Edisi 17/Tahun V/November 2009

Page 1


2 www.bipnewsroom.info

komunika Edisi 17/Tahun V/November 2009

Gempa Bumi dan Antisipasi Kita Untuk kesekian kalinya, bumi Pertiwi dilanda bencana gempa bumi. Kali ini gempa mengguncang Kota Padang dan kota-kota sekitarnya di Provinsi Sumatera Barat. Ratusan warga meninggal dunia, ribuan luka-luka, sementara kerusakan harta-benda akibat bencana ini tak terhitung nilainya. Belum lagi trauma kejiwaan, kesedihan dan nestapa warga yang kehilangan anggota keluarga, sanak saudara, serta rumah yang selama ini mereka tinggali. Seperti saat terjadi gempa-gempa bumi sebe-lumnya, banyak di antara kita yang terkejut, prihatin, sekaligus menyesali banyaknya korban yang meninggal dunia. Bagaimanapun, bencana gempa yang terjadi berturut-turut di berbagai wilayah, dengan korban harta dan jiwa yang cukup besar, membuat bangsa ini selalu dirundung duka. Namun sayang, semua keprihatinan itu belum mampu mengubah sikap dan perilaku masyarakat secara mendasar dalam menghadapi gempa bumi. Kita baru mampu melakukan tindakan kuratif atau penanggulangan dampak setelah gempa melanda, sementara tindakan preventif-antisipatif belum diterapkan secara sungguh-sungguh dalam kehidupan sehari-hari. Harus diakui, reaksi masyarakat terhadap dampak bencana gempa bumi sangat positif. Hanya berselang satu hari setelah gempa terjadi, sumbangan dalam bentuk uang, makanan, pakaian maupun barang dari berbagai pihak terus mengalir ke Sumatera Barat. Hal tersebut menunjukkan bukti bahwa masyarakat sangat peduli untuk membantu meringankan beban mereka yang sedang menderita. Hanya saja, tindakan itu belum diimbangi dengan kesadaran bahwa kekuatan gempa bumi tidak bisa dilawan oleh manusia, sehingga diperlukan sikap mengalah untuk menang. Mengalah dalam arti mempersiapkan kondisi yang kondusif bagi berlangsungnya gempa bumi, bukan sebaliknya melawannya dengan tindakan yang tidak selaras dengan sifat-sifat gempa bumi. Sebagai negara yang sebagian besar wilayahnya berada di dalam ring of fire atau lingkar gunung api dunia dan berada persis di patahan lempeng bumi yakni lempeng Australia dan Eurasia—dimana

Pemulihan Padang

desain: ahas/danang foto: bf-m, danag

Saat orang-orang di daerah yang terkena bencana gempa di Sumatra Barat menantikan untuk membangun kembali hidup mereka, Program Pembangunan PBB (UNDP) ikut mendorong bantuan pemulihan di area ini minggu ini, dengan membawa lebih banyak peralatan berat untuk memindahkan rumah, bangunan, dan mesjid yang rusak berat serta para ahli di lapangan untuk bekerja sama dengan pemerintah untuk mengurangi dampak gempa di masa depan. Banyak bangunan di Padang yang rusak adalah kantor pemerintah – 80% rusak atau hancur akibat gempa. Dalam beberapa hari, UNDP telah menyediakan perlengkapan dasar seperti komputer dan perabotan, memungkinkan BAPPEDA untuk dapat bekerja kembali. Sementara itu, para ahli di bidang perencanaan, pemetaan, dan koordinasi pemulihan akan mulai bekerja minggu ini dengan pemerintah daerah. Mereka akan memfokuskan diri pada

pengurangan dampak gempa di masa depan. Gempa yang terjadi pada tanggal 30 September dan 1 Oktober, menewaskan lebih dari 1.000 orang dan lebih banyak lagi yang terluka. Banyak orang di Padang memberitahu betapa mereka menginginkan bantuan untuk membuat hidup lebih aman – mereka ingin rumah, kantor, sekolah dan rumah sakit yang dibangun sesuai dengan peraturan. Indonesia sebagaimana dikatakan UNDP Country Director Håkan Björkman memiliki dokumen tata ruang dan pedoman pembangunan yang bagus. Dengan mengadaptasi hal ini secara keseluruhan dapat membuat perbedaan antara hidup dan mati bagi orang-orang di Sumatra Barat. Olenka Priyadarsani UNDP via bip@depkominfo.go.id

