Jurnal Inovasi Desember 2010

Page 1


Volume 7, Nomor. 4

ISSN 1829-8079

Desember 2010

Jurnal ini telah terakreditasi sebagai jurnal ilmiah bidang ilmu politik dan kebijakan dengan nomor : 142/Akred-LIPI/P2MBI/03/2009 berdasarkan Surat Keputusan Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia nomor : 346/D/2009, tanggal 19 Maret 2009.

Jurnal INOVASI sebagai media litbang Provinsi Sumatera Utara memuat karya tulis ilmiah hasil penelitian atau tinjauan kepustakaan dilengkapi dengan resensi buku dalam bidang pemerintahan dan kemasyarakatan, sosial budaya, ekonomi dan pembangunan, sumberdaya alam dan maritim sebagai bahan kebijakan dan wawasan berpolitik. Jurnal INOVASI terbit empat kali dalam setahun setiap bulan Maret, Juni, September dan Desember.

Penasehat

Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Provinsi Sumatera Utara

Penanggung Jawab

Sekretaris Badan Penelitian dan Pengembangan Provinsi Sumatera Utara

Pemimpin Redaksi

Prof. Dr. Marlon Sihombing, MA. (Sosial Politik dan Pemerintahan)

Dewan Redaksi

Drs. H. Alisuman Gultom, M.Si. (Sosial Ekonomi) Ir. E. Harso Kardhinata, M.Sc. (Biologi dan Pertanian) Drs. Kariono, M.Si. (Administrasi Negara dan Kependudukan) M. Ishak, SE, M.Si. Ak. (Ekonomi dan Akuntansi Keuangan) Ir. Sugih Prihatin, M.Si. (Pertanian) Ir. Abdurrozzaq Hasibuan, MT (Teknik Industri) Fotarisman Zaluchu, SKM (Kesehatan)

Redaksi Pelaksana

Azizul Kholis, SE, M.Si. Drs. Darwin Lubis, MM Sumiarti, SH

Tata Usaha dan Sirkulasi

Makrum Rambe, SE, MM Dwi Endah Purwanti, SS, M.Si. Rismawaty Sibarani, S.Sos. Irwan Purnama Putra, SE

Penerbit : BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PROVINSI SUMATERA UTARA Jl. Sisingamangaraja No. 198 Medan 20126 Tel. (061) 7866225; 7883016 - Fax. (061) 7866248 Website : http://balitbang.sumutprov.go.id Email : balitbang@sumutprov.go.id


Terakreditasi Nomor. 142/Akred-LIPI/P2MBI/03/2009 Volume 7, Nomor. 4

ISSN 1829-8079

Desember 2010

Halaman Mendorong Kebijakan E-Government Untuk Mewujudkan Smart Government Di Sumatera Utara (Azizul Kholis)

251-256

Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penyusunan Dana Alokasi Umum Pada Kabupaten/Kota Di Propinsi Sumatera Utara (Iskandar Muda)

257-263

Analisis Alternatif Kebijakan Pemberdayaan UMKM (Muhammad Ishak)

264-269

Kebijakan Ketahanan Pangan (OK. Sofyan Hidayat)

270-277

Keharusan Audit Komunikasi Dalam Organisasi Modern (Aulia Andri)

278-284

Pers Nasional sebagai Penjaga Taman Bahasa Indonesia (Mutsyuhito Solin)

285-289

Ekspresi Lisan Bunyi Ujaran Bahasa Indonesia Anak Autistik Ekolalia Tinjauan Neuropsikolinguistik (Gustianingsih)

290-304

Kajian Teknis Pengembangan Produk-Produk Turunan Komoditi Kemenyan Sumatera (Styrax Benzoin Dryand) (Zainal Abidin Nasution)

305-311

Persepsi Kepala Puskesmas tentang Penerapan Dimensi Kepemimpinan (Studi Kasus di Kota Tebing Tinggi, Sumatera Utara) (Fotarisman Zaluchu)

312-318

Upaya Perlindungan Kesehatan Pada Petugas Kebersihan Di Kelurahan Gang Buntu Kecamatan Medan Timur Tahun 2001 (Zulaini)

319-322

Persepsi Perawat Terhadap Mutu Pelayanan Kesehatan di Rumah Sakit (Studi Kasus di RSU Kabanjahe, Kabupaten Karo, Sumatera Utara) (H. Paul Sirait)

323-327

Resensi Buku : Break From The Pack – Strategi Bersaing di Tengah Sengitnya Ekonomi Peniruan

328-329


PENGANTAR REDAKSI Tim Redaksi mengucapkan Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena Jurnal INOVASI Volume 7 Nomor. 4 bulan Desember 2010 ini dapat diselesaikan dengan baik. Seperti edisiedisi sebelumnya, untuk edisi kali ini tim redaksi mengangkat hasil karya tulis ilmiah dari hasil penelitian maupun kajian yang telah dilakukan oleh berbagai penulis yang berasal dari berbagai perguruan tinggi negeri dan swasta serta lembaga/balai/pusat penelitian yang lebih difokuskan pada bidang pemerintahan dan kemasyarakatan, ekonomi dan pembangunan, sosial budaya serta sumber daya alam dan maritim, yang dapat dijadikan bahan kebijakan maupun sumber pengetahuan dan referensi bahan bacaan. Tim Redaksi juga mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak atas kerjasama dan perannya dalam menyelesaikan Jurnal INOVASI Volume 7 Nomor. 4 bulan Desember 2010 ini. Semoga tulisan jurnal ini dapat bermanfaat bagi para pembaca dan juga bermanfaat untuk bahan kebijakan dalam pembangunan maupun informasi untuk perkembangan dan peningkatan ilmu pengetahuan khususnya bagi masyarakat di Provinsi Sumatera Utara. Terima kasih, selamat membaca.

- Redaksi -


INOVASI : Vol. 7. No. 4,

Desember 2010

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

Mendorong Kebijakan E-Government Untuk Mewujudkan Smart Government Di Sumatera Utara Azizul Kholis1) 1)

Dosen/Staf Pengajar Unimed / Sekretaris Dewan Riset Daerah Sumatera Utara

Abstraksi Artikel ini akan membahas tentang e-Government secara konseptual yang dihubungkan dengan upaya peningkatan kinerja dalam perwujudan pelayanan Prima Pemerintahan baik Pemprovsu maupun Kabupaten/Kota yang ada di Sumatera Utara. Pendekatan Pembahasan adalah penjabaran Konseptual tentang Pemerintahan berbasis elektronik (e-Government), menuju smart Government (Pemerintahan Cerdas) dalam Pelayanan Prima. Artikel ini juga akan menjelaskan secara deskripsi tentang sistim informasi dan merekomendasikan tentang pentingnya kebijakan pemanfaatan Teknologi Informasi dalam berbagai aktifitas pemerintahan yang dapat mempermudah berbagai urusan baik birokrasi maupun kemasyarakatan. Khususnya bagi Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota yang ada di seluruh wilayah Sumatera Utara.

Kata kunci : E-Goverment, pelayanan prima, pemerintahan. menjadikan lalulintas informasi yang diperlukan oleh berbagai pihak khususnya dalam aktifitas pemerintahan menjadi lebih mudah dan cepat diakses untuk disebarluaskan kepada siapa saja yang memerlukannya.

PENDAHULUAN Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) merupakan bidang Teknologi yang berupa perangkat keras, perangkat lunak, sistem beserta komponen pendukungnya, dan jaringan dengan medianya yang dimanfaatkan untuk mengelola informasi sebagai alat komunikasi antar entitas. Karakteristik teknologi informasi dan komunikasi juga berperan sebagai enabler penting dan strategis ke berbagai sektor lain seperti pangan, kesehatan, transportasi, keamanan, pertanahan, dll. Tuntutan akan pemanfaatan Teknologi informasi saat ini sudah tidak dapat dihindari lagi oleh masyarakat.

Menurut RM Agung Harimurti, (2009) Masyarakat informasi berbasis pengetahuan merupakan masyarakat yang menyadari kegunaan dan manfaat informasi untuk kepentingan secara umum. Tipologi masyarakat ini memiliki pengetahuan dan kemampuan untuk mengakses dan memanfaatkan informasi sebagai nilai tambah untuk peningkatan kualitas kehidupannya sesuai dengan perkembangan teknologi modern. Masyarakat informasi seperti itu hampir dalam seluruh aspek kehidupan menempatkan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) sebagai sumber bagi peradaban baru. Penerapan TIK sebagai sumber peradaban baru diharapkan bisa memberi nilai tambah dalam komunitas masyarakat bahkan dalam kehidupan sebuah bangsa. Dalam aspek mikro sumbangan TIK diasumsikan dapat meningkatkan nilai tambah dan daya saing pertumbuhan perusahaan, perbaikan pelayanan publik dalam artian yang lebih luas. Ini berarti TIK bukan semata-mata untuk mendukung kepentingan yang bersifat mikro, tetapi juga sangat berguna bagi peningkatan pelayanan di bidang pemerintahan. Tuntutan pemanfaatan TIK di institusi pemerintahan yang didukung berbagai aplikasi pengembangannya menjadikan sebuah aktifitas baru yang disebut pemerintahan berbasis elektronik (e-Goverment), yang mana dalam sistem ini menjadikan seluruh aktifitas kegiatan pemerintahan berbasiskan data digital.

Dengan mempertimbangkan kebutuhan pasar domestik maupun international yang luas dan terus berkembang serta potensi Indonesia dalam pemajuan bidang TIK sebagai bidang teknologi dan sektor industri, maka dibutuhkan pemikiran dan langkah strategis yang dituangkan dalam berbagai program kegiatan yang terintegrasi dan berkesinambungan untuk diterapkan pada sektor pemerintahan. Program kerja tersebut harus mengarah pada pengembangan dan difusi TIK untuk mendukung pembangunan dan penguasaan TIK untuk peningkatan kemampuan teknologi dan daya saing industri nasional agar Indonesia tidak hanya dijadikan pasar bagi produk TIK dari luar negeri, apalagi diharapkan seluruh lembaga pemerintahan dapat menerapkan TIK dalam aktifitas kegiatannya. Dengan adanya kemajuan teknologi dan percepatan perkembangan informasi yang berbasiskan pada teknologi informasi dengan dukungan fasilitas jaringan internet (web-media)

251


INOVASI : Vol. 7. No. 4,

Desember 2010

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

menangani e-Government di Indonesia, Depkominfo yang merupakan konvergensi tiga lembaga diresmikan, ditandai dengan dibangunnya Sistem Informasi Nasional (Sisfonas). (2) Belum adanya pemahaman yang tepat mengenai esensi eGovernment dikarenakan lemahnya sisi sumber daya manusia (SDM). Yang paling menonjol adalah belum siapnya SDM di kalangan pengambil keputusan baik di tingkat pusat maupun daerah. Pada akhirnya, hal ini menciptakan ketidakharmonisan pemahaman mengenai eGovernment, sehingga memunculkan implementasi yang sporadis dan berdiri sendiri. Berdasarkan catatan Biro Pusat Statistik (BPS) 2002, jumlah pranata komputer (PK-SDM TIK di pemerintahan) hanya 703 orang, itupun tidak ada yang menduduki posisi tertinggi yaitu, PK Utama Madya. (3) Problem ketersediaan infrastruktur, akses telekomunikasi sebagai hal pokok yang harus dimiliki bagi penerapan e-Government, belum sepenuhnya ada. Dari 66.778 desa di Indonesia, baru 23.756 yang memiliki jalur telepon atau baru terjangkau 33,3% dari seluruh desa. Sebagai gambaran implementasi eGovernment di Indonesia, hanya separuh dari jumlah Provinsi di Indonesia yang sudah mengaplikasikan eGovernment. Indikatornya, 49,9% dari Pemerintah Provinsi, Kota dan Kabupaten yang memiliki situs web. Duapuluh satu website melayani pembuatan Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan kartu keluarga (C1), 22 website memberikan layanan pembuatan akta kelahiran, kematian dan perceraian, 32 website melayani pembuatan ijin mendirikan bangunan (IMB), 14 website memberikan ijin usaha, 7 website untuk tambang galian C, 25 website untuk layanan iklan dan 20 website perdagangan. Kategori instansi pemerintah baru 12% yang sudah memiliki perencanaan dari 60 website yang ada.

Inpres No. 3/2003 Pengembangan e-government merupakan upaya untuk mengembangkan penyelenggaraan kepemerintahan yang berbasis (menggunakan) elektronik dalam rangka meningkatkan kualitas layanan publik secara efektif dan efisien. Melalui pengembangan e-government dilakukan penataan sistem manajemen dan proses kerja di lingkungan pemerintah dengan mengoptimalkan pemanfaatan teknologi informasi. Pemanfaatan teknologi informasi tersebut mencakup 2 (dua) aktivitas yang berkaitan yaitu : (1) pengolahan data, pengelolaan informasi, sistem manajemen dan proses kerja secara elektronis; (2) pemanfaatan kemajuan teknologi informasi agar pelayanan publik dapat diakses secara mudah dan murah oleh masyarakat di seluruh wilayah negara. Hasil penelitian Harimurti (2009) tentang egovernment : upaya menuju tata kelola pemerintahan yang baik, studi penerapan egovernment di pemerintah provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (2009) yang lebih rinci dikutip dan dijabarkan dalam artikel ini dijelaskan bahwa realitasnya penggunaan TIK di lingkungan pemerintahan memunculkan istilah e-Government yang dalam beberapa kasus berhasil memberikan banyak nilai positif yang menggembirakan. Hasil penelitian menjelaskan bahwa dengan TIK, pelayanan menjadi lebih cepat, tepat, mudah dan murah. Aktivitas pemerintahan pun menjadi efektif dan efisien. Tetapi sebaliknya, ketidakberhasilan implementasi e-Government pada beberapa kasus sering terjadi karena belum dipahaminya secara komprehensif peranan TIK dalam komunitas tertentu, kurangnya persiapan aparatur pemerintah dan rendahnya pengetahuan masyarakat. Seharusnya e-Government diartikan sebagai suatu peningkatan layanan pemerintahan kepada masyarakat untuk memperoleh nilai tambah dan pembelajaran. Karena aspek e-literacy, kesiapan aparatur pemerintah dan masyarakat merupakan komponen yang harus dilengkapi dalam konteks pemberian pelayanan e-Government kepada masyarakat secara universal. Meski demikian bukan berarti perkembangan e-Government di berbagai daerah berjalan mulus tanpa kendala. Beberapa kendala terhadap penerapan e-Government di berbagai daerah diantaranya (lebih rinci dapat dirujuk pada Harimurti, 2009).

KONSEP E-GOVERNMENT Untuk industri konten di bidang TIK seperti konten aplikasi layanan telekomunikasi, perangkat lunak akuntansi, dan konten-konten lainnya yang spesifik Indonesia, terlihat masih ada peluang bagi pemerintah untuk penerapan TIK. Hanya saja untuk bisa menumbuhkan dan mendorong adanya inovasi konten yang kreatif sehingga bisa bernilai guna (usability) diperlukan penanganan yang tidak sektoral yang meliputi regulasi, inovasi iptek dan pemberian insentif. Oleh karena itu untuk mendapatkan solusi dari permasalahan yang timbul dalam keinginan agar industri konten nasional dapat berperan bagi pembangunan TIK dalam berbagai kegiatan instansi dan seluruh lembaga pemerintahan baik pusat maupun daerah dengan penerapan eGovernment. Di dalam konsep e-Government dikenal empat jenis klasifikasi di antaranya adalah: (a). Government to citizens (G-to-C). Tipe G-to-C merupakan aplikasi e-Government yang paling umum, dimana pemerintah membangun dan

Permasalahan yang berkenaan dengan penerapan eGoverment setidaknya terkait dengan: (1) Peraturan seputar e-Government yang cenderung masih lemah. Misalnya Inpres No. 3/2003 tentang kebijakan dan strategi pengembangan eGovernment. Dari inpres tertanggal 9 Juni 2003 itu, hanya ada satu juklak yang diturunkan, yakni standardisasi penerapan eGovernment. Sementara Cyber Law juga belum ada, ini mengakibatkan tahapan ketiga e-Government, yaitu transaksi menjadi terhadang. Lembaga yang

252


INOVASI : Vol. 7. No. 4,

Desember 2010

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

menerapkan berbagai portofolio teknologi informasi dengan tujuan utama memperbaiki interaksi dengan masyarakat. (b). Government to bussiness (G-toB).Tipe G-to-B merupakan aplikasi e-Government yang digunakan untuk memperlancar perusahaan swasta dalam menjalankan roda perusahaannya serta menciptakan relasi dengan pemerintah secara baik dan efektif. (c). Government to governments (G-to-G). Merupakan aplikasi e-Government yang digunakan antar pemerintah untuk memperlancar kerjasama dalam melakukan hal-hal yang berkaitan dengan administrasi perdagangan, proses-proses politik, maupun mekanisme hubungan sosial dan budaya. (d). Government to employees (G-toE).Merupakan aplikasi e-Government yang digunakan untuk meningkatkan kinerja dan kesejahteraan pegawai negeri yang bekerja di sejumlah institusi pemerintahan sebagai pelayan masyarakat (Indrajit, 2002).

Gambar 2. Tipikal Susunan Organisasi Pemerintahan Provinsi

Implementasi e-Government yang tepat akan memperbaiki kualitas kehidupan masyarakat di suatu negara secara signifikan. Manfaat tersebut diantaranya adalah : 1) Memperbaiki kualitas pelayanan publik sebuah kinerja pemerintahan, terutama dalam hal efektivitas dan efisiensi berbagai bidang kehidupan bernegara. 2) Meningkatkan transparansi, kontrol, serta akuntabilitas penyelenggaraan pemerintahan dalam rangka penerapan konsep Good Governance dan Clean Government. 3) Mengurangi secara signifikan total biaya administrasi, relasi dan interaksi yang dikeluarkan pemerintah untuk aktivitas sehari- hari. 4) Memberikan peluang pemerintah untuk mendapatkan sumber-sumber pendapatan baru melalui interaksi dengan pihak-pihak yang berkepentingan. 5) Menciptakan suatu lingkungan masyarakat baru yang dapat secara cepat dan tepat menjawab berbagai permasalahan publik maupun global. 6) Memberdayakan masyarakat sebagai mitra pemerintah dalam proses pengambilan kebijakan publik yang setara dan demokratis (Indrajit, 2002). Adapun Kerangka pengembangan e-Goverment dapat digambarkan sebagai berikut :

Sumber : Rintosa (2010) Gambar 3. Tipikal Susunan Organisasi Pemerintahan Kab/Kota

SMART GOVERNMENT Smart Goverment atau Pemerintahan yang cerdas adalah sebuah konsep yang menjabarkan tentang karakteristik pemerintahan yang sangat adaptasi terhadap teknologi informasi dan juga mengaplikasikannya dalam aktifitas pemerintahan, sehingga sangat mendukung aparatur untuk lebih cepat bekerja, efektif, akurat dan efisien. Smart Government ditandai dengan penyerapan teknologi untuk berbagai bidang, sehingga pemerintahan yang cerdas dapat lebih terbuka dalam hal informasi dan kemudahan akses informasi bagi publik. Poin utama dari smart goverment adalah pelayanan publik (Public Services). Ada beberapa pertimbangan mengapa pelayanan publik menjadi titik strategis untuk memulai pengembangan good governance di Indonesia, (1).Pelayanan publik selama ini menjadi ranah dimana negara yang diwakili oleh pemerintah berinteraksi dengan lembaga-lembaga nonpemerintah. Dalam ranah ini terjadi pergumulan yang sangat intensif antara pemerintah dengan warganya. Buruknya praktik governance dalam penyelenggaraan pelayanan publik sangat dirasakan manfaatnya secara langsung oleh warga dan

Sumber : Depkominfo RI 2004 Gambar 1. Blue Print Sistem Aplikasi e-Gov

253


INOVASI : Vol. 7. No. 4,

Desember 2010

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

Adapun tujuan dari penerapan e-Government setidaknya untuk (1) Meningkatkan mutu layanan Publik melalui pemanfaatan teknologi IT dalam proses penyelenggaraan Pemerintahan (2) Terbentuknya Pemerintahan yang Bersih, transparan, dan Mampu menjawab tuntutan perubahan secara efektif, (3) Perbaikan organisasi, system manajemen, dan proses kerja pemerintahan.

masyarakat luas. (2).Pelayanan publik adalah ranah dimana berbagai aspek good governance dapat diartikulasikan secara relatif lebih mudah. Aspek kelembagaan yang selama ini sering dijadikan rujukan dalam menilai praktik governance dapat dengan mudah dinilai dalam praktik penyelenggaraan pelayanan publik. (3). Pelayanan publik melibatkan kepentingan semua unsur governance.

Secara Garis Besar Kerangka Fungsi Sistem Pemerintahan yang dapat diaplikasikan dalam e Government meliputi : (Gambar 5)

Pemerintah sebagai representasi negara, masyarakat sipil, dan mekanisme pasar memiliki kepentingan dan keterlibatan yang tinggi dalam ranah ini. Pelayanan publik memiliki high stake dan menjadi pertaruhan yang penting bagi ketiga unsur governance tersebut, karena baik dan buruknya praktik pelayanan publik sangat berpengaruh terhadap ketiganya. Nasib sebuah pemerintahan akan sangat dipengaruhi oleh keberhasilan dalam mewujudkan pelayanan publik yang baik. Keberhasilan sebuah rezim dan penguasa dalam membangun legitimasi kekuasaan sering dipengaruhi oleh kemampuan mereka dalam menyelenggarakan pelayanan publik yang baik dan memuaskan warga (Dwiyanto, Agus, 2005). Tujuan Implementasi e-Goverment menuju Smart Government setidaknya diarahkan pada Konsep Transformasi berikut ini (gambar 4). Berdasarkan Gambar 4, dapat dengan jelas dipahami bahwa transformasi penerapan eGovernment yang dimaksudkan adalah pergeseran dari paradigma pengelolaan pemerintahan manual menjadi pemerintahan yang berbasiskan ICT menjadi pemerintahan yang cerdas (smart Goverment).

Sumber : Rintosa (2010) Gambar 4. Transformasi E-Goverment

254


INOVASI : Vol. 7. No. 4,

Desember 2010

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

Gambar 5. Aplikasi E-Goverment dalam Fungsi dan Sistem Pemerintahan 1.

Pada Gambar diatas, sangat jelas terlihat bahwa segala aspek, bentuk dan jenis kegiatan Pemerintahan dapat diaplikasikan dalam eGovernment, mengingat pengembangan system yang cepat dan akurat dan didukung ketersediaan perangkat keras dan perangkat lunaknya. Namun tentunya penerapan e-Government ini setidaknya akan mengalami hambatan pada jaringan infrastruktur internet dan juga tingkat ketersediaan sumberdaya manusia (SDM) khususnya yang ada pada Kabupaten/Kota karena wilayah geografis Provinsi Sumatera Utara masih juga terdapat beberapa Wilayah yang belum terakses oleh jaringan internet yang memadai untuk menunjang pelaksanaan e-Government yang diharapkan.

2.

Diperlukan Rencana Induk (Masterplan) bidang Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) untuk mengimplementasikan EGovernment pada setiap Kota dan Kabupaten. Perlu menjadi wacana pendirian Pusat Multimedia di Provinsi Sumatera Utara dalam rangka pengembangan TI dan e-Government untuk mewujudkan knowledge base dalam rangka menjadikan Sumatera Utara Smart Government.

DAFTAR PUSTAKA Agung Harimurti, 2009, egovernment : upaya menuju tata kelola pemerintahan yang baik studi penerapan egovernment di pemerintah prov. diy, Artikel Publikasian Internet.

PENUTUP Berdasarakan penjabaran konseptual yang berkenaan dengan e-Goverment dapat memahami betapa e-government saat ini benar-benar penting untuk diterapkan pada pemerintahan hususnya di seluruh Provinsi Sumatera Utara, Baik Pemprovsu maupun Pemerintah Kabupaten/Kota se-Sumatera Utara. Kebijakan yang mendorong e-Government tersebut setidaknya diarahkan pada dua agenda utama yaitu :

COBIT 4.0, 2005, IT Governance Institute, 3701 Algonquin Road, Suite 1010 Rolling Meadows, IL 60008 USA. Darwin, Muhajir, 2000, Good Governance dan Kebijakan Publik, Lokakarya �Reformasi Birokrasi menu Good Goverance, Yogyakarta, 25 Oktober. Dwiyanto, Agus, (Editor), 2005, Mewujudkan Good Governance Melalui Pelayanan Publik, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

255


INOVASI : Vol. 7. No. 4,

Desember 2010

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

Frederickson, H. George, 1999, New Public Administration, University of Alabama Press, USA. Hanson, Ward, 2002, Pemasaran Internet, Penerbit Salemba Empat, Jakarta. Kertajaya, H., Hermawan, M., Yuswohadi, Taufik, 2002, MarkPlus on Strategy: 12 Tahun Perjalanan MarkPlus & Co Membangun Strategi Perusahaan, Penerbit Gramedia, Jakarta. Kominfo, 2004 (Oktober), Sistem Informasi Nasional. Departemen Komunikasi dan Informatika. Tersedia di: http://www.depkominfo.go.id. Kotler, P., Hamlin, M.A., Rein, I., Haider, D.H., 2002, Marketing Asian Places: Attracting Investment, Industry, and Tourism to Cities, States, and Nations, John Wiley & Sons (Asia), Singapore. Indrajit, Richardus E., 2002, Electronic Government, Penerbit Andi, Yogyakarta Rossano, Diaz, 2004, EGovernment Dalam Pemasaran Wilayah, Magister Perencanaan Kota dan Daerah, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Rintosa Girsang, 2010, E-Government menuju Smart Government, Pemaparan pada Workshop Peran dan Fungsi DRDSU, Medan.

256


INOVASI : Vol. 7. No. 4,

Desember 2010

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penyusunan Dana Alokasi Umum Pada Kabupaten/Kota Di Provinsi Sumatera Utara Iskandar Muda 1) 1)

Dosen Fakultas Ekonomi USU Medan

Abstract This research purpose is to know how Popullation, Coverage Area, Human Index Development (HID), Construction Scarce Index, and Gross Domestic Product (PDRB) Constant Price influence to General Alocation Fund (DAU). The analyze method that is used in this research is quantitative method with multiple linier regression. The object of this research variable are Popullation, Coverage Area, Human Index Development (HID), Construction Scarce Index and Gross Domestic Product (PDRB) Constant Price influence and Dana Alokasi Umum. with amount of sample are 23 companies from City and Regency in North Sumatera Province the year 2003 up to year 2007. The result of this research Popullation, Coverage Area, Human Index Development (HID), Construction Scarce Index, dan Gross Domestic Product (PDRB) Constant Price and General Alocation Fund (DAU). it is partially and simultaneously influence with explained by variation the expressed in Adjusted R2 equal to 85,4 % is while the rest equal to 14,6% influenced by other variable which is explained by this research model, but partially Popullation, Coverage Area, Human Index Development (HID), Construction Scarce Index has significant to the Dana Alokasi Umum. While Gross Domestic Product (PDRB) Constant Price has not significant to the General Alocation Fund (DAU). This research thereby for Head Regency and City Goverment have to can do for decision of General Alocation Fund (DAU) plan in implement for decisions.

Keywords : Popullation, Coverage Area, Human Index Development (HID), Construction Scarce Index, dan Gross Domestic Product (PDRB) Constant Price and General Alocation Fund (DAU). daerah, baik dalam bentuk belanja fisik maupun nonfisik. Jumlah dana tersebut cukup signifikan dan proporsinya terhadap belanja Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) cukup tinggi. Pada tahun 2008, total dana yang dibelanjakan di daerah telah mencapai 41,3 persen dari total belanja APBN.

PENDAHULUAN Instrumen utama kebijakan desentralisasi fiskal adalah melalui kebijakan transfer ke daerah, yang terdiri dari Dana Perimbangan dan Dana Otonomi Khusus. Adapun Dana Perimbangan terdiri dari Dana Bagi Hasil (DBH), Dana Alokasi Umum (DAU), dan Dana Alokasi Khusus (DAK), yang merupakan komponen terbesar dari dana Transfer ke Daerah. Alokasi dana Transfer ke Daerah terus meningkat seiring dengan pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal, yaitu dari Rp81,1 triliun pada tahun 2001 menjadi Rp253,3 triliun pada tahun 2007, dan diperkirakan menjadi Rp293,6 triliun pada tahun 2008, atau tumbuh ratarata sebesar 20,2 persen per tahun.

Untuk mengurangi ketimpangan dalam kebutuhan pembiayaan dan penguasaan pajak antara Pusat dan Daerah telah diatasi dengan adanya perimbangan keuangan antara Pusat dan Daerah (dengan kebijakan bagi hasil dan DAU minimal sebesar 25% dari Penerimaan Dalam Negeri). Dengan perimbangan tersebut, khususnya dari DAU akan memberikan kepastian bagi Daerah dalam memperoleh sumber-sumber pembiayaan untuk membiayai kebutuhan pengeluaran yang menjadi tanggung jawabnya.

Selain dana desentralisasi tersebut, Pemerintah juga mengalokasikan dana untuk membiayai program dan kegiatan yang menjadi kewenangan Pemerintah di daerah, yaitu dana dekonsentrasi, dana tugas pembantuan, dan dana untuk melaksanakan program dan kegiatan instansi vertikal di daerah. Walaupun dana-dana tersebut tidak masuk dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), namun secara nyata dana tersebut dibelanjakan di

Sesuai dengan UU Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah bahwa kebutuhan DAU oleh suatu Daerah (Provinsi, Kabupaten, dan Kota) ditentukan dengan menggunakan pendekatan konsep Fiscal Gap, dimana kebutuhan DAU suatu Daerah ditentukan oleh kebutuhan Daerah (fiscal needs)

257


INOVASI : Vol. 7. No. 4,

Desember 2010

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

kesenjangan fiskal antar daerah, juga diharapkan dapat menstimulasi pembangunan daerah. Proporsi alokasi DAU jumlahnya lebih besar dibanding DAK maupun DBH. Selain itu tidak seluruh daerah mendapatkan DBH, hanya daerah tertentu yang mendapatkan DBH. Sehingga dengan alasan demikian peneliti menggunakan variabel DAU. Berdasarkan uraian dan latar belakang diatas maka rumusan masalah yang dapat dibentuk sebagai berikut : Apakah faktor jumlah penduduk, luas wilayah, Indeks Pembangunan Manusia, Indeks Kemahalan Konstruksi, dan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) harga konstan berpengaruh terhadap besarnya Dana Alokasi Umum Kabupaten/Kota Provinsi Sumatera Utara ?

dan potensi Daerah (fiscal capacity). Dengan pengertian lain, DAU digunakan untuk menutup celah/gap yang terjadi karena kebutuhan Daerah melebihi dari potensi penerimaan daerah yang ada. Berdasarkan konsep fiscal gap tersebut, distribusi DAU kepada daerah-daerah yang memiliki kemampuan relatif besar akan lebih kecil dan sebaliknya daerah-daerah yang mempunyai kemampuan keuangan relatif kecil akan memperoleh DAU yang relatif besar. Dengan konsep ini beberapa daerah, khususnya daerah yang kaya sumber daya alam dapat memperoleh DAU yang negatif. Variabel-variabel kebutuhan Daerah dan potensi ekonomi Daerah. Kebutuhan Daerah paling sedikit dicerminkan dari variabel jumlah penduduk, luas wilayah, keadaan geografi, dan tingkat pendapatan masyarakat dengan memperhatikan kelompok masyarakat miskin. Sementara potensi ekonomi Daerah dicerminkan dengan potensi penerimaan Daerah seperti potensi industri, potensi SDA, potensi SDM, dan PDRB.

TINJAUAN TEORI 1.

Pengelolaan Pemerintah Desentralisasi Fiskal

Daerah

dalam

Perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah merupakan Merupakan suatu sistem pembiayaan pemerintahan dalam kerangka negara kesatuan, yang mencakup pembagian keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah serta pemerataan antar daerah secara adil dan proporsional, demokratis dan transparan, dengan tetap memperhatikan potensi, kondisi dan kebutuhan Daerah sejalan dengan kewajiban dan pembagian kewenangan serta tata cara penyelenggaraan kewenangan tersebut termasuk pengelolaan dan pengawasan keuangannya. Di dalam Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah diatur tentang sumber-sumber penerimaan Daerah yang terdiri dari : 1. Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang terdiri dari pajak daerah, retribusi daerah, hasil BUMD dan pengelolaan kekayaan daerah lainnya yang dipisahkan serta lain-lain pendapatan daerah yang sah, 2. Dana Perimbangan yang terdiri dari Bagi Hasil SDA dan Non SDA, Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK), 3. Pinjaman Daerah, dan 4. Lain-lain penerimaan yang sah.

Pengalokasikan DAU ke daerah dilakukan dengan menggunakan formula yang didasarkan pada data dasar perhitungan DAU. Secara historis, sejak tahun 2001 hingga tahun 2005, formula DAU terbagi menjadi dua komponen utama, yaitu Alokasi Minimum (AM) dan alokasi DAU berdasarkan Kesenjangan Fiskal (KF). AM dihitung berdasarkan komponen lumpsum dan proporsional belanja pegawai. Sejak diberlakukannya UU Nomor 33 Tahun 2004, yang efektif berlaku sejak tahun 2006, komponen AM dan KF tersebut disempurnakan menjadi Alokasi Dasar (AD) dan Celah Fiskal (CF). Alokasi DAU berdasarkan CF tersebut merupakan komponen ekualisasi kemampuan keuangan antar daerah, dengan mempertimbangkan selisih kebutuhan fiskal dan kapasitas fiskal masingmasing daerah. Branoah (2010) menemukan formula transfer pemerintah Ghana menggunakan formula District Assemblies Common Fund (DACF). Ortiz dan Rider (2005) menggunakan formula tax effort, fiscal management, national objectives dan special problems sebagai formula transfer pemerintah India. Sampai dengan tahun anggaran 2005, fenomena di Indonesia menggunakan variabel kebutuhan fiskal terdiri dari : jumlah penduduk, luas wilayah, indeks kemahalan konstruksi, dan indeks kemiskinan relatif. (sesuai UU No. 25/1999). Mulai Tahun Anggaran 2006 variabel kebutuhan fiskal terdiri dari : jumlah penduduk, luas wilayah, indeks pembangunan manusia, indeks kemahalan konstruksi, dan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) per kapita. (sesuai UUNo. 33/2004).

Pelaksanaan Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dengan Daerah bertujuan untuk mengatasi masalah kesenjangan antara Pemerintah Pusat dengan Daerah (vertical imbalances) serta kesenjangan antar daerah (horisontal imbalances). 2.

Jumlah Penduduk

Jumlah penduduk menentukan besarnya Dana Alokasi yang dikucurkan. Semakin besar jumlah penduduk maka proporsi jumlah DAU semakin besar dan sebaliknya. Mulai tahun 2006 variabel kebutuhan fiskal jumlah penduduk, dimasukkan

Alasan penggunaan DAU sebagai dependen variabel dibanding DAK maupun DBH dikarenakan alokasi DAU selain ditujukan untuk mengurangi

258


INOVASI : Vol. 7. No. 4,

Desember 2010

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

yang lazim digunakan adalah Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Walaupun tidak semua aspek pembangunan manusia dapat diukur melalui penghitungan IPM mengingat sangat luasnya dimensi pembangunan manusia, tetapi paling tidak IPM dapat menggambarkan hasil pelaksanaan pembangunan manusia menurut tiga komponen indikator kemampuan manusia yang sangat mendasar yaitu ; derajat kesehatan, kualitas pendidikan serta akses terhadap sumber daya ekonomi berupa pemerataan tingkat daya beli masyarakat. Semakin kecil tingkat IPM suatu daerah maka semakin besar Dana Alokasi Umum yang dikucurkan pada suatu daerah.

sebagai unsur penentu besarnya jumlah DAU suatu daerah sesuai amanat UU No. 33/2004. Luas daerah sebagai pertimbangan digunakan dalam penelitian ini dengan pertimbangan dimana kebutuhan daerah pada dasarnya mencerminkan: (1) skala kebutuhan pelayanan (size of service provision); (2) biaya penyelenggaraan pelayanan (cost of service provision); (3) kebutuhan pembangunan (developmental needs). Skala kebutuhan pelayanan daerah dapat ditunjukkan oleh jumlah penduduk wilayah tersebut yang sedikit banyak mencerminkan beban tanggung jawab suatu daerah. Biaya penyelenggaraan pelayanan dapat diwakili oleh luas wilayah dan rasio antara panjang jalan dan luas wilayah (road density). Luas wilayah dimaksud bahwa luas yang semakin besar menggambarkan biaya pelayanan yang lebih besar. Dengan rasio luas wilayah dan panjang jalan (road density), maka bila rasio tersebut semakin besar itu menunjukkan biaya penyelenggaraan pembangunan yang lebih besar. (Panggabean 1999). 3.

5.

Indeks Kemahalan Konstruksi merupakan indikator penentu besar kecilnya DAU sesuai dengan amanat UU No. 33/2004. Semakin besar indeks tersebut maka semakin besar DAU yang dikucurkan. Konsep dan definisi umum yang digunakan dalam proses pengumpulan data dan penghitungan indeks kemahalan konstruksi (IKK) antara lain: konsep mengenai harga barang konstruksi termasuk harga sewa alat berat, pedagang besar, kegiatan konstruksi, tingkat kemahalan konstruksi, diagram timbang, dan indeks kemahalan konstruksi. Dimana Harga perdagangan besar (HPB) adalah harga transaksi yang terjadi antara pedagang besar pertama sebagai penjual dengan pedagang besar berikutnya sebagai pembeli secara party/grosir di pasar pertama atas suatu barang. Semakin tinggi Indeks Kemahalan Konstruksi (IKK) suatu daerah maka semakin besar Dana Alokasi Umum yang dikucurkan pada daerah tersebut.

Luas Wilayah

Luas daerah mencerminkan luas Kota/Kabupaten per km2. Indikator dari variable ini adalah log luas daerah. Variabel ini diikutkan sebagai faktor yang mempengaruhi keberhasilan pemerintah daerah dalam pelaksanaan standar akuntansi pemerintah., Semakin luas daerah suatu pemerintahan maka akan semakin lambat dalam melaksanakan standar akuntansi pemerintah tersebut. Variabel ini dianggap sebagai variable kontrol karena populasi penelitian berbentuk kota dan kabupaten. Mulai Tahun Anggaran 2006 variabel kebutuhan fiskal luas wilayah dimasukkan sebagai unsur penentu besarnya jumlah DAU suatu daerah sesuai amanat UU No. 33/2004. Menurut Panggabean dkk (1999 : 37) Luas daerah sebagai pertimbangan digunakan dalam penelitian ini dengan pertimbangan dimana kebutuhan daerah pada dasarnya mencerminkan: (1) skala kebutuhan pelayanan (size of service provision); (2) biaya penyelenggaraan pelayanan (cost of service provision); (3) kebutuhan pembangunan (developmental needs). Semakin luas wilayah suatu daerah maka semakin besar Dana Alokasi Umum yang dikucukan ke suatu daerah. 4.

Indeks Kemahalan Konstruksi (IKK)

6.

Product Domestic Regional Bruto (PDRB)

Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) merupakan salah satu indikator makro ekonomi yang pada umumnya digunakan untuk mengukur kinerja ekonomi di suatu negara. Sedangkan untuk tingkat wilayah, Provinsi maupun Kabupaten/Kota, digunakan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Secara teori dapat dijelaskan bahwa PDRB merupakan bagian dari PDB, sehingga dengan demikian perubahan yang terjadi di tingkat regional akan berpengaruh terhadap PDB atau sebaliknya. PDRB yang digunakan adalah PDRB berdasarkan Harga Konstan yaitu PDRB yang digunakan untuk melihat pertumbuhan ekonomi suatu daerah dari tahun ketahun. Jika PDRB dibagi dengan jumlah penduduk di suatu Daerah pada suatu waktu tertentu akan diperoleh PDRB per kapita.

Indeks Pembangunan Manusia (IPM)

Merupakan variabel yang mencerminkan tingkat pencapaian kesejahteraan penduduk atas layanan dasar di bidang pendidikan dan kesehatan. Seperti halnya pembangunan ekonomi, pembangunan manusia memerlukan ketersediaan analisis data guna perencanaan dan pengambilan kebijakan agar tepat sasaran, juga perlu dievaluasi sejauh mana pembangunan yang dilaksanakan mampu meningkatkan kualitas hidup manusia (penduduk) sebagai obyek pembangunan. Salah satu alat ukur

7.

Dana Alokasi Umum (DAU)

Merupakan suatu komponen yang masuk di dalam formula penghitungan Dana Alokasi Umum (DAU).

259


INOVASI : Vol. 7. No. 4,

Desember 2010

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

DAU itu sendiri adalah salah satu komponen di dalam dana perimbangan di APBN yang pengalokasiannya didasarkan atas formula dengan konsep kesenjangan fiskal (fiscal gap) yang merupakan selisih antara kebutuhan fiskal (fiscal need) dengan kapasitas fiskal (fiscal capacity). DAU bertujuan sebagai instrumen untuk mengatasi masalah horizontal imbalances yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar daerah dimana penggunaannya ditetapkan sepenuhnya oleh daerah (block grants). Konsep dasar formulasi DAU sebagaimana yang diamanatkan dalam UU No. 25 Tahun 1999 itu secara implisit merupakan penjabaran dari teori governmental transfer yang berbasis pada konsepsi fiscal gap. Dengan konsepsi fiscal gap, nantinya kesenjangan fiskal yang merupakan selisih negatif antara kebutuhan fiskal dengan kapasitas fiskal dianggap sebagai kebutuhan yang harus ditutup melalui transfer pemerintah pusat.

adalah sebanyak 23 (dua puluh tiga) pemerintah daerah Kabupaten dan Kota dari 33 (tiga puluh tiga) Kabupaten dan Kota di Sumatera Utara. Metode pengambilan sampel dilakukan dengan purposive sampling. Adapun pertimbangan yang ditentukan sebagai berikut: 1. Kabupaten/ kota di Provinsi Sumatera Utara yang mempublikasikan laporan realisasi APBD dalam situs Departemen Keuangan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan yaitu pada situs www.djpk.depkeu.go.id. 2. Kabupaten/ kota di Provinsi Sumatera Utara yang mempublikasikan laporan realisasi APBD-nya selama periode 2003-2007 dan bukan pemekaran. 3. Kabupaten/ kota di Provinsi Sumatera Utara yang penentuan DAU nya berdasarkan UU No. 33/2004.

HASIL DAN PEMBAHASAN Ide dasarnya adalah untuk daerah yang memiliki kapasitas fiskal relatif lebih besar dibanding kebutuhan fiskalnya, maka DAU yang dialokasikan seyogyanya tidak terlalu besar. Sebaliknya daerah yang memiliki kebutuhan fiskal relatif lebih tinggi terhadap kapasitas fiskalnya, membutuhkan DAU yang relatif besar pula agar mereka tetap dapat menyediakan pelayanan dasar yang cukup baik. Jadi kapasitas fiskal ini dapat dianggap sebagai wakil kemampuan suatu Daerah di dalam melaksanakan semua kewenangan wajibnya dalam pelaksanaan pemerintahan dan pembangunan Daerahnya. Celah Fiskal dihitung berdasarkan selisih antara kebutuhan fiskal daerah dan kapasitas fiskal daerah. Jika kebutuhan fiskal sama dengan kapasitas fiskal, maka jumlah DAU yang diterima akan sama dengan Alokasi Dasar.

Deskripsi Statistik Berdasarkan hasil pengolahan data, dapat dilihat bahwa dari jumlah N sampel sebanyak 115, dimana rata-rata jumlah penduduk Sumut sebanyak 509.096 Jiwa dengan jumlah terendah 33.822 jiwa dan tertinggi sebanyak 2.083.156 jiwa. Luas wilayah rata-rata 2962 KM2 dengan luas terendah di wilayah Sumut seluas 10.77 KM2 dan luas tertinggi 12.167. IPM rata-rata 71,23, terendah 63.10 dan tertinggi 76,80. IKK rata- rata 118.14, terendah 83 dan tertinggi 194.16. Untuk jumlah DAU rata-rata dikucurkan pusat Rp. 244,682 Milyar, terendah 0 dan tertinggi 748,707 Milyar. Pengujian Asumsi Klasik

METODE PENELITIAN

a.

Jenis dan Sumber Data

Berdasarkan hasil uji normalitas data dengan menggunakan uji Kolmogorov-Smirnov dan dengan melihat uji grafik, maka dapat disimpulkan bahwa data mempunyai distribusi normal. Hal ini dapat diketahui dengan melihat nilai Kolmogorov Smirnov sebesar 0,748 dengan tingkat signifikansi sebesar 0,631. Jika signifikansi nilai Kolmogorov Smirnov lebih besar dari 0,05 maka dapat dinyatakan bahwa data mempunyai distribusi normal.

