Edisi #10 Budaya Indie | Oktober 2018

Page 1

SIKAP MAGZ MENILIK SEMANGAT INDEPENDEN

SUARA AKAR MAHASISWA

“Menilik Semangat

www.suarasikap.com

Independen”

1


2

SIKAP MAGZ MENILIK SEMANGAT INDEPENDEN

SALAM REDAKSI

TIM REDAKSI

Salam Pers Mahasiswa, Salam Intelektual! Setelah satu semester berselang, Buletin Sikap kembali hadir menemui para pembaca setia. Setelah edisi lalu kami menerbitkan majalah berisi isu-isu terkini seputar kampus, kini izinkan kami sedikit meluas membahas fenomena gaya hidup generasi muda. Proses panjang memilih tema dan menuangkan ide ke dalam tulisan menyertai kehadiran edisi ini ke hadapan para pembaca. Mengangkat ide utama tentang fenomena indie di kalangan anak muda, kami menyoroti perkembangan genre ini dan berbagai hal yang menyertainya. Alunan grup musik indie yang menarik, minat baca buku indie yang sedang naik, hingga produksi film mandiri. Pada akhirnya, kami berharap bahwa edisi ini mampu memberikan informasi yang berguna serta dapat menjadi bacaan yang menyenangkan. Selamat membaca dan membolak-balik halaman.

DAFTAR ISI

3 7 9

SEJARAH

Sorot Balik Budaya Indie

GAYA HIDUP

Indie Sebuah Karya Mandiri

INDUSTRI

Indie Book Corner, Wadah Kreatif Penulis Pemula

EDITORIAL

12 13 15

BINCANG MUSISI

Rubah di Selatan

KINE

Independen Lewat Gambar Bergerak

RUANG Kampung Buku Jogja, Ajang berkumpul Penulis dan Penggiat Buku

Penanggung Jawab Dr. Subhan Afifi, M.Si. Pemimpin Umum Kiki Luqman

Pemimpin Redaksi Lajeng Padmaratri

Editor Lajeng Padmaratri, Kiki Luqman

Reporter Adi Ihsanuddin, Marcelina Mia Amelia, Muhammad Leo Bisma, Dwi Atika Nurjanah, Fajar Andrian, Farhan Kurniadi Ruliasto, Ida Nur Apriani, Irene Oktavia, Kiki Luqman, Aqmarina A. Laili, Rahayu Sekar, Tiana Riski, Mardella Savitri M, Siti Hasnah Harahap Sinta J. Kartika, Faya Aulia Lusaka, Nabila Rosellini, Antika Damayanti, Ganisha Puspitasari, Melvindy Kuswanto, Azura Aulia Azahra, Novella Candra W, Dian Puspita, Anindyadevi Aurellia, Rumondang Naibaho, Laras Dika Youlanda, Umar Abdul Aziz, Rieka Yusuf, M. Hasan S. Al-Anshori Infografis & Ilustrasi Karina Maharani, Nabila Rosellini, Umar Abdul Aziz Layouter Tiana Riski

Percetakan & Distribusi Ida Nur Apriani, Muhammad Leo Bisma Email suarasikap@gmail.com Website www.suarasikap.com

www.suarasikap.com


SEJARAH

3

SIKAP MAGZ MENILIK SEMANGAT INDEPENDEN

HISTORY of CULTURE MUSIK

1970-an

Ari Julian, seorang gitaris asal Bandung memulai aktifitas indie dengan merekam, mempromosikan, dan membina relasi sosial sendiri untuk karya musiknya

1990-an

Pas Band dan Padi mempelopori berkembangnya musik indie dengan memproduksi album dan membagikannya secara gratis

2000-an

Band Mocca berhasil booming dengan penjualan mencapai 100.000 copy menandai tingginya minat masyarakat Indonesia pada musik indie

ZINE Zine Golongan Pertama : Konten didominasi informasi tentang musik underground dan propaganda politis

1985 - 1999

2000 - an

Munculnya kolektif-kolektif yang mendistribusikan zine secara masif

2000 - 2010

Pasca Reformasi : Zine digunakan anak muda untuk bereksperimen dalam kebebasan berpendapat. Zine diwarnai dengan karya fotografi, ilustrasi, dan desain

2010 - sekarang

Zine diproduksi dengan bentuk digital seperti dalam format PDF dan didistribusikan melalui email atau website

BUKU

2000 - an

Mahasiswa dan aktivis khususnya d i Yogyakarta banyak menyalurkan gagasan pada penerbit buku alternatif

sekarang

Infografis : Nabila Roselini

Buku indie berkembang seiring degan munculnya jasa penerbit indie yang menyediakan jasa konsultasi, jasa pengeditan tanpa mengubah isi, dan jasa penerbitan