Waspada Penipuan Mengatasnamakan Depkes Peringatan Hari Kesehatan Nasional yang jatuh setiap

keduanya merupakan faktor utama pencetus gempa khusus mendesain tempat tinggal yang tahan bumi—sepantasnyalah bangsa Indonesia mengguncangan dapat dihitung dengan jari. Ironisnya, anggap bahwa terjadinya gempa bumi merupakan rumah-rumah tradisional yang sejatinya didesain sebuah keniscayaan. Seyogyanya pula bangsa oleh nenek-moyang agar tahan guncangan, justru Indonesia membangun bangunan yang tahan gemmenghilang dari khazanah arsitektur Indonesia. pa, sehingga saat bencana yang sama terjadi lagi, Blunder ini pada akhirnya membawa petaka, banyak jumlah korban bisa diminimalisasi. Namun kenyataan rumah beton yang rubuh manakala diguncang menun-jukkan, di sejumlah gempa berkekuatan besar. dae-rah yang jelas-jelas Fakta tersebut sesungmengubah sikap dan perilaku ter-masuk wilayah rawan guhnya dapat difahami, masyarakat secara mendasar dalam gempa, masyarakat justru karena rumah beton—kenmenghadapi gempa bumi adalah mendirikan bangunan yang dati lebih kuat—namun tindakan preventif-antisipatif tidak tahan guncangan. fleksibilitasnya di tengah untuk bisa hidup di kawasan rawan bencana Konstruksi beton yang guncangan sangat rendah. masif dan kaku menjadi Apalagi rumah beton yang pilihan, karena dipandang lebih murah, kuat dan desainnya tidak memenuhi standar, misalnya sesuai dengan tren desain modern. Namun diakui tidak disertai blok-blok beton cor bertulang besi maupun tidak, tren membuat bangunan beton— sebagai penunjangnya, kemampuannya menahan apalagi persyaratan teknisnya tidak diterapkan daya tarik dan daya tekan sangat rendah. Kita secara baik—adalah salah satu bentuk perlawanan bisa melihat, hampir 80% rumah yang rubuh saat terhadap sifat-sifat gempa yang lebih selaras gempa di Padang Yogyakarta beberapa waktu lalu dengan tipe bangunan yang elastis dan dinamis. adalah rumah beton, sementara sebagian besar Berbagai gempa bumi berskala di atas 6 rumah-rumah tradisional dari kayu masih berdiri, Skala Richter (SR) seperti yang terjadi di Aceh kendati ada kerusakan pada atap dan dindingdan Nias, Bengkulu, Pangandaran, Tasikmalaya, dindingnya. semua membawa korban yang cukup besar. Probabilitas terjadinya gempa bumi di Indonesia Bahkan Gempa Yogyakarta yang ‘hanya’ 5,9 SR masih sangat besar, dan jangan lupa, tidak pun menelan korban jiwa sampai ribuan orang. seorangpun dapat meramalkan kapan gempa Kebanyakan korban meninggal dunia akibat tersebut akan terjadi. Maka sangat naif jika tertimpa reruntuhan bangunan tempat tinggal yang bangsa Indonesia terus mendirikan bangunan menurut para pakar sebagian besar berkonstruksi yang tidak tahan gempa, khususnya rumahbeton non standar atau beton sederhana. rumah beton alakadarnya, sebagaimana yang Bandingkan dengan gempa berkekuatan 7,1 SR dilakukan sebagian besar masyarakat saat ini. yang terjadi di Ishikawa Jepang pada 2007, yang Tindakan tersebut sama saja dengan mengabaikan hanya menewaskan sekitar sepuluh orang. Bahkan keselamatan diri sendiri. gempa ini hanya merubuhkan puluhan rumah saja. Sekali lagi, kita tidak bisa melawan kekuatan Hal tersebut bukan semata-mata karena kuatgempa bumi. Sebaliknya, kita seharusnya lemahnya guncangan, akan tetapi lebih terkait bersahabat dengan gempa. Salah satu cara yang dengan bagaimana perilaku masyarakat setempat paling rasional adalah dengan membangun rumah dalam mendirikan bangunan yang selaras dengan tahan gempa. Soal desain, kita memiliki puluhan tabiat gempa bumi. jenis rumah tradisional yang sebagian besar tahan Kendati sebagian besar penduduk Indonesia gempa. Tinggal bagaimana menyesuaikan desain sadar bahwa mereka tinggal di daerah rawan tersebut dengan kebutuhan dan mode masa kini. (g) gempa, akan tetapi jumlah warga yang secara

