Tabloid AVIASI Edisi 78 Desember 2014 - Januari 2015

Page 1

E BO DIS NU I K S P HU O S SU TE S 5 R 2 & H KA al LE am ND an ER

AVIASI A V I A T I O N I S O U R P A S S I O N

Edisi 78 Thn VII Desember 2014 - Januari 2015

Siap Bersaing di Langit Terbuka ASEAN Tujuh Harapan Penerbangan Indonesia

Rp 20.000


Edisi Khusus

AVIASI A V I A T I O N O F I N D O N E S I A

PENERBIT

TREND MEDIA GLOBAL

ALAMAT REDAKSI

Jl. Pulau Putri Raya LS No. 31 Kota Modern, Tangerang TEL I 021-68903778, 55780849 FAX I 021-55780849 EMAIL ENQUIRIES REDAKSI

I redaksi@tabloidaviasi.com I

ADVERTISING & MARKETING

marketing@tabloidaviasi.com WEBSITE I www.tabloidaviasi.com

Cover: Airbus A330 Garuda Indonesia

ASEAN Open Sky sudah di depan mata. Semua pelaku industri penerbangan kini mengarah ke sana. Karena sudah didengungkan cukup lama, mestinya Indonesia sudah harus siap masuk dan berkiprah di langit terbuka ASEAN. Persoalannya, sudah benar-benarkah siapkah kita? Manfaat apa yang bisa kita raih dari ASEAN Open Sky? Bagaimana maskapai asing di kawasan ASEAN me­ ngantisipasinya? Bagaimana pula peluang ini dimanfaatkan pabrikan pesawat kelas dunia? Lazimnya, kami menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas dalam laporan utama. Namun, menghadapi ASEAN Open Sky, kami menjawabnya secara tuntas lewat Edisi Khusus. Ya, edisi khusus soal itu kami tuangkan dalam edisi khusus Desember 2014 - Januari 2015 ini. Silakan Anda nikmati sajian khusus ASEAN Open Sky itu dalam beragam tulisan yang saling berkaitan, sehingga Anda mendapatkan informasi komprehensif. Di dalam bulan Desember ini, perkenankan kami ucapkan Selamat Natal kepada Anda yang merayakannya. Juga selamat menyongsong liburan di akhir tahun.

CORPORATE

I Venita Pardede I Andi Gultom WAKIL PEMIMPIN UMUM I H. Yusuf Supriyatna PENASIHAT I Prof. DR. H. K. Martono, SH, L.L.M DIREKTUR UTAMA PEMIMPIN UMUM

Prof. Dr. H. Priyatna Abdurrasyid,SH,Ph.D Capt. Hasfrinsyah Hasan

10

50

EDITORIAL

I Andi Gultom I Tom Maruli

PEMIMPIN REDAKSI REDAKTUR

A.I Nasution I Ir. Haryono Danang Prihantoro, S.Pd KEUANGAN/SEKRETARIS I Nita Nur Azizah MANAGER IKLAN/SIRKULASI I Yunita Pardede, S.Psi MARKETING I Antonio Ester Ida Berliana, SE Martin P. Gultom SIRKULASI I Susanto Achmad Milub DESAIN GRAFIS I Anto WEBSITE I Ian Nugroho PERWAKILAN I Agung (Kota Kinabalu) Sukardiansyah (Balikpapan) Sonoib (Medan) Kifli (Makassar) Bona Tobing (Semarang) Otto (Yogyakarta) Achmad Mantang (Pangkalpinang) Wuryanto (Surabaya) Haryono N (Bandung) STAF REDAKSI

Untuk saran, kritik dan komentar kirim email ke:

redaksi@tabloidaviasi.com Redaksi menerima tulisan atau artikel dan foto yang berkaitan dengan dunia penerbangan. Setiap artikel atau tulisan yang dikirim ke redaksi diketik 2 spasi dan maksimum 3.000 karakter. Alamat pengiriman: redaksi@tabloidaviasi.com

24

34

48

04. Siap Bersaing di Langit TerbukaASEAN 08. Open Sky Molor 11 Tahun

28. Baling-Baling

12. Ramai-Ramai Mengisi Pasar

Belum Ada Sanksi Tegas

Lima Tahun ‘Safety’ Indonesia Katagori 2 Internasional Asia Tenggara

16. Penerbangan di Asia Tenggara 80 Persen Merugi

18. ASEAN Open Sky, RI Belum Siap Bersaing?

Jadi Bintang Regional

33. Soal PSC

44. Bandar Udara Depati Amir Setelah Timah Tiada

50. Bintan, Lebih Mudah Dijangkau dari Singapura

Info Berlangganan:

langganan@tabloidaviasi.com PIN: 28F7F165 Info Pemasangan Iklan:

marketing@tabloidaviasi.com 0812 88 737 747

2

l

Aviasi

l Desember 2014 - Januari 2015

PEMBERITAHUAN Kepada instansi yang akan mengundang Aviasi guna liputan/wawancara, undangan­mohon ditujukan kepada Redaksi Aviasi melalui e-mail: redaksi@tabloidaviasi.com, fax nomor: 021 5578 0849, atau dapat menghubungi melalui ­telepon atau SMS ke 0812 88 737 747. Wartawan Aviasi tidak diperkenankan menerima atau meminta imbalan dalam bentuk apa pun dari nara sumber. Wartawan Aviasi dilengkapi kartu pengenal atau surat keterangan tugas.


