Jurnal Inovasi Maret 2010

Page 1


Volume 7, Nomor. 1

ISSN 18291829-8079

Maret 2010

Jurnal ini telah terakreditasi sebagai jurnal ilmiah bidang ilmu politik dan kebijakan dengan nomor : 142/Akred-LIPI/P2MBI/03/2009 berdasarkan Surat Keputusan Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia nomor : 346/D/2009, tanggal 19 Maret 2009.

Jurnal INOVASI sebagai media litbang Provinsi Sumatera Utara memuat karya tulis ilmiah hasil penelitian atau tinjauan kepustakaan dilengkapi dengan resensi buku dalam bidang pemerintahan dan kemasyarakatan, sosial budaya, ekonomi dan pembangunan, sumberdaya alam dan maritim sebagai bahan kebijakan dan wawasan berpolitik. Jurnal INOVASI terbit empat kali dalam setahun setiap bulan Maret, Juni, September dan Desember.

Penasehat

Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Provinsi Sumatera Utara

Penanggung Jawab

Sekretaris Badan Penelitian dan Pengembangan Provinsi Sumatera Utara

Pemimpin Redaksi

Prof. Dr. Marlon Sihombing, MA. (Sosial Politik dan Pemerintahan)

Dewan Redaksi

Drs. H. Alisuman Gultom, M.Si. (Sosial Ekonomi) Ir. E. Harso Kardhinata, M.Sc. (Biologi dan Pertanian) Drs. Kariono, M.Si. (Administrasi Negara dan Kependudukan) M. Ishak, SE, M.Si. Ak. (Ekonomi dan Akuntansi Keuangan) Ir. Sugih Prihatin, M.Si. (Pertanian) Ir. Abdurrozzaq Hasibuan, MT (Teknik Industri) Fotarisman Zaluchu, SKM (Kesehatan)

Redaksi Pelaksana

Azizul Kholis, SE, M.Si. Drs. Darwin Lubis, MM Sumiarti, SH

Tata Usaha dan Sirkulasi

Makrum Rambe, SE, MM Dwi Endah Purwanti, SS, M.Si. Rismawaty Sibarani, S.Sos. Irwan Purnama Putra, SE

Penerbit : BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PROVINSI SUMATERA UTARA Jl. Sisingamangaraja No. 198 Medan 20126 Tel. (061) 7866225; 7883016 - Fax. (061) 7866248 Website : http://balitbang.sumutprov.go.id Email : balitbang@sumutprov.go.id


Terakreditasi Nomor. 142/Akred-LIPI/P2MBI/03/2009 Volume 7, Nomor. 1

ISSN 18291829-8079

Maret 2010

Halaman Dampak Pemekaran Daerah Terhadap Kehidupan Ekonomi dan Pelayanan Publik (Public Service) Bagi Masyarakat di Sumatera Utara (Marlon Sihombing, Anas Fauzie Nasution, Faisal Eriza)

1-11

Kajian Pengembangan Industri Pengolahan Makanan (Harry P. Limbong)

12-17

Profil Penyakit Tidak Menular dan Faktor Risikonya serta Kebijakan Penanggulangannya Di Provinsi Sumatera Utara (Fotarisman Zaluchu)

18-24

Effektivitas Kebijakan “Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas)� Melidungi Kaum Miskin dari Pengeluaran Biaya Kesehatan yang Takterduga dan Meningkatkan Akses Mereka terhadap Pelayanan Kesehatan di Era desentralisasi di Indonesia (Fitrilailah Mokui)

25-34

Perempuan Dan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (Supsiloani)

35-41

Hubungan Antar Etnik : (Studi Kasus Terhadap Orang Tionghoa Di Medan) (Sihar Pandapotan)

42-50

Strategi Pengembangan Kakao Rakyat Di Sumatera Utara (Mhd. Asaad)

51-57

Partisipasi Masyarakat Dalam Pengelolaan Hutan Mangrove: Kasus di Suaka Margasatwa Langkat Timur Laut, Langkat, Sumatera Utara (Sanudin & Alfonsus H. Harianja)

58-66

Pendidikan Anak (Maya Oktora)

67-69

Besarnya Universitas Dipengaruhi Dunia Penelitian (Bakhrul Khair Amal)

70-72

Analisis Kebijakan Konversi Minyak Tanah Ke LPG Bagi Pelaku Usaha Kecil Menengah (UKM)-(Studi Kasus di Kota Medan) (Azizul Kholis)

73-77

Resensi Buku : Manajemen Imbalan - Strategi dan Praktik Remunerasi

78


PENGANTAR REDAKSI Jurnal INOVASI Volume 7 Nomor. 1 bulan Maret 2010 ini telah dapat diselesaikan dengan baik, dimana pada edisi ini tim redaksi mengangkat hasil karya tulis ilmiah dari hasil penelitian maupun kajian yang telah dilakukan oleh berbagai penulis yang berasal dari berbagai perguruan tinggi negeri dan swasta serta lembaga/balai/pusat penelitian yang lebih difokuskan pada bidang pemerintahan dan kemasyarakatan, ekonomi dan pembangunan, sosial budaya serta sumber daya alam dan maritim, yang dapat dijadikan bahan kebijakan maupun sumber pengetahuan dan referensi bahan bacaan. Tim Redaksi mengucapkan Puji syukur kepada Allah SWT Tuhan Yang Maha Esa dan terima kasih kepada seluruh pihak atas kerjasamanya berperan dalam menyelesaikan Jurnal INOVASI Volume 7 Nomor. 1 bulan Maret 2010 ini. Semoga tulisan jurnal ini dapat bermanfaat bagi para pembaca dan juga bermanfaat untuk bahan kebijakan dalam pembangunan maupun informasi untuk perkembangan dan peningkatan ilmu pengetahuan khususnya bagi masyarakat di Provinsi Sumatera Utara. Terima kasih, selamat membaca.

- Redaksi -


INOVASI : Vol. 7. No. 1, Maret 2010

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

Dampak Pemekaran Daerah Terhadap Kehidupan Ekonomi dan Pelayanan Publik (Public Service) Bagi Masyarakat di Sumatera Utara Marlon Sihombing1), Anas Fauzie Nasution2), Faisal Eriza3) 1)

2)

Guru Besar Fisip USU Kabid. Pemerintahan dan Kemasyarakatan Balitbang Provsu 3) Dosen Fisip USU

Abstraksi Di Provinsi Sumatera Utara, hingga tahun 2009 sudah enam belas (16) Kabupaten/Kota yang telah dibentuk menjadi daerah otonom baru, yang merupakan hasil pemekaran dari Kabupaten/Kota induk yang ada. Penelitian ini dilakukan untuk menjelaskan dampak pemekaran terhadap kehidupan ekonomi masyarakat di Sumatera Utara, menggambarkan kualitas pelayanan publik di daerah pemekaran di Sumatera Utara serta mengetahui upaya-upaya yang dilakukan daerah pemekaran dalam peningkatan kehidupan ekonomi dan kualitas pelayanan publik di daerah pemekaran di Sumatera Utara. Secara Umum terjadi peningkatan pembangunan dalam bidang ekonomi pasca pemekaran di daerah otonom baru, ini dapat dilihat dari PDRB, pertumbuhan ekonomi dan ketersediaan sarana prasarana yang meningkat dari sebelum dan setelah pemekaran. Selain itu terdapat peningkatan kualitas pelayanan kepada masyarakat seperti kesehatan, pendidikan, perizinan dan fasilitas umum dalam upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Upaya-upaya yang dilakukan daerah pemekaran dalam peningkatan kehidupan ekonomi dan kualitas pelayanan publik di daerah pemekaran di Sumatera Utara, adalah : Melakukan identifikasi potensi sumberdaya, Melakukan pemerataan dan percepatan pembangunan infrastruktur. Memperbesar alokasi pembiayaan pembangunan terutama pelayanan dasar (kesehatan, pendidikan, perizinan dan fasilitas umum), Membuat kebijakan perbaikan kualitas pelayanan publik dengan pelayanan terpadu satu atap, Meningkatkan kuantitas dan kualitas SDM aparatur pelayanan dengan penyebaran dan pemerataannya di tiap kecamatan dan desa, namun demikian realitas kesejahteraan masyarakat masih jauh daripada yang diharapkan dalam berotonomi daerah.

Kata kunci : Pemekaran, kehidupan ekonomi, pelayanan publik. Akan tetapi dalam pelaksanaannya, isu-isu perselisihan ataupun konflik baik mengenai tapal batas, pemanfaatan sumber daya, kerjasama antar daerah sepertinya menjadi masalah yang krusial yang harus dijawab dengan model pendekatan yang tepat. Selain itu berbagai Peraturan Daerah yang disusun oleh Pemerintah Kabupaten/Kota hasil pemekaran terkesan semata-mata hanya untuk menggali pajak dan retribusi daerah sebagai pendapatan asli daerah (PAD), dan lebih banyak memberatkan masyarakat. Sehingga pada muaranya pemekaran ditenggarai hanya didasari oleh kepentingan politik elit-elit tertentu serta cenderung mengabaikan tujuan utamanya bagi peningkatan kesejahteraan dan mendekatkan pelayanan bagi masayarakat.

PENDAHULUAN Undang-Undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah memberikan legitimasi serta kewenangan yang luas kepada Pemerintah Kabupaten/Kota untuk mengatur dan menyelenggarakan rumah tangganya sendiri berdasarkan kebutuhan serta aspirasi masyarakat sesuai dengan nilai-nilai demokrasi. Menurut Pasal 4 Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pembentukan Daerah, memungkinkan bagi pemerintah daerah untuk melakukan baik penggabungan daerah maupun pemekaran suatu daerah menjadi dua daerah atau lebih. Hakekat Pemekaran Daerah Kabupaten atau Kota adalah bertujuan meningkatkan kualitas pelayanan publik, penyelenggaraan pemerintahan daerah yang lebih aspiratif dan lebih peka dengan kebutuhan masyarakat, serta optimalisasi potensi dan sumber daya di daerah untuk sebesar-besarnya meningkatkan kesejahteraan dan taraf hidup masyarakat serta pemerataan pembangunan.

Pada tahun 2005, Departemen Dalam Negeri telah melakukan monitoring terhadap 2 (dua) Provinsi, 40 (empat puluh) kabupaten dan 15 (lima belas) kota. Dari kegiatan tersebut dapat diidentifikasi beberapa permasalahan seputar pemekaran, di antaranya :

1


INOVASI : Vol. 7. No. 1, Maret 2010

a.

b. c.

d. e. f.

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

87,71% daerah induk belum menyelesaikan Penyerahan Pembiayaan, Personil, Peralatan dan Dokumen (P3D) kepada daerah otonom baru; 79% daerah otonom baru belum memiliki batas wilayah yang jelas; 89,48% daerah induk belum memberi dukungan dana kepada daerah otonom baru sebagaimana yang dipersyaratkan dalam Undang-Undang Pembentukan; 84,2% PNS sulit dipindahkan dari daerah induk ke daerah otonom baru; 22,8% pengisian jabatan tidak berdasarkan standar kompetensi; 91,23% daerah otonom baru belum mempunyai Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW).

kepentingan umum. Secara prinsipil terdapat dua hal yang tercantum dalam otonomi yaitu hak dan wewenang untuk mengelola daerah serta tanggung jawab untuk menyelenggarakan manajemen daerah. Sumodiningrat (1999 : 255) mengemukakan bahwa hakikat otonomi adalah meletakkan landasan pembangunan yang tumbuh berkembang dari rakyat, diselenggarakan secara sadar dan mandiri oleh rakyat. Banyak pendapat yang mengungkapkan bahwa pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia bisa menjamin segera terwujudnya good local governance. Apalagi jika dibandingkan secara dikotomis dengan praktik sentralistik di masa lalu yang meminggirkan sebagian besar komponen masyarakat, pelaksanaan otonomi daerah memiliki legitimasi/justifikasi politik dan moral yang sangat kuat.

Selain permasalahan tersebut, masih terdapat permasalahan-permasalahan lain yang dihadapi oleh daerah otonom baru, diantaranya adalah masalah penyelenggaraan urusan pemerintahan, kelembagaan, sumber daya manusia atau personil, keuangan, perwakilan, pelayanan publik, monitoring dan evaluasi, dan sebagainya.

Permasalahan yang lebih jauh timbul ternyata bukan terletak pada perlu atau tidaknya otonomi, melainkan otonomi yang bagaimanakah yang bisa kita andalkan untuk mewujudkan good governance?. Dengan adanya otonomi daerah yang landasan berfikirnya merujuk kepada good governance maka pembangunan daerah dan strategi apapun yang ingin ditempuh daerah untuk mewujudkannya, sepenuhnya menjadi tanggung jawab elit politik, elit birokrasi, dan eksponen penting dari masyarakat daerah itu sendiri (Koirudin, 2005: 181).

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka dipandang perlu untuk melakukan kajian mengenai dampak pemekaran daerah terhadap kehidupan sosial ekonomi dan pelayanan publik (public service) bagi masyarakat di Sumatera Utara. Rumusan Masalah

Dampak Pemekaran terhadap Percepatan Pelaksanaan Pembangunan Perekonomian Daerah

Adapun rumusan masalah dalam kajian ini adalah: 1. Bagaimanakah dampak pemekaran terhadap kehidupan ekonomi masyarakat di Sumatera Utara? 2. Bagaimanakah kualitas pelayanan publik di daerah pemekaran di Sumatera Utara? 3. Upaya-upaya apa saja yang dilakukan daerah pemekaran dalam peningkatan kehidupan ekonomi dan kualitas pelayanan publik di daerah pemekaran di Sumatera Utara?

Pembangunan perekonomian daerah otonom baru tidak terlepas dari kemampuan ekonominya sebagaimana yang telah dinilai dan dinyatakan saat perencanaan pembentukan/pemekaran. Kemampuan ekonomi tersebut merupakan cerminan hasil kegiatan usaha ekonomi di daerah yang bersangkutan yang umumnya diukur dari Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB) dan Penerimaan Daerah Sendiri terhadap pendayagunaan dan pengelolaan potensi daerah yang dimilikinya berdasarkan kewenangankewenangan yang telah didesentralisasikan.

DESENTRALISASI DAN OTONOMI Dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah disebutkan bahwa desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Banyak faktor yang bekerja dalam melihat percepatan pelaksanaan perekeonomian daerah, mulai dari aspek modal dasar dan pendayagunaannya (kondisi geografis dan sumber daya alam, kondisi demografis, kondisi sosial budaya, politik dan keamanan), aspek kelembagaan, SDM aparatur dan manajemen pemerintahan daerah, aspek kemampuan keuangan, aspek penataan/pengelolaan. Pendayagunaan dan pengembangan aset daerah serta aspek eksternal yang bersifat regional dan nasional.

Dengan diberikannya hak kekuasaan dan pemerintahan kepada badan otonomi, seperti provinsi, kabupaten, dan kota maka diharapkan mereka dapat mengurus rumah tangganya dengan menetapkan berbagai peraturan daerah yang tidak bertentangan Undang-undang Dasar 1945 maupun peraturan pemerintah serta mampu menjalankan

2


INOVASI : Vol. 7. No. 1, Maret 2010

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

Dalam evaluasi ini, efektivitas Percepatan Pelaksanaan Pembangunan Perekonomian Daerah akan diukur dari PDRB, Penerimaan Daerah Sendiri dan Pendanaan (Pajak dan retribusi daerah sebagai sumber dana; dana perimbangan; hibah dan dana darurat; dana pinjaman untuk penyelenggaraan pemerintahan daerah), serta pertumbuhan sarana dan prasarana (ekonomi dan sosbud) dalam kurun waktu (time series) sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun. Dampak Pemekaran terhadap Pengelolaan Potensi Daerah

Asas-asas pelayanan publik dalam Surat Keptusan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara No. 81 Thaun 1993 tentang pedoman tata laksana pelayanan umum. Pelayanan umum atau pelayanan masyarakat merupakan suatu rangkaian kegiatan terpadu yang mengandung sifat sederhana, terbuka, lancar, tepat, lengkap, wajar dan terjangkau. Pelayanan pemerintah kepada masyarakat harus memiliki sendi-sendi tata laksana pelayanan yaitu: kesederhanaan, kejelasan dan kepastian, keamanan, keterbukaan, efisien, ekonomis, keadilan yang merata, dan ketepatan waktu dengan didukung oleh sumber daya manusia yang profesional, fasilitas pelayanan yang mencukupi.

Percepatan

Potensi daerah merupakan cerminan tersedianya sumber daya yang dapat dimanfaatkan dan memberikan sumbangan terhadap penerimaan daerah dan kesejahteraan masyarakat, yang mencakup potensi fisik dan non fisik yang dapat diukur (tangible) yang meliputi : a. Keberadaan Sumber daya Alam dan penataan ruang yang didayagunakan sesuai fungsinya dengan prinsip berkelanjutan (sustainable). b. Perkembangan penduduk dan ketenagakerjaan; c. Perkembangan sarana dan prasarana pemerintahan serta aset pemerintah daerah; d. Perkembangan Lembaga Keuangan; e. Perkembangan sarana Pariwisata; f. Perkembangan Sarana Pendidikan; g. Perkembangan sarana kesehatan; h. Perkembangan sarana Transportasi dan Komunikasi; i. Perkembangan institusi sosial budaya , fasilitas dan aktivitas.

Dalam kajian ini efektivitas peningkatan pelayanan kepada masyarakat akan diukur dari asas-asas pelayanan publik dan jenis/bentuk pelayanan.

METODE PENELITIAN Penelitian bersifat deskriptif evaluatif, yakni menggambarkan dan mengevaluasi kinerja pemerintah daerah (Kabupaten/Kota) berdasarkan indikator yang telah ditentukan, juga menelusuri lebih mendalam dampak pemekaran daerah terhadap kehidupan ekonomi, kualitas pelayanan publik dan hal-hal lain sesuai dengan temuan-temuan yang berkembang di lapangan, terkait dengan penyelenggaraan pemerintahan kabupaten/ kota yang merupakan daerah otonom baru di Sumatera Utara. Adapun penelitian ini dilaksanakan di 2 (dua) kabupaten yang merupakan daerah otonom baru, yaitu : Kabupaten Serdang Bedagai dan Kabupaten Samosir.

Dalam kajian ini, efektivitas percepatan pengelolaan potensi daerah akan diukur dari: tingkat pendayagunaan Sumber Daya Alam dan penataan ruang yang didayagunakan sesuai fungsinya dengan prinsip berkelanjutan (sustainable), perkembangan penduduk dan ketenagakerjaan, perkembangan sarana dan prasarana pemerintahan serta aset pemerintah daerah, perkembangan lembaga keuangan, perkembangan sarana pariwisata, perkembangan sarana pendidikan, perkembangan sarana kesehatan, perkembangan sarana transportasi dan komunikasi, perkembangan institusi sosial budaya, fasilitas dan aktivitas yang ada. Dampak Pemekaran terhadap Pelayanan Kepada Masyarakat

Pengumpulan data dilakukan melalui beberapa cara, yakni : - Kuesioner, yakni dengan membagikan daftar pertanyaan yang harus dijawab para responden - wawancara yang dilakukan untuk mendapatkan data primer dari informan yang menjadi sampel penelitian - Penelitian kepustakaan (library research) yang dilakukan untuk mendapatkan data sekunder sebagai pelengkap. Data sekunder tersebut diperoleh dari dokumen-dokumen penting baik dalam bentuk buku-buku, jurnal, surat kabar, risalah sidang, dan lain-lain yang berkaitan dengan topik/judul penelitian.

Peningkatan

Bentuk-bentuk pelayanan pemerintah terhadap masyarakat meliputi pelayanan fisik, seperti infrastruktur dasar; listrik, jalan raya, jembatan, telekomunikasi, pelayanan barang publik (public goods) seperti listrik, telepon, air bersih, keamanan, ketertiban dan pelayanan jasa, seperti penyelenggaraan pendidikan, kesehatan, administrasi kependudukan dan perizinan, dan sebagainya.

Teknik Analisis Data Data hasil dari pengumpulan kuesioner dianalisa dengan menggunakan teknik uji skoring. Setiap pertanyaan pada kuesioner telah diberi skor (bobot nilai) bagi masing-masing pilihan jawaban dengan perincian sebagai berikut :

3


INOVASI : Vol. 7. No. 1, Maret 2010

-

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

Pilihan jawaban “Sangat Baik” diberi skor (bobot nilai) 5. Pilihan jawaban “Baik” diberi skor 4. Pilihan jawaban “Cukup” diberi skor 3. Pilihan jawaban “Kurang Baik” diberi skor 2. Pilihan jawaban “Tidak Baik” diberi skor 1.

-

-

Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) merupakan ukuran kinerja makro kegiatan ekonomi di suatu wilayah. PDRB suatu wilayah menggambarkan struktur ekonomi daerah, peranan sektor-sektor ekonomi dan pergeserannya yang didasarkan pada PDRB atas dasar harga berlaku.

Sedangkan untuk beberapa pertanyaan yang bertujuan untuk mengetahui bagaimana tingkat kesulitan dan kecepatan pelayanan masyarakat yang berlangsung di Kabupaten atau Kota, masingmasing item pertanyaan diberi skor (bobot nilai) sebagai berikut : 1. “Sangat Mudah” (SM)/ “Sangat Cepat” (SC) diberi skor 5. 2. “Mudah”(M)/ “Cepat” (C) diberi skor 4. 3. “ Cukup “ (C) diberi skor 3. 4. “Sulit” (S)/ “Lama” (L) diberi skor 2. 5. “Sangat Sulit” (SS)/ “Sangat Lama” (SL) diberi skor 1.

Disamping itu PDRB menunjukkan laju pertumbuhan ekonomi baik secara total maupun per sektor dengan membandingkan PDRB tahun berjalan terhadap tahun sebelumnya menggunakan atas dasar harga tetap. Berdasarkan tabel 1, PDRB atas harga Berlaku Kabuapaten Serdang Bedagai dan Kabupaten Samosir Mengalami Peningkatan yang cukup berarti. Sedangkan pada tabel 2, PDRB atas harga Konstan Kabuapaten Serdang Bedagai dan Kabupaten Samosir mengalami peningkatan yang cukup berarti setelah terjadi pemekaran.

Setelah penjaringan data berupa tanggapan penilaian responden terhadap daftar pertanyaan tersebut dihimpun, proses analisis data dilakukan dengan alat bantu statistik SPSS versi 15,0 guna menghasilkan Grafik Distribusi jawaban responden dan kemudian dianalisis hasilnya. Sementara data yang dikumpulkan melalui wawancara digunakan untuk memperdalam analisa terhadap permasalahan yang dikaji.

-

Keuangan Pemerintah Daerah

Kemandirian suatu daerah otonom baru sebagai hasil pemekaran tercermin dari seberapa besar kemampuan keuangan daerahnya untuk membangun daerahnya. Dalam era otonomi dan desentralisasi saat ini, penyelenggaraan tugas pemerintahan daerah dan DPRD dibiayai dari APBD yang merupakan sumber penerimaan dan pengeluaran daerah. Tabel 3. berikut ini akan menggambarkan perkembangan penerimaan APBD Kabupaten Serdang Bedagai dan Kabupaten Samosir.

PEMBAHASAN 1.

Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)

Dampak Pemekaran Terhadap Kehidupan Ekonomi Masyarakat di Sumatera Utara

Dampak pemekaran terhadap kehidupan ekonomi masyarakat dapat dilihat dari Produk Domestik Regional Bruto dan kondisi keuangan pemerintah daerah. Hasil yang diperoleh dari kajian dipaparkan pada pembahasan berikut :

Tabel 1. Perkembangan PDRB Kabupaten Serdang Bedagai dan Kabupaten Samosir Atas Harga Berlaku No.

Daerah Otonom Baru

2004

2005

1. Serdang Bedagai 8.143.768 8.602.475 2. Samosir 7.798.830 8.481.600 Sumber: BPS Kabupaten Serdang Bedagai dan Kabupaten Samosir, 2008

2006 9.385.791 9.156.950

2007 10.391.898 9.812.570

Tabel 2. Perkembangan PDRB Kabupaten Serdang Bedagai dan Kabupaten Samosir Atas Harga Konstan No.

Daerah Otonom Baru

2004

2005

1. Samosir 5.697.241 5.746.191 2. Serdang Bedagai 6.232.270 6.436.070 Sumber: BPS Kabupaten Serdang Bedagai dan Kabupaten Samosir, 2008

4

2006

2007

5.927.942 6.647.600

6.165.678 6.923.960


INOVASI : Vol. 7. No. 1, Maret 2010

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

Tabel 3. Perkembangan APBD Kabupaten Serdang Bedagai dan Kabupaten Samosir 2005-2008 (Dalam Milyar Rupiah) No. Kabupaten 2005 2006 2007 2008 1. Serdang Bedagai 271,04 388,40 476,44 502,29 2. Samosir 107,5 253,6 299,8 375,18 Sumber: BPS Kabupaten Serdang Bedagai dan Kabupaten Samosir, 2008 (diolah). Tabel 4. Perkembangan PAD Kabupaten Serdang Bedagai dan Kabupaten Samosir 2005-2008 (Dalam Milyar Rupiah) No. Kabupaten 2005 2006 1. Serdang Bedagai 12,90 17,16 2. Samosir 5,21 6,57 Sumber: BPS Kabupaten Serdang Bedagai dan Kabupaten Samosir, 2008 Berdasarkan Tabel 3 di atas menunjukkan bahwa perkembangan APBD Kabupaten Serdang Bedagai dan Kabupaten Samosir sebagai hasil pemekaran secara umum memperlihatkan trend yang terus meningkat. Bahkan pada Tahun 2006 dari seluruh Kabupaten Pemekaran di Sumatera Utara Kabupaten Serdang Bedagai merupakan APBD terbesar untuk kategori daerah pemekaran (daerah otonom baru).

2007 10.28 13,26

2008 21,60 9.31

Kemampuan Kemandirian keuangan daerah Kabupaten Serdang Bedagai dapat dilihat pada Gambar 1 di bawah ini.

Rasio PAD thd APBD Kabupaten Serdang Bedagai 4% PAD

Kinerja Keuangan Daerah pada dasarnya juga merupakan kemampuan dari pemerintah daerah dalam menggali dan memanfaatkan potensi sumber daya yang dimilikinya untuk dijadikan pendapatan asli daerah (PAD), sesuai dengan tujuan otonomi agar daerah mampu mengurus rumah tangganya sendiri dengan mengandalkan kemampuan daerahnya sendiri. Tabel 4 di bawah ini akan menggambarkan perkembangan Pendapatan Asli derah (PAD).

DAU+DAK

96%

Gambar 1. Rasio PAD terhadap APBD Kabupaten Serdang Bedagai Gambar tersebut menujukkan bahwa kemampuan Kabupaten Serdang Bedagai dalam membiayai pengeluaran Rutin dan Pembangunan dari sumber PAD hanya sekitar 3-4% saja, dan sisanya lebih banyak disubsidi dari Pemerintah Pusat melalui DAU dan DAK.

Berdasarkan Tabel 4 secara rata-rata pertumbuhan PAD kedua daerah pemekaran meningkat dengan pertumbuhan positif dan relatif cukup tinggi. Kecuali di Serdang Bedagai dari tahun 2006 ke 2007 mengalami penurunan. Peningkatan PAD ini disebabkan meningkatnya penerimaan dari pajak dan retribusi daerah. Hal ini menunjukkan keseriusan pemerintah daerah untuk menggali dan mengoptimalkan potensi penerimaan daerahnya.

Kemampuan Kemandirian keuangan daerah Kabupaten Samosir dapat dilihat pada Gambar 2 di bawah ini. Rasio PAD thd APBD Kabupaten Samosir 3%

Desentralisasi Fiskal ditujukan untuk menciptakan kemandirian daerah dengan menggali dan mengoptimalkan potensi sumber daya daerahnya khususnya sumber-sumber PAD serta mengurangi ketergantungan terhadap pemerintah pusat melalui Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK). Kemampuan keuangan daerah ini ini dapat dilihat dari rasio PAD terhadap dengan total belanja rutin dan pembangunan dalam APBD.

PAD

97%

DAU+DAK

Gambar 2. Rasio PAD terhadapAPBD Kabupaten Samosir Gambar tersebut menujukkan bahwa kemampuan Kabupaten Samosir dalam membiayai pengeluaran

5


INOVASI : Vol. 7. No. 1, Maret 2010

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

Rutin dan Pembangunan dari sumber PAD hanya sekitar 2-3% saja, dan sisanya lebih banyak disubsidi dari Pemerintah Pusat melalui DAU dan DAK.

dengan melihat persepsi masyarakat terhadap kemajuan perekonomian daerah serta pemberdayaan ekonomi masyarakat. Semakin tinggi angka persepsi masyarakat menunjukkan semakin tingginya kemajuan perekonomian di daerah tersebut. Demikian juga, semakin tinggi angka persepsi yang ditunjukkan masyarakat terhadap pemberdayaan ekonomi masyarakat menunjukkan bahwa masyarakat semakin merasakan bahwa pemekaran telah mampu meningkatkan pemberdayaan ekonomi masyarakat.

Hasil Temuan ini menunjukkan bahwa sumbangan PAD terhadap total penerimaan APBD masih realtif rendah dan masih menunjukkan ketergantungan terhadap transfer pemerintah pusat, dimana derajat otonomi fiskalnya masih di bawah 10 %. Menurut BPS ada beberapa faktor yang menyebabkan kecilnya kontribusi PAD terhadap total Belanja daerah : a. Masih adanya sumber-sumber pendapatan potensial yang dapat digali akan tetapi di luar wewenang pemerintah daerah.

Tabel-tabel berikut menunjukkan angka persepsi masyarakat terhadap kemajuan perekonomian serta pemberdayaan ekonomi masyarakat.

Tabel 5. Persepsi Responden terhadap Kemajuan Perekonomian Daerah No. 1. 2. 3. 4. 5.

Serdang Bedagai Jlh %

Indikator Taraf Hidup dan ekonomi yang lebih baik pasca Pemekaran Berkurangnya Angka Kemiskinan Kemudahan berusaha dan Mencari Lapangan Pekerjaan Sarana Infrastruktur Pereknomian (bank, koperasi dll) telah menjangkau masyarakat Kemudahan dan Kelengkapan sarana dan prasarana Transportasi

Jlh

Samosir %

Rata-Rata %

86

86

62

62

74

70

70

44

44

57

74

74

42

42

58

94

94

60

60

77

86

86

40

40

73

Sumber: Hasil Penelitian (Kuesioner), 2009. Tabel 6. Persepsi Responden terhadap Pemberdayaan Ekonomi di daerah Pemekaran No. 1. 2. 3. 4. 5.

Serdang Bedagai Jlh %

Indikator Kebijakan pemberdayaan ekonomi masyarakat pasca Pemekaran Kemudahan mengakses sumber daya (modal, bahan baku dan pemasaran) Intervensi dan bantuan pemerintah daerah dalam memberdayakan dan menigkatkan kesejahteraan masyarakat Pembinaan dan keberpihakan pemerintah terhadap usaha kecil dan menengah Pengelolaan Potensi Sumber Daya Daerah berjalan Optimal

Jlh

Samosir %

Rata-Rata %

75

75

56

56

65,5

71

71

62

62

61,5

81

81

65

65

73

78

78

59

59

68,5

82

82

60

60

71

Sumber: Hasil Penelitian (Kuesioner), 2009. b.

c.

2.

Rendahnya taraf hidup dan ekonomi masyarakat yang tercermin dalam pendapatan perkapita. Masih kurangnya kemampuan pemerintah daerah dalam menggali sumber-sumber pendapatan yang ada di daerahnya. Kehidupan Pemekaran

Sosial

Ekonomi

3.

Kualitas Pelayanan Publik di Pemekaran di Sumatera Utara

Daerah

Kualitas pelayanan publik di daerah pemekaran pada kajian ini memfokuskan pada pelayanan publik yang dianggap vital dan menyangkut kehidupan orang banyak yakni pelayanan kesehatan, pendidikan, fasilitas umum, perizinan. Tinggi rendahnya kualitas pelayanan tersebut dapat diketahui dari persepsi masyarakat sebagai customers dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Semakin tinggi persepsi masyarakat

Pasca

Salah satu indikator untuk mengetahui kehidupan sosial ekonomi masyarakat pasca pemekaran adalah

6


INOVASI : Vol. 7. No. 1, Maret 2010

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

terhadap pelayanan publik menunjukkan bahwa pemekaran daerah telah mampu meningkatkan kualitas pelayanan kepada masyarakat.

kesehatan, khususnya dokter spesialis dan bidan desa yang masih harus ditambah dan dilakukan pemerataan penyebarannya untuk dapat menjangkau masyarakat di seluruh pelosok desa.

Hasil dari kajian persepsi masyarakat dapat dijabarkan secara terperinci sebagai berikut : a.

Secara umum responden masyarakat di Kabupaten Samosir menilai kualitas pelayanan kesehatan telah baik. Hal ini dapat dirasakan dengan semakin mudahnya mereka mengakses pelayanan kesehatan di Puskesmas, Posyandu dan klinik. Selain itu program pemerintah pusat dalam Askeskin bagi keluarga miskin sangat membantu masyarakat yang kurang mampu.Jarak yang jauh dengan daerah lain seperti Siantar dan Medan agaknya membuat mereka lebih suka berobat di daerah sendiri, dan memang meskipun tidak ada sarana kesehatan yang sangat baik, namun masyarakat sudah dapat merasakan manfaat dari bertambahnya tenaga kesehatan dan fasilitas kesehatan.

Pelayanan Kesehatan

Grafik di bawah ini merupakan persepsi masyarakat yang menjadi responden dalam penelitian terhadap pelayanan kesehatan yang diberikan Pemerintah Kabupaten Serdang Bedagai dan Kabupaten Samosir Grafik 1. Persepsi Masyarakat terhadap Pelayanan Kesehatan di Kabupaten Serdang Bedagai Dan Kabupaten Samosir S erdang B edagai S amos ir

60% 51%

50%

b.

40%

40%

Grafik 2 di bawah ini merupakan gambaran yang mendeskripsikan persepsi masyarakat yang menjadi responden dalam penelitian ini terhadap pelayanan pendidikan yang diberikan Pemerintah Kabupaten Serdang Bedagai dan Kabupaten Samosir.

30%

30% 23% 20%

18% 14%

12% 10%

5%5%

2% 0% S angat B aik

B aik

C ukup

K urang B aik

Pelayanan Pendidikan

Grafik 2. Tanggapan Responden Masyarakat tentang Pelayanan Pendidikan di Kabupaten Serdang Bedagai dan Kabupaten Samosir

B uruk

Sumber: Hasil Penelitian, 2009. Berdasarkan grafik 1, dapat diketahui bahwa masyarakat Kabupaten Serdang Bedagai yang diteliti melalui kuesioner, sebagian besar (40 %) responden menyatakan pelayanan kesehatan yang diberikan dalam kategori kurang baik. Sementara di kabupaten Samosir, sebanyak 51 % responden menyatakan kualitas pelayanan kesehatan baik. Hal ini menunjukkan pelayanan kesehatan yang diberikan di Kabupaten Serdang Bedagai di 5 Rumah Sakit dan Puskesmas dan Puskesmas Pembantu yang ada di setiap kecamatan dapat dikatakan baik. Masyarakat masih membandingkan pelayanan yang mereka dapatkan di Rumah Sakit/Puskesmas di Serdang Bedagai dengan fasilitas di Kota Medan atau bahkan luar negeri. Dari responden yang ada ternyata 35 % diantaranya pernah berobat (ia atau keluarganya) di luar negeri terutama Malaysia. Saat ini Pemerintah mencoba menggalakkan Jamkesmas dan masyarakat telah dapat menggunakan kartu Askeskin/Jamkesmas tanpa harus khawatir terbebani biaya yang mahal, pemerintah Kabupaten Serdang Bedagai sendiri telah mengalokasikan sejumlah dana dan mempermudah pengurusan kartu Askeskin melalui pelayanan terpadu satu atap, sehingga pengurusan kartu Askeskin/Jamkesmas dapat dipercepat. Kendala yang dihadapi Kabupaten Serdang Bedagai adalah belum cukup dan meratanya tenaga

45% 41%

45% 40% 35%

S erdang B edagai S amos ir 31%

30%

27%

25% 20%

20% 15%

15% 10% 5%

10% 5%

3%3%

0% S angat B aik

B aik

C ukup

K urang B aik

B uruk

Sumber: Hasil Penelitian, 2009 Berdasarkan grafik 2 di atas, di Kabupaten Serdang Bedagai sebagian besar atau 45 % responden menyatakan pelayanan pendidikan yang diberikan dalam kategori cukup baik, 27 % responden menyatakan baik, 20 % responden menyatakan kurang baik, 5 % responden menyatakan sangat baik, sedangkan 3 % menyatakan tidak baik (buruk). Di Kabupaten Samosir, sebagian besar yakni 41 % responden menyatakan kualitas pelayanan pendidikan cukup baik, 31 % responden menyatakan kurang baik, 15 % menyatakan baik, 10% responden menyatakan sangat baik dan hanya 3% responden yang menyatakan buruk.

7


INOVASI : Vol. 7. No. 1, Maret 2010

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

Hal ini menunjukkan bahwa secara umum di Kabupaten Serdang Bedagai dapat dikatakan bahwa pelayanan pendidikan termasuk pendidikan dasar, menengah dan sarana dan prasaranan pendidikan di Kabupaten Serdang Bedagai berada dalam kategori baik. Pemerintah Kabupaten Serdang Bedagai saat ini banyak melakukan rehabilitasi dan pembangunan gedung, mobiler dan melengkapi sarana dan fasilitas pendidikan, terutama pendidikan dasar.

Berdasarkan Grafik 3 di atas, dapat dilihat bahwa di Kabupaten Serdang Bedagai sebagian besar yakni 47 % responden menyatakan kualitas pelayanan fasilitas umum seperti listrik, air bersih, telekomunikasi, penerangan jalan dan lain-lain pada kategori baik, 27 % menyatakan cukup baik, 13 % menyatakan sangat baik, 11 % menyatakan kurang baik dan hanya 2 % responden yang menyatakan tidak baik. Dari 100 orang responden masyarakat Samosir, 67 % responden menyatakan fasilitas umum mencukupi, 13 % menyatakan sangat baik, 11 % menyatakan kurang baik, 7 % menyatakan baik dan hanya 2 % responden yang menyatakan buruk.

Untuk mengurangi angka putus sekolah program Bantuan Operasional Sekolah dari pemerintah pusat ditunjang dengan bantuan beasiswa bagi siswa kurang mampu serta peningkatan kualitas guru dan pemerataan penyebarannya. Saat ini jumlah guru akan segera ditambah yang bersumber dari guru bantu dan honor daerah. Pemerintah juga bertekad memajukan pendidikan dengan menambah anggaran pendidikan dari tahun ke tahun.

Ini dapat dimaknai bahwa secara umum di Kabupaten Serdang Bedagai, fasilitas umum seperti listrik, air bersih, telekomunikasi, penerangan jalan dan lain-lain sudah baik. Kendala yang mungkin sampai saat ini terjadi secara umum di seluruh wilayah Sumatera Utara adalah krisis listrik yang mengakibatkan sering terjadinya pemadaman listrik bergilir yang membuat sejumlah masyarakat resah dan usaha kecil rumahan mengeluh.

Sedangkan untuk Kabupaten Samosir menunjukkan penilaian responden setelah adanya pemekaran, pelayanan pendidikan semakin baik dan lebih diperhatikan karena jumlah sekolah dan gedung sekolah yang direhabilitasi dan dibangun juga semakin banyak. Hanya saja masalah yang dihadapi adalah kurangnya guru terutama mata pelajaran eksakta, kemudian masih terdapat pegawai honorer guru yang belum diangkat menjadi PNS. Untuk itu diharapkan anggaran untuk sektor pendidikan lebih ditingkatkan lagi untuk pengadaan sarana mobiler dan perbaikan gedung. c.

Selain itu sarana air bersih belum merata meskipun menurut warga hal itu telah lebih baik setelah adanya pemekaran, sarana telekomunikasi berkembang pesat, jalan-jalan telah dalam kondisi yang cukup baik, selain itu fasilitas umum di tempat-tempat wisata seperti Pantai Cermin telah semakin baik. Secara umum pendapat Masyarakat Kabupaten Samosir menunjukkan kalau penilaian responden masyarakat tentang fasilitas umum dalam kategori cukup/sedang. Berdasarkan pengamatan dan wawancara di lapangan, memang saat ini sedang dilaksanakan berbagai pembangunan infrastruktur seperti pelebaran jalan, perbaikan jembatan, drainase/parit, penambahan jaringan listrik dan telekomunikasi. Sampai saat ini masih terdapat beberapa desa yang belum dialiri listrik PLN dan sarana telekomunikasi karena jaraknya cukup terpencil.

Pelayanan Fasilitas Umum

Grafik 3 memberikan gambaran tentang persepsi masyarakat terhadap kulitas pelayanan fasilitas umum di Kabupaten Serdang Bedagai dan Samosir. Grafik 3. Tanggapan Responden mengenai Kualitas Pelayanan Fasilitas Umum di Kabupaten Serdang Bedagai dan Kabupaten Samosir

70%

67%

S erdang B edagai S amos ir

60% 50%

47%

d.

Grafik 4 berikut ini akan menggambarkan bagaimana tanggapan masyarakat mengenai kualitas pelayanan perizinan di Kabupaten Serdang Bedagai dan Kabupaten Samosir.

40% 30%

27%

20% 13% 1 3% 10%

11% 11%

7%

2%2%

Grafik 4. Tanggapan Responden Masyarakat Mengenai Kualitas Pelayanan Perizinan di Kabupaten Serdang Bedagai dan Kabupaten Samosir

0% S angat B aik

B aik

Pelayanan Perizinan

C ukup

K urang B aik

B uruk

Sumber: Hasil Penelitian, 2009

8


INOVASI : Vol. 7. No. 1, Maret 2010

35%

33%

30%

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

sehingga roda pembangunan di daerah ini tidak lagi terkendala masalah perizinan.

S erdang B edagai S amos ir

32% 30%

25% 21%

Selain itu sistem administrasi pelayanan terpadu satu atap ini akan memudahkan dalam membuat database kependudukan, serta kebutuhan data dan informasi lain yang diperlukan sebagai input bagi pembangunan daerah yang berkelanjutan. Suatu langkah terobosan yang cukup baik dalam mengoptimalkan kinerja pelayanan publik yang lebih efisien dan efektif, sehingga dapat dikatakan sistem pelayanan datu atap di Kabupaten Serdang Bedagai dapat menjadi model pelayanan publik terpadu bagi daerah-daerah lain di Sumatera Utara. pada tabel 7 di bawah ini akan menggambarkan banyaknya penerbitan Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP) menurt kecamatan yang ada di Kabupaten Serdang Bedagai selama kurun tersebut.

20%

20% 17%

20% 15%

10%

10%

10% 7%

5% 0% S angat B aik

B aik

C ukup K urang B aik

B uruk

Sumber: Hasil Penelitian, 2009 Berdasarkan Grafik 4 menunjukkan bahwa sebagian besar atau 33 % responden menyatakan pelayanan perizinan satu atap yang diimplementasikan di Kabupaten Serdang Bedagai secara terpadu sudah sangat baik, 30 % responden menyatakan baik, 20 % responden menyatakan cukup baik, 10% responden menyatakan kurang baik dan 7 % responden yang menyatakan buruk. Sementara di Kabupaten Samosir 32 % responden menyatakan baik, 21 % menyatakan sangat baik, 20 % menyatakan kurang baik, 17 % manyatakan cukup dan hanya 10 % responden saja yang menyatakan buruk.

Berdasarkan tabel 7 terdapat peningkatan yang cukup sigifikan terhadap banyaknya SIUP yang diterbitkan oleh Pemerintah Kabupaten Serdang Bedagai kepada masyarakat dan sektor swasta yang akan membuka usaha. Hal ini tentu akan merangsang tumbuhnya iklim usaha yang kondusif bagi pihak swasta yang dalam jangka panjang akan mengundang masuknya investasi ke daerah dan berdampak kepada meningkatnya kemajuan dan perekonomian daerah.

Tabel 7. Penerbitan Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP) menurut Kecamatan 2002 – 2006 NO 01. 02. 03. 04. 05. 06. 07. 08. 09. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17.

KECAMATAN Kotarih Silinda 1) Bintang Bayu 1) Dolok Masihul Serbajadi 1) Sipispis Dolok Merawan Tebing Tinggi Tebing Syahbandar 1) Bandar Khalifah Tanjung Beringin Sei Rampah Sei Bamban 1) Teluk Mengkudu Perbaungan Pegajahan 1) Pantai Cermin Jumlah total

2002 1 * * 3 * 1 1 4 * 1 2 14 * 1 30 * 3 61

2003 1 * * 4 * 1 1 5 * 1 3 16 * 1 34 * 4 71

UP YANG DITERBITKAN 2004 2005 1 3 * * * * 21 17 * * 9 2 4 8 25 * * 6 8 10 36 75 * * 7 10 50 79 * * 16 16 149 254

2006 2 37 9 27 7 23 28 14 59 175 42 44 276 6 41 760

Sumber: Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Koperasi Kabupaten Serdang Bedagai Ket.: 1) Masih gabung dengan kecamatan induk Secara umum, pelayanan administrasi dan perizinan satu atap di Kabupaten Serdang Bedagai telah membawa perubahan yang positif dan memudahkan akses masyarakat dalam memperoleh pelayanan publik berkualitas dalam administrasi seperti KTP, KK, Askeskin, Akte Kelahiran dan juga perizinan

Di lain pihak, masyarakat Kabupaten Samosir menilai pelayanan perizinan selama ini sudah berjalan baik khususnya izin usaha wisata dimana memang saat ini pemerintah sedang menggalakkan promosi pariwisata daerah, sehingga pelaku bisnis wisata diberikan kemudahan. Yang menjadi

9


INOVASI : Vol. 7. No. 1, Maret 2010

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

persoalan barangkali hanya mekanisme prosedurnya masih belum sederhana dan modern karena belum menggunakan layanan terpadu. 4.

3.

