Jurnal Inovasi Juni 2011

Page 1


Volume 8, Nomor. 2

Juni 2011 2011

ISSN 18291829-8079

Jurnal INOVASI terakreditasi B sebagai jurnal ilmiah bidang ilmu politik dan kebijakan dengan Nomor : 334/AU1/P2MBI/04/2011 berdasarkan Surat Keputusan Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Nomor : 482/D/2011 tanggal 12 April 2011. Jurnal INOVASI sebagai media litbang Provinsi Sumatera Utara memuat karya tulis ilmiah hasil penelitian atau tinjauan kepustakaan dalam bidang pemerintahan dan kemasyarakatan, sosial budaya, ekonomi dan pembangunan, sumberdaya alam dan maritim sebagai bahan kebijakan dan wawasan berpolitik yang terbit empat kali dalam setahun setiap bulan Maret, Juni, September dan Desember.

Penasehat

Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Provinsi Sumatera Utara

Penanggung Jawab

Sekretaris Badan Penelitian dan Pengembangan Provinsi Sumatera Utara

Pemimpin Redaksi

Marlon Sihombing (Sosial Politik dan Pemerintahan)

Dewan Redaksi

Badaruddin (Sosial Politik dan Pemerintahan) H. Hasnudi (Pertanian dan Kehutanan) Zahari Zein (Sosial Ekonomi Pertanian) E. Harso Kardhinata (Biologi dan Pertanian) Ramdhansyah (Ekonomi dan Keuangan) Sugih Prihatin (Pertanian) Fotarisman Zaluchu (Kesehatan Masyarakat)

Redaksi Pelaksana

Darwin Lubis Sumiarti Irwan Purnama Putra

Tata Usaha dan Sirkulasi

Makrum Rambe Rismawaty Sibarani Deli Yanto Syafri

Mitra Bestari

Iryanto (Universitas Sumatera Utara) Djanius Djamin (Universitas Negeri Medan) Julaga Situmorang (Universitas Negeri Medan) Azizul Kholis (Universitas Negeri Medan) Zulkarnain Lubis (Universitas Medan Area)

Alamat Penerbit : BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PROVINSI SUMATERA UTARA Jl. Sisingamangaraja No. 198 Medan 20126 Tel. (061) 7866225; 7883016 - Fax. (061) 7866248 Website : http://balitbang.sumutprov.go.id Email : balitbangsumut@yahoo.co.id


PENGANTAR REDAKSI Pembaca yang terhormat, Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena Jurnal INOVASI Volume 8 Nomor. 2, Juni 2011 ini dapat terbit dengan SK Akreditasi yang baru dengan penilaian yang lebih baik pula. Jurnal INOVASI kini telah terakreditasi B sebagai jurnal ilmiah bidang ilmu politik dan kebijakan dengan Nomor : 334/AU1/P2MBI/04/2011 berdasarkan Surat Keputusan Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Nomor : 482/D/2011 tanggal 12 April 2011. Pada edisi kali ini tim redaksi secara khusus mengangkat topik tentang pendidikan yang berasal dari hasil penelitian maupun studi literatur yang telah dilakukan oleh berbagai penulis diantaranya Membangun Pendidikan Multikultural Berbasis Kebangsaan, Penjaminan Mutu Pendidikan Di Indonesia Melalui Peningkatan Profesionalisme Guru, Pendidikan Karakter (Dalam Tinjauan Antropologi Budaya) yang mungkin menarik untuk dibaca dalam mendukung berbagai kebijakan pendidikan di Sumatera Utara. Selain itu, redaksi juga mengangkat beberapa topik lainnya yang kami rasa cukup menarik untuk mendukung topik pendidikan dari sisi karakter pembentukan kepribadian yaitu diantaranya berjudul Perlindungan Agama Anak Dari Kekerasan (Studi Pembinaan Agama Dalam Keluarga Muslim Kota Medan). Harapan kami, semoga tulisan-tulisan yang disajikan dapat bermanfaat bagi para pembaca dan memberikan pengetahuan sebagai bahan kebijakan dalam pembangunan maupun informasi untuk pengembangan dan peningkatan ilmu pengetahuan khususnya bagi masyarakat di Provinsi Sumatera Utara. Terima kasih dan selamat membaca. -Dewan Redaksi-


Volume 8, Nomor. 2

Juni 2011

ISSN 18291829-8079

Lembar abstrak ini boleh diperbanyak/dicopy tanpa ijin dan biaya.

Purwanto, M.Rajab Lubis, M. Ridha Syafii Damanik, Rahmatsyah, dan Mukti Hamjah Harahap

Pembinaan dan Latihan Olahraga Pelajar (PPLP) Sumatera Utara secara umum belum terlaksana dengan baik.

Analisis Pemetaan Dan Keselarasan Pasokan Tenaga Kerja Di Kota Medan

Kata kunci : Implikasi manajemen PPLP Sumatera Utara.

Kebijakan Pendidikan Sisi

Inovasi, Jurnal Politik dan Kebijakan Vol 8, Nomor 2, hal 93-108

Suripto

Penelitian ini bertujuan untuk melakukan memetakan dan menganalisis kebijakan pendidikan di Kota Medan yang dikeluarkan oleh pemerintah dari tingkat pusat hingga daerah terkait dengan sistem pendidikan, serta mengidentifikasi dampak kebijakan terhadap efektivitas penyediaan lulusan yang berorientasi pada permintaan dunia kerja. Penelitian merupakan penelitian kebijakan dengan menggunakan desain survey. Penentuan sampel menggunakan purposive random sampling, dengan sampel yang diambil disesuaikan dengan kiteria yang telah ditentukan diantaranya : (1) Keterwakilan semua jenis dan level pendidikan, (2) Keterkaitan lembaga dengan permasalah, dan (3) Keterjangkauan lokasi. Jumlah sampel yang diambil dalam pemetaan pasokan ini adalah 22 lembaga, dengan7 instansi penentu kebijakan dimana data keterpakaian kebijakan dalam menghasilkan lulusan diambil secara sampling ke sekolah maupun perguruan tinggi baik negeri maupun swasta. Analisis kebijakan dilakukan dengan metode Regulatory Impact Analysis (RIA). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa (1) terdapat 7 dari 111 kebijakan pendidikan yang menjadi pusat kajian diperoleh beberapa pasal yang saling melemahkan pada tataran implementasinya, (2) Kebijakan yang dihasilkan tidak menghasilkan perubahan sesuai dengan yang diamatkan, hal ini disebabkan oleh kurangnya koordinasi antar dinas yang terkait, (3) Arah kebijakan yang dihasilkan kurang memberikan ketegasan pada pemakai kebijakan, sehingga ditemukan banyaknya input sekolah (siswa, mahasiswa maupun guru dan dosen) tidak linier, (4) Kebijakan pusat yang dihasilkan kurang gayut dengan daerah sehingga dalam implementasinya pendidikan yang dikembangkan tidak berdasarkan potensi daerah yang ada sehingga ditemukan banyaknya pengangguran.

Optimalisasi Pembangunan Dikdasmen Provinsi Sumatera Utara

Salah satu fokus utama pembangunan Provinsi Sumatera Utara yakni peningkatan kualitas sumber daya manusia. Strateginya antera lain dengan peningkatan dan pemerataan akses pendidikan yang berkualitas. Selanjuntya untuk mengakselerasinya strategi tersebut, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah dan Dinas Pendidikan se-provinsi sumatera utara menyelenggarakan rapat koordinasi dan menghasilkan sebelas rekomendasi percepatan pembangunan pendidikan. Kajian ini memberikan gambaran tentang kondisi pendidikan di Pemprov. Sumut, penyelenggaraan pendidikannya dan sekolah dengan penyelenggaraan yang baik atau tidak. Metode analisis yang digunakan adalah The Analytical Hierarchy Process. Hasil analisis menunjukan bahwa Kota Medan (Kt M) merupakan kota dengan nilai tertinggi dan Kabupaten Mandailing Natal (Kb. MN) dan Kabupaten Labuan Batu (Kb LB) dengan nilai terendah. Selanjuntya sebanyak 17 kabupaten memiliki nilai dibawah rata-rata. Selanjuntya untuk mengoptimalisasikan pembangunan dikdasmen kabupaten/kota dibuat secara clauster. Pembangunan Sekolah Dasar dibagi menjadi 5 clausters. Pembangunan SMP dapat dibagi menjadi 7 clausters. Pembangunan SMA dapat dibagi menjadi 11 clausters. Pembangunan SMK dapat dibagi menjadi 5 clausters.

Kata kunci : Analisis kebijakan, sisi pasokan, pendidikan, RIA.

Hj. Hafsah

Sabaruddin Yunis Bangun

Perlindungan Agama Anak Dari Kekerasan (Studi Pembinaan Agama Dalam Keluarga Muslim Kota Medan)

Implikasi Manajemen Pusat Pembinaan dan Latihan Olahraga Pelajar (PPLP) Provinsi Sumatera Utara Inovasi, Jurnal Politik dan Kebijakan Vol 8, Nomor 2, hal 109-114 Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan implikasi proses tahapan yang dilakukan dalam rekrutmen atlet di pusat pembinaan dan latihan olahraga pelajar (PPLP) Sumatera Utara, Mendeskripsikan perencanaan program di pusat pembinaan dan latihan olahraga pelajar (PPLP) Sumatera Utara sesuai dengan yang diharapkan Kemenegpora. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif. Unit analisisnya adalah ketua Unit Pengelola Pengembangan Pusat Pembinaan dan Latihan Olahraga Pelajar (PPLP). Teknik pengambilan data melalui wawancara, studi dokumentasi, instrumen penelitian dirancang sendiri dilengkapi dengan pedoman wawancara, tape recorder untuk merekam hasil wawancara dan camera digital untuk mengambil gambar. Hasil penelitian menunjukkan bahwa implikasi manajemen Pusat

Inovasi, Jurnal Politik dan Kebijakan Vol 8, Nomor 2, hal 115-124

Kata kunci : Pendidikan, Sumatera Utara, Dikdasmen, evaluasi.

Inovasi, Jurnal Politik dan Kebijakan Vol 8, Nomor 2, hal 125-132 Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui penyelenggarakan pembinaan agama anak dalam keluarga, Apakah para orang tua melakukan kekerasan pada anak pada saat melakukan pembinaan dan pembelajaran agama, dan solusi yang dilakukan para orang tua dalam upaya melakukan membelajarkan anak dalam keluarga. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Data dikumpulkan melalui observasi, wawancara tersruktur, dan analisis dokumen. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dalam menanamkan ajaran agama anak, para orang tua melakukan kekerasan dengan alasan mendisiplinkan anak. Penelitian merekomendasikan agar para orang tua perlu mengetahui cara-cara melakukan membina, mengasuh dan membimbing anak tanpa kekerasan. Dengan menbaca berbagai tuntunan cara mendidik anak tanpa kekerasan. Kata kunci : Perlindungan, KDRT dan Pembinaan Agama.


Deny Setiawan

Bahrul Khoir Amal

Integrasi Dalam Proses Pembentukan Identitas Bangsa Untuk Menumbuhkan Budaya Kewarganegaraan (Kajian Naturalistik Terhadap Tokoh Etnis Tionghoa Di Kota Medan)

Membangun Pendidikan Multikultural Berbasis Kebangsaan

Inovasi, Jurnal Politik dan Kebijakan Vol 8, Nomor 2, hal 133-141

Pendidikan multikultural merupakan ide dan gerakan pembaharuan pendidikan serta proses pendiidikan yang tujuan utamanya untuk mengubah struktur lembaga pendidikan agar siswa baik pria maupun wanita. Siswa berkebutuhan khusus maupun siswa yang merupakan anggota dari ras, etnis dan kultur yang beraneka ragam dapat memiliki kesempatan yang sama untuk mencapai prestasi akademik di sekolah. Pendidikan multikultural mengembangkan bentuk-bentuk perrubahan sosial yang penting dan menghapuskan berbagai bentuk tindasan serta membelajarkan keadilan.

Masalah Tionghoa yang berulang terjadi, seakan mengikuti dinamika dari sejarah republik ini. Di era reformasi masalah tersebut telah dianggap selesai, dengan dipulihkannya hak – hak budaya etnis tionghoa dan undang – undang tentang kewarganegaraan serta penghapusan diskriminasi ras dan etnis. Namun kondisi masyarakat indonesia yang multikultural dan dalam rangka pembangunan daerah dipandang perlu masukan dari para etnis tionghoa berkenaan dengan perspektif pemikirannya tentang konstruksi intregasi, formulasi integritas bangsa, dan penumbuhan budaya kewarganegaraan untuk pembangunan masyarakat multikultural. Penelitian ini dilakukan di Kota Medan secara naturalistik melalui teknik wawancara, observasi dan studi dokumentasi dengan analitik komparison. Hasil penelitian menunjukkan perspektif pemikiran para tokoh etnis tionghoa di Kota Medan mengenai konstuksi integrasi, formulasi identitas bangsa dan upaya penumbuhan budaya kewarganegaraan, memiliki pandangan dan gagasan yang beragam. Namun dapat disimpulkan konstruksi intregrasi yang “berkesesuaian” dengan formulasi identitas bangsa untuk penumbuhan budaya kewaranegaraan memberi kontribusi yang berarti bagi pembangunan masyarakat multikultural. Kata kunci : Integrasi, identitas, dan budaya kewarganegaraan.

Hilma Harmen Pengaruh Budgetary Goal Characteristic Terhadap Kinerja Manajerial Dengan Budaya Paternalistik Pada Pemerintah Provinsi Sumatera Utara Inovasi, Jurnal Politik dan Kebijakan Vol 8, Nomor 2, hal 142-147 Dalam rangka meningkatkan Kinerja Di Pemerintahan Provinsi Sumatera Utara maka melalui penelitian ini akan diketahui pengaruh budgetary goal characteristics terhadap kinerja manajerial. Jumlah kuesioner yang layak untuk uji sejumlah 54 eksemplar. Analisa yang dinggunakan dalam penelitian ini adalah analisis regresi SPSS for window versi 15. Hasil penelitian ini menunjukkan hipótesis H1 dan H2 diterima. Hasil pengujian hipotesis 1 hasil menunjukkan bahwa Budgetary Goal Characteristics berpengaruh secara signifikan positif terhadap kinerja Pemerintah Provinsi Sumatera Utara. Hasil pengujian hipotesis 2 menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat kesesuaian antara kelima dimensi budgetary goal characteristics dengan budaya paternalistik, semakin tinggi kinerja Pemerintah Provinsi Sumatera Utara. Kata kunci : Budaya organisasi, komitmen organsasi.

Didik Suhariyanto Kebijakan Nasional Dalam Implementasi Konstitusi Terhadap Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Dalam Bidang Hukum Di Indonesia (UU RI Nomor 17 Tahun 2007) Inovasi, Jurnal Politik dan Kebijakan Vol 8, Nomor 2, hal 148-155

Inovasi, Jurnal Politik dan Kebijakan Vol 8, Nomor 2, hal 156-163

Kata kunci : Pendidikan multikultural, multikulturalisme, kebangsaan.

Neni Afrida Sari Harahap Penjaminan Mutu Pendidikan Di Indonesia Melalui Peningkatan Profesionalisme Guru Inovasi, Jurnal Politik dan Kebijakan Vol 8, Nomor 2, hal 164-171 Guru adalah salah satu pilar paling penting untuk mendapatkan pendidikan berkualitas tinggi di suatu negara. Kualitas, kompetensi dan profesionalisme guru tercermin oleh kemampuan mereka dalam melakukan proses belajar mengajar di kelas. Meningkatkan kualitas guru sangat diperlukan untuk dilakukan sebagai penentuan pendidikan yang berhasil di negara kita, Indonesia. Banyak cara yang telah diterapkan oleh pemerintah kita untuk meningkatkan kualitas guru dan profesionalismenya. Salah satu Kebijakan Pemerintah adalah dengan melakukan Program Sertifikasi melalui evaluasi portofolio dan pelatihan untuk guru profesionalisme (PLPG). Namun, kebijakan semacam ini masih memiliki beberapa tantangan dan dilema sampai sekarang, dan pemerintah diharapkan menggunakan jalan lainnya yang dapat diandalkan untuk mencapai tujuan tersebut, yaitu dengan mengerahkan guru yang berkualitas baik, memilih guru yang baik, restrukturisasi guru, sarana institusi baru, meningkatkan kesejahteraan guru, memberikan beasiswa, dan memberikan penghargaan kepada mereka yang berprestasi tinggi. Kata kunci : Kualitas pendidikan tinggi, meningkatkan kualitas guru, kompetensi, dan profesionalisme.

Supsiloani dan Dedi Andriansyah Pendidikan Karakter (Dalam Tinjauan Antropologi Budaya) Inovasi, Jurnal Politik dan Kebijakan Vol 8, Nomor 2, hal 172-176 Pendidikan inteligensi kian tahun semakin ditingkatkan. Hal ini terlihat dari Standart kelulusan dalam Ujian Akhir Nasional yang terus ditingkatkan. Sementara krisis moral juga semakin meningkat. Hal ini menjadi sebuah kepincangan dalam dunia pendidikan. Dimana pendidikan karakter yang seharusnya mampu meminimalisir krisis moral ini malah tidak mendapatkan perhatian. Pendidikan karakter sebenarnya telah dilakukan oleh para nenek moyang kita terdahulu dan telah diwariskan secara turun temurun yang disebut dengan Folklore. Sebuah warisan budaya berbentuk lisan, tulisan, maupun gerak ini mampu memberikan penanaman moral dan pendidikan karakter (kepribadian) dengan sangat mudah dipahami anak (peseta didik) dan dengan pendekatan kekeluargaan. Metode folklore yang telah dilakukan nenek moyang kita terdahulu ini dapat kita aplikasikan kembali pada pendidikan karakter (kepribadian) pada saat sekarang ini. Yakni pendidikan karakter (kepribadian) yang berbasis budaya.

Implementasi Konstitusi dalam Kebijakan Nasional Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) Nasional dan Daerah serta Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Nasional dan Daerah belum ideal bahkan semakin banyak permasalahan hukum yang jauh dari rasa keadilan. Bahkan rendahnya kesadaran hukum masyarakat karena dampak dari kelemahan kelengkapan peraturan hukum, dan efektifitas dalam menjalankan sanksi hukum. Pembangunan hukum yang bercorak sentralisme hukum menjadi pemicu munculnya konflik nilai (conflict of values) dan konflik norma (conflict of norms) dalam pelaksanaan pembangunan nasional. Konflik nilai dan konflik norma terus mengimbas kepada pelaksanaan pembangunan Nasional.

Siti Musyarofah

Kata kunci : Konstitusi, kebijakan nasional, RPJP, bidang hukum.

Konsep Sustainability Report bagi Pendidikan Tinggi di Indonesia

Kata kunci : Pendidikan karakter, pendidikan, karakter.


Inovasi, Jurnal Politik dan Kebijakan Vol 8, Nomor 2, hal 177-184 Isu sustainability reporting di bidang pendidikan berkembang sejak adanya The World Summit on Sustainable Development (WSSD) yang diadakan di Johannesburg tahun 2002. Hal ini memberi dampak pada sistem pendidikan di seluruh dunia. Pendidikan dianggap berperan penting dalam menciptakan pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Sustainability reporting merupakan upaya dari suatu organisasi dalam memproduksi dan mempublikasikan sustainability report (laporan sustainabilatas). Laporan sustainabilitas merupakan laporan publik dimana organisasi memberikan gambaran posisi dan aktivitasnya pada aspek ekonomi, lingkungan dan sosial kepada stakeholder internal dan eksternalnya. Model-model pelaporan sustainabilitas yang ada selama ini seperti GRI (Global Reporting Initiatives) tidak bisa sepenuhnya diadopsi untuk kepentingan sustainability reporting bagi pendidikan tinggi di Indonesia. Oleh karena itu diperlukan sebuah konsep sustainability reporting yang berusaha mengintegrasikan antara model-model yang telah ada dengan standar yang dikeluarkan oleh BAN-PT (Badan Akreditasi Nasional-Perguruan Tinggi). Tulisan ini mencoba menawarkan sebuah konsep laporan sustainabilitas bagi Perguruan Tinggi dengan memodifikasi standar kinerja dari BAN-PT. Kata kunci : Sustainability report, standar akreditasi, global reporting initiatives.


Volume 8, Nomor. 1

Maret 2011

ISSN 18291829-8079

The abstrack sheet may by reproduced/ copied without permission or charge Purwanto, M.Rajab Lubis, M. Ridha Syafii Damanik, Rahmatsyah, and Mukti Hamjah Harahap

Suripto Improvement of Dikdasmen in North Sumatra Province

The Mapping Analysis and Harmonisation of Education Policies from Supply Side of Manpower in Medan City Inovasi, Journal of Politics and Policy, Vol 8, No. 2, p. 93-108 This study aims to map and to analyze the educational policies in Medan city issued by the government from central to local levels associated with the education system, and identify the impact of policy on the effectiveness of providing graduates who are oriented to the working demand. This study uses survey methods. Determination of sample using purposive random sampling, with samples taken adjusted to predetermined criteria include: (1) Representation of all types and levels of education, (2) Linkage institutions with problems, and (3) Affordability location. The number of samples taken in the mapping of this supply is 22 institutions, with 7 institutions in which policy-makers in policy implementation data was taken in sampling to produce graduates into schools and higher education both public and private. Policy analysis done by the method Regulatory Impact Analysis (RIA). The results of this study indicate that (1) there are 7 of 111 education policy which became the center of the study obtained several articles which undermine each other at the level of implementation, (2) The policy does not produce results in accordance with the mandated changes, this is caused by a lack of coordination between agencies related, (3) The direction of policy produced less give firmness to the user policies, so that found the number of school inputs (students, university students and teachers and lecturers) is not linear, (4) the resulting lack of central policy in harmony with the area so that the implementation of education not developed on the basis of existing local potentials that found the number of unemployed. Keywords : Policy analisys, labor supply, education, regulatory impact analysis.

Sabaruddin Yunis Bangun Management Implication of Centre for Student Sport Advancement and Training (PPLP) North Sumatra Province Inovasi, Journal of Politics and Policy, Vol 8, No. 2, p. 109-114

Inovasi, Journal of Politics and Policy, Vol 8, No. 2, p. 115-124 One of the main focus of development in North Sumatra Province namely improving the quality of human resources. The strategy of other anther with increased and equitable access to quality education. Selanjuntya to mengakselerasinya strategy, the Regional Development Planning Agency and the Department of Education as the northern Sumatran province held a coordination meeting and resulted in eleven recommendations accelerating the development of education. This study provides a description of how the condition of education in the provincial government and its application on district level. The analytical method used was The Analytical Hierarchy Process. The results show that the Medan Municipality (Kt M) is a city with the highest value and Mandailing Natal District (Kb. MN) and Labuan Batu District (Kb LB) with the lowest value. Furthermore, as many as 17 districts have values below average. Furthermore, to optimize Dikdasmen development district created clauster. Development of Primary Schools were divided into 5 clausters. SMP development can be divided into 7 clausters. Development of SMA can be divided into 11 clausters. Vocational development can be divided into 5 clausters. Keywords : Education, North Sumatra, Dikdasmen, Evaluation.

Hj. Hafsah Protection Child Religious from Violence—A Study of Religious Development in Islamic Family in Medan Inovasi, Journal of Politics and Policy, Vol 8, No. 2, p. 125-132 This study aims to determine organization of religious formation of children in the family, do the parents do violence on children during coaching and teaching of religion, and solutions that do the parents in the effort to teach child in the family. This study uses qualitative methods. Data were collected through observation, interview structure, and document analysis. The results of this study indicate that in instilling religious teaching of children, the parents do violence to the reason for disciplining children. The study recommends that parents need to know the ways to foster, nurture and guide children without violence by reading various guidance how to educate children without violence.

This study aimed to describe the implications of the process steps being taken in the recruitment of athletes in training centers and sports training students (PPLP) North Sumatra, Describes the planning program at the center of coaching and sports training students (PPLP) North Sumatra as expected Kemenegpora.This research use descriptive method. The analysis unit is chairman of Development Management Unit, Centre for Development of Sport and Exercise Students (PPLP). The collecting data through interviews, documentation studies, selfdesigned research instrument equipped with a guidance interview, a tape recorder to record the interview and digital camera to take pictures. The results showed that the management implications of Coaching and Training Center for Student Sports (PPLP) North Sumatra in general has not done well.

Deny Setiawan

Keywords : PPLP management implications of North Sumatra.

The “Chinese Issue” has recurrently took places, it is likely to follow this republic historical dynamic. In the reform era, this issue is

Keywords : Protection, KDRT, Development of Religion.

Integration in National Identity formation to develop Citizenship Culture, a Naturalistic Research among Chinese Ethnic in Medan City) Inovasi, Journal of Politics and Policy, Vol 8, No. 2, p. 93-108


assumed to finish, with recovery of Chinese cultural rights and regulation about Citizenship and Abolition of the Racial and Ethnical Discrimination. However, a multicultural Indonesian society condition and attempt to create a local development, it is necessary assumed to gets inputs from the Chinese ethnical figures, in relation with their thought perspective about: construction of integration, nation identity formulation, and citizenship cultural emergence for a multicultural society development. The research itself was conducted in Medan City in naturalistic way. It was carried out by interview, observation, and documentary studies with an analytical comparison. The research findings show that thought perspective of those Chinese ethnical public figures in Medan city concerning on construction of integration, nation identity formulation, and effort to emerge a citizenship cultural attitude have varied opinion and idea. However, it can be drawn a conclusion that; construction of integration that is fitted with nation identity formulation for citizenship cultural emergence will provide contribution on multicultural society development. Keywords : Integration, identity, and civic culture

Hilma Harmen The Influence of Budgetary Goal Characteristics toward Managerial Performance in the Paternalistic Culture at North Sumatra Government Inovasi, Journal of Politics and Policy, Vol 8, No. 2, p. 142-147 In order to improve performance in North Sumatra Province, through this research will try to understand whether the budgetary goal characteristics have a significant impact on managerial performance after dimoderat by paternalistic cultural variables. The numbers of questionnaires are feasible to test a number of 54 copies. The analysis in this study is dinggunakan regression analysis SPSS for windows version 15. The results showed acceptable hypotheses H1 and H2. Results of testing hypothesis 1 results indicate that the budgetary Goal Characteristics significantly positive effect on the performance of the Government of North Sumatra Province. Results of testing hypothesis 2 showed that the higher level of balance between the five dimensions of budgetary goal characteristics with paternalistic culture, the higher the performance of the Government of North Sumatra Province. Keywords : Organizational culture, commitment to the organization.

Didik Suhariyanto National Policy to Implement Legal Affairs of National Policy Long Term Development Plan for Law in Indonesia, Government Act No. 17 in 2007 Inovasi, Journal of Politics and Policy, Vol 8, No. 2, p. 148-155 Implementation of the Constitution in the National Policy Long Term Development Plan (RPJP) National and Local Medium Term Development Plan (Development Plan) National and Regional ideal yet even more legal problems are far from the sense of justice. Even the low level of public awareness because of the impact of the weakness of the completeness of the rule of law, and effectiveness in carrying out legal sanctions. Construction law patterned legal centralism became a trigger of conflict of values (conflict of values) and norms of conflict (conflict of norms) in the implementation of national development. Conflicts of values and norms of conflict continue to induce the execution of national development.

cultural groups will have an equal chance to achieve academically in school. Multicultural education acknowledge that school are essential to laying the formation for transformation of society and elemination of oppression and in justice. Keywords : Multicultural education, multiculturalisme, nationalism.

Neni Afrida Sari Harahap Educational Quality Assurance in Indonesia through Teacher Professionalism Improvement Inovasi, Journal of Politics and Policy, Vol 8, No. 2, p. 164-171 Teacher is one of the most important pillars to gain the high quality education in a country. The quality, competence and professionalism of teachers are reflected by their ability in conducting teaching and learning processes in the classroom. Improving teachers’ quality is extremely needed to be done as the determination of successful education in our country, Indonesia. Many ways have been applied by our government to improve teachers’ quality and professionalism. One of the Government Policy is by conducting Teachers; Certification Program through portofolio evaluation and training for professionalism teachers (PLPG). However, this kind of policy still has some challenges and dilemma until now and the government are intended to be able to use other reliable means and ways to achieve that goal, namely by deploying good quality teachers, selecting good teachers, restructuring the exiting teacher – generating institution, improving teacher’s welfare, providing scholarships, and giving reward to high achievers. Keywords : High quality education, improving teacher’s quality, competence, and professionalism.

Supsiloani and Dedi Andriansyah Character Education, an Anthropology Perspective Inovasi, Journal of Politics and Policy, Vol 8, No. 2, p. 172-176 Intelligence is becoming more and more years of education increased. This can be seen from passing the Final Examination Standards National continues to be improved. While the moral crisis is also increasing. This became an imbalance in education. Where character education is supposed to be able to minimize this moral crisis is not even getting attention. Character education has actually been done by our ancestors past and has been inherited from generation to generation is called Folklore. A cultural heritage of verbal, written, and the motion is capable of providing moral education and cultivation of character (personality) very easy to understand the child (learner) and with a family approach. Methods of folklore which our ancestors have done this earlier we can apply back on the education of character (personality) in the present. Namely educational character (personality) that culture-based. Keywords : Character education, education, character.

Siti Musyarofah Sustainability Report Framework for Higher Education in Indonesia Inovasi, Journal of Politics and Policy, Vol 8, No. 2, p. 177-184

Keywords : The Constitution, the National Policy, RPJP, Legal Affairs.

Bahrul Khoir Amal Forming Multicultural Education based on Nationalism Inovasi, Journal of Politics and Policy, Vol 8, No. 2, p. 156-163 Multicultural education as an idea, an educational reform movement, and a process whose major goal is to change the structure of educational institutions so that male and female students, exceptional students, and students who are members of diverse racial, ethnic, and

The issues of sustainability reporting (SR) in education have been developed since agenda of The World Summit on Sustainable Development (WSSD) in Johanesburg 2002th that give impact on education systems around the world. Education is very important to produce sustainable development. Sustainability reporting is an effort of organization to produce and publish sustainability report. Sustainability report is part of public report which organization give a picture of position and their activity on economic, environment, and social aspects to internal and external stakeholder. The sustainability reporting models such as Global Reporting Initiatives (GRI) can’t fully adopted to higher education in Indonesia. It’s required a concept for sustainability reporting that integrate previous models with standards


of BAN-PT (Badan Akreditasi Nasional-Perguruan Tinggi) . This study try to examine previous models of SR and supply a concept of sustainability reporting that has feasibility for higher education in Indonesia. Keywords : Sustainability report, standar acreditation standart, global reporting initiatives.


Volume 8, Nomor. Nomor. 2

Juni 2011

ISSN 18291829-8079

DAFTAR ISI Halaman Analisis Pemetaan Dan Keselarasan Kebijakan Pendidikan Sisi Pasokan Tenaga Kerja Di Kota Medan (Purwanto, M. Rajab Lubis, M. Ridha Syafii Damanik, Rahmatsyah dan Mukti Hamjah Harahap)

93-108

Implikasi Manajemen Pusat Pembinaan dan Latihan Olahraga Pelajar (PPLP) Provinsi Sumatera Utara (Sabaruddin Yunis Bangun)

109-114

Optimalisasi Pembangunan Dikdasmen Provinsi Sumatera Utara (Suripto)

115-124

Perlindungan Agama Anak Dari Kekerasan (Studi Pembinaan Agama Dalam Keluarga Muslim Kota Medan) (Hj. Hafsah)

125-132

Integrasi Dalam Proses Pembentukan Identitas Bangsa Untuk Menumbuhkan Budaya Kewarganegaraan (Kajian Naturallistik Terhadap Tokoh Etnis Tionghoa Di Kota Medan) (Deny Setiawan)

133-141

Pengaruh Budgetary Goal Characteristic Terhadap Kinerja Manajerial Dengan Budaya Paternalistik Pada Pemerintah Propinsi Sumatera Utara (Hilma Harmen)

142-147

Kebijakan Nasional Dalam Implementasi Konstitusi Terhadap Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Dalam Bidang Hukum Di Indonesia (UU Nomor 17 Tahun 2007) (Didik Suhariyanto)

148-155

Membangun Pendidikan Multikultural Berbasis Kebangsaan (Bahrul Khoir Amal)

156-163

Penjaminan Mutu Pendidikan Profesionalisme Guru (Neni Afrida Sari Harahap)

Di

Indonesia

Melalui

Peningkatan 164-171

Pendidikan Karakter : Dalam Tinjauan Antropologi Budaya (Supsiloani dan Dedi Andriansyah)

172-176

Konsep Sustainability Report Bagi Pendidikan Tinggi di Indonesia (Siti Musyarofah)

177-184


Vol. 8. No. 2, Juni 2011

Jurnal INOVASI - Balitbang Provsu

Analisis Pemetaan Dan Keselarasan Kebijakan Pendidikan Sisi Pasokan Tenaga Kerja Di Kota Medan (The Mapping Analysis and Harmonisation of Education Policies from Supply Side of Manpower in Medan City) Purwanto1), M.Rajab Lubis1), M. Ridha Syafii Damanik1), Rahmatsyah1), dan Mukti Hamjah Harahap1) 1)

Universitas Negeri Medan Jl. William Iskandar, Psr V Medan Estate-Medan Email : pilmiah16@yahoo.co.id Naskah masuk : 20 Desember 2010; Naskah diterima :24 April 2011

ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk melakukan memetakan dan menganalisis kebijakan pendidikan di Kota Medan yang dikeluarkan oleh pemerintah dari tingkat pusat hingga daerah terkait dengan sistem pendidikan, serta mengidentifikasi dampak kebijakan terhadap efektivitas penyediaan lulusan yang berorientasi pada permintaan dunia kerja. Penelitian merupakan penelitian kebijakan dengan menggunakan desain survey. Penentuan sampel menggunakan purposive random sampling, dengan sampel yang diambil disesuaikan dengan kiteria yang telah ditentukan diantaranya : (1) Keterwakilan semua jenis dan level pendidikan, (2) Keterkaitan lembaga dengan permasalah, dan (3) Keterjangkauan lokasi. Jumlah sampel yang diambil dalam pemetaan pasokan ini adalah 22 lembaga, dengan7 instansi penentu kebijakan dimana data keterpakaian kebijakan dalam menghasilkan lulusan diambil secara sampling ke sekolah maupun perguruan tinggi baik negeri maupun swasta. Analisis kebijakan dilakukan dengan metode Regulatory Impact Analysis (RIA). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa (1) terdapat 7 dari 111 kebijakan pendidikan yang menjadi pusat kajian diperoleh beberapa pasal yang saling melemahkan pada tataran implementasinya, (2) Kebijakan yang dihasilkan tidak menghasilkan perubahan sesuai dengan yang diamatkan, hal ini disebabkan oleh kurangnya koordinasi antar dinas yang terkait, (3) Arah kebijakan yang dihasilkan kurang memberikan ketegasan pada pemakai kebijakan, sehingga ditemukan banyaknya input sekolah (siswa, mahasiswa maupun guru dan dosen) tidak linier, (4) Kebijakan pusat yang dihasilkan kurang gayut dengan daerah sehingga dalam implementasinya pendidikan yang dikembangkan tidak berdasarkan potensi daerah yang ada sehingga ditemukan banyaknya pengangguran. Kata kunci : Analisis kebijakan, sisi pasokan, pendidikan, RIA.

ABSTRACT This study aims to map and to analyze the educational policies in Medan city issued by the government from central to local levels associated with the education system, and identify the impact of policy on the effectiveness of providing graduates who are oriented to the working demand. This study uses survey methods. Determination of sample using purposive random sampling, with samples taken adjusted to predetermined criteria include: (1) Representation of all types and levels of education, (2) Linkage institutions with problems, and (3) Affordability location. The number of samples taken in the mapping of this supply is 22 institutions, with 7 institutions in which policy-makers in policy implementation data was taken in sampling to produce graduates into schools and higher education both public and private. Policy analysis done by the method Regulatory Impact Analysis (RIA). The results of this study indicate that (1) there are 7 of 111 education policy which became the center of the study obtained several articles which undermine each other at the level of implementation, (2) The policy does not produce results in accordance with the mandated changes, this is caused by a lack of coordination between agencies related, (3) The direction of policy produced less give firmness to the user policies, so that found the number of school inputs (students, university students and teachers and lecturers) is not linear, (4) the resulting lack of central policy in harmony with 93


Vol. 8. No. 2, Juni 2011

Jurnal INOVASI - Balitbang Provsu

the area so that the implementation of education not developed on the basis of existing local potentials that found the number of unemployed. Keywords : Policy analisys, labor supply, education, regulatory impact analysis.

Penerapan Undang-undang No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang secara eksplisit menyatakan bahwa pembinaan dan pengembangan sumber daya manusia maupun peran serta masyarakat di daerah dengan sendirinya menjadi kewenangan daerah. Pelimpahan wewenang ini mengisyaratkan bahwa pemerintah daerah berupaya keras untuk membangun daerahnya dengan melibatkan secara aktif semua potensi yang ada di daerah. Dalam kerangka ini, proses reenginering, kerja sama dan kemitraan dengan perguruan tinggi menjadi sesuatu yang sangat sentral dan mendesak untuk diperhatikan dalam membangun pola atau formula-formula kemitraan yang sesuai dengan jiwa otonomi daerah itu sendiri. Ditinjau dari pemberlakuan Undang-undang No.20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional memberi isyarat bahwa kegiatan tridarma perguruan tinggi hendaknya dilaksanakan secara fungsional dan terpadu. Hal ini mengandung makna bahwa pengelolaan mutu perguruan tinggi secara menyeluruh diarahkan kepada kemampuan menyelenggarakan pendidikan, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat secara baik dan terkendali. Untuk itu, pengkajian dan pengembangan misi maupun peran perguruan tinggi harus benar-benar terwadahi dalam kegiatan tridarmanya.

pembangunan daerah akan paralel dengan tujuan otonomi daerah itu sendiri yaitu semakin sejahteranya aspek sosio-ekonomi masyarakat. Satu hal yang patut dipahami oleh perguruan tinggi dan pemerintah daerah dalam hal ini adalah perlunya persepsi yang sama antara kalangan sivitas akademik, unsur pemerintah daerah dan seluruh stake holders dan segenap lapisan masyarakat tentang fungsi perguruan tinggi itu dalam membangun masyarakat dan bangsa. Perguruan tinggi mengemban tugas dan fungsi tertentu di masyarakat terutama sebagai lembaga pendidikan dan lembaga peneliti yang jika dijalankan dengan baik akan menghasilkan Sumber Daya Manusia (SDM) terdidik, IPTEKS dan jasa bagi pembangunan masyarakat. Sesuai dengan fungsi tersebut, maka program dan kegiatan pengabdian kepada masyarakat harus bersifat edukatif serta dilandasi oleh pemikiran untuk menolong khalayak sasaran agar mampu menolong dirinya sendiri melalui pemanfaatan ipteks yang inovatif. Atas dasar pemikiran seperti itu, khalayak sasaran pun diharapkan berperan sebagai mitra kerja dalam pelaksanaan kegiatan sehingga akselerasi iptekisasi kehidupan masyarakat dapat berlangsung dengan baik. Berkenaan dengan pertimbangan khalayak sasaran kegiatan demikian, maka perlu pula dipertimbangkan tingkat perkembangan dan kemampuan perguruan tinggi pelaksana, dalam hal ini Universitas Negeri Medan (Unimed). Memiliki Sumber Daya Manusia (SDM) sebanyak 1.351 orang, terdiri dari 929 orang dosen/staf akademik 39,1% dosen berpendidikan S1; 53,1% berpendidikan S2; dan 7,9% berpendidikan S3. Tugas dan fungsi Unimed yang dalam pelaksanaannya bersifat terpadu, serta dengan menyadari bahwa untuk menjalankan misi pengabdian kepada masyarakat, melibatkan bukan saja sumber daya yang ada di Unimed melainkan juga sumber daya di luar Unimed seperti: instansi pemerintah, instansi swasta, industri, pengusaha swasta, lembaga sosial masyarakat, dan lain-lain, maka secara umum kebijakan yang ditempuh oleh Unimed dalam menjalankan misi pengabdiannya adalah mendorong ke arah terciptanya suasana yang kondusif bagi terselenggaranya program pengabdian masyarakat itu secara efektif dengan hasil yang memuaskan.

Seirama dengan Rencana Kerja Pemerintah (RKP) tahun 2005 dan strategi pengembangan Pendidikan Tinggi Jangka Panjang (HELTS 2003-2010) sebagaimana disebutkan di atas, pengelolaan penyelenggaraan kegiatan pengabdian kepada masyarakat. Peranannya sebagai tinktank dalam

Kota Medan merupakan kota terbesar ketiga di Indonesia yang berdasarkan letak geografisnya terletak antara : 2°27' - 2°47' Lintang Utara dan 98°35' - 98°44' Bujur Timur, dengan ketinggian antara 2,5 – 37,5 meter di atas permukaan laut. Secara administrasi, letak Kota Medan berbatasan

PENDAHULUAN Kementerian Pendidikan Nasional secara berkesinambungan terus tetap melakukan pembangunan Pendidikan Nasional. Namun pada kenyataan pengangguran masih relatif tinggi di Indonesia. Dengan demikian menuntut pemerintah dan pihak terkait merumuskan sebuah kerangka kerja yang komprehensif dengan memperhatikan berbagai kondisi baik internal maupun eksternal, sehingga ke depan bisa terjadi peningkatan keselarasan antara pendidikan dengan dunia kerja yang diukur berdasarkan capaian nilai indeks keselarasan (Alignment Index). Penyelarasan pendidikan dengan dunia kerja merupakan sebuah upaya komprehensif untuk mensinkronkan pendidikan nasional dengan kebutuhan dunia kerja, sehingga terjadi keselarasan dalam pelaksanaannya yang tidak terlepas dari penerapan undang –undang.

94


Vol. 8. No. 2, Juni 2011

Jurnal INOVASI - Balitbang Provsu

dengan Kabupaten Deli Serdang di sebelah utara, selatan, timur dan barat. Kota Medan merupakan ibukota Provinsi Sumatera Utara, dengan luas wilayah daerah sekitar 265,10 km². Kota Medan terdiri atas 21 kecamatan yang terbagi dalam 151 kelurahan dan 2000 lingkungan dengan jumlah penduduk sebanyak 2.067.288 jiwa pada tahun 2007 (Medan dalam Angka, 2007). Sejalan dengan keberadaan Kota Medan sebagai kota jasa, perdagangan dan industri, termasuk fungsi Kota Medan sebagai pintu masuk utama arus wisatawan ke Pulau Sumatera maka kualitas pendidikan merupakan syarat mutlak yang harus ditingkatkan.

tenaga kerja sektoral kota Medan Tahun 2006 (BPS, 2007) terlihat bahwa wilayah Kota Medan berada pada sektor sekunder dan tertier, khususnya mencakup sektor perdagangan, hotel dan restoran yaitu sebesar 35,73%. Sedangkan penyerapan yang paling kecil adalah sektor pertambangan dan galian yaitu sebesar 0,39 %. Selanjutnya, jika ditinjau dari data lowongan pekerjaan yang terdaftar dan telah dipenuhi (Medan dalam Angka 2007), maka sektor yang memiliki kebutuhan paling tinggi adalah jasa kemasyarakatan, sosial dan perorangan yaitu sebanyak 12.025 orang, namun yang terpenuhi hanya 237 orang atau sekitar 2%. Sedangkan sektor yang paling terpenuhi adalah sektor industri pengolahan sebanyak 3700 orang.

Pada tahun 2008 salah satu prioritas pembangunan Pemerintah Kota Medan dalam bidang pendidikan adalah pengembangan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) sesuai kebutuhan untuk menunjang pembangunan Kota Medan sebagai kota jasa, perdagangan dan industri. Kebijakan ini sebenarnya sudah bergulir sejak tahun 2004, seiring dengan Rencana Strategis Depdiknas 2004-2009 pada Pendidikan Menengah yang menargetkan rasio SMA : SMU pada tahun 2009 menjadi 40 : 60, dan pada tahun 2015 diharapkan SMA : SMK menjadi 30 : 70. Sebelumnya, yaitu dibawah tahun 2004 SMU : SMK adalah 70 : 30. Artinya bahwa pada tahun 2015 rasio akan berbanding terbalik, SMK yang menjadi prioritas. Jika melihat data jumlah sekolah menengah di Kota Medan, apa yang menjadi target tahun 2009 dalam Renstra Depdiknas, pada tahun 2008 sudah tercapai di Kota Medan. Jumlah SMK yang terdata dalam Data Pokok SMK Direktorat Pembinaan Sekolah Menegah Kejuruan Kementrian Pendidikan Nasional (http://datapokok.ditpsmk.net) jumlah SMK untuk Kota Medan Periode 2010 / 2011 adalah 140 sekolah, dimana 12 sekolah berstatus negeri dan 128 sekolah berstatus swasta. Pada tingkat perguruan tinggi, kota Medan juga merupakan pusat pendidikan di Provinsi Sumatera Utara bahkan di Sumatera. Hingga tahun 2010 tercatat 140 perguruan tinggi yang terdapat di kota Medan, dimana 4 di antaranya berstatus Negeri dan 136 swasta (http://medan.dapodik.org). Keberadaan perguruan tinggi ini sangat mempengaruhi pada ketersediaan SDM pada tingkat strata 1 di berbagai sektor.

Pelaksanaan pemetaan kebijakan dari sisi pasokan ini merupakan kegiatan yang cukup kompleks sebab dilakukan secara lintas sektor. Kebutuhan tenaga kerja tentunya akan dilihat berdasarkan permintaan dari dunia industri pada masing-masing sektor. Sedangkan ketersediaan tenaga kerja akan terlihat dari data lulusan lembaga penyelenggara pendidikan. Kendala yang sangat mungkin terjadi dalam pemetaan kebijakan dari sisi pasokan ini adalah tidak sinkronnya data pasokan dengan data kebutuhan. Hal ini bisa saja disebabkan masih lemahnya sistem database khususnya lembaga penyelenggara pendidikan terkait distribusi lulusan dalam dunia pekerjaan. Di samping itu, aspek penilaian kebijakan juga masih sulit untuk dilakukan sebab dampak dari kebijakan tidak dirasakan langsung oleh lembaga pendidikan dan penyedia lapangan pekerjaan. Oleh sebab itu, sistem penilaian terhadap kebijakan akan disesuaikan dengan permasalahan yang berkembang. Sejalan dengan laju perkembangan dunia kerja, masalah pengangguran dan minimnya pekerja sesuai dengan skill semakin meningkat. Oleh karena itu diperlukan suatu pemetaan bagi lembaga pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan stakeholder. Dalam arti kelembagaan pendidikan yang dominan diperlukan oleh stakeholder. Sehingga keluaran yang diharapkan adalah suatu tenaga kerja yang benar-benar dibutuhkan oleh dunia usaha dan pekerja. Kebutuhan dunia usaha dan pekerja dimulai dari pendataan stakeholder yang sesuai dengan skill, jumlah pertahun yang diterima, gaji yang diterima, dan kebutuhan .

Di samping pendidikan formal, jumlah lembaga pendidikan non formal juga cukup tinggi di Kota Medan. Berdasarkan data www.pemkomedan.go.id terdapat sedikitnya 23 lembaga pendidikan non formal di Kota Medan. Lembaga pendidikan non formal ini pada umumnya terkonsentrasi di bidang keahlian bahasa, teknik, bimbingan studi, dan jasa. Namun dari kenyatan yang terjadi, masalah kesesuaian jumlah (proporsi) lulusan setiap program keahlian dengan kebutuhan dunia kerja masih belum sesuai. Berdasarkan data penyerapan

Salah satu kebutuhan yang perlu diketahui dengan tepat, baik untuk kondisi saat ini maupun proyeksi ke depannya adalah kondisi dunia kerja baik pasar kerja domestik maupun pasar kerja internasional, pada usaha sektor formal ataupun informal. Pemetaan dan analisis kebijakan sisi pasokan adalah salah satu program penyelarasan yang bertujuan untuk mengidentifikasi dan menganalisa kebijakankebijakan yang berkaitan dengan sisi pasokan mulai 95


Vol. 8. No. 2, Juni 2011

Jurnal INOVASI - Balitbang Provsu

terhadap efektivitas penyediaan permintaan dunia kerja.

dari isi hingga dampak yang ditimbulkan oleh kebijakan-kebijakan tersebut yang berkontribusi terhadap terciptanya keselarasan pendidikan dengan dunia kerja. Keberadaan lembaga pendidikan sebagai pemasok tenaga kerja seharusnya didasarkan pada analisis kebutuhan tenaga kerja (demand and supply analisys). Fakta di lapangan, paling tidak pada masa sebelum tahun 2004 yang terjadi adalah supply driven. Hal ini tentunya sangat perlu dikontrol melalui kebijakan pemerintah. Kondisi yang terjadi saat ini, beberapa kebijakan mungkin saja belum mampu untuk menyeimbangkan proporsi ketersediaan dan kebutuhan tersebut. Oleh karena itu, pemetaan kebijakan dari pasokan tenaga kerja sangat perlu dilakukan agar dunia pendidikan sebagai penyedia lulusan yang berorientasi pada permintaan dunia kerja.

lulusan

pada

3. Lokasi Lokasi pelaksanaan dalam pengambilan instrumen kebijakan pendidikan dan permintaan dunia kerja dilakukan di kota Medan Provinsi Sumatera Utara. Sampel dalam pemetaan ini adalah pihak penentu kebijakan di daerah dalam hal ini dinas terkait dan pihak lembaga penyelenggaran pendidikan dalam hal ini adalah Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), Politeknik, Universitas, Lembaga Non Formal (Kursus). Penentuan sampel menggunakan purposive random sampling, dengan sampel yang diambil disesuaikan dengan kiteria yang telah ditentukan diantaranya : (1) Keterwakilan semua jenis dan level pendidikan, (2) Keterkaitan lembaga dengan permasalah, dan (3) Keterjangkauan lokasi. Jumlah sampel yang diambil dalam pemetaan pasokan ini adalah 22 lembaga, dengan7 instansi penentu kebijakan di antaranya Dinas Pendidikan, Dinas Pariwisata, Dinas Perindustrian dan Perdagangan , Dinas Pertanian, Dinas Perhubungan, Dinas Kesejahteraan Sosial, dan Dinas Koperasi - UKM, dan 15 lembaga penyelenggara pendidikan terdiri dari 3 SMK, dari populasi 179 SMK yang berstatus Negeri dan swasta dan 3 Politeknik, 3 Akademi, 3 Universitas, meliputi 9 Perguruan Tinggi dari 140 Perguruan Tinggi Negeri dan swasta yang berdomisili di kota Medan. Masing-masing lembaga penyelenggra pendidikan yang diambil akan mewakili masingmasing sektor yang akan dipetakan yaitu sektor manufaktur, sektor pertanian, dan sektor jasa.

Berdasarkan latar belakang di atas, maka dilakukan penelitian yang bertujuan untuk: 1) melakukan pemetaan kebijakan pendidikan yang dikeluarkan oleh sejumlah kementerian terkait dengan sistem pendidikan; dan 2) melakukan analisis terhadap semua kebijakan dan mengidentifikasi dampak kebijakan terhadap efektivitas penyediaan lulusan yang berorientasi pada permintaan dunia kerja.

METODE PENELITIAN 1. Metodologi Kajian Kegiatan pemetaan dan analisis kebijakan sisi pasokan yang berkontribusi pada penyelarasan pendidikan dan dunia kerja dilakukan dengan metode pendataan kebijakan pada setiap lembaga yang berkontribusi terhadap pendidikan dan dunia kerja seperti Dinas Pendidikan, Dinas Pariwisata dan Kebudayaan, Dinas Perindustrian dan Perdagangan, Dinas Pertanian, Dinas Perhubungan, Dinas Kesejahteraan Sosial, dan Dinas Koperasi – UKM. Kemudian dilakukan pengambilan data keterpakaian kebijakan tersebut dalam menghasilkan lulusan secara sampling ke sekolah maupun perguruan tinggi baik negeri maupun swasta. Kriteria nilai akreditasi tertentu (A, B, C, D) digunakan sebagai dasar untuk menentukan lembaga pendidikan sebagai pelaksana setiap kebijakan. Dari kedua sumber data (lembaga pendidikan negeri dan swasta) yang diperoleh maka dilakukan pengolahan dan pengkajian dengan metode Regulatory Impact Analysis (RIA).

4. Tahapan Pelaksanaana (Prosedur) a.

Inventarisasi kebijakan

Pada tahap ini dilakukan pendataan kebijakan apa saja yang terkait dengan sisi pasokan yang berkontribusi pada penyelarasan pendidikan dan dunia kerja di Kota Medan. Kebijakan yang akan dianalisis nanti adalah yang dikeluarkan oleh instansi terkait pada bidang pendidikan, industri, pariwisata, pertanian, dan jasa, mulai di tingkat nasional hingga ke tingkat daerah. b.

Penilaian butir kebijakan

Kebijakan yang telah diinventaris selanjutnya ditelaah pada setiap butir kebijakannya untuk melihat bagian mana saja yang terkait dengan sisi pasokan tenaga kerja. Penilaian butir ini nantinya yang akan digunakan sebagai instrumen penilaian dampak kebijakan yang akan ditanyakan kepada lembaga pendidikan. Pembuatan instrumen mengacu kepada pedoman pemetaan dan analisis

2. Waktu Pelaksanaan Waktu pelaksanaan kegiatan dimulai dari minggu kedua Oktober 2010 sampai akhir Nopember 2010 melalui sistem penggunaan instrument pemetaan kebijakan pendidikan, analisis terhadap semua kebijakan dan mengidentifikasi dampak kebijakan 96


Vol. 8. No. 2, Juni 2011

Jurnal INOVASI - Balitbang Provsu

kebijakan sisi pasokan yang berkontribusi pada terjadinya penyelarasan pendidikan dengan dunia kerja yang disusun oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Non Formal dan Informal. ini Aspek yang akan dinilai dalam pemetaan ini disesuaikan dengan kriteria pertanyaan dalam metode RIA yang terdiri dari (1) Kesesuaian analisis masalah, (2) Kebutuhan keterlibatan Pemerintah, (3) Pemilihan Kebijakan, (4) Dasar Hukum, (5) Level Penentu Kebijakan, (6) Efektivitas Kebijakan, (7) Keterjangkauan Kebijakan, (8) Kemudahan akses terhadap Kebijakan, (9) Keterlibatan stakeholder dalam perumusan kebijakan, dan (10) Implementasi Kebijakan.

6. Analisis data Analisis data dilakukan dengan menggunakan Regulatory Impact Assessment (RIA). Metode ini dipilih sebab dapat menguji motif di balik pilihan kebijakan yang dibuat, sehingga kebijakan bersifat populis dengan melibatkan bersama antara regulator dengan konsultasi dengan para stakeholder. Metode RIA merupakan satu bentuk telaah terhadap aturan main pemerintah dengan lebih memperhatikan problem yang terjadi di masyarakat (problem focus). Pelibatan masyarakat/publik sebagai stakeholder menjadi suatu keniscayaan dalam melakukan review/telaah terhadap regulasi berbasis RIA. Analisis risiko, biaya, dan manfaat serta penerapan transparansi dan akuntabilitas bisa menguji kepentingan dominan di balik kebijakan. Regulatory Impact Analysis (RIA) sebagai alat evaluasi kebijakan, bertujuan menilai secara sistematis pengaruh negatif dan positif terhadap regulasi yang sedang diusulkan atau yang sedang berjalan. RIA sebagai sebuah metode dalam penyusunan kebijakan, lebih mengakomodasi keinginan dan kebutuhan masyarakat tanpa harus meninggalkan keinginan pemerintah memberikan pengaturan terhadap sesuatu masalah yang terjadi di masyarakat. Dokumen RIA dialisis dengan metode : 1. Soft benefit-cost analysis and integrated analysis Ananlisis diasarkan pada kerangka trade-off yang diidentifikasi dan keuntungan yang maksimal di berbagai tujuan kebijakan sehingga menghasilkan peraturan yang memaksimalkan keuntungan terbesar dengan solusi biaya terendah. 2. Partial analyses Analisis ditekankan untuk menghindari risiko bias dalam tiap kelompok. Analisis parsial menekankan bahwa semua dampak spesifik akan diintegrasikan ke dalam kerangka analisis yang lebih besar. 3. Risk Assessment and Uncertainty Analysis Analisis ditekankan pada sebuah pencegahan sebagai pilihan kebijakan dengan asas ketidakpastian, penilaian resiko serta sensitivitas peraturan.Seluruh data yang diperoleh dalam FGD selanjutnya diuraikan dalam sebuah tabel analisis komponensial karakteristik stakeholder pada masing-masing dimensi yang dikontaskan untuk mengetahui kondisi yang mendukung dan tidak mendukung (Lampiran). Hasil analisis ini nantinya akan menunjukkan peta keselarasan antara kebijakan yang telah dikeluarkan dengan keterserapan pasokan tenaga kerja yang dihasilkan dari lembaga penyelenggara pendidikan. Selanjutnya secara terperinci langkah setiap tahapan dijelaskan dalam gambar 1.

5. Pengambilan data Tahan pengambilan data merupakan salah satu tahap inti dari pemetaan kebijakan sisi pasokan ini. Pengambilan data ini dilakukan untuk memperoleh dari sumber data primer mengenai tingkat keselarasan antara kebijakan yang dikeluarkan dengan sisi pasokan yang dihasilkan oleh lembaga penyelenggara pendidikan. Pengambilan data dilakukan dengan In deep Interview terkait masingmasing dinas dalam pembuatan kebijakan serta dampaknya pada pengguna kebijakan dalam proses penyelenggaraan pendidikan dan lulusan yang dihasilkan. Pelaksanaan in deep interview dilakukan dengan menggunakan metode Focus Group Discussion (FGD). Pemilihan motode FGD dalam tahap pengambilan data didasari karena metode FGD ideal digunakan untuk meminta tanggapan (pemecahan) kelompok. Oleh karena, pemetaan kebijakan sisi pasokan ini lebih bersifat lintas sektor maka metode FGD akan lebih efektif digunakan untuk menghasilkan data informasi yang akurat. Metode FGD kebijakan sisi pasokan ini direncakana dilakukan pada 2 bagian yaitu pada pembuatan kebijakan (dinas) dan pada pengguna kebijakan (SMK, perguruan tinggi, dan lembaga non formal). FGD ini melibatkan seluruh sampel yang ditentukan baik dari pihak intansi pembuat kebijakan, maupun dari lembaga penyelenggara pendidikan. Masing-masing pihak yang dilibatkan dalam FGD disesuaikan dengan keterkaitannya dengan permasalahan. Pihak dari dinas diwakili oleh kepala dinas hingga kepala bidang, SMK diwakili oleh kepala sekolah dan para guru, dan perguruan tinggi diwakili oleh ketua jurusan dan para dosen. FGD pertama dilakukan pada minggu pertama bulan November 2010, sedangkan FGD kedua dilakukan pada minggu kedua bulan November 2010, yang direncanakan dilaksanakan di instansi dan lembaga masingmasing. Hasil diskusi persepsi dan penilaian kebijakan ditentukan dan disusun dalam sebuah instrumen.