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data kuantitatif. Data yang digunakan merupakan data sekunder yang diperoleh secara tidak langsung dari Departemen Keuangan RI di website www.djpk.depkeu.go.id, yang berupa laporan realisasi APBD dari tahun 2003-2007 untuk 23 (dua puluh tiga) Pemerintah Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara yang terpilih menjadi sampel penelitian dan data pertumbuhan ekonomi yang berasal dari Biro Pusat Statistik Sumatera Utara pada website www.bps.go.id/sumut.

b.

Pengujian Normalitas

Pengujian Heterokedastisitas

Pengujian asumsi heterokedastisitas menyimpulkan bahwa model regresi tidak terjadi heterokedastisitas. Dengan kata lain terjadi kesamaan varian dari residual dari satu pengamatan ke pengamatan yang lain. Kesimpulan ini diperoleh dengan melihat penyebaran titik-titik yang

Pemilihan Populasi dan Sampel Penelitian Sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi tersebut (Sugiyono, 2004:73). Jumlah sampel yang dipakai oleh peneliti

260


INOVASI : Vol. 7. No. 4,

Desember 2010

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

lebih banyak dinikmati oleh pemerintah pusat dibandingkan masyarakat setempat. Bagi Hasil Sumber Daya Alam ditujukan untuk mengurangi ketimpangan vertikal (vertical imbalance) antara pemerintah pusat dan daerah penghasil, sedangkan DAU untuk mengurangi ketimpangan horizontal (horizontal imbalance) antar daerah. DAU merupakan Transfer pemerintah Pusat kepada Daerah bersifat “Block Grant� yang berarti kepada Daerah diberi keleluasaan dalam penggunaannya sesuai dengan prioritas dan kebutuhan Daerah dengan tujuan untuk menyeimbangkan kemampuan keuangan antar Daerah. DAU terdiri dari DAU untuk Daerah Provinsi dan Kabupaten/ Kota. Besaran DAU ditetapkan sekurang-kurangnya 25% dari Pendapatan Dalam Negeri Netto yang ditetapkan dalam APBN s.d. TA 2007, sedangkan mulai TA 2008 ditetapkan sekurangkurangnya 26% dari PDN Netto. Proporsi DAU untuk Daerah Provinsi dan untuk Daerah Kabupaten/Kota ditetapkan berdasarkan imbangan kewenangan antara Provinsi dan Kabupaten/Kota.

menyebar secara acak, tidak membentuk sebuah pola tertentu yang jelas, serta tersebar baik diatas maupun dibawah angka 0 pada sumbu Y. c.

Pengujian Autokorelasi

Pada penelitian ini, uji autokorelasi dilakukan dengan Uji Autokorelasi dengan The BreuschGodfrey (BG Test). Hal ini dilakukan karena nilai obesrvasi diatas 100 pengamatan (115 observasi). d.

Pengujian Multikolinieritas

Berdasarkan hasil pengolahan SPSS, dapat dilihat bahwa nilai VIF untuk masing-masing variabel adalah < 10 dan Tolerance tidak kurang dari 0,1. Hal ini membuktikan bahwa model regresi yang digunakan dalam penelitian ini tidak terdapat gejala multikolinearitas. Pengujian Hipotesis Setelah dilakukan pengujian asumsi klasik dan diperoleh kesimpulan bahwa model sudah dapat digunakan untuk melakukan pengujian analisa regresi berganda, maka langkah selanjutnya adalah melakukan pengujian hipotesis. Hipotesis yang akan diuji adalah Jumlah penduduk, luas wilayah, indeks pembangunan manusia, indeks kemahalan konstruksi, dan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Harga Konstanberpengaruh terhadap besarnya Dana Alokasi Umum Kabupaten/Kota Provinsi Sumatera Utara. Dari ringkasan hasil pengujian hipotesis dapat dilihat bahwa pengujian goodness of fit dilakukan untuk menentukan kelayakan suatu model regresi, karena variabel penelitian lebih dari dua variabel maka kelayakan tersebut dapat dilihat dari nilai Adjusted R Square. Nilai Adjusted R Square sebesar 0,854. Hal ini menunjukkan bahwa 85,4 % variasi dari Jumlah penduduk, luas wilayah, indeks pembangunan manusia, indeks kemahalan konstruksi, dan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Harga Konstan dapat menjelaskan besarnya Dana Alokasi Umum Kabupaten/Kota Provinsi Sumatera Utara. Sisanya sebesar 14,6% dipengaruhi oleh variabel lain yang tidak dijelaskan oleh model penelitian ini.

Ciri utama yang menunjukkan bahwa suatu daerah otonom mampu berotonomi yaitu terletak pada kemampuan daerah mengurus rumah tangganya sendiri dengan mengandalkan kemampuan keuangan daerah sendiri. Kondisi ini merupakan salah satu wujud dari pelaksanaan desentralisasi fiskal dimana suatu daerah harus memiliki kemampuan dan kewenangan untuk menggali sumber-sumber keuangan sendiri yang cukup memadai untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan daerahnya. Ketergantungan kepada pemerintah pusat harus seminimal mungkin, sehingga PAD harus menjadi bagian sumber keuangan terbesar atau dominan, yang didukung oleh kebijaksanaan perimbangan pusat dan daerah sebagai prasyarat mendasar dalam sistem pemerintahan negara. Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintah oleh Pemerintah kepada Daerah otonom dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ini berarti kekuasaan yang sebelumnya secara penuh berada di pemerintah pusat, kemudian diserahkan kepada pemerintah daerah khsusunya kabupaten/kota. Penyerahan kewenangan ini kemudian disertai penyerahan sumber-sumber pembiayaannya (money follows function). Meskipun demikian ternyata ketimpangan antar daerah (horizontal imbalances) masih juga muncul terutama terjadi antara daerah yang dianugerahi sumber daya alam yang besar dengan daerah yang memang miskin sumber daya alam. Karenanya pemerintah pusat masih tetap meberikan bantuan berupa Dana Alokasi Umum (DAU) yang besarnya sekurang-kurangnya 25% dari Penerimaan Dalam Negeri yang ditetapkan dalam APBN. Sementara itu kesenjangan antara pemerintah pusat dengan

Pembahasan Diterapkannya UU No. 33 Tahun 2004 memiliki dampak atau implikasi yang cukup besar terhadap perekonomian daerah pada umumnya. Salah satunya dengan adanya dana perimbangan, yang terdiri dari Dana Bagi Hasil, Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK). Melalui kebijakan bagi hasil sumber daya alam diharapkan daerah dan masyarakat setempat dapat lebih merasakan hasil dari sumberdaya alam yang dimiliki. Karena selama ini hasil sumber daya alam

261


INOVASI : Vol. 7. No. 4,

Desember 2010

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

pemerintah daerah (vertical imbalances) seperti masa pemerintahan Orde Baru juga hendak dihilangkan melalui mekanisme alokasi Dana Bagi Hasil Non Sumber Daya Alam dan Bagi Hasil Sumber Daya Alam yang besarnya telah ditetapkan oleh UU. Untuk kebutuhan khusus yang tidak dapat dicukupi dengan DAU misalnya bencana alam, dana darurat maka pemerintah pusat masih memberikan bantuan berupa Dana Alokasi Khusus (DAK).

1.

2.

Sampel dalam penelitian ini dibatasi pada Kabupaten/ Kota tertentu, yaitu 23 Kabupaten/ Kota di Provinsi Sumatera Utara. Hal ini menyebabkan hasil penelitian hanya berlaku untuk Kabupaten/ Kota yang menjadi sampel penelitian. PDRB yang digunakan adalah PDRB harga konstan.

Saran

Jumlah penduduk menentukan besarnya Dana Alokasi yang dikucurkan. Semakin besar jumlah penduduk maka proporsi jumlah DAU semakin besar dan sebaliknya. Mulai Tahun Anggaran 2006 variabel kebutuhan fiskal jumlah penduduk, dimasukkan sebagai unsur penentu besarnya jumlah DAU suatu daerah sesuai amanat UU No. 33/2004.

1.

Luas daerah mencerminkan luas Kota/Kabupaten per Km2. Indikator dari variabel ini adalah log luas daerah. Variabel ini diikutkan sebagai faktor yang mempengaruhi keberhasilan pemerintah daerah dalam pelaksanaan standar akuntansi pemerintah., Semakin luas daerah suatu pemerintahan maka akan semakin lambat dalam melaksanakan standar akuntansi pemerintah tersebut. Variabel ini dianggap sebagai variable kontrol karena populasi penelitian berbentuk kota dan kabupaten. Mulai Tahun Anggaran 2006 variabel kebutuhan fiskal luas wilayah dimasukkan sebagai unsur penentu besarnya jumlah DAU suatu daerah sesuai amanat UU No. 33/2004. Sedangkan Indeks Kemahalan Konstruksi merupakan indikator penentu besar kecilnya DAU sesuai dengan amanat UU No. 33/2004. Semakin besar indeks tersebut maka semakin besar DAU yang dikucurkan.

2.

Untuk penelitian selanjutnya disarankan agar lebih memperbanyak Kabupaten/ Kota yang akan diuji, sehingga akan diperoleh sampel yang banyak dan hasil yang lebih akurat. Selain memperbanyak, penelitian selanjutnya disarankan agar mengambil sampel Kabupaten/ Kota di Seluruh Indonesia. Ini dimaksudkan agar dapat menggeneralisasi hasil penelitian. Bagi peneliti selanjutnya untuk meneliti lebih lanjut faktor–faktor yang mempengaruhi dalam penyusunan Dana Alokasi Khusus, Dana Bagi Hasil dan Dana Dekosentrasi dari Pusat.

DAFTAR PUSTAKA Banful, Afua Branoah. 2010. Do Formula-Based Intergovernmental Transfer Mechanisms Eliminate Politically Motivated Targeting? Evidence from Ghana. Working Paper. Social Science Research Network. Borcherding, T.E. dan R.T. Deacon, .1972. “The Demand for the Services of Non-Federal Governments�, American Economic Review, 62(5), Desember: 891-901. Biro Pusat Statistik. www.bps.go.id

KESIMPULAN 1.

2.

Departemen Keuangan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan, Laporan APBD. www.djpk.depkeu.go.id.

Secara simultan Jumlah penduduk, Luas Wilayah, Indeks Pembangunan Manusia, Indeks Kemahalan Konstruksi, dan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Harga Konstan berpengaruh terhadap besarnya Dana Alokasi Umum Kabupaten/Kota Provinsi Sumatera Utara. Secara parsial Jumlah penduduk, Luas Wilayah, Indeks Pembangunan Manusia, Indeks Kemahalan Konstruksi berpengaruh terhadap besarnya Dana Alokasi Umum Kabupaten/Kota Provinsi Sumatera Utara.

Ghozali, Imam. 2005. Aplikasi Analisis Multivariat Dengan Program SPSS, Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang. Gaspersz, Vincent dan Esthon Foenay.2003. Kinerja Pendapatan Ekonomi Rakyat Dan Produktivitas Tenaga Kerja di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Jurnal Ekonomi Rakyat. Th. II - No. 8 - Nopember 2003. Holtz-Eakin, Doglas, Harvey S, & Schuyley Tilly. 1994. Intertempora Analysis of State An Local Government Spending: Theory and Tests. Journal of Urban Economics 35: 159-174.

Keterbatasan Penelitian Penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan yang memerlukan perbaikan dan pengembangan dalam penelitian-penelitian berikutnya. Keterbatasanketerbatasan dalam penelitian ini adalah :

Kuncoro, Mudrajat. 2004. Pembangunan Daerah

262

Otonomi dan : Reformasi,


INOVASI : Vol. 7. No. 4,

Desember 2010

Perencanaan, Strategi Penerbit Erlangga.

dan

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

Peluang.

Kadjatmiko. 2002. Dinamika Sumber Keuangan bagi Daerah dalam Rangka Otonomi Daerah, Prosiding Workshop International Implementasi Desentralisasi Fiskal sebagai Upaya Memberdayakan Daerah dalam Membiayai Pembangunan Daerah, FISIP Universitas Katolik Parahyangan, Bandung, hal 69. Pemerintah Provinsi Sumatera Utara, Kabupaten dan Kota di Provinsi Sumatera Utara,.2008, www.sumutprov.go.id. Panggabean dkk. 1999. Distribusi Dana Alokasi Umum (DAU). Konsep dan Formula Alokasi. (Usulan Kepada BAKD-BAKM, Departemen Keuangan Republik Indonesia). Kajian Inter-University Center for Economic Research University of Indonesia (IUCEconomics-UI). Disampaikan pada 31 Oktober 1999. Jakarta. _______,Undang-Undang No 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. _______, Undang-Undang No 33 Tentang Perimbangan Antara Pusat dan Daerah. Wong, John D. 2004. The Fiscal Impact of Economic Growth and Development on Local Government Capacity, Journal of Public Budgeting, Accounting and Financial Management. Fall. 16.3. Hal : 413-423.

263


INOVASI : Vol. 7. No. 4,

Desember 2010

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

Analisis Alternatif Kebijakan Pemberdayaan UMKM Muhammad Ishak 1) 1)

Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Medan

Abstraksi Pertumbuhan UMKM di Sumatera Utara hingga saat ini masih menghadapi berbagai permasalahan, yang disebabkan oleh berbagai kebijakan yang masih belum mampu mendorong ke arah yang lebih baik. Makalah ini akan memberikan gambaran tentang seberapa efektifkah implementasi kebijakan pengembangan UMKM yang telah ditempuh oleh pemerintah.

Kata kunci : Kebijakan, pemberdayaan UMKM. perlunya pemberdayaaan ekonomi rakyat yang kemudian berkembang menjadi isu untuk membangun sistem perekonomian yang bercorak kerakyatan.

PENDAHULUAN Dalam perspektif dunia usaha, sudah diakui bahwa usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) memainkan suatu peran yang sangat vital di dalam pembangunan dan pertumbuhan ekonomi, tidak hanya di negara-negara sedang berkembang tetapi juga di negara-negara maju. Di negara-negara maju, UMKM sangat penting karena kelompok usaha tersebut menyerap paling banyak tenaga kerja tetapi juga di banyak negara kontribusinya terhadap pembentukan atau pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) paling besar dibandingkan kontribusi dari usaha besar. Menurut Aharoni (1994), jumlah UMKM sedikit di atas 98% dari jumlah unit usaha di negara Amerika. Perusahaan-perusahaan tersebut merupakan inti dari basis industri di Amerika. UMKM juga sangat penting di banyak negara di Eropa, khususnya Eropa Barat. Di Belanda, misalnya, jumlah UMKM sekitar 95% dari jumlah perusahaan di negara kicir angin tersebut (Bijmolt dan Zwart, 1994). Seperti di AS, juga di negaranegara industri maju lainnya yang tergabung dalam OECD seperti Jepang, Jerman, Perancis dan Kanada, UMKM merupakan motor penting dari pertumbuhan ekonomi dan progres teknologi (Thornburg, 1993).

Hasil dari banyak studi empiris hingga saat ini menunjukkan bahwa rendahnya kontribusi UMKM terhadap ekonomi di NSB disebabkan oleh sejumlah faktor, yang bisa dikelompokkan ke dalam dua kategori, yakni faktor-faktor internal dan faktor-faktor eksternal. Faktor-faktor internal diantaranya adalah tingkat pendidikan atau keahlian pekerja dan pengusaha yang rendah, tingkat kewirausahaan yang rendah, kekurangan modal, dan lain-lain. Sedangkan faktor ekternal yang termasuk penting adalah kebijakan pemerintah yang tidak memihak UMKM atau yang, secara sengaja atau tidak, menciptakan distorsi terhadap UMKM. Semua ini menyebabkan daya saing UMKM yang rendah. Di Sumatera Utara, UMKM tampaknya juga hingga saat ini masih menghadapi berbagai permasalahan, yang antara lain disebabkan oleh kebijakankebijakan yang masih belum mampu mendorong tumbuh kembangnya UMKM ke arah yang lebih baik. Mungkin sejumlah program pengembangan UMKM dari pemerintah selama ini cukup baik, namun kebijakan ekonomi makro atau sektoral sering kali menghilangkan dampak positif dari program-program tersebut.

Pada sisi lainnya, sejak era orde baru masalah kemiskinan, pengangguran dan kesenjangan kesejahteraan merupakan masalah pelik yang menjadi kendala dalam rangka mengoptimalkan pemanfaatan potensi sumberdaya masyarakat. Kondisi ini menjadi indikator bahwa masyarakat banyak belum berperan sebagai subyek dalam pembangunan. Menjadikan rakyat sebagai subyek pembangunan dapat dalam bentuk pemberian hak untuk berpartisipasi dalam pembentukan dan pembangian produksi. Untuk sampai pada tujuan tersebut, rakyat perlu dibekali modal material dan mental. Indikator ini juga telah menginspirasikan

Restrukturisasi ekonomi dengan sasaran menggerakan ekonomi rakyat sesungguhnya bukan lagi dijadikan sebagai wacana, tetapi telah teraktualkan. Swasono dalam Nasution (1999) menyatakan “Hubungan perekonomian sejak zaman kolonial sampai hingga sekarang tercatat penuh dengan ketimpangan stuktural, antara lain berwujud Economic slavery, berlakunya Poenale sanctie, Cultuur stelsel, berlakunya hubungan

264


INOVASI : Vol. 7. No. 4,

Desember 2010

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

Toean-hamba, Hubungan Taouke-kuli sampai kehubungan kerja inti plasma. Hubunganhubungan yang demikian itu, akan menghapus peran masyarakat luar di dalam pembangunan ekonomi.

ekonomi, berbagai penghalang bagi terjadinya persaingan yang sehat akan dapat dapat terus dikurangi. Pasar internasional akan memaksa dibukanya berbagai bentuk proteksi terhadap segmen industri tertentu dan pada saat yang sama industri domestik akan semakin berorientasi pada ekspor. Apabila dikelola dengan baik, kecenderungan ini tentunya akan memacu pertumbuhan ekonomi yang cepat. Ketiga, globalisasi akan merangsang para pelaku usaha domestik untuk melakukan inovasi melalui aktivitas investasi dan perdagangan internasional. Tidak dapat dinafikan bahwa pembukaan pasar modal secara internasional, akan membuat para pelaku usaha semakin memahami cara-cara berbisnis secara profesional dengan peluang untuk mendapatkan dana segar dari sumber-sumber internasional.

Berdasar pada pembahasan di atas maka pertanyaan-pertanyaan penting dari makalah ini adalah : seberapa efektifkah implementasi kebijakan pengembangan UMKM yang telah ditempuh oleh pemerintah? Apakah langkah-langkah dan implementasi tersebut sudah tepat? Apakah ada jalan alternatif yang bisa ditempuh oleh pemerintah agar kebijakan-kebijakan yang diambil bisa lebih efektif, di tengah tantangan gejolak ekonomi dunia, otonomi daerah dan desentralisasi?

PERUBAHAN LINGKUNGAN STRATEJIK : GLOBALISASI DAN LIBERALISASI PERDAGANGAN

Akan tetapi globalisasi juga akan membawa pengaruh buruk apabila para pelaku usaha, dalam hal ini kebanyakan koperasi dan UMKM, belum siap untuk bersaing. Globalisasi mengandung konsekuensi terbukanya pasar domestik terhadap segala macam produk barang dan jasa dari luar negeri (Stiglitz, 2003). Akibatnya, produk-produk koperasi dan UMKM yang tidak kompetitif tentu tidak akan laku lagi di pasar domestik yang selama ini merupakan pangsa pasar utamanya. Pengaruh inilah yang semestinya diantisipasi oleh pemerintah agar koperasi dan UMKM yang menjadi tumpuan dari banyak tenaga-kerja baru tidak semakin terpuruk di pasar domestik.

Secara umum globalisasi mengandung arti terbukanya ekonomi nasional bagi pengaruh negaranegara lain di seluruh dunia sejalan dengan kecenderungan terciptanya sebuah tata ekonomi dunia yang terbuka. Selanjutnya liberalisasi berarti pembebasan aktivitas ekonomi internasional dari segala bentuk hambatan yang ditetapkan melalui kebijakan nasional, baik berupa hambatan tarif maupun non-tarif. Untuk konteks di Sumatera Utara, pengaruh globalisasi tampak dari kerangka kebijakan pemerintah seperti: 1. Penerapan sistem yang cenderung protektif 2. Kebijakan investasi yang membuka diri bagi masuknya modal asing, 3. Transfer teknologi dari luar negeri yang terus didorong oleh pemerintah, dan 4. Pengembangan dan perluasan fungsi pasar yang ada.

Selanjutnya, implementasi kebijakan liberalisasi perdagangan pada umumnya mengambil tiga bentuk, yaitu: 1. Penghapusan tarif, 2. Dukungan pemerintah pada industri berorientasi ekspor, dan 3. Keikutsertaan pemerintah dalam berbagai kerjasama wilayah perdagangan seperti AFTA, APEC dan WTO. 4. Argumentasi pokok dari kebijakan liberalisasi ialah bahwa kebijakan ini akan meningkatkan arus barang dan jasa secara bebas di seluruh dunia.

Harus diakui bahwa globalisasi dapat membawa pengaruh positif bagi iklim bisnis di dalam negeri. Pengaruh positif ini yang semestinya terus didorong oleh pemerintah dalam pengembangan bisnis berskala besar maupun kecil. Setidaknya ada tiga pengaruh positif yang dihasilkan dari globalisasi atau terbukanya sistem ekonomi di Sumatera Utara. Pertama, terciptanya tekanan dari pasar internasional sehingga pasar di dalam negeri dipaksa untuk semakin efisien dan kompetitif. Dengan membuka diri terhadap pasar internasional, para pengusaha Sumatera Utara akan mendapat tantangan langsung untuk menciptakan produkproduk barang maupun jasa yang lebih baik kualitasnya dengan harga yang lebih murah. Dengan demikian, efisiensi dan produktivitas akan menjadi kata kunci bagi pasar internasional yang semakin kompetitif. Kedua, globalisasi mendorong terjadinya perubahan struktur industri domistik Sumatera Utara. Dengan terbukanya sistem

Jika kemudahan dapat dimanfaatkan oleh semua pelaku usaha di seluruh Sumatera Utara, maka kemakmuran ekonomi masyarakat Sumatera Utara akan dapat meningkat dengan lebih mudah. Masalahnya adalah bahwa cita-cita untuk mewujudkan arus barang dan jasa secara bebas itu seringkali tidak tercapai. Komitmen nasional untuk membuka pasar domestik acapkali tidak disertai dengan komitmen yang sama oleh negara lain, termasuk oleh negara-negara maju yang posisi ekonominya lebih baik. Di balik banyak perjanjian pasar bebas, ternyata masih terdapat keinginan kuat

265


INOVASI : Vol. 7. No. 4,

Desember 2010

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

dari negara-negara maju untuk memproteksi ekonomi mereka sendiri. Sebagai contoh, produkproduk pertanian dari negara berkembang seringkali dihambat masuk ke negara-negara maju dengan menerapkan kebijakan eco-labeling. Itulah sebabnya, ajang internasional untuk perjanjian perdagangan bebas seringkali gagal untuk mempertemukan kepentingan negara-negara berkembang dengan negara-negara maju.

terhadap usaha memberdayakan UMKM, karena sampai dengan akhir tahun 2006 BPS menginformasikan bahwa 48,258 juta, atau 99,99 % unit usaha yang ada di Indonesia tergolong dalam kelompok (UMKM). Kelompok usaha ini mampu menyerap tenaga kerja lebih kurang 87 % dari jumlah tenaga kerja produktif yang tersedia. Sedangkan sumbangannya terhadap PDB mencapai 54 %. Data tersebut mengindikasikan bahwa pada dasarnya UMKM merupakan kelompok usaha yang memiliki potensi besar untuk mengatasi masalah kemiskinan dan pengangguran. Keunggulan UMKM dalam hal ini, dimungkinkan karena adanya beberapa karakter spesifik UMKM yang diantaranya adalah: 1. Sebagian besar usaha UMKM merupakan kegiatan padat karya, yang banyak memanfaat sumberdaya lokal; 2. Selang waktu produksi (time lag) relatif singkat, atau produksi dapat dilakukan secara cepat; 3. Nilai ICOR kegiatan kegiatan KUMKM relatif rendah.

Oleh sebab itu, strategi jangka menengah pemerintah Indonesia khususnya Pemerinah Sumatera Utara, hendaknya tidak hanya terpaku pada semua perjanjian perdagangan internasional tanpa memperhatikan para pelaku bisnis kecil, UMKM. Terhadap hal ini, Stiglitz (2003) mengatakan bahwa fenomena keajaiban ekonomi sebelum terjadinya krisis di Asia Tenggara didukung oleh “adanya lingkungan yang berorientasi pada mekanisme pasar, namun tetap mengakui adanya campur-tangan pemerintah secara aktif sehingga memungkinkan transfer teknologi dengan baik�. Di sisi lain, dampak buruk dari globalisasi dan liberalisasi hendaknya dapat diminimalisasi dengan kebijakan-kebijakan strategis yang berpihak kepada UMKM. Jangan sampai UMKM dibiarkan berjalan sendiri tanpa peningkatan daya-saing dan promosi yang memadai. Diperlukan strategi yang komprehensif agar duta-duta ekonomi pemerintah dapat merebut pasar internasional dengan memperkenalkan produk-produk UMKM melalui etalase dagang atau berbagai bentuk pameran berskala internasional. Hendaknya disadari bahwa ajang promosi internasional jangan hanya menjadi milik para pelaku usaha berskala besar sehingga produk-produk menarik dari UMKM tidak kunjung dikenal di pasar internasional.

Di samping memiliki keunggulan yang sangat prospektif di atas, UMKM juga menghadapi permasalahan yang tidak sedikit. Pemberdayaan UMKM sampai sekarang ini masih bergelut pada masalah-masalah klasik seperti kesulitan akses terhadap permodalan, pasar, teknologi dan informasi. Masalah rendahnya kualitas SDM UMKM, masalah belum optimalnya fungsi lembaga pemberdayaan UMKM dan masalah iklim usaha yang belum sepenuhnya berpihak kepada UMKM. Kondisi yang demikian menyebabkan upaya-upaya yang dilakukan oleh UMKM sendiri terlihat masih berjalan ditempat. Memang cukup berat tantangan yang dihadapi untuk memperkuat struktur perekonomian. Pembinaan pengusaha kecil harus lebih diarahkan untuk meningkatkan kemampuan pengusaha kecil menjadi pengusaha menengah. Namun, disadari pula bahwa pengembangan usaha kecil menghadapi beberapa kendala seperti tingkat kemampuan, keterampilan, keahlian, manajemen sumber daya manusia, kewirausahaan, pemasaran dan keuangan. Lemahnya kemampuan manajerial dan sumberdaya manusia ini mengakibatkan pengusaha kecil tidak mampu menjalankan usahanya dengan baik. Secara lebih spesifik, masalah dasar yang dihadapi pengusaha kecil adalah: 1. Kelemahan dalam memperoleh peluang pasar dan memperbesar pangsa pasar. 2. Kelemahan dalam struktur permodalan dan keterbatasan untuk memperoleh jalur terhadap sumber-sumber permodalan. 3. Kelemahan di bidang organisasi dan manajemen sumber daya manusia. 4. Keterbatasan jaringan usaha kerjasama antar pengusaha kecil (sistem informasi pemasaran).

Strategi lain yang harus ditempuh ialah terus mengkampanyekan kecintaan terhadap produkproduk dalam negeri, khususnya yang dihasilkan oleh UMKM. Masuknya produk-produk dari negara Cina dan India yang berkualitas baik dengan harga murah harus diimbangi dengan upaya untuk melindungi para produsen dalam negeri yang sesungguhnya masih sangat potensial apabila disertai dengan kebijakan pemerintah yang tepat. Pemberdayaan dan pengembangan UMKM akan membantu perekonomian Sumatera Utara supaya tidak tergantung kepada pihak lain. Oleh sebab itu kampanye produk dalam negeri dan pemberdayaan UMKM hendaknya masih tetap merupakan program prioritas dalam jangka menengah.

POTENSI DAN PERMASALAHAN DALAM OPTIMALISASI UMKM Berbicara masalah menggerakkan ekonomi rakyat sesungguhnya tidak terlepas dari pembicaraan

266


INOVASI : Vol. 7. No. 4,

5.

Desember 2010

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

Iklim usaha yang kurang kondusif, karena persaingan yang saling mematikan. Keenam, pembinaan yang telah dilakukan masih kurang terpadu dan kurangnya kepercayaan serta kepedulian masyarakat terhadap usaha kecil.

STRATEJIK DAN KEBIJAKAN PEMBERDAYAAN UMKM Berdasar berbagai pemikiran dan kondisi Provinsi Sumatera Utara yang ada, maka Strategi pemberdayaan yang akan dan telah diupayakan selama ini dapat diklasifikasikan dalam: 1. Aspek managerial, yang meliputi: peningkatan produktivitas/omset/ tingkat utilisasi/tingkat hunian, meningkatkan kemampuan pemasaran, dan pengembangan sumberdaya manusia. 2. Aspek permodalan, yang meliputi: bantuan modal (penyisihan 1-5% keuntungan BUMN dan kewajiban untuk menyalurkan kredit bagi usaha kecil minimum 20% dari portofolio kredit bank) dan kemudahan kredit (KUPEDES, KUK, KIK, KMKP, KCK, Kredit Mini/Midi, KKU) yang controllable dan evaluationable. 3. Mengembangkan program kemitraan dengan besar usaha baik lewat sistem Bapak-Anak Angkat, PIR, keterkaitan hulu-hilir (forward linkage), keterkaitan hilir-hulu (backward linkage), modal ventura, ataupun subkontrak. 4. Pengembangan sentra industri kecil dalam suatu kawasan apakah berbentuk PIK (Pemukiman Industri Kecil), LIK (Lingkungan Industri Kecil), SUIK (Sarana Usaha Industri Kecil) yang didukung oleh UPT (Unit Pelayanan Teknis) dan TPI (Tenaga Penyuluh Industri). 5. Pembinaan untuk bidang usaha dan daerah tertentu lewat KUB (Kelompok Usaha Bersama), KOPINKRA (Koperasi Industri Kecil dan Kerajinan).

Secara garis besar, tantangan yang dihadapi UMKM dapat dibagi dalam dua kategori: Pertama, bagi pengusaha kecil dengan omset kurang dari Rp 50 juta umumnya tantangan yang dihadapi adalah bagaimana menjaga kelangsungan hidup usahanya. Bagi mereka, umumnya asal dapat berjualan dengan “aman�, sudah cukup. Mereka umumnya tidak membutuhkan modal yang besar untuk ekspansi produksi; biasanya modal yang diperlukan sekedar membantu kelancaran cashflow saja. Bisa dipahami bila kredit dari BPRBPR, BKK, TPSP (Tempat Pelayanan Simpan Pinjam-KUD) amat membantu modal kerja mereka. Kedua, bagi PK dengan omset antara Rp 50 juta hingga Rp 1 milyar, tantangan yang dihadapi jauh lebih kompleks. Umumnya mereka mulai memikirkan untuk melakukan ekspansi usaha lebih lanjut. Berdasarkan pengamatan Pusat Konsultasi Pengusaha Kecil UGM, urutan prioritas permasalahan yang dihadapi oleh PK jenis ini adalah (Kuncoro, 1997): 1. Masalah belum dipunyainya sistem administrasi keuangan dan manajemen yang baik karena belum dipisahkannya kepemilikan dan pengelolaan perusahaan; 2. Masalah bagaimana menyusun proposal dan membuat studi kelayakan untuk memperoleh pinjaman baik dari bank maupun modal ventura karena kebanyakan PK mengeluh berbelitnya prosedur mendapatkan kredit, agunan tidak memenuhi syarat, dan tingkat bunga dinilai terlalu tinggi; 3. Masalah menyusun perencanaan bisnis karena persaingan dalam merebut pasar semakin ketat; 4. Masalah akses terhadap teknologi terutama bila pasar dikuasai oleh perusahaan/grup bisnis tertentu dan selera konsumen cepat berubah; 5. Masalah memperoleh bahan baku terutama karena adanya persaingan yang ketat dalam mendapatkan bahan baku, bahan baku berkulaitas rendah, dan tingginya harga bahan baku; 6. Masalah perbaikan kualitas barang dan efisiensi terutama bagi yang sudah menggarap pasar ekspor karena selera konsumen berubah cepat, pasar dikuasai perusahaan tertentu, dan banyak barang pengganti; 7. Masalah tenaga kerja karena sulit mendapatkan tenaga kerja yang terampil.

Harus diakui telah cukup banyak upaya pembinaan dan pemberdayaan usaha kecil yang dilakukan oleh lembaga-lembaga yang concern dengan pengembangan UMKM. Hanya saja, upaya pembinaan UMKM tersebut sering tumpang tindih dan dilakukan sendiri-sendiri. Perbedaan persepsi mengenai usaha kecil ini pada gilirannya menyebabkan pembinaan usaha kecil masih terkotak-kotak atau sector oriented, di mana masing-masing instansi pembina menekankan pada sektor atau bidang binaannya sendiri-sendiri. Akibatnya terjadilah dua hal: (1) ketidakefektifan arah pembinaan; (2) tiadanya indikator keberhasilan yang seragam, karena masing-masing instansi pembina berupaya mengejar target dan sasaran sesuai dengan kriteria yang telah mereka tetapkan sendiri. Karena egoisme sektoral/departemen, dalam praktek sering dijumpai terjadinya "persaingan" antar organisasi pembina. Bagi pengusaha kecil pun, mereka sering mengeluh karena hanya selalu dijadikan "obyek" binaan tanpa ada tindak lanjut atau pemecahan masalah mereka secara langsung.

267


INOVASI : Vol. 7. No. 4,

Desember 2010

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

lembaga untuk mengembangkan UMKM dengan tanpa berseberangan dengan UMKM itu sendiri. Operasionalisasi antar lembaga tersebut, walaupun sulit dilaksanakan namun bukanlah sesuatu yang tidak mungkin untuk diwujudkan.

Dalam konteks inilah, usulan Assauri (1993) untuk mengembangkan inter organizational process dalam pembinaan usaha kecil menarik untuk kita simak. Dalam praktek, struktur jaringan dalam kerangka organisasi pembinaan usaha kecil semacam ini dapat dilakukan dalam bentuk inkubator bisnis dan PKPK (Pusat Konsultasi Pengusaha Kecil). PKPK adalah ide dari Departemen Koperasi dan PPK, yang diharapkan dapat berfungsi sebagai wadah pengembangan pengusaha kecil menjadi tangguh dan atau menjadi pengusaha menengah melalui kerjasama dengan perguruan tinggi dan koordinasi antar instansi.

Tabel 1. Kerjasama Antar SKPD Untuk Peningkatan UMKM Lembaga Pendukung 1. Pemerintah 1. Bappeda

2. Dinas Kop & UMKM

3. Indag

4. Tenaga Kerja 4. Sosisal 5. Tata Kota Lembaga Swadaya Masyarakat Lembaga-lembaga Swasta

Lembaga-Lembaga Lain Perguruan Tinggi

Asosiasi-asosiasi

Peran Lembaga

Prog / Keg. yang Memungkinkan

Merencanakan dan mengevaluasi pembangunan dengan titik berat pada peningkatan kesejahteraan. Perumus dan koordinator atas Kebijakan Pengembangan UMKM Perumusan kebijakan implementasi program dan penyediaan fasilitas Perumusan kebijakan ketenaga kerjaan Perumusan kebijakan penanggulangan kemiskinan Perumusan kebijakan Lokasi pelaku UMKM

Pemetaan dan disain standar kinerja masing-masing lembaga pemerintah terkait UMKM Peningkatan SDM konsultansi Pengembang UMKM

Sebagai mitra pemerintah dalam meningkatkan kinerja pelaku UMKM

Menjembatani kepentingan pelaku UMKM dan pihak-pihak terkait

Melakukan riset-riset yang guna membangun teknologi dan SDM yang diperlukan bagi UMKM Membantu / mendukung /apresiatif atas pengambangan UMKM melalui seperti evaluasi, monitoring, terlibat dalam kegiatan UMKM, dll

Penelitian dan pelatihan dalam cakupan UMKM

Sebagai sebuah ilustrasi peran-peran yang memungkinkan untuk dimainkan oleh lembagalembaga yang terkait dengan pengembangan UMKM, dapat dilihat pada tabel berikut. Peran dan program ataupun kegiatan yang mengkin dilakukan oleh masing-masing lembaga adalah sebuah contoh saja. Artinya, peran dan program yang ada di setiap lembaga, merupakan bagian dari tugas pokok dan fungsi setiap lembaga.

Diklat, Peningkatan Pelayanan, Pelayanan informasi dan konsultansi, serta program Bapak angkat Pelatihan / workshop di lingkungan pekerja pemula untuk kewirausahaan Sosialisasi penanggulangan kemiskinan Mengkaji dan merancang kelayakan lokasi UMKM

Memediasi pertemuan antar lembaga

DAFTAR PUSTAKA Aharoni, Y. (1994), “How Small Firms Can Achieve Competitive Advantages in an Interdependent World�, in T. Agmon and R. Drobbnick (eds.), Small Firms in Global Competition, N.Y.: Oxford University Press. Assauri, Sofjan (1993), "Interorganizational Process Dalam Pembinaan Pengusaha Ekonomi Lemah", Manajemen dan Usahawan Indonesia, no.6, tahun XXII, Juni.

Tabel di atas, merupakan sebuah gambaran tentang kesinerjian antara lembaga baik pemerintah, swasta, maupun perguruan tinggi dan lembaga swadaya masyarakat yang operasional masing-masing

268


INOVASI : Vol. 7. No. 4,

Desember 2010

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

Bijmolt, T. and P.S. Zwart (1994), “The Impact of Internal Factors on Export Success of Dutch Small and Medium-Sized Firms”, Journal of Small Business Management, 32(2). Kuncoro, Mudrajad, (1997), Pengembangan Industri Pedesaan Melalui Koperasi dan Usaha Kecil: Suatu Studi Kasus di Kalimantan Timur", Analisis CSIS, XXVI, no.1. Stiglitz, J., (2003), Globalization and Its Discontents, W. W. Norton & Company, New York, 2003 Tambunan, Tulus Tahi Hamongangan (2006), Development of Small & Medium Enterprises in Indonesia from the AsiaPacific Perspective, Jakarta: LPFE-Usakti. Thornburg, L. (1993), “IBM agent’s of Influence”, Human Resource Magazine, 38(2)

269


INOVASI : Vol. 7. No. 4,

Desember 2010

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

Analisis Kebijakan Ketahanan Pangan OK. Sofyan Hidayat1) 1)

Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Medan

Abstraksi Peningkatan jumlah penduduk dan keutuhan akan kualitas pangan, menjadi dasar logis atas kajian untuk menganalisis kebijakan pangan baik di level pusat maupun daerah. Banyak kebijakan yang telah dikeluarkan oleh pemerintah namun masih saja menemukan berbagai hambatan dan kendala yang akhirnya membuat kebijakan tersebut, belum menghasilkan hasil yang diharapkan. Indonesia yang penduduk terbesarnya ada di pedesaan, maka mengenali secara tepat dan benar atas masalah penduduk di pedesaan, menjadi suatu tuntutan sebelum membicarakan masalah ketahanan pangan. Sebab, selain penduduk di Indonesia lebih didominasi oleh penduduk di daerah pedesaan, juga dikarenakan mayoritas penduduk berpenghasilan dari sektor industri pertanian.

Kata kunci : Ketahanan pangan dan kebijakan sehingga dunia surplus pangan, tetapi mengapa banyak orang yang masih kelaparan (Barichello, 2000). Tulisan ini dimaksudkan untuk melihat/meninjau kembali kebijakan ketahanan pangan, sebab masih banyaknya permasalahan ketahanan pangan dan pengertian yang terkait dengan ketahanan pangan tersebut yang masih perlu didiskusikan kembali. Tidak hanya masalah pangan, hal lain yang terkait, juga menjadi perhatian seperti masalah “desa�, tempat produksi pangan.

PENDAHULUAN Indonesia memiliki sumber daya yang cukup untuk menjamin ketahanan pangan bagi penduduknya. Indikator ketahanan pangan yang ada, juga menggambarkan suatu kondisi yang cukup baik. Akan tetapi, masih banyak penduduk Indonesia yang belum mendapatkan kebutuhan pangan yang mencukupi. Sekitar tiga puluh persen rumah tangga mengatakan bahwa konsumsi mereka masih berada di bawah kebutuhan konsumsi yang semestinya. Lebih dari seperempat anak usia di bawah 5 tahun memiliki berat badan di bawah standar, dimana 8 % berada dalam kondisi sangat buruk. Bahkan sebelum krisis, sekitar 42% anak dibawah umur 5 tahun mengalami gejala terhambatnya pertumbuhan (kerdil); suatu indikator jangka panjang yang cukup baik untuk mengukur kekurangan gizi. Gizi yang buruk dapat menghambat pertumbuhan anak secara normal, membahayakan kesehatan ibu dan mengurangi produktivitas angkatan kerja. Ini juga mengurangi daya tahan tubuh terhadap penyakit pada penduduk yang berada pada kondisi kesehatan yang buruk dan dalam kemiskinan.

Beragam pengertian mengenai desa rural telah dikemukakan oleh pakar-pakar pembangunan. Terdapat banyak perbedaan pendapat meskipun dari latar belakang bidang penelitian yang sama. Dari beberapa pengertian tersebut, dapat kita lihat bahwa pengertian desa itu ternyata mengandung kompleksitas yang saling berkaitan satu sama lain diantara unsur-unsurnya, yang sebenarnya desa masih dianggap sebagai standar dan pemelihara sistem kehidupan bermasyarakat dan kebudayaan asli seperti tolong menolong, paguyuban, persaudaraan, gotong royong, kepribadian dalam berpakaian, adat istiadat, kesenian kehidupan moral susila dan lain-lain yang mempunyai ciri yang jelas.

Di tahun 1987, World Commision on Environment and Development (WCED) menyerukan perhatian pada masalah besar dan tantangan yang dihadapi oleh dunia pertanian. Jika kebutuhan pangan saat ini dan mendatang harus terpenuhi, dan perlunya suatu pendekatan baru untuk pengembangan pertanian, dan pada beberapa tahun terakhir ini perhatian dunia terhadap ketahanan pangan dirasakan semakin meningkat, karena pangan merupakan kebutuhan dasar yang permintaannya terus meningkat seiring dengan perkembangan jumlah penduduk dunia. Pangan diproduksi secara luas

DEFINISI KETAHANAN PANGAN Dari perspektif sejarah istilah ketahanan pangan (food security) muncul dan dibangkitkan karena kejadian krisis pangan dan kelaparan. Istilah ketahanan pangan dalam kebijakan pangan dunia pertama kali digunakan pada tahun 1971 oleh PBB untuk membebaskan dunia terutama negara–negara berkembang dari krisis produksi dan suplay makanan pokok.

270


INOVASI : Vol. 7. No. 4,

Desember 2010

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

Fokus ketahanan pangan pada masa itu menitik beratkan pada pemenuhan kebutuhan pokok dan membebaskan daerah dari krisis pangan yang nampak pada definisi ketahanan pangan oleh PBB sebagai berikut: food security is availability to avoid acute food shortages in the event of wide spread coop vailure or other disaster (Syarief, et al., 1999). Selanjutnya definisi tersebut disempurnakan pada Internasional Conference of Nutrition 1992 yang disepakati oleh pimpinan negara anggota PBB sebagai berikut: tersedianya pangan yang memenuhi kebutuhan setiap orang baik dalam jumlah dan mutu pada setiap saat untuk hidup sehat, aktif dan produktif.

b.

Di Indonesia, secara formal dalam dokumen perencanaan pembangunan nasional, istilah kebijakan dan program ketahanan pangan diadop sejak tahun 1992 (Repelita VI) yang definisi formalnya dicantumkan dalam undang-undang pangan tahun 1996. Dalam pasal 1 undang-undang pangan tahun 1996, ketahanan pangan didefinisikan sebagai kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup baik jumlah maupun mutunya, merata dan terjangkau (http://www.theceli.com/dokumen/ produk/1996/uu7-1996.htm). Definisi ini menunjukkan bahwa target akhir dari ketahanan pangan adalah pada tingkat rumah tangga.

2.

Stabilitas ketersediaan pangan tanpa fluktuasi dari musim ke musim atau dari tahun ke tahun

Stabilitas ketersediaan pangan di tingkat rumah tangga diukur berdasarkan kecukupan ketersediaan pangan dan frekuensi makan anggota rumah tangga dalam sehari. Satu rumah tangga dikatakan memiliki stabilitas ketersediaan pangan jika mempunyai persediaan pangan diatas cutting point (240 hari untuk Provinsi Lampung dan 360 hari untuk Provinsi NTT) dan anggota rumah tangga dapat makan 3 (tiga) kali sehari sesuai dengan kebiasaan makan penduduk di daerah tersebut.

