Edisi #16 Membagi Daya Melawan Stigma | Agustus 2021

Page 1

1


SALAM REDAKSI

Tim Redaksi Penanggung Jawab : Senja Yustisia, S.Sos., M.Si Pemimpin Umum : Latief Fadhlan Pemimpin Redaksional : Mohamad Rizky Fabian Tim Editor : Redemptus Risky Syukur, Delima Purnamasari, Shinta Tri Pangestu, Syiva Pamuji Budi Astuti, Wafa’ Sholihatun Nisa’ Reporter : Arvy Zulfan, Arnellia Anindya, Arie Sulistyaning Tyas, Gayuh Laksono Wiguna, Lingga Prasetya, Tarissa Ramadhani, Ayu Larasati, Maria Dewi Sekaringtyas, Marizka Zahra Annisa, Salma Annisa, Salsabila Fadhilah, Rizki Al Afizd, Annisa Rindi Infografis dan Ilustrasi : Adinda Farah Ramadhannisa, Arinda Qurnia Yulfidayanti, Ghalda Nauli Siregar, Yuslin Aprilia Layouter : Adinda Farah Ramadhannisa, Arinda Qurnia Yulfidayanti, Ghalda Nauli Siregar, Yuslin Aprilia

Salam Pers Mahasiswa! Di tengah pandemi yang belum reda, banyak kasus kurang mengenakan yang dialami oleh teman-teman kita dari Indonesia bagian timur. Selain berjuang melawan Covid-19, mereka juga harus berjuang melawan stigma serta stereotip terhadap warna kulit mereka. Tidak jarang makian serta candaan bernada rasial dilontarkan hanya karena penampilan yang berbeda dari orang kebanyakan. Kondisi tersebut nyatanya juga dialami di berbagai belahan dunia. Masih menempel di ingatan kita bagaimana kerusuhan yang terjadi di Amerika Serikat akibat kasus kematian George Floyd pada 25 Mei 2020 lalu. Gelombang protes besar-besaran diharapkan menjadi titik balik hilangnya diskriminasi terhadap warga kulit hitam di seluruh dunia. Meski demikian, sampai majalah ini dibuat, masyarakat kulit hitam masih harus berjuang untuk mendapatkan hidup yang layak. Berdasarkan keresahan tersebut majalah ini pun lahir sebagai upaya membantu mereka untuk bersuara. Membagi daya, melawan stigma. Kalimat tersebut kami jadikan acuan dalam merancang edisi kali ini. Kami sangat berharap agar masyarakat Indonesia tidak lagi memandang rendah teman-teman kita dari kepulauan timur dan bersama-sama membantu mereka mencapai kehidupan yang aman dan layak. Semoga majalah ini bermanfaat dan dapat menyuarakan keluh kesah masyarakat kulit hitam di Indonesia. Akhir kata, tetap patuhi protokol kesehatan dan selamat membaca!

Percetakan dan Distribusi : Salma Annisa R, Arvy Zulfan A, Vannisa Zerra A, Marizka Zahra A, Lingga Prasetya, Rizki Al Afizd Email : suarasikap@gmail.com Website : www.suarasikap.com 2


Membagi Daya, Melawan Stigma

DAFTAR ISI

4

PEMBUKA Rasisme dan Stereotip

6

MAHASISWA

14

K E H I D U P A N B E R S A H A J A M A S YA R A K AT T I M U R

23

KONTEN KHUSUS

Mengupas Masalah Angkatan Kerja di Era Pandemi Mengulas Stigma Mahasiswa Kupu-Kupu dan Kura-Kura Himpunan Mahasiswa Islam di Lingkungan Kampus UPN “Veteran” Yogyakarta

Menengok Stereotip Masyarakat Mutiara Hitam di Kota Pelajar Menyoal Budaya “Minum” Masyarakat Indonesia Timur di Yogyakarta Ragam Budaya Nusa Tenggara Timur Kisah Gadis Manggarai dalam Menggapai Asa di Yogyakarta

Galeri Pandemi Teka Teki Silang (TTS)

28

K E S E H ATA N

32

OPINI

Penyintas Covid-19 Berbagi Kisah; dari Gejala hingga Kendala Seluk Beluk Vaksinasi di Indonesia

Meniti Kepastian di Tengah Ketidakpastian Belum Saatnya Menggaungkan Slogan “All Lives Matter”

3


pembuka

PEMBUKA: RASISME DAN STEREOTIP

R

asisme dan stereotip bukanlah hal yang asing di telinga masyarakat. Tak sedikit dari kasus rasisme dan stereotip yang menarik perhatian dunia. Mengenal lebih dekat, rasisme dilakukan oleh kelompok yang mempunyai kekuatan dan kekuasaan sosial yang lebih tinggi. Apabila rasisme adalah sebuah sistem, maka ras (Inggris: race) sebagai konstruksi dasar yang membagi kelompok yang lebih kecil berdasarkan etnis.

Rasisme ialah suatu paham yang merasa ras diri sendiri yang paling unggul dibandingkan dengan ras lainnya. Sementara stereotip atau stereotype berasal dari Bahasa Yunani yaitu Stereos yang berarti anggapan yang kuat dan typos yang berarti impresi. Stereotip adalah generalisasi yang terkait dengan atribut atau ciri khusus yang melekat pada sekelompok orang dan individu dalam sebuah lingkungan sosial. Stereotip bahkan sering diartikan sebagai ejekan dan penilaian seseorang berdasarkan persepsi terhadap kelompok, di mana orang tersebut dapat dikategorikan. Rasisme dan stereotip sering terjadi ketika banyak tudingan stigmatisasi yang diarahkan pada salah satu ras atau etnis yang dianggap sering melakukan tindakan yang dianggap tak sesuai dengan pandangan masyarakat umum atau sering melakukan tindak kriminal.

Seorang pria menghadapi salah satu Garda Nasional Amerika Serikat selama protes di Minneapolis. (Sumber: telegraph.co.uk)

Menurut sejarah, konsep awal ras berawal dari Yunani pada 490 SM dengan adanya konsep Genos yang bisa diartikan sebagai ras. Pada saat itu, timbul pemahaman bahwa warna kulit bayi yang baru lahir ditentukan oleh aspek cuaca di sekitarnya, bukan pada fisik orang tua yang melahirkan. Sejak saat itulah, konsep pra-modern ras dikenali dari masa ke masa yang kemudian mengalami perubahan. Pada pertengahan abad ke-14 (bahkan berlangsung hingga abad ke-16 dengan adanya penjelajahan), ras didefinisikan berdasarkan kesucian darah seseorang berdasarkan konsep keagamaan pada masa itu. Seiring berjalannya waktu memasuki abad ke-20, arti rasisme semakin luas dan tidak lagi sebatas pada ras. Rasisme mencakup keseluruhan aspek kehidupan seperti perbudakan yang terjadi pada masa abad ke-19 dan saling berperang satu sama lain. Sejarah kejamnya rasisme mengingatkan pada peristiwa warga kulit hitam di Amerika yang berlangsung sejak tahun 1600-an, di mana warga kulit hitam mengalami sejarah pahit kurang lebih selama tiga abad. Pada awalnya, kedatangan mereka sebagai tenaga kerja paksa untuk mengisi tenaga kerja di pabrik-pabrik pada awal era industri Amerika yang didatangkan langsung dari Afrika. Pada saat yang sama, timbul istilah white privilege yaitu ketika sosial masyarakat dikuasai warga kulit putih karena mereka merupakan pemilik industri besar. Diperparah lagi dengan tidak adanya balasan atas pekerjaan yang dilakukan warga kulit hitam. Hal inilah yang kemudian menyebabkan warga kulit hitam Afrika mulai membuat gerakan memprotes dominasi kulit putih dan kesewenangan mereka atas perbudakan paksa. 4


Membagi Daya, Melawan Stigma

Sebagai respons terhadap semakin besarnya penindasan, pada awal abad ke-19, seluruh ras kulit hitam di Amerika bersatu dan merencakan pergerakan massa besar-besaran sebagai bentuk protes yang kemudian dikenal sebagai American Civil Rights Movement. Salah satu tuntutan mereka yang sampai hari ini disampaikan sebenarnya tak banyak yang berubah, persamaan derajat dalam perlakuan administrasi maupun non-administrasi. National Association for the Advancement of Colored People atau disingkat NAACP merupakan wadah bagi warga kulit hitam untuk berjuang mendapatkan kesetaraan yang didirikan pada awal tahun 1900-an. Anggotanya berasal dari seluruh wilayah Amerika Serikat, bahkan termasuk Afrika. NAACP didirikan ketika warga kulit hitam diberikan hak untuk memilih dan hak untuk menjadi perwakilan legislatif (dalam artian warga kulit hitam akhirnya diberi wadah untuk menyampaikan suaranya). Sekitar pada tahun 1930, NAACP mendapat dukungan besar di antaranya dari Presiden Franklin D. Roosevelt dalam layanan federal. Anti-Asian Racism juga merupakan stereotip yang sering ditujukan sebagai respon atas SARS yang terjadi pada tahun 2003 silam. Paparan media yang menampilkan China sebagai bencana besar menyulut api kebencian terhadap orang Asia di Amerika Serikat semakin besar. Bahkan saat pandemi Covid-19, AntiAsian Racism menjadi bencana besar bagi orang Asia. Pemberitaan mengenai berbagai virus yang berasal dari Asia semakin memperparah anggapan bahwa orang Asia merupakan penyebar virus. Stop AAPI Hate merupakan projek gabungan yang dirintis oleh Russel Joung, seorang professor Asian American Studies di San Fransisco State University. Stop AAPI Hate mengumpulkan data dari sekitar ribuan orang Asia dan puluhan siswa yang mengalami maupun mengetahui adanya aksi kebencian. Berdasarkan laporan dari ABC News, pergerakan yang dilakukan untuk melawan stigma ini dengan cara mengajak warga sekitar San Fransisco Bay melalui kampanye damai dengan menggandeng pesohor Asia yang berada di Amerika Serikat. Selain rasisme, stereotip juga kerap ditujukan kepada beberapa golongan masyarakat tertentu. Meskipun

