Jurnal Inovasi Desember 2013

Page 1

ISSN 1829-8079

INOVASI JURNAL POLITIK DAN KEBIJAKAN Vol. 10 No. 4, Desember 2013

Pengelolaan Hutan Mangrove Berbasis Masyarakat (Nobrya Husni, Porman Juanda Marpomari Mahulae ) Pemanfaatan dan Kebijakan Pengelolaan Sumberdaya Hutan di Sekitar Taman Nasional Batang Gadis, Sumatera Utara (Wanda Kuswanda) Peran Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) untuk Meningkatkan Kualitas Pendidikan Anak di Sumatera Utara (Jonni Sitorus) Kajian Manajemen Pembiayaan Pendidikan pada Unit SMP di Kabupaten Tapanuli Utara (Jonni Sitorus) Implementasi Rumah Susun Dan Rumah Susun Sewa yang Sesuai dengan Karakter Masyarakat Perkotaan di Sumatera Utara (Anton Parlindungan Sinaga) Analisis Pengembangan Produk Makanan Organik untuk Meningkatkan Keanekaragaman Pangan di Sumatera Utara (Silvia Darina) Pengembangan Jalan menuju Kawasan Jalur Wisata di Sumatera Utara Anton Parlindungan Sinaga)

Diterbitkan oleh :

Badan Penelitian dan Pengembangan Provinsi Sumatera Utara Inovasi Vol. 10 No. 4

Hal. Medan ISSN 230-304 Desember 2013 1829 - 8079

Terakreditasi sebagai Majalah Berkala Ilmiah dengan Nomor Akreditasi: 532/AU2/P2MI-LIPI/04/2013


Volume 10, Nomor 4

Desember 2013

ISSN 1829-8079

Jurnal INOVASI adalah jurnal ilmiah bidang ilmu politik dan kebijakan yang terakreditasi dengan Nomor Akreditasi: 532/AU2/P2MI-LIPI/04/2013 berdasarkan Surat Keputusan Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Nomor : 377/E/2013 tanggal 16 April 2013 Jurnal INOVASI sebagai media litbang Provinsi Sumatera Utara memuat karya tulis ilmiah hasil penelitian atau tinjauan kepustakaan dalam bidang pemerintahan dan kemasyarakatan, sosial budaya, ekonomi dan pembangunan, sumberdaya alam dan maritim sebagai bahan kebijakan dan wawasan berpolitik yang terbit empat kali dalam setahun setiap bulan Maret, Juni, September, dan Desember.

Penasehat Penanggung Jawab Pemimpin Redaksi Dewan Redaksi

Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Provinsi Sumatera Utara Sekretaris Badan Penelitian dan Pengembangan Provinsi Sumatera Utara Prof. Dr. Marlon Sihombing, MA (Kebijakan Publik, Universitas Sumatera Utara) Prof. Dr. Ir. Nurhayati, MP (Pertanian, Universitas Islam Sumatera Utara) Prof. Dr. H. Syaiful Sagala, S.Sos, M.Pd (Pendidikan, Universitas Negeri Medan) Dr. Ir. Zahari Zein, M.Sc (Kesejahteraan Sosial, Universitas Sumatera Utara) Ir. E. Harso Kardhinata, M.Sc (Ekonomi Pertanian, Universitas Medan Area) Iskandar Muda, SE, M.Si., Ak (Ekonomi, Universitas Sumatera Utara) Fotarisman Zaluchu, SKM, MSi, MPH (Kesehatan, Balitbang Provinsi Sumut) Jonni Sitorus, ST., M.Pd (Pendidikan, Balitbang Provinsi Sumut)

Redaksi Pelaksana

Drs. Darwin Lubis, MM Nobrya Husni, ST Silvia Darina, SP

Tata Usaha dan Sirkulasi

Sahat C. Simanjuntak, ST Dumora Jenny Margaretha Siagian, ST Porman Juanda Marpomari Mahulae, ST Anton Parlindungan Sinaga, ST

Mitra Bestari Volume 10, Nomor 4, Desember Desember 2013 Azizul Kholis (Ekonomi dan Pembangunan, Universitas Negeri Medan) Badaruddin (Sosial dan Politik, Universitas Sumatera Utara) Gustam Lubis (Teknik, Institut Teknologi Medan) Ilmi Abdullah (Teknik, Institut Teknologi Medan) Ritha F Dalimunthe (Usaha Kecil dan Ekonomi Kerakyatan, Universitas Sumatera Utara) Suharta (Pendidikan, Universitas Negeri Medan) Zulkifli Nasution (Pertanian, Universitas Sumatera Utara Alamat Penerbit : BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PROVINSI SUMATERA UTARA Jl. Sisingamangaraja No. 198 Medan 20126 Tel. (061) 7866225; 7883016 - Fax. (061) 7866248 Website : http://balitbang.sumutprov.go.id email : inovasibpp@gmail.com


PENGANTAR REDAKSI

Pembaca yang terhormat, Jurnal Inovasi kembali hadir di tengah-tengah para pembaca dan peminat ilmu pengetahuan sekalian. Pada edisi Desember 2013, kami menyajikan berbagai tulisan dalam berbagai bidang. Pengelolaan hutan Mangrove berbasis masyarakat dan pengelolaan sumberdaya hutan merupakan bagian tulisan ini. Mengingat pentingnya pendidikan bagi anak, juga disajikan PAUD. Pembiayaan pendidikan unit SMP perlu dikelola secara profesional melalui manajemen yang baik. Jurnal ini juga menyajikan rumah susun bagi masyarakat di Sumatera Utara. Sebagai alternatif pangan, kami menyajikan pengembangan makanan organik. Sebagai penutup, kami menyajikan pengembangan jalan menuju kawasan wisata. Kembali kami mengharapkan semoga tulisan-tulisan ini menjadi media bagi kita untuk mengetahui perkembangan dan mengevaluasi penelitian yang sudah pernah dilakukan. Terima kasih dan selamat membaca. -Dewan Redaksi-


Volume 10, Nomor 4

Desember 2013

ISSN 1829-8079

bebas.. Lembar abstrak ini boleh diperbanyak/dicopy Kata kunci yang ddiicantumkan adalah istilah bebas tanpa ijin dan biaya. DDC 634.92 Nobrya Husni, Porman Juanda Marpomari Mahulae

DDC 649.7 Jonni Sitorus

Pengelolaan Hutan Mangrove Berbasis Masyarakat

Peran Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) untuk Meningkatkan Kualitas Pendidikan Anak di Sumatera Utara

Inovasi, Jurnal Politik dan Kebijakan, Desember 2013, Vol 10. No. 4, halaman 230-244 Tulisan ini bertujuan untuk mengkaji faktor-faktor pengelolaan hutan mangrove berbasis masyarakat di pesisir Pantai Timur Sumatera Utara. Berdasarkan analisis SWOT dapat disimpulkan bahwa pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu menghendaki adanya kesamaan visi antar stakeholders. Tulisan ini merekomendasikan agar Pemerintah membuat rencana aksi pengelolaan hutan mangrove berdasarkan hasil analisis SWOT yang akan menjadi acuan bagi pemerintah sendiri, kalangan ahli, aparat desa, dan lembaga masyarakat sehingga hasilnya terukur. Peran aktif Pemerintah dan institusi kelembagaan adat secara berkesinambungan dalam menjalankan strategi tersebut merupakan hal yang harus dilakukan sehingga pendampingan terhadap masyarakat dapat berjalan secara optimal. Kata Kunci: hutan mangrove, analisis SWOT, masyarakat DDC 333.75 Wanda Kuswanda Pemanfaatan dan Kebijakan Pengelolaan Sumberdaya Hutan di Sekitar Taman Nasional Batang Gadis, Sumatera Utara Inovasi, Jurnal Politik dan Kebijakan, Desember 2013, Vol 10, No. 4, halaman 245-253 Tulisan ini memberikan informasi pemanfaatan, potensi dan rekomendasi kebijakan dalam pengelolaan sumberdaya hutan pada desa-desa sekitar Taman Nasional Batang Gadis. Hasil penelitian menunjukan bahwa kebutuhan dan pemanfaatan sumber daya hutan oleh masyarakat cukup tinggi sehingga sebagian diambil dari Kawasan TNBG. Pemanfaatan produk hasil hutan diantaranya kayu oleh 47,1% responden untuk bahan perumahan dan kayu bakar, 70,0% memanfaatkan kulit kayu untuk dijual dan 23,6% menangkap satwa liar untuk lahan makanan dan peliharaan. Rekomendasi adalah penataan kembali ruang untuk kawasan lindung dan budidaya, pendayagunaan berbagai kelembagaan, mempertahankan hutan alam di sekitar TNBG untuk koridor dan habitat satwa langka, mengoptimalkan lahan untuk pengembangan sumberdaya hutan dengan mengembangkan sistem agroforestri, membangun hutan kemasyarakatan pada area hutan lindung dan area eks hutan produksi yang sudah terdegradasi, pengembangan program pelatihan kewirausahaan, pengembangan usaha alternatif dan mengatur akses pemanfaatan hasil hutan dan lahan secara adil. Kata Kunci: sumberdaya hutan, kebijakan, masyarakat, Taman Nasional Batang Gadis

Inovasi, Jurnal Politik dan Kebijakan, Desember 2013, Vol 10. No. 4, halaman 254-261 Tujuan penelitian adalah mengetahui kondisi lembaga-lembaga PAUD serta perannya terhadap kualitas pendidikan anak di Sumatera Utara. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: pemberian BOP belum merata kesemua lembaga PAUD yang ada; beberapa lembaga PAUD masih kekurangan PTK; pengklasifikasian jenis satuan PAUD berdasarkan usia anak tidak dikelompokkan dengan baik; kesejahteraan, penghargaan, dan payung hukum PTK PAUD belum terpenuhi; para orang tua/masyarakat PAUD sangat berperan terhadap pendidikan anak; beberapa lembaga PAUD memiliki sarana prasarana yang belum sesuai standar layanan; kelembagaan PAUD belum ditata dan dikelola dengan baik; dan penilaian orang tua/masyarakat terhadap peran PAUD untuk meningkatkan kualitas pendidikan anak di Sumatera Utara ditinjau dari prasarana PAUD sebesar 64,48, sarana PAUD sebesar 69,14, pendidik dan tenaga kependidikan sebesar 74,35, dan kualitas anak sebesar 76,71. Direkomendasikan kepada Dinas Pendidikan Provinsi, Kabupaten/Kota untuk meningkatkan pelayanan mutu PA UD. Kata Kunci: pendidikan, PAUD, kualitas anak, sarana prasarana pendidikan, pendidik DDC 658.07 Jonni Sitorus Kajian Manajemen Pembiayaan Pendidikan pada Unit SMP di Kabupaten Tapanuli Utara Inovasi, Jurnal Politik dan Kebijakan, Desember 2013, Vol 10, No. 4, halaman 262-271 Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui: perencanaan, pelaksanaan, dan pembiayaan pendidikan pada unit SMP di Kabupaten Tapanuli Utara. Hasil penelitian: (1) Proses perencanaan dalam manajemen pembiayaan pendidikan di Kabupaten Tapanuli Utara menggunakan pola bottom up, mulai dari sekolah sampai tingkat musrenbang Kabupaten/Provinsi; (2) Pelaksanaan pembiayaan pendidikan dalam konteks penggunaan keuangan negara, berasal dari APBN dan APBD, yang terdiri dari 2 sumber pendapatan, yaitu: rutin, pembangunan dan pengembangan staf; dan (3) Pengendalian dilakukan merupakan bentuk pengawasan internal melalui penyusunan Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP). Lembaga pengawasan yang berkompeten dari eksternal orgnanisasi, misalnya: Inspektorat, BPKP dan Bawasda. Direkomendasikan kepada Dinas Pendidikan Kabupaten Tapanuli Utara: (1) perencanaan pembiayaan pendidikan harus mengikutsertakan UPT


pendidikan; (2) sosialisasi dan pelatihan kepada UPT Pendidikan dan kepala sekolah terkait SOP pembiayaan dan penggunaan biaya pendidikan; dan (3) mengoptimalkan fungsi monitoring dan evaluasi, baik dari aspek pembiayan maupun dari aspek mutu sebagai bagian dari pengawasan. Kata Kunci: managemen pembiayaan pendidikan, Kabupaten Taput, SMP, perencanaan, pelaksanaan, pengawasan DDC 363.5 Anton Parlindungan Sinaga Implementasi Rumah Susun Dan Rumah Susun Sewa yang Sesuai dengan Karakter Masyarakat Perkotaan di Sumatera Utara Inovasi, Jurnal Politik dan Kebijakan, Desember 2013, Vol 10, No. 4, halaman 272-280 Tujuan penelitian untuk mengetahui kesesuaian antara implementasi rusun dan rusunawa dengan karakter masyarakat perkotaan di Sumatera Utara serta konsep sistem pengelolaan lingkungan rusun dan rusunawa yang optimal. Dari penelitian ini diperoleh: hubungan antara karakter masyarakat dengan implementasi rusun dan rusunawa antara karakter masyarakat dan implemetasi kurang sesuai di Kota Medan; untuk Kota Tebing Tinggi hubungan antara karakter masyarakat dengan implementasi sudah sesuai; dan untuk Kota Tanjung Balai hubungan antara karakter masyarakat dengan implementansi masih kurang. Kata Kunci: rumah susun, implementasi, karakter masyarakat penghuni rusun. DDC 631.58 Silvia Darina Analisis Pengembangan Produk Makanan Organik untuk Meningkatkan Keanekaragaman Pangan di Sumatera Utara Inovasi, Jurnal Politik dan Kebijakan, Desember 2013, Vol 10, No. 4, halaman 281-295 Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui: potensi dan prospek pengembangan pangan organik di Sumatera Utara, produk pangan organik yang dapat dikembangkan dalam meningkatkan penganekaragaman; dan pengembangan produk pangan organik. Hasil penelitian: potensi pasar produk pangan organik di Sumatera Utara masih sangat kecil; adanya jaringan antara konsumen dan produsen yang dibantu oleh LSM; komoditas prospektif yang dapat dikembangkan antara lain: tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, tanaman rempah dan obat-obatan. Direkomendasikan kepada Provinsi Sumatera Utara perlu melakukan kerjasama dengan Lembaga terkait; perlu dilakukan identifikasi terhadap peluang pemasaran domestik produk organik; perlu memfasilitasi petani dalam sertifikasi dan akreditasi; dan Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota di Sumatera Utara diharapkan dapat membuat peraturan daerah untuk mendukung implementasi peraturan Menteri Pertanian Nomor 61 Tahun 2006. Kata Kunci: analisis, pengembangan, keanekaragaman, Sumatera Utara DDC 625.7 Anton Parlindungan Sinaga

organik,

pangan,

Pengembangan Jalan menuju Kawasan Jalur Wisata di Sumatera Utara Inovasi, Jurnal Politik dan Kebijakan, Desember 2013, Vol 10, No. 4, halaman 296-304 Kajian bertujuan untuk mengetahui jalur alternatif menuju objek wisata di kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Utara. Dari hasil studi didapatkan beberapa jalur alternatif untuk

menuju objek wisata andalan melalui jalan baru dengan melewati objek wisata, seperti; Lau Berteh berbentuk air terjun, Tanjung Unta dan Simarjarunjung merupakan perbukitan dipinggir Danau Toba, Danau Lau Kawar merupakan danau yang terdapat di kaki Gunung Sinabung, Barus terdapat makam penyebar Agama Islam, Istana Lima Laras merupakan istana dengan ciri khas Melayu, dan objek wisata lainnya. Direkomendasikan bahwa Provinsi Sumatera Utara perlu: memperbaiki infrastrutur jalur wisata alternatif seperti perbaikan perkerasan dan lebar jalan, diperlukan petunjuk lalu lintas dan arah penunjuk jalan menuju objek wisata yang terdapat di jalur wisata alternatif; dan menata dan mempromosikan objek wisata yang ada di daerahnya. Kata Kunci: pengembangan, jalan, dan kawasan wisata


Volume 10, Nomor 4

Desember 2013

ISSN 1829-8079

The discriptors given are keywords. The abstrack sheet may by reproduced/ copied without permission or charge DDC 634.92 Nobrya Husni, Porman Juanda Marpomari Mahulae

Jonni Sitorus

Community-Based Mangrove Forests Management

The Role of Early Childhood Education (ECD) to Increase The Quality of Children's Education in North Sumatra

Inovasi, Journal of Politics and Policy, December 2013, Vol 10, No. 4, p. 230-244

Inovasi, Journal of Politics and Policy, December 2013, Vol 10, No. 4, p. 254-261

This article aims to examine the factors of community-based management of mangrove forests in the East coast of North Sumatra. Based on the SWOT analysis can be concluded that the integrated coastal zone management requires the existence of a common vision among stakeholders. This paper recommends that the government create an action plan based on the results of mangrove forest management SWOT analysis which will be a reference for the government, experts, village officials, and community agencies so that the results are measurable. Active role of government and institutions of indigenous institutions on an ongoing basis in running the strategy is to be done so that the assistance of the public may be optimized.

This research aims to determine the conditions of early childhood institutions as well as its contribution to the quality of education of children in North Sumatra. The results showed that: Operaational Administration Costs (OAC) has not been evenly all existing early childhood institutions, some institutions still lack TOD ECD; classification of types of early childhood units grouped by age of the child is not well; welfare, awards, and legal protection TOD unmet early childhood; parents/early childhood community was instrumental to a child's education; early childhood institutions have infrastructure that does not meet the standard of service; institutional ECD has not been laid out and well managed, and assessment of parents / community about the role of early childhood education to improve the quality of education of children in North Sumatra early childhood in terms of infrastructure at 64.48, 69.14 for early childhood facilities, teachers and by 74.35 , 76.71 and quality of children. Recommended to the Provincial Education Office, District/City to improve the quality of early childhood services.

Keywords: mangrove forests, SWOT analisys, community DDC 333.75 Wanda Kuswanda The Utilization and Management Policy of Forest Resources Around batang Gadis National Park, North Sumatera Inovasi, Journal of Politics and Policy, December 2013, Vol 10, No. 4, p. 245-253 This article provides information utilization , potential and policy recommendations in the management of forest resources in the surrounding villages Batang Gadis National Part. The results showed that the demand for and utilization of forest resources by communities is high enough so that the majority taken from TNBG Region . Utilization of forest products including timber by 47.1 % of respondents for housing materials and firewood , bark utilizing 70.0 % and 23.6 % for the sale of wildlife to capture land and pet food. Recommendation is a realignment of protected areas and space for cultivatio, utilization of various institutions , maintain the natural forest around TNBG corridor and habitat for endangered species, optimize land for the development of forest resources by developing agroforestry systems, establish community forests in protected forest area and forest area ex production that has been degraded, the development of entrepreneurship training programs, development of alternative enterprises and regulate access and use of forest products in a fair land . Keywords: forest resources, policy, communities, Batang Gadis National Park

DDC 649.7

Keywords: education, ECD, child quality, infrastructure of ECD, teacher DDC 658.07 Jonni Sitorus Study of Management in Education Financing for SMP in Tapanuli Utara Regency Inovasi, Journal of Politics and Policy, December 2013, Vol 10, No. 4, p. 262-271 The purpose of the study was to determine: planning, implementation, and financing of education at the junior high school units in North Tapanuli. Results of the study : (1) The process of planning in management education funding in North Tapanuli using a bottom -up pattern , ranging from school to musrenbang District/Provincial; (2) implementation of education funding in the context of the use of state finances , comes from state and local budgets, which consists of two sources of income, namely: routine, development and staff development; and (3) Control is done is a form of internal control over the preparation of the Government Performance Accountability Report (performance reports). Competent institutions of external control orgnanisasi, such as: Inspectorate, auditing firm and local regulatory department. Recommended to the Department of Education North Tapanuli: (1) financial planning education should include education Unit; (2) socialization and training to principals and Education Unit implementation of operational standards related financing and the use of educational costs; and (3) optimize the monitoring and evaluation function, either


from the aspect of financing and quality aspects as part of the supervision. Keywords : Management Education Funding, Tapanuli Utara Regency, SMP, Planning, Implementation, Monitoring. DDC 363.5 Anton Parlindungan Sinaga Implementation of Flats And Rental Flats in Compatible with Urban Community Characters in North Sumatra Inovasi, Journal of Politics and Policy, December 2013, Vol 10, No. 4, p. 272-280 The purpose of the study to determine the compatibility between implementations of towers and high-rise apartments with the character of urban communities in North Sumatra as well as the concept of the environmental management system of towers and high-rise apartments optimal. Obtained from this study: the relationship between the character of the community with the implementation of public housing flats and the character of the community and the implementation is less appropriate in Medan; for Tebing Tinggi State the relationship between the character of the community with the implementation is appropriate, and Tanjung Balai with the relationship between the characters still implementansi less. Keywords: flats, occupants flats DDC 631.58 Silvia Darina

implementation,

community

character

Analysis of Organic Food Product Development Efforts to Diversity As Food in North Sumatra Inovasi, Journal of Politics and Policy, December 2013, Vol 10, No. 4, p. 281-295 The purpose of the study was to determine: potential and prospects of the development of organic food in North Sumatra, organic food products that can be developed to improve diversification, and the development of organic food products. Results of the study: the potential market for organic food products in North Sumatra is still very small; existence of links between consumers and producers are assisted by NGOs; prospective commodity that can be developed include: food crops, horticulture, plantation, spices and medicines. Recommended to North Sumatra Province needs to cooperate with the organization; necessary to identify the marketing opportunities of domestic organic products; need to facilitate farmers in the certification and accreditation, and the Provincial and District / City of North Sumatra is expected to create local regulations to support the implementation of the action of the Agriculture No. 61 of 2006. Keywords: analysis , development , organic , food , diversity , North Sumatra DDC 625.7 Anton Parlindungan Sinaga Development to the Street in the Area Track Tour of North Sumatra Inovasi, Journal of Politics and Policy, December 2013, Vol 10, No. 4, p. 296-304 The study aims to determine the alternate streets to the attractions in the District/Town in North Sumatra province. From the results of the study obtained several alternative Streets to get to the flagship attraction of new road through the pass attractions, such as the waterfall-shaped Berteh Lau, Unta Cape and Simarjarunjung a hilly edge of Lake Toba, Lake Lau Kawar is a lake located at the foot of Mount Sinabung, Barus there is the

tomb of Islamic propagator, Palace of Five Laras is a castle with typical Malay, and other attractions. Recommended that the province of North Sumatra needs: improving infrastructure such as improved alternative travel lane pavement and road width, traffic needed guidance and direction of pointing the way to attractions that are in the path of alternative tourism, and organize and promote existing attractions in the area. Keywords: Development, Roads and Tourism Regions.


Volume 10, Nomor 4

Desember 2013

ISSN 1829-8079

DAFTAR ISI

Halaman Pengelolaan Hutan Mangrove Berbasis Masyarakat

230-244

(Nobrya Husni, Porman Juanda Marpomari Mahulae ) Pemanfaatan dan dan Kebijakan Pengelolaan Sumberdaya Hutan di Sekitar Taman Nasional Batang Gadis, Sumatera Utara

245-253

(Wanda Kuswanda) Peran Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) untuk Meningkatkan Kualitas Pendidikan Anak di Sumatera Utara

254-261

(Jonni Sitorus) Kajian Manajemen Pembiayaan Pendidikan pada pada Unit SMP di Kabupaten Tapanuli Utara

262-271

(Jonni Sitorus) Implementasi Rumah Susun dan Rumah Susun Sewa yang Sesuai dengan Karakter Masyarakat Perkotaan di Sumatera Utara

272-280

(Anton Parlindungan Sinaga) Analisis Pengembangan Produk Makanan Organik untuk Meningkatkan Keanekaragaman Pangan di Sumatera Utara

281-295

(Silvia Darina) Pengembangan Jalan menuju Kawasan Jalur Wisata di Sumatera Utara

Anton Parlindungan Sinaga)

296-304


Inovasi Vol. 10 No. 4, Desember 2013: 230-244

Hasil Penelitian PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE BERBASIS MASYARAKAT

(COMMUNITYFORESTS TS MANAGEMENT) (COMMUNITY-BASED MANGROVE FORES Nobrya Husni, Porman Juanda Marpomari Mahulae Badan Penelitian dan Pengembangan Provinsi Sumatera Utara Jl. Sisingamangaraja No. 198 Medan 20126 email: nobrya@gmail.com

Diterima: 12 Agustus 2013; Direvisi:22 Oktober 2013; Disetujui: 5 Desember 2013

ABSTRAK Peranan hutan mangrove yang vital bagi lingkungan memerlukan peranan masyarakat dalam pengelolaannya untuk kelestarian hutan mangrove itu sendiri. Tulisan ini akan menggambarkan strategi pengelolaan hutan mangrove berbasis masyarakat dengan menggunakan analisis SWOT. Penulisan menggunakan metode deskriptif analitik. Survey dilakukan dengan teknik purposive sampling. Responden adalah masyarakat pengguna sumber daya, pemangku kepentingan dan masyarakat pesisir yang berada dalam sampling wilayah ekosistem mangrove. Tulisan ini bertujuan untuk mengkaji faktor-faktor pengelolaan hutan mangrove berbasis masyarakat di pesisir Pantai Timur Sumatera Utara, dan memberikan rekomendasi strategi pola pengelolaan hutan mangrove yang berbasis masyarakat. Berdasarkan analisis SWOT dapat disimpulkan bahwa pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu menghendaki adanya kesamaan visi antar stakeholders. Pemerintah dapat memberdayakan masyarakat pesisir melalui pengembangan kegiatan kewirausahaan kecil dan menengah dalam memanfaatkan potensi hutan mangrove dan dilakukan secara lestari. Perumusan perbaikan kebijakan di tingkat pemerintah daerah setempat mengenai perizinan konversi lahan dan status kawasan serta penanggulangan pencemaran limbah dan pengelolaan DAS juga harus dilakukan. Surat Keputusan Gubernur Sumatera Utara Nomor 188.44/624/KPTS/2010 tentang Pembentukan Kelompok Kerja mangrove Daerah Provinsi Sumatera Utara, diharapkan dapat memberikan percepatan dalam hal pengelolaan ekosistem mangrove. Pelibatan masyarakat sangat diperlukan dalam hal rehabilitasi kawasan mangrove yang telah rusak dengan memberikan penyuluhan mengenai pendidikan lingkungan sehingga akan menumbuhkan kesadaran masyarakat akan pentingnya kawasan hutan mangrove secara aktif dan intensif. Tulisan ini merekomendasikan agar Pemerintah membuat rencana aksi pengelolaan hutan mangrove berdasarkan hasil analisis SWOT yang akan menjadi acuan bagi pemerintah sendiri, kalangan ahli, aparat desa, dan lembaga masyarakat sehingga hasilnya terukur. Peran aktif Pemerintah dan institusi kelembagaan adat secara berkesinambungan dalam menjalankan strategi tersebut merupakan hal yang harus dilakukan sehingga pendampingan terhadap masyarakat dapat berjalan secara optimal. Kata Kunci: hutan mangrove, analisis SWOT, masyarakat

ABSTRACT Mangrove forests has vital role to the environment would require public role in the management of mangrove forest sustainability itself. This paper will describe strategies of community-based mangrove forests management using SWOT analysis. Descriptive analytic method is using for this paper. The survey was conducted with a purposive sampling technique. Respondents are community resource users, stakeholders and coastal communities that are within the sampling area of mangrove ecosystems. This paper aims to examine the factors of community-based management of mangrove forests in the East coast of North Sumatra, and provide recommendations mangrove forest management strategy pattern based communities. Based on the SWOT analysis can be concluded that the integrated coastal zone management requires the existence of a common vision among stakeholders. Government may empower coastal communities through the development of small and medium entrepreneurship activities in exploiting the potential of mangrove forests and sustainably made. Formulation of policy improvement in the level of local government regarding land conversion permits and status of the area as well as waste and pollution prevention watershed management should also be performed.

230


Pengelolaan Hutan Mangrove Berbasis Masyarakat (Nobrya Husni, Porman Juanda Marpomari Mahulae) North Sumatra Governor Decree No. 188.44/624/KPTS/2010 on the Formation of the Regional Working Group of Mangrove of North Sumatra Province, is expected to provide acceleration in terms of the management of mangrove ecosystems. Community involvement is needed in terms of rehabilitation of degraded mangrove areas to provide information about environmental education that will raise public awareness of the importance of mangrove forests are actively and intensively. This paper recommends that the government create an action plan based on the results of mangrove forest management SWOT analysis which will be a reference for the government, experts, village officials, and community agencies so that the results are measurable. Active role of government and institutions of indigenous institutions on an ongoing basis in running the strategy is to be done so that the assistance of the public may be optimized. Keywords: mangrove forests, SWOT analisys, community

Tenggara, atau sekitar 27% dari luas mangrove di dunia. Kekhasan ekosistem mangrove Indonesia adalah memiliki keragaman jenis yang tertinggi di dunia. Sebaran mangrove di Indonesia terutama di wilayah pesisir Sumatera, Kalimantan dan Papua. Luas penyebaran mangrove terus mengalami penurunan dari 4,25 juta hektar pada tahun 1982 menjadi sekitar 3,24 juta hektar pada tahun 1987, dan tersisa seluas 2,50 juta hektar pada tahun 1993. Kecenderungan penurunan tersebut mengindikasikan bahwa terjadi degradasi hutan mangrove yang cukup nyata, yaitu sekitar 200 ribu hektar/tahun. Hal tersebut disebabkan oleh kegiatan konversi menjadi lahan tambak, penebangan liar dan sebagainya (Dahuri, 2002). Salah satu ekosistem pesisir yang mengalami tingkat degradasi cukup tinggi akibat pola pemanfaatannya yang cenderung tidak memperhatikan aspek kelestariannya adalah hutan mangrove. Hasil Inventarisasi Hutan Nasional Departemen Kehutanan pada Tahun 1982, luas hutan mangrove Indonesia sekitar 4,25 juta ha, pada tahun 1996 hanya 3,53 juta ha. Dalam kurun waktu 14 Tahun Indonesia telah kehilangan hutan mangrove sekitar 700 ribu ha dan hal ini terjadi hampir di seluruh kepulauan Indonesia. Kerusakan ekosistem hutan mangrove di pesisir Pantai Timur Sumatera Utara misalnya, semakin cepat berlangsung seiring dengan bertambahnya usaha-usaha perekonomian yang lebih mengarah pada daerah pantai. Perubahanperubahan yang dilakukan terhadap daerah pesisir telah mengorbankan luas kawasan mangrove sehingga banyak areal mangrove yang tidak berfungsi lagi sebagaimana mestinya. Kerusakan ini sebagian besar disebabkan oleh tekanan manusia dalam memanfaatkan dan membabat mangrove untuk usaha pertambakan, perindustrian, pertanian, pemukiman, dan tempat rekreasi, serta sebagian kecil karena bencana alam (banjir, kekeringan, dan badai tsunami) serta serangan hama penyakit. Melihat gejala perusakan hutan mangrove untuk berbagai kepentingan tersebut maka

PENDAHULUAN Hutan mangrove merupakan salah satu sumberdaya pesisir yang berperan penting dalam pembangunan. Kawasan hutan mangrove mempunyai peranan yang sangat penting bagi manusia dan hewan yang hidup di dalamnya atau sekitarnya, bahkan bagi mahluk hidup yang hanya tinggal untuk sementara waktu. Mangrove, magal, bakau, hutan pantai, dan hutan api-api adalah sebutan untuk komunitas tumbuhan pantai yang memiliki adaptasi khusus. Berbagai fungsi dan manfaat hutan mangrove bagi manusia dan lingkungan sekitarnya telah diketahui secara umum. Mangrove memegang peranan penting untuk kehidupan laut. Secara ekologis, hutan mangrove dapat menjamin terpeliharanya lingkungan fisik, seperti penahan ombak, angin dan intrusi air laut, serta merupakan tempat perkembangbiakan bagi berbagai jenis kehidupan laut seperti ikan, udang, kepiting, kerang, siput, dan hewan jenis lainnya. Disamping itu, hutan mangrove juga merupakan tempat habitat kehidupan satwa liar seperti monyet, ular, berang-berang, biawak, dan burung. Adapun arti penting hutan mangrove dari aspek sosial ekonomis dapat dibuktikan dengan kegiatan masyarakat memanfaatkan hutan mangrove untuk mencari kayu dan juga tempat wisata alam. Selain itu juga sebagai kehidupan dan sumber rezeki masyarakat nelayan dan petani di tepi pantai yang sangat tergantung kepada sumberdaya alam dari hutan mangrove. Dalam dekade terakhir ini, kegiatan pembangunan di wilayah pesisir cukup pesat, baik untuk perikanan, pemukiman, pertambangan, pariwisata dan sebagainya. Pesatnya pembangunan ini serta ditambah dengan tingkat kepadatan penduduk yang tinggi, telah menimbulkan berbagai permasalahan lingkungan di beberapa wilayah pesisir Indonesia. Permasalahan tersebut diantaranya adalah terjadinya degradasi ekosistem alami. Luas ekosistem mangrove di Indonesia mencapai 75% dari total mangrove di Asia

231


Inovasi Vol. 10 No. 4, Desember 2013: 230-244

penting dalam stabilisasi suatu ekosistem pesisir, baik secara fisik maupun secara biologis, disamping itu, ekosistem mangrove merupakan sumber plasma nutfah yang cukup tinggi (misal, mangrove di Indonesia terdiri atas 157 jenis tumbuhan tingkat tinggi dan rendah, 118 jenis fauna laut dan berbagai jenis fauna darat (Kusmana, 2002). Ekosistem mangrove juga merupakan perlindungan pantai secara alami untuk mengurangi resiko terhadap bahaya tsunami. Hasil penelitian yang dilakukan di Teluk Grajagan, Banyuwangi, Jawa Timur, menunjukkan bahwa dengan adanya ekosistem mangrove telah terjadi reduksi tinggi gelombang sebesar 0,7340, dan perubahan energi gelombang sebesar (E) = 19635.26 joule (Pratikto dkk., 2002). Hutan mangrove merupakan sumberdaya alam daerah tropis yang mempunyai manfaat ganda baik dari aspek sosial ekonomi maupun ekologi. Besarnya peranan ekosistem hutan mangrove bagi kehidupan dapat diketahui dari banyaknya jenis hewan baik yang hidup di perairan, di atas lahan maupun di tajuk- tajuk pohon mangrove atau manusia yang bergantung pada hutan mangrove tersebut (Naamin, 1991). Manfaat ekonomis diantaranya terdiri atas hasil berupa kayu (kayu bakar, arang, kayu konstruksi) dan hasil bukan kayu (hasil hutan ikutan dan pariwisata). Manfaat ekologis, yang terdiri atas berbagai fungsi lindungan baik bagi lingkungan ekosistem daratan dan lautan maupun habitat berbagai jenis fauna, diantaranya: sebagai proteksi dari abrasi/erosi, gelombang atau angin kencang, pengendali intrusi air laut, habitat berbagai jenis fauna, sebagai tempat mencari makan, memijah dan berkembang biak berbagai jenis ikan dan udang, pembangun lahan melalui proses sedimentasi, pengontrol penyakit malaria, memelihara kualitas air (meredukasi polutan, pencemar air), penyerap CO2 dan penghasil O2 yang relatif tinggi dibanding tipe hutan lain. Secara garis besar ekosistem hutan mangrove mempunyai dua fungsi utama, yaitu fungsi ekologis dan fungsi sosial ekonomi (Dahuri, 2002). Fungsi ekologis ekosistem hutan adalah sebagai berikut; a) dalam ekosistem hutan mangrove terjadi mekanisme hubungan antara ekosistem mangrove dengan jenis-jenis ekosistem lainnya seperti padang lamun dan terumbu karang; b) dengan sistem perakaran yang kokoh ekosistem hutan mangrove mempunyai kemampuan meredam gelombang, menahan lumpur dan melindungi pantai dari abrasi, gelombang pasang dan taufan; c) sebagai pengendalian banjir, hutan mangrove yang banyak tumbuh di daerah

perlu dilakukan pengelolaan hutan mangrove secara lestari. Untuk dapat melakukan pengelolaan hutan mangrove secara lestari diperlukan pengetahuan tentang nilai strategis dari keberadaan hutan mangrove yang bermanfaat bagi masyarakat sekitar. Pengelolaan sumberdaya kelautan berbasis masyarakat merupakan salah satu strategi pengelolaan yang dapat meningkatkan efisiensi dan keadilan dalam pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya alam. Selain itu strategi ini dapat membawa efek positif secara ekologi dan sosial. Pengelolaan sumberdaya alam khususnya sumberdaya kelautan berbasis komunitas lokal sangatlah tepat diterapkan di Indonesia, selain karena efeknya yang positif juga mengingat komunitas lokal di Indonesia memiliki keterikatan yang kuat dengan daerahnya sehingga pengelolaan yang dilakukan akan diusahakan demi kebaikan daerahnya dan tidak sebaliknya. Dengan demikian, pelibatan masyarakat dalam pengembangan dan pengelolaan ekosistem hutan mangrove merupakan langkah strategis dan tepat, selain karena pertimbangan di atas, juga mengingat begitu banyak dan luas pulau-pulau kecil di Indonesia yang sulit diawasi oleh aparat, karena keterbatasan personil dan peralatan. Selain itu, dengan modal pengembangan pengelolaan ekosistem hutan mangrove berbasis masyarakat sekaligus menumbuhkan kesadaran masyarakat akan arti perlindungan sumber daya laut yang sangat berarti bagi kehidupan masyarakat saat ini dan generasi yang akan datang. Tanpa peran serta masyarakat dalam setiap kebijakan pemerintah, tujuan ditetapkannya kebijakan tersebut sulit dicapai. Oleh sebab itu, untuk mencegah kerusakan yang lebih parah terhadap sumber daya laut di Indonesia upaya menumbuhkembangkan peran serta masyarakat dalam pelaksanaan dan pengawasan kebijakan tersebut harus selalu dilakukan. Kusmana (2002) mengemukakan bahwa mangrove adalah suatu komunitas tumbuhan atau suatu individu jenis tumbuhan yang membentuk komunitas tersebut di daerah pasang surut. Hutan mangrove adalah tipe hutan yang secara alami dipengaruhi oleh pasang surut air laut, tergenang pada saat pasang naik dan bebas dari genangan pada saat pasang rendah. Ekosistem mangrove adalah suatu sistem yang terdiri atas lingkungan biotik dan abiotik yang saling berinteraksi di dalam suatu habitat mangrove. Ekosistem mangrove, baik secara sendiri maupun secara bersama dengan ekosistem padang lamun dan terumbu karang berperan 232


Pengelolaan Hutan Mangrove Berbasis Masyarakat (Nobrya Husni, Porman Juanda Marpomari Mahulae)

estuaria juga dapat berfungsi untuk mengurangi bencana banjir; d) hutan mangrove dapat berfungsi sebagai penyerap bahan pencemar (environmental service), khususnya bahanbahan organic; e) sebagai penghasil bahan organik yang merupakan mata rantai utama dalam jaring-jaring makanan di ekosistem pesisir, serasah mangrove yang gugur dan jatuh ke dalam air akan menjadi substrat yang baik bagi bakteri dan sekaligus berfungsi membantu proses pembentukan daun-daun tersebut menjadi detritus. Selanjutnya detritus menjadi bahan makanan bagi hewan pemakan seperti: cacing, udang-udang kecil dan akhirnya hewanhewan ini akan menjadi makanan larva ikan, udang, kepiting dan hewan lainnya; dan f) merupakan daerah asuhan (nursery ground) hewan-hewan muda (juvenile stage) yang akan bertumbuh kembang menjadi hewan-hewan dewasa dan juga merupakan daerah pemijahan (spawning ground) beberapa perairan seperti udang, ikan dan kerang-kerangan. Indonesia memiliki vegetasi hutan mangrove yang keragaman jenis yang tinggi. Jumlah jenis yang tercatat mencapai 202 jenis yang terdiri dari 89 jenis pohon, 5 jenis palem, 19 jenis liana, 44 jenis epifit, dan 1 jenis sikas. Terdapat sekitar 47 jenis vegetasi yang spesifik hutan mangrove. Dalam hutan mangrove, paling tidak terdapat salah satu jenis tumbuhan mangrove sejati, yang termasuk ke dalam empat famili: Rhizoporaceae (Rhizophora, Bruguiera, dan Ceriops), Sonneratiaceae (Sonneratia), Avicenniaceae (Avicennia), dan Meliaceae (Xylocarpus). Pohon mangrove sanggup beradaptasi terhadap kadar oksigen yang rendah, terhadap salinitas yang tinggi, serta terhadap tanah yang kurang stabil dan pasang surut (Kusmana, 2002). Kondisi sosial ekonomi masyarakat yang tinggal di sekitar mangrove merupakan masalah prinsip dalam usaha menyelamatkan mangrove (Sukardjo, 1989). Masyarakat umumnya menyadari bahwa pernanfaatan yang bekesinambungan adalah demi mereka, tetapi karena buruknya kondisi sosial ekonomi berakibat pada peningkatan penebangan liar pohon-pohon mangrove. Kebutuhan hidup yang tinggi dan bertambahnya penduduk yang menyebabkan eksploitasi sumber daya yang ada, termasuk hutan mangrove dengan tidak mengindahkan lagi kaidah-kaidah ekologi. Proses interaksi antara masyarakat dengan hutan mangrove yaitu masyarakat sejak beberapa generasi telah hidup dari pemanfaatan hasil hutan kawasan tersebut, hal ini secara implisit dapat dipelajari dari pemahaman sistem hukum adat masyarakat, yaitu dari tanah

masyarakat akan diperoleh interaksi yang jelas dan terus meningkat (Alikodra, 1995). Berdasarkan sejarah perkembangan dan penyebaran penduduk diwilayah pesisir pantai, keinginan untuk membudidayakan ikan dan udang dalam bentuk tambak secara besarbesaran bagi masyarakat pantai tradisional adalah akibat tuntutan perkembangan ekonomi. Mayarakat nelayan yang sebelumnya hidup secara subsisten dan tradisional kini sudah banyak yang berubah menjadi petani-petani tambak dan pedagang dengan orientasi keuntungan dan pendapatan setinggi - tingginya. Perkembangan pergaulan dan transformasi kemajuan peradaban manusia dari berbagai benua dan kepulauan yang dialami oleh masyarakat pantai Indonesia, telah membawa perubahan sikap, kebiasaan dan serta mendorong mereka untuk mengeksploitasi sumberdaya alam pantai dan ekosistem mangrove. Masyarakat tersebut semakin berantusias untuk merombak ekosistem mangrove menjadi tambak ikan dan udang. Pengaruh aktivitas suku-suku pionir tersebut terhadap masyarakat asli untuk mengkonversi kawasan pantai dan ekosistem mangrove semakin meningkat (Dahuri, 2000). Menurut Saptarini, dkk (1996), salah satu faktor sosial ekonomi yang berperan menyebabkan kerusakan mangrove secara langsung maupun tidak adalah faktor penduduk. Hal ini dikarenakan beberapa faktor antara lain; penduduk pantai termasuk golongan yang berpendidikan dan berpendapatan rendah; sebagian besar penduduk tidak memiliki lahan sebagai modal usaha; pola pemanfaatan sumberdaya yang tidak merata terutama pada daerah yang padat nelayan maka akan semakin kritis sumberdaya hayati perikanannya; dan belum sepenuhnya dapat menerima pembaharuan teknologi perikanan. Keberadaan kehidupan nelayan selama ini dihadapkan dengan sejumlah permasalahan yang terus membelitnya, seperti lemahnya manajemen usaha, rendahnya adopsi teknologi perikanan, kesulitan modal usaha, rendahnya pengetahuan pengelolaan sumberdaya perikanan, rendahnya peranan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan, dan lain sebagainya. Sehingga mengakibatkan kehidupan nelayan dalam realitasnya menunjukkan kemiskinan (Pical, 2003). Untuk meningkatkan dan melestarikan fungsi biologis dan ekologis ekosistem hutan mangrove perlu suatu pendekatan yang rasional di dalam pemanfaatannya dengan melibatkan masyarakat di sekitar kawasan dan masyarakat yang memanfaatkan kawasan hutan mangrove

233


Inovasi Vol. 10 No. 4, Desember 2013: 230-244

secara langsung. Penerapan sistem mina hutan (sylvofishery) di ekosistem hutan mangrove merupakan salah satu pendekatan yang tepat dalam pemanfaatan ekosistem hutan mangrove secara lestari. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan bahwa mangrove merupakan ekosistem hutan, dan oleh karena itu, maka pemerintah bertanggungjawab dalam pengelolaan yang berasaskan manfaat dan lestari, kerakyatan, keadilan, kebersamaan, keterbukaan dan keterpaduan. Pelestarian hutan mangrove merupakan suatu usaha yang sangat kompleks untuk dilaksanakan, karena kegiatan tersebut membutuhkan sifat akomodatif terhadap segenap pihak terkait baik yang berada di sekitar kawasan maupun di luar kawasan. Pada dasarnya kegiatan ini dilakukan demi memenuhi kebutuhan dari berbagai kepentingan. Akan tetapi, sifat akomodatif ini akan lebih dirasakan manfaatnya bilamana keberpihakan kepada institusi yang sangat rentan terhadap sumberdaya mangrove, dalam hal ini masyarakat diberikan porsi yang lebih besar (Bengen, 2001). Salah satu strategi penting yang saat ini banyak dibicarakan orang dalam konteks pengelolaan sumberdaya alam, termasuk ekosistem hutan mangrove adalah pengelolaan berbasis masyarakat (community based management). Community based management mengandung arti keterlibatan langsung masyarakat dalam mengelola sumberdaya alam di suatu kawasan. Mengelola di sini diartikan bahwa masyarakat ikut memikirkan, memformulasikan, merencanakan, mengimplementasikan, mengevaluasi maupun memonitornya, sesuatu yang menjadi kebutuhannya. Dengan istilah community based management itu juga mangandung arti suatu pendekatan (approach), dalam hal ini pendekatan dari bawah (bottom up approach) sebagai kebalikan pendekatan dari atas (top down approach). Dengan membiarkan masyarakat sendiri yang mengelola dan mengusulkan, diharapkan apa yang menjadi kebutuhan, keprihatinan dan aspirasi mereka dapat tertampung. Oleh sebab itu pula kegiatankegiatan yang diusulkan seharusnya cocok dengan apa yang diperlukan oleh masyarakat yang bersangkutan. Karena sifat dan pendekatan pada masyarakat serta kebutuhannya dapat spesifik, mengingat beragamnya masyarakat, maka tidak ada suatu model yang paten yang dapat diaplikasikan pada setiap masyarakat atau setiap waktu (Rahardjo, 1996).

