Jurnal Inovasi Desember 2011

Page 1

ISSN 1829-8079

INOVASI JURNAL POLITIK DAN KEBIJAKAN

Vol. 8 No.4, Desember 2011

Kajian Pengembangan Kawasan Agrotechnopark di Sumatera Utara (Retno Astuti Kuswardani) Model Pemanfaatan Dan Kebijakan Untuk Mengurangi Perburuan Satwaliar Di Sekitar Hutan Blok Batang Toru, Sumatera Utara (Wanda Kuswanda) Evaluasi Pemilihan Gubernur Secara Langsung Di Sumut Tahun 2008 (Badaruddin) Model Penanganan Trafficking Di Sumatera Utara (Gunanto, Bungaran Antonius Simanjuntak, Ester Hutabarat, Fotarisman Zaluchu) Persepsi Masyarakat Sumatera Utara Terhadap Sistem Seleksi Siswa Baru Di Sekolah-Sekolah Unggulan (Fotarisman Zaluchu) Pemetaan Terhadap Delapan Situs Dunia Di Sumatra Utara (Ichwan Azhari) Kinerja Pengawas Pendidikan Dan Peran Serta Komite Sekolah Terhadap Peningkatan Mutu Pendidikan Sekolah Dasar Di Kota Medan (Ardjoni Munir) Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Penyusunan Dana Alokasi Umum Pada Kabupaten/Kota Di Propinsi Sumatera Utara (Lily Wardhani, Iskandar Muda, Azizul Kholis) Teknologi Ramah Lingkungan Sebagai Pilihan Kebijakan Terbaik Dalam Pengelolaan Pertambangan Emas (Suharta)

Diterbitkan oleh :

Badan Penelitian dan Pengembangan Provinsi Sumatera Utara Inovasi

Vol. 8

No. 4

Hal. 271-364

Medan Desember 2011

ISSN 1829 - 8079

Terakreditasi sebagai Majalah Berkala Ilmiah berdasarkan Keputusan Kepala LIPI Nomor. 482/D/2011 Tanggal 12 April 2011


Volume 8, Nomor. 4

Desember 2011 2011

ISSN 18291829-8079

Jurnal INOVASI terakreditasi B sebagai jurnal ilmiah bidang ilmu politik dan kebijakan ijakan dengan Nomor : 334/AU1/P2MBI/04/2011 berdas berdasarkan Surat Keputusan Kepala Lembaga Ilmu Penget engetahuan Indonesia Nom Nomor : 482/D/2011 tanggal 12 April 2011. Jurnal INOVASI sebagai media litban litbang Provinsi Sumatera Utara memuat karya tulis ilmiah hasil penelitian atau tinjauan kepustakaan dalam am bid bidang pemerintahan dan kemasyarakatan, sosial budaya udaya, ekonomi dan pembangunan, sumberdaya daya aalam dan maritim sebagai bahan kebijakan dan wawasa awasan berpolitik yang terbit empat kali ali dala dalam setahun setiap bulan Maret, Juni, September dan Desember. D

Penasehat

Ke Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Provinsi insi Sumatera Su Utara

Penanggung Jawab

Se Sekretaris Badan Penelitian dan Pengembangan Provinsi ovinsi Sumatera Utara

Pemimpin Redaksi

Ma Marlon Sihombing (Sosial Politik dan Pemerintahan)

Dewan Redaksi

Ba Badaruddin (Sosial Politik dan Pemerintahan) H. Hasnudi (Pertanian dan Kehutanan) Za Zahari Zein (Sosial Ekonomi Pertanian) E. Harso Kardhinata (Biologi dan Pertanian) Ra Ramdhansyah (Ekonomi dan Keuangan) Su Sugih Prihatin (Pertanian) Fo Fotarisman Zaluchu (Kesehatan Masyarakat)

Redaksi Pelaksana

Da Darwin Lubis Su Sumiarti Irw Irwan Purnama Putra

Tata Usaha dan Sirkulasi

Ma Makrum Rambe Ris Rismawaty Sibarani De Deli Yanto Sy Syafri

Mitra Bestari

Iry Iryanto (Universitas Sumatera Utara) Dj Djanius Djamin (Universitas Negeri Medan) Jul Julaga Situmorang (Universitas Negeri Medan) Az Azizul Kholis (Universitas Negeri Medan) Zu Zulkarnain Lubis (Universitas Medan Area)

Alamat Penerbit : BADAN ADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PROVINSI SUMATERA UTARA Jl. S Sisingamangaraja No. 198 Medan 20126 Tel. el. (06 (061) 7866225; 7883016 - Fax. (061) 7866248 We Website : http://balitbang.sumutprov.go.id Email : balitbangsumut@yahoo.co.id


PENGANTAR REDAKSI Pembaca yang terhormat, Puji syukur kembali kami sampaikan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena Jurnal INOVASI Volume 8 Nomor. 4, Desember 2011 ini dapat diterbitkan. Edisi ini mengulas berbagai hal, terutama yang berkaitan dengan pembangunan di Sumatera Utara. Berbagai topik yang mungkin bermanfaat telah disediakan dalam edisi ini, antara lain mengenai permasalahan budaya, pertanian, sosial dan pembangunan. Karena itu, edisi ini kami harap akan dapat bermanfaat kepada seluruh pembaca dan pengguna jurnal ini. Selengkapnya tulisan ilmiah ini bisa dibaca di Jurnal Inovasi edisi ini. Semoga para pembaca memperoleh paradigma baru mengenai apa yang disajikan dalam edisi ini. Terima kasih dan selamat membaca. -Dewan Redaksi-


Volume 8, Nomor 4

Desember 2011

ISSN 18291829-8079

Lembar abstrak strak ini boleh diperbanyak/dicopy tanpa ijin dan biaya. ya.

Retno Astuti Kuswardani Kajian Pengembangan Kawasan Agrotechnopark di Sumatera Utara Inovasi, Jurnal Politik dan Kebijakan Vol 8, Nomor omor 4, hal 271-278 Kajian ini bertujuan untuk pemilihan kawasan san aagrotechnopark yang potensial dikembangkan; memperoleh gambar ambaran wilayah yang potensial dalam pengembangan kawasan agrotech rotechnopark; mengetahui perencanaan, pengelolaan dan pengawasann dal dalam pengembangan kawasan agrotechnopark; dan mengetahuii stra strategi pengembangan kawasan agrotechnopark di Sumatera Utara guna mendukung pembangunan wilayah yang berbasis kawasann agro agrotechnopark. Sampel penelitian terdiri dari 4 kawasan: pertanian an ta tanaman pangan dan peternakan terpadu di Desa Sei Buluh wilayah layah Kabupaten Serdang Bedagai; kawasan peternakan dan pertanian ian ta tanaman hortikultura terpadu di Desa Jarang Uda yang berada wilaya wilayah Kabupaten Karo; kawasan budidaya perikanan air tawar terpadu rpadu di Desa Selotong wilayah Kabupaten Langkat; dan kawasan agrot agrotechnopark Yayasan Ekosistem Lestari, Desa Timbang Lawan wilayah ilayah Kabupaten Langkat yang telah dibentuk sejak beberapa tahun yang llalu. Dari kajian ini diperoleh hasil: Desa Sei Buluh Kabupaten paten Serdang Bedagai merupakan kawasan yang representatif if da dan unggul untuk dikembangkan dibandingkan dengan tiga lokas lokasi lainnya. Hal ini didasarkan pada: produk berbasis dan terintegrasi grasi ppada sub sistem hulu dan hilir pada sektor pertanian dan peternakan kan sserta telah dilakukan pengelolaan lingkungan terutama limbah pertani ertanian dan peternakan; produk yang dihasilkan telah memiliki nilai tambah dan efisiensi input; dan peran berbagai kelompok tani dalam mem memberikan kontribusi positif dalam bentuk produktivitas, pendapatan patan dan keahlian dan adanya peran stakeholders. Kata Kunci: agrotechnopark, Pengembangan Kawa Kawasan Wanda Kuswanda Model Pemanfaatan Dan Kebijakan Untukk Me Mengurangi Perburuan Satwaliar Di Sekitar Hutan Blok Batang Toru, u, Sum Sumatera Utara Inovasi, Jurnal Politik dan Kebijakan Vol 8, Nomor omor 4, hal 279-288 Masyarakat di sekitar Hutan Blok Batang Toru telah memanfaatkan satwaliar sebagai sumber protein. Penelitian tian iini bertujuan untuk mendapatkan informasi karakteristik, model odel pemanfaatan dan pengetahuan masyarakat terhadap satwaliar sebagai ebagai bahan rekomendasi kebijakan untuk mengurangi perburuan di sekitar ekitar Hutan Blok Batang Toru, Sumatera Utara. Jenis satwaliar yang menja menjadi obyek penelitian dibatasi pada rusa (Rusa unicolor, Kerr 1792) 792) dan kambing hutan (Capricornis sumatraensis, Bechstein 1799). ). Waktu penelitian dilaksanakan selama delapan bulan, dari Bulann Apr April – November 2010. Pengumpulan data dilakukan melalui penyebar nyebaran kuisioner pada masyarakat desa yang dipilih secara purposive ive de dengan analisis data menggunakan table frekuensi dan secara deskri deskriptif. Masyarakat di sekitar Hutan Blok Batang Toru sebanyak 76,1% ,1% se sebagai petani dengan pendapatan rata-rata dibawah Rp. 750.000,- pe per bulan per kepala keluarga. Satwaliar umumnya diperoleh dengan gan ccara berburu dengan bantuan hewan peliharaan, memasang jeratt atau perangkap (lubang jebakan). Hasil buruan dimanfaatkan untukk dim dimakan dan sebagian dibagikan kepada tetangga atau dijual. Masyarak syarakat telah mengetahui

bahwa rusa dan kambing hutan merupakan merup binatang yang dilindungi (59,6% responden) dan populasinya nya terus menurun. Rekomendasi bahan penyusunan kebijakan untuk k mengurangi men perburuan diantaranya adalah penyuluhan, menciptakan program progr usaha alternatif, mengatur akses pemanfaatan sumberdaya alam lam dan da pengembangan penangkaran satwa. masya Hutan Blok Batang Toru Kata Kunci: satwaliar, kebijakan, masyarakat, Badaruddin Evaluasi Pemilihan Gubernur Secara ra Langsung Lan Di Sumut Tahun 2008 Inovasi, Jurnal Politik dan Kebijakan an Vol Vo 8, Nomor 4, hal 289-301 Euporia pemilihan kepala daerah langsung langsu (Gubernur) berlangsung di seluruh Indonesia, dan telah menghas nghasilkan gubernur pilihan rakyat, bahkan sudah ada yang memasuki ki proses pro pemilihan periode kedua. Dampak positif dari penunjukan langsun ngsung oleh presiden memperpendek rentang kendali. Diyakini bahwaa mekanisme me ini akan membawa dampak jangka pendek dan jangka panjang panja yang positif bagi efektivitas pemerintahan karena jenjangnya yang jauh lebih ringkas. Atas dasar wacana yang muncul tersebut (pemilihan ilihan gubernur secara langsung dan tidak langsung) tersebut menarik. Untuk mengevaluasi dan mengetahui pengaruh sistem pemilihan Gubemur emur secara langsung di Sumatera Utara pada tahun 2008 berdasarkan kan persepsi pe masyarakat dilihat dari aspek ekonomi, sosial, dan politik. ik. Dari Da aspek ekonomi masyarakat menilai pemilihan gubernur secara ra langsung lang merupakan pemborosan, dari aspek sosial rentan menghasilka asilkan konflik ditengah – tengah masyarakat khususnya konflik SARA SAR dan hanya menghasilkan kedekatan semu antara masyarakatt dengan deng gubernur terpilih, sedangkan dari segi aspek politik masyarakatt menganggap men sebagai pembelajaran demokrasi yang cukup baik namun amun pada sisi lain memberikan pembelajaran politik yang tidak baik karena money politics justru menyebar hingga masyarakat yang ng paling pa bawah. Walaupun begitu responden masyarakat tetap meyakini ini bahwa ba pemilihan gubernur secara langsung akan menghasilkan gubernur ernur yang y lebih baik dan berkualitas sesuai dengan aspirasi masyarakat. at. Bila Bi pemilihan gubernur secara langsung tetap ingin dipertahankan an diperlukan di pembelajaran politik yang baik dari setiap elit politik,, calon gubernur dan timnya kepada masyarakat, sehingga disharmonisasi asi sosial sos bisa dihilangkan dan modal sosial bisa terbangun ditengah - tengah ngah masyarakat. m Kata Kunci : Pemilihan, gubernur, r, Sumatera Sum Utara, Politik, ekonomi, sosial, masyarakat Gunanto, Bungaran Antonius Simanjunt anjuntak, Ester Hutabarat, Fotarisman Zaluchu Model Penanganan Trafficking Di Sumatera Suma Utara Inovasi, Jurnal Politik dan Kebijakan an Vol Vo 8, Nomor 4, hal 302-310 Kasus trafficking merupakan permasalah asalahan sosial yang kontemporer di Indonesia, dimana semakin hari semakin emakin bertambah jumlah korbannya. Tingginya angka kemiskinan, pengangg gangguran dan angka putus sekolah, serta rendahnya tingkat pendidikan, kan, merupakan m beberapa hal yang membuat masyarakat Indonesia kian an rentan ren terhadap Trafficking. Tidak terkecuali Sumatera Utara yang mendud enduduki peringkat ke-5 daerah asal


korban trafficking. Sehingga perlu dilakukan penanganan yang berkesinambungan dalam mencegah dan menangani korban trafficking hingga tuntas. Tujuan penelitian ini adalah untuk merumuskan dan melakukan uji coba model penanganan trafficking yang paling sesuai dengan kondisi di Provinsi Sumatera Utara untuk mendapatkan pendekatan yang paling maksimal terhadap upaya penanganan korban masalah trafficking. Penelitian ini menggunakan pendekatan partisipatif dengan metode analisis kualitatif, dimana pengumpulan data dan informasi dilakukan melalui Focus Group Discussion (FGD), wawancara mendalam, observasi lapangan dan kajian pustaka. Penelitian dilakukan di beberapa wilayah kabupaten/kota yang rawan kasus trafficking, yakni Kabupaten Asahan, Kabupaten Langkat, Kabupaten Simalungun, Kabupaten Deli Serdang, Kota Medan, Kota Binjai, dan Kabupaten Tanjung Balai. Hasil penelitian ini merupakan model penanganan trafficking yang terpadu dan bersinergi, yakni dimulai dari Pencegahan, Penanggulangan, Rehabilitasi dan Reintegrasi.

Positioning System (GPS) yakni dengan mengandalkan sistem satelit untuk menetukan akurasi keletakan situs dimaksud. Untuk mendapatkan data-data yang dibutuhkan dalam kegiatan ini ditempuh dengan dua cara yakni studi dokumentasi terhadap manuskrip, laporan pengelana asing, laporan penelitian, laporan ekskavasi, artikel jurnal maupun hasil analisis terhadap artifak atau bukti-bukti arkeologisnya. Hasil tersebut digunakan untuk menentukan signifikansi dari kedelapan situs dimaksud. Sementara itu, pemetaan dilakukan dengan terjun langsung dilapangan dengan menggunakan GPS yang dikonversi dengan menggunakan software komputer yaitu Googlearth. Hasil kegiatan menunjukkan posisi keletakan kedelapan situs dimaksud serta citra satelitnya dari beberapa ketinggian tertentu di dalam software komputer melalui googlearth. Dalam pada itu, untuk menunjukkan citra satelit dimaksud maka dalam buku ini, dilakukan dengan pemenggalan terhadap citra satelit dimaksud sebagaimana aslinya. Dengan adanya kegiatan ini, menjadi pelengkap terhadap dokumentasi terhadap delapan situs dunia yang terdapat di Sumatra Utara.

Kata Kunci: Model Penanganan, Trafficking, Rehabilitasi, Reintegrasi

Kata Kunci: Global Positioning System, Citra Satelit, Posisi keletakan kordinat, Delapan Situs Dunia dan Sumatra Utara

Fotarisman Zaluchu Ardjoni Munir Persepsi Masyarakat Sumatera Utara Terhadap Sistem Seleksi Siswa Baru Di Sekolah-Sekolah Unggulan

Kinerja Pengawas Pendidikan Dan Peran Serta Komite Sekolah Terhadap Peningkatan Mutu Pendidikan Sekolah Dasar Di Kota Medan

Inovasi, Jurnal Politik dan Kebijakan Vol 8, Nomor 4, hal 311-319 Inovasi, Jurnal Politik dan Kebijakan Vol 8, Nomor 4, hal 334-345 Setiap tahun, masyarakat berlomba-lomba mencari dan mengirimkan anaknya untuk mengikuti sistem seleksi siswa baru. Seleksi tersebut ternyata menimbulkan berbagai persoalan antara lain ketidaktahuan masyarakat tentang proses dan sistem seleksi serta ketidaktransparanan proses. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui persepsi masyarakat terhadap sistem seleksi siswa baru di sekolah-sekolah unggulan di Provinsi Sumatera Utara. Sebanyak 630 orang responden, yaitu orangtua yang memiliki anak di sekolah menengah atas yang berdomisili di Kota Medan, Kabupaten Toba Samosir dan Kabupaten Tapanuli Tengah telah diteliti melalui metode survei cepat (rapid survei) dan diberikan pertanyaan mengenai aksesibilitas informasi, transparansi dana seleksi, partisipasi masyarakat, dan kualitas sekolah dalam proses seleksi sekolah unggulan. Data dari kuesioner kemudian diolah menggunakan tabel distribusi frekuensi, tabel silang dan uji statistik menggunakan chi-square test pada Îą=0,05. Penelitian memperlihatkan bahwa sebanyak 67% responden menilai bahwa proses seleksi sudah baik, sementara 26% lainnya menyatakan proses seleksi kurang baik. Proses yang paling tidak sesuai menurut responden adalah pelibatan masyarakat (36,2%) dan transparansi dana (57,7%). Perbaikan sistem rekrutmen yang diharapkan oleh responden adalah menyangkut pada pembiayaannya. Alternatif menyelenggarakan seleksi adalah menggunakan metode on-line. Selain itu, jika memungkinkan untuk menyusun school assesment profile dan task force setiap penerimaan siswa baru. Kemandirian Komite Sekolah juga sangat diharapkan. Kata Kunci: Seleksi Siswa Baru, Aksesibilitas Informasi, Transparansi Dana, Partisipasi Masyarakat, Kualitas, Provinsi Sumatera Utara Ichwan Azhari Pemetaan Terhadap Delapan Situs Dunia Di Sumatra Utara Inovasi, Jurnal Politik dan Kebijakan Vol 8, Nomor 4, hal 320-333 Kegiatan pemetaan dengan menggunakan Global Positioning System (GPS) ini terutama adalah untuk menentukan titik kordinat dan citra satelit dari kawasan-kawasan bernilai sejarah tinggi tersebut. Namun demikian, penelitian ini hanyalah sekedar pembuatan Global Positioning System (GPS) dan uraian ringkas yang dibuat terutama untuk mendeskripsikan ke delapan situs dimaksud. Oleh karena itu, untuk mendapatkan informasi lengkap tentang aspek historis dan arkeologis ke delapan situs dimaksud, perlu kiranya dilakukan pembuatan profil hasil penelitian komprehensif terhadap situs dimaksud dengan pelibatan sejumlah arkeolog, sejarahwan dan budayawan untuk memberikan penjelasan yang lengkap. Adapun tujuan utama pemetaan ini adalah untuk menentukan letak kordinat dan citra satelit delapan situs dunia yang terdapat di Propinsi Sumatra Utara, yaitu 1) Barus, 2) Padang Lawas, 3) Kota Cina, 4) Kota Rentang, 5) Benteng Putri Hijau Delitua, 6) Pulau Kampai, 7) Bangunan Bersejarah di Kota Medan dan 8) Sumur minyak Telaga Said. Pemetaan dilaksanakan dengan menggunakan Sistem Informasi Geografis dengan alat Global

Penelitian ini bertujuan untuk melihat apakah kinerja pengawas pendidikan dan peran serta komite sekolah dapat meningkatkan mutu pendidikan sekolah dasar di Medan. Sampel dari populasi penelitian ini adalah pengawas pendidikan, kimote sekolah serta guru-guru yang mengajar di sekolah dasar, masing-masing 15 orang, ada tiga jenis alat yang digunakan untuk menjaring data penelitian yakni: kuesioner dan lembar pengamatan untuk melihat kompetensi guru dalam pelaksanaan PBM yang bermutu dan naskah EBTANAS 2000/2001 dan UAS TP 2003/2004. Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa kinerja pengawas pendidikan dan peran serta komite sekolah belum dapat meningatkan pendidikan di sekolah dasar. Kata kunci : kinerja, pengawas pendidikan, komite sekolah dan mutu pendidikan Lily Wardhani, Iskandar Muda, Azizul Kholis Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Penyusunan Dana Alokasi Umum Pada Kabupaten/Kota Di Propinsi Sumatera Utara Inovasi, Jurnal Politik dan Kebijakan Vol 8, Nomor 4, hal 346-355 Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana Populasi, Indeks Pembangunan Manusia (HID), Indeks Konstruksi Langka, dan Produk Domestik Bruto (PDRB) Harga Konstan pengaruh Dana Alocation Umum (DAU). Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kuantitatif dengan regresi linier berganda. Tujuan dari penelitian ini Indeks Pembangunan Manusia (HID), Indeks Pembangunan Langka dan Produk Domestik Bruto (PDRB) mempengaruhi Harga Konstan dan Dana Alokasi Umum dengan jumlah sampel 23 perusahaan dari Kota dan Kabupaten di Propinsi Sumatera Utara tahun 2003 sampai dengan tahun 2007. Hasil penelitian ini Indeks Pembangunan Manusia (HID), Indeks Pembangunan Langka, murah Produk Domestik Bruto (PDRB) Harga Konstan dan Dana Alocation Umum (DAU) adalah sebagian dan secara simultan pengaruh dengan dijelaskan oleh variasi dinyatakan dalam R2 Disesuaikan sama dengan 85,4% sedangkan sisanya adalah sebesar 14,6% dipengaruhi oleh variabel lain yang dijelaskan oleh model penelitian, namun Coverage Area sebagian Popullation, Indeks Pembangunan Manusia (HID), Indeks Pembangunan Langka telah signifikan terhadap Dana Alokasi Umum. Sementara Produk Domestik Bruto (PDRB) Harga Konstan tidak signifikan terhadap Dana Alocation Umum (DAU). Penelitian ini dengan demikian untuk Kepala Kabupaten dan Pemerintah Kota harus mampu lakukan untuk keputusan rencana Alocation Umum (DAU) dalam mengimplementasikan untuk keputusan. Kata Kunci: Populasi, Indeks Pembangunan Manusia (HID), Indeks Konstruksi Langka, dan Produk DomestikBruto (PDRB) Harga Konstan pengaruh Dana Alocation Umum (DAU)


Suharta Teknologi Ramah Lingkungan Sebagai Pilihan Kebijakan Terbaik Dalam Pengelolaan Pertambangan Emas Inovasi, Jurnal Politik dan Kebijakan Vol 8, Nomor 4, hal 356-364 Eksploitasi besar-besaran terhadap pertambangan emas tanpa memperhitungkan kelangsungan ekosistem yang ada di dalamnya berpotensi besar dapat menimbulkan pencemaran lingkungan bio-fisik dan sosial kemasyarakatan yang bersifat negatif. Dampak negatif perubahan lingkungan tersebut dapat diantisipasi melalui penerapan Green Technology, yaitu komitmen semua stake holder pertambangan untuk mewujudkan pertambangan emas yang ramah lingkungan dan melakukan reklamasi areal bekas tambang, sekaligus dapat meningkatkan kualitas lingkungan dan kesejahteraan masyarakat di sekitarnya. Green technology merupakan teknologi yang dalam pengembangannya berdasarkan pada upaya untuk melestarikan alam dan kesejahteraan umat manusia pada masa kini dan masa yang akan datang. Pertambangan emas di Indonesia sebagian besar masih menggunakan teknologi yang tidak ramah lingkungan yaitu dengan metode amalgamasi dan/atau metode Carbon In Pulp dengan menggunakan pelarut sianida. Penggunaan pelarut klorida, tiosulfat dan pelarut tiourea merupakan pelarut yang bersifat ramah lingkungan dibandingkan dengan pelarut sianida. Pengolahan tambang emas berbasis masyarakat berpotensi dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat, lebih aman dan dapat diterapkan di wilayah Indonesia. Kata kunci: Amalgamasi, carbon in pulp, green technology, pertambangan emas, pembangunan berkelanjutan


Volume 8, Nomor. 4

Desember 2011

ISSN 18291829-8079

The abstrack sheet eet m may by reproduced/ copied without permission or charge cha Retno Astuti Kuswardani

Badaruddin

Study of Agrotechnopark Area Development in Nor North Sumatra

Evaluation Of Direct Election Of Govern vernor In 2008 In North Sumatra

o. 44, p. 271-278 Inovasi, Journal of Politics and Policy, Vol 8, No.

cy, Vol V 8, No. 4, p. 289-301 Inovasi, Journal of Politics and Policy,

areas agrotechnopark This study aimed to the selection of potential ar developed; obtain a description of potential areas as in the development of the area agrotechnopark; know the planning ing, management and supervision in the development of the area agrotechnopark; and knowing the development strategy agrotechnop nopark area in North Sumatra in support of regional development ba based agrotechnopark region. Study sample consisted of four areas: ag agricultural crops and livestock in the village of Sei integrated reed Bedag edagai Serdang Regency area; areas of animal husbandry and horticulture ture crops integrated in the village of Uda Rarely located Karo Regency ncy; area of integrated freshwater fish farming in the village district Sel Selotong Langkat; and regions agrotechnopark foundation for Sustainab nable Ecosystems, Foes Weigh Village Langkat region that has been estab stablished since several years ago. From this study the results obtained: ed: Village Sei Serdang Bedagai Reed is an area representative and superio erior to be developed in comparison with three other locations. It is based ased on: product-based and sub-systems integrated on the upstream and downstream on agriculture and animal husbandry and environ ronmental management have been conducted primarily agriculturall w waste and livestock products produced have added value and efficienc iency of inputs, and the role of various groups of farmers in contributing ppositive in the form of productivity, income and expertise and the role of stakeholders.

Euporia direct regional head elections ions (governor) took place across Indonesia, and has resulted in the governor's go choice of the people, there's even entering the selection process proc of the second period. The positive impact of direct appointment nt by b the president to shorten the span of control. Believed that this mechanism me will bring short-term impacts and long-term positive for the he effectiveness e of government as a much more concise hierarchically.. On O the basis of discourse that appears (the election of the governo ernor directly and indirectly) is interesting. To evaluate and determi rmine the influence of electoral systems directly on the governor of Nort orth Sumatra in 2008 based on the perception of society viewed from the he aspect a of economic, social, and political. Public percive that direct government gove elections is a waste, of vulnerable social aspects produce the midst of conflict - especially conflict society SARA and produced only onl superficial closeness between people and elected governors, while the terms of the political aspects of society regard as democratic learning ing pretty good but on the other hand provide political learning which ich is not good because of money politics even spread to the very bottom bot of society. However the respondent society still believes that at the election of governors will directly result in a better governor and nd qualified q in accordance with the aspirations of the community. When n the th direct election of governors still want to maintain good political learning lear required of every political elite, gubernatorial candidate and his is team t to the community, so that social disharmony can be removed and may awaken in the middle of social capital - the community.

Keywords: agrotechnopark, regional development. ent. Wanda Kuswanda Model of Utilization and Policy to Decrease Wild ildlife Hunting around Forest of Batang Toru Block, North Sumatra o. 44, p. 279-288 Inovasi, Journal of Politics and Policy, Vol 8, No. Communities around the Forest of Batang Toru Blo Block have made use of wildlife as a source of protein. This research was conducted to obtain information of characteristic, knowledge and utilization model communities for wildlife as a policy recommendati dation to reduce hunting around Batang Toru Block Forest. Species of w wildlife that are the object of research is limited on deer (Rusa unico nicolor, Kerr 1792) and mountain goat (Capricornis sumatraensis, Bechs echstein 1799). Data collection were conducted from April to November ber 2010, by questioners to selected communities and analyzed whi whit frequency tables. Characteristics of most community are farmer er about 76.1% with average incomes below Rp. 750,000, - per family ily pper month. Wildlife is generally obtained by hunting with the help of a pe pets such as dogs, put snares or traps. Animals caught was utilized zed for food or sold. Communities find that deer and mountain goatt is protected (59.6% of respondents) and population is declining. Recom ecommended substances policy to reduce the hunting of which is the he extension, make an alternative works programs, regulate access to nnatural resource use and development of animal breeding. Keywords: wildlife, policy, community, Forest off B Batang Toru Block.

Keywords : Election, Governor, Nort orth Sumatra, Politic, Economic, Social, Community. Gunanto, Bungaran Fotarisman Zaluchu

Antonius

Simanjuntak, Sim

Ester

Hutabarat,

rth Sumatra Model of Trafficking Handling in North Inovasi, Journal of Politics and Policy, cy, Vol V 8, No. 4, p. 302-310 Cases of trafficking are contemporary ary social problems in Indonesia, which is increasingly growing number er of o victims. High rates of poverty, unemployment and dropout rates, and low education levels, a few things that make Indonesian people ople increasingly vulnerable to trafficking. No exception of North Sumatra Sum that was ranked the 5th place of origin of trafficking victims. ms. So it needs to be sustainable handling in preventing and dealing with wi victims of trafficking to its conclusion. The purpose of this study iss to formulate and test trafficking handling model that best suits the cond onditions in the province of North Sumatra to get the most up approach h attempts at to tackle the problem of trafficking victims. This study usess a participatory approach with qualitative analysis method, where re the collection of data and information is done through Focus Group Gro Discussion (FGD), in-depth interviews, field observations and literature lite review. The study was conducted in several districts / cities ies are a prone cases of trafficking, namely Asahan District, Langkat, Sima imalungun District, Deli Serdang regency, Medan City, Binjai City, and nd the t Regency Tanjung Balai. The results of this study is a model of integra egrated handling of trafficking and


synergy, starting from the Prevention, Management, Rehabilitation and Reintegration. Keywords: Model Reintegration

Management,

Trafficking,

Keywords: Global Positioning System, Satellite Imagery, position coordinates, Eight World sites, North Sumatra.

Rehabilitation,

Fotarisman Zaluchu Community perception in North Sumatra toward new student recruitment system at favoured school Inovasi, Journal of Politics and Policy, Vol 8, No. 4, p. 311-319 Every year, people compete to seek and to send their children to follow recruitment process of new students. However, this process in North Sumatra Province produces many problems especially incomplete information about the process and its recruitment system and the lack of transparency. This study aimed to know community perception toward new student recruitment system at favoured school in North Sumatra Province. Study sample consisted of 630 respondents, who have children at high school in Medan City, Toba Samosir or Tapanuli Tengah, have been interviewed after selected by rapid survey approach, and have been asked about the information accessibility, the cost of selection transparency, and the community participation and the school quality in recruitment process at favoured school. Data have been conducted by structured-questionnaire and processed by using frequency distribution table, cross tabulation statistical test by chisquare test at α=0.05 level. This study have shown that 67 percent have valued that selection process had “good”, while 26 percent have pointed that selection process had “not-good”. The most inappropriate processes, as respondents perceived, were community participation (36.2 percent) and cost of selection transparency (57.7 percent). Therefore, recruitment process needed to improve was the cost. Alternative option to apply recruitment system is on-line method. In addition, it is recommended to make school assessment profile and task force team during the new students recruitment process. School Committee independency also emphasized. Keywords: New Student Selection, Information Accessibility, Cost of Selection Transparency, Community Participation, Quality, North Sumatra Province Ichwan Azhari Mapping Of Eigth Sites In North Sumatra Inovasi, Journal of Politics and Policy, Vol 8, No. 4, p. 320-333 Activity mapping by using Global Positioning System (GPS) is primarily to determine the point coordinates and satellite images of areas such high historical value. Nevertheless, this study is merely making the Global Positioning System (GPS) and a brief description is made primarily to describe the eight sites in question. Therefore, to obtain complete information about the historical and archaeological aspects of the eight sites in question, it is necessary to do profiling results of comprehensive research on the site is the involvement of a number of archaeologists, historians and cultural experts to provide a complete explanation. The main purpose of this mapping is to determine the location coordinates and satellite imagery of the world that there are eight sites in North Sumatra Province, namely 1) Barus, 2) Padang Lawas 3) City of China, 4) City Rentang, 5) Princess Castle Green Delitua, 6) Pulau Kampai, 7) Historic Buildings in Medan and 8) Said Lake oil wells. Mapping carried out by using Geographic Information Systems with a Global Positioning System (GPS) satellite system that is relying on to determine the accuracy of the sites. To obtain data required in this activity reached by two ways namely documentation study of manuscripts, reports foreign wanderer, research reports, excavation reports, journal articles as well as the results of an analysis of artifacts or its evidence. These results are used to determine the significance of the eight sites. Meanwhile, the mapping is done by plunging directly in the field using GPS which is converted by using computer software that is Googlearth. The results showed activity position of eighth sites referred to the site as well as satellite imagery from some certain height in the computer software through googlearth. Given this activity, a complement to the documentation of the world that there are eight sites in North Sumatra.

Ardjoni Munir Supervisors Performance and School Committees toward Improving Education Quality at Primary Level in Medan City Inovasi, Journal of Politics and Policy, Vol 8, No. 4, p. 334-345 This study aims to see whether the performance of education and the role of supervisors and school committees can improve the quality of primary education in Medan. Samples from this study population was superintendent of education, kimote schools and teachers who teach in elementary school, each 15 people. There are three types of tools used to capture the research data : questionnaires and observation sheet to see competency of teachers in the implementation of quality and manuscripts PBM EBTANAS UAS TP 2000/2001 and 2003/2004. Based on the research results can be concluded that the performance of education and the role of supervisors and school committees have not been able to meningatkan education in primary schools. Keywords: performance, education supervisors, school committees and the quality of education Lily Wardhani, Iskandar Muda, Azizul Kholis Influencing Factors of General Allocation Fund at District/ City in North Sumatra Province Inovasi, Journal of Politics and Policy, Vol 8, No. 4, p. 346-355 This research purpose is to know how Popullation, Coverage Area, Human Index Development (HID), Construction Scarce Index, and Gross Domestic Product (PDRB) Constant Price influence to General Alocation Fund (DAU). The analyze method that is used in this research is quantitative method with multiple linier regression. The object of this research variable are Popullation, Coverage Area, Human Index Development (HID), Construction Scarce Index and Gross Domestic Product (PDRB) Constant Price influence and Dana Alokasi Umum. with amount of sample are 23 companies from City and Regency in North Sumatera Province the year 2003 up to year 2007. The result of this research showed that Popullation, Coverage Area, Human Index Development (HID), Construction Scarce Index, dan Gross Domestic Product (PDRB) Constant Price and General Alocation Fund (DAU) is partially and simultaneously influence with explained by variation the expressed in Adjusted R2 equal to 85,4 % is while the rest equal to 14,6% influenced by other variable which is explained by this research model, but partially Popullation, Coverage Area, Human Index Development (HID), Construction Scarce Index has significant to the Dana Alokasi Umum. While Gross Domestic Product (PDRB) Constant Price has not significant to the General Alocation Fund (DAU). This research thereby for Head Regency and City Goverment have to can do for decision of General Alocation Fund (DAU) plan in implement for decisions. Keywords : Popullation, Coverage Area, Human Index Development (HID), Construction Scarce Index, dan Gross Domestic Product (PDRB) Constant Price and General Alocation Fund (DAU). Suharta Green Technology as a Best Policy Option in Gold Mining Management Inovasi, Journal of Politics and Policy, Vol 8, No. 4, p. 356-364 Large-scale exploitation of the gold mining without considering the continuity of the ecosystem around the site potentially causing pollution of the bio-physical environment and negative impact for social community. Negative impact which changed the environment should be anticipated through the adoption of Green Technology, which is the commitment of all stake holders of gold mining to create a friendly mining environment and reclamation on the mining area, as well as to improve the quality of environment and well-being of neighboring communities. Green technology is a technology that in expansion based


on the effort to preserve the environment and human well-being of present and future. Gold mining in Indonesia, mostly using un-friendly environment technology such as amalgamation method and/or Carbon In Pulp method using cyanide solvents. The use of chloride solvents, thiosulphate and thiourea solvents are environmentally friendly compared with the cyanide solvent. Community-based gold mining processing has the potential to improve the welfare of society, more secure and can be applied in Indonesia. Keywords: Amalgamation, carbon in pulp, green technology, gold mining, sustainable development


Volume 8, Nomor. 4

Desember 2011

ISSN 18291829-8079

DAFTAR ISI

Halaman Kajian Pengembangan Kawasa awasan Agrotechnopark di Sumatera Utara (Retno Astuti Kuswardani)

271-278

Model Pemanfaatan Dan Kebi Kebijakan Untuk Mengurangi Perburuan Satwaliar Satwa Di Sekitar Hutan Blok Batang tang T Toru, Sumatera Utara (Wanda Kuswanda)

279-288

Evaluasi Pemilihan Gubernur rnur S Secara Langsung Di Sumut Tahun 2008 (Badaruddin)

289-301

Model Penanganan Trafficking ing Di Sumatera Utara (Gunanto, Bungaran Antoniuss Sim Simanjuntak, Ester Hutabarat, Fotarisman Zaluchu chu)

302-310

Persepsi Masyarakat Sumatera atera Utara Terhadap Sistem Seleksi Siswa Baru Di Sekolah-Sekolah Unggulan (Fotarisman Zaluchu)

311-319

Pemetaan Terhadap Delapan pan Si Situs Dunia Di Sumatra Utara (Ichwan Azhari)

320-333

Kinerja Pengawas Pendidikan ikan D Dan Peran Serta Komite Sekolah Terhadap Peningkatan Mutu Pendidikan ikan Sekolah Dasar Di Kota Medan (Ardjoni Munir)

334-345

Faktor – Faktor Yang Mempen mpengaruhi Penyusunan Dana Alokasi Umum Pada Kabupaten/Kota Di Propinsi insi Su Sumatera Utara (Lily Wardhani, Iskandar Muda da, Azizul Kholis)

346-355

Teknologi Ramah Lingkungan ngan Sebagai Pilihan Kebijakan Terbaik Dalam Pengelolaan Pertambang mbangan Emas (Suharta)

356-364


Jurnal Inovasi Vol. 8 No. 4, Desember 2011

Kajian Pengembangan Kawasan Agrotechnopark di Sumatera Utara (Study of Agrotechnopark Area Development in North Sumatra ) Retno Astuti Kuswardani Universitas Medan Area Jl. Sei Serayu Medan Naskah masuk: 20 Agustus 2011; Naskah diterima: 11 November 2011 ABSTRAK Kajian ini bertujuan untuk pemilihan kawasan agrotechnopark yang potensial dikembangkan; memperoleh gambaran wilayah yang potensial dalam pengembangan kawasan agrotechnopark; mengetahui perencanaan, pengelolaan dan pengawasan dalam pengembangan kawasan agrotechnopark; dan mengetahui strategi pengembangan kawasan agrotechnopark di Sumatera Utara guna mendukung pembangunan wilayah yang berbasis kawasan agrotechnopark. Sampel penelitian terdiri dari 4 kawasan: pertanian tanaman pangan dan peternakan terpadu di Desa Sei Buluh wilayah Kabupaten Serdang Bedagai; kawasan peternakan dan pertanian tanaman hortikultura terpadu di Desa Jarang Uda yang berada wilayah Kabupaten Karo; kawasan budidaya perikanan air tawar terpadu di Desa Selotong wilayah Kabupaten Langkat; dan kawasan agrotechnopark Yayasan Ekosistem Lestari, Desa Timbang Lawan wilayah Kabupaten Langkat yang telah dibentuk sejak beberapa tahun yang lalu. Dari kajian ini diperoleh hasil: Desa Sei Buluh Kabupaten Serdang Bedagai merupakan kawasan yang representatif dan unggul untuk dikembangkan dibandingkan dengan tiga lokasi lainnya. Hal ini didasarkan pada: produk berbasis dan terintegrasi pada sub sistem hulu dan hilir pada sektor pertanian dan peternakan serta telah dilakukan pengelolaan lingkungan terutama limbah pertanian dan peternakan; produk yang dihasilkan telah memiliki nilai tambah dan efisiensi input; dan peran berbagai kelompok tani dalam memberikan kontribusi positif dalam bentuk produktivitas, pendapatan dan keahlian dan adanya peran stakeholders. Kata Kunci: agrotechnopark, Pengembangan Kawasan

ABSTRACT This study aimed to the selection of potential areas agrotechnopark developed; obtain a description of potential areas in the development of the area agrotechnopark; know the planning, management and supervision in the development of the area agrotechnopark; and knowing the development strategy agrotechnopark area in North Sumatra in support of regional development based agrotechnopark region. Study sample consisted of four areas: agricultural crops and livestock in the village of Sei integrated reed Bedagai Serdang Regency area; areas of animal husbandry and horticulture crops integrated in the village of Uda Rarely located Karo Regency; area of integrated freshwater fish farming in the village district Selotong Langkat; and regions agrotechnopark foundation for Sustainable Ecosystems, Foes Weigh Village Langkat region that has been established since several years ago. From this study the results obtained: Village Sei Serdang Bedagai Reed is an area representative and superior to be developed in comparison with three other locations. It is based on: productbased and sub-systems integrated on the upstream and downstream on agriculture and animal husbandry and environmental management have been conducted primarily agricultural waste and livestock products produced have added value and efficiency of inputs, and the role of various groups of farmers in contributing positive in the form of productivity, income and expertise and the role of stakeholders. Keywords: agrotechnopark, regional development.

271


Kuswardani, RA., Kajian Pengembangan Kawasan Agrotechnopark di Sumatera Utara

Langkat. Tiga kawasan tersebut merupakan kawasan-kawasan terpadu yang akan dikembangkan menjadi kawasan Agrotechnopark. Selain itu mengevaluasi kawasan Agrotechnopark Yayasan Ekosistem Lestari, Desa Timbang Lawan Wilayah Kabupaten Langkat yang telah dibentuk sejak beberapa tahun yang lalu. Pelaksanaan kegiatan kajian ini berlangsung selama 4 (empat) bulan dari bulan Juni hingga September 2010.

PENDAHULUAN Agrotechnopark adalah suatu kawasan untuk menerapkan berbagai jenis teknologi di bidang pertanian, peternakan, perikanan, pengolahan hasil (pasca panen) yang telah dikaji oleh berbagai lembaga penelitian Pemerintah/Swasta untuk diterapkan dalam skala ekonomi yang berfungsi sebagai tempat pelatihan dan pusat transfer teknologi ke masyarakat luas (Kemenristek, 2002 ).

B. Disain Penelitian Langkah awal yang dilakukan dalam Kajian Pengembangan Agrotechnopark di Sumatera Utara adalah penyediaan data baik data primer dan data sekunder. Data yang sudah terkumpul dianalisis untuk memberikan informasi yang jelas. Dengan format deskriptif kuantitatif maka analisis data dilakukan melalui interpretasi berdasarkan pemahaman intelektual yang dibangun berdasarkan pengalaman empiris.

Pemerintah Provinsi Sumatera Utara pada tahun 2009 telah mencanangkan pembangunan agrotechnopark (taman teknologi pertanian) bekerjasama dengan pihak swasta Yayasan Ekosistem Lestari (YEL) di Desa Timbang Lawan Kecamatan Bahorok Kabupaten Langkat. Agrotechnopark yang dibangun di Sumatera Utara ini dapat digunakan sebagai salah satu percontohan di Indonesia, karena selama ini kawasan agrotechnopark tersebut hanya dibangun oleh pemerintah. Pembangunan agrotechnopark dapat menguntungkan pemerintah daerah, petani dan masyarakat.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Pemilihan Wilayah untuk Pengembangan Kawasan Agrotechnopark Kawasan terpadu yang berbasis sektor pertanian, peternakan dan perikanan yang akan dikembangkan menjadi kawasan agrotechnopark berada pada suatu wilayah tertentu .Pemilihan wilayah untuk pembangunan bertujuan untuk menciptakan pembangunan yang interaktif, responsif dan fungsional. Pembangunan wilayah yang komprehensif didasarkan pada potensi sumberdaya yang tersedia baik secara fisik dan finansial dan program pembangunan, (Adisasmita, R. 2005).

Sejalan hal tersebut, untuk menghadirkan agrotechnopark lainnya di Sumatera Utara yang memiliki spesifikasi masing-masing daerah sesuai dengan potensi sumberdaya lokal yang dimiliki dapat menjawab kebutuhan ketahanan pangan dan menumbuh kembangkan teknologi pertanian bukanlah pekerjaan yang mudah. Untuk itu diperlukan sebuah kajian yang komprehensif untuk mendapatkan berbagai data dan informasi yang diperlukan guna untuk mendukung pengembangan agrotechnopark di Provinsi Sumatera Utara, maka perlu dilakukan Kajian Pengembangan Kawasan Agrotechnopark di Sumatera Utara.

Wilayah Kabupaten Serdang Bedagai Potensi fisik, kondisi geografis yang meliputi luas wilayah yakni 190.022 Km2. Sarana dan prasarana yang mendukung yakni akses jalan, sarana transportasi dan irigasi. Tanaman pangan yang dapat dikembangkan adalah komoditas tanaman pangan, ternak besar dan unggas. Potensi keuangan, nilai PDRB tahun 2007 Rp.6.429,01 milyar. Sektor pertanian merupakan kontributor utama terhadap PDRB Kabupaten Serdang Bedagai yakni 40,97%, sektor industri 19,48%, sektor perdagangan, hotel dan restoran 14,9% dan sektor jasa sebesar 15,16%. Program pembangunan, yang berkaitan dengan sektor pertanian tanaman pangan dan peternakan adalah program pembangunan pertanian sub ketahanan pangan, peningkatan ketahanan pangan, pencegahan dan penanggulangan penyakit, peningkatan produksi hasil peternakan, peningkatan pemasaran hasil produksi peternakan dan peningkatan penerapan teknologi peternakan.

Adapun tujuan kajian ini adalah:; (1) memperoleh gambaran wilayah yang potensial dalam pengembangan kawasan agrotechnopark di Sumatera Utara; (2) pemilihan kawasan agrotechnopark (3) perencanaan, pengelolaan dan pengawasan; dan (4) strategi pengembangan kawasan.

METODE PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Lokasi kegiatan Kajian Pengembangan Agrotechnopark di Sumatera Utara adalah Kawasan Pertanian Tanaman Pangan dan Peternakan Terpadu di Desa Sei Buluh Wilayah Kabupaten Serdang Bedagai, Kawasan Peternakan dan Pertanian Tanaman Hortikultura Terpadu di Desa Jarang Uda yang berada Wilayah Kabupaten Karo, Kawasan Budidaya Perikanan Air Tawar Terpadu di Desa Selotong Wilayah Kabupaten 272


Jurnal Inovasi Vol. 8 No. 4, Desember 2011

fasilitas produksi, pengolahan limbah ternak sebagai bahan baku pengolahan kompos dengan menggunakan mol dari berbagai jenis bahan dan dekomposer. Aspek ekonomi, bernilai ekonomi, memiliki nilai tambah produk dan efisiensi input. Aspek sosial, ikatan sosial yang tinggi dan berperan aktif dalam kegiatan produksi, pelatihan dan studi banding. Kontribusi positif telah diterima masyarakat dan peran stakeholder yang terkait.

Wilayah Kabupaten Karo Potensi fisik, kondisi geografis meliputi luas wilayah sekitar 2.127,25 Km2, sarana dan prasarana yang mendukung pengembangan kawasan terdiri dari jalan, sarana transportasi dan pariwisata. Komoditas yang dikembangkan adalah peternakan dan hortikultura terutama tanaman buah dan sayur dataran tinggi. Potensi keuangan, PDRB Kabupaten Karo dari tahun 2000 hingga 2005 adalah rata-rata 11,84% pertahun. Penyumbang terbesar terhadap PDRB Kabupaten Karo pada periode tahun 20002005 adalah sektor pertanian (61%-66,2%), sektor perdagangan/hotel/restoran (11%-13%), jasa (810%), pengangkutan & komunikasi (79%). Program pembangunan, yang berkaitan dengan sektor peternakan dan pertanian tanaman hortikultura adalah program pengembangan agribisnis, peningkatan ketahanan pangan, pengembangan pertanian organik dan peningkatan kesejahteraan petani.

Kriteria Pemilihan Kawasan Peternakan dan Pertanian Tanaman Hortikultura Terpadu di Desa Jarang Uda Aspek fisik, potensi biofisik yakni komoditas peternakan dan tanaman hortikultura dengan luas lahan 13 Ha. Sarana infrastruktur yang dimiliki dianggap layak karena memiliki akses yang mudah terhadap fasilitas umum, fasilitas produksi dan misi kawasan ini adalah �zero waste�, yakni tidak adanya sisa yang dihasilkan dalam pengelolaan kawasan seperti mengolah limbah (kotoran ternak) menjadi kompos. Aspek ekonomi, bernilai ekonomi, pemberian nilai tambah produk dan efisiensi input terutama pada komoditas peternakan dan tanaman hortikultura. Aspek sosial, Penduduk yang bermukim di sekitar kawasan umumnya bermata pencaharian petani, kawasan berkontribusi positif terhadap masyarakat petani, umum dan mahasiswa, namun masih perlu perhatian karena belum adanya peran stakeholder yang terkait.

Wilayah Kabupaten Langkat Potensi fisik, kondisi geografis yang meliputi luas wilayah yakni 6.263,29 Km2. Sarana dan prasarana yang mendukung yakni jaringan jalan, sarana transportasi umum, sarana komunikasi sarana perbankan dan koperasi. Komoditas yang dikembangkan di wilayah ini adalah perikanan air tawar dan perkebunan. Potensi keuangan, perekonomian Kabupaten Langkat didominasi oleh sektor Pertanian, Perdagangan dan Industri Pengolahan dengan kontribusi terhadap perekonomian Kabupaten Langkat sebanyak 79,81%. Program pembangunan yang berkaitan dengan perikanan air tawar adalah program pembinaan dan pengembangan perikanan budidaya air payau, program peningkatan kualitas lingkungan hidup dan program pelestarian lingkungan hidup. Pemilihan Kawasan Kriteria pemilihan kawasan agrotechnopark berdasarkan atas aspek teknis (potensi biofisik, sarana infrastruktur dan pengelolaan lingkungan), ekonomi (nilai ekonomi komoditas, nilai tambah produk, dan efisiensi input) dan sosial (gambaran kehidupan masyarakat di sekitar kawasan, kontribusi kawasan terhadap pengembangan masyarakat sekitar kawasan, dan partisipasi stakeholder terhadap kawasan).

Kriteria Pemilihan Kawasan Budidaya Perikanan Air Tawar Terpadu di Desa Selotong Aspek fisik, kondisi biofisik yakni berbagai komoditas perikanan air tawar. Sarana infrastruktur yang dimiliki dianggap layak kawasan memiliki akses terhadap fasilitas umum dan telah dilakukan pengelolaan lingkungan. Aspek ekonomi, bernilai ekonomi, memberikan nilai tambah produk dan efisiensi input. Aspek sosial, penduduk yang bermukim di sekitar kawasan umumnya bermata pencaharian sebagai petani tanaman buah-buahan, perkebunan, dan perikanan. Kontribusi kawasan terhadap pengembangan masyarakat sebagai penyedia lapangan kerja dan memberikan kesempatan magang siswa SMK Pertanian/Perikanan serta partisipasi dalam penyediaan bibit rumput laut untuk kelompok tani binaan Pemerintah Daerah Kabupaten Langkat.

Pemilihan Kawasan Pertanian Tanaman Pangan dan Peternakan Terpadu di Desa Sei Buluh. Aspek teknis, Potensi biofisik yakni berbagai komoditas tanaman pangan, hortikultura dan peternakan dengan luas lahan 80 Ha. Sarana infrastuktur yang dimiliki layak untuk mendukung pengembangan kawasan menjadi agrotechnopark karena kawasan berdekatan dengan jalan utama dan fasilitas umum lainnya, sistem irigasi teknis dan

Manajemen Pengembangan Kawasan Agrotechnopark Pemanfaataan sumberdaya berbasis sektor pertanian perlu dilakukan untuk mencapai tujuan dalam pengembangan kawasan menjadi kawasan agrotechnopark dengan menerapkan manajemen yang tepat. Manajemen memiliki berbagai fungsi sebagai pedoman dalam pencapaian tujuan yakni fungsi perencanaan, pengelolaan dan evaluasi. 273


Kuswardani, RA., Kajian Pengembangan Kawasan Agrotechnopark di Sumatera Utara

Manajemen Pengembangan Kawasan Pertanian Tanaman Pangan dan Peternakan Terpadu di Desa Sei Buluh Perencanaan, produk (penambahan produk dari sektor perikanan air tawar yang sesuai dengan kondisi kawasan, penambahan produk olahan, pengembangan penangkaran bibit, penciptaan agroeduwisata, penyediaan teknologi tepat guna; sarana dan prasarana (penambahan fasilitas produksi, penelitian, wisata dan komunikasi, perbaikan fasilitas umum). Pengelolaan, kegiatan organisasi yang berorientasi bisnis, penambahan modal, kemitraan bidang off farm, peningkatan kualitas SDM, job description dan job desk, memperluas jangkauan pemasaran, pelayanan yang memuaskan bagi konsumen, pengurangan residu zat kimia komoditas, dan penerapan metode yang efisien dalam proses produksi. Evaluasi, penjaminan mutu komoditas, antisipasi perubahan harga, pencegahan dan pengendalian hama dan penyakit, dan pemberian penghargaan bagi karyawan.

Manajemen Pengembangan Kawasan Agrotechnopark Yayasan Ekosistem Lestari di Desa Timbang Lawan. Produk, sistem multiple cropping (tanaman pangan, hortikultura, perikanan dan peternakan dan olahan). Jenis komoditas yang diusahakan adalah tanaman pangan, tanaman hortikultura, rempah-rempah dan tanaman obat, produk olahan, tanaman untuk pestisida nabati dan pupuk organik, peternakan dan perikanan air tawar. Sarana dan prasarana, fasilitas produksi, penelitian dan umum. Kelembagaan, organisasi Yayasan Ekosistem Lestari dibawah pimpinan Bapak dr. Sofyan Tan. Yayasan Ekosistem Lestari memiliki tiga divisi yaitu Konservasi (Orang Utan), Pusat Pendidikan Lingkungan Hidup (PPLH), dan Humanitarian (Penanganan Pasca Bencana). Pusat Pendidikan Lingkungan Hidup (PPLH) membawahi tiga sub divisi yakni : Ecoledge Bukit Lawang (Cottage), Pusat Pertanian Organik memiliki dua kegiatan yaitu Ecofarming Center dan Community Development, Pendidikan Lingkungan Hidup yang memiliki kegiatan campaign. Sumberdaya manusia yang digunakan dalam kebun Agrotechnopark berjumlah 19 orang yang terdiri dari tenaga lapangan, manajer, asisten manajer / koordinator tenaga lapangan, dan staf pemberdayaan masyarakat serta tenaga administrasi. Sumber dana yang digunakan dalam agrotechnopark berasal dari Yayasan Ekosistem Lestari (YEL). Kemitraan, pembinaan kelompok tani yang berada di sekitar daerah Bahorok, kerjasama dan bantuan dengan Balitbang Provinsi Sumatera Utara, Kementerian Ristek dan Teknologi RI, Dinas Pertanian Provinsi Sumatera Utara, Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Sumatera Utara, Dinas Pertambangan Provinsi Sumatera Utara, Badan Penelitian dan Pengembangan Provinsi Sumatera Utara, Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah Provinsi Sumatera Utara, Badan Perpustakaan Daerah Provinsi Sumatera Utara, Dinas Peternakan Provinsi Sumatera Utara dan Dinas Perkebunan Provinsi Sumatera Utara. Kawasan Penyangga (Buffer Zone), zona jasa (pendidikan dan pelatihan dan wisata), zona ekonomi (produksi produk organik) dan zona sumberdaya / input (bibit, pupuk dan pestisida yang bersifat organik). Keberlanjutan, sertifikat pertanian organik dari Lembaga Sertifikasi Seluliman Surabaya, penggunaan teknologi tepat guna dan ramah lingkungan, partisipasi masyarakat yang aktif.