Upaya-upaya yang dilakukan daerah pemekaran dalam peningkatan kehidupan ekonomi dan kualitas pelayanan publik di wilayahnya

Dari penelitian yang dilakukan juga dapat diidentifikasi berbagai upaya yang telah dilakukan pemerintah daerah pemekaran dalam rangka meningkatkan kehidupan ekonomi dan kualitas pelayanan public di wilayahnya. Upaya-upaya tersebut antara lain : 1. Daerah pemekaran melakukan identifikasi potensi sumberdaya yang ada untuk dapat mengelola dan memanfaatkan sumber daya tersebut secara optimal guna menambah PAD dan peningakatan kesejahteraan masyarakat serta kemajuan daerahnya. 2. Melakukan pemerataan dan percepatan pembangunan infrastruktur untuk merangsang pertumbuhan PDRB. 3. Memperbesar alokasi pembiayaan pembangunan terutama pelayanan dasar (kesehatan, pendidikan, perizinan dan fasilitas umum) yang selama ini porsinya lebih kecil untuk meningkatkan kualitas pelayanan kepada masyarakat. 4. Membuat kebijakan perbaikan kualitas pelayanan publik dengan pelayanan terpadu satu atap, menggantikan pelayanan dengan menggunakan metode konvensional. 5. Meningkatkan Kuantitas dan Kualitas SDM Aparatur Pelayanan serta diikuti dengan penyebaran dan pemerataannya di tiap kecamatan dan desa. 6. Memberikan tunjangan kesejahteraan pegawai dan menegakkan disiplin dalam rangka membangun profesionalisme aparatur (carrot and stick).

daerahnya. Hal ini disebabkan karena keterbatasan kemampuan daerah serta perlunya peningkatan kuantitas dan kualitas SDM aparatur pemerintah daerah. Secara umum terdapat peningkatan kualitas pelayanan kepada masyarakat seperti kesehatan, pendidikan, perizinan dan fasilitas umum seiring dengan semakin ditambahnya personil pegawai dan sarana dan prasarana pelayanan publik. Namun hanya Kabupaten Serdang Bedagai yang membuat terobosan baru dalam perbaikan kualitas pelayanan publik dengan pelayanan terpadu satu atap, sedangkan daerah lainnya masih menggunakan metode pelayanan konvensional.

REKOMENDASI Berdasarkan hasil penelitian mengenai �Dampak Pemekaran Daerah terhadap Kehidupan Ekonomi dan Pelayanan Publik di Sumatera Utara�, maka rekomendasi yang diperoleh adalah sebagai berikut: 1. Daerah pemekaran hendaknya mengelola dan memanfaatkan sumber daya yang dimilikinya secara optimal untuk menambah PAD dan peningkatan kesejahteraan masyarakat serta kemajuan daerahnya. Untuk itu diperlukan peningkatan kuantitas dan kualitas SDM aparatur pemerintah daerah. 2. Setiap daerah pemekaran hendaknya lebih memperbesar porsi anggaran bagi pembangunan, khususnya untuk pelayanan dasar seperti kesehatan, pendidikan dan perizinan dan fasilitas umum, sehingga kualitas pembangunan manusia di daerah akan meningkat yang akan turut memacu pembangunan daerah di masa mendatang dengan SDM yang sehat, cerdas dan terampil. 3. Untuk mencapai kualitas kinerja dan pelayanan yang optimal, hendaknya Pemerintah merekrut SDM baru terutama tenaga fungsional sesuai dengan kebutuhan dan pemerataannya ke daerah daerah agar dapat memberikan pelayanan publik yang prima. Diklat pengembangan pegawai diarahkan kepada perbaikan kinerja dan budaya organisasi agar reformasi birokrasi dapat berjalan sesuai dengan harapan masyarakat, pemberian tunjangan kesejahteraan hendaknya ditingkatkan sesuai dengan kemampuan daerah disertai dengan pertanggungjawaban kinerja. 4. Setiap pemerintah daerah hendaknya membuat terobosan baru dalam perbaikan kualitas pelayanan publik dengan pelayanan terpadu satu atap, seperti yang sudah dilakukan di Serdang Bedagai dan daerah-daerah lain di Indonesia agar pelayanan publik dapat lebih optimal dan mewujudkan iklim usaha yang kondusif untuk mewujudkan kemandirian dan

KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian mengenai �Dampak Pemekaran Daerah terhadap Kehidupan Ekonomi dan Pelayanan Publik di Sumatera Utara�, maka kesimpulan yang diperoleh adalah sebagai berikut: 1. Secara Umum terjadi peningkatan kesejahteraan dan kemajuan dalam bidang ekonomi pasca pemekaran di daerah otonom baru, ini dapat dilihat dari PDRB, pertumbuhan ekonomi dan ketersediaan sarana prasarana yang meningkat dari sebelum dan setelah pemekaran. 2. Daerah pemekaran belum sepenuhnya mengelola dan memanfaatkan sumber daya yang dimilikinya secara optimal untuk menambah PAD dan peningakatan kesejahteraan masyarakat serta kemajuan

10


INOVASI : Vol. 7. No. 1, Maret 2010

5.

6.

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

kemajuan daerah serta peningkatan kesejahteraan masyarakat. Perlu dilakukannya sosialisasi dan transparansi program pemerintah untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pembangunan daerah sesuai dengan peran dan fungsinya masing-masing untuk mewujudkan pembangunan yang partisipatif. Perlunya pemerintah pusat dan pemerintah Provinsi Sumatera Utara untuk mengevaluasi Perda yang dinilai akan menghambat kemudahan dan iklim investasi serta bertentangan dengan peraturan-peraturan yang ada di wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Pratikno (1996), Working the System dan Testing the Boundaries: Political Participation in Gresik Under Indonesia’s New Order, disertasi S-3, Flinders University of South Australia. Pratikno, 1999, ”Hubungan Pusat dan Daerah: Gelombang Ketiga”, Jurnal Ilmu-Ilmu Sosial UNISIA No. 39/XXII/III/1999. Pratikno, 2007, “Usulan Perubahan Kebijakan Penataan Daerah: Pemekaran dan Penggabungan Daerah”, Kajian Akademik untuk Penataan Daerah di Indonesia, DRSPUsaid, Jakarta. Reeve, D. (1990), ‘The Corporatist State: the Case of Golkar’, in Budiman, Arief (1990, ed.), State and Civil Society in Indonesia, Monash Papers on Southeast Asia - No.22, Monash University, Melbourne.

DAFTAR PUSTAKA Amal, Ichlasul (1992), Regional and Central Government in Indonesian Politics: West Sumatra and South Sulawesi 1949-1979, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Rohdewohld, Rainer (1995), Public Administration in Indonesia, Montech Pty Ltd, Melbourne.

Antlov, Hans (1994), “Village Leaders and the New Order”, in Antlov, Hans and Sven Cederroth (1994), Leadership on Java: Gentle Hints, Authoritarian Rule, Curzon Press, Surrey.

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, tentang Pemerintahan Daerah, CV. Eka Jaya, Jakarta, 2000.

Bahar, Saafroedin & A.B.Tangdililing (1996), Integrasi Nasional: Teori, Masalah dan Strategi, Ghalia Indonesia, Jakarta.

__________, Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999, 2003, tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah, CV. Eka Jaya, Jakarta, 2003.

Dirjend Perimbangan, Departemen Keuangan Republik Indoneisa, 2007. Kebijakan Transfer Daerah Tahun 2008, Materi Kuliah Umum Program Magister Ekonomi Pembangunan, Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Gadjah Mada, tidak dipublikasikan.

__________, Peraturan Pemerintah Nomor 104 Tahun 2000, tentang Dana Perimbangan antara Pusat dan daerah, CV. Eka Jaya, Jakarta, 2001. __________, Peraturan Pemerintah. Nomor 105 Tahun 2000, tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah, CV. Eka Jaya, Jakarta, 2001.

Devas, Nick (1989), Financing Local Government in Indonesia, Ohio University Press, Ohio. King, Dwight Y. (1982), "Indonesia's New Order as a Bureaucratic Polity, a Neopatrimonial Regime or Bureaucratic Authoritarian Regime: What Difference does it Make?", in Anderson, B. and Kahin, A. (1982, eds.), Interpreting Indonesian Politics: Thirteen Contributions to the Debate, Cornell Modern Indonesia Project, Ithaca.

__________, Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara, CV. Eka Jaya, Jakarta, 2003, CV. Eka Jaya, Jakarta, 2004. __________,Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2003 tentang Pembentukan Kabupaten Samosir dan Kabupaten Serdang Bedagai di Propinsi Sumatera Utara, CV. Eka Jaya, Jakarta, 2004.

Lay, Cornelis, 2006, Perjuangan Menuju Puncak, Yogyakarta: S2 Politik Lokal dan Otonomi Daerah UGM dengan Pemkab Puncak Jaya.

_________, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, CV. Eka Jaya, Jakarta, 2005.

Mubarak M. Zaki, dkk. (eds). 2006. Blue Print Otonomi Daerah Indonesia. Jakarta: Yayasan Harkat Bangsa bekerja sama dengan Partnership for Governance Reform in Indonesia (PGRI) dan European Union (EU).

__________, Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004, tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, CV. Eka Jaya, Jakarta, 2005.

11


INOVASI : Vol. 7. No. 1, Maret 2010

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

Kajian Pengembangan Industri Pengolahan Makanan Harry P. Limbong1) 1)

Peneliti pada Baristand Industri Medan

Abstraksi Kajian ini dibuat karena adanya kebijakan pemerintah pusat maupun daerah yang meminta atau mengundang investor asing untuk berinvestasi di bidang pangan di negara kita. Selain itu juga Indonesia yang memiliki sumber daya alam yang melimpah tentu memiliki sumber atau bahan baku untuk industri pengolahan makanan tinggal kemampuan kita utuk memanajerial semua itu ditambah dengan kemampuan teknologi yang kita kuasai dan kebijakan pembangunan industri dengan berbasis kluster merupakan salah satu kunci yang dapat membantu pemerintah pusat dan daerah dalam merumuskan kebijakan industri. maka industri pengolahan makanan kita tentu dapat bersaing dengan negara lain. Adapun tujuan dari tulisan ini untuk untuk menganalisis kelemahan kebijakan-kebijakan yang ada selama ini menuju kepada pengembangan industri makanan kedepannya dapat diterapkan secara maksimal. Kemudian diharapkan kiranya industri-industri yang bergerak dalam pengolahan makanan dapat bertumbuh dan dapat bersaing dengan industri sejenis dari negara-negara lain.

Kata kunci : Pangan, IRTP, manajerial, teknologi pengolahan makanan, kebijakan industri. itu memerlukan fungsi manajemen sebagai bagian dari penjabaran rencana usaha untuk kepentingan sendiri maupun pihak lain erat kaitannya dengan kegiatan menghasilkan barang atau jasa yang bersifat prospektif dan layak untuk dikembangkan.

PENDAHULUAN Kebijakan pemerintah, dalam hal ini Kementerian Koordinator Perekonomian yang mengundang investor dari negara lain seperti Australia untuk berinvestasi di bidang energy dan pangan di bagian timur Indonesia merupakan kebijakan yang tidak mengutamakan kepentingan nasional, karena pada saat investor asing menguasai asset-aset produktif bangsa seperti lahan, energy dan sector pertanian maka mereka akan terus menguasainya hingga puluhan tahun lamanya, sehingga hal ini tentu akan merugikan kita sebagai negara berdaulat. Jadi seharusnya jika ingin mengembangkan ekonomi nasional dari industri pangan seharusnya menggunakan potensi ekonomi yang dimiliki bangsa bukan mengundang investor asing. Secara garis besar berbicara mengenai pengembangan industri makanan maka topik atau pembahasan tidak terlepas dari : Sumber makanan itu sendiri; Penguasaan teknologi; Manajemen dan konsumen.

Konsumsi pangan masyarakat dapat diketahui dari pola konsumsi pangan di daerah yang bersangkutan, yaitu mencakup ragam jenis pangan dan jumlah pangan yang dikonsumsi serta frekuensi dan waktu makan; yang secara kuantitatif kesemuanya menentukan jumlah pangan yang dikonsumsi. Apabila keragaman konsumsi pangan berada di bawah anjuran, maka tingkat konsumsi masyarakat perlu ditingkatkan melalui peningkatan pendapatan dan pengetahuan pangan dan gizi serta peningkatan ketersediaan pangan sesuai dengan kondisi dan potensi sumberdaya yang dimiliki oleh daerah yang bersangkutan. Tujuan dari tulisan ini adalah untuk menganalisis kebijakan-kebijakan yang ada selama ini menuju kepada pengembangan industri makanan kedepannya dapat diterapkan secara maksimal. Kemudian diharapkan kiranya industri – industri yang bergerak dalam pengolahan makanan dapat bertumbuh dan dapat bersaing dengan industri sejenis dari negara-negara lain.

Indonesia memiliki beragam sumber makanan baik yang hayati maupun non hayati, sekarang bagaimana menjadikan sumber-sumber makanan itu bisa dijadikan sebagai komoditi yang unggul bagi suatu negara sehingga dapat dihasilkan produkproduk makanan unggulan yang menjadi cirri khas dan memiliki daya saing tinggi. Disamping itu diperlukan penguasaan teknologi dalam proses pengolahan baik dari hulu sampai hilir dan penguasaan teknologi tersebut sampai kepada masyarakat bawah atau pedesaan. Kemudian semua

METODE PENELITIAN Metode penelitan menggunakan metode deskriptif kualitatif dengan melakukan pendekatan

12


INOVASI : Vol. 7. No. 1, Maret 2010

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

tubuh dan menimbulkan penyakit atau keracunan. Ada beberapa jenis bahaya dalam pangan, yang dapat dikelompokkan ke dalalam tiga jenis, yaitu: bahaya biologis, bahaya kimia dan bahaya fisik. Bahaya biologis adalah bahaya berupa cemaran mikroba penyebab penyakit (patogen), virus, dan parasit yang dapat menyebabkan keracunan atau penyakit jika termakan oleh manusia. Cemaran mikroba ini dapat berasal dari udara, tanah, air dan tempat-tempat lainnya yang kotor. Sementara bahaya kimia adalah bahaya berupa cemaran bahanbahan kimia seperti residu pestisida, logam berbahaya, dll. Bahaya fisik adalah bahaya karena adanya cemaran fisik seperti pecahan gelas, logam, kerikil, dll. Semua ini dapat terjadi karena penanganan yang salah seperti : - Sayuran dan buah-buah dapat tercemar pestisida di kebun karena penggunaan pestisida dengan takaran yang berlebihan atau karena penyemprotan pestisida masih dilakukan walaupun sayuran atau buah-buahan hendak dipanen. - Sayuran dapat tercemar logam berbahaya karena selalu disiram dengan air sungai yang tercemar oleh logam berbahaya dari buangan industri kimia - Beberapa jenis ikan laut mengandung racun alami yang dapat membahayakan manusia jika termakan. - Tempe bongkrek dapat tercemari racun bongkrek sebagai akibat dari proses pembuatan yang salah.

rasionalistik. Pengumpulan data didapat dengan melakukan eksplorasi informasi dari berbagai sumber. Data sekunder didapat dari sumber seperti : buku teks, dari berbagai penelitian yang dilakukan, artikel media massa, makalah-makalah, penelusuran literature secara on-line, data dari instansi terkait.

TINJAUAN PUSTAKA Menurut Peraturan Pemerintah (PP) RI No. 28 Tahun 2004, yang dimaksud dengan pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun yang tidak diolah, yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan dan bahan lain yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan/atau pembuatan makanan atau minuman. Kemudian disitu juga dijelaskan bahwa pangan segar adalah pangan yang belum mengalami pengolahan yang dapat dikonsumsi langsung dan/atau yang dapat menjadi bahan baku pengolahan pangan. Industri pengolahan pangan yang ada sekarang ini dapat dikelompokkan sebagai berikut : - Pengolahan buah dan sayur-sayuran - Makanan hasil gilingan padi - Produk susu olahan - Produk olahan unggas termasuk telur - Makanan olahan daging - Makanan olahan dari ikan - Roti, biscuits, manisan dan coklat - Produk olahan untuk sarapan - Bir termasuk non alkohol - Minuman beralkohol hasil fermentasi - Minuman softdrink - Makanan kemasan

Komponen Pengembangan Komponen-komponen yang perlu dibenahi dalam pengembangan adalah sbb : a. Dukungan kebijakan infrastruktur Beberapa isu dan rekomendasi di bidang ekonomi pada National Summit 2009 di bidang pangan beberapa rekomendasi yang diusulkan sebagai berikut : - Investasi infrastruktur jalan, air, listrik, pelabuhan, angkutan, logistik, dan pasca panen; termasuk dengan melakukan relokasi anggaran maupun mencari sumber pembiayaan lain yang berjangka panjang; - Pembentukan lembaga pembiayaan yang didedikasikan untuk melayani usaha pangan dan pertanian; - Harmonisasi peraturan terkait PPN, percepatan restitusi, serta peraturan tentang pajak dan bea alsintan; - Kebijakan untuk mempromosikan pemanfaatan teknologi rekayasa genetika; - Dilakukan penyajian data dan informasi serta hasil audit mengenai kondisi pangan, termasuk lahan, produksi, produktivitas, dan beberapa variabel lain;

Semua industri-industri diatas adalah suatu asset karena memperkerjakan banyak tenaga kerja, produksi dapat diekspor dan sebagian diproduksi oleh industri kecil dan menengah. Pangan yang aman dan bermutu selama ini dihasilkan dari dapur rumah tangga maupun dari industri pangan. Industri pangan di Indonesia akhirakhir ini berkembang pesat dan terdapat dalam skala usaha yang beragam. Saat ini sebagian besar industri pangan adalah industri pangan berskala rumah tangga. Industri Rumah Tangga Pangan (IRTP) sangat membutuhkan binaan agar produk pangan yang dihasilkan baik dan aman bagi konsumennya karena telah memenuhi persyaratan mutu dan keamanan. Jika dipilih secara hati-hati atau tidak diolah dengan cara-cara yang benar, pangan dapat membahayakan kesehatan konsumen yang menyantapnya, karena tercemar oleh bahanbahan berbahaya. Bahan-bahan berbahaya itu masuk bersama-sama dengan pangan ke dalam

13


INOVASI : Vol. 7. No. 1, Maret 2010

-

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

Peraturan untuk mempromosikan investasi dan peran swasta dalam usaha pangan; Promosi diversifikasi pangan dan ketahanan gizi masyarakat dan Pembentukan ‘Indonesia sea and coast guard.

pertanian terhadap pembangunan ekonomi sangat penting, sehingga sangat diperlukan pembangunan agribisnis. Kemampuan mengembangkan agroindustri sebagai perolehan devisa mempunyai implikasi yang sangat luas dalam perekonomian, sehingga mampu memberikan multiplier effect yang besar bagi perekonomian nasional. Industri makanan dan minuman memang merupakan sector yang agaknya paling banyak diminati oleh konglomerat. Data dari Pusat Data Bisnis Indonesia (1990) menunjukkanbahwa dari 347 perusahaan yang aktif dalam bisnis makanan dan minuman, terdapat 153 perusahaan yang berada dalam kendali beberapa grup bisnis, seperti terlihat dibawah ini :

b. Mendapatkan Teknologi Teknis. Analisis teknis-teknologis dapat dilakukan dari teknologi budidaya tanaman (sumber bibit, proses penanaman dan perawatan, serta proses pemanenan), teknologi pengolahan (ragam produk olahan), bangunan (tata letak pabrik, bangunan dan sarana perlengkap-an), mesin dan peralatan, alternatif produk lainnya (produk di luar hasil utama) dan perencanaan usaha (rencana produksi dan rencana pembangunan industri).

Tabel 1. Tabel Kepemilikan Dalam Makanan dan Minuman

c. Input Keuangan. Fungsi keuangan dalam konteks fungsional manajemen memiliki peran menjaga keseimbangan antara sumber dan penggunaan dana

Pelalu Bisnis BUMN Konglomerat (Grup Bisnis) : Grup Salim PT. Mantrust Dharmala Sosro Astra RGM Lainnya

d. Ketrampilan Manajerial. Perencanaan dalam industri pangan dapat diimplementasikan berdasarkan tahapan seperti pengembangan master plan, pengelolaan lingkungan, kondisi bagian produksi, pengembangan produk, pengembangan tekonologi proses, program pembinaan dan pelatihan, program pengembangan dan peningkatan fasilitas, serta program pengelolaan industri pangan.

Industri

Jumlah Perusahaan 47

Independen Jumlah (Sumber: Pusat Data Bisnis Indonesia,1995)

e. Kemampuan Pemasaran. Pengertian pemasaran dalam konteks fungsional manajemen dari fungsi pemasaran dapat dilihat dalam persepsi sempit maupun luas, yaitu sesuai dengan konsep produksi, konsep produk, konsep penjualan, konsep pemasaran dan konsep pemasaran sosial. Sedangkan pemilihan pasar target dengan pendekatan segmentasi melalui tahapan seperti survai, analisis dan penentuan profil. Fase strategi pemasaran didasarkan pada strategi diferensiasi dan strategi positioning, serta bauran pemasaran.

153 21 12 9 7 6 6 92 147 347

Globalisasi merupakan kenyataan yang tidak bisa dihindari, dan sangat rentan terhadap kestabilan ekonomi dan mudah terjadinya krisis ekonomi seperti yang sedang dialami Indonesia. Dalam globalisasi terjadi perubahan paradigma dari keunggulan komparatif menjadi keunggulan kompetitif. Visi pembangunan pertanian adalah mewujudkan sistem pertanian yang pengelolaannya didasarkan pada pendekatan industri. Untuk mewujudkan visi tersebut diperlukan sistem pertanian terintegrasi dengan agribisnis dan agroindustri, yang berpijak pada efisiensi, produktivitas, kualitas serta nilai tambah, tanggap terhadap perkembangan Iptek serta penerapan manajemen modern, mewujudkan pelaku pertanian yang profesional dan beretos kerja industri (pertanian berbudaya industri), serta mewujudkan pertanian sebagai wahana untuk menciptakan keadaan dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia.

Berbagai industri pangan terdapat di Indonesia, baik yang khas tradisional, seperti tempe, dodol, sagu, lempeng dan rempeyek ataupun jenis yang berasal dari Eropa, seperti roti, biskuit, makanan kaleng, dan sosis. Berdasarkan jenis bahan dasar atau bahan mentah yang digunakan, industri pangan dapat dikelompokkan sebagai kelompok industri pangan nabati, bahan hewani, bahan campuran nabati dan hewani, serta industri pangan kimiawi. Industri pangan dapat dikelompokkan ke dalam industri besar, sedang, dan kecil. Produksi pangan mendominasi sektor pertanian. Sumbangan sektor

Adapun faktor-faktor penting yang perlu dipertimbangkan dalam membuka proyek-proyek pengolahan makanan baru adalah : - Kualitas bahan baku dan kuantitas

14


INOVASI : Vol. 7. No. 1, Maret 2010

-

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

Kompatibilitas teknologi dengan kondisi lokal Profil produk dan konsumen yang dapat diterima Biaya produksi dan harga Gizi kesehatan dan aspek keselamatan Kebijakan makanan local Kualitas bahan pengemas, jumlah dan ketersediaan

Gizi, Kesehatan dan Keselamatan Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan diantaranya adalah : - Aspek penyimpanan - Kerentanan terhadap busuk - Jenis barang apkiran - Residu kimia - Efek pemrosesan terhadap gizi

Pada tabel di bawah ini dipaparkan kelebihan dan kekurangan beberapa teknologi proses pengolahan makanan dan yang sejenisnya, sebagai berikut :

Kemasan Makanan Hubungan antara industri makanan dengan teknologi pengemasan dan pengepakan selalu erat. Pada dunia maju sekarang ini, kemasan sangat diperlukan untuk pengawetan dan industri bagi tujuan eceran maupun institusi seperti restoran, rumah sakit, asrama - asrama, dan sebagainya.

Tabel 2. Tabel Proses Pengolahan Dengan Keuntungan dan Kelebihan Teknologi Pengolahan Teknologi roti

Proses pembuatan susu

Keuntungan/Kelebihan Varietas gandum lokal tidak cocok untuk mesinmesin impor proses secara kontinu,

Tahun 1978 di Amerika Serikat kemasan plastik mencapai 75% dari seluruh biaya pengemasan (6,6 milyar dolar) dan ditempati oleh plastic jenis low density ethylene. Sementara kebutuhan plastik industri makanan di Indonesia juga mendominasi yaitu sekitar 80%. Kebutuhan Indonesia akan bahan kemas plastic per-tahun (1997) terdiri atas kemasan lemas 94000 ton, peti kemas 122000 ton, sak & karung plastik 140000 ton.

memerlukan konsumsi listrik yang kontinu (tdk feasible bila daya tidak konstan) perlu ada kebun buahbuahan,

Untuk kemasan jus buah

Hal- hal yang perlu diperhatikan dalam pemilihan bahan kemasan adalah sebagai berikut : - Profil bahan kemasan yang diperlukan untuk teknologi tertentu. - Informasi tentang ketersediaan bahan /material lokal ketika digunakan untuk kemasan. - Informasi tentang peraturan kemasan. - Biaya kemasan (tingginya biaya bahan pengemas Âą 25-50% biaya pembuatan produk kemasan membuat harga produk mahal). - Status industri kemasan.

bahan kemasan kurang memuaskan, tingkat higienis yang tinggi

Pasta tomat

benih hibrida, hasil/ha rendah, keasaman tinggi, hasil (juice) rendah, konten pulp tinggi,

Sebagai ilustrasi : - Material plastic : banyak produk dari bahan kimia, dapat atau digunakan daur ulang. - Kaleng : mudah berkarat, harga persatuan relative lebih mahal. - Gelas mempunyai kelemahan yaitu makanan yang dikemas dalam gelas dapat dirusak oleh sinar, sinar yang masuk kedalam gelas mengakibatkan reaksi fotokimia sehingga terjadi kerusakan cita rasa yang disebut light-strick oil flavor, mengakibatkan juga turunnya beberapa kandungan zat gizi akibat reaksi fotokimia.

hasil pasta rendah, biaya bahan baku & produksi tinggi Keberhasilan industri makanan supaya dapat berkembang maju maka dituntut bagaimana industri atau pelaku usaha tersebut merefleksikan atau menyatakan profil produknya kepada masyarakat (konsumen) sehingga konsumen dapat menerima produk tersebut. Maka pelaku atau industri harus dapat memberikan bayangan dari suatu profil produk yang akan dibuat,kemudian industri harus mempelajari kebiasaan konsumsi pangan penduduk setempat, barulah konsumen akan menilai apakah produk dapat diterima. Sebagai contoh, sedikit masyarakat meng-konsumsi corn flakes pada wakut sarapan pagi, demikian juga dengan jus buah, sedikit masyarakat mengkonsumsinya selama sarapan.

PEMBAHASAN 1. Aspek Teknologi Secara garis besar ada 5 (lima) macam proses teknologi pengolahan makanan yang dikenal, yaitu :

15


INOVASI : Vol. 7. No. 1, Maret 2010

-

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

Teknologi pengeringan dan penyimpanan bijibijian. Teknologi proses perlakuan awal dan penyimpanan buah-buahan segar. Teknologi pengolahan primer (penggilingan dan grinding). Teknologi pengolahan sekunder (menambah nilai pada makanan). Teknologi pengemasan/pengepakan (pengawet dan untuk mempresentasikan produk).

3. Aspek Perencanaan Perencanaan dalam industri pangan dapat diimplementasikan berdasarkan tahapan seperti pengembangan master plan, pengelolaan lingkungan, kondisi bagian produksi, pengembangan produk, pengembangan teknologi proses, program pembinaan dan pelatihan, program pengembangan dan peningkatan fasilitas, serta program pengelolaan industri pangan.

Contoh : Proses untuk membuat juice buah memiliki alur desain seperti tertera dibawah ini :

KESIMPULAN DAN SARAN Dari analisa kajian diatas dapat ditarik beberapa kesimpulan dan saran yaitu : - Penting melakukan reformasi kebijakan industri nasional. - Kebijakan industri tradisional sering dihubungkan dengan penentuan target sektorsektor dan industri tanpa menghiraukan dimana sector-sektor tersebut berlokasi dalam sebuah negara. - Globalisasi merupakan kenyataan yang tidak bisa dihindari, dan sangat rentan terhadap kestabilan ekonomi dan mudah terjadinya krisis ekonomi seperti yang sedang dialami Indonesia. Dalam globalisasi terjadi perubahan paradigma dari keunggulan komparatif menjadi keunggulan kompetitif. - Visi pembangunan pertanian adalah mewujudkan sistem pertanian yang pengelolaannya didasarkan pada pendekatan industri. Untuk mewujudkan visi tersebut diperlukan sistem pertanian terintegrasi dengan agribisnis dan agroindustri, yang berpijak pada efisiensi, produktivitas, kualitas serta nilai tambah, tanggap terhadap perkembangan Iptek serta penerapan manajemen modern, mewujudkan pelaku pertanian yang profesional dan beretos kerja industri (pertanian berbudaya industri), serta mewujudkan pertanian sebagai wahana untuk menciptakan keadaan dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia.

Proses : pembersihan pencucian pengulitan jusekstraksi penyaringan pemanasan penambahan gula pendinginan penambahan bahan-bahan lain pendinginan pada suhu kamar pembotolan packing. 2. Aspek Pengendalian Proses dalam pengolahan makanan perlu dikendalikan karena mengolah bahan pangan mentah menjadi suatu produk pangan diperlukan cara pengolahan yang harus dilalui tahap demi tahap secara berurutan. Setiap tahap pengolahan ini dilakukan dengan tujuan tertentu yang berkaitan dengan mutu dan keamanan produk pangan yang dihasilkan. Pengendalian proses dalam pengolahan makanan dilakukan dengan beberapa cara yaitu : - Tentukan jenis, jumlah dan persyaratan dari bahan mentah, bahan penolong, sumber air bersih, dan bahan tambahan pangan (BTP) yang digunakan untuk suatu proses pengolahan pangan tertentu. - Periksa bahan mentah, bahan penolong dengan teliti sesuai dengan persyaratan yang telah ditentukan di atas sebelum pengolahan dimulai. Singkirkan. - Bahan-bahan yang tidak memenuhi syarat. - Tentukan komposisi bahan yang digunakan untuk komposisi formulasi suatu jenis produk pangan tertentu. - Catat komposisi ini dan gunakan komposisi yang telah ditentukan secara baku ini setiap saat. - Tentukan jenis, ukuran dan persyaratan kemasan yang digunakan catat dan gunakan - Informasi ini untuk pemantauan. - Tentukan proses pengolahan pangan yang baku, kemudian buat bagan alirnya secara jelas. - Tentukan kondisi baku dari setiap tahap pengolahan misalnya berapa menit lama pengadukan, berapa suhu pemanasan dan berapa lama bahan dipanaskan, berapa kecepatan putaran pengadukan dan sebagainya. - Tentukan karakteristik produk pangan yang dihasilkan.

DAFTAR PUSTAKA Badan Pengawas Obat dan Makanan, Panduan Pengolahan Pangan Yang Baik Bagi Industri Rumah Tangga, 2002. Cage, J.K., and W.L. Clark, 1980. Opportunities and constraints for flexible packaging of foods. Food Technol. Undang-Undang HAKI, Sinar Grafika, 2008. Food

16

And Agriculture Organization, 1986. Guidelines for can manaufactures and food canners, Technical paper No. 36, Rome, Italy.


INOVASI : Vol. 7. No. 1, Maret 2010

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

Katsuyama, M.A., 1980. Principles of food processing sanitation. The Food Processors Institute. Mushma’s Weblog, Manajerial dalam Industri pangan, August 3, 2008. Winarno, F.G. dan B.S.L. Jenie. 1983. Kerusakan bahan pangan dan cara pencegahannya. Penerbit Ghalia Indonesia, Jakarta. Winarno, F.G. 1994. Sterilisasi Komersial Produk Pangan. Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

17


INOVASI : Vol. 7. No. 1, Maret 2010

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

Profil Penyakit Tidak Menular dan Faktor Risikonya serta Kebijakan Penanggulangannya Di Provinsi Sumatera Utara Fotarisman Zaluchu1) 1)

Peneliti pada Balitbang Provinsi Sumatera Utara

Abstraksi Penyakit tidak menular memperlihatkan tendensi peningkatan di seluruh dunia. Negara-negara maju telah meresponinya dengan melakukan upaya pengendalian yang menyeluruh. Dampak penyakit ini bukan hanya bersifat ekonomi dalam bentuk pembiayaan perawatan, tetapi juga berhubungan dengan DALY’s. Penyakit tidak menular erat kaitannya dengan faktor risiko yang di banyak wilayah termasuk di Provinsi Sumatera Utara masih sering ditemukan. Hasil Riskesdas 2007 di Provinsi Sumatera Utara memperlihatkan hal tersebut. Dibahas pula mengenai rencana-rencana strategis dalam mengantisipasi masalah ini, yang bersumber dari pengalaman-pengalaman negara yang telah lebih dahulu menghadapi penyebaran penyakit tidak menular.

Kata kunci: penyakit tidak menular, faktor risiko, kebijakan strategis, dampak. pendapatan rumah tangga dan menurunnya produktifitas sebuah negara pada level makro ekonomi.

PENDAHULUAN Masalah penyakit tidak menular di masyarakat menjadi perhatian para ahli belakangan ini. Salah satu penyebabnya adalah karena penyakit tidak menular sekarang ini memperlihatkan tendensi peningkatan.

Selain berdampak pada level individu dan rumah tangga, beban penyakit juga menimpa pelayanan kesehatan. Dilihat dari persepktif sistem kesehatannya, sumber daya yang sangat besar sangat dibutuhkan untuk dapat menyediakan pelayanan kesehatan pada pasien penyakit tidak menular yang kronis dan berjangka waktu lama, dan pada gilirannya akan meningkatkan kebutuhan peralatan yang sifatnya mahal secara terus menerus serta keperluan pendidikan dan pelatihan bagi tenaga kesehatan spesifik dan trampil.

Peningkatan penyakit tidak menular banyak terjadi di negara berkembang yang perkembangan ekonominya mulai meningkat. Karena itulah maka terjadi peralihan bentuk penyakit yang harus dihadapi, yaitu dari penyakit menular dan infeksi menjadi penyakit tidak menular dan kronis. Proses tersebutlah yang kerap dikenal sebagai transisi epidemiologi.

Perubahan sosial ekonomi di Indonesia terjadi begitu cepat, termasuk di Sumatera Utara. Karena itulah diperlukan kebijakan yang strategis di dalam menanggapi masalah tersebut.

Transisi penyakit di Indonesia mulai ditandai dengan semakin meningkatnya kasus-kasus penyakit tidak menular yang dirawat inap di rumah sakit-rumah sakit. Peningkatan ini menempatkan penyakit tidak menular menjadi penyakit-penyakit utama rawat inap di berbagai fasilitas kesehatan. Karena itu seharusnya transisi epidemiologi juga menyebabkan terjadinya transisi kebijakan yang menyeluruh.

TREND MENULAR

PENYAKIT

TIDAK

Penyakit tidak menular sering disebut sebagai penyakit kronis. Penyakit tidak menular memberikan kontribusi bagi 60 persen kematian secara global. Di berbagai negara yang termasuk negara berkembang, peningkatan penyakit ini terjadi secara cepat dan memberikan dampak yang sangat signifikan pada sisi sosial, ekonomi dan kesehatan. WHO sendiri memperkirakan bahwa pada tahun 2020, penyakit tidak menular akan menyebabkan 73 persen kematian secara global dan memberikan kontribusi bagi global burden of disease sebesar 60 persen. Yang menjadi persoalan

Penelitian mengenai konsekuensi penyakit tidak menular sudah dikerjakan oleh beberapa penelitian sebelumnya. Bovet dkk (2006) menyatakan bahwa peningkatan penyakit tidak menular memiliki implikasi ekonomi yang sangat besar. Penyakit tidak menular secara khusus Penyakit Jantung Koroner yang kini terjadi pada usia yang lebih muda, justru banyak terjadi pada negara-negara berkembang. Akibatnya terjadi kehilangan

18


INOVASI : Vol. 7. No. 1, Maret 2010

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

adalah sekitar 80 persen dari penyakit tidak menular ini justru terjadi pada negara-negara dengan pendapatan rendah atau yang sering disebut sebagai low and middle income countries.

pada tahun 2002 sementara kanker payudara adalah kanker utama pada perempuan. Istilah penyakit tidak menular digunakan untuk membuat perbedaan dengan penyakit menular. Istilah tersebut digunakan untuk memberikan perbedaan dalam fakta berikut ini: Pertama, epidemi dari penyakit tidak menular membutuhkan waktu yang lama untuk mencapai titik puncaknya, namun kebanyakan tendensi peningkatan risikonya mulai terjadi sejak usia muda. Kedua, penyakit tidak menular membutuhkan penanganan yang lama dan sistematis. Artinya, sumberdaya yang harus dialokasikan untuk segala bentuk penanggulangannya baik promosi, pencegahan, pengobatan, dan rehabilitasi membutuhkan konsentrasi kebijakan yang bersifat kontinu. Ketiga, karena bersifat lama, maka kesempatan untuk melakukan intervensi sebenarnya cukup luas, bahkan bagi intervensi yang bersifat multiple untuk sangat terbuka.

Ada 5 (lima) penyakit tidak menular utama yang menjadi objek perhatian utama dari WHO. Kelima penyakit itu adalah : 1. Penyakit Jantung 2. Stroke 3. Kanker 4. Penyakit Pernapasan Khronis 5. Diabetes Penyakit jantung menjadi penyebab utama dari kematian akibat penyakit tidak menular. Sebanyak 17 juta kematian karena penyakit ini terjadi pada tahun 2002. Pada tahun 2030 diestimasikan bahwa angka ini akan mencapai 24 juta kematian, dimana 80 persen diantaranya terjadi pada negara-negara berpendapatan rendah-menengah. Untuk India dan China saja misalnya, memberikan kontribusi bagi 54 persen kematian penderita akibat penyakit jantung di negara-negara berkembang. Pada tahun 2005, kematian akibat penyakit jantung terjadi sebanyak 3 juta kasus di India dan 3,3 kasus di China, dan memberikan kontribusi bagi DALY’s sebesar 11 persen dan 13 persen masing-masingnya.

FAKTOR RISIKO Sebagian besar dari faktor risiko yang menyebabkan penyakit tidak menular sesungguhnya adalah faktor risiko yang dapat dicegah. Faktor risiko ini terjadi pada negara manapun tanpa menghiraukan tingkat perkembangan negara tersebut. Faktor risiko yang menurut inventarisasi berada di balik kejadian penyakit tidak menular adalah peningkatan tekanan darah, perilaku merokok, peningkatan kolesterol total, dan rendahnya konsumsi sayuran dan buah. Seluruh faktor risiko tersebut memberikan kontribusi sebesar 80 persen terhadap penyakit jantung dan stroke.

Diabetas tipe 2 secara global juga meningkat. Diperkirakan prevalensi diantara penduduk berusia lebih dari 20 pada tahun 2000 adalah 4,6 persen (negara maju 6,3 persen dan negara berkembang 4,1 persen) dan diperkirakan angka ini akan mencapai 6,4 persen pada tahun 2030 dengan komposisi negara maju 8,4 persen dan negara berkembang 6 persen. Prevalensi pada negara maju diperkirakan akan meningkat sebesar 1,3 kali lipat, namun peningkatan pada negara berkembang diperkirakan akan mencapai 1,5-1,7 kali secara khusus pada negara-negara dengan populasi lebih dari 100 juta semisal China, India, Indonesia, Banglades dan Brazil. Akibat penyakit diabetes ini diperkirakan konsekuensi ekonomi akan terjadi secara nyata. Biaya langsung akibat diabetes bervariasi antara 0,5 persen (Tanzania) sampai 3,8 persen (Brazil) dari total Gross Domestic Product (GDP).

Faktor risiko penyakit tidak menular merujuk kepada “attribute�, karakteristik, atau keterpaparan individual yang meningkatkan kecenderungan atau kemungkinan untuk mendapatkan penyakit tidak menular. Karena itu faktor risiko sering disebut sebagai prediktor. Berdasarkan berbagai penelitian yang dilakukan oleh WHO, faktor risiko utama yang berhubungan dengan perilaku adalah konsumsi rokok, konsumsi alkohol, makanan yang tidak sehat, dan aktifitas fisik yang kurang. Selain yang berhubungan dengan perilaku, faktor risiko biologi utama adalah kelebihan berat badan dan obesitas, peningkatan tekanan darah, peningkatan gula darah, dan lemak darah yang abnormal.

Kematian akibat kanker juga diperkirakan akan meningkat pada tahun-tahun yang akan datang. Secara keseluruhan total DALY’s karena kanker mencapai 6,4 persen dari total DALY’s pada tahun 1990 (negara maju 15 persen dan negara berkembang 4,2 persen) dan diperkirakan akan mencapai 10 persen pada tahun 2020 (negara maju 17 persen dan negara berkembang 9 persen). Masalah kanker terbanyak ditemukan di China dan India yang masing-masing mencapai 11 persen dan 4 persen dari total DALY’s pada tahun 2005. Kanker paru adalah kanker utama pada laki-laki

Faktor risiko dapat memberikan kontribusi bagi hadirnya penyakit pada level individual, atau pada populasi secara keseluruhan. Faktor-faktor risiko ini dapat saling berinteraksi dan bergabung bersamasama. Pada populasi berusia 30 tahun, 50 persen

19


INOVASI : Vol. 7. No. 1, Maret 2010

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

dari kasus penyakit jantung adalah karena peningkatan tekanan darah, 31 persen karena tingginya kadar kolesterol, dan 14 persen karena merokok. Ketiga faktor risiko ini jika bersama-sama dapat memberikan kontribusi sebesar 65 persen kepada kejadian penyakit jantung.

dalam menganalisis dampak akibat dari penyakit. Mulligan dkk (2006) menyajikan ulang rekomendasi WHO terhadap DALY’s dari penyakit tidak menular, sebagai berikut: Tabel 1. Burden of Disease Beberapa Penyakit Tidak Menular

Faktor risiko yang dipantau dengan menggunakan metode STEPS-WHO memenuhi beberapa karakteristik penting sebagai sebuah alat surveilans, yaitu: a. Faktor risiko tersebut memberikan dampak kepada morbiditas dan mortalitas penyakit tidak menular. b. Faktor risiko tersebut memungkinkan dimodifikasi menggunakan pencegahan yang efektif. c. Pengukuran faktor risiko tersebut telah dibuktikan valid; dan d. Pengukuran tersebut dapat diperoleh dengan menggunakan standart etika yang baku.

DAMPAK

Sumber: Mulligan, J. dkk. Economic Evaluation of non-communicable disease in developing countries: a critical review of the evidence base. Cost Effectiveness and Resource Allocation 2006:4:7

Biaya akibat penyakit tidak menular adalah biaya yang cukup signifikan. Bovet dkk (2006) menganalisis biaya pengobatan penyakit jantung (cardiovascular disease) dan menemukan bahwa biaya pengobatan rata-rata untuk mengendalikan penyakit ini adalah US $ 45,6 per kapita per tahun. Sementara itu biaya minimal untuk pengobatan lanjutan untuk mengendalikan penyakitnya meliputi pelayanan medis dan laboratorium mencapai $22,6 per kapita per tahun. Bagi masyarakat dengan berpendapatan rendah, mengeluarkan biaya minimal setiap tahunnya tersebut cukup berarti bukan hanya pada biaya yang harus dikeluarkan secara personal tetapi juga beban keluarga dari penderitanya.

Tabel di atas memperlihatkan bahwa DALY’s akibat penyakit tidak menular sangat besar terlebih di dalam konteks negara berkembang dimana pelayanan kesehatan masih kurang memadai. Persoalan akan semakin membesar jika terjadi masalah beberapa penyakit tidak menular, maka proporsi DALY’s yang hilang menjadi sangat signifikan.

KEBIJAKAN STRATEGIS Pencegahan penyakit tidak menular berfokus pada pendekatan populasi. Pendekatan populasi adalah istilah yang digunakan untuk membedakannya dari pendekatan individual. Rockhill (2001) menyebutkan bahwa pendekatan individual merupakan pendekatan klasik dari epidemiologi. Namun temuan pendekatan individual sudah tidak lagi bisa diterapkan secara langsung mengingat masalah yang dihadapi sudah bersifat massal. Lagipula pendekatan populasi akan memberikan efek yang lebih jelas kepada mereka yang berisiko, yaitu para individu tersebut.

Di negara-negara maju, akibat beban penyakit tidak menular ini, beberapa biaya harus dialokasikan setiap tahunnya antara lain untuk tunjangan kecacatan dan perawatan akibat ketidakmampuan fisik, sampai dengan pembayaran yang harus dialokasikan sebagai kompensasi dari penyakit yang diderita salah seorang anggota rumah tangga berupa pensiun, tunjangan kesehatan, dan tunjangan pekerjaan. Total, di Australia saja misalnya, pada tahun 2003 saja 2,1 juta orang menerima pembayaran-pembayaran tersebut (Jeon dkk, 2009). Masalah penanggulangan penyakit tidak menular ini memang tergantung kepada kebijakan masingmasing negara. Arah perhatian negara yang bersangkutan akan menentukan pula arah kebijakan yang akan diambil oleh negara tersebut dalam menghadapi meningkatnya trend penyakit tidak menular ini. Untuk membandingkan seberapa penting perhatian pada masing-masing penyakit, WHO merekomendasikan penggunaan DALY’s

Kebijakan strategis amat diperlukan untuk mengantisipasi peningkatan penyakit tidak menular ini di Sumatera Utara. Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Sumatera Utara 2007, disimpulkan beberapa hal: 1. Prevalensi hipertensi masyarakat berada pada kisaran 6 persen. 2. Prevalensi stroke berada di bawah 1 persen.

20


INOVASI : Vol. 7. No. 1, Maret 2010

3. 4. 5.

