Komunika Edisi 3 2016

Page 1

komunikatabloid

e-paper

.com/komunika Tahun XII

Maret 2016

Edisi 3

h t t p : / / w w w. i n fo p u b l i k . i d

BERSAHABAT DENGAN ALAM, TANGGUH HADAPI BENCANA Laporan Utama Halaman 3

MARI ANTISIPASI BANJIR DENGAN LUBANG RESAPAN BIOPORI Te k n o l o g i Te p a t g u n a H a l a m a n 1 0

BELAJAR DARI SMONG SIMEULUE Cinta Indonesia Halaman 9

SIGAP DIKALA ! BENCANA


Beranda

Tabloid komunika. ISSN: 1979-3480. FOTO COVER FIRMAN TAQUR

Diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik KEMENTERIAN KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA Pengarah Menteri Komunikasi dan Informatika Sekretaris Jenderal Kementerian Kominfo Penanggung jawab Dirjen Informasi dan Komunikasi Publik Pemimpin Redaksi Direktur Pengelolaan Media Publik Wakil Pemimpin Redaksi Kasubdit Media Cetak Sekretaris Redaksi Elpira Inda Sari N.K Redaktur Pelaksana M. Taofiq Rauf Penyunting/Editor/Redaktur Kasubdit Media Online Kasubdit Media Luar Ruang dan Audio Visual Reporter/Pembuat Artikel Ardi Timbul H. S. (Koordinator Reporter) Ignatius Yosua AH Resti Aminanda Nurita Widyanti Muhammad Arif Febrianto Nixon Elyezer Iwans Eko Widodo Fotografer Agus Setia Budiawan Desain Grafis/Artistik Danang Firmansyah Sekretariat Keuangan Very Radian Wicaksono Inu Sudiati Mulyati Distribusi Monang Hutabarat Imron Tata Usaha Rien Andari Lia Ulisari Rahmat

Alamat Redaksi : Jalan Medan Merdeka Barat No. 9 Jakarta 10110 Telp/Faks. (021) 3504620. e-mail: dana006@kominfo.go.id

Suara

Publika Pembaca Komunika dapat mengirimkan materi suara publika melalui e-mail ke : dana006@kominfo.go.id atau melalui surat dengan dialamatkan ke Direktorat Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik Kementerian Komunikasi dan Informatika, Jl. Medan Merdeka Barat No. 9 Jakarta 10110

Tahun XII

B

Maret 2016

Edisi 3

AGAR SIGAP DIKALA BENCANA

encana datang tak per nah diundang. Pergipun tak tahu kapan, sekehendaknya saja. Bagi kita yang bertempat tinggal di daerah-daerah rawan bencana, kedatangannya menjadi tamu rutin yang tak bisa dihindari. Gempa bumi, banjir, tanah longsor dan lain sebagainya tak akan memilih untuk datang disaat kita terjaga ataukah sedang terlelap dalam tidur. Januari 2014 lalu, banjir bandang meluluhlantakkan kota Manado Sulawesi Utara. Usai banjir, disusul kemudian tanah longsor yang menghancurkan ratusan rumah serta menelan banyak korban jiwa. Gedung sekolah, pemerintahan dan berbagai fasilitas umum ambruk diterjang air bah. Masih di tahun 2014, gunung Sinabung dan Kelud memaksa warga sekitar mengungsi menghindari larva panas. Bahkan, dampak letusan kedua gunung ini menghentikan beberapa saat aktivitas ekonomi dan sosial masyarakat di daerah-daerah lain yang berdekatan. Indonesia memang jadi rawan dari bencana karena letak geografisnya yang masuk dalam Pasific Ring of Fire. Indonesia terletak pada pertemuan empat lempeng tektonik, yaitu lempeng benua Asia, lempeng benua Australia, lempeng Samudera Hindia dan lempeng samudera Pasific. Karena seringnya mengalami pergeseran, 90 persen aktivitas gempa bumi terjadi di kawasan ini. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Tragedi gempa bumi dan tsunami yang melanda Aceh dan sekitarnya pada tahun 2004 menjadi tonggak pemerintah Indonesia dan dunia internasional dalam manajemen penanggulangan bencana. Pemerintah k e m u d i an m e n g e l u a r k a n Perat u ra n Presiden Nomor 83 Tahun 2005 tentang Badan Koordinasi Nasional Penanganan Bencana (Bakornas PB). Badan ini memiliki fungsi koordinasi yang didukung oleh pelaksana harian sebagai unsur pelaksana penanggulanagn bencana. Sejalan dengan itu, pendekatan paradigma pengurangan resiko bencana menjadi perhatian utama. Dalam merespon sistem penanggulangan bencana saat itu, pemerintah lalu membuat legalisasi, lembaga, maupun budgeting. Setelah dikeluarkannya UndangUndang Nomor 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana, terbitlah Peraturan Presiden Nomor 8 Tahun 2008 tentang Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Lembaga ini dibentuk sebagai

Belajar dari pengalaman. Masyarakat sini terutama yang tinggal dekat dengan laut sudah mengerti harus segera ke tempat evakuasi kalau ada peringatan gempa. Jadi tidak seperti dulu ketika ada tsunami, semua berhamburan pergi kemana-mana, malah menyulitkan.

ANTARAFOTO IDHAD ZAKARIA

2

institusionalisasi konsep disaster management yang mempunyai dua fungsi utama, yaitu pertama, merumuskan dan menetapkan kebijakan penanggulangan bencana dan penanganan pengungsi. Kedua adalah mengoordinasi pelaksanaan kegiatan penanggulangan bencana secara terencana, terpadu, dan menyeluruh. Sebagai institusi, tentu telah banyak yang dilakukan BNPB dalam menangani dan meminimalisir korban setiap kali bencana alam melanda. Koordinasi dengan pihak lain yang terkait juga sigap dilakukan. Walaupun begitu, harus diakui beberapa sosialisasi dan penanganan baru berjalan setelah dan ketik a bencana terjadi. Pendekatan struktural semisal pendirian bangunan yang mengikuti kaidah-kaidah konstruksi yang benar dengan memasukkan parameter kegempaan, telah tersosialisasi dengan baik. Begitu pula pendekatan nonstruktural seperti membuat peta rawan bencana. Namun ketika bencana tiba, tetap saja kita semua ditutupi oleh panik yang berlebihan. BNPB kembali pontang panting melaksanakan fungsinya. Integrasi, Taat Prosedur Dan Kearifan Lokal Artinya adalah ada hal yang harus kita tambahkan dalam menyikapi bencana alam di Indonesia, baik oleh pemerintah maupun masyarakat. Jangan lagi hanya terpikir bagaimana penanganan pasca bencana. Atau sekedar sosialisas-sosialisasi menghindarkan korban lebih banyak. Lebih dari itu kita harus punya sensitifitas bencana. Kita harus “mampu hidup” dengan bencana. Dengan letak geografis Indonesia yang rawan bencana, kita perlu memperkuat sensitifitas bencana, yaitu prinsip pengetahuan dan aturan yang menyadari bahwa eksistensi lingkungan rentan oleh datangnya bencana. Pemerintah melalui BNPB dan lembaga-lembaga terkait tentu telah mempunyai konsep berdasarkan hasil