5

Aksi unjuk rasa “Rise Up Against Asian Hate” diadakan untuk memprotes peningkatan kekerasan dan stereotip terhadap AsiaAmerika di New York (Sumber: dunia.tempo.co)

tak semua stereotip bermaksud tentang hal yang negatif, kehadirannya sudah ada sejak lama di lingkup masyarakat, entah disadari maupun tidak. Stereotip yang sudah sering berkeliaran di lingkup masyarakat bisa menimbulkan bahaya yang terselubung dan tersembunyi suatu saat nanti. Di masyarakat Indonesia, tak sedikit stereotip ditujukan pada etnis Tionghoa dan juga Papua. Berbagai suku dan etnis yang hidup bersama dalam suatu wilayah akan berisiko besar menimbulkan banyak ancaman stereotip. Contoh peristiwa mahasiswa Papua yang tergabung dalam Persatuan Rakyat untuk Pembebasan Papua Barat (PRPPB) yang diteriaki “Monyet!” dan “Anjing!” oleh beberapa ormas. Hal tersebut merupakan contoh nyata bahwa stereotip pada orang Papua yang dianggap terbelakang dan bodoh itu masih ada di benak masyarakat. Rasisme dan stereotip masyarakat umum pada ras dan etnis minoritas kerap menimbulkan diskriminasi dan perlakuan yang tak mencerminkan kesamaan derajat. Sesuai dengan yang telah diserukan beberapa lembaga dan masyarakat dari segala penjuru dunia dunia, dua hal tersebut dapat menimbulkan masalah-masalah besar dan merusak keharmonisan dalam kehidupan sosial bermasyarakat. Bahkan buruknya lagi, dapat menimbulkan perpecahan dan menghambat suatu negara untuk terintegrasi dan berkembang lebih maju. Arvy Zulfan Editor: Shinta Tri Pangestu


rubrik mahasiswa

Mengupas Masalah Angkatan Kerja di Era Pandemi

Ilustrasi beragam pekerjaan di era pandemi. (Sumber: freepik) ili asli di kota besar memiliki hambatan tersendiri karena harus menyesuaikan aturan PPKM,” jelasnya.

Mencari pekerjaan bukan perkara yang mudah dalam situasi dan kondisi saat ini. Semenjak Covid-19 mulai merebak pada awal Maret 2020, sektor ekonomi mengalami guncangan karena adanya penurunan daya beli, produksi, dan konsumsi. Hal ini berimbas pada peningkatan jumlah pengangguran. Dilansir melalui Tempo.co, sebanyak 2,56 juta penduduk Indonesia kehilangan pekerjaannya.

Sulitnya mendapatkan pekerjaan dapat pula disebabkan oleh faktor lain. Misalnya, minimnya lowongan kerja ataupun kurangnya kualitas Sumber Daya Manusia (SDM). Melihat masalah tersebut, Markus selaku Humas UPN “Veteran” Yogyakarta memberikan komentar. Sementara itu, banyak lulusan baru yang tu- “Kampus telah memiliki solusi guna membanrut serta dalam berebut peluang. Persaingan se- tu mahasiswa untuk bersaing di dunia kerja. makin ketat karena golongan yang membutuh- Di antaranya, tetap menjaga kualitas pembelakan pekerjaan tidak hanya dari lulusan baru jaran terutama dalam pembimbingan magang, saja. Masifnya jumlah korban PHK juga menjadi kuliah lapangan, serta tugas akhir,” ujarnya. rintangan lain mengingat mereka lebih diunggulkan sebab telah memiliki pengalaman kerja. Dantia Larasati, salah satu lulusan baru angkatan pandemi dari Universitas Trisakti, turut menyoroti “Lowongan pekerjaan sebenarnya masih ada. Na- fenomena ini. Menurutnya, sering kali para penmun, mayoritas yang dicari minimal punya pen- cari kerja mendaftar ke berbagai perusahaan tanpa galaman kerja satu tahun,” ungkap Dedi Irawan, mengetahui latar belakang perusahaan tersebut. salah satu lulusan baru di era pandemi dari Ju- “Lebih baik jika bisa diselidiki dulu ketika awal-awal rusan Akuntansi UPN “Veteran” Yogyakarta. mencari kerja. Hal ini cukup penting untuk diketahui agar pencari kerja dapat menyesuaiDedi menjelaskan bahwa kondisi demografis juga kan dengan kondisinya masing-masing,” menjadi salah satu aspek yang dipertimbangkan oleh ujar lulusan Jurusan Akuntansi tersebut. penyedia lowongan kerja. “Bagi yang tidak berdomis6


Membagi Daya, Melawan Stigma

Kondisi ini juga diperparah dengan menurunnya iklan lowongan dan maraknya oknum penyalur kerja gadungan. Dilansir dari Katadata.co.id, iklan lowongan pekerjaan selama pandemi mengalami penurunan, dari 34,4 ribu pada kuartal IV-2019 menjadi 11,4 ribu pada kuartal III-2020.

gan segala aturan yang membatasi jumlah karyawan. Jadi, bisa menampung tenaga kerja yang masih menganggur dan terimbas PHK,” ujarnya.

Merespons solusi pemerintah yang melakukan berbagai pelatihan, Dedi memberikan pandangannya. “Selain membuka lowongan kerja, pemerintah juga dapat menyediakan pasar Selain itu, banyaknya oknum tidak ber- tersendiri bagi para pelaku usaha. Hal ini bertanggung jawab yang mencuri data pela- guna untuk meningkatkan daya beli masyaramar melalui pembukaan lowongan kerja kat. Jika yang digaungkan adalah menciptakan palsu ikut menambah rintangan yang ada. usaha baru dan memberikan pelatihan saja, para pelaku usaha juga akan kesusahan mencari Terlepas dari semua kendala itu, pemerintah pasar karena di era pandemi sekarang daya beli mengadakan berbagai program pelatihan guna masyarakat mengalami penurunan,” jelasnya. membantu angkatan kerja baru dalam menghadapi era pandemi. Misalnya, program yang di- Setelah melewati semua tantangan dalam laksanakan oleh Kementerian Ketenagakerjaan proses pencarian kerja, kini Dedi Irawan dan (Kemnaker), berupa Pelatihan Berbasis Kom- Dantia Larasati sudah mendapatkan pekerjaan petensi (PBK). Pelatihan tersebut dilakukan sebagai akuntan publik. Menurut pengalaman dalam rangka mempersiapkan tenaga kerja yang mereka, ada beberapa kriteria yang diinginkberkompeten dan berdaya saing. Tidak hanya an oleh penyedia lowongan kerja. Contohnya, itu, Kementerian Komunikasi dan Informa- kreatif, adaptif, memiliki jiwa kepemimpinan, tika (Kominfo) juga mendorong UMKM agar serta memahami teknologi. Selain kriteria produktif sehingga tetap mampu menampung tersebut, Dantia menambahkan bahwa memitenaga kerja. Dengan demikian, ikut berperan liki pengalaman kerja/magang juga membawa dalam mengurangi jumlah pengangguran. pengaruh yang signifikan dalam proses pencarian kerja di era pandemi seperti saat ini. Menanggapi hal tersebut, Listy Rina sebagai pelaku UMKM memberikan komentarnya. Annisa Rindi “Pemerintah juga harus menjamin ekonomi bisa Editor: Delima Purnamasari terus berjalan. Usaha jangan diusik-usik den-

7


rubrik mahasiswa

paper illustration by Rawpixels

paper illustration by DLPNG.com

8


Membagi Daya, Melawan Stigma

Mengulas Stigma Mahasiswa Kupu-Kupu dan Kura-Kura Ilustrasi mahasiswa ketika berkegiatan. (Sumber: pexels.com)

P

Mahasiswa Kura-Kura:

erkuliahan merupakan waktu mahasiswa bisa mengeksplorasi dan memperdalam kemampuan diri. Ada dua cara umum yang dapat dilakukan untuk melaksanakannya. Cara pertama adalah bergabung dengan organisasi demi mengasah kemampuan di luar bidang akademik. Mereka yang memilih cara ini, seringkali dijuluki sebagai mahasiswa tipe kura-kura, kependekan dari kuliah-rapat kuliah-rapat. Cara yang kedua adalah dengan fokus kepada studi, biasanya dilakukan demi mengejar kelulusan yang lebih cepat. Untuk yang memilih cara ini, mendapatkan julukan mahasiswa kupu-kupu. Singkatan dari kuliah-pulang kuliah-pulang.

Apakah benar jika mahasiswa kura-kura yang sibuk rapat, identik dengan bolos kelas, nilai akademik kurang baik, hingga terlambat untuk lulus?

Menurut Tri Mulyadi, seorang Mahasiswa Fakultas Pertanian UPN “Veteran” Yogyakarta, pelabelan tersebut kurang tepat. “Memang saya sempat kesulitan untuk menyeimbangkan kegiatan organisasi dan kuliah. Kadang ketika selesai melakukan rapat dan sudah capek, tugas kampus menjadi terbengkalai. Namun, tidak semua seperti itu. Ada juga anak organisasi yang mampu mengatur waktu. Jadi, keduanya dapat berjalan dengan baik,” ungkap mahasiswa yang akrab dipanggil Bang Tri tersebut. Tri Mulyadi menambahkan meskipun banyak yang menganggap mahasiswa kura-kura sering tertinggal dalam bidang akademik, ia yakin bahwa pengorbanan waktu ini akan memberi manfaat besar dalam dunia kerja.

Pada kenyataannya, julukan ini membawa stigma pada keduanya. Misalnya, kebanyakan orang menganggap mahasiswa kura-kura akan memiliki nilai akademik yang kurang baik karena padatnya kegiatan organisasi. Di sisi lain, mahasiswa kupu-kupu akan dianggap kurang memiliki pergaulan dan relasi karena hanya fokus pada studi. Lantas bagaimanakah realitanya?