Melanjutkan tulisan sebelumnya yang berjudul Identifikasi dan Analisis Kawasan Hutan Mangrove di Kawasan Pesisir Pantai Timur Sumatera Utara, tulisan ini bertujuan ini untuk: 1) mengkaji faktor-faktor pengelolaan hutan mangrove berbasis masyarakat di pesisir Pantai Timur Sumatera Utara; dan 2) memberikan rekomendasi strategi pola pengelolaan hutan mangrove yang berbasis masyarakat. METODE Lokasi penelitian yaitu di Kabupaten Deli Serdang dan Kabupaten Serdang Bedagai. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan deskriptif analitik dengan metode survei. Pengambilan sampel menggunakan teknik purposive sampling. Responden adalah masyarakat pengguna sumber daya, pemangku kepentingan dan masyarakat pesisir yang berada dalam sampling wilayah ekosistem mangrove. Pemilihan sampel responden pada masyarakat pesisir Kecamatan Pantai Labu dan Kecamatan Bandar Khalipah karena masyarakat tersebut mendiami pesisir Pantai Timur Sumatera Utara dan aktivitas yang dilakukan sehari-hari berhubungan langsung dengan kawasan mangrove di Kecamatan Pantai Labu dan Kecamatan Bandar Khalipah. Data primer dikumpulkan lewat pengamatan/analisis langsung dilapangan atau wawancara langsung dengan masyarakat. Data skunder diperoleh dari studi literatur dan dokumen-dokumen terkait dengan pengelolaan mangrove khususnya di wilayah penelitian. Analisis faktor keterlibatan/partisipasi masyarakat dan kelembagaan mengacu pada Raymond P, dkk (2010). Terdapat 3 (tiga) faktor penting partisipasi masyarakat dalam pengelolaan hutan mangrove, yaitu: faktor manajemen, faktor pengetahuan dan faktor sikap. Ketiga faktor ini akan dianalisis untuk mendapatkan pengetahuan bagaimana pengembangan pengelolaan mangrove yang berbasis masyarakat. Analisis SWOT digunakan untuk perumusan strategi pengelolaan mangrove berbasis masyarakat khususnya dikawasan pantai timur Sumatera Utara. HASIL DAN PEMBAHASAN Desa Kayu Besar sebagai sample wilayah penelitian merupakan desa yang mempunyai potensi hutan mangrove di sepanjang pantai dapat diidentifikasi beberapa upaya pengelolan mangrove sebagai gambaran pengelolaan mangrove untuk wilayah Pantai Timur Sumatera Utara . Luasan hutan mangrove yang ada di desa tersebut kurang lebih 438 ha hutan alan 234


Pengelolaan Hutan Mangrove Berbasis Masyarakat (Nobrya Husni, Porman Juanda Marpomari Mahulae)

dan 138 ha hutan tanaman. Lokasi hutan mangrove berada pada ketinggian 1-3 mdpl, untuk jenis-jenis yang dominan di hutan mangrove ini adalah Rhizopora apiculata untuk hutan alam dan jenis api-api (Avicennia sp) untuk hutan tanaman. Secara khusus sebagian besar hutan bakau atau hutan mangrove terdiri dari Rhizopora apiculata dan Rhizopora mucronata. Demikian halnya dengan hutan mangrove yang ada di Desa Kayu Besar terdiri dari jenis-jenis yang tersebut di atas yang masih sangat muda dimana 70 % kawasan adalah areal permudaan antara 7-8 tahun dan 30 %-nya adalah hutan alami sehingga secara umum jika dilihat dari komposisi tegakan masih didominasi oleh jenis pioner yang ada juga terdiri dari Avicennia yang berasosiasi dengan Sonneratia spp dan Nypa fructicans. Untuk sistem pengelolaan hutan mangrove, rencana pengelolaan ke depan adalah dengan menggunakan sistem empang parit, dengan tujuan selain mendapatkan kayu juga mendapatkan hutan, dalam sistem ini juga diusahakan agar semua jenis tidak bersifat dominansi. Untuk mewujudkan rencana pengelolaan tersebut, masyarakat mendapat bantuan dari pemerintah dalam hal ini Dinas Kehutanan. Beberapa hal yang telah dilakukan Dinas Kehutanan dalam mendukung pengelolaan mangrove berbasis masyarakat, antara lain dengan melakukan kunjungan ke lokasi pertambakan di areal mangrove di Desa Kayu Besar merupakan hutan alam seluas lebih kurang 438 ha yang hingga saat ini makin lama makin berkurang. Kawasan ini ditumbuhi oleh mangrove dengan zonasi yang didominasi oleh api-api (Avicennia spp) pada daerah yang berdekatan dengan pantai dan bakau-bakau (Rhizophora sp) pada lokasi yang berada di belakangannya (ke arah darat). Selain itu, terdapat juga nipah (Nypa fruticans) yang tersebar dalam spot-spot kecil yang tersebar di beberapa tempat. Areal tambak di kawasan Desa Kayu Besar sebagian besar merupakan tambak masyarakat yang diusahakan dengan cara tradisional. Umumnya masyarakat setempat membudidayakan udang windu dan bandeng. Oleh karena pola usaha budidaya masih bersifat tradisional, maka produksinya tidak begitu besar. Berdasarkan informasi dari Kepala Desa Kayu Besar, disarankan agar tambak percontohan (dempond) yang akan digunakan sebagai model pengembangan tambak ramah lingkungan, terletak pada areal yang berdekatan dengan milik masyarakat. Lahan yang digunakan merupakan tanah milik

masyarakat dan Negara. Pada saat survei, lahan ini masih ditumbuhi dengan mangrove, yaitu jenis api-api (Avicennia spp). Berdasarkan informasi kepala desa, mangrove pada areal tersebut akan diganti dengan jenis Rhizophora sp yang memiliki sistem perakaran yang kuat jika dibandingkan dengan jenis apiapi. Avicennia seringkali tumbang jika angin bertiup kencang karena sistem perakarannya yang menjalar di permukaan tanah, sehingga tidak kuat menahan tiupan angin. Selain itu, jenis mangrove ini juga mengalami pelapukan pada bagian tengah batangnya (berongga) jika sudah tua. Sosialisasi kegiatan juga telah dilakukan di kantor Kepala Desa Kayu Besar dengan dihadiri oleh lebih kurang 30 (tiga puluh) orang masyarakat setempat dan aparat desa. Pada sosialisasi disampaikan beberapa hal berkenaan dengan kegiatan yang akan dilakukan, khususnya kegiatan pelestarian ekosistem mangrove. Dari hasil diskusi dengan peserta sosialisasi diketahui bahwa sebagian besar mereka mendukung adanya kegiatan pelestarian ekosistem mangrove tersebut. Harapan mereka bahwa program ini dapat berlangsung terus-menerus karena mereka beranggapan bahwa pengelolaan lahan mangrove di Desa Kayu Besar memerlukan pembinaan dan dukungan dari semua pihak, termasuk dari Pemerintah. Peraturan desa (Perdes) mengenai pengelolaan mangrove telah dibuat, yang berguna untuk menjadi panduan masyarakat dalam mengelola dan menjaga kawasan mangrove yang ada agar tidak dirusak ataupun dikonversi menjadi areal tambak. Ancaman lainnya yang perlu diantisipasi adalah pengambilan kayu bakau yang dilakukan masyarakat dari luar desa. Pihak desa telah mengantisipasi hal ini dengan menempatkan sejumlah penjaga atau petugas patroli yang berasal dari masyarakat setempat yang melakukan penjagaan pada kawasan mangrove. Disampaikan pula bahwa keberadaan petugas ini perlu didukung oleh sarana yang memadai, seperti perahu, radio komunikasi, alat bantu penerangan, dan lainlain. Diharapkan agar Pemerintah ataupun pihak lainnya dapat membantu dalam pengadaan sarana tersebut. Desa Kayu Besar memiliki beberapa kelompok masyarakat yang memiliki karakteristik yang berbeda-beda pada setiap kelompok. Kelompok masyarakat berada di bawah naungan lembaga desa, terbagi menjadi beberapa bagian sesuai dengan unit usaha yang dikerjakan. Kelompok masyarakat yang ada di

235


Inovasi Vol. 10 No. 4, Desember 2013: 230-244

Desa Kayu Besar antara lain adalah kelompok Tani Mangrove Bela Nusa. Banyaknya kelompok masyarakat yang terbentuk dapat meningkatkan interaksi antar masyarakat yang berimbas pada proses difusi informasi teknologi, dimana informasi teknologi ini dapat meningkatkan daya inovatif masyarakat untuk menuju ke arah perubahan yang lebih maju. Beberapa kegiatan bantuan pemerintah untuk meningkatkan kesadaran dan keterlibatan aktif masyarakat dalam pengelolaan ekosistem mangrove di Kabupaten Deli Serdang, rekomendasi yang dapat dilakukan antara lain: a) sosialisasi untuk menetapkan lokasi penanaman, kegiatan dan biaya pemeliharaan pasca penanaman, dan pengumpulan dan pengangkutan benih; b) penyuluhan tentang fungsi dan manfaat mangrove baik secara ekologi maupun fungsi jasa sosial hutan mangrove yang bertujuan untuk meningkatkan pemahaman masyarakat mengenai fungsi dan manfaat mangrove; c) pembentukan kelompok binaan yang bertujuan untuk melibatkan masyarakat dalam kegiatan rehabilitasi dan pelatihan sehingga diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan dan kesadaran mereka akan pentingnya fungsi ekosistem hutan mangrove; dan d) pemantauan dan evaluasi untuk mengetahui perubahan variabel administratif, sosial budaya, prilaku masyarakat dan lingkungan. Kegiatan pelestarian ekosistem mangrove di Desa sample wilayah penelitian dilaksanakan oleh masyarakat yang tergabung dalam Kelompok Tani dan masyarakat setempat. Berbagai proses yang dibangun dalam program pelestarian ekosistem hutan mangrove ini melibatkan masyarakat. Adapun kegiatan yang dilakukan yaitu: a) persiapan yang bertujuan bertujuan untuk mensosialisasikan kegiatan rehabilitasi mangrove, untuk mendapatkan lokasi mana yang harus dilaksanakan sebagai tempat penanaman, mendapatkan bibit yang sesuai dan bermutu, dan mencari tenaga lokal serta transportasi selama kegiatan berlangsung; b) sosialisasi dengan masyarakat setempat dan kelompok tani. Sosialisasi dilakukan dalam bentuk pertemuan formal maupun informal, diantaranya di rumah kepala desa dan kantor desa. Dalam pertemuan ini disepakati bahwa bibit yang akan digunakan dalam kegiatan rehabilitasi ini adalah bibit Rhizhophora spp, karena kemudahan mendapatkan bibit dan mudah dikembangkan; c) identifikasi atau survei lokasi guna mengetahui lokasi-lokasi mana saja yang perlu dilakukan penanaman.

Berdasarkan hasil dari sosialisasi ditingkat desa dan kelompok tani, bahwa lokasi-lokasi yang perlu dilakukan penanaman adalah lokasi hutan mangrove yang ada di desa tersebut. Penentuan lokasi penanaman ini adalah atas permintaan dari kepala dusun dan kelompok tani setempat serta daerahnya benar-benar daerah yang sangat rusak akibat abrasi dan memerlukan penanaman; d) penyediaan bibit sebanyak 10 ribu batang dan tenaga kerja disediakan oleh kelompok tani mangrove; e) pembibitan (pengadaan bibit) bertujuan untuk menyediakan bibit yang siap ditanam pada saat penanaman. Bibit tanaman mangrove yang digunakan yaitu jenis Rhizophora apiculata dan R. mucronata dari famili Rhizophoraceae yang mempunyai propagul cukup panjang. Propagul yang panjang, secara efektif relatif tahan terhadap genangan pasang surut dan genangan air laut; f) penanaman dilakukan pada bulan awal bulan Desember pada dua lokasi yaitu di daerah abrasi pantai dan bekas tambak; g) pemeliharaan dilakukan dengan cara menjaga dan memonitoring lokasi penanaman dan melakukan penyulaman terhadap bibit atau tanaman yang mati. Hal ini dilakukan untuk mencegah pengrusakan hutan mangrove yang telah terjadi sekian lama. Pengrusakan hutan mangrove di wilayah pesisir wilayah penelitian sebagian besar disebabkan terjadi konversi hutan mangrove menjadi areal pertambakan dan perkebunan. Konversi tersebut mengakibatkan terjadinya perubahan keseimbangan fungsi hutan mangrove. Biasanya konversi lahan dilakukan oleh sebagian oleh pengusaha tambak udang dan pengusaha perkebunan kelapa sawit. Disamping itu, masyarakat desa pantai juga memanfaatkan untuk pertambakan tradisional dan perkebunan rakyat. Selain beberapa kegiatan bantuan / asistensi pemerintah dan kegiatan masyarakat dalam pemulihan/rehabilitasi hutan mangrove, peningkatan taraf hidup atau kemampuan ekonomi masyarakat di sekitar ekosistem mangrove juga haru dilakukan untuk mengurangi atau mencegah dampak kerusakan mangrove oleh masyarakat. Untuk itu perlu dimanfaatkan potensi ekonomi mangrove sehingga kemampuan ekonomi masyarakat tidak menurun akibat pengelolaan ekosistem mangrove. Alternatif pengkembangan potensi pemanfaatan ekosistem mangrove yang dapat di adopsi dari daerah lainnya di Indonesia untuk diterapkan di wilayah penelitian antara lain: a) Nipah (Nypa fruticans), pemanfaatan nipah oleh masyarakat masih dengan menggunakan 236


Pengelolaan Hutan Mangrove Berbasis Masyarakat (Nobrya Husni, Porman Juanda Marpomari Mahulae)

cara-cara tradisional. Khusus untuk vegetasi nipah, penduduk asli di sekitar kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni, yaitu masyarakat suku Sough, Kuri dan Warnesa dalam kehidupan telah memanfaatkan mulai dari akar, daun hingga buahnya (Sihite, 2005); b) Api – api (Avicennia marina, Avicennia lanata, Avicennia officinalis), pemanfaatan api – api sebagai salah satu vegetasi dari hutan mangrove umumnya masih untuk keperluan kayu bakar saja. Akan tetapi jika dilihat lebih dalam ternyata api-api mempunyai manfaat lain, yaitu untuk pakan ternak dan bahan makanan; c) Perepat (Sonneratia alba), dengan sifat buah yang tidak beracun dan dapat langsung dapat digunakan sebagai bahan baku makanan dan tidak memerlukan perlakuan atau langsung dapat dimasak menjadi aneka makanan dan minuman; d) Tanjang (Bruguiera sexangula dan Bruguiera cylindrica), selain dapat dimanfaatkan sebagai bahan makanan, juga dapat digunakan sebagai obat pertolongan pertama bagi korban kebakaran. Buah dari tanjang juga diyakini bisa mengobati penyakit herpes (Noor, 2006); e) Bakau (Rhizophora apiculata), dapat digunakan sebagai bahan makanan, obat-obatan, sumber energi dan tiang rumah karena mempunyai tekstur yang kuat untuk menyangga rumah penduduk (Sihite, 2005); f) Waru (Hibiscus tiliaceus), dapat digunakan untuk obat-obatan dan bahan baku pembuatan peralatan penangkap ikan (Kusmana dkk, 2008); g) Truntun (Lumnitzera littorea), dapat dimanfaatkan sebagai bahan bangunan. Dengan penampilan yang menarik dan memiliki wangi seperti mawar, maka kayunya sangat cocok dijadikan sebagai bahan pembuatan lemari dan furnitur lainnya. Akan tetapi permasalahan yang sering dijumpai adalah kayu truntun berukuran besar jarang ditemui (Noor, 2006). Pada masyarakat Maluku dan Papua memanfaatkan truntun sebagai kayu bakar, tiang, pagar, balok penyangga, tiang untuk perangkap ikan dan kayu pembuatan sampan (Kusmana dkk, 2008); h) Buta–buta (Excoecaria agallocha), biasa digunakan sebagai obat–obatan untuk menyembuhkan sariawan pada bayi (Kusmana dkk, 2008); i) Lenggade (Bruguiera parviflora), selain dapat dimanfaatkan sebagai bahan makanan, juga sebagai sumber energi. Secara umum dapat dijelaskan bahwa pemanfaatan ekosistem mangrove dapat dikategorikan manjadi pemanfaatan ekosistem secara keseluruhan (nilai ekologi) dan pemanfaatan produk – produk yang dihasilkan ekosistem tersebut (nilai sosial ekonomi dan budaya). Secara tradisional, masyarakat

setempat menggunakan mangrove untuk memenuhi berbagai kebutuhan. Tetapi, meningkatnya jumlah penduduk dan pemanfaatan yang berlebihan dapat menyebabkan terjadinya tekanan pada sumberdaya ini. Nilai ekonomi kawasan mangrove yang muncul sebagai akibat dari peran ekologi dan produk yang dihasilkannya sering diabaikan sehingga kawasan ini banyak diubah menjadi kawasan pertambakan, pertanian dan perkebunan. Dalam penelitian ini, pemanfaatan yang dilakukan masyarakat terhadap mangrove di Desa Kayu Besar masih sederhana dan bersifat tradisional. Jika dibandingkan dengan beberapa daerah lainnya yang juga memanfaatkan ekosistem mangrove, terdapat bentuk pemanfaatan lain yang bisa memberikan kontribusi kepada masyarakat. Penggunaan lahan disekitar ekosistem mangrove Desa Kayu Besar meliputi pertambakan udang, kebun masyarakat disekitar tambak, pemukiman serta jalan sebagai akses menuju kawasan mangrove. Kawasan mangrove Desa Kayu Besar memiliki sungai yang merupakan jalur nelayan menuju laut. Kawasan disekitar mangrove juga dijadikan lokasi persinggahan kapal – kapal nelayan. Penebangan yang dilakukan pihak yang tidak bertanggung jawab merupakan penyebab utama kerusakan ekosistem mangrove Desa Kayu Besar. Disamping itu terdapat pula kerusakan akibat dari perubahan lahan mangrove ke pertambakan dan pemanfaatan mangrove yang berlebihan seperti kayu bakar dan nipah yang juga berpotensi menimbulkan kerusakan pada ekosistem mangrove. Perikanan pada umumnya merupakan sumber daya ekonomi paling utama di kawasan mangrove. Akan tetapi, pemanfaatan sumberdaya perikanan di kawasan mangrove Desa Kayu Besar hanya berupa hasil pancingan dan pengelolaan tambak udang. Untuk perikanan tangkap langsung, masyarakat Desa Kayu Besar umumnya menggunakan pancing. Hampir semua tambak pada ekosistem mangrove Desa Kayu Besar menggunakan sistem tambak intensif, hampir tidak ada yang melakukan penglolaan dengan sistem empang parit (tambak tumpang sari/Sylvo-fishery). Pengelolaan tambak dengan sistem empang parit merupakan salah satu bentuk pemanfaatan ekosistem mangrove yang ramah lingkungan. Teknik pengelolaan tambak empang parit ini dapat dijadikan sebagai alternatif pengelolaan tambak di Desa Kayu Besar.

237


Inovasi Vol. 10 No. 4, Desember 2013: 230-244

Pemanfaatan kawasan mangrove Desa Kayu Besar untuk pengembangan peternakan relatif kurang berkembang. Hal ini antara lain disebabkan karena orientasi masyarakat cenderung ke arah pemanfaatan kayu bakar dan pengolahan nipah. Pengelolaan ekosistem mangrove untuk pengembangan peternakan menjadi salah satu peluang yang bisa dimanfaatkan masyarakat Desa Kayu Besar. Pemanfaatan tumbuhan mangrove di kawasan mangrove untuk keperluan obat – obatan masih minim ditemukan. Jenis yang terdapat di Desa Kayu Besar belum dimanfaatkan sebagai bahan baku industri. Hal ini mungkin disebabkan kurangnya informasi yang didapat masyarakat atau belum adanya industri pengolahan di daerah tersebut. Pemanfaatan jenis mangrove untuk bahan baku industri menjadi salah satu peluang yang bisa dimanfaatkan masyarakat dimana, masyarakat sebagai penyuplai bahan baku industri. Pengembangan potensi ini diharapkan dapat membantu meningkatkan kesejahteraan masyarakat, dan pada akhirnya turut mendorong upaya pelestarian ekosistem mangrove. Kawasan mangrove dapat menjadi lokasi pendidikan konservasi. Dalam penelitian ini, Kawasan mangrove Desa Kayu Besar telah sering dikunjungi para pelajar dan mahasiswa untuk tujuan pendidikan. Desa Kayu Besar menjadi lokasi praktek lapangan dan penelitian mahasiswa kehutanan Universitas Sumatera Utara. Kondisi mangrove Desa Kayu Besar yang memungkinkan untuk dijadikan sebagai lokasi tujuan pendidikan menjadi salah satu peluang pemanfaatan ekosistem mangrove. Masyarakat sekitar bisa bekerjasama dengan peneliti/pelajar dan menjadi pemandu bagi mereka. Usaha pertanian di kawasan mangrove Desa Kayu Besar telah dilakukan oleh sebagian masyarakat. Pemanfaatan yang diterapkan berupa penanaman tanaman palawija dan sayuran disekitar areal tambak. Umumnya pengelolanya adalah pemilik tambak itu sendiri. Kegiatan pertanian di kawasan mangrove dapat menyebabkan hilangnya area mangrove karena dikonversi menjadi kebun ataupun sawah. Selain itu penggunaaan pupuk kimia jumlah besar dalam pertanian intensif juga dapat menyebabkan kerusakan ekosistem mangrove. Untuk itu perlu dilakukan penataan tentang lahan yang akan dijadikan areal pertanian dan kawasan mangrove. Hal ini untuk menjaga batasan yang jelas antara kawasan mangrove dan areal pertanian.

Pada dasarnya pemanfaatan ekosistem mangrove untuk mendapatkan nilai ekonomis telah dilakukan oleh masyarakat Desa Kayu Besar. Dari hasil inventarisasi Hasil Hutan Non Kayu yang dilakukan pada ekosistem mangrove di Desa Kayu Besar, ditemukan beberapa jenis yaitu nipah, kepiting dan kepah, cacing pita, udang bakau dan ikan. Dari hasil hutan non kayu yang dijumpai merupakan jenis yang umum dan bisa dijumpai di daerah mangrove lainnya, seperti yang diperlihatkan dalam Tabel 1. Tabel 1. Inventarisasi Hasil Hutan Non Kayu (HHNK) Nama Species No. Nama Lokal Nama Latin 1. Kepiting Scylla serrate 2. Kepah Mytilus edulis 3. Nipah Nypa fruticans 4. Cacing Pita Lumbricus rubellus 5. Udang Bakau Thalassina anomala 6. Ikan Oreochromus spp. Masyarakat pada umumnya memanfaatkan hasil hutan non kayu tersebut tidak hanya untuk keperluan sehari – hari saja, akan tetapi untuk dijual juga. Salah satunya adalah nipah yang dimanfaatkan untuk membuat atap rumah dan diperjual belikan oleh masyarakat. Hasil hutan non kayu yang dijumpai pada ekosistem mangrove Desa Kayu Besar semuanya dimanfaatkan masyarakat. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat tidak hanya memanfaatkan hasil hutan berupa kayu untuk dieksploitasi. Pemanfaatan hasil hutan non kayu dapat menambah penghasilan masyarakat sekitar mangrove Desa Kayu Besar. Bahkan, ada masyarakat yang pekerjaan sehari – harinya adalah mengumpulkan kepiting mangrove untuk dimakan dan dijual. Hasil hutan non kayu (HHNK) selain mempunyai nilai ekonomi bagi masyarakat, juga dapat dinikmati sendiri manfaatnya oleh masyarakat. Masyarakat di Desa Kayu Besar, Kecamatan Bandar Khalipah Kabupaten Serdang Bedagai sejak lama telah memanfaatkan berbagai potensi mangrove yang ada disekitar mereka. Umumnya masyarakat desa tersebut memanfaatkan mangrove untuk mendapatkan potensi ekonominya. Dalam penelitian ini, pemanfaatan tersebut berupa membuka tambak, mencari kayu bakar, membuat atap rumah, mengumpulkan cacing pita, mencari kepiting dan kepah. Pemanfaatan potensi ekonomi mangrove berdasarkan sample 238


Pengelolaan Hutan Mangrove Berbasis Masyarakat (Nobrya Husni, Porman Juanda Marpomari Mahulae)

responden yang terpilih di Desa Kayu Besar, seperti yang diperlihatkan dalam Tabel 2.

Desa Kayu Besar. Pengerjaannya cukup mudah, daun nipah yang diambil dari hutan kemudian dipotong dengan ukuran yang disesuaikan dan nantinya digabungkan. Dibutuhkan penopang (biasanya batang daun nipah) sebagai penahan daun tersebut, lalu dirajut untuk memperkuat pegangan. Untuk ukuran biasanya disesuaikan dengan keperluan ataupun pesanan. Atap daun nipah ini banyak dijual disepanjang jalan menuju Desa Kayu Besar. Tambak yang dikelola oleh masyarakat berada disekitar mangrove dan tidak jauh dari hutannya. Sebagian besar tambak yang dikelola oleh masyarakat di Desa Kayu Besar merupakan peninggalan dari pihak swasta yang dulu pernah mengelola tambak namun kurang berhasil, akan tetapi ada juga yang membuka tambak sendiri. Jenis yang sering dikembangkan masyarakat untuk tambak adalah udang. Pemanfaatan tambak cukup menjanjikan keuntungan, akan tetapi membutuhkan banyak modal dan cukup rumit karena harus memiliki izin dari pemerintah setempat. Pengelolaan tambak yang dilakukan oleh masyarakat juga berpotensi menyebabkan kerusakan ekosistem mangrove. Untuk itu dalam pengelolaan perlu diterapkan sistem yang juga dapat menjaga kelestarian ekosistem seperti mengkombinasikan tanaman di dalam tambak (sylvofishery). Bentuk pemanfaatan ekosistem mangrove Desa Kayu Besar lainnya adalah mencari cacing pita. Pengumpulan cacing pita ini biasanya dilakukan pada saat pasang. Tambak yang sudah tidak dipergunakan lagi diberi celah agar air pasang laut bisa masuk. Tambak kemudian ditutup untuk menjaga air tetap didalam. Setelah air laut dalam tambak mulai surut, pencarian pun dilakukan Cacing pita ini dipergunakan masyarakat sebagai umpan pada saat memancing dilaut. Cacing pita ini lumayan mudah ditemui di sekitar Desa Kayu Besar dan sudah dikemas dalam plastik. Pemanfaatan kepiting dan kepah sebagai hasil hutan non kayu sudah lama dilakukan masyarakat sekitar mangrove Desa Kayu Besar. Cara penangkapan kepiting yang dilakukan masyarakat masih bersifat tradisional yaitu dengan menggunakan galah yang ujungnya dipasangi kait. Kait ini nantinya dipergunakan untuk mengeluarkan kepiting dari lubangnya. Kepiting lalu diikat untuk menjaga capitnya. Sedangkan untuk kepah caranya mudah, hanya dengan mengumpulkan begitu saja. Di mangrove Desa Kayu Besar, akhirakhir ini masyarakat mengeluhkan akan susahnya mencari kepiting dan kepah. Hal ini

Tabel 2. Distribusi Responden berdasarkan Pemanfaatan pada Ekosistem Mangrove No.

Pekerjaan

Frekuensi

1. 2.

Mencari cacing pita Mencari kepiting dan kepah Membuka tambak Mencari kayu bakar Membuat atap rumah Memancing ikan Jumlah

5 4

Persentase (%) 12,5 10

7 12 10

17,5 30 25

2 40

5 100

3. 4. 5. 6.

Berdasarkan Tabel 2 diperoleh data bahwa pemanfaatan mangrove yang paling dominan adalah mencari kayu bakar, yaitu sebesar 30% dari 30 responden. Kemudian disusul oleh membuat atap dari nipah (25%), membuka tambak (17,5%), mencari kepiting dan kepah (10%), mencari cacing pita (12,5%) dan memancing ikan (5%). Umumnya masyarakat memanfaaatkan mangrove sebagai pekerjaan utama dan pekerjaan sampingan. Seluruh pemanfaatan mangrove di Desa Kayu Besar dilakukan secara manual (masih mempergunakan tenaga manusia) dan masih bersifat tradisional. Tingkat pendidikan masyarakat yang rata-rata tamatan Sekolah Dasar diperkirakan menjadi salah satu faktor yang menyebabkan kurang maksimalnya pemanfaatan mangrove dengan cara-cara lain (penggunaan teknologi) oleh masyarakat. Pemanfaatan ekosistem mangrove yang paling dominan dilakukan masyarakat adalah mengumpulkan kayu bakar. Pemanfaatan kayu bakar ini banyak dilakukan masyarakat karena cara pengerjaannya yang relatif mudah. Masyarakat dengan menggunakan peralatan seperti parang dan kapak masuk ke hutan untuk mengambil kayu bakar dan mengeluarkannya. Kayu bakar yang diambil umumnya yang sudah tua atau mati. Hal ini dilakukan untuk menjaga keberlangsungan tanaman muda, selain itu juga bisa untuk mempermudah pengerjaan. Jenis vegetasi yang paling sering dimanfaatkan adalah Bakau (Rhizophora apiculata) karena mudah terbakar. Kayu bakar yang sudah diambil dan dikeluarkan dari dalam hutan kemudian dibawa dengan menggunakan sepeda atau gerobak kecil. Kayu bakar ini kemudian ada yang dimanfaatkan untuk kalangan sendiri dan ada juga yang dijual. Pemanfaatan nipah untuk keperluan atap rumah merupakan bentuk pemanfaatan lain yang dilakukan masyarakat sekitar mangrove

239


Inovasi Vol. 10 No. 4, Desember 2013: 230-244

akan tetapi bekerjasama dengan oknum Pemerintah terutama dalam peralihan lahan hutan mangrove yang diperuntukkan pada pembuatan tambak intensif. Dengan melihat kondisi hutan mangrove yang berada di pesisir Kecamatan Bandar Khalipah harusnya Pemerintah cepat melakukan tindakan penyelamatan pelestarian karena kondisi hutan sudah sangat tidak baik. Selain kondisi hutan mangrove yang tidak baik diperparah lagi oleh sistem pengelolaan hutan mangrove yang juga kurang baik (persepsi responden terhadap sistem pengelolaan hutan mangrove di pesisir Kecamatan Bandar Khalipah menyatakan yang kurang baik). Oleh karena itu upaya pelestarian dan pengamanan hutan mangrove akan mengalami kendala yang cukup berarti sehingga diperlukan strategi pelestarian hutan mangrove yang baru terutama yang melibatkan unsur masyarakat dalam pengelolaannya. Keterlibatan masyarakat ini sangat penting karena rendahnya keperdulian masyarakat terhadap aktifitas yang mengganggu keberadaan hutan mangrove. Pesatnya aktivitas pembangunan di kawasan pantai Deli Serdang dan Serdang Bedagai terutama sektor industri dan perkebunan telah menimbulkan dampak terhadap ekosistem mangrove yaitu rusaknya ekosistem hutan mangrove yang ada. Partisipasi adalah kata kunci dalam pegelolaan ekosistem mangrove berbasis masyarakat di Kabupaten Deli Serdang dan Serdang Bedagai. Banyak program dan kegiatan pengelolaan yang kurang berhasil dikarenakan pelaksanaan program gagal melibatkan partisipasi masyarakat sejak awal program. Pelibatan masyarakat diperlukan untuk kepentingan pengelolaan secara berkelanjutan pada suatu sumberdaya dan pada umumnya kelompok masyarakat yang berbeda akan berbeda pula dalam kepentingannya terhadap sumberdaya tersebut. Dalam rangka merumuskan pengelolaan hutan mangrove berbasis masyarakat, dilakukan analisa lingkungan strategi melalui pencermatan (scanning) faktor internal dan ekstemal. Analisis SWOT terhadap kawan hutan mangrove di Kabupaten Deli Serdang dan Serdang Bedagai ditampilkan pada Tabel 3.

dikarenakan kondisi fisik mangrove yang rusak sehingga kepiting dan kepah sulit berkembang biak. Pemanfaatan ekosistem lainnya dilakukan masyarakat dengan memancing ikan disekitar areal mangrove Desa Kayu Besar. Peralatan yang dipergunakan masyarakat umumnya adalah pancing sederhana dengan gagang kayu, namun ada juga yang mempergunakan jaring untuk membantu. Hasil pancingan umumnya tidak diperjual belikan melainkan untuk keperluan makan sehari-hari. Kegiatan memancing ini dilakukan masyarakat disepanjang sungai disekitar mangrove Desa Kayu Besar. Masyarakat yang memanfaatkan ekosistem mangrove di Desa Kayu Besar Kecamatan Bandar Khalifah Kabupaten Serdang Bedagai masih menggunakan cara- cara lama dan bersifat tradisional. Masyarakat tersebut memerlukan cara/teknik penggunaan yang baru untuk lebih memaksimalkan pemanfaatan hasil dari mangrove tersebut. Keterbatasan informasi yang didapat masyarakat menjadi salah satu faktor yang menyebabkan kurangnya pengetahuan masyarakat tentang pemanfaatan mangrove. Penyuluhan-penyuluhan tentang pemanfaatan mangrove harus lebih dimaksimalkan lagi untuk membantu masyarakat dalam mengenal mangrove. Pemanfaatan terhadap mangrove tentu saja dapat menyebabkan kondisi alami mangrove terdegradasi. Menurut masyarakat hutan mangrove yang ada di Desa Kayu Besar merupakan hutan mangrove sekunder, yaitu hasil tanaman dari masyarakat yang bekerja sama dengan pemerintah setempat. Hal ini disebabkan karena dulu kawasan mangrove Desa Kayu Besar dieksploitasi secara besarbesaran oleh pihak swasta. Bahkan pada beberapa kawasan mangrove keadaan ekosistemnya sudah rusak dan dibiarkan begitu saja oleh masyarakat. Kejadian ini diperparah karena berkembangnya isu- isu konversi lahan hutan mangrove menjadi kebun kelapa sawit yang dikelola oleh pihak swasta. Potensi sumberdaya yang cukup berlimpah dengan kondisi penduduk dan pesatnya pertumbuhan pembangunan di wilayah pesisir dan laut, secara umum terjadi permasalahan permasalahan seperti: rendahnya kualitas sumberdaya manusia; dan kurangnya informasi pengembangan sumberdaya alam. Pelaku pengrusakan hutan mangrove terbesar disebabkan oleh oknum pengusaha yaitu sebesar 40% dan Pemerintah 30%. Hal ini karena masyarakat berpersepsi bahwa pengusaha tidak akan bisa berdiri sendiri 240


Pengelolaan Hutan Mangrove Berbasis Masyarakat (Nobrya Husni, Porman Juanda Marpomari Mahulae)

Tabel 3. Hasil Analisis dengan Menggunakan Matrik SWOT Faktor Internal

Faktor Eksternal Peluang (O) 1. Adanya berbagai alternatif kegiatan wirausaha yang dapat dilakukan oleh mayarakat berbasis ekosistem pemanfaatan sumberdaya mangrove 2. Adanya kebijakan pemerintah daerah yang mendukung upaya pengelolaan ekosistem mangrove secara lestari 3. Adanya isu global lingkungan yang mendukung program-program pengelolaan hutan lestari 4. Adanya proses peningkatan tingkat pendidikan dan pemahaman terhadap lingkungan masyarakat sekitar hutan secara bertahap

Ancaman (T) 1. Adanyapihak-pihaktertentuyangingin mengkonversikawasanmangrove menjadiarealpertambakan,lingkungan, pemukiman,danpertanian 2. Adanyapemahamanyangkelirutentang manfaatdancarapemanfaatankayudari ekosistemmangrove 3. Adanyaperilakupemanfaatan kosistem mangroveberupakayudannonkayuyang tidakramahlingkungan 4. Beragamnyakepentingandalam pemanfaatanpotensikawasanpesisir sehinggaberdampakdalamkerusakan ekosistem mangrove 5. Pertumbuhanekonomidikawasanpesisir membutuhkanarealpengembangan aktivitasekonomiselainhutan 6. Perilakutidakramahlingkungandari masyarakatdalammembuangsampah anorganik

Kekuatan (S) 1. Aksesibilitas atau transportasi yang lancar dalam memanfaatkan sumberdaya ekosistem mangrove bagi masyarakat setempat 2. Menghasilkan/memproduksi kayu untuk merupakan kebutuhan seharihari masyarakat setempat 3. Keberadaan hutan mangrove menjadi pemasok nutrisi bagi sebagian besar biota laut di kawasan pesisir 4. Ekosistem mangrove menghasilkan sumberdaya perikanan yang menjadi mata pencaharian nelayan 5. Keberadaan kawasan hutan mangrove menjadi sumber mata pencaharian masyarakat baik sebagai pekerja pokok maupun sampingan

Kelemahan (W) 1. Terjadinya penurunan luas hutan dan potensi hasil hutan kayu dan HHNK (hasil hutan non kayu) dari tahun ke tahun 2. Keragaman atau jenis pohon mangrove rendah 3. Keterampilan dan pengetahuan masyarakat dalam mengelola hutan mangrove secara lestari masih kurang 4. Tingkat pendidikan masyarakat dan kesejahteraan umumnya masih rendah 5. Pengetahuan dan kesadaran masyarakat akan pentingnya fungsi-fungsi hutan masih rendah 6. Skill dan pengalaman masyarakat dalam pemanfaatan hasil hutan non kayu masih kurang 7. Kelembagaan pengelolaaan yang ada tidak aktif dan tidak efektif mengelola hutan di lapangan 8. Tidak memiliki perangkat keamanan yang bisa menjaga hutan dengan baik

Strategi S/O

Strategi W/O

1. Menciptakan wirausaha seperti wood working yang menghasilkan barang kebutuhan nelayan kerajinan tangan, atau souvenir (S1,2,O1) 2. Pemanfaatan sumber daya mangrove yang dilakukan oleh masyarakat maupun pengusaha sebaiknya dilakukan secara lestari sesuai dengan kebijakan pemerintah (S1, 2, O2) 3. Mengembangkan usaha tambak pembibitan ikan,udang, kepiting dan biota laut lainnya dengan menerapkan sistem silvopastural (S3, 4, O2, 3) 4. Pendampingan pemerintah kepada masyarakat berwirausaha dalam hal pemanfaatan /optimalisasi potensi ekonomi mangrove (S1, 2, 3, 4, 5, O2, 3, 4) 5. Aksesibilitas yang lancar memudahkan pengembangan wirausaha dan mempengaruhi kecepatan pertumbuhan perekonomian lainnya (S1, 2, 3, 4, 5, O1,2, 3, 4) Strategi S/T 1. Aksesibilitaslancermemudahkankawasan mangrovedikembangkanmenjaditempat belajar,wisata,tambak,danpemanfaatanlainnya. (S1,2,T1) 2. Menciptakanpolatambaksilvopastural(S3,T1) 3. Penyuluhanolehpemerintah,bagaimanacara pemanfaatankayudannonkayudancara pemanfaatanHHNKagarbernilaiekonomisdan menciptakanindustripengelolaanyadalamskala kecil (S2,5,T2,3,4) 4. Mengadakansosialisasidanpendekatankepada masyarakattentangcarapemanfaatandan menumbuhkankesadaranmasyarakatterhadap lingkungan(S5,T1,2,3,4,5) 5. Memungkinkandikembang-kannyajasa ekowisatabahari(S1,5,T5) 6. Pemerintahharuslebihmengontrol pertumbuhanekonomidenganmenciptakan perangkathukum,statuskawasan,fungsi,dan kepemilikanlahan(S5,T5) 7. Dilakukan suatu bentukpengendalianlimbahdan peraturanpengelolaanDAS(S4,5,T6)

Sumber: Data diolah (2012)

241

1.

2.

3.

4.

5.

6.

7.

1.

2.

3.

4.

5.

Pemerintah membuat kebijakan kepada pengusaha wajib merehabilitasi kembali kawasan mangrove yang rusak akibat pemanfaatan (W1,O1) Membuat program reboisasi dan pengkayaan jenis mangrove yang dilakukan oleh semua pihak (W1, 2, O2, 3) Adakan penyuluhan lingkungan dan pelatihan pemanfaatan HHNK secara intensif kepada masyarakat(W1,4,5,6, O2,4) Memberdayakan kembali lembaga atau organisasi mayarakat dalam mengelola ekosistem mangrove (W7,8, O2,3) Adakan program kegiatan lingkungan berkelanjutan oleh masyarakat dan stakeholder yang didukung kebijakan pemerintah daerah (W3,4,5,6 , O2,3) Mengadakan programpendidikanlingkungankepada anak-anaksekolahbaik formalmaupunnonformal(W3,45, 6, , O2,3) Pemerintahmengorganisir lembagalembaga masyarakat untuk menjaga kelestarian mangrove(W8,O2) Strategi W/T Pemerintahharusmemilikikebijakanyangtegas mengenaiperubahanperuntukkanlahankhususnya ekosistemmangrove(W1,T1) Mengadakansosialisasitentangcarapemafaatankayu kepadamasyarakatdengantujuanuntuk meningkatkankualitas potensikayudan meningkatkandayakreatifitasmasyarakat(W2,3,4,5,6,T2, 3) Kesejahteraanmasyarakatpesisiryangbelummerata dantingkatpendidikanyangrendah,ketertarikan pengusahayangberinvestasimenjadiperhatian pemerintahdaerahuntukdapatmengajak masyarakatdalamberpartisipasimembangun daerahnya(W4,T5) Memberdayakankembalilembagamasyarakatuntuk menjagadanmengawasihutanmangrovedari perilakupemanfaatanyangtidakramahlingkungan (W7,8,T5) Mengadakanprogrampendidikanlingkunganagar masyarakatsadar fungsihutandengantidak membuangsampahanorganik(W4,5,T6)


Inovasi Vol. 10 No. 4, Desember 2013: 230-244

Strategi SO merupakan strategi yang menggunakan kekuatan untuk memanfaatkan peluang. Ekosistem pesisir yang memiliki daya produktifitas dan ekonomi tinggi sangat memungkinkan untuk dikembangkan usaha alat-alat untuk nelayan ataupun handicraft yang berbahan dasar kayu bakau. Pengembangan bentuk wirausaha dalam hal pemanfaatan mangrove diharapkan dapat dilakukan secara lestari demi keberlangsungan ekosistem. Mengembangkan usaha tambak pembibitan ikan,udang, kepiting dan biota laut lainnya dengan menerapkan sistem silvopastural Strategi WO merupakan strategi yang bertujuan untuk memperbaiki kelemahan internal dengan memanfaatkan peluang dari lingkungan luar. Ekosistem mangrove yang telah rusak perlu adanya perbaikan sistem pengelolaan dan rehabilitasi lahan oleh karena itu pemerintah membuat kebijakan kepada pengusaha untuk wajib menanami kembali kawasan mangrove yang rusak akibat pemanfaatan tambak ataupun perkebunan yang tidak ramah lingkungan. Membuat program reboisasi dan pengkayaan jenis mangrove yang dilakukan oleh semua pihak yang berkepentingan di kawasan mangrove. Pemerintah mengadakan penyuluhan lingkungan dan pelatihan bagaimana memanfaatkan HHNK secara intensif kepada masyarakat, diharapkan pemanfaatan tersebut dapat dikembangkan sebagai wirausaha intensif kemudian memberdayakan kembali lembaga atau organisasi mayarakat dalam mengelola ekosistem mangrove. Pemerintah juga mengadakan program kegiatan lingkungan secara terpadu dan berkelanjutan oleh masyarakat dan stakeholder yang didukung oleh kebijakan pemerintah daerah dan mengadakan program pendidikan lingkungan kepada anak-anak sekolah baik secara formal maupun non formal. Strategi ST yaitu strategi yang menggunakan kekuatan yang dimiliki untuk menghindari ancaman yang datang dari lingkungan luar. Maraknya konversi lahan mangrove menjadi areal pertambakan dan perkebunan sawit oleh para pengusaha, Pemerintah lebih berwenang dalam menentukan perubahan peruntukkan lahan ekosistem mangrove, agar tidak hilangnya sumber mata pencaharian masyarakat dari ekosistem mangrove seperti mencari kayu bakar, nelayan,dan pencari biota laut lainnya di sekitar mangrove serta untuk mengurangi laju penurunan luas hutan tiap tahun.

dengan tujuan pemanfaatan ekosistem mangrove secara lestari dan berkelanjutan demi tercapainya kesejahteraan masyarakat pesisir. Untuk hal itu pemerintah harus tetap mendampingi masyarakat dalam pemanfaatan atau optimalisasi potensi ekonomi hutan mangrove, pengembangan usaha yang mungkin dapat dilakukan hingga masyarakat dapat mandiri. Aksesibilitas yang lancar memudahkan pengembangan wirausaha dan ekowisata. Ekosistem mangrove yang terjaga dengan baik mempunyai potensi ekowisata yang dapat dikembangkan. Strategi WT merupakan strategi yang memperkecil kelemahan internal dan menghindari ancaman dari luar. Kawasan pesisir merupakan wilayah yangsecara ekologis sangat peka terhadap gangguan akibat adanya perubahanlingkungan, baik yang disebabkan oleh aktivitas manusia yang meningkat, sehingga wilayah pesisir mengalami tekanan dan cenderung menurunkan kualitaslingkungan wilayah pesisir serta kerusakan-kerusakan kawasan pesisir. Laju penurunan luas hutan mangrove yang begitu cepat dapat membahayakan keberlangsungan pertumbuhan di wilayah pesisir untuk itu pemerintah harus memiliki kebijakan yang tegas mengenai perubahan peruntukkan lahan khususnya ekosistem mangrove,hal ini bertujuan mengurangi laju penurunan luas hutan tiap tahunnya. Mengadakan sosialisasi tentang cara pemanfaatan kayu kepada masyarakat dengan tujuan untuk meningkatkan kualitas potensi kayu dan meningkatkan daya kreatifitas masyarakat dalam pemanfaatan kayu maupun non kayu. Berdasarkan analisis SWOT dapat disimpulkan bahwa pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu menghendaki adanya kesamaan visi antar stakeholders. Menyadari arti penting visi pengelolaan itu, maka perlu dipelopori perumusan visi bersama seperti terwujudnya pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir yang berwawasan lingkungan dan berkelanjutan yang didukung oleh peningkatan kualitas sumberdaya manusia, penataan dan penegakan hukum, serta penataan ruang untuk terwujudnya peningkatan kesejahteraan rakyat. Mengacu pada visi tersebut, maka strategi pengelolaan wilayah pesisir terpadu dan berkelanjutan harus memperhatikan aspek sumberdaya manusia, hukum, tata ruang, dan kesejahteraan bersama. Selain itu, pemerintah mengadakan penyuluhan ke masyarakat bagaimana cara pemanfaatan kayu dan non kayu yang tidak merusak lingkungan dan memberikan cara pemanfaatan 242


Pengelolaan Hutan Mangrove Berbasis Masyarakat (Nobrya Husni, Porman Juanda Marpomari Mahulae)

HHNK agar bernilai ekonomis dan membangun industri pengelolaannya dalam skala kecil dan melakukan pendekatan kepada masyarakat tentang cara pemanfaatan yang efektif dan efisien serta menumbuhkan kesadaran masyarakat terhadap lingkungan. Gubernur Sumatera Utara melalui Surat Keputusan Gubernur Sumatera Utara Nomor 188.44/624/KPTS/2010 tanggal 29 Oktober 2010 tentang Pembentukan Kelompok Kerja mangrove Daerah Provinsi Sumatera Utara, telah menekankan bahwa pengelolaan ekosistem mangrove di Provinsi Sumatera Utara perlu dilakukan dalam rangka: konsultasi dan koordinasi dengan Kelompok Kerja Mangrove Nasional; mendorong pengembangan dan integrasi data/informasi kondisi serta pengelolaan ekosistem mangrove; memberikan saran dan masukan terhadap alternative solusi pemecahan berbagai permasalahan dalam penanganan dan pengelolaan ekosistem mangrove; mensinergikan kegiatan stakeholder dalam penanganan dan pengelolaaan ekosistem mangrove melalui fasilitas dan koordinasi perencanaan, rehabilitasi, konservasi dan pemanfaatan ekosistem mangrove; membantu melakukan pembinaan dan sosialisasi untuk meningkatkan kepedulian dan partisipasi masyarakat dalam penanganan dan pelestarian ekosistem mangrove; merumuskan bahan untuk meateri kebijakan daerah dalam rangka pengelolaan dan pelestarian ekosistem mangrove; dan, mensosialisasikan ketentuanketentuan dan kebijakan-kebijakan yang terkait dengan pengelolaan ekosistem mangrove kepada masyarakat. Pertumbuhan ekonomi yang pesat di daerah pesisir cenderung mengabaikan aspekaspek ekologi sehingga banyak ekosistem mangrove terkena dampaknya, pemerintah harus lebih mengontrol pertumbuhan ekonomi dengan menciptakan perangkat hukum, status kawasan, fungsi kelembagaan, dan kepemilikan lahan agar tidak terputusnya mata pencaharian masyarakat yang bermukim di sekitar kawasan mangrove. Kesejahteraan masyarakat pesisir yang belum merata dan tingkat pendidikan yang rendah, ketertarikan pengusaha yang berinvestasi menjadi perhatian pemerintah daerah untuk dapat mengajak masyarakat dalam berpartisipasi membangun daerahnya, kemudian memberdayakan kembali lembaga masyarakat untuk menjaga, mengelola dan mengawasi hutan mangrove dari perilaku pemanfaatan yang tidak ramah lingkungan. Dalam hal ini untuk mewujudkan keberlanjutan pembangunan kawasan pesisir perlu adanya

kesadaran dan perbaikan koordinasi antar semua pihak dan stakeholders. KESIMPULAN Hasil analisis SWOT menunjukkan bahwa pemerintah dapat memberdayakan masyarakat pesisir melalui pengembangan kegiatan kewirausahaan kecil dan menengah dalam memanfaatkan potensi hutan mangrove dan dilakukan secara lestari. Perumusan perbaikan kebijakan di tingkat pemerintah daerah setempat mengenai perizinan konversi lahan dan status kawasan serta penanggulangan pencemaran limbah dan pengelolaan DAS juga harus dilakukan. Surat Keputusan Gubernur Sumatera Utara Nomor 188.44/624/KPTS/2010 tentang Pembentukan Kelompok Kerja mangrove Daerah Provinsi Sumatera Utara, diharapkan dapat memberikan percepatan dalam hal pengelolaan ekosistem mangrove. Pelibatan masyarakat sangat diperlukan dalam hal rehabilitasi kawasan mangrove yang telah rusak dengan memberikan penyuluhan mengenai pendidikan lingkungan sehingga akan menumbuhkan kesadaran masyarakat akan pentingnya kawasan hutan mangrove secara aktif dan intensif. REKOMENDASI 1. Pemerintah Kabupaten Deli Serdang dan Serdang Bedagai hendaknya berperan aktif dalam menjalankan strategi pengelolaan hutan mangrove berdasarkan analisis SWOT sehingga kemajuannya terukur, dalam menjalankan strategi tersebut dapat berkonsultasi dan berkoordinasi dengan Kelompok Kerja mangrove Daerah Provinsi Sumatera Utara. 2. Pelaksanaan strategi merupakan wewenang dan tanggung jawab pemerintah daerah, masyarakat, dan stakeholder demi terciptanya pengelolaan dan pengembangan kawasan pesisir berbasis ekosistem mangrove di Kabupaten Deli Serdang dan Serdang Bedagai. 3. Program-program untuk perbaikan pengelolaan ekosistem mangrove hendaknya dibuat dalam bentuk rencana aksi sehingga dapat digunakan sebagai acuan oleh pemerintah, kalangan ahli, aparat desa, dan lembaga masyarakat. 4. Penguatan institusi kelembagaan adat dan pemerintah mutlak diperlukan untuk mendampingi masyarakat dalam melakukan kegiatan pengelolaan ekosistem mangrove sehingga dapat berkesinambungan dan kelestariannya tetap terjaga.

243


Inovasi Vol. 10 No. 4, Desember 2013: 230-244

Lingkungan (PPPSL) Institut Teknologi Sepuluh November. Surabaya.

DAFTAR PUSTAKA Alikodra, HS. 1995. Dampak Reklamasi Teluk Jakarta Pada Ekosistem Hutan Mangrove. Makalah Loka Karya Reklamasi Teluk Jakarta 23 - 24 Januari 1995. Jakarta.