Kawasan Bandar Udara Internasional I Gusti Ngurah Rai, Denpasar, Bali. Gerbang udara ini adalah salah satu airport yang dibuka untuk ASEAN Open Sky (Foto: Dok. Angkasa Pura I Bali)

Siap Bersaing di Langit Terbuka ASEAN A

SEAN Open Skies, langit yang berada di atas negara-negara anggota ASEAN bakal benarbenar terbuka. Konkretnya, maskapai, pengelola bandar udara, pengatur pe­nerbangan di darat (ground handling), hingga pengatur lalu lintas penerbang­an bebas ­berusaha dan berekspansi. Karena pasar penerbangan Indonesia akan terbuka luas, maka mau tidak mau para pemain dan regulator, serta penerbangan domestik harus mampu bersaing dengan pemain asing. Tidak bisa tidak, Indonesia di bawah pemerintahan baru, harus siap, meskipun ada kabar terbaru, ASEAN Open Sky bakal mundur lagi hingga akhir Desember 2015. Persiapan yang harus dilakukan paling tidak adalah menyangkut keberadaan dan kondisi armada pe­ nerbangan, SDM, dan kesiapan airport dan navigasi untuk bisa beroperasi 24 jam guna menghindari kepadatan lalu lintas penerbangan di beberapa bandar udara utama, seperti Kualanamu,

Soekarno-Hatta, Juanda, Ngurah Rai, dan Hasanuddin. Faktanya berdasarkan catatan Aviasi, dari sisi navigasi, hanya airport yang berada di bawah BUMN (Angkasa Pura I dan II) yang peralatan navigasinya lumayan memadai. Sedangkan bandar udara yang dikelola Unit Pelaksana Teknis (UPT) Kementerian Perhubungan masih minim, sehingga bisa membahayakan keselamatan penerbangan jika dioperasikan pada malam hari. Semoga saja menteri perhubungan yang baru, Ignatius Jonan, peduli dengan urusan yang satu ini. Dalam soal keberadaan maskapai penerbangan, setidaknya Indonesia sudah mempunyai dua kelompok pe­ nguasa pasar domestik yang siap, yaitu kelompok Garuda Indonesia (Garuda dan Citilink) serta kelompok Lion Air (Lion, Batik, Wings, Malindo, dan Thai Lion). Maskapai domestik lainnya apa mau dikata masih harus bersiap dan waspada supaya (maaf ) tidak gulung tikar. Lalu bagaimana dengan persiapan

yang harus dilakukan dari sisi regulator? Agus Pambagio, Pemerhati Kebijakan Publik dan Perlindungan Konsumen dalam tulisannya di laman pemberitaan Tempo, berpendapat: “Saya sa­ ngat meragukan, khu­sus­nya dalam hal kinerja, kesiapan dan pemahaman mereka terhadap aturan keselamatan penerbangan sipil internasional serta kemampuan mereka mempersiapkan ketersediaan infrastruktur yang prima.” Menurut dia, buruknya posisi regulator penerbangan Indonesia tecermin dari belum dicabutnya larangan terbang ke Eropa. FAA masih menempatkan Indonesia di kategori 2 (dilarang terbang ke USA), dan belum adanya dukungan untuk duduk di Dewan ICAO Part 3, serta belum diberikannya pe­ ngaturan sektor A ke Indonesia. Dengan kondisi ­tersebut, industri penerbangan perlu lebih cerdas ­menyiasati pasar gemuk domestik yang terus tumbuh hingga sekitar 15 persen per tahun dan diincar oleh industri pe­ nerbangan dunia, termasuk yang berada di negara-negara anggota ASEAN. Fakta lain berbicara. Dari sektor bandar udara, kelima bandar udara yang diberi mandat untuk menyambut ASEAN Open Sky (Kualanamu, Soe­ karno-Hatta, Juanda, Ngurah Rai, dan Hasanuddin) sudah sangat padat dan nyaris terjadi kemacetan total (traffic gridlock). Sedang­kan bandar udara lain belum mempunyai fasilitas navigasi untuk pendaratan malam. Dari sisi maskapai, Agus Pambagio mengatakan, Indonesia tidak perlu khawatir, sebab jumlah dan usia pesawat yang dimiliki Indonesia mampu bersaing. Hanya, iklim usaha penerbangan terkait dengan fiskal belum kondusif bagi maskapai penerbang­an. Dikhawatirkan hanya maskapai milik BUMN dan maskapai yang mendapat

dukungan finansial global yang mampu bersaing dan beroperasi di beberapa negara ASEAN lainnya. “Sisanya, kalau tidak merger, dikhawatirkan bangkrut,” katanya. Agus menyarankan untuk bisa bersaing, maskapai harus mendapatkan insentif fiskal dari pemerintah, misalnya yang terkait dengan impor suku cadang. Di semua negara ASEAN, bea masuk impor suku cadang 0 persen, sedangkan bea masuk suku cadang pesawat oleh Kementerian Keuangan dikenai 5 persen. Tentunya ini akan membuat perusahaan penerbangan domestik mati an­gin bersaing. Dari sisi regulator, tampaknya kelemahan memahami secara utuh semua aturan keselamatan penerbang­ an yang dibuat International Civil Aviation Organization (ICAO) membuat industri penerbangan nasional kesulitan menghadapi ASEAN Open Sky 2015. Untuk memenangi persaingan di pasar bebas penerbangan ASEAN, industri penerbangan Indonesia, disebut Agus Pambagio, harus kompak dan kreatif. Sesama maskapai jangan saling membunuh dengan berbagai isu yang terlihat canggih, tapi bodoh. Tapi, yang lebih penting, regulator harus cerdik melihat perkembangan. Pemerintah disarankan segera menerbitkan peraturan yang mendukung maskapai, bandar udara, dan navigasi untuk me­ ngambil peluang. Agar Indonesia bisa memasuki la­ ngit terbuka, tiga kementerian (Perindustrian-Perdagangan-Keuangan) harus lugas memfasilitasi industri dengan berbagai kebijakan fiskal yang mendukung tumbuhnya industri pe­nerbangan nasional. Ada baiknya pemerintah memberikan insentif fiskal yang minimal sama dengan yang didapat maskapai asing di negaranya. (Dni) Aviasi

l

Desember 2014 - Januari 2015

l

3


Samudra Sukardi, Contultant Partner CSE Aviation. (Foto: Anto zq)

Open Sky Molor 11 Tahun Lima Tahun ‘Safety’ Indonesia Katagori 2 A DA satu badan yang dulu pernah disiapkan, namanya DEPANRI (Dewan Penerbangan dan Antariksa). Badan ini masih bisa diaktifkan lagi guna menghadapi pasar bersama atau ASEAN Single Aiviation Market (ASAM). Dengan begitu Indonesia mampu mengisi peluang bisnis, bukan sebaliknya cuma menjadi penonton di negara sendiri. Ke depan Indonesia juga lebih siap untuk melawan kekuat­ an, seperti Singapura, Malaysia, Thailand, Filipina dan Vietnam. Guna mengetahui lebih lanjut tentang persiapan Indonesia menyambut Open Sky, Aviasi mewawancarai Samudra Sukardi, Contultant Partner CSE Aviation. Berikut petikan wawancaranya.