tanggal 12 November ternyata dimanfaatkan oleh pihak pihak yang tidak bertanggung jawab, salah satunya adalah penipuan berupa penawaran iklan kemitraan yang ditujukan kepada BUMN/BUMD, Swasta, rumah sakit, farmasi, dan instansi pemerintah lainnya dengan mengatasnamakan Pusat Komunikasi Publik Departemen Kesehatan dan memalsukan tandatangan Kepala Pusat Promosi Kesehatan dan Inspektur Jenderal Depkes. Penipuan tersebut terungkap dengan adanya surat dari PT Pertamina dan RS St Elisabeth yang menyatakan tidak bisa berpartisipasi pemasangan iklan dengan tarif antara Rp 5.500.000,- - Rp 42.000.000 yang akan dimuat di salah satu media cetak Nasional di Jakarta. Dengan ini kami nyatakan bahwa CV Gitanel Mitra Bersaudara yang menawarkan kerja sama pemasangan iklan tidak ada ikatan kerja sama dengan Departemen Kesehatan. Berkaitan dengan hal tersebut, Depkes meminta kepada instansi dan masyarakat untuk tidak melayani penawaran tersebut dan diharapkan di masa yang akan

datang jika menerima penawaran iklan hendaknya dikonfirmasi dengan Depkes. dr. Lily S. Sulistyowati, MM Kepala Pusat Komunikasi Publik, Sekretariat Jenderal Departemen Kesehatan. Telepon/Faks: 021-52907416-9 puskom.depkes@gmail.com puskom.publik@yahoo.co.id.

Pendalaman Agama Aksi terorisme di negeri ini masih terjadi. Sekalipun demikian upaya aparat untuk memburu para teroris itu terus gencar dilakukan. Beberapa pelaku teror berhasil ditangkap. Sangat disayangkan, ternyata di antara mereka yang tertangkap sebelumnya adalah para pemuda muslimin yang dikenal baik di lingkungannya, memiliki semangat beragama yang tinggi, dan pembelaan terhadap Islam. Menurut kami resep memberantas terorisme bisa dilakukan dengan cara damai, kondusif, yakni lewat pemahaman dan pendalaman ilmu agama. Semoga upaya kita semua berhasil dan mengembalikan

ajaran sesat terorisme ke jalan yang lurus. Ahmad Syahdan via bip@depkominfo.go.id

Identitas Lokal Hari ini kita melihat anakanak lebih banyak terpengaruh tayangan televisi di mana mereka tidak kenal lagi lagu-lagu daerah namun lebih hafal lagu-lagu beken dewasa yang dimainkan oleh penyanyi top nasional. Ini suatu bukti yang perlu menjadi pemikiran kita bersama, orang tua dan guru-guru harus sinergis untuk mengembangkan kembali pemikiran anak terhadap budaya lokal dan kepribadian dalam ajaran agama kita, sebagai sebuah kekuatan mental anak –anak kita dalam menghadapi berbagai cobaan hidup termasuk cobaan musibah gempa ini. Kita tidak akan bisa menghalangi berbagai perkembangan yang terjadi, namun kita mesti mempersiapkan anak-anak kita untuk memiliki moral dan kepribadian yang tangguh. Mulyanto via komunika@bipnewsroom.info

