Tabloid AVIASI Edisi 80 Maret 2015

Page 3

Laporan Utama

AVIASI/Eky Fajrin

Outlook Penerbangan Indonesia 2015

Tetap Optimis di Masa Sulit Dunia penerbangan di Indonesia kini terus mendapat sorotan publik, khususnya pengguna jasa transportasi udara, setelah pemerintahan baru melalui Menteri Perhubungan Ignasius Jonan membuat berbagai gebrakan. Oleh Trisakti & Danang Prihantoro

D

ALAM situasi seperti itu, faktor dominan dari luar, seperti nilai rupiah atas dolar yang terus fluktuatif dan harga avtur yang cenderung terus naik juga tetap menghantui bisnis penerbangan tahun 2015. Padahal dalam tahun ini, jika tidak diulur-ulur lagi, Open Sky, setidaknya untuk kawasan ASEAN bakal diberlakukan. Menghadapi itu semua, industri penerbangan, khususnya para operator (maskapai) memang terus berbenah diri untuk memuaskan pelanggan. Namun, di lapangan layanan maskapai kepada pelanggannya tetap saja jeblok, khususnya soal ketapatan jadwal terbang. Kasus terakhir menimpa para penumpang Lion Air di hampir semua jurusan. Mereka terlantar di Bandar Udara Soekarno-Hatta dan bandar udara lain di Indonesia, bahkan hingga lebih dari 24 jam! Terlepas dari berbagai kekurangan yang masih melekat pada industri penerbangan dan dirasakan tak sedap oleh para pengguna jasa transportasi udara, banyak pihak memperkirakan bisnis penerbangan dan transportasi di

Indonesia tetap akan tumbuh dengan baik. Tapi, itu ada syaratnya, yaitu apabila pertumbuhan ekonomi secara makro di Tanah Air berjalan stabil, termasuk nilai tukar rupiah terhadap dolar AS yang belakangan terus anjlok. Optimisme bisnis penerbangan juga akan terus terpelihara jika pemerintah memberikan insentif fiskal. Direktur Utama AirAsia Indonesia Sunu Widyatmoko tak urung mengungkapkan maju mundurnya bisnis penerbangan pada 2015 mendatang sangat bergantung pada kinerja kabinet Presiden Joko Widodo. Menurutnya, jika perekonomian tumbuh positif, bisnis penerbangan dengan sendirinya akan tumbuh mengikuti pertumbuhan ekonomi. Dia mengatakan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS sangat mempengaruhi bisnis penerbangan lantaran sebagian besar pengeluaran pihak maskapai mulai dari perawatan dan suku cadang serta bahan bakar avtur dipatok dengan dolar AS. Padahal, mayoritas pendapatan maskapai di Indonesia berasal dari rupiah.

Memasuki penghujung 2014 saja, jantung para pebisnis penerbangan di Indonesia seakan hendak berhenti berdetak ketika kurs rupiah terdepresiasi hingga menyentuh level Rp 12.900 per dolar AS. Beruntung, langkah cepat diambil Bank Indonesia sehingga secara perlahan rupiah mulai menguat hingga ke level Rp 12.000 atas mata uang negeri Paman Sam itu. Selain pertumbuhan ekonomi yang baik sebagai syarat pertumbuhan bisnis penerbangan, penghapusan berbagai hambatan fiskal dalam bisnis tersebut, menurut Sunu, juga penting untuk dilaksanakan. Pihaknya, melalui Asosiasi Maskapai Penerbangan Indonesia (Indonesian Air Carrier Association/INACA) terus mengupayakan agar hambatan itu bisa dihapuskan. Pada kesempatan terpisah, Conrad Clifford, Regional Vice President IATA (International Air Transport Association) for Asia-Pacific menegaskan bahwa penerbangan telah memberikan kontribusi yang besar terhadap perekonomian di wilayah ini, mendukung 24,2 juta pekerjaan dan 516 miliar dolar di GDP Maret 2015 •

3


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.