Manajemen Pengembangan Kawasan Peternakan dan Pertanian Tanaman Hortikultura Terpadu di Desa Jarang Uda Perencanaan, produk (pengemasan susu dalam kaleng, pemberian label nama, pengolahan jeruk, pengolahan pakan nabati, penambahan paket wisata peternakan sapi); Sarana dan prasarana (penambahan fasilitas produksi, penelitian, wisata dan perbaikan fasilitas umum). Pengelolaan, peningkatan skala produksi, perluasan daerah pemasaran, penambahan karyawan, penjualan komoditas untuk kesehatan, mengurangi residu zat kimia, memberikan metode yang efisien dalam proses produksi, kemitraan dengan peternak kecil, kerjasama dengan pihak perbankan dan pemerintah. dalam penyediaan modal dan penerapan kebijakan di bidang peternakan dan pertanian. Evaluasi, penjaminan mutu, sanitasi dan vaksinasi, pengendalian hayati dan pemberian reward bagi karyawan. Manajemen Pengembangan Kawasan Budidaya Perikanan Air Tawar Terpadu di Desa Selotong Perencanaan, produk (penambahan produk dari sektor pertanian, pengemasan rumput laut, penciptaan agroeduwisata dan perluasan pemasaran), sarana dan prasarana (penambahan fasilitas produksi, penelitian dan wisata serta perbaikan fasilitas umum). Pengelolaan, penambahan modal produksi, kemitraan bidang off farm, penambahan kuantitas dan kualitas sumber daya manusia, job description dan job desk, memperluas jangkauan pemasaran. Evaluasi, penjaminan mutu, vaksinasi, pembuatan tanggul dan pemberian reward bagi karyawan.

Strategi Pengembangan Kawasan Agrotechnopark Strategi pengembangan kawasan agrotechnopark menggunakan pendekatan keterpaduan, business approach, sustainability (keberlanjutan), 274


Jurnal Inovasi Vol. 8 No. 4, Desember 2011

pemberdayaan masyarakat, dan pemanfaatan iptek.. Untuk merumuskan strategi maka dibutuhkan analisis lingkungan internal (kekuatan dan kelemahan) dan eksternal (peluang dan ancaman).

Kebijakan pembangunan nasional tentang kecukupan gizi dan kesehatan, program pembangunan Kabupaten Karo tentang pengembangan agribisnis, kebijakan pembangunan peternakan wilayah Karo dalam mengembangkan bisnis peternakan sapi. Ancaman, Perkembangan teknologi produksi yang mahal, penyebaran penyakit dari sapi impor dan pengaruh lingkungan, persaingan pasar bebas yang mengizinkan produk susu dan daging sapi impor, persaingan bisnis dengan perusahaan besar, kurangnya dukungan instansi terkait (pemerintah). Langkah Strategis pengembangan kawasan menjadi kawasan agrotechnopark berbasis peternakan dan pertanian tanaman hortikultura.

Strategi Pengembangan Kawasan Pertanian Tanaman Pangan dan Peternakan Terpadu di Desa Sei Buluh Kekuatan, sistem multiple cropping, kerjasama dengan PT. Sang Hyang Seri, sistem pertanian berkelanjutan dan ramah lingkungan, efisiensi input dan peningkatan produksi, penggunaan pupuk kompos dan benih bersertifikat, menyediakan pelatihan, penerapan sistem SRI pada budidaya padi sawah, pengolahan kotoran ternak menjadi kompos, penggilingan padi, tingginya motivasi petani dalam pendidikan anggota keluarga, peran aktif remaja dan akses transportasi yang mudah. Kelemahan, Keengganan kelompok tani terhadap perbankan, nilai tambah komoditas masih kurang, teknologi yang tersedia masih terbatas dan belum tepat guna, Sarana dan prasarana untuk produksi, penelitian dan umum belum mendukung, jangkauan pemasaran masih kurang, bersifat semi organik, belum adanya penjaminan mutu, tingkat pendidikan petani masih rendah.

Strategi Pengembangan Kawasan Budidaya Air Tawar Terpadu di Desa Selotong Kekuatan, sistem multiple produk (yakni udang, ikan bandeng dan rumput laut), penggunaan sistem intensif dalam budidaya udang putih, usahatani yang ramah lingkungan Efisiensi input, jumlah dan luas kolam selalu bertambah, dikelola oleh perusahaan dan produsen bibit rumput laut. Kelemahan, Belum melakukan usahatani di bidang pertanian dan peternakan, nilai tambah kurang, teknologi terbatas, sarana dan prasarana untuk produksi, penelitian dan umum belum mendukung, jangkauan pemasaran kurang, semi organik, belum adanya penjaminan mutu, belum memiliki label produk, masih tergantung pada agen, kontribusi kawasan terhadap pengembangan masyarakat sekitar masih rendah, partisipasi kelompok tani sekitar kawasan belum ada. Peluang, Kebutuhan ekspor udang sangat besar, udang merupakan sektor unggulan di Kabupaten Langkat, proses administrasi perijinan untuk tambak dipermudah, peluang pasar di sektor pariwisata, tersedianya pelatihan dalam peningkatan kemampuan petani, permintaan rumput laut untuk industri kosmetik dan obat-obatan, produk rumput laut yang spesifik. Ancaman, Perubahan iklim global, Harga pakan udang mahal, persaingan pasar bebas, persaingan bisnis dengan perusahaan besar, kurangnya dukungan instansi terkait (Pemerintah). Langkah Strategis, pengembangan kawasan menjadi kawasan agrotechnopark berbasis budidaya perikanan air tawar.

Peluang, kebijakan ketahanan pangan nasional, kebijakan regional swasembada beras dan peningkatan tekhnologi padi sawah, wilayah sentra produksi padi sawah , adanya program CSR pada perusahaan-swasta, peluang pasar di sektor pariwisata, pembinaan yang intensif dari Dinas Pertanian dan Peternakan. Ancaman, perkembangan teknologi produksi yang masih mahal, perubahan iklim global, konversi lahan, persaingan pasar bebas, kurangnya dukungan instansi terkait seperti instansi pemerintah selain Dinas Pertanian dan Peternakan. Langkah Strategis pengembangan kawasan menjadi kawasan agrotechnopark berbasis tanaman pangan dan peternakan. Strategi Pengembangan Kawasan Peternakan dan Pertanian Tanaman Hortikultura Terpadu di Desa Jarang Uda Kekuatan, kawasan menggunakan sistem multiproduct (peternakan dan hortikultura), berorientasi selera konsumen, penyediaan agen dalam penyaluran susu ke luar daerah, usahatani bersiklus biologi, efisiensi input, menyediakan penelitian, pelatihan dan praktek kerja lapang bagi petani, dan pelajar, penyediaan paket agroeduwisata, penerapan teknologi pemerahan susu tanpa manual, dikelola oleh perusahaan. Kelemahan, Teknologi terbatas, sarana dan prasarana untuk penelitian dan umum belum mendukung, jangkauan pemasaran terbatas, usahatani semi organik, belum adanya penjaminan mutu, belum adanya label nama produk. Peluang,

Strategi Pengembangan Kawasan Agrotechnopark Yayasan Ekosistem Lestari, Desa Timbang Lawan. Kekuatan, keterpaduan (integrasi pertanian, peternakan dan perikanan dalam satu siklus produksi), Pengolaan sistem pertanian terpadu yang menggunakan sistem BCF (Bio-Cycle Farming), pengelolaan usahatani yang ramah lingkungan, sistem penjaminan mutu, pengelolaan secara mandiri,pemberdayaan masyarakat, penggunaan 275


Kuswardani, RA., Kajian Pengembangan Kawasan Agrotechnopark di Sumatera Utara

teknologi ramah lingkungan, efisiensi usahatani dan partisipasi aktif masyarakat. Kelemahan, sarana dan prasarana yang terbatas, pendekatan bisnis yang kurang, jangkauan pemasaran terbatas, kurangnya sosialisasi, kurangnya kegiatan off farm, kurangnya nilai tambah produk. Peluang, kebijakan pembangunan nasional tentang pembangunan pertanian berkelanjutan, kontribusi sektor pertanian yang berperan utama dalam PDRB Kabupaten Langkat, program pembangunan kabupaten Langkat yang berfokus pada pelestarian lingkungan, peluang pasar sektor pariwisata, permintaan pasar yang tinggi terhadap input dan produk organik, respon masyarakat yang positif, dukungan dan bantuan para stakeholder dari instansi pemerintahan. Ancaman, perubahan iklim global, tidak adanya penanganan yang lebih lanjut oleh pemerintah terkait untuk mengembangkan agrotechnopark, pencemaran lingkungan, persaingan bebas dari pasar yang dapat menurunkan harga produk kawasan agrotechnopark.

pendapatan dan keahlian, telah adanya peran stakeholder yang terkait antara lain Pemerintah Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Serdang Bedagai dan PT SHS dalam memberikan pembinaan pada kelompok tani untuk pengembangan kawasan terpadu. Di samping itu, perlu adanya master plan kawasan agrotechnopark yang berbasis tanaman pangan dan peternakan di Desa Sei Buluh yang memiliki berbagai fasilitas seperti fasilitas produksi, penelitian, pariwisata dan umum.

KESIMPULAN 1.

Langkah Strategis, pengembangan kawasan agrotechnopark yang dapat manjadi pusat inovasi teknologi tepat guna, agrowisata dan pusat agribisnis yang menghasilkan produk unggulan dan memberikan kontribusi terhadap kesejahteraan masyarakat tidak hanya di dalam kawasan tetapi juga masyarakat di luar kawasan dengan menjaga kualitas mutu dan ramah lingkungan dan keberlanjutan kerjasama dengan stakeholder lainnya (masyarakat, swasta, pemerintah, perbankan dan kelembagaan riset). Pengembangan kawasan terpadu untuk menjadi kawasan agrotechnopark di Sumatera Utara yang direkomendasikan dalam kajian ini adalah kawasan pertanian tanaman pangan dan peternakan terpadu di Desa Sei Buluh yang berada di wilayah Kabupaten Serdang Bedagai. Hal ini dengan dipertimbangkan atas dasar telah tersedianya aspek fisik, ekonomi dan sosial yang representatif dan unggul dibandingkan dengan tiga tempat lainnya yang telah dikaji. Pemilihan kawasan ini didasarkan pada potensi sumberdaya yang tersedia dan dapat dimanfaatkan dalam setiap kegiatan dan disesuaikan dengan karakteristik sektor pertanian (Adisasmita, R. 2005).

2.

3.

Berdasarkan aspek fisik, keunggulan yang dimiliki yakni produk berbasis dan terintegrasi pada sub sistem hulu dan hilir pada sektor pertanian dan peternakan serta telah dilakukan pengelolaan lingkungan terutama limbah pertanian dan peternakan. Aspek ekonomi, produk yang dihasilkan telah memiliki nilai tambah dan efisiensi input. Aspek sosial, peran berbagai kelompok tani dalam pengelolaan kawasan terpadu memberikan kontribusi positif dalam bentuk produktivitas, 276

Pengembangan kawasan terpadu agrotechnopark di Sumatera Utara di Desa Sei Buluh Kabupaten Serdang Bedagai merupakan kawasan yang representatif dan unggul untuk dikembangkan dibandingkan dengan tiga lokasi lainnya. Hal ini didasarkan pada : a) aspek fisik, keunggulan yang dimiliki berupa : produk berbasis dan terintegrasi pada sub sistem hulu dan hilir pada sektor pertanian dan peternakan serta telah dilakukan pengelolaan lingkungan terutama limbah pertanian dan peternakan; b) aspek ekonomi, berupa : produk yang dihasilkan telah memiliki nilai tambah dan efisiensi input; c) aspek sosial, berupa : peran berbagai kelompok tani dalam memberikan kontribusi positif dalam bentuk produktivitas, pendapatan dan keahlian dan adanya peran stakeholders antara lain : Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Serdang Bedagai dan PT SHS dalam memberikan pembinaan pada kelompok tani. Pengembangan kawasan agrotechnopark memerlukan konsep manajemen yakni meliputi : a. fungsi perencanaan, berupa diversifikasi produk dan penambahan sarana dan prasarana; b. fungsi pengelolaan, berupa : pembenahan kelembagaan, peningkatan kualitas produk dan sumberdaya manusia, perluasan pasar dan kemitraan dengan stakeholder yang terkait; dan fungsi evaluasi, berupa : penjaminan mutu, meminimalkan resiko dan pemberian intensif. Manajemen agrotechnopark yang telah berjalan di kawasan agrotechnopark Yayasan Ekosistem Lestari dibedakan atas: 1) produk yang menghasilkan produk bersifat organik; 2) sarana prasarana yang hanya memiliki fasilitas produksi dan penelitian, 3) kelembagaan yang dikelola oleh organisasi Yayasan Ekosistem Lestari, 4) kawasan penyangga yang terdiri dari zona jasa, ekonomi dan input; 5) adanya pengelolaan usahatani yang ramah lingkungan dan berkelanjutan dengan melibatkan partisipasi aktif masyarakat.


Jurnal Inovasi Vol. 8 No. 4, Desember 2011

sinkronisasi dan koordinasi dari stakeholders yang terkait antara lain : Dinas Tenaga Kerja, Kementerian Ristek RI, Perguruan Tinggi, Lembaga Riset, Perbankan, Dinas Koperasi dan UMKM, Dinas Pertanian dan Peternakan, Dinas Perikanan, Dinas Kehutanan dan Dinas Perkebunan, Dinas Perindustrian, Kadin, Badan Penyuluhan Pertanian, Dinas Pariwisata, Dinas Pengairan PU, Bappedalda dan Investor/Swasta.

REKOMENDASI Berdasarkan kesimpulan di atas, maka dapat diambil beberapa saran: 1. Untuk mendukung pengembangan kawasan terpadu agrotechnopark di Sumatera Utara, perlu adanya proses alih teknologi terhadap kelompok tani atau peternak atau petambak yang berada di sekitar kawasan dan peningkatan partisipasi pihak stakeholder terkait seperti : pemerintah, perbankan dan pihak swasta dalam memberikan pembinaan dalam bentuk bimbingan, dan bantuan serta kerjasama (kemitraan) secara berkelanjutan. 2. Pengembangan kawasan agrotechnopark Yayasan Ekosistem Lestari ke depan memerlukan manajamen berupa pengelolaan peternakan sapi secara intensif, pengolahan dan pengemasan produk, perluasan jangkauan pemasaran serta penyediaan fasilitas penelitian serta fasilitas wisata yang masih terbatas. Selain itu, diperlukan peningkatan kualitas dan kuantitas sumberdaya manusia dan kerjasama dengan pihak stakeholder terkait seperti pemerintah, pihak swasta dan lembaga pendidikan secara berkelanjutan. 3. Langkah-langkah strategis yang perlu dilakukan di kawasan pengembangan agrotechnopark pertanian tanaman pangan dan peternakan terpadu di Desa Sei Buluh, kawasan peternakan dan pertanian tanaman hortikultura terpadu di Desa Jarang Uda dan kawasan budidaya air tawar terpadu di Desa Selotong adalah pengembangan kawasan melalui pemanfaatan komoditas unggulan masingmasing kawasan yang berorientasi bisnis dan ramah lingkungan dengan memadukan kegiatan agrowisata dan pendidikan serta kerjasama dengan stakeholder lainnya (masyarakat, swasta, pemerintah, perbankan dan kelembagaan riset). 4. Untuk efektivitas pengembangan kawasan terpadu agrotechnopark di Desa Sei Buluh, diperlukan adanya master plan kawasan agrotechnopark yang berbasis tanaman pangan dan peternakan yang memiliki berbagai fasilitas seperti : fasilitas produksi, penelitian, pariwisata dan umum. 5. Pengembangan kawasan agrotechnopark harus memperhatikan jaminan keberadaan dalam wilayah, dimana kawasan agrotechnopark akan dikembangkan berupa: penyediaan dan peningkatan mutu terutama menyangkut ketepatan wilayah (potensi, infrastruktur dan aksesibilitas), peningkatan potensi peluang investasi wilayah, sektor unggulan, koordinasi dan sinkronisasi antar sektor. 6. Pengembangan kawasan agrotechnopark di Sumatera Utara memerlukan dukungan,

DAFTAR PUSTAKA Adisasmita, R. 2005. Dasar-dasar Ekonomi Wilayah. Edisi Pertama. Penerbit Graha Ilmu. Yogyakarta. Alamsyah, I, Lestari, T dan Adriani, D. 2007. Analisis Finansial Sistem Usahatani Terpadu (Integrated Farming System) Berbasis Ternak Sapi di Kabupaten Ogan Ilir. Jurnal Pembangunan Edisi 6. Universitas Sriwijaya. Palembang. Boy. 2007. Kajian Model Potensi Ekonomi Industri Masyarakat Berbasis Agrotechnopark (ATP) (Studi Kasus : Daerah Transmigrasi Lokal Koleberes, Kecamatan Cikadu Kabupaten Cianjur). Fakultas Teknologi Industri Pertanian Jurusan Teknik dan Manajemen Industri Pertanian Universitas Padjajaran. Bandung. Handoko, T. 1986. Manajemen. Edisi Kedua. BPFE Yogyakarta. Yogyakarta. Dahuri, R., Idris, I., Ginting,S.P., dan Rais, J. 1998. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. PT. Pradnya Paramitha. Jakarta. Kottler, P dan Armstrong, G. 1996. Dasar-dasar Pemasaran. Edisi Bahasa Indonesia Jilid 2. Penerbit Kanisius. Jakarta. Rachman, H dan Ariani, M. 2008. Penganekaragaman Konsumsi Pangan di Indonesia : Permasalahan dan Implikasi untuk Kebijakan dan Program. Analisis Kebijakan Pertanian. Volume 6 No. 2, Juni 2008 : 140-154. . Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Bogor. Rahmanta, G. 2000. Pengantar Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian Universitas Medan Area. Medan. Reijntjes, C, Haverkort, B and Bayer, A. 1992. Pertanian Masa Depan. Pengantar untuk Pertanian Berkelanjutan dengan Input Luar Rendah. Edisi Indonesia. Penerbit Kanisius.

277


Kuswardani, RA., Kajian Pengembangan Kawasan Agrotechnopark di Sumatera Utara

Siahaan, N. H. T. 2004. Hukum Lingkungan dan Ekologi Pembangunan. Edisi Kedua. Penerbit Erlangga. Jakarta. Siregar, A. Ekonomi Pembangunan. Edisi Pertama. Fakultas Ekonomi Universitas Medan Area. Medan. Sukirno, S. 1985. Ekonomi Pembangunan. Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Jakarta. Sumaryanto. 2009. Diversifikasi Sebagai Salah Satu Pilar Ketahanan Pangan. Forum Agro Ekonomi Vol. 27 No. 02. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Bogor. Terry, G. 1993. Prinsip-prinsip Penerbit Buku Aksara. Jakarta.

Manajemen.

Todaro, M. 1999. Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga. Penerbit Erlangga. Jakarta. Umar, H. 1997. Studi Kelayakan Bisnis. Penerbit Gramedia. Jakarta.

278


Jurnal Inovasi Vol. 8 No. 4, Desember 2011

Model Pemanfaatan Dan Kebijakan Untuk Mengurangi Perburuan Satwaliar Di Sekitar Hutan Blok Batang Toru, Sumatera Utara (Model of Utilization and Policy to Decrease Wildlife Hunting around Forest of Batang Toru Block, North Sumatra) Wanda Kuswanda Peneliti Madya pada Balai Penelitian Kehutanan Aek Nauli Jl. Raya Sibaganding Km. 10,5 Parapat Sumatera Utara 21174 Telp. (0625) 41659, 41653 Email: wkuswan@yahoo.com Naskah masuk: 02 Agustus 2011; Naskah diterima: 1 November 2011 ABSTRAK Masyarakat di sekitar Hutan Blok Batang Toru telah memanfaatkan satwaliar sebagai sumber protein. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan informasi karakteristik, model pemanfaatan dan pengetahuan masyarakat terhadap satwaliar sebagai bahan rekomendasi kebijakan untuk mengurangi perburuan di sekitar Hutan Blok Batang Toru, Sumatera Utara. Jenis satwaliar yang menjadi obyek penelitian dibatasi pada rusa (Rusa unicolor, Kerr 1792) dan kambing hutan (Capricornis sumatraensis, Bechstein 1799). Waktu penelitian dilaksanakan selama delapan bulan, dari Bulan April – November 2010. Pengumpulan data dilakukan melalui penyebaran kuisioner pada masyarakat desa yang dipilih secara purposive dengan analisis data menggunakan table frekuensi dan secara deskriptif. Masyarakat di sekitar Hutan Blok Batang Toru sebanyak 76,1% sebagai petani dengan pendapatan rata-rata dibawah Rp. 750.000,- per bulan per kepala keluarga. Satwaliar umumnya diperoleh dengan cara berburu dengan bantuan hewan peliharaan, memasang jerat atau perangkap (lubang jebakan). Hasil buruan dimanfaatkan untuk dimakan dan sebagian dibagikan kepada tetangga atau dijual. Masyarakat telah mengetahui bahwa rusa dan kambing hutan merupakan binatang yang dilindungi (59,6% responden) dan populasinya terus menurun. Rekomendasi bahan penyusunan kebijakan untuk mengurangi perburuan diantaranya adalah penyuluhan, menciptakan program usaha alternatif, mengatur akses pemanfaatan sumberdaya alam dan pengembangan penangkaran satwa. Kata Kunci: satwaliar, kebijakan, masyarakat, Hutan Blok Batang Toru

ABSTRACT Communities around the Forest of Batang Toru Block have made use of wildlife as a source of protein. This research was conducted to obtain information of characteristic, knowledge and utilization model communities for wildlife as a policy recommendation to reduce hunting around Batang Toru Block Forest. Species of wildlife that are the object of research is limited on deer (Rusa unicolor, Kerr 1792) and mountain goat (Capricornis sumatraensis, Bechstein 1799). Data collection were conducted from April to November 2010, by questioners to selected communities and analyzed whit frequency tables. Characteristics of most community are farmer about 76.1% with average incomes below Rp. 750,000, - per family per month. Wildlife is generally obtained by hunting with the help of a pets such as dogs, put snares or traps. Animals caught was utilized for food or sold. Communities find that deer and mountain goat is protected (59.6% of respondents) and population is declining. Recommended substances policy to reduce the hunting of which is the extension, make an alternative works programs, regulate access to natural resource use and development of animal breeding. Keywords: wildlife, policy, community, Forest of Batang Toru Block.

279


Kuswanda, W., Model Pemanfaatan Dan Kebijakan Untuk Mengurangi Perburuan Satwaliar Di Sekitar Hutan Blok Batang Toru, Sumatera Utara

rusa (Rusa unicolor, Kerr 1792) dan kambing hutan (Capricornis sumatraensis, Bechstein 1799). Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan informasi karakteristik, model pemanfaatan dan pengetahuan masyarakat terhadap satwaliar, khususnya rusa dan kambing hutan di sekitar Hutan Blok Batang Toru. Hasil penelitian ini dapat menjadi bahan rekomendasi dalam penyusunan kebijakan tentang teknik pengelolaan dan pemanfaatan satwaliar secara lestari, khususnya di Propinsi Sumatera Utara.

PENDAHULUAN Satwaliar merupakan semua jenis satwa yang memiliki sifat-sifat liar, baik yang hidup bebas maupun yang dipelihara oleh manusia (Bailey, 1984; Alikodra, 1990). Keberadaan satwaliar mempunyai fungsi dan peranan sangat penting, baik sebagai penyeimbang ekosistem alam maupun bagi kehidupan manusia. Manusia telah memanfaatkan satwaliar sebagai sumber obat-obatan maupun makanan sehari-hari, terutama bagi masyarakat sekitar hutan. Bahkan beberapa jenis satwaliar sudah berhasil didomestikasi dan dibudidayakan sebagai sumber protein (Primark et al., 1998).

METODE PENELITIAN A. Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian difokuskan desa-desa yang berada di sekitar hutan konservasi Blok Batang Toru, terutama Cagar Alam Dolok Sipirok. Waktu penelitian dilaksanakan selama sepuluh bulan, dari Bulan Februari – November 2010.

Masyarakat Indonesia telah memanfaatkan lebih dari 1000 jenis hewan untuk berbagai kebutuhan, baik untuk kebutuhan pangan (nutrisi), binatang peliharaan, obyek penelitian maupun dijadikan lambang negara. Chardonnet et al. (2002) memberikan penilaian terhadap satwaliar melalui empat kategori, yaitu: 1) nilai penting ekonomis satwaliar, 2) nilai nutrisi satwaliar, 3) nilai peranan ekologis satwaliar, dan 4) nilai sosio-kultural satwaliar. Nilai ekonomi satwaliar terdiri dari; (1) pemanfaatan konsumtif, seperti sejumlah kegiatan dimana sejumlah sumber daya satwaliar dipindahkan dalam keadaan hidup atau mati, (2) pemanfaatan nonkonsumtif, seperti aktifitas memberi nilai terhadap satwaliar tanpa memindahkan sumberdayanya.

B. Batasan Penelitian Jenis satwaliar yang menjadi fokus penelitian ini dibatasi pada rusa dan kambing hutan. Hal ini karena kedua jenis satwa tersebut telah tergolong dilindungi (Departemen Kehutanan, 1990) dan masih banyak diburu oleh masyarakat sekitar hutan Blok Batang Toru. Rusa sambar (Rusa unicolor) sudah termasuk kategori rentan/vulnerable dan kambing hutan sumatera termasuk kategori vulnerable (IUCN, 2008). C. Prosedur pengumpulan Data Pengumpulan data pemanfaatan satwaliar dilakukan melalui penyebaran kuisioner dan pengamatan secara deskriptif. Desa yang dipilih sebagai lokasi penelitian ditentukan secara stratifikasi berdasarkan tingkat interaksi masyarakat atau jarak dari hutan Blok Batang Toru, yaitu sebanyak 5 (lima) desa. Pada setiap desa contoh dipilih responden secara purposive pada masyarakat yang sering memasuki/beraktivitas di dalam hutan, sebanyak 10 - 15 responden untuk setiap desa, yang ditentukan secara proporsional berdasarkan jumlah kepala keluarga. Isian kuisioner difokuskan untuk mengetahui karakteristik, model pemanfaatan, cara dan frekuensi pengambilan serta pengetahuan masyarakat terhadap satwaliar.

Kerusakan hutan dan terfragmentasinya habitat diakui telah mengakibatkan menurunnya populasi satwaliar, baik kelompok burung, mamalia darat, maupun primata (Morrison, 2002). Begitu pula, pemanfataan yang kurang terencana dan berlebihan semakin memicu dan menjadi ancaman serius bagi kelestarian satwaliar. Berbagai jenis satwaliar buktinya telah punah, terancam punah, dan hampir punah. Bahkan, penyebaran, populasi dan perilaku satwaliar yang masih tersisa pun telah mengalami perubahan untuk mempertahankan hidup pada kondisi daya dukung habitat yang terbatas (Morrison, 2002). Permintaan akan satwaliar pada masyarakat saat ini ternyata terus meningkat. Ironisnya sebagian besar satwa tersebut diperoleh dari perburuan liar dan perdagangan illegal (Meijaard et al., 2001). Salah satu masyarakat yang masih memanfaatkan satwaliar untuk mendukung kehidupannya adalah yang tinggal di sekitar Hutan Blok Batang Toru, Sumatera Utara. Masyarakat di sekitar Hutan Batang Toru telah memanfaatkan satwaliar secara turun temurun. Namun secara umum mereka mengambil satwaliar dari habitat alaminya sehingga sebagian satwaliar akan semakin terancam, seperti

D. Analisis Data Data dianalisis dengan menggunakan tabel frekuensi dan secara deskriptif. Tabel frekuensi digunakan untuk menganalisis prosentase karakteristik, pemanfaatan dan pengetahuan masyarakat terhadap satwaliar berdasarkan hasil isian kuisioner dari responden. Tabel frekuensi memuat jumlah frekuensi dan prosentase untuk setiap pernyataan dalam kuisioner (Walpole, 1993; Supangat 2008). Selanujutnya, dilakukan analisis 280


Jurnal Inovasi Vol. V 8 No. 4, Desember 2011

secara deskriptif terhadap ap hhasil penelitian, gambaran potensi hutan dan an lah lahan secara umum serta berbagai peraturan per perundang-undangan terkait untuk menyusun bah bahan rekomendasi kebijakan pengelolaan satwaliar twaliar secara lestari, terutama dalam mengurangi perbu perburuan.

kawasan Hutan Batang Toru termasuk pada tiga kabupaten, yaitu Kabupaten upaten Tapanuli Selatan, Tapanuli Tengah dan sebagian sebag Tapanuli Utara. Secara geografis terletak k antara anta 98˚.50’ – 99˚.20’ BT dan 1˚.30’ – 2˚.00 ˚.00 LU (Conservation International Indonesia, 2004).

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Berdasarkan analisa penginder ginderaan citra satelit oleh Conservation International al Indonesia Ind (2004), Hutan Blok Batang Toru meliputi liputi hutan primer yang masih utuh seluas 90.000 sampai samp 140.000 ha. Hutan hujan primer mendominasi inasi penutupan vegetasi, yang tumbuh di atass bukit bu curam dengan kemiringan lebih dari 60 derajat. Beberapa kawasan konservasi yang g termasuk term Hutan Batang Toru adalah Cagar Alam Dolok Dolo Sibual-buali, C.A. Dolok Sipirok dan Suaka aka Alam A Lubuk Raya (Kuswanda, 2006).

Gambaran Umum Hutan Blok lok B Batang Toru Secara umum, pada kawasan an hu hutan alam Batang Toru masih dapat ditemukan an tip tipe-tipe ekosistem yang masih asli dan relatif utuh yang merupakan perwakilan ekosistem hutan huja hujan dataran rendah dan perbukitan (300 meter er dp dpl), hutan batuan gamping (limestone), hutan pegun pegunungan rendah dan hutan pegunungan tinggi di Puncak Gunung Lubuk Raya (1856 dpl).. Sec Secara administratif

): Ora Orangutan Conservation Service Program (2009) Sumber (Source): Gambar (Figure) 1. Peta Kawa Kawasan Hutan Blok Batang Toru (Map of forest area of Batang B Toru Block) ` 281


Kuswanda, W., Model Pemanfaatan Dan K Kebijakan Untuk Mengurangi Perburuan Satwaliar Di Sekitarr Hutan Huta Blok Batang Toru, Sumatera Utara

Kawasan hutan alam di dalam lam D DAS Batang Toru, berdasarkan kategori yang ang dilakukan oleh Worldwide Fund for Nature mas masuk golongan 200 ekoregion di dunia yang harus arus ddiperhatikan serius aspek konservasinya. Ekoregio oregion itu meliputi ekoregion hutan dataran rendah, h, hhutan montana dan hutan tusam Sumatera. Berdasark dasarkan Peta Vegetasi Sumatera yang disusun oleh eh La Laumonier et al. (1987) dapat dikategorikan an me menjadi 2 sub-tipe formasi hutan. Pertama, sub sub-tipe Formasi Air Bangis – Bakongan yang menjad enjadi bagian dari tipe Formasi Bukit Barisan Baratt perb perbukitan berelevasi menengah (300 sampai 1000 meter di atas permukaan laut). Kedua, sub-tip tipe Hutan Montana (1000 – 1800 meter di atas perm permukaan laut) yang menjadi bagian dari tipe Formasi rmasi Bukit Barisan di atas 1000 meter dari permukaan aan la laut. Menurut Perbatakusuma usuma et al., (2006), pada Kawasan Hutan Batangg Toru teridentifikasi 67 spesies mamalia yang tergolong golong dalam 21 famili, 287 jenis burung, 110 jenis is sat satwa herpetofauna yang terdiri dari 19 spesies esies amphibia yang tergolong dalam 6 famili serta erta 449 spesies reptilia yang meliputi 12 famili. Be Berdasarkan status konservasinya, teridentifikasi si 20 spesies mamalia yang dilindungi, berdasarkann Pera Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1999, 12 spesies es yan yang terancam punah berdasarkan kategori IUCN CN ddan 14 spesies termasuk dalam kategori CIT CITES (Convention

International of Trade of Endagered Species). Untuk spesies burung, tercatat tercata 51 spesies masuk dalam daftar satwa yang g dilindungi dili sebagaimana Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1999, 61 spesies masuk kategori IUCN sebagai satwa yang terancam punah secara global lobal dan 8 spesies masuk dalam daftar CITES. Disamp isamping dari jenis burung tersebut, diantaranya 21 1 jenis jeni burung migran, 8 jenis endemik dan 4 jenis berkontribusi dalam pembentukan kawasan EBA (Endemic (E Bird Area). Karakteristik Responden Masyarakat di sekitar Hutan Blok Batang Toru sebanyak 76,1 % adalah adala petani dan 23,9% bekerja lainnya, seperti menjad enjadi pedagang, pegawai negeri dan buruh maupun n perkebunan. perk Kondisi ini mengakibatkan kebutuhan an lahan lah olahan tentunya akan terus meningkat at karena k pertumbuhan masyarakat cukup tinggi. gi. Pendapatan rata-rata masyarakat pun masih h relative rela rendah, yaitu dibawah Rp. 750.000,- per bulan b sebesar 47,1%. Hanya sedikit masyarakat at yang yan berpenghasilan di atar Rp. 1.500.000,- per er bulan. bu Hasil analisis kuisioner pada berbagai ai desa des penelitian seperti disajikan pada Tabel 1.

anuli Selatan S Gambar (Figure)) 2. Ekosistem pada hutan Blok Batang Toru, Tapanuli (Ecosystem stem on Forest of Batang Toru Block, South Tapanuli) 282


Jurnal Inovasi Vol. 8 No. 4, Desember 2011

Tabel (Table) 1. Karakteristik masyarakat di sekitar Hutan Blok Batang Toru (Community characteristics of Batang Toru Block Forest) Karakteristik Responden (Respondent Characteristics)

No

1

(Desa/Village) Param Julu

Situmba Julu

%

Rambas siasur

%

%

Arse Nauli

%

Lacat

Ratarata/ Average (%)

%

Pekerjaan Utama (Main jobs)

2

a. Petani/Farmer b. Lainnya/another (Pedagang, PNS atau Buruh) Pendapatan ratarata per bulan (Monthly Earnings)

6

60,0

12

80,0

9

90,0

10

76,9

11

73,3

76,1

4

40,0

3

20,0

1

10,0

3

23,1

4

26,7

23,9

a. < Rp. 750.000,b. Rp.750.000 - 1,5 jt

2

20,0

9

60,0

8

80,0

2

15,4

9

60,0

47,1

7

70,0

4

26,7

1

10,0

9

69,2

3

20,0

39,2

c. > 1,5 jt

1

10,0

2

13,3

1

10,0

2

15,4

3

20,0

13,7

Tabel (Table) 2. communities)

Model pemanfaatan satwaliar oleh masyarakat (Model of wildlife utilization by (Desa/Village)

No 1

2

3

4

Model pemanfaatan satwaliar (Model of wildlife utilization)

Param Julu

%

Situmba Julu

%

Rambas siasur

%

Arse Nauli

%

Lacat

%

Rata-rata/ Average (%)

Pengalaman menkonsumsi daging rusa/kambing hutan a. Ya/Pernah

9

90,0

14

93,3

10

100,0

12

92,3

13

86,7

92,5

b. Tidak Pernah

1

10,0

1

6,7

0

0,0

1

7,7

2

13,3

7,5

a. Diberi tetangga

1

10,0

3

20,0

3

30,0

2

15,4

1

6,7

16,4

b. Membeli

2

20,0

1

6,7

1

10,0

1

7,7

3

20,0

12,9

c. Berburu

3

30,0

8

53,3

5

50,0

3

23,1

3

20,0

35,3

d. Kombinasi a, b dan c

3

30,0

2

13,3

1

10,0

6

46,2

6

40,0

27,9

e. Tidak pernah mencari satwa

1

10,0

1

6,7

0

0,0

1

7,7

2

13,3

7,5

a. Rusa

1

10,0

3

20,0

2

20,0

7

53,8

2

13,3

23,4

b. Kambing hutan

4

40,0

1

6,7

1

10,0

2

15,4

2

13,3

17,1

c. Dua-duanya

2

20,0

9

60,0

6

60,0

1

7,7

4

26,7

34,9

d. Lainnya, kijang

1

10,0

0

0,0

0

0,0

2

15,4

1

6,7

6,4

e. Tidak pernah berburu

2

20,0

2

13,3

1

10,0

1

7,7

6

40,0

18,2

a. < 1 tahun

2

20,0

1

6,7

1

10,0

3

23,1

2

13,3

14,6

b. 1 - 5 tahun

3

30,0

4

26,7

3

30,0

4

30,8

6

40,0

31,5

c. > 5 tahun

3

30,0

8

53,3

5

50,0

5

38,5

1

6,7

35,7

d. Tidak pernah berburu

2

20,0

2

13,3

1

10,0

1

7,7

6

40,0

18,2

Cara mendapatkan satwaliar

Pengalaman berburu

Durasi berburu

283


Kuswanda, W., Model Pemanfaatan Dan Kebijakan Untuk Mengurangi Perburuan Satwaliar Di Sekitar Hutan Blok Batang Toru, Sumatera Utara

(Desa/Village) No 5

6

7

8

Model pemanfaatan (Model of utilization)

Param Julu

%

Situmba Julu

%

Rambas siasur

%

Arse Nauli

%

Lacat

%

Rata-rata/ Average (%)

Tempat berburu a. Hutan alami

1

10,0

2

13,3

4

40,0

2

15,4

1

6,7

17,1

b. Hutan yang dibuka/sekunder

3

30,0

3

20,0

1

10,0

7

53,8

1

6,7

24,1

c. Pinggiran kebun

1

10,0

6

40,0

3

30,0

3

23,1

5

33,3

27,3

d. Kombinasi a dan b

2

20,0

1

6,7

0

0,0

0

0,0

2

13,3

8,0

e. Datang ke kampung

1

10,0

1

6,7

1

10,0

0

0,0

0

0,0

5,3

f. Tidak pernah

2

20,0

2

13,3

1

10,0

1

7,7

6

40,0

18,2

a. Dijerat

2

20,0

2

13,3

2

20,0

1

7,7

4

26,7

17,5

b. Membuat lubang

0

0,0

1

6,7

1

10,0

4

30,8

1

6,7

10,8

c. menggunakan satwa lain d. Menggunakan senapan/tombak e. Berburu bersama masyarakat lainnya

1

10,0

2

13,3

4

40,0

3

23,1

3

20,0

21,3

5

50,0

1

6,7

0

0,0

3

23,1

1

6,7

17,3

0

0,0

6

40,0

0

0,0

1

7,7

0

0,0

9,5

f. Tidak pernah berburu

2

20,0

2

13,3

1

10,0

1

7,7

6

40,0

18,2

g. Kombinasi b dan c

0

0,0

1

6,7

2

20,0

0

0,0

0

0,0

5,3

a. 1 ekor

1

10,0

3

20,0

4

40,0

3

23,1

2

13,3

21,3

b. 2 ekor

1

10,0

0

0,0

0

0,0

1

7,7

0

0,0

3,5

c. Tidak tentu d. Tidak pernah berburu

6 2

60,0 20,0

10 2

66,7 13,3

5 1

50,0 10,0

8 1

61,5 7,7

7 6

46,7 40,0

57,0 18,2

Cara berburu

Hasil berburu setiap tahun

Pemanfaatan hasil berburu a. Dimakan dan dibagi tetangga

3

30,0

10

66,7

8

80,0

9

69,2

4

26,7

54,5

b. Dijual

1

10,0

1

6,7

0

0,0

2

15,4

2

13,3

9,1

c. Dimakan dan di jual

4

40,0

2

13,3

1

10,0

1

7,7

3

20,0

18,2

d. Tidak pernah berburu

2

20,0

2

13,3

1

10,0

1

7,7

6

40,0

18,2

Hasil analisis kuisioner pada berbagai penelitian seperti disajikan pada Tabel 2.

A. Model Pemanfaatan Satwaliar Hasil penyebaran kuisioner menyatakan bahwa 92,5% masyarakat di sekitar Hutan Batang Toru pernah mengkonsumsi daging satwaliar, khususnya rusa dan kambing hutan. Sisanya yang belum pernah mengkonsumsi adalah masyarakat pendatang yang baru tinggal 2 – 3 tahun. Masyarakat tersebut biasanya bekerja sebagai PNS atau pedagang kelontongan yang keliling kampung. Cara memperoleh daging rusa atau kambing hutan tersebut sangat bervariasi, sebanyak 35,3% mendapatkanya dengan cara berburu, 16,4% diberi tetangga/orang lain dan 27,9% gabungan keduanya. Hanya sedikit responden yang pernah membeli untuk mendapatkan daging rusa dan kambing hutan.

desa

Untuk memperoleh rusa dan kambing hutan atau satwaliar lainnya, sebagian besar masyarakat masih melakukan dengan cara berburu. Berburu bagi masyarakat sekitar kawasan Hutan Batang Toru adalah salah satu cara untuk memperoleh daging. Budidaya ternak yang dilakukan masyarakat masih sangat sedikit sedangkan daya beli cukup rendah. Dari seluruh responden mengaku 81,8% pernah berburu, baik sendiri maupun bersama masyarakat lainnya. Masyarakat yang berburu rusa dan kambing hutan sebanyak 34,9%, berburu rusa saja 23,4% dan yang tidak pernah berburu 18,2%.

284


Jurnal Inovasi Vol. 8 No. 4, Desember 2011

Sebagian besar masyarakat sudah lama melakukan perburuan, sekitar 35,7% responden mengaku lebih 5 tahun dan hanya sekitar 14,6% yang mengaku kurang dari 1 tahun (baru mengikuti berburu). Responden ini umumnya adalah anak muda yang baru selesai sekolah sampai SLTA dan kembali ke kampung. Biasanya anak-anak muda setelah selesai sekolah sambil mencari pekerjaan kembali ke kampung membantu orangtuanya, bertani atau ikut berburu. Tempat untuk berburu yang dilakukan responden sangat bervariasi, mulai dari hutan primer, hutan sekunder sampai yang melintas di sekitar kebun atau datang ke kampung mereka. Sebanyak 27,3% responden biasanya menangkap rusa yang datang ke kebun terutama pada malam hari. Hanya beberapa responden yang mengaku sengaja berburu rusa ke hutan sambil memasak jerat atau membuat lubang jebakan. Hutan sekunder juga merupakan tempat yang diakui lebih mudah untuk mencari rusa atau kambing hutan. Biasanya mereka bermalam di jalur lintasannya dan menunggu rusa lewat.

pekerjaan di sawah atau kebun sudah selesai atau sedang menunggu panen padi. Hal ini juga ditunjukan oleh pengakuan responden yang menyatakan tidak tentu mendapatkan rusa dan kambing hutan, sebesar 57%. Hanya 21,3% mengaku tiap tahun sering mendapatkan rusa minimal 1 ekor, terutama pada masyarakat Desa Rambassiarus yang keberadaannya di tengah kawasan konservasi. Hasil buruan oleh sebanyak 54,4% hanya untuk di konsumsi dan dibagi-bagi ke tetangga. Sebanyak 9,1% mengaku untuk di jual dan 18,2% untuk dikonsumsi dan di jual. Hasil buruan bersama biasanya yang mereka bagi-bagi ke tetangga, hal ini sebagai rasa persaudaraan di antara masyarakat. Harga jual daging rusa atau kambing hutan umumnya sekitar Rp. 30.000,- – 40.000,- per kg. Harga jual memang masih relatif rendah karena yang membeli pun biasanya masyarakat dalam satu desa. Mereka merasa ketakutan (ditangkap petugas) kalau menjual daging ke desa-desa yang lainnya atau ke pecan (pasar mingguan) di kota kecamatan.

Cara berburu rusa dan kambing hutan yang dilakukan oleh masyarakat sekitar Batang Toru dinyatakan oleh sekitar 21,3% responden adalah dengan bantuan hewan peliharaan seperti anjing, 17,3% menggunakan senapan dan 17,5% memasang jerat atau lubang jebakan. Sebagian juga mengaku berburu satwa secara rame-rame, terutama yang tidak sengaja ditemukan atau terjebak di pinggiran kampung. Banyak pemukiman masyarakat di sekitar Hutan Batang Toru langsung berbatasan dengan kebun dan hutan sekunder. Satwaliar seperti rusa cukup tertarik mengunjungi daerah sekitar pemukiman karena banyak tersedia makanan, seperti rerumputan dan semak belukar.

Pengetahuan dan Persepsi Masyarakat terhadap Satwaliar Hasil penyebaran kuisioner terhadap 63 responden pada lima desa penelitian mengenai pengetahuan dan persepsi masyarakat terhadap satwaliar, khususnya rusa dan kambing hutan disajikan pada Tabel 3. Berdasarkan analisis kuisioner diperoleh informasi bahwa masyarakat telah mengetahui jumlah rusa dan kambing hutan di alam semakin sedikit (sebanyak 54,8% responden) meskipun ternyata 12,2% menyatakan semakin banyak. Perbedaan pengetahuan ini dimungkinkan karena sebaran rusa dan kambing hutan yang cenderung mengelompok pada habitat tertentu, seperti padang rumput. Selain itu persepsi yang berbeda ini dimungkinkan juga akibat pengalaman mereka yang berbeda-beda dalam menemukan rusa atau kambing hutan di sekitar desanya.

Masyarakat berburu satwa, sepeti rusa dan kambing hutan sebenarnya bukan pekerjaan utama. Hanya 2,0% responden yang setiap bulan mengaku mencari rusa sedangkan sebanyak 62,7% tidak menentu/tentative. Mereka biasanya berburu ketika

Tabel (Table) 3. Pengetahuan dan persepsi masyarakat terhadap rusa dan kambing hutan (Perception and community knowledge on deer and mountain goat) (Desa/Village) No

1

Pengetahuan dan persepsi (Perception and knowledge)

Param Julu

%

Situmba Julu

%

Rambas siasur

%

Arse Nauli

%

Lacat

%

Ratarata/ Average (%)

Jumlah rusa dan kambing hutan a. Semakin sedikit

6

60,0

8

53,3

6

60,0

7

53,8

7

46,7

54,8

b. Tetap

1

10,0

1

6,7

0

0,0

2

15,4

2

13,3

9,1

c. Semakin banyak

1

10,0

2

13,3

1

10,0

1

7,7

3

20,0

12,2

d. Tidak tahu

2

20,0

4

26,7

3

30,0

3

23,1

3

20,0

23,9

285


Kuswanda, W., Model Pemanfaatan Dan Kebijakan Untuk Mengurangi Perburuan Satwaliar Di Sekitar Hutan Blok Batang Toru, Sumatera Utara

(Desa/Village) No

2

Pengetahuan dan persepsi (Perception and knowledge)

4

%

Situmba Julu

Rambas siasur

%

%

Arse Nauli

%

Lacat

%

Ratarata/ Average (%)

Siapa yg dirugikan bila rusa/kambing hutan punah a. Pemerintah

4

40,0

6

40,0

1

10,0

3

23,1

3

20,0

26,6

b. Masyarakat

5

50,0

2

13,3

3

30,0

9

69,2

4

26,7

37,8

c. Pemburu

0

0,0

3

20,0

2

20,0

0

0,0

2

13,3

10,7

0

0,0

0

0,0

1

10,0

1

7,7

1

6,7

4,9

1

10,0

2

13,3

1

10,0

0

0,0

3

20,0

10,7

f. kombinasi a, b dan c

0

0,0

1

6,7

1

10,0

0

0,0

1

6,7

4,7

g. kombinasi a, b, c dan d Rusa dan kambing hutan sebagai satwa dilindungi

0

0,0

1

6,7

1

10,0

0

0,0

1

6,7

4,7

a.Ya/Mengetahui

7

70,0

7

46,7

6

60,0

8

61,5

9

60,0

59,6

b. Ragu-ragu

2

20,0

2

13,3

1

10,0

2

15,4

4

26,7

17,1

c. Tidak tahu Hutan diperlukan untuk melindungi rusa/kambing hutan

1

10,0

6

40,0

3

30,0

3

23,1

2

13,3

23,3

a.Ya/Mengetahui

7

70,0

12

80,0

7

70,0

8

61,5

10

66,7

69,6

b. Ragu-ragu

2

20,0

2

13,3

2

20,0

0

0,0

2

13,3

13,3

c. Tidak tahu

1

10,0

1

6,7

1

10,0

5

38,5

3

20,0

17,0

d. Predator e. kombinasi a b

3

Param Julu

dan

Masyarakat yang menjadi responden ternyata sebanyak 37,8% menyatakan bahwa apabila rusa atau kambing hutan punah maka yang paling dirugikan adalah masyarakat sendiri dan kemudian pemerintah. Beberapa responden juga menyatakan bahwa pemburu dan predator (hewan pemakan rusa/kambing hutan) akan mengalami kerugian bila punah. Dari hasil ini sebenarnya masyarakat sangat berkepentingan terhadap kelestarian rusa dan kambing hutan. Sebagian masyarakat juga mengungkapkan kesediannya untuk turut serta melindungi dan memperbaiki habitat satwa yang sudah mengalami kerusakan. Dari hasil penyebaran kuisioner juga diperoleh informasi bahwa sebenarnya masyarakat telah mengetahui rusa dan kambing hutan merupakan binatang yang dilindungi, yaitu sebanyak 59,6% responden. Namun menurut pengakuan mereka karena keterbatasan daya beli untuk memperoleh sumber makanan, terutama daging maka dengan terpaksa mereka masih berburu. Selain itu, responden pun merasakan perlu adanya perlindungan hutan untuk menjaga populasi rusa dan kambing hutan. Sebanyak 69,6% responden menyatakan bahwa hutan di daerah mereka harus dilindungi sebagai tempat berkembangbiak satwaliar. Akan tetapi seringkali yang merusak hutan di sekitar desa mereka adalah pendatang. Hasil wawancara dengan

kepala Desa Lacat menyatakan bahwa setelah adanya pengelolaan hutan oleh pemegang ijin IUPHHK, masyarakat sudah jarang menemukan rusa termasuk yang datang di pinggiran kebun masyarakat.

KESIMPULAN 1.

2.

3.

286

Karakteristik masyarakat di sekitar Hutan Blok Batang Toru adalah sekitar 76,1% sebagai petani dengan pendapatan rata-rata dibawah Rp. 750.000,- per bulan per kepala keluarga. Sebanyak 92,5% masyarakat pernah mengkonsumsi daging satwaliar, khususnya rusa dan kambing hutan yang umumnya diperoleh dengan cara berburu. Berburu telah dilakukan secara turun temurun (35,7% responden mengaku sudah lebih 5 tahun melakukan perburuan satwa). Cara berburu umumnya dilakukan dengan bantuan hewan peliharaan, memasang jerat dan/atau lubang jebakan. Hasil buruan dimanfaatkan untuk dimakan dan sebagian dibagikan kepada tetangga atau dijual. Masyarakat telah mengetahui bahwa rusa dan kambing hutan merupakan binatang yang dilindungi (59,6% responden) dan populasinya terus menurun serta akan dirugikan apabila satwa tersebut sampai punah. Masyarakat (69,9% responden) mengharapkan hutan


Jurnal Inovasi Vol. 8 No. 4, Desember 2011

disekitarnya dapat dilindungi karena merupakan tempat berkembangbiak rusa dan kambing hutan.

REKOMENDASI 4.

Kebutuhan masyarakat di sekitar Hutan Blok Batang Toru terhadap sumber protein hewani sangat tinggi. Untuk memperoleh satwaliar tersebut sebagian besar masih melakukan dengan cara berburu, terutama rusa dan kambing hutan karena keterbatasan daya beli. Padahal populasi satwa tersebut semakin menurun, karena selain diburu, kondisi habitatnya semakin menyempit akibat pembukaan lahan untuk kebutuhan kebun dan pertanian. Rusa dan kambing hutan sebagian besar saat ini hanya tersebar pada beberapa kawasan konservasi dan tentunya berburu satwaliar pada kawasan konservasi merupakan perbuatan melanggar hukum (Departemen Kehutanan, 1990).

5.

6.

7. Oleh karena itu, untuk mengurangi perburuan satwaliar terutama pada kawasan konservasi maka perlu disusun dan dikembangkan berbagai kebijakan teknik sehingga keberadaan satwaliar langka dan dilindungi, khususnya rusa dan kambing hutan di Kawasan Hutan Blok Batang Toru dapat lestari. Bahan kebijakan yang direkomendasikan untuk mengurangi perburuan yang dapat menjadi rujukan bagi berbagai instansi terkait, seperti Balai Besar KSDA Sumatera Utara, Pemerintah Daerah Propinsi Sumatera Utara dan Kabupaten terkait, diantaranya adalah : 1.

2.

3.

penyangga (lahan masyarakat) perlu dikelola agar tetap produktif dan mampu memenuhi kebutuhan pakan bagi rusa dan kambing hutan. Selain itu, pembangunan koridor sebagai daerah penghubung bagi satwa antara lahan masyarakat dengan kawasan konservasi sangat diperlukan. Menciptakan dan membantu pengembangan program usaha alternatif sebagai sumber pendapatan tambahan bagi masyarakat, seperti usaha di bidang peternakan, lebah madu, perikanan, dan wisata alam. Mengembangkan budidaya komoditas tanaman hutan dengan pola agroforestri, seperti meranti, suren, dan/atau sampinur dalam kebun-kebun masyarakat untuk mendukung bahan baku industri kayu. Pelatihan peningkatan pengetahuan kemampuan masyarakat berbasis lahan, berbasis wirausaha dan pelayanan jasa. Menyusun peraturan untuk mengatur akses pemanfaatan sumberdaya alam pada lembaga masyarakat lokal maupun perusahaan swasta secara adil dan merata.

DAFTAR PUSTAKA Achyut, A. 2009. Habitat ecology of Himalayan serow (Capricornis sumatraensis ssp. thar) in Annapurna conservation area of Nepal. Tiger Paper 36(4):12-20. Alikodra, H.S. 1990. Pengelolaan Satwaliar. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Pusat Antar Universitas Ilmu Hayati. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Menyusun dan melakukan program penyuluhan secara kontinyu tentang pentingnya melestarikan dan memanfaatkan satwa secara bijaksana dan berkelanjutan. Mengembangkan program penangkaran, terutama rusa. Pemerintah bekerjasama dengan perusahaan swasta menciptakan program bantuan penyediaan bibit rusa bagi masyarakat. Masyarakat diberi pengetahuan dan kesempatan untuk membudidayakan rusa sehingga pada akhirnya aktivitas perburuan satwa yang dilindungi diwaktu mendatang dapat dikurangi dan tambahan sumber protein dapat tersedia. Mengembangkan program konservasi in-situ untuk meningkatkan populasi satwaliar secara alami. Balai Besar KSDA Sumatera Utara dan Pemerintah Daerah bekerjasama dengan masyarakat menyediakan area pada lahan masyarakat yang dapat dijadikan sebagai habitat baru dan sumber pakan bagi kedua satwa tersebut. Sebagai sesama satwa kelompok Ungulata, rusa dan kambing hutan memiliki kemiripan dalam memanfaatkan sumber pakan, diantaranya rumput dan tumbuhan bawah (Achyut, 2009). Oleh sebab itu padang rumput dan semak belukar yang terdapat di daerah

Bailey, J.A. 1984. Principles of Wildlife Management. John Wiley & Sons. Network Chardonnet P, B des Clers, J Fischer, R Gerhold, F Jori and F Lamarque. 2002. The Value of Wildlife. Rev Sci Tech 21(1):15 – 51. Departemen Kehutanan. 1990. Undang-undang No. 5 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya, tanggal 10 Agustus 1990. Departemen Kehutanan. Jakarta Departemen Kehutanan. 1999. Undang-undang No. 41 tentang Kehutanan, tanggal 30 September 1999. Departemen Kehutanan. Jakarta International Union for Conservation of Nature and Natural Resource (IUCN). 2008. IUCN Red List of Threatened Species. http://www.iucnredlist.org. [13 Mei 2009]. Kuswanda, W. 2006. Kajian Potensi Keanekaragaman Hayati di Daerah Aliran Sungai Batang Toru, Sumatera Utara. INOVASI Media 287


Kuswanda, W., Model Pemanfaatan Dan Kebijakan Untuk Mengurangi Perburuan Satwaliar Di Sekitar Hutan Blok Batang Toru, Sumatera Utara

Litbang Propinsi Sumatera Utara Vol. 3 No. 4. Medan Meijaard, E., H. D. Rijksen, dan S. N. Kartikasari. 2001. Diambang Kepunahan ! : Kondisi orangutan liar di awal abad ke – 21. Publikasi The Gibbon Foundation Indonesia. Jakarta. Morrison, M. L. 2002. Wildlife Restoration : Technique for Habitat Analysis and Animal Monitoring. Washington. Island Press. Perbatakusuma, E.A, J. Supriatna, R.S.E. Siregar, D. Wurjanto, L. Sihombing, dan D. Sitaparasti. 2006. Mengarustamakan Kebijakan Konservasi Biodiversitas dan Sistem Penyangga Kehidupan di Kawasan Hutan Alam Sungai Batang Toru Provinsi Sumatera Utara. Laporan Teknik Program Konservasi Orangutan Batang Toru. Conservation International Indonesia – Departemen Kehutanan. Pandan. Primack, R. B., J. Supriatna, M. Indrawan, dan P. Kramadibrata. 1998. Biologi Konservasi. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta. Supangat, A. Statistik dalam Kajian Deskriptif, Inferensi dan Nonparametrik. Penerbit Kencana Prenada Media Group. Jakarta. Walpole, R. E. 1993. Pengantar Statistik. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta

PT.

