmental beliefs and behaviours. Appetite. June Edition.

Tedjakusuma, Ritawati. Hartini, Sri. dan Muryani. 2001. Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perilaku Konsumen Dalam Pembelian Air Minum Mineral di Kota Surabaya. Jurnal Penelitian Dinamika Sosial. vol. 2 no.3 hal 58 -58.

Lockie, S. Lyons, K. Lawrence, G. dan Mummery, K. 2002. Eating ‘Green”: Motivations behind organik food consumption in Australia. European Society for Rural Sociology 41(1) hal 23-40.

Sapp, S. G. 1991. Impact of nutritional knowledge within an expanded rational expectations model of beef consumption. Journal of Nutrition Education. 23(5) hal 214-222.

Lyons, K. Lockie, S. dan Lawrence, G. 2001. Consuming ‘Green’: the Symbolic Construction of Organik Foods. Rural Society 11(3) hal 197-210.

Sjoberg, L. Engelberg, E. 2005. Lifestyles and Risk Perception Consumer Behavior. International Review of Sociology. vol. 15 no. 2 hal 327-362.

Magnusson, M. Arvola, A. Hursti, U. Aberg, L. dan Sjoden, P. 2001. Attitudes towards organic foods among Swedish consumers. British Food Journal 103(3) hal 209-226.

Suminto. 2011. Kajian Penerapan Ekolabel Produk di Indonesia. Jurnal Standardisasi. vol. 13 no. 3 hal 201 – 206.

Mangkunegara, A. P., 2009. Perilaku Konsumen (Cetakan Keempat). Bandung: PT. Rafika Aditama.

Supranto, J. dan Limakrisna N. 2011. Perilaku Organisasi dan Strategi Pemasaran Untuk memenangkan Persaingan Bisnis. Jakarta: Mitra Wacana Media.

Manongko, A. A.Ch. Setiawan, M. dan Susilowati, C. 2011. Green Marketing dan Pengaruhnya Terhadap 95


Analisis Faktor-Faktor Minat Beli Konsumen Terhadap Produk Ramah Lingkungan (Nobrya Husni dan Porman Juanda Marpomari Mahulae)

Tarkiainen, A. dan Sundqvist, S. 2007. Subjective norms, attitudes and intentions of Finnish consumers in buying organik food. British Food Journal. 107 hal 808-822. Zepri, Z. 2009. Analisis Karakteristik dan Perilaku Konsumen Sayuran Organik (Studi Kasus Di Hero) Supermarket Plaza Senayan Jakarta Pusat. Thesis Institut Pertanian Bogor.

96


Kondisi dan Aspirasi Nelayan Tentang Kesejahteraan Sosial di Provinsi Sumatera Utara (Dwi Indah Purwanti, Dumora Jenny Margaretha Siagian dan Jonni Sitorus)

Hasil Penelitian KONDISI DAN ASPIRASI NELAYAN TENTANG KESEJAHTERAAN SOSIAL DI PROVINSI SUMATERA UTARA (CONDITION AND ASPIRATION OF FISHERMEN FOR SOCIAL WELFARE AT NORTH SUMATERA PROVINCE) Dwi Endah Purwanti, Dumora Jenny Margaretha Siagian, Jonni Sitorus Badan Penelitian dan Pengembangan Provinsi Sumatera Utara Jl. Sisingamangaraja No. 198 Medan 20126 Telp.(061) 7866225; Fax.(061) 7366248; email: dwipurwanti_73@yahoo.co.id

Diterima: 12 April 2013; Direvisi: 25 Mei 2013; Disetujui: 10 Juni 2013

ABSTRAK Kemiskinan nelayan tradisional merupakan permasalahan yang terjadi hampir di seluruh wilayah Indonesia, tidak terkecuali Sumatera Utara. Data dari Kementerian Kelautan dan Perikanan tahun 2011 menyatakan bahwa hampir seperempat dari seluruh total penduduk miskin yang berada di Indonesia adalah dari kelompok dan keluarga nelayan tradisional di pesisir. Kemiskinan di kalangan nelayan hampir seperti lingkaran setan, sehingga diperlukan suatu kebijakan untuk memotong lingkaran kemiskinan tersebut berupa program-program peningkatan kesejahteraan sosial para nelayan. Penelitian ini dilaksanakan untuk melihat kondisi dan aspirasi nelayan terhadap kesejahteraan sosial. Dengan mengetahui kondisi dan aspirasi nelayan tersebut diharapkan dapat memberi masukan dalam merumuskan program dan kegiatan yang sesuai dengan keinginan dan kebutuhan para nelayan. Penelitian berjenis deskriptif kualitatif ini dilaksanakan di 4 (empat) Kabupaten/Kota di Sumatera Utara yakni Kota Medan, Tanjungbalai, Sibolga dan Kabupaten Batubara dengan sample sebanyak 120 keluarga dengan teknik pengambilan data berupa observasi, kuesioner, Forum Group Discussion (FGD) dan wawancara mendalam, yang semuanya ditujukan untuk memperoleh gambaran yang mendalam tentang kondisi kesejahteraan sosial para nelayan dan aspirasi mereka terhadap kesejahteraan sosial. Data dianalisa menggunakan model analisis interaktif, dengan langkah-langkah meliputi: pengumpulan data (data collection), penyederhanaan data (data reductional), penyajian data (data display), dan pengambilan keputusan serta verifikasi (conclusion and verification). Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa tingkat kehidupan nelayan masih dikategorikan rendah. Sedangkan aspirasi sosial dalam persepktif nelayan di Sumatera Utara adalah tata kehidupan nyaman, tenang, dan aman yang memungkinkan kelancaran berusaha untuk memenuhi kebutuhan material, spiritual, dan sosial. Nelayan juga mendefinisikan sukses apabila mereka memiliki rumah, bisa menyekolahkan anak, memiliki sampan sendiri dan tidak sakit-sakitan. Dari penelitian ini dapat direkomendasikan kepada Pemerintah Provinsi Sumatera Utara bahwa dalam upaya meningkatkan kesejahteraan sosial para nelayan Pemerintah Provinsi Sumatera Utara harus lebih membuka akses nelayan terhadap pelayanan publik, utamanya kesehatan, pendidikan, sarana air bersih, transportasi lokal dan sarana dan prasarana ekonomi. Disamping itu pemerintah juga harus lebih memberdayakan nelayan, antara lain dengan memberikan bimbingan motivasi dan sosial, peningkatan kemampuan kewirausahaan, peningkatan kemampuan management keluarga, dan bimbingan ketrampilan kerja. Kata kunci: nelayan, kesejahteraan sosial, kemiskinan, aspirasi

ABSTRACT Traditional Fishermen’s poverty is a problem that occurs in almost all parts of Indonesia, North Sumatra is no exception. Data from the Ministry of Maritime Affairs and Fisheries in 2011 states that nearly a quarter of the total poor population in Indonesia is from of the group of traditional fishermen in the coastal. Poverty among fishermen almost like a vicious circle. So we need a policy to cut the cycle of poverty in the form of programs to improve the social welfare of the fishermen. This study was conducted to see the condition and aspiration of the fishermen for social welfare. By knowing the conditions and aspirations of fishermen are expected to provide input in the formulation of programs and activities in accordance with the wishes and needs of

97


Inovasi Vol. 10 No. 2, Juni 2013: 97-110

the fishermen. This descriptive qualitative study was carried out in 4 (four) city in North Sumatera, namely Medan, Tanjungbalai, Sibolga and Batubara with a sample of 120 families through data collecting techniques such as observation, questionnaires, Focus Group Discussion (FGD) and in-depth interviews, are all intended to obtain in-depth overview of social welfare conditions of the fishermen and their aspirations for social welfare. Data were analyzed using the interactive model, the steps include: collection of data (data collection), simplification of data (data reductional), presentation of data (data display), and the decision-making and verification (conclusion and verification). Results of the study showed that the level of fishermen life is still considered as a low life. While social aspirations in perspective fishermen in North Sumatra is the livelihood comfortable, quiet, and safe which enables effort fluency to meet the needs of material, spiritual, and social. Fishermen also define success if they have a home, can send their children to school, have their own boat and not sickly. From this study it can be recommended to the Government of North Sumatra Province that in an effort to improve the social welfare,the Government of North Sumatra Province should be more open access to public services fishermen, especially health, education, clean water, local transportation and economic infrastructure. Besides, the government should further empower fishermen, among others, by providing guidance and social motivation, entrepreneurial capacity building, improved family management skills, and counseling skills. Key words: fishermen, social welfare, poverty, aspiration

Kemiskinan sering pula memicu sebuah lingkaran setan karena penduduk yang miskin sering menjadi sebab rusaknya lingkungan pesisir, namun penduduk miskin pulalah yang akan menanggung dampak dari kerusakan lingkungan. Dengan kondisi tersebut, tidak mengherankan jika nelayan masih terjerat dalam kondisi yang tidak sejahtera. Persepsi tersebut dapat dilihat pada hasil pengamatan langsung terhadap realitas kehidupan masyarakat nelayan atau melalui pemahaman terhadap hasil-hasil penelitian terdahulu. Menteri Kelautan dan Perikanan, Fadel Muhammad pada tahun 2011 menyatakan bahwa hampir seperempat dari seluruh total penduduk miskin yang berada di Indonesia adalah dari kelompok dan keluarga nelayan tradisional di pesisir. Diketahui jumlah nelayan miskin dan anggota keluarganya sebanyak 7,87 juta orang atau 25,14 persen dari total penduduk miskin nasional yang sebanyak 31,02 juta orang. Fadel Muhammad juga memaparkan, jumlah 7,87 juta orang tersebut berasal dari sekitar 10.600 desa nelayan miskin yang terdapat di kawasan pesisir di berbagai daerah di Tanah Air. Nelayan kerapkali disebut-disebut sebagai masyarakat termiskin dari kelompok masyarakat lainnya. Berdasarkan data mengenai kemiskinan, disebutkan bahwa sebanyak 108,78 juta orang atau 49% dari total penduduk Indonesia dalam kondisi miskin dan rentan menjadi miskin. Selain itu, menurut Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2010 disebutkan bahwa penduduk miskin di Indonesia mencapai 34,96 juta jiwa dan 63,47% diantaranya adalah masyarakat yang hidup di kawasan pesisir dan pedesaan (VictorP. H. Nikijuluw, 2010). Sebagai perbandingan, jumlah desa miskin sebanyak 28.258 desa dari keseluruhan 73.067 desa di Indonesia.

PENDAHULUAN Indonesia adalah negara maritim yang mempunyai luas laut sekitar 70% dari total luas wilayah Indonesia (Profil Kelautan Indonesia, 1995). Potensi Sumber Daya Alam yang melimpah semakin menambah keyakinan bahwa negara Indonesia adalah negara maritim. Sebagai negara dengan potensi sumber daya kelautan yang besar, Indonesia menghadapi kondisi sosial ekonomi yang cukup ironis. Berdasarkan data statistik penduduk miskin, sebagian besar daerah kemiskinan di Indonesia adalah desa-desa yang berada di wilayah pesisir (DjokoPramono, 2005). Dengan pemahaman ini, sebagian besar penduduk miskin di Indonesia adalah kelompok masyarakat yang menggantungkan hidupnya dari hasil tangkapan laut. Kehidupan nelayan yang masih menggantungkan nasib kepada hasil laut, masih dalam taraf sederhana dengan pola mata pencaharian menggunakan teknologi tradisional. Di samping alat tangkap mereka sudah jauh tertinggal, mereka melaut juga pada area penangkapan yang terbatas di wilayah pesisir. Rendahnya daya jelajah nelayan ini, semakin menambah sulit nelayan memperbaiki kualitas hidupnya. Pada umumnya masyarakat nelayan yang tinggal di sekitar wilayah pesisir, terutama nelayan tradisional merupakan kelompok masyarakat yang lebih miskin dibandingkan kelompok masyarakat lain. Kondisi tingkat sosial ekonomi para nelayan tersebut bisa saja disebabkan oleh kondisi lingkungan dan alam yang tidak mendukung, pendidikan yang rendah, peralatan menangkap ikan yang belum memadai, atau tradisi dan faktor sosial yang tidak mendukung peningkatan kehidupan mereka. Tekanan terhadap sumber daya pesisir sering diperberat oleh tingginya angka kemiskinan di wilayah tersebut (Kusnadi, 2002). 98


Kondisi dan Aspirasi Nelayan Tentang Kesejahteraan Sosial di Provinsi Sumatera Utara (Dwi Indah Purwanti, Dumora Jenny Margaretha Siagian dan Jonni Sitorus)

Nelayan kecil hanya mampu memanfaatkan sumberdaya di daerah pesisir dengan hasil tangkapan yang cenderung terus menurun akibat dari berbagai masalah, antara lain persaingan antara pemilik modal dengan kapal besar dan penurunan mutu sumberdaya pantai. Hasil tangkapan nelayan menurun drastis sehingga berimbas pada pendapatan dan kesejahteraan keluarga. Hasil tangkapan nelayan mudah rusak sehingga melemahkan posisi tawar mereka dalam transaksi penjualan. Selain itu, pola hubungan eksploitatif antara pemilik modal dengan buruh dan nelayan, serta usaha nelayan yang bersifat musiman dan tidak menentu menyebabkan masyarakat miskin dikawasan pesisir cenderung sulit untuk keluar dari jerat kemiskinan dan belitan utang pedagang atau pemilik kapal (Febrianto & Rahardjo, 2005). Menurut Rokhmin Dahuri dan Rais Ginting (2001), terdapat beberapa faktor yang menyebabkan mereka masih tertinggal antara lain keadaan sumberdaya alam yang semakin menipis, kurangnya budaya menabung dan mengelola keuangan keluarga, serta struktur ekonomi atau tata niaga yang belum kondusif bagi kemajuan dan kemakmuran nelayan. Keterbelakangan sosial ekonomi ini menjadi hambatan potensial bagi mereka untuk mendorong dinamika pembangunan di wilayahnya. Sehingga kegiatan pembangunan perlu diarahkan untuk merubah kehidupan masyarakat nelayan semakin menjadi lebih baik dan sejahtera. Perencanaan dan implementasi pembangunan sudah seharusnya berisi usaha untuk memberdayakan mereka sehingga mereka mempunyai akses pada sumber-sumber ekonomi. Nampaknya tidak berlebihan apabila dinyatakan bahwa upaya untuk melawan kemiskinan dan kesenjangan nasional yang utama sesungguhnya berada di desa, terutama di desa nelayan. Pemerintah telah banyak mengeluarkan berbagai program untuk membantu masyarakat nelayan. Namun program tersebut masih belum berjalan dengan baik. Hal tersebut terjadi karena implementasi program tidak sesuai dengan konsep yang menjadi referensinya. Selain itu juga pemerintah kurang menyadari akan adanya faktor-faktor sosial yang perlu diperhatikan agar program tersebut tepat sasaran. Sehingga dalam kepentingan masyarakat nelayan, tidak bisa hanya melihat perspektif ekonomisnya saja, tapi juga perlu diliat perspektif sosiologi dan antropologinya. Secara alami ada interaksi yang sangat kuat antara ketersediaan sumber daya ikan, jumlah, perilaku, dan kapasitas nelayan serta ekonomi dari hasil usaha penangkapan. Oleh karena itu,

kemiskinan nelayan harus dipandang sebagai suatu sistem yang memiliki komponen saling berinteraksi. Dengan demikian pendekatan yang paling tepat dalam penanggulangan kemiskinan adalah dengan pendekatan kesisteman (Mubyarto,dkk). Provinsi Sumatera Utara juga merupakan salah satu daerah di Indonesia yang memiliki wilayah pesisir dengan panjang garis pantai 545 km di pantai timur dan 763,47 km di pantai barat. Wilayah pesisir timur Sumatera Utara terdiri dari 7 Kabupaten/Kota, yaitu: Kabupaten Langkat, Kota Medan, Kota Tanjung Balai, Kabupaten Asahan, Kabupaten Labuhan Batu, Kabupaten Deli Serdang dan Kabupaten Serdang Bedagai. Sedangkan wilayah Pantai Barat Sumatera Utara terdiri dari 6 (enam) Kabupaten/Kota yaitu: Kabupaten Tapanuli Tengah, Kota Sibolga, Kabupaten Tapanuli Selatan, Kabupaten Mandailing Natal dan Kabupaten Nias dan Kabupaten Nias Selatan. Berdasarkan data dari Dinas Kelautan dan Perikanan, jumlah nelayan di Sumatera Utara saat ini kurang lebih 128.000 jiwa dengan mata pencaharian lainnya adalah pengolahan dan pemasaran hasil perikanan. Berbagai kebijakan yang telah diambil oleh Dinas Kelautan dan Perikanan dan Dinas Kesejahteraan Sosial Provinsi Sumatera Utara untuk meningkatkan kesejahteraan keluarga nelayan, masih belum bisa mengangkat taraf hidup mereka. Kebijakan yang saat ini telah mereka ambil dapat dikelompokkan ke dalam 4 kelompok yaitu: 1) Pendekatan Individu yaitu pemberian Kartu Nelayan, Asuransi Nelayan dan Sertifikat Tanah Nelayan; 2) Pendekatan Kelompok yaitu pemberian bantuan kekelompok seperti Pembinaan Usaha Mina Pedesaan (PUMP) sektor Perikanan Tangkap, Budidaya, Pengolahan dan Pemasaran; 3) Pendekatan Sentra Produksi yaitu Peningkatan Infrastruktur, Sarana dan Prasarana terhadap masyarakat sekitar Pelabuhan Perikanan, baik Pelabuhan Samudra, Nusantara, Pantai dan PPI; dan 4) Pendekatan Kawasan yaitu Pengembangan Kawasan Minapolitan dan Industrialisasi Perikanan. Pada saat badai, kondisi ombak di pantai barat bisa mencapai tinggi 4 meter dan di pantai timur setinggi 2 meter. Kondisi itu menyebabkan masyarakat nelayan di Sumatera Utara yang umumnya masih tergolong nelayan tradisional tidak berani melaut karena khawatir terhadap keselamatan jiwa. Namun, sebagian nelayan tetap memaksakan diri melaut meski harus menghadapi besarnya ombak dan tidak mendapatkan ikan yang cukup banyak. Meskipun demikian kerasnya mereka bekerja di laut, namun mereka hanya mampu memenuhi kebutuhan pokok saja. Banyak faktor yang 99


Inovasi Vol. 10 No. 2, Juni 2013: 97-110

menyebabkan nelayan masih dianggap sebagai golongan marginal. Beberapa penyebab nelayan masih dalam kondisi yang belum sejahtera dan dianggap golongan marginal seperti cara penangkapan yang masih tergolong tradisional, pendidikan, dan sistem rantai penjualan. Di sisi lain, ada juga nelayan yang telah mulai mengembangkan potensi alam demi peningkatan kesejahteraannya. Seperti ratusan nelayan Jaring Halus di Langkat yang telah mulai membudidayakan ikan kerapu lumpur. Produksi ikan ini sudah cukup terkenal dan sudah diekspor ke beberapa negara tetangga. Menurut nelayan disana, dalam dua hari, produksi ikan ini bisa mencapai 300 kg dengan harga Rp 70.000 – Rp 75.000 per kilogramnya. Walaupun demikian, kondisi nelayan di sana juga masih memprihatinkan, karena kurangnya modal. Sehingga mereka membutuhkan bantuan modal dan peralatan. Dari beberapa permasalahan di atas, semakin perlu adanya usaha untuk membantu masyarakat desa pantai (pesisir) di Sumatera Utara dalam meningkatkan kesejahteraan mereka. Hal ini masih harus menjadi agenda penting dalam kegiatan pembangunan pada masa-masa mendatang. Dengan perkataan lain, pembangunan pedesaan pantai (wilayah pesisir) masih sangat relevan untuk ditempatkan sebagai prioritas pembangunan oleh Pemerintah Sumatera Utara. Hanya saja, pembangunan pedesaan pantai tidak hanya mencakup implementasi program peningkatan kesejahteraan sosial melalui distribusi uang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan dasar. Lebih dari itu adalah sebuah upaya dengan jangkauan kegiatan yang menyentuh pemenuhan berbagai macam kebutuhan sehingga segenap anggota masyarakat miskin di pedesaan pantai dapat mandiri, percaya diri, tidak bergantung dan dapat lepas dari belenggu struktur sosial budaya dan ekonomi yang membuat mereka miskin dan sengsara. Berbagai kajian mengenai kehidupan nelayan umumnya menekankan pada kemiskinan dan ketidakpastian perekonomian, karena kesulitan hidup yang dihadapi nelayan dan keluarganya (Acheson,1981, Emerson, 1980). Kehidupan nelayan dapat dikatakan tidak saja belum berkecukupan, melainkan juga masih terbelakang, termasuk dalam hal pendidikan. Keterbatasan sosial yang dialami nelayan memang tidak terwujud dalam bentuk keterasingan, karena secara fisik masyarakat nelayan tidak dapat dikatakan terisolasi atau terasing. Namun lebih terwujud pada ketidakmampuan mereka mengambilbagian dalam kegiatan ekonomi pasar secara menguntungkan, yang ditunjukkan oleh

lemahnya mereka mengembangkan organisasi keluar lingkungan kerabat mereka atau komunitas lokal (Boedhisantoso,1999). Dalam usaha peningkatan kesejahteraan sosial masyarakat nelayan ini, perlu adanya suatu komunikasi dua arah antara pembuat kebijakan atau pembuat program dan nelayan itu sendiri. Agar kebijakan, program atau bantuan yang akan dilaksanakan tepat sasaran dan sesuai dengan kebutuhan esensial dari nelayan dan keluarganya. Sehingga bantuan dan program yang diberikan tidak sia-sia, tapi dapat mengangkat kehidupan masyarakat nelayan dan keluarganya menjadi lebih baik dan sejahtera. Tiap nelayan pasti punya aspirasi yang berbedabeda untuk mendapatkan kualitas hidup yang lebih sejahtera. Sehingga perlu adanya kajian terhadap hal tersebut untuk mendapatkan suatu data dan informasi guna merumuskan kebijakan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat nelayan itu sendiri. Berdasarkan latar belakang dan permasalahan di atas, maka Badan Penelitian dan Pengembangan Provinsi Sumatera Utara bekerjasama dengan B2P3KS melakukan penelitian Kajian Perspektif dan Aspirasi Keluarga Nelayan Terhadap Kesejahteraan Sosial di Sumatera Utara. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui kondisi kehidupan nelayan di Sumatera Utara dan aspirasi mereka mengenai kesejahteraan sosial. METODE Penelitian dilakukan di empat (4) wilayah pesisir di Sumatera Utara, yaitu Kota Tanjung Balai, Kabupaten Batubara, Kota Medan, dan Kota Sibolga. Pemilihan lokasi penelitian ini dimaksudkan untuk memenuhi prinsip-prinsip keterwakilan bagi keluarga nelayan di Propinsi Sumatera Utara. Jenis penelitian ini merupakan penelitian deskriptitf kualitatif yaitu penelitian tentang data yang dikumpulkan dan dinyatakan dalam bentuk kata-kata dan gambar, kata-kata disusun dalam kalimat, misalnya kalimat hasil wawancara antara peneliti dan informan. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, yaitu berusaha mendapatkan informasi yang selengkap mungkin mengenai kesejahteraan sosial para keluarga nelayan. Informasi yang digali lewat wawancara mendalam terhadap informan (keluarga nelayan). Teknik kualitatif dipakai sebagai pendekatan dalam penelitian ini, karena teknik ini untuk memahami realitas rasional sebagai realitas subjektif khususnya warga nelayan. Proses observasi dan wawancara mendalam bersifat sangat utama dalam pengumpulan data. Dari observasi diharapkan mampu menggali 100


Kondisi dan Aspirasi Nelayan Tentang Kesejahteraan Sosial di Provinsi Sumatera Utara (Dwi Indah Purwanti, Dumora Jenny Margaretha Siagian dan Jonni Sitorus)

aspirasi keluarga nelayan tentang kesejahteraan sosial. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh keluarga nelayan yang menempati pesisir pantai Sumatera Utara yang diwakili oleh sampel yang diambil secara purposif terhadap keluarga nelayan di Kota Tanjung Balai, Kabupaten Batubara, Kota Medan, dan Kota Sibolga, dimana masing-masing daerah ditentukan sampel secara purposif yaitu sebanyak 120 keluarga. Sesuai dengan bentuk pendekatan penelitian kualitatif dan sumber data yang akan digunakan, maka teknik pengumpulan data yang digunakan adalah dengan analisis dokumen, observasi, wawancara dengan teknik FGD (Focus Group Discussion) terhadap nelayan dan keluarganya. Untuk mengumpulkan data dalam kegiatan penelitian diperlukan cara-cara atau teknik pengumpulan data tertentu, sehingga proses penelitian dapat berjalan lancar. Metode pengumpulan data yang digunakan untuk mengumpulkan data dalam penelitian kualitatif pada umumnya menggunakan teknik observasi, wawancara, dan studi dokumenter, atas dasar konsep tersebut, maka ketiga teknik pengumpulan data diatas digunakan dalam penelitian ini.

nelayan sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik faktor internal maupun eksternal. Faktor internal yang mempengaruhinya, antara lain tingkat pendidikan kepala keluarga, umur kepala keluarga, besarnya pendapatan keluarga, dan beban tanggungan keluarga. Sedang faktor eksternal yang mempengaruhi tingkat pendidikan formal adalah keberadaan lembaga pendidikan di wilayah mereka, karena jarak tempat tinggal dengan sarana pendidikan, sulitnya transportasi, dan rendahnya informasi. Sebagian besar responden memiliki tanggungan anak antara 1 sampai 3 orang. Bahkan ada sebanyak 35% responden yang memiliki tanggungan anak lebih dari 3 orang. Implikasi dari kondisi ini adalah bahwa sebagai kepala Rumah tangga para nelayan tersebut memiliki tuntutan yang sangat besar untuk memenuhi kebutuhan anak-anak mereka, terutama kebutuhan akan pendidikan dan kesehatan. Selain itu, sebanyak 70 persen responden tidak hanya menggantungkan mata pencarian sebagai nelayan. Kondisi ini menunjukkan adanya upaya-upaya yang mereka lakukan untuk meningkatkan kesejahteraan keluarganya yakni dengan mencari tambahan penghasilan. Pekerjaan sambilan yang paling banyak adalah sebagai tukang ojeg (12%), buruh bangunan, mocok, dan tukang perbaikan kapal (8%), sedangkan 30% nelayan tidak memiliki pekerjaan sambilan. Hal ini disebabkan minimnya keterampilan kerja dan keterbatasan tingkat pendidikan, sehingga rata-rata mereka hanya mengandalkan pekerjaan pokok, yaitu sebagai pencari ikan di lautan. Selama tidak melaut, sejumlah nelayan memanfaatkan waktu luang mereka untuk memperbaiki perahu dan jaring yang biasa mereka gunakan. Pekerjaan sambilan ini juga dilakukan apabila terjadi gelombang pasang disertai angin kencang yang akan sangat menyulitkan mereka di lautan. Mereka berharap agar cuaca kembali normal agar dapat kembali melaut. Sebagian besar sumber data penelitian ini (67%) mempunyai penghasilan per bulan kurang dari Rp. 1.200.000,- sedangkan penghasilan diatas Rp. 1.200.000,- per bulan diterima 31% responden, sementara sebanyak 2% dari responden menyatakan penghasilan lainnya. Penghasilan lainnya ketika dilakukan penggalian lebih lanjut ternyata menunjukkan penghasilan yang jumlahnya tidak tetap. Dari data diatas dapat disimpulkan bahwa mayoritas nelayan memiliki tingkat penghasilan yang rendah. Faktor yang mempengaruhi tingkat penghasilan nelayan tradisional, antara lain usia, modal kerja, pengalaman melaut, kepemilikan alat tangkap, harga bahan bakar, dan tentu saja

HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian ini menemukan bahwa 93% responden berusia antara 18-55 tahun, sebanyak 3% berusia dibawah 18 tahun dan 4% berusia diatas 56 tahun. Ini berarti sebagian besar responden adalah kelompok usia produktif. Dilihat dari tingkat pendidikan, mayoritas responden berlatar belakang pendidikan jenjang SD-SMP yang jumlahnya mencapai 72%, sedangkan 24% berlatar belakang SMA, 3% Perguruan Tinggi, dan 1% tidak pernah sekolah. Dari gambaran ini dapat disimpulkan bahwa mayoritas nelayan berlatar pendidikan menengah ke bawah. Rendahnya tingkat pendidikan mereka disebabkan kendala biaya dan budaya. Sejak kecil, anak-anak keluarga nelayan tradisional sudah dibiasakan untuk membantu ayahnya bekerja di lautan, sehingga banyak dari mereka tidak termotivasi untuk melanjutkan sekolah. Menurut mereka, kemampuan membaca dan menulis sudah cukup memadai untuk bekerja sebagai nelayan. Hingga saat ini, kalangan anak-anak nelayan lebih memilih membantu membersihkan kapal untuk mendapatkan uang daripada sekolah. Implikasi lain dari tingkat pendidikan rendah adalah keterbatasan pengetahuan dan keterampilan nelayan. Pengetahuan dan keterampilan yang mereka miliki umumnya diperoleh secara turuntemurun, sehingga tidak mengalami perkembangan. Tingkat pendidikan formal 101


Inovasi Vol. 10 No. 2, Juni 2013: 97-110

hasil tangkapan. Penghasilan masyarakat nelayan bergantung pada pemanfaatan potensi sumberdaya perikanan yang terdapat di lautan, karena itu faktor cuaca juga sangat mempengaruhi penghasilan keluarga nelayan. Rendahnya tingkat penghasilan nelayan juga disebabkan oleh rendahnya penguasaan terhadap teknologi penangkapan ikan serta rendahnya akses ke zona produktif, karena harus menggunakan ijin dengan biaya tidak sedikit. Rendahnya tingkat penghasilan keluarga nelayan, baik secara langsung maupun tidak langsung akan sangat mempengaruhi kualitas hidup mereka, karena pendapatan dari hasil berlayar merupakan sumber pemasukan utama, bahkan satu-satunya bagi mereka, sehingga mempengaruhi kehidupan mereka, terutama terhadap kemampuan mereka dalam mengelola lingkungan tempat hidup mereka. Pada sisi lain, rendahnya penghasilan keluarga nelayan tradisional Sumatera Utara juga disebabkan oleh menurunnya nilai produksi perikanan serta meningkatnya pembiayaan operasional dan bekal untuk sekali berlayar, terutama sejak terjadinya kelangkaan BBM, khususnya Solar Bersubsidi yang digunakan oleh pihak-pihak lain. Didapatkan juga bahwa sebanyak 44% responden memiliki pengeluaran rata-rata perbulan diatas Rp. 1.200.000,- sedangkan 55% memiliki pengeluaran per-bulan kurang dari Rp. 1.200.000,-. Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa kebanyakan para nelayan memiliki pengeluaran yang relatif rendah. Rendahnya pengeluaran tersebut tentunya sangat dipengaruhi oleh penghasilan mereka yang umumnya juga di bawah Rp. 1.200.000,Aspirasi adalah tujuan serta harapan bagi keberhasilan untuk masa-masa yang akan mendatang. Padadasarnya aspirasi mencakup tigaunsurutama, yakni keinginan ataucita-cita, usaha, dan penghargaan. Cita-cita adalah suatu standar mengenai nilai-nilai yang merupakan kontrol terhadap kelakuan. Usaha adalah upayaupaya untuk mencapai cita-cita itu. Sedang penghargaan merupakan pangakuan atau penerimaan nilai-nilai berhargadari sesuatu. Kondisi aspirasi kalangan keluarga nelayan tradisional warga wilayah pesisir Provinsi Sumatera Utara terhadap kesejahteraan sosial, baik terhadap diri sendiri, keluarga, maupun masyarakat di sekitar tempat tinggal mereka dapat tersaji dalam Gambar 1. Dapat dilihat bahwa sebagian besar kalangan keluarga nelayan tradisional warga

pesisir Provinsi Sumatera Utara (89%), khususnya kalangan sumber data penelitian ini memiliki harapan terhadap diri-sendiri atau cita-cita diri yang beragam untuk menjadi sejahtera. Sedangkan 9% diantara responden mengaku tidak memiliki cita-cita diri dan 2% menyatakan ketidaktahuannya apakah mereka memiliki cita-cita atau tidak. Dalam mencapai cita – cita tersebut, sebagian besar responden (76%) memiliki kendala dalam mencapai cita– cita tersebut. Bagi mereka untuk mendapatkan sesuatu yang mereka inginkan sangatlah sulit. Dengan kondisi nelayan yang hanya menggantungkan hidup dengan tangkapan ikan dan cuaca di laut, mereka merasa untuk mencapai cita–cita tersebut adalah mimpi. Selain itu juga, harapan tersebut sepertinya terlalu tinggi dengan tingkat pendidikan yang rendah. Namun sebagian besar responden (60%) selalu berusaha untuk memecahkan permasalahannya dalam mencapai keinginannya. Dan berusaha mencari solusi untuk mengatasi kendala tersebut. Misalnya dengan melakukan pekerjaan sambilan di waktu luangnya dan berusaha menyekolahkan anak–anaknya. Karena beberapa dari mereka yakin, jika pendidikan dapat meningkatkan taraf hidup mereka. Dimana sebagian kecil (26%) tidak berusaha memecahkan permasalahannya. Mereka telah pasrah dengan kondisinya dan hanya mengharapkan bantuan. Selain itu, sebagian kecil lainnya (16%) merupakan responden nelayan yang tidak memiliki kendala dalam memenuhi cita – cita dan keinginannya. Ketika dilakukan penggalian lebih mendalam, hasilnya ditunjukkan pada Tabel 1. Terlihat bahwa hampir seluruh sumber data penelitian ini (89%) mempunyai keinginan untuk memperoleh penghidupan yang lebih baik, kendati tidak harus berubah total dari kehidupan mereka saat ini. Keanekaragaman cita-cita diri mereka menunjukkan bahwa kalangan sumber data penelitian ini sebatas menginginkan peningkatan kondisi kehidupan, namun tidak sampai merubah kehidupan mereka. Memiliki kapal, menjadi awak kapal, menjadi orang sukses, menjadi pengusaha sukses, mampu membahagiakan orang-tua, mampu menolong sesama nelayan, menjadi kepala dusun, menjadi aparatur negara, dan mempunyai rumah mencerminkan harapan terhadap diri sendiri akan kondisi kehidupan yang lebih baik, tanpa harus merubah kehidupan mereka.