9


rubrik mahasiswa

Apa yang mendasari mahasiswa kura-kura mengikuti organisasi?

Tsania Fira Zafira, seorang mahasiswi yang aktif berorganisasi di dalam dan di luar kampus memberikan tanggapan untuk pertanyaan ini. “Alasan saya bergabung ke organisasi, tentu agar mendapat ilmu di luar bidang akademik. Selain itu, dengan berorganisasi saya bisa memperoleh banyak relasi,” ujar Mahasiswi Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada tersebut. Sementara itu, Tri Mulyadi juga menjelaskan alasan pribadinya. “Bergabung dengan organisasi itu perlu untuk saya. Lagi pula, ketika tidak memiliki kegiatan lain setelah kuliah, waktu akan terbuang. Bagi saya, belajar dalam kelas hanya mengambil 30% porsi dalam menimba ilmu. Untuk itu, sisanya harus mencari sendiri. Salah satunya dengan mengikuti organisasi,” jelasnya.

Apa yang harus diperhatikan ketika menjadi mahasiswa kura-kura?

Fira memberikan tips yang cukup menarik mengenai hal ini. Ia mengatakan bahwa mahasiswa yang aktif berorganisasi harus mampu melihat kapasitas diri mereka. “Jika ingin mengikuti organisasi, kita harus mengetahui kapasitas diri terlebih dahulu. Tidak perlu ikut terlalu banyak, hal yang terpenting adalah mampu menjalankan tanggung jawab organisasi dan kuliah dengan seimbang,” jawabnya.

Mahasiswa Kupu-Kupu: Apakah benar bahwa mahasiswa kupu-kupu hanya sibuk dengan urusan kuliah saja?

kan

Bagaimana kegiatan di

dalam

cara dan

di

menyeimbangluar kampus?

Ternyata mahasiswa kupu-kupu tidak kalah repot jika dibandingkan dengan mahasiswa kura-kura. Mifan yang telah menjalankan bisnis dari semester dua, mengaku masih merasa kerepotan dengan urusan kampus dan bisnisnya. “Dulu ketika memulai bisnis, saya sering keteteran. Saya bahkan pernah memutuskan untuk mengambil cuti di semester empat karena ada masalah bisnis,” ungkapnya. Kebalikan dari Mifan, Dikki lebih mengutamakan kuliah daripada kegiatan bisnisnya. “Menurut saya yang terpenting adalah bisa membagi waktu antara kuliah dan bisnis. Walaupun sulit, saya harus tetap kuliah dan mampu menjalankan bisnis. Meskipun begitu, untuk saat ini kuliah tetap yang utama,” jelasnya. kupu?

Apa suka dan duka menjadi mahasiswa kupu-

Mifan bercerita bahwa dirinya pernah tertinggal informasi mengenai kuliah karena kesibukan bisnisnya. “Saya pernah tidak mengumpulkan tugas. Ketika itu memang baru sibuk bisnis. Jadi, seringkali kaget saat ada banyak tugas,” tutur Mifan menceritakan pengalamannya. Biarpun begitu, adanya waktu senggang setelah kegiatan perkuliahan membuat mereka memiliki kesempatan lebih untuk menggali potensi diri. “Keuntungan menjadi mahasiswa kupu-kupu, yaitu bisa mencari ilmu yang tidak disediakan oleh kampus. Semisal mengembangkan kanal YouTube dan belajar mengembangkan laman web,” jelas Dikki. Pada akhirnya, stigma yang melekat kepada kedua tipe mahasiswa tersebut tidak bisa dipercaya begitu saja. Menjadi mahasiswa kura-kura bukan berarti selalu memiliki nilai akademik yang buruk karena terdapat banyak cara untuk mengatasinya. Mulai dari tips mengatur waktu, hingga mengenali kapasitas diri. Begitu pula bagi mahasiswa kupu-kupu, tergolong dalam tipe ini tidak membuat mereka kurang pergaulan dan pengalaman. Dengan kata lain, sudah tidak sepantasnya stigma tersebut dilekatkan pada keduanya karena setiap orang memiliki cara tersendiri untuk terus berkembang.

Dikki Tri Haryanto, salah satu mahasiswa yang tergolong kupu-kupu menjelaskan alasan pribadinya. “Saya tidak ikut organisasi apapun di kampus. Setelah perkuliahan, saya lebih tertarik untuk mencoba bisnis. Saat ini sedang sibuk memasang iklan di Google Ads dan mengembangkan kanal YouTube,” ungkap Mahasiswa Prodi Hubungan Masyarakat ini. Senada dengan Dikki, Muhammad Irfan Ma’arif, Mahasiswa dari Prodi Ilmu Komunikasi memilih menjadi mahasiswa kupu-kupu karena ingin mengembangkan bisnis- Rizki Al Afizd nya. “Ketika di kampus saya merasa eksplorasin- Editor : Delima Purnamasari ya sangat sempit. Berbeda dengan di luar kampus, saya bisa belajar dengan cakupan yang lebih luas. Di dunia bisnis saya bisa belajar langsung dari mentor yang sudah berpengalaman,” tutur mahasiswa yang akrab dipanggil Mifan ini.

10


Membagi Daya, Melawan Stigma

11


rubrik mahasiswa

Himpunan Mahasiswa Islam di Lingkungan Kampus UPN “Veteran” Yogyakarta

Latihan kaderisasi 1 HMI dari berbagai kampus di Yogyakarta. (Sumber: Instagram @hmi_upn) HMI UPN “Veteran” Yogyakarta diketuai oleh Achmad M. Bayu Aji, Mahasiswa Jurusan Administrasi Bisnis Angkatan 2018. Achmad menjelaskan bahwa terdapat banyak kegiatan di HMI. Di antaranya, diskusi, bedah buku, silaturahmi, penggalangan dana, dan lain-lain. Untuk diskusi dan bedah buku, sering dilakukan di dalam kampus maupun di luar kampus. Diskusi ini bersifat terbuka dan fleksibel sehingga mahasiswa lain di luar HMI diperbolehkan untuk bergabung. Sedangkan kegiatan silaturahmi, dilakukan bersama alumni, HMI kampus ataupun komisariat lain.

Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) adalah organisasi mahasiswa yang didirikan di Kota Yogyakarta pada tanggal 5 Februari 1947. Pendirian HMI diprakarsai oleh Lafran Pane beserta 24 orang mahasiswa lain yang berasal dari Sekolah Tinggi Islam (sekarang Universitas Islam Indonesia). HMI merupakan organisasi pengaderan yang bertujuan untuk membina insan akademis, pencipta, pengabdi yang bernapaskan Islam dan bertanggung jawab atas terbentuknya masyarakat yang adil dan makmur serta diridai Allah SWT. Di UPN sendiri, HMI tergolong sebagai organisasi eksternal kampus, seperti PMII, GNNI, KANI, dan lain sebagainya. Organisasi eksternal kampus merupakan organisasi yang berada di bawah naungan kampus berdasarkan Permenristekdikti Nomor 55 Tahun 2018.

Achmad juga turut menjelaskan perbedaan HMI dengan organisasi lainnya. “HMI hampir sama dengan organisasi Islam pada umumnya, yang membedakan hanya di persyaratannya saja. Organisasi lain tentu memiliki syarat pendaftarannya sendiri. Untuk HMI, syaratnya hanya perlu mengikuti latihan Pengaderan HMI memiliki metode dan budaya send- kaderisasi tingkat satu atau basic training sebagai iri, yakni melalui diskusi, bedah buku, belajar bersa- syarat formal. Syarat informalnya cukup beragama ma, dan lain-lain. HMI juga memiliki relasi dengan Islam,” tutur Achmad ketika dihubungi via daring. berbagai organisasi di kampus untuk mengadakan kegiatan bersama. Dengan begitu, HMI turut berkon- Achmad juga mengatakan adanya berbtribusi dalam mengaktifkan diskusi di lingkungan agai organisasi Islam merupakan wadah kampus sesuai dengan tujuan awal pembentukannya. pergerakan. Mereka berkiprah bersama di

12


Membagi Daya, Melawan Stigma

berbagai lini masing-masing untuk berkolaborasi, bukan saling membedakan satu sama lain. Sementara itu, HMI lebih terfokus pada bidang akademis atau pengaderan secara intelektual, bukan secara ritual. Meski demikian, HMI tidak terlepas dari beragam stigma yang sulit untuk dihilangkan. “Stigma yang ditujukan kepada organisasi Islam kadang tidak sinkron satu sama lain. Ada yang menuduh liberal dan radikal secara bersamaan, padahal itu hal yang berlawanan. Untuk stigma HMI, biasanya terkait dengan bibit partai politik, ditunggangi, radikal, liberal, atau pikiran yang bermacam-macam,” imbuh Achmad.

inilah, stigma HMI muncul. Padahal sebenarnya, keberagaman mahasiswa itu bersifat positif. Dengan begitu, dapat saling merangkul dan berkolaborasi sehingga HMI mampu mewadahi banyak sudut pandang yang berbeda.