www.suarasikap.com www.suarasikap.com


4

SIKAP MAGZ MENILIK SEMANGAT INDEPENDEN

Erie menjelaskan, sebagai sebuah gerakan sub-kultur, pada awalnya indie merupakan sebuah gerakan yang berusaha menjadi ‘penyeimbang’ dari budaya mainstream. Awal munculnya pergerakan indie bermula di Inggris. Saat itu muncullah aliran musik seperti crust punk serta folk sebagai genre di luar musik pop, dan mereka di luar kendali pa yang ada di benak kalian mekanisme pasar. ketika mendengar sebutan ‘indie’? Beberapa orang Indonesia tak luput dari akan menganggap indie sebagai efek budaya indie yang dipelopori genre musik. Segelintir grup oleh musisi Pas Band dan Padi musik, antara lain Payung Teduh, pada era 90-an. Budaya musik Efek Rumah Kaca, Fourtwnty, indie di Indonesia sangatlah Reality Club, Stars and Rabbit plural dan beragam. Di Indonesia, dan masih banyak grup musik lain semua benda bisa dijadikan alat lekat dengan pelabelan band indie musik, latar belakang budaya karena musik mereka dianggap yang berbeda-beda yang akan berbeda dari pasar. mempengaruhi bahasa dalam bermusik serta produk dari musik Padahal indie tak hanya indie, fenomena sosial yang perihal genre musik. Hakikat beragam dan banyaknya fakta ‘indie’ merupakan bentuk abstrak sangat bisa dijadikan inspirasi lagu yang lebih cocok dikatakan (masalah kemiskinan, pendidikan, sebagai sebuah sub-kultur dari isu politik), dan luasnya sumber dunia seni. Budaya indie juga ide yang dimiliki masyarakat merambah segmen dalam bidang Indonesia. Sehingga musik indie tulisan, seperti buku dan zine. yang berada di Indonesia dan musik Indie berasal dari bahasa Inggris indie luar negeri tentu memiliki independent yang memiliki arti cita rasa yang berbeda. kebebasan atau mandiri. Seorang ataupun sekelompok orang yang Gerakan indie sebenarnya berkarya dengan kultur indie sudah dilakukan oleh komunitasmemproduksi serta mem-publish komunitas yang sifatnya individu. karyanya sendiri. Tiga puluh tahun yang lalu, sebelum Pas Band, Ari Julian yang Ideologi Bebas Musik Indie merupakan seorang gitaris sudah mulai melakukan aktifitas indie. Dalam perkembangan Musisi asal Mataram ini mulai musik indie, terdapat kesalahan merekam, mempromosikan, dan persepsi dari masyarakat mengenai membina relasi sosial sendiri untuk musik indie. “Iya sepengamatan karya musiknya. saya memang banyak yang keliru dan beranggapan bahwa indie Ada yang unik dari musik adalah sebuah genre. Padahal, indie, yaitu kuatnya interaksi sosial indie sendiri adalah suatu sikap, sesama musisi indie. Interaksi prinsip, atau ideologi dimana sosial tersebut tidak hanya kita berkarya dengan mengusung sebagai forum untuk menambah kebebasan berekspresi namun pengetahuan, tapi juga sebagai tetap bertanggung jawab,” jelas tempat untuk menambah semangat Erie Setiawan saat ditemui di Art para musisi bahwa dunia kreatifitas Music Today pada Jumat (1/6). Ia musik sangatlah luas dan bisa terus merupakan salah seorang pendiri digali. “Saya juga sering terlibat Art Music Today, yaitu komunitas dalam proyek pembuatan musik yang mendokumentasikan, indie. Kami tidak hanya memahami mempublikasikan informasi musik sebagai produk akhir yang musik, kegiatan pendidikan musik, akan dijual, namun kami lebih dan menerbitkan buku yang melihat musik sebagai suatu proses berkaitan dengan musik. menarik yang dinamis. Para musisi

SEJARAH

Sorot Balik Budaya Indie

A

www.suarasikap.com

Sudut baca Zine di Harian 5A. (Foto Rieka Yusuf)

“Indie sendiri adalah suatu sikap, prinsip, atau ideologi dimana kita berkarya dengan mengusung kebebasan berekspresi namun tetap bertanggung jawab” indie tidak terlalu mementingkan popularitas dan keuntungan finansial, tapi lebih memperhatikan isi dari apa yang akan disampaikan melalui musik,” papar Erie. Musik indie tidak hanya menjadi konsumsi para penikmatnya. Di Yogyakarta, musik ini juga turut menjadi sorotan sebuah majalah bernama Warning Magz. Dalam perjalanannya, Warning Magz tidak hanya menyorot bandband yang sudah dikenal oleh masyarakat. Bahkan mereka tidak segan untuk memberitakan bandband independen yang belum


SEJARAH terikat kontrak dengan label musik. Managing Director Warning Magz, Titah Asmaningsih menanggapi tren grup musik indie ini. “Indie itu sebenernya tema yang digunakan ketika band memilih untuk tidak gabung dengan major label. Major label sangat berorientasi pada industri, mereka biasanya sudah mempunyai cara sendiri untuk promo suatu band,” tutur Titah. Menurutnya, kalau dipandang dari sisi musik, baik band indie maupun band mayor tidak terlihat perbedaannya. Hal yang ketara, biasanya band mayor atau mainstream bergenre pop yang berkutat pada gaya yang sama, karena mereka pasti berorientasi pada pasar. Dan musik indie sendiri terasa lebih cult atau unik. “Kalo konteksnya Jogja, bisa dibilang ekosistem musik eksperimental yang paling bagus di Indonesia. Jadi tidak heran jika band-band di Jogja musiknya lebih ‘aneh dari band-band kota lain dan yang paling bagus perkembangannya” tutup Titah. Zine – Produksi Swadaya Konten Kreatif Di samping musik, ada zine yang juga menjadi platform budaya indie dalam bentuk cetak. Zine yang menjadi salah satu aplikasi indie juga menghadirkan ide-ide bebas dari setiap pembuatnya. Namun perbedaanya terletak pada bentuk fisik dari zine karena umumnya zine diproduksi dalam bentuk cetak. Istilah zine mungkin terdengar asing di kalangan umum. Zine berasal dari kata ‘magazine’ yang dipadatkan menjadi zine. Definisi zine yang begitu abstrak dan bebas membuat orang sulit mendefiniskan zine dalam sebuah kalimat yang juga merupakan bagian dari kultur indie. Zine biasanya berbentuk selebaran yang dicetak dengan swadaya, tidak memiliki ketentuan yang artinya semua orang bisa menulis apa saja dalam zine-nya.

SIKAP MAGZ MENILIK SEMANGAT INDEPENDEN

5

Doni Singadikrama, pegiat zine. (Foto Rieka Yusuf)

Zine bisa dijadikan sebuah alternatif bagi mereka yang ingin mempublish karya Doni Singadikrama adalah salah seorang penggiat zine di Yogyakarta yang juga melakukan pengarsipan zine. Menurut arsip yang ia miliki, awal kemunculan zine di Indonesia dimulai pada tahun 1985. Kala itu, zine yang bermunculan memiliki ciri yang serupa, yaitu adanya ide membangun komunitas. Hingga zine keluaran 1999 ia golongkan dalam zine gelombang pertama. Memasuki era pasca reformasi, zine yang muncul dipengaruhi oleh iklim kebebasan berpendapat. Dalam zine berjudul Zaman yang dirilisnya pada pertengahan 2017, Doni menyebutkan bahwa era ini digunakan anak-anak muda untuk bereksperimen lewat zine. Era ini mencakup periode 2000 hingga 2010. Kini, zine diwarnai dengan tata artistik yang beraneka rupa. Menurut Doni, karya fotografi, ilustrasi, desain adalah konten dominan dalam zine-zine sekarang ini. Poin penting yang mendasari zine sebagai bagian dari kultur indie adalah swadaya. Pembuat zine akan mengkonsepkan sendiri apa kontennya, dicetak seperti apa, didistribusikan seperti apa, dan mereka memikirkan sendiri akan dijual atau dibagikan www.suarasikap.com