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

Prevalensi penyakit jantung sebesar 7 persen. Prevalensi penyakit diabetes mellitus sebesar 1 persen. Prevalensi tumor di bawah 1 persen.

c. d.

e. Data-data di atas menunjukkan bahwa masalah penyakit tidak menular di Provinsi Sumatera Utara belum menjadi masalah yang besar. Namun jika dihubungkan dengan prevalensi faktor risiko yang ada, maka masalah penyakit tidak menular tersebut seharusnya serius ditanggapi. Adapun gambaran faktor risiko menurut laporan Riskesdas 2007 tersebut adalah: 1. Perilaku merokok masyarakat yang meningkat sesuai dengan pertambahan umur. Kelompok umur 10-14 tahun telah menjadi kelompok perokok pemula, disusul semakin meningkat menjadi 14 persen pada umur 15-24 tahun, 36,6 persen pada kelompok umur 45-54 tahun dan menurun setelah umur 54 tahun. 2. Hanya sebanyak 5,5 persen penduduk Sumatera Utara berusia 10 tahun ke atas yang cukup mengkonsumsi buah dan sayur. 3. Prevalensi penduduk yang mengkonsumsi alkohol selama 12 bulan terakhir adalah 6,1 persen; sementara yang mengkonsumsi alkohol selama sebulan terakhir adalah 71,9 persen. 4. Sebanyak 51,9 persen penduduk kurang melakukan aktifitas fisik. 5. Secara umum, sebanyak 10,8 persen penduduk memiliki berat badan lebih dan 9,9 persen obese.

f.

Bersifat pencegahan sebelum penyakit terjadi. Membantu merencanakan program penanggulangan dan dalam upaya menentukan prioritas kesehatan. Memberikan gambaran umum mengenai keadaan penyakit tidak menular pada masa yang akan datang. Mampu memonitor dan mengevaluasi program intervensi yang sudah dilakukan dalam basis populasi.

Pemantauan faktor risiko penyakit tidak menular ini telah dikerjakan oleh banyak negara, terutama negara maju. Namun panduan utama telah disusun oleh Badan Kesehatan Dunia (WHO) melalui STEPS yang secara khusus menjadi panduan dalam memantau faktor risiko penyakit tidak menular dalam populasi tertentu. Selain itu, sehubungan dengan faktor risiko, diperlukan program pencegahan yang lebih berkonsentrasi pada faktor risiko. Secara garis besar, tujuan dari pencegahan adalah supaya mereka yang memiliki risiko dianjurkan untuk memakan makanan yang lebih bervariasi, mengkonsumsi lebih sedikit lemak, secara khusus yang mengandung kolesterol dan jenuh lemak, mengkonsumsi lebih banyak sayuran dan buah, lebih sedikit mengkonsumsi garam dan gula, mengurangi konsumsi alkohol dan rokok, meningkatkan aktifitas fisik dan mengendalikan berat badan (Girois dkk, 2001). Masalah penyakit tidak menular tidak dapat dilihat sebagai sebuah masalah tunggal yang dapat diatasi hanya dengan sebuah pendekatan saja. Menggunakan attributable fraction (AF), Ruckinger dkk (2009) menunjukkan diperlukannya pemahaman yang lebih baik mengenai kemungkinan kombinasi faktor risiko di masyarakat. Menggunakan pendekatan epidemiologi secara terpisah pada masing-masing faktor risiko ternyata kurang menguntungkan dibandingkan menganalisisnya sebagai sebuah masalah kolektif.

Gambaran faktor risiko di atas menjelaskan kepada kita bahwa Sumatera Utara potensial di dalam mengalami masalah penyakit tidak menular kelak. Prevalensi masalah yang tidak merata di dalam provinsi juga akan menyulitkan dalam penanganannya kelak. Menghadapi masalah potensial penyakit tidak menular ini, WHO merekomendasikan bahwa upaya pencegahan penyakit tidak menular harus dilakukan sedini mungkin, pada apapun level epidemi yang sekarang terjadi. Karena itu tidak heran kalau negara-negara maju sekalipun tidak mengabaikan pemantauan dan kemudian pencegahan penyakit tidak menular ini.

Meskipun demikian, beberapa peneliti telah mencoba melakukan perubahan faktor risiko penyakit tidak menular ini. Sekolah, misalnya adalah salah satu tempat yang direkomendasikan untuk mengendalikan faktor risiko ini sejak usia muda (Brownson dkk, 2001). Berdasarkan hal itu, Hesketh dkk (2001) misalnya melaporkan keberhasilan program intervensi perilaku merokok melalui pendekatan school-based prevention program. Program ini bukan hanya berhasil menurunkan frekuensi merokok di kalangan siswa serta sikap yang semakin positif terhadap bahaya rokok, tetapi juga merekomendasikan pentingnya peranan orangtua terhadap perilaku merokok anakanak remaja di China. Salah satu catatan penting dalam pengendalian merokok melalui studi ini

Model pencegahan harus dimulai dari upaya mengidentifikasi faktor risiko yang ada karena faktor-faktor risiko saat ini adalah penyakitpenyakit (tidak menular) di masa yang akan datang. Karena itu diperlukan upaya pemantauan yang menggunakan prinsip: a. Pengumpulan data yang konsisten dan meliputi wilayah yang mencakup kelompok populasi tertentu. b. Mengembangkan standarisasi pengukuran yang tetap dan dapat dibandingkan dari waktu ke waktu.

21


INOVASI : Vol. 7. No. 1, Maret 2010

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

adalah berhasil diperpanjangnya usia pertama kali merokok di kalangan kaum muda.

pengambilan keputusan pengendalian faktor risiko. Melalui survei spesifik misalnya, dapat dihasilkan rekomendasi yang lebih terfokus pada kebutuhan komunitas spesifik. Surveillance ini bisa berupa sebuah model penanggulangan masalah faktor risiko dalam kerangka riset tertentu sebagaimana dilakukan di banyak negara.

Kebijakan yang lebih ketat dari pemangku keputusan juga turut menentukan pengendalian faktor risiko ini. Di Massachusetts misalnya, dalam rangka menanggulani tingginya perokok di kalangan muda, diterapkan larangan merokok di dalam restoran. Selain itu, Massachusetts juga menerapkan kebijakan kampanye untuk mempromosikan anti rokok di restoran. Hal ini didukung bukan hanya oleh mereka yang tidak merokok, tetapi juga oleh mereka yang merokok dan ingin berhenti merokok (Brooks dan Lorelei, 2001). Larangan dan pembatasan penjualan rokok, iklan rokok dan aturan lain sudah diterapkan di beberapa negara Eropa lain dan berhasil menekan keterpaparan publik terhadap asap rokok. Di Florida, sejak 1998, kampanye juga dilakukan oleh media dalam rangka menurunkan populasi perokok di daerah itu. Hasilnya sangat positif karena setidaknya menunda usia memulai merokok di kalangan berusia muda (Sly dkk, 2001).

Akan tetapi tantangan kebijakan pengendalian faktor risiko bukan tidak ada. Salah satunya dari kompetitor perubahan perilaku merokok. Saat ini berbagai industri rokok melakukan upaya untuk tetap mendapatkan konsumen dengan mencoba masuk ke dalam ranah akademik atau mensponsori kebijakan pengendalian kesehatan. Para aktifitas pemerhati masalah dampak kesehatan akibat merokok pun banyak didanai oleh industri rokok (Yach dan Stella AB, 2001). Lingkungan yang tidak memadai juga adalah kompetitor lain. Sebagaimana sudah disampaikan oleh Brownson dkk (2001), diperlukan sebuah kebijakan penataan lingkungan (perkotaan) yang membuat masyarakat nyaman dalam melakukan berbagai aktifitasnya, termasuk aktifitas fisik. Ini tentunya berhubungan dengan penataan perumahan, jalanan, tempat-tempat makan dan minum, sarana bagi pejalan kaki bahkan pengendalian polusi. Minimnya fasilitas demikian turut mempengaruhi semakin meningkatnya faktor risiko penyakit tidak menular di masyarakat.

Masih tentang upaya menekan perokok, studi Kaplan dkk (2001) di California menemukan adanya hubungan yang sangat positif antara kebijakan peningkatan pajak terhadap rokok dengan semakin meningkatkan kualitas kehidupan (QALY’s), penurunan morbiditas akibat merokok, dan penurunan DALY’s. Studi ini memperlihatkan betapa sangat strategisnya kebijakan pemerintah di dalam upaya menyelamatkan masyarakat dan memenuhi hak untuk tetap sehat kepada kelompok warga yang membutuhkan.

Kebijakan pengelolaan yang menyeluruh yang berorientasi pada penanganan mereka yang telah menderita penyakit juga diperlukan secara khusus. Rumah sakit-rumah sakit harus didorong untuk menyelenggarakan pelayanan yang berhubungan dengan pasien penyakit tidak menular. Alokasi sumber daya yang berhubungan dengan perawatan paripurna dan berkesinambungan mengingat masalah ini sering berdampak panjang, harus juga dilakukan sejak sekarang.

Pendekatan perubahan juga bisa ditempuh pada lokasi spesifik, sebagimana dianjurkan oleh Brownson dkk (2001). Pendekatan perubahan melalui komunitas tertentu kelihatannya akan efektif jika dilakukan dengan baik, misalnya melalui kampanye atau promosi kesehatan lainnya mengingat ada faktor pengaruh faktor kultural di dalam faktor-faktor risiko ini (Hesketh dkk, 2001).

KESIMPULAN

Puskesmas atau pelaku kesehatan lainnya bukan tidak punya peranan penting. Berperan sebagai pelaku konseling atas masalah-masalah yang berhubungan dengan faktor risiko yang dialami oleh masyarakat, Steptoe dkk (2001) menemukan hasil yang sangat memuaskan berupa penurunan lemak tubuh, peningkatan aktifitas fisik dan berhenti merokok. Penurunan ini terjadi pada praktik dokter yang menerapkan metode konseling pada pasiennya dibandingkan dengan yang tidak menyertai metode ini.

Pemerintah Provinsi Sumatera Utara harus menghadapi masalah penyakit tidak menular ini dengan serius supaya persoalannya tidak terlambat kelak. Pemerintah Provinsi Sumatera Utara harus juga memahami dinamika penyakit tidak menular dan faktor risikonya di masyarakat sehingga penanganannya akan lebih maksimal.

DAFTAR PUSTAKA Austin, S.B., dan Steven, L.G., Dieting dan Smoking Initiation in Eearly Adolescent Girls dan Boys: A Prospective Study. American Journal of Public Health, Vol. 91 No. 3, Halaman 446-450.

Brownson dkk (2001) juga menganjukan pentingnya surveillance system yang lebih baik yang nantinya bisa digunakan sebagai dasar dalam

22


INOVASI : Vol. 7. No. 1, Maret 2010

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

Bauman, A., Fiona, B., Tien, C., Cora L.C., Barbara, E.A, James, F.S., dkk. 2009. The International Prevalence Study on Physical Activity: Results from 20 Countries. International Journal of Behavioral Nutrition and Physical Activity, 2009, 6:21.

Records? BMC Health Service Research, 2009, 959. Girois, S.B., Shiriki, K.K., Alfredo, M., dan Elizabeth, M. A Comparison of Knowledge and Attitudes About Diet and Health Among 35 to 37 Year Old Adults in the United States and Geneva, Switzerland. American Journal of Public Health, Vol 91 No. 3, Halaman 418-424.

BeLue, R., Totilayo, A.O, Juliet, I., Kelly, D.T., Arnold, N.D., Charles, A., dan Gbenga, O. 2009. An Overview of Cardiovascular Risk Factor Burden in sub-Saharan African Countries: A Socio Cultural Perspective. Globalization and Health, 2009, 5:10.

Golub, A. dan Bruce, D.J. 2001. Variation in Youthful Risks of Progression From Alcohol and Tobacco to Marijuana and to Hard Drugs Across Generations. American Journal of Public Health,Vol. 91 No. 2, Halaman 225-232.

Bovet, P., Conrad, S., Anne, G., Walter, R., dan Fred, P., 2006. Prevalence of Cardiovascular Risk Factors in A Middle-Income Country and Estimated Cost of A Treatment Strategy. BMC Public Health, 2006, 6:9.

Gordis, L. 2004. Epidemiology (3rd Edition). Pennsylvania-USA, Elsevier Inc.

Brooks, D.R. dan Lorelei, A.M. 2001. Support for Smoke-Free Restaurants Among Massachusetts Adults, 1992-1999. American Journal of Public Health, Vol. 91 No. 2, Halaman 300-303.

Hesketh, T., Qu, J.D., dan Andrew, T. 2001. Smoking Among Youths in China. American Journal of Public Health, Vol. 91 No. 10, Halaman 1653-1655.

Brownson, R.C, Elizabeth, A.B., Robyn, A.H, Laura, K.B., dan Stephen, J.B. 2001. Environmental and Policy Determinants of Physical Activity in the United States. American Journal of Public Health, Vol. 91 No. 12, Halaman 1995-2003.

Jeon, Y., Beverly, E., Stephen, J., Robert, W., dan Judith A.W. 2009. Economic Hardship Assiciated with Managing Chronic Illness: A Qualitative Inquiry. BMC Health Services Research, 2009, 9:182. Kaplan, R.M., Christopher, F.A., Sherry, L.E., dan Ana, M.N. 2001. Simulated Effect of Tobacco Tax Variation on Population Health in California. American Journal of Public Health, Vol. 91 No. 2, Halaman 239-244.

CDC. 2005. Epi Info Community Health Assesment Tutorial. Atlanta, CDC. Depkes RI. 2008. Riset Kesehatan Dasar 2007 Laporan Provinsi Sumatera Utara. Jakarta, Depkes RI.

Magnusson, R.S. 2007. Non-Communicable Diseases dan Global Health Governance: Enhancing Global Processes to Improve Health Development. Globalization and Health, 2007, 3:2

Esteghamati, A., Alipasha, M., Omid, K., Armin, R., Mehrdad, H., Fereshteh, A., dkk. 2009. Third International Surveillance of Risk Factors of Non-Communicable Diseases (SuRFNCD-2007) in Iran: Methods and Results on Prevalence of Diabetes, Hypertensio, Obesity, Central Obesity and Dyslipidemia. BMC Public Health, 2009, 9:167.

Morello, P., Anne, D., Hoover, A. Jr., Anthony, J.C., dan Alain, J. 2001. Tobacco Use Among high School Students in Buenos Aires, Argentina. American Journal of Public Health, Vol. 91 No. 2, Halaman 219224.

Faeh, D., Bharathi, V., Arnaud, C., Wick, W., dan Pascal, B. 2006. Clustering of Smoking, Alcohol Drinking dan Cannabis Use In Adolescents in A Rapidly Developing Country. BMC Public Health, 2006, 6:169.

Mulligan, J., Damian, W., dan Julia, F. 2006. Economic Evaluation of Non-Communicable Disease Interventions in Developing Countries: A Critical Review of the Evidence Base. Cost Effectiveness and Resource Allocation, 2006, 4:7.

Fouwels, A.J., Sebastiaan J.H.B., Hub, W., dan Gerard, M.S. 2009. A Retrospective Cohort Study on Lifestyle Habits of cardiovascular Patients: How Informative Are Medical

Peasey, A., Martin, B., Ruzena, K., Sofia, M., Andrzej, P., Abdonas, T., dkk. 2006.

23


INOVASI : Vol. 7. No. 1, Maret 2010

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

Determinants of Cardiovascular Disease and Other Non-Communicable Disease in Central and Eastern Europe: Rationale and Design of the HAPIEE Study. BMC Public Health, 2006, 6:255.

Yach, D., dan Stella, A.B. 2001. Junking Science to Promote Tobacco. American Journal of Public Health, Vol 91 No. 11, Halaman 1745-1748.

Rachiotis, G., Adamson, S.M., Emmanuel, R., Seter, S., Athina, K., Konstatinos, G., dkk. 2008. Factors Associated with Adolescent Cigarette Smoking in Greece: Results from A Cross Sectional Study (GYTS Study). BMC Public Health, 2008, 8:313. Rasmussen, M., Rikke, K., Knut-Inge, K., Leslie, L., Johannes, B., Elling, B, dkk. 2006. Determinants of Fruit dan Vegetable Consumption Among Children and Adolescents: A Review of The Literature. Part I: Quantitative Studies. International Journal of Behavioural Nutrition dan Physical Activity, 2006, 3:22. Rockhill, B. 2001. The Privatization of Risk. American Journal of Public Health, Vol. 91 No. 3, Halaman 365-368. Rockhill, B., Walter, C.W., JoAnn, E.M., Michael, F.L., Meir, J.S., David, J.H., dan Graham, A.C. 2001. Physical Activity and Moratality: A Prospective Study Among Women. American Journal of Public Health, Vol. 91 No. 4, Halaman 578-583. Ruckinger, S., Rudinger, V.K, dan Andre, M.T., 2009. An Illustration of and Programs Estimating Attributable Fractions in Large Scale Surveys Considering Multiple Risk Factors. BMC Medical Research Methodology, 2009, 9:7. Sly, D.F, Richard, S.H., Edward, T., dan Sarah, R. 2001. Influence of A Counteradvertising Media Campaign on Initiation of Smoking: The Florida “Truth� Campaign. American Journal of Public Health, Vol. 91 No. 2, Halaman 233-238. Steptoe, A., Sally, K., Elizabeth, R., dan Sean, H. 2001. The Impact of Behavioral Counseling on Stage of Change in Fat Intake, Physical Activity, dan Cigarette Smoking in Adults at Increased Risk of Coronary Heart Disease. American Journal of Public Health, Vol. 91 No. 2, Halaman 265-269. Tseng, M., Karin, Y., Robert, M., dan Berth, N. 2001. Area-Level Characteristics and Smoking in Women. American Journal of Public Health, Vol. 91 No. 11, Halaman 1847-1850.

24


INOVASI : Vol. 7. No. 1, Maret 2010

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

Effektivitas Kebijakan “Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas)� Melidungi Kaum Miskin dari Pengeluaran Biaya Kesehatan yang Takterduga dan Meningkatkan Akses Mereka terhadap Pelayanan Kesehatan di Era desentralisasi di Indonesia Fitrilailah Mokui1) 1)

Dosen Program Studi Kesehatan Masyarakat Universitas Haluoleo, Kendari

Abstraksi Jamkesmas merupakan program pemerintah yang akan berdampak melindungi kaum miskin dengan pengertian bahwa pelayanan kesehatan harus secara spesifik menjawab kebutuhan kelompok tersebut yaitu mereka yang tergolong ke dalam miskin, hampir miskin serta kelompok wanita dan anak-anak usia sekolah. Sebagai tambahan, untuk efektifitasnya, Jamkesmas harus menjamin bahwa jaminan tersebut harus memiliki kualitas yang sama di setiap tingkat dan jenis pelayanan. Akan tetapi, Jamkesmas sebagai jaminan kesehatan berbasis masyarakat yang didisain tanpa pembayaran cenderung dapat tidak efektif dan tidak efisien karena pembayaran terhadap hal itu hanya dilakukan melalui pajak. Karena itu penambahan populasi kelompok miskin akan menyebabkan ketidakseimbangan cakupan Jamkesmas, terlebih jika pendanaan dihentikan. Oleh karena itu, pemerintah Indonesia perlu memikirkan upaya menggantikan model pembayaran Jamkesmas yang didanai secara langsung oleh kontribusi rumah tangga karena dalam jangka panjang, model Jamkesmas akan tidak efektif.

Kata kunci : Jamkesmas, community health insurance, financial burden, health care, era desentralisasi. bagi orang miskin. Semua upaya untuk mengurangi ketidak adilan dalam pelayanan ini menantikan dukungan komitmen dari pemerintah.

PENDAHULUAN Walaupun kesehatan adalah merupakan kebutuhan dasar manusia (Jimenez, 1986) health inequality masih tetap nampak diantara kaum miskin dan kaya di Indonesia. Ketidakadilan dalam pelayanan kesehatan ini semakin parah sejak Indonesia mengalami peningkatan angka penduduk mikin yang drastis (kurang lebih 76.4 juta atau kurang lebih sepertiga dari total population di Indonesia). Keadaan ini lebih jauh diperparah dengan peningkatan biaya pelayanan kesehatan (Frokx, 2009) menjadikan health equity sangat jauh dari target. Pradhan and Presscott (2002) mencatat bahwa kaum miskin mengorbankan lebih banyak kesempatan untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang bermutu dibandingkan dengan kaum kaya karena kaum miskin hanya mengakses pelayanan kesehatan yang murah ketika menderita sakit. Pelayanan murah ini diasosiasikan dengan pelayanan yang kurang bermutu. Di lain pihak, kaum kaya cenderung untuk mengakses pelayanan kesehatan yang mahal dan bermutu. Gwatkin and Victora (2004) mengusulkan beberapa upaya untuk mengurangi health inequality dengan cara: (1) Pelayanan kesehatan dispesifikkan kepada spesifik target yaitu orang miskin; (2) menggunakan teknik yang telah teruji kehandalannya untuk membantu orang miskin; (3) Mengontrol upaya empowering

Pemerintah Indonesia telah melaksanakan beberapa program untuk mengurangi ketidakadilan dalam pelayanan kesehatan sejak kemerdekaan Republik Indonesia (RI) diumumkan. Program-program yang telah dilaksanakan adalah : subsidi biaya pelayanan kesehatan, kegiatan Jaring Pengaman Sosial Bidang Kesehatan (JPS-BK) pada masa krisis ekonomi dan program yang baru saja diperkenalkan, asuransi kesehatan. Walaupun Indonesia telah mempunyai skema asuransi kesehatan yang telah berlaku umum seperti Asuransi Kesehatan (Askes) dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek) (Hidayat, Thabrany, Dong dan Sauerborn (2004), kedua skema asuransi tersebut mempunyai program yang spesifik untuk memberikan perlindungan terhadap kelurga miskin. Askes adalah asuransi kesehatan untuk pegawai pemerintah sedangkan Jamsostek adalah asuransi kesehatan untuk tenaga kerja swasta. Sekhri and Savedoff (2005) berpendapat bahwa asuransi kesehatan yang dikelola swasta terkadang harus dikesampingkan oleh pemerintah karena dirasakan tidak berpihak terhadap kaum miskin. Akan tetapi asuransi kesehatan swasta tersebut dapat digunakan

25


INOVASI : Vol. 7. No. 1, Maret 2010

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

untuk merangsang berkembangnya asuransi kesehatan komunitas (community health insurance). Berdasarkan asuransi kesehatan swasta, pemerintah Indonesia telah mengembangkan Asuransi Kesehatan Keluarga Miskin (Askeskin) dan Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) yang merupakan community health insurance untuk melindungi keluarga miskin terhadap pengeluaran biaya kesehatan yang tidak terduga. Jamkesmas mempunyai kelebihan dan kekurangan, oleh karena itu efektifitas dan efisiensi dari program ini perlu dikaji lebih jauh dalam melindungi keluarga miskin dari pengeluaran biaya kesehatan yang tidak terduga.

beberapa program, pemerintah menyatakan bahwa community based health insurance seperti Askeskin dan Jamkesmas adalah merupakan program yang dipilih sebagai solusi untuk menanggulangi peningkatan beban biaya kesehatan bagi kaum miskin yang diikuti dengan peningkatan jumlah kaum miskin itu sendiri. Kriteria bagi keluarga miskin di Indonesia ditentukan dengan menggunakan kriteria dari Bakan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN). BKKBN menentukan jumlah keluarga miskin untuk tiap kabupaten dengan menggunakan status kesejahteraan (Sumarto, Suryahadi and Princhett, 2000). Kriterianya adalah rumah tangga yang tidak mempunyai cukup dana untuk beberapa kondisi : “to adore according to its faith, to eat basic food twice a day, to have different clothing for school or work and home, to have an improved floor (not made from earth), or to have access to modern medical care for children or access to modern contraceptive� (Pradhan, Saadah and Sparrow, 2007, p.5). The World Bank mempunyai indicator tersendiri untuk menentukan seseorang untuk menempati status di bawah garis kemiskinan. Status di bawah poverty line jika income yang diterima kurang dari $2.15 per head per day (Doorsaler et al, 2006). Hal ini jelas bahwa kesehatan merupakan indicator kesejahteraan dan social status yang juga hal ini sangat dipengaruhi oleh kondisi social ekonomi. Lebih khususnya bahwa kesehatan merupakan indicator yang dapat mengklasifikasi seseorang sebagai kaum miskin jika seseorang tidak mempunyai akses yang baik terhadap pelayanan kesehatan.

Selama era desentralisasi, Askeskin yang berarti asuransi kesehatan untuk keluarga miskin telah di ubah istilahnya menjadi Jamkesmas yang berarti jaminan kesehatan masyarakat (Ensor, Nadjib, Quayyum and Megraini, 2008). Hal ini berarti era desentralisasi menguntungkan keluarga miskin karena mereka dapat dilindungi oleh Askeskin dan Jamkesmas. Akan tetapi, Rokx et al (2009) mencatat bahwa era desentralisasi memunculkan banyak komplikasi masalah pembiayaan kesehatan. Pembiayaan kesehatan di daerah dan di tingkat pusat terkadang kontroversi. Berdasarkan hal ini Jamkesmas diperkirakan tidak dapat bertahan dalam era desentralisasi karena program ini mewarisi skemas sentralisasi. Jamkesmas di control oleh Departemen Kesehatan dan program tersebut di laksanakan oleh seluruh Dinas Kesehatan di tingkat propinsi dan di tingkat kabupaten/kota. Program ini tidak akan dapat bertahan berdasarkan beberapa asumsi: (a) Pemerintah lokal akan menghentikan program asuransi kesehatan gratis bagi keluarga miskin karena mereka beranggapan bahwa tanggung jawab terhadap orang miskin adalah di tangan pemerintah pusat. (b) Pemerintah local tidak mempunyai dana yang cukup untuk mensubsidi keluarga miskin. Berdasarkan asumsi-asumsi ini, skema Jamkesmas membutuhkan analisis yang lebih dalam untuk memastikan program tersebut dapat bertahan di era desentralisasi.

LATAR BELAKANG JAMKESMAS

Walaupun kaum miskin lebih rentan terhadap penyakit dan problem kesehatan lainnya, mereka biasanya sangat minim dalam mengakses pelayanan kesehatan yang bermutu. Kondisi ini menimbulkan inequality dalam pelayanan kesehatan masyarakat. Poerwanto, Stevenson, and De Klerk (2003) mengemukakan argument bahwa probability of infant death di Indonesia mempunyai relasi yang signifikan dengan inequality health service untuk kaum miskin.

HADIRNYA

Walaupun mortality rates dan malnutrisi telah berkurang insidennya pada bayi dan anak-anak, child survival antara kaum miskin dan kaum berpunya tetap Nampak perbedaannya. Kunst and Houweling (2001) berpendapat bahwa inequalities dalam penggunaan pelayanan persalinan yang berhubungan dengan maternal health services di kalangan wanita miskin dan wanita kaya masih jelas perbedaannya. Kondisi ini menunjukkan bahwa kasus ketidakadilan dalam pelayanan kesehatan masyarakat masih tetap terjadi dan nampak di kalangan masyarakat. Dalam hal ini, kaum miskin

Pemerintah Indonesia mempunyai perhatian yang lebih terhadap kaum miskin karena dirasakan kaum miskinlah yang paling merasakan ketidakadilan dalam pelayanan kesehatan. Untuk itu, pemerintah telah melaksanakan beberapa program untuk melindungi kaum miskin. Akan tetapi program yang ada tersebut hanya bersifat sementara dan sebagian besar program dirasakan tidak efektif dan efisien dalam memberikan perlindungan terhadap kaum miskin dalam masyarakat. Setelah mencoba

26


INOVASI : Vol. 7. No. 1, Maret 2010

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

masih tetap merasakan ketidakadilan dalam system pelayanan kesehatan. Ketidakadilan pelayanan kesehatan masyarakat di kalangan masyarakat miskin menuntut pemerintah untuk memberikan perhatian dan solusi.

adalah rumah tangga yang berbeda jumlahnya dengan riil kaum miskin. Hal lain yang menjadikan kartu sehat tidak ideal pelaksanaannya adalah program ini telah menciptakan banyak problem yang bersifat politis. Contohnya adalah kerusuhan yang terjadi di beberapa daerah karena misinformasi dan ketidakakuratan data dalam mengklasifikasi keluarga miskin (Alatas et al, 2009). Fakta ini menunjukkan bahwa program kartu sehat yang disubsidi oleh pemerintah tidak efektif dalam menanggulangi masalah keluarga miskin dalam mengakses fasilitas kesehatan.

Di Indonesia, pemerintah telah melaksanakan beberapa program kesehatan yang berbasis pelayanan bagi keluarga miskin untuk mempersempit gap inequality diantara kaum miskin dan kaum yang berpunya selama beberapa periode. Di era setelah memproklamirkan kemerdekaan, biaya untuk memproteksi kesehatan masyarakat disubsidi oleh pemerintah. Pada era presiden Suharto, subsidi pelayanan kesehatan dilanjutkan dan diberi nama INPRES (Instruksi Presiden) yang di transfer dari pemerintah pusat kepada tiap pemerintah daerah.Biaya kesehatan untuk pusat pelayanan kesehatan di dasarkan kepada pendapatan keluarga.

Keluarga miskin ini jumlahnya sebelum krisis ekonomi meningkat lambat, akan tetapi kondisi krisis ekonomi yang terjadi di Indonesia sebagai akibat dari krisis ekonomi global semakin mengakibatkan jumlah keluarga miskin meningkat dengan cepat dan hal ini berhubungan dengan masalah kesehatan bagi keluarga miskin. Rokx et al (2009) mencatat bahwa pada awal krisis ekonomi melanda Indonesia, jumlah orang miskin yang tergolong miskin dan hampir miskin sebanyak 50 persen dari total populasi di Indonesia.

Hal lain adalah subsidi untuk menurunkan biaya rawat inap bagi rumah sakit pemerintah dan rumah sakit swasta. Program lain adalah program Surat Keterangan Lurah, yaitu surat yang menyatakan status keluarga miskin yang dibuat oleh kepala desa atau lurah dan diberikan kepada keluarga atau individual yang miskin ketika mereka menderita sakit untuk mendapatkan pemotongan biaya berobat. Akan tetapi surat tersebut hanya sedikit yang menggunakannya (Van De Walle, 1994).

Pada tahun 2004, jumlah jumlah keluarga miskin meningkat tajam dan dinyatakan jumlahnya sebanyak 76.4 juta jiwa untuk klasifikasi keluarga miskin. Jumlah ini tidak termasuk jumlah hampir miskin. Kondisi peningkatan jumlah keluarga miskin ini juga di rasakan oleh Amerika Serikat yang mempunyai jumlah penduduk yang padat seperti Indonesia, seperti yang dinyatakan Waters, Anderson and Mays (2004) bahwa negara ini mengalami peningkatan jumlah penduduk yang sangat tajam. Kondisi dibarengi oleh buruknya proteksi pembiayaan kesehatan bagi keluarga miskin dengan kondisi kesehatan yang buruk. Peningkatan jumlah penduduk yang tajam dibarengi oleh rencana pembiayaan kesehatan yang buruk akan memperparah keadaan keluarga miskin.

Sejak krisis ekonomi melanda Indonesia di tahun 1997, pemerintah Indonesia telah dibantu oleh beberapa lembaga international untuk melaksanakan program Social Safety Net atau program jaring pengaman sosial. Program ini adalah special diluncurkan untuk menangani masalah kesehatan yang terjadi selama krisis terutama untuk menolong kaum miskin. Program ini sangat familiar dengan istilah JPS-BK (Jaring Pengaman Sosial Bidang Kesehatan). Salah satu program yang dilaksanakan sebagai implikasi JPS-BK adalah program kartu sehat. Program ini telah berjalan baik dalam masyarakat pada awal pelaksanaannya. Akan tetapi, berdasarkan riset yang telah dilaksanakan oleh beberapa ahli terbukti bahwa program kartu sehat tidak mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap penggunaan dan akses terhadap pelayanan kesehatan di kalangan keluarga miskin.

Berdasarkan pengalaman peningkatan jumlah penduduk yang besar, pemerintah Indonesia telah membuat komitmen untuk membentuk program yang komprehensif dalam menanggulangi pembiayaan kesehatan bagi keluarga miskin dengan membentuk skema mandatory public health insurance. Akan tetapi, program untuk keluarga miskin ini tidak sepenuhnya ditangani serius oleh pemerintah. Untuk itu pemerintah Indonesia senantiasa mengubah program bagi keluarga miskin. Program akhir yang dipilih oleh pemerintah adalah program asuransi kesehatan Askeskin dan Jamkesmas.

Pradhan, Saadah and Sparrow (2007) berpendapat bahwa secara teori, penggunaan kartu sehat adalah ideal bagi kaum miskin akan tetapi dalam prakteknya ditemukan sangat sedikit pengaruh penggunaan kartu miskin dalam meningkatkan akses kaum miskin terhadap pelayanan kesehatan. Hal ini dikarenakan target unit untuk kaum miskin

Walaupun program Askeskin dan Jamkesmas adalah merupakan skema community based health insurance yang ditujukan untuk meningkatkan akses dan kualitas pelayanan kesehatan bagi keluarga

27


INOVASI : Vol. 7. No. 1, Maret 2010

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

miskin, kedua program tersebut memiliki beberapa perbedaan.

keluarga miskin di tiap daerah tetapi berdasarkan jumlah penduduk yang ada di tiap daerah. Hal ini diperparah oleh klasifikasi keluarga miskin adalah rumah tangga dan bukan individu sehingga biaya kesehatan hanya mengcover satu orang miskin di tingkat rumah tangga. Hal lain yang menjadikan program subsidi ini juga adalah program yang bersifat sementara dan tidak bersifat jangka panjang. Hal ini menunjukkan bahwa kaum miskin hanya diberi perhatian ketika dana pemerintah masih tersedia dan program tersebut keberlanjutannya tergantung dari komitmen pemerintah di tingkat pusat atau daerah. Dengan kata lain, kedua program ini tidak memberi peluang untuk memberdayakan masyarakat terutama subsidi silang diantara orang miskin dan non miskin.

Roks et al (2009) mencatat bahwa Askeskin berbeda dengan Jamkesmas program sebelumnya untuk melindungi keluarga miskin. Pertama, program Askeskin dikelola oleh PT. Asuransi Kesehatan (Askes) bersama dengan Departemen Kesehatan sedangkan Jamkesmas hanya dikelola oleh Departemen Kesehatan dengan memberdayakan Dinas Kesehatan di tingkat daerah. Kedua, Askeskin hanya mengcover “the poor� atau orang miskin sedangkan Jamkesmas diperluas dengan mencover “the near poor� atau keluarga dan orang hampir miskin dalam masyarakat. Akan tetapi, kedua program ini pendekatannya lebih melihat dan mengklasifikasi orang miskin secara individu daripada keluarga seperti yang telah diterapkan sebelumnya oleh BKKBN.

Berdasarkan hal tersebut di atas, program asuransi pelayanan kesehatan dirasakan merupakan pilihan yang terbaik untuk melindungi keluarga miskin. Presscot (1999) berpendapat bahwa policy makers tidak boleh memberikan total subsidy untuk menanggulangi masalah pembiayaan kesehatan bagi masyarakat akan tetapi mereka harus memusatkan perhatian terhadap major group dan poor income group. Sehubungan dengan kondisi Indonesia, pemerintah sebagai pengambil keputusan, harus mempertimbangkan jumlah orang miskin dan masalah mereka yang berkaitan dengan pendapatan mereka untuk menjamin pembiayaan kesehatan bagi mereka.

Askeskin tidak lama dilaksanakan di Indonesia disebabkan oleh beberapa masalah yang berkaitan dengan manajemen institusi dan pelayanannya terhadap keluarga miskin. Arifianto, Marianti and Budiyati (2005) menyatakan bahwa masalah yang melatarbelakangi Askeskin dihentikan adalah masalah internal dan external yang dialami oleh PT Askes and Dinas Kesehatan (Provincial and District Health Department) dalam supervisi dan monitoring program. Selanjutnya, mereka berpendapat bahwa Askeskin adalah program yang sangat baik untuk menjamin biaya kesehatan primer bagi keluarga miskin di tingkat puskesmas. Akan tetapi, system rujukan kesehatan bagi keluarga miskin sangat tidak diperhatikan bagi pemegang Askeskin, contohnya adalah beberapa pasien rujukan dari puskesmas ke rumah sakit yang menggunakan kartu Askeskin ditolak untuk diobati dengan alasan PT Askes menolak untuk membiayai biaya kesehatan di beberapa rumah sakit.

JAMKESMAS SEBAGAI PROGRAM SPESIFIK

Selain program subsidi dirasakan tidak efisien untuk menghemat pembiayaan kesehatan yang dikeluarkan bagi pemerintah, program ini juga dirasakan tidak efektif untuk menanggulangi masalah yang berhubungan dengan akses keluarga miskin terhadap fasilitas kesehatan yang bermutu dan terjangkau oleh masyarakat miskin. Program subsidi bukan merupakan program yang terbaik untuk mempersempit gap yang terjadi dalam akses terhadap fasilitas dan pelayanan kesehatan dalam masyarakat.

Setelah menilik beberapa program yang telah dilaksanakan oleh pemerintah dalam melindungi kaum miskin dari beratnya beban pembayaran biaya kesehatan. Dapat dirasakan bahwa beberapa program yang terdahulu tidak ditujukan spesifik bagi keluarga miskin karena beberapa program subsidi diberikan oleh pemerintah pusat hanya melalui subsidi kesehatan yang bersifat umum dan pemberiannya disertakan bersama pembiayaan kesehatan bagi seluruh masyarakat. Contohnya adalah subsidi pembiayaan kesehatan bagi keluarga miskin bersamaan dengan dana peningkatan fasilitas kesehatan bagi masyarakat umum. Hal ini tidak langsung menyentuh masalah keluarga miskin. Subsidi dari pemerintah pusat ini tidak bersifat efektif karena tidak didasarkan pada jumlah

Tambahan lagi, Ensor and Ronoh (2005) berpendapat bahwa pembiayaan kesehatan dapat dilakukan melalui dua jalur yaitu pembiayaan langsung (direct user) atau (out of pocket) payment dan pembiayaan tidak langsung atau indirect payment yang dapat dilakukan dengan dua cara yaitu pembayaran yang dilakukan secara bertahap (pre payment) dan pembayaran yang dilakukab berdasarkan resiko kesehatan dan kekayaan (miskin dan kaya) yang dapat dilakukan dengan asuransi dan pajak umum. Mereka juga menambahkan bahwa asuransi yang wajib sesuai dengan pengalaman lebih sukses dibandingkan dengan program subsidi dan voucher karena asuransi kesehatan dapat memberikan keadilan dalam pelayanan kesehatan dengan adanya subsidi

28


INOVASI : Vol. 7. No. 1, Maret 2010

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

silang antara orang yang mampu dan orang yang tidak mampu.

program baru yang dikembangkan target populasinya yaitu tidak hanya mencover kaum miskin akan tetapi juga mencakup kaum yang hampir miskin untuk memiliki asuransi kesehatan. Jamkesmas kelihatannya akan menjadi skema atau program yang dekat dengan sempurna untuk memecahkan masalah yang berhubungan dengan pengeluaran biaya kesehatan yang tidak terduga bagi keluarga miskin yang jumlahnya diperkirakan sepertiga dari total populasi di Indonesia.

Program asuransi kesehatan dapat memproteksi orang miskin dari ketidakpastian dan mahalnya pembiayaan pelayanan kesehatan. Jayasuriya (1990) mencatat bahwa asuransi kesehatan adalah pilihan yang tepat untuk memproteksi keluarga miskin dari peningkatan pembiayaan kesehatan yang disebabkan oleh berkurangnya subsidi biaya kesehatan dari pemerintah. Waters, Anderson and Mays (2004) menambahkan bahwa skema asuransi kesehatan akan memprotek keadaan keuangan keluarga miskin untuk melindungi pembiayaan kesehatan yang tidak terduga. Karena hal ini sangat berpeluang untuk menciptakan utang di kalangan keluarga miskin (Van Damme, Leemput, Hardeman and Meessen, 2004).

EFEK PADA KAUM MISKIN Secara teori, konsep health insurance atau asuransi kesehatan “Jamkesmas� dapat mengatasi masalah kaum miskin yang berkaitan dengan kesulitan ekonomi untuk mengakses pelayanan kesehatan. Akan tetapi hal ini dapat berjalan sesuai konsep apabila pemerintah dapat menjamin efektifitas dan keberlangsungan program ini serta mengatur regulasi pelaksanaannya. Jika hal ini dapat terlaksana dengan baik, maka konsep dan tujuan dari mensejahterakan masyarakat kurang dan tidak mampu untuk mengakses pelayanan kesehatan yang terjangkau dan bermutu dapat tercapai. Faktorfaktor yang harus diperhatikan adalah target health insurance yang tepat, sistim asuransi yang terkelola dengan baik, sistim pelayanan kesehatan yang mendukung system asuransi kesehatan, technical support baik personel, sarana prasarana, biaya dan yang tidak kalah pentingnya adalah pengembangan network (jaringan).

Untuk itu system kesehatan membutuhkan skema yang dapat memecahkan masalah yang akan dihadapi oleh keluarga miskin. Supakankunti (2000) berpendapat bahwa asuransi kesehatan adalah salah satu cara untuk memproteksi keuangan untuk menghadapi biaya kesehatan yang tidak terduga serta resiko-resiko yang tidak terduga terkait ketidakmampuan pembiayaan kesehatan dan resiko mahalnya biaya kesehatan terutama bagi keluarga miskin. Hal tersebut menunjukkkan bahwa implementasi beberapa program untuk keluarga miskin untuk menciptakan keadilan dalam pelayanan kesehatan di Indonesia senantiasa berubah sepanjang waktu. Setelah krisis ekonomi melanda, beberapa program special untuk keluarga miskin telah dicanangkan dan dilaksanakan, akan tetapi program-program tersebut hanya bersifat sementara. Untuk itu pemerintah Indonesia perlu untuk menetapkan program proteksi pembiayaan kesehatan bagi masyarakat khususnya keluarga miskin yang bersifat jangka panjang dari pada yang bersifat temporary. the poor have been established but those programs are temporary policies.

“There are five key policies for governments to improve the effectiveness and sustainability of existing community financing schemes. Those are: (a) increased and well-targeted subsidies to pay for the premiums of low-income populations; (b) Insurance to protect against expenditure fluctuations and re-insurance to enlarge the effective size of small risk pools; (c) effective prevention and case management techniques to limit expenditure fluctuations; (d) technical support to strengthen the management capacity of local schemes; and (e) establishment and strengthening of links with the formal financing and provider networks� (Preker et al, 2002:p,148).

Indonesia needs to establish a long term health insurance scheme instead of short term scheme to protect the poor from the burden of health finance care. Keadaan ini berubah untuk sementara ini karena pemerintah Indonesian government telah membuat kebijakan yang benar dengan mencanangkan program asuransi kesehatan yaitu Askeskin or Jamkesmas. Jamkesmas lebih berprotensi untuk menjadi program pembiayaan kesehatan jangka panjang dibandingkan dengan Askeskin. Jamkesmas juga dirasakan program yang efektif dan efisien untuk memproteksi keluarga miskin dari beratnya beban pembiayaan pelayanan kesehatan bagi keluarga miskin dibanding programprogram sebelumnya. Program ini juga merupakan

Untuk kasus Jamkesmas sebagai salah satu system yang dapat membantu financial keluarga miskin untuk mengakses pelayanan kesehatan, efektifitas dan efisiensi melalui analisis teori dan implementasi program akan didiskusikan berikut ini: Jamkesmas adalah program asuransi kesehatan yang baru saja dicanangkan untuk menggantikan program Askeskin. Kedua program tersebut mempunyai beberapa karakteristik yang sama dan ada pula yang berbeda, untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut ini:

29


INOVASI : Vol. 7. No. 1, Maret 2010

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

mendukung dalam system asuransi kesehatan tersebut adalah tidak adanya sharing resiko diantara kaum miskin dan kaum berpunya. Akan tetapi, program asuransi kesehatan adalah sangat berguna untuk menjamin social security bagi keluarga miskin. Salah satu outcome dari Jamkesmas dapat diukur efektifitasnya melalui akses kaum miskin terhadap pelayanan kesehatan. Birsdal, Nancy and Hecht, Robert (2000) berpendapat bahwa pengukuran equity dalam pelayanan kesehatan adalah sangat tepat jika diukur dengan menggunakan pengukuran physical access and public expenditure dari pada pengukuan outcome of health. Dalam jangka pendek, akses pelayanan kesehatan oleh kelurga miskin dapat diukur dari biaya yang telah digunakan untuk mengakses pelayanan primer seperti Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) dan pembiayaan pelayanan rumah sakit (Segal et al, 2002). Doorsaler et al, 2006 mencatat bahwa konsumsi masyarakat Indonesia yang dihabiskan dari biaya asuransi (expenditures of insurances fees) setiap bulan adalah biaya rawat inap dan rawat jalan untuk rumah sakit, klinik dan obat-obatan.