Pada intinya, HMI menyikapi stigma ini sebagai akibat dari tidak adanya ruang untuk mengenal dan berinteraksi dengan organisasi. Jadi, sebenarnya tidak ada pihak yang salah dalam kasus ini. Stigma tersebut merupakan sesuatu yang wajar dan dapat diatasi dengan keterbukaan satu sama lain. Misalnya, melalui diskusi dan bersilaturahmi. Dengan kata lain, HMI sangat terbuka jika ada Di tengah banyaknya stigma yang melekat pada pihak luar yang ingin bertanya tentang organisasi. HMI, Achmad mengaku tidak mempermasalahkan hal itu sama sekali. “Ini terjadi karena kita “Mungkin ini bisa jadi catatan bersama untuk lebih menciptakan ruang keterbukaan, salkurang komunikasi saja. Tidak terdapat wadah ing bertukar pikiran, dan berdiskusi di dalam untuk berdiskusi dan bertukar isi kepala, serta kampus dengan berbagai golongan mahasiswa. kurang mengenal satu sama lain,” ungkapnya. Diskusi ini sangat penting untuk menciptakan Kalau untuk stigma kepada HMI sendiri, umumnya terjadi karena yang masuk di HMI berasal dari berbagai kalangan. Dari keberagaman

iklim kampus yang lebih baik,” pungkas Achmad. Salsabila Fadilah Editor : Shinta Tri Pangestu

Kegiatan bedah buku yang dilakukan oleh HMI UPN, HMI UGM, HMI UNY. (Sumber: Instagram @hmi_upn)

13


rubrik utama : Kehidupan bersahaja masyarakat timur

Menengok Stereotip Masyarakat Mutiara Hitam di Kota Pelajar

Y

ogyakarta, daerah dengan julukan Kota Pelajar, sering menjadi pilihan bagi mereka yang ingin melanjutkan pendidikan di bangku perkuliahan. Banyaknya perantau dari berbagai penjuru tanah air, menjadikan Kota Yogyakarta menerima berbagai ragam budaya baru. Dewi Novianti, selaku Ketua Program Studi Hubungan Masyarakat UPN “Veteran” Yogyakarta menyampaikan, adanya pertemuan dua atau lebih budaya pada suatu wilayah akan menghasilkan akulturasi dan asimilasi.

Mutia Iftiyani Rohrohmana ketika mengikuti aksi Kamisan (Sumber: Dokumen Mutia Iftiyani Rohrohmana)

lain membuat beberapa masyarakat Yogyakarta waspada atas kedatangan mereka.

Pertemuan dua budaya dalam satu daerah ini memiliki dampak positif dan negatif. “Kalau budaya pendatang itu baik, maka bisa membawa perubahan positif bagi warga setempat. Sebaliknya, kalau budaya penduduk setempat semula telah mapan, berbudaya, beretika, dan beragama secara benar, kemudian datang penduduk baru yang membawa budaya negatif, maka jelas ini merusak tatanan,” ujar Dewi. Merantau di tanah orang memang tidak mudah. Stereotip negatif seringkali menjadi alasan penolakan dan tindakan diskriminasi terhadap pejuang rantau. Hal ini kerap dialami oleh mereka yang berasal dari Indonesia Timur, yakni Papua. Jejak kejadian negatif seperti perkelahian, budaya mabuk-mabukan, dan beberapa tindak meresahkan

Bernadin Chrisnaning, masyarakat asli Yogyakarta (Sumber: Dokumen Bernadin)

Bernardin Chrisnaning (20), penduduk asli Yogyakarta berpendapat, kejadian tersebut cenderung mudah terjadi karena mereka berasal dari pulau yang sama. Hal ini menyebabkan timbul rasa kekeluargaan yang cukup tinggi meski tak sedarah. “Ini yang membuat mereka dapat mengumpulkan massa dengan cepat hanya untuk berperang atau berkelahi, ditambah fisik mereka yang besar dan kekar,” ungkap mahasiswi yang acap dipanggil Nadin tersebut. Hal tersebut menyebabkan perantau lain asal Papua yang tidak ikut-ikutan terkena imbasnya. Mulai dari penolakan penerimaan kos maupun kontrakan bagi mahasiswa timur hingga julukan berbau rasisme.

Pengalaman tindakan rasisme tersebut dialami dua mahasiswi asal daerah yang mendapat julukan sebagai Mutiara Hitam ini, Gabrielle Monalisa Zaziwe Mataniari Kabei (19) dan Mutia Iftiyani Rohrohmana (22). Keduanya datang ke Yogyakarta untuk menimba ilmu di UPN “Veteran” Yogyakarta dan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

14


Membagi Daya, Melawan Stigma

(UMY). Gabrielle atau yang akrab dipanggil Gebi menceritakan perlakuan diskriminasi ketika mencari kontrakan. “Ketika aku telepon bapak pemiliknya, dia bilang gamau kalau orang timur karena pernah ngalamin kejadian buruk di kontrakannya. Tidak dijelasin secara rinci juga sih masalahnya apa, tapi jadi ga enak hati aja,” ungkap Gebi. Ia menambahkan, dirinya juga terimbas kasus tahun 2019 perihal pengepungan asrama Papua di Surabaya. “Jadi, kan banyak banget itu beritanya. Aku ga tau itu asalnya dari mana, tapi ada temenku yang membagikan berita itu ke grup angkatan dan bilang ‘Gab, ini pasukanmu ya?’ Tapi bersyukur aku, temen-temen yang lain pada negur. Cuman itu kejadian paling aneh di hidupku,” ujar gadis asal Sentani, Jayapura, Papua tersebut. Gebi menjelaskan, temannya tersebut akhirnya turut meminta maaf secara pribadi sehingga ia tidak terlalu terbawa perasaan. Hal serupa juga dialami oleh Mutia Iftiyani Rohrohmana, atau yang akrab dipanggil Mutia. Dirinya mengaku beberapa kali mendapatkan perilaku dan pertanyaan yang tidak menyenangkan saat bertemu orang baru. “Pernah waktu perkenalan diri di kampus, satu kelompok kaget dan heran tau aku asli Papua. Dilihatin dari ujung jilbab sampai ujung kaki. Lumayan kesal dan dibilang sini,” ujar mahasiswa rantau asal Fakfak, Papua Barat ini. Mutia menceritakan pengalamannya berkuliah di Yogyakarta dan pengalaman tidak menyenangkan lainnya.

Mutia (nomor 2 dari kiri) bersama teman organisasinya ketika mengikuti aksi Kamisan (Sumber: Dokumen Mutia)

“Aku pernah dikatai ‘Hei Papua’ gitu, padahal teman sendiri, satu meja makan,” jelas Mutia. “Ada juga yang kaget karena aku (beragama) Islam dan kuliah di sini (Universitas Muhammadiyah Yogyakarta),” sambung Mutia. Berbeda dengan Gebi, Mutia mengatakan bahwa dirinya tak pernah mendapatkan diskriminasi selama mencari kos-kosan. “Selama kuliah sudah 2 kali pindah kos dan alhamdulilah tidak mengalami diskriminasi,” ucap mahasiswi semester akhir di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta tersebut. Ia mengaku hanya mendapat pertanyaan aneh dari bapak/ibu kos, seperti jarak rumah yang jauh, adanya penduduk Papua yang muslim, dan pertanyaan mengenai jumlah ongkos pulang. “Nggak risih sih ditanyain gitu, karena sudah terbiasa,” imbuhnya. Gebi dan Mutia pun turut menanggapi terkait stereotip terhadap masyarakat timur. “Tentang sifat kasar, tidak semua orang Papua kasar dan tidak semua orang di luar Papua ramah. Jangan semua orang dinyatakan kasar hanya karena suara kami lebih tinggi satu oktaf dan yang kedua, terbelakang. Ya, secara pembangunan, ga bisa dibohongin masalah itu. Tapi ya satu pemerintah, satu negara,” ujar Gebi. Terkait pembicaraan masyarakat mengenai pembangunan Papua, ia mengatakan, “Coba dengar suara orang Papua terutama soal HAM gitu. Aku ga akan nyangkal sih kadang orang Papua juga entah karena kurang sosialisasi atau bagaimana, banyak menolak hal-hal yang sebenarnya penting. Namun, masalah utamanya sama-sama kita sadari yaitu komunikasi dan berjalannya informasi dari pemerintah pusat ke daerah yang jauh dari pusat kota. Jadi harapanku ke depan, sebelum komentar hal-hal seperti itu, lebih baik dicek dulu. Kadang dibanding provider atau jaringan internet lancar, mereka (masyarakat yang tinggal di Papua) hanya mau lahan buat nanam petatas kok,” jelasnya.

15


rubrik utama : Kehidupan bersahaja masyarakat timur

Gabrielle Monalisa Zaziwe Mataniari Kabei (Sumber: Dokumen Gebi)

Hampir senada dengan Gebi, Mutia menanggapi stereotip tentang masyarakat Papua yang dikenal keras dan kurang sopan. “Tidak bisa semua orang timur yang kuliah di Jogja dipukul rata dengan stigma yang sama. Mungkin memang banyak dari kami yang tabiatnya buruk dan semena-mena karena tidak ada kontrol sosial dan struktural,” ungkap Mutia. Gadis yang kini berusia 21 tahun tersebut mengaku sering mengingatkan kawankawan satu daerahnya untuk mengurangi kebiasaan yang tidak sesuai dengan budaya di Yogyakarta. Namun, menurut Mutia, banyak paradigma yang membatasi ruang gerak mahasiswa timur dan justru mendapatkan justifikasi oleh masyarakat sekitar. Dirinya turut memaparkan pandangannya terhadap Yogyakarta.

“Pengalaman mutualisme di sini sangat banyak. Aku punya desa binaan organisasi dan kosanku dekat dengan lingkungan warga. Aku hampir setiap hari merasakan kehangatan itu,” cerita Mutia. Hal tersebut juga dirasakan oleh Nadin. “Saya cukup sering diskusi, bertukar buku, dan saling mengirimkan makanan dengan teman saya yang berasal dari Indonesia Timur,” tuturnya. “Sebelum saya kenal mereka, terlihat negatif. Namun, setelah kenal jadi lebih terbuka,” tambah Nadin. Serupa namun tak sama, Gebi mengaku masyarakat Yogyakarta sangat baik. Teman kuliahnya banyak membantu, terlebih perihal belanja kebutuhan kos atau kuliah. Gebi juga memberikan pesan bagi orang-orang yang masih memiliki stereotip terhadap masyarakat timur. “Masyakarat timur dikenal karena setia kawannya loh. Coba aja dulu temenan, siapa tau bakal diajak ke Papua ngeliat wisata alamnya atau festival daerah yang super cool,” ucapnya.

