Jurnal Inovasi Juni 2009

Page 1


INOVASI : Vol. 6. No. 2, Juni 2009

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

Volume 6, Juni 2009 Nomor. 2

INOVASI Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

PENASEHAT Kepala Balitbang Provinsi Sumatera Utara

Daftar Isi : Evaluasi Mutu Guru Pendidikan Dasar Dalam Rangka Sertifikasi Profesi Pendidik Di Provinsi Sumatera Utara (Muhammad Amin)

79

Alokasi Anggaran Pendidikan Pada Apbd Kabupaten/Kota Di Provinsi Sumatera Utara (Suatu Penelitian Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Atas Penjelasan Pasal 49 Ayat (1) Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional) (Kariono & Faisal Eriza)

87

Kajian Perubahan Pola Konsumsi Pangan Di Sumatera Utara (Edy Batara Mulya Siregar)

93

Analisis Perkembangan Ketersediaan Pangan Di Sumatera Utara (Beras, Jagung, Kedele Dan Umbi) (E. Harso Kardhinata)

103

Kajian Corporate Social Responsibility (CSR) Pada Sektor Perkebunan Di Sumatera Utara (Badaruddin Rangkuti)

112

PENERBIT Badan Penelitian dan Pengembangan Provinsi Sumatera Utara

Analisis Pengaruh Faktor-Faktor Kualitas Pelayanan Terhadap Kepuasan Pasien Rawat Inap RSU Tembakau Deli Medan (Ritha F Dalimunthe & Inneke Qamariah)

121

ALAMAT EDITORIAL Badan Penelitian dan Pengembangan Provinsi Sumatera Utara Jln. Sisingamangaraja No. 198 Medan Tel. (061) 7866225; 7866248 Fax. (061) 7866225

Optimalisasi Pemakaian Bahan Bakar Dengan Metode Algoritma Genetik Pada Pembangkit Listrik Tenaga Gas (PLTG) (Arnawan Hsb)

129

Sekenario Alokasi Sumberdaya Peralatan Untuk Meningkatkan Kinerja Sistem Manufaktur Dengan Pendekatan Simulasi Sistem Diskrid (Abdurrozzaq Hasibuan)

136

PENANGGUNG JAWAB Sekretaris Balitbang Provinsi Sumatera Utara KETUA EDITOR Prof. Dr. Marlon Sihombing, MA DEWAN EDITOR Prof. Dr. Ir. Darma Bakti Nasution, MS Drs. H. Alisuman Gultom, M.Si. Ir. E. Harso Kardhinata, M.Sc. Drs. Kariono, M.Si. M. Ishak, SE, M.Si. Ak Ir. Sugih Prihatin, M.Si. Ir. Abdurrozzaq Hasibuan, MT REDAKSI PELAKSANA Drs. Ismet Harahap Sumiarti, SH. Drs. Darwin Lubis, MM TATA USAHA DAN SIRKULASI Makrum Rambe, SE, MM Khaidir Dalimunte, SP Rismawaty Sibarani, S.Sos. Irwan Purnama Putra, SE

Website : http://balitbang.sumutprov.go.id Email : balitbang@sumutprov.go.id

Telah terakreditasi sebagai jurnal ilmiah bidang ilmu politik dan kebijakan berdasarkan Surat Keputusan Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Nomor. 346/D/2009, Tanggal 19 Maret 2009, dengan nomor akreditasi yaitu : Nomor Akreditasi : 142/Akred-LIPI/P2MBI/03/2009

Resensi Buku : Public Policy (Teori Kebijakan, Analisis Kebijakan, Proses Kebijakan, Perumusan, Implementasi, Evaluasi, Revisi, Risk Management Dalam Kebijakan Publik, Kebijakan Sebagai The Fifth Estate, Metode Penelitian Kebijakan).

142


INOVASI : Vol. 6. No. 2, Juni 2009

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

PENGANTAR REDAKSI

Puji syukur kita panjatkan kepada Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat Rahmat dan RidhoNya Badan Penelitian dan Pengembangan Provinsi Sumatera Utara telah menyelesaikan Bulletin/Jurnal INOVASI sebagai Media Litbang Provinsi Sumatera Utara untuk Volume 6 Nomor. 2 bulan Juni 2009 ini dengan baik. Berdasarkan hasil penilaian Panitia Penilai Majalah Berkala Ilmiah Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia bahwa jurnal INOVASI telah terakreditasi dengan Nomor Akreditasi : 142/Akred-LIPI/P2MBI/03/2009 sesuai dengan Surat Keputusan Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Nomor. 346/D/2009, tanggal 19 Maret 2009. Mengawali Jurnal Politik dan Kebijakan “INOVASI� yang telah terakreditasi untuk Volume 6 Nomor. 2 bulan Juni 2009 ini, Tim Redaksi menyambut baik penerbitan jurnal ini dalam rangka menyebarluaskan berbagai informasi kajian dan penelitian yang telah dilakukan baik secara konseptual maupun kajian praktis. Maka dari itu tampilan berbeda dicoba untuk redaksi tampilkan agar jurnal ini kedepan mendapat nilai yang lebih baik lagi. Edisi kali ini Balitbang Provinsi Sumatera Utara masih mengangkat beberapa hasil kajian yang dilakukan oleh Balitbang Sumatera Utara dan beberapa tulisan dari berbagai penulis dari Perguruan Tinggi Negeri dan Swasta serta Lembaga/Balai/Pusat Penelitian di Sumatera Utara yang dapat dijadikan sebagai bahan kebijakan maupun pengetahuan umum sebagai rekomendasi bagi penulis lainnya. Tim Redaksi mengucapkan terima kasih kepada para Penulis yang memberikan tulisannya. Semoga bermanfaat bagi para pembaca sekalian dan juga bermanfaat sebagai bahan kebijakan pembangunan maupun informasi untuk perkembangan dan peningkatan ilmu pengetahuan dan teknologi bagi masyarakat Indonesia khususnya di Provinsi Sumatera Utara. Terima kasih, selamat membaca.

- Redaksi -


INOVASI : Vol. 6. No. 2, Juni 2009

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

Evaluasi Mutu Guru Pendidikan Dasar Dalam Rangka Sertifikasi Profesi Pendidik Di Provinsi Sumatera Utara Muhammad Amin Staf Pengajar UNIMED & Tim Peneliti Bidang Sosial Budaya Balitbang Provsu

Abstraksi Peneltian ini bertujuan memperoleh informasi tentang mutu guru ditinjau dari unsur kualifikasi dan tugas pokok guru, unsur pengembangan profesi, dan unsur pendukung profesi guru pendidikan dasar di Sumatera Utara. Penelitian ini dilakukan pada tiga kabupaten kota, yakni Kota Tebing Tinggi, Kabupaten Serdang Bedagai, dan Kabupaten Langkat. Penelitian dilakukan terhadap guru yang bertugas pada pendidikan dasar yang terdiri dari 222 guru Sekolah Dasar (SD), 141 guru Sekolah Menengah Pertama (SMP), 60 responden dari kepala sekolah SD, dan 26 responden dari kepala sekolah SMP. Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) Mutu guru pendidikan dasar unsur kualifikasi dan unsur pokok menunjukkan hasil yang cukup baik, akademik yang tingggal 26,50% yang belum memenuhi persyaratan kualifikasi. Dari segi kemampuan perencaan pembelajaran yang juga menjadi indikator sudah menunjukkan kecenderungan baik (44,32%) dan sangat baik (36,53%), (2) Unsur pengembangan profesi mutu guru pendidikan dasar yang menjadi sampel penelitian masih sangat kurang. Hasil evaluasi terhadap tiga komponen pengembangan profesi yang meliputi pelatihan, prestasi akademik, dan pengembangan karya profesi menunjukkan nilai kecenderungan pada kategori sangat kurang, (3) Selanjutnya jika ditinjau dari unsur pendukung profesi yang terdiri dari komponen keikutsertaan pada kegiatan ilmiah, pengalaman mengurus organisasi, dan penghargaan di bidang pendidikan, maka hasil evaluasi menunjukkan bahwa kecenderungan mutu guru terhadap ketiga komponen tersebut juga berada pada kategori sangat kurang. Hasil penjaringan data yang menunjukkan bahwa masih terdapat 53,67% guru yang tidak pernah mengikuti kegiatan ilmiah berupa seminar dan temu ilmiah lainnya, terdapat 39,64% yang tidak pernah menjadi penguru organisasi, dan 92,65% guru yang belum pernah menerima penghargaan yang relevan dengan bidang pendidikan, dan (4) Kendala umum yang dihadapi guru dalam pengembangan profesi adalah kurangnya kesempatan yang ada bagi mereka untuk mengikuti kegiatan, karena terbatasnya jenis dan jumlah kegiatan pembinaan guru yang dilakukan oleh pihak penyelenggara.

Kata-kata kunci : Mutu Pendidikan Dasar, Kualitas Guru, Sertifikasi Guru

Guru merupakan salah satu faktor penentu tinggi rendahnya mutu hasil pendidikan. Keberhasilan penyelenggaraan pendidikan sangat ditentukan oleh sejauh mana kesiapan guru dalam mempersiapkan peserta didiknya melalui kegiatan belajar-mengajar. Namun demikian, posisi strategis guru untuk meningkatkan mutu hasil pendidikan sangat dipengaruhi oleh kemampuan profesional mengajar dan tingkat kesejahteraannya.

Permasalahan guru tersebut baik secara langsung atau tidak langsung berkaitan dengan masalah mutu profesionalisme guru yang masih belum memadai. Padahal sudah sangat jelas hal tersebut ikut menentukan mutu pendidikan nasional. Mutu pendidikan nasional yang rendah, salah satu penyebabnya adalah mutu guru yang rendah. Permasalahan guru harus diselesaikan secara komprehensif menyangkut semua aspek terkait yaitu kesejahteraan, kualifikasi, pembinaan, perlindungan profesi, dan administrasinya.

Persoalan guru di Indonesia pada umumnya dan Sumatera Utara pada khususnya adalah terkait dengan masalah-masalah kualifikasi yang rendah, pembinaan yang terpusat, perlindungan profesi yang belum memadai dan persebarannya yang tidak merata sehingga menyebabkan kekurangan guru di beberapa lokasi. Segala persoalan guru tersebut timbul oleh karena adanya berbagai sebab dan masing-masing saling mempengaruhi.

Profesionalisme guru dibangun melalui penguasaan kompetensi-kompetensi yang secara nyata diperlukan dalam menyelesaikan pekerjaan. Kompetensi-kompetensi penting jabatan guru tersebut adalah: kompetensi bidang substansi atau bidang studi, kompetensi bidang pembelajaran, kompetensi bidang pendidikan nilai dan bimbingan serta kompetensi bidang hubungan dan pelayanan/ pengabdian masyarakat.

PENDAHULUAN

79


INOVASI : Vol. 6. No. 2, Juni 2009

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

Pengembangan profesionalisme guru meliputi peningkatan kompetensi. peningkatan kinerja (performance) dan kesejahteraannya. Guru sebagai profesional dituntut untuk senantiasa meningkatkan kemampuan, wawasan dan kreativitasnya. Dalam sistem pendidikan tenaga kependidikan atau guru merupakan salah satu kunci dan banyak menentukan dalam meningkatkan mutu pendidikan, oleh karena langsung berhubungan dengan siswa yang akan dididik. Tenaga kependidikan yang berkualitas selalu didambakan dan diharapkan oleh pihak sekolah, oleh karena guru yang memiliki pengetahuan dan keterampilan yang memadai serta sikap yang tepat diyakini mampu mengelola proses belajar mengajar secara efektif.

2. Mutu guru ditinjau dari unsur pengembangan profesi guru pendidikan dasar di Sumatera Utara. 3. Mutu guru ditinjau dari unsur pendukung profesi guru pendidikan dasar di Sumatera Utara. 4. Kendala yang dihadapi guru pendidikan dasar dalam meningkatkan mutu profesionalitasnya. 5. Upaya yang dilakukan guru pendidikan dasar untuk mengatasi kendala tersebut untuk meningkatkan mutu profesionalitasnya.

KAJIAN PUSTAKA Pada setiap bidang pekerjaan selalu menuntut jenis kemampuan tertentu untuk dapat melaksanakan pekerjaan tersebut. Demikianlah pekerjaan guru sebagai pekerjaan profesional sudah barang tentu menuntut kemampuan yang khas yang berbeda dengan kemampuan yang dituntut oleh bidang pekerjaan lain. Dengan demikian penetapan jenis kemampuan yang dipersyaratkan pada bidang pekerjaan tertentu yang selalu didasarkan pada analisis tugas.

Sudah sangat sering dikumandangkan dalam masyarakat bahwa menurunnya kualitas lulusan SD sampai SMU/SMK disebabkan guru yang tidak mampu mengajar. Pada setiap akhir tahun ajaran, rata-rata hasil ujian akhir siswa selalu menjadi perbincangan dan selalu dilakukan perbandingan dengan tahun-tahun sebelumnya. Apabila ada kecenderungan rata-rata hasil ujian akhir menurun dari tahun sebelumnya maka langsung dituding gurulah penyebabnya. Para guru tidak dapat mengelak dari tudingan tersebut, karena menurunnya hasil ujian akhir siswa tidak terlepas dari perlakuan mereka di dalam kelas (sekolah). Ada dugaan yang paling kuat adalah karena guru tidak mampu mengajar dengan baik. Guru belum mampu menalarkan ilmu pengetahuan yang dimiliki kepada siswanya, sehingga menghasilkan siswa yang kurang memiliki daya nalar dalam pola berfikirnya.

Bertolak dari analisis tugas seorang guru yaitu mencakup tugas profesional tugas manusiawi dan tugas kemasyarakatan, Joni (1984) mengemukakan bahwa setiap guru perlu memiliki kemampuan atau kompetensi sebagai berikut : (1) kompetensi pribadi (2) kompetensi profesi dan (3) kompetensi kemasyarakatan. Melalui pemikiran ketiga jenis kompetensi tersebut guru tersebut akan mampu berperan secara profesional. Seorang guru disebut memiliki kompetensi atau kemampuan adalah apabila mampu memperlihatkan tindakan yang menunjukkan kemahiran, ketepatan dan keberhasilan bertindak. Dari uraian ini dapat diartikan bahwa kompetensi atau kemampuan adalah seperangkat tindakan inteligen penuh tanggung jawab yang dimiliki seseorang sebagai syarat untuk dianggap mampu melaksanakan tugastugas dalam bidang pekerjaan tertentu.

Pada saat ini mutu pendidikan di Indonesia umumnya dan Sumatera Utara khususnya masih termasuk dalam kategori rendah. Hal ini dapat dilihat dari beberapa hasil penelitian terdahulu, baik yang dari dalam negeri maupun dari luar negeri. Hasil penelitian dari luar negeri menyatakan pendidikan di Indonesia menempatkan urutan terbawah dalam perangkingan pendidikan di antara negera-negara di kawasan Asia Tenggara. Sementara itu penelitian putra Indonesia sendiri juga menyatakan mutu pendidikan di Indonesia atau Sumatera Utara masih rendah jika dilihat dari ratarata kelulusan setiap tahun. Bahkan dapat diperhatikan dengan pembuatan pembatasan kelulusan, misalnya, untuk tahun 2007, yaitu nilai minimal 5,0 atau nilai rata-rata kumulatif 5,0 masih ada di antara siswa yang belum lulus. Hal ini menunjukkan bahwa mutu pendidikan di Indonesia secara rata-rata yang bersifat Nasional masih berkisar di nilai 5,0.

Khususnya dalam kaitan tugas propfesional yang telah diuraikan terlebih dahulu, guru perlu memilih sepuluh jenis kemampuan yang lazim disebut sepuluh kemampuan dasar guru. Secara rinci dalam P3G (1981) disebutkan kompetensi itu sebagai berikut : a. Kemampuan pengembangan kepribadian b. Kemampuan menyusun program pengajaran c. Kemampuan mengembangkan alat dan bahan pengajaran d. Kemampuan melaksanakan kegiatan dalam memanfaatkan sumber lingkungan. e. Kemampuan berintekrasi dengan murid, masyarakat dan kalangan pendidikan f. Kemampuan melaksanakan program yang telah dibuat dengan menggunakan metode teknik dan alat yang tepat.

Tujuan Penelitian 1. Mutu guru ditinjau dari unsur kualifikasi dan tugas pokok guru pendidikan dasar di Sumatera Utara.

80


INOVASI : Vol. 6. No. 2, Juni 2009

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

g. Kemampuan menilai hasil dan proses belajar mengajar yang telah dilaksanakan. h. Kemampuan melaksanakan tugas administrasi di Sekolah Dasar i. Kemampuan melaksanakan penelitian sederhana.

Penilaian dalam Sertifikasi Profesi Pendidik Dalam menentukan profesionalisme guru dalam menjalankan tugasnya, diperlukan penilaian terhadap kemampuan guru dalam jabatan. Komponen penilaian profesi guru dalam jabatan umumnya dikelompokkan dalam tiga kelompok penilaian yaitu (1) penilaian yang terkait dengan unsur kualifikasi dan tugas pokok guru, (2) penilaian yang terkait dengan unsur pengembangan profesi, dan (3) penilaian yang terkait dengan unsur pendukung profesi (Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 18, 2007).

Menurut Jhonson (1980) terdapat sekurangkurangnya enam unsur kompetensi guru, yaitu : a. Unsur tingkah laku nyata (ferformance) yang berisi unsur kelakuan dalam kegiatan guru mengajar dan mendidik. b. Unsur materi pengajaran yang menunjang pencapaian tujuan pengajaran c. Unsur profesional yang berisikan unsur-unsur yang berhubungan dengan kependidikan d. Unsur proses yang berhubungan dengan proses belajar mengajar e. Unsur penyesuaian diri f. Unsur sikap yang mendukung ferformance

Komponen penilaian terhadap unsur kualifikasi dan tugas pokok mencakup penilaian kualifikasi akademik, pengalaman mengajar, serta penilaian perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran. Kualifikasi akademik yaitu tingkat pendidikan formal yang telah dicapai sampai dengan guru mengikuti sertifikasi, baik pendidikan gelar (S1, S2, atau S3) maupun nongelar (D4 atau Post Graduate diploma), baik di dalam maupun di luar negeri. Pengalaman mengajar yaitu masa kerja guru dalam melaksanakan tugas sebagai pendidik pada satuan pendidikan tertentu sesuai dengan surat tugas dari lembaga yang berwenang (dapat dari pemerintah, dan/atau kelompok masyarakat penyelenggara pendidikan). Sedangkan perencanaan pembelajaran yaitu persiapan mengelola pembelajaran yang akan dilaksanakan dalam kelas pada setiap tatap muka. Perencanaan pembelajaran ini paling tidak memuat perumusan tujuan/kompetensi, pemilihan dan pengorganisasian materi, pemilihan sumber/media pembelajaran, skenario pembelajaran, dan penilaian hasil belajar, dan Pelaksanaan pembelajaran yaitu kegiatan guru dalam mengelola pembelajaran di kelas. Kegiatan ini mencakup tahapan pra pembelajaran (pengecekan kesiapan kelas dan apersepsi), kegiatan inti (penguasaan materi, strategi pembelajaran, pemanfaatan media/sumber belajar, evaluasi, penggunaan bahasa), dan penutup (refleksi, rangkuman, dan tindak lanjut).

Dalam bidang pendidikan telah dilakukan usahausaha untuk menguraikan unsur-unsur esensial profesi pendidikan. Komisi kebijaksanaan Pendidikan NEA Amerika Serikat misalnya menyebutkan enam kriteria bagi profesi dalam bidang pendidikan yakni : 1. Profesi didasarkan atas sejumlah pengetahuan yang dikhususkan. 2. Profesi mengejar kemajuan alam kemampuan para anggotanya. 3. Profesi melayani kebutuhan para anggotanya. 4. Profesi memiliki norma-norma etis. 5. Profesi mempengaruhi kebijaksanaan pemerintah dibidangnya (mengenai perubahanperubahan dalam kurikulum, struktur organisasi pendidikan dan persiapan profesional). 6. Profesi memiliki solidaritas kelompok profesi. Di dalam konteks pendidikan, Sutisna (1987) mengemukakan bahwa guru yang profesional adalah guru yang mempunyai kemampuan profesi, kemampuan personal, dan kemampuan sosial. Pada saat seseorang menjadi guru, pada saat itu pula guru tersebut sudah menjadi seorang anggota profesi dengan memikul tanggung jawab untuk memperbaiki status dari jabatan yang dipegangnya.

Penilaian pada unsur pendukung profesi, mencakup keikutsertaan dalam forum ilmiah, pengalaman organisasi di bidang kependidikan dan sosial, dan penghargaan yang relevan dengan bidang pendidikan. Keikutsertaan dalam forum ilmiah yaitu partisipasi dalam kegiatan ilmiah yang relevan dengan bidang tugasnya pada tingkat kecamatan, kabupaten/kota, provinsi, nasional, atau internasional, baik sebagai pemakalah maupun sebagai peserta. Pengalaman organisasi di bidang kependidikan dan sosial yaitu pengalaman guru menjadi pengurus, dan bukan hanya sebagai anggota di suatu organisasi kependidikan dan sosial. Pengurus organisasi di bidang kependidikan antara lain pengawas, kepala sekolah, wakil kepala sekolah, ketua jurusan, kepala laboratorium, kepala

Dalam pelaksanaan pembinaan profesional guru, menurut Ibrahim hendaknya mempertimbangkan persyaratan-persyaratan seperti : (1) Kepercayaan bahwa guru-guru memiliki kemampuan untuk mengembangkan diri, (2) Hubungan antara pembina dengan guru-guru hendaknya didasarkan atas hubungan kerabat kerja, (3) Pelayanan profesional hendaknya didasarkan pada pandangan yang obyektif, dan (4) Pelayanan profesional hendaknya didasarkan atas hubungan manusiawi yang sehat.

81


INOVASI : Vol. 6. No. 2, Juni 2009

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

bengkel, kepala studio, ketua asosiasi guru bidang studi, asosiasi profesi, dan pembina kegiatan ekstra kurikuler (pramuka, drumband, mading, karya ilmiah remaja-KIR). Sedangkan pengurus di bidang sosial antara lain menjabat ketua RW, ketua RT, ketua LMD, dan pembina kegiatan keagamaan. Sedangkan penghargaan yang relevan dengan bidang pendidikan yaitu penghargaan yang diperoleh karena guru menunjukkan dedikasi yang baik dalam melaksanakan tugas dan memenuhi kriteria kuantitatif (lama waktu, hasil, lokasi/geografis), kualitatif (komitmen, etos kerja), dan relevansi (dalam bidang/rumpun bidang), baik pada tingkat kabupaten/kota, provinsi, nasional, maupun internasional.

METODOLOGI PENELITIAN Objek Penelitian Populasi Penelitian adalah Guru SD Negeri dan SMP Negeri di wilayah Kabupaten dan Kota tempat penelitian. Sedangkan sampel penelitian terdiri dari guru dan kepala sekolah yang bertugas di Sekolah Dasar Negeri dan Sekolah Menengah Pertama Negeri yang ditetapkan secara klaster dan proporsional sampling. Sebaran sampel dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Sebaran Sampel Penelitian

Kab./Kota

No

Kecamatan

1 Padang Hulu 2 Rambutan 3 Padang Hilir Jumlah Untuk T. Tinggi 1 Kotarih Serdang Bedagai 2 Dolok Masihul 3 Sipispis 4 Dolok Merawan 5 Tebing Tinggi 6 Bandar Khalifah 7 Tanjung Beringin 8 Teluk Mengkudu 9 Sei Rampah 10 Perbaungan 11 Pantai Cermin Jumlah Untuk Kab. Sergei 1 Salapian Langkat 2 Kuala 3 Selesai 4 Binjai 5 Stabat 6 Padang Tualang 7 Secanggang 8 Tanjung Pura 9 Gebang 10 Babalan 11 Brandan Barat 12 Besitang 13 Pangkalan Susu Jumlah Untuk Kab. Langkat TOTAL Tebing Tinggi

Jumlah sampel Sekolah SD

SMP

3 2 2 7 2 3 2 2 3 2 2 3 3 3 2 27 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 26 60

1 1 2 4

82

1 1 1 1 1 1 1 1 1 9 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 13 26

Jumlah Sampel Guru SD 12 8 7 27 8 10 8 8 11 8 8 10 10 12 8 101 6 8 6 7 8 8 7 8 6 8 6 8 8 94 222

SMP 6 5 12 23 0 6 5 0 6 6 5 6 6 6 5 51 6 4 5 4 6 6 5 6 6 3 6 4 6 67 141

Kepala SD 3 2 2 7 2 3 2 2 3 2 2 3 3 3 2 27 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 26 60

Kepala SMP 1 1 2 4 0 1 1 0 1 1 1 1 1 1 1 9 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 13 26


INOVASI : Vol. 6. No. 2, Juni 2009

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

Instrumen Penelitian

UNSUR KUALIFIKASI AKADEMIK DAN TUGAS POKOK

Instrumen Penelitian yang digunakan berupa angket dan wawancara dengan pimpinan sekolah untuk menjaring tingkat kemampuan guru. Angket, dan kuesioner yang dikembangkan untuk keperluan menjaring data yang berkenaan dengan unsur kualifikasi akademik dan tugas pokok, unsur pengembangan profesi, dan unsur pendukung profesi. Masing-masing unsur yang menjadi fokus dalam instrument dikembangkan dalam tiga indikator yang meliputi : (1) Unsur kualifikasi dan tugas pokok terdiri dari tiga komponen utama yakni (a) kualifikasi akademik, (b) pengalaman mengajar, dan (c) perencanaan pembelajaran. Selanjutnya unsur pengembangan profesional juga dijaring dengan menggunakan tiga indikator yakni (a) pendidikan dan pelatihan, (b) prestasi akademik, dan (c) karya pengembangan profesi. Unsur yang ketiga adalah unsur pendukung profesi yang indikatornya terdiri dari (a) keikutsertaan dalam forum ilmiah, (b) pengalaman organisasi, dan (c) penghargaan yang diterima yang sesuai dengan bidang kependidikan.

Unsur kualifikasi akademik dan tugas pokok yang dijaring dalam penelitian ini mencakup tiga indikator yaitu : (1) Kualifikasi akademik, (2) Pengalaman mengajar, dan (3) Perencanaan Pembelajaran. Komponen penilaian terhadap unsur kualifikasi dan tugas pokok mencakup penilaian kualifikasi akademik yang telah diperoleh responden, sedangkan pengalaman mengajar yaitu masa kerja guru dalam melaksanakan tugas sebagai pendidik pada satuan pendidikan tertentu. Sedangkan Perencanaan pembelajaran yaitu persiapan mengelola pembelajaran yang akan dilaksanakan dalam kelas pada setiap tatap muka. Perencanaan pembelajaran yang dijaring mengandung kesiapan guru menyediakan rencana pembelajaran, serta memuat perumusan tujuan/kompetensi, pemilihan dan pengorganisasian materi, pemilihan sumber/media pembelajaran, skenario pembelajaran, dan penilaian hasil belajar yang akan dilakukan. Hasil penelitian yang terkait dengan kualifikasi akademik menunjukkan bahwa dari 449 responden yang tersebar pada tiga kabupaten kota, masih terdapat 26,50% yang berpendidikan SMA, SPG, PGA, Diploma. Kelompok ini tentu saja merupakan kelompok yang belum memiliki kualifikasi yang disyaratkan sebagai guru yang profesional. Berdasarkan hasil identifikasi yang dilakukan menunjukkan bahwa sebagian dari mereka sedang mengikuti pendidikan sarjana di berbagai penyelenggara pendidikan tinggi yang ada. Selanjutnya terdapat 2,90% guru yang berpendidikan non kependidikan, yang mengajar bidang studi yang sesuai. Kelompok guru yang memiliki kualifikasi non kependidikan seharusnya memiliki akta mengajar yang sesuai, oleh karena itu kelompok ini juga perlu mendapat perhatian agar dapat memperoleh akta mengajar sesuai dengan persyaratan yang diperlukan sebagai guru yang profesional.

Pengumpulan Data Data yang dikumpulkan merupakan data yang menjadi bahan analisis kebutuhan untuk keperluan pengembangan dan peningkatan kemampuan profesionalisme pendidik dan tenaga kependidikan dilakukan dengan menggunakan angket. Selanjutnya berdasarkan hasil jawaban subjek penelitian dalam instrument penelitian dilakukan pengolahan data. Pengolahan data yang dimaksud dengan melakukan editing data, tabulasi data, dan penyajian data dalam bentuk tabel dan diagram. Penampilan data seperti itu adalah untuk memudahkan analisis data dan penafsiran hasil analisis. Analisis Data Analisis data penelitian dilakukan dengan dua cara, yaitu dengan : (1) mendeskripsikan data penelitian secara perangkingan dengan menghitung persentase jawaban responden pada masing-masing isi kandungan instrumen penelitian dan (2) digunakan teknik analisis statistik deskriptif, dan penggambaran data dalam bentuk penyajian data yang lazim digunakan. Setelah dilakukan analisis data akan dilakukan penafsiran atas hasil analisis agar diperoleh gambaran hasil penelitian.

Selanjutnya terdapat 0,45% guru yang telah mencapai kualifikasi akademik yang disyaratkan, akan tetapi mengajar dengan bidang studi yang tidak sesuai dengan bidang ilmu yang diperoleh, meskipun hampir semua guru yang mengajar di sekolah dasar mengajar mata pelajaran yang tidak sesuai dengan bidang kualifikasinya, karena pada sekolah dasar diterapkan guru kelas, yang artinya guru kelas harus dapat mengajarkan mata pelajaran lain selain mata pelajaran yang sesuai dengan kualifikasinya. Berdasarkan hasil yang diperoleh juga kelihatan bahwa kualifikasi akademik minimal yang harus dimiliki guru, yang dianggap sesuai dengan yang disyaratkan sebagai guru profesional sudah mencapai 69,04%, dan sudah terdapat 1,11%

Akhir dari penelitian akan ditemukan beberapa kebijakan yang berkaitan dengan peningkatan mutu pendidikan dasar. Khususnya dapat melahirkan kebijakan-kebijakan tentang pelaksanaan dan pengembangan peningkatan mutu profesionalisme pendidik dan tenaga kependidikan.

83


INOVASI : Vol. 6. No. 2, Juni 2009

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

yang mencapai kualifikasi master. Kelompok guru yang sudah memperoleh kualifikasi akademik S2 seluruhnya mengajar di Sekolah Menengah Pertama. Secara lengkap profil kualifikasi akademik guru ditunjukkan pada Gambar 1.

dapat melakukan perencanaan dengan sangat baik, 44,32% responden yang dapat merancang dengan baik. Selanjutnya masih terdapat 0,45% yang dianggap sangat kurang, karena pada instrument, responden tidak memberikan respon terhadap sejumlah indikator yang ditentukan seperti penulisan kompetensi dasar dan indikator. Selain itu, juga masih terdapat 1,78% yang dianggap masih kurang dalam merancang pembelajaran, hasil ini juga memberikan indikasi bahwa masih terdapat beberapa guru yang belum mampu melakukan perencanaan dengan baik. Secara umum data hasil penjaringan yang terkait dengan perencanaan pembelajaran dapat dilihat pada Gambar 3.

Profil Pendidikan Sampel Penelitian S2; 1,11%

SPG/SMA/PGA/ DII/DIII; 26,50%

S1 Non Dik; 2,90%

S1 Dik Tdk sesuai; 0,45%

S1 Dik Sesuai; 69,04%

44,32%

45,00%

36,53%

40,00%

Gambar 1. Profil Kualifikasi Akademik Guru

35,00% 30,00%

Hasil penelitian yang terkait dengan pengalaman mengajar guru menunjukkan bahwa sebagian besar guru yang menjadi responden dalam penelitian ini dianggap cukup memiliki pengalaman yang baik, hal ini terlihat dari data yang menunjukkan bahwa terdapat 28,95% guru yang telah mengajar di atas 25 tahun, 21,38% guru yang sudah mengajar 23 – 25 tahun, 16,26% guru yang telah mengajar selama 20 – 22 tahun. Berdasarkan data yang ada, menunjukkan bahwa dari segi pengalaman mengajar guru sudah dianggap cukup baik. Secara lengkap profil pengalaman mengajar guru ditunjukkan pada Gambar 2.

16,93%

25,00% 20,00% 15,00% 10,00%

0,45%

1,78%

5,00% 0,00% Sangat Kurang

Kurang

Sedang

Baik

Sangat Baik

Gambar 3. Rekapitulasi Kemampuan Perencanaan Pembelajaran Oleh Guru Unsur Pengembangan Profesi Secara umum evaluasi terhadap ketiga komponen tersebut dilakukan dengan mengelompokkannya dalam lima kategori yang mencakup kategori tidak ada/tidak memiliki, sangat kurang, kurang, sedang, baik, dan sangat baik. Secara umum hasil evaluasi ditunjukkan pada Tabel 2.

Profil Pengalaman Mengajar Sampel Penelitian <4Th; 4,90% 5 - 7 Th; 2,67% 8-10 Th; 4,45% >25 Th; 28,95% 11-13 Th; 5,12%

14-16 Th; 9,58%

Tabel 2. Hasil Evaluasi Unsur Pengembangan Profesi

17-19 Th; 6,68%

23-25 Th; 21,38%

Kategori

20-22 Th; 16,26%

Tidak ada Sangat Kurang Kurang Sedang Baik Sangat Baik

Gambar 2. Profil Pengalaman Mengajar Guru Data hasil penelitian yang terkait dengan perencanaan pembelajaran yang dikelompokkan dalam lima kategori menunjukkan bahwa kemampuan guru dalam merancang pembelajaran yang akan dilakukan, kencenderungannya berada pada kategori baik dan sangat baik. Hasil ini memberikan indikasi bahwa sebagian besar guru telah mampu merencanakan pembelajaran dengan baik, meskipun pelaksanaannya belum bisa dipastikan sebaik dengan perencanaan yang dibuat. Sesuai dengan data yang berhasil dihimpun terlihat bahwa terdapat 36,53% responden yang dianggap

Pelatihan 27,84% 33,41% 27,39% 9,13% 2,23% 0,00%

Komponen Prestasi Pengembangan Akademik Profesi 34,08% 60,36% 38,31% 34,30% 19,82% 4,23% 6,46% 0,67% 1,34% 0,45% 0,00% 0,00%

Untuk komponen pelatihan, berdasarkan data yang diperoleh seperti pada Tabel 2, terlihat bahwa masih terdapat 27,84% guru yang merasa belum pernah mengikuti pelatihan yang menunjang kompetensi sebagai guru yang profesional, 33,41% guru yang hanya pernah mengikuti pelatihan satu hingga dua kali saja, dan 27,39% guru yang pernah mengikuti pelatihan kurang dari 5 kali pelatihan. Hasil ini memberikan indikasi bahwa komponen

84


INOVASI : Vol. 6. No. 2, Juni 2009

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

tentang kegiatan yang akan berlangsung. Hal ini membuktikan bahwa program-program yang mengarah pada pembinaan guru yang dapat mendukung profesionalismenya masih sangat jarang dilakukan di kabupaten/kota, dan kegiatan yang dilakukan selama ini masih banyak didominasi oleh program pemerintah tingkat pusat dan propinsi.

keikutsertaan guru dalam kegiatan pelatihan kecenderungannya pada kategori sangat kurang. Kendala umum yang dihadapi guru yang terkait dengan kegiatan pelatihan ini adalah kurangnya/terbatasnya kesempatan untuk mengikuti kegiatan, serta kegiatan pelatihan sangat jarang dilakukan pada tingkat kabupaten kota, sehingga guru merasa kesulitan untuk memperoleh informasi tentang kegiatan pelatihan. Hal ini membuktikan bahwa program-program yang mengarah pada pembinaan guru dalam meningkatkan profesionalismenya masih sangat jarang dilakukan di kabupaten/kota, dan kegiatan yang dilakukan selama ini masih banyak didominasi oleh program pemerintah tingkat pusat dan propinsi.

KESIMPULAN 1. Mutu guru pendidikan dasar yang menjadi sampel penelitian jika ditinjau dari segi unsur kualifikasi dan tugas pokok menunjukkan hasil yang cukup baik, hal ini terlihat dari segi kualifikasi akademik yang tinggal 26,50% yang belum memenuhi persyaratan kualifikasi. Dari segi kemampuan perencanaan pembelajaran yang juga menjadi indikator sudah menunjukkan kecenderungan baik (44,32%) dan sangat baik (36,53%) 2. Jika ditinjau dari unsur pengembangan profesi, maka mutu guru pendidikan dasar yang menjadi sampel penelitian masih sangat kurang. Hal ini terlihat dari hasil evaluasi terhadap tiga komponen pengembangan profesi yang meliputi pelatihan, prestasi akademik, dan pengembangan karya profesi menunjukkan nilai kecenderungan pada kategori sangat kurang 3. Selanjutnya jika ditinjau dari unsur pendukung profesi yang terdiri dari komponen keikutsertaan pada kegiatan ilmiah, pengalaman mengurus organisasi, dan penghargaan di bidang pendidikan, maka hasil evaluasi menunjukkan bahwa kecenderungan mutu guru terhadap ketiga komponen tersebut juga berada pada kategori sangat kurang. Hal ini terlihat dari hasil penjaringan data yang menunjukkan bahwa masih terdapat 53,67% guru yang tidak pernah mengikuti kegiatan ilmiah berupa seminar dan temu ilmiah lainnya, terdapat 39,64% yang tidak pernah menjadi pengurus organisasi, dan 92,65% guru yang belum pernah menerima penghargaan yang relevan dengan bidang pendidikan. 4. Kendala umum yang dihadapi guru dalam pengembangan profesi adalah kurangnya kesempatan yang ada bagi mereka untuk mengikuti kegiatan, karena terbatasnya jenis dan jumlah kegiatan pembinaan guru yang dilakukan oleh pihak penyelenggara.