Banyak definisi tentang ketahanan pangan, sering samar-samar dan kadang-kadang antara satu definisi dengan definisi yang lain kontradiktif (Barichello, 2000). Walaupun definisi ketahanan dan kerawanan pangan dari beberapa literatur dapat dilihat pada Lampiran dan berbeda-beda adanya, namun merujuk pada UU RI No. 7 tahun 1996, yang mengadopsi definisi dari FAO, ada 4 komponen yang harus dipenuhi untuk mencapai kondisi ketahanan pangan yaitu: 1.

makanan pokok cukup/tidak cukup. Penetapan cutting point ini didasarkan pada panen padi yang dapat dilakukan selama 3 kali dalam 2 tahun. Pada musim kemarau, dengan asumsi ada pengairan, penduduk dapat musim tanam gadu, yang berarti dapat panen 2 kali dalam setahun. Tahun berikutnya, berarti musim tanam rendeng, dimana penduduk hanya panen 1 kali setahun karena pergantian giliran pengairan. Demikian berselang satu tahun penduduk dapat panen padi 2 kali setahun sehingga rata-rata dalam 2 tahun penduduk panen padi sebanyak 3 kali. Di daerah dengan jenis makanan pokok jagung (seperti Provinsi Nusa Tenggara Timur) digunakan batas waktu selama 365 hari sebagai ukuran untuk menentukan apakah rumah tangga mempunyai ketersediaan pangan cukup/tidak cukup. Ini didasarkan pada masa panen jagung di daerah yang hanya panen, satu kali dalam setahun.

Dengan asumsi bahwa di daerah tertentu masyarakat mempunyai kebiasaan makan 3 (tiga) kali sehari, frekuensi makan sebenarnya dapat menggambarkan keberlanjutan ketersediaan pangan dalam rumah tangga. Dalam satu rumah tangga, salah satu cara untuk mempertahankan ketersediaan pangan dalam jangka waktu tertentu adalah dengan mengurangi frekuensi makan atau mengkombinasikan bahan makanan pokok (misal beras dengan ubi kayu). Penelitian yang dilakukan PPK-LIPI di beberapa daerah di Jawa Barat juga menemukan bahwa mengurangi frekuensi makan merupakan salah satu strategi rumah tangga untuk memperpanjang ketahanan pangan mereka (Raharto, 1999; Romdiati, 1999).

Kecukupan dan Ketersediaan Pangan

Ketersediaan pangan dalam rumah tangga yang dipakai dalam pengukuran mengacu pada pangan yang cukup dan tersedia dalam jumlah yang dapat memenuhi kebutuhan konsumsi rumah tangga. Penentuan jangka waktu ketersediaan makanan pokok di perdesaan (seperti daerah penelitian) biasanya dilihat dengan mempertimbangkan jarak antara musim tanam dengan musim tanam berikutnya (Suharjo et al., 2009). Perbedaan jenis makanan pokok yang dikomsumsi antara dua daerah membawa implikasi pada penggunaan ukuran yang berbeda, seperti cotoh berikut ini. a. Di daerah dimana penduduknya mengkonsumsi beras sebagai makanan pokok (seperti Provinsi Sumatera Utara) digunakan cutting point 240 hari sebagai batas untuk menentukan apakah suatu rumah tangga memiliki persediaan

Penggunaan frekuensi makan sebanyak 3 kali atau lebih sebagai indikator kecukupan makan didasarkan pada kondisi nyata di desa-desa (berdasarkan penelitian PPK-LIPI), dimana rumah tangga yang memiliki persediaan makanan pokok ‘cukup’ pada umumnya makan sebanyak 3 kali per hari. Jika mayoritas rumah tangga di satu desa, misalnya, hanya makan dua kali per hari, kondisi ini

271


INOVASI : Vol. 7. No. 4,

Desember 2010

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

semata-mata merupakan suatu strategi rumah tangga agar persediaan makanan pokok mereka tidak segera habis, karena dengan frekuensi makan tiga kali sehari, kebanyakan rumah tangga tidak bisa bertahan untuk tetap memiliki persediaan makanan pokok hingga panen berikutnya. 3.

M E M B A N G U N KETAHANAN PANGAN Dalam undang-undang RI Nomor 7 tahun 1996 disebutkan bahwa ke-tahanan pangan merupakan kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau. Pe-ngembangan ketahanan pangan mempunyai perspektif pembangunan yang sangat mendasar karena: 1. Akses terhadap pangan dengan gizi seimbang bagi segenap rakyat Indonesia merupakan hak yang paling azasi bagi manusia. 2. Keberhasilan dalam pengembangan kualitas sumber daya manusia sangat ditentukan oleh keberhasilan pemenuhan kecukupan dan konsumsi pangan dan gizi. 3. Ketahanan pangan merupakan basis atau pilar utama dalam mewujudkan ketahanan ekonomi dan ketahanan nasional yang berkelanjutan (Anonymous, 2001).

Aksesibilitas/keterjangkauan terhadap pangan

Indikator aksesibilitas/keterjangkauan dalam pengukuran ketahanan pangan di tingkat rumah tangga dilihat dari kemudahan rumahtangga memperoleh pangan, yang diukur dari pemilikan lahan (misal sawah untuk provinsi Lampung dan ladang untuk provinsi NTT) serta cara rumah tangga untuk memperoleh pangan. Akses yang diukur berdasarkan pemilikan lahan dikelompokkan dalam 2 (dua) kategori: • Akses langsung (direct access), jika rumah tangga memiliki lahan sawah/ladang. • Akses tidak langsung (indirect access) jika rumah tangga tidak memiliki lahan sawah/ ladang. 4.

Ketahanan pangan merupakan suatu sistem yang terintegrasi yang terdiri atas berbagai subsistem. Subsistem utamanya adalah ketersediaan pangan, distribusi pangan dan konsumsi pangan. Terwujudnya ketahanan pangan merupakan sinergi dari interaksi ketiga subsistem tersebut. 1. Subsistem ketersediaan pangan mencakup aspek produksi, cadangan serta keseimbangan antara impor dan ekspor pangan. Ketersediaan pangan harus dikelola sedemikian rupa sehingga walaupun produksi pangan bersifat musiman, terbatas dan tersebar antar wilayah, tetapi volume pangan yang tersedia bagi masyarakat harus cukup jumlah dan jenisnya serta stabil penyediaannya dari waktu ke waktu. Secara umum, Indonesia tidak memiliki masalah terhadap ketersediaan pangan. Indonesia memproduksi sekitar 31 juta ton beras setiap tahunnya dan mengkonsumsi sedikit diatas tingkat produksi tersebut; dimana impor umumnya kurang dari 7% konsumsi. Lebih jauh jaringan distribusi swasta yang berjalan secara efisien turut memperkuat ketahanan pangan di seluruh Indonesia. 2. Subsistem distribusi pangan mencakup aspek aksesibilitas secara fisik dan ekonomi atas pangan secara merata. Sistem distribusi bukan semata-mata menyangkut aspek fisik dalam arti pangan tersedia di semua lokasi yang membutuhkan, tetapi juga masyarakat. Surplus pangan di tingkat wilayah belum menjamin kecukupan pangan bagi individu masyarakatnya. Sistem distribusi ini perlu dikelola secara optimal dan tidak bertentangan dengan mekanisme pasar terbuka agar tercapai efisiensi dalam proses pemerataan akses pangan bagi seluruh penduduk. Elemen

Kualitas/keamanan pangan

Kualitas/keamanan jenis pangan yang dikonsumsi untuk memenuhi kebutuhan gizi. Ukuran kualitas pangan seperti ini sangat sulit dilakukan karena melibatkan berbagai macam jenis makanan dengan kandungan gizi yang berbeda-beda., sehingga ukuran keamanan pangan hanya dilihat dari ‘ada’ atau ‘tidak’nya bahan makanan yang mengandung protein hewani dan/atau nabati yang dikonsumsi dalam rumah tangga. Karena itu, ukuran kualitas pangan dilihat dari data pengeluaran untuk konsumsi makanan (lauk-pauk) sehari-hari yang mengandung protein hewani dan/atau nabati. Berdasarkan kriteria ini rumah tangga dapat diklasifikasikan dalam tiga kategori, yaitu: a. Rumah tangga dengan kualitas pangan baik adalah rumah tangga yang memiliki pengeluaran untuk lauk-pauk berupa protein hewani dan nabati atau protein hewani saja. b. Rumah tangga dengan kualitas pangan kurang baik adalah rumah tangga yang memiliki pengeluaran untuk lauk-pauk berupa protein nabati saja. c. Rumah tangga dengan kualitas pangan tidak baik adalah rumah tangga yang tidak memiliki pengeluaran untuk lauk-pauk berupa protein baik hewani maupun nabati. Ukuran kualitas pangan ini tidak mempertimbangkan jenis makanan pokok. Alasan yang mendasari adalah karena kandungan energi dan karbohidrat antara beras, jagung dan ubi kayu/tiwul sebagai makanan pokok di desa-desa penelitian tidak berbeda secara signifikan.

272


INOVASI : Vol. 7. No. 4,

3.

Desember 2010

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

oleh faktor ekonomi, teknologi dan sosial budaya yang pada akhirnya akan berdampak pada status gizi (Gambar 1).

terpenting dari kebijakan ketahanan pangan ialah adanya jaminan bagi kaum miskin untuk menjangkau sumber makanan yang mencukupi. Cara terbaik yang harus diambil untuk mencapai tujuan ini ialah dengan memperluas strategi pertumbuhan ekonomi, khususnya pertumbuhan yang memberikan manfaat bagi kaum miskin. Kebijakan ini dapat didukung melalui program bantuan langsung kepada masyarakat miskin, yang diberikan secara seksama dengan target yang sesuai. Subsistem konsumsi pangan menyangkut upaya peningkatan pengetahuan dan kemampuan masyarakat agar mempunyai pemahaman atas pangan, gizi dan kesehatan yang baik, sehingga dapat mengelola konsumsinya secara optimal. Konsumsi pangan hendaknya memperhatikan asupan pangan dan gizi yang cukup dan berimbang, sesuai dengan kebutuhan bagi pembentukan manusia yang sehat, kuat, cerdas dan produktif. Dalam subsistem konsumsi terdapat aspek penting lain yaitu aspek diversifikasi. Diversifikasi pangan merupakan suatu cara untuk memperoleh keragaman konsumsi zat gizi sekaligus mengurangi ketergantungan masyarakat atas satu jenis pangan pokok tertentu, yaitu beras. Ketergantungan yang tinggi dapat memicu instabilitas apabila pasokan pangan tersebut terganggu. Sebaliknya agar masyarakat menyukai pangan alternatif perlu peningkatan cita rasa, penampilan dan kepraktisan pengolahan pangan agar dapat bersaing dengan produk-produk yang telah ada. Dalam kaitan ini peranan teknologi pengolahan pangan sangat penting. Selain itu, masalah konsumsi pangan ini, juga menekankan pada pola konsumsi di penduduk sehingga dapat mengkonsumsi nutrisi-nutrisi mikro (gizi dan vitamin) yang mencukupi untuk dapat hidup sehat. Konsumsi pangan pada setiap kelompok pengeluaran rumah tangga telah meningkat pada jenis-jenis pangan yang berkualitas lebih baik. Namun, seperti catatan diatas, keadaan nutrisi makanan belum menunjukkan tandatanda perbaikan sejak akhir krisis.

Gambar 1. Sistem Pangan dan Gizi

PEMANTAPAN KETAHANAN PANGAN Ketahanan pangan nasional masih merupakan isu strategis bagi Indonesia mengingat kecukupan produksi, distribusi dan konsumsi pangan mempunyai dimensi sangat luas dan terkait dengan dimensi sosial, ekonomi dan politik. Dengan demikian diperlukan penyelarasan peningkatan produksi di satu pihak (kepentingan makro) dan peningkatan pendapatan dan kesejahteraan petani di lain pihak (kepentingan mikro) dengan prinsip pembangunan dari, oleh dan untuk masyarakat petani sebagai upaya pemberdayaan. Oleh karena itu, jika secara konsisten ingin mensimultankan pencapaian tujuan peningkatan produksi dan tujuan kesejahteraan khususnya untuk petani yang sebagian besar berusahatani pangan, maka kebijakan swasembada (self sufficiency) untuk komoditi beras yang strategis haruslah disesuaikan dan diarahkan kepada self sufficiency ratio sebagai guide lines yaitu suatu indeks yang menunjukkan perbandingan supplai pangan yang harus dihasilkan secara domestik terhadap jumlah keseluruhan permintaan pangan dalam negeri. Dengan demikian terjadi keseimbangan antara kepentingan produsen dan konsumen dengan tingkat harga produk yang layak (at reasonable prices), sehingga memungkinkan usahatani itu memperoleh nilai tambah, melakukan reinvestasi dan berkembang mandiri secara berkelanjutan.

Membangun ketahanan pangan memerlukan keharmonisan dari ketiga subsistem tersebut (Hardinsyah, et al., 2002). Pembangunan subsistem ketersediaan pangan diarahkan untuk mengatur kestabilan dan kesinambungan ketersediaan pangan, yang berasal dari produksi, cadangan dan impor. Pembangunan sub-sistem distribusi pangan bertujuan menjamin aksesibilitas pangan dan stabilitas harga pangan. Pembangunan sub-sistem konsumsi bertujuan menjamin setiap rumah tangga mengkonsumsi pangan dalam jumlah yang cukup, bergizi dan aman. Keberhasilan pembangunan masing-masing sub-sistem tersebut perlu didukung

Sikap seperti ini menjadi penting mengingat pemerintah akhir-akhir ini kewalahan dalam mengamankan kebijakan harga dasar gabah/beras sehingga cenderung sangat merugikan petani produksi. Dengan perkataan lain biarlah petani yang melakukan keputusan-keputusan usahataninya sesuai signal pasar dimana kepentingan petani produsen dan konsumen dalam konteks stabilitas dapat diakomodir melalui pendekatan usahatani terpadu (mixed and integrated farming system) yang mencerminkan the right crops in the right place principles. Upaya tersebut perlu pula diikuti dengan

273


INOVASI : Vol. 7. No. 4,

Desember 2010

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

kampanye pola makan (dietary pattern) untuk mengurangi tekanan terhadap permintaan beras (Napitupulu, Tom Edward Marasi, 2000).

dengan tataran nasional, dalam suatu jejaring yang aktif dan dinamis sangat diperlukan dalam rangka ketahanan pangan nasional. Pada dasarnya pemantapan ketahanan pangan dapat diwujudkan melalui pengembangan sistem dan usaha agribisnis di bidang pangan, utamanya bagi golongan rawan pangan sementara maupun rawan pangan kronis yang masih mempunyai potensi pengembangan aktivitas ekonominya. Agribisnis pangan melibatkan banyak pelaku, usaha kecil seperti petani, pengolah dan pedagang yang berbasis pada keunggulan komparatif dan kompetitif sumberdaya lokal. Agar terwujud ketahanan yang kokoh, mulai dari tingkat rumah tangga sampai tingkat nasional, maka sistem dan usaha yang dibangun oleh masyarakat adalah usaha yang berdaya saing, berkerakyatan, berkelanjutan dan desentralisasi. 1. Berdaya saing, dicirikan dengan tingkat efisiensi, mutu, harga dan biaya produksi serta kemampuan untuk menerobos pasar, meningkatkan pangsa pasar dan memberikan pelayanan profesional. 2. Berkerakyatan, dicirikan dengan berkembangnya usaha produktif yang melibatkan masyarakat secara luas dengan peluang berusaha, kesempatan kerja dan menikmati nilai tambah (pendapatan). 3. Berkelanjutan, dicirikan dengan kemampuan untuk meningkatkan kapasitas sumber daya pangan yang semakin besar dari waktu ke waktu yang semakin mensejahterakan masyarakat baik secara ekonomis, sosial dan lingkungan hidup. 4. Desentralistis, diartikan bahwa kegiatan ekonomi ditentukan oleh masyarakat pelaku sesuatu dengan kondisi wilayahnya atas dasar keunggulan komparatif dan aspirasi masyarakat setempat (Anonymous, 2001).

Pemantapan ketahanan pangan tidak terlepas dari penanganan kerawanan pangan karena kerawanan pangan merupakan penyebab penting instabilitas ketahanann pangan. Kerawanan pangan dapat disebabkan karena kendala yang bersifat kronis seperti terbatasnya sumber daya dan kemampuan, maupun yang bersifat sementara seperti tertimpa musibah atau bencana alam. Untuk mengatasi hal ini pemerintah dan masyarakat perlu membangun suatu sistem kewaspadaan, yang mampu mendeteksi secara dini adanya gejala kerawanan pangan di sekitarnya serta dapat meresponnya dengan cepat dan efektif. Penanganan yang cepat dan tepat sangat diperlukan untuk menghindarklan masyarakat tersebut dari kerawanan yang lebih parah, dengan segala dampak yang mengikutinya. Ketahanan pangan yang kokoh dibangun pada tingkat rumah tangga yang bertumpu pada keragaman sumberdaya lokal. Sejalan dengan dinamika pemantapan ketahanan pangan dilaksanakan dengan mengembangkan sumbersumber bahan pangan, kelembagaan pangan dan budaya pangan yang dimiliki pada masyarakat masing-masing wilayah. Keunggulan dari pendekatan ini antara lain adalah bahwa bahan pangan yang diproduksi secara lokal telah sesuai dengan sumberdaya pertanian dan iklim setempat, sehingga ketersediaannya dapat diupayakan secara berkesinambungan. Dengan kemampuan lokal tersebut maka ketahanan pangan masyarakat tidak mudah terpengaruh oleh masalah atau gejolak pasokan pangan yang terjadi di luar wilayah atau luar negeri. Dalam kaitan inilah, aspek pemberdayaan ketahanan pangan masyarakat menjadi sangat penting. Pemberdayaan masyarakat berarti meningkatkan kemandirian masyarakat sebagai perwujudan dan pengembangan kapasitas masyarakat yang berlandaskan pada pemberdayaan sumberdaya manusia agar dapat memenuhi hak dan kewajibannya sesuai status dan peranannya dalam pembangunan ketahanan pangan. Namun demikian, setiap wilayah atau daerah mempunyai keunggulan maupun keterbatasan dalam memproduksi bahan pangan secara efisien. Ada daerah yang surplus dan ada daerah yang minus dalam memproduksi pangan tertentu. Dengan banyaknya jenis pangan esensial nabati maupun hewani sebagai sumber zat gizi makro dan mikro, tidak satupun daerah mampu memenuhi seluruh jenis pangan yang dibutuhkan dan diinginkan masyarakatnya.

LANGKAH STRATEGI PENCAPAIAN KETAHANAN PANGAN Pada masa yang akan datang upaya-upaya memantapkan swasembada beras dan pencapaian swasembada lainnya tampaknya perlu difokuskan pada terwujudnya ketahanan pangan, diversifikasi konsumsi pangan serta terjaminnya keamanan pangan. Dengan mengadaptasi pendapat dari beberapa pakar, dapat dirumuskan beberapa strategi umum untuk mencapai ketahanan pangan rumah tangga. Pertama, sangat perlu untuk mengadopsi strategi pembangunan dan kebijakan ekonomi makro yang menciptakan pertumbuhan yang berdimensi pemerataan dan berkelanjutan (sustainable development). Kedua, keperluan yang mendesak untuk mempercepat pertumbuhan sektor pertanian dan pangan serta pembangunan perdesaan dengan fokus pada kepentingan golongan tani. Ini berarti pertanian (pangan) harus menjadi mainstream dalam ekonomi nasional. Ketiga, sudah

Oleh karena itu interaksi antar wilayah mutlak diperlukan bagi pemenuhan kebutuhan pangan, dalam rangka mewujudkan ketahanan pangan daerah. Demikian pula interaksi antar tataran daerah

274


INOVASI : Vol. 7. No. 4,

Desember 2010

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

Selain adanya perubahan mindset pada masyarakat kita umumnya dan pemerintah khususnya seperti di atas, secara teknis juga, beberapa langkah stratejik yang dapat disarankan untuk menghasilkan kondisi ketahanan pangan, adalah sebagai berikut:

harus diberi penekanan khusus di daerah dimana terdapat makanan pokok lainnya. Ini merupakan gambaran yang baik dari sistem yang sedang terbentuk, namun demikian kurangnya kapasitas kemampuan Dewan Ketahanan Pangan Kabupaten/Kota membuat mereka hanya cenderung sekedar mengikuti agenda-agenda tertentu dan terlibat dalam pengadaan serta penyimpanan kebutuhan pokok yang tidak efektif. Ini menjadi catatan penting bagi pemerintah pusat untuk memberikan petunjuk dan pengembangan kapasitas kemampuan agar Dewan Ketahanan Pangan Kabupaten/Kota berfungsi secara efektif

1.

3.

saatnya harus meningkatkan akses terhadap lahan dan sumberdaya pertanian dalam arti luas secara lebih bijaksana, termasuk menciptakan dan meningkatkan kesempatan kerja, transfer pendapatan, menstabilkan pasokan pangan, perbaikan perencanaan dan pemberian bantuan pangan dalan keadaan darurat kepada masyarakat.

Mengupayakan peran BULOG

Pada Januari 2004 Kementerian Industri dan Perdagangan mengumumkan larangan atas impor beras mulai dari dua bulan sebelum hingga satu bulan sesudah periode panen. Larangan ini secara berulang diperluas dan masih terus digunakan. Tujuan utama dari larangan tersebut dimaksudkan untuk mendukung para petani dan meningkatkan ketahanan pangan. Namun demikian kenyataan yang terjadi justru sebaliknya-harga eceran terus naik namun harga di tingkat petani tidak berubah, yang menunjukkan bahwa petani tidak memperoleh manfaat sesuai dengan harapan. Artinya, ketahanan pangan bagi kebanyakan orang menjadi lebih buruk. Sekitar 80% penduduk mengkonsumsi beras lebih banyak dari yang diproduksinya, dan terbebani harga beras yang tinggi. Sementara di lain pihak, 20% penduduk lainnya yang memperoleh keuntungan dari kebijakan ini, ternyata bukanlah masyarakat miskin. Studi terakhir menunjukkan bahwa larangan impor secara permanen dapat meningkatkan jumlah penduduk dibawah garis kemiskinan sebanyak 1,5 juta orang Pemerintahan yang baru sebaiknya menghapus larangan impor dan membiarkan impor beras oleh para importir seperti sebelumnya. Memproteksi beras justru memperburuk ketahanan pangan. Namun jika proteksi dianggap penting secara politis hal itu dapat ditempuh melalui bentuk yang lebih transparan dan efisien seperti dengan menerapkan bea masuk yang rendah ketimbang memberlakukan larangan impor.

BULOG masih merupakan salah satu institusi terpenting dalam menjamin ketahanan pangan di Indonesia. Perubahan status hukum BULOG pada tahun 2003 dari Badan menjadi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) telah memperluas lingkup BULOG untuk melakukan aktivitas komersil sebagai bagian dari peran pentingnya dalam pelayanan jasa publik. Tugas BULOG termasuk menjaga stok ketahanan pangan nasional, pendukung publik dalam menjaga harga-harga komoditas pertanian, menyediakan pangan dalam keadaan darurat, dan melaksanakan program subsidi beras RASKIN bagi masyarakat miskin. Pengawasan pemerintah pusat terhadap sejumlah pelayanan BULOG, yang selama ini dilakukan oleh BULOG sendiri, telah dialihkan ke dalam tugas Kementerian Keuangan dan Kementerian BUMN, dimana keduanya memiliki keterbatasan kapasitas dan pengalaman dalam hal manajemen dan kebijakan ketahanan pangan. Namun demikian BULOG masih tetap melakukan fungsi tersebut selama lebih dari setahun terakhir, meski tanpa adanya persetujuan mengenai rencana usaha maupun dalam penyusunan anggaran, walaupun sebenarnya kedua hal tersebut dibutuhkan sebagai payung hukum 2.

Menghilangkan larangan import beras

Meningkatkan efektifitas Dewan Ketahanan Pangan di tingkat Kabupaten/ Kota

Peraturan Pemerintah (PP) tentang ketahanan pangan memberikan suatu kerangka dimana pemerintah daerah dapat berkontribusi dalam mencapai tujuan ketahanan pangan nasional. PP ini mengatur bahwa pemerintah sub nasional turut bertanggung jawab terhadap ketahanan pangan dalam wilayah mereka masing-masing. Beberapa Kabupaten/Kota telah membentuk Dewan Ketahanan Pangan Kabupaten/Kota. PP tersebut juga mendefinisikan kebutuhan pangan pokok secara luas, hal ini dimaksudkan untuk memberikan keleluasaan bagi perbedaan pola makanan yang tercermin dalam ukuran-ukuran ketahanan pangan pada tingkat daerah. Dengan demikian beras tidak

4.

Mengubah fokus Departemen Pertanian dari mendiring peningkatan produksi ke perluasan teknologi dan penciptaan diversifikasi

Kebijakan harga beras yang tinggi juga memiliki keterbatasan untuk meningkatkan pendapatan masyarakat pedesaan : Bagi produsen beras yang produksinya lebih tinggi dari konsumsi, dukungan melalui sejumlah kebijakan proteksi akan memberikan peningkatan pendapatan dalam waktu seketika; namun tidak mendorong pertumbuhan

275


INOVASI : Vol. 7. No. 4,

Desember 2010

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

yang efektif dalam menjamin pemenuhan gizi (meningkatkan kadar yodium) tanpa harus merusak pendapatan produsen lokal. Hasil yang dicapai oleh Proyek Penanggulangan Defisiensi Yodium (Intensified Iodine Deficiency Control Project) menunjukkan bahwa cara ini dapat ditempuh dan telah berhasil mengurangi lebih dari 50% angka penderita gondongan pada periode 1996 dan 2003 diantara anak-anak sekolah yang berada di provinsiprovinsi dengan endemi gondongan yang parah maupun moderat. Menerapkan regulasi yang transparan juga menjamin bahwa investasi untuk memenuhi standar gizi pada produk makanan tidak akan dikurangi karena adanya produsen yang tidak memenuhi standar gizi pada produk makanan mereka. Kerjasama antar lembaga amat dibutuhkan melalui intervensi yang mencakup industri pengolahan makanan (dibawah Menperindag), impor (Kepabeanan/Bea Cukai), pengawasan penjualan makanan (BPOM), pemasaran secara sosial (Menkes) dan pemerintahan daerah (Mendagri). Kerjasama harus bertujuan untuk membangun mekanisme perlindungan terhadap produk makanan tertentu, pilihan uji gizi produk makanan serta mekanisme penyediaannya dan membentuk kemitraan dengan produsen sektor swasta dan para pemasok produk makanan yang dilindungi. Kerjasama ini juga dapat ditujukan untuk menciptakan standarisasi produk dan aturanaturan produksi, serta memberikan pengawasan dan evaluasi terhadap penyediaan produk makanan, disamping mengawasi dampaknya terhadap produk makanan yang dilindungi bagi sejumlah penduduk.

pendapatan yang berkelanjutan, ketika produktivitas pertanian beras domestik telah mencapai titik yang cukup tinggi. Akan lebih baik bagi Departemen Pertanian untuk memusatkan perhatian pada peningkatan produktivitas di sejumlah produkproduk pertanian secara lebih luas. Sebagaimana kita ketahui, konsumsi pangan disetiap kelompok pengeluaran rumah tangga telah bergerak menuju pangan dengan kualitas yang lebih baik. Dengan pertumbuhan seperti sekarang ini, konsumsi rumah tangga pada buah-buahan dan sayur-sayuran kecenderungannya akan melebihi nilai konsumsi beras dalam dekade ini. Kebijakan pertanian saat ini terlalu berkonsentrasi pada pemenuhan beras, dimana nilainya cenderung rendah dan termasuk komoditas yang murah di pasaran internasional. Hal ini telah memaksa petani untuk menanam komoditas yang bernilai rendah serta menghambat upaya mereka untuk berpindah pada produksi buahbuahan, hortikultura dan perternakan yang bernilai tinggi. Di saat bersamaan pertumbuhan permintaan domestik terhadap produk-produk ini semakin meningkat. Kebijakan pertanian harus bergerak secara agresif menuju suatu penelitian dan agenda pengembangan yang menaruh perhatian pada komoditas bernilai tinggi dan produk-produk yang permintaannya tumbuh tinggi. Kebijakan tersebut juga dapat diusahakan untuk membantu produsen kecil dalam memenuhi standar kualitas pada pasarpasar yang sedang terbentuk, serta untuk memperoleh akses pada rantai pasokan pangan yang saat ini banyak dilayani oleh jaringan supermarket. 5.

Mendukung dan menerapkan peningkatan gizi dan bahan makanan pokok

6.

Peningkatan gizi makanan, seperti melalui aturan penambahan yodium pada produksi garam atau dengan mengharuskan produsen untuk menambah sejumlah nutrisi mikro ke dalam produk makanan mereka, merupakan cara yang cukup efektif dalam meningkatkan standar gizi. Pemerintah telah melakukan hal ini dengan mendukung penggunaan garam beryodium dan peningkatan gizi tepung terigu. Akan tetapi kondisi gizi yang buruk masih merupakan persoalan utama. Sebagai contoh sekitar 63% wanita hamil dan sekitar 65-68% anak dibawah 2 tahun menderita anemia disebabkan karena kekurangan zat besi. Sementara itu lebih dari seperempat rumah tangga belum mengkonsumsi garam beryodium yang cukup. Pemerintahan baru dapat meningkatkan kondisi gizi masyarakat dengan mendorong dan menerapkan standar pemenuhan produksi pangan yang bergizi. Sebagai contoh, di beberapa daerah produksi garam oleh sejumlah produsen kecil lokal didukung oleh pemerintah setempat, sekalipun hasil produksinya masih belum memenuhi standar yodium nasional. Pemerintah pusat harus bekerjasama dengan pemerintah daerah, produsen serta konsumen, untuk mendapatkan cara

Memikirkan kembali kebijakan stabilitas harga beras

Langkah tradisional pemerintah dalam meningkatkan keterjangkauan pangan umumnya ditempuh dengan cara menstabilisasikan harga beras. Hal ini dilakukan melalui kebijakan harga pagu dan membeli beras di pasar dengan maksud mempertahankan tingkat harga tersebut. Meski demikian ketidakmampuan BULOG dalam mempertahankan harga pagu tersebut telah menjadi hal yang umum dan keterlibatan pemerintah didalam pasar, telah menghambat pengembangan mekanisme penyesuaian harga oleh pihak swasta (seperti melalui mekanisme penyimpanan). Upaya pemerintah menstabilisasikan harga mungkin cukup tepat di masa yang lampau, akan tetapi sekarang ini rantai pemasaran swasta telah cukup berkembang dan sejumlah keterlibatan pemerintah pada dasarnya tidak diperlukan. Inpres Nomor 9 Tahun 2001 mengubah kebijakan sebelumnya dari menerapkan harga pagu menjadi penerapan harga pembelian oleh pemerintah. Pemerintahan yang baru harus memusatkan perhatian pada implementasi dari isi Inpres ini dengan mengkaji ulang apakah mungkin dan jika memang demikian, bagaimanakah caranya

276


INOVASI : Vol. 7. No. 4,

Desember 2010

untuk menstabilisasikan harga beras menghambat aktivitas sektor swasta.

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

tanpa

Napitupulu, Tom Edward Marasi, 2000. Pembangunan Pertanian dan pengembangan Agroindustri. Wibowo, R. (Editor). Pertanian dan pangan. Pustaka Sinar Harapan. Jakarta.

PENUTUP Istilah ketahanan pangan dalam kebijaksanaan dunia, pertama kali digunakan pada tahun 1971 oleh PBB, tetapi Inodonesia secara formal baru mengadopsi ketahanan pangan dalam kebijakan dan program pada tahun 1992, yang kemudian definisi ketahanan pangan pada undang-undang pangan nomor 7 ada pada tahun 1996.

Syarief, Hidayat, Hardinsyah dan Sumali, 1999. Membenahi Konsep Ketahanan Pangan Indonesia. Thaha, Hardinsyah dan Ala (Editor). Pembangunan Gizi dan Pangan Dari Perspektif Kemandirian Lokal. Perhimpunan Peminat Gizi dan Pangan (PERGIZI PANGAN) Indonesia dan Center For Regional Resource Development & Community Empowenment. Bogor.

Ketahanan pangan merupakan basis utama dalam wewujudkan ketahanan ekonomi, ketahanan nasional yang berkelanjutan. Ketahanan pangan merupakan sinergi dan interaksi utama dari subsistem ketersediaan, distribusi dan konsumsi, dimana dalam mencapai ketahanan pangan dapat dilakukan alternatif pilihan apakah swasembada atau kecukupan. Dalam pencapaian swasembada perlu difokuskan pada terwujudnya ketahanan pangan.

Sukandar, Dadang., Dodik Briawan, Yayat Heryatno, Mewa Ariani dan Meilla Dwi Andestina, 2001. Kajian Indikator Ketahanan Pangan Tingkat Rumah Tangga: di Provinsi Jawa Tengah. Pusat Studi Kebijakan Pangan dan Gizi (PSKPG) Lembaga Penelitian, Institut Pertanian Bogor. Bogor.

DAFTAR PUSTAKA

Wibowo, R., 2000. Penyediaan Pangan dan Permasalahannya. Wibowo, R. (Editor). Pertanian dan pangan. Pustaka Sinar Harapan. Jakarta

Anonymous, 2001. Program Kerja Pengembangan Kewaspadaan Pangan. Pusat Kewaspadaan Pangan 2001-2004. Pusat Kewaspadaan Pangan. Badan Bimas Ketahanan Pangan. Departemen Pertanian. Jakarta. Barichello, Rick, 2000. Evaluating Government Policy for Food Security: Indonesia. University of British Columbia. Berlin Hardinsyah, Dodik Briawan, Retnaningsih, Tin Herawati dan Retno Wijaya, 2002. Modul Ketahanan Pangan 03. Analisis Kebutuhan Konsumsi Pangan. Pusat Studi Kebijakan Pangan dan Gizi (PSKPG) Institut Pertanian Bogor dan Pusat Pengembangan Konsumsi Pangan (PPKP) Badan Bimas Ketahanan Pangan, Deptan. Latief, D., Atmarita, Minarto, Abas Basuni dan Robert Tilden, 2000. Konsumsi Pangan Tingkat Rumah Tangga Sebelum dan Selama Krisis Ekonomi. Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi.VII. Lembaga Ilmu pengetahuan Indonesia. Jakarta Muhilal, Fasli Jalal dan Hardinsyah, 1998. Angka Kecukupan Gizi yang Dianjurkan. Prosiding Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VII. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Jakarta.

277


INOVASI : Vol. 7. No. 4,

Desember 2010

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

Keharusan Audit Komunikasi Dalam Organisasi Modern Aulia Andri 1) 1)

Dosen Universitas Negeri Medan

Abstraksi Tulisan ini ingin menjawab semua pertanyaan-pertanyaan mendasar mengenai audit komunikasi. Pada prinsipnya komunikasi sangatlah penting. Untuk itu diperlukan kemampuan dan teknik komunikasi yang memadai. Kemampuan dan teknik komunikasi yang rendah akan menyebabkan rendahnya kualitas komunikasi dan sistem komunikasi Berlandaskan uraian singkat diatas komunikasi itu perlu dan harus diaudit untuk mengetahui keefektifannya dalam sebuah organisasi atau perusahaan. Sejalan dengan itu audit komunikasi sangat penting dilakukan. Seperti juga keuangan yang bisa diaudit secara akurat dan tepat, komunikasi juga demikian. Proses komunikasi yang ada di suatu perusahaan dapat diteliti, diperiksa dan di audit secara akurat.

Kata kunci : Audit, Komunikasi, Organisasi 1.

PENDAHULUAN Mengapa audit komunikasi itu penting? Kapan organisasi harus melakukan audit komunikasi? Bagaimana cara menjalankan program audit komunikasi? Dan siapa yang melakukan program audit komunikasi ini? Pertanyaan-pertanyaan itulah yang ada dalam setiap orang yang akan melakukan audit komunikasi.

2.

3. Komunikasi yang efektif akan sangat menetukan kelangsungan hidup dan kesehatan organisasi atau perusahaan. Buku klasik The Function of the Executive karya Chester Irving Barnard (1938) yang dikutip Andre Hardjana menyebutkan "Dalam setiap organisasi yang tuntas lagi menyeluruh, komunikasi pasti menduduki tempat sentral, karena struktur, keluasan jangkauan dan tuang lingkupnya hampir sepenuhnya ditentukan oleh teknik-teknik komunikasi. Bahkan sesungguhnya dalam organisasi muncul dan dipelihara karena tuntutantuntutan komunikasi" (Hardjana, 2000:ix).

4.

Jadi, audit komunikasi merupakan suatu analisis yang lengkap dari sistem komunikasi organisasi internal dan eksternal. Dilakukan atas mandat atau kepentingan dari manajemen puncak dan memiliki ruang lingkup dari hanya sebuah divisi kerja hingga keseluruh organisasi. Untuk cakupan tinggi manapun, unit atau organisasi, dibutuhkan dukungan manajemen agar usaha audit komunikasi membawa manfaat bagi organisasi.

Dasar pemikiran dalam melakukan audit komunikasi adalah bahwa sangat penting untuk mengetahui bagaimana merencanakan dan mendiagnosa komunikasi organisasi serta merubahnya. Karena dengan hanya perencanaan komunikasi organisasi yang baik komunikasi dalam sebuah organisasi dapat dilakukan secara efektif.

KERANGKA TEORITIS

Myron Emanuel juga menyebutkan bahwa audit Komunikasi bukanlah sebuah survey mengenai sikap orang-orang dalam organisasi atau para karyawan di suatu perusahaan. Audit komunikasi

Apa itu Audit Komunikasi? Pengertian audit komunikasi Emanuel :

Audit komunikasi adalah sebuah studi komprehensif dan menyeluruh tentang filosofi, konsep-konsep, struktur, aliran dan praktekpraktek dalam sebuah organisasi yang kecil atau besar, profit atau non-profit, swasta atau publik. Sebuah audit komunikasi harus dapat membuka hambatan komunikasi, rintangan organisasi pada komunikasi yang efektif. Audit komunikasi dapat mengungkapkan kesalahpahaman, membantu mengukur efektifitas media dan menyediakan sebuah evaluasi pada program yang sedang berjalan. Bisa dalam lingkup yang luas atau terbatas. Audit komunikasi dapat digunakan untuk mengukur efektifitas seluruh komunikasi di sebuah perusahaan atau organisasi. Seperti layaknya audit, audit komunikasi akan menjadi bernilai jika digunakan secara teratur dan baik bagi orang-orang, pelaku keuangan dan program-program komunikasi. (dalam Reuss & Silvis, 1985:46).

menurut Myron

278


INOVASI : Vol. 7. No. 4,

Desember 2010

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

merupakan alat yang digunakan dalam organisasi atau perusahaan yang meneliti perasaan pekerja atau individu di dalam organisasi terhadap atmosfir lingkungan kerjanya, kondisi pekerjaan, gaji/upah, keuntungan yang didapat dari pekerjaan dan sebagainya.

IMPLEMENTASI KOMUNIKASI

AUDIT

Ada beberapa pendekatan yang dapat dilakukan dalam melakukan audit komunikasi: 1. Wawancara intensif dengan senior management. 2. Melakukan sebuah penyelidikan yang kopmprehensif, selalu dengan survey kepada karyawan. 3. Melalui review secara kritis dan evaluasi terhadap komunikasi antarkaryawan, struktur dan material.

Jadi ada beberapa hal yang harus diperhatikan sebelum mengenal lebih jauh tentang audit komunikasi. 1. Audit Komunikasi bukan sebuah polling opini 2. Audit Komunikasi bukan sebuah readership survey 3. Audit Komunikasi bukan survey terhadap suatu isu 4. Audit Komunikasi bukan survey mengenai sikap

Model-Model Konsultan Komunikasi Beberapa model konsultan komunikasi yang dikenal adalah : Purchase Model, Doctor-Patient Model, dan Process Model.

Standarisasi dalam pendekatan sebuah proses audit komunikasi dapat dianalogikan sebagai titik nol (zero-base) komunikasi. Tujuan dari audit komunikasi dalam meneguhkan filosofi organisasi dan mendukung tujuan-tujuan yang dibutuhkan organisasi.

a.

Purchase Model

Pada model ini klien (menejer, organisasi, ataupun departemen) menegaskan sebuah kebutuhan dalam sistem yang didasari dari diagnosis prilaku dalam sistem dan oleh sistem. Dalam model ini, klien mengadakan pendekatan dengan konsultan untuk memberikan pelayanan informasi dari apa yang dibutuhkan oleh organisasi. Setelah konsultan menyediakan informasi terhadap masalah yang dihadapi, klien mengakhiri hubungan.

Audit komunikasi sendiri juga memiliki tiga pendekatan yang digunakan secara berbeda-beda yaitu; pendekatan konseptual (conceptual approach), pendekatan survei sebagai alat tunggal (single-instrument survey) dan pendekatan prosedur (procedur approach) (Hardjan, 2000:3031).

Menurut Schein keberhasilan dari model ini tergantung bagaimana akuratnya klien mendiagnosa kebutuhan mereka sendiri, kemudian mengkomunikasikannya pada konsultan, memperkirakan kemampuan konsultan terhadap kebutuhan mereka dan memikirkan konsekwensi dari intervensi yang akan dilakukan konsultan dan rekomendasi yang akan diberikan konsultan.

Kapan Melakukan Audit Komunikasi? Ada begitu banyak alasan ketika audit komunikasi harus dilakukan. Tapi mengapa dan kapan, merupakan pertanyaan yang juga harus dijelaskan. 1. Ketika organisasi atau perusahaan menyadari program-program yang mereka lakukan mengalami penurunan kredibilitas dimana ada ketidak efisienan dan ketidak efektifan. 2. Ketika diperlukan suatu evaluasi dari sebuah kebijakan komunikasi atau pelaksanaannya. 3. Ketika dibutuhkan pengembangan atau restrukturisasi dari fungsi-fungsi komunikasi yang ada di dalam perusahaan atau organisasi. 4. Ketika dirasakan perlu untuk mengembangkan program komunikasi atau budget-budget yang harus dikeluarkan untuk suatu program komunikasi. 5. Ketika sebuah perusahaan akan melakukan merger atau akuisisi. Hal ini perlu dilakukan untuk melihat kondisi perusahaan yang melihat dari kultur karyawan serta lingkungan kerjanya. 6. Ketika terjadi krisis di dalam perusahaan atau organisasi terutama menyangkut krisis ekonomi.

b.

Doctor-Patient Model

Model ini menyebutkan klien mengajukan komplain terhadap "penyakit" yang dideritanya dan mendeskripsikan gejalan-gejala tanpa mengetahui apa yang salah dalam perusahaannya. Pada model ini mirip seperti seorang pasien yang mendatangi dokter tanpa tahu apa penyakitnya. Pada model ini konsultan mendiagnosa dan memperkirakan serta mengimplementasikan solusi. Biasanya konsultan dibayar untuk melihat secara keseluruhan masalah yang dialami organisasi dan mencari apa yang menjadi masalah serta memberi saran bagaimana memperbaikinya. c.