Sekarang kalau tiba-tiba ada gempa, semua langsung berkumpul di tempat-tempat evakuasi yang ada di dekat sini.” Rama, Banda Aceh Karyawan

penelitian mendalam terkait kebencanaan. Maka itu pemerintah sesungguhnya tinggal memperkuat integrasi dalam tata kelola bencana antara pusat dan daerah, di saat bersamaan, masyarakat juga harus taat pada prosedur yang dibuat pemerintah. Integrasi pemerintah dan ketaatan masyarakat ini adalah dua hal mutlak yang harus dilakukan negara rawan bencana seperti Indonesia. Poin terakhir adalah kearifan lokal. Nilai kearifan lokal dalam menjaga sekaligus memanfaatkan sumber alam perlu terus dijaga dan diperkuat. Di banyak wilayah, pengetahuan akan hal ini justru menjadikan masyarakat lebih tanggap saat suatu bencana menerjang. Saat gempa dan tsunami menerjang Aceh di tahun 2004, warga Pulau Simeulue yang tidak jauh dari pusat gempa, hanya mengalami korban jiwa sebanyak tujuh orang. Sebaliknya, warga Banda Aceh yang berada di daratan utama justru menderita korban tewas paling banyak, mencapai 161.000 orang tewas. Ini semua karena kearifan lokal. Gempa dan tsunami oleh masyarakat Pulau Simeulue ibarat nyanyian (rakyat), sehingga saat bencana, warga Pulau Simeulue telah tahu apa yang harus dilakukan. Ini juga terjadi di Jepang. Saat gempa 9,0 skala Richter dan tsunami menerjang Jepang pada 11 Maret 2011, semua anak sekolah di kota Kamaishi, Prefektur Iwate, berhasil diselamatkan karena adanya pendidikan bencana, yang disadur dari nilai-nilai kearifan lokal sejak puluhan tahun. Kearifan lokal ini belajar dari gempa yang menimpa di tahun 1896 yang menelan korban jiwa hingga 1.867. Ketika integrasi tata kelola kebencanaan kuat, kepercayaan mengikuti prosedur dari masyarakatpun akan kuat. Ditambah lagi nilai-nilai kearifan lokal yang dipertahankan, sudah tentu kepanikan ataupun korban jiwa akan tereduksi. Imbasnya, kita akan siaga sebelum bencana dan sigap ketika bencana itu menerpa. (mota001@kominfo.go.id)

“Kalau sekarang kami sudah tahu kalau ada gempa kami segera mencari tempat berlindung yang aman. Kalau gempanya besar kami segera keluar rumah lalu pergi ke tempat lain yang lebih tinggi. Kami khawatir ada tsunami kalau gempanya besar” Yusuf, Banda Aceh Pengemudi Rental Mobil


Edisi 3

Tahun XII

Utama

Maret 2016

BERSAHABAT DENGAN ALAM, TANGGUH HADAPI BENCANA

3

Intinya mengajari masyarakat mengenali setiap ancaman untuk kemudian mengatasi ancaman tersebut.

ELVIRA

I

ndonesia, negeri yang istimewa. Selain alamnya yang elok dan sumber daya alam nya yang kaya, Indonesia juga istimewa dari segi geografis. Istimewa karena dengan keelokan dan kekayaan sumber daya alamnya, di sisi lain Indonesia rentan terhadap serangan bencana alam semisal gempa bumi, tsunami, gunung berapi, tanah longsor, dan banjir. Berada dalam jalur ring of fire kawasan Pasifik, zona deretan gunung berapi aktif di dunia, menjadikan Indonesia salah satu negara rawan goncangan gempa bumi. Salah satu imbas dari gempa bumi yang dahsyat adalah tsunami. Cincin api Pasifik atau lingkaran api Pasifik merupakan daerah yang sering mengalami gempa bumi dan letusan gunung berapi yang mengelilingi cekungan Samudra Pasifik. Daerah ini berbentuk seperti tapal kuda dan mencakup wilayah sepanjang 40.000 kilometer, sering pula disebut sebagai sabuk gempa Pasifik. Letusan gunung berapi juga rentan terjadi di Indonesia. Selain itu iklim Indonesia yang tropis berpotensi besar menjadikan tanah tidak stabil dan rusak. Iklim tropis dengan curah hujan yang cukup tinggi memudahkan terjadi pelapukan. Imbasnya, bencana longsor mengintip kapan saja.

Informasi dan Komunikasi Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat sepanjang tahun 2015 terjadi 1.582 bencana alam di Indonesia. Angka ini berkurang 20 persen dari dibanding tahun sebelumnya. Belajar dari banyaknya bencana alam dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir, menjadikan Indonesia lebih siap menghadapi bencana. Meski perlu terus ditingkatkan, namun kemampuan penanganan bencana meningkat signifikan. Banyaknya bencana seolah menumbuhkan kesadaran memahami alam. Pakar kebencanaan dari Universitas Pembangunan Nasional Veteran, Lesto P Kusumo seperti dikutip dari laman voaindonesia.com mengakui semakin tingginya kesadaran akan bencana ini. Indikasinya diantaranya minat masyarakat mengikuti berbagai pelatihan menghadapi bencana yang terus meningkat. Kelompokkelompok masyarakat sadar bencana mengancam kapan saja. Pola pendekatan penanganannyapun berbeda karena masingmasing daerah memiliki kareakteristik bencana dan wilayah yang juga berbeda. Semua juga disesuaikan dengan kearifan lokal di setiap wilayah. Yang dibutuhkan saat ini, menurut Lesto adalah adanya pola baku alur informasi dan komunikasi antara instansi resmi di bidang kebencanaan, misalnya kegempaan, gunung berapi, banjir maupun tanah longsor kepada masyarakat sehingga bisa dilakukan antisipasi bencana secara lebih baik. “Masyarakat sekarang membutuhkan, pertama informasi, yang kedua komunikasi, yang ketiga perlengkapan. Karena mereka sendiri tahu, mereka sadar bahwa mereka hidup di daerah yang berpotensi bencana. Informasi potensi bencana yang akurat dan

cepat dapat meminimalkan potensi korban bencana alam,” ujarnya. Desa Tangguh Bencana Sejalan dengan apa yang dikatakan Lesto, BNPB telah menggulirkan program Desa Tangguh Bencana (DTB) dan Sekolah Siaga Bencana (SSB). Masyarakat sebagai penerima dampak langsung dari bencana, harus sekaligus sebagai pelaku pertama dan langsung yang akan merespon bencana disekitarnya. Maka itu masyarakat perlu dibekali ilmu, dalam konteks pemberdayaan, agar mereka tangguh. Masyarakat bukan hanya siap saat terjadi bencana tapi juga menjadi tangguh sebelum dan usai bencana. Secara konsep, masyarakat yang tangguh bencana ialah masyarakat yang mampu mengantisipasi dan meminimalisir kekuatan yang merusak, melalui adaptasi. Mereka juga mampu mengelola dan menjaga struktur dan fungsi dasar tertentu ketika terjadi bencana. Dan jika terkena dampak bencana, mereka akan dengan cepat bisa membangun kehidupannya menjadi normal kembali atau paling tidak dapat dengan cepat memulihkan diri secara mandiri. DTB tujuannya agar masyarakat bisa mandiri. Kabupaten Bantul Daerah Istimewa Yogyakarta, jadi salah satu daerah yang mampu mengembangkan konsep Desa Tangguh Bencana (DBT) dan Sekolah Siaga Bencana (SSB). Nur Etta Effendi, staf Pusat Data dan Informasi BPBD Kabupaten Bantul mengatakan sudah ada sekitar 25 Desa Tangguh Bencana (DTB) level pratama dari target 75 DTB yang terbentu. Level Pratama artinya masih sebatas rencana konsigensi, membentuk Forum Pengurangan Resiko Bencana (FRB). Tujuannya agar tiap-tiap