Unsur Pendukung Profesi Sedangkan penghargaan yang relevan dengan bidang pendidikan yaitu penghargaan yang diperoleh karena guru menunjukkan dedikasi yang baik dalam melaksanakan tugas dan memenuhi kriteria kuantitatif (lama waktu, hasil, lokasi/geografis), kualitatif (komitmen, etos kerja), dan relevansi (dalam bidang/rumpun bidang), baik pada tingkat kabupaten/kota, provinsi, nasional, maupun internasional. Hasil penjaringan data terhadap ketiga komponen yang termasuk pada unsur pendukung profesi ini seperti ditunjukkan pada Tabel 3. Tabel 3. Data Hasil Evaluasi Unsur Pendukung Profesi Komponen Kategori Tidak ada Sangat Kurang Kurang Sedang Baik Sangat Baik

Kegiatan Ilmiah 53,67% 36,75% 7,80% 1,34% 0,45% 0,00%

Orgsasi

Penghargaan

39,64% 21,60% 32,74% 5,79% 0,22% 0,00%

92,65% 6,24% 1,11% 0,00% 0,00% 0,00%

Untuk komponen kegiatan ilmiah, berdasarkan data yang diperoleh seperti pada Tabel 3, terlihat bahwa masih terdapat 53,67% guru yang merasa belum pernah mengikuti kegiatan ilmiah yang mendukung kompetensi sebagai guru yang profesional, selanjutnya 36,75% guru yang hanya pernah mengikuti kegiatan ilmiah satu hingga dua kali saja, dan 7,80% guru yang pernah mengikuti kegiatan ilmiah kurang dari 5 kali kegiatan. Hasil ini memberikan indikasi bahwa komponen keikutsertaan guru dalam kegiatan ilmiah kecenderungannya pada kategori sangat kurang. Kendala umum yang dihadapi guru yang terkait dengan kegiatan ilmiah ini adalah kurangnya/terbatasnya kesempatan untuk mengikuti kegiatan, serta kegiatan ilmiah sangat jarang dilakukan pada tingkat kabupaten kota, sehingga guru merasa kesulitan untuk memperoleh informasi

Rekomendasi Direkomendasikan beberapa hal antara lain : (1) Untuk meningkatkan kemampuan pada unsur kualifikasi akademik guru, maka perlu adanya program kerjasama antara Dinas Pendidikan Kab/Kota dengan penyelenggara pendidikan tinggi untuk meningkatkan kualifikasi akdemik guru yang belum mencapai sarjana, (2) Untuk meningkatkan

85


INOVASI : Vol. 6. No. 2, Juni 2009

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

kemampuan guru dalam perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran perlu dilakukan pembinaan yang kontiniu berupa pelatihan dan pendampingan bagi guru dalam melaksanakan pembelajaran, (3) Berdasarkan hasil evaluasi menunjukkan bahwa unsur pengembangan profesi guru masih sangat rendah, oleh karena itu, perlu ada penguatan berupa perencanaan kegiatan yang dapat menguatkan komponen pengembangan profesi (Pelatihan, Prestasi Akademik, dan Pengembangan Karya Profesi), (4) Untuk meningkatkan unsur pengembangan profesionalisme guru perlu dilakukan program pembinaan guru berupa pelatihan di Kab./Kota, yang dijadwalkan secara berkala, (5) Jenis-jenis pelatihan yang diperlukan guru dalam meningkatkan profesionalismenya antara lain : Pelatihan perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran ; Pelatihan penerapan metode dan strategi pembelajaran; Pelatihan menulis buku dan bahan ajar; Pelatihan pelaksanaan penelitian tindakan kelas; dan Pelatihan penulisan artikel ilmiah, (6) Jenis-jenis pelatihan lain yang diperlukan guru dalam mendukung peningkatan profesionalismenya adalah Pelatihan pemanfaatan teknologi komputer, termasuk penggunaan internet, (7) Untuk meningkatkan unsur pendukung profesi guru, perlu adanya wadah komunikasi ilmiah yang dapat memberi peluang bagi guru untuk mengembangkan diri, dan (8) Perlu adanya kebijakan yang mendorong terbentuknya kelompokkelompok ilmiah di Kab./Kota yang dapat menyelenggarakan kegiatan ilmiah

Joni, R. (1984). Wawasan Kependidikan Guru, Jakarta : Depdikbud. Mendikbud, (2000), Kualitas Pendidikan yang Masih Perlu Ditingkatkan : Jakarta, Konaspi. Sutisna O, (1987). Administrasi Pendidikan; Dasar Teoritis untuk Praktek Profesional. Bandung : Angkasa. Syofyan S H, dkk, (2000), Masa Depan Pendidikan di Sumatera Utara. Medan, Waspada Juli 2000.

DAFTAR PUSTAKA Anom, (2000), Peraturan Pemerintah RI Nomor 25 Tahun 2000, tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi Sebagai Daerah Otonom, Jakarta : Bappenas. Depdikbud, (2003), Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003, Tentang Sistem Pendidikan Nasional, Jakarta : CV Eko Jaya. Depdikbud, (2003), Petunjuk Pelaksanaan Sistem Pendidikan Nasional 2003. Jakarta: CV Eko Jaya. Fuad Hasan, (2001), Guru SD dan SLTP dibawah 50% layak mengajar, Medan: Waspada Juli 2001. Hasan, S. H. (1990). Pemimpin Profesionalisme. Makalah. Bandung : IKIP Bandung. Johnson, C. E, (1980). Answers to some basic question about teacher competencies and CBTE. Athens : University of Geogria.

86


INOVASI : Vol. 6. No. 2, Juni 2009

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

Alokasi Anggaran Pendidikan Pada APBD Kabupaten/Kota Di Provinsi Sumatera Utara (Suatu Penelitian Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Atas Penjelasan Pasal 49 Ayat (1) Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional) Kariono1) & Faisal Eriza1,2) 1)

Staf Pengajar Universitas Sumatera Utara 2) Tim Peneliti Balitbang Provsu

Abstraksi Salah satu tujuan Nasional Bangsa Indoesia yang diamanatkan dalam pembukaan UUD 1945 adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Tuntutan baru pun muncul sedemikian pesatnya dalam segala aspek kehidupan, termasuk dalam sistem pendidikan. Tuntutan tersebut menyangkut pembaharuan sistem pendidikan, diantaranya pembaharuan kurikulum, yaitu diversifikasi jenis pendidikan yang dilakukan secara profesional serta tujuan pembangunan pendidikan lainnya yang mesti dicapai. Oleh karena hal tersebut perlu adanya sinergitas antara pihak pemerintah, masyarakat serta stakeholder yang ada untuk mengkolaborasikan pencapaian tujuan tersebut melalui alokasi anggaran pendidikan dengan sebijakbijaknya. Demikian sehingga Tim Peneliti merasa memiliki ketertarikan yang kuat untuk membuat suatu kajian tentang Alokasi Anggaran Pendidikan Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara. Penelitian ini berlokasi di Provinsi Sumatera Utara dengan menetapkan Kota Sibolga, Kota Tebing Tinggi, Kabupaten Simalungun dan Kabupaten Serdang Bedagai sebagai sampel yang mewakili penarikan kesimpulannya. Adapun teknik analisa data Kuantitatif yang didukung dengan analisis deskriptif dilaksanakan untuk mencari jawaban permasalahan yang dirumuskan berdasarkan data primer, data skunder serta bahan-bahan kepustakaan yang memiliki relevansi yang cukup baik bagi penelitian ini. Dalam melaksanakan pembangunan pendidikan, alokasi anggaran sektor pendidikan di Kabupaten/Kota Provinsi Sumatera Utara secara umum dapat diberikan penilaian cukup baik akan tetapi untuk menjaga keberlanjutannya sangat diperlukan adanya suatu integritas antara pemerintah, masyarakat serta dunia usaha dalam mewujudkan pencapaian Sumber Daya Manusia yang baik dan dapat bersaing dengan produk pendidikan yang ada di daerah lainnya di wilayah Provinsi Sumatera Utara.

Kata-kata kunci : Alokasi APBD Sektor Pendidikan, Kabupaten/Kota dapat mengabaikan peranan biaya, sehingga dapat dikatakan bahwa tanpa biaya pembaharuan tersebut tidak akan terjadi. Dengan kata lain peran penting komponen biaya tersebut bukanlah dimensi yang dapat ditawar-tawar lagi perwujudannya.

PENDAHULUAN Pembaharuan sistem pendidikan nasional dilakukan untuk memperbaharui visi, misi, dan strategi pembangunan pendidikan nasional. Pendidikan nasional mempunyai visi terwujudnya sistem pendidikan sebagai pranata sosial yang kuat dan berwibawa untuk memberdayakan semua warga Negara Indonesia berkembang menjadi manusia yang berkualitas. sehingga mampu dan paroaktif menjawab tantangan zaman yang selalu berubah.

Sehubungan dengan hal di atas Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dalam pasal 31 ayat (4) menyebutkan “Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurangkurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja Negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional�.

Pembaharuan sistem pendidikan nasional perlu disesuaikan dengan pelaksanaan otonomi daerah yang diatur dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah. Dalam setiap upaya pembaharuan tersebut hampir tidak ada upaya yang

Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 011/PUU-III/2005 menyatakan: “Penjelasan pasal 49 ayat (1) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang sistem Pendidikan Nasional bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

87


INOVASI : Vol. 6. No. 2, Juni 2009

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

Penjelasan pasal 49 ayat (1) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat�. Berdasarkan ketentuan konstitusional tersebut penelitian ini bermaksud melihat Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) khususnya di provinsi Sumatera Utara mengalokasikan dana pendidikan tersebut.

kesempatan untuk menyelesaikan sekolahnya jika dibandingkan dengan teman-temannya anak orang lebih mampu. Pertama, biaya pribadi (swasta) pendidikan dasar, terutama biaya peluang (opportunity cost) dari tenaga kerja anak-anak orang kaya. Kedua, masalah yang didapat dari pendidikan dasar, bagi murid-murid anak orang yang miskin lebih rendah jika dibandingkan dengan murid-murid anak orang kaya. Adanya biaya yang tinggi dan maslahat yang lebih rendah bagi siswasiswa anak orang miskin itu tadi mengandung pengertian bahwa tingkat penghasilan (rate of return) keluarga yang diperoleh dari investasi pendidikan dari seorang anak dari keluarga yang relatif miskin adalah lebih rendah jika dibandingkan dengan anak-anak dari golongan yang relatif kaya. Oleh karena itu si miskin lebih sering mengalami keadaan putus sekolahnya. Marilah sekarang kita melakukan pengkajian, mengapa biayanya relatif lebih tinggi dan maslahatnya relatif lebih rendah untuk seorang anak keluarga miskin.

Tujuan Penelitian 1. Mengetahui perhatian pemerintah daerah dalam alokasi anggaran khususnya sektor pendidikan dalam APBD untuk memenuhi hak konstitusional warga negaranya 2. Mengetahui perkembangan porsi anggaran pendidikan dalam APBD pemerintah Kab. Kota di seprovinsi Sumatera Utara dari tahun ke tahun pasca UU No. 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas dan Keputusan MK tentang penjelasan Pasal 49 ayat (1) UU No 20 tentang Sisdiknas tahun 2003. 3. Mengetahui kebijakan Pemerintah Kabupaten/Kota dalam penyusunan APBD secara umum, khususnya dalam bidang pendidikan sebelum dan sesudah Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut 4. Mengetahui “item� anggaran bidang pendidikan yang didanai oleh APBN dan APBD Kabupaten/Kota. 5. Sumber informasi bagi masyarakat tentang pemenuhan hak-hak konstitusionalnya dalam bidang pendidikan yang tercermin dalam APBD Kabupaten/Kota

Sistem Pendidikan Nasional Peningkatan mutu pendidikan merupakan kebutuhan yang sangat mendesak yang harus dilakukan dan ditangani secara serius, salah satu cara untuk mencapai semua itu adalah melalui pendidikan yang bermutu yang memiliki ilmu pengetahuan dan keterampilan yang sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang diharapkan, peserta didik sudah dipersiapkan untuk melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi atau ke perguruan tinggi maupun sebagai calon tenaga kerja yang terampil dan ahli.

KAJIAN PUSTAKA Hubungan antara permintaan pendidikan dan struktur ketenagakerjaan di negara-negara kurang berkembang dapat menimbulkan ledakan kuantitatif besar-besaran didalam permintaan terhadap perlunya sekolah. Permintaan yang luar biasa seperti itu di tambah dengan dorongan atau desakan politik agar diadakan penambahan ruang sekolah, kemungkinan akan melampaui proporsi kemampuan keuangan dan memberatkan anggaran pembangunan suatu negara. Selama kurikulum pendidikan berorientasi kepada penyiapan pekerjaan kantoran (white collar) di kota, dan selama kesempatan kerja yang menawarkan gaji yang tinggi di sektor modern hanya didasarkan pada tingkat pendidikan seseorang, maka pemerintah terpaksa memberikan subsidi yang jumlahnya semakin bertambah tinggi dari sekolah dasar, menengah pertama dan menengah atas sampai dengan tingkat perguruan tinggi.

Peningkatan kualitas pendidikan dipenuhi melalui peningkatan kualitas dan pembaharuan kurikulum yang sesuai dengan perkembangan IPTEK, dan penyediaan sarana dan prasarana pendidikan yang memadai disertai keterpaduan dan efisiensi pelaksanaannya. Pelaksanaan Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun harus didukung melalui peran aktif masyarakat serta meningkatkan kesadaran tentang pentingnya pendidikan dalam menghadapi era globalisasi. Anggaran pendidikan yang sangat minim yakni kurang dari 20% pertahun sebagaimana yang seharusnya diamanatkan oleh Undang-Undang No. 20 Tahun 2003, mengakibatkan keterbatasan pemerintah dalam menyediakan sarana dan prasarana pendidikan yang memadai dan peningkatan kesejahteraan tenaga pengajar. Hal ini diperparah lagi dengan krisis moneter dan ekonomi yang mendera sejak tahun 1997 yang telah mengakibatkan kenaikan harga-harga barang khususnya kebutuhan pokok masyarakat dan kesulitan ekonomi yang diderita rakyat dan pemerintah. Dampak lebih jauh dapat dilihat dari

Ada dua alasan ekonomis yang fundamental mengapa orang cenderung mengatakan bahwa sistem pendidikan di negara-negara berkembang benar-benar tidak adil, dalam arti bahwa muridmurid yang tidak mampu tidak mempunyai

88


INOVASI : Vol. 6. No. 2, Juni 2009

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

meningkatnya jumlah anak putus sekolah karena alasan kurang mampu, sarana dan prasarana sekolah yang tidak memadai karena tidak adanya dana dan terbengkalainya sarana dan prasarana pendidikan yang termakan usia yang perlu segera direnovasi.

pada APBD Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara (suatu Penelitian Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi atas Penjelasan Pasal 49 ayat (1) Undang-undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional terdiri dari data primer data dan sekunder.

Kebijakan Umum Pengembangan Pendidikan

Data sekunder yang terdiri dari dokumen tertulis diperoleh dari berbagai instansi yang ada di Kabupaten/Kota yakni Pemerintahan Kota dan Kabupaten khususnya mengenai anggaran di sektor pendidikan serta kebijakan dan perhatian pemerintah terhadap pembangunan di sektor pendidikan. Alat pengumpul data yang dipergunakan untuk menjaring data primer adalah dengan metoda triangulasi yang terdiri dari teknik wawancara yang mempergunakan panduan/ pedoman wawancara serta penilaian masyarakat melalui kuesioner.

Secara umum kebijakan pengembangan pendidikan di masa depan akan lebih diarahkan pada 3 (tiga) program yaitu : 1. Program perluasan dan pemerataan pendidikan. 2. Program peningkatan kualitas dan relevansi pendidikan. 3. Program peningkatan efektivitas dan efesiensi. Program Pengembangan dan Kualitas Pendidikan Nasional

Peningkatan

ANALISIS DATA

1. Melaksanakan Pembinaan Program Kegiatan Pengembangan Kurikulum dan Sistem Pengujian Berbasis Kompetensi 2. Program Pengembangan Manajemen Sekolah 3. Program pemberdayaan Manajemen Sekolah 4. Program Pembinaan Kesiswaan 5. Pengembangan dan pemeliharaan Sarana Pendidikan 6. Mengembangkan Sekolah Berwawasan Khusus 7. Mengembangkan Sekolah Plus 8. Cultur Center

Alokasi Anggaran Sektor Pendidikan Kondisi di beberapa Kabupaten dan Kota secara khusus di wilayah Provinsi Sumatera Utara menunjukkan kenyataan yang berbeda. Peran pemerintah dalam upaya melaksanakan pembangunan pendidikan yang tercermin dari alokasi anggaran pendidikan melalui APBD Kabupaten/Kota dapat dijelaskan melalui penyajian data yang selanjutnya dianalisis secara teliti serta dikombinasikan dengan hasil wawancara pada pelaksanaan penelitian ini menghasilkan beberapa unit anaisis yakni Alokasi Anggaran yang mencakup belanja Rutin dan belanja pembangunan pada sektor pendidikan, karakter kecendrungan alokasi anggaran APBD Kabupaten/Kota pada sektor pendidikan tersebut serta Alokasi Anggaran APBD Pemerintah Provinsi Sumatera Utara dalam interval waktu yang ditentukan (2005 sampai dengan 2008).

METODOLOGI PENELITIAN Objek Penelitian Kegiatan penelitian tentang Alokasi Pendidikan pada APBD Kabupaten/Kota ini dilaksanakan di Provinsi Sumatera Utara. Penelitian ini dilaksanakan di Kota Sibolga, Kota Tebing Tinggi, Kabupaten Simalungun dan Kabupaten Serdang Bedagai. Sedangkan yang menjadi subjek penelitian adalah guru, Pemerintah Kabupaten khususnya Dinas Pendidikan, DPRD serta masyarakat yang besarnya sampel akan ditentukan sesuai dengan kebutuhan penelitian. Dalam penentuan sampel ini sangat diperhatikan tingkat representatif terhadap populasi penelitian. Oleh karena demikian penelitian ini menggunakan teknik purposive sampling dengan langkah penentuan sampel berdasarkan tujuan dan kriteriakriteria tertentu.

30 (M ily a r R u p ia h )

25.257846550

25 19.924897096 19.717767050

20 14.748063000

15 10 5 0

0 : Tahun APBD

:

:

:

:

2005

2006

2007

2008

Gambar 1. Grafik Alokasi APBD Sektor Pendidikan Kota Sibolga dimensi Belanja Rutin Tahun 2005 s/d 2008

Instrumen Penelitian Jenis data yang dikumpulkan untuk memperoleh informasi tentang Alokasi Anggaran Pendidikan

89


INOVASI : Vol. 6. No. 2, Juni 2009

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

65

27.175172550

18.049772000

20 15 8.852365000 8.612659265

10

63

62.092098635

62 61

60.834252077 60.086184954

60 59

5 0

58

0 :

:

Tahun APBD

:

2005

2006

:

:

2007

2008

2005 2006

(M ilyar Rupiah)

SDM

Modal Fisik

1.373.650.000 3.352259265 Wajar 10.192.710.250 15.031.048.950

:

:

:

2005

2006

2007

Gambar 5. Grafik Alokasi APBD Sektor Pendidikan Kabupaten Simalungun Dimensi Belanja Rutin Tahun 2004 s/d 2007

Tabel 1. Alokasi Dominan pada APBD Kota Sibolga Tahun APBD

: 2004

Tahun Anggaran

Gambar 2. Grafik Alokasi APBD Sektor Pendidikan Kota Sibolga dimensi Belanja Rutin Tahun 2005 s/d 2008

2007 2008

63.960097182

64

25

(Milyar Rupiah)

(Milyar Rupiah)

30

6.867.253.000 4.758.000.000 SDM/Modal/ Pelayanan 8.000.000.000 12.144.123.600

18 16 14 12 10 8 5.974763000 6 4 2 0 : 2004

17.095379925

7.654256325

6.827128000

:

:

:

2005

2006

2007

Tahun Anggaran

Gambar 6. Grafik Alokasi APBD Sektor Pendidikan Kabupaten Simalungun Dimensi Belanja Pembangunan Tahun 2004 s/d 2007

22.835083848

25.0 80

(M ily a r R u p i a h )

70.412531000

(M ilyar R upiah)

70 60 50

44.244454000

46.259741464

40 30 20

20.0

17.100520393

15.0 10.0 5.0

0.534412000

0.0

10

:

:

:

2005

2006

2007

0 :

:

:

2006

2007

2008

Tahun Anggaran

50 45 40 35 30 25 20 15 10 5 0

43.141357000

Gambar 7. Grafik Alokasi APBD Sektor Pendidikan Kabupaten Serdang Bedagai Dimensi Belanja Rutin Tahun 2005 s/d 2007

47.303032150

16.878105452

17 (M ilyar Rupiah)

(M ilyar Ru p iah )

Gambar 3. Grafik Alokasi APBD Sektor Pendidikan Kota Tebing Tinggi Dimensi Belanja Rutin Tahun 2006 s/d 2008

19.107900812

17

16.067768455

16 16

15.333205000

15 15

:

:

:

:

:

:

2006

2007

2008

2005

2006

2007

Tahun Anggaran

Tahun Anggaran

Gambar 4. Grafik Alokasi APBD Sektor Pendidikan Kota Tebing tinggi dimensi Belanja Pembangunan Tahun 2006 s/d 2008

Gambar 8. Grafik Alokasi APBD Sektor Pendidikan Kabupaten Sergei Dimensi Belanja Pembangunan Tahun 2004 s/d 2007

90


INOVASI : Vol. 6. No. 2, Juni 2009

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

KESIMPULAN Porsi Anggaran (% )

25.00% 20.00%

20.92%

1. Pendidikan merupakan usaha yang dilakukan secara sistematis agar manusia dapat mengembangkan potensi dirinya melalui proses pembelajaran dan/atau cara lain yang dikenal dan diakui oleh masyarakat. 2. Dalam setiap upaya pembaharuan tersebut hampir tidak ada upaya yang dapat mengabaikan peranan biaya, sehingga dapat dikatakan bahwa tanpa biaya pembaharuan tersebut tidak akan terjadi. Dengan kata lain peran penting komponen biaya yang ditetapkan pada porsi 20% dari total belanja bukanlah dimensi yang dapat ditawar-tawar lagi perwujudannya. 3. Berdasarkan data dan informasi yang dikumpulkan dapat dijelaskan bahwa dalam hal belanja sektor pendidikan unsur-unsur berwenang di Kabupaten/Kota Provinsi Sumatera Utara memiliki komitmen yang baik bagi pembangunan pendidikan di daerah. 4. Meskipun demikian halnya masih diperlukan adanya partisipasi aktif berbagai stakeholder dalam rangka pengembangan sektor pendidikan di Kabupaten/Kota Prov. Sumatera Utara agar pengalokasian dapat senantiasa terlaksana dengan bijak dan mengedepankan mutu dan kualitas pendidikan di daerah.

17.98% 14.79%

14.45%

15.00% 10.00% 5.00% 0.00% Serdang Bedagai

Simalungun

Tebing Tingi

Sibolga

Kab/Kota

Gambar 9. Grafik Porsi Rata-rata APBD Sektor Pendidikan Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara 3 Tahun Terakhir Kekhususan Pengalokasian Anggaran Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara Anggaran pendidikan didefinisikan sebagai anggaran fungsi pendidikan di luar anggaran untuk gaji pendidik dan pendidikan kedinasan yang persentasenya dihitung berdasarkan anggaran belanja yang berjalan. Penyebabnya, Mahkamah Konstitusi telah memutuskan bahwa Pasal 49 Ayat (1)Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 mengenai Sisdiknas sepanjang mengenai frasa dan rdquo; gaji pendidik dan rdquo; bertentangan dengan UUD 1945. Oleh karena itu, pemerintah dan pemerintah daerah manapun diwajibkan memasukan gaji pendidik dalam anggaran pendidikan 20 persen. Putusan MK tersebut masih diyakini banyak pihak sebagai suatu dilema pembangunan pendidikan dan juga merupakan agenda serius bagi masa depan pendidikan Indonesia.

Rekomendasi 1.

Dimasukanya gaji pendidik merupakan anti-klimaks dari pemenuhan anggaran pendidikan. Substansi dari amanat UUD 1945 yang mewajibkan tersedia anggaran 20% untuk sektor pendidikan bukan hanya pemerintah bisa menyediakan hak dasar bagi warga, tapi juga karena pendidikan merupakan kebutuhan yang amat penting setelah merdeka. Sikap pemerintah yang terus berupaya menyiasati pemenuhan alokasi anggaran 20% untuk sektor pendidikan berangkat dari dua hal. Pertama, tidak ada niat baik pemerintah untuk memenuhi amanat konstitusi. Atau, kedua, pemerintah tidak menempatkan pendidikan sebagai sektor prioritas dalam mendorong kemajuan bangsa. Dua logika ini seperti gayung bersambut dengan putusan Mahkamah Konstitusi yang memasukan gaji pendidik dalam item biaya pendidikan. Dari aspek pendidikan, anggaran, hukum tata negara dan bahkan hak asasi manusia, risalah eksaminasi publik, hal ini merupakan dimensi yang dapat memicu terjadinya kamuflase bagi pemenuhan porsi anggaran pendidikan menjadi 20% dari total belanja pemerintah maupun pemerintah daerah.

2.

Komitmen yang tinggi dari segenap pihak yang terkait dengan kebijakan pengalokasian hendaknya senantiasa dijaga kontinuitasnya. Oleh karena itu keterlibatan serta partisipasi aktif dari stakeholder yang ada merupakan perekat yang sangat strategis adanya. Kerancuan yang ada tentang fenomena dominansi belanja rutin untuk bidang pendidikan yang tercermin dari pengalokasian gaji serta tunjangan pendidik secara perlahan hendaknya diseimbangkan dengan pengalokasian anggaran khusus bidang pendidikan pos belanja pembangunan untuk peningkatan mutu dan kualitas pendidikan di Provinsi Sumatera Utara agar generasi yang akan datang merupakan individu-individu yang dapat disejajarkan dengan kualitas daerah lain di wilayah nusantara bahkan di dunia bagi cakupan yang lebih luas.

DAFTAR PUSTAKA Batubara, Muhyi. 2004. Sosiologi Pendidikan. Jakarta: Ciputat Press. BPPN dan Bank Dunia, 1999. School Based Management di Tingkat Pendidikan Dasar. Jakarta: BPPN dan Bank Dunia.

91


INOVASI : Vol. 6. No. 2, Juni 2009

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

Budiyanto, Nur. 2001. Profil Pegawai Negeri Sipil (PNS) Menuju Indonesia Baru Dalam Jurnal Studi Indonesia : Kajian Sosial-Humaniora. Vol.11.No1. Maret, 2001. Lembaga Penelitian Universitas Terbuka. Jakarta.

Soetjipto dan R. Kosasi. 2000. Profesi Keguruan. Jakarta: Rineka Cipta.

Depdiknas, 2003. Standar Kompetensi Guru (SKG). Jakarta: Direktorat Jendral Pendidikan Dasar dan Menengah Direktorat Tenaga Kependidikan.

Sufyarma, 2002. Revitalisasi Sistem Pendidikan Institut Nasional Syafei (INS) Kayutanam dengan Memanfaatkan Model Manajemen Berbasis Sekolah dalam Pengembangan Siswa Mandiri. Disertasi. Program Pascasarjana Universitas pendidikan Indonesia. Bandung.

Suparno, Paul. 2002. Guru Demokratis di Era Reformasi. Jakarta: Grasindo.

Depdikbud, 2003, Undang undang Republik Indonesia No 20 tahun 2003, Tentang Sistem Pendidikan Nasional, Jakarta : CV Eko Jaya. Dun,

Syafaruddin, 2002. Manajemen Mutu Terpadu dalam Pendidikan: Konsep, Strategi, dan Aplikasi. Jakarta: Grasindo.

William N, 1999, Pengantar Analisis Kebijakan, Gajah Mada University Press, Jogyakarta.

Sofyan S H, dkk, 2000, Masa Depan Pendidikan di Sumatera Utara. Medan, Waspada Juli 2000.

Eriza, Faisal, 2003, Evaluasi Pelaksanaan Program Peningkatan Pendidikan Dasar/ Basic Education Project di Kabupaten Langkat, Skripsi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara, Medan.

Tampubolon, S.P. 2001. Perguruan Tinggi Bermutu: Paradigma Baru Manajemen Pendidikan Tinggi Menghadapi Tantangan Abad 21. Jakarta: Gramedia: 2001.

Fathurrohman, Pupuh & Sobry Sutikno. 2007. Strategi Belajar Mengajar. Bandung: Refika Aditama.

Tilaar, H.A.R. 2000. Paradigma Baru Pendidikan Nasional. Jakarta: Rineka Cipta. Tilaar, H.A.R. 2002. Pendidikan, Kebudayaan dan Masyarakat Madani Indonedia. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Hamid K, Abdul dan Yusri. 2005. “Pengembangan Model Pengajaran Berdasarkan Kompetensi Untuk Meningkatkan Kualitas SDM Bidang Keterampilan Sesuai dengan Kebutuhan Lapangan Kerja� Dalam Jurnal Penelitian Bidang Pendidikan. Terakreditasi Nasional Medan: Volume 12 Edisi Khusus Nopember 2005 hh. 1 - 12.

Yusri,

Moedjiarto. 2002. Sekolah Unggul. Jakarta: Duta Graha Pustaka. Mulyasa, E., 2003. Kurikulum Berbasis Kompetensi: Konsep, Karakteristik, dan Implementasi. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Mulyasa, E. 2007. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan: Suatu Panduan Praktis. Bandung: Remaja Rosdakarya. Muslich, Masnur. 2007. KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan): Dasar Pemahaman dan Pengembangan. Jakarta: Bumi Aksara. Rosyada, Dede. 2004. Paradigma Pendidikan Demokratis: Sebuah Model Pelibatan Masyarakat dalam Penyelenggaraan Pendidikan. Jakarta: Prenada Media.

92

2007. Kajian Tentang Administrasi Pendidikan SD, SMP, dan SMA di Kota Medan. Dalam Jurnal Penelitian Bidang Pendidikan. Terakreditasi Nasional. Medan: Volume 13 Edisi Khusus Mei 2007 hh. 110 - 121.


INOVASI : Vol. 6. No. 2, Juni 2009

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

Kajian Perubahan Pola Konsumsi Pangan Di Sumatera Utara Edy Batara Mulya Siregar Tim Peneliti Bidang SDA dan Maritim Balitbang Provsu

Abstraksi Beras masih merupakan pangan pokok bagi masyarakat di Sumatera Utara dan masih belum tergantikan posisinya sebagai sumber energi, meskipun sumber bahan makanan pokok lainnya cukup banyak. Salah satu penyebabnya karena beras merupakan indikator bagian dari struktur sosial budaya yang cukup berarti di masyarakat. Tingginya konsumsi beras tergambar dari besarnya alokasi pengeluaran untuk beras dalam struktur pengeluaran keluarga, World Bank (1999) memperkirakan 70% pengeluaran keluarga miskin digunakan untuk pangan dan sebesar 34% pengeluaran rumah tangga dialokasikan untuk membeli beras sebagai makanan pokok. Diversifikasi pangan merupakan salah satu upaya untuk mengatasi masalah ketergantungan pada beras. Diversifikasi pangan hendaknya tidak hanya meningkatkan produksi berbagai macam bahan pangan saja, namun yang terpenting adalah merubah struktur bahan pangan yang dikonsumsi. Dengan demikian penganekaragaman pangan bukan saja dimaksudkan untuk mengurangi ketergantungan masyarakat terhadap beras, tetapi juga untuk peningkatan mutu gizi makanan rakyat dalam rangka meningkatkan kualitas sumberdaya manusia.

Kata-kata kunci : Pangan, konsumsi, padi, beras, diversifikasi. juga mengalami permasalahan kekurangan pangan khususnya beras setiap tahunnya. Ketergantungan terhadap beras sebenarnya dapat dikurangi dengan penganekaragaman pangan melalui perubahan citra bahan pokok selain beras, sedangkan perbaikan gizi sepenuhnya tergantung pada peningkatan pendapatan. Umbi-umbian sebagai sumber karbohidrat non beras dan kacang-kacangan yang dikenal sebagai sumber protein nabati, vitamin dan mineral belum optimal pemberdayaannya. Peningkatan kontribusi kacang dan ubi sebagai sumber pangan alternatif dalam pemenuhan kebutuhan pangan berkualitas dapat memberikan pengaruh signifikan terhadap ketahanan pangan dan kualitas sumberdaya masyarakat berpenghasilan rendah.

PENDAHULUAN Undang-undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan menyebutkan bahwa ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi setiap rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutu, aman, merata dan terjangkau. Pembangunan pangan ini bertujuan untuk meningkatkan kualitas dan produktivitas sumberdaya manusia sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari pembangunan nasional. Konsumsi pangan penduduk Indonesia masih belum memenuhi kecukupan gizi. Kuantitas, kualitas, dan keragaman pangan belum memenuhi kaedah berimbang, karena masih didominasi oleh serealia khususnya beras, sebaliknya kontribusi jagung, umbi-umbian, kacangan-kacangan, pangan hewani, sayur-sayuran dan buah-buahan masih sangat kurang. Ketergantungan terhadap beras dapat diperlonggar dengan penganekaragaman pangan melalui perubahan citra bahan pangan pokok berbasis umbi-umbian yang diperkaya nutrisinya oleh kacang-kacangan.

Pengubahan citra bahan pangan selain beras berbasis tanaman kacang dan umbi yang secara alami inferior harus dilakukan melalui tahapan pengembangan produk atau pengolahan menjadi komoditas baru yang lebih menarik dan perlu diperkaya dengan nutrisi. Apabila sikap dan perilaku masyarakat tentang pangan tidak segera dibenahi kesulitan pangan yang lebih besar akan menghadang di masa depan.

Program peningkatan ketahanan pangan dimaksudkan sebagai upaya untuk menjaga ketersediaan pangan nasional (beras dan sumber bahan pangan lain), agar dapat dipenuhi dan diproduksi domestik sehingga mampu mengurangi ketergantungan akan impor. Sumatera Utara sebagai daerah agraris yang memprioritaskan pertanian sebagai sektor andalan pembangunan daerahnya,

Perkembangan penduduk, produksi dan kebutuhan serta tingkat konsumsi beras di Sumatera Utara selama periode 1993-2004 berdasarkan data dari Badan Ketahanan Provinsi Sumatera Utara ditandai dengan hal-hal berikut berupa : peningkatan

93


INOVASI : Vol. 6. No. 2, Juni 2009

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

penduduk Sumatera Utara dari 10.813.400 jiwa menjadi 12.138.959 jiwa atau sebesar 1,1% per tahun; produksi beras meningkat dari 1.844.272 ton menjadi 2.160.670 ton atau sebesar 1,6% per tahun, kebutuhan beras meningkat dari 1.790.158 ton menjadi 1.942.233 ton atau sebesar 0,8% per tahun, sebaliknya konsumsi beras per kapita menurun dari 165,55 kg/kapita/tahun menjadi 160 kg/kapita/tahun atau sebesar -0,3% per tahun. Sejalan dengan hal tersebut, untuk mengatasi ketergantungan terhadap beras yang cukup tinggi yang terjadi selama ini di Sumatera Utara, maka perlu dilakukan berbagai upaya yang salah satunya adalah dengan cara merubah pola konsumsi masyarakat dengan mengurangi ketergantungan akan beras yang masih cukup tinggi dengan mengalihkan kepada makanan yang berasal dari non beras.