Bagaimana dengan lima bandar udara yang akan dibuka Indonesia, sementara bandar udara negera ASEAN yang dibuka hanya satu?

Dari segi kenyamanan, bandar udara di Indonesia masih belum mempu­nyai standar sama, sedangkan di negaranegara ASEAN lainnya pada umumnya sudah dapat dikatakan lebih baik dari Indonesia, terutama Singapura, Malaysia dan Thailand.

4

l

Aviasi

l Desember 2014 - Januari 2015

Untuk keamanan, di Indonesia masih harus banyak diperbaiki. Keamanan penerbangan secara reguler harus diaudit oleh Independent Auditor, karena faktanya, masih dapat dengan mudah seseorang masuk ke area “restricted” tanpa menggunakan pass airport serta tidak diketahui oleh petugas penjaga. Sistemnya juga masih banyak kelemah­ an. Ada dua alasan akibat perbedaan jumlah bandar udara yang dibuka. Pertama, segi positifnya, dengan dibuka lima bandar udara, berarti kita akan didikunjungi oleh wisatawan dan pebisnis ke setiap penjuru Nusantara, dengan demikian akan mempercepat peningkatan perekonomian daerah setempat. Selain itu juga menguntungkan bagi masyarakat setempat dalam rangka berpergian ke negara lain tanpa harus melalui Jakarta. Kedua, segi negatifnya. Perusahaan penerbangan di Indonesia dari segi resipokal dirugikan, karena kesempatan pertambahan pasar penumpang hanya ditambah dari satu kota dibandingkan dengan perusahaan penerbangan di negara lain akan mendapat potensial pertambahan pasar penumpang dari lima kota di Indonesia.

“Jika maskapai masih dibebani dengan biaya-biaya yang le­ bih mahal daripada di negara lain dan berulang-ulang saling tumpang tindih, sehingga jika keadaan tersebut masih melekat pada maskapai Indonesia, saya rasa kita pasti kalah bersaing”

Menurut Anda bagaimana Open Sky jika dilihat dari berbagai sisi?

Ini peluang, karena Open Sky itu merupakan pasar bersama. Tentunya pasar akan menjadi lebih besar, jumlah penumpang yang akan diangkut juga lebih besar dan dan tujuan atau rutenya juga terbuka lebih banyak pilihan.

Dilihat dari ketiga aspek tersebut, Open Sky seharusnya merupakan pe­ luang bisnis bagi Indonesia. Kalaupun ada ancaman, itu sematamata karena para pebisnis industri aviasi di Indonesia belum siap bersaing secara terbuka dengan para pebisnis di negara-negara ASEAN lainnya, seperti maskapai, pengelola airport, AirNav (navigasi), MRO, training, manufaktur, informasi teknologi, financial insitution, aviation consulting, aviation law dan sebagainya. Sebenarnya yang menjadi hambatan bukan Open Sky-nya, akan tetapi Indonesia sendiri kurang dipersiapkan oleh para pelaku bisnis maupun regulator, misalnya: • Harga fuel masih lebih mahal daripada negara lain. • Aircraft Leasing masih dari luar Indonesia. • Tidak adanya bank dan financial dari Indonesia yang siap untuk membantu memfasilitasi kebutuh­ an sewa maupun beli pesawat udara dan bisnis-bisnisnya. • Belum bersaingnya MRO dalam negeri dengan luar negeri di dalam hal delivery time, quality maupun harganya karena masih ada pajak-


• •

pajak yang dikenakan, sedangkan di negara lain sudah dibebaskan. Airport di Indonesia tidak mempunyai kualitas yang cukup dan tidak jelas standar services-nya. Karena safety di Indonesia termasuk katagori 2 Oleh FAA dan dibandingkan terbang ke Eropa, maka iuaran asuransinya menjadi lebih mahal dibandingkan negara lain. UU Penerbangan Tahun 2009 yang belum ada detail Kepmennya, sehingga masih belum bisa dijalankan atau menjadi beda penafsirannya.

Bagaimana strategi dari berbagai pihak, terutama pada safety?

Pemerintah Indonesia dibandingkan dengan negara lain belum secara serius menyiapkan para pebisnisnya memasuki pasar bersama tersebut. Hal ini bisa dilihat sejak 2009 sampai sekarang selama lima tahun safety kita masih tetap pada level katagori 2 padahal safety adalah salah satu unsur yang paling penting di dunia penerbangan. Regulator tidak dapat meyakinkan apakah setiap peraturan dilaksanakan semua dengan baik dan benar oleh operatornya dan karena regulator tidak dapat meyakinkan soal safety setiap operatornya, maka oleh FAA Indonesia di level safety-nya dikatagorikan se­ bagai level 2. Karena jumlah pesawat udara di Indonesia sekarang sekitar 750 buah, jika satu pesawat membutuhkan empat inspektur, maka pemerintah harus mempunyai sekitar 3.000 inspektur, pa­ ling tidak jika dapat dijadwalkan secara seri, maka minimum harus memiliki

1.000 sampai 1.500 inspektur. Jumlah sebanyak ini sangat tidak dimungkinkan bagi Dirjen Perhubung­ an Udara untuk merektrut PNS. Jalan keluarnya adalah Dirjen Perhubungan Udara menunjuk dan mendelegasikan pekerjaan audit tersebut kepada pihak swasta, seperti halnya di industri keuang­an, setiap perusahaan dapat diaudit oleh KAP (Kantor Akuntan Publik). Sebaiknya membuat suatu “team” yang bertanggungjawab ke RI 1 (Presi­ den), yang bertugas untuk menyiapkan kemampuan bersaing dalam rangka Open Sky. Maskapai masih dibebani dengan biaya-biaya yang lebih mahal daripada di negara lain dan berulang-ulang saling tumpang tindih, sehingga jika keadaan tersebut masih melekat pada maskapai Indonesia, saya rasa kita pasti kalah bersaing. Dari pihak regulator, sampai sekarang belum berhasil menye­lesaikan isu, yaitu: • Katagori 2, di mana dibutuhkannya inspektur-inspektur. • Kesetaraaan kemampuan AIRNAV Indonesia dengan negara lain. • Penjabaran UU Penerbangan 2009 No. 1 menjadi SK-SK (Surat Keputusan) Menteri sehingga juklak (petunjuk pelaksanaannya) menjadi tidak abu-abu lagi tetapi mempunyai pengertian yang sama antara regulator dan operator • Penghapusan batas atas dan batas bawah. • Umur pesawat dan birokrasi dalam memasukkan pesawat ke Indonesia lebih sulit dibandingkan negara lain. • Pengawasan Kepmen 77, tentang kompensasi keterlambatan.