97


Vol. 8. No. 2, Juni 2011

Jurnal INOVASI - Balitbang Provsu

Tabel 1. Lembaga Pendidikan N o

Lembaga Pendidikan

Stat us

1.

SMK NEGERI 2 MEDAN

N

2.

SMK SWASTA JOSUA

S

3.

SMK NEGERI 11 MEDAN

N

4.

Universitas Sumatera Utara

N

5.

Universitas Negeri Medan

N

6.

Univ. Islam Sumatera Utara Politeknik Negeri Medan

S

8.

Politeknik LP3i Medan

S

9.

Akademi Teknologi Industri Immanuel

S

10. Akper-Analis Kesehatan-Analis Farmasi dan Makanan Dr. Rusdi 11. Akademi Maritim Indonesia 12. STIPER Agrobisnis Perkebunan 13. Balai Latihan Industri Medan

S

7.

Alamat

Bidang

Akredi tasi

Jl. STM No. 12 A Medan, MEDAN AMPLAS, KOTA MEDAN, 20219 Jl. GB. Josua No. 30 Medan, MEDAN PERJUANGAN , KOTA MEDAN, 20232 Jl. Perintis Kemerdekaan No. 31 Medan, MEDAN TIMUR, KOTA MEDAN, 20235 Jl. Dr. Mansyur Medan

Otomotif

A

Akuntansi

B

Seni Musik

C

Teknik Industri

B

Jl. Willem Iskandar Pasar V Medan Estate Jl. SM Raja Medan JL. Almamater No.1 Kampus USU Medan

Bahasa Inggris

B

Pertanian

B

Teknik Mesin

B

Jl. H.Adam Malik No 191, Glugur By Pass Medan Jl. Gatot Subroto

Akuntansi

C

Teknik Elektronik a

B

S

Jl. Sutan Oloan Medan

Jasa (Kesehat an)

C

S

Jl. Brigjend Bejo Medan Jl. Willem Iskandar Sampali Medan Estate Jl. Jend. Gatot Subroto km 7,8 Medan

N

Gambar 1. Tahapan Proses Kajian

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 1. Deskripsi Umum Sampel Dari data Pokok Pendidikan Wilayah Dinas Pendidikan Kota Medan terdapat 140 SMK, dimana 12 sekolah berstatus negeri dan 128 sekolah berstatus swasta. Pada tingkat perguruan tinggi, tercatat 140 perguruan tinggi, dimana 4 di antaranya Negeri dan 136 swasta, juga terdapat 23 lembaga pendidikan non formal yang pada umumnya terkonsentrasi di bidang keahlian bahasa dan teknik. Dari jumlah keseluruhan sampel diatas berdasarkan variasi nilai akreditasi dari yang tertinggi sampai yang terendah, variasi bidang kajian, serta tingkatan pendidikan sekolah menengah kejuruan (SMK) dan politeknik maka terpilih 3 sekolah menegah kejuruan (SMK), 9 Perguruan Tinggi dan 1 lembaga pendidikan informal, yang tertera pada tabel 1 dibawah ini.

S

B Pertanian

B

Manufakt ur

A

Keterangan : N = Negeri S = Swasta Kebijakan terhadap Undang-Undang terfokus pada sistem pendidikan nasional harus mampu menjamin pemerataan kesempatan pendidikan, peningkatan mutu serta relevansi dan efisiensi manajemen pendidikan untuk menghadapi tantangan yang sesuai dengan tuntutan perubahan kehidupan lokal, nasional, dan global dalam pembaharuan pendidikan secara terencana, terarah, dan berkesinambungan. Pelaksanaan pemetaan kebijakan dari sisi pasokan dilakukan secara lintas 98


Vol. 8. No. 2, Juni 2011

Jurnal INOVASI - Balitbang Provsu

sektor, berdasarkan kebutuhan tenaga kerja atas permintaan dunia industri yang melibatkan 7 dinas terkait dari 21 dinas yang bernaung dikota Medan , mendukung lintas antar bidang berdasarkan kebutuhan tenaga kerja meliputi dinas pertanian, dinas tenaga kerja, dinas perindustrian, dinas pariwisata, dinas perhubungan, dan dinas sosial. a.

3.

Institusi Pemerintahan 4.

1) Lembaga Pendidikan a) SMK Negeri 11 Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 11 Medan terdiri dari dua kompetensi keahlian yaitu Seni Musik Klasik dan Seni Musik Non Klasik yang masing-magsing berakreditas C. Kurikulum digunakan di SMK Negeri 11 Medan adalah Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Dari hasil survey yang dilakukan ditemukan beberapa hal diantaranya : 1. Penerapan Pembelajaran membangun karakter bangsa sudah dilakukan yaitu dengan menyelenggarakan ekstra/kokurikuler antara OSIS, Kesenian 2. Sarana prasarana masih relatif kurang. 3. Dari data yang diperoleh hanya 5 orang dari 20 orang guru yang memiliki kompeten sesuai dibidangnya. 4. Lulusan banyak bekerja diluar bidang keahliannya. 5. Belum diterapkan muatan lokal khususnya yang sesuai potensi daerah. 6. Belum ada upaya untuk membangun jaringan untuk mendapatkan pekerjaan. 7. Penerapan Pembelajaran berbasis TIK / epembelajaran bagi siswa SMK belum dilakukan. 8. Penerapan Pembelajaran Kewirausahaan bagi siswa SMK belum dilakukan.

5.

6.

7. 8.

9.

c)

Permesinan) dilakukan kerjasama dengan Toyota yang sudah berjalan selama 3 tahun dimana kurikulum disesuaikan dengan toyota serta siswa berkesempatan magang langsung ke perusahaan Toyota. Kerjasama dalam hal magang juga dilakukan dengan perusahaan diantaranya : Perusahaan Listrik Negara (PLN), PT. Sumatera Berlian Motor, CV. Pembangunan Baru Consultan, Pilar Deli Kencana, dan Bengkel Bubut Setia. Sudah berjalan bursa kerja dimana sekolah didatangi oleh perusahaan dan melakukan seleksi langsung di sekolah. Perusahaan yang sudah melakukan bursa kerja diantaranya: Trakindo, Aerospace, dan Starpom. Penerapan Pembelajaran Kewirausahaan bagi siswa SMK sudah dilakukan yaitu dengan menerapkan penerapan mata pelajaran kewirausahaan. Penerapan Pembelajaran membangun karakter bangsa sudah dilakukan yaitu dengan menyelenggarakan ekstra/kokurikuler antara lain OSIS, Pramuka, Paskibra, Olah Raga. Minat siswa untuk melanjutkan ke perguruna tinggi. Belum ada muatan lokal pada kurikulum sebab belum adanya koordiasi dari pemerintah daerah tentang kempetensi yang dibutuhkan dan potensi daerah. Proses magang di perusahaan kurang optimal sebabmateri yang diajarkan disekolah masih banyak yang tidak sesuai dengan yang dipraktekkan di perusahaan, sehingga siswa harus melakukan penyesuaian yang lebih lama. Hal ini disebabkan karena media ajar dan kompetensi guru yang masih lemah untuk menyesuaikan dengan perkembangan kebutuhan DU/DI. SMK Joshua Medan

SMK Joshua Medan merupakan salah satu SMK Swasata di Kota Medan yang memiliki kompetensi keahlian dibidang Administrasi Perkantoran dan Akuntansi, dimana akreditas untuk kompetensi keahlian akuntasni adalah A dan Administrasi Perkantoran adalah B. Struktur organisasi sekolah secara umum sudah berjalan dengan baik. Beberapa informasi penting yang diperoleh dari SMK Joshua antara lain : 1. Kurikulum sepenuhnya mengacu pada Permendiknas. 2. Seluruh guru sudah berpendidikan S1 dan sesuai dengan kompetensi yang diajarkan. 3. Sudah dilakukan kerjasam dengan DU/DI dalam hal praktek lapang (magang), diantarnya Hotel Pardede, Kantro Pajak, Kantor Gubernur, Kantor Walikota, Perusahaan Listrik Negara (PLN), PT. Telkom, PT. PJKA, PT. Pos Indonesia, dan lain-lain.

b) SMK Negeri 2 Medan Secara struktur organisasi, SMK Negeri 2 sudah berjalan baik. SMK Negeri 2 Medan terdiri dari 5 kompetensi keahlian yaitu : (1) Teknik Kontruksi Batu dan Beton, (2) Teknik Gambar Bangunan, (3) Teknik Instalasi Tenaga Listrik, (4) Teknik Pemesinan, dan (5) Teknik Kendaraan Ringan. Dari kelima komptensi keahlian tersebut Teknik Kendaraan Ringan berakreditas A dan lainnya berakreditas B. Kurikulum yang diterapkan di sokolah ini adalah Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Beberapa informasi penting yang diperoleh dari SMK 2 Medan diantaranya : 1. Seluruh guru sudah berpendidikan S1 dan 2 orang berpendidikan S2. 2. Khusus untuk kompetensi keahlian Otomotif (Teknik Kendaraan Ringan dan Teknik 99


Vol. 8. No. 2, Juni 2011

4. 5.

Jurnal INOVASI - Balitbang Provsu

Motivasi siswa untuk bekerja lebih tinggi dibandingkan melanjut ke perguruan tinggi. Belum ada kerjasama dengan DU/DI dalam hal penempatan lulusan lain.

ini berstatus akreditas B. Dari hasil kunjungan, diperoeh beberapa informasi informasi yaitu : 1. Sudah terjalin kerjasama dengan 34 perusahaan dimana alumni bekerja. 2. Perusahaan tempat lulusan bekerja banyak di kalimatadan di papua. 3. Kerjasama juga dilakukan dengan PT. Telkom khususnya dalam hal kuliah umum.

d) Program Studi Teknik Industri Universitas Sumatera Utara Kondisi organisasi Departemen Tekik Industri Universitas Sumatera Utara sudah berjalan dengan sangat baik. Secara umum kurikulum yang saat ini diterapkan mengacu kepada standar yang disusun oleh Direktorat Pendidikan Tinggi dan menambahkan beberapa masukan dari DU/DI. Beberapa informasi yang diperoleh dari kunjungan yang dilakukan diataranya: 1. Seluruh dosen sudah berpendidikan minimal S2 dan sudah sesuai kompetensi masing-masing. 2. Revisi kurikulum dilakukan 5 tahun sekali dengan melibatkan stakeholder dan alumni. 3. Sebaran kurikulum yang diterapkan 60% sesuai yang diwajibkan Dirjen Dikti dan 40% disesuaikan dengan kebutuhan DU/DI. 4. Sudah dibentuk pusat informasi pasar kerja sehingga keterserapan lulusan lebih optimal. 5. Saat ini lulusan sudah bekerja di perusahaan besar seperti : PT. Telkom, PT. PLN, PT. Perkebunan Nusantara, dan lain-lain. 6. Dalam hal Sarana prasaran, terdapat beberapa alat yang berasal dari dana hibah yang tidak bisa beropreasi sebab komponennya sangat sulit dijumpai. e)

g) Politeknik LP3i-akuntasi Politekik LP3i memiliki program studi: (1) Manajemen Informatika Kompute, (2) Software Programming, (3) Komputer Administrasi, (4) Komputer Akuntansi, (5) Teknik Elektronika, (6)Desain & Animasi, (7) Mesin Otomotif, (8) Technopreneurship. Dalam kajian ini, program studi yang libatkan sebagai sampel adalah akuntansi. Akreditasi program studi akuntansi LP3i saat ini adalah C. beberapa informasi yang diperoleh dari kujungan ke lapangan dinataranya : 1. Kurikulum yang digunakan 50% berasal dari stakeholder 2. Sudang terjalin beberapa kerjasama dengan DU/DI, diantaranya Bank Rakyat Indonesia, dan bebarapa bank lain. h) Politeknik Negeri Medan Politeknik Negeri Medan memiliki 9 program studi, diantaranya : (1) T. Mesin, (2) Teknik Energi, (3) Teknik Elektro, (4) Teknik Elektronika, (5) Teknik Telekomunikasi, (6) Teknik Akuntansi, dan (7) Teknik Perbankan. Dalam kajian ini, sampel yang digunakan adalah program studi teknik mesin. Status akreditas program studi teknik mesin saat ini adalah B. Beberapa informasi yang diperoleh pada saat kunjungan adalah 1. Kurikulum mengacu pada putusan penbantu direktur bidang akademik. 2. Beberapa perusahaan sudah menjali kerjasama untuk dalam hal pemenuhan tenaga kerja. Perusahaan yang sudah bekerjasama dinatarnya PT. Pertamia, PT. Perusahaan Listrik Nasional, PT. Perkebunan Nusantara dan beberapa bank swasta dan BUMN. 3. Sudah terjalin kerjasama pendidikan dengan PT. PLN, dimana Politeknik Negeri Medan mendidik tenaga-tenaga untuk dipersiapkan sesuai dengan standar kurikulum yang diberlakukan di PT. PLN selanjutnya dilaksanakan praktek lapangan di PT, PLN, dan seluruh biaya pendidikan. 4. Bisnis centre dan bengkel di politenik negeri medan saat ini tidak beroperasi lagi dengan baik, sebab jumlah dosen yang terlibat semakin sedikit. 5. Komposisi dosen yang dengan kompetensi akademis lebih dominan dibandingkan dosen dari latar belakang komptensi profesional.

Program Studi Bahasa Inggris Universitas Negeri Medan

Program Studi Bahasa Inggris Universitas Negeri Medan terdapat pada Fakultas Bahasa dan Seni. Secara umum, sistem organisasi di jurusan bahasa inggris sudah berjalan dengan baik. Saat ini status akreditasi jurusan bahasa inggris Unimed adalah C, dan saat ini sedang dalam proses re-akreditasi. Beberapa informasi yang diperoleh dari kunjungan ke lapangan antara lain : 1. Jurusan sudanh melibatkan stakeholder dalam menyusun kurikulum 2. Mahasiswa terlibat dalam kegiatan-kegiatan ilmiah diluar kampus 3. Sudah dilakukan kegiatan pertukaran mahasiswa ke luar negeri 4. Beberapa dunia usaha sudah mengirimkan informasi kebutuhan tenaga kerja, misalnya museum, dan perusahaan pariwisata. f)

Program Studi Agroteknologi Pertanian Universitas Islam Sumatera Utara

Program Studi Agroteknologi merupakan hasil penggabungan beberapa program studi yaitu agronomi, ilmu tanah, ilmu hama dan penyakit. Saat 100


Vol. 8. No. 2, Juni 2011

6.

7.

i)

Jurnal INOVASI - Balitbang Provsu

akreditas BAN-PT, AMI Medan berstatus akreditas B. Informasi yang diperoleh dari kunjungan diantaranya: 1. Sudah terjalin kerjasama dengan DU/DI dalam hal praktek lapangan (magang) khususnya dengan perusahaan pelayaran. 2. Sudah terbentuk ikatn alumni sebagai wadah informasi pekerjaan 3. Sudah melakukan kerjasama dengan dalam hal informasi kebutuhan tenaga kerja. Perusahaan dan organisasi yang sudah melakukan kerjasama diantaranya : Persatuan Pelayaran Nasional Indonesia, PT. Bahana Galang Jaya Batam, PT. Tirtacipta Mulyapersada, Aministrator Pelabuhan Utama Belawan, Akademi Laut Malaysia, dan lain-lain. 4. Standar pendidikan sudah mengacu pada kompetensi yang dibutuhkan pada langan kerja dan IMO Model Corse serta STCW 95, dengan sertifikat Ahli Nautika Tingkat III/ Deck Officer Class III yang berlaku internasional.

Sehingga komposisi praktek yang seharusnya lebih banyak menjadi berkurang. Politeknik sebagai lembaga pendidikan yang menghasilkan tenaga yang sipa pakai, justru dijadikan sebagai perantara untuk jenjang S1, sehingga lulusan lebih dominan melanjut ke S1 dibanding dengan langsung bekerja. Kepercayaan dunia usaha terhadap kualitas lulusan menurun, sebab kompetensi lulusan saat ini lebih didominasi oleh kemampuan akademik, bukan kemampuan profesional. Akademi Perawat dr Rusdi

Akademi Perawat dr. Rusdi merupakan salah satu akademi yag bergerak dibidang kesehatan. Berdasarkan hasil kunjungan diperoleh beberapa informasi diantaranya : 1. Sarana perkualihan sudah mencukupi sebab didukung oleh rumah sakit dr. Rusdi 2. Secara umum keterserapan lulusan dalam dunia pekerjaan yang sesuai dengan bidang keahliannya sudah cukup baik, artinya pada umumnya lulusan bekerja sesuai dengan bidang keahliannya. 3. Input mahasiswa yang masuk ke akademi dr. Rusdi umumnya berasal dari SMK bidang kimia analis. 4. Beberapa kendala yang dijumpai adalah : a. Link dengan dunia usaha saat ini hanya sebatas rumah sakit. b. Kurikulum seenuhnya ditetapkan oleh dinas kesehatan. j)

l)

Sekolah Tinggi Ilmu Pertanian Agribisnis dan Perkebunan

Sekolah Tinggi Ilmu Pertanian Agribisnis Perkebunan (STIP-AP) Medan Sumatra Utara adalah pendidikan tinggi fokus bidang perkebunan yang menghasilkan lulusan Diploma IV dengan gelar sarjana sain terapan (SST) berupaya keras untuk melaksanakan proses pendidikan yang berorientasi kepada penyerapan lulusan yang optimal di perusahaan perkebunan. Perbaikan manajemen pendidikan secara fundamental dan menyeluruh dari paradigma pendidikan, konsep, visi dan misi serta operasional dan seluruh aspek yang mendukung mutu lembaga pendidikan dengan konsep link & match, yaitu output pendidikan adalah input industri, sehingga konsep budaya dan warna proses pendidikan harus sesuai dengan dunia perkebunan.

Akademi Tekologi Idustri Imanuel Medan

Adapun visi akademi Teknologi Industri Imanuel Medan adalah “Menyelenggarakan pendidikan profesional yang berbasis kompetensi, meningkatkan iptek melalui penelitian terapan, meningkatkan kerjasama dengan industri terkait dalam rangka pengembangan iptek, melaksanakan pengabdian masyarakat dengan cara pengabdian masyarakat, pengembangan dan penerapan teknologi tepat guna. Saat ini akreditasi Akademi Tekologi Idustri Imanuel Medan adalah B. Dari hasil kunjungan lapangan dieroleh informasi : 1. Fasilitas untuk kegiatan pemebelajar masih sangat minim. 2. Kerjasama dengan DU/DI masih berum berjalan dengan optimal. 3. Kompetensi lulusan masih cukup lemah.

Dengan mambangun pengelolaan yang berbasis good university governance, membangun budaya disiplin dan pengembangan karakter dan kapasitas kualifikasi internasional, STIPAP berdiri sejak tahun 2005 dan tiga tahun kemudian (2008) telah mendapat sertifikat ISO. STIP-AP mencanangkan di tahun 2012 STIP-AP menjadi The World Class Plantation University. Semoga, dengan tercapainya visi tersebut STIP-AP mampu berkiprah secara optimal dalam pembangunan industri perkebunan melalui pencetakan SDM yang berkualifikasi unggul di bidang perkebunan kelapa sawit dan karet.

k) Akademi Maritim Indonesia (AMI) Medan Akademi Maritim Indonesia Medan merupakan lembaga pendidikan setingkat diploma 3 yang khususu mempersipakan tenaga lulusan dibidang (1) ketatalaksnaan pelayaranniaga (KPN, (2) Teknika, dan (3) Nautika. Berdasarkan hasil

STIPAP mengelola dua jurusan yaitu BDP (Budi Daya Pertanian) dan TPHP (Teknik Pengelolaan Hasil Pertanian). Perguruan tinggi ini mempunyai sarana yang sangat memadai karena telah 101


Vol. 8. No. 2, Juni 2011

Jurnal INOVASI - Balitbang Provsu

membangun kerja sama dengan pihak perkebunan, bahkan ada perkebunan yang lokasinya di aceh dibuat sebagai sarana praktek yang mereka istilahkan kebun kampus. Lulusan dari kampus ini terserap seluruhnya, bahkan kekurangan untuk memenuhi kebutuhan dunia kerja yang ada. Mengenai kurikulum sangat baik dan sesuai dengan kebutuhan pasar disebabkan oleh dosen yang mengajar di dominasi oleh praktisi kebun dan kurikulum disusun berdasarkan kebutuhan kebun. Kemudian jurusan ini dibuka berdasarkan potensi daerah yaitu perkebunan.

perusahaan, sehingga sampai saat ini masih banyak perusahaan yang melakukan seleksi tenaga kerja. 2) Peta Kebijakan yang Berpengaruh Berdasarkan ruang lingkup kebijakan khususnya pada tiga pilar utama penentu mutu lulusan (pasokan) yaitu muatan lokal, praktek, penempatan maka diperoleh beberapa kebijakan yang berpengaruh diantaranya: a. UU No. 20 Tahun 2003 Undang-undang ini mengatur tentang sistem pendidikan Nasional yang meliputi pendidikan usia dini hingga dunia perguruan tinggi, pendidikan formal maupun informal. Jenjang pendidikan serta penetapan jurusan baik sekolah umum atau pun sekolah menengah kejuruan. Pembagian jurusan yang diatur dalam undang-undang ini sangat berpengaruh pada hasil sisi pasokan. b. UU No. 14 Tahun 2005 Undang-undang No.14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen dilahirkan berdasarkan citacita luhur dari undang-undang dasar tentang pendidikan Nasional dimana salah satu unsurnya adalah guru dan dosen. Didalam undang-undang ini termuat pengakuan dan kedudukan guru dan dosen sebagai tenaga profesional yang mempunyai misi untuk melaksanakan tujuan pendidikan Nasional dan pengangkatan martabat guru dan dosen, menjamin hak dan kewajiban, meningkatkan kompetensi, memajukan profesi serta karier dan peningkatan mutu pendidkan. c. Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 Standar Nasional Pendidikan yang tertuang dalam undang-undang No.19 tahun 2005 mengatur tentang pengelolaan, perencanaan, pelaksanaan serta pengawasan pendidikan. Semua faktor yang diatur dalam undangundang ini sangat berpengaruh akan keberhasilan proses pembelajaran. Akan tetapi yang menjadi pusat kajian pada undang-undang di atas adalah standar sarana yang berlaku baik itu untuk bagian pendidikan umum maupun pendidikan kejuruan. d. Kepmendiknas No. 232 Tahun 2000 Penyusunan kurikulum bagi setiap jenjang pendidikan diatur oleh kepmendiknas No.232 tahun 2000. Dengan adanya otonomi daerah diharapkan penyusunan kurikulum bagi setiap daerah memberikan muatan lokal yang menjadi keunggulan masing-masing daerah. Tujuan dan arah pendidikan bagi tiap jenjang pendidikan seperti SMK, SMA, Akademi , Politeknik dan Universitas telah teruang dengan jelas sehingga masyarakat dapat memahami jenjang dan arah setiap pendidikan yang sedang dijalaninya. e. Permendiknas No. 23 Tahun 2006

Sistem seleksi sangat ketat, yaitu seleksi tertulis dan wawancara. Akan tetapi wawancara disini sangat menentukan karena kalaupun calon mahasiswa mempunyai nilai test tertulis sangat baik, tetapi dalam wawancara tidak menunjukkan kemauan yang tinggi untuk bekerja di perkebunan maka ia tidak akan diluluskan. m) Balai Besar Latihan Kerja Industri Medan Balai Besar Latihan Kerja Indusri (BBLKI) Medan merupakan balai yang dibentuk oleh Kementrian Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Balai Besar Latihan Kerja Industri Medan melakukan pengajaran kepada tenaga pengajar pada BLK dan umum. BBLKI Medan merupakan balai besar latihan kerja industri yang mencakup seluruh sumatera terkecuali NAD dan Lampung. Jurusan yang terdapat di BBLKI Medan yaitu : Listrik, Otomotif, Tata Niaga, Teknologi Mekanik, Tata Niaga, Teknologi Mekanik, Teknologi Informasi, Agro Industri, Industri Kreatifitas. Beberapa informasi yang diperoleh dari kunjungan diantaranya : 1. Pada BBLKI Medan terdapat “Kios 3 in 1� , merupakan pusat Pelatihan, Sertifikasi, dan Penempatan. 2. Standar kompetensi yang digunakan pada BBLKI Medan mengacu pada Stadart Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI): KEPMEN NO. 227 TH 2003. 3. Waktu pelaksanaan pelatihan kurang lebih 1 bulan (sesuia dengan tingkatan latihan kerja). 4. Kerjasama dengan DU/DI yang dilakukan diantaranya : a. Siemens b. PAL 5. Permasalahan yang ditemukan : a. BBLKI Medan tidak megetahui status BLK yang terdapat di daerah (dikelola oleh Dinas Tenaga Kerja Tk. I dan II) b. BBLKI Medan tidak mengetahui standar kompetensi yang digunakan oleh BLK (dikelola oleh dinas. c. Sertifikasi tenaga kerja yang dilakukan oleh BBLKI Medan masih belum tersosialiasi dengan baik kepada 102


Vol. 8. No. 2, Juni 2011

f.

g.

Jurnal INOVASI - Balitbang Provsu

(1) Pasal 15, memuat tentang Jenis pendidikan mencakup pendidikan umum, kejuruan, akademik, profesi, vokasi, keagamaan, dan khusus. (2) Pasal 20 Ayat (1), memuat tentang Perguruan tinggi dapat berbentuk akademi, politeknik, sekolah tinggi, institut, atau universitas. (3) Pasal 26 Ayat (3), memuat tentang Pendidikan nonformal meliputi pendidikan kecakapan hidup, pendidikan anak usia dini, pendidikan kepemudaan, pendidikan pemberdayaan perempuan, pendidikan keaksaraan, pendidikan keterampilan dan pelatihan kerja, pendidikan kesetaraan, serta pendidikan lain yang ditujukan untuk mengembangkan kemampuan peserta didik. (4) Pasal 35 Ayat (1), memuat tentang Standar nasional pendidikan terdiri atas standar isi, proses, kompetensi lulusan, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan, dan penilaian pendidikan yang harus ditingkatkan secara berencana dan berkala. (5) Pasal 36 Ayat (2), memuat tentang Kurikulum pada semua jenjang dan jenis pendidikan dikembangkan dengan prinsip diversifikasi sesuai dengan satuan pendidikan, potensi daerah, dan peserta didik. (6) Pasal 37, memuat tentang kurikulum wajib pada pendidikan dasar, menengah dan tinggi. (7) Pasal 41 Ayat (3), memuat tentang Pemerintah dan pemerintah daerah wajib memfasilitasi satuan pendidikan dengan pendidik dan tenaga kependidikan yang diperlukan untuk menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu.

Penajaminan mutu lulusan disetiap jenjang pendidikan dapat diwujudkan berdasarkan standar kompetensi lulusan yang diatur oleh permendiknas No.23 tahun 2006. Di dalam undang-undang ini sangat jelas pengaturan kompetensi lulusan yang diharapkan disetiap jenjang pendidikan yang ada di Negara kita sehingga tidak ada yang membedakan mutu setiap lulusan antara daerah yang satu dengan daerah yang lain. Kompetensi ini juga yang membedakan antara lulusan dari pendidikan kejuruan dengan pendidikan umum demikian juga antara politeknik dengan universitas. Permen No. 40 Tahun 2008 Pertumbuhan sekolah menengah kejuruan pada masa ini diharapkan 60:40. Kebijakan ini mengharapkan lahirnya tenaga-tenaga terampil yang professional dibidangnya sehingga dapat diserap oleh dunia usaha dan dunia industri. Agar lulusan sesuai dengan yang diharapkan, pemerintah merasa perlu membuat permen yang khusus bagi sekolah menengah kejuruan seperti pada permen No.40 tahun 2008. Salah satu yang menjadi bagian penting akan keberhasilan lulusan adalah tersedianya sarana dan prasarana yang sangat memadai disetiap sekolah. Dengan adanya kebijakan tersebut diharapkan peserta didik tidak megalami kendala dalam proses pembelajaran. RPJM Kota Medan 2006-2010 Pembangunan Kota Medan memiliki dimensi yang sangat luas karena banyaknya tuntutan, kebutuhan dan kepentingan masyarakat oleh karena itu pemerintah Kota Medan menyusun prioritas pembangunan yang tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) 2006-2010. Di dalam RPJM ini termuat strategi dan arah kebijakan pembangunan kota salah satunya adalah strategi mengembangkan sumber daya manusia (SDM) daerah yang berkualitas. Sementara arah kebijakannya adalah meningkatkan derajat pendidikan masyarakat yang berdomisili di wilayah lingkar luar.

b.

Undang-undang No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen terdiri dari 8 bab dan 84 pasal. Berdasarkan aspek yang ditentukan dalam batasan kebijakan, diperoleh 2 butir yang berhubungan dengan sisi pasokan, yaitu : (1) Bab III Pasal 7 Tentang Prinsip Profesionalisme Guru dan Dosen. Pada butir ini dijelaskan bahwa guru dan dosen merupakan bidang pekerjaa khusus yang dilaksanakan berdasarkan 9 prinsip profesionalisme. Selanjutnya dijelaskan bahwa pemberdayaan profesi guru atau pemberdayaan profesi dosen diselenggarakan melalui pengembangan diri yang dilakukan secara demokratis, berkeadilan, tidak diskriminatif, dan berkelanjutan dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, kemajemukan bangsa, dan kode etik profesi. Hal ini tentunya menjadi dasar bagi guru dan dosen dalam menjalankan profesinya yang akhirnya bertujuan untuk menghasilkan lulusan-lulusan yang profesional.

3) Penilaian Butir Kebijakan Setiap kebijakan pendidikan tersusun dari butirbutir yang mengjelaskan aspek spesifik. Berdasarkan kebijakan peta kebijakan yang berpengaruh dari sisi pasokan, dapat diuraikan beberapa butir yang berpengaruh langsung pada sisi pasokan. a.

Undang-undang No. 14 Tahun 2005

Undang-Undang No. 20 Tahun 2003

Kebijakan ini menjelaskan tentang Sistem Pendidikan Nasional. Ditinjau dari aspek kajian terdapat 7 butir yang berhubungan terhadap sisi pasokan, diantaranya : 103


Vol. 8. No. 2, Juni 2011

Jurnal INOVASI - Balitbang Provsu

(2) Bab V Pasal 45 dan 46 tentang Kompetensi dan Kualifikasi Dosen Butir ini khusus menjelaskan tentang kualifikasi dosen. Pada pasal 45 dijelaskan bahwa dosen wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani, dan memenuhi kualifikasi lain yang dipersyaratkan satuan pendidikan tinggi tempat bertugas, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Selanjutnya pada pasal 46 dijelaskan bahwa dosen harus memilikikualifikasi akademik minimal magister untuk program diploma dan sarjana, dan minimal lulusan program doktoral untuk program pascasarjana. Selanjutnya dijelaskan pula setiap orang yang memiliki keahlian dengan prestasi luar biasa dapat diangkat menjadi dosen. c.

(9) Pasal 60, memuat tentang standar penyusunan rencana kerja tahunan pemerintah dalam bidang pendidikan. d.

Keputusan Menteri Pendidikan Nasinonal No. 232 Tahun 2000

Kebijakan ini mejelaskan tentang standar pedoman penyusunan kurikulum pendidikan tinggi dan penilaian hasil belajar. Dalam diuraikan beberapa butir kebijakan yang terkait dengan aspek kajian. Butir kebijakan yang dianggap berpengaruh terhadap sisi pasokan diantaranya : (1) Pasal ayat 4, yang memuat tentang penjelasan pendidikan profesional merupakan pendidikan yang diarahkan terutama pada kesiapan penerapan keahlian tertentu dan diselenggarakan oleh akademi, politeknik, sekolah tinggi, institut, dan universitas. (2) Pasal 11 ayat 2, yang memuat tentang penjelasan bahwa kurikulum institusional untuk setiap program studi pada program sarjana, program magister, program doktor, dan program diploma ditetapkan oleh masingmasing perguruan tinggi.

Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005

Kebijakan ini mengatur tentang Standar Nasional Pendidikan. Dalam kajian ini, terdapat 9 butir yang berhubungan dengan sisi pasokan. Butir tersebut diantaranya : (1) Pasal 6, memuat tentang kurikulum untuk jenis pendidikan umum, kejuruan, dan khusus pada jenjang pendidikan dasar dan menengah, serta pendidikan informal dan non formal. Setiap kelompok mata pelajaran dilaksanakan secara holistik. Semua kelompok mata pelajaran sama pentingnya dalam menentukan kelulusan peserta didik dari satuan pendidikan pada pendidikan dasar dan menengah (2) Pasal 7, memuat tentang kelompok mata kuliah pada satuan pendidikan dasar dan menengah (3) Pasal 13, memuat tentang pendidikan kecakapan hidup. (4) Pasal 17, memuat tentang kurikulum dikembangkan sesuai dengan satuan pendidikan, potensi daerah/karakteristik daerah, sosial budaya masyarakat setempat, dan peserta didik. (5) Pasal 19, memuat tentang Proses pembelajaran pada satuan pendidikan diselenggarakan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik. (6) Pasal 42, memuat tentang standar sarana dan prasarana yang wajib dimiliki oleh satuan pendidikan. (7) Pasal 43, tentang standar laboratirium dan perpusatakaan satuan pendidikan. (8) Pasal 49, tentang sistem pengelolaan satuan pendidikan jenjang dasar dan menengah

e.

Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 23 Tahun 2006

Kebijakan ini mengatur tentang Standar Kompetensi Lulusan untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah. Kebijakan ini terdiri dari 2 pasal, dimana dijelaskan bahwa Standar Kompetensi Lulusan meliputi standar kompetensi lulusan minimal satuan pendidikan dasar dan menengah, standar kompetensi lulusan minimal kelompok mata pelajaran, dan standar kompetensi lulusan minimal mata pelajaran. Butir yang dianalisis dalam kajian ini lebih ditekankan pada bagian lapiran kebijakan, yang terdiri atas : (1) Standar Kompetensi Lulusan Satuan Pendidikan (SKL-SP) untuk Sekolah Menengah Kejuruan. (2) Standar Kompetensi Kelompok Mata Pelajaran (SK-KMP) untuk satuan pendidikan Sekolah Menengah Kejuruan (3) Standar Kompetensi Lulusan Mata Pelajaran (SK-LMP) untuk satuan pendidikan Sekolah Menengah Kejuruan. f.

Peraturan Mentereri Pendidikan Nasional No. 40 Tahun 2008

Dalam kebijakan ini diatur tentang Standar Sarana dan Prasarana untuk Sekolah Menengah Kejuruan/ Madrasah Aliyah Kejuruan (SMK/MAK). Kebijakan ini tediri dari 5 pasal dan lampiran. Butir kebijakan yang dianggap berpengaruh dari sisi pasokan adalah :

104


Vol. 8. No. 2, Juni 2011

Jurnal INOVASI - Balitbang Provsu

(1) Pasal 2 ayat 1, yang menjelaskan tentang standar minimal srana dan prasaran SMK/MAK. (2) Pasal 3, yang menjelaskan bahwa darah yang terpencil dan susah diakses, maka dapat menyimpangai standar yang ditentukkan. (3) Pasal 4, yang menjelaskan tentang batas waktu yang diwajibkan untuk melengkapi standar sarana dan prasarana adala 5 tahu dari kebijkan tersebut diberlakukan.

di satuan pendidikan. Pada rencana pembangunan jangka menengah kota Medan bidang pendidikan tahun 2005-2010, belum memuat secara spesifik arah dan tujuan pendidikan kota medan yang berbasis potensi daerah. Sehingga pada beberapa satuan pendidikan khususnya SMK tidak adanya muatan lokal. Artinya amanat undang-undang No. 20 Tahun 2003 belum diterapkan pada kebijakan di tingkat kota. Sehingga sisi pasokan belum selaras dengan potensi daerah.

g.

Undang-Undang No 14 tahun 2005 secara umum sangat mendukung akan peningkatan mutu pendidikan nasional yang diharapakan mampu menghasilkan lulusan yang bisa kompetitif di dunia kerja. Akan tetapi kenyataannya ada beberapa hal yang tidak terlaksana dengan baik disebabkan oleh beberapa faktor antara lain, isi undang-undang yang kontra produktif, penafsiran yang berbeda sehingga dalam tatanan pelaksanaannya tidak sesuai.

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kota Medan 2006-2010

Dalam kebijakan ini terdapat 1 butir yang dianggap berpengaruh terhadap sisi pasokan yaitu tentang arah kebijakan pendidikan kota Medan. Dalam butir tersbut dijelaskan bahwa arah kebijakan pendidikan kota Medan adalah Peningkatan mutu pendidikan; sebagai upaya Pemerintah Kota untuk menyediakan sarana prasarana sekolah, alat bantu belajar, guru yang berkualitas, jaminan terhadap proses pembelajaran yang bermutu, serta jaminan terhadap lulusan yang berkompetensi. Penjelasan ini mencakup aspek yang dikaji dalam batasan kebijakan. Aspek muatan lokal tertuang pada bagian jamainan terhadap proses pembelajaran yang bermutu, artinya pemerintah daerah akan mengarahkan proses pembelajaran sesuai dengan isu dan kebutuhan daerah. Aspek praktek termuat pada bagian penyediaan sarana prasarana dan alat bantu belajar, yang mana pemerintah daerah juga berperan dalam menfasilitasi proses praktek khususnya dengan DU/DI. Sedangkan aspek penempatan kerja termuat dalam jaminan terhadap lulusan yang berkompetensi. Bagian ini menerangkan bahwa pemerintah menjamin kualitas lulusan sehingga keterserapan tenaga kerja oleh DU/DI lebih optimal.

Pada kebijakan ini sesungguhnya menginginkan seseorang yang diharapkan menjadi guru dan dosen adalah orang yang mempunyai kemampuan dibidangnya dan bertugas dibidangnya juga. Akan tetapi pada kenyataannya guru sangat banyak yang mengajar bukan dibidang keahliannya begitu juga dengan dosen. Berdasarkan hasil analisis, hal ini disebabkan karena tingginya kebutuhan guru tidak sebanding dengan sisi pasokan yang linier. Sehingga sistem penerimaan guru dan dosen hanya menggunakan kualifikasi jenjang pendidikan bukan spesifikasi pendidikan. Pada pasal 46 ayat 2 Undang-undang No. 14 Tahun 2005 dijelaskan bahwa, kualifikasi akademik dosen adalah minimal lulusan program magister. Kebijakan ini berdampak pada minimnya tenaga dosen yang berlatar belakang kemampuan skill di politeknik, dan justru didominasi oleh dosen yang berlatar belakang akademisi. Kondisi ini tentunya semakin melemahkan kompetensi profesional lulusan. Pada Kepmendiknas No. 232 Tahun 2000 telah ditetapkan bahwa politeknik merupakan lembaga pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan profesional yang diarahkan terutama pada kesiapan penerapan keahlian tertentu. Jika tenaga pendidik yang terdapat di politeknik lebih didominasi oleh tenaga akademis bukan tenaga profesional, maka penyelenggaraan pendidikan profesional juga tidak dapat berjalan dengan optimal. Sehingga mutu lulusan dalam hal penerapan keahlian tertentu semakin lemah. Hal dikuatkan dari hasil servey ke politeknik yang menyatakan bahwa tingkat kepuasan pengguna lulusan (stackholder) mengalami penurunan khususnya terhadap kompetensi profesionalisme lulusan. Kualitas pelaksanaan praktek di politeknik tentunya akan semakin menurun. Sebagai alasan yang mengemuka adalah bahwa politeknik

4) Analisis Dampak Kebijakan Sisi Pasokan Pada pasal 36 ayat 2 UU No. 20 Tahun 2003, dijelaskan bahwa salah satu yang harus diperhatikan dalam penyusunan kurikulum pada satuan pendidikan adalah potensi daerah. Selanjutnya pasal 41 ayat 3 menjaskan bahwa pemerintah daerah berkewajiban untuk menfasilitasi satuan pendidikan. Sejalan dengan itu, pada pasal 37 ayat 1 dan Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 dijelaskan bahwa kurikulum yang dimuat dalam satuan pendidikan (termasuk dalam kajian ini adalah SMK) harus memuat muatan lokal yang dikembangkan sesuai dengan satuan pendidikan, potensi daerah/karakteristik daerah, sosial budaya masyarakat setempat, dan peserta didik. Ketiga butir kebijakan ini menekankan bahwa pemerintah daerah berkewajiban untuk mengarahkan pendidikan daerah sesuai dengan potensi daerah, yang tertuang dalam muatan lokal dan diberlakukan 105


Vol. 8. No. 2, Juni 2011

Jurnal INOVASI - Balitbang Provsu

sesungguhnya menghasilkan lulusan yang mempunyai keterampilan/skill yang baik. Oleh karena itu mereka dalam proses pembelajaran lebih mengandalkan praktek dibandingkan teori, sehingga tenaga dosen yang dibutuhkan adalah dosen yang mempunyai keahlian/skill yang sangat baik dibidangnya dan sudah tentu itu dimiliki oleh orang-orang yang berlatar belakang pendidikan politeknik. Pada kenyataannya, setelah ada undangundang tersebut di atas maka setiap tenaga dosen berkualifikasi S2 yang berlatar belakang S1 yang lebih mengedepankan konsep, sehingga pada kondisi saat ini kemampuan mahasiswa dibidang skillnya semakin berkurang. Hal ini sesuai dengan hasil temua di lapangan yang menyatakan komposisi praktek dan teori yang selama ini 60% berbanding 40%, menjadi 50%.

kurikulumnya ditetapkan sepenuhnya oleh institusi yang menaunginya. Artinya implementasi kebijakan ini masih belum bisa berjalan dengan optimal khususnya pada perguruan tinggi yang bukan dibawah naungan Kementerian Pendidikan Nasional. Permendiknas No. 23 Tahun 2006 mengatur tentang kempetensi lulusan untuk satuan pendidikan dasar dan menengah. Dalam kajian ini, terdapat beberapa pasal yang menyangkut satuan pendidikan menengah khsusunya sekolah menegah kejuruan. Pada point A lampiran Permendikasn No 23 Tahun 2006 dijelaskan bahwa Standar Kompetensi Lulusan Satuan Pendidikan (SKL-SP) dikembangkan berdasarkan tujuan setiap satuan pendidikan, dimana untuk Satuan Pendidikan Menengah Kejuruan yang terdiri atas SMK/MAK bertujuan: Meningkatkan kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia, serta keterampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut sesuai dengan kejuruannya. Berdasaran hasil analisis, masing-masing SMK yang didata telah merujuk kepada tujuan ini. Hal ini tampak dari kurikulum yang diterapkan oleh masing-masing SMK. Selanjutnya pada lampiran Permendiknas No 23 Tahun 2006 juga ditetapkan 23 standar kompetensi lulusan SMK. Secara umum seluruh kompetensi lulusan yang ditetapkan sudah berusaha diwujudkan oleh masing-masing SMK.

Kebijakan kementrian pendidikan nasional No. 232 Tahun 2003 Tentang Pedoman Penyusunan Kurikulum Pendidikan Tinggi dan Penilaian Hasil Belajar Mahasiswa. Dalam kebijakan ini diatur tentang tujuan pelaksanaan perguruan tinggi menurut bentuknya. Kebijakan ini mengatur tujuan pelaksanaan perguruan tinggi berdasarkan tingkat satuan pendidikan perguruan tinggi yaitu pendidikan akademik dan pendidikan profesional. Pada pasal 1 ayat 2 dinyatakan bahwa Perguruan tinggi adalah satuan pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan tinggi yang dapat berbentuk akademi, politeknik, sekolah tinggi, institut. atau universitas. Pada pasal 1 ayat 3 dijelaskan pula bahwa Pendidikan akademik adalah pendidikan yang diarahkan terutama pada penguasaan ilmu pengetahuan, teknologi, dan/atau kesenian dan diselenggarakan oleh sekolah tinggi, institut, dan universitas. Selanjutnya pasal 1 ayat 4 dinyatakan bahwa Pendidikan profesional adalah pendidikan yang diarahkan terutama pada kesiapan penerapan keahlian tertentu dan diselenggarakan oleh akademi, politeknik, sekolah tinggi, institut, dan universitas. Dari perbandingan antara ayat 3 dan 4 diatas dapat dilihat bahwa, peran sekolah tinggi, institut, dan universitas berada pada pendidikan akademik dan profesional, sedangkan peran akademi, dan politeknik hanya berada pada pendidikan profesional.

Beberapa usaha yang sudah dilakukan untuk mewujudkan lulusan yang sesuai dengan Permendiknas No. 23 tahun 2006 diantaranya : bentuk kompensi lulusan dalam hal keahlian dan kewirausahaan diwujudkan melalui penerapan praktek keahlian dan pembelajaran kewirausahaan. Sedangkan kompetensi penerapan Pembelajaran membangun karakter bangsa sudah dilakukan yaitu dengan menyelenggarakan ekstra/kokurikuler antara lain OSIS, Pramuka, Paskibra, Olah Raga. Penguatan komptensi dalam hal membangun dan menerapkan informasi dan pengetahuan secara logis, kritis, kreatif, dan inovatif dilakukan dengan cara penggunaan pebelajaran berbasis TIK dalam proses belajar belajar Selain itu dan proses belajar mengajar, aktivitas yang berlangsung juga sudah mengarah pada pengembangan diri siswa untuk menciptkan kompetsni lulusan yang sesuai dengan peraturan Permendiknas No. 23 tahun 2006. Dalam lampiran Permendiknas No. 23 Tahun 2006 juga dijelaskan tentang Standar Kompetensi Kelompok Mata Pelajaran (SK-KMP). Secara garis besar, SKKMP sudah diterapkan sesuai dengan Permendiknas No. 23 Tahun 2006. Hal ini tampak dari kurikulum dan sebaran mata pelajaran yang digunakan di masing-masing SMK.

Kepmendiknas No. 232 Tahun 2003 pada pasal 11 ayat 2 dijelaskan bahwa “Kurikulum institusional untuk setiap program studi pada program sarjana, program magister, program doktor, dan program diploma ditetapkan oleh masing-masing perguruan tinggi�. Dampak dari kebijakan ini adalah setiap penyelenggara pendidikan tinggi memiliki wewenang untuk menentukan kurikulum institusionalnya. Perguruan tinggi dapat melakukan tracer study terhadap DU/DI untuk pemutakhiran kurikulum. Namun berdasarkan hasil survey masih dijumpai perguruan tinggi yang seluruh

Ditinjau dari aspek sarana dan prasarana, implementasi Permendiknas No. 40 Tahun 2008 106


Vol. 8. No. 2, Juni 2011

Jurnal INOVASI - Balitbang Provsu

tentang Standar Sarana Dan Prasarana untuk Sekolah Menengah Kejuruan/Madrasah Aliyah Kejuruan (SMK/MAK), implementasi pada masingmasing SMK masih cukup lemah. Beberapa sarana dan prasarana yang diwajibkan harus dimiliki juga masih belum sepenuhnya dimili oleh SMK, walaupun berdasarkan kebijakan tersebut waktu yang diberikan untuk melengkapi sarana dan prasana adalah 5 tahun dari tahun ditetapkan yaitu 2008. Artinya seluruh SMK harus melengkapi sarana dan prasana sesuai standar paling lambat pada tahun 2013. Kebijakan ini dinilai sudah tepat sehingga sekolah benar-benar memiliki periapan dalam melengkapi saran dan prasarana.

Dinas selaku intansi teksnik tentunya memiliki data dan informasi mengenai kebutuhan dan potensi daerah. Namun oleh karena kurangnya koordani lintas instansi mengakibatkan informasi tersebut tidak sampai pada lembaga pendidikan, sehingga kompetensi yang sebenarnya dibutuhkan oleh DU/DI masih belum terpenuhi oleh lembaga pendidikan. Hal ini menunjukkan bahwa dunia usaha yang seharusnya menjadi mitra dari dunia pendidikan baik itu SMK, Politeknik maupun perguruan tinggi masih belum bersinergi dalam hal penyelarasan sisi pasokan dan sisi kebutuhan.

Dari analisis kebijakan terahadap Rencana Pembangunan Jangka Menengah Kota Medan 20052010 dapat dilihat bahwa kebijakan daerah tersebut belum sepenuhnya secara tegas mengarahkan pendidikan daerah susuai dengan potensi daerah. Berdasarkan hasil diskusi pada saat FGD dilakukan terungkap bahwa kendala yang paling utama adalah kurangnya koordinasi antara beberapa dinas yang terkait.

Regulasi kebijakan mulai dari pusat hingga ke pengguna memerlukan suatu tatanan yang efektif agar amanat kebijakan tersebut mendapatkan hasil yang efektif juga. Hal ini didasarkan pada temuan kurang efektifnya regulasi yang ada. Di bawah ini digambarkan satu tatanan alur kebijakan yang diharapkan dapat memberikan solusi efektifnya satu kebijakan sehingga tercipta keselarasan sisi pasokan dengan dunia kerja.

5) Model Dinamis Kebijkan

Dari alur dibawah ini dapat dijelaskan bahwa setiap kebijakan Nasional khsusnya pendidikan akan diregulasikan ke Perguruan Tinggi dan Dinas Pendidikan sebagai sentral kebijakan di tingkat Kabupaten/Kota. Khusus Kota Medan ada enam dinas yang diharapkan dapat berkoordinasi dengan dinas pendidikan sehingga kebijakan pendidikan yang dilahirkan ditingkat kota selaras dengan dunia kerja.

Gambar 1. Model Dinamis Kebijakan 107


Vol. 8. No. 2, Juni 2011

Jurnal INOVASI - Balitbang Provsu

Berdasarkan amanat undang-undang, maka dinas pendidikanlah ujung tombak penanggung jawab atas tenaga guru, sarana dan kurikulum. Untuk menjamin kualitas lulusan yang dihasilkan maka pihak sekolah harus berkoordinasi dengan balai diklat yang dikelola oleh dinas tenaga kerja sebagai penjembatan dengan dunia usaha dan dunia indutri (DUDI). Sedangkan perguruan tinggi langsung yang memiliki otonomi khusus dibawah Dirjen Dikti lansung menerapkan setiap kebijakan Nasional yang ada. Akan tetapi dalam pengembangan dan penjagaan mutu lulusan perguruan tinggi seharusnya berkoordinasi dan bekerjasama dengan dunia usaha dan dunia industri.

Fullan,

M.G, 2001. The new meaning of educational change. London : Routledge Falmer.

Hauerstein, K and Peter B, 2009. Training Manual Regulatory Impact Assessment, Deutsche Gesellschaft f端r Technische Zusammenarbeit (GTZ) GmbH. Jakarta : Regional Economic Development (RED). Kementrian Pendidikan Nasional, 2010. Kerangka Kerja Penyelarasan Pendidikan dengan Dunia Kerja. Jakarta : Kementrian Pendidikan Nasional. http://www.kemendiknas.go.id diakses 10 Oktober 2010.

KESIMPULAN

http://www.pemkomedan.go.id diakses 24 Oktober 2010.

Berdasarkan data dan analisis penelitian yang telah dilakukan di Kota Medan dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1. Dari 7 kebijakan yang menjadi pusat kajian diperoleh beberapa pasal yang saling melemahkan pada tataran implementasinya. 2. Kebijakan yang dihasilkan tidak menghasilkan perubahan sesuai dengan yang diamatkan, hal ini disebabkan oleh kurangnya koordinasi antar dinas yang terkait. 3. Arah kebijakan yang dihasilkan kurang memberikan ketegasan pada pemakai kebijakan, sehingga ditemukan banyaknya input sekolah (siswa, mahasiswa maupun guru dan dosen) tidak linier. 4. Kebijakan pusat yang dihasilkan kurang gayut dengan daerah sehingga dalam implementasinya pendidikan yang dikembangkan tidak berdasarkan potensi daerah yang ada sehingga ditemukan banyaknya pengangguran

http://medan.dapodik.org diakses 2 Nopember 2010 http://datapokok.ditpsmk.net 2010.

REKOMENDASI Diharapkan kepada pemerintah daerah untuk dapat melakukan sinergi terhadap kebijakan pemerintah pusat. Kebijakan pendidikan sebaiknya diterapkan setelah dilakukan penyesuaian dengan kebutuhan lokal.

DAFTAR PUSTAKA Badan Pusat Statistika (BPS), 2007. Medan dalam Angka 2007. Direktorat Jenderal Pendidikan Non Formal dan Informal, 2010. Pedoman Pelaksanaan Program Pemetaan Dan Analisis Sisi Permintaan Dalam Dimensi Kualitas, Kuantitas, Lokasi Dan Waktu. Kemetrian Pendidikan Nasiona. Jakarta.

108

diakses

November


Vol. 8. No. 2, Juni 2011

Jurnal INOVASI - Balitbang Provsu

Implikasi Manajemen Pusat Pembinaan dan Latihan Olahraga Pelajar (PPLP) Provinsi Sumatera Utara (Management Implication of Centre for Student Sport Advancement and Training (PPLP) North Sumatra Province) Sabaruddin Yunis Bangun Universitas Negeri Medan Jl. William Iskandar, Psr V Medan Estate-Medan Email : unisbgn@gmail.com Naskah masuk : 3 Februari 2011; Naskah diterima :14 Mei 2011

ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan implikasi proses tahapan yang dilakukan dalam rekrutmen atlet di pusat pembinaan dan latihan olahraga pelajar (PPLP) Sumatera Utara, Mendeskripsikan perencanaan program di pusat pembinaan dan latihan olahraga pelajar (PPLP) Sumatera Utara sesuai dengan yang diharapkan Kemenegpora. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif. Unit analisisnya adalah ketua Unit Pengelola Pengembangan Pusat Pembinaan dan Latihan Olahraga Pelajar (PPLP). Teknik pengambilan data melalui wawancara, studi dokumentasi, instrumen penelitian dirancang sendiri dilengkapi dengan pedoman wawancara, tape recorder untuk merekam hasil wawancara dan camera digital untuk mengambil gambar. Hasil penelitian menunjukkan bahwa implikasi manajemen Pusat Pembinaan dan Latihan Olahraga Pelajar (PPLP) Sumatera Utara secara umum belum terlaksana dengan baik. Kata kunci : Implikasi manajemen PPLP Sumatera Utara.

ABSTRACT This study aimed to describe the implications of the process steps being taken in the recruitment of athletes in training centers and sports training students (PPLP) North Sumatra, Describes the planning program at the center of coaching and sports training students (PPLP) North Sumatra as expected Kemenegpora.This research use descriptive method. The analysis unit is chairman of Development Management Unit, Centre for Development of Sport and Exercise Students (PPLP). The collecting data through interviews, documentation studies, selfdesigned research instrument equipped with a guidance interview, a tape recorder to record the interview and digital camera to take pictures. The results showed that the management implications of Coaching and Training Center for Student Sports (PPLP) North Sumatra in general has not done well. Keywords : PPLP management implications of North Sumatra.

123 Pusat Pembinaan dan Latihan Olahraga Pelajar (PPLP) yang tersebar pada 30 Provinsi. Hal ini sesuai dengan Undang-undang Nomor 3 tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional pasal 27 ayat 5 bahwa untuk menumbuh kembangkan prestasi olahraga di lembaga pendidikan, pada setiap jalur pendidikan dapat dibentuk unit kegiatan olahraga, kelas olahraga, pusat pembinaan dan pelatihan, sekolah olahraga, serta diselenggarakannya kompetisi olahraga yang berjenjang dan berkelanjutan (UU Sistem Keolahragaan; 2005). Pusat Pembinaan dan Latihan Olahraga Pelajar (PPLP) ini juga sebagai wadah

PENDAHULUAN Keberadaan Pusat Pembinaan dan Latihan Olahraga Pelajar (PPLP) sejak 1984 merupakan wadah yang sangat potensial untuk membina olahragawan potensial diusia sekolah (Petunjuk Teknis PPLP 2006). Penempatan Pusat Pembinaan dan Latihan Olahraga Pelajar (PPLP) yang tersebar diseluruh wilayah Nusantara tentunya merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan proses pembinaan daerah sesuai dengan cabang olahraga prioritas yang dikemas secara berjenjang dan berkelanjutan. Sampai dengan tahun 2006 telah tercatat sebanyak 109


Vol. 8. No. 2, Juni 2011

Jurnal INOVASI - Balitbang Provsu

untuk menghimpun atlet dengan minat olahraga yang tinggi dengan potensi bakat untuk dikembangkan memerlukan sebuah proses. Keberadaan pusat pembinaan dan latihan olahraga pelajar menjadi sangat penting dan strategis, hal ini mengingat selain peningkatan prestasi olahraga yang memang didambakan oleh masyarakat. Dalam melaksanakan Pusat Pembinaan dan Latihan Olahraga Pelajar (PPLP) tidak terlepas dari pada manajemen. Manajemen merupakan komponen integral dan tidak dapat dipisahkan dari proses pembinaan dan latihan secara keseluruhan karena tanpa pengelolaan manajemen yang baik, akan terasa sangat sulit Pembinaan dan Latihan Olahraga Pelajar (PPLP) diwujudkan secara optimal. Memang disadari bahwa turunnya selama ini prestasi olahraga Indonesia memang tidak lepas dari aspek-espek seperti rendahnya perhatian pemerintah terhadap dunia olahraga Indonesia, terbatasnya sarana dan prasarana yang ada dalam melakukan latihan untuk berprestasi. Pengelolaan manajemen keolahragaan yang belum begitu baik mungkin dikarenakan belum ada ahli manajemen keolahragaan yang mengurusinya atau masih ada sebagian orang yang mengelola keolahragaan ini adalah untuk mementingkan diri sendiri, campur tangan politik demi kepuasannya untuk mencapai sesuatu.