PENGERTIAN UMUM DAN KELOMPOK BAHAN PANGAN Beberapa istilah dan pengertian yang selalu dijumpai dalam setiap pembahasan tentang pangan antara lain dijabarkan dalam pedoman umum pengembangan konsumsi pangan sebagai berikut : a. Pangan, adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air. b. Konsumsi pangan, adalah sejumlah makanan dan minuman yang dimakan atau diminum penduduk/seseorang. c. Penganekaragaman konsumsi pangan, adalah beranekaragamnya jenis pangan yang dikonsumsi penduduk mencakup pangan sumber energi, protein dan zat gizi lainnya. d. Diversifikasi/Penganekaragaman Pangan, adalah proses pemilihan pangan yang tidak tergantung kepada satu jenis pangan saja, tetapi terhadap macam-macam bahan pangan mulai dari aspek produksi, aspek pengolahan, aspek distribusi hingga aspek konsumsi pangan tingkat rumah tangga. e. Pola konsumsi pangan, adalah susunan makanan yang mencakup jenis dan jumlah bahan makanan rata-rata perorang per hari yang umum dikonsumsi/dimakan penduduk dalam jangka waktu tertentu. f. Pangan Pokok, adalah pangan sumber karbohidrat yang sering dikonsumsi atau dikonsumsi secara teratur sebagai makanan utama, selingan, sebagai sarapan atau sebagai makanan pembuka atau penutup. g. Pangan lokal, adalah pangan yang diproduksi setempat (satu wilayah/ daerah) untuk tujuan ekonomi dan atau konsumsi. Pangan lokal tersebut berupa bahan pangan baik komoditas primer maupun sekunder. h. Pangan asli, adalah pangan yang asal-usulnya secara biologis ditemukan di suatu daerah. i. Makanan Tradisional, adalah makanan yang dikonsumsi masyarakat golongan etnik dan wilayah yang spesifik diolah dari resep yang dikenal masyarakat. j. Makanan Kudapan, adalah makanan, baik hasil olahan rumah tangga ataupun industri yang disajikan/dikonsumsi sebagai makanan selingan, sebagai sarapan atau sebagai makanan pembuka atau penutup. k. Makanan Seimbang, adalah makanan yang dimakan seseorang atau penduduk untuk memenuhi kebutuhan tubuh seseorang yang dianjurkan untuk hidup sehat. l. Kecukupan pangan, adalah menunjukkan sejumlah energi dan zat gizi yang diperlukan untuk kesehatan. Hal ini diperuntukan bagi semua golongan umur. m. Konsumsi Energi adalah sejumlah energi pangan dinyatakan dalam kalori yang dikonsumsi penduduk rata-rata perorang perhari.

Berdasarkan uraian di atas, dapat dirumuskan beberapa permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini, antara lain : (1). Bagaimana pola konsumsi pangan (beras) masyarakat di Sumatera Utara?, (2). Jenis-jenis konsumsi pangan non beras apa saja yang ada selama ini yang cocok untuk dikembangkan sesuai dengan kondisi masyarakat di Sumatera Utara dan bagaimana tingkat ketersediaannya? Pelaksanaan kegiatan Kajian Perubahan Pola Konsumsi Pangan di Sumatera Utara ini dimaksudkan untuk mengetahui pola konsumsi pangan masyarakat di Sumatera Utara. Sedangkan tujuan darl pelaksanaan kegiatan kajian ini, adalah : (a). Untuk mengetahui pola konsumsi pangan masyarakat di Sumatera Utara, (b). Untuk mendapatkan jenis-jenis konsumsi pangan non beras apa saja yang ada selama ini yang cocok untuk dikembangkan sesuai dengan kondisi masyarakat di Sumatera Utara dan tingkat ketersediaannya. Sasaran kegiatan kajian ini adalah : (a). Untuk mengatasi kerawanan pangan (ketergantungan akan beras) dan impor di Sumatera Utara, (b) Untuk mendapatkan jenis-jenis konsumsi pangan non beras yang sesuai dengan kondisi masyarakat di Sumatera Utara dan tingkat ketersediaannya, (c). Untuk bahan kebijakan dalam pengembangan pangan non beras di Sumatera Utara. Manfaat yang diharapkan dari kegiatan kajian ini adalah : a. Sebagai sumber data dan informasi untuk pengembangan pangan non beras di Sumatera Utara. b. Sebagai bahan masukan kepada Pemerintah Daerah dan stakeholders dalam pengembangan pangan non beras di Sumatera Utara.

94


INOVASI : Vol. 6. No. 2, Juni 2009

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

n. Konsumsi protein adalah sejumlah protein yang diperlukan untuk kesehatan dan diperuntukkan bagi semua golongan umur. o. Norma kecukupan gizi adalah sejumlah zat gizi/energi pangan yang diperlukan oleh seseorang atau rata-rata kelompok orang untuk memenuhi kebutuhannya. p. Neraca Bahan Makanan adalah suatu bentuk tabel yang terdiri dari kolom-kolom yang memuat berbagai informasi berupa data tentang situasi dan kondisi penyediaan bahan pangan. q. Pola Pangan Harapan adalah komposisi/ susunan pangan atau kelompok pangan yang didasarkan pada kontribusi energinya baik mutlak maupun relatif, guna memenuhi kebutuhan gizi secara kuantitas, kualitas maupun keragamannya dengan mempertimbangkan aspek sosial, ekonomi, budaya, agama dan cita rasa. r. Bobot (rating) adalah nilai yang diberikan untuk setiap kelompok bahan pangan dengan mempertimbangkan kepadatan energi, zat gizi, serat, kuantitas, dan cita rasa terhadap komoditas tersebut. s. Skor mutu pangan adalah ukuran kualitas/ mutu bahan pangan yang didasarkan pada kontribusi energi setiap kelompok pangan dikalikan dengan bobot/rating.

Data sekunder didapatkan dengan beberapa cara antara lain melalui dokumen-dokumen pendukung atau laporan dari dinas/instansi terkait, antara lain Dinas Pertanian di Kabupaten Deli Serdang, Langkat, dan Serdang Bedagai, Badan Ketahanan Pangan Provinsi Sumatera Utara, Badan Pusat Statistik, dan Bappeda di masing-masing lokasi penelitian.

Kelompok Bahan Pangan

Teknik Analisis Data

Bahan pangan untuk konsumsi sehari-hari dapat dikelompokkan menjadi 9 (sembilan) kelompok besar. Jenis pangan pada masing-masing kelompok dapat berbeda pada setiap daerah/kota sesuai sumberdaya pangan yang tersedia. Secara nasional bahan pangan dikelompokkan sebagai berikut : a. Padi-padian : beras, jagung, gandum dan terigu. b. Umbi-umbian : ubi kayu, ubi jalar, kentang talas dan sagu. c. Pangan hewani : ikan, daging, susu dan telur. d. Minyak dan lemak : minyak kelapa, minyak sawit. e. Buah/biji berminyak : kelapa, daging. f. Kacang-kacangan : kedelai, kacang tanah, kacang hijau. g. Gula : gula pasir, gula merah. h. Sayur dan buah : semua jenis sayuran dan buah-buahan yang biasa dikonsumsi. i. Lain-lain : teh, kopi, coklat, sirup, bumbubumbuan, makanan dan minuman jadi.

Data sekunder diperoleh dari berbagai publikasi berasal dari stakeholders dan berbagai informasi yang terkait dengan pola konsumsi pangan non beras. Data lainnya berupa data dan informasi yang diperoleh langsung dari lapangan dan studi literatur. Pelaksanaan pengumpulan data dibagi menjadi dua tahapan, yaitu : pembuatan instrumen pengumpulan data dan kegiatan pengumpulan data.

Bedagai. Sedangkan pelaksanaan kegiatan berlangsung selama 4 (empat) bulan terhitung mulai Juli s/d Oktober 2008. Metode Pendekatan Studi Langkah awal yang dilakukan dalam Kajian Perubahan Pola Konsumsi Pangan di Sumatera Utara adalah penyediaan data, baik data primer maupun data sekunder. Data primer diperoleh dengan melakukan survei langsung ke lapangan di 3 (tiga) Kabupaten yaitu Deli Serdang, Langkat dan Serdang Bedagai sebagai sampel yang diharapkan dapat menggambarkan perubahan pola konsumsi di Sumatera Utara. Data yang primer diperoleh meliputi jenis makanan non beras yang dominan di masing-masing daerah penelitian. Metode pengambilan data primer di lokasi penelitian ini dilakukan secara deskriptif (descriptive research).

Data yang sudah terkumpul selanjutnya dianalisis agar dapat memberikan informasi yang jelas. Dengan format deskriptif kuantitatif, maka analisis data dilakukan melalui interpretasi berdasarkan pemahaman intelektual yang dibangun oleh pengalaman empiris. KEPENDUDUKAN DAN PANGAN SUMATERA UTARA

PRODUKSI

Padi masih merupakan bahan pangan pokok yang dihasilkan di Sumatera Utara. Dari data dua puluh tahun terakhir ini produksi padi mengalami puncak pada tahun 2000, yaitu sebesar 3.514.253 ton, setelah itu mengalami penurunan dan yang paling rendah terjadi pada tahun 2006 dengan produksi 3.007.636 ton. Namun demikian pada tahun 2007 produksi padi kembali menunjukkan kenaikan sebesar 8,58%.

METODOLOGI PENELITIAN Lokasi dan Waktu Kegiatan : Lokasi kegiatan Kajian Perubahan Pola Konsumsi Pangan di Sumatera Utara ini meliputi 3 (tiga) Kabupaten, yaitu : Kabupaten Deli Serdang, Kabupaten Langkat dan Kabupaten Serdang

95


INOVASI : Vol. 6. No. 2, Juni 2009

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

Bahan pangan yang menduduki posisi kedua setelah padi adalah jagung. Dari tahun 1987 hingga 2007 produksinya sedikit berfluktuasi, namun sebagian besar terus mengalami kenaikan. Produksi tertinggi terjadi tahun 2007 yaitu sebesar 804.850 ton. Selanjutnya adalah ubi kayu dengan produksi yang sedikit berfluktuasi, namun kecenderungannya mendatar dari tahun 1987 hingga 2007. Produksi tertinggi terjadi pada tahun 1989 yaitu sebesar 521.744 ton dan terendah pada tahun 1987 sebesar 277.390 ton. Produksi kacang kedelai terus mengalami penurunan dari tahun ke tahun, dengan produksi tertinggi terjadi pada tahun 1994 yaitu sebesar 86.497 ton, namun pada tahun 2007 mengalami penurunan yang sangat drastis dengan hanya mencapai 4.345 ton (turun sebesar -94%).

Produksi Bahan Pangan Dari data yang diperoleh khususnya dari tahun 2005 sampai 2007 produksi bahan makanan (padi, jagung, ubi kayu dan kedelai) di ketiga Kabupaten tersebut mengalami fluktuasi. Produksi padi di tiga Kabupaten yaitu Langkat, Deli Serdang dan Serdang Bedagai mengalami penurunan dari tahun 2005 ke 2006. Khususnya Kabupaten Langkat mengalami penurunan yang sangat tajam, namun kembali naik secara tajam di tahun 2007. Sementara itu di Kabupaten Deli Serdang sedikit mengalami kenaikan, sedangkan Serdang Bedagai terus menurun meskipun sedikit.

Tabel 1. Jumlah Penduduk, Produksi Padi, Jagung, Ubi Kayu, dan Kedelai di Provinsi Sumatera Utara 1987-2007 Jumlah Produksi Produksi Penduduk (%) Padi (%) Jagung (Jiwa) (Ton) (Ton) 1 1987 9,832,678 2,395,529 140,681 2 1988 10,045,387 2.16 2,553,645 6.60 140,681 3 1989 10,258,343 2.12 2,602,514 1.91 187,799 4 1990 10,184,132 -0.72 2,617,754 0.59 175,991 5 1991 10,381,638 1.94 2,730,393 4.30 187,799 6 1992 10,610,900 2.21 2,895,194 6.04 222,162 7 1993 10,738,300 1.20 2,918,152 0.79 262,412 8 1994 10,905,300 1.56 3,079,960 5.54 271,298 9 1995 11,068,200 1.49 3,134,533 1.77 311,918 10 1996 11,228,800 1.45 3,136,760 0.07 398,708 11 1997 11,378,700 1.33 3,212,208 2.41 457,379 12 1998 11,673,100 2.59 3,321,049 3.39 509,809 13 1999 11,873,100 1.71 3,451,430 3.93 619,667 14 2000 11,394,554 -4.03 3,514,253 1.82 670,088 15 2001 11,638,512 2.14 3,291,515 -6.34 634,162 16 2002 11,761,976 1.06 3,153,305 -4.20 640,593 17 2003 11,804,894 0.36 3,403,075 7.92 687,360 18 2004 12,036,100 1.96 3,418,782 0.46 712,560 19 2005 12,237,961 1.68 3,447,393 0.84 735,456 20 2006 12,551,553 2.56 3,007,636 -12.76 682,042 21 2007 12,834,371 2.25 3,265,834 8.58 804,850 Sumber : Badan Pusat Statistik Provinsi Sumatera Utara, 2008.

No

Thn

Padi

Jagung

(%)

0.00 33.49 -6.29 6.71 18.30 18.12 3.39 14.97 27.82 14.72 11.46 21.55 8.14 -5.36 1.01 7.30 3.67 3.21 -7.26 18.01

Ubi Kayu

Prod Ubi Kayu (Ton) 277,390 359,287 521,744 346,645 337,656 373,983 350,446 454,693 373,350 421,460 449,026 490,601 488,149 480,128 507,519 441,819 464,961 411,995 509.796 452,450 438,573

(%)

29.52 45.22 -33.56 -2.59 10.76 -6.29 29.75 -17.89 12.89 6.54 9.26 -0.50 -1.64 5.70 -12.95 5.24 -11.39 23.74 -11.25 -3.07

Prod Kedelai (Ton) 27,956 29,963 24,732 28.791 35.912 44.216 52.786 86.497 59.655 35.660 39.303 44.503 28.817 12.881 10.719 10.197 10.466 12.333 15.793 7.042 4.345

(%)

7.18 -17.46 16.41 24.73 23.12 19.38 63.86 -31.03 -40.22 10.22 13.23 -35.25 -55.30 -16.78 -4.87 2.64 17.84 28.05 -55.41 -38.30

Kedelai

4,000

Produksi (000 Ton)

3,500 3,000 2,500 2,000 1,500 1,000 500 0 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996

1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007

Tahun

Gambar 1. Produksi Bahan Pangan Padi, Jagung, Ubi Kayu, dan Kedelai) di Provinsi Sumatera Utara 1987-2007

96


INOVASI : Vol. 6. No. 2, Juni 2009

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

Untuk produksi jagung, Kabupaten Deli Serdang menduduki tempat teratas disusul Kabupaten Langkat. Produksi jagung di kedua daerah ini terus mengalami peningkatan yang tajam dari tahun 2005-2007. Sebaliknya Serdang Bedagai hanya sedikit menghasilkan jagung dengan produksi berkisar 20.000 ton.

jadi. Pada tahun 2005 pengeluaran untuk makanan dan minuman jadi melonjak melebihi pengeluaran untuk padi-padian, yang kemudian diikuti ikan dan tembakau dan sirih. Di daerah pedesaan, pengeluaran terbesar masih pada padi-padian namun pengeluaran untuk tembakau dan sirih melebihi ikan dan sayuran. Dari data terlihat telah terjadi perubahan yang mencolok dari tahun 2004 ke 2005, khususnya di daerah perkotaan. Masyarakat kota cenderung lebih memilih cara hidup yang praktis tanpa harus mengolah bahan makanan sendiri, tetapi membeli makanan dan minuman jadi.

Dari ketiga kabupaten tersebut, Kabupaten Serdang Bedagai merupakan daerah penghasil ubi kayu yang potensial diikuti Kabupaten Deli Serdang. Namun setelah terjadi kenaikan di tahun 2006 produksi kembali mengalami penurunan pada tahun 2007. Sementara itu Kabupaten Langkat hanya sedikit menghasilkan ubi kayu dan produksinya cenderung sama yaitu berkisar 7.000 ton.

Bila dilihat berdasarkan rata-rata pengeluaran per bulan untuk bahan makanan tahun 2006, padipadian masih menjadi bahan utama yang dibeli oleh masyarakat, yaitu Rp. 45.134,- (15,7%), diikuti ikan Rp.24.339,- (8,47%) dan tembakau dan sirih Rp. 23.401,- (8,14%), sayuran Rp. 14.203,- (4,94%) dan makanan dan minuman jadi Rp. 13.282,- (4,62%).

Dibandingkan ketiga komoditi di atas, produksi kacang kedelai mengalami penurunan yang sangat drastis pada ketiga kabupaten tersebut. Penurunan produksi terjadi sekitar 3.500 ton menjadi hanya 1.000 ton dan bahkan di Kabupaten Serdang Bedagai hanya mencapai 233 ton.

Pengeluaran Bukan Sumatera Utara

Bila ditinjau dari segi komoditi, padi masih merupakan komoditi utama yang dihasilkan baik di Kabupaten Langkat, Deli Serdang maupun Serdang Bedagai dengan produksi mencapai di atas 330.000 ton sepanjang tahun diikuti oleh ubi, jagung dan terakhir kacang kedelai. Konsumsi Masyakat Berdasarkan Pengeluaran di Sumatera Utara

Bahan

Makanan

di

Pada kelompok bukan makanan pada tahun 2005, pengeluaran di bidang perumahan dan fasilitas rumah tangga masyarakat di perkotaan naik sangat tajam menjadi Rp. 87.291,- per kapita per bulan (naik 46%), sedangkan untuk masyarakat di pedesaan cenderung tetap. Urutan selanjutnya masih ditempati aneka barang dan jasa yang mengalami kenaikan cukup besar baik di perkotaan (naik 23,2%) maupun di pedesaan (naik 9%). Tahun 2006 pengeluaran rata-rata untuk perumahan dan fasilitas rumah tangga masih menduduki tempat teratas yaitu sebesar Rp. 58.819,- (20,5%), diikuti aneka barang dan jasa sebesar Rp. 25.201,- (8,8%), biaya pendidikan 3,7% dan pakaian, alas kaki dan tutup kepala 3,4%. Selengkapnya pengeluaran rata-rata perkapita sebulan untuk bukan makanan penduduk di Sumatera Utara dari Tahun 2004-2006.

Jenis

Konsumsi penduduk Sumatera Utara berdasarkan jenis pengeluaran baik di daerah perkotaan, pedesaan maupun perkotaan+pedesaan selama periode Tahun 2004-2005 jumlah rata-rata pengeluaran perkapita sebulan masyarakat di Sumatera Utara untuk makanan dan bukan makanan mengalami peningkatan dari sebesar Rp. 212.586,menjadi sebesar Rp.287.381,- atau mengalami peningkatan sebesar 35,18% per tahun. Sedangkan pengeluaran rata-rata masyarakat pada tahun 2006 mencapai sebesar Rp. 287.434,- yang meliputi 58,64% untuk pengeluaran makanan dan 41,36% untuk pengeluaran bukan makanan.

Secara garis besar kebutuhan konsumsi barang dan jasa oleh konsumen (rumahtangga) dapat dikelompokkan ke dalam dua kategori yaitu kebutuhan pangan dan non-pangan. Dengan demikian pada tingkat pendapatan yang tertentu, konsumen akan mengalokasikan pendapatan tersebut untuk memenuhi kebutuhan pangan dan non-pangan. Informasi tentang struktur (pola) pengeluaran rumahtangga yang telah digambarkan di atas dapat memberikan indikasi seberapa penting pengeluaran pangan dalam struktur rumahtangga. Hal ini bermanfaat bagi pengambilan keputusan di bidang pangan dan gizi mengingat pengeluaran dapat digunakan sebagai salah satu indikator kesejahteraan rumah tangga.

Pengeluaran Bahan Makanan di Sumatera Utara Dari segi jumlah pengeluaran yang dilakukan untuk kelompok makanan, biaya untuk pembelian padipadian merupakan yang paling banyak, terutama di pedesaan baik pada tahun 2004 maupun 2005. Pengeluaran kedua terbesar adalah tembakau dan sirih dan diikuti dengan ikan. Di daerah perkotaan, makanan dan minuman menempati urutan keempat, sedangkan di pedesaan pengeluaran untuk sayuran lebih tinggi dibandingkan makanan dan minuman

97


INOVASI : Vol. 6. No. 2, Juni 2009

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

menerus (18,18% di kota dan 14,37% di pedesaan), sehingga diasumsikan bahwa terjadi peningkatan kesadaran masyarakat di kota dan di desa akan konsumsi protein.

Tingkat Konsumsi Pangan di Sumatera Utara Tingkat konsumsi energi per kapita per hari diperoleh dengan membagi tingkat konsumsi energi rumah tangga dengan jumlah anggota rumah tangga. Berdasarkan rekomendasi Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi V (1993) tingkat konsumsi energi yang diperlukan oleh rata-rata penduduk Indonesia adalah 2.150 kkal/kapita/hari. Dalam kehidupan sehari-hari setiap orang memutuhkan sejumlah gizi yang berasal dari berbagai macam sumber makanan. Konsumsi makanan penduduk (rumah tangga) sehari-hari harus memenuhi 2 (dua) kriteria kecukupan, yaitu kecukupan dalam hal energi dan protein. Kebutuhan kalori dapat dipenuhi dari konsumsi makanan pokok sementara untuk kebutuhan protein sebagian besar diperoleh dari konsumsi yang berasal dari hewani dan nabati. Untuk mengukur kebutuhan kalori digunakan standar angka kecukupan energi dan protein Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VI (LIPI, 1998) manusia dewasa, yaitu sebesar 2.200 kkal/kap/hari dan 48 g/kap/hari.

Pemenuhan kalori dari konsumsi daging mengalami peningkatan yang tinggi baik pada masyarakat perkotaan maupun pedesaan. Pada masyarakat kota pemenuhan kalori dari sumber makanan daging ini mengalami peningkatan selama periode tahun 19992005 yaitu sebesar 29,51 kkal (129,54%). Pada masyarakat pedesaan kenaikan juga terjadi yaitu sebesar 14,97 kkal (117,41%). Keadaan yang sama juga terjadi pada konsumsi telur dan susu, sayursayuran, kacang-kacangan dan buah-buahan. Sedangkan kedudukan masyarakat Sumatera dalam konsumsi kalori perkapita per hari dibandingkan dengan nasional dapat dilihat bahwa masyarakat Sumatera Utara mengkonsumsi padi-padian lebih tinggi 11,43% dibandingkan tingkat nasional, demikian juga pada minyak dan lemak (30,91%) dan buah/biji berminyak (27,10%). Hal ini menggambarkan bahwa penduduk Sumatera Utara masih banyak bergantung pada konsumsi beras. Tingginya konsumsi minyak dan lemak serta buah/biji berminyak dapat dikaitkan dengan kebiasaan/budaya konsumsi rumah tangga dengan menggunakan minyak goreng dan santan yang berasal dari buah kelapa.

Perhitungan angka kecukupan gizi tersebut didasarkan pada patokan berat badan untuk setiap kelompok umur dan jenis kelamin, sesuai dengan rujukan yang dianjurkan oleh badan internasional, terutama WHO dan FAO. Patokan berat badan tersebut didasarkan pada berat badan orang-orang yang mewakili sebagian besar penduduk (Indonesia) yang mempunyai derajat kesehatan optimal. Angka-angka tersebut diperoleh melalui berbagai survei gizi, kesehatan, dan survei lainnya. Diantara berbagai jenis zat gizi yang ada, karbohidrat dan protein merupakan dua jenis zat gizi yang umum dipakai untuk mengukur status gizi terutama bagi penduduk yang berusia di bawah lima tahun. Oleh karena itu penting menelaah seberapa jauh konsumsi jenis pangan tersebut menghasilkan kondisi kesehatan penduduk yang memadai menurut norma gizi.

Dari data pola konsumsi dan pengeluaran rumah tangga di Sumatera Utara, menunjukkan bahwa pola konsumsi dan struktur pengeluaran rata-rata rumah tangga masih didominasi oleh konsumsi dan pengeluaran untuk pangan. Diantara jenis-jenis pangan, padi-padian dari struktur pengeluaran maupun dalam kontribusi konsumsi energi masih sangat menonjol. Pengeluaran rata-rata rumah tangga untuk padi-padian terus menunjukkan kenaikan cukup tajam dari tahun 2004 hingga tahun 2006, di pihak lain konsumsi padi-padian dalam kontribusi energi menunjukkan penurunan. Hal ini dapat dikatakan telah terjadi perubahan pola konsumsi dari jenis makanan padi-padian (khususnya beras) menjadi makanan non beras dalam memenuhi kebutuhan energi rumahtangga sehari-hari. Penurunan konsumsi padi-padian lebih jelas terlihat di daerah perkotaan, namun penurunan ini dibarengi dengan meningkatnya pengeluaran terhadap jenis pangan lainnya seperti makanan dan minuman jadi.

Untuk memenuhi kebutuhan kalori, penduduk Sumatera Utara masih bergantung pada bahan makanan berupa padi-padian. Konsumsi padipadian pada masyarakat perkotaan mengalami penurunan secara terus menerus sampai tahun 2005, begitu juga pada masyarakat pedesaan meskipunmengalami sedikit kenaikan pada tahun 2005. Dari trend ini terlihat dari tahun 1999 ke 2005 telah terjadi penurunan yang cukup siginifikan terhadap konsumsi padi-padian sebagai sumber kalori bagi masyarakat kota yaitu sebesar -126,05 kkal (12,08%). Untuk konsumsi umbi-umbian pada masyarakat kota mengalami kenaikan pada tahun 2002 tetapi tahun 2005 mengalami penurunan yang cukup drastis, begitu juga pada masyarakat pedesaan. Konsumsi ikan pada masyarakat kota dan pedesaan mengalami peningkatan secara terus

Perubahan pola konsumsi dari beras ke non beras ini merupakan hal yang positif bagi Provinsi Sumatera Utara untuk tidak bergantung pada komoditi beras. Hal ini tidak terlepas dari berbagai kegiatan yang digalakkan oleh Pemerintah Provinsi Sumatera Utara maupun Kabupaten/Kota melalui Dinas Pertanian, Badan Ketahanan Pangan, Tim

98


INOVASI : Vol. 6. No. 2, Juni 2009

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

penurunan pada kelompok makanan (-0,07%) dan terjadi sedikit kenaikan pada bahan bukan makanan (0,14%). Kedua, proporsi pengeluaran rata-rata per kapita per bulan rumah tangga di Sumatera Utara lebih banyak untuk bahan makanan dibandingkan dengan bukan makanan. Selisih antara pengeluaran untuk konsumsi makanan dibandingkan bukan makanan pada tahun 2004 mencapai sebesar Rp. 60.466,(79%), namun pada tahun 2005 dan 2006 terjadi penurunan menjadi 42%. Penurunan selisih pengeluaran ini berindikasi meningkatnya pendapatan rumah tangga. Ketiga, proporsi pengeluaran rata-rata per kapita per bulan untuk bahan bukan makanan didominasi oleh perumahan dan fasilitas rumah tangga, terutama di daerah perkotaan diikuti dengan aneka barang dan jasa, pakaian, alas kaki dan tutup kepala, dan biaya pendidikan. Proporsi pengeluaran rata-rata untuk perumahan dan fasilitas rumah tangga terus mengalami kenaikan sebesar Rp. 13.794,- (34,67%) dari tahun 2004 ke tahun 2005, sedangkan dari tahun 2005 ke 2006 naik sebesar Rp. 5.339,(9,96%). Pola proporsi pengeluaran rata-rata rumah tangga di daerah perkotaan dan pedesaan hampir sama, kecuali untuk kelompok biaya pendidikan dan pajak/premi.

Penggerak PKK dan stakeholders lainnya dalam menggalakkan makanan non beras. Pola konsumsi pangan yang terlalu tergantung pada satu jenis pangan dapat menimbulkan beberapa masalah. Pertama, keadaan pangan akan selalu rawan karena apabila terjadi kekurangan dalam jenis pangan ini akan timbul kerisauan di dalam masyarakat. Lagi pula dalam keadaan masih diperlukan impor, kemampuan negara untuk mencukupinya akan sangat tergantung dari persediaan beras di negara pengekspor beras. Kedua, pola konsumsi pangan yang mengutamakan satu jenis pangan tidak dapat menjamin keseimbangan gizi yang memadai. Hal ini berarti bahwa untuk meningkatkan mutu gizi maka pola konsumsi pangan akan memerlukan penganekaragaman. Salah satu upaya dalam penganekaragaman konsumsi pangan dapat dilaksanakan melalui pengembangan pangan lokal karena pangan lokal merupakan pangan yang sudah dikenal dan mudah diperoleh di suatu wilayah, serta jenisnya beragam dan dapat diusahakan baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk dijual. Dengan demikian, pengembangan pangan lokal diharapkan dapat meningkatkan konsumsi pangan yang beragam di tingkat rumah tangga serta sekaligus meningkatkan pendapatan keluarga.

PENINGKATAN PANGAN LOKAL

Pola konsumsi rumah tangga merupakan salah satu indikator kesejahteraan rumah tangga atau keluarga. Selama ini berkembang pengertian bahwa besar kecilnya proporsi pengeluaran untuk konsumsi makanan terhadap seluruh pengeluaran rumah tangga dapat memberikan gambaran kesejahteraan rumah tangga tersebut. Rumah tangga dengan proporsi pengeluaran yang lebih besar untuk konsumsi makanan mengindikasikan bahwa rumah tangganya berpenghasilan rendah. Makin tinggi tingkat penghasilan rumah tangga, menyebabkan makin kecilnya proporsi pengeluaran untuk makanan terhadap seluruh pengeluaran rumah tangga. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa rumah tangga atau keluarga akan semakin sejahtera apabila persentase pengeluaran untuk makanan jauh lebih kecil dibandingkan dengan persentase pengeluaran untuk non makanan.

KONSUMSI

Perilaku konsumsi pangan masyarakat dilandasi oleh kebiasaan makan (food habit) yang tumbuh dan berkembang dalam lingkungan keluarga melalui proses sosialisasi. Kebiasaan makan tersebut dapat dipengaruhi oleh lingkungan ekologi (seperti ciri tanaman pangan, ternak dan ikan yang tersedia dan dapat dibudidayakan setempat), lingkungan budaya dan sistem ekonomi. Oleh karena itu kesadaran untuk mengkonsumsi pangan lokal dapat ditingkatkan. Peningkatan kesadaran tersebut dilakukan melalui kegiatan Komunikasi, Informasi dan Edukasi (KIE) sehingga permintaan komoditi pangan lokal akan berkembang yang dimulai dari tingkat rumah tangga. Kabupaten Deli Serdang, apabila dilihat dari produksi bahan pangan merupakan daerah penghasil jagung. Produksi jagung di Kabupaten Deli Serdang tahun 2007 mencapai 75.112,57 ton dengan konsumsi sebesar 99.419,81 ton atau perimbangannya sebesar -24.307,25 ton. Demikian halnya di Kabupaten Langkat, dengan produksi jagung sebesar 46.120,45 ton, konsumsi sebesar 60.965,59 ton atau dengan perimbangannya sebesar -14.845,13 ton (Badan Ketahanan Pangan Provsu, 2008). Keadaan ini menunjukkan bahwa baik Kabupaten Deli Serdang maupun Langkat masih membutuhkan pasokan jagung guna memenuhi kebutuhan yang begitu besar.

Berdasarkan data pengeluaran rata-rata per kapita per bulan untuk makanan dan bukan makanan di Sumatera Utara diperoleh kajian sebagai berikut : Pertama, pengeluaran rata-rata per kapita per bulan dari tahun 2004 ke tahun 2005 mengalami kenaikan cukup tajam. Untuk bahan makanan kenaikan mencapai sebesar 23,53% dan kelompok bukan makanan naiknya mencapai sebesar 56.10%, namun dari tahun 2005 ke tahun 2006 terjadi sedikit

99


INOVASI : Vol. 6. No. 2, Juni 2009

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

Pemerintah telah membuat kebijakan untuk mendukung diversifikasi makanan dengan tujuan agar untuk memenuhi kebutuhan karbohidrat tidak hanya bergantung pada beras. Bahan makanan non beras yang diutamakan dalam diversifikasi makanan sebaiknya bersumber dari produksi daerah seperti jagung, ubi, sagu, dan lain-lain. Dengan pemanfaatan produksi bahan makanan non beras yang bersumber dari potensi lokal diharapkan dapat meningkatkan ketahanan pangan di daerah.

Di sisi lain produksi beras pada tahun 2007 di Kabupaten Deli Serdang sebesar 223.298,87 ton dengan tingkat konsumsi mencapai 222.586,53 ton sehingga terjadi surplus sebesar 712,35 ton. Sedangkan di Kabupaten Langkat dengan produksi sebesar 206.019,99 ton dan tingkat konsumsi mencapai konsumsi 136.493,10 ton, berarti mengalami surplus sebesar 69.526,90 ton. Untuk itu kebijakan pengembangan komoditi jagung di masa mendatang sangat diperlukan untuk memenuhi kekurangan dan sekaligus mengurangi ketergantungan terhadap beras. Kabupaten Deli Serdang juga banyak menghasilkan ubi kayu, meskipun produksinya masih di bawah Kabupaten Serdang Bedagai.

Dari penelitian yang dilakukan di Sumatera Utara, khususnya di tiga kabupaten yaitu Deli Serdang, Serdang Bedagai dan Langkat diketahui telah terjadi pergeseran pola konsumsi masyarakat, yaitu dengan menurunnya konsumsi beras per kapita per bulan. Dalam memenuhi kebutuhan karbohidrat, masyarakat tidak hanya bergantung pada beras, namun telah menggantinya dengan bahan lain yang telah diolah menjadi makanan ringan maupun makanan berat. Jenis-jenis makanan non beras yang dikonsumsi masyarakat di tiga kabupaten tersebut umumnya tidak berbeda jauh dari segi jenis maupun bahan dasarnya. Namun makanan non beras yang paling banyak dikonsumsi oleh masyarakat bersumber dari bahan gandum, seperti mie dan berbagai jenis roti, bukan dari bahan makanan yang dihasilkan dari daerah tersebut, seperti jagung dan ubi.

Pengembangan jenis-jenis makanan berasal dari jagung dan ubi sebagai konsumsi pangan lokal perlu terus ditingkatkan dan dimasyarakatkan. Pemasyarakatan pangan lokal dilakukan melalui penerangan dengan memanfaatkan berbagai media, baik media cetak maupun elektronik serta penyuluhan dengan melakukan revitalisasi sistem LAKU (Latihan dan Kunjungan). Untuk meningkatkan motivasi masyarakat, dapat dilakukan dengan membuat pameran, festival dan lomba pangan lokal dan lain-lain. Sebagai sentra ubi kayu sudah selayaknya Kabupaten Serdang Bedagai memanfaatkan pengolahan ubi kayu menjadi berbagai jenis makanan alternatif pengganti beras. Berbagai produk makanan dari ubi kayu telah diproduksi dan dipasarkan di Serdang Bedagai dan daerah sekitarnya. Jenis-jenis makanan yang berasal dari bahan ubi kayu yang ditemukan di pasar antara lain adalah keripik singkong, getuk lindri, tela-tela, opak, kelanting, onde-onde, lepat ubi, tape ubi, ubi goreng, dan lain-lain.

Perubahan pola konsumsi masyarakat khususnya di perkotaan umumnya adalah pada sarapan pagi. Sebagain besar masyarakat sudah mengganti nasi dengan makanan lain, seperi roti, mie instan, kue, dan lain-lain. Makan siang pada umumnya masyarakat masih mengkonsumsi nasi, sedangkan pada malam hari jenis makanan yang dikonsumsi kembali mengalami variasi.

Disamping makanan dari beras dan baku ubi, Kabupaten Serdang Bedagai juga terkenal dengan berbagai jenis makanan non beras yang dipasarkan sepanjang jalan provinsi dengan penyediaan lokasi penjualan yang strategis dan tertata rapi. Usaha yang dilakukan selama ini untuk memperkenalkan makanan non beras telah menghasilkan penghargaan dari berbagai pihak khususnya pemerintah baik di daerah maupun di pusat. Untuk ke depan diperlukan berbagai upaya dalam pengembangan pangan lokal dalam rangka untuk merubah pola konsumsi masyarakat dari hanya mengkonsumsi beras menjadi non beras melalui berbagai kegiatan penyuluhan dan sosialisasi kepada masyarakat dengan melibatkan berbagai stakeholders yang terkait dengan pangan di daerah ini

Beberapa jenis makanan non beras yang dikonsumsi mayarakat yang bersumber dari gandum, antara lain : 1. Mie yang disajikan dalam berbagai jenis masakan, seperti ; mie instan, mie kuning (mie goreng, mie rebus, mie bakso), mie tiaw, mie hun (mie hun goreng, mie hun bakso), mie pansit, mie bakso dan lain-lain. 2. Roti dalam bentuk roti tawar yang dapat dimakan dengan berbagai sajian, seperti ditambah selai, coklat, keju, atau disajikan dalam bentuk roti panggang lain-lain. Roti manis dapat langsung dimakan atau dalam bentuk roti panggang dan burger. 3. Martabak dalam bentuk martabak manis dengan berbagai variasi rasa dan campuran, martabak telur dengan kombinasi daging sapi atau ayam dan lain-lain. 4. Pizza dan aneka roti yang banyak terdapat di kota-kota besar.

DIVERSIFIKASI MAKANAN Diversifikasi makanan merupakan kebutuhan nasional yang harus segera dilaksanakan.

100


INOVASI : Vol. 6. No. 2, Juni 2009

5.

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

Aneka kue, seperti lapis legit, bika ambon, aneka jenis bolu (bolu kukus, bolu gulung), apem, risol, dan lain-lain. 2.