A

Sejumlah turis menuju pintu keberangkatan. (Foto: Dok. Angkasa Pura I Bali)

Strateginya paling tidak semua isu yang ada harus dapat diselesaikan, sehingga bisnis penerbangan di Indonesia menjadi lebih kondusif. Dari bandar udaranya, masih belum jelasnya peran AP1 dan AP2 sebagai pengelola bandar udara, pemilik asset dan pengatur lalu lintas udara di dalam bidang pengamanan dan keselamatan maupun di bidang bisnisnya, sehingga sulit dibandingkan dengan bandara udara di negara lain. Stateginya lebih baik merger (bergabung) antara AP1 dan AP2 dapat dilaksanakan dan spin off (pemisahan) beberapa bandar udara.

Selama ini sudah ada maskapai ASEAN terbang ke (di antara lima bandar udara) di Indonesia, seperti Philippine Airlines

sudah ke Jakarta dan Denpasar, Royal Brunei ke Jakarta, Surabaya dan Denpasar, begitu juga Malaysia Airlines dan Singapore Airline. Apakah ini sebenarnya sudah dilakukan Open Sky?

Karena belum seluruh negara ASEAN menjalankan hal tersebut, menurut saya itu sudah merupakan sebagian Open Sky yang direncanakan oleh negara-negara ASEAN.

Sebenarnya sejak kapan Open Sky ini direncanakan?

Memang telah dicanangkan sejak 7 Oktober 2003, tapi saat itu belum ada roadmap yang detail, dan mengingat kesiapan setiap negara berbeda, maka diberi target paling lambat 2020, tetapi pada 2007 diminta agar ASAM (Open Sky) dipercepat menjadi 2015. (Dnn)

Berbagai Kesepakatan ASEAN Open Sky

A

SEAN memiliki ambisi untuk mengimplementasikan ASAM atau “Open Sky” pada 2015 yang sejalan dengan AEC. Untuk mencapai tujuan ini, negara-negara anggota ASEAN telah mengadopsi tiga perjanjian multilateral yang dirancang untuk memberikan kebebasan operasi penerbangan tak terbatas (kebebasan ketiga, keempat dan kelima di kawasan tersebut). Oleh karena itu, negara-negara yang setuju dengan perjanjian tersebut bersedia mengikuti berbagai syarat untuk menyambut operasi tak terbatas atau tak terkendala dalam penggunaan tipe pesawat, kapasitas dan frekuensi. 1. “Kebebasan ketiga” – Hak maskapai yang ditetapkan oleh negara A untuk membawa penumpang, muatan dan barang guna memperoleh keuntungan dari titik di negara A ke titik lain di negara B. Contoh: Thai Airways (TG) ber­ operasi dari Bangkok ke Singapura, atau Phuket ke Bali, atau Chiang Mai ke Hanoi. 2. “Kebebasan keempat” – Hak koneksi dalam arah sebaliknya. Contoh: Mengembalikan penerbangan yang sama TG (Thai Airways) dari Singapura ke Bangkok, atau Bali ke

Phuket atau Hanoi ke Chiang Mai. 3. “Kebebasan Kelima” – Hak yang sama namun dengan hak tambah­ an, yaitu membuat persinggahan di negara C untuk mengambil ja­

ringan baru yang menguntungkan. Contoh: Layanan Thai Airways antara Bangkok dan Singapura, tetapi boleh singgah di Kuala Lumpur dan kedua arah sebaliknya. (Danang)

Perjanjian Multilateral ASEAN Perjanjian Multilateral

Cakupan

Negara yang Berpartisipasi

2009 Perjanjian Multilateral dalam Layanan Udara (Multilateral Agreement on Air Services-MAAS) Protokol 5

Kebebasan tak terbatas ketiga dan keempat antarkota besar (Maskapai A, antara kota A dan kota yang lain). Misalnya Thai Airways dengan rute Bangkok-Hanoi, begitu pula sebaliknya

Semuanegara kecuali Indonesia dan Filipina

Protokol 6

Kebebasan tak terbatas kelima antarkota besar (Maskapai A dari Kota A ke Kota C melalui Kota B). Contoh, Thai Airwyas rute Bangkok-Kuala Lumpur-Singapura dan begitu pula sebaliknya

Semua negara kecuali Indonesia dan Filipina

Protokol 1 ke 4

Dampak terbatas: meliputi kota-kota terutama di daerah pertumbuhan menengah (distrik) perbatasannya terbentang ke negara tetangga. Misalnya Perjanjian Kamboja (Cambodia) , Laos, Myanmar and Vietnam (CLMV)

10 negara anggota

Perjanjian Multilateral 2010 untuk Kebebasan Penuh Penumpang Air services (Layanan Udara) (Multilateral Agreement for the Full Liberalization of Passenger Air Services -MAFLPAS) Protokol 1

Kebebasan tak terbatas ketiga dan keempat antarseluruh kota (maskapai A dari kota kecil A ke kota besar B dan ke kota kecil A ke B). Contoh, Thai Airwyas Bangkok-Cebu, Phuket-Manila, Phuket-Cebu

Semua negara kecuali Indonesia, Kamboja dan Lao PDR

Protokol 2

Kebebasan tak terbatas antarsemua kota (kecuali kota besar-kota besar - kota besar). Misalnya Thai Airways Phuket-Ho Chi Minh-Cebu, Phuket-Ho Chi Minh-Manila, PhuketHanoi-Cebu, Phuket-Hanoi-Manila, Bangkok-Hanoi-Cebu, Bangkok-Ho Chi Minh-Manila, Bangkok-Ho Chi Minh-Cebu

Semua negara kecuali Indonesia, Kamboja dan Lao PDR

Perjanjian Multilateral 2009 untuk Kebebasan Penuh Penumpang Air Services (Layanan Udara) (MAFLPAS) Protokol 1

Kebebasan tak terbatas ketiga, empat dan lima antara titik yang ditunjuk. Misalnya rute Thai Airways Cargo Bangkok-Clark, Bangkok-Vientiane-Hanoi

Semua negara kecuali Indonesia

Protokol 2

Kebebasan tak terbatas ketiga, empat dan lima antara semua titik dengan bandar udara internasional. Misalanya rute Thai Airways Cargo Bangkok-Singapura, Bangkok-Singapore-Manila

Semua negara kecuali Indonesia

Sumber: CIMB Aviation Research Institute

Aviasi

l

Desember 2014 - Januari 2015

l

5


Mengantisipasi ASEAN Single Aviation Market

D Dalam menghadapi ASEAN Single Aviation market, pemerintah harus mewaspadai peluang ancaman perebutan pangsa pa­sar penerbangan di wilayah ASEAN, juga pangsa pasar penerbangan domestik.