288


Jurnal Inovasi Vol. 8 No. 4, Desember 2011

Evaluasi Pemilihan Gubernur Secara Langsung Di Sumut Tahun 2008 (Evaluation Of Direct Election Of Governor In 2008 In North Sumatra) Badaruddin *FISIP-Universitas Sumatera Utara Naskah masuk : 20 Juli 2011; Naskah diterima :4 November 2011 ABSTRAK Euporia pemilihan kepala daerah langsung (Gubernur) berlangsung di seluruh Indonesia, dan telah menghasilkan gubernur pilihan rakyat, bahkan sudah ada yang memasuki proses pemilihan periode kedua. Dampak positif dari penunjukan langsung oleh presiden memperpendek rentang kendali. Diyakini bahwa mekanisme ini akan membawa dampak jangka pendek dan jangka panjang yang positif bagi efektivitas pemerintahan karena jenjangnya yang jauh lebih ringkas. Atas dasar wacana yang muncul tersebut (pemilihan gubernur secara langsung dan tidak langsung) tersebut menarik. Untuk mengevaluasi dan mengetahui pengaruh sistem pemilihan Gubemur secara langsung di Sumatera Utara pada tahun 2008 berdasarkan persepsi masyarakat dilihat dari aspek ekonomi, sosial, dan politik. Dari aspek ekonomi masyarakat menilai pemilihan gubernur secara langsung merupakan pemborosan, dari aspek sosial rentan menghasilkan konflik ditengah – tengah masyarakat khususnya konflik SARA dan hanya menghasilkan kedekatan semu antara masyarakat dengan gubernur terpilih, sedangkan dari segi aspek politik masyarakat menganggap sebagai pembelajaran demokrasi yang cukup baik namun pada sisi lain memberikan pembelajaran politik yang tidak baik karena money politics justru menyebar hingga masyarakat yang paling bawah. Walaupun begitu responden masyarakat tetap meyakini bahwa pemilihan gubernur secara langsung akan menghasilkan gubernur yang lebih baik dan berkualitas sesuai dengan aspirasi masyarakat. Bila pemilihan gubernur secara langsung tetap ingin dipertahankan diperlukan pembelajaran politik yang baik dari setiap elit politik, calon gubernur dan timnya kepada masyarakat, sehingga disharmonisasi sosial bisa dihilangkan dan modal sosial bisa terbangun ditengah - tengah masyarakat. Kata Kunci : Pemilihan, gubernur, Sumatera Utara, Politik, ekonomi, sosial, masyarakat. ABSTRACT Euporia direct regional head elections (governor) took place across Indonesia, and has resulted in the governor's choice of the people, there's even entering the selection process of the second period. The positive impact of direct appointment by the president to shorten the span of control. Believed that this mechanism will bring short-term impacts and long-term positive for the effectiveness of government as a much more concise hierarchically. On the basis of discourse that appears (the election of the governor directly and indirectly) is interesting. To evaluate and determine the influence of electoral systems directly on the governor of North Sumatra in 2008 based on the perception of society viewed from the aspect of economic, social, and political. Public percive that direct government elections is a waste, of vulnerable social aspects produce the midst of conflict - especially conflict society SARA and produced only superficial closeness between people and elected governors, while the terms of the political aspects of society regard as democratic learning pretty good but on the other hand provide political learning which is not good because of money politics even spread to the very bottom of society. However the respondent society still believes that the election of governors will directly result in a better governor and qualified in accordance with the aspirations of the community. When the direct election of governors still want to maintain good political learning required of every political elite, gubernatorial candidate and his team to the community, so that social disharmony can be removed and may awaken in the middle of social capital - the community. Keywords : Election, Governor, North Sumatra, Politic, Economic, Social, Community. 289


Badaruddin., Evaluasi Pemilihan Gubernur Secara Langsung di Sumut Tahun 2008

yang diberikan pada Kepala daerah tingkat dua, berarti penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.

PENDAHULUAN Beberapa harapan terhadap perubahan sistem pemilihan kepala daerah ini antara lain: Akan terpilih kepala daerah yang sesuai dengan keinginan rakyat (dekat dengan rakyat); Akan dihasilkan kepala daerah yang lebih berkualitas dalam membangun daerahnya1; Menghindari money politics (politik uang). Di dalam konteks demokrasi prosedural memang tidak terdapat perbedaan yang berarti antara yang menggunakan sistem pemilihan langsung dengan sistem pemilihan perwakilan. Yang terpenting adalah prosedur pemilihannya dilakukan secara demokratis. Sistem perwakilan bisa saja tetap menghasilkan pemimpin-pemimpin yang legitimate dan memiliki responsibility dan accountability yang tinggi sepanjang hal itu dilakukan melalui prosedur dan didasari oleh nilai-nilai demokrasi.

Dampak positif dari penunjukan langsung oleh presiden memperpendek rentang kendali. Diyakini bahwa mekanisme ini akan membawa dampak jangka pendek dan jangka panjang yang positif bagi efektivitas pemerintahan karena jenjangnya yang jauh lebih ringkas. Persepsi adalah proses mental yang digunakan sesorang untuk mengenali rangsangan atau memahami informasi tentang lingkungan, baik lewat penglihatan, pendengaran, penciuman, dan penghayatan perasaan sehingga menghasilkan berbagai makna yang mengarahkan kepada kesan, pengertian dan pemahaman tertentu. Persepsi yang terbentuk pada individu dapat dipengaruhi oleh berbagai fakror sebagai berikut: kondisi psikologis, latar belakang keluarga, latar belakang kebudayaan dan lingkungan, karakteristik individu, suasana emosional, dan usia individu.

Euporia pemilihan kepala daerah langsung (Gubernur) berlangsung di seluruh Indonesia, dan telah menghasilkan gubernur pilihan rakyat, bahkan sudah ada yang memasuki proses pemilihan periode kedua. Pemilihan kepala daerah secara langsung ini ternyata belum menghasilkan kepala daerah sebagaimana diharapkan, baik dari dimensi proses maupun dimensi out put (Sosok Gubernur terpilih). Dari dimensi proses, pemilihan secara langsung memerlukan biaya (cost) yang sangat besar (aspek ekonomi); konflik horizontal dan vertikal (aspek sosial); namun memberi pembelajaran demokrasi (aspek politik). Sedangkan dari dimensi out put, gubernur terpilih dilihat dari segi kualitas dan kapabilitasnya juga dianggap oleh sebagian besar pengamat belum jauh berbeda dengan sistem pemilihan melalui mekanisme perwakilan.

Terlepas dari banyaknya permasalah pada pilkada langsung, proses demokrasi di daerah harus tetap berjalan terus. Yang menjadi tugas kita adalah terus memperbaiki proses tersebut. Sehingga pilkada secara langsung perlu dievaluasi kembali sehingga tidak hanya pada tataran prosedural tetapi lebih mengarah kepada demokrasi yang lebih esensial, yakni kebijakan pemerintah daerah yang lebih berpihak dan menguntungkan rakyat. Konstruksi perwilayahan yang diatur didalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, menempatkan Provinsi sebagai daerah otonom sekaligus sebagai Wilayah Administrasi. Pengaturan sedemikian ini berarti bahwa antara Provinsi dengan Kabupaten dan Kota mempunyai keterkaitan dan hubungan hirarkhis satu sama lain, baik dalam arti status kewilayahan maupun dalam sistem dan prosedur penyelenggaraan pemerintahan. Adanya pemikiran bahwa Provinsi dengan Kabupaten dan Kota terlepas satu sama lain, mengingkari prinsip-prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Undang Undang Dasar 1945, yang secara jelas mengatur secara sistematik antara masing-masing tingkat pemerintahan. Menyadari hal itu, maka dalam rangka prinsip-prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Lemhanas menyarankan agar Gubemur atau Kepala Daerah Tingkat I dipilih dan diberhentikan oleh presiden, karena posisinya sebagai wakil pemerintah pusat di daerah. "Otonomi daerah ini kan ujung tombaknya daerah tingkat dua. Gubemur itu disebutkan sebagai wakil pemerintah pusat yang ada di daerah. Jadi dia kelanjutan tangan dari presiden sebagai kepala pemerintahan. Jadi sebetulnya pemilihan langsung gubemur oleh rakyat tidak begitu relevan," ujar Muladi. Gagasan Lemhanas sejalan dengan sistem dekonsentrasi dan desentralisasi dengan UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam UU itu, dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah dan/atau kepada instansi vertikal di wilayah tertentu. Sedangkan desentralisasi

UU 32/2004 secara mendasar telah menjadi tonggak demokratisasi lokal dengan adanya sistem pemilihan kepala daerah secara langsung (Pilkada Langsung). Namun demikian, dalam proses penyusunan UU, tidak bisa mengesampingkan kepentingan politik

1

Ada anggapan bahwa masyarakat lebih mengetahui siapa yang lebih memiliki komitmen dan kemampuan (kapabilitas) dalam membangun daerahnya.

290


Jurnal Inovasi Vol. 8 No. 4, Desember 2011

serta proses legislasinya yang belum tuntas, sehingga banyak hal substantif dalam UU ini menimbulkan banyak penafsiran. Hal ini kemudian menimbulkan kekhawatiran akan meluasnya praktik penyelenggaraan pemerintahan daerah yang antidemokrasi. UU 32/2004 dapat dipandang sebagai pintu masuk kembalinya peran pemerintah pusat secara signifikan dalam proses penyelenggaraan pemerintahan daerah (resentralisasi).

pemerintah pusat. Ketergantungan konsultasi setiap ketentuan yang nampak sengaja dibuat tidak jelas itu, berarti sama dengan membatasi kewenangan desentralisasi. Dengan kata lain, bahwa pemerintah pusat telah mempersiapkan perangkap otonomi daerah yang sentralistik (centralized) yang tidak kerntara. Jika demikian Masalahnya, maka apakah perlu Pilkada Gubernur? Jika kewenangannya tidak diperkuat, malah justeru diciptakan secara ketergantungan, setengah hati, serba tanggung dan terbatas, maka Pilkada Gubernur hanya mubazir, membuang waktu, biaya, dan menguras energi rakyat. Kenyataan ini banyak menimbulkan tanggapan, salah satu opsinya adalah bahwa jabatan Gubernur sebaiknya diposisikan sebagai Wakil Pemerintah Pusat di daerah yang posisinya setingkat menteri dan melapor langsung kepada presiden. Dan dengan demikian semua Gubernur dipilih dan ditetapkan oleh presiden. Walaupun ada anggapan yang mengatakan bahwa munculnya gagasan untuk melaksanakan Pilgubsu 2008 merupakan sisi lain dari euphoria demokrasi, namun harus pula dimengerti bahwa salah satu tujuan untuk melaksanakan pilkada langsung adalah selain dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas demokrasi di tingkat lokal, mengurangi kemungkinan terjadinya praktik politik uang dan pembelian suara, juga melalui pilkada langsung diharapkan dapat di bangun suatu sistem pemerintahan daerah yang kuat, transparan, partisipatif dan responsif dengan melibatkan partisipasi aktif semua komponen masyarakat sehingga tuntutan akan peningkatan kualitas dan kesejahteraan hidup rakyat dapat terealisasi.

Sebelumnya, MPR telah pula menetapkan rekomendasi berkaitan penyelenggaraan otonomi daerah melalui Tap MPR No. IV Tahun 2000, dan kemudian diperkuat kembali melalui Tap MPR No. VI Tahun 2002. Perubahan konstitusi dan amanat ketetapan MPR inilah yang menjadi dasar normatif bagi pemerintah dan DPR untuk merevisi UU 22/1999. Dalam penyelenggaraan otonomi daerah, persoalan-persoalan persebaran wewenang dan bagaimana tata hubungan di antara pemerintah dari setiap jenjang menjadi suatu hal yang pelik. Sebagai contoh, wewenang yang diberikan ke daerah Kabupaten/Kota berdampak kepada melemahnya posisi gubernur. Walaupun ia memiliki fungsi dekonsentrasi karena gubernur itu adalah juga sekaligus sebagai wakil Pemerintah dalam rangka dekonsentrasi. Dalam kasus ini terdapat adanya dual function karena daerah otonom itu adalah separateness (disintegrasi) sehingga harus mengintegrasikan kembali (how to reintegrated). Pengintegrasiannnya dengan jalan provinsi memiliki dual status sebagai daerah otonom dan sebagai daerah administrasi, konsekuensinya gubernur juga memilki dual role sebagai wakil pemerintah pusat dan sebagai kepala daerah. Dengan demikian seharusnya dapat tercipta persepsi yang sama tentang Jabatan Gubernur yang bukan satu-satunya jalan terbaik membangun daerah. Dengan otoritas Gubernur yang sangat terbatas, Gubernur justru menjadi posisi yang serba tanggung yang tidak menjamin dapat mendorong keberhasilan pembangunan daerah.Sisi lain yang sangat penting dilakukan ialah membangun pengawasan yang intensif kesalahan pemahaman dan implementasi undang-undang nomor 32/2004 tersebut.

Untuk mencapai tujuan ini, tentu saja sangat diperlukan seorang kepala daerah yang memiliki karakteristik seperti; Pertama kompetensi yang baik. Dengan didukung oleh pengalaman yang cukup dalam bidang pemerintahan dan kegiatan kemasyarakatan, wawasan yang luas, kapasitas intelektual yang tidak diragukan serta keahlian yang memadai maka seorang kepala daerah dapat memainkan perannya secara optimal dalam melaksanakan tugas-tugas pemerintahan di daerah. Terlebih lagi, apabila kompetensi yang dimiliki oleh pejabat daerah tersebut juga didukung oleh adanya kepekaan moral spritual dan partisipasi aktif masyarakat. Semua ini dimaksudkan untuk menyukseskan kegiatan pembangunan daerah yang selanjutnya berdampak pada efektifnya penyelenggaraan pembangunan nasional dalam cakupan yang lebih luas.

Artinya, jika pemerintah pusat ingin memperkuat penyelenggaraan otonomi daerah secara luas, maka perlu dilakukan pemberdayaan Jabatan Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat di daerah secara optimal. Kenyataan selama ini pemerintah pusat sering kali membuat produk perundang-undangan yang sering menimbulkan salah pengertian, tidak tegas dan mengandung makna ganda yang mengaburkan. Dengan kondisi ini Gubernur, Bupati dan Walikota berada pada posisi yang sulit dan serba salah, sehingga dalam praktek pengambilan kebijakan selalu memerlukan konsultasi kepada

Oleh sebab itu, untuk merekrut seorang pejabat daerah yang memiliki kompetensi yang baik maka tidak ada pilihan lain kecuali proses pengrekrutan ini harus dilakukan secara transparan, rasional, objektif 291


Badaruddin., Evaluasi Pemilihan Gubernur Secara Langsung di Sumut Tahun 2008

dan demokratis dengan tetap mengedepankan model pengrekrutan yang didasarkan pada kegunaan dan keahlian (merit system) sehingga pejabat daerah yang terpilih memiliki kinerja yang mampu memenuhi dan menyokong kebutuhan rakyat serta dapat membangun tata pemerintahan lokal yang responsif, partisipatif dan terbuka. Kedua profesional dan dapat dipercaya. Seiring dengan perkembangan masyarakat yang bergerak begitu cepat, tentu akan berdampak pula pada semakin membaiknya dan tingginya tingkat pendidikan masyarakat sehingga hal ini akan membentuk proses empowering masyarakat. Oleh karena itu, adalah wajar apabila para pejabat di daerah harus pula melakukan perubahan paradigma dalam proses pelayanan publik dari perilaku yang sifatnya suka mengatur dengan menggunakan pendekatan kekuasaan kesuatu model pelayanan yang professional, fleksibel, dialogis dan dengan kinerja yang realistik.

puas dan kecewa dengan kondisi yang mereka alami sekarang ini dan kemudian rasa frustrasi sosial tersebut terakumulasi sedemikian rupa lalu di manifestasikan dalam bentuk tindakan yang anarkis dan destruktif yang pada akhirnya akan mengganggu kegiatan pembangunan di daerah. Gubernur sebagai wakil Pemerintah pusat memiliki hubungan wewenang yang dapat dirinci atas: (1) hubungan antara Gubernur sebagai wakil Pemerintah dengan Para Menteri dan Kepala Lembaga Pemerintah Non Departemen; (2) hubungan antara Gubernur sebagai wakil Pemerintah dan Daerah Provinsi di wilayahnya; dan (3) hubungan antara Gubernur sebagai wakil Pemerintah dengan Kabupaten/Kota di wilayahnya. Mengenai implementasi pelimpahan wewenang kepada Gubernur sesuai dengan pasal 38 UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004 disebutkan bahwa pendanaan tugas dan wewenang Gubernur dibebankan pada APBN, kedudukan keuangan Gubernur dan tatacara pelaksanaan tugas dan wewenang Gubernur diatur dalam Peraturan Pemerintah. Di samping itu pasal 223 juga menegaskan bahwa pedoman pembinaan dan pengawasan yang meliputi standar, norma, prosedur, penghargaan dan sanksi diatur dalam peraturan Pemerintah, maka Departemen Dalam Negeri saat ini sedang menyusun RPP Tugas dan Wewenang Gubernur sebagai Wakil Pemerintah, RPP Penyelenggaraan Dekonsentrasi, RPP Tugas Pembantuan dan RPP pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah.

Lagi pula dalam memasuki era globalisasi, tuntutan akan profesionalisme dan akuntabilitas seorang pejabat di daerah terus menguat sehingga proses pemberdayaan masyarakat dapat dilakukan dengan meningkatkan kualitas pelayanan kepada masyarakat. Di samping itu, agar supaya pejabat daerah juga mampu mengoptimalkan semua potensi yang ada di daerah, maka tentu saja pejabat publik tersebut harus memiliki sikap proaktif, punya perencanaan yang baik dan diorientasikan ke masa depan, dapat dipercaya, efisien dan tanggap terhadap berbagai persoalan yang dihadapi oleh rakyat. Dengan memiliki sikap produktif dan proaktif, maka kepala daerah dapat memanfaatkan dana dan fasilitas yang ada dan disesuaikan dengan skala prioritas sehingga dalam implementasi program kerja dapat dibedakan kegiatan mana yang dianggap sangat penting untuk dilakukan berdasarkan pada rencana yang telah dibuat sebelumnya, termasuk pula di dalamnya munculnya gagasan baru untuk mengelola sumber daya yang ada secara ekonomis namun tetap memberi hasil guna semaksimal mungkin bagi pembangunan daerah. Dan Ketiga, kemampuan integratif. Tidak dapat disangkal lagi bahwa pembangunan sosial dan ekonomi hanya dapat berjalan dengan baik apabila didukung oleh pembangunan politik dan stabilitas sosial yang relatif terkendali. Untuk itu, salah satu tugas yang perlu dilakukan oleh kepala daerah adalah mengelola, mengintegrasikan dan mengakomodasi kepentingan dari berbagai elemen yang ada di daerah sehingga kemajemukan dapat dikembangkan sebagai suatu kekuatan bersama dalam mempertahankan integrasi sosial. Ini sangat penting dilakukan mengingat banyaknya kasus kerusuhan yang muncul belakangan ini sebagai akibat dari tidak terakomodasinya kepentingan sebagian kelompok masyarakat. Akibatnya, ada sekelompok orang yang merasa tidak

Sebagaimana dijelaskan UU 32/2004, tentang tugas dan wewenang Gubernur sebagai Wakil Pemerintah Pusat di Daerah, di mana dalam kedudukannya sebagai Wakil Pemerintah bertanggungjawab kepada Presiden, ternyata tidak sedikit menuai kritik karena di sana sini masih dianggap mengandung kelemahan. Untuk ini perlu adanya pemahaman yang mendalam tentang makna dan tujuan atas posisi Gubernur sebagai pengelola Pemerintah Provinsi, di samping sebagai wakil pemerintah pusat di daerah. Menurut UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 37 ayat (1), gubernur karena jabatannya berkedudukan juga sebagai wakil pemerintah di wilayah provinsi yang bersangkutan. Ayat (2), dalam kedudukannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1), gubernur bertanggungjawab kepada presiden. Pasal 38 ayat (1) gubernur dalam kedudukannya sebagaimana dimaksud Pasal 37 memiliki tugas dan wewenang, pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan pemerintah daerah kabupaten/kota. Gubernur juga memiliki tugas dan wewenang mengoordinasi penyelenggaraan urusan pemerintah di daerah. Gubernur juga sebagai koordinator 292


Jurnal Inovasi Vol. 8 No. 4, Desember 2011

pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan tugas pembantuan di daerah. Posisi gubernur pada UU 32/ 2004 (perubahan atas UU 22/99), menjadi strategis bahwa gubernur sebagai wakil pemerintah pusat sekaligus pemimpin daerah otonomi (terbatas) provinsi. Salah satu implikasi dari posisi Gubernur sebagaimana disebutkan pada Pasal 37 ayat (1), dan ayat (2) tesebut adalah melemahkan organisasi pemerintah, baik provinsi maupun kabupaten / kota. Hal ini terjadi karena Gubernur dalam melaksanakan tugas pokoknya cenderung lebih menitik beratkan tanggungjawabnya kepada Presiden sebagai wakil Pemerintah Pusat di daerah. Oleh karena itu implikasinya lebih jauh adalah berkurangnya perhatian Gubernur terhadap urusan pelayanan dan pemenuhan kepentingan publik di daerah setempat. Kenyataan ini nampaknya masih dipengaruhi oleh prinsip sentralisasi berdasarkan berbagai alasan Pemerintah pusat. Hal ini banyak menimbulkan berbagai penafsiran yang seolah-lah pemerintah pusat menyandra pelaksanaan otonomi, dengan alasan ketidaksiapan daerah atau kerena terbatasnya Sumber Daya (Resources). Pemerintah Pusat memandang penting adanya sentralisasi pengaturan, kebijakan dan lain-lain untuk menjamin alokasi yang adil atau merata bagi semua daerah resources yang terbatas tersebut.

Gubernur cukup melakukan koordinasi terhadap Pemerintah kabupaten/kota, mengingat posisi Bupati/Walikota juga merupakan pemimpin daerah otonom. Itulah sebabnya, maka sering ditemukan lambannya reaksi dari kabupaten/kota terhadap kebijakan provinsi. Jika kurang cermat memahami dan menerapkan Undang-undang Nomor 22 dan 32 tentang pemerintahan daerah dalam kancah otonomi daerah, maka dapat salah kaprah, terutama titik berat kewenangan otonomi daerah berada pada Kabupaten dan Kota. Bupati dan Walikota dipilih langsung oleh rakyat. Oleh karena itu banyak pihak yang menganggap tak perlu Gubernur juga harus dipilih oleh rakyat melalui pilkada langsung. Lain halnya dengan Presiden yang dipilih langsung oleh rakyat, itu karena setiap kebijakan yang diambil oleh Presiden akan secara langsung menentukan kebutuhan hidup dan masa depan rakyat. Gubernur tidak bisa membuat kebijakan yang langsung menyentuh kebutuhan hidup dan masa depan rakyat. Gubernur masih berkordinasi dengan Bupati dan Walikota, yang memang memiliki kewenangan otonomi daerah yang luas. Atas dasar wacana yang muncul tersebut (pemilihan gubernur secara langsung dan tidak langsung) tersebut menarik untuk penelitian melakukan dengan judul �Evaluasi Pemilihan Gubernur Secara Langsung di Sumatera Utara Tahun 2008� melalui persepsi masyarakat dengan melihat tiga aspek utama yaitu, ekonomi, sosial, dan politik. Untuk mengevaluasi dan mengetahui pengaruh sistem pemilihan Gubemur secara langsung di Sumatera Utara pada tahun 2008 berdasarkan persepsi masyarakat dilihat dari aspek ekonomi, sosial, dan politik.

Dibalik itu semua, ada suatu dasar sentralisasi yang tak pernah diungkap secara terbuka yaitu prasangka terhadap daerah. Pemerintah Pusat beranggapan, desentralisasi, apalagi dalam bentuk otonom, berpotensi terjadi disintegrasi bangsa. Daerah-daerah dengan kemandirian otonomi dapat mendorong proses memisahkan diri dari negara kesatuan. Hal ini dibuktikan dengan berbagai pergolakan yang terjadi daerah. Premis ini baik secara empirik maupun teoritik kurang dapat dipertanggungjawabkan. Pergolakan daerah jesteru kerena sentralisasi. Daerah justru menuntut otonomi dan pengendoran sentralisasi. Dengan perkataan lain, tidak mungkin terjadi pergolakan daerah sebagai akibat dari otonomi, kalaupun itu ada bukan kerena politik desentralisasi atau otonomi, melainkan sebaliknya kerena politik sentralisasi.

METODE PENELITIAN Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah kombinasi pendekatan kualitatif dan kuantitatif. Model kombinasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah dominant-less dominant design (Creswell, 1994), dimana pendekatan kuantitatif dijadikan sebagai dominan (quantitative-dominant), sedangkan pendekatan kualitatif dijadikan sebagai less dominant (qualitative-less dominant). Pendekatan kualitatif yang menekankan pada prosesual dimaksudkan agar peneliti dan proses penelitian tidak terjebak pada kerangka pemikiran teoritik yang kaku dan bersifat streotipik. Pendekatan kuantitatif digunakan untuk memperoleh data yang dapat memberi informasi tentang bagaimana sebenarnya pelaksanaan Pemilihan Gubernur Sumatera Utara melalui persepsi masyarakat pada tahun 2008 dilihat dari aspek sosial, ekonomi, dan politik. Melalui persepsi masyarakat tersebutlah akan dapat diketahui bagaimana sesungguhnya

Kalau organ perangkat daerah tersebut dapat berjalan dan berfungsi sebagaimana tuntutan dan aspirasi rakyat, maka kiranya Gubernur dapat merealisasikan kepentingan publik dan sekaligus dapat menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan pelayanan publik dan kesejahteraan masyarakat di daerah. Dalam pelaksanaan tugasnya Gubernur tidak perlu memberi perintah dan teguran terhadap perangkat daerah kabupaten/kota, karena mengalami keterlambatan atau kelalaian dalam menangani permasalahan daerah, walaupun dana sudah tersedia. 293


Badaruddin., Evaluasi Pemilihan Gubernur Secara Langsung di Sumut Tahun 2008

pelaksanaan pilgubsu tahun 2008 dilihat dari ketiga aspek tersebut.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Populasi penelitian ini adalah seluruh warga Sumatera Utara yang telah memiliki hak pilih pada Pilgubsu Tahun 2008. Sebagai sampel penelitian diambil 300 orang yang telah memiliki hak pilih pada tahun 2008, dengan rincian 50 sampel untuk masingmasing Kabupaten/Kota, kecuali Kota Medan diambil 100 sampel sebagai responden penelitian. Pengambilan sampel (responden) penelitian dilakukan secara insidentil, yaitu dengan menanyakan kepada calon responden yang ditemui di beberapa tempat untuk dijadikan sebagai responden penelitian. Persyaratan yang dapat dijadikan sebagai responden adalah orang yang telah memiliki hak pilih pada Pemilihan Gubernur Sumatera Utara pada Tahun 2008.

Salah satu perubahan mendasar dalam praktek penyelenggaraan pemerintahan daerah di era otonomi daerah yaitu proses seleksi kepemimpinan eksekutif lokal tidak lagi dipilih dan ditentukan oleh DPRD, tapi langsung oleh rakyat. Output pilkada (Pilgubsu) diharapkan akan mampu menjaring pemimpin eksekutif lokal yang bisa memenuhi preferensi mayoritas masyarakat lokal dan mempercepat terbentuknya pemerintahan daerah yang lebih baik (good governance). Dengan begitu, dari sisi subtansi, pilkada diharapkan bisa melakukan proses seleksi pemimpin yang dinilai rakyatnya terbaik untuk melakukan perubahan-perubahan yang menjanjikan dan memberi manfaat kepada masyarakat luas. Terpuruknya kondisi ekonomi Indonesia, juga berimbas ke daerah-daerah, termasuk Sumatera Utara. Krisis ekonomi yang melanda sebagian besar rakyat, hendaknya disikapi dengan cara penghematan sehingga ada dana yang tersimpan yang bisa dimanfaatkan untuk pembangunan, terutama membantu rakyat yang hidup dalam kesusahan. Inilah yang dapat dilihat pada Tabel 5.6. yang mengatakan bahwa sebaiknya dana untuk Pilgubsu ini digunakan untuk membangun kesejahteraan masyarakat (86 persen), dan hanya 14 persen saja yang mengatakan bahwa demokrasi harus dijalankan dan itu membutuhkan dana yang tidak sedikit. Bagi sebagian besar responden, dana yang begitu besar dianggarkan untuk Pilgubsu, akan lebih baik dan bermanfaat bila digunakan untuk membantu masyarakat miskin.

Data kualitatif diperoleh dari informan. Yang menjadi informan dalam penelitian ini adalah Pengamat Politik, Pengamat Ekonomi, dan Pengamat Sosial, dan responden yang dianggap mampu memberikan informasi terkait masalah penelitian. Data yang akan dikumpulkan berasal dari dua sumber yaitu sumber-sumber tangan pertama (data primer) dan sumber-sumber tangan kedua (data sekunder). Data-data primer diperoleh melalui teknik wawancara mendalam (in-depth interview) untuk pendekatan kualitatif. Untuk mendapatkan informasi yang benar-benar akurat dilakukan teknik triangulasi. Sedangkan untuk pendekatan kuantitatif, data primer dikumpulkan melalui teknik survei dengan mendistribusikan seperangkat daftar pertanyaan semi terbuka (semi open ended questionary) kepada para responden penelitian. Untuk data-data sekunder akan dikumpulkan dari hasil olahan data orang lain, baik berupa dokumen, laporan, publikasi, dan sebagainya

Pelaksanaan Pilgubsu 16 April 2008 hanya diikuti oleh 63 persen rakyat yang menggunakan hak pilihnya (Waspada, 17/4/2008). Artinya jumlah golput mencapai 37 persen. Walaupun yang memilih 4.933.687 suara dan golput 3,2 juta jiwa, tapi pemerintah sudah mau melakukan suatu pesta demokrasi yang mahal demi sebuah harapan masa depan yang lebih baik, baik itu dari dimensi sosial, politik, terutama dimensi ekonomi.

Lokasi penelitian terpilih adalah lima kabupaten/kota yang ada di Sumatera Utara, yaitu: Kota Medan, Kabupaten Serdang Bedagei, Kota Tebing Tinggi, Kabupaten Simalungun, dan Kota Siantar. Untuk pendekatan kualitatif, analisis dilakukan secara simultan dengan proses pengumpulan data (on going analysis). Analisis kualitatif ini dilakukan mengikuti proses antara lain, reduksi data, penyajian data dan menarik kesimpulan berdasarkan reduksi dan penyajian data yang telah dilakukan sebelumnya, serta penggunaan matriks. Untuk pendekatan kuantitatif digunakan teknik analisis statistika deskriptif. Analisis statistika deskriptif digunakan untuk menganalisis variabel-variabel yang dinyatakan dengan sebaran frekwensi, baik secara angka-angka mutlak maupun sebaran frekwensi dan persentase.

Selain itu, dana Pilgubsu yang begitu besar memungkinkan terjadi penyelewengan atas penggunaan dana tersebut. Terbukti setelah Pilgubsu berlangsung dan dilakukan audit keuangan, ada beberapa pihak yang diduga melakukan korupsi terhadap dana tersebut dan akhirnya menyeret mereka ke meja hijau untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Selain banyaknya aliran dana yang tidak jelas dalam Pilgubsu, ternyata masyarakat belum merasakan dampak secara nyata dari kegiatan tersebut terutama di bidang ekonomi. Setelah kemenangan Syampurno 294


Jurnal Inovasi Vol. Vo 8 No. 4, Desember 2011

misalnya belum ada kemajuan secara eknomis yang dirasakan rakyat secara langsung sung (61,3 persen). Minyak tanah masih sulit didapat dapat sehingga harus tetap mengantri untuk mendapa ndapatkanya, harga kebutuhan pokok terus melambung, ung, kkesempatan kerja juga masih sangat sulit didapatkan. atkan. Sebanyak 38,7 persen yang menyatakan bahwa ada kkemajuan dalam pergerakan roda ekonomi di Su Sumatera Utara. Masyarakat masih menaruh keper kepercayaan kepada Gubernur terpilih untuk berusah erusaha semaksimal mungkin membangun perekonomia nomian di Sumatera Utara dengan berbagai cara misalny isalnya menarik para investor baik dalam maupun luarr ne negeri. Selain itu masyarakat masih percaya bahwa ahwa pimpinan yang mereka pilih secara langsung sung sekarang ini

mempunyai pola pikir yang ang lebih le maju dan lebih memperhatikan rakyat kecil. cil. Tanggapan T responden terhadap Pilgubsu langsung ung dapat d menggerakkan roda ekonomi di Sumateraa Utara Utar dapat dilihat pada Gambar 1. Belum terlihatnya perubahan bahan yang signifikan, khususnya dalam bidang pembangunan pemba ekonomi di Sumatera Utara dengan diberlakukannya diberl Pilgubsu dibanding dengan Pilgubsu su yang yan dilakukan secara tidak langsung menyebabkan abkan masyarakat lebih memilih kembali pada pola la pemilihan pem Gubsu lewat mekanisme DPRD yang disetujui diset Presiden pada periode berikutnya, yaitu (80 80 persen) per responden.

70 60 50 40 30 20 10 38,7

61,3

0 Ya

Tidak

Pilgubsu Langsung Menggerakkan Ekonomi Sumut mut Gambar 1.. Pil

90 80 70

80

60 50 40 30 20 20

10 0 Ya

Tidak

Grafik 2. Pilgub ilgubsu Langsung Digantikan Pilgubsu Tidak Langsung gsung

295


Badaruddin., Evaluasi Pemilihan Gubernur Secara Langsung di Sumut Tahun 2008

Sebanyak 20 persen lainnya tetap memilih untuk tetap melangsungkan Pilgubsu secara langsung pada periode berikutnya walaupun mereka juga belum melihat ada perubahan yang sangat signifikan, namun mereka tetap berkeyakinan bahwa Pilgubsu secara langsung akan menghasilkan pembangunan ekonomi yang lebih baik bagi Sumatera Utara. Tanggapan responden terhadap Pilgubsu langsung digantikan dengan Pilgubsu Tidak Langsung dilihat dari Aspek Ekonomi di Sumatera Utara dapat dilihat pada Gambar 2.

berkas-berkas yang ada dalam kantor tersebut dan melukai beberapa orang. Dalam masyarakat dapat tercipta peluang terjadinya polarisasi politik dan disintegrasi sosial karena muncul pengkotakan komponen dalam masyarakat, begitu pula dengan birokrasi yang seharusnya bersikap netral karena hal ini menjadi tidak netral. Jika kondisi ini terus belanjut maka dapat dipastikan akan terganggunya stabilitas politik masyarakat serta mandeknya pelayanan publik terhadap masyarakat. Tanggapan responden terhadap Pilgubsu langsung menciptakan suasana yang harmonis di tengahtengah masyarakat dapat dilihat pada Tabel 1.

Tidak dapat dipungkiri bahwa iklim demokrasi dan kebebasan yang tengah berlangsung saat ini menjadi bagian yang diidamkan dalam setiap jejak perjalanan bangsa kita. Baik secara nasional maupun lokal, termasuk dalam Pilgubsu. para pemuka baik adat maupun masyarakat diharapkan berpartisipasi mengantisipasi gejala kemunduran etika politik yang salah satunya ditandai dengan menonjolnya sikap pragmatisme dalam perilaku politik yang hanya mementingkan kelompoknya saja. Sehingga yang muncul adalah kebersamaan yang sifatnya fatamorgana. Seolah-olah kepentingan bersama, padahal itu hanyalah kepentingan-kepentingan kelompok yang terkoleksi. Jika gejala ini berkembang memang sangat mengkhawatirkan karena nanti dapat terjadi suatu kondisi dimana hampir tidak ada kesepakatan di mata para politisi kita tentang akan dibawa ke mana masyarakat ini. Karena semua merasa benar sendiri, dan tidak pernah mau menyadari di balik pendapat yang ia nyatakan mengandung kesalahan yang bisa ditutupi oleh pendapat kelompok lain.

Tabel 1. Pilgubsu Langsung Masih Menciptakan Suasana Harmonis No. 1. 2.

Uraian Setuju Tidak Setuju

Jumlah

Frekuensi

Persentase

180 120

60,00 40,00

300

100,00

Sumber: Data Kuesioner, 2009 Pendalaman terhadap persepsi responden yang terkait dengan pertanyaan bahwa Pilgubsu langsung masih menciptakan suasana harmonis, meskipun muncul gejolak dan gesekan-gesekan di tengah-tengah masyarakat, hal ini terkait dengan suasana yang masih tetap kondusif di Sumatera Utara sebelum dan pasca Pilgub dibandingkan dengan di beberapa daerah lain yang sempat memunculkan aksi anarkhisme seperti di Sulawesi Selatan dan Maluku Utara. Hal-hal itulah yang mempengaruhi persepsi responden sehingga mereka tetap menilai bahwa Pilgubsu tahun 2008 secara langsung masih menciptakan suasana harmonis.

Dalam Pilgubsu 2008, sebagian besar (60 persen) responden penelitian memandang bahwa kondisi harmonis masih tercipta dalam pelaksanaan Pilgubsu 2008, sementara yang lainnya (40 persen) responden mengatakan tidak merasakan adanya suasana yang harmonis dalam Pilgubsu. Kelompok responden yang mengatakan bahwa kondisi harmonis tidak tercipta dalam Pilgubsu 2008 antara lain disebabkan terjadinya demonstrasi, konflik antar pendukung calon, dan sebagainya. Namun secara umum harus diakui bahwa pelaksanaan Pilgubsu 2008 memang telah berjalan dengan lancar, walau tetap menimbulkan beberapa persoalan. Situasi kacau/rusuh yang dikhawatirkan banyak pihak seperti yang terjadi pada Pilgub di beberapa daerah lain, hal itu tidak terjadi di Sumatera Utara.

Konflik yang muncul dalam Pilkada, pada umumnya terjadi akibat kalahnya kandidat pilihannya. Berbagai alasan akhirnya muncul yang pada intinya tidak menerima kekakalahan tersebut. Masyarakat Sumatrera Utara yang pada umumnya masih sangat kental dengan ikatan-ikatan primordialnya, juga mengalami hal yang sama dalam Pilkada. Konflik-konflik yang muncul pada masyarakat menurut sebagian besar responden (71,7 persen) pada umumnya disebabkan oleh adanya dugaan kecurangan dalam proses pemilihan yang menyebabkan kalahnya salah satu calon yang didukung. Para calon akan menjalankan segala cara agar dapat menang, yang terkadang melanggar norma-norma yang dijunjung tinggi dalam masyarakat (biasanya dilakukan oleh Tim Sukses). Salah seorang informan (Pengamat Sosial) menyebutkan: â€œâ€Ś tim sukses calon gubernur/wakil

Hal tersebut patut disyukuri mengingat beberapa Pilkada di tingkat kabupaten/kota yang berlangsung di Sumatera Utara, seperti Pilkada di Kota Binjai, Kabupaten Tapanuli Tengah dan Tapanuli Utara yang diakhiri dengan anarkhisme seperti pengrusakan dan pembakaran kantor KPUD sehingga menghanguskan 296


Jurnal Inovasi Vol. 8 No. 4, Desember 2011

gubernur yang seringkali menempuh berbagai cara, meskipun terkadang melanggar rambu-rambu yang ada, untuk dapat menarik simpati calon yang mereka usung. Dan hal inilah yang sering mengakibatkan benturan-benturan di tengah-tengah masyarakat�.

standar yang secara umum diterima masyarakat setempat; 2) persenyawaan, dalam model ini semua kelompok etnik bercampaur menjadi satu (melting pot) sehingga membentuk budaya dan masyarakat baru yang di dasarkan pada prinsip persaudaraan manusia; 3) kemajemukan budaya, yang terjadi apabila nilai-nilai kelompok baik mayoritas maupun minoritas tetap menjunjung tinggi identitas budaya mereka yang berlainan, tetapi berupaya mencapai kesatuan ekonomi dan politik.

Selain itu penyebaran isu-isu terutama yang berkaitan dengan SARA juga sangat sering terjadi, yang menyebabkan gesekan pada masyarakat, khususnya di desa. Informan (Pengamat Sosial) menjelaskan:“Isu SARA dan primordialisme memang merupakan salah satu isu yang efektif untuk dapat membakar semangat dan mengarahkan pilihan seseorang pada calon tertentu. Hal ini diakibatkan masyarakat Sumatera Utara merupakan masyarakat yang sangat heterogen (plural)�. Pilihan yang bersifat SARA (agama dan suku) juga semakin memperuncing ketegangan di masyarakat yang pada umumnya masih memiliki hubungan kekerabatan. Hubungan-hubungan kekerabatan ini sangat sering digunakan untuk mempengaruhi pemilih dalam menentukan pilihannya. Hanya 28,3 persen yang menyatakan ketidaksetujuan munculnya konflik akibat pelaksanaan Pilgubsu. Tanggapan responden terhadap Munculnya Konflik antar Warga dapat dilihat pada Tabel 2.

Konflik etnik lebih menekankan pada konflik yang berlangsung, ketika kelompok etnik saling kontak. Menurut Mason (1970) ada tiga model dasar konflik, yaitu: 1) Pemusnahan. Model ini menyertakan usaha sistematik untuk membunuh atau menghancurkan seluruh penduduk; 2) Perpindahan Penduduk. Cara ini merupakan cara lain dimana satu kelompok bisa berupaya mencapai dominasi terhadap yang lain. Dalam model ini suatu kelompok dipaksa untuk pindah kelokasi yang jauh atau untuk bermigrasi keluar dari masyarakat setempat; 3) Penaklukan. Model ini merupakan model yang paling umum dalam konflik antar etnik. Model ini benar-banar mencerminkan ciri-ciri hubungan minoritas dan dimana suatu kelompok menikmati akses yang lebih besar terhadap kebudayaan dan gaya hidup masyarakat yang lebih besar daripada yang lain.

Tabel 2. Pilgubsu Langsung Menghasilkan Konflik Antar Warga No. 1. 2.

Uraian Ya Tidak

Jumlah

Frekuensi

Persentase

215 85

71,70 28,30

300

100,00

Kondisi yang terjadi dalam Pilgubsu 2008, munculnya konflik SARA (terutama agama Islam dan Kristen) terjadi dimana-mana. Walaupun dalam kandidat calon Gubernur dan wakilnya ada pasangan pelangi (Islam-Kristan dan Kristen-Islam) namun masih saja isu agama ini muncul ke permukaan. Apalagi ada pernyataan Petingggi daerah Sumatera Utara ketika itu yang mengharuskan memilih satu pasangan tertentu karena faktor agama dan mengatasnamanakan Kitab Suci. Dalam kampanyekampanye yang dilakukan kental tarasa nuansa keagamaan yang di bawa oleh beberapa pasangan calon Gubsu, begitupula dengan para tim sukses yang mengusungnya. Tanggapan responden terhadap Konflik SARA dalam Pilgubsu.

Sumber: Data Kuesioner, 2009 Hubungan antar etnik (suku) yang dinamis dalam masyarakat dapat dilihat dalam dua aspek, yaitu: pola asimilasi dan pola konflik. Menurut Shepard (dalam Habib, 2004) asimilasi dapat diartikan sebagai proses dimana kelompok-kelompok dengan identitas yang berlainan menjadi bersatu padu secara budaya dan sosial. Penekanan pada asimilasi didasarkan pada pandangan egalitarian yang menempatkan kelompok etnik sebagai pemilik kedudukan yang setara dan berintegrasi dalam masyarakat, serta menerima untuk berpartisipasi secara penuh dalam seluruh aspek kehidupan masyarakat.

Dalam konteks penyelenggaraan pilgub, menurut salah seorang informan penelitian: “ ... masyarakat perlu diberikan pemahaman yang berkaitan dengan: pertama, maksud, tujuan, dan sasaran penyelenggaraan pilgubsu. Kedua, peran dan kewenangan setiap elemen yang terkait dalam penyelenggaraan pilgubsu, disertai dengan sistem koordinasi dan komunikasi sinergis yang perlu dibangun untuk kelancaran, sukses, dan kondusifitas penyelenggaraannya. Ketiga, mekanisme dan tata cara setiap tahapan pilgubsu, mulai dari pendataan dan pendaftaran calon pemilih, sistem pemilihan dan penetapan pasangan calon gubernur dan calon wakil gubernur oleh parpol, persyaratan calon (aspek

Seperti yang dikemukakan oleh Gordon (1978), ada tiga model asimilasi dasar dalam masyarakat: 1) komformitas, yang menunjuk pada suatu jenis asimilasi dimana tidak ada oposisi terhadap penadatang sepanjang kelompok penadatang berupaya menyeragamkan diri dengan standar297


Badaruddin., Evaluasi Pemilihan Gubernur rnur Se Secara Langsung di Sumut Tahun 2008

normatif, sosial, dan profesiona esional), tata cara pemungutan suara, pengumuman an ha hasil pemungutan suara dan penetapan hasil pemungu ungutan suara, serta penetapan calon terpilih. Keemp empat, hak dan kewajiban masyarakat pemilih dan ma masyarakat umum bukan pemilih. Namun, hal itu tu bel belum sepenuhnya tersosialisasi dengan baik kepad kepada masyarakat, khususnya masyarakat yang telah ah mem memiliki hak untuk memilih�.

sebagian besar (59,3 persen) en) responden re mengatakan bahwa melalui Pilgub secara seca langsung telah menghasilkan kedekatan antara ntara para p kandidat dengan masyarakat. Tanggapan masyarakat ma terhadap kedekatan warga dengan para kandidat k ini menurut mereka sesungghnya bukanlah nlah kedekatan k dalam arti yang sesungguhnya, tetapii karena kare kepentingan saja, yaitu hanya untuk kepentingan ingan dalam d pemilihan saja (kampanye). Setelah itu warga arga ditinggal dan malah melupakan apa yang telah dijanjikan dijan kepada rakyat. Pada masa kampanye ini masyarakat dapat berkomunikasi langsung dengan deng para kandidat sehingga rakyat merasa lebih dekat dengan calon pemimpinnya. Namun tidak sedikit pula yang pesimis bahwa pilgub langsung gsung akan menghasilkan kedekatan antara gubernurr dengan deng masyarakat. Hal ini dapat dilihat dari pandangan panda 40,7 persen responden yang menyatakan takan bahwa tidak terjadi kedekatan antara warga dengan den gubernur dan wakilnya. Menurut mereka, a, jika jik sudah terpilih dan berkuasa nantinya, perilakuny akunya tidak akan jauh berbeda dengan para penguasa guasa sebelumnya. Untuk lebih jelasnya dapat dilihatt pada Gambar 3.

Kampanye-kampanye dialogis yang ddilakukan dalam Pilgubsu Langsung telah mend mendekatkan antara pemilih dengan para calon gubernur bernur dan wakilnya. Kedekatan ini membawa hubungan ngan emosional, baik salah satu pihak maupun antarr kedu keduanya. Memang tidak selamanya hubungan kedeka edekatan ini terjadi (terutama jika hanya karena mob mobilisasi warga), namun pada umumnya bila ila mereka sudah menjatuhkan pilihan pada salahh satu kandidat, bagi mereka hal itu secara psikologiss bera berarti mereka telah mempunyai kedekatan emosional. nal. K Kedekatan inilah kemudian yang membawanya ya uuntuk memilih kandidat tersebut. Namun sayangnya angnya kedekatan ini terkadang hanya sesaat atau kedekatan ekatan semu. Pandangan tersebut dapat dilihat ilihat dari jawaban responden terhadap kuesionerr pen penelitian, dimana

40,7 59,3

Ya

Tidak

Gambar 3. Pilgubsu Langsu angsung Mendekatkan Warga dengan Gubernur/Waki Wakil Pilihannya

ubsu Langsung Memberikan Pelajaran Politik Kepadaa Rakyat Raky Tabel 3. Pilgubsu No. 1. 2.

Uraian aian

Frekuensi

Ya Tidak

Jum Jumlah Sumber: ber: D Data Kuesioner, 2009

298

Persentase

195 105

65,00 35,00

300

100,00


Jurnal Inovasi Vol. Vo 8 No. 4, Desember 2011

Walaupun Pilgubsu 2008 telah lah m melalui proses demokrasi yang melibatkan rakyat yat se secara langsung dalam pemilihannya, namun sebagian bagian besar rakyat masih kurang percaya akan kualitas alitas gubernur dan wakil gubernur terpilih. Hal inii terlih terlihat dari cukup besarnya jumlah responden yang mengatakan bahwa pemilihan Gubernur dan an Wa Wakil Gubernur Sumatera Utara 16 April 2008 belum elum menghasilkan gubernur dan wakil yang berku berkualitas, yaitu sebanyak 42,3 persen (Lihat Gambar mbar 4). Alasannya sangat beragam diantaranya adalah: dalah: masih belum adanya perubahan yang berarti yang ddirasakan oleh masyarakat terutama di sekto sektor ekonomi, penyediaan lapangan kesehatan,, fasil fasilitas kesehatan dan pelayanan pendidikan. Penil Penilaian kualitas menurut sebagain responden dinilai nilai ddari hasil kerja dan prestasi kerja bukan dari ri has hasil pemilihan. Artinya, gubernur dan wakil terpilih rpilih harus bekerja

keras untuk melaksanakan n Visi Vis dan Misi yang telah mereka janjikan ketika berkam erkampanye. Meskipun cukup besar respond sponden yang mengatakan bahwa hasil Pilgub secara langsung belum menghasilkan gubernur dan wakil w gubernur yang berkualitas, namun sebagian agian besar (57,7 persen) responden mengatakan bahwa ahwa pemimpin Sumatera Utara saat ini merupakan an orang ora yang berkualitas dan tepat, dengan berbagai bagai alasan diantaranya: pimpinan saat ini adalah h orang ora yang mau turun langsung ke masyarakat at sehingga se akan lebih banyak memahami kebutuh butuhan rakyat. Dengan pemahaman tersebut nantinya ntinya akan menghasilkan kebijakan pembangunan n yang yan lebih mengarah kepada rakyat.

57,70% 42,30% Ya Tidak

ngsung Menghasilkan Gubernur dan Wakil yang Lebih Berkualitas Gambar 4. Pilgubsu Langsu

Gambar 5. Pilgubsu u Lan Langsung Terus Dipertahankan Dilihat Dari Aspek ek Demokratis De 299


Badaruddin., Evaluasi Pemilihan Gubernur Secara Langsung di Sumut Tahun 2008

pendukungnya. Ikatan-ikatan yang berbasis primordial seringkali ditumbuhkan kembali untuk menarik simpati bagi calon tertentu. Pemilihan gubernur secara langsung hanya menghasilkan “kedekatan semu� antara masyarakat dengan gubernur terpilih. Artinya, para calon gubernur hanya dekat dengan masyarakat ketika ia belum terpilih.

Selain itu, masyarakat dalam memilih gubernur dan wakilnya lebih memahami karakter pilihannya, memilih pimpinan yang lebih memihak kepada rakyat dari pada kepentingan golongan atau kelompok tertentu terlebih lagi kepentingan individu, dengan alasan inilah kemudian pembangunan yang dihasilkan juga akan berkualitas, didukung oleh kemampuan pemimpinnya yang juga berkualitas. Bila dilihat dari aspek demokrasi, sebagian besar responden masih tetap menginginkan terus dilakukannya pemilihan gubernur dan wakilnya secara langsung (53 persen), dan sebagian lainnya tidak menginginkan pemilihan secara langsung dipertahankan (47 persen). Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 5.

Aspek Politik : Pemilihan gubernur secara langsung di satu sisi dinilai oleh masyarakat sebagai pembelajaran demokrasi yang cukup baik, namun pada sisi lain justru memberikan pembelajaran politik yang tidak baik karena money politics justru menyebar hingga masyarakat yang paling bawah. Responden (masyarakat) tetap meyakini bahwa pemilihan gubernur secara langsung akan menghasilkan gubernur yang lebih baik dan berkualitas sesuai dengan aspirasi masyarakat.

Ini akan sangat bertolak belakang dengan keinginan masyarakat yang menginginkan bahwa pemilihan Guberbur dan Wakil Guberbur Sumatera Utara digantikan dari yang langsung menjadi tidak langsung karena alasan ekonomi. Dari sisi demokrasi, masyarakat sangat ingin dilibatkan dalam pemilihan secara langsung, namun di sisi lain karena alasan efisiensi anggaran (ekonomis) maka masyarakat lebih memilih Pilgubsu dilakukan secara tidak langsung. Dengan alasan bahwa anggaran dana tersebut dapat digunakan untuk pembangunan masyarakat, terutama masyarakat miskin yang masih banyak jumlahnya di Sumatera Utara.

REKOMENDASI Bila pemilihan gubernur secara langsung tetap ingin dipertahankan, diperlukan pembelajaran politik yang baik dari setiap elit politik, calon gubernur dan timnya kepada masyarakat, sehingga disharmoni sosial bisa dihilangkan, dan modal sosial (social capital) bisa terbangun di tengah-tengah masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA

Pilihan ini menunjukkan bahwa sebagian besar responden (masyarakat) sudah menginginkan perubahan dalam pemilihan gubernur dari sistem pemilihan langsung menjadi tidak langsung. Ternyata bagi sebagian besar responden, aspek ekonomi lebih menentukan dari pada aspek politik.

Azfar, O. (1999). Decentralization, Governance, and Public Service. The Impact of Institutional arrangement: a Review of Literature. IRIS Center, University of Maryland Bremen, D.R. 2000. State and Local Politics. M.E. Sharpe, New York.

KESIMPULAN

Doorenspleet, R. 2005. Democratic Transition: Exploring the structural Sources of the Fouth Wave. Lynne Rinner Publisher, London

Dari Aspek Ekonomi : Pemilihan Gubernur Sumatera Utara secara langsung seperti yang telah diselenggarakan pada tahun 2008 secara ekonomi dinilai masyarakat sebagai pemborosan. Dana yang sebesar itu akan sangat bermanfaat bila digunakan untuk pembangunan, khususnya bagi pemberdayaan ekonomi masyarakat miskin dan pembangunan infrastruktur lainnya dan pemilihan gubernur secara langsung juga dapat memutar roda perekonomian untuk sektor-sektor tertentu seperti, jasa sablon, spanduk, kaos, dan lainnya.

Dahl, Robert A. 1971. Poliarchy: Participation and Opposition, Yale University Press, New Heaven Evans, P. 1995. Embedded Autonomy: State and Industrial Transformation. Princenton University, Princenton Gordon. 1978. Potensi Hubungan Antar Etnik. dalam Achmad Habib. Konflik Antar Etnik di Pedesaan. LKiS, Yogyakarta

Aspek Sosial : Pemilihan gubernur secara langsung rentan menghasilkan konflik di tengah-tengah masyarakat, khususnya konflik SARA (disharmoni sosial). Hal ini terjadi karena calon dan timnya seringkali menggunakan sentimen-sentimen yang bernuansa SARA untuk menarik calon

Huntington, Samuel P. dan Nelson, John. 2001. Partisipasi Politik di Negara Berkembang. Rineka Cipta, Jakarta. 300


Jurnal Inovasi Vol. 8 No. 4, Desember 2011

Mansbridge, J. 2003. Rethinking Representation; American Political Science Review. Marijan, K. 2005. Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung dan Demokratisasi di Daerah. Airlangga University Press, Surabaya Marijan, K. 2006. Demokratisasi di Daerah: Pelajaran dari Pilkada Secara Langsung. Eureka, Surabaya Mason. 1970. Potensi Hubungan Antar Etnik. dalam Achmad Habib. Konflik Antar Etnik di Pedesaan. LKiS, Yogyakarta Mawardi, Irvan. www.wordPress.com. Pilkada: Antara Money Politics dan Ongkos Politik Syani, Abdul. 2007. Posisi Gubernur sebagai Wakil Pemerintah Pusat di Daerah dalam Perspektif Politik Lokal. Tesis, Fisip Unila. Shepard. 1987. Potensi Hubungan Antar Etnik. dalam Achmad Habib. Konflik Antar Etnik di Pedesaan. LKiS, Yogyakarta Schumpeter dalam Huntington, 2001. Partisipasi Politik di Negara Berkembang. Rineka Cipta, Jakarta. Tambuse, Muhyan. 2007. Membangun Partisipasi Pemuka Adat dalam Mewujudkan Pilgubsu yang Damai, Berkualitas, Demokratis dan Bermartabat. Makalah Seminar, Graha Pemprovsu, Medan.