102


Kondisi dan Aspirasi Nelayan Tentang Kesejahteraan Sosial di Provinsi Sumatera Utara (Dwi Indah Purwanti, Dumora Jenny Margaretha Siagian dan Jonni Sitorus)

100 80 60 40 20 0 ada

tidak ada

lainnya

cita-cita/keinginan diri sendiri

89

10

3

Permasalahan untuk mencapai cita-cita

76

16

10

upaya memcahkan permasalahan cita-cita

60

26

16

Gambar 1. Distribusi responden menurut harapan terhadap diri-sendiri. Tabel 1. Distribusi responden menurut kepemilikan harapan terhadap diri sendiri No Harapan terhadap Diri Sendiri Frekuensi Persentase 1. Mempunyai kapal 22 22% 2. Menjadi orang sukses 8 8% 3. Menjadi aparatur negara 8 8% 4. Menjadi pengusaha sukses 8 8% 5. Menjadi awak kapal 4 4% 6. Mampu menolong nelayan 4 4% 7. Menjadi pengusaha 12 11% 8. Menjadi pendakwah/ulama 12 11% 9. Menjadi kepala dusun 4 4% 10. Membahagiakan orangtua 4 4% 11. Mempunyai rumah 4 4% 12. Tidak mempunyai harapan 12 12% Sumber : Data Primer Penelitian, 2012.

Tabel 2. Distribusi responden menurut masalah dan upaya pemecahan masalah sendiri No Permasalahan Frekuensi Persentase 1. Ekonomi/permodalan 13 52 2. Mesin sampan selalu rusak 1 4 3. Tidak mempunyai sampan 2 8 Sampan terlalu kecil 1 4 4. 5. Kesehatan 1 4 6. Pendidikan/kurang ilmu 3 12 7. 4 Tidak ada perhatian dari pemerintah 1 8. Tidak mempunyai masalah 3 12 No Upaya Pemecahan Permasalahan Frekuensi Persentase 1. Kerja keras 2. Luluskan SMA 3. Memohon bantuan 4. Berobat 5. Belajar 6. Kerja sambilan 7. Tidak mempunyai upaya pemecahan Sumber : Data Primer Penelitian, 2012.

103

6 1 4 1 1 2 10

24 4 16 4 4 8 40


Inovasi Vol. 10 No. 2, Juni 2013: 97-110

Data dalam Tabel 1 mengungkapkan bahwa kalangan sumber data penelitian ini tidak menginginkan perubahan kehidupan secara total. Kenyataan ini menunjukkan relatif rendahnya mobilitas sosial kalangan keluarga nelayan tradisional warga pesisir Provinsi Sumatera Utara. Harapan atau cita-cita mereka terhadap diri sendiri hanya sebatas pada peningkatan kemampuan dalam memenuhi kebutuhan pokok, meliputi kebutuhan pangan, sandang, papan, kesehatan, pendidikan, dan sosial. Sementara 12% sumber data penelitian ini telah merasa cukup nyaman dengan kondisi kehidupan mereka hingga saat ini. Tabel 2 memperlihatkan bahwa karakter permasalahan yang diidentifikasikan sebagai penghambat untuk mencapai harapan terhadap dirisendiri merupakan masalah spesifik yang dihadapihampir seluruh keluarga nelayan tradisional warga pesisir Provinsi Sumatera Utara. Permasalahan ini mempengaruhi munculnya bentuk-bentuk permasalahan lain, seperti tidak memadainya peralatan menangkap ikan, pendidikan, dan kesehatan. Sedang rendahnya perhatian pemerintah berkaitan dengan aksesibilitas keluarga nelayan tradisional terhadap bantuan pemerintah yang dikarenakan faktor �kedekatan�. Upaya yang mereka lakukan untuk memecahkan berbagai bentuk permasalahan yang berpotensi dapat menghambat pencapaian harapan terhadap keluarga atau cita-cita keluarga, antara lain kerja keras (36%), komunikasi (8%), dan menabung (4%), sedang 52% sumber data penelitian ini tidak mengungkapkan alternatif yang menurut mereka berpotensi untuk memecahkan masalah yang menghambat upaya pencapaian harapan terhadap keluarga atau cita-cita keluarga. Kerja keras merupakan salah satu alternatif pemecahan terhadap bentuk-bentuk permasalahan yang dapat menghambat pencapaian harapan terhadap keluarga. Dalam konteks ini, kerja keras dapat diartikan sebagai optimalisasi kapasitas sumber daya manusia pada kalangan keluarga nelayan tradisional dalam menekuni mata pencaharian mereka. Komunikasi, baik antar sesama keluarga nelayan maupun antara keluarga nelayan dengan pihakpihak terkait dalam upaya peningkatan aksesibilitas terhadap pelayanan publik. Kerja keras dan peningkatan komunikasi perlu diikuti dengan penumbuhan dan peningkatan kegemaran menabung di kalangan keluarga tradisional warga pesisir Provinsi Sumatera Utara. Para nelayan juga diminta memberikan aspirasinya mengenai keluarga, beserta dengan permasalahan di dalam mencapai harapan tersebut. Hasilnya tersaji pada Tabel 3.

Sebagian besar sumber data penelitian ini (84%) memiliki harapan untuk masa depan keluarga mereka, antara lain bahagia (20%), sejahtera (20%), berkecukupan (8%),memiliki tambak ikan (8%), menunaikan ibadah haji (4%), memiliki rumah layak huni (4%), memiliki tanah (4%), dan memiliki kapal (4%); sedangkan 16% sumber data kajian ini menyatakan bahwa mereka tidak memiliki harapan terhadap keluarganya. Hal ini membawa makna bahwa kebahagian, kesejahteraan, dan kecukupan merupakan dambaan keluarga nelayan tradisional warga pesisir Provinsi Sumatera Utara. Menurut mereka, kebahagiaan, kecukupan, dan kesejahteraan keluarga termanifestasi dalam tata kehidupan nyaman, tenang, serta aman yang memungkinkan kelancaran berusaha untuk memenuhi kebutuhan material, spiritual, dan sosial. Dari keseluruhan sumber data penelitian ini hanya 52% yang mengemukakan jenis-jenis permasalahan yang menghambat upaya pencapaian harapan terhadap keluarga mereka, antara lain permodalan (44%), cuaca/angin kencang (4%), dan anak yang tidak bersedia sekolah (4%). Masalah permodalan berkaitan dengan aksesibilitas keluarga nelayan tradisional warga pesisir Provinsi Sumatera Utara untuk mendapatkan kredit perbankan, sehubungan dengan ketentuan dan persyaratan yang tidak mungkin dapat mereka penuhi. Masalah cuaca/angin kencang berkaitan dengan iklim yang dari waktu ke waktu semakin tidak mudah diperhitungkan, sedang masalah anak-anak tidak bersedia sekolah berkaitan dengan rendahnya kesadaran mereka terhadap arti-penting pendidikan bagi kehidupan. Permasalahan yang berpotensi dapat menghambat upaya pencapaian harapan terhadap keluarga atau citacita keluarga, sudah barang tentu perlu segera dicarikan alternatif pemecahannya. Harapan terhadap masyarakat atau cita-cita masyarakat juga digali dalam penelitian ini. Hasilnya tersaji pada Tabel 4. Data yang tertuang dalam Tabel 4 mengungkapkan bahwa sebagian besar sumber data dalam kajian ini (44%) mengharapkan kesejahteraan masyarakat; 8% sumberdata dalam penelitian ini mengharapkan kemajuan desa, 8% sumber data penelitian inimengharapkan perbaikan jalan, dan 4% sumber data dalam penelitian ini mengharapkan kebersihan lingkungan.

104


Kondisi dan Aspirasi Nelayan Tentang Kesejahteraan Sosial di Provinsi Sumatera Utara (Dwi Indah Purwanti, Dumora Jenny Margaretha Siagian dan Jonni Sitorus)

Tabel 3. Distribusi harapan responden terhadap keluarga dan masalahnya No Harapan terhadap Keluarga Frekuensi Persentase Mempunyai tambak ikan 1. 2 8 Naik haji 2. 1 4 Bahagia 3. 5 20 Sekolah tinggi untuk anak 4. 3 12 Sejahtera 5. 5 20 6. Rumah yang layak 1 4 7. Berkecukupan 8 2 8. Mempunyai tanah 4 1 9. Mempunyai kapal 4 1 10. Tidak mempunyai harapan 4 16 No Permasalahan Frekuensi Persentase 1. Ekonomi/permodalan 11 44 2. Cuaca/angin kencang 1 4 3. Anak tidak bersedia sekolah 1 4 4. Tidak mempunyai masalah 12 48 Sumber : Data Primer Penelitian, 2012.

No 1. 2. 3. 4. 5. No

Tabel 4. Distribusi responden terhadap harapan masalah Harapan terhadap Masyarakat Frekuensi Perbaikan jalan 2 Sejahtera 11 Kebersihan lingkungan 1 Kemajuan Desa 2 Tidak mempunyai harapan 9 Permasalahan Frekuensi

Ekonomi/permodalan 1. 2. Komunikasi 3. Pendidikan 4. Narkoba/Miras 5. Tidak mempunyai masalah Sumber : Data Primer Penelitian, 2012.

4 4 1 2 14

Sedang 36% sumber data penelitian ini tidak memiliki harapan terhadap masyarakat di sekitar tempat tinggal mereka. Bentuk-bentuk harapan sumber data penelitian ini terhadap masyarakat atau cita-cita masyarakat yang terekam dalam pelaksanaan penelitian ini cenderung terkait antara harapan yang satu dengan lainnya, antara lain kesejahteraan masyarakat, kemajuan desa, perbaikan jalan, dan kebersihan lingkungan. Ikhwal ini terkait dengan kenyamanan, ketenangan, dan keamanan hidup yang memungkinkan kelancaran usaha-usaha untuk memenuhi kebutuhan material, spiritual, dan sosial warga. Tanpa terciptanya tata kehidupan yang diwarnai dengan kenyamanan, ketenangan, dan keamanan yang memungkinkan kelancaran usaha-usaha untuk memenuhi kebutuhan material, spiritual, dan sosial warga masyarakat, niscaya harapan tersebut akan dapat tercapai.

Persentase 8 44 4 8 36 Persentase 16 16 4 8 56

Berbagai bentuk permasalahan dapat menjadi penghambat tercapainya kondisi kesejahteraan masyarakat, kemajuan desa, perbaikan jalan, dan kebersihan lingkungan. Data dalam Tabel 4 juga mengungkap bentuk-bentuk permasalahan yang menurut sumber data kajian ini mempunyai potensi menjadi penghambat tercapainya harapan masyarakat, antara lain meliputi permodalan (16%), komunikasi (16%), peredaran dan penggunaan narkoba dan minuman keras (8%), dan rendahnyapendidikan warga masyarakat (4%), meski sebagian besar sumber data kajian ini (56%) menyangsikan keberadaan masalah tersebut. Permodalan, komunikasi, dan rendahnya tingkat pendidikan warga masyarakat merupakan permasalahan klasik yang mewarnai kehidupan kalangan keluarga nelayan tradisional warga kawasan pesisir Provinsi Sumatera Utara yang terkait dengan rendahnya aksesibilitas warga terhadap berbagai bentuk pelayanan publik, disamping 105


Inovasi Vol. 10 No. 2, Juni 2013: 97-110

menangkap ikan untuk tujuan komersial atau dipasarkan baik untuk pasar domestik maupun pasar ekspor. Disamping pengelompokan tersebut, terdapat beberapa terminologi yang sering digunakan untuk menggambarkan kelompok nelayan, seperti nelayan penuh untuk mereka yang menggantungkan keseluruhan hidupnya dari menangkap ikan; nelayan sambilan untuk mereka yang hanya sebagian dari hidupnya tergantung dari menangkap ikan; juragan untuk mereka yang memiliki sumberdaya ekonomi untuk usaha perikanan seperti kapal dan alat tangkap; dan anak buah kapal untuk mereka yang mengalokasikan waktunya dan memperoleh pendapatan dari hasil mengoperasikan alat tangkap ikan, seperti kapal milik juragan (Widodo dan Suadi, 2006). Masyarakat nelayan merupakan bagian dari kelompok masyarakat yang tinggal di daerah pesisir. Pada umumnya mereka adalah kelompok masyarakat tertinggal yang berada pada level paling bawah, baik tertinggal secara ekonomi, sosial, maupun budaya. Karena penghasilan mereka masih tergantung pada kondisi alam, maka sulit bagi mereka untuk merubah kehidupannya menjadi lebih baik. Sebagai nelayan tradisional bukan saja berhadapan dengan ketidakpastian pendapatan dan tekanan musim paceklik ikan yang panjang, tetapi mereka juga dihadapkan manajemen pengelolaan keuangan dan pemasaran hasil produksinya. Berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah untuk berusaha meningkatkan tingkat kesejahteraan masyarakat nelayan, baik melalui pemberian bantuan peralatan tangkap, kemudahan akses permodalan, maupun melalui program pemberdayaan masyarakat pesisir. Dimana semua program tersebut bertujuan untuk meningkatkan kesejehteraan masyarakat pesisir, termasuk nelayan. Akan tetapi tidak semua program tersebut tepat sasaran dan hasil yang diperoleh belum sesuai dengan yang diharapkan. Gambaran umum dalam kehidupan nelayan adalah fakta yang bersifat fisik, berupa kualitas pemukiman, kampung-kampung nelayan miskin akan mudah diidentifikasi dari kondisi rumah hunian mereka. Mereka merupakan masyarakat yang memiliki sifat komunalisme sangat tinggi dan nelayan identik dengan kemiskinan. Dalam bekerja mereka harus menghadapi ganasnya ombak dan cuaca laut, serta tinggal berhari-hari di laut agar mendapatkan banyak ikan. Pemukiman mereka berkelompok dan biasanya kumuh. Selain itu banyak anak nelayan yang tidak bersekolah, karena harus membantu di laut. Hal tersebut menyebabkan kemiskinan

rendahnya kesadaran masyarakat akan artipenting pendidikan. Sedang merebaknya peredaran dan penggunaan narkoba serta minuman keras merupakan penyakit masyarakat yang membutuhkan penanganan khusus, komprehensif, dan terintegrasi. Nelayan adalah suatu kelompok masyarakat yang kehidupannya tergantung langsung pada hasil laut, baik dengan cara melakukan penangkapan ataupun budi daya. Mereka pada umumnya tinggal dipantai, sebuah lingkungan pemukiman yang dekat dengan lokasi kegiatannya (Mulyadi 2007). Nelayan identik dengan keterbatasan aset, lemahnya kemampuan modal, posisi tawar dan akses pasar (Siswanto 2008). Sesungguhnya, nelayan bukanlah suatu entitas tunggal, mereka terdiri dari beberapa kelompok. Dilihat dari segi pemilikan alat tangkap, nelayan dapat dibedakan menjadi tiga kelompok, yaitu nelayan buruh, nelayan juragan, dan nelayan perorangan. Nelayan buruh adalah nelayan yang bekerja dengan alat tangkap milik orang lain. Sebaliknya, nelayanjuragan adalah nelayan yang memiliki alat tangkap yang dioperasikan oleh orang lain. Adapun nelayan perorangan adalah nelayan yang memiliki peralatan tangkap sendiri, dan dalam pengoperasiannya tidak melibatkan orang lain (Mulyadi, 2007). Nelayan dapat didefinisikan pula sebagai orang atau komunitas orang yang secara keseluruhan atau sebagian dari hidupnya tergantung dari kegiatan menangkap ikan. Beberapa kelompok nelayan memiliki beberapa perbedaan dalam karakteristik sosial dan kependudukan. Perbedaan tersebut dapat dilihat pada kelompok umur, pendidikan status sosial, dan kepercayaan. Dalam satu kelompok nelayan juga sering ditemukan perbedaan kohesi internal, dalam pengertian hubungan diantara sesama nelayan maupun di dalam hubungan bermasyarakat (Widodo dan Suadi, 2006). Menurut Charles (2001), kelompok nelayan dapat dibagi empat kelompok yaitu: (1) nelayan subsisten (subsistence fishers), yaitu nelayan yang menangkap ikan hanya untuk memenuhi kebutuhan sendiri, (2) nelayan asli (native/indigenous/aboriginal fishers), yaitu nelayan yang sedikit banyak memiliki karakter yang sama dengan kelompok pertama, namun memiliki juga hak untuk melakukan aktivitas secara komersial walaupun dalam skala yang sangat kecil, (3) nelayan rekreasi (recreational/sport fishers), yaitu orang-orang yang secara prinsip melakukan kegiatan penangkapan hanya sekadar untuk kesenangan atau berolah raga, dan (4) nelayan komersial (commercial fishers), yaitu mereka yang 106


Kondisi dan Aspirasi Nelayan Tentang Kesejahteraan Sosial di Provinsi Sumatera Utara (Dwi Indah Purwanti, Dumora Jenny Margaretha Siagian dan Jonni Sitorus)

yang terjadi pada nelayan akan berlangsung kepada anak cucunya. selain itu seluruh anggota keluarga nelayan dikerahkan untuk melakukan berbagai aktifitas untuk menghasilkan uang dalam usaha mempertahankan kelangsungan hidupnya. Fakor-faktor yang menyebabkan pendapatan nelayan rendah antara lain adalah unit penangkapan yang terbatas yang dikarenakan penguasaan teknologi yang rendah, skala usaha/modal yang dimiliki kecil dan masih bersifat tradisional, kemampuan nelayan dalam memanfaatkan peluang usaha dan mengatasi tantangan lingkungan yang rendah, dikarenakan masyarakat yang masih bergantung pada musim penangkapan. Dalam penentuan fishing ground nelayan yang mempunyai izin untuk melakukan operasi di tempat tersebut akan memperoleh hasil yang banyak, tetapi bagi nelayan yang tidak memiliki akses ke lokasi yang produktif maka hasil tangkapan tersebut tidak maksimal dan biaya operasi tinggi. Eksternalitas teknologi terjadi karena nelayan cenderung melakukan penangkapan ikan pada lokasi yang sama atau setidaknya saling berdekatan satu dengan yang lain sehingga terjadi pertemuan antara alat tangkap ikan yang digunakan yang menjurus pada kerusakan atau perusakan. Menurut Sastrawidjaya (2002), Komunitas nelayan merupakan kelompok orang yang bermata pencaharian hasil laut dan tinggal didesa-desa atau pesisir. Ciri komunitas nelayan dapat dilihat dari berbagai segi, seperti: 1) Dari segi mata pencaharian. Nelayan adalah mereka yang segala aktivitasnya berkaitan dengan lingkungan laut dan pesisir. Atau mereka yang menjadikan perikanan sebagai mata pencaharian mereka; 2) Dari segi cara hidup. Komunitas nelayan adalah komunitas gotong royong. Kebutuhan gotong royong dan tolong menolong terasa sangat penting untuk mengatasi keadaan yang menuntut pengeluaran biaya besar dan pengerahan tenaga yang banyak. Seperti saat berlayar. Membangun rumah atau tanggul penahan gelombang di sekitar desa; 3) Dari segi ketrampilan. Meskipun pekerjaan nelayan adalah pekerjaan berat namun pada umumnya mereka hanya memiliki ketrampilan sederhana. Kebanyakan mereka bekerja sebagai nelayan adalah profesi yang diturunkan oleh orang tua. Bukan yang dipelajari secara professional. Dari bangunan struktur sosial, komunitas nelayan terdiri atas komunitas yang heterogen dan homogen. Masyarakat yang heterogen adalah mereka yang bermukim di desa-desa yang mudah dijangkau secara transportasi darat.Sedangkan yang homogen terdapat di desa-desa nelayan terpencil biasanya

mengunakan alat-alat tangkap ikan yang sederhana, sehingga produktivitas kecil. Sementara itu, kesulitan transportasi angkutan hasil ke pasar juga akan menjadi penyebab rendahnya harga hasil laut di daerah mereka (Sastrawidjaya. 2002). Hasil penelitian Badarudin (2003) terhadap komunitas nelayan di wilayah Sumatera Utara menemukan sejumlah potensi modal sosial dalam komunitas tersebut. Potensi modal sosial tersebut antara lain: 1. Patron-Klien yang lahir dari sikap saling percaya (trust) sebagai salah satu elemen modal sosial. Adanya sikap saling percaya yang terbangun antar beberapa golongan komunitas nelayan merupakan dasar bagi munculnya keinginan untuk membentuk jaringan sosial yang akhirnya dimapankan dalam bentuk pranata patron-klien. 2. Koperasi sebagai salah satu perwujudan modal sosial sikap saling percaya, mampu menjadi kekuatan yang cukup potensial dalam menghadapi tekanan eksternal yang bersifat struktural seperti kekuatan pasar yang cenderung sangat merugikan. Tidak adanya akses nelayan terhadap pasar membuat nelayan menjadi obyek eksploitasi dari para pedagang melalui penetapan harga ikan secara sepihak. Dalam kondisi tersebut, posisi tawar nelayan terhadap harga sama sekali tidak ada. Hal ini menjadi salah satu faktor yang menyebabkan nelayan dan juga petani senantiasa berada dalam kemiskinan. 3. Serikat Tolong Menolong merupakan pranata yang berfungsi secara ekonomi dan juga berfungsi sosial dalam hal ritual keagamaan, khususnya pada saat ada kematian. Fungsi ekonomi dari Serikat Tolong Menolong dapat dilihat dari sejumlah uang yang terkumpul, baik secara sukarela maupun wajib yang disumbangkan oleh anggotanya. Fungsi sosial dari pranata Serikat Tolong Menolong dapat dilihat dalam wujud solidaritas dari sesama warga masyarakat yang merasa senasib dan sepenanggungan untuk bekerja secara bersama-sama dalam melaksanakan dan mengerjakan sesuatu. 4. Arisan sebagai suatu pranata untuk mensiasati perangkap kemiskinan pada masyarakat nelayan. Keberadaan arisan sebagai pranata, memberi modal sosial yang cukup strategis dimana arisan memberi kemampuan komunitas nelayan untuk: a) membangun konsensus; b) menetapkan tujuan; c) membangun jaringan sosial yang kompak; d) merajut pranata dan membangun kepercayaaan.

107


Inovasi Vol. 10 No. 2, Juni 2013: 97-110

Dilihat dari teknologi peralatan tangkap yang digunakan, secara umum dapat dibedakan atas 2 (dua) kategori nelayan di Indonesia yaitu nelayan tradisional dan nelayan modern. Nelayan tradisional merupakan nelayan yang proses bekerjanya dibantu dengan menggunakan peralatan yang kurang memadai atau masih menggunakan peralatan manual seperti menggunakan sampan dengan cara mendayung atau menangkap ikan dengan menggunakan jaring. Sedangkan nelayan modern merupakan nelayan yang menggunakan teknologi penangkapan yang lebih canggih dibandingkan dengan nelayan tradisional. Ukuran modernitas bukan semata-mata karena pengunaan motor untuk mengerakkan perahu, melainkan juga besar kecilnya motor yang digunakan serta tingkat eksploitasi dari alat tangkap yang digunakan. Perbedaan modernitas teknologi alat tangkap juga akan berpengaruh pada kemampuan jelajah operasional mereka (Imron, 2003). Pada umumnya dalam pengusahaan perikanan laut terdapat tiga jenis nelayan, yaitu; nelayan pengusaha, nelayan campuran dan nelayan penuh. Nelayan pengusaha yaitu pemilik modal yang memusatkan penanaman modalnya dalam operasi penangkapan ikan. Nelayan campuran yaitu seseorang nelayan yang juga melakukan pekerjaan yang lain di samping pekejaan pokoknya sebagai nelayan. Sedangkan nelayan penuh ialah golongan nelayan yang hidup sebagai penangkap ikan di laut dan dengan memakai peralatan lama atau tradisional.Namun demikian apabila sebagian besar pendapatan seseorang berasal dan perikanan (darat dan laut), ia disebut sebagai nelayan. (Mubyarto, 2002). Tingkat pendidikan khususnya bagi nelayan tradisional, untuk bekal kerja mencari ikan di laut. Latar belakang pendidikan seorang nelayan memang tidak penting artinya karena pekerjaan tersebut merupakan pekerjaan kasar yang lebih banyak mengandalkan otot dan pengalaman. Maka setinggi apapun tingkat pendidikan nelayan itu tidaklah memberikan pengaruh terhadap kecakapan mereka dalam melaut. Persoalan dari arti penting tingkat pendidikan ini biasanya baru dikedepankan jika seorang nelayan ingin berpindah ke pekerjaan lain yang lebih menjanjikan. Dengan pendidikan yang rendah jelas kondisi itu akan mempersulit nelayan tadisional memilih atau memperoleh pekerjaan lain selain mejadi nelayan. (Kusnadi, 2002). Nelayan tradisional adalah masyarakat kecil, masyarakat miskin yang sudah ada sejak zaman dulu. Salah satu alasan kemiskinan ini adalah rendahnya produktivitas dan pendapatan

nelayan. Secara struktur, nelayan terkungkung dalam kemiskinan. Nelayan tidak berdaya dan tidak punya kekuatan untuk keluar dari kemiskinan. Begitu miskinnya, masyarakat nelayan sering disebut kelompok miskin di antara yang miskin (the poorest of the poor). Kecuali mereka diberdayakan, ada yang mengangkat mereka berupa memberikan daya dan kekuatan dari luar mereka, maka mereka bisa keluar dari kemiskinan. Jika tidak, kemiskinan itu akan tetap ada di antara mereka. Kemiskinan itu akan makin parah, menciptakan kemelaratan massal, dalam berbagai segi dan bidang kehidupan. Diawali dengan kemiskinan secara ekonomi, seterusnya berkembang menjadi kemiskinan dan kemelaratan sosial, budaya, hukum, dan pada akhirnya kemiskinan dalam politik. Suara mereka tidak ada harganya. Dapat dibeli dan dijual dengan harga murah. Ketika suara mereka sudah terbeli, mereka tidak ada apa-apanya lagi. Hanya hidup itu sendiri yang mereka punyai. Hidup yang bermakna bagi mereka sendiri (Dault, 2008). Hikmat (2006), mengemukakan bahwa pemberdayaan dapat merupakan salah satu upaya untuk mengaktualisasikan potensi yang sudah dimiliki oleh masyarakat. Dengan kata lain, keberhasilan pemberdayaan masyarakat dalam konteks pembangunan antara lain bermakna bahwa suatu masyarakat tersebut menjadi bagian dari pelaku pembangunan itu sendiri. Berbagai aspek yang perlu diperhatikan dalam pemberdayaan masyarakat, antara lain bagaimana suatu inovasi yang lebih maju dapat bermanfaat bagi masyarakat, bagaimana budaya lokal (termasuk kearifan lokal), bagaimana pula mekanisme pelaksanaan dan pembiayaan pembangunan tersebut. Atas dasar uraian di atas, pemberdayaan masyarakat nelayan sangat diperlukan. Pemberdayaan masyarakat nelayan diartikan sebagai usaha-usaha sadar yang bersifat terencana, sistematik, dan berkesinambungan untuk membangun kemandirian sosial, ekonomi dan politik masyarakat nelayan dengan mengelola potensi sumberdaya yang mereka miliki untuk mencapai keejahteraan sosial yang bersifat berkelanjutan. Kemandirian masyarakat sangat diperlukan untuk meningkatkan posisi tawar (bargaining position) mereka dalam pembangunan kawasan dan pemanfaatan sumberdaya lingkungan. Dengan demikian, diharapkan pada masa mendatang masyarakat nelayan menjadi subyek pembangunan di daerahnya dan kawasan pesisir memiliki perkembangan ekonomi yang dinamis. Program pemberdayaan harus bisa mendorong terciptanya mobilitas vertikal masyarakat nelayan (Satria, 2001). Kemandirian masyarakat 108


Kondisi dan Aspirasi Nelayan Tentang Kesejahteraan Sosial di Provinsi Sumatera Utara (Dwi Indah Purwanti, Dumora Jenny Margaretha Siagian dan Jonni Sitorus)

nelayan merupakan tahapan yang sangat menentukan keberhasilan pemberdayaan secara berkelanjutan. Tanpa kemandirian akan sulit dicapai kesejahteraan sosial. Unsur-unsur kemandirian masyarakat tersebut ditentukan oleh kemampuan ekonomi yang dimiliki, kapasitas politik pembangunan, dan memegang teguh prinsip-prinsip sosial yang diyakini bisa menciptakan tata kehidupan yang lebih baik (Kusnadi, 2009).

4) Peningkatan kemampuan manajemen keuangan keluarga, dan 5) Bimbingan Keterampilan Kerja

DAFTAR PUSTAKA Allison, Edward H and Ellis F. 2001. The livelihoods Approach and Management of Small-Scale Fisheries. Marine Policy Journal. Arikunto S. 2000. Manajemen Penelitian, Edisi Baru. Jakarta: Rieneka Cipta.

KESIMPULAN Berdasarkan hasil dan pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa kondisi kesejahteraan sosial masyarakat nelayan di Sumatera Utara dikategorikan masih rendah. Sehingga perlu adanya suatu komunikasi 2 (dua) arah antara pembuat kebijakan dan nelayan dalam usaha meningkatkan taraf hidup mereka. Setiap kebijakan yang dibuat haruslah sesuai dengan aspirasi dan kebutuhan masyarakat nelayan itu sendiri. Aspirasisosial dalam perspektif nelayan di Sumatera Utara adalah tata kehidupan nyaman, tenang, dan aman yang memungkinkan kelancaran berusaha untuk memenuhi kebutuhan material, spiritual, dan sosial. Nelayan juga mendefinisikan sukses apabila mereka memiliki rumah, bisa menyekolahkan anak, memiliki sampan sendiri dan tidak sakitsakitan.

Badan Penelitian dan Pengembangan Provinsi Sumatera Utara. 2010. Pengembangan Model Pendidikan Dasar Bagi Anak Masyarakat Nelayan. Medan: Balitbang Provsu. Bakkoro MS dan A Effendy. 2005. Tingkah Laku Ikan: Hubungan dengan Metode Pengoperasian Alat Tangkap Ikan. Bogor: Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. Bintarto. 1989. Interaksi Desa-Kota Permasalahannya. Ghalia Indonesia. Jakarta.

dan

Bogar, W. 2009. Pengembangan Model Pemberdayaan Ekonomi Nelayan Tradisional (Studi Pada Nelayan Tradisional di Pulau Siau Kabupaten Sitaro). Jurnal AGRITEK 17 (6) Charles, AT. 2001. Sustainable fishery systems. Canada: Blakwell Science Ltd.

REKOMENDASI a. Dalam rangka meningkatkan kesejahteraan sosial para nelayan direkomendasikan kepada Pemerintah Provinsi Sumatera Utara untuk melakukan peningkatan akses terhadap berbagai bentuk pelayanan publik, sepertipendidikan, kesehatan, sarana dan prasarana pemenuhan kebutuhan air bersih, transportasi lokal, permodalan, jaminan keselamatan kerja, sarana dan prasarana ekonomi, partisipasi politik, dan berbagai bentuk bantuan pemerintah. b. Pemerintah Provinsi Sumatera Utara juga diharapkan dapat melakukan beberapa program sebagai berikut : 1) Bimbingan Motivasi Achievement Motivation Trainning 2) Bimbingan Sosial c. Hakekat, prinsip, dan strategi program tersebut adalah : 1) Penanganan permasalahan kesejahteraan sosial; 2) Pendayagunaan potensi dan sumber kesejahteraan sosial. 3) Peningkatan kemampuan kewiraswastaan

Craig, G. and Mayo, M. (eds). 1995. Community Empowerment. A Reader in Participation and Development. London: Zed Books. Dahuri R, J. Rais, S. P. Ginting, M. J. Sitepu. 2001. Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan secara Terpadu. Jakarta: Pradnya Paramita. Dault A. 2008. Pemuda Dan Kelautan. Jakarta: Pustaka Cidesindo. Departemen Kelautan dan Perikanan. 2002. Data Kelompok Masyarakat Pemanfaat (KMP) PEMP TA 2002. Direktorat Pemberdayaan Masyarakat Pesisir Ditjen Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Jakarta: Departemen Kelautan dan Perikanan RI. Departemen Kelautan dan Perikanan. 2003. Pedoman Umum Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir. Direktorat Pemberdayaan Masyarakat Pesisir Ditjen Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Jakarta: Departemen Kelautan dan Perikanan RI. Hermanto, F. 1989. Ilmu Usaha Tani. Jakarta: PT. Penebar Swadaya. Hikmat, A. 2006, Strategi Pemberdayaan Masyarakat. Bandung: Humaniora Utama Press.

109


Inovasi Vol. 10 No. 2, Juni 2013: 97-110

Ife, Jim. 1995. Community Development: Creating Community Alternatives – Vision, Analysis and Practice. Australia: Longman.

Pomeroy, RS dan MJ Williams. 1999. Fisheries Comanagement dan Small-scale Fisheries: A Policy Brief. Fisheries Co-management Project. Manila, Philippnes. ICLARM (International Center for Living Aquatic Resource Management) Journal: p.15

Kusnadi, Sumarjono, Sulistiowati, Yunita, Subchan, Puji. 2007. Strategi Hidup Masyarakat Nelayan. Yogyakarta: LKiS Pelangi Aksara.

Pramono, Djoko. 2005. Budaya bahari, Jakata, Gramedi

Kusnadi. 2002. Konflik Sosial Nelayan: Kemiskinan dan Perebutan Sumber Daya Perikanan. Yogyakarta: LKiS.

Profil Kelautan Nasional Menuju Kemandirian.1995. Panitia Pengembangan Riset dan Teknologi Kelautan Serta Industri Maritim Indonesia.

Kusnadi. 2003. Akar Kemiskinan Nelayan. Yogyakarta: LKiS Pelangi Aksara.

Suryani, Amanah, Kusumastuti. 2004. Analisis Pendidikan Formal Anak Pada Keluarga Nelayan di Kabupaten Ciamis Provinsi Jawa Barat.Buletin Ekonomi Perikanan Vol. V. No.2.

Kusnadi. 2007. Jaminan Sosial Nelayan. Yogyakarta: LKiS Pelangi Aksara. Kusnadi. 2009. Keberdayaan Nelayan dan Dinamika Ekonomi Pesisir. Pusat Penelitian Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil. Jember: Lembaga Penelitian Universitas Jember.

Suud, Mohammad. 2006.Orientasi Kesejahteraan Sosial. Editor Harsono. Jakarta: PrestasiPustaka Publisher. Widodo, J dan Suadi. 2006. Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Laut. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

Lind DA, WG Marchal, SA Wethen. 2007. TeknikTeknik Statistika dalam Bisnis dan Ekonomi Menggunakan Kelompok Data Global. Edisi ke-13. Jakarta: Salemba Empat. McArdle, J. 1989, “Community Development Tools of Trade”. Community Quar-terly Journal. Midgley, James. 1995. Pembangunan Perspektifpembangunandalamkesejahteraan. Jakarta:DitpertaDepag. RI.