Untuk mendapatkan data yang dibutuhkan secara mendalam tentang implikasi manajemen di pusat pembinaan dan latihan olahraga pelajar (PPLP) Sumatera Utara maka perlu menyusun pedoman wawancara yang berisikan pertanyaan-pertanyaan penelitian. Teknik yang dipergunakan meliputi wawancara tidak terstruktur dan studi dokumentasi. Teknik pengumpulan data tersebut dapat diuraikan sebagai berikut: 1. Pedoman Wawancara, dilakukan dengan mempergunakan pedoman wawancara terhadap informan untuk memperoleh informasi secara langsung kepada pengelola Pusat Pelatihan dan olahraga pelajar (PPLP) Sumatera Utara, manajer, Pelatih dan kepala tata usaha. 2. Studi Dokumentasi, dilakukan untuk memperoleh data-data dan laporan kegiatan, laporan pendanaan kegiatan-kegiatan (keuangan, data guru/pelatih, pegawai dan pelajar/atlet), sarana dan prasarana dan fotofoto yang berkaitan proses pada waktu latihan. Dalam penelitian ini data yang diperoleh pada umumnya melalui sumber manusia melalui wawancara, sumber data lainnya melalui dokumentasi yang menggambarkan kelengkapan administrasi Pusat Pelatihan dan olahraga pelajar (PPLP) Provinsi Sumatera Utara. Pengumpulan data dilakukan dengan cara perekaman data dengan tape recorder, pengambilan gambar dengan camera (foto), pengadaan dakumen-dakumen (fotocopy).

Di tinjau perkembangan olahraga di Sumatera Utara terutama olahraga prestasi, provinsi ini juga tidak mau ketinggalan dengan daerah-daerah lain di Indonesia ini. Berbagai upaya dilakukan untuk peningkatan prestasi olahraga untuk daerah ini, yaitu pembinaan prestasi dilakukan dikalangan pelajar dan mahasiswa. Tetapi pada kenyataan beberapa saat terakhir ini hasil pembinaan dari Pusat Pembinan dan Latihan Olahraga Pelajar (PPLP) Sumatera Utara dirasakan kurang menunjukkan prestasi yang berarti. Ini bisa dilihat dari beberapa tahun kebelakang, prestasi olahraga Sumatera Utara makin turun peringkatnya baik pada event Pesta Olahraga Nasional (PON), termasuk juga Pekan Olahraga Pelajar Nasional (POPNAS), Pekan Olahraga dan Seni Pondok Pesantren Nasional (POSPENAS) dan Pekan Olahraga Pelajar Sekolah Menengah Atas (POPSMA).

Analisis Data Analisis data merupakan langkah yang dilakukan setelah pengumpulan data. Secara garis besar analisis data dilakukan menurut tahapannya sebagai berikut: 1. Data Collection, yakni mengumpulkan data 2. Reduksi data dan informasi tentang manajemen perekrutan, Perencanaan program, sarana prasarana dan keuangan Pusat Pembinaan dan Latihan Olahraga pelajar (PPLP). 3. Display data, yakni pengorganisasian dan penggolongan data atau membuat rangkuman temuan penelitian secara sistematis, data sesuai dengan fokus penelitian.

METODE PENELITIAN

Penarikan kesimpulan dan verifikasi, adalah upaya untuk mencari pola, tema atau hal-hal yang sering muncul sehingga diperoleh suatu kesimpulan, yang semakin lama menjadi semakin jelas seiring dengan semakin banyaknya data yang diperoleh sehingga mendukung suatu kesimpulan (Sugiyono; 2005).

Penelitian ini dilakukan di Dinas Pemuda dan Olahraga Mes PPLP Sumatera Utara.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Pengumpulan Data

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pelaksanaan manajemen Pusat Pembinaan dan Latihan Olahraga

Tulisan ini bertujuan mendeskripsikan proses tahapan perekrutan, perencanaan program, manajemen sarana dan prasarana, manajemen keuangan.

110


Vol. 8. No. 2, Juni 2011

Jurnal INOVASI - Balitbang Provsu

Pelajar (PPLP) Sumatera Utara secara umum belum terlaksana dengan baik. 1. Proses perekrutan belum berjalan dengan baik sesuai dengan wawancara dengan pelatih, atlet dan pegawai pengelola PPLP. Perencanaan program di Pusat Pembinaan 2. dan Latihan Olahraga Pelajar Sumatera Utara belum berjalan dengan baik sesuai dengan wawancara dengan pelatih, atlet dan pegawai pengelola PPLP. 3. Manajemen sarana dan prasarana belum keterlaksana dengan baik dan kelemahannya sarana prasarana penunjang prestasi atlet PPLP belum sepenuhnya lengkap belum lengkap sesuai dengan wawancara dengan pelatih, atlet dan pegawai pengelola PPLP. 4. Manajemen keuangan belum sepenuhnya baik 5. Pelaksanaan manajemen Pusat Pembinaan dan Latihan Olahraga Pelajar (PPLP) Sumatera Utara Belum berjalan dengan baik sesuai dengan wawancara dengan pelatih, atlet dan pegawai pengelola PPLP.

baik sebagai olahragawan nasional untuk mewakili bangsa dan negara dalam event olahraga internasional. Penataan terhadap sumber daya pembinaan belum terlaksana dan tertata dengan baik, yaitu: atlet Pelajar, personal (ketua unit, tata usaha/tenaga administrasi dan pelatih), pendanaan, sarana dan prasarana pembinaan. Dengan demikian pelaksanaan manajemen Pusat Pembinaan dan Latihan Olahraga Pelajar (PPLP) Provinsi Sumatera Utara, yaitu terlihat dari penataan sumber-sumber daya pembinaan seperti, Ketua Unit Pengelola Pengembangan, Pelatih, Tenaga administrasi, Atlet Pelajar, pendanaan, sarana dan prasarana pembinaan belum terkelola dan termenej dengan baik. Dari hasil temuan peneliti, prestasi Pusat Pembinaan dan Latihan Olahraga Pelajar (PPLP) Provinsi Sumatera Utara dari data yang ada tahun 2005-2008 belum pernah masuk dalam peringkat rekor 5 besar nasional, bagaimana mungkin dapat masuk dalam peringkat 3 besar, 1 besar nasional dan dapat mengirimkan atletnya pada tingkat internasional. Jadi prestasi cabang olahraga PPLP ini tidak merata, sebagai contoh memang disadari seperti cabang olahraga gulat selalu mendapatkan medali emas di tingkat nasional, tetapi prestasi ini tidak dapat bertahan lama, selalu pasang surut. Padahal sebelumnya provinsi ini selalu menyumbangkan emas pada PON terdahulu.

Dilihat dari hasil temuan penelitian mulai dari pertanyaan peneliti satu sampai dengan empat, yaitu pelaksanaan proses tahapan yang dilakukan dalam perekrutan atlet di Pusat Pembinaan dan Latihan Olahraga pelajar (PPLP) Provinsi Sumatera Utara, perencanaan program di Pusat Pembinaan dan Latihan Olahraga Pelajar (PPLP) Provinsi Sumatera Utara sesuai dengan yang diharapkan Kemenegpora, pelaksanaan manajemen sarana dan prasarana di Pusat Pembinaan dan Latihan Olahraga Pelajar (PPLP) Provinsi Sumatera Utara yang sesuai dengan kebutuhan atletnya, pelaksanaan manajemen keuangan.

Sepertinya pengelola kurang melakukan koordinasi dengan Pengda gulat dalam membina atletnya. Kemudian untuk cabang olahraga unggulan, saat ini Unit Pengelola Pembinaan Pusat Pembinaan dan Latihan Olahraga Pelajar (PPLP) Provinsi Sumatera Utara malah memprioritaskan 4 cabang olahraga antara lain Karate, Gulat, Sepak bola dan Pencak silat menurut hemat peneliti ini adalah mubajir. Untuk saat ini ada cabang olahraga yang baru populer di Indonesia yaitu cabang olahraga wushu, Provinsi ini adalah termasuk penghasil atlet-atlet wushu yang sangat banyak di Indonesia dan prestasinya sudah terbukti. Unit Pengelola pembinaan Pusat Pembinaan dan Latihan Olahraga Pelajar (PPLP) Provinsi Sumatera Utara malah tidak memasukkan cabang olahraga ini untuk dibina di PPLP.

Bahwa manajemen Pusat Pembinaan dan Latihan Olahraga Pelajar (PPLP) Provinsi Sumatera Utara belum berjalan dengan baik. Karena hasil dari pembinaan selama ini belum menunjukkan sesuai yang diharapkan pemerintah (Kemenegpora). Kenyataannya prestasi dari Pusat Pembinaan dan Latihan Olahraga Pelajar (PPLP) Provinsi Sumatera Utara selalu pasang surut pada event-event di tingkat nasional baik itu Kejurnas antar PPLP, POPNAS dan PON. Semua kegiatan atau keterlaksanaan kegiatan belum sepenuhnya berjalan sesuai dengan apa yang telah direncanakan sebelumnya dalam program kerja tahunan dan yang diharapkan oleh Kementrian Negara pemuda dan Olahraga sesuai dengan fungsinya yaitu untuk melaksanakan pembibitan, pembinaan prestasi olahraga pelajar secara teratur dan berkesinambungan, dengan tujuan sebagai salah satu alternatif untuk melakukan pembinaan dan pengembangan olahragawan pelajar berbakat dengan minat yang tinggi dibidang olahraga untuk dikembangkan guna mencapai prestasi optimal,

Unit Pengelola pembinaan Pusat Pembinaan dan Latihan Olahraga Pelajar (PPLP) Provinsi Sumatera sepertinya tidak memiliki strategi untuk menutup cabang olahraga yang prestasinya rendah. Jadi permasalahan di Pusat Pembinaan dan Latihan Olahraga Pelajar (PPLP) Provinsi Sumatera cukup kompleks. Ini semua akibat kurangnya pengelolaan yang baik, Unit Pengelola Pembinaan belum dapat menerapkan fungsi-fungi manajemen dalam mengelola Pusat Pembinaan dan Latihan Olahraga 111


Vol. 8. No. 2, Juni 2011

Jurnal INOVASI - Balitbang Provsu

Pelajar (PPLP) Provinsi Sumatera Utara, mulai dari proses perekrutan atletnya, selama proses pembinaan di Pusat Pembinaan dan Latihan Olahraga Pelajar (PPLP) Provinsi Sumatera Utara, sarana prasarana penunjang berprestasi dan pengelolan keuangan.

Kelemahan (Weakness) : - Terbatasnya alokasi dana APBN dan APBD. - Kurangnya sarana prasarana penunjang latihan untuk prestasi olahraga atlet pelajar Sumatera Utara. - Try-out jarang dilakukan disebabkan kurangnya pendanaan, hanya mengharpakan program dari Kemenegpora, sehingga hanya mengandalkan hasil latihan dan memaksimalkan keadaan yang ada. - Kurangnya koordinasi pengelola PPLP dengan memanfaatkan pihak swasta. - Kurangnya koordinasi pengelola PPLP antara Depdiknas, Koni dan para kepala daerah yang ada di Sumatera Utara.

Sehingga dapat di analisis bahwa Provinsi Sumatera Utara kenapa prestasi olahraga yang selalu diimpikan belum pernah terwujud masuk kedalam 5 besar nasional. Karena jika dilihat Pengelolaan Pusat Pembinaan dan Latihan Olahraga Pelajar (PPLP) saja yang hanya membina 7 cabang olahraga tidak mampu masuk kedalam peringkat 3 besar nasional dan mempertahankan prestasi cabang olahraganya di tingkat nasional dalam event pertandingan berikutnya, seperti pada BAB I pada pernyataan Gubernur Sumatera Utara, diakui prestasi atlet pelajar Sumut mengalami pasang surut. Ini sudah menjadi bukti dan menggambarkan prestasi olahraga di daerah ini makin menurun. Sehingga bagaimana mungkin bisa Provinsi Sumatera Utara dapat mengelola seluruh cabang olahraga yang ada di Indonesia dan dapat masuk kedalam rekor 1 besar pada tingkat nasional dan mempertahankannya jika manajemen keolahragaannya saja tidak dikelola dengan baik.

Peluang (Opportunity): - Makin banyak dana dan sumber pendanaan yang diharapkan dengan bertambahnya jumlah peminat dan peserta sebagai Atlet PPLP Sumatera Utara 1 tahun terakhir. - Meningkatnya kesempatan kerjasama dan/atau pemberian jasa oleh pemerintah daerah yang atletnya tergabung di PPLP Sumatera Utara. - Berkembangnya teknologi internet sangat membantu pelatih dan atlet dalam mengakses berbagai sumber informasi dan pengetahuan dalam menunjang prestasi olahraga dan akademik - Terbukanya kesempatan untuk mengajukan dana pengembangan dan pembinaan, baik oleh Pemerintah, Ditjen Dikdasmen, maupun berbagai pihak swasta yang peduli terhadap olahraga.

Pada penelitian ini peneliti juga menganalisis dengan SWOT anรกlisis sebagai wujud dari gambaran implikasi Pusat Pembinaan dan Latihan Olahraga Pelajar (PPLP) Provinsi Sumatera. Agar pemerintah Sumatera Utara membuat kebijakan dan rencana strategis untuk mendongkrak prestasi olahraga di daerah ini meningkat dengan baik.

Ancaman (Threat): - Banyaknya program-program kegiatan kejuaraan antar pelajar dari Kemenegpora dan Diknas tumpang tindih (mubajir) dalam setiap tahunnya yang tidak jelas tujuannya. - Belum terbentuknya budaya "enterpreneurship " pada pengelola PPLP Sumatera Utara, sehingga pengelola PPLP hanya menggantungkan pada dana yang dialokasikan saja. - Berkurangnya minat masyarakat, anak-anaknya untuk dibina di PPLP Sumatera Utara. - Budaya kerja yang cenderung birokratis dalam pemberian pelayanan

Implikasi Pusat Pembinaan dan Latihan Olahraga Pelajar (PPLP) Provinsi Sumatera Utara. Kekuatan (Strength) : - Tersedianya gedung permanen yang nyaman untuk tempat istrahat dan menunjang prestasi akademik atlet - Program PPLP Sumatera didukung oleh struktur organisasi berdasarkan fungsi, dengan pembagian tugas yang jelas, sekaligus didukung oleh personil yang kompeten di bidangnya Tersedianya dana rutin untuk membiayai segala keperluan dan kebutuhan kegiatan program (latihan, akademik, perawatan sarana prasarana, honor pelatih, pengelola, atlet dan adminitratif). - Dana yang tersedia berasal dari APBN dan APBD. - Dengan adanya sentralisasi pengelolaan PPLP sekarang dikelola melului pihak ke-3 yaitu Unit Pengelola Pengembangan PPLP yang sepenuhnya bertanggung jawab kepada Kemenegpora dan Dispora Sumatera Utara.

KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian di atas dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: 1. Proses perekrutan atlet Pusat Pembinaan dan Latihan Olahraga Pelajar (PPLP) di Sumatera Utara yang dilakukan belum berjalan dengan baik, terlihat dari sosialisasi pada Kabapaten/kota kurang berjalan dengan baik.

112


Vol. 8. No. 2, Juni 2011

2.

3.

4.

5.

Jurnal INOVASI - Balitbang Provsu

Kemudian proses tahapan tes tidak sesuai dengan bench mark. Perencanaan program di Pusat Pembinaan dan Latihan Olahraga Pelajar Sumatera Utara adalah kurang berjalan dengan baik, dengan kendala kurangnya try-out dilakukan, minimnya pengetahuan pelatih dalam membuat program latihan. Kemudian jadwal pertandingan yang tidak sesuai dengan keberadaan status atlet yang mengikuti pertandingan, ini disebabkan perencanaan yang kurang baik dan kurangnya koordinasi antara Kemenegpora, pemerintah daerah dan pengelola PPLP. Manajemen sarana dan prasarana di Pusat Pembinaan dan Latihan Olahraga Pelajar Sumatera Utara menunjukkan bahwa dinilai dari keterlaksanaan semua kegiatan sudah berjalan baik yang meliputi: perencanaan, pengorganisasian atau penyediaan, pendayagunaan atau pemanfaatan, penyimpanan atau pemeliharaan dan pencatatan data atau pelaporan. Tetapi prasarana terhadap latihan belum sepenuhnya baik, artinya prasarana latihan yang belum mendukung dalam berprestasi olahraga ini terjadi karena kurangnya koordinasi dan penilaian antara Pemerintah daerah, kemenegpora dan Unit Pengelola Pengembangan Pusat Pembinaan dan Latihan Olahraga Pelajar (PPLP) Sumatera Utara. Manajemen keuangan menunjukkan bahwa APBN melalui dana Dekonsentrasi dan APBD belum terlaksana dengan baik sesuai rencana. Karena alokasi dana dekonsentrasi dan APBD terbatas, sehingga pengelola hanya memaksimalkan dana yang ada untuk mengelola PPLP Sumatera Utara. Artinya Unit Pengelola Pengembangan Pusat Pembinaan dan Latihan Olahraga Pelajar (PPLP) Sumatera Utara hanya pasif, belum bisa melakukan koordinasi dengan memanfaatkan pihak swasta dalam mengembangkan PPLP. Implikasi manajemen Pusat Pembinaan dan Latihan Olahraga Pelajar (PPLP) di Sumatera Utara belum terlaksana dengan baik, karena hasil dari pembinaan selama ini belum menunjukkan sesuai yang diharapkan pemerintah (Kemenegpora). Kenyataannya hasil dari prestasi dari Pusat Pembinaan dan Latihan Olahraga Pelajar (PPLP) Sumatera Utara tidak pernah masuk dalam peringkat 5 besar pada event-event di tingkat nasional baik itu Kejurnas antar PPLP, POPNAS dan PON.

target tertentu yang bisa dievaluasi berdasarkan performance assesment profile.

DAFTAR PUSATAKA Adhyaksa Dault, 2004. Hal Aktual Keolahragaan Indonesia. Jakarta: Majalah Forum Olahraga Diknas. Ambar. T. Sulistiyari & Rosidah, 2003. Manajemen Sumber Daya Manusia Konsep Teori dan Pengembangan Dalam Konteks Organisasi Publik. Yogyakarta : Graha Ilmu. Arikunto, Suharsimi, 2005. Manajemen Penelitian. Edisi Revisi. Jakarta : Rineka Cipta. Corobiru’s. Pengertian Manajemen Keuangan. 2007 (http//www.Manajemen Keuangan) Depdiknas, 2003. Teknik Pemanduan Bakat Olahraga. Jakarta : Dirjen Olahraga Depdiknas. Depdiknas, 2004. Pedoman Manajemen Organisasi Olahraga. Jakarta: Direktorat Fasilitas Olahraga Prestasi Dirjen Olahraga Depdiknas. Deputi Bidang Prestasi dan IPTEK olahraga Kemenegpora, 2006. Petunjuk dan Teknis Penyelenggaraan Pusat Pembinaan dan Latihan Olahraga pelajar. Jakarta : Menpora. Deputi Bidang Prestasi dan IPTEK olahraga Kemenegpora, 2006. Pedoman Pengelolaan Pusat Pembinaan dan Latihan Olahraga pelajar(PPLP). Jakarta : Menpora. Deputi Bidang Prestasi dan IPTEK olahraga Kemenegpora, 2006. Panduan Penyusunan Program Latihan Pusat Pembinaan dan Latihan Olahraga pelajar(PPLP) dan Sekolah Khusus Olahragawan (SKO). Jakarta: Menpora. Deputi Bidang Prestasi dan IPTEK olahraga Kemenegpora, 2005. Panduan Penetapan Parameter Tes Pada Pusat Pembinaan dan Latihan Olahraga pelajar(PPLP) dan Sekolah Khusus Olahragawan. Jakarta : Menpora. DISORDA DKI, 2008. Sumber Data Kejuaraan POPNAS. Jakarta : DISORDA DKI Jakarta. DISPORASU, 2007. Prestasi Atlet PPLP Provinsi Sumatera Utara. Medan : DISPORA Sumatera Utara.

REKOMENDASI

Harsuki (sebagai editor), 2003. Perkembangan Olahraga Terkini Kajian Para Pakar. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.

Pemerintah daerah Provinsi Sumatera Utara perlu mengintensifkan keberadaan PPLP dengan cara meningkatkan kinerjanya menggunakan target-

Manajemen. Wikipedia Indonesia. Ensiklopedia Bebas Berbahasa Indonesia. 2007. (http://id.wikipedia.org/wiki/Manajemen) 113


Vol. 8. No. 2, Juni 2011

Jurnal INOVASI - Balitbang Provsu

Marihahot dkk, 2005. Pengantar Manajemen keuangan. Yogyakarta: Andi Yogyakarta. M.

Faisal, 2001. Manajemen Keuangan International. Jakarta : Salemba Empat.

Mulyasa E, 2004. Menjadi Kepala Sekolah Profesional, Dalam Kontek Menyukseskan MBS dan KBK. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya. Pengertian Manajemen, 2007. (http://id.wikipedia.org/wiki/Pengertian Manajemen) Silverterzr. Pengertian manajemen keuangan, 2007 (http//www.indoskripsi.com) Sudiman, Teguh Widjinarko, AKIP dan Pengukuran Kinerja, 2004. Jakarta: Lembaga Administrasi Negara Republik Indonesia. Sugiyono, 2004. Metode Penelitian Administrasi. Bandung : Alfabeta. Sulipan. Manajemen Sekolah. (http://www.geocities.com)

2007.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional. Republik Indonesia: Kementerian Negara Pemuda dan Olahraga. UNJ, 2007. Pedoman Penulisan Tesis dan Desertasi. Jakarta: Pascasarjana Universitas Negeri Jakarta. Waspada. POPNAS IX Samarinda KALTIM. 2007 (http// www.disporasu.go.id) Waspada Online. MoU PPLPD Tercapai. 2008 (http//www.disporasu.go.id) W. Gulo, 2002. Metodologi Penelitian. Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia..

114


Vol. 8. No. 2, Juni 2011

Jurnal INOVASI - Balitbang Provsu

Optimalisasi Pembangunan Dikdasmen Provinsi Sumatera Utara (Improvement of Dikdasmen in North Sumatra Province) Suripto Pusat Kajian Kinerja Kelembagaan-Lembaga Administrasi Negara Jl. Veteran 10 Jakarta Pusat 10110 Email : suripto3x@rocketmail.com Naskah masuk : 20 Februari 2011; Naskah diterima :30 Mei 2011

ABSTRAK Salah satu fokus utama pembangunan Provinsi Sumatera Utara yakni peningkatan kualitas sumber daya manusia. Strateginya antera lain dengan peningkatan dan pemerataan akses pendidikan yang berkualitas . Selanjuntya untuk mengakselerasinya strategi tersebut, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah dan Dinas Pendidikan se-provinsi sumatera utara menyelenggarakan rapat koordinasi dan menghasilkan sebelas rekomendasi percepatan pembangunan pendidikan. Kajian ini memberikan gambaran tentang kondisi pendidikan di Pemprov. Sumut, penyelenggaraan pendidikannya dan sekolah dengan penyelenggaraan yang baik atau tidak. Metode analisis yang digunakan adalah The Analytical Hierarchy Process. Hasil analisis menunjukan bahwa Kota Medan (Kt M) merupakan kota dengan nilai tertinggi dan Kabupaten Mandailing Natal (Kb. MN) dan Kabupaten Labuan Batu (Kb LB) dengan nilai terendah. Selanjuntya sebanyak 17 kabupaten memiliki nilai dibawah rata-rata. Selanjuntya untuk mengoptimalisasikan pembangunan dikdasmen kabupaten/kota dibuat secara clauster. Pembangunan Sekolah Dasar dibagi menjadi 5 clausters. Pembangunan SMP dapat dibagi menjadi 7 clausters. Pembangunan SMA dapat dibagi menjadi 11 clausters. Pembangunan SMK dapat dibagi menjadi 5 clausters. Kata kunci : Pendidikan, Sumatera Utara, Dikdasmen, evaluasi.

ABSTRACT One of the main focus of development in North Sumatra Province namely improving the quality of human resources. The strategy of other anther with increased and equitable access to quality education. Selanjuntya to mengakselerasinya strategy, the Regional Development Planning Agency and the Department of Education as the northern Sumatran province held a coordination meeting and resulted in eleven recommendations accelerating the development of education. This study provides a description of how the condition of education in the provincial government and its application on district level. The analytical method used was The Analytical Hierarchy Process. The results show that the Medan Municipality (Kt M) is a city with the highest value and Mandailing Natal District (Kb. MN) and Labuan Batu District (Kb LB) with the lowest value. Furthermore, as many as 17 districts have values below average. Furthermore, to optimize Dikdasmen development district created clauster. Development of Primary Schools were divided into 5 clausters. SMP development can be divided into 7 clausters. Development of SMA can be divided into 11 clausters. Vocational development can be divided into 5 clausters. Keywords : Education, North Sumatra, Dikdasmen, Evaluation.

tersebut, Pemerintah Daerah Provinsi (Pemprov) Sumatera Utara (Sumut) memiliki 4 (empat) kebijakan dalam pemenuhan kebutuhan pokok (Stategy Basic Need) meliputi : - Kebijakan penanggulangan kemiskinan. - Kebijakan peningkatan derajat kesehatan dan pelayanan sosial. - Kebijakan peningkatan dan pemerataan akses pendidikan yang berkualitas.

PENDAHULUAN Peraturan Daerah (Perda) Provinsi Sumatera Utara Nomor 8 Tahun 2009 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Tahun 2009 - 2013 difokuskan pada peningkatan kualitas sumberdaya manusia sumatera utara baik pada tingkat aparatur pemerintahan maupun anggota masyarakat. Strategi untuk mencapai hal 115


Vol. 8. No. 2, Juni 2011

-

Jurnal INOVASI - Balitbang Provsu

Kebijakan pemberdayaan sumberdaya manusia demi kelangsungan masa depan masyarakat yang cerah.

-

Dalam bidang peningkatan dan pemerataan akses pendidikan yang berkualitas merinci dalam 7 kebijakan action dan 12 sasaran. Kebijakan tersebut meliputi : - Perluasan dan pemerataan akses Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) yang berkesetaraan Gender serta mengakomidir semua kebutuhan anak di Kabupaten/Kota. - Perluasan dan Pemerataan Akses Pendidikan Dasar Universal Bermutu dan berkesetaraan Gender di Kabupaten/Kota. - Perluasan dan Pemerataan Akses Pendididikan Menengah Bermutu, Berkesetaraan Gender dan relevan dengan pemerataan Masyarakat di Kabupaten/Kota. - Perluasan dan Pemerataan Akses Pendididikan Khusus dan Pendidiakn Layanan Khusus, Berkesetaraan Gender dan relevan dengan pemerataan Masyarakat di Kabupaten/Kota. - Perluasan dan Pemerataan Akses Pendididikan Tinggi yang bermutu, berdaya saing Internasional, Berkesetaraan Gender dan relevan dengan kebutuhan Bangsa dan Negara. - Perluasan dan Pemerataan Akses Pendididikan Nonformal Berbasis Pendidikan Kecakapan Hidup yang bermutu dan berdaya saing. - Penguatan Tata Kelola, Sistem Pengendalian Manajemen dan Sistem Pengawasan Intern.

-

-

-

-

-

Sedangkan Sasarannya adalah sebagai berikut : - Peningkatan pendidikan bagi anak usia dini yang merata dan berkesetaraan Gender agar seluruh potensi anak dapat tumbuh dan berkembang secara optimal sesuai dengan tingkat usianya sehingga mereka memilih kesiapan untuk memasuki pendidikan selanjutnya. - Peningkatan perluasan dan pemerataan pelayanan Pendidikan Dasar Universal yang berkualitas dan berkesetaraan Gender sebagai bentuk pemenuhan hak warga negara untuk mengikuti Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun sebagaimana diamanatkan dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. - Peningkatan Perluasan dan Pemerataan Pendidikan Menengah baik umum maupun kejuruan untuk mengantisipasi meningkatnya lulusan sekolah menengah pertama sebagai dampak keberhasilan program Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun dan Penyediaan tenaga kerja lulusan pendidikan menengah yang berkualitas. - Pemberian Perhatian yang lebih besar pada kelompok masyarakat yang kurang beruntung

-

menjangkau layanan pendidikan sesuai potensi dan kebutuhannya. Peningkatan kualitas dan relevansi semua jalur, jenis dan jenjang pendidikan, untuk memberikan kecakapan personal, kecakapan sosial, kecakapan intelektual, kecakapan spiritual, kecakapan emosi, dan kecakapan vokasional untuk bekerja dan usaha mandiri sesuai kebutuhan peserta didik dan pembangunan. Pengembangan Pendidikan multikultural yang terintegrasi ke dalam kompetensi materi pelajaran dan proses pembelajaran yang relevan untuk memantapkan wawasan kebangsaan dan memperkuat pemahaman nilainilai pluralis, toleransi dan inklusif guna meningkatkan daya rekat sosial masyarakat Indonesia yang majemuk dan memperkukuh persatuan dan kesatuan bangsa. Penciptaan institusi pendidikan yang sehat yang didukung oleh penerapan sistem kontrol dan jaminan kualitas pendidikan dan penilaian kinerja di tingkat satuan pendidikan melalui pelaksanaan evaluasi, akreditasi, sertifikasi dan pengawasan. Penyusunan berbagai upaya peningkatan kemampuan adaptif dan kompetitif satuan pendidikan dalam menghadapi era informasi dan ekonomi berbasis Pengetahuan. Pengembangan tenaga pendidik yang bermutu dan berkopetensi, serta menyebar merata sesuai dengan kebutuhan dan didukung dengan peningkatan kesejahteraannya. Pelaksanaan desentralisasi dan demokratisasi pembangunan sumberdaya manusia. Pelaksanaan desentralisasi dan demokratisasi pembangunan sumberdaya manusia. Peningkatan pembiayaan pembangunan sumberdaya manusia untuk meningkatkan kemampuan masyarakat dalam mengakses pelayanan sosial dasar.

Dalam mengakselerasi kebijakan dalam bidang pendidikan, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) dan Dinas Pendidikan seprovinsi sumatera utara pada tanggal 24 November 2010 menyelenggarakan rapat koordinasi dan menyepakati sebelas rekomendasi percepatan pembangunan pendidikan. Rekomendasi tersebut antara lain pembinaan dan koordinasi kegiatan percepatan peningkatan mutu pembelajaran. Langkah koordinasi dilakukan dengan penyiapan data data tentang sarana dan prasarana, tenaga pendidik dan tenaga kependidikan, siswa dan data guru yang telah lulus sertifikasi dan yang belum menerima tunjangan profesi dalam rangka penyusunan program Disdik Sumut tahun 2011. Langkah percepatan peningkatan kualitas pendidikan Menurut Kepala Dinas Pendidikan 116


Vol. 8. No. 2, Juni 2011

Jurnal INOVASI - Balitbang Provsu

Sumut dilakukan mengejar ketertinggalan dan memperbaiki berbagai sisi dalam pengelolaan pendidikan yang selama ini dianggap lemah dan mengembangkan sarana diperlukan. Bagaimana kondisi pendidikan di Pemprov. Sumut ? Siapakah Kabupaten / Kota yang menyelenggarakan pendidikan relative terbaik dan relative terburuk ? dan, Sekolah mana yang telah baik dalam penyelenggaraannya ? Tujuan Paper ini menyajikan secara besaran peta kondisi pendidikan pada setiap kabupaten dan kota di Pemprov. Sumut. Ruang lingkupnya pada pendidikan dasar dan menengah (dikdasmen) yang meliputi Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), Sekolah Menengah Umum (SMU) dan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK).

Tahun 2006 menurun 4,62 persen, Tahun 2007 meningkat 15,76 persen dan Tahun 2008 meningkat 18,96 persen. Perkembangan siswa secara keseluruhan selama Tahun 2005 – 2008, sekolah SD meningkat 7,36 persen, SMP meningkat 16,77 persen, SMU menurun 4,13 persen dan SMK meningkat 28,58 persen. Perkembangan kelas seperti pada grafik 4. Perkembangan SD Tahun 2006 meningkat 6,47 persen, Tahun 2007 menurun 23,99 persen dan 2008 meningkat 12,50 persen. Perkembangan SMP Tahun 2006 meningkat 4,01 persen, Tahun 2007 menurun 16,73 persen dan 2008 meningkat 8,94 persen. Perkembangan SMU Tahun 2006 meningkat 75,05 persen, Tahun 2007 meningkat 15,17 persen dan 2008 meningkatkan 13,34 persen. persen. Perkembangan kelas secara keseluruhan selama Tahun 2005 – 2008, sekolah SD menurun 1,47 persen, SMP menurun 2,03 persen, dan SMU meningkat 81,66 persen.

Perkembangan Dikdasmen tahun 2005 sampai dengan 2008 seperti pada Grafik 1 sampai Grafik 4. Perkembangan sekolah seperti pada Grafik 1. Perkembangan SD, Tahun 2006 meningkat 1,00 persen, Tahun 2007 menurun 4,50 persen dan 2008 meningkat 9,76 persen. Perkembangan SMP, Tahun 2006 meningkat 1,41 persen, Tahun 2007 meningkat 6,63 persen dan 2008 meningkat 1,05 persen. Perkembangan SMU, Tahun 2006 meningkat 36.62 persen, Tahun 2007 menurun 44.34 persen dan 2008 menurun 19.53 persen. Perkembangan SMK, Tahun 2006 menurun 2,81 persen, Tahun 2007 meningkat 5,32 persen dan 2008 meningkat 14,63 persen. Perkembangan sekolah secara keseluruhan selama Tahun 2005 – 2008, sekolah SD meningkat 6,65 persen, SMP meningkat 8,92 persen, SMU menurun 9,34 persen dan SMK meningkat 16,90 persen. Perkembangan guru seperti pada grafik 2. Perkembangan SD Tahun 2006 meningkat 3,88 persen, Tahun 2007 meningkat 12.68 persen dan 2008 menurun 14,36 persen. Perkembangan SMP Tahun 2006 meningkat 0,49 persen, Tahun 2007 meningkat 9,04 persen dan 2008 menurun 5,55 persen. Perkembangan SMU Tahun 2006 meningkat 34,12 persen, Tahun 2007 menurun 34,33 persen dan 2008 menurun 29,80 persen. Perkembangan SMK Tahun 2006 menurun 0,85 persen, Tahun 2007 meningkat 2,65 persen dan Tahun 2008 meningkat 9,24 persen. Perkembangan guru secara keseluruhan selama Tahun 2005 – 2008, sekolah SD meningkat 4,02 persen, SMP meningkat 4,46 persen, SMU menurun 14,86 persen dan SMK meningkat 10,89 persen.

Bila dibandingkan dengan perkembangan siswa dan perkembangan sekolah, maka perkembangan siswa lebih tinggi dibadingkan dengan perkembangan sekolah. SD lebih tinggi 0,72 persen, SMP lebih tinggi 7,85 persen, SMU lebih tinggi 13,47 persen dan SMK 11,68 persen. Demikian juga perbandingan perkembangan siswa dengan perkembangan guru, SD lebih tinggi 3,34 persen, SMP lebih tinggi 12,30 persen, SMU lebih tinggi 18,99 persen dan SMK lebih tinggi 17,70 persen. Selanjuntya, Distribusi penyebaran dikdasmen di Pemprov Sumut berdasarkan jenjang pendidikan pada kabupaten /kota seperti pada Tabel 1. Kabupaten di Pemprov. Sumut. Meliputi Kabupaten Nias (Kb N), Mandailing Natal (Kb MN), Tapanuli Selatan (Kb TSn), Tapanuli Tengah (Kb TT), Tapanuli Utara (Kb TU), Toba Samosir (Kb TSr), Labuhan Batu (Kb LB), Asahan (Kb A), Simalungun (Kb Sn), Dairi (Kb D), Karo (Kb K), Deli Serdang (Kb DS), Langkat (Kb L), Nias Selatan (Kb NS), Humbang Hasundutan (Kb HH), Pakpak Bharat (Kb PB), Samosir (Kb Sr), Serdang Bedagai (Kb SB), Batu Bara(Kb BB), Padang Lawas Utara (Kb PLU), Padang Lawas(Kb PL), Labuhan Batu Selatan (Kb LBS), dan Labuhan Batu Utara (Kb LBU). Sedangkan Kota meliputi Kota Sibolga (Kt S), Tanjung Balai (Kt TB), Pematang Siantar (Kt PS), Tebing Tinggi (Kt TT), Medan (Kt M), Binjai (Kt B), dan Padangsidimpuan (Kt Ps).

Perkembangan siswa seperti pada grafik 3. Perkembangan SD Tahun 2006 meningkat 3,98 persen, Tahun 2007 menurun 0,43 persen dan 2008 meningkat 6,84 persen. Perkembangan SMP Tahun 2006 menurun 3,66 persen, Tahun 2007 meningkat 6,92 persen dan 2008 menurun 13,73 persen. Perkembangan SMU Tahun 2006 meningkat 29,89 persen, Tahun 2007 menurun 33,16 persen dan 2008 menurun 2,68 persen. Perkembangan SMK

METODE PENELITIAN Dalam memetakan aspek yang belum optimal dalam pembangunan dikdasmen menggunakan metode analisis The Analytical Hierarchy Process 117


Vol. 8. No. 2, Juni 2011

Jurnal INOVASI - Balitbang Provsu

(AHP). Dimana, AHP merupakan teknik terstruktur yang dapat menggunakan data-data kuantitatif dan kunatitaf. Alat ini dikembangkan oleh Thomas L. Saaty untuk memilih keputusan yang kompleks. AHP dapat memberikan suatu kerangka komprehensif dan rasional untuk penataan masalah keputusan, untuk mewakili dan mengukur unsurunsurnya, untuk menghubungkan elemen-elemen dengan tujuan secara keseluruhan, dan untuk mengevaluasi solusi alternatif. Dengan demikian, AHP dapat membantu para pengambil keputusan untuk menemukan satu pilihan alternative yang paling sesuai dengan kebutuhan mereka. Prosedur untuk menggunakan AHP secara ringkas sebagai berikut : - Menyusun model masalah sebagai hirarki keputusan yang berisi tujuan, alternatif solusi, dan kriteria untuk mengevaluasi alternatif. - Menetapkan prioritas antara unsur-unsur hierarki dengan membuat serangkaian keputusan berdasarkan perbandingan berpasangan elemen. - Menyimpulkan penilaian ini untuk menghasilkan satu set prioritas keseluruhan hirarki. - Memeriksa konsistensi penilaian. (nilai inkonsistensi ≼ 0,1) - Hasil keputusan akhir berdasarkan hasil dari proses ini.

Kb MN, Kb LB, Kb LBS, dan Kb PLU. Selanjuntya, Fokus Optimalisasi Pembangunan dikdasmen pada setiap jenjang pendidikan dibahas lebih lanjut yang meliputi SD, SMP, SMU dan SMK. Fokus Optimalisasi Pendidikan SD Hasil nilai synthesis AHP pendidikan SD seperti pada Grafik 6. menunjukan bahwa sub kriteria guru nilai terendah 41 (Kb LBS dan Kb LBU) dan nilai tertinggi 685 (Kb PB) dengan nilai rata-rata 210. Sub kriteria kelas nilai terendah 42 (Kb LBS dan Kb LBU) dan nilai tertinggi 940 (Kb PL) dengan nilai rata-rata 245. Sub kriteria sekolah nilai terendah 40 (Kb LBS dan Kb LBU) dan nilai tertinggi 510 (Kt M) dengan nilai rata-rata 227. Sub kriteria kelas nilai terendah 40 (Kb LBS dan Kb LBU) dan nilai tertinggi 610 (Kb Ps) dengan nilai rata-rata 208. Selanjuntya, optimalisasi pembangunan pendidikan SD difokuskan pada nilai sub kriteria di bawah rata. Berdasarkan hal tersebut, maka dapat diklasifikasi menjadi lima clausters sebagai berikut : 1. Fokus optimalisasi guru, siswa, sekolah dan kelas. Kabupaten dan Kota yang perlu meningkatkan optimalisasi pada sub kriteria guru, siswa, sekolah dan kelas meliputi Kb SB, Kb PLU, Kb NS, Kb N, Kb D, Kt B, Kb MN, Kb HH, Kb Sn, Kb TT, Kb TU, Kb TSr, Kb Sr, Kb LBS, dan Kb LBU. 2. Fokus optimalisasi Guru, Siswa dan Kelas. Kabupaten yang perlu meningkatkan optimalisasi pada sub kriteria guru, siswa dan kelas meliputi Kt PS, Kb L, dan Kb LB. 3. Fokus optimalisasi Guru dan Siswa. Kabupaten yang perlu meningkatkan optimalisasi pada sub kriteria guru dan siswa adalah Kb K. 4. Fokus optimalisasi Sekolah dan Kelas. Kabupaten yang perlu meningkatkan optimalisasi pada sub kriteria sekolah dan kelas meliputi Kb A dan Kb TSn. 5. Fokus optimalisasi Siswa. Kabupaten yang perlu meningkatkan optimalisasi pada sub kriteria siswa meliputi Kb BB dan Kb PB.

AHP yang digunakan dalam paper ini yakni Aplikasi Expert Choice 2nd Edition. Langkah AHP Expert Choice yakni menentukan tujuan, memilih objek, memilih kriteria dan sub kriteria serta memilih alternative. Prioritas antara unsur-unsur di dalam hierarki dilakukan dengan membuat serangkaian keputusan berdasarkan perbandingan berpasangan elemen. Penilaian perbandingan tesebut dengan menggunakan skala dengan nilai 1 sampai dengan 9. Skala tersebut seperti pada Tabel 2.

HASIL PENELITIAN PEMBAHASAN

DAN

Dalam menganalisa Dikdasmen Provinsi Sumut menggunakan rasio data-data pada Tabel 1. Synthesis secara keseluruhan tingkat jenjang pendidikan (dikdasmen) seperti pada Grafik 5. Hasil synthesis menunjukan nilai terendah 6 (Kb LBS dan KB KBU) dan tertinggi 65 (Kt M), sedangkan nilai synthesis rata-rata sebesar 33. Kabupaten/kota yang menyelenggarakan dikdasmen dengan nilai di atas rata-rata mulai dari yang tertinggi sampai terendah meliputi Kt M, Kt Ps, Kt S, Kb PB, Kb TT, Kb PL, Kb K, Kt TB, Kt PS, Kb D, Kb TSr, KB Sr, dan Kt B. Sedangkan yang dibawah rata-rata meliputi Kb HH, Kb DS, Kb A, Kb TSn, Kb NS, Kb BB, Kb PLU, Kb SB, Kb TU, Kb L, Kb N, Kb TT, Kb Sn,

Fokus Optimalisasi Pendidikan SMP Hasil nilai synthesis AHP pendidikan SMP seperti pada Grafik 7 menunjukan bahwa sub kriteria guru nilai terendah 45 (Kb LBS dan Kb LBU) dan nilai tertinggi 575 (Kt M) dengan nilai rata-rata 248. Sub kriteria siswa nilai terendah 42 (Kb LBS dan Kb LBU) dan nilai tertinggi 533 (Kt S) dengan nilai ratarata 233. Sub kriteria sekolah nilai terendah 45 (Kb LBS dan Kb LBU) dan nilai tertinggi 884 (Kt TT) dengan nilai rata-rata 315. Sub kriteria kelas nilai 118


Vol. 8. No. 2, Juni 2011

Jurnal INOVASI - Balitbang Provsu

Kabupaten dan Kota yang perlu meningkatkan optimalisasi pada sub kriteria guru, siswa, sekolah dan kelas meliputi Kt TT, Kb SB, Kb TT, Kb BB, Kt Ps, Kb SD, Kb L, Kb A, Kb TSr, Kb MN, Kb LB, Kb LBS dan Kb LBU. 2. Fokus optimalisasi Guru, Sekolah dan Kelas. Kabupaten yang perlu meningkatkan optimalisasi pada sub kriteria guru, siswa dan kelas adalah Kb TU, Kb PLU. 3. Fokus optimalisasi Guru, Siswa dan Kelas. Kabupaten yang perlu meningkatkan optimalisasi pada sub kriteria guru dan siswa adalah Kt TB. 4. Fokus optimalisasi guru dan kelas. Kabupaten yang perlu meningkatkan optimalisasi pada sub kriteria sekolah dan kelas adalah Kb HH dan Kb Sn. 5. Fokus optimalisasi Siswa dan kelas. Kabupaten yang perlu meningkatkan optimalisasi pada sub kriteria siswa meliputi Kt PS dan Kt B. 6. Fokus optimalisasi guru dan sekolah. Kabupaten yang perlu meningkatkan optimalisasi pada sub kriteria siswa meliputi Kb TSn. 7. Fokus optimalisasi Sekolah dan kelas. Kabupaten yang perlu meningkatkan optimalisasi pada sub kriteria siswa meliputi Kb PB. 8. Fokus optimalisasi Siswa dan kelas. Kabupaten yang perlu meningkatkan optimalisasi pada sub kriteria siswa meliputi Kb K. 9. Fokus optimalisasi Guru. Kabupaten yang perlu meningkatkan optimalisasi pada sub kriteria siswa meliputi Kb N. 10. Fokus optimalisasi Siswa. Kabupaten yang perlu meningkatkan optimalisasi pada sub kriteria siswa meliputi Kb M. 11. Fokus optimalisasi Sekolah. Kabupaten yang perlu meningkatkan optimalisasi pada sub kriteria siswa meliputi Kb PL, Kb Sr dan Kb NS.

terendah 43 (Kb LBS dan Kb LBU) dan nilai tertinggi 688 (Kt M) dengan nilai rata-rata 222. Selanjuntya, optimalisasi pembangunan pendidikan SMP difokuskan pada nilai sub kriteria di bawah rata-rata. Berdasarkan hal tersebut, maka dapat diklasifikasi menjadi tujuh clauters sebagai berikut : 1. Fokus optimalisasi guru, siswa, sekolah dan kelas. Kabupaten dan Kota yang perlu meningkatkan optimalisasi pada sub kriteria guru, siswa, sekolah dan kelas meliputi Kb TU, Kb HH, Kb NS, Kb SB, Kb Sn, Kb TT, Kb BB, Kb N, Kb MN, Kb PLU, Kb TSn, Kb LB, Kb PL, Kb LBS, dan Kb LBU. 2. Fokus optimalisasi Sekolah, Siswa dan Kelas. Kabupaten yang perlu meningkatkan optimalisasi pada sub kriteria guru, siswa dan kelas adalah Kb A. 3. Fokus optimalisasi Siswa, Sekolah dan Kelas. Kabupaten yang perlu meningkatkan optimalisasi pada sub kriteria guru dan siswa adalah Kb SD. 4. Fokus optimalisasi sekolah dan kelas. Kabupaten yang perlu meningkatkan optimalisasi pada sub kriteria sekolah dan kelas adalah Kb PB. 5. Fokus optimalisasi Siswa dan sekolah. Kabupaten yang perlu meningkatkan optimalisasi pada sub kriteria siswa meliputi Kb L dan Kb TSr. 6. Fokus optimalisasi Siswa. Kabupaten yang perlu meningkatkan optimalisasi pada sub kriteria siswa meliputi Kt PS, Kt B Kb Sr , Kb D dan Kb K. 7. Fokus optimalisasi Sekolah. Kabupaten yang perlu meningkatkan optimalisasi pada sub kriteria siswa meliputi KKt TB dan Kt M. Fokus Optimalisasi Pendidikan SMU Hasil nilai synthesis AHP pendidikan SMU seperti pada Grafik 8 menunjukan bahwa sub kriteria guru nilai terendah 38 (Kb LBS dan Kb LBU) dan nilai tertinggi 488 (Kb PL) dengan nilai rata-rata 206. Sub kriteria siswa nilai terendah 41 (Kb LBS dan Kb LBU) dan nilai tertinggi 778 (Kt S) dengan nilai ratarata 230. Sub kriteria sekolah nilai terendah 41 (Kb LBS dan Kb LBU) dan nilai tertinggi 531 (Kt S) dengan nilai rata-rata 195. Sub kriteria kelas nilai terendah 50 (Kb LBS dan Kb LBU) dan nilai tertinggi 621 (Kb. PL) dengan nilai rata-rata 197. Selanjuntya, optimalisasi pembangunan pendidikan SMU difokuskan pada nilai sub kriteria di bawah rata-rata. Berdasarkan hal tersebut, maka dapat diklasifikasi menjadi sebelas clausters sebagai berikut : 1. Fokus optimalisasi guru, siswa, sekolah dan kelas.

Fokus Optimalisasi Pendidikan SMK Hasil nilai synthesis AHP pendidikan SMK seperti pada Grafik 9 menunjukan bahwa sub kriteria guru nilai terendah 43 (Kb LBS dan Kb LBU) dan nilai tertinggi 524 (Kb. PB) dengan nilai rata-rata 199. Sub kriteria siswa nilai terendah 43 (Kb LBS dan Kb LBU) dan nilai tertinggi 827 (Kb PLU) dengan nilai rata-rata 253. Sub kriteria sekolah nilai terendah 43 (Kb LBS dan Kb LBU) dan nilai tertinggi 678 (Kt Ps) dengan nilai rata-rata 243. Selanjuntya, optimalisasi pembangunan pendidikan SMP difokuskan pada nilai sub kriteria di bawah

119


Vol. 8. No. 2, Juni 2011

Jurnal INOVASI - Balitbang Provsu

rata-rata. Berdasarkan hal tersebut, maka dapat diklasifikasi menjadi lima sebagai berikut : 1. Fokus optimalisasi guru, siswa dan sekolah. Kabupaten dan Kota yang perlu meningkatkan optimalisasi pada sub kriteria guru, siswa, sekolah dan kelas meliputi Kb MN, Kb TSr, Kb TSn , Kb N, Kb TT, Kt M, Kt PS, Kb LB, Kb TU, Kb Sn, Kb A, Kb SD, Kb SB, Kb L, Kb LBS, dan Kb LBU. 2. Fokus optimalisasi guru dan, siswa. Kabupaten dan Kota yang perlu meningkatkan optimalisasi pada sub kriteria guru, siswa, sekolah dan kelas meliputi Kb BB. 3. Fokus optimalisasi siswa dan sekolah. Kabupaten dan Kota yang perlu meningkatkan optimalisasi pada sub kriteria guru, siswa, sekolah dan kelas meliputi Kb NS. 4. Fokus optimalisasi siswa, sekolah. Kabupaten dan Kota yang perlu meningkatkan optimalisasi pada sub kriteria guru, siswa, sekolah dan kelas meliputi Kt TB dan Kt B. 5. Fokus optimalisasi siswa, sekolah. Kabupaten dan Kota yang perlu meningkatkan optimalisasi pada sub kriteria guru, siswa, sekolah dan kelas meliputi Kb HH dan Kb PB.

pembangunan dikdasmen Provinsi Sumut. Hasil analisis diatas menyimpulkan sebagai berikut : - Pembangunan SD dapat dibedakan menjadi 5 clausters. - Pembangunan SMP dapat dibedakan menjadi 7 clausters. - Pembangunan SMA dapat dibedakan menjadi 11 clausters. - Pembangunan SD dapat dibedakan menjadi 5 clausters.

REKOMENDASI Kajian ini tentunya masih banyak memiliki kelemahan dan masih diperlukan pendalaman kajian untuk lebih dapat aplikatif. Namun demikian diharapkan dapat menjadi sumbangan pemikiran dalam pembangunan dikdasmen provinsi sumut yang lebih optimal.

KESIMPULAN Hasil synthesis AHP menunjukan bahwa pembangunan dikdasmen di Provsinsi Sumut sebanyak 17 kabupaten memiliki nilai dibawah ratarata. Penyelenggaraan pembangunan dikdasmen dengan nilai tertinggi adalah Kt M dan terendah Kb. MN dan Kb LB, sedangkan Kb LBS dan Kb LBU terendah karena tidak memiliki data. Setiap kabupaten/kota memiliki kebutuhan yang berbedabeda dalam mengoptimalkan pembangunan dikdasmen. Oleh karena itu, diperlukan peta fokus Lampiran 12.000 10.000 8.000 6.000 4.000 2.000 2008

2007

2006

2005

SD

10.277

9.274

9.691

9.594

SMP

1.996

1.975

1.844

1.818

SMU

717

857

1.237

784

SMK

704

601

569

585

Sumber : Sumatera Utara Dalam Angka 2009 Grafik1. Perkembangan Sekolah 120


Vol. 8. No. 2, Juni 2011

Jurnal INOVASI - Balitbang Provsu

100.000 90.000 80.000 70.000 60.000 50.000 40.000 30.000 20.000 10.000 2008

2007

2006

2005

SD

82.772

94.659

82.647

79.444

SMP

38.569

40.711

37.030

36.847

SMU

17.804

23.109

31.042

20.450

SMK

15.902

14.433

14.051

14.171

Sumber : Sumatera Utara Dalam Angka 2009 Grafik 2. Perkembangan Guru

2.500.000 2.000.000 1.500.000 1.000.000 500.000 SD

2008

2007

2006

2005

1.939.595

1.806.847

1.814.579

1.796.775

SMP

670.079

578.068

538.039

557.710

SMU

306.534

314.759

419.143

293.881

SMK

249.649

202.310

170.418

178.294

Sumber : Sumatera Utara Dalam Angka 2009 Grafik 3. Perkembangan Siswa

80.000 70.000 60.000 50.000 40.000 30.000 20.000 10.000 2008

2007

2006

2005

SD

69.866

61.130

75.794

70.893

SMP

15.698

14.295

16.686

16.017

SMU

9.769

8.466

7.182

1.792

Sumber : Sumatera Utara Dalam Angka 2009 Grafik 4. Perkembangan Kelas

121


Vol. 8. No. 2, Juni 2011

Jurnal INOVASI - Balitbang Provsu

Tabel 1. Distribusi Dikdasmen Provinsi Sumatera Utara Kabupaten/ Kota

SD S

G

M

K

SMP S

G

M

K

SMU S

G

M

K

SMK S

G

M

Kb N

419

2.973

77.747

2.744

68

1.186

21.978

619

28

575

10.591

178

26

267

7035

Kb MN

392

2.674

65.352

2.534

70

1.254

17.753

664

19

391

6.083

271

15

408

6034

Kb TSn

690

2.391

122.569

3.706

83

797

16.643

430

27

500

9.572

97

8

143

3365

Kb TT

298

2.128

44.888

1.913

45

750

17.940

412

18

326

7.303

142

13

159

3898

Kb TU

386

2.427

46.302

2.408

63

1.251

25.322

466

24

663

13.605

269

20

398

7279

Kb TSr

219

1.600

23.658

1.403

38

808

17.437

281

16

357

6.499

195

20

478

8832

Kb LB

738

6.638

136.650

6.167

120

488

10.453

961

46

984

16.752

709

37

755

14189

Kb A

654

3.473

140.685

4.395

109

2.226

43.765

1.040

55

1.280

20.682

457

34

831

8494

Kb Sn

852

6.293

118.615

5.483

143

2.986

42.404

1.220

45

1.156

18.593

1545

34

621

11731

Kb D

259

2.250

45.153

1.731

50

999

22.501

504

20

495

12.952

199

10

256

6375

Kb K

285

2.843

45.079

4.444

56

1.447

20.375

562

20

751

10.487

251

9

315

4747

Kb SD

769

8.709

191.716

6242

189

4.634

61.930

1.469

84

2.077

26.364

704

97

2032

27998

Kb L

610

6.010

125.962

4564

135

2.381

39.849

1.384

60

888

18.176

391

49

801

13390

Kb NS

690

2.347

60.902

1.722

52

521

15.491

269

23

170

4.334

40

20

130

4284

Kb HH

222

1.239

31.773

1.486

38

633

16.881

352

12

342

7.075

413

12

118

5568

Kb PB

50

1.267

7.904

344

13

101

4.500

110

4

68

2.549

39

10

26

1580

Kb Sr

201

919

20.811

1.219

30

505

14.333

352

11

262

5.763

70

6

198

3611

Kb SB

471

3.490

77.382

2.937

76

1.367

24.774

663

24

510

9.179

231

28

398

6784

Kb BB

239

3.126

52.581

1.702

50

790

12.211

259

19

518

6.721

174

9

264

3937

Kb PLU

195

1.059

31.665

1.125

31

246

5.429

141

10

125

3.139

82

3

45

2115

Kb PL

176

1.045

60.765

1.026

33

385

5.592

205

7

239

1.943

20

5

70

2567

Kb LBS

X

X

X

X

x

x

x

X

X

X

X

X

X

X

x

Kb LBU

X

X

X

X

x

x

x

X

X

X

X

X

X

X

x

Kt S

55

643

15.936

372

13

383

8.734

137

8

253

9.851

154

8

309

4193

Kt TB

74

874

21.315

548

23

384

11.172

194

9

240

5.146

148

7

115

2878

Kt PS

160

1.546

31.684

1.144

42

1.264

22.771

455

29

1.063

17.978

416

38

1039

14386

Kt TT

92

1.090

23.343

635

21

567

13.662

273

16

452

8.835

185

13

496

6750

Kt M

803

10.981

260.597

6.301

338

8.442

121.267

960

39

1.851

25312

2162

138

3629

49854

Kt B

189

1.535

27.875

1.148

40

1.062

19.923

386

24

815

12.699

253

20

526

8850

Kt Ps

89

1.292

27.686

423

27

712

14.989

302

20

553

8.351

244

15

1039

8925

Sumber : Sumatera Utara Dalam Angka 2009 Keterangan : S : Sekolah, G : Guru, M :Murid/Siswa, K : Kelas

Gambar 1. Hirarki AHP Evaluasi Dikdasmen Provinsi Sumatera Utara 122


Vol. 8. No. 2, Juni 2011

Jurnal INOVASI - Balitbang Provsu

Tabel 2. Skala Fundemental Untuk Kontribusi Berpasangan Nilai 1 3 5 7

Definisi Sama Sedang Kuat Sangat Kuat

Penjelasan Dua Unsur sama memberikan kontribusi kepada tujuan Pengalaman dan penilaian sedikit demi satu elemen atas yang lain Pengalaman dan penilaian sangat mendukung dua elemen di atas yang lain Satu elemen lebih disukai sangat kuat atas yang lain, dominasi ditunjukkan dalam praktek 9 Tertinggi Bukti yang menguntungkan salah satu unsur di atas yang lain adalah urutan yang tertinggi afirmasi Intensitas 2,4,6, dan 8 dapat digunakan untuk mengekspresikan nilai-nilai menengah. Intensitas 1.1, 1.2, 1.3, ect. Dapat digunakan untuk elemen yang sangat dekat pada pentingnya

Synthesis

24

22

29

24

25

33 22

30

34 23

31

25

29

32

65

60

53 40

33

26

29

63

50

47

40

40

29 6

33

6

Kb NKb MN Kb TSnKb TTKb TUKb TSrKb LB Kb A Kb Sn Kb D Kb K Kb SD Kb L Kb NSKb HHKb PB Kb SrKb SBKb BBKb PLUKb PLKb LBSKb LBU Kt S Kt TB Kt PS Kt TT Kt M Kt B Kt Ps

Sumber : Hasil Analisis Aplikasi Expert Choice 2nd Edition Grafik 5. Hirarki AHP Evaluasi Dikdasmen Provinsi Sumatera Utara

1000 800 600 400 200 0 Kb NKb MN Kb TSnKb TTKb TUKb TSrKb LBKb AKb SnKb D Kb K Kb SD Kb LKb NSKb HHKb PBKb SrKb SBKb BBKb PLUKb PLKb LBS Kb LBUKt S Kt TBKt PSKt TTKt M Kt B Kt Ps Guru Siswa Sekolah Kelas

Sumber : Hasil Analisis Aplikasi Expert Choice 2nd Edition Grafik 6. Pairwise pendidikan SD

1000 800 600 400 200 0 Kb NKb MN Kb TSnKb TTKb TUKb TSrKb LBKb A Kb SnKb D Kb KKb SD Kb L Kb NSKb HHKb PBKb SrKb SBKb BBKb PLUKb PLKb LBS Kb LBUKt S Kt TBKt PSKt TT Kt M Kt B Kt Ps Guru Siswa Sekolah Kelas

Sumber : Hasil Analisis Aplikasi Expert Choice 2nd Edition Grafik 7. Pairwise pendidikan SMP 123


Vol. 8. No. 2, Juni 2011

Jurnal INOVASI - Balitbang Provsu

1000 800 600 400 200 0 Kb NKb MN Kb TSnKb TTKb TUKb TSrKb LBKb AKb SnKb D Kb K Kb SD Kb LKb NSKb HHKb PBKb SrKb SBKb BBKb PLUKb PLKb LBS Kb LBUKt S Kt TBKt PSKt TTKt M Kt B Kt Ps Guru Siswa Sekolah Kelas

Sumber : Hasil Analisis Aplikasi Expert Choice 2nd Edition Grafik 8. Pairwise Pendidikan SMU

900 800 700 600 500 400 300 200 100 0 Kb NKb MN Kb TSnKb TTKb TUKb TSrKb LBKb AKb SnKb D Kb K Kb SD Kb LKb NSKb HHKb PBKb SrKb SBKb BBKb PLUKb PLKb LBS Kb LBUKt S Kt TBKt PSKt TTKt M Kt B Kt Ps Guru Siswa Sekolah

Sumber : Hasil Analisis Aplikasi Expert Choice 2nd Edition Grafik 9. Pairwise pendidikan SMK Prioritas Pembangunan Daerah Provinsi Sumatera Utara diunduh dari http://www.sumutprov.go.id/ongkam.php?m e=prioritas

DAFTAR PUSTAKA Ernest H. Forman, Mary Ann Selly, 2001. Decision By Objectives How To Convince Others That You Are Right, World Scientific Publishing, Singapore.

http://disdik.sumutprov.go.id/kebijakan.php

Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Utara No. 8 Tahun 2009 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Tahun 2009 – 2013. Analytic Hierarchy Process diunduh dari http://en.wikipedia.org/wiki/Analytic_hierar chy_process. Kebijakan & Sasaran Pendidikan Sumut, diunduh dari http://disdik.sumutprov.go.id/kebijakan.php. Disdik

Se-Sumut Sepakati 11 Percepatan Pendidikan diunduh dari http://www.sumutprov.go.id/lengkap.php?id =2811.

