Opini 2

Page 1

II-MEI 2016

OPINI Mental Sejajar Teknologi oleh : Daniella Jesslyn

“Pada hakikatnya, transportasi online itu menyerobot beberapa izin. Mereka juga merampok mata pencaharian kami.” Demo besar-besaran diserta aksi anarkis yang dilakukan oleh para sopir taksi konvensional telah menyita perhatian publik nasional maupun dunia pada 22 Maret lalu. Seluruh media massa tersita perhatiannya untuk mengulas kasus ini dari berbagai macam angle. Tuntutan demo cukup jelas, yaitu para sopir taksi konvensional menuntut pemblokiran sederet transportasi online yang sejak beberapa tahun terakhir dianggap meraup “jatah” mereka. Di luar kontroversi bahwa transportasi online ini tidak memiliki izin dan belum ada undang-undang tersendiri yang mengatur regulasinya, tuntutan para pendemo sampai saat ini memang tidak salah. Munculnya transportasi online yang kini semakin menjamur dengan berbagai brand, tentunya membuat eksistensi taksi konvensional—yang sudah menguasai jatah transportasi umum di Indonesia sejak dahulu kala—menjadi terancam. Tidak bisa dipungkiri lagi, masyarakat Indonesia khususnya Jakarta saat ini sedang “tergila-gila” dengan transportasi online. Banyak argumen yang bisa dilontarkan jika bicara tentang kelebihan transportasi online dibandingkan konvensional. Misalnya, pengguna bisa dengan mudah meng-klik beberapa tombol di gadget mereka, dan tidak lama kemudian “sang penjemput” datang—kuncinya ada pada aplikasi yang mudah diakses dan mobile-friendly. Tidak hanya antar jemput manusia, salah satu perusahaan transportasi online di Jakarta bahkan bisa memenuhi kebutuhan pengguna yang ingin mengantar barang, memesan makanan di restoran favoritnya, membeli beberapa kebutuhan dapur di supermarket, hingga memesan tiket konser band idolanya. Kebutuhan masyarakat kini bisa dipenuhi dengan sekejap mata—perlu diingat—semuanya berangkat dari sistem teknologi. Bukankah kini dunia sudah semakin menggila?

Menjamurnya website, portal media, hingga yang terbaru—transportasi online—merupakan dampak dari perkembangan teknologi yang terlalu cepat. Masalahnya, apakah masyarakat kita bisa berjalan sejajar dengan perkembangan itu? Jika sebentar lagi akan muncul sebuah restoran serba robot yang sama sekali tidak membutuhkan tenaga manusia, akankah para koki dan pramusaji geram akan hal ini? Atau jika sebentar lagi sebuah pabrik konveksi yang mempekerjakan seribu karyawan beralih menggunakan teknologi dalam menyelesaikan semua pekerjaannya, akankah seribu buruh pabrik geram dibuatnya? Bicara tentang kegeraman, baru-baru ini—bak menguji mental dan emosi para driver konvensional—salah satu perusahaan transportasi online yang pada awalnya berbasis mobil, kini melebarkan sayap dengan meluncurkan transportasi motor layaknya perusahaan-perusahaan pesaing. Apakah masyarakat akan kembali disulut api kecemburuan? Akankah demo anarkis bagian II terjadi sebentar lagi? Masyarakat kita bukannya belum melek teknologi, bahkan bisa dikatakan masyarakat kita sangat maju jika bicara

Kembali pada kasus demo anarkis terhadap transportasi online yang beberapa waktu lalu menjadi topik perbincangan dunia, tidak ada yang salah dan benar dalam hal ini. Tindakan pemerintah yang memperbolehkan transportasi online merajalela di jalanan tanpa izin dan regulasi yang jelas tidak bisa dikatakan benar. Tindakan para pendemo yang mengutarakan pendapatnya menggunakan kekerasan dan tindak pidana juga tidak bisa dikatakan benar. Tetapi, pendapat para pendemo yang mengatakan “jatah” mereka diraup oleh transportasi online dan menuntut pemblokiran tentu tidak salah. Sebaliknya, perusahaan transportasi online yang mengklaim dirinya selalu taat peraturan, membuka lapangan kerja baru dan menyediakan penghasilan yang lebih baik bagi para driver juga tidak salah. Jadi, apa yang sebenarnya harus dibenahi dalam hal ini? Regulasi, tentunya. Itu merupakan PR baru bagi pemerintah yang kiranya dapat segera diselesaikan. Tetapi, ada satu hal lagi yang selayaknya dapat segera dibenahi. Hal paling penting yang perlu dibenahi adalah mental masyarakat kita. Bagaimana cara mereka memandang kemunculan dari “anak-cucu” teknologi ini sebagai sebuah tantangan dari tuntutan zaman, bukan sebagai kompetitor atau musuh. Terjadinya demo besar beberapa waktu lalu tentunya tidak akan terjadi jika masyarakat tidak merasakan efek dari aktifnya transportasi online. Jika saja “jatah” mereka masih sebanyak dulu, para penumpang masih mengidolakan mereka, demo anarkis itu tidak akan terjadi. Dari sekian banyak sumber : google.com

tentang teknologi. Terbukti dengan menjamurnya bisnis-bisnis baru berbasis teknologi yang biasa dikenal dengan sebutan startup. Lalu, dimana letak akar permasalahan atas hal ini? Kunci permasalahannya ada pada apakah masyarakat kita dapat menerima dan mengikuti perkembangan teknologi yang kian hari kian bombastis ini?

yang perlu dibenahi terkait hal ini, mental masyarakat yang harus menjadi fokus pembenahan paling utama—bagaimana menjadikan mental masyarakat sejajar dengan perkembangan tek n o l o g i .


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.