Sosial:

Mubyarto, dkk. 2002. Nelayan dan Kemiskinan. Yayasan Agri Ekonomika. Mulyadi S. 2007. Ekonomi Kelautan. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Nasution, Z. Sastrawidjaja, Hartono, Mursidin, Priyatna. 2007. Sosial Budaya Masyarakat Nelayan Konsep dan Indikator Pemberdayaan. Jakarta: Balai Besar Riset Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan. Nazir, M. 2005. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia. Nikijuluw, PHV. 2001. Populasi dan Sosial Ekonomi Masyarakat Pesisir serta Strategi Pemberdayaan Mereka dalam Konteks Pengelolaan Sumberdaya Pesisir Secara Terpadu. Makalah pada Pelatihan Pengelolaan Pesisir Terpadu. Proyek Pesisir. Bogor. Jurnal Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan PKSPL. Nikijuluw, PHV. 2002. Rezim Pengelolaan Sumberdaya Perikanan: P3R. Jakarta: Pustaka Cidesindo. Nurani, TW. 2008. Analisis SWOT (Strength, Weakness, Opportunities, and Threats). Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

110


Kajian Karakteritik Load Factor dan Headway Pada Sistem Angkutan Massal Sebagai Solusi Kemacetan di Provinsi Sumatera Utara (Anton Parlindungan Sinaga)

Hasil Penelitian KAJIAN KARAKTERISTIK LOAD FACTOR DAN HEADWAY PADA SISTEM ANGKUTAN MASSAL SEBAGAI SOLUSI KEMACETAN DI PROVINSI SUMATERA UTARA

(THE STUDY OF LOAD FACTOR CHARACTERISTICS AND HEADWAY OF MASS RAPID TRANSPORTATION SYSTEM SOLUTIONS FOR TRAFFIC IN NORTH SUMATRA PROVINCE) Parlindungan Anton Parlindung an Sinaga Badan Penelitian dan Pengembangan Provinsi Sumatera Utara Jl. Sisingamangaraja No. 198 Medan 20126 email : antonsinaga94@gmail.com

Diterima: 13 Februari 2013; Direvisi: 16 Mei 2013; Disetujui: 5 Juni 2013

ABSTRAK Penelitian ini mengkaji tentang karakteristik sistem transportasi massal (Rapid Transportation) sebagai solusi kemacetan transportasi perkotaan di Provinsi Sumatera Utara. Pada dasarnya pemakaian kendaraan angkutan umum, penumpang menghendaki tingkat pelayanan yang memadai yang meliputi waktu tempuh, waktu tunggu, keamanan dan kenyamanan yang terjamin selama dalam perjalanan. Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan masukan untuk pengambil keputusan sebagai dasar perbaikan sistem transportasi di Sumatera Utara. Hasil penelitian menunjukkan bahwa karakteristik pengguna transportasi, sebagian besar pengguna adalah captive user yang rutin menggunakan angkutan kota adalah pelajar atau mahasiswa. Bangkitan dan tarikan yang ditimbulkan zona sangat dipengaruhi oleh waktu dan hari. Untuk daerah tertentu memiliki karakteristik bangkitan/tarikan yang berbeda pada hari dan waktu yang berbeda pula. Volume bangkitan dan tarikan pergerakan juga mempengaruhi tingkat pengisian angkutan kota. Interaksi antar zona pun dipengaruhi oleh hari dan waktu. Guna lahan permukiman selalu berinteraksi dengan seluruh guna lahan yang ada dengan intensitas yang berbeda bergantung pada hari dan waktu. Hal tersebut menunjukkan sebagian besar pergerakan dengan angkutan kota merupakan pergerakan berbasis rumah. Faktor pembebanan (load faktor) angkutan umum perkotaan di Sumatera Utara terhadap jumlah penumpang per jam pada waktu terpadat yaitu saat jam sibuk lebih besar dari 92% (load faktor yang ditetapkan) pada zona (daerah) Jl. A.Haris Nasution Kota Medan dengan nilai headway 1,82 menit pada jam sibuk (16.00-18.00). Kata kunci: angkutan massal, sistem transportasi, kemacetan, kendaraan

ABSTRACT This study examines the characteristics of Mass Rapid Transportation as urban transportation congestion solutions in North Sumatra Province. Basically the use of public transport vehicles, passenger requires an adequate level of service that includes travel time, waiting time, safety and comfort to assure during the trip. This study is expected to provide input to decision-makers as a basic information to improve the transportation system in North Sumatra.The results showed that the characteristics of the transportation users, most users are captive users who regularly use public transportation is a student or college. Generation and attraction zones caused strongly influenced by time and day. For a certain region has a characteristic rise/pull on different days and different times. Generation volume and pull movements also affect the charge level of urban transportation. Interaction between the zones was influenced by day and time. Residential land use is always interacting with the rest of the existing land use with different intensities depending on the day and time. It shows most of the movement is a movement-based urban transportation home.Load factor of urban public transport in North Sumatra on the number of passengers per hour during peak hours greater than 92% (load factor specified) in the zone (area) A. Haris

111


Inovasi Vol. 10 No. 2, Juni 2013: 111-119

Nasution Street in Medan with headway value at 1.82 minute during peak hours (16:00 to 18:00). Keywords : mass transportation, system transportation, traffic, vehicle

PENDAHULUAN Kepadatan lalu lintas kendaraan bermotor di jalan-jalan perkotaan di Indonesia pada akhirakhir ini terus bertambah, sehingga sering menimbulkan kemacetan lalu lintas terutama di jalan-jalan protokol dan jalan-jalan utama lainnya. Meningkatnya jumlah kendaraan bermotor bisa disebabkan oleh tiga hal, yaitu: semakin banyaknya produksi kendaraan bermotor oleh industri kendaraan bermotor, pertumbuhan ekonomi dan urbanisasi di daerah perkotaan yang terus meningkat, tidak nyaman dan tidak amannya angkutan kota. Kondisi ini mendorong masyarakat untuk lebih memilih memiliki kendaraan pribadi (Bambang Susanto, 2007). Persoalan kemacetan lalu lintas di kotakota besar merupakan persoalan turunan yang diakibatkan tidak seimbangnya kebutuhan dan penyediaan prasarana dan sarana transportasi perkotaan. Kemacetan lalu lintas tidak saja menimbulkan ketidaknyamanan, namun juga kerugian ekonomi yang tidak sedikit. Persoalan transportasi di beberapa kota besar di Indonesia seperti Jakarta, Surabaya dan Medan merupakan suatu persoalan transportasi yang cukup memprihatinkan yang perlu pemecahan masalah khususnya kemacetan lalu lintas. Persoalan tersebut lebih dipersulit lagi dengan adanya persepsi bahwa pengambilan kebijakan sistem transportasi perkotaan tersebut lebih cenderung memihak kepada salah satu pihak tertentu. Pemihakan tersebut mengarah kepada kepemihakan pada pangguna angkutan pribadi (private car) dengan mengabaikan kepentingan masyarakat yang sebagian besar sebagai pengguna angkutan umum (user of public transport). Bila dibandingkan dengan kota-kota besar di negara maju, sistem pelayanan angkutan umum di negara kita sangat tertinggal dan cukup memprihatinkan. Di negara maju masyarakatnya cenderung menggunakan angkutan umum (public transport) dibandingkan dengan menggunakan kendaraan pribadi (Allan Black, 1995). Kondisi karakteristik moda transportasi di Sumatera Utara khususnya Kota Medan kebanyakan menggunakan kendaraan pribadi dibandingkan kendaraan umum. Adapun kelemahan penggunaan kenderaan umum adalah tidak nyaman, waktu tempuh perjalanan lebih lama, kapasitas angkutan umum tidak dioperasikan sebagaimana mestinya sehingga keamanan tidak bisa diperoleh dan masih

banyak lagi alasan lain. Dominasi penggunaan kendaraan pribadi dengan tingkat okupansi (kapasitas) yang rendah merupakan salah satu indikasi penyumbang peningkatan kemacetan jalan dan pencemaran udara (Nasution, 1996). Merubah moda transport dari angkutan umum ke angkutan pribadi bukanlah menjadi suatu solusi yang mudah dalam penyelesaian sistem transportasi dan bahkan dapat mengakibatkan sistem transportasi tersebut akan menjadi lebih buruk. Jumlah pengguna angkutan pribadi di perkotaan Sumatera Utara cenderung terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun, akan tetapi tidak didukung oleh pembangunan infrastruktur jalan yang memadai. Hal ini dapat mengakibatkan timbulnya permasalahan baru yaitu kemacetan lalu lintas. Bila kemacetan lalu lintas ini tidak diperhatikan lebih serius akan menimbulkan dampak seperti waktu perjalanan meningkat, biaya operasi kendaraan meningkat, bahan bakar minyak meningkat dan makin langka serta mahal harganya (Fidel Miro, 1997). Pertumbuhan jumlah kenderaan di Sumatera Utara terus meningkat dari tahun ke tahun yaitu rata-rata di atas 3%. Disamping itu pembangunan infrastruktur atau pertambahan jumlah dan lebar jalan sangat kecil kurang lebih di bawah 1% pertahunnya. Ketidakseimbangan antara jumlah lalu lintas dan prasarana jalan akan menimbulkan titiktitik kemacetan di daerah perkotaan. Permasalahan pokok dalam sistem transportasi yang sedang dialami di Sumatera Utara saat ini adalah bagaimana mengatasi masalah kemacetan lalu lintas. Hal ini dikarenakan hampir setiap hari pemandangan kemacetan lalu lintas dapat disaksikan pada jalan-jalan utama di perkotaan di daerah ini. Menurut Iskandar Abubakar (1999), ada beberapa manfaat dalam penerapan transportasi missal di perkotaan, antara lain : 1. Mengurangi kemacetan lalu lintas karena berkurangnya masyarakat yang menggunakan kendaraan pribadi bermotor. 2. Mengangkut banyak penumpang dalam satu waktu secara cepat dan tepat. 3. Mengurangi polusi udara karena berkurangnya penggunaan kendaraan bermotor. 4. Penghematan penggunaan Bahan Bakar Minyak (BBM) yang jumlahnya semakin berkurang.

112


Kajian Karakteritik Load Factor dan Headway Pada Sistem Angkutan Massal Sebagai Solusi Kemacetan di Provinsi Sumatera Utara (Anton Parlindungan Sinaga)

5.

Waktu tempuh antar daerah semakin cepat karena berkurangnya kemacetan.

Adapun data yang dibutuhkan berupa data primer dan data sekunder. Teknik pengolahan data dalam penelitian ini dilakukan secara statistik dan non statistik dimana data dikelompokkan sesuai dengan tujuan, rancangan dan sifat penelitian. Selanjutnya data hasil wawancara dan kuisioner diolah menggunakan teknik statistik. Dengan format deskriptif kuantitatif atau kualitatif, maka analisis data dilakukan melalui interpretasi berdasarkan pemahaman intelektual yang dibangun berdasarkan pengalaman empiris yang selanjutnya dideskriptifkan dalam bentuk naratif. Kerangka konseptual kegiatan peneltiian dijelaskan seperti Gambar 1.

Untuk mengetahui karakteristik moda transport dan perencanaan pelayanan angkutan massal sebagai solusi pemecahan permasalahan kemacetan lalu lintas di perkotaan Sumatera Utara, maka perlu dilakukan Kajian Karakteristik Sistem Angkutan Massal (Rapid Transportation) Sebagai Solusi Kemacetan Transportasi Perkotaan di Provinsi Sumatera Utara. Melalui hasil kajian ini diharapkan dapat memberikan beberapa alternatif dalam memecahkan persoalan kemacetan lalu lintas di perkotaan Sumatera Utara serta memberikan usulan kepada pemerintah daerah mengenai bentuk pengoperaian sistem angkutan massal yang tepat.

HASIL DAN PEMBAHASAN Secara geografis, penyebaran penduduk terbesar masih terkonsentrasi pada wilayah Pantai Timur, yaitu dimana pada wilayah tersebut terdapat sejumlah kabupaten dengan jumlah penduduk terbesar (di atas 5% dari seluruh penduduk provinsi) dan berkepadatan tertinggi (lebih dari 200 jiwa/km2) di Kabupaten Labuhan Batu, Asahan, Deli Serdang, Langkat dan Serdang Bedagai. Pada wilayah timur ini juga terdapat sejumlah kota dengan distribusi dan kepadatan penduduk terbesar yaitu: Medan, Tanjung Balai, Tebing Tinggi, dan Binjai.

METODE PENELITIAN Pemilihan lokasi penelitian adalah daerah perkotaan di Sumatera Utara yang memiliki tingkat kemacetan cukup tinggi, yaitu : Kota Medan, Kota Binjai, Kota Tebing Tinggi, dan Kota Pematang Siantar. Sedangkan waktu pelaksanaan penelitian dilakukan selama 4 (empat) bulan mulai dari bulan Juli hingga Nopember 2012. Kerangka operasional dalam penelitian ini meliputi antara lain adalah pengambilan data di lapangan sampai dengan pengolahan data.

Gambar 1. Kerangka konseptual penelitian.

113


Inovasi Vol. 10 No. 2, Juni 2013: 111-119

yang padat, terjangkau dan efisien, berbasis masyarakat dan terpadu dengan pengembangan wilayah.

Dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN) sesuai UU No. 26 Tahun 2007 dan PP No. 26 Tahun 2008 menetapkan Kawasan Perkotaan Medan-Binjai-Deli Serdang-Karo (Mebidangro) mempunyai fungsi/hierarki kota sebagai Pusat Kegiatan Nasional (PKN). PKN adalah kawasan perkotaan yang berfungsi untuk melayani kegiatan skala internasional, nasional, atau beberapa provinsi. PKN adalah kawasan perkotaan yang berfungsi atau berpotensi sebagai simpul utama kegiatan ekspor-impor atau pintu gerbang menuju kawasan internasional; pusat kegiatan industri dan jasa skala nasional atau yang melayani beberapa provinsi; dan/atau simpul utama transportasi skala nasional atau melayani beberapa provinsi. Terkait dengan kebijakan pembangunan transportasi, sistem perkotaan yang telah terbentuk saat ini di metropolitan Mebidangro tidak terlepas dari adanya peranan transportasi/aksesibilitas yang menghubungkan kota-kota tersebut. Secara umum, kota-kota yang berkembang pesat (cenderung memiliki pola perkembangan mengikuti jalan) di metropolitan Mebidangro berada di jaringan jalan yang berfungsi sebagai arteri primer. Pengendalian perkembangan perkotaan dan mengatur akses antar kota dalam lingkup metropolitan Mebidangro, maka diperlukan suatu konsep pengembangan transportasi perkotaan, yaitu: 1. Pembangunan angkutan perkotaan diarahkan pada pemulihan kondisi pelayanan armada bus kota sesuai dengan standar pelayanan minimal. 2. Pengembangan angkutan perkotaan diarahkan melalui pemaduan pengembangan kawasan dengan sistem transportasi kota dengan mengikuti sistem jaringan arteri sekunder. Pengembangan transportasi perkotaan juga memperhatikan pejalan kaki dan orang cacat. 3. Arah transportasi perkotaan di wilayah metropolitan Mebidangro, selain angkutan jalan juga diarahkan pada penggunaan angkutan massal yang berbasis jalan rel/kereta api. 4. Sebagai landasan pengembangan transportasi antar moda, kebijakan pengembangan angkutan kereta api pada kawasan tertentu diarahkan untuk menjalin keterhubungan pusat kota dengan outlet seperti bandar udara (Kuala Namu dengan Medan), dan pusat produksi dengan pelabuhan laut (Belawan). 5. Mendukung pengembangan transportasi yang berkelanjutan, terutama penggunaan transportasi umum massal di perkotaan

Rencana pengembangan ini, meliputi : moda transportasi jalan, sungai, penyeberangan, perkeretaapian, laut dan udara. Pembangunan jalan tol bertujuan untuk : (1) memperlancar lalu lintas di daerah yang telah berkembang; (2) meningkatkan hasil guna dan daya guna pelayanan distribusi barang dan jasa guna menunjang peningkatan pertumbuhan ekonomi; (3) meringankan beban dana pemerintah melalui partisipasi pengguna jalan; dan (4) meningkatkan pemerataan hasil pembangunan dan keadilan (Truman A Hartshorn, 1980) Perencaanaan jaringan jalan tol yang akan dibangun antara lain : (1) ruas jalan tol Belmera; (2) ruas jalan tol Medan-Binjai, ruas jalan tol akses CBD Polonia-Belmera, ruas jalan tol Tanjung Morawa-Lubuk Pakam-Kuala Namu, ruas jalan tol Lubuk Pakam-Perbatasan Deli Serdang-Serdang Bedagai; dan (3) ruas jalan tol lain yang ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Untuk mendukung pola perjalanan menerus, jalan tol perlu juga dibangun dari Binjai ke Medan berlanjut ke Kuala Namu sebagai pintu bandara nasional dan international. Berdasarkan konsep penanganan strategis jangka panjang maka seluruh sistem jaringan jalan harus sudah terintegrasi dengan seluruh sistem infrastruktur berbagai moda yang ada (intermoda). Perencanaan perangkutan didefinisikan sebagai proses yang tujuannya mengembangkan sistem angkutan yang memungkinkan manusia dan barang bergerak atau berpindah tempat dengan aman dan murah. Selain itu masih ada unsur cepat, jadi aman dan murah perangkutan juga harus cepat. Bahkan untuk memindahkan manusia, selain cepat, aman dan murah sistem perangkutan harus pula nyaman (Pignataro, 1973 dalam Warpani 1990). Kondisi pengoperasian angkutan umum yang ideal dapat ditinjau dari kinerja pelayanan yaitu frekuensi, load factor, headway dan waktu perjalanan. Pada penelitian ini hanya dibahas load factor dan headway. Headway adalah waktu antara kedatangan/keberangkatan kendaraan pertama dengan kedatangan/keberangkatan kendaraan berikutnya yang diukur pada satu titik pengamatan di terminal atau waktu antara kendaraan yang melintas pada ruas jalan. Headway yang ideal adalah 5-10 menit. Headway berbanding terbalik dengan frekuensi, semakin

114


Kajian Karakteritik Load Factor dan Headway Pada Sistem Angkutan Massal Sebagai Solusi Kemacetan di Provinsi Sumatera Utara (Anton Parlindungan Sinaga)

kecil headway akan memperkecil waktu tunggu yang akan menguntungkan penumpang. Load Factor (Faktor Muat) adalah perbandingan antara jumlah penumpang yang ada dalam kendaraan dengan kapasitas kendaraan tersebut yang dinyatakan dalam persen. Load Factor terdiri dari Load Factor Statis dan Load Factor Dinamis. Load Factor Statis merupakan hasil survei statis pada 1 titik pengamatan (misalnya di pintu keluar terminal), diperoleh dari perbandingan jumlah penumpang di dalam kendaraan dengan kapasitas kendaraan pada saat melewati 1 titik pengamatan. Load Factor Dinamis merupakan hasil survei dinamis di dalam kendaraan, diperoleh dari perbandingan jumlah penumpang yang naik dan turun kendaraan pada tiap segmen ruas jalan dengan kapasitas kendaraan pada rute yang dilewati. Load Factor yang ideal adalah 70%. Kondisi ini memungkinkan penumpang duduk dengan nyaman didalam kendaraan dan tidak berdesak-desakan. (Abubakar, 1996). Load factor penumpang di Kota Medan bervariasi untuk setiap titik pengamatan dan berdasarkan waktu pengamatan. Load Factor penumpang Jl. Jamin Ginting - Sumber Nongko tertinggi pada jam pengamatan pukul 07.0009.00 adalah 0,55 (angkutan kota nomor 120), terendah pada jam pengamatan tersebut adalah 0,34 (angkutan kota nomor 2). Pukul 09.0011.00 nilai load factor tertinggi adalah 7,18 (angkutan kota nomor 66), terendah adalah 0,33 (angkutan kota nomor 17). Pukul 11.0012.00 nilai load factor tertinggi adalah 1,86 (angkutan kota nomor 104), terendah adalah 0,36 menit (angkutan kota nomor D95). Pukul 12.00-14.00 nilai load factor tertinggi adalah 0,51 (angkutan kota nomor 25), terendah adalah 0,39 (angkutan kota nomor 17). Pukul 14.0016.00 nilai load factor tertinggi adalah 1,08 (angkutan kota nomor 41), terendah adalah 0,38 (angkutan kota nomor 54). Pukul 16.00-18.00 nilai load factor tertinggi adalah 0,84 (angkutan kota nomor 02), terendah adalah 0,40 (angkutan kota nomor 123). Load factor penumpang Jl. Gatot Subroto - Jl. Pinang Baris tertinggi pada jam pengamatan pukul 07.00-09.00 adalah 0,65 (angkutan kota nomor 117), terendah adalah 0,42 (angkutan kota nomor 78). Pukul 09.00-11.00 nilai load factor tertinggi adalah 0,51 (angkutan kota nomor 64), terendah adalah 0,23 (angkutan kota nomor 24). Pukul 11.00-12.00 nilai load factor tertinggi adalah 0,45 (angkutan kota nomor 52), terendah adalah 0,13 (angkutan kota nomor 118). Pukul 12.00-14.00 nilai load factor tertinggi adalah 6,27 (angkutan kota nomor 65), terendah adalah 0,10 (angkutan kota nomor

107). Pukul 14.00-16.00 nilai load factor tertinggi adalah 1,04 (angkutan kota nomor 118), terendah adalah 0,05 (angkutan kota nomor 65). Pukul 16.00-18.00 nilai load factor tertinggi adalah 1,09 (angkutan kota nomor 118), terendah adalah 0,44 (angkutan kota nomor 120). Load factor penumpang Jl. AH. Nasution - Jl. Karya Wisata tertinggi pada jam pengamatan pukul 07.00-09.00 adalah 0,60 (angkutan kota nomor 94), terendah adalah 0,49 (angkutan kota nomor 32). Pukul 09.00-11.00 nilai load factor tertinggi adalah 0,55 (angkutan kota nomor 25), terendah adalah 0,47 (angkutan kota nomor 52). Pukul 11.00-12.00 nilai load factor tertinggi adalah 0,92 (angkutan kota nomor 135), terendah adalah 0,47 (angkutan kota nomor 97). Pukul 12.00-14.00 nilai load factor tertinggi adalah 0,47 (angkutan kota nomor 02), terendah adalah 0,39 (angkutan kota nomor 94). Pukul 14.00-16.00 nilai load factor tertinggi adalah 0,51 (angkutan kota nomor 135), terendah adalah 0,42 (angkutan kota nomor 02). Pukul 16.00-18.00 nilai load factor tertinggi dan adalah 0,66 (angkutan kota nomor 97), adalah 0,51 (angkutan kota nomor 121). Tingkat load factor duduk penumpang di Kota Binjai bervariasi untuk setiap titik pengamatan dan berdasarkan waktu pengamatan. Load factor duduk penumpang Jl. Teungku Amir Hamzah tertinggi pada jam pengamatan pukul 08.00-09.00 adalah 0,50 (nama angkutan kota pinang baris), terendah adalah 0,11 (nama angkutan kota Gumit). Pukul 11.00 -12.00 nilai tingkat load factor duduk tertinggi adalah 0,50 (nama angkutan kota Pinang Baris), adalah 0,18 (nama angkutan kota Gumit). Pukul 15.00-16.00 nilai tingkat load factor duduk tertinggi adalah 0.50 (nama angkutan kota Pinang Baris), terendah adalah 0,18 (nama angkutan kota Gumit). Untuk load factor penumpang Jl. Binjai - Jl. Veteran tertinggi pada jam pengamatan pukul 08.00-09.00 adalah 0,50 (nama angkutan kota pinang baris), terendah adalah 0,13 (nama angkutan kota H. Yani). Pukul 11.00 -12.00 nilai tingkat load factor duduk tertinggi adalah 0,50 (nama angkutan kota Pinang Baris) terendah adalah 0,18 (nama angkutan kota H. Yani dan Kuala). Pukul 15.00-16.00 nilai tingkat load factor duduk tertinggi adalah 0.52 (nama angkutan kota Pinang Baris), terendah adalah 0,12 (nama angkutan kota H. Yani). Tingkat load factor di Kota Tebing Tinggi bervariasi untuk setiap titik pengamatan dan berdasarkan waktu pengamatan. Untuk Jl. A.Yani - Jl. Sudirman) load factor tertinggi pada jam pengamatan pukul 08.00 - 09.00 adalah 0,50 (nama angkutan kota Bulian), terendah adalah 115


Inovasi Vol. 10 No. 2, Juni 2013: 111-119

0,08 (nama angkutan kota Simpang Medan). Pukul 13.00-14.30 load factor tertinggi adalah 0,50 (nama angkutan kota Bulian), terendah adalah 0,12 (nama angkutan kota Simpang Rambung). Nilai tingkat load factor di Kota Pematangsiantar bervariasi untuk setiap titik pengamatan dan berdasarkan waktu pengamatan. Untuk Jl. Sutomo (Pasar Horas), load factor tertinggi pada jam pengamatan pukul 13.30 - 14.30 adalah 0,50 (nama angkot Sepekat Karya Bersama), terendah adalah 0,00 (nama angkot Sinar Bangun, Ria Jaya, GMSS Jaya, Intra, Srigala, dan Atlas). Pukul 14.30-15.30 load factor tertinggi adalah 0,64 (nama angkutan kota Rama Indah), terendah adalah 0,00 (nama angkutan kota Ria Jaya). Pukul 16.00-17.00 load factor tertinggi adalah 0,53 (nama angkutan kota Sepakat Karya Bersama), terendah adalah 0,00 (nama angkutan kotanya Rama Indah dan Sinar Bangun). Pukul 17.00-17.30 load factor tertinggi adalah 0,38 dan terendah adalah 0,00. Untuk headway penumpang di Kota Medan bervariasi untuk setiap titik pengamatan dan berdasarkan waktu pengamatan. Headway penumpang Jl. Jamin Ginting - Sumber Nongko tertinggi pada jam pengamatan pukul 07.0009.00 adalah 6 menit (angkutan kota nomor 57, 10, 62, 66, 13, dan 11), terendah adalah 4 menit (angkutan kota nomor 135, 120, 110, 123, 103, 104, 60, dan 43). Pukul 09.00-11.00 nilai headway tertinggi adalah 6 menit (angkutan kota nomor 104, 60, 12, 54, 69, 52, 57, D95, 10, 62, 13, dan 11), terendah adalah 4 menit (angkutan kota nomor 135, 120, 110, 123, dan 103). Pukul 11.00-12.00 nilai headway tertinggi adalah 6 menit (angkutan kota nomor 43, 17, 42, 69, 52, 61, 57, 10, 62, 66, 13, dan 11), terendah adalah 4 menit (angkutan kota nomor 135, 120, 110, 123, 103, 104, dan 60). Pukul 12.00-14.00 nilai headway tertinggi adalah 5 menit (angkutan kota nomor 02, 43, 69, 52, dan D95), terendah adalah 4 menit (angkutan kota nomor 94). Pukul 14.00-16.00 nilai headway tertinggi adalah 5 menit (angkutan kota nomor 02, 43, 17, 108, 94, dan D95), terendah adalah 4 menit (angkutan kota nomor 135, 120, 110, 123, 103, 104, 10, 25). Pukul 16.00-18.00 nilai headway tertinggi adalah 3,41 menit (angkutan kota nomor 12), terendah adalah 1,82 menit (angkutan kota nomor 123). Headway penumpang Jl. Gatot Subroto - Jl. Pinang Baris tertinggi pada jam pengamatan pukul 07.00-09.00 adalah 6 menit (angkutan kota nomor 50 dan 45), terendah adalah 4 menit (angkutan kota nomor 64, 70, 117, P25, 118, 32, 21, 31, 120, 65, P26, A. Binjai, 20, 99, 78, 48, 23, 52, D95, PT. Pasi, 24, 94, 138, 66, dan 104). Pukul 09.00-11.00 nilai headway tertinggi

adalah 6 menit (angkutan kota nomor 45), terendah adalah 4 menit (angkutan kota nomor 64, 70, 117, P25, 118, 32, 21, 31, 120, 65, P26, A. Binjai, 20, 99, 10, 78, 63, 107, 48, 23, CV. Laris, 52, 25, D95, PT. Pasi, dan 24). Pukul 11.00-12.00 nilai headway tertinggi adalah 4,58 menit (angkutan kota nomor 21), terendah adalah 2,22 menit (angkutan kota nomor 118). Pukul 12.0014.00 nilai headway tertinggi adalah 5,83 menit (angkutan kota nomor 10), terendah adalah 0,60 menit (angkutan kota nomor 107). Pukul 14.0016.00 nilai headway tertinggi adalah 4,97 menit (angkutan kota nomor 138), terendah adalah 0,25 menit (angkutan kota nomor 65). Pukul 16.00-18.00 nilai headway tertinggi adalah 5,60 menit (angkutan kota nomor 10), terendah adalah 2,50 menit (angkutan kota nomor 64). Headway penumpang Jl. AH. Nasution - Jl. Karya Wisata tertinggi pada jam pengamatan pukul 07.00-09.00 adalah 6 menit (angkutan kota nomor 44 dan 94), terendah adalah 4 menit (angkutan kota nomor 135, 120, dan 54). Pukul 09.00-11.00 nilai headway tertinggi adalah 5,45 menit (angkutan kota nomor 02), terendah adalah 4 menit (angkutan kota nomor 135, 120, dan 54). Pukul 11.00-12.00 nilai headway tertinggi adalah 7,50 menit (angkutan kota nomor P25, P26, dan 95), terendah adalah 4 menit (angkutan kota nomor 135 dan 120). Pukul 12.00-14.00 nilai headway tertinggi adalah 5 menit (angkutan kota nomor 99, 97, 94, dan 95), terendah adalah 4 menit (angkutan kota nomor 135). Pukul 14.00-16.00 nilai headway tertinggi adalah 5 menit (angkutan kota nomor 24 dan 94), terendah adalah 4 menit (angkutan kota nomor 135 dan 54). Pukul 16.00-18.00 nilai headway tertinggi dan terendah adalah 4 menit (angkutan kota nomor 135, 120, 121, 99, 97, 54, 52, P25, 26, 02, 24, 44, 32, dan 94). Untuk headway penumpang di Kota Binjai bervariasi untuk setiap titik pengamatan dan berdasarkan waktu pengamatan. Headway penumpang Jl. Tengku Amir Hamzah tertinggi pada jam pengamatan pukul 08.00-09.00 adalah 29,33 menit (angkutan kota Stabat), terendah pada jam pengamatan tersebut adalah 7,20 menit (angkutan kota Gumit). Pukul 11.00-12.00 nilai headway tertinggi adalah 21,43 menit (angkutan kota Stabat), terendah adalah 7,00 menit (angkutan kota Gumit). Pukul 15.00-16.00 nilai headway tertinggi adalah 17,14 menit (angkutan kota Pinang Baris), terendah adalah 16,47 menit (angkutan kota Stabat). Headway penumpang Jl. Binjai Veteran tertinggi pada jam pengamatan pukul 08.0009.00 adalah 24,00 menit (angkutan kota Pinang Baris), terendah adalah 4,00 menit (angkutan kota H.Yani). Pukul 11.00-12.00 nilai headway 116


Kajian Karakteritik Load Factor dan Headway Pada Sistem Angkutan Massal Sebagai Solusi Kemacetan di Provinsi Sumatera Utara (Anton Parlindungan Sinaga)

tertinggi adalah 22,86 menit (angkutan kota Pinang Baris), terendah adalah 4,45 menit (angkutan kota Gumit). Pukul 15.00-16.00 nilai headway tertinggi adalah 62,11 menit (angkutan kota Pinang Baris), terendah adalah 4,73 menit (angkutan kota Jl. A. Yani). Untuk headway penumpang di Kota Tebing Tinggi bervariasi untuk setiap titik pengamatan dan berdasarkan waktu pengamatan. Nilai headway Jl. A. Yani - Jl. Sudirman tertinggi pada jam pengamatan pukul 08.00-09.00 adalah 8,50 menit (angkutan kota Simpang Rambung), sedangkan nilai headway terendah pada jam pengamatan tersebut adalah 7,40 menit (angkutan kota Terminal). Pukul 09.00-10.00 nilai headway tertinggi adalah 9,90 menit (angkutan kota Bulian), terendah adalah 4,50 menit (angkutan kota Simpang Rambung). Pukul 10.00-11.00 nilai headway tertinggi adalah 14,40 menit (angkutan kota Simpang Medan), terendah adalah 5,60 menit (angkutan kota Simpang Rambung). Pukul 11.00-12.00 nilai headway tertinggi adalah 15,50 menit (angkutan kota Simpang Medan), terendah 8,90 menit (angkutan kota Terminal). Pukul 13.30-14.30 nilai headway tertinggi adalah 8,30 menit (angkutan kota Simpang Rambung), terendah 6,70 menit (angkutan kota Bulian). Untuk headway penumpang di Kota Pematang Siantar bervariasi untuk setiap titik pengamatan dan berdasarkan waktu pengamatan. Nilai Headway Penumpang Jl. Sutomo (Pasar Horas) tertinggi pada jam pengamatan pukul 13.30-14.30 adalah 8,57 menit (angkutan kota Ria Jaya), terendah adalah 7,20 menit (angktan kota Koperasi Beringin, Sinar Murni, Bandar Jaya, Sinar Bangun, Intra, dan Sri Gala). Pukul 14.30-15.30 nilai headway tertinggi adalah 8 menit (angkutan kota GMSC, Bandar Jaya, Sinar Bangun, dan Ria Jaya), terendah adalah 5,56 menit (angkutan kota Sinar Siantar). Pukul 16.00-17.00 nilai headway tertinggi adalah 8,46 menit (angkutan kota Rama Indah), terendah adalah 4,65 menit (angkutan kota Sinar Bangun). Pukul 17.0017.30 nilai headway tertinggi adalah 6,78 menit (angkutan kota Koperasi Beringin), terendah adalah 3,21 menit (angkutan kota PMS). Perwujudan kegiatan transportasi yang baik adalah dalam bentuk tata jaringan jalan dengan segala kelengkapannya berupa rambu-rambu lalu lintas, penunjuk jalan dan sebagainya. Selain kebutuhan lahan untuk jalur jalan dipelukan juga kebutuhan lahan seprti tempat parkir, terminal, dan fasilitas angkutan lainnya. Perkembangan teknologi dibidang transportasi menuntut adanya perkembangan teknologi prasarana transportasi berupa jaringan jalan. Sistem transportasi yang berkembang semakin

cepat menuntut perubahan tata jaringan jalan yang dapat menampung kebutuhan lalu lintas yang berkembang tersebut (Rustian Kamaluddin, 2003). Karakteristik pola perjalanan yang terjadi juga mencerminkan bahwa kebutuhan akan pelayanan angkutan umum dewasa ini sudah tidak layak lagi untuk menggunakan jenis angkutan umum yang berkapasitas rendah, akan tetapi seyogyanya sudah diarahkan pada penggunaan jenis angkutan umum massal Mass Rapid Transit (MRT) yang berkapasitas besar. (Miro Fidel, 2005). Berdasarkan kondisi yang ada, maka secara lebih spesifik arahan pengembangannya akan dilakukan pada ruas : Medan-Binjai, saat ini jalur yang ada berupa single track. Dengan demikian untuk mengimbangi arus komuter perlu dibuat jalur double track dengan kelas pelayanan kelas II. Medan-Kuala Namu dan Medan-Belawan, saat ini jalur komuter ini sudah ada tetapi kurang optimal karena angkutan kereta api belum terpadu dengan jaringan pelayanan transportasi antar moda, sehingga tidak ada ketersambungan pelayanan antar moda angkutan atau fasilitas lainnya (feeder service). Medan-Pancur Batu dan Medan-Deli Tua, jalur kereta api pada ruas ini sebenarnya sudah ada tetapi tidak dimanfaatkan. Untuk mendukung kegiatan penduduk yang melakukan komuter, perlu adanya konservasi rel mati pada ruas jalur tersebut (single track). Sedangkan untuk mengatasi tingkat kemacetan di Kota Medan, maka perlu dilakukan rencana pengembangan terminal yang meliputi : 1) Revitalisasi terminal Amplas dan pengembangannya sebagai lokasi city checkin dengan pelayanan angkutan bus menuju Bandara Kuala Namu. 2) Pembangunan Terminal Barang/ Pergudangan Terpadu di kawasan Kecamatan Medan Deli. 3) Pembangunan pasar regional/terminal barang/pergudangan dan terminal angkutan umum AKDP di kawasan Kecamatan Medan Tuntungan. Biaya perjalanan dengan menggunakan bus kota juga menjadi relatif lebih murah, terlebih lagi bila dibandingkan dengan biaya penggunaan mobil pribadi. Dengan diberlakukannya prioritas perjalanan bagi bus, diharapkan masyarakat akan lebih memilih untuk menggunakan bus kota sebagai sarana transportasi mereka, sehingga pribadi dapat dibatasi. Intinya adalah dengan membatasi 117