Sihite, J., dkk. 2005. Masyarakat dan Cagar Alam Teluk Bintuni Antara Fakta dan Harapan. TNC. South East Asia Center for Marine Protect Areas (SEA CMPA) [Online] Dari: www.coraltrianglecenterorg/downloads/CATB_Masy arakat_screen.pdf [Diakses: 15 Maret 2012]

Bengen, D.G. 2001. Teknik Pengambilan Contoh dan Analisis Data Biofisik Sumberdaya Pesisir. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Istitut Pertanian Bogor.

Sukardjo, S. 1989. Mangrove di Indonesia. Jakarta: Duta Rimba.

Dahuri, R. 2000. Pengelolaan Sumber Daya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. Jakarta: PT Pradnya Paramita.

Surat Keputusan Gubernur Sumatera Utara Nomor 188.44/624/KPTS/2010 tanggal 29 Oktober 2010 tentang Pembentukan Kelompok Kerja mangrove Daerah Provinsi Sumatera Utara

Dahuri, R. 2002. Integrasi Kebijakan Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Makalah disampaikan pada Lokakarya Nasional Pengelolaan Ekosistem Mangrove di Jakarta 6-7 Agustus 2002. Departemen Kehutanan. 1997. Strategi Nasional Pengelolaan Mangrove di Indonesia Jilid II: Strategi dan Rancang Teknik. Jakarta: Penerbit Departemen Kehutanan. Kusmana, C. 2002. Pengelolaan Ekosistem Mangrove Secara Berkelanjutan dan Berbasis Masyarakat. Makalah Disampaikan pada Lokakarya Nasional Pengelolaan Ekosistem Mangrove di Jakarta 6-7 Agustus 2002. Kusmana, dkk. 2008. Manual Silvikultur Mangrove di Indonesia. Korea International Cooperation Agency. Banda Aceh. Naamin, N. 1991. Penggunaan Hutan Mangrove untuk Budidaya Tambak: Keuntungan dan Kerugian. Prosiding Seminar IV Ekosistem Hutan Mangrove MAB Indonesia LIPI. Bandar Lampung. Noor, Y. R., M. Khazali dan I.N.N. Suryadiputra. 2006. Panduan Pengenalan Mangrove di Indonesia. Wetlands International Indonesia Programme. Bogor. Pical, V. J. 2003. Sistem Pembinaan Masyarakat Nelayan dalam Perspektif Pembangunan Perikanan yang Berkelanjutan di Indonesia [Online] Dari: http://rudyct.topcities.com/pps702 71034/venda j pical.htm [Diakses: 24 Maret 2012] Pratikto, W. 2002. Perencanaan Perlindungan Pantai Alami untuk Mengurangi Risiko Bahaya Tsunami. Makalah Disampaikan pada Lokakarya Nasional Pengelolaan Ekosistem Mangrove di Jakarta 6-7 Agustus 2002. Raymond P., Graziano et al. 2010. Pengelolaan Hutan Mangrove Berbasis Masyarakat di Kecamatan Gending, Probolinggo. AGRITEK Vol. 18 No. 2. Saptarini, D., Suprapti, dan H. R. Santosa. 1996. Pengelolaan Sumberdaya Kelautan dan Wilayah Pesisir. Proyek Pengembangan Pusat Studi

244


Pemanfaatan Dan Kebijakan Pengelolaan Sumberdaya Hutan di Sekitar Taman Nasional Batang Gadis, Sumatera Utara (Wanda Kuswanda)

Hasil Penelitian PEMANFAATAN DAN KEBIJAKAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA HUTAN DI SEKITAR TAMAN NASIONAL BATANG GADIS, SUMATERA UTARA (THE UTILIZATION AND MANAGEMENT POLICY OF

FOREST RESOURCES AROUNDBATANG GADIS NATIONAL PARK, NORTH SUMATERA) Wanda Kuswanda Balai Penelitian Kehutanan Aek Nauli Jl. Raya Sibaganding Km. 10,5 Parapat Sumatera Utara 21174 Telp. (0625) 41659, 41653 email: wkuswan@yahoo.com

Diterima: 9 Oktober 2013; Direvisi: 22 Oktober 2013; Disetujui: 5 Desember 2013

ABSTRAK Potensi sumberdaya hutan di sekitar Taman Nasional Batang Gadis (TNBG) penting diketahui sebagai dasar merumuskan kebijakan pengelolaan daerah penyangga secara tepat. Tulisan ini akan memberikan informasi pemanfaatan, potensi dan rekomendasi kebijakan dalam pengelolaan sumberdaya hutan pada desa-desa sekitar Taman Nasional Batang Gadis. Penelitian dilakukan melalui penyebaran kuisioner terhadap 140 responden pada tujuh desa dan observasi pada plot seluas 10 ha di daerah penyangga TNBG, yang dilaksanakan pada tahun 2008 sampai 2009. Analisis data menggunakan tabel frekuensi, indeks keanekaragaman jenis Shannon-Weaver, indeks kelimpahan Hill dan analisis deskriptif. Hasil penelitian menunjukan bahwa kebutuhan dan pemanfaatan sumber daya hutan oleh masyarakat cukup tinggi sehingga sebagian diambil dari Kawasan TNBG. Pemanfaatan produk hasil hutan diantaranya kayu oleh 47,1% responden untuk bahan perumahan dan kayu bakar, 70,0% memanfaatkan kulit kayu untuk dijual dan 23,6% menangkap satwa liar untuk bahan makanan dan peliharaan. Pendapatan dari menjual sumberdaya hutan secara umum lebih dari Rp. 400.000,- per bulan. Kerapatan tumbuhan pada hutan alam di sekitar TNBG rata-rata sebesar 468,8 individu/ha. Nilai indeks keanekaragaman jenis (H’ maks) tumbuhan antara 3,2 – 3,4 dengan kelimpahan jenis (N) sebesar 31,4 - 36,6. Keragaman jenis satwa liar di Desa Pagar Gunung lebih tinggi dibandingkan di Desa Sopotinjak. Rekomendasi kebijakan untuk meningkatkan hasil dan pemanfatan sumberdaya hutan diantaranya adalah penataan kembali ruang untuk kawasan lindung dan budidaya, pendayagunaan berbagai kelembagaan, mempertahankan hutan alam di sekitar TNBG untuk koridor dan habitat satwa langka, mengoptimalkan lahan untuk pengembangan sumberdaya hutan dengan mengembangkan sistem agroforestri, membangun hutan kemasyarakatan pada area hutan lindung dan area eks hutan produksi yang sudah terdegradasi, meningkatkan kesempatan usaha pada masyarakat melalui pengembangan program pelatihan kewirausahaan, pengembangan usaha alternatif dan mengatur akses pemanfaatan hasil hutan dan lahan secara adil. Kata Kunci : sumberdaya hutan, kebijakan, masyarakat, Taman Nasional Batang Gadis

ABSTRACT Potency of forest resources around Batang Gadis National Park (BGNP) is very important for known as beginning step to formulate policy buffer zone management effectively. This paper will informed the utilization, potency as well as policy recommendations to forest resources management at villages around BGNP, North Sumatra. The research method was done by distribution of questioners to 140 respondents from seven villages and observation at experimental plot about 10 ha in BGNP buffer zone, from 2008 until 2009 years. Data analysis

245


Inovasi Vol. 10 No. 4, Desember 2013: 245-253

using frequency table, Shannon-Weaver diversity index, Hill abundance index as well as descriptive. The result showed that requirement and utilization to forest resources by local communities was high, so partly founded in BGNP area. Forest products as wood by 47.1% respondents were used for housing material and firewood, 70.0% use bark for sale and 23.6% catch’s animal for food and domestication. Mean of monthly earnings from sell forest resources result more than IDR 400.000,-. Plants density in nature forests around BGNP was analyzed with average of 348.8 individuals/ha. The value of its species diversity (H’ max) ranging from 3.2 to 3.4 with an species abundance (N) of 31.4 to 36.6. Fauna diversity in Pagar Gunung higher than in the Sopotinjak village. Policy recommendations to improve outcomes and utilization of forest resources such as the re-ordering area for protected and cultivation areas, institutions capacity building, preserve the natural forest around BGNP as corridors and habitat for endangered species, optimizing land for the development of forest resources by agro forestry systems, the building of societies forest in the protected forest and area forest production of former degraded, improve business opportunities in the community through the development of entrepreneurship training and alternative effort programs as well as regulate access to use forest products and land. Keywords : forest resources, policy, communities, Batang Gadis National Park

Masyarakat di Kabupaten Mandiling Natal sekitar 80% bermata pencaharian sebagai petani dan peladang (membuka kebun) yang memiliki ketergantungan yang tinggi akan sumberdaya hutan di dan dari sekitar desanya (Badan Pusat Statistik Kabupaten Mandailing Natal, 2009). Mereka mengambil kayu, non kayu berupa getah, kulit kayu dan satwa liar untuk mencukupi kebutuhan hidupnya dari sekitar TNBG dan berakibat akan mengancam kelestarian kawasan taman nasional (Kuswanda et al., 2009). Oleh karena itu diperlukan suatu strategi kebijakan untuk mengembangkan potensi sumberdaya hutan yang terdapat di daerah penyangga sehingga ketergantungan terhadap kawasan taman nasional berkurang. Tulisan ini akan memberikan informasi pemanfaatan, potensi dan rumusan kebijakan dalam mengembangkan sumberdaya hutan yang terdapat di desa-desa sekitar Taman Nasional Batang Gadis, Kabupaten Mandailing Natal, Sumatera Utara.

PENDAHULUAN Kawasan Taman Nasional Batang Gadis (TNBG) memiliki peranan yang sangat strategis, diantaranya sebagai areal perlindungan dan koridor keragaman hayati, daerah resapan air, mencegah erosi dan sumber kehidupan masyarakat di Kabupaten Mandailing Natal, Sumatera Utara (Balai Konservasi Sumberdaya Alam II Sumatera Utara, 2006). Pada kawasan TNBG telah ditemukan beragam jenis tumbuhan dan satwa liar langka (Conservation International Indonesia, 2004; Kuswanda dan Mukhtar, 2010), seperti Shorea acuminata Dyer, Hopea nigra Burck, harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae Pocock, 1929) dan tapir (Tapirus indicus Desmarest). Begitu pula, air dari kawasan TNBG dimanfaatkan oleh masyarakat di bagian hilir sebagai sumber air minum, pengairan lahan pertanian dan kebutuhan lainnya (Lubis, 2003). Kelestarian kawasan taman nasional tentunya sangat dipengaruhi oleh daerah di sekitarnya yang sering disebut sebagai daerah penyangga (Shafer, 1995). Konsep pengelolaan daerah penyangga tentunya harus terintegrasi dalam perencanaan pemerintah daerah dan menyediakan insentif bagi masyarakat sehingga dapat terlibat dalam kegiatan konservasi (Kremen et al., 1999; Thorell dan Gotmark, 2005). Untuk itu, pengelolaan kawasan sekitar TNBG sangat penting guna mengurangi ketergantungan masyarakat akan pemanfaatan sumberdaya hutan dari dalam taman nasional (Balai Konservasi Sumberdaya Alam II Sumatera Utara, 2006).

METODE Lokasi dalam penelitian ini adalah kawasan hutan pada desa-desa di sekitar TNBG, Kabupaten Mandailing Natal, Sumatera Utara. Waktu penelitian dilaksanakan dari tahun 2008 sampai dengan 2009. Desa yang menjadi lokasi penelitian sebanyak tujuh desa dari 71 desa yang teridentifikasi berada di daerah sekitar TNBG (intensitas sampling penelitian sebesar 10 %). Pemilihan desa ditentukan secara stratifikasi berdasarkan jarak desa terhadap batas taman nasional dan pembagian Seksi Wilayah

246


Pemanfaatan Dan Kebijakan Pengelolaan Sumberdaya Hutan di Sekitar Taman Nasional Batang Gadis, Sumatera Utara (Wanda Kuswanda)

Pengelolaan TNBG (Balai TNBG, 2007). Gambaran kawasan TNBG dan sebaran desa yang menjadi lokasi penelitian. Pengumpulan data dilakukan melalui penyebaran kuisioner dan wawancara terhadap 140 responden (20 responden setiap desa). Responden dipilih secara search sampling pada masyarakat yang secara langsung terlibat dalam pemanfaatan sumberdaya hutan. Pembuatan plot pengamatan potensi sumberdaya hutan (kayu, non kayu, dan satwa liar) dibatasi pada desa-desa penelitian yang memiliki hutan primer atau sekunder. Pengumpulan data tumbuhan dilakukan dengan cara pembuatan plot berukuran 20 x 20 m 2 sebanyak 10 plot pada setiap desa. Data yang

dicatat adalah nama jenis tumbuhan yang termasuk katagori tingkat pohon (diameter > 10 cm) dan jumlah individu setiap jenis pohon menurut Kartawinata et al. (1976). Jenis tumbuhan yang sulit diidentifikasi diambil contoh herbariumnya dan dianalisis di Laboraturium Kelti Botani, Pusat Litbang Hutan dan Konservasi Alam di Bogor. Pengumpulan data sekunder untuk melengkapi data primer dilakukan melalui studi literatur terhadap hasil penelitian terdahulu yang ada kaitannya dengan penelitian, laporan taman nasional, laporan pemerintah daerah (kantor kecamatan dan desa atau bappeda kabupaten), buku teks dan yang lainnya.

PETA PENUTUPAN LAHAN DAN SEBARAN DESA PENELITIAN

Huta Godang Muda Rundi Pagaran Sopoti Bangk

Pasta Pagar Dibuat oleh : Tim Peneliti TNBG BPK Aek Nauli

= Sebaran Desa

Gambar 1. Peta Sebaran Desa Penelitian di Sekitar Kawasan TNBG, Kabupaten Mandailing Natal (Map of Villages Research Distribution Around Batang Gadis National Park, Mandailing Natal Regency). Kerapatan (K) = ----------------------------------------Luas plot penelitian (ha) Untuk mengetahui keanekaragaman jenis menggunakan rumus indeks nilai keragaman jenis Shannon dan Weaver (1949) dalam Ludwig dan Reynolds (1988) sebagai berikut : H' maks = - ÎŁ [ n i Ln ni ] N N Keterangan : H' = indeks keanekaragaman Shannon dan Weaver (1949) Ni = kerapatan jenis ke-i (tumbuhan) dan jumlah individu jenis ke-i (satwa) N = jumlah/kerapatan jenis (tumbuhan) dan

Analisis dilakukan secara kuantitatif melalui penghitungan prosentase dengan menggunakan tabel distribusi frekuensi (Walpole, 1993 dan Supangat, 2008). Klasifikasi atau interval kelas data dilakukan secara kualitatif, seperti tinggi (lebih besar 10 jenis), sedang (5-10 jenis) dan rendah (kurang dari 5 jenis). Tabel frekuensi disusun memuat prosentase untuk setiap pernyataan responden. Persamaan yang digunakan dalam analisis kerapatan tumbuhan adalah sebagai berikut (Kusmana, 1997): Jumlah individu setiap jenis tumbuhan (individu) 247


Inovasi Vol. 10 No. 4, Desember 2013: 245-253

jumlah total individu (satwa) Kelimpahan jenis pada suatu komunitas dihitung menggunakan rumus Hill (1973) dalam Odum (1998), yaitu :

peraturan dan kebijakan terkait, pengelolaan yang sedang berjalan dan interpretasi berbagai literatur lainnya untuk menghasilkan bahan rekomendasi sebuah kebijakan pengembangan sumberdaya hutan di desa-desa sekitar Kawasan TNBG.

N1 = e H ' Keterangan : N1 = indeks kelimpahan jenis E = lognormal (bilangan Euler = 2,718‌) Analisis deskriptif dilakukan terhadap pemanfaatan dan potensi sumberdaya hutan,

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil analisis kuisioner tentang pemanfaatan sumberdaya hutan oleh masyarakat pada tujuh desa di sekitar TNBG disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Distribusi responden terhadap model pemanfaatan sumberdaya hutan (Respondents distribution on model of forest resources utilization) Desa/Village No

Klasifikasi Sumberdaya Hutan (Clasiffication of forest resources) Kayu (Timber) a. Digunakan sendiri (used himself)

1

b. Dijual (sale) c. Dijual dan digunakan sendiri (sale and used himself) d. Tidak pernah (none) Getah (rubber) a. Digunakan sendiri (used himself)

2

b. Dijual (sale) c. Dijual dan digunakan sendiri (sale and used himself) d. Tidak pernah (none) Kulit kayu (bark) a. Digunakan sendiri (used himself)

3

b. Dijual (sale) c. Dijual dan digunakan sendiri (sale and used himself) d. Tidak pernah (none) Satwa liar (wild animal) a. Digunakan sendiri (used himself)

4

b. Dijual (sale) c. Dijual dan digunakan sendiri (sale and used himself) d. Tidak pernah (none)

Pagaran Gala-gala (%)

Runding (%)

Huta Godang (%)

90

55

35

0

15

5

10

25

0

5

Rata-rata/ Averages (%)

Bangkelang (%)

Pastap Julu (%)

Pagar Gunung (%)

35

40

15

60

47,1

5

10

5

5

6,4

55

60

45

55

25

39,3

5

0

5

25

10

7,1

Sopotinjak (%)

0

0

0

10

5

0

5

2,9

95

90

55

0

90

80

0

58,6

0

0

0

0

0

10

5

2,1

5

10

45

90

5

10

90

36,4 0,0

5

10

0

0

0

0

0

2,1

90

60

45

90

95

35

75

70,0

5

20

15

0

0

10

10

8,6

0

10

40

10

5

55

15

19,3 0,0

5

5

0

45

45

10

55

23,6

5

25

15

0

10

0

10

9,3

5

0

5

5

0

5

10

4,3

85

70

80

50

45

85

25

62,9

Pengertian sumberdaya hutan yang dimanfaatkan oleh masyarakat dalam penelitian ini adalah sumber daya hutan yang berasal dari hutan alam (primer maupun sekunder) dan hutan campuran (campuran pohon alam dan tanaman masyarakat), yang terdapat di desadesa sekitar kawasan TNBG. Masyarakat desa yang menjadi responden menggunakan jenisjenis kayu cukup tinggi, seperti pada Tabel 1.

Responden sebagian besar mengambil kayu dari hutan hanya untuk dimanfaatkan sendiri. Hanya sedikit responden yang menyatakan mengambil kayu dari hutan untuk dijual, yaitu sebesar 6,4%. Bahkan terdapat pula masyarakat yang menjadi responden mengakui tidak pernah memanfaatkan kayu atau mengambil secara langsung dari hutan, seperti di Desa Pastap Julu. Masyarakat tersebut sebagian besar bermata

248


Pemanfaatan Dan Kebijakan Pengelolaan Sumberdaya Hutan di Sekitar Taman Nasional Batang Gadis, Sumatera Utara (Wanda Kuswanda)

bahan bakar untuk memasak dan proses penyulingan minyak nilam. Kulit kayu sering digunakan terutama sebagai pemancing api untuk memasak di kebun dan ladang. Masyarakat desa masih ada yang sering berburu satwa liar, terutama kelompok burung dan mamalia darat dari Kawasan TNBG. Satwa tersebut ditangkap dengan cara diburu, menggunakan jerat, sarang pemikat, dan/atau getah tumbuhan. Pemanfaatan satwa buruan dari jenis mamalia, seperti rusa dan kijang untuk di makan dan dari jenis burung dijadikan bahan peliharaan. Jenis burung yang banyak dipelihara oleh masyarakat adalah kucica hutan (Copsychus malabaricus Scopoli) dan cica daun (Chloropsis venusta Bonaparte). Namun secara umum responden ternyata mengaku tidak pernah menangkap satwa liar dari kawasan hutan. Selain kayu, non kayu, dan satwa liar, sebagian masyarakat mengambil beragam buahbuahan dari dalam hutan. Jenis buah-buahan tersebut diantaranya adalah buah durian (D. zibethinus Murr) dan kemiri (Aleurites moluccana Willd). Buah-buahan tersebut sebagian besar oleh masyarakat hanya untuk dikonsumsi dan sangat jarang dijual. Untuk memenuhi kebutuhan buah-buah, masyarakat telah membudidayakan juga pada kebun campuran dan ladang mereka. Hasil dari menjual kayu dan non kayu mereka gunakan untuk membeli kebutuhan rumah tangga, terutama apabila hasil dari lahan garapan, seperti sawah dan kebun belum bisa dipanen. Rata-rata pendapatan dari menjual sumberdaya hutan tersebut adalah 11,4% responden mendapatkan kurang dari Rp. 200.000,- per bulan, 23,6% antara Rp. 200.000,- Rp. 400.000,- per bulan, dan 49,3 % lebih dari Rp. 400.000,- per bulan. Responden yang berpenghasilan di atas Rp. 400.000,- mengakui bahwa sumberdaya hutan yang diambil adalah dari lahan hutan campuran yang merupakan warisan dari orang tuanya. Pada lahan tersebut telah terdapat beragam jenis tanaman seperti karet dan kayu manis yang sudah bisa mereka sadap atau menghasilkan getah. Potensi sumberdaya hutan dalam penelitian ini adalah segala bentuk hasil hutan yang dapat dimanfaatkan masyarakat yang terdapat pada hutan sekunder dan/atau hutan primer, seperti kayu, getah, buah-buahan, kulit

pencaharian sebagai pedagang dan pegawai negeri. Untuk mendapatkan kayu, seperti untuk bahan perumahan membeli dari tetangganya. Pemanfaatan kayu untuk keperluan sendiri yang paling tinggi terdapat di Desa Pagaran Gala-gala. Pengambilan kayu oleh masyarakat Pagaran Gala-gala banyak dilakukan di sekitar Kawasan TNBG karena hutan alam di desa mereka sudah tidak ada. Pemanfaatan kayu oleh masyarakat pada umumnya untuk bahan perumahan. Rata-rata rumah penduduk di desa penyangga terbuat dari papan kayu dengan jenis kayu yang banyak digunakan adalah meranti (Shorea sp.), suren (Toona sinensis Roem), dan sebagian sampinur (Dacrydium junghuhnii Miq). Masyarakat menjual kayu pada penampung dan pemilik pabrik pengolahan kayu di Kota Panyabungan dan sekitarnya. Biasanya penampung mengambil kayu langsung dari desa mereka. Namun untuk saat ini masyarakat sudah jarang menjual kayu karena kayu yang berharga mahal sudah jarang dan penampung jarang mengunjungi desa mereka. Selain itu, semakin seringnya petugas melakukan patroli untuk memantau kayu hasil penebangan liar menimbulkan rasa takut pada masyarakat untuk menjual kayu. Pemanfaatan hasil hutan non kayu berupa getah umumnya hanya untuk di jual. Getah yang diambil adalah berupa getah karet dari hutan campuran, terutama di Desa Pagaran Gala-gala, Desa Runding, dan Desa Bangkelang. Sebanyak 36,4 % responden mengakui tidak pernah mengambil getah dari hutan, seperti di Desa Sopotinjak dan Desa Pagar Gunung karena pada dasarnya pada kedua desa tidak terdapat pohon karet, walaupun terdapat responden yang mengaku menjual getah namun getah karet tersebut diambil dari luar desa. Responden yang memanfaatkan getah untuk kepentingan sendiri adalah digunakan untuk menangkap burung, seperti getah nangka (Arthocarpus integra Merr). Pemanfaatan hasil hutan non kayu berupa kulit kayu sebagian besar untuk dijual. Kulit kayu yang diambil dari kawasan hutan adalah kulit kayu manis (Cinnamomum burmannii Nees & Th. Nees), kulit modang landit (Litsea sp.) dan bambu (Gigantochloa sp.). Pemanfaatan kulit kayu untuk kepentingan sendiri adalah sebagai 249


Inovasi Vol. 10 No. 4, Desember 2013: 245-253

atas 45% maupun hutan sekunder campur tanaman masyarakat. Menurut Kepala Desa Sopotinjak (2008), kawasan hutan alam ini terdapat pada tanah adat yang harus dijaga (tidak boleh dikelola secara intensif) untuk mencegah kemungkinan erosi atau longsor yang akan menimpa pemukiman mereka. Pada Desa Pagar Gunung kondisi hutan alam masih banyak ditemukan di pinggiran desa, terutama yang berbatasan langsung dengan Kawasan TNBG. Hasil analisis vegetasi pada tingkat pohon (diameter > 10 cm) untuk lima jenis pohon yang mendominasi pada area berhutan di sekitar Kawasan TNBG seperti pada Tabel 2.

kayu, dan satwa liar. Dari pengamatan terhadap tujuh desa contoh penelitian, hanya dua desa yang masih memiliki hutan alam, yaitu di Desa Sopotinjak dan Desa Pagar Gunung. Pada desadesa lainnya, lebih dari 95% kawasan hutan alamnya sudah berubah fungsi menjadi peruntukan lainnya, terutama perkebunan. Kawasan yang masih terdapat pohon alam sangat sedikit, khususnya pada daerah yang terjal (kemiringan di atas 50%). Pada Desa Sopotinjak masih terdapat hutan alam yang relatif luas (> 1.000 ha) dengan kondisi masih cukup, baik berupa hutan primer pada kawasan yang curam atau kemiringan di

Tabel 2. Tumbuhan Dominan pada Hutan Alam di Desa sekitar TNBG (Tree Dominant Species on Nature Forest at Villades around BGNP) Lokasi Penelitian (Research area)

Nama Lokal (Local name)

No

Desa/ village Pagar Gunung

Kerapatan/ density (individu (individual)/ha)

Kelimpahan jenis (species abundance)

Modang londir

Litsea resinosa Blume

40,0

1,24

2

Gumbot

Ficus toxicaria Linn

37,5

1,23

3

Suren

Toona sinensis Roem

35,0

1,22

4

Goti

Alstonia scholaris R. Br.

30,0

1,20

5

Sampinur

Dacrydium junghuhnii Miq

25,0

1,17

1

Mayang durian

Palaquium obovatum Engl., var.

27,5

1,18

Hau dolok

Syzygium sp.

37,5

1,22

3

Kulit manis

30,0

1,19

4

Suren

Cinnamomum burmannii Nees & Th. Nees Toona sinensis Roem

27,5

1,18

Damar

Canarium sp.

22,5

1,15

1 Desa/ village Sopotinjak

Nama ilmih (Scientific name)

2

5

Dipterocarpaceae sudah ditebang untuk bahan perumahan. Tumbuhan penghasil hutan non kayu dari hutan alam sangat sedikit ditemukan pada kedua desa tersebut. Beberapa jenis tumbuhan yang dimanfaatkan hasil hutan non kayunya memiliki kerapatan yang kecil, sebagai contoh damar dengan kerapatan sebesar 22,5 individu/ha, durian sebesar 17,5 individu/ha, dan bambu sebesar 7,5 rumpun/ha. Bahkan beragam jenis rotan sudah tidak ditemukan lagi pada plot penelitian. Hasil wawancara dengan responden menyebutkan bahwa rotan sudah sulit ditemukan di sekitar hutan desa bahkan sampai di Kawasan TNBG. Rotan banyak dicari untuk dijual oleh masyarakat sejak tahun 80-an ketika permintaan terhadap rotan cukup tinggi.

Dari hasil analisis vegetasi (Tabel 2), pada Desa Sopotinjak secara keseluruhan kerapatan pohon pada plot penelitian seluas 0,4 ha adalah 447,5 individu/ha. Nilai keanekaragaman jenis pohon sebesar 3,16 dengan nilai kelimpahan jenis 31,38. Jenis pohon yang memiliki kerapatan tertinggi adalah modang londir (Litsea resinosa Blume) sebesar 40 individu/ha. Pada Desa Pagar Gunung, secara keseluruhan kerapatan pohon sebesar 490 individu/ha. Nilai keanekaragaman jenis pohon sebesar 3,36 dengan nilai kelimpahan jenis 36,57. Jenis pohon yang memiliki kerapatan tertinggi adalah hau dolok (Syzygium sp.) sebesar 37,5 individu/ha. Jenis-jenis kayu yang bernilai ekonomi dan langka di kedua desa tersebut sudah sedikit. Banyak jenis tumbuhan dari Famili

250


Pemanfaatan Dan Kebijakan Pengelolaan Sumberdaya Hutan di Sekitar Taman Nasional Batang Gadis, Sumatera Utara (Wanda Kuswanda)

Hasil analisis keragaman jenis dan kelimpahan jenis satwa liar berdasarkan hasil

pengamatan di lokasi penelitian seperti pada Tabel 3.

Tabel 3. Indeks Keanekaragam Jenis Satwa Liar di Daerah Penyangga, TNBG (Species Diversity Indices Wild Animal at Buffer Zone, BGNP) Lokasi Penelitian ((Research area) Desa/Village Desa/ Village Sopotinjak Pagar Gunung

Klasifikasi satwa liar (Classification of wild animal) H' Burung/Aves

N 2,719

H' 22,971

3,057

N 29,286

Primata/Primate

0,984

4,166

1,332

5,583

Mamalia darat/Terrestrial mammal

1,332

5,582

1,359

6,571

lahan terbuka/semak belukar merupakan habitat bagi beragam jenis burung. Beberapa jenis burung bahkan menggunakan berbagai tipe habitat tersebut untuk mencari makan, reproduksi, dan menjaga kelangsungan hidupnya. Dari hasil dan pembahasan di atas diperoleh informasi bahwa pemanfaatan sumberdaya hutan (kayu, hasil hutan non kayu dan satwa liar) oleh masyarakat di daerah penyangga cukup tinggi (Tabel 1), sedangkan potensinya relatif rendah (Tabel 2 dan 3). Kondisi ini tentunya akan mendorong masyarakat terus mengambil sumberdaya hutan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya dari dalam kawasan TNBG. Berdasarkan hasil penelitian tersebut, maka pengembangan potensi sumberdaya hutan perlu menjadi prioritas sebagai implikasi adanya penetapan dan kepentingan pelestarian TNBG. Menurut Batisse (1997); Groom et al. (1999) dan Arlan (1999) menyatakan bahwa pengelolaan sumberdaya hutan di desa-desa sekitar taman nasional merupakan salah satu alternatif untuk menjaga kelestariannya dari berbagai aktivitas pembangunan dan sekaligus untuk meningkatkan perekonomian masyarakat. Untuk mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya hutan sebagai bagian meningkatkan perekonomian masyarakat secara optimal dan berkelanjutan, diperlukan suatu strategi kebijakan pengelolaan yang tepat dan mengakomodasikan berbagai kepentingan antar stakeholders/para pihak terkait, terutama bagi masyarakat. Berdasarkan hasil analisis terhadap pemanfaatan dan potensi sumberdaya hutan di atas, maka dikembangkan konsep pemikiran yang dapat menjadi acuan dalam

Keterangan/remark: H' = indeks keanekaragaman jenis maksimal (Species diversity indices) N = indeks kelimpahan jenis (Species abundance indices) Hasil analisis keragaman dan kelimpahan jenis satwa liar pada plot penelitian seluas 5 ha pada masing-masing desa seperti disajikan pada Tabel 3. Keanekaragaman jenis satwa liar pada kelompok burung memang masih cukup tinggi, namun untuk primata dan mamalia darat cukup rendah. Keragaman jenis dan kelimpahan jenis satwa liar di Desa Pagar Gunung untuk setiap kelompok satwa liar lebih tinggi bila dibandingkan di Desa Sopotinjak. Komposisi hutan alam di Desa Pagar Gunung jauh lebih kompak dan langsung berkesinambungan dengan Kawasan TNBG. Beberapa jenis mamalia darat yang ditemukan di Desa Pagar Gunung adalah satwa liar yang memanfaatkan daerah penyangga sebagai habitat tambahan untuk menghindari persaingan dengan jenis mamalia lainnya. Keragaman jenis burung yang relatif tinggi ini lebih disebabkan karena burung merupakan kelompok satwa yang mampu hidup pada berbagai tipe habitat, termasuk di areal perkebunan dan sawah. Hal ini terlihat dari jenis burung yang ditemukan, bukan hanya jenis yang hidup pada hutan yang masih baik akan tetapi jenis burung semak dan yang menggunakan habitat di sekitar sawah dan pemukiman teramati pada waktu penelitian, seperti cikrak daun (Phylloscopus trivirgatus Strickland), kucica kampung (Copsychus saularis L.) dan bondol haji (Lonchura maja L.). Menurut Partasasmita (2003), berbagai tipe hutan, seperti hutan primer, hutan sekunder maupun 251


Inovasi Vol. 10 No. 4, Desember 2013: 245-253

penyusunan kebijakan pengelolaan sumberdaya hutan di sekitar taman nasional, khususnya bagi Balai TNBG, Pemerintah Kabupaten Mandailing Natal dan Pemerintah Provinsi Sumatera Utara pada umumnya.

2.

KESIMPULAN Masyarakat yang tinggal di desa-desa sekitar TNBG telah memanfaatkan sumberdaya hutan secara turun temurun. Pemanfaatan sumber daya hutan oleh masyarakat meliputi 47,1% memanfaatkan kayu untuk bahan perumahan dan kayu bakar, 70% memanfaatkan kulit kayu untuk dijual dan 23,6% menangkap satwa liar untuk bahan makanan dan binatang peliharaan, terutama jenis burung seperti cica daun atau kacer (Chloropsis venusta Bonaparte). Rata-rata pendapatan dari menjual sumberdaya hutan sebesar 49,3% responden mengaku berpendapatan lebih dari Rp. 400.000,- per bulan. Ketergantungan masyarakat dan pemanfaatan yang tinggi dapat merusak dan mengganggu keseimbangan ekosistem taman nasional apabila tidak ada pelestarian hutan secara serius. Potensi sumberdaya hutan di daerah penyangga cukup rendah. Kawasan hutan alam hanya tersisa pada kawasan yang sulit untuk dikelola, seperti lahan yang kelerengannya di atas 40% di sebagian daerah penyangga saat ini masih tinggi. Kerapatan jenis tumbuhan pada hutan yang masih alami pun hanya di bawah 40 individu/ha. Jenis satwa yang bernilai ekonomi tinggi sudah mulai sulit untuk ditemukan, seperti murai batu (Copsychus malabaricus Scopoli).

3.

4.

5.

REKOMENDASI Rekomendasi acuan kebijakan bagi Pemerintah Daerah Provinsi Sumatera Utara, khususnya di Kabupaten Mandailing Natal berdasarkan hasil penelitian ini adalah: 1. Menyusun kembali kebijakan untuk mengembangkan pemanfaatan sumberdaya hutan bagi peningkatan pendapatan masyarakat desa maupun mendukung pelestarian TNBG. Bahan kebijakan yang direkomendasikan diantaranya adalah penataan kembali ruang untuk kawasan lindung dan budidaya, pendayagunaan peranan dan tanggungjawab berbagai kelembagaan terkait, mempertahankan hutan alam di sekitar TNBG, mengoptimalkan pengelolaan lahan untuk pengembangan sumberdaya hutan, mengembangkan hutan kemasyarakatan (HKm) dan hutan rakyat dan meningkatkan kemandirian dan

kesempatan usaha dalam pengelolaan sumberdaya hutan. Membuat regulasi pemanfaatan sumberdaya hutan secara proporsional dan berorientasi untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat desa. Masyarakat dan pemodal (pengusaha) diberi akses yang sama untuk memanfaatkan lahan sehingga ketergantungan akan sumberdaya hutan semakin menurun. Menciptakan sumber ekonomi alternatif yang hanya sedikit membutuhkan lahan, seperti usaha lebah madu dan peternakan perlu menjadi prioritas bagi pemerintah dalam program pemberdayaan masyarakat. Meningkatkan program penyuluhan tentang pengembangan pola agroforestri dalam pengelolaan lahan. Lahan yang umumnya ditanam dengan jenis monokultur, seperti karet atau sawit dapat ditumpang sarikan dengan tanaman kehutanan atau tanaman semusim/palawija. Membantu upaya pemasaran hasil hutan dari desa-desa sekitar Kawasan TNBG. Pemerintah daerah dapat mengaktifkan kembali Koperasi Unit Desa (KUD) untuk menampung hasil panen sehingga tidak terjadi monopoli pasar oleh tengkulak atau agen. Mensosialisasikan pentingnya upaya konservasi hutan, tumbuhan dan satwa liar untuk pemanfaatan dalam jangka panjang. Kampanye sadar lingkungan dan dampak perusakan lingkungan dapat dibuat melalui poster-poster yang disebar pada desa-desa penyangga TNBG.

DAFTAR PUSTAKA Arlan, Y. 1999. Konsep Serta Pengembangan Program dan Konservasi di Daerah Penyangga Taman Nasional Bukit Tigapuluh. Prosiding Lokakarya Daerah Penyangga Taman Nasional Bukit Tigapuluh. Badan Pusat Statistik Kabupaten Mandailing Natal. 2007. Mandailing Natal dalam Angka 2007. BPS Kantor Kabupaten Mandailing Natal. Panyabungan. Balai Konservasi Sumberdaya Alam II Sumatera Utara. 2005. Rencana Pengelolaan Taman Nasional Batang Gadis, Kabupaten Mandailing Natal Propinsi Sumatera Utara 2006 - 2025. Direktorat Jendral Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam. Departemen Kehutanan. Medan. Balai Konservasi Sumberdaya Alam II Sumatera Utara. 2006. Zonasi Taman Nasional Batang Gadis. Direktorat Jendral Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam. Departemen Kehutanan. Medan.

252


Pemanfaatan Dan Kebijakan Pengelolaan Sumberdaya Hutan di Sekitar Taman Nasional Batang Gadis, Sumatera Utara (Wanda Kuswanda)

di Daerah Tropika. University Press.

Balai Taman Nasional Batang Gadis. 2007. Rekapitulasi Laporan Balai Nasional Batang Gadis Tahun 2007. Kantor Balai Taman Nasional Batang Gadis. Panyabungan.

Yogyakarta:

Gadjah

Mada

Odum, E. P. 1998. Dasar-dasar Ekologi. Terjemahan Tjahjono Samingan. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.

Balai Taman Nasional Batang Gadis. 2010. Laporan Balai Nasional Batang Gadis Tahun 2010. Kantor Balai Taman Nasional Batang Gadis. Panyabungan.

Partasasmita, R. 2003. Ekologi Burung Pemakan Buah dan Peranannya Sebagai Penyebar Biji. Makalah Falsafah Sains Program Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Conservation International Indonesia. 2004. Keanekaragaman Jenis Mamalia dan Burung di Kawasan Taman Nasional Batang Gadis. Laporan Teknik. Northern Sumatra Corridor Program. Medan : Tidak Dipublikasikan.

Reynold, T. T., J. M. Scott and R.A. Nussbaum. 1980. A variable circular-plot method for estimating bird numbers. The Cooper Ornithological Society. Condor 82 : 309-313.

Departemen Kehutanan. 2004. Naskah Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 126/MenhutII/2004 tentang penunjukan Taman Nasional Batang Gadis, di Kabupaten Mandailing Natal, tanggal 29 April 2004. Departemen Kehutanan. Jakarta.

Shafer, C. L. 1995. Values and shortcomings of small reserves. Bioscience 45, 80–88. Supangat, A. 2008. Statistik dalam Kajian Deskriptif, Inferensi dan Nonparametrik. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Dinas Kehutanan Kabupaten Mandailing Natal. 2005. Lampiran Peta Penetapan Daerah Penyangga Taman Nasional Batang Gadis. Kantor Dinas Kehutanan Kab. Madina. Panyabungan.

Supriatna, J. dan E. H. Wahyono. 2000. Panduan Lapangan Primata Indonesia. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia.

Ismoyo, B. 2004. Kebijakan Konservasi Pengelolaan Hutan di Daerah (Praktek Mengwujudkan Kawasan Konservasi Baru Taman Nasional Batang Gadis. Kertas Kerja dalam Dies Natalis Universitas Gajah Mada. Tidak Dipublikasikan.

Thorell, M and F. Gotmark. 2005. Reinforcement capacity of potential buffer zones: Forest structure and conservation values around forest reserves in southern Sweden. Forest Ecology and Management.

Kusmana, C. 1997. Metode Survey Vegetasi. Bogor : Institut Pertanian Bogor

van Strien, N. J. 1983. A Guide to the tracks of mammals of western Indonesia. School of Environmental Conservation Management. Ciawi, Indonesia.

Kuswanda, W. dan A. S. Mukhtar. 2010. Pengelolaan Populasi Mamalia Besar Terrestrial di Taman Nasional Batang Gadis, Sumatera Utara. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam. Departemen Kehutanan (Inpress).

Walpole, R. E. 1993. Pengantar Statistik. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.

Lubis, Z. B. 2003. Menumbuhkan Kembali Kearifan Lokal dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam di Tapanuli Selatan. Makalah dalam Workshop “Membangun Partisipasi Masyarakat dalam Penyelamatan Hutan di Tapanuli Selatan.” Pusaka, Walhi, Samudra dan Partnership for Governance Reform. 21 – 23 April 2003. Sipirok: Tidak Dipublikasikan. Ludwig, J. A. and J. F. Reynolds. 1988. Statistical Ecology : A primer on method and computing. A Wiley - Inter science Publication. New York : John Wiley and Sons, Inc. MacKinnon, K., John MacKinnon, G. Child dan J. Thorsell. 1993. Pengelolaan Kawasan yang Dilindungi

253


Inovasi Vol. 10 No. 4, Desember 2013: 254-261

Hasil Penelitian PERAN PENDIDIKAN ANAK USIA DINI (PAUD) UNTUK MENINGKATKAN KUALITAS PENDIDIKAN ANAK DI SUMATERA UTARA

(THE ROLE OF EARLY CHILDHOOD EDUCATION (ECD) TO INCREASE THE QUALITY OF CHILDREN'S EDUCATION IN NORTH SUMATRA) SUMATRA) Jonni Sitorus Badan Penelitian dan Pengembangan Provinsi Sumatera Utara Jl. Sisingamangaraja No. 198 Medan 20126 email: sitorus_jonni@yahoo.co.id

Diterima: 8 Juni 2013; Direvisi: 22 Oktober 2013; Disetujui: 12 Nopember 2013

ABSTRAK Terbatasnya jumlah lembaga PAUD yang ada merupakan permasalahan mendasar. Tercatat bahwa jumlah lembaga PAUD di Sumatera Utara sebanyak 9149 lembaga. Jumlah lembaga PAUD yang memilki izin penyelengggaraan sebanyak 69,14% dan 30,86% belum memiliki izin penyelenggaraan. APK PAUD sebesar 33,55%. Artinya bahwa dari jumlah penduduk usia 0-6 tahun sebanyak 2.033.209 orang anak, hanya 33,55% orang anak yang dapat terlayani lembaga PAUD. Jumlah anak yang belum terlayani 66,45%. Sementara APK PAUD Nasional sebasar 53,70%. Jumlah PTK PAUD sebanyak 17.618 orang, dengan rincian: 225 orang berpendidikan SD; 344 orang berpendidikan SMP; 13.418 orang berpendidikan SMA; 3582 orang berpendidikan S1; dan 49 orang berpendidikan S2. Banyaknya PTK yang belum berpendidikan S1 menginisiasikan bahwa kualitas PTKnya masih rendah. Kabupaten/Kota wilayah penelitian, yaitu: Kota Tanjung Balai dan Pematangsiantar, Kabupaten Batubara dan Nias. Jumlah sampel sebanyak 99 lembaga PAUD. jumlah seluruh responden sebanyak 99x10 orang = 990 orang responden. Teknik pengumpulan data dengan wawancara, observasi, dan studi dokumentasi. Data dianalisis dengan deskriptif kualitatif. Tujuan penelitian adalah mengetahui: 1) kondisi lembaga-lembaga PAUD; dan 2) peran PAUD terhadap kualitas pendidikan anak di Sumatera Utara. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: beberapa lembaga KB telah diintegrasikan dengan PAUD TK/RA serta layanan dengan posyandu (POS PAUD) berbasis TPQ, dan satuan pendidikan keagamaan lainnya; setiap lingkungan/desa telah memiliki minimal 1 lembaga PAUD; pemberian BOP belum merata kesemua lembaga PAUD yang ada; beberapa lembaga PAUD masih kekurangan PTK; pengklasifikasian jenis satuan PAUD berdasarkan usia anak tidak dikelompokkan dengan baik; perguruan tinggi (Universitas Terbuka) telah berperan untuk meningkatkan kualifikasi pendidikan PTK dengan membuka prodi S1 PGTK/PGPAUD; kesejahteraan, penghargaan, dan payung hukum PTK PAUD belum terpenuhi; pembelajaran PAUD berorientasi pada pengembangan karakter dan potensi masing-masing anak; kemampuan dasar anak (motorik, kognitif, afektif, intelektual bahasa, interaksi sosial) berkembang dengan baik; penguatan layanan kesehatan dan gizi anak telah dilakukan hampir diseluruh lembagalembaga PAUD; para orang tua/masyarakat PAUD sangat berperan terhadap pendidikan anak; beberapa lembaga PAUD memiliki sarana prasarana yang belum sesuai standar layanan; kelembagaan PAUD belum ditata dan dikelola dengan baik; dan penilaian orang tua/masyarakat terhadap peran PAUD untuk meningkatkan kualitas pendidikan anak di Sumatera Utara ditinjau dari prasarana PAUD sebesar 64,48, sarana PAUD sebesar 69,14, pendidik dan tenaga kependidikan sebesar 74,35, dan kualitas anak sebesar 76,71. Direkomendasikan kepada Dinas Pendidikan Provinsi, Kabupaten/Kota untuk meningkatkan pelayanan mutu PAUD. Kata Kunci: pendidikan, PAUD, kualitas anak, sarana prasarana pendidikan, pendidik

254


Peran Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) untuk Meningkatkan Kualitas Pendidikan Anak di Sumatera Utara (Jonni Sitorus)

ABSTRACT The limited number of existing early childhood institutions is the fundamental problem. Noted that the number of early childhood institutions in North Sumatra as 9149 institutions. Number of early childhood institutions which have the operating license as 30.86% and 69.14% do not have an operating license. Gross enrollment rate (GER) of ECD of 33.55%. It means that of the total population aged 0-6 years as many as 2,033,209 children, only 33.55% of children who can be served early childhood institutions. The number of children who have not been served 66.45%. While the National GER of ECD is 53.70%. Amount as TOD of ECD 17 618 people, with details: 225 elementary school education; 344 junior high school educated person; 13,418 people had high school; 3582 people educated S1, and S2 49 people educated. TOD who have not been educated graduated education initiate that quality is still low. District/City of research areas, namely: Tanjung Balai, Pematangsiantar, Batubara and Nias. The total sample of 99 early childhood institutions. the total number of respondents is 99x10 = 990 respondents. Techniques of data collection by interview, observation, and documentation. Data were analyzed with descriptive qualitative. The research objective was to determine: 1) the condition of early childhood institutions, and 2) the role of the quality of early childhood education for children in Northern Sumatra. The results showed that: some institutions have been integrated with early childhood PG/KG/RA and services with POS ECD with TPQ-based, and other religious education units; each ward/ village has at least one early childhood institutions; providing delivery of operational support (DOS) has not been evenly distributed all early childhood institutions that is, some early childhood institutions still lack TOD; classifying unit types based early childhood age children are not grouped properly; college (Universitas Terbuka) has been instrumental to improving educational qualification TOD by opening graduate education for education kindergarten teacher (EKT) /early childhood teacher education (ECDE); welfare, awards, and legal protection TOD unmet early childhood; early childhood learning-oriented character development and the potential of each child; basic skills children (motoric, cognitive, affective, intellectual, language, social interaction) are well developed; strengthening child health and nutrition services have been performed in nearly all institutions early childhood institutions; parents/community was instrumental to early childhood education; several early childhood institutions have infrastructure that does not meet the standard of service; institutional ECD has not laid out and well managed, and assessment of parents/community to the role of early childhood education to improve the quality of child in North Sumatra early childhood in terms of infrastructure by 64.48, 69.14 by means of early childhood education, teachers and education staff of 74.35, 76.71 and quality of children. Recommended to the Provincial Education Office, District/City to improve the quality of early childhood services. Keywords:

education, ECD, child quality, infrastructure of ECD, teacher. yang ada, baik lembaga Taman Kanak-Kanak (TK); Kelompok Bermain (KB); Taman Penitipan Anak (TPA); maupun lembaga Satuan Paud Sejenis (SPS) merupakan permasalahan mendasar. Direktorat Pendidikan Anak Usia Dini (2000), anak usia dini adalah anak usia dini 0-6 tahun, yang merupakan masa pertumbuhan dan perkembangan sangat berpengaruh bagi kehidupan selanjutnya. Anak usia dini juga diartikan sebagai anak prasekolah. Biechler dan Snowman (1993) dalam Patmonodewo (2000) adalah mereka yang berusia antara 3 – 6 tahun. Mereka biasanya mengikuti program prasekolah. Sedangkan di Indonesia, umumnya mereka mengikuti program Tempat Penitipan Anak (3 – 5 tahun) dan Kelompok Bermain (Usia 3 - 4 tahun) sedangkan pada usia 4 – 6 tahun biasanya mereka mengikuti program Taman Kanak-kanak. Mutahkir (Solehuddin, 1997), istilah anak usia dini adalah anak yang berkisar 0 – 8 tahun. Dilihat dari fase-fase pendidikan yang ditempuh

PENDAHULUAN Undang-Undang RI No. 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak menyatakan: “Setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat serta bakatnya”. Sesuai Undang-Undang tersebut di atas, nampak jelas bahwa pendidikan harus dilaksanakan sejak usia dini melalui Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD). Pendidikan anak menjadi sangat penting mengingat potensi kecerdasan dan dasar-dasar perilaku seseorang terbentuk pada rentang usia ini. Sedemikian pentingnya usia ini sehingga disebut juga dengan The Golden Age (usia emas). PAUD merupakan landasan dan wahana menyiapkan anak untuk memasuki pendidikan dasar. PAUD telah diterapkan dan disosialisasikan keseluruh lapisan masyarakat, namun pada kenyataannya jumlah anak yang terlayani masih rendah. Terbatasnya jumlah lembaga PAUD 255


Inovasi Vol. 10 No. 4, Desember 2013: 254-261

PAUD yang disewa, suatu saat dapat ditarik atau tidak disewakan lagi oleh pemilik bangunan. Hal ini akan berdampak kepada keberlangsungan lembaga PAUD itu sendiri. Berdasarkan paparan di atas, berbagai permasalahan PAUD yang harus diselesaikan oleh pihak masyarakat dan pihak pemerintah khususnya sebagai pemangku kebijakan (stakeholder). Untuk mengkaji lebih dalam permasalahan-permasalahan PAUD sampai di tingkat lingkungan/desa, maka sangat perlu dilakukan penelitian tentang peran PAUD terhadap peningkatan kualitas pendidikan anak di Sumatera Utara. Adapun tujuan penelitian adalah untuk mengetahui: 1) kondisi lembagalembaga PAUD yang ada di Sumatera Utara; dan 2) peran PAUD terhadap kualitas pendidikan anak di Sumatera Utara.

oleh anak Indonesia, maka yang termasuk kedalam kelompok Anak Usia Dini adalah anak Sekolah Dasar kelas rendah (kelas 1–3), Taman kanak-kanak (TK), Kelompok Bermain (Play Group) dan anak masa sebelumnya (masa bayi). Data Dinas Pendidikan Provinsi Sumatera Utara tercatat bahwa jumlah lembaga PAUD di Sumatera Utara sebanyak 9149 lembaga. Secara rinci jenis satuan lembaga PAUD di Sumatera Utara adalah: Taman Kanak-Kanak (TK) 2121 lembaga; Kelompok Bermain (KB) 4406 lembaga; Tempat Penitipan Anak (TPA) 180 lembaga; dan Satuan Pendidikan Sejenis (SPS) 2442 lembaga. Jumlah lembaga PAUD yang memilki Ijin penyelengggaraan sebanyak 6326 (69,14%) dan 2823 (30,86%) belum memiliki Ijin penyelenggaraan. Banyaknya jumlah lembaga PAUD yang belum memiliki Ijin penyelenggaraan dianggap sebagai sumber permasalahan atas eksistensi program lembaga PAUD. Angka Partisipasi Kasar (APK) PAUD di Provinsi Sumatera Utara sebesar 33,55%. Artinya bahwa dari jumlah penduduk usia 0-6 tahun sebanyak 2.033.209 orang anak, hanya 280.653 orang anak yang dapat terlayani lembaga PAUD. Jumlah anak yang belum terlayani lembaga PAUD sebanyak 1.752.556 orang anak. Jumlah pendidik dan tenaga kependidikan PAUD di Provinsi Sumatera Utara sebanyak 15.921 orang, dengan rincian: 225 orang berpendidikan SD; 344 orang berpendidikan SMP; 11721 orang berpendidikan SMA; 3582 orang berpendidikan S1; dan 49 orang berpendidikan S2. Banyaknya pendidik dan tenaga kependidikan PAUD yang belum berpendidikan S1 menginisiasikan bahwa kualitas pendidik dan tenaga kependidikan PAUD di Provinsi Sumatera Utara masih rendah. Haenilah (2010:20), standar kompetensi tenaga pendidik PAUD adalah: 1) memiliki ijazah minimal Sekolah Menengah Atas (SMA) atau sederajat dan sertifikat palatihan/pendidikan/kursus PAUD yang terakreditasi; 2) memiliki ijazah D-II PGTK dari perguruan tinggi terakreditasi; dan 3) memiliki ijazah Diploma IV atau Sarjana (S1) jurusan PAUD atau Psikologi. Penyediaan sarana prasarana pendidikan PAUD merupakan pilar penting menjadi perhatian pemerintah baik di tingkat provinsi maupun tingkat kabupaten/kota. Data Dinas Pendidikan Provinsi Sumatera Utara bahwa ada sebanyak 7.841 bangunan lembaga PAUD di Sumatera Utara dengan status kepemilikan 49,38% dan 50,62% masih kepemilikan sewa. Artinya bahwa kepemilikan bangunan lembaga

METODE Kabupaten/Kota wilayah penelitian, yaitu: Kota Tanjung Balai dan Pematangsiantar, Kabupaten Batubara dan Nias. Jumlah sampel sebanyak 99, yaitu: Kota Tanjung Balai sebanyak 29 lembaga PAUD; Kota Siantar 16 lembaga PAUD; Kabupaten Batubara 40 Lembaga PAUD; dan Kabupaten Nias 14 lembaga PAUD. Setiap lembaga PAUD diambil sebanyak 10 orang sebagai responden penelitian, diantaranya: 1 orang kepala TK; 2 orang guru TK (guru inti dan guru pendamping); dan 7 orang masyarakat/orang tua siswa. Jadi jumlah seluruh responden penelitian sebanyak 99x10 orang = 990 orang responden. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan wawancara, observasi, dan studi dokumen. Data dianalisis dengan deskriptif kualitatif. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil dan pembahasan lebih difokuskan pada 2 (dua) hal, yaitu: kondisi lembaga PAUD di Sumatera Utara dan peran PAUD untuk meningkatkan kualitas pendidikan anak. Pertama, perluasan akses dan pemerataan PAUD. Dari paparan data di atas diperoleh APK PAUD Sumatera Utara sebesar 33,55%. Artinya bahwa jumlah penduduk usia 0 – 6 tahun di Sumatera Utara masih banyak belum menikmati program PAUD, yaitu sebesar 66,45%. APK PAUD Nasional sebesar 34%. Berdasarkan Kerangka Besar Pembangunan PAUD 2011-2025 RI, target capain APK PAUD Nasional sebesar 76,5% sampai akhir tahun 2025. Perluasan akses dan pemerataan PAUD serta peningkatan mutu layanan sampai tingkat lingkungan/desa merupakan salah satu cara untuk mencapai target APK PAUD sebesar 76,5% sampai akhir tahun 2025.