Jenis-jenis makanan non beras yang terbuat dari bahan selain gandum yang banyak dikonsumsi oleh masyarakat, antara lain adalah : 1. Aneka roti, berupa : bolu pisang, bolu ubi dan lain-lain. 2. Aneka kue, berupa : kue jagung, apem ubi, kroket kentang, kroket tahu, perkedel jagung, onde-onde ubi, ondol-ondol sagu, onde-onde ketan, lemper, lepat ubi, lepat pisang, getuk ubi, getuk pisang. 3. Makanan gorengan, berupa : ubi kayu, ubi jalar, pisang, sukun, talas, tahu, tempe, tape. 4. Makanan ringan, berupa : aneka keripik (ubi kayu, ubi jalar, pisang, kentang, tempe, sukun, talas), opak ubi, jagung goreng, dan lain-lain.

3.

4.

Dengan demikian saat ini telah terjadi kecenderungan masyarakat di Sumatera Utara untuk mengkonsumsi makanan non beras yang merupakan suatu kemajuan dalam program diversifikasi makanan. Namun perlu diwaspadai karena dari sebagian besar makanan non beras, gandum merupakan bahan yang sangat dominan dikonsumsi yang bukan merupakan bahan makanan yang bersumber dari potensi daerah.

5.

6.

Di pihak lain program diversifikasi atau penganekaragaman pangan yang sebenarnya sudah dicanangkan di Indonesia sejak tahun 1970-an, pelaksanaannya selama ini tidak berjalan antara lain disebabkan terjebak kebijakan Amerika Serikat yang menjual gandum dan kedelai dengan harga murah karena disubsidi. Kebijakan ini menyebabkan pemerintah terus mengimpor dalam jumlah yang besar, sehingga menyebabkan masyarakat menjadi mengkonsumi dan tergantung akan gandum (roti, mie dan kue) dan kedelai (tempe, tahu). Hal ini tentunya kurang mendukung pelaksanaan program ketahanan pangan untuk pengembangan jenis-jenis pangan lokal yang selama ini cukup banyak dijumpai di daerah. Kebiasaan mengandalkan konsumsi suatu jenis makanan harus dirubah dengan mengkonsumsi pangan yang merupakan produksi dan potensi daerah, seperti jagung, ubi kayu, ubi jalar, sagu, sukun, dan kacang-kacangan sehingga tidak bergantung pada impor.

7.

8.

dengan pengeluaran pangan yang masih lebih besar dibandingkan dengan pengeluaran nonpangan. Tingkat konsumsi pangan rata-rata dari jenis padi-padian pada rumah tangga di pedesaan lebih tinggi dibanding di perkotaan, namun sebaliknya konsumsi sumber protein (hewani) di pedesaan lebih rendah dibandingkan di perkotaan yang terjadi sebagai akibat meningkatnya kesejahteraan masyarakat di perkotaan. Pengeluaran rata-rata perkapita sebulan terhadap padi-padian mengalami peningkatan dari tahun 2004 hingga 2006, namun konsumsi terhadap padi-padian sebagai sumber kalori rumah tangga terus mengalami penurunan dari tahun 1999 hingga 2005 . Tingkat golongan pengeluaran per kapita sebulan masyarakat di Sumatera Utara berpengaruh terhadap keragaan makanan dalam memenuhi kebutuhan kalori rumah tangga per hari, dimana penurunan konsumsi padi-padian mengalami penurunan pada masyarakat golongan pengeluaran per kapita sebulan lebih tinggi dari Rp. 300.000,-. Semakin tinggi golongan pengeluaran per kapita sebulan diikuti dengan konsumsi dari jenis umbi-umbian semakin turun, tetapi terjadi sebaliknya konsumsi pangan hewani, makanan dan minuman semakin meningkat. Dari segi produksi dan kebutuhan, Kabupaten Deli Serdang dan Kabupaten Langkat merupakan daerah yang potensial bagi pengembangan produksi jagung sebagai alternatif mengatasi ketergantungan terhadap beras yang masih cukup tinggi. Kabupaten Serdang Bedagai memiliki potensi yang tinggi sebagai penghasil ubi kayu yang dapat digunakan sebagai sumber bahan makanan non beras. Ketergantungan terhadap beras dapat dikurangi dengan penganekaragaman pangan melalui perubahan citra bahan pokok selain beras, sedangkan perbaikan gizi sepenuhnya tergantung pada peningkatan pendapatan

Rekomendasi 1.

KESIMPULAN 2.

Dari berbagai uraian sebagaimana tersebut di atas, dapat disimpulkan sebagai berikut : 1. Pola konsumsi dan pengeluaran rata-rata rumah tangga di Sumatera Utara memiliki struktur yang searah dengan pola yang terjadi secara nasional, salah satunya dicirikan

101

Untuk merubah pola konsumsi masyarakat di Sumatera Utara yang masih cukup tinggi dalam mengkonsumsi beras, diperlukan intervensi kebijakan di bidang perberasan melalui implementasi prioritas kebijakan yang berbeda satu daerah dengan daerah lainnya. Perlu dilakukan sosialisasi dan kampanye menggalakkan makanan non beras yang telah ada selama ini di berbagai daerah pedesaan dengan melibatkan Pemerintah Provinsi Sumatera Utara maupun Kabupaten/Kota seperti : Dinas Pertanian, Badan Ketahanan


INOVASI : Vol. 6. No. 2, Juni 2009

3.

4.

5.

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

FAO. 1996. World Food Summit, 13-17 November 1996. Rome, Italy : Food and Agriculture Organisation of the United Nations.

Pangan, Tim Penggerak PKK dan stakeholders lainnya. Untuk menarik minat masyarakat dalam mengkonsumsi pangan non beras diperlukan diversifikasi pangan melalui pengembangan teknologi pangan yang tidak hanya meningkatkan produksi berbagai macam bahan pangan, namun yang terpenting adalah merubah struktur bahan pangan yang dikonsumsi menjadi kecukupan gizi yang berimbang, Penganekaragaman pangan yang dilakukan bukan hanya untuk mengurangi ketergantungan masyarakat terhadap beras, tetapi juga untuk peningkatan mutu gizi makanan rakyat dalam rangka meningkatkan kualitas sumberdaya manusia. Konsumsi bahan makanan non beras perlu diarahkan sesuai dengan potensi lokal, seperti jagung, ubi kayu, ubi jalar melalui berbagai program/kegiatan baik berupa penyuluhan, kampanye dan lain-lain sehingga dapat mengurangi ketergantungan terhadap impor gandum dari negara lain.

Pokok-pokok Pikiran Hardyatuti, S. 2002. Kebijakan Pangan Nasional Dalam Dalam Kerangka Otonomi Daerah. Kebijakan Pangan Nasional Dalam Kerangka Otonomi Daerah. Editor : Srwidodo, S. Hartono, Masyhuri dan J. H. Mulyo. Magister Manajemen Agribisnis Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta Labys, W. C. 1973. Dynamic Commodity Models : Spesification, Estimation, and Simulation. D.C. Heath and Company. Lexington. Pemerintah Republik Indonesia. 2002. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 68 Tahun 2002 Tentang Ketahanan Pangan. Sekretariat Negara Republik Indonesia, Jakarta. PPK - LIPI. 2004. Ketahanan Pangan dan Kemiskinan Dalam Konteks Demografi. Seri Penelitian PPK-LIPI Nomor : 56/2004. Pusat Penelitian Kependudukan LIPI, Jakarta. http://www.ppk.lipi.go.id/file/publikasi/KET AHANAN%20PANGAN%20RUMAH%20 TANGGA.doc. (18 Febuari 2008).

DAFTAR PUSTAKA Azwar, A. 2004. Aspek Kesehatan dan Gizi dalam Ketahanan Pangan. Prosiding Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII “Ketahanan Pangan dan Gizi di Era Otonomi Daerah dan Globalisasi”. BPS, Departemen Kesehatan, Badan POM, Bappenas, Departemen Pertanian dan Ristek, Jakarta.

Mubyarto. 1989. Pengantar Ekonomi Pertanian. LP3ES, Jakarta. Republik Indonesia. 2002. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 68 Tahun 2000 Tentang Ketahanan Pangan Sekretariat Negara RI, Jakarta.

________ 2003. Evaluasi Program Ketahanan Pangan Provinsi Sumatera Utara Tahun 2003. Badan Ketahanan Pangan Provinsi Sumatera Utara (BKPSU), Medan.

Petunjuk Teknis _______________ 2005. Penentuan Tingkat Kerawanan Pangan. Badan Ketahanan Pangan Provinsi Sumatera Utara (BKPSU), Medan.

50 Tahun Membangun Baharsyah, S. 1995. Pertanian Modern Indonesia : Refleksi, Tantangan dan Prospek. Pidato Ilmiah Dalam Menyambut Dies Natalis IPB Bogor Ke-32, Bogor.

Suhardjo. 1996. Pengertian dan Kerangka Pikir Ketahanan Pangan Rumah Tangga. Makalah Disampaikan Pada Lokakarya Ketahanan Pangan Rumah Tanggal 20 – 30 Mei 1996, Yogyakarta.

Daniel, M. 2002. Pengantar Ekonomi Pertanian. Cetakan Pertama, P.T. Bumi Aksara, Jakarta. Departemen Kelautan dan Perikanan. 2003. Strategi Kebijakan Pemenuhan Protein Ikan Dalam Mendukung Ketahanan Pangan Nasional. Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap, Departemen Kelautan dan Perikanan RI, Jakarta..

Walpole, R.E. 1993. Pengantar Statistika. Edisi Ke – 3. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Dewan Ketahanan Pangan. 2005. Peta Kerawanan Pangan Indonesia. Jakarta.

102


INOVASI : Vol. 6. No. 2, Juni 2009

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

Analisis Perkembangan Ketersediaan Pangan Di Sumatera Utara (Beras, Jagung, Kedele dan Umbi) E. Harso Kardhinata Tim Peneliti Bidang SDA dan Maritim Balitbang Provsu

Abstraksi Ketersediaan pangan adalah jumlah pangan yang tersedia untuk dikonsumsi yang pada dasarnya bersumber dari potensi yang dimiliki bukan berasal dari luar. Kajian tentang ketersediaan pangan ini dilaksanakan untuk mengetahui perkembangan ketersediaan pangan (beras, jagung, umbi-umbian dan kedelai) dan mendapatkan pola ketersediaan pangan di Provinsi Sumatera Utara. Hasil analisis tren menunjukkan Provinsi Sumatera Utara mengalami kenaikan produksi jagung dengan nilai koefisien positif, kecuali di Kabupaten Nias/Nias Selatan. Untuk ubi kayu juga menunjukkan pertumbuhan yang sangat baik, namun di beberapa kabupaten mengalami penurunan yaitu di Kabupaten Langkat, Asahan, Karo, Tapanuli Utara/Humbang Hasundutan/ Tobasa/Samosir dan Nias/Nias Selatan. Dengan demikian Pemerintah Provinsi Sumatera Utara harus terus menerus mewaspadai ketersediaan pangan, agar dapat memenuhi kebutuhan pangannya dengan secara mandiri dan tidak bergantung pada daerah lain. Daerah-daerah yang mengalami penurunan ketersediaan pangan harus mendapat perhatian serius dengan membuat program-program yang dapat meningkatkan ketahanan pangan.

Kata-kata Kunci : Ketersediaan pangan, padi, beras, jagung, kedelai, umbi. ketergantungan konsumsi pangan akan beras menjadi cukup tinggi. Bahkan kebiasaan yang dipaksakan dengan makanan pokok beras menyebabkan ketergantungan terhadap pangan beras menjadi semakin besar. Keadaan ini menjadi sulit karena berbagai kebijakan di bidang pangan tidak didukung oleh kemampuan daerah dalam menyediakan produksi pangannya. Hal ini menyebabkan beban swasembada beras menjadi semakin berat. Oleh karena itu ketahanan pangan yang dilakukan tidak hanya sebatas pada produksi beras, tetapi juga pada jenis pangan lainnya seperti jagung, ubi kayu dan kedelai.

PENDAHULUAN Berbagai distorsi yang terjadi pada masa lalu telah melemahkan ketahanan ekonomi nasional dan menimbulkan berbagai bentuk kesenjangan sosial. Kurang meratanya penyebaran pembangunan telah menimbulkan kesenjangan pertumbuhan antar daerah, antara kota dan desa serta antar golongan masyarakat. Pada masa yang akan datang pembangunan ekonomi Indonesia menghadapi dua tantangan utama yang cukup berat berkaitan dengan proses globalisasi dan desentralisasi. Padahal sebelum terjadinya krisis, kita telah menjadi negara yang telah swasembada pangan. Setelah terjadi krisis ekonomi global yang terjadi saat ini semuanya menjadi berubah termasuk kebijakan di sektor pertanian. Permasalahan pada pembangunan pertanian khususnya tanaman pangan dapat diidentifikasi dari aspek produksi, konsumsi dan distribusi. Orientasi kebijaksanaan pembangunan pertanian yang mengutamakan pada produksi bahan pangan terutama beras cenderung mengabaikan potensi sumber pangan lainnya, sehingga menyebabkan beban kebijaksanaan pangan menjadi semakin berat. Akibatnya setiap pelaksanaan program peningkatan produksi beras membutuhkan biaya yang makin mahal. Hal ini terlihat jelas meskipun swasembada beras berhasil dicapai pada tahun 1984, namun upaya tersebut tidak dapat dipertahankan dengan baik. Dari aspek konsumsi, pemahaman bahwa konsumsi beras merupakan indikator masyarakat maju menyebabkan

Ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi setiap warga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup baik jumlah maupun mutu, aman, merata dengan harga terjangkau. Sedangkan ketersediaan pangan adalah jumlah pangan yang tersedia untuk dikonsumsi yang pada dasarnya bersumber dari potensi yang dimiliki bukan berasal dari luar. Dalam penelitian ini aspek yang dikaji hanyalah kecukupan ketersediaan pangan. Ketersediaan pangan dalam rumah tangga yang dipakai dalam pengukuran mengacu pada pangan yang cukup dan tersedia dalam segi jumlah guna untuk memenuhi kebutuhan konsumsi rumah tangga. Berdasarkan uraian di atas, dapat dirumuskan beberapa permasalahan yang dianalisis dalam penelitian ini, antara lain :

103


INOVASI : Vol. 6. No. 2, Juni 2009

1.

2.

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

yang terkait dengan ketersediaan pangan. Data lainnya berupa data dan informasi yang diperoleh langsung dari lapangan dan studi literatur. Pelaksanaan pengumpulan data dibagi menjadi dua tahapan, yaitu : pembuatan instrumen pengumpulan data dan kegiatan pengumpulan data.

Bagaimana perkembangan ketersediaan pangan (beras, jagung, umbi dan kedelai) di Sumatera Utara selama ini? Bagaimana pola ketersediaan pangan (beras, jagung, umbi dan kedelai) yang sesuai dengan kondisi daerah Sumatera Utara?

Data yang sudah terkumpul selanjutnya dianalisis agar dapat memberikan informasi yang jelas. Dengan format deskriptif kuantitatif, maka analisis data dilakukan melalui interpretasi berdasarkan pemahaman intelektual yang dibangun oleh pengalaman empiris.

Maksud dan Tujuan Pelaksanaan kegiatan Analisis Perkembangan Ketersediaan Pangan (Beras, Jagung, Umbi dan kedelai) di Sumatera Utara ini dimaksudkan untuk mengetahui perkembangan ketersediaan pangan (beras, jagung, umbi dan kedelai) di Sumatera Utara, dengan tujuan dari pelaksanaan kegiatan analisis ini, adalah : 1. Untuk mengetahui perkembangan ketersediaan pangan (beras, jagung, umbi dan kedelai) di Sumatera Utara. 2. Untuk mendapatkan pola ketersediaan pangan (beras, jagung, umbi dan kedelai) yang sesuai dengan kondisi Sumatera Utara.

PERKEMBANGAN KETERSEDIAAN PANGAN DI SUMATERA UTARA Krisis ekonomi global secata tidak langsung telah menghancurkan sistem dan tatanan sosial ekonomi masyarakat Indonesia. Berbagai distorsi yang terjadi pada masa lalu telah melemahkan ketahanan ekonomi nasional dalam menghadapi krisis sehingga menimbulkan berbagai bentuk kesenjangan sosial dan menghambat kemampuan untuk mengatasi krisis dengan cepat. Kurang meratanya penyebaran pelaksanaan pembangunan telah menimbulkan kesenjangan pertumbuhan antar daerah, antara kota dan desa maupun antar golongan masyarakat sehingga gejolak sosial menjadi sangat mudah terjadi. Sementara itu pada masa yang akan datang pembangunan ekonomi Indonesia menghadapi tiga tantangan utama yang cukup berat terkait dengan proses globalisasi, desentralisasi dan krisis ekonomi global. Padahal sebelum terjadinya krisis Indonesia telah menjadi negara yang telah swasembada pangan.

METODOLOGI PENELITIAN Lokasi dan Waktu Kegiatan Lokasi kegiatan ini meliputi 3 (tiga) Kabupaten, yaitu : Kabupaten Deli Serdang, Kabupaten Langkat dan Kabupaten Serdang Bedagai. Sedangkan pelaksanaan kegiatan berlangsung selama bulan Juli s/d Oktober 2008. Metode Pendekatan Studi Langkah awal yang dilakukan dalam kegiatan ini adalah penyediaan data, baik data primer maupun data sekunder. Data primer diperoleh dengan melakukan survei langsung ke lapangan di 3 (tiga) Kabupaten yaitu Deli Serdang, Langkat dan Serdang Bedagai sebagai sampel yang diharapkan dapat menggambarkan ketersediaan pangan di Sumatera Utara. Data yang primer diperoleh meliputi ketersediaan pangan di masing-masing daerah penelitian. Metode pengambilan data primer di lokasi penelitian ini dilakukan secara deskriptif (descriptive research). Data sekunder didapatkan dengan mengumpulkan dokumen-dokumen pendukung atau laporan dari dinas/instansi terkait, antara lain Dinas Pertanian dan Badan/Kantor Ketahanan Pangan di Kabupaten Deli Serdang, Langkat, dan Serdang Bedagai, Badan Ketahanan Pangan Provinsi Sumatera Utara, Badan Pusat Statistik, dan Bappeda di masing-masing lokasi penelitian.

Ketersediaan pangan yang utama merupakan fungsi dari produksi pangan. Produksi pangan tergantung dari berbagai faktor, seperti iklim, sifat tanah, curah hujan, sarana produksi dan insentif bagi para petani dalam memproduksi komoditas pangan. Produksi serealia menjadi perhatian utama dalam memahami tingkat keswasembadaan pangan di suatu daerah Kabupaten/Kota. Untuk mengetahui suatu daerah dapat memproduksi pangan cukup untuk penduduknya, pertama-tama dengan menghitung ketersediaan bersih serealia per kapita per hari. Konsumsi normatif per kapita per hari dari serealia telah ditetapkan sebesar 300 gram. Suatu daerah surplus dalam produksi serealia jika ketersediaan bersih per kapita per hari adalah lebih dari 300 gram. Dari kajian FAO (2002) hanya 2 (dua) provinsi yaitu Papua dan Riau, yang memiliki defisit serealia, sedangkan provinsi-provinsi lainnya memproduksi lebih dari kebutuhan konsumsi normatif mereka. Masalah ini terjadi disebabkan penduduk Papua selama ini memakan ubi jalar

Teknik Analisis Data Data sekunder diperoleh dari berbagai publikasi berasal dari stakeholders dan berbagai informasi

104


INOVASI : Vol. 6. No. 2, Juni 2009

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

Serdang sebelumnya merupakan daerah penghasil beras terbesar di Sumatera Utara. Sejalan dengan meningkatnya pembangunan industri dan perumahan menyebabkan banyaknya terjadi alih fungsi lahan dari pertanian menjadi non pertanian yang berdampak terjadinya penurunan produksi padi dari tahun ke tahun. Produksi jagung di Kabupaten Deli Serdang memiliki tren terus meningkat selama periode 1987-2007, namun juga mengalami fluktuasi dari tahun ke tahun. Kabupaten Deli Serdang juga penghasil komoditi ubi kayu terbesar di Sumatera Utara. Rata-rata produksi ubi kayu sebelum krisis moneter meningkat sebesar 33,52%, dibandingkan setelah krisis merosot menjadi hanya 6,76%. Produksi ubi kayu ini tidak dapat terus menerus meningkat sebagaimana halnya dengan komoditas jagung. Ubi kayu mencapai puncaknya pada tahun 2004 dan setelah itu terus mengalami penurunan.

sebagai makanan pokok. Dari data FAO ini menunjukkan bahwa Indonesia tergolong tahan pangan karena telah berswasembada dalam produksi serealia. Hal yang sama juga dapat digunakan untuk melihat terlebih dahulu ketersediaan pangan di setiap daerah Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara. Ketersediaan Pangan di Kabupaten Langkat Produksi padi di Kabupaten Langkat selama periode 1987-1998 terus menerus meningkat dari 176.887 ton pada tahun 1987 menjadi 360.044 ton pada tahun 1998. Setelah tahun 1998 produksi padi berfluktuasi terus menerus hingga tahun 2006. Produksi padi pada tahun 2000 tumbuh sebesar 10,29%, namun turun kembali pada tahun 2001 menjadi sebesar -12,59%. Selama periode 19872007 pertumbuhan produksi padi mencapai sebesar 97%, jauh lebih besar dibandingkan dengan pertumbuhan penduduk sebesar 35%. Pertumbuhan produksi padi yang tertinggi ini terjadi pada tahun 2005 sebesar 20,65%. Dalam kurun waktu 19872007 pertumbuhan penduduk Kabupaten Langkat rata-rata mengalami pertumbuhan 1,57%, sedangkan pertumbuhan produksi padi pada dalam kurun yang sama sebesar 3,59%. Pada masa sebelum krisis moneter (1987-1997) produksi padi setiap tahunnya rata-rata mengalami peningkatan sebesar 6,38%, sedangkan produksi padi pada kurun waktu 1998-2007 rata-rata hanya meningkat 0,48 % atau turun jauh dibandingkan sebelum masa krisis.

Predikat Deli Serdang sebagai daerah utama penghasil padi di Sumatera Utara setelah pemekaran sudah terhapus. Dengan luas areal 40.568 hektar wilayah ini menghasilkan 335.233 ton padi. Surplus produksi padi sebesar 134.115 ton didistribusikan ke daerah-daerah lain di Sumatera Utara. Pembangunan pertanian di Kabupaten Deli Serdang selama ini ditunjang oleh areal pertanian seluas 84.689 hektar dan penduduk yang bekerja di sektor ini mencapai 31%. Ketersediaan Pangan di Kabupaten Simalungun

Produksi jagung mengalami peningkatan selama priode 1987-2007 sebesar 15,36%. Pada masa sebelum krisis pertumbuhan produksi jagung sebesar 21,67%, namun seperti halnya dengan padi pertumbuhannya juga mengalami penurunan hingga 8,36%. Untuk produksi ubi kayu pertumbuhan pada kurun waktu 1987-2007 mengalami pertumbuhan yang rendah yaitu sebesar 0,88%. Pada masa sebelum krisis pertumbuhan produksi ubi kayu mencapai 3,85%, sedangkan setelah krisis tumbuh sebesar -2,42%. Untuk produksi kedelai terus menerus mengalami penurunan dari 7.458 ton pada tahun 1987 sekarang menjadi 792 ton pada tahun 1997. Pertumbuhan kedelai mencapai klimaknya pada tahun 1993 dengan produksi sebesar 17.882 ton. Selama periode 1987-1997 ini produksi kedelai terus naik, namun setelah itu mengalami penurunan hingga mencapai level terendah pada tahun 2007. Penurunan produksi yang cukup tajam terjadi dari tahun 2000 ke 2001 yaitu sebesar -65%. Ketersediaan Pangan di Kabupaten Serdang dan Serdang Bedagai

Potensi ekonomi Kabupaten Simalungun sebagian terbesar adalah pertanian. Kabupaten Simalungun merupakan produksi terbesar kedua padi di Sumatera Utara setelah Kabupaten Deli Serdang. Petani Simalungun pada tahun 2001 memproduksi beras sebesar 293.179 ton atau 190 persen dari kebutuhan lokal. Surplus beras tersebut setiap tahun disalurkan ke daerah sekitarnya melalui Dolog maupun pasar tradisional. Swasembada pangan di Kabupaten Simalungun telah teruji puluhan tahun dan masih akan terus berlangsung. Pada tahun 1995 petani di Kabupaten Simalungun lahan mengganti sawahnya dengan kelapa sawit, sehingga tidak sedikit lahan sawah beralih fungsi menjadi lahan perkebunan kelapa sawit. Alih fungsi lahan ini tidak mengganggu daerah ini sebagai penghasil beras. Produksi beras Kabupaten Simalungun pada tahun 1995 surplus 149.255 ton. Selain padi, daerah ini juga penghasil utama palawija. Jagung, ubi jalar, ubi kayu, dan kacang tanah menempati urutan pertama dan kedua produksi terbesar di Sumatera Utara (Dinas Pertanian Provinsi Sumatera Utara, 2007). Kabupaten Simalungun merupakan daerah yang sangat tahan pangan sejak tahun 1989 hingga sekarang. Kemampuan untuk mempertahankan pangan patut dipuji karena sampai saat ini masih surplus pangan. Namun pada tahun 2004 produksi

Deli

Kabupaten Deli Serdang merupakan daerah yang telah dimekarkan menjadi dua kabupaten yaitu Deli Serdang dan Serdang Bedagai. Kabupaten Deli

105


INOVASI : Vol. 6. No. 2, Juni 2009

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

seluas 9.550 Ha (4,49 %), daerah ketinggian 200500 mdpl seluas 11.373 Ha (5,35 %), daerah ketinggian 500-1.000 mdpl seluas 79.215 Ha (37,24%) dan daerah ketinggian 1.000-1.400 mdpl seluas 112.587 Ha (52,92%). Dengan ketinggian daerah tersebut, maka Kabupaten Karo bukanlah lahan yang cocok untuk lahan tanaman padi, namun lebih cocok untuk tanaman jagung. Kabupaten Karo sekarang dikenal sebagai daerah penghasil jagung, sayur dan buah-buahan.

padi mencapai titik klimaksnya dengan total produksi padi sebesar 513.685 ton dan terus menurun hingga 367.793 ton pada tahun 2006 dan kemudian meningkat lagi menjadi 405.677 ton. Dengan demikian produksi padi di Kabupaten Simalungun terus menurun mendekati produksi tahun 1995, sebagai penyeimbangnya adalah ubi kayu dan jagung terus meningkat. Ketersediaan Pangan di Kabupaten Asahan

Pertumbuhan komoditas padi sebelum masa krisis sebesar 3,44%, sedangkan sesudah krisis sebesar 0,69%. Untuk tanaman jagung produksinya sebelum krisis yaitu sebesar 14,17%, sedangkan setelah krisis hanya tumbuh 3,90%. Produksi tanaman jagung yang paling tinggi terjadi pada tahun 2002 yaitu sebesar 222.894 ton. Produksi jagung ini jauh melebihi produksi padi atau sebanyak hampir tiga kali lipat dibanding dengan produksi padi. Berdasarkan indikator pangan Kabupaten Karo sejak tahun 1987 hingga sekarang termasuk sangat tahan pangan. Ketahanan pangan di Kabupaten Karo lebih banyak didukung oleh produksi jagung ketimbang produksi padi atau ubi kayu.

Meskipun program ketahanan pangan secara nasional telah diterapkan, namun tak bisa dipungkiri bahwa besarnya peralihan fungsi lahan pangan masih saja terjadi di mana-mana. Kondisi ini tentu saja membuat ketahanan pangan negeri ini semakin terancam secara nasional, tak terkecuali untuk daerah Kabupaten Asahan. Pemerintah Kabupaten Asahan telah mengantisipasi kondisi ini dengan membuat larangan terhadap pengalihan fungsi lahan tanaman pangan yang diatur melalui Perda Asahan Nomor 7 Tahun 1999 tentang Larangan Pengalihan Fungsi Lahan Tanaman Pangan. Namun, karena sanksi yang diterapkan untuk pelanggaran Perda tersebut terlalu ringan, yakni hanya berupa denda sebesar Rp 50.000 berikut pemusnahan tanaman atau subsider 3 bulan penjara, sehingga tidak memberikan dampak yang berarti. Buruknya sarana irigasi dan infrastruktur jalan di kantung-kantung pangan ditenggarai menjadi penyebab utamanya (Badan Ketahanan Pangan, 2006).

Ketersediaan Pangan di Kabupaten Labuhan Batu Kabupaten Labuhan Batu merupakan daerah yang subur didominasi subsektor perkebunan dengan hasil utamanya berupa kelapa sawit dan karet. Dari 58% wilayahnya dimanfaatkan untuk lahan pertanian dengan seluas 424.180 hektar atau 46% luas untuk perkebunan. Produksi kelapa sawit pada tahun 2000 mencapai 4,3 juta ton dengan luas lahan 292.649 hektar. Luas lahan karet pada tahun 2000 mencapai 118.779 hektar dengan produksi 109,3 ribu ton. Sebagian besar industri di kabupaten ini merupakan industri pengolahan hasil perkebunan dengan produk yang dihasilkan berupa minyak sawit mentah dan inti sawit yang menggunakan bahan baku kelapa sawit. Kabupaten Labuhan Batu merupakan salah satu sentra perkebunan di Sumatera Utara.

Produksi padi di Kabupaten Asahan selama periode 1987-1996 mengalami peningkatan sebesar 3,91%, sedangkan selama periode produksi 1996-2007 mengalami penurunan -1.34%. Produksi padi pada tahun 1998 mencapai puncaknya sebesar 341.149 ton, setelah itu menurun hingga tahun 2006 menjadi 183.921 ton. Untuk komoditi jagung mengalami peningkatan yang stabil yaitu berkisar 8% per tahun. Produksi jagung terus menerus meningkat dari 6.254 ton pada tahun 1987 ton menjadi 21.350 ton pada tahun 2006. Sementara produksi ubi kayu selama periode 1987-1996 tumbuh sebesar 11%, sementara selama periode 1998-2006 hanya tumbuh sebesar 5,05%.

Berdasarkan indikator pangan, Kabupaten Labuhan Batu dikatagorikan sebagai daerah yang bervariasi dipandang dari ketersediaan serealia. Pertumbuhan produksi padi di Kabupaten Labuhan Batu pada kurun waktu 1987-1997 mengalami pertumbuhan yang moderat yaitu sebesar 2,74%, namun masih lebih tinggi dibandingkan kurun waktu 1998-2006 yang hanya sebesar 1,44%. Tanaman lain yang dominan dihasilkan di Kabupaten Labuhan Batu adalah jagung dan ubi kayu. Pada tahun 2005 produksi jagung sebesar 2.310 ton dan ubi kayu sebesar 3.833 ton. Hasil produksi padi terus menerus mengalami penurunan mulai dari tahun 2002 sebesar 379.000 ton hingga menurun menjadi

Ketersediaan Pangan di Kabupaten Karo Potensi ekonomi yang sangat menonjol di Kabupaten Karo adalah pertanian, di masa mendatang kontribusinya dalam PDRB akan tergeser sektor jasa, industri dan perdagangan. Dari 74,34% penduduk Kabupaten Karo bekerja di sektor pertanian dengan sumbangan 59,67% terhadap PDRB, kemudian diikuti dengan sektor Jasa sebesar 12,24% dan Perdagangan, Hotel serta Restoran sebesar 12,11%. Kabupaten Karo terletak pada ketinggian 140-1.400 mdpl, dengan perbandingan luas pada ketinggian 140-200 mdpl

106


INOVASI : Vol. 6. No. 2, Juni 2009

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

282.503 ton atau turun sebesar 26% pada tahun 2006, kemudian meningkat lagi menjadi 288.840 ton pada tahun 2007.

berkurangnya lahan pertanian. Secara keseluruhan pertumbuhan produksi padi dari tahun 1987-2006 mencapai sebesar 3,83%.

Ketersediaan Pangan di Kabupaten Tapanuli Utara, Toba Samosir, Humbang Hasundutan dan Samosir

Kabupaten Tapanuli Tengah bukanlah penghasil jagung, dimana jagung hanya ditanam oleh penduduk untuk kebutuhan masyarakat lokal saja bukan sebagai konsumsi pangan. Demikian pula halnya dengan produksi ubi kayu bukan merupakan tanaman prioritas di daerah ini yang dapat dilihat dari produksi ubi kayu selama dua puluh tahun. Dengan demikian terlihat tidak ada perbedaan antara kondisi pangan sebelum dan sesudah krisis. Hal ini merupakan hasil kesuksesan dari Pemerintah Kabupaten Tapanuli Tengah, dimana hal yang perlu diwaspadai adalah penurunan tingkat pertumbuhan dan produksi padi.

Kabupaten Tapanuli Utara merupakan daerah pertanian dengan produksinya padi, jagung dan ubi kayu. Daerah ini dikatagorikan sebagai daerah tahan pangan dipandang dari ketersediaan serealia. Produksi padi pada tahun 1987-1997 mengalami peningkatan sebesar 2,16%, sedangkan pada kurun waktu 1998-2006 produksi padi merosot hingga lebih dari 10%. Kabupaten Tapanuli Utara merupakan kabupaten induk dari Kabupaten Toba Samosir, Samosir, Humbang Hansudutan. Pada periode sebelum pemekaran pertumbuhan produksi padi meningkat 2,16%. Hal ini seiring dengan tingkat pertumbuhan penduduk yaitu sebesar 1,95%. Namun produksi padi pada tahun 2006 di Tapanuli Utara menurun sebesar 19,27% dibandingkan tahun 2005. Kabupaten Tapanuli Utara bukanlah kabupaten penghasil jagung dengan produksi yang tidak stabil dari tahun ke tahun, begitu pula halnya dengan ubi kayu. Produksi ubi kayu sebelum krisis moneter sebesar 5,01% dan setelah krisis produksi ubi kayu terus menerus merosot. Untuk Kabupaten Humbang Hasundutan komoditas andalan tanaman pangan bukan padi, melainkan tanaman holtikultura buah dan sayur. Pada tahun 2006 terjadi peningkatan produksi padi sebesar 36,75% yaitu dari 45.142 ton pada tahun 2005 menjadi 61.731pada tahun 2006. Pertanian menjadi sektor andalan bagi Kabupaten Toba Samosir dalam menggerakkan perekonomian daerah, dimana pada tahun 2007 dengan kontribusi sekitar 53,21%.

Ketersediaan Pangan di Kabupaten Tapanuli Selatan, Mandailing Natal dan Kota Padang Sidempuan Kabupaten Tapanuli Selatan merupakan daerah lumbung padi di Sumatera Utara sejak dahulu hingga sekarang. Produksi serealia di derah ini sudah mencukupi kebutuhan konsumsinya atau sangat tahan pangan, hal ini berarti bahwa daerah ini sudah sangat baik dari segi keamanan pangan. Di samping itu daerah ini juga sebagai penghasil jagung dan ubi-ubian. Kabupaten Tapanuli Selatan ini dikatagorikan sebagai daerah tahan pangan dipandang dari ketersediaan serealia. Produksi padi sawah di Kabupaten Tapanuli Selatan terus mengalami penurunan dari tahun 2000 sebesar 470.804 ton menjadi 351.987 ton pada tahun 2002 atau turun sebesar 118.817 ton (25,24%), namun naik kembali pada tahun 2003 menjadi 404.193 ton. Penurunan ini disebabkan beberapa faktor seperti penurunan jumlah petani, kultur teknis yang kurang sesuai atau alih fungsi lahan dari lahan produksi menjadi areal pemukiman penduduk. Perkembangan produksi padi di Kabupaten Mandailing Natal pada tahun 2006 sebesar 135.522 ton atau menurun 18,65% dibanding tahun 2005. Kecamatan Siabu merupakan pusat produksi padi di Kabupaten Mandailing Natal dengan jumlah produksi mencapai 74.566 ton atau berkisar 36% dari seluruh produksi padi di daerah ini. Sementara itu produksi padi di Kecamatan Panyabungan pada tahun yang sama mencapai 16.802 atau 8,13 % dari total produksi daerah.