Process Model

Pada model ini, klien dan konsultan bersama-sama dalam setiap interaksi. Keduanya juga besama-sama

279


INOVASI : Vol. 7. No. 4,

Desember 2010

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

ketika menciptakan hubungan kerja, melakukan diagnosa dan prakiraan masalah, melakukan intervensi terhadap masalah serta melakukan pemutusan hubungan. Inheren dalam model ini adalah bahwa klien tidak tahu apa yang salah dalam perusahaannya dan tidak mengetahui variabelvariabel yang dapat membantu mereka. Juga dalam model ini konsultan bekerjasama dengan seluruh anggota organisasi menyediakan alternatif-alternatif solusi untuk klien. Dari tiga model konsultan komunikasi diatas dapat dilihat ada tiga hal mendasar dalam setiap model. Pertama, Melakukan Hubungan Kerja (establishing relationship), Kedua, Diagnosa dan Prakiraan (diagnosis and prescription), Ketiga, Aktivitas Intervensi (Intervention Activities). • Melakukan Hubungan Kerja (establishing relationship) Ada tiga tahapan yang harus dilakukan dalam melakukan hubungan kerja (establishing relationship) antara konsultan dan klien: membuat kontak (making contact), melakukan pertemuan awal (holding an initial meeting), menentukan kontrak kerja (designing a contract). • Diagnosa dan Prakiraan (diagnosis and prescription) Fase diagnosa dan prakiraan (diagnosis and prescription) ini dalamprocess model, konsultan bersama dengan klien mencari solusi terhadap persoalan yang dihadapi organisasi. Ada beberapa wilayah dimana konsultan dapat mendiagnosa informasi dari kliennya:1) Tujuan; 2) Struktur: 3) Kepemimpinan; 4) Hubungan/Relationship; 5) Mekanisme yang membantu penghargaan • Aktivitas Intervensi (Intervention Activities) Aktivitas intervensi (Intervention Activities) dalam process model melakukan implementasi dari perubahan sikap di dalam organisasi. Konsultan mengindentifikasi, mendeskripsikan, dan memberikan contoh intervensi yang akan dilakukannya pada klien untukmerubah sikap dalam organisasi.

perubahan-perubahan organisasinya.

yang

terjadi

di

dalam

Untuk itu perlu diketahui manfaat bagi manajemen organisasi terhadap audit komunikasi yang dilakukan. 1. membandingkan pelaksanaan/praktek sistem komunikasi sebelum dan sesudah diukur (diselidiki) serta menentukan dampak dari program-program baru komunikasi. 2. Mengukur dampak dari program-program yang tengah berlangsung. 3. Mengukur dampak perubahan organisasi seperti restrukturisasi, penambahan komputer, program baru, dan program pelatihan baru. 4. Untuk menggambarkan struktur organisasi seperti sebuah bantuan untuk mengorganisasi pekerjaan. 5. Mencari dan mengidentifikasi pengelompokanpengelompokan komunikasi sebelum dilakukan restrukturisasi, terutama penting bagi perusahaan multi nasional (MNC). 6. Mengidentifikasi biaya komunikasi utama (seperti telepon, pertemuan, perangko pos, perjalanan darat/laut dan udara) dalam rangka perluasan/pengembangan di wilayah lain. 7. Mengembangkan program-program pelatihan komunikasi dalam rangka pemecahan masalahmasalah organisasi yang dapat ditemukan oleh audit. (Goldhaber, 1990:345). Kemudian hasil audit komunikasi itu akan dapat menjawab beberapa pertanyaan dibawah ini: 1. Apakah faktor lingkungan berpengaruh pada sistem komunikasi organisasi? 2. Apakah faktor struktur berpengaruh pada sistem komunikasi organisasi? 3. Apakah dampak tekanan dan rasa takut mengganggu efektifitas aktivitas komunikasi di dalam organisasi? 4. Apakah ada hubungan antara mekanisme dan aktivitas komunikasi? 5. Bagaimana komputer dapat digunakan lebih baik untuk merangsang keterbukaan persoalan komunikasi organisasi dan aktivitasnya? 6. Apakah non verbal komunikasi ada dalam organisasi? 7. Berapa banyak perubahan yang dapat dilakukan perusahaan secara realistis?Berapa banyak yang dapat dicapai dan prakteknya bagaimana? 8. Apakah peran dan fungsi kelompok yang berkuasa di dalam organisasi? 9. Apakah standarisasi atau norma harus dibangun untuk memperkirakan efektifitas dari sistem komunikasi organisasi?

Dalam melaksanakan pekerjaanya, konsultan tentunya membutuhkan informasi dari organisasi. Informasi (input) yang di dapat akan membantu dalam melakukan diagnosa dan prakiraan serta aktivitas intervensi. Ada beberapa masukan informasi (input) yang bisa diperolah konsultan: 1) Procedural Input; 2) Theoterical Input.

KEUNTUNGAN DARI AUDIT KOMUNIKASI Audit komunikasi yang dilakukan terhadap suatu organisasi menghasilkan suatu informasi yang valid bagi sistem komunikasi organisasi. Dengan informasi yang valid hasil audit komunikasi maka organisasi dapat berhati-hati dalam melakukan kegiatannya dan dapat melihat secara jernih

Selain pertanyaan-pertanyaan diatas ada lagi pertanyaan yang akan diklasifikasikan dalam beberapa kelompok riset, yakni : homofili,

280


INOVASI : Vol. 7. No. 4,

Desember 2010

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

kecemasan, kredibilitas, kontingensi, jaringan, dan efektivitas komunikasi dan organisasi.

MODEL-MODEL KOMUNIKASI

dan relasi-relasi pribadi, termasuk gaya kepemimpinan. Dan faktor-faktor situasional meliputi banyak hal termasuk berbagai kepercayaan, nilai, cara kerja, kerukunan, semangat kerja, sikap terhadap perubahan, kebiasaan masyarakat, dan pengaruh-pengaruh lingkungan serta macam-macam hambatan yang membatasi prilaku.

AUDIT

Model-model audit komunikasi pada dasarnya dapat dikategorikan menjadi tiga bagian: model struktur konseptual (conseptual structure model) yang dicetuskan oleh Howard Greenbaum tahun 1974, kemudian model riset evaluasi (organization communicaton evaluation/OCE) dirintis oleh Keith Davis tahun 1953, serta model profil situasional (organization communication profile/OCP) yang dianjurkan oleh Wayna Pace dan Don Faules tahun 1983 (dalam Hardjana, 2000;41). Namun dalam tulisan ini hanya akan membahas dua bagian dari model itu yakni model struktur konseptual dan model profil situasional. a.

b.

Struktur Keseluruhan Sistem Komunikasi

Audit sistem komunikasi dilihat secara makro bertolak dari perhatian khusus pada tujuan-tujuan organisasi (objectives organization), rencanarencana organisasi (plans organization), dan kebijakan-kebijakan komunikasi (policies communication). Perlu diingat, kebijakan-kebijakan komunikasi merupakan masalah yang sangat penting, karena merupakan seperangkat petunjuk tentang bagaimana manajemen dapat memanfaatkan kegiatan-kegiatan komunikasi untuk menggerakkan organisasi ke arah pencapaian berbagai macam sasarannya.

Model Struktur Konseptual (Conseptual Structure Model)

Model ini digagas oleh Howard Greenbaum dan dianggap mempunyai pengaruh yanglebih besar ketimbang model-model lainnya. Alasannya, karena mampu mendorong pemikiran dan keyakinan tentang pentingnya dasar-dasar konseptual dalam pelaksanaan audit sistem, kebijakan, dan program komunikasi. Greenbaum menawarkan sebuah pemeriksaan atau audit yang prosedurnya terdiri dari struktur keseluruhan sistem komunikasi dan struktur kegiatan-kegiatan komunikasi khusus. Namun sebelum membahas secara khusus mengenai dua prosedur yang ditawarkan Greenbaum dalam melakukan audit komunikasi, perlu kiranya diketahui mengenai beberapa hal, termasuk soal struktur organisasi.

Setelah tujuan organisasi dan kebijakan organisasi sudah diketahui, persoalan lain adalah menentukan apakah organisasi telah mewujudkannya ke dalam tindakan-tindakan pelaksanaan. Hal ini dapat dilakukan dengan membuat inventarisasi kegiatankegiatan komunikasi disertai analisis. Analisisnya antara lain meliputi klasifikasi dari berbagai kegiatan komunikasi menurut tingkatan komunikasi (individual, kelompok, dan organisasi), fungsi komunikasi (informatif, pengaturan, persuasif, dan integratif). Dalam pengujian keseluruhan sistem komunikasi, hal yang sangat penting diperhatikan adalah pemeriksaan atas sarana-sarana pemeliharaan sistem tersebut: • Apakah seorang staf tertentu memiliki tanggung jawab terpusat untuk urusan fungsi komunikasi? • Apakah ada laporan pertanggungan jawab periodik? • Apakah fungsi komunikasi diperlakukan secara formal oleh manajemen puncak? Apakah fungsi komunikasi mendapat tempat dalam perencanaan sasaran-sasaran organisasi (goals plan)? • Bila tidak ada pengendalian formal atas fungsi komunikasi secara eksplisit, lalu bagaimanakah organisasi itu memproses berbagai persoalan yang berkaitan dengan komunikasi? • Prosedur mana yang diikuti bila organisasi hendak memperkenalkan metode-metode baru dalam komunikasi? • Dimanakah letak tanggung jawab tentang keseluruhan sistem komunikasi dalam organisasi itu?

Struktur organisasi terdiri dari empat unsur, yakni: 1. Unit-unit kerja organisasi (organization units), 2. Jaringan komunikasi fungsional (functional communication network), 3. K e b i j a k a n - k e b i j a k a n k o m u n k a s i (communication policies), 4. Kegiatan-kegiatan komunikasi (communication activities). Dalam unit-unit kerja terdapat tiga hal yang layak diperhatikan dalam melakukan audit komunikasi, yakni hubungan- hubungan fungsional (fungsional relationsihips), ciri-ciri personel (personel caracteristics), dan faktor-faktor situational (situational factors). Hubungan-hubungan fungsional meliputi organisasi internal, proses kerja operasional, dan kontakkontak eksternal. Ciri-ciri personel berkaitan dengan keterampilan teknis dan manajerial, keterampilan komunikasi, unsur-unsur motivasi,

281


INOVASI : Vol. 7. No. 4,

Desember 2010

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

ekspektasi dan kepuasan anggota organisasi sehingga memberikan informasi mengenai komunikasi dan iklim organisasi dari sudut pandang anggota-anggota organisasi. Model ini dipusatkan pada aspek-aspek komukasi organisasi seperti iklim komunikasi, kepuasan organisasi, kualitas media, ketersediaan informasi, beban informasi, budaya organisasi, penyebaran informasi, dan ketepatan pesan.

Pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan tanggung jawab atas keseluruhan sistem komunikasi ini dapat dijawab dengan hasil pemeriksaan atas struktur organisasi, latar belakang, dan kepemimpinannya. Data yang diperoleh sebagai hasil pemeriksaan ini, bersama-sama dengan materi-materi umum tentang pengaruh-pengaruh lingkungan atas perilaku kepemimpinan, merupakan informasi inti yang dapat disebut sebagai faktorfaktor situasional organisasi. c.

Struktur Khusus

Kegiatan-Kegiatan

Model ini juga pada dasarnya merupakan model analisis fungsional sistem organisasi (fungsional organization system analysis) yang secara sederhana dapat diuraikan sebagai "penggunaan pengetahuan dari ilmu sosial untuk memeriksa keadaan masa kini (dalam) suatu organisasi yang dimaksudkan untuk menemukan jalan-jalan yang dapat digunakan untuk memperbaikinya" (Hardjana, 2000;50).

Komunikasi

Jika diatas telah dijabarkan kegiatan audit komunikasi ditinjau dari aspek makro, maka pada prosedur struktur kegiatan-kegiatan komunikasi khusus akan dibahas aspek mikro dalam suatu sistem komunikasi. Inti dari aspek mikro dalam pengujian sistem komunikasi berkaitan dengan masing-masing kegiatan komunikasi. Bila hakekat dan tujuan suatu kegiatan komunikasi sudah diketahui, kegiatan komunikasi tersebut dapat dianalissi menurut kriteria kinerja yang sesuai untuk mengembangkan petunjuk-petunjuk tentang prosedur bagaimana kegiatan tersebut harus dilaksanakan. Kriteria-keriteria yang harus dipertimbangkan meliputi unsur-unsur dalam teori komunikasi yang berkaitan dengan isi, media, salutan ketepatan waktu (timing), kondisi-kondisi interaksi, arah, partisipasi, permulaan (initation), persiapan,feedback, kejelasan arti (clarity), pengulangan (redundancy) dan berbagai subklasifikasi lain dalam perilaku komunikasi. Adalah sangat penting dalam prosedur ini menetapkan bagaimana kegiatan dilakukan, apa standar yang dianggap memuaskan, sehigga kemudian dapat digunakan untuk menyatakan kualitas kegiatan komunikasi tertentu, baik dalam bagian-bagiannya maupun dalam keseluruhannya. Dengan memperbandingkan data-data yang terkumpul dari pengukuran itu, maka akan tampak menonjol beberapa penyimpangan yang layak dijadikan bahan studi lebih lanjut. Penyimpanganpenyimpangan itu perlu dikaji sehingga dapat menjadi petunjuk perubahan-perubahan apa yang perlu ditempuh dalam kebijakan-kebijakan maupun kegiatan-kegiatan komunikasi khusus tersebut. Selain itu perlu juga dipertimbangkan variabelvariabel situasioanal yang berkaitan dengan kegiatan-kegiatan komunikasi, seperti keterampilan komunikasi, kemampuan persepsi dan konseptualisasi, pengaruh-pengaruh motivasi, dan struktur formal dengan kebijakan-kebijakan kepemimpinan yang terdapat dalam organisasi. d.

Model analisis fungsional ini memandang komunikasi keorganisasian sebagai faktor penyebab efektif dan tidak efektifnya kerja fungsional organisasi. Secara positif dapat dikatakan bahwa proses komunikasi atau kemntapan proses komunikasi dapat menimbulkan hubungan kerja yang efektif dan produktivitas yang tinggi. Atau secara negatif pemeriksaan profil komunikasi dapat menghasilkan informasi yang dapat menjelaskan peristiwa-peristiwa kritis dalam organisasi, seperti ketidakpuasan karyawan, anjloknya produktivitas, keresahan karyawan, meningkatnya jumlah karyawan yang keluar, dan mengendornya kerja sama kelompok. Dalam melaksanakan analisis Profil Komunikasi Keorganisasian (PKK) ada delapan variabel penting yang mempunyai pengaruh: 1. Kepuasan organisasi, berkenaan dengan kepuasan karyawan tentang; pekerjaan, supervisi, gaji dan tunjangan, promosi karyawan 2. Iklim komunikasi, berkaitan pengadalam dan persepsi karyawan tentang; saling percaya, partisipasi dalam membuat keputusan, pemberian dukungan, keterbukaan dalam komunikasi ke bawahan, kerelaan mendengarkan komunikasi dari bawahan. 3. Kualitas media, persepsi karyawan berkaitan berbagai dokumen tertulis, seperti buletin, laporan, buku pedoman; daya tarik untuk dibaca, cocok dan sesuai, efisiensi, terpercaya atau dapat diandalkan. 4. Kemudahan memperoleh informasi, persepsi karyawan tentang perolehan informasi dari berbagai sumber; atasan langsung, atasan lebih tinggi, kelompok, bawahan, dokumen penerbitan, obrolan lisan/grapevine. 5. Penyebaran informasi, persepsi karyawan tentang; penyebaran informasi dalam struktur

Model Profil Komunikasi Organisasi

Instrumen model profil komunikasi organisasi adalah pendekatan untuk mensurvei sikap, persepsi,

282


INOVASI : Vol. 7. No. 4,

6.

7.

8.

Desember 2010

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

keorganisasian, penyebaran informasi penting/khusus, penyebaran informasi tentang peristiwa terkini. Muatan informasi, pengalaman dan persepsi karyawan tentang; kecukupan informasi, kekurangan informasi, kelebihan informasi, kelewatan informasi/terisolasi. Kemudian pesan, pengalaman dan persepsi karyawan tentang; perbedaan antara pesan yang dimengerti dan yang sebenarnya ada, distorsi atau kesalahan dan omisi/penghapusan Budaya organisasi, pengalaman dan persepsi karyawan tentang; relasi [pengertian, perhatian, mau mendengar, komunikatif, membantu dan mendorong], nilai [kualitas, baik, jasa, pertumbuhan, prima], lingkungan [bersih, rapi, teratur, aman].

menegaskan aktivitas-aktivitas dari implementasi kebijakan. Merekomendasikan hal-hal yang perlu dirubah dan atau memberi dukungan bagi program komunikasi dan membuat petunjuk detail yang lengkap untuk diemplementasikan.

Aktivitas Komunikasi Khusus Langkah 1 : Menemukan Fakta • Menentukan kondisi alami/asli dari suatu organisasi dan mengetahui tujuan-tujuan dari aktivitas yang dilakukan. • Meyakinkan/memastikan prosedur aktivitas dengan referensi pelaksanaan komunikasi yang dapat diterima. • Menemukan pelaksanaan yang disepakati akan memberi kepuasan untuk setiap prosedur instruksi.

RENCANA KERJA UNTUK AUDIT KOMUNIKASI

Langkah 2 : Analisis • Mengkaji aktivitas komunikasi pada setiap level, tujuan-tujuan organisasi, fungsi-fungsi, saluran-saluran, dan tipe-tipe organisasi lain. • Menggunakan alat ukur yang wajar untuk menentukan kekuatan (kelebihan) dan kelemahan dalam keseluruhan sistem komunikasi. • Mencatat kekuatan (kelebihan) dan kelemahan dari seluruh sistem dalam hubungannya dengan faktor-faktor situasional organisasi seperti struktur, proses, dan kepemimpinan.

Rencana kerja adalah sebuah perkembangan dari diskusi yang telah dilakukan sebelumnya baik dari aspek makro dan mikro sistem komunikasi yang telah diperkirakan. Rencana kerja audit dapat dipergunakan di seluruh sistem organisasi atau subsistem tertentu atau pun unit. Hal ini dimaksudkan sebagai petunjuk bagi peneliti, atau menejer komunikasi dalam mengevaluasi sistem komunikasi. Langkah 1 : Menemukan Fakta • Menentukan tujuan-tujuan organisasi, kebijakan-kebijakan organisasi, dan komukasi kebijakan-kebijakan yang diambil organisasi. • Membuat aktivitas komunikasi dan mengklasifikasikannya kedalam hubungan kebijakan-kebijakan spesifik komunikasi. • Mengidentifikasi pengontrolan sistem komunikasi dan fungsi-fungsi organisasi dengan komunikasi sebagai kunci dari tanggung jawab.

Langkah 3 : Evaluasi • Membuat ikhtisar dari data-data yang di dapat dan membuat kesimpulan secukupnya untuk menegaskan aktivitas-aktivitas dari implementasi kebijakan. • Merekomendasikan hal-hal yang perlu dirubah dan atau memberi dukungan bagi program komunikasi dan membuat petunjuk detail yang lengkap untuk diemplementasikan.

Langkah 2 : Analisis • Mengkaji aktivitas komunikasi pada setiap level, tujuan-tujuan organisasi, fungsi-fungsi, saluran-saluran, dan tipe-tipe organisasi lain. • Menggunakan alat ukur yang wajar untuk menentukan kekuatan (kelebihan) dan kelemahan dalam keseluruhan sistem komunikasi. • Mencatat kekuatan (kelebihan) dan kelemahan dari seluruh sistem dalam hubungannya dengan faktor-faktor situasional organisasi seperti struktur, proses, dan kepemimpinan.

PENUTUP Secara umum tulisan ini telah menjabarkan tentang Audit Komunikasi. Lebih jauh audit komunikasi juga berkenaan dengan krisis yang dialami oleh sebuah organisasi. Definisi klasik dari sebuah krisis yang dialami organisasi ataupun perusahaan seperti yang dijabarkan oleh Fink (1986:15) adalah krisis adalah suatu saat goncangan atau kondisi dimana suat perubahan yang sangat menentukan dapat terjadi -yakni suatu kemungkinan tegas yang dapat membawa hasil yan sangat diharapkan dan positif (crisis is an) unstable time or state of affair in which a decisive change is impending -either one with the distinct possibility of a highly undersirable outcame or one with the distinct possibility of highly desirable and extremely positive outcames).

Langkah 3: Evaluasi • Membuat ikhtisar dari data-data yang di dapat dan membuat kesimpulan secukupnya untuk

283


INOVASI : Vol. 7. No. 4,

Desember 2010

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

Sumber krisis dapat terjadi dari internal maupun eksternal perusahaan atau organisasi. Jadi pengertian krisis pada dasarnya merupakan "titik penentuan" atau "momentum" yang dapat mengarahkan pada kehancuran atau kejayaan. Dan hal ini sangat tergantung pada pandangan, sikap, dan tindakan yang diambil pada saat krisis terjadi. Fink kembali menyebutkan adanya empat tahapan dalam masa krisis yang dialami oleh organisasi atau perusahaan. 1. Fase gejala siptomatik atau peringatan awal 2. Fase krisis yang akut 3. Fase krisis kronis 4. Fase resolusi krisis Pentingnya memahami fase-fase ini berkaitan dengan rencana melakukan audit komunikasi dan penyusn rancangan strategis untuk mengatasi persoalan. Demikianlah pembahasan tentang audit komunikasi ini, semoga bermanfaat bagi seluruh pihak yang berkepentingan terhadap permasalahan komunikasi dalam sebuah organisasi.

DAFTAR PUSTAKA Caywood, Clarke L, Handbook of Strategic Public Relation & Integrated Communication, McGraw Hill, New York, 1997. Goldhaber, Gerald M, Organizational Communication, Fifth Edition, WMC Brown Publisher, Dubuque, 1990. Hardjana, Andre, Audit Komunikasi: Teori dan Praktek, PT Grasindo, Jakarta, 2000. Pace, R Wayne and Don Faules, Komunikasi Organisasi Strategi Meningkatkan Kerja Perusahaan, editor Deddy Mulyana, PT Remaja Rosdakarya, Bandung, 1998. Reuss, Carol and Don Silvis, Inside Organizational Communication, Second Edition, Longman, New York, 1985.

284


INOVASI : Vol. 7. No. 4,

Desember 2010

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

Pers Nasional sebagai Penjaga Taman Bahasa Indonesia Mutsyuhito Solin1) 1)

Dosen Universitas Negeri Medan

Abstraksi Tulisan ini membahas fungsi Pers Nasional sebagai Penjaga Taman Bahasa Indonesia. Dalam melaksanakan fungsi dan perannya ternyata Pers Nasional beum mampu mampu menunjukkan dirinya sebagai Penjaga Taman Bahasa Indonesia, akibatnya Taman Bahasa Indonesia sangat rusak menjadi hutan belantara bahasa Indonesa. Upaya harus dilakukan Pers Nasional sebagai Taman Penjaga Bahasa Indonesia adalah menyediakan sejumlah tenaga ahli bahasa dalam jajaran pers sebagai penulis, penyunting, dan penggagas ide-ide memajukan bangsa dengan menggunakan bahasa Indonesia.

Kata kunci : Pers nasional, taman bahasa indonesia, pembinaan bahasa indonesia. Jika pers nasional rusak berarti bahasa Indonesia juga rusak, oleh karena itu menjaga pers nasional berarti juga menjaga kelestarian bahasa Indonesia.

PENDAHULUAN Pers Nasional dan Bahasa Indonesia adalah dua potensi bangsa Indonesia yang belum sejalan dalam mencerdaskan kehidupan bangsa Indonesia. Sebagian besar pers nasional menampilkan bahasa Indonesia yang sangat buruk, seperti (a) menggunakan bahasa Asing atau bahasa Daerah tanpa melalui pertimbangan yang masuk akal, (b) menggunakan bahasa Indonesia dengan tingkat kesantunan yang rendah, dan (c) menggunakan bahasa Indonesia dengan tingkat kecermatan yang sangat rendah. Dengan kondisi seperti itu agak riskan mengatakan pers nasional berfungsi sebagai taman penjaga bahasa Indonesia. Tetapi tidak ada pilihan lain bagi pers sendiri kecuali menumbuhkan pemahaman yang utuh bahwa penggunaan bahasa Indonesa yang benar dalam pers bukan saja untuk merealisasi fungsinya mendidik pembaca tetapi mengembangkan bahasa sebagai asset bangsa yang strategis.

Perlunya menjaga bahasa Indonesia sebagai asset nasional ini karena selain dampak politik yang untuk menjaga KNRI, juga ia memiliki dampak sosial budaya dan pendidikan. Pers nasional juga menjadi ujung tombak dalam mengedepakan penggunaan bahasa Indonesia yang baik dengan benar. Selain itu, pers Nasional sebagai mana yang dibuktikan oleh kalangan Pendidikan, bahasa pers dianggap sangat besar pengaruhnya terhadap masukan bahasa anak-anak, karena anak-anak Indonesia modern sudah banyak yang berinteraksi dengan koran. Bahkan di kalangan para pendidik informasi dari pers nasional ada yang dijadikan sebagai bahan ajar di sekolah sebagaimana yang ditunjukkan oleh table berikut ini. Pada tabel ini topic-topik mengenai (a) keselamatan kerja, (b) teknologi, dan (c) pertanian diambil dari Koran, yang jumlahnya sekitar 41,67%.

Sebagai sebuah konsep bahwa Pers Nasional sebagai Penjaga Taman Bahasa Indonesia sangat tepat , dengan alasan (a) pers nasional adalah media paling aktif menggunakan bahasa Indonesia dalam kehidupan sehari-hari, (b) pers nasional sebagai media penyampai pesan (konsep) yang direalisasi melalui bahasa Indonesia, dan (c) pers nasional yang dapat menekan atau menumbuhkan perkembangan bahasa Indonesia. Perbedaan pers nasional dengan media elektronik adalah karena pesan dan informasi disampaikan melalui bahasa tulis dan bahasa tulis tersebut berupaya mendayagunakan seluruh potensi bahasa. Jika diibaratkan sebuah taman yang memuat aneka macam tumbuhan yang perlu dirawat dan dijaga, maka sama dengan pers nasional sebagai taman bahasa karena di dalamnya tumbuh dan berkembang daya ungkap melalui bahasa Indonesia.

Tabel 1. Sumber Wacana Buku Ajar Ke;as 1-A

Bahkan sumber sekitar macam ini.

285

buku ajar kelas yang lebih tinggi terdapat yang berasal dari Koran tinggi pula yaitu 52,94% yang berkaitan dengan berbagai topik seperti yang diperlihatkan oleh tabel


INOVASI : Vol. 7. No. 4,

Desember 2010

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

(75 buah atau 36,38%), surat kabar mingguan sebanyak 575.745 eksemplar (87 buha atau 30,38%), majalah tengah bulanan sebanyak 1.864.492 eksemplar (48 buah atau 14,65%), majalah bulanan sebanyak 705.492 eksemplar (48 buah atau 5,54%); majalah dwibulanan sebanyak 6.000 eksemplar, majalah tribulanan 6.000 eksemplar, serta bulletin sebanyak 14.054 eksemplar (Suara Karya, 4 Oktober 1994).

Tabel 2. Sumber Wacana Buku Ajar Kelas 3-A

Berdasarkan informasi di atas kita melihat betapa pentingnya peranan pers Nasional itu sebagai penjaga taman bahasa Indonesia karena bahan ajar pembelajaran bahasa Indonesia sudah banyak yang dijadikan dari pers Nasional. Hal itu saya kira akan berlangsung secara terus menerus dan hal itu dapat menunjukkan betapa pentingnya pers Nasional tersebut. Kepentingan dimaksud sejaan dengan tingginya harapan kita terhadap pers Nasional agar dapat menunjukkan kinerjanya dengan baik.

Bahasa pers merupakan salah satu ragam bahasa kreatif bahasa Indonesia di samping terdapat juga ragam bahasa akademik (ilmiah), ragam bahasa usaha (bisnis), ragam bahasa filosofik, dan ragam bahasa literer (sastra) (Sudaryanto, 1995). Saya kira kita setuju dengan Sudaryanto yang menempatkan ragam bahasa pers satu kelompok dengan ragam bahasa akademis, ragam bahasa filosofik dan ragam bahasa sastra. Tiga ragam bahasa yang disebut terakhir ini bukan tidak menuai masalah, tetapi karena frekwensi kehadirannya di tengah-tengah masyarakat tidak sekerap bahasa ragam pers, maka ia tidak banyak menimbulkan persoalan. Bahasa ragam akademis atau bahasa yang digunakan para penulis buku ajar atau laporan ilmiah atau bahasa ragam sastra yang digunakan para penulis puisi, cerpen atau novel, terlihat memang lebih apik bila dibandingkan dengan bahasa ragam pers. Sebabnya para penulis dalam bidang dimaksud lebih memperhatikan kaidah bahasa Indonesia tanpa mengalami penderitaan pengekangan “ekspresi�.

Untuk keperluan penulisan ini, sejumlah pertanyaan akan dicoba dijawab seperti berikut. (a) Apakah fungsi Pers Nasional sebagai Penjaga Taman Bahasa Indonesia? (b) Apakah Pers Nasional sudah mampu menunjukkan dirinya sebagai Penjaga Taman Bahasa Indonesia? (c) Bagaimana upaya yang dilakukan oleh Pers Nasional dari segi kebahasaan agar dapat berperan sebagai Penjaga Taman Bahasa Indonesia?

FUNGSI PERS NASIONAL SEBAGAI PENJAGA TAMAN BAHASA INDONESIA Pers Nasional berarti pers atau surat kabar yang menggunakan bahasa Indonesia. Jika pers nasional tersebut menggunakan bahasa Indonesia yang baik dengan benar, maka pers tersebut dinamakan pers yang mampu menjaga bahasa Indonesia. Jika ada pers Nasional menggunakan bahasa Indonesia tidak baik, seperti tidak benar, mencampuradukkan dengan bahasa asing (lihat lampiran), maka pers tersebut tidak dapat dikatakan menjaga bahasa Indonesia tetapi justru merusak bahasa Indonesia. Perkembangan jumlah pers yang begitu pesat pasca pemerintahan Soeharto lebih kurang ada 800 pelaku pers (Suroso, 2009), diperkirakan hanya 20% lebih yang dikategorikan menggunakan bahasa Indonesia dengan baik. (Koran Tempo, 29 Oktober 2009).

Bahasa ragam pers harus merujuk ke ragam bahasa baku bahasa Indonesia sudah menjadi kesepakatan bersama termasuk dari kalangan pers sendiri. Misalnya, Anwar (2001 : 123) menyatakan pendapatnya sebagai berikut. � Bahasa yang dipergunakan oleh wartawan dinamakan bahasa pers bahasa jurnalistik. Bahasa pers adalah salah satu ragam bahasa. Bahasa jurnalistik memiliki sifat khas yaitu : singkat, padat, sederhana, lancar, lugas, jelas, dan menarik. Akan tetapi bahasa jurnalistiknya mengikuti perkembangan dalam masyarakat harus didasarkan pada bahasa baku, tidak melupakan kaidah-kaidah tata bahasa, memperhatikan ejaan yang benar, kosa kata dalam jurnalistik bahasa�.

Sebelumnya, Menurut BPS di Indonesia terbit sekitar 286 penerbitan pers; 2347 penerbitan nonpers; 116 percetakan pers, dan 6234 percetakan nonpers. Jumlah tiras penerbitan saat ini mencakup surat kabar harian sebanyak 4.691.313 eksemplar

Rujukan kepada bahasa baku perlu dilakukan agar tepat menginformasikan suatu perkara. Misalnya

286


INOVASI : Vol. 7. No. 4,

Desember 2010

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

penggunaan kata “tidak” dan “bukan” yang samasama mempunyai arti yaitu menyangkal atau mengingkari. Walaupun artinya sama, tetapi dalam pemakaian harus berbeda. Kata “tidak” merupakan kata tugas dan dapat berdiri sebagai kalimat sederhana, contoh “Ia tidak makan”. Kata “bukan” tidak dapat berdiri sebagai kalimat sederhana “Ia bukan makan”, kalimat tersebut menuntut kehadiran frase lain, seperti “melainkan minum”, atau “hanya minum” sehingga “Ia bukan makan, hanya minum”.

KINERJA PERS NASIONAL SEBAGAI PENJAGA TAMAN BAHASA INDONESIA Kinerja Pers Nasional sebagai Penjaga Taman Bahasa Indonesia seperti yang dikemukan terdahulu adalah baru ada sekitar 25% pers yang serius dalam urusan kewajibannya. Selebihnya mungkin tidak serius, main-main, kurang dan pengetahuan. Pada awal tulisan ini tadi sudah disebut bahwa ada penulis buku yang menjadikan bahan ajar dari pers Nasional. Pertimbangan penulis tersbut tentulah bahwa bahasa Indonesia baku sudah digunakan oleh surat kabar yang menjadi sumber bahan ajar itu. Apabila semua pers nasional yang demikian besar potensinya itu dapat menampilkan wajah yang sama, yaitu layak sebagai rujukan bahan ajar pendidikan pada semua tingkatan, niscaya media akan berperan sebagai guru bahasa.

Bahasa tidak dapat dilepaskan dari kehidupan manusia dalam perkara untuk saling mengerti atau saling memahami. Hal yang sama juga terjadi pada bahasa pers, yaitu agar terjadi saling memahami. Sebuah berita akan berarti jika berita itu dapat dimengerti oleh pembacanya. Santoso pernah mengatakan bahwa fungsi bahasa dalam kehidupan sehari-hari dapat dibagi dalam tiga bagian, ialah; • Untuk percakapan sehari-hari dan dimengerti oleh sesama manusia. • Dalam puisi, prosa dan retorika dalam tingkat mana seni mempergunakan bahasa, mempunyai peranan yang sangat penting. Dan hasil seni memang sukar dapat dinilai benar-salahnya. • Dalam tingkat pengertian yang jelas, tepat dan dapat diuji benar-salahnya.

Para akademis juga tampaknya berminat untuk ikut membina pers. Hal ini dibuktikan dengan beberapa penelitian yang dilakukan oleh kalangan akademis mengenai bahasa pers. Dari penelitian itu seyogianya dapat dijadikan sebagai landasan pengembangan bahasa pers karena para peneliti telah mengemukakan beberapa temuan yang layak menjadi bahan refleksi pers nasioal. Di antara beberapa penelitian dimaksud diuraikan di bawah ini.

Berkaitan dengan hal itu, hal yang sulit dalam berbahasa adalah dalam urusan konseptualisasi atau menurut bahasa Santoso “dalam tingkat pengertian yang jelas”. Bahasa pers tentu saja diharapkan dapat menyampaikan suatu pengertian dengan jelas. Untuk urusan itu diperlukan kegiatan refleksi dan rekonstruksi, yang diperkirakan kegiatan penulisnya (wartawan) mengumpulkan informasi, menyusun informasi, membahasakan informasi kemudian merefleksi bagaimana visualisasi informasi itu. JIka dalam pikiran penulisnya belum jelas maka yang bersangkutan akan melakukan rekonstruksi, menulis ulang, merevisi atau memoles.

Penelitian Marlina, tentang penggunaan bahasa Indonesia dalam ragam jurnalistik surat kabar harian Seputar Indonesia (Sindo), yang difokuskan pada difokuskan pada kesalahan ejaan, morfologis, dan sintaksis pada penggunaan bahasa Indonesia dalam ragam jurnalistik Sindo. Analisis kesalahan ejaan meliputi kesalahan penggunaan huruf kapital, huruf miring, dan tanda baca. Analisis kesalahan morfologis mencakup kesalahan kata tidak baku dan kata kerja tanpa afiks. Analisis kesalahan sintaksis meliputi kesalahan struktur kalimat, keefekktifan kalimat, dan kelogisan berbahasa. Berdasarkan analisis, diperoleh hasil bahwa terdapat kesalahan ejaan, morfologis, dan sintaksis dalam penggunaan bahasa Indonesia surat kabar harian Sindo. Kesalahan terbanyak terdapat pada tataran sintaksis, yaitu pada struktur dan keefektifan kalimat. Terdapat sedikit kesalahan pada tataran ejaan dan morfologis.

Kehadiran media yang sangat besar maknanya dalam kehidupan masyarakat Indonesia dalam memberikan pengertian yang jelas itu. Hal itu merupakan cerminan kecerdasan masyarakat Indonesia. Pers merupakan media yang menjembatani pencerdasan bangsa dimaksud. Selain itu, dalam pasal 39 ayat 1 UU Kebahasaan Nomor 24 Tahun 2009 tentang bendera, bahasa, dan lambang negara serta lagu kebangsaan, secara tegas dinyatakan bahwa bahasa Indonesia wajib digunakan dalam informasi di media massa. Oleh karena itu media massa saat ini wajib membina penggunaan bahasa Indonesia sebagai tugas baru setelah lahirnya undang-undang (UU) kebahasaan, yaitu mengembangkan, membina, dan mengutamakan penggunaan bahasa Indonesia.

Penelitian Azmil (2009) yang mengkaji penggunaan bahasa Indonesia dalam tajuk rencana surat kabar Waspada, Sinar Indonesia Baru, Analisa, dan Mimbar Umum di Medan, menggambarkan ketidaktepatan para redaktur dalam menggunakan bahasa Indonesia pada tajuk rencana surat kabar di bidang penggunaan tanda baca, leksikal, morfologi, maupun sintaksis. Data yang dianalisis dalam penelitian ini adalah tulisan/ulasan tentang bahasa

287


INOVASI : Vol. 7. No. 4,

Desember 2010

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

pers dan hal-hal yang bersangkutpaut dengan penggunaan bahasa Indonesia para redaktur dalam surat kabar. Dengan menggunakan teori klasifikasi kategori linguistik (Politzer dan Ramirez, 1973), dan fokus penelitian meliputi penggunaan tanda baca, leksikal, morfologi, dan sintaksis, dan hasilnya adalah penggunaan tanda baca merupakan kasus yang lebih dominan ketidak tepatannya dibanding dengan kajian leksikon, morfologi maupun sintaksis.

jelas, menyusun kembali pengalimatannya, dan memperkirakan keterbacaan teks itu. Para ahli bahasa selalu menyarankan untuk urusan pengeditan ini agar mengacu kepada (a) Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), (b) Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia, (c) Ejaan yang Disempurnakan, dan (d) Penulisan Istilah, yang kesemuanya sudah tersedia dan siap untuk digunakan. Pemolesan selalu berkaitan dengan gaya penulisan . Bahasa pers dituntut agar singkat, maka biasanya saran yang diberikan adalah memoles dari kalimat pasif menjadi kalimat aktif, menghilangkan frasa yang lemah agar tidak terkesan bertele-tele, serta menjadikan kalimat panjang menjadi kalimat pendek atau kalimat sederhana. Uurusan itu ada pada urusan pemolesan, oleh karena itu, jika ada bahasa pers yang penggunaan bahasanya tidak sesuai dengan kaidah bahasa baku dan kaidah bahasa pers, maka persoalan itu ada urusan pengeditan baik pada tahap revisi maupun pada tahap pemolesan.

Penelitian Azizah, 2009 mengenai apakah penggunaan bahasa jurnalistik pada teras berita sudah sesuai dengan kaidah bahasa jurnalistik, dengan empat kategori penerapan kaidah bahasa jurnalistik, yaitu pertama, penggunaan kalimat pendek; Kedua, penggunaan kalimat aktif; Ketiga, penggunaan ekonomi kata; Keempat, penggunaan bahasa serapan. Hasil penelitian menunjukkan masing-masing untuk penggunaan kalimat pendek sebesar 74,07 %; penggunaan kalimat aktif (61,11%); penggunaan ekonomi kata (51,85%); dan penggunaan bahasa serapan (44,44%). Kesimpulannya yaitu bahwa bahasa jurnalistik sudah diterapkan sesuai dengan kaidah-kaidah Bahasa Jurnalistik di Harian Umum Galamedia.

DAFTAR PUSTAKA Ajijah. 2009. Penggunaan Bahasa Jurnalistik pada Teras Berita Headline Harian Umum Galamedia. Jurusan Ilmu Komunikasi, Fakultas Sospol, UNIKOM.

UPAYA MENJADIKAN PERS NASIONAL SEBAGAI PENJAGA TAMAN BAHASA INDONESIA

Anshori, Dadang S. Makalah, Bahasa Koran sebagai Bahan Ajar Pembelajaran Bahasa.

Proses menulis dimulai dari (a) menemukan ide, gagasan (informasi, (b) mengembangkannya menjadi konsep, (c) menuangkannya ke dalam paragraf, (d) memilih jenis tulisan antara fiksi dan non fiksi, dan (e) melakukan pengeditan (merevisi dan memoles). Kesemuanya langkah tersebut sama pentingnya meskipun urusan penggunaan bahasa hanya ditemukan pada langkah ketiga,”menuangkannya dalam bentuk paragraf”. Paragraf dianggap sebagai wadah ekspresi wacana secara lengkap yang dibangun dari rangkaian kalimat, kalimat di bangun dari rangkaian kata, dan kata dibangun dari rangkaian bunyi (huruf). Jika tadi ada kekhawatiran terhadap pers nasional, maka kekhawatiran itu bertumpu kepada kemampuan menuangkannya dalam paragraf yang baik.

Anwar, Rosihan (2001). Bahasa Jurnalistik dan Komposisi. Jakarta: Pradnya Paramita. Azmil, 2008. Penggunaan Bahasa Indonesia Dalam Tajuk Rencana Surat Kabar di Medan. Sekolah Pascasarjana USU. Marliana, N.Lia. Bahasa Indonesia dalam Ragam Jurnalistik Surat Kabar Harian “Seputar Indonesia” serta Implikasinya terhadap Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Indonesia di Masyarakat. Program Linguistik, Pusat Pengajian Bahasa dan Linguistik, Fakulti Sains Sosial dan Kemanusiaan, UKM. (kiara_aufa@yahoo.com).

Kemampuan menulis paragraf yang baik jarang dilakukan sekali jalan, tetapi harus diikuti dengan pengeditan. Saya melihat teman-teman dari jurnalis harus memiliki tiga kompetensi yaitu sebagai (a) penulis, (b) pengedit (Perevisi dan pemoles), dan (a) pepublikasi (publisher). Jika dari beberapa temuan penelitian tergambar bahwa bahasa Koran masih belum benar menggunakan bahasa Indonesia maka kasus itu sesunguhnya ada pada urusan pengeditan. Pengeditan itupun dapat dibedakan atas dua macam kegiatan, kegiatan pertama merevisi, yang berarti pekerjaan untuk membuat ide tervisualisasi secara

Nurhaida Harahap. Analisis Pragmatik Wacana Iklan Surat Kabar. Sekolah Pascasarajan Universitas Sumatera Utara Santoso, Prof. Slamet Iman. Fungsi Bahasa, Matematika dan logika untuk Ketahanan Indonesia dalam abad 20 dijalan Raya Bangsa-Bangsa, (kumpulan Tulisan). Jakarta: UI Pres.

288


INOVASI : Vol. 7. No. 4,

Desember 2010

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

Sudaryanto (1995). Bahasa Jurnalistik dan Pengajaran Bahasa Indonesia. Semarang: Citra Almamater. Suroso, 2001. Bahasa Jurnalistik sebagai Materi Pengajaran BIPA Tingkat Lanjut. Makalah pada Konferensi Internasional Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing (KIPBIPA) IV di Denpasar Bali 1-3 Oktober 2001

289


INOVASI : Vol. 7. No. 4,

Desember 2010

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

Ekspresi Lisan Bunyi Ujaran Bahasa Indonesia Anak Autistik Ekolalia Tinjauan Neuropsikolinguistik Gustianingsih 1) 1)

Dosen Fakultas Sastra USU Medan

Abstraksi Angka Pertumbuhan penduduk yang terus meningkat diwilayah perkotaan Medan-Binjai-Deli Serdang (Mebidang) menjadi salah satu faktor pemicu permasalahan transportasi diwilayah tersebutAutisme adalah gangguan pada early chilhood ditandai dengan satu atau lebih karakteristik yang diikuti kurang respons terhadap orang lain, gangguan dalam bentuk berkomunikasi atau keterampilan berbahasa, “Bizzare Responses” terhadap aspek lingkungan, pola “peculiar speech” seperti ekolalia, “metaphorical laguage pronominal reversal”, seperti kamu untuk saya, dan ini terjadi lebih kurang 30 bulan pertama. Autistik dapat terjadi pada semua anak, tidak ada perbedaan ras, tingkat pendidikan, dan status sosial. Angka kejadian anak autistik sekitar 4-5 kasus per 10.000 anak di bawah usia 12-15 tahun . Jika retardasi mental berat dengan ciri autistik dimasukkan angka kejadian meningkat sampai dengan 20 per 10.000 anak.

Kata kunci : Anak austistik, Neuropsikolinguistik. (1) Urutkan [b] sebelum [o], (2) rapatkan kedua bibir, lalu lepaskan, (3) bergetarlah pita suara bersamaan dengan terbukanya bibir (untuk menciptakan bunyi bergetar, perintah ke pita suara itu harus dikirim 30 mls lebih awal daripada perintah ke bibir (Dingwall, 1998: 64), (4) pertahankan getaran pita suara, (5) lakukan bagian lidah sedikit ke atas belakang, (6) buka mulut dan bulatkan kedua bibir sedikit untuk membuat [o]) dan seterusnya untuk [l], [e], [h]. Proses ini berjalan sangat cepat dan memerlukan kerjasama antarneuron yang akurat di dalam otak. Jika terjadi gangguan pada syaraf-syaraf otak di Medan Broca, maka akan terjadi penyimpangan-penyimpangan bunyi dalam ujaran anak tersebut. Dikatakan menyimpang karena bunyi yang diujarkan tidak sesuai dengan bunyi yang seharusnya diujarkan secara universal sesuai dengan perkembangan usianya. Penyimpangan-penyimpangan itu terjadi dengan pertukaran bunyi konsonan atau vokal, pelesapan bunyi vokal dan konsonan, penambahan bunyi konsonan dan vokal, serta salahurut (metatesis) pada bunyi konsonan dan bunyi vokal dalam ujaran bahasa Indonesia anak autistik.