Strategi Pembangunan Daerah Provinsi Sumatera Utara (Sesuai Perda No.8 Tahun 2009) http://www.sumutprov.go.id/ongkam.php?m e=strategi. Tabel-Tabel Sosial Provinsi Sumatera Utara 2008 diunduh dari http://sumut.bps.go.id/?qw=stasek&ns=04#.

124


Vol. 8. No. 2, Juni 2011

Jurnal INOVASI - Balitbang Provsu

Perlindungan Agama Anak Dari Kekerasan (Studi Pembinaan Agama Dalam Keluarga Muslim Kota Medan) (Protection Child Religious from Violence—A Study of Religious Development in Islamic Family in Medan) Hj. Hafsah Institut Agama Islam Negeri Sumatera Utara Jl. William Iskandar, Psr V Medan Estate-Medan Naskah masuk : 24 Februari 2011; Naskah diterima :30 Mei 2011

ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui penyelenggarakan pembinaan agama anak dalam keluarga, Apakah para orang tua melakukan kekerasan pada anak pada saat melakukan pembinaan dan pembelajaran agama, dan solusi yang dilakukan para orang tua dalam upaya melakukan membelajarkan anak dalam keluarga. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Data dikumpulkan melalui observasi, wawancara tersruktur, dan analisis dokumen. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dalam menanamkan ajaran agama anak, para orang tua melakukan kekerasan dengan alasan mendisiplinkan anak. Penelitian merekomendasikan agar para orang tua perlu mengetahui cara-cara melakukan membina, mengasuh dan membimbing anak tanpa kekerasan dengan membaca berbagai tuntunan cara mendidik anak tanpa kekerasan. Kata kunci : Perlindungan, KDRT dan Pembinaan Agama.

ABSTRACT This study aims to determine organization of religious formation of children in the family, Do the parents do violence on children during coaching and teaching of religion, and solutions that do the parents in the effort to teach child in the family. This study uses qualitative methods. Data were collected through observation, interview structure, and document analysis. The results of this study indicate that in instilling religious teaching of children, the parents do violence to the reason for disciplining children. The study recommends that parents need to know the ways to foster, nurture and guide children without violence by reading various guidance how to educate children without violen. Keywords : Protection, KDRT, Development of Religion.

Rumah Tangga, sudah dapat dieleminir. Kekerasan dalam rumah tangga termasuk kekerasan terhadap anak meningkat secara konsisten dari tahun ketahun. Berdasarkan data dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia ( KPAI ), bahwa, setiap tahun terdapat 781.000 kasus kekerasan terhadap anak. Banyak orang tua yang tidak tahu bagaimana cara mengasuh dan membimbing anak tanpa kekerasan. Orang tua sering sekali berlaku kasar baik secara fisik seperti memukul, menendang, menampar dan lain sebaginya. Selain itu kerapkali melakukan kekerasan psikhis seperti memaki, menekan perasaan anak, mengancam dan menakut-nakuti anak ketika memanamkan pembelajaran dan menanamkan disiplin dan sebagainya. Hal tersebut seolah tidak disadari betapa buruk dampak yang diakibatkannya.

PENDAHULUAN Anak merupakan generasi penerus bangsa yang akan menentukan masa depan bangsa, yang dalam dirinya melekat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya. Karenanya anak perlu dilindungi, dipelihara dan dididik serta dipenuhi hak-haknya agar dapat berkembang secara optimal baik fisik, mental, sosial, bertanggung jawab, berakhlak mulia dan menjadi manusia yang bertaqwa. Oleh karenanya pemerintah mengatur dan membuat berbagai undang-undang yang mengatur hal-hal yang berhubungan dengan pencapaian serta mengatur hak perlindungan anak. Undang-undang yang dimaksud adalah Undang-Undang Perlindungan Anak Nomor 23 tahun 2002. Meski berbagai undang-undang telah ada, namun bukan berarti perlindungan anak dari kekerasan dalam 125


Vol. 8. No. 2, Juni 2011

Jurnal INOVASI - Balitbang Provsu

Kekerasan terhadap anak dan perempuan hkususnya di Kota Medan, diperoleh data dari Kanit Ruang Pelayanan khusus Sat Reskim Poltabes Medan, bahwa kasus tindak pidana kekerasan terhadap anak dan perempuan pada tahun 2003 sebanyak 146 kasus yakni 6 kasus perbuatan tidak menyenangkan (pasal 335), 87 kasus perbuatan cabul terhadap anak perempuan dibawah umur, 15 kasus membawa lari gadis belum dewasa (pasal 332), 10 kasus penganiayaan dalam keluarga (pasal 356), 1 kasus pencabulan dengan anak asuh (pasal 294), 12 kasus pencabulan anak yang belum berusia 15 tahun (pasal 290), 4 kasus perbuatan cabul sesama jenis (pasal 292), 3 kasus perdagangan wanita (pasal 297).

METODE PENELITIAN Pendekatan dan Spesifikasi Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian kualitatif yaitu sebuah studi mendalam yang menggunakan tehnik yang secara langsung berhadapan dengan orang didalam latar alamiyah mereka dalam mengumpulkan data. Sesuai dengan tujuan dan permasalahan penelitian, bentuk penelitian yang sesuai adalah deskriptif analitis preskriptif. Maka dalam penelitian ini untuk menggambarkan permasalahan perlindungan hukum bagi anak dalam upaya pemenuhan hak-hak anak dalam keluarga muslim di kota Medan, akan dipresentasi sebagaimana adanya (deskriptif ).

Sepanjang tahun 2010 kekerasan terhadap anak di Sumatera Utara sangat memperihatinkan sebagian besar dilakukan orang terdekat. Data yang dilansir dari berbagai media dan kasus-kasus yang ditangani Yayasan Pusaka Indonesia menunjukkan, setidaknya ada 202 kasus korban kekerasan terhadap anak sepanjang Januari hingga Desember 2010. Kota Medan menempati urutan pertama di Sumatera Utara yaitu 56 kasus ( 27.72 %) korban, yang terdiri dari 34 kasus diantaranya merupakan korban pencabulan dan penganiayaan. Usia anak yang menjadi korban dari 4 tahun sampai 18 tahun, dan yang paling dominant adalah usia 13 hingga 18 tahun.

Populasi dan sampel Penelitian. Populasi penelitian ini adalah seluruh keluarga muslim yang utuh terdiri dari suami dan seorang istri anak-anak yang berusia 1-18 tahun belum pernah menikah dan tidak cacat. Luas daerah kota Medan mengharuskan penelitian ini menggunakan tehnik cluster sampling untuk menentukan wilayah yaitu berdasarkan daerah bagian atau zona Wilayah : Medan Timur, Medan bagian Utara, Medan Kota, Medan Barat dan Medan bagian Selatan.

Meskipun Undang-Undang Kekerasan Dalam Rumah Tangga, dan Undang-Undang tentang Perlindungan Anak sudah ada, namun belum terlaksana sebagaimana yang diharapkan. Berbagai pertanyaan muncul sehubungan dengan : kenapa kekerasan dalam rumah tangga terjadi pada anak? Bagaimana penerapan Undang-Undang Perlindungan Anak dalam keluarga ?

Dari hasil random yang terpilih kelurahan Pulau Brayan Darat II untuk kecamatan Medan Timur, kelurahan Bandar Selamat untuk Kecamatan Medan Tembung, Kelurahan Teladan Barat untuk kecamatan Medan Kota, Kelurahan Tanah Enam Ratus untuk kecamatan Medan Marelan, dan kelurahan Karang Barombak untuk Kecamatan Medan Barat. Dari lima kelurahan jumlah keluarga muslim sebanyak lebih kurang 24130 kepaka keluarga, muslim (kkm) dan jumlah Kepala Keluarga Muslim yang utuh memiliki anak usia 118 tahun adalah 14262 kkm. Menurut Moh. Nazir populasi di atas 900 KK atau orang dapat diambil sampelnya sebesar 1% dengan tehnik random sampling. Dalam penelitian besar sampel yang diambil adalah 1% yaitu 140 kkm.

Berdasarkan kenyataan ini, maka dipandang perlu untuk melakukan kajiaan yang berkenaan dengan kekerasan terhadap anak yang terjadi didalam keluarga dalam melakukan pembinaan dan pembelajaran pada anak serta mengungkapkan berbagai kiat membelajarkan anak tanpa kekerasan. Jadi tulisan ini bermaksud untuk mengungkapkan berbagai kekerasan yang terjadi dalam keluarga muslim di kota Medan dalam melaksanakan pembelajaran terhadap anak.

Tehnik Pengumpulan Data Alat pengumpulan data yang digunakan adalah Wawancara( Interviw). Wawancara digunakan untuk memperoleh data primer. Khusus data penunjang berasal dari informan yang ditetapkan diatas, dikumpul melalui angket (Quisioner) yang telah disusun daftar kuisioner tertutup dan terbuka, Selain kuesioner dan wawancara sebagi alat mengumpul data digunakan observasi dengan menggunakan daftar check list.

Penelitian ini memiliki tujuan sebagai berikut: 1. Menemukan informasi tentang gambaran penyelenggaraan perlindungan anak dari kekerasan dalam rumah tangga. 2. Untuk menemukan pola pembinaan dan pembelajaran anak dalam keluarga. 3. Menemukan solusi yang kerap dilakukan oleh orang tua dalam memberi bimbingan dan pembelajaran pada anak, yang melanggar aturan dan ketidakdisiplinan.

126


Vol. 8. No. 2, Juni 2011

Jurnal INOVASI - Balitbang Provsu

adalah dilakukan dengan berbagai cara atau bentuk yaitu : terdapat 112 orang (81,6 %) partisipan penelitian ini melakukannya dengan memberi anjuran dan nasehat-nasehat, terdapat 101 orang (84,1%) partisipan menyuruh dan selalu membiasakan anak mereka melaksanakan sholat, diantaranya 49 orang partisipan (40,8%) selalu mengjak anak mereka untuk melakuka sholat Magrib berjamaah, terdapat 80 orang partisipan (66,6%) selaulu menamkan nilai-nilai akhlak yang terpuji seperti hormat dan memetuhi perkataan kedua orang tua, menyangi adik mereka serta menghormati yang lebih tua dari mereka serta terdapat 81 orang partisipan penelitian ini ( 40,8%) harus berkata jujurdan tidak berbohong, berkata dengan santun dan sopan. Patisipan penelitian ini juga terdapat 101 orang (84,1 %) menyuruh dan mengajarkan anak mereka membaca al-Qur’an. Terdapat 81 orang partisipan (67,5%)selalu memotivasi anak mereka melakukan puasa di bulan Ramadhan, yang diantaranya terdapat 41 orang (34,1 %) memberi hadiah bagi anak mereka yang selalu berbuat kebaikan seperti rajin sholat dan puasa dibulan Ramadhan.

Tehnik Analisis Data Menurut Miles dan Huberman (1992) Pengumpulan data lapangan penelitian kwalitatif dilakukan secara sirkuler. Sejalan dengan itu McMillan dan Shumacher (2001) juga menyatakan bahwa pengumpulan data dan analisa data kualitatif berlangsung secara interaktif dan overlapping. Oleh Merriam (1988:127) yang mengatakan bahwa analisis data merupakan proses memberi makna terhadap suatu data. Sejalan dengan itu maka , untuk memberi jawaban terhadap masalah penelitian ini dilakukan analisis data, dengan mengadopsi analisa data kualitatif tersebut, dengan mengikuti langkah-langkah untuk mengembangkan topok ,kategori, dan pola-pola data guna memunculkan sebuah sintesa diskriptif yang lebih abstrak. Hal ini disebut dengan analisis Inductive analysis.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Penyelenggaraan Perlindungan Agama Anak

Partisipan penelitian ini sebanyak 94 orang (78,3%) setuju mengatakan bahwa mereka sangat berharap kelak anak mereka menjadi anak yang sholih, yang dapat membahagiakan mereka kelak didunia dan diakhirat nanti.

Berdsarkan data yang dikumpulkan melalui wawancara terstruktur yang dilakukan pada bulan juli 2009 dilokasi penelitian ditemukan bahwa partisipan sebanyak 140 orang partisipan (100 % ), menuturkan bahwa anak mereka mengikuti agama yang dianut oleh partisipan yaitu Muslim.

Dalam pembinaan agama mengandung sejumlah norma dimana adanya hubungan dua arah antara kedua orang tua dengan anak-anaknya untuk mencapai satu tujuan yaitu terwujudnya pembinaan. Tujuan pembianaan agama sebagaimana untuk menciptakan anak-anak menjadi anak yang sholih beriman dan bertaqwa. Hal ini menuntut pada kedua orang tua untuk mampu melakukan pembinaan agama anak yang berorientasi pada terjadinya proses perubahan pada anak dalam aspek pengetahuan, pengamalan dan juga perubahan perilaku atau sikap maupun perubahan pada aspek keterampilan atau psikhomotorik anak.

Hal ini memberi indikasi bahwa amanah Undang – Undang Perlindungan Anak di Indonesia Nomor 23 tahun 2002 pada pasal 42 (1) yang mengamanahkan �setiap anak mendapat perlindungan untuk beribadah menurut agamanya ayat, dan ayat (2) yang berbunyi � sebelum anak dapat menentukan pilihannya, agama yang dipeluk anak mengikuti agama orang tuanya, hal ini terselenggara secara maksimal artinya seluruh keluarga muslim kota Medan, anak mereka beragama Islam. Namun penyelenggaraan UndangUndang tersebut pada pasal yang sama ayat (1) tersebut mengenai penyelenggaraan pembinaan agama anak untuk mengaplikasiakan perlindungan anak untuk beribadah, sangat beragam. Untuk lebih rinci temuan hasil penelitian tentang pembinaan, pembimbingan serta penanaman nilai-nilai agama bagi anak dalam keluarga Mulim kota Medan yang dikumpulkan melalui wawancara terstruktur yaitu : sebanyak 98 orang (85,8%) partisipan penelitian ini setuju mengatakan bahwa mereka setiap hari melakukan pembinaan, pembimbingan dan penanaman nilai-nilai agama setiap hari pada anak mereka dalam keluarga.

Deskeripsi tersebut memberi gambaran mengenai penyelenggaraan perlindungan agama anak didalam keluarga, bahwa keluarga muslim di Kota Medan menyelenggarakan perlindungan agama anak secara baik, yaitu keluarga muslim kota Medan sebagaimana yang diamanahkan dalam UndangUndang Perlindungan Anak Pasal 43 (ayat 2) meliputi pembinaan, pembimbingan, dan pengamalan ajaran agama bagi anak. Rumah tangga adalah sebagai salah satu jalur pembinaan, pembimbingan dan penanaman nilainilai agama bagi anak, sangat dituntut peranannya. Penanggung jawab utama pembinaan anak kelah anak memiliki keperibadian Islami, adalah kedua

Pembinaan, pembimbingan serta penanaman nilainilai agama yang dilakukan orang tua pada anak 127


Vol. 8. No. 2, Juni 2011

Jurnal INOVASI - Balitbang Provsu

orang tua. Syah Khalid bin Abdurrahman al-Khak mengatakan bahwa pembinaan peribadi Islami yaitu dengan menjadikan setiap anak Islam baik laki-laki maupun perempuan dalam kehidupannya berperilaku sebagai seorang muslim baik pemikirannya, ucapannya amalannya tindakannya, tujuan hidup dan pandangan masa depannya, pertimbangan, pergaulannya teraplikasi dalam kehidupannya sehari-hari.

kekerasan terhadap anak dikarenakan tindak kekerasan merupakan suatu tindakan negatif yang dapat merusak diri sendiri, merusak suasana dan orang lain. Menurut partisipan kekerasan terhadap anak hanya akan berakibat buruk seperti : (1) menimbulkan rasa benci dalam diri anak, bahkan dendam, (2) anak bersikap antipatiterhadap apa-apa yang ditanamkan orang tua mereka bahkan cenderung melawan orang tua (3) kekerasan menyebabkan penderitaan bagi anak baik fisik dan mental terhadap diri sianak. Oleh karena itu partisipan sependapat bahwa kekerasan adalah hal yang buruk yang seharusnya tidak terjadi apalagi dilakukan oleh orang tua terhadap anaknya sendiri meski dengan alasan mendidik anak.

Jadi dapat dipfahami bahwa rumah tanggalah tempat yang pertama dalam melakukan pembinaan serta penanaman nilai-nilai agama anak, dan kedua orang tua merupakan pendidik utama dan yang pertama bertanggung jawab melakukan perlindungan agama pada anak sebagai wujud pemenuhan hak beribadah bagi setiap anak. Sebagaiman yang diamanahkan dalam UndangUndang Perlindungan Anak Bab I Pasal 1( ayat 2 ) �Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpertisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi �.Selanjudnya didalam pasal 26 mengamanahkan pada orang tua wajib dan bertanggung jawab untuk (a) mengasuh, memelihara, mendidik dan melindungi anak (b) menumbuh kembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat dan minatnya, dan (c) mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak. �

Istilah kekerasan bagi terhadap anak bagi orang tua dalam keluarga muslim kota Medan menolaknya. Namun mayoritas partisipan berpendapat bahwa istilah hukuman dalam mendidik dan mendisiplinkan ajaran agama dan menanamkan pendidikan agama dalam diri anak adalakanya dibutuhkan. Istilah kekerasan adalah suatu sikap negatif sebab kekerasan berbeda dengan hukuman untuk tujuan pembentukan keperibadian sianak dan pendidikan anak sehingga hukuman diartikan sebagai suatu tindakan edukatif yang dikenakan kepada seseorang yang berbuat melanggar aturan, norma kaedah atau hukum yang berlaku baik dalam kontek agama, budaya, norma-norma, adat istiadat dan peraturan sekolah dan lain sebagainya. Kekerasan Terhadap Anak Dalam Rumah Tangga ( KDRT)

Perlindungan Anak dari Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dalam Pelaksanaan Pembinaan Agama Anak

a.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa partisipan peneliitian ini, menunjukkan bahwa melakukan kekerasan terhadap anak baik dalam keluarga, dimasyarakat maupin dilembaga-lembaga sekolah, tidak dibenarkan, baik dalam bentuk kekerasan fisik, psihkis, kekersan ekonomi maupun kekerana seksual. Ada beberapa alasan yang dikemukakan oleh partisispan antara lain : Pertama anak adalah amanah dari Allah Swt yang harus dipelihara, dididik dan dirawat, perlu dijaga secara baik. Kedua dalam melakukan pembinaan dan pendidikan pada anak serta penanaman nilai-nilai agama yang dilakukan mestilah secara yang bijaksana pula serta dengan cara-cara yang baik dan kasih sayang sehingga dapat membentuk keperibadian anak yang baik. Orang tua mesti memberi contoh yang baik, sehingga anak kelak melakukan kekerasan pula dimasa mendatang. Ketiga kekerasan pada anak akan berakibat buruk dan kurang baik bagi pertumbuhan fisik serta perkembangan mental anak.

Kekerasan Pisik

Dari hasil wawancara yang dikumpulkan ada 21 orang (15 %) orang tua melakukan hukuman dalam bentuk pernah memukul anak dan ada 27 orang (37,8 %) pernah menampar anak, terdapat 17 orang (12,1 %) pernah menendang anaknya, dan selebihnya 40 orang ( 28,5%) , dan selebihnya sama sekali tidak pernah melakukan kekerasan pada anak, jika melanggar ajaran agama seperti berbohong, tidak mengerjakan sholat, membandel dan tidak mematuhi perkataan orang tua. Tabel 1. Kekerasan Pisik Terhadap Anak. No 1 2 3 4 5

Dari hasil wawancara dapat diungkapkan beberapa hal mengenai penolakan partisispan tentang 128

Bentuk kekerasan Dipukul Ditampar Ditendang Lebih dari satu jenis Tidak pernah

Frekwensi

persentase

21 27 17 40

15 19,2 12,1 28,6

35

25


Vol. 8. No. 2, Juni 2011

Jurnal INOVASI - Balitbang Provsu

Hal tersebut dapat dipahami bahwa terdapat minoritas orang tua melakukan kekerasan pisik terhadap anak dalam melakukan penanaman disiplin, dan ajaran agama baik penanaman akhlak maupun ibadah bagi anak. Hal tersebut menunjukkan bahwa anak pernak mengalami kekerasan pisik dalam rumah tangga. Kekerasan pisik yang dialami bermacam-macam mulai dari dipukul, ditampar ditendang , bahkan ada anak yang mengalami kekerasan pisik yang bervariasi jenisnya. Kondisi ini menggambarkan bahwa, sebagian anak dibesarkan dan dididik dengan cara kekerasan. Berdasarkan hasil wawancara terstruktur juga diketahui bahwa sikap orang tua terhadap anak yang melanggar hukum, aturan, norma dan agama pada tingkat perbuatan kriminal seperti mencuri, merampok, mengisap ganja, sebanyak 29 orang (19,1 %) memenjarakan anaknya, dan ada 44 orang (36,6 %) kurang setuju dan 56 orang (46,6 %) tidak setuju memenjarakan anak yang melakukan tindakan kriminal tersebut. Berdasarkan hasil wawancara dengan partisipan yang setuju memenjarakan anak jika melanggar hukum, melanggar ajaran agama seperti mencuri dan mengisap ganja, memperkosa, dan melakukan tindakan kriminal lainnya, diilustrasikan sebagai berikut : � orang-orang yang melanggar aturan, hukum, norma yang berlaku dimasyarakat , perlu dipenjarakan meski masih anak-anak hingga ia jera melakukannya. b.

Dari data tersebut dapat diketahui bahwa dalam rumah tangga terjadi kekerasan psikhis dalam berbagai bentuk, sntara lain mengancam anak tidak diberi makan sebanya 43 orang (35,8 %), terdapat 4 orang (3,3 %) mengusir anak dari rumah, terdapat 51 orang (42,5%) memki anak dan merendahkannya, dan selainnya pernah melontarkan kata-kata yang menyakitkan anak sebanyak 42 orang (18,6 % ) . Kondisi ini dapat memberi gambaran bahwa dalam keluarga terjadi kekerasan pisikhis yang beragam yang memberi makna bahwa orang tua dalam mendidik dan memperlakukan anak dalam keluarga dengan melakukan kekerasan psikhis. c.

Selain itu berdasarkan hasil wawancara tersebut, dapat diketahui bahwa terdapat orang tua yang melakukan kekerasan ekonomi terhadap anak dalam bentuk mengikut sertakan anak mencari nafkah, memaksakan anak, membiarkan anak bekerja ditempat yang membahayakan anak dan mengekspolitasi penghasilan anak mereka. Kekerasan ekonomi yang terjadi dalam rumah tangga dapat dilihat dalam tabel berikut : Tabel 3. Kekerasan Ekonomi terhadap Anak No 1

Kekerasan Psikhis 2

Selain kekerasan pisik maka, kekerasan psihkis yang terjadi dalam keluarga dapat diungkapkan sebagai berikut : terdapat 46 orang ( 32,8 % ) orang tua mengancam, mengusir anak dari rumah, memakinya dan melontarkan kata-kata yang menyakitkan bagi anak yang membandel, tidak patuh pada orang tua dan tidak mau bersekolah. Dapat dipahami bahwa salah satu bentuk pembinaan agama anak dalam keluarga adalah dengan hukuman, orang tua melakukan kekerasan pshikhis meski mereka tidak setuju dengan istilah tersebut. Untuk lebih jelas dapat dilihat dalam tabel berikut :

3

4.

1.

Bentuk kekerasan

Mengancam tidak diberi makan dan jajan 2 Mengusir dari rumah 3 Memaki 4 Melontarkan katakata yang menyakitkan Jumlah Sumber : Hasil wawancara

Frekuensi

Presentase

43

30,7

4

2,8

51 42

36,4 30

140

Bentuk kekerasan Mengikutsertakan mencari nafkah Memaksa anak membantu pekerjaan orang tua Membiarkan anak bekerka ditempat berbahaya Tidak melakukan kekerasan Total

Frekuensi 27

Persentase 19,28

20

14,28

6

4,28

87

62,14

140

100

Dari tabel tersebut dapat diketahui bahwa, terdapat 27 orang ( 19,8 % ) anak dilibatkan mencari nafkah, terdapat 3 orang ( 2,8 %) anak dibiarkan mencari nafkah ditempat-tempat yang membahayakan anak seperti berjualan ditengah jalan raya, terdapat 20 orang ( 14,2 %) , mengikutsertakan anak membantu pekerjaannya, dan terdapat 87 orang ( 62 %), orang tua tidak melakukan kekerasan ekonomi pada anak. Hal ini dapat disimpulkan bahwa dalam keluarga mayoritas tidak melakukan kekerasan ekonomi, tetapi hampir 40 % anak mengalami kekerasan ekonomi dalam rumah tangga.

Tabel 2. Kekerasan psikhis terhadap anak No

Kekerasan Ekonomi

d.

Kekerasan Seksual

Kekerasan seksual yang terjadi dalam keluarga dalam bentuk sikap orang tua terhadap memaksakan anak menikah diusia muda, membiarkan anak bergaul bebas berpacaran dan

100

129


Vol. 8. No. 2, Juni 2011

Jurnal INOVASI - Balitbang Provsu

bersenang-senang ditempat-tempat hiburan, adalah sebagai berikut :

agama dalam bidang aqidah, ibadah dan akhlak. Ada lima dimensi keberagamaan yang perlu ditanamkan kepada anak yaitu (1) keyakinan atau Tauhid, (2) peraktek agama atau peribadatan (3) etika atau Akhlaq (4) pengetahuan atau pendidikan agama dan (5) sosial atau kemasyarakatan.

Tabel 4. Kekerasan Seksual Dalam Rumah Tangga No 1 2 3

4

Bentuk Kekerasan Menikahkan anak di usia muda Membiarkan anak bergaul bebas Membiarkan anak bersenang-senang di tempat hiburan malam Tidak melakukan hal diatas

Frekuensi

Presentase

9

7,5

2

1,6

7

5,6

122

87,14

Pembinaan agama pada anak bertujuan untuk menciptakan anak yang beriman dan bertaqwa dan memiliki keperibadian sebagai seorang muslim sejati sikap, pengetahuan keterampilanyang akan mendasari anak untuk mengarungi kehidupan masa kini dan masa yang akan datang dan mampu menjalani kehidupan yang bahagia didunia dan di akhirat kelak. Pembinaan agama mestilah dilakukan dengan rencana yang terprogram tentang penanaman nilai-nilai agama yang dilaksanakan dengan prosedur dan dengan langkah-langkah yang sistematik.

Dari tabel tersebut dapat diketahui bahwa, terdapat 9 orang ( 7,5 %) setuju mengatakan memaksa anak menikahkannya diusia muda, ada 2 orang ( 1,6 %) setuju membiarkan anaknya berpacaran bebas, dan terdapat 7 orang ( 5,8 %), orang tua membiarkan anaknya bersenang-senang ditempat-tempat hiburan malam, Dan selebihnya menjaga anak dari hal-hal tersebut yaitu 122 orang ( 87,14 %). Hal ini dapat dipahami bahwa minoritas keluarga melakukan kekerasan dalam rumah tangga dalam berbagai bentuknya, seperti kekerasan pisik, kekerasan psihkis, kekerasan seksual dan kekerasan ekonomi terjadi didalam keluarga muslim dikota Medan.

Keluarga sebagai penanggung jawab dan pelaksana pembinaan agama yang paling utama dan pertama bagi anak, diarahkan pada pembinaan keperibadian islami dengan menjadikan setiap anak Islami lakilaki maupun perempuan dalam kehidupannya berperilaku sebagai seorang islam baik pemikiran, ucapan, amalan, tindakan, akhlak, tujuan hidup, pandangan, pertimbangan, pergaulan dan lain sebagainya dalam kehidupan sehari- hari. Ada berbagai cara pembinaan keperibadian Islami bagi anak- anak yang sebaiknya diterapkan oleh orang tua dalam keluarga dalam menciptakan anak yang memiliki keperibadian muslim antara lain dengan : (1) teladan yang baik (2) melalui cerita anak-anak sholeh dan cerita para sahabat rasul (3) Kisah-kisah dalam al-Qur’an (4) bergaul dengan anak atas dasar kasih sayang sepenuhnya.

Adapun alasan bagi orang tua yang setuju melakukan hukuman bagi anak yang melanggar norma agama, aturan maupun adat antara lain untuk memberi efek jera pada anak dengan harapan kelak anak tidak mengulangi kesalahan yang sama lagi dimasa yang akan datang.

Pembentukan keperibadian yang Islami juga bisa dilakukan dengan menjalin komunikasi yang baik antara orang tua dan anak, memperhatikan anak, menyayangi anak, respon yang baik menerima anak, melindungi, membimbingdan mengawasi anak. Hal tersebut memberi indikasi bahwa setiap orang tua harus memahami, mengerti dan menerapkan proses pembinaan agama anak dengan efektif dan efesien. Orang tua sebagai pendidik mestilah memiliki kemampuan mendidik sesuai teori-teori pendidikan.

Jadi hukuman bagi mereka bukan kekerasan tetapi sebagai alat untuk mencegah mendisiplinkan anak dan bukan kekerasan. Pertisipan yang kurang setuju memenjarakan anak yang melakukan tindakan kriminal berpendapat bahwa : � hukuman penjara bagi anak adalah cara terahkir, baru boleh dilakukan setelah anak lebih dahulu dinasehati, kemudian dimarahi, atau kemudian dipukul dan sejenisnya, jika anak tidak jera baru kemudian dipenjarakan �. Jadi hukuman kekerasan bagi anak diberikan setelah lebih dahulu dengan cara-cara yang lebih baik atau tidak dengan kekerasan, dan jika cara tersebut tidak berhasil dilakukan baru dengan cara kekerasan.

Mengenal, mengerti dan memahami hal-hal yang mendasari perkembangan anak, mestilah dipahami oleh kedua orang tua, guna melakukan intervensi terhadap kegiatan belajar anak. Proses intervensi diawali dengan inventarisasi sumber belajar, kemudian merencanakan bentuk kegiatannya, lalu perlu disesuaikan dengan tahapan pertumbuhan dan perkembangan anak, sebab setiap anak mengalami pertumbuhan dan perkembangan yang unik. Dalam keadaan normal perkembangan anak akan

Pembahasan Pembianaan agama yaitu proses atau usaha yang dilakukan dalam kerangka mengasuh, membimbing, mengarahkan perilaku anak sesuai dengan tuntutan 130


Vol. 8. No. 2, Juni 2011

Jurnal INOVASI - Balitbang Provsu

berlangsung seiring perkembangan fisiknya. Harmonisasi tumbuh kembang anak ini perlu disesuaikan dengan bentuk kegiatan yang akan dilakukan oleh orang tua, sehingga proses yang berlangsung tidak tumpang tindih.

lain:(1.) Katakan dengan cara halus tetapi tegas. Anak yang tidak menuruti perintah yang sudah berkali-kali disuruh, sebaiknya orang tuanya belutut setinggi anaknya dan dengan memegagang pundaknya dan tatap matanya berkata dengan tegas misalnya : ”Mama ingin kamu mandi sekarang juga” ! (2). Tenangkan diri anda. Apabila anda sedang marah, ingin meledak dan ingin memukul anak anda, tahan dan tarik nafas, serta masuk ke kamar terlebih dahulu. Anda dapat berwudhu, berzikir, atau dengan cara apa saja yang dapat menenangkan diri. Setelah anda tenang, biasanya anda mempunyai solusi yang lebih baik untuk menghadapi anak anda. Kemudian diskusikan dengan anak anda mengapa perbuatannya salah, dan minta anak untuk menyadari bahwa dirinya telah melakukan kesalahan.(3). Berikan anak anda konsekuensi. Apabila anak melanggar peraturan, beritahu anak bahwa perbuatannya salah, dan berikan tugas tambahan sebagai konsekuensinya. Misalnya, membersihkan kamar mandi, menyapu halaman, mencuci mobil, dan sebagainya.(4.) Berikan pilihan sebagai konsekuensi perbuatannya yang salah. Apabila anak terus membuat keributa dengan memukul kaleng dengan sendok, sementara anda sedang pusing, tanyakan pada anak: ” Mama sedang pusing,apakah kamu bisa stop memukul kaleng itu. Atau kamu harus keluar dan bermain di halaman?’’. Apabila anak terus memukul kaleng tersebut, maka dengan halus tetapi tegas, gandeng ia ke luar rumah. Jadi, anda tidak perlu membentak atau memukul anak. ( 5.) Jangan melibatkan diri untuk konflik dengan anak. Sering terjadi orang tua ingin memukul anaknya ketika melawan, atau menjawab balik perkataannya dan melawannya secara kasar.

Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa penyelenggaraan perlindungan anak dari kekerasan dalam keluarga belum sepenuhnya baik. Kekerasan dalam rumah tangga terhadap anak masih banyak terjadi dalam keluarga muslim di kota Medan. Orang tua melakukan kekerasan terhadap anak dengan alasan untuk mendisiplinkan anak mereka. Disadari atau tidak tindak kekerasan yang dilakukan untuk alasan mendisiplinkan anak mempunyai dampak negatif dalam perkembangan sianak. Ada beberapa pengaruh negatif sebagai dampak tidakan kekerasan yang dilakukan orang tua terhadap anak sebagaimana diungkapkan oleh Ratna Megawati dan Edi Wiyono adalah sebagai berikut : Pertama, Menumpulkan hati Nurani anak. Hati nurani adalah rem yang paling ampuh bagi manusia untuk tidak terlibat dalam tindakan kejahatan. Kedua, Anak Menjadi Pembohong. Orang tua yang sering memukul anaknya, akan dianggap sebagai sosok yang menakutkan, sehingga anak sering berpura-pura baik. Jadi mendisiplinka anak dengan kekerasan adalah tidak efektif, sebab anak hanya akan baik bila ada sosok yang disegani dan ditakutinya, sedangka bila tidak ada maka anak tidak akan terkendali. Anak yang sering diancam dan ditakut- takuti dengan kata-kata yang tidak pernah terjadi seperti ” jangan menyentuh itu, nanti tanganmu dipotong gendruwo ” berdampak tidak baik terhadap anak, sebab pada akhirnya itu tidak pernak ada, dan ia menjadi tidak percaya pada orang tuanya, sehingga ia juga akan sering mengancam oarang yang lebih lemah darinya untuk melakukan hal serupa. Ketiga, Membuat anak menjadi rendah diri. Ketika anak dipukul dan dicaci makimaka pesan yang ditangkap anak adalah perasaan ditolak karena tidak berguna, ia merasa terhina dan tidak berguna, maka kelak anak akan mudah masuk pada kelompok yang mau menerimanya sekalipun itu kelompok geng yang suks berbuat tindakan keriminal, narkoba dan lain sebagainya. Keempat, Mengganggu pertumbuhan otak sianak dan membuat perestasi belajar anak rendah. Berdasarkan hasil penelitian terhadap 960 orang di Amerika Serikat, menunjukkan bahwa anak-anak yang sering dipukul oleh orang tuanya cenderung memiliki IQ yang rendah bila dibandingkan dengan anak-anak yang tidak pernah dipukul orang tuanya.

KESIMPULAN Jika ditinjau berdasarkan Hukum Nasional dalam Undang-Undang Perlindungan Anak Nomor 23 Tahun 2002 bahwa perlindungan anak mutlak dilakukan. Pengabaian maupun keteledoran dan semisalnya merupakan perbuatan melanggar hukum. Berdasarkan Undang-Undang tersebut, salah satu hak anak adalah hak pelindungan agama anak yang merupakan kewajiban dan tanggung jawab kedua orang tua, guna melakukan pembinaan agama dan penanaman ajaran serta nilai-nilai agama agar anak beriman dan bertaqwa.

REKOMENDASI Hasil Penelitian ini merekomendasikan, bahwa hendaknya para orang tua maupun guru disekolah, harus menyadari, bahwa melakukan kekerasan pada anak meski dengan alasan untuk mendisiplinkan anak, tetap saja punya efek lain yang negatif yang berbahaya, dimasa depan sianak. Oleh karena itu seharusnya orang tua dan guru mesti memahami cara-cara mendisiplinkan anak

Ada beberapa solusi menurut Ratna Megawati( 2007) yang dapat dilakukan orang tua untuk mendisiplinkan anaknya tanpa kekerasan antara 131


Vol. 8. No. 2, Juni 2011

Jurnal INOVASI - Balitbang Provsu

Badan Pusat Statistik Kota Medan dengan Badan Perencanaan Daerah Kota Medan, Medan 2007 (Medan, Badan Pusat Medan : 2007)

tidak dengan cara kekerasan, tapi dengan penuh kasih sayang dan cara yang bijak. Persepsi terhadap anak sebagai sosok yang bandel yang diatasi dengan cara kekerasan seperti memukul, memaki dan menghukum anak mestilah dihilangkan. Orang tua yang melakukan kekerasan hendaknya dapat mengubah sikapnya, selalu bersikap positif, dan memperlakukan anak dengan penuh kasih sayang. Sikap adalah sebuah pilihan bagi setiap orang, termasuk orang tua. Apakah mau mengubah sikap ? itu terpulang pada diri sendiri. Pembinaan agama bagi anak juga merupakan tanggung jawab bersama orang tua, guru, masyarakat dan pemerintah. Penelitian ini juga merekomendasikan berbagai yaitu hal: (a) kepada orang tua, maka sudah selayaknya memiliki kompetensi pedagigik, kompetensi sosial yang baik dan kompetensi keperibadian sebagai orang tua yang kaya akan kasih sayang. Hendaklah orang tua memahami Undang-Undang Perlindungan anak, dan mengetahui apa-apa yang menjadi hak anak, dengan penuh tanggung jawab dapat memenuhi kewajibannya terhadap anak. (c) Meski telah ada UUPA, namun perlu adanya aturan pemberian sangsi terhadap orang tua yang menelantarkan dan mengabaikan hak perlindungan anak (e) para keluarga seharusnya memiliki penghasilan yang cukup pula agar dapat penyelenggarakan hak perlindungan bagi anak-anak mereka dengan baik.(f) terhadap pemerintah setempat disarankan untuk mensosialisasikan Undang-Undang tersebut kepada masyarakat melalui organisasi-organisasi masyarakat, LSMda Kua Kecamatan. (g) Perlu pembentukan lembaga perlindungan kesehatan, pendidikan dan perlindungan agama bagi anak.

DAFTAR PUSTAKA Abdurrahman, 2007. Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia. Jakarta : Akademika Pressindo. Ratna Megawati dkk, 2007. Mari Kita Akhiri Kekerasan Pada Anak. Jakarta : Indonesia heritage Foundation. Soemiarti Patmonodewo, 2000. Pendidikan Anak Prasekolah, Jakarta Rineka Cipta. Undang-Undang Rumah Tangga Nomor 23 Tahun 2004 Undang-Undang Perlindungan Anak Nomor 23 Tahun 2002 (Padang Sumbar : Baduose Media, 2008). Tim

Radaksi Fokus media. Undang-Undang Perlindungan Anak, Undang – Undang RI Nomor 23 Tahun 2002 (Bandung, Fokusmedia, 2007)

132

Bekerja Sama Pembangunan Dalam Angka Statistik Kota


Vol. 8. No. 2, Juni 2011

Jurnal INOVASI - Balitbang Provsu

Integrasi Dalam Proses Pembentukan Identitas Bangsa Untuk Menumbuhkan Budaya Kewarganegaraan, Kajian Naturalistik Terhadap Tokoh Etnis Tionghoa Di Kota Medan (Integration in National Identity formation to develop Citizenship Culture, a Naturalistic Research among Chinese Ethnic in Medan City) Deny Setiawan Universitas Negeri Medan Jl. William Iskandar, Psr V Medan Estate-Medan Naskah masuk : 21 Februari 2011; Naskah diterima :25 April 2011

ABSTRAK Masalah Tionghoa yang berulang terjadi, seakan mengikuti dinamika dari sejarah republik ini. Di era reformasi masalah tersebut telah dianggap selesai, dengan dipulihkannya hak – hak budaya etnis tionghoa dan undang – undang tentang kewarganegaraan serta penghapusan diskriminasi ras dan etnis. Namun kondisi masyarakat indonesia yang multikultural dan dalam rangka pembangunan daerah dipandang perlu masukan dari para etnis tionghoa berkenaan dengan perspektif pemikirannya tentang konstruksi intregasi, formulasi integritas bangsa, dan penumbuhan budaya kewarganegaraan untuk pembangunan masyarakat multikultural. Penelitian ini dilakukan di Kota Medan secara naturalistik melalui teknik wawancara, observasi dan studi dokumentasi dengan analitik komparison. Hasil penelitian menunjukkan perspektif pemikiran para tokoh etnis tionghoa di Kota Medan mengenai konstuksi integrasi, formulasi identitas bangsa dan upaya penumbuhan budaya kewarganegaraan, memiliki pandangan dan gagasan yang beragam. Namun dapat disimpulkan konstruksi intregrasi yang “berkesesuaian” dengan formulasi identitas bangsa untuk penumbuhan budaya kewaranegaraan memberi kontribusi yang berarti bagi pembangunan masyarakat multikultural. Kata kunci : Integrasi, identitas, dan budaya kewarganegaraan.

ABSTRACT The “Chinese Issue” has recurrently took places, it is likely to follow this republic historical dynamic. In the reform era, this issue is assumed to finish, with recovery of Chinese cultural rights and regulation about Citizenship and Abolition of the Racial and Ethnical Discrimination. However, a multicultural Indonesian society condition and attempt to create a local development, it is necessary assumed to gets inputs from the Chinese ethnical figures, in relation with their thought perspective about: construction of integration, nation identity formulation, and citizenship cultural emergence for a multicultural society development. The research itself was conducted in Medan City in naturalistic way. It was carried out by interview, observation, and documentary studies with an analytical comparison. The research findings show that thought perspective of those Chinese ethnical public figures in Medan city concerning on construction of integration, nation identity formulation, and effort to emerge a citizenship cultural attitude have varied opinion and idea. However, it can be drawn a conclusion that; construction of integration that is fitted with nation identity formulation for citizenship cultural emergence will provide contribution on multicultural society development. Keywords : Integration, identity, and civic culture.

harapan akan munculnya kehidupan demokratis yang kondusif di republik ini. Namun tuntutan dan harapan tersebut, teriris oleh suatu tragedi: kerusuhan, penjarahan, pemerkosaan, dan pembunuhan terhadap sesama anak bangsa. Tragedi kemanusiaan 13-15 Mei 1998 telah mencoreng citra

PENDAHULUAN Berawal dari tuntutan dan harapan pada saat reformasi meledak di bulan Mei 1998, sebuah tuntutan akan adanya perubahan dan sebuah 133


Vol. 8. No. 2, Juni 2011

Jurnal INOVASI - Balitbang Provsu

Banyak elit yang mengatakan undang-undang tersebut merupakan hal yang revolusioner. Namun juga ada yang mengatakan undang-undang tersebut masih harus terus disosialisasikan, sehubungan dengan umurnya yang masih berusia lima tahun. Namun sayangnya, dalam praktik di lapangan masih menimbulkan pertanyaan, apakah adanya UndangUndang Kewarganegaraan No. 12/2006 tersebut dapat menjamin kemudahan dalam memperoleh status WNI, khususnya bagi etnis Tionghoa. Pertanyaan ini sama halnya dengan masih perlukah SBKRI bagi etnis Tionghoa yang lahir dan berdomisili di Indonesia. Beberapa pakar justru membuktikan bahwa dalam praktiknya di lapangan SBKRI masih terus ditanyakan oleh pegawai Dinas Kependudukan kepada etnis Tionghoa yang hendak mengurus surat atau pun dokumen yang berkaitan dengan kependudukan. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa disatu pihak negara menginginkan pembauran dan integrasi bangsa, namun dilain pihak perlakuan diskriminatif masih berlangsung baik secara formal maupun informal.

bangsa yang beradab, menjadi bangsa yang beringas. Salah satu mereka yang menjadi korban (di-korban-kan) dalam kerusuhan tersebut, adalah mereka yang selama ini kita golongkan sebagai non-pribumi, yaitu minoritas etnis Tionghoa. Reformasi yang selayaknya adalah suatu gerakan pembaharuan dalam mencari perubahan bentuk ideal kehidupan dalam berbangsa dan bernegara, justru diwarnai oleh semacam tumpuhan dendam, yaitu dendam terhadap rezim yang selama 32 tahun mengukung kebebasan hingga menjalar pada dendam terhadap etnis Tionghoa yang selama ini dianggap diistimewakan. Bermula dari masa kolonial melalui politik devide et impera, segregasi dan diskriminasi terhadap etnis Tionghoa ini memang telah diciptakan. Berlanjut pada masa Orde Lama hingga Orde Baru, yang justru melalui berbagai kebijakan yang dikeluarkan rezim, telah mengentalkan segregasi dan diskriminasi hingga melestarikan prejudice atau prasangka dan stereotipe pada tataran private space.

Fakta di atas, hanyalah merupakan salah satu masalah terkendalanya integrasi dalam proses pembentukan identitas bangsa, malah merupakan contraditio in terminis dari konsep Bhineka Tunggal Ika (unity in diversity). Untuk itu di alam reformasi ini, masalah integrasi dalam proses pembentukan identitas bangsa, masih merupakan suatu upaya yang urgen untuk dilakukan sebagai input dalam mendukung agenda reformasi.

Hubungan antar etnis yang tidak harmonis ini, diperparah ketika suatu program pembangunan yang dicanangkan rezim mengalami kegagalan, yang kemudian rezim menuding segelintir etnis Tionghoa dianggap sebagai biang keladi kegagalan tersebut. Pengkambinghitaman ini telah menyulut potensi konflik yang bersifat laten pada dimensi horizontal menjadi konflik terbuka, karena dipicu oleh faktor vertikal seperti kecemburuan ekonomi dan kepentingan politik elit. Namun lagi-lagi konflik tersebut berulang terjadi, seakan-akan mengikuti dinamika dari sejarah bangsa ini.

Dalam konteks dunia akademis, tema-tema integrasi dan identitas bangsa pasca reformasi masih perlu banyak dilakukan guna mencari gagasan dan model yang pas bagi penumbuhan budaya kewarganegaraan yang demokratis. Namun penelitian mengenai integrasi dan identitas di kalangan etnis Tionghoa yang berkaitan secara khusus dengan civic culture (budaya kewarganegaraan), masih belum banyak dilakukan. Kajian civic culture di kalangan etnis Tionghoa merupakan sesuatu yang urgen untuk dilakukan. Alasannya bahwa sebaik apapun kebijakan yang dikeluarkan rezim dalam ruang publik yang berkenaan dengan integrasi dan identitas, masih akan terkendala manakala pada tataran private space belum tumbuh budaya kewarganegaraan di kalangan subyek-subyek individu etnis Tionghoa itu sendiri. Upaya penumbuhan budaya kewarganegaraan bagi generasi etnis Tionghoa di Indonesia pasca reformasi, merupakan wahana bagi tumbuhnya kesadaran secara kolektif akan jatidirinya sebagai bagian dari generasi bangsa ini. Bahkan melalui civic culture dalam kontek pengembangan karakter dan nilai-nilai demokratis, diharapkan mereka dapat menempatkan identitasnya itu secara harmoni dalam ruang keIndonesia-an.

Tiga belas tahun reformasi telah bergulir, memang pasca kerusuhan Mei 1998 sepertinya sudah ada upaya dalam memperbaiki hubungan antar etnis antara mayoritas (pribumi) dengan minoritas (etnis Tionghoa). Pemerintah reformasi pun sudah mengelurkan berbagai peraturan yang mencabut kebijakan-kebijakan diskriminatif terhadap etnis Tionghoa di Indonesia, yang antara lain : Kepres No. 6/2000 tentang Pencabutan Inpres No.14/1967 tentang Agama, Kepercayaan dan Adat Istiadat Cina. Inpres No.26/1998 tentang Penghapusan Penggunaan Istilah Pri dan Non Pri, Surat Edaran Mendagri No.471.2/1269/SJ tanggal 18 Juni 2002 perihal SBKRI, Surat Edaran Dirjen Imigrasi Depkeh dan HAM No. P.U.M. 01. 10. 0626 tanggal 14 April 2004 tentang SBKRI bagi Permohonan Paspor RI, Surat Edaran Direktorat Penelitian dan Pengaturan Perbankan No. 6 Tanggal 11 Juni 2004 tentang SBKRI dalam Dokumen Perbankan, Serta Kepres No. 19/2002 tentang Ditetapkannya Hari Tahun Baru Imlek sebagai Hari Nasional. Bahkan kesulitan dalam memperoleh status WNI telah teratasi dengan adanya kebijakan pemerintah dalam UU Kewarganegaraan No. 12/2006. 134


Vol. 8. No. 2, Juni 2011

Jurnal INOVASI - Balitbang Provsu

Kota Medan pasca reformasi 1998 sebagai tempat berlangsungnya proses pengumpulan data. Studi dokumentasi, observasi, dan wawancara akan sering dilakukan di lingkungan kantor, lembaga/ organisasi, di rumah, atau di tempat lainnya, baik secara formal maupun informal.

Pemikiran ini menjadi gagasan awal peneliti untuk mengkaji keberadaan komunitas etnis Tionghoa, khususnya para tokoh etnis Tionghoa di Kota Medan, dalam kaitannya dengan rekonseptualisasi integrasi dan formulasi identitas, serta pengaruhnya terhadap upaya penumbuhan budaya kewarganegaraan pasca reformasi 1998.

Sedangkan kriteria pelaku (actors) dalam penelitian ini adalah para tokoh etnis Tionghoa yang mempunyai peran yang besar yang berkaitan dengan fokus penelitian. Berdasarkan observasi yang cermat, peneliti kemudian akan memfokuskan pemilihan subjek penelitian pada tahap continuous adjustment atau focusing (Lincoln dan Guba, 1982: 202) pada beberapa orang yang dianggap kompeten, yang kemudian ditetapkan sebagai subjek penelitian terfokus. Selanjutnya mengenai peristiwa (events) sebagai kriteria ketiga adalah perspektif pemikiran dari para subjek penelitian terfokus mengenai pandangan dan gagasan yang berkaitan dengan fokus penelitian. Sementara proses (process) sebagai kriteria keempat adalah proses wawancara antara peneliti dengan subjek penelitian terfokus baik secara formal maupun informal berkenaan dengan perspektif pemikirannya terhadap “integrasi dalam proses pembentukan identitas bangsa� pasca reformasi 1998 untuk menumbuhkan budaya kewarganegaraan yang demokratis.

Tujuan penelitian ini adalah: (1) memperoleh gambaran faktual tentang perspektif pemikiran para tokoh etnis Tionghoa mengenai integrasi dalam proses pembentukan identitas bangsa untuk menumbuhkan budaya kewarganegaraan pasca reformasi di Kota Medan; (2) menghasilkan rekonseptualisasi integrasi dan formulasi identitas bangsa yang dipandang pas bagi tumbuhnya budaya kewarganegaraan yang demokratis dalam ruang keIndonesia-an; (3) menemukan pola penumbuhan budaya kewarganegaraan yang dilakukan para tokoh etnis Tionghoa di kota Medan sebagai upaya pengembangan karakter warga negara yang demokratis.

METODE PENELITIAN 1.

Pendekatan dan Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif naturalistik dengan metode grounded theory. Metode ini memberikan peluang yang sangat besar untuk menemukan teori baru, disusun dan dibuktikan melalui pengumpulan data yang sistematis, dan analisis data yang berkenaan dengan fenomena itu. Peneliti tidak memulai penyelidikan dengan pegangan pada suatu teori tertentu lalu membuktikannya, melainkan dengan berpegang pada suatu kajian dan hal-hal yang terkait dengan kajian tersebut (Strauss dan Corbin, 2003: 10-11). Sesuai dengan pendekatan dan metode yang telah ditetapkan, maka dalam penelitian ini digunakan teknik-teknik pengumpulan data kualitatif, yang meliputi: studi dokumentasi, observasi, dan wawancara. Dengan demikian, dalam penelitian naturalistik ini, peneliti berperan sekaligus sebagai instrumen (human instrument) pengumpul data (Bogdan dan Biklen, 1982: 27). 2.

3.

Analisis Data

Analisis data dalam penelitian ini menggunakan analytic comparison. Menurut Neuman (2004: 427), analytic comparison dapat digunakan untuk analisis kualitatif. Analytic comparison di dalam penggunaannya mencakup method of agreement dan method of difference. Guna keperluan dalam penelitian ini, peneliti menggunakan kedua cakupan tersebut dalam menganalisis. Ini berarti dalam menganalisis dengan method of agreement dan method of difference, peneliti menganalisis pernyataan-pernyataan yang sama dan yang berbeda dari para informan. Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan dengan para informan, peneliti memilah-milah pernyataan-pernyataan yang sama dan yang berbeda pada masing-masing pertanyaan, kemudian dibandingkan antara satu informan dengan informan lainnya. Setelah itu peneliti menganalisinya dengan menggunakan teori-teori yang ada.

Penentuan Subjek Penelitian

Ada beberapa kriteria yang digunakan dalam penetapan subjek penelitian, yakni latar (setting), para pelaku (actors), peristiwa-peristiwa (events), dan proses (process) (Miles dan Huberman, 1984: 38).

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 1.

Berdasarkan kriteria di atas dan fokus penelitian yang telah dirumuskan di muka, maka penetapan subjek penelitian yang purposif ditujukan pada tokoh etnis Tionghoa Medan, yang berarti: kriteria latar (setting) dalam penelitian ini adalah situasi

Rekonseptualisasi Integrasi

Para tokoh etnis Tionghoa di kota Medan yang tampil dalam penelitian ini, memiliki perspektif pemikiran yang berbeda berkenaan dengan tema yang pertama “rekonseptualisasi integrasi�. Pasca 135


Vol. 8. No. 2, Juni 2011

Jurnal INOVASI - Balitbang Provsu

Orde Baru telah memunculkan kembali wacana asimilasi versus integrasi. Versus ini bukan dimaksudkan untuk memilih, namun yang terpenting mengkaji ulang dan melakukan kostruksi yang pas bagi integrasi bangsa ini.

dalam bingkai Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika. Penerapan model ini menuntut “penghapusan diskriminasi”. Oleh karenanya, action sebagai metode yang dianggap paling ampuh dalam membelajarkan pluralisme, hendaknya diiring dengan contoh dan tauladan sehingga diskriminasi yang telah menjadi penyakit kronis secara bertahap dapat terkikis dalam membangun integrasi. Kontribusi dari tuntutan ini, akan membawa harapan akan terwujudnya “masyarakat yang anti diskriminasi”. Berdasarkan gagasan, tuntutan dan harapan di atas, jelas model ini menghendaki integrasi bangsa yang dibangun bukan sekedar datang dari atas oleh negara, bukan lagi jenis integrasi bangsa yang dibangun dengan paksaan dan kekerasan maupun kesadaran palsu, melainkan jenis kesadaran yang dibangun oleh integrasi bangsa dari bawah oleh masyarakat (popular nations integration) sesuai dengan kebutuhan dan tantangan masa kini dan mendatang.