301


Gunanto, dkk., Model Penanganan Trafficking Di Sumatera Utara

Model Penanganan Trafficking Di Sumatera Utara (Model of Trafficking Handling in North Sumatra) Gunanto*, Bungaran Antonius Simanjuntak**, Ester Hutabarat**, Fotarisman Zaluchu*** *B2P3KS, Jogjakarta **Program Pascasarjana, Universitas Negeri Medan ***Badan Penelitian dan Pengembangan Provinsi Sumatera Utara, Jl SM Raja, Medan email : fotarisman@yahoo.com Naskah masuk : 10 Oktober 2011; Naskah diterima : 25 November 2011 ABSTRAK Kasus trafficking merupakan permasalahan sosial yang kontemporer di Indonesia, dimana semakin hari semakin bertambah jumlah korbannya. Tingginya angka kemiskinan, pengangguran dan angka putus sekolah, serta rendahnya tingkat pendidikan, merupakan beberapa hal yang membuat masyarakat Indonesia kian rentan terhadap Trafficking. Tidak terkecuali Sumatera Utara yang menduduki peringkat ke-5 daerah asal korban trafficking. Sehingga perlu dilakukan penanganan yang berkesinambungan dalam mencegah dan menangani korban trafficking hingga tuntas. Tujuan penelitian ini adalah untuk merumuskan dan melakukan uji coba model penanganan trafficking yang paling sesuai dengan kondisi di Provinsi Sumatera Utara untuk mendapatkan pendekatan yang paling maksimal terhadap upaya penanganan korban masalah trafficking. Penelitian ini menggunakan pendekatan partisipatif dengan metode analisis kualitatif, dimana pengumpulan data dan informasi dilakukan melalui Focus Group Discussion (FGD), wawancara mendalam, observasi lapangan dan kajian pustaka. Penelitian dilakukan di beberapa wilayah kabupaten/kota yang rawan kasus trafficking, yakni Kabupaten Asahan, Kabupaten Langkat, Kabupaten Simalungun, Kabupaten Deli Serdang, Kota Medan, Kota Binjai, dan Kabupaten Tanjung Balai. Hasil penelitian ini merupakan model penanganan trafficking yang terpadu dan bersinergi, yakni dimulai dari Pencegahan, Penanggulangan, Rehabilitasi dan Reintegrasi. Kata Kunci: Model Penanganan, Trafficking, Rehabilitasi, Reintegrasi. ABSTRACT Cases of trafficking are contemporary social problems in Indonesia, which is increasingly growing number of victims. High rates of poverty, unemployment and dropout rates, and low education levels, a few things that make Indonesian people increasingly vulnerable to trafficking. No exception of North Sumatra that was ranked the 5th place of origin of trafficking victims. So it needs to be sustainable handling in preventing and dealing with victims of trafficking to its conclusion. The purpose of this study is to formulate and test trafficking handling model that best suits the conditions in the province of North Sumatra to get the most up approach attempts to tackle the problem of trafficking victims. This study uses a participatory approach with qualitative analysis method, where the collection of data and information is done through Focus Group Discussion (FGD), in-depth interviews, field observations and literature review. The study was conducted in several districts / cities are prone cases of trafficking, namely Asahan District, Langkat, Simalungun District, Deli Serdang regency, Medan City, Binjai City, and the Regency Tanjung Balai. The results of this study is a model of integrated handling of trafficking and synergy, starting from the Prevention, Management, Rehabilitation and Reintegration. Keywords: Model Management, Trafficking, Rehabilitation, Reintegration.

302


Jurnal Inovasi Vol. 8 No. 4, Desember 2011

Kasus trafficking merupakan permasalahan sosial yang kontemporer di Indonesia, dimana semakin hari semakin bertambah jumlah korbannya. Tingginya angka kemiskinan, pengangguran dan angka putus sekolah, rendahnya tingkat pendidikan, nilai tradisional yang menganggap anak, terutama perempuan merupakan hak milik yang dapat diperlakukan sekehendak orang tua, perkawinan usia muda yang beresiko tinggi bagi seorang perempuan, terlebih jika diikuti dengan kehamilan dan perceraian, serta tingginya kesenjangan ekonomi antar negara, membuat masyarakat Indonesia kian rentan terhadap Trafficking.

PENDAHULUAN Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) yang sering disebut sebagai trafficking dan dimuat dalam Undang- Undang Tindak Pidana Perdagangaan Orang No. 21 Tahun 2007, merupakan tindakan yang bertentangan dengan harkat dan martabat manusia dan merupakan pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia. Trafficking didefinisikan sebagai tindakan perekrutan, penampungan, pengangkutan, pengiriman, pemindahan atau penerimaan, seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan, penjeratan utang, atau memberi bayaran dan manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain atau orang bersangkutan, baik tindakan tersebut dilakukan dalam negara maupun di luar negara, dengan tujuan mengeksploitasi atau yang mengakibatkan orang tereksploitasi (Hadi Supeno, 2007). Trafficking itu sendiri telah meluas baik dalam bentuk jaringan kejahatan yang terorganisir maupun tidak terorganisir, baik yang bersifat antar negara (Internasional) maupun dalam negeri, sehingga menjadi ancaman terhadap masyarakat, bangsa dan negara, serta terhadap norma-norma kehidupan yang dilandasi penghormatan terhadap hak asasi manusia.

Praktek kejahatan trafficking terjadi hampir di seluruh wilayah Indonesia, tidak terkecuali Provinsi Sumatera Utara. Berdasarkan catatan Bareskrim POLRI, jumlah korban trafficking anak di Indonesia mengalami peningkatan dari tahun 2004 sampai dengan Nopember 2009, meskipun jumlah tersebut telah mengalami penurunan mulai tahun 2008. Pada tahun 2004, jumlah anak yang menjadi korban trafficking adalah 10 (sepuluh) anak, tahun 2005 meningkat menjadi 18 (delapan belas) anak, jumlah tersebut mengalami peningkatan yang signifikan menjadi 129 (seratus dua puluh sembilan) anak pada tahun 2006 dan menjadi 240 (dua ratus empat puluh) anak pada tahun 2007. Indonesia sebagai negara yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusian yang adil dan beradab tentunya tidak dapat mentolerir bentuk kejahatan tersebut. Oleh karena itu Pemerintah Indonesia berkomitmen memberantas perdagangan perempuan dan anak sampai ke akar-akarnya. Hal ini merupakan amanat dari Kepres Nomor 88 tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan Perdagangan Perempuan dan Anak (RAN P3A) serta membentuk Gugus Tugas RAN P3A.

Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah menetapkan bahwa Trafficking in Person, terutama perempuan dan anak merupakan salah satu kategori Trans National Organized Crime (TOC) terbesar ketiga secara keuntungan ekonomi dan kompleksitas masalahnya, setelah perdagangan Ilegal Senjata dan Obat Bius/Narkoba. Karena Trafficking adalah kejahatan terhadap manusia, maka tanggal 12 Desember tahun 2000 disahkan protokol tambahan untuk mencegah, membasmi, dan menghukum perdagangan manusia, khususnya perempuan dan anak-anak, sebagai tambahan atas Konvensi Perserikatan Bangsa-bangsa tentang perlawanan kejahatan transnasional terorganisir. Protokol ini disebut sebagai protokol palermo, dimana Indonesia juga ikut menandatanganinya.

Salah satu konsekwensi logis lahirnya Keppres tersebut, di tingkat daerah dibentuk Rencana Aksi Provinsi dan RAP P3A di tingkat Provinsi dan Kabupaten/Kota, dengan tujuan untuk menjamin optimalisasi pelaksanaan Rencana Aksi Nasional tingkat daerah di seluruh Indonesia. Sehingga Sumatera Utara sebagai salah satu daerah rawan tindak pidana perdagangan orang, memandang pentingnya untuk melahirkan kebijakan dalam memerangi kejahatan kemanusian ini. Komitmen tersebut terwujud dalam Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 2004 tentang Penghapusan Perdagangan (Trafficking) Perempuan dan Anak.

Berdasarkan laporan Trafficking in Persons Report yang diterbitkan oleh Departemen Luar Negeri Amerika Serikat bekerja sama dengan ESCAP (Economy Social Commission on Asia Pacific) tanggal 18 Juni 2009 telah menempatkan Indonesia pada peringkat Tier II. Negara yang dikategorikan Tier II adalah negara yang memiliki korban perdagangan orang dalam jumlah besar, dimana pemerintahnya belum menerapkan standar minimum dan melakukan usaha-usaha yang berarti dalam mencegah dan menanggulangi traffiking.

Berdasarkan data yang diperoleh dari berbagai sumber, menyebutkan bahwa Sumatera Utara berada dalam urutan ke-5 daerah asal korban trafficking. Perdagangan orang khususnya perempuan dan anak di Sumatera Utara bukanlah hal baru, meski fenomena ini baru mulai terungkap 303


Gunanto, dkk., Model Penanganan Trafficking Di Sumatera Utara

mengerjakan Instrumen Penelitian kedua. Instrumen kedua ini adalah berupa tugas yang diharapkan oleh setiap stakeholders dilaksanakan intitusi lain, sehingga penanganan trafficking dapat terlaksana dengan baik. Intrumen kedua ini merupakan matriks silang. Dengan menggunakan pendekatan ini maka uji coba model yang sudah dilakukan dapat diterapkan. Bersamaan dengan proses penyusunan model tersebut maka tim peneliti akan mencoba merumuskan konsep policy yang nantinya akan ditawarkan kepada setiap organisasi yang terlibat. Peneliti akan berperan sebagai fasilitator, mediator dan konseptor yang terlibat di dalam setiap kegiatan yang dilakukan oleh para stakeholder dimaksud. Pada tahap akhir, tim peneliti akan menyusun panduan bersama berupa manual umum sebagai model bagi penanganan trafficking di Provinsi Sumatera Utara.

pada dekade 90-an namun fenomena ini telah berlangsung lama. Letak provinsi Sumatera Utara yang sangat strategis sebagai daerah perlintasan antar daerah tujuan trafficking dengan negara tetangga menyebabkan Sumatera Utara menjadi daerah transit bagi sindikat trafficking dari Pulau Jawa dan Aceh sebelum dikirim ke Kepulauan Riau, Malaysia, Singapura dan Timur Tengah. Tidak hanya daerah transit, para sindikat trafiking juga sangat leluasa merekrut anak-anak terutama anak perempuan untuk dijadikan korban trafficking. Dari beberapa hal tersebut di atas, dapat diketahui bahwa permasalahan sosial trafficking adalah permasalahan yang sangat kompleks. Oleh karena kompleksnya permasalahan terkait trafficking, maka dibutuhkan pula penanganan yang kompleks. Peraturan Gubernur Sumatera Utara Tahun 2010 tentang Rencana Aksi Provinsi Sumatera Utara menumbuhkan kegiatan yang berkaitan dengan penanganan trafficking perempuan dan anak. Salah satunya adalah kerjasama yang dilakukan oleh Balai Besar Penelitian Pengembangan Pelayanan Kesejahteraan Sosial (B2P3KS) Yogyakarta dan Badan Penelitian dan Pengembangan Provinsi Sumatera Utara No. 53 Tahun 2010 dalam merumuskan suatu model pelayanan sosial penanggulangan masalah trafficking.

Metode Pengumpulan Data Pendekatan yang dilakukan untuk mendapatkan informasi dan atau uji coba model adalah dengan menggunakan Focus discussion group (FGD), wawancara mendalam, dan obervasi lapangan. Lokasi pengumpulan data pada beberapa wilayah kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Utara yang rawan terjadi kasus trafficking antara lain; Kabupaten Asahan, Kota Tanjung Balai, Kabupaten Langkat, Kabupaten Simalungun, Kabupaten Deli Serdang, Kota Binjai, dan Kota Medan.

Tujuan penelitian ini adalah untuk merumuskan dan melakukan uji coba model penanganan trafficking yang paling sesuai dengan kondisi di Provinsi Sumatera Utara untuk mendapatkan pendekatan yang paling maksimal terhadap upaya penanganan korban masalah trafficking.

Penelitian ini menggunakan pendekatan partisipatif dengan metode analisis kualitatif.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

METODE PENELITIAN

Kasus Trafficking Bersifat Manipulatif dan Dilematif. Berbagai program penanganan perempuan korban trafficking telah dilakukan oleh pemerintah Provinsi Sumatera Utara maupun masyarakat, namun demikian permasalahan yang dihadapi dalam penanganannya masih banyak menemukan kendala. Hasil yang didapat dirasakan belum maksimal baik dari segi kualitas maupun penjangkauannya.

Pendekatan Studi Pada tahap awal, informasi dikumpulkan melalui pertemuan-pertemuan dan pelatihan dengan stakeholder terkait yaitu organisasi dan lembaga yang terlibat secara formal maupun non formal di dalam penanganan trafficking di Provinsi Sumatera Utara. Pada tahap tersebut, model disusun dengan melibatkan partisipasi kelembagaan dengan menggunakan teknik penyusunan kerangka kerja bersama sehingga tugas dan tanggung-jawab dapat dibagi pada seluruh stakeholder dengan melakukan diskusi dan FGD. Pada tahap berikutnya setiap organisasi yang terlibat mengerjakan instrument penelitian I (pertama) dengan menuangkan semua upaya - upaya yang telah dilaksanakan masing masing stake holder terkait penanganan trafficking di institusinya masing - masing. Selanjutnya dilakukan pembahasan melalui diskusi bersama stakeholder terhadap intrumen penelitian pertama untuk menggali potensi penanganan yang dapat dilakukan oleh masing – masing institusi. Kemudian para stakeholder diajak untuk

Kasus trafficking yang terjadi kebanyakan bersifat manipulatif atau penyalahgunaan, yakni berupa penyimpangan info dari rencana semula atau hal yang diinformasikan kepada korban. Pada saat pelaku membujuk, disampaikan bahwa korban akan diberikan pekerjaan layak tetapi pada kenyataannya dijadikan budak, dieksploitasi, dipekerjakan pada pekerjaan buruk, dan sebagainya. Korban trafficking pada umumnya tidak mengerti bahwa ia akan menjadi korban. Pada umumnya korban adalah pihak yang dalam kondisi tidak berdaya baik secara fisik, psikis, maupun kondisi ekonomi yang lemah. 304


Jurnal Inovasi Vol. 8 No. 4, Desember 2011

Masalah Trafficking di Sumatera Utara, merupakan hal yang dilematis karena adanya faktor- faktor: 1. Korban (atau keluarga korban) tidak merasa bahwa mereka (atau anaknya) ternyata menjadi korban trafficking, karena yang diketahui keluarga bahwa anaknya dibawa orang untuk diberi pekerjaan di daerah lain. Ketika tidak ada kabar dan berita dari anaknya selama bertahuntahun, baru keluarga melapor kepada kepolisian bahwa mereka telah kehilangan anaknya. Korban sendiri pada awalnya juga tidak tahu bahwa mereka menjadi korban trafficking, baru ketika bekerja mereka tidak dapat bebas keluar tempat tinggal dan tempat kerja, serta mereka harus menurut ketika dibawa pemberi kerja dari satu tempat ke tempat lain, satu daerah ke daerah lain, bahkan dari satu negara ke negara lain, mereka baru sadar telah menjadi korban trafficking. 2. Trafficking merupakan permasalahan lintas daerah dan negara, sehingga sulit bagi aparat kepolisian untuk menanganinya dari aspek kompetensi otoritas, pendanaan operasional, penanganan, dan komunikasi antar negara. 3. Trafficking telah menjadi sebuah sindikasi yang tertata rapi dari aspek perlindungan (backing), pendanaan, pengorganisasian, dan kepandaian mendekati korban, sehingga sering melebihi kemampuan aparat yang memiliki kompetensi untuk menghadapinya. 4. Latar belakang kemiskinan membuat korban mudah dibujuk untuk dibawa dan dipekerjakan ke luar daerah. 5. Pada awalnya perdagangan orang ini didukung oleh keluarga korban dan masyarakat karena ketidaktahuan atau kurangnya informasi tentang permasalahan perdagangan orang.

trafficking yang sudah terjadi, dimana ada kecenderungan penolakan dari masyarakat untuk menerima korban apa adanya karena sudah terlanjur di eksploitasi baik sengaja maupun tidak? Pertanyaan-pertanyaan inilah yang kemudian dalam perkembangannya memunculkan komprehensif cara berfikir bahwa bukan hanya pada tindakan preventif saja kita bekerja tetapi penuntasannya. Sehingga perlu dirumuskan model yang dijiwai oleh keinginan para stakeholder untuk menangani secara tuntas kegiatan perdagangan orang ini. Model Penanganan Trafficking Berdasarkan hasil diskusi, FGD, dan wawancara, maka diperoleh 4 model penanganan yang sifatnya secara partial dalam mengelolanya tetapi komprehensif dalam tujuannya. Keempat model yang ditawarkan dan disepakati itu adalah : 1. Model Pencegahan. 2. Model Penanggulangan. 3. Model Rehabilitasi. 4. Model Reintegrasi. 1. Model Pencegahan Masalah Trafficking merupakan masalah kemanusiaan. Fakta lapangan menyebutkan bahwa perdagangan manusia ini menjadi sebuah fenomena perbudakan di jaman modern. Banyak korban yang kemudian dijual sebagai Pekerja Seks Komersil (PSK) di tempat tujuannya. Ada pula bukti bahwa perdagangan manusia ini merupakan kejahatan antara negara dan wilayah yang terorganisir rapi. Bukan hanya melibatkan sebanyak 2,5 juta orang setiap tahunnya sebagai korban, di dalamnya terlibat nilai-nilai ekonomi yang luar biasanya banyaknya yang diperkirakan mencapai miliaran dollar.

Pembahasan awal kajian ini dilaksanakan dengan melibatkan stakeholder terkait untuk menemukan model sekaligus melakukan uji coba, yang pada akhirnya akan didapatkan model penanganan trafficking yang lebih representatif dan tuntas dalam penanganannya. Dalam perkembangan diskusi pada Focus Group Discussion (FGD) di Kabupaten Asahan dan Kabupaten Tanjung Balai, justru lebih berorientasi terhadap penuntasan awal permasalahan itu muncul. Demikian pula dari hasil diskusi yang dilakukan dengan stakeholder dan dengan menelaah instrumen isian penelitian yang dikembalikan, ditemukan bahwa model sistem peringatan dini (early warning system) yang akan diuji cobakan, ternyata hanya berguna pada tahap awal dimana kegiatan trafficking itu belum terjadi.

Pencegahan adalah segenap upaya yang dilaksanakan agar trafficking tidak terjadi dan sifatnya adalah internal. Penguatan perempuan dan anak adalah pokok utama kegiatan ini, bagaimana agar perempuan dan anak terhindar dari berbagai bujuk rayu dan paksaan untuk mau menjadi bagian dari sindikat yang memperdagangkan orang ini. Langkah-langkah yang diambil dalam upaya pencegahan ini : A. Melalui Kebijakan Pemerintah. Perolehan Kartu Tanda Penduduk (KTP) yang dapat diambil dengan mudah tanpa memperhatikan kebenaran identitas dan kelengkapan lainnya, berakibat tidak jarang dijumpai adanya anak-anak yang sudah memiliki KTP. Manipulasi usia dikalangan anak-anak ini mengakibatkan mekanisme kontrol menjadi sangat lemah. Ironisnya pada tatanan keimigrasian pun tidak dilakukan kontrol ulang sehingga ketika paspor sudah selesai masih juga dijumpai anak-anak memiliki paspor dewasa, dan dilayakkan untuk menjadi pekerja.

Pertanyaannya kemudian bagaimana dengan penanganan terhadap perempuan dan anak yang sudah menjadi korban trafficking? Model pelayanan yang bagaimana yang akan diberikan? Dan bagaimana penuntasan terhadap suatu kegiatan 305


Gunanto, dkk., Model Penanganan Trafficking Di Sumatera Utara

Tidak ada satu informasipun bagi masyarakat desa yang masih memiliki nilai-nilai kearian lokal yang kuat dapat masuk kalau tidak ada penguatan dari tokoh-tokoh kunci. Oleh karenanya tokoh – tokoh kunci yaitu tokoh Masyarakat, tokoh Adat, tokoh Agama perlu diikut sertakan secara maksimal dalam pencegahan kolektif yang dilaksanakan oleh pemerintah, lembaga swadaya masyarakat dan organisasi lainya yang sifatnya sejalan dengan program. Model ini tentu harus ada keseragaman dan terpadu sehingga tidak ada ruang yang dapat dijadikan ajang untuk mempermainkan dan mencari keuntungan pribadi oleh agen-agen perdagangan manusia ini.

Dari hal tersebut terlihat adanya pembiaran kolektif terhadap segala situasi. Tentu saja kenyataan ini menjadikan manusia dengan julukan pahlawan devisa ini menjadi tidak produktif secara hukum, hak-haknya dilanggar pun mereka menjadi tidak berani karena justru perolehan berbagai identitas palsu itu kembali dimuarakan salahnya kepada mereka dengan alasan pemalsuan usia yang sebenarnya. Oleh sebab itu tentu pemerintah seyogyanya melakukan re-corection terhadap implikasi penipuan seperti itu. Kenyataan lain terhadap pembiaran pihak ketiga PJTKI (Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia) yang dipercaya untuk merekrut, mengirimkan dan memfasilitasi dengan pihak negara lain atau keluarga penerima, seiring dan seturut dengan hukum ekonomi. Seperti kondisi para pekerja yang tidak sesuai dengan spesifikasi yang dibutuhkan negara tujuan, dan terjadi pemalsuan dokumen keberadaan yang menjadi tidak pas dengan pekerja yang dikirimkan. Hal-hal seperti inilah yang membuat penerima pesanan di negara tujuan menjadi marah, dan memperlakukan mereka dengan tidak wajar. Ketidak-sinkronan antara data dengan fakta menimbulkan mis-komunikasi diantara pekerja dan majikannya. Tentu hal ini bukan semata-mata kesalahan para pekerja kita. Lembaga perekrut harus benar- benar diawasi dan dikontrol oleh pemerintah dengan ketat, sehingga kekacauan seperti ini tidak berlangsung lama dan banyak menimbulkan korban jiwa. PJTKI tentu harus bertanggungjawab dengan segala kemungkinan dan resiko yang akan terjadi kepada pekerja dengan cara mempersiapkan pekerja secara maksimal, merespon setiap keluhan pengguna maupun pekerja.

Model pencegahan ini adalah sebuah kolektivitas dalam bentuk saran dan keinginan sebuah lembaga terhadap apa yang sebaiknya dilaksanakan oleh lembaga atau organisasi lain, guna menunjang keberhasilan program. Kenyataan ini dibuat dengan skematik yang menggambarkan bahwa sering terjadi program yang dilaksanakan oleh sebuah organisasi (Pemerintah, NGO’s, Orsos lainnya) tidak menuntaskan dan hanya sebagian kecil saja yang terselesaikan dengan program yang ada pada mereka. Daya keterjangkauan dan keterbatasan tugas mengakibatkan tidak semua alur pencegahan dapat dilaksanakan oleh siapa saja, ada batas-batas kewenangan yang seharusnya bisa maksimal bila dilaksanakan secara bersama dan bersinergi. Misalnya saja, pengawasan pencegahan keberangkatan ke luar negeri dengan mengantongi paspor palsu usia, tentu dapat di pertanyakan oleh pihak imigrasi pada pintu keluar perbatasan saat pemeriksaan keimigrasian. Polisi bandara udara dan pelabuhan laut harus responsif terhadap keberangkatan yang mencurigakan, sebab lembaga itu yang menjadi pintu terakhir untuk bisa meloloskan orang keluar dari suatu wilayah.

B. Melalui Kearifan Lokal Komunitas Sebagai sumber penyedia tenaga kerja perempuan dan anak yang sering dijadikan komoditas perdagangan, maka kearifan lokal, tatanan budaya, dan sistem nilai dan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat perlu diperhatikan dan dikuatkan dari segi-segi positif. Tawaran kemudahan dengan mengorbankan kultur dicoba untuk dicerahkan dengan berbagai masukan-masukan positif dan kreatif untuk memicu reaktif potensil dari masyarakat khususnya para tokoh sentral dan tokoh kunci masyarakat. Pendekatan kultural akan semakin memadai dan mengena dan dapat menjembatani ketidakpahaman masyarakat dalam memaknai berbagai penyuluhan dan bimbingan yang terkadang ada hanya sebagai bentuk kepedulian semata dan sifatnya sangat tidak permanen dan cenderung memiliki daya greget yang rendah. Melalui tokoh-tokoh sentral dan berpengaruh maka kesinambungan program dan upaya-upaya meminimalkan pengaruh luar yang negatif masuk ke wilayahnya dapat di maksimalkan.

2. Model Penanggulangan Trafficking, terutama pada anak dan perempuan untuk pelacuran dan tenaga kerja paksa adalah salah satu aktivitas dikategorikan kriminal yang berkembang cepat (lucrative) di dunia karena sangat menguntungkan pelaku sementara upaya penghukuman bagi pelakunya di berbagai negara masih relatif ringan. Sehingga perlu adanya penegakan hukum yang seimbang dan adil. Penanggulangan korban trafficking di Sumatera Utara tidak saja terbatas pada korban yang berasal dari Sumatera Utara, tetapi juga semua korban yang lokus kejadian dan pengaduannya di Sumatera Utara. Seyogyanya korban trafficiking tidak dipersalahkan lagi dengan situasi yang justru illegal ketika mereka diberangkatkan, misalnya dengan mempertanyakan kebenaran identitas, usia sebenarnya dan lain sebagainya. Kalau dikaji ulang tentu kebarangkatan mereka atau kesediaan mereka untuk bersedia direkrut adalah karena ada janji 306


Jurnal Inovasi Vol. 8 No. 4, Desember 2011

mudah dan tidak bercerita tentang kemungkinan – kemungkinan yang tidak menguntungkan bagi korban. Tidak mungkin para korban akan bersedia bila sebelumnya pada mereka dijelaskan kemungkinan buruk bila hal-hal seperti manipulasi identitas yang dilakukan. Oleh sebab itu maka sudah sepatutnya penanggulangan yang dilakukan bermula dari keberadaan korban yang ternyata diperlakukan tidak baik. Hal ini akan memberikan kemudahan dalam pelayanan selanjutnya dan dampingan hukum dapat dilakukan dengan maksimal dan keberpihakan yang utuh terhadap korban. Dengan pendidikan yang seadanya, tingkat kemampuan ekonomi yang sulit, dan tanggungjawab keluarga yang tinggi terkadang menjadi faktor penguat bagi para korban untuk menghindari persoalan-persoalan hokum. Meskipun secara fakta mereka benar, posisi yang tidak berdaya seperti ini justru harus diberikan penguatan oleh pemerintah dan NGO’s, baik yang sifatnya menjadi fokus perhatian publik, maupun yang tidak menjadi fokus utama.

perundang-undangan yang mengatur tentang penuntutan terhadap tindak pidana trafficking. Kejaksaan menuntut orang-orang yang terlibat dalam trafficking berdasarkan hasil penyelidikan dan penyidikan dari kepolisian, atas dasar perkara atau permasalahan trafficking yang diadukan oleh lembaga swadaya masyarakat peduli korban trafficking, baik tertangkap tangan, laporan dari masyarakat atau korban sendiri. Upaya lain yang dilakukan untuk penanganan trafficking dengan melakukan sosialisasi/penyuluhan Hukum kepada masyarakat tentang TPPO secara berkesinambungan. B. Penanggulangan Traffiking Oleh Non pemerintahan/LSM 1) Pusat Kajian Perempuan dan Anak (PKPA) Pusat Kajian Perempuan dan Anak Sumatera Utara melakukan pelayanan terhadap para korban dalam bentuk: a. Melakukan Konseling pada anak dan keluarga yang menjadi korban trafficking. b. Melakukan pendampingan terhadap korban trafficking, tidak hanya pada kasusnya, tapi juga pada kegiatan proses belajarnya di sekolah. c. Melibatkan korban trafficking pada Kegiatan Kewirausaahan. d. Bagi anak korban trafficking diberikan pelayanan kesehatan selama berada di DIC (Drop In Center) serta pemeriksaan VisumEt Repertum (VER) di Rumah Sakit yang ditunjuk. e. Melakukan penyelamatan korban dari lokasi prostitusi, memohon perlindungan dari intimidasi keluarga maupun tersangka sendiri pada kepolisian, dan penanganan kasus sampai ke pengadilan oleh kepolisian maupun kejaksaan.

Penanggulangan terhadap para korban trafficking dilaksanakan oleh Pemerintah, Lembaga Swadaya Masyarakat dan juga oleh komunitas masyarakat lokal setempat. Kegiatan penanggulangan yang dilaksanakan antara lain : A. Penanggulangan Oleh Pemerintah. Pemerintah dalam hal ini Kementerian Hukum dan Hak Azasi Manusia sebenarnya sudah memiliki tugas dalam hal melaksanakan pembelaan, penegakan hukum dan Hak Azasi Manusia, penindakan pelaku, perlindungan dan pendampingan korban, serta pelayanan bantuan hukum. Dinas Kesehatan dapat melayani dari sudut psikologis dan media serta mempersiapkan shelter (penampungan sementara). Produk hukum tanpa mencederai hukum itu sendiri hendaknya melihat faktor-faktor yang bisa terungkap di persidangan khususnya proses bagaimana seorang korban trafficking terjadi dari mulai perekrutan sampai dengan terjadinya tindak kekerasan dan perdagangan. Kebijakan lain melalui Kementerian Tenaga Kerja juga dapat mengatur alur perekrutan orang dalam kapasitas mencari pekerjaan, keterbukaan dan informasi awal yang transparan seharusnya dilaksanakan dengan informasi berimbang antara pihak ketiga, dalam hal ini bisa saja PJTKI dalam konteks organisasi atau yang sifat perorangan dengan Pemerintah dalam hal ini kementerian/dinas tenaga kerja.

2) Komisi Perlindungan Dalam penanggulangan Trafficking, satu hal yang menjadi upaya yang dilakukan oleh KPAID provinsi Sumatera Utara adalah mendukung dan terlibat aktif dalam Task Force (Gugus Tugas) permasalahan Trafficking. 3. Model Rehabilitasi Kebijakan dan Program Kementerian Sosial dalam Rehabilitasi Sosial Perempuan Korban Trafficking diantaranya perlu meningkatkan kualitas sumber daya manusia agar profesionalisme dalam pelaksanaan rehabilitasi sosial, memperluas jangkauan dan pemerataan rehabilitasi sosial, serta meningkatkan dan melengkapi sarana dan prasarana rehabilitasi sosial. Selanjutnya meningkatkan koordinasi intra dan inter sektoral dengan berbagai instansi pemerintah terkait di pusat dan daerah, organisasi sosial/Lembaga Swadaya Masyarakat

Sebagai lembaga yang memiliki kompetensi melakukan penuntutan atas tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang atau lembaga, kejaksaan memiliki komitmen dalam melakukan penuntutan pelaku trafficking (trafficker),menurut ketentuan perundang-undangan yang berlaku, khususnya 307


Gunanto, dkk., Model Penanganan Trafficking Di Sumatera Utara

dan dunia usaha, serta mengembangkan dan meningkatkan pendataan dan informasi masalah trafficking perempuan. Sasaran kebijakan tersebut merupakan tiga sasaran sebagai kesatuan kelompok, yakni klien/korban tersebut, keluarga dan lingkungan sosial masyarakat.

Dalam hal ini, reintegrasi sosial mencakup seluruh aspek kehidupan korban baik sosial, ekonomi, budaya, pendidikan maupun kesehatan. Reintegrasi sosial merupakan proses yang panjang dengan hambatan-hambatan yang tidak mudah sehingga harus dipantau secara tersistem untuk mencegah korban diperdagangkan kembali.

Salah satu bentuk perdagangan manusia dalam dekade terakhir ini adalah perdagangan perempuan. Dari sudut pandang manapun perdagangan perempuan adalah perbuatan yang bertentangan dengan nilai norma, hukum, budaya, harkat, martabat, serta kesetaraan gender. Dalam penanganan trafficking perempuan, dibutuhkan upaya dan dukungan yang komprehenshif dari berbagai pihak mulai dari upaya preventif, rehabilitatif, serta pengembangan, agar permasalahan tersebut tidak semakin akut.

Jika korban berusia dewasa dapat memutuskan untuk melakukan reintegrasi ke dalam sebuah keluarga atau komunitas baru. Sehingga pemerintah melalui Pusat Pelayanan Terpadu (PPT) wajib menyediakan tempat tinggal dan sumber penghasilan sementara sampai korban tersebut dapat mandiri. Jika korban adalah anak-anak, reintegrasi diprioritaskan untuk mengembalikan atau menyatukan kembali dengan keluarga, saudara lain, atau keluarga pengganti.

Pemulihan kembali orang dari sebuah trauma yang dialaminya tidak dapat serta merta tuntas manakala hukum telah ditegakkan dan dijatuhkan kepada pelaku tindak kejahatan. Psikologis korban yang trauma tersebut akan berlangsung lama, tergantung bagaimana proses adaptasi dan penerimaan diri yang ditransfer oleh pendamping kepada korban. Dalam proses rehabilitasi tidak hanya terukur dari kematangan diri korban tetapi juga kesiapan korban untuk menjalani kehidupannya ke depan dengan kemampuan dan kualitas yang dimilikinya.

Keberhasilan dari proses reintegrasi sosial adalah adanya kesiapan korban secara mental dan kemampuan sumber daya manusia (SDM), dukungan keluarga dan masyarakat, keamanan dari ancaman pelaku, dan tersedianya peluang pemberdayaan ekonomi serta pemenuhan hak-hak khususnya korban anak. Untuk mencapai tujuan ini, sejumlah dukungan diperlukan untuk memudahkan reintegrasi sosial ke dalam masyarakat. Dukungan dalam integrasi sosial dapat dilakukan oleh pemerintah maupun non pemerintah.

Berkenaan dengan hal tersebut, upaya untuk memberikan perlindungan bagi perempuan korban trafficking di daerah perbatasan dirasakan sangat penting agar permasalahan tersebut tidak meluas dan tidak berdampak buruk pada kehidupan berbangsa dan bernegara. Perlindungan bagi perempuan korban trafficking dalam konteks pelayanan dan rehabilitasi sosial mengandung makna yang terkait erat dengan upaya normalisasi korban serta reintegrasi sosial sebagaimana yang diamanatkan dalam Keppres No. 88 Tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan Perdagangan Perempuan dan Anak, dan sudah dikeluarkannya Peraturan Gubernur Sumatera Utara Nomor 53 tahun 2010 tentang Rencana Aksi Provinsi Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Maka sudah sepatutnya segenap aksi rehabilitasi kepada para korban trafficking dapat diakomodir dan semakin menunjukkan kualitas pada masa kedepan.

A. Reintegrasi Sosial oleh Pemerintah Pemerintah, dalam hal ini Biro PP melakukan koordinasi dan kerjasama dengan instansi/lembaga pemerintah terkait, baik pusat maupun daerah kabupaten/kota serta LSM dalam hal reintegrasi sosial. Dalam melakukan reintegrasi korban ke daerah asal, pembinaan terhadap korban dan keluarga dalam upaya antisipasi dan pencegahan TPPO bekerjasama dengan pemda setempat dan LSM. Peningkatan ekonomi keluarga dan korban, pelayanan kesehatan fisik, psikis dan jiwa, dilakukan kerjasama dengan Kepolisian, LBH/LSM dan aparat penegak hukum lainnya. Badan Perencanaan Daerah dalam upaya reintegrasi korban trafficking melakukan koordinasi dengan Biro Pemberdayaan Perempuan, Anak dan Keluarga Berencana beserta Dinas Kesejahteraan dan Sosial dalam rangka pengembalian ke lingkungannya. Pihak Kepolisian sebagai aparat keamanan memiliki andil yang sangat strategis dalam proses reintegrasi sosial korban trafficking yaitu melakukan pengamanan korban, penjemputan korban, pengembalian korban kepada keluarga, menempatkan korban pada lapangan kerja yang ada, serta berkoordinasi dengan pihak Kejaksaan dan Kehakiman mengenai proses hukum TPPO.

4. Model Reintegrasi Sosial Reintegrasi sosial merupakan penyatuan kembali korban trafficking atau tindak pidana perdagangan orang (TPPO) dengan pihak keluarga atau kepada keluarga pengganti atau masyarakat yang dapat memberikan perlindungan dan pemenuhan kebutuhan bagi korban. 308


Jurnal Inovasi Vol. 8 No. 4, Desember 2011

5.

Memperluas penerimaan siswa pendidikan keterampilan pada Balai Pelatihan Kerja (BLK) milik Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi. 6. Membentuk pusat pelayanan terpadu penanganan trafficking yang dapat dijangkau masyarakat luas. 7. Meng-koordinir dan mem-fasilitasi upaya penanganan trafficking mulai dari Pencegahan, Penanggulangan, Rehabilitasi, dan Reintegrasi. 8. Melaksanakan pendampingan dan advokasi terhadap korban trafficking. 9. Meningkatkan koordinasi dan kerjasama dalam penanggulangan/penindakan hukum terhadap korban dan pelaku trafficking. 10. Mengupayakan program program khusus untuk menampung anak-anak yang putus sekolah, untuk mendapatkan bantuan melalui pemberdayaan dirinya. 11. Menyediakan pelayanan kesehatan terpadu kepada korban trafficking untuk kesehatan pisik dan mental demi mendukung rehabilitasi korban. 12. Menyediakan tempat pelayanan khusus dan penampungan sementara bagi korban trafficking

B. Reintegrasi Sosial Oleh non Pemerintah NGO’s di Provinsi Sumatera Utara pada umumnya konsern dalam bidang pendampingan dan pemulangan kepada keluarga sebagai akhir dari sebuah persoalan dalam penunatasan kegiatan perdagangan orang yang berorientasi kepada korban. Artinya korban dapat diterima kembali oleh lingkungan keluarga dan masyarakatnya, dengan demikian aktivitas korban dalam melaksanakan tugas-tugas kehidupannya sehari hari dapat berjalan normal layaknya warga masyarakat lainnya. Hal yang perlu dilakukan antara lain sebagai berikut: a. Monitoring anak apakah benar-benar dapat sudah diterima keluarga atau tidak. b. Melakukan upaya penyatuan anak kepada keluarga dan masyarakat, mencarikan sekolah buat anak, serta memberikan bantuan beasiswa kepada korban. c. Melakukan pemberdayaan dengan pemberian keetrampilan dan atau bantuan modal usaha untuk membangkitkan ekonomi keluarga. d. Melakukan Pemeriksaan kesehatan di klinik rujukan LSM selama korban masih membutuhkan layanan kesehatan.

KESIMPULAN DAFTAR PUSTAKA Berdasarkan dari hasil penelitian yang dilakukan, dapat disimpulkan suatu model penanganan trafficking yang berintegrasi dan sinergi, serta sesuai dengan kondisi Provinsi Sumatera Utara, yakni : Model Penanganan, Model Penanggulangan, Model Rehabilitasi, dan Model Reintegrasi. Model ini telah diujicobakan melalui FGD dan wawancara mendalam pada beberapa instansi terkait.

Balitbang Provinsi Sumatera Utara, 2009, Faktorfaktor Penyebab Meningkatnya Perdagangan Perempuan dan Anak (trafficking) di Sumatera Utara., Medan Doezema, Jo. 2008. An International Study on the Treatment of Human Trafficking Victims, Holland : Dutch Institute of Development Studies.

REKOMENDASI

Keppres No. 88 Tahun 2002, tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan Perdagangan Perempuan dan Anak (RAN P3A).

Hasil penelitian ini merekomendasikan kepada Pemerintah Gubernur Sumatera Utara, terutama pada dinas-dinas terkait untuk lebih memberikan perhatian yang lebih serius terhadap kasus trafficking ini, khususnya trafficking anak dan perempuan. Hal – hal yang perlu dilakukan antara lain adalah : 1. Melakukan sosialisasi bahaya trafficking sedini mungkin pada pelajar. 2. Memberikan keterampilan khusus melalui kursus-kursus, seperti kursus kecantikan, kursus tata boga, kursus menjahit, kursus computer, dan lain-lain. 3. Meng-evaluasi keberadaan biro jasa tenaga kerja, dan menindak tegas terhadap biro jasa yang melakukan penyimpangan. 4. Agar lebih selektif dalam memberikan izin usaha pemasok tenaga kerja baik dalam maupun luar negeri serta transparan dalam meng-informasikan peluang-peluang kerja di daerah masing-masing kabupaten/kota.

Mindrayani, Rika. Perspektif Kriminologi atas Perdagangan Anak (Child Trafficking) sebagai Pekerja Seks Komersial dan Upaya Perlindungannya, Medan : USU. Nuh, Mohamad. 2005. Jejaring Anti Trafficking, Yogyakarta : Universitas Gadjah Mada Press. Peraturan Daerah No. 6 Tahun 2004, tentang Penghapusan Perdagangan (Trafficking) Perempuan dan Anak. Peraturan Gubernur No. 53 Tahun 2010, tentang Rencana Aksi Provinsi Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Silawati, Hartian, dkk., 2004, Nightmare in Border Areas: A Study on Child Trafficking in Indonesia for Labour Exploitation, Yogyakarta: RARTC dan Terre des Hommes. 309


Gunanto, dkk., Model Penanganan Trafficking Di Sumatera Utara

Sofian, Ahmad, dkk., 2004, Menggagas Model Penanganan Perdagangan Anak, Yogyakarta: PPSK-UGM. Supeno, Hadi. 2007, Melawan Trafficking (Makalah Seminar), Temanggung: Humas Pemerintah Daerah bekerja sama dengan Departemen Komunikasi dan Informasi. Surjono, Gunanto. 2001, Mengurai Faktor Pemicu Perdagangan Anak Perempuan. Yogyakarta: Jawa Pos-Radar Jogja. Surjono, Gunanto. 2009, Pengkajian Penanggulangan Permasalahan Sosiaal Perdagangan (Trafficking) Anak dan Perempuan , Yogyakarta: B2P3KS Press Suyanto, 2002, Perdagangan Anak Perempuan: Kekerasan Seksual dan Gagasan Kebijakan, Yogyakarta: PPSK-UGM. Undang-undang No. 23 tahun 2002, tentang Perlindungan Anak, Jakarta: Sinar Grafika. Undang – Undang No. 21 tahun 2007, tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, Jakarta: Sinar Grafika. Yentrayani, Andi, 2004, Politik Perdagangan Perempuan, Yogyakarta: Galang Press.

310


Jurnal Inovasi Vol. 8 No. 4, Desember 2011

Persepsi Masyarakat Sumatera Utara Terhadap Sistem Seleksi Siswa Baru Di Sekolah-Sekolah Unggulan (Community perception in North Sumatra toward new student recruitment system at favoured school) Fotarisman Zaluchu Badan Penelitian dan Pengembangan Provinsi Sumatera Utara Jl. SM Raja No. 198, Medan e-mail: fotarisman@yahoo.com Naskah Masuk: 22 September 2011; Naskah Diterima: 2 November 2011 ABSTRAK Setiap tahun, masyarakat berlomba-lomba mencari dan mengirimkan anaknya untuk mengikuti sistem seleksi siswa baru. Seleksi tersebut ternyata menimbulkan berbagai persoalan antara lain ketidaktahuan masyarakat tentang proses dan sistem seleksi serta ketidaktransparanan proses. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui persepsi masyarakat terhadap sistem seleksi siswa baru di sekolah-sekolah unggulan di Provinsi Sumatera Utara. Sebanyak 630 orang responden, yaitu orangtua yang memiliki anak di sekolah menengah atas yang berdomisili di Kota Medan, Kabupaten Toba Samosir dan Kabupaten Tapanuli Tengah telah diteliti melalui metode survei cepat (rapid survei) dan diberikan pertanyaan mengenai aksesibilitas informasi, transparansi dana seleksi, partisipasi masyarakat, dan kualitas sekolah dalam proses seleksi sekolah unggulan. Data dari kuesioner kemudian diolah menggunakan tabel distribusi frekuensi, tabel silang dan uji statistik menggunakan chi-square test pada α=0,05. Penelitian memperlihatkan bahwa sebanyak 67% responden menilai bahwa proses seleksi sudah baik, sementara 26% lainnya menyatakan proses seleksi kurang baik. Proses yang paling tidak sesuai menurut responden adalah pelibatan masyarakat (36,2%) dan transparansi dana (57,7%). Perbaikan sistem rekrutmen yang diharapkan oleh responden adalah menyangkut pada pembiayaannya. Alternatif menyelenggarakan seleksi adalah menggunakan metode on-line. Selain itu, jika memungkinkan untuk menyusun school assesment profile dan task force setiap penerimaan siswa baru. Kemandirian Komite Sekolah juga sangat diharapkan. Kata Kunci: Seleksi Siswa Baru, Aksesibilitas Informasi, Transparansi Dana, Partisipasi Masyarakat, Kualitas, Provinsi Sumatera Utara ABSTRACT Every year, people compete to seek and to send their children to follow recruitment process of new students. However, this process in North Sumatra Province produces many problems especially incomplete information about the process and its recruitment system and the lack of transparency. This study aimed to know community perception toward new student recruitment system at favoured school in North Sumatra Province. Study sample consisted of 630 respondents, who have children at high school in Medan City, Toba Samosir or Tapanuli Tengah, have been interviewed after selected by rapid survey approach, and have been asked about the information accessibility, the cost of selection transparency, and the community participation and the school quality in recruitment process at favoured school. Data have been conducted by structured-questionnaire and processed by using frequency distribution table, cross tabulation statistical test by chi-square test at α=0.05 level. This study have shown that 67 percent have valued that selection process had “good”, while 26 percent have pointed that selection process had “not-good”. The most inappropriate processes, as respondents perceived, were community participation (36.2 percent) and cost of selection transparency (57.7 percent). Therefore, recruitment process needed to improve was the cost. 311


Zaluchu, F., Persepsi Masyarakat Sumatera Utara terhadap Sistem Seleksi Siswa Baru Di Sekolah-Sekolah Unggulan

Alternative option to apply recruitment system is on-line method. In addition, it is recommended to make school assessment profile and task force team during the new students recruitment process. School Committee independency also emphasized. Keywords: New Student Selection, Information Accessibility, Cost of Selection Transparency, Community Participation, Quality, North Sumatra Province Pasar Minggu, Jakarta Selatan, membuntuti di posisi kedua di bawah SMA Negeri 8. Sekolah ini memiliki batas terendah nilai UN dengan 9,11. Selanjutnya adalah SMA Negeri 81, di Jalan Komplek KODAM Makasar, Jakarta Timur dengan 8.96. Di Jakarta Pusat, SMA Negeri 68 yang berlokasi di Jalan Salemba Raya, Senen, Jakarta Pusat berada di posisi teratas. Mereka mematok batas terendah nilai UN dengan 8,89. Sementara, SMA Negeri unggulan lain seperti SMA Negeri 78, Jakarta Barat dan SMA Negeri 39 Jakarta Timur, mematok batas terendah nilai UN di atas 8,5 (Tuyodho, 2010).

PENDAHULUAN Secara umum Pendidikan Nasional bertujuan untuk meningkatkan kualitas manusia Indonesia. Dengan demikian, penyelenggaraan pendidikan mengatur upaya-upaya yang dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut untuk sedapat mungkin berdampak pada sebanyak mungkin masyarakat Indonesia. Dalam perkembangannya pemerintah memfasilitasi berdirinya sekolah-sekolah yang oleh masyarakat maupun oleh pengelolanya sering disebut sebagai unggulan. Beberapa diantaranya adalah Sekolah Taruna Nusantara di Magelang, Jawa Tengah dan Sekolah Unggulan Yayasan Soposurung di Tarutung, Sumatera Utara.

Animo masyarakat untuk memasukkan anaknya ke sekolah yang disebut unggulan terutama pada tingkatan menengah (SMA/ SMU), memang amat besar. Setiap tahun, masyarakat berlomba-lomba mencari dan mengikuti seleksi masuk ke sekolah tersebut. Masyarakat memandang sekolah-sekolah unggulan adalah alternatif yang efektif untuk meningkatkan kualitas pendidikan sekaligus kualitas SDM. Masyarakat juga berpendapat bahwa melalui sekolah unggulan, anak-anaknya akan menjadi manusia-manusia unggul yang bermutu.

Berbagai hal dilakukan oleh pihak sekolah untuk membuktikan keunggulan ini. Di Yayasan Soposurung, misalnya, sejak berdiri tahun 1992, beberapa guru didatangkan khusus dari luar negeri, seperti dari Singapura, Cina dan Australia. Siswa pun dibiasakan menggunakan bahasa Inggris. Tidak seperti sekolah umum lainya, keluar sekolah dan masuk asrama pun dilakukan dengan tertib. Kegiatan usai jam sekolah diisi dengan kegiatan ekstra kurikuler seperti klub buku, klub film, tempat berdiskusi masalah film dan proses pembuatannya atau klub kesehatan yang dibimbing dokter dari alumni Soposurung. Rutinitas harian dilakukan sampai dengan jam 11 malam, lalu disusul kegiatan dan aktifitas rutin lainnya esok hari. Semuanya dengan “menciptakan” manusia-manusia unggulan. Di Soposurung, untuk memacu motivasi belajar, siswa berprestasi diberi penghargaan khusus yang diberikan pejabat negara dan beberapa pengusaha. Sekolah yang berdiri sejak 18 tahun lalu telah banyak melahirkan siswa berprestasi. Selain di dalam negeri, banyak alumni Soposurung yang telah mengenyam pendidikan di luar negeri (Liputan 6-SCTV, 2010).

Pada akhirnya, beberapa sekolah terkesan “menjual” cap keunggulan sekolah dan kemudian mematok biaya seleksi dan prosedur seleksi yang mungkin tidak berhubungan dengan maksud keunggulan tadi. Padahal, di Sumatera Utara, berdasarkan data Dinas Pendidikan Provinsi Sumatera Utara (2010), terdapat 10 sekolah (SMA) yang memiliki status sebagai Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI), 4 SMA Sekolah Model yang berada di bawah binaan Dirjen Dikdasmen, dan 251 SMA Sekolah Standar Nasional (SSN). Sebagian besar masyarakat menyebutkan sekolah-sekolah yang termasuk ke dalam sekolah-sekolah tersebut sebagai “sekolah unggulan”.

Di sekolah unggulan lain, penilaian terhadap calon siswa baru dilakukan oleh pihak sekolah. Sekolah Menengah Atas Negeri unggulan di DKI Jakarta mematok nilai tinggi bagi peserta didik baru yang ingin masuk. Berdasarkan data yang diterima Tempo dari Kepala Humas Dinas Pendidikan DKI Jakarta, Bowo Irianto, siang ini, SMA Negeri 8 yang berlokasi di Jalan Bukit Duri, Tebet, Jakarta Selatan, memiliki batas terendah--nilai UN-tertinggi diantara sekolah lain. Batas terendah sekolah itu sebesar 9,19. SMA Negeri 28 Ragunan,

Memang pemerintah telah mengatur sistem seleksi siswa baru yang berlaku di semua sekolah, termasuk di sekolah unggulan. PP No 17 tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan di pasal 82 menyebutkan bahwa penerimaan peserta didik pada satuan pendidikan menengah dilakukan secara objektif, transparan, dan akuntabel (ayat 1), tanpa diskriminasi (ayat 2), dan dilakukan secara mandiri oleh pihak sekolah (ayat 3). Model seleksi dan sistem seleksi di sekolah 312


Jurnal Inovasi Vol. 8 No. 4, Desember 2011

seluruh rumah responden didapatkan dengan melompati satu rumah dari responden sebelumnya. Data diperoleh dengan menggunakan penyebaran kuesioner oleh pewawancara yang telah dilatih sebelumnya. Kuesioner berfokus pada persepsi responden tentang aksesibilitas informasi, transparansi dana, partisipasi masyarakat, dan kualitas sistem seleksi siswa baru.

unggulan di Sumatera Utara nyatanya menimbulkan berbagai persoalan. Pada tahun 2011, DPRD Sumut misalnya menengarai keberadaan sekolah-sekolah yang model seleksinya menyimpang dan kurang terbuka terhadap masyarakat. Bukan hanya di dalam cara seleksinya, pungutan yang tidak transparan juga jamak ditemukan (Kompas, 10 Oktober 2011). Melihat perkembangan in, jika keadaan tersebut dibiarkan tanpa perbaikan, maka dikuatirkan masyarakat akan kebingungan bahkan dapat pula menjadi korban dari kepentingan tertentu setiap kali seleksi siswa baru dilaksanakan. Kewenangan untuk memantau dan memperbaiki sistem pada pemerintah Provinsi Sumatera Utara dijamin oleh PP No. 17 tahun 2010, serta kewenangan yang sama pada pemerintah Kabupaten/ Kota. Langkah pertama untuk melakukan pembenahan, tentunya dengan mengetahui persepsi masyarakat mengenai proses seleksi ini. Persepi masyarakat terhadap keberadaan sekolah unggulan, terutama sistem seleksinya, akan menentukan pola seleksi seperti apakah yang diharapkan dapat diterapkan di Sumatera Utara. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui persepsi orangtua siswa yang memiliki anak di sekolah menengah, terhadap sistem seleksi siswa baru di sekolah-sekolah unggulan di Provinsi Sumatera Utara.

Analisis terhadap data kuantitatif dilakukan dengan menggunakan pendekatan statistik dekriptif yang dilanjutkan dengan analitik. Statistik deskriptif diterapkan dengan menggunakan ukuran-ukuran proporsi untuk melihat modus tertentu. Nilai confidence level yang digunakan adalah 95% Confidence Level. Sementara itu, uji statistik yang digunakan pada analisis bivariat adalah Chi-Square pada p<0,05.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Saat ini di Provinsi Sumatera Utara, terdapat hampir 1000 sekolah menengah setingkat SMA dengan jumlah terbanyak di Kota Medan dan Kabupaten Deli Serdang. Total siswa mencapai 316.975 orang. Sementara itu, sehubungan dengan sekolah yang disebut “unggulan�, terdapat 10 sekolah (SMA) yang memiliki status sebagai Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI), 4 SMA Sekolah Model yang berada di bawah binaan Dirjen Dikdasmen, dan 251 SMA Sekolah Standar Nasional (SSN). Sebagian besar sekolah-sekolah dimaksud berada di Kota Medan.

METODE PENELITIAN Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif. Penelitian dilakukan dengan menggunakan pendekatan pengumpulan data kuantitatif. Untuk mempermudah pelaksanaan penelitian, penelitian secara purposif akan dilakukan di 3 Kabupaten Kota, yaitu Kota Medan, Kabupaten Toba Samosir dan Kabupaten Tapanuli Tengah. Pertimbangan lokasi didasarkan pertimbangan bahwa: a) di lokasi penelitian terdapat sekolah-sekolah unggulan atau yang diunggulkan; b) diasumsian bahwa masyarakat di wilayah sekolah-sekolah unggulan tersebut terpapar dengan informasi mengenai sekolah unggulan tersebut.

Penelitian ini sendiri telah melakukan wawancara pada 630 orang responden yang berada di lokasi penelitian. Latar belakang responden terlihat pada tabel 1. Tabel 1. Karakteristik Umum Responden Karakteristik Responden Jumlah Persen Jenis Kelamin 41,3 260 Laki-laki 58,7 370 Perempuan Pendidikan Dasar dan Menengah 384 61 Tinggi (>SMU) 246 39 Pekerjaan 181 PNS dan sejenisnya 28,7 385 Pegawai Swasta 61,1 61 Tidak Bekerja 10,2 Pendapatan 401 <mean 63,7 229 ≼mean 36,3 Ada tidaknya anak di 234 37,1 salah satu sekolah 396 62,9 unggulan Ada Tidak ada

Responden adalah seluruh orangtua yang memiliki anak yang berada pada salah satu sekolah di tingkat SMU. Penentuan sampel dilakukan dengan metode survei cepat dengan 1 kali angka minimum (210 sampel). Dengan demikian di 1 lokasi penelitian akan diambil masing-masing 210 sampel. Sehingga total sampel di lokasi penelitian adalah 3 x 210 responden = 630 orang. Teknik survei cepat merupakan studi cross sectional dimana masalah dipotret secara sesaat untuk menggambarkan keadaan populasi yang dianggap homogen. Jumlah sampel minimal untuk sampel adalah 210 yang berasal pengambilan secara terarah menggunakan pusat pemerintahan sebagai titik pusat. Sesudahnya, 313


Zaluchu, F., Persepsi Masyarakat Sumate umatera Utara terhadap Sistem Seleksi Siswa Baru Di Sekolah-Sekolah olah Unggulan U

Tabel 1 menggambarkann ba bahwa responden terbanyak adalah perempuann (58,7 persen), dengan pendidikan terbesar adalah dasar asar ddan menengah (61 persen), dan umumnya pegawa egawai swasta (61,1). Pendapatan responden umumnya mnya berada di bawah nilai mean (Rp. 3.540.000). Seba banyak 37,1 persen responden ternyata memiliki ki an anak di salah satu sekolah unggulan di lokasi peneliti enelitian.

komponen yang dinilai dari proses seleksi siswa baru tersebut, maka perseps ersepsi responden terlihat seperti pada gambar 2. Gambar 2 menunjukkan n bahwa bah meski sebagian besar responden menilaii baik proses seleksi siswa baru, namun penilaian yang paling baik menurut persepsi responden adalah lah pada p kualitas proses seleksi tersebut. Kualitas tas yang y dimaksud oleh responden tentunya berhubu erhubungan erat dengan seleksi kualitas yang dilakukan akukan oleh pihak sekolah, yang diantaranya adalah seleksi seleks menggunakan nilai NEM, nilai raport, nilai ujian, ujian psikotest, hasil test IQ, serta test TOFEL (di Kota Medan). M

Tanggapan responden terhadap hadap sistem seleksi sekolah unggulan masih banya banyak yang positif. Penilaian tersebut terlihat pada da gam gambar 1. Terlihat pada gambar 1 bahwaa han hanya sebanyak 67% responden menilai bahwa proses roses sseleksi sudah baik dan 26% lainnya justru menyatak nyatakan proses seleksi kurang baik. Jika dilihat menuru enurut masing-masing

Tidak Tahu 7% Kurang Baik 26%

Baik 67%

Gambar 1. Propor roporsi Penilaian Responden terhadap proses seleksi Siswa Baru di Sekolah Unggulan

100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0

12,7 17,8

11

4,8

8 21

31,3 59 Tidak Tahu

69,5

71 57,7

Tidak Ya

36,2

Aksesibilitas Informasi

Tr Transparansi Dana

Partisipasi Masyarakat

Kualitas

Gambar 2. Distribus stribusi Penilaian Responden terhadap Masing-Masing g Komponen Kom Dalam Proses Seleksi Sekolah Unggulan 314


Jurnal Inovasi Vol. 8 No. 4, Desember 2011

Penilaian terhadap partisipasi masyarakat dinilai rendah oleh responden. Hanya 36,2% responden yang menilai bahwa masyarakat telah turut dilibatkan dalam proses seleksi. Memang, sekolah memiliki otonomi yang sangat besar di dalam menentukan proses seleksi. Akan tetapi, keberadaan masyarakat sekitar tidak dapat diabaikan begitu saja, karena keberadaan sekolah unggulan akan turut mendongkrak pengembangan wilayah sebuah daerah. Sebagaimana disampaikan oleh Susiani (2009), pengembangan wilayah sekitar dapat lebih dioptimalkan, dengan upaya menjalin koordinasi, bekerjasama serta menjadikan masyarakat sekitar sebagai mitra dengan memberikan pendidikan vokasi serta memanfaatkan asetsekolah seperti Unit Produksi, TUK, dsb sehingga aktivitas masyarakat semakin berkembang.