“Awal kenal Jogja sungguh kota yang ramah, hangat, dan bersahaja. Tapi ternyata Jogja juga menyimpan banyak ketimpangan dari berbagai aspek. Sempat kaget dengan angka kriminalitas di Jogja yang mencekam. Dan kaget juga dengan banyaknya pelanggaran HAM yang terjadi di Jogja.”

Ia juga mengingatkan agar tidak berstigma hanya karena daerah asal. “Selain itu, aku bersyukur melihat banyak yang sudah terbuka soal rasisme, ancaman paling buruk sesama manusia. Semoga kedepannya, tidak ada lagi pandangan negatif terhadap masyarakat timur,” imbuh gadis yang kerap dikuncir cepol tersebut.

Sama-sama pernah mendapat perlakuan kurang menyenangkan di Yogyakarta, bukan berarti keduanya merasa tidak kerasan sama sekali di Kota Keraton ini. Ada pengalaman dan sikap saling membantu dan mutualisme dalam hubungan bertetangga yang dimiliki Mutia dengan Nadin, warga asli Yogyakarta.

Arnellia Anindya N Arie Sulistyaning Tyas Editor: Syiva Pramuji Budi A. 16


Membagi Daya, Melawan Stigma

Menyoal Budaya “Minum” Masyarakat Indonesia Timur di Yogyakarta

B

udaya mengonsumsi minuman keras merupakan kebiasaan yang tidak asing lagi bagi masyarakat Indonesia di bagian timur. Menurut pengakuan beberapa narasumber, “Timur” adalah istilah umum untuk menyebut masyarakat Papua, Maluku, dan NTT. Basis informasi yang digunakan untuk menjelaskan penggunaan kata “Timur” ini belum pasti. Namun, daerah atau kelompok masyarakat di dalamnya sudah dapat diidentifikasi secara kasar. Menurut sejumlah narasumber, alasan mengapa orang timur sangat identik dengan budaya minum adalah karena kebiasaan tersebut telah ada sejak lama. Minuman keras (sopi/tuak/moke/peci) merupakan salah satu material utama dalam ritus-ritus kultural masyarakat timur. Terdapat banyak kasus ketika minuman keras disita dan dibuang oleh aparat meski pada beberapa kondisi tertentu, pemerintah melegalkan minuman keras ini. Kasus penyitaan atau perampasan tersebut, biasanya disebabkan oleh masalah sosial ataupun masalah hukum terkait minuman keras itu sendiri. Dewasa ini, persoalan yang dominan muncul adalah keresahan publik sehingga mengakibatkan stereotip terhadap masyarakat timur. Menurut Rian Juru, seorang pengamat sosial dari FISIP UGM, kehadiran teman-teman dari timur sebenarnya menjadi bukti dari kekayaan bangsa Indonesia. Dalam hal ini, bukan hanya keberagaman demografis, tetapi juga kekayaan sosial-politik yang kemudian meningkatkan kebinekaan. “Pertemuan teman-teman kita dari timur dengan masyarakat lokal adalah pertemuan budaya. Benturan budaya pada beberapa kasus memang tidak terhindarkan dan bisa saja memunculkan konflik. Dari konflik inilah muncul stereotip tertentu,” tukas Rian.

17

Ilustrasi minuman keras (Sumber: Ketut Subiyanto dari Pexels) Sebagai Kota Pelajar, Yogyakarta menjadi destinasi pendidikan yang populer bagi mahasiswa dari timur. Mereka bisa dikatakan menjadi semacam warga tetap di Yogyakarta. Meski demikian, adanya perbedaan budaya timur dan Yogyakarta dalam memandang minuman keras melahirkan stereotip ini. Oleh sebab itu, Zaki sebagai salah satu mahasiswa asal timur yang sudah menetap lama di Yogyakarta ingin meluruskan hal tersebut. “Itu menjadi kebudayaan orang timur. Pada dasarnya, niat kami tidak seperti yang masyarakat awam pikirkan. Kebiasaan ini hanya untuk perayaan atau selebrasi saja, tanpa ada maksud jahat,” jelas Zaki ketika diwawancarai pada Kamis (4/3). Zaki juga menegaskan bahwasanya masyarakat timur di Yogyakarta tidak ingin berbuat onar ataupun meresahkan warga, khususnya dalam budaya berkumpul untuk minum-minum ini. Menurutnya, karena sudah menjadi sebuah kebudayaan, kebiasaan ini sulit untuk diubah walaupun sebenarnya mereka telah berusaha beradaptasi dengan budaya warga lokal.


rubrik utama : Kehidupan bersahaja masyarakat timur

Meski demikian, ia tidak menampik jika terkadang terjadi semacam “kecelakaan”. “Ya memang saya mengakui kalau ada beberapa orang timur yang berniat buruk juga. Niat mereka dari awal sudah salah, berbeda dengan orang timur yang minum-minum dengan maksud kesenangan,” ucap Zaki. Zaki menambahkan, sebenarnya masyarakat timur juga merasa risih dan terganggu apabila melihat orang yang berbuat onar, termasuk jika disebabkan oleh terlalu banyak mengonsumsi minuman keras. Pada dasarnya, budaya minum itu hanya ditujukan untuk senang-senang, ketika sudah menimbulkan keributan maka masyarakat timur sendiri sebenarnya juga ikut menentang.

Falih Azis, Mahasiswa UII (Sumber: Dokumen Falih)

Sebagai mahasiswa yang juga berasal dari timur, Falih menjelaskan bahwa mengonsumsi minuman keras adalah hal yang wajar dilakukan oleh masyarakat timur untuk merayakan keberhasilan mereka. Namun, hal ini sekadar sebuah kebiasaan, bukan kebudayaan.

Riza menjelaskan bahwa ketakutannya ini adalah penyebab ia tidak berani berkenalan, apalagi mengobrol dengan para orang timur. Meski begitu, sejujurnya ia menghargai kehadiran mereka di Yogyakarta. Ia memahami jika masyarakat Jogja juga bisa menuntut ilmu atau bekerja di sana. Dengan “Kalau saya, lebih setuju jika kegiatan tersebut meru- begitu, tentu perlu adanya sikap saling menghargai pakan kebiasaan, bukan kebudayaan. Perlu diketahui sehingga dapat hidup berdampingan. juga, tidak semua masyarakat timur itu mengonsumsi minuman keras,” ujarnya ketika diwawancarai mela- Menurut Rian, solusi dari permasalahan stereotip ini adalah komunikasi. “Pada akhirnya, semua lui media Zoom pada Kamis (4/3). masalah seharusnya diselesaikan dengan komuniRiza sebagai mahasiswa kasi. Tidak dapat dipungkiri jika masyarakat timur asal Yogyakarta, ikut dan masyarakat Jogja adalah adalah dua kelompok mengomentari hal ini. Ia yang berbeda. Oleh sebab itu, instrumen budaya, mengaku bahwa sesung- seperti kebiasaan, bahasa, dan sebagainya pasti guhnya ada ketakutan akan bertemu. Harus ada komunikasi antara kedua ketika melihat orang pihak sehingga terjalin semacam kompromi,” tutup timur. “Jujur, kalau saya Rian.

Zacky Aziz, Mahasiswa UMY (Sumber: Dokumen Zacky)

melihat orang timur sudah deg-degan duluan. Gayuh Laksono Wiguna Saya selama ini selalu Editor: Risky Syukur melihat masyarakat timur dari tampilan fisiknya. Padahal ketika sudah mulai mengobrol dan saling kenal satu sama lain, ternyata mereka orang yang baik juga,” ungkapnya.

18


Membagi Daya, Melawan Stigma

Ragam Budaya Nusa Tenggara Timur Selain tari caci dan acara makan bersama, NTT juga memiliki Upacara teing hang. Upacara ini dilakukan di awal atau akhir tahun. Hakikat dari upacara ini adalah tanda dan ucapan terima kasih atas segala sesuatu yang terjadi sepanjang tahun. Pada Upacara teing hang, masyarakat NTT memanjatkan doa dan harapan untuk anggota keluarga yang sudah meninggal dan tinggal di alam lain.

D

Tari Caci (Sumber: travel.detik.com)

i kancah internasional, Indonesia dikenal sebagai negara yang memiliki keberagaman budaya. Di antara 1.340 suku bangsa, salah satu destinasi wisata budaya yang cukup terkemuka berasal dari Nusa Tenggara Timur (NTT). Provinsi yang berada di “Sunda Kecil” ini, memiliki keberagaman budaya dan ritual yang kental akan rasa kekeluargaan. Nuansa tersebut merupakan salah satu nilai utama yang nampak dalam setiap ritual adat yang dilakukan oleh masyarakat NTT. Salah satu budaya NTT yang kini sudah menjadi warisan UNESCO adalah tari caci. Tarian ini berasal dari Manggarai (Flores bagian barat) dan menjadi ikon budaya dari masyarakat di sana. Salah satu tujuan ditampilkannya tarian caci adalah sebagai upacara penyambutan. Misalnya, ketika ada pastor (rohaniwan Katolik) yang selesai bertugas dari luar negeri. Setelah itu, biasanya akan dilanjutkan dengan acara makan bersama yang melibatkan satu kampung dan keluarga besar. Tarian ini menjadi kebanggaan dari masyarakat Manggarai. “Sebagai orang Manggarai, saya bangga dengan tarian caci karena memiliki makna yang sangat berarti bagi kami,” kata Gaudensius Yanastrawan saat diwawancarai via pesan WhatsApp.