desa mempunyai wadah atau tim relawan. FPRB ini beranggotakan berbagai komunitas, masyarakat, pamong desa dan beberapa komunitas desa lainnya. FPRB menjadi kepanjangan tangan dari BPBD, dan pada saat kejadian mereka juga sebagai leader. “Intinya mengajari masyarakat mengenali setiap ancaman untuk kemudian mengatasi ancaman tersebut. Mulai dari SOP kemudian jalur evakuasi, sistem peringatan dini, dan lain sebagainya,” ujar Etta. Informasi Cepat Kapasitas Meningkat Etta mengatakan setiap desa beda ancamannya sehingga BPBD juga melakukan sosialisasi sesuai dengan kondisi masingmasing desa. Kendala yang kerap dihadapi di lapangan adalah kurangnya partisipasi warga. “Tapi biasanya di awal-awal saja. Setelah mereka sadar akan pentingnya mengetahui cara-cara menghadapi bencana, ya mereka kemudian aktif. Intinya sebagian besar masyarakat sadar mereka tinggal di wilayah yang rawan bencana,” tambah Etta. Sejak pendampingan yang dilakukan BPBD melalui DTB dan SSB ini, lanjut Etta, bisa dilihat saat bencana banjir yang baru lalu dimana kapasitas warga dalam reaksi awal menangani bencana meningkat. Mereka reaktif dan bertindak cepat. Yang kedua adalah informasi yang diperoleh BPBD lebih cepat sehingga penanganan otomatis juga cepat. Yang ketiga dengan dibantu para relawan penanganan korban jauh lebih cepat. Saat longsor dan angin ribut yang baru lalu juga, informasi ke BPBD itu cepat, sehingga reaksi tim penanggulangan juga cepat. Intinya BPBD begitu terbantu dengan adanya DTB maupun SSB dengan para relawannya. (Vira/tr)


4

Wawancara

Tahun XII

Maret 2016

Edisi 3

SIAGA SEJAK DARI KELURAHAN

Dalam mempersiapkan masyarakatnya menghadapi bencana alam, Pemerintah Kota Ternate membentuk Kelurahan Siaga Bencana di tiap kelurahan. Upaya ini untuk meminimalisir korban saat terjadinya bencana. Pulau Ternate memang ditetapkan sebagai salah satu wilayah yang rawan akan bencana alam. Ini karena lokasi pulau ini yang berada diantara tiga lempeng rawan gesekan, sehingga menimbulkan gempa bumi berkekuatan besar. Selain berdiri tepat di tengah pulau gunung berapi Gamalama, Ternate juga menjadi salah satu daerah yang dilintasi Pasific Ring of Fire (rangkaian gunung berapi teraktif di dunia). Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota Ternate, Hasyim Yusuf, menjelaskan jurus kotanya, berdamai dengan bencana alam. Apa itu Kelurahan Siaga Bencana? Kelurahan Siaga Bencana adalah peningkatan kapasitas kelembagaan yang dilakukan Pemkot Ternate untuk mengurangi dampak bencana. Kelurahan Siaga Bencana dibentuk pada wilayah yang paling rawan terkena dampak bencana, terutama untuk jenis bencana yang sering terjadi seperti banjir bandang, banjir lahar dingin, letusan gunung api dan tsunami. Personil Tim Kelurahan Siaga Bencana beranggotakan lima orang yang terdiri dari aparat kelurahan, tokoh masyarakat dan anggota TNI ditingkat kelurahan yang dapat bertindak cepat dan tepat jika terjadi bencana walaupun belum ada bantuan dan koordinasi dari pihak terkait lainnya. Saat ini sudah terbentuk 12 tim Kelurahan Siaga Bencana dari total 77 kelurahan yang ada di Kota Ternate.

FOTO : YOSUA, KOREM 152/BABULLAH

Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota Ternate, Hasyim Yusuf

Apa saja yang dilakukan Tim tersebut? Kegiatan utama yang dilakukan Tim tersebut adalah melakukan sosialisasi, mengadakan pelatihan, dan peningkatan pemahaman dan pengetahuan masyarakat tentang kebencanaan. Dengan demikian masyarakat dapat segera melakukan evakuasi mandiri saat terjadi bencana di daerahnya. Misalnya, Pemkot Ternate telah memasang alat peringatan terjadinya banjir pada sejumlah titik di Kota Ternate. Selanjutnya akan kami berikan pelatihan melalui tim tersebut, sehingga apabila masyarakat mendengar bunyi alat peringatan tersebut bisa segera menyelamatkan diri sebelum bencana, bahkan sebelum tim bantuan tiba di lokasi. Kegiatan ini dilakukan secara bertahap tiap tahunnya sampai seluruh kelurahan terbentuk Tim Kelurahan Siaga Bencana. Apabila tiap kelurahan telah terbentuk Tim Kelurahan Siaga Bencana, maka selanjutnya kami akan melakukan seleksi dan perekrutan untuk menjadi relawan bencana yang berkoordinasi langsung dengan BPBD.

Dengan demikian segala informasi yang disampaikan oleh BPBD ke tiap kelurahan dapat langsung disampaikan kepada masyarakat untuk melakukan evakuasi mandiri. Seberapa Efektifkah Kelurahan Siaga Bencana ini? Kelurahan Siaga Bencana ini cukup efektif dalam menanggulangi bencana khususnya dalam mengurangi resiko timbulnya korban. Dengan meningkatnya pengetahuan masyarakat tentang kebencanaan setiap kelurahan memiliki kemampuan untuk mengenali adanya ancaman bencana dan mampu mengorganisir sumber daya masyarakat untuk mengurangi kerentanan dan resiko bencana. Jadi apabila BPBD atau instansi lain yang terkait terlambat ke lokasi bencana, masyarakat tetap dapat melakukan evakuasi secara mandiri. Itulah sebenarnya tujuan dari Kelurahan Siaga Bencana, masyarakat dapat melakukan evakuasi mandiri saat terjadi bencana. (igna002@kominfo.go.id/tr)


7

Ta b l o i d Te m p e l h t t p : / / w w w. i n fo p u b l i k . i d http://www.infopublik.org

Maret 2016

Edisi 3

INFOGRAFIS: FEBRY

Tahun XII

UPAYA TERNATE SIKAPI BENCANA

6

Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menempatkan Kota Ternate, Maluku Utara, sebagai salah satu daerah paling rawan bencana alam di Indonesia. Hal ini dikarenakan dari 12 jenis bencana alam, sembilan di antaranya berpotensi dan sering terjadi di daerah ini.

S

embilan jenis bencana alam yang rawan terjadi di Kota Ternate adalah gempa bumi, tsunami, letusan gunung api, banjir lahar dingin, banjir bandang, tanah longsor, angin puting beliung, gelombang pasang serta kebakaran hutan dan lahan. “Dari semua jenis bencana alam potensial tersebut, hanya tsunami yang belum melanda kota ini, selebihnya sudah sering terjadi.” Ujar Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota Ternate, Hasyim Yusuf. Data BPBD Kota Ternate menyatakan bencana yang paling sering terjadi adalah banjir, banjir lahar dingin, angin puting beliung dan gempa bumi. Musibah tersebut sering terjadi bahkan sampai menimbulkan korban jiwa dan kerusakan fisik. Letusan gunung api Gamalama pada bulan Juli 2015 lalu misalnya, mengakibatkan sebagian Kota Ternate tertutup abu vulkanik, termasuk terganggunya operasional Bandara Babulah Ternate. “Bencana yang paling terparah yang pernah kami alami adalah banjir lahar dingin pada Mei 2012 yang lalu yang menelan 13 korban jiwa serta merusak ribuan rumah.” Kata Hasyim. Mitigasi Struktural dan Non-Struktural Menyikapi posisi Ternate yang rawan gempa, pemkot bukan tanpa upaya. Karena memang belum ada teknologi yang mampu dikembangkan, hal utama yang menjadi perhatian pemkot adalah seminim mungkin mengurangi dampaknya bagi masyarakat. “ Ya n g b i s a d i l a k u k a n a d a l a h