Ada perbedaan gagasan dari para tokoh etnis Tionghoa dalam merekonseptualisasi integrasi, namun secara general, perspektif pemikiran tersebut mempunyai kesamaan yaitu menempatkan Persatuan Indonesia sebagai tujuan dalam bingkai Bhinneka Tunggal Ika. Sinergi dari gagasan-gagasan yang diusulkan para tokoh etnis Tionghoa berkenaan dengan rekonseptualisasi integrasi, telah menghasilkan suatu konsep integrasi yang lebih pas bagi Indonesia pasca reformasi. Konsep itu diusulkan dengan nama “integrated pluralism”, suatu konsep “keberagaman yang disatukan atas dasar penghargaan terhadap keperbedaan”. Gagasan integrated-pluralism sebagai suatu kebijakan yang merupakan sinergis dari beberapa model (asimilasi alamiah, strategi integrasi, integrasi-asimilasi, integrasi budaya, persatuan Indonesia, dan multikulturalisme), menunjukkan di kalangan etnis Tionghoa sendiri telah tumbuh realitas sosial yang berkembang dan semakin menggambarkan identitas etnis Tionghoa yang plural. Untuk itu integrasi yang koeksistensi (pluralisme budaya) dalam koridor integrated pluralism merupakan strategi yang paling dibutuhkan bagi Indonesia yang polyethnic ini.

b.

Strategi integrasi (integrasionis) yang pernah digagas pada masa lalu, nampaknya perlu disesuaikan dengan alam di era reformasi ini. Integrasi yang wajar, yang nonras, yang mengakui semua suku yang ada di Nusantara sebagai bagian dari bangsa Indonesia, termasuk suku peranakan Tionghoa. Untuk tercapainya integrasi yang wajar, seluruh anggota masyarakat berinteraksi secara terbuka saling mengisi kebutuhan, tidak saling merintangi, dan yang penting ada konsensus, yaitu konsensus terhadap konsep bangsa Indonesia yang lebih modern Konsep bangsa Indonesia yang tidak lagi berbau ras, tapi konsep bangsa Indonesia yang ditempatkan dalam batasan arti politik, bahwa warga negara Indonesia sejati dilihat bukan dari keturunannya. Tuntutan ini, akan membawa pada harapan: semua sukusuku yang ada di Nusantara bersatu-padu, berintegrasi membangun Indonesia yang satu.

c.

Memadukan strategi integrasi dengan asimilasi secara bersamaan, merupakan gagasan alternatif yang bisa menjadi masukan. Indonesia yang terdiri dari ratusan suku dilihat melalui pendekatan integrasi, dalam arti sebagai strategi yang mengharuskan semua suku yang ada masuk ke dalam mainstream bangsa Indonesia. Namun integrasi itu harus bersifat fungsional, yaitu penyatupaduan yang didasari dengan adanya saling bergantung antara bagian-bagian dalam suatu sistem sosial untuk mewujudkan penyatuan yang harmoni. Tapi pada sisi lain, suku-suku yang ada di Nusantara ini pun secara natural berhubungan dan bergabung membentuk sebuah kelompok yang baru, yang lebih besar, yakni bangsa

Beberapa pemikiran; gagasan, tuntutan dan harapan, dari para tokoh etnis Tionghoa nampaknya dapat menjadi masukan berarti bagi negara dalam merumuskan ulang kebijakan yang pernah ada. Gagasan, tuntutan dan harapan yang diusulkan para tokoh etnis Tionghoa tersebut adalah sebagai berikut : a.

Integrasi yang dibutuhkan bagi masyarakat dapat diterapkan melalui model asimilasi alamiah, sebagai kebijakan koeksistensi yang dapat mengayomi seluruh identitas budaya yang begitu beragam dan berbeda-beda. Melalui model ini, dibelajarkan perilaku mau memahami dan menerima keberagaman dan perbedaan etnis yang ada, sikap saling menghargai, solidaritas di semua lingkup kehidupan, dan senses of belonging terhadap semua identitas yang ada sebagai milik bangsa Indonesia. Konsep asimilasi alamiah dalam penerapannya tetap memerlukan rekayasa. Program rekayasa tetap dirancang untuk mengeliminir prasangka-prasangka rasial, mendekonstruksi nilai-nilai stereotipik, dan perilaku diskriminatif. Jelasnya rekayasa itu 136


Vol. 8. No. 2, Juni 2011

Jurnal INOVASI - Balitbang Provsu

Indonesia. Integrasi yang diusulkan bersifat fungsional, dan asimilasi yang dipilih dengan jenis amalgamasi. Tuntutan dari jenis model ini menghendaki dihindarinya, tindakan-tindakan yang bersifat hegemonik. Melalui tuntutan yang demikian, diharapkan terbangun Indonesia yang demokratis dan bersih dari segala bentuk diskriminasi, kemiskinan, korupsi, kebodohan, dan ketidakadilan. d.

e.

konsep menjadi warga negara dan menjadi bagian dari masyarakat Indonesia yang terdiri dari beragam suku dan budaya tanpa menghilangkan identitas budaya dan suku dari masing masing komponen masyarakat, termasuk masyarakat Tionghoa. Konsep Integrasi yang diperjuangkan seperti ini sangat identik dengan teori pluralisme ataumultikulturalisme . Namun keidentikan konsep Persatuan Indonesia dengan multikulturalisme, menjadi berbeda, karena konsep Persatuan Indonesia dibangun berdasarkan geist-nya Indonesia, yang berbeda dengan konsep multikulturalime yang berasal dari geist-nya Barat. Gagasan dari konsep Persatuan Indonesia ini, menuntut dibangunnya Indonesia berdasarkan persatuan yang demokratis, dengan harapan dapat membawa kepada: Persatuan Indonesia yang welfare, yang sejahtera.

Gagasan mengangkat integrasi budaya untuk dikonstruksi dalam membangun integrasi bangsa, menjadi gagasan alternatif berikutnya. Alasannya, secara hukum dan politik, sudah ada kesepakatan integrasi bangsa dibangun atas dasar persamaan dan kesederajatan. Tapi secara budaya, terutama pada kehidupan masyarakat, belum terjadi kesepakatan secara menyeluruh. Mungkin ini akibat pengaruh hukum dan politik kolonial yang sudah mengakar lama, dampaknya nilai-nilai yang berlaku pada masing-masing kelompok dalam kehidupan masyarakat menjadi bahan pertentangan. Gagasan membangun integrasi budaya, diperjuangankan untuk mengangkat ketidakadilan yang masih tengah berlangsung dalam kehidupan masyarakat, termasuk di dalamnya perjuangan dalam menghapus ketidakadilan gender. Ketidakadilan gender adalah hasil dari konstruksi sosial-budaya, yang mengakibatkan perempuan ditempatkan dalam posisi subordinat dan marjinal. Ada semacam benang biru, perjuangan dalam gender identik dengan perjuangan dalam membangun integrasi budaya. Perjuangan untuk gender adalah untuk membangun budaya, budaya yang mau menerima dan menghargai perbedaan dalam kebersamaan. Tidak perlu lagi membedabedakan, karena semua punya hak yang sama tanpa melihat darimana asal-usulnya. Harapan yang diperjuangkan dalam membangun integrasi budaya, yaitu integrasi atas dasar persamaan hak dan kesederajatan.

f.

Integrasi dikonstruksi bukan berdasarkan etnisitas dan agama, tapi dibangun berdasarkan konsensus politik atas dasar perbedaan dan penghargaan. Kemajemukan bangsa ini, sudah saatnya ditempatkan dalam bingkai multikulturalisme bukan pluralisme. Selama ini kita hanya diajak untuk belajar tentang keberagaman, namun perbedaan dan penghargaan belum diajarkan sampai akar rumput. Kita hanya diajak untuk menyetujui seluruh aspek dari kebudayaan-kebudayaan yang ada, tetapi pemahaman, penghargaan, dan penilaian atas budaya orang lain belum dijadikan trend. Pandangan ini menunjukkan integrasi bangsa untuk saat ini sudah saatnya ditempatkan dalam bingkai multikulturalisme.

2.

Formulasi Identitas Bangsa

Pandangan dan gagasan para tokoh etnis Tionghoa berkenaan dengan tema yang kedua “formulasi identitas bangsa� juga berbeda-beda. Namun perbedaan hanya terletak pada alur berpikir bukan pada hal yang prinsip, karena masing-masing tokoh tetap pada satu muara yaitu bangsa Indonesia. Pengakuan akan posisi identitasnya sebagai bagian integral dari identitas kebangsaan Indonesia, sekaligus membawa identitasnya untuk dapat menempatkan diri secara harmoni dalam suatu identitas yang lebih besar, yaitu identitas kebangsaan Indonesia. Sinergi dari gagasangagasan yang dilontarkan para tokoh berkenaan dengan formulasi identitas bangsa, menghasilkan suatu formulasi identitas yang lebih pas bagi Indonesia pasca reformasi. Formulasi itu diusulkan dengan nama “identitas hibrid: Indonesia Baru�, suatu formulasi yang menggambarkan suatu identitas yang fluid, yang terbuka, yang dinamis yang membawa kepada identitas kebangsaan yang

Menolak istilah integrasionis dan assimilasionis, karena dua istilah itu sudah cacat secara politik, menjadi latar belakang gagasan dalam menelorkan istilah Persatuan Indonesia, yang dipandang pas lebih mengindonesia. Strategi konsep Persatuan Indonesia, tergambar dalam semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Masyarakat Indonesia yang terdiri dari beragam suku dan budaya bersatu tanpa menghilangkan identitas budaya dan suku dari masing-masing komponen masyarakat. Jadi konsep itu jelas tidak berdasarkan ras, tapi yang ada adalah nation Indonesia. Nation Indonesia merupakan suatu kesepakatan bersama untuk mewujudkan Persatuan Indonesia. Konsep integrasi yaitu 137


Vol. 8. No. 2, Juni 2011

Jurnal INOVASI - Balitbang Provsu

Tionghoa, ternyata terpilah-pilah menjadi lima kelompok cara pandang, yaitu: kelompok pertama adalah yang merasa perlu menonjolkan identitas etnis mereka dan memperjuangkan hak mereka sebagai golongan, misalnya dengan mendirikan Partai Tionghoa. Kelompok kedua adalah mereka yang tidak mau menjadikan etnis atau agama sebagai basis gerakan, melainkan melalu platform persamaan hak, misalnya dengan mendirikan Partai Bhineka Tunggal Ika. Kelompok ketiga adalah kelompok yang lebih menyukai sebuah forum yang tujuan utamanya lebih sebagai pressure group. Kelompok keempat adalah mereka yang membentuk paguyuban kelompok karena perasaan senasib sepenanggunan. Misalnya dengan mendirikan Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Indonesia. Sedangkan kelompok kelima adalah mereka yang bergabung dalam partai politik yang terbuka seperti PDI Perjuangan, PAN dan lain sebagainya.

nonras, tidak rigid, tidak kaku, tidak tertutup, dan tidak statis terhadap perubahan, perkembangan, dan kebutuhan jaman. Paparan di atas menjadi catatan, bahwa masalah identitas merupakan bagian penting dalam pemecahan ‘masalah Tionghoa’ di Indonesia. Namun demikian kepastian mengenai identitas Tionghoa sebagai bagian integral dalam identitas kebangsaan Indonesia, masih mencari format yang pas, dikarenakan konsep identitas itu sendiri ditentukan oleh konsep bangsa yang dalam konteks politik berkembang dan berubah. Jika dilihat dari format negara Indonesia yang indigeneus nation (negara suku) maka sudah selayaknya format yang pas adalah menempatkan etnis Tionghoa sama kedudukannya dengan sukusuku lainnya (Suryadinata, 1999). Di jaman Orde Lama, Bung Karno pernah memunculkan ide bahwa orang Tionghoa adalah salah satu suku di Indonesia yang setara dengan suku Jawa, Sunda, Minang, Batak dan sebagainya. Dengan demikian orang Tionghoa telah menjadi orang Indonesia sejati tanpa asimilasi total. Namun akibat meletusnya pemberontakan G30S PKI, ide tersebut kandas untuk diwujudkan (Suryadinata, 1993). Bahkan di era Orde Baru orang Tionghoa harus melakukan asimilasi total dengan meleburkan identitas etnisnya ke dalam identitas etnis Indonesia (Susetyo, 2002). Dari berbagai tekanan dan ketidakpastian tersebut, maka banyak orang Tionghoa berada di persimpangan jalan. Hal tersebut setidaknya tergambarkan dari temuan penelitian dari Lan (1998) yang menunjukkan bahwa sekarang ini berkembang berbagai orientasi identifikasi diri di kalangan orang Tionghoa di Indonesia. Setidaknya ada empat orientasi yang ditemukan, yaitu: kelompok pertama, adalah mereka yang percaya bahwa mereka adalah etnis Tionghoa dan akan selalu menjadi etnis Tionghoa. Oleh karena itu, dalam mengidentifikasikan diri, mereka selalu kembali ke asal usul dan warisan budaya etnis Tionghoa. Kelompok kedua, adalah mereka yang merasa telah berhasil berasimilasi ke dalam masyarakat Indonesia. Mereka ini adalah orang-orang yang merasa asal usul etnis dan budaya mereka merupakan kutukan yang menyulitkan posisi mereka untuk menjadi bagian yang utuh dari masyarakat di mana mereka tinggal. Kelompok ketiga, adalah mereka yang berkeyakinan bahwa mereka telah melampaui batas etnis, negara dan bangsa serta telah menjadi seorang yang globalis dan internasionalis. Sedangkan kelompok keempat, adalah mereka yang cenderung beranggapan bahwa hidup mereka ditentukan oleh pekerjaan mereka, sehingga mereka lebih suka menghindari pengidentifikasian diri secara budaya maupun politis.

Dari paparan di atas, diperoleh gambaran tentang bagaimana dinamika pencarian identitas etnis Tionghoa di Indonesia. Pada kenyataannya di tengah masyarakat etnis Tionghoa telah berkembang subkultur-subkultur baru yang merupakan respon terhadap realitas sosial yang berkembang dan semakin menggambarkan identitas etnis Tionghoa yang plural. 3.

Upaya Penumbuhan Kewarganegaraan

Budaya

Untuk tema yang ketiga yaitu mengenai “penumbuhan budaya kewarganegaraan�, masingmasing tokoh dengan latar belakang pekerjaan dan kompetensinya, telah memilih jalur yang dianggap pas bagi dirinya sebagai wadah dalam upaya menumbuhkan budaya kewarganegaraan. Melalui kedudukan yang dimiliki, para tokoh etnis Tionghoa, telah menunjukkan perannya sebagai warga negara yang bertanggung jawab dalam membangun integrasi dan identitas kebangsaan Indonesia, melalui ruang-ruang yang berbeda. Tokoh pertama berbasis di pendidikan, tokoh kedua di bidang organisasi dan politik, tokoh ketiga dominan di perhimpunan, tokoh keempat di bidang politik, tokoh kelima di bidang ekonomi, dan tokoh keenam pada dunia pers dan LSM. Satu hal yang menarik untuk kasus kota Medan adalah gairahnya tokoh-tokoh etnis Tionghoa dalam memasuki kancah politik. Hal ini ada beberapa alasan : Pertama, mungkin sebagian dari kawankawan ingin menjadikan pengabdian mereka terhadap Indonesia semakin sempurna, dengan mengintegrasikan pengabdian sosial ekonomi yang telah dicapainya selama ini dengan pengabdian politik, melalui politik formal. Ini sebagai bentuk partisipasi politik yang konkrit karena selama

Demikian pula temuan dari Tan (1998) yang meneliti tentang aspirasi dan partisipasi politik orang 138


Vol. 8. No. 2, Juni 2011

Jurnal INOVASI - Balitbang Provsu

puluhan tahun hak-hak politik kami dipasung oleh negara.

sangat rendah, yang disebabkan faktor kognitif (misalnya tingkat pendidikan relatif rendah); (2) Budaya politik kaula (subyek political culture), yaitu masyarakat bersangkutan sudah relatif maju (baik sosial maupun ekonominya) tetapi masih bersifat pasif; dan (3) Budaya politik partisipan (participant political culture), yaitu budaya politik yang ditandai dengan kesadaran politik yang tinggi.

Kedua, terkait dengan kegelisahan sejumlah etnis Tionghoa yang sudah sukses secara ekonomi, namun masih banyak ketimpangan sosial dan kebijakan-kebijakan yang tidak mensejahterakan masyarakat. Sebagian dari mereka ada yang terjun ke dunia organisasi non politik. Bersama-sama dengan rakyat kecil berjuang untuk kehidupan yang lebih baik dan sebagian lagi memilih untuk terjun ke politik praktis dengan bergabung ke partai politik. Tokoh-tokoh ini percaya bahwa di era reformasi saat ini, dapat memperjuangkan kesejahteraan rakyat dengan membuat atau merevisi kebijakan-kebijakan pemerintah yang dirasakan belum adil.

Berpegang pada klasifikasi budaya politik di atas, maka orientasi politik dari para tokoh etnis Tionghoa dalam kasus penelitian ini, masuk pada klasifikasi budaya politik partisipan. Mereka tampil sebagai warga negara yang aktif, memiliki kompetensi dan kecakapan sebagai warga negara, berpartisipasi secara aktif dalam kegiatan politik, dan berperan sebagai aktivis dalam kehidupan masyarakat.

Ketiga, dilihat secara statistik jumlah masyarakat etnis Tionghoa dewasa ini cukup signifikan baik di tingkat Sumut maupun di Medan. Dari 12,8 juta penduduk Sumut, sekitar 1,04 juta di antaranya adalah etnis Tionghoa. Sementara dari sekitar 2,1 juta penduduk kota Medan, sekitar 500.000 orang atau 25 persennya merupakan etnis Tionghoa. Data ini menunjukkan dari segi jumlah cukup signifikan dan wajar bila masyarakat Tionghoa memiliki wakil mereka di lembaga legislatif.

Budaya politik partisipan merupakan lahan yang ideal bagi tumbuh suburnya demokrasi. Hal ini dikarenakan terjadinya harmonisasi hubungan warga negara dengan pemerintah, yang ditunjukan oleh tingkat kompetensi politik, yaitu menyelesaikan sesuatu hal secara politik, dan tingkat efficacy atau keberdayaan, karena mereka merasa memiliki kekuatan politik yang ditunjukannya sebagai warga negara. Oleh karena itu mereka merasa perlu untuk terlibat dalam proses pemilu dan mempercayai perlunya keterlibatan dalam politik. Selain itu mereka warga negara berperan sebagai individu yang aktif dalam masyarakat secara sukarela, karena adanya saling percaya (trust) antar warga negara.

Fenomena ini sekaligus memperlihatkan adanya kegairahan berpolitik dari etnis Tionghoa di Sumut, khususnya di kota Medan yang pada tahun-tahun belakangan ini dinilai semakin meningkat terutama pada pemilu legislatif 2009 lalu. Fenomena ini harus dipandang positif sebagai bentuk konkrit partisipasi politik etnis Tionghoa di kota Medan untuk turut membangun Medan secara bersama. Satu hal juga yang menjadi catatan, kebijakan negara ternyata sangat berpengaruh terhadap peran mereka pada suatu ruang. Kalau dulu, etnis Tionghoa dibatasi pada ruang ekonomi, namun kini muncul fenomena menarik mereka sudah berani masuk pada ruang-ruang publik. Bahkan ruang politik, yang dulu dianggap paling tabu untuk didekati. Data ini, menunjukkan adanya pergeseran dari ruang yang stagnan ke arah terbukanya ruangruang sosial yang baru bagi mereka. Berkaitan dengan kedudukan dan peran, mereka berapresiasi pada ruang-ruang publik yang berbeda, namun ada kesamaan dalam pengabdiannya sebagai warga negara, yaitu menumbuhkan budaya kewarganegaraan yang “demokratis� melalui wujud nyata yaitu “partisipasi�. Temuan ini, perlu dianalisis lebih lanjut melalui kajian teori.

Profil para tokoh etnis Tionghoa ini, perlu dijadikan ikon bagi warga kota Medan, tujuannya adalah untuk melibatkan lebih banyak warga kota yang memiliki andil (stakeholders) dalam pembuatan keputusan di suatu daerah, sebagai suatu proses pembelajaran bagi masyarakat. Namun untuk mencapai keadaan masyarakat kota yang demikian, diperlukan syarat adanya sejumlah kompetensi yang harus dimiliki warga kota. Kompetensi kewarganegaraan multikultural yang dimaksud, oleh Branson (1999: 8), diuraikan: (1) Civic knowledge (pengetahuan kewarganegaraan), berkaitan dengan kandungan atau apa yang seharusnya diketahui oleh warga negara; (2) Civic skill (kecakapan kewarganegaraan), adalah kecakapan intelektual dan partisipatoris warga negara yang relevan; dan (3) Civic disposition (watak kewarganegaraan) yang mengisyaratkan pada karakter publik maupun privat yang penting bagi pemeliharaan dan pengembangan demokrasi konstitusional.

Berdasarkan realitas budaya politik yang berkembang di dalam masyarakat, Almond dan Verba (1963) mengklasifikasikan budaya politik ke dalam: (1) Budaya politik parokial (parochial political culture), yaitu tingkat partisipasi politiknya

Pengetahuan Kewarganegaraan (Civic knowledge) berkaitan dengan materi substansi yang seharusnya diketahui oleh warga negara berkenaan dengan hak 139


Vol. 8. No. 2, Juni 2011

Jurnal INOVASI - Balitbang Provsu

dan kewajibannya sebagai warga negara. Pengetahuan ini bersifat mendasar tentang struktur dan sistem politik, pemerintah dan sistem sosial yang ideal sebagaimana terdokumentasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara serta nilai-nilai universal dalam masyarakat demokratis serta caracara kerjasama untuk mewujudkan kemajuan bersama dan hidup berdampingan secara damai dalam masyarakat global.

berkembang dan semakin menggambarkan identitas etnis Tionghoa yang plural. Untuk itu integrasi yang koeksistensi (pluralisme budaya) dalam koridor integrated pluralism merupakan strategi yang paling dibutuhkan bagi Indonesia yang polyethnic ini. 2.

Sedangkan gagasan yang berkenaan dengan formulasi identitas bangsa, diusulkan dengan nama “identitas hibrid: Indonesia Baru”, suatu formulasi yang menggambarkan suatu identitas yang fluid, yang terbuka, yang dinamis yang membawa kepada identitas kebangsaan yang nonras, tidak rigid, tidak kaku, tidak tertutup, dan tidak statis terhadap perubahan, perkembangan, dan kebutuhan jaman. Sebelum reformasi, etnis Tionghoa dibatasi pada ruang ekonomi, namun kini muncul fenomena menarik, mereka sudah berani masuk pada ruang-ruang publik. Bahkan ruang politik, yang dulu dianggap paling tabu untuk didekati. Data ini, menunjukkan adanya pergeseran dari ruang yang stagnan ke arah terbukanya ruang-ruang sosial yang baru bagi mereka. Berkaitan dengan kedudukan dan peran, mereka berapresiasi pada ruang-ruang publik yang berbeda, namun ada kesamaan dalam pengabdiannya sebagai warga negara, yaitu menumbuhkan budaya kewarganegaraan yang “demokratis” melalui wujud nyata yaitu “partisipasi”.

3.

Profil para tokoh etnis Tionghoa dalam kasus penelitian ini, dengan civic competence yang dimilikinya, mampu memasuki klasifikasi budaya politik partisipan. Nilai-nilai demokrasi yang mereka terapkan dibarengi dengan partisipasi konkrit dalam kehidupan bermasyarakat, menjadi indikasi tumbuhnya budaya kewarganegaraan demokratis yang kondusif di kota Medan. Indikasi ini dapat menjadi masukan bagi pemerintah kota, untuk mengkongkritisasi wacana multikulturalisme, sekaligus untuk dicari peluang dan tantangannya bagi pembangunan masyarakat multikukltural.

Kecakapan Kewarganegaraan (Civic skill) merupakan kecakapan yang dikembangkan dari pengetahuan kewarganegaraan, yang dimaksudkan agar pengetahuan yang diperoleh menjadi sesuatu yang bermakna, karena dapat dimanfaatkan dalam menghadapi masalah-masalah kehidupan berbangsa dan bernegara. Sedangkan kecakapan kewarganegaraan, meliputi kecakapan-kecakapan intelektual (intellectual skills) dan kecakapan partisipasi (participation skills). Dari kajian teori di atas, maka diperoleh kesimpulan, bahwa profil para tokoh etnis Tionghoa dalam kasus penelitian ini, dengan civic competence yang dimilikinya, mampu memasuki klasifikasi budaya politik partisipan. Nilai-nilai demokrasi yang mereka terapkan dibarengi dengan partisipasi konkrit dalam kehidupan bermasyarakat, menjadi indikasi tumbuhnya multikulturalisme di kota Medan. Satu hal yang menarik, dalam konteks keruangan, sebelum reformasi mereka terdogma pada ruang stagnan (ekonomi), kini mereka memiliki kebebasan dalam memilih ruang. Ruang-ruang sosial baru mereka apresiasi karena ada penghargaan terhadap identitas yang berbeda. Namun komitmen (civic commitment) pun mereka tunjukkan, bagaimana identitas yang melekat padanya (communitarian culture) dapat ditempatkan secara harmoni dalam identitas yang lebih besar yaitu: identitas kebangsaan Indonesia (political culture).

KESIMPULAN Kesimpulan yang dapat ditarik dari hasil penelitian ini, dapat dirumuskan sebagai berikut: 1. Sinergi dari gagasan-gagasan yang diusulkan para tokoh etnis Tionghoa berkenaan dengan rekonseptualisasi integrasi, telah menghasilkan suatu konsep integrasi yang lebih pas bagi Indonesia pasca reformasi. Konsep itu diusulkan dengan nama “integrated pluralism”, suatu konsep “keberagaman yang disatukan atas dasar penghargaan terhadap keperbedaan”. Gagasan integrated-pluralism sebagai suatu kebijakan yang merupakan sinergis dari beberapa model (asimilasi alamiah, strategi integrasi, integrasi-asimilasi, integrasi budaya, persatuan Indonesia, dan multikulturalisme), menunjukkan di kalangan etnis Tionghoa sendiri telah tumbuh realitas sosial yang

REKOMENDASI Diharapkan supaya nilai-nilai etnis Tionghoa yang ada di Kota Medan dapat juga dimanfaatkan untuk mendorong pembangunan di segala bidang. Diharapkan juga penelitian ini dapat dilaksanakan pada skala yang lebih luas pada level Sumatera Utara.

DAFTAR PUSTAKA Cholisin, 2004. Konsolidasi Demokrasi Melalui Pengembangan Karakter Kewarganegaraan. 140


Vol. 8. No. 2, Juni 2011

Jurnal INOVASI - Balitbang Provsu

Jurnal Civics Vol 1 No. 1 Juni 2004. Yogyakarta: Jurusan PPKn FIS UNY. Habib, A, 2006. Dinamika Hubungan Etnis Tionghoa dan Jawa. Makalah disampaikan pada Seminar Sinologi Tgl. 3-4 Maret 2006. Malang: Lembaga Kebudayaan UMM. Pattiradjawane, R. L, 2000. Peristiwa Mei di Jakarta: Titik Terendah Sejarah Orang Etnis Tionghoa di Indonesia, dalam I. Wibowo, Harga yang Harus Dibayar: Skesta Pergulatan Etnis Tionghoa di Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama dan Pusat Studi Tionghoa. Shiraishi, S.S, 2001. Pahlawan-pahlawan Belia: Keluarga Indonesia dalam Politik. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia. Sorenson, G, 2003. Demokrasi dan Demokratisasi: Proses dan Prospek dalam Sebuah Dunia yang Sedang Berubah. Terjemahan I Made Krisna. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Susetyo, D.P.B, 2002. Stereotip dan Relasi Antar Etnis Cina dan Etnis Jawa Pada Mahasiswa Di Semarang. Tesis. Depok: Program Pascasarjana Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Strauss, A dan Corbin, J, 2003. Dasar-dasar Penelitian Kualitatif: Tata Langkah dan Teknik-teknik Teoritis Data. Terjemahan M. Shodiq dan Imam Muttaqien. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Verdiansyah, C, 2007. Jalan Panjang Menjadi WNI Catatan Pengalaman dan Tinjauan Kritis. Jakarta: Penerbit Buku Kompas. Winataputra, U. S. dan Budimansyah, D, 2007. Civic Education Konteks, Landasan, Bahan Ajar dan Kultur Kelas. PS. PKn SPs UPI.

141


Vol. 8. No. 2, Juni 2011

Jurnal INOVASI - Balitbang Provsu

Pengaruh Budgetary Goal Characteristic Terhadap Kinerja Manajerial Dengan Budaya Paternalistik Pada Pemerintah Provinsi Sumatera Utara (The Influence of Budgetary Goal Characteristics toward Managerial Performance in the Paternalistic Culture at North Sumatra Government) Hilma Harmen Universitas Negeri Medan Jl. William Iskandar, Psr V Medan Estate-Medan Naskah masuk : 8 Februari 2011; Naskah diterima :4 Mei 2011

ABSTRAK Dalam rangka meningkatkan Kinerja Di Pemerintahan Provinsi Sumatera Utara maka melalui penelitian ini akan diketahui pengaruh budgetary goal characteristics terhadap kinerja manajerial. Jumlah kuesioner yang layak untuk uji sejumlah 54 eksemplar. Analisa yang dinggunakan dalam penelitian ini adalah analisis regresi SPSS for window versi 15. Hasil penelitian ini menunjukkan hipĂłtesis H1 dan H2 diterima. Hasil pengujian hipotesis 1 hasil menunjukkan bahwa Budgetary Goal Characteristics berpengaruh secara signifikan positif terhadap kinerja Pemerintah Provinsi Sumatera Utara. Hasil pengujian hipotesis 2 menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat kesesuaian antara kelima dimensi budgetary goal characteristics dengan budaya paternalistik, semakin tinggi kinerja Pemerintah Provinsi Sumatera Utara. Kata kunci : Budaya organisasi, komitmen organsasi.

ABSTRACT In order to improve performance in North Sumatra Province, through this research will try to understand whether the budgetary goal characteristics have a significant impact on managerial performance after dimoderat by paternalistic cultural variables. The number of questionnaires are feasible to test a number of 54 copies. The analysis in this study is dinggunakan regression analysis SPSS for windows version 15. The results showed acceptable hypotheses H1 and H2. Results of testing hypothesis 1 results indicate that the budgetary Goal Characteristics significantly positive effect on the performance of the Government of North Sumatra Province. Results of testing hypothesis 2 showed that the higher level of balance between the five dimensions of budgetary goal characteristics with paternalistic culture, the higher the performance of the Government of North Sumatra Province. Keywords : Organizational culture, commitment to the organization.

pengendalian. Anggaran merupakan alat yang penting untuk perencanaan dan pengendalian jangka pendek dalam suatu organisasi (Halim dkk. 2000). Sistem penganggaran merupakan suatu alat perencanaandan pengendalian manajerial. Hansen dan Mowen (1995) dalam Alim (2002) menyatakan bahwa “ sebuah organisasi membutuhkan anggaran untuk menerjemahkan keseluruhan stategi ke dalam rencana tujuan jangka pendek dan jangka panjang .� Selain itu anggaran juga berfungsi sebagai alat untuk mengkoordinasikan, mengkomunikasikan, memotivasi dan evaluasi prestasi. Sistem pengendalian menajemen (Anthony dan Govindarajan, 1998) berguna untuk meningkatkan pencapaian kerja.

PENDAHULUAN Reformasi di Indonesia telah mendorong terciptanya sikap keterbukaan dan system politik yang lebih fleksibel berikut kelembagaanya. Pertanggunjawaban pemerintah daerah berubah dari vertical accountability (kepada pusat) menjadi horizontal accountability (kepada masyarakat melalui DPRD). Lingkup anggaran dan akuantansi menjadi sangat penting untuk diteliti lebih jauh berikut pengaruhnya pada kinerja pemerintah daerah dalam menjalanan tugas dan kewajibanya kepada publik. Dalam sistem pengendalian manajemen, anggaran berfungsi sebagai alat perencanan dan 142


Vol. 8. No. 2, Juni 2011

Jurnal INOVASI - Balitbang Provsu

terjadi, pikiran, gagasan, dan ide-ide meeka, meskipun para manajer tersebut tahu bahwa hal itu lebih baik dari sekedar menuruti perintah atasan.

Kennis (1979) dalam Kurnia (2004) menyatakan agar pelaksanaan anggaran dapat berjalan secara efektif, penyusunan dan penerapannya harus memperhatikan 5 dimensi Budgetary Goal Characteristics yaitu : budgetary participation, budget goal clarity, budgeting feedback, budgeting evaluation, dan budgeting goal difficulty. Govindarajan (1986) dalam Tjahjaning (2002) menggunakan pendekatan kontijensi dengan mengevaluasi berbagai faktor kondisional yang dapat mempengaruhi efektivitas system penganggaran terhadap kinerja manajerial. Penelitian Tjahjaning (2002) menunjukkan budaya organisasi berpengaruh terhadap kinerja manajerial. Jika budaya suatu negara mempengaruhi keefektifan penganggaran, maka budaya paternalistik di Indonesia yang masih sangat kuat dapat pula mempengaruhi proses penganggaran. Selain budaya organisasi, komitmen organisasi juga dapat mempengaruhi dengan kinerja manajerial.

Gultom (1994) dalam Reni (1999) menyebutkan bahwa budaya paternalistic adalah atasan yang berperran sebagai “ bapak� yang lebih tahu akan segala hal, sehingga bawahan merasa tidak enak jika menyampaikan usulan apalagi mengkritik kesalahan atasan. Tipe manajemen seperti ini akan mengurangi inisiatif bawahan atau dengan kata lain ajan menghambat adanya partisipasi. Dengan demikian apabila suatu perusahaan memiliki budaya paternalistic yang kuat dapat pula mempengaruhi budgetary goal characteristics. Budaya paternalistic yang cukup kuat dianut oleh para manajer cenderung menghambat adanya partisipasi dan dapat menurunkan kinerja manajer dan kinerja perusahaan secara keseluruhan. Penelitian ini bertujuan untuk melihat konstruk pada lingkup anggaran di sektor publik khususnya pada pemerintah mengalami perubahan yang sangat mendasar terhadap penyusunan APBD. Pada PP 105 tahun 2000 pasal 20 menyatakan APBD mengalami perubahan struktur dan orientasinya.

Sistem penganggaran merupakan komponenkomponen yang berperan serta dalam mewujudkan tersusunnya suatu rencana keuangan baik rencana jangka pendek maupun rencana jangka panjang. Dengan penggunaan anggaran secara terusmenerus, maka fungsi anggaran sebagai alat pengendalian akan tercapai. Kennis (1979) dalam Kurnia (2004) mengemukakan lima Budgetry Goal Characteristics, yaitu; 1). Partisipasi Penyusunan Anggaran (Budgetary Paticipation), 2) Kejelasan Sasaran Anggaran (Budget Goal Clarity), 3) Evaluasi Anggaran (Budgetary Evaluation), 4) Umpan Balik Annggaran (Budgetary Feedback), dan 5) Kesulitan Sasaran Anggaran (Budget Goal Difficulty).

METODE PENELITIAN Lokasi, Populasi dan Sampel Penelitian Penelitian ini mengambil lokasi di Pemerintah Provinsi Sumut. Populasi dalam penelitian ini adalah aparat Pemerintah Provinsi Sumatera Utara, sedangkan sampelnya adalah aparat Pemerintah Provinsi Sumatera Utara yang dijadikan responden adalah para Kepala Dinas, Badan, Kantor dan Bagian pada kantor Sekretariat Pemerintah Provinsi Sumatera Utara. Responden ini dipilih karena mereka terlibat langsung dengan penyusunan rencana anggaran satuan unit kerja yang nantinya digunakan sebagai usulan dalam penetapan APBD Provinsi Sumatera Utara

Hofstede (1994) dalam Tjahjaning (2004) menyatakan bahwa budaya dapat diklasifikasikan ke dalam berbagai tingkat, yaitu nasional, jader, generasi, kelas social, perusahaan /organisasi,. Pada tingkat organisasi, budaya merupakan serangkaian asumsi-asumsi, keyakinan (belief), nilai-nilai dan persepsi dari para anggota kelompok yang mempengaruhi dan membentuk sikap dan prilaku kelompok yang bersangkutan.

Teknik Pengumpulan Data

Menurut Holmes dan Marsden (1996) dalam Tjahjaning (2004), budaya organisasi mempunyai pengaruh terhadap prilaku, cara kerja, dan motivasi para manajer dan bawahannya untuk mencapai kinerja organisasi. Dimensi budaya mempunyai pengaruh terhadap partisipasi penyusunan anggaran dalam peningkatan kinerja manajerial. Penelitian yang dilakukan oleh Frucot dan Shearo ( 1991) dalam Kuria (2004) menunjukkan bahwa prilaku dan budaya manajer berpengaruh terhadap kinerja. Para manajer level menengah dan bawah di Indonesia banyak yang masih merasa sungkan terhadap atasannya untuk mengungkapkan apa yang

Data primer diperoleh dengan menggunakan daftar pertanyaan yang telah terstruktur dengan tujuan untuk mengumpulkan informasi dari responden terpilih pada lokasi penelitian. Berdasarkan masalah yang telah diuraikan tentang tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini, maka data primer yang diperlukan adalah data tentang budgetary goal characteristics, budaya parternalistik, dan kinerja manajerial aparat Pemerintah Provinsi Sumatera Utara. Teknik Pengambilan Data

143


Vol. 8. No. 2, Juni 2011

Jurnal INOVASI - Balitbang Provsu

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dengan menggunakan angket (kuesioner). Daftra pertanyaan di susun secara tertulis dan di isi oleh responden sebagai jawaban atas pertanyaan yang diajukan. Skala penilaian yang digunakan untuk setiap jawaban responden adalah skala likert. Menurut Jogianto (2007:66) “Skala Likert adalah skala yang digunakan untuk mengukur respons subyek k dalam lima poin skala dengan interval yang sama”. Ketentuan yang digunakan dalam skala likert adalah sebagai berikut : Sangat Setuju = 5, Setuju = 4, Ragu-ragu = 3, Tidak Setuju = 2, Sangat Tidak Setuju = 1.

acak dari populasinya dan (2) Variabel yang diteliti memenuhi kriteria distribusi normal. Apabila hasil yang diperoleh lebih besar dari taraf signifikansi, maka sebaran data penelitian adalah normal. Sebaliknya, jika probabilitas lebih kecil daripada taraf signifikansi maka sebaran data tidak normal. Pengujian homogenitas kelompok data, digunakan Levene’s Test for Equality of Variances. Angka yang dihasilkan merupakan probabilitas dua sisi, yang kemudian dibandingkan dengan tingkat signifikansi yang ditetapkan sebesar 0,05. Apabila nilai probabilitas lebih besar dari taraf signifikansi, maka varian antar kelompok adalah homogen. Sebaliknya jika probabilitas yang dihasilkan lebih kecil dari taraf signifikansi, maka varian antara kelompok adalah homogen. Uji regresi berganda dengan bentuk interaksi secara keseluruhan digunakan untuk menguji hipotesis pertama. Sedangkan pengujian hipotesis kedua dengan bentuk residual (residual approach) ………. (1)(Dewan dan Warbel, 1979 dalam Tjahjaning, 2002). ………. (2) ……….. (3) Variabel Penelitian

Teknik Analisis Data Adapun persamaan regresi dalam penelitian ini adalah: Y = b0 + b1 x1 + b2 x2 + b3 x3 + b4[(x1 x2)] + b5 [(x1 x3)] +e Dev2 = [x2 – b0 – (b1 –x1)] Dev3 = [x3 – b0 – (b1 – x1)] Y = Kinerja manajerial x1 = Budgetary Goal Characteristics x2 = Komitmen organisasi Dev2 = Nilai deviasi (ketidak sesuaian) budgetary goal characteristis dengan faktor kontijensi budaya paternalistik. Dev3 = Nilai deviasi (ketidak sesuaian) budgetary goal characteristics dengan faktor kontijensi komitmen organisasi. e = Standar error

1.

Variabel Bebas Characteristics

-Budgetary

Goal

Kennis (1979) dalam Kurnia (2004)mengemukakan 5 komponen budgetary goal characteristics. Adapuan kelima komponen tersebut di atas yaitu : a. Partisipasi penyusunan anggaran (budgetary goal characteristics) yaitu tingkat keterlibatan manajer dalam penyusunan anggaran. b. Kejelasan sasaran anggaran (budget goal clarity) adalah luasnya sasaran anggaran yang dinyatakan secara jelas dan spesifik dan dimengerti oleh pihak yang bertanggung jawab terhadap pencapainnya. c. Evaluasi anggaran (budgetary evaluation) adalah tindakan yang dilakukan untuk menelusuri penyimpangan atas anggaran ke departemen yang bersangkutan dan digunakan sebagai dasar untuk penilaian kinerja departemen. d. Umpan balik anggaran (budgetary feedback). Hasil yang diperoleh dari upaya untuk mencapai sasaran sebagai dasar untuk merasakan kesuksesan atau kegagalan. e. Kesulitan sasaran anggaran (budget goal difficulty). Rentang sasaran dari sangat longgar dan mudah di capai sampai sangat ketat dan tidak mudah di capai.

Berdasarkan uraian dari tinjauan dan penelitian terdahulu, maka hipotesis yang diajukan adalah sbb: H1 : Budgetary Goal Characteristics berpengaruh secara signifikan terhadap kinerja Pemerintah Daerah. H 2 : Semakin tinggi tingkat kesesuaian antara kelima dimensi budgetary goal characteristics dengan budaya paternalistik, semakin tinggi kinerja Pemerintah Daerah. Analisis data diawali dengan pengujian data yaitu dengan menguji validitas dan reliabilitas data. Uji validitas konstruk dilakukan dengan mengkorelasikan skor tiap-tiap item dengan skor total. Uji reliabilitas hanya dilakukan pada pertanyaan yang telah dianggap sahih. Untuk uji reliabilitas ini digunakan koefisien cronbach’s alpha. Analisis berikutnya adalah menguji persyaratan alat uji hipotesis. Pengujian ini dilakuakan dengan uji normalitas distribusi dan uji homogenitas kelompok data. Uji normalitas dilakukan untuk meyakinkan bahwa variabel dalam penelitian ini, uji normalitas sebaran normal dilakukan dengan teknik one sample Kolmogorov Smirnov Test.

2.

Variabel Pemoderasi - Budaya Paternalistik

Budaya di Indonesia yang masih memiliki kecendrungan kuat dimana para manajer level menengah dan bawah yang masih sungkan terhadap atasannya untuk mengungkapkan pikiran, gagasan dan ide-ide mereka meskipun para manajer tersebut

Tujuan uji normalitas sebaran ini adalah untuk membuktikan bahwa: (1) sampel telah diambil secara 144


Vol. 8. No. 2, Juni 2011

Jurnal INOVASI - Balitbang Provsu

tahu bahwa hal itu lebih baik dari pada sekedar menuruti perintah atasan. Untuk mengukur variable ini di gunakan Dorfman dan Howell’s (1988) dalam Mustikawati ( 1999) Culture Scale Questionnaire. Sebanyak 7 petanyaan diajukan kepada responden dengan skala interval yang mencakup point 1 sampai 5. skor yang semakin tinggi menunjukkan budaya paternalistic di oraganisai tersebut sangat kuat, sedangkan skor rendah berarti budaya paternalistic di organisasi tersebut rendah. 3.

variabel Budaya Paternalistik (X6) sebesar 0,721. Semua variabel penelitian ini menunjukkan nilai reliabel setelah melihat koefisien Cronbach’s Alpha untuk masing-masing variabel lebih besar dari 0,60 atau > 0,60 sebagaimana disyaratkan oleh Nunaly dalam (Ghozali, 2002). 2.

Uji validitas terhadap data dilakukan untuk mengetahui kekonsistensi dan akurasi data yang telah dilumpulkan melalui kuesioner penelitian. Uji validitas data digunakan sebenarnya adalah alat untuk mengukur sah atau valid tidaknya. Suatu kuesioner dapat dikatakan valid atau sah, jika pertanyaan pada kuesioner mampu untuk mengungkapkan sesuatu yang akan di ukur oleh kuesioner tersebut (Ghozali, 2002). Penelitian ini menggunakan korelasi bivariate dalam meguji validitas.

Variabel Terikat -Kinerja Manajerial

Kinerja manajerial adalah kinerja para pejabat structural di pemerintah daerah yang mencakup tingkat kecakapan mereka dalam melaksanakan aktivitas manajemen yang ,eliputi perencanaan, investigasi, koordinasi, evaluasi, pengawasan, pengaturan staff, negoisasi dan perwakilan. Pengukuran dengan menggunakan self rating, dimana setiap responden diminta untuk mengukur sendiri kinerjanya. Skala pengukuran yang di pergunakan adalah skala interval.

Dapat diketahui bahwa nilai pearson untuk variabel Kinerja Manejerial (Y) sebesar 0,781, untuk variabel Partisipasi Penyusunan Anggaran (X1) sebesar 0,710, untuk variabel kejelasan Sasaran Anggaran (X2) sebesar 0,757, untuk variable Evaluasi Anggaran (X3) sebesar 0,727, untuk variabel Umpan Balik Anggaran (X4) sebesar 0,701, untuk variabel Tingkat Kesulitan Sasaran Anggaran (X5) sebesar 0,832, untuk variabel Budaya Paternalistik (X6) sebesar 0,721. Semua variabel penelitian ini menunjukkan nilai valid setelah melihat nilai pearson coefficients signifikan pada tingkat 1% dan 5%. Hasil pengujian validitas untuk semua masing-masing variabel menunjukkan valid untuk mengujian selanjutnya.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Deskripsi Hasil Penelitian Pengembalian kuesioner terdiri atas 22 Dinas, 14 Badan, 7 Kantor, dan 11 Bagian sehingga jumlahnya adalah 54 responden dan seluruhnya dijadikan sebagai sampel dalam penelitian ini. Hasil Uji Kualitas Data 1.

Uji Validitas Data

Uji Reliabelitas Data

Hasil Uji Normalitas

Untuk menguji kualitas data penelitian dapat digunakan alat uji reliabilitas dan validitas terhadap data. Uji reabilitas terhadap data dilakukan untuk mengetahui kekonsistensi dan akurasi data yang telah dilumpulkan melalui kuesioner penelitian. Reliabelitas data sebenarnya adalah alat untuk mengukur suatu kuesioner yang merupakan indicator dari variable atau kontruk. Suatu kuesioner dapat dikatakan reliabel atau handal, jika jawaban respoden terhadap pernyataan adalah konsisten atau stabil dari waktu kewaktu (Ghozali, 2002).

Melakukan pengujian terhadap normalitas data merupakan langkah awal yang harus dilakukan untuk setiap analisis multivariate. Untuk melihat normalitas data dapa dilakukan dengan menggunakan Uji Statistik. Hasil uji statistik dapat dilihat dari hasil uji signifikasi skewness dan kutosis, kolmogorov-Smirnov dan grafik. Penelitian ini hanya mengunakan uji statistik kolmogorovSmirnov. Setelah dilakukan pengujian normalitas terhadap data dengan uji statistik kolmogorovSmirnov, ternyata hasil hampir semua variabel tidak berdidtribusi secara normal. Untuk mengatasi ketidak normalan data dari setiap variabel dilakukan transformasi data dengan log 10, kemudian diuji kembali noemalitas data uji statistik kolmogorovSmirnov.

Dapat diketahui bahwa nilai Cronbach’s Alpha untuk variabel Kinerja Manejerial (Y) sebesar 0,781, untuk variabel Partisipasi Penyusunan Anggaran (X1) sebesar 0,710, untuk variabel Kejelasan Sasaran Anggaran (X2) sebesar 0,757, untuk variable Evaluasi Anggaran (X3) sebesar 0,727, untuk variabel Umpan Balik Anggaran (X4) sebesar 0,701, untuk variabel Tingkat Kesulitan Sasaran Anggaran (X5) sebesar 0,832, untuk

Dapat diketahui bahwa nilai asymp signifikasi kolmogorov-Smirnov untuk variabel Kinerja Manejerial (Y) sebesar 0,113, untuk variabel Partisipasi Penyusunan Anggaran (X1) sebesar 145


Vol. 8. No. 2, Juni 2011

Jurnal INOVASI - Balitbang Provsu

Propinsi Sumatera Utara. Pengujian hipotesis 2 bertujuan Untuk menguji bahwa tingkat kesesuaian antara kelima komponen budgetary goal characteristics dan budaya paternalistik akan meningkatkan kinerja Pemerintah Propinsi Sumut. Hasil uji hipotesis 2 dengan menggunakan regresi linear berganda dengan tingkat signifikansi yang diisyaratkan sebesar 5. Berdasarkan hal tersebut diperoleh persamaan regresi sebagai berikut : Y = α + (β1X1 + β2X2+ β3X3+ β4X4+ β5X5) + β6X6 + ε Y= 33,870 + -1,041X1M1 + 0,042X2M1 + 0,051X3M1+ 0,002X4M1 + -0,048X5M1

0,090, untuk variabel kejelasan Sasaran Anggaran (X2) sebesar 0,103, untuk variable Evaluasi Anggaran (X3) sebesar 0,144, untuk variabel Umpan Balik Anggaran (X4) sebesar 0,186, untuk variabel Tingkat Kesulitan Sasaran Anggaran (X5) sebesar 0,123, untuk variabel Budaya Paternalistik (X6) sebesar 0,089. Semua variabel penelitian ini menunjukkan data berdistribusi secara nomal setelah melihat nilai asymp signifikasi kolmogorovSmirnov pada tingkat di atas 5%. Hasil pengujian kolmogorov-Smirnov untuk semua masing-masing variabel menunjukkan nilai data nomal untuk mengujian selanjutnya.

Hasil pengujian hipotesis 2 menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat kesesuaian antara kelima dimensi budgetary goal characteristics dengan budaya paternalistik, semakin tinggi Pemerintah Propinsi Sumatera Utara, dengan p-value 0,839, hal ini menunjukkan nilai lebih besar dari tingkat probabilitas yang diisyaratkan sebesar 5% atau dapat dituliskan p-value 0,003 < 0,05, F-hitung 4,308 > F-tabel 2,25. Hasil ini menunjukkan hipotesis 2 di berhasil diterima.

Hasil Uji Hipotesis 1.

Hasil Uji Hipotesis 1

Hasil pengujian hipotesis 1 berbunyi Budgetary Goal Characteristics berpengaruh secara signifikan terhadap kinerja Pemerintah Propinsi Sumatera Utara. Pengujian hipotesis 1 bertujuan untuk menguji bahwa budgetary goal characteristics mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap kinerja Pemerintah Propinsi Sumut. Karakteristik tujuan anggaran terdiri dari Partisipasi Penyusunan Anggaran (X1), Kejelasan Sasaran Anggaran (X2), Evaluasi Anggaran (X3), Umpan Balik Anggaran (X4), dan Tingkat Kesulitan Sasaran Anggaran (X5). Hasil uji hipotesis 1 dengan menggunakan regresi linear berganda dengan tingkat signifikansi yang diisyaratkan sebesar 5%. Berdasarkan hal tersebut diperoleh persamaan regresi sebagai berikut : Y = α + β1X1 + β2X2+ β3X3+ β4X4+ β5X5 + ε Y= 23,949 + -1,065X1 + 1,146X2 + 1,639X3 + 0,119X4 +-1,243X5

Hasil penelitian ini bila dikaitkan dengan penelitian sebelumnya menunjukkan konsisten, dimana penelitian Kurnia (2004) yang menyatakan budaya organisasi berpengaruh secara signifikan terhadap Budgetary Goal Characteristics dan kinerja manajerial.

KESIMPULAN Budgetary Goal Characteristics berpengaruh secara signifikan positif pada tingkat alpha 1% terhadap kinerja Pemerintah Propinsi Sumatera Utara dengan p-value 0,001, hal ini menunjukkan nilai lebih kecil dari tingkat probabilitas yang diisyaratkan sebesar 5% atau dapat dituliskan p-value 0,000 < 0,05. Fhitung 4,683 > F-tabel 2,25 atau artinya hipotesis 1 berhasil diterima.

Hasil pengujian hipotesis 1 menunjukkan bahwa Budgetary Goal Characteristics berpengaruh secara signifikan positif pada tingkat alpha 1% terhadap kinerja Pemerintah Propinsi Sumatera Utara dengan p-value 0,001, hal ini menunjukkan nilai lebih kecil dari tingkat probabilitas yang diisyaratkan sebesar 5% atau dapat dituliskan p-value 0,000 < 0,05. Fhitung 4,683 > F-tabel 2,25. Hasil ini menunjukkan hipotesis 1 berhasil diterima.

Semakin tinggi tingkat kesesuaian antara kelima dimensi budgetary goal characteristics dengan budaya paternalistik, semakin tinggi kinerja Pemerintah Propinsi Sumatera Utara, dengan pvalue 0,839, hal ini menunjukkan nilai lebih besar dari tingkat probabilitas yang diisyaratkan sebesar 5% atau dapat dituliskan p-value 0,003 < 0,05, Fhitung 4,308 > F-tabel 2,25 atau artinya menunjukkan hipotesis 2 di berhasil diterima.

Hasil penelitian ini bila dikaitkan dengan penelitian sebelumnya menunjukkan tidak konsisten, dimana penelitian Kurnia (2004) yang menyatakan Budgetary Goal Characteristics tidak berpengaruh secara signifikan kinerja manajerial, sementara hasil penelitian ini menunjukkan signifikan. 2.

REKOMENDASI

Hasil Uji Hipotesis 2

Penelitian diharapkan dapat diuji-coba oleh Pemerintah Provinsi Sumut di daam meningkatkan kinerja dalam hal pencapaian tujuan penganggaran.

Untuk hasil pengujian hipotesis 2 berbunyi semakin tinggi tingkat kesesuaian antara kelima dimensi budgetary goal characteristics dengan budaya paternalistik, semakin tinggi kinerja Pemerintah 146


Vol. 8. No. 2, Juni 2011

Jurnal INOVASI - Balitbang Provsu

Sebagai Variabel Moderating. Semarang: Simposium Nasional Akuntansi V.

DAFTAR PUSTAKA Alim, Muhammad Nizarul. 2002. Pengaruh Ketidak Pastian Stratejik dan Revisi Anggaran Terhadap Efektivitas Partisipasi Penyusunan Anggaran: Pendekatan Kontijensi. Semarang: Simposium Nasional Akuntansi V. Arfan

Ikhsan, 2004. Lokakarya Peningkatan Kualitas dan Kuantitas Hasil Penelitian. Medan: Universitas Negri Medan.

Darma, Emile Setia, 2004. Pengaruh Kejelasan Sasaran Anggaran dan Sistem Pengendalian Akuntansi Terhadap Kinerja Manajerial Dengan Komitmen Organisasi Sebagai Variabel Pemoderasi Pada Pemerintah Daerah. Denpasar: Simposium Nasional Akuntansi VII. Isma Coryanata, 2004. Pelimpahan Wewenang dan Komitmen Organisasi Dalam Hubungan Antara Partisipasi Penyusunan Anggaran dan Kinerja Manajerial. Denpasar: Simposium Nasional Akuntansi VII. Kuncoro, Mudrajat, 2003. Metode Riset Untuk Bisnis dan Ekonomi. Jakarta: Penerbit Erlangga. Kurnia, Ratnawati, 2004. Pengaruh Budgetary Goal characteristics Terhadap Kinerja Manajerial Dengan Budaya Paternalistik dan Komitmen Organisasi Sebagai Moderating Variabel. Denpasar: Simposium Nasional Akuntasi VII. Rahman, Firdaus Abdul, 2002. Pengaruh Partisipasi Anggaran Dan Keterlibatan Kerja Terhadap Senjangan Anggaran Dengan Komitmen Organisasi Sebagai Variabel Moderating. Semarang: Simposium Nasional Akuntansi V. Sekaran Uma , 2000. Research methods for Business: A Skill Building Approach. Third Edition. New York: John Wiley and Sons, Inc. Sumadiyah dan Sri Susanta, 2004. Job Relevant Information dan Ketidak Pastian Lingkungan Dalam Hubungan Partisispasi Penyusunan Anggaran dan Kinerja Manajerial. Denpasar: Simposium Nasional Akuntansi VII. Supriyono, 2004. Pengaruh Komitmen Organisasi dan Keinginan Sosial Terhadap Hubungan Antara Partisipasi Penganggaran Dengan Kinerja Manajer. Denpasar: Simposium Nasional Akuntansi VII. Tjahjaning Poerwati, 2002. Pengaruh Partisipasi Penyusunan Anggaran Terhadap Kinerja Manajerial: Budaya Organisasi dan Motivasi 147


Vol. 8. No. 2, Juni 2011

Jurnal INOVASI - Balitbang Provsu

Kebijakan Nasional Dalam Implementasi Konstitusi Terhadap Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Dalam Bidang Hukum Di Indonesia (UU RI Nomor 17 Tahun 2007) (National Policy to Implement Legal Affairs of National Policy Long Term Development Plan for Law in Indonesia, Government Act No. 17 in 2007) Didik Suhariyanto Universitas 17 Agustus 1945 Banyuwangi Jl. Adi Sucipto No. 26 Banyuwangi, Jawa Timur Email : didiksuhariyanto@ymail.com Naskah masuk : 20 Januari 2011; Naskah diterima :4 Mei 2011

ABSTRAK Implementasi Konstitusi dalam Kebijakan Nasional Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) Nasional dan Daerah serta Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Nasional dan Daerah belum ideal bahkan semakin banyak permasalahan hukum yang jauh dari rasa keadilan. Bahkan rendahnya kesadaran hukum masyarakat karena dampak dari kelemahan kelengkapan peraturan hukum, dan efektifitas dalam menjalankan sanksi hukum. Pembangunan hukum yang bercorak sentralisme hukum menjadi pemicu munculnya konflik nilai (conflict of values) dan konflik norma (conflict of norms) dalam pelaksanaan pembangunan nasional. Konflik nilai dan konflik norma terus mengimbas kepada pelaksanaan pembangunan Nasional. Kata kunci : Konstitusi, kebijakan nasional, RPJP, bidang hukum.