Bawah: Vietnam Airlines Airbus A321-200, atas: Royal Brunei Airlines Airbus A319 di Bandar Udara Internasional Soekarno-Hatta. (Foto: Anto zq)

6

l

Aviasi

l Desember 2014 - Januari 2015

ALAM beberapa tahun terakhir, isu pasar bebas ASEAN, open sky menyita perhatian banyak pihak, karena jika tidak ada perubahan, akan diberlakukan pada 2015. Banyak yang berasumsi mungkin diberlakukan awal 2015, namun ada yang memerkirakan baru akan dilaksanakan pada akhir 2015. Deklarasi ASEAN Single Aviation Market (ASAM) akan ditandatangani pada Desember 2015. ASAM diharapkan sepenuhnya akan meliberalisasi perjalanan udara di antara negara-negara anggota di kawasan ini, yang memungkinkan negara-negara ASEAN dan maskapai yang beroperasi di wilayah tersebut untuk langsung mendapatkan keuntungan dari pertumbuh­ an dalam perjalanan udara di seluruh dunia dan juga membebaskan pariwisata, perdagangan, investasi dan jasa di antara negara-negara anggota. CIMB ASEAN Reserach Institute menjelaskan bahwa dokumen konsultasi (consultation paper) me­ ngungkapkan pada 2015 akan diarahkan hal-hal se­ perti kriteria untuk hak kepemilikan dan pengendali­ an perusahaan penerbangan, tarif dan lainnya dari Aeronautical Enforcement. Para pemimpin ASEAN menyatakan bahwa wilayah tersebut mengakui kebutuhan untuk memperkuat intra ASEAN maritim dan jasa pengiriman. Mereka juga menyambut baik kemajuan dalam kerja sama transportasi, yang mencakup pembentukan tugas untuk memantau dan mempromosikan pelaksanaan ASEAN Single Shipping Market (ASSM)dan kemajuan ASAM. Brunei Darussalam saat ini dikabarkan sedang mempelajari kebijakan yang memungkinkan pem-

bentukan sebuah maskapai penerbangan regional baru termasuk operator murah yang akan melayani rute Brunei-Indonesia-Filipina-Kawasan Pertumbuhan ASEAN Timur atau Brunei-Indonesia-Philippines– East ASEAN Growth Area(BIMP-EAGA). Pasar tunggal penerbangan ASEAN atau ASEAN Single Aviation Market pada 2015, merupakan kebijakan yang telah disepakati oleh seluruh negara anggota ASEAN yang tertuang dalam ASEAN Multilateral Agreement on Air Services (ASEAN MAAS) dan telah ditandatangani pada 20 Mei 2009 di Manila, Filipina. Centre for Aviation Analysis menyatakan bahwa pasar tunggal tidak mungkin untuk diwujudkan pada 2015. Menurut artikel tersebut, kebebasan ketujuh yang memungkinkan operator untuk terbang antara titik di dua negara layanan yang berada di luar negara asal maskapai - serta hak cabotage (kebebasan kedelapan) - yang memungkinkan operator asing meng­ hubungkan dua titik dalam negeri di suatu negara tidak dipertimbangkan dalam hal “pasar tunggal”. Dalam menghadapi ASEAN Single Aviation Market 2015, selain memperhatikan potensi keuntungan yang dapat diperoleh dari kebijakan open sky tersebut, pemerintah harus mewaspadai peluang ancaman perebutan pangsa pasar penerbangan di wilayah ASEAN, juga pangsa pasar penerbangan domestik. Adi Kusumaningrum dari Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang dalam tulisannya menyebutkan prinsip cabotage diterapkan secara umum di seluruh dunia dengan tujuan menjaga dan melindungi kepentingan politik dan ekonomi negara yang bersangkutan. Penerapan prinsip cabotage secara operasional bisa bersifat fleksibel, selama kepentingan stra­ tegis negara tersebut tetap terjaga dan terlindungi. Pelayan­an penerbangan di Indonesia saat ini dianggap sudah melanggar prinsip cabotage. Salah satu faktor yang dapat mengancam Indonesia adalah lemahnya pengawasan (direct or indirect) investment bidang angkutan udara, sehingga kemungkinan terjadi penyelundupan hukum investasi, yang akhirnya pasar nasional dikuasai asing melalui badan hukum Indonesia yang dibentuknya (cabotage terselubung). (Sat)


Ramai-Ramai Mengisi Pasar Internasional Asia Tenggara A SIA Tenggara menyumbang 46 persen dari total kapasitas kursi penerbangan internasional di Singapura, 54 persen di Malaysia dan 67 persen di Indonesia. Kawawan ASEAN dengan 10 flag carrier saat ini meng­ operasikan lebih dari 646 pesawat. Artinya setara dengan 44 persen dari total armada di wilayah ini. Kemudian LCC saat ini mencapai sekitar 31 persen dari total armada. Southeast Asia atau Asia Tenggara terus memposting beberapa tingkat pertumbuhan tertinggi dalam industri penerbangan global, terutama didorong oleh ekspansi “booming” di sektor penerbangan murah (LCC) di kawasan itu. Data CAPA dan Innovata menunjukkan LCC sekarang lebih dari 50 persen dari kapasitas di empat pasar domestik terbesar di Asia Tenggara, khususnya Indonesia, Malaysia, Filipina dan Thailand. Bahkan lebih mengesankan, LCC telah mampu dengan cepat mengklaim sekitar 50 persen di pasar internasional intra Asia Tenggara. Dalam 2013 hampir semua operator di kawasan itu sebagian besar mem-