PENDAHULUAN Penelitian ini dilatarbelakangi adanya peristiwa berbahasa yang tidak normal. pada anak usia 5-10 tahun. Ketidaknormalan itu dilatarbelakangi oleh keautisan seorang anak. Keautisan anak tersebut yang disebabkan oleh kerusakan pada otak anak khususnya pada hemisfer kiri otak anak. Kerusakan pada hemisfer kiri ini disebut juga dengan kerusakan pada Medan Broca. Medan Broca adalah bertugas untuk memproduksi bunyi ujaran baik ujaran vokal ataupun ujaran konsonan. Begitu juga pada hemisfer kiri, khususnya pada Medan Wernicke, jika terjadi gangguan berpengaruh terhadap ekspresi ujaran pada Medan Broca. Medan wernicke bertugas untuk memahami bunyi ujaran yang sampai pada seseorang atau anak. Hubungan Medan Wernicke dengan Medan Broca di dalam proses berbahasa sangat erat. Bunyi direseptif melalui telinga kanan untuk kemudian dikirim ke Medan Wernicke untuk difahami, kemudian dari Medan Wernicke dikirim bunyi ujaran ke Medan Broca melalui saluran ynag disebut arcute fasciculus. (Geswind, 1981: 1127; Dingwall, 1997: 54; Simanjuntak, 2009: 118; Dardjowidjojo, 2000: 123). Jika terjadi percakapan antara A dan B dan menanyakan sesuatu “ Bolehkah saya datang ke rumah kamu?” Setelah diputuskan untuk dijawab, Medan Broca memerintahkan girus prasentral untuk mewujudkan tanggapan itu dalam bentuk bunyi ujaran. Seandainya jawaban itu adalah boleh, girus prasentral mengatur realisasi ujaran itu dengan memberikan seberkas perintah alat-alat penyuara.

Fenomena kedua, karena jenis penelitian neuropsikolinguistik adalah jenis penelitian yang termasuk sukar diteliti, karena melibatkan beberapa bidang ilmu seperti neurologi, psikologi, dan linguistik; dalam hal ini fonologi dan anak tidak normal (autistik). Jenis penelitian ini belum pernah diteliti dari sudut neuropsikolinguistik khususnya bidang fonologi. Fenomena ketiga, banyak orang tua merasa malu memiliki anak autistik. Anak disimpan dan tidak boleh bertemu dengan

290


INOVASI : Vol. 7. No. 4,

Desember 2010

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

masyarakat umum. Padahal jika hal itu terus berlangsung, anak semakin tidak dapat berkembang.

diperlukan. Kerjasama antardisiplin ini telah mencoba menyelidiki masalah-masalah afasia atau autistik yang tertentu dengan cara menghubungkannya dengan teori (kerangka) linguistik yang relevan (Simanjuntak, 1987).

TEORI DAN KONSEP Teori Neuropsikolinguistik

Telah dapat dipastikan oleh neurolinguistik, bahwa bahasa berdomisili di belahan otak sebelah kiri. Tentu ada juga manusia yang menyimpang dari hukum alamiah ini, yaitu orang-orang yang pusat bahasanya berada di belahan kanan otaknya. Pengecualian ini tidak banyak, dan hal seperti ini memang biasa (lumrah), seperti kaum wadam yang menyimpang dari manusia-manusia normal, dengan pengertian, bahwa orang-orang yang berpusat bahasa di belahan otak sebelah kanan tidak harus dikategorikan sebagai cacat dalam pengertian wadam, cuma agak lain dari yang biasa. Teori Wernicke (Wernicke, 1974) telah terbukti sebagai satu teori yang paling baik yang telah berhasil menerangkan hakikat pusat bahasa di belahan kiri otak ini.

Teori neuropsikolinguistik menelaah hubungan pemerolehan bahasa, ekspresi, dan komprehensi dengan pusat bahasa yang terdapat dalam otak manusia. Tujuan utama penelitian ini adalah untuk membuktikan bahwa manusia telah diatur secara alamiah bagaimana memperoleh bahasa sekaligus dapat mengekspresikan dan memahami bahasa tersebut setelah bahasa tersebut diperoleh. Hubungan pemerolehan bahasa dengan fungsifungsi bahasa yang dilokalisasi pada otak akan menjadi penemuan yang berharga dalam sebuah penelitian neuropsikolinguistik. Penemuan neuropsikolinguistik dalam penelitian ini dihubungkan juga dengan fenomena gangguan berbahasa anak autistik dalam membentuk struktur bunyi ujaran bahasa Indonesia.

Dukungan yang paling penting adalah teori Wernicke ini telah muncul setelah ahli-ahli mempelajari kasus kerusakan pada hubunganhubungan antara belahan otak, yaitu korpus kalosum (Corpus Callosum) atau jaringan jalan ke dan dari korpus kalosum. Korpus kalosum adalah satu bundel jaringan besar berwarna putih yang menghubungkan belahan otak kiri dengan belahan otak kanan. Apabila korpus kalosum ini rusak, maka hubungan di antara belahan-belahan otak pun akan terputus. Pesakit (subjek) akan dapat melihat satu benda yang terletak di dalam medan penglihatan kiri (dengan mata kiri) dan mengenalnya, tetapi dia tidak dapat menyebutkan namanya, karena informasi mengenai benda itu tidak dapat dikirim ke belahan otak kiri (korteks serebrum dominan), yaitu pusat bahasa dan ucapan dua belahan otak ini telah rusak, yang mengakibatkan nama benda itu tidak dapat keluar (tidak dapat diucapkan). Sebagaimana yang telah diterangkan di atas, leksikon (nama benda) disimpan di Medan Wernicke dan yang memproduksi bunyi nama benda itu ialah Medan Broca. Selain dari itu, dalam eksperimen lain, subjek dapat juga mengenal benda itu hanya dengan menyentuhnya dengan tangan kirinya, misalnya kunci, dengan cara mendemonstrasikan tangannya bahwa benda itu dapat membuka pintu, tetapi dia tidak dapat menyebutkan namanya karena yang bertanggung jawab untuk penyebutan nama ini ialah otak sebelah kiri atau Medan Broca(Gesshwind dan Kaplan, 1962; Gazzaniga, 1970 dan Simanjuntak, 1988).

Neurolinguistik sebagai satu disiplin juga memakai pendekatan antardisiplin (interdisciplinary approach) untuk menerangkan hakikat hubungan bahasa dengan otak, dengan tujuan utamanya untuk membuktikan, bahwa manusia telah diatur secara alamiah untuk berbahasa. Untuk menghasilkan beberapa teori mengenai hubungan bahasa dengan otak (sistem syaraf) setelah hasil-hasil ini disejajarkan dengan teori-teori linguistik yang telah sedia ada. Hasil-hasil penemuan neurolinguistik ini juga telah sangat bermanfaat, di samping kegunaannya dalam menerangkan aspek-aspek bahasa, asal mula dan evolusi bahasa, dalam menambah pengetahuan kita mengenai aspek-aspek penyakit bertutur, seperti autistik, gagap, lambat bertutur, afasia dan sebagainya, serta pengobatannya (Simanjuntak, 1987). Neurolinguistik menggunakan data-data klinikal dari tenaga ahli yang sesuai dengan bidangnya, yang kemudian dikumpulkan oleh ahli linguistik untuk menemukan hubungan mekanisme fisiologi dan neuropsikologi yang melandasi penyakitpenyakit bertutur. Data klinikal ini akan memberikan satu kaidah (metode) yang objektif untuk mengkaji struktur dalam bahasa dan ujaran yang kemudian dicari hubungan mekanisme syaraf (otak) yang melandasi penyimpangan berbahasa pada anak atau orang dewasa. Penyimpanganpenyimpangan penggunaan bahasa (lisan dan tulisan) yang disebabkan oleh kegegeran korteks (cortical lesions) telah menimbulkan banyak masalah yang pemecahannya memerlukan kerjasama yang intensif terutama di antara neurolinguistik dan neuropsikologi di samping kerjasama dengan disiplin-disiplin lain bila

Para ilmuwan psikolinguistik (antar lain: Brown, 1972; McNeil, 1970; Moskowitz, 1978; Slobin, 1979; dan Simanjuntak, 1990) tampak sependapat

291


INOVASI : Vol. 7. No. 4,

Desember 2010

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

linguistik, sehingga teori ini sangat tidak memadai untuk menerangkan proses-proses produksi bahasa. Menurut Chomsky, tidak mungkin seorang anak mampu menguasai bahasa ibunya dengan begitu mudah, yaitu tanpa diajarkan dan begitu cepat (Âą 3 tahun) dengan masukan yang begitu miskin (ayatayat tidak lengkap, kadang-kadang terputus-putus, kadang-kadang salah, dan sebagainya) tanpa adanya struktur sejagat dan LAD itu di dalam otaknya secara genetik (Chomsky, 1968).

bahwa teori pemerolehan, ekspresi dan komprehensi bahasa dalam kajian psikolinguistik lahir sebagai ilmu setelah Chomsky (1968). Ini tidak berarti bahwa ada kecenderungan untuk mengingkari usaha-usaha para ilmuwan sebelumnya mempelajari perkembangan bahasa pada anak kecil (Blumenthal, 1967). Menurut Chomsky, tidaklah ada gunanya sama sekali untuk menjelaskan proses pemerolehan bahasa tanpa mengetahui dengan baik apa sebenarnya bahasa sebagai benda yang sedang diperoleh, diekspresikan, dan dipahami itu. Untuk dapat menerangkan hakikat proses ekspresi, pemerolehan bahasa, di samping memahami apa sebenarnya bahasa itu, kita tidak boleh menyampingkan pengetahuan mengenai strukturdalam organisme (manusia), yakni bagaimana caracara orang (organisme) memproses masukan (input) informasi, dan bagaimana cara-cara perilaku berbahasa itu diatur. Semua cara ini ditentukan oleh struktur awal yang dibawa sejak lahir yang sangat rumit, dan proses perkembangannya diatur menurut proses pematangan genetik dan pengalamanpengalaman yang telah lalu.

Dalam proses pemerolehan bahasa, tugas anak-anak dengan alat yang dimilikinya (yaitu LAD) adalah menentukan bahasa masyarakat manakah yang menjadi masukan kalimat-kalimat yang didengarnya. Struktur awal atau skema internal yang dimiliki anak semakin diperkaya setelah “bertemu� dengan masukan dari bahasa masyarakatnya (bahasa ibunya), dan anak-anak akan membentuk teori tata bahasanya berdasarkan proses itu. Tata bahasa itu terus-menerus disempurnakan berdasarkan masukan yang semakin banyak, dan sesuai dengan proses pematangan otaknya. Sesudah mencapai umur tiga atau empat tahun, tata bahasa ini sudah hampir sama baiknya dengan tata bahasa yang dimiliki orang dewasa. Keadaan ini merupakan hal yang luar biasa mengingat betapa rumitnya bahasa yang sedang diperolehnya.

Hipotesis internal bahasa (The Innateness hypothesis) merupakan suatu hipotesis yang sangat penting dalam psikoliguistik dewasa ini karena hipotesis inilah urat nadi pengkajian kognitif. Boleh dikatakan psikolinguistik menjadi dewasa secara penuh pada tahun 1975 setelah perdebatan hebat terjadi di antara Piaget dan pengikutnya dengan Chomsky dan pengikutnya di suatu pertemuan khusus di Abbaye de Royaumont, satu tempat konferensi tidak berapa jauh dari Paris. Sejak itu psikolinguistik menjadi tumpuan dan rujukan ilmuilmu lain dan seterusnya menguasai hampir semua kegiatan manusia terutama dalam bidang pemerolehan, pembelajaran, dan pengajaran bahasa (Simanjuntak, 1988:39, Gustianingsih, 2002).

Konsep Ekspresi Ujaran Dari sudut pandang ilmu neuropsikolinguistik, ekspresi adalah mengeluarkan, menyampaikan, mengekspresikan, bunyi, kata, frasa, klausa, kalimat, atau wacana secara lisan dan tulisan melalui proses psikologis dalam urutan wajar dan kordinasi yang tepat dengan neurobiologis manusia (Clark and Clark, 1977). Proses dalam mengekspresikan bunyi ujaran tersebut dapat dilalui dengan beberapa tingkatan, yaitu: tingkat fonologi, bagaimana struktur fonologi ujaran itu diwujudkan; (1) daftarkan bunyi vokal dan konsonan suatu bahasa, (2) bentuk fitur distingtif setiap bunyi yang muncul, (3) tunjukkan bagaimana mengekspresikan bunyi konsonan melalui tempat artikulasi, cara artikulasi, dan bentuk pita suara, (4) tunjukkan bagaimana memproduksi bunyi vokal melalui tinggi vokal, belakang vokal, dan bulat vokal, (5) tunjukkan aturan fonotaktik bahasa bersangkutan.( Band. Bock dan Levelt 1994:954-984; Bock dan Griffin 2000; Meyer 2000).

Teori Psikolinguistik Kognitif Chomsky telah didasarkan pada satu hipotesis yang disebut Hipotesis Internal (HI) (The Innateness Hypothesis) itu sangat kuat mengatakan bahwa otak manusia telah dipersiapkan secara genetik untuk berbahasa. Untuk ini otak manusia telah diperlengkapi dengan Peranti Pemerolehan Bahasa (PPB) (Dardjowidjojo, 2000; Simanjuntak, 1988) atau disebut dengan LAD (Language Acquisition Device) oleh Chomsky. Dalam proses pemerolehan bahasa LAD menerima ucapan-ucapan dan data lain yang berkaitan melalui pancaindera sebagai masukan dan membentuk rumus-rumus linguistik berdasarkan masukan ini yang kemudian diproses secara internal di dalam otak manusia sebagai hasil (produksi). Menurut Chomsky, andai kata kita menerima teori behaviorisme (S-R) maka masukan ini terlalu miskin untuk membangkitkan rumus-rumus

Konsep Penyimpangan Bunyi Ujaran Penyimpangan bunyi ujaran pada anak gangguan berbahasa pada umumnya mengharuskan kita mengetahui tipe-tipe penyimpangan yang biasa muncul, seperti penyimpangan dengan pertukaran bunyi, pelesapan, penambahan, dan kesalahurutan

292


INOVASI : Vol. 7. No. 4,

Desember 2010

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

apabila bunyi yang mempengaruhi terletak setelah penyimpangan ekspresi, misalnya Cecak →[tat].

(metatesis). Penyimpangan dengan pertukaran bunyi terjadi apabila sebuah bunyi, yang merupakan anggota bunyi yang berbeda, muncul menggantikan bunyi dari bunyi sasaran, contoh [sera?] untuk /serak/. Blumstein (1994) mengungkapkan apabila penyimpangan penyisipan bunyi tertentu tidak dapat ditentukan kemunculannya, arah penyimpangan tersebut dapat diramalkan dengan mencari hubungan sistematis antara bunyi sasaran dan penyimpangan penyisipan yang dominan, mencakup penyisipan fitur distingtif (distinctive features) tertentu. Hirarki fitur dapat dijabarkan mulai dari kontras fitur yang sangat mantap, seperti fitur klasifikator utama, yakni vokal dan konsonan, sampai ke fitur yang kurang stabil, seperti masalah kontinuan dalam cara berartikulasi.

Kohn (1993) tidak menggolongkan asimilasi sebagai jenis penyimpangan tersendiri, namun merupakan salah satu proses yang menyebabkan terjadinya penyimpangan penambahan dan penyisipan. Menurutnya, konteks bunyi yang melingkungi (surrounding phonene contexts) dapat mempengaruhi penyimpangan pembentukan bunyi yang mengakibatkan akan penyisipan dan penambahan bunyi. Penyimpangan bunyi ujaran yang terjadi pada sebuah atau beberapa bunyi pasti akibat dari pengaruh bunyi lain yang menyetainya. Oleh sebab itu, dalam penelitian ini, penyimpangan asimilasi yang digolongkan Blumstein (1994) sebagai penyimpangan lingkungan akan diperlukan sebagai proses yang mengakibatkan timbulnya penyisipan atau penambahan bunyi, dan bukan sebagai tipe penyimpangan tersendiri.

Penyimpangan bunyi ujaran yang berupa penghilangan sebuah bunyi sebagai penyimpangan pelesasan bunyi (phoneme omission errors), misalnya mancis → [matæ]. Namun, pada Blumstein (1994), istilah tersebut diubah dengan penyimpangan simplifikasi atau penyederhanaan (simplification errors). Blumstein menyadari bahwa pertukaran peristilahan tersebut diperlukan, karena pada dasarnya pelesapan tidak hanya terjadi pada sebuah bunyi saja, tetapi juga beberapa bunyi pada kata yang sama, bahkan juga pelesapan unsur yang berstruktur suku kata (misalnya, konstruksi → [tonto]). Menurut Blumstein, analisis tentang penyimpangan simplifikasi mengungkapkan adanya kecenderungan umum untuk menyederhanakan struktur suku kata menjadi pola kanonis KV. Jadi, gugus konsonan direduksi dan konsonan akhir suku kata cenderung untuk dihilangkan. Dinyatakan juga bahwa penderita gangguan berhasa pada umumnya mempunyai kecenderungan untuk mereduksi gugus konsonan, dan bahkan deret vokal (lihat Kohn 1993). Kemudian, penyimpangan dengan penambahan bunyi terjadi jika sebuah bunyi atau suku kata tambahan dimasukkan ke dalam sebuah kata, seperti pada [tEppoyo] untuk /semprong/. Kecenducendrungan untuk mengubah struktur silabis VK menjadi KV atau KVK juga terjadi pada penyimpangan penyisipan, misalnya susu → [# tusut#] (Blumstein 1994).

Kaitan fitur distingtif dengan jenis penyimpangan bunyi ujaran pada anak gangguan berbahasa, Blumstein (1973) dan Niemi, Koivuselka-Sallinen, dan Henninen (1985) mengemukakan bahwa tipe penyimpangan bunyi ujaran, terutama penyisipan, penambahan dan pelesapan, ada kaitan yang menarik diantara fonem yang menyimpang dan fonem sasaran. Fitur distingtif ini meliputi fitur klasifikator utama, yang membedakan bunyi bahasa atas kelompok vokal dan konsonan, dan fitur distingtif yang lebih terinci menurut kelompok vokal dan konsonan. Fitur ditingtif vokal mencakup kadar keterbukaan celah (apertur degree), posisi puncak lidah secara vertikal yang menghasilkan vokal tinggi – rendah, serta kondisi maju mundurnya lidah yang menghasilkan vokal depan – belakang. Sementara itu, fitur distingtif konsonan meliputi daerah artikulasi, cara berartikulasi, dan keadaan pita suara (Jakobson 1971;Blumstein 1973;Niemi, Koivuselka-Sallinen dan Hanninen 1985; Laver 1994)

METODE PENELITIAN Data dalam penelitian ini akan diambil dari tuturan anak autistik yang berada pada Pusat Terapi Autistik Yayasan Ananda Karsa Mandiri (YAKARI) Jl. Abdullah Lubis no.15 Kecamatan Medan Baru, Medan, Sumatera Utara, yang selanjutnya disebut sebagai subjek penelitian. Jumlah subjek penelitian sebanyak 3 orang anak, karena 3 anak ini masih dapat diajak berkomunikasi dan mereka dijadikan sebagai sumber data penelitian ini.

Jenis penyimpangan metatesis dan assimilasi atau penyimpangan urutan (misordering) adalah penyimpangan urutan bunyi atau suku kata dalam sebuah rangkaian yang sama, misalnya mobil → [#molæb#] . Asimilasi masih dibedakan lagi atas asimilasi Progresif dan asimilasi regresif. Penyimpangan asimilasi merupakan penyimpangan ekspresi sebuah atau beberapa bunyi akibat terpengaruh oleh sebuah atau beberapa bunyi pada rangkaian yang sama. Asimilasi progresif terjadi apabila bunyi yang mempengaruhi terletak sebelum penyimpangan ekspresi, misalnya cendramata → [tætama]; sementara asimilasi regresif terjadi

Anak autistik yang dijadikan sebagai subjek penelitian adalah anak yang sesuai dengan DSM IV (Diagnostik Statistical Manual) ke-4 dan ICD-10, (International Classification of Diseas) ke-10,

293


INOVASI : Vol. 7. No. 4,

Desember 2010

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

WHO 1987 dan laporan medis tentang status anak autistik ekolalia di YAKARI oleh Prof.dr. Yoesoef Simbolon, Sp.Kj(K); seorang dokter medis ahli jiwa dan autistik di YAKARI. Beliau menegaskan bahwa anak autistik terbagi dua kategori yaitu: Autistik Infantil (Parah) Autistik ASD (Autistik Spektrum Disorder) dengan kecendrungan hiperaktif selanjutnya disebut dengan (HA), kecenderungan Speech Delay (SD), dan kecenderungan ekolalia (EK). Anak Autistik dalam penelitian ini termasuk jenis ASD, yaitu jenis autistik yang berkategori ringan dan dapat berkomunikasi. Anak autistik ini mendapat terapi (akademik, prilaku, dan wicara) masing-masing selama 3-5 tahun. Tiga orang anak autistik yang berkategori ekolalia yang dikenal dalam penelitian ini sebagai EK (selanjutnya disebut EK1, EK2, dan EK3). Umur subjek berkisar antara 5-10 tahun. Penelitian ini dilakukan sevara kualitatif-kuantitatif dengan teknik perekaman, tebak gambar, dan simak- catat.

dapat menjelaskan munculnya matatesis atau penyimpanganurutan secara lebih banyak dari pada penambahan bunyi bahasa.

HASIL PENELITIAN

Ekspresi penyimpangan bunyi konsonan yang sering terjadi pada bahasa anak autistik adalah jenis penyimpangan dengan peesapan bunyi. Bila dilihat dari fitur distingtif, dapat dirumuskan menjadi 3 fitur, seperti fitur TEMPAT artikulasi, fitur CARA artikulasi, dan fitur BERSUARA, serta jumlah bunyi yang berubah.

1.

Ekspresi dengan metatesis muncul menduduki dengan urutan ketiga yaitu sebanyak (16,00%) dan diikuti dengan ekspresi dengan penambahan bunyi sebanyak(08.00%). Ekspresi bunyi vokal dan konsonan sangat berbeda. Ekspresi bunyi konsonan lebih banyak mengalami penyimpangan daripada ekspresi vokal dalam bahasa anak autistik. Hal ini disebabkan oleh jenis bunyi vokal diekspresikan dengan gerak perubahan yang pelan dalam konfigurasi saluran supralaringal secara global, sedangkan ekspresi konsonan membutuhkan gerakan lokal dan cepat pada artikulator. (lihat penelitian Niemi dkk, 1995: 39). 2.

Ekspresi dan Jenis Penyimpangan Bunyi Ujaran Anak Austistik Ekolalia

Dari 500 penyimpangan bunyi ujaran yang muncul pada anak autistik ekolalia, tampak bahwa penyimpangan dengan pelesapan bunyi yang paling sering muncul (210 penyimpangan), penyimpangan dengan pertukaran bunyi (170 penyimpangan), penyimpangan metatetis (80 penyimpangan), dan penambahan bunyi (40 penyimpangan).

Fitur Distingtif pada Jenis Penyimpangan Bunyi Konsonan

Tabel 1. Bunyi yang Dilesapkan dan Ditambahkan menurut fitur Tempat Artikulasi Tempat Artukulasi Labial Dental-Alveolar Palatal Velar Faringal TOTAL

Ekspresi dengan penyimpangan bunyi yang muncul terbanyak adalah penyimpangan pelesapan sebanyak (42,00%). Penyimpangan ini dikenal dengan penyimpangan simplifikasi atau penyederhanaan. Dicatat bahwa anak autistik cenderung untuk melakukan penyimpangan penyederhanaan ini. Penyimpangan ini mencerminkan pemrosesan fonetis yang terganggu. Hal tersebut menyiratkan bahwa Penyimpangan bunyi itu terjadi akibat adanya gangguan pada tataran aktualisasi fonetis. (bnd. Dengan Blumstein 1994 dan Kohn 1993). Pertukaran bunyi muncul dengan urutan kedua (34,00%) menyiratkan bahwa, pada anak autistik ternyata telah terjadi gangguan pada tataran pengkodean fonologis. Gangguan pada tahap pengkodean fonologis dapat menyebabkan sebuah atau beberapa bunyi bahasa mengalami penyimpangan atau pergeseran. Akibatnya, bunyi yang dihasilkan diganti dengan bunyi lainnya.

Pelesapan N % 28 25,24 60 54,54 2 1,81 15 13,63 5 4,54 110 100

Penambahan N % 11 55,00 7 35,00 2 10.00 0 0 20 100

Tabel 1 ini menjelaskan bahwa konsonan dental/alveolar merupakan konsonan yang sering lesap dalam ujaran anak, begitu pula dengan bunyi yang ditambahkan yaitu bunyi labial dan dentalalveolar. //# lepas #// → [# y Ìp Ì #] //# busur #// → [# poto #] Tabel 2. Bunyi yang Dilesapkan dan Ditambahkan Menurut Fitur Cara Artikulasi Cara Artikulasi Hambat-Letupan Frikatif Lateral Nasal Getar Aproksiman TOTAL

Pengelompokan gangguan pada tataran kedua pada pengkodean fonologis, sebagai gangguan pada lapisan penyangga bunyi bahasa (buffer). Gangguan berbahasa dapat menimbulkan pemerolehan bunyi sasaran dalam dua hal: pertukaran bunyi bahasa dan penyimpanganurutan bunyi. Hal itu pulalah yang

294

Pelesapan N % 35 31,81 15 13,63 19 1,72 27 2,45 12 1,09 2 1,81 110 100

Penambahan N % 8 40,00 3 15,00 2 10,00 5 25,00 0 2 10,00 59 100


INOVASI : Vol. 7. No. 4,

Desember 2010

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

Dari sudut fitur cara, konsonan yang paling sering dilesapkan adalah konsonan hambat letup (31,81%) dan kemudian konsonan nasal (24,50%). Pada jenis penambahan juga pada konsonan hambat letup (40,00%) dan konsonan nasal (25,00%) merupakan konsonan yang paling sering menjadi bunyi tambahan atau sisipan. Pada penyimpangan penambahan, selain kedua konsonan tersebut masih terdapat konsonan lain yang cukup sering muncul, yakni konsonan lain frikatif (15,00%). Perhatikanlah kecenderungan pada kedua jenis penyimpangan tersebut dalam contoh-contoh berikut ini.

Total

3 10 8 1 0 22

Faringal

2 3 4 7 0 16

Velar

Palatal

Dental/ Alveolar

Labial

8 40 10 13 0 71

0 7 0 2 0 9

25 90 27 23 5 170

0 0 5 2 6 2 15

0 0 0 30 5 3 38

4 0 31 8 0 6 49

0 0 10 9 6 0 25

60 12 27 41 18 12 170

→ → → →

[# penæ #] [# tada #] [# iđo #] [# pæyo #] [# t æti #]

Tabel 6. Matriks Pertukaran Bunyi Konsonan Menurut Fitur Bersuara Sasaran Bersuara Tak Bersuara TOTAL

Penukar

12 10 5 0 5 32

8 0 2 0 0 0 10

//# pentas #// //# kandaη #// //# hiduη #// //# jarum #// //# cacing #//

Tabel 4. Matriks Pertukaran Bunyi Konsonan Menurut Fitur Tempat Artikulasi

Labial Dental/Alveolar Palatal Velar Faringal TOTAL

35 10 0 10 4 4 63

Tabel 5 ini menjelaskan bahwa jika fitur cara bertukar, seringkali hasil akhirnya merupakan konsonan hambat-letup. Termasuk ke dalam kategori adalah konsonan hambat-letup /p/, /b/, /t/, /d/, /k/, dan /g/ dan konsonan letup /c/ serta /j/.

Berdasarkan fitur bersuara, bunyi ujaran yang sering menyimpang adalah bunyi bersuara dibandingkan bunyi tak bersuara. Ini menunjukkan bahwa konsonan dengan pemarkah [+bersuara] cukup sulit bagi anak autistik untuk mengekspresikannya. Contoh: //# gabus #// → [# tato #] //# zaman #// → [# tama #] //# maksud #// → [# mattom #]

Sasaran

Total

Penambahan N % 7 35,00 13 65,00 20 100

Aproksiman

dan

Getar

Pelesapan % 53,63 46,37 100

Hambat Frikatif Lateral Nasal Getar Aproksiman TOTAL

Nasal

Sasaran

Lateral

N 59 51 110

Penukar Frikatif

Bunyi Bersuara/ Tidak Bersuara Bersuara Tidak Bersuara TOTAL

[# tE #] [# pom #] [# pətə #] [# dəmo#] [# mεyε #]

Tabel 5. Matriks Pertukaran Bunyi Konsonan Menurut Fitur Cara

[# towwa #] [# mbum #] [# tEyyæ #] [#appa #] [# mittæ #]

Tabel 3. Bunyi yang Dilesapkan Ditambahkan Menurut Fitur Bersuara

→ → → → →

//# fleksibel #// //# volume #/ ///# baca #// //# zamrut #// //# mereng #//

Hambat

→ → → →

//# toga #// //# gembung #// //# melayang #// //# asbak #// //# minta #//

labial. Pertukaran fitur tempat dapat dilihat pada contoh berikut ini :

Bersuara 71 69 140

Penukar Tak bersuara 19 11 30

Total 90 80 170

Tabel 6 ini menjelaskan bahwa jika terjadi pertukaran dalam hal fitur bersuara, penyimpangan yang terjadi lebih banyak melibatkan konsonan bersuara daripada konsonan tak bersuara, yakni (52,94%) sasaran adalah konsonan bersuara, dan (47,05%) penukar adalah konsonan tak bersuara. //# getah #// //# bedak #// //# sanggul #// //# basuh #// //# parkiran #// //# sumut #//

Tabel 4 di atas menunjukkan bahwa jika ciri pembeda tempat bertukar, dampak terbesarnya terjadi pada konsonan dental-alveolar. Kategori ini meliputi konsonan labiodental /f/ dan konsonan bilabial serta alveolar, seperti /t/, /d/, /r/, dan /l/. Khusus konsonan getar /r/ senantiasa lesap. Nasal [η] sering lesap terkadang bertukar menjadi nasal

295

→ → → → → →

[# tetæ #] [# petæ #] [# tano #] [# pato #] [# patæ #] [# tæmo #]


INOVASI : Vol. 7. No. 4,

3.

Desember 2010

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

Fitur Distringtif pada Ekspresi Bunyi Vokal

Sasaran Tinggi Tengah Rendah TOTAL

Tabel 7. Bunyi Vokal yang Dilesapkan dan Ditambahkan Menurut FiturTinggi Tinggi/Rendah Vokal Tinggi Tengah Rendah TOTAL

Pelesapan

Penambahan

34 50 16 100

0 0 20 20

→ → →

[# yapaa #] [# pata #] [# tapo #] [# teta #]

Tabel 8. Bunyi Vokal yang Dilesapkan dan Ditambahkan Menurut Fitur Belakang Belakang, Depan, Pusat Depan Pusat Belakang TOTAL

Pelesapan

Penambahan

35 15 50 100

0 5 15 20

//# pilih #// //# tuli #// //# silih #// //# pikir #//

Penambahan

13 87 100

3 17 20

Total 40 10 20 70

→ → → →

[# pælæ #] = EK, SD [# tolæ #] = EK, SD, HA [# tælæ #] = HA, SD [# tæyæ #] = EK [# pætæ #] = EK [# pætæl #] = SD, HA

Vokal tengah, pusat /∂/ bertukar menjadi vokal depan, rendah /æ/ di tengah dan akhir kata, contoh: //# b∂n∂r #// → [# bænæ #] //# k∂rang #// → [# tælæ #] Vokal tinggi, belakang bulat /u/ bertukar menjadi vokal /o/ apabila diikuti bunyi tengah, pusat /∂/, contoh: //# tub∂ #// → [# topæ #] = EK2 ‘wadah’ [# toyæ #] = EK

Tabel 9. Bunyi Vokal yang Dilesapkan dan Ditambahkan Menurut fitur Bulat Pelesapan

Penukar Belakang 21 2 7 30

Vokal tinggi, depan /i/ bertukar menjadi vokal rendah depan /æ/ di tengah dan akhir kata, contoh:

Berdasarkan atas fitur belakang, vokal depan, tinggi [i] dan vokal belakang [u] lebih banyak lesap dan bertukar (n= 50; 50,00%), dan vokal yang sering ditambahkan adalah vokal belakang /o/, tengah /e/ (n= 15; 75,00%), kemudian vokal pusat, tengah /e/sedikit mengalami penyimpangan. //# termometer #// → [#temote #] //# mulus #// → [# moyo #] //# semprong #// → [# tepoyo #] //# priksa #// → [# peyeta #]

Bulat Tak bulat Bulat Tak Bulat TOTAL

Pusat 9 4 8 21

Tabel 10 ini menjelaskan bahwa bunyi vokal yang sering bertukar adalah jenis vokal tinggi (n = 40;57,14 1%) dan vokal rendah (n = 20; 28,57%) dan vokal tengah (n = 10; 14,28%) . Hal ini menunjukkan bahwa anak autistik ekolalia memiliki kecenderungan mengalami kesulitan dalam mengekspresikan bunyi tinggi, depan [i] . Ekspresi bunyi vokal tinngi, depan [i] adalah dengan menaikkan bagian depan lidah dan mengangkat setinggi mungkin ke langit-langit keras dan bagian depan bibir hampir-hampir membentuk semacam lubang yang akan menghasilkan bunyi spiran. Begitu juga bila dilihat data bahwa ekspresi bunyi vokal belakang, tinggi, bulat [u] anak juga melakukan penyimpangan dan dalam jumlah besar, ini artinya dalam mengekspresikan bunyi [u] anak mengalami kesulitan mendekatkan dorsum ke langit-langit lunak, kemudian bibir dijulurkan setinggi mungkin ke depan dan membulatkan bibir, sehingga bunyi [u] yang dihasilkan menjadi bertukar.

Menurut fitur tinggi jenis vokal yang dilesapkan adalah vokal tengah /∂/ (n= 50; 50,00%), kemudian vokal tinggi, belakang [u] (n= 34; 34,00%), dan vokal [a] (n= 16; 16,00%). Jumlah tersebut lebih sedikit dari pada vokal tinggi/belakang yang dilesapkan. //# l∂pas #// //# p∂ san #// //# sampul #// //# jerjak #//

Depan 10 4 5 19

Vokal tengah, depan /∂/ bertukar menjadi vokal tengah depan /a/ di awal kata, contoh: //#∂ mas #// → [# ama #] Vokal tinggi, bulat, belakang /u/ bertukar menjadi vokal tengah, bulat, belakang /o/, contoh: //# bulus #// → [# yoyo #] ‘Sejenis penyu’

Vokal tak bulat lebih banyak lesap [∂] dan bunyi tak bulat /e/ lebih banyak ditambahkan dalam ujaran anak autistic ekolalia.

Vokal belakang, tinggi /u/ bertukar menjadi vokal depan, rendah / æ /, contoh: //# pulang #// → [# pæyæ #] //# pusat #// → [# pæsæ #]

Tabel 10. Matriks Pertukaran Vokal Menurut Fitur Tinggi (n= 70)

296


INOVASI : Vol. 7. No. 4,

Desember 2010

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

Vokal depan, tengah /e/ bertukar menjadi vokal tengah bulat /o/ bila diikuti bunyi o didekatnya, contoh: //# belok #// → [# yoyo #] //# tengok #// → [# toyo #] //# sendok #// [# tono #] Vokal tengah, depan /e/ pusat, rendah, belakang, dengan vokal /a/, contoh: //# tebar #// → //# lebar #// →

terjadi dengan kemunculan penyimpangan (62,08 %). 4.

[# tæpæl #] [# yæ bæ #]

Vokal depan, tinggi /i/ bertukar menjadi vokal belakang, pusat /a/ apabila bunyi yang didekatnya vokal /a/, contoh: //# jilat #// → [# taya #] //# pilah #// → [# paya #] //# pisah #// → [# pata #] Tabel 11. Matriks Pertukaran Vokal Menurut Fitur Belakang Sasaran Depan Pusat Belakang TOTAL

Depan 5 4 7 73

Total 20 31 19 70

Bulat Tak Bulat TOTAL

Hubungan Ekspresi Bunyi Ujaran Dengan Pemerolehan Bunyi Ujaran

Kalau dilihat dari jumlah bunyi yang diekspresikan, telah didapati bahwa untuk bahsa Inggris rata-rata 25-30 segmen bunyi (fonem) tiap detik (Gleason dan Ratner, 1998). Karena bunyi bahasa mana pun sifatnya sama, maka dapat diduga bahwa orang Indonesia pun dapat memproduksi jumlah bunyi yang sama tiap detiknya, yakni, antara 25-30 bunyi. Dengan demikian, tiap kali kita berbicara satu menit kita telah akan mengekspresikan ujaran antara 15001800 bunyi. Masalah yang dihadapi adalah bagaimana kita dapat menangkap dan kemudian mencerna bunyi-bunyi yang diekspresikan dengan kecepatan seperti itu.

Tabel 12. Matriks Pertukaran Vokal Menurut Fitur Bulat (N = 70) Penukar Bulat Tak bulat 11 18 14 27 25 45

29

Ekspresi ujaran dari setiap anak tidak sama, dalam bahasa Inggris rata-rata 125-180 kata tiap menit dapat diproduksi. Penyaji berita di televisi mencapai 210 kata dan pelelang dapat mencapai lebih daripada itu. (Gleason dan Ratner, 1998). Jumlah ini tentunya didasarkan pada kenyataan bahwa sebagian besar kata dalam bahasa ini bersuku satu: book, go, eat, come, dan sebagainya. Untuk bahasa Indonesia belum ada orang yang menelitinya, tetapi karena kata-kata dalam bahasa Indonesia pada umumnya bersuku dua atau lebih (makan, tidur,membawa, menyelesaikan) maka jumlah kata per menit yang diujarkan oleh orang Indonesia pastilah lebih kecil dari angka di atas; mungkin sekitar 80-110 kata.

Berdasarkan fitur belakang, vokal yang sering mengalami pertukaran adalah vokal belakang, tinggi, depan / u/ dan vokal depan, tinggi /i/ (n= 31 ; 28,57%).Kemungkinan pertukaran bunyi yang biasa menggantikan vokal lainnya, vokal pusat, rendah /æ/ juga sering muncul sebagai suatu penyimpangan bunyi bahasa anak autistik (n= 35 ; 35,50%). Hal tersebut menunjukkan adanya kecenderungan bahwa, apabila muncul penyimpangan dengan pertukaran dan terjadi pula penyimpangan fitur. Anak autistik lebih sering menukar fitur bunyi dari vokal depan atau belakang ke vokal pusat.

Sasaran

dari

Ketika anak normal secara universal mendengarkan orang lain berbicara, anak secara universal rasanya dengan begitu saja dapat memahami apa yang dikatakan. Anak tidak mnyadari bahwa ujaran yang diwujudkan dalam bentuk bunyi-bunyi yang melewati udara itu sebenarnya merupakan suatu hal yang sangat kompleks. Masalah yang dihadapi oleh pendengar adalah bahwa anak harus dapat mendengar secara seksama bunyi-bunyi yang didengar itu, sehingga bunyi-bunyi itu membentuk kata yang tidak hanya bermakna tetapi juga cocok dalam konteks di mana kata-kata itu digunakan. Bagi penutur asli, atau penutur yang sudah fasih berbahasa tersebut, proses seperti ini tidak terasakan dan datang begitu saja secara naluri.

bertukar menjadi vokal /æ / apabila berdekatan

Penukar Pusat Belakang 8 7 21 8 6 4 35 19

18

Total 29 41 70

Secara universal yang pertama sekali diperoleh anak adalah bunyi bilabial /p/dan /b/ baru kemudian /t/ dan /d/,setelah itu baru bunyi velar,hambat/k/ dan /g/,kemidian bunyi hambat palatal /c/ dan /j/. Bunyi frikatif /s/, /sy/, /z/ diperoleh kemudian., dan setelah itu baru diperoleh bunyi getar /r/ loteral /l/ dan lucuran /w/ dan /y/. Secara umum anak autistik ekolalia telah memperoleh, mengkomprehensi dan mengekspresikan bunyi bilabial hambat tak bersuara

Berdasarkan fitur bulat tidaknya vokal, vokal tak bulat menduduki posisi pertama untuk bertukar, dengan n= 45; 64,28%, kemudian vokal bulat juga mengalami pertukaran (n= 25; 35,71%). Meskipun demikian, sekitar 38,57% atau 27 bentuk penyimpangan bunyi vokal tidak bulat menjadi bulat. Sebaliknya , pada vokal bulat, meskipun tidak secara keseluruhan sering muncul pertukaran vokal

297


INOVASI : Vol. 7. No. 4,

Desember 2010

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

hal yang sama yang dikaji ketiga disiplin ini dengan tujuan yang boleh dikatakan sama atau hampir sama tetapi dengan metode yang digariskan oleh teori ketiga disiplin itu. Pada dasarnya neurologi mengkaji proses-proses yang berlaku di syaraf otak pada waktu berbahasa dan bepikir, psikologi mengkaji perilaku berbahasa, sedangkan linguistik mengkaji struktur bahasa dan bagaimana struktur ini lahir atau tumbuh. Banyak hasil atau penemuan ketiga disiplin ini yang hampir sama, dengan kesimpulan yang hampir sama pula, tetapi banyak juga yang berlainan. Karena itu telah lama dirasakan perlunya ketiga disiplin ini bekerja sama dan saling membantu untuk mengkaji bahasa dan hakekat bahasa itu. Pada mulanya percobaan pertama ke arah kerjasama ini disebut ‘neurologi linguistik’ dan ada pula yang menyebutnya ‘neurologi bahasa’, dan ada pula yang menyebutnya ‘neurolinguistik’.

/p/, namun di akhir kata selalu lesap. Bunyi /b/ belum diperoleh anak autistic ekolalia. Bunyi /k/ dan /g/ juga belum diperoleh dengan sempurna oleh anak autistic HA,SD dan EK. Bunyi /k/ dan /g/ disatukan menjadi /t/ atau / d/ dan /y/. Jika dibandingkan usia pemerolehan bunyi ujaran dengan usia kronologis anak, ternyata umur umur EK berkisar 5 – 10 tahun, namun usia pemerolehan bahasanya berkisar pada usia 3-4 tahun. ( Bend. Darjowidjojo 2000, Gustianingsih, 2002 ). Bunyi [s], [sy], [z] sama sekali belum diperoleh oleh anak autistik ekolalia. Bunyi dental alveolar,frikatif, bersuara ditukar menjadi /t/ atau /d/ di awal kata, tengah dan akhir kata lesap. Apalagi bunyi [s] di awal, ditengah dan akhir kata sama sekali belum diperoleh, d oleh semua anak autistik, karena bunyi [Š] bertukar menjadi bunyi dental, hambat, tak bersuara [t] dan palatal [y]. Bunyi getar [r] belum diperoleh anak autistic ekolalia, karena semua data menunjukkan bunyi [r] selalu ditukar dengan bunyi lateral [t] atau [y] di awal, tengah dan akhir kata. Bunyi faringal [h] di awal, dan akhir kata dalam ujaran EK tidak pernah muncul kecuali di tengah kata. Ini berarti bunyi faringal [h] belum diperoleh anak autisti EK, seperti pada kata [ # mEha # ] untuk kata /melihat/.

Hubungan antara neurolinguistik dengan psikolinguistik berpusat pada kerja otak manusia dalam bertindak dan beraktivitas bahasa. Kerusakan yang terjadi pada otak akan mengakibatkan bahasa manusia itu rusak juga. Kerusakan bahasa itu dapat menimbulkan penyimpangan-penyimpangan bahasa., seperti pertukaran bunyi konsonan ataupun vokal, ketidakmampuan anak dalam menghasilkan bunyi bersuara, penyimpangan dengan pelesapan bunyi, kesalahurutan ( metatesis ), dan penambahan bunyi yang tidak sewajarnya jika terjadi pada anakusia 7-10 tahun. Sesuai dengan hasil penelitian kelompok peneliti mekanisme otak bahwa telah ditemukan bukti dari fMRI tentang gangguan otak yang dilakukan oleh Marcel Just, V. Cherkassky, T. Keller, dan N. Minshew (2004). Mereka menemukan, bahwa autisme itu bukanlah kebutaan minda (“mind-blindness”) yang disebabkan oleh sebuah kerusakan modul minda, tetapi merupakan sebuah kerusakan dalam koordinasi medan-medan korteks yang mendasari bahasa dan kognisi, yang disebut kekurangsambungan (“underconnectivity”) daerah-daerah korteks. Marcel Just dan kawankawannya menemukan, bahwa anak-anak autisme mengeluarkan lebih banyak aktivasi di medan Wernicke dan aktivasi yang sangat kurang di medan Broca korteks otaknya. Selain daripada itu kesinambungan fungsional atau sinkronisasi atau korelasi di antara medan-medan korteks secara konsisten sangat rendah pada anak-anak autistik. Penemuan ini membuktikan, bahwa basis neuronal (syaraf otak) dari kerusakan bahasa anak-anak autistik, adalah rendahnya integrasi informasi dan sinkronisasi di antara jaringan-jaringan korteks untuk pemrosesan bahasa. Jadi, menurut Just, dkk, autisme itu pasti disebabkan kekurangsambungan dan koordinasi fundasi-fundasi neurobiologi otak anakanak autistik itu. Apa yang menyebabkan kerendahan intergrasi informasi dan sinkronisasi di antara jaringan-jaringan korteks sehingga pemrosesan bahasa tidak berjalan sebagaimana mestinya. Dalam

Bunyi lateral [l] dan aprokinan, palatal [y] sudah diperolah, dan muncul dalam ekspresik anak, ini menunjukkan pertentangan sangat berbeda dengan universal pemerolehan bunyi ujar anak pada umumnya. Jika anak belum memperoleh bunyi bilabial, hambat bersuara [b] velar, hambat, bersuara [k] dan [g], frikatif,velar bersuara [s], [sy], dan [z] pasti akan mengekspresikan bunyi lateral [l] dan palatal, aproksiman bersuara,karena bunyi [l] dan [y] termasuk bunyi yang paling lambat diperoleh anak secara universal ( Chomsky, 1986; Jakobson, 1971; Darjowidjojo, 2000 ; Gustianingsih,2002 ). Begitu juga pemerolehan vokal tinggi ,depan [I] dan vokal tinggi belakang bulat [u] senantiasa bertukar menjadi bunyi rendah dengan tak bulat [æ] atau [a] dengan vokal sedang, belakang bulat [o] di tengah dan di akhir kata. Hal seperti itu terjadi, bahwa bunyi [I] dan [u] belum diperoleh anak autistik ekolalia sepenuhnya. 5.

