Jurnal Inovasi September 2010

Page 1


Volume 7, Nomor. 3

ISSN 18291829-8079

September 2010

Jurnal ini telah terakreditasi sebagai jurnal ilmiah bidang ilmu politik dan kebijakan dengan nomor : 142/Akred-LIPI/P2MBI/03/2009 berdasarkan Surat Keputusan Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia nomor : 346/D/2009, tanggal 19 Maret 2009.

Jurnal INOVASI sebagai media litbang Provinsi Sumatera Utara memuat karya tulis ilmiah hasil penelitian atau tinjauan kepustakaan dilengkapi dengan resensi buku dalam bidang pemerintahan dan kemasyarakatan, sosial budaya, ekonomi dan pembangunan, sumberdaya alam dan maritim sebagai bahan kebijakan dan wawasan berpolitik. Jurnal INOVASI terbit empat kali dalam setahun setiap bulan Maret, Juni, September dan Desember.

Penasehat

Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Provinsi Sumatera Utara

Penanggung Jawab

Sekretaris Badan Penelitian dan Pengembangan Provinsi Sumatera Utara

Pemimpin Redaksi

Prof. Dr. Marlon Sihombing, MA. (Sosial Politik dan Pemerintahan)

Dewan Redaksi

Drs. H. Alisuman Gultom, M.Si. (Sosial Ekonomi) Ir. E. Harso Kardhinata, M.Sc. (Biologi dan Pertanian) Drs. Kariono, M.Si. (Administrasi Negara dan Kependudukan) M. Ishak, SE, M.Si. Ak. (Ekonomi dan Akuntansi Keuangan) Ir. Sugih Prihatin, M.Si. (Pertanian) Ir. Abdurrozzaq Hasibuan, MT (Teknik Industri) Fotarisman Zaluchu, SKM (Kesehatan)

Redaksi Pelaksana

Azizul Kholis, SE, M.Si. Drs. Darwin Lubis, MM Sumiarti, SH

Tata Usaha dan Sirkulasi

Makrum Rambe, SE, MM Dwi Endah Purwanti, SS, M.Si. Rismawaty Sibarani, S.Sos. Irwan Purnama Putra, SE

Penerbit : BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PROVINSI SUMATERA UTARA Jl. Sisingamangaraja No. 198 Medan 20126 Tel. (061) 7866225; 7883016 - Fax. (061) 7866248 Website : http://balitbang.sumutprov.go.id Email : balitbang@sumutprov.go.id


Terakreditasi Nomor. 142/Akred-LIPI/P2MBI/03/2009 Volume 7, Nomor. 2

ISSN 18291829-8079

September 2010

Halaman Kajian Model Pendidikan Dasar Untuk Anak Masyarakat Nelayan Di Sumatera Utara (Muhammad Badiran & R. Lusia Simamora)

162-170

Kajian Ketersediaan Infrastruktur dan Sarana Produksi Di Dalam Mendukung Ketahanan Pangan Di Sumatera Utara (Sugih Prihatin)

171-179

Kaijan Kelayakan Pembentukan Sentra Peternakan Sapi Terpadu di Sumatera Utara (Studi Kasus di Kabupaten Langkat) (Hasmudi & M. Ilyas)

180-190

Evaluasi Kebijakan Mutu Pelayanan Puskesmas (Studi Kasus di Puskesmas Berohol Kota Tebing Tinggi, Sumatera Utara) (Fotarisman Zaluchu)

191-196

Pengaruh Pelayanan Kesehatan Bagi Penduduk Miskin Terhadap Pengembangan Manusia dan Dalam Pengembangan Wilayah Di Kota Medan (H. Paul Sirait)

197-202

Memunculkan Isu Gender Dalam Kebijakan Kesehatan Reproduksi Remaja Di Indonesia (Fitrilailah Mokui)

203-211

Reformasi Sistem Pelayanan Angkutan Umum Melalui Pengoperasian Angkutan Umum Massal Berbasis Jalan (Bus Rapid Transit) Diwilayah Medan-Binjai-Deli Serdang (Mebidang) (Naruddin Dalimunthe & Agustinus Panjaitan)

212-222

Pengelolaan Pariwisata Kebun Binatang Medan (KBM) Ditinjau Dari Persepsi Para Wisatawan Pengunjung (Fauzia Agustini)

223-228

Kajian Peluang Bisnis Rumah Tangga Dalam Pengelolaan Sampah Perkotaan Melalui Keterlibatan Masyarakat dan Swasta Di Sumatera Utara (Studi Kasus Di Kota Medan) (Ferdinan Susilo)

229-238

Prospek Pengembangan Iles-Iles (Amorphopallus spp.) Di Hutan Rakyat (Eva Fauziyah)

239-245

Geografi, Geopolitik dan Geostrategi (Belajar dari Kegagalan Kekaisaran Ming dan Kekaisaran Ottoman serta Keberhasilan Amerika Serikat) (Junjungan SBP Simanjuntak)

246-248

Resensi Buku : The End of Poverty

249-250


PENGANTAR REDAKSI Tim Redaksi mengucapkan Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena Jurnal INOVASI Volume 7 Nomor. 3 bulan September 2010 ini dapat diselesaikan dengan baik. Seperti edisiedisi sebelumnya, untuk edisi kali ini tim redaksi mengangkat hasil karya tulis ilmiah dari hasil penelitian maupun kajian yang telah dilakukan oleh berbagai penulis yang berasal dari berbagai perguruan tinggi negeri dan swasta serta lembaga/balai/pusat penelitian yang lebih difokuskan pada bidang pemerintahan dan kemasyarakatan, ekonomi dan pembangunan, sosial budaya serta sumber daya alam dan maritim, yang dapat dijadikan bahan kebijakan maupun sumber pengetahuan dan referensi bahan bacaan. Tim Redaksi juga mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak atas kerjasama dan perannya dalam menyelesaikan Jurnal INOVASI Volume 7 Nomor. 3 bulan September 2010 ini. Semoga tulisan jurnal ini dapat bermanfaat bagi para pembaca dan juga bermanfaat untuk bahan kebijakan dalam pembangunan maupun informasi untuk perkembangan dan peningkatan ilmu pengetahuan khususnya bagi masyarakat di Provinsi Sumatera Utara. Terima kasih, selamat membaca.

- Redaksi -


INOVASI : Vol. 7. No. 3,

September 2010

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

Kajian Model Pendidikan Dasar Untuk Anak Masyarakat Nelayan Di Sumatera Utara Muhammad Badiran1), R. Lusia Simamora2) 1)

Dosen/Staf Pengajar Universitas Negeri Medan 2) Kabid Sosial Budaya Balitbang PRovsu

Abstraksi Nelayan tradisional berjuang keras melawan terpaan gelombang laut yang dahsyat pada saat pasang naik untuk mendapatkan ikan, namun mereka terus berhadapan dan digeluti oleh kemiskinan. Walaupun demikian nelayan tetap bisa bertahan karena didorong semangat hidup yang kuat dengan motto kerja keras agar kehidupan mereka menjadi lebih baik. Waktu yang dapat dimanfaatkan nelayan untuk melaut hanya 20 hari selama sebulan, sisanya mereka relatif menganggur. Berarti, waktu benar-benar dibutuhkan untuk pergulatan hidup sehingga tidak terpikirkan untuk duduk dibangku sekolah. Menjelang usia remaja anakanak nelayan akan mengikuti ayahnya melaut sehingga mereka meninggalkan bangku sekolah. Oleh karena itu bagi anak-anak nelayan yang sudah menginjak usia remaja diharapkan telah selesai menempuh pendidikan dasar. Melalui pengalaman belajar anak nelayan yang diperoleh dari pendidikan dasar tersebut, akan membantu orang tua untuk memahami teknologi maju dan menyadarkan orang tua perlunya pendidikan untuk meningkatkan harkat dan martabat kehidupan masyarakat nelayan. Kini dipertanyakan bagaimanakah model pendidikan dasar bagi anak masyarakat nelayan?

Kata kunci : Model pendidikan dasar, masyarakat nelayan. Waktu bekerja nelayan harus mengikuti siklus bulan yaitu dalam 30 hari satu bulan namun sayangnya yang dapat dimanfaatkan untuk melaut hanya 20 hari, sisanya mereka relatif menganggur. Kenyatannya, bila perairan di Sumatera utara dilanda angin barat daya yang bertiup cukup kencang, mengakibatkan terjadi ombak besar, khususnya di wilayah pantai barat seperti Sibolga, Tapanuli Tengah, Nias dan Tapanuli Selatan dengan ketinggian sekitar empat meter. Sedangkan di wilayah pantai timur seperti Belawan, Deli Serdang, Asahan dan Tanjung Balai, ketinggian ombaknya sekitar dua meter. Kondisi itu menyebabkan nelayan di Sumut yang umumnya masih tergolong nelayan tradisional tidak berani melaut karena khawatir terhadap keselamatan jiwa. Namun, sebagian nelayan tetap memaksakan diri melaut meski harus menghadapi besarnya ombak dan tidak mendapatkan ikan yang cukup banyak. Kelompok nelayan ini tetap memaksakan diri karena kebutuhan rumah tangga disebabkan tidak memiliki uang pada masa kritis. "Mereka (nelayan) berprinsip, lebih baik mati di laut dari pada dapur tidak berasap," (Ulumuddin, 2009).

PENDAHULUAN Sejak dari dahulu sampai sekarang, pekerjaan nelayan merupakan pekerjaan turun temurun dan umumnya tidak banyak mengalami perubahan yang berarti. Dalam masyarakat nelayan ditemukan adanya kelas pemilik dan kelas pekerja. Kelas pemilik yang dapat dinyatakan sebagai juragan, kesejahteraannya relatif lebih baik karena menguasai faktor produksi seperti kapal, mesin alat tangkap maupun faktor pendukungnya seperti es, garam dan lainnya. Kelas pekerja atau penerima upah dari pemilik merupakan mayoritas, dan kalaupun mereka berusaha memiliki sendiri alat produksi, umumnya masih sangat konvensional, sehingga produktivitasnya kurang berkembang, “...kelompok inilah yang terus berhadapan dan digeluti oleh kemiskinan�. (Ninda, 2009). Menurut data, jumlah nelayan di Sumut sekitar 321.000 orang yang tersebar di 13 kabupaten dan kota, dan dari jumlah tersebut, nelayan tradisional mencapai 70 persen, nelayan menengah 20 persen dan nelayan skala besar 10 persen. Berarti, nelayan yang termarginalkan adalah sekitar 70 persen dari jumlah nelayan (sekitar 224 ribu lebih) nelayan masih berada di bawah garis kemiskinan. (Ulumuddin, 2009) Dengan demikian pembahasan masyarakat nelayan yang dimaksudkan dalam tulisan ini adalah nelayan tradisonal.

Nampaknya masyarakat nelayan sulit dilepaskan dari jebakan kemiskinan, karena mereka sering dihadapkan pada musim paceklik, dan untuk mengatasi masalah di musim paceklik ini, berbagai usaha dilakukan nelayan, contohnya adalah mereka menjual perhiasan istri demi menyambung hidup

162


INOVASI : Vol. 7. No. 3,

September 2010

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

keluarganya ataupun meminjam pada rentenir (Solihin, 2004). Potret kehidupan nelayan kecil di pesisir memang belum terlepas dari jerat rentenir, bahkan kian hari jerat itu dirasakan semakin melilit. Utang ke rentenir telah membuat nelayan terjebak dalam kemiskinan terstruktur, sehingga kehidupan nelayan tak kunjung sejahtera. Lebih parah lagi, �pulang melaut umumnya para nelayan hanya cukup membeli beras sebanyak dua liter�, karena tersangkut pinjaman rentenir dengan bunga yang ditetapkan mereka. (Sinar Indonesia Baru, 27 Maret 2008).

peningkatan kemakmuran nelayan, terutama nelayan kecil dan petani ikan� (Indrawadi, 2009). Dengan demikian, masalah sosial budaya yang terdapat pada kehidupan nelayan antara lain adalah: a) Rendahnya tingkat pendidikan, b) Miskin pengetahuan dan teknologi untuk menunjang pekerjaannya, c) Kurangnya tersedia wadah pekerjaan informal dan d) Kurangnya daya kreativitas, serta e) Belum adanya perlindungan terhadap nelayan dari jeratan para tengkulak. Melihat kondisi kehidupan nelayan yang tidak memungkinkan anak nelayan memasuki sekolah formal karena keberadaan anak nelayan dimaksudkan untuk membantu ayahnya mencari ikan ke laut. Kini dipertanyakan bagaimanakah model pendidikan bagi anak nelayan, apakah pendidikan anak nelayan memerlukan pendidikan khusus sebagaimana halnya juga dengan anak petani miskin yang membantu orang tuanya di sawah? Melihat kehadiran anak nelayan di sekolah formal lebih banyak absennya karena ikut melaut membantu orang tuanya, apakah anak nelayan perlu mendapat pendidikan khusus di sekolah formal? Ataukah anak nelayan diberi pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan membantu orang tua kelaut?

Umumnya, nelayan bisa bertahan hanya dan hanya jika didorong semangat hidup yang kuat dengan motto kerja keras agar kehidupan mereka menjadi lebih baik. Nelayan tradisional berjuang keras melawan terpaan gelombang laut yang dahsyat pada saat pasang naik untuk mendapatkan ikan. Dengan hanya mengandalkan kemampuan mesin dompeng misalnya, nelayan dapat berada pada radius 500 M dari pinggir pantai dan dengan cara seperti ini nelayan akan mendapatkan lebih banyak dibandingkan dengan bila menangkap ikan di bibir (tepi pantai) pada radius 200 M, yang ikannya sudah langka. (Kompas Com, 26 Maret 2009). Pekerjaan menangkap ikan dikerjakan oleh lelaki karena merupakan pekerjaan yang penuh resiko, sehingga keluarga yang lain tidak dapat membantu secara penuh. Kalaupun nelayan pekerja memiliki alat produksi sendiri ternyata alat tangkap ikan yang dimiliki tersebut belum dilengkapi dengan alat teknologi tangkap ikan, dan modal usaha, sehingga penghasilannya tidak seperti bila mereka menggunakan alat teknologi tangkap ikan yang baik. Bagi para nelayan memang tidak ada pilihan lain, karena pekerjaan yang berhadapan dengan ancaman gelombang laut, ombak, cuaca, dan kemungkinan terjadi karam saat akan melaut ke tengah lautan untuk menangkap ikan adalah pekerjaan turun temurun tanpa pernah belajar sebagai nelayan yang modern. Dengan demikian sangat diharapkan sekali walaupun harapan tersebut :...bagaikan kerakap tumbuh di batu, bahwa mereka perlu modal usaha untuk perbaikan dan peningkatan kesejahteraan hidup.(Pangeman, Adrian P dkk. 2002). Kenyataannya, pada usia meningkat remaja anak nelayan mulai diajak berlayar dan ikut melaut, sehingga mereka jarang yang sekolah. Kini harus dipahami bahwa kehidupan nelayan memerlukan perhatian yang multi dimensi. Tantangan yang terbesar adalah bagaimana membangun kehidupan nelayan menjadi meningkat kesejahteraannya. Besar kemungkinannya hal ini dapat dicapai melalui pendidikan yang akan mengangkat harkat dan martabat kehidupan masyarakat nelayan maupun masyarakat lainnya yang terkait dengan sumber daya kelautan dan pesisir. “Usaha ke arah ini haruslah bermuara pada

Pemberdayaan anak nelayan ternyata tidak bisa diseragamkan, tetapi harus disesuaikan dengan kondisi aktual masyarakat setempat. Misalnya saja pendidikan manajemen keuangan yang diharapkan memungkinkan mereka terbebas dari jeratan tengkulak, harus diberikan dengan memperhatikan budaya dan kondisi psikologis mereka. Jika ini tidak diperhatikan, dipastikan program pemberdayaan pendidikan akan gagal karena pemberdayaan pendidikan anak nelayan tidak terlepas dari pemberdayaan masyarakat pesisir. Persoalan yang dihadapi adalah, sebagian masyarakat pesisir masih beranggapan bahwa pendidikan itu tidak penting. Yang perlu dilakukan adalah membalik paradigma nelayan selama ini, dengan menyatakan bahwa pendidikan itu penting. Dengan demikian beralasanlah bila anak nelayan perlu dicarikan model pendidikan dasar yang sesuai dengan kondisi dan kebutuhan kehidupan mereka. Kini dipertanyakan bagaimanakah model pendidikan dasar yang sesuai bagi anak nelayan? Melalui penelitian khusus untuk pendidikan dasar bagi anak masyarakat nelayan, akan terungkap kemungkinan bentuk pendidikan yang sesuai bagi masyarakat nelayan. Masyarakat nelayan dalam penelitian ini adalah masyarakat nelayan tradisional Sumatera Utara. Model yang akan dikembangkan dalam penelitian ini adalah model pendidikan dasar bagi anak nelayan, bukanlah model pendidikan dasar pada

163


INOVASI : Vol. 7. No. 3,

September 2010

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

sekolah formal, dan kemungkinan besar berbeda dengan pendidikan dasar yang sudah ada. Kini masalah dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut: Bagaimanakah alternatif model pendidikan dasar pada masyarakat nelayan? Tujuan penelitian ini adalah mengkaji model pendidikan dasar untuk anak masyarakat nelayan agar mereka dapat sekolah dan terpenuhi kebutuhan pendidikan bagi masyarakat nelayan, dan lebih jauh lagi pada gilirannya kelak mereka akan terbebas dari kemiskinan.

1. Jenjang, Jumlah Dan Angka Drop Out Tabel 1. Jumlah Siswa Yang Drop Out Jenjang Pendidikan Sekolah SD Negeri SD Swasta SMP Negeri SMP Swasta

Jumlah Sekolah

Drop Out

%

28 1 2 6 Total

240 180 58 260 738

32.52 24.39 7.86 35.23 100

METODOLOGI PENELITIAN Dari Tabel 1 dapat terlihat bahwa jumlah siswa drop out untuk sekolah dasar dan sekolah menengah pertama baik negeri maupun swasta adalah sebesar 738 orang, dan untuk SD Negeri siswa yang drop out adalah 32,52 persen dari keseluruhan siswa yang drop out, sedangkan pada SD swasta terdapat sekitar 24,39 persen dari keseluruhan siswa yang drop out. Hal ini berarti disekolah dasar negeri walaupun persentasinya lebih besar namun bila dibandingkan dengan jumlah SD Negeri yang ada (28 SD Negeri), ternyata lebih kecil jumlah siswa yang drop out dibandingkan dengan SD swasta (1 buah SD Swasta). Demikian pula halnya dengan persentase siswa SMP yang drop out, ternyata siswa yang drop out pada SMP Swasta lebih besar dibandingkan dengan persentase siswa yang drop out di SMP Negeri. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa siswa yang drop out baik untuk SD maupun SMP ternyata lebih banyak siswa yang drop out di SMP Swasta dibandingkan dengan siswa yang drop out di sekolah negeri.

Penelitian ini adalah penelitian deskriptif analitik yakni suatu penelitian yang bertujuan untuk memberikan gambaran tentang realitas pada obyek yang diteliti secara obyektif. Penelitian ini menekankan pada satu variabel yakni pengembangan model pendidikan berbasis kompetensi bagi anak usia sekolah pada masyarakat nelayan. Penelitian ini dilakukan di tiga lokasi yaitu, Tanjung Balai, Serdang Bedagai, dan Langkat/ Pemilihan lokasi penelitian ini dimaksudkan karena agar informasi yang diperoleh dapat mewakili nelayan di Sumatera Utara. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh nelayan yang menempati pesisir pantai Sumtera Utara yang diwakili oleh sampel yang diambil secara purposif terhadap nelayan di Tanjung Balai, Nelayan Serdang Bedagai dan Nelayan Langkat, dengan cara Accidental sample yaitu teknik pengambilan sample berdasarkan kesediaan responen untuk mengisi kuesioner baik dari sisi waktu dan pemikiran, dan masing-masing daerah ditentukan sampel adalah 50 orang. Sehingga besar sampel adalah 150 orang.

2. Mata Pencarian Orang Tua Tabel 2. Mata Pencarian Orang Tua Siswa

Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner yang digunakan untuk memperoleh informasi responden dalam arti tentang pribadinya, atau hal-hal yang ia ketahui dalam penelitian.Pengamatan (observasi), yaitu teknik pengumpulan data melalui pengamatan langsung kepada obyek penelitian dilakukan bersamaan dengan teknik lain untuk mengamati keadaan fisik, lokasi atau daerah penelitian secara sepintas lalu (on the spot) dan dengan melakukan pencatatan seperlunya. Teknik analisis deskriptif dalam hal ini antara lain penyajian data melalui tabel atau grafik. Perhitungan data dengan menggunakan frekuensi dan penggunaan prosentase.

Pekerjaan Orang Tua Nelayan yang memiliki boat Nelayan yang memiliki perahu Buruh Nelayan Pedagang Petani Buruh Petani PNS ABRI Total

Persentase 15 20 15 8 15 20 5 2 100

Dari Tabel 2 dapat terlihat bahwa mata pencarian orang tua siswa bervariasi, dari nelayan sampai dengan ABRI. Ternyata mata pencarian orang tua siswa sekitar 50 persen terdiri dari nelayan, selebihnya yaitu sekitar separuhnya, adalah Pedagang, Petani, Buruh Petani, PNS, dan ABRI. Dari 50 persen mata pencarian orang tua murid adalah nelayan, ternyata lebih banyak nelayan tradisional dan buruh nelayan dibandingkan dengan nelayan modern (menggunakan boat) yang

HASIL PENELITIAN Berdasarkan dari hasil survey di lapangan terhadap kehidupan masyarakat nelayan, ditemukan berbagai data sebegai berikut :

164


INOVASI : Vol. 7. No. 3,

September 2010

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

menyekolahkan anaknya. Hal ini berarti baik nelayan modern maupun tradisonal dan buruh nelayan, menginginkan anaknya bersekolah. Namun karena kondisi dan kebutuhan nelayan itu sendiri, maka dapat diduga siswa yang drop out adalah lebih banyak berasal dari anak nelayan.

3. Pandangan orang tua dan anak nelayan Tabel 4. Pandangan Orang Tua terhadap Pendidikan Aktivitas Nelayan 1. Motivasi Nelayan untuk menyekolahkan anaknya.

Respons Kurang sekali.

2. Harapan terhadap lelakinya.

nelayan anak

Membantu orang tua kelaut.

Tidak ada

3. Harapan nelayan terhadap anak perempuannya.

Membantu ibunya di rumah.

Cukup memadai

4. Model pendidikan yang diinginkan nelayan (formal atau non formal).

Non formal.

5. Materi pelajaran yang diinginkan nelayan untuk diberikan kepada anaknya.

Berhitung, menulis dan membaca, budi pekerti, dan akhlak mulia, mengelola uang dan olah raga.

6. Keterampilan khusus yang diinginkan orang tua diberikan guru terhadap anaknya.

Menjahit, memasak, budi daya ikan, budidaya terumbu karang, hiasan kulit kerang.

7. Pemahaman Nelayan tentang Pendidikan anak nelayan.

Kurang sekali.

Tabel 3. Masyarakat Nelayan dalam Pendidikan Aktivitas 1. Dukungan orang tua, masyarakat, dalam mendorong dan membantu anaknya sekolah. 2. Peran masyarakat thdp anak yang drop out di lingkungan masyarakat. 3. Pemanfaatan fasilitas lingkungan untuk anak usia sekolah di lingkungan. 4. Hubungan masyarakat sekitar sekolah dengan sekolah dalam mendorong anak-anak usia sekolah belajar di sekolah.

Respons Cukup

Cukup Memuaskan

Dari Tabel 3 terlihat bahwa dukungan orang tua, masyarakat, dalam mendorong dan membantu anaknya sekolah adalah cukup, yang berarti masyarakat nelayan berkeinginan agar anaknya sekolah, walaupun dengan kondisi yang pas-pasan dan terkadang karena kebutuhan hidup akhirnya anak nelayan menjadi drop out, tidak sekolah lagi. Lebih parah lagi ternyata peran masyarakat terhadap anak yang drop out di lingkungan masyarakat, tidak ada dan kemungkinan besar masing-masing keluarga disibuki oleh kesibukannya masing-masing untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Pemanfaatan fasilitas lingkungan untuk anak usia sekolah di lingkungan dapat dinyatakan cukup memadai, yang berarti tidak rotan akarpun jadi, paling tidak fasilitas yang ada dimanfaatkan semaksimal mungkin walaupun tidak mencukupi.

Dari Tabel 4 terlihat bahwa motivasi Nelayan untuk menyekolahkan anaknya, kurang sekali, hal ini berarti para nelayan perlu dimotivasi agar anaknya diberi kesempatan untuk sekolah pada masa usia sekolah. Namun karena keterbatasannya kebanyakan anak nelayan terpaksa membantu orang tuanya melaut. Dari data tentang harapan nelayan terhadap anak lelakinya hanyalah dapat membantu orang tua kelaut, dan untuk anak perempuan membantu ibunya di rumah. Hal ini berarti menjelang usia remaja seharusnya anak nelayan tadi telah menamatkan sekolahnya pada sekolah dasar, sehingga pengetahuan yang diperolehnya dapat dimanfaatkan untuk membantu orang tuanya mencari nafkah di laut. Berkenaan dengan model pendidikan yang diinginkan nelayan, dari hasil wawancara ternyata sebaiknya anak nelayan dapat sekolah sesuai dengan kondisi dan kebutuhan nelayan itu sendiri, yaitu model sekolah non formal, sehingga anak nelayan dapat bersekolah dan

Berkenaan dengan hubungan masyarakat sekitar sekolah dengan sekolah dalam mendorong anakanak usia sekolah belajar di sekolah, dapat dinyatakan cukup memuaskan. Hal ini berarti bahwa keberadaan sekolah di lokasi nelayan tersebut memberi pengaruh yang baik bagi masyarakat nelayan karena mereka juga mendapat imbasnya dari kecerdasan anak-anak yang telah bersekolah. Hanya kondisi dan kebutuhan serta kebiasaan nelayan sajalah yang membuat terjadinya siswa yang drop out tersebut.

165


INOVASI : Vol. 7. No. 3,

September 2010

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

sekaligus dapat membantu orang tuanya bekerja di laut.

Pendidikan Guru Sarjana Agama Islam Dan lain-lain Total

Materi pelajaran yang dinginkan nelayan untuk diberikan kepada anaknya antara lain berhitung, menulis dan membaca, budi pekerti, dan akhlak mulia, mengelola uang dan olah raga. Dengan memiliki pengetahuan dan kompetensi seperti ini, diharapkan kelak anaknya dapat mengangkat harkat dan martabat orang tuanya sekaligus mengangkat taraf hidup masyarakat nelayan. Berkenaan dengan keterampilan khusus yang diinginkan orang tua, yang diberikan guru terhadap anak perempuannya, antara lain menjahit, memasak, budi daya ikan, budidaya terumbu karang, hiasan kulit kerang.Hal ini berarti selain membantu ibunya anak perempuan nelayan pada suatu saat nanti dapat memacu kreativitasnya untuk bekerja bidang lain, selain sebagai anak nelayan. Sayangnya pemahaman nelayan tentang pendidikan anak, ternyata kurang sekali, bertani nelayan hanya pasrah agar anaknya sekolah apa saja, yang penting kelak anaknya dapat menopang kehidupan orang tuanya lebih baik dibandingkan dari kehidupan saat ini. Dengan demikian pada saat ini pandangan orang tua terhadap pendidikan anaknya sangat kurang sekali, juga pandangan anaknya terhadap pendidikan kurang sekali, karena lingkunganya mempengaruhi, dan adanya suatu tekad dapat ikutserta membantu orang tua ke laut

Dari Tabel 5 terlihat bahwa kualifikasi tenaga kependidikan cukup bervariasi. Tenaga pendidik berkualifikasi dari tamatan SPG/PGA sampai dengan sarjana agama Islam, bahkan profesi lain turut berperan dalam membangun kecerdasan bagi masyarakat nelayan. Sarjana non pendidikan hanya sekitar 5 persen saja dan Sarjana Agama Islam, dan profesi lain-lain berkisar sampai 10 persen. Hal ini berarti tenaga sarjana kependidikan lebih banyak berperan dalam mencerdaskan kehidupan masyarakat. 6. Pelatihan, sarana, dan kondisi lingkungan Pelatihan bagi guru diperlukan untuk meningkatkan keterampilan proses belajar mengajar, yang biasanya dilakukan bergiliran sesuai dengan kebutuhan sekolah. Sarana sekolah secara keseluruhan dapat dinyatakan ada, walaupun sekedar memenuhi persyaratan adanya suatu sekolah, namun bagi sekolah yang dapat menghidupi sekolahnya sendiri, terlihat tidak begitu mengecewakan kondisi sarana di sekolah tersebut. 7. Infra Struktur Pendidikan

4. Partisipasi Masyarakat

a. Ketersediaan kelengkapan sekolah dapat dinyatakan cukup, walaupun di sana sini masih menunjukkan keprihatinan, namun ada juga yang sudah meningkat dan dapat dikedepankan.

Dari hasil wawancara dengan para tokoh masyarakat nelayan ternyata pandangan masyarakat terhadap pentingnya pendidikan anak nelayan sangat kurang dan tidak ada peran masyarakat terhadap usaha meningkatkan pendidikan anak nelayan. Hal ini berarti perlu usaha memberikan inovasi paradigma berpikir masyarakat nelayan agar mau memperdulikan pendidikan anaknya, agar anaknya dapat memiliki pengetahuan yang lebih baik dibandingkan dengan orang tuanya sendiri. Perlu dibangkitkan partisipasi masyarakat nelayan yang cukup kuat untuk mengadopsi paradigma berpikir nelayan agar lebih maju dan bermartabat sebagai akibat berubahnya pemikiran nelayan terhadap kebutuhan pendidikan bagi anak nelayan.

Tabel 6. Akses Jalan Masuk Ke Sekolah Akses jalan ke - Jalan aspal Kelas kecamatan sekolah - Jalan pengerasan dengan pasir dan batu - Jalan becek dan berlumpur - Jalan setapak Berkenaan dengan jalan masuk ke sekolah dapat dinyatakan bervariasi. Ada sekolah yang mudah mencapainya karena terletak pada jalan aspal kelas kecamatan, namun ada juga jalan masuk ke sekolahnya hanya jalan pengerasan dengan pasir dan batu. Bahkan lebih memprihatinkan lagi karena jalan masuk ke sekolahnya becek dan berlumpur ataupun hanya jalan stapak.

5. Tenaga Kependidikan dan Pembelajaran Tabel 5. Latar belakang pendidikan guru Pendidikan Guru SPG/PGA PGSD D2 Sarjana IKIP Medan Sarjana non IKIP Sarjana Pendidikan Sarjana non pendidikan

Persentasi 5 5 100

Persentasi 30 20 10 15 10 5

Hal ini merupakan pertanda bahwa jalan masuk ke sekolah perlu diperbaiki ataupun ditingkatkan menjadi lebih baik lagi agar baik guru maupun siswa merasa senang dan betah ke sekolah. b. Posisi strategis sekolah

166


INOVASI : Vol. 7. No. 3,

September 2010

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

Hal lain yang perlu diperhatikan, ternyata posisi sekolah di lapangan ternyata cukup strategis, mudah dijangkau walau mungkin hanya jalan stapak, ataupun malah becek dan berlumpur. Kini hanya menunggu uluran tangan penguasa untuk ,membenahi sekolah-sekolah tersebut.

Sayangnya pemahaman nelayan tentang pendidikan anak, ternyata kurang sekali, yang penting kelak anaknya dapat menopang kehidupan orang tuanya lebih baik dibandingkan dari kehidupan saat ini. Perlu dibangkitkan partisipasi masyarakat nelayan yang cukup kuat untuk mengadopsi paradigma berpikir nelayan agar lebih maju dan bermartabat sebagai akibat berubahnya pemikiran nelayan terhadap kebutuhan pendidikan bagi anak nelayan. Sementara itu tenaga pendidik yang tersedia mengelola pendidikan bagi anak nelayan cukup baik ditandai dengan telah berperannya tenaga sarjana kependidikan dalam mencerdaskan kehidupan masyarakat. Dari pantauan terhadap posisi sekolah di lapangan ternyata cukup strategis, mudah dijangkau walaun mungkin hanya jalan stapak, ataupun malah becek dan berlumpur. Kini hanya menunggu uluran tangan penguasa untuk ,membenahi sekolah-sekolah tersebut. Dengan demikian dapat dibutiri dari hasil diskusi tentang pendidikan anak nelayan bahwa masyarakat nelayan memiliki sifat khusus yang berbeda dengan masyarakat non nelayan, yang memungkinkan anak tidak dapat sekolah karena lebih banyak membantu orang tua kelaut. Selain itu rendahnya tingkat pengetahuan membuat rendahnya tingkat kesejahteraan masyarakat nelayan. Kondisi seperti ini diperparah lagi dengan tidak adanya perencanaan pengelolaan keuangan yang baik untuk masa depan, dan tidak terpacunya kreativitas karena kepasrahan dan terbatasnya wawasan meningkatkan taraf hidup mereka sendiri.

PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN Berdasarkan hasil temuan dilapangan ternyata siswa yang drop out baik untuk SD maupun SMP ternyata lebih banyak siswa yang drop out di SMP Swasta dibandingkan dengan siswa yang drop out di sekolah negeri. Selain itu baik nelayan modern maupun tradisonal dan buruh nelayan, menginginkan anaknya bersekolah. Namun karena kondisi dan kebutuhan nelayan itu sendiri, maka dapat diduga siswa yang drop out adalah lebih banyak berasal dari anak nelayan. Masyarakat nelayan berkeinginan agar anaknya sekolah, walaupun dengan kondisi yang pas-pasan dan terkadang karena kebutuhan hidup akhirnya anak nelayan menjadi drop out, tidak sekolah lagi. Sayangnya tidak ada peran masyarakat yang perduli terhadap anak yang drop out tersebut, hal ini mungkin masing-masing keluarga larut oleh kesibukannya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Fasilitas yang ada dimanfaatkan semaksimal mungkin walaupun tidak mencukupi, dan dorongan untuk sekolah, cukup memuaskan, sehingga keberadaan sekolah dirasakan berdampak pada meningkatnya kecerdasan anak-anak yang telah bersekolah. Hanya kondisi dan kebutuhan serta kebiasaan nelayan sajalah yang membuat terjadinya siswa yang drop out tersebut

Model Pendidikan Anak Nelayan Mengingat masyarakat nelayan adalah masyarakat yang memiliki sifat-sifat khusus, baik dari segi pemahaman terhadap pendidikan, tingkat kesejahteraan, miskinnya pengetahuan dan teknologi untuk menunjang pekerjaan, kurang kreatif, maupun kurang terencana manajemen keuangan untuk menentukan masa depan, maka model yang dianut adalah model pemberdayaan nelayan melalui pendidikan berbasis kebutuhan komunitas dan berbasis masyarakat nelayan. Konsep pendidikan berbasis komunitas nelayan pada dasarnya mengacu kepada konsep pemberdayaan komunitas nelayan, yaitu bagaimana membuat komunitas pada masyarakat nelayan memiliki pandangan perlunya pendidikan dasar bagi anak nelayan. Hal ini disebabkan sebagian masyarakat pesisir masih beranggapan bahwa pendidikan itu tidak penting dan kini saatnya menyadarkan masyarakat nelayan bahwa bahwa pendidikan itu penting.

Berkenaan dengan model pendidikan yang diinginkan nelayan, dari hasil wawancara terhadap para tokoh nelayan, dinyatakan bahwa perlu dirancang bentuk pendidikan yang memungkinkan anak nelayan dapat sekolah sesuai dengan kondisi dan kebutuhan nelayan itu sendiri, seperti sekolah non formal, sehingga anak nelayan dapat bersekolah dan sekaligus dapat membantu orang tuanya bekerja di laut. Materi pelajaran yang dinginkan nelayan untuk diberikan kepada anaknya antara lain berhitung, menulis dan membaca, budi pekerti, dan akhlak mulia, mengelola uang dan olah raga, dengan harapan kelak anaknya dapat mengangkat harkat dan martabat orang tuanya sekaligus mengangkat taraf hidup masyarakat nelayan. Keterampilan khusus yang diinginkan orang tua untuk anak perempuannya, antara lain menjahit, memasak, budi daya ikan, budidaya terumbu karang, hiasan kulit kerang, dengan harapan selain membantu ibunya anak perempuan nelayan pada suatu saat nanti dapat memacu kreativitasnya untuk bekerja di bidang lain, selain sebagai anak nelayan.

Pada tahun 1970-an Ivan Illich pernah melontarkan gagasan kontroversial tentang masyarakat tanpa sekolah (Deschooling Society). Illich meramalkan,

167


INOVASI : Vol. 7. No. 3,

September 2010

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

jika pengetahuan dan tingkat kedewasaan masyarakat sudah berkembang dengan wajar, institusi-institusi pendidikan formal tidak lagi diperlukan. Masyarakat akan mampu menjalankan fungsi pendidikan lewat elemen sosial budaya yang luas, tanpa harus terikat dengan otoritas kelembagaan seperti sekolah. Jadi pengorganisasian pendidikan sistem formal bukanlah menjadi satusatunya jalan keluar. Oleh karena itu model pendidikan dasar bagi masyarakat nelayan yang harus dikembangkan merupakan model pendidikan non formal yaitu pendidikan dasar yang mampu menyelesaikan masalah yang terjadi pada masyarakat nelayan, yang responsif terhadap penyelesaian problem pendidikan sesuai dengan konteks masyarakat nelayan itu sendiri.

3.

4.

5.

Dalam model pendidikan dasar ini dibentuk Sanggar Pembelajaran yang dikelola oleh warga nelayan, seperti home scholing dan dilaksanakan oleh kelompok kecil warga nelayan, yang terdiri dari 2-3 keluarga. Dari berbagai Sanggar Pembelajaran ini disatukan lagi dalam kelompok yang lebih besar yang diberi nama Kelompok Sanggar Komunitas Nelayan (KSKN), yang terdiri dari 10 Sanggar Pembelajaran. Dari berbagai KSKN tersebut disatukan dalam wadah Pendidikan Dasar Anak Nelayan (PDAN), yang selanjutnya dihubungkan dengan Pendidikan Luar Sekolah (PLS) seperti Paket A dan B untuk mendapatkan legalitas sertifikat telah mengikuti pendidikan dasar. Sertifikat ini dapat digunakan untuk melanjtkan pada pendidikan mengah. Berkenaan dengan tenaga pendidik yang bertugas sebagai pembina dan tutor diusulkan untuk mendapat banruan dari Diknas setempat.

6.

7.

8.

Keterbatasan Penelitian Bagaimana baiknya hasil suatu penelitian kenyataannya tetap saja ada keterbatasan hasil penelitian yang tidak bisa dielakkan. Mengingat lokasi penelitian hanya dilaksanakan pada tidak lokasi desa nelayan yaitu di Tanjung Balai, Serdang Bedagai dan langkat, maka untuk generalisasi hasil penelitian ini perlu dilakukan dengan hati-hati. Oleh karena itu, penelitian ini merupakan penelitian awal penjajagan untuk merancang model pendidikan dasar bagi masyarakat nelayan. Walaupun demikian model yang ditemukan dari hasil penelitian ini dapat dikembangkan lebih lanjut dengan meninjau berbagai hasil penelitian yang menunjang.

9.

masing-masing keluarga larut oleh kesibukannya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Fasilitas yang ada dimanfaatkan semaksimal mungkin walaupun tidak mencukupi, dan dorongan untuk sekolah, cukup memuaskan, karena keberadaan sekolah dirasakan berdampak pada meningkatnya kecerdasan anak-anak yang telah bersekolah. Para tokoh nelayan menginginkan perlunya merancang bentuk pendidikan yang memungkinkan anak nelayan dapat sekolah sesuai dengan kondisi dan kebutuhan nelayan itu sendiri, dan sekaligus dapat membantu orang tuanya bekerja di laut. Materi pelajaran yang diinginkan nelayan untuk diberikan kepada anaknya antara lain berhitung, menulis dan membaca, budi pekerti, dan akhlak mulia, mengelola uang dan olah raga, dengan harapan kelak anaknya dapat mengangkat harkat dan martabat orang tuanya sekaligus mengangkat taraf hidup masyarakat nelayan. Keterampilan khusus yang diinginkan orang tua untuk anak perempuannya, antara lain menjahit, memasak, budi daya ikan, budidaya terumbu karang, hiasan kulit kerang, dengan harapan selain membantu ibunya anak perempuan nelayan pada suatu saat nanti dapat memacu kreativitasnya untuk bekerja di bidang lain, selain sebagai anak nelayan. Posisi sekolah di lapangan ternyata cukup strategis, mudah dijangkau walaun mungkin hanya jalan stapak, ataupun malah becek dan berlumpur. Masyarakat nelayan memiliki sifat khusus yang memungkinkan anak tidak dapat sekolah karena lebih banyak membantu orang tua kelaut. Selain itu rendahnya tingkat pengetahuan membuat rendahnya tingkat kesejahteraan masyarakat nelayan. Kondisi seperti ini diperparah lagi dengan tidak adanya perencanaan pengelolaan keuangan yang baik untuk masa depan, dan tidak terpacunya kreativitas karena kepasrahan dan terbatasnya wawasan meningkatkan taraf hidup mereka sendiri. Model yang diadopsi untuk pendidikan dasar bagi masyarakat nelayan adalah model pendidikan berbasis kebutuhan komunitas dan berbasis masyarakat nelayan dengan menyadarkan masyarakat nelayan akan pentingnya pendidikan bagi generasi penerus.

KESIMPULAN Saran 1.

2.

Banyak siswa pendidikan dasar yang drop out dari sekolah formal dan umumnya berasal dari anak nelayan. Kurangnya peran masyarakat terhadap anak didik yang drop out kemungkinan besar

1.

168

Sebaiknya anak nelayan memasuki sekolah non formal yang sesuai dengan kebutuhan pendidikan dasar bagi anak nelayan.


INOVASI : Vol. 7. No. 3,

2.

3.

4.

5.

6.

7.

8.

9.

September 2010

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

Pemerintah perlu turun tangan untuk memotivasi masyarakat nelayan peduli terhadap anak didik yang drop out, dengan cara menunjukan keberhasilan pendidikan akan meningkatkan taraf hidup generasi penerus. Perlu dicari jalan keluar untuk meningkatkan fasilitas sekolah, yang kemungkinan besar dapat diatasi melalui program perduli sekolah nelayan. Para tokoh nelayan diikut sertakan dalam merancang bentuk pendidikan yang memungkinkan anak nelayan dapat sekolah sesuai dengan kondisi dan kebutuhan nelayan itu sendiri. Perlu disusun materi pelajaran yang dapat memacu anak didik berhitung, menulis dan membaca, budi pekerti, dan akhlak mulia, mengelola uang dan olah raga yang sesuai dengan kebutuhan pendidikan dasar bagi anak nelayan. Perlu direspons kebutuhan keterampilan khusus bagi anak perempuan nelayan yang memacu terbentuknya pembentukan sikap mandiri. Posisi sekolah di lapangan yang ternyata cukup strategis tersebut sebaiknya dibarengi dengan perbaikan jalan masuk ke sekolah tersebut. Perlu disadarkan masyarakat nelayan tentang pentingnya pendidikan dan perencanaan yang baik tentang pengelolaan keuangan untuk masa depan, dan memacu kreativitas untuk meningkatkan taraf hidup mereka sendiri. Untuk mewujudkan model pendidikan dasar bagi anak nelayan perlu dikembangkan model pendidikan non formal yang mampu menyelesaikan masalah yang terjadi pada masyarakat nelayan, yang responsif terhadap penyelesaian problem pendidikan sesuai dengan konteks masyarakat nelayan itu sendiri.

-

Pembelajaran. Dari berbagai KSKN tersebut disatukan dalam wadah Pendidikan Dasar Anak Nelayan (PDAN), yang selanjutnya dihubungkan dengan Pendidikan Luar Sekolah (PLS) seperti Paket A dan B untuk mendapatkan legalitas sertifikat telah mengikuti pendidikan dasar. Sertifikat ini dapat digunakan untuk melanjutkan pada pendidikan menengah. Berkenaan dengan tenaga pendidik yang bertugas sebagai pembina dan tutor diusulkan untuk mendapat bantuan dari Diknas setempat. Model ini perlu dikembangkan lagi, dan model ini belum diuji cobakan. Oleh karena itu agar hasil pengembangan model ini menjadi lebih baik perlu dilakukan penelitian yang berkelanjutan dan lebih memperluas lokasi penelitian.

DAFTAR PUSTAKA Himpitan Rentenir http://www.antara.co.id/arc /2007/3/26/ nelayan-bayah-lebak-di-tengahhimpitan-rentenir. Indrawadi, (2009) Nasib Nelayan dan Potensi Kelautan http://www.geocities.com/ minangbahari/artikel/nasibnelayan.html. Kearifan Tradisional Masyarakat Nelayan Lindungi Laut Kompas.Com Kamis, 26 Maret 2009, Jakarta. Mansur dan Mulyana (2007) Himpitan Rentenir http://www.antara.co.id/arc/2007/3/26/ nelayan-bayah-lebak-di-tengah-himpitanrentenir. Ninda, Model Pemberdayaan Masyarakat Nelayan Miskin Dalam Pengembangan Pengelolaan Wilayah Pesisir Dan Laut Universitas Bengkulu. http://www.inherentunib.net/simawa, Generated: 18 March, 2009, 16:18.

Rekomendasi Bentuk model pembelajaran yang direkomendasikan adalah sebagai berikut: - Model pendidikan dasar bagi masyarakat nelayan yang akan dikembangkan merupakan model pendidikan non formal yaitu pendidikan dasar yang mampu menyelesaikan masalah yang terjadi pada masyarakat nelayan, yang responsif terhadap penyelesaian problem pendidikan sesuai dengan konteks masyarakat nelayan itu sendiri. - Dalam model pendidikan dasar ini dibentuk Sanggar Pembelajaran yang dikelola oleh warga nelayan, seperti home scholing dan dilaksanakan oleh kelompok kecil warga nelayan, yang terdiri dari 2-3 keluarga. Dari berbagai Sanggar Pembelajaran ini disatukan lagi dalam kelompok yang lebih besar yang diberi nama Kelompok Sanggar Komunitas Nelayan (KSKN), yang terdiri dari 10 Sanggar

Pangeman, Adrian P dkk (2002). Sumber Daya Manusia (Sdm) Masyarakat Nelayan Makalah Kelompok A /TKL-Khusus Program Pasca Sarjana IPB http://tumoutou.net/702_05123/ group_a_123.htm. Sagala, H. S. (2008). Budaya dan Reinventing Organisasi Pendidikan: Pemberdayaan Organisasi Pendidikan kearah yang lebih professional dan dinamis di provinsi, kabupaten/kota dan satuan pendidikan. Bandung: Alfabeta. Sagala, H. S. (2006). Model pendidikan untuk mencegah anak drop out dari sekolah dan

169


INOVASI : Vol. 7. No. 3,

September 2010

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

mencegah anak agar tidak masuk tenaga kerja bentuk yang paling buruk. Laporan penelitian: Tidak diterbitkan. Palmer, Joy, A. (2003). 50 Pemikir Pendidikan: Dari Piaget sampai masa sekarang. Yogyakarta: Jendela. Slavin, Robert E. (2008). Psikologi Pendidikan: Teori dan praktik. Jakarta: Indeks. Solihin A. (2004) Musim Paceklik Nelayan dan Jaminan Sosial, http://io.ppijepang.org/article.php?id=7 diakses tanggal 27 Maret 2009. Soedijarto, H. (1997). Memantapkan Kinerja Sistem Pendidikan Nasional dalam Menyiapkan Manusia Indonesia Memasuki Abad Ke 21. Jakarta : Depdikbud. Ulumuddin, Ihya (2009) “Duapuluh Persen Nelayan Sumut Tidak Melaut� Analisa, analisadaily.com Selasa, 27 Januari 2009.

170


INOVASI : Vol. 7. No. 3,

September 2010

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

Kajian Ketersediaan Infrastruktur Dan Sarana Produksi Di Dalam Mendukung Ketahanan Pangan Di Sumatera Utara Sugih Prihatin1) 1)

Kabid Ekonomi dan Pembangunan Balitbang Provsu

Abstraksi Dari kajian ini diperoleh hasil-hasil, antara lain : jenis lahan irigasi (teknis, setengah teknis, sederhana dan desa) baru mencapai hanya sebesar 8.042 ha atau 17,42% dari total jenis lahan yang ada. Di pihak lain sebagian besar jenis lahan masih berupa tadah hujan yang mencapai 74,69% dari total atau seluas 34.482 ha. Akibat hal tersebut menyebabkan produksi tanaman pertanian, terutama padi di Kabupaten Langkat sebagian besar masih mengandalkan sumber air yang bukan berasal dari irigasi. Kabupaten Deli Serdang juga mengalami permasalahan yang sama dalam hal kekurangan infrastruktur irigasi. Penggunaan lahan di Kabupaten Deli Serdang untuk tanaman pangan selama periode 2005-2009 masih belum mengalami perubahan yang signifikan. Infrastruktur pertanian terutama saluran irigasi merupakan hal yang vital dalam pembangunan pertanian khususnya untuk peningkatan produksi tanaman pangan. Di Provinsi Sumatera Utara terdapat luas baku daerah irigasi seluas 329.254 hektar. Namun dari jumlah tersebut hanya sekitar 296.782 hektar atau 90,14% yang potensial yang dapat dimanfaatkan. Luas baku daerah irigasi di Provinsi Sumatera Utara sebenarnya cukup besar, namun masih didominasi oleh jaringan irigasi tingkat sederhana. Di pihak lain kondisi irigasi tersebut memerlukan perbaikan dan pemeliharaan secara rutin, karena kapasitasnya yang semakin mengalami penurunan. Untuk itu diperlukan peningkatan sistem jaringan irigasi dari tingkat sederhana menjadi semiteknis karena luas irigasi sederhana yang dimiliki masih relatif besar. Untuk mendukung ketahanan pangan di Sumatera Utara ke depan penambahan infrastruktur berupa jaringan irigasi mutlak diperlukan. Untuk jangka pendek peningkatan produksi pangan dapat dilakukan melalui intensifikasi lahan, misalnya saja melalui pemanfaatan lahan yang tidak/sementara tidak diusahakan, atau peningkatan intensitas tanam dari satu atau dua kali dalam setahun menjadi tiga kali setahun. Untuk itu perlu dilakukan perhitungan lebih rinci dalam penyediaan sarana produksi berupa : pupuk, bibit dan pestisida.

Kata kunci :Ketahanan pangan, lahan, infrastruktur, sarana produksi. Beberapa penyebab yang memunculkan lemahnya ketahanan pangan ini mulai adanya kekeliruan dalam pengelolaan lahan-lahan pertanian hingga pada lemahnya ketersediaan berbagai sarana produksi yang ada. Masalah pengelolaan lahan pertanian adalah masalah yang relatif sukar untuk ditangani. Hal ini karena lahan merupakan faktor produksi yang bersifat terbatas, yang tidak memiliki potensi untuk mendukung produksi pertanian apabila tidak dikelola oleh manusia. Selain itu lahan pertanian juga bukan lagi menjadi faktor penting dalam berproduksi, mengingat lahan pertanian semakin lama semakin berkurang luasannya sebagai akibat adanya konversi lahan dari pertanian menjadi non pertanian. Berdasarkan kondisi tersebut, maka ketahanan pangan akan memungkinkan untuk tercipta melalui modifikasi pertanian maupun ketersediaan infrastruktur dan sarana produksi. Masalah modifikasi produk pertanian meskipun telah dilakukan berbagai kajian, namun masalah ketersediaan infrastruktur dan sarana produksi pertanian ini masih terus menjadi bahan diskusi sehingga masih perlu untuk diteliti lebih akurat. Hal

PENDAHULUAN Latar Belakang Provinsi Sumatera Utara merupakan daerah yang memiliki potensi pertanian cukup besar dan sebagai lumbung pangan di wilayah Sumatera Bagian Barat. Hal ini dikarenakan agroklimat, sumberdaya alam dan budaya serta masyarakatnya sebagian besar bekerja di sektor pertanian khususnya tanaman pangan. Disamping letak geografisnya yang sangat strategis, Provinsi Sumatera Utara menjadi salah satu potensi lokasi pemasaran produk-produk hasil pertanian. Masalah ketahanan pangan bagi Provinsi Sumatera Utara masih menjadi masalah penting, dimana selama ini menjadi daerah swasembada pangan. Meskipun masih dapat tercapai, namun pada akhir-akhir ini untuk mempertahankan status swasembada pangan tersebut amat sulit karena terus mengalami penurunan. Dengan kata lain, beberapa tahun terakhir mengalami kegagalan pada masalah ketahanan pangan.