Inovasi Vol. 10 No. 2, Juni 2013: 111-119

dengan faktor pembebanan (load factor) angkutan umum terhadap jumlah penumpang per jam pada waktu terpadat atau saat jam sibuk lebih besar 92% dari load factor yang ditetapkan), dimana load factor yang paling besar diperoleh pada zona (daerah) Jl. A.Haris Nasution Kota Medan dengan nilai headway 1.82 menit pada jam sibuk (jam 16.00-18.00). Dari analisa data juga dapat dilihat bahwa nilai P (jumlah penumpang per jam pada jam terpadat) yang semakin besar disebabkan oleh selang keberangkatan (headway) dari terminal semakin kecil sehingga membutuhkan jumlah armada yang lebih banyak, sebaliknya dengan jumlah armada semakin banyak akan menybabkan daya angkut menjadi lebih kecil sehingga dapat menyebabkan volume kenderaan angkutan umum meningkat dan terjadi kemacetan di jalanan.

penggunaan kendaraan pribadi dan memberikan alternatif dengan menggunakan angkutan umum/ bus kota (Willumsum-Ortuzar, 1994). KESIMPULAN Kondisi tingkat kemacetan transportasi perkotaan di Sumatera Utara semakin hari semakin meningkat yang ditandai dengan kemacetan atau terganggunya pergerakan kendaraan dari satu tempat ke tempat lain ini yang disebabkan oleh ketidakteraturan dalam pengorganisasian arus lalulintas, antara lain : lebar jalan yang tidak sesuai dengan populasi kendaraan yang semakin bertambah; banyaknya jalan rusak yang membuat kendaraan melaju dengan lambat sehingga terjadi kemacetan; dan pengerjaan jalan seperti galian-galian yang terbengkalai sehingga laju kendaraan terganggu. Tingkat kemacetan di perkotaan di Sumatera Utara dengan kontribusi terbesar disebabkan oleh sepeda motor, angkutan kota, pedagang kaki lima yang menggunakan trotoar dan sebagian ruas jalan, rusaknya infrastruktur lalulintas, penerapan tata ruang yang tidak optimal, dan rendahnya displin pengguna lalulintas dan kurangnya sosialisasi tertib lalu lintas. Kebutuhan akan sistem angkutan massal (rapid seperti transportation) perkotaan di Sumatera Utara sangat diperlukan dalam mengatasi tingkat kemacetan di wilayah perkotaan sebagai akibat peningkatan jumlah penduduk dan kegiatan perekonomian daerah sehingga menyebabkan terjadinya mobilitas angkutan orang dan barang yang cukup tinggi. Kebijakan sistem angkutan umum massal (Mass Rapid Transit/(MRT) yang berkapasitas besar berupa Bus Rapid Transportationt (BRT) dan Mass Rapid Transportation (MRT) dapat mengatasi kemacetan transportasi perkotaan di Sumatera Utara yang dapat dilakukan melalui beberapa hal, antara lain : sosialisasi perubahan moda transpot dari kenderaan pribadi kepada angkutan masssal, insentif pajak terhadap kendaraan pribadi dengan pajak tinggi dan pengenaan tarif parkir yang tinggi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa karakteristik pengguna transportasi di perkotaan Sumatera Utara adalah captive user yang rutin menggunakan angkutan kota adalah pelajar atau mahasiswa. Pergerakan kebutuhan penumpang dan angkutan umum tergantung dari zona pemukiman yang ditentukan oleh waktu dan hari, dimana untuk zona tertentu memiliki karakteristik pergerakan penumpang yang berbeda pada hari dan waktu. Volume pergerakan penumpang juga mempengaruhi tingkat intensitas angkutan kota yang ditandai

REKOMENDASI 1) Pemerintah Provinsi dan Kota di Sumatera Utara perlu melakukan penataan terhadap jumlah angkutan kota yang beroperasi dengan menetapkan rute angkutan kota yang lebih disesuaikan dengan permintaan angkutan kota, penyediaan tempat perhentian (halte) angkutan kota pada zona-zona yang memiliki volume bangkitan dan tarikan yang tinggi serta penyediaan fasilitas seperti di kawasan Kota Medan untuk mengurangi pergerakan yang sangat tinggi dari dan menuju kawasan Medan Padang Bulan. 2) Pemerintah Kota di Sumatera Utara perlu melakukan penataan dan regulasi untuk tidak menambah armada baru yang beroperasi pada jalur-jalur padat penumpang/bangkitan tinggi dan secara bertahap dapat meningkatkan kuantitas dan kualitas bus angkutan massal untuk dapat mengangkut penumpang umum guna untuk mengatasi peningkatan kemacetatan lalu lintas. 3) Kecepatan operasional untuk angkutan kota di Sumatera Utara perlu ditingkatkan kecepatan menjadi antara 19.94-22.94 km/jam melalui mengurangi menaikan dan menurun penumpang di jalan dan penumpang disetting untuk menunggu di halte. 4) Untuk mengatasi kemacetan jalan di perkotaan di Sumatera Utara, Pemerintah Kota perlu membuat regulasi tentang penggunaan badan jalan untuk tidak digunakan sebagai tempat parkir, menaikkan/menurunkan penumpang terutama pada sekolah-sekolah dan

118


Kajian Karakteritik Load Factor dan Headway Pada Sistem Angkutan Massal Sebagai Solusi Kemacetan di Provinsi Sumatera Utara (Anton Parlindungan Sinaga)

5)

6)

7)

8)

Direktorat Jenderal Bina Marga. 1990. Panduan Survey dan Perhitungan Waktu Perjalanan Lalu Lintas No: 001/T/BNKT/1990. Jakarta: Dirjen Bina Marga Direktorat Pembinaan Jalan Kota.

universitas, serta tempat usaha dan pusat pergerakan bisnis/jasa. Untuk mengatasi kemacetan jalan di kawasan perkotaan di Sumatera Utara, Pemerintah Provinsi dan Kota perlu menerbitkan perizinan bus rapid sesuai dengan daya angkut sesuai dengan tingkat kemacetan di masing-masing perkotaan dan membuat jalur alternatif angkutan kota sebagai feeder angkutan massal. Pemerintah Provinsi dan Kota di Sumatera Utara perlu melakukan penataan terhadap transportasi kota yang aman, nyaman, murah, dan hemat melalui perbaikan sistem angkutan kota menjadi sistem transportasi massal, dimana hal ini dapat memberikan multiflyer effek bagi mengurangi tingkat kemacetan, penghematan BBM, mengurangi emisi rumah kaca serta menjadikan kota sebagai tujuan perjalanan (destination) wisata daerah. Kebijakan prioritas untuk mengatasi kemacetan di perkotaan di Sumatera Utara adalah dengan melakukan perbaikan manajemen lalu lintas dan shifting operasional angkutan kota, penegakan disiplin lalu lintas, penggantian moda transportasi massal, penertiban terminal liar, perbaikan dan pembangunan ruas jalan utama dan jalan lokal. Kemacetan lalu lintas di sejumlah ruas jalan di Kota Medan tidak semata-mata disebabkan peningkatan volume kendaraan yang tidak seimbang dengan panjang dan lebar ruas jalan. Untuk itu, Pemerintah Kota Medan perlu merubah sistem dan manajemen lalu lintas yang diterapkan selama ini antara lain dengan pembenahan infrastruktur lalulintas, menambah jumlah jembatan layang atau fly over di lokasi persimpangan jalan yang rawan macet dan tidak membuat kebijakan penggunaan parkir kendaraan di atas badan jalan terutama di sejumlah jalan protokol.

_________________, 1990. Panduan Survei dan Perhitungan Waktu Perjalanan Lalu Lintas No : 001/T/BNKT/1990. Jakarta: Ditjen Bina Marga Direktorat Pembinaan Jalan Kota. Black, Allan. 1995. Urban Mass Transportation Planning. New York: Mc. Graw Hill International Editions. Fidel, Miro. 2005. Perencanaan Transportasi untuk Mahasiswa, Perencana dan Praktisi. Jakarta: Erlangga. Hartshorn, Truman A. 1980. Interpreting The City: An Urban Geography. New York: John Wiley & Sons, Inc. Kamaluddin, Rustian, 2003. Ekonomi Transportasi. Jakarta: Penerbit Ghalia Indonesia. Miro, Fidel. 1997. Sistem Transportasi Kota. Bandung: Penerbit Tarsito. Nasution, 1996. Manajemen Transportasi. Jakarta: Penerbit Ghalia Indonesia. Ortuzar, Juan de Dios dan, Luis G Willumsen. 1994. Modelling Transport. New York: John Wiley & Sons.. Susantono, Bambang. 2007. Transportasi dan Pembangunan: Perspektif Multi Dimensi. Jurnal “Dialog� Kebijakan Publik. Edisi No. 1, November, hlm 29-40. Warpani, Suwardjoko. 1990. Merencanakan Sistem Perangkutan. Bandung: ITB.

DAFTAR PUSTAKA Abubakar, Iskandar. 1996. Menuju Lalu Lintas Dan Angkutan Jalan Yang Tertib. Jakarta Direktorat Jenderal Perhubungan Darat. ________________. 1999. Rekayasa Lalu Lintas Pedoman Perencanaan dan Pengoperasian Lalu Lintas di Wilayah Perkotaan. Jakarta: Penerbit Direktorat Jenderal Perhubungan Darat. Badan Pusat Statistik Provinsi Sumatera Utara. 2011. Sumatera Utara Dalam Angka Tahun 2010. Kerjasama BPS Provinsi Sumatera Utara dengan Bappeda Provinsi Sumatera Utara.

119


Inovasi Vol. 10 No. 2, Juni 2013: 120-128

Hasil Penelitian KAJIAN PENERAPAN MANAJEMEN SUMBER DAYA MANUSIA DI SMP SYAFIYYATUL AMALIYYAH MEDAN

(STUDIES OF HUMAN RESOURCE MANAGEMENT IMPLEMENTATION IN SMP SYAFIYYATUL AMALIYYAH MEDAN) Jonni Sitorus Badan Penelitian dan Pengembangan Provinsi Sumatera Utara Jl. Sisingamangaraja No. 198 Medan 20126 Telp.(061) 7866225; Fax.(061) 7366248; email: sitorus_jonni@yahoo.co.id

Diterima: 23 Februari 2013; Direvisi: 3 Mei 2013; Disetujui: 12 Juni 2013

ABSTRAK SMP Syafiyyatul Amaliyyah Medan merupakan merupakan salah satu sekolah menengah pertama yang bukan hanya sekedar pengadaan SDM saja, melainkan terpadu dari berbagai fungsi juga, yakni mulai dari perencanaan, penyusunan staf atau rekrutmen serta melakukan pembinaan dan pengembangan SDM. Adapun tujuan penelitian ini adalah: untuk mengetahui perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi sumber daya manusia di SMP Syafiyyatul Amaliyyah Medan. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang dilakukan diSMP Syafiyyatul Amaliyyah Medan. Instrumen yang digunakan untuk mengumpulkan data terdiri dari wawancara, dan studi dokumentasi. Data dianalisis data secara deskriptif kualitatif. Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa: 1) perencanaan SDM tertuang pada beberapa buku/laporan sekolah seperti: Rencana Kerja Sekolah (RKS); dan program sekolah. Perencanaan diarahkan pada pengembangan SDM guru dan pegawai serta peningkatan sarana prasarana sekolah; 2) pelaksanaan SDM diarahkan pada rekrutmen dan seleksi guru dan pegawai administrasi, pelaksanaan supervisi, dan peningkatan kompetensi guru dan pegawai dalam penguasaan bahasa Inggris dan teknologi; 3) pengorganisasian SDM sekolah dilakukan sangat sistematis dengan melibatkan beberapa pihak, khususnya stakeholder (pengambil kebijakan); 4) pengawasan SDM diarahkan untuk penjaminan mutu/kualitas program kerja sekolah, seperti: disiplin administrasi sekolah, proses pembelajaran di kelas, kondisi sekolah yang aman, nyaman dan kondusif dalam pelaksanaan proses belajar mengajar; dan 5) Evaluasi SDM dilakukan untuk mengukur kinerja guru dan pegawai. Evaluasi dilakukan satu kali dalam sebulan. Hal-hal yang dievaluasi oleh pihak sekolah adalah: leadership, manajemen, motivasi, bentuk evaluasi, dan eksekutor. Kata

Kunci:

sumberdaya manusia, manajemen pendidikan, pengerganisasian, pengawasan, evaluasi

perencanaan,

pelaksanaan,

ABSTRACT SMP Syafiyyatulamaliyyah Medan is one of the first high school which is not just a human resources procurement, but also integrated from a variety of functions, start from planning, staffing or recruitment and conduct training and development HR. The purpose of this study is: to determine planning, organizing, implementing, monitoring, and evaluation of human resources in SMP Syafiyyatul Medan. This is a qualitative research conducted in SMP Syafiyyatulamaliyyah Medan. The instrument used to collect he data consist of interviews, and documentation. Data were analyzed descriptive qualitative. From the result, it can be concluded that: 1) HR planning containing on several books/school reports such as: Work Plan School, and school programs. Planning focused on human resource development of teachers and staff as well as increased school infrastructure; 2) The HR implementation directed the recruitment and selection of teachers and administrative staff, implementation supervision, and improving the competenceof teachers and employees in mastery English and technology; 3) The school HR organization performed very systematically involving multipleparties, especially the stakeholders (policy makers); 4) The HR supervision directed to quality assurance/quality of schoolwork programs,

120


Kajian Kajian Penerapan Manajemen Sumber Daya Manusia di SMP Syafiyyatul Amaliyyah Medan (Jonni Sitorus) such as school administrative discipline, the learning process in the classroom, school conditions are safe, comfortable and conducive to the implementation of the learning process, and 5) Evaluation of human Resources conducted to measure the performance of teachers and employees. Evaluation is done once a month. Things that are evaluated by the school are: leadership, management, motivation, evaluationforms, and executioner. Keywords: human resources, management of education, planning, implementation, organization monitoring, evaluation

penilaian dan kompensasi.Castter (1996), manajemen SDM pada dasarnya merupakan deskripsi dari administrasi atau manajemen yang dirancang dan saling berkaitan satu sama lainnya untuk tujuan individu maupun organisasi. Proses yang dimaksud adalah: planning, recruitmen, selection, continuity dan information. Menurut Hasibuan (2000), tujuan pengelolaan SDM meliputi tujuan umum dan khusus yang antara lain sebagai berikut: 1) tujuan umum pengembangan sumber daya manusia antara lain, mengembangkan keahlian atau keterampilan, sehingga pekerjaan dapat diselesaikan lebih cepat dan lebih efektif; mengembangkan pengetahuan, sehingga pekerjaan dapat diselesaikan secara rasional; dan mengembangkan sikap, sehingga menimbulkan kerja sama dengan teman-teman seprofesi dan dengan pihak manajemen (pimpinan); 2) tujuan pengembangan pegawai khususnya tenaga non akademik sebenarnya sama dengan tujuan latihan pegawai di mana kegiatan pengembangan ini ditujukan untuk memperbaiki efektivitas kerja dengan cara memperbaiki pengetahuan, keterampilan dan sikap pegawai itu sendiri terhadap tugastugasnya. Melihat pentingnya manajemen SDM dalam konteks sistem pendidikan, maka SMP Syafiyyatul Amaliyyah Medan yangmerupakan salah satu sekolah menengah pertama yang bukan hanya sekedar pengadaan SDM saja, melainkan terpadu dari berbagai fungsi juga, yakni mulai dari perencanaan, penyusunan staf atau rekrutmen serta melakukan pembinaan dan pengembangan SDM. Dalam hal perekrutan pendidik dan tenaga kependidikan sebagai salah satu bagian dari manajemen SDM, SMP Syafiyyatul Amaliyyah Medanmemberikan prioritasuntuk menseleksi guru dan pegawai lainnya. Artinya, hanya guru dan pegawai yang memiliki kualitas sesuai dengan disiplin ilmunya yang dapat diterima di sekolah tersebut. Kepala sekolah SMP Syafiyyatul Amaliyyah Medan perhatian terhadap pendayagunaan potensi-potensi tenaga pendidiknya untuk pengembangan profesionalisme dan peningkatan mutu pendidik pada sekolah yang dipimpin.

PENDAHULUAN Mencerdaskan kehidupan bangsa melalui dunia pendidikan adalah suatu tuntutan yang tidak dapat dinafikan. Masa depan dan keunggulan bangsa ditentukan oleh keunggulan sumber daya manusia (SDM). Pengembangan SDM merupakan bentuk investasi (human investment)untuk mencapai peningkatan produktivitas organisasi. Manajemen sangat dibutuhkan dalam kemajuan pendidikan, terutama dalam mengelola SDM (kepala sekolah, guru dan pegawai). Namun pada kenyataannya, manajemen SDM masih jauh dari ideal. Fattah (2008), manajemen merupakan pengaturan dan pengelolaan serangkaian aktifitas merencanakan, mengorganisasi, melaksanakan, dan mengawasi segala upaya dalam mengatur dan mendayagunakan sumber daya manusia, sarana dan prasarana untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan secara efisien dan efektif. Menurut Salam (2004), manajemen adalah suatu kegiatan organisasi, sebagai suatu usaha dari sekelompok orang yang bekerja sama dalam rangka mencapai tujuan tertentu yang mereka taati sedemikian rupa sehingga diharapkan hasil yang akan dicapai sempurna, yaitu efektif dan efisien. Berdasarkan Dirjen Kelembagaan Agama Islam RI (2005), beberapa asumsi yang melatar belakangi mengapa sumber daya manusia (SDM) merupakan faktor strategis dan rasional yang menentukan tingkat keberhasilan dalam sistem pendidikan, yakni bahwa: a) manusia merupakan aset terpenting dalam organisasi pendidikan; b) mutu personil menentukan keberhasilan tujuan organisasi; c) unsur manusia merupakan variabel terkontrol paling besar dalam organisasi; d) sebagian besar persoalan organisasi berkaitan dengan masalah penampilan manusia; e) perhatian utama dari sistem sekolah adalah mengidentifikasi dan mengelola perilaku proses agar mencapai tujuan yang diterapkan. Mulyasa (2002) menjelaskan bahwa komponen manajemen SDM meliputi: a) perencanaan yang meliputi rekrutmen dan seleksi; b) pengorganisasian yang meliputi pemberdayaan; c) pelaksanaan yang meliputi koordinasi; d) pengawasan yang meliputi pembinaan, dan; e) evaluasi yang meliputi

121


Inovasi Vol. 10 No. 2, Juni 2013: 120-128

Untuk mengkaji sistem manajemen SDM SMP Syafiyyatul Amaliyyah Medan secara mendalam, perlu dilakukan penelitian. Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui: perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi SDM di SMP Syafiyyatul Amaliyyah Medan.

HASIL DAN PEMBAHASAN Proses perencanaan SDM merupakan bagian penting dalam upaya memperoleh SDM yang sesuai bagi organisasi. Hasil wawancara dengan kepala sekolah menyatakan bahwa SMP Syafiyyatul Amaliyyah memiliki perencanaan SDM, baik guru maupun pegawai lainnya. Kondisi SDM pendidik dan tenaga kependidikan SMP Syafiyyatul Amaliyyah Medan, ditinjau dari latar belakang pendidikan dapat digambarkan seperti Tabel 1. Berdasarkan Tabel 1 diketahui bahwa secara keseluruhan pendidik dan tenaga kependidikan SMP Islam Terpadu Shafiyyatul Amaliyyah Medan berjumlah 53 orang. Dilihat dari kualifikasi akademik pendidik dan tenaga kependidikan, 47 orang (88,68%) berpendidikan S1 (Strata satu) dan 6 orang (11,32%) berpendidikan S2 (Strata dua). Melihat banyaknya pendidik dan tenaga kependidikan yang masih berlatar belakang pendidikan S1, makapihak sekolah melakukanberbagai upaya, misalnya: memberi kesempatan kepada guru untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi; peningkatan kompetensi guru dan pegawai terhadap penguasaan IT; pengembangan KTSP, silabus, RPP dan bahan ajar bertaraf internasional; dan memberi pelatihan kemampuan berbahasa Inggris, yang kesemuanya tertuang dalam Rencana Kerja Sekolah (RKS). Pihak sekolah merencanakan akan kebutuhan tenaga pendidik dan kependidikan. Pada perencanaan dilakukan analisis pendidik dan tenaga kependidikan yang mencakup tujuan, kewajiban, tanggung jawab, dan kondisi pendidik dan tenaga kependidikan.

METODE PENELITIAN Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang bertujuan memahami fenomena: apa yang terjadi, mengapa terjadi dan bagaimana hasilnya. Adapun alasan memilih penelitian kualitatif karena membuat fakta mudah dipahami, bersifat deskriptif dengan pendekatan induktif, lebih mementingkan proses dari pada hasil (Danim, 2002). Penelitian dilakukan di SMP Islam Terpadu Shafiyyatul Amaliyyah Medan, Jln. Dr Setiabudi 191, Sei Sikambing B, Medan Sunggal. Subjek penelitian adalah semua situasi sosial yang terdiri dari tiga elemen pokok, yakni tempat, pelaku, dan kegiatan atau aktivitas, (Spredley, 1980). Subjek penelitian sendiri adalah: kepala sekolah, guru, dan pegawai.Sampel penelitian terdiri dari: 1 orang kepala sekolah, 3 orang pembantu kepala sekolah (PKS), 3 orang guru bidang studi; dan 2 orang pegawai administrasi. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan: wawancara mendalam dan pengkajian dokumen, seperti Rencana Kerja Sekolah (RKS); Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP); Daftar Kehadiran Guru dan Pegawai; Laporan Supervisi; Laporan Evaluasi; Laporan Penilaian Kinerja Guru dan Pegawai; Visi Misi Sekolah; Profil Sekolah; dan Program sekolah. Data dianalisis secara kualitatif dengan 3 (tiga) tahapan: reduksi data; penyajian data; dan kesimpulan (Miles & Huberman, terjemahan Rohendi, 1992).

Tabel 1. Data pendidik dan tenaga kependidikan SMP Shafiyyatul Amaliyyah Medan No

Jabatan

1. 2. 3. 4.

Kepala Sekolah PKS I (Kurikulum) PKS II & IV (Sarpras) PKS III (kesiswaan)

3.

Guru

Tingkat Pendidikan S2 S1 S1 S1 S2 S1

122

Jumlah Jumlah L

P

1 1 1 4 24 Jumlah

1 1 24

1 1 1 1 5 48 53


Kajian Kajian Penerapan Manajemen Sumber Daya Manusia di SMP Syafiyyatul Amaliyyah Medan (Jonni Sitorus)

Analisis tenaga pendidik dan kependidikan merupakan bagian dari perencanaan SDM yang menjelaskan spesifikasi tenaga pendidik dan kependidikan dan spesifikasi kompetensi serta karakteristik kepribadian yang tepat untuk tenaga pendidik dan kependidikan itu. Perencanaan SDM guru dan pegawai mencakup ketentuan-ketentuan yang berkenaan dengan: a) jumlah kebutuhan atau formasi yang ada, yakni disesuaikan dengan pertambahan jumlah siswa pada setiap tahun ajaran. Rasio guru-siswa dipertimbangkan berdasarkan jenis kelamin yang ada; b) kualifikasi akademik guru dan pegawai, yaitu S1 yang memiliki latar belakang pendidikan; dan c) kepribadian, yaitu memiliki karakter disiplin, dan bertanggung jawab. Rencana peningkatan kesejahteraan guru dan pegawai juga tertuang dalam perencanaan sekolah. Bentuk perhatian pihak sekolah terhadap kesejahteraan juga diwujudkan berupa: pemberian laptop secara kredit untuk mendukung pelaksanaan pembelajaran yang menggunakan fasilitas TIK; askes sebagai sarana bantuan kesehatan; dan penyediaan rumah yang dibayar secara kredit bagi guru dan pegawai yang belum memilikinya. Ketiga hal ini tidak hanya perencanaan, namun sudah diimplementasikan untuk kesejahteraan guru dan pegawai. Rencana pengembangan sarana prasarana sekolah dilakukan sesuai dengan kebutuhan, misalnya: penambahan alat peraga IPA, penambahan ruang belajar, penambahan bahanbahan lab fisika dan biologi, perbaikan ruang laboratorium bahasa. Namun rencana pengembangan tersebut disesuaikan dengan kemampuan finansial sekolah. Pihak sekolah juga merencanakan manajemen berbasis sekolah. Untuk menjalankan manajemen berbasis sekolah, pihak sekolah mendapat dukungan dari: Cambridge University berupa hubungan kerjasama antara kedua sekolah dalam hal kualitas pembelajaran secara teknis; Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP); dan Dinas Pendidikan Provinsi dan Kota Medan secara administrasi. Hasil studi dokumen terkait perencanaan SDM yang dapat dikumpulkan peneliti berupa buku/laporan. Buku/laporan tersebut diantaranya: Rencana Kerja Sekolah (RKS); Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP); Daftar Kehadiran Guru dan Pegawai; Laporan Supervisi; Laporan Evaluasi; Laporan Penilaian Kinerja Guru dan Pegawai; Visi Misi Sekolah; Profil Sekolah; dan Program sekolah. Hasil temuan-temuan di atas menunjukkan bahwa perencanaan SDM SMP Syafiyyatul Amaliyyah Medan dilakukan secara sistematis.

Perencanaan SDM banyak ditujukan pada manajemen suksesi dan pengembangan sekolah terkait pendidik dan tenaga kependidikan serta pengembangan sarana prasarana sekolah. Manajemen dan keterampilan serta kemampuan kepala sekolah sebagai manajerial memiliki preferensi konseptualisasi dan rasa kepemimpinan yang tinggi terhadap perencanaan yang dibuat, sehingga sangat idealistik dan preskriptif. Temuan tersebut sejalan dengan pendapat Fattah (2008) yang menyatakan bahwa: “manajemen merupakan pengaturan dan pengelolaan serangkaian aktifitas merencanakan, mengorganisasi, melaksanakan, dan mengawasi segala upaya dalam mengatur dan mendayagunakan sumber daya manusia, sarana dan prasarana untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan secara efisien dan efektif�. Artinya bahwa kegiatan perencanaan merupakan langkah awal dari serangkaian aktivitas manajemen. Perencanaan SDM sekolah merupakan kondisi penting dari integrasi dan strategik. Integrasi antara aspek-aspek perencanaan SDM terhadap pengembangan sekolah memastikan bahwa kebutuhan perencanaan SDM harus dilihat sebagai suatu tanggung jawab kepemimpinan kepala sekolah. Program dan kegiatan sekolah yang direncanakan tentunya harus ditindaklanjuti dalam pelaksanaannya. Kepala sekolah sebagai pelaksana merupakan orang pertama yang paling bertanggung jawab dalam melaksanakan program dan kegiatan sekolah. Salah satu contoh tangggung jawab kepala sekolah adalah penerimaan guru dan pegawai yang selektif. Pihak SMP Syafiyyatul Amaliyyah Medan melakukan seleksi bagi pelamar terkait penerimaan guru dan pegawai. Tahap pengadaan guru dan pegawai dilakukan dengan proses rekrutmen dan seleksi. Rekrutmen dilakukan dengan menerima dan menampung lamaran-lamaran yang masuk. Teknik pelaksanaannya dilakukan dengan menganalisa dokumen lamaran dan dilakukan wawancara untuk menganalisa unsur kepribadian dan bakat-bakat yang dimiliki. Beberapa tahapan seleksi yang harus dilalui pelamar guru dan pegawai, diantaranya: kompetensi akademik, micro teaching bagi guru, wawancara, tes kerja, dan training selama 3 bulan bagi yang lulus seleksi. Mengingat penjaminan mutu SDM sekolah, pihak yayasan menjamin setiap guru dan pegawai yang baru maupun lama memiliki kompetensi bahasa Inggris dan kemampuan dibidang teknologi. Keberhasilan sekolah terkait rekrutmen dan seleksi SDM sebagai program sekolah dilaksanakan berdasarkan suatu sistem. Seluruh 123


Inovasi Vol. 10 No. 2, Juni 2013: 120-128

komponen bahu membahu bekerja sesuai dengan bidang dan kewenangannya masingmasing, sehingga keberhasilan program yang tertuang dalam visi misi sekolah telah tercapai. Seluruh komponen stakeholders mendukung dan melaksanakannya berdasarkan pemahaman tentang program yang dilaksanakan. Kepala sekolah sebagai pimpinan tertinggi secara operasional mengemban tugas dalam manajemen sumber daya pendidik dan tenaga kependidikan. Selanjutnya pengembangan dan pembinaan pendidik dan tenaga kependidikan,kepala sekolah melakukan langkah-langkah seperti: 1. Peningkatan profesionalisme, langkah ini dilakukan melaluimengikutsertakan guru dan pegawai lainnya dalam berbagai pelatihan danpendidikan yang sesuai dengan kualifikasinya. 2. Mendorong dan memfasilitasi tenaga pendidik untuk melakukankegiatan MGMP untuk mata pelajaran dan MGBK untuk guru bimbingan konseling. Dalam pembinaan dan pengembangan karir guru dan pegawai administrasi,kepala sekolah selalu mendorong dan memotivasi bahkan menfasilitasidalam setiap kegiatan agar pendidik dan tenaga kependidikan dapat meningkatkan kualitas kinerjanya dan dapat bekerja secara efektif dan efisien. Beberapa usaha yang dilakukan sekolah dalam melaksanakan penjaminan mutu/kualitas SDM guru dan pegawai (non guru) adalah: melakukan supervisi, dan melatih kemampuan guru dan pegawai dalam bahasa Inggris dan penguasaan IT. Pihak sekolah juga melakukan/mengadakan bimbingan teknis kepada guru-guru dalam penyusunan KTSP serta memberi kesempatan bagi guru dan pegawai lainnya untuk mengikuti test TOEFL. Selain itu, pelaksanaan proses pembelajaran oleh setiap guru sudah menggunakan pendekatan pembelajaran berpusat kepada siswa serta terpadu dan berbasis masalah (student centered, integrated and problembased instruction). Selain guru, para pegawai administrasi juga diberikan pelatihan/workshop berupa: seminar tentang perpustakaan bagi staf perpustakaan; pelatihan IT tentang e-book; bimtek tentang penguasaan teknologi dan pelatihan yang bersifat motivasi diri. Pihak sekolah juga melakukan pengelolaan sarana dan prasarana pendidikan agardapat memberikan konstribusi secara optimal pada jalannya proses pendidikan. Tersedianya alatalat peraga pembelajaran yang memadai dioptimalkan untuk kepentingan proses belajar mengajar, baik oleh guru sebagai pengajar

maupun siswa sebagai pelajar. Pihak sekolah juga melakukan pemeliharaan dan perawatan sarana dan prasarana yang dilakukan secara kontinyu, sehingga menunjang kelancaran proses pembelajaran dengan baik. Sebagai timbal balik atas kinerja guru dan pegawai administrasi, bentuk perhatian pihak sekolah pada guru atau pegawai yang berprestasi selain pemberian gaji adalah tunjangan; insentif; dan bantuan lain seperti: fasilitas rumah yang dapat dibayar secara kredit, dan penyediaan laptop yang dapat dibayar secara kredit. Selain diberikan reward atas prestasi yang dicapai juga ada punishment yang dilakukan apabila ada penyimpanganpenyimpangan yang dilakukan, misalnya dengan diberikan teguran kepada guru yang beberapa kali terlambat masuk sekolah atau belum melengkapi administrasi kelasnya. Hasil temuan yang diperoleh terkait pelaksanaan rekrutmen dan seleksi guru dan pegawai sebagai sumber daya sekolah sejalan dengan pendapat Mulyasa (2002) yang menyatakan bahwa salah satu komponen manajemen SDM adalah: pelaksanaan perencanaan yang disusun secara sistematis meliputi rekrutmen dan seleksi sumber daya manusia. Meningkatkan kinerja dan profesionalisme guru dan pegawai administrasi, pihak sekolah berupaya semaksimal mungkin untuk menata jalannya organisasi sistem manajemen SDM sekolah. Kepala sekolah sebagai pelaksana bertanggung jawab mengorganisir tugas dan tanggung jawab guru, seperti: kesesuaian bidang studi yang diajarkan guru; beban mengajar; serta administrasi mengajar. Kepala sekolah memberi tugas kepada guru telah sesuai dengan kualifikasi pendidikan yang dimiliki oleh guru tersebut. Artinya kepala sekolah memberi tugas kepada guru sesuai dengan disiplin ilmu yang dimiliki guru, sehingga tetap terjaga aspek relevansi antara disiplin ilmu dengan tugas yang harus dilaksanakan guru. Pemberdayaan dan pengembangan tenaga pendidik dan kependidikan dilakukan sebagai implementasi pengorganisasian SDM yang baik. Pihak yayasan bersama-sama dengan kepala sekolah memberi penilaian terhadap warga sekolah. Ketika dinilai layak, maka seseorang diangkat menjadi wali kelas, wakil kepala sekolah ataupun kepala bagian kependidikan (tata usaha) melalui musyawarah dan mufakat sebagai prinsip kepemimpinan kepala sekolah, Pengorganisasian SDM sekolah dilakukan sangat sistematis dengan melibatkan beberapa pihak, khususnya stakeholder (pengambil 124