gratis. Produksi zine tidak mengedepankan aspek komersial. Meski tidak dapat dipungkiri untuk mencetaknya pun membutuhkan biaya, pembuat zine bebas membagikan secara gratis, atau menjual karyanya dengan dalih untuk mengganti biaya cetak alih-alih keuntungan finansial. Bagi Doni, ketika ia mem-publish zine-nya kepada orang lain, ia mengharapkan adanya dialog serta wacana yang sangat personal. Di sinilah aspek yang lebih penting dari zine ketimbang keuntungan secara finansial. Ketentuan zine yang sangat bebas membuat konten yang diangkat dalam suatu zine juga lebih variatif. Zine bisa dijadikan sebuah alternatif bagi mereka yang ingin mem-publish karyanya, seperti dituturkan oleh Doni, “Misalnya mahasiswa arsitek ingin membuat zine dari idenya yang tidak di-acc oleh dosen atau klien, atau ketika seorang yang hobi memasak bisa mempublikasikan resep buatannya.” Nyatanya, zine selama ini hanya tersegmen di kalangan orang-orang seni. Zine juga bisa menjadi alternatif bagi mereka yang menyadari kemampuannya dalam menulis belum baik, namun ingin tulisannya dibaca. Meski saat ini muncul Youtube, Instagram, Facebook, hingga ada istilah webzine, bagi pria yang pernah mengenyam pendidikan di Universitas Islam Indonesia dan Institut Seni Indonesia ini platform internet dengan kemudahannya memang membuat karya tersebut cepat lahir namun sekaligus cepat mati.


6

SIKAP MAGZ MENILIK SEMANGAT INDEPENDEN

SEJARAH buku yang sedang digandrungi sampai mempertimabangkan seberapa menjual dan terkenalnya seorang penulis, untuk meminimalisir kerugian yang akan dialami penerbit mayor. Butuh waktu sampai 6 bulan bagi penerbit mayor untuk mempertimbangkan penerbitan suatu buku.

Beberapa zine. (Foto Rieka Yusuf)

Selama ini zine merupakan salah satu bentuk dokumentasi seseorang atau komunitas yang dipublikasikan secara independen. Publikasi zine memang bisa menggunakan beragam platform, namun dalam pengarsipan zine yang dilakukan Doni, ia lebih fokus terhadap pengarsipan dalam bentuk cetak. Hal ini dibuktikan banyaknya zine yang diperbolehkan dibaca di salah satu sudut kantor Doni dan kawankawan yang mereka disebut sebagai Harian 5A. Di sudut tersebut banyak zine yang disusun rapih dalam sebuah rak, serta disediakan juga karpet dan bantal sebagai fasilitas untuk membaca. Banyak zine yang telah diarsip olehnya berasal dari kelompokkelompok yang memang sudah dikenal, “Bagi aku kelompokkelompok seperti ini perlu dicatat. Zine bisa memfasilitasi ketika karya suatu kelompok tidak selamanya bisa diarsip oleh lembaga arsip seperti IVAA atau yang lainnya,” jelasnya. Harapan Doni, ia ingin sesegera mungkin merampungkan pengarsipan, pengembangkan, dan mempublikasikan arsipnya. Baginya dan teman-teman ini adalah sebuah proyek penting dalam dunia zine. Keunikan Penerbit Buku Indie Selain zine, buku juga menjadi salah satu media dalam menuangkan ide-ide yang bersifat indie. Buku indie turut berkembang

bersama dengan produk indie yang lain. Tidak heran jika sekarang semakin banyak penerbit berani memajang buku-buku indie dengan jumlah yang tidak sedikit. Dinamika buku selalu berubah dan sedang berkembang. Terlebih sejak pasca reformasi, tepatnya tahun 2000-an saat buku sedang mencapai puncak perkembangannya. Menurut Irwan Bajang, salah satu pegiat buku indie, saat itu buku-buku di Yogyakarta sangat spesial karena Yogyakarta merupakan kantong pemikir yang pada periode tertentu saat itu tengah gencar kebebasan berekspresi dan publikasi. Akhirnya para mahasiswa, aktivis, banyak menyalurkan gagasannya pada penerbitan buku alternatif. Penerbitan industri yang berkonsentrasi memproduksi dan memperbanyak sebuah literatur dan informasi atau sebuah aktivitas membuat informasi yang dapat dinikmati publik. Penerbitan dapat dibedakan sebagai penerbitan umum (konvensional/mayor) dan juga penerbitan dengan sistem indie atau self publish. Penerbitan konvesional/ mayor adalah perusahaan penerbit buku yang besar dan memiliki nama yang menyebabkan banyak penulis berbondong-bondong mengirimkan naskahnya. Karenanya, penerbit mayor akan sangat selektif dalam memilih buku yang akan diterbitkan. Mulai dari melakukan survey pasar tentang www.suarasikap.com

Karena beberapa alasan tersebut, biasanya penghasilan penulis dari penerbit mayor banyak yang terpotong karena adanya pajak distribusi dari penerbit dan toko buku yang akan menjual bukunya. Berbeda dari penerbit mayor, semua orang bisa menerbitkan buku melalui penerbit indie. Salah satu penerbit indie di Yogyakarta, Indie Book Corner, biasanya membuat suatu naskah yang biasa menjadi layak untuk dibaca tanpa adanya penolakan. “Kami biasanya bakal membuat suatu naskah yang biasa menjadi layak buat dibaca tanpa ada kata penolakan jadi intinya kami juga menerima jasa konsultan tulisan. IBC sebenarnya nggak berpatok sama sistem ‘gue harus dapat duit’ tapi kami yang kerja disitu emang udah cinta sama tulisan jadi dijalani sepenuh hati dan bener-bener penulis itu dibimbing,” ungkap Irwan Bajang yang juga pemilik Indie Book Corner tersebut. Dewasa ini, pasar buku indie meningkat sama seperti film dan musik. Hal ini disebabkan semangat pegiat seni indie meningkat kembali. Semua biaya dan apa yang akan ditulis semua tergantung penulis. Penerbit indie hanya menyediakan jasa konsultasi, jasa pengeditan tanpa mengubah isi, dan jasa penerbitan. Dalam Indie Book Corner terdapat beberapa pilihan, naskah yang diterbitkan, konsultasi dan desain naskah juga kover, atau semuanya sampai distributor. Penulis yang menggunakan jasa penerbit indie, mereka bisa menentukan berapa banyak biaya yang akan mereka keluarkan untuk menerbitkan karya mereka. (Sekar, Della, Laili, Rieka, Ganisha, Azura, Nabila, Tata)