171


INOVASI : Vol. 7. No. 3,

September 2010

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

ini dikarenakan sarana dan prasarana pertanian merupakan faktor penting yang sangat menentukan keberhasilan program ketahanan pangan di daerah ini. Untuk mendapatkan berbagai data dan informasi yang diperlukan guna untuk mendukung ketersediaan infrastruktur dan sarana produksi pertanian di daerah ini, maka dilakukan Kajian Ketersediaan Infrastruktur dan Sarana Produksi Dalam Mendukung Ketahanan Pangan di Sumatera Utara.

Pangan di Sumatera Utara ini diharapkan dapat memberikan manfaat, antara lain : 1. Sebagai bahan evaluasi untuk perbaikan kebijakan perencanaan program, kegiatan dan anggaran pembangunan bidang pertanian. 2. Memberikan acuan bagi Pemerintah Daerah untuk pengembangan program ketahanan pangan khususnya swasembada pangan di Sumatera Utara. 3. Sebagai informasi bagi para stakeholders di bidang pertanian untuk menanamkan modalnya terutama infrastruktur dan sarana produksi pertanian di Sumatera Utara.

Perumusan Masalah Permasalahan yang dapat dirumuskan dalam Kajian Ketersediaan Infrastruktur dan Sarana Produksi Dalam Mendukung Ketahanan Pangan di Sumatera Utara, adalah : 1. Bagaimana kondisi infrastruktur dan sarana produksi pertanian di Sumatera Utara? 2. Bagaimana ketersediaan infrastruktur dan sarana produksi dalam mendukung program ketahanan pangan di Sumatera Utara?

METODOLOGI PENELITIAN Metode Pendekatan Studi Langkah awal yang dilakukan dalam Kajian Ketersediaan Infrastruktur dan Sarana Produksi Dalam Mendukung Ketahanan Pangan di Sumatera Utara adalah penyediaan data, baik data primer maupun data sekunder. Data primer diperoleh dengan melakukan survei langsung ke lapangan di 3 (tiga) Kabupaten yaitu Deli Serdang, Langkat dan Simalungun sebagai sampel yang diharapkan dapat menggambarkan ketersediaan infrastruktur dan sarana produksi pertanian di Sumatera Utara. Metode pengambilan data primer di lokasi penelitian ini dilakukan secara deskriptif (descriptive research).

Maksud dan Tujuan Penelitian Pelaksanaan kegiatan Kajian Ketersediaan Infrastruktur dan Sarana Produksi Dalam Mendukung Ketahanan Pangan di Sumatera Utara ini dimaksudkan untuk mendapatkan data dan informasi ketersediaan infrastruktur dan sarana produksi pertanian di Sumatera Utara, guna mendukung keberhasilan program ketahanan pangan di daerah ini.

Suryabrata (2004), menjelaskan bahwa penelitian deskriptif adalah penelitian yang bermaksud untuk membuat deskripsi mengenai situasi-situasi atau kejadian-kejadian. Dalam hal ini penelitian deskriptif itu adalah akumulasi data dasar dalam cara deskriptif semata-mata tidak perlu mencari atau menerangkan saling hubungan, menguji hipotesis, membuat ramalan, atau mendapatkan makna dan implikasinya.

Adapun tujuan dari kegiatan kajian ini, adalah : 1. Untuk mengetahui kondisi infrastruktur dan sarana produksi pertanian di Sumatera Utara. 2. Untuk menganalisis ketersediaan infrastruktur dan sarana produksi pertanian di Sumatera Utara, guna keberhasilan program ketahanan pangan di daerah ini. Sasaran

Data sekunder didapatkan dengan beberapa cara antara lain melalui dokumen-dokumen pendukung atau laporan dari dinas/instansi terkait, antara lain Dinas Pertanian di Kabupaten Deli Serdang, Langkat, dan Simalungun, Badan Ketahanan Pangan Provinsi Sumatera Utara, Badan Pusat Statistik, dan Bappeda di masing-masing lokasi penelitian. Secara lebih lengkap, proses pelaksanaan kegiatan dapat dilihat melalui diagram alir pada Gambar 3.

Sasaran kegiatan Kajian Ketersediaan Infrastruktur dan Sarana Produksi Dalam Mendukung Ketahanan Pangan di Sumatera Utara ini, adalah : 1. Untuk meningkatkan ketersediaan infrastruktur dan sarana produksi pertanian di Sumatera Utara. 2. Sebagai bahan analisis untuk perbaikan kebijakan program pembangunan pertanian di Sumatera Utara. 3. Sebagai bahan pengembangan program ketahanan pangan di Sumatera Utara.

Teknik Analisis Data Data sekunder diperoleh dari berbagai publikasi berasal dari stakeholders dan berbagai informasi yang terkait dengan infrastruktur pertanian. Data lainnya berupa data dan informasi yang diperoleh langsung dari lapangan dan studi literatur.

Manfaat Dari hasil Kajian Ketersediaan Infrastruktur dan Sarana Produksi Dalam Mendukung Ketahanan

172


INOVASI : Vol. 7. No. 3,

September 2010

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

Pelaksanaan pengumpulan data dibagi menjadi dua tahapan, yaitu : pembuatan instrumen pengumpulan data dan kegiatan pengumpulan data.

3.007.636 ton. Namun demikian pada tahun 2007 produksi padi kembali menunjukkan kenaikan sebesar 8,58%.

Data yang sudah terkumpul selanjutnya dianalisis agar dapat memberikan informasi yang jelas. Dengan format deskriptif kuantitatif, maka analisis data dilakukan melalui interpretasi berdasarkan pemahaman intelektual yang dibangun oleh pengalaman empiris. Interprestasi dan analisis data dilakukan dengan langkahlangkah sebagai berikut : data, melalui teknik a. Pengumpulan dokumentasi untuk memperoleh data sekunder serta wawancara dan observasi untuk memperoleh data bersifat primer. b. Penilaian data dengan memperhatikan prinsip validitas, obejektivitas dan reliabilitas. Untuk itu ditempuh prosedur. - Mengkategorisasikan data primer dan sekunder dengan sistem pencatatan yang relevan. - Melakukan kritik atas data yang telah diperoleh dengan tujuan untuk melakukan kontrol apakah data tersebut relevan untuk digunakan. c. Interpretasi dan penyajian data dilakukan dengan membuat analisis data dan fakta melalui pemahaman intelektual kecermatan dan harus dibekali dengan seperangkat teori yang relevan. Agar penyajian data lebih informatif dan jelas, maka hasil interpretasi dan analisis data disajikan dalam bentuk tabel, serta membuat deskripsi rangkaian yang logis. d. Penyimpulan, yaitu penarikan kesimpulan atas dasar interpretasi dan analisis data.

Bahan pangan yang menduduki posisi kedua setelah padi adalah jagung. Dari data selama periode 19872007 produksi padi sedikit mengalami fluktuasi, namun secara umum terus mengalami kenaikan. Produksi tertinggi terjadi pada tahun 2007 yaitu sebesar 804.850 ton. Ubi kayu produksinya sedikit berfluktuasi dengan pertumbuhannya kecenderungan mendatar selama periode 19872007. Produksi tertinggi terjadi pada tahun 1989 yaitu sebesar 521.744 ton dan terendah pada tahun 1987 sebesar 277.390 ton. Sebaliknya, produksi kacang kedelai terus mengalami penurunan dari tahun ke tahun, dengan produksi tertinggi terjadi pada tahun 1994 yaitu sebesar 86.497 ton, namun pada tahun 2007 mengalami penurunan yang sangat drastis dengan produksi yang hanya mencapai 4.345 ton (turun sebesar -94%). Infrastruktur Pertanian di Sumatera Utara Perkembangan infrastruktur pertanian khusususnya luas lahan sawah yang terdapat di Sumatera Utara baik irigasi maupun non irigasi selama periode 2005-2007 mengalami fluktuasi. Luas lahan sawah irigasi pada tahun 2005 mencapai sebesar 274,811 ha dan pada tahun 2006 naik menjadi sebesar 281,514 ha, namun kemudian pada tahun 2007 turun menjadi sebesar 278,778 ha.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Keadaan ini juga terjadi pada lahan sawah non irigasi, pada tahun 2005 mencapai sebesar 208,991 ha dan pada tahun 2006 naik menjadi sebesar 214,330 ha, namun kemudian pada tahun 2007 turun menjadi sebesar 193,454 ha.

Penduduk dan Produksi Pangan di Sumatera Utara

Produksi Tanaman Pangan dan Infrastruktur di Kabupaten Langkat

Produksi pangan di Provinsi Sumatera Utara selama periode 1987-2007 terus mengalami peningkatan, terkecuali kedelai yang mengalami fluktuasi dan bahkan mengalami penurunan yang drastis. Produksi padi di daerah ini dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan kecuali pada tahun 2001, 2002 dan 2006.

-

Produksi Tanaman Pangan

Berdasarkan data produksi tanaman pangan di Kabupaten Langkat tahun 2008 masih didominasi oleh padi sawah dengan luas tanam 83.277 ha diikuti tanaman jagung, kedelai, padi ladang dan ubi kayu. Namun apabila dilihat perkembangannya selama periode 2004-2008 terjadi kecenderungan peningkatan luas panen yang diikuti peningkatan produksi terbesar terjadi selama periode 20052006.

Peningkatan produksi selama periode 1987-2007 berfluktuasi dari 0,07% yang terendah terjadi pada tahun 1996 dan tertinggi sebesar 8,58% yang terjadi pada tahun 2007. Padi masih merupakan bahan pangan pokok utama yang dihasilkan di Sumatera Utara. Dari data dua puluh tahun terakhir, produksi padi mengalami puncak terjadi pada tahun 2000 yaitu sebesar 3.514.253 ton dan setelah itu mengalami penurunan dengan kondisi paling rendah terjadi pada tahun 2006 dengan produksi

Produksi tanaman pangan di Kabupaten Langkat selama periode 2004-2008 menunjukkan peningkatan. Untuk padi sawah terjadi peningkatan baik luas panen maupun produksi dari tahun 2004 hingga 2006, kemudian menurun pada tahun 2007 dan pada tahun 2008 terjadi kenaikan yang cukup

173


INOVASI : Vol. 7. No. 3,

September 2010

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

infrastruktur perlu dilaksanakan oleh pemerintah secara bertahap termasuk pembangunan kelembagaan pengelolaannya. Kabupaten Langkat merupakan salah satu daerah yang masih mengalami kekurangan dalam hal pengadaan infrastruktur terutama irigasi. Penggunaan lahan untuk tanaman pangan selama periode 2005-2009 masih belum mengalami perubahan.

signifikan. Kenaikan luas panen dan produksi ini tidak diikuti oleh kenaikan produktivitas yang mengalami penurunan sebesar -1,05% pada tahun 2008. Sebaliknya peningkatan luas panen dan produksi terjadi cukup besar pada tanaman padi ladang. Pada tahun 2007-2008 luas panen padi ladang naik sebesar 37,09% dengan produksi naik sebesar 38,03%, namun kenaikan ini tidak dapat memicu terjadinya peningkatan produktivitas yang yang signifikan karena hanya naik sebesar 0,69%.

Jenis lahan irigasi (teknis, setengah teknis, sederhana dan desa) yang terdapat di Kabupaten Langkat hanya mencapai sebesar 8.042 ha, yaitu 17,42% dari total jenis lahan yang ada. Sebagian besar jenis lahan masih berupa tadah hujan yang mencapai 74.69% dari total atau seluas 34.482 ha. Keadaan ini menyebabkan produksi tanaman pertanian, terutama padi di Kabupaten Langkat sebagian besar masih mengandalkan sumber air yang bukan berasal dari irigasi. Hal ini menyebabkan produktivitas tanaman pangan terutama tanaman padi tidak mengalami peningkatan secara signifikan dan hanya mengalami peningkatan dari luas tanam/panen. Untuk tanaman padi secara keseluruhan selama periode 2004-2008 terjadi kenaikan luas panen dari seluas 14.671 ha menjadi selama periode 20.663 ha (naik sebesar 40,84%), diikuti dengan peningkatan produksi dari 74.808 ton menjadi 116.854 ton (kenaikan sebesar 56,21%). Sebaliknya produktivitas tanaman padi di Kabupaten Langkat mengalami penurunan selama periode 2004-2008 yaitu rata-rata sebesar 0,21% per tahun. Hal ini membuktikan bahwa infrastruktur irigasi yang relatif tidak berkembang menyebabkan tidak terjadinya peningkatan produktivitas tanaman padi.

Tanaman jagung selama periode 2004-2008 menunjukkan kenaikan yang paling tinggi baik dari luas panen maupun produksinya. Luas panen mengalami kenaikan tertinggi terjadi pada tahun 2005-2006 sebesar 28,52% meskipun kemudian mengalami penurunan menjadi sebesar 4,98%, akan tetapi pada tahun 2007-2008 mengalami kenaikan kembali menjadi sebesar 8,35%. Secara otomatis produksi jagung juga mengalami peningkatan, dimana terbesar terjadi pada tahun 2005-2006 yaitu mencapai sebesar 31,80% dan tahun 2007-2008 sebesar 11,10%. Secara keseluruhan dari tahun 2004-2008 terjadi kenaikan luas panen dari 14.671 ha menjadi 20.663 ha (sebesar 40,84%) diikuti naiknya produksi dari 74.808 ton menjadi 116.854 ton (sebesar 56,21%). Produktivitas sempat mengalami penurunan dari tahun 2005-2007, namun kembali mengalami kenaikan sebesar 2,54% pada tahun 2008. Tanaman ubi kayu selama periode 2004-2008 terus mengalami penurunan secara gradual baik lari uas panen maupun produksinya. Secara keseluruhan selama periode tersebut terjadi penurunan luas panen sebesar 27,56% dan penurunan produksi sebesar 21,86%. Sedangkan produktivitas mengalami peningkatan yang cukup tinggi dari tahun 2005-2006 dari 143.30 kw/ha menjadi 155.55 kw/ha (naik sebesar 8,55%) dan kemudian mengalami penurunan kembali menjadi sebesar 0,68% pada tahun 2008.

Infrastruktur pertanian lainnya yang ada di Kabupaten Langkat guna mendukung produksi pangan adalah traktor tangan (hand tractor), power thresher, dan corn sheller. Selama periode 19952008 di Kabupaten terdapat sebanyak 398 buah hand traktor yang sudah dibagikan kepada masyarakat di berbagai kecamatan.

Khusus tanaman kacang kedelai luas panen dan produksi selama periode 2004-2008 mengalami fluktuasi yang sangat tinggi dibandingkan dengan jenis tanaman pangan lainnya. Setelah mengalami peningkatan luas panen sebesar 109,1% pada tahun 2004-2005, kemudian terus mengalami penurunan drastis pada tahun 2006-2007 yaitu dari 2.019 ha menjadi hanya 785 ha (turun 61,12%). Sebaliknya pada tahun 2007-2008 terjadi kenaikan yang sangat tinggi dari 785 ha menjadi 2.708 ha (naik 244,97%). Demikian juga dengan produksi yang mengalami kenaikan dan penurunan searah luas panen dengan produktivitas berkisar antara 13,05-14,10 kw/ha. -

Dalam pelaksanaan panen, sebagian masyarakat petani sudah menggunakan alat perontok padi (power thresher) untuk mengurangi kehilangan gabah selama pemanenan. Pemerintah Kabupaten Langkat selama periode 2001-2008 sudah memberikan bantuan alat perontok padi kepada kelompok tani di seluruh kecamatan sebanyak 93 unit. Pada daerah-daerah penghasil jagung, pemerintah Kabupaten Langkat selama periode 2006-2008 telah memberikan bantuak alat pemipil jagung (corn sheller) keada kelompok-kelompok tani di beberapa kecamatan sebanyak 45 unit dengan realisasi bantuan corn sheller.

Infrastruktur

Dalam rangka mencapai tujuan ketahanan pangan, pengembangan dan pengelolaan infrastruktur pertanian sangat diperlukan. Pembangunan

174


INOVASI : Vol. 7. No. 3,

September 2010

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

2008. Sebagian besar jenis lahan pertanian tanaman pangan di daerah ini masih berupa tadah hujan yang mencapai 18.722 ha (43,70%) dari total pada tahun 2007 dan pada tahun 2008 mengalami penurunan sebesar menjadi 18.510 Ha (turun 1,13%). Secara keseluruhan terjadi peningkatan luas lahan pertanian dari tahun 2007-2008 yaitu sebesar 21,4% dengan lahan sawah irigasi mengalami kenaikan sebesar 2,02% dan lahan sawah non irigasi turun sebesar 1,09%.

Produksi Tanaman Pangan dan Infrastruktur di Kabupaten Deli Serdang -

Produksi Tanaman Pangan

Berdasarkan data produksi tanaman pangan di Kabupaten Deli Serdang selama periode 2004-2008, luas panen tanaman padi sawah tidak banyak mengalami perubahan dengan produksi yang hanya mengalami sedikit fluktuasi yaitu berkisar 360.000380.000 ton. Luas panen padi ladang selama periode 2004-2006 terus mengalami penurunan dari 1.578 Ha menjadi 90 Ha. Penurunan tertinggi terjadi pada tahun 2006-2007 yang mencapai seluas 917 ha (91,06%), meskipun kemudian pada tahun 2008 kembali terjadi kenaikan dari 90 ha menjadi 664 ha (637,78%). Terjadinya fluktuasi ini juga diikuti oleh produksi yang memiliki trend yang sama, di pihak lain produktivitas terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun.

Infrastruktur pertanian lainnya yang terdapat di Kabupaten Deli Serdang adalah Jalan Usaha Tani (JUT), Jaringan Irigasi Desa (JIDES) dan Jaringan Irigasi Tingkat Usaha Tani (JITUT) dengan kondisi sebagaimana pada Tabel 12. Di samping itu guna mendukung ketahanan pangan di daerah, Kabupaten Deli Serdang memberikan pelayanan kepada para petani dengan mendirikan Balai Penyuluh Pertanian baik untuk tanaman pangan, peternakan maupun perkebunan. Namun dibandingkan dengan luas areal pertanian yang tersebar di 22 kecamatan di Kabupaten Deli Serdang, jumlah Balai Penyuluhan yang ada masih sangat minim jumlahnya. Akibatnya satu Balai Penyuluh harus menangani lebih dari 5 kecamatan. Dengan demikian untuk mengintensifkan kinerja bimbingan dan penyuluhan kepada petani sebaiknya jumlah Balai Penyuluh Pertanian ditambah jumlahnya.

Luas panen dan produksi tanaman jagung selama periode 2004-2008 cenderung mengalami peningkatan, meski terjadi sedikit penurunan pada tahun 2007. Lonjakan yang tertinggi terjadi dari tahun 2004-2005, dimana luas panen meningkat sebesar 14,89% diikuti produksi naik sebesar 14,67%. Produktivitas tanaman jagung juga terus mengalami peningkatan dari sekitar 33,98 kw/ha menjadi 34,77 kw/ha. Hal yang sama terjadi pada tanaman ubi kayu baik luas panen, produksi maupun produktivitas terus mengalami peningkatan setiap tahunnya. Untuk tanaman kacang kedelai terjadi fluktuasi yang hampir sama dengan di Kabupaten Langkat baik luas panen, produksi maupun produktivitas mengalami kenaikan dan penurunan yang tidak teratur dari tahun ke tahun.

Produksi Tanaman Pangan dan Infrastruktur di Kabupaten Simalungun -

Berdasarkan data perkembangan luas panen tanaman pangan di Kabupaten Simalungun selama periode 2005-2007, luas panen tanaman padi sawah mengalami peningkatan dengan jumlahnya pada tahun 2005 seluas 77.991 ha dan kemudian menurun pada tahun 2006 menjadi 73.929 ha, namun meningkat kembali menjadi 82.605 ha pada tahun 2007. Komoditi padi gogo terus mengalami penurunan dari seluas 17.638 ha pada 2005 menjadi seluas 7.635 ha pada pada tahun 2007.

Secara keseluruhan produksi tanaman pangan (padi dan palawija) di Kabupaten Deli Serdang terus mengalami perubahan. Produksi tanaman padi sempat mengalami kenaikan dari tahun 2005-2007, namun kembali mengalami penurunan pada tahun 2008. Demikian halnya dengan produksi palawija yang meningkat secara drastis pada tahun 20062007, namun mengalami penurunan sebesar 1,42% pada tahun 2008. -

Produksi Tanaman Pangan

Sebagaimana halnya komoditi padi sawah, luas panen jagung meskipun mengalami penurunan pada tahun 2006, namun pada tahun 2007 kembali meningkat menjadi seluas 71.313 ha dibandingkan luas panen jagung pada tahun 2005 seluas 66,935 ha). Komoditi kedelai selama periode 2005-2007 juga mengalami fluktuasi namun terjadi peningkatan meskipun sangat kecil sekali yaitu dari seluas 38 ha pada tahun 2005 menjadi seluas 61 ha pada tahun 2007. Peningkatan luas panen kecil sekali ini menyebabkan produksinya tidak mencukupi kebutuhan. Sedangkan komoditi pangan lainnya berupa ubi kayu, luas panennya selama periode tersebut relatif stabil.

Infrastruktur

Kemampuan infrastruktrur pertanian berupa irigasi di Kabupaten Deli Serdang terus mengalami peningkatan kemampuan dalam hal memenuhi kebutuhan air pada lahan-lahan pertanian di daerah ini. Kabupaten Deli Serdang tidak memiliki irigasi teknis tetapi hanya memiliki jenis lahan irigasi (setengah teknis, sederhana dan desa) yang hanya mencapai sebesar 23.360 ha (54,52%) pada tahun 2007 dan kemudian mengalami peningkatan menjadi sebesar 23.832 (naik 2,02%) pada tahun

175


INOVASI : Vol. 7. No. 3,

September 2010

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

Produksi tanaman pangan di Kabupaten Simalungun selama periode 2005-2007 menunjukkan peningkatan jumlah produksi tanaman pangan baik untuk komoditi padi sawah, padi gogo, kedelai, jagung dan ubi kayu yang berkorelasi langsung dengan jumlah luas panennya. Semakin meningkat jumlah luas panennya, maka meningkat pula jumlah produksinya serta diikuti dengan peningkatan produktivitasnya.

selama periode tersebut mengalami fluktuatif, begitu pula jumlah penyediaannya. Pada tahun 2004 saja jumlah kebutuhan jumlah benih tanaman pangan dan jumlah penyediaannya seimbang (terserap sebanyak 100%). Selanjutnya pada tahun 2005, 2006 dan tahun 2007 jumlah penyediaan benih selalu lebih rendah dengan jumlah kebutuhannya. Mengingat bahwa benih bermutu merupakan unsur penting dalam peningkatan produksi tanaman, maka kondisi itu tentunya cukup memprihatinkan karena jumlah kebutuhan benih yang dibutuhkan oleh petani selalu tidak seimbang dengan jumlah kebutuhannya.

Produktivitas rata-rata komoditi tanaman pangan pada tahun 2007 menunjukkan peningkatan dibandingkan dengan tahun 2005 dan tahun 2006 Dengan demikian, peningkatan jumlah produksi tanaman pangan tidak saja disebabkan oleh peningkatan luas panen, tetapi juga disebakan karena adanya peningkatan jumlah produksi ratarata per satuan luas (produktivitas). Peningkatan produktivitas, tentunya disebabkan kegiatan produksi yang semakin baik seperti intensifikasi berhasil dilakukan termasuk diantaranya pemakaian benih unggul, pemupukan, pemeliharaan, pengolahan tanah, perlindungan tanaman dan pemanenan. -

Dalam pelaksanaan proses produksi, salah satu sarana produksi penting yang sangat menentukan berhasilnya produksi adalah pupuk. Realisasi penyaluran pupuk oleh PT. Pupuk Iskandar Muda dan PT. PUSRI di Kabupaten Simalungun selama periode 2005-2007 menunjukkan peningkatan setiap tahunnya. Jumlah kebutuhan pupuk selama periode tersebut relatif dapat terpenuhi, hal ini ditandai data realisasi penyalurannya lebih tinggi dibandingkan kebutuhan terutama pupuk Urea dan SP36.

Infrastruktur Infrastruktur pertanian lainnya yang digunakan sebagian masyarakat petani di Kabupaten Simalungun adalah alat-alat mekanisasi pertanian, seperti hand tractor dan alat perontok padi (power thresher) serta alat-alat mekanisasi lainnya. Pemanfaatan alat-lat mekanisasi pertanian ini selama periode 2004-2007 jumlahnya relatif tidak bertambah secara signifikan. Hal ini perlu menjadi perhatian, karena alat-alat mekanisasi pertanian juga sangat diperlukan terutama untuk proses produksi dan pemanenan hasil. Peningkatan bantuan peralatan ini secara tidak langsung telah menyebabkan terjadinya peningkatan luas panen di Kabupaten Simalungun, di pihak lain jumlah peralatan mekanisasi pertanian untuk proses produksi dan pemanenan relatif tidak bertambah.

Tingkat penggunaan lahan usahatani di Kabupaten Simalungun selama periode 2004-2007 menunjukkan pemanfatan lahan sawah dengan frekuensi penanaman dua kali terus meningkat. Jumlah lahan sawah dengan penanaman dua kali pada tahun 2007 mencapai seluas 41,499 ha. Dari jumlah tersebut sebanyak 39,393 ha merupakan lahan sawah yang beririgasi, sedangkan sisanya merupakan lahan sawah dengan irigasi setengah teknis, irigasi sederhana dan irigasi desa. Lahan sawah yang dimanfaatkan satu kali tanam saja pada tahun 2007 seluas 2,238 ha. Lahan sawah dengan penanaman satu kali tanam merupakan lahan yang tidak memiliki irigasi teknis, namun memiliki irigasi setengah teknis, irigasi sederhana, irigasi desa atau tadah hujan. Data ini menunjukkan bahwa lahan sawah dengan frekuensi penanaman satu kali, umumnya diairi oleh irigasi desa, sedangkan lainnya diairi oleh irigasi setengah teknis, sederhana dan tadah hujan. Hal ini berarti bahwa lahan-lahan sawah yang memiliki irigasi teknis dapat meningkatkan masa tanam dari satu kali menjadi dua kali.

Kebijakan Pembangunan Infrastruktur dan Sarana Produksi Pertanian di Sumatera Utara Infrastruktur pertanian terutama saluran irigasi merupakan hal yang vital dalam pembangunan pertanian di Sumatera Utara khususnya dalam produksi tanaman pangan. Hal ini dikarenakan Provinsi Sumatera Utara telah menetapkan pembangunan pertanian sebagai prioritas utama dalam pembangunan daerah. Luas baku daerah yang dialiri irigasi di Sumatera mencapai seluas 329.254 hektar. Namun dari jumlah itu hanya 296.782 hektar atau seluas 90,14% yang potensial (Dinas Sumber Daya Air Provsu, 2009). Jumlah luas baku daerah irigasi ini sebenarnya cukup besar, namun masih didominasi oleh jaringan irigasi tingkat sederhana. Kondisi irigasi tersebut juga perlu mengalami

Perkembangan kebutuhan dan penyediaan benih bermutu tanaman pangan di Kabupaten Simalungun selama periode 2004-2007 tidak sebanding, dimana jumlah kebutuhan masih jauh dibandingkan ketersediaannya. Tanaman pangan yang dimaksud adalah padi (sawah dan gogo), jagung, kedelai, kacang tanah dan kecang hijau. Data menunjukkan bahwa jumlah kebutuhan benih tanaman pangan

176


INOVASI : Vol. 7. No. 3,

September 2010

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

perbaikan dan pemeliharaan yang rutin, karena kondisinya yang semakin mengalami penurunan.

lainnya berupa distribusi yang tidak merata antar daerah dan ketepatan waktu penyediaan pupuk yang tidak sesuai dengan saat dibutuhkan. Masalah krusial lainnya adanya terjadi kelangkaan pupuk pada musim tanam tiba, sehingga menyebabkan harga pupuk menjadi tinggi dan bahkan tidak ada ditemui di pasaran.

Di samping itu masih diperlukan peningkatan sistem jaringan irigasi dari tingkat sederhana ke semiteknis, karena jumlah irigasi sederhana masih relatif besar. Keterbatasan alokasi dana operasi dan pemeliharaan adalah salah satu faktor yang mengakibatkan semakin mempercepat penurunan tingkat pelayanan air irigasi pada areal persawahan, di samping kerusakan yang diakibatkan bencana alam yang selalu terjadi setiap tahunnya. Faktor lainnya yang juga memengaruhi penurunan kondisi jaringan irigasi di daerah ini adalah karena jaringan irigasi banyak terdapat di dataran tinggi, terletak pada lereng-lereng bukit yang sangat rawan longsor dan juga terletak di dataran rendah yang selalu mengalami sedimentasi yang terbawa oleh sungai akibat kondisi daerah aliran sungai yang sudah rusak.

KESIMPULAN Berdasarkan uraian sebagaimana tersebut di atas, dapat disimpulkan sebagai berikut : 1. Lahan irigasi (teknis, setengah teknis, sederhana dan desa) di Kabupaten Langkat hanya seluas 8.042 ha atau 17,42% dari total jenis lahan yang ada, sedangkan sebagian besarnya adalah lahan tadah hujan yang mencapai seluas 34.482 ha atau 74,69% dari total lahan pertanian. 2. Sebagian besar lahan pertanian di Kabupaten Langkat masih bersifat tadah hujan dengan mengandalkan sumber air yang bukan berasal dari irigasi, menyebabkan produktivitas tanaman pangan khususnya padi relatif tidak terjadi peningkatan secara signifikan. 3. Kabupaten Deli Serdang masih belum memiliki irigasi teknis sehingga mengalami keterbatasan dalam penggunaan air untuk mendukung pertaniannya, begitu pula dengan penggunaan lahan untuk tanaman pangan selama periode 2005-2009 masih belum mengalami perubahan yang signifikan. 4. Infrastruktur pertanian berupa saluran irigasi merupakan hal yang vital dalam mendukung ketahanan pangan di Sumatera Utara, dimana dari 329.254 hektar luas baku daerah irigasi yang potensial yang dapat digunakan hanya seluas 296.782 hektar atau sebesar 90,14%. 5. Jumlah luas baku daerah irigasi di Provinsi Sumatera Utara sebenarnya cukup besar, namun masih didominasi oleh jaringan irigasi tingkat sederhana dengan kondisi yang terus mengalami penurunan sehingga memerlukan perbaikan dan pemeliharaan rutin. 6. Alat-alat pertanian yang digunakan dalam menunjang produksi tanaman pangan di Kabupaten Deli Serdang, Langkat dan Simalungun masih sangat terbatas baik kuantitas maupun kualitasnya sehingga perlu dilakukan peningkatan penggunaannya terutama di sentra-sentra produksi tanaman pangan. 7. Pengadaan pupuk bersubsidi masih sering bermasalah dalam hal penyediaan yang tidak sesuai dengan kebutuhan, distribusi yang tidak merata dan ketepatan waktu yang tidak sesuai penyediaannya. 8. Balai Penyuluhan Pertanian Tanaman Pangan merupakan sarana strategis dalam membimbing para petani untuk meningkatkan produksi

Sebagai akibat penurunan kualitas infrastruktur pertanian khususnya irigasi di Sumatera Utara selama periode 2007-2008 telah terjadinya penurunan luas sawah sebesar 4,22% dan diikuti pula dengan penurunan luas lahan sawah irigasi sebesar 0,81%. Penurunan yang terbesar terjadi pada sawah irigasi teknis mencapai 5,81%. Di pihak lain sawah irigasi non PU justru meningkat dari 77.309 ha menjadi 81.787 ha (naik 5.79%). Untuk sawah tidak beririgasi secara total terjadi penurunan seluas 8,74% dengan penurunan terbesar terjadi pada lahan lainnya seluas 83,56% diikuti sawah lebak seluas 56,95%. Penurunan luas lahan sawah baik sawah beririgasi maupun tidak beririgasi mencapai sebesar 4,22%, kemungkinan besar akibat terjadinya alih fungsi lahan. Lahan-lahan potensial untuk pengembangan tanaman pangan tersebut sebagian telah beralih fungsi keperuntukannya baik untuk menjadi perumahan, industri maupun perkebunan. Penurunan yang cukup besar ini perlu mendapat perhatian yang sangat serius oleh pemerintah agar tidak terjadi penurunan produksi tamanan pangan di masa yang akan datang dalam kaitannya mendukung program ketahanan pangan. Dari data yang dikumpulkan dan berdasarkan pengamatan langsung di lapangan, beberapa kendala yang dijumpai di daerah penelitian umumnya hampir sama. Penyediaan bibit tanaman pangan selalu tidak sesuai dengan tingkat kebutuhan para petani khususnya terjadi di Kabupaten Simalungun. Yang merupakan salah satu daerah lumbung pangan di Sumatera Utara. Hal yang sama juga terjadi dalam penyediaan pupuk subsidi, dimana rata-rata penyediaan pupuk hanya berkisar 55% dari kebutuhan para petani. Di samping jumlah yang tidak mencukupi, kendala

177


INOVASI : Vol. 7. No. 3,

September 2010

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

tanaman pangan , untuk itu jumlah unit, personil maupun fungsinya perlu ditingkatkan.

_____________. 1998. Prospek Pengembangan Sistem Usaha Pertanian Modern di Lahan Pasang Surut di Sumatera Selatan.

Saran dan Rekomendasi 1.

2.

3.

4.

5.

6.

7.

Bailey, Kenneth. 1992. Methods of Social Research. McGraw Hill.

Untuk mendukung pembangunan pertanian tanaman pangan dalam ketahanan pangan di Provinsi Sumatera Utara, perlu peningkatan sistem jaringan irigasi dari tingkat sederhana menjadi semiteknis karena luas baku irigasi yang ada masih didominasi jaringan irigasi sederhana. Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota perlu terus memberikan bantuan peralatan pertanian kepada para petani di daerah, baik dari segi kuantitas maupun kualitas serta keberlanjutan karena bantuan perlatan yang diberikan selama ini masih sangat minim. Pemerintah Pusat dan Daerah perlu melakukan pembenahan dalam manajemen pupuk bersubsidi, hal ini karena dalam pemenuhannya selama ini masih belum sesuai dengan kebutuhan, distribusi, dan ketepatan waktu. Penambahan sarana irigasi melalui pembangunan jaringan yang baru maupun perbaikan jaringan yang rusak mutlak diperlukan guna peningkatan produksi tanaman pangan di Sumatera Utara. Perlu peningkatan jumlah unit, personil dan pemberdayaan Balai Penyuluh Pertanian di Kabupaten/Kota guna memberikan bimbingan, inovasi maupun informasi kepada para petanidi daerah. Mengingat keterbatasan dana untuk pembangunan sarana irigasi, peningkatan produksi pertanian ke depan masih dapat ditempuh melalui intensifikasi melalui peningkatan jumlah tanam per tahun. Langkah-langkah strategis yang perlu diupayakan dalam peningkatan produksi pangan di Sumatera Utara ke depan, antara lain melalui : pengembangan padi hibrida, pengadaan Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu (SLPTT), Bantuan Langsung Benih Unggul (BLBU), Sekolah Lapang Pengendalian Hama Terpadu (SL PHT), pembuatan dan perbaikan infrastruktur pertanian khususnya irigasi, serta Bantuan Langsung Pupuk (BLP).

Helmi., 1997. Kearah Pengelolaan Sumberdaya Air Yang Berkelanjutan: Tantangan dan Agenda Untuk Penyesuaian Kebijaksanaan dan Birokrasi di Masa Depan. Dalam Visi Irigasi Indonesia Nomor 13 (7) 1997. Halaman 312, Jakarta : Pusat Studi Irigasi Universitas Andalas. Mahar, Mahyudi, 1999. Pendekatan Watershed Management dalam Pengelolaan Sungai, dalam Dinamika Petani No. 34 Tahun X/1999. Halaman 10-14. Jakarta : Pusat Studi Pengembangan Sumberdaya Air dan Lahan (PSDL), LP3ES. Martius, Endry, 1997. Penyesuaian Peran Birokrasi dan Pemberdayaan Ekonomi Petani : Etika Pendayagunaan Sumberdaya Air di Indonesia, dalam Visi Irigasi Indonesia Nomor 13 (7) 1997. Halaman 12-32. Padang : Pusat Studi Irigasi Universitas Andalas. Nagata, Keijiro, 1991. The Maturation of the Japanese Economy and the Role of Agriculture, dalam The Committee for the Japanese Agriculture Session, XXI IAEE Conference (ed). Agriculture and Agricultural Policy in Japan. Halaman 189201, Tokyo : University of Tokyo Press. Nasoetion, Lufti dan Joyo Winoto, 1996. Masalah Alih Fungsi Lahan Pertanian dan Dampaknya Terhadap Keberlangsungan Swasembada Pangan, dalam Hermanto., Pasaribu, Sahat M., Djauhari, A., dan Sumaryanto (eds) : Persaingan dalam Pemanfaatan Sumberdaya Lahan dan Air : Dampaknya Terhadap Keberlanjutan Swasembada Pangan. Halaman 64-82. Jakarta : Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian.

DAFTAR PUSTAKA

Kariyasa, K. 2007. Usulan Kebijakan Pola Pemberian dan Pendistribusian Benih Bersubsidi. Analisis Kebijakan Pertanian, Vol. 5 No. 4. Hal 304-319.

Atmanto, Sudar Dwi, 1993. Pertanian dan Irigasi Irigasi Petani Air Limbah.dalam No.11/V/1993. Halaman 1-3, Jakarta : Pusat Studi dan Pengembangan Irigasi (PSPI), LP3ES.

Kurnia, G., Arianto, T., Judawinata, R., Sufyandi, A., Rija, dan D. Hermajanda. 1996. “Persaingan dalam Pemanfaatan Sumberdaya Air�, dalam Hermanto,

Badan Litbang Pertanian. 1998. Pengembangan Sistem Usaha Pertanian Lahan Pasang Surut di Sumatera Selatan.

178


INOVASI : Vol. 7. No. 3,

September 2010

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

Pasaribu., Sahat M., Djauhari, A., dan Sumaryanto (eds) : Persaingan dalam Pemanfaatan Sumberdaya Lahan dan Air:Dampaknya Terhadap Keberlanjutan Swasembada Pangan. Halam 190-207. Jakarta : Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian. Osmet.,1996. “Sistem Pengelolaan Air Menunjang Pembangunan Pertanian yang Berkelanjutan”, dalam Hermanto, Pasaribu, Sahat M., Djauhari, A., dan Sumaryanto (eds) : Persaingan dalam Pemanfaatan Sumberdaya Lahan dan Air:Dampaknya Tergadap Keberlanjutan Swasembada Pangan. Halam 208-225. Jakarta : Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian. Kendala Pranadji, T. Dan Rini, B. 1988. Penyebaran Peralatan Pertanian Mekanis di Agro Ekonomi, Forum Jawa Timur. Penelitian, A.E. Vol. 6 No. 1, Juli 1998. Hal 36-43. Sugandhy, Aca, 1997. “Kebijaksanaan dan Strategi Pengelolaan Sumberdaya Air”, Makalah pada Seminar Pengembangan dan Pengelolaan Sumberdaya Air Tingkat Nasional diselenggarakan oleh Deputi Bidang Prasarana BAPPENAS, di Jakarta tanggal 30 September 1997. Syafa’at, N., Adreng, P., Maulana, M., dan Chaerul, M. 2006. Analisis Besaran Subsidi Pupuk dan Pola Distribusinya. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kabijakan Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian. Jakarta. Yakup

dan Nusyrwan, 1997. “Reaktualisasi Pengelolaan Air dan Kelembagaan Petani”, dalam Dinamika Petani No.30 Tahun 1997. Halaman1-4. Jakarta : Pusat Studi Pengembangan Sumberdaya Air dan Lahan (PSDL), LP3ES.

179


INOVASI : Vol. 7. No. 3,

September 2010

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

Kajian Kelayakan Pembentukan Sentra Peternakan Sapi Terpadu Di Sumatera Utara (Studi Kasus di Kabupaten Langkat) Hasmudi1), M. Ilyas2) 1)

Tim Peneliti Bidang SDA dan Maritim Balitbang Provsu 2) Kabid SDA dan Maritim Balitbang Provsu

Abstraksi Penelitian yang dilaksanakan dengan mengambil lokasi Kabupaten Langkat sebagai studi kasus menyimpulkan bahwa berdasarkan daya dukung sumberdaya alam (pertanian dan perkebunan) maka pembentukan sentra peternakan sapi terpadu di Kabupaten Langkat adalah layak. Dari hasil analisis SWOT dan QSPM dapat direkomendasikan prioritas strategi pengembangan ternak sapi berwawasan agribisnis kepada Dinas Peternakan Kabupaten Langkat melalui Enam prioritas strategi jangka pendek dan menengah dan Empat prioritas strategi jangka panjang. Untuk mengimplementasi strategi prioritas yang telah ditentukan, sebaiknya didahului dengan sistem perencanaan dan koordinasi yang terpadu dan komprehensif antara pemerintah pusat, pemerintah Provinsi dan kabupaten. Mengingat pentingnya peranan pembentukan sentra peternakan sapi terpadu bagi kesejahteraan masyarakat, maka perlu dilakukan program integrasi ternak sapi dengan perkebunan (sawit, karet, tebu dan kakao) dan tanaman pangan yang saling menguntungkan. Strategi yang bersifat teknis dalam pembentukan sentra peternakan sapi terpadu dapat dilakukan dengan mengembangkan kandang kelompok untuk memudahkan pengelolaan dan menanggulangi pencurian ternak serta pembinaan peternak yang berkelanjutan.

Kata kunci: Sentra peternakan sapi, masyarakat. efisien dan efektif yang dapat mendorong produsen (peternak) untuk mengembangkan usahanya dan memperoleh nilai tambah.

PENDAHULUAN Latar Belakang

Untuk menanggulangi permasalahan-permasalahan tersebut diatas maka Dinas Peternakan Provinsi Sumatera Utara telah menyusun kegiatan pembangunan peternakan tahun 2005-2010 yang dirumuskan dalam tiga program yaitu : 1) Program peningkatan ketahanan pangan, 2). Program pengembangan agribisnis peternakan dan 3) Program pemberdayaan masyarakat peternakan.

Provinsi Sumatera Utara yang letaknya cukup strategis memiliki luas 71.680 km2 dengan ketinggian 0 – 1.915 m diatas permukaan laut, serta jumlah penduduk 12.722.548 jiwa (pertumbuhan rata-rata 1,17% /tahun) memiliki prospek pengembangan agribisnis peternakan cukup besar terutama agribisnis ternak potong ruminansia. Namun karena berbagai keterbatasan serta permasalahan yang dihadapi, prospek dimaksud sampai saat ini belum dapat diwujudkan secara optimal. Kendala dan permasalahan yang masih dihadapi untuk mewujudkan prospek peternakan yang maju dengan potensi dan peluang yang dimiliki Provinsi Sumatera Utara antara lain : a). Belum tersedianya bibit ternak potong ruminansia yang cukup, baik kuantitas maupun kualitas, b). sulitnya pengembangan usaha terutama karena terbatasnya modal dan jiwa kewirausahaan para peternak terutama peternak kecil, c). Iklim usaha peternakan belum kondusif terutama karena faktor keamanan berusaha yang belum terjamin, d). potensi pada areal perkebunan dan pertanian belum dapat dimanfaatkan secara optimal karena belum terciptanya sistem yang saling menguntungkan serta didukung oleh berbagai pihak terkait dan e). mekanisme tataniaga ternak dan hasil ternak belum

Dinas Peternakan Provinsi Sumatera Utara dalam bidang peternakan mempunyai visi yaitu terwujudnya swasembada pangan asal ternak yang berkelanjutan menuju masyarakat sehat, mandiri dan sejahtera. Untuk mewujudkan visi tersebut maka dilaksanakan misi yaitu : 1). Memberdayakan sumberdaya manusia peternakan agar dapat menghasilkan produk yang berdaya saing tinggi, 2). Menciptakan peluang usaha untuk meningkatkan pendapatan peternak dan kesejahteraan masyarakat, 3). Menciptakan lapangan pekerjaan dibidang agribisnis peternakan dan 4) Melestarikan dan mengembangkan sumberdaya alam pendukung peternakan dalam rangka peningkatan pendapatan asli daerah (PAD). Sebagai tujuan umum dari program tersebut adalah untuk : 1) meningkatkan kualitas kebijakan dan program yang mengarah

180


INOVASI : Vol. 7. No. 3,

September 2010

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

pada pemanfaatan sumber daya lokal untuk membangun peternakan yang berdaya saing dan berkelanjutan dan 2). membangun sistem peternakan baik nasional maupun daerah yang mampu memenuhi kebutuhan terhadap produk peternakan dan mensejahterakan peternak menuju swsembada daging 2010. Sedangkan tujuan khusus adalah : 1) meningkatkan kuantitas dan kualitas bibit ternak, 2) mengembangkan usaha budidaya untuk meningkatkan populasi, produktivitas dan produksi ternak, 3). menigkatkan dan mempertahankan status kesehatan hewan, 4). meningkatkan jaminan keamanan pangan hewani yang ASUH dan 5). meningkatkan pelayanan prima pada masyarakat peternakan. Menurut data dari Badan Ketahanan Pangan Provinsi Sumatera Utara tahun 2007, bahwa peningkatan populasi sapi potong di Sumatera Utara dari tahun 2002 - 2006 rata-rata sebesar 0,31%, dan pada tahun 2008 - 2010 ditingkatkan menjadi 0,41%, sedangkan di Kabupaten Langkat pertumbuhan populasi sapi sudah sebesar 9,31% pada periode 2002-2006. Pada tahun 2005-2008 bahkan di Kabupaten Langkat peningkatan populasi ternak sapi sudah sebesar 30,24%. Hal ini berarti Pemerintah Kabupaten Langkat sudah sangat serius dalam pengembangan ternak sapi khususnya dan ternak lainnya pada umumnya.

besar untuk dapat dijadikan sebagai lokasi pengembangan usaha peternakan sapi terutama sapi potong, dikarenakan agroklimat, sumberdaya alam dan budaya masyarakatnya mendukung bagi kegiatan peternakan tersebut, disamping itu letak geografisnya juga sangat strategis dan dekat dengan pelabuhan Belawan untuk eksport. Jarak tempuh sekitar 1-2 jam ke Medan ibukota Provinsi Sumatera Utara, yang dapat menjadi salah satu lokasi pemasaran hasil peternakan. Potensi ini merupakan peluang besar bagi para investor untuk menanamkan investasi dalam bidang penggemukan dan pengembangbiakan sapi di Kabupaten Langkat. Berdasarkan Data Statistik tahun 2007, PDRB bidang pertanian di Kabupaten Langkat atas dasar harga berlaku (ADHB) adalah sebesar Rp. 11.455.318,870.000,- dan sektor pertanian berperan sebagai kontributor utama dengan peran mencapai 48,80%. Sedangkan PDRB berdasarkan harga konstan (PDHK) Kabupaten Langkat pada tahun 2007 adalah sebesar Rp. 6.178.017,930.000,Lapangan usaha bidang pertanian baik berdasarkan PDRB dasar harga berlaku maupun atas dasar harga konstan, lapangan usaha bidang pertanian pada tahun 2007 menempati urutan pertama dibandingkan dengan lapangan usaha bidang lainnya.

Jadi pemilihan kabupaten Langkat sebagai tempat studi kasus dalam penelitian ini selain hal tersebut diatas juga adalah : 1). Kontribusi produk hewan berupa daging sapi untuk Sumatera Utara adalah sebesar 32,2%, 2). Kabupaten Langkat merupakan satu-satunya kebupaten di Sumatera Utara yang ditunjuk oleh Menteri Pertanian RI pada tahun 2008 sebagai lokasi percepatan Progam Peningkatan Swasembada Daging Sapi (P2SDS) tahun 2010, yang dikaitkan dengan tingkat kelahiran ternak melalui Inseminasi Buatan (IB) dan 3) populasi ternak sapi di Kabupaten Langkat merupakan populasi yang terbesar di Sumatera Utara pada periode tahun 2003-2006.

Melihat perkembangan ke depan berdasarkan perkembangan yang lalu mengindikasikan bahwa akan terjadi peningkatan permintaan komoditas daging sebagai dampak dari peningkatan populasi penduduk dan peningkatan kesejahteraan serta peningkatan kesadaran masyarakat Sumatera Utara akan pentingnya mengkonsumsi protein hewani. Untuk itu, perlu pemikiran mendalam dan peningkatan penyelenggaraan bidang usaha peternakan, sebagai tindakan antisipasi terhadap pemenuhan permintaan masyarakat akan daging sapi. Pemikiran dimaksud dengan cakupan semua aspek berpengaruh, yakni mulai dari rekayasa kebuntingan ternak dengan penjantan unggul dan Inseminasi Buatan (kawin suntik), budidaya dan perkembangbiakan berbasis pakan lokal, produktivitas hasil ternak yang tinggi serta pengolahan hasil ternak hingga pemasarannya ke konsumen.

Pembangunan peternakan berwawasan lingkungan khususnya peternakan sapi di Kabupaten Langkat dengan pemanfaatan limbah perkebunan (sawit, karet dan coklat) dan hasil ikutan pengolahan kelapa sawit sebagai pakan ternak sapi, limbah pertanian tanaman pangan serta limbah kotoran ternak diolah menjadi biogas dan pupuk kompos (memberi keuntungan ganda) tidak menimbulkan dampak negatif bagi kehidupan masyarakat di kawasan tersebut dan wilayah sekitarnya. Luas lahan yang berpotensi sebagai sumber pakan ternak meliputi : lahan perkebunan besar (tanaman kelapa sawit, karet dan kakao), lahan perkebunan rakyat dan lahan tegalan / lahan kering adalah 47.592 ha.

Prospek beternak sapi potong di Indonesia masih terbuka lebar jauh ke depan, tetapi peternak sendiri mengalami banyak kendala sehingga mereka belum mampu mengembangkan dan meningkatkan populasi ternak sapi potong untuk mengimbangi permintaan pasar akan daging yang higienis. Berbagai kendala tersebut antara lain umumnya adalah tidak tersedianya dana untuk kegiatan pengembangan peternakan, kesulitan untuk mendapatkan areal untuk penyediaan hijauan pakan ternak yang memadai dan beberapa unsur bahan

Selain faktor pendukung tersebut diatas, kabupaten Langkat merupakan daerah yang memiliki potensi

181


INOVASI : Vol. 7. No. 3,

September 2010

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

pakan penguat masih bersaing dengan manusia. Disamping itu tidak sedikit lokasi peternakan yang letaknya dekat atau berdampingan dengan pemukiman padat penduduk, sehingga pada saat muncul rencana pengembangan usaha, peternak sulit melaksanakannya.

METODOLOGI PENELITIAN Pengumpulan Data Penelitian ini berupa survey yang bersifat deskriptif yang dilakukan dengan mewawancarai responden (pejabat Dinas Peternakan dan petani/peternak). Informasi lanjutan yang diperlukan diperoleh melalui kegiatan wawancara mendalam (Depth Interview) untuk memperoleh informasi dari beberapa pelaku kunci yang terkait dengan pengembangan ternak sapi potong melalui diskusi terarah terutama untuk menentukan model kebijakan yang paling sesuai untuk pengembangan sapi potong di Kabupaten Langkat.

Sudjana (2007) menyebutkan bahwa Indonesia masih kekurangan daging sapi sebanyak 135.100 ton dari permintaan sebesar 385.000 ton. Oleh karena itu pemerintah akan melaksanakan percepatan pencapaian swasembada daging sapi (P2SDS) tahun 2010. Arti swasembada disini adalah kemampuan penyediaan dalam negeri sebesar 90%-95%, sisanya sebesar 5%-10% dapat dipenuhi dari import. Percepatan swasembada daging akan dimulai pada tahun 2008-2010, melalui tujuh langkah operasional sebagai berikut : 1) optimalisasi akseptor dan kelahiran, 2) Inseminasi Buatan (IB) dan intensifikasi Kawin Alam (KA), 3) pengembangan rumah potong hewan (RPH) dan pengendalian pemotongan sapi betina produkstif, 4) perbaikan mutu dan penyediaan bibit, 5) penanganan gangguan reproduksi dan kesehatan hewan, 6) pengembangan pakan lokal dan 7) pengembangan SDM dan kelembagaan.