Kajian Kajian Penerapan Manajemen Sumber Daya Manusia di SMP Syafiyyatul Amaliyyah Medan (Jonni Sitorus)

kebijakan). Misalnya untuk mengambil kebijkan sekolah, pihak-pihak yang dilibatkan adalah yayasan, kepala sekolah, dan kepala kependidikan yang menaungi operasional KBM di semua unit. Kepala sekolah juga mengkoordinasikan berbagai program dan kegiatan kepada guru dalam beberapa hal, misalnya: penentuan bahan ajar, jadwal mengajar, persoalan siswa, panduan buku paket, pembuatan KTSP, dan administrasi sekolah. Artinya seluruh SDM sekolah setidaknya turut merasakan dan bertanggung jawab terhadap program yang dilaksanakan. Kepala sekolah juga melakukan koordinasi yang baik antara atasan dan bawahan setiap ada perubahan atau pengembangan kurikulum sekolah. Hasil temuan terkait pengorganisasian SDM yang dilakukan secara sistematis, baik atasan maupun bawahan, dari pihak yayasan, kepala sekolah, guru, serta pegawai administrasi. Sejalan dengan pendapat Fattah (2008) yang mengemukakan bahwa pengorganisasian sebagai proses membagi kerja kedalam tugas-tugas kecil, membebankan tugastugas itu kepada orang yang sesuai dengan kemampuannya, dan mengalokasikan sumber daya, serta mengkoordinasikan dalam efektifitas pencapaian organisasi. Kegiatan pengorganisasian adalah pengaturan dan penetapan tugas, tanggung jawab, dan wewenang serta mekanisme kerja yang kaitannya menata dan mengelola sekolah untuk menunjang proses kegiatan pembelajaran. Pengorganisasian dilakukan dengan cermat dan teliti serta kerjasama antara satu dengan yang lainnya untuk mencapai tujuan yang telah direncanakan. Pengawasan merupakan suatu proses untuk menjamin bahwa tujuan organisasi tercapai. Pengawasan dimaksud agar penyimpangan dalam berbagai hal dapat dihindari, sehingga tujuan dapat tercapai. Apa yang direncanakan dijalankan dengan benar sesuai dengan hasil musyawarah dan pendayagunaan sumberdaya manusia mendukung terwujudnya tujuan organisasi. Implementasi pengawasan kepala sekolah SMP Syafiyyatul Amaliyyah Medan, selain pada program sekolah secara umum juga lebih difokuskan kepada aspek peningkatan mutu layanan sekolah terhadap masyarakat. Sasaran utama pengawasan di lingkungan sekolah adalah peningkatan mutu layanan sekolah terhadap masyarakat. Artinya keberadaan sekolah sangat bertumpu pada kepercayaan masyarakat. Kepala sekolah juga melakukan pemantauan terhadap perencanaan, pelaksanaan dan juga penilaian SDM. Terkait penilaian SDM guru, kepala sekolah melakukan supervisi kepada

kinerja guru dengan mengunjungi kelas saat proses pembelajaran berlangsung, sehingga kepala sekolah mengetahui sampai sejauh mana tingkat capaian yang berhasil dilalui oleh para guru.Kepala sekolah selalu mengawasi jalannya program kerja sekolah, diantaranya: disiplin administrasi sekolah, proses pembelajaran di kelas, kondisi sekolah yang aman, nyaman dan kondusif dalam pelaksanaan proses belajar mengajar. Hasil supervisi terhadap kinerja guru dan pegawai ditindaklanjuti dalam rapat dewan guru bersama pihak yayasan. Evaluasi SDM dilakukan untuk mengukur kinerja guru dan pegawai. Evaluasi dilakukan satu kali dalam sebulan. Hal-hal yang dievaluasi oleh pihak sekolah adalah: leadership, manajemen, motivasi, bentuk evaluasi, dan eksekutor. Evaluasi leadership dilakukan untuk melihat sejauh mana komunikasi kepala sekolah dengan bawahannya; evaluasi manajemen dilakukan untuk melihat sejauh mana kepala sekolah selaku pelaksana sekolah terhadap proses pembelajaran; evaluasi motivasi dilakukan untuk melihat sejauh mana kepala sekolah memotivasi guru dan siswa. Hasil evaluasi yang dilakukan oleh yayasan dirapatkan bersama-sama dengan guru, ketua dewan guru, ketua harian yayasan. Hal yang akan dibahas adalah kekeliruan yang dilakukan oleh: kepala sekolah sebagai pemimpin pelaksana sekolah; guru sebagai pelaksana teknis; serta pegawai sebagai pelaksana administrasi. Dalam proses program evaluasi kinerja guru dan pegawai, seorang pegawai dapat dinaikkan ke jenjang jabatan yang lebih tinggi berdasarkan kebijakan yayasan dan dengan memperhatikan hasil evaluasi prestasi kerja dan potensi yang dimiliki pegawai serta pertimbangan kebutuhan organisasi. Penilaian, penetapan tujuan, mekanisme evaluasi dan waktu dilaksanakannya evaluasi kinerja guru, ketua yayasan tidak hanya mempercayakan kepada kepala sekolah. Yayasan menerima laporan dari kepala sekolah kemudian merekomendasikannya. Hasil temuan ini sejalan dengan pendapat Mulyasa (2002), yang menyatakan bahwa selain perencanaan, pengorganisasian dan pelaksanaan SDM, kegiatan pengawasan dan evaluasi SDM juga merupakan bagian penting dari komponen manajemen SDM. Menurut Samsudin (2010), pengawasan SDM sebagai suatu kegiatan manajemen dalam mengadakan pengamatan terhadap sekurang-kurangnya tujuh aspek, yaitu: (1) sumber daya manusia yang ada dalam organisasi; (2) sumber daya manusia yang benar-benar dibutuhkan organisasi; (3) pasaran sumber daya manusia yang ada dan memungkinkan; (4) kualitas sumber daya 125


Inovasi Vol. 10 No. 2, Juni 2013: 120-128

manusia yang dimiliki dan yang ada di pasaran tenaga kerja; (5) kemampuan individual dari setiap sumber daya manusia dalam organisasi; (6) upaya meningkatkan kemampuan sumber daya manusia dalam organisasi; dan (7) semangat kerja sumber daya manusia, dan sebagainya. Terkait kegiatan evaluasi, Fattah (2008) menyatakan bahwa untuk memperoleh dasar bagi pertimbangan akhir suatu periode kerja, apa yang telah dicapai, apa yang belum dicapai, dan apa yang perlu mendapat perhatian khusus, maka perlu dilakukan evaluasi atas kinerja organisasi. Artinya bahwa evaluasi menjadi bahan untuk menentukan berhasil tidaknya program sekolah termasuk bahan refleksi untuk perbaikan kedepan.

1.

2.

3.

4.

KESIMPULAN Berdasarkan hasil kajian ini, dapat disimpulkan beberapa hal terkait penerapan manajemen sumber daya manusia (SDM) di SMP Syafiyyatul Amaliyyah Medan yakni: 1) Perencanaan SDM difokuskan pada peningkatan kualitas dan kesejahteraan pendidik dan kependidikan (guru dan pegawai administrasi), pengembangan sarana parasarana sekolah, yang tertuang padabuku/laporan sekolah berupa Rencana Kerja Sekolah (RKS)dan program sekolah; 2) Pelaksanaan SDM dilakukan melalui: rekrutmen dan seleksi SDM, kegiatansupervisi, dan pelatihan guru dan pegawai untuk meningkatkan kemampuan Bahasa Inggris dan penguasaan IT; 3) Pengorganisasian SDM sekolah dilakukan sangat sistematis dengan melibatkan beberapa pihak, khususnya stakeholder (pengambil kebijakan). Pihak-pihak yang dilibatkan untuk mengambil sebuah kebijakan adalah yayasan, kepala sekolah, kepala kependidikan yang menaungi operasional KBM di semua unit; 4) Pengawasan SDM diarahkanpada pelaksanaan program kerja sekolah. Hal-hal yang diawasi oleh kepala sekolah adalah: disiplin administrasi sekolah, proses pembelajaran di kelas, kondisi sekolah yang aman, nyaman dan kondusif dalam pelaksanaan proses belajar mengajar; 4) Evaluasi SDM dilakukan untuk mengukur kinerja guru dan pegawai. Evaluasi dilakukan satu kali dalam sebulan. Hal-hal yang dievaluasi oleh pihak sekolah adalah: leadership, manajemen, motivasi, bentuk evaluasi, dan eksekutor. Pihak yayasan melakukan evaluasi kepada kepala sekolah, sedangkan pengawasan terhadap guru dilakukan kepala sekolah.

5.

Pemerintah melalui Dinas Pendidikan Provinsi dan Kota Medan perlu melakukan pembinaan dan pelatihan kepada seluruh kepala sekolah terkait pemahaman pengelolaan manajemen SDM sekolah. Pemerintah melalui Dinas Pendidikan Provinsi dan Kota Medan perlu melakukan pelatihan kepada guru-guru untuk meningkatkan kompetensinya, khusunya dibidang pengusahaan bahasa Inggris dan teknologi. Pemerintah melalui Dinas Pendidikan Provinsi dan Kota Medan perlu melakukan pengawasan terhadap pengelolaan manajemen SDM sekolah. Setiap sekolah perlu membentuk tim manajemen SDM sekolah, agar tercipta sinergi yang kuat antar guru mata pelajaran dalam memperkuat pencapaian program sekolah dibawah pengawasan Dinas pendidikan. Pihak yayasan sekolah perlu memperhatikan kesejahteraan guru dan pegawai administrasi sebagai kompensasi atas kinerja dan profesionalismenya.

DAFTAR PUSTAKA Barthos, Basir. 1990. Manajemen Sumber Daya Manusia Suatu Pendekatan Makro. Jakarta: PT Bumi Aksara. Danim, Sudarman. 2002. Inovasi Pendidikan; Dalam Upaya Peningkatan Profesionalisme Tenaga Kependidikan. Bandung: Pustaka Setia. Departemen Agama. 2005. Pedoman Pelaksanaan Pembelajaran. Jakarta: Dirjen Kelembagaan Agama Islam. Departemen Agama RI. 2008. Alquran dan Tafsirnya. Jakarta: Depag RI. Engkoswara, H dan Komariah. 2010. Administrasi Pendidikan. Bandung: Alfabeta. Fattah, Nanang. 2008. Landasan Manajemen Pendidikan. Bandung: Remaja Rosdakarya. Gary, D. 2003. Human Resources Management. New Jersey: Prentice Hall Inc. Gomes, Faustino Cardoso. 2003. Manajemen Sumber Daya Manusia. Yogjakarta: Penerbit Andi. Hasibuan, Malayu S.P. 1995. Manajemen Sumber Daya Manusia, cetakan II. Jakarta: PT Toko Gunung Agung. Hasibuan, Malayu S.P. 1996. Manajemen SDM (Dasar dan Kunci Keberhasilan). Jakarta: Bumi Aksara. Hasibuan, Melayu S.P. 2002. Manajemen Sumber Daya Manusia; Dasar dan Kunci Keberhasilan.Jakarta: Haji Masaung.

REKOMENDASI 126


Kajian Kajian Penerapan Manajemen Sumber Daya Manusia di SMP Syafiyyatul Amaliyyah Medan (Jonni Sitorus)

Kadarman, A.M. et.al. 1996. Manajemen. Jakarta: Gramedia.

Pengantar

Saydam. 1996. Manajemen Sumber Daya Manusia, Jilid II. Jakarta: Gunung Agung.

Ilmu

Sedarmayanti. 2009. Sumber Daya Manusia dan Produktivitas Kerja. Bandung: CV Mandar Maju.

Madhi, Jamal. 2002. Menjadi Pemimpin yang Efektif dan Berpengaruh: Tinjauan Manajemen Kepemimpinan Islam: Anang Syafruddin dan Ahmad Fauzan. Bandung: Syamil Cipta Media.

Siagian, Sondang, P. 1994. Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta: Bumi Aksara.

Moleong, Lexy. 2000. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Siagian, Sondang P. 2009. Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta: Bumi Aksara.

Mondy, R.W. dan Premeaux. 1995. Management: Concepts, Practices and Skills. New Jersey: Prentice Hall Inc Englewood Cliffs.

Soekidjo. Manajemen Sumber Daya Manusia online dalam http://pio.usu.ac.id/manajemen-sdm.html [diunduh tanggal 08 juli 2013].

Muhaimin, dkk. 2010. Manajemen Pendidikan Islam “Aplikasinya dalam Penyusunan Rencana Pengembangan Sekolah/Sekolah, cetakan ke-2. Jakarta: Kencana.

Sopyandi, Herman. 2008. Manajemen Sumber Daya Manusia. Yogjakarta : Graha Ilmu. Siagian, Sondang P. 1990. Filsafah Administrasi. Jakarta: CV Masa Agung.

Mulyasa, E. 2002.Manajemen Berbasis Sekolah, Konsep, Strategi, dan Implementasi. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Spradley, JP. 1980. Participation Observation. New York: Holt, Rinchard & Winstons.

Mulyasa, E. 2003.Menjadi Kepala Sekolah Profesional dalam Konteks Menyukseskan MBS dan KBK. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Stoner, J. A. F. 1992.Perencanaan dan Pengambilan Keputusan. Jakarta: Erlangga. Sudjana. 2000. Manajemen Program Pendidikan: Untuk Pendidikan Luar Sekolah dan Pengembangan Sumber Daya Manusia. Bandung: Falah Production.

Nasution, M. Nur. 2000. Manajemen Pembelajaran. Bogor: Ghalia Indonesia. Nasution, Siti Asiyah. 2007. Manajemen Sumber Daya Manusia (Tenaga Pengajar)di Sekolah Aliyah AlWashliyah 12 Perbaungan Kab. Sedang Bedagai. Tesis Mahasiswa Pascasarjana Unimed Medan.

Sugiyono. 2008. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R & D. Bandung: Penerbit Alfabeta. Suit, Yusuf. 1996. Sikap Mental dalam Manajemen SDM. Jakarta: Ghalia Indonesia.

Nawawi, Hadari. 1998. Manajemen SDM untuk Bisnis yang Kompetitif. Yogyakarta: Gajah Mada Univ. Pres.

Sunhaji, 2008. Manajemen Sekolah. Grafindo.

Nitisemito, A. S. 1996. Manajemen Personalia. Jakarta: Ghalia Indonesia.

Sutrisno, Edy. 2009. Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta: Kencana

Purwanto, M. Ngalim. 2009. Administrasi dan Supervisi Pendidikan. Bandung:Remaja Rosdakarya. Robbin dan Coulter. 2007. kedelapan). Jakarta: PT Indeks.

Manajemen

Bandung: PT.

Suyanto. 2013. (Kepemimpinan Kepala Sekolah (Forum Otonomi Pendidikan), http://www.kompas.com/kompascetak/0103/23/dikbud/forum [Diunduh pada Jum’at, 23 Maret 2013].

(edisi

Rohendi, Tjetjep.1992. Penelitian Kualitatif dan Kuantitaif.Bandung: Remaja Rosdakarya.

Syafaruddin, 2005. Manajemen Lembaga Pendidikan Islam, Cetakan I. Jakarta: Ciputat Press.

Ronald.1996. Pengembangan Produksi dan Sumber Daya Manusia.Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Terry, George R. 2006. Prinsip-prinsip Manajemen. Jakarta: Bumi Aksara.

Rusyan, A. Tabrani. 1992. Manajemen Kependidikan. Bandung: Media Pustaka.

Terry, George R. dan Rue, Leslie W. 2005.Dasar – Dasar Manajemen. Jakarta: Bumi Aksara.

Salam, Dharma Setyawan. 2004. Manajemen Pemerintahan Indonesia: edisi revisi. Jakarta: Djambatan.

Tunggal, Amin Widjaja. 1993. Manajemen Suatu Pengantar. Jakarta: Rineka Cipta. Usman, Husaini. 2001. Peran Baru Administrasi Pendidikan dari Sistem Sentralistik Menuju Sistem Desentralistik. Jurnal Ilmu Pendidikan, Februari 2001, Jilid 8 Nomor 1.

Samsudin, S. 2006. Manajemen SDM. Bandung: Pustaka Setia.

127


Inovasi Vol. 10 No. 2, Juni 2013: 120-128

Wahyudi, Bambang. 1996. Manajemen Sumber Daya Manusia. Bandung: Sulita. Yuniarsih, Tjetju dan Suwanto. 2008. Manajemen Sumber Daya Manusia. Bandung: Pasca Sarjana UPI dan ALFABETA. Zainun, Buchori. 1993. Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta: Gunung Agung.

128


Perspektif dan Peran Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Dalam Membangun Kemandirian Bangsa Pada Tatatan Negara Maritik (Prakoso Bhairawa Putera)

Tinjauan Kepustakaan PERSPEKTIF DAN PERAN ILMU PENGETAHUAN DAN TEKNOLOGI DALAM MEMBANGUN KEMANDIRIAN BANGSA BANGSA PADA TATANAN NEGARA MARITIM

(THE PERSPECTIVE AND CONTRIBUTION OF SCIENCE AND TECHNOLOGY TO BUILD A NATIONAL SELF RELIANCE IN THE FRAMEWORK OF THE MARITIME NATION NATION)) Prakoso Bhairawa Putera Pusat Penelitian Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi – Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (PAPPIPTEK - LIPI) Jl. Jend. Gatot Subroto, No. 10, Gedung A (PDII – LIPI) Lantai 4 – Jakarta 12720 Telp. 021-5251542 ext. 4033 email: prak001@lipi.go.id, prakoso.bp@gmail.com

Diterima:23 Februari 2013; Direvisi: 22 Mei 2013; Disetujui: 2 Juni 2013

ABSTRAK Kemandirian adalah satu sikap yang mengutamakan kemampuan diri sendiri dalam mengatasi pelbagai masalah demi mencapai satu tujuan, tanpa menutup diri terhadap pelbagai kemungkinan kerjasama yang saling menguntungkan. Kekayaan dari sektor kelautan dan perikanan Indonesia yang besar masih belum dimanfaatkan bagi pembangunan nasional secara maksimal dan cenderung terabaikan. Pada sisi lain ilmu pengetahuan dan teknologi diyakini sebagai sokoguru pembangunan nasional Indonesia. Kondisi ini menuntut adanya cara pandang baru dalam membangun kemandirian bangsa dalam kerangka negara maritim, dengan mengkedepankan peran ilmu pengetahuan dan teknologi. Pilihan metode yang digunakan pada penulisan ini adalah pendekatan kualitatif. Pendekatan dipilih sesuai dengan tujuan penelitian ini berusaha untuk memberikan gambaran mengenai tinjauan cara pandang membangun kemandirian bangsa dalam kerangka negara maritim, dengan mengkedepankan peran ilmu pengetahuan dan teknologi. Dalam kerangka Negara Maritim, membangun kemandirian dimulai dari penempatkan character building and nation building sebagai bangsa yang memiliki orientasi pembangunan negara Archipelagic Based Oriented National Development, lalu diikuti dengan strategi ekonomi keluar dari keterpurukan dengan menjadikan sektor kelautan dan perikanan sebagai sektor andalan, kemudian konsistensi implementasi, dan menciptakan lingkungan sosial dan politik yang kondusif, serta low inforcement dan pengamanan wilayah laut. Kemandirian tersebut dapat dicapai dengan memberi prioritas pada ilmu pengetahuan dan teknologi, seperti ocean energy sebagai sumber energi alternatif dari laut, Radar Pengawas Pantai ISRA (Indonesia Surveilance Radar), Pemanfaatan Air Mineral Laut Dalam, Pemanfaatan Ekstrak berbagai tumbuhan dan biota laut untuk kepentingan kosmetika, Biofuel dari spesies alga mikro (phytoplankton), implementasi perancangan perangkat e-fisheris, penginderaan jauh untuk pemetaan Sea Survey Temperature (SST) dan Early Warning System (EWS). Kata kunci: kemandirian bangsa, negara maritim, iptek, Indonesia

ABSTRACT Nation self reliance is an attitude that promotes self-dependency in addressing various issues in order to achieve a goal, without covering themselves against the various possibilities of mutually beneficial cooperation. potential of Indonesian maritime and fisheries sector are still largely used for national development to the fullest and tend to ignore. On the other hand believed science and technology as a pillar of national development in Indonesia. This condition requires a new way of building self-reliance within the framework of a maritime nation, as highlighting the role of science and technology. Choice of the method used in this study is a qualitative approach. The approach chosen according to the purpose of this study seeks to provide an overview of review

129


Inovasi Vol. 10 No. 2, Juni 2013: 129-140

perspectives build independence within the framework of a maritime nation, as highlighting the role of science and technology. In the framework of the Maritime Nation, construct to nation self reliance starts from repositioning character building and nation building as a nation which has the country's development orientation Archipelagic Oriented Based National Development, followed by an economic strategy out of the slump by making the marine and fisheries sector as the leading sectors, then the consistency of implementation, and create an environment conducive social and political, as well as securing low inforcement and marine areas. self reliance can be achieved by giving priority to science and technology, such as ocean energy as an alternative energy source from the sea, Coast Guard Radar ISRA (Indonesian Surveillance Radar), Deep Sea Mineral Water Utilization, Utilization of various plant extracts and marine resources for the benefit of cosmetics, biofuels from micro algae species (phytoplankton), the implementation of design e fisheris, remote sensing for mapping Survey Sea Temperature (SST) and the Early Warning System (EWS). Keyword: nation self reliance, maritime nation, science and technology, Indonesia

yang didalam bahasa Indonesia dengan mudah digeneralisasikan misalnya: laut, samudra, pantai, pesisir, tanpa ada definisi yang jelas untuk masing-masing, begitu juga pengertian tentang pulau. Padahal dalam menyusun peraturan dan mengatur kebijakan, pengertian yang tepat ini penting untuk menentukan fungsi, tanggung jawab dan kewenangan. Bahkan, Abdul Halim (2009) dalam catatan editor “Memuliakan Sastra Menyemai Peradaban Bangsa” dari buku Yudi Latif “Menyemai Karakter Bangsa” menyebutkan:

PENDAHULUAN Republik Indonesia adalah negara kepulauan yang mencakup 17,504 pulau. Lima pulau terbesar yaitu Pulau Kalimantan (539.460 km²), Pulau Papua (421.981 km²),Sumatera (473.606 km²), Sulawesi (189.216 km²), dan Pulau Jawa (132.107 km²). 2 Wilayah Indonesia yang terbentang dari 6°08' LU hingga 11°15' LS, dan dari 94°45' BT hingga 141°05' BT terletak di posisi geografis sangat strategis, karena menjadi penghubung dua samudera dan dua benua, Samudera India dengan Samudera Pasifik, dan Benua Asia dengan Benua Australia. Berdasarkan data diketahui 7.870 pulau telah diberi nama, dan 9.634 pulau atau 55 persen belum memiliki nama. Dari 45 persen pulau yang telah tercatat namanya, 67 pulau berbatasan langsung dengan negara tetangga. Sejumlah isu yang muncul atas permasalahan terkait dengan pengelolaan laut Indonesia, batas wilayah, hingga penataan keamanan laut. Semua permasalahan yang ada, ditenggarai bermula dengan pemahaman mengenai Indonesia sebagai negara kepulauan yang tidaklah sepenuhnya dipahami oleh sebagian besar masyarakat Indonesia. Padahal pemahaman tersebut menjadikan kekuatan untuk membangun negara ini. Hartono (2010) dalam sebuah artikelnya memaparkan bahwa pada masyarakat Indonesia, termasuk dikalangan tokoh-tokoh pemangku kepentingan, pemerintah sebagai penentu kebijakan masih belum jelas pegangan, pengertian antara Indonesia sebagai Negara Kepulauan dan Indonesia sebagai Negara Maritim. Kebanyakan mengidentikkan pengertian kata Negara Kepulauan dengan Negara Maritim. Dua hal yang pada hakekatnya berbeda. Hartono (2010) menjelaskan lebih lanjut, perbedaan persepsi tentang pengertian atas istilah-istilah yang berasal dari Bahasa Inggris yang perlu diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia secara tepat. Misalnya antara Maritime, Marine sea, Ocean, High sea, Coast Bay

“...Indonesia yang masyhur sebagai negeri kelautan dihadapkan pada minusnya visi kelautan sebagai referensi utama proses pembangunan bangsa.” (2009:xii) Kondisi semacam ini berakumulasi dan menyebabkan lemahnya kemandirian ekonomi—dan implikasinya juga melemahkan kemandirian politik—menunjukkan bahwa identitas nasional kita rapuh dan keropos di mata dunia. Hal semacam ini menurut Khoiri (2012) menjadikan retorika bahwa negara Indonesia besar dan tangguh masih jauh panggang dari api. “Kelemahan” inilah yang tampaknya kini menjadi incaran bagi negaranegara maju untuk memainkan hegemoni dan dominasinya—tidak hanya dalam bidang ekonomi, melainkan juga dalam bidang-bidang lain. Khoiri (2012) juga meyakini bahwa membangun dan “memantapkan kemandirian bangsa” (istilah Husodo) merupakan suatu keniscayaan yang tak bisa ditawar-tawar lagi. Dalam konteks pembangunan sosial, yang paling mendasar ialah membangun (kembali) mental bangsa agar menjadi bangsa yang mandiri, yang lepas dari ketergantungan pada bangsa lain. Fakta menunjukkan, bahwa selama ini banyak pengelola negeri ini yang bermental kuli dan kerdil, yang rela diperbudak oleh kepentingan 130


Perspektif dan Peran Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Dalam Membangun Kemandirian Bangsa Pada Tatatan Negara Maritik (Prakoso Bhairawa Putera)

bangsa asing. Jika pemimpin India menantang setiap investor dengan �Sejauh mana Anda (calon investor) menguntungkan negara (termasuk penyerapan tenaga kerja)?�, maka hal ini bertolak belakang dengan kondisi Indonesia. Kepentingan pribadi dan kelompok dikedepankan dengan segala antusiasme, sementara kepentingan bangsa keseluruhan malah ditelantarkan dan diabaikan sama sekali. Pada perspektif kelautan dan perikanan di Indonesia, ada empat lapis persoalan yang dihadapi untuk membangun kemandirian Indonesia dalam pengelolaan sumberdaya kelautan, seperti yang disampaikan oleh Hatta (2012), yakni:

intensitas dan produktivitas riset di bidang kelautan agar lebih sebanding dengan riset di wilayah daratan; dan (c) meningkatkan relevansi riset dengan realita kebutuhan dan/atau persoalan nyata di sektor kelautan agar dapat meningkatkan peran dan kontribusi dalam pembangunan ekonomi, sehingga berpeluang untuk ikut menyejahterakan rakyat dan memakmurkan bangsa, sebagaimana yang diamanahkan konstitusi dan (d) meningkatkan data dan informasi hasilhasil penelitian kelautan ke arah pengembangan data spasial.�

“(a) mendorong agar peneliti/ akademisi Indonesia agar mampu berperan lebih dominan dalam kegiatan riset kemaritiman di wilayah NKRI, sementara ini lupakan dulu keinginan menjadi peneliti/akademisi kelas dunia di bidang ini; (b) meningkatkan

Sejumlah permasalahan dan pemikiran tersebut menjadi dasar untuk mengkaji perspektif (cara pandang) dalam membangun kemandirian bangsa dalam kerangka negara maritim, dengan mengkedepankan peran ilmu pengetahuan dan teknologi.

Gambar 1. Alur pikir penulisan

131


Inovasi Vol. 10 No. 2, Juni 2013: 129-140

Cara pandang ini digunakan tidak hanya untuk melihat tetapi memahami konsep dan gagasan baru dalam membangun kemandirian bangsa. Kerangka negara maritim diletakkan sebagai frame untuk memaksimalkan peran ilmu pengetahuan dan teknologi yang ada.

Perhimpunan Indonesia menghendaki suatu kebijaksanaan menyandarkan diri pada kekuatan sendiri, yaitu suatu kebijaksanaan berdiri di atas kaki sendiri. Perhimpunan ini akan mengumandangkan perasaan hormat pada diri sendiri ke dalam kalbu rakyat Indonesia. Sebab hanya suatu bangsa yang telah menyingkirkan perasaan tergantung saja yang tidak takut akan hari depan. Hanya suatu bangsa yang faham akan harga dirinya maka cakrawalanya akan terang-benderang.

METODE PENELITIAN Tulisan ini menggunakan pendekatan kualitatif. Pendekatan tersebut dipilih karena sesuai dengan tujuan penelitian ini berusaha untuk memberikan gambaran mengenai tinjauan cara pandang membangun kemandirian bangsa dalam kerangka negara maritim, dengan mengkedepankan peran ilmu pengetahuan dan teknologi. Alur pikir penulisan secara diagramatis dapat dilihat pada Gambar 1. Pendekatan kualitatif sangat cocok dengan penulisan ini karena seperti dijelaskan oleh Creswell (1998) bahwa kualitatif pada dasarnya mampu menemukan atau paling tidak mampu menemukenali suatu teori baru ataupun model pengembangan, dan penarikan simpulan yang dilakukan dengan cara induktif. Pendekatan kualitatif pun sangat cocok dengan penulisan ini karena mampu memahami fenomena sosial melalui gambaran holistik dan memperbanyak pemahaman yang mendalam terutama mengenai cara pandang membangun kemandirian bangsa dalam kerangka negara maritim, dengan mengkedepankan peran ilmu pengetahuan dan teknologi. Data yang digunakan merupakan data sekunder berupa bahan rujukan berasal dari jurnal ilmiah, buku, majalah, dan pustaka yang berhubungan dengan masalah penulisan. Disamping itu, memanfaatkan juga data telaah dokumentasi. Dari bahan ini, kemudian diuraikan masalah dan pembahasan masalah penulisan.

Hal ini mengindikasi bahwa kemandirian hanya dapat diperoleh jika suatu bangsa memiliki kedaulatan. Sebaliknya, kedaulatan hanya dapat diwujudkan dan dipertahankan jika suatu bangsa tidak bergantung kepada bangsa lain. Bangsa yang berdaulat adalah bangsa yang mandiri baik secara politik, ekonomi, maupun budaya. Kemerdekaan dan kedaulatan menjadi tidak bermakna jika suatu bangsa bergantung atau selalu dipaksa menuruti kehendak bangsa lain. Namun demikian kemandirian tidak berarti mengucilkan diri dari bangsa-bangsa lain. Kemandirian memiliki sisi dinamis antara interdependensi dan independensi. Galtung et al. (1980) menegaskan bahwa self-reliance is considered not “merely a necessity but a matter of survival�. Berdasarkan pemahaman ini dapat diketahui sesungguhnya kemandirian itu tidak hanya dipandang sebagai kebutuhan tetapi lebih kepada keberlangsungan hidup. Memperhatikan sejumlah konsep yang ada, maka dapat disimpulkan bahwa konsep kemandirian menjadi faktor sangat penting dalam pembangunan. Konsep ini tidak hanya mencakup pengertian kecukupan diri (selfsufficiency) di bidang ekonomi, tetapi juga meliputi faktor manusia secara pribadi, yang di dalamnya mengandung unsur penemuan diri (self-discovery) berdasarkan kepercayaan diri (sef-confidence). Kemandirian adalah satu sikap yang mengutamakan kemampuan diri sendiri dalam mengatasi pelbagai masalah demi mencapai satu tujuan, tanpa menutup diri terhadap pelbagai kemungkinan kerjasama yang saling menguntungkan. Rawinarno (2008) juga menyakini bahwa kemandirian menjadi keniscayaan bagi negaranegara berkembang seperti Indonesia. Ketergantungan terhadap negara-negara. maju masih sangat kuat dalam konteks capital, market ataupun technology, kondisi ini menjadikan pondasi pembangunan menjadi rapuh. Kegagalan pembangunan orde lama dan orde baru terletak pada permasalahan struktur

HASIL DAN PEMBAHASAN Kemandirian memiliki hubungan erat dengan kedautalan. Asshiddiqie (2008) menjelaskan bahwa esensi dari kedaulatan terlihat dengan adanya kekuasaan untuk menentukan tujuan dan cita-cita sendiri, serta mengelola sumber daya sendiri, serta memilih dan menentukan jalan sendiri untuk mencapai tujuan dan cita-cita tersebut. Tanpa itu semua, suatu negara tidak dapat dikatakan sebagai negara yang merdeka. Oleh karena itulah kedaulatan menjadi unsur konstitutif suatu negara. Makna kedaulatan tersebut dalam pelaksanaannya adalah kemandirian suatu bangsa. Mohammad Hatta saat mendeklarasikan Perhimpunan Indonesia pada tahun 1925 telah menyatakan: 132


Perspektif dan Peran Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Dalam Membangun Kemandirian Bangsa Pada Tatatan Negara Maritik (Prakoso Bhairawa Putera)

ekonomi, sosial, politik ataupun ketergantungan amat sangat pada negara-negara maju. Pendekatan thesis ketergantungan (dependency thesis) menekankan bahwa rintangan-rintangan utama yang telah menghambat dan merusak perkembangan ekonomi dan sosial di negara berkembang (Amerika Latin) merupakan rintangan-rintangan yang struktural sifatnya, baik yang terdapat dalam struktur ekonomi, sosial maupun sifat ketergantungan atas kekuasaan asing. Sementara itu dalam pemahaman mengenai negara maritim, Diwangkara (2011) menyebutkan bahwa negara maritim merupakan negara yang dianggap peduli dan mampu untuk mengolah sumber daya kekayaan dari dasar hingga permukaan lautnya dan malah jika perlu hingga lautan samudra lainnya. Hal ini berbeda dengan konsep negara kepulauan yang “sebatas” negara yang memang terlahir dengan banyak pulau. Bengen (2010) menyatakan salah satu sumber pertumbuhan ekonomi yang paling potensial bagi Indonesia sebagai negara maritim yang besar adalah kelautan dan perikanan. Hal ini didasarkan pada kecenderungan permintaan, baik pada pasar dalam negeri maupun global, terhadap komoditas kelautan dan perikanan yang semakin meningkat. Dalam konteks ini, Indonesia memiliki kemampuan untuk memproduksi komoditi kelautan dan perikanan baik dari usaha budidaya maupun penangkapan dan jasa-jasa lingkungan yang sangat besar. Berdasarkan sejumlah literatur yang ada, para pakar sepakat bahwa saat ini Indonesia belum layak menjadi negara maritim. Kondisi saat ini lebih kepada potensi menjadi negara maritim. Hal ini ditegaskan oleh Hartono (2010) bahwa Indonesia telah memenuhi persyaratan sebagai sebuah negara kepulauan. Hal ini dicirikan:

Indonesia sebagai sebuah Negara, memiliki konfigurasi teritorial khas yang syarat-syarat pasal 46 itu dipenuhi.” Kewajiban Indonesia sebagai Negara Kepulauan sudah diatur oleh Pasal 47-53 Konvensi Hukum Laut 1982. Pasal 47 menyatakan bahwa Negara kepulauan dapat menarik garis pangkal lurus kepulauan (arhipelagic baselines) dan aturan ini sudah ditransformasikan atau diimplementasikan ke dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia dan PP Nomor 37 Tahun 2002 tentang Hak dan Kewajiban Kapal dan Pesawat Udara Asing dalam Melaksanakan Hak Lintas Alur Laut Kepulauan melalui Alur Laut Kepulauan yang Ditetapkan, dan PP Nomor 38 Tahun 2002 tentang Daftar Koordinat Geografis Titik-Titik Garis Pangkal Kepulauan Indonesia. Lebih lanjut Hartono menjabarkan bahwa: “Berdasar atas kondisi obyektif geografis tersebut, Indonesia disebut Negara Kepulauan Indonesia is an Archipelagic State. Tetapi an Archipelagic State tidak otomatis adalah satu Negara Maritim. Oleh karena itu salahlah kita kalau menyatakan bahwa Indonesia saat ini karena Negara Kepulauan adalah otomatis Negara Maritim.” Berdasarkan penjelasan tersebut, maka pada saat ini Indonesia adalah Negara Kepulauan, salah satu Negara Kepulauan terbesar yang mempunyai ciri khas sebagai Negara Nusantara. Artinya secara geografis Indonesia itu Negara Kepulauan yang berada diantara dua Samudera besar, yaitu: Samudera Pasifik dan Samudera Hindia. Dua benua besar, yaitu: Asia dan Australia, tetapi belum menjadi Negara Maritim. Sebab, kondisi obyektif sebagai Negara kepulauan baru merupakan potensi untuk bisa menjadi Negara Maritim, masih perlu usaha keras untuk mewujudkan potensi tadi menjadi realita melalui pembangunan. Pada kondisi semacam inilah maka dibutuhkan peran ilmu pengetahuan dan teknologi. Putera (2009) menjelaskan bahwa perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi ternyata dapat memberi sumbangan besar bagi dunia keluatan di Indonesia. Bagaimana tidak, negara kepulauan dengan potensi sumber daya kelautan beraneka ragam ini dapat memanfaatkan kemajuan iptek. Pemanfaatan tersebut sudah barang tentu bertujuan untuk mengoptimalkan penghasilan negara dari

“Negara Kepulauan itu adalah ciri sebuah Negara yang secara geografis terdiri atas ribuan pulau yang menjadi satu kesatuan geografis, satu kesatuan ekonomi yang diikat oleh satu kesatuan politik, satu kesatuan sejarah masa lampau (Historical Regarded As such). Jadi Negara Kepulauan itu lebih merupakan keadaan faktual yang beranjak kepada pengertian geografis yang merupakan ciri sebuah Negara dilihat dari sudut teritorial yang memiliki konfigurasi khas disebut kepulauan. Ciri-ciri inilah yang dipersyaratkan secara hukum internasional bahwa untuk diakui sebagai Negara Kepulauan pasal 46 UNCLOS menetapkan syarat-syaratnya. 133


Inovasi Vol. 10 No. 2, Juni 2013: 129-140

sumber daya kelautan dan juga untuk menjaga tiap titik wilayah negara dari bahaya atau pun kejahatan yang kerap terjadi di laut wilayah Indonesia. Namun, menurut Lakitan (2012) pemanfaatan iptek dalam kelautan dan perikanan di Indonesia masih kurang. Hal ini terlihat dari keterbatasan riset sumber daya kelautan. Lakitan (2012) meyakini ketidakmampuan Indonesia memahami potensi apalagi untuk mengelola sumberdaya kelautan terkait langsung dengan tingkat penguasaan teknologi kelautan yang belum berkembang di Indonesia. Ironis memang, sebuah negara maritim seperti Indonesia tidak memprioritaskan pengembangan teknologi kelautan. Aktivitas riset yang diindikasikan melalui publikasi hasil riset terkait sumberdaya kelautan masih sangat terbatas (Tabel 1). Indikasi dari Tabel 1 diatas adalah sangat terbatasnya kegiatan oleh peneliti Indonesia maupun peneliti asing yang melakukan kegiatan riset terkait sumberdaya kelautan Indonesia. Walaupun gambaran tersebut tetap harus dikritisi dimana: 1) tidak semua riset yang dilakukan telah dipublikasikan pada jurnal bersirkulasi global, ada yang dipublikasi pada media dengan sirkulasi yang terbatas dan kemungkinan lebih banyak lagi kegiatan riset yang tidak dipublikasikan sama sekali atau hanya berakhir pada laporan pelaksanaan kegiatan; 2) data base SciVerse Scopus walaupun sudah mencakup lebih dari 18.500 jurnal, 340 buku serial, 4,9 juta prosiding seminar, dan berbagai bentuk publikasi lainnya (kondisi Mei 2012), namun tetap belum mencakup semua referensi akademik yang diterbitkan secara global; dan 3) tidak semua publikasi tentang sumberdaya kelautan yang terjaring melalui kata kunci pada Tabel 1 tersebut, sehingga sangat mungkin masih ada publikasi yang tidak tercakup pada Tabel 1. Akan tetapi, untuk sebuah gambaran, Tabel 1 sudah cukup mengindikasi bahwa pemanfaatan riset dan pengembangan di sektor kelautan Indonesia sangat minim, sehingga peran ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) menjadi sangat sedikit yang mampu dimaksimalkan oleh Republik Indonesia. Zaman (2012) dalam artikelnya di Republika edisi 12 Desember 2012 mencontohkan penggunaan iptek dalam bidang kelautan. Jepang misalnya, ilmu menangkap ikan dengan satelit sudah dikembangkan negara tersebut selama lebih dari 20 tahun. Di kapalkapal penangkap ikan mereka yang menjelajah ke seluruh samudera dunia, bisa dijumpai berbagai peralatan untuk mengakses data satelit yang sudah selengkap stasiun bumi mini.

Dengan bekal itulah para nelayan Jepang bisa dikatakan selalu pulang dengan memuaskan. Peralatan serupa kini juga tersedia pada kapalkapal Thailand dan Taiwan yang suka mencuri ikan di kawasan Indonesia. beberapa contoh diatas menunjukkan bahwa iptek di bidang kelautan Indonesia belumlah dimanfaatkan secara maksimal oleh bangsa ini. Bertitik tolak dari pengertian yang diberikan Hartono (2010) mengenai negara maritim, dimana disebutkan bahwa negara Maritim adalah sebuah Negara yang tulang punggung eksistensinya, pengembangannya, kebesaran dan kejayaannya tertumpu pada kekuatan maritim. Artinya, Negara Kepulauan ini harus dilihat secara geografis dan non geografis. Pendekatan geografis dan non geografis tadi harus memperhatikan kondisi obyektif potensi dan hal-hal lain yang nanti dalam proses membangun Negara Maritim akan mampu menjadikan Indonesia sebagai Negara kepulauan yang berorientasi kedarat menjadi Negara kepulauan yang mendasarkan pada potensi maritim, meliputi aspek politik, ekonomi, sosial, budaya dan pertahanan, sebenarnya harus dilengkapi dengan satu aspek lagi yaitu hukum. Karena hukum menjadi dasar dari penentu arah kebijakan. Hukum menjadi dan memberikan arah serta tujuan terhadap kegiatan pembangunan yang dilakukan. Secara diagramatis konsep negara maritim tersebut terlihat pada Gambar 2 berikut ini. Dalam membangun kemandirian bangsa, maka setidaknya ada lima hal yang perlu diperhatikan. Rawinarno (2008) menyebutkan: 1) character building and nation building; 2) strategi ekonomi keluar dari keterpurukan; 3) konsistensi implementasi; 4) Lingkungan sosial dan politik yang kondusif; dan 5) low inforcement. Apabila kelima konsep tersebut diimplementasikan dalam kerangka negara maritim Indonesia maka akan tergambar sebagai berikut. Character building and nation building. Pada konteks pertama ini peletakan character building menjadi penting dalam pembangunan kemandirian khususnya terkait dengan rasa percaya diri dan keyakinan mampu untuk maju. Sebagai ilustrasi contoh, bangsa Eropa pernah mengalami kehancuran pasca perang dunia kedua serta merasakan kondisi politik kompleks. Namun, mereka mampu menjadikan himpitan permasalahan menjadi starting point melangkah jauh dalam kemajuan dan kesejahteraan dengan dasar keyakinan untuk maju.

134


Perspektif dan Peran Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Dalam Membangun Kemandirian Bangsa Pada Tatatan Negara Maritik (Prakoso Bhairawa Putera)

Tabel 1. Porsi riset yang terkait dengan sumberdaya kelautan di Indonesia berdasarkan kata kunci pada publikasi hasil riset di jurnal dengan sirkulasi global, 2001-2011

Sumber: Lakitan (2012:2)

Gambar 2. Kerangka Konsep “Negara Maritim Indonesia�.

Kata kunci disini adalah momentum. Bangsa Indonesia membutuhkan momentum kebangkitan bangsa, yang kemudian dapat digunakan sebagai awal menggugah keyakinan bangsa ini untuk bisa berkembang dan meraih kemajuan. Momentum ini erat kaitannya dengan khas Indonesia. Khas Indonesia adalah kekayaan dan potensi laut yang luar biasa dan belum dimanfaatkan secara maksimal. Perwujudan khas ini akan semakin kongkrit terlihat dari peletakan visi ataupun orientasi dari bangsa ini dengan mengubah orientasi pembangunan negara dari land based oriented National Development menuju ke Archipelagic Based Oriented National Development. Hartono (2010) menjelaskan bahwa dengan mengubah orientasi tersebut maka yang dibangun adalah land, sea

and the air secara fungsional dan proporsional. Hal ini menandakan bahwa Indonesia dilihat sebagai satu kesatuan wilayah yang terdiri atas wilayah darat, laut dan udara dengan proporsi dan fungsinya masing-masing diarahkan kearah satu tujuan yaitu menjadikan Negara Maritim Indonesia yang besar, kuat dan makmur. Dari sisi iptek, dengan adanya perubahan cara pandang ini akan menjadikan Indonesia sebagai negara dengan kekuatan iptek riset Kelautan Tropikal terkemuka di dunia. Strategi ekonomi keluar dari keterpurukan Ada beberapa kondisi penting yang perlu mendapatkan perhatian menurut Rawinarno (2008) untuk melaksanakan strategi ini, yakni strategi keluar dari jeratan hutang, pengelolaan potensi Sumberdaya alam, membangun ekonomi 135


Inovasi Vol. 10 No. 2, Juni 2013: 129-140

kelautan dan perikanan serta membangun ekonomi makro dan mikro secara fundamental dan kokoh. Akan tetapi yang lebih penting adalah kebijakan ekonomi harus meninggalkan penyimpangan patron client atau ekonomi rente, dimana negara melakukan diskriminasi akses modal ataupun sumber ekonomi lainnya dengan memprioritaskan para kroninya yang pada akhirnya akan menciptakan kemiskinan structural (diperlukan adanya kesetaraan politik dan ekonomi), kebijakan ekonomi harus pula lebih mementingkan kepentingan negara dan rakyat dibandingkan kepentingan negara lain ataupun para pengusaha. kemungkinan negara atau pemerintah untuk mendiri dari unsur pemilik modal merupakan suatu yang mungkin akan tetapi sulit terwujud. Bengen (2010) memberikan catatan untuk mewujudkan visi pembangunan negara maritim di dalam menjalankan strategi ekonomi keluar dari keterpurukan, dengan untuk menjadikan sektor kelautan dan perikanan sebagai sektor andalan (leading sector). Agar strategi tersebut dapat terlaksana maka terdapat tiga tolok ukur mutlak yang harus terpenuhi. Pertama, sektor kelautan dan perikanan harus dapat memberikan dampak ekonomi yang signifikan secara makro (seperti peningkatan perolehan devisa dan peningkatan kontribusi terhadap Produk Domestik Bruto). Kedua, sektor kelautan dan perikanan dapat memberikan

keuntungan secara signifikan terhadap semua pelaku usaha di dalamnya dan mampu meningkatkan kesejahteraan para pelaku kelautan dan perikanan yang pada saat ini masih sangat tertinggal dibandingkan dengan sektorsektor lain. Ini berarti juga sektor kelautan dan perikanan dapat memberikan pemerataan (equity) kesejahteraan bagi semua pelaku usaha. Ketiga, pembangunan kelautan dan perikanan yang dilaksanakan harus berkesinambungan, tidak hanya secara ekonomi tetapi juga secara ekologis. Konsistensi implementasi Rawinarno (2008) menyebutkan bahwasannya konsep yang baik tidak akan membawa keberhasilan ketika ada permasalahan dalam implementasi. Permasalahan konsistensi implementasi pembangunan ekonomi terletak pada kapasitas intelektual dan kualitas moral para elite dan birokrasi. Edward S Greenberg menegaskan kemandirian negara hanya bisa diwujudkan dengan adanya pemerintah dan birokrasi yang mandiri (Greenberg dalam teori negara Arief Budiman). Permasalahannya demokrasi tidak memastikan hadirnya pemimpin yang mempunyai kapasitas, namun lebih cenderung memunculkan pemimpin yang disukai dan disenangi rakyat.

Gambar 3. Konsep Ekonomi Maritim Perikanan Tangkap Sumber: Sutisna (2010:8)

136


Perspektif dan Peran Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Dalam Membangun Kemandirian Bangsa Pada Tatatan Negara Maritik (Prakoso Bhairawa Putera)

Pekerjaan rumah bagi demokratisasi di Indonesia adalah bagaimana mendorong munculnya elite politik yang bertanggung jawab serta birokrasi yang rasional Kedua hal ini menjadi lingkaran utama dalam mewujudkan good governance dan clean governance. Sebagai contoh, sebuah program dan konsep yang baik seperti Gambar 3 akan sulit jika tidak ada konsistensi dalam implementasinya.

pertahanan matra laut, diharapkan secara bertahap dapat mewujudkan Postur Angkatan Laut yang mampu melaksanakan perannya secara universal, yaitu peran militer, polisionil dan diplomasi. Melihat realitas konfigurasi geografi wilayah Negara yang berbentuk kepulauan dengan 2/3 bagian wilayahnya adalah perairan tentunya secara logika Indonesia membutuhkan Angkatan Laut yang kuat dan handal. Oleh karena itu kebijakan alokasi anggaran yang proporsional dari pemerintah sangat diharapkan setiap saat. Kita patut bangga bahwa pemerintah dan para anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) "agak" mulai serius memikirkan kekuatan armada militer. Atjeh (2012) mencatat bahwa TNI AL harus mempunyai kekuatan yang kredibel dan itu merupakan satu-satunya pilihan. Hanya dengan kekuatan yang kredibel maka pihak Angkatan Laut akan mampu menjaga keamanan perairan yurisdiksi Indonesia dari segala macam bentuk pelanggaran baik kewilayahan maupun tindak pidana di laut. Segenap pihak hendaknya mendukung sepenuhnya harapan TNI AL dalam mewujudkan Postur TNI AL hingga tahun 2024 untuk mempunyai kekuatan alutsista meliputi 274 KRI, 137 pesud dan 890 Ranpurmar. Terkait dengan permasalahan pengamanan wilayah laut, Soesilo (2011) menjelaskan bahwa Angkatan Laut (AL) secara universal mempunyai tiga peran asasi, yaitu peran militer, polisionil (konstabulan) dan diplomasi (Ken Booth,Foreign Policy-1977). Ketiganya seringkali disebut sebagai peran Trinitas AL dan banyak dianut oleh beberapa negara-negara maju. Suatu hal yang dalam persepsi kita belum sama adalah soal implementasi peran tersebut. Lebih lanjut dijelaskan oleh Soesilo (2011) kekuatan AL dapat dikelompokkan dalam 9 kategori kemampuan: Major Global Force Projection Navy-Complete (memiliki kekuatan besar,lengkap dan selalu hadir ke seluruh dunia), Major Global Force Projection navy – Partial (memiliki kekuatan besar yang mempu diproyeksikan ke seluruh dunia), Medium Global Force Projection Navy (memiliki kekuatan medium dan mampu diproyeksikan ke seluruh dunia), Medium Regional Force Projection Navy (memiliki kekuatan medium dan mampu diproyeksikan ke wilayah regional), Adjacent ForceProjection Navy (mampu diproyeksikan sampai ke wilayah perbatasan), Offshore Territorial Defence Navy (mampu beroperasi keluar dari pantai teritorial), Inshore Territorial Defence Navy (mampu beroperasi di pantai teritorial), constabulayr navy (peran polisional, penegakan hukum ),Token Navy (nihil). Dengan kata lain, untuk mewujudkan protecting

Lingkungan sosial dan politik yang kondusif Political development as prerequisite of economic development (Lucyan Pye : Aspects of political development), titik tekannya adalah stabilitas sosial dan politik. Meminjam bahasa Hutington social order and political order menjadi syarat mutlak dalam modernisasi. Kondisi sosial politik secara langsung akan mempengaruhi kondisi perekonomian, khususnya terkait dengan konflik masyarakat ataupun konflik elite negara. Law inforcement dan Pertahanan Negara Penegakan hukum dan pertahanan negara terkait dengan wilayah laut di Indonesia, erat kaitannya dengan peran dan fungsi dari TNI AL. TNI AL sebagai inti kekuatan pertahanan negara maritim di laut, mempunyai tanggung jawab untuk mewujudkan stabilitas dan keamanan di laut dalam rangka mempertahankan keutuhan wilayah negara. Menurut Pasal 9 Undang Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI menyebutkan bahwa tugas TNI AL sebagai berikut; Pertama, melaksanakan tugas TNI matra laut di bidang pertahanan. Kedua, menegakkan hukum dan menjaga keamanan di wilayah laut yurisdiksi nasional sesuai dengan ketentuan hukum nasional dan hukum internasional yang telah diratifikasi. Ketiga, melaksanakan tugas diplomasi Angkatan Laut dalam rangka mendukung kebijakan politik luar negeri yang ditetapkan oleh pemerintah. Keempat, melaksanakan tugas. TNI dalam pembangunan dan pengembangan kekuatan matra laut. Kelima, melaksanakan pemberdayaan wilayah pertahanan laut. Dalam Undang-undang tersebut menyatakan bahwa peran kekuatan TNI AL di laut sangat vital demi menjaga kepentingan pertahanan dan keamanan serta penegakan hukum di laut nusantara. Kekuatan Angkatan Laut merupakan salah satu bagian penting dari potensi nasional. Oleh karena itu pembangunan kekuatan TNI AL adalah sebuah keharusan dan komitmen pemerintah untuk membangun kekuatan Angkatan Laut yang besar, kuat, profesional, handal dan disegani hendaknya menjadi prioritas utama. Aspek pembangunan kekuatan laut, sebagai komponen utama 137


Inovasi Vol. 10 No. 2, Juni 2013: 129-140

Indonesia and Indonessia interest at abroad, TNI AL harus dibangun oleh pemerintah agar mampu melaksanakan ekspedisionari, karena operasi ekspedisionari merupakan bagian dari proyek kekuatan. Kalau dicermati secara mendalam, dapatlah dipahami bahwa untuk mengamankan kepentingan nasional cakupannya sangat luas sekali. Sebab kepentingan nasional tidak hanya dibatasi oleh geografis kedaulatan, tetapi sewaktu waktu dapat menjangkau di luar teritorial kita, di luar perairan yurisdikasi nasional. Seperti pada pembebasan kapal KM Kudus yang dibajak oleh perompak Somalia beberapa waktu yang lalu, TNI AL telah mampu melaksanakan proyeksi kekuatan di luar wilayah kedaulatan. Tetapi dalam konteks Indonesia saat ini, sulit dipungkiri bahwa kepentingan Indonesia sebagian besar di wilayah asia tenggara. Dalam membangun kemandirian berbasiskan dengan peran ilmu pengetahuan dan teknologi di dalamnya, maka ada sejumlah potensi iptek yang dapat dikembangkan dan diimplementasikan dalam membangun kemandirian negara maritim Indonesia. Indonesia Maritime Institute (2012a) mencatat peran iptek dapat mendukung kemandirian melalui ocean energy. 'Ocean Energy' merupakan sumber energi alternatif dari laut. Putera (2013) menyebutkan agar dapat tegak berdiri dan menjadi bangsa yang dipandang dan terpandang dikancah pegaulan internasional, serta mampu mandiri maka tidak lucu jika tidak menampilkan keunggulan bangsa ini. Berikut sedikit dari sejumlah contoh keberhasilan anak bangsa ini dalam menghasilkan teknologi di bidang kelautan dan perikanan yang memiliki nilai potensi dan manfaat dalam menghadirkan kemandirian bangsa. Pertama, Radar Pengawas Pantai atau yang dikenal dengan nama ISRA (Indonesia Surveilance Radar). Teknologi ini merupakan hasil yang diteliti dan kembangkan oleh Mashury, dkk dari Pusat Penelitian Elektronika dan Telekomunikasi (PPET)-LIPI, dan sejak tahun 2011 lisensi produksi massal radar pantai buatan Indonesia pertama dijalankan oleh PT Inti (Persero). Keunggulan dari teknologi radar ISRA menggunakan metode frekuensi terus-menerus untuk memancarkan sinyal pemantauan, atau dikenal sebagai Frequency-Modulated Continuous Wave (FMCW) dengan daya pancar radar ISRA rendah, yaitu 1 watt. Tidak hanya itu, pengoperasian radar dengan daya pancar rendah ini tidak mengganggu sistem operasional radar lain misalnya sistem operasi milik otoritas

pelabuhan atau kesatuan militer. Keunggulan dengan daya pancar yang rendah memungkinkan pengoperasiannya tidak terdeteksi oleh radar scanner (pendeteksi keberadaan radar). Dengan adanya keunggulan tersebut menguntungkan untuk berbagai aktivitas atau pengusutan kasus ilegal. Keberadaan radar yang tidak terdeteksi dapat lebih optimal mengungkap berbagai pelanggaran. Radar ISRA juga memiliki kemampuan Doppler, yaitu kemampuan untuk mendeteksi benda bergerak, seperti kapal-kapal yang melintasi area perbatasan secara lebih akurat. Sistem penelusuran target (target tracking) yang ada pada radar ini sudah sesuai Automatic Radar Plotting Aids (ARPA) yang ditetapkan Organisasi Maritim Internasional (IMO). Hasil pemantauannya pun dapat diintegrasikan ke dalam jaringan radar untuk memperluas area pemantauan. Kedua, Pemanfaatan Air Mineral Laut Dalam. Para peneliti dari Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan IPB yang digagas Prof. Dr. Bonar Pasaribu telah melakukan berbagai penelitian bekerjasama dengan perusahaan Jepang untuk mengeksplorasi potensi air mineral laut dalam di perairan Indonesia. Hasil survei yang pernah dilakukan di perairan Indonesia seperti di perairan Gondol bagian utara pulau Bali, Selat Lombok, perairan sekitar Ujung Pandang, perairan sekitar Kupang, perairan Pelabuhan Ratu di selatan pulau Jawa, perairan Biak, menunjukkan bahwa perairan Indonesia sangat potensial untuk pengembangan industri ini. Seperti diketahui bahwa air laut dalam dengan kandungan mineralnya ini setelah diolah dengan baik, sangat penting dan bermanfaat untuk suplai air minum bagi kelangsungan hidup dan kesehatan tubuh manusia. Penyediaan air mineral laut dalam ini juga merupakan suatu kegiatan yang bersifat strategis untuk mengantisipasi kemungkinan krisis air bersih di masa mendatang. Bahkan setelah melalui proses desalinasi, juga memberi hasil sampingan, yaitu garam berkualitas tinggi. Di samping itu dapat diaplikasikan untuk berbagai kegunaan, yaitu untuk budidaya perikanan, budidaya pertanian, bahan kosmetik, obat-obatan, spa, dan sebagai pendingin ruangan. Ketiga, Pemanfaatan Ekstrak berbagai tumbuhan dan biota laun untuk kepentingan kosmetika. Tim peneliti Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB yang dipimpin Dr. Ir. Linawati Hardjito menemukan bahwa ektrak pohon mangrove jenis nyirih (Xylocarpus sp) dapat berfungsi sebagai bahan aktif tabir surya dan skaligus pewarna pada krim tabir surya. Lalu, 138


Perspektif dan Peran Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Dalam Membangun Kemandirian Bangsa Pada Tatatan Negara Maritik (Prakoso Bhairawa Putera)

ekstrak Pandanus sp mengandung bahan pewarna kuning-oranye dan antioksidan dalam sediaan lipstik dan lotion pelembab. Ekstrak Pemphis sp mengandung senyawa antioksidan, antimikroba, dan pewarna. Ekstrak Discodoris sp sebagai excipient, pelembut, dan antioksidan. Selain itu, 23 jenis ekstrak dari bermacam biota laut juga ditemukan mengandung mengandung bahan pengawet (antimikroba). Keempat, Biofuel. Hasil sejumlah penelitian menyebutkan bahwa beberapa spesies alga mikro (phytoplankton) laut ternyata merupakan sumber biofuel yang sangat potensial. Contohnya adalah spesies Botryococcus braunii mengandung hidrokarbon rantai C panjang (C22 – C23) pengganti minyak bumi (Soerawidjaja, 2002). Selain itu Peneliti dari IPB (Mujizat Kawaroe) di tahun 2008 menemukan sedikitnya 12 spesies alga mikro dari perairan laut Indonesia potensia sebagai sumber biofuel. Kedua belas spesies itu adalah Chlorella sp., Scenedesmus sp.,Dunaliella sp., Nannochloropsis oculata, Spirulina sp.,Tetraselmis chulii, Nitzschia sp., Chaetoceros sp.,Chaetoceros chalcitris, Porphyridium cruentum, Isochrysis sp., dan Phaeodactylum tricornutum. Menariknya lagi, tiga spesies diantaranya, yakni Chlorella, Nannochloropsis dan Scenedesmus adalah yang paling potensial, dalam waktu dekat dapat dimanfaatkan sebagai bahan utama produksi biofuel. Kandungan minyak ketiga spesies mikroalga tersebut secara berurutan adalah 15%, 16,7%, dan 3,3%. Kelima, pemanfaatan hasil riset yang terbaru adalah yang dilakukan oleh ITB bekerjasama dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika, yaitu implementasi perancangan perangkat e-fisheris awal oleh tim ITB yang memanfaatkan hasil penelitian yang lalu. Perangkat e-Fisheris ini berupa piranti keras (gadget) dan juga piranti lunak (software aplikasi). Perangkat ini nantinya berada pada kapal nelayan. Adapun nilai manfaat dari perangkat ini adalah 1) Menghilangkan kecurangan (Illegal Transaction dan illegal Fishing); 2) Meningkatkan akurasi prakiraan wilayah tangkapan sehingga menghasilkan data yang akurat sebagai referensi pembangunan (program pemerintah); 3) Meningkatkan sustainibility daerah tangkapan; 4) Mendukung program Motherboard di Palu (Sulawesi); 5) Meningkatkan nilai jual produk (waktu pengkapan, kesegaran, efektifitas nelayan); 6) Meningkatkan manajemen pelabuhan; 7) Mendukung proses sertifikasi Produk Ekspor; dan 7) Meningkatkan keselamatan nelayan. Keenam, Badan Riset Kelautan dan Perikanan bekerjasama dengan LAPAN dalam pemanfaatan dan pengembangan iptek

kedirgantaraan untuk observasi kelautan. Kerjasama ini meliputi pembangunan sistem observasi kelautan secara bersama dan sinergis, pemanfaatan dan pengembangan aplikasi teknologi kedirgantaraan dan penginderaan jauh di bidang kelautan, dan peningkatan kemandirian bangsa di bidang observasi kelautan. Adapun implementasi ruang lingkup kerjasama meliputi potensi-potensi pemanfaatan data penginderaan jauh untuk pemetaan Sea Survey Temperature (SST) dari data penginderaan jauh untuk melihat daerah fishing ground (penangkapan ikan), pemanfaatan teknologi tide gauges untuk pengukuran pasang surut atau tinggi air laut yang dikaitkan dengan Early Warning System (EWS), pemanfaatan energi angin untuk nelayan pesisir dan pulau-pulau terluar, dan capacity building pengolahan data penginderaan jauh dan kerjasama dengan pemodelan untuk riset kelautan dengan menggunakan data penginderaan jauh bidang kelautan. KESIMPULAN Membangun kemandirian sebagai sebuah bangsa dalam kerangka negara maritim haruslah meletakkan dasar yang kuat. Setidaknya ada lima hal yang perlu dimiliki dalam membangun kemandirian tersebut, yaitu 1) character building and nation building sebagai bangsa yang memiliki orientasi pembangunan negara dari land based oriented National Development menuju ke Archipelagic Based Oriented National Development; 2) strategi ekonomi keluar dari keterpurukan dengan menjadikan sektor kelautan dan perikanan sebagai sektor andalan (leading sector); 3) konsistensi implementasi; 4) Lingkungan sosial dan politik yang kondusif; dan 5) low inforcement dan pengamanan wilayah laut dengan mengkedepankan peran dan fungsi Angkatan Laut (AL) sesuai dengan tiga peran asasinya, yaitu peran militer, polisionil (konstabulan) dan diplomasi. REKOMENDASI 1. Pemerintah memiliki komitmen kebangsaan untuk menjadikan ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai pilar utama dalam pembangunan negara maritim Indonesia. 2. Langkah pertama ini dapat dilakukan dengan meletakkan dasar pembangunan negara maritim berbasiskan iptek sebagai visi ataupun cita-cita pembangunan nasional pada dokumen kebijakan lima tahunan ataupun jangka menengah. 3. Memberikan muatan pendidikan iptek berbasiskan pada pembangunan nasional untuk negara maritim Indonesia pada

139


Inovasi Vol. 10 No. 2, Juni 2013: 129-140

kemandirian-bangsa-509193.html, [Diunduh: tanggal 25 Desember 2012].

materi pelajaran sekolah dan perguruan tinggi.

Kominfo. 2012. Executive Summary: Pengembangan Sistem Pengelolaan Berbasis TIK Untuk Mendukung Peningkatan Produktivitas Nelayan Koridor Ekonomi Sulawesi. Laporan Tidak Diterbitkan.

DAFTAR PUSTAKA Asshiddiqie, Jimly. 2008. Kepemimpinan Nasional Dalam Membangun Kedaulatan dan Kemandirian Bangsa. Bahan Studium General pada acara Muktamar KAMMI di Makassar, 3 November 2008.

Lakitan, Benyamin. 2012. Pengelolaan Sumberdaya Kelautan berbasis Iptek untuk Kemakmuran Bangsa. Makalah kunci pada Seminar Nasional Kelautan VIII, Universitas Hang Tuah Surabaya, 24 Mei 2012.

Atjeh, Husni. 2012. Peran TNI AL dalam Meminimalisir Pelanggaran di Wilayah Perairan NKRI. Harian Analisa, edisi Kamis 8 November 2012.

Putera, Prakoso Bhairawa. 2013. Mandiri dengan Teknologi Kelautan. Biskom, edisi Februari 2013.

Bengen, Dietriech G. 2010. Perspektif Strategi Pembangunan Negara Maritim Berbasis Kelautan dan Perikanan. Makalah Seminar Nasional “Membangun Negara Maritim dalam Perspektif Ekonomi, Sosial Budaya, Politik dan Pertahanan” tanggal 7 Oktober 2010: Jakarta Selatan.

Putera, Prakoso Bhairawa. 2009. Teknologi Informasi untuk Kelautan Indonesia. Biskom, edisi April 2009.

Diwangkara, Filipus Haryo. 2011. Menuju Negara Maritim. diakses dari http://www.asji.info/index.php?option=com_content&v iew=article&id=397%3Amenuju-negaramaritim&catid=14%3Akolese&Itemid=20&lang=en, tanggal 12 Desember 2012.

Rawinarno, Tjajo. 2008. Membangun Kemandirian Bangsa dengan Pendekatan Ekonomi Politik. diakses dari http://newblueprint.wordpress.com/2008/04/14/mem bangun-kemandirian-bangsa-dengan-pendekatanekonomi-politik/, [Diunduh: tanggal 10 Desember 2012].

Galtung, J. et al. (eds.). 1980. Self-Reliance: a Strategy for Development. London: Bogle L’Ouverture publications.

Soesilo, Bambang. 2011. Peran TNI AL dalam Mendukung Kepentingan Nasional. Harian Analisa, edisi 16 September 2011.

Halim, Abdul. 2009. Memuliakan Sastra Menyemai Peradaban Bangsa, dalam Yudi Latif “Menyemai Karakter Bangsa”. Jakarta: Kompas.

Sutisna, Dedy H. 2010. Ekonomi Maritime Berbasis Sumberdaya Ikan. Makalah Seminar Nasional “Membangun Negara Maritim dalam Perspektif Ekonomi, Sosial Budaya, Politik dan Pertahanan” tanggal 7 Oktober 2010: Jakarta Selatan.

Hartono, Dimyati. 2010. Membangun Negara Maritim Dalam Perspektif Ekonomi, Sosial, Budaya, Politik, dan Pertahanan. Makalah Seminar Nasional “Membangun Negara Maritim dalam Perspektif Ekonomi, Sosial Budaya, Politik dan Pertahanan” tanggal 7 Oktober 2010: Jakarta Selatan.

Zaman, M.Badrus. 2012. Laut Masih Menjadi 'Raksasa Tidur'. Republika, edisi Rabu 12 Desember 2012. Kolom Wacana.