Dilansir dari detik.com, tarian caci muncul karena adanya interaksi sosial. Interaksi dan komunikasi yang baik antar masyarakat ini, mampu menumbuhkan ikatan yang kuat. Tarian ini juga mempertegas kejantanan seorang laki-laki. Dengan kata lain, menjadikan mereka sebagai laki-laki yang kuat dan bertanggung jawab. Perlu diketahui, jika laki-laki diikutsertakan dalam semua upacara karena dianggap sebagai pelaku utama dalam segala ritual. 19

NTT juga memiliki tradisi budaya rohani yang kental akan nilai-nilai portugis yakni semana santa. Sejarah menunjukan, prosesi semana santa merupakan bentuk dari hadirnya agama di daerah Flores Timur, khususnya Laratunka. Prosesi semana santa adalah bentuk kebaktian masyarakat Larantuka yang beragama Katolik untuk menghormati hadirnya Bunda Maria (Ibu Yesus dalam ajaran Katolik). Tradisi ini diawali dengan prosesi laut. Pada tahap ini, patung dari daerah Pantai Rowido diantarkan menuju ke Wure, kemudian kembali ke Kota Laratunka, tepatnya di Katedral Reinha Rosari. Pada malam harinya, dilanjutkan prosesi mengelilingi Kota Laratunka dengan memikul patung Bunda Maria dan Tuhan Yesus sampai kembali ke Katedral. Pantangan ataupun batasan yang seringkali ada dalam tradisi lain, tidak terdapat dalam adat ini. Karena pada dasarnya, prosesi ini adalah sebuah bentuk doa umat Katolik dalam mengenang kehadiran Bunda Maria sebagai pelindung dan penjaga masyarakat Laratunka. Menurut pengakuan Yohanes, budaya yang penuh makna kekeluargaan dan persaudaraan inilah yang membuat


rubrik utama : Kehidupan bersahaja masyarakat timur

Mudah marah Sering kali masyarakat timur dilabeli stigma mudah marah. Namun, sebenarnya tidak semuanya seperti itu. Salah satunya yakni Yohanes S. Ariswan. Ketika mendapat perilaku rasisme, ia lebih memilih diam dan tidak membalasnya dengan kemarahan.“Saya biasanya tidak bereaksi apa-apa karena rasisme sudah biasa kami alami,” jelasnya. Tradisi Paskah Semana Santa (Sumber: BBC News Indonesia)

masyarakat NTT terbuka dengan para wisatawan yang berkunjung. “Bagi saya, tipikal kebanyakan orang timur termasuk di Manggarai sangatlah terbuka. Mereka menyambut baik kehadiran pendatang,” jelas Yohanes.

Walaupun demikian, sesungguhnya tidak semua memperoleh perlakuan buruk seperti itu. Ada juga yang mendapat perlakuan ramah dan dihargai masyarakat setempat saat tinggal di Kota Pelajar ini. “Sejauh ini, pandangan dan bentuk diskriminatif belum atau tidak pernah saya alami. Semua orang di Jogja, khususnya di daerah tempat saya tinggal begitu ramah dan menghargai keberadaan saya. Begitu pula sebaliknya.” kata Galih Antonius O.L saat diwawancarai via pesan WhatsApp (10/3/2021).

Meski demikian, sering kali masyarakat NTT masih mendapatkan stereotip, bahkan perlakuan yang tidak baik khususnya ketika berada dalam peran- Di tengah berbagai stigma, rasa kekeluargaan tauan. Berikut beberapa stigma yang kerap di- dan persaudaraan yang mereka pahami dari bualamatkan kepada mereka. daya NTT tetap dipegang meski berada dalam perantauan. Hal ini terbukti dengan banyaknya Tidak sopan organisasi daerah NTT di Yogyakarta. Di organisasi ini, mereka berdiskusi, bercerita, serta Salah satu perilaku yang dianggap tidak sopan membahas mengenai apa yang akan mereka adalah ketika mereka berbicara dengan menggu- sumbangkan pada daerah asal. nakan nada tinggi. Hal ini berbeda dengan budaya masyarakat Jogja yang terbiasa berbicara dengan su- “Forum ini kami gunakan untuk sekadar berbara lebih lembut. agi cerita, berdiskusi, rekreasi, dan melestarikan Berdasarkan penelitian, sebenarnya ada beberapa faktor yang menyebabkan manusia memiliki nada suara berbeda. “Ada empat faktor yang membedakan hal ini. Ada komponen biologis, patologis, kepribadian, serta budaya. Kadang suara keras atau pelan dipengaruhi oleh bagaimana ia dibentuk,” ujar Dr Amee Shah, Direktur Speech Acoustics and Perception Laboratory di Cleveland State University, seperti dikutip dari MSNBC, Jumat (13/4/2012).

budaya. Forum ini lahir untuk mempererat ikatan persaudaraan,” ungkap Yohanes S. Ariswan saat diwawancarai pada (25/2/2021). Lingga Prasetya Tarisa Ramadhani Editor: Risky Syukur

Dapat disimpulkan, nada suara tinggi belum tentu mengindikasikan sifat yang tidak sopan. Bisa jadi mereka berbicara dengan nada suara tinggi karena faktor-faktor di atas.

20


Membagi Daya, Melawan Stigma

Kisah Gadis Manggarai

DALAM MENGGAPAI ASA DI YOGYAKARTA Angela Seriang atau akrab disapa Rice merupakan gadis kelahiran Manggarai, Flores, Nusa Tenggara Timur. Ia berstatus mahasiswi aktif Jurusan Pendidikan Kimia Angkatan 2017 di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Dirinya adalah sosok mahasiswi berprestasi penerima beasiswa “Cerdas dan Humanis” di kampusnya. Rice memiliki prinsip bahwa pendidikan merupakan sesuatu yang sangat penting. Hal itu dilakukan dengan menimba ilmu di Yogyakarta sesuai impiannya sedari dulu. “Menurut saya Kota Yogyakarta adalah tempat yang nyaman dan ramah. Selama berkuliah di sini, saya berusaha untuk selalu unjuk diri agar bisa beradaptasi dengan lingkungan baru. Teman-teman saya memiliki jiwa kompetitif yang sangat kuat sehingga memotivasi saya untuk seperti mereka,” jelas gadis kelahiran 10 Januari 1999 ini. Kiat-kiat yang ia lakukan untuk bisa eksis di lingkungan kompetitif tentu tidak mudah. Dia harus pandai dalam memilih kegiatan, baik akademik maupun non-akademik. Salah satu kegiatan yang ia pilih dalam bidang akademik, yakni mengikuti acara brenchmarking ke Korea Selatan. Dalam dunia ekonomi, acara ini merupakan upaya membandingkan kinerja suatu perusahaan/produk dengan perusahaan/produk lain yang serupa.

Profil Angela Seriang (Sumber: Adinda Farah)

“Program ini dilakukan secara terbatas dengan menyertakan proses seleksi terlebih dahulu. Selama mengikuti program tersebut, saya belajar banyak hal baru yang kemudian menginovasi dan memberi motivasi saya di kampus. Selama acara ini, saya juga berkesempatan untuk mengunjungi beberapa tempat, seperti Universitas Negeri di Korea Selatan, KAIST, NASA dan 3D Printing,” ungkapnya.

21


rubrik utama : Kehidupan bersahaja masyarakat timur

DREAM

Gadis Manggarai ini juga berhasil mengukir prestasi lain di bidang akademik. Ia pernah menjadi asisten dosen, juara lomba esai tingkat nasional, penulis jurnal internasional, serta aktif mengikuti seminar nasional hingga internasional. Sedangkan di bidang non-akademik, Rice terbilang cukup aktif melalui kontribusinya pada kegiatan organisasi. Ia pernah menjabat sebagai Wakil Ketua Himpunan Prodi Kimia periode 20172018 dan Ketua Komisi DPM Universitas periode 2019-2020.

Kegiatan Mengunjungi Seoul National University (Sumber: dokumen pribadi/Angela Seriang)

Menurut Rice, menjadi mahasiswi aktif di dalam maupun luar kampus adalah sesuatu yang membanggakan. Setelah lulus kuliah, ia berharap bisa menerapkan ilmunya di lingkungan masyarakat dan dapat melanjutkan studi ke jenjang yang lebih tinggi. Untuk menggapai semua itu, Rice memiliki kalimat yang selalu memotivasinya, yakni dare to dream, dare to achieve. Melalui kalimat itu pula, ia berpesan kepada para generasi muda agar selalu mengambil dan memanfaatkan kesempatan selagi ada. Ayu Larasati Editor : Syiva Pramuji Budi Astuti

Kegiatan Workshop 3D Printing (Sumber: dokumen pribadi/Angela Seriang)

ACHIEVE 22


Galeri Pandemi. 23


Stay-

Work.

24


n e w

normal

25


Life

must go on! 26


27


rubrik kesehatan

Penyintas Covid-19 Berbagi Kisah; dari Gejala hingga Kendala Menjadi penyintas Covid-19 merupakan pengalaman yang tidak mudah dan sulit dilupakan. Pandemi yang mengubah kehidupan manusia ini, telah merenggut banyak nyawa. Tidak sampai disitu, Covid-19 juga menyebabkan penyintasnya mengalami berbagai kendala, mulai dari yang ringan hingga berat. Nuzul Ashari (24) mengatakan, kendala yang ia hadapi ketika terpapar virus Covid-19 lebih kepada masalah psikologis. Hal ini dikarenakan Covid-19 merupakan virus baru dan obatnya belum ditemukan. Proses penyembuhannya pun memakan waktu yang cukup lama, sekitar 2-3 minggu. “Sempat merasa sangat khawatir karena belum ada obatnya,” tutur pria kelahiran Sumatera Utara ini. Ketika dinyatakan positif Covid-19, Nuzul langsung mendapatkan perawatan di rumah sakit. Respon cepat ini dikarenakan perusahaan tempat ia bekerja telah menjalin kerja sama dengan rumah sakit rujukan Covid-19. Namun, akibat jarak perusahaan dan tempat tinggal Nuzul cukup jauh dari rumah sakit, penanganannya sedikit mengalami kendala. Berdasarkan penuturan Nuzul, ia sempat melakukan pemeriksaan awal pada paru-paru dan cek darah setelah mengalami gejala demam dan nyeri persendian yang terkadang timbul. Setelah hasil pemeriksaan keluar, diketahui bahwa hasil sel darah putihnya sangat rendah sekitar 3.000/mikroliter. Oleh sebab itu, obat yang diberikan berfungsi untuk meningkatkan sel darah putih agar kembali normal dengan nilai 10.000/mikroliter. Hal serupa dirasakan oleh Yashara Agidira (20), ia mengalami gejala awal badan lemas hingga sulit untuk bangun. Namun, gejala tersebut hanya muncul pada saat-saat tertentu saja. “Kalau sehabis minum obat langsung merasa sehat, tetapi ketika efek obatnya hilang jadi lemas lagi,” ungkapnya. Wanita yang kerap dipanggil Aya ini, merupakan salah satu penyintas Covid-19 yang berasal dari klaster keluarga. Kedua orang tua, kakak, dan adiknya dinyatakan positif Covid-19 pada waktu yang bersamaan. Ia mengatakan, saat itu merupakan masa terberat dalam hidupnya karena seluruh anggota keluarganya terpapar Covid-19. Tidak seperti Nuzul, Aya mengalami kendala dalam menemukan rumah sakit yang mampu menampung keluarganya. Kala itu, semua rumah sakit rujukan telah penuh, bahkan rumah sakit swasta sekali pun. “Untuk mendapatkan perawatan intensif bagi ibu, saya hanya diberi waktu lima menit oleh pihak rumah sakit. Telat sedikit saja, mungkin 28