Informasi yang diperoleh pada tahapan ini akan dianalisis menggunakan analisis SWOT (Strength, Weakness, Opportunity, dan Threat) dan Analisis QSPM (Quantitative Strategic Planning Matrix). Jenis dan Sumber Data Jenis data dan informasi terdiri atas : a) Data primer, yaitu data dan informasi yang diperoleh secara langsung dari narasumber/responden antara lain dari pejabat Dinas Peternakan Kabupaten Langkat, Dosen Perguruan Tinggi dan peternak b) Data sekunder, yaitu data dan informasi yang diperoleh dari dokumen/publikasi/laporan penelitian dari dinas/instansi terkait yaitu Dinas Peternakan dan Kehewanan Provinsi Sumatera Utara, Dinas Peternakan Kabupaten Langkat, Bappeda Kabupaten Langkat, BPS Sumatera Utara dan Perguruan Tinggi

Pada saat ini, pemeliharaan ternak ruminansia di Kabupaten Langkat umumnya dilakukan oleh peternak sebagai usaha bersifat sambilan dan tersebar di pedesaan. Usaha pokok peternak umumnya dibidang perkebunan dan pertanian pangan dan hortikultura. Posisi usaha sambilan atas usaha ternak oleh masyarakat dipengaruhi oleh berbagai kesulitan dan keterbatasan yang dimiliki peternak, antara lain : (1) rendahnya perhatian lembaga keuangan mengucurkan dana bagi pengembangan usaha ternak, (2) rendahnya serapan peternakan atas teknologi tepat guna dalam pemanfaatan sumberdaya tersedia, (3) belum ditempatkannya usaha peternakan sebagai bidang penting dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat.

HASIL DAN PEMBAHASAN Dominasi tenaga kerja di Langkat ada di sektor pertanian dan perkebunan. Hingga tahun 2001 sekitar 35% penduduk bekerja di lapangan usaha pertanian, 12% di perkebunan, dan empat persen di perikanan. Tanaman padi masih menjadi komoditas penting di Kabupaten Langkat dan arealnya hampir mencapai 91 ribu hektar. Jumlah rumah tangga petani peternak (RTP Ternak) di Kabupaten Langkat adalah sebesar 53.362 KK (hasil survey usaha peternakan BPK Kabupaten Langkat tahun 2006), dan yang bekerja sebagai tenaga kerja pada komoditi ternak sapi sebanyak 12.038 KK. Hal ini mengindikasikan bahwa dari populasi sapi sebanyak 114.812 ekor pada tahun 2008, maka setiap kepala keluarga rata-rata memelihara 9,5 ekor ternak sapi.

Usaha pengembangbiakan dan penggemukan sapi potong dikatakan untung jika jumlah pendapatan yang diperoleh lebih besar dari total pengeluaran, sebaliknya jika perolehan pendapatan lebih rendah daripada pengeluaran berarti usaha itu mengalami kerugian, sehingga kondisi usaha semacam ini tidak layak dipertahankan. Keuntungan dan kerugian usaha pengembangbiakan dan penggemukan sapi potong hanya mungkin diketahui apabila seluruh biaya produksi bisa diperhitungkan. Kesemuanya itu dengan mudah dilaksanakan jika peternakan memiliki data yang lengkap, baik mengenai pendapatan dan pengeluaran. Data data itulah yang dapat memberikan informasi nyata bagi suatu usaha yang berhasil atau merugi.

Potensi Sumberdaya Alam untuk Pembentukan Sentra Peternakan Sapi Potensi sumberdaya alam untuk pembentukan sentra peternakan sapi di Kabupaten Langkat antara

182


INOVASI : Vol. 7. No. 3,

September 2010

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

lain dapat dihitung berdasarkan luasan komoditi tanaman pangan, luasan tanaman perkebunan dan luasan tanaman rumput.

Fasilitas Pendukung Utama untuk Pembentukan Sentra Peternakan Sapi Terpadu di Kabupaten Langkat

Dari tujuh komoditi tanaman pangan dapat dihitung daya dukung tanaman pangan untuk populasi ternak sapi. Menurut Perhitungan daya dukung tanaman pangan terhadap ternak sapi di Kabupaten Langkat tertera didasarkan pada perhitungan menurut model Direktorat Bina Usaha Petani Ternak dan Pengolahan Hasil Peternakan, Ditjen Peternakan Departemen Pertanian, maka dari luasan komoditi tanaman pangan di Kabupaten Langkat dapat menampung ternak (daya dukung) sebanyak 188.619 Unit Ternak (UT). Daya dukung ternak sapi juga dihitung dari luas perkebunan kelapa sawit, karet, kakao dan tebu yang terdapat di Kabupaten Langkat. Perhitungan daya dukung ternak didasarkan atas potensi limbah dan hasil samping industri perkebunan tersebut yaitu biji karet, pelepah daun sawit, lumpur sawit (sludge), bungkil inti sawit (BIS), kulit buah kakao serta pucuk tebu.

Fasilitas pendukung utama seperti Kantor Dinas Peternakan beserta staf dan karyawannya, rumah potong hewan (RPH), pasar hewan, Unit Inseminasi Buatan (IB) beserta petugas dan fasilitas IB, hasil samping industri pertanian sebagai bahan baku pakan konsentrat serta kelembagaan peternak (kelompok tani) merupakan potensi bagi pembentukan sentra peternakan sapi terpadu di Kabupaten Langkat. -

Sumberdaya Manusia Peternak

Para peternak di Kabupaten Langkat dapat dikatakan sebagai peternak ulet dan tekun. Hal ini terlihat dari cara pemeliharaan ternaknya seperti dalam hal pengadaan rumput yang didapat dengan mengarit secara teratur setiap hari sehingga kecukupan pakan bagi ternaknya dapat dipenuhi. Dalam hal perkembangbiakan ternaknya, para peternak telah menerapkan teknologi inseminasi buatan (kawin suntik) dengan bantuan para inseminator, demikian juga dalam hal penanggulangan penyakit dengan bantuan para petugas kesehatan hewan, sedangkan untuk penyakit cacing sudah dapat dilakukan sendiri oleh peternak.

Menurut Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Langkat tahun 2008 bahwa terdapat seluas 173.778 Ha perkebunan sawit dan karet yang merupakan sumber pakan rumput yang tersedia secara alami sepanjang waktu, yang dapat menampung sekitar 347.556 Satuan Ternak dengan asumsi bahwa 1 Ha lahan rumput dapat menampung 2 ST.

Pada umumnya para peternak sebagian besar sudah bergabung dalam kelompok tani. Hal ini merupakan suatu persyaratan jika mereka ingin dibina oleh penyuluh lapangan dan untuk persyaratan mendapatkan bantuan dari Dinas Peternakan. Dengan berkelompok mereka akan lebih mudah memecahkan masalah yang timbul pada usaha peternakannya dan lebih mudah memasarkan ternaknya. Jumlah rumah tangga petani peternak (RTP Ternak) di kabupaten Langkat adalah sebesar 53.362 KK (hasil survey usaha peternakan BPK Kabupaten Langkat tahun 2006), dan yang bekerja sebagai tenaga kerja pada komoditi ternak sapi sebanyak 12.038 KK

Jadi total daya dukung ternak pada lahan tanaman pangan, perkebunan dan lahan rumput di Kabupaten Langkat adalah sebesar 1.506.350 ST, dimana 1 ST setara dengan 1 ekor sapi dewasa (umur > 2,5 tahun) dengan bobot 250 kg keatas. Kondisi lapangan menunjukkan bahwa sekitar 90 persen usaha budidaya ternak dikelola oleh peternakan rakyat (ternak ruminansia) dengan cara tradisional dan belum memperhatikan skala usaha yang efisien. Oleh karena itu pengembangan usaha peternakan kearah yang lebih efisien dan menguntungkan merupakan upaya yang perlu terus ditingkatkan dalam rangka pemberdayaan ekonomi rakyat dengan melibatkan masyarakat peternak dan lembaga yang mempunyai potensi dalam pengembangan usaha agribisnis peternakan.

Untuk usaha intensif, 1 orang tenaga kerja dapat mengelola 29 ekor (ST) sapi potong, sedangkan untuk usaha extensif 1 orang dapat megelola 67 ekor (ST) (Ditjen Peternakan, 1985). Sehingga dari 53.362 RTP di Kabupaten Langkat dapat mengelola sapi potong pada usaha intensif sebanyak 1.547.498 ST (sesuai dengan potensi daya dukung sumberdaya alam) dan pada usaha extensif sebanyak 3.575.254 ST.

Porsi terbesar pakan yaitu hijauan yang dapat berasal dari rumput, legume, dan limbah tanaman pangan seperti jerami dan lainnya. Sumber hijauan utama dapat berasal dari lahan perkebunan dan juga dari lahan pertanian milik peternak. Konsep integrasi ternak dengan perkebunan menjadi hal yang penting untuk diterapkan disini dengan input teknologi berupa pastura yang baik dan tahan terhadap naungan.

-

Kondisi Geografis dan Agroklimat

Kondisi geografis Kabupaten Langkat sangat memungkinkan sebagai kawasan sentra produksi

183


INOVASI : Vol. 7. No. 3,

September 2010

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

ternak sapi karena pada umumnya pedesaan terdapat disekitar perkebunan. Hal ini diyakini karena pada umumnya kondisi lahan pedesaan sekitar perkebunan kurang potensial untuk komoditi tanaman pangan, sehingga secara psikologis masyarakat akan lebih cenderung kepada usaha peternakan.

lokal menuju agro industri peternakan, merupakan penjabaran dari visi dan misi pemerintahan di Kabupaten Langkat dibawah kepemimpinan Bupati Langkat Ngogesa Sitepu. Sesuai dengan peraturan daerah Kabupaten Langkat No. 23 Tahun 2007, tentang Pembentukan Organisasi, Perangkat Daerah yang dijabarkan melalui Peraturan Bupati Langkat Nomor 46 Tahun 2008 tentang Rincian Tugas dan Fungsi Dinas Peternakan Kabupaten Langkat yang salah satu tugas pokok dan fungsinya adalah : 1. Melaksanakan pembinaan di bidang peternakan yang menjadi kewenangan Kabupaten yang telah ditetapkan oleh Bupati Langkat. 2. Melaksanakan pengkajian dan penerapan teknologi peternakan yang meliputi teknologi peternakan di tingkat usaha tani/agribisnis.

Hal ini didukung pula oleh kondisi agroklimat Kabupaten Langkat yang termasuk daerah tropis basah dengan rata-rata curah hujan sebesar 3.268 mm dengan suhu rata-rata 28 C (Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Langkat, 2008). Kondisi iklim seperti ini menentukan ketersediaan vegetasi sepanjang tahun yang merupakan potensi sebagai sumber pakan. -

Rumah Potong Hewan (RPH) dan Pasar Hewan

Faktor pendukung tambahan untuk pembentukan sentra peternakan sapi terpadu di Kabupaten Langkat antara lain 1) adanya program Inseminasi Buatan (IB), 2) pembinaan, bantuan ternak dan alat peternakan, 3) pembinaan agroindustri skala kecil dan 4) adanya pendapatan asli daerah (PAD) dari program peternakan di Kabupaten Langkat

Rumah potong hewan yang terdapat di Stabat merupakan sarana penting untuk menyediakan produk yang memenuhi syarat kesehatan, kualitas, dan pemotongannya halal sesuai syariat agama Islam. Selanjutnya, adanya aktivitas pasar (di Kecamatan Binjai) baik untuk produk maupun sarana produksi peternakan akan meningkatkan aktivitas ekonomi, aksessibilitas peternak, dan berkembangnya sistem informasi pasar dan dapat menjadi sumber pendapatan asli daerah (PAD) Kabupaten Langkat. -

-

Program Inseminasi Buatan (IB)

Sejalan dengan hal tersebut di atas berbagai upaya penerapan dan pengkajian teknologi untuk meningkatkan produktifitas baik kuantitas (populasi) maupun kualitas adalah melalui teknologi inseminasi buatan (IB), transfer embrio (TE) dan pemamfaatan ras unggul baik pada sapi, kambing, domba dan unggas, serta penanganan kesehatan hewan dan meningkatkan usaha tani agribisnis skala kecil dan menengah.

Bahan Baku Pakan Konsentrat

Komponen pakan kedua selain hijauan yaitu konsentrat (makanan penguat) yang dapat berasal dari industri pengolahan kelapa sawit seperti bungkil inti sawit dan lainnya atau dari industri pengolahan hasil pertanian lainnya seperti dedak padi, ampas tahu dan lainnya. Input teknologi yang diperlukan antara lain teknologi formulasi ransum, mineral, dan feed additive.

Sejak tahun 2002 sampai dengan sekarang inseminasi buatan merupakan program ungulan Sumatera Utara dalam rangka peningkatan populasi ternak Selama ini kegitan inseminasi buatan merupakan subsidi murni pemerintahan dan tidak ada pemasukan untuk daerah. Pengadaan program IB ini merupakan kebutuhan bagi para peternak sapi dan kerbau, sehingga untuk mewujudkan partisipasi masyarakat terhadap pelayanan ini maka sudah saatnya diatur tarif retribusi jasa pelayanan inseminasi buatan melalui peraturan daerah yang direncanakan sebesar Rp 3.000 (tiga ribu rupih) per dosis (setiap pelayanan). Jika jumlah dosis realisasi pelayanan sebesar 15.000 dosis maka akan diperoleh pemasukan per tahun sebesar Rp.45.000.000 (empat puluh lima juta rupiah).

Pendukung Tambahan untuk Pembentukan Sentra Peternakan Sapi Terpadu di Kabupaten Langkat Masalah kerawanan pangan dan pemberdayaan ekonomi rakyat merupakan isu strategis yang terus mengemuka sebagai dampak krisis ekonomi yang terjadi sejak pertengahan tahun 1997 dan terus berlanjut sampai saat ini. Isu tersebut secara langsung berkaitan dengan pembangunan subsektor peternakan, Karena subsektor peternakan merupakan subsektor yang secara langsung bertanggung jawab terhadap ketersediaan bahan pangan asal ternak.

Sistem pelaksanaan IB di lapangan terkendala permasalahan semen beku akibat permintaan yang over target sementara pengadaan straw masih terbatas baik di Provinsi maupun di Kabupaten,

Pembangunan pertanian termasuk didalamnya peternakan yang mengandalkan basis sumber daya

184


INOVASI : Vol. 7. No. 3,

September 2010

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

masih perlu pembinaan lebih lanjut sehingga peternak harus didatangi petugas terutama pada daerah unit layanan IB yang baru. -

Pembinaan, Bantuan Ternak dan Alat Peternakan :

Selama tahun 2009 Dinas Peternakan Kabupaten Langkat telah melakukan pembinaan dan memberikan bantuan ternak dan alat peternakan kepada peternak sapi khususnya yaitu berupa : 1. Tersedianya data informasi pasar dan pemotongan ternak setiap bulannya. 2. Kegiatan Pengembangan Sapi Peranakan Ongole dari dana Provinsi Sumatera Utara TA.2005 sebanyak 40 ekor pada kelompok tani Mawar Desa Tamaran Kec. Hinai. 3. Institusi kelompok tani dan kegiatan bantuan penguatan modal langsung masyarakat dan LM3 untuk empat pesantren di Kabupaten Langkat. 4. Terbentuknya kelompok Askeptor IB sebanyak 60 kelompok. 5. Pengembangan kelompok BPLM agribisnis sapi potong sebanyak 12 kelompok tani. Terjadi sinergi kegiatan IB dengan kegiatan BPLM Agribisnis Sapi Potong sehingga di harapakan Kabupaten Langkat dapat menjadi sentra produksi Sapi Potong Sumatera Utara. 6. Bantuan mesin choper tahun 2007 dan 2008 untuk sembilan kelompok tani. -

sehingga dapat memenuhi kebutuhan sebagai subtitusi pupuk organik baik untuk lokal maupun regional Pengolahan biogas asal feses ternak Kegiatan ini dilakukan di enam kelompok tani di kecamatan Stabat, Binjai, Hinai, dan Sei Bingei sehingga sudah terdapat lima instalasi biogas. Dalam hal ini pengolahan kotoran ternak ruminansia besar (sapi/kerbau) sebagai alternatif pengganti bahan bakar minyak untuk keperluan rumah tangga peternak.

Adanya PAD dari Program Peternakan Manfaat dari terselenggaranya program Dinas Peternakan Kabupaten Langkat dalam pengembangan komoditi peternakan adalah adanya pemasukan pendapatan asli daerah (PAD). Ada tiga dari empat Perda Kabupaten Langkat yang dikelola Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Langkat yang merupakan payung hukum pengutipan PAD dari sub sektor peternakan. Secara rata-rata per tahun maka jumlah PAD asal sub sektor peternakan adalah sebesar 79,75% dari PAD dikelola Dinas Pertanian dan Peternakan kabupaten Langkat. PAD yang bersumber dari sub sektor peternakan akan lebih meningkatkan kontribusi dengan adanya upaya ekstensifikasi dan intensifikasi pungutan. Revisi Perda maupun pembuatan Perda baru sangat memungkinkan dilakukan dengan alasan/ pertimbangan sebagai berikut : a. Tarif pemeriksaan per ekor ternak sapi yang akan dipotong menurut Perda 16 tahun 1998 adalah Rp. 5000,- (lima ribu rupiah) sedangkan kota Binjai sudah lama menetapkan sebesar Rp. 25.000 (dua puluh lima ribu) b. Sekaitan dengan kasus flu burung maupun penyakit hewan menular lainnya maka permintaan surat keterangan kesehatan hewan untuk dibawa antar kabupaten cukup meningkat dari para pedagang hewan antar kabupaten dan Provinsi. c. Peningkatan pengawasan lapangan terhadap usaha-usaha peternakan komersial (perinzinan dan pembinaan teknis) perlu dilakukan secara intensif dan persuasip sehingga kesadaran para pelaku usaha peternakan dalam mendukung perkembangan usaha daerah lebih baik dan nyata.

Pembinaan Agroindustri Skala Kecil

Kegiatan ini dimasudkan sebagai upaya diversifikasi pendapatan petani peternak pedesaan melalui kelompok tani. Kegiatan yang sudah dilakukan meliputi : - Pengolahan pupuk kompos dan bokasi. Kelompok tani mengolah limbah ternak (fase dan urine) menjadi pupuk dengan bimbingan petugas teknis dinas Peternakan Kabupaten Langkat, dan sampai saat ini sudah ada tujuh kelompok tani ternak yang mengolah limbah ternak menjadi komoditi kompos yaitu kelurahan Perdamaian, Mangga, Karang Rejo kecamatan Stabat, desa Suka Jadi kecamatan Hinai, desa Sidomulyo kecamatan Binjai, desa Kepala Sungai kec. Secanggang dan desa Stabat Lama kec. Wampu. Untuk pemasaran kompos diatur oleh unit Usaha Pemasaran Hasil Peternakan (UPSHP) �Bersatu Kita Maju� kelurahan Perdamaian kecamatan Stabat. Pada saat ini kelompok ternak telah memanfaatkan kotoran ternak untuk dijadikan kompos. Potensi kotoran ternak yang tersedia dari populasi sapi potong yang ada adalah sebagai berikut ; Dengan produksi feses segar 17 kg/ekor/hari Kabupaten Langkat dapat memproduksi 526.397 ton kompos/tahun

Inventarisasi Faktor- Faktor Strategis Eksternal dan Internal Faktor-faktor strategis lingkungan yang berpengaruh terhadap pembentukan sentra peternakan sapi terpadu di Kabupaten Langkat terdiri dari faktor-faktor strategis lingkungan eksternal dan internal. Faktor-faktor strategis lingkungan eksternal adalah faktor-faktor strategis

185


INOVASI : Vol. 7. No. 3,

September 2010

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

asosiasi dan swasta, (5) Konsep integrasi ternak pertanian sudah muncul, (6) Keberadaan lembaga kelompok peternak, (7) Dukungan kebijakan pemerintah pusat-daerah dan (8) Lokasi strategis untuk pasar ekspor. Di lain pihak faktor-faktor strategis yang merupakan kelemahan pengembangan ternak sapi di Kabupaten Langkat adalah : (1) Belum semua teknologi reproduksi teradopsi, (2) Produktivitas dan kualitas rumput alam rendah, (3) Tingkat pengetahuan peternak masih terbatas, (4) Adanya anggapan ternak sebagai hama perkebunan, (5) Penggunaan limbah industri perkebunan/tanaman pangan belum optimal, (6) Kurangnya minat investor, (7) Belum terpenuhinya produk yang memenuhi syarat untuk pasar ekspor dan (8) Lembaga penyedia sapronak belum ada.

yang berasal dari lingkungan eksternal pemerintah daerah sebagai pengambil kebijakan yang berpengaruh positif maupun negatif secara signifikan terhadap pembentukan sentra peternakan sapi terpadu dan sifatnya tidak dapat dikendalikan oleh organisasi pemerintah daerah dan organisasi pelaku agribisnis ternak sapi. Sedangkan faktorfaktor strategis lingkungan internal adalah faktorfaktor strategis dilingkungan internal pemerintah daerah sebagai pengambil kebijakan (Dinas Perternakan Kabupaten Langkat) yang mempengaruhi pembentukan sentra peternakan sapi terpadu dan sifatnya dapat dikendalikan oleh organisasi pemerintah daerah dan pelaku agribisnis ternak sapi di Kabupaten Langkat. -

Inventarisasi dan Pembobotan FaktorFaktor Strategis Lingkungan Eksternal

Formulasi Strategi

Faktor-faktor strategis lingkungan eksternal yang berpengaruh terhadap pembentukan sentra peternakan sapi terpadu di Kabupaten Langkat terdiri dari Peluang (Opportunities) dan Ancaman (Threats). Faktor-faktor strategis yang menjadi peluang (opportunity) adalah : (1) Tersedianya lahan perkebunan yang luas, (2) Keberadaan dan dukungan dari Perguruan Tinggi yang menguasai teknologi reproduksi dan pemuliaan, Pusat Penelitian, Asosiasi dan Swasta, (3) Simbiosa mutualisme antara ternak dan perkebunan, (4) Tersedianya limbah industri perkebunan/tanaman pangan, (5) Keuntungan yang tinggi dari pemeliharaan ternak sapi, (6) Bisnis industri pengolahan hasil ternak sapi menguntungkan, (7) Pertumbuhan ekonomi yang cukup baik dan (8) Pembinaan koperasi peternak sapi. Sementara faktor-faktor yang menjadi ancaman (threat) meliputi : (1) Tingkat pemotongan ternak sapi semakin meningkat, karena tingkat pendapatan masyarakat yang semakin meningkat pula (2) Adanya penyakit/gangguan reproduksi, (3) Kualitas genetik ternak menurun, (4) Buruknya manajemen pemeliharaan, (5) Perbedaan kebijakan antara peternakan dan perkebunan, (6) Adanya persaingan usaha, (7) Impor ternak sapi, (8) Anggaran pembangunan infrastruktur penunjang masih kurang dan (9) Perdagangan bebas (free trade) dunia. -

Rumusan formulasi strategi pembentukan sentra peternakan sapi terpadu di Kabupaten Langkat dilakukan dengan menggunakan matriks SWOT (Strength, Weaknesses, Opportunities, Threats), yakni dengan cara memadukan antara faktor strategis eksternal berupa peluang dan ancaman dengan faktor strategis internal berupa kekuatan dan kelemahan. -

Prioritas Strategi

Seluruh formulasi strategi yang dihasilkan dari analisis menggunakan matriks SWOT pada prinsipnya sangat penting untuk mendukung pengembangan agribisnis ternak sapi di Kabupaten Langkat. Dari 10 (sepuluh) strategi yang dihasilkan tersebut saling berkaitan antara strategi yang satu dengan strategi lainnya. Namun demikian karena keterbatasan sumberdaya untuk dapat melakukan seluruh strategi tersebut dalam kurun waktu yang bersamaan maka diperlukan urutan prioritas dalam pelaksanaannya. Hasil perhitungan dengan menggunakan QSPM (Quantitative Strategic akan diperoleh nilai total Planning Matriks) attractiveness score dari masing-masing strategi. Urutan Prioritas dari Formulasi Strategi adalah berdasarkan nilai total attractiveness score yang tertinggi sampai nilai terendah. Dari hasil analisis QSPM telah ditentukan sebanyak 6 (enam) prioritas strategi jangka pendek dan menengah yang akan direkomendasikan untuk dapat di implementasikan dalam rangka pembentukan sentra peternakan sapi terpadu di Kabupaten Langkat sebagai berikut : (1) Strategi perbaikan mutu genetis ternak (2) Strategi pembentukan kesamaan persepsi antara peternakan dan perkebunan (3) Strategi pembentukan koperasi peternak sapi (4) Strategi perbaikan pakan.

Inventarisasi dan Pembobotan Faktorfaktor Strategis Lingkungan Internal

Faktor-faktor strategis lingkungan internal yang berpengaruh terhadap pembentukan sentra peternakan sapi terpadu di Kabupaten Langkat terdiri dari kekuatan (Strength) dan kelemahan (Weaknesses). Faktor-faktor strategis yang menjadi kekuatan adalah : (1) Ketersediaan bangsa sapi unggul, (2) Sudah terlaksananya program IB, (3) Terdapat budaya beternak sapi, (4) Adanya lembaga perguruan tinggi/lembaga penelitian,

186


INOVASI : Vol. 7. No. 3,

September 2010

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

kesamaan persepsi antara peternakan dan perkebunan untuk dapat memelihara ternak sapi diareal perkebunan dengan alternatif kegiatan : a. Membuat Nota Kesepakatan atau MOU antara Pemerintah Daerah dengan pihak perkebunan (PTPN, perkebunan swasta nasional dan swasta asing). b. Menyusun konsep pengembangan agribisnis ternak sapi diareal perkebunan dengan pola kemitraan (PIR) dengan melibatkan Perguruan Tinggi, Pusat Penelitian dan Assosiasi. c. Membuat kajian tentang pola integrasi agribisnis ternak sapi dengan tanaman perkebunan. d. Optimalisasi penggunaan lahan (terutama perkebunan) dengan melakukan integrasi didalamnya, sehingga tidak merubah aspek tataguna lahan yang sudah ada.

(5) Strategi fasilitasi penyediaan modal bagi peternak/ kelembagaan peternak melalui kredit program pemerintah (6) Strategi pembangunan Nucleus Breeding Farm Sementara 4 (empat) prioritas strategi jangka panjang yang direkomendasikan untuk dapat diimplementasikan dalam rangka mendukung pengembangan agribisnis ternak sapi di Kabupaten Langkat adalah : (1) Strategi pengembangan infrastruktur, sarana dan prasana. (2) Strategi fasilitasi pola kemitraan dengan pihak swasta. (3) Strategi optimalisasi sarana penunjang. (4) Strategi pemenuhan kualitas/standar produk. -

1.

Strategi Pembentukan Sentra Peternakan Sapi Terpadu Jangka Pendek dan Jangka Menengah di Kabupaten Langkat

3.

Langkah strategis yang dapat ditempuh dalam rangka pembentukan koperasi peternak sapi adalah sebagai berikut : a. Fasilitasi pertumbuhan dan pemberdayaan kelompok tani, gabungan kelompok tani (Gapoktan) dan assosiasi di sentra-sentra produksi ternak sapi. b. Fasilitasi pertumbuhan dan pemberdayaan kelembagaan usaha tani melalui pembentukan koperasi dengan instansi/institusi yang berkompeten. c. Meningkatkan akses peternak dalam sistem kerjasama kemitraan dibidang produksi, pengolahan dan pemasaran. d. Mengembangkan pusat informasi pasar (PINSAR) komoditas yang akan memberikan informasi mengenai harga ternak, permintaanpenawaran dan lokasi, dengan menyebarkannya melalui media masa seperti leaflet, booklet dan internet.

Perbaikan mutu genetis ternak

Strategi perbaikan mutu genetis ternak dalam pengembangan agribisnis ternak sapi dapat diimplementasikan dalam bentuk program/kegiatan antara lain : a. Pengembangan Balai Inseminasi Buatan Daerah (BIBD) untuk memproduksi semen beku ternak sapi unggul. b. Perbaikan teknologi reproduksi ternak sapi dengan melaksanakan pelatihan-pelatihan untuk meningkatkan kemampuan petugas tenaga teknis dibidang reproduksi. Materi yang diberikan antara lain siklus reproduksi, kemajiran, Inseminasi Buatan, sinkronisasi estrus, penyakit reproduksi dll yang pelaksanaannya dapat melibatkan Perguruan Tinggi, Lembaga Penelitian dan Assosiasi. c. Pelatihan Manajemen program pemuliaan ternak untuk meningkatkan kapabilitas penyuluh sebagai pengelola manajemen pemuliaan ternak, sehingga akan diperoleh informasi individu sapi yang diikutsertakan dalam program pemuliaan, seleksi, culling, crossing dan evaluasi turunannya. d. Mensosialisasikan peleksanaan IB ternak sapi kepada masyarakat antara lain pembuatan demplot. e. Penumbuhan dan penguatan Kelompok Peternak Peserta IB (KPP-IB) pada ternak sapi. f. Kegiatan monitoring dan evaluasi pemuliaan untuk mengumpulkan data penampilan ternak sapi. 2.

Strategi penyamaan persepsi peternakan dengan perkebunan

Strategi pembentukan koperasi peternak sapi

4.

Strategi perbaikan pakan

Langkah strategis yang dapat ditempuh dalam rangka strategi perbaikan pakan antara lain : a. Fasilitasi introduksi rumput unggul terutama jenis rumput yang tahan terhadap naungan tanaman perkebunan. b. Fasilitasi perbaikan pakan ternak sapi dengan menggunakan konsentrat berbasis hasil samping industri perkebunan dan pertanian. c. Pembutan pabrik pakan konsentrat/ransum komplit skala menengah yang dimiliki gabungan kelompok dan dikembangkan menjadi koperasi peternak sapi Kab. Langkat. Konsentrat dan ransum yang disusun merupakan basis industri perkebunan dan tanaman pangan dengan menggunakan limbahnya yang tersedia.

antara

Untuk mendukung pengembangan agribisnis ternak sapi maka salah satu kebijakan yang perlu ditempuh adalah melaksanakan strategi pembentukan

187


INOVASI : Vol. 7. No. 3,

d.

September 2010

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

Pelatihan manajemen penggemukan ternak sapi yang bertujuan meningkatkan kemampuan peternak untuk meningkatkan usahanya kearah penggemukan ternak sapi yang meliputi manajemen pemeliharaan dan perbaikan pakan melalui introduksi hijauan unggul dan pemberian konsentrat berbasis sumberdaya lokal.

e.

5.

Strategi fasilitasi penyediaan modal bagi peternak/ kelembagaan peternak melalui kredit program pemerintah

Strategi Pembentukan Sentra Peternakan Sapi Terpadu Jangka Panjang di Kabupaten Langkat

Sebagai gambaran implementasi strategi pembentukan sentra peternakan sapi terpadu jangka panjang di Kabupaten Langkat, berikut ini akan dikemukakan kebijakan dan Program/Kegiatan yang dapat dilaksanakan dalam rangka pencapaian sasaran strategi utama /prioritas sebagai berikut :

Langkah strategi fasilitasi penyediaan modal bagi peternak/ kelembagaan peternak melalui kredit program pemerintah dapat dilaksanakan melalui beberapa program pemerintah yang dapat langsung dimanfaatkan peternak antara lain : a. Fasilitasi dan penyediaan dana untuk mengurus agunan/jaminan kredit peternak. b. Fasilitasi pemberian kredit kepada peternak/ kelembagaan peternak antara lain Kredit Usaha Rakyat (KUR), Kredit Ketahanan Pangan Energi (KKP-E) dll. c. Fasilitasi Pengembangan Usaha Agribisis Pedesaan (PUAP). d. Pengembangan agribisnis ternak sapi melalui Lembaga Mandiri, Mengakar pada Masyarakat (LM-3) ke Pesantren, Paroki dan lembaga keagamaan lainnya. e. Pengembangan agribisnis ternak sapi melalui Sarjana Membangun Desa (SMD). f. Fasilitasi pemberian bantuan Penguatan Modal Usaha Kelompok (PMUK) melalui dana bantuan sosial yang merupakan salah satu cara untuk memfasilitasi kelompok dalam bidang peternakan agar mandiri dalam usaha taninya. 6.

dengan membuat percontohan biogas mini. Kegiatan ini mempunyai nilai manfaat yang tinggi yaitu mengurangi penggunaan minyak tanah untuk skala rumah tangga sehingga akan menghemat beban subsidi negara. Penjaringan ternak sapi betina produktif di Rumah Potong Hewan.

1.

Strategi pengembangan infrastruktur, sarana dan prasarana

Langkah strategis yang dapat ditempuh dalam pengembangan infrastruktur, sarana dan prasarana agribisnis ternak sapi antara lain berupa : a. Fasilitasi pembangunan Pasar Hewan yang lebih besar. b. Fasilitasi pembangunan Rumah Potong Hewan yang lebih besar. c. Pembangunan sarana jalan, jembatan, pelabuhan, alat transportasi, komunikasi dan sumber energi (tenaga listrik) untuk mendukung pembentukan sentra peternakan sapi terpadu. 2.

Strategi fasilitasi pola kemitraan dengan pihak swasta

Langkah strategi fasilitasi pola kemitraan dengan pihak swasta terutama di subsitem hilir adalah ekspose industri peternakan kepada pihak swasta untuk melakukan investasi pada beberapa bidang berbahan baku asal ternak sapi yang dapat dikembangkan adalah : a. Industri pengolahan daging. b. Industri pengolahan kulit c. Industri pengolahan tepung tulang, Meat Bone Meal (MBM) dan tepung darah d. Industri pengolahan lanjutan pengggunaan industri pengolahan hasil asal ternak sapi ( industri kerajinan, fashion dll).

Strategi pembangunan Nucleus Breeding Farm

Langkah strategis pembangunan Nucleus Breeding Farm dapat diimplementasikan melalui kegiatankegiatan antara lain : a. Penyusunan database populasi dasar ternak sapi untuk dikembangkan menjadi peternakan inti pembibitan (Nucleus Breeding Farm). b. Perbaikan manajemen pemeliharaan ternak yang meliputi perbibitan, perkandangan, pemberian pakan tambahan (vitamin dan mineral), pengelolaan reproduksi, pencegahan dan pemberantasan penyakit dll. c. Pembuatan kompos dengan tujuan untuk meningkatkan pendapatan peternak dari produk samping yang dihasilkan dari agribisnis ternak sapi, sekaligus penjajakan pemasaran kompos. d. Pembuatan biogas yang bertujuan untuk memanfaatkan hasil samping agribisnis ternak sapi (kotoran) menjadi sumber energi baru yang ramah lingkungan. Kegiatan ini dilaksanakan

Untuk memberhasilkan peran swasta perlu diberikan kemudahan investasi kepada investor oleh Pemerintah Daerah seperti penyediaan infrastruktur, keringanan pajak, perbankan dan kepastian hukum. 3.

Strategi optimalisasi sarana penunjang

Langkah strategi optimalisasi sarana penunjang yang dapat diimplementasikan dalam

188


INOVASI : Vol. 7. No. 3,

September 2010

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

memberhasilkan pembentukan sentra peternakan sapi terpadu adalah : a. Fasilitasi ketersediaan sarana produksi (bibit, pakan, obat-obatan, vaksin dan peralatan peternakan) dalam jumlah cukup dengan tingkat mutu dan harga terjangkau. b. Mengupayakan ketersediaan semen beku ternak sapi dengan pemberian subsidi. 4.

Strategi perbaikan mutu genetis ternak sapi, (2) Strategi pembentukan kesamaan persepsi antara Dinas Peternakan dan Perkebunan, (3) Strategi pembentukan koperasi peternakan, (4) Strategi perbaikan pakan, (5) Strategi faasilitasi penyediaan modal bagi peternak/kelembagaan peternak melalui kredit program pemerintah dan (6) Strategi pembangunan Nucleus Breeding Farm. Sedangkan untuk strategi jangka panjang dalam rangka pembentukan sentra peternakan sapi terpadu di Kabupaten Langkat ada empat prioritas yaitu : (1) Strategi pengembangan infrastruktur, sarana dan prasarana (2) Startegi fasilitasi pola kemitraan dengan pihak swasta, (3) Strategi optimalisasi sarana penunjang dan (4) strategi pemenuhan kualitas/standar produk.

Strategi pemenuhan kualitas/standar produk

Pemenuhan kualitas/standar produk harus dilaksanakan kelompok ternak/gabungan kelompok ternak agar ternak yang dihasilkan sesuai dengan standar kualitas anatra lain dari segi kesehatan sesuai dengan ketentuan badan kesehatan hewan sedunia (OIE : Organisation Internasional Epizootica) dan standar berat badan yang diinginkan oleh pasar Internasional. Pengembangan dan desiminasi pelaksanaan IB dan pemuliaan di tingkat peternak sangat perlu dimonitor untuk meningkatkan mutu genetis dari ternak sapi.

Saran 1.

KESIMPULAN DAN SARAN 2.

Kesimpulan Dari hasil dan pembahasan maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut : 1. Berdasarkan daya dukung sumberdaya alam (pertanian dan perkebunan) maka pembentukan sentra peternakan sapi terpadu di Kabupaten Langkat adalah layak, karena komoditi tanaman pangan, tanaman perkebunan dan lahan rumput di areal perkebunan dapat menampung ternak sebanyak 1.506.350 Satuan Ternak (ST), dimana 1 ST setara dengan 1 ekor sapi dewasa (umur > 2,5 tahun) dengan bobot 250 kg keatas. 2. Pembentukan sentra peternakan sapi terpadu di Kabupaten Langkat layak karena adanya faktor pendukung utama seperti : Dinas Peternakan beserta staf dan karyawannya, rumah potong hewan (RPH) dan pasar hewan, unit kegiatan IB dengan segala fasilitasnya, bahan baku pakan konsentrat dari hasil samping industri pertanian, letak geografis dan kondisi agroklimat, peternak dan kelompok peternak yang cukup banyak. Juga adanya faktor pendukung tambahan yaitu : program inseminasi buatan (IB) yang menguntungkan peternak, pembinaan dan bantuan ternak dan alat peternakan kepada peternak, pembinaan agroindustri skala kecil dalam pengolahan limbah peternakan dan adanya PAD yang berasal dari komoditi peternakan 3. Dari hasil analisis SWOT dan QSPM ada enam strategi jangka pendek dan menengah untuk pembentukan sentra peternakan sapi terpadu di Kabupaten Langkat yaitu sebagai berikut : (1)

3.

Untuk mengimplementasi strategi prioritas yang telah ditentukan, sebaiknya didahului dengan sistem perencanaan dan koordinasi yang terpadu dan komprehensif antara pemerintah pusat, pemerintah Provinsi dan kabupaten Mengingat pentingnya peranan pembentukan sentra peternakan sapi terpadu bagi kesejahteraan masyarakat, maka perlu dilakukan program integrasi ternak sapi dengan perkebunan (sawit, karet, tebu dan kakao) dan tanaman pangan yang saling menguntungkan. Strategi yang bersifat teknis dalam pembentukan sentra peternakan sapi terpadu di Kabupaten Langkat adalah dengan mengembangkan kandang kelompok untuk memudahkan pengelolaan dan menanggulangi pencurian ternak serta pembinaan peternak yang berkelanjutan

DAFTAR PUSTAKA Abu Hasan, O dan M. Ishida, 1991. Effect of water, molases and urea addition on oil palm frond silase quality, Fermentation, characteristics and palatability to Kedah Kelantan Bull.. Proc. 3rd Int. Symp. On The Nutrition of Herbivores, Wan. Badan Pusat Staistik, 2008. Kabupaten Langkat Dalam Angka Tahun 2008. Medan David, F.R. 2002. Managemen Strategis Konsep. Alexander Sindoro. Penterjemah Agus Widyantoro. Penyunting PT. Prenhallindo. Jakarta. Diwyanto, K, D.Sitompul, I. Manti, W. Mathius, 2003. Pengkajian Pengembangan Usaha Sistem Integrasi Kelapa Sawit – Sapi.

189


INOVASI : Vol. 7. No. 3,

September 2010

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

Kabupaten Simalungun. Disertasi, Sekolah Pascasarjana USU, Medan.

Prosiding Lokakarya Nasional. Bengkulu, 910 September 2003. Departemen Pertanian Bekerjasama dengan Pemerintah Provinsi Bengkulu dan PT. Agricinal. Peternakan Kabupaten Langkat, 2008. Laporan Expose Dinas Peternakan Kabupaten Langkat

Wanugroho, M dan Maryati, 1999. Kecernaan Daun Kelapa Sawit Sebagai Pakan Ternak Ruminansia. Laporan APBN 1998/1999. Balai Penelitian Ternak, Puslitbang Peternakan, Bogor.

Elisabeth, Y dan S.P. Ginting, 2003. Pemanfaatan Hasil Samping Industri Kelapa Sawit Sebagai Bahan Pakan Ternak Sapi Potong. Prosiding Lokakarya Nasional. Bengkulu, 910 September 2003. Departemen Pertanian Bekerjasama dengan Pemerintah Provinsi Bengkulu dan PT. Agricinal.

Yusdja, Y., H. Malian, B. Winarso, R. Sayuti, dan A. S. Bagyo. 2001. Analisis Kebijaksanaan Pengembangan Agribisnis Komoditas Unggulan Peternakan. Laporan Hasil Penelitian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor.

Dinas

Hadi, P.U., N. Ilham, A. Thahar, B. Winarso, D. Vincent, and D. Quirke. 2002. Improving Indonesia’s Beef Industry. Australian Center for International Agricultural Research (ACIAR) Monograph No. 35, vi + 128 p. Ilham, N., B. Wiryono, I.K. Kariyasa, M.N.A. Kirom, dan Sri Hastuti. 2001. Analisis Penawaran dan Permintaan Komoditas Peternakan Unggulan. . Laporan Hasil Penelitian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor Ishida, M dan A. Hasan, 1993. Effect of oil palm frond silase feeding on utilization of diet and meat production in Fattening Cattle in Tropics. Proc. 86th Annual Meeting of Japan. Zootech Sci. Soc, Iwate University. Jauch, RL. dan RW, Glueck. 1996. Manejemen Strategik dan Kebijakan Perusahaan. Alih Bahasa oleh Murad, Sitanggang, AR.H., dan Wibowo, H. Erlangga. Jakarta. Rahmanto (2004), Analisis Usaha Peternakan Sapi Potong Rakyat. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor Tawaf, R, Sulaeman dan Udiantono, 1993. Strategi Pengembangan Industri Peternakan Sapi Potong Berskala Kecil dan Menengah dalam M. A. Azis, 1993. Agroindustri Sapi Potong. Proyek Pengembangan Pada PJPT II Bangkit. Insan Mitra Satya Mandiri, Jakarta Umar, H, 2001. Strategik Management in Action. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Umar, S, 2009. Potensi Pemeliharaan Sapi di Perkebunan Kelapa Sawit PTPN IV Mendorong Pengembangan Wilayah

190


INOVASI : Vol. 7. No. 3,

September 2010

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

Evaluasi Kebijakan Mutu Pelayanan Puskesmas (Studi Kasus di Puskesmas Berohol, Kota Tebing Tinggi, Sumatera Utara) Fotarisman Zaluchu 1) 1)

Peneliti pada Balitbang Provinsi Sumatera Utara

Abstraksi Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui mekanisme manajemen pendidikan berbasis masyarakat di Sumatera Utara, mendapatkan gambaran tentang kendala-kendala yang dihadapi dalam manajemen pendidikan berbasis masyarakat di Sumatera Utara, merumuskan upaya-upaya dalam mengatasi kendalakendala yang dihadapi dalam manajemen pendidikan berbasis masyarakat di Sumatera Utara. Secara umum, Mekanisme Manajemen Pendidikan Berbasis Masyarakat merupakan trilogy peran serta masyarakat, yaitu dari Masyarakat, oleh Masyarakat dan untuk Masyarakat. Pendidikan dalam kebutuhan dasar masyarakat dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia yang dapat memberikan kontribusi yang sangat besar dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Pendidikan dari masyarakat diaktualisasikan dalam bentuk perencanaan pendidikan yang matang dan disalurkan dalam wadah dewan pendidikan dan komite sekolah dengan dukungan unsur sekolah sehingga adanya kesesuaian antara harapan dan kenyataan. Keberadaan Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah dipandang sangat strategis sebagai wahana untuk meningkatkan mutu pendidikan sekaligus sebagai wujud dari partisipasi publik sebagaimana yang ingin dicapai dalam Manajemen Pendidikan Berbasis Masyarakat. Kendala-Kendala yang Dihadapi Dalam Manajemen Pendidikan Berbasis Masyarakat di Sumatera Utara adalah : Hambatan Konseptualisasi, adanya reluktansi atau keengganan untuk mengimplementasikan Manajemen Pendidikan Berbasis Masyarakat (terjadi distorsi pada peran, fungsi, dan keanggotaan). Hambatan Implementasi, pada umumnya komite sekolah yang sudah terbentuk merasa gamang apa yang akan dikerjakan. Hambatan Aktualisasi, berkaitan dengan pendanaan, gagasan, rencana pengembangan, dan lain-lain.

Kata kunci : Manajemen pendidikan, partisipasi masyarakat. memiliki harapan mengenai pelayanan kesehatan yang ingin mereka terima, dan pada saat yang sama mampu memberikan penilaian apakah pelayanan kesehatan tersebut sudah bermutu atau tidak. Penilaian terhadap kesenjangan antara kedua hal ini adalah hal esensial pada konsumen pelayanan kesehatan (Soufi dkk, 2010).

PENDAHULUAN Puskesmas adalah ujung tombak pelayanan kesehatan dasar dalam mewujudkan komitmen peningkatan untuk pelayanan kesehatan dalam rangka meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. Puskesmas adalah unit pelaksana teknis Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota yang bertanggungjawab menyelenggarakan pembangunan kesehatan di suatu wilayah kerja tertentu. Puskesmas berfungsi sebagai (1) Pusat penggerak pembangunan berwawasan kesehatan, (2) Pusat pemberdayaan keluarga dan masyarakat, (3) Pusat pelayanan kesehatan strata pertama (Depkes RI, 2006). Puskesmas merupakan suatu organisasi pelayanan kesehatan mandiri yang bertanggungjawab pada wilayah kerjanya, menentukan pelayanan yang akan dilaksanakan, namun tidak termasuk dalam pembiayaan kegiatan. Seiring dengan perubahan dan reformasi sistem kesehatan, Puskesmas pun harus menerapkan mutu pelayanan yang baik dan berkualitas (Depkes RI, 2003).

Salah satu cara untuk mengetahui pandangan konsumen terhadap penerapan pelayanan bermutu adalah dengan menggunakan pendekatan Servqual (Parasuraman dkk, 1994). Teknik Servqual, mengukur kualitas layanan melalui pendekatan pada lima dimensi pelayanan yaitu: tangibility-nya (bukti fisik), yaitu segala sesuatu yang secara langsung dapat dilihat, dirasakan, dan berwujud nyata meliputi penampilan fasilitas fisik, peralatan/perlengkapan dan karyawan; reliability-nya (keandalan), yaitu kemampuan untuk memberikan layanan yang dijanjikan secara akurat, tepat waktu, memuaskan dan dapat dipercaya; responsiveness-nya (ketanggapan), yaitu kemampuan untuk membantu pelanggan dengan memberikan layanan yang baik dan cepat; assurance-nya (jaminan), yaitu mencakup kemampuan/pengetahuan, kesopanan dan sifat dapat dipercaya oleh pelanggan yang dimiliki oleh para

Dilihat dari sudut pandang konsumen, pemberian pelayanan yang bermutu adalah tuntutan. Konsumen pelayanan kesehatan sekarang ini

191


INOVASI : Vol. 7. No. 3,

September 2010

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

staf, sehingga dapat menyakinkan pelanggan mengenai kualitas layanan yang diberikan serta empathy-nya (perhatian), yaitu berusaha untuk mengetahui dan mengerti kebutuhan pelanggan secara individual dengan memberikan komunikasi yang baik, sikap peduli dan perhatian kepada pelanggan. Metode Servqual merupakan upaya evaluasi terhadap pemenuhan kebutuhan dan keinginan pelanggan serta ketepatan penyampaiannya untuk mengimbangi harapan pelanggan.

berkunjung ke Puskesmas dalam periode pengambilan data. Karena tidak memenuhi jumlah tersebut, maka peneliti menggunakan data kunjungan Puskesmas dua bulan terakhir sebelum penelitian dilakukan. Karena masih kurang juga, diteruskan dengan data tiga bulan sebelumnya, menggunakan teknik random sampling. Data dikumpulkan dengan menggunakan kuesioner yang sebelumnya telah disetujui dan ditandatangani oleh responden. Pengumpulan data dilakukan pada saat masyarakat datang ke Puskesmas untuk berobat atau peneliti sendiri yang datang langsung ke rumah masyarakat yang sering menggunakan jasa Puskesmas.

Puskesmas Berohol adalah unit pelaksana teknis Dinas Kesehatan Kota Tebing Tinggi yang bertanggung jawab menyelenggarakan pembangunan kesehatan di wilayah kerjanya, yaitu di Kelurahan Berohol, Kelurahan Bandar Sakti dan Kelurahan Bulian. Jumlah penduduk yang tercakup mencapai 3.839 KK. Penelitian ini diperlukan karena selama ini penelitian untuk mengukur kepuasan konsumen kesehatan belum pernah dilakukan. Selain itu, pendekatan dengan menggunakan sebuah Puskesmas akan lebih memadai untuk memberikan gambaran mengenai pelayanan kesehatan yang diterima konsumen. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pendapat masyarakat pengguna Puskesmas tentang pelayanan kesehatan Puskesmas Berohol Kota Tebing Tinggi berdasarkan aspek tangibility, realiability, responsiveness, assurance, dan empathy. Diharapkan dengan dilakukannya penelitian ini, kebijakan pelayanan bermutu di bidang kesehatan akan dapat diterapkan dengan lebih baik.

Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini dibuat dalam bentuk kuesioner. Kuesioner penelitian ini terdiri dari tiga bagian. Bagian pertama terdiri dari data demografi responden meliputi umur, jenis kelamin, agama, status, suku, pendidikan, pekerjaan, penghasilan dan kunjungan terakhir ke Puskesmas Bagian kedua adalah kuesioner pertanyaan harapan masyarakat terhadap kualitas pelayanan kesehatan di Puskesmas yang meliputi tangibility, realiability, responsiveness, assurance, dan empathy, yang masing-masing diberikan pilihan dengan menggunakan skala Likert yaitu tidak penting (0), kurang penting (1), netral (2), penting (3) dan sangat penting (4). Bagian ketiga adalah kuesioner pertanyaan kualitas pelayanan kesehatan di Puskesmas Berohol saat ini yang meliputi tangibility, realiability, responsiveness, assurance, dan empathy. Bagian ini juga menggunakan skala Likert yaitu tidak baik (0), kurang baik (1), netral (2), baik (3) dan sangat baik (4).

METODE PENELITIAN

HASIL

Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian deskriptif dan dilakukan dengan menggunakan pendekatan cross sectional. Populasi pada penelitian ini adalah seluruh kepala keluarga (KK) yang berada diwilayah kerja Puskesmas Berohol yaitu sebanyak 3.839.KK yang berada di 3 kelurahan yaitu: Kelurahan Bulian sebanyak 1.182 KK, Kelurahan Bandar Sakti sebanyak 1.289 KK dan Kelurahan Berohol sebanyak 1.368 KK. Dengan menggunakan rumus besar sampel : n = z2p(1-p) N/ N.d2, dimana n = besar sampel, Z = tingkat kemaknaan pada α = 0.05 dengan nilai z = 1,95, p = estimator proporsi populasi yang tidak diketahui sebelumnya = 0,5, N = besarnya populasi, dan d = presisi sebesar 0,10. Dengan demikian, diperoleh besar sampel (n) sebesar 95 KK.

Berdasarkan hasil penelitian, responden dapat dilihat pada tabel 1.

karakteristik

Tabel 1. Distribusi frekuensi dan persentase karakteristik pengguna jasa Puskesmas Berohol Kota Tebing Tinggi tahun 2010 (n=95) No 1.

2.

3.

Dengan menggunakan daftar populasi secara stratified random sampling, maka jumlah responden bersadarkan kelurahannya adalah sebagai berikut: di Kelurahan Bulian 29 KK, di Kelurahan Berohol 34 KK, dan di Kelurahan Bandar Sakti 32 KK. Responden yang dipilih adalah mereka yang

4.

192

Karakteristik Responden Umur responden 21 – 28 tahun 29 – 36 tahun 37 - 44 tahun 45 – 52 tahun 53 – 60 tahun 61 + Jenis kelamin Laki – Laki Perempuan Agama Islam Kristen Hindu Budha Status Menikah Janda Duda

Frekuensi

Presentase

9 16 30 23 9 8

9 17 33 24 9 8

69 26

73 27

84 11 -

88 12 -

83 9 3

87 10 3


INOVASI : Vol. 7. No. 3,

No 5.

6.

7.

8.

9.