mengurangi dampaknya jika terjadi bencana.” Ujar Hasyim. Dalam hal mitigasi bencana, pemkot dikatakan Hasym melakukan dua pendekatan, yaitu mitigasi struktural dan mitigasi non-struktural. Pendekatan per tama salah satunya adalah dengan membangun infrastruktur tahan bencana. “Contohnya seperti pembuatan dinding penahan dan talud (jejeran batu yang dibuat untuk menahan tanah agar tidak bergeser atau longsor-red) untuk mencegah banjir dan tanah longsor, serta pembangunan titik-titik evakuasi sementara.” Kata Hasyim. Sementara mitigasi non-struktural dilakukan dengan meningkatkan k apasitas kelembagaan, seper ti melakukan sosialisasi kepada masyarakat mengenai bagaimana tindakan yang harus dilakukan jika terjadi bencana, sosialisasi peringatan dini, pembentukan kelurahan siaga bencana, dan pelaksanaan program sekolah aman bencana. “Selain itu, kami juga melakukan pelatihan dasar kebencanaan serta simulasi mengenai langkahlangkah yang harus dilakukan jika terjadi bencana dengan melibatkan masyarakat serta berbagai pihak terkait lainnya seperti tim SAR, relawan Tagana, tim kesehatan dan aparat keamanan setempat.” Jelas Hasyim. Optimalisasi Skema Mitigasi Kondisi topografi pulau Ternate berbukit-bukit dengan gunung berapi Gamalama yang masih aktif dan berada tepat di tengah pulau. Kota ini juga berdiri tak jauh di atas tiga lempeng

besar dunia yang selalu berinteraksi menimbulkan gempa, yaitu lempeng Euresia, lempeng Hindia-Australia, serta lempeng Pasifik. Zona pertemuan ketiga lempeng ini membentuk palung dengan kedalaman 4.500 hingga 7.000 meter yang tersohor dengan nama zona tumbukan atau subduksi. Yang lebih menjadikan kota ini sebagai “strategis potensi bahaya” adalah karena secara umum propinsi Maluku Utara dilewati oleh Pasific Ring of Fire (rangkaian gunung berapi teraktif di dunia). Terlepas dari kondisi ini, pulau Ternate adalah salah satu pulau dengan potensi sumber daya alam melimpah di Indonesia. Kayanya sumber daya dipulau ini menjadikan penduduk seolah harus berdamai dengan alam. Berdamai dalam arti memiliki sikap yang tangguh dan sigap ketika bencana alam mengancam. Dengan “keunikan” (pulau yang rawan namun kaya sumber daya) ini, tak ada pilihan lain kecuali pemerintah dan masyarakat punya skema bersama dalam menghadapi bencana. Berbagai kendala yang diungkapkan Hasyim, seper ti pengalok asian anggaran p e n a n g g u l a n g an b e nc ana yang belum sebanding dengan kebutuhan peningkatan kapasitas, harus bisa disikapi dengan cerdas. Optimalisasi sepenuhnya skema mitigasi bencana akan meminimalisir kerugian yang mungkin akan timbul. Hal ini tentu menjadikan masyarakat aman untuk beraktivitas karena merasa terlindungi dan akan tahu apa yang akan dilakukan ketika alam mulai bergejolak. (igna002@kominfo.go.id/tr)

Diterbitkan oleh :

DITJEN INFORMASI DAN KOMUNIKASI PUBLIK KEMENTERIAN KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA

http://www.facebook.com/komunikatabloid

e-paper http://infopublik.org/index.php?page=product&id=1


8

roboh. Retakan/rekahan akan terlihat jelas pada permukaan tanah, dinding bangunan, dan jembatan. Yang harus dilakukan ketika ini terjadi ; • Hindari bangunan tinggi, jembatan, tiang listrik, papan reklame. • Jangan mendekati pohonpohon yang tinggi. • Cari tempat terbuka, atau tanah lapang. - Setelah Terjadi Gempa • Jangan segera masuk ke bangunan setelah terjadi gempa, karena kemungkinan akan terjadi gempa susulan. • Segera berikan pertolongan pertama terhadap korban gempa. • Cari informasi lebih lanjut dari pihak yang berwenang tentang gempa yang terjadi. Gempa Bumi yang Dapat Diikuti Tsunami Apabila : • Getaran dirasakan sangat kuat. • Menimbulkan kerusakan hebat. • Air laut surut secara drastic dan selang beberapa menit muncul suara gemuruh dari arah laut.

2. TANAH LONGSOR • Upaya pencegahan untuk mengurangi dampak bencana tanah longsor : Kenali daerah tempat tinggal kita sehingga jika terdapat ciriciri daerah rawan longsor kita dapat menghindar. • Perbaiki tata air dan tata guna lahandaerha lereng. • Tanami daerah lereng dengan tanaman yang sistem perakarannya dalam (akar tunggang). • Tutup retakan-retakan yang timbul di atas tebing dengan material lempung untuk mencegah air masuk kedalam tanah. • Selalu waspada pada sat musim hujan terutama pada saat curah hujan yang tinggi dalam waktu lama. • Waspada terhadap mata air/ rembesan dan kejadian longsor skala kecil di sepanjang lereng. Apa yang dilakukan saat kejadian? Segera evakuasi penduduk jika tebing menunjukkan gejalagejala longsor. Apa yang dilakukan setelah

kejadian? • Evakuasi korban yang tertimbun secara hati-hati, karena penggalian pada timbunan dapat memicu terjadinya longsoran baru. • Evakuasi penduduk yang tinggal di daerah bahaya ke tempat penampungan yang aman. • Cari sumber-sumber air bersih yang dapat dimanfaatkan untuk daerah penampungan yang aman. • Segera hubungi pihak terkait seperti Kepala Desa/Lurah atau Camat sehingga kejadian bencana dapat ditangani dengan segera secara terkoordinasi. Waspadailah hal sebagai berikut : • Tumpukan tanah gembur dan lolos air (lempung, lempung pasiran, dan pasir. Retakan lengkungan pada lereng atau retakan pada bangunan dan jalan pada saat/ setelah turun hujan. • Lapisan tanah atau batuan yang miring kearah luar lereng. Munculnya rembesan air pada lereng.

3. BANJIR Kenali Penyebab Banjir • Curah hujan tinggi. • Permukaan tanah lebih rendah dibandingkan muka air laut. • Terletak pada suatu cekungan yang dikelilingi perbukitan dengan pengaliran airkeluar sempit. • Banyak pemukiman yang dibangun pada dataran sepanjang sungai. • Aliran sungai tidak lancar akibat banyaknya sampah serta bagunan din pinggir sungai. • Kurangnya tutupan lahan di daerah hulu sungai. Mengurangi Dampak Banjir • Penataan daerah aliran sungai secara terpadu dan sesuai fungsi lahan. Pembangunan sistem

• Segera mengamankan barangbarang berharga ketempat yang lebih tinggi. • Jika air terus meninggi hubungi instansi yang terkait dengan penanggulangan bencana seperti Kantor Kepala Desa, Lurah ataupun Camat. Yang Harus Dilakukan Setelah Banjir • Secepatnya membersihkan rumah, dimana lantai pada umumnya tertutup lumpur dan gunakan antiseptik untuk membunuh kuman penyakit. • Cari dan siapkan air bersih untuk menghindari terjangkitnya penyakit diare yang sering berjangkit setelah kejadian banjir. Cegah Banjir dengan • Menjaga kebersihan lingkungan. • Tanam pohon di sepanjang aliran sungai. • Bersihkan saluran air secara berkala.

pemantauan dan peringatan dini pada bagian sungai yang sering menimbulkan banjir. • Tidak membangun rumah dan pemukiman di bantaran sungai serta daerah banjir. • Tidak membuang sampah kedalam sungai. Mengadakan program pengerukan sungai. • Pemasangan pompa untuk daerah yang lebih rendah dari permukaan laut. • Program penghijauan daerah hulu sungai harus selalu dilaksanakan serta mengurangi aktifitas dibagian rawan banjir. Yang Harus Dilakukan Saat Banjir • Matikan aliran listrik di dalam rumah atau hubungi PLN untuk mematikan aliran listrik di wilayah yang terkena bencana. • Mengungsi ke daerah aman sedini mungkin saat genangan air masih memungkinkan untuk disebrangi. • Hindari berjalan di dekat saluran air untuk menghindari terseret arus banjir.