Hubungan Penyimpangan Ekspresi Bunyi Ujaran Anak Autistik Ekolalia Neuropsikolinguistik

Kata ‘Neuropsikolinguistik’ adalah gabungan dari tiga perkataan, ‘neurologi’, ‘psikologi’ dan ‘linguistik’, yang merupakan tiga disiplin yang berlainan dan berdiri sendiri. Secara kebetulan ketiga disiplin ini mengkaji satu benda yang sama, yaitu bahasa, dengan cara yang berlainan dan dengan tujuan jang berlainan. Bagaimanapun banyak juga

298


INOVASI : Vol. 7. No. 4,

Desember 2010

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

dengan bunyi belakang, bulat sedang [o] dan anak juga mengalami kesulitan dalam memproduksinya, sehingga bunyi tersebut tidak pernah muncul dalam ujaran anak autistik dalam kasus ini.

penelitian ini lebih cendrung pada kelompok peneliti kedua, bahwa penyebab autistik karena ada gangguan pada kortek otak (syaraf otak). Berdasarkan fenomena neurologi tentang karakteristik penyakit gangguan berbahasa anak autistik disebabkan oleh adanya kerusakan pada basis neuronal (syaraf otak). Penelitian terakhir yang dilakukan oleh Hilgetak, dkk (2009) dalam Simanjuntak (2009), menyatakan bahwa hubungan meknisme dengan kelainan saraf otak anak autistik berbeda dengan yang dimiliki anak normal. Hubungan-hubungan serat otak dengan konvolusi (lipatan) korteks otak tidak normal, karena beberapa sulkus korteks otak ana terlalu dalam letaknya. Para peneliti ini menyimpulkan bahwa autisme itu merupakan sebuah kondisi yang muncul karena kesalahanpersambungan sistem elektrik korteks otak yang tidak normal. Ketidaknormalan ini dapat menyebabkan lamanya sampai pengiriman pesan dari Medan Werncke ke medan Broka, akibatnya komunikasi antara daerah-daerah korteks yang berdekatan bertambah, sedangkan komunikasi diantara daerah-daerah yang berjauhan berkurang. Hal itu terjadi, karena sulkus korteks terlalu dalm dan tidak pada posisi yang semestinya. ( Hilgetag, CC. dan Barbas, 2009, dalam Simanjuntak, 2009 ). Keadaan sulkus korteks otak yang terlalu dalam itu dapat berakibat bahwa terlalu sulit membangkitkan neuron-neuron cepat sampai ke tempat tujuan untuk menghasilkan bunyi ujaran yang tepat. Kelainan sistem saraf ini diduga adanya penyimpanganpenyimpangan linguistik khususnya pada bunyi ujaran anak autistik.

Berdasarkan teoretis neurologi, bahwa syaraf V dan syaraf XII pada Medan Broca anak terganggu. Syaraf V ini disebut juga dengan syaraf trigeminus yang bertugas mengatur bagaimana gerakan mulut sesempurna mungkin dalam membentuk dan mengatur otot mulut untuk berujar dan melakukan aktivitas sesuai dengan perkembangan biologis seseorang. Syaraf XII disebut juga dengan syaraf hypoglossal yang bertugas untuk menggerakkan lidah, ujung lidah, tengah lidah dan belakang lidah mendekati dinding belakang faringal. (lihat Juwono,1996: 26). Anak autistik yang dijadikan subjek penelitian ini rata- rata di atas usia 5 tahun. Berdasarkan teori pemerolehan bahasa, perkembangan bahasa anak sudah sampai pada bahasa orang dewasa dan pada usia tersebut anak pada umumnya sudah memperoleh dan memahami (komprehensi) ujaran kalimat majemuk dan kalimat kompleks (lihat Gustianingsih, 2002 ). Seperti yang sudah dikatakan sebelumnya dalam memproduksi [I] dan /u/ ada keterlibatan mulut dan lidah, sehingga jika bagian ini terganggu pasti terganggu juga bunyi ujaran yang dilandasi syaraf-syaraf. Syaraf V dan syaraf XII ini perlu mendapat perhatian khusus dari neurolog untuk membantu mengurangi penyimpangan untuk menghasilkan bunyi ujaran [I] dan [u] pada masa yang akan datang. Begitu juga dalam menghasilkan bunyi konsonan bersuara dan tak bersuara, penyimpangan banyak terjadi dalam ujaran anak autistik. Secara neuropsikologi, pembentukan bunyi konsonan bersuara melibatkan proses yang lebih rumit karena otak harus mengirimkan instruksi lebih awal 30 milisekon ke syaraf kranial dan jaringan otot yang mengelola pita suara. Syaraf kranial yang mengelola pita suara merupakan jaringan syaraf peripheral terpanjang yang menaungi proses kebahasaan. Kurang atau lebih dari 30 milisekon akan menghaslkan bunyi menjadi tidak nasif. (lihat. Geshwind,1981: 42; Dingwall, 1997/93: 54 ). Diduga jaringan arcute fasiculus pada otak anak terganggu. Jaringan ini adalah jaringan yang mengembangkan dari Medan Wernicke ke Medan Broca untuk kemudian dikirim ke pita suara untukmenghasilkan bunyi ujaran yang bersuara..Adanya gangguan pada jaringan ini menyebabkan keterlambatan bunyi dan sampai ke otot yang mengelola pita suara tersebut, sehingga memproduksi bunyi ujaran bersuara tidak mampu dan bunyi bersuara itu seperti [b], [g], [j], dan [z] mengalami penyimpangan dan senantiasa bertukar menjadi bunyi tak bersuara [t].

Kelainan sulkus pada korteks otak anak autistik seperti tertera pada gambar di atas (hasil penelitian Hilgetag: 2009) menyiratkan bahwa penyimpangan bunyi bahasa pada anak autistik dapat disebabkan oleh kelainan sulkus tersebut dan adanya gangguan pada kortek kranial otak (hasil penelitian Just, dkk, 2004). Berdasarkan data penelitian bahwa bunyi vokal [i] dan bunyi [u] belum sepenuhnya diekspresikan anak autistik EK. Bunyi [I] diekspresikan dengan menjulurkan bagian depan lidah dan mengangkat setinggi mungkin ke langit langit keras bagian depan hampir hampir membentuk semacam lubang yang akan menghasilkan spiral. (Cahyono,1995:54). Ekspresi bunyi [I] dari anak autistik Ekolalia senantiasa bertukar menjadi vokal depan, rendah [ĂŚ] atau vokal pusat, bawah [a]. Peristiwa seperti ini menyiratkan bahwa anak mengalami kesulitan mengangkat lidah setinggi mungkin ke langit-langit keras dan membentuk bibir seperti bunyi spiran, sehingga produksi [I] tidak pernah muncul dalam kasus ini. Begitu jiga dalam mmenghasilkan bunyi [u] dengan cara bagian dorsum didekatkan dengan langit langit lunak kemudian bibir dijulurkan kedepan dan bibir dibulatkan sedemikian rupa. (Cahyono, 1995: 54). Ekspresi bunyi [u] ini pun senantiasa bertukar

299


INOVASI : Vol. 7. No. 4,

Desember 2010

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

Dinyatakan juga dalam penelitian ini adanya gangguan pada syaraf XII yang disebut juga syaraf granial hypuglossus. Syaraf ini bertugas untuk mengatur otot lidah.Adanya astuasfi dan fibrilasi lidah satu sisi, menunjukkan adanya disfungsi batang otak (inti syaraf XII) atau syaraf perifer, terjadi gangguan sensasi pada dinding belakang foring di penurunan refleks muntah ( Juono 1996 : 39 ). Bunyi konsonan yang dihasilkan oleh syaraf ini adalah [r], [l], [h] dan glottal dan bunyi furingal [h]. Bunyi getar [r] belum diperolah dan komperhensi oleh anak autistic,terbuktiproduksi bunyi [r] tidak muncul dalam ujaran anak dan selalu bertukar menjadi lateral [l] atau aproksima [y]

Dinyatakan juga adanya gangguan pada syaraf VII pada otak anak autistik. Syaraf VII ini disebut juga dengan syaraf cranial facialis yang bertugas untuk mengatur ekspresi wajah, yang berhubungan dengan bibir, hidung, langit - langit lunak dan keras serta daerah sentuh gigi. Berdasarkan teori linguistik, bunyi-bunyi yang dihasilkan dengan ciriciri ini adalah bunyi bilabial [p] dan [b], bunyi nasal [n], [ŋ], [ň], bunyi velar [k], [g], [x], dan [gh], bunyi dental/alveolar, dan [s], [z], [t], [d], [r], dan [l]. Data penghitungan, ditentukan banyaknya penyimpangan pada daerah dental aloeolor bunyi di bilabial bersuara dan naral. Pada data yang sudah dikemukakan (lihat table 2) pertukaran yang terjadi dalam jumlah besar pada dental alveolar yaitu berbunyi kinsonan frikatif [s],[sy] dan [z] bertukar menjadi bunyi dental alveolar [t] dan [d].

Saraf kranial V (trigeminal) yang mengatur otot mulut dan hidung yang menghasikan bunyi bilabial dan nasal, seperti /b/, /p/, /n/, /m/, /ng/; saraf cranial VII (facial) yang mengatur otot wajah termasuk ekspresi wajah yang menghasilkan bunyi dental, alveolar, seperti /t/, /d/, /l/, /r/; saraf kranial IX (glossopharyngeal) yang mengatur otot lidah dan tenggorokan dan menghasilkan bunyi palatal, seperti /c/, /j/, /ny/, /y/; saraf kranial X (vagus) yang mengatur langit-langit lunak, seperti bunyi velar /k/ dan /g/, bunyi uvular, seperti /q/, /ġ/, /ҳ/, dan /R/, bunyi faring, seperti /h/ dan bunyi glottal /?/; saraf kranial XII (hypoglossal) yang mengatur otot lidah, bunyi yang dihasilkan bunyi lateral /l/ dan getar /r/.

Dinyatakan juga adanya gangguan pada syaraf IX atau disebut juga dengan syaraf cranial glass pharyngeal. Syaraf ini bertugas untuk mengatur otot belakang lidah dan tenggorokan. Dan bunyi ujaran yang dihasilkan pada syaraf ini adalah bunyi palatal [c], [j] [ny] dan[y]. Dari data yang bahwa bunyi palatal [c],[j],[ny]bertukar menjadi bunyi dental alveolar dan nasal dental alveolar. Pertukaran ini mengindikasikan belum diperoleh anak autistik ekolalia bunyi [c],[j],[ny]/ ketidakmunculan bunyi-bunyi ini mengisyaratkan bahwa adanya gangguan pada syaraf ini. Terapai perlu dilakukan terhadap syaraf IX ini untuk mengurangi penyimpangan pada bunyi ini dan diharapkan 2 – 3 tahun yang akan datang, jika syaraf IX ini diterapi dengan sungguh sungguh anak akan dapat ekspresi bunyi [ts] walaupun tidak pas seperti engan bunyi [c] atau [zs] untuk [j] dengan [ny] dapat diproduksi dengan tepat. Dinyatakan juga ada ganguan pada syaraf X yaitu ayaraf cranial vagus. Syaraf ini bertugas untuk mengatur langit langit lunak, ovular, taring dan saluran suara. Bunyi yang dihasilkan pada syaraf ini adalah bunyi velar [k] dan [g] ulvular [ q,α,x, ,R ].

Syaraf-syaraf kranial yang berhubungan dengan ekspresi bunyi ujaran ini ditemukan (Brodman 1992 dalam Simanjuntak, 2009).Nomor-nomor yang unik ini diterapkan berdasarkan atas medan-medan sitoarkitektonik untuk memudahkan rujukan . Medan-medan (daerah-daerah) korteks yang diberi nomor-nomor pengenal ini memudahkan kita melihat daerah-daerah otak dengan fungsinya yang sudah ditemukan oleh Brodman, dan dengan mudah kita selaraskan dengan penemuan-penemuan kemudian. Korteks (syaraf otak) yang luas itu merupakan rumah kognisi tinggi dan sebuah pusat proses syaraf motor (gerak) yang rumit. Korteks ini bertanggungjawab untuk memproses kesadaran kita, kapasitas syaraf motor kita yang menakjubkan, ketrampilanketrampilan kita, kesensitifan kita kepada dunia luar, kefasihan kita untuk berpikir dan membayangkan, dan yang paling penting lagi, ialah kemampuan kita untuk berbahasa. Kesadaran kita akan proses-proses berbahasa yang terjadi di dalam otak, dan hal ini memberi sumbangan kepada keterampilan berbahasa individu-individu yang memiliki fungsi otak yang normal. Seperti yang telah diutarakan Weigl dan Bierwisch :”if it can be shown with sufficient clarity that in a given pathological can one(or several) of these components or subcomponents of speech performance is distributed in a way in which others are not then these subcomponents must be

Berdasarkan data yang diamati (lihat juga table 22), bunyi [k] dan [g] ditukar dengan bunyi dental alveolar [t] dan [g] dan bunyi uvular [ q,α,x, ,R] sama sekali belum muncul dalam ujaran anak autistic yang berusia 7 – 10 tahun ini diperoleh dengan sempurna,terbuka ekspr5esi [h] pada ujaran EK, yang muncul dan ujaran EK pada kata //#melihat#// [ # mEha # ]. Bunyi [h] di awal, di tengah dan di akhir kata ujaran SD, HA, EK tidak muncul ataupun lenyap. Dari hasil penelitian ini juga dinyatakan syaraf X anak autistik ini perlu diterapi dengan sungguh sungguh untuk mengurangi penyimpangan bunyi bunyi yang dihasilkan pada syaraf ini.

300


INOVASI : Vol. 7. No. 4,

Desember 2010

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

considered as relatively autonomous functional units even in normal perfomance”. (1973: 13). Selnes dan Whitaker (1977), juga telah mengemukakan dengan optimis, bahwa pengetahuan kita sekarang mengenai neuroanatomi korteks serebrum telah memungkinkan kita menyediakan deskripsi terperinci mengenai hubungan neurologi ucapan dan bahasa.. Mereka telah mengumpulkan bukti-bukti klinis, bahwa integritas neurologi daerah-daerah otak tertentu sangat penting untuk menjaga keutuhan bahasa, keretakan otak di luar daerah-daerah ini ternyata tidak menimbulkan kecacatan bahasa.

autistik ini sering mengulang-ulang ujarannya, kesulitan mengawali ujarannya, dicobanya lagi ujarannya dan akhirnya tidak tuntas atau menyebabkan pelesapan bunyi pada akhir suku kata. Bunyi konsonan yang sudah diperolah dan dikomprehensi dalam produksi ujaran anak adalah konsonan /p/ /t/ /d/ /l/ /y/, dan bunyi konsonan yang sedang dalam proses penbelajaran adalah konsonan /b/ /k/ /s/ dan konsonan yang belum diperoleh dan di komprehensi adalah konsonan /g/ /z/ /sy /r/ /f/ dan /v/. Bunyi vokal yang sudah diperoleh sekaligus dikomprehensi anak autistik, bunyi vokal /a/, bunyi /æ/ dan bunyi /o/. Bunyi vokal yang sedang dalam proses memahami adalah vokal /i/ dan /o/, bunyi vokal yang akan dikuasai anak adalah bunyi /ə/ . Syaraf otak yang perlu mendapat perhatian khusus dan cermat adalah syaraf V, VII, IX ,X, dan syaraf XII. Jaringan saraf kranial yang terlibat dalam mengatur dan memposisikan artikulator aktif, yang berhubungan dengan otot bibir dan yang menghasilkan bunyi [p], [b], [m], dihasilkan olek saraf saraf V ( saraf trigeminus). saraf VII ( cranial facialis) yang mendukung semua otot wajah dan mengatur produksi ujaran dental-alveolar, nasal. Saraf IX ( cranial glosspharingeal) yang mendukung otot belakang lidah dan tenggorokan, dan bunyi yang berhubungan dengan saraf ini adalah bunyi faringal [h] dan [?], dan bunyi palatal [c], [j], [ň], dan bunyi [y] ; saraf X (saraf Vagus), yang mendukung langitlangit lunak, uvular, faring dan saluran suara. Saraf vagus ini juga mengatur bunyi bersuara., serta produksi bunyi uvular seperti [α], [ҳ], dan [R].; saraf XII yang mengelola otot lidah.

Gambar 1. Sitoarkitektonik Brodman Korteks yang luas itu merupakan rumah kognisi tinggi dan sebuah pusat proses syaraf motor (gerak) yang rumit. Korteks ini bertanggungjawab untuk memeroses kesadaran manusia, kapasitas syaraf motor manusia yang menakjubkan, ketrampilanketrampilan manusia, kesensitifan manusia terhadap dunia luar, kefasihan manusia untuk berpikir dan membayangkan, dan yang paling penting lagi, ialah kemampuan manusia untuk berbahasa. Dapat dipastikan, bahwa kebanyakan dari kemampuan berbahasa manusia diatur oleh korteks ini, dan juga sudah ditemukan, bahwa medan-medan subkorteks juga terlibat dalam pemrosesan ekspresi bunyi ujaran bahasa. Korteks itu terdiri dari dua belahan simetris yang disebut hemisfer (“hemisphere”), hemisfer kanan (HKn) dan hemisfer kiri ( HKr). Korteks serebrum hanya setebal dua sampai tiga milimeter dan merupakan selimut sel-sel otak. Permukaannya sangat luas dan berlekuk-lekuk, yang luas permukaannya kira-kira 1,5 meter (Fischbach, 1992; Simanjuntak, 2009, Gustianingsih, 2009).

DAFTAR PUSTAKA Aitchison. 1994. Words in the Mind: An Indtroduction to the Mental Lexicon. Oxford: Blackwell Publishers. Arikunto, Suharsimi. 1998. Prosedur Penelitian. Jakarta : Rineka Cipta. Bernstein, Deena K. dan Ellenmoris Tiegerman. 1985. Language and Communication Disorders in Children. Columbus: Charles E. Merill Publishing Company.

KESIMPULAN

Bennet-Kastor Tina. 1988. Analyzing Children’s Language: Methods and Theories. Oxford: Basil Black Well.

Setelah panjang lebar mendeskripsikan penyimpangan bunyi ujaran bahasa Indonesia pada anak autistik maka simpulan yang dapat ditarik adalah : Anak autistik ekolalia sering melakukan penyimpangan pada awal dan akhir kata, mengindikasikan bahwa anak autistik mengalami gangguan inisiasi ( initiation disorder) dan mengalami kesulitan untuk menuntaskan ujaran. Ciri ini khusus terjadi pada anak autistik ekolalia. Anak

Blumenthal; A.L and Boakes; R. 1967. Promoted Recall of Sentences. Journal of Verbal Learning and Verbal Behaviour, 6:674-676. Blumstein, Sheila E. 1994. “Neurolinguistics: An Overview of Language-Brain” dalam

301


INOVASI : Vol. 7. No. 4,

Desember 2010

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

Institute Fitness Series. RajaGrafindo Persada.

Language: Psychological and Biological Aspects, ed. F.J. Newmeyer, 210-36. cambridge: Cambridge University Press.

Gustianingsih. 2009. “Produksi dan Komprehensi Bunyi Ujaran Bahasa Indonesia Pada Anak Autistic : Spectrum Disorder. Disertasi. Medan : Pascasarjana USU

Brown, Roger. 1972. Psycholinguistic. New York: Pree Press. Burt, Marina K dan Dulay Heidi C. 1975. You Can’t Learn without Goofing. London: Longman.

Handoyo, Y. 2003. Autisme: Petunjuk Praktis dan Pedoman Materi untuk Mengajar Anak Normal, Autis, dan Perilaku lain. Jakarta: Gramedia.

Caplan, D., M. Vanier, dan C. Baker. 1989. “A Case Study of Reproduction Conduction Aphasia I : Word Production” dalam Cognitive Neuropsychology, 3:99-128.

Harsono. 1999. Buku Ajar Neurologi Klinis. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Hertiana, Dorauli. 2001. Kamus Gambar. Jakarta: Yayasan Autisma Indonesia.

Carramazza. 2000. Neorolinguistik and Linguistics Aphasiology: An Introduction. Cambridge: Cambridge University Press. Abdul. 2003. Piskolinguistic: Teoritik. Jakarta: PT. Rineka Cipta.

PT.

Grimes, Charles E. 1992. Field Guide to Recording Language Data. Kangaroo Ground Australia: Summer Institute of Linguistic.

Bock, Katheryn dan Zensi M, Griffin. 2000. Producing Words: How Mind Meets Mouth. No Publishers.

Chaer,

Jakarta:

Jakobson, Roman. 1971. Studies on Child Language and Aphasia. Janua Linguarum Series Minor. The Hague: Mouton.

Kajian

Jordan

Chomsky, N. 1968. Language and the Mind. New York: Harcourt Brace Jovanovitc Clark, Herbert H dan Eve V. Clark. 1977. Psychology and Language: An Introduction to Psycholinguistics. New York: Horcourt Brace and Jovanovich, Inc.

, Rita and Stuart Powell. 1995. Understanding and Teaching Children with Autism. English: John Wiley & Son Ltd.

Kimura, D. 1964. Celebral Dominance and The Perception of Verbal Stimulus. Canadian Journal of Psychology. Vol. 15. Kohn, Susan E. 1993. “Phonological Production Deficits in Aphasia” dalam Phonological Process and Brain Mechanisme, ed. H.A. Whitaker, 93-117. New York: Springer Verlag.

Dardjowidjojo, Soenjono. 2003. Psikolinguistik: Pengantar Pemahaman Bahasa Manusia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Direktorat Pendidikan Luar Biasa Depdiknas. 2002. Pelayanan Pendidikan bagi Anak Autistik. Jakarta: Depdiknas.

Krashen, Stephen D. 1997. Lateralization, Language Learning, and The Critical Period: Some New Evidence. Language Learning. Vol.23

Fromkind, Rodman. 1994. Speech Errors as Linguistic Evidence. Paris: Mouton.

Kridalaksana, Harimurti. 1993. “Bantuan Linguistik untuk Meringankan Penderita Cacat Bahasa”. Makalah dalam Seminar Sehari Neurolinguistik, Fakultas Sastra UI, Depok, 1 Mei 1993.

Geschwind, Norman. 1981. “Specialization of the Human Brain” dalam Human Communication: Language and Psycholobiological Bases, Reading from Scientific America, ed. William S-Y.Wang, 110-19. Sanc Fransisco: W.H. Freeman and Company.

Kusumoputro, Sidiarto. 1993b. Afasia: Gangguan Berbahasa. Jakarta: FKUI

Gleason, Jean Berko dan Nan Bernstein Ratner (ed). 1993. Psycholinguistics. Forth Worth: Harcourt Brace Jovanovich College Publishers. Gordon F, Gordon. 2000. Stroke : Panduan Latihan Lengkap. The Cooper Clinic and Research

Lenneberg, Eric H. 1967. Biological Foundations of Language. New York: John Wiley & Sons. Paramalingam, Muhantha. 2001. A Case Study of The Language Disabilities of An Autistic

302


INOVASI : Vol. 7. No. 4,

Desember 2010

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

Child. Universiti Malaya : Fakulti Bahasa dan Linguistik.

Kanner, L. 1964. Autistic Disturbances of Affectice Contact. The Nervous Child. 2, 217-233.

Sethupathy Indradevi. 2007. A Case Study of The Communication deficits of An Autistic Child. Universiti Malaya : Fakulti Bahasa dan Linguistik.

Kess, J.F. 1992. Psycholinguisties Psychology, Linguisties, and the study of Natural Language. Amsterdam : John, Benjamins Pub. Coy.

Sidharta, Priguna. 1989. “Segi Medis Gangguan Ekspresi Verbal” dalam PELLBA 2, ed. Kaswanti Purwo, 163-78. Yogyakarta: Kanisius.

Kent, Ray D. Dan Giulana Miolo. 1996. “ Phonetic Abilities in The First Year of Life. “ Dalam Fletcher dan Mac Wliincery. Kimura, D. 1964. Celebral Dominance and The Perception of Verbal Stimulus. Canadian Journal of Psychology. Vol. 15.

Sidiarto, Lily. 1993. “Penanganan Anak-anak Cacat Bahasa”. Makalah dalam Seminar Sehari Neurolinguistik, di Fakultas Sastra UI, Depok, 1 Mei 1993.

Kessler, J. 1966. Psychopathology of Childhood. Englewood Chiffs, N.J. Prentice Hall.

Simanjuntak, M. 1977b. Language, Dictionaries and Nation Building: A Neurpsycholinguistic Perspective. Tokyo: ILCAA, Tokyo University of Foreign Studies.

Krashen, Stephen D. 1997. Lateralization, Language Learning, and The Critical Period: Some New Evidence. Language Learning. Vol.2.

Suhardiyanto, Totok. 2000. “Kecendrungan gejala Kesalahan Segmental Pada Seorang Penderita Afasia Broca”. Tesis Magister. Jakarta : FIB UI

Kridalaksana, Harimurti. 1993. “Bantuan Linguistik untuk Meringankan Penderita Cacat Bahasa”. Makalah dalam Seminar Sehari Neurolinguistik, Fakultas Sastra UI, Depok, 1 Mei 1993.

Theresa Annie. 2002. A Case Study of The Sociolinguistics Skills of An Autistic Child. Universiti Malaya : Fakulti Bahasa dan Linguistik.

Kusumoputro, Sidiarto. 1993b. Afasia: Gangguan Berbahasa. Jakarta: FKUI Lagefodged, Peter dan Ian Maddeleron. 1996. The Sounds of the World’s Language. Oxford: Balckweel.

Just, M. Minshew. 2004. “ Language log: Autism as lack of neurogical coordination “. Brain. Jespersun, Otto. 1949. A Modern English Grammar on Historical Principles. Completed by Niels Haislund. London : Allen & Alwin.

Langford, David. 1994. Analysing Talk: Investigating Verbal Interaction in English. London:Mac Milan.

Jakobson, Roman. 1971. Studies on Child Language and Aphasia. Janua Linguarum Series Minor. The Hague: Mouton. Jordan

Lecours, Andre Roch, Francois Lhermitre, dan Bonnie Bryans. 1983. Aphasiology. London: Baillere Tindall.

, Rita and Stuart Powell. 1995. Understanding and Teaching Children with Autism. English: John Wiley & Son Ltd.

Lenneberg, Eric H. 1967. Biological Foundations of Language. New York: John Wiley & Sons. Lesser, Ruth dan Leslie Mitory 1993. Linguisacs and Aphasus: Psycholinguistic and Pragmatic Aspect of Intervention. London: Longman.

Keller, E. 1984. “Simplification and Gestune Reduction Phonological Disorders of Apraxia And Aphasia. Dalam Apracia of Speech: Physiology, Acoustios, Linguistics, Management, ed. J.C. Rosenbek, M. McNeil, dan A.E. Aranson, 221-56. San Diego: College-Hill Press.

Liberman, Mark. 2004. “Autism as Lack of Neurological Coordination”. Language log : 1-4.

Kohn, Susan E. 1993b. “Penanganan Orang Dewasa yang Cacat Bahasa,” Makalah dalam Seminar Sehari Neurolinguistik, di Fakultas Sastra UI, Depok, I Mei 1993.

Leslie Alan M, dkk. 1976. Basic Problems in Neurolinguisties, The Hague Mauton.

303


INOVASI : Vol. 7. No. 4,

Desember 2010

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

Lenneberg, Eric H. 1967. Biological Foundations of Language. New York: John Wiley & Sons. Levelt, Clara C. 1995. “ The Segmental Structure of Early Words : Articulatory Frames or Phonological Constraints”. Dalam E. Clark. 1995. Mar’at, Samsunuwiyati. 2005. Psikolinguistik Suatu Pengantar Bandung : Refika Aditama Marus

Zewski, Mariuusz. 1975. Languange Communication and The Brain : A Neuropsychological Study. The Hague : Mouton.

Mc.Adam,D.W.danH.A.Whita 1971. “Languange Production : Elektroencephalographie Localization in the Normal Human Brain”. Science. 172 : 499. Mat Yassim, Abdul Rahim, 2004. Senarai Koleksi Artikel TXEA 1304 : Kecacatan Bahasa. Untuk Kalangan Sendiri. Suhardiyanto, Totok. 1994. “Bahasa dan Saraf Pusat”. Makalah dalam Kongres Linguistik Nasional MLI, Palembang, 1 – 5 Juni 1994. Sidiarto, Lily. 1993. “Penanganan Anak-anak Cacat Bahasa”. Makalah dalam Seminar Sehari Neurolinguistik, di Fakultas Sastra UI, Depok, 1 Mei 1993. Whitaker, Harry A. 1986. “Neurolinguistics: Past, Present, and Future Tense” dalam Journal of Speech Hearing Disorders, 51;169-172.

304


INOVASI : Vol. 7. No. 4,

Desember 2010

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

Kajian Teknis Pengembangan Produk-Produk Turunan Komoditi Kemenyan Sumatera (Styrax Benzoin Dryand) Zainal Abidin Nasution 1) 1)

Peneliti Madya pada Balai Riset dan Standardisasi Industri Medan

Abstraksi Komoditi kemenyan (Styrax Benzoin Dryand) adalah merupakan komoditi khas dari Kabupaten Tapanuli Utara, dengan volume produksi pada tahun 2008 adalah 3.625 ton, dan umumnya komoditi kemenyan di ekspor keluar negeri. Oleh karena itu maka perlu dilakukan diversifikasi produk agar dapat terjadi nilai tambah bagi komoditi kemenyan di Provinsi Sumatera Utara. Berdasarkan kajian teknis, maka komoditi kemenyan dapat dikembangkan menjadi produk-produk turunannya dengan proses destilasi kering bertingkat. Produk-produk turunan yang dapat diperoleh dari kemenyan adal;ah benzil benzoat, asam benzoat, asam sinamat, benzil sinamat dan styrena. Produk-produk turunan dari kemenyan dipergunakan sebagai bahan baku untuk industri makanan, industri farmasi, industri parfum dan lainnya.

Kata kunci : Komoditi kemenyan. PENDAHULUAN No

Kemenyan adalah sejenis komoditi hasil hutan yang memiliki beberapa nama lain, seperti : benzoin, benzoe, benzoin gum, benzoin Sumatera, benyamin gum dan luban jawi. Kemenyan tumbuh di hutan primer campuran, mulai dari dataran rendah sampai dataran tinggi pada ketinggian 60 m sampai dengan 2100 m dpl. Klasifikasi : Divisi : Spermatophyta Sub divisi : Angiospermae Kelas : Dicotyledoneae Bangsa : Ebenales Suhu : Styracaceae Marga : Styrax Jenis : Styrax Benzoin Dryand

1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13.

Kecamatan

Parmonangan Adian Kating Sipoholon Tarutung Siatas Barita Pahae Julu Pahae Jae Purba Tua Simangumban Pangaribuan Gorga Sipahutar Siborongborong 14. Pagaran 15. Muara Tahun 2008 Tahun 2007 Tahun 2006 Tahun 2005 Tahun 2004 Tahun 2003

Tinggi pohon kemenyan adalah sekitar 8 m sampai dengan 34 m. Kayunya berwarna putih mempunyai berat jenis 0,54 dengan kelas kuat II sampai dengan III dan kelas awet IV sampai dengan V. Di Provinsi Sumatera Utara, tanaman kemenyan terdapat di Kabupaten Humbang Hasundutan, Kabupaten Tapanuli Selatan, Kabupaten Tapanuli Tengah, Kabupaten Pakpak Bharat, Kabupaten Toba Samosir, Kabupaten Dairi dan utamanya adalah Kabupaten Tapanuli Utara.

Luas Tanaman (Ha) 1567,00 2700,00 443,00 934,00 53,00 2145,00 556,00 541,00 115,00 5086,00 622,00 1487,00 132,00 25,00 7,00 16.413,50 16.395,00 16.282,50 16.282,50 16.282,00 16.217,00

Luas Tanaman Menghasilan (Ha) 1479,5 2088,00 334,00 784,25 38,00 1797,25 429,00 337,00 94,00 4800,50 396,50 1239,25 71,50 18,25 4,50 13.906,50 13.878,75 14.152,50 13.643,50 13.621,00 13.586,00

Produksi (Ton) 388,40 524,07 83,08 220,66 11,27 519,37 138,03 77,12 26,03 1027,11 145,89 437,28 20,57 5,66 1,26 3.625,86 3.634,12 3.642,40 3.508,53 3.499,73 3.490,10

Sumber : Tapanuli Utara Dalam Angka Tahun 2009 Resin atau damar adalah suatu campuran yang kompleks dari askret tumbuh-tumbuhan dan insekta. Berbentuk padat dan amorf, merupakan hasil terakhir dari metabolisme dan dibentuk di ruang-ruang skizogen (suatu proses terjadinya ruang antar sel yang disebabkan oleh memisahnya lamela tengah) dan skizolisigen (suatu proses terjadinya ruang atau sel yang disebabkan oleh memisahnya lamela tengah dan juga karena terjadinya penghancuran sel).

Tabel 1. Luas Tanaman dan Produksi Tanaman Kemenyan Menurut Kecamatan di Kabupaten Tapanuli Utara Tahun 2008

Kandungan dari resin, pada umumnya adalah :

305


INOVASI : Vol. 7. No. 4,

a.

b.

Desember 2010

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

Asam-asam resinat, terdiri dari asam-asam baik dalam keadaan bebas maupun terikat sebagai ester-ester. Mempunyai sifat gabungan dari asam-asam karboksilat dan fenol-fenol. Alkohol-alkohol resinat, terdiri dari alkoholalkohol kompleks yang mempunyai berat molekul tinggi, disebut resinotannol (C48H15O4), sebagai hasil polimerisasi dari alkohol damar resinal. Terdapat dalam keadaan bebas maupun terikat sebagai ester dengan asam-asam aromatis, asam benzoat, asam salisilat, asam sinamat, asam umbellate dan lainnya. Beberapa contoh resinal, misalnya : benzoresinal (C16H26O2) dari benzoin dan storesinal (C36H54O3) dari styrax.

diambil, luka takikan pada batang itu akan kembali mengeluarkan kemenyan. Kemenyan ketiga baru bisa dipanen sekitar 2 bulan sampai dengan 3 bulan kemudian, dan biasa disebut dengan kemenyan tahir. Berdasarkan informasi komoditas kemenyan (http://www. bataniase.co.id, di akses Agustus 2010), harga ditingkat petani, kemenyan Sidukabi adalah Rp. 60.000,-/kg. Sedangkan kemenyan jurur dan kemenyan tahir adalah Rp. 20.000,-/kg sampai dengan Rp. 25.000,-/kg. Setelah sampai di tangan pedagang pengumpul ketiga jenis kemenyan ini, yaitu : sidukabi, jalur ataupun jurur dan tahir akan dikelompokkan lagi menjadi 7 (tujuh) macam kwalitas kemenyan. Di mulai dari kemenyan yang paling mahal, yaitu kemenyan mata besar dengan harga jual Rp. 100.000,-/kg, sampai dengan kemenyan yang paling murah, yaitu abu kemenyan dengan harga jual Rp. 3.000,-/kg.

Pembagian resin didasarkan atas komposisinya, dibedakan atas : a. Damar, adalah zat padat yang amorf ataupun setengah padat, tidak larut di dalam air, tetapi larut di dalam alkohol atau pelarut organik lainnya dan membentuk sabun dengan larutan alkali. b. Damar gom (gummi resina), adalah campuran alami dari gom, minyak dan resin ataupun sering disebut juga damar lendir. c. Oleo resin, adalah campuran alami yang homogen dari resin di dalam minyak menguap. d. Balsam, adalah campuran dari resin beberapa aromatik yang mengandung sejumlah besar asam benzoat dan sinamat, ataupun keduaduanya, ataupun ester-ester dengan minyak menguap.

Adapun 7 (tujuh) macam kualitas kemenyan berdasarkan sortiran dari jenis kemenyan sidukabi, jalur dan tahir yang dilakukan oleh pedagang pengumpulan adalah sebagai berikut : 1. Kemenyan mata besar 2. Kemenyan kacang 3. Kemenyan jagung 4. Kemenyan besar 5. Kemenyan pasir kasar 6. Kemenyan halus 7. Abu kemenyan. Waluyo (2007), dalam penelitian-nya membagi kualitas kemenyan berdasarkan warna, bentuk dan ukuran, adalah sebagai berikut :

Ada dua jenis kemenyan yang dibudidayakan di Kabupaten Tapanuli Utara dan sekitarnya, yaitu hamijon toba (Styrax Paralleloneurum/Styrax Sumatera/ Styrax Dryand) dan hamijon durame (Styrax Benzoin). Menurut Oding (2008), berdasarkan pengukuran plat contoh di lapangan bahwa kerapatan pohon kemenyan berkisar antara 200 batang sampai dengan 300 batang/ha, dengan produksi kemenyan sebanyak 0,5 kg sampai dengan 2 kg/batang/tahun.

Tabel 2. Pengamatan dan Pengukuran Fisik Kemenyan Sumatera Utara (Tapanuli Utara, Toba Samosir dan Tapanuli Tengah)

Kemenyan diperoleh dengan cara menyadap batangnya, yaitu ditakik batangnya. Setelah sekitar 2 bulan sampai dengan 3 bulan, umumnya dalam takikan tadi sudah terdapat resin atau pun damar yang disebut kemenyan. Apabila takikan dibuka, maka dapat diambil kemenyan dari lobang takikan. Pada takikan pertama, kulit batang akan mengeluarkan kemenyan putih, dan biasa disebut kemenyan sidukabi atau mata zam-zam. Setelah kemenyan pertama di ambil, luka takikan pada batang itu akan kembali mengeluarkan kemenyan. Kemenyan kedua baru bisa dipanen 2 bulan sampai dengan 3 bulan kemudian, dan biasa disebut dengan kemenyan jalur atau jurur. Setelah kemenyan kedua

No

Kwalitas

1.

I

2.

II

3.

III

4.

IV

5.

V

6.

VI

Sifat-sifat Kemenyan Bentuk Ukuran Lempengan Lebar = 3 cm Panjang = 5 cm Putih sampai Lempengan Lebar = 2putih 3 cm kekuningan Panjang = 3-5 cm Kuning dan Lempengan Diameter = coklat kecil dan 2 cm kemerahan butiran Lebar = 2 cm Panjang = 3 cm Kuning Butiran Diameter kemerahan 1-2 cm Coklat Butiran Diameter 1 kemerahan cm Coklat Butiran Halus kemerahan Warna Putih

Sumber : Waluyo (2007)

306


INOVASI : Vol. 7. No. 4,

Desember 2010

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

Departemen Perundustrian menetapkan standar kwalitas kemenyan adalah sebagai berikut :

Adapun peningkatan nilai tambah dari kemenyan, diharapkan dapat mengangkat dan meningkatkan ekonomi masyarakat petani kemenyan yang lokasinya berada jauh di pedesaan di pinggir hutan kemenyan.

Tabel 3. Standar Mutu Kemenyan, SII. 2044-87

1.

Warna

2. 3.

Kadar air (%) Kadar abu (%)

Syarat Mutu - I Putih kekuningkuningan Maks. 10 Maks. 10

4.

Kadar kateran (%)

Maks. 1,0

5.

Kadar asam balsamat (%)

Min. 30,0

No

Kriteria

Mutu - II -

Tujuan Penelitian

Maks. 10 Maks. 2,0 Maks. 5,0 Min. 25,0

Tujuan penelitian ini adalah mengkaji dan mempelajari kemenyan sebagai bahan baku, dengan melihat dari berbagai aspek, seperti : senyawasenyawa yang terkandung di dalam kemenyan, sifat-sifat fisik dan kimia dari senyawa-senyawa tersebut, tehnik-tehnik atau cara-cara untuk mengisolasi ataupun memisahkan senyawa-senyawa yang terkandung baik secara teoritis dan praktis dan lain sebagainya. Dari mengkaji dan mempelajari berbagai aspek tersebut, mencoba mencari suatu penyelesaian permasalahan.

Sumber : Departemen Perindustrian Menurut Waluyo (2007), berdasarkan hasil penelitian berbagai kwalitas kemenyan asal Sumatera Utara diketahui bahwa kemenyan kwalitas-I sampai dengan kualitas-IV, mengandung kadar asam balsamat sekitar 30,1% sampai dengan 32,8%. Sedangkan kemenyan kualitas-V adalah 28,4% dari kemenyan kualitas-VI adalah 25,5%. Kemurnian asam balsamat hasil isolasi tidak dipengaruhi oleh kualitas kemenyan, yaitu berkisar antara 92,8% sampai dengan 95,7%. Di pasar internasional, kemenyan dikenal dengan nama resmi benzoin adalah bahan yang umum digunakan dalam pembuatan dupa dan wewangian, karena aromanya dan mempunyai sifat fiksatif (zat yang memperlambat dispersi dari minyak atsiri dan bahan aroma lainnya ke udara). Ada dua jenis resin benzoin yang digunakan dalam dupa dan wewangian, yaitu benzoin siam diperoleh dari jenis tanaman styrax tonkinensis craib di temukan di Thailand, Laos, Kamboja dan Vietnam. Yang satu lagi adalah dari jenis tanaman Styrax benzoin dryand, yang banyak tumbuh di Pulau Sumatera.

METODE PENELITIAN Metode penelitian yang dilakukan adalah metode deskriptif kualitatif, dengan tetap melakukan pendekatan rasionalisme. Teknik pengumpulan informasi dan data-data adalah dengan melakukan eksplorasi dari berbagai sumber, seperti : buku teks, berbagai hasil penelitian yang telah dilaksanakan baik dari dalam negeri maupun luar negeri, penelusuran literatur online, dokumen-dokumen dan lainnya, terhadap materi yang terkait dengan topik penelitian. Dari informasi-informasi dan data-data yang dihimpun akan dilakukan analisis dan interpretasi data/ informasi yang mencakup langkah-langkah sebagai berikut : a. Reduksi data, adalah penyempurnaan data, baik perguncangan maupun penambahan data dengan tetap menyebutkan sumbersumbernya. b. Penyajian data, adalah hasil dari pengumpulan informasi/data, yang disusun berdasarkan kategori ataupun pengelompokanpengelompokan yang diperlukan. c. Interpretasi data, adalah pembahasan tentang makna dari sekumpulan data/ informasi yang telah tersaji dalam wujud yang tidak sekedar melihat yang tersurat, namun lebih daripada memahami ataupun menafsirkan mengenai apa yang tersurat di dalam data/ informasi yang telah disajikan. d. Penarikan kesimpulan/verifikasi, adalah perumusan makna dari hasil penelitian/ pengkajian yang diungkapkan dengan kalimatkalimat yang singkat, padat dan mudah dipahami dan berkaitan dengan relevansi dan konsistensinya terhadap judul, tujuan dan perumusan masalah.

Perumusan Masalah Dari informasi dan data-data tersebut diatas diketahui bahwa kemenyan sebagai suatu komoditi hanyalah untuk keperluan ekspor, sehingga ketergantungan ekonomi petani kemenyan terhadap komoditi kemenyan sangat riskan. Di pasar internasional, kemenyan di perdagangkan sebagai bahan baku untuk pembuatan dupa dan wewangian (bahan baku untuk pembuatan parfum). Patut diketahui bahwa komoditi kemenyan adalah komoditi andalan dan unggulan dari Provinsi Sumatera Utara. Oleh karena itu peneliti mencoba mengkaji permasalahan : Apakah kemenyan sebagai bahan baku dapat dikembangkan menjadi produkproduk lain. Dengan harapan bahwa apabila dapat dikembangkan menjadi produk-produk turunannya, akan memberikan dampak positip kepada masyarakat, yaitu terjadinya peningkatan nilai tambah dari kemenyan.