Ketersediaan Pangan di Kabupaten Tapanuli Tengah Produksi tanaman padi di Kabupaten Tapanuli Tengah pada tahun 2000-2003 mengalami penurunan, namun pada tahun 2005 mengalami kenaikan produksi kembali menjadi 135.266 ton. Produksi jagung pada tahun 2004 sebesar 2.188 ton dengan luas panen 790 ha, pada tahun 2005 produksinya meningkat menjadi 3.009 ton dengan luas panen 1.086 ha. Kabupaten Tapanuli Tengah pada tahun 2006 dikategorikan sangat tahan dengan indeks komposit 0,44 dan termasuk daerah yang mandiri dalam pangan serta merupakan sentra produksi padi di Sumatera Bagian Barat. Produksi padi pada masa 1987-1997 mencapai 5,97%, namun pertumbuhan produksi ini menurun hingga 2,48% pada tahun 1998-2006. Melambatnya pertumbuhan produksi padi itu tidak lepas dari makin

Ketersediaan Pangan di Kabupaten Nias dan Nias Selatan Kabupaten Nias sangat rentan dalam ketahanan pangan, hal ini dikarenakan daerah ini sering mengalami gempa sehingga menghancurkan infrastruktur yang ada termasuk pertanian. Daerah

107


INOVASI : Vol. 6. No. 2, Juni 2009

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

ini sesuai dengan hasil dari Peta Rawan Pangan merupakan daerah yang mengalami rawan pangan dan bahkan terendah dalam ketahanan pangan di Provinsi Sumatera Utara. Produksi padi sawah di Kabupaten Nias terus mengalami penurunan dari tahun 2000 sebesar 470.804 ton menjadi 351.987 ton pada tahun 2002 atau turun sebesar 118.817 ton (25.24%), meskipun naik kembali di tahun 2006 menjadi 404.193 ton. Penurunan ini disebabkan beberapa faktor seperti penurunan jumlah petani, kultur teknis yang kurang sesuai, alih fungsi lahan dari lahan produksi menjadi areal pemukiman penduduk dan lain-lain. Seluruh kecamatan di Kabupaten Nias merupakan penghasil padi dengan rata-rata produksi masing-masing kecamatan mencapai di atas 5 ton per hektar (BKP Provsu, 2007). Pertumbuhan produksi padi di daerah ini tidaklah sebaik dibandingkan kabupaten lainnya. Pada periode 1987-1997 pertumbuhan produksi padi hanya -1,28% dan setelah dimekarkan produksi padi mengalami pertumbuhan yang sangat kecil dan bahkan kurang dari satu persen.

Secara keseluruhan ketersediaan pangan di Kabupaten Dairi menunjukkan kondisi cukup baik. Ketersediaan pangan di daerah ini sejak dulu sampai sekarang terus membaik dari keadaan tahan pangan menjadi sangat tahan pangan. Di pihak lain produksi padi terus menurun pada akhir-akhir ini, namun masih dapat ditutupi dengan produksi jagung hingga membuat daerah ini dapat memenuhi kebutuhan serelianya. Kabupaten Dairi bukan merupakan daerah yang memproduksi ubi kayu, hal dapat dilihat dari hasil produksi ubi kayu cukup rendah dibandingkan dengan produksi beras dan jagung. Ketersediaan Pangan di Provinsi Sumatera Utara Pangan di setiap daerah harus tersedia dalam jumlah yang cukup, dengan mutu yang layak, aman dikonsumsi dan harga yang terjangkau oleh masyarakat. Sejak beberapa tahun terakhir ini, muncul kerisauan atas menurunnya kemampuan daerah-daerah untuk memenuhi sendiri kebutuhan pangan bagi masyarakat. Pada saat masa green revolution dengan ditemukannya teknologi pangan baru seolah-olah masalah pertanian bisa pangan bisa diatasi. Saat ini tekanan penduduk menjadi lebih kompleks dibandingkan sebelumnya. Penduduk di Indonesia terus menerus meningkat setiap tahunnya dengan pertumbuhan lebih kurang ¹1,5%. Demikian pula dengan pertumbuhan penduduk di Provinsi Sumatera Utara mengalami pertumbuhan yang cukup tinggi, dimana tingkat pertumbuhan dari tahun 1986 – 2006 mencapai 1,3% pertahun. Tentunya ini merupakan menjadi salah satu ancaman dalam mempertahankan ketahanan pangan. Untuk itu Pemerintah Daerah Provinsi Sumatera Utara telah berupaya meningkatkan produksi pertaniannya dan mengatasi pertumbuhan penduduknya dengan memprioritaskan pertanian sebagai sektor andalan utama pembangunan daerah.

Kabupaten Nias Selatan yang merupakan pemekaran Kabupaten Nias sebenarnya juga bukanlah daerah penghasil tanaman pangan baik padi, jagung dan ubi kayu. Dari indikator ketahanan pangan kelihatan bahwa kabupaten ini mengalami defisit pangan atau sangat rawan pangan. Hal ini disebabkan adanya penurunan produksi padi sebesar 42,60% pada tahun 2006, berarti bahwa kebutuhan pangan harus didatangkan dari luar daerah. Ketersediaan Pangan di Kabupaten Dairi dan Pakpak Bharat Kedua daerah ini dikenal sebagai daerah penghasil pertanian dengan produksinya berupa kopi, buahbuahan dan sayuran serta tanaman komoditi lainnya. Di pihak lain daerah ini berhasil dapat memenuhi kebutuhan serelia sendiri. Dengan lahan yang luas dan penduduk yang sedikit daerah ini dapat meningkatkan potensi pertaniannya khususnya tanaman pangan. Produksi padi di Kabupaten Dairi cenderung berfluktuatif dengan kisaran produksi antara 80.000-105.000 ton/tahun di bawah rata-rata produksi daerah lainnya. Rendahnya pertumbuhan produksi padi ini terjadi karena lahan-lahan sawah di daerah lebih banyak tadah hujan ketimbang sawah dengan irigasi teknis. Daerah ini juga sangat potensial untuk dikembangkan komoditas jagung, dimana selama dua puluh tahun terakhir pertumbuhannya mencapai sebesar 22,74%. Sebelum tahun 1997 pertumbuhan produksi jagung sebesar 34,64% jauh lebih tinggi ketimbang masa setelah itu yang hanya tumbuh sebesar 9,48%. Namun sangat disayangkan pertumbuhan dari tahun 2004-2006 produksinya menurun drastis dari 111.382 ton menjadi 87.204 ton.

Selama ini sektor pertanian dianggap sebagai sektor pasif yang dalam pembangunan ekonomi dan sebagai pendukung sektor lainnya seperti sektor industri. Berdasarkan pengalaman tersebut, pemerintah telah menetapkan kebijakan pangan sebagai prioritas utama melalui program peningkatan ketahanan pangan. Program ini tidak berdiri sendiri tetapi harus diikuti oleh program lainnya terutama penyedian infrastruktur pertanian, antara lain penyediaan benih, pupuk, pestisida, saprodi dan lain sebagainya. Pada saat ini mungkin masalah pangan bukan merupakan masalah yang serius, namun berdasarkan grafik ketersediaan pangan Provinsi Sumatera Utara yang didasarkan pada kebutuhan karbohidrat per kapita per hari selama periode 1987

108


INOVASI : Vol. 6. No. 2, Juni 2009

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

– 2006 menunjukkan bahwa pada saat ini sudah memasuki pada fase yang meresahkan. Pada grafik ketersediaan pangan tersebut memperlihatkan ada kecenderungan kurva yang mengalami penurunan dilihatkan dari pertumbuhan selama 10 tahun terakhir. Dilihat dari segi pertumbuhan produksi padi menunjukkan peningkatan baik sebelum krisis maupun setelah krisis. Namun jika dibandingkan dengan pertumbuhan penduduk, maka peningkatan produksi padi dan jagung tidaklah menggembirakan. Sesuai dengan siklus daur produksi, maka pada fase sebelum krisis ekonomi pertumbuhan produksi tanaman pangan di Provinsi Sumatera Utara adalah pada tahap pertumbuhan (growth stage), sedangkan pada saat setelah krisis moneter dapat dikatakan masuk pada tahap kedewasaan. Di pihak lain dikhawatirkan Provinsi Sumatera Utara sudah memasuki tahap penurunan.

POLA KETERSEDIAAN PANGAN DI PROVINSI SUMATERA UTARA Untuk mengetahui pola ketersediaan pangan di Provinsi Sumatera Utara pada setiap kabupaten adalah dengan menggunakan tren atau model liner dengan menggunakan analisis regresi terhadap perkembangan ketersediaan pangan berdasarkan kebutuhan karbohidrat per kapita per hari selama tahun 1997 –2007. Hasil analisis regresi pola ketersediaan pangan di Provinsi Sumatera Utara berdasarkan kebutuhan karbohidrat per kapita per hari pada beberapa kabupaten menunjukkan suatu tren atau koefisien regresi positif, sebagaimana terjadi di Kabupaten Langkat, Simalungun, Karo, Tapanuli Utara/ Humbang Hasundutan/Toba Samosir/ Samosir, Tapanuli Tengah, Tapanuli Selatan/ Mandaling Natal, dan Dairi/Pakpak Bharat. Hal ini menunjukkan di daerah-daerah tersebut masih memiliki pola ketersediaan pangan yang positif selama periode tahun 1987 – 2007. Namun ada beberapa kabupaten yang menunjukkan koefisien negatif yaitu Kabupaten Nias/Nias Selatan, Deli Serdang/Serdang Bedagai, Asahan dan Labuhan Batu. Koefisien yang negatif ini menunjukkan ketersediaan pangan di daerah-daerah tersebut mengalami kecenderungan menurun.

Hal ini dapat dilihat pada tahun 2006 dimana produksi pertanian yang mengalami penurunan, meskipun pada tahun 2007 mengalami peningkatan kembali. Untuk tahun-tahun berikutnya tingkat kerawanan pangan tambah mengkhawatirkan dengan terjadinya krisis ekonomi global, meningkatnya harga input pertanian, kelangkaan pupuk, kegiatan alih fungsi lahan pertanian, banyaknya sarana dan prasarana pertanian yang rusak dan lain-lain. Dilihat dari segi pertumbuhan produksi padi menunjukkan peningkatan baik sebelum krisis maupun setelah krisis. Namun jika dibandingkan dengan pertumbuhan penduduk maka peningkatan produksi padi dan jagung tidaklah menggembirakan. Sedangkan untuk melihat kontribusi dari setiap kabupaten terhadap ketersediaan komoditi pangan di Provinsi Sumatera Utara yang meliputi beras, jagung, ubi kayu dan kedelai digunakan rumus koefisien korelasi sebagaimana disajikan pada Tabel 1.

Berdasarkan analisis tren atau model liner dengan menggunakan analisis regresi menunjukkan bahwa Provinsi Sumatera Utara masih memiliki koefisien yang positif yang berarti masih tahan pangan. Kondisi ini harus terus tetap dapat dipertahankan dengan membuat program pertanian yang lebih konkrit dengan mengoptimalkan sumberdaya yang ada terutama sarana prasarana, lahan dan petani.

Tabel 1. Kontribusi Kabupaten Terhadap Ketersediaan Komoditi Pangan (Beras, Jagung, Ubi Kayu dan Kedelai) di Provinsi Sumatera Utara dan Kabupaten-kabupaten No.

Kabupaten/Kota

1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.

Langkat Deli Serdang/Serdang Bedagai Simalungun Asahan Karo Labuhan Batu Tapanuli Utara/Humbang Hasundutan/Tobasa/Samosir 8. Tapanuli Tengah 9. Tapanuli Selatan/Madina 10. Nias/Nias Selatan 11. Dairi Sumber : Data Diolah, 2008.

109

Beras

Jagung

Ubi Kayu

Kedelai

0.4171 0.5410 0.2786 0.5445 0.4868 0.2891 0.4498

0.5891 0.8770 0.6366 0.3886 0.6458 0.4462 0.3829

0.2643 0.4267 0.4217 0.0705 0.1067 0.0235 -0.2931

0.4267 0.5310 0.0312 0.5133 -0.3900 0.1333 0.1823

-0.1872 0.6177 -0.2232 0.4484

0.1814 0.8101 0.1389 0.8588

-0.0445 0.3808 0.2557 0.0319

-0.0738 0.5516 -0.1660 -0.1882


INOVASI : Vol. 6. No. 2, Juni 2009

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

Tren analisis produksi beras menunjukkan bahwa produksi beras di Provinsi Sumatera Utara memiliki koefisien positif. Hal ini berarti selama kurun waktu 20 tahun produksi beras terus mengalami peningkatan. Begitu pula halnya pada beberapa kabupaten pemekaran menunjukkan produksi beras meningkat selama 20 tahun kecuali di Kabupaten Asahan yang memiliki koefisien negatif.

3.

4. Tren produksi jagung di Provinsi Sumatera Utara dan setiap kabupaten disajikan dengan persamaan regresi yang menunjukkan pertumbuhan yang sangat baik. Dari hasil analisis tren menunjukan Provinsi Sumatera Utara mengalami pertumbuhan kenaikan produksi jagung dengan nilai koefisien positif. Dari seluruh kabupaten sebelum pemekaran menunjukkan produksi jagung meningkat, hal ini berarti bahwa program peningkatan produksi jagung mengalami keberhasilan.

5.

Namun sebaliknya di Kabupaten Nias/Nias Selatan, Deli Serdang/Serdang Bedagai, Asahan dan Labuhan Batu memiliki koefisien negatif (menurun). Tren produksi beras di Provinsi Sumatera Utara dan beberapa kabupaten menunjukkan koefisien positif (meningkat) kecuali Kabupaten Asahan. Tren produksi jagung di Provinsi Sumatera Utara menunjukkan pertumbuhan yang sangat baik karena memilki nilai koefisien positif kecuali di Kabupaten Nias/Nias Selatan. Produksi ubi kayu di Provinsi Sumatera Utara mengalami peningkatan, namun di beberapa kabupaten mengalami penurunan yaitu di Kabupaten Langkat, Asahan, Karo, Tapanuli Utara/ Humbang Hasundutan/ Tobasa/ Samosir dan Nias/Nias Selatan.

Rekomendasi : Dari hasil analisis tren produksi ubi kayu di Provinsi Sumatera Utara juga menunjukkan peningkatan. Namun ada beberapa kabupaten yang memiliki koefisien yang negative, yaitu di Kabupaten Langkat, Asahan, Karo, Tapanuli Utara/Humbang Hasundutan/Tobasa/Samosir dan Nias/Nias Selatan yang berarti bahwa terjadi penurunan terhadap produksi ubi kayu pada beberapa daerah tersebut.

1. Pemerintah Provinsi Sumatera Utara harus terus mewaspadai ketersediaan pangannya agar dapat memenuhi kebutuhan pangannya dengan secara mandiri dan tidak bergantung pada provinsi lain dengan cara mengoptimalkan potensi sumberdaya pertanian yang ada dengan membuat program-program yang dapat meningkatkan ketahanan pangan. 2. Program ketahanan pangan di Provinsi Sumatera Utara dapat dicapai dengan tidak hanya mengembangkan tanaman padi tetapi juga tanaman lainnya seperti jagung dan umbiumbian. 3. Kabupaten/Kota yang mengalami penurunan ketersediaan pangan agar membuat programprogram yang dapat meningkatkan ketersediaan pangannya, antara lain berupa : intensifikasi, ekstensifikasi dengan memanfaatkan lahan tidur, penyediaan benih unggul, saprodi, dan pembatasan alih fungsi lahan pertanian ke non pertanian, serta perbaikan infrastruktur pertanian berupa sarana irigasi, jalan, dan lain-lain. 4. Untuk mengatasi masalah pangan secara baik, diperlukan adanya pemetaan persoalan pangan secara tepat dalam berbagai perspektif waktu dengan merumuskan berbagai langkah operasional yang sistematis dan komprehensif. Upaya ini diharapkan dapat mencegah terjadinya pengulangan program yang sama dari waktu ke waktu tanpa kejelasan sasaran akhir yang ingin dicapai.

Sedangkan tren produksi kedelai di Provinsi Suimatera Utara mengalami tren penurunan karena memiliki koefisien persamaan negatif. Permasalahan ini juga dialami oleh seluruh kabupaten yang ada memiliki koefisien negatif. Hal ini berarti bahwa tingkat produksi kedelai cenderung mengalami penurunan dari tahun ke tahun. Penurunan produksi ini disebabkan makin berkurangnya luas lahan pertanian yang dimanfaatkan untuk tanaman kedelai.

KESIMPULAN Dari uraian pembahasan di atas dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut : 1. Sesuai dengan siklus daur produksi maka pada fase sebelum krisis ekonomi pertumbuhan produksi tanaman pangan di Provinsi Sumatera Utara adalah pada tahap pertumbuhan (growth stage), sedangkan setelah krisis dapat dikatakan masuk tahap kedewasaan dan dikhawatirkan akan memasuki tahap penurunan. 2. Hasil analisis regresi menunjukkan bahwa tren berdasarkan pola ketersediaan pangan kebutuhan karbohidrat per kapita per hari di Kabupaten Langkat, Simalungun, Karo, Tapanuli Utara/Humbang Hasundutan/ Tobasa/Samosir, Tapanuli Tengah, Tapunuli Selatan/Madina, dan Dairi/Pakpak Bharat memiliki koefisien regresi positif (meningkat).

DAFTAR PUSTAKA Azwar, A. 2004. Aspek Kesehatan dan Gizi dalam Ketahanan Pangan. Prosiding Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII “Ketahanan Pangan dan Gizi di Era Otonomi Daerah dan Globalisasi�. BPS, Departemen Kesehatan,

110


INOVASI : Vol. 6. No. 2, Juni 2009

Badan POM, Bappenas, Pertanian dan Ristek, Jakarta.

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

PPK-LIPI Nomor 56/2004, Jakarta: Puslit Kependudukan LIPI. http://www.ppk.lipi.go.id/file/publikasi/KET AHANAN%20PANGAN%20RUMAH%20 TANGGA.doc (18 Febuari 2008)

Departemen

_______2003. Evaluasi Program Ketahanan Pangan Provinsi Sumatera Utara Tahun 2003. Badan Ketahanan Pangan Provinsi Sumatera Utara (BKPSU), Medan.

Suhardjo, 1996. Pengertian dan Kerangka Pikir Ketahanan Pangan Rumah Tangga. Makalah Disampaikan Pada Lokakarya Ketahanan Pangan Rumah Tangga, 20 – 30 Mei 1996, Yogyakarta.

50 Tahun Membangun Baharsyah, S. 1995. Pertanian Modern Indonesia : Refleksi, Tantangan dan Prospek. Pidato Ilmiah Dalam Menyambut Dies Natalis IPB Bogor ke-32, Bogor.

Walpole, R.E., 1993. Pengantar Statistika. Edisi ke – 3. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Daniel, M., 2002. Pengantar Ekonomi Pertanian. Cetakan Pertama, P.T. Bumi Aksara, Jakarta. Dewan Ketahanan Pangan. 2005. Peta Kerawanan Pangan Indonesia. Jakarta. DKP,

Strategi Kebijakan Pemenuhan 2003. Protein Ikan Dalam Mendukung Ketahanan Direktorat Jenderal Pangan Nasional. Perikanan Tangkap, Departemen Kelautan dan Perikanan, Jakarta.

FAO, 1996. World Food Summit.. Food and Agriculture Organisation of the United Nations, 13-17 November 1996. Roma, Italy. Hardyatuti, S., 2002. Pokok-Pokok Pikiran Kebijakan Pangan Nasional Dalam Dalam Kerangka Otonomi Daerah. Kebijakan Pangan Nasional Dalam Kerangka Otonomi Daerah. Editor : Srwidodo, S. Hartono, Masyhuri dan J. H. Mulyo. Magister Manajemen Agribisnis Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Labys, W. C., 1973. Dynamic Commodity Models : Spesification, Estimation, and Simulation. D.C. Heath and Company, Lexington. Mubyarto, 1989. Pengantar Ekonomi Pertanian, LP3ES, Jakarta. Pemerintah Republik Indonesia, 2002. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 68 Tahun 200 Tentang Ketahanan Pangan. Sekretariat Negara Republik Indonesia, Jakarta. _______ 2005. Petunjuk Teknis Penentuan Tingkat Kerawanan Pangan. Badan Ketahanan Pangan Provinsi Sumatera Utara, Medan. PPK-LIPI, 2004. Ketahanan Pangan Dan Kemiskinan Dalam Konteks Demografi. Puslit Kependudukan LIPI. Seri Penelitian

111


INOVASI : Vol. 6. No. 2, Juni 2009

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

Kajian Corporate Social Responsibility (CSR) Pada Sektor Perkebunan Di Sumatera Utara Badaruddin Rangkuti Tim Peneliti Bidang Pemerintahan dan Kemasyarakatan Balitbang Provsu

Abstraksi Masih relatif barunya konsep Corporate Social Responsibility (CSR) tersebut diperbincangkan oleh berbagai kalangan, membuat pemahaman terhadap konsep CSR tersebut juga masih berbeda-beda, dan dipraktekkan secara berbeda-beda pula. pendekatan CSR hendaknya dilakukan secara holistic, artinya, pendekatan yang dilakukan oleh perusahaan tidak dalam kegiatan bisnis semata, melainkan juga bergerak dari yang sifatnya derma (charity) menuju ke arah CSR yang lebih menekankan pada keberlanjutan pengembangan masyarakat (community development). Atas dasar itu maka penelitian ini akan melihat, pertama, bagaimana model implementasi CSR yang dilakukan oleh perusahaan di sektor perkebunan di Sumatera Utara; kedua, bagaimana pandangan masyarakat terhadap Program CSR yang sudah dilakukan oleh perusahaan sektor perkebunan di Sumatera Utara; dan ketiga, bagaimana bentuk dan formulasi partisipasi ketiga elemen (Perusahaan – Masyarakat – Pemerintah Daerah) dalam implementasi CSR di sektor perkebunan sehingga lebih efektif. Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah kombinasi pendekatan kualitatif dan kuantitatif. Model kombinasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah dominant-less dominant design (Creswell, 1994). Korporat (perkebunan) yang dijadikan sebagai objek penelitian adalah: PTPN III (BUMN), PT. Bakrie Sumatera Plantations (Swasta). Penelitian ini menemukan bahwa Pola implementasi CSR kedua perusahaan sektor perkebunan yang diteliti ternyata memiliki mekanisme atau sistem yang tidak seragam, meskipun ada kesamaan-kesamaan. Namun demikian, keyakinan bahwa program ini mampu mengurangi jumlah penduduk miskin masih diragukan oleh sebagian masyarakat dengan alasan program ini belum dijalankan dengan baik. Sinyalmen adanya KKN dalam implementasi CSR masih cukup kuat dari masyarakat. Masyarakat (komunitas) lokal sesungguhnya memiliki potensi modal sosial yang dapat dimanfaatkan untuk implementasi CSR. Model implementasi CSR yang digagas dalam penelitian ini adalah �Model Kolaboratif� yang melibatkan berbagai stakeholders : Perkebunan-Pemerintah-Perguruan Tinggi/Civil Society/LSM.

Kata-kata kunci : CSR, perkebunan, perusahaan tersebut juga masih berbeda-beda, dan dipraktekkan secara berbeda-beda pula.

PENDAHULUAN Devisa negara dari sektor perkebunan begitu besar, namun sebagian masyarakat disekitar perkebunan masih hidup dalam kondisi yang memprihatinkan yang menyebabkan sebagian besar diantaranya tidak memiliki daya cipta untuk berkembang. Dilain pihak masyarakat berhadapan dengan perkebunan yang modern yang dilengkapi dengan sarana dan prasarana yang memadai dan kehidupan SDMnya yang telah mapan. Berbarengan dengan suasana keterbukaan dan iklim yang demokratis, situasi tersebut tidak jarang menjadi bibit atau sumber munculnya konflik antara masyarakat dengan pihak perkebunan.

Seringkali dalam praktek, CSR ini disamakan dangan derma (charity), sehingga ketika ada perusahaan yang membagi-bagikan hadiah kepada masyarakat di sekitar perusahaan sudah dianggap melaksanakan tanggung jawab sosialnya pada masyarakat. Sesungguhnya, konsep CSR tidaklah sama dengan karikatif (charity) atau philanthropy (kedermawanan) yang lebih spontan pemberiannya dan kurang memiliki efek jangka panjang bagi masyarakat dalam arti pemberdayaan mereka baik secara ekonomi, sosial, dan budaya. Menurut Widiyanarti (2005), pendekatan CSR hendaknya dilakukan secara holistic, artinya, pendekatan yang dilakukan oleh perusahaan tidak dalam kegiatan bisnis semata, melainkan juga bergerak dari yang sifatnya derma (charity) menuju ke arah CSR yang lebih menekankan pada keberlanjutan (community pengembangan masyarakat development).

Dalam rangka merespon kondisi tersebut pihak perkebunan dan perusahaan-perusahaan lainnya telah melakukan program CSR (corporate social responsibility). Masih relatif barunya konsep CSR tersebut diperbincangkan oleh berbagai kalangan, membuat pemahaman terhadap konsep CSR

112


INOVASI : Vol. 6. No. 2, Juni 2009

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

Khusus di Sumatera Utara, terdapat cukup banyak perusahaan-perusahaan besar negara seperti PTPN (BUMN) yang bergerak di sektor perkebunan, dan perusahaan swasta nasional dan asing yang juga bergerak di sektor perkebunan, serta perusahaanperusahaan lainnya di berbagai sektor (pertambangan, industri, jasa, dan lain sebagainya).

TINJAUAN TEORITIS Konsepsional Corporate Social Responsibility (CSR) Banyak kalangan melihat bahwa praktek CSR yang dilakukan oleh korporat masih sebatas ”kosmetik”. Nuansa ”kosmetik” tersebut menurut Wibowo (2006) tercermin dari berbagai aspek sejak perumusan kebijakan dan penentuan orientasi program, pengorganisasian, pendanaan, eksekusi program, hingga evaluasi dan pelaporan. Dalam tataran praktek, CSR hanya sekedar berfungsi sebagai public relation, citra korporasi, atau reputasi dan kepentingan perusahaan untuk mendongkrak nilai saham di bursa saham.

Perumusan Masalah Bertitik tolak dari hal tersebut di atas, maka yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah : 1. Bagaimana model implementasi CSR yang dilakukan oleh perusahaan di sektor perkebunan di Sumatera Utara ? 2. Bagaimana pandangan masyarakat terhadap Program CSR yang sudah dilakukan oleh perusahaan sektor perkebunan di Sumatera Utara ? 3. Bagaimana bentuk dan formulasi partisipasi ketiga elemen (Perusahaan – Masyarakat – Pemerintah Daerah) dalam implementasi CSR di sektor perkebunan sehingga lebih efektif ?

Namun demikian, tidak dapat pula dipungkiri bahwa perkembangan pelaksanaan CSR akhir-akhir ini juga mengalami kecenderungan positif dalam upaya pemberdayaan masyarakat. Seperti yang dikemukakan oleh Kottler dan Lee (2005), bahwa telah terjadi pergeseran dalam pendekatan korporasi dalam melaksanakan CSR. Semula CSR dilaksanakan dalam kerangka pendekatan tradisional, dimana implementasi CSR dianggap sebagai beban belaka, kini telah timbul kesadaran pelaksanaan CSR merupakan bagian yang menyatu dalam strategi bisnis suatu korporasi, dimana implementasi CSR justru mendukung tujuan-tujuan bisnis inti.

Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Menganalisis 2. 3.

kondisi eksisting model pelaksanaan CSR pada sektor perkebunan di Sumatera Utara. Menganalisis pandangan masyarakat terkait program CSR yang dilaksanakan oleh perusahaan perkebunan. Menganalisis dan memformulasikan model partisipasi stakeholders dalam mendukung efektifitas pelaksanaan CSR pada sektor perkebunan di Sumatera Utara.

Perubahan arah kecenderungan perkembangan pelaksanaan CSR tersebut di Indonesia akhir-akhir ini cukup intens diperbincangkan berbagai kalangan (pemerintah, pebisnis, akademisi, dan NGOs). Namun demikian, riset-riset yang terkait dengan implementasi CSR belum banyak dilakukan, khususnya terkait dengan riset model implementasi CSR yang berbasis pada pemanfaatan modal sosial. Riset yang dilakukan masih berkisar pada praktek CSR yang sedang berlangsung saat ini, seperti yang dilakukan oleh Saidi (2002); Tanry Widiyanarti (2004); Fajar Nursahid (2006); Rusfadia Saktiyanti Jahya (2006); dan Siti Adiprigandari Adiwoso Suprapto (2006).

Hasil penelitian ini diharapkan akan memberi manfaat antara lain: 1. Meningkatnya kapasitas peran pemerintah daerah dan masyarakat dalam mengimplementasikan program-program CSR yang diselenggarakan oleh perusahaan. 2. Meningkatnya hubungan yang harmonis antara perusahaan, pemerintah daerah dan masyarakat sehingga tercipta iklim usaha yang kondusif, dan terjadi pemberdayaan sosial ekonomi masyarakat.

Pemanfaatan Modal Sosial (Social Capital) pada Implementasi CSR

Sasaran Penelitian 1.

2.

3.

Konsep modal sosial yang dijadikan fokus penelitian ini, menurut Fukuyama dalam Ibrahim (2002), pertama kali dikemukakan oleh Lyda Hudson Hanifan (1916) untuk menggambarkan Ruaral School Community Centers. Coleman (1988) yang mendefinisikan modal sosial sebagai aspek-aspek dari struktur hubungan antar individu yang memungkinkan mereka menciptakan nilainilai baru (Lubis, 2002). Lebih lanjut Lubis (2002) menyebutkan bahwa konsep ini menjadi populer

Sebagai masukan bagi perusahaan dalam menyusun dan menetapkan program-program CSR. Sebagai masukan bagi pemerintah daerah untuk menetapkan kebijakan yang mendukung implementasi program-program CSR. Sebagai masukan bagi masyarakat untuk turut memberikan informasi yang akurat kepada perusahaan tentang potensi yang ada.

113


INOVASI : Vol. 6. No. 2, Juni 2009

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

semi terbuka (semi open ended questionary) kepada para responden penelitian.

setelah dielaborasi oleh sejumlah sarjana dalam kajian mereka seperti Ostrom (1992); Putnam (1993, 1995, 1999, 2000); Fukuyama (1995); Adams dan Someshwar (1996); Babbingtone (1998); Pretty dan Ward (1999); Krishna dan Uphoff (1999); dan Rose (1999). The World Bank sebagai salah satu institusi finansial dunia yang banyak menyalurkan bantuan, khususnya bagi negara-negara dunia ketiga, juga tertarik dengan hasil kajian yang menggunakan konsep modal sosial (lihat Dasgupta dan Serageldin, 1999). The World Bank mendefinisikan modal sosial sebagai norma-norma dan hubungan sosial yang melekat dalam struktur sosial masyarakat yang mampu mengkoordinasikan tindakan dalam mencapai tujuan.

Lokasi Penelitian Lokasi penelitian ini dipilih secara purposif yaitu daerah yang menjadi sasaran praktek CSR setiap korporat (perkebunan). Adapun korporat (perkebunan) yang akan menjadi sasaran penelitian ini adalah PTPN III (korporat BUMN) dan PT. Bakrie Sumatera Plantations (Swasta). Analisis Data Untuk pendekatan kualitatif, analisis dilakukan secara simultan dengan proses pengumpulan data (on going analysis). Analisis kualitatif ini dilakukan mengikuti proses antara lain, reduksi data, penyajian data dan menarik kesimpulan berdasarkan reduksi dan penyajian data yang telah dilakukan sebelumnya, serta penggunaan matriks.

METODOLOGI PENELITIAN Desain Penelitian Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah kombinasi pendekatan kualitatif dan kuantitatif. Model kombinasi yang digunakan dalam dominant-less dominant penelitian ini adalah design (Creswell, 1994), dimana pendekatan kualitatif dijadikan sebagai dominan (qualitativedominant), sedangkan pendekatan kuantitatif dijadikan sebagai less dominant (quantitative-less dominant).

Untuk pendekatan kuantitatif digunakan teknik analisis statistika deskriptif. Analisis statistika deskriptif digunakan untuk menganalisis variabelvariabel yang dinyatakan dengan sebaran frekwensi, baik secara angka-angka mutlak maupun sebaran frekwensi dan persentase.

GAMBARAN PENELITIAN

UMUM

OBJEK

Populasi, Sampel, dan Informan Penelitian Sejarah Ringkas PTPN III

Populasi penelitian ini adalah keluarga yang menetap di sekitar area perusahaan perkebunan. Besarnya sampel ditetapkan 40 responden untuk masing-masing korporat yang diteliti.

dan

Gambaran

Umum

Pembentukan perusahaan diawali dengan proses pengambilan perusahaan-perusahaan perkebunan milik Belanda oleh Pemerintah Republik Indonesia pada tahun 1958 yang dikenal dengan proses Nasionalisasi. Perusahaan perkebunan asing hasil Nasionalisasi selanjutnya berubah menjadi Perseroan Perkebunan Negara (PPN), embrio yang turut membentuk perusahaan berasal dari NV. Rubber Cultuur Maatschappij Amsterdam (RCMA) dan NV. Cultuur Mij’de Oeskust (CMO) merupakan perusahaan Perkebunan Belanda yang beroperasi di Indonesia sejak jaman Kolonial Hindia Belanda.

Penentuan informan masyarakat dilakukan dengan teknik snowball (bola salju), dimana untuk menemukan informan pangkal dilakukan dengan meminta informasi kepada Kepala Desa. Di samping itu, yang akan dijadikan informan adalah para pengelola CSR pada setiap korporat, tokoh masyarakat (adat dan agama), serta aparat pemerintah terkait. Teknik Pengumpulan Data

Pada tahun 1994 dilakukan proses penggabungan manajemen, 3 BUMN perkebunan terdiri dari PT. Perkebunan III (Persero), PT. Perkebunan IV (Persero) dan PT. Perkebunan V (Persero). Selanjutnya melalui peraturan Pemerintah RI No. 8 tahun 1996 tanggal 14 Februari 1996, ketiga Perusahaan tersebut yang wilayah kerjanya di Propinsi Sumatera Utara dilebur menjadi satu yang diberi nama “PT. Perkebunan III (Persero)� yang berkedudukan di Medan Sumatera Utara. PT. Perkebunan III (Persero) didirikan dengan akte Notaris Hanum Kamil, SH No. 36 tanggal 11 Maret

Data yang akan dikumpulkan berasal dari dua sumber yaitu sumber-sumber tangan pertama (data primer) dan sumber-sumber tangan kedua (data sekunder). Data-data primer diperoleh melalui teknik wawancara mendalam (in-depth interview) (participant dan pengamatan berpartisipasi untuk pendekatan kualitatif. observation) Sedangkan untuk pendekatan kuantitatif, data primer dikumpulkan melalui teknik survei dengan mendistribusikan seperangkat daftar pertanyaan

114


INOVASI : Vol. 6. No. 2, Juni 2009

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

1996 yang telah disyahkan Menteri Kehakiman Republik Indonesia dengan surat keputusan No. C28331.HT.01.01Th.96 tanggal 08 Agustus 1996 yang dimuat di dalam berita Negara Republik Indonesia No. 81 tahun 1996, dan tambahan Berita Negara No. 8674 tahun 1996.

perusahaan di Indonesia, termasuk Perusahaan Terbatas Perkebunan Nusantara (PTPN) yang merupakan perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Walaupun sesungguhnya mereka telah mengimplementasikan apa yang disebut dengan CSR tersebut dalam operasionalisasi perusahaan mereka.

Sejarah Ringkas dan Gambaran Umum PT. Bakrie Sumatera Plantations

Ada beberapa regulasi yang dikeluarkan oleh pemerintah terkait dengan misi yang harus diemban oleh perusahaan-perusahaan yang dimiliki oleh negara. Regulasi tersebut antara lain, Peraturan Pemerintah (PP) No. 12 Tahun 1998 tentang Perseroan Terbatas (Persero) dan PP No. 13 Tahun 1998 tentang Perusahaan Umum (Perum) terlihat adanya keharusan kedua perusahaan itu untuk memberikan dukungan terhadap usaha kecil dan koperasi. Regulasi tersebut diperluas dengan dikeluarkannya UU Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (BUMN), dimana BUMN bukan saja mendukung usaha kecil dan koperasi, tetapi juga harus mendukung programprogram sosial lainnya.

PT. Bakrie Sumatera Plantations (”Perusahaan”) Tbk. berdiri di Republik Indonesia Tahun 1911 dengan nama ”NV Hollandsch Amerikanse Plantage Maatschappij”. Nama Perusahaan telah beberapa kali mengalami perubahan, terakhir dengan nama PT. Bakrie Sumatera Plantations Tbk. Anggaran dasar perusahaan pertama kali diumumkan dalam Lembaran Berita Negara Republik Indonesia Nomor 14 tanggal 18 Februari 1941, Tambahan Nomor 101. Anggaran dasar perusahaan telah mengalami beberapa kali perubahan, terakhir dengan Akta Notaris Sutjipto, S.H. No. 45 tanggal 10 November 2004 mengenai penambahan saham modal perusahaan melalui Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu (HMETD) sebesar 1.087.800.000 saham atau senilai Rp 124,32 milliar.

Pola Implementasi Tanggungjawab Sosial Perusahaan – PKBL di PTPN III (Persero)

Sehubungan dengan perubahan tersebut, modal saham ditempatkan dan disetor penuh menjadi sebesar Rp 233,1 milliar. Perubahan tersebut telah mendapat persetujuan dari Menteri Hukum dan Hak Azasi Manusia dalam Surat Keputusan No. C30533 HT.01.04. TH 2004 tanggal 17 Desember 2004. Sebelumnya pada tahun 2004, perusahaan telah melakukan pemecahan saham 5-untuk-1, sehingga modal perusahaan menjadi sebesar 4.144 miliar saham. Perubahan tersebut telah mendapat persetujuan dari Menteri Hukum dan Hak Azasi Manusia dalam Surat Keputusan No. C-26053 HT.01.04. TH 2004 tanggal 19 Oktober 2004.