ABSTRACT Implementation of the Constitution in the National Policy Long Term Development Plan (RPJP) National and Local Medium Term Development Plan (Development Plan) National and Regional ideal yet even more legal problems are far from the sense of justice. Even the low level of public awareness because of the impact of the weakness of the completeness of the rule of law, and effectiveness in carrying out legal sanctions. Construction law patterned legal centralism became a trigger of conflict of values (conflict of values) and norms of conflict (conflict of norms) in the implementation of national development. Conflicts of values and norms of conflict continues to induce the execution of national development. Keywords : The Constitution, The National Policy, RPJP, Legal Affairs.

Undang-Undang Dasar 1945. Istilah konstitusi berasal dari bahasa Perancis constituer yang berarti membentuk. Pemakaian istilah konstitusi yang dimaksudkan adalah pembentukan suatu negara atau menyusun dan menyatakan suatu negara. (Wirjono Prodjodikoro, 1989 : 10).

PENDAHULUAN Pemerintahan negara Indonesia mengalami perubahan struktur hukum dimulai pada saat reformasi Tahun 1998 hingga turunnya Presiden Soeharto dari kekuasaan pemerintahan. Reformasi yang berarti upaya perubahan untuk memperbaiki keadaan menjadi tuntutan yang tak terelakkan. Bukan saja tuntutan perubahan yang menyangkut suksesi kepemimpinan, tetapi juga dalam segala bidang, termasuk pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Tuntutan itu dinyatakan sebagai agenda reformasi. Salah satu agenda reformasi yang kuat dihembuskan adalah adanya tuntutan perubahan terhadap konstitusi yaitu

Sedangkan istilah Undang-Undang Dasar merupakan terjemahan istilah dalam bahasa Belanda Gronwet. Perkataan wet diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia undang-undang, dan grond berarti tanah atau dasar. Di negara-negara yang menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa nasional, digunakan istilah Constitution yang dalam bahasa Indonesia disebut konstitusi. (Sri Soemantri M, 1993 : 29). Dalam bahasa latin, kata konstitusi 148


Vol. 8. No. 2, Juni 2011

Jurnal INOVASI - Balitbang Provsu

tahunan, yaitu RPJM Nasional I tahun 2005-2009. RPJM Nasional II tahun 2010-2014, RPJM Nasional III tahun 2015-2019, dan RPJM Nasional IV tahun 2020-2024. Dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah atau disebut RPJM Daerah adalah dokumen perencanaan pembangunan daerah untuk periode 5 (lima) tahunan yang merupakan penjabaran dari visi, misi, dan program kepala daerah dengan perpedoman pada RPJP Daerah serta memperhatikan RPJM Nasional.

merupakan gabungan dari dua kata, yaitu cume dan statuere. Cume adalah sebuah preposisi yang berarti “sama dengan�, sedangkan statuere berasal dari kata sta yang membentuk kata kerja pokok stare yang berarti berdiri. Atas dasar itu kata statuere mempunyai arti “membuat sesuatu agar berdiri atau mendirikan atau menetapkan�. Dengan demikian bentuk tunggal constitutio berarti menetapkan sesuatu secara bersama-sama dan bentuk jamak constitusiones berarti segala sesuatu yang telah ditetapkan. (Koerniatmanto Soetoprawiro, 1987 : 28).

Rencana Pembangununan Jangka Panjang (RPJP) Nasional dan RPJP Daerah dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Nasional dan Daerah merupakan pembangunan di segala bidang termasuk bidang hukum. Sehingga perubahan mendasar pada konstitusi membawa pengaruh pada supremasi hukum sebagai dinamika baik dalam pemerintah sebagai pemegang kekuasaan maupun pada warganegara.

Perubahan konstitusi dianggap karena substansi negara hukum bergeser menjadi negara kekuasaan yang otoriter. Selain itu implementasi ketatanegaraan di masa lalu telah memperlihatkan banyaknya distorsi yang makin menjauhkan Indonesia dari cita-cita proklamasi yaitu amanat penderitaan rakyat. Perubahan konstitusi UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah mengakibatkan terjadinya perubahan dalam pengelolaan pembangunan, yaitu dengan tidak dibuat lagi GarisGaris Besar Haluan Negara (GBHN) sebagai pedoman penyusunan rencana pembangunan nasional. Maka dibuat perencanaan pembangunan jangka panjang sebagai arah dan prioritas pembangunan secara menyeluruh yang akan dilakukan secara bertahap untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur.

Dan dinamika sosial sebagai gejala hukum memberikan arah pemerintah sebagai pemegang kekuasan dalam bentuk rencana pembangunan baik RPJP nasional dan daearah maupun RPJM nasional dan daerah di bidang hukum. Yaitu reformasi dalam mewujudkan sistem hukum nasional. Yang dimaksud dengan mewujudkan system hukum nasional adalah pertama, pembangunan substansi hukum baik hukum tertulis maupun hukum tidak tertulis sesuai kebutuhan pembangunan dan aspirasi masyarakat, kedua penyempurnaan struktur hukum yang lebih efektif, ketiga pelibatan seluruh komponen masyarakat yang mempunyai kesadaran hukum tinggi untuk mendukung pembentukan system hukum nasional yang dicita-citakan.

Perencanaan Pembangunan yang dibuat pemerintah berdasarkan Undang-Undang No. 17 Tahun 2007 Tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005-2025 merupakan penjabaran dari tujuan dibentuknya Pemerintahan Negara Indonesia yang tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dan digunakan sebagai kebijakan nasional yaitu untuk melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial dalam bentuk rumusan visi, misi dan arah Pembangunan Nasional.

Persoalan hukum sebagai masalah manusia yang hak-hak konstitusionalnya tidak terlindungi diperlukan penegakan hukum. Penegakan hukum bertujuan untuk memberikan kepastian hukum (rechtssicherheit), keadilan (gerechttigkeit), dan kemanfaatan (zweckmassigkeit). Dan untuk menegakkan hukum yang dapat mendekati tercapainya kepastian hukum, keadilan dan kemanfatan, ada empat faktor yaitu : a. Faktor substansial, dalam hal ini isi kaidah hukumnya; b. Faktor struktural, dalam hal ini aparatur penegak hukumnya; c. Faktor kultural, dalam hal ini kesadaran hukum para yustisiabelnya; d. Faktor manajerial, dlam hal ini administrasi organisasi pengelolanya. (Abdul Mukthi Fadjar, 2006 : 2).

Rencana pembangunan tersebut terbagi dalam rencana jangka panjang nasional dan daerah serta rencana jangka menengah nasional dan daerah. Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005-2025 atau disebut RPJP Nasional dan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah Tahun 2005-2025 atau disebut RPJP Daerah. Sedangkan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional, yang selanjutnya disebut RPJM Nasional adalah dokumen perencanaan pembangunan nasional untuk periode 5 (lima)

Disamping pembangunan aparatur negara yang masih banyak masalah yaitu penyalahgunaan wewenang dalam bentuk korupsi, kolusi, dan 149


Vol. 8. No. 2, Juni 2011

Jurnal INOVASI - Balitbang Provsu

nepotisme (KKN), dan belum terwujud pelayanan cepat, murah, manusiawi dan berkualitas, serta kelembagaan pemerintah baik pusat dan daerah belum efektif dalam pelaksanaan tugas dan menejemen pemerintahan. Dalam latar belakang implementasi rencana pembangunan jangka panjang (RPJP) dalam bidang hukum di Indonesia dirumuskan permasalahan sebagai berikut : Bagaimana Implementasi Konstitusi dan Lebijakan Nasional dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) Nasional dan Daerah serta Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Nasional dan Daerah pada masyarakat ?

Dalam Bidang Hukum Di Indonesia. Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah : 1.

2.

Populasi dalam penelitian ini meliputi semua peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan Impelementasi Konstitusi dan Kebijakan Nasional Dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJP) Dalam Bidang Hukum Di Indonesia.

KEGUNAAN TEORITIS DAN PRAKTIS PENELITIAN Kegunaan teoritis dari penelitian Impelementasi Konstitusi Dan Kebijakan Nasional Dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJP) Dalam Bidang Hukum Di Indonesia bersangkut paut dengan pengembangan ketatanegaraan Indonesia dan pengembangan Ilmu Hukum Tata Negara. Kegunaan praktisnya merupakan suatu sumbangan pemikiran dan pengkajian kepada Pemerintah dalam menjalankan kebijakannya. 1.

Teknik pengumpulan bahan hukum dalam penelitian ini adalah: 1. Studi Dokumen Mengkaji bahan-bahan kepustakaan, baik yang berupa peraturan perundang-undangan maupun bahan bacaan yang berkaitan dengan Implementasi Konstitusi Dan Kebijakan Nasional Dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJP) Dalam Bidang Hukum Di Indonesia 2. Wawancara Penelitian melakukan wawancara dengan pihak instansi pemerintah dan swasta serta masyarakat yang terkait dengan penelitian ini.

Kegunaan Teoritis

Kegunaan teoritis bagi pengembangan Hukum Tata Negara. Penelitian ini bertujuan secara yuridis untuk menelusuri kebijakan pemerintah dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJP) Dalam Bidang Hukum Di Indonesia. 2.

Bahan Hukum Primer Bahan hukum yang diperoleh dari peraturan perundang-undangan, dokumen-dokumen resmi yang berhubungan dengan permasalahan yang diangkat. Bahan Hukum Sekunder Bahan hukum yang diperoleh dari berbagai publikasi hukum yang meliputi buku-buku teks, pendapat ahli hukum, masyarakat dan surat kabar serta bahan hukum yang dapat mendukung bahan hukum primer.

Kegunaan Praktis.

Pengolahan bahan hukum yang sudah terkumpul disajikan dalam bentuk uraian, kemudian di analisis dengan menggunakan metode analisis kualitatif, yaitu bahan hukum yang sudah diperoleh disusun secara sistematis, untuk selanjutnya dianalisis menurut peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan Implementasi Konstitusi Dan Kebijakan Nasional Dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJP) Dalam Bidang Hukum Di Indonesia. Sehingga pada akhirnya dapat diambil suatu kesimpulan.

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber informasi tentang Impelementasi Konstitusi Dan Kebijakan Nasional Dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJP) Dalam Bidang Hukum Di Indonesia. Dan penelitian ini secara praktis dapat dipakai sebagai referensi kebijakan pemerintah dalam Impelementasi Konstitusi Dan Kebijakan Nasional Dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJP) Dalam Bidang Hukum Di Indonesia.

TEHNIK ANALISIS BAHAN HUKUM PENELITIAN

METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif. Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis normatif yaitu suatu penelitian yang menekankan pada pengkajian peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan Impelementasi Konstitusi Dan Kebijakan Nasional Dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJP)

Bahan-bahan hukum yang ada dianalisis dengan menggunakan metode deduktif yaitu dari hal-hal yang bersifat umum ke hal-hal yang bersifat khusus. Bahan-bahan yang sudah terkumpul diklasifikasi, disistimatisasi dalam tiga tataran yaitu : Pertama, tataran teknis. Pada tataran ini kegiatan sistemasi berupa perhimpunan dan penataaan bahan hukum yang ditujukan semata-mata untuk 150


Vol. 8. No. 2, Juni 2011

Jurnal INOVASI - Balitbang Provsu

making institutions) dan institusi penegak hukum (law enforcement agencies) seperti kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan juga lembaga pemasyarakatan. Kedua, substansi hukum (substance of law) yang meliputi semua produk hukum dalam bentuk peraturan perundnagundangan yang dinyatakan berlaku oleh pemerintah (substantive law and procedural law). Ketiga, budaya hukum (legal culture) seperti nilai-nilai, ide, persepsi, sikap, keyakinan, termasuk harapanharapan masyarakat terhadap substansi hukum Negara. (Lawrence M. Friedman, dalam I Nyoman Nurjaya, 2007 : 21)

memudahkan bagian-bagian manakah interpretasi dapat dimulai dan sekaligus dapat digunakan sebagai alat untuk membangun argumentasi hukum. Kedua, tataran teleologis. Pada tataran ini kegiatan sistimatisasi berupa penataan ulang terhadap pemikiran, pengertian-pengertian, dan aturan-aturan yang mengandung muatan normatif kolektif sehingga terdapat hubungan kualitatif antara tujuan hukum dan norma kolektif yang sedang berkembang dan menjadi tuntutan dalam masyarakat. Ketiga, tataran eksternal. Pada tataran ini kegiatan sistimatisasi berupa pengintegrasian bahan hukum ke dalam tatanan masyarakat, Melalui kegiatan sistematisasi bahan hukum tersebut akan memudahkan interpretasi untuk menghasilkan konsep baru.

Ketiga unsur hukum ini berada di dalam proses interaksi satu sama lain dan dengan demikian membentuk totalitas yang dinamakan sistem hukum. Implementasi sistem hukum yang dicanangkan dalam RPJP dan RPJM sebagai kebijakan baik nasional dan daerah masih belum sinergi bahkan cenderung terjadi ketidakadilan. Pembangunan di bidang hukum yang dikemas dalam wujud hukum nasional (national law development), cenderung mengedepankan penggunaan anutan paradigma pembangunan hukum yang bercorak sentralisme hukum (legal centralism paradigm), melalui implementasi politik unifikasi dan kodifikasi hukum negara (state rulecentered), dengan memarjinalisasi, menggusur, mengabaikan, dan bahkan mematisurikan keberadaan hukum adat (adat law/customary law) dan juga hukum agama (religious law), karena secara sadar hukum lebih dibangun dan difungsikan sebagai governmental social control, atau sebagai the servant of repressive power, atau sebagai the command of a sovereign backed by sanction.

Selanjutnya diinterpretasi dengan metode interpretasi sistematis dan teleologis dan dianalisis secara kualitatif, yaitu dengan merujuk kerangka teori, konsep, hasil penelitian terdahulu, dan pandanganpandangan ahli yang relevan. Pada akhirnya dapat ditemukan argumentsi baru dalam Implementasi Konstitusi Dan Kebijakan Nasional Dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJP) Dalam Bidang Hukum Di Indonesia.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Implementasi Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) Nasional dan Daerah serta Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Nasional dan Daerah sebagai kebijakan belum ideal bahkan semakin banyak permasalahan hukum yang jauh dari rasa keadilan. Bahkan rendahnya kesadaran hukum masyarakat karena dampak dari kelemahan kelengkapan peraturan hukum, efektifitas menjalankan sanksi hukum, sarana sosial pendukung hukum, dan keserasian antara peraturan hukum dengan kebutuhan-kebutuhan masyarakat.

Pembangunan hukum yang bercorak sentralisme hukum menjadi pemicu munculnya konflik nilai (conflict of values) dan konflik norma (conflict of norms) dalam pelaksanaan pembangunan nasional. Konflik nilai dan konflik norma terus mengimbas kepada pelaksanaan pembangunan di tingkat daerah, baik daerah provinsi maupun kabupaten dan kota.

Konstitusi berporos pada dua tuntutan. Pertama, Rule of law yang mengajarkan bahwa otoritas hukum secara universal mengatasi otoritas politik (dan tidak sebaliknya). Kedua, konsep demokrasi dan HAM. Maka dengan adanya paham konstitusionalisme semua hak-hak warganegara akan terlindungi, dan hubungan antar lembaga negara akan lebih mudah mengadakan suatu koordinasi dalam melaksanakan tugasnya masingmasing, apalagi masalah cek and balance. (Jazim Hamidi dan Malik, 2009 : 15-16). Dengan permasalahan rendahnya perilaku hukum maka sistem hukum perlu dibangun sebagai suatu proses. Untuk dapat mengikuti bekerjanya sistem hukum sebagai suatu proses terdapat tiga komponen : Komponen pertama struktur hukum (structure of law) yang meliputi lembaga pembuat hukum (law

Sehingga konstitusi merupakan finalisasi dari berbagai pilihan yang telah diputuskan atau disepakati bersama.(Masyhur Efendi, 1993 : 41). Terbukti bahwa hubungan antara sistem politik, tingkah laku politik, tujuan negara dengan sistem hukum dan pelaksanaan hukum yang mendukungnya tidak berjalan. Konflik nilai maupun konflik norma dapat dirasakan dalam implementasi RPJP dan RPJM baik nasional dan daerah. Dalam lampiran UU No.17 Tahun 2007 huruf G angka 1 dan angka 2 disebutkan :

151


Vol. 8. No. 2, Juni 2011

1.

2.

Jurnal INOVASI - Balitbang Provsu

Era reformasi mewujudkan sistem hukum nasional. - Pembangunan substansi hukum baik hukum tertulis maupun hukum tidak tertulis sesuai kebutuhan pembangunan dan aspirasi masyarakat berdasarkan UU No. 10 Tahun 2004 tenrtang Peraturan Perundang-undangan. - Penyempurnaan struktur hukum yang lebih efektif terus dilanjutkan. Perubahan UUD 1945 dilanjutkan perubahan dibidang Kekuasaan Kehakiman : Yaitu dibentuk Mahkamah Konstitusi (MK) yang memiliki hak menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Indonesia Tahun 1945. Komisi Yudisial sebagai pengawasan terhadap sikap tindak dan perilaku hakim. Serta peningkatan kemandirian hakim berdasarkan UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. - Pelibatan seluruh komponen masyarakat yang mempunyai kesadaran hukum tinggi untuk mendukung pembentukan system hukum nasional yang dicita-citakan. Pembangunan Aparatur Negara masih menjadi permasalahan : yaitu masih adanya penyalahgunaan wewenang dalam bentuk korupsi, kolusi, nepotisme (KKN), dan belum terwujud pelayanan cepat, murah, manusiawi dan berkualitas, serta kelembagaan pemerintah baik pusat dan daerah belum efektif dalam pelaksanaan tugas dan manajemen pemerintahan.

Hak yang ada pada manusia akibat adanya peraturan, yaitu hak yang berdasarkan undangundang. Hak itu tidak langsung berhubungan dengan martabat manusia, tetapi menjadi hak, sebab tertampung dalam undang-undang yang sah. (Theo Huijbers, l995 : 96) Dalam UU No.32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah selalu ditemukan penyalahgunaan wewenang dan praktek KKN, hasilnya ditemukan Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah baik tingkat Propinsi dan Kabupaten/Kota terjerat tindak pidana korupsi, serta penataan aparatur pemerintah sangat ditentukan kebijakan Kepala Daerah. Begitu juga yang lebih parah dalam praktek menentukan kebijakan Penataan Ruang Wilayah mulai Pusat hingga Daerah. Pada tingkat daerah penyelenggaraan tata ruang sesuai Pasal ll UU No.26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (UUPR) meliputi : a. pengaturan, pembinaan, dan pengawasan terhadap pelaksanaan penataan ruang wilayah kabupaten/kota dan kawasan strategis kabupaten/kota, b. pelaksanaan penataan ruang wilayah kabupaten/kota, c. pelaksanaan penataan ruang kawasan strategis kabupaten/kota, d. kerjasama penataan ruang antar kabupaten/kota. Ketentuan undang-undang yang ada tampak tidak sinkron penerapannya terhadap peranan masyarakat sehingga selalu menimbulkan permasalahan. Penataan ruang dalam pertumbuhan kota, peranan pemerintah dan masyarakat tidak selaras dalam pelaksanaan penataan ruang mulai wilayah kota yang sudah terbangun maupun wilayah kota yang belum terbangun sehingga selalu ditemui permasalahan dalam pembangunan menuju pertumbuhan kota.

Konflik nilai dan konflik norma yang terus mengimbas kepada pelaksanaan pembangunan nasional hingga ke daerah-daerah, menandakan RPJMP dan RPJMD belum maksimal. Bahkan kebijakan pemerintah pusat maupun daerah regulasi atau peraturan perundang-undangan yang digunakan tidak berjalan.

Undang-undang penataan ruang (UUPR) menekankan pentingnya penerapan standar pelayanan minimal (SPM) dalam penyelenggaraan penataan ruang. Hal ini dimaksudkan untuk menjamin pemerintah daerah dapat menjalankan fungsi sesuai dengan kewenangannya dengan baik, disamping untuk menjamin hak-hak masyarakat dalam penyelenggaraan penataan ruang, dan kenyataannya tidak berjalan. Setiap kebijaksanaan negara harus selalu berorientasi pada kepentingan publik (public interest). (M. Irfan Islamy, 1984:17). Serta dalam birokrasi pemerintah dalam menjalankan kebijakan masih sering terjadi korupsi dengan berbagai klasifikasinya dalam pelayanan public. Mengakibatkan turunnya disiplin sosial. Uang sogokan (suap) dan nepotisme tidak hanya dapat memperlancar prosedur administrasi, tetapi biasanya juga berakibat adanya kesengajaan untuk memperlambat proses administrasi agar dengan demikian dapat menerima uang suap. Disamping itu

Implementasi Peraturan Perundang-undangan sebagai kebijakan pemerintah pusat dan daerah tidak berjalan secara yuridis. Misalnya UU No. 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara, UU No. 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara, UU No. 15 Tahun 2004 Tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggungjawab Keuangan Negara, UU No. 25 Tahun 2004 Tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, UU No. 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan pemerintahan Daerah. Implementasi undangundang tersebut justru melahirkan korupsi, kolusi, nepotisme (KKN) baik pada pemerintah pusat dan daerah. Yaitu adanya penyalahgunaan prosedur dan kewenangan. Begitu juga terhadap peraturan perundang-undangan yang lainnya.

152


Vol. 8. No. 2, Juni 2011

Jurnal INOVASI - Balitbang Provsu

pelaksanaan rencana-rencana pembangunan yang sudah diputuskan, dipersulit atau diperlambat.

pertanggungjawaban. Dalam hal ini pelayanan publik wajib mempertanggung jawabkan aktivitas dan kinerja pelayanannya.

Hal-hal yang menjurus pada perilaku koruptif yang ditemui diantaranya : penyalahgunaan wewenang dan jabatan, menerima suap, menjadi alat kepentingan tertentu, penggemukan biaya, tata buku yang tidak benar, nepotisme, bertindak di luar wewenang dan tidak profesional. Tak terkecuali pada pelaksanaan pemerintahan perlu pertanggungjawaban (akuntabilitas) pelayanan dalam berbagai kegiatan administratif publik tanpa korupsi. Akuntabilitas menjadi komponen penting dalam kegiatan administrasi publik seperti halnya pemberian layanan publik. Akuntabilitas layanan publik menekankan tanggungjawab birokrasi sebagai pemberi layanan publik untuk menjelaskan, menjawab dan menjastifikasi apa yang mereka telah kerjakan (atau gagal mereka kerjakan) kepada publik. Berakuntabilitas dalam layanan publik berarti memberi jawaban dan penjelasan dan keterangan atau pertanggungjawaban, baik yang dipertanyakan maupun yang bukan dipertanyakan oleh publik.

Masyarakat berharap atau mendambakan pemberian pelayanan publik dapat menjadi lebih demokratis yang ditunjukkan dalam perilaku pelayanan yang transparan, partisipatoris, responsif dan akuntabel yang tentunya tanpa adanya korupsi. Kehadiran praktek koruptif lebih banyak berkaitan dengan lemahnya sistem hukum secara umum. (Kastorius Sinaga, 2003 : 235). Dengan demikian tampak peraturan perundangundangan terabaikan dengan adanya interest kepentingan sehingga harus mengorbankan kepentingan publik. Hal ini tidak saja terjadi pada pemerintah pusat tetapi juga mengimbas pada tingkat local daerah. RPJP dan RPJM nasional dan daerah yang dituangkan dalam UU No. 17 Tahun 2007 dalam bidang hukum lebih banyak mempunyai ciri-ciri tindakan politik, artinya hukum tugasnya hanya menentukan arah. Dengan demikian pemerintah juga mempengaruhi arah kemana keseluruhan nilai-nilai dari kehidupan masyarakat kita itu akan diperkembangkan.

Penjelasan atau penjawaban pemerintah atau birokrat pemberi layanan kepada publik penting dalam kontak hubungan principal-agen. Dalam hubungan keagenan ini, hubungan antara pemerintah dan masyarakat mengandung makna sebagai hubungan pertanggungjawaban. Dalam hal ini pelayan publik sebagai agen wajib mempertnggungjawabkan aktivitas dan kinerja pelayanan sebagai prinsipal yang telah memberi dana untuk mendukung kegiatan pemerintah. Akuntabilitas yang merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan secara utuh oleh setiap instansi dan unit pelayanan instansi pemerintah daerah dan pejabat publik ternyata belum optimal dilaksanakan sebagaimana diamanatkan undang-undang. Akuntabilitas belum sepenuhnya dapat diwujudkan meskipun regulasi telah menyediakan pranata prosedur dan proses yang memadai. Kasus yang masih terjadi yaitu tidak ditaatinya prosedur dan proses yang mengakibatkan tidak akuntabelnya produk kebijakan. Bahwa aparat birokrasi dalam memberi layanan publik seringkali masih menerapkan standar nilai atau norma pelayanan secara sepihak dan berdasarkan juklak (petunjuk pelaksanaan) sehingga kecenderungan yang terjadi adalah lemah komitmen aparat birokrasi untuk akuntabel terhadap masyarakat yang dilayani.

Pembuatan hukum yang dilakukan secara sengaja oleh badan yang berwenang untuk itu merupakan sumber yang bersifat hukum yang paling utama. Kegiatan dari badan tersebut disebut sebagai kegiatan perundang-undangan yang menghasilkan substansi yang tidak diragukan lagi kesalahannya, yang ipso jure. Tindakan yang dapat digolongkan ke dalam kategori perundang-undangan ini cukup bermacam-macam, baik yang berupa penambahan terhadap peraturan-peraturan yang sudah ada maupun yang mengubahnya. (Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, 2000 : 83). Dengan demikian undang-undang itu merupakan endapan yaitu dalam bentuk aturan-aturan hukum, dari nilai-nilai atau norma-norma yang telah hidup dalam masyarakat dan diakui secara umum. Sedangkan dewasa ini undang-undang itu terutama memberikan suatu bentuk yuridis kepada campur tangan sosial yaitu oleh Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat. Problematik dari peraturan perundang-undangan demikian mempunyai akibat terhadap penerapan undang-undang. Didalam suatu stelsel hukum yang telah terorganisir, maka pekerjaan dari perundangundangan demikian ini mempunyai hubungan dalam penerapan undang-undang dan pembinaan undang-undang itu sendiri, sehingga pertumbuhan pada bidang yang satu mengharuskan pula suatu implikasi pada bidang yang lain. Jika undangundang yang telah dirumuskan itu tidak memberikan suatu cara penyelesaian yang mudah

Yang sering terjadi adalah ketidakjelasan dan kompleksitas aturan yang wajib dijalankan pengusaha dan juga keluhan bahwa besarnya sumbangan yang harus dikeluarkan tidak ada kaitannya dengan pengembangan usaha. Seharusnya Hubungan antara pemerintah dan masyarakat mengandung makna sebagai hubungan 153


Vol. 8. No. 2, Juni 2011

Jurnal INOVASI - Balitbang Provsu

dalam penerapannya, maka petugas hukum itu harus memperhatikan pula pangkal tolak yang dijadikan sendi dari aturan itu dan berorientasi kepada nilainilai yang ada dibelakang dari ketentuan hukum itu.

mengadili, dan memutuskan pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar.

Pada intinya konsepsi ini menghendaki agar warganegara senantiasa ada dipihak yang memikirkan pembangunan (perubahan) untuk kepentingan bagian terbesar dari rakyat. Untuk dapat mencapai tujuan itu maka pemerintah hendaknya dapat memanfaatkan saat-saat dimana terjadi permasalahan.

Selanjutnya, apabila menyangkut perbuatan mengeluarkan keputusan (beschikking) yang mempunyai kewenangan memeriksa, mengadili, dan memutuskan perkara tersebut adalah Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN). Sedangkan kewenangan untuk menilai perbuatan materiil diserahkan kepada Peradilan Umum.

Sesuai dengan Pasal 7 UU No.17 Tahun 2007 Ayat (l), (2), (3): (1) Pemerintah melakukan pengendalian dan evaluasi pelaksanaan RPJP Nasional. (2) Pemerintah Daerah melakukan pengendalian dan evaluasi pelaksanaan RPJP Daerah. (3) Tata cara pengendalian dan evaluasi pelaksanaan rencana pembangunan ditetapkan lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Dengan demikian diperlukan penegakan hukum yang adil atau berkeadilan. Pertama adalah aturan hukum harus ditegakkan, Suatu aturan hukum akan benar dan adil apabila dibuat dengan cara-cara yang benar dan materi muatannya sesuai dengan kesadaran hukum dan memberi sebesar-besarnya manfaat bagi kepentingan perorangan dan masyarakat pada umumnya. Kedua, pelaku penegakan hukum sebagai kunci utama penegakan hukum yang adil dan berkeadilan. Ditangan pelaku penegakan hukum, aturan hukum yang bersifat abstrak menjadi kongkrit, berlaku terhadap pencari hukum atau keadilan.

Pengendalian dan evaluasi dalam implementasi RPJP Nasional dan Daerah serta RPJM Nasional dan Daerah merupakan sarana bagi perubahan sosial. Maka peraturan perundang-undangan merupakan kebijaksanaan tertentu, seperti kebijaksanaan ekonomi, kebijaksanaan social, kebijaksanaan kebudayaan, kebijaksanaan fiscal dan moneter dan sebagainya. Dengan demikian maka undang-undang adalah dari rangkaian alat-alat yang dimiliki oleh pemerintah untuk mewujudkan kebijaksanaan itu. Kebijaksanaan atau perbuatan pemerintah atau administrasi negara pada dasarnya dapat dikategorikan menjadi tiga macam, a. mengeluarkan peraturan perundang-undangan (regelling), b. mengeluarkan keputusan (beschikking) dan c. melakukan perbuatan materiil (materielle daad). (Bambang Sutiyoso,SH.,MHum).

Ketiga, lingkungan sosial sebagai tempat hukum berlaku. Hukum baik dalam pembentukan maupun penegakannya sangat dipengaruhi oleh kenyataankenyataan baik sosial, ekonomi, politik maupun budaya. Dalam kebijakan nasional sistem hukum ini harus mendapatkan ketegasan dalam upaya memberantas korupsi, terkait dengan sebuah kebijakan. Pemberantasan korupsi yang didorong masuk dalam koridor hukum menyebabkan bahwa pemberantasan korupsi tunduk pada sistem serta peraturan hukum yang berlaku. (Satjipto Rahardjo, 2009 : 137). Maka peraturan yang harus ditaati melalui konsitusi untuk menjalankan sebuah kebijakan.

Dalam melakukan perbuatan tersebut, pemerintah tidak jarang melakukan tindakan-tindakan yang menyimpang dan melawan hukum, sehingga dapat menimbulkan berbagai kerugian terhadap warga masyarakat. Dari ketiga macam perbuatan pemerintah tersebut, masing-masing mempunyai konsekuensi hukum yang berbeda. Kewenangan untuk menilai peraturan perundang-undangan atau sering disebut hak menguji materiil (judicial review) berdasarkan Pasal 11 Ayat (2) b. UU No. 4 Tahun 2004 jo. Pasal 31 Ayat (l) UU No.5 Tahun 2004 merupakan kewenangan Mahkamah Agung.

Dalam struktur kenegaraan, tugas penegakan hukum dijalankan oleh komponen eksekutif dan dilaksanakan oleh biorokrasi dari eksekutif tersebut dan dapat dikatakan birokrasi penegakan hukum, sebagai upaya welfare state. (Satjipto Rahardjo,2000 : 181) Sehingga pelayanan masyarakat mengandung campur tangan hukum. Eksekutif dengan birokrasi merupakan bagian dari mata rantai untuk mewujudkan rencana yang tercantum dalam peraturan hukum, untuk menjalankan sebuah kebijakan.

Sedangkan berdasarkan pada ketentuan Pasal l0 Undang-Undang No.24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, mempunyaai tugas dan kewenangan diantaranya adalah memeriksa,

KESIMPULAN Implementasi konsitutusi dan kebijakan nasional Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) 154


Vol. 8. No. 2, Juni 2011

Jurnal INOVASI - Balitbang Provsu

Undang-Undang No.24 Tahun Mahkamah Konstitusi.

Nasional dan Daerah serta Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Nasional dan Daerah dibidang hukum dan aparatur pemerintah secara yuridis masih banyak permasalahan yang jauh dari rasa keadilan. Bahkan rendahnya kesadaran hukum masyarakat karena dampak dari kelemahan kelengkapan peraturan hukum, efektifitas menjalankan sanksi hukum, sarana sosial pendukung hukum, dan keserasian antara peraturan hukum dengan kebutuhan-kebutuhan masyarakat.

UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. UU No. 10 Tahun 2004 tentang Peraturan Perundang-undangan. UU No. 15 Tahun 2004 Tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggungjawab Keuangan Negara.

Kebijakan pembangunan hukum yang bercorak sentralisme hukum menjadi pemicu munculnya konflik nilai (conflict of values) dan konflik norma (conflict of norms) dalam pelaksanaan pembangunan nasional. Konflik nilai dan konflik norma terus mengimbas kepada pelaksanaan pembangunan nasional hingga pada tingkat daerah, baik daerah provinsi maupun kabupaten dan kota. Kepada pemerintah Provinsi Sumatera Utara diharapkan dapat menganalisis masalah ini lebih baik lagi.

UU

UU No. 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Pemerintahan Daerah. Undang-Undang No. 17 Tahun 2007 Tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005-2025. UU No.26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (UUPR).

Mukthi Fadjar, 18 Pebruari 2006. Penegakan Hukum Dan Hegemoni Kekuasaan, Perspektif Teori Hukum, Disampaikan pada Kuliah Umum untuk Pembukaan Kuliah Program Pascasarjana Universitas Widyagama. Samarinda.

Bambang Sutiyoso, 2004. Aktualita Hukum Dalam Era Reformasi. Jakarta : Raja Grafindo Persada. I Nyoman Nurjaya. 10 September 2007. Eorientasi Paradigma Pembangunan Hukum Negara Dalam Masyarakat Multikultural: Perspektif Antropologi Hukum, Pidato pengukuhan Jabatan guru Besar Dalam Bidang Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang. Hamidi dan Malik, 2009. Hukum Perbandingan Konstitusi. Jakarta : Prestasi Pustaka.

Kastorius Sinaga, 2003. Persoalan Otonomi Daerah. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Satjipto Rahardjo, 2000. Ilmu Hukum. Bandung : Citra Aditya Bakti. Satjipto Rahardjo, 2009. Hukum Yogyakarta : Genta Publishing.

No. 25 Tahun 2004 Tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional.

UU No.32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah.

DAFTAR PUSTAKA

Jazim

tentang

UU No. 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara.

REKOMENDASI

Abdul

2003

Progresif.

Peraturan Perundang-undangan : UU No. 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara.

155


Vol. 8. No. 2, Juni 2011

Jurnal INOVASI - Balitbang Provsu

Membangun Pendidikan Multikultural Berbasis Kebangsaan (Forming Multicultural Education based on Nationalism) Bahrul Khoir Amal Universitas Negeri Medan Jl. William Iskandar, Psr V Medan Estate-Medan Email : hen_sap@yahoo.com Naskah masuk : 21 Februari 2011; Naskah diterima :30 Mei 2011

ABSTRAK Pendidikan multikultural merupakan ide dan gerakan pembaharuan pendidikan serta proses pendiidikan yang tujuan utamanya untuk mengubah struktur lembaga pendidikan agar siswa baik pria maupun wanita. Siswa berkebutuhan khusus maupun siswa yang merupakan anggota dari ras, etnis dan kultur yang beraneka ragam dapat memiliki kesempatan yang sama untuk mencapai prestasi akademik di sekolah. Pendidikan multikultural mengembangkan bentukbentuk perrubahan sosial yang penting dan menghapuskan berbagai bentuk tindasan serta membelajarkan keadilan. Kata kunci : Pendidikan multikultural, multikulturalisme, kebangsaan.

ABSTRACT Multicultural education as an idea, an educational reform movement, and a process whose major goal is to change the structure of educational institutions so that male and female students, exceptional students, and students who are members of diverse racial, ethnic, and cultural groups will have an equal chance to achieve academically in school. Multicultural education acknowledge that school are essential to laying the formation for transformation of society and elemination of oppression and in justice. Keywords : Multicultural education, multiculturalisme, nationalism.

sebagai pejuang demokrasi dengan politik abolisinya dapat menghapus perbudakan. Hasil perjuangannya menempatkan ras negro pada tempat yang layak di Amerika Serikat. Hal ini dapat dijadikan bukti bahwa ras dengan kultur minoritas dapat berbaur dengan ras dan kultur yang lebih kompleks, yang berarti menjadikan multikultur dapat bersinergi dalam ras dan kultur yang bervariatif.

PENDAHULUAN Istilah multikultur berakar dari kata kultur. Pada umumnya, kultur diartikan sebatas pada budaya dan kebiasaan sekelompok orang pada daerah tertentu (Yaqin, 2005: 6). Secara etimologis, multikulturalisme dibentuk dari kata multi (banyak), kultur (budaya), dan isme (aliran/paham) (Tilaar, 2004). Multikultur sebenarnya merupakan kata dasar yang mendapat awalan. Kata dasar itu adalah kultur yang berarti kebudayaan atau pemeliharaan, sedang awalannya adalah multi yang berarti banyak, ragam, atau aneka. Dengan demikian, multikultur berarti keragaman kebudayaan atau banyak pemeliharaan.

Lalu bagaimana dengan Indonesia sendiri? Indonesia, tanah air kita memiliki karakteristik yang amat mengagumkan apabila dilihat dari aspek fisik, sosial, dan budaya. Dengan lebih dari 17.000 pulau besar dan kecil tersebar pada wilayah seluas lebih dari 5.000.000 kilometer persegi, dari kota Sabang di penghujung sebelah barat sampai kota Merauke di penghujung sebelah timur dan dari pulau Miangas di ujung utara sampai pulau Rote di ujung sebelah selatan. Luas geografis kepulauan Indonesia lebih luas dari Eropa Barat, dan hampir sebanding dengan Amerika Serikat dan Australia. Dengan jumlah penduduk sekitar 230 juta jiwa, Indonesia kini menduduki peringkat keempat negara paling

Multikulturalisme dapat dikatakan berkembang dari negara besar demokrasi yaitu Amerika Serikat. Amerika Serikat sebagai pentolan demokrasi, masyarakatnya dapat hidup dengan subur dalam segregasi dan diskriminasi ras. Sejarah mencatat terjadinya perang saudara pada per-tengahan abad ke-19 sebenarnya merupakan cikal-bakal lahirnya multikulturalisme di dunia. Abraham Lincoln 156


Jurnal INOVASI - Balitbang Provsu

Vol. 8. No. 2, Juni 2011

yang memiliki kekuatan yang paling menentukan segala sesuatunya, yaitu Tuhan. Tuhan diposisikan sedemikian sentralnya menjadi acuan seluruh perilaku manusia. Sebagai bukti ke maha kuasaannya Tuhan memberikan alam dan segala isinya untuk menjadikan manusia hidup dengan bergantung pada kemampuan kosmos. Atas ketergantungan tersebut manusia hendaknya memiliki kesadaran kosmosentrisme untuk memanfaatkan, mengembangkan, dan melestarikan seluruh tatanan bumi dengan arif dan bijaksana. Paham antroposentrisme yang mengakui ukuran kebaikan dan kebenaran itu terletak pada akal budi manusia. Untuk meraih kebaikan hidup, baik individu maupun sosial, manusia harus mengembangkan akal budinya. Menurut Khoironi (2004:10) di samping itu, manusia harus siap dengan perubahan-perubahan yang terjadi pada setiap ruas kehidupannya, termasuk kebudyaan yang progresif.

padat di dunia. Di samping itu, dengan jumlah sekitar 500 kelompok etnis dan 700 bahasa, Indonesia merupakan negara yang memiliki budaya paling beranekaragam di planet ini (Kalidjernih, 2008:130). Indonesia memiliki warisan dan tantangan pluralisme budaya (cultural pluralism) secara lebih mencolok, sehingga dipandang sebagai “lokus klasik� bagi bentukan baru “masyarakat majemuk� (plural society). Kemajemukan masyarakat Indonesia paling tidak dapat dilihat dari dua cirinya yang unik, pertama secara horizontal, ia ditandai oleh kenyataan adanya kesatuan-kesatuan sosial berdasarkan perbedaan suku bangsa, agama, adat, serta perbedaan kedaerahan, dan kedua secara vertikal ditandai oleh adanya perbedaan-perbedaan vertikal antara lapisan atas dan lapisan bawah yang cukup tajam (Nasikun, 2007:33). Fenomena masyarakat dan kompeks kebudayaannya yang masing-masing plural (jamak) dan sekaligus juga heterogen (aneka ragam) itu tergambar dalam prinsip bhinneka tunggal ika, yang berarti bercorakragam kehidupan dan penghidupan, tetapi terintegrasi dalam kesatuan.

Dengan totalitas ketiga paradigma tersebut diharapkan dapat menerbitkan manusia yang mampu menjalankan tugas hidup manusia yang saling bekerjasama sehingga mampu hidup (to make a living), mengembangkan kehidupan yang bermakna (to lead a meaningful life), dan untuk turut memuliakan kehidupan (to ennoble life).

Fakta realitas, jelas menggambarkan masyarakat Indonesia sebagai masyarakat multikultural. Sesuai dengan prinsip bhineka tunggal ika, maka sebenarnya pendidikan multikultural sebagai pendidikan alternatif patut dikembangkan dan dijadikan sebagai model pendidikan di Indonesia. Ada beberapa alasan mengenai hal tersebut. Pertama, realitas bahwa Indonesia adalah negara yang dihuni oleh berbagai suku, bangsa, etnis, agama, dengan bahasa yang beragam dan membawa budaya yang heterogen serta tradisi dan peradaban yang beraneka ragam. Kedua, pluralitas tersebut secara inheren sudah ada sejak bangsa Indonesia ini ada. Ketiga, masyarakat menentang pendidikan yang berorientasi bisnis, komersialisasi, dan kapitalis yang mengutamakan golongan atau orang tertentu. Keempat, masyarakat tidak menghendaki kekerasan dan kesewenang-wenangan pelaksanaan hak setiap orang. Kelima, pendidikan multikultur sebagai resistensi fanatisme yang mengarah pada berbagai jenis kekerasan, dan kesewenangwenangan. Keenam, pendidikan multikultural memberikan harapan dalam rnengatasi berbagai gejolak masyarakat yang terjadi akhir-akhir ini. Ketujuh, pendidikan multikultur sarat dengan nilainilai kemanusiaan, sosial, kealaman, dan keTuhanan.

PENDIDIKAN MULTIKULTURAL UNTUK MULTIKULTURALISME Pendidikan multikultural merupakan sebuah paradigma baru yang lahir pada akhir abad XX, yang memiliki visi, program, strategi dan metodologi pendidikan yang perlu untuk mempersiapkan generasi muda menghadapi masyarakat dunia global dan multikultural. Banks (1994) mendifiniskan pendidikan multikultural sebagai berikut: "Multicultural education is a progressive approach for transforming education that hostically critique and address currents shortcomings, failings, discriminatory practices in education. It is grounded in deals of social justice, education equity, and a dedication to facilitating seducation experiences in which all students reach their full potensial as learners and as socially aware and active beings, locally, and globally�. Bagaimana mengimplementasikan konsep pendidikan multikultural ini dalam pendidikan praktis di sekolah? Terdapat 3 (tiga) komponen implementasi yang dapat dipergunakan sebagai strategi program pembelajaran, yaitu sebagai berikut: (1) Content oriented program, yang terdiri dari: a. mengembangkan materi pendidikan multikultural dalam semua disiplin ilmu, b. memadukan keberagaman pandangan dan cara pandang dalam kurikulum, c. mentransfer tujuan dalam konsep kurikulum baru; (2) Student oriented

Dari beberapa alasan di atas, nampaknya perlu dibangun paradigma pendidikan multikultural di Indonesia. Menurut Dawam (2003: 153-15) paradigma pendidikan multikultural dapat dikatakan bahwa sebenarnya paradigma yang telah muncul sampai saat ini adalah paradigma teosentrisme, kosmosentrisme, dan antroposenirisme . Suatu paradigma yang rnemandang segala sesuatu ada 157


Jurnal INOVASI - Balitbang Provsu

Vol. 8. No. 2, Juni 2011

program, yang terdiri dari: a. melakukan penelitian terhadap model belajar berbagai kelompok murid, b. program menggunakan sekaligus dua atau lebih bahasa pengantar dalam sekolah, c. spesial program untuk murid-murid yang terkebelakang atau terpinggirkan secara sosio-ekonomi dalam masyarakat; (3) Socially oriented program, yang terdiri dari: a. kontak antara kelompok-kelompok yang berbeda (ras, agama, dan sosio-ekonomi), b. program belajar bersama.

Multikulturalisme sebagai sebuah paham (politic of recognition) menekankan pada kesenjangan dan kesetaraan budaya-budaya lokal tanpa mengabaikan hak-hak dan eksistensi budaya yang ada. Dengan kata lain, penekanan utama multikulturalisme ada pada kesetaraan budaya (Abdullah dalam Kompas, 16 Maret 2003). Dengan demikian, multikulturalisme bukan sekedar pengenalan terhadap berbagai jenis budaya di dunia ini, tetapi juga telah merupakan tuntutan dari berbagai komunitas yang memiliki budaya-budaya tersebut (Tilaar, 2004: 73-74).

Dalam pendidikan multikultur selalu muncul kata kunci kultural, pluralitas dan pendidikan. Pemahaman terhadap pluralitas mencakup segala perbedaan dan keragaman, sedangkan kultur itu sendiri tidak dapat lepas dari empat terma penting yaitu aliran (agama), ras (golongan), suku (etnis), dan budaya. Dalam pendidikan multikultur berarti pengakuan atas empat terma penting tersebut untuk memprogramkan berlangsungnya pendidikan multikultur.

Secara hakiki, dalam kata itu terkandung pengakuan martabat manusia yang hidup dalam komunitasnya dengan kebudayaan masing-masing yang unik. Pengakuan berarti penghargaan akan keberbedaan yang dimiliki oleh orang lain. Memaknai menghargai perbedaan berarti siap untuk menerima kehadiran orang lain di tengah kehidupan kita secara kolektif, learning to live togather (Assegaf, 2004: 107). Dengan demikian, setiap individu merasa dihargai sekaligus merasa bertanggung jawab untuk hidup bersama komunitasnya. Secara idealis, penghargaan dan pengakuan masing-masing individu tersebut akan terbangun komunitas yang harmonis. Pengakuan dan penerimaan atas keanekaan tersebut merupakan politic of recognition yang harus dijunjung tinggi. Secara politis, pengakuan tersebut bermuatan cukup strategis. Nilai strategis tersebut terdapat pada unsur penerimaan secara timbal balik. Berlangsungnya timbal balik tersebut menjadi jaminan berkembangnya antar kultur. Pengingkaran terhadap berkembangnya kultur masyarakat terhadap kebutuhan untuk diakui merupakan akar dari ketimpangan-ketimpangan dalam berbagai bidang kehidupan.

Pengakuan keempat terma penting tersebut menjadikan ciri khas pendidikan multikultur. Pendidikan yang berorientasi multikultur harus dapat memahami keberadaan masyarakat plural yang memiliki groupthink yang membutuhkan ikatan-ikatan keadaban (the bound of civility). The bound of civility berupa pergaulan antar kultur yang diikat dengan suatu civility (keadaban). Ikatan ini dibangun dari nilai-nilai universal manusia. Nilai-nilai universal manusia tersebut perlu ditransfer kepada masyarakat agar menemukan tujuan kepemilikan dan kelanggengan. Kepemilikan nilai-nilai universal yang dapat melembaga pada masyarakat untuk mewujudkan budaya luhur yang sesuai dengan nilai keuniversalan manusia. Dengan demikian, nilai-nilai luhur dapat diwujudkan untuk menciptakan kehidupan masyarakat yang aman, tertib, berwibawa, dan bermartabat. Untuk mentransfer nilai-nilai keuniversalan tersebut, masyarakat tetap meyakini dan mengakui bahwa transmitter nilai-nilai universal tersebut melalui proses pendidikan. Karena itu, segala perangkat yang mengacu pada pencapaian hasil tersebut diorientasikan pada tujuan utama pendidikan dengan kesiapan menghadapi masyarakat multikultur.

Masyarakat multikultur berasal dari dua kata yaitu masyarakat dan multikultur. Masyarakat merupakan satu kata yang mengandung banyak arti. Masyarakat ada dari proses berhimpun, saling mengasihi, serta kebersamaan dalam tujuan, kemaslahatan, dan keikhlasan untuk mencapai tujuan umum ( Dewey: 1953). Masyarakat multikultur atau multibudaya berarti mereka yang telah mempelajari dan menggunakan kebudayaan secara cepat, efektif, jelas, serta ideal dalam interaksi dan komunikasi dengan orang lain. Definisi ini jelas merujuk kepada masyarakat yang memiliki budaya sekaligus melaksanakan budaya yang dijunjung tinggi dalam masyarakat yang bersangkutan. Melaksanakan ritual budaya yang dijunjung tinggi tersebut digunakan untuk berinteraksi dan berkomunikasi dengan budaya lain. Interaksi dan komunikasi tersebut dalam rangka saling menghargai/ menghormati sekaligus memperkaya budaya masing-masing.

Berdasarkan paparan di atas, maka pendidikan multikultural pada era ini sudah selayaknya mengangkat multikulturalisme sebagai paham yang humanis, dan bila dikaji dari perjalanan pluralisme di Indonesia dapat diprioritaskan pada pembangunan: multikulturalisme sebagai politic of recognition, multikultur dalam etnic and cultural groups, multikulturalisme dalam karakteristik sosial.

158


Jurnal INOVASI - Balitbang Provsu

Vol. 8. No. 2, Juni 2011

proses-proses yang asosiatif (associative prosseses) ataupun disosiatif atau oposisional (dissociative processes). Proses-proses asosiatif dimulai dengan kerjasama (cooperation) dan dilanjutkan dengan akomodasi (accomodation), asimilasi (assimilation), dan akulturasi (acculturation). Adapun disosiasi dimulai dari persaingan (competition), kontravensi (contravention), antara kompetisi dan konflik, dan konflik. Interaksi sosial dalam multikultur memerlukan pengenalan dan pemahaman atas karakteristik sosial yang menjadi ciri khas komunitasnya.

Masyarakat multikultur merupakan masyarakat yang mampu memerankan dirinya sebagai arbiter, penengah bagj proses rekonsiliasi ketika proses dialektika tersebut menemui kejumudan/titik jenuh. Untuk keperluan ini masyarakat dituntut untuk meningkatkan kecerdasan intelektual, emosional, dan spiritual agar dapat memiliki sensitifitas, sensibilitas, apresiasi, simpati dan empati terhadap outsider. Sebagaimana disampaikan oleh Tilaar (2004: 37) masyarakat multikultur menyimpan banyak kekuatan dari masing-masing kelompok, sekaligus menjadi benih perpecahan. Apabila pertimbangan-pertimbangan emosional yang dipentingkan, maka akan lahir pendapat-pendapat fundamentalis atau yang mementingkan kepentingan kelompok sendiri dan menganggap kelompok-kelompok lain sebagai musuh. Tetapi apabila analisis rasio yang jernih digunakan dalam memilah-milah kekuatan yang dimiliki oleh suatu kelompok budaya atau kapital budaya, kekuatan sosial (social capital), dan kekuatan intelektual dari suatu komunitas, maka diyakini multikultur menyimpan cukup energi untuk menggerakkan masyarakat dalam skala yang berdampak luas dalam sendi-sendi kehidupan manusia itu sendiri.

MEMBANGUN PENDIDIKAN MULTIKULTURAL Berdasarkan kondisi masyarakat Indonesia yang multikultural, maka untuk membentuk negara Indonesia yang kokoh perlu mengembangkan jenis pendidikan yang cocok untuk bangsa yang multikultural. Jenis pendidikan yang cocok untuk bangsa yang multikultur ini adalah Pendidikan Multikultural. Pendidikan Multikultural paling tidak menyangkut tiga hal yaitu (1) ide dan kesadaran akan nilai pentingnya keragaman budaya, (2) gerakan pembaharuan pendidikan dan (3) proses. Pendidikan Multikultural berkaitan dengan ide, bahwa semua siswa tanpa memandang karakteristik budayanya itu seharusnya memiliki kesempatan yang sama untuk belajar di sekolah. Perbedaan yang ada itu merupakan keniscayaan atau kepastian adanya namun perbedaan itu harus diterima secara wajar dan bukan untuk membedakan. Artinya perbedaan itu perlu kita terima sebagai suatu kewajaran dan perlu sikap toleransi agar kita bisa hidup berdampingan secara damai tanpa melihat unsur yang berbeda itu untuk membeda-bedakan.

Multikulturalisme sebenarnya merupakan konsep dimana sebuah komunitas dalam konteks kebangsaan dapat mengakui keberagaman, perbedaan dan kemajemukan budaya, baik ras, suku (etnis), dan agama. Sebuah konsep yang memberikan pemahaman bahwa sebuah bangsa yang plural atau majemuk adalah bangsa yang dipenuhi dengan budaya-budaya yang beragam. Bangsa yang multikultur adalah bangsa yang kelompok-kelompok etnik atau budaya (etnic and cultural groups) yang ada dapat hidup berdampingan secara damai dalam prinsip co existence yang ditandai oleh kesediaan untuk menghormati budaya lain. Pluralitas ini juga dapat ditangkap oleh agama, selanjutnya agama mengatur untuk menjaga keseimbangan masyarakat plural tersebut. Hal ini dapat dimengerti, mengingat dalam agama (sebagaimana diabadikan dalam kitab suci) lebih dahulu disampaikan adanya multikultur sebagai dasar kebangunan manusia untuk lebih dewasa (Wahid, Kompas, 23 Juni 2004).

Pendidikan Multikultural ini memberikan pemahaman mengenai berbagai jenis kegiatan pendidikan sebagai bagian integral dari kebudayaan universal. Di dalamnya akan dibahas kebudayaan yang teraktualisasi secara internasional, regional, dan lokal sepanjang sejarah kemanusiaan. Kegiatan pendidikan sebagai interaksi sosio-kultural paedagogis di Indonesia bukan hanya dilakukan oleh suku bangsa Indonesia, tapi berbagai bangsa. Di dalam Pendidikan Multikultural ini akan diungkap pula aktivitas paedagogis masa lalu, masa kini dan masa depan di berbagai belahan dunia dengan fokus kebudayaan Indonesia.

Secara umum, multikulturalisme dalam karakteristik sosial digunakan dalam rangka berjalannya interaksi sosial dalam masyarakat. Interaksi sosial merupakan kunci dari semua kehidupan sosial. Tanpa interaksi sosial, tidak mungkin ada kehidupan bersama. Interaksi sosial selalu didahului oleh suatu kontak sosial dan komunikasi. Terjadinya interaksi sosial dapat dipengaruhi oleh adanya jarak sosial dari pelaku interaksi itu sendiri. Menurut Abidin (2003: 108) proses interaksi sosial dimulai dengan kontak atau komunikasi sosial. Kontak ini dilanjutkan dengan

Ide penting yang lain dalam Pendidikan Multikultural adalah bahwa sebagian siswa karena karakteristik tersebut di atas, ternyata ada yang memiliki kesempatan yang lebih baik untuk belajar di sekolah favorit tertentu sedangkan siswa dengan karakteristik budaya yang berbeda tidak memiliki kesempatan itu. Beberapa karakteristik institusional dari sekolah secara sistematis menolak kelompok 159


Jurnal INOVASI - Balitbang Provsu

Vol. 8. No. 2, Juni 2011

siswa untuk mendapatkan kesempatan pendidikan yang sama, walaupun itu dilakukan secara halus. Dalam arti, dibungkus dalam bentuk aturan yang hanya bisa dipenuhi oleh segolongan tertentu dan tidak bisa dipenuhi oleh golongan yang lain. Kita perhatikan di lingkungan sekitar kita. Ada kesenjangan ketika muncul fenomena sekolah favorit yang didominasi oleh golongan orang kaya karena ada kebijakan lembaga yang mengharuskan untuk membayar uang pangkal yang mahal untuk bisa masuk dalam kelompok sekolah favorit itu. Ada kebijakan yang dipandang tidak adil bagi golongan Tionghoa karena ada diskriminasi terhadap kelompok mereka sehingga mereka hanya berkecimpung di bidang yang sangat terbatas, misalnya dagang, pengacara, dokter dan mengalami kesulitan berkarier di bidang ketentaraan dan pemerintahan. Mereka dan sebagian warga negara asing lainnya sulit mendapatkan status kewarganegaraan bagi anak-anak mereka sebelum tahun 2006.

multikultural berada di dalam kondisi perubahan baik teoritis maupun praktek sehingga jarang ada dua pengajar atau ahli pendidikan yang memiliki definisi yang sama tentang pendidikan multikultural. Seperti halnya dalam suatu dialog pendidikan, individu cenderung mengubah konsep untuk disesuaikan dengan fokus tertentu. Beberapa di antaranya membahas pendidikan multikultural sebagai suatu perubahan kurikulum, mungkin dengan menambah materi dan perspektif baru. Yang lain berbicara tentang isu iklim kelas dan gaya mengajar yang dipergunakan kelompok tertentu. Yang lain berfokus pada isu sistem dan kelembagaan seperti jurusan, tes baku, atau ketidak cocokan pendanaan antara golongan tertentu yang mendapat jatah lebih sementara yang lain kurang mendapat perhatian. Yang lain lagi melihat perubahan pendidikan sebagai bagian dari perubahan masyarakat yang lebih besar di mana kita mengeksplorasi dan mengkritik dasar-dasar kemasyarakatan yang menindas dan bagaimana pendidikan berfungsi untuk memelihara status quo seperti di Amerika Serikat yang terlalu berpihak pada supremasi kulit putih, kapitalisme, situasi sosio-ekonomi global dan eksploitasi. Sekalipun banyak perbedaan konsep pendidikan multikultural, ada sejumlah ide yang dimiliki bersama dari semua pemikiran dan merupakan dasar bagi pemahaman pendidikan multikultural: (1) kesempatan yang sama bagi setiap siswa untuk mewujudkan potensi sepenuhnya; (2) penyiapan pelajar untuk berpartisipasi penuh dalam masyarakat antar budaya; (3) penyiapan pengajar agar memudahkan belajar bagi setiap siswa secara efektif, tanpa memperhatikan perbedaan atau persamaan budaya dengan dirinya; (4) partisipasi aktif sekolah dalam menghilangkan penindasan dalam segala bentuknya; (5) pendidikan yang berpusat pada siswa dengan mendengarkan aspirasi dan pengalaman siswa, pendidik, aktivis, dan yang lain harus mengambil peranan lebih aktif dalam mengkaji kembali semua praktek pendidikan, termasuk teori belajar, pendekatan mengajar, evaluasi, psikhologi sekolah dan bimbingan, materi pendidikan dan buku teks, dan lain-lain.