• Jangan mendirikan bangunan diatas lerengrawan longsor. • Jangan mencetak kolam atau sawah irigasi di atas dan pada rawan longsor. • Jangan melakukan penggalian di sekitar kaki lereng yang rawan longsor. • Jangan menebang pohon sembarangan pada dan di sekitar lereng yang rawan longsor. • Jangan tinggal dibawah lereng rawan longsor. Yang harus dilakukan • Melapor ke aparat desa atau kelurahan setempat. • Tutup retakan tanah dengan lempung atau material kedap air lainnya. • Hindari air meresap ke dalam lereng dan atur drainase lereng. • Buat parit pengatur air hujan yang menjauhi lereng. • Tancapkan bambu-bambu yang dilubangi kedua ujungnya kedalam lereng. • Apabila rembesan/aliran air bercampur lumpur muncul semakin deras pada lereng, segera tinggalkan lereng.

LUCKY R

ADWIT B PRAMONO

1. Gempa Bumi Gempa Bumi adalah getaran di tanah yang disebabkan oleh pergerakan permukaan bumi. Gempa Bumi yang kuat dapat menyebabkan kerusakan besar bagi gedung, jembatan dan bangunan lain, termasuk juga korban nyawa. Tanda-tanda terjadinya gempa: - Di Dalam Bangunan Semua benda yang tergantung bergoyang dan berjatuhan. Semua benda yang berdiri atau terletak diatas meja bergeser dan berjatuhan. Yang harus dilakukan ketika ini terjadi ; • Cari jalan keluar yang aman. • Jika tidak sempat, berlindung di bawah meja guna menghindari reruntuhan. • Hindari berada di dekat benda-benda yang mudah rubuh, seperti lemari. • Tetap tenang dan tidak tergesa-gesa. - Di Luar Bangunan Pohon, tiang listrik dan lampu jalan, jembatan serta gedung bergetar, bahkan jika terjadi getaran sangat kuat akan mengakibatkan tumbang dan

IGGOY EL FITRA

ADWIT B PRAMONO

AYO SIAGA DAN SIGAP BENCANA..!!

4. KEKERINGAN Kekeringan antara lain dapat disebabkan oleh beberapa hal berikut : • Rusaknya lingkungan di daerah tangkapan air. • Pesatnya pembangunan fisik serta rendahnya tingkat kesadaran masyarakat dalam penggunaan air. • Minimnya usaha masyarakat dalam upaya menjaga dan melestarikan sumber daya air. Usaha-usaha yang dapat dilakukan untuk pencegahan kekeringan • Memanfaatkan sumber air yang ada secara lebih efisien dan efektif. • Memprioritaskan pemanfaatan

• •

• •

sumber air yang masih tersedia sebagai air baku untuk air bersih. Menanam pohon dan perdu sebanyak-banyaknya pada setiap jengkal lahan yang ada di lingkungan tinggal kita. Membuat waduk(embung) disesuaikan dengan keadaan lingkungan. Memperbanyak resapan air dengan tidak menutup semua permukaan dengan plester semen atau ubin keramik. Kampanye hemat air, gerakan hemat air, perlindungan sumber air. Perlindungan sumber-sumber air pengembangannya.

5

Tarik di sini


Edisi 3

Tahun XII

Cinta Indonesia

Februari 2016

9

BELAJAR DARI SMONG SIMEULUE Dengarlah suatu kisah Pada jaman dahulu kala Tenggelamlah suatu desa Begitulah dituturkan

Anga linon ne mali Oek suruik sahuli Maheya mihawali Fano me singatenggi

Jika gempanya kuat Disusul air laut yang surut Segeralah cari Tempat yang tinggi

Unen ne alek linon Fesang bakat ne mali Manoknop sao hampong Tibo-tibo mawi

Diawali gempa yang kuat Disusul ombak raksasa Tenggelamlah seluruh negeri Secara tiba-tiba

Ede smong kahanne Turiang da nenekta Miredem teher ere Pesan dan navi da

Itulah smong namanya Sejarah nenek moyang kita Ingatlah ini semua pesan dan nasihatnya

Smong dumek-dumekmo, linon uwak-uwakmo, elaik keundang-keundangmo, kilek suluh-suluhmo

Smong adalah air mandimu, Gempa adalah ayunanmu, Petir adalah kendang-kendangmu, Halilintar adalah lampu-lampumu

ni salah satu syair berbahasa Devayan, bahasa yang digunakan oleh masyarakat suku yang mendiami wilayah pulau Simalur atau Simeulue bagian selatan, tepatnya di kecamatan Simalur Timur, Simalur Tengah, Teluk Dalam, Teupah Barat dan Selatan, propinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Oleh masyarakat Simeleu, syair ini disebut Nandong, dan telah dilantunkan sejak berabad-abad lamanya. Seni bertutur masyarak at dalam mengungk apk an perasaannya ini, juga biasa dilantunkan saat pesta pernikahan atau acara-acara adat. Berbagai kejadian alam maupun kehidupan bisa dijadik an syair. Turun temurun dipertahankan, menyebabkan Nandong kemudian menjadi semacam “alarm” alam khususnya dalam mendeteksi bencana. Bermula sekitar tahun 1907 saat gempa yang oleh masyarakat Simelue menyebutnya linon, berkekuatan besar, melanda. Setengah jam-an usai gempa, air lautpun surut. Ini menjadikan ribuan ekor ikan begeleparan yang kemudian dengan suka cita dipungut oleh masyarakat sekitar. Namun disaat masyarakat sedang riang-riangnya, saat itu pula gulungan ombak besar (tsunami) atau Smong dalam bahasa masyarakat sekitar, menerjang. Korban jiwa berjatuhan tergerus ombak besar. Peristiwa ini oleh masyarakat yang selamat diceritakan dari generasi ke generasi yang pada akhirnya dituangkan dalam syair-syair Nandong.

Saat gempa yang disusul tsunami mengguncang negeri Serambi Mekah pada 2004 lalu, tercatat hanya tujuh jiwa dari sekitar 70.000 warga yang menjadi korban di Simelue. Padahal daerah ini salah satu daerah pesisir yang porak poranda parah dihantam gelombang tsunami. Ini tak lepas dari “peringatan” dini yang hadir dalam untaian syair Nandong. Masyarakat begitu peka terhadap perubahan alam karena pesan-pesan yang terkandung dalam setiap baris syair. Oleh karena itu, ketika kondisi alam berubah, masyarakat seketika sadar akan kemungkinan terjadi sesuatu. Ibaratnya, jauh hari sebelum gempa dahsyat menghantam, angin telah membisikkan masyarakat Simelue untuk segera berlindung menjauhi pesisir pantai. Berdamai dengan Alam melalui Kearifan Lokal Smong Simeulue yang terlantun dalam Nandong, jadi sebuah bukti nyata bahwa pemikiran dan nilai-nilai budaya yang terwujud dalam kearifan lokal mampu menjaga kelestarian alam, sekaligus bersikap saat terjadi bencana. Rincinya Hikayat Smong Simeleu dalam menyampaikan petuah atau pesan mampu ditangkap dan terpelihara apik tiap generasi, khususnya terkait kewaspadaan akan bencana. Penduduk Simelue mampu membaca tanda-tanda alam yang biasanya mengawali terjadinya suatu bencana. Misalnya, gemuruh alam biasanya terjadi, dan sayup-sayup seolah dibisikkan ke telinga penduduk beberapa hari sebelum gempa dahsyat melanda. Atau biasanya sekumpulan kerbau berkumpul di pantai dan kemudian bergerak cepat ke arah pegunungan, sehari atau dua hari sebelum gempa. Ini sedikit dari sekian banyak tanda yang terceritakan dalam hikayat-hikayat Nandong. Ketika tanda-tanda ini terlihat, sesaat setelahnya masyarakat akan berlindung dan mencari tempat teraman dari ancaman bencana. “Smong...smong...smong,” begitu biasa penduduk berteriak ketika melihat tandatanda alam setelah gempa. Mendengar teriakan ini, penduduk yang lain kemudian

SIMELUE KAB.