Characteristics 1. Scheme nature 1.1 Participation 1.2 Model 1.3 Covered population

1.4 Coverage 2. Benefit package 2.1 Ambulatory services 2.2 In patient services 2.3 Choice of provider 2.4 Conditions included 2.5 Conditions excluded 2.6 Maternity benefits 2.7 Annual physical check-up 2.8 Prevention and health promotion 2.9 Services not covered

3. Financing 3.1 Source of funds

Social insurance Closest to social health insurance Identified poor and near poor, based on individual and household targeting 76.4 million Public Public and also private facilities Registration required Comprehensive package None Yes No Yes Cosmetic surgery, physical check-ups, alternative medicine, dental prostheses, fertility treatment

Jika ditinjau dari bentuknya sebagai asuransi kesehatan, Jamkesmas adalah merupakan program asuransi kesehatan yang ideal untuk meningkatkan partisipasi kaum miskin untuk mengakses pelayanan kesehatan yang dibiayai oleh pemerintah (public health services) dan bukan yang dibiayai oleh swasta (private health service). Hidayat, Thabrany, Dong and Sauerborn (2004) berpendapat bahwa perluasan target coverage dan target populasi bagi keluarga miskin akan efektif dan efisien untuk meningkatkan akses mereka kepada pelayanan kesehatan. Misalnya, selama ini yang terlihat di tengah masyarakat, pelayanan asuransi kesehatan untuk keluarga miskin termasuk Jamkesmas hanya dilaksanakan oleh pemerintah dan kurang didukung oleh pihak asuransi yang dikelola oleh swasta. Oleh karena itu program yang dilaksanakan oleh pemerintah dikatakan sebagai program pro-poor. Program pelayanan kesehatan yang dilaksanakan yang discover oleh asueramsi kesehatan beserta fasilitas pelayanan kesehatan pun sebagian besar disubsidi oleh pemerintah. Di lain pihak, program asuransi yang dilaksanakan oleh pihak swasta sangat sedikit yang melayani keluarga miskin ataupun sama sekali tidak berpihak kepada kaum miskin dan lebih berpihak kepada kaum miskin. Program asuransi lain yang bersifat mandatory health insurance yang dilaksanakan oleh pemerintah seperti program Asuransi kesehatan (Askes) bagi pegawai negeri sipil, pemegang kartu asuransi lebih banyak mengakses pelayanan kesehatan public daripada swasta terutama untuk pelayanan kesehatan rawat jalan. Sebaliknya, Jamsostek sebagai mandatory health insurance yang dikelola oleh swasta, pemegang polis asuransi sama

Tax-based “Premium� Rp.6000/capita

Source: Rokx et al (2009) Health Financing in Indonesia: A Reform Road Map in Directions in Development Human Development, The World Bank: Indonesia, pp:29-30 Asuransi kesehatan yang salah satu bentuknya adalah Jamkesmas dan Askeskin mempunyai beberapa karakteristik yang berbeda dari program asuransi kesehatan lainnya. Program asuransi kesehatan dapat meningkatkan dan membantu pengaturan financial untuk mengakses pelayanan kesehatan dengan menghasilkan uang untuk biaya kesehatan (Tabor, 2005). Akan tetapi, skema asuransi kesehatan bagi keluarga miskin adalah berbeda dari konsep program asuransi kesehatan umum lainnya. Tidak seperti program mandatory health insurance (Askes dan Jamsostek), Jamkesmas adalah program yang dibiayai sepenuhnya oleh pemerintah Indonesia melalui tax-revenues yaitu Rp.6000/capita. Kondisi ini tidak efisien untuk mengatasi masalah yang berhubungan dengan tingkat penggunaan pelayanan kesehatan untuk keluarga miskin terlebih lagi untuk meningkatkan akses pelayanan kesehatan yang bermutu bagi keluarga miskin dalam waktu jangka panjang. Kedua system asuransi kesehatan yang telah dilaksanakan hanya mengandalkan dana dari pajak dari pemerintah pusat tidak dapat diharapkan berlangsung lama dengan logika jumlah keluarga miskin semakin bertambah dan pembayar pajak akan semakin berkurang. Hal lain yang tidak

30


INOVASI : Vol. 7. No. 1, Maret 2010

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

target populasi bagi keluarga miskin. Analysis target populasi yang tepat akan mengurangi subsidi dari pemerintah untuk membiayai pasien rawat jalan dan rawat inap. Hasil penelitian dari Pradhan and Prescott (2002) ditemukan bahwa besarnya jumlah subsidi pemerintah bagi pelayanan kesehatan akan efektif jika sebagian besar biaya diperuntukkan bagi pasien rawat inap. Akan tetapi mereka menyarankan bahwa subsidi biaya kesehatan akan lebih bersifat cost efektif lagi jika kebijakan untuk menurunkan beratnya beban pembiayan kesehatan dalam masyarakat ditujukan berbeda bagi kaum miskin dan kaum mampu. Kaum miskin sebaiknya diberikan subsidi yang jumlahnya sama besar untuk pelayanan rawat inap dan biaya pelayanan kesehatan rawat jalan. Sedangkan untuk kaum mampu sebaiknya biaya pelayanan kesehatan yang disubsidi adalah hanya untuk pelayanan kesehatan rawat inap. Dengan asumsi mereka dapat membayar biaya pelayanan kesehatan rawat jalan. Untuk itu Jamkesmas butuh proses yang lebih konprehensive yang mengcover tidak hanya kaum miskin tetapi juga kaum yang mampu dan mau menjadi anggota volunteer.

persentagenya dalam mengakses pelayanan kesehatan yang disediakan oleh pemerintah maupun yang disediakan oleh swasta yang utamanya pelayanan kesehatan rawat jalan. Program Jamkesmas yang diperuntukkan mengcover kaum miskin, orang yang terdaftar dalam kategori memenuhi syarat sebagai pemegang kartu lebih banyak menggunakan pelayanan kesehatan public dari pada pelayanan kesehatan swasta. Jamkesmas membutuhkan strategi untuk menjamin efektifitas pelaksanaannya serta keadaan keuangan dan system klasifikasi pihak yang berwenang sebagai orang miskin yang berhak mendapatkan bantuan. Selanjutnya, program ini juga harus memastikan pelayanan kesehatan yang diterima oleh kaum miskin tersebut berlangsung dengan baik di setiap level pelayanan, di tingkat pelayanan kesehatan primer (misalnya puskesmas) maupun di tingkat pelayanan kesehatan sekunder (hospital). Salah satu masalah yang berkaitan dengan akses pelayanan kesehatan di rumah sakit adalah pihak penanggung jawab rumah sakit tidak dapat menerima pembayaran lebih dari biaya yang telah ditetapkan oleh pemerintah (Hearst and Blas, 2001). Mereka juga berpendapat bahwa kebijakan untuk pembiayaan keuangan rumah sakit di Indonesia dapat berubah menurut kebijakan internal rumah sakit itu sendiri. Hal ini terjadi terutama pada rumah sakit pemerintah biasanya meningkatkan kualitas pelayanan dengan cara mengganti fasilitas, sarana dan prasarana rumah sakit yang lebih baik dengan meningkatkan tarif rumah sakit. Fasilitas yang ditingkatkan tersebut diperuntukkan bagi pasien yang mampu sebagai private services untuk mensubsidi pelayanan kesehatan lain yang diperuntukkan bagi keluarga kurang mampu.

Dalam mengimplementasikan program Jamkesmas untuk pelayanan kesehatan, keadaan geografi juga dibutuhkan untuk dijadikan pertimbangan karena letak geografi dapat mempengaruhi karakteristik penduduk. Sebagaimana Ruiz, Amaya and Venegas (2007) berpendapat bahwa geografi dan income dapat mempengaruhi besarnya biaya yang dikeluarkan untuk membiayai pelayanan kesehatan. Secara geografis, penduduk diklasifikasikan kaum miskin “rural poor” or miskin kota “urban poor”. Sebagai contoh, Preker et al (2002) menggambarkan bahwa terdapat banyak masalah yang berhubungan dengan kesehatan yang dialami oleh masyarakat miskin kota dan pekerja informal yang menerima gaji menengah dan gaji yang sangat rendah. Untuk mengatasi masalah kesehatan yang berhubungan dengan masalah geografi tersebut, Victora et al (2003) mengusulkan pemecahan masalah yang berhubungan dengan akses intervensi kesehatan bagi masyarakat miskin terutama masyarakat miskin yang bermukim di daerah yang terpencil.

Dengan kata lain, keuntungan dari pelayanan kesehatan dengan fasilitas baru di peruntukkan untuk mensubsidi fasilitas dari pemerintah. Akan tetapi, Jutting (2004) berpendapat bahwa seharusnya masyarakat yang menjadi anggota asuransi kesehatan komunitas seharusnya membayar biaya rumah sakit yang lebih murah ketika dalam tingkat hospitalisasi dan dengan kualitas yang baik. Oleh karena itu pengelola Jamkesmas seharusnya dapat mengenali masalahmasalah yang berhubungan dengan akses pelayanan kesehatan di semua tingkat pelayanan dan memastikan kaum miskin dapat mengakses pelayanan kesehatan yang bermutu sesuai dengan kebutuhan mereka.

Berdasarkan kondisi tersebut di atas, Jamkesmas sebagai program yang disubsidi oleh pemerintah perlu diatur pelaksanaannya berdasarkan pertimbangan target pelayanan kesehatan (criteria penduduk miskin), jenis pelayanan kesehatan dan kondisi geografi masyarakat miskin. Target Jamkesmas sebaiknya diperluas karena Jamkesmas diharapkan menjadi community based health insurance. Program ini seyogyanya mengcover masyarakat miskin tidak hanya “masyarakat yang benar-benar miskin/the poor” tetapi juga hendaknya melindungi “masyakarakat yang hampir

JENIS PELAYANAN Jamkesmas akan efektif untuk menanggulangi biaya kesehatan bagi pasien rawat inap dan pasien rawat jalan jika pelaksanaan program ini didasarkan pada

31


INOVASI : Vol. 7. No. 1, Maret 2010

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

miskin/near poor” dan juga spesifik group. Sebagai contoh, Secara geografis, program ini perlu mempertimbangkan letak tempat tinggal masyakat miskin tersebut yang dapat dibedakan menjadi dua criteria yaitu masyarakat miskin yang tinggal di pedesaan (the rural poor) dan masyarakat yang tinggal di perkotaan (the urban poor). Sebagai contoh adalah asuransi kesehatan yang dilaksanakan di Mesir membentuk “Self Employed Women’s Association’s Medical Insurance Fund”. Asuransi yang mempunyai target group yang spesifik adalah asuransi “The School Health Insurance Program” yang dilaksanakan pula di Mesir dengan target populasi adalah anak-anak (Yip and Berman, 2001). Bertolak dari contoh-contoh tersebut, penulis berpendapat bahwa Jamkesmas sebagai asuransi kesehatan komunitas, sebaiknya membedakan target populasi dalam beberapa kelompok target yang spesifik sehingga efisiensi dan efektifitas pelaksanaan program berjalan dengan baik dalam melindungi keluarga miskin dari pengeluaran biaya kesehatan yang tidak terduga atau mahalnya biaya pelayanan kesehatan.

DAFTAR PUSTAKA

KESIMPULAN

Bennett, Sara., Creese, Andrew, and Monasch (1997) “Health Insurance Schemes for People Outside Formal Sector Employement” ARA Paper of the World Health Organization No.16.

Alatas, V et al (2009) “How to Target the Poor: Evidence from a Field Experiment in Indonesia”. The World Bank and Indonesia Bureau of Statistic working paper. Arifiyanto, A., Marianti., Budiyati, S and Tan, E (2005) “Making Services Work for the Poor in Indonesia: A Report on Health Financing Mechanisms in Kabupaten Tabanan, Bali: A Case Study”. Smeru Field Report and the World Bank: Indonesia. Bayarsaikhan, D (2005) “Current Challenges in Delivering Social Security Health Insurance: Current Needs and Challenges in Delivering Social Health Insurance in Asia and the Pasific”, Delivered International Social Security Association (ISSA) Meeting of Directors of Social Security Organizations in Asia and the Pasific, Seoul, Republic of Korea, 9-11 November 2005.

Pemerintah Indonesia telah membentuk program Jamkesmas yang merupakan the best program asuransi kesehatan yang ditujukan untuk melindungi kaum miskin dan diperluas cakupannya sebagai community based health insurance yang akan melindungi seluruh masyarakat Indonesia. Sebagai community base health insurance, Jamkesmas diharapkan menghasilkan social income dari pada real income “uang”.

Birsdal, Nancy and Hecht, Robert (2000) Swimming Against the Tide: Strategies for Improving Equity in Health, The World Bank: Washington Dc. Doorsaler, E et al (2006) “Effect of Payments for Health Care on Poverty Estimates in 11 Countries in Asia: an Analysis of Household Survey Data”. www.the lancet.com, Vol 368, pp: 1357-1364.

Jamkesmas adalah salah satu strategi social risk management dari pemerintah untuk melindungi kaum miskin dari beratnya beban pelayanan kesehatan dan ketidakmampuan untuk mengcover pembiayaan pelayanan kesehatan. Selanjutnya program ini akan pula melindungi kaum miskin dari mahalnya biaya pelayanan kesehatan dan biaya pelayanan kesehatan yang tidak terduga.

Ensor, Tim and Ronoh, Jeptepkeny (2005) “Effective Financing of Maternal Health Services: A Review of the Literature”. Health Policy, Vol 75, pp: 49-58.

Jamkesmas akan efektif melindungi kaum miskin apabila didasarkan bahwa target pelayanan kesehatan yang tepat/spesifik yaitu orang miskin (the poor), masyarakat hampir miskin (the near poor) dan kelompok-kelompok kaum yang lemah dan tidak mempunyai akses (the weak community’s group) seperti kelompok wanita dan kelompok anak sekolah. Selanjutnya, Jamkesmas harus memastikan outcome dari pelayanan kesehatan bagi kaum miskin tersebut di setiap level pelayanan kesehatan baik tingkat pelayanan primer (puskesmas) maupun di tingkat pelayanan sekunder seperti rumah sakit dan juga memastikan jenis pelayanan kesehatan apakah rawat jalan atau rawat inap.

Filmer, D., Hammer, J.S. and Pritchett, L.H (2000) “Weak Links in the Chain: A Diagnosis of Health Policy in Poor Countries”. The World Bank Research Observer, Vol 15(2), pp:199224. Gwatkin, DR,. Bhuiya, A and Victora, V.G (2004) “Making Health Systems More Equitable”. www.thelancet.com. Vol 364, pp: 1273-1280. Hearst, Norman and Blas, Erik (2001) “Learning from Experience: Research on Health Sector Reform in the Developing World”. Health Policy and Planning. Vol 16(2), pp:1-3.

32


INOVASI : Vol. 7. No. 1, Maret 2010

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

Hidayat, B,. Thabrany, H,. Dong, H, and Sauerborn, R (2004) “The Effect of Mandatory Health Insurance on Equity in Access to Outpatient Care in Indonesia”. Health Policy and Planning, Vol 19(5), pp:322-335.

the poor benefiting?”. Eur Journal Health Economy, Vol 9, pp: 385-392 O’Donnell, O et al (2008) “Who Pays for Health Care in Asia?”. Journal of Health Economics. Vol 27, pp:460-475

Jayasuriya, Rohan (1990) “Is Health Insurance an option for Sri Lanka?”. Health Policy and Planning, Vol 5(4), pp:336-346.

Ogawa, S,. Hasegawa, T,. Carrin, G and Kawabata, K (2003) “Scalling up Community Health Insurance: Japan’s Experience with the 19th Century Jyorei Scheme”. Vol 18(3), pp: 270278

Jimenez, Emmanuel (1986) “The Public Subsidization of Education and Health in Developing Countries: A Review of Equity and Efficiency. Research Observer, Vol 1(1), pp: 111-129

Poerwanto, S., Stevenson, M and de Klerk, N (2003) “Infant Mortality and Family Welfare: Policy Implications for Indonesia”. Journal Epidemiol Community Health. Vol 57, pp:493-498

Jorgensen, Steen Lau and van Domelan, Julie (1999) “Helping the Poor Manage Risk Better: The Role of Social Funds. Social Protection Discussion Paper Series, No. 9934, the World Bank: Washington DC

Pradhan, Menno and Prescott, Nicholas (2002) “Social Risk Management Options for Medical Care in Indonesia”. Health economic, Vol 11, pp: 431-446

Jowett, Matthew (2003) “Do Informal Risk Sharing Networks Crowd Out Public Voluntary Health Insurance? Evidence from Vietnam”. Applied Economics, Vol 35, pp: 1153-1161

Pradhan, M., Saadah, F and Sparrow, R (2007)” Did the Health Card Program Ensure Access to Medical Care for the Poor during Indonesia’s Economic Crisis?”, The World Bank Economic Review Advance Access. Pp: 1-26

Jutting, Johannes P (2004) “Do Community-Based Health Insurance Schemes Improve Poor People’s Access to Health Care? Evidence from Rural Senegal”. World Development, Vol 32(2), pp: 273-288

Preker,

Kristiansen, S and Santoso, P (2006) “Surviving Desentralization?: Impact of Regional Autonomy on Health Service Provision in Indonesia” . Health Policy, Vol 77, pp: 247259

A.S et al (2002) “Effectiveness of Community Health Financing in Meeting the Cost of Illness”. Bulletin of the World Health Organization, Vol 80(2), pp:143-150

Prescott, Nicholas (1999) “Coping with Catastophic Health Schocks” delivered at the Conference on Social Protection and Poverty on 5th February 1999, Washington DC.

Kunst, Anton.E and Houweling, Tanja (2001) “A Global Picture of Poor-Rich Differences in the Utilization of Delivery Care”. Studies in HSO&P, Vol 17, pp: 293-311.

Ranson, Michael Kent (2002) “Reduction of Catastophic Health Care Expenditures by a Community-Based Health Insurance Scheme in Gujarat, India: Current Experiences and Challenges”. Bulletin of The World Health Organization, Vol 80, pp:613-621

Lim, M.K (2003) “Shifting the Busrden of Health Care Finance: A Case Study of Public-Private Partnership in Singapore”. Journal Health Policy, Vol, 69, pp:83-92.

Reich, Michael R (2002) “The Politics of Reforming Health Policies”. IUHPE-Promotion and Eeducation, Vol 9(4), pp: 138-142

Mladovski, Philipa and Mossialos, Elias (2008) “A Conceptual Framework for CommunityBased Health Insurance in Low-Income Countries: Social Capital and Economic Development”. World Development. Vol 36(4), pp:590-607

Rokx et al (2009) Health Financing in Indonesia: A Reform Road Map in Directions in Development Human Development, The World Bank: Indonesia. Ruiz, F,. Amaya, L and Venegas, S (2007) “ Progressive Segmented Health Insurance: Colombian Health Reform and Access to Health Service”. Vol, 16, pp: 3-18.

Nadjib, M., Quayyum, Z and Megraini, A (2008)” Public funding for community-based skilled delivery care in Indonesia: to what extent are

33


INOVASI : Vol. 7. No. 1, Maret 2010

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

Segal, M et al (2002) “Economic Transition Should Come with a Health Warning: the case of Vietnam”.Journal Epidemiol Community Health, Vol 56, pp:497-505 Sekhri, Neelam and Savedoff, William (2005) “Private Health Insurance: Implications for developing countries”. Bulletin of the World Health Organization. Vol 83, pp:127-134. Sumarto, S., Suryahadi, A and Pritchett, L (2000) “Safety Nets and Safety Ropes: Who Benefited from Two Indonesian Crisis Programs-the “Poor” or the “Shocked”. Policy Research Working Paper, No 2436, The World Bank: Washington DC Supakankunti, Siripen (2000) “Future Prospects of Voluntary Health Insurance in Thailand, Health Policy and Planning, Vol, 15(1), pp: 85-94. Tabor, Steven R (2005) “Community-Based Health Insurance and Social Protection Policy”. Social Protection Discussion Paper Series. No.0503 The World Bank: Washington Van Damme, W,. Van Leemput, L., Por, I, Hardeman, W and Meesen, B (2004) “Out of Pocket Health Expenditure and Debt in Poor Households: Evidence from Cambodia”. Tropical Medicine and International Health, Vol 9(2), pp: 273-280 Van de Walle, D (1994)” The Distribution of Subsidies Through Public Health Services in Indonesia, 1978-87”. The World Bank Economic Review. Vol.8 (2). Pp:279-309 Victora, C.G et al (2003) “Applying an Equity Lens to Child Health and Mortality: More of the Same is Enough”. www. the Lancet.com, Vol 362, pp: 233-241 Yip, Winnie and Berman, Peter (2001) “Targeted Health Insurance in A Low Income Country and Its Impact on Access and Equity in Access: Egypt’s School Health Insurance”. Health Economics, Vol 10, pp: 207-220 Waters, H.R., Anderson, G.F. and Mays, J (2004) “ Measuring Financial Protection in the United States”. Health policy. Vol.69, pp: 339-349 Wagstaff, A et al (2004) “Child Health: Reaching the Poor”. American Journal of Public Health, Vol 94(5), pp: 726-736

34


INOVASI : Vol. 7. No. 1, Maret 2010

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

Perempuan Dan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Supsiloani1) 1)

Dosen/Staf Pengajar pada Universitas Negeri Medan

Abstraksi Terdapat sejumlah alasan hingga kekerasan dalam rumah tangga yang terjadi di Indonesia harus disebut sebagai kejahatan. Tulisan ini akan memaparkan alasan-alasan mendasar secara garis besarnya yaitu alasan berdasarkan fakta dan alasan berdasarkan komitmen negara, serta mitos dan fakta yang terjadi di tengah-tengah masyarakat terhadap perempuan dalam membina rumah tangga.

Kata kunci :Perempuan, kekerasan, rumah tangga. terjadinya kekerasan terhadap perempuan atas 3 lingkup, yaitu di keluarga (domestic), di masyarakat (public domain), serta dilakukan oleh negara (state).Pembagian ruang lingkup ini kemudian menguak kejahatan yang selama ini tersembunyi dan terlindungi dari intervensi luar untuk membantu korban dari berbagai bentuk kekerasan dalam keluarga. Belakangan dikenal dengan sebutan kekerasan dalam rumah tangga (domestic violence). Kekerasan dalam rumah tangga bisa menimpa siapa saja termasuk ibu, bapak, istri, suami, anak atau pembantu rumah tangga. Namun, secara umum pengertian kekerasan dalam rumah tangga lebih dipersempit artinya sebagai penganiayaan istri oleh suami. Hal ini bisa dimengerti karena kebanyakan korban kekerasan dalam rumah tangga adalah istri yang sudah barang tentu pelakunya adalah suami “tercinta�. Di dalam rumah tangga, ketegangan maupun konflik merupakan hal yang biasa. Perselisihan pendapat, perdebatan, pertengkaran, saling mengejek atau bahkan memaki lumrah terjadi. Tetapi semua itu tidak serta merta disebut sebagai bentuk kekerasan dalam rumah tangga. Kekerasan dalam rumah tangga jauh lebih buruk dan hal ini umumnya terjadi bila hubungan antara korban dan pelaku tidak setara. Lazimnya pelaku kekerasan mempunyai status dan kekuasaan yang lebih besar baik dari segi ekonomi, kekuatan fisik maupun status sosial dalam keluarga. Dan karena posisinya yang khusus tersebut pelaku kerap kali memaksakan kehendaknya untuk diikuti oleh orang lain. Untuk mencapai keinginannya pelaku akan menggunakan berbagai cara, kalau perlu cara kekerasan.

PENDAHULUAN Masalah kekerasan terhadap perempuan di Indonesia merupakan permasalahan yang serius dan terjadi bertahun-tahun dan dapat ditemukan di berbagai lingkungan, baik di lingkungan keluarga, tempat kerja, masyarakat dan negara dengan berbagai bentuk dan jenis kekerasannya. Banyak kekerasan yang terjadi terhadap perempuan dalam prakteknya tidak dilihat sebagai suatu pelanggaran atau kejahatan. Artinya, kondisi tersebut dari waktu ke waktu diterima oleh masyarakat termasuk kaum perempuan sendiri sebagai sesuatu yang sudah seharusnya atau sudah sangat patut terjadi. Kondisi demikian tidak terjadi secara serta merta namun terjadi dalam suatu proses yang panjang dan melalui berbagai bidang kehidupan yang dijalani dalam kehidupan sehari-hari. Masalah kekerasan terhadap perempuan baru mulai secara terbuka dibicarakan dan dibahas pada sekitar tahun 1990-an yang antara lain ditandai dengan mulai maraknya kampanye anti kekerasan terhadap perempuan, serta semakin mantapnya keberadaan organisasi non-pemerintah dan Lembaga Swadaya Masyarakat yang peduli terhadap perempuan korban kekerasan. Serangkaian lokakarya nasional mengenai kekerasan terhadap perempuan mengisyaratkan bahwa kekerasan terhadap perempuan pada dasarnya berakar pada sistem budaya patriarkhi yang berpengaruh pada rendahnya status dan kedudukan perempuan di hampir seluruh bidang kehidupan. Interpretasi agama yang keliru juga seringkali berpengaruh pada terjadinya sub-ordinasi dan beban ganda bagi kaum perempuan. Disamping itu, pengaruh feodalisme yang selain menyebabkan sub-ordinasi juga mendorong terjadinya marjinalisasi perempuan serta kehidupan sosial, kehidupan ekonomi, dan kehidupan politik yang tidak adil bagi perempuan.

APA ITU KEKERASAN RUMAH TANGGA

DALAM

Memang tidak terdapat satu defenisi tunggal dan juga jelas yang berkaitan dengan kekerasan dalam rumah tangga. Secara umum biasanya yang

Deklarasi Penghapusan Segala Bentuk Kekerasan Terhadap Perempuan (PBB, 1993) membagi ruang

35


INOVASI : Vol. 7. No. 1, Maret 2010

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

termasuk dalam tindak kekerasan adalah melakukan kontrol, kekerasan dan pemaksaan yang meliputi tindakan seksual, psikologis, dan ekonomi. Ini dilakukan seorang individu terhadap individu yang lain di dalam hubungan rumah tangga atau hubungan yang intim (karib). Tindakan kekerasan seperti ini dapat terjadi terhadap setiap individu tanpa memperdulikan latar belakang ras, etnis atau kelompok sosial dan ekonomi tertentu. Korban dari kekerasan domestik sendiri akan merasakan akibat atau dampaknya dalam berbagai bentuk, baik secara medis, emosional,personal (kepribadian) maupun profesional (2002:111).

macam, mulai dari pemaksaan hubungan seksual ketika istri tidak siap melakukannya, hubungan seksual yang diiringi penyiksaan, atau pemaksaan hubungan seksual dengan cara yang tidak dikehendaki istri. Sedangkan yang dapat dikatakan sebagai kekerasan secara ekonomi dapat berbentuk tindakan tidak memberi nafkah istri,menjual atau memaksa istri bekerja untuk dieksploitasi sebagai pelacur, atau menghambur-hamburkan penghasilan istri untuk bermain judi, minum alkohol, dan sebagainya. Dalam hal ini, masalah komunikasi sangatlah sentral dalam turut menyumbang terjadinya kekerasan di dalam rumah tangga. Kesulitan dalam berkomunikasi antara suami dengan istri, tidak mengetahui apa yang diinginkan suami atau istri, sering berpuncak pada terjadinya kekerasan di dalam rumah tangga. Kekerasan dianggap sebagai suatu cara untuk menyelesaikan masalah secara efektif. Walaupun mengalami kekerasan oleh pasangan dan menghendaki agar kekerasan tersebut dihentikan, bagi perempuan umumnya bukanlah suatu hal yang mudah untuk memutus mata rantai kekerasan karena adanya stigma negatip di tengah masyarakat bagi perempuan yang menyandang predikat janda. Perempuan yang telah terkondisikan untuk tergantung secara ekonomi dan emosional pada suami akan merasa sulit ketika harus mengambil suatu keputusan, selain faktor terpenting yakni faktor hati, karena banyak perempuan yang menyatakan karena cinta maka mereka harus bisa menanggung sisi buruk dari orang yang dicintainya tersebut.

Kekerasan dalam rumah tangga bisa terjadi dalam bentuk kekerasan fisik, psikologis/emosional, seksual, ekonomi, dan sosial. Kekerasan secara fisik umumnya berakibat langsung dan dapat dilihat oleh mata seperti memar-memar di tubuh atau goresangoresan luka, yang antara lain diakibatkan oleh tindakan penamparan, pemukulan, tendangan, melukai dengan menggunakan senjata, dan sebagainya. Di masyarakat peristiwa suami menempeleng istri bukanlah berita yang mengejutkan. Perlakuan tersebut telah dianggap sebagai sesuatu yang wajar dan sering kali terjadi. Masyarakat telah terbiasa menyaksikan berbagai bentuk penganiayaan yang dilakukan seorang suami kepada istri, baik secara langsung ataupun melalui pemberitaan di media massa seperti koran, majalah dan televisi. Masyarakat baru akan terkejut bila mendapati kenyataan ada suami yang tega menyerang istrinya dengan senjata tajam yang mematikan atau memaksa istri dengan berbagai cara untuk menjadi pekerja seks.

Sedangkan secara sosial budaya, perempuan dikonstruksikan untuk menjadi istri yang baik, yang pandai menyenangkan suami dan menjaga keutuhan rumah tangga. Dengan demikian perempuan atau istri dituntut untuk memiliki tanggung jawab yang besar atas kelestarian perkawinan. Ketika konflik muncul maka pertama kali istri akan menyalahkan diri sendiri dan mencari sebab-sebab konflik dalam dirinya. Walaupun introspeksi merupakan hal yang positif tetapi dapat pula menjadi hambatan ketika perempuan akan membuat keputusan saat mengalami kekerasan.

Sedangkan kekerasan secara psikologis/emosional tidak menimbulkan akibat langsung tetapi dampaknya bisa sangat memutusasakan apabila berlangsung berulang-ulang. Dalam kekerasan emosional termasuk dalam penggunaan kata-kata kasar, penghinaan, komentar-komentar yang merendahkan, pelarangan-pelarangan, dan ancaman-ancaman. Jadi, kekerasan terhadap istri sebenarnya tidak terbatas pada deraan yang bersifat badani seperti menampar, menggigit, memukul, menendang, melempar, membenturkan ke tembok sampai membunuh. Ada bentuk-bentuk penganiayaan lainnya yang bersifat kejiwaan atau emosi, seperti dalam bentuk penanaman rasa takut melalui intimidasi, ancaman, hinaan, makian, mengecilkan arti istri, sampai membatasi ruang geraknya.

Kekerasan dalam rumah tangga, khususnya penganiayaan istri, merupakan salah satu penyebab kekacauan dalam masyarakat. Berbagai penelitian memastikan bahwa penganiayaan istri tidak berhenti pada penderitaan seorang istri atau anakanaknya saja. Rentetan penderitaan itu akan menular ke luar lingkup rumah tangga dan selanjutnya mewarnai kehidupan masyarakat. Berbagai bentuk tindak kekerasan yang dilakukan anak-anak, remaja dan orang dewasa, jika ditelusuri secara seksama, berakar pada proses pembelajaran di dalam rumah tangga. Kebanyakan anak-anak

Selain penganiayaan fisik dan mental, berdasarkan kenyataan, kaum istri kerap sekali mengalami penganiayaan secara seksual. Kekerasan seksual lebih sulit lagi dilihat karena tempat kejadiannya yang sangat tersembunyi yaitu dalam hubungan intim suami-istri. Bentuknya juga bermacam-

36


INOVASI : Vol. 7. No. 1, Maret 2010

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

yang tumbuh dalam rumah tangga yang penuh kekerasan akan menjadi orang yang kejam. Penelitian memperlihatkan bahwa 50 % sampai 80% laki-laki yang memukul istri dan anak-anak ternyata dibesarkan dalam rumah tangga yang ayah atau suaminya memukul ibu atau istrinya (Ciciek, 1999:23).

Indonesia tidak hanya terbatas pada masyarakat yang beragama Islam saja. Dalam buku Keluarga Jawa, Hildred Geertz mengungkapkan bahwa laki-laki dan perempuan biasanya berbagi rata kekuasaan dan tanggung jawab dalam perkawinan meskipun ada pembagian tugas yang tegas dalam urusan keluarga. Walaupun demikian, masih ada kepercayaan tentang karakteristik yang melekat pada laki-laki dan perempuan yang menyebabkan diterimanya perbedaan hak antara laki-laki dan perempuan. Sebagai contoh, hubungan di luar nikah atau perselingkuhan akan lebih ditolerir pada laki-laki daripada kalau dilakukan oleh perempuan karena laki-laki dianggap secara alami tidak mempunyai tanggung jawab moral dibanding perempuan. Perempuan atau istri cenderung menerima kelakuan suami “nrimo” karena nilai kepatuhan yang diyakini dan pasrah tanpa usaha, bahkan tidak berani menanyakan apalagi membahasnya karena merasa takut mendapat ancaman dan perlakuan kasar secara fisik dari suaminya (Geertz, 1983:135).

Sebagai salah satu negara anggota PBB dan negara peserta ratifikasi Konvensi PBB, Indonesia terikat pada sejumlah kesepakatan dan perjanjian Internasional/ konvensi mengenai diskriminasi. Salah satunya adalah Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan tahun 1979. Konvensi PBB tersebut telah diratifikasi oleh Indonesia dengan Undang-undang No.7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan. Adapun mengenai pengertian diskriminasi terhadap perempuan dalam konvensi ini, Rekomendasi Umum Majelis Umum PBB No.19 Tahun 1992 menegaskan bahwa kekerasan terhadap perempuan sebagai kekerasan berbasis gender merupakan salah satu bentuk diskriminasi (Kolibonso, 2002:12).

ANTARA MITOS DAN FAKTA

Deklarasi Tentang Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan (PBB,1993) pasal 1 menyebutkan : “Kekerasan Terhadap Perempuan adalah “setiap tindakan berdasarkan perbedaan jenis kelamin (gender- based violence) yang berakibat atau mungkin berakibat kesengsaraan atau penderitaan perempuan secara fisik, seksual atau psikologis, termasuk ancaman tindakan tertentu, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang, baik yang terjadi di depan umum atau dalam kehidupan pribadi”.

Pengaruh mitos merupakan suatu hal yang patut dicermati dalam masalah kekerasan dalam rumah tangga. Mitos adalah suatu kisah yang tidak berdasarkan kenyataan, bahkan bertentangan dengan kenyataan, dan masyarakat pada umumnya masih sangat meyakini mitos-mitos ini. Di sisi lain, mitos sebenarnya sangat mempengaruhi sikap masyarakat terhadap persoalan kekerasan dalam rumah tangga termasuk sikap penegak hukum, pejabat, dan aparat keamanan. Berbagai mitos yang berkembang di tengah masyarakat adalah mitos bahwa kekerasan di rumah tangga jarang terjadi, pelaku kekerasan adalah orang yang tidak taat pada agama, kekerasan hanya terjadi pada kalangan miskin dan berpendidikan rendah, rumah tangga adalah urusan pribadi, apapun yang terjadi di dalam rumah tangga tidak boleh dicampuri orang lain, penganiayaan terjadi karena suami kehilangan kontrol sesaat, dan penganiaya mengalami gangguan atau sakit jiwa atau mabuk. Sedangkan faktanya sangat berbeda, fakta sebagai sebuah kebenaran harus menjadi pengetahuan umum agar kekerasan dalam rumah tangga dapat dihapus.

Meskipun telah diupayakan penghapusan diskriminasi terhadap perempuan melalui konvensi PBB tersebut, ternyata pelanggaran hak asasi manusia khususnya yang menyengsarakan perempuan secara fisik, seksual dan psikologis masih saja terjadi. Di dalam masyarakat sering dijumpai ketidakadilan terhadap perempuan. Adanya pandangan bahwa peran reproduksi dan domestik perempuan seolah-olah tidak memberikan konstribusi apa-apa bagi pembangunan menjadikan perempuan sebagai manusia kelas dua. Dalam tradisi Jawa misalnya, perempuan dibatasi oleh tradisi keperempuanan ideal yang mengutamakan nilai-nilai kepatuhan dan ketaatan. Nilai ini sangat dipengaruhi oleh ajaran agama Islam yang menginterpretasikan laki-laki sebagai pemimpin sehingga mengharuskan perempuan/isteri patuh kepada suaminya. Bahkan kepatuhan ini direfleksikan dalam ungkapan swarga nunut nraka katut, yang artinya seorang isteri harus patuh dan mengikuti suaminya dengan setia. Nilai kepatuhan ini nampaknya ada pada hampir seluruh masyarakat

Fakta yang terjadi di tengah masyarakat adalah satu dari setiap tiga istri pernah mengalami kekerasan dalam rumah tangga, dan kenyataannya terdapat juga para tokoh agama yang melakukan tindak kekerasan terhadap istri. Disamping itu, ditemukan juga bahwa diantara kasus penganiayaan istri dalil keagamaan digunakan sebagai landasan pembenaran terhadap tindakan suami. Kekerasan sebenarnya terjadi di semua lapisan masyarakat, penganiayaan tidak mengenal batasan kedudukan,

37


INOVASI : Vol. 7. No. 1, Maret 2010

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

pendidikan, umur, kaya atau miskin. Dan penganiayaan yang dilakukan suami justru merupakan kontrol dan sebagai penciptaan rasa takut. Ada juga sementara penganiaya memang mengalami gangguan jiwa atau mabuk ketika melakukan serangan. Namun dalam kenyataannya lebih banyak suami yang menyerang istrinya dalam keadaan normal (tidak mabuk atau tergangggu jiwanya) (Ciciek, 1999:29).

tahun 2000 menerima pengaduan sebanyak 994 kasus kekerasan terhadap istri yang terjadi di Yogyakarta dan Jawa Tengah (Hakimi, 2001:28). Women’s Crisis Center ini umumnya menyediakan layanan secara Cuma-Cuma berupa hotline, konseling, shelter, dan bantuan lainnya seperti bantuan hukum, medis bagi perempuan dan anak (Hasyim, 2000:1).

Mitra Perempuan Women’s Crisis Center yang berkedudukan di Jakarta selama tahun 1997-2002 telah menerima pengaduan 879 kasus kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga yang terjadi di Jakarta, Bogor, Tangerang, Bekasi dan sekitarnya. Fakta memperlihatkan bahwa pelaku kekerasan terbanyak adalah suami korban (69,2674%), dan menurut catatan Mitra Perempuan hanya 15,2% saja dari para perempuan yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga yang menempuh upaya hukum seperti melapor ke kepolisian, atau menggugat perceraian ke pengadilan. Sementara mayoritas dari korban memutuskan untuk pindah dari rumah (45,2%) dan 10,9 % dari mereka berdiam diri (Kolibonso, 2000:32).

Menurut Rita Serena Kolibonso, data statistik yang lengkap mengenai kasus kekerasan dalam rumah tangga yang terjadi di seluruh Indonesia memang tidak tersedia, tetapi sedikitnya terdapat dua alasan yang saling berkaitan untuk menjawab mengenai kekosongan data tersebut. Pertama, kekerasan dalam rumah tangga sejauh ini tidak dikenal sebagai kejahatan dalam masyarakat meskipun banyak terjadi di banyak tempat seperti tindakan perkosaan, penyiksaan terhadap istri, penyiksaan terhadap anak, incest, pemasungan, pembunuhan dan bentuk kekerasan lainnya. Serta persepsi yang berkembang selama ini di kalangan masyarakat yang menganggap masalah kekerasan dalam rumah tangga sebagai urusan pribadi (personal), karenanya pihak-pihak lain (pihak luar termasuk aparat penegak hukum atau polisi) tidak sepatutnya atau tidak boleh ikut campur di dalamnya (intervensi). Dalam kasus-kasus tertentu, korban yang berupadaya melindungi diri dan membalas perlakuan pelaku dengan mencederainya akhirnya malah dituntut dan dianggap melakukan kejahatan lainnya seperti pembunuhan. Kedua, kebanyakan korban tidak dapat berbicara secara terbuka mengenai kasus yang dialaminya dalam keluarga. Ini dapat dimengerti karena selama ini kasus-kasus tersebut tidak dianggap atau diremehkan oleh masyarakat sekitarnya. Para tetangga atau saksi lainnya biasanya tidak serta merta membantu korban. Korbanlah yang banyak menanggung kerugian seperti biaya pengobatan untuk pemulihan, mencari perlindungan diri atau menanggung aib (2002:9).

Dampak dari kekerasan dalam rumah tangga terhadap kesehatan perempuan yang mengalaminya, menurut catatan Women’s Crisis Center, dapat berakibat pada luka fisik, luka memar, luka robek, patah tulang, dan sebagainya. Data yang dimilki Mitra Perempuan dalam penelitiannya terhadap 165 kasus kekerasan dalam rumah tangga tahun 2002 memperlihatkan bahwa kasus terbanyak berdampak pada gangguan kesakitan jiwa (73,94%) termasuk kecemasan, rasa rendah diri, fobia, depresi, kemudian gangguan kesakitan fisik non-reproduksi (50,30%) termasuk cidera, gangguan fungsional, keluhan fisik dan cacat permanen; dan gangguan kesehatan reproduksi (4,85%) termasuk kehamilan tak diinginkan, penyakit menular seksual, serta abortus (keguguran). Sementara itu, Rifka Annisa Women’s Crisis Center di Jogyakarta tahun 1994 –

Permasalahan yang dihadapi para korban kekerasan di Indonesia tidak bisa terlepas dari masalah yang berkaitan dengan hukum yang berlaku (Undangundang). Hukum nasional yang berlaku untuk menuntut kejahatan dan pelanggaran di sektor publik adalah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang dikenal dengan KUHP (1946). Pada KUHP, defenisi kejahatan yang berkaitan dengan kekerasan terhadap perempuan pada umumnya mengasumsikan perempuan sebagai manusia lemah dan diparalelkan dengan posisi anak laki-laki (pasal 297). Pasal 285 dinyatakan bahwa “barangsiapa dengan kekerasan memaksa persetubuhan dengan seorang perempuan yang bukan istrinya, ia akan dituntut dengan perkosaan”. Defenisi ini jelas tidak mengklasifikasikan perbuatan perkosaan dalam ikatan perkawinan (suami terhadap istri) sebagai

Namun demikian, sejumlah informasi dan studi yang tersedia telah cukup menunjukkan fakta bahwa perempuan menjadi korban kekerasan karena adanya ketidakseimbangan relasi antara laki-laki dan perempuan. Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan organisasi perempuan yang memang berkiprah dalam menerima pengaduan dan membantu korban kasus kekerasan dalam rumah tangga, merupakan sumber utama yang dapat mengungkapkan fakta-fakta tersebut. Ada beberapa organisasi/LSM yang aktif membantu para perempuan korban kekerasan di berbagai tempat, yaitu Rifka Annisa di Yogyakarta, Women Crisis Center di Palembang, LBH-APIK di Jakarta, Solidaritas Perempuan, Yayasan Kalyanamitra dan Mitra Perempuan, juga di Jakarta

38


INOVASI : Vol. 7. No. 1, Maret 2010

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

kejahatan. Perkosaan oleh suami terhadap istri (marital rape) sampai saat ini masih belum dianggap sebagai kejahatan, sama dengan kekerasan seksual terhadap anak (incest) masih dikategorikan sebagai perbuatan cabul (bukan perkosaan) dan dengan demikian sanksi hukumnya pun lebih ringan dibandingkan kasus perkosaan.

apapun, termasuk cara menundukkan istrinya. 3.

4.

Kebudayaan masyarakat mendorong perempuan atau istri supaya bergantung kepada suami, khususnya secara ekonomi.

Masyarakat tidak menganggap kekerasan dalam rumah tangga sebagai persoalan sosial, tetapi persoalan pribadi suami istri. Orang lain tidak boleh ikut campur.

Kepercayaan ini ditunjang sepenuhnya oleh masyarakat yang dengan sengaja “menutup mata” terhadap fakta kekerasan dalam rumah tangga yang lazim terjadi. Masyarakat menganggap masalah kekerasan dalam rumah tangga adalah masalah pribadi atau masalah rumah tangga yang orang lain tidak layak mencampurinya. Sedangkan apabila ketika melihat seorang perempuan yang tidak dikenal diserang oleh seseorang di jalanan, maka masyarakat akan berupaya menghentikannya atau melaporkannya ke polisi. Tetapi bila terjadi tindak kekerasan yang dilakukan oleh seorang suami terhadap istrinya, masyarakat tidak berbuat apa-apa. Sikap seperti ini akan mengakibatkan tindak kekejaman dalam rumah tangga akan terus berlangsung.

MELACAK SEBAB KEKERASAN Lima penyebab yang mengakibatkan terjadinya kekerasan dalam rumah tangga (Ciciek, 1999:25) yaitu : Fakta bahwa lelaki dan perempuan tidak diposisikan setara dalam masyarakat.

Pada umumnya masyarakat percaya bahwa lelaki berkuasa atas perempuan. Di dalam rumah tangga berarti suami atas istri . Istri adalah sepenuhnya milik suami sehingga selalu harus berada dalam kontrol suami. Jika istri keliru menurut cara pandang suami, maka mereka bisa berbuat apa saja agar sang istri segera “kembali ke jalan yang benar”. Termasuk di dalamnya melakukan tindak kekerasan. 2.

demi

Keadaan ini membuat perempuan hampir sepenuhnya berada di bawah kuasa suami. Salah satu akibatnya adalah istri seringkali diperlakukan semena-mena sesuai kehendak atau mood suaminya. Banyak penelitian menunjukkan bahwa pemicu tindak kekerasan terhadap istri justru bukan “kesalahan” istri sendiri. Suami yang frustasi di tempat kerja dan tidak mampu mengatasi persoalannya dengan sangat mudah melampiaskan kejengkelannya.

Meskipun angka kasus perkosaan dan kekerasan dalam rumah tangga yang dilaporkan cukup tinggi, namun di Indonesia masih belum ada perangkat hukum yang khusus memberikan perlindungan bagi korban kekerasan tersebut. Bahkan istilah kekerasan terhadap perempuan tidak ada dalam KUHP yang belum dirubah sejak diundangkan tahun 1946 tersebut. Dengan demikian, konsep perlindungan hak-hak asasi perempuan dalam keluarga dapat menyebabkan persoalan tidak terlihatnya perlindungan hukum ketika masyarakat menghadapi kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga atau kekerasan terhadap perempuan. Karena belum terdapatnya peraturan perundang-undangan yang khusus memberikan perlindungan kepada korban kekerasan.

1.

kekerasan

5.

Pemahaman yang keliru terhadap ajaran agama yang menganggap bahwa laki-laki boleh menguasai perempuan.

Tafsiran semacam ini mengakibatkan pemahaman turunan agama juga membenarkan suami melakukan pemukulan terhadap istri dalam rangka mendidik. Hal ini diberikan kepadanya karena suami mempunyai kedudukan yang lebih tinggi. Suami adalah pemimpin, pemberi nafkah serta “mempunyai kelebihan-kelebihan” kodrati yang merupakan anugerah Tuhan.

Masyarakat masih membesarkan anak lelaki dengan mendidiknya agar mereka yakin bahwa mereka harus kuat dan berani serta tanpa ampun.