Pendidikan Multikultural bisa muncul berbentuk bidang studi, program, dan praktek yang direncanakan lembaga pendidikan untuk merespon tuntutan, kebutuhan dan aspirasi berbagai kelompok. Sebagaimana ditunjukkan Banks (1994), pendidikan multikultur bukan sekedar merupakan praktek aktual satu bidang studi atau program pendidikan semata, namun mencakup seluruh aspek pendidikan. Pendidikan Multikultural juga merupakan proses (pendidikan) yang tujuannya tidak akan pernah terrealisasikan secara penuh. Pendidikan multikultural adalah proses “menjadi�. Pendidikan multikultural harus dipandang sebagai suatu proses yang terus-menerus dan bukan sebagai sesuatu yang langsung bisa tercapai. Tujuan utama dari pendidikan multikultural adalah untuk memperbaiki prestasi secara utuh bukan sekedar meningkatkan skor. Persamaan pendidikan, seperti juga kebebasan dan keadilan, merupakan ide umat manusia yang harus dicapai dengan perjuangan keras namun tidak pernah dapat mencapainya secara penuh. Ras, gender, dan diskriminasi terhadap orang yang berkebutuhan akan tetap ada sekalipun kita telah berusaha sekeras mungkin menghilangkan masalah ini. Jika prasangka dan diskriminasi dikurangi pada suatu kelompok, biasanya keduanya terarah pada kelompok lain atau mengambil bentuk yang lain. Karena tujuan Pendidikan Multikultur tidak akan pernah tercapai secara penuh, kita seharusnya bekerja secara kontinyu meningkatkan persamaan pendidikan untuk semua siswa (educational equality for all students).

Menurut Gorski (2001), pendidikan multikultural merupakan pendekatan progresif untuk mengubah pendidikan secara holistik dengan mengkritik dan memusatkan perhatian pada kelemahan, kegagalan, dan praktek diskriminatif di dalam pendidikan. Keadilan sosial, persamaan pendidikan, dan dedikasi menjadi landasan pendidikan multikultural dalam memfasilitasi pengalaman pendidikan agar semua siswa dapat mewujudkan semua potensinya secara penuh dan menjadikannya sebagai manusia yang sadar dan aktif secara lokal, nasional, dan global.

Gorski (2001) menyimpulkan bahwa sejak konsep paling awal muncul pada tahun 1960-an, pendidikan multikultural telah berubah, difokuskan kembali dan dikonseptualisasikan kembali. Pendidikan

Paparan di atas sekaligus mengisyaratkan, perlunya upaya membangun pendidikan multikultural. 160


Jurnal INOVASI - Balitbang Provsu

Vol. 8. No. 2, Juni 2011

Pendidikan multikultural dapat menjadi elemen yang kuat dalam kurikulum Indonesia untuk mengembangkan kompetensi dan ketrampilan hidup (life skills). Masyarakat Indonesia terdiri dari masyarakat multikultur yang mencakup berbagai macam perspektif budaya yang berbeda. Jadi sangat relevan bagi sekolah di Indonesia untuk menerapkan pendidikan multikultural. Pendidikan Multikultural dapat melatih siswa untuk menghormati dan toleransi terhadap semua kebudayaan. Pendidikan multikultural sebagai kesadaran merupakan suatu pendekatan yang didasarkan pada keyakinan bahwa budaya merupakan salah satu kekuatan yang dapat menjelaskan perilaku manusia. Budaya memiliki peranan yang sangat besar di dalam menentukan arah kerjasama maupun konflik antar sesama manusia.

6) Mengembangkan kesadaran atas kepemilikan planet bumi dan mengembangkan keterampilan aksi sosial (social action).

MERUMUSKAN TUJUAN PENDIDIKAN MULTIKULTURAL BERBASIS KEBANGSAAN Berdasarkan core value yang mengarah pada tujuan pendidikan multikultural, sudah saatnya bangsa ini merumuskan tujuan pendidikan multikultural berbasis kebangsaan. Terlebih di era globalisasi yang tengah mendera, konsep kebangsaan Indonesia perlu diperkuat melalui internalisasi nilai-nilai tersebut di atas. Tujuan pendidikan multikultural berbasis kebangsaan yang pertama adalah : pengembangan literasi etnis dan budaya. Tujuan utama pendidikan multikultural ini adalah mempelajari tentang latar belakang sejarah, bahasa, karakteristik budaya, sumbangan, peristiwa kritis, individu yang berpengaruh, dan kondisi sosial, politik, dan ekonomi dari berbagai kelompok etnis mayoritas dan minoritas. Informasi ini harus komprehensif, analistis, dan komparatif, dan harus memasukkan persamaan dan perbedaan di antara kelompok-kelompok yang ada. Pengetahuan tentang pluralisme budaya merupakan dasar yang diperlukan untuk menghormati, mengapresiasi, menilai dan memperingati keragaman, baik lokal, nasiorral dan internasional.

Atas dasar pemikiran ini, maka sudah saatnya pendidikan multikultural di Indonesia dirumuskan melalui pencarian nilai-nilai inti untuk pendidikan multikultural. Menurut Bennett dalam Tilaar (2003: 171) orientasi nilai-nilai inti (core value) pada pendidikan multikultur antara lain: (1) Apresiasi terhadap adanya kenyataan pluralitas budaya dalam masyarakat; (2) Pengakuan terhadap harkat dan martabat dan hak asasi manusia; (3) Pengembangan tanggung jawab masyarakat dunia; dan (4) Pengembangan tanggung jawab menusia terhadap planet bumi. Core value pendidikan multikultur mengingatkan pada sirkulerisme pendidikan multikultur. Sirkulerisme pendidikan multikultur, dapat mencakup empat hubungan dimensi; dimensi manusia dengan Allah, manusia dengan manusia, manusia dengan alam semesta, dan manusia dengan dirinya sendiri. Dengan demikian, core value pada pendidikan multikultur mencapai totalitas hubungan yang menjadi titik pusat perhatian. Totalitas hubungan sesuai dengan derajat nilai-nilai diri, kemanusiaan, dan kealaman.

Tujuan yang kedua adalah menekankan pada pengembangan pemahaman diri yang lebih besar, konsep diri yang positif, dan kebanggaan pada identitas pribadinya. Penekanan bidang ini merupakan bagian dari tujuan pendidikan multikultural yang berkontribusi pada perkembangan pribadi siswa, yang berisi pemahaman yang lebih baik tentang diri yang pada akhirnya berkontribusi terhadap keseluruhan prestasi intelektual, akademis, dan sosial siswa. Siswa merasa baik tentang dirinya sendiri karena lebih terbuka dan reseptif (menerima) dalam berinteraksi dengan orang lain dan menghormati budaya dan identitasnya.

Perumusan core value ini sangat penting untuk membangun tujuan pendidikan multikultur. Menurut Bennett dalam Tilaar (2003: 171-172) nilai-nilai inti (core value) yang rnengarah pada tujuan pendidikan multikultur antara lain: 1) Mengembangkan perspektif sejarah (ethnohistorisitas) yang beragam dari kelompok-kelompok masyarakat, 2) Memperkuat kesadaran budaya hidup di masyarakat, 3) Menerima dan menghargai perbedaan dalam keberagaman, 4) Memperkuat kompetensi interkultural dari budaya-budaya yang hidup di masyarakat, 5) Membasmi rasisme, seksisme, dan berbagai jenis prasangka (prejudice),

Pendidikan multikultural mengangkat nilai-nilai inti yang berasal dari prinsip martabat manusia (human dignity), keadilan, persamaan, kebebasan, dan demokrasi, merupakan tujuan yang ketiga dengan penekanan pada klarifikasi nilai dan sikap. Mengajari generasi muda untuk menghargai dan menerima pluralisme etnis, menyadarkan bahwa perbedaan budaya tidak sama dengan kekurangan atau rendah diri, dan untuk mengakui bahwa keragaman merupakan bagian integral dari kondisi manusia. Pengklarifikasian sikap dan nilai etnis didesain untuk membantu siswa memahami bahwa berbagai konflik nilai itu tidak dapat dielakkan dalam masyarakat pluralistik; dan bahwa konflik 161


Jurnal INOVASI - Balitbang Provsu

Vol. 8. No. 2, Juni 2011

tidak harus menghancurkan dan memecah belah. Jika kita mengelola dengan baik hal itu akan dapat menjadi katalis kemajuan sosial dan ada kekuatan dalam pluralisme etnis dan budaya; bahwa kesetiaan etnis (ethnic allegiance) dan loyalitas nasional (national loyalty) bukan tidak dapat didamaikan; dan bahwa kerjasama dan koalisi di antara kelompok etnis tidak tergantung pada pemilikan keyakinan, nilai, dan perilaku yang sama. Menganalisa dan mengklarifikasi sikap dan nilai etnis merupakan langkah kunci dalam proses melepaskan potensi kreatif individu untuk memperbarui diri dan masyarakat untuk tumbuhkembang lebih lanjut.

Kontribusi dari pengayaan materi ini, sekaligus akan memperkaya siswa dalam hal pemilikan wawasan hidup yang lintas budaya dan lintas bangsa sebagai warga dunia. Hal ini berarti individu dituntut memiliki wawasan sebagai warga dunia (world citizen). Namun siswa juga harus tetap dikenalkan dengan budaya lokal, diajak berpikir tentang apa yang ada di sekitarnya, diajak berpikir secara internasional dengan mengajak mereka untuk tetap peduli dengan situasi yang ada di sekitarnya (act locally and globally).

KESIMPULAN Atas dasar rumusan tujuan pendidikan multikultural berbasis kebangsaan di atas, diharapkan pendidikan multikultural dapat berfungsi dalam: (1) memberi konsep diri yang jelas; (2) membantu memahami pengalaman kelompok etnis dan budaya ditinjau dari sejarahnya; (3) membantu memahami bahwa konflik antara ideal dan realitas itu memang ada pada setiap masyarakat; (4) membantu mengembangkan pembuatan keputusan (decision making), partisipasi sosial dan ketrampilan kewarganegaraan (citizenship skills); dan (5) mengenal dan menghargai perbedaan dalam keberagaman. (Gorski, 2001).

Tujuan berikutnya adalah mengembangkan kompetensi multikultural. Penting sekali bagi siswa untuk mempelajari bagaimana berinteraksi dengan dan memahami orang yang secara etnis, ras, dan kultural berbeda dari dirinya. Dunia kita menjadi semakin lebih beragam, kompak, dan saling tergantung. Pendidikan multikultural dapat meredakan ketegangan ini dengan mengajarkan ketrampilan dalam komunikasi lintas budaya, hubungan antar pribadi, pengambilan perspektif, analisis kontekstual, pemahaman sudut pandang dan kerangka berpikir alternatif, dan menganalisa bagaimana kondisi budaya mempengaruhi nilai, sikap, harapan, dan perilaku. Pendidikan multikultural dapat membantu siswa mempelajari bagaimana memahami perbedaan budaya tanpa membuat pertimbangan nilai yang semena-mena tentang nilai intrinsiknya. Untuk mencapai tujuan ini anak dapat diberi pengalaman belajar dengan memberi berbagai kesempatan pada siswa untuk mempraktekkan kompetensi budaya dan berinteraksi dengan orang, pengalaman, dan situasi yang berbeda.

REKOMENDASI Diharapkan kepada seluruh stakeholder di Provinsi Sumatera Utara secara khusus yang berhubungan dengan pendidikan dapat menerapkan konsep pendidikan multikulral ini dalam rangka meningkatkan nasionalisme, mulai dari yang berbentuk policy sampai dengan yang dilakukan di dalam pembelajaran (kelas).

DAFTAR PUSTAKA

Tujuan yang kelima adalah mengembangkan rasa kesadaran sosial (a sense of social consciousness), keberanian moral, dan komitmen terhadap persamaan; dan memperoleh ketrampilan dalam aktivitas politik untuk mereformasi masyarakat untuk membuatnya lebih manusiawi, simpatik terhadap pluralisme kultural, keadilan moral, dan persamaan.

Assegaf, R.A., 2004. Pendidikan Tanpa Kekerasan: TipologiKondisi, Kasus, dan Konsep. Jogjakarta: Tiara Wacana, Cetakan Pertama. Dawam, Ainurrofiq., 2003. Emoh Sekolah: Menolak "Komersialisasi Pendidikan dan Kanibalisme Intelektual". Jogjakarta: Jnspeal Ahimsakarya Press, Cetakan Pertama. Gorski, 2001. Educating Citizens for Democracy, London: Oxford University Press.

Terakhir, tujuan yang dinilai paling penting adalah memperkokoh rasa kebangsaan. Dengan mengetahui kekayaan budaya bangsa itu akan tumbuh rasa kebangsaan yang kuat. Rasa kebangsaan itu akan tumbuh dan berkembang dalam wadah negara Indonesia yang kokoh. Untuk itu, pendidikan multikultural perlu menambahkan materi, program dan pembelajaran yang memperkuat rasa kebangsaan dengan menghilangkan etnosentrisme, prasangka, diskriminasi dan stereotipe.

Kalidjernih, F.K., 2008. Cakrawala Pendidikan Kewarganegaraan. Bandung: Grasindo. Khoironi., 2004. Pendidikan Profetik. Jogjakarta: Pustaka Pelajar, Cetakan Pertama. Milner, H., 2002. Civic Literacy: How Informed Citizens Makes Democracy Work. Hanover: University Press of New England 162


Jurnal INOVASI - Balitbang Provsu

Vol. 8. No. 2, Juni 2011

Nasikun. 2007. Sistem Politik Indonesia.Yogyakarta: Pustaka pelajar. Tilaar, H.A.R, 2000. Pendidikan Kebudayaan, dan Masyarakat Madani Indonesia: Strategi Reformasi Pendidikan Nastonal. Bandung: Remaja Rossda-karya, Cetakan Kedua. ————, 2003. Multikulturalisme: Tantangan Global Masa Depan dalam Transformasi Pendidikan Nasional. Jakarta: Grasindo. Wahid, Abdurahman, 2004. Keragaman Budaya Bangsa, Kompas, 23 Juni 2004. Yaqin, Ainul., 2005. Pendidikan Multikultural: Cross-Culttiral Understanding untuk Demokrasi dan Keadilan. Yogjakarta: Pilar Media, Cetakan Pertama. Zainal Abidin, 2003. Sosiosophologi: Sosiologi Islam Berbasis Hikmah. Bandung: Pustaka Setia, Cetakan Pertama.

163


Vol. 8. No. 2, Juni 2011

Jurnal INOVASI - Balitbang Provsu

Penjaminan Mutu Pendidikan Di Indonesia Melalui Peningkatan Profesionalisme Guru (Educational Quality Assurance in Indonesia through Teacher Professionalism Improvement) Neni Afrida Sari Harahap Universitas Negeri Medan Jl. William Iskandar, Psr V Medan Estate-Medan Naskah masuk : 23 Januari 2011; Naskah diterima :4 Mei 2011

ABSTRAK Guru adalah salah satu pilar paling penting untuk mendapatkan pendidikan berkualitas tinggi di suatu negara. Kualitas, kompetensi dan profesionalisme guru tercermin oleh kemampuan mereka dalam melakukan proses belajar mengajar di kelas. Meningkatkan kualitas guru sangat diperlukan untuk dilakukan sebagai penentuan pendidikan yang berhasil di negara kita, Indonesia. Banyak cara yang telah diterapkan oleh pemerintah kita untuk meningkatkan kualitas guru dan profesionalismenya. Salah satu Kebijakan Pemerintah adalah dengan melakukan Program Sertifikasi melalui evaluasi portofolio dan pelatihan untuk guru profesionalisme (PLPG). Namun, kebijakan semacam ini masih memiliki beberapa tantangan dan dilema sampai sekarang, dan pemerintah diharapkan menggunakan jalan lainnya yang dapat diandalkan untuk mencapai tujuan tersebut, yaitu dengan mengerahkan guru yang berkualitas baik, memilih guru yang baik, restrukturisasi guru – sarana institusi baru, meningkatkan kesejahteraan guru, memberikan beasiswa, dan memberikan penghargaan kepada mereka yang berprestasi tinggi. Kata kunci : Kualitas pendidikan tinggi, meningkatkan kualitas guru, kompetensi, dan profesionalisme.

ABSTRACT Teacher is one of the most important pillars to gain the high quality education in a country. The quality, competence and professionalism of teachers are reflected by their ability in conducting teaching and learning processes in the classroom. Improving teachers’ quality is extremely needed to be done as the determination of successful education in our country, Indonesia. Many ways have been applied by our government to improve teachers’ quality and professionalism. One of the Government Policy is by conducting Teachers; Certification Program through portofolio evaluation and training for professionalism teachers (PLPG). However, this kind of policy still has some challenges and dilemma until now and the government are intended to be able to use other reliable means and ways to achieve that goal, namely by deploying good quality teachers, selecting good teachers, restructuring the exiting teacher – generating institution, improving teacher’s welfare, providing scholarships, and giving reward to high achievers. Keywords : High quality education, improving teacher’s quality, competence, and professionalism.

tahun 2005. Proses pengembangan kurikulum telah diupayakan melibatkan stakeholder eksternal dengan penyediaan fasilitas belajar yang semakin dimaksimalkan. Upaya-upaya tersebut dilandasi suatu kesadaran betapa pentingnya peranan pendidikan dalam pengembangan sumber daya manusia dan pengembangan watak bangsa (Nation Character Building) untuk kemajuan masyarakat dan

PENDAHULUAN Banyak upaya telah dilakukan berbagai pihak dalam upaya meningkatkan kualitas dan penjaminan mutu pendidikan di Indonesia, diantaranya adalah usaha dan upaya pemutakhiran kurikulum secara berkala. Kurikulum berbasis kompetensi (KBK) dikembangkan sejak tahun 2003 dan diterapkan 164


Vol. 8. No. 2, Juni 2011

Jurnal INOVASI - Balitbang Provsu

karakter personal, prospek professional, dan motivasi yang tepat jika ingin memenuhi harapan stakeholder” (Delors, 1996).

bangsa. Harkat dan martabat suatu bangsa sangat ditentukan oleh kualitas pendidikannya. Dalam konteks bangsa Indonesia, peningkatan kualitas pendidikan merupakan sasaran pembangunan di bidang pendidikan baik tingkat lokal maupun nasional dan merupakan bagian integral dari upaya peningkatan kualitas manusia Indonesia secara menyeluruh. Namun, upaya tersebut belum dapat dijadikan tolak ukur keberhasilan suatu proses belajar mengajar apabila pilar utama penjamin mutu pendidikan masih diabaikan, yaitu kualitas guru. Sebagai komponen utama pelaku dan praktisi pendidikan di sekolah, guru memiliki peran yang sangat penting untuk menentukan ketuntasan belajar (mastery learning) bagi para peserta didik. Pertemuan sembilan Menteri Pendidikan berpenduduk terbesar di Dunia (The Seventh E-9 Ministrial Review Meeting) yang diikuti oleh Cina, India, Indonesia, Brazil, Mesir, Bangladesh, Pakistan, Meksiko dan Nigeria di Nusa Dua Bali, yang berlangsung pada tanggal 10 – 12 Maret 2008 telah menghasilkan deklarasi Bali. Salah satu poin penting dalam deklarasi ini menekankan pada peningkatan kualitas guru. Hal ini karena, ternyata, 50 % guru di lima Negara E-9 belum berpendidikan formal dan hanya 50 % yang berpendidikan strata satu (primary education training).

Fakta tersebut merefleksikan bahwa peningkatan mutu guru mutlak harus segera dilaksanakan, mengingat untuk menjadi bangsa yang besar dan berdaya saing tinggi diperlukan SDM yang berkualitas, handal dan profesional. Agar dapat mencetak sumberdaya manusia Indonesia yang berkualitas, sektor pendidikan harus digarap dengan sungguh-sungguh. Di antara upaya untuk meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia adalah dengan meningkatkan kualitas maupun kompetensi guru sebagai salah satu pilar keberhasilan pendidikan. Kemudian pertanyaan yang perlu dipertimbangkan adalah “Seberapa pentingkah peran guru dalam mewujudkan sumber daya manusia Indonesia yang berdaya saing tinggi, handal dan professional ?”, dan “Upaya –upaya apakah yang perlu dilakukan untuk meningkatkan kualitas kompetensi guru ?”

P E R A N G U R U D A L A M MEWUJUDKAN SDM YANG PROFESIONAL Menurut Makagiansar (1996), memasuki abad 21 pendidikan akan mengalami pergeseran dan perubahan paradigma yang meliputi pergeseran paradigma: (1) dari belajar terminal ke belajar sepanjang hayat, (2) dari belajar berfokus penguasaan pengetahuan ke belajar holistik, (3) dari citra hubungan guru-murid yang bersifat konfrontatif ke citra hubungan kemitraan, (4) dari pengajar yang menekankan pengetahuan skolastik (akademik) ke penekanan keseimbangan fokus pendidikan nilai, (5) dari kampanye melawan buta aksara ke kampanye melawan buta teknologi, budaya, dan komputer, (6) dari penampilan guru yang terisolasi ke penampilan dalam tim kerja, dan (7) dari konsentrasi eksklusif pada kompetisi kerja sama. Pergeseran paradigma tersebut menuntut adanya upaya peningkatan kualitas di bidang pendidikan, yang bukan sekedar mengejar target output sematamata, tetapi yang lebih penting adalah outcome, yaitu bagaimana kualitas lulusan (output) dalam menghadapi tantangan global di masa mendatang. Paradigma ini juga berimplikasi perlunya guru yang berkompeten dan professional untuk mendukung penyelenggaraan pendidikan yang berkualitas, yang diharapkan dapat menghasilkan output dan outcome yang baik sacara kuantitatif maupun kualitatif.

Ironisnya, Indonesia termasuk salah satu negara yang jumlah guru berpendidikan primer setara S1 kurang dari 50 %. Ini berarti dari jumlah 2,7 juta guru, sebanyak 1,35 juta orang guru belum mencapai kualifikasi S1. LaporanDepartemen Pendidikan Nasional tahun 2006 menunjukkan bahwa guru yang memenuhi kualifikasi S1/D-IV baru mencapai target 35,6 % saja. Jadi sebanyak 64,4 % guru belum memenuhi kualifikasi S1/D-IV. Pada tahun 2007, Depdiknas baru berhasil meningkatkan kualitas guru hingga S1/D-IV sebanyak 81.800 guru dan melakukan sertifikasi guru sebanyak 147.217 orang. Dalam konteks pembangunan sektor pendidikan, guru merupakan pemegang peran yang amat sentral. Guru adalah jantungnya pendidikan. Tanpa denyut dan peran aktif guru, kebijakan pembaruan pendidikan secanggih apapun tetap akan sia-sia. Sebagus apapun dan semodern apapun sebuah kurikulum dan perencanaan strategis pendidikan dirancang, jika tanpa guru yang berkualitas, maka tidak akan membuahkan hasil optimal. Artinya, pendidikan yang baik dan unggul tetap akan bergantung pada kondisi mutu guru. Hal ini ditegaskan UNESCO dalam laporan The International Commission on Education for Twentyfirst Century, yang menyatakan bahwa “memperbaiki mutu pendidikan pertama-tama tergantung pada perbaikan perekrutan, pelatihan, status sosial, dan kondisi para guru; mereka membutuhkan pengetahuan dan keterampilan,

Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahakn, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan 165


Vol. 8. No. 2, Juni 2011

Jurnal INOVASI - Balitbang Provsu

pendidikan menengah (UU No. 14 tahun 2005 : 2). Dengan demikian, dalam melaksanakan tugas keprofesionalannya, guru berkewajiban : 1. Merencanakan pembelajaran, melaksanakan proses pembelajaran yang bermutu, serta menilai dan mengevaluasi hasil pembelajaran; 2. Meningkatkan dan mengembangkan kualifikasi akademik dan kompetensi secara berkelanjutan sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni; 3. Bertindak obyektif dan tidak diskriminatif atas dasar pertimbangan jenis kelamin, agama, suku, ras, dan kondisi fisik tertentu, atau latar belakang keluarga, dan status sosial ekonomi peserta didik dalam pembelajaran; 4. Menjunjung tinggi peraturan perundangundangan, hokum, dan kode etik guru, serta nilai-nilai agama dan etika; dan 5. Memelihara dan memupuk persatuan dan kesatuan bangsa.

Memiliki interaksi yang tinggi dengan seluruh siswa di kelas; 3. Memberikan contoh, pekerjaan yang menantang (challenging work) dengan tujuan yang jelas (clear objectives); 4. Mengembangkan pembelajaran berbasis kegiatan dan tujuan; 5. Melatih siswa untuk bertanggung jawab terhadap pekerjaan mereka dan memiliki sense of ownership dan mandiri dalam pembelajaran; 6. Mengembangkan pembelajaran individu; 7. Melibatkan siswa dalam pembelajaran maupun penyelesaian tugas-tugas melalui enquiry – based learning, misalnya dengan memberikan pertanyaan yang baik dan analitis; 8. Menciptakan lingkungan pembelajaran yang positif dan kondusif; 9. Memberikan motivasi dan kebangsaan yang tinggi; dan 10. Pengelolaan waktu yang baik.

Berdasarkan undang-undang tersebut sangat jelas bahwa guru merupakan key person in classroom, sehingga guru memiliki peran yang sangat vital dan fundamental dalam membimbing, mengarahkan, dan mendidik siswa dalam proses pembelajaran (Davies dan Ellison, 1992). Karena peran mereka yang sangat penting itu, keberadaan guru bahkan tak tergantikan oleh siapapun atau apapun sekalipun dengan teknologi canggih. Alat dan media pendidikan, sarana prasarana, multimedia dan teknologi hanyalah media atau alat yang hanya digunakan sebagai teachers` companion (sahabat – mitra guru). Guru memiliki peran yang amat penting, terutama sebagai agent of change melalui proses pembelajaran. Oleh karena itu, agar dapat berperan dengan efektif dan professional, guru harus memiliki beberapa persyaratan, antara lain ketrampilan mengajar (teaching skills), berpengetahuan (knowledgeable) memiliki sikap profesionalisme (good professional attitude), memilih, menciptakan dan menggunakan media (utilizing learning media), memilih metode mengajar yang sesuai, memanfaatkan teknologi (utilizing technology), mengembangkan dynamic curriculum, dan bisa memberikan contoh dan teladan yang baik (good practices) (Hartoyo dan Baedhowi, 2005).

Knowledgeable

2.

Pengetahuan merupakan faktor utama dalam membentuk profesionalisme seseorang. Pengetahuan dapat diperoleh melalui : (1) academic – proses pendidikan formal, (2) practical session – pelatihan praktis, dan (3) life skills – kecakapan hidup yang diperoleh melalui berbagai cara dan kegiatan. Professional Attitude Sikap sangat berpengaruh terhadap profesionalisme seseorang guru. Sikap tersebut antara lain : (1) independence – mandiri dan tidak selalu tergantung pada orang lain, dan (2) continous self-improvement – selalu siap memperbaiki diri sendiri secara terusmenerus. Learning Equipment / Media Perlengkapan dan media pendidikan sangat perlu untuk mendukung profesionalisme guru. Guru dituntut mampu memilih, menggunakan dan bahkan menciptakan media pembelajaran. Media sedapat mungkin disediakan secara memadai dan lengkap (sufficient and complete) dan modern. Tanpa perlengkapan dan media yang lengkap dan modern, sekolah tak mampu memberikan hasil yang bagus.

Teaching Skills Guru yang profesional dapat dilihat dari keterampilan mengajar (teaching skills) yang mereka miliki. Keterampilan mengajar yang dimiliki oleh guru dapat dilihat dari beberapa indikator antara lain : 1. Guru sebagai pembimbing dan fasilitator yang mampu menumbuhkan belajar mandiri (self learning) pada diri siswa;

Technology Peran teknologi, terutama teknologi informasi dan komunikasi (ITC) dalam pendidikan sangat penting, karena dapat membuat pembelajaran lebih bervariasi dan hidup (teaching more colourfull), apalagi jika diintegrasikan dengan multimedia.

166


Vol. 8. No. 2, Juni 2011

Jurnal INOVASI - Balitbang Provsu

sertifikasi pendidik, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Kompetensi dasar yang harus dimiliki guru meliputi kompetensi paedagogik, kompetensi personal atau kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi professional yang diperoleh melalui pendidikan profesi (UU No. 14 Tahun 2005, pasal 8 dan 10).

Curriculum Kurikulum yang responsive, mampu menjawab tantangan dan kebutuhan masyarakat, dynamic (berkembang sejalan dengan perkembangan jaman), dan flexible yang dapat diadaptasikan dalam berbagai situasi dan kondisi, serta sesuai dengan kebutuhan siswa (students needs) merupakan suatu kebutuhan. Kurikulum yang dinamis memiliki cirri (1) disusun dengan baik (well-organized), (2) memiliki nilai tambah(added value), bukan hanya berisi materi yang harus dipelajari siswa, dan (3) terintegrasi (integrated) dan bukan terkotak-kotak. Dengan kurikulum yang demikian ini, guru akan lebih mudah dan terarah dalam mengembangkan dirinya menjadi guru yang professional tanpa harus terbebani karena kurikulum yang kaku, kurang fleksibel, dan mengambang tidak jelas.

STRATEGI PENINGKATAN PROFESIONALISME GURU Menyikapi tuntutan profesionalisme guru yang sarat dengan tuntutan akademis dan non – akademis, membuat kita semakin prihatin apabila tuntutan tersebut tak dapat dipenuhi; dan apabila persyaratan sudah ‘dipenuhi’ apakah kesejahteraan mereka juga ‘terpenuhi’. Dua hal inilah yang seringkali menjadi sebuah dikotomi yang berkepanjangan, sehingga tidak mengherankan apabila ada guru yang terpaksa mengajar ala kadarnya karena capai dan ngantuk setelah semalaman dia terpaksa harus ‘ngojek’ atau menjadi ‘pengemudi pocokan’ atau bahkan menjual jasa ‘sebagai penjaga malam’ dab sebagainya untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya karena penghasilan mereka sebagai guru masih dapat memenuhi kebutuhannya (Hartoyo, 2007). Contoh – contoh lain tentang guru yang harus melakukan kerja sambilan ‘banting – tulang’ banyak kita jumpai di sekitar kita, yang tentu saja berpengaruh terhadap profesionalisme dan kualitas mengajar mereka. Memang serba salah, jika tidak mencari sambilan kebutuhan mereka tak terpenuhi, tetapi jika mengerjakan kerja sambilan kualitas mengajar mereka cenderung berkurang. Di samping itu, guru juga seringkali dijadikan ‘kambing hitam’ apabila hasil belajar siswa kurang menggembirakan, misalnya banyak siswa yang nilai UN-nya jelek, banyak yang tidak lulus, banyak yang tidak naik kelas dan sebagainya.

Good Examples / Practices Pendidikan akan efektif apabila dibarengi dengan contoh atau teladan yang baik pula. Pemberian teladan yang baik oleh guru menuntut guru untuk senantiasa melakukan yang terbaik dan bertindak secara professional. Contoh atau teladan yang baik dapat membangun karakter (character building) seperti kepemimpinan, sikap menghormati, membantu orang lain, menjadi pendengar yang baik, bersikap demokratis, dan lain-lain. Ilustrasi tersebut mempertegas keyakinan bahwa profesi guru merupakan bidang pekerjaan khusus dan significant yang dilaksanakan berdasarkan prinsip sebagaimana tertuang dalam UU Nomor 14 tahun 2005 sebagai berikut : a. Memiliki bakat, minat, panggilan jiwa, dan idealisme; b. Memiliki komitmen untuk meningkatkan mutu pendidikan, keimanan, ketaqwaan, dan akhlak mulia; c. Memiliki kualifikasi akademik, dan latar belakang pendidikan sesuai dengan bidang tugas; d. Memiliki kompetensi yang diperlukan sesuai dengan bidang tugas; e. Memiliki tanggungjawab atas pelaksanaan tugas keprofesionalan; f. Memperoleh penghasilan yang ditentukan sesuai dengan prestasi kerja; g. Memiliki kesempatan untuk mengembangkan keprofesionalan secara berkelanjutan dengan belajar sepanjang hayat; h. Memiliki jaminan perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas keprofesionalan ; dan memiliki organisasi profesi yang mempunyai kewenangan mengatur hal-hal yang berkaitan dengan tugas keprofesionalan guru.

Menyikapi hal ini, pemerintah tidak tinggal diam. Upaya-upaya untuk meningkatkan kesejahteraan guru telah dan terus dilakukan sejalan dengan UU No. 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen. Dalam Undang – Undang tersebut dinyatakan adanya tunjangan guru sebagai profesi yang merupakan angin segar bagi masyarakat guru, meskipun harus melalui sertifikasi terlebih dahulu. Secara praktis, Undang – Undang tersebut mendudukkan hak dan kewajiban secara seimbang. Strategi yang dilakukan untuk meningkatkan kualitas dan profesionalisme guru antara lain sebagai berikut : 1.

Sertifikasi

Sebagai bentuk komitmen pemerintah untuk melaksanakan Undang- Undang Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen. Adalah dengan

Dengan kata lain, guru yang professional wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, 167


Vol. 8. No. 2, Juni 2011

Jurnal INOVASI - Balitbang Provsu

melaksanakan sertifikasi. Sertifikasi semacam ‘ujian nasional. Bagi semua guru dari tingkat SD sampai SMA. ‘UN’ guru ini digunakan sebagai langkah pemetaan terhadap kompetensi guru secara nasional. Program ini juga penting sebagai upaya melihat seberapa jauh persebaran guru yang benarbenar kompeten di bidangnya.

sertifikasi adalah untuk memperoleh guru yang handal dan professional. Karena mereka menganggap ini suatu kesempatan, mereka menjadi lupa saat menyeleksi atau memilih assessor. Assessor yang dipilih bukan semata-mata berdasarkan kemampuan, profesionalisme dan kompetensi, melainkan didasarkan pada like and dislike. Jika hal ini terjadi, maka praktik KKN pun akan muncul dan tak dapat dihindari, dan kualitas assessornya patut dipertanyakan.

Kebijakan pemerintah tentang sertifikasi guru sebagai implementasi UU 14/2005 tentang Guru dan Dosen sesungguhnya merupakan hal yang sangat strategis untuk meningkatkan kompetensi dan sekaligur kesejahteraan guru. Namun sayangnya, kebijakan tersebut terkesan terlalu akomodatif terhadap tarik ulur kepentingan politis. Semestinya kebijakan tersebut harus benar-benar diarahkan pada upaya menjaring bibit-bibit guru professional, bukan sekedar untuk ‘balas budi’ terhadap lamanya pengabdian para ‘guru senior’. Meskipun telah dibuat seperangkat aturan tentang sertifikasi, pelaksanaannya di lapangan masih menyisakan berbagai masalah. Terdapat 3 masalah mendasar dan krusial yang terjadi selama ini, yaitu : a.

c.

Masalah krusial berikutnya adalah saat penilaian portofolio dilakukan. Rambu-rambu sudah ditetapkan (meskipun belum sempurna), tetapi pelaksanaannya seringkali menyimpang dari ramburambu tersebut. Hal ini terjadi apabila baik assessor maupun yang dinilai (guru) tidak memiliki sikap dan perilaku yang baik. Assessor mencoba meluluskan seorang guru yang sebenarnya belum memenuhi syarat karena ada hubungan dengan guru saudara, teman, atau bahkan sahabat akrab. Atau sebaliknya , guru merasa ada kedekatan dengan assessor sehingga dia berani dengan berbagai cara mendekati dan meminta assessor agarmeluluskannya. Jika praktik-praktik semacam ini terjadi, maka mereka telah melakukan “pembohongan publik”, yang berdampak pada kualitas pendidikan kita.

Penentuan Guru untuk Mengikuti Sertifikasi

Meskipun pemerintah telah merencanakan sertifikasi guru secara keseluruhan, ada beberapa pentahapan pelaksanaan sertifikasi yang dibarengi dengan jumlah kuota dari tahap ke tahap, sehingga perlu ada penentuan siapa yang mengikuti serifikasi terlebih dahulu dan siapa yang kemudian. Dalam pelaksanaan sertifikasi diharapkan guru telah memiliki masa kerja lebih dari 20 tahun dan telah berpendidikan S-1 dan memenuhi persyaratan lainnya diberi kesempatan terlebih dahulu.Tetapi apa yang terjadi, karena jumlah kuotanya terbatas maka terjadilah saling rebut, saling mendahului sehingga praktik Kolusi, Nepotisme, dan bahkan Korupsi tak dapat dihindari. Budaya semacam ini muncul dari guru yang ingin segera mengikuti sertifikasi karena adanya tunjangan profesi, maupun dari penyelenggara sertifikasi yang karena alas an tertentu mereka melakukan itu. Sehingga ada guru yang protes karena sudah memiliki pengalaman mengajar lebih lama dan berpendidikan S-1 tidak diikutkan sertifikasi, tetapi ada guru yang baru saja diangkat (masih CPNS) sudah bisa mengikuti sertifikasi ? Pertanyaan yang muncul adalah bagaimana hal ini bias terjadi ? Siapakah yang menjadi biang keladinya ? b.

Proses Penilaian Portofolio

d.

Tantangan bagi Guru Bersertifikat

Memperoleh sertifikat janganlah semata-mata diartikan dengan memperoleh tunjangan profesi. Tetapi yang lebih penting adalah bagaimana memaknai sertifikat yang diperoleh dengan peningkatan kualitas atau kinerja mereka sebagai guru yang kompeten dan professional. Guru yang sudah bersertifikat jangan seenaknya saja bekerja karena merasa sudah mendapatkan sertifikat dan tunjangannya. Justru karena sudah mendapat sertifikat inilah mereka harus lebih meningkat kinerjanya dan mampu memotivasi teman – teman lainnya agar lebih baik. e.

Pengawasan dalam Pelaksanaan Sertifikasi

Sertifikasi guru memiliki tujuan yang sangat mulia, yaitu untuk meningkatkan kualitas guru dan sekaligus memberikan kesejahteraan yang lebihbaik kepada mereka. Hal ini sejalan dengan Deklarasi E9 untuk Mutu dan Kesejahteraan Guru yang diikuti oleh sembilan menteri-menteri pendidikan dari negara berpenduduk terbesar di dunia, termasuk Indonesia, yang dilaksanakan di Bali tanggal 10 – 12 Maret 2008. Salah satu poin penting dalam deklarasi tersebut adalah perlunya peningkatan kualitas guru.

Penentuan Assessor

Masalah krusial ke dua saat penentuan Assessor oleh institusi yang diberi kepercayaan untuk melakukan uji sertifikasi guru. Ada institusi yang menganggap kegiatan sertifikasi adalah suatu kegiatan yang “menguntungkan” karena dapat mendapatkan uang, dan lupa bahwa tujuan utama 168


Vol. 8. No. 2, Juni 2011

Jurnal INOVASI - Balitbang Provsu

Namun demikian, dalam pelaksanaan sertifikasi guru perlu adanya pengawasan. Jika tidak, dikhawatirkan akan terjadi praktik-praktik yang tidak seharusnya dilakukan seperti KKN yang dilakukan antara institusi yang diberi kewenangan untukmelakukan uji sertifikasi dengan para guru yang berkeinginan sekali ubtuk lulus dan mendapat sertifikat pendidik. Oleh karena itu, baik pemerintah, masyarakat, dan organisasi profesi pendidik harus saling bersinergi dan bekerja keras untuk mengawasi dan memantau pelaksanaan sertifikasi sehingga benar-benar dapat dilaksanakan sesuai dengan harapan. Jika diperlukan, bisa dibentuk lembaga pemantau dan pengawas independent pelaksanaan sertifikasi guru. 2.

pendidikan di Finlandia. Ketersediaan guru yang kompeten lah sebenarnya yang merupakan kunci sukses pendidikan di negara tersebut. Simola (2005) mensinyalir bahwa program keguruan di Finlandia termasuk jurasan paling diminati oleh para lulusan terbaik di SMA, sehingga wajar jika kebanyakan guru Finlandia merupakan bibit unggul yang berkualitas. 4. Restrukturisasi Lembaga-lembaga Keguruan Pemerintah perlu melakukan restrukturisasi menyeluruh terhadap lembaga-lembaga keguruan di tanah air, terutama dari segi rekrutmen mahasiswanya, sehingga jaminan kualitasnya semakin unggul dan bisa dipertanggungjawabkan. Kebijakan – kebijakan strategis di atasnya seharusnya menjadi pijakan pemerintah dalam usaha meningkatkan mutu pendidikan nasional. Meskipun strategi-strategi itu hasilnya tidak bisa langsung kelihatan, tapi itu akan lebih efektif daripada strategi penerapan kebijakan UN yang terkesan hanya mengambil jalan pintas peningkatan mutu pendidikan yang hasilnya pun masih diragukan banyak pihak.

Perlunya Kebijakan Persebaran Guru – Guru Berkualitas.

Selama ini guru-guru berkualitas banyak tersebar di sekolah-sekolah favorit (effective schools) di perkotaan. Hal ini wajar karena mereka melihat jaminan baik dari sisi ekonomi maupun karier yang lebih menjanjikan di sekolah – sekolah itu. Hal inilah sebenarnya yang melahirkan kesenjangan kualitas pendidikan antara urban schools dengan rural schools.

5.

Oleh karena itu, sudah saatnya pemerintah membuat kebijakan yang menguntungkan sekolah-sekolah di daerah terpencil berupa kebijakan perebaran guruguru berkualitas. Hal ini bias dilakukan dengan cara memberikan daya tarik yang lebih kepada mereka yang mengajar di sekolah – sekolah pinggiran tersebut, misalnya dengan ditambahkannya insentif perumahan dan fasilitas pendukung lainnya. Pola pembinaan karir terutama guru-guru PNS bisa diarahkan pada kebijakan ini. Dalam hal ini, ada baiknya kita mengadopsi system pembinaan karier model militer, di mana kader-kader terbaik harus ditempa terlebih dahulu di daerah – daerah yang penuh tantangan yang tidak mudah (contexts of stringency). 3.

Kesejahteraan Guru

Salah satu strategi yang diterapkan oleh pemerintah untuk meningkatkan kualitas dan kompetensi guru adalah melalui sertifikasi guru sebagaimana tertuang dalam Undang – Undang Nomor 14 tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen. Bagi mereka yang memenuhi syarat dan lulus sertifikasi akan diberi tunjangan profesi sebagai pendidik, tunjangan fungsional, dan tunjangan – tunjangan lainnya. Strategi ini diyakini sebagai salah satu strategi yang “adil” karena antara hak dan kewajiban disejajarkan; penerimaan kesejahteraan harus diimbangi dengan profesionalisme. Pemberian tunjangan bagi guru yang telah lulus uji sertifikasi secara formal baru diberikan mulai tahun 2007, meskipun sertifikasi sendiri telah dilakukan mulai tahun 2006.

Perlunya Pencarian Bibit Unggul dalam Profesi Keguruan

Dengan adanya kesejahteraan/tunjangan ini diharapkan kualitas mengajar dan kinerja guru secara keseluruhan semakin meningkat. Masalah kualitas dan kesejahteraan guru sebenarnya bukan hanya masalah Indonesia saja; hampir sebagian besar negara di Asia Tenggara mengalami hal serupa. Learning round-table on Advenced Teacher Professinalism yang diselenggarakan di Bangkok;Thailand, 13 – 14 Juni 2005 memunculkan beberapa isu terkait dengan Teachers` motivation and Incentives antara lain sebagai berikut : b. Tuntutan agar guru lebih profesional perlu dimbangi dengan insentive yang memadai, apalah artinya guru berjuang sepenuh hati

Hal ini bisa dilakukan dengan cara meningkatkan pengakuan dan penghasilan yang lebih kompetitif bagi profesi guru, sehingga hal ini bisa memikat para lulusan terbaik dari SMA untuk melanjutkan ke program keguruan. Hal tersebut dapat dilihat dari keberhasilan pendidikan di Finlandia, yang berdasarkan laopran PISA 2000 dan 2003 menempatkan negara welfare state itu pada ranking pertama dalam hal ketercapaian kompetensi aplikatif siswa berumur 15 tahun di bidang literasi dan numerasi. Justru faktor inovasi kurikulum, sebagaimana dikatakan Simola (2005), tidak berperan signifikan dalam menunjang keberhasilan 169


Vol. 8. No. 2, Juni 2011

c.

d.

e.

6.

Jurnal INOVASI - Balitbang Provsu

untuk menjadi profesional, apabila insentive yang mereka terima tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka, apabila untuk pengembangan profesionalisme mereka. Oleh karena itu, perlu ada standar insentive sebagai penyeimbang tuntutan profesionalisme guru. Dengan insentive yang memadai, guru akan dapat mencurahkan perhatiannyadan lebih termotivasi untuk menjadi guru yang profesional. Di samping itu, dengan insentive yang memadai, guru merasa aman secara ekonomi dalam hidupnya, sehingga dapat menumbuhkan rasa bangga terhadap profesi mereka. Pemberian insentive sesuai dengan standar, perlu didasari oleh hasil evaluasi terhadap kapasitas, profesionalisme dan kinerja guru. Oleh karena itu diperlukan standar evaluasi guru yang dapat digunakan sebagai dasar pemberian reward and punisment. Salah satu negara yang telah menerapkan reward system adalah Brunai darussalam. Hasil evaluasi guru, sangat menetukan dinaikkan atau tidaknya insentive mereka, dan besar atau kecilnya insentive yang mereka terima. Di samping insentive dalam bentuk uang, dapat pula diberikan dalam bentuk penghargaan dan pemberian kesempatan untuk meningkatkan profesionalisme guru, misalnya dengan mengirim mereka menikuti pelatihan atau training peningkatan profesionalisme guru (metodologi pembelajaran, teknik penilaian, dll). Perlunya collaborative research untuk memperoleh data aktual yang dapat digunakan sebagai dasar evaluasi dan pemberian incentive bagi guru, sekolah dan stakeholders pendidikan lainnya untuk meningkatkan profesionalisme dan kinerja masing-masing.

pemerintah daerah, dan/atau masyarakat. Penghargaan kepada guru dapat diberikan dalam bentuk tanda jasa, kenaikan pangkat istimewa, finansial, piagam, dan/atau bentuk penghargaan lain (UU Nomor 15 tahun 2005 bagian ke enam pasal 36 dan 37).

KESIMPULAN Penjaminan mutu pendidikan di Indonesia dapat dilakukan melalui peningkatan kualitas guru melalui sertifikasi guru juga harus dimbangi dengan kualitas mengajar, profesionalisme, dan kinerja yang lebih baik. Dalam upaya untuk mewujudkan peningkatan kualitas guru tersebut, pemerintah telah bertekad bulat mengupayakan kesejahteraan atau tunjangan guru dengan pengalokasian dana melalui APBN sejak tahun 2006, dan diharapkan dalam beberapa tahun ke depan masalah tunjangan guru dapat diselesaikan. Agar upaya ini dapat terlaksana dengan baik, perlu adanya dukungan dan kerjasama sinergis antar berbagai pemangku kepentingan terkait, termasuk Lembaga Pendidikan dan Tenaga Kependidikan (LPTK).

REKOMENDASI LPTK sebagai lembaga yang bertanggung jawab atas kualitas dan mutu para guru di Indonesia, diharapkan mampu sebagai bengkel pendidikan dan berperan lebih aktif serta maju di garis depan, dengan memberikan masukan, pemikiran, dan melakukan terobosan – terobosan baru yang dapat mensejahterakan guru dan tidak selalu bergantung kepada pemerintah. LPTK dapat bekerjasama dengan lembaga-lembaga terkait seperti LPMP dalam mengupayakan agar para guru dan lembagalembaga sejenisnya dapat mencontoh LPTK dan persatuan (Teacher Union) negara-negara lain, seperti Australia, yang senantiasa berada di garis depan mencari terobosan dan strategi untuk meningkatkan dan memperjuangankan peningkatan kualitas dan sekaligus kesejahteraan guru tanpa harus bergantung sepenuhnya pada pemerintah.

Beasiswa

Beasiswa ini merupakan salah satu rangsangan bagi guru, sehingga mereka dapat melanjutkan pendidikan dan memperluas wawasan. Hal tersebut sudah diatur dalam UU Nomor 15 Tahun 2005 pasal 15, bahwa guru akan memperoleh hak maslahat tambahan. Dengan demikian, pemerintah dan/atau pemerintah daerah menjamin terwujudnya maslahat tambahan sebagaimana dimaksud pasal tersebut. 7.

DAFTAR PUSTAKA Baedhowi dan Hartoyo, 2005. Laporan 2005 Learning Round-table on Advanced Teacher Profesionalism. Bangkok, Thailand 13 – 14 Juni 2005.

Penghargaan

Csikszentmihalyi, M dan Mc Cormack, J. The Influence of Teachers, dalam Kevin Ryan dan James M. Cooper (Eds), 2004. Kaleidoscope; Readings in Education. New York: Houghton Miffin Company.

Penghargaan tersebut diperuntukkan pada guru yang berprestasi, berdedikasi luar biasa, dan/atau bertugas di daerah khusus berhak memperoleh penghargaan. Demikian juga guru yang gugur dalam melaksanakan tugas di daerah khusus memperoleh penghargaan dari pemerintah,

Davies, B. dan Ellison, L., 1992. School Development Planning. Harlow: Longman Group U.K. Ltd. 170


Vol. 8. No. 2, Juni 2011

Jurnal INOVASI - Balitbang Provsu

-------------, 2008. Deklarasi E-9 Untuk Mutu dan Kesejahteraan Guru. Bali 10 – 12 Maret 2008. Hartoyo, 2007. Supervisi Pendidikan ; Mewujudkan Sekolah Efektif dalam Kerangka Manajemen Berbasis Sekolah. Semarang: Penerbit Pelita Insani. http://www.sebi.ac.id/index.php/Itemid=37& id=264&option=com content&task=view http://www.cyberschooldps.net. Langford, D.P. dan Cleary B.A, 1996. Orchestrating Learning With Quality. Kuala Lumpur : Synergy Books International. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen.

171


Vol. 8. No. 2, Juni 2011

Jurnal INOVASI - Balitbang Provsu

Pendidikan Karakter (Dalam Tinjauan Antropologi Budaya) (Character Education, an Anthropology Perspective) Supsiloani1) dan Dedi Andriansyah1) 1)

Universitas Negeri Medan Jl. William Iskandar, Psr V Medan Estate-Medan Email : Nobeluffy@yahoo.com Naskah masuk : 21 Februari 2011; Naskah diterima :4 Mei 2011

ABSTRAK Pendidikan inteligensi kian tahun semakin ditingkatkan. Hal ini terlihat dari Standart kelulusan dalam Ujian Akhir Nasional yang terus ditingkatkan. Sementara krisis moral juga semakin meningkat. Hal ini menjadi sebuah kepincangan dalam dunia pendidikan. Dimana pendidikan karakter yang seharusnya mampu meminimalisir krisis moral ini malah tidak mendapatkan perhatian. Pendidikan karakter sebenarnya telah dilakukan oleh para nenek moyang kita terdahulu dan telah diwariskan secara turun temurun yang disebut dengan Folklore. Sebuah warisan budaya berbentuk lisan, tulisan, maupun gerak ini mampu memberikan penanaman moral dan pendidikan karakter (kepribadian) dengan sangat mudah dipahami anak (peseta didik) dan dengan pendekatan kekeluargaan. Metode folklore yang telah dilakukan nenek moyang kita terdahulu ini dapat kita aplikasikan kembali pada pendidikan karakter (kepribadian) pada saat sekarang ini. Yakni pendidikan karakter (kepribadian) yang berbasis budaya. Kata kunci : Pendidikan karakter, pendidikan, karakter.

ABSTRACT Intelligence is becoming more and more years of education increased. This can be seen from passing the Final Examination Standards National continues to be improved. While the moral crisis is also increasing. This became an imbalance in education. Where character education is supposed to be able to minimize this moral crisis is not even getting attention. Character education has actually been done by our ancestors past and has been inherited from generation to generation is called Folklore. A cultural heritage of verbal, written, and the motion is capable of providing moral education and cultivation of character (personality) very easy to understand the child (learner) and with a family approach. Methods of folklore which our ancestors have done this earlier we can apply back on the education of character (personality) in the present. Namely educational character (personality) that culture-based. Keywords : Character education, education, character.

bahwa tujuan pendidikan Nasional adalah mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis dan bertanggung jawab.

PENDAHULUAN Pendidikan adalah hal yang paling mendasar dan sangat berperan penting dalam pengembangan diri setiap individu. Berkat pendidikan manusia mampu mengetahui hal-hal yang sebelumnya tidak pernah ia ketahui. Mengetahui kegunaan suatu benda, menjumlahkan angka-angka, mengenal sikap yang baik dilakukan dan yang tidak baik dilakukan, serta berkat pendidikan manusia mampu menciptakan ilmu-ilmu baru yang lainnya.

Dalam tujuan pendidikan nasional yang tertera ini kita dapat menyimpulkan bahwa, pendidikan Nasional menginginkan agar pendidikan itu sejatinya mampu membentuk peserta didik yang tidak hanya menjadi individu yang cerdas dalam inteligensi saja, akan tetapi juga cerdas dalam sikap maupun kepribadian. Namun pada saat sekarang ini kita dapat melihat bahwa aplikasinya tidaklah

Hal ini sesuai dengan tujuan dari pendidikan itu sendiri. Dalam Bab II pasal 3 RI No.20 Tahun 2003 tentang system pendidikan Nasional dijelaskan 172


Vol. 8. No. 2, Juni 2011

Jurnal INOVASI - Balitbang Provsu

sesuai dengan tujuan pendidikan sebenarnya. Pendidikan inteligensi lebih diutamakan dan pendidikan yang mengajarkan sikap, moral, nilainilai dan kepribadian belum mendapatkan apresiasi yang maksimal, (Latief,). Hal ini terlihat dengan dilakukannya Standard Kelulusan dalam Ujian Akhir Nasional (UAN) yang setiap tahunnya semakin meningkat. Lamanya pendidikan disekolah yang ditempuh hanyalah tergantung pada beberapa mata pelajaran yang menjadi ketetapan untuk Ujian Akhir Nasional.

yang lebih aktif kepada si anak. Maka dari itu, kedua hal ini haruslah mampu diseimbangkan oleh individu yang menjadi pemberi stimulus-stimulus ini yakni para pendidik (guru). Akan tetapi kita harus mengakui bahwa masih banyak kelemahan para pendidik dalam menyeimbangkan kedua konsep ini. Hal ini dapat terlihat banyak metode mendidik yang tidak tepat yang dilakukan oleh pendidik. Salah satunya dengan metode mendidik suatu ilmu dengan hanya menyuruh para peserta didiknya untuk mencatat materi saja dan kemudian sangat sedikit waktu dalam mejelaskan isi materi tersebut. Bahkan terkadang pendidik mengajarkan sesuatu ilmu hanya dengan menyuruh sipeserta didik untuk mencari informasi dan data yang terkait dengan materi diberbagai buku-buku, Dengan dalih mengajarkan kemandirian terhadap peserta didik (anak).

Ini menjadi sebuah dinamika yang tengah dihadapi oleh pendidikan di Indonesia. Demi meningkatkan kualitas inteligensi peserta didik (anak), pemerintah telah mengabaikan pendidikan yang memupuk kepribadian si peserta didik. Tidak heran jikalau tawuran antar pelajar sering terjadi dan tindakan kenakalan remaja juga terus meningkat. Bahkan dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) dibeberapa kota besar di Indonesia seperti Jabotabek, Surabaya, Bandung, dan Medan pada tahun 2005 menunjukkan bahwa data remaja yang pernah melakukan free sex telah mencapai 50% dan melakukan aborsi sebanyak 21%, Dan ini dilakukan pada umur 13 hingga 18 tahun, (PKBI,Rakyat Merdeka, 24 Desember 2006).

Padahal yang sangat diharapkan oleh pendidikan itu sendiri adalah bimbingan siguru dalam memberikan mereka ilmu-ilmu dan keterampilan. Karena pada dasarnya Pendidikan berfungsi untuk membantu anak dalam mengembangkan dirinya. Yaitu pengembangan dalam keseluruhan potensinya, kecakapan yang dimiliki serta karakteristik pribadinya kearah positif, baik bagi dirinya maupun lingkungannya. Namun, pada saat ini para pendidik lebih menguatkan untuk “memberikan” daripada membimbing.

Sebuah data yang menunjukkan betapa menyedihkannya kondisi moral pada generasi muda diIndonesia. Hal ini tentunya bisa menjadi pertimbangan seluruh lapisan masyarakat dan pemerintahan untuk lebih meningkatkan kualitas pribadi para warganya dengan memberikan perhatian yang lebih pada pendidikan karakter (kepribadian ) para pelajar di sekolah.

Bimbingan merupakan upaya atau tindakan pendidikan yang lebih terfokus pada membantu pengembangan domain afektif, seperti pengembangan nilai, sikap, motivasi, emosi, apresiasi dan lain-lain. Hal ini sangatlah berperan penting dalam pengembangan anak. Barangkali hal inilah yang menjadi penyebab mengapa negara kita mampu menghasilkan anak-anak berprestasi yang mampu bersaing pada tingkat internasional, seperti contoh beberapa anak yang mampu memenangkan olimpiade sains. Namun tingkat kenakalan remaja, perkelahian maupun tawuran yang dilakukan antar pelajar juga terus semakin meningkat. Konsep “memberikan” dan konsep “membimbing” tidak dilakukan oleh para guru dengan seimbang, sehingga negara kita mampu menghasilkan anakanak yang memiliki tingkat inteligensi yang tinggi namun tidak dibarengi dengan tingkat pengembangan kepribadiannya.