19,5% tanpa kuitansi. Sementara itu di Tapanuli Tengah, hanya 44,8% responden yang mendapatkan kejelasan dana seleksi siswa baru, 4,3% yang mengakui ada kuitansi. Jelaslah bahwa persoalan transparansi dana menjadi salah satu penyebab persepsi yang kurang baik dari responden. Berdasarkan informasi, dana seleksi siswa baru yang harus dibayarkan oleh orangtua memang bervariasi. Di Tapteng, responden membayar bervariasi antara Rp. 100 ribu sampai dengan Rp. 300 ribu. Di Toba Samosir rata-rata responden membayar dana Rp. 100.000. Di Medan biayanya antara Rp. 100 ribu sampai dengan Rp. 300 ribu. Jika ditelusuri lebih jauh, penilaian responden terhadap sistem seleksi banyak dipengaruhi oleh latar belakang pendidikan responden, pekerjaan, dan keberadaan anaknya di sekolah unggulan. Hasilnya sebagaimana tersaji pada pada tabel 3.

Selain itu, transparansi dana memang masih sangat rendah. Hanya 57,7% responden yang mempersepsikan bahwa dana proses seleksi tersebut telah transparan. Sejalan dengan itu, jika kita lihat menurut hasil kuesioner, terlihat jelas bahwa transparansi dana masih menjadi masalah. Jika dilihat menurut lokasi penelitian, maka hasilnya akan terlihat seperti pada tabel 2.

Terlihat dengan jelas bahwa persepsi responden tentang seleksi tidak ditentukan oleh pendapatan orangtua sebagaimana sering diduga selama ini, bahwa mereka yang berpendapatan besar kebanyakan akan menyekolahkan anaknya ke sekolah unggulan, dan kemudian akan berpendapat positif mengenai sekolah unggulan tersebut. Justru semakin tinggi pendidikan orangtua, semakin bekerja di sektor pemerintahan, dan memiliki anak di sekolah unggulan, akan semakin meningkatkan persepsi baik terhadap sistem seleksi. Untuk memperbaiki keadaan ini, usulan responden dapat dilihat pada gambar 3.

Sebagaimana tabel 2, di Kota Medan, sebanyak 36,7% responden mengaku tidak mendapat kejelasan mengenai dana seleksi, bahkan 10,5% tanpa kuitansi. Di Toba Samosir, sebanyak 19% responden mengaku tidak mendapatkan kejelasan mengenai dana proses seleksi siswa baru, sebanyak

Tabel 2. Proporsi Pendapat Responden Perihal Transparansi Dana Seleksi Siswa Baru Asal Responden Pertanyaan Tentang Transparansi Dana Medan Tobasa Tapteng Mendapatkan kejelasan dana proses seleksi SB di sekolah unggulan 44,8 49,5 Ya 66,2 25,2 Tidak 36,7 19,0 Tidak Tahu 14,8 30 13,8 Mendapatkan kuitansi pembiayaan sebagai pertanggungjawaban Ya 85,2 71,9 72,4 Tidak 10,5 19,5 4,3 Tidak Tahu 4,3 8,6 23,3

Tabel 3. Hasil Uji Chi-Square Variabel Karakteristik terhadap Persepsi Responden Variabel Karakteristik Nilai p keseluruhan Medan Tobasa Tapteng Pendidikan 0,005* 0,059 0,064 0,174 Pekerjaan 0,000** 0,002** 0,027 0,05 Pendapatan 0,084 0,239 0,299 0,006* Keberadaan anak 0,000** 0,060 0,000** 0,008**

315


Zaluchu, F., Persepsi Masyarakat Sumatera Utara terhadap Sistem Seleksi Siswa Baru Di Sekolah-Sekolah Unggulan

Mengutamakan Putra Daerah Test Akademik Memperketat Pengawasan Ujian Mengutamakan Prestasi

10 3 21 30

Transparansi Nilai Ujian

90

Pembiayaan

224

Gambar 3. Usulan Perbaikan Sistem Seleksi Siswa Baru Di Sekolah Unggulan

Pelaksanaan Pendidikan Gratis Pada Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah di Kota Bengkulu. Dalam peraturan itu dinyatakan, biaya bagi siswa SD Rp 1 juta, SMP Rp 2 juta, dan SMA/SMK Rp 3 juta. Aturan ini berlaku bagi sekolah negeri dan swasta.

Dari penjelasan di atas, terlihat bahwa perbaikan sistem rekrutmen yang diharapkan oleh responden adalah menyangkut (kembali) pada pembiayaannya. Perlunya transparansi dalam seluruh proses pengelolaan sekolah, memang menjadi salah satu hal penting, karena setiap tahunnya selalu terjadi permasalahan. Permasalahan tersebut banyak merugikan orangtua siswa. Sekalipun demikian, banyak orang tua yang tidak mau melaporkan hal ini. Alasan utamanya dapat dimengerti, yaitu takut jika anaknya dikeluarkan dan dikucilkan dari sekolah. Akhirnya, praktek-praktek seperti ini menjadi membudaya setiap pelaksanaan seleksi siswa baru. Bukan rahasia pula, jika praktek tersebut terjadi di seluruh Indonesia. Kementerian Pendidikan Nasional menyatakan bahwa mengenai hal itu, bukan wewenangnya untuk bertindak dan menghentikan praktek ilegal tersebut. Mereka lebih senang melempar tanggung jawab dengan dalih pendidikan sudah menjadi otonomi daerah yang membebankan tanggung jawab tersebut ke Provinsi dan Kabupaten/Kota (Kompas, 23 Juni 2011).

Di Makassar, Dinas Pendidikan Sulawesi Selatan (Sulsel) membentuk tim investigasi untuk menyelidiki maraknya dugaan berbagai pungutan dalam penerimaan siswa baru. Langkah itu diambil karena Dinas Pendidikan Sulsel menerima banyak keluhan dari orangtua siswa. Di Kota Cirebon, Jawa Barat, orangtua terkejut ketika dipungut sumbangan Rp 6 juta dan uang SPP Rp 485.000 per bulan di SMP Negeri 1 Cirebon yang berstatus RSBI. Di Kota Tegal, Jawa Tengah, Dewan Pendidikan Kota Tegal menerima keluhan dari banyak orangtua siswa soal banyaknya pungutan. Di Kota Medan, Lumbung Informasi Rakyat (LIRA) Kota Medan menerima laporan mengenai kecurangan dan ketidakterbukaan informasi mengenai seleksi siswa baru (Kompas, 18 September 2011). Komisi E DPRD Sumut juga telah melakukan inpeksi mendadak ke sejumlah SMA yang diduga menerima siswa secara tidak jelas dan tidak melalui penyeleksian (Kompas, 10 Oktober 2011).

Pada praktiknya, penerimaan siswa baru memang lebih banyak mengabarkan masalah pungutan dan tidak transparansinya seleksi. Harian Kompas (8 Juli 2011) mendata bahwa pungutan terhadap siswa baru di sejumlah daerah dikeluhkan orangtua siswa karena jumlahnya dinilai cukup besar. Adapun alokasi kursi untuk siswa yang berasal dari keluarga miskin di sejumlah daerah ternyata tidak berjalan. Di Kota Bengkulu, misalnya, siswa baru dan siswa pindahan dari luar kota yang akan bersekolah di Kota Bengkulu dipungut biaya Rp 1 juta-Rp 3 juta. Biaya tersebut tertuang dalam Peraturan Wali Kota Bengkulu Nomor 4 Tahun 2011 tentang

Karena itu, prosedur seleksi siswa baru adalah salah satu bagian dari restrukturisasi pendidikan dan sekolah (Poster, 1999) dalam rangka mencapai sekolah yang efektif (Dunham, 1995; Everard dkk, 2004). Salah satu solusi yang ditempuh oleh beberapa daerah adalah dengan menggunakan sistem seleksi siswa baru metode online. Sistem Penerimaan Siswa Baru secara online pertama kali 316


Jurnal Inovasi Vol. 8 No. 4, Desember 2011

dipelopori oleh Kota Malang pada tahun 2003. Hingga pada tahun pelajaran 2011/2012 peserta daerah yang menerapkan sistem online semakin banyak. Bahkan, jika sebelumnya hanya dilakukan untuk jenjang mulai SMP dan SMA, tahun 2010 sistem online sudah diujicobakan sejak sekolah dasar. Daerah yang melaksanakan sistem online mulai jenjang SD adalah Kota Batam, Kota Semarang dan Provinsi DKI Jakarta. Tercatat provinsi dan kabupaten/kota yang melaksanakan online tahun pelajaran 2010/2011 adalah jenjang SD: Kota Batam, Kota Semarang dan Provinsi DKI Jakarta. Jenjang SMP: Kota Yogyakarta, Kota Malang, Kabupaten Tuban, Kabupaten Bojonegoro, Kota Bengkulu, Kota Mataram, Kota Batam, Kota Bekasi, Kota Kediri, Kabupaten Situbondo, Kota Semarang, Kota Pasuruan, Kabupaten Batubara, Kota Salatiga, dan Kota Tanjung Pinang. Sedangkan sistem online untuk jenjang SMA/SMK dilaksanakan di: Provinsi DKI Jakarta, Kota Yogyakarta, Kota Malang, Kabupaten Tuban, Kabupaten Bojonegoro, Kota Bengkulu, Kota Mataram, Kota Batam, Kota Bekasi, Kota Kediri, Kabupaten Situbondo, Kota Semarang, Kota Pasuruan, Kabupaten Batubara, Kota Salatiga, dan Kota Tanjung Pinang (Kompas, 23 Juni 2011).

lebih mengutamakan mutu pendidikan serta kualitas lulusan anak didiknya, juga digunakan sebagai nilai tawar bagi calon peserta didik yang akan berminat menjadi anak didik di sekolah tersebut. Keberadaan sekolah unggulan malah terkadang menyebabkan diskriminasi. Keberadaan sekolah unggulan justru hanya memberikan kesempatan bagi peserta didik dari golongan mampu dan meminggirkan kesempatan anak-anak dari kalangan menengah kebawah. Hal ini jelas pelanggaran hakhak warga negara untuk mengakses pendidikan tanpa diskriminasi sebagaimana yang tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) No. 78 Tahun 2009 memang mengatur Penyelenggaraan Sekolah Bertaraf Internasional Pada Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah. Lahirnya Permendiknas tersebut telah mendorong satuan pendidikan berlomba-lomba menyelenggarakan kelas “unggulan” dengan memasang tarif yang terkadang sangat mahal. Komersialisasi status unggulan memang terasa sekali. Saat seleksi, di sekolah berlabel “unggulan”, hanya formulir pendaftaran saja “harganya” sudah mencapai ratusan ribu rupiah. Hal ini berbeda dengan sekolah reguler bahkan sekolah swasta yang nilainya hanya beberapa ribu rupiah saja. Belum lagi perlengkapan dan biaya SPP per semesternya, di sekolah unggulan bisa mencapai jutaan rupiah. Padahal, kualitas harus berjalan seiring dengan pengeluaran yang diberikan (Rathvon, 2008).

Sistem online adalah sebuah sistem yang dirancang untuk melakukan otomasi seleksi penerimaan siswa baru (PSB), mulai dari proses pendaftaran, proses seleksi hingga pengumuman hasil seleksi, yang dilakukan secara online dan berbasis waktu nyata (realtime). Pelaksanaan seleksi secara online dinilai memiliki keunggulan dan keuntungan tersendiri. Selain lebih efesien, sistem ini lebih transparan dan terbuka karena seharusnya sekolah adalah lembaga yang demikian (Thomas dan Martin, 1996). Termasuk memudahkan pemantauan baik oleh siswa/orang tua dan masyarakat maupun oleh dinas dan pihak-pihak terkait stakeholder pendidikan. Meskipun demikian, harus pula diantisipasi dampak-dampaknya terhadap kemungkinan terbentuknya sekolah-sekolah “tampungan” yang hanya menerima siswa dengan peringkat yang lebih rendah (Wardoyo, 2011).

Karena itu, peran serta orangtua dan atau masyarakat harus ditingkatkan. Sebagaimana dimaksud dalam UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, jaminan peran serta masyarakat terlihat pasti dalam keberadaan Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah. UU tersebut menyebutkan bahwa masyarakat berperan dalam peningkatan mutu pelayanan pendidikan yang meliputi perencanaan, pengawasan, dan evaluasi program pendidikan melalui Dewan Pendidikan dan Komite sekolah/madrasah. Dewan pendidikan sebagai lembaga mandiri dibentuk dan berperan dalam peningkatan mutu pelayanan pendidikan dengan memberikan pertimbangan, arahan dan dukungan tenaga, sarana dan prasarana, serta pengawasan pendidikan pada tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten/kota yang tidak mempunyai hubungan hirarkis. Sementara, komite sekolah/madrasah, sebagai lembaga mandiri, dibentuk dan berperan dalam peningkatan mutu pelayanan dengan memberikan pertimbangan, arahan dan dukungan tenaga, sarana dan prasarana, serta pengawasan pendidikan pada tingkat satuan pendidikan. Keberadaan dua lembaga ini diharapkan akan lebih dapat dimaksimalkan

Penataan sistem seleksi ini sangat diperlukan karena keberadaan sekolah unggulan—apapun bentuknya, termasuk sebagaimana yang dipersepsikan oleh masyarakat—berpotensi disalahgunakan. Jika istilah SBI misalnya merujuk kepada sekolah yang sudah memenuhi seluruh Standar Nasional Pendidikan (SNP) yang diperkaya dengan keunggulan mutu tertentu yang berasal dari negara anggota OECD atau negara maju lainnya, maka pada kenyataannya yang terjadi adalah komersialisasi label ini (Kompas, 7 Juni 2011). Standar yang diberikan pemerintah tersebut bukannya sebagai stimulus sekolah tersebut untuk 317


Zaluchu, F., Persepsi Masyarakat Sumatera Utara terhadap Sistem Seleksi Siswa Baru Di Sekolah-Sekolah Unggulan

tetap melakukan pemantauan terhadap hal ini setiap kali seleksi siswa baru digelar. Sosialisasi pada stakeholder pendidikan tentang masalah ini akan meningkatkan efektifitas evidence based penelitian ini.

untuk dapat meningkatkan kualitas seleksi siswa baru di berbagai sekolah, termasuk sekolah unggulan. Harus pula diingatkan bahwa sekolah seharusnya melibatkan masyarakat (orangtua) sehingga dukungan dan perasaan saling memiliki (sense of belonging) akan terwujud lebih mudah.

REKOMENDASI

Pada level yang lebih tinggi, penataan pelaksanaan sistem seleksi siswa baru, seharusnya melibatkan pula peran pemerintah daerah. Sebab, setiap bentuk satuan pendidikan berada dalam kendali pemerintah daerah dan pendanaan untuk bantuan operasional penyelenggaraan pendidikan bersumber dari APBD. Di lapangan, sekolah menengah yang telah membuka kelas RSBI atau SBI dalam setiap tahun selalu mendapatkan bantuan dana dari APBD kota/kabupaten dengan jumlah yang cukup besar. Jumlah itu diluar anggaran proyek-proyek fisik seperti rehab atau pembangunan gedung.

Beberapa rekomendasi diajukan kepada pemerintan Provinsi Sumatera Utara, yaitu sebagai berikut: a. Direkomendasikan kepada pemerintah Provinsi Sumatera Utara untuk memulai merancang dan menguji coba mulai dari skala kecil mengenai seleksi siswa baru menggunakan metode online. b. Dinas Pendidikan Provinsi Sumatera Utara diharapkan dapat terus memantau kualitas sekolah-sekolah yang dipersepsikan unggul oleh masyarakat sehingga dapat terus terjamin maksud keberadaannya sebagaimana diatur dalam aturan yang ada, mulai dari proses perencanaan sampai dengan evaluasinya. c. Pihak Dewan Pendidikan diharapkan dapat menyusun sebuah school assesment profile berisi setidak-tidaknya gambaran seleksi siswa baru di setiap sekolah di Sumatera Utara dan menyebarluaskannya kepada masyarakat sehingga dapat digunakan sebagai indikator dan pertimbangan kepada masyarakat sebelum memilih sekolah-sekolah yang ada. d. Komite Sekolah dan jajaran struktur pimpinan pendidikan diharapkan dapat lebih mandiri di dalam menyelenggarakan seleksi siswa baru sehingga bebas dari intervensi, tekanan maupun kemungkinan penyalahgunaan wewenang. Laporan secara terbuka dan transparan juga diharapkan dappat secara reguler diberikan kepada masyarakat demi menjamin transparansi. e. BPP Provinsi Sumatera Utara diharapkan dapat membentuk semacam task force seleksi siswa baru setiap tahun ajaran yang berisikan stakeholder bidang pendidikan (pakar, peneliti, orangtua, praktisi dan media) sehingga dapat memberikan kontribusi di dalam upaya memantau dan menjaga kualitas seleksi siswa baru.

Dalam menyikapi maraknya SBI bertarif mahal, pemerintah daerah sebenarnya yang memiliki wewenang penuh. Hal ini diatur dalam Peraturan Pemerintah No 17 tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Pendidikan pasal 35 ayat 1 Pemerintah kabupaten/kota mengakui, memfasilitasi, membina, dan melindungi program dan/atau satuan pendidikan bertaraf internasional dan/atau berbasis keunggulan lokal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pemerintah daerah dapat berperan untuk menjamin pengelolaan (sistem seleksi) siswa baru sehingga terjamin dalam hal akses masyarakat atas pelayanan pendidikan yang mencukupi, merata, dan terjangkau; mutu dan daya saing pendidikan serta relevansinya dengan kebutuhan dan/atau kondisi masyarakat; dan efektivitas, efisiensi, dan akuntabilitas pengelolaan pendidikan.

KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian ini, maka dapat disimpulkan bahwa persepsi masyarakat terhadap proses seleksi siswa baru masih sebanyak 67% masih baik, tetapi 26% diantaranya menilai tidak baik. Perbaikan terbesar yang diharapkan oleh responden adalah pada partisipasi masyarakat dan transparansi dana. Pembiayaan yang lebih terbuka diharapkan akan menjadi salah satu perbaikan dari proses seleksi siswa baru.

DAFTAR PUSTAKA Dunham, J. 1995. Developing Effective School Management. London: Routledge.

IMPLIKASI DAN KETERBATASAN

Everard, K.B., Morris, G. dan Wilson, I. 2004. Effective School Management. London: Paul Chapman Publishing, Ltd.

Penelitian ini terbatas pada persoalan seleksi siswa baru. Sementara itu, persoalan mengenai peningkatan mutu sekolah amat banyak. Karena itu, wilayah bahasannya menjadi sangat spesifik dan situasional, meski mendasar karena berhubungan dengan kebijakan pemerintah. Disarankan untuk 318


Jurnal Inovasi Vol. 8 No. 4, Desember 2011

Harian Kompas. 2011. Komersialisasi “Label� SBI dan RSBI. Edisi 7 Juni 2011. Diakses dari www.kompas.com tanggal 20 Oktober 2011.

/18/brk,20100618-256455,id.html pada tanggal 1 Februari 2011. UU RI No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Wardoyo, S. 2011. Implementasi Reformasi Pendidikan. Diakses dari http://edukasi.kompasiana.com/2011/09/16/implem entasi-reformasi-pendidikan/ pada tanggal 20 Oktober 2011.

Harian Kompas. 2011. PSB Mengapa Harus Online. Edisi 23 Juni 2011. Diakses dari www.kompas.com tanggal 20 Oktober 2011. Harian Kompas. 2011. Pungutan Dikeluhkan. Edisi 8 Juli 2011. Diakses dari www.kompas.com tanggal 20 Oktober 2011. Harian Kompas. 2011. LIRA: Kecurangan PSB Harus Diusut Tuntas. Edisi 18 September 2011. Diakses dari www.kompas.com tanggal 20 Oktober 2011. Harian Kompas. 2011. KKN Penerimaan Siswa Baru Harus Diusut. Edisi 10 Oktober 2011. Diakses dari www.kompas.com tanggal 20 Oktober 2011. Liputan 6-SCTV. 2010. Soposurung, Sekolah Unggulan di Pelosok Desa. Diakses dari http://berita.liputan6.com/progsus/201007/288443/S oposurung.Sekolah.Unggulan.di.Pelosok.Desa pada tanggal 1 Februari 2011. Menteri Pendidikan Nasional. Permendiknas No. 78 tahun 2009 tentang Penyelenggaraan SBI pada Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah Pemerintah RI. PP No. 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan Pemerintah RI. PP No. 17 tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan. Poster, R. 1999. Restructuring, the key to Effective School Management. London: Routledge. Rathvon, N. 2008. Effective School Interventions, Evidence-Based Strategies for Improving Student Outcomes. Second Edition. New York: Guilford Press. Susiani, R. 2009. Kajian Sekolah Bertaraf Internasional (SBI) SMK Negeri 2 Salatiga dan Hubungannya Dalam Pengembangan Wilayah Sekitarnya. Tesis-Program Magister Teknik Pembangunan Wilayah dan Kota. Universitas Diponegoro, Semarang. Thomas, H. dan Martin, J. 1996. Managing Resources for School Improvement, Creating a Cost-Effective School London: Routlodge Toyudho. 2010. Sekolah Unggulan Mematok Nilai Tinggi. Diakses dari http://www.tempointeraktif.com/hg/jakarta/2010/06 319


Jurnal Inovasi Vol. 8 No. 4, Desember 2011

Pemetaan Terhadap Delapan Situs Dunia Di Sumatra Utara (Mapping Of Eigth Sites In North Sumatra) Ichwan Azhari Pusat Studi Sejarah dan Ilmu-Ilmu Sosial Universitas Negeri Medan Naskah Masuk: 13 Juli 2011; Naskah diterima: 27 Oktober 2011 ABSTRAK Kegiatan pemetaan dengan menggunakan Global Positioning System (GPS) ini terutama adalah untuk menentukan titik kordinat dan citra satelit dari kawasan-kawasan bernilai sejarah tinggi tersebut. Namun demikian, penelitian ini hanyalah sekedar pembuatan Global Positioning System (GPS) dan uraian ringkas yang dibuat terutama untuk mendeskripsikan ke delapan situs dimaksud. Oleh karena itu, untuk mendapatkan informasi lengkap tentang aspek historis dan arkeologis ke delapan situs dimaksud, perlu kiranya dilakukan pembuatan profil hasil penelitian komprehensif terhadap situs dimaksud dengan pelibatan sejumlah arkeolog, sejarahwan dan budayawan untuk memberikan penjelasan yang lengkap. Adapun tujuan utama pemetaan ini adalah untuk menentukan letak kordinat dan citra satelit delapan situs dunia yang terdapat di Propinsi Sumatra Utara, yaitu 1) Barus, 2) Padang Lawas, 3) Kota Cina, 4) Kota Rentang, 5) Benteng Putri Hijau Delitua, 6) Pulau Kampai, 7) Bangunan Bersejarah di Kota Medan dan 8) Sumur minyak Telaga Said. Pemetaan dilaksanakan dengan menggunakan Sistem Informasi Geografis dengan alat Global Positioning System (GPS) yakni dengan mengandalkan sistem satelit untuk menetukan akurasi keletakan situs dimaksud. Untuk mendapatkan data-data yang dibutuhkan dalam kegiatan ini ditempuh dengan dua cara yakni studi dokumentasi terhadap manuskrip, laporan pengelana asing, laporan penelitian, laporan ekskavasi, artikel jurnal maupun hasil analisis terhadap artifak atau bukti-bukti arkeologisnya. Hasil tersebut digunakan untuk menentukan signifikansi dari kedelapan situs dimaksud. Sementara itu, pemetaan dilakukan dengan terjun langsung dilapangan dengan menggunakan GPS yang dikonversi dengan menggunakan software komputer yaitu Googlearth. Hasil kegiatan menunjukkan posisi keletakan kedelapan situs dimaksud serta citra satelitnya dari beberapa ketinggian tertentu di dalam software komputer melalui googlearth. Dalam pada itu, untuk menunjukkan citra satelit dimaksud maka dalam buku ini, dilakukan dengan pemenggalan terhadap citra satelit dimaksud sebagaimana aslinya. Dengan adanya kegiatan ini, menjadi pelengkap terhadap dokumentasi terhadap delapan situs dunia yang terdapat di Sumatra Utara. Kata Kunci: Global Positioning System, Citra Satelit, Posisi keletakan kordinat, Delapan Situs Dunia dan Sumatra Utara. ABSTRACT Activity mapping by using Global Positioning System (GPS) is primarily to determine the point coordinates and satellite images of areas such high historical value. Nevertheless, this study is merely making the Global Positioning System (GPS) and a brief description is made primarily to describe the eight sites in question. Therefore, to obtain complete information about the historical and archaeological aspects of the eight sites in question, it is necessary to do profiling results of comprehensive research on the site is the involvement of a number of archaeologists, historians and cultural experts to provide a complete explanation. The main purpose of this mapping is to determine the location coordinates and satellite imagery of the world that there are eight sites in North Sumatra Province, namely 1) Barus, 2) Padang Lawas 3) City of China, 4) City Rentang, 5) Princess Castle Green Delitua, 6) Pulau Kampai, 7) Historic Buildings in Medan and 8) Said Lake oil wells. Mapping carried out by using Geographic Information Systems with a Global Positioning System (GPS) satellite system that 320


Jurnal Inovasi Vol. 8 No. 4, Desember 2011

is relying on to determine the accuracy of the sites. To obtain data required in this activity reached by two ways namely documentation study of manuscripts, reports foreign wanderer, research reports, excavation reports, journal articles as well as the results of an analysis of artifacts or its evidence. These results are used to determine the significance of the eight sites. Meanwhile, the mapping is done by plunging directly in the field using GPS which is converted by using computer software that is Googlearth. The results showed activity position of eighth sites referred to the site as well as satellite imagery from some certain height in the computer software through googlearth. Given this activity, a complement to the documentation of the world that there are eight sites in North Sumatra. Keywords: Global Positioning System, Satellite Imagery, position coordinates, Eight World sites, North Sumatra. (Kota Cina, Kota Rentang, Benteng Putri Hijau dan Pulau Kampai). Selain itu, terdapat juga jalur yang menandai adanya jalur perdagangan di pegunungan Sumatra Utara (North Sumatra Inland) seperti Portibi (Padang Lawas) (Perret, 2010; McKinnon, 1984; Koestoro, 2009; Guilliot, 2002; 2008, Bonatz, 2010, Miksic, 1979).

PENDAHULUAN Sumatra Utara memiliki aset bersejarah berupa kawasan bersejarah (historical sites) maupun bangunan bersejarah (historical building) sebagai warisan sejarah (historical heritage) yang selayaknya dilindungi. Warisan sejarah yang nyata (tangible heritage) itu telah memperkaya khasanah budaya dan peradaban provinsi Sumatra Utara. Namun demikian, potensinya sebagai destinasi wisata budaya dan sejarah (historical and cultural tourism destination) masih membutuhkan managemen pengelolaan yang lebih baik sehingga dapat menjadi alternatif tujuan wisata dan sumber pendapatan daerah.

Periode terakhir adalah takkala masuknya pengusaha asing di Sumatra Utara khususnya sejak tahun 1861 pada saat dibukanya Perkebunan Tembakau (Tabaks Plantation) yang dirintis oleh Jacobus Nienhuys di Tanah Deli. Dampak positif dari era baru perkebunan modern tersebut adalah terciptanya kota-kota yang dibangun oleh perkebunan, sarana dan prasara perkantoran, hotel maupun perbangkan. Dalam catatan sejarah, periode ini ditandai oleh banyaknya bangunan-bangunan eks pengusaha perkebunan di Sumatra Utara maupun kota-kota di Sumatra Utara yang dirancang oleh pengusaha perkebunan (Breman, 1996; Pelzer, 1984; Keizerina Dewi, 2004; Said, 1974)

Terlepas dari aspek itu, dari segi ilmu pengetahuan, keberadaan situs dan bangunan bersejarah tersebut telah memberikan gambaran awal tentang daerah Sumatra Utara. Aktifitas arkeologi dan sejarah di situs-situs bersejarah tersebut, telah mengungkap peristiwa dikelampuan yakni adanya interaksi dagang antara masyarakat awal Sumatra Utara dengan pedagang asing (foreign traders) yang dibuktikan dengan bukti-bukti arkeologisnya seperti mata uang, tembikar, keramik, archa, candi, nisan, emas, dan lain-lain. Sementara itu, bangunan bersejarah memperlihatkan arsitektur bergaya Eropa, Moghul dan Asia yang tampak khas dan menarik pada bangunan-bangunan bersejarah yang tersebar di beberapa kota di Sumatra Utara seperti Medan, Binjai, Stabat, Tebing Tinggi, Sei Rampah, Pematang Siantar maupun Lima Puluh.

Bukti-bukti arkeologis (archaeological evidences) di situs-situs sejarah tersebut memberikan bukti yang akurat bahwa kawasan Pantai Barat Sumatra Utara, Pantai Timur Sumatra Utara maupun Pegunungan (hinterland) atau sering disebut pedalaman (inland) sudah merupakan kawasan yang sibuk sesuai ukuran zamannya. Bukti-bukti tersebut, berdasarkan analisis arkeologi (carbon dating) telah cukup signifikan memberikan pertanggalan (tariqh) periode dari masing-masing situs. Disamping itu, terurai pula hubungan dagang berupa interlokal maupun interregional.

Keberadaan situs dan bangunan bersejarah tersebut menandai adanya jejak-jejak historis (historical traces) yang menjelaskan periode-periode penting untuk mengungkap aspek historis di Sumatra Utara. Periode-periode dimaksud menandai masa pertama munculnya peradapan umat manusia serta adanya interaksi antara masyarakat di Sumatra Utara dengan masyarakat asing terutama pedagangpedagang mancanegara. Hal ini jelas terlihat dari banyaknya situs sebagai bandar pelabuhan perdagangan yang terdapat di Pantai Barat Sumatra Utara (Barus), maupun Pantai Timur Sumatra Utara

Hal ini erat kaitannya dengan sumberdaya alam (natural resourses) yang banyak ditemui di Sumatra seperti Kapur Barus (Champhor), kemenyan (Benzoin), damar (resin), lilin (wax), emas (gold), madu, rotan, daging, beras, maupun medical ethnobotany. Disamping itu, poisisnya yang berdampingan dengan Selat Malaka (Malaca straith) yang dikenal sebagai Jalur Maritim Sutra (silk maritime) yang menghubungkan Asia, Timur Tengah dan Afrika, menambah popularitas dari 321


Azhari, I., Pemetaan Terhadap Delapan Situs Dunia di Sumatera Utara

Pantai Barat dan Pantai Timur Sumatra Utara (Groenowelt, 1960; Reid, 1995; Cortesao, 1967; Pinto, 1991; Mills, 1970; Miksic, 1979; Anderson, 1971; McKinnon, 1984; 2008, Wolters, 1970; Yuan Zhi, 1995)

traces of international trades) yang didukung oleh bukti-bukti arkeologisnya (archeological evidence). Demikian pula di sebelah pantai barat (west coast), yang kaya akan sumberdaya alam (natural resourches) seperti Champhor dan Kemenyan sehingga ramai dikunjungi. Bukti-bukti arkeologis dimaksud adalah seperti keramik, tembikar, mata uang (coin), manik-manik (beads), kaca, batubata berstruktur candi, archa (statue), nisan dan lain-lain yang berasal dari mancanegara.

Namun demikian, Arkeolog berkebangsaan Prancis, Daniel Perret (2010) mengemukakan bahwa Arkeologi Sumatra Utara masih belum cukup berkembang unuk dapat membenarkan atau mematahkan tradisi. Meskipun demikian, penelitian-penelitian yang dilakukan secara putusputus sejak tahun 1930 berhasil mengungkapkan keberadaan tiga situs atau lebih tepatnya tiga kompleks situs yang memiliki arti sangat penting tidak hanya untuk wilayah tersebut. Situs-situs ini merupakan bukti kehadiran masyarakat, setidaknya sejak abad ke-9 M, yang memiliki teknologi, sistem ekonomi dan aktivitas keagamaan yang maju. Ketiga situs utama tersebut adalah Barus (abad ke9 M), Padang Lawas (abad ke 10-14 M) dan Kota Cina (akhir abad 11-14 M).

Di pegunungan, antara pantai barat dan pantai timur sebagaimana yang disebut Daniel Peret (2010) dalam bukunya: “Kolonialisme dan Etnisitas’ menyebut perannya sebagai jalur-jalur perhubungan darat antara kedua pantai itu terutama sebagai jalur darat perniagaan sumber daya alam. Dengan demikian, Perret menyebutkan adanya segitiga arkeologi antara Kota Cina (Pantai Timur), Barus (pantai barat) dan Portibi (bukit barisan hinterland). Hal yang demikian itu disebabkan oleh adanya hubungan yang sangat intens antara orang-orang yang bermukim di pegunungan dengan orang yang bermukim di daerah pantai.

Sejarahwan Ichwan Azhari (2010) dalam salah satu agenda bertema “Evaluasi Dua Tahun Kinerja Pemerintah Provinsi Sumatra Utara� tanggal 16 Juni 2010, menyebutkan bahwa Sumatra Utara memiliki kawasan dan benda bersejarah seperti situs berkelas dunia dan bangunan bersejarah. Situs dan bangunan bersejarah tersebut menandai era prasejarah (prehistoric) hingga menunjuk pada babak baru era modernisasi di Provinsi Sumatra Utara. Tetapi, menurutnya kurang dimanfaatkan dan cenderung dibiarkan.

Namun jejak-jejak peradaban dunia itu hampir menghilang karena ketidakpedulian terhadap pelestarian dan pemamfaatan situs dari segi aspek pariwisata, ekonomi maupun jati diri kolektif masyarakat dikawasan ini. Kurangnya kepedulian itu, menyebabkan eksistensi situs sejarah yang mendunia itu menjadi terancam musnah karena serobotan masyarakat menjadi pemukiman (residensi) ataupun perladangan. Disamping itu, kerap juga terlihat proses pembiaran sehingga tampak terlantar hingga seolah-olah tidak memiliki nilai sama sekali. Ironisnya lagi, diareal bersejarah dikawasan ini berdiri proyek perumahan yang sama sekali bertentangan dengan undang-undang yang telah ditetapkan oleh pemerintah melalui UU No. 5 Tahun 1992 tentang Benda dan Kawasan Cagar Budaya.

Situs dimaksud antara lain: 1) situs Barus di Kabupaten Tapanuli Tengah, 2) situs Kota Cina di Medan Marelan, 3) situs Kota Rentang di Hamparan Perak Kabupaten Deli Serdang, 4) Situs Benteng Putri Hijau Delitua Kabupaten Deli Serdang, 5) Situs Portibi di Tapanuli bagian Selatan, 6) Situs Bukit Kerang dan Pulau Kampai di Kabupetan Langkat, 7) Tambak minyak bersejarah Telaga Said dan 8) bangunan bersejarah di beberapa kota di Provinsi Sumatra Utara.

Persoalan utama bukan saja terletak pada ketidakpedulian masyarakat atau bahkan pemerintah terhadap nasib situs bersejarah itu sehingga terancam musnah, tetapi juga tidak terdokumentasinya riwayat situs tersebut dengan baik dan jelas. Dengan kata lain, bilapun ada catatan yang menjelaskan keberadaan situs tersebut hampir semuanya merupakan catatan lepas yang tidak menyatu. Oleh karena itu, diperlukan suatu upaya untuk menghimpun catatan-catatan lepas tersebut sehingga menjadi semacam database situs bersejarah di Sumatra Utara. Oleh karena itu, hal ini bukan saja sebuah keharusan tetapi adalah kewajiban yang mesti direalisasikan. Kecuali hal yang telah dikemukakan diatas, persoalan lain yang juga luput dari perhatian yang

Keberadaan situs-situs sejarah berkelas dunia (world sites exsistence) yang terletak di Sumatra Utara ini menunjukkan pada jejak peradaban (civilization traces) di pulau paling utara Sumatra. Sebagaimana diketahui bahwa, posisi Sumatra Utara di pantai timur (east coast) yang percis berhadapan dengan selat Malaka (Malaca straits) yang berfungsi sebagai jalur maritim sutra (silk maritime channel), memegang kendali sebagai bandar-bandar niaga internasional pada zamannya. Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila di sepanjang pesisir pantai timur Sumatra banyak dijumpai jejak-jejak perdagangan internasional (the 322


Jurnal Inovasi Vol. 8 No. 4, Desember 2011

Kabupaten Tapanuli Tengah, 4) Kabupaten Padang Lawas, 5) Kota Medan.

semestinya juga harus dilakukan adalah penentuan keletakan situs-situs bersejarah dimaksud. Penentuan keletakan ini atau lajim disebut dengan pemetaan bertujuan untuk menentukan posisi ordinat situs bersejarah dimaksud baik dalam peta manual ataupun citra satelit yang dikerjakan dengan menggunakan Global Positining System (GPS). Penentuan ini akan diperoleh dengan menggunakan alat teknologi yang dipantulkan lewat satelit pada ketinggian tertentu. Pentingnya penentuan keletakan ini bermanfaat untuk memudahkan akses misalnya dalam google earth dalam program komputer. Disamping itu, juga bermanfaat untuk melihat luas area kawasan situs dari jarak pandang tertentu. Penentuan keletakan dari satelit ini kemudian dikonversikan ke peta manual. Hal ini untuk mendapatkan secara pasti titik ordinat dan juga luas area situs.

Penelitian ini dilaksanakan secara kualitatif (qualitatif research) dengan pendekatan deskriftif (descriftive aproach). Hal ini dimaksudkan untuk memperoleh informasi dan data-data yang komprehensif dalam rangka menjawab permasalahan penelitian ini. Data-data tersebut akan dieksplorasi untuk memberi jawab terhadap tujuan penelitian sebagaimana yang disebut diawal kerangka acuan kerja ini. Data-data yang dibutuhkan dalam memberi jawab terhadap permasalahan sebagaimana yang telah diajukan diatas bersumber dari dua sumber utama yakni 1) data primar (primary data) dan 2) data sekunder (secondary data). Data-data primer bersumber dari kunjungan lapangan (field research) berupa mengunjungi ke delapan situs dunia yang ada di Provinsi Sumatra Utara. Field research dilakukan terutama untuk melihat kondisi terkini maupun pemetaan dengan cara menggunakan alat teknologi Global Positinong System (GPS).

Atas dasar itu, jika pemetaan ini berhasil dilaksanakan maka tidak saja mereduksi ketidakpedulian terhadap warisan sejarah (historical heritages) tetapi, minimal keletakan situs telah terdokumentasi dengan baik. Hal ini akan memudahkan bagi sejarahwan (historian), arkeolog (archaeologist) atau penikmat sejarah dan budaya. Oleh karena itu, standar minimal terhadap pelestarian situs bersejarah akan tampak pada terdokumentasinya situs-situs dunia yang ada di Provinsi Sumatra Utara ini. Hal inilah yang sekaligus mendorong munculnya keinginan untuk melakukan penelitian berupa pemetaan delapan situs dunia yang terletak di provinsi Sumatra Utara, karena hingga kini belum terdapat suatu langkah dan upaya untuk melakukan kegiatan semacam ini. Dengan demikian, kegiatan ini akan sekaligus menjadi dokumentasi terhadap posisi keletakan situs-situs yang penting untuk menjelaskan jejak peradaban yang ada di Sumatra Utara tersebut. Adapun tujuan utama yang hendak dicapai melalui program penelitian berupa pemetaan delapan situs dunia di Sumatra Utara ini adalah sebagai berikut: 1) Untuk mengetahui kondisi terkini dari delapan situs dunia yang terletak di Provinsi Sumatra Utara; 2) Untuk mengetahui data-data dan informasi keletakan delapan situs dunia yang terletak di Provinsi Sumatra Utara dalam bentuk citra satelit dan peta manual; 3) Untuk mendapatkan kerangka kebijakan dalam rangka penyelamatan delapan situs dunia yang terletak di Provinsi Sumatra Utara.

Sedangkan data-data sekunder diperoleh dengan cara menelaah sumber-sumber literatur (literature research) yang pernah dicatat/ditulis terkait ke delapan situs dunia dimaksud. Hal ini diterapkan guna memudahkan temuan terhadap penggambaran ke delapan situs dunia dimaksud. Sumber-sumber sekunder tersebut berupa laporan penelitian, artikel di jurnal, media massa, riwayat perjalanan ataupun berita mass media. Data-data yang dikumpulkan sebagaimana yang diuraikan dalam tehnik pengumpulan data diatas, dianalisis sepenuhnya dengan analisis deskriftif (descriftive analysis) secara mendalam (thick atau in-depth analysis). Analisis tersebut dilaksanakan secara simultan dan berkesinambungan sejalan dengan pengumpulan data. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga bias-bias penelitian sewaktu analisis dan interpretasi data. Oleh karena itu, berjalannya pengumpulan data atau pemetaan maka sekaligus dilaksanakan diskusi yang menjurus kepada analisis data. Dengan demikian, kekurangan-kekurangan data dapat diperoleh sewaktu dilapangan yang terkait dengan permasalahan yang diajukan dalam penelitian ini. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Kegiatan Pemetaan

METODE PENELITIAN Adapun lokasi dilaksanakannya kegiatan penelitian berupa pemetaan ini adalah di Provinsi Sumatra Utara, yang dalam hal ini adalah mencakup kawasan delapan situs dunia dimaksud, yaitu: 1) Kabupaten Langkat, 2) Kabupaten Deli Serdang, 3)

Sebagaimana disebutkan diatas bahwa salah satu keutamaan Global Positioning System atau GPS dalam ilmu pengetahuan adalah bahwa GPS berfungsi untuk keperluan Sistem Informasi Geografis. Dalam hal ini, GPS sering diikutsertakan 323


Azhari, I., Pemetaan Terhadap Delapan pan Si Situs Dunia di Sumatera Utara

dalam pembuatan peta, seperti eperti mengukur jarak perbatasan, ataupun sebagaii refer referensi pengukuran. Peta yang dihasilkan oleh pemanc emancar satelit tersebut sering disebut dengan Citra Satelit (satelite images) yang menjelaskan posisi atauu letak kordinatnya. 1.

Keterangan: Jarak pandang situs Barus rus pada p citra ini adalah 19.590 m dan telah menampak mpakkan kondisi real-time Kota Barus. Hanya saja masih kurang jelas karena jarak pandangnya masih relatif jauh. Tapi dibanding dengan gambar yang pertama rtama diatas, citra ini lebih jelas kelihatannya.

Citra Satelit Situs Barus us Tap Tapanuli Tengah.

Keterangan: Citra Satelit ini berjarak 37. 37.520 meter dari permukaan tanah dengan posisi sisi ke keletakan antara 81 57’01” N dan 96’23 50” E.. Are Area yang berwarna biru adalah Samudra Indonesia, nesia, berwarna hijau adalah hutan dan berwarnaa put putih adalah bekas longsoran tanah sedang gariss berk berkelok-kelok adalah alur sungai.

Keterangan: Jarak pandang citra satelit lit situs situ Barus diatas adalah 4491 M. Citra satelit ini memperlihatkan m posisi keletakan makam islam yang yan terdapat di situs Barus. 2.

Keterangan: Citra satelit ini hampir samaa den dengan gambar yang pertama di atas, hanya saja ja tid tidak menggunakan garis khayal yang melintang dan m membujur. Dalam citra satelit ini, tampak lokasi asi be bersejarah di Barus yakni Makam Papan Tinggi inggi, makam tuan Ibrahinsyah, Makam Tuan Ambar, Makam Mahligai, makam Magdum dan m makam yang belum teridentifikasi. Juga tampak panta pantai sigiri-giri yang berada di daerah Lobutua. a. Na Nama ini diyakini sebagai sejarah awal Barus.

Citra Satelit Situs Padan adang Lawas.

Keterangan: Citra Satelit ini dikerjak kerjakan disekitar situs percandian yang terdapatt di Padang P Lawas. Jarak pandang sekitar, 23’ 32”” 36 E dan 99’ 44” 40 E. Titik-titik berwarna putih ih yang yan bertebaran dalam citra satelit tersebut adalah alah perumahan p penduduk sedangkan yang membentuk entuk garis dan berbelokbelok adalah alur sungai.. Terdapat Terd alur sungai yang besar yakni Sungai Barumun. mun. Disepanjang sungai tersebut rsebut terdapat beberapa candi sebagaimana yang g ditunjukkan ditu pada citra satelit diatas seperti Candi di Bahal Bah I-III, Tandihat I-II dan Sipamutung serta beberapa bebera candi lain yang berada percis mengikuti aliran sungai.

324


Jurnal Inovasi Vol. V 8 No. 4, Desember 2011

rumah-rumah masyarakatt dan berkota-kotak adalah persawahan masyarakat di Kota Kot Cina.

Keterangan Citra satelit ini diambil darii jarak pandang 12.750 dan jauh lebih baik jika dibanding anding dari citra satelit yang pertama diatas. Dapat at dis disimpulkan bahwa posisi dari keletakan candi yang ang te terdapat di Padang Lawas adalah percis berada da ddi pinggir sungai Barumun dan merupakan satu tu kesa kesatuan vertikal.

Keterangan: Citra satelit Kota Cina yang ang memperlihatkan m posisi keletakan Museum Situss yang dikembangkan oleh Pussis-Unimed dari jarak k pandang pand 6.169 meter dan yang bertanda merah adalah alah Tempat Pembuangan Sampah Akhir yang sangat at dekat dek dengan situs Kota Cina Medan Marelan.

Keterangan: Jarak pandang citra satelit ini ni sek sekitar 11.520 meter dari permukaan tanah. Tela Telah menghasilkan penginderaan yang lebih baik. ik. Ta Tampak jelas kaitan antara masing-masing candii yang merupakan satu kesatuan garis lurus (vertikal). 3.

Keterangan: Citra satelit ini dilihat dari ketinggian k 894 meter dan memperlihatkan posisi osisi site museum yang berdampingan dengan sungai ungai Parit Panjang yang dialirkan ke Jaya Beton.. Pertambakan Pert masyarakat pun semakin jelas kelihata elihatan. Demikian pula pemukiman masyarakat serta Danau D Siombak.

Citra Satelit Situs Kota Cina Medan Marelan.

Keterangan: Citra satelit ini diketinggian 5,13 K Km dengan posisi keletakan antara 3’43’29” N dan 998’ 39”01 E. Dari ketinggian tersebut tampak jelas elas ka kawasan Kota Cina (yang bergaris merah) serta Dana Danau Siombak serta aliran sungai Terjun yangg be bermuara ke laut Belawan. Yang berwarna keputi keputih-putihan adalah

Keterangan: Citra Satelit diatas dilihatt dari ketinggian 391 meter dengan memperlihatkan sektor sekto Keramat Pahlawan yang berdampingan dengan ngan klenteng China dan 325


Azhari, I., Pemetaan Terhadap Delapan pan Si Situs Dunia di Sumatera Utara

sektor perbentengan struktur fond fondasi candi di Kota Cina. Dua lokasi ini diyakini ini me merupakan struktur fondasi Candi berdasarkan hasil ekskavasi tahun 1977. Hal ini diyakini berdasarka asarkan hasil ekskavasi dan temuan lain yang mendu endukung pernyataan tersebut.

Kondisi tanahnya yang berawa erawa, menguatkan dugaan bahwa daerah ini sangat at mungkin m berasal dari pantai selat Malaka yang ng mengalami me sedimentasi setebal 2 cm/tahun. Namun mun demikian, penelitian komprehensif perlu dilakukan kukan untuk mengungkap misteri di Kota Rentang.

Keterangan: Citra Satelit terletak padaa ketinggian ketin 762 Meter dari permukaan tanah. Hal inii berdampak berd pada semakin jelasnya permukaan yakni ni persawahan per masyarakat di Kota Rentang. Nisan-1 1 yang terletak di tepi jalan adalah jalan masuk ke Kota K Rentang yang berdampingan dengan sungai ungai Sei Semayang. Jalan tersebut adalah jalan setapak apak yang y belum mendapat pembatuan atau pengaspalan alan sedikit se pun.

Keterangan: ketinggian 891 meter Citra Satelit ini dilihat darii ketin dan tampak kondisi yang lebih bih jel jelas. Klenteng Cina dan sebaran batubata berstruktur truktur candi di sektor Keramat Pahlawan, maupunn peru perumahan penduduk yang memiliki fondasi candi. ndi. P Persawahan dan jalan-jalan yang menghubungkan gkan aantar kawasanpun semakin jelas. Hal ini dapatt wuju wujud karena semakin dekatnya kepermukaan dan damp dampak dari teknologi GPS yang terbaru yakni Googleart glearth 2010. 4.

Citra Satelit Situs Kota ta Ren Rentang Hamparan Perak.

Keterangan: Citra Satelit ini terletak pada ada ketinggian k 2162 meter dengan penggalan khusus us pada pad sekitar desa Kota Rentang. Hal ini dilakukan kan untuk u melihat posisiposisi keletakan nisan-nisan nisan yang bersebaran di sekitar perkampungan masyarakat masya di Desa Kota Rentang.

Keterangan: Citra satelit ini terletak pada ketin ketinggian 1320 Meter dari permukaan tanah yang ng me menjelaskan posisi keletakan situs Kota Rentang tang Hamparan Perak pada 3’ 44” 12 N dan 98’ 35”” 03 E E. Artifak penting dari situs ini adalah hasil penel penelitian tahun 2008 yang dikerjakan oleh ISEAS S Sin Singapore di Pulau Mojopahit yang berdekatan deng dengan Nisan-1 Tepi Jalan. Temuan itu adalah seperti eperti fragmen keramik dan tembikar yang berasal al da dari mancanegara. Temuan permukaan (surfacee find finds) adalah seperti batubata berukuran besar (biasa digunakan pada candi), bongkahan perahu tuaa dan nisan islam yang terbesar di beberapa kawasan wasan Kota Rentang Hamparan Perak Kabupaten Deli S Serdang.

Citra Satelit Situs Benteng Bente Putri Hijau Deli Serdang. Berikut dibawah ini ditampilka mpilkan Global Positioning System atau GPS situs Benten enteng Putri Hijau Delitua yang dikerjakan oleh tim peneliti penel dibawah ini yaitu: 5.

326


Jurnal Inovasi Vol. V 8 No. 4, Desember 2011

Keterangan: lokasi Benteng Putri Tanda kotak-kotak adalah lokas Hijau yang diperbuat dengan an m menggunakan GPS dan dikonversikan melalui google ogleearth versi 2004. Jarak pandang dari satelit adalah dalah 12000 meter atau 12 KM. Peta satelit ini diperbuat untuk mendapatkan akurasi data tentang posisi dan luas benteng.

Googlearth versi 2010, maka aka hasil h ini akan semakin jelas.

Keterangan Citra Satelit Benteng g Putri P Hijau yang memperlihatkan posisi letak di Delitua, dengan jarak pandang 14.68 KM.. Tampak Tam juga letak pajak Delitua, posisi lapangan an terbang te Polonia dan kondisi disekitar benteng ng Putri P Hijau Delitua. Tanda-tanda bayangan hitam itam adalah a bayangan dari gumpalan awan sebagaii dampak dam dari penyinaran matahari. Posisi letak Benteng Benten Putri Hijau dalam gambar ini memperlihatkan kan posisi po benteng apabila dihubungkan dengan kotaa Medan. Med

Keterangan: Peta GPS dengan jarak pandang ang 99000 Meter atau 9 Km dari permukaan tanah.. Pem Pembesaran terhadap peta ini dilakukan dengan menggu enggunakan Gogleearth 2004 sehingga dapat dilihat dari ja jarak pandang yang relatif dekat. Dari jarak pandang ndang 9 Km tersebut, telah tampak lokasi pemukiman man ppenduduk disekitar situs demikian pula areal pertan pertanian, jalur sungai maupun letak situs yang semakin akin jjelas.

Keterangan: Citra Satelit terhadap Benteng enteng Putri Hijau delitua dengan jarak pandang 2,74 Km. Gambar ini memperlihatkan keadaan n sekitar sek Benteng Putri Hijau Delitua Namurambe. be. Dipetik D dan diperbuat dengan menggunakan GPS yang dikonversikan dengan Googlearth versi 2004 004.

Keterangan: Citra Benteng Putri Hijau yang diperbuat dengan menggunakan alat bantu GPS S pada ketinggian 1000 meter atau 1 KM dari permukaa mukaan tanah. Tampak bahwa, letak situs semakin in de dekat dan hampir menempel dengan Lau Patani. ni. Jika dilihat di Komputer dengan menggun nggunakan program 327


Azhari, I., Pemetaan Terhadap Delapan pan Si Situs Dunia di Sumatera Utara

Keterangan: Citra Satelit ini berjarakk 8.7 8.723 meter dari permukaan tanah. Hasil ini memp memperlihatkan posisi keletakan benteng dan posisi si bang bangunan perumahan yang dibangun di lokasi situs us Be Benteng Putri Hijau Delitua. Citra satelit inii dig digunakan dengan Googlearth versi 2010.

Keterangan: Citra satelit ini dilihat dari ari ketinggian ke 3208 Meter khusus untuk menentukan an posisi po keletakan kantor Deli Proef Station yang berada berad di kawasan Kantor Gubernur Jalan Diponegoro. oro. Dalam D gambar tampak juga Gereja (GPIB), gedung ung alfa a omega, jembatan Kebajikan, Tip Top, Tjong jong A Fie Mansion, dan Rumah Sakit Elisabeth.

Citra Satelit Bangunan n Ber Bersejarah di Kota Medan. Berikut ini diuraikan citra itra ssatelit bangunan bersejarah di Kota Medan deng dengan menggunakan GPS yang dikonversi ke Google oogleearth versi 2010. Tidak semua bangunan berse bersejarah dilakukan pemetaan dan cenderung ditekank tekankan pada kawasan dengan menunjuk beberapaa ban bangunan bersejarah dikawasan itu. 6.

Keterangan: inggian 1151 Meter dari Citra Satelit pada ketinggia permukaan tanah ini dipusatkan dipusa untuk melihat kompleks perbengkelan dan pergudangan pe kereta api di kawasan Pulau Brayan. Braya Demikian pula dihubungkan dengan banguna ngunan bersejarah lainnya seperti vila-vila DSM yang ang berdampingan b dengan kawasan perbengkelan.. Sebagaimana Seb diketahui bahwa jaringan Kereta Api pi pertama per sekali dibangun di Sumatra Utara adalah tahun tahu 1883 atas prakarsa JT. Cremer, seorang Komisa omisaris Perusahaan Deli yang dikenal dengan Deli li Spoorweg Spo Matschapaaij (DSM). Dalam perencanaan an pihak pendiri DSM, jaringan tersebut akan tersambung tersam dengan Kereta Api Trans Sumatra yang yan menghubungkan Acehstaatspoor hingga Lampu ampung sejauh 1400 Km. Tetapi, rencana tersebutt batal bata karena pada tahun 1942, Belanda sudah angkat ngkat kaki dari Indonesia. Namun demikian, jaringan gan yang y menghubungkan Aceh dan Sumatra Utara sudah dilakukan. Sisa-sisa dari produk pengusaha Belanda Bela itu hingga kini masih beroperasi dengan n baik bai di Sumatra Utara yang menghubungkat Langkat Lang hingga Rantau Prapat.