I

Enggel mon sao surito Inang maso semonan Manoknop sao fano Uwilah da sesewan

secara teratur akan bergegas menuju dataran-dataran tinggi. Kearifan lokal memaknai alam tidak hanya dimiliki oleh masyarakat Simeulue dengan Smong-nya. Banyak lagi kearifan lokal di masing-masing daerah di Indonesia yang tidak hanya menjaga kelestarian alam namun juga memberikan pelajaran saat mengenali tanda-tanda ketika alam “murka”. Dari kearifan lokal itulah akan terbentuk sebuah pengetahuan tentang bagaimana seharusnya manusia bergaul dengan

alam dan bersikap ketika mengahadapi bencana alam itu sendiri. Pengetahuan itulah yang akan memunculkan kesiap-siagaan masyarakat dalam menghadapi bencana yang dapat terjadi sewaktu-waktu. Menjadi penting bagi pemerintah dan seluruh lapisan masyarakat untuk dapat menggali kembali setiap kearifan lokal yang ada serta melestarikan dan mensosialisasikannya agar tidak lekang oleh perkembangan zaman. (nuri008@kominfo.go.id/dari berbagai sumber /tr)


Teknlologi Tepat Guna

Tahun XII

Maret 2016

Edisi 3

FOTO BLH KOTA DEPOK

10

MARI ANTISIPASI BANJIR DENGAN LUBANG RESAPAN BIOPORI Salah satu fungsi tanah adalah sebagai media untuk menyerap dan menyimpan air. Tetapi laju pertumbuhan dan pembangunan yang cepat berdampak pada berkurangnya jumlah lahan terbuka yang dapat menyerap air hujan. Taman, kebun, semak, bahkan lapangan berubah menjadi bangunan tempat tinggal atau lokasi usaha manusia. Pekarangan rumah yang seyogyanya ditumbuhi halaman berumput berganti menjadi hamparan lantai semen atau keramik. Semakin sedikit tempat untuk air bisa diserap tanah.

A

ir hujan yang tidak terserap tanah akan mengalir ke tempat yang lebih rendah. Jika tidak ditangani dengan baik, air yang mengalir ini bisa menimbulkan genangan air bahkan dalam jumlah besar dapat mengakibatkan banjir. Minimnya air yang meresap ke dalam tanah juga menyebabkan kandungan air tanah menjadi semakin berkurang. Padahal kebutuhan manusia akan air semakin bertambah. Tidak heran jika musim kemarau, kekeringan melanda banyak tempat. Melihat kenyataan itu, kita harus melakukan sesuatu untuk mengembalikan fungsi tanah sebagai penyerap dan penyimpan air. Ada cara sederhana, mudah, dan murah yang digagas oleh Ir. Kamir R. Brata, M.Sc, seorang peneliti di Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor, yaitu dengan membuat Lubang Resapan Biopori (LRB). Apa itu Lubang Resapan Biopori? Kamir Brata menjelaskan LRB adalah suatu teknologi yang memanfaatkan sampah organik untuk menghidupkan mahkluk kecil dalam tanah yang berguna sebagai penghasil sumber air baru untuk mempertahankan kelembaban tanah. Diakui Kamir Brata, LRB meniru kerja

struktur akar tanaman di dalam tanah yang mampu menyerap air dengan cepat. LRB bukan hanya menyerap air dengan cepat tapi juga mampu membentuk kompos hingga mengurangi penumpukan sampah organik. Kenapa disebut biopori? Karena lubang yang dibuat itu diisi dengan bahan organik, seperti sampah. Biopori sendiri merupakan ruangan atau pori dalam tanah yang terbentuk akibat adanya aktivitas makhluk hidup seperti fauna tanah dan akar tanaman. Jumlah dan ukuran biopori akan terus bertambah mengikuti pertumbuhan akar tanaman serta peningkatan populasi dan aktivitas mikroorganisme tanah. Menurut Kamir Brata, sampah yang dimasukkannya adalah sampah organik, yang berasal sisa makanan atau daun yang sudah membusuk. Kelebihannya adalah LRB dapat dibuat di mana saja dan cocok untuk daerah permukiman, baik di kota amaupun di desa. Manfaat LRB Perbandingan daya serap tanah dengan biopori dan dibandingkan tanpa biopori sangat signifikan. Sebagai contoh, daya serap tanah berdiameter 10 cm adalah sekitar 7578 cm persegi saja. Sementara itu, dengan sebuah biopori maka air yang terserap meningkat hingga 41 kali lipat dari aslinya, yaitu 3,075 centimeter persegi. Selain kemampuannya menyerap lebih banyak air, biopori juga memberikan manfaat tambahan berupa kesuburan tanah yang meningkat. Sampah organik yang dimasukkan ke dalam lubang akan membusuk dan mengurai hingga menghasilkan kompos yang akan menyediakan zat hara bagi tanah. Organisme tanah juga berkembang lebih banyak dan membuat tanah menjadi subur. 5 Juta Lubang di Bogor Menilik banyak nya manfaat LRB, Pemerintah Kota Bogor mencanangkan Gerakan 5 Juta Lubang Biopori dengan menargetkan pembuatan lima juta LRB dalam kurun waktu dua tahun. Pembuatan LRB melibatkan peran serta masyarakat Bogor, mulai dari siswa sekolah hingga warga perumahan turut serta aktif di lingkungan

mereka. Setiap minggu lokasi pembuatan lubang akan berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Bisa dikatakan, Gerakan 5 Juta Lubang Biopori ini merupakan sebuah gerakan semua lapisan masyarakat di Bogor. Antusias masyarakat dengan program ini sangat kental. Bukan hanya karena hasilnya yang jelas akan berdampak baik bagi lingkungan, tetapi lebih dari itu dengan gerakan ini kesadaran masyarakat Bogor terhadap lingkungannya akan meningkat. Melihat manfaatnya, LRB seyogyanya wajib dibuat di lingkungan tempat tinggal kita, khususnya di wilayah yang memang langganan dilanda banjir. Teknologi ini sudah terbukti secara empiris mampu mengantisipasi dan mengatasi banjir. Dengan biaya yang tidak besar, cara yang sederhana, kenapa tidak, mari antisipasi banjir! (Vira – berbagai sumber) Yuk, buat LRB di lingkungan mu! Alat- alat yang diperlukan: - Bor tanah, Untuk membuat lubangnya, bisa secara manual atau menggunakan bor tanah. Bor tanah seharga 200-300 ribu dapat digunakan untuk membuat banyak lubang untuk waktu yang lama, sangat hemat. - Seember air, - Cangkul, - 2 atau 3 kg sampah lapuk/organik, - Kawat jeruji - Pipa Cara pembuatan LRB: a. Buat jalur menggunakan cangkul b. Lubangi tanah dengan diameter 10 sentimeter sedalam satu meter. Agar mudah dilubangi, sebelumnya basahi tanah dengan air. c. Masukkan sampah organik ke dalamnya. d. Tutup mulut lubang dengan kawat jeruji agar tidak menjadi sarang binatang e. Beri pipa pada mulut lubang agar lubang tidak runtuh dan tertutup. Dua bulan setelah lubang dibuat sampah organik dikeluarkan dan umumnya bisa digunakan sebagai pupuk tanaman.