Hatta, Mohammad. Berpartisipasi dalam Perjuangan Kemerdekaan Nasional Indonesia. Jakarta: Yayasan Idayu. Hatta, Gusti Muhammad. 2012. Pengembangan dan Aplikasi Hasil-Hasil Riset Untuk Pemanfaatan dan Pelestarian Sumberdaya Kelautan. Sambutan Menteri Negara Riset dan Teknologi pada Pertemuan Ilmiah Tahunan Ikatan Sarjana Oseanologi Indonesia (ISOS) IX: Mataram, 22 Oktober 2012. Indonesia Maritime Institute. 2012a. OCEAN ENERGY: Solusi Krisis Energi, diakses dari http://indomaritimeinstitute.org/?p=1568, [Diunduh: tanggal 14 Desember 2012]. Indonesia Maritime Institute. 2012b. Laut Dalam Menjawab Krisis air Bersih, diakses dari http://indomaritimeinstitute.org/?p=829, [Diunduh: tanggal 14 Desember 2012]. Khoiri, Much. 2012. Merentas Kemandirian Bangsa. Diakses dari http://edukasi.kompasiana.com/2012/11/15/meretas140


Kajian Kebijakan Bantuan Keuangan Partai Politik: Mencari Format Besaran Yang Ideal (Sorni Paskah Daeli)

Tinjauan Kepustakaan KAJIAN KEBIJAKAN BANTUAN KEUANGAN PARTAI POLITIK: POLITIK: MENCARI FORMAT BESARAN YANG IDEAL

(FINANCIAL AID POLICY STUDIES POLITICAL PARTY: TO FIND AN IDEAL AMOUNT) AMOUNT) Sorni Paskah Daeli Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Dalam Negeri Jalan Kramat Raya No.132 Jakarta Pusat Email: sornipaskah@yahoo.com

Diterima: 3 Februari 2012; Direvisi: 2Mei 2013; Disetujui: 20 Juni Mei 2013

ABSTRAK Partai politik memiliki peran esensial dalam kehidupan demokrasi Indonesia. Akan tetapi pendanaan parpol masih tetap menjadi persoalan penting untuk diselesaikan. Tujuan kajian ini adalah untuk mendapatkan format besaran yang ideal terhadap bantuan keuangan pemerintah kepada partai politik. Metode kajian ini adalah deskriptif analitik dengan teknis pengumpulan data menggunakan studi literatur dan diskusi kelompok terfokus. Hasil kajian menunjukkan bahwa agar peran partai politik lebih optimal, maka besaran bantuan keuangan partai politik yang ada saat ini masih perlu penambahan sampai pada titik toleransi, di mana partai politik tidak mencari tambahan pemasukan yang tidak legal. Oleh karena itu, perlu mencari format ideal guna meningkatkan besaran bantuan keuangan kepada partai politik, setidaknya menjadi 5 persen per tahun, yang dimulai pada tahun 2014. Selanjutnya, perlu disusun desain proyeksi bantuan keuangan partai politik, sehingga dalam jangka 10-20 tahun ke depan bantuan keuangan kepada partai politik bisa mencapai 30 persen dari total kebutuhan partai politik tersebut per tahun. Inilah angka ideal yang bisa mengoptimalkan fungsi bantuan keuangan kepada partai politik untuk menjaga kemandirian dan independensi partai politik. Kata kunci: besaran ideal, bantuan keuangan

ABSTRACT Political parties are essential during the democracy process in Indonesia. However, it is important to solve financial problem for political parties. The purpose of this study was to gain scale format is ideal for government financial assistance to political parties. Methods this study was a descriptive analytic technical data collection using literature study and focus group discussions. The findings showed that the role of political parties in order to be optimal, then the amount of financial aid a political party that there is still need to increase to the point of tolerance, where political parties are not looking for additional income that is not legal. Therefore, the need to find an ideal format to increase the amount of financial assistance to political parties, at least to 5 percent per year, which began in 2014. Furthermore, the design should be made in financial aid projections political parties, so that in the next 10-20 years term financial assistance to political parties could reach 30 percent of the total needs of the political party per year. This is the ideal figure which can optimize the function of financial assistance to political parties to maintain selfsufficiency and independence of political parties. Keywords: ideal size, financial aid

dan pemerintah. Sebagai organisasi yang hidup di tengah masyarakat, partai politik menyerap, merumuskan dan mengagregasi kepentingan masyarakat. Sedang sebagai organisasi yang menempatkan kadernya di lembaga legislatif

PENDAHULUAN Reformasi politik yang terjadi di Indonesia telah menempatkan partai politik sebagai fundamental dalam masyarakat demokrasi. Mereka menjadi perantara antara masyarakat 141


Inovasi Vol. 10 No. 2, Juni 2013: 141-154

maupun eksekutif, partai politik menyampaikan kepentingan masyarakat tersebut untuk dibuat dalam bentuk kebijakan pemerintah. Namun peran strategis tersebut tidak dengan sendirinya dapat berjalan dengan baik. Keterbatasan finansial seringkali menyebabkan partai politik gagal menjalankan fungsi perantara, yang ditandai oleh ketergantungan keuangan partai politik kepada penyumbang, sehingga partai politik cenderung mengutamakan kepentingan penyumbang dan melupakan kepentingan masyarakat. Keterbatasan finansial ini juga terkait dengan kepemimpinan oligarkis, karena para penyumbang besar menduduki posisi strategis kepengurusan partai politik, atau merupakan orang-orang yang berada di balik keputusankeputusan yang diambil partai politik. Dengan demikian, jika hendak memaksimalkan peran perantara antara masyarakat dan pemerintah, partai politik harus mampu mengatasi masalah finansial, sebab ketersediaan dana merupakan sesuatu yang vital. Dana tidak hanya diperlukan untuk membiayai kampanye pada masa pemilu, tetapi juga untuk membiayai kegiatan partai politik sepanjang tahun. Masalahnya adalah, hampir semua partai politik gagal menggalang iuran anggota, sehingga mereka pun menggantungkan sumber keuangan kepada para penyumbang perseorangan atau pun organisasi. Di sinilah partai politik menghadapi dilema, di satu pihak, untuk membiayai kegiatannya, partai politik membutuhkan uang banyak; di lain pihak, besarnya sumbangan dapat mengganggu kemandirian partai politik dalam memperjuangkan kepentingan rakyat. Dengan kata lain, besarnya sumbangan dapat mengganggu eksistensi partai politik sebagai pemegang mandat rakyat, karena partai politik bisa mengutamakan kepentingan penyumbang daripada kepentingan rakyat. Secara umum, di negara-negara yang demokrasinya sudah maju, terdapat tiga kebijakan untuk mengatasi masalah keuangan partai politik, yaitu: memaksa partai politik untuk bersikap transparan dan akuntabel dalam pengelolaan keuangan; membatasi besaran sumbangan ke partai politik, dan; memberikan bantuan keuangan ke partai politik dari anggaran negara, atau subsidi keuangan partai politik. Ketiganya saling terkait dalam upaya untuk melepaskan ketergantungan partai politik dari para penyumbang, sehingga partai politik tetap bergerak pada jalurnya, yakni memperjuangkan kepentingan masyarakat, konstituen atau anggota. Dalam kadar berbeda, ketiga kebijakan itu sesungguhnya sudah berusaha diterapkan di

Indonesia sejak era reformasi. Namun, semua undang-undang yang pernah ada belum berhasil mendorong partai politik bersikap transparan dan akuntabel dalam mengelola keuangannya. Ini sesungguhnya merupakan indikasi bahwa partai politik lebih banyak digerakkan oleh dana illegal dan penyumbang besar. Hal itu terjadi karena terdapat masalah-masalah pengaturan yang tidak tuntas dalam undang-undang; serta kelemahan dalam praktek tata kelola organisasi, karena pengurus partai politik tidak memiliki kesungguhan dan kemampuan teknis dalam mengimplementasikan kehendak undangundang (Junaidi dkk, 2011). Meskipun demikian, usaha-usaha untuk terus mendorong agar partai politik dapat menghindari jebakan kepentingan para penyumbang tetap dilakukan. Hal ini tampak pada UU No.2/2011 yang merupakan perubahan atas UU No.2/2008. Salah satu isu penting dalam regulasi ini adalah pengaturan tentang bantuan keuangan partai politik atau subsidi keuangan partai politik dari anggaran negara. Jika dibandingkan dengan undang-undang sebelumnya, UU No.2/2011 memuat dua ketentuan baru tentang bantuan keuangan partai politik, yaitu penggunaan dana bantuan keuangan partai politik diprioritaskan untuk pendidikan politik, dan laporan penggunaan bantuan partai politik diaudit oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Dua ketentuan itu menyiratkan keinginan bahwa bantuan keuangan partai politik akan diperbesar jumlahnya, mengingat penggunaannya tidak terbatas untuk membiayai operasional kesekretariatan, melainkan juga untuk kegiatan pendidikan politik. Dalam prakteknya, kegiatan pendidikan politik, yang di dalamnya termasuk kaderisasi, paling banyak menyerap dana. Jika jumlah dana bantuan partai politik semakin membesar, maka sangat wajar apabila laporan penggunaan dana itu harus diaudit oleh BPK. Semangat untuk memperbesar jumlah dana bantuan keuangan partai politik dan meningkatkan transparansi dan akuntabilitas penggunaan dana bantuan keuangan partai politik melalui audit BPK itu, menimbulkan masalah strategis yang harus diantisipasi, yakni bagaimana formula baku yang ideal untuk memperbesar dana bantuan keuangan partai politik, yang tidak hanya memenuhi prinsip keadilan bagi partai-partai politik yang menerimanya, tetapi juga mendorong partai politik untuk meningkatkan kinerjanya, dan apa tolok ukur keadilan bagi partai politik penerima bantuan keuangan serta bagaimana mengukur kinerja partai politik tersebut. Dalam rangka itu, maka dilakukan kajian literatur mengenai

142


Kajian Kebijakan Bantuan Keuangan Partai Politik: Mencari Format Besaran Yang Ideal (Sorni Paskah Daeli)

kebijakan bantuan keuangan partai politik menjadi sangat relevan.

yang sama iuran anggota semakin berkurang. Untuk menghadapi masalah ini, partai politik mencari uang sumbangan. Pada awalnya, partai politik mencari sumbangan dari anggota. Namun karena jumlah anggota yang mampu menyumbang terbatas, partai politik lalu menerima sumbangan dari perseorangan bukan anggota. Akhirnya, guna memenuhi kebutuhan yang terus meningkat partai politik menerima sumbangan dari badan hukum, khususnya lembaga bisnis atau perusahaan (Katz dan Mair, 1994). Di sinilah partai politik menghadapi situasi dilematis, di satu pihak, untuk membiayai kegiatan operasional dan memenangkan pemilu, partai politik membutuhkan uang banyak; di lain pihak, besarnya sumbangan dapat mengganggu kemandirian partai politik dalam memperjuangkan kepentingan rakyat. Dengan kata lain, besarnya sumbangan perseorangan maupun perusahaan dapat mengganggu eksistensi partai politik sebagai pemegang mandat rakyat, karena partai politik bisa mengutamakan kepentingan penyumbang daripada kepentingan rakyat. Dalam menghadapi situasi dilematis tersebut, sejak 1970-an secara bertahap, negaranegara Eropa Barat menerapkan dua kebijakan: pertama, melakukan pembatasan sumbangan perseorangan dan perusahaan kepada partai politik; kedua, memberikan bantuan keuangan atau subsidi keuangan kepada partai politik, baik untuk kegiatan operasional partai politik maupun kegiatan kampanye. Agar kedua kebijakan itu berjalan baik, maka partai politik diwajibkan membuat laporan keuangan partai politik tahunan, dan membuat laporan keuangan kampanye setelah pemilu selesai. Kedua laporan tersebut adalah instrumen untuk memaksa partai politik menegakkan prinsip transparansi dan akuntabilitas pengelolaan keuangan partai politik (van Biezen, 2003). Prinsip transparansi mengaharuskan partai politik bersikap terbuka terhada semua proses pengelolaan keuangan partai politik. Di sini sejumlah kewajiban harus dilakukan partai politik, seperti membuka daftar penyumbang dan membuat laporan keuangan secara rutin, yang mencatat semua pendapatan dan belanja partai politik sepanjang tahun. Tujuan membuka daftar penyumbang dan laporan keuangan kepada publik adalah untuk menguji prinsip akuntabilitas, yaitu memastikan tanggungajwab partai politik dalam proses menerima dan membelanjakan dana partai politik itu rasional, sesuai etika dan tidak melanggar peraturan. Berbeda dengan partai-partai politik di Eropa Barat, partai-partai politik di Indonesia tidak mengalami tranformasi gradual. Partai-

METODE Metode kajian ini adalah deskriptif analitik, yakni mendeskripsikan fakta-fakta yang kemudian disusul dengan analisis, yang tidak semata-mata menguraikan melainkan juga memberikan pemahaman dan penjelasan secukupnya. Adapun teknik pengumpulan data dilakukan dengan studi kepustakaan dengan melakukan penelaahan terhadap perundangundangan, buku-buku, kajian ilmiah oleh lembaga lainnya, berita di media massa, dan berbagai artikel lainnya yang ada hubungannya dengan besaran bantuan keuangan partai politik, dan juga melakukan focus group discussion (FGD) yang melibatkan stakeholders. HASIL DAN PEMBAHASAN Landasan Teoritik Keuangan dan Kemandirian Partai Politik Partai politik membutuhkan dukungan keuangan yang kuat agar dapat tumbuh dan berkembang. Uang tersebut diperlukan untuk mengkonsolidasi organisasi, mengader anggota, menyerap aspirasi, membangun citra, berkampanye, dan lain sebagainya. Pada mulanya semua kebutuhan keuangan partai politik dipenuhi oleh iuran anggota. Hubungan ideologis yang kuat antara partai politik dengan anggota menyebabkan partai politik tidak sulit menggalang dana dari anggota. Namun sejalan dengan perubahan struktur sosial masyarakat dan penataan sistem pemerintahan demokrasi yang semakin kompleks, kini nyaris tidak ada partai politik yang hidup sepenuhnya dari iuran anggota. Memasuki dekade 1970-an hubungan ideologis anggota dengan partai politik mulai luruh, karena pertarungan ideologi di masyarakat mulai memudar. Partai politik mulai meninggalkan sekat-sekat ideologi dalam menggalang dukungan sehingga karakter partai berubah menjadi partai lintas kelompok, atau catch-all party (Kirschheimer, 1966). Perubahan karakter partai politik tersebut juga dipengaruhi oleh semakin kukuhnya pemilu sebagai instrumen demokrasi, sehingga persaingan antarpartai politik semata hanya persaingan memperebutkan suara dalam pemilu. Partai politik pun menjadi mesin pendulang suara yang mengedepankan pragmatisme dan rasionalitas. Sebagai mesin pemilu, fungsi utama partai politik adalah meraih suara sebanyakbanyaknya. Namun dalam menjalankan fungsi ini, partai politik menghadapi situasi sulit, sebab untuk memenangkan pemilu mereka membutuhkan uang banyak. Padahal pada saat 143


Inovasi Vol. 10 No. 2, Juni 2013: 141-154

partai politik sebagai alat perjuangan dilahirkan oleh para perintis kemerdekaan pada zaman kolonial Belanda. Sempat tenggelam pada zaman Jepang, partai politik muncul kembali dan berkonsolidasi menghadapi Pemilu 1955. Pertarungan ideologi menjadi ciri utama partai politik waktu itu (Feith & Castle, 1988), yang kemudian ditenggelamkan Presiden Soekarno karena partai-partai politik beserta ideologinya dianggap sebagai sumber instabilitas pemerintahan. Selama 30 tahun masa Orde Baru, partai politik dipinggirkan, di mana dua partai dibiarkan hidup namun eksistensinya hanya untuk melengkapi partai pemerintah (Liddle, 1992). Akibatnya, ketika rezim Orde Baru jatuh dan dilanjutkan dengan Pemilu 1999 yang digelar secara bebas, partai politik menghadapi situasi multikompleks: ideologi gagal mengikat anggota, sedangkan program belum terumuskan; infrastruktur dan jaringan lemah sedangkan antusiasme berpolitik rakyat tinggi; operasional partai membutuhkan dana banyak, sedangkan iuran anggota tidak bisa ditarik; kampanye membutuhkan dana besar, sedangkan para penyumbang menuntut banyak imbalan. Partai-partai politik yang baru tumbuh tibatiba menghadapi situasi sulit, yang secara gradual telah dihadapi dan diatasi oleh partaipartai politik di Eropa Barat dan Amerika Utara sejak 1970-an. Akibatnya, usaha-usaha menjaga kemandirian partai politik dengan jalan membatasi besaran sumbangan tidak mendapatkan hasil. Demikian juga kebijakan memberikan bantuan keuangan partai politik, tidak mengubah laku partai politik yang oligarkis sekaligus koruptif, apalagi dana bantuan keuangan partai politik dari APBN jumlahnya tidak seberapa. Partai politik lebih suka memilih jalan pintas, yaitu memaksa kadernya di lembaga legislatif dan eksekutif mengumpulkan dana illegal, juga menerima dana dari para penyumbang besar. Yang pertama tercermin dari banyaknya skandal korupsi yang melibatkan pengurus partai politik; sedangkan yang kedua terlihat makin banyaknya pengusaha dan pensiunan birokrat dan jenderal, yang menjadi pengurus partai politik. Partai politik pun mengabaikan prinsip transparansi dan akuntabilitas pengelolaan keuangan partai politik, karena undang-undang yang dibuat oleh para kader partai politik di DPR dan pemerintah belum mengaturnya secara tuntas. Meskipun demikian, usaha-usaha untuk menghindarkan partai politik dari jeratan para pemilik uang, baik yang dikumpulkan secara legal maupun illegal, harus tetap dilakukan, lebih-lebih UUD 1945 memberi banyak peran

strategis kepada partai politik untuk mengelola negara. Jika tidak, maka partai politik tidak saja mengabaikan kepentingan rakyat, tetapi bisa berkembang menjadi lembaga perusak demokrasi. Di sinilah pentingnya kebijakan bantuan keuangan partai politik mendapat perhatian. Sebab bantuan keuangan itu akan membantu partai politik menghindari jeratan para pemilik uang, baik yang menjadi pengurus partai maupun yang berada di luar partai. Pengaturan Bantuan Keuangan Partai Politik Bantuan keuangan partai politik bukan hal baru dalam penataan sistem kepartaian di Indonesia. UU No.3/1975, yang merupakan undang-undang pertama mengatur partai politik di Indonesia, menyebutkan bahwa sumber keuangan partai politik dan golongan karya adalah: (1) iuran anggota; (2) sumbangan yang tidak mengikat; (3) usaha lain yang sah; (4) bantuan dari negara/pemerintah (Pasal 11 UU No.3/197). Meskipun undang-undang produk rezim Orde Baru itu tidak mengatur lebih lanjut bagaimana penyaluran dana bantuan partai politik, namun Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Golongan Karya (Golkar) dan Partai Demokrasi Indoneisa (PDI), secara rutin menerima dana bantuan setiap tahun. Penyaluran disampaikan melalui Ditjen Sosial dan Politik Departemen Dalam Negeri, yang diatur oleh Peraturan Menteri Dalam Negeri. Memasuki era reformasi pasca jatuhnya Orde Baru, penataan sistem politik demokratis menjadi agenda nasional, sehingga UU No.3/1975 yang membelenggu kehidupan sosial politik diganti dengan UU No.2/1999. Undangundang ini pertama-tama bertujuan menjamin kebebasan rakyat membentuk partai politik; lalu mendorong partai politik menjadi organisasi modern untuk mengemban fungsi pendidikan politik, partisipasi politik, agregasi politik, rekrutmen politik dan kontrol politik. Undangundang ini membuat batas-batas agar partai politik dapat menghindari jebakan kepentingan perorangan maupun kelompok akibat pengaruh sumbangan keuangan. Itulah yang melatarbelakangi lahirnya pengaturan keuangan partai politik. Di sini, undang-undang tidak hanya membatasi besarnya jumlah sumbangan perorangan dan perusahaan, tetapi juga menerima bantuan keuangan dari negara agar partai politik terhindar dari politik uang demi memperjuangkan kepentingan rakyat (Penjelasan UU No.2/1999). Jika UU No.3/1975 hanya secara singkat menyebutkan, bahwa salah satu sumber keuangan partai politik adalah bantuan dari negara/pemerintah; UU No.2/1999 mengatur 144


Kajian Kebijakan Bantuan Keuangan Partai Politik: Mencari Format Besaran Yang Ideal (Sorni Paskah Daeli)

lebih banyak bagaimana bantuan negara itu disalurkan ke partai politik. Pertama, partai politik menerima bantuan secara rutin setiap tahun; kedua, besaran bantuan partai politik dihitung berdasarkan perolehan suara; ketiga, ketentuan lebih lanjut tentang bantuan keuangan partai politik diatur oleh peraturan pemerintah (Pasal 12 (2) & (3) UU No.2/1999). Perubahan UUD 1945 melalui amandemen keempat, menjadikan partai politik sebagai organisasi dominan dalam sistem politik dan pemerintahan, tetapi dominasi peran itu tak diikuti penguatan pengaturan sumber keuangan partai politik, sebagaimana terlihat pada UU No.31/2002. Peningkatan jumlah maksimal sumbangan perseorangan dari Rp 15 juta menjadi Rp 200 juta dan sumbangan perusahaan dari Rp 150 juta menjadi Rp 800 juta, tidak diikuti pengetatan pengaturan laporan keuangan, sehingga partai politik leluasa melalukan perburuan dana illegal (Junaidi dkk, 2011). Pengaturan bantuan partai politik dari negara memang mengalami perubahan, namun perubahan ini terbatas pada kriteria partai politik yang berhak mendapatkan bantuan. Jika sebelumnya semua partai politik yang mengikuti pemilu berhak mendapatkan bantuan, kini hanya partai politik yang memiliki kursi di DPR yang berhak mendapatkannya (Pasal 17 (3) & (4) UU No.31/2001). Pasca-Pemilu 2004, pengungkapan kasuskasus oleh KPK seharusnya mendorong partai politik untuk memperketat pengelolaan keuangan partai politik melalui perubahan undang-undang partai politik. Namun yang terjadi justru sebaliknya. UU No.2/2008 yang merupakan pengganti UU No.31/2002 malah melonggarkan pengaturan sumber keuangan partai politik. Dalam undang-undang baru itu,

dilakukan pembedaan penyumbang perseorangan anggota partai politik dan penyumbang perseorangan bukan anggota partai politik. Jenis penyumbang terakhir ini tidak dibatasi besaran sumbangannya sehingga bisa menjadi jalan untuk menampung dana dari siapapun sebesar apapun. UU No.2/2008 menyebutkan ketentuan lebih lanjut tentang iuran anggota, sumbangan perseorangan bukan anggota dan pengelolaan keuangan partai politik diatur oleh AD/ART partai politik. Namun kenyataannya tidak ada AD/ART partai politik yang memperjelas ketentuan-ketentuan tersebut (Junaidi dkk, 2011). Sementara tentang pengaturan bantuan keuangan partai politik hanya mengalami perubahan redaksional (Pasal 34 (3) UU No.2/2008). Baru kemudian pada UU No.2/2011 yang merupakan perubahan terhadap UU No.2/2008 terjadi perubahan signifikan pada pengaturan sumber keuangan partai politik. Perubahan ini tidak hanya tampak pada peningkatan besaran sumbangan perusahaan, dari Rp 4 miliar menjadi Rp 7,5 miliar, tetapi juga pada pengaturan bantuan keuangan. UU No.2/2011 memang mempertahankan kriteria partai politik yang berhak menerima sumbangan, yakni partai politik yang mendapatkan kursi di DPR. Demikian juga cara penghitungan besaran sumbangan berdasarkan perolehan suara. Yang baru dari UU No.2/2011 adalah peruntukan dana bantuan negara, yakni diprioritaskan untuk pendidikan politik daripada operasional sekretariat. Selain itu, untuk menegakan prinsip transparansi dan akuntabilitas, laporan keuangan penggunaan bantuan keuangan partai politik harus diaudit oleh BPK (Pasal 12 UU No.2/2011).

Tabel 1. Matriks dinamika pengaturan bantuan keuangan parpol pasca orba Isu Strategis UU No.2/1999 UU UU No.2/2008 UU No.2/2011 No.31/2002 Sumber Iuran anggota; Iuran anggota; Iuran anggota; Iuran anggota; sumbangan; sumbangan; sumbangan; bantuan sumbangan; usaha lain yang bantuan negara negara bantuan negara sah; bantuan negara Batasan sumbangan Perseorangan Perseorangan Perseorangan bukan Perseorangan maksimal Rp 15 maksimal Rp anggota maksimal bukan anggota juta; 200 juta; Rp 1 miliar; maksimal Rp 1 perusahaan perusahaan perusahaan miliar; perusahaan maksimal Rp maksimal Rp maksimal Rp 4 miliar maksimal Rp 7,5 150 juta 800 juta miliar Kriteria penerima Partai politik Partai politik Partai politik yang Partai politik yang yang yang mempunyai kursi di mempunyai kursi di memperoleh mempunyai DPR DPR 145


Inovasi Vol. 10 No. 2, Juni 2013: 141-154

Metode penetapan jumlah

suara dalam Pemilu Tidak diatur

kursi di DPR

Peruntukan

Tidak diatur

Secara proporsional berdasarkan jumlah kursi Tidak diatur

Laporan pertanggungjawaban

Tidak diatur

Tidak diatur

Sanksi Ketaatan Tidak diatur Tidak diatur Penyampaian Laporan pertanggungjawaban Pengaturan Peraturan Peraturan pelaksanaan Pemerintah Pemerintah Sumber: hasil olahan peraturan perundang-undangan.

Secara proporsional berdasarkan jumlah perolehan suara

Secara proporsional berdasarkan jumlah perolehan suara

Pendidikan politik dan operasional sekretariat Menyampaikan laporan pertanggungjawaban kepada pemerintah setelah diperiksa BPK Penghentian bantuan sampai laporan diterima pemerintah Peraturan Pemerintah

Diprioritaskan untuk pendidikan politik Menyampaikan laporan pertanggungjwaban kepada BPK untuk diaudit Penghentian bantuan sampai laporan diterima pemerintah Peraturan Pemerintah

menyebutkan peruntukan bantuan negara, pembuatan laporan pertanggungjawaban atas penggunaan dana bantuan negara, serta sanksi terhadap partai politik yang tidak menyampaikan laporan pertanggungjawaban penggunan dana bantuan negara. Namun kekosongan pengaturan soal tersebut kemudian dipenuhi oleh UU No.2/2008 dan UU No.2/2011. Dalam rangka mengatur pelaksanaan bantuan keuangan partai politik, masing-masing undang-undang melahirkan peraturan pemerintah, yaitu PP No.51/2001, PP No.29/2005, PP No.5/2009, dan PP No.83/2012. Sebagai peraturan pelaksanaan, peraturan pemerintah semestinya memperjelas ketentuanketentuan di dalam undang-undang dan merumuskan ketentuan baru yang sifatnya pelaksanaan dari ketentuan undang-undang. Peraturan pemerintah juga bisa membuat ketentuan baru yang tidak diatur oleh undangundang sejauh ketentuan itu dibutuhkan dalam proses pelaksanaan di lapangan. Bagaimana keempat peraturan pemerintah itu mengatur bantuan keuangan partai politik bisa dilihat pada Tabel 2. PP No.51/2001, PP No.29/2005 maupun PP No.5/2009 memberi pengertian yang sama tentang bantuan keuangan partai politik, yaitu bantuan dalam bentuk uang yang diberikan oleh pemerintah kepada partai politik. Pengertian ini tampak normal saja, apalagi jika dilihat dari pengalaman Orde Baru dalam menata partai politik. Namun sesungguhnya pengertian itu mengandung permasalahan, sebab yang

Tabel 1 menunjukkan dinamika pengaturan sumber keuangan partai politik sebagaimana diatur oleh UU No.2/1999, UU No.31/2002, UU No.2/2008 dan UU No.2/2011. Terlihat bahwa, iuran anggota selalu ditempatkan sebagai sumber keuangan pertama, meskipun pada kenyataan di lapangan tidak ada partai politik yang berhasil menggalang iuran anggota. Sementara dari undang-undang satu ke undangundang yang lain selalu terjadi peningkatan sumbangan perseorangan dan perusahaan. Mengenai penerima bantuan keuangan negara terjadi perubahan penting pada UU No.31/2002 yang mengubah kriteria partai politik penerima sumbangan. Selanjutnya, juga terlihat bagaimana setiap undang-undang mengatur tentang bantuan keuangan partai politik. Jika UU No.2/1999 memberikan bantuan keuangan kepada partai politik yang memperoleh suara dalam pemilu, maka tiga undang-undang berikutnya mengalihkan bantuan kepada partai yang memiliki kursi di DPR. Lalu, UU No.2/2008 juga menandai perubahan lain, yang menyebut penggunaan bantuan keuangan untuk pendidikan politik, dan mewajibkan laporan penggunaan bantuan keuangan diaudit oleh BPK. Meskipun UU No.2/1999 menentukan kriteria bahwa partai politik yang menerima sumbangan adalah peraih suara dalam pemilu, namun regulasi ini tidak menentukan metode penentuan besaran bantuan. Baik UU No.2/1999 maupun UU No.31/2002. keduanya tidak 146


Kajian Kebijakan Bantuan Keuangan Partai Politik: Mencari Format Besaran Yang Ideal (Sorni Paskah Daeli)

memberikan bantuan sebetulnya bukan pemerintah, melainkan negara. Pemerintah hanya bertugas menyalurkan dana bantuan negara yang sudah diperintahkan oleh undangundang, sehingga pada PP No.83/2012 tidak disebutkan lagi pemberinya, tetapi hanya sumber pembiayaannya. Sesuai dengan undang-undang yang dirujuknya, semula bantuan keuangan partai politik diberikan kepada partai politik yang meraih suara dalam pemilu; lalu diberikan kepada partai politik yang memperoleh kursi di DPR. Tentu saja perubahan kriteria partai politik penerima bantuan keuangan negara itu mengubah metode penetapan besaran bantuan. Ketika bantuan keuangan partai politik diberikan kepada partai politik peraih suara, maka pemerintah menetapkan harga setiap suara adalah Rp 1.000,- (Pasal 7 PP No.51/2001), sehingga jumlah uang APBN yang diterima setiap partai politik tinggal dikalikan jumlah suara yang diraihnya dalam pemilu DPR dengan Rp 1.000,- (Pasal 4 PP No.51/2001). Ketika bantuan keuangan partai politik diberikan kepada partai politik yang memperoleah kursi di DPR, pemerintah menetapkan harga setiap kursi. PP No. 29 Tahun 2005 menetapkan harga Rp 21 juta per kursi DPR (Pasal 4 PP No.29/2005). Metode penetapan besaran bantuan partai politik menjadi agak rumit, ketika UU No.2/2008 mengatur bahwa bantuan kepada partai politik yang meraih kursi di DPR dihitung berdasarkan perolehan suara masing-masing. Pemerintah tidak menetapkan harga setiap suara partai politik yang meraih kursi di DPR sebagaimana terjadi pada PP No.51/2001, melainkan membuat formula, yang memperhatikan hasil penghitungan sebelumnya. Dalam hal ini harga suara peraih kursi DPR ditentukan oleh besaran bantuan APBN periode sebelumnya dibagi perolehan suara partai politik yang memperoleh kursi DPR periode sebelumnya (Pasal 5 PP No.5/2009). Setelah harga suara diketahui, maka harga suara tersebut dikalikan dengan jumlah suara yang diraih masing-masing partai politik. Dalam hal ini, Menteri Dalam Negeri menetapkan harga suara partai politik peraih kursi di DPR sebesar Rp 108,- (Kepmendagri No.212/2010). Prosedur pengajuan bantuan keuangan oleh partai politik yang diatur oleh PP No.51/2001, PP No.29/2005, PP No.5/2009 maupun PP No.83/2012 adalah sama, yakni partai politik membuat surat tertulis kepada Menteri Dalam Negeri yang ditandatangi oleh Ketua dan Sekretaris Jenderal partai politik. Surat pengajuan itu harus disertai dengan dokumen perolehan suara Pemilu 1999 atau perolehan

suara dan kursi Pemilu 2004 dan Pemilu 2009, yang disahkan oleh penyelenggara pemilu. Adapun prosedur penyerahan bantuan terdapat perbedaan. Dalam PP No.51/2001 dan PP No.29/2005, Menteri Dalam Negeri menyerahkan bantuan kepada Ketua dan Sekretaris partai politik, sedangkan dalam PP No.5/2009, Menteri Dalam Negeri langsung mengirimkan uang bantuan ke rekening kas umum masing-masing partai politik (Pasal 8 PP No.5/2009). Sesuai dengan UU No.2/1999 dan UU No.31/2002, PP No.51/2001 dan PP No.29/2005 tidak mengatur peruntukan bantuan keuangan. Ini berarti partai politik bisa menggunakan uang tersebut untuk keperluan apa saja. Lalu kemudian UU No.2/2008 menyebut peruntukan bantuan keuangan untuk kegiatan pendidikan politik dan operasional sekretariat, sehingga PP No.5/2009 memperjelas apa yang dimaksud dengan dua kegiatan itu. Kegiatan pendidikan politik berkaitan dengan peningkatan kesadaran bermasyarakat, berbangsa dan bernegara; peningkatan partisipasi politik; peningkatan kemandirian, kedewasaan, dan pembangunan karakter bangsa. Sedangkan kegiatan operasional sekretariat meliputi administrasi umum, berlangganan daya dan jasa, pemeliharaan data dan arsip, dan pemeliharaan peralatan kantor. Oleh karena UU No.2/1999 tidak mengatur tentang laporan pertanggungjawaban penggunaan bantuan keuangan partai politik, maka PP No.51/2001 sama sekali tidak menyinggung hal tersebut. Hal ini kemudian diperbaiki oleh UU No.31/2002 yang mewajibkan partai politik menyampaikan laporan pertanggungjawaban penggunaan bantuan keuangan. Dalam hal ini PP No.29/2005 dan PP No.83/2013 mengatur laporan penggunaan bantuan keuangan partai politik nasional diserahkan kepada Menteri Dalam Negeri setelah diaudit. Hanya saja, baik undang-undang maupun peraturan pemerintah tidak menyebut siapa yang bertugas mengaudit laporan penggunaan bantuan keuangan tersebut, sehingga hal ini menimbulkan multitafsir dalam praktek. Sebab selain ada lembaga audit negara (BPK), juga ada lembaga audit pemerintah (BPKP) dan lembaga audit swasta (kantor akuntan publik). Kelemahan ini lalu diperbaiki oleh UU No.2/2008 yang kemudian dijabarkan dalam PP No.5/2009. Dalam hal ini disebutkan, bahwa laporan pertanggungjawaban penggunaan dana bantuan partai politik harus diaudit oleh BPK sebelum diserahkan kepada pemerintah.