256


Peran Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) untuk Meningkatkan Kualitas Pendidikan Anak di Sumatera Utara (Jonni Sitorus)

Beberapa layanan jenis satuan KB yang memenuhi persyaratan dibuka di lembaga TK/RA. Bangunan sebagai tempat proses pembelajaran dapat digunakan secara bersama, sehingga dapat menampung anak-anak yang belum memasuki jenjang jenis satuan PAUD TK/RA. Selain itu, Dinas Pendidikan melalukan sosialisasi PAUD kepada masyarakat sebagai usaha mempercepat pendirian lembaga PAUD baru di daerah terpencil. Sebagai implementasinya, masing-masing kecamatan telah memiliki lembaga PAUD sampai tingkat lingkungan. Artinya setiap lingkungan telah memiliki minimal 1 lembaga PAUD. Pengintegrasian layanan PAUD dengan posyandu (POS PAUD) di setiap lingkungan, layanan PAUD berbasis TPQ, dan PAUD berbasis satuan pendidikan keagamaan lainnya belum terlaksana secara merata di setiap lingkungan. Hanya beberapa lingkungan memiliki POS PAUD. Layanan PAUD yang diintegrasikan berbasis TPQ atau satuan pendidikan keagamaan juga belum merata disetiap lembaga PAUD yang ada. Kerjasama dengan organisasi sosial, lembaga keagamaan, atau lembaga lainnya untuk meningkatkan akses PAUD tidak terlaksana dengan baik. Kondisi ini tentunya tidak mendukung program pemerintah terkait perluasan akses dan pemerataan PAUD sampai tingkat lingkungan. Bantuan operasional penyelenggaraan (BOP) oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi, atau Pemerintah Kabupaten/Kota diberikan hanya kepada beberapa lembaga PAUD. Pemberian BOP yang tidak merata dikarenakan anggaran dana yang tidak mencukupi untuk seluruh lembaga PAUD yang membutuhkan. Pada prinsipnya, seluruh lembaga mengharapkan adanya bantuan berupa BOP dari pemerintah. Partisipasi masyarakat/orang tua anak berupa uang bulanan tidak mencukupi biaya operasional penyelenggaraan PAUD. Usaha pemerintah dengan memberikan BOP kesemua lembaga PAUD tidak terlaksana dengan baik. Disisi lain, pemerintah berupaya meningkatkan perluasan akses dan pemerataan PAUD, namun tidak mampu menyediakan BOP kepada seluruh lembaga PAUD yang membutuhkan. Kedua, Kondisi pendidik dan tenaga kependidikan (PTK) PAUD. Jumlah seluruh PTK PAUD sebanyak 17618 orang dengan seluruh peserta didik 280.653 orang. Beberapa lembaga PAUD masih kekurangan tenaga pendidik. Pengelola/penyelenggara PAUD yang masih kekurangan PTK merasa kesulitan untuk merekrut PTK yang baru, karena keterbatasan dana untuk biaya honor guru. Artinya, beberapa

kelas memiliki proporsi tidak sebanding antara jumlah siswa dengan jumlah guru yang ada dalam 1 ruangan kelas. Kondisi ini tentunya tidak efektif untuk proses pembelajaran bagi peserta didik PAUD. Berdasarkan UUSNP Nomor 20 Tahun 2003, adapun rasio pendidk dan anak adalah: usia 0-1 tahun rasio 1:3 anak; usia 1-3 tahun rasio 1:6 anak; usia 3-4 tahun rasio 1:10/12 anak. Klasifikasi jenis satuan PAUD berdasarkan usia anak, Biechler dan Snowman (1993) dalam Patmonodewo (2000) menyatakan bahwa AUD adalah mereka yang berusia antara 3-6 tahun. Patmonodewo menambahkan bahwa di Indonesia umumnya anak mengikuti program Tempat Penitipan Anak (3-5 tahun) dan Kelompok Bermain (Usia 3-4 tahun), sedangkan pada usia 4-6 tahun biasanya mereka mengikuti program Taman Kanak-kanak. Artinya bahwa untuk kelas Tempat Penitipan Anak maksimal 8 orang anak/guru; kelas Kelompok Bermain maksimal 6 orang anak/guru; dan kelas Taman Kanak-kanak maksimal 12 orang anak/guru. Pengklasifikasian jenis satuan PAUD (KB, TK/RA, TPA, SPS) berdasarkan usia anak tidak dikelompokkan dengan baik. Adanya siswa PAUD yang seharusnya berdasarkan usia masih di level KB, namun telah berada di level TK/RA, atau sebaliknya. Beberapa lembaga TK/RA tidak memadukan kelas KB atau SPS untuk menampung anak-anak yang belum layak memasuki jenias satuan TK/RA. Kualifikasi pendidikan PTK PAUD pada umumnya belum memenuhi standar. Dari 17618 orang guru PAUD, ditemukan bahwa jumlah guru yang berpendidikan SD sebanyak 225 orang; SMP sebanyak 344 orang; SMA sebanyak 13.418 orang; S1 sebanyak 3.582 orang; dan S2 sebanyak 49 orang. Beberapa guru PAUD juga masih ada yang belum memiliki sertifikasi profesi guru dan belum pernah mengikuti pelatihan/diklat PAUD. Berdasarkan UUSNP Nomor 20 Tahun 2003, pendidik anak usia dini memiliki kompetensi kualifikasi akademik sekurangkurangnya Diploma Empat (D-IV) atau Sarjana (S1) di bidang pendidikan anak usia dini, kependidikan lain, atau psikologi, dan memiliki sertifikasi profesi guru PAUD atau sekurangkurangnya telah mendapat pelatihan pendidikan anak usia dini. Sedangkan menurut Haenilah (2010), standar kompetensi tenaga pendidik PAUD adalah: 1) memiliki ijazah minimal Sekolah Menengah Atas (SMA) atau sederajat dan sertifikat palatihan/pendidikan/kursus PAUD yang terakreditasi; 2) memiliki ijazah D-II PGTK dari perguruan tinggi terakreditasi; dan 3) 257


Inovasi Vol. 10 No. 4, Desember 2013: 254-261

membuat anak menjadi terbebani dalam mencapai tugas perkembangannya. Pembelajaran untuk anak usia dini pada dasarnya adalah pembelajaran yang kita berikan pada anak agar anak dapat berkembang secara wajar. Selain itu, pembelajaran juga didukung dengan alat permainan edukasi (APE), baik APE dalam maupun APE di luar ruangan kelas (penyusunan balok, puzzle, lingkaran, dan seluncuran). Permainan ini tentunya mendekatkan anak pada dunia anak, yaitu bermain. Permainan yang mendidik tentunya dapat mengembangkan pengetahuan, keterampilan, atau sikap baru anak saat berinteraksi dengan informasi dan lingkungan sekitarnya. Menurut Misni (2006) mengungkapkan bahwa bermain merupakan suatu kegiatan yang dilakukan anak dengan atau tanpa menggunakan alat yang menghasilkan atau memberikan informasi, memberi kesenangan dan mengembangkan imajinasi anak secara spontan dan tanpa beban. Dunia anak pada dasarnya adalah dunia bermain, karena selama rentang perkembangan usia dini anak melakukan sebagian besar kegiatannya dengan bermain. Kebutuhan atau dorongan internal terutama tumbuhnya sel saraf di otak memungkinkan anak untuk melakukan berbagai aktivitas bermain tanpa mengenal lelah. Kemampuan dasar anak PAUD dapat diukur melalui: kemampuan kognitif; intelektual berbahasa; dan interaksi sosial. Secara umum, kemampuan kognitif anak PAUD berkembang dengan baik. Misalnnya, sebagian anak telah dapat membaca, menulis, dan berhitung, yang tentunya disesuaikan akan kebutuhan dan karakteristik AUD. Namun sebagian anak lagi masih tahap pengenalan huruf dan angka. Dari sisi kemampuan intelektual berbahasa, anak dapat berkomunikasi dengan menggunakana bahasa yang sopan dan santuan kepada orang tua, guru, ataupun sesamanya serta orang lain yang lebih tua dari mereka. Interaksi sosial anak saat bermaian dan belajar bersama di dalam dan luar ruangan kelas. Kemampuan dasar anak ini sejalan dengan pendapat Suyanto (2003), bahwa banyak perkembangan anak yang terjadi karena bermain, antara lain: bermain mengembangkan kemampuan motorik; bermain mengembangkan kemampuan kognitif; bermain mengembangkan kemampuan afektif; bermain mengembangkan kemampuan bahasa; dan bermain mengembangkan kemampuan sosial. Salah satu usaha untuk meningkatkan layanan mutu PAUD terkait Pembelajaran anak

memiliki ijazah Diploma IV atau Sarjana (S1) jurusan PAUD atau Psikologi. Membandingkan kondisi PTK PAUD dengan standar pendidik PAUD oleh beberapa pendapat, tentunya perlu peningkatan kualifikasi PTK. Perguruan tinggi (Universitas terbuka) yang bekerjasama dengan pihak Pemerintah Provinsi Sumut dan Pemerintah kabupaten/Kota telah berperan untuk meningkatkan kualifikasi pendidikan guru-guru PAUD. Pemberian beasiswa kepada guru-guru PAUD untuk melanjutkan pendidikan kejenjang S1 di UT ataupun sekolah tinggi lainnya belum merata serta tidak adanya bantuan pendidikan, khususnya para guru PAUD yang melanjutkan pendidikan kejenjang S1 yang sifatnya swadana. Kompetensi guru-guru PAUD belum sesuai dengan standar. Beberapa guru, khususnya guru-guru yang berpendidikan SMA atau S1 yang bukan sarjana pendidikan PAUD masih ada yang belum pernah mengikuti pelatihan/diklat tentang PAUD. Peran organisasi lain, seperti: Himpaudi, IGTK/IGRA untuk meningkatkan kompetensi guru PAUD belum berjalan secara maksimal. Selanjutnya, kesejahteraan para PTK PAUD belum terpenuhi, khususnya guru-guru honor. Walaupun pemerintah telah memberikan bantuan BOP, namun honor yang disishkan dari BOP hanya sebesar Rp. 100.000,-per guru tiap bulan sebagai tambahan honor yang diperoleh dari iuran masyarakat/orang tua siswa (SPP). Tentunya honor yang diperoleh para guru PAUD belum dapat mensejahterakan keluarganya. Pemerintah Kabupaten/Kota juga belum mengapresiasi guru-guru PAUD yang berprestasi dan juga tidak adanya payung hukung PTK yang pasti. Ketiga, pembelajaran dan peserta didik PAUD. Secara umum, pembelajaran PAUD lebih berorientasi pada pengembangan akan karakter dan potensi masing-masing anak. Secara umum, para guru PAUD menerapkan metode “bermain sambil belajar. Misalnya, menyanyikan lagu “sata satu aku sayang ibu� dengan posisi anak membentuk lingkaran. Para anak diterapkan pemahaman konsep bilangan dan pengenalan anggota keluarga. Dengan membentuk lingkaran, para anak diterapkan karakter akan kebersamaan. Menurut Greeberg (Isjoni, 2006) melukiskan bahwa pembelajaran dapat efektif jika anak dapat belajar melalui bekerja, bermain dan hidup bersama dengan lingkungannya. Pembelajaran untuk anak usia dini bukan berarti anak harus disekolahkan pada umur yang belum seharusnya, dipaksa untuk mengikuti pelajaran yang akhirnya justru

258


Peran Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) untuk Meningkatkan Kualitas Pendidikan Anak di Sumatera Utara (Jonni Sitorus)

adalah penguatan layanan kesehatan dan gizi (layanan holistik-integratif), seperti pemantauan pertumbuhan anak secara rutin; PMTA; dan pengintegrasian layanan terkait Bina Keluarga Balita atau Posyandu. Secara umum, penguatan layanan kesehatan dan gizi anak telah dilakukan hampir diseluruh lembagalembaga PAUD. Beberapa lembaga PAUD telah bekerjasama dengan pihak puskesmas setempat yang didukung oleh Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota. Pihak puskesmas memeriksa kesehatan anak, seperti: menimbang berat badan, membersihkan kuku, mengukur tinggi badan, memberi vitamin, memeriksa gigi, dan melakukan penyuluhan kepada pengelola, penyelenggara, guru dan anak PAUD terkait pentingnya akan kesehatan anak. Selain itu, pemberian makanan tambahan (PMTA) kepada anak PAUD telah dilakukan oleh lembaga PAUD. PMTA diberikan dengan menu yang bervariasi, seperti: bubur kacang ijo, bubur ayam, susu, kue basah,dan roti. Oleh sebagian lembaga PAUD belum melakukannya secara rutin, setidaknya seluruh lembaga PAUD telah pernah melakukannya. Disisi lain, penguatan program parantng PAUD tidak berjalan dengan baik. Pemerintah Kabupaten/Kota tidak memiliki program PAUD berbasis keluarga, khususnya bagi orang tua yang memiliki anak usia 0-2 tahun. Keempat, peran orang tua/masyarakat. Para orang tua/masyarakat sangat antusias terhadap program PAUD. Selain guru, orang tua juga berperan dalam mendidik anak. Membimbing, mengarahkan, dan menjadi teman anak sering dilakukan orang tua untuk meningkatkan kualitas anak. Membantu anak dalam mengerjakan PR yang diberikan guru juga sering dilakukan oleh orang tua di rumah, walaupun ada sebagian orang tua tidak mempunyai banyak waktu buat anaknya. Kelima, sarana prasarana PAUD. Hasil observasi yang dilakukan peneliti ke sejumlah lembaga PAUD menunjukkan bahwa beberapa lembaga PAUD memiliki sarana prasarana yang belum sesuai standar layanan. Ditinjau dari prasarana PAUD, beberapa lembaga PAUD memiliki ruang belajar yang sangat sempit, sehingga pergerakan anak di dalam ruangan kelas terbatas. Sirkulasi udara dan sanitasi kesehatan di ruang kelas juga sangat terbatas. Penataan lokasi bangunan belum tepat, karena sebagian masyarakat hanya memanfaatkan ruang tamu, teras rumah, atau showroom motor. Selain itu, pemeliharaan bangunan oleh sejumlah lembaga PAUD tidak pernah dilakukan. Hal terbukti dari fisik bangunan yang terkesan kumuh dan tidak terawat. Sarana PAUD juga

belum memenuhi standar layanan. Beberapa lembaga PAUD memiliki sarana belajar berupa media belajar dan alat peraga edukasi (APE) yang sangat terbatas, bahkan ada beberapa lembaga PAUD yang tidak memilikinya. Berdasarkan Program Gerakan Nasional PAUD RI, bahwa pemerintah turut serta dalam mendukung mutu layanan terkait pemenuhan sarana prasarana PAUD, misalnya: mengembangkan standarisasi prasarana PAUD; memberikan bantuan pembangunan fasilitas PAUD terpadu; memberikan bantuan pembangunan Lembaga PAUD Percontohan; memberikan bantuan rehabilitasi fasilitas PAUD; dan memberikan bantuan perluasan ruang belajar dan penunjang lainnya. Sedangkan pemenuhan sarana belajar PAUD adalah: mengembangkan standarisasi sarana PAUD (alat Permainan Edukatif (APE); memberikan bantuan bahan ajar PAUD; memberikan bantuan APE PAUD. Sebagian Kabupaten/Kota telah membangun lembaga PAUD percontohan, walupun masih tingkat kecamatan; memberikan bantuan APE; dan bahan ajar PAUD. Pengembangan standarisasi prasarana PAUD; bantuan pembangunan fasilitas PAUD terpadu; bantuan rehabilitasi fasilitas PAUD; bantuan perluasan ruang belajar; dan pengembangan standarisasi sarana PAUD (alat Permainan Edukatif (APE) belum pernah dilakukan, mengingat anggaran dana yang tidak mencukupi. Ketujuh, kelembagaan PAUD. Kelembagaan PAUD belum ditata dan dikelola dengan baik. Beberapa lembaga PUAD belum memiliki perijinan pendirian lembaga; layaanan lembaga PAUD belum berjalan sesuai standar; lembaga PAUD yang telah berijin belum semua memiliki NPSN; belum ada lembaga PAUD yang mencapai standar nasional; belum melakukan penilaian kinerja dan akreditasi satuan PAUD; dan sistem pendataan PAUD Terpadu masih manual. Kedelapan, peran PAUD untuk meningkatkan kualitas pendidikan anak. Hasil akhir pelaksanaan program PAUD adalah kualitas anak. Indikator penilaian peran PAUD ditinjau dari: sarana prasarana PAUD; pendidik dan tenaga kependidikan PAUD; dan kualitas anak PAUD. Keempat indikator ini dinilai oleh orang tua/masyarakat yang memiliki anak di lembaga PAUD masing-masing. Hasil penilaian orang tua/masyarakat terhadap peran PAUD untuk prasarana PAUD sebesar 64,48; sarana PAUD sebesar 69,14; pendidik dan tenaga kependidikan (PTK) sebesar 74,35; dan kualitas anak sebesar 76,71. 259


Inovasi Vol. 10 No. 4, Desember 2013: 254-261

Penilaian tertinggi oleh orang tua/masyarakat terhadap keempat indikator adalah kualitas anak. Penilaian kualitas anak lebih difokuskan pada karakter dan kemampuan dasar anak. Kemampuan dasar anak meliputi: nilai-nilai agama dan moral, motorik kasar dan halus, kognitif, bahasa, sosial emosional. Menurut Haenilah (2010:20), prinsip standar kompetensi anak usia dini adalah standar kemampuan anak usia 0-6 tahun yang didasarkan atas perkembangan anak. Standar kompetensi ini digunakan sebagai acuan dalam mengembangkan kurikulum anak usia dini. Standar kompetensi anak usia dini terdiri dari pengembangan aspek-aspek sebagai berikut: moral dan nilai-nilai agama; sosial, emosional, dan kemandirian; bahasa; kognitif; fisik/motorik; dan seni.

penghargaan, dan payung hukum PTK PAUD belum terpenuhi; Pembelajaran PAUD berorientasi pada pengembangan karakter dan potensi masing-masing anak; Kemampuan dasar anak (motorik, kognitif, afektif, intelektual bahasa, interaksi sosial) berkembang dengan baik; Penguatan layanan kesehatan dan gizi anak telah dilakukan hampir diseluruh lembagalembaga PAUD; Para orang tua/masyarakat PAUD sangat berperan terhadap pendidikan anak; Beberapa lembaga PAUD memiliki sarana prasarana yang belum sesuai standar layanan; Kelembagaan PAUD belum ditata dan dikelola dengan baik; dan Penilaian orang tua/masyarakat terhadap peran PAUD untuk meningkatkan kualitas pendidikan anak di Sumatera Utara ditinjau dari prasarana PAUD sebesar 64,48; sarana PAUD sebesar 69,14; pendidik dan tenaga kependidikan (PTK) sebesar 74,35; dan kualitas anak sebesar 76,71.

KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian disimpulkan: Kondisi lembaga PAUD di Sumatera Utara: Angka Partisipasi Kasar (APK) PAUD tahun 2013 sebesar 33,55%; Jumlah seluruh lembaga PAUD sebanyak 9.149 lembaga, dengan rincian: TK sebanyak 2121 lembaga; KB sebanyak 4.406 lembaga; TPA sebanyak 180 lembaga; dan SPS sebanyak 2.442 lembaga; Jumlah lembaga PAUD yang memiliki Nomor Pokok Satuan PAUD Nasional (NPSN) sebanyak 418 lembaga dan 8.731 lembaga belum memiliki NPSN; Jumlah lembaga PAUD yang memiliki ijin operasional penyelenggaraan sebanyak 6.326 lembaga dan 2.823 lembaga PAUD belum memiliki ijin; Jumlah seluruh pendidik dan tenaga kependidikan (PTK) sebanyak 17.618 orang, dengan rincian: tingkat SD sebanyak 225 orang; SMP sebanyak 344 orang; SMA sebanyak 13.418 orang; S1 sebanyak 3.582 orang; dan S2 sebanyak 49 orang; Jumlah seluruh pengelola lembaga PAUD sebanyak 15.622 orang, dengan rincian: 4555 orang pernah mengikuti pelatihan PAUD dan 11.067 orang belum pernah mendapat pelatihan PAUD; Beberapa lembaga KB telah diintegrasikan dengan PAUD TK/RA; Setiap lingkungan/desa telah memiliki minimal 1 lembaga PAUD; Beberapa lembaga PAUD telah mengintegrasikan layanan dengan posyandu (POS PAUD) berbasis TPQ, dan satuan pendidikan keagamaan lainnya; Pemberian BOP belum merata kesemua lembaga PAUD yang ada; Beberapa lembaga PAUD masih kekurangan PTK; Pengklasifikasian jenis satuan PAUD berdasarkan usia anak tidak dikelompokkan dengan baik; Perguruan tinggi (Universitas Terbuka) telah berperan untuk meningkatkan kualifikasi pendidikan PTK dengan membuka prodi S1 PGTK/PGPAUD; Kesejahteraan,

REKOMENDASI 1. Direkomendasikan kepada Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota untuk menambah/membangun lembaga PAUD Negeri yang baru sampai tingkat lingkungan/desa. 2. Direkomendasikan kepada Pemerintah Pusat, Provinsi Sumatera Utara, dan Kabupaten/Kota perlu memberikan anggaran dana BOP yang cukup kepada seluruh lembaga PAUD untuk meningkatkan layanan mutu PAUD, seperti: layanan kesehatan gizi anak; kualifikasi, kompetensi dan kesejahteraan PTK; dan penataan manajemen PAUD. 3. Direkomendasikan kepada Dinas Pendidikan Provinsi Sumatera Utara dan Kabupaten/Kota untuk melakukan pelatihan/diklat PAUD kepada seluruh pendidik dan tenaga kependidikan PAUD terkait pembelajaran PAUD, khusunya kepada guru-guru yang belum pernah mengikuti pelatihan/diklat. 4. Direkomendasikan kepada Dinas Pendidikan Provinsi Sumatera Utara dan Kabupaten/Kota untuk menata ulang kelembagaan PAUD terkait pengelompokan jenis satuan PAUD berdasarkan usia anak. 5. Direkomendasikan kepada Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota untuk meningkatkan profesionalisme kerja terkait penilaian kinerja dan akreditasi satuan PAUD serta sistem pendataan PAUD Terpadu berbasis Web, dengan cara memberi pelatihan kepada pegawai negeri sipil (PNS) yang mengelola penataan kelembagaan PAUD.

260


Peran Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) untuk Meningkatkan Kualitas Pendidikan Anak di Sumatera Utara (Jonni Sitorus)

6. Direkomendasikan kepada Pemerintah Pusat, Provinsi Sumatera Utara, dan Kabupaten/Kota perlu memperhatikan kesejahteraan dalam hal uang intensif, memberi penghargaan, dan payung hukum PTK. 7. Direkomendasikan kepada Dinas Pendidikan Provinsi Sumatera Utara dan Kabupaten/Kota perlu memfasilitasi sarana prasarana yang memadai kepada seluruh lembaga PAUD. DAFTAR PUSTAKA Direktorat PAUD, 2002, Pendidikan Untuk Semua (PUS), Jakarta, Direktorat PAUD, Ditjen PLS Depdiknas. Direktorat Pembinaan Pendidikan Anak Usia Dini Tahun 201, Depdiknas. Dirjen PAUD, Nonformal Dan Informal Tahun 2012, Pedoman Penyelenggaraan Program Pendidikan Anak Usia Dini, Nonformal Dan Informal Tahun 2012. Hariwijaya, Bertiani Eka Sukaca, 2007, PAUD Melejitkan Potensi Anak Dengan Pendidikan Sejak Dini, Bandung. Hasan, M, 2009, Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), Yogyakarta, Diva Press. Kemdiknas. 2010, Rencana Strategis Kementerian Pendidikan Nasional 2010-2014, Jakarta, Kemdiknas. Patmonodewo, Soemiarti, 2000, Pendidikan Prasekolah, Depdikbud Dirjen Dikti, Jakarta. Santrock, J. W, 2007, Perkembangan Anak, Boston, Mc. Graw Hill. Solehuddin. 1997, Konsep Dasar Prasekolah, IKIP Bandung, Bandung.

Pendidikan

Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003, Sistem Pendidikan Nasional, Jakarta, Depdiknas. Undang-Undang RI No. 23 Tahun 2002, Perlindungan Anak, Jakarta, Tim Cemerlang.

261


Inovasi Vol. 10 No. 4, Desember 2013: 262-271

Hasil Penelitian KAJIAN MANAJEMEN PEMBIAYAAN PENDIDIKAN PADA UNIT SMP DI KABUPATEN TAPANULI UTARA (STUDY STUDY OF MANAGEMENT IN EDUCATION FINANCING FOR SMP IN TAPANULI UTARA REGENCY) Jonni Sitorus Badan Penelitian dan Pengembangan Provinsi Sumatera Utara Jl. Sisingamangaraja No. 198 Medan 20126 email: sitorus_jonni@yahoo.co.id

Diterima: 11 April 2013; Direvisi: 18 Oktober 2013; Disetujui: 21 Nopember 2013

ABSTRAK Penyelenggaraan pembiayaan pendidikan harus didukung dengan satu manajemen yang layak, dengan memberdayakan fungsi-fungsinya meliputi: perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui: perencanaan, pelaksanaan, dan pembiayaan pendidikan pada unit SMP di Kabupaten Tapanuli Utara. Penelitian menekankan pada proses secara kualitatif dilakukan pada bulan September s/d Nopember 2013. Populasi adalah seluruh SMP di Kabupaten Tapanuli Utara. Wilayah penelitian sebanyak 3 kecamatan, yaitu: Sipoholon, Tarutung, dan Siborong-borong. Jumlah SMP sebagai sampel sebanyak 4 dari masing-masing kecamatan. Para informan adalah: Dinas Pendidikan Kabupaten Tapanuli Utara, UPT Dinas Pendidikan, kepala sekolah, dan guru. Jumlah seluruh informan sebanyak 52 orang. Teknik pengumpulan data dengan cara: wawancara terstruktur, observasi, dan studi Dokumentasi. Data dianalisis dengan deskriptif kualitatif. Hasil penelitian: (1) Proses perencanaan dalam manajemen pembiayaan pendidikan di Kabupaten Tapanuli Utara menggunakan pola bottom up. Sekolah sebagai ujung tombak pelayanan pendidikan menyusun rencana pembiayaan yang diakomodir dan disampaikan pada tingkat Musrenbang Kecamatan. Selanjutnya diusulkan pada tingkat Musrenbang SKPD untuk dijadikan penentuan skala prioritas Rencana, Program, Kegiatan dan Anggaran Pendidikan. Penetapan arah kebijakan perencanaan di sektor pendidikan dibahas di tingkat Musrenbang Kabupaten. Bila kegiatan bersumber dari dana provinsi dan APBN, maka ditindaklanjuti pada tingkat Musrenbang Provinsi; (2) Pelaksanaan pembiayaan pendidikan dalam konteks penggunaan keuangan negara, berasal dari APBN dan APBD. Dimana dalam anggaran terdiri dari 2 sumber pendapatan, yaitu: rutin, pembangunan dan pengembangan staf. Biaya rutin dilakukan untuk menunjang operasional dan kegiatan rutinitas perkantoran, biaya pembangunan digunakan untuk investasi dan pengembangan institusi. Output penyusunan anggaran adalah Rencana Kerja Anggaran Kementerian/Lembaga (RKA-KL) untuk APBN dan Rencana Kerja Angggaran Satuan Kerja Perangkat Daerah (RKA-SKPD). Setelah melalui proses pembahasan keluar Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) untuk APBN dan Dokumen Pelaksanaan Anggaran (DPA) untuk APBD; dan (3) Pengendalian merupakan bentuk pengawasan internal melalui penyusunan Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP) sebagai bahan evaluasi untuk perbaikan internal organisasi serta dijadikan input bagi lembaga pengawasan yang berkompeten dari eksternal orgnanisasi, misalnya: Inspektorat, BPKP dan Bawasda. Direkomendasikan kepada Dinas Pendidikan Kabupaten Tapanuli Utara: (1) perencanaan pembiayaan pendidikan harus mengikutsertakan UPT pendidikan, sehingga perencanaan sesuai dengan kebutuhan yang mendesak sesuai skala prioritas sekolah; (2) memberikan sosialisasi dan pelatihan kepada UPT Pendidikan dan kepala sekolah terkait SOP pembiayaan dan penggunaan biaya pendidikan untuk mendukung pilar penguatan tata kelola, relevansi dan daya saing untuk program pemerataan dan perluasan akses; dan (3) mengoptimalkan fungsi monitoring dan evaluasi, baik dari aspek pembiayan maupun dari aspek mutu sebagai bagian dari pengawasan. Kata Kunci: managemen pembiayaan pelaksanaan, pengawasan

pendidikan,

262

Kabupaten

Taput,

SMP,

perencanaan,


Kajian Manajemen Pembiayaan Pendidikan pada Unit SMP di Kabupaten Tapanuli Utara (Jonni Sitorus)

ABSTRACT Implementation of education funding must be supported by a proper management, to empower its functions include: planning, implementation, and monitoring. The purpose of the study was to determine: planning, implementation, and financing of education at the junior high school units in Tapanuli Utara Regency. The study emphasizes the qualitative process conducted in September to November 2013. The population is the total number of junior high school in Tapanuli Utara Regency. The research areas are 3 districts, namely: Sipoholon, Tarutung, and Siborong-borong. The total of SMP as samples are 4 from each district. The informants are: Dinas Pendidikan Tapanuli Utara, UPT Dinas Pendidikan, principals, and teachers. The total number of informants as many as 52 people. Techniques of data collection by: structured interviews, observation, and study documentation. Data were analyzed with descriptive qualitative . Results of the study: (1) The process of planning in management education funding in North Tapanuli using a bottom-up pattern. School as the spearhead of educational services financing plan accommodated and delivered at the District level planning forums, Furthermore, the proposed planning forums on education level to be setting priorities Plans, Programs, Activities and Education Budget. Determination of the direction of policy planning in the education sector discussed at the district level planning forums . When the activity is sourced from provincial funds and the state budget , then followed up at provincial level planning forums; (2) The financing of education in the context of the use of state finances, comes from state and local budgets. Where in the budget is composed of two sources of income, namely: routine, development and staff development. Routine costs for operational support and office routine activities , the cost of construction is used for investment and development institutions. Output budgeting is a Work Plan Budget Ministry/ Agency for Budget and Work Plan angggaran Regional Working Units. After a thorough discussion of exit Budget Implementation List to the State Budget and the Budget Execution Document for the budget, and (3) Control is a form of internal control over the preparation of the Government Performance Accountability Report as an evaluation for the improvement of the organization's internal and used as input for the institution competent supervision of external orgnanisasi , for example : Inspectorate, BPK and Bawasda. Recommended to the Education Department of North Tapanuli: (1) financial planning education should include education UPT; so, plan according to the urgent needs of the corresponding priorities of the school; (2) provide socialization and training to principals and UPT related Procedure Operational Standard of financing and the use of education cost to support the pillars of strengthening governance, relevance and competitiveness for equity and expanded access programs; and (3) optimize the function of monitoring and evaluation, both from the aspect of financing and quality aspects as part of the supervision. Keywords:

Management Education Funding, Implementation, Monitoring

Tapanuli

Utara

Regency,

SMP,

Planning,

menyelenggarakan dan meningkatkan sistem pendidikan yang berkualitas, biaya merupakan komponen yang sangat penting, dan dapat dikatakan bahwa proses pendidikan tidak dapat berjalan tanpa dukungan biaya. Penyelenggaraan pembiayaan pendidikan harus didukung dengan satu manajemen yang layak, dengan memberdayakan fungsi-fungsinya yang dirumuskan oleh Terry meliputi perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan dan pengawasan. Hal ini sesuai dengan amanah Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, pada Penjesalan Pasal 3 yang disebutkan bahwa ayat 1: Setiap penyelenggara negara wajib mengelola keuangan negara secara tertib, taat kepada peraturan perundangundangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan dan bertanggung jawab dengan memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan. Pengelolaan dalam ayat ini mencakup keseluruhan kegiatan perencanaan, penguasaan, penggunaan, pengawasan dan pertanggungjawaban.

PENDAHULUAN Tuntutan akan 20% anggarannya untuk keperluan sektor pendidikan sebagaimana yang diamanatkan pada Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) dialami oleh Kabupaten Tapanuli Utara. Kabupaten Tapanuli Utara memiliki 83 unit SMP sebagai fokus penelitian, dengan rincian: 69 unit SMP Negeri dan 14 unit SMP Swasta yang menyebar ke 15 kecamatan yang ada di Kabupaten Tapanuli Utara. Kabupaten Tapanuli Utara memiliki banyak program dan kegiatan terkait peningkatan mutu layanan pendidikan, misal: peningkatan mutu pendidik dan tenaga kependidikan dan sarana prasarana pendidikan. Salah satu usaha untuk meningkatkan mutu layanan pendidikan adalah peningkatan kualifikasi pendidik dan tenaga kependidikan yang masih belum memenuhi standar pelayanan minimal. Untuk mendukung pilar dan programprogram serta kegiatan tersebut akan sulit tercapai apabila tidak didukung dengan penyediaan biaya yang memadai. Upaya 263


Inovasi Vol. 10 No. 4, Desember 2013: 262-271

Engkoswara dan Komariah (1992), manajemen merupakan proses perencanaan, pengorganisasian, pengarahan dan pengawasan usaha-usaha per-anggota organisasi dan pengguna sumber daya organisasi lainnya agar mencapai tujuan organsasi yang telah ditetapkan. Siagian (2001) menjelaskan: tujuan pengawasan adalah membantu para anggota organisasi mengatasi berbagai kelemahan yang terdapat dalam diri masing-masing dan memberikan bimbingan, sehingga terjadi modifikasi perilaku negatif. Berdasarkan hasil yang diperoleh dari pengawasan tersebut dapat menentukan langkah korektif yang mungkin diperlukan. Sejalan dengan kebijakan otonomi daerah, yang menyerahkan masalah pendidikan ke daerah dan sekolah, maka masalah keuangan pun menjadi kewenangan yang diberikan secara langsung dalam pengelolaannya kepada sekolah. Dalam hal ini, kepala sekolah memiliki tanggung jawab keuangan sekolah. Besar kecilnya biaya pendidikan terutama pada tingkat satuan pendidikan berhubungan dengan berbagai indikator mutu pendidikan seperti angka partisipasi, angka putus sekolah, tinggal kelas dan prestasi belajar siswa, (Supriadi, 2002). Untuk memperoleh data yang akurat terkait berbagai permasalahan di atas, perlu dilakukan sebuah kajian. Pengkajian manajemen pembiayaan pendidikan pada unit SMP di Kabupaten Tapanuli Utara secara mendalam harus melalui sebuah penelitian. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui: perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan pembiayaan pendidikan pada unit SMP di Kabupaten Tapanuli Utara.

pelaksanaan, pengawasan pembiayaan pendidikan pada unit SMP di Kabupaten Tapanuli Utara. Pertama, proses perencanaan dalam rangka penyusunan program dan kegiatan serta pengembangan pendidikan di Kabupaten Tapanuli Utara berdasarkan kebutuhan masing-masing kecamatan melalui Musyawarah Rencana Pembangunan (Musrenbang). Mekanisme perencanaan pembiayaan dilaksanakan berdasarkan kemampuan keuangan daerah serta kebutuhan melalui hasil Musrenbang Kecamatan dan Kabupaten. Kegiatan musrenbang ini dapat menampung aspirasi masyarakat masing-masing kecamatan terkait skala prioritas apa yang harus segera dilaksanakan untuk membangun pendidikan di daerah masing-masing. Coombs dalam Syaefuddin (2006) bahwa perencanaan pendidikan adalah suatu penerapan yang rasional dari analisis sistematis proses perkembangan pendidikan dengan tujuan agar pendidikan itu lebih efektif dan efisien serta sesuai dengan kebutuhan dan tujuan para peserta didik dan masyarakatnya. Pembiayaan pendidikan yang telah direncanakan dan ditindaklanjuti dengan implementasinya memberikan manfaat yang besar baik bagi peserta didik maupun masyarakat untuk pembangunan wilayahnya. Prosedur perencanaan dan penganggaran penyusunan rencana pembiayaan pendidikan di Kabupaten Tapanuli Utara diimplementasikan dalam kegiatan penyusunan rencana kerja. Mekanisme penyusunan perencanaan pembiayaan pendidikan oleh Dinas Pendidikan Kabupaten Tapanuli Utara melalui beberapa tahap kegiatan: (1) rapat intern kepala sekolah; (2) Musrenbang Kecamatan; (3) Musrenbang Forum SKPD; (4) Musrenbang Kabupaten; dan (5) Musrenbang Provinsi. Namun dalam perencanaan pembiayaan pendidikan, Dinas Pendidikan Kabupaten Tapanuli Utara belum melibatkan pihak UPT Pendidikan Kecamatan. UPT Pendidikan Kecamatan hanya mengikuti prosedur perencanaan pembiayaan pendidikan yang dilakukan oleh Dinas Pendidikan. Pola perencanaan pembiayaan pendidikan di Kabupaten Tapanuli Utara diawali dari kegiatan rapat intern kepala sekolah dengan seluruh guru-guru di sekolah masing-masing. Kegiatan ini merupakan evaluasi kinerja, program dan kegiatan serta pengembangan sekolah tahun berikutnya. Dalam rapat, para pendidik dan tenaga kependidikan menyampaikan usulan dan saran untuk meningkatkan dan mengembangkan sekolah. Rapat menghasilkan usulan Kegiatan Sekolah tahun berikutnya. Pihak sekolah mengundang

METODE Penelitian menekankan pada proses secara kualitatif dilakukan pada bulan September s/d Nopember 2013. Populasi adalah seluruh SMP di Kabupaten Tapanuli Utara. Wilayah penelitian sebanyak 3 kecamatan, yaitu: Sipoholon, Tarutung, dan Siborong-borong. Jumlah SMP sebagai sampel sebanyak 4 dari masing-masing kecamatan. Para informan adalah: Dinas Pendidikan Kabupaten Tapanuli Utara, UPT Dinas Pendidikan, kepala sekolah, dan guru. Jumlah seluruh informan sebanyak 52 orang. Teknik pengumpulan data dengan cara: wawancara terstruktur, observasi, dan studi Dokumentasi. Data dianalisis dengan deskriptif kualitatif. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil dan pembahasan lebih difokuskan pada 3 (tiga) hal, yaitu: perencanaan, 264


Kajian Manajemen Pembiayaan Pendidikan pada Unit SMP di Kabupaten Tapanuli Utara (Jonni Sitorus)

komite sekolah bersama-sama dengan para guru dan staf untuk membahas rencana biaya sekolah tahun berikutnya. Pembahasan difokuskan pada rencana biaya operasional sekolah, biaya investasi, dan biaya pengembangan sekolah.

Usulan kegiatan untuk tingkat SMP di Kabupaten Tapanuli Utara mengacu pada 8 (delapan) Standar Nasional Pendidikan (SNP). Beberapa kegiatan yang dimasukkan dalam perencanaan dapat dilihat pada Tabel 1. berikut.

Tabel 1. Rencana Kegiatan Sekolah Tingkat SMP di Kabupaten Tapanuli Utara No. SNP Kegiatan Sekolah 1. Standar Kompetensi - Peningkatan prestasi bidang akademik dan non akademik. Lulusan - Peningkatan jumlah lulusan dan jumlah yang melanjutkan studi. 2 Standar Isi - Pengembangan buku KTSP, silabus, RPP, bahan ajar, modul. - Pengembangan panduan pembelajaran, evaluasi hasil belajar. 3 Standar Proses - Pemenuhan persiapan dan persyaratan pembelajaran. - Peningkatan pelaksanaan, penilaian, dan pengawasan proses pembelajaran. 4 Standar PTK - Peningkatan kompetensi kepala sekolah, guru, dan pegawai lainnya. - Pemenuhan guru dan pegawai lainnya. 5 Standar Sarana - Pemenuhan sarana prasarana. Prasarana - Pemenuhan fasilitas pembelajaran dan penilaian. 6 Standar Pengelolaan - Pemenuhan perangkat dokumen pedoman pelaksanaan rencana kerja dan kegiatan sekolah. - Pemenuhan struktur organisasi dan mekanisme kerja sekolah. - Peningkatan supervisi, monitoring, evaluasi, dan akreditas sekolah. - Peningkatan peran serta masyarakat dan kemitraan. - Pengembangan perangkat administrasi sekolah. 7 Standar Pembiayaan - Peningkatan sumber dana pendidikan dan pelaporan penggunaannya. - Peningkatan dokumen pendukung pelaporan penggunaan dana. - Pengembangan pengalokasian dan penggunaan dana. 8 Standar Penilaian - Peningkatan frekuensi dan pelaksanaan ulangan harian serta ujian sekolah (UTS, UAS). - Pengembangan materi dan instrumen ulangan harian serta ujian sekolah. - Pengembangan teknik dan perangkat pendokumentasian penilaian. - Pemenuhan mekanisme dan prosedur penilaian guru dan sekolah Sumber: RKS unit SMP diolah Peneliti Kecamatan berupa Daftar Usulan Kegiatan tahun berikutnya. Daftar Usulan Kegiatan tahun berikutnya direkap oleh Badan Perencanaan dan Pembangunan (Bappeda) Kabupaten Tapanuli Utara sebagai bahan masukan ditingkat Musrenbang Forum SKPD. Masing-masing SKPD teknis, termasuk Dinas Pendidikan melakukan asistensi (ACC) kepada Bappeda terkait program dan kegiatan yang diusulkan. Tujuan kegiatan ini untuk menyesuaikan usulan kegiatan sesuai dengan skala prioritas. Penetapan skala prioritas didasarkan atas analisis kebutuhan yang dianggap mendesak. Akibatnya, tidak semua kegiatan-kegiatan yang diusulkan oleh Dinas

Selanjutnya, hasil rapat berupa daftar usulan program dan kegiatan sekolah tahun berikutnya disampaikan pada tingkat Musrenbang Kecamatan melalui Dinas Pendidikan. Kegiatan Musrenbang Kecamatan dipimpin oleh camat. Selain kepala sekolah, Musrenbang Kecamatan dihadiri oleh kepala daerah, Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) termasuk Dinas Pendidikan, DPRD, Polsek, Damrem, dan tokoh masyarakat. Hasil Musrenbang Kecamatan berupa Berita Acara Pelaksanaan Musrenbang Kecamatan yang ditanda tangani oleh masing-masing camat. Lampiran berita acara Pelaksanaan Musrenbang 265


Inovasi Vol. 10 No. 4, Desember 2013: 262-271

Pendidikan diakomodasikan untuk ditindaklanjuti dalam penyusunan. Skala prioritas pembangunan sektor pendidikan di Kabupaten Tapanuli Utara mengacu pada visi misi Dinas Pendidikan Kabupaten Tapanuli Utara. Adapun visinya adalah terwujudnya SDM yang berbudaya santun, cerdas, dan memiliki daya saing tinggi. Sedangkan misinya adalah: (1) meningkatkan pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan yang bermutu; (2) meningkatkan akurasi data pendidikan; (3) menghasilkan lulusan yang memiliki daya saing, menguasai IPTEK dan berbudaya santun; (4) meningkatkan kompetensi pendidik dan tenaga kependidikan; dan (5) mengoptimalkan peran serta masyarakat dalam pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan. Untuk mencapai visi misi tersebut, Dinas Pendidikan Kabupaten Tapanuli Utara melakukan perumusan rencana strategis. Rencana strategis disektor pendidikan adalah penuntasan wajib belajar Pendidikan Dasar 9 tahun dan persiapan wajib belajar 12 tahun.