GAYA HIDUP

7

SIKAP MAGZ MENILIK SEMANGAT INDEPENDEN

Indie sebuah Karya Mandiri

Jadi indie itu lebih kepada eksekusinya, bukan jenis musik yang dimainkan

” Jono Terbakar (Sumber: Instagram @jonoterbakar

S

ejak duduk di bangku sekolah dasar, Nihan Anindyaputra Lanisy sudah akrab dengan kegiatan ngeband. Seiring berjalannya ia waktu mulai membuat lagu. Setelah keluar dari band Koala, pria yang akrab disapa Jono itu kemudian membuat proyek manggung pada tahun 2013. Berbekal gitar lel dan ‘icikicik’ ia berhasil mengumpulkan masa sedikit demi sedikit. Jono Terbakar, band yang dinaunginya kini kian membesarkan namanya. Berawal dengan mengumpulkan donasi, ia mampu merilis album perdana Dunyakhirat. “Aku ngumpulin dana lima belas juta dari donasi, terus bikin album judulnya Dunyakhirat. Itu kompromi pertama masuk ke musik, setengah album religius, setengah selengekan,” ujarnya. Band dengan tiga personil ini menjadi kelompok musisi yang sedang melambung namanya di jagat Yogyakarta. Dikenal sebagai band indie ternyata juga beralasan. Jono sang vokalis sekaligus song writer menjelaskan bahwa dalam berkarya, Jono Terbakar membuat

lagu sesuka hati mereka. Tidak terpaku pada apa yang saat itu sedang disukai pasar. Baginya, membuat orang lain senang adalah bonus tersendiri. “Jono Terbakar sendiri itu enggak punya acuan, ya kita lakuin yang kita inginkan, yang jelas lirik masih bisa didengar,” tambahnya. Indie menjadi fenomena yang muncul beberapa tahun belakangan ini. Perkembangan indie yang pesat ternyata juga membawa pengaruh pada pergeseran maknanya di kalangan anak muda. Ada yang menganggap itu adalah sebuah genre bahkan lifestyle. Berkaitan dengan anggapan tersebut, band Terasering juga mengungkapkan bahwa lifestyle yang dimaksudkan dalam indie adalah bagaimana gaya berpakaian ataupun bersikap. “Ketika di atas panggung, kami akan menyesuaikan dengan musik yang kami bawakan,” jelas Rarya, personel Terasering. Meski begitu, dalam kehidupan sehari-hari, para personil Terasering berpakaian seperti biasa. Kemudian mereka juga bersikap sebagaimana www.suarasikap.com

biasanya. “Kami bersikap sesuai kemauan kami,” tambah Ringga, personel lainnya. Terasering merupakan band indie yang beraliran pop balada. Berbeda dengan Jono Terbakar yang memilih genre happy mental untuk berkarya. Jono juga menambahkan bahwa akar dari indie adalah mindset. Pola pikir itu dari awal menjadi gaya hidup karena mempengaruhi perilaku. Menurutnya, indie mempunyai clothing statement sendiri, punya gaya khas sendiri dan hal itu meluas. Jika sebelumnya karya mereka non komersial, tak menutup kemungkinan untuk menjadi komersial. Pada akhirnya memang menjadi industri tersendiri. Hal itu juga berpengaruh bagi dirinya sendiri. Indie Ala Mereka “Pada awalnya aku juga bingung. Indie itu apa sih, corak warna musik apa semangat berkaryanya? Kalau aku pribadi memahami indie itu semangat berkaryanya,” papar Jono.


8

SIKAP MAGZ MENILIK SEMANGAT INDEPENDEN

GAYA HIDUP

Jono Terbakar (Sumber: Instagram @jonoterbakar

Baginya, indie adalah bagaimana dia bisa mengeluarkan karyanya secara mandiri. Tidak ada paksaan berkarya, tidak ada penyetir untuk membuat karya tersebut mengarah ke pasar tertentu. Menurutnya, indie juga sebuah industri. Jika dulu pengisi panggung adalah band dengan label mayor, seperti Nidji, Gigi, dan grup musik lainnya, saat ini panggung lebih dikuasai oleh band-band independen, seperti Payung Teduh. Ia mengakui, Jono Terbakar sendiri juga dapat dikatakan indie karena proses berkarya di dalam band tersebut mandiri. Sama halnya dengan Jono Terbakar, Terasering juga sepakat bahwa indie berarti bebas. “Jadi indie itu lebih kepada eksekusinya, bukan jenis musik yang dimainkan,” tutur Rarya. Selama di Terasering, Rarya merupakan pemegang cello, sedangkan Ringga sebagai vokalis dan pemain gitar. Band ini melakukan pembuatan lagu sendiri, memproduksi serta menjualnya sendiri sehingga dapat disebut band indie. Mereka juga

tidak terikat label atau perusahaan musik lainnya. Menurut jawaban Nihan, Rarya, dan Ringga, karena indie adalah berkarya secara independen, indie tidak terikat dengan mayor label. Tidak hanya band indie, muncul komunitas, salah satunya Grafis Pinggiran yang didirkan oleh mahasiswa ISI sejak tahun 2001. Mengedepankan edukasi dengan basic studio dan program residensi. Seperti kedua band diatas, Aziz sebagai anggota juga mengatakan bahwa indie adalah independen. “Menurut saya lebih ke sikap, sikap mandiri,” ujarnya mengenai indie adalah sebuah gaya hidup. Aziz tidak seperti remaja lain yang menyukai inide. Ia adalah penerjemah dan bersikap mandiri adalah sebagaimana dirinya. “Lebih ke sikapnya yang mandiri, tidak bergantung pada yang lain, itu masih kotornya aja ya, walaupun sebenarnya masih ada bantuan yang lain, tapi rata rata mandiri,” ujar mahasiswa ISI angkatan 2013 itu. (Ida, Tiana, Sinta, Amel, Antika, Hasnah, Laras, Difa, Rewo)

www.suarasikap.com


SIKAP MAGZ MENILIK SEMANGAT INDEPENDEN

Kurang atau lebih, setiap rezeki perlu dirayakan dengan secangkir kopi. - J O KO P I N U R B O -

Jl. Wahid Hasyim No. 6 Condongcatur www.suarasikap.com

9


10

SIKAP MAGZ MENILIK SEMANGAT INDEPENDEN

INDUSTRI

Indie Book Corner, Wadah Kreatif Penulis Pemula

Suasana Indie Book Corner. (Foto Dwi Atika N.)