Keterangan: Citra satelit ini terletak pada ketin ketinggian 1119 meter dipermukaan tanah dengan posisi keletakan antara 3,35’ 23” 32 N dan 98’ 40”” 43 E. Daerah utama yang ditunjukkan pada citra itra ssatelit ini adalah Lapangan Merdeka (esplanade) nade) serta bangunan bersejarah yang mengitarinya ya da dan masih berdiri eksis seperti: Kantor Walikota ota La Lama, Kantor Bank Indonesia, Hotel Dharmaa D Deli, Perusahaan D’Lyoid, Stasiun Kereta Api, pi, Ti Titi Gantung, Bank Mandiri. Dijalan Tembakau Deli sekarang terdapat Bangunan Perusahaan Deli diman dimana Jacob Nienhuys yaitu perintis Perkebunan Temba Tembakau Deli pernah berkantor.

328


Jurnal Inovasi Vol. V 8 No. 4, Desember 2011

ini sekaligus menunjukkan kan posisi p masing-masing sumur minyak yang terdapat apat di d Pangkalan Brandan Sumatra Utara.

Keterangan: Citra Satelit tersebut terletakk pada ketinggian 1975 meter yang memperlihatkann be beberapa bangunan bersejarah di sekitar Jembatan tan K Kebajikan di Jalan Zainul Arifin (Calcutta straat). aat). JJembatan tersebut dibangun pada 1909 oleh Tjong ong Y Yong Hian seorang Taipan Tionghoa di Medan pada ssaat itu. Jembatan tersebut sudah mendapatkan an ppenghargaan dari UNESCO pada tahun 2004.

Keterangan: Citra satelit ini diperbuatt dengan deng mengikutsertakan keletakan atau posisi Pangkalan Pangk Brandan, tugu seratus tahun lahirnya Pertamin rtamina serta hubungannya dengan sumur-sumur minyak yang terdapat di Telaga Said dan Telagaa Tunggal. Tu Pintu masuk menuju sumur-sumur tua ua minyak m di Pangkalan Brandan adalah dari Babalan. alan.

Keterangan: Citra satelit diatas menggamb ggambarkan bangunan bersejarah yang terdapat di ssekitar Lapangan Merdeka Medan. Dari citra terse tersebut tampak jelas bangunan-bangunan bersejarah rah yyang mengelilingi lapangan merdeka. Citra inii diper diperbuat sebagai foto udara yang memperlihatkan kan posisi keletakan beberapa bangunan bersejarah ah dim dimaksud. 7.

Keterangan: Citra satelit ini terletak pada jarak pandang 3159 meter dari permukaan bumi umi sehingga se tampak lebih jelas posisi dari masing-masing masing sumur minyak yang terdapat di Pangkalan Brandan andan Sumatra Utara. 8.

Citra Satelit Situs Pulau ulau Kampai, Langkat.

Citra Satelit Kilang Miny Minyak Telaga Said, Langkat.

Keterangan: Citra satelit ini terletak pada ada ketinggian k 4934 meter di permukaan bumi. Tampak pak jelas j menghubungkan dermaga Pangkalan Susu su dengan den dermaga Pulau Kampai. Bila berlayar dari ari Pangkalan Pa Susu, maka Pulau Kampai dapat ditempu itempuh selama 45 menit dengan menumpangi kapal pal sederhana. sed Lokasi yang berarsir abau-abu adalah laut dangkal yaitu Teluk Aru (Aru Bay) sedangkan kan yang berwarna biru

Keterangan: Citra satelit ini memperlihatka lihatkan posisi kilang minyak yang sudah berumur ur ratu ratusan tahun di Sei Lepan Pangkalan Brandan yaitu 3’ 56� 32 N dan 98’ 16� 63 E dengan ketinggian gian 88967 meter. Citra 329


Azhari, I., Pemetaan Terhadap Delapan pan Si Situs Dunia di Sumatera Utara

adalah Selat Malaka. Perbedaan bedaan warna tersebut disebabkan oleh kedalaman dari la laut, dimana Teluk Aru lebih dangkal dari Selat Ma Malaka. Sedangkan daratan yang terletak di Teluk eluk A Aru adalah Pulau Sembilan yang berhadapan dengan engan Pulau Kampai.

Keterangan: Citra Satelit diatas dilihatt dari ketinggian 551 meter dan tampak dengan jelas as kondisi kon yang mengitari Pulau Kampai seperti ti dermaga, de perumahan penduduk, pohon-pohonan, an, keramba ke masyarakat di tepi Teluk Aru maupun lapangan lapang SD Negeri Pulau Kampai serta Makam Keramat Keram Panjang. Dengan demikian, hal ini sangat memudahkan memu untuk melihat kondisi real (real time)) dari situs ini pada tahun 2010. Sebagaimana yang diterangkan ditera pada bab sebelumnya bahwa salah alah satu tujuan utama pelaksanaan penelitian berupa pembuatan Global Positioning System (GPS) ini adalah terutama bermanfaat untuk membuat buat peta satelit dengan akurasi yang terukurr yakni yak posisi keletakan kordinat dari masing-masin masing yang diberikan perlakuan GPS.

Keterangan: Citra satelit hampir sama dengan ngan citra satelit Pulau Kampai yang pertama dii atas atas. Terletak pada ketinggian 13330 feet atau sekita sekitar 6 kilometer di permukaan bumi. Bila citraa sate satelit yang pertama cenderung dilihat dari dermaga maga Pangkalan Susu maka citra satelit ini dilihat at dar dari dermaga Pulau Kampai.

Dengan melakukan pemetaa metaan GPS yang lebih modern, maka permukaan an yang ya dipetakan dapat dilihat dari kondisi real sesuai esuai dengan d gambaran asli yang nyata. Bahkan lebih ih dari dar itu, teknologi GPS terakhir, dapat melihat dii kedalaman keda tanah hingga 5 meter serta kedalaman air 80 meter. Oleh karena itu, dengan mudah sebenarnya narnya mengetahui kondisi realnya. Namun demikian, kian, jarang sekali hasil seperti itu didapatkan karena arena biasanya, teknologi tinggi seperti itu biasanya ya digunakan dig oleh militer pada negara-negara maju. ju. Oleh Ol karena itu, hasil pemetaan GPS ini hasilnya ilnya kurang baik karena kurang memperlihatkan n kondisi ko areal yang dipetakan.

Keterangan: Citra satelit diatas terletak pada ketinggian 2971 meter. Posisi keletakan situss Pula Pulau Kampai berada pada titik kordinat 4’ 11” 122 N ddan 96’ 14” 37 E. Dari dermaga Pulau Kampai, i, situs ini telah disurvei di Lapangan Sekolah Negeri eri Pu Pulau Kampai. Di lokasi ini, sangat banyak ditemu itemukan manik-manik (beads), keramik, mata uang ng m maupun tembikar. Sedangkan, berdampingan deng dengan lapangan ini terdapat Makam Keramat Panjang njang yang panjangnya sekitar 9 meter dan hingga ngga sekarang masih dikeramatkan orang setempat.

Dengan melakukan pemetaan etaan GPS tersebut maka akan mudah diketahui letak kordinat dari setiap situs. Keletakan tersebut ut akan ak memperlihatkan posisi situs dari ketinggian ggian tertentu dan posisi terutama disebelah utara ra dan timur. Bagian ini terdiri dari kumpulan satelit--satelit yang berada di orbit bumi, sekitar 12.000 00 mil m diatas permukaan bumi. Pemetaan tersebut akan memperlihatkan juga citra permukaan yang dipantulkan dipan oleh satelit melalui pemancar yang digerak igerakkan di lokasi situs. Permukaan tersebut akan n memperlihatkan mem kondisi dengan mudah teridentifikasi fikasi seperti hutan, jalan, sungai, perumahan dan lain-la lain. Namun demikian, citra tersebut tidak dapat pat tampak t jelas seperti kondisi sebenarnya dikarenaka renakan oleh beberapa hal, yaitu: seper yang diterangkan • Kondisi geografis, seperti diatas. Selama kita masih dapat melihat langit yang cukup luas, alatt ini masih m dapat berfungsi. • Hutan. Makin lebatt hutannya, hut maka makin berkurang sinyal yang g dapat dap diterima. • Air. Jangan berharap p dapat dap menggunakan alat ini ketika menyelam. 330


Jurnal Inovasi Vol. 8 No. 4, Desember 2011

• • •

No 1

Kaca film mobil, terutama yang mengandung metal. Alat-alat elektronik yang dapat mengeluarkan gelombang elektromagnetik. Gedung-gedung. Tidak hanya ketika didalam gedung, berada diantara 2 buah gedung tinggi juga akan menyebabkan efek seperti berada di dalam lembah. Sinyal yang memantul, misal bila berada diantara gedung-gedung tinggi, dapat mengacaukan perhitungan alat navigasi sehingga alat navigasi dapat menunjukkan posisi yang salah atau tidak akurat.

2 3 4 5 6 7

8

Karena alat navigasi ini bergantung penuh pada satelit, maka sinyal satelit menjadi sangat penting. Alat navigasi berbasis satelit ini tidak dapat bekerja maksimal ketika ada gangguan pada sinyal satelit. Namun demikian, kegiatan yang dilaksanakan ini telah memberikan gambaran awal posisi keletakan dari delapan situs dunia yang terdapat di Sumatra Utara. Hal ini sekaligus berdampak pada hadirnya satu dokumentasi terhadap situs-situs bersejarah di Sumatra Utara yang dilihat dari letak kordinatnya.

Nama Situs Situs Kota Cina Situs Lobutua, Barus Situs Padang Lawas Situs Benteng Putri Hijau Situs Kota Rentang Situs Pulau Kampai Situs Bangunan Bersejarah di Kota Medan Situs Kilang Minyak Telaga Said.

Letak Kordinat 3’43’29” N dan 98’ 39”01 E. 81 57’01” N dan 96’23 50” E 23’ 32” 36 E dan 99’ 44” 40 E 46’ 39” 15 E dan 38’ 51” 32 N 3’ 44” 12 N dan 98’ 35” 03 E. 4’ 11” 12 N dan 96’ 14” 37 E 3,35’ 23” 32 N dan 98’ 40” 43 E. 3’ 56” 32 N dan 98’ 16” 63 E

REKOMENDASI Dari simpulan sebagaimana yang sebutkan diatas, berikut ini dikemukakan beberapa saran penting untuk perbaikan isi maupun penulisan tentang situs yang terdapat di Sumatra Utara yakni: 1. Penelitian ini hanya terfokus pada pembuatan peta Global Positioning System atau GPS yaitu untuk membuat citra satelit (satelite images) terhadap delapan situs penting di Sumatra Utara. Selain itu, juga di jelaskan secara singkat masing-masing kandungan historis dan arkeologis dari ke delapan situs dimaksud. Oleh karena itu, untuk mendapatkan hasil yang lebih jelas dan menyeluruh perlu di lakukan kegiatan lain seperti penulisan profile dari masing-masing situs dalam satu kegiatan tertentu, terutama dari laporan-laporan penelitian yang menjelaskan masing-masing situs tersebut serta arti pentingnya dalam penjelajahan peradaban di Sumatra Utara. 2. Melakukan penelitian ekskavasi terhadap situs yang belum pernah dilakukan kegiatan ekskavasi seperti situs Pulau Kampai yang terdapat di Kabupaten Langkat. 3. Melakukan program berkesinambungan terutama dalam rangka meningkatkan kebermanfaatan situs sebagai destinasi wisata sejarah dan budaya. 4. Mendorong diterbitkannya peraturan daerah untuk melindungi situs-situs bersejarah yang terdapat di Sumatra Utara. 5. Melakukan restorasi terhadap bangunanbangunan bersejarah yang terdapat di Sumatra Utara sebagai landmark dari Provinsi Sumatra Utara. 6. Melakukan penelitian dan penulisan lebih lanjut yang memuat profile lengkap delapan situs dunia di Sumatra Utara. 7. Memfasilitasi berdirinya museum situs (Site Museum) di Sumatra Utara.

Dengan demikian, langkah ini merupakan upaya untuk mendokumentasikan seluruh situs-situs penting yang terdapat di Sumatra Utara. Diharapkan bahwa, tindakan lanjut dari penelitian ini berupa penelitian yang komprehensif dapat diwujudnyatakan, demikian pula terhadap upaya menjadikan situs sebagai destinasi wisata sejarah dan budaya di Sumatra Utara.

KESIMPULAN Dari uraian sebagaimana yang dikemukakan pada bab-bab sebelumnya, dapat disimpulkan poin-poin penting dari kegiatan ini yaitu: 1. Terdapat delapan situs dunia di Propinsi Sumatra Utara, yaitu 1) Barus, 2) Padang Lawas, 3) Kota Cina, 4) Kota Rentang, 5) Benteng Putri Hijau Delitua, 6) Pulau Kampai, 7) Bangunan Bersejarah di Kota Medan dan 8) Sumur minyak Telaga Said. 2. Global Positioning System (GPS) terhadap delapan situs di Sumatra Utara tersebut bertujuan untuk menentukan posisi keletakan (kordinat) masing-masing situs yang dilihat dari ketinggian maksimum yaitu 12.000 mil dari permukaan bumi. 3. Global Positioning System (GPS) bermanfaat untuk menunjukkan citra satelit (satelite images) dari masing-masing situs yang diberikan perlakuan GPS. 4. Adapun posisi keletakan situs berdasarkan Global Positioning System terhadap delapan situs dunia di Sumatra Utara adalah sebagai berikut: 331


Azhari, I., Pemetaan Terhadap Delapan Situs Dunia di Sumatera Utara

DAFTAR PUSTAKA Ambary, Hasan Muarif. 1984. Further notes on clsification of ceramics from the excavation of Kota Cina., dalam Studies on Ceramics. Jakarta: Puslitbangarkenas.

Groenoveltd, WP. 1960. Historical Notes Indonesia and Malay. Compiled from Chinesse Source. Jakarta: Bharata. Guillot, Claude. Lobutua: Sejarah Awal Barus. Jakarta: EFEO: Obor Indonesia.

Anderson, John. 1971. Mission to the East Coast of Sumatra in 1823. Kuala Lumpur: Oxford University Press.

Husny, Tengku M. Lah. 1975. Lintasan Sejarah Peradaban dan Budaya Penduduk Melayu-Pesisir Deli Sumatra. Medan: BP. Husny.

A.S, Burhan. 1990. Kisah Putri Hijau. Medan: Badan Pengembangan Perpustakaan Daerah Tk-I Sumatra Utara.

Mills, J.V.G. 1970. Ma Huan: Ying-Yai Sheng Lan ‘The Overall Survey of The Ocean Shores. Cambridge at the University Press.

Brahmoputro. 1984. Karo dari Zaman ke Zaman. Medan

Miksic, John N. 1979. Archeology, Trade and Society in Northeast Sumatra. Cornell University Ph.D Dissertation.

Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Banda Aceh. 2008. Laporan Penggalian Penyelamatan Situs Benteng Puteri Hijau Desa Delitua Kecamatan Namorambe Kabupaten Deli Serdang Provinsi Sumatra Utara. Banda Aceh: Tim Peneliti.

Milner, A.C. ; E. Edwards McKinnon and Tengku Luckman Sinar. 1978. A note on Aru and Kota Cina. Indonesia 26. Meuraxa, Dada. Sumatra. Medan

1971.

Sejarah

Kebudayaan

Brown, C.C. (Translator). 1983. Sejarah Melayu or Malay Annals: a translation of Raffles Ms 18 (in the Library of the RAS London) with commentary. Kuala Lumpur: Oxford University Press

Nasution, M. Haris. 1982. Putri Hijau. Medan: Madju

Cortesao, Armando. 1967. The Suma Oriental of the Tome Pires. London: Hakluyt Society.

Perret, Daniel. 2010. Kolonialisme dan Etnisitas: Batak dan Melayu di Sumatra Timur Laut. Jakarta: KPG, EFEO, Forum Jakarta Paris dan Puslitbangarkenas.

Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Deli Serdang. 2009. Laporan Penelitian Komprehensif pada Situs Yang Diduga Sebagai Benteng Putri Hijau Di Desa Delitua Kecamatan Namorambe Kabupaten Deli Serdang. Deli Serdang: Tim Peneliti.

Pinto. Ferdinand Mendez. 1991. Peregrination (Terjemahan dalam bahasa Inggris oleh R. Viale) Paris: la Difference. Puslitarkenas. 1984. Laporan Kegiatan Penelitian Pelita-II. Jakarta: Puslitarkenas.

De Beaulieau. Augustin. 1995. The Tyranny of Iskandar Muda dalam Witnesess to Sumatra: A Travelers Anthology. Compiled and Introduced by Anthony Reid. Kuala Lumpur: Oxford University Press.

Rahman. A., 1962. Syair Putri Hijau. Medan: Pustaka Andalas. Said, Muhammad. 1982. Aceh Sepanjang Abad. Medan: Waspada.

Drakard., Jane. Dua Naskah dari Barus: Kisah Rajaraja Barus. Jakarta: EFEO

Sinar. T. Lukman. 2007. Bangun dan Runtuhnya Kerajaan Melayu Sumatra Timur. Medan

Edwards. E., McKinnon. 2008. Invaluable Cultural Heritage At Risk: An Appeal for the Conservation of Important Archeological Sites at Kota Cina and Delitua. Makalah dipresentasikan pada Seminar: Mencegah Musnahnya Warisan Sejarah Sumatra Utara, Medan, 17 Mei.

Suryani, Adhi. 2009. Temuan-temuan Ekskavasi di Benteng Putri Hijau dan Arti Pentingnya Dalam Sejarah Nasional Indonesia. Makalah dipresentasikan pada Seminar: Benteng Putri Hijau: Situs Kerajaan Aru Yang Segera Lenyap. Medan, 28 Februari.

Effendi. Tuanku Said. 1976. Sejarah Putri Hijau dan Meriam Puntung. Medan: Yayasan Zuriath Sultan Deli Perkasa Alamsjah.

Wolters, O.W. 1970. The Fall of Srivijaya in Malay History. Kuala Lumpur: Oxford University. 332


Jurnal Inovasi Vol. 8 No. 4, Desember 2011

Yamin , Muhammad. 2005. Gajah Mada: Pahlawan Pemersatu Nusantara. Jakarta: Balai Pustaka. Zhi, Yuan. 1995. Cheng Ho Tionghoa Muslim: Misteri Muhibah Pelayaran Nusantara. Jakarta: Obor.

333


Munir, A., Kinerja Pengawas Pendidikan dan Peran Serta Komite Sekolah terhadap Peningkatan Mutu Pendidikan Sekolah Dasar di Kota Medan

Kinerja Pengawas Pendidikan Dan Peran Serta Komite Sekolah Terhadap Peningkatan Mutu Pendidikan Sekolah Dasar Di Kota Medan (Supervisors Performance and School Committees toward Improving Education Quality at Primary Level in Medan City) Ardjoni Munir Dosen FKIP-UMSU, Medan e-mail: djonimunir@gmail.com Naskah masuk: 12 September 2011; Naskah diterima: 13 November 2011 ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk melihat apakah kinerja pengawas pendidikan dan peran serta komite sekolah dapat meningkatkan mutu pendidikan sekolah dasar di Medan. Sampel dari populasi penelitian ini adalah pengawas pendidikan, kimote sekolah serta guru-guru yang mengajar di sekolah dasar, masing-masing 15 orang, ada tiga jenis alat yang digunakan untuk menjaring data penelitian yakni: kuesioner dan lembar pengamatan untuk melihat kompetensi guru dalam pelaksanaan PBM yang bermutu dan naskah EBTANAS 2000/2001 dan UAS TP 2003/2004. Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa kinerja pengawas pendidikan dan peran serta komite sekolah belum dapat meningatkan pendidikan di sekolah dasar. Kata kunci : kinerja, pengawas pendidikan, komite sekolah dan mutu pendidikan ABSTRACT This study aims to see whether the performance of education and the role of supervisors and school committees can improve the quality of primary education in Medan. Samples from this study population was superintendent of education, kimote schools and teachers who teach in elementary school, each 15 people. There are three types of tools used to capture the research data : questionnaires and observation sheet to see competency of teachers in the implementation of quality and manuscripts PBM EBTANAS UAS TP 2000/2001 and 2003/2004. Based on the research results can be concluded that the performance of education and the role of supervisors and school committees have not been able to meningatkan education in primary schools. Keywords: performance, education supervisors, school committees and the quality of education

Tetapi tanpa mengurangi rasa hormat terhadap prestasi yang sudah ditorehkan Butet, persoalan Indonesia dewasa ini tidak semata-mata bagaimana membebaskan anak-anak dari buta huruf tetapi telah bergerak ke arah, agar dapat mengembangkan potensi peserta didik ... cakap, kreatif, mandiri ... (UU Pendidikan, 2003:8). Peserta didik yang cakap, kreatif dan mandiri ini diperlukan oleh negara Indonesia di masa depan dalam menghadapi dunia tanpa batas sebagai konsekuensi Iogis kemajuan ilmu dan teknologi (Tilaar, 2001).

PENDAHULUAN Pendidikan adalah pembebasan. Kalimat ini diucapkan Butet Manurung ketika dia menerima penghargaan sebagai Woman of The Year versi ANTV beberapa waktu yang lalu dalam rangka perayaan ulang tahun stasiun televisi swasta tersebut. Penghargaan itu diberikan atas prestasinya membebaskan anak-anak setingkat sekolah dasar (SD) penghuni hutan belantara di propinsi Jambi dari buta huruf. Usaha Butet tersebut adalah buah dad proses panjang yang telah ditanamkan peloporpelopor pendidik Indonesia di masa lalu dan implementasi wajib belajar (Wajar) 9 tahun.

Berdasarkan harapan di atas, layaknya pandangan diarahkan ke dunia nyata pelaksanaan cita-cita tersebut di lapangan, yaitu sekolah-sekolah pads 334


Jurnal Inovasi Vol. 8 No. 4, Desember 2011

umumnya, sekolah dasar pads khususnya. Sudah siapkah seluruh komponen yang terlibat dalam pendidikan di sekolah dasar untuk sampai pada citacita atau harapan tersebut? Komponen yang terlbat dalam pendidikan dasar khususnya SD tersebut meliputi perangkat lunak dan perangkat keras. Perangkat lunak yang dimaksud dalam hal ini adalah mencakup guru-guru, kepala sekolah, pengawas sekolah, petugas administrasi, bahkan murid sekalipun. Sementara ini perangkat keras mencakup segala sesuatu yang dapat memfasilitasi pelaksanaan pendidikan seperti buku-buku, alat bantu belajar, ruang-ruang belajar, dana dan sebagainya.

Berarti sebagian dari jumlah tersebut di atas adalah orang tua dari ke 246.158 siswa yang tidak berhasil memperoleh buku pelajaran dari pemerintah. Akibatnya, secara nasional mutu pendidikan di tingkat pendidikan dasar khususnya SD menurun. Meski belum ada data yang pasti tentang menurunnya mutu pendidikan di Propinsi Sumatera Utara khususnya kota Medan - hal inilah yang menyebabkan penulis ingin melakukan penelitian yang terkait dengan mutu pendidikan di SD - tetapi hasil penelitian yang dilaksanakan Inlernalionul l;'clucution Achievement (TEA) pada tahun 2000 terhadap mutu pendidikan dasar di SD pada 39 negara khususnya untuk keterampilan membaca, Indonesia berada pada peringkat ke-38 (Republika, 2001). Sangat memalukan. Sementara itu pada tahun 2003 secara keseluruhan mutu pendidikan di Indonesia bila dibandingkan dengan negara-negara Asean Tainnya, berada pada peringkat ke-112, padahal sebelumnya pada tahun 2002 Indonesia masih pada peringkat ke-110. Angka tersebut menunjukkan bahwa pada tahun yang sama mutu pendidikan di Indonesia berada jauh di bawwh Cina yang menduduki peringkat 104 dan Vietnam yang berada pada peringkat ke-109 (Bulletin Dinas Pendidikan, 2004).

Berbicara tentang buku-buku, alat bantu belajar dan lain-lain adalah berbicara tentang apa yang sepatutnya diperoleh siswa sekolah dasar sebagai suatu hak. Berdasarkan Wajar Pendidikan Dasar atau Wajar Dikdas, hingga anak-anak menyelesaikan pendidikannya selarna 9 tahun, adalah kewajiban pemerintah untuk memberikan buku-buku bacaan gratis terutama buku Bahasa Indonesia, PPKn,Matematika, IPA dan IPS kepada mereka agar mereka tum6uh menjadi siswasiswa yang cerdas, cakap,. kreatif dan mandiri (UU Pendidikan, 2003:4). Siswa yang kreatif dan mandiri ini pads umumnya dapat dibangun melalui banyak membaca buku-buku. Dikatakan demikian karena buku-buku merupakan kumpulan informasi tentang pengetahuan, kemajuan_ ilmu dan teknologi secara lokal maupun global. Tanpa harus berada di suatu negara yang diterangkan dalam buku-buku yang dibaca siswa, mereka telah berhasil mengetahui apa yang terjadi di negara tersebut. Itu sebabnya membaca disebut sebagai jendela dunia (Thorndike dan Hagen, 1977).

Bagaimana kaitan antara mutu pendidikan di SD dengan guru-guru (sebagai perangkat lunak) yang mengajar pada level tersebut? Pada tahun 1990, pemerintah melakukan pembaharuan besar-besaran terhadap kualitas guru yang mengajar di sekolah dasar. Guru SD yang dianggap berkualitas adalah apabila dia sudah menempuh paling sedikit jenjang pendidikan di perguruan tinggi setara dengan Diploma II. Oleh karena itu digalakkan pendidikan PGSD (Setijadi, 1992). Guru SD lulusan PGSD diharapkan tidak saja menguasai ilmu yang hams diajarkannya tetapi sekaligus mengerti tentang ciri anak SD dan pendidikan SD kini dan di rnasa yang akan datang (Semiawan dan Joni, 1993). Hai ini secara tidak langsung memberi gambaran bahwa: Satu, sebelumnya guru-guru yang mengajar di SD yang setara dengan SGA dan SGO kurang dipersiapkan untuk menguasai ke-5 mata pelajaran pokok di SD seperti Bahasa Indonesia, PPKn, IMfatematika, IPA dan IPS serta bagaimana mengajarkannya. Akibatnya pada saat mengajar guru kurang memperhatikan matcri/isi yang memang sesuai dengan kebutuhan anak pada umur tersebut dan bagaimana mengarahkan anak untuk mengelola perolehan dari basil belajar tersebut. Konsekuensinya belajar di sekolah kurang berhasil menumbuhkan partisipasi aktif siswa untuk mencapai kemandirian belajar serta pembentukan sikap bclajar yang mengarah pada berhasil mengembangkan kreativitas dalam diri siswa (bandingkan dengan UU Pendidikan 2003). Dua,

Namun kenyataannya, kemampuan pemerintah untuk menyediakan bukubuku tersebut terbatas. Berdasarkan data yang dikeluarkan Dinas Pendidikan Pemerintah Propinsi Sumatera Utara (2004: 6-8), jumlah siswa SD sekotamadya Medan — baik negeri maupun swasta — adalah 273.111 orang. Buku mata pelajaran pokok yang dibutuhkan seorang siswa SD adalah 5, dengan perincian masing-masing 1 untuk mata pelajaran PPKn, Bahasa Indonesia, Matematika, IPA dan IPS. Berarti buku yang seharusnya disediakan pemerintah adalah 5 x 273.111 = 1.365.555 buku. Tetapi buku yang ada hanyalah 134.763. Dengan demikian kekurangan buku sebanyak 1.230.792, atau sama dengan 246.158 siswa yang tidak terpenuhi buku pelajarannya. Siapa yang harus menutupi kekurangan ini? Sudah pasti orang tua siswa tersebut. Tetapi hal ini mustahil terpenuhi karena jumlah penduduk miskin kota Medan berdasarkan data Dinas Pendidikan Propinsi Sumatera Utara tahun 2002 adalah 93.200 orang. 335


Munir, A., Kinerja Pengawas Pendidikan dan Peran Serta Komite Sekolah terhadap Peningkatan Mutu Pendidikan Sekolah Dasar di Kota Medan

penekanan pembelajaran hanya pada agar siswa SD melek huruf, tidak melek teknologi. Hanya menghafal suatu informasi tanpa mengerti apa-apa tentang informasi yang dihafalnya. Sebagai contoh; siswa SD kelas 2 diharuskan rnenghafal definisi reboisasi tanpa mengerti apa itu reboisasi, apa kaitannya pada kehidupan nyata mereka, dan apakah cara guru mengajarkan reboisasi tersebut sesuai dengan logika berpikir mereka untuk melaksanakan reboisasi (bandingkan dengan basil penelitian IEA yang dimuat daiam Republika, 2001) padahal seharusnya lebih dari itu.

kemudian setelah guru yang memperoleh binaan tersebut kembali bertugas, seharusnya dipantau perspektif baru apa yang sudah diterimanya yang dapat ditularkan ke caranya mengajar siswa sehingga tidak terjadi salah paham tentang apa yang sesungguhnya dimaksudkan sebagai siswa aktif Dengan demikian, hal ini mengindikasikan bahwa secara kompetensi, seorang pengawas sekolah harus lebih di atas guru-guru dan kepala sekolah yang diawasinya, balk kompetensi keprofesionalan sebagai seorang guru, maupun kompetensi yang berhubungan dengan pengawasan administratif.

Cakap yang dimaksud daiam UU Pendidikan 2003 seharusnya dapat diperlihatkan siswa SD daiam bentuk misalnya, tidak hanya mampu membaca nama, - nama jalan atau tanda lalu lintas tertentu tetapi juga mampu mengisi formulir tertentu tanpa bantuan orang dewasa lainnya. Dapat menunjukkan dengan pasti – dengan logika berpikir kanak-kanak – bagaimana akar tanaman tauge menyerap air dari wadah ternpatnya tumbuh. Inilah kelak secara bertahap diteruskan siswa tersebut ke arah pemahaman mengapa atau apa perlunya reboisasi.

Sayangnya, kondisi di atas susah dicapai sepanjang pengawas sekolah tersebut mengendalai dirinya sendiri dengan alasan dana resmi yang disediakan pemerintah untuk supervisi atau pengawasan ke sekolah-sekolah terialu minim. Data tahun 1992 menunjukkan bahwa dana yang disediakan pemerintah bagi pengawas sekolah untuk melaksanakan pengawasan ke sekolah-sekolah hanyalah Rp. 600,- per sekolah (Setijadi, 1992). Akibatnya aliah-alih melakukan pengawasan yang rutin, pengawas tersebut hanya berkunjung ke sekolah-sekolah yang terdekat dengan tempat tinggalnya dan jarang sekali meninjau sekolahsekolah yang jauh dari tempat tinggalnya. Tetapi sesungguhnya, penulis melihat akar permasalahan dari pengawas sekolah tidak semata-mata masalah dana tetapi lebih kepada afektif atau sikap pengawas terhadap guru-guru binaannya serta latar belakang pendidikan yang telah diperolehnya sebelumnya yang kelak dapat membantunya melaksanakan tugasnya sebagai pengawas sekolah.

Persoalan tentang mutu pendidikan tidak berhenti sampai disitu, komponen perangkat lunak lainnya yang terlibat dalarn rnutu pendidikan adalah pengawas sekolah atau pengawas pendidikan. I,ayaknya suatu organisasi, sekolah juga memiliki sistim manajemen yang terkait. Bila dalarn suatu sistim organisasi atau usaha ke-4 tahap untuk mencapai tujuan (goal) yaitu planning, organizing, actuating dan controlling rncrupakan prinsip dasar yang harus dilaksanakan, maka organisasi sekolah juga melaksanakannya. Perbedaannya hanyalah terletak pada butir ke-4. Pada pelaksanaan proses belajar mengajar dan proses pengevaluasian pada basil belajar dan hal-hal lainnya yang mendukung tercapainya hasil yang memuaskan dari proses belajar mengajar, controlling tidak dilaksanakan oleh orang yang berada dalarn sister organisasi tetapi dari luar organisasi, lazim disebut sebagai pengawas sekolah. Fungsi pengawas sekolah telah teredusir pada masalah administrasi semata-mata, seperti keadaan dan mutasi murid. Indikator keberhasilan siswa seperti berapa jumlah kehadiran, mengulang kelas, putus sekolah dan hasil belajar belum diangkat sebagai tolok ukur pembinaan (Setijadi, 1992: 7). Padahal pembicaraan tentang hasil belajar siswa yang paling perlu sebenarnya didiskusikan karena ini menyangkut 2 pihak yakni guru dan siswa. Pada pembicaraan inilah sebenarnya terungkap apakah guru telah melaksanakan fungsinya secara profesional sesuai dengan kompetensinya atau belum. Bila belum, apa yang menjadi kendala dan rekomendasi apa yang harus dibuat pengawas sekolah untuk mengirim guru tersebut ke penataran yang kelak akan memperbaiki kinerja mengajarnya di rnasa depan,

Dikatakan demikian sebab ditinjau dari latar belakang pendidikan, sebelum seseorang menjadi pengawas sekolah, secara teori yang bersangkutan sebelumnya adalah guru biasa (baik guru kelas, guru mata pelajaran bahkan guru bimbingan sekalipun), tetapi setelah sampai pada level tertentu dalam hal ini golongan 111/b dan 111/c, yang bersangkutan berhak menjadi pengawas. Pengawas yang berasal dari guru karir semacam ini, dikhawatirkan belum memiliki kemampuan manajerial agar dapat melaksanakan tugas kepengawasan. Pada kasus lain, dapat saja pengawas tersebut hanya beberapa tahun saja mengajar tetapi sembari mengajar yang bersangkutan meneruskan pendidikan ke level Sl sehingga ada penyesuaian golongan. Dengan demikian yang bersangkutan juga secara cepat dapat menjadi pengawas sekolah meskipun pengalaman mengajarnya masih minim sementara pengalaman manajerialnya belum ada. Pengalaman manajerial ini sekurang-kurangnya dapat diperoleh di lapangan setelah yang bersangkutan pernah menjadi kepala sekolah. Dengan demikian latar belakang pendidikan yang berbeda, rnasa kerja yang berbeda serta beban tugas yang berbeda tetapi bennuara kepada hal yang sama yakni dapat 336


Jurnal Inovasi Vol. 8 No. 4, Desember 2011

menjadi pengawas sekolah setelah sampai pada level golongan IIUb, diduga juga berakibat pada kinerja yang diperlihatkan rnasing-masing pengawas pada sekolahsekolah yang berada di bawah binaannya yang selanjutnya berakibat pada mutu pendidikan di SD pada khususnya.

pada masing-masing sekolah. Tidak tertutup kemungkinan antara sekolah yang satu dengan sekolah yang lainnya, meskipun sama-sama berada di wilayah kota Medan dan berada di bawah satu pengawasan pengawas sekolah akan memiliki perbedaan mutu karena kualitas anggota-anggota komite sekolah yang satu dengan anggota-anggota komite sekolah yang lainnya tidak sama.

Selanjutnya, kurang baiknya mutu pendidikan di sekolah dasar diduga terkait dengan kurang optimalnya peran komite sekolah terhadap kualitas optimal proses belajar mengajar di SD. Sebelum otonomi daerah dilaksanakan di lapangan yang selanjutnya berakibat pada tidak diperlukan lagi EBTANAS pada akhir pendidikan di SD, komite sekolah yang dahulu dikenal sebagai BP3, berfungsi tidak lebih sebagai penyandang dana semata-mata. Sesewaktu sekolah mernbutuhkan dana yang besar, maka dituntutlah peran serta para orang tua siswa yang tergabung dalam BP3 atau komite sekolah ini. Akibatnya meskipun banyak pemikiran baik yang' datang dad pihak komite sekolah yang diharapkan dapat meningkatkan mutu pendidikan, tidak dapat dilaksanakan. Padahal tidak tertutup kemungkinan banyak dari orang tua siswa yang tergabung dalam komite sekolah tersebut yang memiliki solusi yang baik untuk memecahkan masalah-masalah yang mengendalai peningkatan mutu pendidikan di SD. Dengan digulirkannya Sistem Pendidikan Nasional(Sisdiknas) 2003, pecan komite sekolah yang bahkan bergerak ke arah perencanaan, pengawasan dan evaluasi program pendidikan (UU Pendidikan, 2003: 37) diduga akan berakibat langsung pada mutu pendidikan. Dikatakan demikian karena inovasi yang selama ini berkembang dalam masyarakat dapat dibawa ke arena sekolah dalam proses belajar mengajar sehingga masalah yang timbul selama ini yang secara sembunyi-sembunyi dikatakan – bahwa dunia pendidikan Indonesia yang dimulai dari sekolah dasar itu hanya akan menghasilkan caloncalon penganggur ke dalam masyarakat dapat diredam bahkan dihilangkan.

Sehubungan dengan hal-hal yang disebutkan di atas dan ditambah dengan kenyataan bahwa dengan diberlakukannya otonomi daerah sekarang ini, sekolahsekolah diberi kebebasan dapat secara mandiri melaksanakan Evaluasi Belajar Tahap Akhir (EBTA), maka peran guru, berikut kepala sekolah, pengawas sekolah dan komite sekolah menjadi sangat penting. Selama ini guru-guru hanya memberi pengajaran dengan berpedoman kepada kurikulum yang berlaku, urusan mengatur apa yang akan diujiankan, bagaimana bentuk ujiannya dan bagaimana menilainya, itu bukan urusan mereka. Tetapi sekarang dengan diberinya kewenangan kepada sekolah-sekolah untuk menyelenggarakan EBTA masing-masing meskipun tetap mengacu pada kurikulum yang berlaku dan standar nasional yang telah ditetapkan – dapatkah masing-masing sekolah tersebut merencanakan sendiri materi yang digunakan untuk bahan ajar dalam proses belajar mengajar? Pendidikan adalah tindakan atau proses mendidik atau dididik. Pendidikan dapat juga diartikan sebagai tahapan dari suatu proses, menjadii memiliki pengetahuan dan memperlihatkan adanya peningkatan yang berasal dari proses pendidikan (Webster, 1980: 358). Houston (1988: 7) bahkan membedakan definisi pendidikan ini dari dua sudut, sebagai kata benda dan sebagai kata kerja. Sebagai kata benda, pendidikan diartikan menjadi adanya sesuatu yang sudah diperoich, sementara sebagai kata kerja pendidikan menjadi proses penemuan yang berkelanjutan. Apa yang dikatakan Houston sebagai pendidikan dari sudut kata benda inilah yang Bering diartikan sebagai pembelajaran (learning) sebab learning itu sendiri bermakna sebagai pengetahuan atau keterampilan yang diperoleh setelah belajar (Webster 1980: 649).

Sederetan masalah yang terungkap di atas, yang dapat mempengaruhi mutu pendidikan di SD, tampaknya permasalahan menjadi sangat luas dan kompleks. Diakui bahwa tidak mungkin seluruh masalah dapat dijawab melalui penelitian ini. Oleh karena itu penelitian hanya dibatasi pada peningkatan rnutu pendidikan SD faktor-faktor yang akan diteliti yang berhubungan dengan peningkatan mutu pendidikan mutu tersebut adalah : kinerja pengawas pendidikan dan peran serta komite sekolah, dengan digulirkannya UU Pendidikan yang baru yang dikenal sebagai Sisdiknas 2003 peran peningkatan mutu pendidikan di SD tidak lagi semata-mata tanggung jawab guru dan pengawas pendidikan/sekolah tetapi telah melibatkan peran komite sekolah yang dahulu dikenal sebagai BP3 juga sebagai perencana, pengawas dan evaluator akan memberi warna baru

Penjelasan Houston ini menyadarkan penulis bahwa selama ini kebanyakan guru memandang bahkan memperlakukan pendidikan sebagai hasil akhir, sehingga apabila berhadapan dengan siswa yang memperoleh nilai 4 maka itulah cap yang dilekatkan padanya, dan apabila nilai siswa yang lainnya 8 – tak peduli hagaimana cara siswa memperoleh nilai tersebut, apakah melalui menyontek saat ujian atau menggunakan cara-cara licik lainnya – maka siswa tersebutlah yang dianggap berhasil dalam mengikuti proses pendidikan. Padahal apabila guru tidak keliru 337


Munir, A., Kinerja Pengawas Pendidikan dan Peran Serta Komite Sekolah terhadap Peningkatan Mutu Pendidikan Sekolah Dasar di Kota Medan

mengartikan pendidikan hanya dari hasil akhir tetapi dari sudut proses penemuan yang berkelanjutan, maka nilai 4 yang diperoleh siswa tidak diartikan sebagaii kegagalan tetapi baru sampai tahap itulah siswa berhasil memperoleh apa yang sudah dididikkan guru kepadanya, oleh karena itu penulis rnengartikan pendidikan sebagai proses penemuan yang berkelanjutan. Sebagai proses penemuan yang berkelanjutan, ada 3 dimensi pendidikan yang seharusnya disemaikan guru kepada siswa yakni : 1) pendidikan adalah jawaban dari pertanyaan (answer of the questions), 2) pendidikan adalah mempertanyakan jawaban (questioning of answers) dan 3) pendidikan adalah mempertanyakan pertanyaan (questioning of questions) (Houston, 1988: 7). Dengan adanya 3 dimensi pendidikan ini dalam benak guru maka dalam pelaksanaan pendidikan guru tidak hanya memindahkan pengetahuan, sikap dan keterampilan tetapi sekaligus membantu siswa mempero1 h ke-3 hal ters but menjadi hal yang bermakna dan berguna bagi siswa.

hams mengatur sendiri semuanya, mulai dari pendanaan, pembuatan kurikulum hingga penentuan evaluasi untuk mengukur tingkat penguasaan siswa atas materi yang telah mereka pelajari diakhir program pendidikan, dengan dernikian disinyalir banyak timbul masalah. Populasi penelitian ini ada 3 jenis atau 3 kelompok. Kelompok ke-1 adalah pengawas pendidikan kelompok ke-2 adalah komite sekolah di SD. Yang dimaksud dengan komite sekolah disini adalah seluruh unsur yang terlibat dalam komite sekolah seperti kepala sekolah, guru-guru dan orang tua siswa, atau unsur-unsur lainnya jika ada yakni : tokoh masyarakat, pejabat pemerintah setempat, anggota masyarakat yang mempunyai perhatian atau dijadikan figur dan mempunyai perhatian untuk meningkatkan mutu pendidikan, perwakilan organisasi profesi tenaga pendidik. Kelompok ke-3 adalah guru-guru SD dan alat ukur yang dipakai guru-guru sebagai alat evaluasi pendidikan yang berrnutu di SD. Ke-3 kelompok ini seluruhnya berdomisili di Sumatera Utara atau berada dibawah naungan Diknas Propinsi Sumatera Utara.

Sekolah dasar adalah sekolah tempat memberikan pendidikan sebagai dasar pengetahuan untuk melanjutkan ke sekolah yang lebih tinggi. Sejak diberlakukannya UUPSN nomor 2 tahun 1989 sekolah dasar adalah bagian yang terintegrasi dengan sekolah lanjutan tingkat pertama (SLTP), sering disebut sebagai pendidikan dasar sebagai penggal pertama dari keseluruhan pengertian pendidikan dasar, sekolah dasar (SD) sekarang dan di masa depan harus dapat meningkatkan motivasi anak untuk belajar memasuki SLTP, mernperoleh dasar keterampilan, pengetahuan teknologi dan kematangan emosional yang diperlukan untuk memperlengkapi dirinya menghadapi masa depan penuh perubahan (Semiawan dan Joni, 1993: 13).

Lokasi penelitian adalah sekolah SD yang berada di wilayah kota Medan terdiri dari kecamatan Medan Sunggal, Medan Denai, Medan Baru, Medan Barat, Medan Timur, Medan Labuhan, Medan Kota. Untuk keakuratan basil penelitian secara random terpilih sampel penelitian : wilayah Medan Baru. Penelitian berlangsung dari pertengahan Agustus hingga pertengahan September 2004. Awal September (sekitar tanggal 07 September 2004) digunakan untuk menjaring data tentang kinerja guru melalui proses balajar-mengajar yang mereka kerjakan dikelas; sementara selebihnya untuk menjaring data tentang pengawas pendidikan dan kepala sekolah.

Motivasi belajar dapat ditingkatkan apabila dalam proses pembelajaran guru melatihkan berbagai jenis cara berpikir, seperti berpikir spekulatif, berpikir deduktif dan berpikir induktif. Hasil belajar melalui cara berpikir spekulatif, deduktif dan induktif inilah yang dapat mengantarkan siswa mencapai tujuan pendidikan sekolah dasar seperti yang dicita-citakan UU Pendidikan 2003 yakni dapat mengembangkan potensi peserta didik ... cakap, kreatif, mandiri.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Materi pelajaran yang dipelajari di sekolah dasar beragam. Berdasarkan kurikulum materi pelajaran tersebut adalah: a) Pendidikan Agama; b) Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn); c) Bahasa Indonesia (melalui mata pelajaran ini dilatihkan keterampilan mernbaca, menulis/mengarang, berbicara, mendengarkan dan apresiasi sastra, dikte/imla dengan menggunakan tata bahasa Indonesia baku); d) Ivlatematika (melalui mata pelajaran ini dilatihkan keterampilan Konsekuensi logis dari adanya pendidikan atau pembelajaran maka layaklah dilakukan evaluasi. Evaluasi itu sendiri beragam, dimulai dari evaluasi harian terhadap hasil belajar, tugas-tugas rningguan, bulanan maupun penilaian akhir tahun pelajaran serta penilaian akhir pada satuan pendidikan.

METODE PENELITIAN Penelitian ini adalah penelitian survei Sifat penelitian survei adalah untuk menggambarkan kondisi yang sesungguhnya dari suatu keadaan. Bagaimana keadaan yang satu dapat mempengaruhi keadaan yang lainnya (Arikunto, 1996 : 91). Penelitian survei dipilih mengingat baru digulirkannya kebijakan tentang otonomi daerah yang sebelumnya hanya tinggal menjalankan apa yang sudah diputuskan pemerintah pusat, sekarang 338


Jurnal Inovasi Vol. 8 No. 4, Desember 2011

Penilaian akhir pada umumnya dilaksanakan berdasarkan standar nasional. Pada saat ini, seorang siswa diamggap telah lulus evaluasi apabiia telah mernperoleh sekurang-kurangnya NEM 4,01. Belum jelas, NEM 4,01 setara dengan nilai berapa untuk perhitungan skor atau nilai sehari-hari, tetapi yang jelas dengan diberlakukannya UU Sisdiknas 2003, diharapkan terjadi perubahan paradigms dalam menilai suatu batasan kelulusan. Diharapkan pula pernahaman guru tentang cita-cita NKR1 rnelalui pendidikan dasar yang dapat menghasilkan lulusan SD yang potensial, cakap, kreatif dan mandiri dapat menjadi pemicu terhadap cara guru melaksanakan proses belajar mengajar yang bermutu, demikian pula cam guru dalam melakukan penilaian terhadap evaluasi yang bagaimana yang dianggap bermutu agar dapat melacak hasil proses belajar mengajar yang bermutu tersebut.

kriteria pertama. Masa kerja seorang guru yang dapat dilihat secara nyata dari jenjang golongan dan pangkat untuk memenuhi kriteria kedua serta persyaratan-persyaratan lainnya yang ditetapkan oleh dinar pendidikan. Kedua persyaratan minimal diatas diharapkan dapat membantu yang bersangkutan terampil melakukan pekerjaannya. Keterampilan inilah yang selalu disebut sebagai kinerja atau performance. Untuk memperjelas apa dan bagaimana ruang lingkup kinerja pengawas pendidikan, maka berikut ini akan dibicarakan secara berturut-turut latar belakang persyaratan untuk menjadi seorang pengawas pendidikan serta tugas kepengawasan apa Baja yang harus dilakukannya. Pengawas pendidikan pada umumnya bekerja pada jenjang pendidikan menengah ke bawah atau dasar. Pada pendidikan menengah yakni mengawasi SMU dan yang setara dengan SMU, sementara pada pendidikan dasar ada sedikit perbedaan.SLTP,meskipun tennasuk dalam kategori pendidikan dasar, tetapi pengawas pendidikannya tidak disamakan dengan pengawas pendidikan di SD.Pengawas pendidikan di SD justru disamakan dengan TK, sehingga pengawas tersebut diberi nama pengawas pendidikan TK/SD. Pada dasarnya, yang menjadi pengawas pendidikan adalah guruguru yang sudah pernah menjabat sebagai kepala sekolah, tetapi setelah sekian lama menjabat maka guru tersebut sudah tidak mungkin lagi bertugas di tempat yang sama. Ada 2 kemungkinan.Apabila guru tersebut tidak beruntung, dia rnenjalani masa pension tetapi bila beruntung dia diangkat menjadi pengawas pendidikan .

Berbicara tentang mutu berarti berbicara tentang kualitas. Kualitas itu sendiri bergradasi dari tingkat yang paling rendah ke tingkat yang paling kompleks. Kualitas hash belajar sangat ditentukan oleh filosofi atau pandangan yang dianut oleh guru yang mengajar atau pendidik. Pandangan yang dianut guru atau pendidik inenyebabkannya hams berani bereksperimen dengan strategi mengajarnya. Strategi mengajar yang berbeda merupakan respons dari tujuan belajar yang berbeda pula. Sebagai contoh, apabila guru SD kolas 2 untuk mata pelajaran matematika ingin mengajarkan siswa perkalian maka strategi yang digunakan cukup sebatas hafalan (recall), sehingga untuk menilai persentase hasil belajar siswa guru cukup bertanya kepada salah seorang siswa, berapa hasil dari 4 x 4. Tetapi apabila tujuan guru adalah untuk melihat dan mengetahui sejauh rnana siswa dapat mengaplikasikan pengetahuan matematikanya dalam kehidupan sehari-hari maka strategi belajar yang digunakan guru sudah bergerak ke arah analisis (analysis). Pertanyaan yang diajukan adalah, sebutkan sebanyak mungkin hasil dari perhitungan yang berjumlah 16. Maka dalarn hal ini siswa akan mernberikan jawaban yang beragam. Akan ada siswa yang menjawab: 8 + 8, atau 20 – 4, atau 8 x 2 atau 80 : 5 dan sebagainya. Berdasarkan uraian di atas maka pada bagian ini akan dijelaskan satu persatu apa sesungguhnya mutu itu, bagaimana melakukan proses belajar mengajar yang berrnutu dan penilaian hasil belajar, bagaimana yang dikategorikan sebagai berrnutu.

Mencermati penjelasan diatas bahwa pengawas untuk SD disamakan dengan TK, maka perlu ditelusuri apakah bekas kepala sekolah TK, juga berhak atau rnemiiiki peluang untuk menjadi pengawas pendidikan atau hanya bekas kepala SD saja yang memiliki peluang untuk menjadi pengawas TK/SD. Hal ini perlu dipertegas karena secara teori tidak mungkin orang yang berasal dari jenjang pendidikan yang lebih rendah mengawasi jalannya proses pelaksanaan pendidikan di sekolahsekolah ditingkat yang Iebih tinggi.Ini yang lazim disebut tidak kornpeten. Secara teori pula buku Petunjuk Pelaksanaan Sitem Pendidikan Nasional 2003 (2003:223) menyatakan bahwa golongan dan pangkat pengawas sekolah dimulai dari golongan ruang IIIa dengan pangkat Penata Muda. Bila fakta ini dikorelasikan kepersyaratan latar belakang pendidikan guru untuk bisa mengajar di SD, maka bagi seorang pengawas T1K/SD dibutuhkan waktu 12 tahun bekerja atau mengajar bagi tamatan (lulusan) D 1I PGSD untuk dapat dipertimbangkan menjadi pengawas.

Berbicara tentang pengawas berarti berbicara tentang wewenang yang dimiliki seseorang untuk melaksanakan tugasnya. Wewenang dapat dimiliki apabila orang tersebut secara teori telah memenuhi kriteria tertentu. Kriteria yang seharusnya dimiliki seorang pengawas pendidikan antara lain latar belakang pendidikan minimal agar dapat memenuhi 339


Munir, A., Kinerja Pengawas Pendidikan dan Peran Serta Komite Sekolah terhadap Peningkatan Mutu Pendidikan Sekolah Dasar di Kota Medan

Tidak banyak penjelasan yang dapat diberikan buku Petunjuk Teknis Ketentuan Pelaksanaan Jabatan Fungsional Guru (1997:101-103) tentang ruang lingkup pekerjaan pengawas pendidikan. Dikhawatirkan minimnya penjelasan tersebut ditambah dengan isinya yang menitikberatkan pada pengawasan administrasi, mempengaruhi kinerja para pengawas pendidikan yang selanjutnya menjadi penyebab kurang berhasilnya upaya peningkatan mutu pendidikan pada umumya dan peningkatan mutu pendidikan di SD khususnya.

Komite Sekolah pada dasarnya hampir sama dengan persatuan orangtua murid dan guru (POMG) yang marak pada tahun 1974 serta Badan Pembantu Penyelenggara Pendidikan (BP3) yang lebih dikenal sekarang ini dengan nama Komite Sekolah. Kalaupun ada bedanya adalah pada orang –orang yang bekerja di dalamnya. Bila pada P0N1G atau BP3 anggotanya mutlak orangtua murid, maka pada komite sekolah, unsur-unsur yang ada di dalamnya merupakan gabungan antara orangtua murid dan pelaksana pendidikan di sekolah. Orangtua murid atau siswa tersebut dapat saja orang-orang yang mewakili ketua LKMD dan tokoh masyarakat.

Buku tersebut hanya memberi garis besar lingkup tugas seorang pengawas pendidikan dan membaginya menjadi 3 kelompok yakni: a) lingkup sekolah, b)lingkup sebagai tim penilai dan c) lingkup sebagai pengelola.

Supply adalah siswa itu sendiri, yang setelah diluluskan dart suatu pendidikan tertentu akan menjadi angkatan kerja baru yang mengisi pasarpasar kerja. Demand adalah pennintaan pasar. Pennintaan pasar kerja sekarang ini sudah tidak sama dengan permintaan pasar kerja 10 tahun yang lalu. Kemajuan teknologi menyebabkan pasar menginginkan tenaga kerja yang menguasai computer skill seperti dapat mengoperasikan komputer untuk membantu pekerjaannya, menguasai segala sesuatu yang bisa menghubungkannya dengan dunia informasi tanpa batas via internet-karena sekarangpun ada pasar maya, dimana sebenarnya tidak ada wujud pasar itu secara kasad mata tetapi bila seseorang menghendaki barang-barangnya, orang tersebut tinggal mengklik situsnya, mengirimkan pembayarannya maka barang yang diinginkan sudah ada di depan rumah orang tersebut, menguasai bahasa Inggris, untuk bisa membantunya mengembara di dunia maya tersebut.

Pada lingkup sekolah, tugas atau pekerjaan pengawas pendidikan adalah mengawasi: a). Pelaksanaan proses belajar-mengajar atau praktek atau bimbingan dan konseling. b). Pencapaian prestasi kerja guru beserta buktibuktinya c). Hambatan,masalah dan kelemahan atau kesulitan yang terjadi dalam penerapan keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara No. 84/1993 tanggal 23 Desember 1993 tentang Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya beserta perangkatnya. Pada lingkup sebagai tim penilai,tugas pengawas pendidikan adalah: a). Kualitas dan kuantitas tenaga, sarana dan prasarana. b). Proses penilaian prestasi kerja guru dan penetapan angka kreditnya. c). Kecepatan dan ketepatan penyampaian informasi. d). Hambatan, masalah, kesulitan dan kelemahan yang dihadapi dalam penerapan, penilaian prestasi kerja guru dan penetapan angka kreditnya.

Seperti telah disebutkan diatas, meskipun tidak secara transparan, bahwa pendirian komite sekolah bukan tanpa tujuan. Panduan umurn Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah (2002 : 21) menyebutkan bahwa dibentuknya komite sekolah agar ada suatu organisasi masyarakat sekolah yang mempunyai komitmen dan loyalitas serta peduli terhadap peningkatan kualitas secara khas dan berakar dari budaya, demografis, ekologis, nilai, kesepakatan serta kepercayaan yang dibangun sesuai potensi masyarakat setempat demi diperolehnya mutu pendidikan yang diharapkan.

Peran yang dijalankan komite sekolah adalah sebagai pemberi pertimbangan dalam penentuan dan pelaksanaan kebijakan pendidikan di satuan pendidikan. Badan tersebut juga berperan sebagai pendukung secara finansial, pemikiran maupun tenaga dalarn penyelenggaraan pendidikan di satuan pendidikan. Di samping itu juga komite sekolah berperan sebagai pengontrol dalam rangka transparansi dan akuntabilitas penyelenggaraan dan keluaran pendidikan, di satuan pendidikan, serta sebagai mediator antara pemerintah (eksekutif) dengan masyarakat di satuan pendidikan. Namun agar dimengerti mengapa sampai demikian peran yang diharapkan dapat dijalankan komite sekolah, berikut ini penjelasannya.

Secara detail tujuan pembentukan kornite sekolah dinyatakan sebagai berikut : 1) Mewadahi dan menyalurkan aspirasi dan prakarsa masyarakat dalam melahirkan kebijakan operasional dan program pendidikan di satuan pendidikan. 2) Meningkatkan tanggung jawab dan peran serta masyarakat dalam menyelenggarakan pendidikan di satuan pendidikan.