Hasil Musrenbang Forum SKPD berupa Berita Acara Pelaksanaan Musrenbang Forum SKPD. Lampiran berita acara Pelaksanaan Musrenbang Forum SKPD berupa Daftar Usulan Kegiatan Skala Prioritas tahun berikutnya yang disampaikan pada tingkat Musrenbang Kabupaten. Tujuannya adalah untuk merumuskan arah kebijakan yang menjadi skala prioritas. Perumusan arah kebijakan bidang pendidikan di Kabupaten Tapanuli Utara merupakan bagian dari pencapaian RPJMD Kabupaten Tapanuli Utara 2009-2014. Disamping itu, juga berpedoman pada 3 (tiga) pilar kebijakan pemerintah di bidang pendidikan, yaitu: (1) pemerataan dan perluasan akses; (2) peningkatan mutu, relevansi dan daya saing; dan (3) penguatan tata kelola, akuntabilitas, dan citra publik. Beberapa kegiatan bidang pendidikan yang diselaraskan dengan arah kebijakan bidang pendidikan di Kabupaten Tapanuli Utara dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Program dan Kegiatan Dinas Pendidikan Kabupaten Tapanuli Utara Tahun 2012/2013 No. Program Kegiatan 1

Pemerataan dan Perluasan Akses

Rehabilitasi kantor Pembangunan ruang kelas baru, Lab. IPA, KM/WC, dan pagar keliling halaman sekolah 2 Peningkatan Mutu dan - Peningkatan SDM, baik tenaga pendidik maupun tenaga Relevansi staf Dinas Pendidikan. - Pemberian bantuan beasiswa bagi siswa dan mahasiswa berprestasi ekonomi kurang mampu. - Peningkatan sarana prasarana pembelajaran. - Rehabilitasi bangunan sekolah. 3 Tata Kelola, Akuntabilitas Penyusunan laporan bulanan, triwulan, tengah tahunan, dan dan Pencitraan Publik LAKIP. Sumber: Profil Dinas Pendidikan Kabupaten Tapanuli Utara diolah Peneliti -

Sejalan dengan arah kebijakan Dinas Pendidikan Kabupaten Tapanuli Utara, kegiatan rutin yang harus dimasukkan dalam perencanaan, yaitu: operasional sekolah daerah; perbaikan sarana parasarana; dan pengadaan alat penunjang PBM lainnya. Untuk kegiatan teknis yang harus dimasukkan adalah: lombalomba kesiswaan yang menyangkut akademis dan non akademis; pelatihan guru-guru; seleksi calon kepala sekolah; pemberian insentif guru; pemberian BSM bagi siswa miskin; dan pemberian beasiswa. Khusus untuk kegiatan yang dananya bersumber dari provinsi dan APBN, maka kegiatan tersebut harus diasistensi pada tingkat Musrenbang Provinsi yang dipimpin oleh Bappeda Provinsi. Tujuan Musrenbang Provinsi

untuk menyesuaikan usulan kegiatan masingmasing Kabupaten/Kota yang dananya bersumber dari Provinsi atau APBN. Bila diperlukan dan memungkinkan, masing-masing Bappeda Kabupaten/Kota dapat menambah dan memperbaiki daftar usulan kegiatan tahun berikutnya sesuai dengan kebutuhan dan skala prioritas. Kedua, pelaksanaan pembiayaan pendidikan di Kabupaten Tapanuli Utara mengacu kepada Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Perubahan mendasar dalam ketentuan keuangan negara yang diatur dalam undangundang ini meliputi pengertian dan ruang lingkup keuangan negara, asas-asas umum pengelolaan keuangan negara dan ketentuan 266


Kajian Manajemen Pembiayaan Pendidikan pada Unit SMP di Kabupaten Tapanuli Utara (Jonni Sitorus)

lain. Selain itu, juga disebutkan bahwa keuangan negara meliputi dana yang bersumber dari APBN dan APBD. Undang-Undang memberikan kaidah-kaidah dalam pelaksanaan pembiayaan, antara lain: akuntabilitas berorientasi pada hasil; profesionalitas; proporsionalitas; keterbukaan dalam pengelolaan keuangan negara; pemeriksaan keuangan oleh badan pemeriksa yang bebas dan mandiri. Dalam rencana anggaran, pendapatan dan belanja, secara garis besar dikelompokkan kedalam 2 kegiatan, yaitu penerimaan dan pengeluarannya. Penerimaan sumber-sumber pembiayaan pendidikan bersumber dari dana APBD, baik dari Pemerintah Daerah maupun Pemerintah Provinsi dan APBN dari Pemerintah Pusat. Prosedur pengelolaan diselaraskan dengan ketepatan yang disepakati, baik berupa konsep teoretis maupun peraturan pemerintah. Prosedur penerimaan pembiayaan pendidikan dilakukan oleh Dinas Pendidikan yang ditetapkan oleh pemerintah Kabupaten Tapanuli Utara sebagai pelaksana pengguna anggaran dalam tingkat mikro kelembagaan. Penerimaan pembiayaan yang bersumber dari dana APBN dituangkan dalam Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA). Sedangkan penerimaan pembiayaan yang bersumber dari APBD dituangkan dalam Dokumen Pelaksanaan Anggaran (DPA). Berdasarkan prosedur perencanaan dan penganggaran, pelaksanaan pembiayaan pendidikan di Kabupaten Tapanuli Utara, meliputi beberapa tahapan sebagai berikut: (1) penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran (RKA); (2) koordinasi, sinkronisasi, dan konsolidasi RKA; (3) penyesuaian RKA dengan pagu definitif; (4) koordinasi pemantapan program, kegiatan, sasaran, dan anggaran; (5) penelaahan RKA pagu definitif; (6) penelaahan konsep DIPA/DPA; (7) pengesahan konsep DIPA/DPA; dan (8) pengiriman DIPA/DPA. Untuk anggaran yang bersumber dari dana APBN, setelah melalui proses review terhadap usulan rencana, program, kegiatan dan anggaran, Kementerian Pendidikan Nasional RI mengeluarkan kebijakan pagu sementara. Pagu sementara tersebut diorganisir melalui pengalokasian angggaran untuk pembiyaan kegiatan-kegiatan dan dituangkan dalam Rencana Kerja Anggaran Kementerian/Lembaga (RKAKL). Selanjutnya RKA-KL tersebut, dibahas Departemen Pendidikan Nasional dan DPR RI. Hasil pembahasan tersebut menghasilkan kesepakatan pagu definitif, yang dituangkan dalam RKA-KL. Mekanisme pelaksanaan program dan kegiatan yang bersumber dari dana APBD

dituangkan dalam Rencana Kerja dan Anggaran Satuan Kerja Perangkat Daerah (RKA-SKPD). Usulan RKA-SKPD direview oleh Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda). Akibatnya banyak item-item kegiatan yang tidak disetujui, karena kegiatan yang diusulkan dianggap tumpang tindih dengan kegiatan APBN. Selanjutnya dokumen RKA-KL direview melalui pembahasan dan dituangkan dalam DIPA, sedangkan RKA-SKPD dituangkan dalam DPA. Semua kegiatan yang tertuang dalam DIPA maupun DPA selain menguraikan tentang besarnya biaya, juga dirinci tentang capaian keluaran yang dijadikan sasaran kegiatan yang dibiayai serta indikator keluarannya. Capaian keluaran merupakan volume atau output kegiatan tersebut. Pelaksanaan pembiayaan pendidikan yang dananya bersumber dari APBN diaplikasikan dengan format baku yang ditentukan Departemen Keuangan dengan mengacu kepada DIPA. Sedangkan APBD menggunakan format Kementerian Dalam Negeri yang mengacu kepada DPA. DIPA dan DPA merupakan dokumen yang dijadikan pedoman dalam pelaksanaan atau penggunaan anggaran pada satuan kerja. Di dalam DIPA maupun DPA termuat fungsi, kegiatan, sub kegiatan, uraian kegiatan, jenis belanja beserta mata anggarannya. Penggunaan biaya pendidikan di Kabupaten Tapanuli Utara dialokasikan pada 4 (empat) jenis belanja, yang meliputi: (1) belanja pegawai, (2) belanja barang, (3) belanja modal, dan (4) belanja bantuan sosial. Belanja pegawai digunakan untuk membiayai gaji beserta tunjangan-tunjangannya, vakasi, uang lembur, uang makan, honor yang berkaitan dengan tugas pokok dan fungsi, serta honor yang berkaitan dengan output kegiatan. Belanja barang digunakan untuk membiayai pengadaan alat tulis kantor dan bahan habis pakai, fotocopy, konsumsi untuk kepanitiaan dan belanja perjalanan. Belanja modal dipergunakan untuk melaksanakan pengadaan bangunan fisik, peralatan sarana gedung, peralatan pendidikan, peralatan laboratorium,dan buku-buku perpustakaan. Sedangkan belanja bantuan sosial dipergunakan untuk memberikan bantuan beasiswa kepada siswa maupun guru yang sedang menempuh belajar dengan persyaratan-persyaratan tertentu. Dalam APBN, biaya rutin merupakan belanja yang mengikat dan tidak bisa direvisi, bahkan apabila dalam pelaksanaan terdapat kekurangan belanja, misalnya pada gaji, maka pemerintah wajib menambah pagu tersebut. 267


Inovasi Vol. 10 No. 4, Desember 2013: 262-271

Secara garis besar, biaya rutin di sektor pendidikan Kabupaten Tapanuli Utara Tahun

No. 1 2 3 4 5 6

Anggaran 2013/2014 dilaksanakan untuk membiayai berbagai kegiatan sebagai Tabel 3.

Tabel 3. Kegiatan-Kegiatan Dinas Pendidikan Kabupaten Tapanuli Utara melalui Biaya Rutin Kegiatan Pembayaran gaji, honorarium dan tunjangan Penyelenggaraan operasional perkantoran Perawatan gedung kantor Perawatan sarana dan prasarana kantor Pelaksanaan monitoring, evaluasi, dan pelaporan Penyelenggaraan sistem akuntansi pemerintah dan kekayaan milik Negara Sumber: Profil Dinas Pendidikan Kabupaten Tapanuli Utara diolah Peneliti

Fattah (2003), anggaran rutin atau recufrent expenditure adalah anggaran yang digunakan untuk membiayai pengeluaran rutin atau berulang-ulang, seperti gaji, barang yang harus sering diganti, serta kegiatan operasional yang bersifat reguler pada suatu lembaga.

No.

Untuk dana APBD, biaya pembangunan di sektor pendidikan Kabupaten Tapanuli Utara Tahun Anggaran 2013/2014 untuk unit SMP dilaksanakan untuk kegiatan-kegiatan yang bersifat investasi dan pengembangan staf untuk operasional penunjang mutu pendidikan unit SMP sebagaimana pada Tabel 4.

Tabel 4. Kegiatan-Kegiatan Dinas Pendidikan Kabupaten Tapanuli Utara melalui Biaya Pembangunan Kegiatan

1 Penyediaan beasiswa 2 Pengadaan buku perpustakaan 3 Pembangunan sarana dan prasarana lingkungan gedung 4 Pengadaaan perlengkapan sarana dan prasarana gedung 5 Pengadaan meubelair 6 Pengadaan peralatan pendidikan 7 Perawatan gedung pendidikan 8 Perbaikan peralatan fungsional pendidikan 9 Pengolahan data dan informasi pendidikan 10 Peningkatan Kapasitas ICT 11 Penguatan lembaga jaminan mutu pendidikan 12 Peningkatan kualitas SDM 13 Pengembangan kompetensi PTK 14 Pembinaan adminstrasi dan pengelolaan keuangan 15 Pembinaan/penyusunan program, rencana kerja dan anggaran. 16 Peningkatan kapasitas kelembagaan Sumber: Profil Dinas Pendidikan Kabupaten Tapanuli Utara diolah Peneliti Kegiatan operasional sekolah yang ditungkan dalam Rencana Kegiatan dan Anggaran Sekolah (RKAS) untuk menunjang proses belajar mengajar tingkat SMP di

Kabupaten Tapanuli Utara mengacu pada 8 (delapan) Standar Nasional Pendidikan (SNP). Pelaksanaan kegiatan tersebut dapat dilihat pada Tabel 5.

268


Kajian Manajemen Pembiayaan Pendidikan pada Unit SMP di Kabupaten Tapanuli Utara (Jonni Sitorus)

Tabel 5. Pelaksanaan RKAS Tingkat SMP di Kabupaten Tapanuli Utara SNP Kegiatan Sekolah Standar Kompetensi - Peningkatan standar kelulusan tiap tahun pelajaran. Lulusan - Peningkatan standar pencapaian ketuntasan kompetensi tiap tahun atau semester. - Peningkatan kejuaran lomba bidang akademik dan non akademik. Standar Isi - Penyusunan kalender pendidikan secara benar dan lengkap. - Pelaksanaan workshop KTSP semua mata pelajaran. - Pengembangan pemetaan semua mata pelajaran. - Pengembangan silabus dan RPP untuk semua mata pelajaran. Standar Proses - Pengembangan dan inovasi metode pengajaran semua mata pelajaran, khususnya penerapan CTL. - Pengembangan bahan dan sumber pembelajaran. - Pengembangan dan inovasi model-model pengelolaan kelas. Standar PTK - Peningkatan kompetensi pendidik pada aspek profesionalisme, pedagogik, sosial dan kepribadian. - Peningkatan kompetensi tenaga tata usaha. - Peningkatan kompetensi kepala sekolah dalam monitoring dan evaluasi terhadap kinerja PTK. Standar Sarana - Pengembangan dan inovasi media pembelajaran untuk semua Prasarana mata pelajaran. - Pengembangan peralatan laboratorium komputer, IPA, dan bahasa. - Pengembangan dan inovasi pusat-pusat sumber belajar. - Pengembangan sarana prasarana bimbingan dan konseling. Standar Pengelolaan - Pembuatan RPS tiap tahun dengan benar dan lengkap. - Penyelenggaraan administrasi pelaksanaan kegiatan dalam RPS. - Menyusun RAPBS tiap tahun dengan benar dan lengkap. - Penyusunan pembagian tugas bagi SDM sekolah. - Pengembangan struktur dan keorganisasian sekolah sesuai dengan kebutuhan sekolah. - Pengembangan dan melengkapi administrasi guru dan sekolah. - Pengimplementasian MBS sesuai pedoman pelaksanaan. Standar - Kerjasama dengan komite sekolah dan mengajukan pembiayaan Pembiayaan kepada pemerintah. - Kerjasama dengan alumni dalam hal penggalangan dana pendidikan. - Kerjasama dengan penyandang dana pendidikan. Standar Penilaian - Pengembangan perangkat model-model penilaian pembelajaran. - Pengembangan perangkat penilaian/soal untuk berbagai model penilaian. - Pengembangan pedoman penilaian sesuai dengan pedoman BSNP. - Mengikuti lomba dan ujicoba dalam upaya meningkatkan ketuntasan kompetensi. - Bekerja sama dengan pihak lain melakukan ujicoba untuk mengetahui prestasi peserta didik secara periodik. - Bekerja sama dengan pihak lain dalam rangka mengembangkan perangkat penilaian hingga analisis dan pelaporan hasil belajar peserta didik. Sumber: Profil Dinas Pendidikan Kabupaten Tapanuli Utara diolah Peneliti

No. 1.

2

3

4

5

6

7

8

Berdasarkan hasil observasi lapangan ke beberapa sekolah SMP di Kabupaten Tapanuli Utara menunjukkan bahwa beberapa sekolah belum memenuhi standar layanan minimum. Sarana parasarana sekolah, seperti kamar mandi/WC, ruang kelas, ruang laboratorium membutuhkan perawatan. Jumlah kamar

mandi/WC belum memadai, sehingga ditemukan bahwa siswa laki-laki dan perempuan memiliki WC yang sama dan jumlahnya sangat minim. Peralatan dan bahan praktikum untuk pelajaran fisika dan biologi di laboratorium belum memadai sesuai dengan kebutuhan. Minimnya fasilitas komputer di laboratorium, sehingga 269


Inovasi Vol. 10 No. 4, Desember 2013: 262-271

para siswa harus antri/bergantian saat giliran praktikum. Observasi saat proses pembelajaran berlangusng di kelas menunjukkan bahwa masih banyak guru yang belum mamahami berbagai metode dan strategi pembelajaran. Para guru masih menerapkan pembelajaran secara konvensional, yaitu berfokus pada guru. Tuntutan pembelajaran yang seharusnya berfokus pada siswa (student centered). Kondisi pendidikan, khususnya unit SMP seperti hasil observasi lapangan di atas membutuhkan banyak anggaran untuk penyelesaian permasalahan-permasalahan dimaksud. Ketersediaan sumber dana daerah Kabupaten Tapanuli Utara terkait pemenuhan 20% anggaran untuk biaya pendidikan mayoritas masih dari Dana Alokasi Umum (DAU) dan Pendapat Asli Daerah (PAD). Sumber dana pendukung biaya pendidikan diambil dari peran serta masyarakat melalui komite sekolah. Untuk biaya operasional sekolah, dialokasikan dari dana BOS Daerah; untuk biaya investasi yaitu dengan pendirian gedung atau ruang sekolah; dan biaya pengembangan staf yaitu dengan pelaksanaan pendidikan dan pelatihan. Ketiga, Agar capaian sasaran dan kinerja tersebut tidak terjadi penyimpangan terlalu jauh, maka diperlukan pengawasan. Kegiatan operasional tidak luput dari berbagai kelemahan dan kekurangan. Kekurangan tersebut berakibat pada tidak terwujudnya tingkat efisiensi, efektivitas dan produktivitas yang diharapkan. Tuntutan efisiensi, efektivitas dan produktivitas tidak terpenuhi karena ada anggota organisasi yang menampilkan perilaku negatif dengan berbagai faktor penyebab. Siagian (2001) menjelaskan: tujuan pengawasan adalah untuk membantu para anggota organisasi mengatasi berbagai kelemahan yang terdapat dalam diri masingmasing dan memberikan bimbingan, sehingga terjadi modifikasi perilaku negatif. Berdasarkan hasil yang diperoleh dari pengawasan tersebut dapat menentukan langkah korektif yang mungkin diperlukan. Selain pengawasan, juga dilakukan pengendalian terhadap pelaksanaan pembiayaan pendidikan dengan cara monitoring dan evaluasi oleh Dinas Pendidikan sebagai SKPD terkait. Sedangkan pengawasan melibatkan pihak-pihak eksternal seperti: BPKP, inspektorat, LSM, maupun dari Bawasda. Pengawasan diperlukan untuk menghasilkan informasi tentang penyelenggaraan berbagai kegiatan operasional yang sedang terjadi. Informasi tersebut diperoleh dengan berbagai cara seperti dengan pelaporan, hasil wawancara, penyebaran, kuesioner dan pengamatan

langsung oleh pengawas di lapangan. Pengamatan dilakukan dengan memantau atau memonitoring kegiatan yang sedang dan telah dilakukan. Mekanisme monitoring antara lain: (1) melaksanakan pemantauan pada unit kerja atau pelaksana kegiatan untuk mengumpulkan data dan informasi; (2) menganalisis data dan informasi pelaksanaan kegiatan sebagai bahan evaluasi dan (3) mengevaluasi hasil pelaksanaan kegiatan sebagai bahan laporan. Pemantauan tidak hanya menerima bentuk laporan dari pelaksana kegiatan, tetapi juga menganalisis kesesuaian kegiatan dan rencana, baik dari aspek fisik maupun non fisik di lapangan. Misalnya, memonitor kesesuaian spesifikasi barang, alat atau fisik lainnya antara laporan pertanggungjawaban dengan barang sebelum diberikan kepada penggunanya oleh panitia pengadaan dan penerima barang. Fungsi pengendalian program, kegiatan dan anggaran di Dinas Pendidikan Kabupaten Tapanuli Utara dengan membuat Laporan Akuntabilis Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP). Ditingkat SMP, monitoring dilakukan 4 (empat) kali setahun oleh Dinas Pendidikan atau per triwulan. Pengawasan berupa kesesuaian penggunaan anggaran dengan juknis yang telah dibuat terkait penggunaan dana BOS. Hasil LAKIP dikirimkan kepada instansi atau pihak yang memiliki tugas dan wewenang melakukan pemeriksaan keuangan. Dengan demikian LAKIP dijadikan pedoman bagi petugas pengawas untuk mencari bahan masukan untuk kegiatan monitoring dan evaluasi anggaran. Laporan penggunaan dan kinerja keuangan baik dari APBN maupun APBD dilakukan 2 (dua) kali setahun untuk dianalisis capaian kinerjanya. Apabila perkembangan capaiannya lamban baik dari persentasi fisik maupun anggarannya, maka pengguna anggaran bidang pendidikan mendapatkan teguran. Bahkan sampai pada akhir tahun kinerja anggaran maupun fisiknya jauh dari sasaran yang telah direncanakan, akan berdampak negatif terhadap turunnya anggaran pendidikan di Kabupaten Tapanuli Utara, karena dianggap tidak mampu melaksanakan anggaran yang telah ada sebelumnya dengan baik. KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian disimpulkan: (1) Proses perencanaan dalam manajemen pembiayaan pendidikan di Kabupaten Tapanuli Utara menggunakan pola bottom up. Perencanaan dimulai dari pihak sekolah dalam penyusunan rencana pembiayaan untuk diakomodir dan disampaikan pada tingkat 270


Kajian Manajemen Pembiayaan Pendidikan pada Unit SMP di Kabupaten Tapanuli Utara (Jonni Sitorus)

Musrenbang Kecamatan. Selanjutnya diusulkan pada tingkat Musrenbang SKPD untuk dijadikan penentuan skala prioritas Rencana, Program, Kegiatan dan Anggaran Pendidikan. Penetapan arah kebijakan perencanaan di sektor pendidikan dibahas di tingkat Musrenbang Kabupaten. Bila kegiatan bersumber dari dana provinsi dan APBN, maka ditindaklanjuti pada tingkat Musrenbang Provinsi; (2) Pelaksanaan pembiayaan pendidikan di Kabupaten Tapanuli Utara dalam konteks penggunaan keuangan negara, berasal dari APBN dan APBD. Dimana dalam anggaran terdiri dari 2 (dua) sumber pendapatan, yaitu rutin, pembangunan dan pengembangan staf. Biaya rutin dilakukan untuk menunjang operasional dan kegiatan rutinitas perkantoran, biaya pembangunan digunakan untuk investasi dan pengembangan institusi. Output penyusunan anggaran adalah Rencana Kerja Anggaran Kementerian/Lembaga (RKAKL) untuk APBN dan Rencana Kerja Angggaran Satuan Kerja Perangkat Daerah (RKA-SKPD). Setelah melalui proses pembahasan keluar Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) untuk APBN dan Dokumen Pelaksanaan Anggaran (DPA) untuk APBD. Dengan keluarnya DIPA dan DPA maka Dinas Pendidikan Kabupaten Tapanuli Utara memiliki pagu anggaran sah dan dijadikan sebagai pedoman penggunaan dananya; dan (3) Pengawasan internal melalui penyusunan Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP) untuk menilai sejauh mana kinerja yang telah dicapai dari pelaksanaan kegiatan dan anggaran. Pengendalian dapat dijadikan sebagai bahan evaluasi untuk perbaikan internal organisasi serta dijadikan input bagi lembaga pengawasan yang berkompeten dari eksternal orgnanisasi, misalnya: Inspektorat, BPKP dan Bawasda.

penguatan tata kelola, relevansi dan daya saing untuk program pemerataan dan perluasan akses. 3. Direkomendasikan kepada Dinas Pendidikan Provinsi Sumatera Utara dan Kabupaten Tapanuli Utara untuk mengoptimalkan fungsi monitoring dan evaluasi, baik dana yang bersumber dari APBD dan APBN sebagai bagian dari pengawasan. DAFTAR PUSTAKA Engkoswara, H. dan Komariah, 1992, Administrasi Pendidikan, Bandung, Alfabeta. Fattah, Nanang, 2003, Ekonomi dan Pembiayaan Pendidikan. Bandung: Rosdakarya. Hasibuan, Malayu S.P, 1996, Manajemen SDM (Dasar dan Kunci Keberhasilan), Jakarta, Bumi Aksara. Moenir, 1998, Manajemen Pelayanan Umum di Indonesia, Jakarta, Bumi Aksara. Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia No: 80/PMK.01/2008, Organisasi dan Tata Kerja Instansi Vertikal Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional, Jakarta, Depdiknas. Peraturan Pemerintah RI Nomor 19 tahun 2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan, Bandung, Fokusmedia. Salam, Dharma Setyawan, 2004, Manajemen Pemerintahan Indonesia, edisis revisi, Jakarta, Djambatan. Siagian, Sondang P, 1996, Administrasi Pembangunan, Jakarta, PT. Toko Gunung Agung. Supriadi, Dedi, 2003, Satuan Biaya Pendidikan Dasar dan Menengah, Bandung, Remaja Karya.

REKOMENDASI 1. Direkomendasikan kepada Dinas Pendidikan Kabupaten Tapanuli Utara bahwa dalam perencanaan pembiayaan pendidikan harus mengikutsertakan unit pelaksana teknis (UPT) pendidikan sebagai perpanjangan tangan Dinas Pendidikan di kecamatan yang lebih memahami semua permasalahan pendidikan di sekolah, sehingga perencanaan sesuai dengan kebutuhan yang mendesak sesuai skala prioritas sekolah. 2. Direkomendasikan kepada Dinas Pendidikan Kabupaten Tapanuli Utara untuk memberikan sosialisasi dan pelatihan kepada UPT Pendidikan dan kepala sekolah terkait Standar Operasional Pelaksanaan (SOP) pembiayaan dan penggunaan biaya pendidikan untuk mendukung pilar

Syafruddin, 2003, Manajemen Lembaga Pendidikan Islam, Jakarta, Ciputat Press. Undang–Undang RI Nomor 20 Tahun 2003, Sistem Pendidikan Nasional, Jakarta, Depdiknas. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Pusat dan Daerah.

271


Inovasi Vol. 10 No. 4, Desember 2013: 272-280

Hasil Penelitian IMPLEMENTASI RUMAH SUSUN DAN RUMAH SUSUN SEWA YANG SESUAI DENGAN KARAKTER MASYARAKAT PERKOTAAN DI SUMATERA UTARA

(IMPLEMENTATION OF FLATS AND RENTAL FLATS IN COMPATIBLE WITH URBAN COMMUNITY CHARACTERS CHARACTERS IN NORTH SUMATRA) SUMATRA) Anton Parlindungan Parlindungan Sinaga Badan Penelitian dan Pengembangan Provinsi Sumatera Utara Jl. Sisingamangaraja No. 198 Medan 20126 email : antonsinaga94@gmail.com

Diterima: 8 Juni 2013; Direvisi: 27 Nopember 2013; Disetujui: 5 Desember 2013

ABSTRAK Sumatera Utara setiap tahunnya membutuhkan sedikitnya 30.000 unit pembangunan rumah baru untuk memenuhi kebutuhan rumah bagi MBR (Masyarakat Berpenghasilan Rendah) yang diperkirakan mencapai 160.000 unit pada tahun 2010. Data dari Dinas Permukiman dan Perumahan Provinsi Sumatera Utara, bahwa saat ini 80% kebutuhan rumah merupakan swadaya, sedangkan 20% dikerjakan oleh Swasta, Perumnas, dan Pemerintah Daerah.Tujuan penyediaan rumah susun adalah untuk memenuhi kebutuhan rumah yang layak terutama bagi MBR dengan kepastian hukum dalam pemanfaatannya, serta untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna tanah perkotaan dengan memperhatikan kelestarian sumberdaya alam melalui menciptakan lingkungan permukiman yang lengkap, serasi, dan seimbang.Adapun batasan masalah dalam kajian implementasi rusun dan rusunawa yang sesuai dengan karakter masyarakat perkotaan di Sumatera Utara, yaitu berdasarkan lokasi wilayah penelitian implementasi rusun dan rusunawa adalah masyarakat perkotaan penghuni rusun dan rusunawa di beberapa daerah yaitu : Kota Medan, Kota Tebing Tinggi dan Kota Tanjung Balai, sedangkan untuk penelitian masyarakat perkotaan yang tinggal di lingkungan kumuh diambil hanya Kota Medan.Kajian Implementasi Rusun dan Rusunawa Yang Sesuai Dengan Karakter Masyarakat Perkotaan bertujuan untuk mengetahui kesesuaian antara implementasi rusun dan rusunawa dengan karakter masyarakat perkotaan di Sumatera Utara, yang menyebabkan kurang optimalnya sistem pengelolaan rusun dan rusunawa di Kota Medan, Tebing Tinggi dan Tanjung Balai serta selanjutnya dirumuskan konsep sistem pengelolaan lingkungan rusun dan rusunawa yang optimal.Pada penelitian ini untuk menentukan jumlah sample untuk masing-masing rumah susun yang terdapat di 3 kab/kota dengan menggunakan metode slovin dimana hasil sampel untuk kota Medan 87, untuk kota Tebing Tinggi 61, dan juga untuk Kota Tanjung Balai 66 sampel. Dari penelitian ini diperoleh hubungan antara karakter masyarakat dengan implementasi rusun dan rusunawa di ketiga kota tersebut dimana untuk Kota Medan antara karakter masyarakat dan implemetasi kurang sesuai hal ini diakibatkan tidak defenitifnya pengelola rusun sehingga mayarakat penghuni rusun tidak menaati peraturan yang dibuat oleh badan pengelola sehingga timbul tempat kumuh yang baru di lingkungan rusun, sedangkan untuk Kota Tebing Tinggi hubungan antara karakter masyarakat dengan implementasi sudah mulai sesuai hal ini diakibatkan sudah defenitifnya pengurus yang mengelola rumah susun tersebut, dan juga adanya ketegasan yang diterapkan oleh pengelola terhadap penghuni sehingga penghuni mematuhi peraturan yang telah dibuat oleh badan pengelola, sedangkan untuk rumah susun Kota Tanjung Balai hubungan antara karakter masyarakat dengan implementansi masih kurang walaupun pegurus sudah defenitif tetapi hanya kepala pengurus sedangkan untuk anggota masih honor, hal ini mengakibatkan pengurus tidak dapat menjalankan peraturan yang yang tegas dan tidak dapat memberikan sanksi kepada masyarakat penghuni sehingga tingkat kekumuhan cukup besar. Kata kunci :rumah susun, implementasi, karakter masyarakat penghuni rusun.

272


Implementasi Rumah Susun dan Rumah Susun Sewa yang Sesuai dengan KarakterMasyarakat Perkotaan di Sumatera Utara (Anton Parlindungan Sinaga)

ABSTRACT North Sumatra states annually requires at least 30,000 units of new housing to meet the needs of low-income homes are expected to reach 160,000 units in 2010. Data from the Department of Human Settlements and Housing, North Sumatra, that currently 80% of the house is a selfhelp, while 20% is done by private, National Housing Corporation, and Local Government.Purpose is the provision of flats to meet housing needs, especially for low-income eligible with legal certainty in its use, as well as to improve the effectiveness and efficiency of urban land with the preservation of natural resources through creating a living environment complete, harmonious, and balanced.The limit problem in the study of implementation of flats and rental flats in accordance with the character of the urban community in North Sumatra, which is based on the location of the study area implementation flats and rental flats are urban residents of the apartment and rental flats in some areas, namely: Medan City, Tebing Tinggi City and Tanjung Balai City, while for the study of urban communities who live in the slum neighborhood of Medan taken only.Implementation study of flats and rental flats that fit your character urban society aims to determine compatibility between implementations of towers and high-rise apartments with urban characters in North Sumatra, which led to less optimal management system of towers and high-rise apartments in the city of Medan, Tebing Tinggi and Tanjung Balai and then formulated the concept of the environmental management system of towers and high-rise apartments optimal.In this study, to determine the number of samples for each of the flats available in 3 Districts / Cities using slovin method where the sample results to the city of Medan 87, Tebing Tinggi city of 61, and also to Tanjung Balai of 66 samples. Obtained from this study the relationship between the implementation of the community character of flats and rental flats in the third city of Medan, where the character of the community and inappropriate implements this result does not definitive governor flats up flats occupant does not conform to society; regulations made by body governor to arise where new slums in the range of flats, while for Tebing Tinggi City community relationships between the characters with appropriate implementation has started this already definitive caused managers to manage the flats, and also the availability of rigor applied by the governor against the occupier until the occupant comply with the regulations made by the governing body, while for Tanjung Balai flats relationship between the character of the community is still lacking despite implementers manager and was head manager definitive but only for members while still honor, this result can not managers conduct strict regulations and can not give sanction to dirty floor dwellers until large enough. Keyword : flats, implementation, community character occupants flats.

meningkatkan daya guna dan hasil guna tanah perkotaan dengan memperhatikan kelestarian sumber daya alam dan menciptakan lingkungan permukiman yang lengkap, serasi, dan seimbang. Sehingga rumah dapat dijadikan sarana pembinaan keluarga dalam pembentukan kepribadian, watak serta pendidikan yang baik sesuai dengan harkat dan martabat manusia (UU No.16/1985; UU No.4/1992). Tujuan penyediaan rumah susun untuk MBR (rumah susun sederhana) diimplementasikan melalui sistem penyelenggaraan pembangunan rumah susun sederhana beserta regulasi penyelenggaraannya. Sejak pertama dibangunnya rumah susun sederhana sewa oleh Direktorat Jendral Cipta Karya dan RPJMN 2004-2009 lalu, permasalahan tidak kunjung usai. Karenanya, dambaan agar rusunawa menjadi model alternatif penurunan kawasan kumuh di perkotaan melalui penyediaan hunian vertikal semakin memudar. Dari masalah lahan, infrastruktur dasar seperti air minum, listrik hingga aksesbilitas dan fasilitas umum. Dari 193 twin blok yang telah dibangun Ditjen Cipta Karya lima tahun terakhir, permasalahan tersebut menjadikan 53 TB

PENDAHULUAN Rumah merupakan salah satu kebutuhan dasar (basic needs) manusia selain pangan dan sandang, sehingga pemenuhan kebutuhan akan rumah menjadi prioritas yang tidak dapat ditangguhkan. (Khomarudin, 1997) Di sisi lain, masyarakat mempunyai kemampuan terbatas untuk mencukupi biaya pengadaan perumahan, karena tidak mampu mendapatkan lahan yang legal di pusat kota. Berdasarkan Kajian yang dilakukan oleh Direktorat Pengembangan Pemukiman, Ditjen Cipta Karya tahun 2010 Pembangunan Rusunawa adalah salah satu solusi dalam penyediaan pemukiman layak huni bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR). (Buletin Cipta Karya, 2010) Dalam membangun rusunawa, perlu memperhatikan aspek–aspek seperti : aspek ekonomi, aspek lingkungan, aspek tanah perkotaan, aspek investasi, aspek keterjangkauan. (Yudosodo, Siswono. 1991) Tujuan penyediaan rumah susun adalah untuk memenuhi kebutuhan rumah yang layak terutama bagi MBR dengan kepastian hukum dalam pemanfaatannya serta untuk 273


Inovasi Vol. 10 No. 4, Desember 2013: 272-280

diantaranya belum dihuni. Sebenarnya kondisi tersebut bisa dicegah jika sejak awal ada sinergi pemerintah pusat dan daerah dan dibarengi komitmen yang kuat dari pemda sesuai peraturan yang berlaku. Penyediaan perumahan adalah inelastis dalam jangka waktu yang lama (O’Sullivan, 2000:400) sebab untuk menyediakan rumah (housing stock) sangat tergantung sekali oleh banyak faktor, antara lain : faktor harga, variasi substitusi rumah di pasar formal, ketersediaan lahan dan kemampuan membangun itu sendiri (Hoag dan Hoag, 1991) Saat ini kita mendapati rumah susun baik dimedan maupun daerah lainnya di Sumatera Utara kondisinya jauh dari yang diharapkan kesan kumuh dan kotor mendominasi di hampir tiap rumah susun yang ada. Selain itu terhambatnya operasional rumah susun juga menjadi masalah lain dalam implementasi rumah susun di Sumatera Utara. Lingkungan permukiman kumuh dapat mempengaruhi kondisi mental penduduknya yang menjurus kepada perilaku negatif seperti sikap frustasi, apatis, mudah tersinggung dan rawan sebagai sumber kriminalitas serta kerawanan sosial lainnya (Adisasmita, 2005). Untuk melihat kesesuaian atau ketidaksesuaian antara pembangunan dan implementasi rumah susun sederhana yang telah dibangun di perkotaan di Sumatera Utara yaitu di kota Medan, Tebing Tinggi dan Tanjung Balai maka perlu diadakan Kajian Implementasi Rusun dan Rusunawa yang sesuai dengan Karakter Masyarakat Perkotaan Sumatera Utara.

METODE Lokasi pelaksanaan kegiatan Kajian Implementasi Rusun dan Rusunawa Yang Sesuai Dengan Karakter Masyarakat Perkotaan di Sumatera Utara adalah beberapa rusun dan rusunawa yang ada di Kota Medan, Tebing Tinggi dan Tanjung Balai yang terkelola maupun yang tidak terkelola. Sedangkan waktu pelaksanaan penelitian dilakukan selama 4 bulan mulai dari bulan Mei hingga September 2011. Metode yang digunakan dalam kajian ini adalah metode deskriptif. Metode deskriptif adalah suatu metode dalam meneliti status sekelompok manusia, suatu objek, suatu set kondisi, suatu sistem pemikiran, ataupun suatu kelas peristiwa pada masa sekarang. Analisis deskriptif statistik dalam tahapan ini, meliputi : identifikasi karakter masyarakat yang tinggal di rusun dan rusunawa dan faktor-faktor yang mempengaruhi tipologi masyarakat penghuni rusun. (Bungin, Burhan. 2009) Kerangka konseptual merupakan kerangka hubungan antara konsep konsep yang ingin diamati atau diukur melalui penelitian yang akan dilakukan. Adapun bentuk kerangka konseptual dalam penelitian ini dapat dicermati seperti yang terlihat didalam Gambar 1.

Gambar 1. Kerangka Konseptual. 274


Implementasi Rumah Susun dan Rumah Susun Sewa yang Sesuai dengan KarakterMasyarakat Perkotaan di Sumatera Utara (Anton Parlindungan Sinaga)

yaitu 2 lantai dan kamar tipe 36. Jumlah rumah di rusunawa ini adalah untuk 44 KK. Biaya sewa rusunawa ini sebesar Rp. 50.000,-/bulan dan diberikan kepada pengelola. Rusunawa ini tidak memiliki fasilitas berarti untuk menunjang kesejahteraan penghuni hanya tersedia tempat parkir untuk sepeda motor. Tempat usaha untuk menunjang kehidupan penghuni tidak tersedia sehingga penghuni melakukannya di rumah. Selain itu aliran listrik belum ada sehingga para penghuni mengambil listrik secara ilegal dan PDAM juga belum mengalirkan air di rusun ini. Untuk air, penghuni mengambil dari sumur di sekitar rusun. Rusuna ini dibangun pada tahun 2009 dan sampai sekarang belum digunakan. Rusuna ini terdiri dari 2 twin blok dengan jumlah lantai setiap twinblok yaitu 5 lantai. Rusun ini beralamat di jalan Yos Sudarso km. 8,5 kecamatan Medan deli yang sering dikenal dengan daerah Kayu Putih. Status pengelolaan rumah ini belum jelas, karena sampai sekarang listrik belum terhubung. Jumlah rumah di rusun ini adalah untuk 192 KK. Rusun Perumnas Martubung dibangun pada tahun 2006 dan dan sampai sekarang belum digunakan. Terdiri dari 2 twinblok dengan jumlah lantai setiap blok yaitu 4 lantai. Rusuna ini berlokasi di perumnas Martubung II. Status pengelolaan belum jelas karena sampai sekarang listrik belum terhubung. Jumlah rumah pada rusun ini adalah untuk 192 KK. Di kota Tebing Tinggi kecamatan Padang Hilir terdapat satu lokasi rumah susun yang beroperasi pada tahun 2010. Rusunawa ini terdiri dari 2 twinblok dan 5 lantai. Tipe rumah di rusunawa ini adalah tipe 24 yang terdiri dari 1 kamar (sekat), ruang tamu, kamar mandi, dapur, dan balkon (tempat jemuran). Pengelola rusun ini adalah UPTD PU. Rusunawa ini diperuntukan untuk 192 KK. Namun yang baru ditempati sebanyak 153 KK. Penghuni yang tinggal dirusun ini merupakan sebuah keluarga/pasangan suami-istri dan janda/duda. Kondisi fasilitas dirusun ini tertata rapi dan terawat, namun ada juga kekurangan fasilitas yaitu tidak adanya anti petir dan antena pusat. Jika ada kerusakan maka pengelola yang memperbaiki. Serta sistem administrasi nya baik, walaupun masih ada penghuni yang menunggak sampai 6 bulan. Pengelola rusunawa Tebing Tinggi adalah UPTD dari Dinas PU yang terdiri dari ketua, bendahara, kasub. bag. tata usaha, staf sub.bag. tata usaha dan staf lapangan., dimana keseluruhannya adalah PNS dengan jumlah 10 orang. Selain itu di rusunawa ini juga memiliki satpam dan petugas kebersihan rusun. Walaupun memiliki petugas kebersihan, di rusun ini juga mengadakan

HASIL DAN PEMBAHASAN Rumah susun di Sukaramai merupakan rumah susun sederhana milik yang dibangun diatas tanah Perum Perumnas. Rusunami ini terdiri dari 10 twin blok dan memiliki 3 tipe rumah yaitu tipe 21, 36 dan 54 dengan jumlah lantai setiap blok yaitu 4 lantai. Untuk tipe 21 hanya memiliki 1 kamar tidur, sedangkan untuk tipe 36 dan 54 memiliki 2 kamar tidur. Untuk rusun tipe 21 terdiri dari twin blok, sedangkan tipe 36 dan 54 terdiri dari blok/ruko memanjang dengan jumlah rumah per lantai sekitar 3 unit rumah. Rusunami perumnas Sukaramai ini memiliki fasilitas yaitu berupa tempat parkir, pembuangan sampah, tempat usaha/berjualan, tong air, intalasi listrik, intalasi air, aula, kamar mandi disetiap kamar dan lapangan. Kondisi lingkungan di rusunami ini sangat kumuh dan kotor. Sampah berserakan dimana-dimana. Bahkan disetiap lantai khususnya tipe 21 tumpukan sampah ada dimana-mana. Sampah yang ditumpukan di tempat sampah di rusun ini, menurut penghuni sudah hampir setahun tidak diangkut yang menyebabkan saluran parit tersumbat serta lingkungan rusun menjadi bau. Keberadaan badan pengelola di rusunami ini belum definitif karena ketua PPRS belum menerima SK Walikota. Sehingga pengelola tidak dapat bertindak banyak dalam melakukan pengaturan terhadap penghuni dan rumah susun karena pengelola belum memiliki wewenang yang jelas. Selain keberadaan pengelola yang belum definitif, masyarakat penghuni rumah susun merupakan masyarakat berpengahsilan rendah yang biasa hidup di pasar sehingga mereka susah diatur dan masih banyak pemuda setempat yang melakukan premanisme. Rumah susun seruwai merupakan rumah susun yang status huniannya adalah sewa atau yang disebutt rumah susun sederhana sewa (Rusunawa). Rusunawa ini terdiri dari 3 twin blok dengan jumlah lantai setiap twin blok yaitu 5 lantai. Pembangunan rusunawa ini berbedabeda yaitu tahun 2004 (blok A), 2006 (blok B) dan 2008 (blok C). Namun yang baru resmi dibuka/ditempati saat ini yaitu blok A dan B. Rusunawa yang memiliki fasilitas tempat berjualan, tempat parkir, taman bermain, hydrant yang berada di lantai 1. Sebenarnya lantai 1 diperuntukan bagi para penghuni yang ingin melakukan usaha. Ada kedai yang berjualan makanan kecil dan bahan pokok yang dikelola oleh koperasi milik PD Pembangunan. Rumah susun ini merupakan rumah susun yang status huniannya adalah sewa. Rusunawa Medan Amplas dibangun pada tahun 2000 dan digunakan pada tahun yang sama. Rusunawa ini terdiri dari 1 twin blok dengan jumlah lantai 275


Inovasi Vol. 10 No. 4, Desember 2013: 272-280

kegiatan gotong royong setiap 2 minggu sekali. Penghuni rusunawa ini terdiri dari beberapa suku dan etnis diantaranya, suku Jawa (50%), Melayu (30%), Batak (18%), dan etnis Cina (2%). Mayoritas agama dirusun ini adalah agama islam. Di kota Tanjung Balai terdapat rumah susun sewa yang terdiri dari 3 twin blok. Dimana 2 twin blok telah beroperasi sementara twin blok satu lagi belum beroperasi karena listrik dan air belum tersedia. Rsusunawa ini berlokasi di kecamatan Sei Raja, jalan Sei Agul. Rumah susun ini terdiri dari 5 lantai dengan tipe rumah adalah tipe 21 dan tipe 24. Tetapi rusunawa yang telah di tempati adalah tipe 21. Jumlah unit rumah yang telah ditempati adalah 192 rumah/KK. Penghuni rumah susun dalam membayar uang sewa masih ada saja yang menunggak, bahkan menunggak uang sewa sampai 1 tahun karena mereka menganggap rumah susun itu adalah bantuan dari pemerintah . Penghuni rumah susun ini rata-rata telah memiliki TV dengan antena parabola. Hal ini menunjukkan bahwa penghuni sebenarnya sanggup dan mampu membayar uang sewa tapi kebanyakan penghuni menunggak dalam membayar uang sewa. Selain itu di rumah susun ini juga sering terjadi pertengkaran antar penghuni. Pada rumah susun Perumnas Sukaramai hampir 80% penghuni yang tinggal di rumah susun ini merupakan penghuni yang sudah menyewa dari pemilik sebelumnya sehingga masyarakat yang tinggal sekarang kurang memperhatikan kebersihan rumah dan lingkungan tempat tinggal. Karena perubahan status penghunian menyebabkan berubahnya karakter masyarakat penghuni rusun. Penghuni yang merupakan pemilik cenderung memperhatikan kebersihan lingkungan, sedangkan karakter masyarakat penghuni rusun yang menyewa cenderung tidak perduli dengan lingkungannya. Adanya perombakan bangunan atau isi rumah dikarenakan ketidaksesuaian dengan keinginan penghuni, kebanyakan yang merubah ruangan ada pada tipe 21, tetapi tidak untuk rusun dengan tipe 36 dan 54. Pada rusun seruwai dimana jemuran yang terdapat sudah ada tetapi kurang luas tempatnya sehingga mengakibatkan adanya penambahan tempat pembuatan jemuran yang dapat menambah kekumuhan rumah susun. Karakter yang mengakibatkan kekumuhan ini merupakan karakter yang terbawa dari kebiasaan MBR di tempat aslinya. Rusun seruwai juga memiliki ruangan bersama tetapi tidak digunakan dengan maksimal dikarenakan masyarakat yang tinggal malas untuk turun dan naik apabila dilakukan acara di aula yang

terletak di lantai dasar, sehingga apabila ada acara mereka lebih sering menggunakan ruangan selasar untuk tempat melaksanakan kegiatan bersama berupa pengajian ataupun wiritan. Masyarakat yang terdapat pada rusun amplas merupakan etnis batak dan melayu, pada rusun amplas ini tidak pernah terjadi perkelahian antara sesama penghuni rusun, hal ini diakibatkan sebagian besar masyarakat yang tinggal di rusun ini adalah pekerja yang bekerja sebagai pedagang asongan di sekitar terminal, wirasasta dan ada juga tukang becak. Pada rusun ini juga tidak terdapat ruang bersama sehingga masyarakat yang tinggal pada rumah susun ini tidak pernah melaksanakan kegiatan kebersamaan seperti pengajian ataupun acara pesta lainnya. Uang sewa yang dibebankan kepada masyarakat penghuni rumah susun sebesar RP. 50.000,- dan berlaku flat. Dimana yang memungut uang sewa tesebut adalah badan pengelola, karena ketidak seriusan badan pengelola dalam mengelola rusun tersebut mengakibatkan sarana dan prasarana sering rusak bahkan mereka harus mencuri listrik agar dapat memenuhi kebutuhan akan listrik. Air yang digunakan di rusun ini berasal dari sumur, dan kamar mandi yang ada di rusun ini juga kamar mandi umum. Pada rusun di Kota Tebing Tinggi Ketua dan pengurus tidak henti-hentinya mengingatkan penghuni untuk berlaku bersih dan tertib serta mematuhi seluruh aturan tata tertib hunian seperti parkir kendaraan di tempat parkir yang disediakan, mematuhi penggunaan ruangan bersama, untuk arisan dan aktivitas keagamaan dilakukan di selasar tiap lantai dan jika ingin menggunakan aula penghuni wajib membayar Rp. 100.000,- sekali pakai biasanya penghuni merasa malas dan capek turun kelantai dasar sehingga aula jarang sekali digunakan. Disini ada beberapa usaha penghuni seperti berjualan makanan dan membuka warnet. Pengurus juga melakukan pemberdayaan masyarakat seperti pelatihan oleh ibu-ibu PKK dan selalu mendekati para penghuni secara langsung yang menimbulkan terbentuknya karakter positif. Karakter segelintir masyarakat disini juga sering menunggak uang sewa masih sering terjadi karena mereka berpikir bahwa rusun ini diperuntukkan MBR sehingga mereka malas untuk membayar uang sewa, dan pemerintah wajib memberikan subsidi.Di rusun ini juga masyarakat tidak pernah melakukan kegiatan gotong royong sehingga dapat dilihat sampah yang berserakan, dan juga tidak pernah melakukan perbaikan terhadap rumah susun