Lelaki dilatih untuk merasa berkuasa atas diri dan orang sekelilingnya (itulah kejantanan). Jika mereka menyimpang dari harapan peran tersebut, mereka dikategorikan sebagai lelaki lemah. Dan hal ini sangat melukai harga diri dan martabat lelaki. Setelah mereka tumbuh menjadi lelaki dewasa dan menikah, masyarakat semakin mendorong mereka untuk menaklukkan istri. Jika gagal, berarti kejantanannya terancam. Nilai inilah yang mendorong suami untuk mempergunakan cara

Oleh karena itu, kekerasan terhadap perempuan adalah kejahatan yang secara sistematis telah menimpa perempuan untuk waktu yang lama, tetapi untuk waktu yang lama juga kejahatan ini tidak dikenal namanya. Istilah kekerasan terhadap perempuan (violence against women) sendiri baru mulai digunakan oleh masyarakat luas setelah

39


INOVASI : Vol. 7. No. 1, Maret 2010

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

mulai dirasakan adanya dampak yang luas akibat kekerasan tersebut. Sementara itu, terdapat kewajiban negara untuk menghapuskan kekerasan terhadap perempuan yakni tercantum di dalam Deklarasi Tentang Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan pasal 4, yang antara lain berbunyi sebagai berikut : • Mengutuk kekerasan terhadap perempuan dan tidak berlindung di balik pertimbangan adat, tradisi, atau keagamaan untuk menghindari tanggung jawab yang mengharuskannya. • Meneruskan cara-cara yang benar dan tidak menunda-nunda kebijakan untuk menghapuskan kekerasan terhadap perempuan termasuk didalamnya adalah : a) Menghentikan kebiasaan melakukan kekerasan terhadap perempuan; b) Melakukan usaha-usaha terus menerus untuk mencegah, mengusut, dan menghukum para pelaku kekerasan; c) Mengembangkan sanksi-sanksi dalam perundang-undangan nasional untuk menghukum dan menindak kesalahankesalahan yang telah menyebabkan perempuan menjadi korban kekerasan serta memberikan akses ke pengadilan dan informasi kepada perempuan tentang hakhak mereka dalam memperjuangkan tuntutannya; d) Berpartisipasi, memfasilitasi, mendorong, memungkinkan dan menjamin dilaksanakannya berbagai kegiatan prevensi, intervensi dan semua upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan di berbagai tingkatan mulai dari tingkat kelompok, masyarakat, lokal, nasional dan regional; dan e) Menyediakan anggaran untuk semua kegiatan diatas.

Melalui dialog, interaksi dan gesekan-gesekan nilai baru diharapkan akan dapat mengikis nilai-nilai lama yang bersumber pada ideologi patriarki dan menggantikannya dengan nilai-nilai baru yang anti kekerasan dan sarat dengan prinsip kesetaraan. Kesemuanya ini diletakkan pada prinsip bahwa transformasi merupakan kebutuhan mendesak bagi bangsa Indonesia dan jalan menuju transformasi bagaimanapun sangat membutuhkan peranserta kaum perempuan sendiri.

KESIMPULAN Kekerasan dalam rumah tangga bisa menimpa siapa saja termasuk ibu, bapak, istri, suami, anak atau pembantu rumah tangga. Namun, secara umum pengertian kekerasan dalam rumah tangga lebih dipersempit artinya sebagai penganiayan istri oleh suami. Kekerasan dalam rumah tangga bisa terjadi dalam bentuk kekerasan fisik, psikologis/emosional, seksual, ekonomi, dan sosial. Masalah komunikasi merupakan masalah sentral dalam tindakan kekerasan di rumah tangga. Karena kesulitan dalam berkomunikasi antara suami dengan istri, tidak mengetahui apa yang diinginkan suami atau istri, sering berpuncak pada terjadinya kekerasan di dalam rumah tangga. Sebagai salah satu negara anggota PBB dan negara peserta ratifikasi Konvensi PBB, Indonesia terikat pada sejumlah kesepakatan dan perjanjian Internasional/ konvensi mengenai diskriminasi. Salah satunya adalah Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan tahun 1979. Meskipun telah diupayakan penghapusan diskriminasi terhadap perempuan melalui konvensi PBB tersebut, ternyata pelanggaran hak asasi manusia khususnya yang menyengsarakan perempuan secara fisik, seksual dan psikologis masih saja terjadi. Di dalam masyarakat sering dijumpai ketidakadilan terhadap perempuan.

Realitas ketimpangan yang melahirkan kekerasan terhadap perempuan, pelecehan dan diskriminasi yang terjadi di tengah masyarakat pada dasarnya berakar pada dua kondisi. Pertama, realitas kemiskinan di masyarakat. Kondisi ini telah menempatkan (khususnya) perempuan, dalam posisi terjepit dimana pilihan menjadi serba terbatas. Kedua, masih berakarnya ideologi patriarki yang memberikan landasan nilai di masyarakat yang penuh dengan watak diskriminatif terhadap perempuan (Wahyuni, 1997:50).

Permasalahan yang dihadapi para korban kekerasan di Indonesia tidak bisa terlepas dari masalah yang berkaitan dengan hukum yang berlaku (Undangundang). Pada KUHP, defenisi kejahatan yang berkaitan dengan kekerasan terhadap perempuan pada umumnya mengasumsikan perempuan sebagai manusia lemah dan diparalelkan dengan posisi anak laki-laki (pasal 297). Pada pasal 285 dinyatakan bahwa “barangsiapa dengan kekerasan memaksa persetubuhan dengan seorang perempuan yang bukan istrinya, ia akan dituntut dengan perkosaan�. Defenisi ini jelas tidak mengklasifikasikan perbuatan perkosaan dalam ikatan perkawinan (suami terhadap istri) sebagai kejahatan karena perkosaan oleh suami terhadap istri (marital rape) sampai saat ini masih belum dianggap sebagai kejahatan, sama dengan kekerasan seksual terhadap anak (incest) masih dikategorikan sebagai perbuatan

Oleh karena itu, guna menuju suatu tatanan masyarakat yang memberikan penghargaan sejajar antara laki-laki dan perempuan serta hilangnya berbagai bentuk kekerasan terhadap perempuan, maka dibutuhkan suatu transformasi sosial. Transformasi yang dimaksud disini adalah adanya perubahan dalam berbagai level, sehingga masa depan perempuan lebih baik dan lebih bermakna.

40


INOVASI : Vol. 7. No. 1, Maret 2010

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

Kolibonso, Rita Serena. 2000. Mitra Perempuan. Jakarta: Mitra Perempuan.

cabul (bukan perkosaan) dan dengan demikian sanksi hukumnya pun lebih ringan dibandingkan kasus perkosaan.

__________. 2002. Catatan Kekerasan Dalam Rumah Tangga dan Dampaknya Terhadap Kesehatan Perempuan. Jakarta: Mitra Perempuan dan World Population Foundation.

Sejumlah informasi dan studi yang tersedia telah cukup menunjukkan fakta bahwa perempuan menjadi korban kekerasan karena adanya ketidakseimbangan relasi antara laki-laki dan perempuan. Realitas ketimpangan yang melahirkan kekerasan terhadap perempuan, pelecehan dan diskriminasi yang terjadi di tengah masyarakat pada dasarnya berakar pada dua kondisi. Pertama, realitas kemiskinan di masyarakat. Kondisi ini telah menempatkan (khususnya) perempuan, dalam posisi terjepit dimana pilihan menjadi serba terbatas. Kedua, masih berakarnya ideologi patriarki yang memberikan landasan nilai di masyarakat yang penuh dengan watak diskriminatif terhadap perempuan.

The Vienna Declaration and Programme of Action, United Nations, 1993. Undang-Undang Hukum Pidana, 1946. Wahyuni, Budi. 1997. Terpuruk Ketimpangan Gender.Yogyakarta: Lapera Pustaka Utama.

Untuk menuju suatu tatanan masyarakat yang memberikan penghargaan sejajar antara laki-laki dan perempuan serta hilangnya berbagai bentuk kekerasan terhadap perempuan, maka dibutuhkan suatu transformasi sosial. Transformasi yang dimaksud disini adalah adanya perubahan dalam berbagai level, sehingga masa depan perempuan lebih baik dan lebih bermakna. Melalui dialog, interaksi, dan gesekan-gesekan nilai baru, dapat mengikis nilai-nilai lama yang bersumber pada ideologi patriarki dan menggantikannya dengan nilai-nilai baru yang anti kekerasan dan sarat dengan prinsip kesetaraan. Kesemuanya ini diletakkan pada prinsip bahwa transformasi merupakan kebutuhan mendesak bagi bangsa Indonesia dan jalan menuju transformasi bagaimanapun sangat membutuhkan peran serta kaum perempuan sendiri.

DAFTAR PUSTAKA Ciciek, Farha. 1999. Ikhtiar Mengatasi Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Jakarta: Lembaga Kajian Agama & Jender, Solidaritas Perempuan, dan The Asia Foundation. Geertz, Hildred. 1985. Keluarga Jawa. Jakarta: Grafiti Pers Hakimi, Mohammad, dkk. 2001. Membisu Demi Harmoni : Kekerasan Terhadap Istri dan Kesehatan Perempuan Di Jawa Tengah, Indonesia. Jogjakarta: LPKGM-FK-UGM. Hasyim, Nur. 2000. Jalan Panjang Menuju Kemitraan. Yogyakarta: Rifka Annisa. Jurnal Perempuan. 2002. Hentikan Kekerasan Terhadap Perempuan. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan.

41


INOVASI : Vol. 7. No. 1, Maret 2010

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

Hubungan Antar Etnik : (Studi Kasus Terhadap Orang Tionghoa Di Medan) Sihar Pandapotan1) 1)

Dosen Universitas Terbuka (UT) Medan

Abstraksi Di tengah kemajemukan Indonesia, orang Tionghoa merupakan minoritas. Pedagang-pedagang Tionghoa dan pelaut-pelautnya telah datang dan pergi di kepulauan-kepulauan yang disebut Nusantara ini selama lebih dari 1000 tahun. Untuk itu apakah orang China di Indonesia harus mempertahankan jati diri kebudayaanya (cultural identity) sendiri atau harus berintegrasi atau berasimilasi ke dalam kebudayaan Indonesia untuk menghadapi berbagai isu yakni ; ’masalah China’ (chinese problem) sebagaimana yang dikatakan Blusse dalam kata pengantarnya terhadap penerbitan makalah ’the Role of the Indonesian Chinesse in Shaping Modern Indonesian Life’ (2004) mengemukakan bahwa ’masalah China’ merupakan isu yang hangat dibicarakan dalam masyarakat Indonesia, dan tanpa bisa dihindari dan hal ini memunculkan sejumlah pertanyaan.

Kata kunci : Etnik Tionghoa, china memusatkan kajian pada interaksi etnik Tionghoa dan pribumi di Surabaya. Dari sebelas faktor yang berpengaruh terhadap interaksi Tionghoa dan Pribumi, dipadatkan menjadi enam faktor yaitu: nenek moyang atau keturunan, kepribadian dan mentalitas, pendidikan, status, sosial ekonomi dan keagamaan. Analisis terhadap etnik Tionghoa sebagai kelompok sosial, dilakukan oleh Susanto (2000) yakni studi multikasus yang menitikberatkan pada tiga inti pokok.

PENDAHULUAN Mely G. Tan (1991) berpendapat bahwa minat mengkaji etnik Tionghoa di Indonesia dan negaranegara Asia Tenggara terus berlangsung karena peran penting mereka dalam ekonomi-paling tidak disatu negara-dan politik. Karena itu, kebanyakan kajian diarahkan pada dua bidang tersebut. Demikian pula dalam the Social and Cultural Dimensions of the Role of Ethnic Chinese in Indonesian society, Tan (1991) mengemukakan bahwa minat kajian terhadap dimensi sosial dan kultur etnik Tionghoa juga mendapat perhatian. Ini terjadi karena selama Orba, Indonesia menerapkan serangkaian kebijakan untuk meningkatkan pembauran. Kebijakan tersebut menurut hasil penelitian itu telah mengakibatkan sejumlah perubahan yang signifikan.

Diletakkan dalam khasanah kajian hubungan antar etnik (interethnic relation) seperti yang dilakukan oleh Blusse (1991) tersirat beberapa bentuk pola hubungan antar etnik yang menurut Persell (1990:235-238) dikemukakan bahwa, secara teoritik antagonisme etnik akan mengakibatkan salah satu dari enam jenis hubungan terpola, antara lain: asimilasi, pluralisme, perlindungan hukum minoritas, eksklusif atau perpindahan penduduk, penaklukan atau genocide. Sebenarnya cukup banyak hasil kajian tentang hubungan antar etnik. Kupasan lebih teoritik, misalnya disajikan oleh Balock (1982), dan Berghe (1981). Tentu saja kajian ini bersifat umum. Dalam konteks Indonesia, pernah pula dilakukan serangkaian penelitian tentang stereotif etnik, asimilasi dan integrasi sosial (Pranowo, et al., 1988). Sedangkan penelitian yang lebih belakangan, telah pula dilakukan penelitian tentang hubungan antar etnik dikalangan mahasiswa Yogyakarta (Faruk, et al, 1999).

Sementara itu, Mackie (1991) dalam bukunya Towkays and Tycoons: the Chinese in Indonesian Economic Life in The 1920s and 1980s, mengatakan ada dua kecenderungan penjelasan terhadap kedudukan orang Tionghoa dalam kehidupan ekonomi Indonesia yakni 1) pendekatan struktur dan kelas, dalam kaitanya dengan penguasa Orba dan Militer, dan 2) pendekatan etnik dan kultural yang memberikan penekanan pada keunggulan motivasi dan ketrampilan usaha etnik Tionghoa. Analisis lebih makro terhadap munculnya kelas kapitalis baru dari etnik China di Indonesia disajikan oleh Yoon Hwan Shin (1991).

Melalui Indonesian Chinese in Crisis, Coppel (1983) pernah mengkaji latar belakang sejarah masalah Tionghoa dan bagaimana masalah tersebut

Sebuah kajian kualitatif dengan perspektif teoritik strukturasi, dikerjakan oleh Musianto (1997) yang

42


INOVASI : Vol. 7. No. 1, Maret 2010

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

terus menerus berlangsung, serta bagaimana usaha keras disertai dengan berbagai macam cara agar masyarakat Tionghoa di Indonesia bisa mengakomodasi diri sesuai arah politik nasional. Berdasarkan hasil analisis tersebut, Coppel (1983) berupaya menggambarkan bagaimana arah kebijakan Orde Baru dalam menyelesaikan masalah Tionghoa di Indonesia. Lain daripada itu, penyelidikan yang lebih antropologis telah dilakukan oleh William Skinner dan dianggap berhasil memberikan gambaran menyeluruh tentang orang Tionghoa terutama sejak kedatangannya, perkembangan pemukimannya dan peran orang Tionghoa hingga tahun 60-an di Indonesia ditinjau dari segi sosial budayanya. Menurutnya lagi, meskipun terdapat pembedaan antara orang-orang Tionghoa menurut kewarganegaraanya, tetapi juga tidak kalah menariknya apabila dibedakan dari sudut orientasi kebudayaan yang justru melintasi kewarganegaraanya. Selain itu, Skinner juga mempopulerkan kategori orang Tionghoa yang disebut sebagai ’Totok’ dan ’Peranakan”.

MIGRASI DAN FENOMENA TIONGHOA DI SUMATRA TIMUR Pedagang-pedaganag Tionghoa dan pelautpelautnya telah datang dan pergi di kepulauankepulauan yang disebut Nusantara ini selama lebih dari 1000 tahun, bahkan sebelum masa kekuasaan pemerintahan Sriwijaya di Sumatra, yakni pada kurun waktu abad ke-6 sampai ke-12. Namun, kaisar-kaisar Cina kurang menaruh perhatian dalam pengembangan kekuatan militer dan maritim di Nan Yang (Laut Selatan), maupun mendorong kolonikoloni Cina menetap disana, terpisah dari suatu masa yang singkat sekali waktu dibawah permulaan dinasti Ming. Sebenarnya, berdagang dan bermukim di seberang lautan (overseas) pada dasarnya dilarang oleh dinasti Ch’ing antara tahun 1644-1894, akan tetapi, meskipun pelarangan itu tidak efektif, nyatanya pemusatan imigran-imigran Cina meningkat, khususnya di Kalimantan Barat dan Pulau Bangka. Akan tetapi, kenyataan itu hanya dimulai selama 100 tahun yang lewat, dan kurang lebih seperempat juta dalam pertengahan abad ke-19 sampai pada suatu perkiraan satu seperempat juta pada tahun 1930 di seluruh Indonesia (Paulus, 1976). Naiknya jumlah yang secara tiba-tiba itu terjadi sebahagian besar akibat dua gelombang besar imigrasi, yakni pertama mengalirnya para buruh Cina ke daerahdaerah perkebunan di Sumatra Utara (Sumatra Timur) dan kepulauan-kepulauan timah antara tahun 1860 dan 1890. Kedua, terjadi setelah pemerintahan kolonial melongarkan batasanbatasan sebelumnya terhadap masuknya dan menetapnya orang-orang Cina di daerah koloni setelah tahun 1900-an dan lebih berpencar-pencar dan lebih heterogen karena pedagang-pedagang Cina itu berserakan keseluruh kepulauan.

Di Medan, persoalan asimilasi khususnya antara pelajar pribumi dan non pribumi pada sekolah pembauran yang berlatarbelakang keagamaan dan umum, telah diteliti yang diketuai oleh Usman Pelly (1985). Demikian pula dalam hal spatial arrangement pemukiman di Medan yang segregatif dan tidak terdapat spatial perception yaitu simbol yang dapat mempersatukan warga kota. Tetapi, justru telah terjadi pergeseran persepsi mayoritas penduduk kota sebagai akibat dari komposisi penduduk yang heterogen dimana pusat perdagangan digantikan oleh lambang yang berasal dari Timur Asing (China). Pada akhirnya, secara kuantitatif memang orang Tionghoa merupakan minoritas di tengah kemajemukan Indonesia. Namun demikian, secara kualitatif, walaupun telah dikecam karena tidak didasarkan pada temuan penelitian empirik (Wibowo, 2000:XV), beredar pendapat bahwa minoritas Tionghoa di Indonesia telah menguasai 70-80 persen perekonomian di Indonesia. Begitu dianggap penting persoalan etnik Tionghoa di Indonesia, sehingga memunculkan suatu isu khusus yakni ; ’masalah China’ (chinese problem). Blusse dalam kata pengantarnya terhadap penerbitan makalah ’the Role of the Indonesian Chinesse in Shaping Modern Indonesian Life’ (2004) mengemukakan bahwa ’masalah China’ merupakan isu yang hangat dibicarakan dalam masyarakat Indonesia, dan tanpa bisa dihindari, kenyataan ini memunculkan sejumlah pertanyaan. Apakah orang China di Indonesia harus mempertahankan jati diri kebudayaanya (cultural identity) sendiri atau harus berintegrasi atau berasimilasi ke dalam kebudayaan Indonesia?.

Akselerasi migrasi itu mencapai puncaknya dalam tahun 1920-an, sewaktu arusnya sampai sebanyak 40.000 orang dalam waktu beberapa tahun saja (Furnivall, 1940). Tetapi arus itu terus menurun dan menjadi sedikit jumlahnya terutama sejak Indonesia Merdeka. Kebijaksanaan pemerintah kolonial terhadap orang-orang Tionghoa meningkat sejauh itu, karena mereka datang untuk menduduki suatu posisi perantara yang penting, dimana Wertheim (1965) dengan tepat menamakannya sebagai ’struktur kasta penjajahan’ yang didasarkan pada sistem lapisan ras diantara jumlah terbesar subjek Indonesia dan minoritas orang-orang Eropa yang menduduki tingkatan puncak. Migrasi yang mendorong adanya pemukiman orang Tionghoa di Indonesia dimulai sejak adanya perdagangan oleh pedagang-pedagang Tionho yang mengunakan perahu-perahu Jung-nya dari bagian tenggara Tiongkok, sedangkan pertumbuhan

43


INOVASI : Vol. 7. No. 1, Maret 2010

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

penduduk Tionghoa di Indoenesia selanjutnya sangat erat hubungannya dengan peranananya dalam bidang ekonomi. Bebas dari akibat birokrasi kerajaan Tiongkok yang membuat mereka terkekang, orang Tionghoa perantaun ini membuktikan bahwa mereka paling cocok untuk perkembangan ekonomi. Mereka menekankan sistem nilai (value sistem), yang mementingkan kerajinan, kehematan, pengandalan diri sendiri, semangat berusaha dan keterampilan ditambah pula dengan prinsip-prinsip organisasi sosial yang mudah sekali disesuaikan dan digunakan.

adalah sebagaimana yang dicatat oleh (1997:1), yakni:

Breman

Tabel 1. Pasang Surut Jumlah Perkebunan Di Sumatra Timur (1864-1904) Tahun 1864 1873 1874 1876 1881 1883 1884 1885 1886

Penelitian terhadap migrasi orang Tionghoa ke Sumatra Timur (eastcost of Sumatra) telah dilakukan oleh McKinnon pada tahun 1974. Meskipun penelitian tersebut didasarkan pada sisi arkeologis, tetapi telah menegaskan bahwa setidaknya orang Tionghoa pada abad ke-12 telah melakukan kontak dagang dengan penduduk setempat khususnya di Kota Cina. Walaupun demikian, belum ditemukan jejak kontinuitas dari periode abad ke-12 ke periode abad-abad selanjutnya, karena dari segi statigrafi tanah maupun temuan artifak menunjukkan adanya dua periode yang berlainan. Oleh karena itu, sering sekali dikaitkan bahwa sejarah kedatangan orang Tionghoa di Medan tidak bisa dilepaskan dari kontribusi pengusaha kolonial yang membuka perkebunan di Deli sejak tahun 1862.

Jumlah Perkebunan 1 13 23 40 67 74 76 88 104

Tahun 1887 1888 1889 1891 1892 1893 1894 1900 1904

Jumlah Perkebunan 114 141 153 169 135 124 111 139 114

Dampak dari pada pembukaan perkebunan tersebut adalah meningkatnya dan dibutuhkannya tenaga kerja yang luar biasa banyak. Dibawah ini diperlihatkan jumlah pekerja (kuli kontrak di Sumatra Timur hingga kurun waktu 1929 yang diambil dari Anthony Reid (1979), yaitu: Tabel 2. Kuli Kontrak Di Sumatra Timur Tahun 1884-1929 -Cina -Jawa -India dan lainlain

Sebagaimana diketahui, dua tahun sejak ujicoba penanaman tembakau, maka sejak tahun 1864 Medan menjadi kawasan yang sangat dikenal didunia khususnya sebagai penghasil tembakau terbaik pembungkus cerutu. Keberhasilan perkebunan tersebut sekaligus mendorong ekspansi wilayah perkebunan hingga kepedalaman Sumatra Timur seperti dari Langkat hingga Labuhan Batu. Untuk merealisasikan maksud Tuan Kebun (planter) tersebut, dibutuhkan tenaga kerja yang sangat banyak dari segi kuantitasnya. Sementara itu, keengganan masyarakat setempat (host) untuk bekerja di perkebunan sekaligus mempercepat upaya planter untuk mengimpor tenaga kerja dari luar daerah. Tercatat sejumlah nama daerah seperti Bagelans, India Selatan, Singapura dan Swatou menjadi asal tenaga kerja didatangkan. Mereka itu adalah orang Tamil, Jawa, dan Tionghoa disamping orang setempat. Sementara itu, orang Mandailing, Batak Toba dan Minangkabau yang telah mengecap pendidikan ala barat ditempatkan sebagai pegawai di kantor-kantor pemerintahan dan dagang kolonial (Pelly, 1983, Pelzer, 1984 dan Reid, 1979).

1884 1900 1916 21.136 58.516 43.689 1.771 25.224 150.392 1.528 2.460 -

1920 1925 1929 23.900 26.800 25.934 212.400 168.400 239.281 2.000 1.500 1.019

Tabel diatas memperlihatkan bahwa jumlah orang Tionghoa di Sumatra Timur mengalami puncaknya pada tahun 1900 dan berangsur-angsur menurun menjadi 25.934 pada tahun 1929. Jumlah ini mengalami penurunan seiring dengan penurunan jumlah perkebunan yang terus menciut hingga krisis ekonomi dunia (Malaise) pada tahun 1930. Selama bekerja diperkebunan, para kuli kerap kali mendapat perlakukan nirhukum, namun orangorang Tionghoa mengalami pengecualian tersendiri. Walaupun pada dasarnya kerap mendapat hukuman dari mandor-mandor perkebunan, sebagai dampak dari kesalahan dan kalalaian, tetapi hukuman itu diberikan oleh tandil-tandil Cina yang diangkat khusus untuk mengawasi kuli Cina (Breman, 1987; Pelzer, 1979). Oleh karena itu, pada masa perkebunan tersebut dikenal istilah kepangkatan seperti Kapitan Cina, Luitenant Cina dan Mayoor Cina. Orang Tionghoa yang mendapat penghargaan tertinggi (Mayoor) adalah Tjong A Fie, yang dikenal sebagai milyuner, dermawan dan pembangun kota Medan. Berbeda dengan kuli-kuli yang berasal dari masyarakat atau penduduk setempat, yang apabila dianggap indisiplin maka

Jumlah pengusaha perkebunan di Deli tercatat pada tahun 1891 yakni sebanyak 169 perusahaan. Sedangkan pada tahun 1904 yang tersisa hanyalah 114 perusahaan. Adapun jumlah pengusaha perkebunan di Sumatra Timur hingga tahun 1904

44


INOVASI : Vol. 7. No. 1, Maret 2010

akan berhadapan langsung perkebunan kolonial.

dengan

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

polisi

justru kecemburuan itu diperparah kembali pada masa-masa revolusi kemerdekaan dan revolusi sosial yang terjadi di Sumatra Timur.

Pengecualian lain terhadap orang-orang Tionghoa adalah kebebasan yang dimiliki oleh orang Tionghoa tersebut untuk masuk kelokasi barakbarak kuli, melakukan transaksi dagang pada masamasa kuli gajian. Lain daripada itu, sistem kasta era kolonial, menempatkan orang Tionghoa sebagai warga kelas dua setelah orang-orang Eropa, sedangkan penduduk setempat seperti Melayu, Mandailing, Minangkabau, Batak Toba dan lainlain ditempatkan sebagai warga kelas tiga atau kelas empat walaupun telah menunjukkan kinerja yang baik. Abdoellah Lubis misalnya, kedudukannya sama dengan Tjong A Fie sebagai anggota Dewan Kota (Geementeraad) tetapi, posisinya tetap menjadi warga kelas tiga sesuai dengan peng-kastaan yang diberlakukan oleh pemerintah kolonial. Demikian pula dalam keanggotaan dewan itu dimana komposisi antara orang yang disebut dengan Timur Asing (Cina) dan pribumi diupayakan sama.

Adapun jumlah orang Tionghoa di Sumatra Utara yang tersebar disetiap daerah kabupaten dan kota hingga tahun 2000, berdasarkan Biro Pusat Statistik (Sumatra Utara Dalam Angka Tahun 2000) adalah sebagai berikut: Tabel 3. Jumlah Populasi Orang Tionghoa Di Sumatra Utara Tahun 2000 No

Tidak mengherankan apabila, orang-orang Tionghoa ini menjadi penyangga pengusaha dan pemerintah kolonial untuk melakukan hubungan dengan orang pribumi di perkebunan. Mereka (pengusa) tidak perlu berhubungan langsung dengan para kuli (Jawa, Tamil dan lainnya) karena memiliki konektor yakni orang Tionghoa.

Kab/Kota

Populasi Tionghoa 1.330

Populasi Kab/Kota 683.416

0

359.849

0

Persentase

1

Kab. Nias

2

Kab. Madina

0.19

3

Kab. Tapsel

842

734.188

0.11

4

Kab. Tapteng

163

244.673

0.06

5

Kab. Taput

457

407.710

0.11

6

Kab. Tobasa

113

304.125

0.03

7

Kab. Lab. Batu

7.855

844.089

0.93

8

Kab. Asahan

6.659

935.653

0.71

9

Kab.

549

855.783

0.06

10

Kab. Dairi

371

292.8024

0.12

11

Kab. Karo

1.212

283.713

0.42

12

Kab. Deli

31.372

1.959.258

1.60

Simalungun

Serdang

Suatu keadaan dimana sistem ikatan kerja diberlakukan di Deli yang dikenal dengan Poenale Sangctie, yang mewajibkan pengusaha untuk melakukan perbaikan hidup kuli. Tetapi perbaikan hidup dimaksud tidak kunjung diperoleh kuli. Justru, pengusaha yang diwajibkan memulangkan kuli dimasa akhir kontrak tidak juga dilakukan, hingga pada akhirnya para kuli banyak yang tinggal dan berdomisili di Medan dan Sumatra Utara. Keadaan ini terus berlangsung hingga Indonesia memperoleh kemerdekaannya.

13

Kab. Langkat

7.910

902.986

0.87

14

Kota Sibolga

3.456

81.699

4.23

15

Kota Tanjung

12.351

132.385

9.32

9.418

241.480

3.90

11.846

124.979

9.47

Balai 16

Kota Pematang Siantar

17

Kota Tebing Tinggi

18

Kota Medan

202.839

1.904.273

10.65

19

Kota Binjai

13.036

214.725

6.07

311.779

11.506.808

2.70

Total Populasi

Peralihan dari era kolonial ke republik yang baru dibentuk, membuat posisi orang Tionghoa menjadi pengecualian di Medan. Sebagaimana diketahui bahwa orang-orang Tionghoa pasca deklarasi kemerdekaan, membentuk organisasi yang berlatar belakang etnis untuk mencari perlindungan pasca hengkangnya kolonial. Pramoedya Ananta Toer dalam bukunya Kronika Revolusi Indonesia Jilid III (1947) menyebutkan bahwa di Medan berdiri Barisan Pengawal Tionghoa Poh An Tui yang anti kemerdekaan yaitu milisi bersenjata bentukan kolonial yang bertugas melakukan spionase dan sebagai pasukan teror. Singkatnya, jika pada periode perkebunan kolonial, orang-orang Tionghoa mendapat privilege dari pengusa kolonial dan sekaligus pendorong kecemburuan orang pribumi,

Populasi orang Tionghoa di Sumatra Utara hingga tahun 2000 mencapai 311.779 jiwa atau 2.70% dari seluruh total populasi 11.506.808. Jumlah ini relatif kecil apabila dibandingkan dengan populasi etnis setempat. Pada tahun 2008, Jumlah penduduk Sumatra Utara meningkat menjadi 12.8 juta dan orang Tionghoa berkisar 1.04 juta atau sekitar 8%. Sebagai penduduk migran di kawasan itu, maka jumlah itu akan terasa sangat besar. Peningkatan jumlah penduduk tersebut sejalan dengan angka pertumbuhan penduduk yang mencapai 1.37%/tahun, dan ditambah dengan angka migrasi sebagai dampak perkembangan kota Medan pada satu dasawarsa terakhir. Namun demikian, kendati jumlahnya relatif kecil, tetapi orang-orang

45


INOVASI : Vol. 7. No. 1, Maret 2010

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

Tionghoa di Sumatra Utara telah memainkan peranan yang cukup besar terutama dalam sektor ekonomi. Dalam bidang politik, berdasarkan data yang dikeluarkan oleh KPU Sumut, diperoleh bahwa pada Pileg 2008 orang Tionghoa menduduki 2 kursi DPRD Sumut, masing-masing dari partai PDIP dan PIB dari Daerah Pemilihan-I Kota Medan. Bila dibandingkan dengan pemilu 5 tahun silam, tentu jumlah ini menunjukkan perubahan yang signifikan.

Uniknya lagi, didaerah dimana bukan sebagai kawasan dagang seperti Pantai Cermin, Sialang Buah, Tanjung Balai, mereka ini tampil sebagai tauke Ikan di Tempat-tempat Pelelangan Ikan, demikian pula di Sidikkalang, mereka menjadi tauke dan pedagang kopi dan di Simalungun Atas dan Tanah Karo menjadi tauke holtikultura. Keadaan ini pula, lagi-lagi mendorong kecemburuan orang pribumi terhadap orang Tionghoa sehingga sering sekali mereka ini menjadi korban kerusuhan massa.

Kini, orang-orang Tionghoa yang pada awalnya pendatang tersebut telah berserakan dibeberapa kota besar di propinsi ini dan pada umumnya menghuni pusat-pusat kota dan hidup sebagai pedagang, seperti Pematang Siantar, Binjai, Stabat, Medan, Asahan, Tebing Tinggi hingga Labuhan Batu. Pada umumnya mereka ini menjadi penguasa-penguasa tunggal di sektor ekonomi yang menguasai distribusi perdagangan sehingga terasa sulit bagi orang pribumi untuk memasuki jejaring tersebut. Orang pribumi hanya dapat memesan barang dagangan (komoditas) dari agen tunggal Cina (sole agent), agen-agen eceran Cina (grosir) sementara untuk langsung kepada pihak pabrikan atau industri yang menghasilkan produk tersebut akan terasa sulit. Kenyataan ini menujukkan bahwa, hampir setiap produk-mulai dari consumer goods-motormobil-spareparts-kertas-dan bahkan mie dan lain sebagainya, orang pribumi hanya dapat membelinya dari pedagang-pedagang eceran Cina.

Secara nasional, sejak peristiwa kelabu September 1965 pemerintah Indonesia membekukan hubungan diplomatiknya dengan RRC dengan menutup kedutaan dan konsulat serta pelarangan terhadap BAPERKI. Selanjutnya pada tahun 1967, orang Tionghoa dianjurkan mengganti nama khas Tionghoa yang pada tujuannya adalah untuk mereduksi perbedaan WNI keturunan Cina dan WNI Asli. Tetapi, yang justru terjadi adalah sebaliknya, hubungan mesra antara penguasa orde baru dan aparat penegak hukum dengan pengusaha Tionghoa justru ditanggapi lain setiap kali terjadi amukan massa. Di Medan, Sofyan Tan (2002) menyebut, untuk menghadapi situasi tersebut, orang Tionghoa mengambil strategi sebagai ’pemadam kebakaran’, sungguhpun hal ini seringkali menempatkan orang Tionghoa sebagai ’sapi perahan. ’ Keadaan ini terus berlanjut hingga masa reformasi pada tahun 1998.

Tabel 4. Komposisi Etnis Kota Medan Tahun 2000

Mandailing

Pakpak

Nias

Jawa

Minang

Cina

Aceh

Lainya

Jumlah

Medan Tuntungan Medan Johor Medan Amplas Medan Denai Medan Area Medan Kota Medan Maimun Medan Polonia Medan Baru Medan Selayang Medan Sunggal Medan Helvetia Medan Petisah Medan Barat Medan Timur Medan Perjuangan Medan Tembung Medan Deli Medan Labuhan Medan Marelan Medan Belawan Jumlah

Batak Toba

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21

Simalungun

Kecamatan

Karo

No

Melayu

ETNIS

3,52 5,07 5,11 4,89 5,72 3,94 6,52 2,28 3,52 5,10 6,56 4,95 2,69 4,56 3,48 3,28 2,94 7,55 20,08 19,35 14,50 6,59

32,32 11,15 2,94 0,52 0,54 0,72 0,99 2,64 19,37 16,62 4,09 4,17 1,78 0,97 1,14 1,14 1,05 0,61 0,89 0,13 1,49 4,10

1,67 0,94 0,98 0,87 0,22 0,68 0,40 0,12 1,44 1,64 0,56 0,81 0,66 0,38 0,69 1,36 0,64 0,19 0,27 0,26 0,19 0,69

26,37 14,34 26,80 25,83 7,39 26,09 6,62 15,52 25,03 23,37 16,76 30,29 23,18 14,07 15,70 24,55 20,02 11,71 20,41 6,48 21,83 19,21

4,74 11,13 15,05 12,25 6,06 7,33 14,60 2,92 5,79 4,68 6,14 7,08 5,99 16,01 6,58 14,99 23,56 4,63 5,96 5,55 7,94 9,36

0,78 2,14 0,22 0,46 0,19 0,24 0,10 0,09 0,49 0,56 0,12 0,25 0,12 0,09 0,01 0,15 0,24 0,32 0,14 0,20 0,03 0,34

1,08 0,93 0,81 0,53 0,24 0,85 1,17 0,33 0,86 0,76 0,83 0,78 0,73 0,44 0,80 0,88 0,54 0,68 0,79 0,19 0,62 0,69

19,54 33,41 37,06 24,01 16,79 14,16 21,74 47,21 20,48 37,10 37,83 37,33 23,48 26,78 38,01 24,71 32,45 61,06 36,30 55,27 31,20 33,03

3,68 6,45 6,54 21,77 31,08 11,14 18,53 3,71 6,34 3,32 4,60 5,26 4,16 6,95 7,49 9,77 5,23 2,82 3,97 3,37 7,24 8,60

0,20 9,57 0,85 4,68 26,85 29,22 18,29 15,02 2,81 1,31 11,32 2,10 26,18 22,89 18,42 13,42 8,52 5,19 5,48 3,75 3,78 10,65

1,78 1,75 1,45 1,98 2,88 2,22 2,60 1,87 3,49 1,87 6,33 4,08 4,94 1,67 2,49 3,35 2,11 1,52 2,66 1,67 5,65 2,78

4,29 3,12 2,19 2,21 2,05 3,41 8,44 8,29 10,38 3,67 4,86 2,90 6,09 5,19 5,19 2,40 2,70 3,72 3,05 3,78 5,53 3,96

100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100

46


INOVASI : Vol. 7. No. 1, Maret 2010

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

Hokkien, Teochiu, Khe (Hakka), Canton (Kong Hu) dan Liok Hong, yang semuanya memiliki perkumpulan sosial dengan profesi dan domisili yang berbeda. Sebagai contoh adalah suku Hokkien yang pada umumnya banyak berdomisili di Pusat Kota Medan, sedangkah Toechiu umumnya bekerja disektor pertanian dan lazim disebut ’Cina Kebun Sayur’ serta banyak dijumpai di Brayan, Sunggal, Stabat dan Pematang Siantar. Akan tetapi, sejalan dengan keterampilan hidup yang mereka miliki, kini mereka (suku Teochiu) sudah banyak beralih ke sektor dagang. Demikian pula etnis Canton yang banyak berprofesi sebagai pedagang emas dan ahli pertukangan yang berdomisili di daerah-daerah perkotaan. Sedangkan orang-orang Khe umumnya bergerak dalam bisnis obat-obatan dan perdagangan, orang Liok Hong banyak berprofesi sebagai nelayan dan tinggal dipesisir pantai. Sedangkan masyarakat Tionghoa dan suku Hainam banyak berbisnis bidang makanan.

ORANG TIONGHOA DI MEDAN Kota Medan, sebagai salah satu kota warisan kolonial di Indonesia memperlihatkan wajah ganda, terutama bila dilihat dari segi pemukiman (residential) yakni pemukiman elite-bekas pemukiman orang Belanda (European Wijk) yang ditandai oleh pengaturan ruang (spatial arrangement) Barat dan pemukiman pedagang Timur Asing yang didominasi oleh China (Cantonment) yang cenderung kearah pembentukan kampung-kampung etnis dan ras. Sementara itu, disekeliling pusat kota terdapat perkampungan bumiputra dengan ’pengaturan ruang’ gaya pedesaan Indonesia yang khas dengan kesetiaan primordialnya (Pelly, 1985). Tentang populasi orang Tionghoa di Medan, Usman Pelly (1983) menunjukkan bahwa pada tahun 1930, jumlahnya mencapai 35, 63% dari 76.584 populasi kota Medan sedang pada tahun 1980, populasinya berkurang menjadi 12,84% dari 1.294.132 populasi kota Medan. Sementara itu, data dari Biro Pusat Statistik (Medan dalam Angka, 2000) adalah sebagaimana ditabulasikan pada tabel 4 diatas.

Dikawasan ini, keberadaan orang Tionghoa cukup berbeda dengan orang Tionghoa dikawasan lain di Indonesia. Jika dikawasan lain, orang Tionghoa dapat melebur kedalam (absorb) kebudayaan setempat, di Medan justru berbeda, dimana orang Tionghoa serta etnis lainnya secara bebas mengembangkan identitas etnis dan budayanya. Dari segi bahasa, orang Tionghoa di Medan mayoritas mahir dan menggunakan dialek Hokkien. Menurut suatu sumber, orang Tionghoa di Medan 95% menggunakan bahasa dengan dialek Hokkian sama seperti yang terdapat di Penang. Disebutkan: all chinese in Medan speak Min nan Hua (Southern Min) dialect from Chuang Chiu (nearby Xiamern) region, which is known in Indonesia simply as Hokkian. Min nan Hua (Hokkian) is the lingua franca among all Chinese in Medan and Surronding cities in North Sumatra.

Tabel diatas menunjukkan bahwa pada tahun 2000, populasi orang Tionghoa di Medan mencapai 202.839 atau 10.65% dari total populasi yakni 1.904.273 dan berada pada posisi ketiga setelah Jawa dan Toba dari seluruh komponen etnis yang ada di Kota Medan. Pada tahun 2008, dengan angka pertumbuhan 1.37% (luas wilayah 265.10 Km2, kepadatan 7.860 jiwa/km) jumlah tersebut mengalami peningkatan dimana jumlah penduduk kota Medan mencapai 2.1 juta dan orang Tionghoa berkisar 21% atau sekitar 500 ribu jiwa. Disamping angka petumbuhan yang 1.37%/tahun, naiknya jumlah tersebut dari tahun 2000 adalah sebagai dampak meningkatnya migrasi ke Medan khususnya kalangan pengusaha, pelajar dan mahasiswa serta pencari kerja. Demikian pula karena melezitnya pengembangan Kota Medan umumnya pada satu dasawarsa terakhir.

Sejalan dengan analisis Edward Bruner yang menyatakan bahwa Medan tidak memiliki budaya dominan (dominant culture), yang mana hal ini berdampak pada kelompok-kelompok etnis yang ada cenderung kembali kepada kesetian-kesetian primordialnya yang bersifat eksklusif. Maka orang Tionghoa di kawasan ini sebenarnya memiliki kesempatan untuk mengembangkan identitas etnis dan kebudayaannya. Namun, seperti yang ditegaskan oleh Nasrul Hamdani (2006) bahwa secara antropologis, Tionghoa Medan sangat unik, memiliki modal dan peluang untuk menampilkan masa lalunya secara terbuka, bersanding dengan kisah masa lalu kelompok etnis lain yang menampilkan sejarah perantauannya secara terbuka. Sayangnya, bagi kelompok bukan Tionghoa sejarah mereka itu adalah misteri, sehingga prasangka kepada orang Tionghoa tetap lestari karena sejarah Tionghoa tidak tampil untuk (setidaknya) menetralisir pandangan bumiputra yang cenderung curiga itu’.

Tabel diatas sekaligus menunjukkan bahwa, orang Tionghoa menjadi mayoritas di dua kecamatan terutama di Medan Petisah dan Medan Kota serta menempati urutan kedua di empat kecamatan yakni Medan Area, Medan Timur, Medan Maimun dan Medan Barat. Oleh karena itu, dari segi komposisi etnis, maka orang Tionghoa, terkhusus di kota Medan, bukan lagi minoritas. Komunitas ini sebenarnya sudah relatif banyak di Medan, apabila dibandingkan dengan kelompok etnis lain yang berdiam di kota itu. Jumlah tersebut berdampak pada pemilu legislatif 2008, dimana orang Tionghoa menduduki 4 (empat) kursi DPRD Kota Medan. Menurut Sofyan Tan (2002) adapun suku Tionghoa yang banyak ditemui di kawasan ini adalah suku

47


INOVASI : Vol. 7. No. 1, Maret 2010

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

Bagi orang Tionghoa, sejarah masa lalu di perantauan (Chinese overseas) adalah pilihan yakni apakah memilih sejarah dari negeri sendiri atau sejarah negeri yang didiami (masa lalu orang lain). Bagi orang Tionghoa Medan, sejarah berarti lupa meski kebanyakan kelompok Tionghoa lain cenderung memilih salah satu dari dua ingatan itu atau mengakomodasi dalam alam pikirnya. Orang Tionghoa Medan memilih hal yang pertama yakni untuk menegaskan identitas dengan mengetahui masa lalunya. Bagaimana kelompok minoritas itu memberi kontribusi bagi penataan masyarakat yang majemuk, terpecah-pecah, menyimpan potensi konflik dan penuh prasangka adalah soal utama.

Setiap unit politik di Medan menjadi kuat karena hidup berkelompok dengan sesama sukunya, menjalin aliansi bila ada kesamaan tujuan dan ’mereka-reka’ alienasi bila ada hal yang ingin diperebutkan dari unit lain. Hal ini menjadi daya dorong setiap unit politik etnisitas dalam masyarakat kota Medan tumbuh sama kuat sebagai kekuatan sosial dan politik, sekalipun ada etnis yang tergolong minoritas.

Di Medan, menurut Hamdani (2006), orang Tionghoa mengingat baik sejarahnya, terutama mereka yang berada dalam rentang usia 35-96 tahun. Secara historis, generasi ini memiliki kaitan langsung atau merasakan dampak beberapa peristiwa sepanjang tahun 1930-1960. Tionghoa (Cina) sepuh (80-96 tahun) cukup memahami bagaimana perubahan dan kesinambungan itu; dampak perang Sino-Jepang di Sumatra dan Semenanjung, Regionalisme Asia Tenggara, perkembangan perdagangan Candu, bangun dan jatuhnya korporasi Tionghoa sampai menjadi saksi perubahan politik di negeri induk dan Indonesia sesudah PD-II berakhir. Ingatan itu dikenang dan disosialisasikan kepada generasi muda Tionghoa secara formal melalui liniage (garis keturunan), asosiasi marga, komunitas kedai kopi (pertemanan) atau melalui kelompok dagang (kongsi). Demikian pula, apabila mereka sejenak merenung kembali beberapa persoalan negeri ini, dimana orang Tionghoa seringkali menjadi sasaran kebringasan massa, objek perasan preman, atau juga memperoleh beberapa pengecualian dalam HAM dan hukum. Agaknya, keadaan ini membuat orang Tionghoa Medan menjadi lebih eksklusif dan cenderung membatasi kontak atau interaksi dengan yang bukan komunitasnya.

Kondisi dan keadaan orang Tionghoa di Medan acapkali menjadi cibiran orang lain yang umumnya datang dari masyarakat setempat. Mereka dikenali sebagai komunitas yang eksklusif, sombong atau egois. Kehidupannya yang cenderung mapan apabila dibandingkan dengan kelompok etnis setempat, penguasaan sektor ekonomi, ataupun bila menghitung jumlah mobil yang lalu lalang, juga mengundang kecemburuan sosial dari yang lain. Terutama sejak pelarangan atribut-atribut keTionghoa-an. Keadaan ini (sepertinya) membuat mereka untuk lebih memilih tertutup serta membatasi komunikasi dengan yang lainnya yang berdampak pada terbatasnya kebersamaan (togetherness). Eksklusifisme orang Tionghoa di Medan itu tampak pada pemilihan pemukiman, dimana orang Tionghoa cenderung memilih pemukiman yang tertutup seperti di Polonia, atau rumah-rumah berpagar besi dan menggunakan security khusus. Pemilihan rumah sakit sebagai tempat berobat, dimana orang Tionghoa lebih memilih rumah sakit elit seperti Gleni Internasional, Rumah Sakit Deli di Jalan Merbabu dan lain-lain, pemilihan sekolah untuk melanjutkan pendidikan seperti Sutomo, Bodhicita, Budi Murni, Djuwita School, Methodist, St. Thomas, Prime One School, Singapore International School, Institute Trade and Business (IT&B) atau sekolah-sekolah perguruan yang nama perguruannya adalah nama pahlawan nasional. Begitu pula terhadap Sun Plaza dimana hampir seluruh konsumenya adalah orang Tionghoa.