340


Jurnal Inovasi Vol. 8 No. 4, Desember 2011

Buku panduan umum Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah dapat disimpuikan bahwa yang menjadi anggota komite sekolah dapat di kelompokkan menjadi: 1. Yang terlibat langsung dalam penyelenggaraan proses belajar-mengajar, yakni kepala sekolah berikut guru-gurunya, bila sekolah itu milik swasta maka pemiliknya juga termasuk kedalam anggota komite sekolah. 2. Yang tidak terlibat langsung dalam penyelenggaraan proses belajar-mengajar. Butir ke-2 ini terdiri atas 2 kategori yakni : orang tua siswa dan yang bukan orang tua siswa.

Menciptakan suasana dan kondisi transparan, akuntable dan demokratisi dalam penyelenggaraan dan pelayanan pendidikan di satuan pendidikan. Dengan adanya komite tersebut diharapkan seluruh aspek-aspek kehidupan yang diperlukan siswa kelak sesudah mereka terjun kedunia kerja dapat diperoleh selama mereka dalam masa pendidikan. Secara jelas ke-3 butir tujuan pembentukan Komite Sekolah yang disebutkan buku panduan Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah digambarkan Gerstner (1995:173) sebagai berikut: 1. Sekolah adalah tempat dimana pengetahuan akademik – yang terangkum dalam kurikulum harus diajarkan kepada siswa dan apa yang diajarkan itu harus mereka kuasai, sesuai dengan jenjang pendidikan yang mereka tempuh 2. Sikap siswa yang harus dibentuk meiaiui sekolah terhadap pekerjaan, masyarakat, sekolah,teman-teman,serta diri sendiri adalah sikap yang menghargai, punya kemauan untuk bekerja dan bekerja keras, jujur, royal, rajin dan teliti, rela berkorban demi kebaikan orang banyak dan demi peningkatan kualitas pribadi, mampu melayani sekolah dan masyarakat dan hisa menikmati kehidupan yang balk dan nyaman sepanjang hidupnya. 3. Setelah lulus siswa diharapkan dapat berpartisipasi secara aktip dan konstruktip disekoiah, inisalnya sebagai advokat dalam pemberian nasehat, kritik dan sebagai pelaku bisnis dalam masyarakat

8 unsur masyarakat yang tidak termasuk orang tua siswa disebutkan buku panduan tersebut, agaknya bantuan mereka lebih dititik beratkan pada pendanaan, yang dapat diperoleh dari: a. Tokoh masyarakat (Ketua RT i RW i RK, Kepala dusun, ulama, budayawan, pemuka adat). b. Pejabat pemerintah setempat c. Anggota masyarakat yang mempunyai perhatian atau dijadikan figur dan mempunyai perhatian untuk meningkatkan mutu pendidikan. Bantuan berupa partisipasi, bantuan tenaga dan pemikiran yang sifatnya mengacu pada kebijakan pendidikan diperoleh dari : a. Perwakilan siswa bagi tingkat SLTP i SMU i SMK yang dipilih secara demokratis berdasarkan jenjang kelas. Perwakilan forum alumni SD i SLTP i SMU / SMK yang telah dewasa dan mandiri

Bahkan diharapkan setelah menyelesaikan pendidikan dasar, menengah, siswa masih mampu melanjutkan ke pendidikan yang lebih tinggi yakni keperguruan tinggi,beraiih dari pekerjaan level bawah ke pekerjaan yang lebih prestisius dan memberi warna bagi perkembangan masyarakat dimasa depan melalui gagasan-gagasan yang dimiliknya.

Sudut persyaratan kompetensi yang paling besar sumbangannya terhadap kinerja mereka, tidak seluruhnya mereka cakap melaksanakan tugas-tugas kepengawasan mereka karena alasan sebagai berikut : 1. Sistem perekrutan mereka yang cenderung di luar jalur yang seharusnya ditempuh. Hal ini perlu disoroti karena dari data dapat dilihat bahwa 5 diantara 15 responden dalam penelitian ini tidak memperoleh jabatan itu secara semestinya. Dikatakan demikian karena pengawas TKISD seharusnya guru karir yang berasal dari level TKISD juga., agar mereka mengerti apa sebenarnya yang menjadi tugas mereka. Sementara ke-5 PP tersebut justru berasal dari guru di SLTP, SMK, SPG dan STM. 2. Meskipun 10 dari 15 responden yang dijadikan sampel adalah guru karir tetapi tidak semua mereka dianggap cakap melaksanakan tugas mereka karena, ada beberapa PP yang sama sekali tidak pernah menjadi kepala sekolah, padahal tugas PP tidak hanya menyangkut pengawasan terhadap terhadap lingkup sekolah, tepatnya untuk mengawasi ditcrapkannya PBM

Seperti sudah diuraikan di atas,bahwa komite sekolah dibuat dalam rangka memberdayakan sekolah untuk dapat memberikan pendidikan yang terbaik bagi siswa-siswa dimana komite sekolah itu berada. Bila sebelumnya bantuan atau partisipasi orang tua siswa yang tergabung dalam PMOG atau BP3 hanyalah sebatas bantuan finansial, sekarang justru bantuan berupa pemikiran-pemikiran plus finansial itu sendiri. Karena sudah menyangkut adanya bantuan pemikiran, jelas orang-orang yang menjadi anggota komite sekolah bukan lagi orangorang sembarangan. Mereka seharusnya memiliki sesuatu yang lebih dari orang lain secara kognitif dan satu hal lagi yang paling penting adalah kepekaan sosial. Yang dimaksud dengan kepekaan sosial disini adalah benar-benar punya empati untuk dapat berarti bagi orang lain baik lewat sumbangan pikiran maupun dananya. 341


Munir, A., Kinerja Pengawas Pendidikan dan Peran Serta Komite Sekolah terhadap Peningkatan Mutu Pendidikan Sekolah Dasar di Kota Medan

dengan baik oleh guru-guru maupun kepala sekolah yang diawasinya tetapi juga PP bertindak sebagai tim penilai dan sekaligus sebagai pengelola. Untuk ke dua tugas yang disebutkan terakhir ini, pengalaman pernah menjadi kepala sekolah akan sangat membantu. 3. Meskipun mereka tidak pernah menjadi kepala sekolah tetapi apabila setelah menjadi PP mereka mengikuti pelatihan calon pengawas, kendala dapat dikurangi. Namun berdasarkan data yang diperoleh, 2 dari 15 responden yang menjadi PP, selain tidak menjadi kepala sekolah, mereka juga tidak pernah mengikuti pelatihan kepengawasan. 4. Disamping masalah yang dibicarakan di bagian 2 dan 3, dari data di atas peneliti juga menemukan bahwa 2 dari 15 responden tidak pernah mengikuti pelatihan seperti KBK, CBSA maupun PAKEM dalam masa sebelum dan sesudah menjadi PP padahal jelas disebutkan di Bab II bahwa meskipun yang bersangkutan lulusan S 1 tetapi apabila tidak pernah mengikuti pelatihan paling tidak sekali 5 tahun maka pengetahuan profesionalnya diragukan. Hal ini terjadi karena batas perkembangan ilmu pengetahuan dari satu masa ke masa lainya adalah 5 tahun. Dengan demikian kemampuan profesional PP tersebut diragukan.

kerja kepala sekolah. Tidak berhak untuk mengambil keputusan. Bahkan data memperlihatkan bahwa peran mereka kurang lebih sama dengan peran orang-orang yang tergabung dalam PMOG dalam penggalangan dana. Dana yang sudah terkumpulpun -baik milik pribadi maupun bukan milik pribadi para anggota komite sekolah tersebut yang statusnya sebagai guru- tidak berhak mengelolanya. Rentang wewenang untuk pengambilan keputusan yang berhubungan dengan PBM, posisi anggota komite yang berasal dari utusan guru-guru pada umumnya sebatas dipertimbangkan. Yang paling ironis adalah 2 dari sampel penelitian yang berasal dari utusan kepala sekolah, dalam menjawab kuesioner rentang wewenang yang mereka miliki, mereka tidak dapat memberikan jawaban yang pasti. Tentu saja ini mengindikasikan bahwa para anggota komite sekolah, apapun peran mereka belum begitu mengerti apa sesunggunhya fungsi dari komite sekolah. Sementara anggota komite sekolah yang statusnya adalah kepala sekolah, tidak dapat melepaskan diri dari kebiasaan yang selama ini berlaku dalam masyarakat yakni kepala sekolah bertindak sebagai bos. Ini dibuktikan dari data tentang jawaban mereka yang menyentuh ranah kontribusi yang mereka berikan terhadap komite sekolahbahwa mereka mengurusi operasional sekolah serta membuat sendiri program kerja. Untuk prgram kerja ini terlihat bahwa jawaban yang diberikan guru-guru dalam ranah peran didalam komite sekolah- merupakan refleksi bahwa mereka tetaplah bawahan yang tidak berhak mengkritik bahkan menyatakan apa yang harus dilakukan untuk peningkatan mutu pendidikan di sekolah dasar. Lihatlah jawaban yang mereka berikan, "Sebatas melihat proposal / program kerja kepala sekolah".

Berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa komite sekolah belum dapat menggambarkan apa sesungguhnya peran dan tugas mereka karena : 1. Anggota-anggota yang bernaung di dalam wadah komite sekolah masih didominasi guru dan sebagian kecil kepala sekolah padahal komite sekolah seharusnya dikelola oleh orangorang yang berasal dari anggota masyarakat maupun juga para pakar pendidikan dan para orang tua siswa. Dengan formasi anggota seperti ditemukan dalam penelitian, pembaharuan dalam masyarakat diragukan dapat dibawa masuk ke ruang-ruang kelas demi peningkatan mutu pendidikan. Dari sudut latar belakang pendidikan, fungsi mereka sebagai perangkat dalam komite sekolah tidak begitu mendukung peningkatan mutu pendidikan. Dikatakan demikian karena pada umumnya mereka lulusan DII kebawah. (SPG, SGO, PG SMTP) diketahui bahwa lulusan DII hanya mampu melaksanakan pengajaran dan pengevaluasian, belum sampai pada tahap dapat mengambil kesimpulan atau menafsirkan hasil penilaian kemajuan belajarmengajar bagi penyempurnaan perencanaan dan pelaksanaan PBM. 2. Dari peran yang mereka jalankan, terlihat bahwa pada umumnya mereka tidak terlibat langsung pada pengambilan keputusan yang berhubungan dengan peningkatan mutu pendidikan karena mereka hanya sekedar melihat proposal/program

Berdasarkan sebaran butir-butir soal yang terdapat dalam EBTANAS T.A 2000/2001 diketahui bahwa sebaran tingkat kesulitan soal belum memenuhi kriteria taksonomi Bloom yang pada akhirnya tidak menunjukkan apa yang diharapkan dapat menghasilkan pendidikan yang bermutu. Kesimpulan ini diambil karena dari 50 butir soal, 45 butir soal berada pada ranah ingatan atau faktual, pemahaman dan aplikasi yang nota bene hanya akan menghasilkan kemampuan konvergen atau hanya mengetahui satu jawaban benar. Sisanya berupa pertanyaan yang berada pada analisis dan sintesis atau yang akan menghasilkan kemampuan divergen hanya diwakili 3 butir soal untuk analisis, tidak ada soal untuk sintesis. Sementara itu untuk membangun kemampuan evaluatif hanya diwakili 1 butir soal. Kenyataanya seperti ini tidak perlu disesali, tetapi diperbaiki. Seiring dengan keinginan untuk memperbaiki mutu inilah digulirkan SISDIKNAS 2003. Dengan UU pendidikan yang baru ini, otoritas pusat beralih ke daerah termasuk 342


Jurnal Inovasi Vol. 8 No. 4, Desember 2011

otoritas pembuatan soal EBTA/UAS. Soal yang dibuat oleh DIKNAS setempat diharapkan dapat menjawab keinginan pemerintah untuk dapat menghasilkan siswa yang bermutu, dalam arti siswa tersebut dapat menunjukkan pencapaian kondisi yang cakap, kreatif dan mandiri.

dibuktikan bahwa hasil pendidikan mereka membuat negara itu benar-benar menjadi satusatunya negara super power di dunia. Indonesia juga menginginkan kondisi tertentu dari hasil pendidikanya. Kondisi yang diinginkan tersebut khususnya kondisi hasil pendidikan yang berada di level pendidikan dasar adalah agar siswa Indonesia menjadi pribadi yang cakap, kreatif, dan mandiri sehingga negara Indonesia mampu menghadapi dunia tanpa batas sebagai konsekuensi logis kemajuan ilmu dan teknologi.

Untuk itu materi soal-soal yang digunakan pada ujian akhir sekolah dasar tahun 2003/2004 juga dijadikan objek penelitian dalam rangka menelusuri upaya peningkatan mutu pendidikan di sekolah dasar. Hasilnya meskipun tidak lagi sama dengan kualitas butir-butir soal yang ada dalam naskah EBTANAS 2000/2001, tetapi belum begitu menggembirakan penanjakanya.

Mengingat pendidikan berada di wilayah otoritas DEPDIKNAS maka tugas berat itu dilimpahakan kepada DEPDIKNAS melalui perpanjangan tangan DEPDIKNAS seperti guru, kepala sekolah, pengawas pendidikan, komite sekolah dan masih banyak lagi pihak-pihak terkait lainya. Sebagai orang yang juga bergerak di bidang pendidikan penulis meyakini bahwa pendidikan yang bermutu akan dihasilkan apabila pihak-pihak yang disebutkan di atas bahu membahu, bekerja sama untuk mencapai satu tujuan.

Bentuk soal sudah memungkinkan siswa atau peserta didik untuk mengembangkan kemampuan divergen dan evaluatif. Ini terbukti dari disediakanya 2 jenis soal yakni yang berbentuk tertutup (pilihan berganda) dan yang berbentuk terbuka (isian dan uraian). Butir-butir soal yang berbentuk pilihan berganda menyentuh pengembangan ranah kemampuan divergen melalui soal yang melatihkan kemampuan analisis dan sintesis.

Berbekal keyakinan tersebut penulis melakukan penelitian yang memfokuskan kepada keterkaitan antara pengawas pendidikan dan komite sekolah dengan peningkatan mutu pendidikan di sekolah dasar. Pengawas pendidikan dari dahulu sejak republik ini didirikan diharapkan dapat mengawasi jalannya proses pendidikan di sekolah-sekolah. Karena status sebagai pengawas, maka dalam segala hal pengawas pendidikan ini secara administratif maupun profesionalisme seharusnya berada jauh di atas orang-orang yang diawasinya. Oleh karena itu seorang pengawas seharusnya secara administratif sudah pernah menduduki jabatan sebagai kepala sekolah sehingga dia dapat menjalankan tugas kepengawasanya dari sudut kepentingan sekolah seperti pelaksanaan PBM atau praktek atau bimbingan dan konseling; pencapaian prestasi kerja guru serta bukti-buktinya.

Butir-butir sintesis ini sama sekali tidak disentuh dalam EBTANAS 2000/2001 Butir-butir soal berbentuk uraianpun sudah mencakup evaluasi terhadap ranah kemampuan divergen melalui soal yang melatihkan kemampuan analisis dan sintesis. Butir-butir soal berbentuk uraianpun sudah mencakup evaluasi terhadap kemampuan evaluatif. Berdasarkan ke-3 data diatas yakni yang terdapat dalam tabel kinerja guru (secara persyaratan administratif), tabel kinerja guru (secara persyaratan profersionalisme) yang diperoleh melalui pengamatan dan tabel sebaran butir-butir soal yang berhubungan dengan tingkat kemampuan yang diharapkan dimiliki siswa dapat digambarkan bahwa upaya peningkatan mutu pendidikan di sekolah dasar dari pihak guru dan dari pihak DIKNAS masih belum sejalan. Masih ada ketimpangan antara harapan yang diinginkan dicapai dengan bagaimana cara pencapaian harapan itu dilapangan.

Secara profesi sekurang-kurangnya harus sudah menyelesaiakan S1 agar pengetahuan dan keterampilan yang diterimanya di S l dapat membantunya mengerjakan tugas kepengawasan dari sudut tim penilai. Tim penilai membutuhkan keahlian dalam pembuatan keputusan agar tidak ada pihak-pihak yang dirugikan. Disamping itu pengawas tersebut seharusnya berasal guru karir dari level yang sama. Artinya bila yang bersangkutan menjadi pengawas di TKISD maka pengawas tersebut memang sebelumnya bertugas sebagai guru di TK/SD, sehingga dia mengerti apa yang menjadi tugasnya ketika dia bertindak dari sudut pengelola.

KESIMPULAN Pendidikan adalah upaya sadar yang dilakukan banyak pihak untuk mencapai suatu kondisi tertentu. Kondisi tertentu akan berbeda dari suatu negara ke negara lainya. Konditii yang diinginkan negara Amerika melalui pendidikan yang mereka laksanakan adalah agar menghasilkan warga Amerika yang dapat menguasai dunia. Hal ini mereka laksanakan dan hingga sekarang ini dapat 343


Munir, A., Kinerja Pengawas Pendidikan dan Peran Serta Komite Sekolah terhadap Peningkatan Mutu Pendidikan Sekolah Dasar di Kota Medan

Kenyataannya kinerja pengawas pendidikan kurang dapat mendukung tercapainya peningkatan mutu pendidikan di sekolah dasar. Ini terjadi karena sistem perekrutan mereka tidak mengikuti prosedur yang seharusnya mereka lewati. Banyak dari pengawas pendidikan bukanlah guru karir yang memulai karirnya sebagai guru di SD kemudian menjadi pengawas di SD pula, tetapi pelintas batas. Mereka dari level yang lebih tinggi. Banyak dari mereka yang tidak pernah menjalani karir sebagai kepala sekolah sebelum menjadi pengawas pendidikan, bahkan ada dari antara mereka yang sebelumnya hanya guru biasa langsung menjadi pengawas pendidikan tetapi tidak pernah mengikuti pelatihan pengawasan, ada yang sebelumnya guru biasa langsung menjadi pengawas pendidikan tetapi tidak pernah mengikuti pelatihan untuk meningkatkan keterampilan profesi mereka.

sekolah dasar.

REKOMENDASI Peningkatan mutu pendidikan sekolah dasar merupakan kerja sama banyak pihak terutama yang bersentuhan langsung dengan pendidikan itu yakni DEPDIKNAS. Agar peningkatan mutu yang diinginkan seperti tertulis dalam UU SISDIKNAS 2003 : menjadikan siswa-siswa sekolah dasar menjadi cakap, kreatif, dan terampil, dapat dicapai, maka pihak-pihak yang terkait yang dalam penelitian ini dibatasi pada pengawas pendidikan dan komite sekolah hams dapat menjalankan peran mereka sesuai dengan apa yang diharapkan.

DAFTAR PUSTAKA Arends, Richards I. 1989. Learning to Teach. New York: Mc Graw Hill Company.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kondusi pengawas-pengawas pendidikan kita baik secara administratif maupun profesionalisme belum dapat meningkatkan mutu pendidikan di sekolah dasar. Meskipun mereka rata-rata telah mengikuti berbagai pelatihan yang berhubungan dengan pelaksanaan PBM dan pembuatan alat evaluasi, tetap saja mereka kurang mengerti cara membuat SP, tidak tahu bagaimana membuat evaluasi sendiri, sehingga mereka menggantungkan diri mereka hanya pada evaluasi yang terdapat pada buku-buku bacaan yang mereka pakai. Padahal jelas diketahui evaluasi sangat dibutuhkan untuk mengukur tingkat pencapaian siswa atas mata pelajaran yang diajarkan serta sebagai media untuk menanamkan keterampilan-keterampilan berpikir baru, yang berada pada ranah analisis, sintetis maupun evaluasi.

Arikunto, Suharsimi. 1996. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek. Rineka Cipta: Jakarta. Baasir, Faisal. 2001. Tantangan Ketenagakerjaan Masih Menghadang. Republika, Maret, hal. 5. Depdikbud, Dirjen Dikdasmen, Dikpen Guru dan Tenaga Teknis, 1996. Keputusan Menteri Pendidikan dan kebudayaan Republik Indonesia Tentang Petunjuk Teknis Ketentuan Pelaksanaan Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya. Departemen Pendidikan Nasional, 2003. Undangundang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 tentang Sistim Pendidikan Nasional. Biro Hukum Dan Organisasi Sekretariat Jenderal Depdiknas. Dinas Pendidikan Propinsi Sumatera Utara, 2004. Bulan Informasi Pendidikan bagi Partai Politik Peserta Pemilu di Sumatera Utara.

Berdasarkan itu pula, ditemukan bahwa materi EBTA/UAS pada akhirnya kurang mampu mendukung pelaksanaan cita-cita meningkatkan mutu pendidikan di sekolah dasar. Dikatakan demikian karena pada dasarnya orang-orang yang terlibat pada pembuatan soal-soal EBTA/UAS adalah orang-orang yang diseleksi dari kalangan guru, dengan demikian kemampuan professional mereka kurang lebih sama. Untuk menjawab segala kekurangan tersebutlah sebenarnya fungsi pengawas pendidikan menjadi begitu penting. Tetapi melihat kenyataan berdasarkan hasil temuan peneliti, pengawas-pengawas pendidikan dengan cara perekrutan seperti yang disebutkan di ataspelintas batas dan tidak melewati prosedur jenjang karirmenyebabkan guru-guru yang berada di bawah pengawasan menjadi jauh dari sempurna.

Fiske, Edward B. Smart Schools, Smart Kids: Why Do Some School Work?. Touchstone, Simon & Schuster. New York : USA. Gerstner Jr, Louis V. Reinventing Education: Enterpreneurship in America's Public Schools. Penguin Book Inc: New York: USA. Houston, W. Robert et al. 1988. Touch The Future: Teach. West Publishing Company, USA. Oswald, Lory Jo. 1996. Work Teams in School. Dalam: Aziz Wahab. Educational Management, PPS IKIP Bandung, 1997. Semiawan, Conny R. dan T. Raka Joni, 1993. Pendidikan Pembelajaran: Acuan Konseptual Pengelolaan Kegiatan Belajar – Mengajar di Sekolah. Konsorsium Ilmu Pendidikan Dirjen Dikti.

Berdasarkan seluruh paparan di atas dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan kinerja pengawas pendidikan dan peran serta komite sekoish kursng berhasil untuk meningkatkan mutu pendidikan di

Setijadi, 1992. Laporan Eksekutif tentang Studi 344


Jurnal Inovasi Vol. 8 No. 4, Desember 2011

Kebijaksanaan Tentang Pengadaan, Pengangkatan, Penempatan dan pembinaan Guru Sekolah Dasar. Konsorsium Ilmu Pendidikan Dirjen Dikti. Soedijarto, 1993. Memantapkan Sistim Pendidikan Nasional. Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia. Sutisna, Oteng, 1989. Administrasi : Dasar Teoretis untuk Praktek Profesional. Angkasa: Bandung. Tilaar, H.A.R. 2001. Membenahi Pendidikan Nasional. Jakarta: P.T. Rineka Cipta. Thorndike, R.L. & Hagen, E.P. 1977. Measurement and Evaluation in Psychology and Education. Macmillan Publishing Company: A Devision of Macmillan Inc. Turney, C. 1992. Conceptualising the Management Process. Dalam: The School Manager ed. C. Turney N. Hatten, K. Laws. K. Sinclair, D. Smith, Allen & Unwin Pty Ltd, North Sidney, Australia. Wallace, Michael J. 1991. Training Foreign Language Teacher: A Reflective Approach. New York: Cambridge University Press. Webster, A Merriam. 1980. Webster's New Collegiate Dictionary. G & C. Merriam Company Springfield, Massachusetts USA.

345


Wardhani, L., dkk., Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penyusunan Dana Alokasi Umum pada Kabupaten/ Kota di Provinsi Sumatera Utara

Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Penyusunan Dana Alokasi Umum Pada Kabupaten/Kota Di Propinsi Sumatera Utara (Influencing Factors of General Allocation Fund at District/ City in North Sumatra Province) Lily Wardhani*, Iskandar Muda**, Azizul Kholis*, *Dosen Fakultas Ekonomi Unimed **Dosen Fakultas Ekonomi USU Naskah masuk: 2 September 2011; Naskah diterima: 12 November 2011 ABSTRAK Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana Populasi, Indeks Pembangunan Manusia (HID), Indeks Konstruksi Langka, dan Produk Domestik Bruto (PDRB) Harga Konstan pengaruh Dana Alocation Umum (DAU). Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kuantitatif dengan regresi linier berganda. Tujuan dari penelitian ini Indeks Pembangunan Manusia (HID), Indeks Pembangunan Langka dan Produk Domestik Bruto (PDRB) mempengaruhi Harga Konstan dan Dana Alokasi Umum dengan jumlah sampel 23 perusahaan dari Kota dan Kabupaten di Propinsi Sumatera Utara tahun 2003 sampai dengan tahun 2007. Hasil penelitian ini Indeks Pembangunan Manusia (HID), Indeks Pembangunan Langka, murah Produk Domestik Bruto (PDRB) Harga Konstan dan Dana Alocation Umum (DAU) adalah sebagian dan secara simultan pengaruh dengan dijelaskan oleh variasi dinyatakan dalam R2 Disesuaikan sama dengan 85,4% sedangkan sisanya adalah sebesar 14,6% dipengaruhi oleh variabel lain yang dijelaskan oleh model penelitian, namun Coverage Area sebagian Popullation, Indeks Pembangunan Manusia (HID), Indeks Pembangunan Langka telah signifikan terhadap Dana Alokasi Umum. Sementara Produk Domestik Bruto (PDRB) Harga Konstan tidak signifikan terhadap Dana Alocation Umum (DAU). Penelitian ini dengan demikian untuk Kepala Kabupaten dan Pemerintah Kota harus mampu lakukan untuk keputusan rencana Alocation Umum (DAU) dalam mengimplementasikan untuk keputusan. Kata Kunci: Populasi, Indeks Pembangunan Manusia (HID), Indeks Konstruksi Langka, dan Produk DomestikBruto (PDRB) Harga Konstan pengaruh Dana Alocation Umum (DAU) ABSTRAK This research purpose is to know how Popullation, Coverage Area, Human Index Development (HID), Construction Scarce Index, and Gross Domestic Product (PDRB) Constant Price influence to General Alocation Fund (DAU). The analyze method that is used in this research is quantitative method with multiple linier regression. The object of this research variable are Popullation, Coverage Area, Human Index Development (HID), Construction Scarce Index and Gross Domestic Product (PDRB) Constant Price influence and Dana Alokasi Umum. with amount of sample are 23 companies from City and Regency in North Sumatera Province the year 2003 up to year 2007. The result of this research showed that Popullation, Coverage Area, Human Index Development (HID), Construction Scarce Index, dan Gross Domestic Product (PDRB) Constant Price and General Alocation Fund (DAU) is partially and simultaneously influence with explained by variation the expressed in Adjusted R2 equal to 85,4 % is while the rest equal to 14,6% influenced by other variable which is explained by this research model, but partially Popullation, Coverage Area, Human Index Development (HID), Construction Scarce Index has significant to the Dana Alokasi Umum. While Gross Domestic Product (PDRB) Constant Price has not significant to the General Alocation Fund (DAU). This research thereby for Head Regency and City Goverment have to can do for decision of General Alocation Fund (DAU) plan in implement for decisions.

346


Jurnal Inovasi Vol. 8 No. 4, Desember 2011

Keywords : Popullation, Coverage Area, Human Index Development (HID), Construction Scarce Index, dan Gross Domestic Product (PDRB) Constant Price and General Alocation Fund (DAU). Berdasarkan konsep fiscal gap tersebut, distribusi DAU kepada daerah-daerah yang memiliki kemampuan relatif besar akan lebih kecil dan sebaliknya daerah-daerah yang mempunyai kemampuan keuangan relatif kecil akan memperoleh DAU yang relatif besar. Dengan konsep ini beberapa daerah, khususnya daerah yang kaya sumber daya alam dapat memperoleh DAU yang negatif. Variabel-variabel kebutuhan Daerah dan potensi ekonomi Daerah. Kebutuhan Daerah paling sedikit dicerminkan dari variabel jumlah penduduk, luas wilayah, keadaan geografi, dan tingkat pendapatan masyarakat dengan memperhatikan kelompok masyarakat miskin. Sementara potensi ekonomi Daerah dicerminkan dengan potensi penerimaan Daerah seperti potensi industri, potensi SDA, potensi SDM, dan PDRB.

PENDAHULUAN Instrumen utama kebijakan desentralisasi fiskal adalah melalui kebijakan transfer ke daerah, yang terdiri dari Dana Perimbangan dan Dana Otonomi Khusus. Adapun Dana Perimbangan terdiri dari Dana Bagi Hasil (DBH), Dana Alokasi Umum (DAU), dan Dana Alokasi Khusus (DAK), yang merupakan komponen terbesar dari dana Transfer ke Daerah. Alokasi dana Transfer ke Daerah terus meningkat seiring dengan pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal, yaitu dari Rp81,1 triliun pada tahun 2001 menjadi Rp253,3 triliun pada tahun 2007, dan diperkirakan menjadi Rp293,6 triliun pada tahun 2008, atau tumbuh ratarata sebesar 20,2 persen per tahun. Selain dana desentralisasi tersebut, Pemerintah juga mengalokasikan dana untuk membiayai program dan kegiatan yang menjadi kewenangan Pemerintah di daerah, yaitu dana dekonsentrasi, dana tugas pembantuan, dan dana untuk melaksanakan program dan kegiatan instansi vertikal di daerah. Walaupun dana-dana tersebut tidak masuk dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), namun secara nyata dana tersebut dibelanjakan di daerah, baik dalam bentuk belanja fisik maupun nonfisik. Jumlah dana tersebut cukup signifikan dan proporsinya terhadap belanja Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) cukup tinggi. Pada tahun 2008, total dana yang dibelanjakan di daerah telah mencapai 41,3 persen dari total belanja APBN. Untuk mengurangi ketimpangan dalam kebutuhan pembiayaan dan penguasaan pajak antara Pusat dan Daerah telah diatasi dengan adanya perimbangan keuangan antara Pusat dan Daerah (dengan kebijakan bagi hasil dan DAU minimal sebesar 25% dari Penerimaan Dalam Negeri). Dengan perimbangan tersebut, khususnya dari DAU akan memberikan kepastian bagi Daerah dalam memperoleh sumber-sumber pembiayaan untuk membiayai kebutuhan pengeluaran yang menjadi tanggungjawabnya.

Pengalokasikan DAU ke daerah dilakukan dengan menggunakan formula yang didasarkan pada data dasar perhitungan DAU. Secara historis, sejak tahun 2001 hingga tahun 2005, formula DAU terbagi menjadi dua komponen utama, yaitu Alokasi Minimum (AM) dan alokasi DAU berdasarkan Kesenjangan Fiskal (KF). AM dihitung berdasarkan komponen lumpsum dan proporsional belanja pegawai. Sejak diberlakukannya UU Nomor 33 Tahun 2004, yang efektif berlaku sejak tahun 2006, komponen AM dan KF tersebut disempurnakan menjadi Alokasi Dasar (AD) dan Celah Fiskal (CF). Alokasi DAU berdasarkan CF tersebut merupakan komponen ekualisasi kemampuan keuangan antar daerah, dengan mempertimbangkan selisih kebutuhan fiskal dan kapasitas fiskal masingmasing daerah. Branoah (2010) menemukan formula transfer pemerintah Ghana menggunakan formula District Assemblies Common Fund (DACF). Ortiz dan Rider (2005) menggunakan formula tax effort, fiscal management, national objectives dan special problems sebagai formula transfer pemerintah India. Sampai dengan tahun anggaran 2005, fenomena di Indonesia menggunakan variabel kebutuhan fiskal terdiri dari : jumlah penduduk, luas wilayah, indeks kemahalan konstruksi, dan indeks kemiskinan relatif. (sesuai UU No. 25/1999). Mulai Tahun Anggaran 2006 variabel kebutuhan fiskal terdiri dari : jumlah penduduk, luas wilayah, indeks pembangunan manusia, indeks kemahalan konstruksi, dan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) per kapita. (sesuai UUNo. 33/2004). Alasan penggunaan DAU sebagai dependen variabel dibanding DAK maupun DBH dikarenakan alokasi DAU selain ditujukan untuk mengurangi

Sesuai dengan UU Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah bahwa kebutuhan DAU oleh suatu Daerah (Propinsi, Kabupaten, dan Kota) ditentukan dengan menggunakan pendekatan konsep Fiscal Gap, dimana kebutuhan DAU suatu Daerah ditentukan oleh kebutuhan Daerah (fiscal needs) dan potensi Daerah (fiscal capacity). Dengan pengertian lain, DAU digunakan untuk menutup celah/gap yang terjadi karena kebutuhan Daerah melebihi dari potensi penerimaan Daerah yang ada. 347


Wardhani, L., dkk., Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penyusunan Dana Alokasi Umum pada Kabupaten/ Kota di Provinsi Sumatera Utara

kesenjangan fiskal antar daerah, juga diharapkan dapat menstimulasi pembangunan daerah. Proporsi alokasi DAU jumlahnya lebih besar dibanding DAK maupun DBH. Selain itu tidak seluruh daerah mendapatkan DBH, hanya daerah tertentu yang mendapatkan DBH. Sehingga dengan alasan demikian peneliti menggunakan variabel DAU. Berdasarkan uraian dan latar belakang diatas maka rumusan masalah yang dapat dibentuk sebagai berikut : Apakah faktor jumlah penduduk, luas wilayah, Indeks Pembangunan Manusia, Indeks Kemahalan Konstruksi, dan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) harga konstan berpengaruh terhadap besarnya Dana Alokasi Umum Kabupaten/Kota Provinsi Sumatera Utara ?

provision); (3) kebutuhan pembangunan (developmental needs). Skala kebutuhan pelayanan daerah dapat ditunjukkan oleh jumlah penduduk wilayah tersebut yang sedikit banyak mencerminkan beban tanggung jawab suatu daerah. Biaya penyelenggaraan pelayanan dapat diwakili oleh luas wilayah dan rasio antara panjang jalan dan luas wilayah (road density). Luas wilayah dimaksud bahwa luas yang semakin besar menggambarkan biaya pelayanan yang lebih besar. Dengan rasio luas wilayah dan panjang jalan (road density), maka bila rasio tersebut semakin besar itu menunjukkan biaya penyelenggaraan pembangunan yang lebih besar. (Panggabean 1999) Luas daerah mencerminkan luas Kota/Kabupaten per Km2. Indikator dari variable ini adalah log luas daerah. Variabel ini diikutkan sebagai faktor yang mempengaruhi keberhasilan pemerintah daerah dalam pelaksanaan standar akuntansi pemerintah., Semakin luas daerah suatu pemerintahan maka akan semakin lambat dalam melaksanakan standar akuntansi pemerintah tersebut. Variabel ini dianggap sebagai variable kontrol karena populasi penelitian berbentuk kota dan kabupaten. Mulai Tahun Anggaran 2006 variabel kebutuhan fiskal luas wilayah dimasukkan sebagai unsur penentu besarnya jumlah DAU suatu daerah sesuai amanat UU No. 33/2004. Menurut Panggabean dkk (1999 : 37) Luas daerah sebagai pertimbangan digunakan dalam penelitian ini dengan pertimbangan dimana kebutuhan daerah pada dasarnya mencerminkan: (1) skala kebutuhan pelayanan (size of service provision); (2) biaya penyelenggaraan pelayanan (cost of service provision); (3) kebutuhan pembangunan (developmental needs). Semakin luas wilayah suatu daerah maka semakin besar Dana Alokasi Umum yang dikucukan ke suatu daerah.

Perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah merupakan Merupakan suatu sistem pembiayaan pemerintahan dalam kerangka negara kesatuan, yang mencakup pembagian keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah serta pemerataan antar daerah secara adil dan proporsional, demokratis dan transparan, dengan tetap memperhatikan potensi, kondisi dan kebutuhan Daerah sejalan dengan kewajiban dan pembagian kewenangan serta tata cara penyelenggaraan kewenangan tersebut termasuk pengelolaan dan pengawasan keuangannya. Di dalam Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah diatur tentang sumber-sumber penerimaan Daerah yang terdiri dari : 1. Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang terdiri dari pajak daerah, retribusi daerah, hasil BUMD dan pengelolaan kekayaan daerah lainnya yang dipisahkan serta lain-lain pendapatan daerah yang sah, 2. Dana Perimbangan yang terdiri dari Bagi Hasil SDA dan Non SDA, Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK), 3. Pinjaman Daerah, dan 4. Lain-lain penerimaan yang sah.

Merupakan variabel yang mencerminkan tingkat pencapaian kesejahteraan penduduk atas layanan dasar di bidang pendidikan dan kesehatan. Formula : (www.bps.go.id, 2009)

Pelaksanaan Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dengan Daerah bertujuan untuk mengatasi masalah kesenjangan antara Pemerintah Pusat dengan Daerah (vertical imbalances) serta kesenjangan antar daerah (horisontal imbalances).

Seperti halnya pembangunan ekonomi, pembangunan manusia memerlukan ketersediaan analisis data guna perencanaan dan pengambilan kebijakan agar tepat sasaran, juga perlu dievaluasi sejauh mana pembangunan yang dilaksanakan mampu meningkatkan kualitas hidup manusia (penduduk) sebagai obyek pembangunan. Salah satu alat ukur yang lazim digunakan adalah Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Walaupun tidak semua aspek pembangunan manusia dapat diukur melalui penghitungan IPM mengingat sangat luasnya dimensi pembangunan manusia, tetapi

Jumlah penduduk menentukan besarnya Dana Alokasi yang dikucurkan. Semakin besar jumlah penduduk maka proporsi jumlah DAU semakin besar dan sebaliknya. Mulai tahun 2006 variabel kebutuhan fiskal jumlah penduduk, dimasukkan sebagai unsur penentu besarnya jumlah DAU suatu daerah sesuai amanat UU No. 33/2004. Luas daerah sebagai pertimbangan digunakan dalam penelitian ini dengan pertimbangan dimana kebutuhan daerah pada dasarnya mencerminkan: (1) skala kebutuhan pelayanan (size of service provision); (2) biaya penyelenggaraan pelayanan (cost of service 348


Jurnal Inovasi Vol. 8 No. 4, Desember 2011

Jumlah Penduduk (X1) Luas Wilayah (X2) IPM (X3)

DAU (Y)

IKK (X4) PDRB (X5) Gambar.1 : Skema Kerangka Penelitian IPM mengukur hal mendasar yaitu ; derajat kesehatan, kualitas pendidikan serta akses terhadap sumber daya ekonomi berupa pemerataan tingkat daya beli masyarakat. Semakin kecil tingkat IPM suatu daerah maka semakin besar Dana Alokasi Umum yang dikucurkan pada suatu daerah.

demikian perubahan yang terjadi di tingkat regional akan berpengaruh terhadap PDB atau sebaliknya. PDRB yang digunakan adalah PDRB berdasarkan Harga Konstan yaitu PDRB yang digunakan untuk melihat pertumbuhan ekonomi suatu daerah dari tahun ketahun. Jika PDRB dibagi dengan jumlah penduduk di suatu Daerah pada suatu waktu tertentu akan diperoleh PDRB per kapita.

Indeks Kemahalan Konstruksi merupakan indikator penentu besar kecilnya DAU sesuai dengan amanat UU No. 33/2004. Semakin besar indeks tersebut maka semakin besar DAU yang dikucurkan. Formula : (www.bps.go.id, 2009)

Merupakan suatu komponen yang masuk di dalam formula penghitungan Dana Alokasi Umum (DAU). DAU itu sendiri adalah salah satu komponen di dalam dana perimbangan di APBN yang pengalokasiannya didasarkan atas formula dengan konsep kesenjangan fiskal (fiscal gap) yang merupakan selisih antara kebutuhan fiskal (fiscal need) dengan kapasitas fiskal (fiscal capacity). DAU bertujuan sebagai instrumen untuk mengatasi masalah horizontal imbalances yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar daerah dimana penggunaannya ditetapkan sepenuhnya oleh daerah (block grants). Konsep dasar formulasi DAU sebagaimana yang diamanatkan dalam UU No. 25 Tahun 1999 itu secara implisit merupakan penjabaran dari teori governmental transfer yang berbasis pada konsepsi fiscal gap. Dengan konsepsi fiscal gap, nantinya kesenjangan fiskal yang merupakan selisih negatif antara kebutuhan fiskal dengan kapasitas fiskal dianggap sebagai kebutuhan yang harus ditutup melalui transfer pemerintah pusat.

Konsep dan definisi umum yang digunakan dalam proses pengumpulan data dan penghitungan indeks kemahalan konstruksi (IKK) antara lain: konsep mengenai harga barang konstruksi termasuk harga sewa alat berat, pedagang besar, kegiatan konstruksi, tingkat kemahalan konstruksi, diagram timbang, dan indeks kemahalan konstruksi. Dimana Harga perdagangan besar (HPB) adalah harga transaksi yang terjadi antara pedagang besar pertama sebagai penjual dengan pedagang besar berikutnya sebagai pembeli secara party/grosir di pasar pertama atas suatu barang. Semakin tinggi Indeks Kemahalan Konstruksi (IKK) suatu daerah maka semakin besar Dana Alokasi Umum yang dikucurkan pada daerah tersebut. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) merupakan salah satu indikator makro ekonomi yang pada umumnya digunakan untuk mengukur kineja ekonomi di suatu negara. Sedangkan untuk tingkat wilayah, Propinsi maupun Kabupaten/Kota, digunakan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Secara teori dapat dijelaskan bahwa PDRB merupakan bagian dari PDB, sehingga dengan

Ide dasarnya adalah untuk daerah yang memiliki kapasitas fiskal relatif lebih besar dibanding kebutuhan fiskalnya, maka DAU yang dialokasikan seyogyanya tidak terlalu besar. Sebaliknya DAerah yang memiliki kebutuhan fiskal relatif lebih tinggi terhadap kapasitas fiskalnya, membutuhkan DAU yang relatif besar pula agar mereka tetap dapat 349


Wardhani, L., dkk., Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penyusunan Dana Alokasi Umum pada Kabupaten/ Kota di Provinsi Sumatera Utara

menyediakan pelayanan dasar yang cukup baik. Jadi kapasitas fiskal ini dapat dianggap sebagai wakil kemampuan suatu Daerah di dalam melaksanakan semua kewenangan wajibnya dalam pelaksanaan pemerintahan dan pembangunan Daerahnya.

Model dasar analisis data yang digunakan pada penelitian ini adalah : Y = f (X1, X2, X3, X4, X5) Model tersebut ditransformasikan dalam bentuk regresi linier berganda (Multiple Regression Analysis) dengan metode Ordinary Least Square (OLS) : Y = α+ β1X1 + β2X2 + β3X3 + β4X4+ β5X5 ε dimana : Y = Dana Alokasi Umum (Rp) X1 = Jumlah Penduduk X2 = Luas Wilayah X3 = Indeks Pembangunan Manusia X4 = Indeks Kemahalan Konstruksi X5 = PDRB α = Konstanta ε = Error Term

Formula DAU dirumuskan sebagai berikut : (www.djpk.go.id, 2009) DAU = Alokasi Dasar (AD) + Celah Fiskal (CF) Dimana : AD = Gaji PNS Daerah CF = Kebutuhan Fiskal - Kapasitas Fiskal Kapasitas Fiskal = PAD + (PBB + BPHTB + PPh + SDA) Celah Fiskal dihitung berdasarkan selisih antara kebutuhan fiskal daerah dan kapasitas fiskal daerah. Jika kebutuhan fiskal sama dengan kapasitas fiskal, makajumlah DAU yang diterima akan sama dengan Alokasi Dasar.

Uji Asumsi Klasik 1) Uji Multikolinieritas Penanggulangan gejala multikolinieritas ini dilakukan dengan cara mengeluarkan salah satu variabel yang memiliki r2 paling rendah dari model. 2) Asumsi Normalitas Normalitas data dilakukan dengan Uji Kolmogorov-Smirnov. Dimana apabila nilai signifikansi < 0,05 maka distribusi data tidak normal. 3) Uji Autokorelasi Uji Autokorelasi dilakukan dengan Langrange Multiplier Test (LM Test). Uji ini dilakukan untuk sample besar diatas 100 observasi (Ghozali, 2005 : 98). Uji LM menghasilkan statistic Breusch-Godfrey. Pengujian dilakukan meregres variabel pengganggu (residual) menggunakan autoregressive model dengan orde p : Ut = p1Ut-1 + p1Ut-2+……….+ p pUtp+ ε 4) Uji Heteroskedastisitas Untuk menguji apakah dalam model regresi terjadi kesamaan variance dari residual satu pengamatan ke pengamatan lainnya. Jika variance dari residual satu pengamatan ke pengamatan lain tetap, maka disebut Homoskedastisitas. Model regresi yang baik adalah yang homoskedastisitas.

Berdasarkan landasan teoritis dan hasil penelitian terdahulu, maka kerangka pemikiran dalam penelitian ini dapat digambarkan pada gambar 1.

METODE PENELITIAN Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data kuantitatif. Data yang digunakan merupakan data sekunder yang diperoleh secara tidak langsung dari Departemen Keuangan RI di website www.djpk.depkeu.go.id, yang berupa laporan realisasi APBD dari tahun 2003-2007 untuk 23 (dua puluh tiga) Pemerintah Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara yang terpilih menjadi sampel penelitian dan data pertumbuhan ekonomi yang berasal dari Biro Pusat Statistik Sumatera Utara pada website www.bps.go.id/sumut. Jumlah sampel yang dipakai oleh peneliti adalah sebanyak 23 (dua puluh tiga) pemerintah daerah Kabupaten dan Kota dari 33 (tiga puluh tiga) Kabupaten dan Kota di Sumatera Utara. Metode pengambilan sampel dilakukan dengan purposive sampling. Adapun pertimbangan yang ditentukan sebagai berikut: 1. Kabupaten/ kota di Provinsi Sumatera Utara yang mempublikasikan laporan realisasi APBD dalam situs Departemen Keuangan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan yaitu pada situs www.djpk.depkeu.go.id. 2. Kabupaten/ kota di Provinsi Sumatera Utara yang mempublikasikan laporan realisasi APBD-nya selama periode 2003-2007 dan bukan pemekaran. 3. Kabupaten/ kota di Provinsi Sumatera Utara yang penentuan DAU nya berdasarkan UU No. 33/2004

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 1. Deskripsi Statistik Berdasarkan hasil pengolahan data, maka deskripsi statistik dari data penelitian dapat dilihat pada Tabel 1. berikut ini.

350


Jurnal Inovasi Vol. 8 No. 4, Desember 2011

Tabel 1 : Statistik Deskriptif N

Minimum

Maximum

Mean

Std. Deviation

Jlh_Penduduk_X1

115

33822.00

2083156.00

509096.6957

511352.18084

Luas_Wilayah_X2

115

10.77

12167.00

2962.7336

3102.48423

IPM_X3

115

63.10

76.80

71.2330

3.16135

IKK_X4

115

83.00

194.16

118.1407

27.25178

PDRB_X5

115

43753.67

2.72E7

4.8056E6

5813186.97859

DAU_Y

115

.00

748707.00

244682.3035

152869.90535

Valid N (listwise)

115

Sumber : data diolah.

Sumber : data diolah. Gambar 2. Uji Heterokedastisitas

Berdasarkan Tabel di atas dapat dilihat bahwa dari jumlah N sampel sebanyak 115, dimana rata-rata jumlah penduduk Sumut sebanyak 509.096 Jiwa dengan jumlah terendah 33.822 jiwa dan tertinggi sebanyak 2.083.156 jiwa. Luas wilayah rata – rata 2962 KM2 dengan luas terendah di wilayah Sumut seluas 10.77 KM2 dan luas tertinggi 12.167. IPM rata – rata 71,23, terendah 63.10 dan tertinggi 76,80. IKK rata – rata 118.14, terendah 83 dan tertinggi 194.16. Untuk jumlah DAU rata-rata dikucurkan pusat Rp. 244,682 Milyar, terendah 0 dan tertinggi 748,707 Milyar.

b. Pengujian Heterokedastisitas Pengujian asumsi heterokedastisitas menyimpulkan bahwa model regresi tidak terjadi heterokedastisitas. Dengan kata lain terjadi kesamaan varian dari residual dari satu pengamatan ke pengamatan yang lain. Kesimpulan ini diperoleh dengan melihat penyebaran titik-titik yang menyebar secara acak, tidak membentuk sebuah pola tertentu yang jelas, serta tersebar baik diatas maupun dibawah angka 0 pada sumbu Y. Hasil pengujian heterokedastisitas dapat dilihat pada Gambar 2.

2. Pengujian Asumsi Klasik a. Pengujian Normalitas Berdasarkan hasil uji normalitas data dengan menggunakan uji Kolmogorov-Smirnov dan dengan melihat uji grafik, maka dapat disimpulkan bahwa data mempunyai distribusi normal. Hal ini dapat diketahui dengan melihat nilai Kolmogorov Smirnov sebesar 0,748 dengan tingkat signifikansi sebesar 0,631. Jika signifikansi nilai Kolmogorov Smirnov lebih besar dari 0,05 maka dapat dinyatakan bahwa data mempunyai distribusi normal.

c. Pengujian Autokorelasi Pada penelitian ini, uji autokorelasi dilakukan dengan Uji Autokorelasi dengan The Breusch-Godfrey (BG Test). Hal ini dilakukan karena nilai obesrvasi diatas 100 pengamatan (115 observasi). Hal tersebut terlihat pada Tabel 2 berikut :

351


Wardhani, L., dkk., Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penyusunan Dana Alokasi Umum pada Kabupaten/ Kota di Provinsi Sumatera Utara

Tabel 2 : Uji Autokorelasi dengan The Breusch-Godfrey (BG Test) Standardized Unstandardized Coefficients Coefficients Model t B Std. Error Beta 1

(Constant)

-585.010

146855.665

Jlh_Penduduk_X1

.021

.018

Luas_Wilayah_X2

-.125

IPM_X3 IKK_X4

Sig.

-.004

.997

.184

1.157

.250

1.975

-.007

-.063

.950

-516.800

1976.194

-.028

-.262

.794

284.810

257.370

.136

1.107

.271

-.001

.002

-.126

-.713

.477

PDRB_X5 a. Dependent Variable: Auto Sumber : Hasil Olah Data SPSS.

Tabel 3 : Uji Multikolinearitas Collinearity Statistics

Model Constant

Tolerance

Jlh_Penduduk_X1 Luas_Wilayah_X2 IPM_X3 IKK_X4 PDRB_X5 Dependent Variabel : LogY Sumber : Hasil Olah Data SPSS

VIF

.359 .788 .781 .600 .288

2.787 1.269 1.281 1.665 3.474

Tabel 4. Ringkasan Pengujian Hipotesis Unstandardized Standardized Coefficients Coefficients Model 1

B

(Constant)

Std. Error

Beta

t

-918750.107 145865.878

Sig.

-6.299

.000

Jlh_Penduduk_X1

.228

.018

.763

12.755

.000

Luas_Wilayah_X2

10.435

1.989

.212

5.247

.000

IPM_X3

10187.678

1960.649

.211

5.196

.000

IKK_X4

2539.484

259.371

.453

9.791

.000

-.002

.002

-.074

-1.102

.273

PDRB_X5 a. Dependent Variable: DAU_Y R = = R2 = Adj R2 F = Sig. F = Sumber : data diolah.

.927a .860 .854 134.004 .000a

352


Jurnal Inovasi Vol. 8 No. 4, Desember 2011

Dari Tabel 2 dapat dilihat bahwa tingkat signifikansi dari tiap variabel independen berada diatas alpha 5 %. Hal tersebut menunjukkan bebas dari gejala autokorelasi. Dengan demikian semua variabel independen terhadap variabel pengganggu (residual) ut menggunakan autoregresive model orde p.

ketimpangan vertikal (vertical imbalance) antara pemerintah pusat dan daerah penghasil, sedangkan DAU untuk mengurangi ketimpangan horizontal (horizontal imbalance) antar daerah. DAU merupakan Transfer pemerintah Pusat kepada Daerah bersifat “Block Grant� yang berarti kepada Daerah diberi keleluasaan dalam penggunaannya sesuai dengan prioritas dan kebutuhan Daerah dengan tujuan untuk menyeimbangkan kemampuan keuangan antar Daerah. DAU terdiri dari DAU untuk Daerah Provinsi dan Kabupaten/ Kota. Besaran DAU ditetapkan sekurang-kurangnya 25% dari Pendapatan Dalam Negeri Netto yang ditetapkan dalam APBN s.d. TA 2007, sedangkan mulai TA 2008 ditetapkan sekurangkurangnya 26% dari PDN Netto. Proporsi DAU untuk Daerah Provinsi dan untuk Daerah Kabupaten/Kota ditetapkan berdasarkan imbangan kewenangan antara Provinsi dan Kabupaten/Kota.

d. Pengujian Multikolinieritas Berdasarkan hasil pengolahan SPSS, dapat dilihat pada Tabel 3. Dari Tabel tersebut di atas dapat dilihat bahwa nilai VIF untuk masing-masing variabel adalah < 10 dan Tolerance tidak kurang dari 0,1. Hal ini membuktikan bahwa model regresi yang digunakan dalam penelitian ini tidak terdapat gejala multikolinearitas. I. Pengujian Hipotesis Setelah dilakukan pengujian asumsi klasik dan diperoleh kesimpulan bahwa model sudah dapat digunakan untuk melakukan pengujian analisa regresi berganda, maka langkah selanjutnya adalah melakukan pengujian hipotesis. Hipotesis yang akan diuji adalah Jumlah penduduk, luas wilayah, indeks pembangunan manusia, indeks kemahalan konstruksi, dan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Harga Konstanberpengaruh terhadap besarnya Dana Alokasi Umum Kabupaten/Kota Provinsi Sumatera Utara. Ringkasan hasil pengujian hipotesis dapat dilihat pada Tabel 4.

Ciri utama yang menunjukkan bahwa suatu daerah otonom mampu berotonomi yaitu terletak pada kemampuan daerah mengurus rumah tangganya sendiri dengan mengandalkan kemampuan keuangan daerah sendiri. Kondisi ini merupakan salah satu wujud dari pelaksanaan desentralisasi fiskal dimana suatu daerah harus memiliki kemampuan dan kewenangan untuk menggali sumber-sumber keuangan sendiri yang cukup memadai untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan daerahnya. Ketergantungan kepada pemerintah pusat harus seminimal mungkin, sehingga PAD harus menjadi bagian sumber keuangan terbesar atau dominan, yang didukung oleh kebijaksanaan perimbangan pusat dan daerah sebagai prasyarat mendasar dalam sistem pemerintahan negara.

Pengujian goodness of fit dilakukan untuk menentukan kelayakan suatu model regresi, karena variabel penelitian lebih dari dua variabel maka kelayakan tersebut dapat dilihat dari nilai Adjusted R Square. Nilai Adjusted R Square pada Tabel 3 diatas sebesar 0,854. Hal ini menunjukkan bahwa 85,4 % variasi dari Jumlah penduduk, luas wilayah, indeks pembangunan manusia, indeks kemahalan konstruksi, dan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Harga Konstan dapat menjelaskan besarnya Dana Alokasi Umum Kabupaten/Kota Provinsi Sumatera Utara. Sisanya sebesar 14,6% dipengaruhi oleh variabel lain yang tidak dijelaskan oleh model penelitian ini.

Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintah oleh Pemerintah kepada Daerah otonom dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ini berarti kekuasaan yang sebelumnya secara penuh berada di pemerintah pusat, kemudian diserahkan kepada pemerintah daerah khususnya kabupaten/kota. Penyerahan kewenangan ini kemudian disertai penyerahan sumber-sumber pembiayaannya (money follows function). Meskipun demikian ternyata ketimpangan antar daerah (horizontal imbalances) masih juga muncul terutama terjadi antara daerah yang dianugerahi sumber daya alam yang besar dengan daerah yang memang miskin sumber daya alam. Karenanya pemerintah pusat masih tetap meberikan bantuan berupa Dana Alokasi Umum (DAU) yang besarnya sekurang-kurangnya 25% dari Penerimaan Dalam Negeri yang ditetapkan dalam APBN. Sementara itu kesenjangan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah (vertical imbalances) seperti masa pemerintahan Orde Baru juga hendak

Diterapkannya UU No. 33 Tahun 2004 memiliki dampak atau implikasi yang cukup besar terhadap perekonomian daerah pada umumnya. Salah satunya dengan adanya dana perimbangan, yang terdiri dari Dana Bagi Hasil, Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK). Melalui kebijakan bagi hasil sumber daya alam diharapkan daerah dan masyarakat setempat dapat lebih merasakan hasil dari sumberdaya alam yang dimiliki. Karena selama ini hasil sumber daya alam lebih banyak dinikmati oleh pemerintah pusat dibandingkan masyarakat setempat. Bagi Hasil Sumber Daya Alam ditujukan untuk mengurangi 353


Wardhani, L., dkk., Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penyusunan Dana Alokasi Umum pada Kabupaten/ Kota di Provinsi Sumatera Utara

dihilangkan melalui mekanisme alokasi Dana Bagi Hasil Non Sumber Daya Alam dan Bagi Hasil Sumber Daya Alam yang besarnya telah ditetapkan oleh UU. Untuk kebutuhan khusus yang tidak dapat dicukupi dengan DAU misalnya bencana alam, dana darurat maka pemerintah pusat masih memberikan bantuan berupa Dana Alokasi Khusus (DAK).