berikan layanan lengkap (full service), namun mampu bergabung dengan LCC dalam mengambil keuntungan dari kondisi ekonomi secara umum yang menguntungkan di Asia Tenggara. Pasar internasional di Asia Tenggara telah tumbuh sekitar 20 persen selama 18 bulan terakhir dari sekitar 4,7 juta kursi mingguan di April 2012 dan di Oktober 2013. Setidaknya itu data yang dikutip dari CAPA dan Innovata. Semua negara di wilayah ini telah melihat ada­ nya pertumbuhan dua digit kapasitas kursi kecuali Brunei Darussalam. Myanmar telah menunjukkan pertumbuhan yang paling cepat, karena pasar dibuka pada pertengahan 2012. Dalam hal jumlah kursi internasional, Thailand dan Malaysia telah mencatat keuntungan terbesar dengan masingmasing lebih dari 230.000 dan 200.000 kursi mingguan. Menariknya, selama periode tersebut populasi di wilayah ini telah tumbuh hanya 6 persen. Tetapi kelas menengah di Asia Tenggara telah berkembang pada tingkat yang jauh lebih cepat, mengarah ke sektor yang jauh lebih besar dari penduduk yang

mampu untuk terbang. Pada saat yang sama kompetisi LCC telah memberikan tarif terendah di banyak pasar, sehingga menarik permintaan khususnya di kalangan kelas menengah di ASEAN. Indonesia patut berbangga, perkembangan pesat ditunjukkan oleh Lion Air Group yang menyumbang sekitar 13 persen dari total kapasitas di Asia Tenggara dan 37 persen dari kapasitas LCC di kawasan ini. Lion Air bakal memiliki hampir 600 pesawat tambahan sesuai pesanan, artinya memberikan banyak kapasitas untuk memperluas di beberapa pasar Asia Tenggara. Sementara, AirAsia Group berada sedikit lebih kecil dari Lion Air Group dengan pangsa 32 persen dari kapasitas LCC di wilayah ini. Namun, AirAsia jauh lebih besar daripada Lion Air di pasar internasional dan juga memiliki operasi yang cukup besar dengan meng­hubungkan Asia Tenggara deng­ an Asia Utara dan Australia. Sayangnya, Lion Air belum melayani salah satu dari pasar ini. Dengan demikian, gabungan Lion Air dan AirAsia menjadi hampir 60 persen dari kapasitas atau total LCC di Asia

Tenggara. Tigerair dan Jetstar adalah kelompok yang lebih kecil di 6 persen dan 4 persen. VietJet, pemain baru telah berkembang cepat dan sekarang memiliki pangsa 3 persen. LCC Vietnam ini mencoba untuk bergabung Lion, AirAsia, Tigerair dan Jetstar dengan mengadopsi strategi kelompok Asia yang serupa. VietJet berencana untuk meluncurkan afiliasi di Thailand pada 2014 serta afiliasi di Myanmar. Kelima grup LCC tersebut telah tumbuh dengan armada sekitar 20 persen pada 2013. LCC Asia Tenggara mencapai hampir 500 pesawat pada akhir 2013.

Pembawa Bendera Negara Terbangi Regional

Operator layanan penuh, bagaimanapun akan terus memiliki ­peran penting di pasar Asia Tenggara, baik pada rute jarak jauh maupun regional. Anak perusahaan operator milik negara juga telah menunjukkan pertumbuhan tercepat pada 2013, termasuk Singapore Airlines dengan SilkAir, Thai Airways dengan Thai Smile dan

Garuda Indonesia dan Lion Air. Maskapai ini mengandalkan armada Boeing 737 NG di rute domestik dan beberapa rute regional/internasional. (Foto: Joe Roland S. Bokau/PhotoV2.com)

Aviasi

l

Desember 2014 - Januari 2015

l

7


Kondisi lorong menuju ruang tunggu pintu keberangkatan Terminal 1B Bandar Udara Internasional Soekarno-Hatta. (Foto: Joe Roland S. Bokau/PhotoV2.com)

ASEAN Open Sky, RI Belum Siap Bersaing? S

Chairman ASEAN Competition Institute. (Foto: Danang)

8

l

Aviasi

l Desember 2014 - Januari 2015

IAPKAH kita menghadapi persaing­an pada 2015? Indonesia dan negara-negara di wilayah Asia Tenggara akan membentuk sebuah kawasan yang terintegrasi yang dikenal sebagai Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). Berbagai sektor disiapkan dalam menghadapi hal tersebut, salah satunya di industri penerbangan yang dikenal dengan ASEAN Open Sky Policy atau liberalisasi angkutan udara di wilayah Asia Tenggara yang juga akan dimulai Desember 2015. Walaupun masih setahun lagi, maskapaimaskapai negara Asia Tenggara saling berlomba mempersiapkan diri terbang ke 10 negara ASEAN. Akibatnya timbul kompetisi hebat pada pengelola bandar udara, maskapai dan kesiapan regulator. Lantas, bagaimana dengan Indonesia, apakah sudah siap? Saat ditemui Aviasi, Soy M. Pardede, Chairman ASEAN Competition Institute menyatakan MEA merupakan peluang, karena pasar menjadi lebih besar dan

terbuka. Ditilik dari pasar yang besar, pertanyaannya seberapa siap industri ini mampu menangkap peluang yang besar itu dan di situlah menjadi masalah kita. Ia menambahkan dilihat dari kesiap­ an Indonesia memang masih sangat jauh. Untuk itu, hal yang pertama kita lihat adalah kebijakan terlebih dulu, karena MEA adalah suatu kesepakatan 10 negara. Sebagai suatu kesepakatan, hal itu merupakan suatu kebijakan. Kebijakan membuka dan menyatukan pasar, apakah sudah diikuti dengan kebijakan-kebijakan yang menyiapkan kita untuk masuk ke pasar terbuka itu? Harus diakui, dalam soal ini kita selalu keteteran, pemerintah sama sekali tidak siap dalam aspek kebijakan yang melahirkan regulasi dan perizinan. ASEAN Open Sky sebagai ke­ sepakatan antar 10 negara, apakah sudah semua negara menyiapkan kebijakan masing-masing, khususnya Indonesia sebagai negara terbesar? Apakah sudah disiapkan kebijakan yang cukup

untuk mengelola pasar bersama yang demikian besar? Karena selain harus membangun infrastuktur fisik, yang sudah pasti Indonesia membutuhkan sumber daya yang demikian besar untuk mendukungnya. “Lihatlah jeleknya pengelolaan Bandar Udara Internasional Soekarno-Hatta yang menjadi pintu gerbang utama Indonesia, sama sekali masih jauh di bawah kelas, di bawah standar internasional. Masih sangat kumuh dan semrawut. Pengaturan untuk parkir pesawat di bandar udara dan kendaraan baik di dalam bandar udara maupun di luar bandar udara untuk antarjemput sungguh tidak teratur dan bahkan tidak jelas siapa yang mengatur. Kesannya semua mengatur diri sendiri dan berlomba berebut memakai kapasitas yang terbatas dan bahkan ada peluang bagi siapa pun untuk melanggar aturan, karena lemahnya penegakan hukum atau tidak adanya kepatuh­ an. Tidak ada yang seburuk SoekarnoHatta, selain barangkali bandar udara Manila,” tegasnya.