Demikian pula kondisi ini terbentuk karena masyarakat kota Medan dalam kerangka sosial kolonial tumbuh bersama dengan fenomena perkebunan dimana elit yang berbeda dengan elit kolonial sebelum liberalisasi politik di Belanda. Lebih jauh lagi, menurut Usman Pelly, (1983) kecenderungan ini menimbulkan kehidupan yang segregatif; ’the segregation of ethnic locations was strengthenend by voluntary association and by divisions in political and economic life’. Selanjutnya, Pelly juga mengemukakan bahwa segregasi tersebut bukan hanya pada aspek residensial tetapi lebih jauh lagi adalah pengkotakkotakan alam pikiran masa lalu. Di Medan, aspek sejarah dan kesejarahan ternyata menjadi penting apabila etnisitas; simbol sekaligus pengikat solidaritas setiap unit politik masyarakat sama.

Begitu juga tempat wisata untuk berlibur dimana cenderung bepergian keluar Indonesia seperti Penang, Taiwan, Singapore, dll. Demikian pula pemilihan mobil untuk transportasi dimana hampir seluruh mobil mewah keluaran terbaru adalah milik orang Tionghoa. Begitu pula bahwa orang Tionghoa Medan lebih memilih naik becak dayung atau motor daripada naik mobil angkutan kota (Angkot) apabila bepergian didalam kota. Sama halnya dalam pemilihan bank untuk penyimpanan uang yang biasanya mereka lebih senang menyimpan uang di bank-bank bukan milik pemerintah seperti BCA, atau paling rendah di Bank Mandiri. Lain daripada itu, Orang Tionghoa Medan pada umumya memiliki ikatan dengan negeri Induknya, paling tidak sebagai tempat tujuan wisata, ziarah leluhur atau menjumpai sanak keluarga. Walaupun sebenarnya kenyataan

48


INOVASI : Vol. 7. No. 1, Maret 2010

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

tersebut adalah sebagai dampak dari perbaikan kualitas hidup, kemapanan ekonomi maupun orientasi keakanan yang telah dicapai oleh orang Tionghoa.

keberagaman dalam konsep homogenous (unity in diversity). Ekslusifisme orang Tionghoa di Medan-kalaupun itu dipandang eksklusif-justru harus dilihat kemasa lampau yakni sejarah dan kesejarahan yang menyertai eksistensi mereka di Kota Medan. Sebagaimana diketahui bahwa diawal kedatangan orang Tionghoa di Medan adalah sebagai kuli kontrak, sama seperti orang Jawa, Batak, India, Melayu dan lain sebagainya. Tetapi sebagai dampak etos kerja yang mereka miliki, justru membawa mereka kejenjang yang lebih bermartabat, sehingga tidak salah apabila pemerintah kolonial menempatkan mereka sebagai penyangga dan warga kota kelas dua setelah orang Eropa dalam kasta kolonial itu.

Suatu hasil penelitian terhadap eksklusifisme orang Tionghoa di Medan, menunjukkan 7 (tujuh) faktor yang mendorong sifat tersebut yakni: 1) adanya keinginan untuk melestarikan budaya Tionghoa, 2) orientasi kepada paham materialistik, 3) sistem kekerabatan yang kokoh, 4) menghindari gangguan masyarakat setempat, 5) perlakuan pemerintah dan masyarakat yang mendorong solidaritasme etnis, 6) orang pribumi menganggapnya sombong dan egois serta 7) masyarakat setempat kurang menerima kehadiran mereka.

LALU BAGAIMANA

Dari segi kebudayaan, orang Tionghoa justru mengalami hal yang lebih buruk dimana pada zaman kolonial itu, identitas budayanya tidak berkembang dan hampir lenyap. Oleh karenanya, apa yang mereka lakukan saat ini menurut saya adalah untuk mencari jati diri yang sempat hilang tersebut. Mereka ingin menunjukkan kepada negeri induknya (RRC) dan masyarakat setempat bahwa di perantauan (overseas) mereka harus lebih unggul. Oleh karenanya, mereka melakukan seluruh daya upaya untuk mencapai kejayaan yang mereka inginkan seperti mengumpulkan modal, sekolah keluar negeri, membangun usaha pabrikasi dan manufaktur dan menguasai jejaring bisnis walaupun harus rela memberi ’angpau’ dan menjadi objek ’sapi perahan’. Mungkin yang mereka inginkan adalah kondusifitas untuk menjamin kelangsungan hidup dan berusaha, yang tampak pada partisipasi politiknya yang mengutamakan militer, atau juga kurang bergairah dalam dunia politik seperti menjadi anggota dewan. Namun demikian, kebuntuan tersebut telah tereduksi terutama sejak pemilihan legisltif 2009, dimana wajah Tionghoa sudah tertera dalam daftar anggota Dewan.

Mungkin, orang Tinghoa di Medan dan Indonesia khususnya mengalami ’kesetaraan’ sejak pemerintah Habibi mengeluarkan Inpres No. 26 tahun 1998 tentang penghentian penggunaan istilah pribumi dan non pribumi, kemudian dilanjutkan diera presiden Gus Dur dan Megawati yang mengizinkan pertunjukan atraksi seni budaya Barongsai dan mengakui serta menetapkan Kong Hu Chu sebagai libur nasional. Sejak saat itu, gairah kehidupan serta performa kebudayaan Tionghoa di Medan mulai tampil. Atraksi budaya Barongsai sudah sering dipertunjukkan, demikian pula tempat ibadah Vihara Kong Hu Chu sudah terbuka. Namun demikian, Medan sebagai kawasan yang pluralis (multietnis dan multikultur) ternyata kurang berfungsi sebagai ’wadah pembauran’ (melting pot), sehingga membiarkan identitas etnis dan budaya (ethnic and cultural identity) masing-masing kelompok etnis tumbuh segregatif. Hal ini bukan saja sesuai dengan analisis Dominan Culture-nya Bruner tetapi juga analisis Manteau (1958) dalam bukunya: The Indonesian Town, yang melukiskan perkembangan kota-kota di Indonesia yang sangat menyedihkan. Lain daripada itu, Medan juga menjadi tempat pergumulan suatu keluarga atau kelompok masyarakat organisasi sosial. Masingmasing harus bergumul untuk mendapatkan tempat yang perlu untuk hidup dan belajar. Dalam persaingan seperti itu, Pelly (1985) menegaskan bahwa mereka (penduduk kota) mempunyai kekuatan yang berbeda-beda, norma-norma yang berlainan serta tujuan hidup dan idealisme yang berbeda, bahkan mempunyai lembaga-lembaga pranata sosial yang tidak sama. Anggota kelompok tertentu kurang memperhatikan tradisi-tradisi yang berlaku pada kelompok lain. Demikian pula bahwa kelompok yang lain itu dianggap sebagai ’orang asing’ (stranger) yang berdampak pada kurangnya kesadaran untuk menerima dan membina

Untuk membuka jalur komunikasi dan interaksi antara orang Tionghoa dengan masyarakat setempat di Medan, menurut saya harus dimulai dari kedua belah pihak. Pada saat orang Tionghoa menjadi penduduk dan warga negara Indonesia, maka kepadanya diberikan identitas tetap sebagaimana identitas tersebut diberikan kepada warga Indonesia dari etnis lain. Konsekuensi dari diperolehnya identitas itu adalah bahwa ada hak dan kewjiban yang melekat padanya. Hak dan kewajiban itu berlaku bagi setiap orang yang disebut sebagai penduduk dan warga negara. Dengan lain kata, ada keseragaman identitas dan posisi yang dilekatkan pada mereka yang secara legal dinyatakan sebagai penduduk dan warganegara. Keseragaman identitas sebagai penduduk dan warganegara ini, disatu sisi menempatkan orang Tionghoa Indonesia sejajar

49


INOVASI : Vol. 7. No. 1, Maret 2010

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

dengan warga Indonesia dari etnis lainya akan tetapi disisi lain juga menuntut orang Tionghoa Indonesia untuk tidak tampil berbeda dengan warga negara Indonesia lainnya.

Huberth M. Balock, 1982. Race and etnic Relation. New Jersey: Prentice-Hall, Inc Pierre Van den Berghe, 1981. The ethnic phenomenon. New York: Elsivier.

Apabila persoalan ini telah selesai, maka menurut saya, prasangka dan kecemburuan terhadap etnis Tionghoa akan tereduksi, yang walaupun prasangka dan kecemburuan itu sulit sekali untuk dapat dihilangkan. Tetapi, paling tidak dengan terbukanya komunikasi dan interaksi melalui politik pengakuan (political recognation) itu, telah mereduksi kecemburuan antar etnik. Lain daripada itu, pemerintah kotapun seharusnya melakukan kebijakan-kebijakan yang popular seperti mendorong politik asimilasi atau pembauran tanpa menghapus identitas kebudayaan dan etnis seperti kebijakan terhadap pemukiman yang membaur, menghilangkan borderlines antar pemukiman, atau juga mendorong internalisasi melalui pendidikan atau melalui organisasi sosial keagamaan (voluntary association). Tanpa itu, unity in diversity dalam konsep multikulturalisme dan multietnis adalah suatu keniscayaan.

Bambang Pranowo, Et al. 1998. stereotif etnik, asimilasi, integrasi social. Jakarta: Pustaka Grafika Kita. Faruk, et al. 1999. Pengalaman, kesaksian, dan refleksi kehidupan mahasiswa di Yogyakarta. Jakarta: LP3S dan Interfidei. C.A.Coppel, 1983. Indonesia Chinese in Crisis, Oxford: Oxford University Press. Wang Gungwu, 2001., Orang Etnis Cina Mencari Sejarah, dalam I. Wibowo (ed) Harga Yang Harus Dibayar, Sketsa Pergulatan Etnis Cina di Indonesia. Jakarta: Gramedia dan Pusat Studi Cina.

DAFTAR PUSTAKA Mely G. Tan. 1979. Golongan etnis tionghoa di Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Leo Suryadinata, 1988. Kebudayaan Minoritas Tionghoa di Indonesia, Jakarta: Gramedia. __________(2005) Pemikiran Politik Etnis Tionghoa Indonesia 1900-2002. Jakarta: INTI dan LP3ES. Hamie Mackie, 1976. The Chineses in Indonesia: A preliminary Survey., Melbourne: Thomas Nelson Ltd., Towkays and Tycoons: the Chinese in Indonesian economic life in the 1920s and 1980s., in Indonesia. 1991., Cornel Southeast Asia program. Lukas S. Musianto, 1998. Interaksi Etnik China dan Pribumi di Surabaya. Disertasi, Program Pascasarjana, Universitas Air Langga Surabaya. Leonard Blusse, 1991. The role of Indonesian Chinese in shaping modern Indonesian life. In Indonesian. Cornell Southeast asia program Caroline H. Persell 1990. Understanding Society. New York: Harper and Row Publishers

50


INOVASI : Vol. 7. No. 1, Maret 2010

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

Strategi Pengembangan Kakao Rakyat Di Sumatera Utara Mhd. Asaad1) 1)

Dosen Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian UISU

Abstraksi Kajian ini bertujuan untuk menganalisis kebijakan pengembangan kakao rakyat di Sumatera Utara. Data yang digunakan adalah data sekunder. Data sekunder diperoleh dari instansi terkait dan berbagai sumber kepustakaan yang relevan dengan penelitian ini. Data yang diperoleh kemudian diolah dan dianalisis dengan menggunakan metode analisis SWOT Berdasarkan identifikasi dan analisis faktor ekternal (peluang dan ancaman) dan faktor internal (kekuatan dan kelemahan), diperoleh kebijakan pengembangan kakao rakyat di Sumatera Utara.. Terdapat lima strategi yang menjadi prioritas kebijakan pengembangan kakao rakyat di Sumatera Utara yaitu: Meningkatkan produktivitas kakao rakyat pada seluruh daerah yang berpotensi dengan menggunakan teknologi pengendalian hama PBK, dan teknologi budidaya yang benar; (i) Mengembangkan kebun kakao rakyat dengan penyediaan bibit unggul dan penyuluhan dengan menggunakan teknologi pengendalian PBK, teknologi budidaya, bantuan permodalan, industri pengolahan dan pengembangan sistem pemasaran hasil; (ii) Meningkatkan produktivitas kakao rakyat pada seluruh daerah yang berpotensi dengan pemberdayaan kelompoktani dan meningkatkan penyuluhan; (iii) Mengembangkan kebun kakao rakyat meningkatkan status kepemilikan lahan, pemeliharaan TBM dan TM; (iv) Meningkatkan mutu kakao rakyat, dengan meningkatkan kemampuan petani menyerap skim bantuan modal, dan pengembangan industri pengolahan; (v) dan Meningkatkan mutu kakao rakyat untuk meminimalkan fluktuasi harga harga kakao dengan pengembangan sistem pemasaran hasil.

Kata kunci : Strategi, Pengembangan, Kakao. (Suryani dan Zulfebriansyah), luas areal perkebunan kakao Indonesia pada 2006 mencapai 1,19 juta hektar 92,8% diantaranya berupa perkebunan rakyat dengan rata-rata pertumbuhan lahan 7,4% per tahun dalam 4 tahun terakhir. Dari 1,19 juta luas lahan tersebut hanya 70% saja yang menghasilkan. Rendahnya luas tanaman yang menghasilkan (TM) disebabkan oleh banyaknya tanaman kakao berusia diatas 25 tahun yang sangat tidak produktif. Namun demikian, pertumbuhan rata-rata luas tanaman yang menghasilkan (TM) selama 4 tahun terakhir lebih tinggi dari pertumbuhan luas lahan, yakni mencapai 8,6% per tahun. Prosentase tertinggi TM terhadap luas lahan dicapai oleh kebun negara yang mencapai 89,4%, sebaliknya kebun swasta dan kebun rakyat relatif rendah.

PENDAHULUAN Perkebunan mempunyai peranan yang penting dan strategis dalam pembangunan nasional, terutama dalam meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat, penerimaan devisa negara, penyediaan lapangan kerja, perolehan nilai tambah dan daya saing, pemenuhan kebutuhan konsumsi dalam negeri, bahan baku industri dalam negeri serta optimalisasi pengelolaan sumber daya alam secara berkelanjutan. Sub sektor perkebunan (Sistem dan Usaha Agribisnis Perkebunan) merupakan sub sektor utama dan sekaligus lokomotif ekonomi dalam pembangunan perkebunan Sumatera Utara. Sebagai sub sektor utama sub sektor perkebunan merupakan sub sektor penyumbang pendapatan terbesar dalam penyerapan tenaga kerja, kesempatan berusaha, pencipta pendapatan dan penyumbang devisa (ekspor) Sumatera Utara (Dinas Perkebunan Sumatera Utara, 2008).

Pada tahun 2008 di Sumatera Utara terdapat berbagai komoditi hasil-hasil perkebunan, seperti: karet, sawit, kopi nilam, jahe, kemiri, aren, pinang, coklat, kelapa, panili, kemenyan, kulit manis, dan cengkeh yang memberi peluang untuk mendirikan industri pengolahan hasil perkebunan. Luas areal perkebunan adalah 1.913.055,58 Ha atau 22,73% dari Luas Sumatera Utara, dengan produksi sebesar 4.004.060 ton untuk 24 komoditi diantaranya sawit, karet, kopi, teh, kakao dan kelapa, nilam, kemenyan, tebu, gambir jaran dan lain-lain.

Kakao merupakan salah satu komoditas andalan perkebunan yang peranannya cukup penting bagi perekonomian nasional, khususnya sebagai penyedia lapangan kerja, sumber pendapatan dan devisa negara. Kakao juga berperan dalam mendorong pengembangan wilayah dan pengembangan agroindustri, (Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Pertanian RI). Menurut

51


INOVASI : Vol. 7. No. 1, Maret 2010

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

Kajian ini didasarkan kepada besarnya peranan kakao rakyat dalam penyediaan lapangan kerja, kontribusi produksi kakao di daerah ini. Dari total luas lahan 85.220,81 Ha, seluas 58.433,95 Ha atau 68,6% adalah kakao yang diusahakan masyarakat. Demikian pula dari total produksi kakao Sumatera Utara pada tahun 2008, sebesar 93.304,17 ton, gimana sebesar 66.824.50 ton diproduksi dari kakao rakyat. Kakao Indonesia tidak kalah dengan kakao dunia dimana bila dilakukan fermentasi dengan baik dapat mencapai cita rasa setara dengan kakao yang berasal dari Ghana dan kakao Indonesia mempunyai kelebihan yaitu tidak mudah meleleh sehingga cocok bila dipakai untuk blending. Sejalan dengan keunggulan tersebut, peluang pasar kakao Indonesia cukup terbuka baik ekspor maupun kebutuhan dalam negeri. Dengan kata lain, potensi untuk menggunakan industri kakao sebagai salah satu pendorong pertumbuhan dan distribusi pendapatan cukup terbuka.

Masih banyaknyanya masalah yang dihadapi dalam budidaya kakao di Sumatera Utara, seperti produktivitas kebun masih rendah akibat serangan hama penggerek buah kakao (PBK), mutu produk masih rendah akan menimbulkan masalah dalam pengembangan kakao rakyat pada masa yang akan datang di daerah ini. Oleh karenanya informasi yang komprehensif keadaan budidaya kakao masyarakat harus diketauhi, sehingga dapat direncanakan pengembangan budidaya kakao pada masa yang akan datang secara efektif dan efisien. Semakin besarnya konsumsi kakao baik dalam negeri maupun luar negeri, semakin besarnya peluang berusaha kako baik dari segi ketersediaan lahan yang sesuai maupun ketersediaan modal perbankan akan menunjang penyusunan rencana pengembangan kakao di Sumatera Utara. Namun untuk menyusun suatu rencana yang baik maka permasalahan tentang pemasaran, ketersediaan sarana produksi dan dukungan lembaga seperti perbankan dan kebijakan pemerintah perlu diketahui dan dianalis untuk dapat menunjang pengembangan kakao di daerah ini.

Agribisnis kakao Indonesia masih menghadapi berbagai masalah kompleks antara lain produktivitas kebun masih rendah akibat serangan hama penggerek buah kakao (PBK), mutu produk masih rendah serta masih belum optimalnya pengembangan produk hilir kakao. Hal ini menjadi suatu tantangan sekaligus peluang bagi para investor untuk mengembangkan usaha dan meraih nilai tambah yang lebih besar dari agribisnis kakao.

Luas areal perkebunan kakao di Provinsi Sumatera Utara yang diusahakan oleh rakyat pada tahun 58.433,95 ha tersebar di 21 kabupaten dengan total produksi sebesar 66.824,5 ton biji kering dengan produktivitas 1.697,14 kg/ha/tahun. Perkebunan kakao rakyat ini diusahakan sebanyak 77.311 KK. Beberapa kabupaten yang menjadi sentra produksi kakao rakyat di daerah ini: (i) Kabupaten Deli Serdang; (ii) Kabupaten Nias; (iii) Kabupaten Simalungun; (iii) Kabupaten Tapanuli Selatan dan (iv) Kabupaten Asahan.

Banyaknya masalah yang dihadapi dalam budidaya kakao di Sumatera Utara, seperti produktivitas kebun masih rendah akibat serangan hama penggerek buah kakao (PBK), mutu produk masih rendah akan menimbulkan masalah dalam pengembangan kakao rakyatrakyat pada masa yang akan datang di daerah ini. Oleh karenanya informasi yang komprehensif keadaan budidaya kakao masyarakat harus diketauhi, sehingga dapat direncanakan pengembangan budidaya kakao pada masa yang akan datang secara efektif dan efisien. Semakin besarnya konsumsi kakao baik dalam negeri maupun luar negeri, semakin besarnya peluang berusaha kakao baik dari segi ketersediaan lahan yang sesuai maupun ketersediaan modal perbankan akan menunjang pengembangan kakao rakyat di Sumatera Utara.

METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan data sekunder. Data sekunder diperoleh dari instansi terkait dan berbagai sumber kepustakaan yang relevan dengan penelitian ini. Data yang diperoleh untuk perumusan strategi adalah data kualitatif dan kuantitatif yang kemudian diolah dan dianalisis dengan menggunakan metode analisis SWOT. (David, 2005; Rangkuti 2004; Hunger, JD dan Whealen, T.L., 2003).

TINJAUAN PUSTAKA

Peningkatkan produksi kakao rakyat di Sumatera Utara harus tetap dilakukan agar pendapatan dan kesejahteraan petani kakao di daerah ini dan peningkatan devisa negara dapat terus ditingkatkan. Tulisan ini bertujuan mengidentifikasi potensi, peluang dan kendala peningkatan produksi kakao rakyat. Secara spesifik, tulisan ini mencoba merancang alternatif strategi pengembangan produksi kakao rakyat di Sumatera Utara, dalam upaya peningkatan pendapatan petani dan devisa negara khususnya melalui ekspor.

Dengan kondisi harga kakao dunia yang relatif stabil dan cukup tinggi maka perluasan areal perkebunan kakao Indonesia diperkirakan akan terus berlanjut dan hal ini perlu mendapat dukungan agar kebun yang berhasil dibangun dapat memberikan produktivitas yang tinggi. Melalui berbagai upaya perbaikan dan perluasan maka areal perkebunan kakao Indonesia pada tahun 2010 diperkirakan mencapai 1,1 juta ha dan diharapkan mampu menghasilkan produksi 730 ribu ton/tahun

52


INOVASI : Vol. 7. No. 1, Maret 2010

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

biji kakao. Pada tahun 2025, sasaran untuk menjadi produsen utama kakao dunia bisa menjadi kenyataan karena pada tahun tersebut total areal perkebunan kakao Indonesia diperkirakan mencapai 1,35 juta ha dan mampu menghasilkan 1,3 juta ton/tahun biji kakao.

strategi pengembangan dapat diformulasikan kebijakan dan program pengembangan Kakao rakyat di Sumatera Utara. Strategi pengembangan kakao rakyat di Propinsi Sumatera Utara, dapat dirumuskan dengan mengacu kepada kebijakan pembangunan nasional khususnya revitalisasi perkebunan, kebijakan pembangunan daerah, potensi dukungan SDM, potensi dukungan SDA, potensi pembiayaan pelaku usaha (petani), potensi dukungan investasi swasta dan usaha barang dan jasa, potensi dukungan kelembagaan pelayanan masyarakat, kemampuan pembiayaan daerah, dan strategi lain yang sesuai kondisi spesifik di daerah. Dengan mengacu kepada semua komponen diatas, diperoleh beberapa strategi pengembangan yang dijabarkan dalam bentuk kebijakan dan program untuk pengembangan pengembangan kakao rakyat di Propinsi Sumatera Utara lima tahun ke depan.

Selanjutnya menurut Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Pertanian RI untuk mencapai sasaran produksi tersebut diperlukan investasi sebesar Rp 16,72 triliun dan dukungan berbagai kebijakan untuk menciptakan iklim usaha yang kondusif. Dana investasi tersebut sebagian besar bersumber dari masyarakat karena pengembangan kakao selama ini umumnya dilakukan secara swadaya oleh petani. Dana pemerintah diharapkan dapat berperan dalam memberikan pelayanan yang baik dan dukungan fasilitas yang tidak bisa ditanggulangi petani seperti biaya penyuluhan dan bimbingan, pembangunan sarana dan prasarana jalan dan telekomunikasi, dukungan gerakan pengendalian hama PBK secara nasional, dukungan untuk kegiatan penelitian dan pengembangan industri hilir.

Kakao sebagai salah satu komoditas yang mempunyai nilai jual tinggi di pasaran ekspor, sangat penting untuk dikembangkan. Pengembangan komoditas ini, khususnya kakao rakyat di Sumatera Utara sangat tergantung dari keadaan internal dan keadaan eksternal yang mempengaruhi produksi komoditas ini. Dari hasil analisis faktor internal akan diperoleh faktor kekuatan yang paling besar untuk dapat digunakan sebagai kekuatan pengembangan kakao rakyat di Sumatera Utara. Demikian pula dari faktor kelemahan terendah akan digunakan untuk mengembangkan kakao rakyat di Sumatera Utara.

Beberapa kebijakan pemerintah yang sangat dibutuhkan dalam pengembangan agribisnis kakao 5 sampai 20 tahun ke depan antara lain: Penghapusan PPN dan berbagai pungutan, aktif mengatasi hambatan ekspor dan melakukan lobi untuk menghapuskan potangan harga, mendukung upaya pengendalian hama PBK dan perbaikan mutu produksi serta menyediakan fasilitas pendukungnya secara memadai.

Permasalahan mutu kakao Indonesia, khususnya yang dihasilkan oleh petani (kakao asalan atau kakao rakyat) sebenarnya telah mencuat ke permukaan sejak tahun 80-an, yang ditandai dengan tingginya kandungan biji-biji tidak terfermentasi, kontaminasi serangga, kandungan biji cacat yang tinggi serta inkonsistensi mutu, (Wahyudi dan Misnawi, 2007).

Penetapan strategi, tujuan dan sasaran pengembangan kakao rakyat di Sumatera Utara, harus ditinjau dari Faktor-faktor Kunci Keberhasilan atau FKK. FKK berfungsi untuk lebih memfokuskan strategi pengembangan pengembangan kakao rakyat dalam rangka pencapaian misi dan tujuan secara efektif dan efisien. Oleh karenanya penetapan FKK penting dilakukan agar perumusan tujuan pengembangan kakao rakyat di daerah ini lebih terarah dan sesuai dengan visi dan visi yang telah ditetapkan sebelumnya.

Menurut Bambang (2003), formulasi strategi pengembangan agribisnis kakao rakyat di Provinsi Sulawesi Tenggara, diperoleh delapan set formulasi strategi, yaitu : 1) Perluasan areal, intensifikasi, dan rehabilitasi kakao rakyat, 2) Fasilitasi jalinan kemitraan antara petani dengan pabrik pengolahan kakao di Makasar dan mendukung percepatan pembangunan pabrik kakao di Kendari, 3) Peningkatan mutu SDM, 4) Fasilitasi penyediaan sarana produksi dan pembangunan sarana serta prasarana penunjang, 5) Peningkatan mutu hasil kakao serta penerapan standarisasi sesuai kebutuhan konsumen, 6) Optimalisasi fungsi dan peranan lembaga penelitian dan pengembangan, 7) Kerja sama dengan lembaga terkait mengupayakan keanggotaan Indonesia dalam Asosiasi Kakao Internasional serta menyelenggarakan promosi, dan

Berdasarkan hasil analisis faktor strategis internal berupa kekuatan dan kelemahan, serta analisis faktor strategis eksternal berupa peluang dan tantangan atau ancaman yang akan mempengaruhi pengembangan kakao rakyat, diperoleh faktorfaktor kunci keberhasilan pengembangan kakao rakyat di Sumatera Utara. Berdasarkan kondisi dan peluang serta masalah dan tantangan pengembangan kakao rakyat di Sumatera Utara, maka dapat disusun suatu strategi pengembangan kakao rakyat di daerah ini. Dari

53


INOVASI : Vol. 7. No. 1, Maret 2010

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

8) Pemberdayaan lembaga petani dan peningkatan peranan lembaga penunjang.

1. Mutu produksi kakao rakyat umumnya masih rendah. Penyebabnya keterbatasan bahan tanam dan penyebaran sumber benih belum merata keseluruh sentra produksi menyebabkan penggunaan bahan tanam asalan masih berlanjut. Sifat klon dari benih yang ditanam kurang baik; 2. Banyak tanaman sudah tua. Areal tanaman yang tidak menghasilkan terdapat di kabupaten Asahan dengan luas 685,50 hektar; kabupaten Tapanuli Selatan dengan luas 242,00 hektar dan kabupaten Mandailing Natal dengan luas 154 hektar; 3. Terbatasnya permodalan dalam usaha pengembangan kakao; 4. Ketidaktahuan petani akan teknis pemeliharaan tanaman; Pemeliharaan tanaman (pemangkasan, pengelolaan tanaman pelindung, pemupukan, pengendalian hama/penyakit), kebanyakan tidak dilakukan, disebabkan oleh ketidaktahuan petani karena tidak adanya penyuluhan/pendampingan oleh petugas. Tajuk tanaman rimbun, tanaman yang di ladang kebanyakan kurang penaung, sementara yang diusahakan di pekarangan kelebihan penaung. Kondisi tersebut menyebabkan pembuahan kurang optimum. 5. Produksi kakao yang semakin menurun, ratarata hanya 500 kg/ha/tahun. Padahal, idealnya sekitar 1,5 ton/ha/tahun. Hal itu disebabkan karena sebagian besar tanaman kakao sudah berumur di atas 15 tahun sehingga kurang produktif lagi. Selain itu, juga disebabkan oleh hama penggerek buah kakao (PBK) dan penyakit VSD. Pengelolaan sumber daya lahan tidak tepat;

HASIL DAN PEMBAHASAN Identifikasi Faktor Internal dan Eksternal Kekuatan (Strengths) Berdasarkan uraian keadaan agribisnis kakao rakyat pada beberapa kabupaten sebagai sentra produksi kakao rakyat di Sumatera Utara, maka dapat diidentifikasi faktor kekuatan yang dapat mendukung pengembangan kakao rakyat pada masa yang akan datang. 1. Produktivitas kakao rakyat Sumatera Utara khususnya pada sentra produksi kakao seperti Kabupaten Deli Serdang, Simalungun, Asahan, Batu Bara lebih tinggi dari produktivitas nasional; 2. Tanaman kakao dapat tumbuh hampir di seluruh kabupaten yang ada di Sumatera Utara. Berdasarkan data Dinas Perkebunan Sumatera Utara (2008), areal kakao rakyat di Sumatera Utara Tahun 2008, seluas 60.089,19 hektar. Luas areal tanam ini terdiri dari: 1) Luas areal Tanaman Menghasilkan (TM), 39.623,10 hektar; 2); dan 3) Luas areal Tanaman Tidak Menghasilkan (TTM), 1.639 hektar. 3. Adanya kebijakan pembangunan perkebunan khususnya kakao rakyat di Sumatera Utara, khususnya bantuan permodalan dari program revitalisasi perkebunan; 4. Banyak masyarakat yang mengusahakan kakao sebagai sumber pendapatan. Jumlah masyarakat yang mengusahakan kakao ini sebanyak 64.260 KK. Jumlah terbanyak masyarakat yang mengusahakan kakao ini terdapat di kabupaten Deli Serdang dengan jumlah 8.708 KK, Kabupaten Asahan dengan jumlah 6.885 KK dan Kabupaten Tapanuli Selatan dengan jumlah 5.952 KK serta kabupaten Simalungun dengan jumlah 5.797 KK; 5. Tersedianya bibit kakao yang baik. Dinas Kehutanan dan Perkebunan (Dishutbun) Kabupaten Mandailing Natal telah menyiapkan instlasi pembibitan tanaman perkebunan seluas lima hektar yang berada di Desa Huta Tonga Kecamatan Panyabungan Barat. Di lahan tersebut, akan ditanam bibit kakao seluas tiga hektar. Kebun bibit kakao ini diperuntukkan bagi petani yang berminat dan petani hanya dibebankan membayar PAD nya saja tiap membeli bibit komoditas tersebut;

Peluang (Opportunities) Peluang pengembangan kakao rakyat di Sumatera Utara antara lain : 1. Adanya teknologi pengendalian serangan hama dan penyakit, khususnya serangan hama PBK (Penggerek Buah Kakao); 2. Adanya teknologi budidaya kakao yang baik; 3. Peluang pengembangan industri pengolahan biji kakao cukup besar pada kawasan sentra produksi kakao; 4. Sudah ada sistem pemasaran hasil melalui mekanisme lelang; 5. Penyuluhan cara bertanam yang baik, seperti jarak tanam dan perawatan. Ancaman (Threats) 1. Kurangnya pengetahuan petani dengan informasi pasar; 2. Penerapan teknologi pemulihan tanaman kakao dengan cara okulasi masih terkendala oleh keterbatasan bahan entries dari klonal tanaman yang baik;

Kelemahan (Weakness) Berdasarkan keadaan agribisnis kakao rakyat pada beberapa kabupaten sentra produksi kakao rakyat di Sumatera Utara, ditemukan permasalahan untuk pengembangan komoditas kakao rakyat antara lain :

54


INOVASI : Vol. 7. No. 1, Maret 2010

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

3. Serangan hama dan penyakit, khususnya serangan hama PBK (Penggerek Buah Kakao); 4. Kesulitan penyaluran dana revitalisasi kakao karena status kepemilikan lahan. Revitalisasi perkebunan merupakan upaya percepatan pengembangan perkebunan rakyat melalui perluasan, peremajaan dan rehabilitasi tanaman perkebunan. Program ini didukung kredit investasi dan subsidi bunga oleh pemerintah dengan melibatkan perusahaan di bidang usaha perkebunan sebagai mitra pengembangan dalam pembangunan kebun, pengolahan dan pemasaran hasil. Permasalahan yang dihadapi dalam program ini yakni sampai kini baru Kabupaten Madina dan Tapsel yang sudah membentuk Tim Koordinasi Revitalisasi Perkebunan (TP3K), sebagian besar permohonan yang dikirim ke Provinsi belum melengkapi persyaratan resmi sesuai peraturan Menteri Pertanian Nomor: 33/PERMENTAN/OT.140/7/2006. Selain itu, tim pembina perkebunan Provinsi (TP3P) dan tim teknis program revitalisasi perkebunan provinsi belum dapat melaksanakan langsung pembinaan dan sosialisasi ke kabupaten karena keterbatasan anggaran untuk itu; 5. Kurangnya penyuluhan kepada masyarakat petani;

Adanya faktor kelemahan mutu produksi kakao rakyat umumnya masih rendah dan adalah ketidaktahuan petani akan teknis pemeliharaan tanaman kakao akan menghambat pengembangan komoditas kakao rakyat pada masa yang akan datang. Jika kelemahan ini tidak segera diatasi, akan menurunkan produksi kakao dan minat masyarakat Sumatera Utara untuk mengembangkan komoditas kakao. Total nilai skor faktor internal sebesar 2,79 yang nilainya lebih besar dari nilai rata-rata 2.5. Hal ini menunjukkan kondisi faktor internal pengembangan komoditas kakao rakyat di Sumatera Utara masih relatif memiliki faktor kekuatan yang tinggi dan faktor kelemahan yang rendah untuk menunjang pengembangan kakao rakyat di Sumatera Utara. Evaluasi Faktor Eksternal Pengembangan Kakao rakyat di Sumatera Utara Berdasarkan hasil analisis EFE, maka diperoleh faktor peluang pertama, adanya teknologi budidaya kakao yang baik dengan bobot dan skor 0,11 dan 0,44. Perlunya teknologi kakao adalah untuk menjamin produksi kakao yang diusahakan rakyat sesuai dengan yang diharapkan. Keadaan ini akan meningkatkan produksi dan pendapatan petani kakao. Dengan demikian kedua faktor peluang ini dapat dijadikan strategi pengembangan kakao rakyat di Sumatera Utara.

Evaluasi Faktor Internal dan Eksternal Dari hasil analisis IFE, diperoleh faktor kekuatan berupa produktivitas kakao rakyat lebih tinggi dari produktivitas kakao nasional dengan bobot dan skor tertinggi 0,12 dan 0,48. Bobot dan skor ini merupakan yang tertinggi. Faktor kekuatan kedua yakni tersedianya bibit kakao unggul memiliki bobot dan skor 0,11 dan 0,44.

Faktor peluang kedua yang terbaik adalah adanya teknologi budidaya kakao yang baik dengan bobot dan skor 0,12 dan 0,48. Pemanfaatan peluang ini sangat penting bagi peningkatan produksi kakao rakyat. Jika teknologi budidaya kakao yang baik dapat diterapkan pada tingkat petani maka produksi kakao dapat ditingkatkan, dan pada akhirnya akan dapat meningkatkan pendapatan petani kakao. Adanya teknologi pengendalian serangan hama dan penyakit, khususnya serangan hama PBK (Penggerek Buah Kakao), merupakan faktor peluang kedua yang memiliki bobot dan skor tertinggi masing-masing 0,11 dan 0,44. Pengembangan kakao rakyat dapat dilakukan dengan memanfaatkan teknologi ini.

Faktor internal yang memiliki bobot tertinggi dan merupakan kekuatan yang harus dimanfaatkan dalam pengembangan kakao rakyat. Dengan demikian pengembangan kakao rakyat dapat dikembangkan dengan mengembangkan kakao dengan bibit produksi tinggi untuk mengembangkan kakao rakyat di Sumatera Utara. Pengembangan komoditas kakao rakyat di Sumatera Utara, dapat dilakukan dengan menggunakan faktor kelemahan dengan bobot dan skor terendah. Berdasarkan hasil analisis diperoleh faktor kelemahan. mutu produksi kakao rakyat umumnya masih rendah merupakan faktor kelemahan yang memiliki bobot dan skor terendah, yakni 0,09. Sedangkan faktor kelemahan kedua yang memiliki nilai terendah adalah ketidaktahuan petani akan teknis pemeliharaan tanaman, memiliki bobot dan skor masing-masing 0,18.

Pengembangan komoditas kakao rakyat di Sumatera Utara, dapat dilakukan dengan meminimalisir atau setidaknya mengurangi ancaman faktor ini untuk menghambat pengembangan kakao rakyat di Sumatera Utara. Faktor eksternal yang harus diminimalisir adalah faktor tantangan atau ancaman dengan nilai terendah yakni ancaman serangan hama dan penyakit, khususnya serangan hama PBK (Penggerek Buah Kakao); Faktor tantangan ini memiliki bobot dan skor sebesar 0,11. Faktor tantangan kedua terendah adalah kurangnya

55


INOVASI : Vol. 7. No. 1, Maret 2010

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

pengetahuan petani dengan informasi pasar dengan nilai bobot dan skor 0,09 dan 0,18.

5.

Pengembangan komoditas kakao rakyat di Sumatera Utara dapat dilakukan dengan meminimalkan tantangan ini dengan melakukan pengendalian serangan hama dan penyakit, khususnya serangan hama PBK (Penggerek Buah Kakao dan meningkatkan pengetahuan petani dengan informasi pasar.

6.

Meningkatkan mutu kakao rakyat, dengan pengembangan industri pengolahan dan pengembangan sistem pemasaran hasil; Meningkatkan mutu kakao rakyat untuk menghindari rendahnya harga kakao.

KESIMPULAN

Hasil analisa SWOT telah mengidentifikasi faktorfaktor internal dan eksternal didapatkan skor pembobotan sebagai berikut: 1) faktor kekuatan = 1,73; 2) faktor kelemahan = 1,06; 3) faktor peluang = 1,63; dan 4) faktor ancaman = 0,99. Dari perpotongan keempat garis faktor kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman, maka diperoleh koordinat ( 0,67 ; 0,64 ). Berdasarkan tahapan analisis SWOT, dari koordinat yang diperoleh maka posisi organisasi berada pada kuadran I (positip, positip). Menurut Rangkuti (2005), posisi ini menandakan strategi yang dapat diterapkan adalah dengan mendukung kebijakan pertumbuhan yang agresif karena berada pada kuadran I. Ini merupakan situasi yang sangat menguntungkan untuk pengembangan kakao rakyat di Sumatera Utara.

Pengembangan kakao rakyat di Sumatera Utara dapat dilakukan dengan strategi dengan mendukung kebijakan pertumbuhan yang agresif. Artinya pengembangan kakao rakyat di daerah ini dapat dilakukan dengan mengembangkan strategi pembangunan perkebunan Sumatera Utara yang sudah ada saat ini. Strategi pengembangan kakao rakyat di Sumatera Utara. 1. Meningkatkan produktivitas kakao rakyat pada seluruh daerah yang berpotensi dengan menggunakan teknologi budidaya yang benar dan teknologi pengendalian hama PBK pada TM dan TBM 2. Mengembangkan kebun kakao rakyat dengan mengembangkan penyediaan bibit unggul, dan penyuluhan; 3. Meningkatkan produktivitas kakao rakyat pada seluruh daerah yang berpotensi dengan pemberdayaan kelompoktani; 4. Mengembangkan kebun kakao rakyat dengan memanfaatkan bantuan modal revitalisasi perkebunan melalui pengurusan status kepemilikan lahan; 5. Meningkatkan mutu kakao rakyat, dengan pengembangan industri pengolahan dan pengembangan sistem pemasaran hasil; 6. Meningkatkan mutu kakao rakyat untuk menghindari rendahnya harga kakao.

Strategi Pengembangan Sumatera Utara

IMPLIKASI KEBIJAKAN

Berdasarkan kaedah total skor faktor eksternal sebesar 2,62 atau di atas rata-rata 2,5, menunjukkan bahwa Sumatera Utara secara umum memiliki kemampuan yang cukup baik dalam merespon peluang dan meminimalkan pengaruh negatif dari tantangan eksternal untuk mengembangkan komoditas kakao rakyat.

Kakao

Rakyat

di

Berdasarkan hasil analisis SWOT maka pengembangan kakao rakyat dapat dilakukan dengan strategi : 1. Meningkatkan produktivitas kakao rakyat pada seluruh daerah yang berpotensi dengan menggunakan teknologi budidaya yang benar dan teknologi pengendalian hama PBK pada TM dan TBM 2. Mengembangkan kebun kakao rakyat dengan mengembangkan penyediaan bibit unggul, dan penyuluhan; 3. Meningkatkan produktivitas kakao rakyat pada seluruh daerah yang berpotensi dengan pemberdayaan kelompoktani; 4. Mengembangkan kebun kakao rakyat dengan memanfaatkan bantuan modal revitalisasi perkebunan melalui pengurusan status kepemilikan lahan;

Implikasi kebijakan perlu dilakukan untuk menunjang pengembangan kakao rakyat di Sumatera Utara, yaitu : 1. Meningkatkan penggunaan teknologi pengendalian hama PBK, untuk meningkatkan produktivitas kakao rakyat, khususnya pada sentra produksi kakao di Sumatera Utara; 2. Meningkatkan teknologi budidaya yang benar untuk meningkatkan produktivitas kakao rakyat, khususnya pada sentra produksi kakao di Sumatera Utara; 3. Menigkatkan penyediaan bibit unggul dan penyuluhan pemeliharaan tanaman; 4. Mengembangkan industri pengolahan pada tingkat usahatani; 5. Mengembangkan sistem pemasaran hasil; 6. Mengendalikan serangan hama PBK; 7. Memberdayalan petani kakao melalui kelompoktani;

56


INOVASI : Vol. 7. No. 1, Maret 2010

8. 9. 10. 11. 12. 13. 14.

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

Meningkatkan kegiatan penyuluhan kepada petani kakao; Meningkatkan sosialisasi program revitalisasi perkebunan; Pendampingan pengurusan sertifikasi lahan petani; Meningkatkan penyuluhan pemeliharaan TBM dan TM; Meningkatlan mutu pascapanen kakao rakyat; Mengembangkan informasi pasar kakao; dan Mengembangkan kerja sama dengan pengusaha eksportir.

DAFTAR PUSTAKA Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Pertanian RI, Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis: Kakao, http://www.litbang.deptan.go.id/special/kom oditas/b4kakao [10/20/09] Bambang, 2003. Formulasi Strategi Pengembangan Agribisnis Kakao Rakyat di Provinsi Sulawesi Tenggara. Thesis Magister Bisnis IPB, Bogor, http://elibrary.mb.ipb.ac.id/gdl.php?mod=br owse&op=read&id=mbipb12312421421421412-bambang-428&q = Unggulan [10/20/09] BPS Sumatera Utara, 2009. Sumatera Utara Dalam Angka 2008. Kantor Statistik Provinsi Sumatera Utara, Medan David, F.R. 2005. Strategic Management : Concepts and Cases. 8th ed. New Jersey: PrenticeHall, Inc Dinas Perkebunan Sumatera Utara, 2009. Statitistik Komoditas Perkebunan Sumatera Utara, Dinas Perkebunan Provinsi Sumatera Utara, Medan Hunger, J.D. dan Whealen T.L. (2003). Manajemen Strategis, Penerbit ANDI Yogyakarta. Napitupulu, S.K.V. Evaluasi Perkembangan Usahatani Kakao Di Kabupaten Tapanuli Utara (Studi Kasus : Desa Pagaran Pisang Kecamatan Adian Koting Kabupaten Tapanuli Utara). Rangkuti, F. (2004), Analisis SWOT Teknik membedah Kasus Bisnis, Penerbit, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta Suryani, D. dan Zulfebriansyah, (2007). Komoditas Kakao: Potret dan Peluang Pembiayaan, Economic Review No.210, Desember 2007.

57


INOVASI : Vol. 7. No. 1, Maret 2010

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

Partisipasi Masyarakat Dalam Pengelolaan Hutan Mangrove: Kasus di Suaka Margasatwa Langkat Timur Laut, Langkat, Sumatera Utara Sanudin1), Alfonsus H. Harianja2) 1),2)

Peneliti pada Balai Penelitian Kehutanan Aek Nauli

Abstraksi Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui partisipasi masyarakat dalam pengelolaan Suaka Margasatwa Langkat Timur Laut (SM LTL). Metodologi yang digunakan adalah dengan observasi langsung dan wawancara berbasis keluarga mengenai kondisi fisik kawasan dan sosial ekonomi masyarakat sekitar kawasan konservasi. Data yang dikumpulkan diolah menggunakan statistik non parametrik (chi-square) dan deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: masyarakat Desa Jaring Halus dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dipengaruhi oleh keberadaan hutan mangrove, hal ini menyebabkan kepedulian masyarakat dalam pelestarian hutan mangrove; SM LTL pada saat ini sudah mengalami kerusakan yang dapat mengancam kelestariannya akibat penebangan liar, perubahan penggunaan lahan menjadi tambak dan perkebunan sawit; upaya melibatkan masyarakat sekitar hutan dalam pengamanan hutan menjadi sesuatu hal yang penting terutama masyarakat yang mempunyai kepedulian terhadap kelestarian hutan mangrove; dan tingkat partisipasi masyarakat Desa Jaring Halus dalam pengelolaan SM LTL dipengaruhi oleh tingkat ketergantungan masyarakat terhadap keberadaan hutan mangrove yang ada di SM LTL, beberapa faktor yang mempengaruhi tingkat pemahaman responden terhadap pentingnya hutan mangrove adalah faktor umur, lama tinggal responden di desa dan jumlah jam kerja. Hal ini disebabkan karena karakteristik diatas erat kaitannya dengan sumber mata pencaharian responden yang berhubungan dan tergantung dengan hutan mangrove.