Hasil rontgen penyintas Covid-19 (sumber: Nuzul Ashari)

slotnya sudah diberikan kepada pasien lain,” ungkapnya. Terpaksa, hanya sang ibunda saja yang dirawat di rumah sakit karena sudah mengalami gejala parah. Hasil rontgen menunjukkan bahwa virus tersebut telah masuk ke paru-paru ibunya hingga menyebabkan sesak napas. Untuk keluarga lain yang terpapar, tetapi hanya menunjukkan gejala ringan cukup melakukan isolasi mandiri di rumah. Tentu semua pihak berharap agar angka positif Covid-19 segera menurun. Dalam hal ini, upaya-upaya yang telah dilakukan, seperti pembatasan mobilitas dan distribusi vaksin dapat lekas membuahkan hasil sehingga keadaan dapat kembali seperti sedia kala. Salma Annisa Editor: Wafa’ Sholihatun Nisa’


Membagi Daya, Melawan Stigma

SELUK BELUK VAKSINASI DI INDONESIA Ilustrasi vaksin Covid-19 (Sumber: Kompas.com)

Keresahan masyarakat akibat pandemi sedikit terobati dengan ditemukannya vaksin Covid-19. Semua orang akan mendapatkan kesempatan untuk vaksinasi. Namun, dalam pelaksanaannya tenaga kesehatan menjadi prioritas utama untuk mendapatkan vaksin ini.

Hal itu tergantung pada daya tahan dan aktivitas yang dilakukan setiap orang. Meski demikian, menurut pengakuan Irma, ia tidak merasakan efek samping apa pun setelah melakukan vaksinasi. Oleh sebab itu, dirinya dapat langsung menjalankan aktivitas seperti biasa.

Program vaksinasi dari pemerintah ini merupakan upaya untuk memutus rantai penyebaran virus Covid-19. Ada beberapa jenis vaksin yang beredar di Indonesia, di antaranya Sinovac (CoronaVac), AstraZeneca (AZD1222), Sinopharm (BBIBP-CorV), dan Moderna (mRNA-1273).

Rahmat, salah seorang perawat di Rumah Sakit Royal Progress Jakarta, mengatakan bahwa vaksinasi akan dilakukan dalam jeda 14 hari. Sedangkan bagi lansia, diberi selang waktu 28 hari. Vaksinasi akan dilakukan sebanyak dua kali dengan takaran 0,5 ml per dosisnya.

Menurut Irma, salah seorang tenaga kesehatan di Puskesmas Klirong II Kebumen, di sana vaksin yang digunakan adalah CoronaVac. Vaksin ini diperuntukkan bagi usia 18-59 tahun.

“Setelah mendapatkan vaksin, penerima akan mendapat sertifikat dari pemerintah. Sertifikat akan diberikan setelah vaksinasi pertama maupun kedua. Bagi penerima vaksin, diharapkan datang tepat waktu agar antrean tidak menumpuk serta diwajibkan membawa surat undangan,” imbuh Rahmat.

CoronaVac telah diuji coba pada kalangan dengan populasi beragam. Dengan kata lain, juga diujikan bagi orang yang memiliki berbagai penyakit penyerta. Vaksin ini berfungsi untuk membentuk antibodi dalam tubuh.

Terdapat tata cara dalam pelaksanaan vaksinasi. Diawali dengan calon penerima mendaftarkan diri menggunakan KTP dan melakukan skrining. Dalam tahap skrining ini, tersedia aplikasi bernama Primary Care atau P-Care milik BPJS Kesehatan. Namun, skrining ini hanya berlaku bagi penerima dalam kelompok ideal.

Menurut dr. Arum Pamungkas, salah satu dokter di Rumah Sakit Umum Bethesda Yogyakarta, pasca vaksinasi tubuh mungkin akan merasakan efek yang berbeda.

C O R O N AVAC 29


rubrik kesehatan

SINOVAC

Aplikasi P-Care berguna untuk mendukung proses registrasi penerima vaksin. Mulai dari skrining status kesehatan, mencatat, hingga melaporkan hasil vaksinasi. Saat melakukan skrining menggunakan aplikasi P-Care, penerima cukup memberi tanda centang pada setiap kolom yang perlu diisi. Calon penerima juga diminta untuk mengisi data diri, suhu tubuh, dan tekanan darah.

Melalui kuesioner ini, akan dinilai kemampuan individu dalam menerima vaksin. Mereka yang dikatakan tidak mampu adalah individu yang mengalami kesulitan saat menaiki sepuluh anak tangga tanpa istirahat, sering merasa kelelahan dalam jangka waktu sekitar empat minggu, menderita lebih dari empat penyakit yang tertera pada kuesioner, mengalami kesulitan berjalan sejauh 100-200 meter tanpa bantuan, dan kehilangan berat badan dalam waktu yang singkat. Meskipun masih banyak perdebatan, tetapi vaksin tetap dibutuhkan oleh seluruh masyarakat. Apabila semua telah mendapatkan vaksin, diharapkan berbagai sektor kehidupan dapat kembali pulih dan berjalan seperti sedia kala.

Bagi lansia, terdapat aturan khusus yang harus ditaati terutama bagi mereka yang memiliki penyakit penyerta. Tekanan darah pada lansia sangat diperhatikan. Vaksinasi hanya diperbolehkan bagi mereka yang memiliki tekanan darah di bawah 180 mmHg. Lansia yang akan menerima vaksin juga harus mengisi kuesioner untuk mengetahui kesesuaian terhadap kriteria yang berlaku.

Maria Dewi Sekaringtyas Marizka Zahra Annisa Editor: Wafa’ Sholihatun Nisa’

30


Ilustrasi : designed by Pikisuperstar / Freepik 31


OPINI

Meniti Kepastian di Tengah Ketidakpastian

Ilustrasi tetap di rumah saat pandemi (Sumber: Pexels)

alahkan karena tidak menaati kebijakan yang ada.

Terhitung sejak tulisan ini dibuat, sudah ada 1,67 juta orang yang tekena Covid-19 di Indonesia. Masyarakat juga telah menjalani setahun lebih situasi pandemi yang belum kelihatan ujungnya. Berbagai kebijakan dari Lockdown, PSBB, hingga munculnya sebutan baru yaitu New Normal, masih saja tak membuat situasi mereda.

Mencontoh beberapa negara yang sudah melonnggarkan PSBB-nya seperti Selandia Baru, negara tersebut sudah mulai melonggarkan lockdown terhitung sejak pertengahan tahun 2020 lalu. Hal tersebut didasari oleh kesigapan pemerintah dalam melihat situasi penyebaran Covid-19 yang mulai menyebar Masyarakat seolah dibuat kebingungan oleh ke- di seluruh belahan dunia. Pada masa awal penyebabijakan yang tak pasti. Mengatur masyarakat tak ran, pemerintah Selandia Baru mampu menekan anharus melulu dengan peraturan dan kebijakan. gka penyebaran virus dengan mengontrol kepanikan Setidaknya, pihak yang berwenang harus melaku- masyarakat serta menetapkan kebijakan yang jelas. kan pendekatan yang bisa menyasar akar rumput untuk mengetahui duduk permasalahan. Nyatanya, rakyat butuh kejelasan di tengah kondisi yang serba tidak pasti ini. Di sisi lain, gelombang Jutaan orang di pelosok negeri sudah tidak peduli Covid-19 kembali bermunculan di beberapa negara. apa itu pandemi. Yang terpenting bagi mereka adalah Sebut saja India sebagai negara yang sempat terjadi bagaimana caranya bisa hidup dan memenuhi kebu- lonjakan kasus ataupun Indonesia dimana angka tuhan. Teringat ketika gelombang pandemi datang pengidap seakan belum mencapai titik puncaknya. pertama kali ke Indonesia, pihak berwenang seo- Terlebih, lagi-lagi negara ini kecolongan karena otolah meremehkan dengan munculnya kasus perta- ritas yang berwenang tidak langsung bergerak sema. Padahal, ketegangan di berbagai negara sudah cara cepat. Alhasil, dikabarkan bahwa varian baru mulai mencuak. Sekarang, masyarakat yang men- Virus Corona asal India sudah memasuki Indonesia. contoh perilaku meremehkan itu kemudian dis-

32


Membagi Daya, Melawan Stigma

Lebaran

Pendidikan

Ramadan identik dengan tradisi lebaran dan pulang kampung. Namun, sudah dua kali puasa Ramadan masih terjerat pandemi. Banyak masyarakat yang sudah tak tahan untuk berbagi kisah di kampung halamannya. Namun, pemerintah masih saja melarang kegiatan mudik untuk tahun ini.