Edisi 3

Tahun XII

Regulasi

Maret 2016

11

KEMAMPUAN BERBEDA HADAPI BENCANA Alex Robinson dari Arbeiter-SamariterBund (ASB), sebuah lembaga swadaya asal Jerman yang juga mitra Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), mengatakan bahwa kesalahan interpretasi atas situasi dan gangguan komunikasi membuat penyandang disabilitas lebih rentan pada saat situasi bencana.

U

ndang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menegask an bahwa negara menjamin setiap orang bebas dari perlakuan diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan dari perlakuan yang bersifat diskriminatif. Saat bencanapun demikian. Penanggulangan dan penanganan korbannya tak pernah memandang status maupun kondisi. Tak banyak yang tahu bahwa penanganan korban bencana k hususnya merek a penyandang disabilitas, juga diatur dengan baik. Sebagai lembaga yang berada di garda depan kebencanaan, BNPB menjabarkannya lewat Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Nomor 14 Tahun 2014 tentang Penanganan, Perlindungan dan Partisipasi Penyandang Disabilitas dalam Penanggulangan Bencana. Peraturan ini menegaskan BNPB dan

BPBD harus membentuk unit layanan disabilitas di lingkungan masing-masing. Unit ini mempunyai beberapa tugas utama, diantaranya 1. Menyediakan rekomendasi kebijakan penanganan Penyandang Disabilitas dalam penanggulangan bencana 2. M e l a k u k a n p e r e n c a n a a n s e r t a penganggaran program dan kegiatan penanganan dan perlindungan Penyandang Disabilitas dalam penanggulangan bencana. 3. M e l a k u k a n k o o r d i n a s i d e n g a n kementerian, lembaga, SKPD dan para pihak terkait dalam hal kebijakan, program dan kegiatan. 4. Mengidentifikasi dan memfasilitasi pemenuhan hak dan kebutuhan Penyandang Disabilitas dalam penanggulangan bencana. 5. M e m a n t a u d a n m e n g e v a l u a s i pelaksanaan kebijakan, program dan kegiatan. 6. Mempromosikan pemenuhan hak dan kebutuhan Penyandang Disabilitas dalam penanggulangan bencana. 7. Memfasilitasi kerjasama para pihak dalam rangka pemenuhan hak dan kebutuhan Penyandang Disabilitas dalam penanggulangan bencana. 8. Melaporkan hasil pelaksanaan kebijakan, program dan kegiatan kepada Sekretaris Utama di lingkungan BNPB dan Kepala Pelaksana di lingkungan BPBD. Dalam bab III juga dengan tegas diatur hal terkait Pemenuhan Hak dan Kebutuhan Penyandang Disabilitas seperti kemudahan akses fisik dan non-fisik bagi

para penyandang disabilitas, dan prioritas khusus bagi para Penyandang Disabilitas ganda yaitu bayi, balita dan anak-anak; ibu hamil dan/atau menyusui; dan orang lanjut usia. Peraturan ini berlaku tidak hanya saat bencana terjadi, namun juga sebelum dan setelah bencana. Terk ait keterlibatan penyandang disabilitas, BNPB juga membuka seluasluasnya proses penanganan bencana melalui keanggotaan relawan dan agen pengurangan risiko bencana. Tahun 2015 lalu misalnya, proses perekrutan dan pelatihannya yang diikuti kurang lebih oleh 98 peserta dan diadakan di Solo, Jawa Tengah. Direktur Pemberdayaan Masyarakat BNPB, Any Isgiati, mengatakan salah satu tujuannya pelatihan-pelatihan tersebut adalah agar penyandang disabilitas bukan hanya bisa mandiri dalam menanggulangi bencana, melainkan juga bisa membantu keluarga dan menjadi relawan di lingkungannya. “Pelatihan kebencanaan bagi masyarakat terutama kelompok rentan sangat perlu dilakukan. Sebab, ketika bencana terjadi merekalah yang pertama kali akan melakukan kegiatan penanggulangan. Kami bangga meski dengan keterbatasan, mereka sangat bersemangat,” tandasnya. Pelatihan-pelatihan semacam ini perlu terus diselenggarakan. Bagi para penyandang disabilitas hal ini tentu akan menumbuhkan semangat bahwa mereka bukanlah cacat dan tak bisa apa-apa. Lebih dari itu , Penyandang Disabilitas adalah mereka yang punya kemampuan yang berbeda dalam menyelesaikan masalah terlebih saat bencana menimpa. (rest/tr)

Berdamai Dengan Alam

B

adan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika jadi lembaga di garda depan dalam memberikan “woroworo” akan kondisi dan keadaan ik lim. Cuaca buruk yang berpotensi mengakibatkan bencana semisal banjir dan tanah longsor terdeteksi oleh badan ini. Beberapa wilayahpun akan terpantau jika rentan bencana. Namun, kita kadang salah kaprah. Cuaca seringkali dituding sebagai penyebab bencana. Entah karena cuaca adalah faktor alam yang tidak bisa diintervensi manusia. Ataukah karena ketidakmampuan manusia untuk mengelola dan menata lahan sesuai dengan status kerawanan bencana. Tengok, masih saja ada yang mengambil resiko mendirikan permukiman di sepanjang daerah aliran sungai atau kawasan rawan longsor. Lantas ketika terjadi hujan lebat yang mengakibatkan banjir dan longsor, sang cuaca pun kembali dipersalahkan. Bencana melanda manusia, cuaca menjadi kambing hitam. Hingga kini, bangsa ini memang tidak lagi menghadapi bencana besar seperti tsunami yang melanda Aceh tahun 2004 silam. Pun semua pihak pasti berharap bahwa bencana tidak akan terjadi lagi. Tidak peduli seberapa besar atau kecil bencana itu. Masalah bencana memang bukan soal besar dan kecil. Namun, bencana akan senantiasa terkait dengan hidup dan kehidupan. Bencana alam yang datang

akan menyisakan penderitaan masyarakat dan berbagai problem sosial. Ada yang terpaksa mengungsi. Ada yang kehilangan kesempatan bersekolah atau bekerja. Ada pula yang terpaksa kehilangan sanak saudara dan tetangga. Kemampuan masyarakat m e n g g e ra k k a n ro d a p e re k o n o m i a n cenderung merosot akibat adanya bencana. Ekonomi nasional terganggu ak ibat digerogoti bencana. Sekalipun bencana yang terjadi akhir-akhir ini dinisbatkan dengan adanya perubahan iklim global, tetapi faktor perilaku manusia terkait dengan pengelolaan tata guna lahan yang merupakan hal yang memiliki kontribusi penting. Manusia yang hidup tanpa memperhatikan perilaku dan kondisi alam, tentu akan menuai dampak yang membahayakan hidup dan kehidupannya. Tinggal di bantaran sungai yang mengambil alih “jalan air” membuat mereka harus berhadapan dengan ancaman banjir ketika hujan deras dan sungai meluap. Membangun tapi mengabaikan drainase menyebabkan tersumbatnya jalan air dan menggenangi kawasan perumahan dan jalan raya. Menebang pohon tapi lupa menanam kembali juga menyebabkan berbagai bencana longsor. Kasus tsunami Aceh dan Nias harusnya menjadi pelajaran berharga untuk mengantisipasi bencana alam. Dalam setiap bencana alam yang datang kemudian, semua pihak bisa berpartisipasi untuk sigap mengantisipasi dan menghadapinya.