September 2010

Karakteristik Responden Suku Batak Jawa Aceh Minang Pendidikan SD SMP SMU P.Tinggi Pekerjaan PNS Wiraswasta Pegawai swasta Buruh Petani Penghasilan : < Rp. 500.000 Rp. 500.000 - 900.000 > Rp. 900.000 Kunjungan terakhir ke Puskesmas : Satu bulan lalu/saat ini Dua bulan lalu Tiga bulan lalu Satu tahun lalu

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

Frekuensi

Presentase

22 62 1 10

23 65 1 11

9 25 55 6

10 26 58 6

20 36 22 12 5

21 38 23 13 5

5 44 46

5 46 49

57 22 16 -

60 23 17 -

Pada tabel 1 memperlihatkan bahwa umur responden umumnya berada pada kelompok produktif, sebagian besar laki-laki, dengan latar belakang suku dan pendidikan yang bervariasi. Sebagian besar responden adalah kelompok dengan pekerjaan tetap, serta dengan penghasilan memadai. Lebih dari setengah responden ternyata pernah berobat selama sebulan terakhir. Dilihat dari harapan yang dibandingkan dengan penilaian terhadap kualitas layanan Puskesmas, hasilnya disajikan ke dalam tabel 2.

Tabel 2. Skor rata-rata harapan dan kualitas pelayanan kesehatan di Puskesmas Berohol Kota Tebing Tinggi tahun 2010 yang meliputi tangibility, realiability, responsiveness, assurance, dan empathy. Aspek Dimensi mutu Tangibility Alat-alat periksa kedokteran maupun alat lainnya tidak ketinggalan jaman dan terawat dengan baik. Suasana lingkungan bersih, menyenangkan dan ada petunjuk arah yang jelas. Penampilan Dokter/staf bersih dan rapi. Adanya brosur yang baik mengenai pelayanan Puskesmas. Kerahasiaan selama pemeriksaan / pengobatan. Reliability Kehadiran Dokter/Staf di Puskesmas tepat waktu. Pelayanan terhadap Pasien dimulai sesuai dengan nomor urut. Catatan pasien / kartu pasien tersimpan baik dan rapi. Dokter / Staf tidak pernah salah dalam melakukan tindakan pengobatan dan memberikan obat. Dokter / Staf tidak pernah salah dalam melakukan tindakan pengobatan dan memberikan obat. Responsiveness Pelayanan dokter /staf yang tepat / cocok. Dokter / Staf selalu ingin menolong. Sifat Dokter / Staf menimbulkan keyakinan sembuh pada pasien. Waktu tunggu untuk mendapat pelayanan pemeriksaan. Waktu tunggu untuk mendapat obat. Assurance Dokter /staff bersahabat dan ramah. Ketersediaan obat dan kualitasnya. Penghargaan dan penghormatan terhadap pasien. Penjelasan dokter / staf mengenai keadaan penyakit pasien sesungguhnya, hasil pemeriksaan dan proses pengobatannya. Keluasan pengetahuan Dokter / Staf . Empathy Pemberian pengobatan sesuai dengan keluhan yang dirasakan pasien. Perhatian Dokter / Staf terhadap pasien cukup baik. Keinginan masing-masing dimengerti Dokter / Staf. Kenyamanan diberikan Dokter / Staf kepada pasien Ingatan Dokter / Staf terhadap nama dan wajah pasien

193

Skor rata - rata Harapan Kualitas 3,08 2,90

Perbedaan skor 0,18

3,49 3,11 3,04 2,85 2,89 3,18 3,04 2,98 3,01

3,10 2,99 3,01 2,45 2,95 2,96 2,93 2,94 2,95

0,39 0,12 0,03 0,40 -0.06 0,22 0,11 0,04 0,06

3,21

3

0,21

3,67 3,10 3,33 3,09 3,07 3,02 3 3,14 2,97 3,63 3,01

3 2,94 2,99 2,93 2,85 2,97 2,97 2,91 2,85 2,85 2,84

0,67 0,16 0,34 0,16 0,22 0,05 0,03 0,23 0,12 0,78 0,17

3,03 3,06 2,97 3,15 3,08 2,97 3,01 2,62

3 3,05 2,87 3 2,98 2,85 2,94 2,57

0,03 0,01 0,10 0,15 0,1 0,12 0,07 0,05


INOVASI : Vol. 7. No. 3,

September 2010

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

Skor tersebut berasal dari konversi skala Likert ke dalam bobot penilaian. Harapan utama masyarakat secara berturut-turut adalah reliability, assurance, responsiveness, tangibility, dan emphaty. Sementara wujud nyata kualitasnya adalah berturut-turut reliability, responsiveness, assurance, tangibility, dan terakhir adalah emphaty. Perbedaan skor kesenjangan antara harapan dan kualitas adalah tangibility (0,18), reliability (0,22), responsiveness (0,16), assurance (0,23), dan empathy (0,10).

bidan praktek. Secara khusus Puskesmas, karena berada dekat dengan masyarakat, akses masyarakat dipastikan akan lebih tinggi karena mengingat kemudahan, biaya yang murah dan persepsi. Karena itulah maka peningkatan mutu pelayanan Puskesmas harus diberikan perhatian yang besar. Di masa depan, sebagaimana direkomendasikan oleh WHO (2008) melalui revitalisasi Primary Health Care, peran Puskesmas di Indonesia dapat dipastikan akan semakin lebih besar.

Gambaran rata-rata skor antara harapan dan kualitas pelayanan kesehatan menurut pandangan responden adalah evaluasi terhadap pelayanan yang diberikan oleh pelayanan kesehatan. Dimensi tangibility yang paling banyak mendapat perhatian responden adalah peralatan kesehatan dan informasi pelayanan yang diperoleh melalui brosur. Dimensi reliability yang paling dipandang oleh responden adalah ketidaksalahan dokter/ staf di dalam memberikan tindakan pengobatan. Dimensi pelayanan dokter/ staf yang tepat/ cocok dipandang penting dari aspek responsiveness pelayanan Puskesmas. Sementara itu, yang dipandang penting dan menjadi perhatian responden dalam dimensi assurance adalah ketersediaan obat dan kualitasnya. Dimensi emphaty yang menjadi perhatian adalah pemberian pengobatan yang sesuai dengan keluhan responden.

Pengukuran kesenjangan antara harapan konsumen dan kualitas yang dinilainya amat tepat menggunakan menggunakan teknik Servqual (Brown dkk, 2003). Model yang disampaikan oleh Parasuraman, Zeithami dan Berry tersebut telah diuji coba dan dibandingkan dengan berbagai model lain oleh Brady dan Cronin (2001). Hasilnya, pendekatan dengan menggunakan teknik Servqual ini akan dapat menolong penentu keputusan di dalam menentukan aspek tertentu yang ingin diperbaiki. Perbandingan antara apa yang diharapkan dengan apa yang dinilai diharapkan akan dapat memberikan bukan hanya bukti mengenai fakta yang ada, tetapi juga perubahannya antar waktu (Parasuraman dkk, 1994). Berdasarkan pendapat masyarakat bahwa dari kelima variabel yang diteliti, dimensi yang paling dominan memberikan pengaruh terhadap harapan masyarakat tentang kualitas pelayanan kesehatan di Puskesmas adalah faktor reliability atau keandalan (3,18) sedangkan dimensi yang memberikan pengaruh paling kecil terhadap harapan masyarakat adalah faktor empathy atau perhatian (2,97). Pentingnya reliability ini berhubungan dengan halhal mendasar yaitu kebutuhan seorang pasien, mulai dari ketepatan waktu kehadiran dokter/staf di Puskesmas, pelayanan yang sesuai dengan urutan, catatan pasien tersimpan dengan baik, biaya pengobatan yang sesuai dengan tarif dan ketidaksalahan dokter/staf di dalam melakukan tindakan pengobatan. Pandangan responden terhadap hal ini dipengaruhi juga oleh persepsi responden yang umumnya mencari pengobatan dari petugas kesehatan.

PEMBAHASAN Penerapan pengukuran mutu pelayanan dari sudut pandang konsumen adalah keniscayaan. Dimensi mutu pelayanan tidak dapat dilihat dalam satu dimensi, melainkan dengan menggunakan penilaian secara menyeluruh. Jika tangibility, mengukur kepuasan konsumen terhadap penampilan fasilitas fisik, peralatan, personil, dan materi komunikasi, reliability pelayanan kesehatan memberikan bukti bagaimana pemberi jasa pelayanan memberikan pelayanan sesuai yang dijanjikan secara akurat dan terpercaya. Sementara itu, responsiveness adalah suatu kemauan untuk membantu dan memberikan pelayanan yang cepat dan tepat kepada pelanggan, dengan penyampaian informasi yang jelas. Dimensi assurance berbicara mengenai jaminan dan kepastian yaitu pengetahuan, kesopan santunan, dan kemampuan para pegawai pemberi jasa untuk menumbuhkan rasa percaya pelanggan kepada pemberi jasa. Sementara elemen emphaty menilai bagaimana perhatian yang tulus dan bersifat individual atau pribadi telah diberikan kepada pelanggan oleh petugas kesehatan.

Kondisi-kondisi inilah yang seharusnya mendapatkan perhatian jika Puskesmas ingin melakukan perubahan. Keandalan suatu pelayanan jasa akan menjamin kepuasan dari pengguna jasa, berkaitan dengan kecepatan waktu pelayanan serta keakuratan dalam memberikan pelayanan yang akhirnya akan berdampak pada tercapainya kepuasan konsumen (Lupiyoadi, 2001). Tidak heran jika kualitas yang paling dinilai baik oleh responden adalah juga reliability. Ini berarti bahwa selain harapan tinggi, kualitas yang lebih baik juga dinilai oleh masyarakat pada dimensi reliability ini. Hanya sayangnya, bersama-sama dengan dimensi assurance dan

Interaksi masyarakat dengan layanan kesehatan cukup tinggi. Berdasarkan data Survei Kesehatan Dasar (Surkesdas) Provinsi Sumatera Utara (Depkes, 2008), terdapat 86,8 persen rumah tangga yang pernah memanfaatkan salah satu dari fasilitas kesehatan rumah sakit, puskesmas, atau dokter dan

194


INOVASI : Vol. 7. No. 3,

September 2010

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

tangibility, kesenjangan yang amat besar masih terlihat pada dimensi ini.

penampilan dokter/staf bersih dan rapi serta adanya brosur yang baik mengenai pelayanan Puskesmas.

Dimensi assurance adalah jaminan mengenai halhal yang berhubungan dengan pengobatan, sikap petugas dan penjelasan yang diberikan. Masyarakat memang umumnya melihat hal demikian. Data penelitian menunjukkan bahwa assurance (jaminan) pelayanan di Puskesmas Berohol saat ini sudah cenderung baik namun belum seluruhnya mampu memuaskan sesuai harapan masyarakat, hal ini disebabkan terkadang masih dijumpai dokter/staf yang kurang ramah, ketersediaan obat dan kualitasnya terkadang kurang memadai, penghargaan dan penghormatan yang kurang terhadap pasien dan penjelasan dokter/staf mengenai keadaan penyakit pasien yang kurang pada saat pelayanan.

Aspek yang dinilai rendah oleh konsumen seharusnya mendorong para penentu keputusan mengenai penyebab (akar) masalah yang sesungguhnya. Sebagaimana disampaikan oleh Babakus dan Mangold (1991), sikap petugas yang tidak di dalam memberikan pelayanan misalnya mungkin berhubungan dengan masalah mendasar, yaitu ketidakmampuan sebuah organisasi merekrut petugas kesehatan yang berkualitas, supervisi yang lemah, ketidakakuratan administratif, atau hal-hal lainnya. Penelitian mengenai kebijakan mutu yang telah diterapkan dengan menggunakan harapan dan kualitas yang disampaikan oleh konsumen pelayanan kesehatan adalah bagian dari upaya mendapatkan umpan balik (feedback) di dalam rangka menegakkan upaya meningkatkan akuntabilitas publik layanan yang diberikan oleh pemerintah (Bank Dunia, 2008). Di era dimana pelayanan kesehatan semakin dituntut untuk lebih baik, maka konsumenlah yang mengarahkan kualitas dari pelayanan kesehatan yang diberikan (Herzlinger, 2004).

Sikap petugas ini ditemukan sangat banyak pengaruhnya pada penelitian yang dilakukan oleh Chin dan Amir (2008) yang melakukan penelitian tentang kepuasan pasien terhadap layanan edukasi, juga dengan menggunakan pendekatan dimensi Servqual. Dimensi assurance juga berbicara mengenai informasi yang memadai mengenai jalur pengobatan (clinical care pathways) yang umumnya tidak menjadi perhatian petugas kesehatan, padahal konsumen sangat membutuhkan hal tersebut. Clinical care pathways adalah informasi yang memberikan rencana pengobatan dan hal-hal yang perlu diketahui oleh pasien. Terbukti bahwa dengan diketahuinya hal tersebut, kepuasan pasien semakin meningkat (Evans-Lacko dkk, 2010).

KESIMPULAN Berdasarkan penelitian di atas maka dapat disimpulkan bahwa masih ada harapan masyarakat yang tidak sesuai dengan kualitas pelayanan kesehatan yang diberikan oleh Puskesmas. Karena itu diperlukan tindak lanjut untuk melakukan perbaikan serta mengulangi lagi penelitian ini untuk melihat apakah terjadi perubahan atau tidak. pada level yang lebih tinggi, Dinas Kesehatan Kota Tebing Tinggi diharapkan bisa memelopori aplikasi pelayanan kesehatan berbasis kepada kepuasan konsumen.

Pentingnya jaminan yang baik menyangkut kesopanan dan keramahan dari personal yang memberikan pelayanan jasa untuk menunjang kepuasan konsumen ditegaskan oleh Moenier (2002) yang menyatakan bahwa untuk memuaskan kepada atau sekelompok orang yang dilayani maka petugas, harus dapat bertingkah laku yang sopan, dapat menyampaikan sesuatu yang berkaitan dengan apa yang seharusnya diterima oleh orang yang bersangkutan, waktu penyampaian yang tepat dan pemberian layanan dilakukan secara ramah.

DAFTAR PUSTAKA Amir, F. 2003. Konsep Puskesmas baru di era otonomi daerah. Diakses dari www.lib.unair.ac.id pada tanggal 27 Mei 2010.

Ditinjau dari faktor tangibility atau bukti fisik menunjukkan bahwa faktor ini memberikan pengaruh terhadap harapan masyarakat dan penilaian terhadap kualitas pelayanan kesehatan di Puskesmas. Selain pelayanan yang handal, kejelasan dan sikap petugas, masyarakat memang biasanya melihat sarana dan prasarana Puskesmas tersebut yang meliputi alat-alat periksa kedokteran maupun alat lainnya tidak ketinggalan jaman dan terawat dengan baik, suasana lingkungan bersih, menyenangkan dan ada petunjuk arah yang jelas,

Babacus, E dan Mangold, W.G. 1991. Adapting the SERVQUAL Scale to Hospital Services: An Empirical Investigation. Health Services Research 26(6):767-786. Brady, M.K., dan Cronin, J.J. 2001. Some New Toughts on Conceptualizing Perceived Service Quality: A Hierarchical Approach. Journal of Marketing Vol 65(July 2001) 3449.

195


INOVASI : Vol. 7. No. 3,

September 2010

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

Brown, T.J., Churchill, G.A., dan Peter, J.P. 2003. Improving the Measurement of Service Quality. Journal of Retailing Vo. 69 (1) 127139.

The World Bank. 2008. Are Being Served. Washington D.C: The World Bank. WHO. 2008. The World Health Report 2008: Primary Health Care. Geneva: WHO.

Chin, L.Y.. dan Amir, L.H. 2008. Survey of Patient Satisfaction with the Breastfeeding Education and Support Services of The Royal Women's Hospital, Melbourne. BMC Health Services Research 2008, 8:83 doi:10.1186/1472-6963-8-83. Depkes RI 2003. Pedoman Dasar pelaksanaan Jaminan Mutu di Puskesmas. Jakarta: Depkes RI. Depkes RI. 2004. Penyelenggaraan Dasar Pelaksanaan Jaminan Mutu di Puskesmas. Jakarta: Depkes. RI. Depkes RI. 2006. Pedoman Penilaian Kinerja Puskesmas. Jakarta: Depkes RI. Depkes RI. 2008. Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar Provinsi Sumatera Utara. Jakarta: Depkes RI. Evans-Lacko, Sara, Jarrett, M., McCrone, P., dan Thornicroft, G. Correspondence Facilitators and Barriers to Implementing Clinical Care Pathways. BMC Health Services Research 2010, 10:182. Herzlinger, R.E. 2004. Consumer-Driven Health Care Implications for Providers, Implications for Providers, Payers, and Policymakers. San Fransisco: John Wiley & Sons. Lupiyoadi, Rambat. 2001. Manajemen Pemasaran Teori dan Praktik. Jakarta : Salemba Empat. Moenir, A.S. 2002. Manajemen Pelayanan Umum di Indonesia. Jakarta : Bumi Aksara. Parasuraman, A., Zeithaml, V.A., dan Berry, L.L. 1994. Alternative Scales for Measuring Service Quality: A Comparative Assesment Based on Psychometric and Diagnostic Criteria. Journal of Retailing Vol 70 (3) 201230. Pohan, S Imbaho. 2003. Jaminan Mutu Pelayanan Kesehatan. Jakarta : EGC. Soufi, G., Belayachi, J., Himmich, S., Ahid, S., Soufi, M., Zekraoui, A., dan Abouqal, R. 2010. Patient Satisfaction in an Acute Medicine Department in Morocco. BMC Health Services Research 2010, 10:149.

196


INOVASI : Vol. 7. No. 3,

September 2010

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

Pengaruh Pelayanan Kesehatan Bagi Penduduk Miskin Terhadap Pengembangan Manusia Dan Dalam Pengembangan Wilayah Di Kota Medan H. Paul Sirait1) 1)

Staf Pengajar STIKes Sumatera Utara

Abstraksi Pelayanan kesehatan pada keluarga miskin penting untuk menjadi perhatian pemerintah sebab dampak pelayanan kesehatan tersebut bukan hanya pada peningkatan derajat kesehatan, tetapi juga pada upaya pengembangan sumberdaya manusia yang pada gilirannya akan mempengaruhi sebuah daerah. Di Kota Medan keluarga miskin semakin meningkat jumlahnya. Pada tahun 2006, terdapat sebanyak 170.526 keluarga miskin, 101.649 diantaranya mendapatkan pelayanan kesehatan rumah sakit, baik kunjungan pertama ataupun kunjungan rujukan. Karena itu penelitian ini ingin mengetahui pengaruh pelayanan kesehatan tersebut kepada mereka. Penelitian ini merupakan penelitian explanatory, menggunakan metode analisis regresi linear dengan menggunakan kuesioner pada 876 responden yang tersebar di 6 Kecamatan di Kota Medan dari 21 Kecamatan yang ada. Responden adalah masyarakat kategori miskin yang memiliki Kartu Askeskin/Jamkesmas. Penelitian ini menyimpulkan adanya pengaruh pelayanan kesehatan terhadap derajat kesehatan, sementara derajat kesehatan mempengaruhi pembangunan manusia. Hal ini akan berdampak pada kemiskinan. Disarankan kepada pemerintah supaya menyediakan anggaran yang cukup untuk pelayanan kesehatan yang merupakan hak setiap warga negara sehingga pelayanan kesehatan tersebut dapat dinikmati secara terus menerus oeh penduduk terutama penduduk miskin secara merata.

Kata kunci : Pengembangan wilayah, pelayanan kesehatan, keluarga miskian, derajat kesehatan. seluruh lapisan masyarakat, namun hasilnya masih kurang menggembirakan. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat jumlah penduduk miskin di Indonesia pada 2007 sebesar 39,30 juta jiwa (17,75 persen).

PENDAHULUAN Pemberian pelayanan kesehatan bagi penduduk miskin bukan saja pemenuhan hak penduduk miskin seperti diamanatkan pada pasal 31 ayat (1) UUD 1945 dan mandat global Tujuan Pembangunan Millenium (Millennium Development Goals), tetapi berperan juga meningkatkan kapabilitas penduduk miskin sehingga bisa keluar dari kondisi kemiskinan. Pemerintah mempunyai tugas menggerakkan peranserta masyarakat dalam penyelenggaraan dan pembiayaan kesehatan dengan memperhatikan fungsi sosial sehingga pelayanan kesehatan bagi masyarakat kurang mampu tetap terjamin.

Menurut Bank Dunia (2007), 58% penduduk Indonesia atau hampir 108 juta orang, hidup hanya dengan US $2 sehari atau kurang. Dengan penghasilan paling sekecil itu akses mereka terhadap pelayanan kesehatan dan angka kematian di kalangan merekapun sangat tinggi, semakin miskin dapat dipastikan kondisi kesehatan SDM semakin buruk. Menurut Kuncoro (1997) kemiskinan adalah suatu keadaan seseorang tidak sanggup memelihara dirinya sendiri dengan taraf kehidupan yang dimiliki tiara juga tidak mampu memanfaatkan tenaga, mental maupun fisiknya dalam memenuhi kebutuhannya. Kemiskinan memiliki bentuk dan penyebab yang berbeda-beda, diantaranya karena terbatasnya lapangan pekerjaan, sehinggga berdampak pada meningkatnya pengangguran. Tingkat pengangguran terbuka Kota Medan tahun 2006 adalah sebanyak 253.113 orang (Dinas Tenaga Kerja Kota Medan, 2007). Jumlah keluarga miskin

Menurut Susenas (2004), 56,6% masyarakat merasa kurang puas pada saat mendapatkan rawat inap pelayanan kesehatan. 18,1% masyarakat merasa tidak puas pada saat mendapatkan rawat inap, dan adalah 25,3% masyarakat yang merasa puas pada saat mendapatkan pelayanan rawat inap yang disediakan oleh pemerintah (Depkes 2005). Pemerintah telah berupaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui beberapa kebijakan pembangunan yang dapat menyentuh

197


INOVASI : Vol. 7. No. 3,

September 2010

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

di Kota Medan yang mendapatkan pelayanan meningkat dari 70.968 di tahun 2004, 71.089 di tahun 2005, dan menjadi 170.526 di tahun 2006.

melayani sebahagian besar penduduk miskin Indonesia (Depkes, 2008). Program ini diselenggarakan secara menyeluruh bagi penduduk Indonesia, yang saat ini baru dimulai dengan sasaran utama adalah masyarakat miskin. Pada hakikatnya pelayanan kesehatan terhadap masyarakat miskin menjadi tanggung jawab bersama antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Diharapkan masing-masing pihak memberikan kontribusi sehingga menghasilkan pelayanan yang optimal (Supari, 2005).

Pada tahun 2006, jumlah keluarga miskin yang mendapatkan pelayanan kesehatan di rumah sakit, baik kunjungan pertama ataupun kunjungan rujukan sebanyak 101.649 orang. Pelayanan kesehatan mempunyai peranan penting dalam meningkatkan derajat kesehatan masyarakat, mempunyai peranan untuk menyelenggarakan pelayanan kesehatan banyak upaya yang dapat dilakukan. Upaya tersebut dilaksanakan secara terarah dan terencana, seperti pelayanan kesehatan bagi penduduk miskin (Azwar, 1994).

Menyadari pentingnya kesehatan bagi kehidupan dan dalam rangka turut mengatasi masalah kemiskinan, maka perlu diselenggarakan pelayanan kesehatan bagi masyarakat miskin. Dengan alasan keadilan sosial perlu diperhatikan mengingat kematian bayi dari keluarga miskin tiga kali lebih tinggi daripada keluarga yang tidak miskin. Kematian balita dari keluarga miskin lima kali lebih tinggi daripada keluarga tidak miskin dan penyelenggaraan pelayanan kesehatan yang baik bagi masyarakat miskin, dapat mencegah 8 juta kematian sampai tahun 2010 (Azwar, 2002).

Departemen kesehatan melakukan pengelolaan pelayanan kesehatan yang dilakukan rumah sakit dengan mekanisme pembayaran klaim yang dilakukan oleh kas negara kepada Rumah Sakit/Pusat Pelayanan Kesehatan untuk Jaminan Kesehatan Miskin (Jamkesmas), namun demikian penyaluran dana ini tetap dalam kerangka penjaminan kesehatan bagi penduduk miskin yang tidak terpisahkan sebagai bentuk jaringan dalam subsistem pelayanan yang seiring dengan subsistem pembiayaannya (Depkes RI, 2008).

Masyarakat beranggapan bahwa pelayanan kesehatan itu merupakan suatu layanan yang dapat dirasakannya memenuhi kebutuhannya, harus diselenggarakan dengan cara yang sopan dan santun, tepat waktu, tanggap dan mampu menyembuhkan keluhannya, serta mencegah berkembangnya atau meluasnya penyakit (Pohan, 2007).

Demikian pula dengan pola pembiayaan kepada institusi pelayanan kesehatan. Pola sistem permodalan lebih diperbaiki khususnya di level puskesmas sehingga diharapkan dengan sistem permodalan ini, Puskesmas diberikan sejumlah dana setiap bulannya sesuai dengan jumlah masyarakat yang mejadi tanggung jawab di wilayah kerjanya, sehingga Puskesmas bertanggug jawab mengobati masyarakat yang sakit dengan dana tersebut. Jika dana tersebut tidak habis karena jumlah masyarakat yang sakit telah berkurang, maka dana tersebut adalah menjadi hak milik Puskesmas dan tidak perlu dikembalikan kepada Pemerintah.

Pembangunan kesehatan harus yang sebagai suatu investasi untuk peningkatan kualitas sumber manusia, sebab kesehatan adalah satu komponen utama dalam pembangunan manusia selain pendidikan dan pendapatan. Kondisi sosial ekonomi masyarakat berhubungan dengan pembangunan kesehatan, keberhasilan pembangunan kesehatan dapat dilihat dari menurunnya tingkat morbiditas (kesakitan) (Tjiptoherijanto dan Budhi, 1994).

Dengan sistem seperti ini, Puskesmas akan dapat melakukan kegiatan-kegiatan yang bersifat menjaga kesehatan masyarakat sekitarnya agar jumlah yang sakit semakin berkurang sehingga Puskesmas dapat mendapatkan dana tambahan untuk pengembangan Puskesmas dalam upaya meningkatkan kualilas pelayanan dan peningkatan SDM serta kesejahteraan karyawan, sesuai dengan fungsinya untuk meningkatkan kesehatan dan mencegah penyakit bukan hanya untuk pelayan pengobatan.

Kesakitan adalah terjadinya atau terjangkitnya penyakit di dalam populasi, baik fatal maupun nonfatal (Soobader, 1998). Setiap gangguan di dalam fungsi maupun struktur tubuh seseorang dianggap sebagai penyakit. Penyakit, sakit, cedera, gangguan, semuanya dikategorikan di dalam istilah tunggal yaitu kesakitan (morbiditas). Kesakitan berkaitan dengan derajat sakit, cedera, atau gangguan pada suatu populasi. Kesakitan juga merupakan suatu penyimpangan dari status sehat dan sejahtera, atau keberadaan suatu kondisi sakit. Kesakitan pula mengacu pada angka kesakitan; jumlah orang yang sakit dibandingkan dengan populasi tertentu yang seringkali merupakan kelompok yang berisiko (Timmreck, 2005).

Pada skala program yang lingkupnya nasional, program Askeskin yang sekarang bernama Jamkesmas seharusnya daat menjangkau seluruh masyarakat miskin tanpa terkecuali. Harusnya, masyarakat miskin dapat mengakses pelayanan kesehatan secara gratis dan terjamin. Tetapi, pelayanan kesehatan tersebut belum mampu

198


INOVASI : Vol. 7. No. 3,

September 2010

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

Kesakitan berhubungan dengan terjadinya atau terjangkitnya penyakit yang berakibat pada menurunnya tingkat kualitas hidup, produktivitas, kemampuan belajar, tabungan berkurang, meningkatnya hutang dan pada akhirnya berakibat menjadi miskin. Kondisi masyarakat yang miskin berakibat pada menurunnya kemampuan mengakses pelayanan kesehatan (Bachtiar, 2007).

Pelayanan kesehatan seharusnya memenuhi indikator sebagai berikut : 1. Efektifitas pelayanan; Puskesmas memberikan pelayanan kesehatan bagi penduduk miskin, namun dari data hasil penelitian masih banyak penduduk miskin yang harus berobat berkalikali untuk mendapatkan kesembuhan. 2. Keamanan tindakan; Puskemas memberikan pelayanan kesehatan bagi penduduk miskin dengan baik, sehingga terhindar berbagai resiko cedera, efek samping dan penyakit lain. 3. Ketersediaan Pelayanan; Untuk pelayanan kesehatan yang baik, puskemas dilengkapi fasilitas yang memadai (toilet, ruang tunggu, ruang periksa), menyiapkan waktu dan tenaga untuk berobat jalan, namun masih banyak penduduk miskin yang berobat merasa fasilitas yang ada kurang memadai. 4. Kesinambungan Pelayanan; Untuk mendapatkan pelayanan kesehatan lebih lanjut, puskesmas memberikan surat pengantar rujukan ke rumah sakit, namun jarang melampirkan riwayat penyakit. 5. Penerimaan Pelayanan; Dalam hal ini petugas kesehatan (dokter/perawat) melayani penduduk miskin dengan tepat waktu sehingga cepat dilayani. 6. Keterjangkauan; Lokasi pelayanan kesehatan (Puskesmas) masih terjangkau oleh penduduk miskin, namun dari segi pembiayaan bila ada biaya tambahan untuk pengobatan penduduk miskin tidak terjangkau. 7. Hubungan antar manusia; Untuk melayani penduduk miskin yang datang ke puskesmas pada umumnya petugas kesehatan memberikan pelayanan dengan baik.

Berdasarkan latar belakang permasalahan dan rumusan masalah di atas, maka dilakukan penelitian dengan tujuan: 1) menganalisis pengaruh pelayanan kesehatan bagi penduduk miskin terhadap derajat kesehatan di Kota Medan; 2) menganalisis pengaruh derajat kesehatan terhadap pembangunan manusia di Kota Medan; 3) menganalisis pengaruh pembangunan manusia terhadap kemiskinan di Kota Medan; 4) menganalisis pengaruh kemiskinan terhadap kemampuan mengakses pelayanan kesehatan di Kota Medan; dan 5) menganalisis pengaruh pelayanan kesehatan terhadap pembangunan manusia di Kota Medan.

METODE PENELITIAN Penelitian ini merupakan eksplanatory (explanatory research). Penelitian ini dimaksudkan untuk menguji dan mengkaji pengaruh antara variabel pelayanan kesehatan, derajat kesehatan, pembangunan manusia, kemiskinan dan selanjutnya antara pelayanan kesehatan dengan pengembangan manusia. Penelitian ini dilakukan di Kota Medan yang terdiri dari 21 kecamatan, dengan objek penelitian masyarakat katagori miskin. Katagori miskin adalah KK yang mempunyai kartu Askeskin/Jamkesmas. Waktu penelitian dilakukan pada bulan Mei 2008 sampai bulan Desember 2008. Pengumpulan data dilakukan dengan cara pembagian kuesioner kepada responden serta diiringi dengan studi literatur. Besar sampel yang diambil di 6 kecamatan yaitu Medan Tuntungan, Medan Johor, Medan Baru, Medan Deli, Medan Labuhan dan Medan Belawan adalah sebesar 876 responden. Metode analisis yang digunakan adalah metode analisis regresi linier.

Untuk mencapai tingkat kesehatan yang baik tentunya perlu kesiapan dukungan dari pelayanan kesehatan yang terkait, dan persiapan personil tenaga kesehatan yang berorientasi pada tujuan terkait yang perlu didukung pengalaman dan kemampuan pengembangan sekolah ataupun organisasi kesehatan. Pengaruh Derajat Kesehatan Pembangunan Manusia

HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaruh Pelayanan Derajat Kesehatan

terhadap

Hasil penelitian menunjukkan derajat kesehatan dengan indikator kesakitan, menunjukkan bahwa bila tingkat kesakitan menurun dapat mempercepat proses pembangunan manusia bagi penduduk miskin. Derajat kesehatan adalah kesakitan termasuk didalamnya segala jenis penyakit yang diderita penduduk miskin masih dapat disembuhkan bahkan gejala dan jenis penyakit tersebut pada umumnya telah dipahami oleh masyarakat miskin.

Kesehatan terhadap

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pelayanan kesehatan yang terdiri dari efektifitas pelayanan, keamanan tindakan, ketersediaan pelayanan, kesinambungan pelayanan, penerimaan pelayanan, keterjangkauan dan hubungan antar manusia ternyata dapat mempengaruhi tingkat kesembuhan penduduk miskin yang membutuhkan pelayanan kesehatan.

Peningkatan derajat kesehatan masyarakat kota Medan juga dibarengi oleh peningkatan mutu dan

199


INOVASI : Vol. 7. No. 3,

September 2010

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

jangkauan pelayanan kesehatan dasar dan rujukan yang diberikan semakin baik sehingga berpengaruh terhdap pembangunan manusia khususnya mengenai kemampuan daya beli.

Pengaruh Kemiskinan Kesehatan

terhadap

Pelayanan

Hasil penelitian menunjukkan kemiskinan dalam hal ini penduduk miskin (tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar minimum yakni pangan, sandang dan papan), penduduk miskin tidak mengalami kesulitan untuk mengakses pelayanan kesehatan. Hal ini disebabkan pelayanan kesehatan dasar yang diberikan oleh Pemerintah Kota medan bersifat gratis atau tidak dipungut biaya. Berdasarkan pada hasil penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa kemiskinan berpengaruh tidak signifikan terhadap kemampuan mengakses pelayanan kesehatan di Kota Medan.

Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa derajat kesehatan berpengaruh secara positif dan signifikan terhadap pembangunan manusia di Kota Medan. Temuan ini sesuai dengan kajian Morse (2003) menggunakan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) sebagai alat yang sederhana dan transparan untuk memperbandingkan kemajuan dalam pengembangan manusia, dan merupakan sebuah perbedaan harapan hidup, pendidikan dan GDP per kapita. Pendidikan yang menjadi bagian dari pembangunan manusia juga menjadi titik pandangan bagi Kickbusch. Kickbusch (2008) dari hasil penelitiannya mengungkapkan bahwa kemampuan membaca dan menulis merupakan landasan yang penting untuk mempertahankan derajat kesehatan. Apabila keluarga memiliki tingkat kesehatan yang lembah, justru dapat membahayakan perekonomian keluarga yang pada akhirnya akan berdampak pada kemiskinan (Barger, 2007).

Hal ini dapat dijelaskan bahwa program Jamkesmas mampu memperbaiki aksesibilitas masyarakat miskin terhadap pelayanan kesehatan sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Wagstaff dan Lindelow (2008) bahwa orang miskin akan kesulitan dalam mendapatkan pelayanan kesehatan karena mahalnya biaya untuk berobat. Untuk dapat diperlukan intervensi pemerintah dalam bentuk subsidi peralatan medis dan obatobatan agar biaya kesehatan bisa dijangkau oleh masyarakat miskin (Liu dan Mills, 1999). Masyarakat miskin mempunyai keterbatasan untuk mengakses pelayanan kesehatan (Olan-rewaju, 1996).

Pengaruh Pembangunan Manusia Terhadap Kemiskinan Hasil penelitian menunjukkan bahwa pembangunan manusia (kemampuan daya beli) penduduk miskin yang meningkat maka akan mempercepat proses menurunnya angka kemiskinan bagi penduduk miskin.

Kemiskinan dan penyakit terajdi saling kaitmengkait, dengan hubungan yang tidak akan pernah putus terkecuali dilakukan intervensi pada salah satu atau kedua sisi, yakni pada kemiskinannya atau penyakitnya. Kemiskinan mempengaruhi kesehatan sehingga orang miskin menjadi rentan terhadap pelbagai macam penyakit, karena mereka mengalami gangguan antara lain menderita gizi buruk, pengetahuan kesehatan kurang, perilaku kesehatan kurang, lingkungan pemukiman buruk dan biaya kesehatan tidak tersedia.

Kemampuan ekonomi merupakan salah satu kondisi kemampuan daya beli terhadap pangan bagi penduduk miskin memperlihatkan keterbatasan, demikian pula halnya dengan kemampuan daya beli terhadap sandang bagi penduduk miskin. Hal ini sejalan dengan data IPM 2007 BPS Medan bahwa seiring dengan kondisi ekonomi yang mulai membaik yang ditandai dengan kembalinya pertumbuhan ekonomi ke arah positif, berdampak kepada meningkatnya daya beli penduduk kota Medan sehingga dapat menurunkan angka kemiskinan. Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa pembangunan manusia berpengaruh secara positif dan signifikan terhadap kemiskinan kota Medan.

Sebaliknya kesehatan mempengaruhi kemiskinan. Msyarakat yang sehat menekan kemiskinan karena orang yang sehat memiliki kondisi diantaranya produktivitas kerja tinggi, pengeluaran berobat rendah, investasi dan tabungan memadai, tingkat pendidikan maju, tingkat fertilitas dan kematian rendah serta stabilitas ekonomi yang baik. Uraian tentang alasan pentingnya pelayanan kesehatan bagi masyarakat miskin, merupakan dorongan untuk mempercepat penanggulangan kemiskinan dan keharusan mutlak untuk melaksanakan upaya peningkatan status kesehatan penduduk miskin. Apalagi, memasuki era globalisasi ini, untuk pertumbuhan ekonomi suatu negara dituntut daya saing yang memerlukan sumberdaya manusia dengan kuantitas dan kualitas tinggi.

Penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Bagolin (2003) yaitu indeks pembangunan manusia dengan menggunakan salah satu indikatornya yaitu kemampuan daya beli menentukan kemampuan untuk memenuhi kebutuhan dasarnya. Jika kebutuhan dasarnya tidak terpenuhi maka seseorang dapat dikategorikan sebagai masyarakat miskin.

200


INOVASI : Vol. 7. No. 3,

September 2010

Pengaruh Pelayanan Pembangunan Manusia

Kesehatan

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

kesehatan bagi penduduk miskin; 2) derajat kesehatan memberikan pengaruh signifikan terhadap pembangunan manusia. Bila ada peningkatan derajat kesehatan masyarakat maka akan mempercepat proses pembangunan manusia bagi penduduk miskin. Derajat kesehatan masyarakat Kota Medan juga merupakan indikator penting yang mengindikasikan kemajuan asset pembangunan kota yang berkualitas; 3) pembangunan manusia memberikan pengaruh signifikan terhadap kemiskinan. Bila ada peningkatan pembangunan manusia di masyarakat maka akan mempercepat proses turunnya angka kemiskinan bagi penduduk kota Medan; 4) kemiskinan memberikan pengaruh yang tidak signifikan terhadap kemampuan mengakses pelayanan kesehatan. Penduduk miskin Kota medan tidak mengalami kesulitan dalam mengakses pelayanan kesehatan dasar, disebabkan oleh karena pelayanan kesehatan dasar diberikan Pemerintah Kota Medan bersifat gratis atau tidak dipungut biaya; 5) pelayanan kesehatan memberikan pengaruh signifikan terhadap pembangunan manusia. Bila ada peningkatan mutu pelayanan kesehatan yang diperoleh masyarakat akan mempercepat proses pembangunan manusia bagi penduduk miskin.

terhadap

Hasil penelitian menunjukkan peningkatan pelayanan kesehatan yang terdiri dan efektifitas pelayanan, keamanan tindakan, ketersediaan pelayanan, kesinambungan pelayanan, penerimaan pelayanan, keterjangkauan dan hubungan antarmanusia yang diperoleh penduduk miskin maka akan mempercepat proses pembangunan manusia (kemampuan daya beli) bagi penduduk miskin. Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa pelayanan kesehatan berpengaruh secara positif dan signifikan terhadap pembangunan manusia Kota Medan. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Lion dan Jay (1999) yaitu status sosial ekonomi mempengaruhi kemampuan untuk mengakses pelayanan kesehatan. Pelayanan kesehatan. Pelayanan kesehatan berpengaruh terhadap kondisi kesehatan. Bila kondisi kesehatan tidak baik, maka akan menyebabkan tingkat pendapatan akan berkurang yang berimplikasi terhdap kemampuan daya beli melemah. Melemahnya daya beli dapat berakibat tingkat indeks pembangunan manusia yang rendah. Menurut Krieger dan Fee (1994) status kesehatan dapat mempengaruhi tingkat pendapatan rumah tangga.

Disarankan supaya pemerintah harus menyediakan anggaran yang cukup untuk pelayanan kesehatan yang merupakan hak setiap warga negara sehingga pelayanan kesehatan tersebut dapat dinikmati secara terus menerus oeh penduduk terutama penduduk miskin secara merata.

Menurut Lindelow (2006) pelayanan kesehatan yang diperoleh masyarakat akan berpengaruh terhadap kondisi kesehatan dan tingkat kesejahteraan dalam hal pembangunan manusia. Penelitian Phipps (2003) menjelaskan bahwa kondisi kesehatan seseorang akan mempengaruhi tingkat perekonomian yang akan berakibat pada tingkat kemiskinan. Menurut Alba dan Park (2003) kondisi perekonomian seseorang tergantung dari tingkat pendapatannya yang akan berpengaruh langsung terhadap kemampuan daya beli. Kemampuan daya beli merupakan salah satu indikator Indeks Pembangunan Manusia.

DAFTAR PUSTAKA Anwar, A, 1999. Mobilisasi Sumberdaya Manusia dalam Mengatasi Masalah Pengangguran ke Arab Pemertaan yang Menyumbang kepada Pertumbuhan Ekonomi, Seminar Nasional Pembangunan Wilayah dan Pedesaan. Institut Pertanian Bogor. Tidak Dipublikasikan. Azwar, A. 1994. Program Menjaga Mutu Pelayanan Kesehatan (Aplikasi Prinsip Lingkaran Pemecahan Masalah).

Dari uraian diatas dapat diberikan gambaran bahwa pemeliharaan kesehatan yang tidak optimal akan mengakibatkan kerugian ekonomi yang cukup besar. Semantara itu, rendahnya perekonomian juga mengakibatkan masalah kesehatan lain, yaitu penyakit menular lebih banyak berkembang di wilayah penduduk miskin.

__________ 2004. Reformasi Pelayanan Kesehatan. Departemen Kesehatan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat.

KESIMPULAN DAN SARAN

Bachtiar, A. 2007. Upaya Meningkatkan Aksesibilitas Pelayanan Kesehatan Bermutu. Seminar Sehari, Universitas Indonesia.

Dapat disimpulkan bahwa 1) pelayanan kesehatan memberikan pengaruh signifikan terhadap derajat kesehatan. Bila ada peningkatan mutu pelayanan kesehatan yang diperoleh masyarakat terutama masyarakat miskin maka akan membaiknya derajat

Backlund, E., P. D. Sorlie, and N. J. Johnson. 1996. The Shape of the Relationship Between Income and Mortality in the US : Evidence

201


INOVASI : Vol. 7. No. 3,

September 2010

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

from the National Longtudinal Mortality Study : Annuals of Epidemiology 6:12- 20.

Supari

Barger, 2007, Poverty and Health, Journal of Midwifery & Women's Health.

Siti, F. 2005. Keluarga Miskin Diasuransikan Lewat Askeskin. Departemen Kesehatan RI, Jakarta.

Timmerck, Thomas. 2005. Epidemiologi : Suatu Pengantar, Alih bahasa: Munaya Fauziah, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.

Bhargava A, D. T. Jaminson, Lawrence dan Murray. 2001. Modeling the Effect of Health on Economic Growth. Journal of Health on Economic Growth No. 20, pp. 423 -440.

Tjiptoherijanto dan Budhi. 1994. Ekonomi Kesehatan. Penerbit Rineka Cipta, Jakarta.

Dhar Rajat, Larry Stitt, Angelika f. Hahn. 2008. The Morbidity and Outcome of Patients with Guillain-Barre Syndrome Admitted to the Intensive Care Unit, Journal of the Neourological264 (2008) 212 - 128. Drever, F.Whitehead. 1997. Health Inequalitie, Decennial Supplement, London : The Stationary Office. Kickbusch, Iloni. 2008. Health Literacy : an Essential Skill for the Twenty-first Century, Health Education Vol. 108, No. 2. Kuncoro, M. 1997. Ekonomi Pembangunan (Teori, Masalah dan Kebijakan), Edisi I, UPP AMP YKIN, Yogyakarta. Lion Y, McGee dan Jay.1999. Socioeconomic Status and Morbidity in the Last Years of Life, American Journal of Public Health, Vol. 89. No. 1. Me. Kenzie J.F, Robert dan Jerome. 2006. Kesehatan Masyarakat Suatu Pengantar. Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta. Miraza, Bachtiar Hassan. 2004. “Perencanaan Wilayah Sebagai suatu Kebutuhan (Studi Kasus Kota Medan, Suatu Pendekatan Ekonomi Kewilayahan)�, dalam Proseding Perencanaan Kontekstual : Menuju Konvergensi Teori dan Praktek Seminar Tahunan SPI, 21-22 Juli 2004 di Gedung Didyaloka, Universitas Brawijaya, Malang. Morse, S. 2003. For Better of for Worse, till the human development index do us part?, Ecological Economics 45 (2003) 281 - 296. Pohan, Imbalo. 2007. Jaminan Mutu Layanan Kesehatan : Dasar-Dasar Pengertian dan Penerapan. Penerbit Buku Kedokteran. Suhrcke Marc, Martin McKee, Lorenzo Rocco. 2007. Healath Investment Benefits Economic Development, WHO European Office for Investment for Helath and Development, vol. 370.

202


INOVASI : Vol. 7. No. 3,

September 2010

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

Memunculkan Isu Gender Dalam Kebijakan Kesehatan Reproduksi Remaja Di Indonesia Fitrilailah Mokui1) 1)

Staf Pengajar Program Studi Kesehatan Masyarakat Universitas Haluoleo

Abstraksi Salah satu persoalan penting yang harus dihadapi oleh pemerintah adalah masalah kesehatan reproduksi remaja. Beberapa data memperlihatkan bahwa kasus-kasus kesehatan reproduksi di kalangan remaja memperlihatkan tendensi peningkatan. Kesehatan reproduksi erat kaitannya dengan isu gender. Karena itu, maka bahasan tulisan ini mencoba melakukan upaya integrasi antara isu gender di dalam mengembangkan kebijakan kesehatan reproduksi remaja yang lebih baik.

Kata kunci: Gender, kesehatan reproduksi, remaja. (sosial construction) diduga sangat berpengaruh terhadap kesenjangan terhadap knowledge attitude (healthy sexuality) and practice (early marriage and teenage pregnancy) dikalangan remaja putri sehubungan dengan kesehatan reproduksi mereka.

PENDAHULUAN Periode remaja adalah periode transisi yang dialami oleh manusia yang berlangsung setelah masa kanakkanak beranjak ke masa dewasa. Pada masa transisi ini, remaja bukan hanya mengalami transisi umur tetapi juga berlangsung transisi pada keadaan fisik, psikologis dan sosial ekonomi. Berdasarkan fisik, remaja mengalami perubahan yang kematangan reproduksi yang berbeda diantara perempuan dan laki-laki. Tingkat pengetahuan dan sikap remaja tentang kesehatan reproduksinya sudah relative baik. Terutama untuk perempuan, tingkat pengetahuan mereka terhadap kesehatan reproduksi lebih baik disbanding dengan laki-laki. Akan tetapi, dalam praktek yang mengarah kepada kesehatan reproduksi yang beresiko seperti pernikahan dini/ nikah muda, persentase perempuan yang menikah muda lebih banyak dari pada lakilaki. Terlebih lagi, pernikahan dini ini kemudian berkontribusi semakin meningkatnya jumlah kehamilan dini (teenager pregnancy) yang juga merupakan salah satu event yang berkontribusi pada kesehatan reproduksi perempuan dan anak yang akan dilahirkannya.

Tulisan ini ditujukan untuk mengkaji lebih jauh bagaimana isu ketimpangan gender berpengaruh terhadap kesenjangan pengetahun, sikap dan perilaku (KAP-gap) tentang kesehatan reproduksi antara laki-laki dan perempuan. Hal ini akan dapat dijadikan pertimbagan pada penyusunan kebijakan kesehatan reproduksi remaja di Indonesia. Data dari Indonesia Young Adult Reproductive Health Survey (IYARHS)- Survey Kesehatan Reproduksi Remaja Indonesia (SKRRI) untuk membantu menjelaskan KAP-gap tentang pengetahuan, sikap dan perilaku tentang seksuality sehubungan dengan kesehatan reproduksi yang dialami oleh remaja di Indonesia. Data dari sumber lain yang menunjang pembahasan adalah data tentang perkawinan dini (early marriage), hubungan seksual sebelum menikah (premarital sexual intercourse), kehamilan dini (teenage pregnancy) diambil sebagai preliminary case yang dapat berdampak kesehatan reproduksi remaja wanita.

Berdasarkan hal ini, diduga sangat erat kaitannya dengan diskriminasi gender yang berdampak pada kesehatan reproduksi perempuan. Untuk itu penulis berpendapat adanya factor sosial budaya yang sangat erat kaitannya dengan isu gender mempunyai peranan yang kuat dalam mempengaruhi pengambilan keputusan dalam bertindak bagi perempuan dan laki-laki dalam memutuskan keputusan untuk melakukan aktifitas atau menolak aktifitas yang dapat berkontribusi terhadap keadaan kesehatan reproduksi mereka. Jadi dalam hal ini gender issues sebagai bentukan sosial masyarakat

Tulisan ini dibagi menjadi tiga bagian pembahasan. Sesi pertama menggambarkan defenisi remaja yang berhubungan dengan perkembangan umur, fisik, mental dan sosial ekonomi. Pada sesi kedua, mencakup pembahasan bagaimana peningkatan jumlah remaja dalam populasi tidak dibarengi dengan peningkatan pengetahuan, sikap dan perilaku yang menunjang kesehatan reproduksi mereka. Sesi ketiga mengulas tentang bagaimana isu gender mempengaruhi KAP-gap tersebut dapat berdampak pada kualitas kesehatan reproduksi remaja. Bagian akhir dari tulisan ini ditujukan untuk

203


INOVASI : Vol. 7. No. 3,

September 2010

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

menggambarkan kesimpulan dan rekomendasi bagi pengambil kebijakan dan stakeholder untuk mempertimbangkan isu gender dalam penyusunan kebijakan kesehatan reproduksi remaja di Indonesia.

perempuan (Kantor Sekretariat Negara Republik Indonesia 1989). Departemen kesehatan juga memodifikasi definisi remaja ini sebagai perempuan dan laki-laki yang belum menikah dan berumur diantara 10-19. Dalam rangka untuk mempelajari dan mengkaji problem yang berhubungan dengan kesehatan reproduksi yang dialami oleh remaja Indonesia, defenisi remaja juga didefinisikan berbeda oleh penyelenggara SKRRI. Remaja didefenisikan sebagai dewasa muda (young adults) atau orang muda (young people) yaitu seseorang yang berumur 15-24 dan belum pernah menikah. Terminologi ini dirumuskan untuk memastikan terpenuhinya jumlah sample remaja dalam SKRRI yang berkoneksi dengan perilaku yang beresiko terhadap kesehatan reproduksi (risky reproductive health behaviour) sehubungan dengan merokok, konsumsi alcohol dan penyalahgunaan obat-obatan (BPS and ORC 2004). Oleh karena luasnya definisi remaja maka tulisan ini merujuk kepada definisi remaja yang dirumuskan oleh SKRRI yaitu dewasa muda yang berumur 15-24 dan belum pernah menikah.

DEFINISI REMAJA BERDASARKAN UMUR DAN KONSTRUKSI SOSIAL Definisi remaja telah diformulasikan berbeda oleh beberapa pakar kesehatan remaja. Secara umum, periode remaja diketahui sebagai periode transisi yang terjadi diantara masa kanak-kanak dan masa dewasa. Menurut The World Health Organization (WHO 1975) remaja adalah manusia yang berumur 10-19 termasuk perkembangan fisik, mental dan sosial ekonomi. Raymundo et al (1999) berpendapat bahwa perkembangan tersebut yang berhubungan dengan aspek fisik, bahwa terjadi perubahan pada karakteristik seksual (secondary sex characteristics) berkembang menjadi kematangan seksual reproduksi (sexual reproductive maturity). Selanjutnya, proses mental remaja juga berkembangan pada masa ini. Pada masa yang sama, ekonomi factor juga mengalami transisi yaitu perubahan dari ketergantungan sosial ekonomi pada orang tua dan keluarga menjadi kemandirian sosial ekonomi (transition from socioeconomic dependence to independence). Pengukuran periode remaja juga dirumuskan oleh James-Traore (2001). James mengklasifikasi remaja sesuai dengan pertumbuhan fisik menjadi tiga bagian yaitu early adolescence (1014), middle adolescence (15-19) and young adulthood (20-24). Selanjutnya Nugent (2006) menggabungkan teori Raymundo et al dan James menjadi tiga fase perkembangan yaitu : early phase (10-14 years) remaja masih dianggap sebagai anakanak yang belum mandiri, middle phase (15-19 years) yaitu transisi dari masa puber (puberty) pada kematangan seksualitis (maturity) dan pada masa ini remaja telah dianggap sebagai remaja, pada akhir sesi adalah umur 20-24 dimana remaja telah dianggap sebagai orang dewasa muda (young adult) dan pada masa ini mereka telah mandiri untuk menggali potensi diri (interest and talents) untuk membuat komitment untuk pekerjaan dan membangun keluarga.