276


Implementasi Rumah Susun dan Rumah Susun Sewa yang Sesuai dengan KarakterMasyarakat Perkotaan di Sumatera Utara (Anton Parlindungan Sinaga)

yang dapat memperlihatkan bahwa penghuni rumah susun ini jorok dan malas. Pada rusun Kota Tanjung Balai memiliki ruang bersama yang digunakan sebagai musolah bagi masyarakat sedangkan mushollanya sedang dalam tahap pembangunan. Pada rusun yang terdapat di tanjung balai yang mengakibatkan kekumuhan disebabkan jemuran yang di buat oleh masyarakat penghuni rusun hal ini di pengaruhi oleh tidak tersediannya jemuran yang sesuai untuk rumah susun tersebut. Model persamaan untuk rusun yang terdapat di medan setelah dilakukannya analisis faktor adalah:

Y = 3.251 + 0.071 K + 0.205 R + 0.302 SP + 0.043 PS + 0.026 PF + 0.039 L + 0.0412 P + 0.233 E Dari persamaan regresi diatas dapat dilihat bahwa unsur yang berpengaruh dari implementasi yang terdapat pada rusun di kota Tebing Tinggi yaitu sistem pengelolaan, ekonomi, dan juga regulasi. Dengan nilai koefisien determinan sebesar 0.687 yang menjelaskan bahwa hubungan antara faktor independen dengan faktor dependen kuat. Uji statisik Fhitung = 1.493 pada signifikansi 5% sebesar 2,12 Dengan demikian maka dapat dilihat bahwa berdasarkan hipotesis maka Ho di tolak yang menunjukkan adanya pengaruh faktor pengelolaan terhadap implementasi rusun dan rusunawa yang sesuai dengan karakter masyarakatperkotaan. Model persamaan untuk rusunawa Seruwai (Kota Tanjung Balai) setelah dilakukannya analisis faktor adalah:

Y = b0 + b1 K + b2 R + b3 SP + b4 PS + b5 PF + b6 L + b7 P + b8 E Dimana: b0 K R SP PS PF L P E

= = = = = = = = =

Konstanta Kelembagaan Regulasi Sistem Pengelolaan Pemberdayaan Sosial Pemanfaatan Fisik Lingkungan Penghunian Ekonomi

Y = b0 + b1 K + b2 R + b3 SP + b4 PS + b5 PF + b6 L + b7 P + b8 E Hasil regresi aditif yang diperoleh adalah sebagai berikut :

Hasil regresi aditif yang diperoleh adalah sebagai berikut :

Y = 3.301 + 0.020 K + 0.119 R + 0.128 SP + 0.006 PS + 0.106 PF + 0.118 L + 0.224 P + 0.157 E

Y = 0.917 + 0.066 K + 0.254 R + 0.362 SP + 0.425 PS + 0.019 PF + 0.076 L + 0.301 P + 0.162 E

Dari persamaan regresi diatas dapat dilihat bahwa unsur yang berpengaruh dari implementasi yang terdapat pada rusun di kota Tanjung Balai yaitu penghunian, ekonomi, sistem pengelolaan, dan juga regulasi. dengan nilai koefisien deterministik sebesar 0.782 Yang menjelaskan bahwa hubungan antara faktor independen dan dependen kuat. Uji statisik Fhitung = 0.636 pada signifikansi 5% sebesar 2.11 Dengan demikian maka dapat dilihat bahwa berdasarkan hipotesis maka Ho di tolak yang menunjukkan adanya pengaruh faktor pengelolaan terhadap implementasi rusun dan rusunawa yang sesuai dengan karakter masayarakat perkotaan. Analisa karakter masyarakat penghuni rusun yang terdapat di Kota Medan memiliki beberapa ciri khas antara lain, yaitu : 1)Bangunan fisik rusun yang ada belum dapat mengakomodir berbagai fasilitas PSU yang dibutuhkan oleh penghuni untuk menunjang berbagai profesi mayoritas penghuni rusun, seperti nelayan butuh PSU untuk menggantung jala dan untuk menambat perahu, pedagang asongan butuh lokasi untuk berjualan, tukang becak butuh lahan parkir yang lebih luas dan

Dari persamaan regresi diatas dapat dilihat bahwa unsur yang berpengaruh dari implementasi yang terdapat pada rusun di kota medan yaitu pemberdayaan sosial, sistem pengelolaan, penghunian dan juga regulasi. . Dengan nilai koefisien determinan 0.789 yang menyatakan bahwa hubungan antara faktor dependen dan independen kuat. Uji statisik F hitung = 1,201 pada signifikansi 5% sebesar 2,06. Dengan demikian maka dapat dilihat bahwa berdasarkan hipotesis maka Ho di tolak yang menunjukkan adanya pengaruh faktor pengelolaan terhadap implementasi rusun dan rusunawa yang sesuai dengan karakter masyarakat perkotaan. Model persamaan untuk rusunawa Seruwai (Kota Tebing Tinggi )setelah dilakukannya analisis faktor adalah: Y = b0 + b1 K + b2 R + b3 SP + b4 PS + b5 PF + b6 L + b7 P + b8 E Hasil regresi aditif yang diperoleh adalah sebagai berikut: 277


Inovasi Vol. 10 No. 4, Desember 2013: 272-280

sebagainya. Jika semua fasilitas PSU dipenuhi maka harus diikuti dengan memberikan pendidikan yang berkesinambungan untuk membentuk karakter yang disiplin yang mau mematuhi aturan yang ditetapkan, serta dilanjutkan dengan program pemantauan terhadap aturan yang telah disepakati untuk ditaati dan diberikan sanksi yang tegas pada penghuni yang melakukan pelanggaran aturan, 2) Badan Pengelola yang umumnya belum defenitif mengakibatkan beragam pihak pengelola dalam menindak para penghuni yang melakukan pelanggaran tata tertib aturan hunian di rusun. Jika Badan Pengelola sudah defenitif, maka pihak pengelola dapat bertindak tegas dan dapat ikut menumbuhkan motivasi bagi penghuni agar lebih patuh. Karakter masyarakat penghuni rusun di Kota Tebing Tinggi mempunyai ciri khas, yaitu : 1) Bagunan fisik rusumah susun yang terdapat di Kota Tebing Tinggi sudah cukup maksimal dalam mengakomodir kebutuhan dari penghuni, dimana dapat dilihat dari beberapa PSU yang terdapat di rusun ini hampir sesuai dengan kebutuhan yang diinginkan oleh masyarakat yang tinggal di rusun tersebut. Namun dikarenakan banyaknya jumlah penghuni yang yang mendiami satu rumah susun mengakibatkan rumah susun hampir menjadi kumuh sama seperti halnya yang terjadi di rusun yang lainnya, dimana jemuran sudah mulai tidak tertata rapi oleh karena itu perlu adanya pembinaan secara terus-menerus sehingga para penghuni dapat menjalankan peraturan sebagaimana ditetapkan dalam rumah susun. Meskipun pihak pengelola sudah baik dalam hal memberikan peraturan secara tegas tetapi masih ada yang melanggar, sehingga perlu diberikan sanksi bagi penghuni yang melanggar aturan tersebut, 2) Badan Pengelola yang terdapat pada rusun ini sudah defenitif di bawah pengawsan UPTD Dinas PU Kota Tebing Tinggi membuat pihak pengelola dapat bertindak tegas dalam menjalankan sanksi dan peraturan yang telah ditetapkan. Pengelola juga melakukan seleksi yang ketat dalam menentukan warga yang akan menempati rusun untuk mendapatkan penghuni rusun yang dapat beradaptasi dengan lingkungan rusun, seperti dengan melakukan wawancara langsung secara mendalam kepada penghuni yang akan menempati rusun tersebut. Adapun ciri khas masyarakat penghuni rusun yang terdapat di Kota Tanjung Balai, yaitu : 1) Ruangan PSU yang terdapat di rusun Kota Tanjung Balai belum dapat mengakomodir keinginan masyarakat penghuni rusun untuk menunjang berbagai profesi mayoritas penghuni rusun, yaitu nelayan yang butuh PSU untuk

menggantung jala dan tidak ada tempat parkir yang sesuai sehingga yang digunakan adalah bagian bawah bangunan rusun untuk tempat parkir kendaraan dan membuat menjadi kumuh, 2) Badan Pengelola yang terdapat di rusun Kota Tanjung Balai sudah defenitif di bawah UPTD Dinas PU Kota Tanjung Balai, tetapi hanya Kepala Badan Pengelola saja yang berstatus PNS. Hal ini mengakibatkan tidak maksimalnya pengelolaan rusun yang dilakukan dan kurang tegasnya pengelola dalam menerapkan berbagai peraturan yang menyebabkan masyarakat penghuni tidak mau menuruti peraturan yang dibuat oleh staf Badan Pengelola yang hanya pegawai honorer. KESIMPULAN Berdasarkan uraian dalam bab-bab sebelumnya, maka beberapa kesimpulan yang dapat diperoleh dalam penelitian ini, antara lain adalah: (1) Kepala badan pengelola rusun ternyata dapat mempengaruhi karakter penghuni rusun dan rusunawa.; (2) Pada rusunawa Seruwai terdapat 3 etnis dominan yang menghuni rumah susun yaitu etnis Melayu, Jawa dan Batak.; (3) penunggakan uang sewa oleh penghuni hingga tidak adanya pendapatan yang memadai bagi pemeliharaan rusun, seperti terjadi di rusun Seruwai sekitar 10-15%, di Tebing Tinggi sekitar 15-20%, dan di Tanjung Balai mencapai 30-40%; (4) Konflik antar rumah tangga di rusunawa Seruwai relatif mempunyai frekwensi yang lebih kecil dibandingkan rusun di Kota Tebing Tinggi dan Tanjung Balai.; (5) Kurangnya sosialisasi/pertemuan rutin antar sesama warga penghuni rumah susun sehingga meningkatkan rasa ketidak pedulian sosial, tidak saling menghargai dan rasa tanggungjawab bersama penghuni rumah susun terhadap lingkungan akibat tidak adanya ruang bersama (aula) yang memadai pada tiap lantai; (6) Masyarakat Berpenghasilam Rendah (MBR) yang tinggal di rusun dan rusunawa memiliki karakter beragam; (7) Wilayah yang berpotensi untuk dibangun rumah susun DI Kota Medan adalah di pinggiran rel Kayu Putih; (8) Terdapat hubungan antara implementasi rusun dan rusunawa terhadap karakter masyarakat di Kota Medan; (9) Terdapat hubungan antara implementasi rusun dan rusunawa terhadap karakter masyarakatnya di Kota Tebing Tinggi. dan (10) Terdapat hubungan antara implementasi rusun dan rusunawa terhadap karakter masyarakatnya di Kota Tanjung Balai.

278


Implementasi Rumah Susun dan Rumah Susun Sewa yang Sesuai dengan KarakterMasyarakat Perkotaan di Sumatera Utara (Anton Parlindungan Sinaga)

8.

Untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat penghuni, sebaiknya dalam pengelolaan rusun dan rusunawa harus dapat mengakomodir warga untuk menciptakan lapangan kerja/usaha bagi penghuninya dengan menerapkan aturan yang jelas, tegas dan transparansi serta perlunya pendampingan terhadap masyarakat rumah susun baik yang dilakukan oleh pemerintah, swasta, maupun LSM berkaitan dengan program KB, kesehatan dan pengembangan usaha kecil dan menengah maupun home industri. 9. Untuk meningkatkan keamanan dan kenyamanan para penghuni rusun dan rusunawa, agar dilengkapi dengan petugas keamanan dan diberikan pelatihan untuk mengantisipasi terjadinya kebakaran dan gempa. 10. Untuk mengatasi kekumuhan di Kota Medan, maka Pemerintah Kota Medan agar segera memanfaatkan rumah susun Kayu Putih dan Martubung yang belum digunakan saat ini dengan membangun prasarana listrik dan air bersih yang belum terpasang guna menampung masyarakat daerah pinggiran rel Kayu Putih dan daerah pinggiran sungai Deli (Kampung Aur dan Kampung Kubur) untuk pindah dan tinggal di rumah susun tersebut. 11. Untuk meningkatkan keberhasilan pengelolaan rumah susun/rusunawa di daerah, perlu dilakukan kompetisi antara penghuni dan antara pengelola rumah susun/rusunawa se Sumatera Utara untuk 12. memotivasi badan pengelola dalam memajukan rumah susunnya.

REKOMENDASI Berdasarkan kesimpulan di atas beberapa Rekomendasi kebijakan yang dapat diusulkan adalah sebagai berikut: 1. Dalam pembangunan rumah susun ke depan di perkotaan Sumatera Utara pemilihan lokasinya harus tepat, yaitu : dekat dengan tempat kerja penghuni, tidak jauh dari pusat ekonomi dan sosial, serta didukung oleh sarana dan prasarana utilitas yang memadai. 2. Perlunya standar minimal luasan ruangan rumah susun yang dibangun yaitu rumah susun tipe 36, dimana di setiap lantai dibuat ruang bersama untuk memungkinkan terjadinya pertemuan antara penghuni rumah susun, sehingga dapat menimbulkan rasa kebersamaan dan tanggungjawab dalam menjaga lingkungan rusun secara bersama-sama. 3. Perlunya dibuat tempat pembuangan sampah yang memadai pada setiap tingkatan lantai rumah susun untuk memudahkan penghuninya dalam membuang sampah guna mencegah terjadinya kekumuhan di rumah susun. 4. Perlunya dibuat suatu areal khusus yang dapat mengakomodasi perilaku para penghuni rumah susun dan sekaligus dalam upaya pemberdayaan penghuni untuk tempat bersosialisasi seperti : tempat bermain anak-anak dan aula untuk tempat berkumpul. 5. Untuk meningkatkan keteraturan di rumah susun, perlu dibangun tempat parkir dan tempat menjemur pakaian yang memadai mencegah terjadinya kekumuhan dan kesemerawutan di rumah susun. 6. Perlu dilakukan seleksi secara ketat terhadap calon penghuni rumah susun oleh Badan Pengelola untuk menjamin kelancaran pembayar uang sewa rumah susun dan pembiayaan pemeliharaan rumah susun, dimana tarif sewa yang dibebankan kepada penghuni sebaiknya sesuai dengan ketentuan yaitu 10% dari UMR daerah. 7. Kepemimpinan dan keteladanan yang keras dan tegas dari Badan Pengelola sangat berpengaruh terhadap keberhasilan pengelolaan rusun dan rusunawa baik fisik, operasional, maupun dalam merubah karakter masyarakat penghuni rumah susun menjadi menjadi karakter yang peduli terhadap lingkungan dan masyarakat penghuni, serta untuk memiliki kewenangan yang kuat sebaiknya Badan Pengelola yang berprofesi sebagai pegawai negeri sipil.

DAFTAR PUSTAKA Adisasmita, H.Rahardjo. 2005. Pembangunan EkonomiPerkotaan. Yogjakarta: Graha Ilmu. Buletin Cipta Karya. 2010. Edisi 12/Tahun VIII/Desember 2010. Rusunawa Untuk Mengurangi, Bukan Menambah Kekumuhan. Bungin, Burhan. 2009. Metodologi Penelitian Kuantitatif. Cetakan keempat.Jakarta. Kencana Prenada Media Group. Hoag, Arleen J., and John H. Hoag.1991. Introductory Economics. Second Edition. Englewood Cliffs, New Jersey, USA. Prentice Hall. Khomarudin. 1997, Menelusuri Pembangunan Perumahan dan Permukiman, Jakarta:Yayasan Real Estate Indonesia, PT. Rakasindo, Jakarta. O’Sullivan, Arthur. 2000. Urban Economics. Fourth Edition. Unites States of America. McGraw-Hill.

279


Inovasi Vol. 10 No. 4, Desember 2013: 272-280

RPJPN Bidang Perumahan Tahun 2010–2025. Kementerian Negara PerumahanRakyat Repubik Indonesia, 2008. Undang–Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 1985 Tentang Rumah Susun. Undang–Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1992 Tentang Perumahan dan Permukiman. Yudosodo, Siswono. 1991. Rumah untuk Seluruh Rakyat. Jakarta. Yayasan Padamu Negeri.

280


Analisis Pengembangan Produk Makanan Organik untuk Meningkatkan Keanekaragaman Pangan di Sumatera Utara (Silvia Darina)

Hasil Penelitian ANALISIS PENGEMBANGAN PRODUK MAKANAN ORGANIK UNTUK MENINGKATKAN KEANEKARAGAMAN PANGAN DI SUMATERA UTARA

(ANALYSIS OF ORGANIC FOOD PRODUCT DEVELOPMENT EFFORTS TO DIVERSITY AS FOOD IN NORTH SUMATRA) Silvia Darina Badan Penelitian dan Pengembangan Provinsi Sumatera Utara Jl. Sisingamangaraja No. 198 Medan 20126 email: silvia.darina@gmail.com

Diterima: 8 Juni 2013; Direvisi: 27 Nopember 2013; Disetujui: 5 Desember 2013

ABSTRAK Program pengembangan pertanian organik ini diharapkan dapat dilakukan secara sinergis oleh berbagai pihak terkait untuk tercapainya Go Green 2010. Kebjakan pertanian yang dilakukan selama ini belum menyentuh aspek pengembangan pertanian organik. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui potensi dan prospek pengembangan pangan organik di Sumatera Utara, untuk mengetahui produk pangan organik yang dapat dikembangkan dalam upaya meningkatkan penganekaragaman di Sumatera Utara, untuk meningkatkan kebijakan pengembangan produk pangan organik dalam upaya meningkatkan penganekaragaman di Sumatera Utara. Metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif, lokasi penelitian adalah kabupaten langkat, deli serdang, serdang bedagai, toba samosir dan kabupaten karo. Hasil penelitian yang didapat adalah sebagai berikut: Potensi pasar produk pangan organik di Sumatera Utara masih sangat kecil, Kendala yang dihadapi dalam pengembangan pangan organik di Sumatera Utara, antara lain : belum ada insentif harga yang memadai untuk produsen produk pertanian organik, perlu investasi mahal pada awal pengembangan karena harus memilih lahan yang benar-benar steril dari bahan agrokimia, belum ada kepastian pasar sehingga petani enggan memproduksi komoditas. Di pihak lain, perkembangan pertanian organik di Sumatera Utara sudah mulai tumbuh hal ini didukung sudah ada jaringan antara konsumen dan produsen yang dibantu oleh LSM-LSM sehingga diharapkan mampu bersaing dapat dengan produk non organik lainnya. Budidaya pertanian organik di Sumatera Utara memiliki keuntungan Kelembagaan petani, Beberapa komoditas prospektif yang dapat dikembangkan dengan sistem pertanian organik di Sumatera Utara antara lain : tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, tanaman rempah dan obat-obatan karena dengan teknologi yang kreatif dapat menciptakan produk baru, penyempurnaan teknik produksi dan pemasaran.Provinsi Sumatera Utara perlu melakukan kerjasama dengan Lembaga terkait, perlu dilakukan identifikasi terhadap peluang pemasaran domestik produk organik, perlu memfasilitasi petani dalam sertifikasi dan akreditasi.Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota di Sumatera Utara diharapkan dapat membuat peraturan daerah untuk mendukung implementasi peraturan Menteri Pertanian Nomor 61 Tahun 2006. Kata kunci:analisis, pengembangan, organik, pangan, keanekaragaman, Sumatera Utara.

ABSTRACT Program expansion of organicfarming is expected to be synergistically by other related partiesto reach “Go Green 2010�. Agricultural policies that do not touch this aspect during the development of organic farming. The purpose of this study to determine the potential and prospects of the development of organic food in North Sumatra, to know the product - organic food products and to improve policy development of organic food products that can be developed in an effort to increase the diversification in North Sumatra. The method used is descriptive method, the location of the study is Langkat, Deli Serdang, Serdang Bedagai, Toba Samosir and Karo district. The results obtained are as follows: The potential market of organic food products in North Sumatra is still very small, constraints faced in the development of organic food in North Sumatra, among others : there is no adequate price incentives for producers of organic

281


Inovasi Vol. 10 No. 4,Desember 2013: 281-295

agricultural products, need to invest in expensive early development because they have to choose the land completely sterile from agrochemical ingredients, there is no certainty the market so that farmers are reluctant to produce commodities. On the other hand, the development of organic agriculture in North Sumatra have started to grow it supported existing network between consumers and producers are assisted by NGO’s that are expected to be able to compete with other non-organic products. Cultivation of organic agriculture in North Sumatra to own institutional advantages farmers, few prospective commodity that can be developed with organic farming systems in North Sumatra, among others : food crops, horticulture, plantation, spices and medicines due to creative technology can create new products,improve production and marketing techniques. The Province of North Sumatra have to do in cooperation with related agencies, needs to be done to identify marketing oppurtunities of domestic organic products, the need to facilitate the farmers in accreditation and certification.The Provincial Government and District/Town in North Sumatra Province are expected to make local regulations to support implementation of the regulation of the Minister of agriculture number 61 in 2006. Keywords:analysis ,development , organic , food , diversity , North Sumatra.

PENDAHULUAN Roadmap Pengembangan Pertanian Organik di Indonesia dengan tujuan, sasaran dan strategi pengembangan, kebijakan serta program operasional pengembangan pertanian organik di Indonesia sampai dengan tahun 2015 dibuat pada tahun 2007 oleh Kementerian Pertanian RI. Provinsi Sumatera Utara Sebagai daerah pemasok produk organik seperti beras dan sayuran hanya terdapat di beberapa daerah saja seperti di Desa Sayum Sabah Kecamatan Sibolangit Kabupaten Deli Serdang, di Desa Lubuk Bayas Kecamatan Perbaungan Kabupaten Serdang Bedagai, Desa Pematang Jering Kecamatan Sei Suka Kabupaten Asahan, Kecamatan Bahorok Kabupaten Langkat dan Desa Raya Kecamatan Berastagi serta Kecamatan Berastagi Kabupaten Karo. Pola penanganannya cenderung sporadis dan insidentil dikarenakan kebijakan pertanian yang dilakukan selama ini belum menyentuh aspek pengembangan pertanian organik. Hal ditandai dengan rendahnya dukungan pemerintah daerah dalam pengembangan pertanian organik Sumtera Utara, baik berupa kebijakan, program, pembinaan maupun pendanaan terhadap pertanian organik. Jika kebijakan itu ada, terutama kebijakan di tingkat lokal (Peraturan Daerah) tentu akan memudahkan pengembangan pertanian organik. Hal ini anggarannya lebih jelas dan kontrol masyarakat terhadap implementasi kebijakan tersebut dapat dilakukan. Pertanian organik merupakan proses budidaya pertanian yang menyelaraskan pada keseimbangan ekologi, keanekaragaman varietas, serta keharmonisan dengan iklim dan lingkungan sekitar. Dalam prakteknya, budidaya organik menggunakan semaksimal mungkin bahan-bahan alami yang terdapat di alam sekitarnya, dan tidak menggunakan asupan agrokimia (bahan kimia sintetis untuk pertanian) karena pertanian organik berusaha meniru alam, maka pemakaian benih atau

asupan yang mengandung bahan-bahan hasil rekayasa genetika (genetically modiffied organism) juga dihindari. Empat prinsip penting yang terkandung dalam pertanian organik diantaranya prinsip kesehatan dengan harus mempertahankan dan meningkatkan kesuburan tanah, kesehatan tanaman, hewan, dan manusia sebagai sesuatu yang utuh dan tak dapat dipisah-pisah. Prinsip ekologi yang menyatakan bahwa pertanian organik harus berdasarkan kepada siklus dan sistem ekologi yang hidup, bekerja dengannya, melampauinya dan membantu mempertahankannya. Tak lupa pula, prinsip keadilan yang harus dibangun berdasarkan hubungan yang memastikan adanya kejujuran dan keadilan dengan lingkungan umum dan peluang kehidupan dan prinsip perlindungan/kepedulian yaitu pertanian organik harus dikelola dalam cara yang penuh kehati-hatian dan bertanggungjwab untuk melindungi kesehatan dan kesejahteraan generasi dan lingkungan sekarang dan masa datang. Penggunaan sistem pertanian organik bertujuan untuk menghasilkan bahan pangan dengan kualitas nutrisi tinggi serta dalam jumlah cukup, melaksanakan interaksi efektif dengan sistem dan daur alamiah yang mendukung semua bentuk kehidupan yang ada, mendorong dan meningkatkan daur ulang dalam sistem usaha tani dengan mengaktifkan kehidupan jasad renik, flora dan fauna, tanah dan tanaman serta hewan, memelihara serta meningkatkan kesuburan tanah secara berkelanjutan, menggunakan sebanyak mungkin sumber-sumber terbaru yang berasal dari sistem usaha tani itu sendiri, membatasi terjadinya semua bentuk pencemaran lingkungan yang mungkin dihasilkan oleh kegiatan pertanian, mempertahankan keanekaragaman hayati tanah pelestarian habitat tanaman dan hewan, dan memberikan

282


Analisis Pengembangan Produk Makanan Organik untuk Meningkatkan Keanekaragaman Pangan di Sumatera Utara (Silvia Darina)

jaminan yang semakin baik bagi para konsumen pertanian terutama petani dengan kehidupan yang lebih baik sesuai dengan hak asasi manusia untuk memenuhi kebutuhan dasar serta memperoleh penghasilan dan kepuasan kerja termasuk lingkungan kerja yang aman dan sehat. Beberapa tahun terakhir, pertanian organik modern masuk dalam sistem pertanian Indonesia secara sporadis dan kecil-kecilan. Pertanian organik modern berkembang memproduksi bahan pangan yang aman bagi kesehatan dan sistem produksi yang ramah lingkungan, tetapi secara umum konsep pertanian organik modern belum banyak dikenal dan masih banyak dipertanyakan. Penekanan sementara ini lebih kepada meninggalkan pemakaian pestisida sintetis. Dengan makin berkembangnya pengetahuan dan teknologi kesehatan, lingkungan hidup, mikrobiologi, kimia, molekuler biologi, biokimia dan lain-lain, pertanian organik terus berkembang dalam sistem pertanian organik modern diperlukan standar mutu dan ini diberlakukan oleh negara-negara pengimpor dengan sangat ketat. Sering satu produk pertanian organik harus dikembalikan ke negara pengekspor termasuk ke Indonesia karena masih ditemukan kandungan residu pestisida maupun bahan kimia lainnya. Banyaknya produk-produk yang mengklaim sebagai produk pertanian organik yang tidak disertifikasi membuat keraguan di pihak konsumen. Sertifikasi produk pertanian organik berdasarkan IFOAM dapat dibagi menjadi dua kriteria yaitu: a. Sertifikasi lokal untuk pangsa pasar dalam negeri. Kegiatan pertanian ini masih mentoleransi penggunaan pupuk kimia sintetis dalam jumlah yang minimal atau Low External Input Sustainable Agriculture (LEISA), namun sudah sangat membatasi penggunaan pestisida sintetis. Pengendalian OPT dengan menggunakan biopestisida, varietas toleran, maupun agensia hayati. Tim untuk merumuskan sertifikasi nasional sudah dibentuk oleh Kementerian Pertanian RI dengan melibatkan perguruan tinggi dan pihak-pihak lain yang terkait. b. Sertifikasi internasional untuk pangsa ekspor dan kalangan tertentu di dalam negeri, seperti misalnya sertifikasi yang dikeluarkan oleh SKAL ataupun IFOAM. Beberapa persyaratan yang harus dipenuhi antara lain masa konversi lahan, tempat penyimpanan produk organik, bibit, pupuk dan pestisida serta pengolahan hasilnya harus memenuhi persyaratan tertentu sebagai produk pertanian organik.

Pertanian menggunakan sistem produksi pertanian yang holistik dan terpadu, dengan cara mengoptimalkan kesehatan dan produktivitas agroekosistem secara alami, sehingga menghasilkan pangan dan serat yang cukup, berkualitas, dan berkelanjutan. Lahan yang digunakan untuk produksi pertanian organik harus bebas dari bahan kimia sintetis (pupuk dan pestisida). Terdapat dua pilihan lahan : lahan pertanian yang baru dibuka atau, lahan pertanian intensif yang telah dikonversi menjadi lahan pertanian organik. Lama masa konversi tergantung sejarah penggunaan lahan, pupuk, pestisida, dan jenis tanaman. Pupuk organik yang berasal dari bahan-bahan organik seperti pangkasan daun tanaman, kotoran ternak, sisa tanaman, dan sampah organik yang telah dikomposkan. Untuk mencukupi kebutuhan hara tanaman, maka upaya peningkatan kesuburan tanah secara alami melalui daur ulang nutrisi tanaman, harus dioptimalkan dengan mengandalkan perbaikan aktivitas biologis, serta fisik dan kimia tanah dengan mengembalikan hara atau nutrisi yang terangkut panen dengan menambahkan pupuk organik dari berbagai sumber (pangkasan tanaman, pupuk kandang), secara periodik ke dalam tanah baik dalam bentuk segar atau kompos, mengembalikan sisa-sisa panen serta serasah ke lahan untuk mengembalikan hara terangkut tanaman. Menanam tanaman legum sebagai tanaman pagar (hedgerow) yang bermanfaat sebagai sumber pupuk organik, pakan ternak, dan di sisi lain berfungsi sebagai perangkap inang/predator. Penelitian ini berlokasi di wilayah administratif Provinsi Sumatera Utara yang daerahnya memiliki komunitas petani organik dalam bentuk tanaman pangan dan tanaman holtikultura lainnya. Adapun kabupaten sampel yang diambil adalah : Kabupaten Langkat Kecamatan Bahorok Desa Timbang Lawan, Kabupaten Deli Serdang Kecamatan Sibolangit Desa Suka Makmur dan Kecamatan Namorambe, Kabupaten Serdang Bedagai Kecamatan Perbaungan Desa Lubuk Bayas, Kabupaten Toba Samosir Kecamatan Lumban Hulu Desa Aek Natolu dan Kecamatan Laguboti Desa Lumban Ria-Ria, Desa Baruara dan Kabupaten Karo Kecamatan Berastagi Desa Raya. Waktu pelakasanaan kegiatan penelitian ini mulai bulan Juli s/d November 2012. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah : Untuk mengetahui potensi dan prospek pengembangan pangan organik di Sumatera Utara, mengetahui produkproduk pangan organik yang dapat dikembangkan dalam upaya meningkatkan penganekaragaman di Sumatera Utara, mengetahui kebijakan pengembangan produk

283


Inovasi Vol. 10 No. 4,Desember 2013: 281-295

pangan organik dalam upaya meningkatkan penganekaragaman di Sumatera Utara.

produksi yang lebih tinggi secara ekonomi. Banyak ragam pangan Sumatera Utara yang berbahan dasar olahan dari produk pertanian jika diolah lebih lanjut menjadi bahan makanan siap saji, maka bahan makanan tersebut sekaligus dapat dijadikan buah tangan khas dari daerah Sumatera Utara. Misalnya saja ikan kecilkecil atau ikan pora-pora yang berada di Danau Toba apabila dikelola secara organik akan menjadi potensi bahan pangan apabila dapat diolah menjadi makanan siap saji dalam bentuk yang lebih bagus dan dapat dikonsumsi secara langsung yakni ikan crispy, tapi dengan catatan bahwa ikan-ikan ini tidak boleh diberi makanan bahan kimia (pelet) dan harus dibiarkan mencari makan sendiri di Danau Toba, dengan cara seperti ini, maka ekosistem danau tetap dapat terjaga dan dari danaunya sendiri dapat dimanfaatkan hasilnya tanpa takut tercemar bahan kimia, tinggal bagaimana produk ini dipasarkan dan menjadi icon baru bagi lokasi wisata di sekitar danau. Bisa juga dikembangkan usaha bisnis restoran di kawasan danau Toba yang dapat menyediakan bahan-bahan makanan organik dari mulai beras yang dimasak, sayuran yang dioah serta ikan dan ayam yang disediakan dalam bentuk lauk tetapi tetap menggunakan bahan-bahan makanan yang organik. Harga mungkin lebih mahal dari restoran yang tidak menggunakan bahan-bahan makanan organik seperti ini, tapi petani juga harus mendapat manfaat yang lebih tinggi dan keadaan ini akan memberi insentif bagi petani untuk terus menerapkan pola pertanian organik dalam produksinya. Model pertanian organik yang ada di Kabupaten Langkat masih bersifat subsisten, artinya pola pertanian yang mereka lakukan hasilnya masih dikonsumsi sendiri bukannya untuk dijual. Menjadi petani organik di Kabupaten Langkat sangat banyak dimotivasi serta dibimbing oleh LSM setempat yakni oleh YEL (Yayasan Ekosistem Lestari) sebagai fasilitator dan motivator pada kelompokkelompok petani di kabupaten Langkat khususnya di Kecamatan Bahorok.Secara garis besar dapat dianalisis di Kabupaten Langkat bahwa kebijakan pemerintah Kabupaten Langkat dalam mendukung produksi bahan makanan organik masih sangat lemah dan bahkan dapat dikatakan hampir tidak ada. Jika dilihat dari fakta yang ada, pemerintah daerah lebih berpihak dan fokus pada subsektor perkebunan yakni komoditas kelapa sawit. Buktinya, bahwa ekspansi wilayah perkebunan sawit di kecamatan Bahorok menjadi sangat agresif bahkan dikonversi dari lahan pertanian dan tanaman pangan yang ada di Kecamatan Timbang Lawan, Timbang Jaya

METODE Lokasi kegiatan Kajian Analisis Ketahanan Pangan Tingkat Rumah tangga di Perkotaan dan Perdesaan di Provinsi Sumatera Utara meliputi kabupaten langkat, deli serdang, serdang bedagai, toba samosir dan kabupaten karo. Pelaksanaan kegiatan berlangsung selama 4 (empat bulan). Langkah awal yang dilakukan dalam Analisis Ketahanan Pangan Tingkat Rumah tangga di Perkotaan dan Perdesaan di Sumatera Utara adalah pengumpulan data dan informasi yang terkait dengan ketahanan pangan tingkat rumah tangga di perkotaan dan perdesaan di Sumatera Utara. Data yang digunakan dalam kegiatan ini adalah data primer Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Tahun 2010 yang dikumpulkan oleh Badan Pusat Statistik Provinsi Sumatera Utara.Interpretasi dan analisis data dilakukan dengan langkah-langkah yakni pengumpulan data, melalui teknik dokumentasi untuk memperoleh data sekunder serta wawancara dan observasi untuk memperoleh data yang bersifat primer, penilaian data dengan memperhatikan prinsip validitas, objektivitas dan reliabilitas. Pengukuraninimenggabungkandua indikator ketahanan pangan yaitu pangsa pengeluaran pangan dan kecukupan energi. Batasan untuk kecukupan energi adalah 80% dari anjuran (per unit ekuivalen dewasa) sedangkan batasan pangsa pengeluaran adalah 60% dari total pengeluaran. Pengelompokan yang dilakukan tersebut didasarkan pada empat derajat ketahanan pangan tingkat rumah tangga, yaitu : rumah tangga tahan pangan, rentan pangan, kurang pangan dan rawan pangan. Distribusi rumah tangga menurut derajat ketahanan pangan tingkat rumah tangga di perkotaan dan perdesaan di Sumatera Utara dianalisis dengan metode deskriptif. Karakteristik rumah tangga menurut derajat ketahanan pangan tingkat rumah tangga di perkotaan dan perdesaan di Sumatera Utara yang dianalisis dengan metode deskriptif. HASIL DAN PEMBAHASAN Sumatera Utara juga memiliki komunitas petani organik, yang sampai saat ini para petani baru mampu menghasilkan produk pertanian dalam bentuk bahan primer, jadi belum mampu atau belum mau untuk mengolah bahan makanan sebagai produk antara atau menjadi bahan makanan siap saji (ready for eat), jadi memiliki nilai tambah (value added) dari

284


Analisis Pengembangan Produk Makanan Organik untuk Meningkatkan Keanekaragaman Pangan di Sumatera Utara (Silvia Darina)

dan Sampe Raya. Jadi kebijakan pemerintah Kabupaten Langkat menjadi faktor kelemahan yang dimiliki oleh wilayah ini.Perencanaan program pembangunan pertanian oleh pemerintah daerah sudah ada, tapi untuk pertanian organik belum kongkrit dan belum jelas padahal potensi wilayahnya cukup baik untuk dikembangkan khususnya tanaman pangan dan peternakan yang organik. Soliditas aparat pertanian masih sangat kurang dan instansi terkait lainnya juga masih belum mendukung tentang perkembangan pertanian organic. Misalnya seperti memberi penyuluhan tentang pola pertanian organik di kelompokkelompok tani, ternyata pada akhirnya justru mereka menyuruh petani untuk membeli bibit dari pabrikan dan juga obat-obatan kimia untuk membantu produksi komoditi yang ditanam, sehingga petani merasa mereka (penyuluh pertanian) dari pemerintah membawa pesan dari sponsor yakni perusahaan yang menghasilaknnya. Kuantitas sumberdaya aparat sebenarnya minim tapi masih cukup, tinggal bagaimana aparat mampu membuat ketua kelompok tani sebagai motivator utama dalam kelompoknya dalam mengelola sistem pertanian organik dan kualitas sumberdaya aparat yang turun kelapagan juga masih minim dan bahkan jauh lebih baik kemampuan dari LSM yang mendampingi para petani selama ini. Pendekatan yang dilakukan juga jauh lebih luwes dari LSM daripada penyuluh dari aparat pemerintah karena pendekatan mereka hanya sebatas tugas, sedangkan yang berasal dari LSM justru ikut dalam kebiasaan dan norma yang berlaku di masyarakat sehingga menjadi jauh lebih familiar LSM pendekatannya di masyarakat dari pada unsur aparat pemerintah. Prasarana dan sarana yang ada juga masih sangat minim, sehingga petani mencoba untuk menyelesaikan permasalahan mereka jika berhubungan dengan sarana fisik mereka melakukannya secara swadaya, seperti rumah kompos yang ada dibantu oleh pemerintah hanya ada 2 di Kecamatan Bahorok. Padahal ada sekitar 50 kelompok petani yang membutuhkan dengan dana yang sangat minim, sehingga mereka hanya memiliki 2 (dua) rumah kompos yang akan digunakan oleh ratusan petani dengan jarak dari lahan pertanian mereka ke rumah kompos cukup jauh. Pemerintah hanya memberi bantuan di Kecamatan Bahorok untuk alat pembuatan kompos hanya 2 unit saja, padahal sebaiknya minimal satu desa memiliki satu rumah kompos. Pembinaan dan kerjasama dalam pemasaran produk di lapangan juga masih sangat lemah, karena itu para petani yang menanam padi maupun sayuran organik masih

bersifat subsiste atau bertindak sebagai produsen sekaligus konsumen karena tidak ada pasar yang merespon produk yang mereka hasilkan, sehingga petani tetap akan menanam komoditi pertanian non-organik sebagai tumpuan mata pencaharian utama karena pasarnya lebih jelas. Kendala utama secara internal adalah sisi pemasarannya. Jika proses produksi, petani merasa masalah modal bukanlah hal yang sangat krusial dalam produksinya karena dari proses awal pola pertanian ini sangat mengandalkan ketrampilan petani dalam membuat bibit sampai pemupukan dan perawatannya dengan bahan-bahan semua tersedia di alam serta tinggal bagaimana cara mengolahnya saja. Monitoring dan evaluasi sama sekali tidak pernah dilakukan oleh pihak pemerintah dalam mengukur seberapa besar kemajuan yang telah dialami oleh petani dalam menghasilkan produksi pertanian organiknya, justru informasi dan pelatihan dan ketrampilan pada umumnya mereka dapatkan dari pihak YEL sendiri. Selain itu mereka memanfaatkan melalui media elektronik dengan melihat perkembangan pertanian di luar Sumatera Utara seperti yang sudah dicapai di Pulau Jawa.Kesesuaian lahan dan iklim secara geografis letak Kecamatan Bahorok sedikit berada di wilayah dataran tinggi, jadi iklimnya cukup baik untuk pengembangan varitas holtikultura baik untuk dataran rendah maupun dataran tinggi. Ditambah lagi wilayah Bahorok merupakan daerah kawasan hutan merupakan perpanjangan dari wilayah Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) dan sungai yang mengalir adalah aliaran dari sungai Alas yang terkenal dengan derasnya jeram dan debit air yang cukup besar di sungai-sungai tersebut. Bahorok sangat populer dengan destinasi tujuan wisata alam yakni tempat perlindungan orang utan dan aliran sungai yang cukup baik unuk olah raga arung jeram (rafting). Jadi lahan serta iklim merupakan keunggulan alamiah yang dimiliki Kabupaten Langkat dalam mengembangkan pertanian organik yang dapat mendukung aktivitas kegiatan pariwisata alam yang ada disana. Teknologi usaha tani holtikultura belum begitu maju, hal ini merupakan peluang besar untuk dikembangkan agar kapasistas produksi yang dihasilkan menjadi jauh lebih besar lagi dan lebih variatif. Teknologi usaha tani juga dapat menghasilkan keanekaragaman pangan dari hasil teknologi hasil produksi pertanian. Para petani di Kabupaten Langkat masih menghasilkan komoditas dalam bentuk primer tanpa olahan lebih lanjut, sehingga dalam proses pemasarannya akan terkendala dengan waktu

285


Inovasi Vol. 10 No. 4,Desember 2013: 281-295

yang berakibat pada rusaknya komoditi dan tidak dapat dijual lagi. Tapi jika ada pengolahan hasil lebih lanjut maka semua permasalahan seperti ini dapat diatasi, karena hasil pertaniannya sudah dalam bentuk barang jadi atau bahan makanan siap saji yang memberikan nilai tambah ekonomi lebih besar lagi pada akhirnya tingkat kesejahteraan petani menjadi lebih baik. Belum adanya mitra usaha yang lebih fixed, jadi perlu kiranya mencari dan membangun kemitraan, antara petani sebagai produsen dengan penguasaha atau lembaga yang dapat membuka pasar bagi produk yang dihasilkan belum adanya lembaga keuangan yang menyediakan kredit untuk usaha pertanian di Kecamatan Bahorok, merupakan peluang bagi para pengusahaan lembaga keuangan baik perbankan korporasi maupun BPR (Bank Perkreditan Rakyat) sehingga memudahkan petani untuk terakses dengan lembaga keuangan mikro. Jadi jika ada kebijakan pemerintah dalam bentuk KUT (Kredit Usaha Tani) ke desa-desa di Kabupaten Langkat khususnya yang ada di Kecamatan Bahorok akan dapat direspon lebih cepat oleh petani. Kebijakan pemerintah pusat dan provinsi yang mendukung pertanian organik merupakan peluang yang dapat direspon oleh pemerintah kabupaten, tinggal bagaimana caranya pemerintah Kabupaten Langkat mensinergikan antara kebijakan pemerintah pusat dan Provinsi Sumatera Utara dengan pilihan kebijakan pertanian yang akan dilaksanakan di daerah guna menghindari kebijakan yang tumpang tindih (overlapping). Tingkat pendidikan petani dan minat generasi muda di bidang pertanian organik masih sangat kecil dan merupakan ancaman untuk pengembangan pertanian organik di Kabupaten Langkat. Pola pertanian ini masih diminati oleh generasi tua, karena orang mudanya lebih suka memilih bekerja di kota atau menjadi pemandu wisata di loaksi wisata sekitar Bahorok sehingga regenerasi petani menjadi sangat lambat.Alih fungsi lahan pertanian di Kecamatan Bahorok sangat cepat dengan adanya perusahaan perkebunan besar yang memgelola kebun kelapa sawit dalam bentuk PMA. Petani menjadi tergoda untuk menjual lahan pertaniannya kepada korporasi dibanding dengan mengelolanya sendiri. Sayangnya jika ada generasi muda yang mau mengelola tanahnya, justru mengalami kesulitan karena tidak memiliki lahan yang akhirnya justru menyewa lahan. Serangan organisme pengganggu tanaman sampai saat ini ada, tapi petani mampu mengatasinya dengan pestida alami yang telah

diajari secara turun temurun dan bahanbahannya cukup tersedia di sekitar lahan pertanian. Jadi walaupun merupakan ancaman dalam berproduksi para petani dapat mengatasinya.Pertambahan penduduk yang meningkat khususnya di wilayah perkotaan, merupakan peluang besar untuk permintaan komoditas pertanian organik karena selama ini pasar bahan pertanian organik cukup besar ada di wilayah perkotaan. Tapi bukan hanya wilayah kota saja karena Bahorok merupakan lokasi wisata alam, maka akan dapat dikembangkan bisnis restoran yang menyediakan makanan dengan bahan-bahan makanan organik dan sekaligus menyediakan keanekaragaman pangan yang diolah dari bahan makanan organik, jadi bisnis healthy restaurant akan menjadi icon baru bagi pariwisata di Bahorok. Pola pertanian organik lebih baik sedikit di Kabupaten Deli Serdang dibandingkan dengan Kabupaten Langkat, karena hasil produksinya sudah dijual sampai keluar wilayah Deli Serdang. Komoditas yang dikembangkan juga jauh lebih variatif, karena lokasi pertanian organik yang berkembang bukan saja di dataran rendah tetapi juga di wilayah dataran tinggi yang sangat kaya dengan hasil holtikulturanya. Secara garis besar dapat dianalisis tentang pertanian organik di Kabupaten Deli Serdang bahwa kebijakan pemerintah daerah dalam mendukung produksi bahan makanan organik masih dirasakan, dengan masih terdapat kekurangan yang harus diperbaiki lebih lanjut. Jika dilihat dari fakta yang ada, Deli Serdang merupakan lumbung pangan daerah Sumatera Utara. Kebijakan jangka panjang untuk pertanian khususnya pertanian organik masih dirasakan sangat kecil, jadi masih berorientasi jangka pendek dengan tingkat kerusakan tanah yang cukup besar akibat pola pertanian non-organik yang mengandalkan bahan kimia. Fokus dari kebijakan pemerintah kabupaten lebih berpihak pada subsektor perkebunan yakni komoditas tanaman keras seperti kelapa sawit dan karet. Buktinya, bahwa ekspansi wilayah perkebunan sawit di Deli Serdang jauh lebih cepat dibanding dengan perluasan tanaman pangan dan holtikultura. Ditambah lagi dengan konversi lahan pertanian menjadi kawasan pemukiman di pinggiran Kota Medan yang begitu cepat menjadikan potensi dari tanaman pangan peluangnya menjadi lebih rendah. Perencanaan program pembangunan pertanian oleh pemerintah daerah sudah ada tapi untuk pertanian organik belum begitu jelas, padahal potensi wilayahnya cukup baik untuk dikembangkan dengan topografi yang dimiliki cukup baik khususnya tanaman pangan dan

286


Analisis Pengembangan Produk Makanan Organik untuk Meningkatkan Keanekaragaman Pangan di Sumatera Utara (Silvia Darina)

peternakan yang organik. Hal ini merupakan kelemahan yang terdapat di Deli Serdang. Pertanian organik masih sangat tergantung pada LSM-LSM seperti BITRA dan Yayasan Ate Keleng. Soliditas aparat pertanian juga masih dirasakan kurang dan instansi terkait lainnya juga masih belum mendukung secara penuh tentang perkembangan pertanian organik di wilayah ini. Misalnya saja seperti memberi penyuluhan tentang pola pertanian organik untuk kelompok tani, para penyuluh justru memberi arahan kepada petani untuk membeli bibit dan obatobatan kimia dari perusahaan yang informasinya sudah samapi ke desa-desa di wilayah tersebut Petani merasa mereka (penyuluh pertanian) tidak benar saat memberi penyuluhan. Penyuluh pertanian masih menggunakan pola lama penyuluhan dengan menggunakan metode pertanian konvensional. Penyuluh masih membuat melakukan penawaran pupuk kimia kepada petani termasuk petani organik. Para petani sudah tahu bahwa petani di kawasan Namorambe tidak menggunakan pupuk kimia. Kuantitas sumberdaya aparat sebenarnya masih cukup tinggal bagaimana aparat pemerintah mampu menjadikan ketua kelompok tani yang ada sebagai motor penggerak utama mengelola sistem pertanian organik di komunitasnya Kualitas sumber daya aparat yang turun kelapangan juga masih sangat minim, bahkan jauh lebih baik kemampuan dari orangorang LSM yang mendampingi para petani selama ini untuk tetap bertahan memproduksi bahan pertanian organik. Selain itu, pendekatan yang dilakukan juga jauh lebih luwes dari pihak LSM kepada petani daripada penyuluh dari aparat pemerintah karena pendekatan lebih membumi dan terlihat tidak ada kesenjangan antara petani dengan pembimbing. Prasarana dan sarana yang ada juga masih sangat minim, sehingga petani mencoba untuk menyelesaikan permasalahan mereka jika berhubungan dengan sarana fisik mereka melakukannya secara swadaya, seperti membangun rumah kompos dengan gotongroyong oleh anggota kelompok tani sendiri. Saluran irigasi yang ada dari pemerintah masih dapat dimanfaatkan oleh petani, tinggal para petani harus dapat merawatnya agar fasilitas fisik tersebut tidak cepat hancur. Pembinaan dan kerjasama dalam pemasaran produk di lapangan masih dijembatani oleh pihak LSM yang membangun jaringan toko/retail untuk bahan pertanian organik melalui JaPPSA dan pasar-pasar tradisional di Medan seperti pasar Pringgan dan pasar Beruang. Kondisi ini merupakan kekuatan tersendiri bagi kelompokkelompok tani yang bergabung dalam komunitas

petani organik. Petani yang menanam padi maupun sayuran organik sudah dapat memasarkannya keluar wilayah Deli Serdang dan sudah dapat masuk di pasar Kota Medan. Walaupun belum maksimal, pemasaran masih menjadi kendala utama secara internal bagi petani. Monitoring dan evaluasi sama sekali tidak pernah dilakukan oleh pihak pemerintah dalam mengukur seberapa besar tingkat kemajuan yang telah dialami oleh petani dalam menghasilkan produksi pertanian organiknya baik dalam bentuk primer, bahan antara maupun dalam bentuk olahan makanan jadi. Justru informasi, pelatihan dan ketrampilan yang mereka dapatkan pada umumnya berasal dari LSM itu sendiri. Selain itu mereka memanfaatkan media elektronik melihat perkembangan pertanian organik dengan olahannya di luar Sumatera Utara seperti yang sudah dicapai di pulau Jawa. Kinerja pelayanan aparat terhadap petani juga masih merupakan bagian yang masih harus ditingkatkan, karena masih merupakan kelemahan dari pihak pemerintah.Kesesuaian lahan dan iklim; secara geografis letak kecamatan Deli Serdang hampir 40% nya berada di wilayah dataran tinggi. Jadi iklimnya cukup baik untuk pengembangan varitas holtikultura baik untuk dataran rendah maupun dataran tinggi ditambah lagi wilayah dataran tinggi Deli Serdang merupakan wilayah pegunungan Bukit Barisan yang bersambung dengan dataran tinggi Karo. Belum adanya mitra usaha yang lebih fixed, sehingga perlu kiranya mencari dan membangun kemitraan antara petani sebagai produsen dengan pengusaha atau lembaga yang dapat membuka pasar bagi produk pertanian organik yang dihasilkan oleh petani Deli Serdang. Sampai saat ini mitra usaha para petani dalam pemasaran produk masih ditangani oleh Jaringan LSM JaPPSA, tapi belum pada mitra untuk pengolahan hasil produksi primer pertanian.Masih sedikitnya lembaga keuangan yang menyediakan kredit untuk usaha pertanian di Kecamatan Namo Rambe, Sibolangit dan Pancur Batu merupakan peluang bagi para pengusaha lembaga keuangan baik perbankan korporasi maupun BPR (Bank Perkreditan Rakyat) dalam bentuk lembaga keuangan mikro, sehingga memudahkan petani untuk terakses dengan lembaga keuangan tersebut. Jadi jika ada kebijakan pemerintah dalam bentuk KUT (Kredit Usaha Tani) ke desa-desa di Kabupaten Deli Serdang khususnya yang ada di 3 (tiga) kecamatan ini akan memudahkan petani untuk mendapatkannya. Kebijakan pemerintah daerah Kabupaten Deli Serdang untuk mendukung pertanian