Kata kunci : Social forestry, partisipasi, masyarakat, suaka margasatwa langkat timur laut. Suaka Margasatwa Langkat Timur Laut (SM LTL) merupakan satu-satunya suaka margasatwa di Indonesia yang sebagian besar kawasannya berupa hutan mangrove yang berperan sebagai penyambung (interface) antara ekosistem daratan dan lautan. Berdasarkan informasi diketahui bahwa BBKSDA Sumatera Utara sebagai pengelola SM LTL sudah melakukan upaya pelibatan masyarakat dalam pengelolaan SM LTL sebagai bentuk implementasi social forestry.

PENDAHULUAN Seperti halnya kawasan hutan produksi, pada saat ini kawasan hutan konservasi seperti suaka margasatwa juga mendapat tekanan akibat perambahan hutan, penebangan liar, dan sebagainya. Kondisi ini antara lain disebabkan oleh tekanan ekonomi dan masih rendahnya akses masyarakat terhadap sumberdaya hutan (Karppinen, 1998; Zhang, et. al, 2005). Sosial forestry sebagai model pengelolaan hutan yang melibatkan masyarakat dalam pengelolaannya bisa menjadi salah satu alternatif untuk mengurangi tekanan terhadap kawasan konservasi (Kangas dan Store, 2002; Riera dan Mogas, 2004).

Secara umum partisipasi dapat diartikan sebagai keikutsertaan dalam suatu kegiatan. Menurut Wardoyo (1992) dalam Safei (2005), partisipasi merupakan keikutsertaan masyarakat baik dalam bentuk pernyataan ataupun kegiatan, keikutsertaan tersebut terbentuk sebagai akibat terjadinya interaksi sosial antara individu atau kelompok masyarakat yang lain dalam pembangunan. Menurut Pangesti (1995), faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat partisipasi seseorang meliputi dua hal yakni: faktor internal yang mencakup ciri-ciri atau karakter individu meliputi umur, pendidikan formal, pendidikan non formal, luas lahan garapan, pendapatan, pengalaman

Menurut Permenhut No.P.01/Menhut-II/2004, social forestry didefinisikan sebagai sistem pengelolaan sumberdaya hutan pada kawasan hutan negara dan atau hutan hak, yang memberi kesempatan kepada masyarakat setempat sebagai pelaku dan atau mitra utama dalam rangka meningkatkan kesejahteraannya dan mewujudkan kelestarian hutan.

58


INOVASI : Vol. 7. No. 1, Maret 2010

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

berusaha, dan kekosmopolitan, dan faktor eksternal yang merupakan faktor di luar karakteristik individu yakni hubungan antara pengelola dengan petani penggarap, pelayanan pengelola, dan penyuluhan.

1 untuk indikator paling rendah dan skor 3 untuk indikator paling tinggi, untuk mengetahui hubungan karakteristik responden sebagai variabel internal dengan variabel eksternal seperti dijelaskan diatas dianalisis menggunakan SPSS versi 13.0.

Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui partisipasi masyarakat dalam pengelolaan SM Langkat Timur Laut.

HASIL DAN PEMBAHASAN

METODOLOGI

Karakteristik dan Kondisi Sosial Ekonomi Responden Desa Jaring Halus, Kecamatan Secanggang, Kabupaten Langkat secara astoronomis terletak pada 98°30’ – 98°42’ BT dan 3°51’30” – 3°59’45” LU dengan ketinggian lebih kurang 1 m dpl. Desa ini mempunyai luas 78,8 ha yang terdiri dari 15,7 ha pemukiman penduduk, 5, 3 ha endapan lumpur yang membentuk daratan, dan 57, 8 ha luas ekosistem mangrove. Desa ini merupakan desa pesisir yang terbagi kedalam 5 dusun yang berbatasan dengan Selat Malaka disebelah utara dan timur, sebelah selatan dengan Desa Selotong, dan sebelah barat berbatasan dengan Desa Tapal Kuda.

Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilakukan di SM LTL, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara pada tahun 2008. Pengumpulan Data Pengambilan data primer dilakukan pada lokasi/desa terpilih yakni Desa Jaring Halus, Kecamatan Secanggang, Kabupaten Langkat. Pemilihan desa ini berdasarkan kenyataan bahwa masyrakat di Desa Jaring Halus yang berbatasan langsung dengan SM LTL dilibatkan dalam pengelolaan SM LTL. Responden dipilih secara acak terhadap kepala keluarga (KK) dan tokoh masyarakat baik yang terlibat dalam pengelolaan SM maupun masyarakat biasa dengan jumlah responden sebanyak 47 kepala keluarga.

Pada tahun 2006, jumlah penduduk Desa Jaring Halus sebanyak 4.788 orang (1.288 KK) yang terdiri dari 2.288 laki-laki dan 2.500 perempuan. Masyarakat di desa ini terdiri dari berbagai suku, yakni mayoritas Melayu, Banjar, Mandailing, dan Jawa. Sekitar 90% masyarakat Desa Jaring Halus mempunyai mata pencaharian sebagai nelayan dan sisanya adalah pengusaha ikan, pedagang, dan pegawai negeri sipil. Jenis-jenis ikan yang dihasilkan di desa ini diantaranya adalah ikan gembung, koli, kerapuh, jenahar, udang, kerang, kepiting, dan sebagainya. Jenis usaha dan alat yang digunakan adalah pukat cerubung, jaring koli, jaring gembung, toke kepiting, toke udang, ambai, dan sebagainya. Hampir semua kebutuhan masyarakat di desa ini diperoleh dengan cara membeli untuk kebutuhan dasar seperti air dan beras. Karakteristik responden pada lokasi studi disajikan pada Tabel 1.

Setiap responden diwawancara secara mendalam berdasarkan kuisioner yang telah dipersiapkan. Teknik ini dilakukan dengan wawancara terstruktur dan wawancara terbuka untuk memperoleh kelengkapan informasi dalam penelitian. Bahan pertanyaan meliputi: data diri (variabel internal) seperti umur, lama tinggal di desa, pendidikan, jumlah anggota keluarga, pendapatan, dan jumlah jam kerja serta kehidupan sosial ekonomi, dan variabel eksternal seperti pengetahuan masyarakat terhadap hutan mangrove dan SM LTL dan perilaku serta partisipasi masyarakat terhadap pelestarian hutan mangrove.

Tabel 1. Karakteristik Responden di Desa Jaring Halus

Untuk melengkapi data primer dilakukan pengumpulan data sekunder dari instansi-instansi terkait seperti Dinas Kehutanan Propinsi, BBKSDA Sumut, BPS, dan sebagainya.

No.

Analisis Data

1.

Data yang diperoleh kemudian dianalisis baik secara kuntitatif menggunakan uji statistik non parametrik (chi-square) untuk menjelaskan hubungan antara hasil pengamatan, hasil wawancara, inventarisasi, dan bentuk pertanyaan dengan bahan jawaban responden, dengan menggunakan persentase dan tabulasi kemudian dihitung frekuensinya serta pemberian skor terhadap setiap individu menggunakan interval skor

2.

3.

59

Uraian Jenis Kelamin a. Laki-laki b. Perempuan Jumlah Umur (tahun) a. < 25 b. 25 – 65 c. > 65 Jumlah Pendidikan a. Tamat SD/tidak tamat b. Tamat SLTP c. Tamat SLTA Jumlah

Desa Jaring Halus Jumlah Persentase 47 0 47

100 0 100

1 44 2 30

2,13 93,62 4,26 100

37 7 3 47

78,72 14,89 6,38 100


INOVASI : Vol. 7. No. 1, Maret 2010

No.

4.

5.

6.

7.

8.

Uraian Pekerjaan utama a. Buruh Nelayan b. Nelayan c. Pedagang pengumpul Jumlah Jumlah tanggungan keluarga (orang) a. 0 - 4 b. 5 - 7 c. > 7 Jumlah Lama tinggal di desa (tahun) a. 0 - 10 b. 10-20 c. > 20 Jumlah Lama jadi Nelayan (tahun) a. 0 - 10 b. 10-20 c. > 20 Jumlah Pendapatan/bulan (Rp) a. ≤ 1.000.000 b. 1.000.000 - 2.000.0000 c. > 2.000.000 Jumlah

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

Jumlah anggota keluarga responden pada desa studi didominasi oleh jumlah tanggungan sebanyak 0 – 4 orang yakni 46,81% dan sisanya jumlah anggota keluarga lebih dari 4 orang. Hal ini menunjukkan bahwa secara umum responden mempunyai jumlah tanggungan yang cukup banyak.

Desa Jaring Halus Jumlah Persentase 9 34 4 47

21,28 72,34 6,38 100

22 21 4 47

46, 81 44,68 8,51 100

2 16 29 47

4,26 34 61,70 100

7 16 24 47

14,89 34,04 51,06 100

18 25 4 47

39 % 53 % 8% 100

Lama tinggal di desa berhubungan erat dengan profesi sebagai nelayan, karena masyarakat menjadikan nelayan sebagai satu-satunya alternatif pekerjaan. Lama tinggal responden di Desa Jaring Halus sebagian besar antara lebih dari 20 tahun yakni sebesar 61,70% dan lama jadi nelayan didominasi lebih dari 20 tahun sebanyak 51,06%. Pendapatan masyarakat yang mayoritas nelayan sangat tergantung pada kondisi lingkungannya (dalam hal ini laut). Sebagaimana karakteristik masyarakat desa pesisir berupa tingkat pendapatan yang rendah, masyarakat di Desa Jaring Halus juga mempunyai pendapatan yang relatif rendah sampai sedang; berdasarkan hasil wawancara diketahui bahwa pendapatan responden sebagian besar antara Rp. 1.000.000 sampai Rp. 2.000.000 per bulan (53 %), dan di bawah Rp 1.000.000 per bulan (39 %). Jika dibandingkan antara pendapatan yang diperoleh dengan jumlah tanggungan keluarga yang cukup banyak, serta biaya pengadaan kebutuhan sehari-hari yang cukup tinggi karena hampir semuanya mesti didatangkan dari luar pulau; maka pendapatan yang diperoleh tersebut sangat rendah.

Sumber : Diolah dari hasil wawancara, 2008 Dari tabel 1 diketahui bahwa usia responden di didominasi oleh umur 25-65 tahun sebanyak 93,62%. Struktur umur responden berada pada kisaran 24-73 tahun. Menurut BPS usia ini termasuk usia produktif sehingga dengan usia ini diduga nelayan memiliki motivasi yang tinggi untuk bekerja memenuhi kebutuhan keluarganya dan relatif lebih mudah menerima masukan hal-hal baru yang bersifat kemajuan.

Beberapa permasalahan yang dihadapi responden terdiri dari menurunnya hasil tangkapan seperti dinyatakan oleh 87,23% responden, permasalahan modal dan buruknya kondisi cuaca seperti dinyatakan oleh sebanyak 6,38%. Berdasarkan hasil wawancara diketahui bahwa menurunnya hasil tangkapan disebabkan oleh dua hal yakni menurunnya kondisi hutan mangrove yang ada disekitar desa mereka termasuk SM LTL dan akibat persaingan dengan nelayan dari daerah lain yang menggunakan alat tangkap modern dan bersifat merusak ekosistem sungai berupa pukat langgai. Pukat langgai merupakan sejenis alat tangkap dengan menggunakan jaring yang sangat rapat yang dipasang pada sondong (dua buah kayu pada perahu mesin yang digunakan sebagai gawang jaring). Jenis pukat ini mengambil semua jenis ikan yang ada termasuk ikan yang masih kecil dan mampu beroperasi sampai dasar/lantai sungai sehingga cenderung merusak arena merusak lumpur dasar laut/sungai sebagai tempat bertelur dan habitat jenis biota laut/sungai. Sedangkan nelayan di Desa Jaring Halus menggunakan alat tangkap tradisional berupa jaring sehingga wajar jika kalah bersaing dengan nelayan yang menggunakan alat tangkap modern.

Pendidikan yang dilihat dalam penelitian ini adalah pendidikan formal responden karena pendidikan formal merupakan salah satu sarana untuk meningkatkan kecerdasan dan keterampilan manusian (skill). Tingkat pendidikan responden umumnya masih rendah dimana sebanyak 78,72% hanya lulusan SD/tidak tamat. Kondisi ini mempengaruhi jenis pekerjaan utama yang dimiliki responden, dimana responden pada umumnya bekerja sebagai buruh nelayan sebanyak 21,28%, sebagai nelayan sebanyak 72,34%, dan sebagai pedagang pengumpul sebanyak 6,38%. Berdasarkan hasil wawancara ketersediaan sumber mata pencaharian ini disebabkan karena kegiatan nelayan secara umum bersifat turun temurun sebab seorang anak akan mewarisi pekerjaan orang tuanya seperti dinyatakan oleh 38,29% responden dan sisanya sebanyak 61,70% responden menyatakan tidak ada alternatif pekerjaan lainnya selain nelayan.

Dalam kehidupan sosial budaya, masyarakat Desa Jaring Halus yang mayoritas bersuku melayu dan

60


INOVASI : Vol. 7. No. 1, Maret 2010

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

beragama islam mempunyai tradisi/adat penting diantaranya adalah pesta jamu laut dan tepung tawar. Tradisi jamu laut merupakan tradisi yang diadakan tiap tiga tahun sekali (terakhir dilakukan pada Juli 2007). Waktu pelaksanaan tradisi jamu laut ditentukan oleh pawang (orang yang mempunyai kemampuan ghaib yang mampu berkomunikasi dengan alam ghaib). Tradisi ini merupakan sebagai simbol rasa syukur masyarakat kepada Tuhan Yang Maha Esa atas rejeki/pendapatan dari sungai/laut yang tidak pernah habis juga bertujuan untuk memulihkan kondisi kehidupan sehingga seolah-olah mulai dari awal lagi.

dalam BBKSDA Sumatera Utara (2006), sedikitnya tercatat 37 spesies tumbuhan dari 21 famili dan fauna yang terdiri dari mamalia (12 jenis), Aves (44 jenis) dimana 13 merupakan burung migran, Reptil (13 jenis), Ikan (52 jenis), Moluska dan Crustace. Pada saat ini kondisi SM LTL, telah banyak mengurangi kerusakan akibat penebangan liar untuk arang dan konversi hutan mangrove menjadi tambak dan perkebunan sawit. Berdasarkan hasil wawancara dengan responden diketahui bahwa sebenarnya masyarakat Desa Jaring Halus yang pernah berinteraksi SM LTL pernah melakukan usaha-usaha untuk mencegah dan melarang masyarakat luar yang melakukan penebangan kayu, namun masyarakat tidak mempunyai kekuatan dan otoritas untuk mencegahnya karena pengelolaan SM LTL berada di bawah kewenangan BB KSDA Sumut.

Banyak pantangan/tabu-tabu yang diberlakukan selama satu hari satu malam diantaranya dilarang berteriak, dilarang mengambil benda yang jatuh ke tanah, dan sebagainya. Kondisi ini sering membuat sebagian masyarakat Desa Jaring Halus mengungsi ke daerah lain sementara waktu karena takut melanggar pantangan tersebut. Karena jika melanggar pantangan maka akan dikenakan denda sebesar Rp 13.000.000 dimana denda ini akan digunakan untuk pelaksanaan ulang tradisi jamu laut jika ada salah seorang warga masyarakat yang melanggar pantangan tersebut. Selama masa pantangan tersebut, dilarang keluar masuk desa.

Berdasarkan hasil transek yang dilakukan oleh Onrizal dan Oelim, (1999) pada kawasan SM LTL di sekitar Desa Jaring Halus yang dianggap representatif diketahui bahwa kondisi SM sudah mengalami dampak kerusakan yang cukup parah; vegetasi yang ada saat itu hanya terdiri atas fase semai, anakan, dan pohon kecil. Adapun pohonpohon besar yang tersisa adalah jenis Avicennia spp (A. lanatan dan A. manira), karena mungkin jenis ini kurang cocok untuk dijadikan arang kayu. Di mana-mana ditemukan tonggak-tonggak berukuran besar, teutama jenis Rizhophora sp dan Xylocarpus sp. Adanya vegetasi yang sudah mencapai fase pohon kecil dan sudah mulai belajar berbuah seharusnya bisa diharapkan sebagai jaminan untuk kawasan tersebut memulihkan diri secara alami (ameliorasi), dengan syarat tidak ada lagi penebangan liar dan perambahan seperti yang pernah terjadi dahulu. Pada kawasan yang mempunyai yang tingkat kerusakan cukup ekstrim memerlukan campur tangan manusia untuk melakukan perbaikan hidrologi dan pengkayaan jenis.

Kondisi Pengelolaan SM LTL Suaka Margasatwa Langkat Timur Laut (SM LTL) merupakan kawasan konservasi berupa hutan mangrove. Sebelum ditetapkan sebagai suaka margasatwa, hutan di Langkat Timur Laut oleh Kerajaan Negeri Deli ditetapkan sebagai Kawasan Hutan dengan Zelfbestuur 8/8/1935 No. 138 seluas 6.245 ha kemudian berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian Nomor 811 /Kpts/Um/11/1980 tanggal 5 Nopember 1980 kedua kawasan tersebut ditunjuk sebagai Suaka Alam c.q. Suaka Margasatwa seluas 15.765 ha. SM LTL secara administratif pemerintahan terletak di Kecamatan Hamparan Perak dan Kecamatan Labuhan Deli Kabupaten Deli Serdang serta Kecamatan Secanggang dan Kecamatan Tanjung Pura Kabupaten Langkat. Letak astronomis terbentang antara 98º30’- 98º42’ BT dan 3º51’30”3º59’45” LU. Dari kota Medan, untuk mencapai lokasi dapat ditempuh melalui jalan darat dengan route Medan – Stabat - Secanggang berjarak ± 70 Km, serta jalan laut Belawan-Karang Gading sekitar 2 jam perjalanan dengan boat (BB KSDA Sumatera Utara, 2006).

Rusaknya kawasan SM LTL sebagai ruang sumberdaya masyarakat Desa Jaring Halus dan sekitarnya berpengaruh nyata terhadap tingkat perekonomian masyarakat. Sebagian besar responden mengeluhkan kondisi ini karena berpengaruh terhadap menurunnya hasil tangkapan masyarakat cukup signifikan. Hal ini dirasakan masyarakat terkait dengan semakin jauhnya wilayah tangkapan masyarakat sampai harus jauh ke laut padahal pada awalnya tangkapan bisa diperoleh dari muara-muara dan sungai-sungai di perairan Desa Jaring Halus.

Vegetasi yang ada di kawasan SM KG/LTL didominasi vegetasi hutan mangrove (seluas 11.500 hektar atau 70 % dari luas kawasan), dan sedikit hutan cemara. Menurut Giesen dan Sukotjo (1991)

Pihak BBKSDA Sumatera Utara sebagai pemegang otoritas SM telah melakukan beberapa upaya dalam pengelolaan/pengamanan kawasan SM diantaranya

61


INOVASI : Vol. 7. No. 1, Maret 2010

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

adalah: 1) kegiatan perlindungan dan pengamanan merupakan hal utama yang dilaksanakan oleh pengelola sehingga akibat penertiban kegiatan illegal logging, saat ini Âą 400 kilang/dapur arang yang memanfaatkan kayu bakau sebagai bahan baku pembuatan arang telah terhenti, 2) upaya penegakan hukum bagi perambah kawasan melalui patroli dan operasi pengamanan hutan secara swakarsa, 3) peningkatan usaha ekonomi masyarakat, dan 4) selain itu juga telah dilakukan upaya rehabilitas lahan melalui GERHAN. Pengetahuan Mangrove

Masyarakat

terhadap

Pada kawasan SM menurut peraturan perundangan tidak diperbolehkan mengambil hasil hutan yang menyebabkan perubahan bentang alamnya, artinya dilarang mengambil hasil hutan terutama kayu. Hal ini disadari oleh responden dimana sebagian besar responden (89,36%) menyatakan perlunya pengamanan dan tindakan hukum terhadap pelaku penebangan liar di kawasan SM. Penjelasan diatas berhubungan dengan pendapat responden mengenai pentingnya upaya melestarikan hutan mangrove sepertinya dinyatakan oleh semua responden. Fenomena yang sama telah dikemukakan oleh Alho et. al. (2002), di mana penegakan hukum (peraturan), akan meningkatkan kelestarian kawasan yang dilindungi (kasus di Ilha Grande State Park, Brazil).

Hutan

Sebagai desa yang masyarakatnya sangat tergantung dari kondisi hutan mangrove baik yang ada di desanya maupun SM LTL untuk mendapatkan penghasilan, semua responden mengerti mengenai hutan mangrove. Hal ini disebabkan karena ketergantungan masyarakat terhadap hutan mangrove cukup tinggi.

Ketika ditanyakan mengenai ada tidaknya peraturan desa yang mengatur pengelolaan hutan mangrove terutama hutan mangrove desa, sebanyak 91,49% responden menyatakan ada peraturan desa meskipun tidak tertulis yang mengatur pengelolaan dan pemanfaatan hutan mangrove desa. Responden lainnya menyatakan tidak tahu, hal ini disebabkan karena berdasarkan penelusuran data responden tersebut mempunyai umur yang masih muda kurang dari 35 tahun dan responden tersebut belum mendapatkan informasi mengenai keberadaan peraturan tidak tertulis mengenai pengelolaan hutan mangrove desa dari tokoh masyarakat atau masyarakat lainnya karena jarang berinteraksi dengan masyarakat lainnya.

Sebanyak 87,23% responden mengetahui SM dimana informasi tersebut berasal dari pemerintah (BBKSDA) seperti dinyatakan oleh 65,85%, tahu sendiri akibat sering berinteraksi dengan SM mengambil ikan, dan sebagainya seperti dinyatakan oleh 21,95%, dan sisanya sebanyak 12,19% responden tahu dari masyarakat lainnya. Responden yang tidak mengetahui SM disebabkan karena selama ini mengambil ikan, dan sebagainya dari laut (selat malaka) yang juga jaraknya tidak terlalu jauh dari Desa Jaring Halus sehingga jarang berinteraksi dengan SM.

Bagi masyarakat, membudidayakan mangrove merupakan kegiatan yang sangat mudah dimana tinggal mengambil buah/biji mangrove kemudian disemaikan. Berdasarkan hal tersebut diketahui bahwa sebanyak 53,19% responden pernah menanam mangrove secara swadaya meskipun bukan di hutan SM KGLTL namun di hutan mangrove desa ataupun di bibir pantai yang dekat dengan desa sehingga memudahkan mengawasinya karena kalau terlalu jauh dari desa dikhawatirkan mangrove tersebut akan dimanfaatkan oleh orang luar. Sedangkan sisanya menyatakan tidak pernah menanam swadaya karena masih yakin dengan kelestarian hutan mangrove desanya yang terjaga dan lebih fokus mencari pendapatan (nelayan).

Berdasarkan hasil wawancara diketahui pendapat masyarakat terhadap kondisi hutan mangrove yang ada di sekitar desanya terutama pendapat terhadap SM LTL yakni sebanyak 46% responden menyatakan kondisi SM rusak, 42,55% kondisi SM sedang, dan sisanya sebanayk 10,64% menyatakan kondisinya baik. Penilaian ini berdasarkan pengamatan responden secara visual yang dihubungkan dengan menurunnya kondisi tangkapan responden dari SM akibat banyaknya hutan mangrove di SM yang rusak tersebut. Terkait dengan rusaknya kondisi SM sehingga hampir sebagian besar responden (97,87%) menyatakan setuju untuk direhabilitasi sedangkan sisanya menyatakan menyerahkan sepenuhnya kegiatan pemulihan kembali hutan mangrove kepada proses alam. Menurut teori sebenarnya hutan mangrove mampu memulihkan dirinya sendiri tanpa campur tangan manusia asalkan sistem hidrologisnya memadai. Hal ini menunjukkan bahwa rehabilitasi pada kawasan SM yang rusak menjadi penting.

Ada sebanyak 6 orang responden yang menyemaikan mangrove kemudian menjual bibitnya dengan harga Rp 30 per buah atau Rp 200 – Rp 300 per polibag dengan tujuan pemasaran ke aceh dan Langkat. Meskipun harga jual rendah namun masyarakat menjadikan ini sebagai salah satu alternatif mendapatkan penghasilan karena bibit mudah diperoleh disekitar mereka dan mudah dibudidayakan. Kemampuan membudidayakan mangrove tersebut diperoleh secara otodidik atau ada juga yang berasal dari pendampingan LSM.

62


INOVASI : Vol. 7. No. 1, Maret 2010

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

Masyarakat menyatakan bahwa terdapat dua cara menanam mangrove yang baik yakni menanam buahnya dan menyemaikan melalui polibag kemudian ditanam.

Tabel 3. Hubungan antara Lama Tinggal Responden dan Pemahaman terhadap Hutan Mangrove No.

Kedua cara tersebut mempunyai kelebihan dan kekurangan masing-masing, menurut masyarakat, menanam buahnya langsung belum menjamin kemampuan tumbuhnya sedangkan jika menggunakan polibag bisa diatur penanamannya setelah bibit mangrove tersebut mempunyai jumlah daun empat atau enam buah daun yang dapat menjamin pertumbuhan bibit tersebut.

1. 2. 3.

4.

Hubungan antara berbagai karakteristik responden dengan pemahaman responden terhadap pengelolaan hutan mangrove, pentingnya rehabilitasi hutan mangrove yang sudah rusak, pentingnya pembatasan penebangan kayu, pandangan terhadap penebangan liar, pentingnya pelestarian hutan mangrove, disajikan pada tabeltabel dibawah ini.

5. 6. 7.

Uraian Pemahaman terhadap hutan mangrove. Kondisi hutan mangrove yang ada di desa. Pentingnya rehabilitasi hutan mangrove yang rusak. Pentingnya pembatasan penebangan hutan mangrove. Pandangan terhadap penebangan liar. Pentingnya pelestarian hutan mangrove. Keberadaan peraturan desa yang mengatur pemanfaatan hutan mangrove.

Koefisien Korelasi -

ChiSquare -

0,748

0,564

0,707

0,003

0,736

0,708

0,520

0,976

0,492

0,993

0,738

0,682

Sumber : Dioleh dari hasil wawancara, 2008 Tabel 2. Hubungan antara Umur Responden dan Pemahaman terhadap Hutan Mangrove No. 1. 2. 3.

4.

5. 6. 7.

Uraian Pemahaman terhadap hutan mangrove. Kondisi hutan mangrove yang ada di desa. Pentingnya rehabilitasi hutan mangrove yang rusak. Pentingnya pembatasan penebangan hutan mangrove. Pandangan terhadap penebangan liar. Pentingnya pelestarian hutan mangrove. Keberadaan peraturan desa yang mengatur pemanfaatan hutan mangrove.

Koefisien Korelasi -

ChiSquare -

0,537

0,267

0,360

0,539

0,422

0,857

0,481

0,007

0,310

0,760

0,517

0,377

Jumlah penghasilan responden yang berhubungan dengan jumlah jam kerja responden yang pada umumnya mempunyai pekerjaan sebagai nelayan dimana ketergantungan hasil tangkapan (pendapatan) juga dipengaruhi oleh keberadaan hutan mangrove sehingga terdapat hubungan antara jumlah penghasilan responden (Tabel 4) dan jumlah jam kerja (Tabel 5) dengan pemahaman masyarakat mengenai pentingya pembatasan penebangan hutan mangrove dan pentingnya rehabilitasi pada hutan mangrove yang rusak. Dimana hal ini pada akhirnya berhubungan dengan tujuan agar hutan mangrove tetap lestari. Tabel 4. Hubungan antara Jumlah Penghasilan Responden dan Pemahaman terhadap Hutan Mangrove No.

Sumber : Dioleh dari hasil wawancara, 2008

1.

Dari tabel diatas diketahui bahwa umur responden mempengaruhi pemahaman masyarakat mengenai larangan penebangan liar di hutan mangrove karena akan menimbukan kerusakan hutan mangrove yang pada akhirnya mempengaruhi pendapatan masyarakat.

2. 3. 4.

5.

Hal yang sama (Tabel 3) berlaku untuk karakteristik responden lama tinggal responden yang sebenarnya berkorelasi positif dengan umur responden terutama mengenai pentingnya pentingnya dilakukan rehabilitasi pada hutan mangrove yang mengalami kerusakan.

6. 7.

Uraian Pemahaman terhadap hutan mangrove. Kondisi hutan mangrove yang ada di desa. Pentingya rehabilitasi hutan mangrove yang rusak. Pentingnya pembatasan penebangan hutan mangrove. Pandangan terhadap penebangan liar. Pentingnya pelestarian hutan mangrove. Keberadaan peraturan desa yang mengatur pemanfaatan hutan mangrove.

Koefisien Korelasi -

ChiSquare -

0,539

0,803

0,393

0,198

0,608

0,006

0,286

0,651

0,492

0,020

0,453

0,433

Sumber: Dioleh dari hasil wawancara, 2008

63


INOVASI : Vol. 7. No. 1, Maret 2010

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

tahu sendiri karena ada pal batas seperti dinyatakan oleh 91,49% responden, dan sisanya memperoleh pengetahuan tersebut dari pemerintah (BB KSDA) dan LSM. Namun dari jumlah itu hanya 74,46% responden yang pernah ke suaka margasatwa baik untuk mengambil ikan, udang, kepiting (31,43%), mengambil kayu bakar, kayu untuk penyangga sampan (17,14%), dan mengambil keduanya seperti dinyatakan oleh 51,43% responden. Alasan yang dikemukan responden dengan pengambilan hasil hutan tersebut untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga dan tersedia di SM. Pengambilan kayu bakar dan kayu untuk penyangga sampan seperti dilakukan biasanya dilakukan sambil mencari ikan, udang, kepiting, dan sebagainya.

Tabel 5. Hubungan antara Jumlah Jam Kerja dan Pemahaman terhadap Hutan Mangrove No. 1. 2. 3.

4.

5. 6. 7.

Uraian Pemahaman terhadap hutan mangrove. Kondisi hutan mangrove yang ada di desa. Pentingya rehabilitasi hutan mangrove yang rusak. Pentingya pembatasan penebangan hutan mangrove. Pandangan terhadap penebangan liar. Pentingnya pelestarian hutan mangrove. Keberadaan peraturan desa yang mengatur pemanfaatan hutan mangrove.

Koefisien Korelasi -

ChiSquare -

0,699

0,145

0,707

0,000

0,747

0,009

0,441

0,878

0,707

0,000

0,673

0,339

Berdasarkan hasil wawancara diketahui bahwa sebanyak sebanyak 29,78% responden sering terlibat dalam perencanaan pengelolaan mangrove baik hutan mangrove desa maupun hutan mangrove SM LTL, sebanyak 34,04% responden pernah terlibat dan sisanya sebanyak 36,17% tidak pernah terlibat. Dari hal tersebut dapat dilihat bahwa responden yang belum pernah terlibat lebih besar dibandingkan dengan responden yang terlibat, hal ini disebabkan karena kegiatan/program yang berasal dari luar terkait dengan pengelolaan mangrove terbatas pada kelompok tertentu dan belum merata ke semua masyarakat. Jika dilihat dari keaktifan rapat/pertemuan dalam kegiatan perencanaan dari responden yang pernah terlibat dalam perencanaan diketahui bahwa sebanyak 53,33% responden memiliki usulan atau pertanyaan dan sisanya sebanyak 46,67% peserta pasif.

Sumber: Dioleh dari hasil wawancara, 2008 Partisipasi Masyarakat Dalam Hutan Mangrove SM LTL

Pengelolaan

Dalam konteks pengelolaan SM LTL yang didominasi oleh hutan mangrove, masyarakat Desa Jaring Halus yang wilayahnya berbatasan langsung dengan SM LTL seperti dijelaskan sebelumnya sangat memahami fungsi dan manfaat hutan mangrove baik hutan mangrove desa maupun hutan mangrove yang ada di SM LTL sebagai tempat mengambil kayu untuk konstruksi rumah, kayu bakar, sebagai tempat memijah ikan, udang, dan sebagai bahan obat-obatan. Fungsi lain hutan mangrove sebagai benteng yang dapat melindungi dari badai, ombak pasang, abrasi dipahami oleh masyarakat. Pemahaman tersebut diperoleh secara turun temurun dan ditambah dengan advokasi oleh beberapa lembaga baik pemerintah maupun LSM.

Setelah kegiatan perencanaan kemudian dilakukan pelaksanaan rehabilitasi baik di hutan mangrove desa maupun SM LTL dimana kegiatan ini dilakukan oleh 72,34% responden dan sisanya tidak mengikuti karena tidak mengetahui program sejak awal (tidak terlibat dalam kegiatan perencanaan). Dari responden yang pernah terlibat dalam kegiatan pelaksanaan rehabilitasi diketahui bahwa sebanyak 70,59% responden hanya melibatkan sendiri sedangkan sisanya juga melibatkan keluarganya dalam pelaksanaan rehabilitasi hutan mangrove.

Untuk mengukur tingkat partisipasi masyarakat dalam pengelolaan SM LTL dilihat dari beberapa kegiatan mulai dari perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi. Perencanaan dan pelaksanaan dilihat dari sejauhmana keterlibatan masyarakat dalam pertemuan yang diadakan oleh pemerintah/LSM dalam hubunganya dengan hutan mangrove, juga dilihat sejauhmana kegiatan penanaman/rehabilitasi terhadap hutan mangrove terutama hutan mangrove di SM LTL baik atas inisiatif sendiri maupun lembaga lain. Hal ini berdasarkan kenyataan bahwa masyarakat Desa Jaring Halus sering mendapatkan program dalam pengelolaan mangrove baik yang terkait dengan SM LTL dari pemerintah (BBKSDA) maupun dari LSM.

Sebuah program biasanya diakhiri dengan kegiatan evaluasi untuk menentukan tingkat keberhasilan atau kegagalan dari sebuah program. Dari hasil wawancara diketahui bahwa hanya sebanyak 8,82% terlibat dalam kegiatan evaluasi sedangkan sisanya tidak terlibat. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat belum sepenuhnya terlibat dalam kegiatan sebuah program secara keseluruhan dan berdasarkan hasil wawancara hanya orang tertentu dan dekat saja yang dilibatkan. Berdasarkan pengalaman responden diketahui bahwa sebanyak 97,87% responden pada tahun

Sebanyak 100% responden menyatakan tahu mengenai SM LTL. Pengetahuan ini berasal dari

64


INOVASI : Vol. 7. No. 1, Maret 2010

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

1996 pernah terlibat dalam kegiatan penanaman/rehabilitasi hutan mangrove di SM LTL namun karena belum sempat menikmati hasilnya dan malah diambil oleh penebang liar sehingga responden sempat mengaku kecewa terhadap berbagai program rehabilitasi mangrove. Hal ini terkait dengan biaya dan tenaga yang telah dikeluarkan oleh masyarakat secara swadaya.

Tabel 7. Hubungan antara Lama Tinggal Responden dan Partisipasi dalam Pelestarian Hutan Mangrove No. 1.

Seperti dijelaskan sebelumnya bahwa ada hubungan antara hutan mangrove dengan kehidupan masyarakat, berdasarkan hal tersebut diatas diketahui bahwa sebanyak 95,74% responden menyatakan setuju bahwa pelestarian mangrove harus diawasi. Sedangkan responden yang tidak setuju beralasan bahwa mangrove juga mempunyai kemampuan untuk memulihkan dirinya sendiri tanpa campur tangan manusia.

2. 3.

4.

5.

Untuk mengetahui hubungan antara dua variabel dilakukan pengujian menggunakan analisis statistik non parametrik (Chi-square). Dua buah variabel dinyatakan mempunyai hubungan/pengaruh jika mempunyai nilai Chi-square kurang dari 0,05 dan koefisien korelasi mendekati 1. Berdasarkan hasil analisis diketahui bahwa terdapat hubungan antara umur responden dan lama tinggal dengan partisipasinya dalam pelestarian hutan mangrove terkait dengan perlunya pengawasan dalam pelestarian hutan mangrove seperti disajikan pada Tabel 6 dan Tabel 7.

6. 7. 8.

1.

2. 3.

4.

5.

6. 7. 8.

Uraian Mengikuti pertemuan tentang perencanaan rehabilitasi hutan mangrove yang difasilitasi pemerintah/LSM. Keaktifan mengikuti pertemuan tersebut. Mengikuti pelaksanaan rehabilitasi hutan mangrove yang difasilitasi pemerintah/LSM. Pelibatan pribadi atau keluarga dalam pelaksanaan rehabilitasi tersebut. Mengikuti evaluasi kegiatan rehabilitasi hutan mangrove yang difasilitasi pemerintah/LSM. Kegiatan penanaman yang dilakukan masayrakat. Perlunya pengawasan dalam pelestarian hutan mangrove. Penanaman hutan mangrove atas kehendak sendiri.

0,894

0,652

0,531

0,699

0,149

0,583

0,934

0,697

0,156

0,725

0,041

0,678

0,297

ChiSquare 0,647

0,721

0,839

0,740

0,660

0,775

0,209

0,778

0,176

0,740

0,662

0,816

0,005

0,747

0,572

Tabel diatas menunjukkan bahwa umur responden yang berkorelasi positif dengan lamanya tinggal di desa memandang bahwa agar hutan mangrove baik yang ada di desa maupun SM memerlukan pengawasan untuk mempertahankan kelestariannya, artinya pengawasan terkait dengan kegiatan pengamanan karena selama ini berdasarkan hasil pengamatan banyaknya penebangan illegal di kawasan hutan mangrove baik hutan mangrove desa maupun SM disebabkan karena kurangnya pengawasan (pengamanan).

Koefisien ChiKorelasi Square 0,659 0,466

0,596

Mengikuti pertemuan tentang perencanaan rehabilitasi hutan mangrove yang difasilitasi pemerintah/LSM. Keaktifan mengikuti pertemuan tersebut. Mengikuti pelaksanaan rehabilitasi hutan mangrove yang difasilitasi pemerintah/ LSM. Pelibatan pribadi atau keluarga dalam pelaksanaan rehabilitasi tersebut. Mengikuti evaluasi kegiatan rehabilitasi hutan mangrove yang difasilitasi pemerintah/ LSM. Kegiatan penanaman yang dilakukan masayrakat. Perlunya pengawasan dalam pelestarian hutan mangrove. Penanaman hutan mangrove atas kehendak sendiri.

Koefisien Korelasi 0,741

Sumber: Dioleh dari hasil wawancara, 2008

Tabel 6. Hubungan antara Umur Responden dan Partisipasi dalam Pelestarian Hutan Mangrove No.

Uraian

KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian diatas dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: 1. Masyarakat Desa Jaring Halus dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dipengaruhi oleh keberadaan hutan mangrove, hal ini menyebabkan kepedulian masyarakat dalam pelestarian hutan mangroove. Kepedulian tersebut diwujudkan dalam tindakan berupa penanaman/rehabilitasi hutan mangrove yang rusak terutama pada kawasan hutan mangrove desa yang didahului oleh kepedulian membudidayakan mangrove. Meskipun Desa Jaring Halus sering mendapat bantuan baik teknis atau pendampingan dan material baik dari pemerintah atau LSM namun sebenarnya pengetahuan lokal mengenai pelestarian hutan mangrove tumbuh secara alami.

Sumber: Dioleh dari hasil wawancara, 2008

65


INOVASI : Vol. 7. No. 1, Maret 2010

2.

3.

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

Suaka Margasatwa LTL pada saat ini sudah mengalami kerusakan yang dapat mengancam kelestariannya akibat penebangan liar, perubahan penggunaan lahan menjadi tambak dan perkebunan sawit. Upaya melibatkan masyarakat sekitar hutan dalam pengamanan hutan menjadi sesuatu hal yang penting terutama masyarakat yang mempunyai kepedulian terhadap kelestarian hutan mangrove. Partisipasi masyarakat Desa Jaring Halus dalam pengelolaan SM LTL dipengaruhi oleh tingkat ketergantungan masyarakat terhadap keberadaan hutan mangrove yang ada di SM LTL. Beberapa faktor yang mempengaruhi tingkat pemahaman responden terhadap pentingnya hutan mangrove adalah faktor umur, lama tinggal responden di desa dan jumlah jam kerja. Hal ini disebabkan karena karakteristik diatas erat kaitannya dengan sumber mata pencaharian responden yang berhubungan dan tergantung dengan hutan mangrove.

Barat). Tesis Program Pascasarjana Insititut Pertanian Bogor, Bogor. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.01-MenhutII/2004 tentang Pemberdayaan Masyarakat Setempat di Dalam dan atau Sekitar hutan dalam Rangka Social Forestry. Riera, P. and Mogas, J., 2004. Finding the Social Value of Forests Through Stated Preference Methods. A Mediterranian Forest Valuation Exercise. Silva Lusitana, n Especial: 17-34. EFN, Lisboa, Portugal. Diakses pada tanggal 12 Pebruari 2008. Safei, L.O.M. 2005. Kajian Partisipasi Masyarakat terhadap Pelestarian Hutan Mangrove: Studi Kasus di Desa Marobo Kecamatan Bone dan Desa Labu-Labu Kecamatan Parifi Kabupaten Muna, Propinsi Sulawesi Tenggara. Tesis. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor. Tidak Dipublikasikan. Zhang, Y., Zhang, D. & Schelhas, J. 2005. SmallScale Non-Industrial Private Forest Ownership in the United States: Rationale and Implications for Forest Management. Silva Fennica 39(3): 443–454. Diakses dari http://www.metla.ti//silvafennica pada tanggal 16 Pebruari 2008.

DAFTAR PUSTAKA Alho, C.J.R., Schneider, M. and Vasconcellos, L.A., 2002. Degree of Threat to the Biological Diversity in the Ilha Grande State Park (RJ) and Guidelines for Conservation. Brazilian Journal of Biology 62(3):375-385. Diakses pada tanggal 15 Agustus 2008. Balai

Besar Konservasi Sumberdaya Alam Sumatera Utara. 2006. Suaka Margasatwa Karang Gading/Langkat Timur Laut.

Kangas, J and Store, R. 2002. Socioecological Landscape Planning: An Approach to Multi-Functional Forest Management. Silva Fennica 36 (4): 867-871. Diakses dari http://www.metla.fi/silvafennica pada tanggal 20 Pebruari 2008. Karppinen, H. 1998. Values and Objectives of NonIndustrial Private Forest Owners in Finland. Silva Fennica 32(1): 43–59. Diakses dari http://www.metla.fi/silvafennica pada tanggal 15 Pebruari 2008. Onrizal dan T.M. Hanafiah Oeliem. 2004. Studi Pengelolaan Hutan Mangrove Sebagai Suaka Margasatwa: Studi Kasus Di Suaka Margasatwa Karang Gading Dan Langkat Timur Laut. Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara. Medan. Pangesti, M.H.T. 1995. Partisipasi Masyarakat dalam Pelaksanaan Kegiatan Perhutanan Sosial (Studi Kasus di KPH Cianjur, Jawa

66


INOVASI : Vol. 7. No. 1, Maret 2010

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

Pendidikan Anak Maya Oktora1) 1)

Staf Pengajar pada Universitas Negeri Medan

Abstraksi Anak adalah merupakan bagian dari keluarga yang secara sosial dan psikolog tidak terlepas dari pembinaan dan pendidikan orangtua, masyarakat dan lembaga pendidikan. Adanya pembinaan dan pendidkan terhadap anak adalah sebagai upaya untuk membentuk kreativitas anak baik melalui keilmuan dan keterampilan. Orang tua dalam suasana kehidupan keluarga harus berupaya mencipkan iklim yang kondusif bagi tumbuh kembangnya keperibadian dan kreativitas anak. Oleh karena itu kreativitas anak tidak terlepas dari pengasuhan orangtua/pendidik dalam arti bahwa kreativitas anak erat hubungannya dengan pola asuh yang diberikan oleh orangtua/pendidik juga orangtua berperan membenahi mental higiene anak karena itu merupakan prasarat utama bagi terbentuknya kepribadian yang mantap Pada tahap selanjutnya kepribadian ini merupakan modal bagi penyesuaian diri anak dengan lingkungannya yang tentunya memberikan dampak bagi kesejahteraan keluarga secara keseluruhan.

Kata kunci : Pendidikan, anak, orang tua. kemampuan, mengakomodasi dan mewarnainya ke arah yang bermakna. Dalam kedudukan ini orang tua mempunyai tanggung jawab kodrati yang sangat strategis posisinya dalam menghadirkan situasi dan kondisi yang beriklim pendidikan. Melalui perbuatan-perbuatan orang tua yang mengarah kepada tujuan pendidikan akan dihayati dan diapresiasi oleh anak menjadi dasar pembentukan kepribadiannya. Sebagai pendidikan yang pertama dan utama, pendidikan dalam keluarga bertujuan menghasilkan anak agar mempunyai kepribadian yang kemudian dapat dikembangkan dimasyarakatnya dimanapun berada (Muhaimin, 1993 : 290).

PENDAHULUAN Anak adalah merupakan bagian dari keluarga yang secara sosial dan psikologis tidak terlepas dari pembinaan dan pendidikan orang tua, masyarakat dan lembaga pendidikan. Adanya pembinaan dan pendidikan terhadap anak adalah sebagai upaya untuk membentuk kreativitas anak baik melalui keilmuan dan keterampilan. Kesemua ini akan diperoleh anak dengan diawali sejak anak berada di dalam kandungan, masa balita dan pada usia sekolah. Pembentukan kreativitas anak pada dasarnya adalah melalui pendidikan dan pengajaran sejak dini dilingkungan keluarga melalui orang tua, sebab orang tua adalah orang yang paling dekat dengan anak di mana segala perbuatan, perkataan dan sikap orang tua cepat dipelajari dan ditiru oleh anak. Oleh karena itu pengasuhan dan pendidikan anak hendaknya orang tua mempunyai pola sendiri untuk menciptakan dan mengembangkan kreativitas anak itu sendiri.