D

i Yogyakarta, penulis pemula tidak akan kehilangan keberaniannya menerbitkan buku meski ditolak oleh penerbit-penerbit besar. Di samping penerbitan mayor, di kota ini tumbuh subur lahan penerbitan independen. Penulis pemula tak lagi harus memadamkan impiannya untuk berkarya. Indie Book Corner (IBC) adalah salah satu di antara penerbitan independen tersebut. Meski begitu, IBC tak hanya menyasar penulis pemula, melainkan juga karya penulis handal. Melalui penerbitan independen, tahap produksi dan distribusinya dilakukan sendiri oleh penulis. Mulai dari persiapan naskah, pembuatan sampul, hingga penjualan, sang penulis benar-benar dituntut untuk turun langsung menjajakan bukunya. IBC didirikan oleh Irwan Bajang bersama rekannya, Anindra Saraswati, sejak 9 September 2009. Ketika itu mereka hanya bermodalkan sebuah personal computer pemberian orangtua di kamar kosnya.

“Dulu sebagai penulis aku sempat mengalami kesulitan dalam menemukan penerbit, kan penerbit besar tidak mudah menerima penulis baru karena mereka mencari tulisan yang lebih menjual dan sedang tren,� cerita Irwan Bajang saat ditemui awak Sikap di Kantor IBC, Jalan Prayan I, Condongcatur, Sleman, Yogyakarta, pada Senin (28/05).

Saat ini anggota IBC terdiri dari 6 editor, 4 desainer dan layouter, serta beberapa tenaga pemasaran. Bagi Irwan, orang yang bekerja sama dengannya di penerbitan indie tersebut tidak lagi berbicara soal penghasilan yang didapatkan, akan tetapi berbicara tentang kencintaan mereka tentang tulisan-tulisan naskah tersebut. Sehingga naskah yang diterbitkan begitu bermakna dan memiliki arti dan maksud yang ingin disampaikan oleh penulisnya. Kantor yang satu lokasi dengan kafe 7PM Books & Coffee ini merupakan sarana belajar bagi para penulis untuk melahirkan karyanya. Ketika naskah kurang bagus, redaksi IBC bersedia membantu memperbaiki, baik dari segi tulisan hingga visualnya. Sehingga, penulis bisa belajar membuat naskah yang bagus dan IBC merupakan wadah yang sebenarnya juga memproduksi naskah layak untuk dipasarkan. dibangun untuk menerima karya para penulis pemula. “Kami berbeda dengan penerbit besar lainnya Terlebih lagi, bagi mereka yang tidak diterima penerbit besar. Harapannya, penulis tetap dapat yang lebih mengutamakan pasar dan melihat peluang berkarya dan mampu memetakan pasarnya masing- saat menerbitkan naskah tulisan, padahal sebenarnya naskah tersebut begitu bagus,� tutur lelaki yang masing. www.suarasikap.com


INDUSTRI

SIKAP MAGZ MENILIK SEMANGAT INDEPENDEN

11

Buku buangan yang meraih beragam apresiasi

Irwan Bajang, pendiri Indie Book Corner. (Foto Dwi Atika N.)

pernah menjadi editor di sebuah kantor penerbitan di Yogyakarta ini. Saat ini, Irwan yang merupakan CEO IBC masih aktif menjadi penulis. Salah satu buku terbarunya yaitu kumpulan cerita Hantu, Presiden, dan Buku Puisi Kesedihan (2017). Irwan Bajang berusaha melakukan inovasi pada usahanya demi meyakinkan banyak orang bahwa standar yang dilakukan oleh IBC sama seperti standar penerbit besar. Buku-buku indie acapkali dianggap sebagai ‘buku buangan’ oleh banyak orang. Akan tetapi, beragam apresiasi dan penghargaan justru semakin banyak diraih. Bahkan, buku teribitan IBC dapat bersanding dengan buku terbitan penerbit besar. Sehingga, hal tersebut menghapuskan stigma terhadap karya indie. Kegiatan IBC tidak hanya mengenai konsultasi, layout, dan penerbitan naskah, melainkan juga aktivitas workshop, yaitu “Independent School”. Workshop ini menghadirkan para penulis serta editor

handal untuk berbagi tentang pengalaman masingmasing. Tidak hanya tentang workshop tulisan, akan tetapi IBC juga berkerjasama dengan orang-orang di bidang fotografi, musik, dan lainnya yang bergerak di jalur alternatif sebagai pengisi acara. “Independent School” pun sempat mendapatkan penghargaan dalam kategori “Pendidikan Alternatif”. Platform seperti IBC begitu megikuti perkembangan zaman dengan memperkenalkan kantor jasa penerbitannya lewat sosial media seperti Instagram, Twitter, serta berbagai e-commerce seperti Bukalapak, Tokopedia, dan lainnya. Hal ini membuat banyak penulis kian mengenal dan memutuskan untuk menerbitkan karyanya di IBC. Selama ini, penghasilan kotor yang didapatkan IBC sekitar 80 – 100 juta untuk naskah dan 50 – 100 juta untuk penjualan buku selama satu bulan. Sebagai pioner penerbitan indie di Indonesia, IBC juga membangun jaringan reseller. Saat ini,