Akan tetapi, Villareal (1998) berpendapat bahwa pendefinisian remaja ini tidak boleh hanya didasarkan pada pengelompokan umur sebab pendefinisian ini dapat mempersempit sense berdasarkan budaya (cultural from a cultural point of view). Selanjutnya, membatasi defenisi remaja menurut umur juga dapat menyembunyikan kekayaan keberagaman (enormous heterogeneity) dari pandangan kesehatan, sosial dan psychological. Dia berpendapat bahwa remaja dan pendefinisiannya adalah hasil dari bentukan sosial dan budaya dalam komunitas masyarakat dan termasuk norm bersikap, cara berpakaian dan bahasa yang digunakan. Penampilan remaja ini menjadi pusat perhatian dan hal ini dapat diambil kesimpulan bahwa secara umum remaja adalah fase umum yang terjadi secara universal tetapi keberadaan mereka dalam komunitas sangat dipengaruhi oleh kondisi sosial budaya atau dengan kata lain definisi remaja adalah bentukan dari sosial budaya (sosial and cultural construction).

KAP KESEHATAN REPRODUKSI Peningkatan jumlah penduduk di Indonesia telah termasuk peningkatan jumlah remaja dalam komposisi tersebut. Pada tahun 1971, jumlah remaja yang berumur 15-24 years diperkirakan sebanyak 19.5 juta orang. Jumlah tersebut sedikit meningkat sekitar 22.3 juta orang pada tahun 1980. Tahun 1990, jumlah tersebut meningkatkan signifikan sekitar 35.5 juta penduduk. Akhirnya, setelah satu decade pada sensus penduduk di tahun 2000 jumlah penduduk yang berumur 15-24 adalah 41.35 juta orang (BPS 1992).

Pendefinisian remaja juga sangat beragam diantara masyarakat di dunia ini dan variasi definisi remaja ini sangat tergantung pada kondisi politik, ekonomi dan sosial cultural (UNFPA 1998) dan secara spesifik sesuai dengan kebijakan dan program pembangunan (Bruce and Chong 2003). Pendefinisian remaja di Indonesia juga tergantung pada kepentingan program. Undang-undang Perkawinan di Indonesia Tahun 1974 mendefinisikan remaja sebagai seseorang yang belum pernah kawin dan berumur 18 dan kurang untuk laki-laki dan berumur 16 and kurang bagi

204


INOVASI : Vol. 7. No. 3,

September 2010

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

Peningkatan jumlah penduduk ini juga dibarengi oleh peningkatan remaja yang terlibat dalam perilaku yang beresiko risk taking behaviors khususnya pre marital seksual intercourse dan early marriage yang memberi konsekuensi negative bagi kesehatan reproduksi remaja. Kasus di Indonesia berdasarkan data dari Demographic Health Survey (DHS) pada tahun 2003, insiden pre-marital sexual intercourse sebelum remaja berumur 15 tahun adalam 0% untuk remaja laki-laki dan 2.8% untuk remaja perempuan (Dixon-Mueller 2009). Besarnya perhatian terhadap risky behaviors di kalangan remaja dikarenakan oleh konsekuensi yang didapatkan misalnya pre-marital sexual intercourse dikalangan remaja akan meningkatkan konsekuensi peningkatan jumlah kasus HIV/AIDS and Penyakit Menular Sexual (PMS)-Sexual Transmitted Infection (STI) (WHO 2007; Gubhaju 2002). Lebih dari setengah kasus infeksi baru untuk HIV adalah mereka yang berumur kurang dari 25 tahun (Egero and Hammarskjold 2000). Sekirat 5000-6000 kasus baru HIV/AIDS adalah remaja yang berumur 15-24 (McIntyre 2004). Konsekuensi dari inisiasi dini dari aktifitas seksual bagi remaja putri akan membuat mereka terekspos dalam resiko kehamilan yang tidak diinginkan (unwanted pregnancy) dan aborsi, hal ini akan berdampak pada peningkatan maternal mortality and infant mortality (Singh, Samara and Cuca 2000; Gubhaju 2002). Untuk kasus di Indonesia, the maternal mortality rate telah meningkat selama beberapa tahun karena kasus unwanted pregnancies (Dixon-Mueller 2009). Peningkatan infant mortality rate di Indonesia pada ibu muda yang berumur kurang dari 20 years adalah 63 per 1000 live births dan berkurang pada 43 per 1000 live births untuk ibu muda berumur 20-29 tahun (Hugo 2005).

jumlah penduduk remaja tidak dibarengi oleh peningkatan pengetahuan mereka tentang kesehatan reproduksi. Data SKRRI yang dilaksanakan pada tahun 2002/2003 dan 2007 menunjukkan bahwa pengetahuan remaja tentang kesehatan reproduksi sangat rendah. SKRRI tahun 2002/2003 menunjukkan bahwa hanya 29% wanita and 32% laki-laki memberi jawaban yang benar tentang resiko untuk hamil pada wanita. Sedangkan pada SKRRI tahun 2007, hanya 55% wanita dan 52% laki-laki menyatakan hal yang sama ((BPS and ORC 2008). Selanjutnya, mendiskusikan topic kesehatan reproduksi sangat tidak umum dikalangan remaja. Hanya 13 persent responden wanita dan 22 persent laki-laki tidak pernah mendiskusikan hal tentang reproduksi mereka kepada orang tua, saudara, guru dan petugas kesehatan (SKRRI 20022003). Pada data SKRRI tahun 2007, jumlah persentase remaja sedikit meningkat yaitu sebanyak 15 persen remaja wanita dan 29 persen remaja lakilaki tidak pernah mendiskusikan topic kesehatan reproduksi remaja dengan siapapun. Berdasarkan fakta yang tersebut di atas, penulis menduga bahwa peningkatan jumlah penduduk dan perilaku beresiko diantara remaja disebabkan tidak dibarengi oleh peningkatan pengetahuan sikap dan perilaku diantara perempuan dan laki-laki tentang kesehatan reproduksi (KAP gap) ini disebabkan oleh gender factor sebagai konstruksi sosial budaya . Oleh karena itu, analisis gender tentang kesehatan reproduksi di kalangan remaja ini perlu dikaji lebih lanjut.

GENDER DALAM KESEHATAN REPRODUKSI REMAJA Sebelum mengkaji lebih dalam tentang isu gender yang berkontribusi terhadap KAP gap tentang kesehatan reproduksi dikalangan remaja putra dan putri, term tentang kesehatan reproduksi perlu diperjelas. Kesehatan reproduksi ini mencakup kesehatan reproduksi yang menyangkut kedua jenis kelamin yaitu laki-laki dan perempuan. Hal ini dilatarbelakangi fakta dalam masyarakat bahwa masalah kesehatan reproduksi hanya menyangkut masalah perempuan. Sebagaimana Wahid et al (1999) menyatakan bahwa istilah kesehatan reproduksi adalah merupakan istilah yang lebih bersifat medis.

Kasus perkawinan dini di Indonesia belum mengalami penurunan yang signifikan selama beberapa tahun ini. Survey yang dilakukan oleh Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi-Universitas Indonesia (LDFE-UI) Faculty of EconomyUniversity of Indonesia di tahun 1999 mencatat bahwa 69.3 persen dari perkawinan remaja adalah pada umur kurang dari 18 tahun dan hanya 22.4% untuk remaja yang berumur 18-19 tahun. Sebanyak 8.2% remaja menikah pada umur 20-21 tahun. Selanjutnya, berdasarkan data dari Indonesia Demographic health survey (IDHS), median dari pernikahan dini ini telah meningkat dari 18.6 tahun 1997 menjadi 19.2 pada tahun 2002-03.

Alasan lainnya adalah bahwa masalah ini hanya merupakan masalah perempuan yang secara langsung memiliki beban reproduksi yang sangat berat. Faktor lain adalah bahwa kesehatan reproduksi sering dipertukarkan dengan isu seksualitas yang merupakan masalah tabu dibicarakan dalam masyarakat. Faktor masalah ini merupakan akumulasi masalah gender yang mempengaruhi perilaku remaja dalam masyarakat.

Kegusaran akan konsekuensi negative pre marital sex dan peningkatan early marriage menuntut remaja untuk mempunyai pengetahuan, sikap dan perilaku yang memadai terhadap kesehatan reproduksi untuk mengantisipasi peningkatan kasus HIV/AIDS dan STI juga unwanted pregnancy dan aborsi. Sayangnya, kegusaran ini dan peningkatan

205


INOVASI : Vol. 7. No. 3,

September 2010

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

Istilah kesehatan reproduksi (reproductive health) adalah sangat umum setelah dirumuskan dalam International Conference On Population And Development (ICPD) in 1994 di Kairo. Kesehatan reproduksi dirumuskan sebagai : “Reproductive health is a state of complete psychical, mental and sosial well being and not merely the absence of disease or infirmity, in all matters relating to the reproductive health systems and its process� (Tsui et al 1997, p:13).

reproduksi dan praktek pernikahan dini dan kehamilan dini yang dipengaruhi oleh bentukan sosial budaya yang berkontribusi pada ketimpangan gender dalam kesehatan reproduksi remaja putri.

GENDER DAN KAP REMAJA DI INDONESIA Sehubungan dengan praktis seksual intercourse di kalangan remaja sangat berkaitan erat dengan gender factor. Remaja putra dilaporkan secara umum telah lebih dahulu memulai aktifitas pada masa yang lebih muda dibandingkan dengan remaja putri berdasarkan umur. Proporsi remaja putra yang melakukan seksual intercourse lebih banyak disbandingkan proporsi remaja putri. Persentase remaja putra yang menyatakan bahwa mereka telah melakukan hubungan seksual (sexual intercourse) sebanyak 5% sedangkan remaja putri hanya kurang dari 1% (SKRRI 2002-2003). Jumlah aktifitas seksual intercourse ini sedikit meningkata pada data SKRRI 2007 yaitu bahwa persentase remaja putra meningkat menjadi 6% sedangkan remaja putri hanya meningkat menjadi 1%.

Defenisi ini tidak hanya membatasi adanya penyakit dan kecacatan yang mempengaruhi kesehatan fisik dan mental tetapi juga berhubungan dengan sosial factor dan seluruh komprehensi aspek yang mempengaruhinya. Secara spesifik, definisi reproductive health ini sangat berkaitan dengan isu gender sebagai bentukan dalam komunitas manusia. Sebagaimana istilah gender didefenisikan sebagai hubungan antara laki-laki dan perempuan dan dalam kehidupannya interaksi tersebut di bentuk oleh daktor sosial dan budaya (sosially and culturally constructed). Berdasarkan hal tersebut, factor sosial dan busaya sangat mempengaruhi interaksi remaja laki-laki dan remaja perempuan dalam komunitas. Oleh karena itu isu gender dalam interaksi remaja putri dan putra sangat mempengaruhi kondisi kesehatan reproduksi mereka.

Premarital sexual experiences di kalangan remaja ini menunjukkan adanya gender bias. Terlihat nyata bahwa banyak remaja putra terlibat dalam aktifitas seksual yang beresiko selama lima tahun terakhir (tahun 2002/2003 – 2007). Gubhaju (2002) berpendapat bahwa terdapat standar ganda (double standard) pada komunitas di Asia dalam menilai masalah sexuality. Masyarakat Indonesian (Indonesian society) memberi toleransi yang lebih pada laki-laki untuk melakukan seksual. Masyarakat Indonesian mendeskripsikan masalah sexuality adalah sebagai batang hidraulik bahwa sexuality adalah kebutuhan natural akan tetapi masalah ini harus dapat dikontrol pada sisi yang lain. Seks dilihat sebagai masalah kepuasan dan kesehatan (procreation, intimacy, enjoyment and health). Sebab kuatnya kebutuhan seks (seksual desires) di kalangan laki-laki, seks dilihat sebagai factor yang sangat penting bagi laki-laki dari pada wanita. Untuk itu, wanita harus membantu laki-laki mengontrol sexual desire mereka (Kroeger 2003).

Isu gender dalam kesehatan reproduksi menempatkan ketidaksetaraan antara remaja putri dan remaja putra. Sebagaimana Villareal (1998) berargumen bahwa gender adalah bentukan budaya (culturally contracted) dan sebagian besar konstruksi ini berhubungan dengan definisi seksuality (sexual definition) dan perilaku seksual (sexual behaviour). Dia juga menambahkan bahwa selama masa remaja, ekspektasi dan sanksi perilaku sosial bagi remaja wanita sangat berbeda perlakuannya bagi remaja laki-laki. Remaja wanita mendapat saksi sosial yang lebih berat dari komunitas disbanding remaja putra jika mereka terlibat perilaku kesehatan reproduksi yang beresiko. Kondisi inisiasi, waktu, ekspektasi, nilai dan arti seksuality sangat bervariasi dan sangat dipengaruhi oleh gender factor. Konsekuensi bagi seksualitas remaja (adolescent sexually) sangat erat dengan gender factor (clearly gendered) adalah ketika remaja wanita terlibat dalam hubungan seks sebelum menikah (pre marital seksual intercourse), mereka bukan akan hanya berhadapan dengan konsekuensi melahirkan dan merawat bayi, konsekuensi ekonomi akan tetapi merekan akan menghadapi konsekuensi saksi negative dari masyarakat. Berikut ini akan digambarkan bagaimana isu gender yang menggambarkan adanya perbedaan konsekuensi yang diterima oleh remaja putri dan putra sehubungan dengan pengetahuan, sikap dan perilaku mereka tentang kesehatan

Selanjutnya, laki-laki lebih permisif dalam melakukan pre marital seksual adalah karena adanya konsekuensi yang berbeda dengan wanita. Laki-laki tidak mengalami konsekuensi yang nyata (immediate consequence), seperti kehamilan dini (pre-marital pregnancy.Akan tetapi bagi wanita, terlibat dalam pre marital pregnancy dapat memberi kontribusi yang kuat terhadap terjadinya kemungkinan untuk terjadi unwanted pregnancy (Gubhaju 2002). Konsekuensi dari unwanted pregnancy dapat mengarahkan kepada kejadian aborsi sebagaimana Gunawan (2004) mencatat bahwa pre-marital sexual intercourse dapat

206


INOVASI : Vol. 7. No. 3,

September 2010

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

dengan orang tua mereka sendiri. Hal ini sangat menunjukkan bahwa remaja putri mempunyai hubungan emotional yang dekat dengan orang tua dibandingkan dengan remaja putra dalam berbagi informasi tentang kesehatan reproduksi. Akan tetapi, in general it can be seen that peer group have more role in giving information than parents. However, talking about reproductive health with friends is more flexible but teenager sometime gave in accurate information. Djaelani (1996) argued that talking about reproductive health with peers could lead to misleading information about unhealthy sexual behaviour.

mempengaruhi wanita untuk melakukan aborsi spontan (induced abortion) karena menghindari stigma sosial (sosial stigmatization). Secara nyata pre-marital sexual intercourse sangat dilarang terutama bagi wanita adalah karena berhubungan dengan kehormatan keluarga (family honor) (Kholifah 2005). Resiko tinggi (high risk) sangat mungkin terjadi pada wanita seperti kasus unwanted pregnancy yang berakibat pada aborsi yang tidak aman dan diperparah dengan sanksi sosial yang diberikan oleh masyarakat. Sanksi bagi wanita yang melakukan pre marital seks akan berakibat pada kehamilan dini ini tidak hanya akan dialami oleh wanita sendiri tetapi juga sanksi sosial akan dialami oleh anak yang dilahirkannya. Konsekuensi negative ini juga akan membawa masalah pada kestabilan emosi, keadaan ekonomi dan kesempatan untuk melanjutkan sekolah (Elwood-Clayton 2006). Hal ini sangat jelas bahwa walaupun laki-laki banyak yang melakukan pre marital sexual intercourse, konsekuensi negative akan sangat berat dialami oleh wanita.

Minimnya intensitas komunikasi tentang kesehatan reproduksi antara orang tua dan anaknya sangat dipengaruhi oleh factor sosial budaya dan kurangnya pengetahuan tentang kesehatan reproduksi di kalangan orang tua (Utomo 2003). Selanjutnya Ramonasari (1996) berpendapat sama bahwa dalam konteks cultural di Indonesiathat, orang tua mempunyai intensitas yang sangat minim dalam membagi informasi tentang kesehatan reproduksi kepada anaknya karena mereka mempunyai keterbatasan waktu untuk berdiskusi dengan anak dan juga kurangnya informasi yang mereka punyai tentang bagaimana reproduksi remaja yang sehat. Faktor lain yang mempengaruhi buruknya komunikasi tentang kesehatan reproduksi remaja dalam keluarga adalah orang tua sebagai panutan (role model) bagi anak-anaknya dibentuk oleh nilai dan norma dalam sosial budaya yang membatasi orang tua membicarakan masalah kesehatan reproduksi terutama masalah seksualitas. Berbicara tentang seksualitas di anggap tabu oleh masyarakat dan masalah itu dianggap hanya untuk menjadi pembicaraan yang rahasia antara suami dan istri atau kalangan yang sudah menikah. Berbicara masalah seksual dengan kalangan remaja dianggap dapat mempengaruhi mereka untuk melakukan seks.

Isu gender lain yang berhubungan dengan kesehatan reproduksi remaja adalah banyaknya masalah kekerasan seksual yang dialami oleh remaja putri. Di kalangan remaja putri, kebanyak inisiasi dini dan terlibat dini dalam seksual intercourse banyak disebabkan oleh karena adanya pemaksaan, eksploitasi dan kekerasan (coercion, exploitation and violence) untuk berhubungan seks. Hal ini telah diteliti oleh Masrukhi (2003) dalam risetnya yang diulas di Koran Kompas tahun 2005. Dia mencatat bahwa sekitar 28 percent dari remaja putri yang miskin adalah pernah mengalami pelecehan seksual (sexual harassment), perkosaan dan pengalaman perdagangan wanita untuk kepentingan bisnis seks (BKKBN and UNFPA 2006). Komunikasi tentang informasi reproductive health juga berdimensi gender. Secara umum remaja lebih terbuka untuk membicarakan masalah yang berhubungan isu tentang kesehatan reproduksi dengan remaja sebaya (peer groups) dibandingkan dengan orang tua dan orang lainnya. Remaja sebaya sangat mempengaruhi (peer pressure) inisiasi untuk melakukan seksual intercourse dini pada remaja. Khusus untuk remaja putri, peer pressure ini dilaporkan sangat memegang perang penting dalam inisiasi untuk melakukan seksual intercourse. Sebagaimana data SKRRI 2002-2003 mendapatkan bahwa 74 persen remaja putri dan hanya 69 persen remaja putra. Selanjutnya, remaja putrid lebih cenderung untuk membicarakan masalah kesehatan reproduksi mereka kepada orang tua mereka sendiri dibandingkan dengan jumlah remaja putra berkomunikasi dengan orang tua mereka. Data SKRRI 2002-2003 menunjukkan 49 persen remaja putri dan 13 persen remaja putra membangun komunikasi yang baik tentang kesehatan reproduksi

Riset lain tentang komunikasi antara anak dan orang tua dilakukan oleh Surindo Utama in 1999. Mereka melakukan need assessment untuk kesehatan reproduksi remaja di beberapa kota besar di Indonesia dan menyimpulkan bahwa umumnya orang tua tidak menyiapkan diri mereka untuk memberikan informasi tentang kesehatan reproduksi kepada anaknya. Mereka berpikir bahwa berbicara masalah hal yang berkaitan dengan kesehatan reproduksi remaja adalah tabu dan mereka lebih cenderung untuk memberikan otonomi kepada guru anak mereka di sekolah untuk memberikan informasi tentang benar tentang kesehatan reproduksi remaja. Pada kasus orang tua yang tinggal di area pedesaan (rural area), orang tua menganggap bahwa anak mereka mempunyai pengetahuan yang lebih baik tentang kesehatan reproduksi remaja yang telah mereka dapatkan di

207


INOVASI : Vol. 7. No. 3,

September 2010

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

sekolah formal. Oleh karena itu mereka tidak perlu lagi membicarakan masalah ini kepada anakanaknya.

Konsekuensi dari kehamilan dini baik yang dilakukan sebelum dan setelah nikah sangat jelas berhubungan dengan factor gender. Sebagian besar konsekuensi ini sangat dirasakan oleh wanita dari pada oleh laki-laki. Ibu muda yang melahirkan sangat rentan kemungkinanya untuk menderita masalah yang berhubungan dengan kesehatan reproduksi mereka. Sebagaimana Reynolds et al (2006) berpendapat bahwa factor utama (leading cause) untuk kematian ibu bagi wanita yang berumur 15-19 tahun adalah dikarenakan oleh tingginya level kehamilan dini (early childbearing). Selanjutnya, kasus teenage pregnancy di Indonesia telah mengalami peningkatan sejalan dengan berjalannya waktu. Utomo and Mc Donald (2009) mencatat bahwa early childbearing ini berkontribusi terhadap kejadian aborsi di Indonesia.

GENDER DAN PERKAWINAN DAN KEHAMILAN DINI Kasus perkawinan atau pernikahan dini (early marriage) lebih berdimensi gender karena dalam statistic, jumlah perempuan yang mengalami kawin muda lebih banyak dari pada laki-laki. Hal ini sangat berhubungan erat dengan factor –faktor tertentu seperti factor budaya, sosial dan ekonomi. Indraswari (1999) berpendapat bahwa perempuan lebih cenderung untuk mengalami pernikahan dini karena mereka dipaksa oleh orang tua dengan istilah pertunangan/kawin paksa (parents arraged marriage). Kasus kawin paksa ini biasanya dilakukan secara tradisional dengan istilah “nikah siri”. Pada kasus ini, orang tua merancang dan melakukan pernikahan antara anak mereka yang berumur 9-15 tahun dengan disahkan secara keagamaan tetapi mereka tidak diperbolehkan untuk melakukan hubungan seksual sebagai layaknya suami isteri sampai anak laki-laki mereka berumur dan anak laki-laki berumur 16 tahun sesuai dengan Undang-Undang Perkawinan di Indonesia tahun 1974. Pada kasus nikah paksa ini atau nikah siri biasanya perempuan dipaksa untuk menikah karena dengan alasan untuk membantu perekonomian keluarga.

Kasus teenage pregnancy sebagai akibat dari pre marital seksual intercourse juga sangat bernuansa gender. Wanita mengalami konsekuensi yang lebih berat jika dibandingkan dengan laki-laki. Sebagaimana Holzner and Oetomo (2004) mencatat bahwa ketika teenage pregnancy terjadi sebagai akibat dari premarital sexual intercourse, wanita mempunyai kemungkinan yang sangat berat untuk distereotipkan sebagai “orang yang buruk” (bad person) dari pada laki-laki termasuk pula keluarga perempuan akan mendapat bias stereotip buruk akibat perbuatan wanita. Konsekuensi ini juga terjadi pada wanita usia sekolah akan mendapatkan sanski harus meninggalkan sekolah jika mendapatkan kehamilan dini di luar nikah. Sesuai dengan kebijakan sekolah, remaja putri ini akan dipaksa untuk meninggalkan bangku sekolah sedangkan remaja sekolah laki-laki biasanya tidak mendapatkan sanksi yang dirasakan oleh remaja putri tersebut. Diksriminasi terhadap kehamilan dini ini tidak hanya dirasakan oleh wanita sendiri tetapi juga akan dirasakan oleh anak yang dilahirkannya. Anak yang dihamilkan ini distigmatisasi oleh masyarakat sebagai anak yang haram dan terlebih lagi jika dilahirkan dan ibunya belum menikah maka anak tersebut juga akan distigmatisasi sebagai “anak bule” (bad children). Hal ini seakan-akan menunjukkan bahwa anak yang tidak berdosa tersebut harus mewarisi akibat dari perbuatan orang tuanya.

Hal lain adalah karena dilatorbelakangi oleh factor sosial budaya dimana adanya ketakutan orang tua akan kenyataan yang mereka hadapi yang berkaitan dengan anak perempuan mereka tidak mendapatkan jodoh. Keadaan ini diperparah dengan kondisi wanita sendiri yang kurang mengenyam pendidikan yang cukup sehingga mereka tidak mempunyai kekuatan untuk menolak dijodohkan. Selanjutnya, sosial budaya dalam masyarakat sebagian besar berpendapat bahwa wanita perlu untuk dijodohkan karena tugas utama wanita adalah melakukan kegiatan domestic seperti memasak, melahirkan dan merawat anak, melayani suami walaupun mereka telah mempunyai tingkat pendidikan yang memadai (Utomo 2005). Indraswari (1999) berpendapat bahwa kasus perjodohan dalam budaya masyarakat Indonesia terjadi karena pernikahan adalah merupakan kewajiban sosial (sosial obligation) dan kebutuhan sosial (sosial imperative) dari pada dianggap sebagai sosial contract sebagai pilihan individu (individual choice). Oleh karena itu kejadian perjodohan biasanya dilakukan orang tua kepada umumnya anak perempuan yang berumur masih sangat muda. Hal ini akan mempengaruhi peningkatan jumlah pernikahan dini (early marriage) yang dapat mempengaruhi jumlah teenage pregnancy (early pregnancy).

Hal lain yang berhubungan dengan kebijakan yang berhubungan dengan kesehatan reproduksi yang berdimensi gender dan merugikan kaum wanita adalah pembuktian kasus perkosaan dan kasus perceraian. Jika kasus perkosaan terjadi, maka pengadilan seakan-akan mendiskriminasi wanita karena hukum di Indonesia akan menanyakan bukti yang sah untuk menjatuhkan hukuman kepada kaum laki-laki. Padahal dalam kasus perkosaan dan pelecehan seksual biasanya sulit untuk mendapatkan bukti yang nyata karena biasanya

208


INOVASI : Vol. 7. No. 3,

September 2010

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

dilakukan dengan ancaman dan kekerasan dan wanita tidak dapat membuktikan mereka telah mendapat perlakuan tersebut. Isu lain adalah kasus perceraian yang dialami remaja putri yang belum siap secara financial untuk membiayai diri dan anak yang dilahirkan. Hukum yang berlaku di Indonesia hanya menjatuhkan hukuman pada laki-laki saat siding perceraian berlangsung. Hukum ini menyatakan bahwa laki-laki harus bertanggung jawab terhadap kebutuhan financial anaknya. Akan tetapi hukum tersebut hanya berlaku sesaat dan tidak menjatuhkan hukuman yang signifikan kepada laki-laki jika mereka melalaikan kewajiban yang mengikat tersebut. Akibat dari keadaan ini biasanya single mother remaja tersebut harus berusaha mensuport financial dan emosional anak. Hal ini menunjukkan bahwa kebijakan hukum di Indonesia yang berpihak kepada wanita sangat minim dan hal ini perlu mendapatkan perhatian dari pemerintah dan stakeholder.

berdampak pada peningkatan angka kematian ibu dan kematian anak. Berbagai isu gender dalam kehidupan remaja merupakan konstruksi sosial dan budaya dan masyarakat akan sangat bervariasi dalam setiap komunitas masyarakat dan hal ini merupakan hal yang dinamis dan dapat berubah setiap waktu. Oleh karena itu sebagai rekomendasi bagi pengambil kebijakan tentang kesehatan reproduksi remaja, isu gender ini sangat penting untuk dijadikan pertimbangan. Hendaknya setiap pengambilan kebijakan dalam kesehatan reproduksi remaja harus melihat kebutuhan yang berbeda antara remaja putri dan remaja putra. Penyusunan program promosi dan pendiidikan kesehatan masyarakat tentang reproduksi remaja sedianya mempertegas isu gender yang mempengaruhi kesehatan wanita. Masyarakat perlu diberi penjelasan tentang pentingnya komunikasi antara anak dan orang tua tentang reproduksi kesehatan remaja baik untuk remaja laki-laki maupun untuk remaja perempuan. Selain itu penyampaian informasi tentang bagaimana konsekuensi negative dari pernikahan dini bagi wanita sendiri dan keluarganya.

Merujuk dari beberapa contoh ketimpangan gender yang terjadi dalam masyarakat, maka terlihat dengan jelas bahwa penyusunan kebijakan kesehatan reproduksi remaja perlu mempertimbangkan hal tersebut sebagaimana di tegaskan oleh Djaelani (1996).

Hukum yang berlaku yang mendiskriminasi kaum perempuan hendaknya dikaji kembali sesuai dengan kebijakan kesehatan reproduksi remaja. Dengan memunculkan isu gender dalam setiap kebijakan terutama kebijakan kesehatan reproduksi remaja maka pengambil kebijakan dalam hal ini pemerintah, stakeholder dan programmer kesehatan reproduksi secara tidak langsung telah ikut meningkatkan status kesehatan reproduksi remaja pada khususnya dan meningkatkan kualitas sumber daya manusia pada umumnya.

KESIMPULAN Dapat disimpulkan bahwa peningkatan jumlah remaja selama tiga decade ini juga diikuti oleh perilaku yang beresiko terhadap kesehatan reproduksi remaja seperti pre marital sexual intercourse, pernikahan dan kehamilan dini. Hal ini diperparah dengan adanya KAP gap tentang reproductive health. Adanya KAP gap ini sangat dipengaruhi oleh factor gender yaitu sebagai bentukan sosial dan budaya dalam masyarakat (sosially and cultural constructed). Isu gender dalam kesehatan reproduksi remaja ini sangat merugikan kaum wanita dan semakin memperparah kesehatan reproduksi kaum wanita. Wanita diposisikan sebagai kaum yang harus menerima konsekuensi yang berat dari perilaku kesehatan remaja yang beresiko seperti pernikahan dini dan kehamilan dini. Konsekuensi ini beragam mulai dari stigmatisasi sosial dan ketidakadilan hukum terhadap mereka. Ketimpangan gender dalam masyarakat tentang kesehatan reproduksi remaja ini sangat mempunyai peranan yang besar dalam meempengaruhi tingkat pengetahun remaja dan orang tua terhadap masalah kesehatan reproduksi remaja. Sebagai contoh, walaupun wanita mempunyai pengetahuan yang lebih baik tentang kesehatan reproduksi akan tetapi karena pengaruh gender maka mereka harus menerima konsekuensi sebagai kaum yang harus menerima kodrat untuk dinikahkan secara dini. Pernikahan dini ini akan beresiko besar terhadap kehamilan dini yang

DAFTAR PUSTAKA Badan Koordinasi Keluarga Berencana (BKKBN) and The United Nations Population Fund (UNFPA). 2006. Buku sumber untuk advokasi: Keluarga berencana, kesehatan reproduksi, gender dan pembangunan kependudukan (Book for advocation: Family planning, reproductive health, gender and population development). ISBN:979-3151722: 119-158. BKKBN and UNFPA: Indonesia. Badan Pusat Statistik (BPS-Statistics Indonesia), National Family Planning Coordinating Board, Ministry of Health and ORC Marco. 2004. Indonesia young adult reproductive health survey 2002-2003. BPS and ORC Macro. Measure DHS: Jakarta. Badan Pusat Statistik (BPS-Statistics Indonesia), National Family Planning Coordinating

209


INOVASI : Vol. 7. No. 3,

September 2010

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

Hugo, G. 2005. “A demographic view of changing youth in Asia” in F. Gale and S. Fahey (eds), Youth and transition: The challenges of generational change in Asia, Pp: 59-88 Bangkok: UNESCO.

Board, Ministry of Health and ORC Marco. 2008. Indonesia young adult reproductive health survey 2007. BPS and ORC Macro: Measure DHS: Jakarta. Bruce, J., and E. Chong. 2003. The diverse universe, and the girls and boys left behind: A note on research, program and policy priorities. Background paper to the report Public choices, private decisions: Sexual and reproductive health and the millennium development goals. UN Millennium Project.

Indraswari (1999), Fenomena kawin muda dan aborsi: Gambaran kasus (The early marriage phenomenon and abortion: Drawing cases) : ISBN:979Menakar”Harga”perempuan, 433-206-2, pp: 131-169. Bandung: Mizan

Dixon-Mueller, R. 2009. Starting young: Sexual initiation and HIV prevention in early adolescent. AIDS Behavior 13: 100-109.

James-Traore, Tijuana A. 2001. Developmentally based interventions and strategies: Promoting reproductive health and reducing risks among adolescents. Focus on Young Adults. Focul Tool Series Number 4. Washington, D.C.:Pathfinder International

Djaelani, J.S.H. 1996. Kebijakan pelayanan kesehatan reproduksi remaja (Policy for teenage Reproductive health service): Seksualitas, kesehatan reproduksi dan ketimpangan gender, ISBN: 979-416-430-5, pp:307-332. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan collaboration with Population Research Centre of Gajah Mada University and The Ford Foundation.

Kantor Sekretariat Negara Republik Indonesia. 1989. Undang-undang pokok perkawinan (Marriage law). Jakarta: Bumi Aksara Publisher. Kholifah, D.R. 2005. Contesting discourses on sexuality and sexual subjectivity among single young women in pesantren (Muslim boarding school), West Java Indonesia. Thesis submitted to Master of sosial science (Sosial and Health Science) Faculty of graduate studies. Mahidol University. Thailand.

Elwood-Clayton, B. 2006. Maria Clara, Manilla girl and the other Mary. Premarital sex in the catholic Philippines: Constructions of seduction. Pilipinas 46(3): 1-27. Egero, B., and M. Hammarskjold. 2000. Issue paper on: HIV/AIDS in the world today- a summary of trends and demographic implication. Health Division document 1. Swedish International Development Cooperation Agency, Department for Demography and Sosial Development Health Division.

Kroeger, K.A. 2003. AIDS rumors, Imaginary enemies and the body politics in Indonesia, American Ethnologist 30(2): 243-257. McIntyre, P. 2004. Protecting young people from HIV and AIDS: The role of health services. UK: World Health Organization (WHO).

Gubhaju, B.B. 2002. Adolescent reproductive health in Asia. Paper presented at the 2002 IUSSP regional population conference: South-East’s Asia population in a changing Asian context. Bangkok, Thailand, 1013June.

Nugent, R. 2006. Youth in a global world. Bridge Population Reference Bureau. Ramonasari. 1996. Perilaku Remaja dan kesehatan reproduksi (Teenager practice and reproductive health): Seksualitas, kesehatan reproduksi dan ketimpangan gender. pp:299306. Jakarta: Pustaka Harapan

Gunawan. 2004. Underlying factors determining unsafe induced abortion among rural women in east Java, Indonesia. Thesis submitted to Faculty of Graduate Studies, Mahidol University.

Raymundo, C.M., P.Xenos, amd L.J.Domingo. 1999. Adolescent sexuality in Philippines. University of the Philippines Population Institute (UPPI) and East-West Center Population and Health Studies. Quezon City, Philippines: UPPI.

Holzner, B.M., and D. Oetomo. 2004. Youth, sexuality and youth education messages in Indonesia: Issues of desire and control. Reproductive health matters 12(23):40-49

Reynolds, HW, Wong, EL and Trucker, H (2006). Adolescent’s use of maternal and child

210


INOVASI : Vol. 7. No. 3,

September 2010

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

health services in developing countries. Studies in Family Planning 32(1): 6-16 Singh, S., Wulf, D., Samara, R., and Y.P. Cuca. 2000. Gender differences in the timing of first intercourse: Data from 14 countries. International Family Planning Perspective 26(1): 26-28, 43. Tsui, A.O., Wasserheit, J.N., and J.G. Haaga (eds). 1997. Reproductive Health in Developing Countries: Expanding Dimensions, Building Solutions. Washington: National Academy Press. UNFPA. 1998. The Sexual and Reproductive Health of Adolescents: A Review of UNFPA Assistance. Technical Report No.43. Washington: The UNFPA. Utomo, Iwu (2005). Women’s lives: Fifty years of change and continuity. In Terrence Hull (People, population and policy in Indonesia), ISBN.981-230-296-4, pp:71123. Singapore. Utomo, I. D., and P. McDonald. 2009. Adolescent Reproductive Health in Indonesia: Contested Values and Policy Inaction. Family Planning 40(2): 133-146. Villareal, Marcella, (1998). Adolescent fertility: socio-cultural issues and programmed implications. Population programme service, food and agriculture organization of the United Nations, Rome. Wahid, A et al (1996). Seksualitas, kesehatan reproduksi dan ketimpangan gender (Sexuality, reproductive health and gender inequity). ISBN: 979-416-430-5. Jakarta: Pustaka sinar harapan collaboration with Population research centre of Gadjah Mada university and The Ford Foundation. World

Health Organization (WHO). 1975. Pregnancy and abortion in adolescence. Report of WHO meeting. WHO Technical Report Series No.583. Geneva:WHO.

211


INOVASI : Vol. 7. No. 3,

September 2010

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

Reformasi Sistem Pelayanan Angkutan Umum Melalui Pengoperasian Angkutan Umum Massal Berbasis Jalan (Bus Rapid Transit) Diwilayah Medan-Binjai-Deli Serdang (Mebidang) Naruddin Dalimunthe1), Agustinus Panjaitan2) 1)

2)

Kepala Dinas Perhubungan Provsu Kasi Lalu Lintas UPT ASDP Belawan Dishubsu / Dosen Fak. Teknik US XII

Abstract Figures for population growth continues to increase in the region of urban-Medan-Binjai Deli Serdang (Mebidang) became one of the factors triggering the problem of transportation. Increased use of private vehicles, especially motorcycles progressively increased levels of traffic congestion and one reflection of the quality of public transport services that have not become public preferences for travel activities. This condition is aggravated by the low awareness of road users in road traffic orderly. Face of our public transport is often colored by our demonstration route carriers due to the conflict, particularly the border region Mebidang. Provision of route-based administrative regions by their respective district proved to be irrelevant by the commuter travel characteristics of cross-Mebidang district, so it is a usual urban public transport service provided by the character of mass Mebidang higher quality. According to the traffic condition of Mebidang region, The Provincial Government of North Sumatra through the support the Ministry of Transportation Directorate General of Land Transportation Indonesian Republic striving to implement reform of public transport service system through the development of mass transportation programs based road Mebidang region. Important factor involved in the provision of mass transportation services Mebidang is a high quality assurance services through permission based on quality or we called as the route tenderisasi The success of these efforts is very much determined by the support of all relevant stakeholders namely the government as regulator, operator of public transport and the public as users of services.

Keywords: Public transport quality, Mass transit, Quality licensing. pemanfaatan energi yang sia-sia. Sungguh kerugian yang sangat mahal yang harus ditanggung masyarakat akibat kemacetan.

PENDAHULUAN Latar Belakang

Berlatarbelakang dari hal tersebut, peningkatan kualitas pelayanan angkutan umum di wilayah Mebidang melalui penyediaan sarana angkutan umum massal berbasis jalan (BRT) diharapkan dapat menjadi salah satu solusi mengurangi kemacetan lalu lintas.

Penelitian yang dilakukan oleh Bappenas tahun 2006 menunjukkan bahwa kemacetan di Jakarta menimbulkan kerugian ekonomi mencapai Rp.7 Trilyun/tahun yang dihitung untuk 2(dua) sektor saja, yakni energi Rp.5,57 Trilyun/tahun dan kesehatan Rp.1,7 Trilyun/tahun. Bahkan Yayasan Pelangi, sebuah LSM dibidang transportasi memperkirakan kerugian mencapai Rp.43 Trilyun/tahun akibat menurunnya produktivitas kerja, pemborosan BBM dan pencemaran udara. Fakta menunjukkan bahwa kemacetan juga sudah terjadi diwilayah perkotaan Mebidang. Akibat tingginya penggunaan kendaraan pribadi khususnya sepeda motor, kemacetan terjadi dimana-mana. Dampak yang ditimbulkan juga beragam. Secara ekonomi, kemacetan menyebabkan peningkatan waktu tempuh (inefisiensi waktu), biaya transportasi secara signifikan, gangguan yang serius bagi distribusi produk-produk ekspor-impor, penurunan tingkat produktifitas kerja dan

Perumusan Masalah Angkutan umum sebagai pelayanan publik mempunyai dampak yang besar terhadap jalannya roda perekonomian, maka kelangsungan pelayanan angkutan umum menjadi sangat penting dan perlu mendapat perhatian yang serius dari semua stake holder yang terkait dengan penyelenggaraan sistem transportasi, dengan mengadopsi pendapat para pakar transportasi yang mengetengahkan bahwa Kota yang baik dan kondusif dapat ditandai antara lain dengan kondisi sistem transportasinya tertata dengan rapi dan bersahabat dengan Iingkungan, disamping pelayanan angkutan umum perkotaan

212


INOVASI : Vol. 7. No. 3,

September 2010

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

tersebut telah terintegrasi dengan pelayanan moda angkutan umum lainnya. b. Mengacu pada permasalahan seperti dijelaskan di atas, maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut : 1). Apa yang menjadi permasalahan utama transportasi diwilayah Mebidang? 2). Mengapa Angkutan Massal BRT menjadi pilihan dan apa kelebihannya ?. tahapan implementasi 3). Bagaimana pengoperasian angkutan umum massal di wilayah Mebidang ?. 4). Apa upaya dan bagaimana strategi Pemerintah Provinsi Sumatera Utara dan kab/kota diwilayah Mebidang untuk mewujudkan angkutan massal tersebut?.

dengan kendaraan bermotor umum dikawasan perkotaan. Angkutan Massal tersebut dalam pengoperasiannya harus didukung dengan : 1. Mobil bus yang berkapasitas angkut massal 2. Lajur khusus 3. Trayek angkutan umum lain yang tidak berimpitan dengan trayek angkutan massal 4. Angkutan pengumpan.

Dalam konsep Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Angkutan sebagai peraturan pelaksanaan dari UU Nomor 22 Tahun 2009, juga dijelaskan bahwa Pemerintah daerah dapat mengembangkan Angkutan Umum dengan Sistem Transit sebelum menjadi Sistem angkutan massal dengan lajur khusus yang tidak terproteksi (memliki lajur khusus). Contoh daerah yang telah mengembangkan system tersebut yaitu : Bus Pilot Project (BPP Batam), Trans Pakuan, Trans Jogja, Trans Metro Bandung, Trans Pekanbaru, Trans Metro Semarang, Trans Kawanua, Trans Musi, Trans Hulontalangi dan Batik Solo Trans. Adapun kriteria dari pelayanan angkutan umum Sistem Transit yaitu : 1. pelayanan angkutan umum dalam trayek dengan bus sedang dan/atau bus besar, 2. pemberangkatan berjadwal, 3. menaikkan & menurunkan penumpang ditempat dengan fasilitas khusus yang telah ditentukan, dan 4. dilengkapi dengan sistem tiket khusus

Tujuan Tujuan dari kajian angkutan umum massal diwilayah Mebidang adalah sebagai berikut : 1). Mengidentifikasi permasalahan utama transportasi diwilayah Mebidang, dan bagaimana peran angkutan massal untuk mengurangi kemacetan di wilayah tersebut. 2). Merumuskan pola penerapan angkutan pemadu moda bandara Kuala Namu menjadi tahap awal pengembangan pelayanan angkutan umum massal di wilayah Mebidang 3). Megidentifikasi damapak yang akan timbul akibat pengoperasian BRT Mebidang 4). Merekomendasikan strategi pendekatan dalam rangka implementasi sistem pelayanan angkutan umum massal di wilayah Mebidang.

Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang RTRWN, menetapkan Kawasan Mebidangro termasuk dalam Kawasan Strategis Nasional, penetapan status tersebut menuntut penyediaan sarana transportasi yang handal dan efisien untuk mendukung mobilitas orang diwilayah tersebut.

KAJIAN LITERATUR Bebarapa kajian literatur yang menjadi dasar penerapan angkutan umum massal diwilayah Mebidang melalui penyedian angkutan pemadu moda bandara Kuala Namu adalah sebagai berikut : Pasal 139 Undang-Undang No.22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, disebutkan bahwa : a. Angkutan umum diselenggarakan dalam upaya memenuhi kebutuhan angkutan umum yang selamat, aman, nyaman dan terjangkau; b. Pemerintah wajib menjamin tersedianya angkutan umum sebagaimana pada ayat diatas .

Dalam Ranperpres tentang Rencana Tata Ruang Mebidangro dan Ranperda Provsu tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Prov. Sumatera Utara, pengembangan Angkutan Massal Berbasis Jalan (BRT) dan Rel sudah ditetapkan sebagai salah satu program dalam pengembangan struktur jaringan transportasi Mebidangro.

PEMBAHASAN Pasal 158 Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan disebutkan bahwa : menjamin ketersediaan a. Pemerintah angkutan massal angkutan massal berbasis jalan untuk memenuhi kebutuhan orang

Gambaran Mebidang

Umum

Transportasi

diwilayah

Seperti halnya kota-kota besar di Indonesia, Kota Medan disamping sebagai ibukota Provinsi

213


INOVASI : Vol. 7. No. 3,

September 2010

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

hari baik dari wilayah Kota Binjai, Kabuapten Deli Serdang menuju pusat kota Medan.

Sumatera Utara, telah berkembang menjadi Kota Metropolitan, seiring dengan pertumbuhan jumlah penduduk, perkembangan ekonomi dan semakin meningkatnya mobilitas masyarakat kota Medan. Oleh karenanya Kota Medan sebagai pusat kegiatan ekonomi maupun pusat pendidikan di Provinsi Sumatera Utara memiliki daya tarik bagi masyarakat yang berdomisi didaerah penyangga kota Medan seperti Binjai, Deli Serdang maupun daerah lainnya untuk melakukan perjalanan ke pusat kota setiap hari.

Sejauh ini terindikasi bahwa dominasi perjalanan untuk bekerja dibangkitan dari zona internal (kota Medan) yang memproduksi perjalanan internal dan zona eksternal yang membangkitan perjalanan ulang-alik (commuter trip) dari kawasan yang berada di bawah pemerintah Kota Binjai maupun Kab. Deli Serdang, yang pada gilirannya menimbulkan masalah dibidang lalu lintas dan angkutan jalan, seperti kemacetan lalu lintas tidak hanya terjadi selama hari kerja, tetapi juga terjadi pada hari libur (libur nasional, sabtu dan minggu) pada kawasan-kawasan tertentu. Disisi lain permintaan kebutuhan akan layanan angkutan umum juga terjadi sepanjang hari selama periode satu minggu, khususnya masyarakat perkotaan yang tidak memiliki kendaraan pribadi. Pengoperasian angkutan umum yang berkapasitas kecil (angkot) yang cenderung tidak terkendali dan berbasis administratif tidak relevan dengan pola perjalanan orang dikawasan Mebidang.

Pertumbuhan kota Medan dan perluasan pusat-pusat kegiatan di wilayah sekitarnya, menjadikan wilayah penyangga disekitar kota Medan ikut berkembang, seperti Kota Binjai dan Kabupaten Deli Serdang. Dengan kondisi demikian kota Medan dan sekitarnya pada saat ini tumbuh membentuk kawasan Aglomerasi Mebidang. Perjalanan yang terjadi cenderung untuk mendukung kegiatan bekerja yang lebih dominan (working trip base), diikuti pola perjalanan bisnis, belajar, sosial dan rekreasi, yang menyebabkan mobilitas masyarakat yang berdomisili di Kota Medan, Binjai, Deli Serdang tersebut tidak lagi terfokus sebatas wilayah, masing-masing administrasi, tetapi telah membentuk suatu kawasan Aglomerasi diwilayah perkotaan yang dikenal dengan Kawasan Aglomerasi Mebidang.

Karakteristik pola perjalanan yang terjadi mencerminkan bahwa kebutuhan akan pelayanan angkutan umum dewasa ini sudah tidak layak lagi untuk menggunakan jenis angkutan umum yang berkapasitas rendah, akan tetapi seyogyanya sudah diarahkan pada penggunaan jenis angkutan umum massal yang berkapasitas besar, sebagai salah satu opsi untuk mengurangi kemacetan lalu Iintas di kota Medan, Binjai dan Deli Serdang.

Namun perkembangan dan pertumbuhan perkotaan yang cepat tersebut, telah terbentuk menjadi kawasan Aglomerasi Mebidang, dengan penanganan dan pengaturan sistem transportasi perkotaan kurang optimal, dan cenderung timpang karena salah satu komponen utama pendukung pertumbuhan (economic growth) tersebut nyaris terabaikan untuk dibenahi. Sementara dilain sisi masyarakat yang berdomisili pada kawasan aglomerasi tersebut sangat menghendaki adanya pelayanan angkutan umum yang cepat, handal, sedapat mungkin mampu menjangkau keseluruhan wilayah perkotaan tersebut, dengan pengertian Iuas tidak harus berganti -ganti moda sampai lebih dari 3-4 kali baru bisa sampai ke tujuan perjalanan. Konsekuensi dari pergantian moda ini adalah banyak memakan waktu (wasting time) dan biaya perjalanan, hal ini yang tidak dikehendaki.

Identifikasi Permasalahan diwilayah Mebidang

Transportasi

Permasalahan utama dibidang transportasi perkotaan pada kawasan Mebidang yang dihadapi saat ini, secara umum dapat dikemukakan sebagai berikut : a. Masyarakat perkotaan Mebidang cenderung menggunakan kendaraan pribadi disebabkan kualitas pelayanan angkutan umum relatif rendah baik kenyamanan, keamanan maupn kehandalannya. b. Pelayanan angkutan umum yang ada saat ini hanya mampu menarik masyarakat pengguna angkutan umum (captive public transport riders), dan belum mampu menarik perhatian pengguna kendaraan pribadi (Choice Riders) untuk dapat beralih menggunakan angkutan umum ditandai dengan peningkatan pertumbuhan kendaraan pribadi yang meningkat secara signifikan khususnya diwlayah Mebidang. c. Sistem terget setoran menjadi salah satu faktor pemicu prilaku tidak disiplin pengemudi angkutan umum.

Penanganan pelayanan angkutan umum pada masa yang akan datang diharapkan tidak lagi hanya menata angkutan umum pada satu kota saja, mengingat pola perjalanan (transport demand) yang terjadi cukup meningkat dari wilayah Aglomerasi Mebidang yang tidak terlepas dari semakin meningkatnya angkatan kerja, laju gerak perkonomian yang telah membentuk kawasan Aglomerasi perkotaan. Pada kawasan Aglomerasi Perkotaan Mebidang ini telah terjadi pergerakan masyarakat pulang-pergi "commuter trip", setiap

214


INOVASI : Vol. 7. No. 3,

September 2010

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

d. Lemahnya sistem kelembagaan dan penegakan hukum di lapangan (law enforcement) e. Pola pengembangan jaringan trayek angkutan umum yang belum dilandasi suatu kajian komprihensive, kurang didekati dengan pola permintaan perjalanan dan preferensi dari masyarakat pengguna jasa angkutan, cenderung ditangani secara parsial oleh masing-masing kab/kota yang lebih fokus pada pelayanan angkutan umum berdasarkan wilayah administratif, mengabaikan filosofi transport yang tidak dibatasi wilayah administrasi. f. Rendahnya kapasitas angkutan umum, yang diindikasikan oleh semakin berkembangnya angkutan paratransit seperti : angkot, becak bermotor, ojek sepeda motor yang berkapasitas angkut sangat kecil. g. Keterbatasan kemampuan SDM maupun Lembaga yang bertanggung jawab dalam bidang pengawasan dan pengendalian angkutan umum perkotaan.

Beberapa manfaat ekonomi dari penerapan BRT :

Dalam upaya peningkatan efisiensi dan mendukung perbaikan pelayanan angkutan umum pada Kawasan Aglomerasi Perkotaan Mebidang, baik untuk masyarakat yang tidak memiliki pilihan lain untuk melakukan perjalanan (captive public transport riders) maupun upaya mengalihkan keinginan masyarakat pengguna kendaraan pribadi (choice riders) agar mau menggunakan angkutan umum, salah satu solusi terbaik adalah menyediakan pelayanan angkutan umum massal yang handal, cepat, aman, nyaman dan efisien. Memperhatikan beberapa permasalahan dan kondisi angkutan umum sebagaimana disebutkan diatas dan guna menghadapi tantangan transportasi dimasa yang akan datang, suka atau tidak suka, mau atau tidak mau, terlepas dari resistensi keberadaannya, diperlukan adanya suatu implementasi kebijakan perencanaan angkutan umum massal berbasis jalan sebagai salah satu alternatif untuk mengurangi ketergantungan masyarakat perkotaan menggunakan kendaraan pribadi maupun untuk mengganti penggunaan angkutan umum berkapasitas kecil. Mengapa Mebidang membutuhkan angkutan massal (BRT) ? Berdasarkan hasil kajian tentang Bus Rapid Transit oleh Transportation Research Board (2003) terhadap 26 kota di Amerika Utara, Australia, Eropa dan Amerika Selatan, BRT diterapkan di banyak kota karena pengoperasiaannya yang fleksibel, lebih cepat dibangun dan terjangkau pendanaannya oleh pemerintah kota. TransJakarta Busway merupakan proyek percontohan bagi kota-kota besar lainnya di Indonesia, sehingga bisa digunakan sebagai referensi dalam pengembangan BRT di Mebidang.