Kiri-kanan: Denon Prawiraatmadja, Ketua INACA Non Berjadwal; Tengku Burhanuddin, Sekjen INACA (kedua belakang); Bambang Tjahjono, PLT Dirjen PerhubunganUdara; Bayu Sutanto, Ketua INACA Berjadwal; Arif Wibowo, Ketua Umum INACA; Ignatius Jonan, Menteri Perhubungan dan Emirsyah Satar, Dewan Pembina INACA saat pembukaan Rapat Umum INACA 2014. (Foto: Anto zq)

Tujuh Harapan Penerbangan Indonesia

M

EMASUKI akhir 2014 sekaligus awal 2015, industri penerbang­ an di Indonesia masih menyi­ sakan kegelisahan. Arif Wibowo, Ketua Umum INACA (Indonesia National Air Carriers Association) menyatakan setidaknya ada dua kondisi penting yang melingkupi dunia penerbangan nasio­ nal kali ini yang perlu disampaikan kepada para pelaku industri penerbang­ an. Kondisi ini, menurut dia, merupakan tantangan sekaligus peluang bagi INACA untuk tetap bisa mengabdi bagi kejayaan Indonesia. Pertama, rapat Umum INACA yang diselenggarakan di Jakarta tergolong istimewa mengingat pelaksanaan rapat umum anggota kali ini bertepatan deng­an terbentuknya pemerintahan baru yang tentu saja memberikan harapan dan semangat baru bagi seluruh komponen bangsa, termasuk INACA. Kedua, semakin dekatnya kita dengan pelaksanaan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) pada 2015 yang melahirkan Open Sky Policy sehingga membuat anggota INACA perlu berbenah dan menyiapkan diri agar bisa memetik manfaat dari situasi tersebut yang merupakan perkembangan dari

situasi global. “Penguatan daya saing industri penerbangan nasional membutuhkan tidak saja keterlibatan pemerintah, atau anggota INACA sendiri, namun juga lembaga atau organisasi lainnya yang terkait erat dalam kemajuan industri penerbangan nasional,” katanya. Sebelum betul–betul terjun dan tenggelam dalam pertarungan bisnis penerbangan regional yang akan dipenuhi persaingan alangkah bijaksananya jika pemerintah menyiapkan lebih dulu suatu kondisi industri pe­ nerbangan nasional yang sehat pula. Hal itu diperlukan guna membangun ketangguhan daya saing yang mumpuni, sehingga siap bersaing dan juga mampu melayani tuntutan konektivitas antara kota–kota yang ada baik dalam skala nasional maupun regional. INACA menyampaikan “TUJUH HARAPAN” anggota asosiasi kepada pemerintahan yang baru agar bisa menjadi pertimbangan dan bahan diskusi bersama guna mewujudkan daya saing industri penerbangan nasional yang kuat dalam menghadapi tantang­ an global. Ketujuh harapan itu adalah:

1. Perlunya menaikkan kelas dalam segala hal safety untuk bisa masuk kategori 1 standar FAA, dengan demikian akan menurunkan country safety risk yang pada akhirnya juga menurunkan biaya asuransi pesawat. Hal ini semakin diperlukan mengingat persaingan di level regional dan global membutuhkan standar internasional. 2. Soal penataan bandar udara agar terbentuk interkonektivitas yang mendukung pertumbuhan ekonomi yang efektif, baik dalam hal pengaturan pungutan–pungutan tambahan yang tidak relevan di dalam bandar udara, sehingga tetap sesuai dengan dokumen standar ICAO 9082 yang sebetulnya sudah tercakup dalam airport tax (passenger service charge). 3. Penurunan terhadap struktur biaya avtur di Indonesia yang masih tergolong tinggi bila dibandingkan dengan negara–negara tetangga, sehingga mengurangi daya saing maskapai nasional terlebih menjelang ASEAN Open Sky Policy 2015. 4. Kebijakan nol persen untuk bea

masuk bagi komponen pesawat, mengingat sudah ada SK Menteri Keuangan mengenai hal tersebut namun dalam pelaksanaannya belum berjalan baik. 5. Perlu kebijakan tarif yang “pro-pasar” yang dilakukan secara selektif guna melindungi kepentingan konsumen sekaligus melindungi bisnis maskapai selaku operator angkutan udara sesuai UU Penerbangan No. 1 Tahun 2009. 6. Perlu regulasi yang bisa memenuhi kebutuhan sumber daya manusia di bidang penerbangan, seperti pilot, instruktur, inspektur dan mekanik. Hal itu sangat mendesak mengingat perkembangan teknologi dan jenis pesawat yang pesat. 7. INACA juga berharap agar penerbangan tidak berjadwal (charter) mendapat perhatian pemerintah dengan ditetapkannya FBO (fixed based operation) untuk penerbang­ an charter di setiap airport serta perlu adanya regulasi terbang malam untuk helikopter. (*)

Aviasi

l

Desember 2014 - Januari 2015

l

9


Upaya Memberikan Layanan kepada Wisatawan

Bayu Sutanto, Ketua Indonesian National Air Carriers Association (INACA) Berjadwal (Foto: Eky Fajrin)