www.suarasikap.com


12

SIKAP MAGZ MENILIK SEMANGAT INDEPENDEN

INDUSTRI

kurang lebih 200 reseller aktif menjualkan bukubuku terbitannya. Salah satu penggemar buku indie, Wawan Laras menuturkan bahwa awalnya dirinya hanya dipicu oleh rasa penasaran. Rasa penasaran tersebut membawa dirinya kepada sebuah penerbitan sekaligus toko buku indie ini. Awalnya mahasiswa Universitas Muhamadiyah Yogyakarta ini tidak begitu yakin dengan buku yang diterbitkan di IBC. Namun, selepas membaca buku Simulakra Sepakbola sebagai buku indie pertamanya, ia mengaku ketagihan. Bagi Laras, sapaannya, membaca buku indie adalah bentuk apresiasi nilai seni dan selebihnya untuk kesenangan pribadi. “Penulisnya bisa lebih dihargai dan menurutku lebih ‘berasa’ ketika punya novel yang bisa diterbitkan sendiri” ceritanya. Sebagai industri jasa penerbitan indie yang hampir sembilan tahun berdiri, IBC turut menggandeng komunitas baca dalam mendukung iklim literasi. Selain itu juga membangun relasi pasar yang lebih luas dengan acara seperti pameran dan bazar buku dengan turut serta dalam agenda seperti Pasar Buku Indie, Pekan Buku Indie, dan Kampung Buku Jogja. Acara lain seperti live music indie dan pengadaan merchandise turut dilakukan untuk mengembangkan promosinya. Tidak hanya sebagai penerbit, IBC juga menjadi tempat menyenangkan untuk konsultasi naskah, bedah buku, hingga menyeduh kopi sambil menikmati bacaan. (Dwi, Anin)

CEO IRWAN BAJANG

TEMPAT BELAJAR BAGI PENULIS. MENYEDIAKAN KONSULTASI UNTUK EDITING NASKAH DAN TAMPILAN AGAR SIAP TERBIT AWAL DIBANGUN PADA TAHUN 2009, AKIBAT KESULITAN MENEMUKAN PENERBIT YANG MAU MENERIMA PENULIS BARU ATAU TULISAN YANG ANTI MAINSTREAM

MENCOBA UNTUK MEMBANGUN PASAR DILUAR MAINSTREAM

SERING DIPANDANG SEBELAH MATA, PADAHAL HANYA MEMILIKI KONSEP YANG BERBEDA DIBANDING PENERBIT BUKU BESAR PADA UMUMNYA.

Infografis : Karina Maharani

www.suarasikap.com

INDIE BOOK CORNER TIDAK MELIHAT TREN PASAR DALAM MENENTUKAN STANDAR. TETAPI MELIHAT KUALITAS NASKAH YANG SEBENARNYA


BINCANG MUSISI

SIKAP MAGZ MENILIK SEMANGAT INDEPENDEN

Indie atau Folk? Bincang Musisi: Rubah di Selatan

13

juga merupakan tradisi, seperti gamelan dan karawitan. RDS sendiri mengusung tema ethnic folk sebagai genre band didukung dengan penggunaan instrumeninstrumen etnik. Perangkat perkusi yang biasanya digunakan Ronie sangat beragam, ada udu (Afrika), karinding, saluang, bangsi, didgeridoo (Aborigin), rain stick, dan sebagainya. Selain menggunakan beragam alat musik yang unik, RDS juga berusaha untuk menghadirkan konsep-konsep unik dengan gong, mantra-mantra Macapat, wayang, serta batik.

Bicara mengenai perkembangan musik Indie di Yogyakarta, Ronie optimis dengan perspektifnya sendiri. “Menurutku, Jogja merupakan salah satu kota yang dapat membantu pergerakan Penampilan Rubah Di Selatan (Sumber Instagram Rubah Di Selatan) seniman Indie selain Jakarta dan Bandung, karena Jogja adalah kota ndustri musik di Indonesia saat ini terbilang sudah pelajar yang sangat dekat dengan media dan tersedia sangat maju dalam perkembangannya. Terlebih lagi, berbagai ruang kolektif untuk mengeksplorasi diri, dengan kecanggihan teknologi berserta kemajuan juga komunitas yang solid serta saling support. media digital yang tersedia, setiap penikmat musik Hanya saja, space untuk menunjang aktivitas kreasi menjadi lebih mudah dan bebas untuk mengakses masih kurang, cuman ada LIP dan Taman Budaya lagu ataupun memutar video klip penyanyi dan band Yogyakarta. Tapi tanpa itu pun, musisi-musisi di kesayangannya tanpa harus dibatasi oleh ruang dan Jogja masih dapat berjalan sendiri. Kepekaan media waktu. Fenomena tersebut yang akhirnya memotivasi atau hubungan baik dengan media mempengaruhi Ronie Udara cs untuk membentuk Rubah Di Selatan. sebuah band agar booming atau cepat dikenal oleh RDS merupakan salah satu grup band Indie beraliran khalayak,� jelas Ronie. ethnic folk asal Bantul, yang terdiri dari empat Sampai detik ini, RDS belum berencana untuk personil, yaitu Mallinda (vokal), Gilang (gitar), masuk ke mayor label. RDS memilih untuk bertahan Adnan (keyboard), dan Ronie (perkusi etnik). di jalur indie dengan terus berjalan dan percaya Bicara tentang indie dan folk, beberapa orang bahwa hal baik sudah seharusnya dibagi. Mereka kerap salah kaprah mengartikan keduanya sebagai percaya, jalur indie tidak menghalangi kesempatan aliran musik yang selalu beriringan. Tak sedikit orang untuk berprestasi. yang menganggap band indie selalu beraliran folk. Tak Buktinya, beberapa pencapaian sempat diraih jarang, indie bahkan diartikan sebagai pengakusisian sebuah genre. Sebagai salah satu musisi independen, RDS, di antaranya pernah mendapatkan penghargaan Ronie menanggapi hal ini. Menurutnya, indie bukan dari UNESCO, dinobatkan dalam 10 Band Terbaik di merupakan gimmick ataupun genre, melainkan sikap Jogja Tahun 2017, hingga lagu ‘Mata Air Mata’ yang untuk berkarya mandiri, terlepas dari struktural, dijadikan soundrack film dokumenter Kanal Yoshira di Jepang. RDS juga merupakan satu-satunya band bebas, dan tidak ada yang membatasi. yang mempunyai perangkat wayang terlengkap Lain dengan folk, Ronie menjelaskan sebanyak 80 buah. Koleksi wayang tersebut mereka bahwasanya folk merupakan genre atau jenis aliran tampilkan pada Konser Wayang; Rubah Lost In sebagai identitas dari suatu band. Ciri-ciri folk antara Puppets pada Maret lalu. Bahkan pada Juli 2018 lalu, lain; liriknya menyinggung humanity/kemanusiaan; RDS berkesempatan untuk menjadi delegasi Siasat instrumen yang dihasilkan sederhana dan mengandung Partikelir dari Yogyakarta untuk Siasat Trafficking unsur sosial. Di Indonesia, folk sudah ada sejak Europe Tour 2018 di beberapa negara, antara lain zaman nenek moyang karena folk yang berarti rakyat Belanda, Jerman, dan Prancis. (Melvin, Umar)