307


INOVASI : Vol. 7. No. 4,

Desember 2010

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

Komponen-komponen yang terapat pada kemenyan adalah merupakan suatu produk yang mempunyai nilai ekonomis :

Zat fiksatif yang baik digunakan adalah : • Harus larut sempurna dalam alkohol (etanol), minyak atsiri atau pun persenyawaan aromatik berwujud cair. • Mudah digunakan dalam parfum beralkohol ataupun lainnya berupa bubuk ataupun padatan, misalnya : bedak, sabun mandi dan lainnya. • Mempunyai daya serap parfum dan menghasilkan campuran bau parfum yang harmonis. • Harus dapat dimurnikan, sehingga efektif jika digunakan dalam jumlah kecil. (Tarigan, 2005 dan http://perfumefixative.blog.spot di akses November 2010).

1.

2.

HASIL PENELITIAN Menurut Fernandez (2003), berdasarkan analisa gas chromatography-mass spectrometer (GC/MS), bahwa kemenyan Sumatera (Styrax Benzoin Dryand), mengandung 29 komponen senyawa organik. Dengan komponen utamanya adalah benzil benzoat sekitar 71,1% - 80,1%, asam benzoat 12,5%, asam sinamat 3,5%, benzil sinamat 3,3% dan styrene 2,3%.

Benzil benzoat, adalah sejenis zat fiksatif (zat pengikat) untuk parfum. Parfum adalah campuran dari berbagai wewangian yang merupakan sebuah subtansi, biasanya dalam bentuk cairan berminyak dan berfungsi untuk menebarkan aroma wangi (minyak wangi). (http://www.chemistaydaily.com di akses November 2010).

Asam benzoat adalah padatan kristal berwarna putih, larut dalam air, dan merupakan asam karboksilat aromatik yang paling sederhana. Nama asam ini berasal dari gum benzoin (getah kemenyan), yang mana pada zaman dahulu merupakan satu-satunya sumber asam benzoat. Digunakan sebagai zat pengawet alami, suatu senyawa anti mikroba, untuk mencegah pertumbuhan khamir dan bakteri pada makanan. (http://www.chem-is-try.org, diakses November 2010).

Tabel 4. Jenis Parfum Berdasarkan Kandungan Senyawa Aromatik

No. 1. 2.

Jenis Parfum

Asam Benzoat

Kandungan Senyawa Aromatik (%) 1–3 3–8

3.

Splash Eau de cologne (EDC) 3. Eau de Toilette 5 – 15 (EDT) 4. Eau de Perfumes 10 – 20 5. Parfum 15 – 40 Sumber : http://www.tradew.com (diakses September 2010)

Asam Sinamat

Asam sinamat adalah padatan kristal putih, sedikit larut di dalam air, sekitar 0,4 gr/liter. Digunakan sebagai bahan baku untuk pembuatan ester dari metil, etil dan benzil. Ester-ester adalah bahan baku untuk pembuatan parfum. Selain itu asam sinamat juga digunakan sebagai penyedap aroma pada makanan (http://id.wikipedia.org, diakses November 2010). 4.

Setiap parfum terdiri dari sejumlah kandungan zat kimia tertentu, yang akan memberikan sensasi dan aroma tertentu, dapat berupa aroma bunga, buah, dedaunan ataupun lainnya. Parfum terdiri atas minyak wangi (minyak atsiri), zat fiksatif, alkohol dan aquadest. Sebagai pelarut wewangian digunakan alkohol (etanol) dan aquadest sebagai pengencer alkohol. Semakin rendah kandungan minyak wangi, dan semakin tinggi kandungan zat pelarutnya, maka daya tahan aroma wanginya akan cepat hilang. Untuk mengurangi laju penguapan dan meningkatkan stabilitas aroma wangi, sehingga dapat bertahan lebih lama dan sekaligus menjaga aroma asli wanginya, maka ditambahkan zat fiksatif. Zat fisksatif adalah suatu senyawa aromatik yang memiliki daya menyerap yang lebih rendah dari minyak wangi (minyak atsiri) dan dapat menghambat atau mengurangi kecepatan penguapan minyak wangi yang mempunyai titik uap yang lebih tinggi dari titik uap minyak wangi (minyak atsiri).

Benzil Sinamat

Benzil sinamat adalah padatan kristal putih yang merupakan campuran dari benzil alkohol (45,28%) dan asam sinamat (55,62%). Benzil alkohol adalah merupakan senyawa organik (alkohol primer), tidak berwarna, cairan berbau menyenangkan. Benzil alkohol dipergunakan untuk keperluan industri parfum atau pun juga sebagai bahan pelarut pada pernis. (http://hm. wikipedia.org, diakses November 2010). 5.

Styrene

Styrene, juga dikenal sebagai vinil benzena, merupakan senyawa organik dengan rumus kimia C6H5 CH = CH2. Hidrokarbon siklik adalah cairan berminyak, tidak berwarna dan mudah menguap. Mempunyai kegunaan untuk pembuatan karet sintetis, cat minyak, tinta cetak dan bahan perekat (glue). (http://kimiadotcom.wordpress.com;

308


INOVASI : Vol. 7. No. 4,

Desember 2010

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

http://en.wikipedia.org, diakses November 2010). Distilasi atau penyulingan adalah suatu proses pemisahan fraksi-fraksi berdasarkan titik didihnya, sehingga akan terjadi penguapan dan akan diikuti oleh proses pengembunan, dan diperoleh destilat.

asetat malonat, sebagian besar dihasilkan oleh mikro organisme seperti : bakteri, kapang dan lumut. Secara umum senyawa fenol yang berasal dari jalur asetat-malonat adalah senyawa poliketida. Senyawa poliketida mempunyai kerangka dasar aromatik, terdiri dari dua atom karbon yang membentuk rantai karbon yang linier, biasa disebut rantai poliasetil. Berdasarkan struktur molekul, poliketida dapat dibedakan, antara lain adalah turunan asil floroglusinol, turunan kromon, turunan benzo kuinon, turunan naftakuinon dan antra kuinon.

Distilasi kering adalah suatu proses pemisahan zatzat kimia dan bahan padat, sehingga menghasilkan produk-produk berupa cairan atau gas (yang dapat berkordensasi menjadi padat). Distilasi kering biasanya membutuhkan suhu yang lebih tinggi, bila dibandingkan dengan destilasi biasa. (http://id. wikipedia.org, diakses November 2010). c.

PEMBAHASAN Dari informasi dan data-data tersebut dapat dibahas sebagai berikut : Klasifikasi senyawa-senyawa aromatik dari alam. Senyawa-senyawa aromatik merupakan bagian terbesar dari senyawa organik bahan alam, dengan asal usul biogenetik yang berbeda. Sebagian dari senyawa aromatik ini, berasal dari salah satu dari dua jenis jalur biogenetik, dan sebagian lagi berasal dari kombinasi antara kedua jalur biogenetik ini atau melibatkan jalur bio genetik lainnya. Sebagian besar dari senyawa aromatik ini mengandung cincin karboaromatik, yaitu cincin aromatik yang lazimnya tersubstitusi oleh satu atau lebih gugus hidroksil atau gugus lain yang ekivalen ditinjau dari segi biogenetiknya. Oleh karena itu senyawa aromatik dari alam biasa disebut senyawa fenol, walaupun sebagian diantaranya bersifat netral, karena tidak mengandung gugus fenol dalam keadaan bebas.

C─C─C C C ─ C C │ C

Berdasarkan biogenetiknya, senyawa-senyawa aromatik dibedakan atas : a. Senyawa fenol yang berasal dari jalur shikimat. Senyawa fenol yang berasal dari jalur shikimat banyak ditemukan dari tumbuhan tinggi adalah fenil propanoid. Senyawa fenol ini mempunyai kerangka dasar karbon yang terdiri dari cincin benzen yang terikat pada ujung rantai propan.

C

C Gambar 2. Kerangka Dasar Flavonoid Kelompak flavonoid adalah merupakan kelompok senyawa fenol yang terbesar jumlahnya dan mempunyai sebaran yang luas pada tumbuhtumbuhan tinggi. Senyawa-senyawa aromatik yang terdapat pada kemenyan adalah benzil benzoat, asam benzoat, asam sinamat, benzil sinamat dan styrena. Gambar stukturnya adalah sebagai berikut :

C C

Gambar 1. Kerangka Dasar Fenil Propanoid Beberapa jenis senyawa yang termasuk fenil propanoid adalah turunan asam sinamat, turunan alkil fenol, turunan propenil fenol dan turunan kumarin. b.

Senyawa fenol yang berasal dari kombinasi antara jalur shikimat dan jalur asetatmalonat. Senyawa fenol yang berasal dari kombinasi antara jalur shikimat dan jalur asetat-malonat disebut senyawa flavonoid. Flavonoid mempunyai kerangka dasar karbon yang terdiri dari 15 atom karbon, dimana dua cincin benzen terikat pada satu rantai propan. Susunan ini dapat menghasilkan tiga jenis struktur, yaitu 1,3-diaril propan (flavonoid); 1-2- diaril propan (isoflavonoid) dan 1,1 – diaril propan (neo flavonoid).

C =0 Asam Benzoat (mp = 1220C; bp = 2490C)

Senyawa fenol yang berasal dari jalur asetat malonat. Senyawa fenol yang berasal dari jalur

309


INOVASI : Vol. 7. No. 4,

Desember 2010

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

Berdasarkan rentang titik didihnya, maka senyawasenyawa aromatik tersebut dapat diisolasi dengan car distilasi kering bertingkat. Secara teoritis bahwa apabila dilakukan distilasi kering maka senyawa kimia yang pertama kali menguap adalah Styrene (bp = 1450C), diikuti oleh benzil sinamat (dp = 1950C), asam benzoat (bp = 2490C), asam sinamat (bp = 3000C) dan terakhir benzil benzoat (bp = 3240C). Fraksi-faksi dari hasil distilasi kering tadi masih belum murni, oleh karena itu perlu pengolahan lebih lanjut yang meliputi antara lain proses creackring, reforming, treating dan blending.

O ║ C =C─C │ OH Asam Sinamat (mp = 1390C; bp = 5000C)

C =C KESIMPULAN Berdasarkan pemaparan tersebut di atas, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut : 1. Dari hasil kajian, mengindikasikan bahwa komoditi kemenyan dapat dikembangkan produk-produk turunannya yang dapat digunakan sebagai bahan baku untuk industri makanan, industri parfum dan lainnya. 2. Dari hasil kajian, diketahui bahwa destilasi kering secara bertingkat dari kemenyan diperoleh produk-produk turunannya seperti : benzil benzoat, asam benzoat, asam sinamat, benzil sinamat dan styrene.

Styrene (mp = -330C; bp = 1450C)

O ║ C ─O─C Benzil Benzoat (mp = 210C ; bp = 3240C)

C ─ OH

Benzil Alkohol (mp = -150C ; bp = 2060C)

Tabel 5. Karakteristik Kemenyan Sumatera (Styrax Benzoin Dryand) Titik didih (0C) 324

1.

Benzil benzoat

2.

Asam benzoat

12,5

122

C7H6O2

122

249

Kristal

3.

Asam sinamat

3,5

148

C9H8O2

139

300

Kristal

4.

Benzil sinamat

3,3

238

39

195

Kristal

5.

Styrene

2,3

104

Benzil sinamat merupakan campuran dari benzil alkohol (45,38%) dan asam sinamat (55,62%) C6H5C2H3

-33

145

Cairan kental

Senyawa

Berat Molekul 212

Titik cair (0C) 21

Kandungan (%) 76,1 - 80,1

No

Rumus Molekul C14H12O2

Sumber : Fernandez (2003)

310

Keadaan

Produk

Cairan kental

Fiksatif parfum Pengawet makanan Flavor dan parfum Parfum

Karet sintetis


INOVASI : Vol. 7. No. 4,

Desember 2010

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

Siam and Sumatera Part-1, Flavour and Fragrance Journal, Vol. 18, Issues, Page 328-340.

DAFTAR PUSTAKA Anonimous, 2004, Ensiklopedia Nasional Indonesia Jilid-8, PT. Cipta Adi Pustaka, Jakarta.

Tarigan, J dan M. Ginting, 2005, Pemisahan Sinamil Alkohol Dari Kemenyan Sumatera (styrax Benzoin) Dengan Metode Dua Pelarut (n-Heksana dan Isopropil Alkohol) Pada Temperatur 600C, Jurnal Komunikasi Penelitian, Vol. 17, hal. 73-80.

_______, Kabupaten Tapanuli Utara Dalam Angka Tahun 2009. _______,Komoditas http://www.Bataviase.co.id Agustus 2010.

Kemenyan, diakses 10

Waluyo, T.K, P. Hastoeti dan T.Perihatiningsih, 2006, Karakteristik dan Sifat Fisiko-Kimia Berbagai Kualitas Kemenyan di Sumatera Utara, Journal Penelitian Hasil Hutan, Vol. 24 No. 1, hal. 47-61.

_______, Styrax Benzoin Sumatera Gum (Benzoin), http://www.acodian.awardsperce.com diakses 11 Agustus 2010. _______, Distilasi, http://www.id.wikipedia.org. diakses november 2010. _______, Styrena, http://www.en.wikipedia.org. diakses November 2010. _______, Benzil http://www.hm.wikipedia.org. November 2010.

Sinamat, diakses

_______, Asam Sinamat, http://www.id.wikipedia.org. diakses November 2010. _______, Asam Benzoat, http://www.chem-istry.org. diakses November 2010. _______,Fiksative, http://www.perfumedefixative.blog. November 2010. _______, Resindan Getah http://www.fragrantica.com. September 2010.

diakses

Balsam, diakses

_______, Parfum, http://www.tuadew.com. diakses September 2010. _______, Benzil http://www.chemistrydaily.com. November 2010.

Benzoat, diakses

Ahmad, S.A, 1986, Kimia Organik Bahan Alam, Cetakan Kedua, Penerbit Karnika, Jakarta. Brechbill, G.O, 2007, Perfume Material of France, Printed in USA, New Jersey. Fieser, L. F. and Mary Fieser, 1962, Advance Organic Chemistry, Second Printing, Chopman & Hall, London. Fernandez, X, L. Lizzani – Cuvelier, A.M. Louisean, C. Perichet and C. Debecque, 2003, Volatile Constituent of Benzoin Gum :

311


INOVASI : Vol. 7. No. 4,

Desember 2010

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

Persepsi Kepala Puskesmas tentang Penerapan Dimensi Kepemimpinan (Studi Kasus di Kota Tebing Tinggi, Sumatera Utara) Fotarisman Zaluchu 1) 1)

Peneliti di Balitbang Provinsi Sumatera Utara

Abstraksi Kepemimpinan Kepala Puskesmas sangat penting untuk mendorong peningkatan mutu dan meningkatkan pelayanan kepada masyarakat. Departemen Kesehatan sendiri telah mengeluarkan acuan tentang dimensi kepemimpinan yang harus diterapkan oleh Kepala Puskesmas. Terdapat sembilan dimensi kepemimpinan yang ingin diteliti dengan menggunakan 9 Puskemas di Kota Tebing Tinggi. Dimensi yang ingin diteliti berpedoman pada pengukuran persepsi. Dengan menggunakan kuesioner, sembilan Kepala Puskesmas diberikan pertanyaan. Persepsi diukur dengan menggunakan skala. Berdasarkan hasil penelitian, persepsi seluruh Kepala Puskesmas sudah baik. Disarankan untuk mengelola persepsi ini ke dalam upaya pengembangan kemampuan kepemimpinan sehingga menjadi lebih baik lagi.

Kata kunci: Kepemimpinan, Puskesmas, Dimensi Kepemimpinan, Kualitas Pelayanan pelayanan kesehatan yang diberikan dilaksanakan secara berkesinambungan, pasien yang memerlukan tindak lanjut perawatan perlu ditindak lanjuti, ibu hamil yang sudah mendapatkan pemeriksaan pertama (K1) perlu ditindak lanjuti untuk pemeriksaan selanjutnya (9) Legitimasi dan akuntabilitas pelayanan yang diberikan dapat dipertanggungjawabkan, baik dari aspek medik maupun aspek hukum.

PENDAHULUAN Puskesmas sebagai ujung tombak pelayanan kesehatan dasar dalam mewujudkan komitmen peningkatan mutu pelayanan kesehatan memerlukan acuan pelaksanaan jaminan mutu. Dengan meningkatkan kualitas tenaga kesehatan dalam upaya untuk memberikan pelayanan kesehatan yang bermutu. Pentingnya peran sumber daya manusia di dalam upaya meningkatkan kualitas pelayanan telah lama menjadi rekomendasi para peneliti (Ingram, 2005; Kabene, 2006). Selama ini telah diketahui bahwa sumber daya manusia kesehatan, akan mendorong kinerja organisasi menjadi lebih baik.

Kota Tebing Tinggi adalah daerah interland dengan jumlah penduduk pada tahun 2009 sebanyak 143.059 jiwa yang tersebar di 5 (lima) Kecamatan dengan 35 Kelurahan. Bersamaan dengan Visi Kota Tebing Tinggi yaitu �Menjadikan Kota Tebing Tinggi Kota Jasa dan Perdagangan� yang bertumpu pada 3 pilar pembangunan termasuk di dalamnya pembangunan pelayanan bidang kesehatan. Hal ini tercermin dengan keinginan untuk mewujudkan sembilan unit Puskesmas yang memenuhi standar sarana dan prasarana yang memadai dimasing masing puskesmas (Profil Dinkes Kota Tebing Tinggi, 2008). Penelitian ini diharapkan akan memberikan informasi sejuah mana persepsi Kepala Puskesmas di kesembilan Puskesmas tersebut. Persepsi yang ingin diketahui mengacu kepada kesembilan dimensi di atas. Dengan diketahuinya persepsi ini maka akan lebih mudah dilakukan intervensi atau peningkatan kualitas kepemimpinan di tingkat Puskesmas.

Organisasi pelayanan kesehatan mengandung unsur kepemimpinan yang harus dipenuhi oleh pemimpin di tingkat Puskesmas yaitu Kepala Puskesmas. Menurut Departemen Kesehatan (Depkes, 2003), terdapat sembilan dimensi kepemimpinan yang seharusnya diterapkan oleh Kepala Puskesmas. Kesembilan dimensi tersebut adalah (1) Manfaat, pelayanan yang diberikan menunjukkan manfaat dan hasil yang diinginkan (2) Ketepatan, pelayanan yang diberikan relevan dengan kebutuhan pasien dan sesuai dengan standart keprofesian (3) Ketersediaan, pelayanan yang dibutuhkan tersedia (4) Keterjangkauan, pelayanan yang diberikan dapat dicapai dan mampu dibiayai oleh pasien (5) Kenyamanan, pelayanan yang diberikan dalam suasana yang nyaman. (6) Hubungan interpersonal, pelayanan yang diberikan memperhatikan komunikasi, rasa hormat, perhatian dan empati yang baik (7) Waktu, pelayanan yang diberikan memperhatikan waktu tunggu pasien dan tepat waktu sesuai perjanjian (8) Kesinambungan,

METODE PENELITIAN Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan menggunakan responden yaitu Kepala Puskesmas di sembilan Puskesmas di Kota Tebing

312


INOVASI : Vol. 7. No. 4,

Desember 2010

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

Tinggi, yaitu yang berlokasi di Puskesmas Satria, Puskesmas Rambung, Puskesmas Sri Padang, Puskesmas Lalang, Puskesmas Tanjung Marulak, Puskesmas Pasar Gambir, Puskesmas Pinang Mancung, Puskesmas Brohol dan Puskesmas Pabatu.

pada dimensi keterjangkauan pelayanan Puskesmas (tabel 5). Demikian juga pada karakteristik menciptakan pergaulan yang kondusif bagi staf, semua responden juga menganggapnya “sangat penting”, pada dimensi kenyamanan pelayanan Puskesmas (tabel 6). Hubungan interpersonal pelayanan Puskesmas yang baik secara khusus di dalam memotivasi staf juga dianggap penting oleh semua responden (tabel 7).

Kepada responden diberikan kuesioner yang berisikan persepsi mengenai sembilan dimensi kepemimpinan dengan beberapa item/ karakteristik pertanyaan. Masing-masing karakteristik diberikan pilihan sangat penting/SP (bobot 5), penting/P (bobot 4), kurang penting/ KP (bobot 3), tidak penting/KP (bobot 2), dan sangat tidak penting/STP (bobot 1). Persepsi dikatakan positif jika nilai ratarata persepsi ≥ 160 point.

Untuk dimensi waktu pelayanan, khusus untuk “pemeriksaan pasien yang harus memperhatikan jumlah pasien yang ada” serta “kemampuan membuat jadwal pemeriksaan pasien dan lama waktu pemeriksaan”, sebanyak 11,1 persen responden untuk masing-masing hal tersebut menjawabnya “tidak penting”. Sebaliknya, janji pada pasien dianggap “sangat penting” oleh semua responden (tabel 8). Peluang perubahan dengan mencari pertolongan pada institusi lainnya dianggap “tidak penting” oleh 22,2 persen responden, demikian juga untuk mengajukan dan merancang perubahan, dianggap “tidak penting” oleh 11,1 persen responden (tabel 9), meski inovasi dianggap sangat penting oleh semua responden. Khusus untuk dimensi legitimasi dan akuntabilitas pelayanan (tabel 10), sebanyak 22,2 persen responden menjawab bahwa “mewakili Puskesmas dalam berhubungan dengan lembaga lain”, serta untuk “bekerja sama dengan berbagai pihak”, masingmasing dianggap kurang penting oleh 22,2 persen responden. Namun semua responden menyatakan bahwa informasi “sangat penting” untuk disampaikan kepada pihak lain.

Data diolah dengan menggunakan tabulasi manual dan dipresentasikan dalam tabel distribusi frekuensi.

HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan hasil penelitian, dari 9 orang Kepala Puskesmas di Kota Tebing Tinggi, umumnya sudah berusia lebih dari 40 tahun, berpendidikan dokter umum sebanyak 66,6 persen dan dengan lama bekerja >5 tahun sebanyak 88,8 persen. Tabel 1. Karakteristik Responden No 1. 2. 1 2 1 2

Karakteristik UMUR >40 <40 PENDIDIKAN Dokter Umum Dokter Gigi LAMA BEKERJA >5 Tahun < 5 Tahun

Jumlah (n=9)

(%)

6 3

66,6 33,4

6 3

66,6 33,4

8 1

88,8 1,2

PEMBAHASAN Sebanyak 9 Kepala Puskesmas diminta untuk memberikan persepsinya mengenai 9 dimensi kepemimpinan untuk meningkatkan mutu Puskesmas. Secara umum, berdasarkan hasil rekapitulasi skor persepsi, dapat diketahui bahwa persepsinya cukup baik.

Persepsi responden mengenai peran kepemimpinannya di dalam berbagai dimensi dapat dilihat pada tabel-tabel 2-10. Persepsi Kepala Puskesmas mengenai dimensi manfaat pelayanan Puskesmas umumnya adalah “penting”. Khusus mengenai pembuatan alur pelayanan di Puskesmas, sebanyak 33,3 persen menyatakan bahwa hal tersebut kurang penting dikerjakan (tabel 2). Sebanyak 33,3 persen responden juga menyatakan bahwa melakukan pemeriksaan yang cepat, tepat dan akurat adalah “tidak penting” pada dimensi ketepatan pelayanan Puskesmas. Sebagian besar menyatakan bahwa hal-hal tersebut “sangat penting” dan “penting”. (tabel 3)

Kepemimpinan di dalam institusi kesehatan adalah hal penting untuk mendorong kinerja institusi. Pengalaman beberapa negara yang dirangkum oleh Schiffbauer (2008) membuktikan bahwa masalahmasalah yang terjadi pada sektor kesehatan, sebagian besar kemudian dijawab dan dicari solusinya dengan menggunakan pendekatan kepemimpinan. Institusi yang baik di dalam penerapan kepemimpinannya akan langsung mempengaruhi kualitas pelayanannya. Kabene (2006) menyatakan bahwa kualitas kepemimpinan berhubungan langsung dengan produktifitas intervensi masalah kesehatan.

Sebagian besar karakteristik dimensi ketersediaan pelayanan dianggap “penting” oleh responden (tabel 4). Pelayanan administrasi yang tidak bertele-tele dianggap “sangat penting” oleh semua responden

Klomp dan de Haan (2008) menyebutkan bahwa jika pelayanan kesehatan benar-benar

313


INOVASI : Vol. 7. No. 4,

Desember 2010

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

-

memperhatikan unsur kepemimpinan oleh pemerintah yang menjalankan program tersebut, maka hasilnya adalah sebanyak 1 persen kualitas pemerintahan akan meningkat, 0,55 persen kualitas pelayanan kesehatan akan meningkat, dan sebanyak 3,55 persen kesehatan individu akan meningkat. Analisis yang dilakukan terhadap 101 negara tersebut membuktikan bahwa derajat kesejahteraan masyarakat berhubungan langsung dengan kepemimpinan di lembaga pemerintahan.

-

O’Neil (2008) menjelaskan aspek-aspek penting yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin di dalam pelayanan kesehatan. Karakteristik tersebut dibaginya ke dalam dua bagian besar yaitu kemampuan untuk memimpin dan kemampuan untuk memanajemen. Dampak dari kedua kemampuan tersebut adalah pada peningkatan kinerja yang pada akhirnya meningkatkan kualitas pelayanan. Penjelasan skematisnya dapat dilihat pada gambar 1.

-

Penerapan pembaruan di dalam sistem kesehatan dengan mengandalkan kepemimpinan yang baik telah dibuktikan oleh Kongo (WHO, 2008). Dengan memberikan alokasi yang memadai untuk melatih dan menghasilkan model kepemimpinan yang baik, maka Kongo berhasil meningkatkan efektifitas pembangunan sistem kesehatannya, meski berada pada saat yang sulit. Memang, kemampuan adaptasi sebuah organisasi amat ditentukan oleh kemampuan pemimpinnya. Hal itu telah dibuktikan oleh banyak para pemimpin bisnis yang sukses membawa organisasinya melewati berbagai tantangan dan perubahan. Organisasi yang hidup adalah organisasi yang memberikan investasi kepada pengembangan kepemimpinan di dalam organisasi tersebut (Kotter, 1996; Adair, 2007).

-

-

Beberapa ciri khas seorang pemimpin yang efektif pada level kebupaten/kota menurut WHO Regional Office for Africa (2004) adalah :

Inisiatif: seorang pemimpin berkonsentrasi pada sebuah aktifitas spesifik, yaitu memulai sesuatu yang belum dilakukan sebelumnya, menghentikan sesuatu yang telah terjadi, atau mengubah arah dan karakter dari sebuah upaya. Pemimpin melakukan inisiatif individu dan kolektif, secara khusus dalam proses perubahan dalam rangka reformasi. Memastikan informasi: seorang pemimpin memiliki kemampuan untuk mendapatkan informasi yang lengkap disertai rasa ingin tahu dan komitmen, terhadap data dan informasi yang dibutuhkan untuk mengambil keputusan. Hal ini dalam rangka memastikan perencanaan yang berasal dari “evidence-based�. Menghadapi dan mengatasi konflik: seorang pemimpin harus bersiap untuk menghadapi konflik dan menyelesaikannya dengan pengertian yang baik dari semua pihak yang terlibat, dan menciptakan rasa tanggung-jawab dari semuanya. Kegagalan untuk melakukan hal demikian akan menciptakan suasana tidak bertanggung-jawab, kekerasan dan antagonisme. Mengambil keputusan: keputusan yang baik berasal dari dua atau lebih pilihan. Pilihan mungkin melibatkan pilihan atas intervensi atau sumber daya yang terbaik yang dapat dimanfaatkan secara efektif. Pada level kabupaten/ kota, pemimpin yang memiliki skill dalam perencanaan secara khusus di dalam aspek alokasi sumber daya, sangat dibutuhkan. Kritik: seorang pemimpin yang baik dapat memberikan kritik yang konstruktif dan sekaligus umpan balik. Pemimpin yang baik harus menggunakan cara yang tepat untuk menerapkan hal ini ketika melakukan supervisi, konseling dan pengaturan pada bawahannya. Transparansi: pemimpin yang baik, menghindari keraguan melalui komunikasi dan informasi yang efektif.

Gambar 1. Model Kemampuan Kepemimpinan dan Manajerial Pemimpin di Institusi Kesehatan serta Dampaknya. (Sumber: O’Neil. Human Resource Leadership: the Key to Improved Results in Health. Human Resources for Health 2008, 6:10)

314


INOVASI : Vol. 7. No. 4,

Desember 2010

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

Kesempatan untuk melakukan perubahan hampir tidak ada, bahkan untuk melakukan keputusankeputusan untuk memandirikan organisasi sekalipun.

Hasil penelitian di atas memperlihatkan bahwa persepsi mengenai penerapan kepemimpinan pada level Kepala Puskesmas sudah cukup baik. Persepsi yang positif ini seharusnya dapat digunakan untuk mendorong pembentukan kualitas kepemimpinan yang lebih berorientasi pada peningkatan kualitas pelayanan. Persepsi adalah hal penting yang sangat menentukan di dalam pandangan seseorang terhadap penting tidak pentingnya, negatifpositifnya, atau rentan-tidak rentannya, sebuah tindakan tertentu. Di dalam ranah teori perilaku, persepsi banyak dijelaskan oleh teori Health Belief Model (Institute of Medicine, 2001). Dengan demikian, jika persepsi seseorang sudah positif, maka kecenderungan untuk melakukan perilaku yang baik juga akan semakin tinggi. Dalam hal kepemimpinan, persepsi Kepala Puskesmas perlu dikelola sehingga dapat mengaplikasikan dengan lebih baik lagi hal-hal yang berhubungan dengan teknik kepemimpinannya.

Pada level Puskesmas, upaya pengembangan kepemimpinan ini harus dikerjakan dengan sungguh-sungguh jika ingin meningkatkan mutu dan meningkatkan pelayanan kepada konsumen pelayanan kesehatan. Kepemimpinan yang kita harapkan adalah kepemimpinan yang menghasilkan seorang pemimpin dengan kualifikasi kompetensi dasar: 1) kemampuan untuk mengembangkan dan memobilisasi para pengambil keputusan di sekitarnya tentang visi; 2) kemampuan untuk menjamin visi tersebut diterjemahkan ke dalam outcome yang konkrit dengan cara yang efektif; dan 3) komitmen kepada integritas dan etika serta akuntabilitas yang praktis (The World Bank, 2007).

Di Indonesia, memang banyak sarana pelayanan kesehatan justru tidak mengembangkan kepemimpinan yang memadai untuk mendorong majunya pelayanan kesehatan. Penelitian yang dilakukan oleh Heywood dan Harahap (2009) di 15 Kabupaten di Pulau Jawa memperlihatkan bahwa pasca desentralisasi, pembinaan terhadap kualitas sumber daya manusia termasuk kemampuan kepemimpinannya justru menjadi lebih buruk.

KESIMPULAN Persepsi sembilan Kepala Puskesmas tentang kepemimpinannya sudah baik. Hal ini perlu dikelola sehingga dapat menerapkan kepemimpinannya dengan lebih baik lagi. Orientasi pada pelayanan yang lebih baik harus ditingkatkan.

Tabel 2. Distribusi Persepsi Kepala Puskesmas Tentang Dimensi Manfaat Pelayanan Puskesmas Karakteristik Dimensi Manfaat Pelayanan Mengkoordinir staf untuk bertanggung jawab dalam pelaksanaan tugas Membuat penyusunan alur pelayanan di puskesmas Membuat tim kerja dalam pelaksanaan tugas pelayanan. menetapkan waktu dari setiap jenis pelayanan yang diberikan, menetapkan standart pemeriksaan pasien Menetapkan waktu dari setiap jenis pelayanan yang diberikan. menetapkan standart pemeriksaan pasien Menetapkan standart pemeriksaan pasien

Persepsi KP % 0 0

SP 0

% 0

P 9

% 100

TP 0

% 0

STP 0

% 0

0

0

6

66,7

3

33,3

0

0

0

0

2

22,2

7

77,8

0

0

0

0

0

0

1

11,1

7

77,8

1

11,1

0

0

0

0

2

22,2

7

77,8

0

0

0

0

0

0

Tabel 3. Distribusi Persepsi Kepala Puskesmas Tentang Dimensi Ketepatan Pelayanan Puskesmas Karakteristik Dimensi Ketepatan Pelayanan Penyusun kegiatan pelaksanaan sesuai dengan permasalahan yang terpilih. Melakukan pemeriksaan dengan cepat, tepat dan akurat Membuat resep secara rasional sesuai dengan hasil diagnosa. Melakukan tindakan medis yang diperlukan sesuai dengan keluhan pasien. Hadir tepat waktu untuk menghindari pasien menunggu pelayanan

Persepsi KP %

SP

%

P

%

2 1

22,2 11,1

6 4

66,7 44,4

1 3

0

0

9

100

3

33,3

6

5

55,6

4

315

TP

%

STP

%

11,1 33,3

0 0

0 0

0 0

0 0

0

0

0

0

0

0

66,7

0

0

0

0

0

0

44,4

0

0

0

0

0

0


INOVASI : Vol. 7. No. 4,

Desember 2010

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

Tabel 4. Distribusi Persepsi Kepala Puskesmas Tentang Dimensi Ketersediaan Pelayanan Puskesmas Karakteristik Dimensi Ketersediaan Pelayanan Menciptakan pelayanan yang dibutuhkan diwilayah kerja. Menyiapkan tenaga medis dan non medis sesuai dengan kebutuhan penyakit pasien. Menjamin tenaga medis dan non medis berada di tempat selama jam kerja. Adanya prosedur penyampaian informasi yang jelas dan mudah dimengerti. Memperhatikan sarana dan prasarana pelayanan kesehatan penunjang berfungsi dengan baik.

Persepsi KP % 1 11,1

SP 3

% 33,3

P 5

% 55,6

TP 0

% 0

STP 0

% 0

4

44,4

3

33,3

2

22,2

0

0

0

0

2

22,2

7

77,8

0

0

0

0

0

0

4

44,4

5

55,6

0

0

0

0

0

0

5

55,6

4

44,4

0

0

0

0

0

0

Tabel 5. Distribusi Persepsi Kepala Puskesmas Tentang Dimensi Keterjangkauan Pelayanan Puskesmas Karakteristik Dimensi Keterjangkauan Pelayanan Pelayanan yang diberikan dapat dicapai dan mampu dibiayai oleh pasien. Merumuskan tarif biaya pelayanan sesuai dengan kualitas pelayanan yang diterima. Menyiapakan pelayanan administrasi yang tak bertele-tele. Tenaga medis dan karyawan mempunyai Pengetahuan, pengetahuan yang luas dan kecakapan dalam menjalankan tugasnya. Penarikan tarif biaya seharusnya sesuai dengan kualitas pelayanan yang diterima.

Persepsi KP % 1 11,1

SP 2

% 22,2

P 6

% 66,7

TP 0

% 0

STP 0

% 0

1

11,1

4

44,4

3

33,3

1

11,1

0

0

9

100

0

0

0

0

0

0

0

0

5

55,6

4

44,4

0

0

0

0

0

0

5

55,6

4

44,4

0

0

0

0

0

0

Tabel 6. Distribusi Persepsi Kepala Puskesmas Tentang Dimensi Kenyamanan Pelayanan Puskesmas Karakteristik Dimensi Kenyamanan Pelayanan Tenaga medis dan karyawan berpenampilan rapi, sopan, dan keserasian seragam dalam menjalankan tugasnya. Memiliki fasilitas fisik yang memadai seperti gedung, tempat parkir dan toilet. Menciptakan pergaulan yang kondusif bagi staf Berinteraksi dengan masyarakat Memotivasi staf untuk kerjasama

Persepsi KP % 2 22,2

SP 1

% 11,1

P 6

% 66,7

TP 0

% 0

STP 0

% 0

1

11,1

5

55,6

2

22,2

1

11,1

0

0

9

100

0

0

0

0

0

0

0

0

7

77,8

2

22,2

0

0

0

0

0

0

5

55,6

4

44,4

0

0

0

0

0

0

Tabel 7. Distribusi Persepsi Kepala Puskesmas Tentang Dimensi Hubungan Interpersonal Pelayanan Puskesmas Karakteristik Dimensi Hubungan Interpersonal Pelayanan Memberikan kemudahan pelayanan dalam akses pelayanan kesehatan. Tenaga medis dan karyawan tidak membiarkan pasien menunggu antrian terlalu lama. Memotivasi staf untuk kerjasama Berinteraksi dengan masyarakat Menciptakan pergaulan yang kondusif bagi staf

Persepsi KP % 0 0

SP 3

% 33,3

P 6

% 66,7

4

44,4

5

55,6

0

9 7 5

100 77,8 55,6

0 2 4

0 22,2 44,4

0 0 0

316

TP 0

% 0

STP 0

% 0

0

0

0

0

0

0 0 0

0 0 0

0 0 0

0 0 0

0 0 0


INOVASI : Vol. 7. No. 4,

Desember 2010

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

Tabel 8. Distribusi Persepsi Kepala Puskesmas Tentang Dimensi Waktu Pelayanan Puskesmas Karakteristik Dimensi Waktu Pelayanan Dalam pemeriksaan pasien harus memperhatikan jumlah pasien yang ada Mampu membuat jadwal pemeriksaan pasien dan lama waktu pemeriksaan Menempati janji dengan pasien Membuat jadwal antrian Memiliki kenyamanan di ruang pelayanan dan ruang tunggu

Persepsi KP % 3 33,3

SP 1

% 11,1

P 4

% 44,4

1

11,1

5

55,6

2

9 7 5

100 77,8 55,6

0 2 4

0 22,2 44,4

0 0 0

TP 1

% 11,1

STP 0

% 0

22,2

1

11,1

0

0

0 0 0

0 0 0

0 0 0

0 0 0

0 0 0

Tabel 9. Distribusi Persepsi Kepala Puskesmas Tentang Dimensi Kesinambungan Pelayanan Puskesmas Karakteristik Dimensi Kesinambungan Pelayanan Mencari institusi untuk mengindetifikasi peluang untuk perubahan organisasi Mengajukan dan merancang perubahan Mencari inovasi Mengambil tindakan korektif jika ada masalah Mengambil tindakan korektif karena ada tekanan

Persepsi KP % 3 33,3

SP 0

% 0

P 4

% 44,4

1 9 7

11,1 100 77,8

5 0 2

55,6 0 22,2

2 0 0

5

55,6

4

44,4

0

TP 2

% 22,2

STP 0

% 0

22,2 0 0

1 0 0

11,1 0 0

0 0 0

0 0 0

0

0

0

0

0

Tabel 10. Distribusi Persepsi Kepala Puskesmas Tentang Dimensi Legitimasi dan Akuntabilitas Pelayanan Puskesmas Persepsi

Karakteristik Dimensi Legitimasi dan Akuntabilitas Pelayanan Mewakili puskesmas untuk negosiasi dan memecahkan masalah dengan lembaga lain Bekerja sama dengan berbagai pihak Mengungkapkan informasi kepada pihak lain dalam urusan puskesmas. Mewakili puskesmas dalam urusan dinas Memberikan informasi kepada individu

SP 1

% 11,1

P 6

% 66,7

KP 2

% 22,2

TP 0

% 0

STP 0

% 0

1 9

11,1 100

5 0

55,6 0

2 0

22,2 0

1 0

11,1 0

0 0

0 0

7 5

77,8 55,6

2 4

22,2 44,4

0 0

0 0

0 0

0 0

0 0

0 0

Dinas Kesehatan Kota Tebing Tinggi. 2008. Profil Kesehatan. Tebing Tinggi: Dinas Kesehatan.

DAFTAR PUSTAKA Adair, J. 2007. Leadership for Innovation. London: MPG Books Ltd, Bodmin, Cornwall

Heywood, P., dan Harahap, N.P. 2009. Human Resources for Health at The District Level in Indonesia: the Smoke And Mirrors of Decentralization. Human Resources for Health 2009, 7:6 doi:10.1186/1478-4491-76.

Departemen Kesehatan RI. 2003. Pedoman dasar Pelaksanaan Jaminan Mutu di Puskesmas. Jakarta: Depkes RI. Departemen Kesehatan RI. 2004. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.128/Menkes/SK/II/2004 tentang Kebijakan dasar Pusat Kesehatan Masyarakat. Jakarta: Depkes RI

Ingram, A. 2005. Global Leadership and Global Health: Contending Meta-narratives, Divergent Responses, Fatal Consequences. International Relations Vol 19(4): 381–402 DOI: 10.1177/0047117805058530

Departemen Kesehatan RI. 2007. Manajemen Puskesmas, Kurikulum dan Modul Pelatihan manajemen Puskesmas. Jakarta: Depkes RI

Institute of Medicine (U.S.). 2001. Committee on Health and Behavior: Research, Practice, and Policy. Washington D.C: National Academy Press.

317


INOVASI : Vol. 7. No. 4,

Desember 2010

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

Kabene, S.M., Orchard, C., Howard, J.M., Soriano, M.A., dan Leduc, R. 2006. The Importance of Human Resources Management in Health Care: a Global Context. Human Resources for Health 2006, 4:20 doi:10.1186/14784491-4-20 Klomp dan de Haan. 2008. Effects of Governance oh Health: A Cross-National Analysis of 101 Countries. KYKLOS, Vol 61 (4):599-614 Kotter, J.P. 1996. Leading Change. Boston: Harvard Bussines School Press. O’Neil, M.L. 2008. Human Resource Leadership: the Key to Improved Results in Health. Human Resources for Health 2008, 6:10 doi:10.1186/1478-4491-6-10 Schiffbauer, J., O'Brien, J.B., Timmons, B.K., dan Kiarie, W.N. 2008. The Role of Leadership in HRH Development in Challenging Public Health Settings. Human Resources for Health 2008, 6:23 doi:10.1186/1478-4491-623 The World Bank. 2007. Background Notes on Leadership. Washington D.C: The World Bank. WHO Regional Office for Africa. 2004. Module 2: District Health Management Team Training Modules Management, Leadership and Partnership for District Health. Brazzaville: WHO Regional Office for Africa. WHO. 2008. The World Health Report 2008: Primary Health Care. Geneva: WHO

318


INOVASI : Vol. 7. No. 4,

Desember 2010

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

Upaya Perlindungan Kesehatan Pada Petugas Kebersihan Kelurahan Di Kota Medan Tahun 2001 Zulaini1) 1)

Dosen Jurusan Ilmu Keolahragaan FIK Unimed

Abstraksi Untuk mengetahui upaya perlindungan kesehatan pada petugas kebersihan di Perusahaan Daerah Medan Bestari khususnya yang bekerja di Kelurahan Gang Buntu Kecamatan Medan Timur telah dilakukan penelitian terhadap 32 orang petugas dengan menggunakan kuesioner, disamping data sekunder. Diperoleh hasilnya bahwa alat pelindung diri yang tersedia dari perusahaan Daerah Medan Bestari tidak lengkap, seluruh petugas penyapu jalan (melati) tidak memperoleh cuti haid, hamil dan melahirkan, program jamsostek tidak berjalan secara efektif, tidak pernah dilakukannya pemeriksaan kesehatan serta adanya bahaya yang ditimbulkan dari sampah dan gangguan kesehatan. Disarankan pihak Perusahaan Daerah Medan Bestari agar dapat menyediakan kelengkapan alat pelindung diri bagi tenaga kerjanya untuk melindungi kesehatan pekerja, pihak depnaker dapat memberikan penyuluhan kepada para petugas kebersihan agar mereka mengetahui hak-haknya sebagai tenaga kerja dan dapat mengawasi perlindungan tenaga kerja yang ada di Perusahaan Daerah Kebersihan Medan Bestari serta dilakukannya penelitian pengaruh sampah terhadap petugas kebersihan yang terdapat di lokasi TPS di Kelurahan Gang Buntu Kecamatan Medan Timur.

Kata kunci : Perlindungan kesehatan, petugas kebersihan perlu adanya turun tangan pemerintah yang secara yudiris mempunyai kewajiban untuk melindungi seluruh warga negara tanpa kecuali.

PENDAHULUAN Rencana membentuk suatu masa depan yang diinginkan yaitu masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dengan sendirinya disusun berdasarkan faktor-faktor yang dominan serta modal dasar yang telah tersedia di Indonesia. Jumlah penduduk yang sangat besar apabila dikerahkan dan dibina maka akan menjadi tenaga kerja yang sangat menguntungkan bagi usaha-usaha pembangunan, dimana tenga kerja sebagai sumber daya merupakan modal dasar Pembangunan Nasional yang mempunyai peran penting dalam menentikan keberhasilan pembangunan.