DAFTAR PUSTAKA Banful, Afua Branoah. 2010. Do Formula-Based Intergovernmental Transfer Mechanisms Eliminate Politically Motivated Targeting? Evidence from Ghana. Working Paper. Social Science Research Network. Borcherding, T.E. dan R.T. Deacon, .1972. “The Demand for the Services of Non-Federal Governments�, American Economic Review, 62(5), Desember: 891-901.

Jumlah penduduk menentukan besarnya Dana Alokasi yang dikucurkan. Semakin besar jumlah penduduk maka proporsi jumlah DAU semakin besar dan sebaliknya. Mulai Tahun Anggaran 2006 variabel kebutuhan fiskal jumlah penduduk, dimasukkan sebagai unsur penentu besarnya jumlah DAU suatu daerah sesuai amanat UU No. 33/2004.

Biro Pusat Statistik. www.bps.go.id Departemen Keuangan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan, Laporan APBD. www.djpk.depkeu.go.id.

Luas daerah mencerminkan luas Kota/Kabupaten per Km2. Indikator dari variabel ini adalah log luas daerah. Variabel ini diikutkan sebagai faktor yang mempengaruhi keberhasilan pemerintah daerah dalam pelaksanaan standar akuntansi pemerintah., Semakin luas daerah suatu pemerintahan maka akan semakin lambat dalam melaksanakan standar akuntansi pemerintah tersebut. Variabel ini dianggap sebagai variable kontrol karena populasi penelitian berbentuk kota dan kabupaten. Mulai Tahun Anggaran 2006 variabel kebutuhan fiskal luas wilayah dimasukkan sebagai unsur penentu besarnya jumlah DAU suatu daerah sesuai amanat UU No. 33/2004. Sedangkan Indeks Kemahalan Konstruksi merupakan indikator penentu besar kecilnya DAU sesuai dengan amanat UU No. 33/2004. Semakin besar indeks tersebut maka semakin besar DAU yang dikucurkan.

Ghozali, Imam. 2005. Aplikasi Analisis Multivariat Dengan Program SPSS, Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang. Gaspersz, Vincent dan Esthon Foenay.2003. Kinerja Pendapatan Ekonomi Rakyat Dan Produktivitas Tenaga Kerja di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Jurnal Ekonomi Rakyat. Th. II No. 8 - Nopember 2003. Holtz-Eakin, Doglas, Harvey S, & Schuyley Tilly. 1994. Intertempora Analysis of State An Local Government Spending: Theory and Tests. Journal of Urban Economics 35: 159-174. Kuncoro, Mudrajat. 2004. Otonomi dan Pembangunan Daerah : Reformasi, Perencanaan, Strategi dan Peluang. Penerbit Erlangga.

KESIMPULAN 1.

2.

Secara simultan Jumlah penduduk, Luas Wilayah, Indeks Pembangunan Manusia, Indeks Kemahalan Konstruksi, dan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Harga Konstan berpengaruh terhadap besarnya Dana Alokasi Umum Kabupaten/Kota Provinsi Sumatera Utara. Secara parsial Jumlah penduduk, Luas Wilayah, Indeks Pembangunan Manusia, Indeks Kemahalan Konstruksi berpengaruh terhadap besarnya Dana Alokasi Umum Kabupaten/Kota Provinsi Sumatera Utara

Kadjatmiko. 2002. Dinamika Sumber Keuangan bagi Daerah dalam Rangka Otonomi Daerah, Prosiding Workshop International Implementasi Desentralisasi Fiskal sebagai Upaya Memberdayakan Daerah dalam Membiayai Pembangunan Daerah, FISIP Universitas Katolik Parahyangan, Bandung, hal 69. Pemerintah Provinsi Sumatera Utara, Kabupaten dan Kota di Provinsi Sumatera Utara,.2008, www.sumutprov.go.id. Panggabean dkk. 1999. Distribusi Dana Alokasi Umum (DAU). Konsep dan Formula Alokasi. (Usulan Kepada BAKD-BAKM, Departemen Keuangan Republik Indonesia). Kajian InterUniversity Center for Economic Research University of Indonesia (IUC-Economics-UI). Disampaikan pada 31 Oktober 1999. Jakarta.

REKOMENDASI Perlunya disusun kebijakan penataan DAU sehingga benar-benar berdampak pada kepentingan masyarakat di seluruh wilayah di Provinsi Sumatera Utara

_______________,Undang-Undang No 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. 354


Jurnal Inovasi Vol. 8 No. 4, Desember 2011

_______________, Undang-Undang No 33 Tentang Perimbangan Antara Pusat dan Daerah. Wong, John D. 2004. The Fiscal Impact of Economic Growth and Development on Local Government Capacity, Journal of Public Budgeting, Accounting and Financial Management. Fall. 16.3. Hal : 413-423.

355


Jurnal Inovasi Vol. 8 No. 4, Desember 2011

Teknologi Ramah Lingkungan Sebagai Pilihan Kebijakan Terbaik Dalam Pengelolaan Pertambangan Emas (Green Technology as a Best Policy Option in Gold Mining Management) Suharta Universitas Negeri Medan Jl. Willles Iskandar Pasar V Medan Naskah masuk: 20 Agustus 2011; Naskah diterima: 11 November 2011 ABSTRAK Eksploitasi besar-besaran terhadap pertambangan emas tanpa memperhitungkan kelangsungan ekosistem yang ada di dalamnya berpotensi besar dapat menimbulkan pencemaran lingkungan bio-fisik dan sosial kemasyarakatan yang bersifat negatif. Dampak negatif perubahan lingkungan tersebut dapat diantisipasi melalui penerapan Green Technology, yaitu komitmen semua stake holder pertambangan untuk mewujudkan pertambangan emas yang ramah lingkungan dan melakukan reklamasi areal bekas tambang, sekaligus dapat meningkatkan kualitas lingkungan dan kesejahteraan masyarakat di sekitarnya. Green technology merupakan teknologi yang dalam pengembangannya berdasarkan pada upaya untuk melestarikan alam dan kesejahteraan umat manusia pada masa kini dan masa yang akan datang. Pertambangan emas di Indonesia sebagian besar masih menggunakan teknologi yang tidak ramah lingkungan yaitu dengan metode amalgamasi dan/atau metode Carbon In Pulp dengan menggunakan pelarut sianida. Penggunaan pelarut klorida, tiosulfat dan pelarut tiourea merupakan pelarut yang bersifat ramah lingkungan dibandingkan dengan pelarut sianida. Pengolahan tambang emas berbasis masyarakat berpotensi dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat, lebih aman dan dapat diterapkan di wilayah Indonesia. Kata kunci: Amalgamasi, carbon in pulp, green technology, pertambangan emas, pembangunan berkelanjutan ABSTRACT Large-scale exploitation of the gold mining without considering the continuity of the ecosystem around the site potentially causing pollution of the bio-physical environment and negative impact for social community. Negative impact which changed the environment should be anticipated through the adoption of Green Technology, which is the commitment of all stake holders of gold mining to create a friendly mining environment and reclamation on the mining area, as well as to improve the quality of environment and well-being of neighboring communities. Green technology is a technology that in expansion based on the effort to preserve the environment and human well-being of present and future. Gold mining in Indonesia, mostly using un-friendly environment technology such as amalgamation method and/or Carbon In Pulp method using cyanide solvents. The use of chloride solvents, thiosulphate and thiourea solvents are environmentally friendly compared with the cyanide solvent. Community-based gold mining processing has the potential to improve the welfare of society, more secure and can be applied in Indonesia. Keywords: Amalgamation, carbon in pulp, green technology, gold mining, sustainable development pencemaran lingkungan di lokasi tambang dan sekitarnya. Eksploitasi besar-besaran terhadap pertambangan emas tanpa memperhitungkan kelangsungan ekosistem yang ada di dalamnya, berpotensi besar dapat menimbulkan pencemaran lingkungan bio-fisik dan sosial kemasyarakatan

PENDAHULUAN Pertambangan emas merupakan salah satu penyumbang devisa negara yang cukup besar. Namun sejalan dengan aktivitas pertambangan yang semakin meningkat, maka meningkat pula potensi 356


Jurnal Inovasi Vol. 8 No. 4, Desember 2011

yang bersifat negatif. Dampak negatif perubahan lingkungan tersebut seharusnya dapat diantisipasi melalui penerapan Green Technology, yaitu komitmen semua stake holder pertambangan untuk mewujudkan pertambangan emas yang ramah lingkungan dan melakukan reklamasi areal bekas tambang, sekaligus dapat meningkatkan kualitas lingkungan dan kesejahteraan masyarakat di sekitarnya. Agar tercapai keinginan tersebut maka diperlukan kebijakan dari pemerintah untuk memilih perusahaan pertambangan yang bersertifikat telah menerapkan green technology.

dan habitat yang ada. Perubahan ini bila terjadi dalam skala besar, akan menyebabkan gangguan keseimbangan lingkungan yang berdampak buruk bagi kehidupan manusia. Persoalan lain dalam pertambangan emas adalah kerusakan lingkungan pada lokasi tambang karena tidak adanya rehabilitasi bekas kawasan pertambangan. Berbagai aktivitas pertambangan yang kurang berwawasan lingkungan dan berdampak pada penurunan kualitas lingkungan, masih terjadi di sebagian besar wilayah pertambangan emas di Indonesia. Pengolahan limbah pertambangan emas yang telah dilakukan oleh perusahaan pertambangan ternyata masih belum mampu mengatasi degradasi kualitas lingkungan bio-fisik dan masalah sosial kemasyarakatan (Sumantri, dkk., 2008).

Pelaksanaan pertambangan emas di Indonesia seharusnya diarahkan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat dengan tetap mempertimbangkan prinsip - prinsip pembangunan berkelanjutan(sustainable development) untuk generasi sekarang dan generasi yang akan datang. Terciptanya keseimbangan antara pemanfaatan dan kelestarian sumberdaya alam dan lingkungan hidup merupakan prasyarat penting bagi terlaksananya keberlanjutan pembangunan di Indonesia.

Permasalahan yang dihadapi dalam pengelolaan pertambangan emas di Indonesia antara lain : kurangnya penguasaan teknologi ramah lingkungan, sumber daya manusia di bidang pertambangan yang kurang memadai, banyaknya tumpang tindih areal pertambangan dengan kawasan lindung, kurang patuhnya pengelola tambang terbuka dalam kegiatan rehabilitasi bekas kawasan pertambangan, dan kurang pedulinya pengelola tambang dalam menangani masalah tailing.

Pemanfaatan sumber daya alam yang terkendali dan pengelolaan lingkungan hidup yang ramah lingkungan akan menjadi salah satu modal dasar yang sangat penting bagi pembangunan nasional secara keseluruhan. Selain itu, ketersediaan sumber daya alam juga mampu memberikan sumbangan yang cukup berarti terhadap pembangunan ekonomi dan kesejahteraan rakyat.

Sementara itu, inventarisasi potensi dan kondisi sumber daya alam dan kualitas lingkungan hidup yang ada belum berjalan secara optimal dan belum terkoordinasi dengan baik. Penerapan tata kelola yang baik (good governance) melalui pelaksanaan prinsip-prinsip transparansi dan akuntabilitas, belum berjalan dengan baik. Tumpang tindih peraturan yang diakibatkan oleh rendahnya koordinasi antar sektor yang berkaitan dengan lingkungan hidup, belum berjalan dengan baik. Penegakan hukum untuk melindungi sumber daya alam dan lingkungan hidup masih sangat rendah.

Bangsa Indonesia memerlukan dukungan hasil sumberdaya pertambangan dan komoditi tambang untuk mempertahankan serta meningkatkan kesejahteraan rakyat, sehingga keberadaan pertambangan secara signifikan merupakan sektor yang strategis dalam kerangka pembangunan nasional (Djajadiningrat, 2007). Pada tahun 2001, sumbangan sektor sumberdaya alam terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) nasional adalah sekitar 30 persen dengan penyerapan tenaga kerja sebesar 57 persen dari total penyerapan lapangan kerja nasional (Bappenas, 2004). Namun akibat dari pemanfaatan sumber daya alam yang bersifar eksploitatif, keseimbangan dan kelestarian lingkungan mulai terganggu. Oleh karena itu, dalam rangka menjaga keseimbangan dan kelestarian lingkungan dalam pertambangan emas, perlu diambil langkah-langkah yang bijaksana agar tidak menimbulkan kerusakan lingkungan yang membahayakan bagi masyarakat sekitar pertambangan.

Di samping itu, kondisi sumber daya alam dan lingkungan hidup dipengaruhi oleh pertambahan penduduk yang pesat, kurangnya etika dan perilaku yang tidak berpihak pada kepentingan pelestarian lingkungan. Rendahnya kesadaran masyarakat akan pentingnya pengelolaan lingkungan hidup, dan lemahnya penegakan hukum di bidang lingkungan hidup memicu terjadinya kerusakan lingkungan hidup yang makin parah. Berkaitan dengan teknologi yang digunakan dalam pertambangan emas di Indonesia, banyak perusahaan pertambangan emas yang menggunakan teknologi yang berpotensi mencemari lingkungan, sehingga keberadaan perusahaan pertambangan emas justru menimbulkan kerusakan lingkungan dan mengakibatkan penderitaan bagi masyarakat di

Industri pertambangan emas terutama pertambangan terbuka akan merubah bentang alam sehingga akan menyebabkan perubahan ekosistem 357


Suharta, Teknologi Ramah Lingkungan Sebagai Pilihan Kebijakan Terbaik Dalam Pengelolaan Pertambangan Emas

sekitar industri pertambangan. Dalam hal ini, pemerintah lebih melihat dari sudut keuntungan ekonomi semata, tanpa mempertimbangkan kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh pertambangan emas.

perhatian, penguasaan bahasa, keterampilan motorik hasil, dan keterampilan ruang visual (Muslim, 2011). Data United Nations Environment Programme (UNEP) mencatat bahwa umumnya penambang emas mengkonsumsi antara 650 sampai 1000 ton merkuri setiap tahun untuk penambangan emas (Muslim, 2011).

Pemerintah harus bijaksana dalam mengambil keputusan yang berkaitan dengan hadirnya perusahaan pertambangan emas. Jangan hanya mempertimbangkan dari segi keuntungan ekonomi semata, tetapi harus dipertimbangkan juga dari aspek kelestarian lingkungan, sosial, budaya, keamanan, dll.

Dalam proses amalgamasi bijih emas, memungkinkan limbah merkuri tersebar di sekitar wilayah penambangan dan dapat membentuk pencemaran lingkungan oleh merkuri organik atau anorganik. Pencemaran akan semakin membahayakan kesehatan manusia apabila unsur merkuri dalam badan air berubah secara biokimia menjadi senyawa metil-merkuri. Terdapat beraneka jenis mekanisma oleh mikro-organisma yang dapat membentuk spesies metil-merkuri bersifat racun, terutama apabila dimakan oleh ikan dan kerang. Pengaruh organik merkuri terhadap kesehatan manusia termasuk hambatan jalan darah ke otak dan gangguan metabolisma dari sistem syaraf. Sedangkan pengaruh racun merkuri nonorganik adalah kerusakan fungsi ginjal dan hati di dalam tubuh manusia (Herman, 2006).

Kondisi Teknologi Pertambangan Emas Pada Saat Ini Pada saat ini, teknologi pertambangan emas yang paling banyak digunakan di seluruh dunia adalah metode Carbon In Pulp (CIP) dengan menggunakan pelarut sianida (Ojeda, dkk., 2009). Di samping itu, teknik amalgamasi merupakan teknik yang banyak digunakan terutama untuk penambang skala kecil. Metode Carbon In Pulp (CIP) maupun metode amalgamasi merupakan metode pemisahan emas yang sangat mencemari lingkungan (Ojeda, dkk., 2009 ; Eugene dan Mujumdar, 2009; Francois Kalos, 2011). Metode amalgamasi merupakan metode pemisahan emas dengan menggunakan pelarut merkuri. Penggunaan merkuri dalam pertambangan emas akan menimbulkan pencemaran lingkungan dan membahayakan kesehatan manusia (Veiga dan Meech, 1995). Kasus keracunan di Minamata, Jepang adalah pencemaran oleh pembuangan limbah industri yang mengandung merkuri ke dalam air danau dan menyebabkan tercemarnya ikan di dalamnya. Kasus Minamata, mengakibatkan 1.629 orang meninggal karena keracunan limbah metil merkuri yang dibuang ke Teluk Minamata yang menyusup ke dalam ikan dan kerang tangkapan nelayan yang lantas beralih ke dalam tubuh manusia yang mengonsumsi ikan dan kerang tersebut (Herman, 2006).

Di samping metode amalgamasi, metode Carbon In Pulp (CIP) merupakan teknologi pemisahan emas yang paling banyak digunakan dalam penambangan emas. Pengolahan emas dengan metode CIP pertama kali diperkenanalkan pada tahun 1951, di Dakota Selatan, Amerika Serikat, kemudian menyebar luas ke seluruh dunia. Di Asia, penggunaan metode ini dimulai di Filipina awal tahun 1980an yang kemudian diadopsi di Indonesia sekitar akhir tahun 1999. Pengolahan emas dengan metode CIP dengan pelarut sianida didasarkan kenyataan bahwa emas dapat larut dalam pelarut sianida dan membentuk senyawa kompleks [Au(CN)2]. Emas yang larut dan membentuk senyawa kompleks [Au(CN)2], selanjutnya akan diabsorpsi oleh karbon aktif.

Penumpukan merkuri akhirnya merusak sistem saraf pusat manusia, menimbulkan berbagai gejala kerusakan saraf yang dikenal sebagai ”Penyakit Minamata”. Kandungan merkuri dalam tubuh seorang ibu ”diwariskan” kepada bayi yang disusuinya, dan menghasilkan anak yang cacat. Total jumlah korban pencemaran merkuri oleh Chisso Corporation lebih dari 30.000 orang.

Pertambangan emas dengan metode CIP dapat mencemari lingkungan akibat senyawa sianida. Sianida mempunyai aktivitas yang kuat terhadap enzim cythochrom oxydase, akibatnya terjadi gangguan peredaran dan penggunaan oksigen dalam sel tubuh sehingga kadar oksigen dalam darah tinggi. Gejala yang terjadi ditandai dengan meningkatnya pernafasan tubuh akibat terpengaruhnya chemoreceptor di carotic body dan pusat pernafasan. Pada akhirnya dapat terjadi paralysa dari sel-sel tersebut yang mengakibatkan kelumpuhan total dari pernafasan (Ojeda, dkk., 2009).

Berdasarkan laporan Environmental Protection Agency Amerika Serikat yang dikutip International Persistent Organic Pollutants Elimination Network, merkuri memengaruhi dan merugikan perkembangan otak dan sistem saraf. Merkuri dapat mengurangi kemampuan berpikir, memori, 358


Jurnal Inovasi Vol. 8 No. 4, Desember 2011

Masalah lain yang berkaitan dengan pertambangan emas adalah masalah tailing. Ketika tailing dari suatu kegiatan pertambangan emas dibuang di dataran atau badan air, maka limbah unsur pencemar akan tersebar di sekitar wilayah tersebut dan dapat menyebabkan pencemaran lingkungan. Tailing dari pertambangan emas kemungkinan mengandung bahan pencemar antara lain : arsen (As), merkuri (Hg), timbal (Pb), dan kadmium (Cd). Apabila tailing yang mengandung unsur-unsur tersebut tidak ditangani secara tepat, maka mobilitas dari unsur pencemar tersebut akan merambah dalam areal yang lebih luas. Salah satu akibat yang merugikan dari arsen (As) bagi kehidupan manusia adalah apabila air minum mengandung unsur tersebut melebihi nilai ambang batas, maka dapat mengakibatkan keracunan kronis berupa iritasi usus, kerusakan syaraf dan sel. Tailing dengan kandungan timbal (Pb) dapat mengakibatkan keracunan yang bersifat kumulatif. Penyerapan unsur timbal dalam tubuh manusia akan mengikat secara kuat sejumlah molekul asam amino, haemoglobin, enzim, RNA, dan DNA. Hal ini akan mengarah kepada kerusakan saluran metabolik, hipertensi darah, hiperaktif, dan kerusakan otak. Tailing dengan kandungan kadmium (Cd) dapat menimbulkan penyakit antara lain lumbago, kerusakan tulang dengan keretakan karena melunaknya tulang dan kegagalan ginjal (Herman, 2006).

mengembangkan konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Produk dari era konferensi Rio tercermin, antara lain, dalam konvensi keanekaragaman hayati (biodiversity convention), konvensi perubahan Iklim (climate change convention), dan suatu Deklarasi Pembangunan Berkelanjutan Pengelolaan Hutan, serta agenda 21. Pengaruh dari perkembangan baru ini dengan segera pula mempengaruhi kebijakan dan hukum lingkungan di berbagai negara, termasuk Indonesia (Silalahi, 2003). Word Submit on Sustainable Development (WSSD) yang memuat prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan sebagai pendekatan baru berdasarkan pertimbangan keterkaitan dan kesalingtergantungan pembangunan ekonomi, pembangunan sosial dan pembangunan lingkungan. Dalam pembangunan nasional yang terpenting bukanlah pembangunan dalam arti fisik semata, akan tetapi perubahan pada anggota masyarakat, dan nilai-nilai yang mereka anut. Jadi hakekat daripada pembangunan nasioanl adalah pembaharuan cara berfikir dan sikap hidup. Sebab tanpa perubahan sikap dan cara berfikir maka pengenalan lembaga-lembaga modern dalam kehidupan tidak akan berhasil dengan baik. Teknologi ramah lingkungan (green technology) merupakan teknologi yang dalam pengembangannya berdasarkan pada upaya untuk melestarian alam yang meliputi aspek ekonomi, sosial dan budaya, sumber daya alam, dan lingkungan. Oleh karena itu, dalam proses penciptaan teknologi harus disertai dengan tanggung jawab dan konsekuensi dari segala akibatnya. Bertanggung jawab terhadap kesejahteraan umat manusia di masa kini dan masa yang akan datang serta bertanggung jawab terhadap kelestarian alam. Prinsip-prinsip dari pembangunan berkelanjutan menjadi inti dari teknologi ramah lingkungan.

Teknologi Ramah Lingkungan (Green Technology) Teknologi ramah lingkungan adalah aplikasi dari ilmu-ilmu lingkungan untuk melestarikan lingkungan alam dan sumber daya alam, dan membatasi dampak negatif dari keterlibatan manusia. Pembangunan berkelanjutan adalah inti dari teknologi ramah lingkungan (Silalahi, 2003). Konferensi PBB tentang Pembangunan dan Lingkungan (United Nation Conference on Environment and Development) yang diadakan di Rio de Janeiro pada tahun 1992, mengkritik konsep pembangunan yang dilaksanakan selama ini yang dianggap gagal karena tidak membawa perubahan yang signifikan. Perkembangan ilmu dan teknologi baru, dianggap tidak membawa keadilan bagi negara berkembang, sebab sekitar 70% penduduk dunia yang berada di negara berkembang hanya memperoleh 30% dari pendapatan dunia yang akan menimbulkan ketidakadilan yang berkelanjutan.

Tujuan utama dalam pengembangan teknologi ramah lingkungan adalah : 1. Menemukan cara yang dapat menghasilkan teknologi dengan cara yang tidak merusak lingkungan dan tidak menguras sumber daya alam. 2. Mengurangi bahan bakar fosil dan lebih sedikit menimbulkan kerusakan alam. 3. Produk dapat digunakan kembali (daur ulang).

Berkat dari pekerjaan yang serius dari Komisi Dunia Pembangunan dan Lingkungan atau dikenal sebagai The World Commission on Environment and Development, dikenal pula sebagai The Brundtland Commission dalam laporannya yang berjudul Our Common Future,

Pembangunan yang dijalankan oleh pemerintah pada saat ini cenderung terfokus pada pembangunan ekonomi semata, sehingga masalah kelestarian lingkungan belum menjadi prioritas utama. Tingginya tarik menarik politis dari kepentingan ekonomi jangka pendek, dapat mendistorsi 359


Suharta, Teknologi Ramah Lingkungan Sebagai Pilihan Kebijakan Terbaik Dalam Pengelolaan Pertambangan Emas

klorida. Dalam pelarut klorida, emas (Au) akan diubah menjadi senyawa [AuCl4]. Untuk mengikat emas dalam campuran digunakan adsorben surfaktan amonium kuaterner. Pada larutan [AuCl4] jika ditambahkan surfaktan amonium kuaterner maka akan terbentuk partikel primer. Partikel primer yang terbentuk jika diagitasi dengan kecepatan yang relatif tinggi maka akan terbentuk agregat emas, sehingga emas dapat terpisah dari campurannya. Perbandingan konsentrasi surfaktan amonium kuaterner dengan larutan [AuCl4] untuk mencapai kondisi optimum adalah 4 : 1, dengan harga pH sebesar 2,0. Dengan menggunakan panjang rantai hidrofob yang berbeda-beda dari surfaktan amonium kuaterner maka diperoleh optimasi jenis surfaktan amonium kuaterner yang digunakan. Dari ketiga jenis surfaktan amonium kuaterner yang diuji yaitu HTMAB, TTMAB, dan DTMAB, ternyata surfaktan DTMAB memberikan hasil yang paling optimum. Dengan menggunakan surfaktan DTMAB akan dihasilkan agregat emas dengan ukuran yang lebih besar jika dibandingkan dengan menggunkan surfaktan HTMAB dan TTMAB. Hasil rekoveri emas yang diperoleh dalam penelitian ini dengan menggunakan surfaktan DTMAB adalah sebesar 92,60%. Metode pemisahan emas yang dikembangkan ini disebut sebagai metode agregasi hidrofobik sistem larutan (Suharta, 2000).

keputusan yang diambil oleh pemerintah dan mengalahkan kepentingan rakyat dalam jangka panjang. Seringkali terjadi bahwa dalam pengambilan keputusan oleh pemerintah dibengkokkan oleh kepentingan pemodal yang memiliki kedekatan dengan kekuasaan. Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila pengambilan kebijakan lebih memilih jalan pintas yang cepat kelihatan hasilnya dan kurang memperhatikan kehidupan umat manusia pada masa yang akan datang. Rendahnya komitmen pemerintah dalam pelaksanaan pembangunan berkelanjutan akan mengakibatkan kehancuran kehidupan di masa yang akan datang. Oleh karena itu, sudah seharusnya pada saat ini pemerintah memberikan perhatian yang besar pada masalah pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Dalam perkembangannya disadari bahwa pembangunan berkelanjutan tidak hanya terkait dengan aspek lingkungan hidup semata, namun juga menyangkut pembangunan ekonomi dan sosial budaya. Pembangunan berkelanjutan akan berhasil jika diintegrsikan antara pembangunan ekonomi, sosial budaya dan pelestarian lingkungan. Konsep pembangunan berkelanjutan seringkali terganjal oleh kurangnya implementasi yang kurang baik oleh pemerintah. Sedangkan dari segi administrasi, erat kaitannya dengan kemampuan pemerintah untuk melaksanakan secara konsisten kebijakan yang didasarkan pada prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan (Adiningsih, 2007).

Di samping itu, telah dipelajari juga tentang mekanisme pembentukan agregat emas dari sistem larutan [AuCl4] dengan surfaktan amonium kuaterner. Mekanisme tersebut digunakan sebagai dasar dalam pengembangan metode pemisahan emas yang dapat diterapkan di industri pertambangan (Suharta, 2005).

Green Technology dalam Pertambangan Emas Pada dekade terakhir ini banyak penelitian yang mengembangkan teknologi ramah lingkungan dalam pertambangan emas. Salah satu usaha yang dilakukan adalah mengganti pelarut sianida dengan pelarut lain yang lebih bersifat ramah lingkungan. Banyak penelitian dilakukan untuk menggantikan pelarut sianida, dengan pelarut lain, misalnya pelarut dari senyawa thiourea (Fang dan Muhammed, 1992), dan pelarut dari senyawa klorida (Wang, et.al., 1993; Sparrow dan Woodcock, 1995). Bijih emas dalam pelarut klorida akan menghasilkan larutan emas dalam bentuk senyawa kompleks [AuCl4]. Penggunaan pelarut klorida nampaknya lebih disenangi karena kelarutan bijih emas dapat mencapai lebih dari 99% dalam jangka waktu sekitar 1 – 2 jam (Harris dan Stanley, 1986; Demopoulos, et.al., 1989). Proses pelarutan bijih emas dalam pelarut klorida berlangsung dengan cepat sehingga secara ekonomis menguntungkan (Tran, et.al., 1992). Pelarutan bijih emas dalam senyawa klorida lebih bersifat ramah lingkungan (Sparrow dan Woodcock, 1995).

Seperti yang telah dilakukan oleh Suharta, Ojeda, dkk. (2009), memisahkan emas dari bijihnya dengan menggunakan pelarut klorida. Dalam penelitian ini dipelajari pengaruh temperatur pemanasan dan waktu pelarutan yng dibutuhkan untuk melarutkan bijih emas. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa pada temperatur pelarutan sebesar 873 K dalam waktu selama 3600 detik, dapat diperoleh hasil rekoveri emas sebesar 98,23%. Pada temperatur pelarutan yang sama dan waktu pelarutan ditingkatkan menjadi 5400 detik, maka akan diperoleh rekoveri emas sebesar 98,73%. Eugene dan Mujumdar (2009), dari National University of Singapore (NUS) melaporkan hasil penelitiannya dalam Minerals, Metals, and Materials Technology Center (M3TC) bahwa pelarutan bijih emas dengan senyawa klorida dapat melarutkan bijih emas yang tidak bisa dilarutkan dengan pelarut sianida. Sebagai contoh, bijih emas yang mengandung senyawa sulfida dan bijih emas

Suharta (2000) telah mengembangkan metode pemisahan emas dengan menggunakan pelarut 360


Jurnal Inovasi Vol. 8 No. 4, Desember 2011

Pemisahan emas dengan menggunakan pelarut tiosulfat juga dilakukan dari Universitas Queen (Parteq, 2006). Menurut peneliti dari Universitas Queen, pemisahan emas dengan pelarut tiosulfat lebih bersifat ramah lingkungan dan mudah cara pengerjaanya. Setelah dilarutkan dalam pelarut tiosulfat maka emas akan membentuk kompleks Au(S2O3)23-. Dalam penelitian ini hasil rekoveri emas yang diperoleh adalah sebesar 100% dalam waktu yang sangat singkat dengan kecepatan pengadukan sebesar 210 rpm.

yang mengandung senyawa karbon, tidak bisa dilarutkan dengan pelarut sianida, tetapi bijih emas tersebut dapat larut dalam pelarut klorida dan pelarut tiourea. Francois Kalos (2011), President dan CEO dari Conway Resources Inc., menyatakan bahwa pelarutan bijih emas dengan senyawa klorida lebih murah biayanya dan lebih efisien dibandingkan dengan proses pelarutan dengan senyawa sianida. Untuk melarutkan bijih emas dengan pelarut klorida dibutuhkan waktu sekitar 1 sampai 2 jam, sedangkan dengan pelarut sianida dibutuhkan waktu 1 sampai 2 hari. Di samping itu, pelarut klorida lebih bersifat ramah lingkungan dibandingkan dengan pelarut sianida. Dengan menggunakan pelarut klorida, tailing yang dihasilkan berbentuk padat dan bersifat inert sehingga mudah dalam penangannya. Tailing ini dapat diubah menjadi produk komersial yang dapat digunakan dalam industri konstruksi. Hasil rekoveri emas yang diperoleh dengan menggunakan pelarut klorida adalah sebesar 95%.

Anderson dan Meech (2006) melakukan penelitian pemisahan emas dengan metode yang ramah lingkungan yaitu metode phytomining. Metode phytomining merupakan proses ekstraksi logam emas dengan menggunakan tanaman. Untuk mengekstraksi logam emas digunakan brassica juncea. WiseGeek (2011), memisahkan emas dengan menggunakan gas nitrogen dan buih yang dihasilkan dari surfaktan dalam sistem larutan. Selanjutnya logam emas dipisahkan dengan teknis sentrifus sehingga emas terpisah dari campurannya. Gas nitrogen dapat berbuih dengan adanya surfaktan dan membentuk lapisan buih yang bergerak ke atas. Butiran-butiran emas akan diabsorpsi oleh buih dan dipisahkan dari campurannya. Pemisahan dengan metode buih ini dapat dilaksanakan dalam suatu wadah yang kontinu. Logam emas akan terpisah dari campurannya.

Liu dan Wei (2004) dari Universitas Nasional Chung Cheng, Taiwan telah melakukan pemisahan emas dengan metode kapiler elektrophoresis dengan menggunakan adsorben surfaktan sodium dodesilsulfat (SDS). Metode yang dikembangkan ini ternyata memiliki beberapa keunggulan yaitu memiliki efisiensi pemisahan yang tinggi, bersifat ramah lingkungan, temperatur pemisahan yang rendah, dan hasil rekoveri emas yang diperoleh mencapai 97 %.

Pemerintah Suriname bekerjasama dengan perusahaan Haber Inc. melakukan implementasi teknologi ramah lingkungan dalam pertambangan emas di negara tersebut (Haber Inc, 2010). Metode yang digunakan dinamakan Haber Gold Process Four (HGP4). Metode HGP4 ini sangat ramah lingkungan, sangat ekonomis, dan merupakan teknologi yang sangat menjajikan di masa yang akan datang.

Kinoshita, dkk (2004), memisahkan emas dengan menggunakan pelarut klorida yang bersifat lebih ramah lingkungan. Sebagai adsorben digunakan surfaktan nonionik yaitu polyoxyethylen nonyl phenyl ether. Surfaktan ini mempunyai afinitas yang kuat terhadap kompleks [AuCl4] sehingga dapat memisahkan emas dari campurannya dengan rekoveri sekitar 90%. Suratman (2009), melakukan pemisahan emas dari bijihnya dengan menggunakan pelarut tiosulfat yang bersifat ramah lingkungan. Bijih emas diperoleh dari Sukabumi, Jawa Barat, dengan kadar emas sebesar 8,5 g/ton dan kandungan perak sebesar 67 g/ton. Dalam bijih emas yang digunakan untuk penelitian juga mengandung unsur sulfur yang cukup tinggi yaitu 5,11 %. Hasil penelitian menunjukkan bahwa konsumsi tiosulfat sangat dipengaruhi oleh aerasi, konsentrasi penambahan amonia, pH larutan, dan konsentrasi awal tiosulfat. Pemisahan emas yang paling efektif dicapai dengan menggunakan konsentrasi tiosulfat sebesar 0,1 M dan hasil rekoveri emas yang diperoleh adalah 80 %.

Pembelajaran untuk Pemerintah Provinsi Sumatera Utara dalam Pengelolaan Pertambangan Emas Kandungan mineral logam emas dan perak, ternyata banyak terdapat di wilayah Provinsi Sumatera Utara. Beberapa kabupaten/kota yang terindikasi menyimpan mineral emas antara lain Kabupaten Tapanuli Selatan, Kabupaten Mandailing Natal dan Kabupaten Padang Lawas. Sejauh ini potensi deposit emas terbesar di Tapanuli Bagian Selatan terdapat di Kecamatan Batangtoru (Tapanuli Selatan Dalam Angka, 2011) Proyek tambang emas Martabe memiliki deposit yang dapat diproduksi diperkirakan sebanyak 6,5 361


Suharta, Teknologi Ramah Lingkungan Sebagai Pilihan Kebijakan Terbaik Dalam Pengelolaan Pertambangan Emas

Pengalaman pengolahan tambang emas berbasis masyarakat yang terjadi di Tatelu, Kabupaten Minahasa Utara dapat menjadi pertimbangan untuk bisa diterapkan juga di Sumatera Utara. Jauh sebelum ditetapkan sebagai Wilayah Pertambangan Rakyat, tambang Tatelu sempat menjadi buah bibir masyarakat Indonesia bahkan dunia Internasional sebagai pertambangan rakyat yang tidak layak. Namun masyarakat Tatelu terus belajar bagaimana mengelola pertambangan tradisional yang ramah lingkungan dalam memanfaatkan tambang emas untuk kesejahteraan rakyatnya.

ton emas dan perak 66,4 ton per tahun selama 10 tahun ke depan. Namun yang sudah dipastikan, cadangan emasnya sekitar 2,7 ton dan perak 32,8 ton. Pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang sekarang di proyek Martabe adalah GResources Group Limited Hongkong. Perusahan ini dikabarkan menguasai wilayah pertambangan seluas 163.927 Ha yang seberan lokasinya membentang di wilayah lima kabupaten/kota yang meliputi Kabupaten Tapanuli Selatan, Kabupaten Tapanuli Utara, Kabupaten Tapanuli Tengah, Kabupaten Mandailing Natal dan Kota Padang Sidempuan. Pertambangan emas di Batangtoru sempat tertunda karena adanya peralihan kepemilikan yang sebelumnya ada pada Aginrcourt, Australia yang berpindah pada perusahaan G. Resources, Hongkong. Belakangan ini dikabarkan bahwa G-Resources Group Limited juga telah menemukan zona mineralisasi emas baru di sekitar proyek Martabe. Lokasi baru yang cukup prospek ini berada di wilayah yang dikenal dengan nama Horas atau Barani Selatan yang lokasinya hanya tiga kilometer dari lokasi konstruksi proyek tambang emas Martabe (Vivanews.com, 2011).

Warga Tatelu meyakinkan pemerintah dan masyarakat dunia bahwa apa yang dituduhkan sebelumnya adalah tidak benar. Masyarakat Tatelu berhasil membangun fondasi yang kuat untuk memberi tekanan kepada pemerintah daerah bahwa kehadiran Perusahaan besar dalam mengelola pertambangan emas bukanlah menjadi keharusan. Masyarakat setempat berhasil memperjuangkan hak-haknya dari ancaman aktifitas perusahaan tambang kelas dunia yaitu PT Tambang Tondano Nusajaya mitra perusahaan PT Meares Soputan Minning yang bernaung dalam Aurora Group (Wanuata, 2011).

Sementara itu yang melakukan eksplorasi pertambangan emas di Kabupaten Mandailing Natal adalah PT Sorik Mas Mining, sebanyak 75 persen saham dimiliki Sihayo Gold Limited dan sisanya 25 persen dimiliki PT Aneka Tambang. Perusahaan ini sudah sejak 1998 sebagai pemegang kuasa pertambangan (kontrak karya) di wilayah ini yang mencakup Kecamatan Kotanopan, Kecamatan Muara Sipongi dan Kecamatan Ulu Pungkut dengan area wilayah pertambangan seluas 24.300 Ha.

Perusahaan tambang tersebut tidak mampu mempertahankan posisinya dari perlawanan warga Tatelu yang tidak ingin sumber daya alamnya dikuasai oleh pihak luar. Warga Tatelu yakin bahwa mereka mampu mengelola tambang emas itu dengan teknologi ramah lingkungan yang dikembangkan bersama dengan pemerintah desa dibantu kaum akademi dan pakar lingkungan di wilayah tersebut.

Selain di Kabupaten Tapanuli Selatan dan Kabupaten Mandailing Natal juga terdapat potensi yang cukup besar kandungan emas di Kabupaten Padang Lawas. Wilayah yang sangat berpotensi sebagai wilayah pertambangan yang menarik investor meliputi Kecamatan Batang Lubu Sutam, Kecamatan Sosopan dan Kecamatan Sosa (Tapanuli Selatan Dalam Angka, 2011).

Pada tahun 2010, pemerintah kabupaten dan DPRP Sumbawa, Nusa Tenggara Barat melakukan peninjauan dan mereka sangat tertarik dengan cara pengolahan tambang emas di wilayah tersebut. Selanjutnya pertambangan Tatelu menjadi tujuan penelitian dan studi dari berbagai pihak baik dari dalam dan luar negeri. Kalangan media juga berlomba melakukan peliputan di kawasan itu yang mengulas tentang aktivitas pertambangan dari sisi kemanusiaan. Sebuah televisi ternama dari Korea yaitu KTV meliput langsung aktivitas warga penambang selama dua minggu pada bulan Pebruari 2011. Akhirnya, tambang Tatelu dijadikan sebagai wilayah pertambangan rakyat dan pemerintah Kabupaten Minahasa Utara melakukan kajian mendalam dan kemudian menilai bahwa tambang Tatelu layak mendapatkan Surat Keputusan tentang Penetapan Wilayah Pertambangan Rakyat, nomor : 02/DISTAMBEN/2010, tanggal 18 Mei 2011, yang dikenal dengan SK WPR Bupati untuk Tambang Tatelu dan Talawaan, masing-masing seluas 25 hektar.

Besarnya potensi kandungan emas yang ada di Provinsi Sumatera Utara harus memberikan kesejahteraan sebesar-besarnya bagi rakyat. Jangan sampai kekayaan alam yang begitu besar ini justru akan menjadi permasalahan di masa yang akan datang. Terciptanya keseimbangan antara pemanfaatan dan kelestarian sumberdaya alam dan lingkungan hidup merupakan prasyarat penting bagi terlaksananya pertambangan emas di wilayah ini. Salah satu hal yang harus dipertimbangkan oleh Pemerintah Daerah Provinsi Sumatera Utara berkaitan dengan teknologi yang digunakan dalam pertambangan emas. Di samping itu, penanganan masalah tailing harus menjadi perhatian yang serius.

362


Jurnal Inovasi Vol. 8 No. 4, Desember 2011

Setelah keluarnya ijin Wilayah Pertambangan Rakyat maka aktivitas pertambangan Tatelu semakin bergelora. Melalui ijin pemerintah desa, warga lokal bisa melakukan kemitraan dengan pemodal luar untuk melakukan penambangan emas. Sistem kemitraan tersebut diawasi dengan ketat oleh pemerintah desa dengan maksud bahwa warga lokal adalah yang utama dan pihak luar hanyalah pemodal dan tidak boleh menguasai sepenuhnya aset-aset yang ada. Kebijakan pemerintah desa tersebut sangat kuat terpatri dalam aturan. Bila ada yang melanggar, petugas pertambangan akan membatalkan kemitraan. Dari sisi keamanan, pemerintah desa membentuk petugas pos penjagaan yang berfungsi menjamin keamanan dan tim reaksi cepat bila terjadi kecelakaan kerja (Wanuata, 2011).

3.

4.

5.

KESIMPULAN

Pertambangan emas dengan metode amalgamasi dan metode Carbon In Pulp (CIP) dengan pelarut sianida merupakan teknologi pertambangan emas yang sangat mencemari lingkungan, sehingga harus dihindari untuk diterapkan di Indonesia. Pengolahan tambang emas berbasis masyarakat perlu terus dikembangkan di Indonesia khususnya di Sumatera Utara, seperti yang terjadi di Pertambangan Emas Tatelu, Kabupaten Minahasa Utara. Dinas Pertambangan dan Energi Provinsi Sumatera Utara harus lebih bijaksana dalam memilih dan menentukan Perusahaan Pertambangan Emas yang akan beroperasi di wilayah ini dengan mengutamakan perusahaan pertambangan emas yang secara konsisten sudah menerapkan green technology.

DAFTAR PUSTAKA

Berdasarkan atas uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa : 1. Green technology merupakan teknologi yang dalam pengembangannya berdasarkan pada upaya untuk melestarikan alam dan kesejahteraan umat manusia pada masa kini dan masa yang akan datang. 2. Pelaksanaan pertambangan emas di Indonesia sebagian besar belum menerapkan green technology. 3. Pertambangan emas di Indonesia sebagian besar masih menggunakan teknologi yang tidak ramah lingkungan yaitu dengan metode amalgamasi dan/atau metode Carbon In Pulp dengan menggunakan pelarut sianida. 4. Penggunaan pelarut klorida, tiosulfat dan pelarut tiourea merupakan pelarut yang bersifat ramah lingkungan dibandingkan dengan pelarut sianida. 5. Pengolahan tambang emas berbasis masyarakat berpotensi dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat, lebih aman dan dapat diterapkan di wilayah Indonesia.

Adiningsih, S., 2007, Seminar Ilmiah Musyawarah Nasional Perhimpunan Cendekiawan Lingkungan Indonesia, Jakarta, 24 November 2007. Anderson, C., and Meech, JA., 2006, Growing Gold : Using Metal Accumulating Plant to Produce Gold, Center for Environmental Reseach in Minerals, Metals, and Materials. Bappenas, 2004, Perbaikan Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Pelestarian Fungsi Lingkungan Hidup, www.bappenas.go.id. Cooper, Phillip J. Dan Vargas, Claudia M., Implementing Sustainable Development from Global Policy to Local Action, Rowman & Littlefield Publisher Inc., UK, 2004 Demopoulos, G.P., V.G. Papangelakis, B.R. Buchanan, P.R. Mainwaring (1989), Direct solubilization of refractory gold by pressure chloride leaching, Extraction Metallurgy, 23, 603 – 627.

REKOMENDASI

Djajadiningrat, ST., 2007, Prtambangan Lingkungan dan Kesejahteraan Masyarakat. Makalah Seminar Ilmiah Nasional : Mining, Environment and People Welfare, International Center for Coastal and Small Island Environment Studies, Universitas Sam Ratulangi.

Beberapa rekomendasi yang dapat diberikan dalam tulisan ini antara lain : 1. Dalam pelaksanaan pertambangan emas di Indonesia, pemerintah harus membuat kebijakan dengan menerapkan green technology sebagai pilihan yang terbaik. 2. Pelaksanaan pertambangan emas di Indonesia seharusnya diarahkan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat dengan tetap mempertimbangkan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan (sustainable development) untuk generasi sekarang dan generasi yang akan datang.

Djunaidi, M., 2008, Kajian Pencemaran Air Sungai dan Analisis Risiko Terhadap Lingkungan di Sekitarnya akibat Penambangan Bijih Emas, Jurnal Teknik Dintek, Vol. 2 No. 02, September 2008, hal. : 45 – 55.

363


Suharta, Teknologi Ramah Lingkungan Sebagai Pilihan Kebijakan Terbaik Dalam Pengelolaan Pertambangan Emas

Eugene, WWL., dan Mujumdar, AS., 2009, Gold Extraction and Recovery Processes, Minerals Metals and Materials Technology Centre, Natioal University of Singapore.

Suharta, (2000), Mekanisme dan Selektivitas Pemisahan Emas dengan Metode Agregasi Hidrofobik, Disertasi ITB, Bandung. Suharta, (2005), Mekanisme Reaksi dalam Pembentukan Agregat Emas dalam Sistem Larutan Sebagai Dasar dalam Teknik Pemisahan di Industri Pertambangan, Saintika, 5 (1), 21 – 28.

Fang, Z., Muhammed, M. (1992), Leaching of precious metals from complex sulphide ores on the chemistry of gold lixiviation by thiourea, Mineral Processing and Extractive Metallurgy Review, 11, 39 – 60.

Sumantri, A.; Harmani, N.; Wibisono, B., 2008, Studi Pengelolaan Lingkungan Berkelanjutan di Wilayah Pengendapan Pasir Sisa Tambang, Jurnal Ekologi Kesehatan, Vol. 7 No. 2, Agustus 2008, hal. 758 – 768.

Francois Kalos, 2011, Conway Resources Obtains Excellent Result for Green Technologies, Conway Resources Inc., Quebec City. Haber Inc., 2010, The Surinamese Government Makes A Committment To Enter Into A Memorandum of undertanding With Haber Inc. To Implement Its green Gold Technology Throughout The Country, Florence Tambone.

Tapanuli Selatan Dalam Angka, 2011, Pertambangan Mineral Logam Emas dan Batuan di Tapanuli Bagian Selatan : Seberapa Besar Potensinya. Tran, T., Davis, A., Song, J. (1992), Extraction of gold in halide media, Extractive Metallurgy of Gold and Base Metals, 42, 323 - 327.

Harris, G.B., R.W. Stanley (1986), Hydrometallurgical treatment of silver refinery anode slimes, Precious Metals, 11, 233 – 243.

Wang, Y., Deng, t., Ke, J. J. (1993), Gold recovery with solvent sublation from chloride solutions, International Journal of Mineral Processing, 40, 57 68.

Herman, DZ., 2006, Tinjauan terhadap Tailing mengandung Unsur Pencemar Arsen, Merkuri, Timbal, dan Kadmium dari Sisa Pengolahan Bijih Logam, Jurnal Geologi Indonesia, Vol. I No. 1, Maret 2006, hal. : 31 – 36.

Wise Greek, 2011, What is Foam Separation, Conjectur Corporation.

Kinoshita, T., Akita, S.; Ozawa, S.; Nii, S.; Kawaizumi, F.; Takahashi, K., 2004, continous Recovery of Gold (III) via Foam Separation with Nonionic Surfactant, Jurnal of Minerals and Materials Characterization and Engineering, Vol. 3 No. 1, hal : 53 – 63.

Wanuata, 2011. WPR Tatelu, Kisah Pengelolaan Tambang Berbasis Masyarakat. Veiga, MM., dan Meech, JA., 1995, A Brief history of Amalgamation Practices in The Americas.

Muslim, Abrar, 2011, Merkuri dalam Pertambangan Emas, Waspada eNews.

Vivanews.com., 2011, Ditemukan Tambang Emas Baru di Sumatera Utara, 19 Desember 2011.

Ojeda, M.W.; Perino, E.; dan Ruiz, M.del C., 2009, Gold Extraction by Chlorination using a Pyrometallurgical Process, Minerals Engineering, 22 (2009), hal. 409 – 411. Parteq, 2006, A Novel Gold Recovery Technology Precipitation of Gold from Thiosulfate Leaching Solution, Wellspring Wordwide, LLC Silalahi, D., 2003, Seminar Pembangunan Hukum nasional VIII, Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman dan Hak-Hak Asasi Manusia RI, Denpasar, 14 – 18 Juli, 2003. Sparrow, G.J., Woodcock, J.T. (1995), Cyanide and other lixiviant leaching systems for gold with some practical applications, Mineral Processing and Extractive Metallurgy Review, 14, 193 - 247.

364


Pedoman Penulisan Naskah Ilmiah Jurnal INOVASI Jurnal INOVASI memuat karya tulis ilmiah hasil penelitian atau tinjauan kepustakaan dalam bidang pemerintahan dan kemasyarakatan, sosial budaya, ekonomi dan pembangunan, sumberdaya alam dan maritim sebagai bahan kebijakan dan wawasan berpolitik. Jurnal INOVASI terbit empat kali dalam setahun setiap bulan Maret, Juni, September dan Desember. Naskah yang akan diterbitkan dalam Jurnal INOVASI Balitbang Provinsi Sumatera Utara, harus memenuhi ketentuan berikut : 1. Naskah berupa karya asli yang belum pernah dipublikasikan di tempat lain dan tidak sedang diajukan ke tempat lain. 2. Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia atau Inggris sesuai kaidah masing-masing bahasa yang digunakan. 3. Komponen utama naskah memuat hal-hal berikut: a. b.

c.

d.

e.

f.

g.

h. i.

setidak-tidaknya

Judul, ditulis dengan jelas menggambarkan isi tulisan. Identitas Penulis, dimuat di bawah judul tulisan, memuat nama, alamat korespondensi dan e-mail. Abstrak ditulis dalam Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris beserta kata kuncinya. Abstrak ditulis dalam 1 alinea berisi masalah, tujuan penelitian, hasil dan saran/ usulan. Pendahuluan, tidak menggunakan subjudul, berisi penjelasan padat dan ringkas tentang latar belakang penelitian, studi pustaka yang mendukung dan relevan, serta tujuan penelitian. Metode Penelitian berisikan disain penelitian yang digunakan, populasi, sampel, sumber data, instrumen, analisis dan teknik analisis yang digunakan. Hasil adalah temuan penelitian yang disajikan apa adanya tanpa pendapat penulis. Pembahasan menjelaskan dengan baik serta argumentatif tentang temuan penelitian serta relevansinya dengan penelitian terdahulu. Kesimpulan menjawab tujuan penelitian tanpa melampauinya. Rekomendasi berisi usulan-usulan kebijakan yang memungkinkan dihasilkan, berisi bentuk dan telaahannya untuk dilaksanakan mengacu pada prinsip tepatguna, logis dan relevan.

4. Tabel, gambar dan grafik dapat terbaca dengan jelas dan hendaknya agar dilampirkan secara terpisah serta diberi penjelasan yang memadai. 5. Penulisan rujukan sesuai dengan model Harvard. Pada isi tulisan, nama penulis ditulis disertai dengan tahun penulisannya. Pada bagian Daftar Pustaka, penulisan diurut sesuai dengan abjad. 6. Beberapa contoh bentuk referensi dalam jurnal ini adalah: Buku Abel, R. 2004. Revolusi Kesehatan Mata: Pencegahan dan Pengembalian Masalah Penglihatan. New York: Kensington Book Chaniago, A. 2010. Studi Pustaka dan Konseptualisasi Penelitian. Dalam: Zaluchu, F. Metodologi Penelitian Kesehatan. Bandung: Citapustaka Media, hal 79-92. Artikel dari Jurnal Ang, L. dan Taylor, B. 2005. Memanajemen Keuntungan Konsumen Menggunakan Matriks Portofolio. Jurnal Pemasaran dan Manajemen Konsumen Strategik 12 (5), hal 298-304 Bagian di dalam buku Ballinger, A. dan Clark, M. 2001. Nutrisi, Pengendalian Nafsu Makan dan Penyakit. Dalam: Payne-James, J. dkk. editor. Dukungan Artifisial bagi Praktik Klinik. Edisi kedua. London: Greenwich Medical, hal 225-239 Koran Benoit, B. 2007. Peran G8 dalam Pemanasan Global. Harian Kompas 29 Mei 2007, hal 9. Laporan Komisi Eropa. 2004. Laporan Pendahuluan terhadap Implementasi dari Strategi Pemasaran Internal 2003-2006. Luxemburg: Unit Publikasi Komisi Eropa. Konferensi Fiedelius, H.C. 2000. Miopi dan Penurunan Visual: Aspek Global. Dalam: Lin, L.L.K. dkk. editor. Miopia Terbarukan II: Prosiding Konferensi Internasional ke-7. Taipei, 17-20 Nopember 1998. Tokyo: Springer, hal 31-37. Tesis Garcia-Sierra, A. 2000. Investigasi Penyebab Ca-Serviks pada Wanita Usia Subur di Perkotaan. Tesis PhD, Universitas Indonesia. Jurnal Artikel Elektronik Merchant, A.T. 2009. Diet dan Aktifitas Fisik pada AnakAnak di Kawasan Kumuh Perkotaan: sebuah Studi Cross Sectional. Jurnal Nutrisi [Online] Edisi 6. Dari: http://www.nutritionj.com/content/pdf/1475-2891-6.1.pdf [Diakses: 10 Mei 2007]. Web Page Thompson, B. 2006. Mengapa Balita Butuh ASI [Online]. Dari: http://news.bbc.co.uk/1/hi/health/459876 [Diakses: 10 Mei 2007].


Depkes RI. 2006. Panduan Imunisasi [Online]. Dari: http://www.depkes.go.id/bayi_panduan_imunisasi/2345 [Diakses: 19 Februari 2011].

7. Naskah dituliskan dengan menggunakan Times New Roman 12, maksimal 20 halaman A4 spasi ganda, ditulis dengan program komputer Microsoft Word. 8. Naskah yang masuk hendaknya diterima 2 (dua) bulan sebelum waktu penerbitan untuk direview oleh anggota dewan redaksi dan reviewer (mitra bestari) yang ditunjuk oleh Dewan Redaksi. 9. Dewan Redaksi berhak menolak naskah ilmiah yang dianggap tidak layak muat di Jurnal Inovasi. Naskah diserahkan dalam 2 (dua) media yaitu hardcopy dan softcopy yang keduanya harus memuat isi yang sama. Nama file, judul dan nama penulis naskah dituliskan pada label CD. Naskah dipersiapkan dengan menggunakan pengolah kata Microsoft Word. Pengiriman naskah ke alamat redaksi melalui surat elektronik ke : balitbangsumut@yahoo.co.id atau melalui pos ke : Dewan Redaksi Jurnal INOVASI Badan Penelitian Dan Pengembangan Provinsi Sumatera Utara Jl. Sisingamangaraja No. 198 Medan 20126 10. Redaksi berhak menolak naskah yang isi dan formatnya tidak sesuai dengan pedoman penulisan naskah di atas dan redaksi tidak berkewajiban untuk mengembalikan naskah tersebut. 11. Setiap penerimaan atau penolakan naskah akan disertai dengan surat resmi yang ditandatangani oleh Dewan Redaksi dan dikirimkan kepada penulis. 12. Setiap penulis yang karya tulisnya telah diterbitkan, akan mendapat satu buah cetak lepas dan satu buah full print. 13. Setiap penulis menyetujui untuk mengalihkan hak ciptanya ke Jurnal Inovasi jika naskahnya diterima untuk diterbitkan.


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.