I

www.suarasikap.com


14

SIKAP MAGZ MENILIK SEMANGAT INDEPENDEN

KINE

Independen Lewat Gambar Bergerak Ilustrasi : Umar Abdul Aziz

B

icara tentang budaya independen tentu tak bisa lepas dari keberadaan film indie. Sejalan dengan meningkatnya budaya indie, makin hari penikmat film indie turut semakin bertambah. Terlebih, ketika sineas muda berbondong-bondong memproduksi dan media screening semakin beragam. Lalu di mana letak perbedaan antara film indie dan film-film lain yang ramai ditonton orang di bioskop? Untuk menengahi hal ini, Sikap mencoba menemui salah satu komunitas perfilman di Yogyakarta yaitu Komunitas Leike. Panji Prawira, salah satu anggotanya menuturkan bahwa perbedaan yang mencolok antara film indie dan film komersil terdapat pada batas kebebasan yang dirasakan oleh pembuat film. “Kami sendiri pun sebenernya masih belum nemu makna yang tepat buat ngomong film indie itu yang bagaimana. Tapi pengertian yang sering berlaku menyebutkan bahwa film indie itu film yang tidak disiarkan di bioskop dan si film maker mempunyai kebebasan dalam berkarya,� katanya ketika Sikap temui beberapa waktu lalu. Arti kebebasan tersebut diartikan bahwa pembuat film indie mempunyai kebebasan penuh dalam membuat alur cerita dan juga visual yang ditayangkan. Film maker bebas-sebebasnya dalam mengatur bagaimana film yang akan dibuat. Meski begitu, kebebasan di sini bukan berarti kemudian mengacuhkan norma dan budaya yang berlaku di masyarakat.

Beberapa film indie memang tidak ditayangkan di bioskop, meski di antaranya juga ada yang ditayangkan melalui ruang sinema komersil. Umumnya, mereka memiliki media screening sendiri seperti terlihat di beberapa komunitas dan festival film. Tak hanya itu, film indie juga memanfaatkan media baru dalam publikasi karya, antara lain melalui platform Youtube dan situs streaming yang lain. Ada satu hal lagi yang cukup membedakan film indie dengan film komersial, yaitu perihal sensor film. Umumnya, semua pembuat film harus memperoleh izin tayang atas film produksinya dari Lembaga Sensor Film (LSF) untuk kemudian film tersebut baru layak tayang bagi masyarakat. Namun, mayoritas pembuat film indie tidak membutuhkan izin tayang dari pihak LSF. “Lembaga Sensor Film milik pemerintah hanya memberlakukan sensor film untuk produksi-produksi film yang memiliki legalitas, sedangkan untuk film indie para film maker-nya tidak terlalu memikirkan dan membutuhkan lembaga sensor tersebut. Mungkin itu juga menjadi alasan kenapa film indie jarang ditemui di bioskop,� ungkap Aziz Suryo, salah satu anggota Leike yang lain. Meski begitu, ia memandang bahwa pembuat film indie saat ini mulai perlu mempertimbangkan keberadaan LSF. Sebab, festival-festival film saat ini terkadang ada juga yang mencantumkan syarat film yang akan dilombakan harus mempunyai ijin tayang dari pihak LSF.

www.suarasikap.com


KINE

SIKAP MAGZ MENILIK SEMANGAT INDEPENDEN

Kualitas Berkembang, Penonton Jalan di Tempat Dalam setiap karya tentunya selalu ada pihak penikmat setia yang mengagumi keindahan karya tersebut. Begitu juga yang film indie yang turut memiliki barisan penonton setia layaknya film-film lain yang beredar di bioskop. Salah satu penikmat dan juga pembuat film indie, Dedy Rukmana mengaku bahwa dirinya menjadi penonton setia film indie lantaran film indie selalu menyelipkan sebuah pesan moral serta ide cerita yang sangat unik. ”Kenapa ada orang-orang yang tertarik ke film indie, mungkin alasannya karena film indie selalu bisa nyampein pesan moral dengan cara yang unik. Kebanyakan ide ceritanya juga diambil realita sosial yang terjadi di masyarakat,” ungkap laki-laki yang pernah menjabat sebagai Kepala Divisi Litbang KSM Audio Visual Komunikasi (Avikom) UPN “Veteran” Yogyakarta ini ketika ditemui pada Rabu (26/9). Dedy menilai bahwa film indie tidak hanya bersifat hiburan semata seperti film yang kebanyakan tayang di bioskop. Untuk menikmati film indie, kita perlu mendalami alur cerita dan mengupas satu persatu hal dari film tersebut. Bahkan, hal-hal di luar alur cerita pun perlu diusut. Seperti latar belakang

15

mengapa film ini diproduksi dan pesan-pesan apa yang ingin disampaikan si pembuat film. Mahasiswa Ilmu Komunikasi ini memandang perkembangan film indie saat ini terhitung baik, mulai dari pendanaan, alur cerita, hingga distribusi. Namun, Dedy menilai kebanyakan penontonnya justru tidak berkembang. “Keresahanku itu kenapa penontonnya nggak bisa berkembang dan hanya jalan di tempat. Kenapa mereka nggak mencoba buat cari tempat screeningscreening lain yang ada di luar lingkarannya itu? Itu yang ngebuat penonton cuma tahu film indie yang itu-itu aja. Akhirnya mereka nggak dapat pandangan lain tentang film indie,” ungkap mahasiswa yang mengambil konsentrasi Broadcasting ini. Dedy merasa kebanyakan dari mereka kurang mendapatkan referensi lain jika hanya bertukar pikiran dengan pembuat film yang hanya ada di lingkungannya. Mencari tempat screening film lain dirasa sangat berguna untuk para penonton setia film indie. Ia menyarankan para penggemar mulai perlu memperbanyak referensi, memperluas jaringan antar penikmat, serta mencari film-film indie lain yang belum ditonton. “Harapanku penonton nggak jalan di tempat, lah. Terus untuk aku sebagai penonton juga pengin hal yang baru dari para pembuat film indie dan semoga ke depannya film indie lebih berkembang lagi,” tutup Dedi. (Kiki)