215

Penerapan BRT memberikan pilihan yang nyaman bagi pengguna kendaraan pribadi untuk beralih ke angkutan umu;. Penggunaan BRT di banyak negara juga menghemat waktu perjalanan antara 23% 47% dari waktu tempuh sebelum penerapan BRT. Penerapan BRT juga memberikan manfaat terhadap meningkatnya penggunaan lahan di sekitar halte dan koridor yang dilalui BRT sehingga dapat mengembangkan potensi kotakota satelit; Penerapan BRT juga akan menjadi pembelajaran yang baik bagi masyarakat untuk lebih disiplin, tertib dan teratur dalam berlalulintas, serta lebih manusiawi dalam menjalani kehidupan.


INOVASI : Vol. 7. No. 3,

September 2010

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

Tabel 1. Keuntungan Pengoperasian BRT MEKANISME & REDUKSI KEMACETAN, EMISI, BBM Retensi & peralihan / eleminasi moda

Kapasitas Bus

Perubahan penggunaan lahan

Lajur busway terpisah

Jarak pemberhentian

Waktu/durasi ngetem

Efisiensi rute

Pemilihan teknologi penggerak (propulsion) bus. Maintenance regular bagi bus-bus BRT.

OVERVIEW HASIL MEBIDANG (2007)

DESKRIPSI

TEKNIK PENGUKURAN

BRT membantu untuk tetap menjaga pelanggan yang sudah ada dan juga mendorong pelanggan baru yang sebelumnya lebih suka menggunakan transportasi pribadi beremisi tinggi Satu unit BRT dapat menggantikan kapasitas 4 hingga 5 minibus/MPU. Arus penumpang di banyak sistem BRT mencapai lebih dari 25.000 pnp/jam /tujuan.

• Survei persentase peralihan moda; • Faktor-faktor emisi berbagai moda

Perubahan struktural kota bisa terjadi di sekitar koridor BRT yang berakibat pada pengurangan jumlah trayek, panjang trayek, jenis-jenis moda yang digunakan untuk membuat trayek. Dibandingkan dengan yang beroperasi di lalulintas biasa, bus-bus BRT yang beroperasi di lajur terpisah akan mengurangi kemacetan, meningkatkan efisiensi BBM, bukan hanya bagi bus BRT sendiri tetapi untuk lalulintas lainnya juga. Angkutan umum eksisting di wilayah Mebidang sangat minim memberdayakan halte, dapat berhenti di mana saja & kapan saja. BRT memiliki pemberhentian resmi setiap 500 m sehingga mencapai efisiensi BBM yang lebih tinggi. Naik & turun penumpang dengan cepat pada operasional BRT sehingga singkatnya waktu ngetem tersebut memperbaiki performansi efisiensi BBM. Struktur rute yang lebih rasional dapat berarti jarak perjalanan yang lebih pendek & efisiensi penggunaan BBM yang lebih tinggi. Sistem penggerak & BBM beremisi rendah dapat membantu reduksi emisi gas buang. Dapat meningkatkan kinerja efisiensi BBM & umur mesin.

Perbandingan atau pemodelan penggunaan lahan sebelum dan sesuadah operasional BRT.

STUDI

BRT

Alternatif Koridor Pelayanan BRT Dalam rangka implementasi BRT Mebidang Direktorat Jenderal Perhubungan Darat melalui Direktorat Bina Sistem Transportasi Perkotaan (BSTP) pada tahun 2007 telah melakukan Studi Perencanaan Teknis Angkutan Umum Massal Bus Rapid Transit pada kawasan Aglomerasi Mebidang (Medan - Binjai - Deli Serdang). Adapun alternatif koridor yang direkomendasikan dari hasil studi dimaksud adalah sebagai berikut :

216

Perbandingan efisiensi BBM per penumpang

Perbandingan BBM

penggunaan

Analisis efisiensi BBM

Analisis efisiensi BBM

Jarak tempuh perjalanan & Analisis efisiensi BBM

Analisis efisiensi emisi gas buang Analisis efisiensi BBM

mesin

&

mesin

&


INOVASI : Vol. 7. No. 3,

September 2010

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

Tabel 2. Alternatif Koridor BRT Mebidang Alternatif Koridor 1 2 3 4

Nama Alternatif Koridor Pinang Baris – Guru Pantimpus Brigjen Katamso – Yos Sudarso Amplas – Irian Barat

5

Perintis kemerdekaan – Kuala Namu Jamin Ginting – Raden Saleh

6

Asrama – Kol. Bejo

7

Nasution – Pinang Baris

8

Terminal Binjai – Terminal P. Baris 9 Terminal Amplas – Terminal L.Pakam Sumber : Hasil Studi, 2007

Rute yang Dilalui Terminal Pinang Baris – Jl. Gatot Subroto – Jl. Guru Pantimpus Jl. Brigjen Katamso – Jl. Pemuda – Jl. Achmad Yani – Jl. Balaikota – Jl. Puteri Hijau – Jl. Yos Sudarso Terminal Amplas – Jl. Sisingamangaraja – Jl. Cirebon – Jl. Irian Barat Jl. Perintis Kemerdekaan – Jl. Moh Yamin – Jl. Letda Sujono – Kuala Namu Jl. Jamin Ginting – Jl. S Parman – Jl. Kapten Maulana Lubis – Jl. Raden Saleh Jl. Asrama- Jl. Kapt. Sumarso- Jl. Helvetia-Jl. Pertempuran-Jl. Pertahanan- Jl. Cemara-Jl. Kol. Bejo Jl. AH Nasution – Jl. Ngumban Surbakti – Jl. Flamboyan Raya – Jl. Sakura Raya – Jl. TB Simatupang – Terminal Pinang Baris Jl. Medan – Binjai Jl. Medan - Lubuk Pakam

Gambar 1. Koridor Pelayanan Koridor BRT Mebidang

Tinjauan Hasil Kelayakan Mebidang (Koridor 1)

Finansial

BRT

Tinjauan Hasil Mebidang

Kelayakan

Ekonomi

BRT

Secara langsung, maka pengguna BRT akan mendapatkan manfaat dari penghematan waktu tempuh. Penghematan ini kalau dikuantifikasikan akan berdampak pada peningkatan produktifitas kerja dan menghasilkan nilai rupiah yang lebih besar, dibandingkan kalau pengguna transportasi Mebidang menggunakan waktu yang lebih lama di perjalanan. Penerapan BRT juga akan mempengaruhi fungsi dan nilai lahan di sepanjang koridor BRT dan wilayah yang secara langsung terkait dengan

Berdasarkan hasil analisis dengan memperhitungkan semua biaya investasi BRT, serta biaya operasional pengoperasian BRT, maka bisa disimpulkan bahwa secara finansial proyek ini tidak layak (discount rate : 12%, NPV: – 53.549 juta). Akan tetapi proyek ini tetap bisa dijalankan dan akan menjadi layak apabila biaya investasi tidak dihitung dalam analisis dan merupakan kewajiban pemerintah (Kemenhub, Pemprovsu, Pemkab/Pemko Mebidang) dalam menyediakan sarana dan prasarana untuk kepentingan umum (discount rate: 12%, NPV: 6.387 juta dan IRR: 92,68%).

217


INOVASI : Vol. 7. No. 3,

September 2010

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

koridor BRT. Nilai lahan akan menjadi lebih mahal dan lebih produktif. Penerapan BRT akan menjadi salah satu penggerak aktivitas perekonomian secara umum, karena mendorong dan mempermudah mobilitas masyarakat dalam beraktivitas produktif.

Dampak Terhadap PAD Parkir (Koridor 1) Dampak sosial lainnya dari operasional BRT di wilayah Mebidang ini adalah dihapuskannya sejumlah areal parkir di badan jalan (on-street parking) sebagai akibat dari kebutuhan pemanfaatan lebar badan jalan yang optimal bagi operasional BRT Mebidang. Sementara itu, retribusi parkir (on-street parking) merupakan salah satu sumber PAD yang signifikan bagi pemerintah kota/pemerintah kabupaten. Oleh karena itu, penghapusan areal on-street parking di sisi kiri dan/atau kanan jalan sepanjang koridor BRT ini perlu diikuti dengan kebijakan penyediaan areal pengganti sarana parkir yang memadai khususnya pada lokasi-lokasi dengan aktifitas tinggi seperti perkantoran, sekolah dan pertokoan agar PAD dari retribusi parkir serta pendapatan pengusaha fungsi guna lahan sekitar tidak menurun drastis (win-win solutions).

Dampak Terhadap Angkutan Kota (Koridor 1) Berdasarkan hasil analisis, bahwa dari seluruh trayek angkutan umum Kota Medan yang melayani ruas-ruas jalan yang menjadi lintasan BRT Koridor 1 terdapat 129 trayek berasal dari 14 perusahaan angkutan kota (operator) yang bersinggungan dengan rute rencana Koridor 1. Total jumlah kendaraan berdasarkan izin yang dikeluarkan dari seluruh trayek yang bersinggungan tersebut mencapai 8.578 kendaraan. Dari perhitungan jumlah panjang lintasan yang bersinggungan dengan rute rencana Koridor 1 BRT Mebidang (Pinang Baris - Guru Patimpus) yang melebihi 50% dari total panjang lintasan masing-masing trayek maka jumlah armada angkot yang direkomendasikan untuk dieleminasi atau dialihkan menjadi angkutan feeder adalah 2835 unit. Sisa jumlah armada angkot yang bersinggungan dengan rute rencana Koridor 1 BRT Mebidang (Pinang Baris - Guru Patimpus) adalah 5744 unit.

Upaya dalam rangka penerapan angkutan umum massal di wilayah Mebidang sebenarnya sudah cukup lama didengungkan oleh berbagai pihak terkait mulai dari pemerintah pusat dalam hal ini Direktorat Jenderal Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan, Pemprov Sumut dan dari kalangan akademisi dan pemerhati transportasi di Sumatera Utara. Kondisi tersebut adalah hal yang wajar jika kita melihat perkembangan pertumbuhan ekonomi diwilayah Mebidang beberapa tahun belakangan ini.

Dampak Terhadap PKL (Koridor 1) Pengoperasian BRT juga akan berdampak terhadap para PKL di sepanjang Koridor 1 BRT, karena sepanjang rute BRT tersebut harus bebas dari para PKL serta aktivitas lainnya yang dapat menghambat kelancaran arus lalu lintas sekitar wilayah koridor. Lokasi alternatif bagi para PKL yang ada di sepanjang Jl. Gajah Mada dan Jl. Gatot Subroto disarankan ke tempat yang tidak mengganggu operasional lajur BRT yakni misalnya ke sekitar wilayah Pasar Peringgan dan di sekitar wilayah pertumbuhan warung-warung kaget pada jalanjalan lokal di sepanjang sisi Selatan (kanan) Jl.H. Zainul Arifin. Alternatif lainnya dapat juga direlokasi ke internal wilayah Pasar Tradisional Cik Ditiro. Ketiga lokasi alternatif ini tidak jauh letaknya dari lokasi para PKL saat ini. Selanjutnya, untuk memotivasi para PKL ini agar tidak keberatan untuk direlokasi ke tempat lain, maka disarankan kepada Pemda untuk memberikan subsidi dalam bentuk pembebasan retribusi berjualan selama kurun waktu tertentu untuk memudahkan para PKL tersebut menyesuaikan keberadaannya di lokasi yang baru.

Pada Tahun 2007 Direktorat BSTP Ditjen Perhubungan Darat juga telah melakukan kajian perencanaan angkutan umum massal berbasis jalan (BRT) di wilayah Mebidang dan sebagai tindaklanjut pada tahun 2008 juga telah diadakan workshop mengenai angkutan massal di wilayah Mebidang, kegiatan tersebut merupakan upaya Ditjen Perhubungan Darat untuk mendorong penerapan angkutan umum massal berbasis jalan (BRT) diwilayah Mebidang dan mengharapkan Pemerintah Provinsi dapat mengkoordinasikan program tersebut dengan Kab/Kota terkait diwilayah Mebidang. Berbagai pertemuan/rapat koordinasi dan sosialisasi mengenai transportasi massal diwilayah Mebidang juga telah dilakukan oleh Pemprov Sumut bersama dengan Dinas Perhubungan Kabupaten/Kota, Organda dan stake holder lainnya. Beberapa kendala penerapan angkutan massal diwilayah mebidang antara lain sebagai berikut : a. Sektor perizinan angkutan umum dan parkir merupakan salah satu sumber PAD bagi Pemerintah Daerah sehingga penerapan angkutan massal menjadi kontra produkstif dalam pencapaian target PAD, khususnya bagi

218


INOVASI : Vol. 7. No. 3,

September 2010

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

Pemkab/Pemko karena penerapan angkutan massal berdampak terhadap pengurangan (eliminasi) jumlah angkutan kota dan pedesaan. b. Kondisi prasarana jalan (lebar jalan) yang kurang memungkinkan untuk menyediakan lajur khusus bagi angkutan umum massal, sehingga pada ruas jalan yang tidak memungkinkan untuk penerapan lajur khusus harus menggunakan system transit, pelayanan angkutan umum massal menjadi kurang optimal c. Potensi konflik sosial yang cukup tinggi khususnya bagi pengemudi dan pengusaha angkutan umum yang tereliminasi karena penerapan angkutan umum massal, pembebasan lahan untuk pelebaran jalan, parkir, dll.

Kegiatan/Upaya Yang Telah Dilakukan :

Beberapa kegiatan yang telah dilakukan dalam rangka mendorong implementasi BRT Mebidang : 1. Tahun 2007, Penyusunan Studi Perencanaan Teknis Angkutan Umum Massal Bus Rapid Transit pada kawasan Aglomerasi Mebidang (Medan - Binjai- Deli Serdang) oleh Dit.BSTP Ditjen Hubdat 2. Tahun 2008, Pemaparan Hasil Studi bersama Perencanaan Teknis Angkutan Umum Massal Bus Rapid Transit pada kawasan Aglomerasi Mebidang (Medan - Binjai- Deli Serdang), dilaksanakan di Medan, oleh Dit. BSTP Ditjen Hubdat. 3. Tahun 2009, Workshop Penyusunan Master Plan Transportasi pada Kawasan Aglomerasi Mebidang, dilaksanakan di Medan oleh Dit.BSTP Ditjen Hubdat. 4. Tahun 2010, Dishub melalui Surat Kadishubsu menyatakan dukungan terhadap penerapan Angkutan Massal Mebidang, yang diintegrasikan dengan pengoperasian angkutan pemadu moda Bandara Kuala Namu. 5. Tahun 2010, Gubernur Sumatera Utara menyurati Dirjen Hubud dan PT.Angkasa Pura perihal permintaan lahan pengendapan, untuk mendukung operasional angkutan pemadu moda yang juga akan melayani pergerakan komuter Mebidang. 6. Tahun 2010, Konsolidasi Penataan Transportasi Perkotaan Mebidang, dilaksanakan di Medan oleh Dit. BSTP Ditjen Hubdat Kemenhub yang kegiatan utamanya adalah mendorong implementasi angkutan umum massal Mebidang. 7. Tahun 2010 Pemko Medan melalui Dinas Perhubungan, telah mengalokasikan anggaran untuk penyusunan SAUM di Kota Medan, sebagai antisipasi penerapan BRT Mebidang.

2004 – 2005 : DKI Jakarta 2005 – 2006 : Batam 2006 – 2007 : Bandung dan Bogor 2007 – 2008 : Yogyakarta (Kartamantul) 2008 – 2009 : Semarang, Pekanbaru, dan Manado. 2009 – 2010 : Palembang, Feeder Trans Jakarta, Surakarta, dan Gorontalo. 2010 – 2011 : Tangerang, Feeder DKI Jakarta, Denpasar (Sarbagita), dan Ambon. 2011 – 2012 : Bekasi, Makassar, Surabaya, Depok, Samarinda, Bandar Lampung, Balikpapan, Jayapura, dan Padang (Palapa). 2012 – 2013 : Medan (Mebidang), Malang Raya, Pontianak, Kupang, Jambi, Mataram, Banda Aceh, dan Palu. 2013 – 2014 : Banjarmasin, Kendari, Bengkulu, Tanjung Pinang, Pangkal Pinang, Serang, Palangkaraya, Ternate, Sorong, dan Timika.

Berdasarkan rencana waktu tahapan pengembangan BRT di atas, Mebidang ditahun 2012-2013 sudah dijadwalkan untuk mengoperasikan angkutan massal. Hal ini sangat tergantung dari kesiapan khususnya pemerintah kab/kota Mebidang untuk merespon program tersebut. Kegiatan Pendukung Efektifitas Penerapan BRT Mebidang Beberapa kegiatan yang perlu dilakukan oleh Pemprov. Sumatera Utara dan Pemkab/Pemko Mebidang, yang akan sangat menentukan kesuksesan atau efektifitas operasional BRT Mebidang adalah sebagai berikut : 1. Jangka pendek : a. Penertiban illegal parking on street pada koridor BRT Mebidang. PKL dan pelanggaran b. Penertiban penggunaan jalan lainnya. c. Optimasi lahan parkir eksisting untuk park and ride khususnya dilintasan koridor BRT Mebidang. d. Perbaikan signal setting traffic light dilintasan koridor BRT Mebidang e. Perbaikan/redesign geometric persimpangan. 2. Jangka menengah / jangka panjang : a. Traffic restrain (pembatasan lalu lintas) khususnya diwilayah tertentu melalui penerapan Electronic Road Pricing (ERP) b. Pelebaran jalan (pemanfaatan bahu dan median jalan yang memungkinkan) c. Perbaikan system akses property d. Penyediaan off street parking

Secara nasional Kementerian Perhubungan RI telah menyusun program kegiatan pengembangan angkutan umum massal (BRT) secara bertahap dibeberapak kota besar di Indonesia, sbb :

219


INOVASI : Vol. 7. No. 3,

e. f.

September 2010

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

Pembangunan flyover / underpass Pengembangan jaringan jalan

2). Menurunnya kualitas pelayanan angkutan umum baik Angkutan Antar Kota maupun Angkutan Antar Kota yang disebabkan oleh beberapa faktor antara lain dampak kenaikan harga BBM, penurunan daya beli masyarakat, kemajuan tekhnologi informasi serta persaingan dengan moda lain; 3). Jumlah penumpang pesawat udara yang terus mengalami peningkatan yang sangat signifikan yang secara langsung berpengaruh pada menurunnya jumlah penumpang pada moda lainnya khususnya moda Angkutan Jalan;

Pemberian Izin Berdasarkan Kualitas (Quality Licensing) Atau Tenderisasi Trayek BRT Mebidang Faktor penting terkait yang akan penyediaan layanan angkutan massal Mebidang yang akan dikombinasikan dengan angkutan pemadu moda bandara adalah jaminan kualitas layanan yang tinggi melalui izin berdasarkan kualitas atau yang lebih dikenal dengan tenderisasi trayek. Quality Licensing sudah diuji coba pada angkutan pemadu moda jurusan Bandung Super Mall – Bandara Sokarno Hatta dan sudah memberikan hasil positif. Kebijakan ini secara bertahap juga akan dikembangkan untuk pelayanan angkutan umum reguler lainnya.

Prinsip utama dari pelayanan Quality Licensing yaitu Pemerintah menetapkan kriteria pelayanan yang diinginkan. pemegang izin ditentukan berdasarkan proses tender yang terbuka bagi seluruh perusahaan angkutan yang masih terdaftar. Penilaian dalam proses seleksi mencakup : administrasi, teknis dan tarif. Pemenang tender wajib melaksanakan kewajiban sebagai pemegang izin trayek dan akumulasi pelanggaran terhadap kewajiban tersebut akan mempengaruhi masa berlaku izin trayek yang diberikan. Pengawasan terhadap pelanggaran diperoleh dari hasil pengawasan lapangan, laporan masyarakat atau laporan dari instansi terkait.

Quantity Licensing menjadi kompetisi antar pengusaha dalam penyelenggaaan angkutan umum. Ada beberapa hal yang melatarbelakangi dilakukan gagasan penerapan Quality Licensing, yaitu : 1). Sebagian besar masyarakat sangat tergantung terhadap pelayanan angkutan umum baik Angkutan Kota maupun Angkutan Antar Kota (Captive Rider);

Gambar 2. Prinsip Dasar Penyelenggaraan Angkutan Umum Massal

220


INOVASI : Vol. 7. No. 3,

September 2010

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

mendukung pengoperasian angkutan pemadu moda di Bandara Kuala Namu, yaitu : a. Melakukan rapat koordinasi dengan seluruh instansi terkait yaitu : Pemko Medan, Binjai dan Pemkab Deli Serdang, PT. Angkasa Pura II Cab. Polonia, Ditlantas Polda Sumut, Organda Sumut, serta Jasa Raharja perihal rencana pengoperasian angkutan pemadu moda di Bandara Kuala Namu. b. Gubernur Sumatera Utara telah meminta persetujuan penggunaan lahan untuk lokasi transfer point di areal Bandara Kuala Namu melalui Surat Gubernur Sumatera Utara Nomor : 593/4716/2009 tanggal 19 Juni 2009 perihal Penyediaan Lahan Untuk Pengendapan Angkutan / Transfer Point Angkutan Pemadu Moda Bandara Kuala Namu, yang ditujukan kepada PT. Angkasa Pura, Dirjen Perhubungan Udara dan Dirjen Perhubungan Darat. c. Mengalokasikan anggaran pada APBD Sumut TA.2009 untuk kegiatan studi perencanaan dan pembangunan fasilitas transfer point untuk mendukung operasional angkutan pemadu moda di Bandara Kuala Namu.

PENGOPERASIAN ANGKUTAN PEMADU MODA SEBAGAI PENDEKATAN AWAL UNTUK PENGOPERASIAN ANGKUTAN MASSAL MEBIDANG Mengapa dimulai dari pelayanan Angkutan Pemadu Moda ? Berdasarkan Kepmenhub No.KM 35 Tahun 2003, disebutkan bahwa : Pasal 27 ayat 1: pelayanan angkutan pemadu moda dilaksanakan untuk melayani penumpang dari dan/atau ke terminal, stasiun kereta api, pelabuhan dan bandar udara kecuali dari terminal ke terminal. Pasal 27 ayat 2: pelayanan angkutan pemadu moda diselenggarakan dengan ciri-ciri sebagai berikut: a. khusus mengangkut perpindahan penumpang dari satu moda ke moda lain; b. berjadwal; c. menggunakan mobil bus dan /atau mobil penumpang; d. menggunakan plat tanda nomor warna dasar kuning dengan tulisan hitam.

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1.

Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, pengoperasian angkutan umum massal Mebidang membutuhkan sosialisasi yang komprehensif, sehingga dapat memberikan gambaran kepada masyarakat, kelebihan dari pelayanan angkutan tersebut. untuk itu sebagai pendekatan awal dalam memperkenalkan keunggulan angkutan tersebut, Pemprovsu berencana mengkombinasikan koridor pelayanan BRT Mebidang dengan pelayanan angkutan dari dan ke Bandara Kuala Namu di Kab. Deli Serdang, atau yang kita kenal dengan sebutan Angkutan Pemadu Moda.

2.

Jika angkutan tersebut dapat terrealisasi nantinya maka selain dapat mengurangi potensi kemacetan di wilayah perkotaan juga sangat mendukung operasional Bandara Kuala Namu sebagai Bandara internasional yang merupakan kebanggaan bersama masyarakat Sumatera Utara yang juga direncanakan akan beroperasi di tahun 2012. Skenario pengoperasian angkutan pemadu moda diharapkan juga dapat meminimalisir berbagai dampak yang mungkin terjadi khususnya resistensi dari operator angkutan umum (angkot dan angdes) yang ada saat ini, walaupun pada akhirnya kebijakan ini juga perlu didukung dengan pengaturan ulang trayek (rerouting) eksisting untuk mengoptimalkan BRT Mebidang.

3.

Pemprov Sumut sangat mendukung pengoperasian angkutan umum massal diwilayah perkotaan Mebidang, untuk itu akan terus berupaya mengkoordinasikan program tersebut dengan Pemerintah Kabupaten/Kota Mebidang dan Ditjen Darat Kementerian Perhubungan untuk merealisasikan pengoperasian angkutan tersebut sejalan dengan rencana pengoperasian Bandara Kuala Namu pada tahun 2012 Wilayah perkotaan Mebidang sudah saatnya dilayani oleh angkutan umum massal yang handal dan berkualitas guna mengurangi kemacetan dan dampak pencemaran lingkungan serta penghematan energi menuju transportasi yang berkelanjutan (sustainable transport). Pengoperasian angkutan pemadu moda sekaligus sebagai sarana angkutan massal diwilayah Mebidang merupakan suatu pendekatan awal untuk meminimalisir dampak sosial yang mungkin timbul pasca penerapan angkutan umum massal diwilayah Mebidang. Diharapkan program tersebut dapat didukung oleh semua pihak sehingga Transportasi diwilayah Mebidang dapat lebih efektif dan efisien.

Saran

Sejalan dengan hal tersebut beberapa upaya telah dilakukan Pemprov Sumatera Utara dalam rangka

1.

221

Pengoperasian angkutan pemadu moda Bandara Kuala Namu sebagai tahap awal


INOVASI : Vol. 7. No. 3,

2.

3.

4.

September 2010

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

pengembangan angkutan massal Mebidang, perlu didukung oleh prasarana berupa fasilitas transfer point (lokasi alih moda) di Bandara Kuala Namu. Fasilitas tersebut idealnya dapat memberikan kualitas pelayanan yang setara dengan fasilitas ruang tunggu di terminal bandara nantinya. Fasilitas tersebut juga diharapakan dapat terintegrasi dengan moda angkutan Kereta Api dan moda angkutan jalan lainnya. Pendekatan pengoperasian angkutan pemadu moda sebagai angkutan massal di wilayah Mebidang memerlukan koordinasi lebih lanjut dari seluruh stake holder terkait agar rencana tersebut dapat terrealisasi dan mampu mendukung kinerja Bandara Kuala Namu sebagai Bandara Internasional. Salah satu kunci penting dalam mewujudkan pelayanan angkutan massal Mebidang yaitu adanya dukungan politik yang kuat dari pihak legislatif (DPRD) baik Provinsi maupun kab/kota, karena program tersebut jelas membutuhkan dukungan anggaran dan peran DPRD sebagai wakil rakyat memiliki arti penting dalam memberikan pemahaman yang tepat bagi masyarakat luas tentang program angkutan massal dimaksud. Guna lebih mengintensifkan persiapan pengoperasian angkutan massal Mebidang dan dalam rangka membangun komitmen yang kuat antar kab/kota terkait, Pemprovsu dan Pemkab / Pemko di wilayah Mebidang perlu menyusun MoU (Nota Kesepahaman). Sehingga diharapkan dapat lebih meyakinkan Pemerintah Pusat bahwa Pemprovsu dan Kab/Kota diwilayah Mebidang sangat membutuhkan sarana dimaksud.

DAFTAR PUSTAKA Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Giannopoulos, G. A, Bus Planning and Operation in Urban Areas : A Practical Guide, Aveburry, Aldershot UK, 1989. Gray, George E. and Hoel, Lester A. (Editors), Public Transportation, 2 nd Edition, Prentice Hall, Englewood Cliffs, NJ USA, 1992. Studi Perencanaan Angkutan Umum Massal di kawasan Aglomerasi Mebidang, Dirjen Darat Kemenhub 2007.

222


INOVASI : Vol. 7. No. 3,

September 2010

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

Pengelolaan Pariwisata Kebun Binatang Medan (KBM) Ditinjau Dari Persepsi Para Wisatawan Pengunjung Fauzia Agustini1) 1)

Dosen FE-Universitas Negeri Medan

Abstraksi Peranan pariwisata yang berasal dari penerimaan negara diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat Indonesia. Kota Medan sebagai kota ketiga terbesar di Indonesia terus berupaya mengembangkan kepariwisataan dengan menggali potensi wisata yang berada di wilayah di kota Medan. Kebun Binatang Medan (KBM) yang merupakan salah satu objek wisata di kota Medan kurang mendapat penanganan yang serius dari Pemerintah Kota Medan untuk dapat menjadi potensi wisata unggulan di Kota Medan. Sebagai upaya mengembangkan Kebun Binatang Medan ini perlu diketahui dengan jelas bagaimana sikap pengunjung terhadap KBM tersebut. Sikap pengunjung ini tentu saja merupakan perilaku mereka sehingga agar dapat lebih menarik minat para wisatawan perlu dikenal lebih pasti tentang sikap para pengunjung yang selama ini kebanyakan merupakan wisatawan lokal yang berasal dari wilayah Sumatera Utara. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengunjung mempunyai sikap yang positif terhadap harga karcis masuk pada Kebun Binatang Medan ini dimana harga karcis masuk tersebut relatif tidak mahal. Namun demikian, mereka mempunyai sikap yang negatif terhadap pengelolaan KBM. Hal ini menunjukkan bahwa mereka merasa tidak puas dengan keadaan KBM dan mengharapkan perlunya perhatian yang khusus dari Pemerintah Kota Medan.

Kata kunci : pariwisata, kebun binatang, sikap pengunjung. PENDAHULUAN 2.

Dalam perekonomian nasional, pariwisata merupakan salah satu sektor yang diharapkan mampu memberikan peningkatan pendapatan melalui penerimaan devisa. Sektor pariwisata memberi dampak yang sangat besar bagi masyarakat, terutama masyarakat yang berada di kawasan atau lokasi yang menjadi tujuan wisatawan. Berdasarkan data BPS untuk tahun 2009, hasil kunjungan wisatawan asing atau mancanegara menghasilkan pendapatan 70 triliun. Sementara itu, untuk pergerakan wisatawan nusantara di seluruh Indonesia, terutama Jakarta dan Bali, tercatat pendapatan dari pariwisata sebesar Rp 120 triliun lebih.

3. 4. 5.

sekaligus sebagai bagian penting peningkatan perekonomian kota. Meningkatkan dan mengembangkan kualitas dan kuantitas promosi serta penyuluh di bidang kebudayaan dan pariwisata. Meningkatkan penggalian potensi kebudayaan dan pariwisata lokal. Penyediaan sarana dan prasarana wisata kota yang handal. Meningkatkan pengelolaan serta pelestarian objek kebudayaan dan pariwisata secara terkoordinasi, dan partisipatif.

Dalam menunjang strategi tersebut maka telah ditetapkan anggaran untuk promosi dan kegiatan pariwisata untuk Sumut pada tahun 2010 sebesar Rp 14,1 miliar . Sejalan bertambah besarnya anggaran promosi, Disbudpar berharap Sumut berupaya meningkatkan kunjungan wisman maupun wisatawan nusantara ke daerah Sumut. Adapun tahun ini, diramalkan kunjungan wisman ditargetkan bisa di sekitar 200.000 orang dari target tahun 2009 sebesar 175.000 orang setelah pada 2008 kunjungan wisatawan asing sejumlah 151.000 orang.

Sehubungan dengan pelaksanaan ASEAN-China AFTA yang dimulai pada tahun ini, maka sudah selayaknya, Sumut mengambil kesempatan dalam bidang pariwasata sebagai daerah wisata yang diminati oleh para wisatawan. Mengingat potensi Sumut sebagai daerah yang mempunyai objek-objek wisata yang terkenal maka pemerintah kota Medan telah menetapkan strategi dan arah kebijakan pembangunan kota Medan sehubungan dengan pengembangan kepariwisataan yaitu antara lain menyangkut : 1. Mengembangkan pemenuhan kebutuhan kepariwisataan sebagai daya tarik kota

Terkait pada strategi dan kebijakan tersebut, Medan yang merupakan kota ketiga terbesar di Indonesia telah mengembangkan objek-objek wisata yang terkenal di kota Medan. Namun sayangnya,

223


INOVASI : Vol. 7. No. 3,

September 2010

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

Pemerintah Kota Medan terlihat kurang aktif dalam menjual kebun binatang sebagai salah satu objek wisata. Hal itu bisa jadi karena kurang jelinya pemerintah menangkap peluang yang sebenarnya mengandung potensi sangat tinggi dan bernilai jual. Pengembangan wisata edukatif yang cukup potensial itu, tidak akan terlepas dari strategi dan cara pemasaran yang baik serta komitmen Pemko. Kebun binatang yang memiliki luas 40 hektare dan dibangun pada tahun 2004 itu, tampaknya benarbenar sangat menyedihkan dan bahkan kurang begitu diperhatikan oleh Pemerintah Kota (Pemko) Medan.Hal ini dapat dilihat dari bangunannya yang tidak terawat dan sudah banyak yang rusak. Bahkan, pagarnya sudah banyak yang bolong karena sudah tua, dan pintunya juga sudah ada yang terlepas.

mengunjungi kebun binatang ini setiap akhir minggunya. Pada hari-hari biasa, jumlah pengunjung diperkirakan berjumlah 150 orang setiap harinya. Tingkat kunjungan warga Sumut juga mengalami peningkatan sebesar 30% dibanding tahun 2007. Banyaknya pengunjung Kebun Binatang Medan (KBM) ini sayangnya tidak disertai dengan kepuasan para pengunjung. Kebun binatang di Simalingkar ini banyak dikritik karena dianggap tidak menyediakan fasilitas yang layak bagi menampung hewan-hewan yang dimilikinya. Suasana yang gersang serta pemberian makanan yang kurang bagi para hewan juga menjadi masalah yang dihadapi kebun binatang ini. Pengunjung banyak mengeluhkan tentang kondisi hewan di KBM yang sepertinya kurang mendapat perawatan yang baik sehingga terlihat tidak begitu menarik. Keluhan konsumen ini sebetulnya merupakan sikap dari konsumen itu sendiri, hal ini sesuai dengan hasil penelitian Samuel (2007) tentang pengaruh sikap, persepsi nilai dan persepsi peluang keberhasilan terhadap niat menyampaikan keluhan (studi kasus pada perusahaan Asuransi AIG Lippo Surabaya) yang menemukan bahwa sikap konsumen berpengaruh secara positif terhadap niat menyampaikan keluhan itu sendiri.

Dalam rangka usaha meningkatkan peran Kebun Binatang Medan sebagai salah satu objek wisata yang diminati oleh wisatawan nusantara (wisnus) dan wisatawan asing (wisman) mana penulis mengadakan penelitian tentang sikap konsumen yang diadakan pada Kebun Binatang Medan (KBM) yang berlokasi di Kelurahan Simalingkar B, Medan Tuntungan, sekitar 10 kilometer dari pusat kota ke arah Brastagi. Kebun binatang ini merupakan kebun binatang yang diresmikan oleh Walikota Medan, Abdillah, pada 14 April 2005. Sebelumnya terletak di Jl. Brigjen Katamso, Kelurahan Kampung Baru, Medan Maimun.

TINJAUAN PUSTAKA Peran dan Fungsi Kebun Binatang

Penulis tertarik meneliti tentang sikap konsumen atau pengunjung yang berkunjung di KBM ini sebab berdasarkan hasil penelitian Aryanti (2006) tentang pengaruh pemberitaan formalin di media televisi terhadap sikap dan pembelian makanan di Bandar Lampung ditemukan bahwa terdapat pengaruh sikap terhadap perilaku pembelian konsumen. Demikian pula dari hasil penelitan Edwarsyah (2004) tentang analisis sikap dan perilaku konsumen terhadap produk mie instan ditemukan bahwa sikap konsumen mempengaruhi perilaku pembelian konsumen. Bersandar pada penelitian-penelitian ini maka agar menambah minat para pengunjung perlu kiranya diadakan penelitian tentang sikap konsumen terhadap Kebun Binatang Medan tersebut.

Adapun peran dan fungsi sebuah kebun binatang adalah sebagai berikut : 1. Konservasi : a. Sebagai lembaga konservasi Ex- Situ ( untuk menangkar satwa langka diluar habitatnya ) dan merupakan benteng terakhir penyelamatan satwa. b. Menyelamatkan satwa yang terancam punah karena kerusakan habitatnya. c. Tempat penitipan satwa-satwa langka milik negara.Menjaga kemurnian genetik. 2. Pendidikan : a. Sebagai sarana pendidikan ilmu pengetahuan dan teknologi b. Memberikan pendidikan dan pengetahuan kepada masyarakat luas mengenai pentingnya konservasi alam dan lingkungan melalui peragaan maupun pertunjukan satwa. c. Menanamkan rasa cinta dan peduli terhadap satwa serta alam “flora & fauna� sejak dini kepada siswa sekolah dan berbagai kalangan masyarakat lainnya, melalui program pengenalan satwa liar & lingkungan. d. Melaksanakan penyuluhan tentang konservasi sumber daya alam secara

Kebun binatang merupakan tempat alternatif berlibur bagi warga Medan karena tidak membutuhkan biaya mahal. Kebun Binatang Medan (KBM) menjadi salah satu alternatif obyek wisata keluarga. Pada saat perayaan Lebaran 1429 H lalu, diperkirakan sebanyak 19.000 warga baik dari Medan dan daerah lain mengunjungi lokasi itu (Syahrizal, 07 Oktober 2008). Berdasarkan pernyataan Sucitrawan Pengelola Kebun Binatang Medan (Berita Pemko Medan, Selasa, 19 Agustus 2008) menyatakan, sekitar 1.000 orang

224


INOVASI : Vol. 7. No. 3,

3.

4.

September 2010

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

1.

berkelanjutan kepada masyarakat luas di seluruh pelosok Indonesia. Riset dan Penelitian : a. Sarana penelitian bagi berbagai disiplin ilmu, Kedokteran Hewan, Biologi, Peternakan & Pariwisata dari berbagai tingkatan pendidikan. b. Sarana penelitian para pakar konservasi dari lembaga konservasi nasional maupun internasional. Rekreasi : Hiburan layak dan terjangkau bagi masyarakat dan sebagai tempat rekreasi yang sehat dan mendidik bagi berbagai kalangan serta dapat mengurangi ketegangan yang berdampak konflik dimana-mana.

Valance, Mengaju pada sikap positif , sikap negatif, atau netral. 2. Extermity, Keekstriman merupakan intensitas kesukaan dan ketidak sukaan. 3. Resistance, Tingkat dimana sikap kebal terhadap perubahan. 4. Persistence, Merefleksikan bahwa sikap dapat berubah secara perlahan-lahan / gradual. 5. Confidence, Tidak semua sikap berada pada tingkat keyakinan yang sama. Sikap merupakan salah satu konsep yang paling penting yang digunakan pemasar untuk memahami konsumen. Assael H (1997) mengkombinasikan tiga jenis tanggapan (pikiran, perasaan, dan tindakan ) ke dalam model tiga unsur dari sikap, yaitu sikap dipandang mengandung tiga komponen yang terkait yaitu kognisi ( pengetahuan tentang objek ), afeksi ( evaluasi positif atau negatif terhadap suatu objek ) dan perilaku aktual terhadap suatu objek.

Sikap Konsumen Sikap disebut juga sebagai konsep yang paling khusus dan sangat dibutuhkan dalam psikologis sosial kontemporer. Sikap juga merupakan salah satu konsep yang paling penting yang digunakan pemasar untuk memahami konsumen.

Engel (2003) mengklasifikasikan empat sikap yaitu : 1. Fungsi utilitarian. Konsumen mengembangkan beberapa sikap terhadap produk atas dasar apakah suatu produk memberikan kepuasan atau kekecewaan ekspresi nilai. Konsumen 2. Fungsi mengembangkan sikap terhadap suatu merek produk bukan didasarkan atas manfaat produk itu, tetapi lebih didasarkan atas kemampuan merek produk itu mengekspresikan nilai-nilai yang ada pada dirinya 3. Fungsi mempertahankan ego. Sikap yang dikembangkan oleh konsumen cenderung untuk melindunginya dari tantangan eksternal maupun perasaan internal, sehingga membentuk fungsi mempertahankan ego pengetahuan. Sikap membantu 4. Fungsi konsumen mengorganisasikan informasi yang dipaparkan setiap hari pada dirinya. Fungsi pengetahuan dapat membantu konsumen mengurangi ketidakpastian dan kebingungan dalam memilih informasi yang relevan dan yang tidak relevan dengan kebutuhannya.

Definisi sikap menurut Allport dalam Setiadi (2000) adalah suatu mental dan syaraf sehubungan dengan kesiapan untuk menanggapi, diorganisasi melalui pengalaman dan memiliki pengaruh yang mengarahkan dan atau dinamis terhadap perilaku. Definisi yang dikemukakan oleh Allport tersebut mengandung makna bahwa sikap adalah mempelajari kecenderungan memberikan tanggapan terhadap suatu obyek baik disenangi ataupun tidak disenangi secara konsisten. Engel (2003) membagi sikap menjadi tiga komponen sebagai berikut: 1. Kognitif Kognitif berhubungan dengan pengenalan dan pengetahuan obyek beserta atributnya. Pada saat konsumen menerima rangsangan sebuah iklan maka proses psikologi internal akan bekerja yang dihubungkan dengan pengaktivan indera. 2. Afektif Afektif memberikan tanggapan tentang perasaan terhadap obyek dan atributnya. Indra yang bekerja akan memberikan interpretasi terhadap sebuah obyek atau dalam sebuah iklan adalah produk / merek dan bagian-bagian dari penayangan iklan itu sendiri. 3. Konasi Dalam konasi seorang memiliki minat dan tindakan dalam sebuah perilaku. Bila tahap ini bekerja maka konsumen telah memiliki keputusan akan suara obyek.

Menurut Mowen (1998) terdapat tiga komponen sikap yaitu kepercayaan merek, evaluasi merek dan maksud untuk membeli. Kepercayaan merek adalah komponen kognitif dari sikap, evaluasi merek adalah komponen afektif atau perasaan dan maksud untuk membeli adalah komponen konatif atau tindakan. Hubungan antara tiga komponen itu mengilustrasikan hirarki pengaruh keterlibatan tinggi ( high involvement ) yaitu kepercayaan merek mempengaruhi evaluasi merek dan evaluasi merek mempengaruhi maksud untuk membeli. Dan dari tiga komponen sikap ini, evaluasi merek adalah pusat dari telaah sikap karena evaluasi merek

Selanjutnya Engel (2003) menjabarkan pula dimensi sikap sebagai berikut:

225


INOVASI : Vol. 7. No. 3,

September 2010

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

merupakan ringaksan dari kecenderungan konsumen untuk menyenangi atau tidak menyenangi merek tertentu. Evaluasi merek sesuai dengan definisi dari sikap terhadap merek yaitu kecenderungan untuk mengevaluasi merek.

3.

Mengevaluasi setiap atribut utama.

Oleh karenanya, pemasar harus mengetahui atribut utama yang diharapkan konsumen atas sebuah produk dan bagaimana mereka menilai positif atau negatif atribut ini dalam rangka mengembangkan produk yang menarik dan mempromosikannya dengan sukses.

METODE PENELITIAN Teknik Pengumpulan Data

Analisa Data Penelitian ini merupakan survei ke lapangan pada Kebun Binatang Medan (KBM). Dalam menjalankan penelitian ini peneliti akan menggunakan sebuah angket yang digunakan untuk mengetahui sikap konsumen. Data yang diambil merupakan data primer yaitu data yang didapat dari sumber pertama, dalam hal ini pengunjung yang berada di Kebun Binatang Medan (KBM).

Peneliti menggunakan program SPSS (Statistical Package for the Social Science) untuk mempermudah penganalisaan data. Adapun ujian statistik yang akan digunakan adalah korelasi pearson, parsial. Korelasi pearson digunakan untuk melihat keeratan hubungan antara masing-masing variabel. Korelasi parsial mengukur korelasi antar dua variabel.

Populasi dan Sampel

H A S I L P E N E L I T I A N DAN PEMBAHASAN

Penelitian ini dilakukan selama 1 bulan terhadap pengunjung yang terdapat pada Kebun Binatang Medan. Angket akan disebarkan pada pengunjung tersebut. Jenis sampel tidak dipilih secara acak yaitu dengan menggunakan convenience sampling atau sampel yang dipilih dengan pertimbangan kemudahan. Dari hasil wawancara pertama dikatakan bahwa jumlah pengunjung dalam 1 bulan apabila tidak hari libur maka dapat mencapai jumlah 500 pengunjung (populasi). Namun, peneliti menyediakan angket sebesar 100 lembar sebagai persiapan apabila ada responden yang tidak menjawab sebagaimana mestinya.

Karakteristik Subjek Penelitian Penelitian telah dilakukan pada Kebun Binatang Medan (KBM) yang berlokasi di Kelurahan Simalingkar B, Medan Tuntungan. Jumlah angket yang terkumpul yaitu 100 lembar. Responden penelitian ini terdiri dari laki-laki 50 orang dan perempuan 50 orang. Sedangkan dari segi umur diperoleh 59 orang yang berumur di bawah 30 tahun dan 41 orang yang berumur di atas 30 tahun. Sebagian besar responden mempunyai latar belakang pendidikan SMU yaitu sebanyak 44 orang sedangkan diploma 17 orang, SD hanya 1 orang, SMP 15 orang dan Sarjana 23 orang. Dari data yang diterima kebanyakan responden mempunyai pekerjaan sebagai wiraswasta yaitu 35 orang, mahasiswa 14 orang, pelajar 4 orang sedangkan sebagai pegawai negeri hanya 9 orang, pegawai swasta 10 orang dan pegawai BUMN 12 orang sedangkan selebihnya 16 orang termasuk dalam kelompok bekerja yang lainnya, hal ini mungkin saja sebagai ibu rumah tangga. Penghasilan yang diterima responden yang kurang dari 2 juta rupiah sebanyak 20 orang, lebih dari 2 juta rupiah sebanyak 15 orang sedangkan 69 orang lainnya mempunyai penghasilan yang tidak diketahui. Dari segi suku bangsa kebanyakan responden mempunyai suku bangsa Batak yaitu sebesar 41 orang, Melayu 9 orang, Tionghoa 2 orang sedangkan 48 orang lainnya mempunyai suku bangsa beragam.

Alat Ukur Penelitian Untuk alat ukur penelitian, peneliti akan menggunakan model multi atribut Multiattribute Attitude Model (MAM) yang digunakan untuk mengukur sikap konsumen. Adapun instrumen penelitian yang akan digunakan berhubungan dengan atribut untuk pengukuran sikap konsumen pada Kebun Binatang Medan. Adapun atribut tersebut adalah : Lokasi, Pelayanan, Fasilitas, Harga, Variasi/jenis hewan, Kebersihan, Keadaan hewan, Transportasi, Kenyamanan, dan Pengelolaan. Model-model sikap yang berkembang akan mempunyai relevansi bagi pemasar jika model itu mampu memprediksi perilaku konsumen. Dengan perkataan lain, sejauh mana sikap konsumen mampu dijadikan dasar untuk memprediksi perilakunya. Model Fishbein ini mengidentifikasi tiga faktor utama yang memprediksi sikap yaitu: 1. Kepercayaan utama yang dimiliki sseseorang terhadap suatu objek 2. Kekuatan kepercayaan dimana objek objek memiliki atribut yang dipertanyakan

Model Multi Atribut Pada penelitian ini menggunakan model multi atribut untuk melihat sikap konsumen terhadap Kebun Binatang Medan ini. Adapun atribut yang

226


INOVASI : Vol. 7. No. 3,

September 2010

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

menjadi penilaian konsumen adalah lokasi, pelayanan, fasilitas, harga, variasi/jenis hewan, kebersihan, keadaan hewan, transportasi, kenyamanan, dan pengelolaan.

menjadi sasaran pemasaran yang berguna. Sikap dapat pula membantu mengevaluasi tindakan pemasaran sebelum dilaksanakan di dalam pasar. Sikap juga sangat berhasil dalam membentuk pangsa pasar dan memilih pangsa target.

Berdasarkan model multi atribut ini konsumen memiliki kekuatan kepercayaan (belief strength, bi) dan evaluasi kepercayaan (belief evaluation, ei). Kekuatan kepercayaan adalah kemungkinan yang diyakini dari hubungan antara suatu objek dengan cirri-cirinya yang relevan. Evaluasi kepercayaan mencerminkan seberapa baik konsumen menilai suatu ciri. Dari hasil penelitian telah ditemukan nilai kekuatan kepercayaan dan evaluasi kepercayaan terhadap masing-masing atribut untuk 100 responden.

Model multi atribut dari Fishbein adalah alat yang sangat berguna dalam mempelajari proses pembentukan sikap dan memperkirakan sikap. Dalam model ini, sikap keseluruhan terhadap suatu objek adalah fungsi dari 2 faktor yaitu kekuatan kepercayaan jika dikaitkan dengan objek dan evaluasi dari kepercayaan tersebut. Dengan menggunakan model multi atribut dari Fishbein, pada peneltian ini telah ditemukan hasil kekuatan kepercayaan (bi) dan evaluasi kepercayaan (ei) untuk masing-masing atribut (tabel 1). Hasil tersebut menunjukkan kekuatan kepercayaan mempengaruhi evaluasi konsumen terhadap objek seperti pada hasil peneltian ini bahwa konsumen mempunyai kepercayaan yang kuat terhadap harga karcis (679) dan ini mempengaruhi evaluasi mereka terhadap lokasi dengan hasil evaluasi yang paling baik terhadap Kebun Binatang Medan (107) berbanding atribut yang lainnya. Sedangkan hasil evaluasi yang kurang baik dijumpai pada atribut pengelolaan (-116).

Tabel 1. Kekuatan dan Evaluasi Kepercayaan No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Atribut Pengelolaan kebun binatang Variasi hewan Kebersihan kebun binatang Keadaan hewan Harga karcis Pelayanan Lokasi Fasilitas Transportasi Kenyamanan

Kekuatan Kepercayaan (bi)

Evaluasi Kepercayaan (ei)

401

-116

533

-24

504

-55

586

10

679 611 644 606 573 619

107 96 83 35 -4 82

Sikap konsumen secara keseluruhan yang terdapat pada tabel 2 menunjukkan bahwa para konsumen mempunyai sikap yang positif dan paling baik terhadap harga karcis pada Kebun Binatang Medan ini namun mereka mempunyai sikap yang kurang baik terhadap pengelolaan Kebun Binatang Medan ini yang saat ini dikelola oleh Pemerintah Kota Medan.

Dari hasil perkalian antara kekuatan kepercayaan dan evaluasi kepercayaan untuk masing-masing atribut (model multi atribut), ditemukan hasilnya seperti pada table 2 di bawah ini yaitu merupakan sikap konsumen terhadap masing-masing atribut.

Kenyataan ini jelas menunjukkan bahwa harga karcis sangat menentukan konsumen yang berkunjung ke Kebun Binatang Medan ini . Selain itu pelayanan yang diberikan para petugas juga sudah memadai namun pengelolaan KBM oleh Pemko ini dinilai masih sangat kurang.

Tabel 2. Hasil Sikap Konsumen Atribut Pengelolaan kebun binatang Variasi hewan Kebersihan kebun binatang Keadaan hewan Harga karcis Pelayanan Lokasi Fasilitas Transportasi Kenyamanan

Total -255 -82 -195 71 812 673 668 356 74 647

PENUTUP Kesimpulan Kebijakan pemerintah kota Medan dalam mengembangkan kepariwisataan di kota Medan sudah menunjukkan hasil yang menggembirakan terbukti dengan meningkatnya kunjungan wisnus maupun wisman untuk menikmati objek-objek wisata yang terdapat di wilayah kota Medan ini. Namun, Pemerintah Kota Medan kurang memperhatikan Kebun Binatang Medan dimana keberadaanya dapat menjadi salah satu potensi wisata di Kota Medan.

Pembahasan Sikap biasanya memainkan peranan utama dalam membentuk perilaku. Peningkatan sikap dapat

227


INOVASI : Vol. 7. No. 3,

September 2010

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

Hasil penelitian menunjukkan bahwa konsumen mempunyai sikap yang paling baik terhadap harga karcis masuk pada Kebun Binatang Medan ini namun mereka mempunyai sikap yang kurang baik terhadap pengelolaan KBM. Hal jelas menunjukkan bahwa masyarakat yang berkunjung ke Kebun Binatang Medan ini semata-mata karena kunjungan ke KBM ini merupakan rekreasi yang terjangkau namun sebenarnya mereka juga merasakan ketidakpuasan dengan kondisi KBM ini.

Assael. 1997. Consumer Behavior and Marketing Action. New York: International Thomson Publishing Company.

Saran

Engel, F.J, Roger D. Blackwell. 2003. Perilaku Konsumen ( Edisi keenam terjemahan ). Jakarta : Binarupa Aksara.

Berita Pemko Medan. Selasa 19 Agustus 2008. http: //www.pemkomedan.go.id/news_arsip.php. Edwarsyah. 2004. Tesis : Analisis Sikap Dan Perilaku Konsumen Terhadap Produk Mie Instan. Jakarta : Universitas Budi Luhur.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa konsumen mempunyai sikap yang kurang baik terhadap pengelolaan Kebun Binatang Medan ini yang dikelola oleh Pemerintah Kota Medan. Oleh karena itu, sebaiknya Pemko Medan memberikan perhatian yang lebih kepada KBM ini agar menjadi salah satu potensi wisata di Kota Medan. Hasil pantauan memang menunjukkan bahwa keadaan KBM ini memprihatinkan terlebih apabila dibandingkan dengan kebun binatang di daerah lainnya seperti Kebun Binatang Siantar.