287


Inovasi Vol. 10 No. 4,Desember 2013: 281-295

organik merupakan peluang yang dapat direspon melalui memanfaatkan dan mensinergikan antara berbagai kebijakan pemerintah yang ada dalam mendukung pengembangan produk pangan organik. Tingkat pendidikan petani dan minat generasi muda dibidang pertanian organik juga masih sangat rendah dan masalah ini merupakan ancaman untuk pengembangan pertanian organik di Kabupaten Deli Serdang. Pola pertanian organik ini masih diminati oleh generasi tua, karena orang mudanya lebih suka memilih bekerja di kota atau menjadi buruh pabrik yang ada disekitar kawasan industri di Deli Serdang dari pada menjadi petani. Serangan organisme pengganggu tanaman sampai saat ini masih tetap ada, tapi petani mampu mengatasinya dengan pestida alami yang telah diajari secara turun temurun maupun dibantu dari pihak LSM, bahan-bahannya cukup murah dan tersedia disekitar lahan pertanian, jadi walaupun merupakan ancaman dalam berproduksi, para petani dapat mengatasinya secara individu. Pertambahan penduduk di Namorambe yang terus meningkat merupakan peluang besar untuk permintaan komoditas pertanian organik dan sekaligus menjadi ancaman karena konversi lahan pertanian ke pemukiman, karena selama ini pasar bahan pertanian organik cukup besar ada di wilayah perkotaan, karena permintaan perumahan yang besar juga dari penduduk perkotaan yang ingin memiliki rumah dengan luas lahan yang sedikit lebih luas. Konversi pertanian juga terjadi di Kecamatan Sibolangit, dimana kawasan pertanian beralih fungsi menjadi villa. Pasar bebas bagi komoditas pertanian merupakan ancaman bagi komoditas pertanian organik, karena dengan pasar bebas membuat pasar menjadi kebanjiran begitu banyak produk pertanian dan harganya menjadi jauh lebih rendah seperti kasus kentang Cina, bawang merah India dan lain sebagainya yang membuat petani lokal tingkat kesejahteraannya menjadi lebih rendah. Makin banyaknya produk pertanian dari dalam dan luar negeri membuat perbedaan harga produk organik dan konvensional menjadi bertambah lebar. Pertanian organik sebenarnya sudah cukup lama berkembang di daerah ini, karena petani yang memilih basis produksinya dengan pola pertanian organik sudah cukup ama mendapat pendampingan dari LSM BITRA dan bahkan hasil produksinya sudah masuk ke pasar-pasar di Kota Medan. Kebijakan Pemerintah Kabupaten Serdang Bedagei dalam mendukung produksi bahan makanan organik cukup baik, walaupun masih terdapat kekurangan yang harus diperbaiki lebih lanjut. Jika dilihat dari fakta yang ada,

bahwa Serdang Bedagai merupakan lumbung pangan daerah Sumatera Utara terutama komoditas padi. Kebijakan jangka panjang untuk pertanian khususnya pertanian organik masih dirasakan sangat kecil, jadi masih berorientasi jangka pendek dengan tingkat kerusakan tanah yang cukup besar akibat pola pertanian nonorganik yang mengandalkan bahan kimia. LSM selama ini sebagai pendamping petani organik di Serdang Begadai yag hasil produksinya sudah merambah masuk ke retail-retail pasar di Kota Medan. Pada saat ini di Kabupaten Serdang Bedagai akan dihadapkan pada kondisi tingginya permintaan tanah untuk tanaman sawit, sehingga lahan pertanian akan makin berkurang. Perencanaan program pembangunan pertanian oleh pemerintah daerah Kabupaten Serdang Begadai sudah ada, tapi khusus untuk pertanian organik mulai terarah, potensi wilayahnya cukup baik untuk dikembangkan bagi pertanian dataran rendah dan wilayah pesisir, khususnya pertanian dan peternakan yang organik dengan sistem integrasi padi dan ternak (SIPT). Solidaritas aparat pertanian juga masih dirasakan kurang dan instansi terkait lainnya juga masih belum mendukung secara penuh tentang perkembangan pertanian organik di wilayah ini. Misalnya seperti memberi penyuluhan tentang pola pertanian organik untuk kelompok tani, para penyuluh justru memberi arahan kepada petani untuk banyak bertanya kepada LSM BITRA baik dalam produksi maupun pengolahannya. Kuantitas sumberdaya aparat sebenarnya masih cukup, tinggal bagaimana aparat pemerintah mampu menjadikan ketua kelompok tani yang ada sebagai motor penggerak utama mengelola sistem pertanian organik di komunitas dan kualitas sumberdaya aparat yang turun ke lapangan juga masih sangat minim. Para aktivis lapangan dari LSM BITRA kemampuannya jauh lebih baik dalam membimbing petani baik untuk memproduksi pertanian organik maupun mengolah hasil pertanianya lebih lanjut. Selain itu, pendekatan yang dilakukan juga jauh lebih luwes dari pihak LSM ke petani daripada penyuluh dari aparat pemerintah, karena pendekatan lebih membumi dan terlihat tidak ada kesenjangan antara petani dengan pembimbing. Artinya kualitas dari aparat penyuluh lapangan merupakan kekurangan yang dimiliki oleh kabupaten ini.Prasarana dan sarana yang ada juga masih sangat sudah baik, petani mencoba bekerjasama dengan pihak LSM BITRA dan pemerintah. Jika berhubungan dengan hambatan sarana fisik, mereka

288


Analisis Pengembangan Produk Makanan Organik untuk Meningkatkan Keanekaragaman Pangan di Sumatera Utara (Silvia Darina)

melakukannya secara swadaya. Seperti membangun rumah kompos dan membuat mesin pembuatan kompos dengan cara swadaya melalui urun rembuk dan gotongroyong oleh anggota kelompok tani sendiri. Tapi saluran irigasi yang ada dari pemerintah masih dapat dimanfaatkan oleh petani, tinggal para petani harus dapat merawatnya agar fasilitas fisik tersebut tidak cepat hancur. Pembinaan dan kerjasama dalam pemasaran produk di lapangan masih dijembatani oleh pihak LSM yang membangun jaringan toko/retail untuk bahan pertanian organik yakni JaPPSA. Kondisi ini merupakan kekuatan tersendiri bagi kelompok-kelompok tani yang bergabung dalam komunitas petani organik. Karenanya petani yang menanam padi organik sudah dapat memasarkannya keluar wilayah Serdang Bedagei dan sudah dapat masuk di pasar Kota Medan serta bahkan sudah mulai masuk ke koperasi-koperasi Perguruan Tinggi di Medan. Walaupun belum maksimal, pemasaran masih menjadi kendala utama secara internal bagi para petani organik. Monitoring sudah dilakukan oleh pihak pemerintah untuk mengukur seberapa besar tingkat kemajuan yang telah dialami maupun melihat lebih jauh permasalahan mendasar yang dihadapi oleh petani organik dalam menghasilkan produksi pertaniannya baik dalam bentuk bahan primer, bahan antara maupun dalam bentuk olahan makanan jadi. Kinerja pelayanan aparat terhadap petani juga masih merupakan bagian yang masih harus ditingkatkan dan ini merupakan faktor kelemahan berikutnya dari pihak pemerintah Kabupaten Serdang Bedagai. Teknologi usaha tani holtikultura belum begitu maju, hal ini merupakan peluang besar untuk dikembangkan, agar kapasistas produksi yang dihasilkan menjadi jauh lebih besar lagi dan lebih variatif. Teknologi usaha tani dan kreativitas dari petani justru dapat menghasilkan keanekaragaman pangan di Sumatera Utara. Dari hasil teknologi hasil produksi pertanian, para petani di Serdang Bedagai dapat menghasilkan komoditas dalam bentuk non-primer yang telah diolah lebih lanjut menjadi bahan makanan jadi. Kemitraan ini merupakan peluang bagi petani dan pemerintah di Serdang Bedagai. Jaringan kemitraan, antara petani sebagai produsen dengan pengusaha atau lembaga yang dapat membuka pasar bagi produk pertanian organik yang dihasilkan oleh petani Serdang Bedagai adalah membuat toko retail/pengecer produk pertanian organik yang dikelola secara langsung oleh JaPPSA yang dibangun oleh 7 LSM termasuk BITRA, tetapi belum pada mitra untuk pengolahan hasil

produksi primer pertanian. Setiap tahun diadakan pertemuan antara konsumen dan produsen produk organik dalam upaya meningkatkan kerjasama antara konsumen dan produsen. Masih sedikitnya lembaga keuangan yang menyediakan kredit untuk usaha pertanian di Kecamatan Perbaungan, Pantai Cermin dan Teluk Mengkudu merupakan peluang bagi para pengusaha lembaga keuangan baik perbankan korporasi maupun BPR (Bank Perkreditan Rakyat) dalam bentuk lembaga keuangan mikro, sehingga memudahkan petani untuk terakses dengan lembaga keuangan tersebut. Namun sampai sekarang belum ada lembaga keuangan yang mau membiayai pertanian organik. Kebijakan pemerintah kabupaten yang mendukung pertanian organik merupakan peluang yang dapat direspon oleh pemerintah kabupaten, tinggal bagaimana caranya pemerintah Kabupaten Serdang Bedagai mampu memanfaatkan serta mensinergikan berbagai kebijakan yang ada. Dukungan pemerintah dan LSM sudah tersedia secara memadai dalam bentuk pendampingan dan bantuan alat pembuat pupuk organik. Peraturan Daerah Kabupaten Serdang Bedagai Nomor 19 Tahun 2007 tentang Pemanfaatan Lahan Kosong dapat mendukung pertanian organik dimana dalam Bab IV pasal 5 ayat 1 dan 2 yang berbunyi : �Pemanfaatan tanah kosong dilaksanakan oleh pemegang hak dengan bimbingan dinas teknis yang berwenang dibidang penggunaan tanah tersebut sesuai dengan peruntukannya. Pemanfaatan tanah kosong digunakan untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna komoditi tanaman pangan dan hortikultura serta perikanan semusim�. Berdasarkan Perda tersebut dapat dimanfaatkan lahan kosong dalam budidaya tanaman, termasuk budidaya organik. Untuk mendukung implementasi pertanian organik di Kabupaten Serdang Bedagai perlu dibuat Perda yang mendukung, diantaranya adalah diperlukan peninjauan kembali kebijakan penggunaan masukan bahan kimia pertanian terutama pestisida dan pupuk kimia yang tidak terkontrol sehingga berdampak negatif terhadap lingkungan; monitoring dan evaluasi penggunaan pestisida perlu dilakukan secara intensif; diperlukan juga Perda tentang mekanisme sertifikasi, akreditasi dan labelisasi untuk menjamin kendali mutu (quality control) produk yang menggunakan masukan organik dan yang ditanam secara organik. Tingkat pendidikan petani dan minat generasi muda dibidang pertanian organik di Kabupaten Serdang Bedagai lumayan lebih baik dibanding Langkat dan Deli Serdang. Hal ini

289


Inovasi Vol. 10 No. 4,Desember 2013: 281-295

merupakan peluang untuk pengembangan pertanian organik di Kabupaten Serdang Bedagai untuk jangka panjang. Pola pertanian ini masih banyak diminati oleh generasi yang sedikit lebih tua, karena banyak anak muda lebih suka memilih menjadi orang gajian atau buruh yang menerima hasil rutin secara bulanan atau mingguan dibanding menjadi petani. Pasar bebas bagi komoditas pertanian merupakan ancaman bagi komoditas pertanian organik, karena dengan pasar bebas membuat pasar menjadi kebanjiran begitu banyak produk pertanian dan harganya menjadi jauh lebih rendah. Hal ini membuat petani lokal tingkat kesejahteraannya justru menjadi lebih rendah. Impor beras dari dalam dan luar negeri menjadi pesaing produk lokal. Kabupaten Karo sebagai daerah yang berada di wilayah dataran tinggimerupakan daerah subur dengan penghasil utamanya adalah holtikultura jenis buah-buahan, sayuran dan tanaman hias. Selain memiliki pertanian tanaman pangan, daerah ini merupakan lokasi wisata alam sehingga akan sangat mendukung bagi perkembangan pertanian organik yang justru akan menciptakan pasar lokal tersendiri karena ada lokasi wisata. Kuantitas sumberdaya aparat juga masih relatif kecil, tinggal bagaimana aparat pemerintah mau dan mampu menjadikan ketua kelompok tani yang ada sebagai motor penggerak utama mengelola sistem pertanian organik di komunitasnya. Di samping itu, kualitas sumber daya aparat yang turun ke lapangan juga masih sangat minim.Prasarana dan sarana yang ada juga masih sangat minim sehingga petani mencoba untuk menyelesaikan permasalahan sendiri, jika berhubungan dengan sarana fisik maka mereka melakukannya secara swadaya. Seperti membangun rumah kompos dengan gotong-royong oleh anggota kelompok tani sendiri. Membuat pola pertanian yang terintegrasi dengan peternakan, sehingga akan terjadi pemanfatan limbah kotoran menjadi pupuk dalam produksi pertanian. Pembinaan dan kerjasama dalam pemasaran produk organik di daerah ini belum ada dilakukan. Kondisi ini merupakan kelemahan tersendiri bagi kelompok-kelompok tani yang bergabung dalam komunitas petani organik. Karenanya petani yang menanam sayuran organik hanya dapat memasarkannya sendiri di wilayah Berastagi sekitarnya dengan memasok kepada hotel-hotel besar yang ada di sekitarnya. Sedangkan untuk masuk di pasaran Kota Medan masih relatif kecil dalam pengenalannya karena harga jual yang lebih tinggi dibanding sayur dan buah yang nonorganik. Dengan demikian pemasaran masih

merupakan menjadi kendala utama secara internal bagi petani. Monitoring dan evaluasi sama sekali tidak pernah dilakukan oleh pihak pemerintah dalam mengukur seberapa besar tingkat kemajuan yang telah dialami oleh petani dalam menghasilkan produksi pertanian organiknya baik dalam bentuk primer, bahan antara maupun dalam bentuk olahan makanan jadi. Justru informasi, pelatihan dan ketrampilan yang mereka dapatkan pada umumnya berasal dari LSM itu sendiri. Pembinaan produk organik ini dilakukan oleh Geraja Khatolik Kabupaten Karo yang berada di bawah binaan Pastor Sabat Saulus Nababan. Kesesuaian lahan dan iklim di Kabupaten Karo cukup bagi pengembangan produk organik di daerah ini. Hal ini dikarenakan berada di wilayah dataran tinggi dengan iklimnya cukup baik untuk pengembangan varietas holtikultura dan peternakan sapi yang menghasilkan susu. Sebahagian wilayahnya sudah merupakan lokasi wisata utama Sumatera Utara dan juga lokasi akomodasi wisata seperti hotel, restoran, cottage dan juga perumahan tempat perisirahatan pada saat liburan yang sebenarnya potensi pasar domestiknya juga cukup besar dan tinggal bagaimana petani mampu memanfaatkannya. Teknologi usaha tani holtikultura belum begitu maju, hal ini merupakan peluang besar untuk dikembangkan agar kapasistas produksi yang dihasilkan menjadi jauh lebih besar lagi dan lebih variatif. Teknologi usaha tani juga dapat menghasilkan keanekaragaman pangan di Sumatera Utara, dimana dari hasil teknologi hasil produksi pertanian para petani di Karo dapat menghasilkan komoditas dalam bentuk non-primer yang telah diolah lebih lanjut menjadi bahan makanan jadi seperti sirup dari buah markisa dan terong belanda yang pabriknya ada di Berastagi. Pengolahan lebih lanjut dapat membuat makanan khas yang dijadikan buah tangan utama jika pergi ke Berastagi sekaligus menjadi icon daerah tersebut dengan buah jeruknya. Kalau permasalahan dalam proses pemasaran tidak menjadi kendala utama, karena pada saat akhir minggu (week end) daerah Berastagi sekitarnya pasti banyak dikunjungi oleh wisatawan domestik dan asing. Kebijakan pemerintah daerah Kabupaten Karo untuk mendukung pertanian organik merupakan peluang sebenarnya yang dapat direspon oleh pemerintah daerah. Tinggal bagaimana caranya pemerintah Kabupaten Karo mampu memanfaatkan dan mensinergikan kebijakan untuk mendukung pengembangan pertanian organik di daerah ini. Tingkat

290


Analisis Pengembangan Produk Makanan Organik untuk Meningkatkan Keanekaragaman Pangan di Sumatera Utara (Silvia Darina)

pendidikan petani dan minat generasi muda dibidang pertanian organik juga masih sangat kecil dan merupakan permasalahan untuk pengembangan pertanian organik di Kabupaten Karo. Pola pertanian ini masih diminati oleh generasi tua, karena orang mudanya lebih suka memilih bekerja di kota atau menjadi pemandu wisata atau pedagang buah dan sayuran di pasar wisata. Alih fungsi lahan pertanian di ketiga kecamatan ini sangat cepat, dengan adanya perusahaan properti dalam pengembangan lahan pemukiman dan kawasan rekreasi modern seperti yang ada di sekitar Berastagi. Akibatnya para petani menjadi tergoda untuk menjual lahan pertaniannya kepada perusahaanperusahaan ini dibanding dengan mengolah lahannya sendiri. Kemudian dana yang mereka miliki bukan diinvestasikan dalam bentuk yang produktif melainkan menjadi lebih konsumtif. Serangan organisme pengganggu tanaman sampai saat ini masih tetap ada, tapi petani mampu mengatasinya dengan pestida alami yang telah diajari secara turun temurun dan bahan-bahannya cukup murah serta tersedia disekitar lahan pertanian, jadi walaupun merupakan ancaman dalam berproduksi, para petani dapat mengatasinya secara individu. Kabupaten Toba Samosir merupakan daerah yang berada di wilayah dataran tinggi yang memiliki karakteristik pertanian yang unik karena bukan hanya menghasilkan sayuran tapi juga menghasilkan beras di dataran tinggi. Kegiatan pertanian organik ini sudah dimulai pada tahun 1997 dengan bimbingan LSM. Staf Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM) Pertanian Kabupaten Toba Samosir Parlindungan Simanjuntak menyebutkan telah menargetkan pencetakan 150 hektare lahan pertanian organik untuk komoditas beras pada 2012 guna mewujudkan program Dinas Pertanian setempat menuju visi "go organic 2015�. Kebijakan Pemerintah Kabupaten Toba Samosir belum memenuhi harapan petani karena belum ada kebijakan pemerintah daerah yang mendukung kegiatan pertanian organik. Namun akhir-akhir ini pemerintah daerah setempat telah menyusun program pascapanen "two in one", seperti penyediaan mobil pengangkut hasil panen hingga pemasaran produk pertanian organik. Selain itu guna merealisasikan program tersebut, sarana dan prasarananya telah dipersiapkan dan dananya telah dianggarkan untuk melengkapi alat pendukung, seperti pembuatan rumah kompos, hand tractor, lumbung padi dan peralatan pertanian lainnya. Pengurus Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM)

Samosir, Sumurung, menyebutkan bahwa persoalan yang sering muncul di kalangan petani adalah perkara tanah baik antar sesama petani maupun petani dan pemerintah adalah untuk menyikapi berbagai persoalan tanah tersebut. Pihaknya telah mendirikan kelompok studi penyuluh hukum dengan tujuan membantu masyarakat menyelesaikan segala perkara tanah dengan cara kekeluargaan. Serikat Tani Kabupaten Toba Samosir mengembangkan beras organik di Desa Hutatinggi Kecamatan Laguboti, untuk dipasarkan di daerah tersebut dan Kota Medan. Pengembangan beras organik itu di daerah ini berawal ketika salah seorang anggota kelompok mencoba menanam padi menggunakan sistem Pertanian Selaras Alam (PSA) pada lahan seluas satu rantai di wilayah setempat. Sistem pertanian ramah lingkungan itu cukup berhasil di daerah itu, terbukti dengan makin banyaknya anggota kelompok tani yang mengembangkannya, terutama disebabkan minimnya penggunaan pupuk dan pestisida kimia sehingga biaya produksi relatif lebih murah. Bahkan untuk saat ini, anggota kelompok mereka mengalami pertambahan anggota cukup drastis hingga memiliki tiga belas anggota yang siap menerapkan sistem pertanian organik pada areal seluas enam hektar dan telah berhasil memproduksi gabah sebesar enam ton sekali panen setiap tahunnya. Selain itu, Petani mengaku cukup terbantu dengan sistem pemasaran yang diterapkan Serikat Tani dan Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM), karena produksi beras organik mereka bisa dijual di atas harga beras konvensional, yakni senilai Rp.9.000,- per kilogram jauh di atas harga pasar yang hanya sebesar Rp.7.000,- per kilogram. Selain berkurangnya biaya produksi untuk pembelian pupuk dan pestisida, petani juga menikmati keuntungan dari selisih harga yang diberlakukan. Sementara itu, menurut menyampaikan keluhan atas minimnya alat-alat dukung penghasil kompos dan pemasaran hasil karena distribusi bantuan sarana produksi yantg diberikan Dinas Pertanian setempat kurang tepat sasaran, justru petani yang memahami pola pertanian organik tidak diberi kesempatan untuk memanfaatkan bantuan dari instansi bersangkutan hingga akhirnya bantuan dimaksud terkesan percuma karena seperti terbuang secara sia-sia. Prasarana dan sarana yang ada juga masih sangat minim, sehingga petani mencoba untuk menyelesaikan permasalahan mereka jika berhubungan dengan sarana fisik, mereka

291


Inovasi Vol. 10 No. 4,Desember 2013: 281-295

melakukannya secara swadaya. Seperti membangun rumah kompos dengan gotongroyong oleh anggota kelompok tani sendiri. Membuat pola pertanian yang terintegrasi dengan peternakan sehingga akan terjadi pemanfatan limbah kotoran menjadi pupuk dalam produksi pertanian.

Berdasarkan hasil analisis di atas, maka selanjutnya akan diidentifikasi beberapa hal yang menjadi kekuatan dan kelemahan petani organik dalam mengembangkan produksinya. Hasil identifikasi tersebut digunakan untuk menyusun matriks IFE (Internal Factor Evaluation), seperti pada Tabel 1.

Tabel 1.Faktor Internal (Kekuatan dan Kelemahan) dalam Pengembangan Pangan Organik di Sumatera Utara Faktor Internal

Kekuatan

Kelemahan

Manajemen

• Sudah adanya jajaring antara konsumen • Perencanaan petani yang kurang jelas dan produsen • Ada kelompok tani, tersedianya hewan • Keterbatasan modal ternak untuk pupuk kompos walaupun • Pengarsipan data yang belum rapi minim, ada irigasi semi teknis, ada motivasi untuk berkelompok, ketersediaan lahan masih luas.

SDM petani

• Hubungan ketua dengan anggota • Kualitas SDM yang masih rendah kelompok tani baik • Kontrak kerjasama tidak tertulis. • Dapat menyerap tenaga kerja • Kelompok tani yang sudah baik dalam meningkatkan kerjasama antar anggota. • Tingkat gotong royang yang sudah baik • Tenaga kerja cukup tersedia

Pemasaran

• Produk yang berkualitas, • Pelayanan ke konsumen yang sudah baik • Sudah ada kerjasama dengan JAPPSA

• • • •

Penelitian dan Pengembangan

• Riset merupakan andalan pengembangan pertanian organik

untuk

Produksi

• Metode produksi petani sudah baik karena terus di bina oleh LSM

Kemasan dan label kurang baik. Kurangnya upaya promosi, Belum ada sertifikasi produk, Lemahnya akses kelompok tani tentang pasar sayuran dan beras organik Pembinaan dan kerjasama dalam pemasaran produk di lapangan juga masih sangat lemah Minimnya riset untuk mengembangkan pertanian organik Produksi pertanian organik sangat tergantung pada konsumen. Petani hanya memproduksi sebatas permintaan pasar di JaPPSA

Sumber : Data Primer Diolah (2012) sudah baik saat ini. Kekuatan lain yang dimiliki kelompok tani yaitu berdirinya kelompok tani sebagai suatu usaha yang bergerak di bidang pertanian organik telah dapat menyerap tenaga kerja setempat, karena usaha pertanian organik memerlukan banyak tenaga kerja dalam kegiatan produksi/operasinya. Hubungan antara ketua dengan anggota kelompok juga terjalin dengan baik. Kelemahan yang dimiliki oleh kelompok tani yang paling

Aspek-aspek yang ditinjau adalah manajemen, pemasaran, dan produksi/ operasi.Kelompok tani memiliki kekuatan produk yang berkualitas dengan sistem tanam yang sudah baik sehingga produk yang ditanam dapat dipanen secara kontinyu, dengan demikian permintaan konsumen dapat terus terpenuhi. Hal tersebut merupakan upaya yang dilakukan kelompok tani untuk mempertahankan pelayanan ke konsumen yang

292


Analisis Pengembangan Produk Makanan Organik untuk Meningkatkan Keanekaragaman Pangan di Sumatera Utara (Silvia Darina)

mendasar adalah keterbatasan modal. Selama ini modal yang digunakan untuk menjalankan usahanya berasal dari modal pribadi para anggota tani, tidak ada iuran khusus yang dikumpulkan ke kas kelompok tani. Dengan keterbatasan modal, kelompok tani tidak mampu berbuat banyak terhadap usaha yang dijalankan, sehingga timbul kelemahankelemahan lain seperti belum memiliki kemasan dan label, belum ada sertifkasi organik, kurangnya upaya promosi, serta teknologi yang digunakan masih sederhana. Kelemahan lainnya adalah kualitas SDM yang masih rendah, kontrak kerja tidak tertulis

dan lemahnya akses kelompok tani tentang pasar sayuran organik. Konsumen sayuran organik sebagian besar berasal dari golongan menengah ke atas, dimana konsumen sudah mengerti akan pentingnya mengkonsumsi makanan sehat dan mempunyai keinginan untuk mengkonsumsinya. Pemilihan segmentasi pasar menengah ke atas didasarkan atas kemampuan daya beli konsumen. Peluang dan ancaraman dalam Pengembangan Pangan Organik di Sumatera Utara dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Faktor Eksternal (Peluang dan Ancaman) dalam Pengembangan Pangan Organik di SumateraUtara Faktor Eksternal

Peluang

Ekonomi ,

Sosial, Budaya, Demografi, dan Lingkungan

• Politik, Pemerintah, dan Hukum

Kompetitif .

Ancaman

Daerah pemasaran sayuran Masih kurangnya kesadaran organik yang masih luas konsumen tentang kesehatan sehingga permintaan belum meningkat dan kurangnya rasa tanggung jawab terhadap lingkungan Sudah terlihat gaya hidup • Perkembangan jenis hama dan yang cenderung back to penyakit pada tanaman, nature • Perubahan cuaca dan perubahan Tersedianya tenaga kerja fungsi lahan dari lahan pertanian yang potensial di daerah menjadi lahan pemukiman. setempat. • Masih adanya godaan pada Loyalitas konsumen yang kelompok tani untuk beralih ke tinggi. komoditi lain Kebijakan pemerintah • Belum adanya Perda khusus dalam mengenai program ”Go bidang pertanian organik. Organic 2010”, • Masih diterapkannya kebijakan yang Adanya asosiasi pertanian mendukung pertanian konvensional organi oleh LSM • Kurangnya dukungan politik dalam meningkatkan produk organik Adanya LSM –LSM yang • Hambatan untuk masuk industri membantu penyaluran sayuran organik cukup besar. produk organik • Kemudahan Mendapatkan produk substitusi • Harga produk organik masih mahal dan bandingkan produk konvensional • Masih rendahnya pusat-pusat pemasaran • Masih sedikitnya ragam priduk pangan organik di pasar.

Sumber : Data Primer 2012 sayuran organik semakin luas. Peluang lain yang dimiliki oleh kelompok tani yaitu hambatan untuk masuk industri sayuran organik cukup besar, tersedianya tenaga kerja yang potensial di daerah setempat, kebijakan pemerintah mengenai program ”Go Organic 2015”, adanya asosiasi pertanian organik, perkembangan

Beberapa peluang yang dimiliki oleh kelompok-kelompok petani adalah adanya perubahan gaya hidup masyarakat yang cenderung ”back to nature” menumbuhkan semangat kelompok tani untuk mengoptimalkan usahanya, karena perubahan gaya hidup tersebut akan membuka daerah pemasaran

293


Inovasi Vol. 10 No. 4,Desember 2013: 281-295

teknologi dan loyalitas konsumen yang tinggi. Ada pun ancaman yang dihadapi oleh kelompok tani yaitu perkembangan jenis hama dan penyakit pada tanaman. Perkembangan jenis hama dan penyakit tanaman harus diperhatikan, mengingat sayuran organik sangat rentan terkena serangan hama dan penyakit karena proses produksinya yang tidak menggunakan obat-obatan kimia. Selain itu ancaman lain yang dihadapi kelompok tani adalah perubahan cuaca dan perubahan fungsi lahan dari lahan pertanian menjadi lahan pemukiman, serta kemudahan mendapatkan produk substitusi.

produksi yang digunakan masih sederhana, kualitas SDM yang masih rendah, kurangnya upaya promosi produk, pengarsipan data yang belum tertata rapi, belum ada sertifikasi produk, keterbatasan modal, kontrak kerjasama tidak tertulis, serta lemahnya akses kelompok tani tentang pasar sayurandan beras organik. REKOMENDASI 1. Untuk pengembangan pangan organik di Sumatera Utara, Dinas Pertanian Provinsi dan Kabupaten/Kota bersama dengan Badan Ketahanan Pangan, Dinas Kesehatan, Dinas Perindustrian dan Perdagangan perlu untuk meningkatkan kegiatan promosi produk pangan organik bekerjasama dengan Lembaga Swadaya Masyarakat, restaurant/rumah makan dan Aliansi Organis Indonesia (AOI). Perlu dilakukan identifikasi terhadap peluang pemasaran domestik produk organik. 2. Pemerintah Pusat, Provinsi dan Kabupaten/Kota perlu memfasilitasi petani dalam sertifikasi, akreditasi dan labelisasi untuk menjamin kendali mutu (quality control) produk organik yang dihasilkan guna untuk meningkatkan nilai produk. 3. Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota di Sumatera Utara diharapkan dapat membuat peraturan daerah untuk mendukung implementasi peraturan Menteri Pertanian Nomor 61 Tahun 2006 tentang Pertanian Organik dalam upaya pengembangan pertanian organik di daerah melalui berbagai kegiatan yang berkelanjutan dan tidak semata hanya bersifat proyek, peningkatan kapasitas petugas untuk memahami pertanian organik (analisa unsur agroekosistem, perubahan iklim, dinamika kelompok), penguatan terhadap prinsip dan nilai-nilai (kerjasama, kerelawanan dan komunikasi), bantuan dana untuk pembuatan pupuk organik, modal usaha dan pemasaran produk.

KESIMPULAN Berdasarkan uraian sebagaimana pembahasan di atas, maka dapat disimpulkan sebagai berikut : Potensi pasar produk pangan organik di Sumatera Utara masih sangat kecil dan hanya terbatas pada masyarakat menengah ke atas dimana golongan ini masih sedikit. Belum ada insentif harga yang memadai untuk produsen produk pertanian organik, perlu investasi mahal pada awal pengembangan karena harus memilih lahan yang benar-benar steril dari bahan agrokimia, belum ada kepastian pasar sehingga petani enggan memproduksi komoditas. Di pihak lain, perkembangan pertanian organik di Sumatera Utara sudah mulai tumbuh hal ini didukung sudah ada jaringan antara konsumen dan produsen yang dibantu oleh LSM-LSM sehingga diharapkan mampu bersaing dapat dengan produk non organik lainnya. Pertanian organik dapat menghemat biaya produksi karena ternak yang digunakan dapat menghasilkan pupuk kompos. Kelembagaan petani seperti kelompok tani, koperasi, asosiasi atau korporasi masih sangat dibutuhkan untuk pengembangan pangan organik guna untuk dapat memperkuat posisi tawar petani. Beberapa komoditas prospektif yang dapat dikembangkan dengan sistem pertanian organik di Sumatera Utara antara lain : tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, tanaman rempah dan obat-obatan Kebijakan pemerintah dalam pengembangan produk pangan organik dalam upaya meningkatkan penganekaragaman di Sumatera Utara masih belum ada dalam berbagai kebijakan di tingkat lokal dalam bentuk Peraturan Daerah Provinsi maupun Kabupaten, Berdasarkan hasil analisis faktor eksternal dan internal dengan menggunakan analisa SWOT, diperoleh hasilhasil: a) kekuatan kelompok tani adalah produk yang berkualitas, perencanaan tanam yang sudah baik, pelayanan konsumen yang sudah baik dan dapat menyerap tenaga kerja; b) kelemahan yang dimiliki kelompok tani adalah belum memiliki kemasan dan label, teknologi

DAFTAR PUSTAKA Algifari. 1997. Analisis Regresi: Teori, Kasus dan Solusi, Edisi ke-1, Yogyakarta: BPFE Anshar. 2002. Partisipasi Masyarakat Dalam Program Bantuan Penghijauan di Kabupaten Bone Sulawesi Selatan. Tesis Program Pasca Sarjana, Universitas Hasanuddin Bungin, B. 2003.Analisis Data Penelitian Kualitatif. Jakarta: Rajagrafindo Persada Haloho L., Sembiring H. dan Wasito. 2003. Kinerja Sistem Integrasi Padi Ternak Di Lubuk Bayas, Sumatera Utara, Seminar Nasional Sistem Integrasi

294


Analisis Pengembangan Produk Makanan Organik untuk Meningkatkan Keanekaragaman Pangan di Sumatera Utara (Silvia Darina)

Tanaman-Ternak, Balai Pertanian Sumatera Utara.

Pengkajian

Teknologi

Herbig & Lanasier, E.V. 2002. Prilaku Konsumen Hijau Indonesia: Tinjauan Sudut Demografi dan Psikografi, Jurnal Media Riset Bisnis & Manajemen, Volume 2, nomor 2, hal 89 -111 IFOAM (International Federation of Agriculture Movements). 2002. PC-TAS

Organik

Johri L., Sahasakmontri, K. 1998. Green marketing of Cosmetic and Toiletries in Thailand, The Journal of Consumers Marketing 15 (3), page 265 - 281 Kotler, Philip. 2002. Manajemen Pemasaran Analisis Perencanaan Implementasi dan Kontrol, Jilid I, Edisi M, Jakarta: Prenhallindo. Prawoto A., Kurnia L. 2002. Produk Pangan Organik: Potensi yang belum tergarap Optimal. Diunduh oleh Amir Amirullah dari Kompas: http://amiere.multiply.com/reviews/item/82. [Diakses Tanggal: 27 September 2012] Putri. 2011. Sayuran Organik, Cetakan ke-8, Jakarta: Penebar Swadaya Pracaya. 2007. Bertanam Sayuran Organik di Kebun, Pot dan Polybag. Cetakan ke-8. Jakarta: Penebar Swadaya Setyorini, Diah. Dan Husnain. 2004. Pengelolaan Lahan Untuk Pertanian Organik. Bogor: Balai Penelitian Tanah Susanto R. 2002. Pertanian Organik: solusi hidup harmoni dan berkelanjutan. Cetakan 1. Jakarta: Penebar Swadaya Widiarta. 2011. Pertanian Organik : menuju pertanian alternatif dan berkelanjutan. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.

295


Inovasi Vol. 10 No.4, Desember 2013: 296-304

Hasil Penelitian PENGEMBANGAN JALAN MENUJU KAWASAN JALUR WISATA DI SUMATERA UTARA

(DEVELOPMENT TO THE STREET IN THE AREA SUMATRA)) TRACK TOUR OF NORTH SUMATRA Anton Parlindungan Parlindungan Sinaga Badan Penelitian dan Pengembangan Provinsi Sumatera Utara Jl. Sisingamangaraja No. 198 Medan 20126 email : antonsinaga94@gmail.com

Diterima: 11 April 2013; Direvisi: 18 Oktober 2013; Disetujui: 21 Nopember 2013

ABSTRAK Provinsi Sumatera Utara merupakan salah satu daerah tujuan wisata utama di Indonesia yang tersebar di beberapa kabupaten dan kota. Objek wisata di beberapa kabupaten dan kota pada umumnya mempunyai daya tarik untuk dikunjungi dikarenakan tiap objek wisata mempunyai potensi tersendiri yang tidak didapatkan di lokasi lain. Daya tarik objek wisata ini menghadapi beberapa permasalahan yang mengakibatkan berkurangnya wisatawan untuk mengunjungi objek wisata yang terdapat di kabupaten dan kota. Permasalahan mendasar lainnya adalah terjadinya penurunan kualitas pelayanan sarana dan prasarana transportasi, serta pertumbuhan pembangunan jaringan infrastruktur transportasi. Selain itu terbatasnya kemampuan pemeliharaan prasarana dan sarana transportasi baik secara rutin maupun secara berkala, mengakibatkan banyaknya prasarana transportasi lebih cepat rusak jika dibandingkan dengan umur ekonomis prasarana dan sarana yang seharusnya. Kajian Pengembangan Jalan-jalan Menuju Kawasan Jalur Wisata di Sumatera Utara merupakan studi untuk mengetahui jalur alternatif menuju objek wisata di kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Utara. Dari hasil studi didapatkan beberapa jalur alternatif untuk menuju objek wisata andalan melalui jalan baru dengan melewati objek wisata yang selama ini belum dikenal masyarakat (wisatawan), seperti; Lau Berteh berbentuk air terjun, Tanjung Unta dan Simarjarunjung merupakan perbukitan dipinggir Danau Toba, Danau Lau Kawar merupakan danau yan terdapat di kaki Gunung Sinabung, Barus terdapat makam penyebar Agama Islam, Istana Lima Laras merupakan istana dengan ciri khas Melayu, dan objek wisata lainnya. Dengan adanya jalan alternatif ini akan terbuka beberapa kawasan sehingga penduduk sekitar objek wisata atau jalur wisata baru dapat memperoleh manfaat untuk peningkatan ekonomi, seperti : membuka rumah makan dan pemasaran hasil pertanian akibat aksesibilitas yang semakin mudah. Objek wisata sebagai daerah tujuan wisata di kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Utara memerlukan penataan di dalam kelengkapan fasilitas sebagai objek wisata. Selain itu juga dibutuhkan perbaikan infrastrutur jalur wisata alternatif seperti perbaikan perkerasan dan lebar jalan, disamping itu juga diperlukan petunjuk lalu lintas dan arah penunjuk jalan menuju objek wisata yang terdapat di jalur wisata alternatif. Pariwisata merupakan sektor yang sangat penting didalam pengembangan pembangunan di kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Utara ke depannya. Pengembangan sektor pariwisata dapat meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD) secara langsung terutama dikarenakan objek wisata setiap lokasi wisata berbeda bentuk dan suasana dengan objek wisata di lokasi lain, sehingga setiap objek wisata memiliki keunggulan untuk di promosikan. Keseriusan Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota di Sumatera Utara untuk menata dan mempromosikan objek wisata yang ada di daerahnya dapat meningkatkan pendapatan daerah, dikarenakan objek wisata memiliki keunggulan di dalam peningkatan lapangan kerja sehingga dapat meningkatkan pendapatan daerah dan masyarakat sehingga dapat memberikan multiplayer effect bagi pembangunan ekonomi daerah Sumatera Utara. Kata Kunci : Pengembangan, Jalan, dan Kawasan Wisata

296


Pengembangan Jalan- menuju Kawasan Jalur Wisata di Sumatera Utara (Anton Parlindungan sinaga)

ABSTRACT North Sumatra Province is one of the main tourist destination in Indonesia, which is spread in several districts and cities. Attractions in some counties and cities usually have an attraction to visit because each has its own potential attraction that is not found in other locations. Tourist attraction is facing several problems resulting in fewer tourists to visit attractions that are in the district and the city. Another fundamental problem is the decline in the quality of transport infrastructure services, as well as the growth of the construction of transport infrastructure networks. In addition to the limited ability of maintenance of infrastructure and transportation facilities either regularly or periodically, resulting in much faster damaged transport infrastructure compared with infrastructure and economic life should be. Expansion Study Area Roads Moving Line Tours in North Sumatra is a study to find out alternative paths leading tourist attractions in the district / town in North Sumatra province. From the results of several studies available alternative paths for heading mainstay attractions via a new road through the sights which has yet to be people (tourists), such as: Lau Berteh waterfall, Tanjung Unta and Simarjarunjung the edge of Lake Toba hills, Lake Lau Kawar yan is a lake in the foothills of Mount Sinabung, Barus spreader Islamic tomb, the Palace is a palace with Five Adjustable Malay special features, and other sights. The availability of this alternative route will open up some of the sights surrounding residents or new tourist strip to obtain the benefits of economic growth, such as: open house to eat and marketing of agricultural products due to the increasingly easy accessibility. Attraction as a tourist destination in the district / town in North Sumatra province requires structuring in the complete facility as a tourist attraction. It also needed an alternative tourist route Infrastructure improvements such as pavement repair and road width, but it is also necessary guidance and direction of traffic signpost towards attractions that are in the path of alternative tourism. Tourism is a very important sector in the development of construction in the district / town in North Sumatra province in the future. Development of the tourism sector to increase local revenue is directly mainly due to the location of tourist attractions every different shape and atmosphere with attractions in other locations, so that each has advantages for attraction in promoting. The seriousness of the Provincial Government and Regency / City in North Sumatra to organize and promote the attractions of the region can increase revenue, because attraction has the advantage in the increased employment so as to increase local revenues and the public so as to give effect to the economic development multiplayer North Sumatra. Keywords : Development, Roads and Tourism Regions.

ketidakmampuan pendanaan pemerintah untuk melakukan pemeliharaan dan rehabilitasi terhadap aset-aset jalan yang sudah terbangun, serta ketidakmampuan melakukan investasi baru (underinvestment) untuk memenuhi pertambahan permintaan pelayanan, sedangkan partisipasi investor swasta masih sangat rendah. Implikasinya adalah terjadinya excess demand yang dicirikan dengan overcrowded dan kemacetan transportasi (Hadinoto, Kusudianto. 1996). Permasalahan mendasar lainnya adalah terjadinya penurunan kualitas pelayanan sarana dan prasarana transportasi, serta pertumbuhan pembangunan jaringan infrastruktur transportasi. Selain itu terbatasnya kemampuan pemeliharaan prasarana dan sarana transportasi baik secara rutin maupun secara berkala, mengakibatkan banyaknya prasarana transportasi lebih cepat rusak jika dibandingkan dengan umur ekonomis prasarana dan sarana yang seharusnya. Sebagai contoh, pemeliharaan dan rehabilitasi jalan baik untuk jalan nasional, provinsi, maupun untuk jalan kabupaten dimana

PENDAHULUAN Provinsi Sumatera Utara merupakan salah satu daerah tujuan wisata utama di Indonesia yang tersebar di beberapa kabupaten dan kota. Objek wisata di beberapa kabupaten dan kota pada umumnya mempunyai daya tarik untuk di kunjungi dikarenakan tiap objek wisata mempunyai potensi tersendiri yang tidak didapatkan di lokasi lain. Daya tarik objek wisata ini menghadapati beberapa permasalahan yang mengakibatkan berkurangnya wisatawan untuk mengunjungi objek wisata yang terdapat di kabupaten dan kota. Permasalahan mendasar yang dihadapi sektor transportasi selama ini adalah masih kurang memadainya sarana dan prasarana transportasi jika dibandingkan dengan permintaan akan pelayanan jasa. Panjang jalan di seluruh Provinsi Sumatera Utara pada tahun 2010 mencapai 34.109,418 km, yang terbagi atas jalan negara 2.539,25 km, jalan provinsi 2.753,04 km dan jalan kabupaten/kota 28.817,12 km (Sumatera Utara Dalam Angka Tahun 2011). Hal itu diperparah dengan 297


Inovasi Vol. 10 No.4, Desember 2013: 296-304

dana yang tersedia masih jauh dari mencukupi (Yoeti, A, Oka. 1997). Provinsi Sumatera Utara sebagai salah satu daerah di Indonesia memiliki permasalahan yang sama dalam hal transportasi. Sarana transportasi sangat menentukan dalam mendukung kelancaran dan keberhasilan pembangunan daerah. Pemerintah Provinsi Sumatera Utara selama ini masih menetapkan pertanian sebagai prioritas pembangunan daerah, hal ini dikarenakan karena daerah ini memiliki sumberdaya daya alam yang cukup melimpah. Potensi sumberdaya alam daerah lainnya yang memiliki prospek untuk dikembangkan adalah pariwisata baik berupa berupa wisata alam, maritim, budaya maupun sejarah (Soekadijo. 1997). Di pihak lain di dalam perkembangannya, pariwisata di daerah ini masih belum sebagaimana diharapkan disebabkan masih belum optimal stakeholders terkait dalam mengembangkan pariwisata daerah sebagai salah satu sumber pendapatan daerah dan masyarakat. Dari berbagai masalah yang dihadapi tersebut, salah satunya adalah masalah transportasi yang menghubungkan ke daerah pusat-pusat wisata tersebut yang kondisinya masih sangat terbatas sebagai akibat masih sulitnya akses jalan transportasi menuju ke lokasi objek witata tersebut. Selain itu, masalah kemacetan dan kondisi jalan yang masih banyak yang rusak serta masih sempitnya bahu jalan sehingga dapat menghambat kelancaran akses ke lokasi wisata. Di samping itu masih belum adanya jalan-jalan strategis yang dapat menghubungkan antara satu objek wisata dengan objek wisata lainnya guna untuk meningkatkan aksesibilitas dan sekaligus meningkatkan pengembangan pariwisata di Provinsi Sumatera Utara. Selain itu, kecepatan kerusakan jalan menuju jalur wisata juga dipengaruhi oleh berat dan tekanan gandar kendaraan (gross vehicle weight and axle configuration) yang melalui jalan tersebut. Saat ini banyak kendaraan berat yang mengangkut muatan lebih (vehicle overloading), yang melebihi kapasitas beban jalan, melewati jalan-jalan di jalur-jalur wisata di Sumatera Utara. Akibatnya, kondisi jalan-jalan menuju lokasi wisata tersebut mengalami kerusakan lebih cepat dari pada umur teknis dan ekonomis yang seharusnya. Permasalahan lain, peran dan fungsi jalan wisata diharapkan dapat untuk membuka dan mengembangkan wilayah tertinggal, terisolasi, dan wilayah perbatasan yang saat ini dirasakan masih sangat lambat laju pembangunannya. Di sisi lain, permintaan untuk membuka akses daerah-daerah jalur wisata tersebut sudah sangat tinggi, terutama untuk

pengembangan pariwisata dan sekaligus mempermudah pemasaran hasil-hasil produksi ke pusat pemasaran (Damanik, J. Weber, F, Helmut. 2006). Jalan merupakan prasarana pengangkutan yang penting untuk memperlancar dan mendorong kegiatan perekonomian. Makin meningkatnya usaha pembangunan menuntut pula peningkatan pembangunan jalan untuk memudahkan mobilitas penduduk dan memperlancar lalu lintas barang dari satu daerah ke daerah lain serta untuk pengembangan pariwisata daerah. Sejalan dengan hal-hal tersebut di atas, maka perlu dilakukan pengembangan jaringan jalan yang dapat menghubungkan antara satu objek wisata dengan objek wisata lainnya sehingga memiliki aksesibilitas yang tinggi guna untuk pengembangan pariwisata dan pembangunan di daerah (Inskep, Edward. 1991). Pengembangan kepariwisataan merupakan salah satu upaya pemerataan pembangunan di daerah dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Potensi kepariwisataan di Provinsi Sumatera Utara harus dibina dan dikembangkan secara optimal, terarah dan terpadu sesuai kebijaksanaan nasional dan daerah (Kusmayadi. Sugiarto, Endar. 2002). Kajian pengembangan jalan-jalan ini difokuskan pada analisis di dalam mendapatkan atau menemukan beberapa ruas jalan alternatif untuk menuju kawasan jalur wisata (daerah tujuan wisata) di Sumatera Utara. Jalan alternatif yang dimaksud merupakan jalur jalan menuju objek wisata unggulan di Provinsi Sumatera Utara dengan tujuan untuk mempersingkat jarak tempu dan waktu tempuh di dalam mencapai kawasan wisata yang dituju. METODE Lokasi kegiatan Kajian Pengembangan Jalan-jalan Menuju Kawasan Jalur Wisata di Sumatera Utara adalah objek wisata unggulan di kabupaten dan kota di Provinsi Sumatera Utara dengan waktu pelaksanaan kegiatan berlangsung selama 4 (empat) bulan terhitung mualai bulan Juli sampai dengan Nopember 2012. Pelaksanaan Kajian Pengembangan Jalanjalan Menuju Jalur Wisata di Sumatera Utara ini menggunakan pendekatan analisis deskriptif kualitatif dari data yang didapat. Pendekatan analisis deskriptif kualitatif dalam penelitian ini berdasarkan pada aliran positivistik yaitu untuk membuktikan teori di lapangan melalui variabel kriteria lokasi yang digunakan dalam menentukan daerah tujuan wisata unggulan di Provinsi Sumatera Utara yang diperoleh 298