147


Inovasi Vol. 10 No. 2, Juni 2013: 141-154

Tabel 2. Pengaturan bantuan keuangan parpol dalam 4 PP turunan 4 UU Isu Strategis PP No.51/2001 PP No.29/2005 PP No.5/2009 Pengertian Bantuan keuangan Bantuan keuangan Bantuan keuangan adalah bantuan adalah bantuan adalah bantuan dalam bentuk dalam bentuk uang dalam bentuk uang uang yang yang diberikan yang diberikan oleh diberikan oleh oleh pemerintah pemerintah dan atau pemerintah dan dan atau pemerintah daerah atau pemerintah pemerintah daerah kepada partai politik daerah kepada kepada partai partai politik politik

Kriteria penerima

Penetapan besaran

Prosedur pengajuan

Persyaratan administrasi pengajuan

Prosedur penyerahan

Partai politik yang memperoleh suara dalam Pemilu Berdasarkan perolehan suara; besaran bantuan yang berasal dari APBN Rp 1.000 per suara

Partai politik yang mempunyai kursi di DPR Berdasarkan perolehan kursi; besaran bantuan dari APBN Rp 21 juta per kursi DPR

Pengajuan bantuan APBN disampaikan secara tertulis oleh Ketua Umum dan Sekjen partai politik nasional kepada Mendagri Pengurus partai nasional menyerahkan dokumen perolehan suara yang disahkan oleh PPI Penyerahan bantuan keuangan partai politik

Pengajuan bantuan APBN disampaikan secara tertulis oleh Ketua Umum dan Sekjen partai politik nasional kepada Mendagri Pengurus partai nasional menyerahkan dokumen perolehan kursi yang disahkan oleh KPU Peraturan Pemerintah Penyerahan 148

Partai politik yang mempunyai kursi di DPR Berdasarkan perolehan suara; besaran bantuan per suara peraih kursi DPR ditentukan oleh besaran bantuan APBN periode sebelumnya dibagi perolehan suara partai politik yang memperoleh kursi DPR periode sebelumnya; Pengajuan bantuan APBN disampaikan secara tertulis oleh Ketua Umum dan Sekjen partai politik nasional kepada Mendagri

PP No.83/2012 Bantuan keuangan adalah bantuan keuangan yang bersumber dari APBN yang diberikan secara proporsional kepada partai politik yang mendapatkan kursi di DPR yang perhitungannya didasarkan atas jumlah perolehan suara, dengan prioritas penggunaan untuk pendidikan politik Tidak berubah

Tidak berubah

Tidak berubah

Pengurus partai nasional menyerahkan dokumen perolehan suara dan kursi yang disahkan oleh KPU

Tidak berubah

Penyaluran bantuan keuangan ke rekening kas umum

Tidak berubah


Kajian Kebijakan Bantuan Keuangan Partai Politik: Mencari Format Besaran Yang Ideal (Sorni Paskah Daeli)

nasional disampaikan oleh Menteri Dalam Negeri kepada ketua umum dan bendahara umum partai politik nasional

Peruntukan

Tidak diatur

Laporan pertanggungjawaban

Tidak diatur

bantuan keuangan partai politik nasional disampaikan oleh Menteri Dalam Negeri kepada ketua umum dan bendahara umum partai politik nasional Tidak diatur

partai politik nasional dilakukan menteri keuangan atas permintaan Menteri Dalam Negeri

Laporan penggunaan bantuan keuangan partai politik nasional diserahkan ke Menteri Dalam Negeri setelah diaudit

Laporan penggunaan bantuan keuangan partai politik nasional diserahkan ke Menteri Dalam Negeri setelah diperiksa BPK

149

Bantuan keuangan untuk penunjang kegiatan pendidikan politik dan operasional sekretariat; Kegiatan pendidikan politik berkaitan dg peningkatan kesadaran bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, peningkatan partisipasi politik, peningkatan kemandirian, kedewasaan, dan pembangunan karakter bangsa; Kegiatan operasional sekretariat meliputi administrasi umum, berlangganan daya dan jasa, pemeliharaan data dan arsip, dan pemeliharaan peralatan kantor

Bantuan keuangan digunakan sebagai penunjang kegiatan pendidikan politik dan operasional sekretariat; Digunakan untuk melaksanakan pendidikan politik bagi anggota partai politik dan masy. Paling sedikit 60% (enam puluh persen); Kegiatan pendidikan politik berkaitan dg peningkatan kesadaran bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, peningkatan partisipasi politik, peningkatan kemandirian, kedewasaan, dan pembangunan karakter bangsa Partai politik wajib menyampaikan laporan pertanggungjawa ban penerimaan dan pengeluaran keuangan yg bersumber dari dana bantuan APBN secara berkala 1 (satu) tahun sekali kepada


Inovasi Vol. 10 No. 2, Juni 2013: 141-154

Sanksi atas ketidaktaatan penyampaian laporan pertanggungjawaban

Tidak diatur

Tidak diatur

Pengaturan teknis

Peraturan Peraturan Menteri, Menteri, Keputusan Menteri Keputusan Menteri Sumber: hasil olahan dari 4 peraturan pemerintah

Penghentian bantuan keuangan dari APBN sampai laporan diterima dalam tahun anggaran berkenaan Peraturan Menteri, Keputusan Menteri

pemerintah setelah diperiksa BPK Tidak berubah

Tidak berubah

menetapkan harga Rp 108,- per suara partai politik yang mendapatkan kursi di DPR. Jika dikalikan perolehan suara masing-masing partai politik, maka jumlah bantuan yang diterima setiap partai politik hasil Pemilu 2009 tampak pada Tabel 3. Sementara itu, sebagaimana tampak pada Tabel 4, Veri Junaedi dkk memperkirakan, jumlah belanja partai politik kelas menengah, seperti PAN, mencapai Rp 51,2 miliar per tahun. Jumlah ini terdiri dari operasional sekretariat Rp 1,4 miliar, konsolidasi organisasi Rp 8,2 miliar, pendikan politik dan kaderisasi Rp 33,7 miliar, unjuk publik Rp 6,7 miliar dan perjalanan dinas Rp 1,2 miliar.32 Memperhatikan bantuan negara untuk PAN sebesar Rp 0,677 miliar, sebagaimana diperlihatkan Tabel 4, maka nilai bantuan itu sangat kecil, yakni hanya 1,3 persen dari total belanja per tahun. Untuk membandingkan jumlah kebutuhan partai politik per tahun dengan besarnya bantuan keuangan partai politik yang diterimanya, bisa diperkirakan dengan menggunakan jumlah kebutuhan Partai Amanat Nasional (PAN) dalam setahun. Seperti ditunjukkan oleh Tabel 5, dalam setahun PAN membutuhkan dana Rp 51,2 miliar untuk menggerakkan organisasinya, sehingga mampu meraih 6.273.462 suara pada Pemilu 2009. Itu berarti dalam setahun PAN membutuhkan Rp 8.161 untuk setiap suara yang diraihnya. Jika harga Rp 8.162 per suara ini digunakan untuk menghitung kebutuhan partai politik lain, berdasarkan raihan suara Pemilu 2009, maka hasilnya tampak pada Tabel 5. Dari Tabel 5 terlihat, bahwa total bantuan partai politik dari APBN adalah Rp 9,2 miliar, yang berarti hanya 0,0007 persen dari total nilai APBN 2010 sebesar Rp 1.300 triliun. Sementara total kebutuhan keuangan 9 partai politik DPR sebesar Rp 693,7 miliar per tahun sama dengan 0,05 persen dari APBN 2010. Berdasarkan

Terakhir, berbeda dengan dua undangundang terdahulu, UU No.2/2008 juga memberikan sanksi kepada partai politik yang tidak menyerahkan laporan pertanggungjawaban penggunaan bantuan keuangan partai politik. Di sini ditegaskan bahwa partai politik yang tidak menyerahkan laporan pertanggungjawaban penggunaan bantuan keuangan, dapat dihentikan penyaluran bantuannya sampai partai politik tersebut membuat laporan pada tahun anggaran yang sama. Akan tampak dalam pembahasan berikutnya, bahwa ketentuan ini menimbulkan kebingungan dalam praktek, sehingga pada akhirnya sanksi tidak pernah dijatuhkan. Penetapan Besaran Bantuan Keuangan Besaran Bantuan Keuangan Mengenai besaran bantuan keuangan, tidak ada angka ideal yang berlaku umum di semua negara. Di satu pihak, terdapat negara membiayai semua kegiatan partai politik (100%), seperti Uzbekistan; di lain pihak terdapat negara tidak membiayai sama sekali kegiatan partai politik (0%), seperti Selandia Baru. Di Inggris, Italia dan Australia, sumbangan perseorangan dan perusahaan lebih besar daripada bantuan negara; sebaliknya, di Austria, Swedia, Portugal dan Meksiko bantuan negara lebih besar daripada sumbangan perseorangan atau perusahaan; sementara di Perancis, Denmark dan Jepang, perbandingan antara bantuan negara dengan sumbangan perseorangan dan perusahaan, hampir seimbang (Ă–hman and Zainulbhai, 2009). Berapa persentase bantuan keuangan partai politik dari APBN dari total belanja partai politik di Indonesia setiap tahun? Mengacu pada formula PP No.5/2009 yang tidak diubah pada PP No.83/2013, KepMendagri No. 212/2009 yang tidak diubah Kepmendagri No.26/2013 150


Kajian Kebijakan Bantuan Keuangan Partai Politik: Mencari Format Besaran Yang Ideal (Sorni Paskah Daeli)

masing partai politik. Jika angka itu diterapkan di Indonesia, maka akan terjadi penolakan dari masyarakat mengingat kinerja partai politik selama ini buruk. Lebih-lebih dalam banyak skandal korupsi terungkap bahwa pelaku utama tindak korupsi adalah partai politik, atau setidaknya para elit partai politik. Partai politik selama ini juga tidak transparan dalam mengelola keuangannya. Hal ini ditunjukkan oleh tidakadanya laporan keuangan partai politik tahunan, sehingga peningkatan bantuan keuangan negara hanya akan menambah tinggi laku koruptif partai politik.

perhitungan ini, maka ruang untuk menaikkan bantuan keuangan partai politik masih sangat terbuka, mengingat total bantuan keuangan partai politik hanya 0,0007 persen dari nilai APBN dan total kebutuhan seluruh partai partai politik per tahun hanyalah 0,05 persen dari nilai APBN. Masalahnya adalah berapa persentase belanja partai politik yang harus ditutupi oleh bantuan negara, atau jika dilihat dari sisi negara, berapa persen total APBN yang harus dialokasikan untuk partai politik. Sebagian negara Eropa Barat membantu partai politik sampai 30 persen dari total belanja masing-

Tabel 3. Jumlah subsidi APBN kepada partai politik DPR hasil pemilu 2009 (108 per suara) Partai Politik Jumlah Kursi Jumlah Suara Jumlah Subsidi (Rp) Partai Demokrat 148 21.655.295 2.338.771.860 Partai Golongan Karya 106 14.576.388 1.574.249.904 Partai Demokrasi Indonesia 94 15.031.497 1.623.401.676 Perjuangan Partai Keadilan Sejahtera 57 8.204.946 886.134.168 Partai Amanat Nasional 46 6.273.462 677.533.896 Partai Persatuan Pembangunan 38 5.544.332 598.787.856 Pertai Kebangkitan Bangsa 28 5.146.302 555.800.616 Partai Gerakan Indonesia Raya 26 4.642.795 501.421.860 Partai Hati Nurani Rakyat 17 3.925.620 423.966.960 Sumber: KPU, 2012.

Tabel 4. Contoh pendapatan dan belanja partai amanat nasional per tahun Pendapatan Jumlah (Rp) Belanja Jumlah (Rp) Iuran anggota 0 Operasional sekretariat 1,4 miliar Sumbangan perseorangan 0,6 miliar Konsolidasi organisasi 8,2 miliar anggota Perseorangan bukan anggota Tidak diketahui Pendidikan politik dan 33,7 miliar kaderisasi Sumbangan perusahaan Tidak diketahui Unjuk publik 6,7 miliar Subsidi negara 0.677 miliar Perjalanan dinas 1,2 miliar Jumlah (yang diketahui) 1,2 miliar Jumlah 51,2 miliar Sumber: Junaid, dkk, 2011.

Tabel 5. Perbandingan jumlah bantuan dan kebutuhan partai politik (Rp 108 bantuan per suara dengan Rp 8.162 kebutuhan per suara) Partai Politik Jumlah Suara Jumlah Bantuan Jumlah Kebutuhan (Rp) (Rp) Partai Demokrat 21.655.295 2.338.771.860 176.728.862.495 Partai Golongan Karya 14.576.388 1.574.249.904 118.957.902.468 Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan 15.031.497 1.623.401.676 122.672.047.017 Partai Keadilan Sejahtera 8.204.946 886.134.168 66.960.564.306 Partai Amanat Nasional 6.273.462 677.533.896 51.197.723.382 Partai Persatuan Pembangunan 5.544.332 598.787.856 45.247.293.452 Pertai Kebangkitan Bangsa 5.146.302 555.800.616 41.998.970.622 Partai Gerakan Indonesia Raya 4.642.795 501.421.860 37.889.849.995 Partai Hati Nurani Rakyat 3.925.620 423.966.960 32.036.984.820 JUMLAH 85.000.637 9.180.068.796 693.690.198.557 Sumber: Data olahan. 151


Inovasi Vol. 10 No. 2, Juni 2013: 141-154

menaikkannya. Segera menaikkan besaran bantuan keuangan partai politik menjadi 30 persen dari total belanja partai politik, jelas gagasan yang tidak bertanggungjawab, sebab partai politik jelas-jelas belum siap mengelola secara transparan dan akuntabel dana sebesar itu. Namun menaikkan hanya satu dua partai politik dari pengaruh para penyumbang. Dalam jangka panjang, menyediakan 30 persen bantuan keuangan partai politik cukup ideal demi menjaga kemandirian partai politik dari pengaruh para penyumbang. Namun untuk mencapai angka itu dibutuhkan waktu 10 sampai 20 tahun, sampai sumber daya manusia dan infrastruktur partai politik benar-benar siap mengelola keuangan secara transpran dan akuntabel. Sebagai langkah awal, peningkatan besaran bantuan keuangan dari 1,3 persen menjadi 10 persen dari total belanja partai politik pada tahun 2014, sudah cukup. Itu artinya; jika selama ini PAN menerima bantuan keuangan Rp 0,67 miliar per tahun, maka pada 2014 nanti naik menjadi Rp 6,70 miliar; jika selama ini 9 partai politik peraih kursi DPR menerima bantuan keuangan Rp 9,2 miliar, maka pada 2014 nanti naik menjadi Rp 92,0 miliar. Jumlah bantuan ini hanya 0,0069 persen dari total APBN. Selanjutnya, apabila sampai Pemilu 2014 partai politik mampu mengelola dana bantuan negara dengan baik, dalam arti peruntukan tepat dan laporan pertanggunjgawaban penggunaan bantuan bisa diterima, maka pasca-Pemilu 2014, bantuan keuangan bisa dinaikkan menjadi 10 persen. Demikian seterusnya, bantuan keuangan dinaikkan 5 persen dalam kurun periode pemilu, sehingga pada pasca-Pemilu 2034 jumlah bantuan keuangan partai politik mencapai angka maksimal, yakni 30 persen dari total belanja. Peningkatan besaran bantuan keuangan partai politik ini cukup diatur dalam peraturan pemerintah, karena peraturan ini bisa ditinjau setiap tahun dan dilakukan perubahan bila diperlukan. Perlu diingatkan bahwa persentase total belanja partai politik tersebut, sesungguhnya merupakan hasil maksimal yang bisa didapatkan oleh partai politik. Kemampuan mendapatkan hasil maksimal perlu dikaitkan dengan metode penetapan bantuan keuangan, karena bantuan keuangan ini bisa dijadikan sebagai instrumen untuk meningkatkan kinerja partai politik.

Akan tetapi, argumentasi yang sama juga bisa digunakan sebagai dalih untuk meningkatkan besaran bantuan keuangan, sebab jumlah bantuan yang tidak seberapa (1,3 persen dari total belanja per tahun) membuat pengurus partai politik berbuat ala kadarnya dalam mengelola keuangan partai politik. Sebaliknya, jika besaran bantuan dinaikkan, justru akan mendorong pengurus partai politik untuk bersungguh-sungguh mengelola keuangan partai politik. Kesibukan pengurus partai politik dalam memburu dana illegal pun bisa dikurangi. Peningkatan besaran bantuan keuangan juga bisa menjadi instrumen negara untuk mendesak partai politik bertindak transparan dan akuntabel, karena semakin banyak dana negara yang digunakan oleh partai politik, maka semakin intensif juga BPK melakukan pemeriksaan atau audit. Tentu saja hal ini baru benar-benar bisa tercapai apabila disertai pengetatan ketentuan administrasi. Alasan kedua perlunya besaran bantuan keuangan partai politik dinaikkan adalah tuntutan UU No.2/2008 yang diperkuat lagi oleh UU No.2/2011, bahwa bantuan keuangan partai politik bukan hanya untuk membiayai kegiatan operasional sekretariat, tetapi juga untuk kegiatan pendidikan politik, termasuk di dalamnya kaderisasi politik. Bahkan UU No.2/2001 menegaskan bahwa bantuan keuangan partai politik diprioritaskan untuk membiayai kegiatan pendidikan politik. Itu artinya sebagian besar dana bantuan dipergunakan untuk membiayai kegiatan pendidikan politik. Hal ini berbeda dengan praktek sebelumnya, bahwa bantuan keuangan partai politik dipahami hanya untuk menutupi kegiatan operasional sekretariat. Jika demikian halnya, maka mau tidak mau jumlah bantuan keuangan partai politik harus ditingkatkan, mengingat kegiatan pendidikan politik paling banyak menyerap dana setelah kampanye. Sebagaimana tampak pada Tabel 4, untuk partai politik sebesar PAN, dari perkiraan Rp 51,2 miliar yang dibelanjakan setiap tahun, anggaran untuk pendidikan politik dan kaderisasi politik mencapai Rp 33,7 miliar, atau 65,8 persen. Jika biaya pendidikan politik dan kaderisasi mencapai 65,8 persen total belanja partai politik per tahun, maka logis apabila besaran bantuan keuangan partai politik dinaikkan. Jadi, demi mendorong tumbuhnya perilaku transparan dan akuntabel dalam mengelola keuangan partai politik, serta demi menutupi biaya pendidikan politik dan kaderisasi, maka bantuan keuangan partai politik harus dinaikkan. Pertanyaannya, berapa besar kenaikannya dan bagaimana cara

Metode Penetapan Besaran Bantuan Keuangan UU No.2/2008 dan UU No.2/2011 menetapkan, bahwa partai politik yang berhak mendapatkan bantuan keuangan adalah partai politik yang memiliki kursi di DPR, yang 152


Kajian Kebijakan Bantuan Keuangan Partai Politik: Mencari Format Besaran Yang Ideal (Sorni Paskah Daeli)

suara juga bisa berubah setiap tahun dan berbeda di setiap daerah. Misalnya ditetapkan harga suara adalah X persen dari upah minimal di daerah yang bersangkutan. Kalau suatu daerah upah minimalnya lebih tinggi daripada daerah lain, kecenderungannya anggaran daerah tersebut juga lebih besar daripada anggaran daerah lain. Dengan demikian, harga suara setiap daerah berbeda-beda sesuai dengan besaran upah minimal yang biasanya juga mencerminkan juga besaran anggaran daerah masing-masing. Indonesia mengenal apa yang disebut upah minimal regional (UMR), yaitu standar minimal yang digunakan oleh pelaku industri untuk memberikan upah kepada karyawan atau buruh di lingkungan usahanya. Penetapan upah dilaksanakan setiap tahun melalui proses panjang, yang melibatkan birokrat, akademisi, buruh dan pengusaha. Apabila UMR dijadikan dasar untuk menetapkan harga suara, bagaimanakah menentukan persentase yang tepat terhadap UMR, sehingga besaran bantuan keuangan benar-benar sesuai kebutuhan partai politik (sejalan dengan hitungan persentase atas total belanja partai politik tahunan). Untuk menjawab pertanyaan ini, pertama-tama memang harus diketahui terlebih dahulu belanja partai politik setiap tahun. Jika sudah diketahui, maka simulasi penghitungan dengan menggunakan basis UMR bisa dilakukan. Karena mengetahui belanja partai politik tahunan tidak gampang, mengingat partai politik belum bersikap transparan, maka perkiraan belanja partai politik yang dilakukan oleh Veri Junaidi dkk terhadap PAN, sementara ini bisa dijadikan acuan untuk melakukan simulasi. Sebelumnya disampaikan, bahwa jika ditetapkan partai politik akan mendapatkan bantuan keuangan dari negara sebesar 5 persen dari total belanja yang dikeluarkan setiap tahun, maka angka itu sesungguhnya merupakan pencapaian maksimal, yang terkait dengan kinerja partai politik. Dalam hal ini peraturan pemerintah harus menjadikan bantuan keuangan sebagai instrumen untuk meningkatkan kinerja partai politik. Oleh karena itu; pertama, dengan menggunakan dasar UMR, maka setiap partai politik akan mendapat 2,5 persen dari total belanja tahunan; kedua, partai politik akan mendapat bantuan keuangan sebesar 2,5 persen lagi, apabila mereka mencapai kondisi tertentu yang terkait dengan peningkatan prestasi partai politik yang bersangkutan. Untuk memudahkan pengukuran, peningkatan kinerja ini lebih baik dikaitkan dengan kemampuan mereka dalam menggalang dana publik. Seperti dilakukan di beberapa

dihitung secara proporsional berdasarkan perolehan suara masing-masing. Dengan kata lain, peraturan pemerintah harus menetapkan harga setiap suara yang diperoleh partai politik pemilik kursi DPR, baru kemudian mengalikan harga suara tersebut dengan suara yang dimiliki masing-masing partai politik. Untuk menetapkan harga setiap suara itu, PP No.5/2009 mengaitkan dengan penetapan harga kursi sebagaimana diatur oleh PP No.29/2005. Formula itu adalah harga per suara peraih kursi DPR ditentukan oleh besaran bantuan APBN periode sebelumnya dibagi perolehan suara partai politik DPR periode sebelumnya. Dalam menetapkan harga suara partai politik peraih kursi DPR hasil Pemilu 2009, pemerintah mengkaitkannya dengan penetapan harga kursi pada periode sebelumnya. Hal itu dilakukan karena pemerintah tidak ingin terjadi peningkatan drastis hasil akhir bantuan keuangan yang diterima setiap partai politik. Peningkatan besaran bantuan yang drastis, tidak hanya akan mendapat kecaman publik, juga akan menimbulkan masalah karena sebagian besar partai politik belum membuat laporan pertanggungjawaban penggunaan bantuan keuangan partai politik secara benar. Formula yang terkesan sangat ‘matematis’ itu sebaiknya diganti dengan formula yang mudah dipahami. Mengaitkan harga per suara periode saat ini dengan harga per kursi periode sebelumnya, sesungguhnya tidak logis karena konversi suara dengan kursi tidak selalu berbanding lurus. Dalam hal ini, jika harga 1 kursi adalah 100 suara, maka Partai Politik A yang memiliki 145 suara, bisa sama-sama mendapatkan 1 kursi dengan Partai Politik B yang hanya memiliki 51 suara. Oleh karena itu, ketika undang-undang menetapkan besaran bantuan ditetapkan berdasarkan perolehan suara, maka tidak perlu lagi dikaitkan dengan harga kursi, apalagi harga kursi periode sebelumnya. Penetapan harga per suara lebih baik dikaitkan dengan satuan-satuan perhitungan ekonomi yang sudah lazim, sehingga bisa diterima dengan nalar umum. Lagi pula satuansatuan perhitungan ekonomi itu bisa berubah setiap tahun dan berbeda di setiap daerah sesuai dengan dinamika masing-masing, sehingga jika satuan-satuan ini dijadikan patokan untuk menghitung harga suara, maka perubahanperubahannya dengan sendirinya juga akan mempengaruhi perubahan harga suara. Di beberapa negara penetapan harga suara menggunakan upah minimal sebagai tolok ukur. Karena upah minimal itu bisa berubah setiap tahun dan berbeda di setiap daerah, maka harga 153


Inovasi Vol. 10 No. 2, Juni 2013: 141-154

negara, partai politik yang berhasil menggalang dana publik, mereka akan mendapatkan insentif bantuan keuangan negara X persen dari total dana yang dikumpulkan. Dalam konteks Indonesia, pengumpulan dana publik ini bisa langsung diartikan sebagai iuran anggota, mengingat selama ini iuran anggota tidak pernah serius digalang oleh partai politik, meskipun undang-undang menyebutkan sumber pertama keuangan partai politik adalah iuran anggota. Metode matching fund ini cukup efektif untuk menggerakkan partai politik menggali dana dari anggota agar anggota tetap berdaulat atas partainya.

Junaidi, Veri, dkk. 2011. Anomali Keuangan Partai Politik: Pengaturan dan Praktek. Jakarta: Kemitraan dan Perludem. Katz, Richard dan Peter Mair. 1994. How Party Organize: Change and Adaption in Party Organization in Western Democracies. London: Sage Publication. Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 212 Tahun 2010 tentang Pemberian Bantuan Keuangan Partai Politik yang Mendapatkan Kursi di DPR Hasil Pemilu 2009. Kirschheimer, Otto. 1966. “The Transformation of Western European Party System�, dalam Josep La Palombara and Myron Weiner, Political Parties and Political Development. Princeton: Princeton University Press.

KESIMPULAN Perlu meningkatkan besaran bantuan keuangan partai politik setidaknya menjadi 5 persen per tahun. Selanjutnya perlu disusun desain bantuan keuangan partai politik, sehingga dalam jangka 10-20 tahun ke depan bantuan keuangan partai politik bisa mencapai 30 persen dari total kebutuhan partai politik per tahun. Inilah angka ideal yang bisa mengoptimalkan fungsi bantuan keuangan partai politik sebagai penjaga kemandirian partai politik. Selanjutnya, metode penetapan bantuan keuangan partai politik sebaiknya menggunakan acuan pada satuan-satuan ekonomi yang lazim sehingga besaran bantuan bisa berubah sesuai hitungan satuan-satuan ekonomi tersebut. Dalam konteks ini, upah minimal regional bisa dijadikan acuan untuk menentukan harga suara.

Ă–hman, Magnus dan Hani Zainulbhai (ed). 2009. Political Finance Regulation: The Global Experience. Washington DC: International Foundation For Elelction System. Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2001 tentang Bantuan Keuangan Kepada Partai Politik. Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2005 tentang Bantuan Keuangan Kepada Partai Politik. Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2009 tentang Bantuan Keuangan Kepada Partai Politik. Peraturan Pemerintah Nomor 83 Tahun 2013 tentang Bantuan Keuangan Kepada Partai Politik. Schroder, Peter. 2008. Strategi Politik-Edisi Revisi untuk Pemilu 2009. Friedricah-Naumann-Stiftung fur die Freiheit, Indonesia.

REKOMENDASI Sebagaimana telah dibahas di atas, maka dapat disampaikan beberapa rekomendasi sebagai berikut: 1. Perlu dibuat aturan yang lebih tegas mengenai pendanaan parpol. 2. Perlu dilakukan pemantauan terhadap pengumpulan dana publik 3. Bantuan keuangan terhadap partai politik harus terus menerus diperbaiki mengingat dana tersebut berasal dari APBN.

Prastowo, Andi. 2011. Memahami Metode-metode Penelitian. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media. Sutedi, Dedi. 2011. Penelitian Pendidikan Bahasa Jepang. Bandung: Humaniora Utama Press. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999 tentang Partai Politik. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik.

DAFTAR PUSTAKA

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik.

Asshiddiqie, Jimly. 2007. Pokok-pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pascareformasi, Jakarta: Bhuana Ilmu Populer.

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik.

Feith, Herbert dan Lance Castle. 1988. Pemikiran Politik Indonesia 1945-1965. Jakarta: LP3ES.

Van Biezen, Ingrid. 2003. Financing Political Parties and Election Campaigns Guideline. Strasbourg: Council of Europe Publishing.

Lexy, J Moleong. 2008. Metodologi Penelitian Kualitatif (edisi revisi). Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Yuda, Hanta AR. 2010. Presidensialisme Setengah Hati. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

Liddle, William. 1992. Pemilu-pemilu Orde Baru: Pasang Surut Kekuasaan Politik, Jakarta: LP3ES. 154


Pedoman Penulisan Naskah Ilmiah Jurnal INOVASI Jurnal INOVASI memuat karya tulis ilmiah hasil penelitian atau tinjauan kepustakaan dalam bidang pemerintahan dan kemasyarakatan, sosial budaya, ekonomi dan pembangunan, sumberdaya alam dan maritim sebagai bahan kebijakan dan wawasan berpolitik. Jurnal INOVASI terbit empat kali dalam setahun setiap bulan Maret, Juni, September dan Desember.

g.

h.

Naskah yang akan diterbitkan dalam Jurnal INOVASI Balitbang Provinsi Sumatera Utara, harus memenuhi ketentuan berikut : Bentuk Naskah 1. Naskah berupa karya asli yang belum pernah dipublikasikan di tempat lain dan tidak sedang diajukan ke tempat lain. 2. Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris sesuai dengan kaidah masingmasing bahasa yang digunakan. Komponen Naskah Komponen utama naskah wajib mencantumkan dan memuat hal-hal berikut: a. Judul, dalam bahasa Indonesia disertai dengan terjemahannya dalam bahasa Inggris, ditulis dengan jelas menggambarkan isi tulisan. b. Identitas Penulis, dimuat di bawah judul tulisan, memuat nama, alamat korespondensi dan e-mail. c. Abstrak ditulis dalam Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris beserta kata kunci sebanyak 37. Abstrak ditulis dalam 1 alinea berisi latar belakang masalah, tujuan penelitian, hasil, dan rekomendasi. Panjang abstrak dibatasi 200450 kata. d. Pendahuluan, tidak menggunakan subjudul, berisi penjelasan padat dan ringkas tentang latar belakang dilakukannya penelitian, studi pustaka yang mendukung dan relevan, serta tujuan penelitian. e. Metode berisikan disain penelitian yang digunakan, lokasi penelitian, populasi, sampel, sumber data, instrumen, pendekatan terhadap analisis data serta teknik analisis/ uji statistik yang digunakan. Bagian metode ditulis tanpa subjudul. f. Hasil dan Pembahasan, adalah temuan penelitian yang disajikan apa adanya tanpa pendapat penulis, kemudian dilanjutkan dengan bahasan argumentatif-interpretatif tentang jawaban terhadap hasil penelitian yang ditulis secara sistematis sesuai tujuan penelitian dan relevan dengan penelitian

i.

j.

terdahulu. Bagian Hasil dan Pembahasan ditulis tanpa subjudul. Kesimpulan menjawab tujuan penelitian tanpa melampauinya. Sedapat mungkin bagian kesimpulan ditulis dalam bentuk narasi. Rekomendasi berisi usulan-usulan kebijakan yang memungkinkan dihasilkan, berisi bentuk dan telaahannya untuk dilaksanakan mengacu pada prinsip tepat-guna, logis dan relevan. Jika tidak memungkinkan dalam bentuk narasi, rekomendasi dapat dibuat dalam bentuk butir-butir rekomendasi. Daftar Pustaka menuliskan sesuai dengan acuan model Harvard (lihat contoh), berurutan sesuai abjad. Jumlah kepustakaan untuk tulisan hasil penelitian minimum 10 rujukan sementara untuk Tinjauan Kepustakaan minimum 20 rujukan. Ucapan Terima Kasih, jika ada, merupakan wujud penghargaan kepada pihak-pihak yang terlibat dalam penelitian atau penulisan naskah.

Tabel dan Gambar Tabel, gambar dan grafik dapat terbaca dengan jelas serta diberi penjelasan yang memadai, mudah dipahami dan proporsional. Judul tabel diletakkan di atas tabel dan judul gambar di bawah gambar. Tabel dan atau gambar yang diacu dari sumber lain harus disebutkan, kecuali merupakan hasil penelitian penulisnya sendiri. Peta yang dicantumkan dalam tulisan harus dibuat dalam resolusi yang tinggi sehingga memudahkan pencetakkan dan menampilkan hasil yang baik. Penulis yang mencantumkan peta diminta untuk membayar tambahan biaya pencetakan peta dimaksud. Contoh Penulisan Daftar Pustaka Buku Abel, R. 2004. Revolusi Kesehatan Mata: Pencegahan dan Pengembalian Masalah Penglihatan. New York: Kensington Book Chaniago, A. 2010. Studi Pustaka dan Konseptualisasi Penelitian. Dalam: Zaluchu, F. Metodologi Penelitian Kesehatan. Bandung: Citapustaka Media, hal 79-92. Artikel dari Jurnal Ang, L. dan Taylor, B. 2005. Memanajemen Keuntungan Konsumen Menggunakan Matriks Portofolio. Jurnal Pemasaran dan Manajemen Konsumen Strategik 12 (5), hal 298-304 Bagian di dalam buku Ballinger, A. dan Clark, M. 2001. Nutrisi, Pengendalian Nafsu Makan dan Penyakit. Dalam: Payne-James, J. dkk.


editor. Dukungan Artifisial bagi Praktik Klinik. Edisi kedua. London: Greenwich Medical, hal 225-239 Laporan Komisi Eropa. 2004. Laporan Pendahuluan terhadap Implementasi dari Strategi Pemasaran Internal 2003-2006. Luxemburg: Unit Publikasi Komisi Eropa. Konferensi Fiedelius, H.C. 2000. Miopi dan Penurunan Visual: Aspek Global. Dalam: Lin, L.L.K. dkk. editor. Miopia Terbarukan II: Prosiding Konferensi Internasional ke-7. Taipei, 17-20 Nopember 1998. Tokyo: Springer, hal 31-37. Tesis Garcia-Sierra, A. 2000. Investigasi Penyebab Ca-Serviks pada Wanita Usia Subur di Perkotaan. Tesis PhD, Universitas Indonesia. Jurnal Artikel Elektronik (yang diunduh) Merchant, A.T. 2009. Diet dan Aktifitas Fisik pada AnakAnak di Kawasan Kumuh Perkotaan: sebuah Studi Cross Sectional. Jurnal Nutrisi [Online] Edisi 6. Dari: http://www.nutritionj.com/content/pdf/1475-28916.1.pdf [Diakses: 10 Mei 2007]. Web Page (yang dibaca) Thompson, B. 2006. Mengapa Balita Butuh ASI [Online]. Dari: http://news.bbc.co.uk/1/hi/health/459876 [Diakses: 10 Mei 2007]. Depkes RI. 2006. Panduan Imunisasi [Online]. Dari: http://www.depkes.go.id/bayi_panduan_imunisasi/2345 [Diakses: 19 Februari 2011].

Penulisan Naskah dituliskan dengan menggunakan Times New Roman 12, maksimal 20 halaman A4 spasi ganda, ditulis dengan program komputer Microsoft Word. Prosedur Naskah Naskah yang masuk hendaknya diterima 2 (dua) bulan sebelum waktu penerbitan untuk di-review oleh anggota dewan redaksi dan reviewer (mitra bestari) yang ditunjuk oleh Dewan Redaksi. Dewan Redaksi berhak menolak naskah ilmiah yang dianggap tidak layak muat di Jurnal Inovasi. Naskah diserahkan dalam 2 (dua) media yaitu hardcopy dan softcopy yang keduanya harus memuat isi yang sama. Nama file, judul dan nama penulis naskah dituliskan pada label CD. Pengiriman naskah ke alamat redaksi melalui surat elektronik ke : inovasibpp@gmail.com atau melalui pos ke : Dewan Redaksi Jurnal INOVASI Badan Penelitian Dan Pengembangan Provinsi Sumatera Utara Jl. Sisingamangaraja No. 198 Medan 20126 Redaksi berhak menolak naskah yang isi dan formatnya tidak sesuai dengan pedoman

penulisan naskah di atas dan redaksi tidak berkewajiban untuk mengembalikan naskah tersebut. Setiap penerimaan atau penolakan naskah akan disertai dengan surat resmi yang ditandatangani oleh Dewan Redaksi dan dikirimkan kepada penulis. Setiap penulis yang karya tulisnya telah diterbitkan, akan mendapat satu buah cetak lepas dan satu buah full print. Hak Cipta Setiap penulis menyetujui untuk mengalihkan hak ciptanya ke Jurnal Inovasi jika naskahnya diterima untuk diterbitkan.


Alamat Redaksi : BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PROVINSI SUMATERA UTARA Jl. Sisingamangaraja No. 198 Medan 20126 Tel. (061) 7866225; 7883016; Fax. (061) 7866248 Email : inovasibb@gmail.com


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.