PENGERTIAN PENDIDIKAN Pendidikan disebut juga pedagogik, yang merupakan pengertian dari bahasa Inggris pedagogics. Pedagogics sendiri berasal dari kata Yunani “pais” yang artinya “anak” dan “agogos” yang artinya membimbing. Dengan demikian secara luasnya pendidikan mengandung pengertian “bimbingan yang diberikan kepada anak”. Pendidikan sendiri pada dasarnya merupakan interaksi antara pendidik dengan sipeserta didik ataupun sianak yakni untuk mencapai tujuan pendidikan yang diinginkan didalam sebuah lingkungan tertentu. Pendidikan sangat terkait dengan nilai-nilai, karena kata “Mendidik” memiliki arti yakni “memberikan, menanamkan, membimbing dan menumbuhkan, nilai-nilai pada si anak (Syaodih).

Barangkali inilah tugas rumah pendidikan di Indonesia. Perhatian tidak hanya terpaku pada peningkatan inteligensi anak saja, seperti contoh terus menaikkan nilai standar kelulusan Ujian Nasional untuk para siswa disekolah namun juga mampu menyeimbangkan dengan tingkat pengembangan karakternya. Standar kelulusan yang sampai pada hari ini masih ditanggapi pro dan

Memang benar, kata “memberikan” dan “menanamkan” nilai, lebih menunjukkan anak dalam posisi pasif, sedangkan kata “membimbing” dan “menumbuhkan” nilai memberikan peranan 173


Vol. 8. No. 2, Juni 2011

Jurnal INOVASI - Balitbang Provsu

kontra oleh masyarakat di Indonesia (Analisa, 2 Mei 2009).

Sedangkan menurut Allport (Meutia : 2008), “kepribadian adalah organisasi dinamis dalam diri individu yang terdiri dari system psiko-fisik yang menentukan cara penyesuaian diri yang unik (khusus) dari individu tersebut terhadap lingkungannya�. Allport sendiri lebih memandang bahwa kepribadian adalah sebuah strukutur yang bukanlah bersifat statis (tetap,) tetapi juga dapat berubah tergantung dari pengalaman yang individu tersebut dapatkan. Pengalaman yang bersifat umum serta pengalaman yang bersifat khusus.

Menteri Pendidikan bahkan mengatakan bahwa Indonesia akan mengejar target seperti yang sudah dilakukan oleh Thailand yang sudah membuat standar nilainya hingga nilai tujuh. Pemikiran ini memanglah sangat baik, hanya saja apabila pemerintah terus-terusan mengabaikan bimbingan terhadap perkembangan karakter anak, dan lebih mengedepankan tingakat inteligensi anak maka hal ini akan menjadi sebuah kepincangan terhadap pendidikan itu sendiri. Sehingga pada akhirnya tingkat perkembangan karakter anak akan berbanding terbalik dengan tingkat inteligensi yang terus akan meningkat.

Pengalaman umum yaitu yang dialami oleh tiap-tiap individu dalam pola-pola kebudayaan tertentu. Pengaruh pola-pola kebudayaan terhadap seseorang tidaklah sama karena medianya ( orangtua, saudara, lingkungan,dan lain-lainnya ) tidaklah sama pula pada setiap individu. Setiap orangtua memiliki kebudayaan yang berbeda dalam memberikan pengajaran. Berbeda cara, berbeda pandangan, serta berbeda prinsip. Begitu pula dengan lingkungan. Kebudayaan yang dihasilkan dari masing-masing lingkungan yang berbeda juga akan memberikan perbedaan pengaruh baik pada psiko dan fisik individu tersebut. Sebagai contoh kepribadian pada etnik Batak yang berada pada lingkungan pegunungan akan berbeda dengan etnik Batak yang bertempat tinggal didaerah pesisir (Simanjuntak).

Tawuran pelajar, Free sex serta tindakan-tindakan kenakalan remaja lainnya akan semakin tidak terkendalikan lagi dan pengaruh-pengaruhnya akan dengan mudah menggerogoti kepribadian si anak, karena didalam diri pribadi-pribadi individu ini sudah sangat berkurang bimbingan yang mampu memfilterisasi diri mereka dari hal-hal negative ini. Begitu banyak kasus yang sudah menunjukkan kepincangan pendidikan ini dikarenakan kurangnya perhatian terhadap perkembangan karakter anak. Salah satunya sebagai contoh beredarnya video mesum yang dilakukan oleh para pelajar tingkat Sekolah Menengah Atas di banyuwangi. Selain itu Komnas Perlindungan Anak pada tahun 2008 memaparkan data bahwa free sex yang dilakukan oleh remaja SMP dan SMA, dari hasil data 97% dikarenakan pernah menonton film porno,(Waspada,2 Oktober 2008).

Sedangkan pengalaman khusus yaitu yang memang khusus dialami individu sendiri. Pengalaman ini tidak tergantung pada status dan peranan orang yang bersangkutan dalam masyarakat. Seperti contoh pengalaman seseorang terhadap pekerjaan yang pernah dia lakukan. Setiap individu memiliki kepribadian yang sangat berbeda dan khas. Bahkan karena begitu berbedanya, sehingga menghasilkan kharakteristik dan keunikan yang berbeda-beda pula. Maka dari itu, kepribadian menjadi sebuah konsep yang sukar dimengerti didalam ilmu psikologi, sehingga banyak sekali defenisi kepribadian dari berbagai ahli yang berbeda tergantung sudut pandang mereka masing-masing (Ahmadi).

PENGERTIAN KARAKTER (KEPRIBADIAN) Istilah karakter sudah sangat sering kita dengar sehari-hari. Karakter secara terminology memiliki arti watak, sikap kepribadian dan tindakan emosional individu (Kamus Bahasa Indonesia ). Didalam disIplin ilmu Antropologi dan Psikologi, istilah karakter lebih dikenal dengan istilah kepribadian.

Maka dari itu, untuk membimbing kepribadian ini menjadi sebuah karakter yang khas namun pada arah yang baik sangat diperlukan apa yang dinamakan dengan Pendidikan Kepribadian. Pendidikan ini sangatlah penting dalam dunia pendidikan, hal ini guna memahami sebuah kepribadian seseorang kemudian kita mampu memilih metode yang tepat dalam membimbing dan mengarahkannya. Terutama pada peserta didik yang dalam hal ini kita memfokuskan pada anak-anak. Sebelum kita melakukan bimbingan, sebaiknya kita harus mengetahui fase-fase perkembangan anak. Hal ini dikarenakan perbedaan dari masing-masing fase ini akan memudahkan kita untuk mengetahui metode dan cara yang tepat dalam membimbng dan

Morton (Meutia : 2008) menjelaskan bahwa “Kepribadian adalah kumpulan pembawaan biologis berupa dorongan, kecenderungan, selera, dan instink yang dicampuri dengan sifat dan kecenderungan yang didapat melalui pengalaman yang terdapat pada diri seseorang�. Morton dalam definisinya lebih melihat pada factor pembawaan biologis yang dimiliki oleh setiap individu yang pastinya juga akan mempengaruhi karakter ataupun kepribadian dirinya. Hal ini tidaklah salah, karena didalam ilmu psikologi hal ini dikatakan sebagai factor endogen yakni sifat yang dibawa oleh individu dari kandungan hingga kelahiran.

174


Vol. 8. No. 2, Juni 2011

Jurnal INOVASI - Balitbang Provsu

melakukan pendidikan kepribadian kepada si anak. Papalia dan Old ( Reni : 2001 ) membagi masa kanak-kanak dalam lima tahap : 1. Masa Prenatal, yaitu diawali dari masa konsepsi sampai masa lahir. 2. Masa bayi dan tatih, yaitu saat usia 18 bulan pertama kehidupan, merupakan masa bayi. Diatas usia 18 bulan sampai dengan tiga tahun merupakan masa tatih. Saat tatih inilah, anakanak menuju pada penguasaan bahasa dan motorik serta kemandirian. 3. Masa kanak-kanak pertama, yaitu rentang usia 3-5 tahun. 4. Masa kanak-kanak kedua, yaitu usia 5-12 tahun, dikenal sebagai masa pra sekolah dan masa sekolah. Anak-anak telah mampu menerima pendidikan formal dan menyerap berbagai hal yang ada dilingkungannya. 5. Masa remaja, yaitu rentang usia 12-18 tahun. Saat anak mencari identitas dirinya dan banyak menghabiskan waktunya dengan teman sebayanya serta berupaya lepas dari lingkungan orang tua.

Cairan badan yang dominan

Sanguis

Prinsip

Tipe

Tegangan (tension)

Choleris

Melanchole

Penegaran ( rigidity)

Melanholis

Phlegma

Plastisitas

Phlegmatis

Ekspansivitas

Tipe

Sanguinis

Sifat-sifat khasnya mudah dipengaruhi, setia Hidup, mudah berganti haluan, ramah, lekas bertindak tapi juga lekas berhenti

PENDIDIKAN KARAKTER (KEPRIBADIAN) DALAM KAJIAN ANTROPOLOGI BUDAYA Pendidikan kepribadian sendiri sebenarnya sudah lama diterapkan oleh banyak etnik-etnik yang terdapat di Indonesia. Penanaman nilai-nilai moral untuk pendidikan kepribadian telah terlihat dari begitu kayanya etnik-etnik di Indonesia akan kebudaayaan yang dimilikinya dan diwariskan secara turun temurun baik yang bersifat lisan maupun tulisan. Didalam Antropologi budaya, pendidikan kepribadian yang dilakukan oleh para leluhur tersebut dinamakan dengan Folklor.

Menurut Papalia dan Old, (Hawadi : 2001), masa kanak-kanak kedua adalah masa yang paling tepat dalam memberikan bimbingan yang berfokus pada kepribadian anak. Karena pada fase ini anak sangat rentan dalam menerima pemahaman akan kebenaran suatu yang baik dan suatu yang tidak baik. Hal ini juga dibenarkan oleh Freud. Menurut Freud, (Meutia : 2008) perkembangan kepribadian seseorang sudah terbentuk pada akhir tahun kelima umurnya dan perkembangan selanjutnya sebahagian besar hanya penghalusan dan penambahan strukutur dasar yang sudah terbentuk (Meutia). Walaupun memang tidak dapat kita pungkiri bahwa anak sendiri memiliki sifat khas yang sudah dibawanya. Maka selain harus memahami fase perkembangan anak, kita juga harus memahami sifat khas yang ada pada diri anak ini. Seperti yang dikemukakan dalam teorinya Hypocrates dan Galenus tentang tipologi sifat kgas yang telah dibawa oleh anak, yakni : Cairan badan yang dominan Chole

Prinsip

Folklor adalah pengindonesiaan kata inggris folklore. Menurut Dundes, (Danandjaja : 1984 ) folklore adalah bahagian dari kebudayaan yang tersebar dan diwariskan secara turun-temurun. Baik dalam bentuk lisan ataupun contoh yang disertai dengan gerak isyarat. Jan Harold Barunvand seorang ahli folklore dari Amerika menjelaskan bahwa folklore di Indonesia tergolongkan dalam tiga kelompok yaitu : 1. Folklore lisan adalah folklore yang bentuknya memang murni Lisan. Bentuk-bentuk ( genre ) folklore yang termasuk kedalam kelompok besar ini antara lain adalah a. Bahasa rakyat seperti logat, julukan, pangkat tradisional, dan title kebangsawanan b. Ungkapan tradisional seperti pribahasa, dan pepatah c. Pertanyaan tradisional seperti teka-teki, d. Puisi rakyat seperti pantun, gurindam dan syair e. Cerita prosa rakyat seperti mitos, legenda, dan dongeng f. Nyanyian rakyat 2. Folklore sebagai lisan Adalah bentuknya merupakan campuran unsure lisan dan unsure bukan lisan. Kepercayaan rakyat, misalnya yang oleh orang “moderen� seringkali disebut dengan takhayul. Bentukbentuk folklore yang tergolong dalam kelompok ini selain kepercayaan rakyat adalah permainan rakyat, teater rakyat, tari rakyat, pesta rakyat dan lain-lain.

Sifat-sifat khasnya Hidup,besar semangat, keras, daya juang besar, hatinya mudah terbakar, optimis Mudah kecewa, daya juang kecil, muram, pesimis Tak suka terburu (calm, tenang) tak

175


Vol. 8. No. 2, Juni 2011

3.

Jurnal INOVASI - Balitbang Provsu

Folklore bukan lisan Adalah folklore yang bentuknya bukan lisan, walaupun demikian cara pembuatannya diajarkan lisan dan memiliki makna. Dalam kelompok ini banyak tergolong material. Contohnya adalah rumah adapt, pakaian adapt, makanan dan minuman rakyat, obat-obatan tradisional, dan bunyi isyarat untuk komunikasi rakyat.

KESIMPULAN Pendidikan adalah hal yang paling terpenting didalam kehidupan. Kita dapat mengetahui begitu banyak ilmu pengetahuan dari pendidikan. Kita hendaknya dapat terus mengingat bahwa makna kata pendidikan dan tujuan pendidikan tidak hanya sebatas peningkatan kualitas logika ( inteliensi ) saja, akan tetapi juga dalam peningkatan kualitas dari karakter ( kepribadian ) individu tersebut. Sehingga pendidikan pada akhirnya dapat berjalan dengan seimbang, tidak ada lagi terdapat kepincangan didalamnya. Dimana kita lihat pada saat sekarang ini perhatian pendidikan lebih terfokus pada peningkatan intelektual namun apresiasi pada pendidikan yang meningkatkan kualitas kepribadian tidaklah berbanding lurus dengan pendidikan inteligensi.

Didalam beberapa contoh folklore ini banyak sekali pendidikan kepribadian yang yang diajarkan secara tersirat oleh nenek moyang secara turun temurun. Jatiningrat (Danandjaja : 1988) menjelaskan bahwa hal ini disebut dengan Intensible Culture, budaya yang tidak kasat mata. Penanaman nilai-nilai, moral, dan sikap dengan cara yang sangat mudah dimengerti dan dipahami. Banyak sekali contohcontoh folklore yang memberikan penanaman nilainilai moral dan kepribadian. Sebagai contoh legenda Danau Toba pada Etnik Batak Toba yang menanamkan nilai moral dalam menjaga amanah. Simalin Kundang anak Durhaka pada etnik Minangkabau yang memberikan penanaman nilai rasa hormat pada orangtua. Penanaman nilai sikap sombong yang tidak baik pada cerita si Kelinci dan kura-kura. Tidak hanya itu, Pendidikan kepribadian juga lebih terlihat pada permainan rakyat seperti “patok lele�yang mengajarkan sportivitas, kesetiakawanan, dan kerjasama pada anak dan masih banyak lagi contoh lainnya yang juga memberikan pendidikan kepribadian.

Pengikisan moral kian terus meningkat namun respon untuk mengatasi dan menguranginya dengan melakukan pendidikan kepribadian masih sangat terabaikan. Pengikisan moral memang tidak bisa langsung terselesaikan, namun masih banyak cara dalam menguranginya.

REKOMENDASI Pendidikan karakter (kepribadian) yang berbasis budaya seperti metode folklore sebaiknya dikembangkan dalam kebijakan pendidikan berbasis pada budaya di Sumatera Utara.

Pendidikan kepribadian yang telah dilakukan oleh para nenek moyang secara turun-temurun melalui folklore ini menunjukkan bahwa sebenarnya pendidikan kepribadian sangatlah mudah dilakukan dan bisa dilakukan dimana saja tanpa terkait keadaan yang formal, cukup dengan hanya membutuhkan pendekatan kekeluargaan yang sangat kental dalam mendidiknya.

DAFTAR PUSTAKA Ahmadi, Abu, 1992. Psikologi Umum. Jakarta: Rineka Cipta. Latief, Abdul, 2009. Pendidikan Berbasis Nilai Kemasyarakatan. Bandung : Aditema. Meutia, Cut, 2008. Psikologi Kepribadian. Medan: Mutiara.

Maka dari itu, dalam melakukan pendidikan kepribadian kepada anak, metode folklore dapat menjadi sebuah metode yang sangat tepat. Apalagi metode folklore ini sangat cocok dilakukan pada masa kanak-kanak kedua yakni disaat anak usia 512 tahun, yang oleh Papalia dan Old disebut sebagai fase yang tepat bagi anak dalam menerima penanaman nilai-nilai, moral dan sikap yang terkandung dalam folklore tersebut seperti contoh cerita rakyat yang kita ceritakan. Ditambah lagi pada fase ini dalam ilmu psikologi anak masih senang bermain, maka kita juga dapat memberikannya pembelajaran sambil bermain. Pembelajaran yang menanamkan nilai-nilai kepribadian seperti permainan rakyat.

Reni Akbar,Hawadi, 2001.Psikologi Perkembangan Anak. Jakarta : Grasindo. Simanjuntak, B. A, 2009. Konflik Status dan Kekuasaan Orang Batak Toba. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Thontowi, Ahmad, 1991. Psikologi Pendidikan. Bandung : Angkasa.

176


Vol. 8. No. 2, Juni 2011

Jurnal INOVASI - Balitbang Provsu

Konsep Sustainability Report bagi Pendidikan Tinggi di Indonesia (Sustainability Report Framework for Higher Education in Indonesia) Siti Musyarofah Universitas Trunojoyo Madura Jl. Raya Telang PO. BOX 2 Kamal, Bangkalan Madura Email : s_rofah@yahoo.com Naskah masuk : 18 Januari 2011; Naskah diterima :30 Mei 2011

ABSTRAK Isu sustainability reporting di bidang pendidikan berkembang sejak adanya The World Summit on Sustainable Development (WSSD) yang diadakan di Johannesburg tahun 2002. Hal ini memberi dampak pada sistem pendidikan di seluruh dunia. Pendidikan dianggap berperan penting dalam menciptakan pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Sustainability reporting merupakan upaya dari suatu organisasi dalam memproduksi dan mempublikasikan sustainability report (laporan sustainabilatas). Laporan sustainabilitas merupakan laporan publik dimana organisasi memberikan gambaran posisi dan aktivitasnya pada aspek ekonomi, lingkungan dan sosial kepada stakeholder internal dan eksternalnya. Model-model pelaporan sustainabilitas yang ada selama ini seperti GRI (Global Reporting Initiatives) tidak bisa sepenuhnya diadopsi untuk kepentingan sustainability reporting bagi pendidikan tinggi di Indonesia. Oleh karena itu diperlukan sebuah konsep sustainability reporting yang berusaha mengintegrasikan antara model-model yang telah ada dengan standar yang dikeluarkan oleh BAN-PT (Badan Akreditasi Nasional-Perguruan Tinggi). Tulisan ini mencoba menawarkan sebuah konsep laporan sustainabilitas bagi Perguruan Tinggi dengan memodifikasi standar kinerja dari BAN-PT. Kata kunci : Sustainability report, standar akreditasi, global reporting initiatives.

ABSTRACT The issues of sustainability reporting (SR) in education have been developed since agenda of The World Summit on Sustainable Development (WSSD) in Johanesburg 2002th that give impact on education systems around the world. Education is very important to produce sustainable development. Sustainability reporting is an effort of organization to produce and publish sustainability report. Sustainability report is part of public report which organization give a picture of position and their activity on economic, environment, and social aspects to internal and external stakeholder. The sustainability reporting models such as Global Reporting Initiatives (GRI) can’t fully adopted to higher education in Indonesia. It’s required a concept for sustainability reporting that integrate previous models with standards of BAN-PT (Badan Akreditasi Nasional-Perguruan Tinggi) . This study try to examine previous models of SR and supply a concept of sustainability reporting that has feasibility for higher education in Indonesia. Keywords : Sustainability report, standar acreditation standart, global reporting initiatives.

Agenda 21 yang ditandatangani oleh 178 kepala negara sebagai langkah konkret bagi implementasi pembangunan berkelanjutan pada skala global. PBB pada tahun 2002 kembali menyelenggarakan konferensi di Johannesburg dengan tema “The 2002 World Summit for Sustainable Development” untuk mengevaluasi perkembangan penerapan visi pembangunan berkelanjutan di dunia. Konsep sustainability development yang pertama kali dikenalkan dalam Brundtland Report sebenarnya untuk menunjukkan kemampuan suatu ekosistem

PENDAHULUAN Berbagai pihak mulai ramai membicarakan tentang sustainability reporting terkait dengan pembangunan berkelanjutan dalam konteks makro ekonomi. Perbincangan dan perdebatan mengenai pembangunan berkelanjutan diawali oleh terbitnya Brundtland Report pada tahun 1980, dan semakin diintensifkan dengan Konferensi PBB mengenai ”Lingkungan Hidup dan Pembangunan“ di Rio de Janeiro tahun 1992. Konferensi ini melahirkan 177


Vol. 8. No. 2, Juni 2011

Jurnal INOVASI - Balitbang Provsu

mereka menganggap aktivitas terkait dengan sustainability development akan menjadi biaya tersendiri bagi perusahaan. UU ini mengatur bahwa usaha yang bergerak dalam pengelolaan sumberdaya alam wajib menganggarkan dan melaporkan tanggungjawab sosial dan lingkungan. Demikian juga, UU No. 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal menyebutkan bahwa penanaman modal didasarkan pada asas berkelanjutan dan asas berwawasan lingkungan. Hal ini menunjukkan adanya kepedulian pemerintah terhadap sustainable development yang direalisasikan melalui regulasi. Sebaliknya yang terjadi pada bidang pendidikan di Indonesia, isu tentang sustainability reporting masih sangat terbatas, meskipun istilah sustainability development (SD) sudah seringkali kita dengar dalam konteks pembangunan berkelanjutan termasuk didalamnya dunia pendidikan. Sebagai langkah awal di tahun 2010, pemerintah melalui Direktorat Pendidikan Tinggi DP2M menyelenggarakan hibah penelitian bagi dosen dengan tema pengembangan pendidikan berbasis education for sustainable development (ESD). Hal ini diharapkan memberikan dampak yang luas bagi sistem pendidikan berbasis sustainable development yang lebih bersifat praktis tidak hanya dalam tataran teoritis.

dalam mempertahankan proses ekologikal, fungsi, biodiversity dan produktifitas dimasa mendatang. Hal ini dilatarbelakangi oleh adanya keinginan untuk menyelaraskan antara pemenuhan kebutuhan manusia tanpa menciptakan kerusakan lingkungan. Namun belakangan ini istilah sustainability dipersepsikan secara beragam dari berbagai disiplin ilmu, tidak terkecuali akuntansi karena akuntansi sangat berkepentingan dengan bentuk/model pelaporan kinerja sebagaimana halnya sustainability reporting. Isu sustainability reporting di bidang pendidikan berkembang sejak adanya The World Summit on Sustainable Development (WSSD) yang diadakan di Johannesburg tahun 2002. Hal ini memberi dampak pada sistem pendidikan di seluruh dunia. Pendidikan dianggap berperan penting dalam menciptakan pembangunan berkelanjutan (sustainable development). PBB untuk general affair menanggapi ini dengan mendeklarasikan the Decade of Education for Sustainable Development untuk periode 2005-2014 dan menunjuk UNESCO sebagai organisasi yang akan mengawal rencana besar ini. UNESCO diminta untuk : 1) mengembangkan draft skema implementasi internasional dalam proses pendidikan yang telah ada termasuk “education for all” 2) mengembangkan skema konsultasi dengan PBB, organisasi internasional, pemerintah, NGO, dan stakeholder yang lain. 3) menyiapkan pedoman bagi pemerintah untuk menyusun pengukuranpengukuran ESD (education for sustainable development) dalam rencana pendidikan nasional mereka. Dengan demikian isu ini tidak terlepas dari masalah evaluasi dan pelaporan sustainable development tetapi juga outcome yang diharapkan.

TELAAH KRITIS TERHADAP MODEL SUSTAINABILITY REPORTING Pembahasan tentang sustainability reporting (SR) tidak terlepas dari isu Sustainable development (pembangunan berkelanjutan) sebagaimana tertuang dalam Our Common Future atau Brundtland Report (WCED. 1987:43) yang menyebutkan bahwa : “development that meets the needs of the present without compromising the ability of future generations to meet their own needs”. Pada prinsipnya pembangunan yang dilaksanakan tidak boleh mengganggu hak generasi mendatang untuk memperoleh kesempatan hidup yang layak. Oleh karena itu ada tiga dimensi utama yang terkandung didalamnya yaitu lingkungan hidup, sosial dan ekonomi.

Mengingat UNESCO dalam agenda pendidikan internasional abad 21 telah telah mencanangkan perubahan dari pendidikan berbasis lingkungan (environmental education) menuju pendidikan berbasis sustainabilitas (sustainability education). Dengan demikian mau tidak mau sistem pendidikan diseluruh dunia nantinya akan mengadopsi sistem pendidikan ini. Secara tidak langsung hal ini akan terkandung dalam muatan kurikulum pendidikan tinggi, yang pada akhirnya diprediksikan akan merambah ke bentuk pelaporan sustainability di pendidikan tinggi mengingat karakterisitik unik yang dimiliki pendidikan tinggi dengan sektor jasa lainnya. Profesi akuntansi yang lahir dari dunia akademik harus turut mengembangkan akuntansi berbasis lingkungan (Dillard et al. 2005). Isu sustainability reporting bagi sektor privat tampaknya begitu cepat direspon oleh pemerintah melalui penerbitan UU No. 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, meskipun dalam praktik masih banyak pertentangan karena adanya keberatan dari berbagai kalangan khususnya pelaku bisnis, karena

Sustainability reporting merupakan upaya dari suatu organisasi dalam memproduksi dan mempublikasikan sustainability report (SR). SR – menurut World Business Council for Sustainable Development – bisa didefinisikan sebagai laporan publik dimana organisasi memberikan gambaran posisi dan aktivitas perusahaan pada aspek ekonomi, lingkungan dan sosial kepada stakeholder internal dan eksternalnya (WBCSD 2002:7). Dengan demikian, SR, idealnya, mengintegrasikan tiga bentuk laporan sebelumnya (keuangan, sosial dan lingkungan). Sustainability Reporting menurut ACCA seperti dikutip oleh Anggraini (2006) adalah 178


Vol. 8. No. 2, Juni 2011

Jurnal INOVASI - Balitbang Provsu

stakeholder. Secara umum GRI mengandung dua prinsip, yaitu: 1. Prinsip untuk menentukan indikator seperti apa yang seharusnya dilaporkan, yang terdiri dari : - Materiality, dimaksudkan bahwa informasi yang dilaporkan merupakan indikator yang mencerminkan dampak organisasi secara signifikan di bidang ekonomi, lingkungan dan sosial yang akan mempengaruhi penilaian dan keputusan stakeholder. - Stakeholder inclusiveness, artinya organisasi pelapor seharusnya mengidentifikasi stakeholdernya, menjelaskan bagaimana mereka diakomodasi kepentingannya. - Sustainability context, laporan seharusnya menyajikan kinerja organisasi dalam konteks sustainabilitas yang lebih luas. - Completeness, meliputi topik dan indikator yang material yang bisa mencerminkan dampak ekonomi, lingkungan dan sosial dan memungkinkan stakeholder menilai kinerja organisasi dalam periode pelaporan. 2. Prinsip untuk menjamin kualitas penyajian informasi, yang terdiri dari : - Balance, artinya laporan harus menggambarkan aspek positif dan negatif dari kinerja organisasi. - Clarity, informasi yang disajikan seharusnya mudah dipahami dan mudah diakses oleh stakeholder. - Accuracy, artinya informasi yang dilaporkan seharusnya cukup akurat dan rinci bagi stakeholder untuk menilai kinerja organisasi. - Timeliness, pelaporan dilakukan secara reguler dan informasi bisa tersedia pada saat stakeholder hendak mengambil keputusan. - Comparability, menunjukkan bahwa isu dan informasi seharusnya diseleksi, dikompilasi dan dilaporkan secara konsisten yang memungkinkan stakeholder menilai perubahan kinerja organisasi sepanjang waktu dan menganalisisnya dengan membandingkan antar organisasi. - Reliability, artinya informasi dan proses yang digunakan dalam menyajikan laporan seharusnya dikumpulkan, dicatat, dikompilasi, dianalisis dan diungkapkan dapat menjamin kualitas dan materialitas informasi.

pelaporan mengenai kebijakan ekonomi, lingkungan dan sosial, pengaruh dan kinerja organisasi dan produknya di dalam konteks pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Sustainability report harus menjadi dokumen strategik yang berlevel tinggi yang menempatkan isu, tantangan dan peluang Sustainability Development yang membawanya menuju kepada core business dan sektor yang ditekuni. Sementara GRI Guidelines (2002) menyebutkan bahwa “sustainability reporting� in terms of economic, environmental, and social performance (also known as the “triple bottom line�). This structure has been chosen because it reflects what is currently the most widely accepted approach to defining sustainability. Kualitas mengenai sustainability reporting bisa dilihat dari kelengkapan, komunikasi, konvergensi, kredibilitas, materialitas, responsiveness, performance/impact focus dan assurance. Untuk assurance, maka ada suatu lembaga misalnya Institute of Social and Ethical Accountability yang akan memberikan jaminan atas kualitas laporan sustainability suatu organisasi. Untuk itu mereka menerbitkan sebuah Assurance Standard AA1000 Tahun 2003 yang bisa diikuti oleh organisasi yang menyelenggarakan sustainability reporting. Adapun model sustainability reporting yang akan dibahas pada bagian ini yaitu GRI (Global Reporting Initiatives). Global Reporting Initiatives (GRI) GRI (Global Reporting Initiatives) merupakan model sustainability report yang pertama kali dilaunching tahun 1997, merupakan inisiatif bersama dari US, Ceres dan PBB bidang lingkungan dengan tujuan untuk meningkatkan kualitas dan manfaat dari sustainability report. Panduan ini bersifat sukarela yang membantu melaporkan dimensi ekonomi, lingkungan dan sosial suatu organisasi (dikenal dengan triple bottom line). GRI berusaha melakukan harmonisasi atas disclosure. Bisa dikatakan bahwa GRI merupakan initiatives yang pertama kali, yang berusaha mengukur sustainabilitas suatu organisasi. GRI guidelines merupakan rerangka untuk pelaporan kinerja ekonomi, lingkungan dan sosial suatu organisasi. Guidelines itu : 1) menyajikan prinsip pelaporan dan kandungan tertentu bagi penyajian laporan berkelanjutan (sustainability report) 2) membantu organisasi menyajikan gambaran yang seimbang dan beralasan atas kinerja ekonomi, lingkungan dan sosial. 3) meningkatkan daya banding laporan berkelanjutan diantara organisasi yang tersebar secara geografis, dan 4) mendukung benchmark dan penilaian sustainability report yang mengarah pada kode, prinsip, standar kinerja dan pengungkapan sukarela. 5) merupakan instrumen untuk memfasilitasi kepentingan

Jika kita cermati, maka akan tampak bahwa beberapa prinsip diatas yaitu materialitas, kelengkapan, ketepatan waktu, daya banding dan reliabilitas/keandalan dibangun mirip dengan karakteristik kualitatif laporan keuangan dalam akuntansi tradisional (Moneva et al. 2006 p. 128). Dia menggambarkan bahwa karakteristik kualitatif dalam pelaporan sustainabilitas ditentukan oleh 179


Vol. 8. No. 2, Juni 2011

Jurnal INOVASI - Balitbang Provsu

tujuan/objectives dan interaksi antara tujuan dengan kepentingan stakeholder. Prinsip completeness (kelengkapan) akan berhadapan dengan information overload, karenanya akan sangat sulit mengidentifikasi isu-isu kunci yang seharusnya menjadi fokus perhatian organisasi. Sedangkan prinsip stakeholder inclusiveness menempati high quality sustainability report, sementara dalam praktik hal ini sangat sulit dilakukan karena masing-masing punya pendekatan yang berbeda dalam melakukan dialog dengan stakeholdernya, termasuk bagaimana mengidentifikasi stakeholder mereka.

1) CEO statement, 2) Organization profile, 3) Scope, 4) Key impact, 5) Governance, 6) Sustainability related policies statement, 7) Management system and procedures, 8) Stakeholder engagement, 9) Performance and compliance, 10) Target and achievement, dan 11) External assurance. GRI memberikan kesempatan bagi setiap organisasi untuk memberikan penilaian sendiri kinerja mereka dengan menentukan level minimum yang seharusnya dilaporkan yang mengacu pada aplication level dengan skor A, B dan C. Berikut ini digambarkan secara utuh rerangka pelaporan sustainabilitas menurut GRI :

Beberapa prinsip pelaporan menurut GRI nantinya akan menjadi input bagi standard disclosure. Komponen pengungkapan standar (standard disclosure) menurut GRI seharusnya terdiri dari :

Principles and Guidance

Principles for defining report content : - materiality - stakeholder inclusiveness - sustainability context - completeness

Principles for report quality : - balance - clarity - accuracy - timelines - comparability - reliability

ensuring

Standard Disclosures

- strategy and profile - management approach - performance indicators

Focused Sustainability Report Gambar 1. Rerangka Pelaporan Sustainabilitas Menurut GRI 180


Vol. 8. No. 2, Juni 2011

Jurnal INOVASI - Balitbang Provsu

Performance Indicators (Indikator Kinerja) menurut GRI Unsur-unsur yang bisa dimasukkan dalam penentuan indikator kinerja ada sekitar 79 item, yang terdiri dari indikator kinerja ekonomi, kinerja lingkungan dan kinerja sosial. Indikator ekonomi yang diusulkan didasarkan pada skema value added statement yang fokus pada pola dimana organisasi mempengaruhi stakeholdernya melalui interaksi ekonomis secara langsung maupun tidak langsung. Kinerja ekonomi menunjukkan dampak arus kapital diantara beragam stakeholder dan dampak utama organisasi bagi seluruh masyarakat. (GRI, 2002-2006. p.25). Kinerja lingkungan banyak dipengaruhi oleh sistem manajemen lingkungan yang mengacu pada ISO 14000. Skema GRI didasarkan pada efisiensi konsumsi (material, energi dan air) yang mempengaruhi biodiversity, dan berdampak pada minimisasi (emissions, wastes and effluents, products and services). Kinerja sosial termasuk didalamnya praktik ketenagakerjaan dan pekerjaan yang pantas (labour practices and decent work), hak asasi manusia (human right), kemasyarakatan (society), dan tanggungjawab terhadap produk (product responsibility). Berikut ini disajikan indikator kinerja menurut GRI (tabel 1).

Aspect

Economic

Flow of capital Main economic impact

Environmental

Environmental

Economic performance Market presence Indirect economic impact Materials Energy Water Biodiversity Emissions, effluents, and waste Products and services Compliance Transport Overall Employment Labour/management relations Occuptional Health and safety Training and education Diversity and equal opportunity Investment and procurement practice Non-discrimination Freedom of association & collective bargaining Abolition of Child labour Prevention of Forced and compulsory labour Complaints and Grievance Practices Security practices Indigenous rights

Social

Labour Practices & Decent Work

Human Rights

Aspect Community Corruption Public Policy Anti competitive behaviour Compliance Customer health and safety Products and services labeling Marketing communictions Customer privacy Compliance

Product Responsibility

Sumber : GRI 2002-2006 Versi 3.0 Dari masing-masing indikator kinerja ditentukan adanya indikator inti (core indicators) dan indikator tambahan (additional indicators). Indikator inti dianggap menjadi kepentingan utama dari stakeholder, sedangkan indikator tambahan akan digunakan berdasarkan kepentingan organisasi pelapor jika dianggap perlu. Penilaian terhadap indikator kinerja inti dan tambahan, menunjukkan adanya ketidakseimbangan, karena dimensi sosial secara keseluruhan sangat dominan. Kelemahan nyata dari GRI adalah GRI tidak memberikan panduan bagaimana organisasi memilih indikator kinerjanya (Boysen, 2009. p.11). Selain itu tidak adanya indikator yang terintegrasi (integrated indicators) akan mengurangi makna sustainability itu sendiri jika dilihat dari pendekatan holistik dan balance yang diusulkan dalam GRI. (Bebbington, 2001; Moneva, 2006).

Tabel 1. Indiktor Kinerja Menurut GRI Category

Category Society

GRI memberikan dokumen panduan untuk menilai kinerja sustainabilitas suatu organisasi. Namun selalu ada celah kelemahan yang bisa diidentifikasi dalam GRI seperti yang dikritisi oleh Odd (2003) bahwa : 1. Definisi dan metrik yang tersedia dianggap tidak cukup, 2. Kurangnya penjelasan yang disertai contoh secara detail, 3. Kurangnya komparabilitas antar industri/organisasi, 4. Jumlah yang berlebihan dalam indikator kinerja yang dipertimbangkan sulit bagi pelapor SR (sustainability report) baru, 5. Pendekatan yang bersifat �satu untuk semua (one for all)� dianggap tidak mengakomodasi kebutuhan sektor yang berbeda, kompleksitas, dan lingkungan regional yang berbeda, 6. Indikator kinerja ekonomi dan sosial tidak dikembangkan sebagaimana indikator lingkungan, dan 7. Saat ini masih terbatas organisasi yang menerapkan GRI dan jaminan masa depan tidak ada. 181


Vol. 8. No. 2, Juni 2011

Jurnal INOVASI - Balitbang Provsu

Berangkat dari kelemahan diatas, seharusnya ada suatu upaya untuk memperbaiki pengukuran kinerja sustainabilitas, dalam hal ini peran perguruan tinggi dalam rangka mengembangkan konsep sustainabilitas sangat diharapkan.

pemerintah membentuk Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT) yang tugasnya melakukan akreditasi terhadap kelayakan program studi dilingkungan PT yang mengacu pada pedoman standar berikut : - Standar 1 : Visi, misi tujuan dan sasaran, serta strategi pencapaian - Standar 2 : Tata pamong, kepemimpinan, sistem pengelolaan dan penjaminan mutu - Standar 3 : Mahasiswa dan lulusan - Standar 4 : Sumberdaya manusia - Standar 5 : Kurikulum, pembelajaran dan suasana akademik - Standar 6 : Pembiayaan, sarana dan prasarana, serta sistem informasi - Standar 7 : Penelitian, pelayanan/pengabdian pada masyarakat dan kerjasama.

KONSEP SUSTAINABILITY REPORTING BAGI PENDIDIKAN TINGGI DI INDONESIA Mengingat kompleksitas dan beberapa kelemahan model pelaporan sustainabilitas yang disajikan dalam GRI sebagaimana dijelaskan sebelumnya maka perlu kiranya dipikirkan kembali jika kita akan mengadopsi model pelaporan sustainabilitas yang sudah ada tersebut. Pendidikan tinggi di Indonesia sebenarnya memiliki karakteristik unik tidak hanya jika dibandingkan dengan pendidikan tinggi di luar negeri, tetapi juga antar pendidikan tinggi di Indonesia. Hal ini disebabkan oleh ragam latar belakang kultural. Oleh karena itu aspek kultural seharusnya ditonjolkan dalam desain pelaporan sustainabilitas.

Jika dicermati standar tersebut diatas bisa mewakili kondisi sustainabilitas organisasi dari dimensi ekonomi dan sosial, sementara untuk dimensi lingkungan belum terlihat. Desain pelaporan sustainabilitas bagi perguruan tinggi di Indonesia seharusnya mengakomodasi kepentingan stakeholder, tidak hanya terbatas pada akomodasi terhadap kepentingan pemerintah seperti yang umum terjadi saat ini, tetapi stakeholder potensial yang lebih luas. Oleh karena itu hal yang perlu dilakukan oleh Perguruan tinggi (PT) diantaranya : 1) Menentukan fungsi/peran sustainability report (SR) itu sendiri. 2) Melakukan identifikasi stakeholder potensial (baik dari internal maupun eksternal PT) 3) Jenis informasi apa yang dibutuhkan oleh stakeholder, serta 4) Karakteristik kualitatif yang mendasari SR.

Pendidikan tinggi menurut UU No. 20 Tahun 2003 merupakan jenjang pendidikan setelah pendidikan menengah, yang mencakup program pendidikan diploma, sarjana, magister, spesialis, dan doktor yang diselenggarakan oleh perguruan tinggi. Bidang pendidikan tinggi merupakan pilar utama untuk mengembangkan teknologi dan keahlian manajerial di Indonesia agar bangsa Indonesia mampu memimpin kegiatan politik, ekonomi dan sosial baik untuk masa kini maupun di masa yang akan datang. Tujuan utama pendidikan tinggi di Indonesia menurut PP No. 60 tahun 1999 yaitu : 1) menyiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memiliki kemampuan akademik dan/atau profesional yang dapat menerapkan, mengembangkan dan/atau memperkaya khasanah ilmu pengetahuan, teknologi dan/atau kesenian; 2) mengembangkan dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan, teknologi dan/atau kesenian serta mengupayakan penggunaannya untuk meningkatkan taraf kehidupan masyarakat dan memperkaya kebudayaan nasional. Mengacu pada Tridharma Perguruan Tinggi, maka PT wajib menyelenggarakan pendidikan dan pengajaran, penelitian serta, pengabdian masyarakat.

Peran sustainability reporting (SR) bagi pendidikan tinggi tidak hanya untuk menjamin kelangsungan hidup PT itu sendiri sebagai organisasi (entitas), tetapi juga menjamin bahwa PT berkontribusi terhadap masyarakat disekitar PT dan masyarakat secara umum, selain itu PT diharapkan juga mampu memberikan kontribusi terhadap lingkungan hidup (environment). Oleh karena itu bentuk laporan yang disajikan oleh PT seharusnya tidak hanya bersifat kuantitatif tetapi juga kualitatif. Identifikasi terhadap stakeholder menurut Clarkson (1995) dibedakan kedalam: 1) primary stakeholder, dan 2) secondary stakeholder. Primary stakeholder merupakan individu atau kelompok yang sangat tergantung pada keberhasilan dan kelangsungan hidup organisasi tersebut. Sedangkan secondary stakeholder merupakan individu atau kelompok yang mempengaruhi atau dipengaruhi oleh kelangsungan hidup organisasi namun tidak esensial atau tidak secara langsung. Coy et al (2001)

Untuk menjamin kualitas pendidikan di Indonesia maka pemerintah menerbitkan PP No.19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan yang mencakup: 1) standar isi, 2) standar proses, 3) standar kompetensi lulusan, 4) standar pendidik dan tenaga kependidikan, 5) standar sarana dan prasarana, 6) standar pengelolaan, 7) standar pembiayaan pendidikan dan 8) standar penilaian pendidikan. Sedangkan untuk menjamin evaluasi terhadap kualitas pendidikan tinggi, maka 182


Vol. 8. No. 2, Juni 2011

Jurnal INOVASI - Balitbang Provsu

mengidentifikasi stakeholder potensial diantaranya: 1) internal kampus, 2) pesaing, 3) perwakilan yang ditunjuk, 4) penyedia sumberdaya, 5) external citizens, dan 6) analis dan media. Setelah mengetahui stakeholder PT maka, selanjutnya adalah menggali informasi apa yang sebenarnya dibutuhkan oleh mereka. Namun perlu diperhatikan bahwa untuk mengidentifikasi kebutuhan informasi seluruh stakeholder maka akan muncul konflik kepentingan (Pina et al. 2007). Oleh karena itu PT harus bisa menentukan prioritas informasi yang seharusnya disajikan. Untuk menjamin kualitas informasi yang disajikan maka harus dipayungi dengan karakteristik kualitatif sebuah laporan. Karakteristik kualitatif laporan tahunan untuk memenuhi akuntabilitas publik menurut Coy et al. (2001) meliputi : understandability, reliability, relevance, timeliness, consistency, comparability, fairness, accessability dan distribution. Berikut disajikan desain laporan sustainabilitas bagi pendidikan tinggi yang berusaha memodifikasi standar kinerja yang telah ada dari BAN-PT dengan penambahan pada dimensi lingkungan hidup (LH) yang selama ini belum ada.

No

Standar

5

Kurikulum, Pembelajaran dan Suasana Akademik

6

Pembiayaan, Sarana dan Prasarana serta Sistem Informasi

7

Penelitian, Pengabdian Masyarakat dan Kerjasama

8

Kontribusi Pendidikan Tinggi terhadap Lingkungan Hidup (LH)

Tabel 2. Konsep Sustainability Report Bagi Perguruan Tinggi No 1

Standar Visi, misi, tujuan dan sasaran serta strategi pencapaian

2

Tata pamong

3

Mahasiswa dan Lulusan

4

Sumberdaya Manusia

Indikator - visi yang futuristik, menantang dan memotivasi seluruh pemangku kepentingan - misi yang sesuai dengan tridarma perguruan tinggi - tujuan dan sasaran yang realistik, unik dan terfokus - strategi pencapaian secara tertulis - Tata pamong yang memenuhi unsur Kredibilitas, transparansi, akuntabilitas, tanggungjawab dan fairness - Penjaminan mutu internal - Penjaminan mutu eksternal - Kebijakan dan efektivitas implemtasi sistem rekruitmen dan seleksi calon mahasiswa - Profil mahasiswa - Layanan dan kegiatan kemahawiswaan - Profil lulusan - Tracerstudy terhadap lulusan - Partisipasi lulusan dan alumni - Kualifikasi akademik dosen - Prestasi, reputasi dan jejaring akademik dosen - Kualifikasi akademik dan kompetensi tenaga

Indikator kependidikan. - Keefektivan sistem seleksi, rekruitme, penempatan, pengembangan, retensi, dan pemberhentian dosen dan tenaga kependidikan - Sistem monitoring dan evaluasi serta rekam jejak kinerja akademik dosen dan tenaga kependidikan - Keselarasan kurikulum dengan visi dan misi, serta relevansinya dengan pencapaian kompetensi lulusan - Peninjauan kurikulum - Stratgi pembelajaran - Upaya perbaikan sistem pembelajaran - Upaya peningkatan suasana akademik - Kebijakan tentang proses penganggaran dan perenaan target kinerja - Ruang kerja dosen - Akses dan pendayagunaan sarana dan prasarana - Akses dan pendayagunaan sistem informasi - Sistem pengelolaan penelitian dan pengabdian masyarakat - Partisipasi dosen dan mahasiswa dalam kegiatan penelitian, pengabdian masyarakat dan kerjasama - Produktifitas penelitian dosen dan atau mahasiswa (publikasi penelitian) - Kegiatan pengabdian masyarakat yang bermanfaat bagi pemangku kepentingan - Jumlah dan mutu kerjasama - Jumlah kebijakan yang dihasilkan terkait dengan isu lingkungan hidup diantaranya: - Komitmen terkait dengan LH (visi, misi dan strategi) - Kurikulum yang berorientasi pada pelestarian LH - Hasil penelitian yang bermanfaat bagi pelestarian LH - Pendirian departemen pelestarian LH - Jumlah staff dan dana yang dialokasikan untuk menunjang departemen LH

Jika dicermati dari tabel 2 diatas, sebenarnya ketujuh standar akreditasi yang dikeluarkan oleh BAN-PT sudah berusaha memenuhi unsur sustainabilitas baik dilihat dari dimensi ekonomi, maupuan sosial. Misalnya standar 6 tentang pembiayaan sebenarnya detail informasi yang harus 183


Vol. 8. No. 2, Juni 2011

Jurnal INOVASI - Balitbang Provsu

Annual Report., Critical Perpectives on Accounting. 12., pp. 1-31.

disajikan menunjukkan kinerja PT dari aspek ekonomi, demikian juga standar 4 tentang sumebrdaya manusisa dan standar 7 tentang penelitian dan pengabdian masyarakat merupakan perwujudan dari dimensi sosial dari Sustainability Report. Standar 8 tentang kontribusi PT terhadap lingkungan hidup sebenarnya untuk melengkapi standar yang telah ada yang belum memasukkan dimensi lingkungan (environment).

Dillard, Jesse., Brown, Darrell., and, Marshall, R Scot., 2005. Environmentally enlightened accounting., Accounting Forum 29. pp. 77101 Gray, Rob., 2010. Is accounting for sustainability actually accounting for sustainability. . .and how would we know? An exploration of narratives of organisations and the planet., Accounting, Organizations and Society., Vol.35., pp. 47-62

KESIMPULAN Pendidikan Tinggi (PT) merupakan organisasi jasa yang memiliki karakteristik unik, yang tidak berorientasi pada maksimisasi laba (profit oriented). Namun untuk menjamin kelangsungan hidup suatu organisasi aspek keuangan (ekonomis) juga harus tetap diperhatikan selain aspek yang lain yang mencirikan tridarma perguruan tinggi.

GRI, 2002. Sustainability Reporting Gudelines. Institutute of Social and Ethical Accountability, 2003. Accountability AA1000 Standard Moneva, Jose M., Archel, Pablo., and Correa, Carmen., 2006. GRI and Camouflaging of corporate unsustainability., Accounting Forum 30, pp. 121-137

REKOMENDASI

Odd, Margareth N A., 2003. The Global Reporting Initiatives : To what extent do the GRI corporate sustainability guidelines enable business to move towards sustainability?, Dissertation, University of Calgary Canada

Konsep sustainability report (SR) bagi pendidikan tinggi di Indonesia bisa didesain berdasarkan karateristik unik di masing-masing pendidikan tinggi tanpa meninggalkan beberapa kriteria standar kinerja yang telah ada sebelumnya. Artinya perlu adanya modifikasi model pelaporan sustainabilitas. Mengingat standar kinerja yang telah ada sebelumnya sudah berusaha menampilkan kinerja dari dimensi ekonomi dan sosial dengan beragam indikator kinerja yang ada, maka dimensi lingkungan yang belum terakomodasi seharusnya juga dimasukkan dalam pelaporan ini.

Peraturan Pemerintah No. Pendidikan Tinggi

60

Tahun

1999.

Peraturan Pemerintah No.19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan Pina, Vicente., Torres, Lourdes., and Acerete, Basilio., 2007. Are ICTs promoting government accountability?: A comparative analysis of e-governance developments in 19 OECD countries., Critical Perspectives on Accounting. Vol 18. pp.583-602.

DAFTAR PUSTAKA Anggraini, Reni, 2006. Pengungkapan Informasi Sosial dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pengungkapan Informasi Sosial dalam Laporan Keuangan Tahunan (Studi Empiris pada Perusahaan-Perusahaan yang terdaftar Bursa Efek Jakarta), Simposium Nasional Akuntansi IX, Padang.

World

BAN PT, 2008. Standard dan Prosedur Akreditasi Program Studi Sarjana, Buku II Bebbington, J.,& Gray,R. 2001. An account of sustainability: failure, success and a reconceptualization. Critical Perspectives on Accounting, 12, 557–587. Boysen, Mark C, 2009. An Assesment of Environmental Indicator Data Quality in GRI Sustainability Reporting,. Theses, Proquest digital dissertation and theses Coy, David., Fischer, Mary., and Gordon, Teresa., 2001. Public Accountability : A New Paradigm For College and University

184

Business Council for Sustainbale Development (WBSD), 2002. Sustainbale Development Reporting-Striking a Balance., WBCSD Report, Attar Roro Presse, Switzerland.


Pedoman Penulisan Naskah Ilmiah Jurnal INOVASI Jurnal INOVASI memuat karya tulis ilmiah hasil penelitian atau tinjauan kepustakaan dalam bidang pemerintahan dan kemasyarakatan, sosial budaya, ekonomi dan pembangunan, sumberdaya alam dan maritim sebagai bahan kebijakan dan wawasan berpolitik. Jurnal INOVASI terbit empat kali dalam setahun setiap bulan Maret, Juni, September dan Desember. Naskah yang akan diterbitkan dalam Jurnal INOVASI Balitbang Provinsi Sumatera Utara, harus memenuhi ketentuan berikut : 1. Naskah berupa karya asli yang belum pernah dipublikasikan di tempat lain dan tidak sedang diajukan ke tempat lain. 2. Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia atau Inggris sesuai kaidah masing-masing bahasa yang digunakan. 3. Komponen utama naskah sekurang-kurangnya memuat hal-hal berikut : a.

Judul, ditulis dengan jelas menggambarkan isi tulisan.

b.

Identitas Penulis, dimuat di bawah judul tulisan, memuat nama, alamat korespondensi dan e-mail.

c.

Abstrak ditulis dalam Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris beserta kata kuncinya. Abstrak ditulis dalam 1 alinea berisi masalah, tujuan penelitian, hasil dan saran/ usulan.

d.

e.

Pendahuluan, tidak menggunakan subjudul, berisi penjelasan padat dan ringkas tentang latar belakang penelitian, studi pustaka yang mendukung dan relevan, serta tujuan penelitian.

4. Tabel, gambar dan grafik dapat terbaca dengan jelas dan hendaknya agar dilampirkan secara terpisah serta diberi penjelasan yang memadai. 5. Penulisan rujukan sesuai dengan model Harvard. Pada isi tulisan, nama penulis ditulis disertai dengan tahun penulisannya. Pada bagian Daftar Pustaka, penulisan diurut sesuai dengan abjad. 6. Beberapa contoh bentuk referensi dalam jurnal ini adalah: Buku Abel, R. 2004. Revolusi Kesehatan Mata: Pencegahan dan Pengembalian Masalah Penglihatan. New York : Kensington Book. Chaniago, A. 2010. Studi Pustaka dan Konseptualisasi Penelitian. Dalam: Zaluchu, F. Metodologi Penelitian Kesehatan. Bandung : Citapustaka Media, hal 79-92. Artikel dari Jurnal Ang, L. dan Taylor, B. 2005. Memanajemen Keuntungan Konsumen Menggunakan Matriks Portofolio. Jurnal Pemasaran dan Manajemen Konsumen Strategik 12 (5), hal 298-304 Bagian di dalam buku Ballinger, A. dan Clark, M. 2001. Nutrisi, Pengendalian Nafsu Makan dan Penyakit. Dalam: Payne-James, J. dkk. editor. Dukungan Artifisial bagi Praktik Klinik. Edisi kedua. London: Greenwich Medical, hal 225-239 Koran

Metode Penelitian berisikan disain penelitian yang digunakan, populasi, sampel, sumber data, instrumen, analisis dan teknik analisis yang digunakan.

Benoit, B. 2007. Peran G8 dalam Pemanasan Global. Harian Kompas 29 Mei 2007, hal 9.

f.

Hasil adalah temuan penelitian yang disajikan apa adanya tanpa pendapat penulis.

g.

Pembahasan menjelaskan dengan baik serta argumentatif tentang temuan penelitian serta relevansinya dengan penelitian terdahulu.

Komisi Eropa. 2004. Laporan Pendahuluan terhadap Implementasi dari Strategi Pemasaran Internal 2003-2006. Luxemburg: Unit Publikasi Komisi Eropa.

h.

Kesimpulan menjawab tujuan penelitian tanpa melampauinya.

i.

Rekomendasi berisi usulan-usulan kebijakan yang memungkinkan dihasilkan, berisi bentuk dan telaahannya untuk dilaksanakan mengacu pada prinsip tepatguna, logis dan relevan.

Laporan

Konferensi Fiedelius, H.C. 2000. Miopi dan Penurunan Visual: Aspek Global. Dalam: Lin, L.L.K. dkk. editor. Miopia Terbarukan II: Prosiding Konferensi Internasional ke-7. Taipei, 17-20 Nopember 1998. Tokyo: Springer, hal 31-37.


Tesis Garcia-Sierra, A. 2000. Investigasi Penyebab Ca-Serviks pada Wanita Usia Subur di Perkotaan. Tesis PhD, Universitas Indonesia. Jurnal Artikel Elektronik Merchant, A.T. 2009. Diet dan Aktifitas Fisik pada Anak-Anak di Kawasan Kumuh Perkotaan: sebuah Studi Cross Sectional. Jurnal Nutrisi [Online] Edisi 6. Dari: http://www.nutritionj.com/content/pdf/14752891-6.1.pdf [Diakses: 10 Mei 2007]. Web Page Thompson, B. 2006. Mengapa Balita Butuh ASI [Online]. Dari: http://news.bbc.co.uk/1/hi/health/459876 [Diakses: 10 Mei 2007]. Depkes RI. 2006. Panduan Imunisasi [Online]. Dari: http://www.depkes.go.id/bayi_panduan_imunisa si/2345 [Diakses: 19 Februari 2011]. 7. Naskah dituliskan dengan menggunakan Times New Roman 12, maksimal 20 halaman A4 spasi ganda, ditulis dengan program komputer Microsoft Word. 8. Naskah yang masuk hendaknya diterima 2 (dua) bulan sebelum waktu penerbitan untuk direview oleh anggota dewan redaksi dan reviewer (mitra bestari) yang ditunjuk oleh Dewan Redaksi. 9. Dewan Redaksi berhak menolak naskah ilmiah yang dianggap tidak layak muat di Jurnal Inovasi. Naskah diserahkan dalam 2 (dua) media yaitu hardcopy dan softcopy yang keduanya harus memuat isi yang sama. Nama file, judul dan nama penulis naskah dituliskan pada label CD. Naskah dipersiapkan dengan menggunakan pengolah kata Microsoft Word. Pengiriman naskah ke alamat redaksi melalui surat elektronik ke : balitbangsumut@yahoo.co.id atau melalui pos ke : Dewan Redaksi Jurnal INOVASI Badan Penelitian Dan Pengembangan Provinsi Sumatera Utara Jl. Sisingamangaraja No. 198 Medan 20126 10. Redaksi berhak menolak naskah yang isi dan formatnya tidak sesuai dengan pedoman penulisan naskah di atas dan redaksi tidak berkewajiban untuk mengembalikan naskah tersebut.

11. Setiap penerimaan atau penolakan naskah akan disertai dengan surat resmi yang ditandatangani oleh Dewan Redaksi dan dikirimkan kepada penulis. 12. Setiap penulis yang karya tulisnya telah diterbitkan, akan mendapat satu buah cetak lepas dan satu buah full print. 13. Setiap penulis menyetujui untuk mengalihkan hak ciptanya ke Jurnal Inovasi jika naskahnya diterima untuk diterbitkan.


Alamat Redaksi : BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PROVINSI SUMATERA UTARA Jl. Sisingamangaraja No. 198 Medan 20126 Tel. (061) 7866225; 7883016; Fax. (061) 7866248 Email : balitbangsumut@yahoo.co.id


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.