Dalam penjabaran Undang-Undang No. I tahun 1970 tentang Keselamatan kerja secara umum ditegaskan bahwa : setiap tenaga kerja berhak mendapatkan perlindungan atas keselamatannya dalam melakukan pekerjan untuk kesejahteraan dan meningkatkan produktifitas nasional, setiap tenaga kerja dan orang lain yang berada ditempat kerja perlu terjamin keselamannya, dan setiap sumber produksi dipakai dan dipergunakan secara aman dan efisien. Perlindungan tenaga kerja tentu saja harus mampu menjangkau seluruh tenaga kerja baik itu yang bekerja pada sektor industri maupun yang bergerak pada jasa termasuk petugas yang menangani sampah.

Oleh karena itu perhatian pemerintah terhadap tenaga kerja sudah dilakukan sejak berdiri dan terbentuknya Negara Republik Indonesia, terbukti dalam pasal 27 ayat 2 Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan�, yang pada pelaksanaanya tumbuh dan berkembang seiring dengan perkembangan dan kemajuan sektor industri dimana selalu dihadapkan pada perbedaan kepentingan antara tenaga kerja yang menghendaki peningkatan kesejahteraannya dengan pengusaha yang menghendaki keuntungan yang sebesar-besarnya.

Dalam penanganan sampah tentu saja banyak faktor yang dapat membahayakan bagi itu bahan-bahan yang terkandung dari sampah itu sendiri, faktor cuaca, maupun polusi termasuk yang dihasilkan sejumlah kendaraan, serta risiko mendapat kecelakaan. PD Kebersihan Medan Bestari merupakan suatu perusahan daerah yang bergerak dalam hal penanganan sampah, sudah tentu mempekerjakan

Dalam kedudukan sosial ekonomi tenaga kerja selalu menempati pada posisi yang lemah, sehingga

319


INOVASI : Vol. 7. No. 4,

Desember 2010

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

tenaga kerja yang bertugas menangani sampah mulai dari memungut sampah dari berbagai sisi kota kemudian dipindahkan ke tempat pembuangan sampah sementara (TPS) hingga ke tempat pembuangan akhir(TPA). Melihat jenis pekerjaan yang terdapat faktor bahaya maka sangat perlu dilakukan perlindungan terhadap petugas kebersihan khususnya perlindungan kesehatan pada petugas kebersihan yang bekerja di Kelurahan Gang Buntu. Adanya permasalahan seperti kurangnya pemakaian alat pelindung diri seperti masker, sarung tanga, pelindung kaki dan permasalahan mengenai jam sostek dimana petugas kebersihan tersebut tidak dilayani di rumah sakit, hal inilah yang mendorong penulis untuk meneliti upaya perlindungan kesehatan pada petugas kebersihan khususnya yang bekerja di Kelurahan Gang Buntu Kecamatan Medan Timur karena memiliki jumlah petugas kebersihan terbanyak (32 orang) dari jumlah petugas kebersihan di Kelurahan lain yang ada di Kecamatan Medan Timur.

atau sampah yang tidak membusuk dapat berupa plastik, karet, logam ataupun abu, bahan bangunan bekas, dan lain-lain. Atas dasar definisi tersebut, maka sampah dapat dibedakan atas dasar sifat-sifat biologis dan kimianya, sehingga mempermudah pengelolaannya. Pengaruh Sampah Terhadap Kesehatan Pengaruh sampah terhadap kesehatan dapat dikelompokkan menjadi efek yang langsung dan tidak langsung. Yang dimaksud dengan efek langsung adalah efek yang disebabkan karena kontak langsung dengan sampah tersebut. Misalnya, sampah beracun, sampah yang korosif terhadap tubuh, yang karsinogenik, teratogenik, dan lain-lain. Selain itu ada pula sampah yang mengandung kuman patogen, sehingga dapat menimbulkan penyakit. Sampah ini dapat berasal dari sampah rumah tangga selain sampah industri. Pengaruh tidak langsung dapat dirasakan masyarakat akibat proses pembusukan, pembakaran, dan pembuangan sampah. Efek tidak langsung lainnya dapat berupa penyakit bawaan vektor yang berkembang biak di dalam sampah. Sampah bila ditimbun sembarangan dapat dipakai sarang lalat dan tikus. Seperti kita ketahui, lalat adalah vektor berbagai penyakit perut. Demikian juga halnya dengan tikus, selain merusak harta benda masyarakat, tikus juga sering membawa pinjal yang dapat menyebabkan penyakit Pest.

Dari latar belakang di atas, yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah : � bagaimana upaya perlindungan kesehatan yang diberikan pada petugas kebersihan khususnya di Kelurahan Gang Buntu Kecamatan Medan Timur ?� Tujuan Penelitian 1.

2.

3.

4.

Untuk mengetahui sejauh mana telah dilakukan upaya perlindungan kesehatan terhadap petugas kebersihan di PD Medan Bestari yang bekerja di Kelurahan Gang Buntu Kecamatan Medan Timur. Untuk mengetahui pelaksanaan jamsostek pada petugas kebersihan di Kelurahan Gang Buntu Kecamatan Medan Timur Untuk mengetahui pemeriksaan kesehatan yang dilakukan pada petugas kebersihan di Kelurahan Gang Buntu Kecamatan Medan Timur Untuk mengetahui gangguan kesehatan yang ada pada petugas kebersihan di Kelurahan Gang Buntu Kecamatan Medan Timur

Program Jamsostek Tujuan dari Jamsostek yaitu untuk memberikan ketenangan kerja, meningkatkan disiplin dan produktivitas tenaga kerja. Program ini memberikan perlindungan tenaga kerja yang melakukan pekerjaan, baik dalam hubungan kerja maupun di luar hubungan kerja.

TINJAUAN PUSTAKA

Program-program Jamsostek adalah : 1. Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) 2. Jaminan Kematian (JK) 3. Jaminan Pemeliharaan Kesehatan (JPK) 4. Jaminan Hari Tua (JHT)

Jenis-Jenis Sampah

Pemeriksaan Kesehatan

Sampah dalam ilmu kesehatan lingkungan (refuse) sebenarnya hanya sebagian dari benda atau hal-hal yang dipandang tidak digunakan, tidak dipakai, tidak disenangi atau harus dibuang, sedemikian rupa sehingga tidak sampai mengganggu kelangsungan hidup. Jenis sampah dapat dibagi menjadi dua yaitu : sampah organik dan sampah anorganik. Sampah organik atau sampah yang mudah membusuk yaitu seperti sisa sayuran, sisa daging, daun dan lain-lain, sedangkan yang termasuk dalam sampah anorganik

1.

2.

3.

320

Pemeriksaan Kesehatan Sebelum Penempatan Pemeriksaan kesehatan sebelum penempatan hendaknya memperhatikan faktor-faktor resiko individual. Pemeriksaan Kesehatan Berkala Pemeriksaan berkala hendaknya dilaksanakan dengan selang waktu yang teratur setelah pemeriksaan awal sebelum penempatan. Pemeriksaan Kesehatan Setelah Berhenti Bekerja


INOVASI : Vol. 7. No. 4,

Desember 2010

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

Pemeriksaan kesehatan setelah berhenti bekerja dilakukan agar tenaga kerja tetap mendapatkan perlindungan kesehatan kerja.

Jumlah petugas kebersihan yang berjenis kelamin pria lebih banyak yaitu sebesar 17 (53,1%) dan wanita sebanyak 15 orang (46,9%). Berdasarkan umur 31-40 tahun sebanyak 16 orang (50%), umur 41-50 tahun sebanyak 9 orang (28,2%), 6 orang berumur 20-30 tahun (18,7%) dan 1 orang (3,1%) berumur 51-60 tahun. b. Berdasarkan Lama Kerja Masa kerja petugas sebagian bekerja selama 1-5 tahun sebanyak 15 orang (46,9%), lama kerja 610 tahun sebanyak 11 orang (34,4%), 11-15 tahun sebanyak 2 orang (6,2%), 21-25 tahun sebanyak 2 orang (6,2%) dan masa kerja 26-30 tahun sebanyak 2 orang (6,2%). c. Berdasarkan Tingkat Pendidikan Sebagian besar petugas mempunyai tingkat pendidikan SD yaitu 15 orang (46,8%), SMP 9 orang (28,1%), SMA/SMEA 4 orang (12,5%) dan tidak sekolah 4 orang (12,5%).

METODOLOGI PENELITIAN Jenis Penelitian Jenis penelitian ini adalah deskriptif yaitu menerangkan secara sistematis sejauh mana upaya perlindungan kesehatan telah diberikan pada petugas kebersihan yang bekerja di Kelurahan Gang Buntu Kecamatan Medan Timur. Populasi dan Sampel Populasi penelitian ini adalah semua petugas kebersihan yang bekerja di Kelurahan Gang Buntu kecamatan Medan Timur. Sampel penelitian ini adalah semua petugas kebersihan yang bekerja di Kelurahan Gang Buntu kecamatan Medan Timur

Data Khusus Metoda Pengumpulan Data -

-

1. Jamsostek. Didapat hasil bahwa hanya 8 orang (25%) yang mengikuti program Jamsostek sedangkan 24 orang (75%) tidak mengikuti program Jamsostek. 2. Memperoleh Pemeriksaan Kesehatan Awal, Berkala dan Akhir. Di dapat hasil sebanyak 32 orang (100%) tidak pernah mendapatkan pemeriksaan kesehatan awal, berkala dan akhir. 3. Mendapat gangguan kesehatan akibat melakukan pekerjaan. Di dapat hasil sebanyak 29 orang (90,6%) mengalami gangguan kesehatan dan sebanyak 3 orang (9,4%) belum pernah mendapatkan gangguan kesehatan.

Data Primer Data primer diperoleh melalui wawancara dengan para petugas kebersihan dengan bantuan kuesioner. Data Sekunder Data sekunder diperoleh dari PD Kebersihan Medan Bestari yaitu mengenai struktur organisasi, waktu kerja, jumlah petugas kebersihan di Kelurahan Gang Buntu.

Teknik Analisa Data 1. Editing. Mengelola data sedemikian rupa sehingga jelas sifat-sifat yang dimiliki oleh data tersebut. Dalam melakukan editing ada beberapa hal yang perlu diperhatikan yaitu : memeriksa kelengkapan data, kesinambungan data dan keseragaman data. 2. Tabulasi. Mengelompokkan data ke dalam suatu tabel tertentu menurut sifat yang dimilikinya, sesuai dengan tujuan penelitian. Setelah selesai data dihitung dalam bentuk tabel. Data yang sudah diolah kemudian dianalisa secara deskriptif.

PEMBAHASAN Petugas yang mengikuti program jamsostek hanya 25% (8 orang) sedangkan sebanyak 24 orang (75%) tidak mengikuti program jamsostek. Program yang diikutsertakan adalah program JPK. Umumnya yang menjadi peserta Jamsoostek adalah responden yang telah bekerja selama 11-15 tahun. Sedangkan yang bekerja selama 1-5 tahun belum menjadi peserta jamsostek karena tidak jelas pengurusannya. Ketidakjelasan ini disebabkan oleh kurangnya sosialisasi mengenai program Jamsostek dari PD Kebersihan Medan Bestari.

HASIL PENELITIAN

Mengenai pemeriksaan kesehatan awal, berkala dan akhir, dari 32 responden yang diwawancarai menyatakan seluruh responden tidak pernah mendapatkan pemeriksaan kesehatan pada awal bekerja, selama bekerja dan di akhir bekerja. Berdasarkan resiko pekerjaan yang dihadapi maka pemeriksaan kesehatan ini perlu dilakukan sehingga dapat melindungi petugas kebersihan dari faktor resiko bahaya yang ada di lingkungan kerja. Selain

Kegiatan-kegiatan yang dilakukan Perusahaan Daerah Kebersihan Bestari untuk mencapai Kotamadya Medan yang bersih, sehat, tertib, aman, rapi dan indah meliputi : penyapuan dan pengumpulan/pengangkutan sampah. Karaketristik Responden a. Berdasarkan Umur

321


INOVASI : Vol. 7. No. 4,

Desember 2010

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

itu pemeriksaan kesehatan juga dapat mengetahui bagaimana kondisi kesehatan para petugas kebersihan tersebut.

2.

3. Jika kita melakukan suatu pekerjaan yang terdapat faktor resiko bahayanya mungkin akan timbul bahaya dalam melakukan pekerjaan tersebut. Dari hasil pengisian kuesioner maka sebanyak 27 orang (84,4%) menyatakan adanya bahaya yang ditimbulkan dalam melakukan pekerjaan, yaitu seperti bahaya tergores kaca, terpijak paku yang sumbernya berasal dari sampahbaik sampah dari rumah tangga, pertokoan, pusat perdagangan, dan lain-lain. Sedangkan petugas yang menyatakan tidak ada bahaya yang ditimbulkan dalam melakukan pekerjaan mereka adalah 15,6% (5 orang) yaitu pada petugas penyapu jalan. Petugas yang menyatakan pernah mendapat gangguan kesehatan dalam melakukan pekerjaan tersebut adalah sebesar 90,6% (29 orang) yaitu seperti pilek, demam, badan lemas, gejala liver, pusing, dsb. Sedangkan yang menyatakan tidak pernah merasa terganggu kesehatannya adalah 9,4% (3 orang). Petugas yang menyatakan sering menderita sakit flu, kepala pusing, demam, pegal-pegal adalah 84,4% (27 orang), sakit perut 15,6% (5 orang). Berdasarkan hasil penelitian didapat bahwa sakit flu, kepala pusing, demam disebabkan karena cuaca dan daya tahan tubuh yang rendah, pegal-pegal karena beban angkut sampah yang terlalu berat yaitu satu kereta sorong berisi sekitar 1,5 m3. Sedangkan sakit perut diakibatkan karena sewaktu makan tidak mencuci tangan dengan bersih.

4.

5.

DAFTAR PUSTAKA Azrul

2.

3.

Kerja RI.Perhimpunan Perundang-undangan Bidang Perlindungan

Kansil CST.1997. Pokok-pokok Hukum Jaminan Sosial Tenaga Kerja, UU No.3 Tahun 1992. Jakarta : Pustaka Sinar Harapan. Kertonegoro S. 1992. Jaminan Sosial Prinsip dan Pelaksanaannya di Indonesia. Jakarta : Penerbit Alumni. Suma’mur.1967. Higiene Perusahaan Kerja.Jakarta : PT.Toko Gunung Agung.

Program Jamsostek yang dikuti hanya program Jaminan Pemeliharaan Kesehatan (JPK) dan hanya sebanyak 8 orang (25%) saja. Tidak pernah dilakukan pemeriksaan kesehatan pada awal bekerja, berkala dan akhir. Karena seluruh responden sebanyak 32 orang (100%) tidak pernah mendapatkan pemeriksaan kesehatan awal, berkala dan akhir. Sebanyak 27 orang (84,4%) menyatakan adanya bahaya yang ditimbulkan dalam melakukan pekerjaan, yaitu seperti bahaya tergores kaca, terpijak paku yang sumbernya berasal dari sampah baik sampah dari rumah tangga, pertokoan, pusat perdagangan, dan lain-lain.

Saran 1.

Azwar.1981. Pengantar Kesehatan Lingkungan. Jakarta : Mutiara Jakarta.

Departemen Tenaga Peraturan Ketenagakerjaan Tenaga Kerja.

KESIMPULAN 1.

PD Kebersihan Medan Bestari agar melalukan pemeriksaan kesehatan pada seluruh petugas kebersihan. Pihak Depnaker dapat memberi penyuluhan kepada para pekerja kebersihan di Kelurahan Gang Buntu agar mereka mengetahui hakhaknya sebagai tenaga kerja. Pihak Depnaker agar dapat mengawasi perlindungan tenaga kerja yang ada di PD Kebersihan Medan Bestari. Dilakukannya penelitian mengenai pengaruh smapah kepada petugas kebersihan yang terdapat di lokasi TPS di Kelurahan Gang Buntu Medan.

PD Kebersihan Medan Bestari agar menyediakan kelengkapan alat pelindung diri bagi tenaga kerjanya untuk melindungi kesehatan pekerja.

322


INOVASI : Vol. 7. No. 4,

Desember 2010

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

Persepsi Perawat Terhadap Mutu Pelayanan Kesehatan di Rumah Sakit (Studi Kasus di RSU Kabanjahe, Kabupaten Karo, Sumatera Utara) H. Paul Sirait1) 1)

Staf Pengajar STIKes Sumatera Utara

Abstraksi Pelayanan Rumah Sakit merupakan salah satu bentuk aktifitas pengobatan masyarakat yang memegang fungsi penting di dalam upaya meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. Untuk itu, persepsi tenaga kesehatan dalam hal ini perawat sangat penting untuk menjadi landasan di dalam upaya peningkatan mutu layanan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui persepsi perawat dengan menggunakan indikator persepsi terhadap mutu SERVQUAL. Sebanyak 122 perawat menjadi responden. Hasil penelitian menunjukkan bahwa masih banyak perawat yang memiliki persepsi kurang baik terhadap layanan yang diberikan oleh RSU Kabanjahe. Disarankan untuk memperbaiki persepsi dengan melakukan peningkatan motivasi disertai dengan peningkatan sarana dan prasarana.

Kata kunci: Rumah sakit, perawat, mutu pelayanan, servqual kreatif, organisasi yang fleksibel dan mudah beradaptasi. Rumah Sakit Umum Kabanjahe sebagai Rumah Sakit Pemerintah satu-satunya di Kabupaten Karo berkontribusi pada pengingkatan melalui penyediaan pelayanan medis.

PENDAHULUAN Pembangunan Kesehatan bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang optimal melalui terciptanya masyarakat, bangsa dan negara Indonesia yang ditandai oleh penduduknya yang hidup dengan perilaku sehat, dan memiliki kemampuan untuk menjangkau pelayanan kesehatan yang bermutu, secara adil dan merata serta memiliki derajat kesehatan yang optimal di seluruh wilayah Republik Indonesia. (Depkes RI, 2002).

Ada berbagai macam teori untuk mengukur mutu pelayanan kesehatan, diantaranya seperti dirangkum oleh James dkk (1994), yang menguji coba setidaknya 4 pengukuran mutu pelayanan, yaitu SERVQUAL, SERVQUAL yang dimodifikasi, SERVPERF, dan SERPERF yang dimodifikasi. Meski demikian, SERVQUAL direkomendasi untuk mengetahui mutu pelayanan kesehatan (Brown dkk, 1993).

Pelayanan kesehatan yang berkualitas merupakan salah satu sarana untuk mencapai derajat kesehatan yang optimal. Salah satu indikator utama untuk keberhasilan manajemen pada institusi pelayanan kesehatan adalah tercapainya hak atas hidup sehat bagi seluruh lapisan masyarakat melalui sistem kesehatan yang dapat menjamin terlindunginya masyarakat dari berbagai risiko yang dapat mempengaruhi kesehatan dan tersedianya pelayanan kesehatan yang bermutu tinggi, terjangkau dan merata.

Teori SERVQUAL dirumuskan pertama sekali oleh Parasuraman, Zeithamal dan Berry (Brown, 1993). Menurut teori SERVQUAL untuk mengukur mutu pelayanan harus memenuhi lima (5) dimensi mutu yang utama, yaitu tangible, reability, responsiveness, assurance, empathy. Di sadari atau tidak, penampilan (tangible) dari rumah sakit merupakan point pertama yang diperhatikan ketika pasien pertama kali mengetahui keberadaan rumah sakit. Masalah kesesuaian janji (reability), pelayanan yang tepat (responsiveness), dan jaminan pelayanan (assurance) merupakan masalah yang sangat peka dan sering menimbulkan konflik (empaty) berusaha memberikan pelayanan yang tulus.

Rumah sakit menghadapi tantangan persaingan dan lingkungan yang kompetitif. Untuk menjawab tantangan persaingan Rumah Sakit di masa yang akan datang aspek mutu menjadi sangat penting. Di samping mutu, organisasi yang memenangkan persaingan harus menciptakan jasa dan produk baru dengan menggunakan teknologi terkini, inovatif dan

Untuk menerapkan SERVQUAL di dalam sebuah institusi pelayanan, pengetahuan yang memadai

323


INOVASI : Vol. 7. No. 4,

Desember 2010

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

Oleh karena itu, upaya perbaikan mutu harus tetap diterapkan, termasuk di rumah sakit. Penelitian mengenai mutu pelayanan keperawatan di Rumah Sakit Umum Kabanjahe belum pernah dilakukan apalagi yang secara khusus berorientasi pada pengetahuan perawat mengenai mutu. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran persepsi perawat Rumah Sakit Umum Kabanjahe Tentang Mutu Pelayanan Kesehatan Tahun 2010. Hasilnya dapat dimanfaatkan untuk melakukan perbaikan mutu RS termasuk di seluruh wilayah Sumatera Utara atau Indonesia pada umumnya.

mengenai hal tersebut, setidaknya konsep tentang mutu pelayanan yang berhubungan dengan hal tersebut amat penting untuk dimiliki oleh para penyedia layanan kesehatan. Pengetahuan merupakan landasan utama dan penting bagi tenaga kesehatan dalam pelakasanan pelayanan kesehatan. Di rumah sakit, perawat adalah tenaga profesional yang memiliki tanggung jawab utama dalam pelayanan serta pelaksanaan asuhan keperawatan yang komprehensif yang dituntut untuk memiliki pengetahuan yang tinggi dalam profesi keperawatan termasuk dalam meningkatkan mutu pelayanan. Pelayanan keperawatan di Rumah Sakit Umum Kabanjahe dilaksanakan oleh tenaga keperawatan. Sehubungan dengan gambaran di atas, terlihat bahwa mutu pelayanan keperawatan sangat mempengaruhi kualitas pelayanan kesehatan dan bahkan menjadi salah satu faktor penentu citra pelayanan rumah sakit terlebih mengingat bahwa tenaga keperawatan merupakan tenaga kesehatan yang selama 24 jam harus berada di sisi pasien.

METODE PENELITIAN

Secara umum kinerja perawat di RS di Provinsi Sumatera Utara, masih rendah dilihat dari angka rata-rata pemanfaatan tempat tidur, lama rawatan dan status rawatan. Berdasarkan profil kesehatan Provinsi Sumatera Utara (2008), bahwa di Provinsi Sumatera Utara saat ini memiliki 157 buah rumah sakit, terdiri atas 57 rumah sakit pemerintah, 100 rumah sakit swasta. Berdasarkan dari jenisnya rumah sakit di Provinsi Sumatera Utara terdiri dari 23 rumah sakit khusus, dan 134 rumah sakit umum. Berdasarkan laporan indikator kinerja RS, diketahui rata-rata tingkat pemanfaatan tempat tidur (BOR) terendah di Indonesia, yaitu 36% dengan rata-rata lama perawatan (LOS) 4 hari. Tingkat pencarian pelayanan masyarakat ke fasilitas rumah sakit hanya 0,7% untuk rumah sakit pemerintah dan 0,9% untuk rumah sakit swasta (Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Utara, 2008).

Sebanyak 122 orang perawat di RSU Kabanjahe menjadi sampel penelitian. Kepada responden diberikan kuesioner dengan skala “Sangat Tidak Penting” (skor 1), “Tidak Penting” (skor 2), “Kurang Penting” (skor 3), “Penting” (skor 4), dan “Sangat Penting” (skor 5) terhadap pertanyaanpertanyaan persepsi tentang aspek SERVQUAL di RS yaitu meliputi dimensi: 1) Tangible (penampilan fisik), yaitu penampilan fisik dari fasilitas dan bangunan atau tata letak dari tempat pelayanan, personel dan materi komunikasi yang dipakai. 2) Reliability (reliabilitas), yaitu kesanggupan rumah sakit untuk melaksanakan pelayanan yang dijanjikan secara meyakinkan dan akurat. 3) Responsiveness (daya tanggap), yaitu keinginan membantu dan memberikan mereka pertolongan yang segera. 4) Assurance (kepastian/jaminan), yaitu tingkat pengetahuan dan kesopanan dari para pegawai pelayanan serta kesanggupan mereka memberikan rasa percaya dan keyakinan pada pasien. 5) Empathy (empati), yaitu pelayanan yang tulus dan perhatian yang penuh toleransi untuk pelayanan khusus sesuai dengan kondisi setiap pasien.

Penelitian ini bersifat deskriptif dengan pendekatan cross sectional. Analisis menggunakan pendekatan kuantitatif. Rumah Sakit Umum Kabanjahe dijadikan lokasi penelitian dengan alasan 1) kemudahan mengumpulkan data; 2) belum pernah dilakukan penelitian mengenai hal tersebut dilokasi penelitian tersebut.

Sebagaimana dijelaskan di atas, perawat merupakan tenaga profesional yang perannya tidak dapat dikesampingkan dari semua bentuk pelayanan rumah sakit. Peran khusus ini disebabkan karena tugas perawat mengharuskan kontak paling lama dengan pasien. Sekarang ini perawat di Indonesia telah mengalami pergeseran persepsi yang sebelumnya sebagai tenaga vaksional berubah persepsi sebagai tenaga yang profesional. Kinerja seorang perawat dapat dilihat dari mutu asuahan keperawatan yang diberikan kepada pasien pada dasarnya dijadikan acuan dalam menilai kualitas pelayanan keperawatan adalah dengan menggunakan standart praktik keperawatan. Standart praktik ini menjadi pedoman bagi perawat dalam melaksanakan asuhan keperawatan.

Setelah dinilai menggunakan skor, maka setiap persepsi responden dibagi ke dalam kategori “baik” jika skor jawaban responden di atas mean keseluruhan responden sementara kategori “kurang baik” jika skor jawaban responden di bawah mean keseluruhan responden.

324


INOVASI : Vol. 7. No. 4,

Desember 2010

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

Gambaran umum karakteristik responden dapat dilihat pada tabel 1 di bawah ini. Sebagian besar responden berusia 21-40 tahun, berpendidikan mayoritas SPK, dengan lama bekerja 6-15 tahun, serta kebanyakan memperoleh informasi melalui media cetak.

baik terhadap penampilan fisik RS. Sebanyak 55,7 memiliki persepsi yang baik terhadap reliabilitas RS, 69,7 persen memiliki persepsi baik terhadap daya tanggap RS. Sebanyak 56,6 persen responden memiliki persepsi baik terhadap jaminan dan sebanyak 54,1 persen memiliki persepsi kurang baik terhadap empati RS.

Tabel 1. Karakteristik Responden (n=122)

PEMBAHASAN

HASIL

Umur

8 55 49 8 2

Frekuensi (%) 6,6 45,1 40,2 6,6 1,6

56 8 48 10

45,9 6,6 39,3 8,2

8 54 53 7

6,6 44,3 43,4 5,7

29 61 21 11

23,8 50,0 17,2 9,0

49 73

40,2 59,8

Jumlah

< 21 tahun 21 – 30 tahun 31 – 40 tahun 41 – 50 tahun > 50 tahun Pendidikan SPK D-I D-III Kesehatan S-I Kesehatan Lama Bekerja 1 – 5 tahun 6-10 tahun 11-15 tahun 16-20 tahun Sumber Informasi Tentang Mutu Media elektronik Media cetak Seminar/Pelatihan Belajar Sendiri Golongan Pangkat IIa – IId IIIa – IIId

Persepsi secara umum merupakan suatu tanggapan berdasarkan suatu evaluasi yang ditujukan terhadap suatu obyek dan dinyatakan secara verbal, sedangkan bentuk-bentuk persepsi merupakan pandangan yang berdasarkan penilaian terhadap suatu obyek yang terjadi, kapan saja, dimana saja, jika stimulus mempengaruhinya. Persepsi yang meliputi proses kognitif mencakup proses penafsiran obyek, tanda dan orang dari sudut pengalaman yang bersangkutan. Oleh karena itu dalam menerima suatu stimulus kemampuan manusia sangatlah terbatas, sehingga manusia tidak mampu memproses seluruh stimulus yang ditangkapnya. Artinya meskipun sering disadari, stimulus yang akan dipersepsi selalu dipilih suatu stimulus yang mempunyai relevansi dan bermakna baginya. Penelitian ini menunjukkan bahwa persepsi responden tentang tangible hasilnya bervarisi. Sekitar setengah dari responden memiliki persepsi yang baik terhadap tangible RS, namun setengah sisanya justru berpandangan sebaliknya.

Berdasarkan rekapitulasi jawaban responden pada kuesioner mengenai gambaran persepsi perawat tentang mutu pelayanan kesehatan (SERVQUAL) mencakup tangible, reliability, responsiveness, assurance, empathy hasilnya terlihat pada tabel 2 di bawah ini.

Menurut Depkes (2003), bahwa pelayanan kesehatan akan mempunyai mutu yang baik, jika dilaksanakan sesuai dengan prosedur dan standar profesi, misalnya menciptakan pelayanan yang dibutuhkan di wilayah kerja, menyiapkan tenaga medis dan non medis sesuai dengan kebutuhan penyakit pasien, menjamin tenaga medis dan non medis berada di tempat selama jam kerja, adanya prosedur penyampaian informasi yang jelas dan mudah dimengerti, memperhatikan sarana dan prasarana pelayanan kesehatan penunjang berfungsi dengan baik.

Tabel 2. Distribusi Kategori Persepsi Responden tentang Servqual Kategori Tangible (Penampilan Fisik) Kurang Baik Baik Reliability (Reliabilitas) Kurang Baik Baik Responsiveness (Daya Tanggap) Kurang Baik Baik Assurance (Jaminan) Kurang Baik Baik Emphaty (Empati) Kurang Baik Baik

Jumlah (n)

Frekuensi (%)

63 59

51,6 48,4

54 68

44,3 55,7

37 85

30,3 69,7

53 69

43,4 56,6

66 56

54,1 45,9

Kehidupan berhubungan dengan kemampuan dan keterampilan yang dimiliki petugas dalam menyelenggarakan dan memberikan pelayanan kepada pasien dirumah sakit juga harus ditingkatkan (Soetjitno dkk, 2002). Tingkat kemampuan dan keterampilan yang kurang dari tenaga kesehatan tentunya akan memberikan pelayanan yang kurang memenuhi kepuasan pasien sebagai standar penilaian terhadap mutu pelayanan. Di sadari atau tidak, penampilan (tangible) dari rumah sakit merupakan point pertama yang

Tabel di atas memperlihatkan bahwa sebanyak 51,6 persen responden memiliki persepsi yang kurang

325


INOVASI : Vol. 7. No. 4,

Desember 2010

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

Rumah Sakit Kabanjahe termasuk dalam kategori baik.

diperhatikan ketika pasien pertama kali mengetahui keberadaan rumah sakit. Jika dibandingkan dengan luas wilayah kerjanya jumlah tenaga kesehatan yang ada di RSU Kabanjahe sebanyak 122 orang, dinilai sudah cukup untuk memadai tujuan memberikan pelayanan kepada pasien yang datang berobat, namun kenyataannya bahwa kinerja rumah sakit ini masih rendah dilihat dari angka rata-rata pemanfaatan tempat tidur, lama rawatan dan status rawatan.

Penelitian ini menjelaskan bahwa persepsi responden tentang assurance hasilnya lebih banyak yang mengatakan sudah baik, meski tidak berbeda jauh dengan yang memiliki persepsi bahwa assurance RS adalah kurang baik. Assurance (kepastian/ jaminan) yaitu tingkat pengetahuan dan kesopanan dari para pegawai pelayanan serta kesanggupan mereka memberikan rasa percaya dan keyakinan pada pasien. Hal ini dapat diwujudkan apabila pemberian pelayanan dilaksanakan secara profesional oleh tenaga kesehatan (dokter, responden, dan tenaga profesi lain) dan interaksi dengan pasien. Untuk itu perlu ditekankan idealime kerja dan kesungguhan pengabdian (Soetjitno dkk, 2002).

Penelitian ini menunjukkan bahwa persepsi responden tentang reliability hasilnya bervarisi, hampir 60% responden memiliki persepsi yang baik terhadap reliability RS, namun sekitar 40% responden memiliki persepsi yang kurang baik. Reliability merupakan kesanggupan rumah sakit untuk melaksanakan pelayanan yang dijanjikan secara meyakinkan dan akurat. Untuk mewujudkan reliabilitas dari sebuah rumah sakit, dibutuhkan petugas pemberi pelayanan dengan kemampuan dan keterampilan yang mampu memenuhi kepuasan pasien di samping fasilitas / sarana prasarana pendukung.

Menurut Azwar (1994), pelayanan kesehatan yang diberikan dilaksanakan secara berkesinambungan, pasien yang memerlukan tindak lanjut respondenan perlu ditindak lanjuti, ibu hamil yang sudah mendapatkan pemeriksaan pertama (K1) perlu ditindak lanjuti untuk pemeriksaan selanjutnya.

Menurut Muninjaya (2004), kepuasan mengacu pada penerapan semua persyaratan pelayanan kesehatan yaitu: dari segi biaya, pelayanan kesehatan harus terjangkau oleh masyarakat pada umumnya; manajemennya harus efisien; jenis pelayanan yang diberikan harus selalu terjaga mutunya.

Penelitian ini menunjukkan bahwa persepsi responden umumnya kurang baik, hampir sebanyak yang menilai baik. Empathy (empati), yaitu pelayanan yang tulus dan perhatian yang penuh toleransi untuk pelayanan khusus sesuai dengan kondisi setiap pasien. Sebagaimana menurut Azwar (1994), kepuasan mengacu pada penerapan semua persyaratan pelayanan kesehatan yaitu: pelayanan yang disediakan bersifat komprehensif untuk seluruh masyarakat yang ada di suatu wilayah; pelayanan dilaksanakan secara wajar, tidak melebihi kebutuhan dan daya jangkau masyarakat; pelayanan dilakukan secara berkesinambungan; dan pelayanan diupayakan agar dapat diterima oleh masyarakat setempat. Jika melihat hasil penelitian ini, persepsi responden terhadap mutu pelayanan Rumah Sakit Kabanjahe termasuk dalam kategori baik.

Penelitian ini juga memperlihatkan fakta bahwa persepsi responden tentang responsiveness hasilnya bervarisi. Dari hasil jawaban responden, terdapat sebanyak hampir 70 persen responden menilai daya tanggap RS sudah baik, sementara sebanyak 30 persen menilai kurang baik. Responsiveness (daya tanggap), yaitu keinginan membantu dan memberikan pasien pertolongan yang segera. Hal ini dapat diwujudkan bila tersedianya sumber daya tenaga kesehatan yang memiliki kemampuan dan keterampilan yang baik serta kesigapan dan pengambilan keputusan yang cepat dan tepat khususnya dalam menangani pasien dengan kondisi darurat.

KESIMPULAN Setelah dilakukan penelitian diambil kesimpulan sebagai berikut: 1) Persepsi responden berdasarkan aspek Tangibel (penampilan fisik), umumnya dikategorikan kurang baik. 2) Persepsi responden berdasarkan aspek Reliability (reliabilitas), umumnya dikategorikan baik. 3) Persepsi responden berdasarkan aspek Responsiveness (daya tanggap), umumnya dikategorikan baik. 4) Persepsi responden berdasarkan aspek Assurance (kepastian/ jaminan), umumnya dikategorikan baik; dan 5) Persepsi responden berdasarkan aspek Empathy (empati), umumnya dikategorikan kurang baik. Mengingat masih banyaknya responden yang

Sebagaimana menurut Azwar (1994), mutu pelayanan kesehatan adalah yang menunjuk pada tingkat kesempurnaan pelayanan kesehatan yang di satu pihak dapat menimbulkan kepuasan pada setiap pasien sesuai dengan tingkat kepuasan rata-rata penduduk, serta di pihak lain, tata cara penyelenggaraan sesuai dengan kode etik dan standar pelayanan profesi yang telah ditetapkan. Jika melihat hasil penelitian di atas, mayoritas persepsi responden terhadap mutu pelayanan

326


INOVASI : Vol. 7. No. 4,

Desember 2010

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

memiliki persepsi kurang baik, disarankan kepada pihak manajemen RSU Kabanjahe agar lebih meningkatkan fasilitas (sarana dan prasarana) pelayanan kesehatan di instansinya dan memotivasi para tenaga kesehatan agar lebih mampu meningkatkan mutu pelayanan kesehatan kepada masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA Azwar, Azrul. 1994. Program Menjaga Mutu Pelayanan Kesehatan. Jakarta: Ikatan Dokter Indonesia Brown, T.J., Churchill, G.A., dan Peter, J.P. 2003. Improving the Measurement of Service Quality. Journal of Retailing Vo. 69 (1) 127139 Departemen Kesehatan RI. 2002. Jaminan Pemeliharaan Kesehatan masyarakat. Diakses dari www.depkes.go.id./jpkm pada tanggal 23 Maret 2010 Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Utara. 2008. Profil Kesehatan Provinsi Sumatera Utara. Medan: Dinkes Prop Sumut Muninjaya, A.A. Gde. 2004. Manajemen Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta: Jakarta. Notoadmodjo, S. 2003. Metode Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta Nadesul, H. 2008. Jaminan Mutu Pelayanan Kesehatan, diakses dari www.google.co.id/books pada tanggal 1 Maret 2010 Parasuraman, A., Zeithaml, V.A., dan Berry, L.L. 1994. Alternative Scales for Measuring Service Quality: A Comparative Assesment Based on Psychometric and Diagnostic Criteria. Journal of Retailing Vol 70 (3) 201230 Pohan, S Imbaho. 2003. Jaminan Mutu Pelayanan Kesehatan. Jakarta : EGC Soetjitno, S., Alkatiri, A., dan Ibrahim, E. 2002. Reformasi Perumahsakitan Indonesia. Jakarta: Grasindo Wijono, D. 1999. Manajemen Mutu Pelayanan Kesehatan, Vol.1. Surabaya: Airlangga University Press

327


INOVASI : Vol. 7. No. 4,

Desember 2010

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

RESENSI BUKU Judul Buku Pengarang Penerbit Spesifikasi

: Break From The Pack - Strategi Bersaing di Tengah Sengitnya Ekonomi Peniruan : Oren Harari : PT. Bhuana Ilmu Populer : xii + 385

Buku ini merupakan hasil penelitian selama dua tahun dan penulisan yang intensif selama enam bulan. Buku ini mencoba menunjukkan cara bagaimana mempertahankan keunggulan kompetitif dalam ekonomi peniruan saat ini dimana produk yang dikomoditisasi, pelayanan ditiru, dan hambatan tradisional untuk memasuki pasar runtuh. Pengarang/penulis buku ini memulai dengan mengindentifikasi 10 kesalahan umum yang membuat perusahaan terperangkap dalam kerumuman. Kemudian ia memperkenalkan enam strategi untuk menggerakkan organisasi ke tempat yang tidak dapat diikuti oleh pesaing. Kita akan mempelajari bagaimana mendominasi pasar (dan kapan meninggalkannya, bagaimana menciptakan tujuan tertinggi yang akan menggerakkan semua pihak yang terkait dengan kita, bagaimana membangun pipa saluran yang inovatif, produkproduk menarik dalam industri manapun. Buku Break From The Pack ini terdiri dari tiga bagian yaitu Bagian Pertama tentang Bertahan Tidak Terseret Kerumunan, Bagian Kedua tentang Strategi Loloas Dari Kerumunan, Bagian Ketiga tentang Strategi Memimpin Kerumunan. Menurut Garry Betty, Presiden dan CEO Earthlink, buku ini memberi serangkaian wawasan yang bernilai dan menarik tentang bagaimana cara agar dapat berhasil dalam lingkungan kompetitif sekarang ini. Berbeda dengan banyak buku lainnya yang lebih banyak memberikan hal-hal umum dan hanya sedikit mengulas hal spesifik, buku ini memberi contoh terukur tentang ‘bagaimana untuk’ dan ‘bagaimana untuk tidak’ berhasil dalam isu-isu strategis utama. Buku ini disarankan untuk pemimpin bisnis apapun. Penulis telah mengambangkan model untuk membantu organisasi mencapai kinerja puncak dan keunggulan kompetitif. Buku ini memberikan saran yang jelas, berarti, menantang, dan dapat dicapai kepada pemimpin bisnis dimanapun. Peresensi : Irwan Purnama Putra, SE Staf Balitbang Provsu

328


PEDOMAN PENULISAN NASKAH Persyaratan Naskah Naskah yang akan diterbitkan dalam buletin/jurnal INOVASI Balitbang Provinsi Sumatera Utara Terakreditasi, harus memenuhi ketentuan berikut : 1. Naskah diserahkan dalam 2 (dua) media, naskah hard copy dan soft copy atau versi elektroniknya dalam CD. Nama file, judul dan nama penulis naskah dituliskan pada label disket atau CD. Disket atau CD harus selalu disertai dengan versi cetak dari naskah dan keduanya harus memuat isi yang sama. Naskah dipersiapkan dengan menggunakan pengolah kata Microsoft Word 2003 atau versi yang lebih baru. 2. Naskah harus disertai dengan pernyaan penulisnya bahwa naskah tersebut belum pernah diserahkan kepada, atau ditolak oleh majalah lainnya. 3. Naskah diterima 2 (dua) bulan sebelum waktu penerbit untuk dikoreksi.

Penulisan Naskah 1. Judul Naskah Kaitalisasi Huruf Ukuran Posisi

: : : :

“Title Case” Times New Roman 14 pt (bold) Tengah (center)

2. Nama Penulis Naskah Kapitalisasi

: Sesuai kaidah EYD, tanpa mencantumkan gelar Huruf : Times New Roman Ukuran : 12 pt (bold) Posisi : Tengah (center) Keterangan tentang penulis (jabatan, keanggotaan) dicantumkan pada catatan kaki. 3. Abstraksi dan Kata Kunci Abstraksi terdiri dari dua Bahasa, Bahasa Indonesia atau Bahasa Inggris. 3.1. Tulisan “Abstrak” atau “Abstract” Huruf : Times New Roman Ukuran : 12 pt Posisi : Rata Kiri (left) 3.2. Isi Abstraksi Huruf : Times New Roman (miring) Ukuran : 10 pt Posisi : Rata kanan – kiri (justify) tanpa ada pemenggalan kata di akhir baris 3.3. Kata-kata Kunci (keywords) Huruf : Times New Roman Ukuran : 12 pt

4. Isi Naskah 4.1. Sub Judul Tingkat I Huruf : Times New Roman Ukuran : 12 pt Kapitalisasi : “Capital Case” 4.2. Sub Judul Tingkat II dan seterusnya Huruf : Times New Roman Ukuran : 10 pt Kapitalisasi : “Title Case” 4.3. Isi Paragraf a. Penulisan symbol matematis dan katakata teknik sesuai yang umum dipakai dan sistem satuan yang dipakai adalah Sistem Internasional (SI), kecuali untuk naskah yang sudah terlampir memakai system lain, maka perlu dilampirkan pula Tabel konversinya Sistem Internasional (SI) b. Naskah Bahasa Indonesia diketik sesuai EYD dan kata-kata yang digunakan merupakan bahasa baku (sesuai Kamus Besar Bahasa Indonesia) c. Naskah Bahasa Inggris perlu diperiksa menggunakan spell ckecker (Bahasa Inggris Amerika) Huruf : Times New Roman Ukuran : 10 pt, tebal/miring/garis bawah sesuai dengan naskah Posisi : Rata kanan-kiri (justify) tanpa ada pemenggalan kata pada akhir baris. 4.4. Tabel, Grafik dan Gambar Penulisan tabel, grafik dan gambar harus dimuat dalam halaman tersendiri dan diletakkan pada akhir teks, sebelum halaman rujukan. tabel, grafik dan gambar diberi nomor urut dengan angka arab serta diberi judul lengkap yang menunjukkan dengan tepat isi tabel, grafik dan gambar harus dicantumkan dalam teks. Tabel, grafik dan gambar harus diberi penjelasan yang memadai tanpa harus disusun dalam bentuk yang memudahkan pencetakan tempat tabel, grafik dan gambar yang diletakkan dalam teks. 4.5. Referensi Setiap Naskah harus mencantumkan referensi. Setiap point dalam rujukan harus memuat informasi yang memudahkan untuk mengidentifikasinya. Tata cara penulisannya adalah sebagai berikut : – Nama Keluarga dicantumkan di depan, sedangkan nama penulis disingkat. Contoh : Riggs, J.L., (1981),


Production System Planing. Analysis anda Control, 3nd Ed., John Willey & Son, New York. – Untuk penulis yang tidak mempunyai nama keluarga, nama penulis dicantumkan lengkap. Contoh : Suharsini Arikunto, (1998) procedure Penelitian : Suatu Pendekatan Praktek, Rineka Cipta, Jakarta. – Untuk referensi berupa jurnal, harus dituliskan judul artikel, nama jurnal, volume, nomor dan halamannya. Contoh : Luthfi Parinduri, Abdurrozzaq Hasibuan (2008), Model Optimasi Sistem Manufaktur yang Berorientasi Daur Ulang, Buletin Utama Teknik, UISU, Vol. 12, No. 1, Hal. 9 – 17, Medan.


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.