Program Kemitraan, Program tanggungjawab sosial perusahaan ini diimplementasikan dalam bentuk pemberian modal usaha bagi usaha kecil di berbagai sektor yaitu, sektor industri, sektor perdagangan, sektor pertanian, sektor jasa, dan sektor peternakan. Hingga tahun 2007, ± 1.748 usaha kecil telah menjadi mitra binaan PTPN III dengan berbagai sektor kegiatan tersebut di atas. Untuk Program Kemitraan ini, pola implementasi program diawali dengan pengajuan proposal oleh usaha kecil dari berbagai sektor seperti yang telah disebutkan di atas. Proposal yang diajukan tentunya memuat usaha yang telah dilakukan selama ini dan ditujukan untuk mengembangkan usaha yang telah dirintis dengan mengajukan pinjaman dana sesuai dengan yang dibutuhkan dan kelayakan usahanya. Proposal yang diajukan ke pihak PTPN III, sifatnya perseorangan (per kegiatan usaha) atau juga atas nama kelembagaan dan tidak harus diketahui oleh aparat setempat (Kepala Desa atau Lurah misalnya). Dalam konteks ini (Program Kemitraan), implementasi program belum melibatkan pemerintahan setempat (Kepala Desa/Lurah), meskipun menurut informan, pihak perusahaan sudah berkoordinasi terlebih dahulu dengan pihak pemerintah Kabupaten/Kota dalam implementasinya untuk menghindari terjadinya overlaping dalam pemberian dana (bantuan) antara pemerintah dengan pihak perusahaan. Proposal yang sudah siap, diajukan oleh yang bersangkutan ke masing-masing Distrik Manager (DM) di wilayah masing-masing. Proposal yang masuk ke

Sesuai dengan pasal 3 Anggaran Dasar Perusahaan, perusahaan bergerak dalam bidang perkebunan, pengolahan dan perdagangan hasil tanaman dan produk industri. Tempat kedudukan perusahaan dan lokasi utama kegiatan usaha di Kisaran, Sumatera Utara.

IMPLEMENTASI CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY (CSR) PADA DUA PERKEBUNAN 1.

Implementasi CSR pada Perusahaan Terbatas Perkebunan Nusantara (PTPN) III

Tanggungjawab Sosial Perusahaan (Corporate Social Responsibility-CSR) sebagai suatu bentuk kepedulian perusahaan terhadap lingkungan internal dan lingkungan eksternal, belum banyak dijadikan sebagai nama program atau kegiatan tersebut dalam

115


INOVASI : Vol. 6. No. 2, Juni 2009

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

Distrik Manager akan dievaluasi oleh tim yang sudah terbentuk. Evaluasi meliputi kelengkapan administrasi yang disyaratkan, antara lain: ”jaminan” peminjaman dana. ”Jaminan” yang dilampirkan dalam proposal dapat berupa Surat Tanah (minimal Surat Camat atau Notaris), BPKP kenderaan, dan lain-lain yang dapat menjadi jaminan. Menurut Informan, ”jaminan” yang diberikan ini sifatnya hanyalah sebatas ikatan moralitas yang dapat memberikan dorongan moral agar yang bersangkutan dapat mengembalikan bantuan yang diberikan untuk dapat diteruskan pada mitra-mitra lainnya yang juga sangat membutuhkan.

maka mereka juga akan turut untuk mempertahankan perusahaan. Sebaliknya, bila mereka menganggap kehadiran perusahaan tidak berkontribusi apa-apa bagi mereka, bahkan merugikan, maka sudah dapat dipastikan bahwa masyarakat akan bersifat apatis, bahkan mungkin akan merusak fasilitas dan tanaman yang ditanam oleh perusahaan. Atas dasar itu pulalah PT. Bakrie Sumatera Plantations, sebagaimana perusahaan lain juga melakukan program CSR sebagai wujud tanggung jawab sosialnya pada masyarakat. Program CSR yang dilakukan oleh PT. BSP cukup bervariasi, mulai dari memberikan bantuan sembako kepada masyarakat, bantuan beasiswa pendidikan, bantuan kesehatan, sarana dan prasarana fisik, bantuan ekonomi (benih ikan, pertanian), keagamaan, kepemudaan, lingkungan, kemitraan dan sebagainya. Beragamnya bentuk kegiatan tersebut merupakan perwujudan dari ragam permintaan dan kebutuhan masyarakat, dan untuk membantu pemerintah dalam rangka mewujudkan cita-citanya untuk mensejahterakan rakyatnya.

Program Bina Lingkungan, Program tanggungjawab sosial perusahaan ini diimplementasikan dalam bentuk beberapa kegiatan yang mencakup sarana dan prasarana umum seperti, rumah ibadah, sarana pendidikan (gedung dan mobiler), fasilitas kesehatan, beasiswa pendidikan, dan bantuan bencana alam. Bantuan Program Bina Lingkungan ini sifatnya hibah. Artinya, bantuan yang diberikan tidak harus dikembalikan oleh penerima bantuan. Penerima bantuan dalam program ini dapat bersifat individual maupun kelompok/komunitas (institusi).

Pola Implementasi CSR Sumatera Plantations

Untuk Program Bina Lingkungan ini, pola implementasinya dalam beberapa hal sama dengan pola implementasi Program Kemitraan, yaitu kelompok/komunitas (institusi) harus mengusulkan proposal yang ditujukan pada PTPN III. Pengusulan proposal ini dilakukan untuk program-program pengadaan sarana dan prasarana. Sedangkan untuk program pemberian beasiswa pendidikan, calon penerima tidak harus mengajukan proposal, tetapi perusahaanlah yang melakukan pendataan terhadap siswa/siswi yang dianggap layak untuk mendapatkan beasiswa. Dalam melakukan pendataan, pihak perusahaan (PKBL) akan bekerjasama dengan instansi terkait, yaitu Dinas Pendidikan untuk mendapatkan informasi siapasiapa saja siswa/siswi yang dianggap layak untuk mendapakan beasiswa sesuai dengan persyaratan yang dibuat oleh perusahaan. Kerjasama ini juga bertujuan agar kegiatan pemberian beasiswa pendidikan oleh PTPN III tidak tumpang tindih dengan pemberian beasiswa dari pihak lain (pemerintah dan swasta lainnya). 2.

Pada PT. Bakrie

Sama halnya dengan PTPN III, PT. BSP juga memiliki program CSR yang dalam bentuk kegiatan yang cukup bervariasi, yaitu: bidang pendidikan, kesehatan, bantuan pangan, kepemudaan, keagamaan, pemerintahan, lingkungan, sarana dan prasarana fisik, kemitraan (dengan pandai besi), ekonomi (benih ikan) dan sebagainya. Munculnya kegiatan CSR yang cukup bervariasi tidak lain dalam upaya mewujudkan keinginan masyarakat yang bervariasi dan juga mewujudkan program pemerintah khususnya yang terkait dengan peningkatan kualitas pendidikan dan kesehatan masyarakat. Untuk menjalankan program CSR ini, pihak PT. BSP pusat sudah membentuk satu bagian khusus yang membidangi CSR yaitu Vice President. Sedangkan di daerah-daerah yang menjadi Unit dari PT. BSP termasuk di Unit PT. BSP Kisaran (Asahan), perusahaan menempatkannya dalam satu unit yang berada di bawah Manager HRD, yaitu Unit CSR/Comdev.

Implementasi CSR pada PT. Bakrie Sumatera Plantations

Dalam mengimplementasikan CSR, PT. BSP terlebih dahulu melakukan pemetaan terhadap kebutuhan-kebutuhan masyarakat terkait dengan program-program kegiatan yang menjadi core PT. BSP. Dari hasil pemetaan tersebut, perusahaan meminta masyarakat untuk mengajukan proposal pada perusahaan untuk kegiatan-kegiatan seperti keagamaan, kepemudaan, sarana dan prasarana fisik, dan bantuan modal (benih ikan), dan

Salah satu cara yang dilakukan oleh perusahaan untuk membentuk ”citra” ini adalah dengan menyisihkan sebagian laba perusahaan untuk kegiatan-kegiatan yang dapat membantu masyarakat, khususnya masyarakat yang bersentuhan langsung dengan area perusahaan. Bila masyarakat menganggap kehadiran perusahaan memberi keuntungan dan kontribusi bagi mereka,

116


INOVASI : Vol. 6. No. 2, Juni 2009

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

sebagainya. Sedangkan untuk kegiatan lain seperti bantuan pangan dan beasiswa pendidikan, perusahaan langsung memberikan kepada masyarakat dengan berkoordinasi kepada pemerintah (Aparat Desa dan Dinas Pendidikan). Untuk beasiswa pendidikan bantuan langsung disalurkan oleh perusahaan kepada para siswa dan tidak melalui Kepala Sekolah. Menurut informan, hal ini dilakukan untuk meyakinkan bahwa bantuan beasiswa tersebut diterima siswa secara utuh.

Pandangan Responden (Masyarakat) Terhadap Pelaksanaan CSR Dari 80 responden, sebanyak 74 responden (92,50 persen) menginginkan dilakukan pembinaan terlebih dahulu kepada mereka sebelum bantuan diberikan. Responden (khususnya yang mendapatkan bantuan ekonomi produktif dan UKM) menganggap bahwa pembinaan yang dilakukan perusahaan masih kurang, sehingga kami masih susah untuk memahaminya apalagi mempraktekkannya. Salah seorang responden (UKM) menyebutkan : ”....meskipun kami sudah dilatih untuk membuat pembukuan keuangan usaha kami, namun kami belum mengerti sepenuhnya, sehingga sulit bagi kami untuk membuatnya. Sudah puluhan tahun saya berusaha, tapi tak pernah membuat pembukuan-pembukuan seperti yang diminta oleh perusahaan. Keadaan tersebut menggambarkan bahwa penghantaran sumberdaya ekonomi (finansial) saja tidak cukup untuk memberdayakan masyarakat miskin, namun juga harus melakukan persiapan sosial (social preparation), kepada mereka. Hal ini sejalan dengan apa yang dikatakan Salman (2001), bahwa dalam upaya reduksi kemiskinan penghantaran sumberdaya finansial harus diperlakukan sama pentingnya dengan persiapan sosial.

PANDANGAN MASYARAKAT PENERIMA PROGRAM CSR TERHADAP PRAKTEK CSR PADA DUA PERKEBUNAN Pemahaman Responden (Masyarakat) Terhadap Corporate Social Responsibility (CSR) Meskipun CSR telah menjadi isu hangat di Indonesia akhir-akhir ini, namun sebagian besar responden penelitian ini (97,50 pesrsen) mengatakan tidak tahu dengan istilah Corporat Social Responsibility-CSR, dan hanya 2 responden (2,50 persen) responden yang mengatakan mengetahui istilah CSR. Pertanyaan lebih lanjut kepada responden memberi informasi bahwa sebagian besar (90,00 persen) responden menyatakan bahwa mereka mengetahui adanya program bantuan dari perusahaan (CSR) walaupun mereka tidak tahu bahwa bantuan itu adalah program CSR. Hanya sebagian kecil (10,00 persen) saja dari responden yang menyatakan tidak mengetahui bahwa perusahaan memiliki program untuk membantu masyarakat dan peduli terhadap lingkungan.

Pandangan Responden (Masyarakat) tentang Bentuk Kegiatan CSR Seperti telah disebutkan pada bagian terdahulu, bentuk kegiatan CSR yang dilakukan oleh perusahaan sangat beragam, mulai dari bantuan kesehatan, pendidikan, budaya, kepemudaan, ekonomi produktif (bergulir, pinjaman), sarana dan prasarana fisik (jalan, gedung sekolah, gedung pemerintahan, rumah ibadah), sembako, konservasi alam, dan bencana alam. Dari sejumlah bentuk kegiatan CSR yang dilakukan perusahaan, penelitian ini menemukan bahwa bentuk kegiatan yang paling diinginkan dari program CSR seperti terlihat pada Tabel 1.

Pandangan Responden (Masyarakat) Terhadap Manfaat CSR Bagi responden yang pernah mendapatkan bantuan dari program tanggung jawab sosial perusahaan, baik yang sifatnya charity, filantropi, maupun pemberdayaan masyarakat (Community Development), sebagian besar (97,50 persen) responden berpendapat bahwa bantuan yang diberikan oleh perusahaan sangat bermanfaat bagi mereka, dan hanya sebagian kecil (2,50 persen) yang mengatakan tidak bermanfaat.

Tabel 1. Bentuk Kegiatan CSR Yang Paling Diinginkan Responden No. 1. 2. 3.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar (81,25 persen) responden menginginkan agar perusahaan menanyakan terlebih dahulu apa yang diperlukan masyarakat sebelum bantuan diberikan, dan hanya 18,75 persen yang menyatakan perusahaan tidak perlu menanyakan lebih dahulu keperluan masyarakat, dengan alasan perusahaan dan pemerintah lebih tahu apa yang dibutuhkan oleh masyarakat.

Bentuk Kegiatan CSR Yang Diinginkan Ekonomi Produktif Beasiswa Pendidikan, Kesehatan Prasarana dan Sarana Fisik Total

Frekwensi

Persentase

64 13 3

80,00 16,25 3,75

80

100,00

Sumber: Kuesioner Penelitian, 2008 Model Implementasi CSR Sektor Perkebunan ”Model Kerja Kolaborasi” antara berbagai pihak merupakan model alternatif dalam implementasi CSR oleh korporat. ”Model Kerja Kolaborasi” ini

117


INOVASI : Vol. 6. No. 2, Juni 2009

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

didasarkan pada asumsi bahwa tidak ada satu pihakpun yang sanggup secara sendirian menjalankan fungsi yang sangat kompleks dalam upaya pemberdayaan ekonomi, sosial, dan budaya masyarakat, khususnya masyarakat miskin. Model ini juga sangat relevan dengan tuntutan global bagi perusahaan (korporasi) untuk menjalankan Good Corporate Governance (GCG), dengan melibatkan berbagai stakeholder.

Implementasi CSR dengan ”model kerja kolaborasi” merupakan suatu momentum untuk merajut kembali rasa saling percaya (trust) dan elemen-elemen modal sosial lainnya dalam masyarakat kita. Gagasan ”model kerja kolaborasi” dengan memanfaatkan potensi modal sosial untuk pemberdayaan masyarakat miskin ini didasari oleh beberapa hasil penelitian yang menggunakan konsep modal sosial.

Cara pandang berbagai pihak termasuk pemerintah yang sangat ”mendewakan” sumber daya modal (modal finansial) sebagai solusi untuk memecahkan persoalan kemiskinan masyarakat sudah saatnya untuk dirubah, karena realitas yang kita lihat selama ini, cara pandang yang seperti tidak berhasil dengan baik memecahkan persoalan kemiskinan. Cara pandang yang seperti itu harus ditransformasi ke cara pandang yang melihat bahwa sumberdaya modal (finansial) sama pentingnya dengan persiapan sosial. Artinya, siapa pun pelaku yang ingin memberdayakan masyarakat miskin, harus terlebih dahulu mempersiapkan masyarakat tersebut untuk menerima hantaran sumberdaya lainnya (finansial).

KESIMPULAN 1.

2.

3.

Dalam kondisi masyarakat miskin yang seperti itu, mempersiapkan masyarakat sebelum penghantaran sumber daya modal (finansial) adalah bagian dari proses pemberdayaan (empowering). Dalam konteks seperti ini, ”Model Kerja Kolaborasi” menjadi satu alternatif solusi bagi pemberdayaan masyarakat miskin di Indonesia. ”Model Kerja Kolaborasi” dimaksud dapat digambarkan seperti Gambar 1.

4.

5.

Social Capital

Social Capital

Social Capital Persiapan Sosial

MASYARAKAT MISKIN Social Capital Hantaran Finansial

Ca pit al

Hantaran Finansial & Regulasi

PERGURUAN TINGGI/ CIVIL SOCIETY/ LSM

So cia l

PEMERINTAH

l ta pi a lC cia o S

Program tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility-CSR) merupakan program yang sudah diimplementasikan oleh kedua korporat yang diteliti, meskipun belum keduanya menggunakan istilah CSR untuk program tersebut. Pola implementasi CSR kedua korporat yang diteliti ternyata memiliki mekanisme atau sistem yang tidak seragam, meskipun ada kesamaan-kesamaan. Hal yang sama juga terjadi pada bentuk kegiatan implementasi CSR. Pada umumnya perusahaan belum memiliki rencana jangka panjang dan jangka menengah dengan program CSR yang akan diimplementasikan. Keterlibatan Pemerintah (Pemerintah Daerah/Kota) masih sangat minim dalam implementasi CSR yang dilakukan oleh kedua korporat. Berbagai stakeholders (Perguruan Tinggi, Lembaga Swadaya Masyarakat/CSOs,) belum banyak dilibatkan dalam implementasi CSR.

KORPORATCSR Gambar 1. Model Kerja Kolaborasi Untuk Perberdayaan Masyarakat Melalui Program CSR yang Memanfaatkan Model Sosial

118


INOVASI : Vol. 6. No. 2, Juni 2009

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

6.

Pendekatan yang holistik dengan Community menggunakan pendekatan Development (CD) belum dipraktekkan secara baik dan benar sebagaimana konsep, teori dan metode CD dalam implementasi CSR, meskipun nuansa CD untuk nama kegiatan tersebut cukup kuat. 7. Masyarakat yang menerima bantuan dari program CSR ini memandang program ini sangat baik untuk membantu meningkatkan perekonomian mereka. Sinyalmen adanya KKN dalam implementasi CSR masih cukup kuat dari masyarakat. 8. Persiapan sosial sebelum bantuan diserahkan kepada masyarakat masih sangat minim dilakukan, sehingga masyarakat tidak dapat memanfaatkan bantuan tersebut secara tepat guna dan tepat sasaran. 9. Meskipun diakui bahwa elemen-elemen modal sosial, khususnya elemen rasa saling percaya (trust) tengah mengalami erosi di tengahtengah masyarakat sekarang ini, namun masyarakat lokal masih memiliki potensi modal sosial yang dapat dimanfaatkan dan didayagunakan dalam rangka pemberdayaan masyarakat. 10. Ketersediaan unsur-unsur modal sosial dalam masyarakat akan memudahkan bagi terwujudnya suatu kolektivitas. Ketersediaan unsur-unsur modal sosial pada komunitas yang ada di lokasi penelitian yang juga menjadi ciri sosial budaya yang hidup dalam komunitas tersebut merupakan asset utama (kondusif) bagi berhasilnya implementasi CSR berupa bantuan yang diberikan pada warga komunitas.

5.

6.

7.

lebih berdaya, khususnya dalam upaya reduksi kemiskinan, mengingat dana yang dapat terkumpul dari dana CSR cukup besar. Diperlukan regulasi terhadap aturan-aturan yang terkait dengan program CSR yang mengarah pada implementasi CSR dengan ”model kerja Kolaboratif”. Untuk itu perlu membuat PERDA tentang CSR, tentunya dengan kajian yang lebih mendalam dan komprehensif. Perlu dilakukan pengkajian lebih lanjut terhadap model implementasi CSR yang digagas dalam penelitian ini sehingga model tersebut benar-benar aplikabel, efektif dan efisien. Kegiatan-kegiatan (program) CSR hendaknya lebih mengarah pada upaya pemberdayaan sosial-ekonomi masyarakat miskin atau tidak berdaya daripada program-program fisik yang tidak berefek pada pemberdayaan ekonomi secara langsung.

DAFTAR PUSTAKA Badaruddin. 2006. Modal Sosial dan Pengembangan Model Transmisi Modal Sosial Dalam Upaya Peningkatan Kesejahteraan Keluarga (Studi Pada Tiga Komunitas Petani Karet di Kecamatan Rao Kabupaten Pasaman Sumatera Barat). Penelitian Hibah Bersaing Perguruan Tinggi. Dikti. Tidak diterbitkan. Budimanta, Arif; Adi Prasetijo; Bambang Rudito. 2008. Corporate Social Responsibility: Alternatif Bagi Pembangunan Indonesia. Edisi Kedua. Jakarta: Indonesia Center for Sustainable Development (ISCD).

Rekomendasi Sesuai dengan temuan penelitian dan hasil analisis yang dilakukan, disarankan: 1. Perusahaan hendaknya memiliki rencana jangka panjang dan jangka menengah (Renstra) dalam mengimplementasikan program CSR, sehingga memiliki makna yang lebih berarti dalam jangka panjang. 2. Pemerintah Daerah hendaknya lebih dilibatkan sehingga ada sinergitas antara programprogram yang dibuat oleh pemerintah dan program CSR yang dibuat oleh perusahaan, khususnya yang terkait dengan programprogram pemberdayaan masyarakat. 3. Potensi-potensi modal sosial lokal hendaknya dilibatkan dalam implementasi program CSR, khususnya untuk program-program pemberdayaan sosial ekonomi masyarakat. 4. Perlu adanya aksi kolaborasi dari berbagai stakeholder dalam implementasi CSR (Swasta – Pemerintah – Civil Society/Institusi Pendidikan) sehingga implementasi CSR dapat

Creswell, John W. 1994. Research Design Qualitative and Quantitative Approaches. Thousands Oaks, London: Sage. Fukuyama, Francis. 1995. Trust: The Social Virtues and The Creation of Prosperity. New York: The Free Press. Ibrahim, Linda D. 2006. Memanfaatkan Modal Sosial Komunitas Lokal Dalam Program Kepedulian Korporasi. Dalam Jurnal Filantropi dan Masyarakat Madani GALANG. Vol. 1. No. 2. Kotler, Philip dan Nancy Lee. 2005. Corporate Social Responsibility: Doing the Most Good for Your Company and Your Cause. New Jersey: John Wiley & Sons, Inc. Lubis, Zulkifli. 2002. Resistensi, Persistensi, dan Model Transmisi Modal Sosial Dalam

119


INOVASI : Vol. 6. No. 2, Juni 2009

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

Pengelolaan Sumberdaya Alam Milik Bersama: Kajian Antropologis Terhadap Pengelolaan Lubuk Larangan di Sumatera Utara. Proyek RUKK-I. Menristek. Laporan Penelitian.

______2005. Corporate Social Responsibility: Model Community Development Oleh Korporat. Dalam Etnovisi Jurnal Antropologi Sosial Budaya. LPM ANTROPFISIP-USU. Vol 1. No.2.

Ostrom, Elinor. 1992. Crafting Institution, SelfGoverning Irrigation Systems. San Fancisco: ICS Press. Putnam, Robert D. 1993. Making Democracy Work: Civic Tradition in Modern Italy. Princeton: Princeton University Press. Radhi, Fahmy, dkk. 2007. Penilaian Dampak, Kinerja, dan Kebutuhan Masyarakat Terhadap Program Corporate Social Responsibility (CSR) PT. Bakrie Sumatera Plantation Unit Kisaran, Kabupaten Asahan, Sumatera Utara. Laporan Studi. Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Rose, Richard. 1999. “Getting Things Done in an Antomodern Society: Social Capital Networks in Rusia�. Dalam Partha Dasgupta dan Ismail Serageldin (ed.). Social Capital: A Multifaceted Perspective. Washington: The World Bank. Salman, Darmawan; Laude Sufri; Amin Daud Aidir; dan Mappinawang. 1999. Kreasi Modall Sosial Melalui Aksi Kolaborasi Dalam Reduksi Kemiskinan. Makalah Seminar dan Lokakkarya. Makassar: Kerjasama LP3M, FE Unhas dan Oxfarm Jakarta. Suharto, Edi. 2007. Pekerjaan Sosial di Dunia Industri: Memperkuat Tanggungjawab Sosial Perusahaan (Corporate Social Responsibility). Bandung: PT. Refika Aditama. Wibisono, Yusuf. 2007. Membedah Konsep & Aplikasi CSR (Corporate Social Responsibility). Gresik: Fascho Publishing. Wibowo, Pamadi. 2006. Rentang Program CSR di Mata Para Ahli Pemasaran. Dalam Jurnal Filantropi dan Masyarakat Madani GALANG. Vol. 1. No. 2. Widiyanarti, Tantry. 2004. Persepsi Pelaku Bisnis Tentang Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (Studi pada Beberapa Perusahaan Swasta di Jl. Jendral Sudirman Jakarta). Jakarta: Pusat Pengembangan Etika Unika Atmajaya. Tidak Diterbitkan.

120


INOVASI : Vol. 6. No. 2, Juni 2009

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

Analisis Pengaruh Faktor-Faktor Kualitas Pelayanan Terhadap Kepuasan Pasien Rawat Inap RSU Tembakau Deli Medan Ritha F Dalimunthe1,2) & Inneke Qamariah1) 1)

Pengajar pada Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara 2) Sekretaris DRD-SU

ABSTRAKSI Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui dan menganalisis pengaruh kualitas pelayanan (reliability, responsivenes, assurance, empathy, tangible) terhadap kepuasan pasien umum di RSU Tembakau Deli Medan. Penelitian ini dilakukan pada RSU Tembakau Deli Medan, dan yang merupakan responden adalah pasien umum dan merupakan pasien rawat inap di RSU Tembakau Deli Medan. Teori yang digunakan adalah teori tentang kualitas pelayanan dan teori tentang kepuasan pelanggan. Penelitian ini menggunakan metode survey explanatory. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan kuesioner terhadap pasien umum dan observasi langsung di rumah sakit. Populasi adalah seluruh pasien umum dibagian rawat inap RSU Tembakau Deli Medan periode 1 Januari 2005 – 31 Desember 2005. Peneliti mengambil sampel pasien umum di unit rawat inap yang sudah pernah menggunakan jasa rumah sakit sekurang-kurangnya 2 kali kunjungan dan penentuan sampel menggunakan metode purposive sampling.Hasil penelitian menunjukkan Kualitas Pelayanan (reliability, responsivenes, assurance, empathy, tangible) berpengaruh terhadap kepuasan pasien. Variabel responsivenes, assurance, empathy berpengaruh positif dan signifikan, sedangkan variabel empathy berpengaruh negatif dan tidak signifikan terhadap Kepuasan Pasien. Koefisien Determinasi menunjukkan 53,1% menjelaskan pengaruh variabel Kualitas Pelayanan terhadap Kepuasan Pasien, sedangkan sisanya sebesar 46,9% tidak diteliti dalam model penelitian ini. RSU Tembakau Deli Medan perlu meningkatkan reliability yaitu kemampuan petugas kesehatan untuk memberikan jasa pelayanan kesehatan secara cepat dan mudah, tepat waktu. RSU Tembakau Deli Medan perlu menetapkan standar pelayanan dan pengawasan terhadap setiap petugas dalam memberikan pelayanan kesehatan kepada pasien umum, dimana responsiveness merupakan sikap dan kemauan dokter serta petugas pelayanan lainnya untuk tanggap dan cepat mengatasi keluhan pasien atau masalah yang dihadapi pasien sehingga senantiasa dapat memenuhi harapan pasien umum. RSU Tembakau Deli Medan masih perlu memperhatikan upaya-upaya yang mendukung penyembuhan keadaan pasien. Kualitas pelayanan bagi pasien umum akan sangat dipengaruhi juga oleh pengawasan yang dilakukan secara menyeluruh dan berkesinambungan serta senantiasa ditingkatkan oleh pihak manajemen Rumah Sakit Umum Tembakau Deli Medan.

Kata-kata kunci : Kualitas Pelayanan, Kepuasan Pasien. Rumah sakit dalam mewujudkan pelayanan yang terbaik, diharuskan melakukan perbaikan di segala bidang khususnya peningkatan sarana dan prasarana sehingga dapat sebanding dengan kepuasan dari pasien yang terukur dari nominal yang dibayarkan ke rumah sakit tersebut. Dengan demikian harus diupayakan suatu feed back (umpan balik) dari kedua belah pihak agar dapat dinilai keberhasilan dari pengelolaan rumah sakit dalam peningkatan kepuasan pasien. Rumah Sakit Umum Perseroan Terbatas Perkebunan Negara Dua (RSUPTPN2) Tembakau Deli Medan di Jl. Putri Hijau Medan adalah rumah sakit pelayanan kesehatan milik BUMN PTPN2 Tanjung Morawa. Pelayanannya meliputi kelompok masyarakat lingkungan PTPN2 (non profit) dan kelompok pasien umum diluar dari masyarakat PTPN2 (profit).

PENDAHULUAN Persaingan dalam dunia bisnis khususnya dalam persaingan jasa pelayanan kesehatan di rumah sakit menuntut setiap rumah sakit harus memberikan pelayanan yang terbaik dan berkualitas dalam memuaskan kebutuhan pasiennya. Hal ini juga berlaku pada rumah sakit milik pemerintah yang juga harus dapat bersaing dengan pihak swasta agar rumah sakit tersebut dapat memiliki kelangsungan yang terus membaik dalam segala bidang. Rumah sakit diharuskan memperbaiki kinerja manajemen agar dapat melakukan tata kelola perusahaan yang baik (Good Corporate Governance atau GCG). Hal ini dapat memberikan manfaat bagi seluruh stakeholder yang terlibat didalam rumah sakit (pemerintah, pemegang saham, komisaris, direksi sampai jajaran lini terbawah serta masyarakat).

121


INOVASI : Vol. 6. No. 2, Juni 2009

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

memenuhi kebutuhan masyarakat konsumen akan pelayanan kesehatan sesuai dengan standar profesi dan standar pelayanan dengan menggunakan sumber daya yang tersedia di rumah sakit secara wajar, efisien, dan efektif serta diberikan secara aman dan memuaskan sesuai dengan norma, etika, hukum dan sosial budaya dengan memperhatikan keterbatasan, kemampuan pemerintah masyarakat konsumen. (Depkes RI,1992). Parasuraman dalam Lovelock dan Wright (2005), kualitas pelayanan dapat diukur dengan membandingkan persepsi antara pelayanan yang diharapkan (expected service) dengan pelayanan yang diterima dan dirasakan (percieved service) oleh pelanggan. Menurut Kotler (2000) harus bermula dari mengenali kebutuhan pelanggan dan berakhir pada persepsi pelanggan.

Tabel 1. Kunjungan Pasien Umum di Rumah Sakit Tembakau Deli Tahun 2001 s.d 2005 Total Persentase Kunjungan Pasien No Tahun Unit Rawat Umum di Unit Inap Rawat Inap 1. 2001 4654 38.2% 2. 2002 4538 34% 3. 2003 4850 34% 4. 2004 4462 33.5% 5. 2005 5212 40% Sumber : Dokumen Rekam Medis dan Pemasaran RSU PTPN2 Tembakau Deli Medan 2001s.d 2006. Pada tahun 2005 total kunjungan unit rawat inap (URI) adalah sebesar 5212. Persentase pasien umum sejak 2001 s/d 2004 masih berfluktuasi di bawah 40 % (sumber: Dokumen Rekam Medis dan Pemasaran RSU Tembakau Deli Medan 2001 s/d 2006).

Parasuraman, Zeithaml dan Berry menulis ada 5 dimensi kualitas pelayanan yang disebut dengan SERVQUAL (Loveloc dan Wright, 2005). Kelima dimensi kualitas pelayanan Parasuraman adalah : 1. Reliability adalah kesesuaian pelayanan medis yang diberikan dari apa yang dibutuhkan dari waktu ke waktu. 2. Responsiveness adalah keinginan para staf untuk membantu para pelanggan dan memberikan pelayanan dengan tanggap dan peduli terhadap keluhan atau harapan pelanggan. 3. Assurance adalah kompetensi yang dimiliki sehingga memberikan rasa aman, bebas dari bahaya, resiko atau keraguan dan kepastian yang mencakup pengetahuan, kesopanan dan sifat dapat dipercaya yang dimiliki. adalah kemampuan untuk 4. Empathy memberikan perhatian penuh kepada pasien, kemudahandalam kontak, komunikasi yang baik, dan memahami kebutuhan pelanggan secara individual. 5. Tangible adalah wujud kenyataan secara fisik yang meliputi fasilitas, peralatan, pegawai, dan sarana informasi/komunikasi.

Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang diatas dirumuskan masalah sebagai berikut: �Apakah kualitas : kehandalan, pelayanan (reliability responsiveness:daya tanggap, assurance: kompetensi, empathy : perhatian, tangible: bukti fisik) berpengaruh terhadap kepuasan pasien umum di RSU Tembakau Deli Medan?�

TINJAUAN TEORITIS Kepuasan Pasien Menurut Rowland et.al (dalam Milana,1997) kepuasan pasien berarti keinginan dan kebutuhan seseorang telah terpenuhi sehingga ini adalah merupakan aspek yang paling menonjol dalam meningkatkan kualitas pelayanan rumah sakit. Pasien merupakan individu terpenting di rumah sakit, sebagai konsumen dan sekaligus produk rumah sakit. Sebagai pasien yang mempercayakan penyembuhan melalui rumah sakit yang dipilihnya, mereka mempunyai kebutuhan yang diharapkan dapat diperoleh melalui rumah sakit tersebut. Harapan mereka dari pelayanan suatu rumah sakit dalam proses pengobatan akan menimbulkan suatu kepuasan yang diharapkan dapat mempercepat proses penyembuhan (Soejadi, 1996). Kottler (2000) mendefinisikan kepuasan pelanggan adalah kepuasan atau kekecewaan yang dirasakan oleh konsumen setelah membandingkan antara harapan dengan kenyataan yang ada.

Secara umum dimensi kepuasan pemakai jasa pelayanan kesehatan atau pasien yang dapat dibedakan atas 2 macam yaitu : a. Kepuasan yang mengacu hanya pada penerapan standar dan kode etikprofesi. Ukuran kepuasan pemakai jasa pelayanan kesehatan terbatas hanya pada kesesuaian dengan standar serta kode etik profesi saja. b. Kepuasan yang mengacu pada penerapan semua persyaratan pelayanan kesehatan. Disini ukuran kepuasan pemakai jasa pelayanan kesehatan disebut sebagai pelayanan kesehatan yang bermutu apabila penerapan semua persyaratan pelayanan kesehatan dapat memuaskan pasien.

Kualitas Pelayanan Kualitas pelayanan rumah sakit adalah derajat kesempurnaan pelayanan rumah sakit untuk

122


INOVASI : Vol. 6. No. 2, Juni 2009

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

Persamaan Regresi Linear Berganda: Y = bo + b1X2 + b2X2 + b3X3 + b4X4 + b5X5 Dimana: Y = skor variabel kepuasan pasien bo = konstanta koefesien regresi b1, b2, b3, b4, b5 = = skor variabel Reliabilty X1 = Skor variabel Responsiveness X2 = Skor variabel Assurance X3 = Skor variabel Empathy X4 X5 = Skor variabel Tangible

METODOLOGI PENELITIAN Lokasi dan Sampel Penelitian Penelitian ini dilakukan pada RSU Tembakau Deli Medan. Jenis penelitianini adalah penelitian survei explanatory adalah penelitian yang bertujuan menjelaskan hubungan kausal antara varibel-varibel melalui pengujian hipotesis (Singarimbun,1989). Populasi pada penelitian ini adalah seluruh pasien umum yang pernah menjadi pasien rawat inap RSU Tembakau Deli Medan tahun 2005. Dengan metode pengambilan sampel yang digunakan adalah metode purposive sampling yaitu sampel dipilih berdasarkan penilaian tertentu dan pandangan dari peneliti berdasarkan tujuan dan maksud penelitian. Sampel yang diambil pasien umum yang menggunakan jasa rumah sakit minimal 2 (dua) kali kunjungan.

HASIL PENELITIAN PEMBAHASAN

DAN

Untuk mengetahui distribusi dari seluruh variabel independen maupun variabel dependen. Variabel Independen pada penelitian ini adalah aspek-aspek reliability, dari kualitas pelayanan yaitu responssiveness, assurance, empathy dan tangible. Kemudian Variabel dependen adalah kepuasan pasien umum di bagian rawat inap RSU Tembakau Deli Medan.

Teknik Pengumpulan Data Teknik yang digunakan untuk mengumpulkan data adalah dengan observasi dan menggunakan daftar pertanyaan/kuesioner yang disusun dengan menggunakan Skala Likert.

Variabel Reliability Dari data diolah terlihat bahwa variabel reliability, kualitas pelayanan di RSU Tembakau Deli Medan adalah pada waktu prosedur pendaftaran pasien sebanyak 40 orang (57,3%) menyatakan tidak baik.

Metode Analisis Data Hasil mengenai karakteristik responden akan disajikan dalam bentuk distribusi frekuensi. Dan Pengujian hipotesis dilakukan dengan menguji apakah ada pengaruh diantara dua variabel. Uji yang dilakukan untuk melihat seberapa kuat pengaruh variabel bebas terhadap variabel terikat dengan menggunakan regresi linier ganda (multiple linear regression) dengan bantuan software SPSS.