Ketersediaan informasi yang memadai adalah mutlak, kecepatan penanganan dan kerjasama dengan rakyat merupakan hal yang sangat penting. Sekali lagi, bencana yang terjadi bukan pertanda bahwa alam tidak bersahabat lagi dengan manusia. Namun, manusialah yang telah mengabaikan alam sebagai tempat tinggal dan tempat beraktivitasnya. Ketika bencana berulang, patut direnungkan adalah mengapa manusia mengalami berulang kali. Ibarat pepatah, jika seseorang sekali terperosok dalam sebuah lubang, bisa dianggap sebagai musibah.

Namun, jika terperosok untuk kedua kalinya dalam lubang yang sama, maka patut dipertanyakan manusianya, jika terperosok untuk ketiga kalinya di lubang yang sama berarti patut dikatakan: b-o-d-o-h. Terhadap bencana yang terjadi, kitapun bisa menggunakan pepatah yang sama. Jangan sampai bencana menjadi sahabat. Alamlah yang harusnya menjadi sahabat manusia. Sebab, ketika bencana menjadi sahabat, yang terjadi adalah kebebalan berpikir dan hambatan besar untuk mencapai kemajuan.(gun/tr/mota001@kominfo.go.id)


FOTO: NURITA

MENANTI PERAN TDMRC

Gempa bumi dan tsunami yang menghantam Nanggroe Aceh Darussalam tahun 2004 lalu tercatat sebagai salah satu bencana alam terdahsyat yang pernah terjadi. Serambi Mekah porak poranda. Tak hanya infrastruktur yang hancur berantakan, ribuan jiwa bahkan menjadi korban. Rasanya, duka dan luka dari bencana itu hingga kini masih membekas dalam ingatan masyarakat Aceh.

M

enilik lagi pada peristiwa itu, bencananya memang sungguh dahsyat, namun lebih dari itu harus diakui jika pengetahuan dan kepedulian kita tentang kebencanaan ketika itu masih rendah. Banyak korban berjatuhan karena memang tak siap ketika bencana besar melanda. Padahal, pemerintah maupun masyarakat harusnya telah paham apa dan bagaimana harus bersikap ketika bencana menerjang, karena letak geografis Indonesia yang memang jadi salah satu negara yang rawan bencana. Ada beberapa faktor, diantaranya negeri kita berdiri di atas pertemuan lempenglempeng tektonik. Ini mengakibatkan Indonesia ada di jalur gempa karena banyaknya patahan. Indonesia juga jadi negara dengan banyak gunung berapi aktif. Ditambah iklimnya yang tropis dengan tingkat curah hujan yang tinggi, menjadikan negeri kita sangat rawan pergeseran tanah karena kondisinya yang tidak stabil. Diluar faktor alam, rasanya sebelum bencana gempa dan tsunami tahun 2004 silam, sebagian besar infrastruktur kita tidak didesain sesuai dengan kondisi alam. Dengan jumlah penduduk yang banyak, tentu menjadi rentan ketika infrastruktur sedikit mengabaikan kondisi alam. Peran Lembaga Pendidikan dalam Pengurangan Resiko Bencana Tak mau terulang ketidaksiapan saat bencana, Universitas Syiah Kuala Banda Aceh berinisiatif mendirikan pusat riset dan studi bidang kebencanaan yang disebut dengan Tsunami and Disaster Mitigation Research

Center (TDMRC) pada tahun 2006. “Sebelumnya Universitas memang belum memiliki kapasitas yang cukup memadai tentang kebencanaaan ini. Namun bencana tsunami 2004 yang lalu telah men-drive Universitas untuk melakukan upaya tanggap dengan tujuan perbaikan, yaitu dengan mendirikan pusat riset ini,” papar Ketua TDMRC, Dr. Khairul Munadi ketika ditemui Tabloid Komunika. Upaya perbaik an yang dimaksud bukanlah dari segi pembangunan lingkungan secara fisik akibat kerusakan karena bencana, tetapi lebih kepada membangun kapasitas terkait dengan pengurangan resiko bencana di daerah. Terlebih saat ini, paradigma tentang kebencanaan tidak hanya mengutamakan u p aya t a n g g a p d a r u rat ( emergenc y response) saja. Saat ini, kebencanaan lebih diprioritaskan kepada konteks siaga bencana. Perubahan paradigma dari tanggap darurat menjadi siaga bencana bermakna bahwa bencana tidak lagi dianggap sebagai sesuatu yang harus diterima begitu saja. Tetapi, juga bisa diantisipasi kejadian bencana yang akan terjadi, jumlah korban dan diminimalisir dampaknya. Perubahan paradigma tentang kebencanaan, terutama dengan diundangkannya UU no. 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, menjadikan TDMRC memiliki posisi dan peran yang sangat strategis dalam bidang ilmu kebencanaan. Pusat Unggulan Iptek Program Manajer TDMRC, Dr. Ella Meilianda, menambahkan bahwa TDMRC berkomitmen untuk mengembangkan riset terapan di bidang kebencanaan. “Harapan kami masyarakat dapat langsung merasakan manfaat dari hasil riset yang kami buat,” jelasnya. Komitmen TDMRC ini pun mendapat sambutan positif dari berbagai pihak. Hingga saat ini, dukungan terhadap pengembangan TDMRC menjadi pusat studi riset bencana terus mengalir. Salah satunya perubahan status dan kedudukan TDMRC yang semula di bawah lembaga penelitian Universitas Syiah Kuala menjadi Unit Pelaksana Teknis (UPT) milik Universitas dengan lingkup tanggung

jawab serta kewenangan yang lebih besar. Sejak didirikan pada tahun 2006, TDMRC hingga kini telah melakukan berbagai upaya, terutama dengan meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang ilmu bencana. Upaya-upaya tersebut dilakukan terstruktur dengan mengedepankan science and technology di bidang mitigasi bencana. Berbagai produk TDMRC pun dibuat dengan mengedepankan konsep seperti Disaster Risk Map Infoormation System (DRMIS) dan Aceh Tsunami Digital Repository (ATDR). TDMRC juga menggali berbagai indigenous knowledge pada kearifan lokal masyarakat Aceh untuk kemudian diramu serta disosialisasikan dalam sebuah bentuk khasanah budaya masyarakat untuk dapat akrab dengan bencana. Penelitian dan pengembangan kearifan lokal Smong milik masyarakat Simeulue misalnya, yang terbukti efektif dalam konteks mitigasi bencana tsunami tahun 2004 lalu. Diluar itu, TDMRC tiada henti mendorong pemerintah dalam merumuskan dan membuat kebijakan penanggulangan bencana dengan berdasarkan pada hasil riset kebencanaan. Tujuannya, pelaksanaan penanggulangan dan penanganan bencana dapat tepat pada sasaran serta meminimalisir resiko yang ditimbulkannya. Berkat ini semua TDMRC diganjar sebagai Pusat Unggulan Iptek (PUI) Binaan oleh Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemristekdikti) pada awal tahun 2016 yang selama tiga tahun ke depan akan didukung oleh pemerintah untuk dapat berkembang menjadi Pusat Unggulan Iptek. Dukungan ini tidak hanya dari segi finansial guna menyokong penelitian tetapi juga penguatan kelembagaan. “Yang paling utama untuk dilakukan saat ini adalah memperkuat manajemen institusi serta memperluas networking kami,” kata Dr. Ella Meilianda. Saat ini, disamping melakukan program Sekolah Siaga Bencana di beberapa sekolah yang ada di provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, TDMRC juga mengembangkan keilmuan terkait kebencanaan pada program Magister di Universitas Syiah Kuala. (nuri008@ kominfo.go.id/dari berbagai sumber /tr).


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.