Loudon, D. 1993. Consumer Behavior: Concepts and Applications. Chicago : McGraw-Hill. Mowen, C.J. 1998. Consumer Behavior. New York : Prentice Hall. Olson C. Jerry 1999. ConsumerBehavior : Perilaku Konsumen dan Strategi Pemasaran ( Edisi keempat terjemahan ). Jakarta : Erlangga. Samuel Hatane, Foedjiawati. 2007. Jurnal Pemasaran Vol.2, No 1, Pengaruh Sikap, Persepsi Nilai dan Persepsi Peluang Keberhasilan Terhadap Niat Menyampaikan Keluhan (Studi Kasus Pada Perusahaan Asuransi AIG Lippo Surabaya). Surabaya: Universitas Kristen Petra.

Peneliti memberikan saran juga kepada Pemko Medan tentang pengelolaan KBM ini yang bila mungkin bekerja sama dengan pihak swasta sehingga KBM ini diharapkan juga dapat menjadi salah satu potensi pariwisata di kota Medan dan akhirnya jugag dapat menarik minat para turis lokal maupun mancanegara yang berkunjung ke kota Medan.

Setiadi, J. Nugroho. 2000. Perilaku Konsumen. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya.

Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa konsumen mempunyai sikap yang sangat baik terhadap harga tiket/karcis di Kebun Binatang Medan ini oleh karena itu sebaiknya apabila Pemko Medan berniat untuk menaikkan harga tiket ini janganlah terlalu tinggi sebab kebanyakan konsumen yang berkunjung di KBM ini merupakan konsumen kelas menengah ke bawah.

Sutisna. 2002. Perilaku Konsumen dan Komunikasi Pemasaran. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya. Syahrizal. 07 Oktober 2008. Artikel : Pengunjung KBM Meningkat. Waspada Online. http://waspada.co.id.

DAFTAR PUSTAKA

Umar, Husein. 1999. Metode Penelitian Untuk Skripsi dan Tesis Bisnis. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.

Aldi Nuzul. 2007. Tesis : Analisis Pengaruh Sikap, Norma Subyektif dan Kontrol Perilaku Terhadap Niat Konsumen Melakukan Belanja dengan Media Internet (Online Shopping). Jogjakarta : Universitas Gajah Mada. Aryanti Yudha Nina. 2006. Laporan Penelitian : Pengaruh Agenda Media Massa Terhadap Perilaku Konsumen (Studi Pengaruh Pemberitaan Formalin di Media Televisi Terhadap Sikap dan Pembelian Makanan di Bandar Lampung). Lampung : Universitas Lampung.

228


INOVASI : Vol. 7. No. 3,

September 2010

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

Kajian Peluang Bisnis Rumah Tangga Dalam Pengelolaan Sampah Perkotaan Melalui Keterlibatan Masyarakat Dan Swasta Di Medan Provinsi Sumatera Utara Ferdinan Susilo1) 1)

Tim Peneliti Bidang Ekonomi dan Pembangunan Balitbang Provsu

Abstraksi Dari hasil kajian diperoleh hasil antara lain bahwa timbulan sampah di Kota Medan pada tahun 2008 sebanyak 1.369,9 ton/hari atau 5.479,6 M3 yang terdiri dari 48,2% sampah organik dan 51,8% anornaik. Dengan demikian rata-rata sampah yang dibuang masyarakat mencapai 1 - 1,5 kg per rumah tangga per hari. Sampah-sampah yang dihasilkan tersebut dalam bentuk sampah organik maupun anorganik yang pada umumnya masih dapat dimanfaatkan sebagai peluang bisnis rumah tangga. Sampah anorganik bernilai ekonomis yang dihasilkan rumah tangga di Kota Medan sebanyak 18 jenis dan dapat dikelompokkan dalam 7 (tujuh) katagori, yaitu : plastik, kaleng, kertas, kaca, besi, tembaga dan aluminium. Pemanfaatan sampah ini dapat dijadikan sebagai usaha alternatif dalam rangka peningkatan pendapatan keluarga dari pengelolaan sampah melalui berbagai kegiatan, antara lain : (a) pengomposan; (b) pengepul plastik kresek dan PE; dan daur ulang kertas. Kompos dari sampah organik dapat dijadikan pupuk kompos dengan harga Rp.750,- per kg dan berdasarkan analisis usaha yang dilakukan memiliki Break Even Point (BEP) pada produksi 180 kg per hari. Nilai peluang bisnis dari sampah rumah tangga ini sebenarnya dapat lebih ditingkatkan melalui peningkatan berbagai ketrampilan yang dimiliki dengan memanfaatkan sampah menjadi produk-produk yang memberikan nilai tambah yang lebih tinggi seperti : tas, payung, dompet dan lain-lain yang tentunya diperoleh melalui berbagai pelatihan yang sampai saat ini masih dirasakan sangat terbatas jumlahnya. Untuk itu diperlukan peran Pemerintah Kota Medan dengan melakukan sosialisasi dan pembinaan yang lebih efektif dalam pengelolaan sampah, meliputi : pelatihan, kampanye massal 3R (Reduce, Reuse, Recycle) melalui penyebaran poster, iklan media cetak dan elektronik, serta visit school.

Kata kunci : Pengolahan sampah, bisnis rumah tangga. pengolahan air lindi, dan masih diizinkannya praktik open dumping dan open burning. Akibatnya banyak menim permasalahan seperti pencemaran air lindi ke air tanah, bau busuk dan pencemaran udara.

PENDAHULUAN Latar Belakang Sampah merupakan konsekuensi dari adanya aktivitas manusia, seiring dengan peningkatan populasi penduduk dan pertumbuhan ekonomi. Pengelolaan sampah pada sebagian besar kota saat ini masih menimbulkan permasalahan yang sulit dikendalikan. Timbunan sampah yang tidak terkendali terjadi sebagai konsekuensi logis dari aktivitas manusia dan industrialisasi, yang kemudian berdampak pada permasalahan lingkungan perkotaan seperti keindahan kota, kesehatan masyarakat, dan lebih jauh lagi terjadinya bencana (ledakan gas metan, tanah longsor, pencemaran udara akibat pembakaran terbuka dan lain-lain). Di sisi lain, pengelolaan sampah yang diselenggarakan oleh dinas terkait hanya berfokus pada pengumpulan dan pengangkutan ke Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) tanpa melalui pengolahan tertentu. Kebanyakan TPA bermasalah terhadap lingkungan hidup, misalnya TPA tidak dilapisi oleh lapisan kedap air seperti geotextile, tidak ada

Namun demikian, sampah disamping dapat menjadikan masalah di perkotaan, juga dapat bermanfaat dalam menguatkan kehidupan ekonomi masyarakat. Berbagai jenis sampah yang dihasilkan oleh rumah tangga dan industri apabila tidak dapat dikelola secara baik dan benar, dapat berpotensi untuk melemahkan ekonomi masyarakat karena akan menyerap dana yang cukup besar untuk penanganannya baik dari segi kebersihan, kesehatan maupun lingkungan. Sampah yang tidak dikelola dengan baik akan mencemari lingkungan dan sebagai sumber penyakit yang pada gilirannya akan menghambat laju gerak ekonomi masyarakat. Di pihak lain, sampah dapat juga menjadi salah satu sumberdaya penting dalam mengangkat perekonomian masyarakat. Kondisi ini akan terjadi apabila sampah tersebut dapat dikelola secara professional. Beberapa peluang yang diperoleh dari sampah, diantaranya adalah aspek terbukanya lapangan kerja dari proses pemungutan sampah,

229


INOVASI : Vol. 7. No. 3,

September 2010

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

sampah perkotaan terdiri dari sampah yang mudah terdegradasi oleh mikroorganisme (organik) dan sampah yang sulit terdegradasi dan membutuhkan waktu yang sangat lama untuk dapat terurai (anorganik). Namun demikian sejalan dengan pertumbuhan penduduk dan tingkat pembangunan yang semakin berkembang di era otonomi daerah ini mendorong berbagai pihak untuk lebih memperhatikan masalah sampah perkotaan guna mewujudkan kota bersih, indah dan sehat.

aspek pengelolaan dan pemanfaatan sampah serta aspek pemasaran hasil olahan yang berbahan baku sampah. Dengan kata lain mata rantai bisnis akan tercipta apabila sampah dikelola dengan pendekatan-pendekatan ekonomi. Kegiatan pengolahan sampah ini dapat menimbulkan multiplier effect melalui pemanfaatan teknologi tepat guna. Masyarakat mulai terangsang untuk menciptakan berbagai teknologi pendukung pengelolaan sampah, mulai dari teknologi tempattempat penampungan sampah di rumah tangga untuk dijadikan pupuk kompos, teknologi pemanfaatan sampah menjadi produk yang bernilai ekonomis dan pemasaran hasil pengolahan sampah. Kesemua teknologi pendukung yang dihasilkan tersebut sangat berpeluang untuk dilakukan di rumah tangga sebagai peluang bisnis.

Salah satu kegiatan yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalah sampah adalah dengan mengkaji peluang bisnis dari kegiatan pemanfaatan dan pengelolaan sampah sebagai salah satu usaha alternatif dengan produk-produk daur ulang ramah lingkungan dalam rangka peningkatan perekonomian masyarakat (rumah tangga) dan swasta, yang pada akhirnya dapat meningkatkan perekonomian daerah. Selain itu, faktor keterlibatan/partisipasi masyarakat dan swasta dalam pengelolaan dan pemanfaatan sampah perkotaan juga sangat diperlukan demi keberhasilan pengelolaan, disamping perhatian pemerintah khususnya pemerintah kota dan lembaga swadaya masyarakat sebagai faktor pelaksana pembangunan daerah dan pemegang kebijakan dalam mengakomodir kegiatan pengelolaan dan pemanfaatan sampah secara berkelanjutan sehingga dapat mewujudkan kota bersih, indah dan sehat.

Untuk mendapatkan berbagai data dan informasi yang dipergunakan guna untuk memanfaatkan peluang bisnis dari sampah yang ada di Kota Medan, maka perlu dilakukan Kajian Peluang Bisnis Rumah Tangga Dalam Pengelolaan Sampah Perkotaan Melalui Keterlibatan Masyarakat dan Swasta di Medan – Provinsi Sumatera Utara. Perumusan Masalah Beberapa permasalahan yang dapat dirumuskan dalam Kajian Peluang Bisnis Rumah Tangga Dalam Pengelolaan Sampah Perkotaan Melalui Keterlibatan Masyarakat dan Swasta di Medan – Provinsi Sumatera Utara, adalah: 1. Jenis-jenis sampah apa saja yang dihasilkan oleh kegiatan industri dan rumah tangga di Kota Medan yang mempunyai nilai ekonomis? 2. Produk-produk olahan sampah apa saja yang dapat dihasilkan dari sampah industri dan rumah tangga di Kota Medan yang dapat dijadikan sebagai peluang bisnis rumah tangga?

METODOLOGI PENELITIAN Metode Pendekatan Studi Dalam melaksanakan kajian ini digunakan berbagai pendekatan studi yang mencakup berbagai aspek data dan informasi serta publikasi yang terkait dengan pengelolaan sampah. Metode Pengumpulan Data

Maksud dan Tujuan Penelitian Data yang dikumpulkan merupakan data primer dan sekunder yang diperoleh dari berbagai publikasi yang berasal dari stakeholders dan berbagai informasi yang terkait dengan pengelolaan sampah. Data lainnya yang dikumpulkan merupakan data dan informasi yang diperoleh langsung dari lapangan dengan menyebarkan kuisioner (wawancara) dan hasil koordinasi dengan instansi terkait serta melalui studi literature. Pelaksanaan pengumpulan data dibagi menjadi dua tahapan, yaitu : (1) pembuatan instrument pengumpulan data; dan (2) kegiatan pengumpulan data.

Pelaksanaan kegiatan kajian ini dimaksudkan untuk mensosialisasikan pemanfaatan sampah pada skala rumah tangga dan sekaligus membuka peluang bisnis bagi masyarakat dan swasta di perkotaan. Adapun tujuan dari kegiatan kajian ini adalah : 1. Untuk memperoleh data dan informasi jenisjenis sampah yang bernilai ekonomis. 2. Sebagai bahan pertimbangan untuk pembuatan kebijakan pengelolaan sampah di perkotaan dalam kaitannya sebagai sumber pendapatan masyarakat.

Metode Analisis Data Kerangka Pemikiran Data yang diperoleh selanjutnya disusun dan ditabulasi sesuai dengan kebutuhan analisis. Datadata primer hasil wawancara dianalisis untuk

Sampah perkotaan memiliki arti tersendiri dalam pembangunan suatu wilayah kota. Pada prinsipnya,

230


INOVASI : Vol. 7. No. 3,

September 2010

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

mengetahui kelayakan usaha alternatif dalam mengelolah sampah sebagai peluang bisnis rumah tangga. Penyajian hasil analisis dan interpretasi data dan informasi pelaksanaan kegiatan kajian ini disusun dalam bentuk laporan akhir.

Surat Keputusan Walikota Medan Nomor 539/1306/K/2002 tanggal 1 Juli 2002 tentang Pembekuan Pelayanan Umum Kebersihan Kota Medan oleh PD Kebersihan, yang sepenuhnya dialihkan menjadi tanggung jawab Dinas Kebersihan Kota Medan.

Hasil/ Output Pengelolaan sampah di Kota Medan dilakukan oleh Dinas Kebersihan sebagai salah satu unsur pelaksana Pemerintah Kota Medan dalam mengelola kebersihan Kota Medan. Visi Dinas Kebersihan Kota Medan adalah “Menciptakan Medan Kota Metropolitan yang Bersih, Sehat, Tertib, Aman, Rapi dan Indah (BESTARI) dengan masyarakat yang maju, mandiri dan berwawasan lingkungan”. Untuk itu Dinas Kebersihan Kota Medan memberikan pelayanan sampah yang meliputi kegiatan : 1. Membersihkan sampah di jalan umum. 2. Mengumpulkan timbunan sampah dari sumbernya ke Tempat Pembuangan Sementara (TPS). 3. Menyediakan Tempat Pembuangan Sementara (TPS) untuk pelayanan umum. 4. Mengangkut sampah dari Tempat Pembuangan Sementara (TPS) ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA). 5. Menyediakan Tempat Pembuangan Akhir untuk pemusnahan sampah. 6. Melakukan penyedotan, pengangkutan limbah tinja manusia dari septictank ke Instalasi Pengelolaan Limbah Tinja (IPLT) (Dinas Kebersihan, 2008).

Hasil yang diharapkan dari kegiatan Kajian Peluang Bisnis Rumah Tangga Dalam Pengelolaan Sampah Perkotaan Melalui Keterlibatan Masyarakat dan Swasta di Medan - Provinsi Sumatera Utara, adalah : 1. Informasi dan gambaran tentang jenis-jenis sampah yang bernilai ekonomis dan analisis usaha dari pemanfaatan sampah yang dihasilkan dari kegiatan rumah tangga dan kegiatan lainnya di Kota Medan. 2. Informasi dan gambaran kelayakan usaha dari kegiatan alternatif pengelolaan sampah rumah tangga di Kota Medan yang memiliki peluang unutk dikembangkan dalam rangka peningkatan perekonomian masyarakat.

HASIL DAN PEMBAHASAN Pengelolaan Sampah di Kota Medan Di Indonesia, pengelolaan sampah secara jelas dinyatakan di dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup pasal 6 ayat (1) berbunyi ”Setiap orang berkewajiban memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup serta mencegah dan menanggulangi pencemaran dan perusakan lingkungan hidup”. Pasal tersebut menyatakan bahwa kewajiban dalam upaya memelihara lingkungan hidup haruslah dilaksanakan oleh setiap orang. Dalam hubungannya dengan pasal tersebut di atas, Pemerintah Kota Medan telah mengeluarkan beberapa peraturan yang dijadikan dasar dalam melaksanakan pengelolaan sampah di Kota Medan yaitu: • Peraturan Daerah Kota Medan Nomor 4 Tahun 2001 tentang Organisasi dan Tata Kerja Dinas-dinas Daerah di Lingkungan Kota Medan. • Peraturan Daerah Kota Medan Nomor 8 Tahun 2002 tentang Retribusi Pelayanan Kebersihan yang sekaligus mencabut SK. Walikotamadya KDH Tingkat II Medan Nomor 970/301/1993 tanggal 30 Desember 1993 tentang Tarip Pelayanan Kebersihan. • Surat Keputusan Walikota Medan Nomor 24 Tahun 2001 tentang pelaksanaan Peraturan Daerah Kota Medan Nomor 4 Tahun 2001 tentang Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja Dinas-dinas Daerah di Lingkungan Pemerintah Kota Medan. • Surat Keputusan Walikota Medan Nomor 10 Tahun 2002 tentang Tugas dan Fungsi Dinas Kebersihan Kota Medan.

Dari penjabaran visi tersebut, maka misi dari Dinas Kebersihan Kota Medan (2008) dirumuskan sebagai berikut : SDM aparatur Dinas 1. Meningkatkan Kebersihan dan masyarakat tentang kebersihan. 2. Meningkatkan sarana dan prasarana dalam upaya mewujudkan pelayanan yang prima. 3. Meningkatkan koordinasi antar instansi terkait. pendapatan retribusi 4. Meningkatkan kebersihan. Berdasarkan data yang diperoleh dari Dinas Kebersihan Kota Medan, penduduk Kota Medan pada tahun 2008 diperkirakan telah mencapai 2.566.462 yang terdiri dari 1.999.851 jiwa penduduk tetap dan 566.611 jiwa penduduk tidak tetap (commuters) yang tersebar di 21 kecamatan.Total timbulan sampah domestik di Kota Medan pada tahun 2008 telah mencapai 1.369,9 ton/harinya atau 5.479,6 M3. Timbulan sampah yang terdapat di Kota Medan terdiri dari sampah organik (48,2 %) dan anorganik (51,8 %) dengan persentasi perbandingan antara sampah organik dengan sampah anorganik adalah sebesar 1 : 1,07.

231


INOVASI : Vol. 7. No. 3,

September 2010

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

Untuk memberikan jasa pelayanan kebersihan, Dinas Kebersihan membentuk 3 (tiga) wilayah operasional, dimana masing-masing wilayah operasional melayani 7 (tujuh) Kecamatan. Timbunan sampah domestik kota Medan ini didistribusikan ke 2 (dua) buah TPA yaitu (1) TPA Namo Bintang, berlokasi di Kelurahan Namo Bintang ; Kecamatan Pancur Batu dengan luas 17,6 Ha. TPA ini mampu menampung 50 % dari total sampah yang dapat diangkut, (2) TPA Terjun, berlokasi di Kelurahan Terjun Kecamatan Medan Marelan dengan luas 13,7 Ha dan kapasitas penampungan sebesar 50 % dari total sampah terangkut. Melihat jumlah timbulan sampah yang semakin meningkat, maka Dinas Kebersihan Kota Medan telah membuat suatu proyeksi volume timbunan sampah. Proyeksi ini menunjukkan bahwa rasio timbunan sampah rata-rata untuk kota Medan adalah sebesar 0,6 kg/jiwa/hari.

Secara idealnya memang kedua sektor ini tentunya diharapkan menjadi sumber pendanaan dalam pengelolaan sampah di kota Medan. Namun hingga saat ini biaya yang dialokasikan oleh pemerintah dalam pengelolaan sampah di Kota Medan adalah berasal dari retribusi sampah yang dikenakan pada setiap gedung dan rumah penduduk, yang pelaksanaannya diatur oleh Peraturan Daerah. Dana retribusi yang dikumpulkan Dinas Kebersihan Kota Medan, yang selanjutnya disetorkan kembali ke kas Pemerintah Kota Medan. Untuk melakukan pemungutan retribusi ini, Dinas Kebersihan memperoleh upah pungut sebesar 5 % dari nilai yang disetorkan ke Kas Daerah (Pasal 19 ayat 1 Perda No. 8 tahun 2002). Nilai Ekonomis Sampah Sampah yang dibuang masyarakat tidak semuanya tidak bernilai. Ada sebagian dari jenis-jenis sampah yang memiliki nilai jual (return value) dan sebagian lagi dapat dimanfaatkan kembali. Berdasarkan wawancara yang dilakukan kepada 200 orang responden yang tersebar di beberapa kecamatan, sebagian besar masyarakat mengerti nilai ekonomis sampah.

Sampah tersebut diangkut oleh armada truk milik Dinas Kebersihan, yang jumlahnya bertambah terus setiap tahunnya. Terlihat bahwa setiap harinya terdapat 2.020 m3 sampah (505 ton) yang terangkut oleh armada angkut yang dimiliiki oleh Dinas Kebersihan Kota Medan. Dari jumlah total volume sampah yang terangkut ini mengandung arti bahwa hanya sekitar 41% sampah yang terangkut dari total timbulan sampah yang terdapat di tempat-tempat pembuangan sampah sementara. Diharapkan pada tahun-tahun mendatang jumlah armada angkut sampah dapat bertambah sesuai dengan jumlah volume timbulan sampah Kota Medan.

Menurut responden beberapa sampah dapat dijual kembali kepada pemulung atau ke agen penjualan barang bekas (botot) antara lain yaitu botol, kertas/karton, plastik-plastik, kaleng, besi, dan aluminium. Selain itu sampah-sampah basah seperti nasi busuk, sampah sisa memasak dapat di manfaatkan untuk makanan ternak dan juga ditimbun sebagai kompos untuk tanaman perkarangan.

Selain itu, untuk memberikan pelayanan maksimal kepada masyarakat Kota Medan, Dinas Kebersihan didukung oleh sumber daya manusia (SDM) yang terdiri atas 273 orang PNS, 1 orang ABRI, 1.525 orang THL yang meliputi : Melati (penyapuan) 387 orang, Bestari (becak sampah) 660 orang, supir mekanik, petugas TPA, hansip, mandor angkutan, koordinator dan administrasi sebanyak 487 orang. Pada hakekatnya, terdapat banyak SDM yang membantu Dinas Kebersihan dalam hal pengelolaan sampah yaitu pemulung.

Nilai ekonomi pengelolaan sampah pada umumnya berasal dari dua sektor, yaitu: (1) Sektor formal, yaitu sektor nilai ekonomi yang dikelola oleh pemerintah, dan (2) Sektor informal, yaitu sektor nilai ekonomi yang dikelola oleh pemulung dan pengumpul sampah. Nilai ekonomi sampah Kota Medan dari sektor informal berasal dari penjualan ulang dari bahan-bahan yang dapat diolah kembali. Pada umumnya sampah yang memiliki nilai ekonomi tersebut adalah bahan-bahan yang dapat didaur ulang yang kemudian ditawarkan kembali ke industri-industri yang membutuhkannya.

Hal yang menarik adalah dimana pada satu sisi sektor informal, pemulung ini memiliki peranan penting dalam pengelolaan sampah. Para pemulung mencari barang yang bernilai ekonomis dari tumpukan sampah, TPS dan TPA maupun dari rumah ke rumah. Namun di lain pihak, pengelola sampah dari lembaga pemerintah melihat pemulung sebagai penghambat operasi sistem pengelolaan sampah padat modern yang efisien. Padahal pekerjaan tersebut dapat menjadi sumber kehidupan bagi puluhan ribu orang miskin dan tak berdaya yang tinggal di kota, serta juga dapat mengurangi jumlah sampah yang harus dibuang atau dibakar.

Jenis dan harga sampah yang dapat didaur ulang diperoleh dari beberapa sentra lokasi pengumpul sampah di Kota Medan yang menjadi tempat perdagangan sampah bagi pengumpul sampah yang terletak di : (1) Jalan Marelan Raya, (2) Jalan Engsel Tanah Enam Ratus, (3) Jalan Setia Budi, (4) Jalan Asrama simpang Perumnas Helvetia, (6) Jalan Karya, (7) Jalan Aksara, (8) Simpang Titi Kuning, (9) Jalan Krakatau, (10) Jalan HM Joni, (11) Jalan Wahidin, (12) Jalan Letda Sujono, (13) Jalan

232


INOVASI : Vol. 7. No. 3,

September 2010

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

sampah. Untuk itu masyarakat pula yang harus berperan untuk menjalankan fungsi tertentu dalam konteks manajemen persampahan. Dalam hal ini, salah satu peran penting yang dapat dijalankan oleh masyarakat adalah melakukan pemisahan sampah sejak dari sumbernya (individu penghasil sampah seperti rumah tangga, sekolah, rumah sakit, dan lain sebagainya).

Kapten Pattimura, (14) Jalan Jemadi, (15) Jalan Cemara, (16) Jalan Pelita 3, (17) Jalan Bintang, (18) Jalan Bilal, (19) Jalan Boom, dan (20) Jalan Kapten Sumarsono. Semua sentra penjualan sampah tersebut menjadi asset yang sangat potensil secara ekonomi bagi masyarakat Kota Medan. Dengan melihat jumlah sentra penjualan sampah di atas, berarti sentra tersebut juga telah menyerap tenaga kerja informal yang cukup besar untuk Kota Medan. Mulai dari pengumpul dan penjual sampah, yang dapat memberikan kontribusi yang cukup besar dalam pengelolaan dan pemanfaatan sampah di Kota Medan.

Pemisahan sampah (solid waste sorting) ini dilakukan dengan alur berfikir sebagai berikut: Jika sampah organik sudah terpisahkan dengan sampah non organik sejak dari rumah tangga hunian, kawasan niaga, kawasan wisata, taman, pantai dan jalan raya, maka ketika masing-masing jenis sampah tersebut sampai di TPA, sampah di TPA sudah terpisah. Para pemulung dapat mudah mengambil sampah non-organiknya, sementara para pembuat pupuk kompos sampah juga mudah mengambil sampah organiknya. Dengan demikian, tumpukan sampah di TPA segera berkurang. Bahkan sangat mungkin bahwa sampah yang sudah terpisah tidak perlu dibawa lagi ke TPA, karena sudah di TPS masyarakat baik itu pemulung maupun pembuat kompos telah memanfaatkan sampah tersebut.

Dalam sistem jaringan daur ulang sampah (Gambar 5), sampah daur ulang dikumpulkan dari sumber seperti : perumahan, kawasan komersial, Tempat Penampungan Sementara (TPS) dan TPA. Kebanyakan sampah daur ulang dikumpulkan oleh pemulung dan kemudian dijual (disalurkan) ke pelapak (pengepul). Pelapak memilah dan mengklasifikasikannya ke beberapa item tergantung pada tipe dan menjual atau menyalurkannya kepada pabrik daur ulang secara langsung atau terlebih dahulu melalui agen. Sebagian sampah ini didaur ulang di pabrik-pabrik dan sebagian dikirimkan ke kota lain ataupun diekspor ke luar negeri untuk menghasilkan produk yang pada akhirnya sampai ke konsumen.

Permasalahan yang menyebabkan sampah di TPA selama ini menumpuk adalah tercampurnya sampah organik dan non-organik. Untuk pemisahannya akan diperlukan biaya yang tinggi serta waktu yang lama. Hal inilah yang menyebabkan beberapa permasalahan, seperti : pencemaran lingkungan di sekitar TPA, kebutuhan TPA yang baru, tidak adanya partisipasi masyarakat dalam pengkomposan. Masalah kebutuhan TPA yang baru akan sulit diatasi mengingat dimasa mendatang akan sangat sukar memperoleh lahan TPA yang baru. Di sisi lain, harus diakui pula bahwa kunci persoalan sampah terletak pada persepsi dan perilaku masyarakat yang masih salah tentang sampah. Persepsi-persepsi tersebut, antara lain : a. sampah adalah urusan pemerintah melalui Dinas Kebersihan Kota b. sampah dapat dibuang dimana saja di jalan, di pasar, di sungai, dan sebagainya. c. masyarakat tidak mengetahui bahaya sampah plastik dan lain-lain. d. masyarakat belum sepenuhnya menyadari (tidak peduli) resiko penumpukan dan penimbunan sampah berlebih.

PEMULUNG

SAMPAH

PENGEPUL

KONSUMEN

PABRIK DAUR ULANG

PASAR

Gambar 1. Diagram Jaringan Daur Ulang Sampah Keterlibatan Masyarakat Dalam Pengelolaan Sampah Perkotaan Pada hakekatnya permasalahan dalam mengelola sampah bukan hanya menjadi tanggungjawab satu pihak, tetapi merupakan tanggung jawab semua pihak (stakeholders). Salah satu faktor penentu dalam keberhasilan upaya pengelolaan sampah perkotaan menuju Kota Medan bersih dan berwawasan lingkungan sesuai dengan visi Dinas Kebersihan Kota Medan adalah keterlibatan dan partisipasi masyarakat setempat. Sebab masyarakat pada hakekatnya adalah sumber awal penumpukan

Esensi yang paling utama dari sistem pengelolaan sampah teritegrasi ini adalah harus berbasis pada masyarakat, karena masyarakatlah sebagai produsen sampah dan masyarakat pula yang akan menikmati lingkungan bersih dan higienis bila persoalan sampah bisa ditangani secara baik. Partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sampah merupakan aspek yang terpenting untuk diperhatikan dalam

233


INOVASI : Vol. 7. No. 3,

September 2010

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

dapat aktif menguraikan bahan-bahan organik sehingga dapat dihasilkan bahan yang dapat digunakan tanah tanpa merugikan lingkungan. Sementara untuk pengomposan, banyak variasi dari metode ini yang dilakukan oleh masyarakat di berbagai kota seperti metode aerob, metode cacing (produksi kompos dengan bantuan cacing untuk mempercepat proses bio-degradasi) dan metode konvensional.

sistem pengelolaan sampah secara terpadu. Partisipasi masyarakat dalam suatu proses pembangunan terbagi atas 4 tahap, yaitu : a) partisipasi pada tahap perencanaan, b) partisipasi pada tahap pelaksanaan, c) partisipasi pada tahap pemanfaatan hasil-hasil pembangunan dan d) partisipasi dalam tahap pengawasan dan monitoring. Masyarakat senantiasa ikut berpartisipasi terhadap proses-proses pembangunan bila terdapat faktor-faktor yang mendukung, antara lain: kebutuhan, harapan, motivasi, ganjaran, kebutuhan sarana dan prasarana, dorongan moral, dan adanya kelembagaan baik informal maupun formal.

Meskipun masyarakat dapat memproduksi kompos, tetapi umumnya lebih untuk pemenuhan kebutuhan sendiri dibandingkan harus memasarkannya untuk pertanian atau perkebunan. Dari hasil pengamatan dilapangan, pengomposan merupakan salah satu usaha alternatif pengelolaan sampah di Kota Medan yang memiliki peluang bisnis cukup menjanjikan, disamping memiliki manfaat dalam menjaga kebersihan dan keindahan kota dan mengurangi jumlah pengangguran.

Keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan sampah merupakan salah satu faktor teknis untuk menanggulangi persoalan sampah perkotaan atau lingkungan pemukiman dari tahun ke tahun yang semakin kompleks. Pemerintah Jepang saja membutuhkan waktu 10 tahun untuk membiasakan Reduce masyarakatnya memilah sampah. (mengurangi), Reuse (penggunan kembali) dan Recycling (daur ulang) adalah model relatif aplikatif dan dapat bernilai ekonomis. Sistem ini diterapkan pada skala kawasan sehingga memperkecil kuantitas dan kompleksitas sampah. Model ini akan dapat memangkas rantai transportasi yang panjang dan beban APBD yang berat. Selain itu masyarakat secara bersama diikutsertakan dalam pengelolaan yang akan memancing proses serta hasil yang jauh lebih optimal daripada cara yang diterapkan saat ini.

Bahan baku pengomposan berupa sampah organik tersedia sangat besar, baik berasal dari pasar maupun rumah tangga. Berdasarkan hasil wawancara dan kuisioner, masyarakat pada umumnya membuang sampah organik lebih besar dari 1,5 kg tiap harinya. Jika nilai ini dikalikan dengan jumlah KK di Kota Medan, maka volume sampah organik sebagai bahan baku pengomposon cukup banyak tersedia. Menurut Santoso (1987), usaha pengomposan sampah kota memiliki beberapa manfaat dari segi ekonomi yaitu : 1. Pengkomposan dapat mengurangi jumlah sampah sehingga akan mengurangi biaya operasinal pemusnahan sampah. 2. Tempat pengumpulan sampah akhir dapat digunakan dalam waktu yang lebih lama, karena sampah yang dikumpulkan berkurang. Dengan demikian akan mengurangi investasi lahan TPA. 3. Kompos dapat memperbaiki kondisi tanah dan dibutuhkan oleh tanaman. Hal ini berarti kompos memiliki nilai kompetetif dan ekonomis yang berarti kompos dapat dijual. 4. Penggunaan pupuk anorganik dapat ditekan sehingga dapat meningkatkan efisiensi penggunaannya.

Oleh sebab itu, selain partisipasi masyarakat diperlukan juga perhatian dari pemerintah khususnya pemerintah daerah dan lembaga swadaya masyarakat sebagai faktor pelaksana pembangunan daerah dan pemegang kebijakan dalam mengakomodir kegiatan dan program-program pengelolaan sampah perkotaan secara lestari dan partisipasi masyarakat sehingga kebersihan dan keindahan Kota Medan dapat terwujud dalam rangka peningkatan kualitas hidup masyarakat kota. Solusi dalam mengatasi masalah sampah ini dapat dilakukan dengan meningkatkan efisiensi terhadap semua program pengelolaan sampah yang dimulai pada skala kawasan (tingkat kelurahan dan kecamatan), kemudian dilanjutkan pada skala yang lebih luas lagi.

Selain dari tinjauan ekonomi, dari segi ekologi, proses pembuatan kompos memberikan manfaat bagi lingkungan, antara lain : 1. Pengkomposan merupakan metode daur ulang yang alamiah dan mengembalikan bahan organik ke dalam siklus biologis. Kebutuhan energi dan bahan makanan yang diambil tumbuhan dari dalam tanah dikembalikan lagi ke dalam tanah.

Usaha Alternatif Pengelolaan Sampah Bernilai Ekonomis -

Kompos

Kompos merupakan hasil fermentasi dari bahanbahan organik sehingga berubah bentuk, berwarna kehitam-hitaman dan tidak berbau. Pengomposan merupakan proses penguraian bahan-bahan organik dalam suhu yang tinggi sehingga mikroorganisme

234


INOVASI : Vol. 7. No. 3,

2.

3.

September 2010

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

Mengurangi pencemaran lingkungan, karena sampah yang dibakar, yang dibuang ke sungai ataupun yang dikumpulkan di TPA akan berkurang. Ini berarti mengurangi pencemaran udara maupun air tanah. Pemakaian kompos pada lahan perkebunan atau pertanian akan meningkatkan kemampuan lahan dalam menahan air sehingga terjadi koservasi air. Kompos mempuyai kemampuan memperbaiki dan meningkatkan kondisi kesuburan tanah (konservasi tanah).

2.

3.

Pada prinsipnya, pengomposan yang dilakukan sebagian masyarakat di Kota Medan terbagi atas 3, yaitu : (1) Pengomposan dengan menggunakan bioaktivator EM-4; (2) Pengomposan skala rumah tangga; dan (3) Pengomposan sederhana. Usaha pengomposan yang dilakukan masyarakat secara konvensional dengan menggunakan teknologi pengomposan dan bioaktivator EM-4 masih jarang dilakukan karena perhitungan biaya produksi yang terlalu tinggi. Masyarakat pada umumnya melakukan pengomposan untuk skala rumah tangga dan secara sederhana. a.

Analisis Usaha Sederhana

Pembuatan

-

1.

Kelayakan Sederhana

Usaha

Pembuatan

Mengepul Sampah Plastik (Plastik Kresek dan PE)

Menjadi seorang pengepul sampah plastik merupakan peluang bisnis yang cukup menjanjikan. Selain dapat meningkatkan perekonomian keluarga, usaha ini menyerap tenaga kerja yang pada akhirnya dapat meminimalkan jumlah pengangguran di Kota Medan. Adapun hasil pengamatan dan pengumpulan data primer di lapangan menunjukkan bahwa rumah tangga menghasilkan sampah kantong plastik bervariasi 3-5 buah perhari, 6-8 buah perhari, bahkan ada yang lebih dari 8 buah perharinya.

Kompos

Analisis usaha diestimasi untuk produksi 500 kg pupuk kompos dan bahan baku 1000 kg dengan asumsi penyusutan sampah organik menjadi pupuk sebesar 50% dari total timbulan sampah dan harga jual Rp. 750,- per kilogramnya. 1. Biaya Produksi - Pembelian peralatan : 38.000 - Bahan Baku dan Campuran : 22.000 - Tenaga Kerja : 75.000 Total Biaya Produksi : 135.000 2. Hasil Penjualan - Kompos 500 kg x Rp 750,- : 375.000 Total Penjualan : 375.000 3. Keuntungan Penjualan - Biaya Produksi = Rp. 240.000,b.

Dengan harga jual Rp 270/kg, usaha mengalami titik impas. Return of Investment (ROI) ROI = (hasil penjualan/total biaya produksi) x 100% = (Rp 375.000/ Rp 135.000) x 100% = 2,77 % Hasil ROI sebesar 2,77 % berarti dari modal sebesar Rp 100,- akan diperoleh pendapatan sebesar Rp 277,Benefit Cost Ratio (B/C) B/C = keuntungan/biaya produksi = Rp 240.000/ Rp 135.000 = 1,77 Dengan hasil B/C sebesar 1,77 berarti dari biaya yang dikeluarkan akan memperoleh keuntungan sebesar 1,77%.

Menurut seorang pengusaha pengepul sampah plastik (plastik kresek dan plastik PE) yang beralamat di Jalan Kapten Sumarsono, tiap harinya bisa terkumpul 1- 3 ton sampah plastik dimana setiap minggunya bisa menyalurkan ke pabrik pengolahan plastik 10 – 18 ton dengan nilai rupiah ¹ 72 juta setiap bulannya. Jika dilihat dari jumlah sampah plastik yang dibuang setiap KK dan permintaan terhadap sampah ini cukup tinggi, maka tidak menutup kemungkinan usaha alternatif sebagai pengepul sampah memberikan peluang usaha dan penyedia lapangan kerja dalam rangka peningkatan perekonomian keluarga dan pengurangan pengangguran di Kota Medan.

Kompos

Break Even Point (BEP) BEP produksi = biaya produksi/harga jual = 135.000/750 = 180 Hasil ini menandakan bahwa pada produksi 180 kg, usaha kompos tidak mengalami keuntungan dan kerugian. BEP harga = biaya produksi/jumlah produksi = 135.000/500 = 270

a. 1.

235

Analisis Usaha Pengepul Plastik Kresek dan PE (perbulan) Biaya Produksi - Sewa lahan : 100.000 - Transpotasi @ 200.000 x 15 trip : 3.000.000 - Gaji pegawai @ 1.050.000 x 2 orang: 2.100.000 - Bahan baku plastik kresek : 33.750.000 - Bahan baku plastik PE: 18.000.000 - Biaya tak terduga (10 %) : 5.695.000 Total Biaya Produksi : 62.645.000,-


INOVASI : Vol. 7. No. 3,

2.

3.

b. 1.

2.

3.

-

September 2010

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

satu peluang bisnis rumah tangga untuk meningkatkan perekonomian keluarga dapat dilakukan melalui tahap-tahap sebagai berikut : 1. Kertas bekas yang telah disobek-sobek, direndam minimal 12 jam agar serat-seratnya menjadi lunak. Perendaman dapat pula dibantu dengan perebusan untuk mempercepat proses peresapan air. 2. Kertas yang telah lemas direndam air atau direbus, dihancurkan dengan blender. Dengan perbandingan 1 : 4 (4 bagian air untuk 1 bagian kertas). Lama pemblenderan tidak lebih dari 1 menit, sebaiknya dilakukan 2 kali pemblenderan dengan interval 30 detik saja. kertas yang diperoleh dari 3. Bubur pemblenderan dikumpulkan dalam satu wadah. Selanjutnya dapat dilakukan pencucian untuk mengurangi kadar asamnya dengan cara menyaring bubur kertas pada kain yang agak lebar dan meletakkannya di atas ember berisi air. Dengan demikian bubur kertas dapat dicuci sekaligus memisahkan potonganpotongan kertas yang mungkin belum hancur akibat pemblenderan. 4. Selanjutnya bubur kertas siap untuk diolah, dapat dicetak langsung maupun dilakukan pencampuran warna dan serat. Masukan bubur kertas yang hanya bercampur dengan warna saja, atau bercampur dengan serat saja, atau bercampur dengan pewarna dan serat maupun bubur kertas tanpa campuran, kedalam ember kotak tempat cetakan. Perbandingan antara jumlah air dan bubur kertas tetap 4 : 1. Adukaduk hingga campuran air dan bubur kertas merata. 5. Masukkan bingkai cetakan, dengan posisi bingkai cetak yang memakai kain kassa berada dibawah dan bingkai kosong dibagian atas sisi kain kassa. Masukkan hingga kedasar ember cetak, dengan hati-hati. Atur posisi bingkai cetak agar datar dan sejajar permukaan air. Kemudian angkat bingkai tersebut dengan hati-hati dalam posisi datar. Bubur kertas akan tercetak dipermukaan bingkai dengan bentuk seperti selembar kertas yang basah. Angkat bingkai penutup dengan cepat, jangan sampai airnya memerciki lembaran kertas yang masih basah tadi. Kemudian ditiriskan dalam posisi miring sekitar 30 derajat hingga airnya tinggal sedikit. Selanjutnya kertas basah tersebut siap untuk ditransfer ke atas permukaan alas cetak untuk dikeringkan. 6. Bingkai cetak dibalik, sehingga kertas basah menghadap ke alas cetak. Letakkan bingkai cetak dengan kertas basah tersebut pada alas cetak dengan hati-hati. Pada bagian atas bingkai cetak atau sisi sebaliknya dari kertas basah dapat dilakukan pengeringan dengan menggunakan spon. Selain untuk mempercepat pengeringan juga untuk

Hasil Penjualan - Plastik kresek 45 ton x 1000/kg : 45.000.000 - Plastik PE 15 ton x 2000 : 30.000.000 Total Penjualan : 75.000.000,Keuntungan Penjualan - Biaya Produksi = 12.355.000,Kelayakan Usaha Pengepul Plastik Kresek dan PE Break Even Point (BEP) BEP produksi = biaya produksi/harga jual = 62.645.000/1250 = 50.116 Hasil ini menandakan bahwa dalam satu bulan pengumpulan plastik kresek dan PE mencapai 50,1 ton, usaha tidak mengalami keuntungan dan kerugian. BEP harga = biaya produksi/jumlah produksi = 62.645.000/60.000 = 1.044 Dengan harga jual ke pabrik Rp 1.044/kg, usaha mengalami titik impas. Return of Investment (ROI) ROI = (hasil penjualan/total biaya produksi) x 100% = (Rp 75.000.000/ Rp 62.645.000) x 100% = 1,19 % Hasil ROI sebesar 1,19 % berarti dari modal sebesar Rp 100,- akan diperoleh pendapatan sebesar Rp 119,Benefit Cost Ratio (B/C) B/C = keuntungan/biaya produksi = Rp 12.355.000/ Rp 62.645.000 = 0,19 Dengan hasil B/C sebesar 0,19 berarti dari biaya yang dikeluarkan akan memperoleh keuntungan sebesar 0,19%. Kertas Daur Ulang

Berdasarkan hasil wawancara dan kuisioner, jumlah kertas yang di buang oleh masyarakat tiap KK ¹ 0,2 - 1 kg perharinya. Sedangkan pemulung bisa menjual kertas 5 – 10 kg perharinya dan pengepul barang bekas 3.000 – 7.000 kg perbulannya ke pabrik daur ulang kertas. Melihat volume jumlah kertas yang beredar di tingkat pemulung dan pengepul serta sampah kertas yang dibuang sangat besar, hal ini merupakan prospek untuk usaha daur ulang kertas baik skala rumahan maupun skala pabrik. Kertas hasil daur ulang dapat digunakan sebagai bahan baku berbagai produk kerajinan tangan. Cara membuat kertas daur ulang juga tidak membutuhkan waktu dan keahlian khusus, dan setiap orang dapat melakukannya asalkan ada kemauan dan keuletan. Mekanisme sederhana dalam melakukan daur ulang kertas sebagai salah

236


INOVASI : Vol. 7. No. 3,

7.

a.

September 2010

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

mempermudah proses pemindahan kertas. Jika sudah cukup kering dan bingkai cetak sudah dapat diangkat dari alas cetak, lakukan dengan hati-hati agar kertas tersebut tidak cacat. Kertas yang telah dipindahkan ke alas cetak tinggal menunggu kering saja, tetapi sebaiknya tidak dijemur dibawah matahari langsung. Dapat juga diselingi dengan pengepresan sewaktu kertas belum kering, dengan cara lapisi setiap lembar kertas dengan kain dan tumpuk sampai beberapa lapis kemudian diletakkan diantara papan pengepresan, lakukan selama kira-kira 10 menit. Jika kertas sudah kering, pengepresan dilakukan selama 1 jam.

3.

KESIMPULAN Dari berbagai uraian sebagaimana tersebut di atas, dapat disimpulkan sebagai berikut : 1. Timbulan sampah Kota Medan Tahun 2008 sebanyak 1.369,9 ton/hari atau 5.479,6 M3 yang terdiri dari 48,2% sampah organik dan 51,8 % anorganik, sedangkan rata-rata sampah yang dibuang oleh masyarakat 1 - 1,5 kg per rumah tangga perhari. 2. Disamping sampah organik, terdapat 18 jenis sampah anorganik yang dihasilkan rumah tangga di Kota Medan yang memiliki nilai ekonomis, yang dikelompokkan dalam 7 kategori, yaitu : plastik, kaleng, kertas, kaca, besi, tembaga, dan aluminium. 3. Kegiatan yang dapat dijadikan usaha alternatif dalam rangka peningkatan pendapatan keluarga antara lain yaitu : (a) pengomposan; (b) pengepul plastik kresek dan PE; dan (c) daur ulang kertas. 4. Pembuatan kompos dari sampah organik membuka peluang usaha rumah tangga. Dengan harga pupuk kompos Rp. 750/kg, berdasarkan analisis usaha, break even point (BEP) dicapai pada produksi 180 kg per hari. 5. Usaha mengepul plastik kresek dan PE sebagai alternatif peluang bisnis rumah tangga dengan harga plastik jual Rp.1.000 - Rp.2.000/kg, berdasarkan analisis usaha, break even point (BEP) dicapai pada harga Rp. 1.044/ kg. 6. Kerajinan tangan (bingkai foto) dari kertas daur ulang membuka peluang bisnis rumah tangga. Dengan harga jual Rp. 2000/buah, berdasarkan analisis usaha, break even point (BEP) dicapai pada harga Rp. 270/buah. 7. Mengelolah sampah menjadi produk daur ulang sebagai peluang bisnis rumah tangga dan swasta lebih optimal dengan menerapkan sistem pengelolaan sampah partisipatif.

Analisis Usaha Kerajinan Tangan Dari Bahan Kertas Daur Ulang

Dalam 1 kg kertas bekas menghasilkan 600 g kertas daur ulang. Berat rata-rata 1 lembar kertas ukuran folio adalah 6 gram sehingga dapat menghasilkan 100 lembar kertas daur ulang dengan harga perlembarnya Rp. 500,-. Analisis usaha diestimasi untuk produksi 500 buah bingkai foto dengan harga jual Rp 2000,-. 1. Biaya Produksi - Karton 10 lembar @ Rp. 2000 : 20.000 - Kertas daur ulang 125 lembar @ Rp 500,-: 62.500 - Lem : 6.000 - Bunga Kering : 25.000 Total Biaya Produksi : 113.500 2. Hasil Penjualan - Bingkai foto 500 x Rp 2000,- : 1000.000 Total Penjualan : 1.000.000 3. Keuntungan Penjualan – Biaya Produksi = Rp. 886.500,b.

Kelayakan Usaha Kerajinan Tangan dari Bahan Kertas Daur Ulang

1.

Break Even Point (BEP) BEP produksi = biaya produksi/harga jual = Rp. 113500/ Rp. 2000 = 57 Hasil ini menandakan bahwa pada produksi 57 buah, usaha tidak mengalami keuntungan dan kerugian. BEP harga = biaya produksi/jumlah produksi = Rp. 113500/500 = 270 Dengan harga jual Rp 270/buah, usaha mengalami titik impas. Return of Investment (ROI) ROI = (hasil penjualan/total biaya produksi) x 100% = (Rp 1.000.000/ Rp 113.500) x 100%

2.

= 8,81 % Hasil ROI sebesar 8,81 % berarti dari modal sebesar Rp 100,- akan diperoleh pendapatan sebesar Rp 881,Benefit Cost Ratio (B/C) B/C = keuntungan/biaya produksi = Rp 886.500/ Rp 113.500 = 7,81 Dengan hasil B/C sebesar 7,81 berarti dari biaya yang dikeluarkan akan memperoleh keuntungan sebesar 7,81%.

Saran Rekomendasi 1.

237

Setiap rumah tangga agar melakukan pemilahan sampah bernilai ekonomis, sehingga dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku berbagai produk daur ulang guna memberikan tambahan pendapatan keluarga.


INOVASI : Vol. 7. No. 3,

2.

3.

4.

5.

6.

September 2010

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

Nisandi. 2007. Pengelolaan dan Pemanfaatan Sampah Organik Menjadi Briket Arang dan Asap Cair. Seminar Nasional Teknologi 2007. Yogyakarta.

Perlu dilakukan pembentukan kelompok pemuda pencinta lingkungan hidup untuk setiap kelurahan (lingkungan) yang bertugas mengelola sampah rumah tangga. Pemerintah Kota Medan agar memberikan fasilitas pengelolaan sampah melalui bantuan penyediaan tong sampah terpilah di setiap kelurahan, sehingga sampah telah terpilah sebelum diangkut ke TPA. Perlu sosialisasi yang lebih efektif program pemerintah berkaitan dengan pengelolaan sampah, meliputi : kampanye massal 3R (Reduce, Reuse, Recycle) melalui penyebaran poster, iklan media cetak dan elektronik, dan visit school. Pemerintah Kota Madan agar membuat program pelatihan pengelolaan sampah organik dan anorganik bernilai ekonomis (kompos, produk kerajinan tangan) untuk tingkat rumah tangga dan kelurahan. Perlu penambahan pengetahuan tentang lingkungan hidup khususnya pengelolaan sampah ke dalam kurikulum sekolah Taman Kanak-Kanak hingga Sekolah Menengah Atas.

Provinsi Sumatera Utara. 2002. Peraturan Daerah Kota Medan Nomor 8 Tahun 2002 tentang Restribusi Pelayanan Kebersihan. Dinas Kebersihan Kota Medan. Medan. Pratama, Y dan Soleh, Hubungan Antara Domestik Dengan Mempengaruhinya. Nasional Sains dan Universitas Lampung.

Pusat Kajian dan Diklat Aparatur I (PKP2A I) Lembaga Administrasi Negara. 2004. Kajian Tentang Pengelolaan Bersama (Joint Managament) Pelayanan Persampahan Di Wilayah Perkotaan. Bandung. Santoso, U. 1987. Limbah Bahan Ransum Unggas yang Rasional. Bhratara Karya Aksara, Jakarta.

DAFTAR PUSTAKA Anonim. 2009. Teknologi Pengelolaan Limbah: Daur Ulang Sampa Plastik Bisnis yang Menjanjikan dan ramah Lingkungan. http://onlinebuku.com.

Sidik, M.A., Herumartono, D., dan Sutanto, H.B. 1985. Teknologi Pemusnahan Sampah dengan Incinerator dan Landfill. Direktorat Riset Operasi dan Managemen. Deputi Bidang Analisa Sistem Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi. Jakarta.

Daniel, T.S., Hasan, P., dan Vonny S. 1985. Tekonologi Pemanfaatan Sampah Kota dan Peran Pemulung Sampah: Suatu Pendekatan Konseptual. PPLH ITB. Bandung. Dinas

A.Z. 2008. Kajian Timbulan Sampah Faktor-faktor yang Prosiding Seminar Teknologi-II 2008.

Tiwow, C. et all. 2003. Pengelolaan Sampah Terpadu Sebagai Salah Satu Upaya Mengatasi Problem Sampah Diperkotaan. Makalah Pengantar Falsafah Sains. Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor (IPB). Bogor.

Kebersihan Kota Medan. 2008. Permasalahan dan Pengelolaan Sampah Kota Medan. Medan.