Tabel 2. Distribusi variabel Kualitas Pelayanan (Reliability) RSU Tembakau Deli Medan

Tanggapan Responden

Tidak baik f % 40 57,3 36 51,1 30 42,4

Reliability Sedang f % 15 21 26 37 23 33

Waktu prosedur pendaftaran pasien. Waktu pelayanan pemeriksaan. Jadwal pelayanan dijalankan dengan tepat (visite/kunjungan dokter, perawatan dan istirahat). Prosedur administrasi rawat inap. 29 41,3 24 Prosedur pelayanan tidak berbelit-belit. 34 49 18 Total 169 48,28 106 Sumber : Data Penelitian di RSU Tembakau Deli Medan (2006)

123

34 26 30,28

Baik f % 15 21 8 11,8 17 24,1

17 18 75

24,1 25,4 21,42

Total f 70 70 70

% 100 100 100

70 70 350

100 100 100


INOVASI : Vol. 6. No. 2, Juni 2009

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

Variabel Responsiveness Pada tabel 3 terlihat bahwa variabel kualitas pelayanan (responsiveness) di RSU Tembakau Deli Medan adalah petugas memberikan informasi yang jelas 47 orang (66,6%) mengatakan tidak baik. Tabel 3. Distribusi Variabel Kualitas Pelayanan (Responssiveness) RSU Tembakau Deli Medan

Tanggapan Responden

Tidak baik F % 32 45,71 35 50

Waktu respon petugas terhadap pasien. Petugas memberikan informasi yang jelas dan mudah dimengerti. Tindakan cepat dan tepat pada saat 36 51,43 pasien membutuhkan. Petugas memberikan informasi yang 47 66,6 jelas. Petugas memanggil pasien dengan 37 52,86 nomor pendaftaran. Petugas ada di tempat tugasnya. 36 51,43 Total 223 53,09 Sumber : Penelitian RSU Tembakau Deli Medan (2006)

Responsiveness Sedang F % 14 20,00 16 22,86

Baik F % 24 34,29 19 27,14

Total f 70 70

% 100 100

10

14,29

24

34,29

70

100

14

20,00

9

12,85

70

100

16

22,86

17

24,29

70

100

22 92

31,43 21,90

12 105

17,14 25,00

70 420

100 100

Variabel Assurance Pada tabel 4 terlihat bahwa variabel kualitas pelayanan (assurance) di RSU Tembakau Deli Medan adalah pada penggunaan jarum suntik yang baru 41 orang (58,57%) menyatakan tidak baik. Tabel 4. Distribusi Persepsi Pasien Umum tentang Assurance Kualitas Pelayanan RSU PTPN2 Tembakau Deli Medan

Tanggapan Responden Dokter mampu mendiagnosis penyakit secara tepat. Pemeriksaan oleh dokter dilakukan tidak berbelit-belit. Terapi yang diberikan mampu mengatasi keluhan pasien. Obat yang diberikan mampu mengatasi keluhan pasien. Obat yang diresepkan mudah didapat. Penggunaan jarum suntik yang baru. Pelayanan yang sopan dan ramah. Petugas memberikan jaminan selama keamanan pelayanan/terapi. Petugas mampu memegang rahasia pasien. Petugas bekerja secara terbuka dan penuh tanggung jawab. Petugas memiliki pengalaman yang memadai. Petugas bertindak professional. Total

Tidak baik f % 37 52,86

Assurance Sedang F % 16 22,86

F 17

Baik % 24,29

Total f 70

% 100

30

42,85

16

22,86

24

34,28

70

100

35

50,00

16

22,86

19

27,14

70

100

26

37,14

19

27,14

25

35,71

70

100

25 41 31 32

35,71 58,57 48,29 45,72

22 18 12 17

31,43 25,71 17,14 24,29

23 11 27 21

32,86 15,71 24,28 30,00

70 70 70 70

100 100 100 100

33 33

47,15 47,15

18 19

25,71 27,14

19 18

27,14 25,71

70 70

100 100

33

47,15

17

24,29

20

28,58

70

100

45 401

64,28 47,73

11 201

15,71 23,92

14 238

20,00 28,33

70 840

100 100

Sumber : Penelitian di RSU Tembakau Deli Medan (2006)

124


INOVASI : Vol. 6. No. 2, Juni 2009

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

Variabel Emphaty Pada tabel 5 terlihat bahwa Variabel kualitas pelayanan (emphaty) di RSU Tembakau Deli Medan adalah petugas bersikap ramah 35 orang (50,00 %) menyatakan tidak baik. Tabel 5. Distribusi variabel Kualitas Pelayanan (Emphaty) RSU Tembakau Deli Medan

Tanggapan Responden

Tidak baik f % 28 40,00 33 47,14

Petugas memberikan perhatian Petugas mendengarkan keluhan pasien dan keluarga Keluhan pasien diberikan tanggapan 33 47,14 Pelayanan kepada semua pasien tanpa 27 38,05 memandang status sosial Petugas bersikap ramah 35 50,00 Total 156 44,57 Sumber : Penelitian di RSU Tembakau Deli Medan (2006)

Emphaty Sedang F % 18 25,71 12 17,14

F 24 25

% 34,29 35,71

f 70 70

% 100 100

13 13

18,57 18,57

24 30

34,29 42,86

70 70

100 100

17 73

24,29 20,85

18 121

25,71 34,57

70 350

100 100

Baik

Total

Variabel Tangible Pada tabel 6 terlihat variabel kualitas pelayanan (Tangible) kualitas pelayanan di RSU Tembakau Deli Medan adalah pada lantai ruangan baik dan bersih 30 orang (42,86%) menyatakan tidak baik. Tabel 6. Distribusi Persepsi Pasien Umum tentang Kualitas Pelayanan (Tangible) RSU Tembakau Deli Medan

Tanggapan Responden

Tidak baik f % 7 10 26 27,14 30 42,86 23 32,86 23 32,86 24 34,29 13 19,58

Setiap ruangan bersih dan rapi. Penataan ruangan. Lantai ruangan baik dan bersih. Alat diagnosis yang lengkap. Penampilan ruangan cukup menarik. Memiliki gedung yang rapi dan bersih. Memiliki ruang tunggu yang bersih dan nyaman. Memiliki informasi dan petunjuk yang jelas. 15 21,43 Mempunyai catatan yang baik tentang pasien. 22 33,42 Kondisi kamar/ruang rawat inap. 24 34,29 Total 207 29,57 Sumber : Penelitian di RSU Tembakau Deli Medan (2006) Pengaruh Masing-masing Variabel Kualitas Pelayanan Terhadap Kepuasan Pasien Untuk mengetahui pengaruh masing-masing variabel digunakan regresi linier Berganda dengan menggunakan software SPSS diperoleh hasil sebagai berikut :

125

Tangible Sedang f % 25 35,71 10 14,29 9 12,86 27 38,57 16 22,86 26 37,14 20 28,57 20 15 22 190

28,57 21,43 31,43 27,14

Baik

Total

F 38 34 31 20 31 20 37

% 54,29 48,57 44,29 28,57 44,29 28,58 52,86

f 70 70 70 70 70 70 70

% 100 100 100 100 100 100 100

35 33 24 303

50,00 47,15 34,29 43,28

70 70 70 700

100 100 100 100


INOVASI : Vol. 6. No. 2, Juni 2009

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

Tabel 7. Hasil Analisis Regresi Linier Berganda Model

1

(Constant) Reliability Responsiveness Assurance Empathy Tangible

Unstandardized Coefficients Std. Î’ Error 45.690 5.015 .513 .255 .542 .264 .614 .151 .674 .234 -.140 .162

Standardized Coefficients

t

Sig.

9.910 2.014 2.053 4.077 2.882 -.867

.000 .048 .044 .000 .005 .389

Beta .183 .192 .425 .271 -.081

Berdasarkan tabel diatas diperoleh nilai konstanta dan koefisien masing-masing variabel bebas sehingga membentuk sebuah model regresi yaitu sebagai berikut: Y = 45.690 + 0,513 X1 + 0,542X2 + 0,614 X3 + 0,674 X4 – 0.140 + e Keterangan: 1. Nilai Koefisien regresi X1 adalah sebesar 0,513 yang berarti apabila peningkatan 1 skor reliability maka kepuasan pasien akan meningkat sebesar 0,513 skor, sehingga dapat dikatakan bahwa peningkatan reliability akan meningkatkan kepuasan pasien 2. Nilai Koefisien regresi X2 adalah sebesar 0,542 yang berarti apabila peningkatan 1 skor responsiveness maka kepuasan pasien akan meningkat sebesar 0,542 skor, sehingga dapat dikatakan bahwa peningkatan responsiveness akan meningkatkan kepuasan pasien 3. Nilai Koefisien regresi X3 adalah sebesar 0,614 yang berarti apabila peningkatan 1 skor assurance maka persepsi akan meningkat sebesar 0,614 skor, ehingga dapat dikatakan bahwa peningkatan assurance akan meningkatkan kepuasan pasien. 4. Nilai Koefisien regresi X4 adalah sebesar 0,674 yang berarti apabila peningkatan 1 skor empathy maka persepsi akan meningkat sebesar 0,674 skor, sehingga dapat dikatakan bahwa peningkatan empathy akan meningkatkan kepuasan pasien. 5. Nilai Koefisien regresi X5 adalah sebesar 0,140 yang berarti apabila peningkatan 1 skor tangible maka kepusan pasien akan menurun sebesar 0,140 skor, sehingga dapat dikatakan bahwa peningkatkan empathy akan menurunkan kepuasan pasien.

Pengaruh Variabel Reliabilty Terhadap Kepuasan Pasien di Bagian Rawat Inap Realiabilty adalah kesesuaian pelayanan medis yang diberikan dari apa yang dibutuhkan dari waktu ke waktu. Berdasarkan hasil analisis multivariat, didapatkan nilai β = 0.513, p value 0,048 < 0,05 hal ini berarti menunjukkan bahwa kualitas pelayanan tentang reliability mempunyai pengaruh yang positif dan signifikan terhadap kepuasan pasien di bagian rawat inap RSU Tembakau Deli Medan. Pengaruh Variabel Responsiveness Terhadap Kepuasan Pasien di Bagian Rawat Inap yaitu keinginan membantu Responsiveness pelanggan dan memberikan mereka pertolongan yang segera. Variabel Responsiveness yang diberikan oleh pihak RSU Tembakau Deli Medan mempunyai pengaruh yang positif dan signifikan terhadap kepuasan pasien umum, artinya variable responsiveness yang dilakukan oleh pihak rumah sakit sudah dilakukan dengan baik, tetapi perlu menjadi perhatian bahwa penilaian ini tidak mutlak mengingat masih ada pasien yang mengeluhkan tentang petugas yang tidak jelas memberikan informasi yang jelas kepada pasien umum. Pelayanan yang tidak jelas memberikan informasi yang jelas kepada pasien umum. Berdasarkan hasil analisis multivariat, didapatkan nilai β = 0.542, p value 0,044 < 0,05 hal ini berarti menunjukkan bahwa persepsi pasien umum tentang responsiveness mempunyai pengaruh yang positif dan signifikan terhadap kepuasan pasien di bagian rawat inap RSU Tembakau Deli Medan.

Nilai koefisien determinasi adalah 0,531 menyatakan bahwa kualitas pelayanan dapat menjelaskan pengaruhnya terhadap kepuasan pasien umum adalah sebesar 53,1% dan sisanya 46,9% dipengaruhi oleh faktor lain yang tidak dijelaskan dalam model penelitian ini.

Pengaruh Variabel Assurance Terhadap Kepuasan Pasien di Bagian Rawat Inap Assurance adalah kompetensi yang dimiliki sehingga memberikan rasa aman, bebas dari bahaya, resiko atau keraguan dan kepastian yang mencakup pengetahuan, kesopanan dan sifat dapat dipercaya yang dimiliki.

126


INOVASI : Vol. 6. No. 2, Juni 2009

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

Variabel assurance yang diberikan oleh pihak RSU Tembakau Deli Medan mempunyai pengaruh yang positif dan signifikan terhadap kepuasan pasien umum, Berdasarkan hasil analisis multivariat, didapatkan nilai β = 0.614, p value 0,000 < 0,05 hal ini berarti menunjukkan bahwa persepsi pasien umum tentang assurance mempunyai pengaruh yang positif dan signifikan terhadap kepuasan pasien di bagian rawat inap RSU Tembakau Deli Medan.

reliability β = 0.513 sedangkan variabel tangible dengan β = -0,140 berpengaruh secara tidak signifikan terhadap kepuasan pasien umum dibagian rawat inap RSU Tembakau Deli Medan. Nilai R Square sebesar 0,531, hal ini menunjukkan bahwa variable kualitas pelayanan yang terdiri dari reliability, responsiveness, assurance, emphaty, tangible dapat menjelaskan pengaruhnya terhadap kepuasan pasien umum adalah sebesar 53,1% dan sisanya 46,9% dipengaruhi oleh faktor lain yang tidak dijelaskan dalam model penelitian ini.

Pengaruh Variabel Emphaty Terhadap Kepuasan Pasien di Bagian Rawat Inap

Saran Emphaty adalah kemampuan untuk memberikan perhatian dan komunikasi yang baik, dan memahami kebutuhan pasien secara individual. Variable emphaty memberikan pengaruh yang positif dan signifikan terhadap kepuasan pasien umum di RSU Tembakau Deli Medan, artinya variabel emphaty yang dilakukan pihak rumah sakit sudah dilakukan dengan baik, tetapi perlu menjadi perhatian bahwa penilaian ini tidak mutlak mengingat masih ada pasien yang mengeluhkan tentang petugas yang kurang bersikap ramah terhadap pasien.

Disarankan kepada pihak manajemen RSU Tembakau Deli Medan perlu meningkatkan reliability yaitu kemampuan petugas kesehatan untuk memberikan jasa pelayanan kesehatan secara cepat dan mudah, tepat waktu. RSU PTPN2 Tembakau Deli Medan perlu menetapkan standar pelayanan dan pengawasan terhadap setiap petugas dalam memberikan pelayanan kesehatan kepada pasien umum, dimana responsiveness merupakan sikap dan kemauan dokter serta petugas pelayanan lainnya untuk tanggap dan cepat mengatasi keluhan pasien atau masalah yang dihadapi pasien sehingga senantiasa dapat memenuhi harapan pasien umum.

Berdasarkan hasil analisis multivariat, didapatkan nilai β = 0.674, p value 0,005 < 0,05 hal ini berarti menunjukkan bahwa persepsi pasien umum tentang emphaty mempunyai pengaruh yang positif terhadap kepuasan pasien di bagian rawat inap RSU Tembakau Deli Medan.

RSU Tembakau Deli Medan masih perlu memperhatikan upaya-upaya yang mendukung penyembuhan keadaan pasien yang bersifat terapeutik dengan melibatkan perasaan pasien di dalam proses pengobatan itu sendiri.

Pengaruh Variabel Tangible Terhadap Kepuasan Pasien di Bagian Rawat Inap Tangible adalah wujud nyata secara fisik yang meliputi fasilitas, peralatan, pegawai, dan sarana informasi/ komunikasi. Variabel tangible diperoleh nilai nilai β = -0,140, p value 0,389 > 0,05 memberikan pengaruh yang negatif dan tidak signifikan terhadap kepuasan pasien umum di bagian rawat inap di RSU Tembakau Deli.

DAFTAR PUSTAKA Adikusumo,S, 1995. Manajemen Rumah Sakit.Jakarta. Pustaka Sinar Harapan. Aditama,Tjandra Yoga,2003. Manajeme Administrasi Rumah Sakit, Edisi Kedua.Jakarta : penerbit Universitas Indonesia ( UI – Press).

Bukti fisik atau penampilan saja tanpa memperhatikan sisi kehandalan pelayanan merupakan tindakan yang bisa merugikan RSU Tembakau Deli Medan, di masa mendatang sebab pelayanan yang handal merupakan hal penting untuk memenuhi harapan utama pasien.

Arikunto,S, 1998 . Prosedur Penelitian ; Suatu Pendekatan Praktek, Edisi Revisi W. Rineka Cipta, Jakarta Azwar, Azrul, 1996. Menjaga Mutu Pelayanan Kesehatan. Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.

KESIMPULAN

Chruden / Sherman, 1976, Personnel Managemet, Job Satisfaction, South Western Publishing, CO., Cincinnati, USA.

Berdasarkan Hasil penelitian diperoleh kesimpulan bahwa variabel emphaty mempengaruhi kepuasan pasien umum di bagian rawat inap RSU PTPN2 Tembakau Deli Medan dengan nilai β = 0.674 dengan diikuti variabel assurance dengan nilai β = 0.614, variabel responsiveness β = 0.542. variabel

Covey R. Stephen, 1994, Daily Reflections for Highly Effective Pople, Living the 7 Habits

127


INOVASI : Vol. 6. No. 2, Juni 2009

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

di Rumah Sakit UKI Jakarta, FKM UI Jakarta

of Highly Effective People Everyday, Fireside Rockefeller Center, 1230 Avenue of the Americas New York, USA. Depkes, RI, 2000. Paradigma Baru Pelayanan Kesehatan Indonesia, Jakarta

Murray R. Spiegel, 1988, Multiple Regression, Theory and Problems of Probability and Statistics, Mc Graw Hill, Singapore.

Eyanoer , F. Harwinta dkk, 2001, “Pedoman Penulisan Proposal & Tesis”, Program Studi Magister Ilmu Kesehatan Masyarakat, Program Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara, Medan.

Monarita Sri, 2006,. Pengaruh Persepsi Kualitas Pelayanan Terhadap Kepuasan Pasien Rawat Inap Rumah Sakit Umum Mayjen H.A. Thalib Kerinci. Skripsi, FE USU, Medan.

Gibson,1996 . Organisasi Prilaku Struktur Proses. Erlangga . Jakarta

Nasution,S, dan Prof Thomas, M., (1999), “Buku Penuntun Membuat Tesis, Skripsi, Disertasi, Makalah” , Bumi Aksara, Jakarta

Gilmer, B. Von Haller, 1982., Industrial and Organizational Psychology, Interpersonal Relationship, McGraw Hill – Kogakusha, Singapore

New Stroom,John W and Keith Davis,2002, Organizational Behaviour Human Behaviour at work, tenth Edition, Mc Graw Hill Inc, New York.

Gisela Hagemann, 1993, Motivasi untuk Pembinaan Organisasi, ‘Peran Insentif’, PT. Pustaka Binaman Pressindo, Jakarta

R. Wayne Mondy, SPHR, 1996, Recognize The Problem, Human Resource Management, 6th Edition, McNeese State University, Prentice Hall International, Inc., London.

Goleman, 1982, Introductory Psychology , Random House NewYork

Sabarguna B,2003. Sumberdaya Manusia Kebijakan Kinerja Karyawan, Penerbit BPFE, Yogyakarta

Herbert J. Chruden 1976, Personnel Management (5th edition), Business Administration California State University, Sacramento, USA.

Singarimbun, 1989. Masri,dan Effendi,Sofyan, Metode Penelitian Survey, Cetakan Pertama, Jakarta: Penerbit LP3ES.

Umar Husien, 2000,.“Riset Pemasaran & Perilaku Konsumen”, Jakarta Business Research Center, Gramedia , Jakarta.

Singgih Santoso, MM., SPSS, 1999, Mengolah Data Statistik Secara Profesional, Elex M. Komputindo, PT. Gramedia, Jakarta, , hal. 217 - 299

Koentjaraningrat,1981, Pengantar Ilmu Antropologi ,Aksara Baru , Jakarta. Kottler Philip, 2000, Marketing Management , The Millennium Editon, Prentice Hall International, Inc Singapore.

Sofjan Assauri, 1984, Multiple Regression,Teknik & Metoda Peramalan Penerapannya dalam Ekonomi & Dunia Usaha, Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia Jakarta.

Lupiyoadi, Rambat, 2001. Manajemen Pemasaran Jasa. Edisi Pertama, Salemba Empat, Jakarta. Manajemen Lovelock, dan Wright.,2005. Pemasaran Jasa. Edisi Bahasa Indonesia, PT. Index Jakarta.

Soejadi, DR, DHHSA, (1996), Pedoman Penilaian Kinerja Rumah Sakit Umum, Efisiensi Pengelolaan Rumah Sakit Grafik Barber Johnson sebagai salah satu Indikator, Katiga Bina Jakarta.

Thoha Miftah, 1999, Perilaku Organisasi, Motivasi Dalam Organisasi,PT. Raja Grafindo Persada , Jakarta

Supranto J, 2001, Mengukur Tngkat Kepuasan Pelanggan Untuk Menaikkan Pangsa Pasar, Edisi Baru, Rineka Cipta, Jakarta.

Tjiptono, Fandy, 1998, Manajemen Jasa, Penerbit Andi, Yogyakarta. Milana R, 1997, Persepsi Pasien Rawat Jalan Fisioterapi Terhadap Pelayanan Fisioterapi

128


INOVASI : Vol. 6. No. 2, Juni 2009

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

Optimalisasi Pemakaian Bahan Bakar Dengan Metode Algoritma Genetik Pada Pembangkit Listrik Tenaga Gas (PLTG) Arnawan Hsb Jurusan Teknik Elektro, Fakultas Teknik Universitas Malikussaleh, Lhokseumawe

Abstraksi Fokus penelitian ini adalah untuk memformulasikan operasi ekonomis secara optimal untuk meminimalkan biaya bahan bakar pada pembangkit dengan mengontrol daya yang dibangkitkan pada masing-masing unit pembangkit. Metode yang digunakan adalah pendekatan algoritma genetik (GA) dengan simulasi numerik menggunakan bahasa pemrograman Matlab. Kasus ini menggunakan data pada PLTG Pulo Sicanang di PT PLN Wilayah II Sektor Belawan. Proses pencarian GA adalah dari titik-titik pada suatu populasi, bukan titik tunggal, dan menggunakan informasi hasil seperti fitness atau fungsi-fungsi objek secara langsung. Parameter GA seperti crossover dan jumlah generasi mempengaruhi biaya bahan bakar dan beban komputasi tetapi, parameter mutasi dan jumlah populasi pengaruhnya hanya kecil.

Kata-kata kunci : Kurva input-output, Operasi Ekonimis, Equal Incremental Cost, Algoritma Genetik Metode yang dipakai untuk penjadwalan pembangkit adalah dengan metode biaya tambahan (incremental cost) operasi yang sama, yaitu daya total pembangkit dibagi pada pembangkit pada biaya tambahan yang sama diharapkan biaya pengoperasian menjadi ekonomis. Untuk mencari biaya tambahan operasi yang sama tersebut digunakan program algoritma genetik sebagai metode pencarian alternatif nilai yang diharapkan.

PENDAHULUAN Sistem tenaga modern dapat mensuplai daya dengan beberapa unit pembangkit secara paralel. Untuk menentukan bagaimana mengoperasikan unit pembangkit listrik dengan biaya produksi yang minimum adalah dengan mengatur penjadwalan unit pembangkit yang benar. Jika yang terutama kita perhatikan adalah biaya, nilai bahan bakar kita konversikan kedalam Rp/jam, untuk beban berubahubah Rp/MWjam diasumsikan sebagai Rp/Btu.

λ = λ1 = λ2 = λ3

…(1)

METODE PENELITIAN

Untuk memperhitungkan penjadwalan yang optimum dalam pembangkitan yang ekonomis pada pembangkit thermal sangat berpengaruh pada jenis bahan bakar yang dipakai. Untuk mengetahui nilai panas yang dianggap sebagai masukan dari pembangkit dalam satuan Btu/jam, selain dari jenis bahan bakar, jumlah unit pembangkit juga sangat mempengaruhi hal di atas, karena dengan adanya beberapa unit pembangkit itulah bagaimana masingmasing unit pembangkit tersebut dijadwalkan seoptimum mungkin pada saat beroperasi parallel.

Penelitian ini dilakukan dengan dua tahap yaitu penelitian pendahuluan dan penelitian utama. Penelitian pendahuluan dilakukan sebelum memakai cara pengoperasian ekonomis pada pembangkit listrik tenaga gas untuk mendapatkan data pemakaian bahan bakar (Gas Alam) yang dilakukan PLTG Pulo Sicanang. Hal ini untuk memperoleh kurva Input-output. Penelitian utama dilakukan untuk penghematan bahan bakar dari pengoperasian suatu pembangkit listrik tenaga gas dengan program algoritma genetik.

Dalam pembahasan ini penulis mengaplikasikannya pada PLTG Pulo Sicanang Belawan milik PLN. Jumlah unit pembangkit yang dijadwalkan pembangkitannya terdiri dari tiga unit pembangkit. Ketiga unit pembangkit menggunakan gas alam sebagai bahan bakar. Pemakaian bahan bakar yang akan dihitung adalah merupakan jumlah rata-rata pemakaian bahan bakar dalam periode satu bulan setiap keluaran daya. Data pemakaian bahan bakar dan nilai keluaran daya yang dipakai adalah data yang didapat dari Log Sheet bulanan pada pengoperasian PLTG tesebut.

ANALISA HASIL Data yang diperoleh dari log sheet adalah merupakan data penelitian pendahuluan. Data tersebut diolah menjadi sajian dalam bentuk tabulasi dan grafik yang kemudian menjadi acuan untuk penelitan utama. Data yang berisi perbandingan antara penelitian pendahuluan dan

129


INOVASI : Vol. 6. No. 2, Juni 2009

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

penelitan utama dianalisis untuk mencari biaya tambahan operasi yang sama pada unit-unit pembangkit dengan menggunakan algoritma genetik.

Rumus yang digunakan untuk mendapatkan adalah : Fg = Fgm x nilai kalor

keterangan : Fg : masukan bahan bakar gas (Btu/jam), Fgm : pemakaian bahan bakar gas (m3/jam), Nilai kalor : panas jenis bahan bakar (Btu/m3). Untuk nilai kalor gas diperoleh dengan : : 35,336 Scf 1 m3 1 m3 gas: 35,336 Scf x 1194,893373 Btu/Scf = 42222,752 Btu

Data-data Operasi Penelitian pendahuluan menghasilkan data pemakaian dari PLTG yaitu : • Jenis bahan bakar : gas alam, • Nilai kalor bahan bakar : 1194,893373 Btu/SCF, • Spesifik gravity gas : 0,69656696 kg/m3, • Harga bahan bakar dalam 1 MMBtu : US $ 2,67 (1 US $ = Rp. 9.310 ; 1MMBtu : Rp. 24.857,7,-), Dari keempat data tersebut di atas adalah sama untuk ketiga pembangkit, sedangkan untuk pemakaian bahan bakar yang bersesuaian dengan keluaran daya adalah sebagai berikut :

Sehingga didapatkan : Tabel 2. Data keluaran daya dalam MW terhadap pemakaian bahan bakar gas dalam MMBtu/jam No

Tabel 1. Data keluaran daya dalam MW terhadap pemakaian bahan bakar gas dalam m3/jam No

P (MW)

Unit 1

Unit 2

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25

Unit 3

1

20

-

87825

85020

2

25

-

98550

89500

3

30

-

101175

96392

4

35

-

104356

-

5

40

-

110771

98755

6

45

-

113850

105287

7

50

-

117800

110100

8

55

138824

120302

118000

9

60

145444

123320

124541

10

65

150379

124333

134200

11

70

151529

125979

135450

12

75

155578

127862

149967

13

80

158717

146900

152837

14

85

161989

149920

153530

15

90

137074

150313

154833

16

95

173664

164567

157520

17

98

-

173050

-

18

100

185547

-

159280

19

105

190556

178050

170200

20

110

193738

186300

170900

21

115

-

188000

179867

22

117

223800

-

-

23

120

-

202850

184900

24

125

-

-

193000

…(2)

Perhitungan untuk Mendapatkan Kurva Inputoutput

P (MW) 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95 98 100 105 110 115 117 120 125 130

Unit 1

Unit 2

Unit 3

-

3708.2

3589.8

4161.1

3778.9

4271.9

4069.9

4973.8

4648.7

5861.5

5079.5

4982.3

6141.0

5206.9

5258.5

6349.4

5249.7

5666.3

6398.0

5319.2

5719.1

6568.9

5398.7

6332.0

6701.5

6202.5

6453.2

6839.6

6330.0

6482.5

7054.3

6346.6

6537.5

7332.6

6948.5

6650.9

4406.2

-

4677.1

4169.7

4807.1

4445.5

-

7306.6

-

7834.3

-

6725.2

8045.8

7517.8

7186.3

8180.2

7866.1

7215.9

-

7937.9

7594.5

9449.5

-

-

-

8564.9

7807.0

-

8149.0 8333.9

Dari tabel 2 dapat dibuat kurva input – output dari masukan bahan bakar dalam Btu/jam terhadap keluaran daya pada gambar 1.

Untuk mendapatkan kurva input-output, kita tentukan dahulu titik koordinat antara sumbu Y dan sumbu X, dimana sumbu Y merupakan masukan bahan bakar dalam Btu/jam dan sumbu X adalah keluaran daya dalam MW.

130


INOVASI : Vol. 6. No. 2, Juni 2009

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

Gambar 1. Keluaran Daya (MW) Vs Masukan Bahan Bakar (MMBtu/jam) Gambar 2. Keluaran Daya (MW) Vs Masukan Bahan Bakar (JutaRp/jam)

Input bahan bakar dapat diubah ke Rp/jam dengan mengalikan Btu/jam dengan biaya bahan bakar dalam Rp/Btu. Pada pembangkit I harga bahan bakar gas adalah : = US$ 2,67 dengan 1 US$ 1.106 Btu gas = Rp. 9.310,1 MMBtu gas = Rp. 24.857,7,-

Dari tabel 3 dapat dibuat kurva input – output dari masukan bahan bakar dalam Rp/jam terhadap keluaran daya pada gambar 2. Menghitung Biaya Bahan Bakar Tambahan (λ)

Sehingga didapatkan untuk setiap keluaran daya dengan Rp/jam pada setiap pembangkit:

Dari data masukan bahan bakar dalam Rp/jam terhadap keluaran daya dalam MW dapat diketahui biaya bahan bakar tambahan untuk masing-masing pembangkit. Untuk menganalisanya lengkungan pada gambar 2 itu dapat didekati dengan suatu garis linear. Metode yang digunakan untuk mendapatkan pendekatan garis linear dalam statistik adalah metode kuadrat terkecil (least square methode) yang merupakan cara terbaik yang dapat meminimumkan simpangan antar garis linear yang diperoleh dengan pengamatan-pengamatan sebenarnya, atau yang memungkinkan deviasi dari garis menjadi kecil.

Tabel 3. Data keluaran daya dalam MW terhadap pemakaian bahan bakar gas dalam Juta Rp/jam No

P (MW)

Unit 1

1

20

-

92.18

89.23

2

25

-

103.43

93.94

3

30

-

106.19

101.17

4

35

-

109.53

-

5

40

-

116.26

103.65

6

45

-

119.49

110.51

7

50

-

123.64

115.56

8

55

145.7

126.26

123.85

Unit 2

Unit 3

9

60

152.65

129.43

130.71

10

65

157.83

130.5

140.85

11

70

159.04

132.22

142.16

12

75

163.29

134.2

157.4

13

80

166.58

154.18

160.41

14

85

170.02

157.35

161.14

15

90

175.35

157.76

162.51

16

95

182.27

172.72

165.33

17

98

-

181.63

-

18

100

194.74

-

167.17

19

105

200

186.87

178.64

20

110

203.34

195.53

179.37

21

115

-

197.32

188.78

22

117

234.89

-

-

23

120

-

212.9

194.06

24

125

-

-

202.57

25

130

-

-

207.16

Garis lurus itu dapat dibuat dengan persamaan garis lurus yaitu : λ = aP + b………(3) keterangan : λ : biaya bahan bakar tambahan (Rp/MWjam), P : keluaran daya ( MW ), a,b : konstanta. Dengan metode ini untuk menentukan konstanta a dan b adalah dengan menggunakan rumus : a

=

N ∑ (PF) − ∑ P ∑ F N ∑ P 2 − (∑ P) 2

b

=

( ∑ P) ∑(PF) − (∑ P) 2 ∑ F …(5) ∑ P 2 − N(∑ P) 2

…(4)

keterangan : a, b : konstanta garis linear, P : keluaran daya (MW), F : masukan bahan bakar (Rp/jam), N : jumlah data.

131


INOVASI : Vol. 6. No. 2, Juni 2009

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

pembangkit dan menentukan alokasi keluaran daya untuk masing-masing pembangkit dalam keluaran daya total yang bervariasi dengan mematok harga masing-masing λ dengan menggunakan Algoritma Genetik seperti pada table 4.

Untuk Pembangkit 1

dFg dP1

= 1.213274P1 + 164.3461

Untuk Pembangkit 2

dFg dP2

= 1.106661P2 + 137.5337

Dapat dibuat kurva keluaran daya bagi ketiga pembangkit sesuai dengan keluaran daya total pada gambar 3.

Untuk Pembangkit 3

dFg dP3

= 1.069846P3 + 141.8139

Dari table 4 dapat dibuat kurva untuk biaya bahan bakar tambahan yang sama untuk ketiga pembangkit pada gambar 3, dan grafik keluaran daya masing-masing pembangkit untuk tiap-tiap harga λ pada gambar 4.

Menghitung Biaya Bahan Bakar Tambahan dan Alokasi Beban Diantara Ketiga Pembangkit : Misalkan kedua unit bekerja terus menerus dengan beban total bervariasi. Beban maksimum masingmasing pembangkit adalah 65 MW, maka dapat dihitung biaya bahan bakar tambahan dan alokasi beban diantara kedua pembangkit tersebut untuk biaya minimum pada berbagai beban total. Untuk menghitung alokasi beban pada kedua unit yang ekonomis terlebih dahulu harus diingat bahwa biaya bahan bakar tambahan (λ) kedua pembangkit harus sama. dFg dFg dFg …(6) =λ; = λ; =λ dP1 dP2 dP3

Gambar 3. Grafik biaya bahan bakar yang sama terhadap keluaran daya total.

Kita substitusikan nilai bahan bakar tambahan dari persamaan garis ke harga : a1P1 + b1 = λ ; a2P2 + b2 = λ ; a3P3 + b3 = λ maka :

P1 =

λ − b3 λ − b1 ; λ − b2 ; P2 = P3 = a1

a2

a3

Diketahui bahwa beban total (PT) adalah jumlah dari beban kedua pembangkit : PT

= P1 + P2 + P3

…(7)

maka :

Gambar 4. Grafil alokasi beban pada setiap pembangkit

λ − b1 λ − b2 λ − b 3 PT = + +

a1 a2 a3 P (a a a + a 2 a 3 b1 + a 1a 3 b 2 + a 1a 2 b 3 ) λ= T 1 2 3 a 2 a 3 + a 1a 3 + a 1a 2

PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN Penentuan Operasi Ekonomis

…(8) keterangan : PT: beban total kedua pembangkit (MW), λ : nilai bahan bakar tambahan (Rp/MWjam) a1, a2, a3, b1, b2, b3 : konstanta persamaan garis lurus.

Jika dilihat dari hasil perhitungan (table 4) yang dilakukan dengan menggunakan bahwa : 1. Untuk pembangkitan total di bawah dari 40 MW, pada pembangkit unit 1 merupakan nilai minus, ini berarti bahwa pembangkit tersebut kemungkinan menjadi motor, tetapi itu tidaklah demikian, karena menurut pengamatan yang sebenarnya adalah pembangkit unit 1 tersebut

Sehingga dapat ditabelkan harga λ untuk masingmasing keluaran daya untuk keseluruhan unit

132


INOVASI : Vol. 6. No. 2, Juni 2009

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

nilai akhir. Dengan demikian dari beberapa hasil uji program terpilih koefisien mutasi pada urutan pertama yang tertera pada sumbu horizontal. Hal ini dapat dipakai karena menunjukkan hasil rugi-rugi daya yang paling minimum dan beban komputasi yang juga paling minimum.

pada saat itu bisa-bisa tidak beroperasi. Untuk menanggulangi beban total maka akan dibebankan pada pembangkit unit 2 dan unit 3. 2. Untuk pembangkitan total di atas 360 MW terlihat bahwa pada pembangkit unit 2 dan unit 3 sudah di atas kapasitas dari kemampuan pembangkit tersebut yaitu masing-masing 130 M. Jadi untuk menanggulangi beban yang di atas 360 MW akan dipikul oleh kapasitas penuh dari unit 2 dan 3 ditambah pembangkit unit 1. 3. Pada pembangkitan total di atas 480 MW, terlihat bahwa ketiga unit pembangkit sudah mencapai nilai puncak kapasitasnya. Jadi ketiga unit pembangkit sudah tidak dapat lagi menanggulangi beban yang demikian. Penentuan genetik

koefisien

parameter

algoritma

Untuk menjalankan program genetik terpadu yang dibuat, selain fungsi evaluasi bersama ruang solusi dibutuhkan input koefisien parameter genetik. Seluruh parameter genetik diperoleh secara trial and error saat melakukan uji program. Nilai ini mendukung evolusi program untuk menghasilkan nilai minimum keluaran bahan bakar yang sama pada permasalahan operasi ekonomis dengan beban komputasi yang bervariasi. Dalam proses evolusi program koefisien parameter genetik yang dibutuhkan adalah jumlah populasi, jumlah generasi, koefesien crossoover dan koefesien mutasi. Dengan merubah-rubah koefisien parameter genetik dapat memperlihatkan hasil yang sangat bervariasi secara signifikan.

Gambar 5. Grafik Perubahan Koefisien Mutasi Terhadap Perubahan Operasi Ekonomis dan Perubahan Beban Komputasi Kedua dilakukan uji coba terhadap perubahan koefisien crossover dengan koefisien yang lain tetap dan koefisien mutasi dipakai yang telah didapatkan dari uji coba pertama. Pada operator crossover dipakai tiga operator berturut-turut yaitu arith crossover, heuristic crossover, dan simple crossover. Nilai koefisien yang digunakan masingmasing merupakan vektor baris dengan 2 variabel, dan dapat digabung menjadi matrik 2 kolom 3 baris. Nilai-nilai operator yang diterapkan pada kolom pertama merupakan jumlah generasi dari crossover itu sendiri. Kolom kedua merupakan probabilitas crossover.