“Bagaimanakah seharusnya upaya dan peran orang tua dalam menata pendidikan dalam keluarga ?� Untuk memberikan pemahaman secara holistik tentang hal-hal yang mendasar sehubungan dengan pendidikan anak dalam keluarga. Menganalisis peran dan upaya orang tua sebagai pendidik dalam keluarga.

PEMBAHASAN Mengamati kehidupan sehari-hari, menampakkan fenomena yang biasa-biasa saja. Bila kita kaji secara lebih mendalam, ternyata menghasilkan banyak disporitas fenomena yang menyiratkan banyak persoalan yang memiliki hal yang sangat kompleks, terutama dalam kehidupan yang mengalami perubahan yang tajam seperti sekarang ini.

Secara Etimologi pengasuhan berasal dari kata “asuh“ artinya pemimpin, pengelola, membimbing, maka pengasuhan adalah orang yang melaksanakan tugas membimbing, memimpin atau mengelola (Porwadarminta, hal. 89). Pengasuhan yang dimaksud disini adalah mengasuh anak. Mengasuh anak maksumdnya mendidik dan memelihara anak itu, mengurus makan, minumnya, pakaiannya dan keberhasilannya dalam periode yang pertama sampai dewasa ( Zakiyah Darajat, hal. 51).

Perubahan yang cepat ini mengharuskan adanya berbagai upaya terhadap anak agar mereka memiliki

67


INOVASI : Vol. 7. No. 1, Maret 2010

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

Dengan pengertian di atas dapatlah difahami bahwa pengasuhan anak yang dimaksud adalah kepemimpinan, bimbingan yang dilakukan terhadap anak yang berkaitan dengan kepentingan hidupnya. Beberapa pola asuh dari orang tua atau pendidik yang dapat mempengaruh kreativitas anak antara lain : lingkungan fisik, lingkungan sosial, pendidikan internal dan eksternal, dialog, suasana psikologis, sosio budaya, prilaku orang tua/pendidik, kontrol, menentukan nilai-nilai moral (Moh. Shochib, hal 15).

Peran dan upaya yang dapat ditempuh oleh orang tua pertama-tama adalah dengan membenahi mental hygiene dan melakukan terapi edukasional, karena salah satu upaya pendidikan adalah membantu anak mencapai kesehatan mental dan penyesuaian dirinya bagi eksistensinya dimasyarakat sesuai dengan tingkat pertumbuhan dan perkembangannya. Ada beberapa batasan tentang mental hygiene, yaitu : kemampuan menyesuaikan diri dengan diri sendiri, orang lain dan masyarakat serta lingkungan. Pengetahuan dan perbuatan yang bertujuan untuk mengembangkan dan memanfaatkan segala potensi, bakat, dan pembawaan yang ada pikiran yang positif, melatih kecerdasan, serta mempunyai kelakuan dan kesehatan badan (Sumpeno, 1998 : 14).

Kesembilan pola asuh orang tua/pendidik di atas sangat mempengaruhi terhadap perkembangan dirinya sekaligus pengembangan kreativitas anak di dalam kehidupannya. Keterkaitan pola asuh orang tua/pendidik dengan anak berkreativitas anak diri dimaksudkan sebagai upaya orang tua/pendidik dalam meletakkan dasar-dasar disiplin diri kepada anak dan membantu mengembangkannya sehingga memiliki disiplin diri. Intentitas kebutuhan anak untuk mendapatkan bantuan dari orang tua/pendidik bagi kepemilikan dan pengembangan dasar-dasar kreativitas diri, menunjukkan adanya kebutuhan internal yaitu manakala anak masih membutuhkan banyak bantuan dari orang tua/pendidik untuk memiliki dan mengembangkan dasar-dasar kreativitas diri (berdasarkan naluri), berdasarkan nalar sekaligus berdasarkan kata hati.

Pada tahap selanjutnya adalah peran orang tua membentuk kepribadian anak dengan cara mengembangkan pola komunikasi dan interaksi dengan sesamanya agar menjadi pribadi yang mantap dan kaffah (utuh). Marie Jahoda (Sumpeno, 1998 : 26) berpendapat bahwa seseorang yang memiliki kepribadian yang mantap adalah orang yang dapat menguasai lingkungannya secara aktif, memperhatikan kesatuan dan segenap kepribadiannya. Memiliki kesanggupan menerima secara tepat dunia lingkungannya dan dirinya sendiri, bersifat mandiri tanpa terlalu banyak terpengaruh orang lain. Senada dengan itu Syamsu Yusuf menyimpulkan bahwa pribadi yang mantap adalah pribadi yang memiliki jasmani yang sehat, respek terhadap dirinya, bersifat sosial, mandiri dan optimis, mampu berhubungan dengan dengan orang lain, mampu melibatkan diri dalam kegiatan yang konstruktif, memiliki insight dan memiliki filsafat hidup.

Oleh karena itu kreativitas anak tidak terlepas dari pengasuhan orang tua/pendidik atau dalam arti kata bahwa kreativitas anak erat hubungannya dengan pola asuh yang diberikan oleh orang tua/pendidik. Mendidik anak pada hakikatnya merupakan usaha nyata dari pihak orang tua untuk mengembangkan totalitas potensi yang ada pada diri anak. Melalui pendidikan orang tua memegang peranan sebagai mediator antara anak dan masyarakatnya, antara anak dengan norma-norma kehidupan, antara anak dengan orang dewasa dan sudah tentu dengan visi orang tua masing-masing. Melalui pendidikan dalam keluarga anak akan memenuhi sifat-sifat kemanusiaannya dan berkembang dari instinginsting biogenetik yang primitif untuk belajar terhadap respon-respon yang diterimanya.

Oleh karena itu sebagai orang yang memegang kendali dalam pendidikan anak, maka orang tua menempuh langkah-langkah bagi upaya transformasi nilai-nilai yang berguna bagi anak. Lepaskan anak dari gangguan jiwa (neurose) dan gejala jiwa. Gangguan jiwa ini dapat terjadi jika anak tidak mampu menyelesaikan tekanan dan kesulitan yang dihadapinya, baik secara fisik maupun psikis. Penyakit ini dapat diidentifikasi sebagai berikut : Neurasthenia, seperti tidak sanggup berpikir, apatis, Hyteria seperti: ketidak mampuan mengatasi kesulitan-kesulitan, kecemasan, pertentangan batin dan kegelisahan, Mutisur seperti : mudah putus asa, merasa hina dan selalu gagal dalam menyelesaikan pekerjaan, Double Personility seperti mengurugn diri, memisahkan diri dari lingkungan. Pembinaan kepribadian dengan memberikan kebutuhankebutuhan yang diperlukan anak dari orang tuanya, yaitu : Kebutuhan rasa kasih sayang, karena terapi kasih sayang merupakan obat yang sangat efektif dalam membentuk kesehatan mental

Dengan menempuh proses-proses diatas akan bermuara kepada kemampuan yang harus dimiliki oleh setiap anak dalam mengantisipasi kehidupan masyarakat yang sarat dengan perubahan dan kompetisi yang sangat ketat, antara lain : kesiapan melakukan life-long learning; proses belajar tak pernah selesai selama manusia itu masih hidup, berfikir secara integratif dan konseptual, responsetisme, menalar secara rasional, kreatif, berani bertanggung jawab, kepekaan terhadap keadilan sosial dan solidaritas, peka terhadap batasbatas toleransi masyarakat, memiliki harga diri, dan nalar secara ijtihad (Yusuf, 2000 : 133).

68


INOVASI : Vol. 7. No. 1, Maret 2010

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

seseorang, Toleransi orang tua sewajarnya terhadap tingkah laku yang ditampilkan anak, Orang tua jangan terlalu keras terlalu banyak perintah, larangan, teguran, dan tidak mengindahkan keinginan anak dapat mengakibatkan anak tidak sanggup menghadapi kesukaran dan kurang bertanggung jawab, Jangan terlalu ambisius dengan mendorong anak melakukan sesuatu di luar kemampuan, Kebutuhan akan rasa aman, Kebutuhan akan harga diri, kebebasan dan mengenal sesuatu. Memberikan pendidikan agama sedini mungkin bekal agama menjadi faktor utama pembentukan karakter dan jiwa seseorang. Dengan agama akan tercapai keseimbangan lahir dan batin pendidikan agama harus di tanamkan sejak kanakkanak dengan membiasakan anak bertingkah laku dan berahlak sesuai ajaran agama. Pendidikan agama ini mempunyai dua aspek penting : Pendidikan agama bertujuan menumbuhkan jiwa atau peribadi yang syarat dengan muatan peraturan yang baik sesuai dengan ajaran agama, Pendidikan agama merupakan pemenuhan aspek koknitif dari anak.(Silvirius, 1999 : 36)

DAFTAR PUSTAKA Halim, Abdul. (2001) Anak Saleh Dambaan Keluarga. Jakarta : Pustaka Pelajar. Moh Shochib. (1998). Pola Asuh Orangtua. Jakarta: Rineka Cipta. Silvirius. (1999). Pendidikan Sebagai Landasan Kesejahteraan Keluarga. Bandung: UPI. Sumpeno, Wahyudin. (1998). Upaya Membenahi Pendidikan Keluarga. Bandung :UPI. WJS. Poerwadarminta. (1982). Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Yusuf, Symsu. (2000). Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Bandung: Rosdakarya. Zakiyah. Daradjat. (1997). Hukum anak Dalam Islam. Jakarta. Bulan Bintang. D S Marbun & Sulaiman Effendi, Peran keluarga dalam Perkembangan Anak.

PENUTUP Pola asuh adalah merupakan suatu sistem atau cara pendidikan, pembinaan yang diberikan oleh seseorang kepada orang lain. Dalam hal ini adalah pola asuh yang diberikan orangtua/pendidik terhadap anak adalah mengasuh dan mendidiknya penuh pengertian. Dan yang mempengaruhi pola asuh yang diberikan orang tua/pendidik adalah lingkungan sosial internal dan eksternal. Oleh karena itu kreativitas anak tidak terlepas dari pengasuhan orangtua/pendidik dengan arti bahwa kreativitas anak erat kaitannya dengan pola asuh yang diberikan oleh orangtua/pendidik. Keluarga sebagai satuan unit sosial terkecil merupakan lingkungan pendidikan yang paling utama dan pertama, dalam arti keluarga merupakan lingkungan yang paling bertanggung jawab mendidik anak-anaknya. Pendidikan yang diberikan orang tua pada seharusnya memberikan dasar bagi pendidikan, proses sosialisasi dan kehidupanya di masyarakat. Dalam hal ini keluarga tetap menjadi kelompok pertama (primary group) tempat meletakan dasar kepribadian di dalam keluarga. Orang tua memegang peranan membentuk sistem interaksi yang intim dan berlangsung lama yang di tandai oleh loyalitas pribadi, cinta kasih dan hubungan yang penuh kasih sayang. Peran orang tua adalah dengan membenahi mental higeine anak. Terbentuknya keperibadian dan kreativitas anak merupakan modal bagi penyesuaian diri anak dan lingkungannya dan tentunya memberikan dampak bagi kesejahteraan keluarga secara menyeluruh.

69


INOVASI : Vol. 7. No. 1, Maret 2010

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

Besarnya Universitas Dipengaruhi Dunia Penelitian Bakhrul Khair Amal1) 1)

Staf Pengajar Universitas Negeri Medan

Abstraksi Masyarakat memandang bahwa universitas tempat berkumpulnya para ilmuwan dan kaum intelektual yang salah satu aktivitasnya adalah melakukan riset yang memberikan suatu dampak positif bagi kemajuan masyarakat. Untuk itu menjadikan universitas yang berbasis riset bukanlah pekerjaan yang mudah sehingga membutuhkan berbagai orientasi dalam pengembangan sebuah universitas dalam pencapaiannya menjadi universitas berbasis riset.

Kata Kunci: Universitas, riset. meningkatkan pengetahuannya mengenai sesuatu, dan (2) Merupakan reaktif manusia untuk menjawab pernyataan atau memecahkan masalah dalam kehidupan sehari-hari. Para ahli di bidang riset telah memberikan banyak kategori dan klasifikasi penelitian (lihat Nur Indriantoro dan Bambang Supomo,2000; Sibuea,2000, Sugiyono,1999,Uma Sekaran,1992).

PENDAHULUAN Mengembangkan riset di universitas menjadi tugas semua pihak yang terlibat dalam organisasi Perguruan tinggi. Tugas secara khusus diemban oleh para staf pengajar (dosen) untuk lebih berorientasi kepada pengembangan ilmu pengetahuan. Melalui penelitian seorang dosen dalam menjalankan aktifitasnya sebagai seorang akademisi memberikan kontribusi yang sangat positif bagi pengembangan ilmu dan kehidupan masyarakat. Untuk memberikan pemahaman secara umum mengenai riset, tulisan ini akan mendeskripsikan ruang lingkup riset dan metode ilmiah yang dikaitkan dengan pencapaian (effort) sebuah pergururan tinggi menuju universitas berbasis riset.

Secara garis besar dari cara pandang dan kerangka berpikir ilmiah, penelitian dalam ilmu-ilmu sosial menurut Nur Indriantoro (2000) dipisah kedalam dua paradigma penelitian yaitu: (1) Paradigma kuantitatif (Quantitative paradigm) disebut juga paradigma tradisional (traditional), positif (positivist), eksperimental (experimental) dan empiris (empirical). Paradigma ini menekankan pada pengujian teori melalui pengukuran variabel penelitian dengan angka melalui analisis data dengan prosedur statistik, sedangkan paradigma berikutnya adalah, (2) Paradigma Kualitatif (Qualitative paradigm) dinamakan juga dengan pendekatan Konstruktifis, naturalis atau interpretatif (Constructivist, naturalistic or interpretatifaprroach)atau perspektif postmodern. Paradigma kualitatif merupakan paradigma penelitian yang menekankan pada pemahaman mengenai masalah-masalah dalam kehidupan sosial berdasarkan kondisi realitas atau natural setting yang holistik, kompleks dan rinci.

RISET DAN METODE ILMIAH Secara bahasa Riset berasal dari bahasa Inggris yaitu kata Research yang berarti penelitian (Echols dan Shadily,1997), sedangkan secara istilah riset/penelitian didefinisikan sebagai suatu penyelidikan yang sistematis untuk meningkatkan sejumlah pengetahuan (Buckley.et.al,1976 dalam Nur Indriantoro dan Bambang, 1999). Sekaran (1992) mendefinisikan penelitian merupakan suatu usaha yang sistematis dan terorganisasi untuk menyelidiki masalah tertentu yang memerlukan jawaban.Tuckman (1972) dalam Sibuea (2000) menyatakan bahwa penelitian merupakan suatu usaha sistematis melalui cara ilmiah untuk menjawab masalah. Berdasarkan beberapa definisi diatas dapat disimpulkan bahwa penelitian merupakan kegiatan ilmiah dalam menjawab segala persoalan kehidupan manusia. Indriantoro (1999) juga menyimpulkan bahwa penelitian memiliki dua sisi yang saling terkait yaitu : (1) Merupakan refleksi dari keinginan proaktif manusia untuk

Penelitian yang dilakukan tentunya memiliki prosedur dan tata cara yang diatur dengan baik. Prosedur dan tata cara penelitian inilah yagn disebut dengan Metode ilmiah. Nur Indriantoro (2000) menyebutkan bahwa metode ilmiah merupakan prosedur atau cara-cara tertentu yang digunakan untuk memperoleh pengetahuan yang disebut ilmu. Keseluruhan tata cara ilmiah yang berupa

70


INOVASI : Vol. 7. No. 1, Maret 2010

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

pengetahuan yang mengkaji ketentuan mengenai metode-metode yang digunakan dalam penelitian disebut dengan Metodologi penelitian. Berarti didalam pengembangan pengetahuan secara ilmiah harus mengikuti pola-pola yang telah ditetapkan.Menurut Sibuea (2000), untuk menyelesaikan masalah dengan cara ilmiah memerlukan penalaran logis dan sistematis.Masalah yang telah dipecahkan tersebut menjadi sebuah pengetahuan.

karena itu banyak perusahaan raksasa ikut andil memberikan pembiayaan riset dan program beasiswa kepada universitas, antara lain seperti scholarship program yang dikeluarkan oleh perusahaan Komputer Epson, perusahaan otomotif Ford Foundation,dan berbagai program yang diluncurkan oleh World Bank. Nina sapti dari Universitas Indonesia, (2001) memberikan contoh yang lebih kongkrit seperti apa yang dilakukan oleh University Illinois, USA yang berhasil menjadi universitas publik dengan berbagai hasil riset yang berhasil dipatenkan, sehingga perguruan tinggi tersebut dapat mengelola sumberdaya (resources) dan berhak atas royalti dari hak paten penemuan risetnya. Mas’ud Machfoedz, (2001) Pembantu Rektor I Universitas Gadjah Mada juga menyoroti pentingnya kerjasama antar Perguruan tinggi terutama dengan Perguruan tinggi luar negeri dibidang riset. Sejalan dengan Mas’ud (2001), Eko Budihardjo (2002) rektor Universitas Diponegoro, Semarang juga menyatakan bahwa universitas merupakan sentral pengembangan riset, ilmu pengetahuan, teknologi, budaya dan seni, sehingga apa yang dihasilkan oleh universitas dapat dirasakan manfaatnya untuk kehidupan manusia.

Kriteria pengetahuan sebagai ilmu menurut ketentuan dalam metode ilmiah, pada dasarnya merupakan kombinasi dari dua pendekatan rasionalisme dan empirisme. Rasionalisme adalah pendekatan dalam memperoleh pengetahuan yang benar dengan menggunakan penalaran. Sedangkan empirisme menggunakan fakta atau fenomena empiris sebagai sumber kebenaran untuk menyusun pengetahuan (Nur Indriantoro,2000). Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa riset sangat dibutuhkan dalam pengembangan pengetahuan, dan sejarah mencatat bahwa hampir tidak mungkin sebuah ilmu dapat berkembang, apakah cabang ilmu lama maupun ilmu baru, tanpa adanya penelitian (Adnan,2001). Menurut Nur Indriantoro dan Bambang Supomo (1999), hakekat peneilitian dapat dipahami jika kita mempelajari aspek motivasi yang mendorong peneliti untuk melakukan penelitian, dengan demikian orientasi pengembangan pengetahuan yang dimaksudkan diatas menjadi lebih jelas makna dan kedudukannya.

Di Indonesia sendiri fungsi universitas sebagai lembaga riset sebenarnya sangat nyata tertuang dalam Tri dharma perguruan tinggi yaitu : (1) Universitas menjalankan kegiatan akademik proses belajar mengajar, (2) Universitas menjalankan kegiatan akademik penelitian dan (3) Universitas menjalankan kegiatan pengabdian masyarakat. Tetapi pada kenyataannya banyak perguruan tinggi di Indonesia hanya terfokus pada kegiatan belajar mengajar saja, hal ini disebabkan orientasi Perguruan Tinggi hanya pada menghasilkan sarjana dan bukan beroirentasi pada pengembangan ilmu pengetahuan. Padahal apa yang tertulis dalam bukubuku teks dan pengetahuan itu sendiri yang diajarkan di perguruan tinggi adalah merupakan hasil riset-riset terdahulu para ilmuwan dan akademisi di berbagai bidang.

MENUJU UNIVERSITAS BERBASIS RISET Sejak dahulu hingga sekarang ini, masyarakat melihat universitas sebagai laboratorium tempat berkumpulnya para ilmuwan dan kaum intelektual yang kerjanya memikirkan kehidupan yang lebih baik buat masyarakat. Berbagai penemuan teknologi banyak dihasilkan dari universitas, dan sekarang masyarakat menikmatinya. Kemajuan apapun tak lepas dari keberhasilan riset yang dilakukan universitas, dan bentuk universitas seperti inilah yang diharapkan oleh masyarakat.

Untuk menjadikan perguruan tinggi sebagai sebuah universitas berbasis riset tentunya bukanlah pekerjaan yang mudah. Tradisi riset yang dikembangkan oleh universitas-universitas besar didunia sekarang ini tentunya merupakan suatu hasil dari proses demi proses perjalanan sejarah yang cukup panjang, tetapi dalam kerangka berpikir ilmiah secara objektif, universitas kecil yang didominasi oleh perguruan tinggi swasta juga mempunyai potensi dan peluang yang sama untuk mengikuti jejak universitas besar dan dalam mengembangkan tradisi riset tersebut, sebab dalam era globalisasi sekarang ini masyarakat ilmiah tidak melihat besar kecilnya sebuah perguruan tinggi, tetapi masyarakat ilmiah akan melihat output apa

Lebih jauh mengemukakan bahwa sebaik mungkin universitas diarahkan sebagai universitas riset. Universitas riset merupakan bentuk ideal dari sebuah universitas, sehingga dapat diketahui apakah universitas tersebut menghasilkan (output) secara profesional ditingkat nasional bahkan kalau perlu berlevel internasional. Saat ini banyak universitas didunia yang memiliki hak paten diberbagai bidang sebagai hasil temuan risetnya. Masing-masing universitas seolah-olah berlomba menemukan penemuan baru yang bermanfaat bagi masyarakat,

71


INOVASI : Vol. 7. No. 1, Maret 2010

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

yang telah dihasilkan oleh perguruan tinggi didalam pengembangan pengetahuan dan kemanfaatan untuk kehidupan masyarakat luas.

PENUTUP Universitas berbasis riset merupakan sebuah perguruan tinggi idaman dan ideal bagi masyarakat karena diyakini dapat mengembangkan ilmu pengetahuan yang bermanfaat untuk kehidupan manusia. Perguruan tinggi sebagai sebuah universitas harus mampu menangkap sinyal positif menuju pengembangan pengetahuan, teknologi budaya dan kesenian melalui penelitian-penelitian yang dilakukan secara terus-menerus. keluarga besar civitas akademika perguruan tinggi untuk menggalakkan kegiatan penelitian di kampus tercinta.

DAFTAR PUSTAKA Adnan Akhyar, 2002. Sambutan Ketua Panitia Simponas, Proseeding Simposium Nasional Ekonomi Islam I, UII, Press, Yogyakarta. Eko

Budihardjo,2002. UNDIP menuju pusat pengembangan ilmu,teknologi, seni dan budaya , Harian Suara Merdeka , bulan Maret 2002, Semarang

Mas’ud Machfoedz,2001. Usaha apa diperguruan tinggi, Media Akuntansi no 17 April Mei 2001, Jakarta Nina Sapti, 2001. Usaha apa diperguruan tinggi, Media Akuntansi no 17 April Mei 2001, Jakarta Nur Indriantoro dan Bambang Supomo, 1999. Metodologi Penelitian Bisnis : Untuk Manajemen dan Akuntansi, edisi pertama,BPFE, UGM, Yogyakarta Sibuea Abdul Muin, 2000. Jenis-jenis Penelitian dan Penelitian aplikatif dalam bidang Sosial, Jurnal Madani, Vol. 1 no 3 Oktober 2000,UMSU, Medan. Sekaran Uma, 1992. Research Method for Bussiness : A Skill building approach, 2nd edition, Jhon Willey & sons Inc, New York, USA. Tommy Prabowo,2001. Otonomi Universitas Plat Merah, Media Akuntansi no 17 April Mei 2001, Jakarta.

72


INOVASI : Vol. 7. No. 1, Maret 2010

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

Analisis Kebijakan Konversi Minyak Tanah Ke LPG Bagi Pelaku Usaha Kecil Menengah (UKM) (Studi Kasus di Kota Medan) Azizul Kholis1) 1)

Dosen dan Peneliti pada Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Medan dan Juga Sekretaris Dewan Riset Daerah Sumatera Utara

Abstraksi Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji strategi bisnis dan kesiapan pelaku Usaha Kecil Menengah (UKM) dalam menghadapi program Konversi Minyak Tanah ke LPG, Penelitian dilaksanakan pada bulan April s/d Juli 2009 di Kota Medan Propinsi Sumatera Utara. Sampel sebanayak 53 Pelaku UKM di Kota Medan yang tersebar di beberapa Kecamatan sebagai kerangka sampel dengan Teknik pemilihan sampel secara Bertujuan (Purposive Sampling). Strategi bisnis yang duji adalah strategi pengurangan biaya Produksi (Production Cost Strategic) dengan indeks perbandingan harga antara penggunaan Bahan Bakar Minyak Tanah dengan penggunaan LPG. Hasil menunjukkan bahwa penggunaan LPG lebih efektif dan Efisien dalam mendukung pengurangan biaya produksi sehingga kesiapan pelaku UKM harus didorong dalam menghadapi program Konversi BBM. Kemudian statistik Deskriptif Juga menunjukkan bahwa masih banyak pelaku UKM yang belum mengetahui secara persis tentang program konversi. Keterbatasan penelitian ini adalah pada bias sampel yang tidak membedakan biaya produksi UKM dengan Biaya rumah tangga pelaku UKM karena kesulitan mendeteksi pemisahan penggunaan konsumsi rumah tangga dan konsumsi usaha bagi pelaku UKM. Kemudian studi lanjutan disarankan pada cakupan wilayah penelitian yang lebih luas dan pengembangan model strategi bisnis tidak hanya dari faktor biaya produksi tetapi dari faktor lainya untuk peningkatan skala usaha bagi pelaku UKM.

Kata kunci : Strategi, Konversi, Minyak Tanah, LPG Berbagai program Pemerintah secara makro jelas berdampak pada sektor UKM karena UKM belum memiliki kapasitas yang cukup memadai untuk menganalisis permasalahan manajerial akibat dari dampak kebijakan ekonomi pemerintah. Salah satu program yang dicanangkan oleh pemerintah berdampak pada bisnis UKM adalah program Konversi minyak tanah ke LPG.

PENDAHULUAN Di Indonesia, sejak lama Usaha Kecil Menengah (UKM) telah didengungkan sebagai salah satu tulang punggung perekonomian bangsa Buktinya, ketika semua perusahaan besar ambruk di kala krisis multi dimensi menyerang Indonesia pertengahan tahun 1997, UMM tetap bertahan. Bahkan telah menunjukkan perannya sebagai tulang punggung penyelamat ekonomi nasional (Harmaini, 2006). Namun Menurut Rizal (2006) UKM masih banyak menghadapi berbagai masalah khususnya untuk melakukan akses pada sumber-sumber pendanaan dan memperkuat struktur modal, kelemahan akses pasar dan manajemen. Sejalan dengan Rizal, Sulaiman (2008) juga menrinci inti permasalahan dari kelemahan sumber daya manusia (SDM) yang dimiliki oleh pengusaha kecil dan menengah. Menurut data BPS tahun 2006, kualitas SDM UKM (94,2 %) berpendidikan SLTP ke bawah; 5,8% berpendidikan SLTA dan perguruan tinggi. Adapun faktor eksternal yang juga berpengaruh adalah lingkungan bisnis yang belum kondusif bagi UKM dan sangat rentan dengan adanya program-program pemerintah (Sulaiman, 2008).

Program pengalihan/konversi minyak tanah ke LPG untuk mengurangi subsidi minyak tanah sudah dicanangkan oleh Pemerintah Indonesia sejak tahun 2007. Untuk menjaga ketersediaan dan keberlangsungan pasokan LPG tabung 3 kg, maka diperlukan stabilitas pasokan isi ulang LPG tabung 3 kg. Oleh karena itu, diperlukan infrastruktur penyediaan dan pendistribusian yang handal di setiap wilayah konversi. Pengembangan infrastruktur jelas menjadi prioritas utama untuk mendukung program konversi LPG. Saat ini saja, Pertamina memiliki 11 armada tanker LPG berkapasitas total 125 ribu MT untuk memasok 13 depot LPG berkapasitas total 157 ribu MT di berbagai wilayah. Infrastruktur tersebut didukung pula dengan 100 SPBE untuk melayani lebih dari 1.500 agen LPG

73


INOVASI : Vol. 7. No. 1, Maret 2010

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

di seluruh Indonesia.(www.pertamina.com). Data Pertamina menunjukkan, selama bulan April 2009, Pertamina akan mendistribusikan 2,5 juta paket ke wilayah-wilayah Sumatra Utara, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, Sulawesi Selatan dan Kalimantan Timur. Realisasinya sangat bergantung pada kesiapan infrastruktur, serta penerimaan pemerintah daerah maupun masyarakat setempat.

KERANGKA TEORITIS Strategi Pengurangan Biaya Strategi pengurangan Biaya Menurut Purnama (2000), adalah strategi yang menekankan pada upaya meneken biaya serendah meungkin sehingga harga produk yang ditawarkan lebih rendah dibandingkan pesaing. Prilaku peran yang diperlukan bagi perusahaan yang menggunakan strategi biaya meliputi : a. Prilaku Biaya yang berulang dan dapat diperkirakan b. Fokus jangka Pendek c. Mengutamakan individualsi dan otomatisasi d. Kurang berani menanggung risiko e. Lebih menyukai kegiatan stabil

Pertamina juga telah memastikan bahwa sebanyak lebih dari 5,3 juta paket Konversi LPG telah didistribusikan ke masyarakat selama tahun 2009 (per 31 Maret) dari total target 23 juta paket (23%). Distribusi tersebut meliputi wilayahwilayah Sumatra Selatan, Jawa Barat, Banten, Kepualauan Seribu, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, Kalimantan Timur dan Sulawesi Selatan. Secara akumulatif, bila dihitung sejak Mei 2007, penyaluran paket Konversi LPG telah mencapai 24,4 juta pengguna dari total target 42 juta paket hingga akhir 2010 (58%). Lebih jauh lihat www.pertamina.com.

Sebagai konsekuensi perusahaan yang menerapkan strategi ini meliputi penggunaan pekerjaan parttime,sub kontrak, penyerderhaaan pekerjaan dan prosedur pengukuran, perubahan aturan kerja, dan penugasan yang fleksibel.

Menyikapi permasalahan diatas, maka studi ini akan menjelaskan tentang kesiapan pelaku UKM dalam menghadapi program konversi minah ke LPG mengingat minyak tanah merupakan salah satu unsur biaya produksi yang sangat penting bagi pelaku UKM, yang berpengaruh pada kenaikan harga produksi dan kenaikan harga jual sehingga perubahan unsur biaya produksi minyak tanah kepada LPG dapat diantisipasi oleh para pelaku UKM dan temuan penelitian ini diharapkan dapat menjadi model alternatif strategi bisnis bagi pelaku UKM dalam menghadapi program konversi BBM Minyak Tanah ke LPG.

Ivancevich (1995) menyebutkan contoh fungsi dan peran manajemen SDM yang bisa mendukung keberhasilan peerncanaan stratejik organisasi adalah proses rekruitmen, seleksi dan training agar diperoleh tenaga kerja yang trampil dan dapat bekerja efisiensi sehingga dapat menekan biaya tenaga kerja. Konsep Biaya Produksi

Berdasarkan latar belakang masalah diatas maka diajukan perumusan masalah sebgai berikut : 1. Apakah Penggunaan LPG dapat menekan biaya produksi dibandingkan penggunaan Minyak tanah. 2. Bagaimanakah Pemahaman pelaku UKM terhadap program konversi Minyak Tanah Ke LPG. 3. Strategi Bisnis apakah yang dapat diterapkan oleh pelaku UKM dalam menghadapi Program Konversi.

Menurut Hansen dan Mowen, 2005 biaya produksi adalah biaya yang dikeluarkan satuan nti kerja dalam menghasilkan sebuah produk dan melekat pada produk tersebut. Biaya produksi secara kelompok besar dapat dibagi kepada : a. Biaya Produksi langsung (Direct Cost), yaitu biaya yang diserap secara langsung pada produk sehingga menjadi biaya utama biaya ini terdiri dari Biaya tenaga kerja langsung dan biaya Bahan Baku. b. Biaya Produksi tidak Langsung (Indirect Cost), yaitu biaya yang terserap sebagai biaya penunjang dalam sebuah kegiatan produksi, biaya ini terdiri dari biaya tenaga kerja tidak angsung dan biaya overhead.

Tujuan penelitian ini untuk mengkaji strategi bisnis pelaku UKM dalam hal biaya produksi dan strategi usaha atas program Konversi BBM, sedangkan manfaat penelitian ini sebagai kajian dan evaluasi terhadap program-program pemerintah yang berdampak pada sektor UKM. Pada sisi UKM penelitian ini juga merupakan sesuatu yang bermanfaat dalam meningkatkan kapasitas usaha.

Sedangkan menurut karakteristis prilaku biaya, maka biaya dapat digolongkan kepada : a. Biaya Tetap (Fixed Cost), yaitu suatu biaya yang jumlahnya tetap sama ketika output berubah b. Biaya Variabel (Variable Cost), yaitu suatu biaya biaya yang dalam jumlah total bervariasai secara proporsional terhadap perubahan output.

74


INOVASI : Vol. 7. No. 1, Maret 2010

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

Selain biaya tetap dan biaya variabel, ada juga biaya yang disebut biaya campuran (semi Variable), yaitu suatu biaya campuran yang memiliki komponen tetap dan vaiabel. Persamaan biaya untuk biaya keseluruhan secara total dapat dijelaskan sebagai beriktu :

tentang Program Konversi, dan data sekunder juga digunakan secara deskriptif, sebagai data kondisi awal (excisting) indeks biaya produksi. Waktu penelitian dilaksanakan selama 2 (dua) bulan pada periode Mei s/d Juli 2009 di Kota Medan Propinsi Sumatera Utara.

Total Biaya = Biaya Tetap + Biaya Variabel

Populasi dan Sampel Penelitian

Model Prilaku Biaya dapat dilihat pada Gambar berikut ini :

Populasi penelitian ini adalah seluruh pelaku UKM di Kota Medan, Pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan sampel non acak (Nonprobability Sampling). Penggunaan metode ini didasarkan pada rekomendasi Sekaran (1992) bahwa pada data populasi yang tidak tersedia secara pasti sebaiknya digunakan sampel non acak dengan teknik sampel bertujuan (purposive sampling). Jumlah Sampel disesuaikan dengan sebaran pelaku UKM di setiap kecamatan berdasarkan zona yang ditentukan.

Input

Bahan Baku Energi

Aktifitas

Output

Tenaga kerja

Sebelum dilakukan penyampelan terlebih dahulu melakukan kerangka sampel. Dan dari 21 Kecamatan di Kota Medan terjaring 53 Pelaku UKM bidang usaha jualan makanan dan industri rumah tangga sebagai sampel sesuai kriteria yang ditetapkan.

Modal

ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN

Perilaku Biaya

Deskripsi Data Demografi Responden

Gambar 1. Prilaku Biaya Model : diadaptasi dari Hansen (2005)

Deskripsi tentang pelaku UKM sebagai responden dapat diuraikan sebagai berikut :

Strategi Biaya Unit Bisnis

Tabel 1. Pendidikan Responden

Horngren (2002) menjelaskan bahwa pertimbangan manajerial merupakan hal yang sangat penting dalam menentukan perilaku biaya, dan sejauh ini merupakan metode paling luas digunakan. Banyak manajer yang menggunakan teknik dan observasi terhadap hubungan biaya pada masa lampau untuk menentukan biaya tetap dan Variabel. Kemungkinan lain adalah manajemn mengidentifikasi biaya campuran dan embagi biayabiaya ini kedalam komponen tetap dan variabel dengan memutuskan bagaian baiaya yang merupakan biaya tetap dan variabel. Jhon P. Callan, (1991) merinci bahwa biaya sebuah unti bisnis harus mencapai faktor penentu pada unit yang lebih besar, sehingga dapat menjadi rujukan dan strategi pengurangan biaya dalam sebuah strategi penekanan biaya.

No

Pendidikan

1

SD

21,2 %

2

SLTP

18,2 %

3

SLTA

45,5 %

4 Sarjana Sumber : Data Penelitian Tabel 2. Responden

METODE PENELITIAN

Persen

Nilai

15,2 %

Penjualan/Omset

No

Tahun

Persen

1

0 s/d Rp. 500.000,- per. Hari

39,4 %

2

Rp. 101.000,- s/d Rp.500.000,- per hari

49,5 %

3

Diatas Rp. 500.000,- per hari

11,1 %

Rancangan, Waktu dan Tempat Penelitian Desain penelitian ini adalah penelitian terapan (apllied research), Data primer sebagai subjek

75

Usaha


INOVASI : Vol. 7. No. 1, Maret 2010

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

usahanya. Yaitu terjadi kenaikan indeks dari 78,89 menjadi 98,25 pada variabel jam kerja dan 75,33 kepada 96,73 pada variabel Jumlah Produksi.

Tabel 3. Nilai Modal Usaha No

Jumlah Modal

Persen

1

0

2,5 %

2

Rp. 500.000,- s/d Rp. 1.000.000,-

5,0 %

3

Rp. 1.000.000 s/d Rp. 5.000.000,-

37,2 %

s/d Rp. 500.00,-

4

Rp. 5.000.000 s/d Rp. 10.000.000,-

19,8 %

5

Rp. 10.000.000 s/d Keatas

17,4 %

Tabel 5. Indeks Biaya Produksi

Variabel yang diuji

Angka Ratarata Relatif (X)

Indeks By.Produksi Dengan Minyak Tanah

Indeks By. Produksi dengan LPG

Biaya Produksi

Rp. 50.000,-

73,11

69, 19

Tabel 4. Pemahaman tentang Program Konversi No

Pelaku UKM

Persen

1

Tahu Program Konversi

47,02 %

2

Tidak Tahu

35,05 %

3

Tidak Menjawab

17,93 %

Berdasarkan tabel diatas maka terjadi penurunan indeks biaya produksi jika pelaku UKM menggunakan LPG dibandingkan menggunakan Bahan Bakar Minyak Tanah dalam kegiatan usahanya. Yaitu terjadi penurunan kenaikan indeks dari 73,11 menjadi 68,19 pada Satuan biaya produksi Rp. 50.000,- . Dengan demikian terjadi variasi penurunan biaya produksi sebesar 3,92 , walaupun angka ini belum menunjukkan angka absolut karena prilaku biaya para pelaku UKM mencampurkan sarana produksi usaha dengan kebutuhan konsumsi.

Berdasarkan jawaban responden maka masih terdapat sebesar 35, 05 yang belum mengetahui program konversi BBM ke LPG dan 17, 93 menjawab tidak pasti/ragu, dengan demikian dapat disimpulkan masih banyak pelaku UKM yang belum mengetahui program Konversi LPG.

KESIMPULAN Teknik Analisis Data Berdasarkan analisis data diatas maka dapat disimpulkan sebagai berikut : 1. Penggunaan LPG dapat menekan biaya produksi dibandingkan penggunaan Minyak tanah bagi pelaku UKM baik pada faktor produktifitas maupun biaya produksi. 2. Pemahaman pelaku UKM terhadap program konversi Minyak Tanah Ke LPG sudah cukup baik namun masih perlu sosialisasi yang lebih luas dan terfokus. 3. Strategi Bisnis yang dapat diterapkan oleh pelaku UKM dalam menghadapi Program Konversi adalah strategi penekanan biaya produksi dan penyiapan peralatan unit usaha untuk penggunaan LPG, sehingga diperlukan tambahan biaya konversi peralatan.

Untuk menguji Rumusan Masalah ke 1 (satu) maka digunakan rumus Indeks sebagai berikut : a. Menentukan Indeks Produktifitas dengan rumus I Prod

b.

=

Produktifitas Periode t Produktifitas Periode Dasar

X

100

Menentukan Indeks Biaya Produksi dengan metode angka relatif sebagai berikut I t,o =

Pt Po

X

100

Perhitungan data sekunder dilakukan dengan menggunakan aplikasi Mikrosof Excel, sehingga data-data analisis dapat dilihat pada tabel berikut :

Saran dan Rekomendasi Berdasarkan kesimpulan diatas maka dapat disarankan sebagai beriktu : 1. Pemerintah dan Pertamina harus membuat program sosialisai dan pembinaan yang lebih terfokus pada pelaku UKM 2. Kemudian studi lanjutan disarankan pada cakupan wilayah penelitian yang lebih luas dan pengembangan model strategi bisnis tidak hanya dari faktor biaya produksi tetapi dari faktor lainya untuk peningkatan skala usaha bagi pelaku UKM.

Tabel 5. Indeks Produktifitas

No

Variabel yang diuji

1 2

Jam Kerja Jlh. Produksi

Angka Rata-rata Relatif (X) 5 Jam 50 unit

Indeks Produktifitas Usaha Dengan Minyak Tanah 78,89 75,33

Indeks Produktifitas Usaha dengan LPG 98,25 96,73

Berdasarkan tabel diatas maka terjadi peningkatan indeks produktifitas baik dari sisi jam kerja maupun jumlah produksi yang dihasilkan jika pelaku UKM menggunakan LPG dibandingkan menggunakan Bahan Bakar Minyak Tanah dalam kegiatan

76


INOVASI : Vol. 7. No. 1, Maret 2010

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

Sulaiman, 2008, Laporan Penelitian, Sistem Informasi Manajemen berbasis Komputer bagi perusahaan Kecil dan Menengah di Kota Medan, Mandiri, Medan

DAFTAR PUSTAKA Arief,

Sritua. 1993. Metodologi Penelitian Ekonomi. Edisi Pertama, Penerbit Universitas Indonesia (UI-PRESS), Jakarta

Web-site : www.bisnis.ind.com

Azizul Kholis, 2002, Laporan Penelitian, Analisis Penggunaan Komputer bagi perusahaan Kecil dan Menengah di kota Medan dengan Model TAM, PPs Undip Semarang

Website : (www.pertamina.com).

_____________, 2003, Laporan Penelitian, Penelitian tentang Penggunaan Komputer bagi Lembaga Keuangan Mikro Syariah di Kota Medan, Lembaga Penelitian Unimed, Medan Cooper, Donald R dan C.W. Emory, 1998, Metodologi Penelitian Bisnis, Widyono S, Uka W, Erlangga, Jakarta. Hendrik Kasparian, 2008, Skripsi, Penerapan sistem informasi akuntansi berbasis Komputer pada perusahaan kecil dan Menengah di Kabupaten Deli Serdang, Fakultas Ekonomi, Unimed, Medan Hengki Siagian 2009, Skirpsi, analisis penerapan sistem informasi akuntansi berbasis Komputer pada perusahaan kecil dan Menengah di Kota, Iqbal hasan, Pokok-pokok Materi Statistik, Edisi Kedua Penerbit Bumi Aksara, Jakarta Ismail, Solihin.2006. Pengantar Bisnis: Pengenalan Praktis & Studi Kasus. Jakarta: Kencana. Kismono, Gugup. 2001. Yogyakarta: BPFE.

Bisnis

Pengantar.

Muhammad Rizal, 2006 , Makalah, Kajian Peluang dan Potensi pelaku UKM di Propinsi Sumut, Balitbag Sumut, Pempropsu, Medan Nur Indriantoro dan Bambang Supomo. 1999. Metodologi Peneltian Bisnis, Cetakan Pertama, BPFE, Yogyakarta. Nursyabani Purnama, 2000, Membangun Keunggulan Bersaing Melalui Integrasi Perencanaan Strategik dan Perencanaan SDM, Usahawan No 07 XXIX juli 2000, Jakarta Rangkuti, F. 1997. Analisis SWOT Teknik membedah Kasus Bisnis, Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

77


INOVASI : Vol. 7. No. 1, Maret 2010

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

RESENSI BUKU Judul Buku Pengarang Penerbit Spesifikasi

: : : :

Manajemen Imbalan (Strategi dan Praktik Remunerasi) Michael Armstrong & Helen Murlis PT. Bhuana Ilmu Populer cover+xii+(isi 444 halaman)

Buku Manajemen Imbalan Strategi dan Praktik Remunerasi terbitan pertama edisi bahasa Indonesia tahun 2003 yang telah disadur dari buku Manajemen Imbalan edisi keempat karangan Michael Armstrong dan Helen Murlis tahun 1998 merupakan buku teks standar mengenai imbalan yang paling mutakhir di Inggris.

Inggris maupun di Amerika Serikat yang berisi tentang hasil pengalaman, riset dan kegiatan benchmarking, namun hal ini dapat kita jadikan sebagai pengetahuan dan informasi yang bisa bermanfaat bagi kita semua untuk menghadapi tantangan globalisasi saat ini. Selamat membaca semoga bermanfaat.

Buku ini terbagi dari lima materi bagian pembahasan didalamnya yang berisi antara lain : proses manajemen imbalan, mengevaluasi dan mengembangkan proses imbalan, mengukur nilai dan relativitas jabatan, struktur gaji dan manajemen kinerja.

Peresensi : Irwan Purnama Putra, SE (Staf Balitbang Provsu)

Menurut Michael Armstrong & Helen Murlis, ada tiga faktor utama yang mendorong perubahan pada teori dan praktik imbalan yaitu : dinamika pasar tenaga kerja, kehidupan ketenagakerjaan dalam organisasi menengah dan besar, serta kerangka perundang-undangan. Lanjutnya, dalam kurun lima tahun terakhir telah terjadi perubahan dalam pasar tenaga kerja. Pasar kekurangan tenaga-tenaga terampil, terutama dalam bidang teknologi informasi dan teknologi komunikasi. Sekarang ini juga telah terjadi pergeseran hubungan kerja, kini semakin banyak orang yang bekerja bukan sebagai karyawan purna waktu (full-time). Peluang untuk bekerja sendiri (self-employment), kerja paruh waktu (part-time) dan kerja sementara semua berdampak pada strategi dan kebijakan imbalan perusahaan-perusahaan besar yang tidak bisa lagi menawarkan jaminan kerja. Lebih lanjut, buku ini banyak memuat berbagai perkembangan diamati oleh penulisnya yang menarik untuk dibaca diantaranya konsep-konsep menarik mengenai penggajian baru, perkembangan manajemen kinerja, struktur gaji golongan luas (broadbanded), gaji berkait kinerja (performance related pay), gaji tim, dan meningkatkan minat pada gaji variabel. Buku ini merupakan serangkaian proses manajemen imbalan, yang mencakup desain dan pemeliharaan struktur gaji dan juga proses mendasar untuk menilai bobot jabatan dan peran (evaluasi jabatan) dan mengukur serta memberi imbalan kinerja (manajemen kinerja, insentif dan gaji berkait kinerja). Walaupun didalam buku ini mengadopsi implementasi sistem dan kegiatan manajemen di

78


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.