Kastaman, R. dan Kramadibrata, A.M, dan Daradjat. 2002. Rancangan Pengembagan Sistem Pengelolaan Reaktor Sampah Terpadu (Silarsatu). Lembaga Pengabdian Kepada Masyarakat Universitas Padjadjaran. Bandung.

Umar, I. 2009. Pengelolaan Sampah Terpadu Di Wilayah Perkotaan. http://uwityangyoyo.wordpress.com.

Kementerian Negara Lingkungan Hidup Republik Indonesia (KNLH). 2008. Statistik Persampahan Indonesia. Jakarta. ____________. 2008. Panduan Praktis Pemilahan Kerjasama dengan Japan Sampah. International Cooperation Agency (JICA). Jakarta. Neolaka, A. 2008. Kesadaran Lingkungan. Penerbit PT. Rinika Cipta. Jakarta.

238


INOVASI : Vol. 7. No. 3,

September 2010

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

Prospek Pengembangan Iles-Iles (Amorphopallus spp.) Di Hutan Rakyat Eva Fauziyah1) 1)

Peneliti pada Balai Penelitian Kehutanan Ciamis

Abstraksi Iles-iles (Amorphophallus spp.) dicirikan oleh umbi berwarna ungu atau kuning dan batangnya agak kasar, berwarna hijau bentol-bentol sama, bentuknya berisi, dan tidak bergulur memanjang. Iles-iles merupakan jenis tumbuhan yang mudah dibudidayakan dan dapat tumbuh dengan baik di bawah naungan tegakan hutan. Tulisan ini ingin memaparkan prospek pengembangan iles-iles di lahan hutan rakyat. Hutan rakyat khususnya di Jawa Barat sudah banyak dikembangkan oleh petani dengan pola campuran atau agroforestry. Iles-iles cukup menarik untuk dikembangkan di bawah tegakan hutan rakyat, karena selain mudah dibudidayakan, memiliki banyak kegunaan, memiliki potensi pasar, juga bisa menjadi pertimbangan terkait optimalisasi pemanfaatan lahan terlebih iles-iles memiliki karakteristik dapat tumbuh dengan baik di bawah tegakan. Di beberapa tempat seperti di Kabupaten Madiun dan Nganjuk, iles-iles bahkan menjadi tanaman primadona karena kontribusi yang dirasakan oleh masyarakatnya cukup besar. Meski demikian sampai saat ini di daerah lain belum banyak masyarakat yang membudidayakannya karena masih menghadapi kendala seperti rendahnya infomasi mengenai iles-iles terutama pasar. Oleh karena itu perlu diupayakan dukungan dari stakeholder terkait dalam pengembangan iles-iles agar potensi hutan rakyat yang ada dapat dimanfaatkan secara optimal.

Kata kunci : Iles-iles (Amorphophallus spp.), pengembangan, hutan rakyat. Jawa yang memiliki musim kemarau kuat dari dataran rendah hingga 800 m diatas permukaan laut dan di lahan yang subur dan cocok bagi pertumbuhannya, iles-iles dapat mencapai ketinggian lebih dari 2,5 meter (Heyne, 1987). Ilesiles merupakan jenis tumbuhan yang mudah dibudidayakan dan dapat tumbuh dengan baik di bawah naungan tegakan hutan. Iles-iles dikenal dengan banyak nama seperti Porang, acung, cocoan oray/ileus (sunda) atau kruwu/lorkong/labig/subeg di Bali dan subeg leres di Madura.

PENDAHULUAN Hutan rakyat menurut Undang-Undang No 41 tahun 1999 tentang Kehutanan merupakan bagian dari hutan hak yakni hutan yang berada pada tanah yang dibebani hak. Awang, et. al (2001) menyebutkan bahwa hutan rakyat tersusun dari satuan ekosistem kehidupan mulai dari tanaman keras, non kayu, satwa, buah-buahan, atau usaha tani semusim, dan barang-barang, serta jasa rekreasi. Sudah banyak diketahui bahwa keberadaan hutan rakyat sekarang ini menjadi kian penting dan menarik. Hal ini karena hutan rakyat tidak saja dapat berperan secara ekonomi tetapi juga secara sosial dan ekologi. Pengelolaan hutan rakyat yang memang pada umumnya dikelola dengan pola campuran atau dikenal juga dengan sistem agroforestry, jelas menyimpan banyak jenis komoditi. Di hutan rakyat tidak saja ditumbuhi pepohonan tetapi juga berbagai tanaman dibawahnya yang kadangkala tidak disadari oleh petani sebenarnya memiliki banyak manfaat, sehingga bisa meningkatkan hasil yang diperoleh dari hutan rakyat. Salah satu jenis tanaman tersebut adalah iles-iles (Amorphophallus spp.).

Tanaman ini juga memiliki potensi sebagai komoditas ekspor. Peluang pasar untuk iles-iles juga masih terbuka lebar, bahkan permintaan yang ada masih belum dapat dipenuhi oleh Indonesia. Data menunjukkan bahwa permintaan terhadap ilesiles sebanyak 3.000 ton per tahun, namun baru 600 ton yang dapat dipenuhi (Suara Merdeka, 2001). Di beberapa daerah di Indonesia seperti Bojonegoro, Madiun, Solo, Rembang, dan Cepu, iles-iles dijadikan bahan pangan pada masa paceklik sebagai pengganti beras. Di Jawa Tengah, Madura, dan India digunakan sebagai bahan makanan dan kolak. Di Filipina selain digunakan sebagai bahan baku pembuat roti dan alkohol, iles-iles juga digunakan sebagai pakan ternak babi dan ayam potong. Sementara di Jepang selain digunakan sebagai bahan baku industri juga sebagai bahan makanan tradisional �konyaku� dan �shirataki�(Soemono, 1984; Kriswidarti, 1980; Soemono dalam

Iles-iles termasuk famili Araceae, yang dicirikan oleh umbi berwarna ungu atau kuning dan batangnya agak kasar, berwarna hijau bentol-bentol sama, bentuknya berisi, dan tidak bergulur memanjang. Iles-iles banyak ditemukan di daerah

239


INOVASI : Vol. 7. No. 3,

September 2010

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

Aulinuriman, 1998). Selain untuk bahan pangan, iles-iles dapat digunakan untuk bahan baku kertas, industri obat-obatan, tekstil, bahan pembuat selluloid, bahan peledak, kosmetik, pembersih, dan film (Trubus, 1982 dalam Ermiati dan Laksamanahardja, 1996).

Untuk membudidayakan iles-iles tidak memerlukan teknik yang rumit. Iles-iles adalah tanaman yang dapat diperbanyak dari biji, umbi atau bagianbagian umbi, bulbil (bagi tanaman yang memiliki bulbil), dan dengan memanfaatkan kultur jaringan. Perbanyakan melalui biji jarang dilakukan karena biji tidak selalu tersedia. Perbanyakan yang biasa dilakukan adalah dengan menggunakan umbi (Jansen et al., 1996).

Dengan memperhatikan banyaknya manfaat ilesiles dan juga potensi hutan rakyat, iles-iles memiliki potensi yang besar untuk dijadikan komoditi yang dapat menambah pendapatan petani hutan rakyat. Lalu seperti apa prospek iles-iles ini dapat dikembangkan terutama terkait dengan keberadaan hutan rakyat dan juga pemasarannya, dalam tulisan ini akan dipaparkan prospek pengembangan iles-iles di lahan hutan rakyat.

Syarat tumbuh iles-iles juga mudah, pada umumnya dapat tumbuh pada jenis tanah apa saja, namun demikian agar usaha budidaya tanaman iles-iles dapat berhasil dengan baik perlu diketahui hal-hal yang merupakan syarat-syarat tumbuh tanaman ilesiles, terutama yang menyangkut iklim dan keadaan tanahnya. Rosman dan Rusli (1991) menyatakan bahwa tanaman iles-iles tumbuh pada ketinggian 100-1000 m dpl dengan tanah tekstur liat berpasir, struktur tanah gembur dan kaya akan unsur hara. Tanaman iles-iles dapat tumbuh pada kondisi curah hujan yang luas karena bisa tumbuh pada curah hujan 2000-5000 mm per tahun (Rosman dan Rusli, 1991) tetapi juga tahan terhadap kekeringan (Trubus, 1982). Jansen et al., (1996) menambahkan bahwa iles-iles tumbuh didaerah yang ternaungi seperti pada daerah hutan dan semak belukar.

GAMBARAN MENGENAI ILES-ILES Budidaya Jenis iles-iles banyak dijumpai di Indonesia diantaranya A. campanulatus (Dennst.) Nicols, A. variailis B.I, A. spectabilis (Miq). Engl, A. decussilvae Backer & Alderw, A. muelleri B.I dan yang sangat terkenal adalah A. titanium Becc, karena bunganya sangat besar dan indah. Diantara sekian banyak jenis-jenis tersebut yang ditanam dan dipergunakan sebagai bahan makanan dan bahan industri hanyalah A. campanulatus (Desnnt.) Nicols, A. muelleri B.I, dan A. variabilis B.I (Sufiani, 1993). Ciri-ciri botanis dari ketiga jenis Amorphophallus tersebut dapat dilihat pada tabel 1. Tabel 1. Ciri-ciri Botanis Amorphophallus spp.

Nama Jenis Ciri-ciri Penyebaran Warna dan tangkai daun

gambaran

A. campanulatus (Desnnt.) Nicols Umumnya ditanam dipekarangan. Hijau muda sampai tua dengan bercak putih.

Permukaan tangkai daun Warna tepi daun tanaman muda Pertumbuhan umbi bibit Warna luar umbi batang

Licin Hijau

Warna dalam umbi batang

Kuning muda sampai tua. Banyak jaringan tebal. Sangat sedikit

Susunan jaringan Kadar mannan

Pada umbi batang Kelabu coklat

A. muelleri B.I

A. variabilis

Umumnya tumbuh secara liar. Sangat beraneka ragam sampai hijau bercak putih. Kasar Hijau

Tumbuh liar

Pada umbi batang Putih (hijau ungu atau kelabu bila kena cahaya). Putih

Pada helai daun Kelabu coklat

Jaringan halus Rendah sampai sedang.

Jaringan halus Tinggi sampai sangat tinggi.

Sumber : Sudarsono dan Abdulmanaf , 1963 dalam Sufiani, 1993

240

Hijau muda sampai hijau tua dengan bercak putih. Licin Ungu muda

Kuning


INOVASI : Vol. 7. No. 3,

September 2010

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

Suhu optimum untuk A. variabilis B.I adalah 25350C. Iles-iles dapat tumbuh optimum pada tanah yang drainasenya baik dan memiliki kandungan humus yang cukup tinggi dengan PH tanah antara 6-7,5 lebih tinggi. Amorphophallus tidak dapat tumbuh pada tanah lempung karena lempung akan menghambat perkembangan umbi (Jansen et al., 1996). Naungan yang ideal untuk tanaman iles-iles adalah jenis Jati, Mahoni, Sonokeling, dan lain-lain, yang paling pokok adanya naungan serta terhindar dari kebakaran. Tingkat kerapatan naungan minimal 40% sehingga semakin rapat semakin baik. Arifin (2008) menyebutkan petani LMDH di Madiun dan Nganjuk, Jawa Timur sebagian besar menanam iles-iles di bawah tegakan Jati atau Sono Britf, meskipun masih ada juga iles-iles yang ditanam di bawah tegakan Jati tidak dapat tumbuh dengan baik.

Pengolahan Selain mempunyai kondisi morfologis yang berbeda, ketiga jenis iles-iles juga mempunyai kandungan kimia yang berbeda seperti terlihat pada Tabel 2. Kandungan utama dalam umbi Amorphophallus adalah karbohidrat. Pada A. companulatus dan A.variabilis komponen utama dari karbohidrat berupa pati, sedangkan pada A. Muelleri atau A. onchophyllus adalah mannan, sehingga jenis inilah yang banyak diekspor untuk dijadikan berbagai bahan baku industri (Hulsen dan Koolhaas dalam Hobir, et al.,1996). Dalam Fauziyah (2009) juga disajikan hasil analisa gizi pada ketiga jenis iles-iles seperti terlihat pada Tabel 3.

Tabel 2. Komposisi Kimia (%) Umbi Tiga Jenis Amorphophallus spp. Kadar Bahan Poliosa Pati Mannan air kering lain A. companulatus 70,1 29,2 77,0 0 14,2 A. variabilis 78,4 21,6 27,0 44,0 0 A. onchophylus/A.muelleri 79.7 20,3 2,0 55,0 14,0 Sumber: Ohtsuki dalam Syaefullah, 1990 dalam Ermiati dan Laksamanahardja, 1996 Jenis

Serat Kasar 8,5 6,0 8,0

Gula bebas 0 9,0 0

Tabel 3. Komposisi Kimia (%) Umbi Tiga Jenis Amorphophallus spp. A.muelleri (Iles-iles) 1. N 1,458 2. Protein 9,112 3. Lemak 0,786 4. Serat Kasar 11,49 5. Kadar air 6,24 6. Kadar abu 7,01 7. Karbohidrat 39,315 8. Pati 42,344 Sumber: Fauziyah, et. al., 2009 No.

Komposisi Kimia

A. variabilis (Bosot) 1,688 10,558 0,796 6,91 5,54 7,30 36,947 49,789

A. companulatus (Suweg) 0,940 5,875 0,746 9,54 3,92 10,96 49,789 46,427

Tabel 4. Kandungan Mannan dan Pati Umbi Amorphophallus Penting di Indonesia

Jenis iles-iles

Total Mannan (%) 67 30 2,7

Kandungan Mannan yang dapat larut (%) 57 18 -

Amorphophallus muelleri Amorphophallus variabilis A.Paeoniifolius (Dennst.) Nicols var. Hortensis (suweg) A.Paeoniifolius (Dennst.) 3,1 Nicols var. silvestris (suweg) Sumber : Hulssen dan Koolhaas dalam Rosman dan Rusli, 1991

241

Pati (%) 12,3 45 52,6 54,9


INOVASI : Vol. 7. No. 3,

September 2010

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

berdatangan dari berbagai tempat termasuk PT Ambico yang telah lama berkecimpung dalam pengolahan bahan makanan dari iles-iles. Lebih jauh disebutkan oleh Humas Perum Perhutani (2010) permintaan pasar luar negeri terhadap chips porang pada tahun 2007 sudah mencapai 104 ton. Hal inilah yang mendukung perkembangan usahatani iles-iles di Jawa Timur (Nganjuk dan Madiun) dapat berjalan dengan baik dan mampu meningkatkan pendapatan dari lahan hutan (hutan negara).

Menurut Ermiati dan Laksamanahardja (1996), pengolahan iles-iles dalam dunia perdagangan internasional selain bentuk gaplek (iles-iles yang sudah dikeringkan) juga dikenal tepung iles-iles, namun sebagian besar pengolahan iles-iles yang dilakukan petani hanya dikeringkan saja lalu kemudian dijual. Pengeringan umbi iles-iles ini dalam kondisi panas yang cukup memerlukan waktu selama 3 hari. Menurut Ermiati dan Laksamanahardja (1996) untuk mendapatkan kasar mannan yang cukup tinggi iles-iles harus secepatnya dikeringkan (dibuat gaplek). Menurut Kay dalam Syaifullah (1990) dalam Ermiati dan Laksamanahardja (1996), kadar umbi iles-iles relatif tinggi, yakni 70-85% yang menyebabkan bagian dalamnya mudah rusak oleh aktivitas enzim. Karena itu penyimpanan umbi ilesiles sebaiknya dilakukan dalam bentuk produk kering. Selain untuk menahan aktivitas enzim, produk kering lebih tahan simpan dan memudahkan dalam pengangkutan, penanganan serta penggunaan selanjutnya. Namun pada tingkat petani, masih banyak yang lebih tertarik menjual dalam bentuk umbi basah dan tidak mengolahnya terlebih dahulu karena dinilai lebih lama meskipun harganya jauh lebih mahal. Proses pembuatan gaplek/keripik kering tergolong sederhana. Umbi hasil pemanenan dibersihkan tanah dan akarnya (bila masih ada akarnya), kemudian dikupas dan diiris tipis (namun beberapa petani juga langsung mengirisnya tanpa mengupasnya) sekitar 5-7 mm, dengan arah melintang. Menurut Murtinah (1977) dalam Ermiati dan Laksamanahardja (1996) pengirisan yang terlalu tipis (dibawah 5 mm) akan menyebabkan umbi yang sudah diiris lengket dan menyulitkan pengambilannya. Sementara itu bila umbi diiris terlalu tebal akan memperlama proses pengeringan dengan penampakan hasil yang kurang baik. Untuk menghindari irisan yang lengket karena terlalu tipis, biasanya petani segera merapikan di tempat jemuran yang diciptakan khusus untuk menjemur iles-iles.

Kontribusi KPH Saradan terhadap pendapatan petani di Desa Klangon (2001) mencapai Rp.1,08 Milyar , jagung 1,216 M dan dari tambahan tanaman bawah lainnya adalah 179 M (kunir, jahe, kedawung, joho dan temulawak). Harga jual porang pada saat itu dalam bentuk irisan kering adalah rp 800/kg dari tiap ha petani mendaap 6,4 juta per tia bulan (Romli, 2002). Harga ini terus mengalami kenaikan, di Jawa Timur harga umbi iles-iles yang lebih dikenal dengan sebutan Porang oleh petaninya sudah mencapai Rp. 2000,-/kg pada tingkat petani. Untuk harga umbi porang yang sudah dirajang dan dikeringkan 0,5 - 1 cm berupa chips, harga di tingkat petani mencapai Rp. 13.500-/kg. Harga yang tinggi ini merupakan gambaran bahwa kondisi pemasaran iles-iles di kedua lokasi ini baik. Pemasaran merupakan faktor yang sangat penting yang menjadikan suatu komoditi memiliki nilai atau tidak. Menurut Andayani (2002), pemasaran merupakan semua usaha yang mencakup kegiatan arus barang dan jasa, mulai dari titik produksi sampai ke tangan konsumen akhir. Pemasaran merupakan suatu kegiatan yang kompleks dengan melibatkan produsen, konsumen, lembaga pemasaran, dan pemerintah serta pihak-pihak lain yang kegiatannya saling berkaitan. Pemasaran hasil panen komoditas pertanian sering menjadi kendala yang mendasar bagi sebagian besar petani, dan ironisnya kegiatan pemasaran hasil panen tersebut justru hanya mendapat porsi perhatian yang rendah dari para peneliti (Roshetko dan Yuliyanti, 2002).

Untuk iles-iles jenis suweg dapat dikonsumsi langsung oleh petani dengan pengolahan yang relatif sederhana. Setelah suweg dibersihkan dan dikupas, kemudian dicuci sampai bersih dan ditiriskan hingga getahnya tidak ada. Sebagian petani yang pernah memanfaatkan kadangkala pencucian mengunakan air abu atau air beras agar lebih bersih. Setelah dibersihkan suweg bisa langsung dikukus dan setelah matang dapat langsung dikonsumsi.

Dalam pengembangan iles-iles, pemasaran juga merupakan sub sistem penting. Dari hasil penelitian Fauziyah, et. al (2009) di Kabupaten Kuningan Jawa Barat diketahui bahwa pemasaran iles-iles masih terbatas, kondisi ini menyebabkan petani mempunyai posisi tawar yang lemah dimana harga jual iles-iles ditentukan secara sepihak oleh bandar (pedagang pengumpul) dan petani kesulitan mencari informasi pasar iles-iles. Harga iles-iles di Kabupaten Kuningan pada tahun 2009 hanya mencapai Rp. 700,- per kg untuk umbi basah dan Rp. 5000,- per kg untuk chips iles-iles pada tingkat petani. Sementara itu untuk mencari bahan baku yang semakin terbatas, bandar dari daerah Jawa

Pemasaran Peluang pasar iles-iles sebnarnya memang sangat terbuka lebar, Anonim (2010) menyebutkan sejak tahun 2006 permintaan umbi porang saat ini sudah

242


INOVASI : Vol. 7. No. 3,

September 2010

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

hutan rakyat sistem agroforestry, yaitu hutan dengan tanaman kayu-kayuan, tanaman pangan, tanaman keras, hijauan pakan, dan pemeliharaan ternak.

Tengah sedikit menaikan harga jual iles-iles dengan antara Rp.700 - 800 per kg basah. Selain itu petani memang tidak mengetahui informasi pasar yang jelas, bahkan petani juga masih kurang mengetahui pemanfaatan atau kegunaan iles-iles ini. Informasi pasar iles-iles ini masih sangat tertutup, pedagang pengumpul merupakan satu-satunya sumber informasi petani bahwa iles-iles dapat dijual. Pedagang pengumpul tersebut datang ke desa yang dinilai mempunyai potensi iles-iles cukup besar, dan berupaya membangun jaringan dengan petani untuk penyediaan bahan baku yang dibutuhkannya. Informasi yang semula hanya diketahui oleh beberapa petani pada akhirnya sampai dan diikuti oleh petani yang memiliki banyak waktu luang untuk mengumpulkan iles-iles. Kondisi pemasaran iles-iles di Kabupaten Kuningan, Jawa barat secara umum dapat dilihat pada Tabel 5.

Dari ketiga bentuk tersebut sebagian besar dikelola dalam bentuk agroforestry, dan menurut APHI (1995) dalam Waluyo (2003), mengingat kepadatan penduduk, terbatasnya lahan dan lapangan kerja serta melonjaknya berbagai kebutuhan, hutan rakyat pola agroforestry memang paling tepat untuk dikembangkan, sedangkan pola monokultur sebaiknya dihindarkan. Hutan rakyat agroforestry merupakan hutan rakyat yang mempunyai bentuk usaha kombinasi kehutanan, pertanian, tanaman pangan, peternakan, dan lainlain secara terpadu.

Tabel 5. Pemasaran Iles-iles

1. 2.

Bentuk iles-iles yang dijual Kondisi pemasaran Satuan Harga di tingkat petani

3.

Tempat menjual

Di tempat petani atau pedagang pengumpul dalam desa/ kecamatan.

4.

Asal pembeli (Bandar)

Pedagang pengumpul dari desa dan kecamatan. Tunai Langganan Pedagang pengumpul

No.

5. Bentuk transaksi 6. Sifat penjualan 7. Status pembeli Sumber: Fauziyah, et.al, 2009

Umbi basah

Keripik iles-iles (kering)

Kg 400-700

Kg 5000 Di tempat Pedagang pengumpul dalam desa/ kecamatan. Pedagang pengumpul desa dan kecamatan. Tunai Langganan Pedagang pengumpul

Menurut Purwanto, et. al. (2004), pola tanam hutan rakyat yang sering diterapkan adalah wanatani (agroforestry) yang merupakan kombinasi antara kehutanan dengan cabang usahatani lainnya seperti tanaman pangan, perkebunan, peternakan, perikanan, dan lain-lain yang dikembangkan secara terpadu. Hutan rakyat yang dikelola secara agroforestry merupakan bentuk pengelolaan yang paling ‘aman’ bagi petani yang menjadikan hutan rakyat sebagai sumber pendapatan keluarga. Dengan pengelolaan hutan rakyat yang demikian memungkinkan petani memperoleh hasil/pendapatan jangka pendek, menengah, dan jangka panjang. Namun kondisi ini tentu tidak dapat berjalan selama umur kayu, karena pada ketinggian kayu tertentu (lebih kurang 3 tahun), petani sudah tidak dapat lagi memanfaatkannya untuk menanam tanaman pangan (tanaman semusim) yang diandalkan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari (jangka pendek).

PROSPEK PENGEMBANGAN ILESILES DI HUTAN RAKYAT Hutan Rakyat Pengelolaan hutan rakyat selama ini sebagian besar dilakukan secara tradisional. Di lapangan sendiri, berdasarkan hasil penelitian Purwanto (2004), Diniyati dan Fauziyah (2005) ditemukan beberapa tipe pengelolaan hutan rakyat. Jika dilihat dari jenis tanaman yang dibudidayakan, pada umumnya bentuk hutan rakyat terbagi dua, yaitu hutan rakyat murni dan hutan rakyat campuran. Namun Balai Informasi Pertanian (1982) dalam Waluyo (2003) membagi hutan rakyat menjadi tiga bentuk, yaitu: 1) hutan rakyat murni, yaitu hutan murni dengan jenis kayu tertentu karena hanya ditanami tidak lebih dari satu jenis tanaman kayu-kayuan; 2) hutan rakyat campuran, yaitu hutan campuran yang ditanami lebih dari satu jenis tanaman kayu-kayuan; dan 3)

243


INOVASI : Vol. 7. No. 3,

September 2010

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

(Styrax sp.) dan sebagainya. Sebagian besar bibitnya berasal dari bantuan pemerintah dan sebagian kecil dari swadaya masyarakat.

Memperhatikan kondisi tersebut maka upaya-upaya memanfaatkan lahan di bawah tegakan baik di hutan rakyat maupun hutan negara perlu dilakukan dengan menanam jenis tanaman yang dapat tumbuh dengan baik di bawah tegakan hutan rakyat termasuk iles-iles. Salah satu kelebihan iles-iles menarik untuk dikembangkan di lahan hutan rakyat atau hutan negara adalah karena iles-iles dapat tumbuh baik di bawah naungan dan tidak memerlukan pemeliharaan yang intensif. Sehingga petani tidak perlu mencurahkan waktu dan tenaganya sepanjang waktu untuk memelihara ilesiles, selama ditanam dibawah tegakan iles-iles akan dapat tumbuh dengan baik. Dari segi budidaya dan persyaratan tumbuh iles-iles memungkinkan petani manapun untuk menanam sendiri dan tidak memerlukan teknik dan pengetahuan khusus untuk menanam iles-iles. Terlebih iles-iles banyak tumbuh dengan sendirinya di lahan petani, sehingga petani juga tidak akan mengalami kesulitan untuk mencari bibit iles-iles (bulbil).

Berdasarkan data yang diperoleh dari Direktorat Jenderal RLPS Departemen Kehutanan, luas hutan rakyat di Indonesia sampai dengan April 2006, mencapai 1.271.505,61 ha, dengan jumlah perkiraan tegakan sebanyak 42.965.519 pohon. Dari data tersebut, provinsi Sumatera Utara mempunyai luas hutan rakyat kelima terluas di Indonesia seluas 84.827,00 (6,67%) dengan perkiraan potensi tegakan sebanyak 1.777.683,00 pohon (4,14%), terbanyak keenam di Indonesia. Mengingat betapa besarnya potensi hutan rakyat yang ada di Sumatera Utara memberikan peluang yang sangat besar bagi pemanfaatan iles-iles di selasela tegakan hutan rakyat. Meskipun sebenarnya petani hutan rakyat di Sumatera Utara lebih menyukai jenis tanaman yang mempunyai nilai ekonomis seperti kopi, coklat, maupun tanaman semusim lainnya, namun setidaknya iles-iles bisa menjadi salah satu alternatif jenis tanaman yang bisa ditanam di bawah tegakan hutan/pohon.

Secara keseluruhan hutan rakyat juga hampir tersebar luas di seluruh propinsi di Iindonesia. Berdasarkan data yang diperoleh dari Direktorat Jenderal RLPS (2006), luas hutan rakyat di Indonesia sampai dengan April 2006 tercatat 1.272.505,61 ha. Artinya bahwa iles-iles dapat dikembangkan hampir di semua wilayah di Indonesia. Namun tentu karakteristik dan pandangan masyarakat khususnya petani yang berlainan di setiap wilayah memerlukan dukungan dari stakeholder terkait, terutama pemerintah, agar pengembangan iles-iles ini dapat meningkatkan pendapatan petani dari lahan hutan rakyat yang dimilikinya.

PENUTUP Iles-iles (Amorphophallus spp.) merupakan salah satu jenis tanaman yang cukup menarik untuk dikembangkan di bawah tegakan baik hutan rakyat. Ada beberapa faktor menarik dalam pengembangan iles-iles yaitu karena iles-iles meiliki karakteristik dapat tumbuh dengan baik di bawah naungan, mudah dibudidayakan, memiliki banyak kegunaan, dan juga memiliki peluang pasar yang terbuka lebar. Namun demikian sampai saat ini iles-iles masih belum berkembang bahkan belum tersentuh oleh masyarakat karena informasi terutama pasar yang masih terbatas. Oleh karena itu dalam upaya pengembangan iles-iles di lahan hutan rakyat perlu dilakukan sosialisasi yang jelas kepada masyarakat khususnya petani hutan rakyat dan dukungan yang penuh dari stakeholder terkait, terutama pemerintah.

Prospek Pengembangan Iles-Iles di Sumatera Utara Seperti diuraikan sebelumnya, hutan rakyat tersebar hampir di seluruh wilayah di Indonesia dan melihat keberhasilan pengembangan iles-iles disertai pasar yang masih terbuka lebar, maka sangat memungkinkan bila iles-iles dikembangkan pula di Sumatera. Menurut Dinas Kehutanan Tapanuli Utara (1995) dalam Sanudin (2006), hutan rakyat di sebagian besar daerah di Sumatera Utara tumbuh/ditanam pada lahan milik baik perorangan maupun kelompok marga/adat maupun kampung. Masyarakat menanam jenis kayu-kayuan di lahanlahan kosong seperti pinus (Pinus sp.), makadamia (Macadamia sp.), simartolu atau puspa (Schima sp.), dan lain-lain dengan jenis pinus sebagai tanaman yang dominan. Selain jenis kayu-kayuan juga ditanam jenis Multi Purpose Tree Species (MPTs) yang disesuaikan dengan kondisi fisik lahan dan kebutuhan masyarakat. Jenis MPTs yang ditanam antara lain kemiri (Aleurites sp.), nangka (Arthocarpus sp), aren (Arenga sp.), kemenyan

DAFTAR PUSTAKA Arifin, H. 2008. Demam Porang di Jawa Timur. Majalah Penyuluh Kehutanan “KENARI� Edisi 05 Tahun 2008. Departemen Kahutanan. Jakarta. Andayani, W. 2002. Pemasaran Agribisnis. Makalah dalam Pelatihan Pengembangan Agribisnis dalam Pengelolaan Hutan Berbasis Agroekologi, Yogyakarta tanggal 12-15 Agustsus 2002. Pusat Studi Agroekologi UGM. Yogyakarta.

244


INOVASI : Vol. 7. No. 3,

September 2010

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

Aulinurman, E. 1998. Keunggulan Komparatif dan Kompetitif Iles-iles (Amorphophallus sp.) Lahan Hutan. Skripsi Jurusan Ilmu-ilmu Sosial Ekonomi Pertanian Fakultas Pertanian IPB. Bogor. Tidak diterbitkan.

Sufiani, 1993. Iles-iles, Jenis, Syarat Tumbuh, Budidaya, dan Standar Mutu Ekspornya. Laporan Bulan Maret 1993. Balai Penelitian Rempah dan Tanaman Obat. Bogor.

Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial. 2006. Data potensi hutan rakyat di indonesia. Direktorat Jenderal RLPS, Departemen Kehutanan. Jakarta. Ermiati dan M.P Laksmanahardja. 1996. Manfaat Iles-iles (Amorphophalus spp.) sebagai Bahan Baku Makanan dan Industri, hal 7480. Jurnal Litbang Pertanian. XV (3). Balai Litbang Pertanian. Jakarta. Fauziyah, E., D. Diniyati, Suyarno, dan E. Mulyati. 2009. Nilai Pemanfaatan Iles-Iles di Bawah Tegakan dan Strategi Pengembangannya dalam Mendukung Usaha Ketahanan Pangan. Laporan Hasil Penelitian. Balai Penelitian Kehutanan Ciamis. Ciamis. Jawa Barat. Heyne, K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia. Badan Litbang Kehutanan, Departemen Kehutanan. Jakarta. Hobir, M. Ismail,W., M. Haddad, EA., dan M. Iskandar. 1996. Teknik Produksi Bibit Ilesiles. Laporan Bagpro Penelitian Tanaman Rempah dan Obat Cimanggu. Bogor. Purwanto, S. Ekawati, dan Cahyono, SA. 2004. Kelembagaan untuk Mendukung Pengembangan Hutan Rakyat Produktivitas Tinggi dalam Prosiding Ekspose Terpadu Hasil Penelitian �Menuju Pembangunan Hutan Tanaman Produktivitas Tinggi dan Ramah Lingkungan� Hal 53-65. Yogyakarta, 11-12 Oktober 2004. Riswan. 1997. Studi Sosial Ekonomi pada Proyek Kredit Usahatani Konservasi Tanah di Derah Aliran Sungai di Propinsi Nusa Tenggara Timur. Skripsi Jurusan Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan IPB. Bogor. Tidak diterbitkan. Romli, U. 2002. Hutan Lestari Berkat Tanaman Porang. http://anekaplanta.wordpress.com/2007/12/2 1/hutan-lestai-berkat-tanaman-porang. Diakses tanggal 10 Juni 2010. Suara Merdeka. 2001. Tanaman Iles-iles Bernilai Ekspor Tinggi. http://www.suaramerdeka. com/harian/0111/22/eko6.htm. Diakses pada tanggal 22 Nopember 2008.

245


INOVASI : Vol. 7. No. 3,

September 2010

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

Geografi, Geopolitik dan Geostrategi (Belajar dari Kegagalan Kekaisaran Ming dan Kekaisaran Ottoman serta Keberhasilan Amerika Serikat) Junjungan SBP Simanjuntak 1) 1)

Mahasiswa S3 Program Studi Perencanaan Wilayah USU

Abstract The lack of natural resources make the strong countries manage to influence or control the centre and the flow of natural resources and if the strong country failed controlling the flow of the natural resources there will be another one will take over it. It means that a policy of a country must always depend on the interaction between geopolitics and geo strategy. The failure of the Empire of Ming and The Empire of Ottoman is because of the failure of managing the geographical, geopolitical and geostrategy potency. The success of the United States of America is because of the ability to adapt its policy with the current geopolitical situation. Therefore, the ability of government of Indonesia to adapt with geography, geopolitics and geo strategy is getting more important.

Keywords: Geographical, geopolitical and geostrategy. akan tetapi Amerika tetap menganggap peranan geografi, geopolitik dan geostrategi tetap penting. Hal ini dapat terlihat dari beberapa kebijakan pemerintah Amerika Serikat seperti halnya dalam pemanfaatan kekuatannya, baik melalui laut, pegunungan dan daratan dimana mereka berhasil menyesuaikan kebijakan luar negerinya berdasarkan situasi geopolitik yang ada. Hal yang demikian ini tentunya dapat dijadikan acuan dan pertimbangan bagi Indonesia sebagai Negara yang sedang membangun dan mengingat posisi negara Indonesia sebagai negara kepulauan. Yang merupakan jalur perdagangan Timur dan Barat.

PENDAHULUAN Pada hakekatnya politik berkaitan pada bagaimana merebut, mengelola dan mempertahankan kekuasaan. Dalam konteks ini maka tampaknya ada 3 hal yang selalu menjadi titik tolak apabila membicarakan politik sebuah negara, yakni geografi, geopolitik dan geostrategi. Ketiga hal ini saling kait mengkait dan apabila terjadi pengaruh pada salah satu diantaranya maka hal lainnya juga akan berpengaruh. Sejarah membuktikan bahwa factor geografi dan geopolitik sangat menentukan pada geostrategi. Banyak negara besar pada masa lalu yang gagal mempertahankan kekuasaannya karena mengabaikan atau tidak mengikutsertakan pertimbangan geografi, geopolitik sera geostrategi dalam mengambil setiap kebijakan, seperti halnya dengan Kekaisaran Ottoman dan Kekaisaran Ming.

PEMBAHASAN Geografi yang merupakan realitas geologi bumi, yang terdiri dari pegunungan, sungai, laut, iklim dan sebagainya. Geopolitik adalah kombinasi fitur geologi (misalnya : sumber daya alam) dengan aktivitas manusia (misalnya: produksi dan teknologi komunikasi) yang dapat mengubah nilai. Geostrategi menjelaskan dimana dan bagaimana negara mengarahkan militer dan diplomatiknya untuk kepentingan merebut, mempertahankan dan mengendalikan kekuasaannya. Meskipun geografi tidak berubah (misalnya : lokasi ladang minyak yang ada sekarang sama dengan 200 tahun yang lalu) akan tetapi nilainya berfluktuasi secara dramatis sejalan dengan perkembangan teknologi.

Grygiel (2006) yang mengatakan bahwa kelengahan dalam mempertimbangkan factor geografi, geopolitik dan geostrategi akan membuat negara lain merebut dan melakukan pengelolaan atas sumber daya tersebut. Hal ini terbukti dari adanya penguasan rute perdagangan yang penting yang bertujuan untuk meningkatkan perekonomian negara dan masyarakat. Fakta lainnya menunjukkan bahwa walaupun selama empat dekade terakhir ini peranan geografi semakin kecil yang disebabkan oleh karena kemajuan teknologi komunikasi dan transportasi

Singkatnya, geopolitik didefinisikan berdasarkan lokasi, sumberdaya alam dan jalur komunikasi yang menghubungkan mereka. Ketika negara

246


INOVASI : Vol. 7. No. 3,

September 2010

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

mempertimbangkan situasi geopolitik maka cerminannya terlihat pada geostrategi yang ada. Ketika negara ingin melakukan kontrol atas sumber daya dan jalur komunikasi maka hal ini sebagai pertanda bahwa mereka berupaya meningkatkan dan mempertahankan posisi kekuasaannya. Geografi dan geopolitik memiliki pengaruh yang jelas terhadap nasib politik suatu negara, dimana apabila suatu negara tidak menyadari atau tidak mampu mengendalikan jalur serta rute sumber daya alamnya maka hal ini menandakan bahwa negara itu telah kehilangan kekuatannya.

atau hanya keinginan pimpinan yang berkuasa saja, apalagi geopolitik tidaklah menentukan arah strategis dari suatu negara. Nasib sebuah negara berada ditangan kekuatan kekuatan besar yang ada di negara tersebut seperti halnya dengan sebuah kerajaan mereka naik karena ada kebijakan kebijakan yang spesifik yang mereka ambil dan mereka juga turun karena keputusan keputusan tertentu pula. Kegagalan mereka sangat tergantung pada salah tidaknya mengkombinasikan antara geopolitik dan geostrategis.

Terlebih pada era globalisasi ini, dimana geografi dan geopolitik mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap keberhasilan suatu negara. Argumentasinya adalah bahwa pada era globalisasi ini negara bisa makmur melalui perluasan akses dengan memasuki pasar untuk sumberdaya. Hal ini dikarenakan globalisasi itu sendiri tidak lain adalah merupakan realitas dari pertumbuhan dan intensitas interaksi antar negara. Oleh karena itu efektifitas penggunaan kekuasaan antara lain adalah apabila negara tersebut menerapkan kekuatan yang ada untuk meningkatkan atau mempertahankan posisi mereka. Hal ini tentunya sejalan dengan ciri daripada studi politik itu sendiri yaitu bagaimana mendapatkan kekuasaan dan apa yang harus dilakukan untuk itu.

Tumbuhnya ekonomi Cina dan dikombinasikan dengan runtuhnya Uni Soviet serta melemahnya Rusia merupakan factor yang menciptakan situasi geopolitik. Pertumbuhan ekonomi ini langsung ataupun tidak langsung akan menciptakan atau menata kekuatan militer menjadi lebih baik. Disamping perubahan kekuasaan local jalur laut juga berpengaruh pada penataan perdagangan dunia. Jalur laut yang ada di Asia Timur menjadi kunci bagi pelayaran dunia. Melalui jalur ini 90% kebutuhan energi Jepang dibawa melalui jalur ini. Siapapun yang mengontrol jalur laut ini akan berupaya semaksimal mungkin menggunakan kekuatannya. Dari berbagai bukti sejarah yang ada terungkap bahwa dua kekuatan besar yang dalam hal ini Kekaisaran Ottoman dan Kekaisaran Ming kehilangan kekuatan dan keunggulannya karena gagal mengatasi sistem internalnya dan bukan karena salah urus kebijakan luar negeri. Sebagai contoh dari kondisi internal itu antara lain adalah ketika adanya etika protestan, perang atau revolusi dimana negara negara tersebut tidak mampu bersaing dengan negara lainnya yang berhasil memanfaatkan sumberdaya nasional dan memperkuat keamanan serta memperluas pengaruhnya. Seperti halnya dengan Cina (Kekaisaran Ming) ketika menarik pengaruhnya dari lautan sebelum kedatangan Portugis untuk menghadapi kekuatan Eropa Barat. Ketidakmampuan untuk mengubah geostrategi atau kegagalan dalam menerapkan geostrategi baru ini disebabkan oleh lemahnya model negara.

Muncul pertanyaan baru kepada kita tentang bagaimana menghasilkan kekuatan dan kekayaan, serta mengapa beberapa negara agresif dalam mengumpulkan kekuatan dibandingkan dengan negara lainnya. Hal ini tentunya merupakan pertanyaan yang luas dan menyangkut kepentingan umum. Mengingat kekuasaan mampu untuk mengakomodir atau melayani berbagai kepentingan lainnya. Itu pulalah sebabnya mengapa negara membina dan menjaga kekuatannya karena untuk berhasil yang harus dimiliki adalah kekuatan yang besar. Keadaan yang demikian ini berlangsung pada abad ke lima belas ketika jaman kekaisaran Ming dan Kekaisaran Ottoman, dimana geografi dan geopolitik sebagai bagian daripada geostrategi mempunyai kontribusi yang besar dalam memelihara kekuatan mereka. Sebaliknya tujuan kebijakan geostrategi pada jaman kekaisaran Ming dan Kekaisaran Ottoman tersebut tidak sama dengan kebijakan Amerika Serikat pada masa kini. Hal ini sangat tergantung pada apakah kebijakan geostrategis tersebut memberi keuntungan kepada negara Amerika Serikat.

Bahwa beberapa contoh sebagaimana diungkapkan sebelumnya bukanlah merupakan sesuatu yang harus menjadi acuan dalam mengambil kebijakan politik pada masa kini. Hal ini dikarenakan konfigurasi geopolitik pada masa kini sudah jauh berubah terutama ketika teknologi sudah semakin berkembang maju. Akan tetapi bisa dijadikan pertimbangan karena bukan tidak sedikit pula ada kemiripan kemiripannya dengan masa kini. Apa yang terjadi dengan Kekaisaran Ming dan Ottoman adalah merupakan produk daripada ruang dan waktu.

Sejalan dengan perkembangan jaman dimana ilmu pengetahuan memperluas wawasan sehingga sulit untuk memprediksi kebijakan politik luar negeri suatu negara, hal ini juga dikarenakan kebijakan tersebut mungkin karena pertimbangan ideologis

247


INOVASI : Vol. 7. No. 3,

September 2010

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

Namun dari sejarah sebagaimana yang diungkapkan sebelumnya kita dapat mengambil kesimpulan bahwa factor geostrategy, geopolitik dan geografi berhubungan satu sama lain dan sangat penting diperhatikan dalam membina kekuatan atau memperkuat posisi pengaruh suatu negara. Pentingnya Geografi, Geopolitik dan geostrategy dipertimbangkan dalam mengambil kebijakan seperti halnya dengan pameo Napoleon yang mengatakan bahwa politik negara adalah geografinya. Pameo Napoleon yang menyebut geografi ini bisa ditelusuri mundur sampai abad ke lima sebelum masehi seperti misalnya di dalam tulisan Hippocrates “Treatise On Airs, Waters and Places”. Herodotus mempergunakan istilah geografi di dalam tulisannya yang berjudul “Histories”

Indonesia hal ini sangat penting karena posisi geografi dan kondisi demografik Indonesia yang majemuk terlebih dengan posisi strategis bangsa Indonesia sebagai negara kepaulauan yang memiliki sumber daya alam yang wilayahnya merupakan jalur laut bagi perdagangan antara Barat dan Timur.

KESIMPULAN Kegagalan negara negara besar ini didalam mengelola geografi, geopolitik dan geostrategi dapat dijadikan pelajaran pada masa kini. Hal ini dikarenakan dimensi ruang dan waktu yang mengalami perubahan yang diakibatkan oleh kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan yang menyertai globalisasi pada masa kini. Kegagalan Kekaisaran Ottoman dan Kekaisaran Ming merupakan pelajaran yang berharga, demikian juga dengan keberhasilan pemerintah Amerika Serikat dalam mengelola dan memanfaatkan geografi, geopolitik dan geostrategi bagi peningkatan kesejahteraan rakyat Amerika Serikat. Oleh karena itu maka satu hal yang dapat dijadikan acuan adalah bahwa bangsa dan pemerintah Indonesia harus mampu untuk memahami sekaligus memanfaatkan kondisi geografi dan beradaptasi dengan geostrategy yang dipengaruhi oleh perubahan geopolitik yang ada.

Begitu pula dengan apa yang diungkapkan oleh Aristoteles dalam bukunya yang berjudul “Politics” jilid VII, dimana dirumuskan teori tentang hubungan antara iklim dan kebebasan politik yang terkait dengan geografi. Sama halnya dengan tulisan seorang warga Jerman yang bernama Frederick Ratzel menerbitkan “Political Geography” di tahun 1897; kemudian muridmuridnya menyebut disiplin yang baru ini sebagai geopolitics. Kaum konservatif, fasis, liberal, Marxis-tidak ada yang tidak mengakui bahwa politik tergantung dari geografi. Bagi Maurice barres (1862-1923) politik didasarkan “pada bumi dan mayat”, yang berarti bahwa atas geografi dan sejarah, dimana keduanya sangat tergantung kepada yang pertama. Maurice Duverger dalam bukunya yang berjudul The Study Of Politics yang mengatakan bahwa struktur politik dibagi dalam 2 klassifikasi umum, yaitu struktur fisik (alami) dan struktur social. Dengan struktur fisik (alami) dimaksudkan dengan geografi dan demografi, sedangkan struktur sosial terutama menyangkut ketrampilan teknologi, lembaga dan kebudayaan. Struktur alami (fisik) dari politikwilayah dan penduduk-umumnya diakui sebagai unsure-unsur dari negara dan bangsa. Kedua corak struktur ini memberi wujud yang mencerminkan struktur politik, dan oleh karena itu berpengaruh pada corak permainan kekuasaan ataupun kekuatan yang terjadi di dalamnya.

DAFTAR PUSTAKA Ivan Taniputera., History Of China, Ar-Ruzz Media, Jogjakarta 2008 Jakub J Grygiel., Great Power and Geopolotical Change, The John Hopkins University Press, Baltimore, Maryland, 2006. Maurice Duverger., Sosiologi Politik, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta 2003

Bahwa berbagai pengkajian yang menyangkut geografi, geopolitik dan geostrategi sangat relevan untuk setidaknya dijadikan bahan pertimbangan bagi setiap pengambil kebijakan khususnya yang berkaitan dengan peningkatan kesejahteraan rakyat melalui peningkatan perekonomian dengan pemanfaatan sumber daya yang ada. Dengan kata lain konsep-konsep geografi, geopolitik dan geostrategi merupakan bagian daripada politik dan segenap dinamikanya. Bagi bangsa dan pemerintah

248


INOVASI : Vol. 7. No. 3,

September 2010

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

RESENSI BUKU Judul Buku Pengarang Penerbit Spesifikasi

: : : :

The End of Poverty Jeffrey D Sachs Penguin Press, New York, 2005 xviii + 397

Persoalan kemiskinan semakin menjadi sorotan belakangan ini. Menjelang 2015, saat dimana Millenium Development Goals (MDGs) yang salah satunya hendak menurunkan angka kemiskinan menjadi setengahnya, laju kemiskinan di Indonesia masih tetap tinggi.

kemiskinan hanya menjadi urusan statistik belaka. Pemerintah kurang memiliki komitmen yang serius untuk menanggulangi kemiskinan karena di sana ada unsur politik. Apa maksudnya? Pada skala nasional, perlu diketahui bahwa kemiskinan telah menjadi komoditas. Sebuah prestasi ternyata diukur dengan menggunakan indikator ini. Masih jelas pada kita bahwa kampanye Presiden SBY kala itu menggunakan indikator kemiskinan yang semakin menurun— meski digugat oleh lawan-lawan politiknya—untuk menjelaskan keberhasilannya dan keberpihakannya kepada masyarakat.

Tingkat kemiskinan di Indonesia menurut versi pemerintah “hanya” sekitar 13 persen dari jumlah penduduk. Angka itu setara dengan 30 juta penduduk. Itu baru versinya pemerintah. Jika menggunakan versi Bank Dunia, angka itu bisa mencapai setengah jumlah penduduk Indonesia karena sekitar 50 persen penduduk hanya memiliki penghasilan kurang dari dua dollar dalam seharinya. Bukti-bukti masih tingginya angka kemiskinan sayangnya lebih sering menjadi objek program pemerintah, bahkan objek percaloan. Ambil contoh mengenai APBD Sumut yang disorot oleh para wakil rakyat. Menurut berita tersebut, sebanyak 4,2 juta warga miskin dicover oleh dana Jamkesmas. Sementara menurut faktanya, hanya adalah 1,8 juta orang miskin diantara lebih dari 12 juta penduduk di Sumatera Utara ini.

Di skala politik daerah, kemiskinan juga jualan yang laku keras. Tetapi levelnya lebih praktis. Mereka yang tidak bekerja, pengangguran, bahkan bekerja mocok-mocok, sering menjadi alat politik untuk meramaikan massa, menjadi penggembira, bahkan menjadi alat melakukan aktifitas demonstrasi. Dengan bayaran yang mencapai dua dollar seharinya dalam sebuah demo, jelas saja masyarakat miskin di perkotaan memilih untuk melakukan hal tersebut.

Percaloan kemiskinan mudah kita saksikan. Anggaran untuk menanggulangi kemiskinan, baik yang terjadi akibat wilayah geografis maupun yang terjadi di berbagai wilayah, sering menjadi lahan korupsi. Di legislatif, alokasi anggaran sering dijadikan proyek dari sekelompok anggota DPR yang aktif melakukan lobi mengenai adanya dana khusus untuk itu. Sementara di eksekutif, bukan rahasia umum lagi bagaimana praktik percaloan itu menyebabkan anggaran bisa hilang 20-30 persennya.

Pekerjaan-pekerjaan politik tersebutlah yang kemudian menyebabkan masalah kemiskinan menjadi bukan pekerjaan yang sungguh-sungguh dikerjakan penanggulangannya. Pemerintah sendiri memulai dari dirinya sendiri untuk tidak memberikan perhatian kepada persoalan ini. Bahkan, berbicara soal kemiskinan, pemerintah sendirilah yang melalui analisis-analisisnya sering menyalahkan soal kemiskinan pada budaya, paradigma dan berbagai hal lainnya, seolah tidak mampu dicarikan solusinya.

Melawan kemiskinan, dengan demikian berupaya mencapai target MDGs memang bukan pekerjaan mudah. Hambatan bukan hanya pada masyarakat miskin itu sendiri, tetapi hambatan dari pengelola kemiskinan itu sendiri juga sangat besar. Hal itu disampaikan berkali-kali oleh Wakil Presiden Boediono. Ia mengakui bahwa masih ada hal-hal yang menjadi “bottle neck” yang tidak mudah dihadapi oleh pemerintahan saat ini.

Buku The End of Poverty karangan Jeffrey D. Sachs ini mengulas berbagai hal mengenai persoalan kemiskinan yang banyak menimpa negara berkembang. Dengan berbasis pada keluarga, Sachs mengungkapkan bahwa kemiskinan bisa terjadi karena tidak adanya tabungan dalam keluarga, tidak adanya komoditas yang menjadi sumber penghasilan, akses pada teknologi yang rendah, sumber daya alam yang tergerus, bencana alam, dan pertumbuhan penduduk yang tidak terkendali. Sachs menegaskan bahwa seharusnya kebijakan pengurangan kemiskinan seharusnya menyentuh kepentingan keluarga atau pada level mikro.

Tetapi dapat dikatakan bahwa tantangan yang harus dihadapi oleh pemerintah kita saat ini adalah hambatan dari segi birokrasi. Banyak urusan

249


INOVASI : Vol. 7. No. 3,

September 2010

Media Litbang Provinsi Sumatera Utara

Selama ini, sebagaimana telah diungkapkan sebelumnya, persoalan kemiskinan selalu saja disampaikan dalam skala makro oleh pemerintah. Pemerintah tidak pernah melihat dan menyaksikan keseharian masyarakat. Karena itu, kemiskinan kemudian bukan hanya menjadi akibat dari kebijakan yang tidak tepat, tetapi juga menjadi jebakan kepada sebuah negara untuk kemudian tetap berada dalam jurang kemiskinan tersebut. Sachs bukan hanya menggugat kebijakan pengurangan kemiskinan yang sering sekali menggunakan kecamata sempit, tetapi bahkan meragukan pencapaian MDGs hanya hanya merupakan produk dari optimisme yang menurutnya seolah menuntaskan masalah dalam sekejap mata. Buku ini juga dilengkapi oleh studi kasus berupa pengalaman beberapa negara di dalam menangani masalah ekonomi dan kemiskinan. Peresensi : Fotarisman Zaluchu

250


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.