Berdasarkan keempat jenis koefisien parameter genetik tersebut, selanjutnya akan diuraikan pembahasan mengenai perubahan hasil dari eksekusi pemrograman genetik yang terjadi akibat perubahan dari koefisien parameter genetik tersebut.

Dari hasil eksekusi program dapat diperiksa bahwa semakin besar generasi crossover yang dilakukan ternyata nilai optimum yang diperoleh semakin kecil, tetapi pada suatu ketika akan mengalami titik terbaik dan berikutnya akan menghasilkan nilai yang lebih besar pula. Sedangkan untuk probabilitan crossover yang diterapkan hanya heuristic crossover yang dapat menghasilkan nilai yang lebih minimum bila nilai pada kolom kedua tersebut divariasikan, tetapi pada suatu ketika akan mengalami titik terbaik dan berikutnya akan menghasilkan nilai yang lebih besar pula. Di sisi lain untuk nilai kolom kedua pada operator arith dan simple crossover tidak crossover mempengaruhi nilai akhir. Dengan demikian dari beberapa hasil uji program terpilih koefisien crossover untuk kedua operator yaitu pada urutan ke 20 dari sumbu horizontal. Hal ini dapat dipakai karena menunjukkan hasil rugi-rugi daya yang paling minimum dan beban komputasi yang juga minimum.

Pertama dilakukan uji coba terhadap perubahan koefisien mutasi dengan koefisien yang lain tetap. Pada operator mutasi dipakai boundary mutation dan uniform mutation. Pada gambar 5 dapat diperiksa nilai koefisien yang digunakan pada sumbu horizontal masing-masing merupakan vektor baris dengan 3 variabel, dan dapat digabung menjadi matrik 3 kolom 2 baris. Nilai-nilai operator yang diterapkan untuk kolom pertama merupakan jumlah generasi dari mutasi itu sendiri. Untuk kolom kedua merupakan tingkat laju mutasi, dan kolom ketiga tidak didefinisikan dalam operator ini. Dari hasil eksekusi program dapat diperiksa bahwa semakin besar generasi mutasi yang dilakukan ternyata nilai optimum yang diperoleh semakin besar. Sedangkan untuk tingkat laju mutasi yang diterapkan tidak mempengaruhi

133


INOVASI : Vol. 6. No. 2, Juni 2009

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

jumlah generasi sangat tergantung dari besar kecilnya nilai yang diterapkan. Semakin besar jumlah generasi yang diterapkan lebih memungkinkan untuk mendapatkan nilai yang lebih optimum, tetapi konsekwensinya akan menambah beban komputasi, tetapi pada keadaan tertentu akan didapatkan tingkat konvergensi pada nilai akhir, dimana tidak akan didapatkan nilai yang lebih optimum lagi. Sebagai bukti jika dilakukan terhadap jumlah generasi sebesar 10000 mendapatkan hasil yang lebih kecil bila dibandingkan dengan bila menerapkan jumlah generasi 1000, 2000, dan 5000. Gambar 6. Grafik Perubahan Koefisien Crossover Terhadap Peruabah Operasi Ekonomis dan Beban Komputasi

Gambar 8. Grafik Perubahan Jumlah Generasi Terhadap Perubahan Operasi Ekonomis dan Beban Komputasi

Gambar 7. Perubahan jumlah populasi terhadap perubahan operasi ekonomis dan beban komputasi

KESIMPULAN

Ketiga dilakukan uji coba terhadap perubahan jumlah populasi dengan jumlah generasi tetap, koefisien mutasi dipakai yang telah didapatkan dari uji coba pertama dan koefisien crossover dipakai yang telah didapatkan dari uji coba kedua. Untuk jumlah populasi yang dirobah-robah tidak terlalu banyak memberikan hasil terhadap pencapaian tujuan penelitian, malahan akan menambah beban komputasi. Semakin besar jumlah populasi yang diterapkan tidak menunjukkan hasil yang lebih optimum tetapi ada suatu nilai yang paling mendapatkan nilai yang paling minimum yaitu pada urutan ke 2 dengan jumlah populasi 20. Di sini dapat dilihat bahwa sebenarnya pada urutan pertama juga memungkinkan untuk dipilih sebagai parameter jumlah populasi karena disamping nilai rugi-rugi daya yang dihasilkan minimal juga menghasilkan beban komputasi yang lebih kecil. Tetapi dalam hal ini diambil nilai rugi-rugi daya yang paling minimal.

Dari hasil pembahasan sebelumnya, penulis dapat mengambil kesimpulan sebagai berikut: 1. Dalam pengoperasian sistem, untuk keadaan beban yang bagaimanapun, harus ditentukan pemberian daya dari setiap stasiun dan setiap unit sehingga biaya daya yang diserahkan dapat diusahakan seminimum mungkin. 2. Untuk menentukan penjadwalan yang optimum dalam pengoperasian yang ekonomis pada pembangkit listrik tenaga gas sangat dipengaruhi oleh jenis bahan bakar yang digunakan, selain itu jumlah unit pembangkit juga sangat mempengaruhi hal yang tersebut diatas, karena dengan beberapa jumlah pembangkit maka dapat diusahakan agar penjadwalan pembangkitan agar optimum pada masing-masing pembangkit. 3. Metode yang digunakan dalam penjadwalan pembangkitan adalah metode Algoritma Genetik yaitu metode alternatif yang dapat mengatasi kesulitan dalam masalah optimasi berdasarkan kemampuan metode ini untuk tidak terjebak dalam minimum lokal. Dengan metode ini diharapkan agar dapat tercapai penjadwalan pembangkitan yang optimum atau paling ekonomis.

Keempat dilakukan uji coba terhadap perubahan jumlah generasi dengan jumlah populasi dipakai yang telah didapatkan dari uji coba ketiga, koefisien mutasi dipakai yang telah didapatkan dari uji coba pertama dan koefisien crossover dipakai yang telah didapatkan dari uji coba kedua. Untuk parameter

134


INOVASI : Vol. 6. No. 2, Juni 2009

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

4. Dengan menggunakan Algoritma Genetik, dapat dihasilkan besar masukan daya yang paling ekonomis untuk masing-masing pembangkit dan biaya bahan bakar total yang paling ekonomis ketika kedua pembangkit sama-sama bekerja. 5. Jika pada ketiga pembangkit diperoleh harga daya yang paling ekonomis untuk masingmasing pembangkit dan harga bahan bakar totalnya seperti data di atas, maka jika kedua pembangkit bekerja selama satu hari, ataupun misalnya satu bulan, jika dibandingkan dengan harga KWH yang ditarifkan kepada konsumen, maka PLN harus menerima subsidi dari pemerintah agar dapat menyeimbangkan antara pemasukan dan pemakaian.

to Design of Large Power Distribution System", IEEE Vol. 13, No.2. Iqbal Hasan M., 2003, “Pokok-Pokok Materi Statistik I (Statistik Deskriptif)”, PT. Bumi aksara, Jakarta. Irwin Miller & John E. Freund, 1985, Probabilty and Statistic for Engineers, Third Edition, Prentice-Hall of India Private Limited, New Delhi. J. T Ma dan L. L. Lai, 1997 "A new Genetic Algorithm for Optimal Reaktive Power Dispatch", Engineering Intelligent System, Vol 5 no.2.

DAFTAR PUSTAKA

Joon Young Choi, Seong-Hwang Rim dan JongKeun Park, 1998, "Optimal Real Time Pricing and Reaktive Powers", IEEE Vol. 13, No.4.

Abdul Kadir.,1987, Energi, Erlangga, Jakarta. Archie W Clup, 1989, Prinsip-prinsip Konversi Energi, Erlangga, Jakarta.

Kwang.Y.Lee, 1998, "Optimal Reaktif Power Planning Using Evolutionary Algorithms : A Comparative Study for Evolutionery Programming , Evolutionery Strategy, Genetic Algorithm, and Linear Programming", IEEE Vol. 13, No.1.

D. Stevenson, Jr. William, 1990, “Analisis Sistem Tenaga Listrik”, Penerbit Erlangga, Jakarta. Djiteng Marsudi, 1990, "Operasi Sistem Tenaga Listrik", Balai Penerbit dan Humas ISTN, Jakarta.

M.M.El. Wakil, 1992, Instalasi Pembangkit Daya, Jilid 1, Erlangga, Jakarta.

Gen Mitsuo dan Cheng Runwei, 1996 “Genetic Algorithms & Engineering Design”, Jhon Willey & Sons, Inc., Engineering Design and Automation, USA.

N. Grudinin, 1998, "Reactive Power Optimization using Successive Quadratic Programming Method", IEEE Vol. 13, No.4.

Goldberg David E., 1996, “Genetic Algorothms in Search, Optimization, and Machine Learning”, Addison-Wesley Publishing Company, Inc., California.

Robert

H. Miller, _______, Power System Operation, Mc Graw Hill Book Company, New York.

Gupta AP, 1983, Work Examples in Electrical Power, Oxford & IBH Publishing co, New Delhi.

Sulasno, 2001, “Analisis System Tenaga Listrik”, Badan Penerbit Universitas Dipenogoro Semarang, Semarang.

Gupta B.R., 1983, “Generation of Electrical energi”, Eurasia Publishing House (PVT) LTD, New Delhi.

Zbigniew Michalewicz, 1996, "Genetic Algorithms + Data Structures = Evolution Programs", Springer, USA.

Hanselman Duane & Littlefield Bruce, 2002, “Matlab”, Andi Yogyakarta, Yogyakarta. Houck, Christopher R., Joines, Jeffery A., Michael G. tt. “A Genetic Algorithm for Function Optimization : A Matlab Implementation”, North Carolina State University : Internet chouck, joine, kay @eos.ncsu.edu. Ignacio J. Ramfrez-Rosado dan Jose L. BernalAgustin, 1998, "Genetic Algorithms Applied

135


INOVASI : Vol. 6. No. 2, Juni 2009

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

Sekenario Alokasi Sumberdaya Peralatan untuk Meningkatkan Kinerja Sistem Manufaktur dengan Pendekatan Simulasi Sistem Diskrid Abdurrozzaq Hasibuan Jurusan Teknik Industri, Fakultas Teknik, UISU

Abstraksi Menghadapi masa persaingan bisnis ini, pihak perusahaan manufaktur harus mengembangkan kinerja sistem industri ke tingkat produktivitas yang lebih tinggi. Makalah ini menjelaskan tiga indikasi sistem manufaktur, kualitas dari standar output dalam periode waktu, waktu siklus produk dan kualitas dari produk dalam proses (belum selesai). Ketiga indikator ini akan dilihat sebagai hasil dari peralatan dan kebutuhan alokasi mesin produk dalam setiap stasiun kerja. Ciri-ciri simulasi sistem telah digunakan untuk mewakili sistem sebenarnya yang telah diuji, metode ini bisa memberi informasi yang lengkap tentang karakteristik dari setiap variabel sistem disaat dicoba saat percobaan untuk meningkatkan kinerja sistem tanpa kesulitan dan penyelesain sistem yang nyata tersebut sistem ini akan langsung mengurangi resiko yang tidak diprediksikan pada saat pelaksanaan pengembangan strategi dalam sistem yang nyata.

Kata-kata Kunci : Simulasi Sistem Diskrid, Manufaktur ada guna meminimasi efek negatif sebagaimana diatas, dan model hal tersebut dapat dilakukan dengan menggunakan model simulasi sistem. Usaha-usaha pengembangan usahanya ternyata membuahkan hasil dimana ada beberapa perusahaan industri lain yang ingin meningkatkan jumlah permintaannya pada perusahaan ini untuk produksi tahun 2005.

PENDAHULUAN Sebuah Perusahaan “X� yang memproduksi Kopel Kenderaan Bermotor bergerak dalam bidang permesinan dan perakitan berbagai produk yang menggunakan bahan dasar baja. Seperti halnya perusahaan lain yang bergerak dalam bidang manufactur, memiliki berbagai masalah yang berkaitan dengan sistem produksinya. Salah satu masalah yang dihadapi oleh Perusahaan “X� adalah masalah efektifitas dan efisiensi yang ada di lini pemesinan dan perakitan. Masalah tersebut tidak hanya memiliki pengaruh di lingkungan produksi saja, melainkan juga memberikan implikasi yang besar pada kinerja perusahaan secara kolektif. Ketidak seimbangan kapasits sumber daya yang dimiliki membuat proses produksi yang ada tidak optimal. Selain dari itu, peningkatan performasi sistem produksi yang ada agaknya sudah tidak bisa di tawar lagi, terutama karena semakin meluasnya permintaan pasar dan persaingan yang semakin ketat.

Oleh karenanya pihak manjemen perlu menyusun ulang alokasi sumber produksinya (khususnya mesin produksi) guna memenuhi permintaan tersebut dengan efektif dan efesien. Penelitian sejenis dengan menggunakan simulasi sistem di perusahaan ini telah dilakukan. Pada penelitian terdahulu tujuan yang ingin di capai adalah penentuan kebijakan sitem produksi yang ditempuh oleh perusahaan untuk mencapai target produksi tertentu. Sehingga pengembangan yang dilakukan di batasi oleh jumlah output yang akan dihasilkan. Hasil akhir penelitian dijumpai, bahwa ternyata sistem masih memiliki peluang yang cukup besar untuk di kembengkan (1). Sedangkan penelitian ini membahas berbagai kemungkinan pengembangan yang dilakukan oleh perusahaan terhadap sistem produksinya dengan cara menambah dan mengalokasikan mesin-mesin produksi yang lain pada situasi kerja yang tepat. Dengan melakukan berbagai skenario alokasi penambahan berbagai mesin produksi pada berbagai stasiun kerja, akan dipilih satu skenario yang memberikan kenaikan jumlah output inkremental terbesar.

Berbagai perbaikan dan usaha untuk meningkatkan performasi sistem kemungkinan tidak memberikan hasil yang optimal pada fase implementasi. Hal itu diakibatkan oleh sistem pengembangan yang ada yaitu dengan metode trial and error langsung pada sistem nyata yang ada, sehingga menyebabkan adanya implikasi yang negatif pada sistem rill yang ada. Oleh karena itu diperlukan sebuah mekanisme pengembangan sistem yang memungkinkan setiap skenario yang ada dapat diuji validitasnya sebelum di implementasikan pada setiap produksi rill yang

136


INOVASI : Vol. 6. No. 2, Juni 2009

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

dikrit, perubahan keadaan sistem hanya akan berlangsung pada sebagian titik perubahan waktu, seperti perubahan sistem yang terjadi pada suatu sistem manufaktur dan penanganan material.

Tujuan Penelitian

1. Meningkatkan kapasitas produksi dari sistem manufaktur yang di amati melalui penambahan alokasi sumberdaya peralatan. 2. Meningkatkan produktifitas proses dengan cara memperpendek waktu siklus produksi dan mengurangi jumlah barang dalam proses.

METODOLOGI PENELITIAN Objek Penelitian

Model Simulasi Sistem Objek penelitian ini merupakan studi kasus pada proses produksi produk Kopel Kenderaan Bermotor pada perusahaan � X �

Sistem merupakan kesatuan dari elemen-elemen yang terhubung melalui mekanisme tertentu dan terikat dalam hubungannya interdependensi. Sistem memiliki sesuatu yang menjadi tujuan bersama. Dan lingkungan suatu sistem memiliki batas dengan sistem lain yang berada disekitarnya. Sistem juga memiliki hubungan bersifat umpan balik yang menyebabkan sistem senantiasa dinamis (6). Model merupakan suatu refresentesi atau formulasi dalam bahasa tertentu dari suatu sistem nyata (8). Dalam melakukan studi sistem, bahwa sebenarnya simulasi merupakan turunan dari model matematika dimana sistem, berdasarkan sifat perubahannya sendiri dikatagorikan menjadi dua yaitu sistem diskrit dan sistem kontinyu. Sistem diskrit mempunyai maksud bahwa jika keadaan variabel-variabel dan sistem berubah seketika itu juga pada poin waktu tepisah. Sedangkan sistem kontinyu mempunyai arti jika keadaan variabel-variabel dalam sistem berubah secara terus menerus (kontinyu) mengikuti jalannya waktu. Simulasi merupakan alat analitis numeris terhadap model untuk melihat sejauh mana input mempengaruhi output atas performasi sistem (7).

Sumber Data Data-data yang diambil dan digunakan dalam penelitian ini adalah : 1. Kemampuan Produksi Perusahaan. 2. Data performansi manufaktur perusahaan: Cycle time/take time produk, waktu proses tiap stasiun kerja, waktu transportasi material dalam lini produksi, jumlah resource yang dimiliki, rentang waktu line stop/Downtime dan failure, jumlah output setiap satuan waktu tertentu, waktu tunggu tiap stasiun kerja, kecepatan alat pemindah material (AGV, Converyor, Crame Hoist, trolli, dll ), dan berbagai data mengenai ukuran kinerja proses produksi. 3. Data pendukung yang secara tidak langsung mempengaruhi kinerja produksinya, seperti : keberadaan perusahaan sub-kontrak dan kemampuannya yang meliputi jumlah produk yang mampu dipasok pada waktu tertentu, ketepatan waktu pengiriman, dan lain-lain.

Klasifikasi model simulasi terdiri atas tiga dimensi yang berbeda, yaitu (3) : 1. Menurut kejadian perubahan sistem yang berlangsung : Model Simulasi Statis vs Dinamis. Model statis merupakan representasi dari sebuah sistem pada waktu tertentu sedangkan model dinamis menggambarkan suatu sistem yang lambatlaun terjadi tanpa batas waktu. 2. Menurut kepastian dari probabilitas perubahan sistem ; Model Simulasi Deterministik vs Stokastik Model simulasi dikatakan deterministik jika dalam model tersebut mengandung komponen probabilitas yang pasti. Kebalikannya model simulasi stokastik adalah model yang kemungkinan perubahannya sangat acak. 3. Menurut sifat perubahannya ; Model Simulasi Kontinyu vs Diskrit Dalam simulasi sitem kontinyu, maka perubahan keadaan suatu sistem akan berlangsung terus menerus seiring dengan perubahan waktu, sebagai contoh adalah perubahan debit air dalam sebuah tangki reservoir yang dilubang bagian bawahnya. Akan tetapi untuk simulasi sistem

Pengumpulan Data Pengumpulan data dilakukan dengan beberapa cara, antara lain observasi, wawancara, dan studi pustaka. Uji Statistik Uji statistik atau yang biasa disebut dengan uji hipotesis adalah sebuah proses untuk pengambilan keputusan tentang bagaimana harga parameter suatu populasi. Hipotesis adalah asumsi atau dugaan mengenai suatu hal yang dibuat (9). Untuk menjelaskan hal itu sering dituntut untuk melakukan pengujian. Uji Statistik yang digunakan dalam penelitian meliputi Goodness of Fit (Chisquare Tes), uji rata-rata, uji variansi, uji kesamaan dua rata-rata dan uji kesamaan dua variasi. Validasi Model Simulasi Validasi model adalah merupakan langkah untuk menguji apakah model yang telah disusun dapat mereprersentasikan sistem nyata yang diamati secara benar. Model dikatakan valid jika tidak

137


INOVASI : Vol. 6. No. 2, Juni 2009

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

memiliki karakteristik dan perilaku yang berbeda secara signifikan dari sistem nyata yang diamati. Guna menentukan ukuran kuantitatif validitas model digunakan alat uji statistik. Adapun uji yang dilakukan meliputi uji keseragaman dat output, uji keseragaman dua rata-rata, uji kesamaan dua variansi, dan uji kecocokan (dua sisi). Tabel 2, ringkasan hasil proses pengujian Validitas model : Tabel 1. Ringkasan Hasil Uji Distribusi Data Sampel Data sampel Waktu proses Mesin Bubut -1 Waktu proses Mesin Bubut -2 Waktu proses Mesin Bubut Bor/Drill Waktu proses Mesin Bubut Frais/Mill Waktu proses Inspeksi-1 Waktu proses Inspeksi-2 Waktu Tranper part ke Dept. Produksi Waktu Transper Antar Proses

Distribusi Normal Normal Triangular Uniform Triangular Normal Triangular Uniform

Parameter Distribusi NORM (15.2, 1.27) NORM (14.3, 0.961) TRIA (6.74, 7.16, 7.47) UNIF (4.62, 5.58) TRIA (0.39, 0.477, 0.6) NORM (7.13, 0.93) TRIA (2.26, 3.22, 3.91) UNIF (0.76, 1.3)

Tabel 2. Ringkasan hasil Uji Validitas model No

Model Validasi

1. 2. 3. 4.

Keseragaman output/data Kesamaan rata-rata. (t-tes) Kesamaan variansi. (f-tes) Kecocokan Distribusi Frekuensi. (x-Tes)

Batas Kritis Kiri-Kanan 61.4-52.6 -2.04-2.04 0.476-2.101

Nilai Statistik Uji Mean =57 T F

X

X

Keterangan Valid Valid Valid Valid

Untuk menganalisis output hasil simulasi sistem nyata dipilih metode analisis pengelompokan nilai Batching Mean methods. rata-rata atau Pertimbangan memilih metode ini karena metode Batching Mean Methods lebih cocok dan dapat menghilangkan kecenderungan bias yang dimiliki oleh metode-metode lain seperti metode replikasi, metode Squential Batch ataupun metode Regeneresi Sistem.

Analisa Hasil Simulasi Pada analisa output hasil simulasi, harus ditentukan terlebih dahulu metode yang tepat untuk menganalisanya. Pendekatan untuk menentukan metode analisa yang tepat dari suatu model simulasi adalah dengan menilai tipe simulasi yang ada. Berkenaan dengan metode yang analisis, maka simulasi dibedakan menjadi dua jenis yaitu ”Terminating Simulation” dan ”Non-Terminating Simulation” (7).

Tabel 3. Ringkasan Ukuran Kinerja Model simulasi awal

Simulasi yang merepresentasikan sebuah mekanisme kejadian yang memiliki ”initial condotion”dapat dikatakan sebagai sebuah simulasi yang bertipe ”Terminating”. Kondisi inisial dapat dipahami sebagai sebuah kondisi dimana keadaan sistem akan di ”Set-up” seperti keadaan semula setiap akan melakukan simulasi.

Ukuran Kinerja Output/jam (unit) Produktifitas rata-rata (output/input) Waktu Siklus Produk Jadi-1 (jam) Waktu Siklus Produk Jadi-2 (jam) Jumlah antrian pada stasiun pembubutan (unit) Utilitas rata-rata Mesin Bubut Jumlah antrian pada proses Bor (unit)

Dua hal yang biasanya menjadi perhatian dalam mengamati sebuah sistem selain ciri ”Terminating” dan ”Non-Terminating” adalah fase perubahannya yaitu fase ”Transient” dan fase ”Steady-State”. Dalam menganalisa hasil simulasi perlu membedakan pengambilan data antar sistem yang masih berada dalam fase ”Transient” dan fase ”Steady-State”(4).

138

Rata-rata 5.12 51.12% 6.547 8.49 5 1 0.418


INOVASI : Vol. 6. No. 2, Juni 2009

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

Pada Tabel 4 terjadi antrian barang dalam proses yang cukup besar pada stasiun pembuatan. Maka untuk proses pengembangan iterasi pertama dilakukan penambahan satu unit mesin bubut pada stasiun tersebut. Dari skenario ini, melakukan modifikasi pada model perogram simulasi yang telah disusun. Dan setelah program tersebut dimodifikasi, maka dilakukan kembali analisa terhadap hasilnya, yang dihasilkan pada Tabel 5.

Desain pengembangan model Proses pengembangan sistem dilakukan dengan dasar indentifikasi stasiun-stasiun proses yang menjadi titik hambatan. Pada stasiun-stasiun proses yang menjadi titik hambatan akan dilakukan penambahan alokasi sumberdaya peralatan guna meningkatkan kinerjanya. Akan tetapi, penambahan pada satu stasiun kerja belum tentu akan meningkatkan kinerja secara keseluruhan, bisa jadi hanya akan meningkatkan kinerja pada stasiun proses tersebut dan memindahkan titik hambat yang ada. Oleh karenanya penambahan jumlah alokasi sumberdaya peralatan didasarkan pada pandangan kolektifitas sistem. Hal tersebut akan membuat proses penambahan alokasi sumberdaya tidak bisa dilakukan dengan sekaligus, akan tetapi harus dengan proses interaktif sampai diperoleh hasil yang diharapkan.

Dari Tabel tersebut ternyata diperoleh hasil bahwa stasiun yang menjadi titik hambat berpindah dari stasiun pembuatan kesetsiun pengeboran, dengan demikian dilakukan penambahan sumberdaya peralatan pada stasiun tersebut.

Tabel 4. Ringkasan Hasil Simulasi dan Uji ”Sign Tes” pada metode ”Batch Mean” Batch ke1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20

Waktu Akhir Sim (menit) 240 480 720 960 1200 1440 1680 1920 2160 2400 2640 2880 3120 3360 3600 3840 4080 4320 4560 4800

Prpduk Jadi 1

2

Total

15 36 59 81 105 124 142 153 187 217 210 247 265 276 287 350 338 261 405 418

12 18 25 35 42 52 63 76 83 73 93 54 67 73 114 123 127 119 147 161

27 54 84 116 147 176 205 229 270 290 303 301 332 349 401 473 465 380 552 579

Rata-rata Produk Jam

Sign

R

Data Rill Per Hari

Data Rill Per Jam

6.75 6.75 7.00 7.25 7.35 7.33 7.32 7.16 7.50 7.25 6.89 6.27 6.38 6.23 6.68 7.39 6.84 5.28 7.26 7.24

+ + + + + + + + + + -

1 0 0 0 0 1 0 0 1 1 0 0 1 1 1 0 1 0 1 1

53 55 54 54 56 54 56 60 59 56 52 59 59 56 55 57 57 58 55 57

6.63 6.88 6.75 6.75 7.00 6.75 7.00 7.50 7.38 7.00 6.50 7.38 7.38 7.00 6.88 7.13 7.13 7.25 6.88 7.13

10

Rata-rata produk per jam total 20 batch Standar deviasi Produk Per jam 20 batch Variasi Produk Per jam 20 batch n= R= Runs Test : E (R) = (2n – 1) / 3 Var (R) = (16n-29)/ 90 Stdev (R) = sqrt (Var )

6.906 5.541 0.278 20 10

13 3.233 1. 798

Mean Square 0.41 Mean Absulute Error 0.47 T(0.975,19) (3,233/sqr (20))

139

1.513

Square Error

Absolut Error

0.02 0.02 0.06 0.25 0.12 0.34 0.10 0.12 0.02 0.06 0.15 1.22 0.98 0.59 0.04 0.07 0.08 3.89 0.15 0.01

0.13 0.13 0.25 0.50 0.35 0.58 0.32 0.34 0.13 0.25 0.39 1.10 0.99 0.77 0.19 0.27 0.29 1.97 0.39 0.11

8.29

9.44


INOVASI : Vol. 6. No. 2, Juni 2009

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

Proses pengembangan seperti itu harus dilakukan terus-menerus secara iteratif sampai hasil yang dikehendaki. Tabel di bawah ini menunjukkan ringkasan hasil proses desain pengembangan model sistem yang didasari pada penambahan alokasi sumberdaya peralatan, kinerja sistem yang di wakili oleh parameter jumlah output per hari (8 jam). Sedangkan alokasi tempat penambahan sumberdaya peralatan sesuai dengan pergerakan titik hambat disajikan dalam Tabel 8.

Tabel 5. Ringkasan Ukuran Kinerja Model Pengembangan -1 Ukuran Kinerja Output/jam (unit) Produktifitas rata-rata (output/imput) Waktu Siklus Pruduk Jadi-2 (jam) Waktu Siklus Pruduk Jadi-1 (jam) Jumlah Antrian Pada Stasiun Pembubutan (unit) Jumlah Antrian pada proses Bor (unit)

Rata-rata 4,99 49.99% 5.43 5.49 6.85 42.74

Tabel 6. Ringkasan Ukuran Kinerja Model Pengembangan -1 Ukuran Kinerja Output/jam (unit) Produktifitas rata-rata (output/imput) Waktu Siklus Pruduk Jadi-2 (jam) Waktu Siklus Pruduk Jadi-1 (jam) Jumlah Antrian Pada Stasiun Pembubutan (unit) Jumlah Antrian pada proses Bor (unit)

Rata-rata 5.98 59.8% 2.41 2.21 6.63 0

Tabel 7. Ringkasan Hasil Pengembangan Sistem dalam 4 Iterasi Iterasi Ke -

Skenario Pengembangan

Output standar (unit) Per Hari (8 Per bulan Jam) (25 Hari) 5,12 919,2

Kenaikan Inkremental

0

Model Awal

1

Penambahan 1 unit mesin

4,99

798,4

-120,8

2

Penambahan 2 unit mesin

5,98

956,8

37,6

3

Penambahan 3 unit mesin

6,68

1068,8

112

4

Penambahan 4 unit mesin

7,98

1272,8

208

5

Penambahan 5 unit mesin

8,42

1347.2

71,4

6

Penambahan 6 unit mesin

10,51

1681

334,6

Tabel 8. Skenario Alokasi Penambahan Sumberdaya Peralatan Penambahan Mesin Ke 0 (model awal) 1 2 3 4 5 6

Stasiun Proses yang di Tambah Alokasinya Tidak ada Pembubutan (Lathing) Pengeboran (Drilling) Pembubutan (Lathing) Frais (Milling) Pembubutan (Lathing) Pengeboran (Drilling)

140

Stasiun Proses Titik Hambat Pembubutan (Lathing) Pengeboran (Drilling) Pembubutan (Lathing) Frais (Milling) Pembubutan (Lathing) Pengeboran (Drilling) Pembubutan (Lathing)

0


INOVASI : Vol. 6. No. 2, Juni 2009

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

Sudjana, Metode Statistika Tarsito, 1996.

KESIMPULAN 1.

2.

3.

Penambahan Mesin tidak selalu mengakibatkan bertambahnya output standart. Dengan penambahan satu unit, output standart menurun 5,12 unit per jam menjadi 4,99 unit per jam. Hal tersebut mengindentifikasikan bahwa peningkatan kinerja pada satu stasiun proses tidak selalu mengakibatkan kenaikan kinerja sistem secara kolektif Alternatif terpilih adalah alternatif 6 dengan penambahan 6 unit mesin. Alternatif pengembangan ini mengakibatkan kenaikan output sebesar 100%. Alternatif ini juga memiliki tingkat kenaikan inkremental paling besar yaitu 334,6 unit dalam satu bulan Alokasi penambahan mesin produksi sesuai dengan alternatif terbaik adalah 3 unit mesin pada stasiun pembubutan, 2 unit mesin pada stasiun pengeboran dan 1 uint mesin pada stasiun frais.

DAFTAR PUSTAKA Arya Wirabhuana Desain Peningkatan Kinerja Sitem Manufaktur dengan Pendekatan Simulasi Sistem Diskrit, Skripsi, 2000. ----------, Sistem Modelin Corp, ARENA User’s Guide 1995. Banks, J, JS. Carson, and B.L. Nelson, DiscreateEvent System Simulation, Prentice Hall, New Jersey, 1996. Hoover, Steawart V. & Ronald F Perry, Simulation, Problem Solving Approach, Addison Wesley, USA. Krottmaier. J, Optimazing Engineering Design, McGraw-Hill International Editions, Singapore, 1994, USA, 1990. Kelton, D.W., Averill m Law, Deborah A Sadowsky, Simulation With Arena, WCB McGraw-Hill, 1998. Laboratorium Perancangan dan Optimasi Sistem Industri (POSI), Prosiding Lokakarya Pemodelan Sistem, Tiori, Metodologi dan Aplikasi Dalam Industri, ITB, Bandung, 1997. Law, A.M, and David W Kelton, Simulation Modeling and Analysis, McGraw-Hill, New York, 1991. Simatupang, Togar, Pemodelan Sistem, Nindita, Klaten, 1996.

141

Bandung,


INOVASI : Vol. 6. No. 2, Juni 2009

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

RESENSI BUKU Judul Buku

Pengarang Penerbit Spesifikasi

: Public Policy (Teori Kebijakan, Analisis Kebijakan, Proses Kebijakan, Perumusan, Implementasi, Evaluasi, Revisi, Risk Management Dalam Kebijakan Publik, Kebijakan Sebagai The Fifth Estate, Metode Penelitian Kebijakan). : Dr. Riant Nugroho : PT. Elex Media Komputindo : Cover+viii+(isi 657 halaman)

Keunggulan suatu negara semakin ditentukan oleh kemampuan negara tersebut untuk mengembangkan kebijakan publik yang unggul. Premis inilah yang dipromosikan penulis dalam buku ini. Keyakinan intelektual ini didasarkan pada proses reformasi di sejumlah negara berkembang, dengan kasus khusus Indonesia, yang berakhir dengan pendalaman politik demokrasi (democratic deepening) tetapi tertinggal dalam pengembangan excellence public policy. Kebijakan publik adalah keputusan strategis yang membawa ke mana negara dan seisinya dibawa.

sehingga untuk implementasinya tidak memerlukan kebijakan penjelas atau pelaksana. Kebijakan kontinentalis berasal dari Eropa daratan, dan indonesia dipengaruhi oleh sistem administrasi Belanda, bekas penjajah Indonesia. Kebijakan Anglo-Saxonis dipengaruhi oleh pemikiran inggris yang berkembang di Amerika, dan menjadi model dari sebagai besar negara persemakmuran atau bekas jajahan Inggris. Indonesia ternyata, meskipun telah merdeka dari penjajahan Belanda 63 tahun lalu, tetap mempergunakan sistem administrasi negara Belanda, dengan tetap dominannya model pemahaman kebijakan publik ala Belanda di Indonesia.

Masalahnya, pemahaman kebijakan publik sering berhenti di tataran filosofis dan teknis. Kebijakan publik kehilangan pemahaman strategisnya. Sebagai contoh, di Indonesia kebijakan publik sering dipahami sebagai keputusan eksekutip yang merupakan point of view atau visi, atau turunan ideologi dari penguasa. Pada tingkat ekstrem, kebijakan publik “jatuh� sebagian selerah kekuasaan. Di sisi lain, kebijakan publik dipahami dalam konteks yang teramat teknis sebagai produk hukum semata sehingga kebijakan publik adalah produk negara untuk mengatur rakyatnya. Pertanyaannya: di mana unsur publiknya? Buku ini memberikan pemahaman filosofi, strategis, dan teknis dalam sebuah kesatuan.

Buku ini memberikan gambaran bahwa kebijakan publik adalah pilar kelima dalam kehidupan bernegara, setelah eksekutif, legislatif, yudikatif, dan pers. Pers sebenarnya dijadikan the fourth estate, namun sejak menjadi komoditi atau mengalami proses komodifikasi, tidak lagi mampu memerani fungsi kritis dan idealis. Pilar kelima yang diharapkan dapat menyangga adalah kebijakan publik degan sentrum analis-analis kebijakan. Dengan muatan yang merentang, dari pemahaman teori, manajemen atau strategi, dan praktik kebijakan publik, buku ini relevan bagi para pengajar atau akademisi, mahasiswa, baik pada jenjang sarjana, pascasarjana, maupun doktoral, hingga praktis kebijakan publik di tingkat nasional hingga daerah. Buku Public Policy (Teori Kebijakan, Analisis Kebijakan, Proses Kebijakan, Perumusan, Implementasi, Evaluasi, Revisi, Risk Management Dalam Kebijakan Publik, Kebijakan Sebagai The Fifth Estate, Metode Penelitian Kebijakan) yang berisi 657 halaman memuat lima bagian bahasan antara lain : memahami kebijakan publik, analisis kebijakan, proses kebijakan, penelitian kebijakan dan agenda kedepan. Ditulis oleh seorang ilmuwan yang juga praktisi kebijakan publik, buku ini menjadi sebuah rujukan penting secara akademis dan praktis. Selamat membaca.

Buku ini dimulai dari pemahaman bahwa ada dua pemahaman kebijakan publik. Pertama pemahaman kontinentalis yang melihat bahwa kebijakan publik adalah produk dari negara, atau produk hukum, sehingga pelibatan publik cenderung bersifat semu. Model ini memahami kebijakan publik sebagai fakta yang sangat berjenjang. Undang-Undang memerlukan peraturan penjelasan atau pelaksana untuk dapat dilaksanakan. Oleh karena itu, setelah kebijakan dalam bentuk UU ditetapkan, barulah UU itu dapat dilaksanakan bahkan hingga setahun-dua tahun setelahnya. Kedua, pemahaman AngloSaxonis, yang melihat kebijakan publik sebagai suatu proses politik daripada proses hukum, sebagaimana pemahaman kontinentalis sehingga kebijakan publik merupakan kontraksosial antara negara dan rakyat atau civil society. Pada model ini, satu kebijakan seperti UU telah besifat lengkap

Peresensi : Irwan Purnama Putra, SE (Staf Balitbang Provsu)

142


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.