BIAR TIDAK KETINGGALAN INFORMASI Add Official Account line LPM sikap

Scan Barcode

www.suarasikap.com


16

SIKAP MAGZ MENILIK SEMANGAT INDEPENDEN

RUANG

Kampung Buku Jogja, Ajang Berkumpul Penulis dan Penggiat Buku

Suasana Kampung Buku Jogja. (Sumber @kampungbukujogja)

D

unia literasi dan buku saat ini semakin berkembang dan bergantung pada kebutuhan pasar, pemasarannya didominasi oleh penerbit mayor ataupun toko buku konvensional. Namun kehadiran buku indie menjadi sesuatu yang baru dan menjadi alternatif bagi penulis yang selama ini karyanya tidak terakomodir oleh penerbit mayor dan terpinggirkan karena menyesuaikan permintaan pasar. Kampung Buku Jogja (KBJ) merupakan alternatif penjualan buku indie yang menjadi wadah eksplorasi bagi penulis maupun penggiat buku di Yogyakarta. Buku indie merupakan hasil pemikiran dan gagasan para penulis dari berbagai kalangan mulai dari mahasiswa, aktivis, maupun komunitas untuk menyuarakan dan memberikan gagasannya, tanpa dibatasi pada kebutuhan pasar.

KBJ sudah berlangsung sejak tahun 2015. Setiap tahunnya, event ini diadakan antara bulan September atau Oktober. Pada mulanya acara ini hanya diadakan selama tiga hari, namun mulai tahun 2017 diperpanjang menjadi lima hari. Pada tahun 2018, KBJ digelar Gedung Pusat Kebudayaan Koesnadi Hardjasoemantri Universitas Gadjah Mada (PKKH UGM) pada tanggal 10 - 13 September. Bedanya, tahun ini mereka membawa salah satu daerah untuk diangkat dalam diskusinya. Sebagai perdana, Pulau Madura dipilih sebagai Tamu Literasi Kehormatan di KBJ #4 . “Kampung Buku Jogja dibentuk untuk merawat ingatan masyarakat akan identitas dan karakter buku Jogja serta merespon pasar yang tidak melulu distribusi melalui jalur konvensional,� ungkap Irwan Bajang selaku salah satu pendiri Kampung Buku Jogja.

Di KBJ, pengunjung bukan hanya sekadar menemui pameran atau bazar buku biasa. Event ini Dirintis Pegiat Buku bukan hanya ajang jual-beli buku, tetapi juga diisi berbagai talkshow dan workshop seputar dunia buku, Di balik kesuksesannya, Kampung Buku jurnalisme kontemporer, pembacaan puisi, bedah Jogja mulanya dirintis oleh empat orang yang juga buku, diskusi, dan pentas musik. Meski mengusung aktif sebagai penulis. Di antaranya adalah Arief semangat independen, KBJ tidak hanya menjual buku Abdulrakhi yang sempat menjadi Manager Toko indie, tetapi juga buku bacaan lama dan buku regular Buku Togamas, Ade Maaruf yang bekerja di penerbit dari penerbit mayor terpilih, serta buku langka koleksi Jendela (pascareformasi) kemudian sekarang Penerbit beberapa kolektor. Octopus, Wijaya Kusuma Eka Putra di PojokCerpen www.suarasikap.com


RUANG

SIKAP MAGZ MENILIK SEMANGAT INDEPENDEN

17

Empat pendiri Kampung Buku Jogja. (Sumber @kampungbukujogja)

mayor, kelompok buku lawas juga ikut serta dalam acara Kampung Buku Jogja.

Irwan Bajang menambahkan minat dan apresiasi masyarakat terhitung tinggi, ditambah keikutsertaan penerbit indie selalu mengalami peningkatan. Terbukti pada tahun 2015 sejumlah sebelas penerbit indie ikut berpartisipasi, kemudian meningkat menjadi 20 penerbit pada tahun 2016. Jumlah ini meningkat drastis mencapai 60 lebih penerbit pada tahun 2017 yang ikut memeriahkan Kampung Buku Jogja.

Kampung Buku Jogja sebagai upaya untuk menjaga spirit Kota Jogja akan bukubuku kritis. dan Penerbit OAK, serta Irwan Bajang dari Penerbit Indie Book Corner. Keempat pendiri Kampung Buku Jogja ini memiliki kesamaan latar belakang sebagai penggiat buku sekaligus memiliki penerbitan indie. “Harapannya tentu Kampung Buku Jogja bisa menjadi wadah bagi para penulis untuk terus berkreasi dan membuat keunikan sehingga buku indie semakin diminati oleh masyarakat,” tutur Irwan Bajang.

“Kampung Buku Jogja merupakan cermin dari budaya Yogyakarta yang kaya akan pemikiran dan identitas buku Jogja sebagai buku kritis. Ini juga menjadi suatu upaya untuk menjaga spirit Kota Jogja akan buku-buku kritis-nya” jelas Irwan Bajang. (Irene)

Untuk menyukseskan agendanya, Kampung Buku Jogja bekerjasama dengan beberapa komunitas. Beberapa di antaranya ialah Komunitas Baca, Komunitas Kretek, Listeno, Mojok, Radio Buku, dan Warungarsip. Komunitas Radio Buku merupakan salah satu komunitas yang aktif berpartisipasi pada KBJ sejak tahun pertama diadakan. “Selain perhelatan KBJ tahunan di Lembah UGM, kami juga mengisi diskusi ataupun workshop,” ungkap Faiz Ahsoul, Editor Radio Buku. Kampung Buku Jogja tidak membatasi diri pada penerbit tertentu, akan tetapi terbuka terhadap semua insan perbukuan termasuk penerbit mayor. Selain komunitas-komunitas dan penerbit

Suasana diskusi di Kampung Buku Jogja. (Sumber @kampungbukujogja)

www.suarasikap.com


18

SIKAP MAGZ MENILIK SEMANGAT INDEPENDEN

KAMU SUKA NULIS? PUNYA KARYA? INGIN DIPUBLIKASIKAN? KIRIM AJA KARYA TULISAN MU KE SINI

suarasikap@gmail.com

MAJALAH SIKAP DAPAT DI LIHAT DI WWW.SUARASIKAP.COM www.suarasikap.com


SIKAP MAGZ MENILIK SEMANGAT INDEPENDEN

www.suarasikap.com

19


20

SIKAP MAGZ MENILIK SEMANGAT INDEPENDEN

www.suarasikap.com


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.