J

IKA Open Sky diberlakukan, target yang ingin dikejar Indonesia adalah wisatawan atau turis. Bayu Sutanto, Ketua Indonesian National Air Carriers Association (INACA) Berjadwal menyatakan dengan dibukanya lima bandar udara, diharapkan para turis lebih leluasa berkunjung ke Indonesia, terutama ke Bali yang tetap menjadi primadona. Bali (Ngurah Rai) termasuk dari lima bandar udara yang dibuka di Indonesia selain Kualanamu Medan, Jakarta Soekarno-Hatta, Surabaya Juanda dan Makassar Sultan Hasanuddin. Mengapa di negara lain hanya satu bandar udara yang dibuka, sementara di Indonesia lima bandar udara? Menurut Bayu, dengan mengacu bahwa wisatawan yang akan dijadikan target, maka yang nanti bakal ramai adalah Jakarta dan Bali s. Menariknya pasar penerbangan Indonesia selain dari lima kota besar tersebut, terutama sektor pariwisata, justru yang berpotensi itu point to point, seperti yang sudah terjadi Kuala Lumpur - Bandung, Kuala Lumpur - Yogyakarta. Menurut Bayu, pasar pontensial di luar dari kota yang dibuka itu adalah Bandung, karena selama ini masih ba­ nyak masyarakat Bandung pergi ke Malaysia dengan maskapai asing maupun lokal. Berbicara soal target wisatawan, Bayu menegaskan selama infrastruktur dan aktivitas wisata di suatu daerah Indonesia (terutama pada lima kota yang dibuka itu) kurang menarik dan itu-itu

10

l

Aviasi

l Desember 2014 - Januari 2015

saja, maka akan membosankan, sehingga pencapaian tidak terpenuhi. “Di Bandung lebih didominasi oleh orang-orang Kuala Lumpur. Sementara kalau di Bali lebih lengkap turisnya, me­reka datang dari Australia, Timur Tengah, Asia Timur. Dulu Bandung tidak siap, sekarang lebih siap dengan berbagai aktivitas seperti belanja dan kuliner,” tambahnya.

Koneksi Dalam Negeri Belum Siap

Keuntungannya dari Open Sky ini, Bayu menyatakan bila benar nanti maskapai asing terbang ke Indonesia (inbound) dengan membawa penumpang, maka yang diperlukan adalah koneksi dari bandar udara yang dibuka ke bandar udara lainnya. Misalnya, setelah tiba di Jakarta turis dapat meneruskan dengan maskapai lokal ke Semarang, Malang dan sebagainya. “Sistem kerja antarmaskapai sudah berjalan seperti codeshare (kesepakatan angkut/transfer antara dua operator). Atau pada saat menjelang Open Sky, dapat melakukan kerja sama model aliansi (grup besar maskapai dunia), sehingga saat Open Sky sudah siap, bisa sama-sama untung, artinya maskapai A sebagai pemain utama supply penumpang, maskapai B sebagai feeder (yang meneruskan ke kota lain di domestik) dapat penumpang, begitu juga sebaliknya. Feeder bermain di spoke (di bandar udara pengumpan) diteruskan di hub (di bandar udara pengumpul) lalu diterbangkan oleh maskapai regional. Ini semua masalah kemauan saja yang

berkaitan dengan business to business,” tambahnya. “Begitu juga dengan maskapai domestik, terjadi peran koneksi walaupun bukan codeshare dan itu pun masih informal, seperti Citilink dengan TransNusa, penumpang Citilink terbang ke Bali, Lombok atau Kupang, selanjutnya penumpang dapat meneruskan pe­ nerbangannya ke Ende, Labuan Bajo, Waingapu dan kota lain yang diterbangi TransNusa,” tegasnya. Sayangnya di Indonesia belum terjadi codeshare secara penuh, maskapai lokal harus kerja sama dengan maskapai yang terbang internasional ataupun regional. Walaupun saat ini Garuda Indonesia dan Vietnam Airlines masuk dalam SkyTeam, pun ditantang Singapore Airlines dan Thai Airways dalam Star Alliance serta Malaysia Airlines de­ ngan aliansinya Oneworld. Lalu bila ASEAN Open Sky sudah dibuka, roadmap atau blueprint untuk penerbangan Indonesia bagaimana? Bayu mengatakan melalui lima hub di tanah air, lalu spoke-nya ke mana saja? Di sini belum ada kelanjutan atau riset untuk hub-spoke dan spoke-hub.

Masih Banyak Keluhan

Tentang hub-spoke, juga berkaitan dengan tujuan wisata, “misalnya, jika terbang ke Medan, turis hanya melihat Danau Toba dua jam selesai. Pemikiran lain tidak hanya di situ, tetapi di suatu kota yang menjadi destinasi harus ada aktivitas-aktivitas lain seperti shopping, surving, kerajinan (souvenir) dan se­

bagainya tergantung kekayaan daerah (keramahtamahan SDM, kecerdasan dalam menjual potensi daerahnya), sehingga hub-spoke lebih menguntungkan karena tingkat keterisian penumpang lebih jelas. Bila pasar monoton, lambat atau cepat masyarakat enggan datang lagi,” paparnya. Fakta menariknya, maskapai tujuan ke Bali memang membawa turis, tetapi kota lain di Indonesia outbound keba­ nyakan membawa TKI. Dan orang Indonesia pun lebih senang ke luar negeri dibandingkan ke dalam negeri, dengan pertimbangan lebih banyak aktivitas wisata menarik maupun harga tiket yang murah. Di sisi lain, di luar pariwisata, menurut Bayu masih banyak keluhan dari penumpang, maskapai anggota INACA dan bukan INACA soal tarif penumpang, tarif airlines yang masih kalah kompetitif dengan negara ASEAN lainnya, soal pelayanan maskapai dan penumpang di bandar udara, serta safety yang belum lolos audit ICAO. Perlu diingat, bahwa rohnya penerbangan itu safety. Filipina saja dalam waktu tiga tahun sudah dapat lolos audit dan masuk kategori 1. “Selain keluhan di atas, bahkan IATA pun komplain tentang biaya navigasi (naviation charge) dengan kenaikan 200 persen tanpa dikonsultasikan ke airlines asing maupun domestik. Sesuai dengan dokumen ICAO doc. 9082 kenaikan tarif navigasi harus dikonsultasikan empat bulan sebelumnya. Ini menandakan bahwa Indonesia itu belum siap untuk Open Sky,” pungkasnya. (Dnn)


Digital Magazine Baca Tabloid AVIASI edisi digital di laptop, PC, tablet, atau smartphone kesayangan. Download edisi digital-nya di gadget kesayangan melalui aplikasi SCOOP, Wayang Force dan myedisi.com

Aviasi

l

Desember 2014 - Januari 2015

l

11


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.