Dalam pandemi ini pemerintah sudah beberapa kali membuat kebijakan serta melakukan reshuffle kabinet. Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan pun menjadi sorotan akibat perubahan pola kegiatan belajar mengajar dari tatap muka menjadi daring. Pandemi yang tak kunjung reda membuat sebagian besar para pelajar sudah bosan dan sedikit berharap bisa sekolah secara luring kembali. Hal ini berbanding terbalik oleh pusat keramaian yang sudah dibuka bebas sedangkan sekolah dan kampus masih dibatasi kegiatannya.

Kebijakan tersebut memang terkesan dilematis. Di satu sisi, kebijakan ini bertujuan untuk menekan penyebaran kasus Covid-19 yang tak kunjung surut. Akan tetapi, berbagai elemen masyarakat banyak yang mengeluhkan hal ini, terutama orang-orang yang bergantung hidupnya dari jalanan. Terlebih, tempat wisata dan pusat perbelanjaan juga dibuka.

Beberapa fenomena yang berkaitan dengan pendidikan pun muncul akibat adanya pandemi. Bahkan, ada kasus pelajar yang melakukan nikah muda karena sudah tak tahan dengan situasi sekarang ini. Unik memang. Namun, bagi beberapa golongan, mereka tidak memiliki privilege untuk memilih pilihan yang lain. Kita tak bisa menyalahkan fenomena tersebut karena setiap orang mempunyai masalah dan sudut pandang yang berbeda.

Semua berharap bahwa lebaran tahun ini sudah dilonggarkan peraturannya. Namun apa boleh buat, angka penyebaran belum juga menurun. Jika saja saat itu pemerintah melaksanakan PSBB dengan tegas dan sepenuh hati, mungkin seharusnya tahun ini kita sudah bisa berjumpa dengan saudara di tanah kelahiran.

Masalah lain muncul tentang biaya pendidikan yang tidak berkurang nominalnya meski pembelajaran dilakukan secara daring. Padahal, para pelajar tidak menggunakan fasilitas pendidikan selama belajar dari rumah. Alih-alih berkurang, pengeluaran mereka malah bertambah karena harus memikirkan kuota serta perangkat yang harus digunakan. Beruntung, subsidi kuota diberikan kepada masyarakat yang kurang mampu meski implementasinya jauh dari kata maksimal.

Lagi-lagi kita dipaksa untuk berharap dari ketidakpastian. Entah sampai kapan kita harus menunggu pandemi ini mereda. Masyarakat telah berupaya mengikhlaskan 2 tahun terakhir sebagai kelinci percobaan kebijakan pemerintah. Dengan penuh harap, semoga pandemi Covid-19 ini segera berakhir. Sehingga yang normal baru, menjadi normal kembali seperti sedia kala. Latief Fadhlan Editor: Mohamad Rizky Fabian

Maka dari itu, tidak heran apabila banyak pelajar dan orang tua menuntut agar sekolah menjadi offline atau biaya pendidikan diringankan. Memang, beberapa instansi pendidikan sudah memberi pilihan. Tetapi, menurut saya, tak perlu diberi pilihan. Langsung saja setiap peserta didik diberi keringanan pembiayaan uang sekolah.

33


OPINI

Belum Saatnya Menggaungkan Slogan

"All Lives Matter"

Meski digagas oleh 3 orang, BLM juga merupakan hasil koalisi dari kurang lebih 50 grup yang merepresentasikan warga kulit hitam. Awalnya, gerakan tersebut merupakan bentuk kecaman terhadap pembunuhan Trayvon Martin, seorang remaja kulit hitam berusia 17 tahun pada 26 Februari 2012.

Kasus kematian George Floyd pertengahan 2020 lalu seolah menunjukan bahwa konflik antar rasial tidak ada habisnya. Slogan “Black Lives Matter” pun digaungkan untuk memperjuangkan hak hidup masyarakat kulit hitam di seluruh dunia. Di tengah gerakan tersebut muncul beberapa slogan tandingan seperti “All Lives Matter” dan “Blue Lives Matter”. Nampaknya, masyarakat belum sadar bahwa ini bukanlah ajang kontes siapa yang paling berhak untuk hidup layak.

Dilansir dari jurnal dengan judul “Risk of being killed by police use of force in the United States by age, race–ethnicity, and sex”, 1 dari 1000 pemuda kulit hitam di Amerika Serikat beresiko mengalami kekerasan dan dibunuh oleh polisi. Jurnal tersebut juga melampirkan data, pria kulit hitam memiliki resiko 2,5 kali lebih besar dibandingkan warga kulit putih. Data tersebut mengindikasikan ketidakseriusan pemerintah dan kepolisian dalam menangani isu rasial.

Kematian George Floyd di tangan polisi kulit putih, Derek Chauvin menambah luka masyarakat AfrikaAmerika. Bukan tanpa alasan, sudah berulang kali diskriminasi rasial serta kebrutalan polisi dirasakan oleh warga kulit hitam di Amerika Serikat. Tidak adanya keseriusan dalam menangani masalah tersebut akhirnya menciptakan bom waktu yang bisa meIndikasi tersebut diperkuat dengan beberapa kasus ledak kapan saja. kebrutalan polisi terhadap warga kulit hitam. Sebut Terbukti, kasus tersebut menjadi trigger terakhir saja kasus kematian Freddie Gray, Alton Sterling, dari keresahan yang telah memuncak. Gelombang Stephon Clark, Breonna Taylor, dan masih banyak protes serta kerusuhan pun terjadi di berbagai kota lagi, di tangan para penegak hukum. Warga Afrikadi Amerika Serikat. Gerakan tersebut kembali mem- Amerika pun dihantui kebingungan untuk mencari bawa slogan “Black Lives Matter” (BLM) sebagai perlindungan dan juga rasa aman. pengingat bahwa kaum kulit hitam juga berhak unBeragam upaya akhirnya dilakukan agar suara meretuk hidup aman. ka dapat didengar. Meski demikian, tidak adanya aksi BLM merupakan gerakan serta slogan yang dibuat nyata dari pemegang kuasa untuk menghilangkan pe pada tahun 2013 lalu. Gerakan tersebut digagas oleh nindasan membuat gerakan BLM dan demonstrasi Alicia Garza, Patrisse Cullors, dan Opal Tometi. menjadi pilihan. Tanpa bermaksud untuk men34


Membagi Daya, Melawan Stigma

justifikasi demonstrasi yang berjalan ricuh, tidak heran jika kerusuhan menjadi jalan yang ditempuh agar keluhan mereka dapat didengar. “Violence is the language of the unheard”. Petikan kalimat yang disampaikan oleh Martin Luther King tersebut rasanya masih relevan untuk menggambarkan kondisi warga kulit hitam saat ini. Dilema pun dirasakan oleh warga Afrika-Amerika yang selalu dianggap warga kelas dua. Berteriak tidak didengar, melakukan demonstrasi dianggap pembuat onar. Di tengah aksi menuntut kehidupan yang lebih layak, muncul slogan tandingan dari warga konservatif (yang didominasi oleh kulit putih) di Amerika Serikat. Gerakan tersebut tidak lain merupakan “All Lives Matter” (ALM).

Jika boleh berpendapat, All Lives Matter tidak lebih dari sebuah gerakan yang dibuat oleh mereka yang haus akan perhatian. Mereka tidak ingin lepas dari spotlight dan ingin dunia memperhatikannya. Tidak peduli apakah orang lain mengalami kondisi yang lebih sulit dari mereka. Yang penting, mereka juga ikut diperjuangkan.

Jargon tersebut merupakan countermovement dari gerakan BLM yang dianggap hanya peduli terhadap nasib warga kulit hitam. Banyak dari anggota ALM menuduh gerakan BLM bertujuan untuk mendiskriminasi warga kulit putih. Selain itu, ideologi politik color-blindness juga menjadi alasan mengapa slogan tandingan tersebut disuarakan.

Gerakan All Lives Matter menuntut kesetaraan dan kehidupan aman bagi seluruh umat manusia. Pertanyaannya, bagaimana kita bisa hidup setara sementara warga kulit hitam masih mengalami diskriminasi setiap harinya? Kata kesetaraan saja bahkan belum tercapai.

Padahal, gerakan BLM merupakan upaya agar masyarakat dapat hidup berdampingan tanpa adanya diskriminasi. Tidak ada niatan sama sekali untuk mendominasi atau membalaskan dendam atas perbudakan dan diskriminasi yang mereka alami selama beratus-ratus tahun. Masyarakat kulit hitam hanya ingin kesetaraan dan kehidupan yang aman. Tak kurang dan tak lebih.

Untuk memperjuangkan kesetaraan, warga kulit hitam harus lepas dari bayang-bayang rasisme dan stereotip terlebih dahulu. Betapa angkuhnya kita meminta untuk diperjuangkan sementara banyak dari kita yang lebih sengsara. Oleh karena itu, mengapa kita begitu takut untuk memberikan porsi lebih bagi masyarakat kulit hitam untuk berpendapat? Toh, perjuangan mereka tidak merenggut hak-hak kita untuk hidup aman. Kalau tidak bisa membantu, setidaknya jangan ganggu perjuangan mereka untuk mendapatkan hidup layak. Jika semua sudah setara, baru kita teriakan slogan All Lives Matter. Tapi untuk sementara, sampai warga kulit hitam tidak takut untuk bepergian keluar rumah, sampai warga kulit hitam memiliki rasa aman untuk berjalan sendirian di malam hari, belum saatnya kita menggaungkan slogan tersebut. Mohamad Rizky Fabian

Ilustrasi: Freepik

35


PASANG IKLAN? suarasikap@gmail.com

yuk update informasi kamu! ADD LINE@ SIKAP SCAN QR-CODE INI! instagram : @suarasikap website : www.suarasikap.com

36


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.