Pengembangan Jalan- menuju Kawasan Jalur Wisata di Sumatera Utara (Anton Parlindungan sinaga)

berdasarkan kajian literatur dan kajian dari hasil wawancara yang didapat (Nazir, M. 1988). Data diperoleh dari berbagai sumber, mulai dari observasi sampai wawancara. Sumber data dalam penelitian adalah subjek dari mana data dapat diperoleh (Slamet, Yulius, 2006:57). Jenis data terbagi menjadi dua macam, yaitu data primer dan data sekunder. Data primer merupakan data yang di peroleh secara langsung dari sumber asli. Data primer dapat berupa opini subjek (orang) secara individual atau kelompok, hasil observasi terhadap suatu wisata, kejadian atau kelompok dan hasil pengujian. Data primer dapat diperoleh melalui survey dan metode observasi (Umar, Husein. 1998). Data sekunder adalah data penelitian yang diperoleh peneliti secara tidak langsung. Data sekunder umumnya berupa bukti, catatan atau laporan historis yang telah tersusun dalam arsip (data dokumenter) yang telah dipublikasikan dan tidak dipublikasikan. Data ini dapat membantu peneliti untuk mendapatkan bukti maupun bahan yang akan diteliti sehingga peneliti dapat menyelesaikan suatu penelitian dengan baik didukung oleh data-data yang mendukung (Umar, Husein. 1998).

dari Ketinggian Bukit sehingga dapat melihat Danau Toba lebih luas. Jalur alternatif Kabupaten Langkat Kabupaten Karo merupakan jalur yang dapat mempersingkat jarak menuju Kabupaten Karo dari Kabupaten Langkat dan Kota Binjai. Dengan adanya jalur alternatif ini wisatawan yang menuju Kabupaten Karo tidak lagi harus melewati Kota Medan atau sebaliknya wisatawan domestik maupun internasional dari objek wisata di Kabupaten Karo untuk menuju objek wisata ke Kabupaten Langkat juga tidak lagi harus melewati Kota Medan sehingga dapat menghemat waktu perjalanan. Adanya jalur alternatif ini dapat mengembangkan kegiatan dan aktifitas yang terdapat di sepanjang jalur ini, salah satu objek wisata yang dapat berkembang adalah objek wisata air terjun Lau Berte yang terdapat di Kecamatan Sei Binge Kabupaten Langkat, selain itu juga dapat meningkatkan perekonomian penduduk sekitar objek wisata dengan meningkatnya aktifitas di objek wisata. Jalur alternatif wisata menuju kawasan wisata relegius Barus dapat ditempuh dengan alternatif melalui Kecamatan Pakkat. Adanya jalur ini wisatawan dari Medan atau Brastagi tidak harus menuju Kota Sibolga untuk menuju ke Kota Barus tapi dapat melalui Merek – Dairi – Dolok Sanggul – Kecamatan Pakkat – Barus. Dengan adanya jalan ini wisatawan dapat menyingkat jarak dan waktu tempuh. Selain itu juga melewati objek wisata di sekitar jalan yang dilalui, di Kecamatan Pakkat dapat merasakan salak pakkat sebagai buah khas pakkat. Selain itu juga dengan mulai terbuka jalur ini ada peningkatan masyarakat di dalam kegiatan perekonomian terutama di dalam pembukaan rumah makan (restoran) dan kegiatan ekonomi lainnya. Jalur alternatif ini merupakan jalur menelusuri jalan pantai timur di Kabupaten Batubara dan Kabupaten Asahan, terbukanya jalur alternatif ini yang direncanakan sampai di Kota Tanjung Balai dapat mengembangkan perekonomian di sekitar pantai timur di kedua kecamatan terutama di dalam peningkatan pengolahan bahan hasil tangkapan laut dan rumah makan. Di jalur ini juga terdapat beberapa pantai laut yang mulai di tata oleh Kabupaten Batubara dan Asahan, selain itu juga di jalur ini terdapat objek wisata Istana Lima Laras merupakan ojek andalan Kabupaten Batubara. Jalur wisata alternatif ini lebih panjang dan lebih lama dari jalur normal melalui jalan arteri Kota Padang Sidempuan - Kota Batang Toru. Jalur alternatif ini disuguhkan banyak pemandangan yang menarik seperti Danau Siais dan melihat Ikan Keramat di sekitar saluran

HASIL DAN PEMBAHASAN Kajian Pengembangan Jalan Jalan Menuju Kawasan Jalur Wisata di Sumatera Utara menghasilkan jalan alternatif yang dimaksud merupakan jalur jalan menuju objek wisata unggulan di Provinsi Sumatera Utara dengan tujuan untuk mempersingkat jarak tempuh dan waktu tempuh dalam mencapai kawasan wisata yang dituju atau jalur dengan kawasan wisata baru (alternatif). Beberapa jalur alternatif menuju objek wisata yang terdiri dari : Jalur alternatif dari Kabupaten Asahan menuju Kabupaten Simalungun dan Kota Siantar melalui Buntu Pane - BP Mandoge - Hantoduhan - Tanah Jawa - Kota Siantar. Jalur ini merupakan jalur alternatif yang dapat melihat perkebunan kelapa sawit dan karet milik perkebunan BUMN dan swasta, di jalur ini juga dapat dilihat pemukiman masyarakat di sekitar perkebunan yang membuka rumah makan dengan makanan khas setempat. Jalur alternatif dari Kabupaten Karo Kabupaten Simalungun merupakan jalur alternatif dengan disuguhkan objek wisata pinggiran Danau Toba. Jalur alternatif ini lebih menarik walau dikarenakan melewati beberapa objek wisata seperti ; air terjun Sipisopiso, Kota Haranggaol terkenal dengan penghasil mangga udang, Tanjung Unta dan Simargarunjung adalah objek pemnadangan alam yang dapat melihat kawasan danau Toba 299


Inovasi Vol. 10 No.4, Desember 2013: 296-304

sungai dekat mesjid di Desa Rianate. Dengan terbuka jalur ini kegiatan perekonomian penduduk terutama di sektor pertanian dan perikanan makin meningkat. Jalur alternatif menuju candi bahan tidak melalui jalan arteri (jalan negara) yang dapat ditempuh dari Kota Gunung Tua - Sibuhuan, jalur ini melalui perkebunan milik masyarakat dan swasta dan memiliki pemandangan yang menarik. Jalur alternatif ini merupakan jalur menelusuri jalan pantai timur di Kabupaten Serdang Bedagei dan Kabupaten Batubara. Jalur alternatif ini meruapakan jalan lama yang akan ditingkatkan menjadi jalan alteri kolektor untuk menghubungkan kota-kota di pantai timur Provinsi Sumatera Utara. Terbukanya jalur alternatif ini yang direncanakan sampai di Tanjung Tiram dapat mengembangkan perekonomian di sekitar pantai timur di kedua kabupaten tersebut di dalam peningkatan pengolahan bahan hasil tangkapan laut dan rumah makan. Di jalur ini juga terdapat beberapa pantai laut yang muali ditata oleh kabupaten Serdang Bedagei dan Kabupaten Batubara, seperti : Pantai Cermin, Pantai Sialang Buah, Pantai Sejarah dan Istana Lima Laras. Jalur alternatif menuju Kota Natal dari Kota Padang Sidempuan tanpa jalur jalan arteri (jalan negara) adalah melalui jalan pinggiran pantai. Jalur ini belum banyak dilalui kendaraan, tepai pemandagan di jalur ini sangat indah

berhadapan dengan laut lepas (Samudra Hindia). Jalur ini dibuka dengan mulai berkembangnya perkebunan swasta membuka perkebunan baru terutama dengan komoditas kelapa sawit. Dengan terbukanya jalur ini masyarakat nelayan di sepanjang jalur ini akan lebih mudah untuk memasarkan hasil tangkapannya. Jalur alternatif wisata iman dengan menelusuri jalan artri primer dan sekunder dengan rute perjalanan Kota Medan Kabupaten Karo - Kabupaten Dairi - Kabupaten Humbang Hasundutan - Kabupaten Tapanuli Tengah dan Kabupaten Tapanuli Utara. Jalur wisata iman ini dapat melihat beberapa bangunan peribatan dari berbagai pemeluk agama dan peninggalan bersejarah penyebaran agama. Di Kabupaten Karo dapat dilihat kuil pemeluk agama Budha dan di Kabupaten dairi terdapat satu kawasan taman yang berdiri berbagai bangunan pemeluk agama, sedangkan di Kabupaten Tapanuli Tengah terdapat makam penyebar agama Islam di Barus dan di Kabupaten Tapanuli Utara terdapat Salib Kasih. Adanya jalur wisata iman ini dapat dikembangkan industri kecil pembuatan cenderamata pada tiap-tiap lokasi iman ini, dimana dengan adanya kegiatan penjualan cenderamata ini akan dapat meningkatkan pendapatan masyarakat setempat dan perekonomian daerah. Untuk lebih jelas lihat Tabel 1.

Tabel 1. Jalur Jalan Menuju Destinasi Wisata dan Jalur Alternatif di Provinsi Sumatera Utara No.

Jalur Jalan Destinasi Wisata

Jalur Normal (Km)

Melalui

1.

SimalungunAsahan

167

Parapat-Siantar-Tebing Tinggi-Lima PuluhKisaran

2.

KaroSimalungun

3.

LangkatKaro

4.

Humbang HasundutanTapanuli Tengah

5.

BatubaraAsahan

6.

132

87

150

42

7.

Padang SidempuanDanau Siais

38

8.

Candi Bahal

62

40

Jalur Alternatif (Km) 118

Melalui Siantar-Tanah JawaHatonduhan-BP. Mandoge-Buntu PaneKisaran

Objek Wisata Perkebunan Sawit dan Karet, Pabrik Kelapa Sawit

Binjai-MedanSibolangit-Tanah Karo

56

Binjai-Kecamatan Sei Bingei (kabupaten Langkat)-Tanah Karo

Gundaling, Desa Budaya Lingga, Air Terjun Sipiso-Piso Haranggaol, Simarjarunjung, Tanjung Unta, Danau Toba Air Terjun Lau Berte, Danau Lau Kawar, Gunung Sinabung

Dolok SanggulTarutung-SibolgaBarus

57

Dolok SanggulKecamatan PakkatBarus

Danau Toba, Salak Pakat, Makam Bersejarah Barus

Lima Puluh-Kisaran

87

Tanah Karo-Saribu Dolok-Raya-SiantarParapat

107

Padang SidempuanDanau Siais Batang Toru-Danau Siais Padang SidempuanGunung Tua-Candi Bahal

40 38 63

300

Tanah Karo-Saribu Dolok-Sipiso PisoSimarjarunjungParapat

Lima PuluhTanjungTiram-Tanjung Balai-Kisaran Padang SidempuanDanau Siais Batang Toru- Danau Siais Gunung Tua-Sibuhuan

Istana Lima Laras, Pantai Sejarah Danau Siais Ikan Keramat Didesa Rianate, Danau Siais Candi Bahal dan Candi Portibi


Pengembangan Jalan- menuju Kawasan Jalur Wisata di Sumatera Utara (Anton Parlindungan sinaga)

No.

9.

10.

Jalur Jalan Destinasi Wisata Serdang BedagaiBatubara

Jalur Normal (Km)

Melalui

85

Perbaungan-Sei Rampah-Tebing-Lima Puluh-Tanjung Tiram

611

Medan-Tinggi TinggiPematang SiantarParapat-TarutungPadang SidempuanPanyabungan-Natal

Jalur Alternatif (Km) 120

661

Medan-Natal

665

11.

Wisata Iman

316

Medan-Tanah KaroDairi-SamosirHumbahas-Kabupaten Tapanuli TengahKabupaten Tapanuli Utara

316

Kondisi objek wisata dan jalan di jalur alternatif pada Kajian Pengembangan Jalan Jalan Menuju Kawasan Jalur Wisata di Sumatera Utara dalam kondisi yang beragam. Kondisi onjek wisata unggulan seperti Gundaling, Sipiso Piso dan Danau Toba pada umumnya relatif baik, kebutuhan sarana dan prasarana pendukung untuk objek wisata (daerah tujuan wisata) tidak sesuai dengan kebutuhan sebagai daerah objek wisata. Sedangkan kondisi jaringan jalan pada jalur alternatif ini dapat diklasifikasikan berdasarkan fungsi jalan, yang dibagi menjadi jalan arteri primer (jalan negara) dan jalan arteri sekunder (jalan provinsi) dan jalan kolektor sekunder (jalan kabupaten). Kondisi jalan arteri primer pada umumnya cukup baik dan terawat dengan perkerasan hotmik, untuk

Melalui Perbaungan-Pantai Cermin-Sialang BuahTanjung Tiram Medan- Tebing TinggiPematang SiantarParapat- TarutungSibolga - Batang ToruDanau Siais-Muara Batang Gadis-Natal Medan- Tebing TinggiPematang SiantarParapat- TarutungPadang SidempuanMuara Batang GadisNatal Medan-Tanah KaroDairi-SamosirHumbahas-Kabupaten Tapanuli TengahKabupaten Tapanuli Utara

Objek Wisata Theme Park, Pantai Cermin, Pantai Sialang Buah, Pantai Kelang dan Pantai Sejarah Parapat, Sibolga, Pantai Pandan, Desa Rianate, Danau Siais, Pantai Barat Madina, Natal Parapat, Permandian Air Panas, Pemandian Air Soda, Salip Kasih, Pantai Barat, Natal Sembahe, Hillpark, Sibolangit, Air Terjun Dua Warna, Gundaling, Taman Iman, Barus, Pantai Pandan

jalan arteri sekunder pada umumnya dengan kondisi baik sampai sedang dengan perkerasan sebagian besar hotmik dan lainnya dengan perkerasan aspal. Sedangkan jalan kolektor sekunder pada umumnya jalan kondisi sedang sampai buruk dengan perkerasan aspal. Dengan dibukanya jalur alternatif ini diharapkan objek wisata yang selama ini terlantar atau tidak tertata dapat di proritaskan kabupaten/kota untuk ditata sehingga menarik bagi pengunjung yang melewati dan dapat merangsang pertumbuhan ekonomi masyarakat di sekitar objek wisata tersebut. Di samping itu, juga diperlukan perbaikan sarana dan prasarana jalan terutama perbaikan perkerasan jalan, lebar jalan dan rambu-rambu lalulintas dan penunjuk jalan arah jalan. Untuk lebih jelas dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Kondisi Objek Wisata di Jalur Jalan Menuju Destinasi Wisata dan Jalur Alternatif di Provinsi Sumatera Utara No.

1.

2.

Jalur Alternatif (Km) 118

107

Melalui

Objek Wisata

Kondisi Objek Wisata

Siantar-Tanah JawaHatonduhan-BP. Mandoge-Buntu PaneKisaran

Perkebunan Sawit dan Karet, Pabrik Kelapa Sawit

Merupakan lahan perkebunn karet dan kelapa sawit milik pemerintah (BUMN) dan swasta dengan kondisi tertata dengan baik.

Tanah Karo-Saribu Dolok-Sipiso PisoSimarjarunjungParapat

• Gundaling merupakan bukit alami yang terdapat yang dapat memandang Kota Brastagi berhawa sejuk dan tertata cukup baik. • Desa Budaya Lingga merupakan desa dengan bangunan Gundaling, Desa Budaya Lingga, Air adat karo yang terpelihara dengan baik Terjun Sipiso-Piso • Air Terjun Sipiso Piso merupan air terjun sangat indah Haranggaol, yang mengalir ke Danau Toba, tetapi kawasan Simarjarunjung, sekitarnya tidak terata dengan baik. Tanjung Unta, • Haranggaol, Simargarunjung dan Tanjung Unta Danau Toba merupakan lokasi dipinggir Danau Toba dengan pemandangan yang indah dan penghasil mangga udang yang terkenal tetapi lokasi ini tidak memiliki fasilitas pariwisata yang baik.

301


Inovasi Vol. 10 No.4, Desember 2013: 296-304

No.

Jalur Alternatif (Km)

Melalui

3.

56

Binjai-Kecamatan Sei Bingei (Kabupaten Langkat)-Tanah Karo

4.

57

Dolok SanggulKecamatan PakkatBarus

5.

87

Lima PuluhTanjungTiram-Tanjung Balai-Kisaran

6.

40

Padang SidempuanDanau Siais

7.

38

Batang Toru- Danau Siais

8.

63

Gunung Tua-Sibuhuan

9.

120

Perbaungan-Pantai Cermin-Sialang BuahTanjung Tiram

661

Medan- Tebing TinggiPematang SiantarParapat- TarutungSibolga - Batang ToruDanau Siais-Muara Batang Gadis-Natal

665

Medan- Tebing TinggiPematang SiantarParapat- TarutungPadang SimdempuanMuara Batang GadisNatal

316

Medan-Tanah KaroDairi-SamosirHumbahas-Kabupaten Tapanuli TengahKabupaten Tapanuli Utara

10.

11.

Objek Wisata

Kondisi Objek Wisata

• Danau Toba merupakan danau terbesar di Indonesia yang indah, tetapi mulai turun kwalitas lingkungannya. • Air Terjun Lau Berte merupan air terjun alam di badan Sungai Bingei di bagian hulu yang belum ditata dengan baik. Air Terjun Lau Berte, Danau Lau • Danau Lau Kawar merupan danau alam yang terdapat Kawar, Gunung di bawah Gunung Sibanug yang indah dan alami. Sinabung • Gunung Sinabung merupakan salah satu gunung di Kabupaten Karo yang merupakan gunung favorit bagi pnjelajah alam. • Pemandangan Danau Toba yang indah. Danau Toba, Salak • Pakat dengan salak lokalnya Pakat, Makam • Makam kuno penyebar Agama Islam dengan ciri khas Bersejarah Barus nisan dengan tulisan arab. • Istana berciri khas melayu yang belum diatata dan Istana Lima Laras, dikelola dengan baik. Pantai Sejarah • Merupakan objek wisata bahari berbentuk pantai alam dengan penataan sederhana. • Danau alam yang mulai ditata dengan bangunan untuk Danau Siais wisata dan perkemahan dengan kondisi sedang. • Desa Rianate dengan abjek wisata ikan keramat yang Ikan Keramat menjaga kelestarian sunagai disamping Mesjid Rianate. Didesa Rianate, • Danau alam yang mulai ditata dengan bangunan untuk Danau Siais wisata dan perkemahan dengan kondisi alami. Candi Bahal dan Candi yang terbuat dari bata merah peninggalan lama Candi Portibi yang terawat dengan baik. Theme Park, • Merupakan objek wisata bahari berbentuk pantai, Pantai Cermin, hanya Theme Park yang telah memiliki penginapan, Pantai Sialang kolam renang dan tertata dengan baik. Buah, Pantai • Pantai lainnya masih berbentuk pantai alam dengan Kelang dan Pantai penataan sederhana. Sejarah • Parapat dengan pinggiran Danau Toba yang indah tetapi tidak tertata dengan baik. • Pantai Pandan merupakan pantai laut dengan cemara Parapat, Sibolga, laut merupakan objek wisata andalan Kabupaten Pantai Pandan, Tapanuli Tengah. Desa Rianate, Ikan Keramat • Desa Rianate dengan abjek wisata ikan keramat yang Danau Siais, menjaga kelestarian sunagai disamping Mesjid Rianate. Pantai Barat • Danau alam yang mulai ditata dengan bangunan untuk Madina, Natal wisata dan perkemahan dengan kondisi alami. • Pantai barat Manida menuju Natal dengan pemandangan Samudara Hindia yang menarik. • Parapat dengan pinggiran Danau Toba yang indah tetapi tidak tertata dengan baik. • Pemandian air panas dengan kandungan belerang di Parapat, Sipoholon. Permandian Air Panas, Pemandian • Pemandian air soda yang merupan satu-satunya di Air Soda, Salip Provinsi Sumatera Utara. Kasih, Pantai • Salip Kasih merupan bukit tempat beribadah dan wisata Barat, Natal yang terta cukup baik. • Pantai barat Manida menuju Natal dengan pemandangan Samudara Hindia yang menarik. • Sembahe merupakan pemandian alami badan Sungai Sembahe. • Hillpark merupakan objek wisata buatan di kesejukan alam Sibolangit. Sembahe, Hillpark • Air Terjun Dua Warna merupakan dua air terjuan dalam Sibolangit, Air satu lokasi dengan warna berbeda dengan keidahan Terjun Dua alam yang alami. Warna, Gundaling, • Taman Iman merupakan tempat berdirinya rumah Taman Iman, ibadat beberpa pemeluk agama di dalam satu taman Barus, Pantai yang tertata dengan baik. Pandan • Makam kuno penyebar Agama Islam dengan ciri khas nisan dengan tulisan arab. • Pantai Pandan merupakan pantai laut dengan cemara laut merupakan objek wisata andalan Kabupaten Tapanuli Tengah.

302


Pengembangan Jalan- menuju Kawasan Jalur Wisata di Sumatera Utara (Anton Parlindungan sinaga)

1. Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota di Sumatera Utara dapat menjadikan jalur-jalur wisata Kabupaten Langkat – Karo, Kabupaten Karo – Simalungun, Kabupaten Humbang Hasundutan – Tapanuli Tengah, Candi Bahal, Kabupaten Serdang Bedagei – Batubara, menuju Natal dan jalur wisata Iman. Jalur alternatif ini dapat juga dijadikan acuan untuk menata jalur alternatif bagi pengembangan wilayah dan wisata di Sumatera Utara, seperti : Kabupaten Langkat – Karo, Kabupaten Simalungun - Asahan, Padang Sidempuan - Danau Sinais – Batang Toru dan jalur menuju Kota Natal. 2. Dinas Pariwisata Provinsi dan Kabupaten/Kota di Sumatera Utara atau instansi yang terkait yang menangani keparawisataan dapat mempromosikan di dalam perjalanan wisata daerahnya, seperti : Kabupaten Karo – Simalungun, Kabupaten Langkat – Karo, Humbang Hasundutan – Tapanuli Tengah, Kabupaten Batubara – Asahan, jalur Candi ke Bahal, Kabupaten Serdang Bedagei – Batubara, jalur menuju Natal dan jalur wisata Iman. 3. Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota di Sumatera Utara dapat menjadi fasilitator di dalam pengembangan kawasan wisata melalui jalur wisata alternatif, seperti : Kabupaten Langkat – Karo, Kabupaten Humbang Hasundutan – Tapanuli Tengah, Kabupaten Batubara – Asahan, Padang Sidempuan - Danau Sinais, Kabupaten Serdang Bedagei – Batubara dan jalur menuju Kota Natal. 4. Untuk mengembangkan pariwisata di Sumatera Utara, perlu melibatkan sektor swasta untuk pengembangan objek-objek wisata di jalur alternatif sehingga dapat membangkitkan perekonomian penduduk sekitar objek wisata. 5. Perlu adanya kerjasama antara Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota di Sumatera Utara yang dilewati jalur alternatif untuk penataan jaringan jalan yang ada, seperti pelebaran jalan, perbaikan perkerasan muka jalan, penambahan rambu-rambu lalulintas dan penunjuk arah ke aderah objek wisata. 6. Bagi biro perjalanan di Sumatera Utara dapat menjadikan jalur alternatif sebagai referensi untuk promosi pengembangan objek-objek wisata unggulan di Provinsi Sumatera Utara.

KESIMPULAN Berdasarkan uraian dalam bab-bab sebelumnya, maka beberapa kesimpulan yang dapat diperoleh dalam penelitian ini, antara lain adalah: Jalur-jalur jalan alternatif menuju kawasan wisata di Provinsi Sumatera Utara dapat mengembangkan objek wisata alternatif di beberapa jalan yang dilalui, baik untuk peningkatan pereknomian langsung akibat terbuka atau meningkatnya penggunaan jalan sehingga objek wisata yang selama ini tidak dikunjungi diharapkan dapat tumbuh dan berkembang. Jalur alternatif ini adalah : Kabupaten Langkat – Karo, Kabupaten Karo – Simalungun, Kabupaten Humbang Hasundutan – Tapanuli Tengah, Candi Bahal, Kabupaten Serdang Bedagei – Batubara, menuju Natal dan jalur wisata Iman. Jalur jalan alaternatif menuju kawasan wisata dapat mempersingkat jarak, akan tetapi sebagian badan jalur belum memiliki perkerasan dan lebar jalan yang baik sehingga tidak seluruh jalur alternatif diminati wisatawan untuk menggunakan jalur tersebut dikarenakan waktu tempuh menjadi lebih panjang. Jalur alternatif ini adalah : Kabupaten Simalungun – Asahan melalui Tanah Jawa, Kabupaten Karo – Simalungun melalui Merek dan Seribu Dolok, Kabupaten Langkat – Karo melalui Kecamatan Sei Bingai Kabupaten Langkat dan menuju Natal melalui Batang Toru, Danau Siais dan melalui Muara Batang Gadis. Terbukanya jalur jalan alternatif menuju kawasan wisata mengakibatkan perekonomian penduduk sekitar jalan tersebut meningkat dikarenakan dapat membuka kegiatan ekonomi diakibatkan dari mobilitas wisatawan atau penduduk melintas di daerah tersebut. Jalur alternatif ini adalah Kabupaten Langkat – Karo, Kabupaten Simalungun - Asahan, Kabupaten Batubara – Asahan, Kabupaten Serdang Bedagei – Batubara, Kabupaten Humbang Hasundutan – Tapanuli Tengah, Batang Toru – Danau Sinais – Muara Batang Gadis – Natal dan Padang Sidempuan Danau Sinais – Muara Batang Gadis – Natal. Terbukanya jalur pemasaran hasil penduduk setempat dengan baik akibat terbukanya jalur alternatif sehingga memudahkan pemasaran ke wilayah yang lebih luas Jalur alternatif ini adalah : Kabupaten Langkat – Karo, Kabupaten Simalungun - Asahan, Kabupaten Batubara – Asahan, Kabupatenn Serdang Bedagei – Batubara, Batang Toru – Danau Sinais – Muara Batang Gadis – Natal dan Padang Sidempuan Danau Sinais – Muara Batang Gadis – Natal.

DAFTAR PUSTAKA Badan Pusat Statistik Provinsi Sumatera Utara, 2011. Sumatera Utara Dalam Angka 2011. BPS Sumatera Utara. Medan.

REKOMENDASI Berdasarkan kesimpulan di atas beberapa Rekomendasi kebijakan yang dapat diusulkan adalah sebagai berikut:

Damanik, J. Weber, F, Helmut. 2006. Perencanaan Ekowisata. Penerbit Andi Offset. Yogyakarta.

303


Inovasi Vol. 10 No.4, Desember 2013: 296-304

Hadinoto, Kusudianto. 1996. Perencanaan Pengembangan Destinasi Pariwisata. Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press). Jakarta. Inskep, Edward. 1991. Tourism Planning An Integrated And Sustainable Development Approech. Penerbit VMR (Van Nostrand Reinhold ). Kusmayadi. Sugiarto, Endar. 2002. Metode Penelitian Dalam Bidang Kepariwisataan. Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Nazir, M. 1988. Metode Penelitian. Penerbit Ghalia Indonesia. Jakarta. Soekadijo. 1997. Anatomi Pariwisata. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Penerbit

Slamet, Yulius. 2006. Metode Penelitian Sosial. Lembanga Pengembangan Pendidikan (LPP) UNS dan UPT Penerbitan dan Percetakan UNS (UNS Press). Surakarta: Universitas Sebelas Maret Surakarta. Umar, Husein. 1998. Metode Penelitian Untuk Skripsi Dan Tesis Bisnis. Penerbit PT RajaGrafindo Persada. Jakarta. Yoeti, A, Oka. 1996. Pengantar Ilmu Pariwisata. Penerbit Angkasa Bandung. Yoeti, A, Oka. 1996. Pemasaran Pariwisata. Penerbit Angkasa Bandung. Yoeti, A, Oka. 1997. Perencanaan Dan Pengembangan Pariwisata. Penerbit PT. Pradnya Paramita. Jakarta.

304


Inovasi, Jurnal Politik dan Kebijakan, Vol 10: 1-304

Indeks Penulis A Antoko, Bambang Setyo, “Kajian Nilai Tambah Karbon Hutan pada Hutan Tanaman”, 10(1): 69-75 Aritonang, Evawany, lihat Chairiah Aritonang, Evawany, lihat Br. Gtg, Winda Melisa

B Br. Gtg, Winda Melisa, “Pengaruh Penambahan Tepung Bit Merah dan Hasil Parutan Bit Merah Dalam Pembuatan Biskuit Terhadap Cita Rasanya”, 10(3):213-220

C Chairiah, “Pengaruh Pola Makan Terhadap Kejadian Hipertensi pada Ibu Hamil di RSU Tanjung Pura Kabupaten Langkat”, 10(1): 45-51

D Daeli, Sorni Paskah, “Kajian Kebijakan Bantuan Keuangan Partai Politik: Mencari Format Besaran yang Ideal”, 10(2): 141-154 Darina, Silvia, “Analisis Pengembangan Produk Makanan Organik untuk Meningkatkan Keanekaragaman Pangan di Sumatera Utara”, 10(4): 281-295 Diana, lihat Zaluchu, Fotarisman

H Hendarman, “Kajian Kebijakan Kewirausahaan pada Pendidikan Tinggi”, 10(3): 221-229 Husni, Nobrya, lihat Mahulae, Porman Juanda Marpomari Husni, Nobrya, “Analisis Faktor-Faktor Minat Beli Konsumen terhadap Produk Ramah Lingkungan”, 10(2): 85-96 Husni, Nobrya, “Identifikasi dan Analisis Kawasan Hutan Mangrove di Kawasan Pesisir Pantai Timur Sumatera Utara”, 10(3): 179-194 Husni, Nobrya, “Pengelolaan Hutan Mangrove Berbasis Masyarakat di Kawasan Pesisir Pantai Timur Sumatera Utara”, 10(4): 230-244

J Jalil, Abdul, lihat Pasaribu, Lady Rosary Jumirah, lihat Br. Gtg, Winda Melisa

K Kuswanda, Wanda, “Pemanfaatan dan Kebijakan Pengelolaan Sumberdaya Hutan di Sekitar Taman Nasional Batang Gadis, Sumatera Utara”, 10(4): 245-253

L Lufti, Muslich, lihat Pasaribu, Lady Rosary

M Mahulae, Porman Juanda Marpomari, “Penyelidikan Pendahuluan Keterdapatan Mineral Logam di Kecamatan Kotanopan Kabupaten Mandailing Natal Provinsi Sumatera Utara”, 10(1): 27-33 Mahulae, Porman Juanda Marpomari, “Kajian Pengembangan Agribisnis Tanaman Aren untuk Peningkatan Ekonomi Masyarakat di Sekitar Daerah Tangkapan Air Danau Toba”, 10(1): 60-68 Mahulae, Porman Juanda Marpomari, lihat Husni, Nobrya

P Pasaribu, Lady Rosary, ” Pengaruh Budaya Organisasi terhadap Kinerja Petugas Kia dalam Pengelolaan Data di Dinas Kesehatan Kabupaten Deli Serdang”, 10(1): 52-59


Purwanti, Dwi Endah, lihat Siagian, Dumora Jenny Margaretha Purwanti, Dwi Endah, “Kondisi dan Aspirasi Nelayan Tentang Kesejahteraan Sosial di Provinsi Sumatera Utara”, 10(2): 97-110 Purwanti, Dwi Endah, lihat Sitorus, Jonni Putera, Prakoso Bhairawa, “Perspektif dan Peran Ilmu Pengetahuan dan Teknologi dalam Membangun Kemandirian Bangsa pada Tatanan Negara Maritim”, 10(2): 129-140

S Salahudin, Indra, lihat Chairiah Siagian, Dumora Jenny Margaretha, lihat Purwanti, Dwi Endah Siagian, Dumora Jenny Margaretha, lihat Sitorus, Jonni Siagian, Dumora Jenny Margaretha, “Keterlibatan Wanita dalam Mempertahankan Kemerdekaan di Sumatera Utara”, 10(3): 195-212 Sihombing, Marlon, lihat Sinaga, Anton Parlindungan Sihombing, Marlon, lihat Sitorus, Jonni Simatupang, Defri Elias, “Tinjauan Implementasi Undang-Undang No.11 Tahun 2010 dalam Rangka Konservasi dan Penguatan Becak Siantar Sebagai Benda Cagar Budaya Bergerak di Kota Pematang Siantar”, 10(1): 19-26 Sinaga, Anton Parlindungan, “Kajian Pembentukan Provinsi Kepulauan Nias”, 10(1): 1-11 Sinaga, Anton Parlindungan, “Kajian Karakteristik Load Factor Dan Headway pada Sistem Angkutan Massal Sebagai Solusi Kemacetan di Provinsi Sumatera Utara”, 10(2): 111-119 Sinaga, Anton Parlindungan, “Implementasi Rumah Susun dan Rumah Susun Sewa yang Sesuai dengan Karakter Masyarakat Perkotaan di Sumatera Utara”, 10(4): 272-280 Sinaga, Anton Parlindungan, “Pengembangan Jalan Menuju Kawasan Jalur Wisata di Sumatera Utara”, 10(4): 296-304 Sitorus, Jonni, “Penerapan Standar Pendidikan pada Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) di Sumatera Utara”, 10(1): 12-18 Sitorus, Jonni, lihat Purwanti, Dwi Endah Sitorus, Jonni, “Kajian Penerapan Manajemen Sumber Daya Manusia di SMP Syafiyyatul Amaliyyah Medan”, 10(2): 120-128 Sitorus, Jonni , “Kajian Daerah Pembentukan Provinsi Sumatera Tenggara”, 10(3): 169-178 Sitorus, Jonni, “Peran Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) untuk Meningkatkan Kualitas Pendidikan Anak di Sumatera Utara”, 10(4): 254-261 Sitorus, Jonni, “Kajian Manajemen Pembiayaan Pendidikan pada Unit SMP di Kabupaten Tapanuli Utara”, 10(4): 262-271 Sutraningsih, Deri, lihat Zen, Zahari Syarifah, lihat Zaluchu, Fotarisman

Z Zaluchu, Fotarisman, “Perilaku Seksual Remaja Usia Sekolah di Kota Medan”, 10(1): 34-44 Zaluchu, Fotarisman, “GIS Untuk Surveilans Penyakit Menular di Sumatera Utara”, 10(3): 155-168 Zen, Zahari, “Analisis Permintaan Air Minum Isi Ulang di Kota Pematang Siantar”, 10(2): 76-84


DAFTAR ISI VOLUME 10 Kajian Pembentukan Provinsi Kepulauan Nias (Anton Parlindungan Sinaga dan Marlon Sihombing)

Halaman 1-11

Penerapan Standar Pendidikan pada Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) di Sumatera Utara (Jonni Sitorus, Dumora Jenny Margaretha Siagian, Dwi Endah Purwanti)

12-18

Tinjauan Implementasi Undang-Undang No.11 Tahun 2010 dalam Rangka Konservasi dan Penguatan Becak Siantar Sebagai Benda Cagar Budaya Bergerak di Kota Pematang Siantar (Defri Elias Simatupang)

19-26

Penyelidikan Pendahuluan Keterdapatan Mineral Logam di Kecamatan Kotanopan Kabupaten Mandailing Natal Provinsi Sumatera Utara (Porman Juanda Marpomari Mahulae dan Nobrya Husni)

27-33

Perilaku Seksual Remaja Usia Sekolah di Kota Medan (Fotarisman Zaluchu, Diana, Syarifah)

34-44

Pengaruh Pola Makan Terhadap Kejadian Hipertensi pada Ibu Hamil di RSU Tanjung Pura Kabupaten Langkat (Chairiah, Evawany Aritonang, Indra Salahudin)

45-51

Pengaruh Budaya Organisasi Terhadap Kinerja Petugas Kia dalam Pengelolaan Data di Dinas Kesehatan Kabupaten Deli Serdang (Lady Rosary Pasaribu, Muslich Lufti, Abdul Jalil)

52-59

Kajian Pengembangan Agribisnis Tanaman Aren untuk Peningkatan Ekonomi Masyarakat di Sekitar Daerah Tangkapan Air Danau Toba (Porman Juanda Marpomari Mahulae dan Nobrya Husni)

60-68

Kajian Nilai Tambah Karbon Hutan pada Hutan Tanaman (Bambang Setyo Antoko)

69-75

Analisis Permintaan Air Minum Isi Ulang di Kota Pematang Siantar (Zahari Zen dan Deri Sutraningsih)

76-84

Analisis Faktor-Faktor Minat Beli Konsumen terhadap Produk Ramah Lingkungan (Nobrya Husni dan Porman Juanda Marpomari Mahulae)

85-96

Kondisi dan Aspirasi Nelayan Tentang Kesejahteraan Sosial di Provinsi Sumatera Utara (Dwi Endah Purwanti, Dumora Jenny Margaretha Siagian, Jonni Sitorus)

97-100

Kajian Karakteristik Load Factor dan Headway pada Sistem Angkutan Massal sebagai Solusi Kemacetan di Provinsi Sumatera Utara (Anton Parlindungan Sinaga)

101-119

Kajian Penerapan Manajemen Sumber Daya Manusia di SMP Syafiyyatul Amaliyyah Medan (Jonni Sitorus)

120-128

Perspektif dan Peran Ilmu Pengetahuan dan Teknologi dalam Membangun Kemandirian Bangsa Pada Tatanan Negara Maritim (Prakoso Bhairawa Putera)

129-140

Kajian Kebijakan Bantuan Keuangan Partai Politik: Mencari Format Besaran yang Ideal (Sorni Paskah Daeli)

141-154

GIS Untuk Surveilans Penyakit Menular di Sumatera Utara (Fotarisman Zaluchu)

155-168

Kajian Daerah Pembentukan Provinsi Sumatera Tenggara (Jonni Sitorus dan Marlon Sihombing)

169-178


Identifikasi dan Analisis Kawasan Hutan Mangrove di Kawasan Pesisir Pantai Timur Sumatera Utara (Nobrya Husni dan Porman Juanda Marpomari Mahulae)

179-194

Keterlibatan Wanita dalam Mempertahankan Kemerdekaan di Sumatera Utara (Dumora Jenny Margaretha Siagian dan Dwi Endah Purwanti)

195-212

Pengaruh Penambahan Tepung Bit Merah dan Hasil Parutan Bit Merah dalam Pembuatan Biskuit terhadap Cita Rasanya (Winda Melisa Br. Gtg, Evawany Aritonang, Jumirah)

213-220

Kajian Kebijakan Kewirausahaan pada Pendidikan Tinggi (Hendarman)

221-229

Pengelolaan Hutan Mangrove Berbasis Masyarakat di Kawasan Pesisir Pantai Timur Sumatera Utara (Nobrya Husni dan Porman Juanda Marpomari Mahulae)

230-244

Pemanfaatan dan Kebijakan Pengelolaan Sumberdaya Hutan di Sekitar Taman Nasional Batang Gadis Sumatera Utara (Wanda Kuswanda)

245-253

Peran Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) untuk Meningkatkan Kualitas Pendidikan Anak di Sumatera Utara (Jonni Sitorus)

254-261

Kajian Manajemen Pembiayaan Pendidikan pada Unit SMP di Kabupaten Tapanuli Utara (Jonni Sitorus)

262-271

Implementasi Rumah Susun dan Rumah Susun Sewa yang Sesuai dengan Karakter Masyarakat Perkotaan di Sumatera Utara (Anton Parlindungan Sinaga)

272-280

Analisis Pengembangan Produk Makanan Organik untuk Meningkatkan Keanekaragaman Pangan di Sumatera Utara (Silvia Darina)

281-295

Pengembangan Jalan menuju Kawasan Jalur Wisata di Sumatera Utara (Anton Parlindungan Sinaga)

296-304


Pedoman Penulisan Naskah Ilmiah Jurnal INOVASI Jurnal INOVASI memuat karya tulis ilmiah hasil penelitian atau tinjauan kepustakaan dalam bidang pemerintahan dan kemasyarakatan, sosial budaya, ekonomi dan pembangunan, sumberdaya alam dan maritim sebagai bahan kebijakan dan wawasan berpolitik. Jurnal INOVASI terbit empat kali dalam setahun setiap bulan Maret, Juni, September dan Desember.

g.

h.

Naskah yang akan diterbitkan dalam Jurnal INOVASI Balitbang Provinsi Sumatera Utara, harus memenuhi ketentuan berikut : Bentuk Naskah 1. Naskah berupa karya asli yang belum pernah dipublikasikan di tempat lain dan tidak sedang diajukan ke tempat lain. 2. Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris sesuai dengan kaidah masingmasing bahasa yang digunakan. Komponen Naskah Komponen utama naskah wajib mencantumkan dan memuat hal-hal berikut: a. Judul, dalam bahasa Indonesia disertai dengan terjemahannya dalam bahasa Inggris, ditulis dengan jelas menggambarkan isi tulisan. b. Identitas Penulis, dimuat di bawah judul tulisan, memuat nama, alamat korespondensi dan e-mail. c. Abstrak ditulis dalam Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris beserta kata kunci sebanyak 37. Abstrak ditulis dalam 1 alinea berisi latar belakang masalah, tujuan penelitian, hasil, dan rekomendasi. Panjang abstrak dibatasi 200450 kata. d. Pendahuluan, tidak menggunakan subjudul, berisi penjelasan padat dan ringkas tentang latar belakang dilakukannya penelitian, studi pustaka yang mendukung dan relevan, serta tujuan penelitian. e. Metode berisikan disain penelitian yang digunakan, lokasi penelitian, populasi, sampel, sumber data, instrumen, pendekatan terhadap analisis data serta teknik analisis/ uji statistik yang digunakan. Bagian metode ditulis tanpa subjudul. f. Hasil dan Pembahasan, adalah temuan penelitian yang disajikan apa adanya tanpa pendapat penulis, kemudian dilanjutkan dengan bahasan argumentatif-interpretatif tentang jawaban terhadap hasil penelitian yang ditulis secara sistematis sesuai tujuan penelitian dan relevan dengan penelitian

i.

j.

terdahulu. Bagian Hasil dan Pembahasan ditulis tanpa subjudul. Kesimpulan menjawab tujuan penelitian tanpa melampauinya. Sedapat mungkin bagian kesimpulan ditulis dalam bentuk narasi. Rekomendasi berisi usulan-usulan kebijakan yang memungkinkan dihasilkan, berisi bentuk dan telaahannya untuk dilaksanakan mengacu pada prinsip tepat-guna, logis dan relevan. Jika tidak memungkinkan dalam bentuk narasi, rekomendasi dapat dibuat dalam bentuk butir-butir rekomendasi. Daftar Pustaka menuliskan sesuai dengan acuan model Harvard (lihat contoh), berurutan sesuai abjad. Jumlah kepustakaan untuk tulisan hasil penelitian minimum 10 rujukan sementara untuk Tinjauan Kepustakaan minimum 20 rujukan. Ucapan Terima Kasih, jika ada, merupakan wujud penghargaan kepada pihak-pihak yang terlibat dalam penelitian atau penulisan naskah.

Tabel dan Gambar Tabel, gambar dan grafik dapat terbaca dengan jelas serta diberi penjelasan yang memadai, mudah dipahami dan proporsional. Judul tabel diletakkan di atas tabel dan judul gambar di bawah gambar. Tabel dan atau gambar yang diacu dari sumber lain harus disebutkan, kecuali merupakan hasil penelitian penulisnya sendiri. Peta yang dicantumkan dalam tulisan harus dibuat dalam resolusi yang tinggi sehingga memudahkan pencetakkan dan menampilkan hasil yang baik. Penulis yang mencantumkan peta diminta untuk membayar tambahan biaya pencetakan peta dimaksud. Contoh Penulisan Daftar Pustaka Buku Abel, R. 2004. Revolusi Kesehatan Mata: Pencegahan dan Pengembalian Masalah Penglihatan. New York: Kensington Book Chaniago, A. 2010. Studi Pustaka dan Konseptualisasi Penelitian. Dalam: Zaluchu, F. Metodologi Penelitian Kesehatan. Bandung: Citapustaka Media, hal 79-92. Artikel dari Jurnal Ang, L. dan Taylor, B. 2005. Memanajemen Keuntungan Konsumen Menggunakan Matriks Portofolio. Jurnal Pemasaran dan Manajemen Konsumen Strategik 12 (5), hal 298-304 Bagian di dalam buku Ballinger, A. dan Clark, M. 2001. Nutrisi, Pengendalian Nafsu Makan dan Penyakit. Dalam: Payne-James, J. dkk.


editor. Dukungan Artifisial bagi Praktik Klinik. Edisi kedua. London: Greenwich Medical, hal 225-239 Laporan Komisi Eropa. 2004. Laporan Pendahuluan terhadap Implementasi dari Strategi Pemasaran Internal 2003-2006. Luxemburg: Unit Publikasi Komisi Eropa. Konferensi Fiedelius, H.C. 2000. Miopi dan Penurunan Visual: Aspek Global. Dalam: Lin, L.L.K. dkk. editor. Miopia Terbarukan II: Prosiding Konferensi Internasional ke-7. Taipei, 17-20 Nopember 1998. Tokyo: Springer, hal 31-37. Tesis Garcia-Sierra, A. 2000. Investigasi Penyebab Ca-Serviks pada Wanita Usia Subur di Perkotaan. Tesis PhD, Universitas Indonesia. Jurnal Artikel Elektronik (yang diunduh) Merchant, A.T. 2009. Diet dan Aktifitas Fisik pada AnakAnak di Kawasan Kumuh Perkotaan: sebuah Studi Cross Sectional. Jurnal Nutrisi [Online] Edisi 6. Dari: http://www.nutritionj.com/content/pdf/1475-28916.1.pdf [Diakses: 10 Mei 2007]. Web Page (yang dibaca) Thompson, B. 2006. Mengapa Balita Butuh ASI [Online]. Dari: http://news.bbc.co.uk/1/hi/health/459876 [Diakses: 10 Mei 2007]. Depkes RI. 2006. Panduan Imunisasi [Online]. Dari: http://www.depkes.go.id/bayi_panduan_imunisasi/2345 [Diakses: 19 Februari 2011].

Penulisan Naskah dituliskan dengan menggunakan Times New Roman 12, maksimal 20 halaman A4 spasi ganda, ditulis dengan program komputer Microsoft Word. Prosedur Naskah Naskah yang masuk hendaknya diterima 2 (dua) bulan sebelum waktu penerbitan untuk di-review oleh anggota dewan redaksi dan reviewer (mitra bestari) yang ditunjuk oleh Dewan Redaksi. Dewan Redaksi berhak menolak naskah ilmiah yang dianggap tidak layak muat di Jurnal Inovasi. Naskah diserahkan dalam 2 (dua) media yaitu hardcopy dan softcopy yang keduanya harus memuat isi yang sama. Nama file, judul dan nama penulis naskah dituliskan pada label CD. Pengiriman naskah ke alamat redaksi melalui surat elektronik ke : inovasibpp@gmail.com atau melalui pos ke : Dewan Redaksi Jurnal INOVASI Badan Penelitian Dan Pengembangan Provinsi Sumatera Utara Jl. Sisingamangaraja No. 198 Medan 20126 Redaksi berhak menolak naskah yang isi dan formatnya tidak sesuai dengan pedoman

penulisan naskah di atas dan redaksi tidak berkewajiban untuk mengembalikan naskah tersebut. Setiap penerimaan atau penolakan naskah akan disertai dengan surat resmi yang ditandatangani oleh Dewan Redaksi dan dikirimkan kepada penulis. Setiap penulis yang karya tulisnya telah diterbitkan, akan mendapat satu buah cetak lepas dan satu buah full print. Hak Cipta Setiap penulis menyetujui untuk mengalihkan hak ciptanya ke Jurnal Inovasi jika naskahnya diterima untuk diterbitkan.


Alamat Redaksi : BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PROVINSI SUMATERA UTARA Jl. Sisingamangaraja No. 198 Medan 20126 Tel. (061) 7866225; 7883016; Fax. (061) 7866248 Email : inovasibb@gmail.com


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.