Tabloid komunika. ISSN: 1979-3480. Diterbitkan oleh Badan Informasi Publik DEPARTEMEN KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA Pengarah: Tifatul Sembiring (Menteri Komunikasi dan Informatika). Penanggung jawab: Freddy H. Tulung (Kepala Badan Informasi Publik) Pemimpin Redaksi: Bambang Wiswalujo (Kepala Pusat Pengelolaan Pendapat Umum). Wakil Pemimpin Redaksi: Supomo (Sekretaris Badan Informasi Publik); Ismail Cawidu (Kepala Pusat Informasi Politik Hukum dan Keamanan); Isa Anshary (Kepala Pusat Informasi Perekonomian); Gati Gayatri (Kepala Pusat Informasi Kesejahteraan Rakyat). Sekretaris Redaksi: Mardianto Soemaryo. Redaktur Pelaksana: M. Taufiq Hidayat. Redaksi: Lukman Hakim; Selamatta Sembiring; M. Abduh Sandiah; Asnah Sinaga. Reporter: Suminto Yuliarso; Lida Noor Meitania; Karina Liestya; Elpira Indasari N; Koresponden Daerah: Nursodik Gunarjo (Jawa Tengah), Yaan Yoku (Jayapura). Fotografer: Fouri Gesang Sholeh. Desain/Ilustrasi: D. Ananta Hari Soedibyo (TA); Farida Dewi Maharani, Danang Firmansyah. Alamat Redaksi: Jalan Medan Merdeka Barat No. 9 Jakarta Telp/Faks. (021) 3521538, 3840841 e-mail: komunika@bipnewsroom.info atau bip@depkominfo.go.id. Redaksi menerima sumbangan tulisan, artikel dan foto yang sesuai dengan misi penerbitan. Redaksi berhak mengubah isi tulisan tanpa mengubah maksud dan substansi dari tulisan tersebut. Isi komunika dapat diperbanyak, dikutip dan disebarluaskan, sepanjang menyebutkan sumber aslinya.


3 s a t u k a t a i n d o n e s i a

komunika Edisi 17/Tahun V/November 2009

Letak geografis Indonesia, konon memberi banyak peruntungan. Lihat saja, bagaimana posisi Indonesia di antara dua benua, Asia dan Australia; serta dua samudra, Hindia dan Pasifik, membuat Indonesia mengalami iklim tropis. Iklim yang membuat negeri kepulauan ini memiliki beragam potensi alam dan ragam peluang eksplorasi atas sumber daya alam. Iklim sangat basah di daerah Kalimantan, Sulawesi, dan Sumatera; iklim basah, di sekitar Maluku dan Papua, serta iklim agak kering di daerah Madura dan Nusa Tenggara; membuat Indonesia cocok untuk banyak jenis vegetasi tumbuhan. Belum lagi bila kita bicara tentang laut yang luas dan garis pantai yang panjang, membuat negeri ini bak surga dunia yang menyimpan hasil laut tak hanya ikan, kerang, dan makhluk laut lainnya, melainkan juga kaya akan bahan tambang seperti minyak bumi yang dapat menambah pendapatan negara. Akan tetapi kekayaan geografis tersebut bisa berganti wajah. Dari alam yang semula ramah dan memberi banyak

keuntungan, menjadi ganas dan menelan banyak korban. Aneka ragam bahan tambang adalah berkah dari posisi Indonesia di kawasan ring of fire atau rangkaian gunung berapi aktif. Gunung berapi itu juga membantu menyuburkan tanah dan menguntungkan dunia pertanian. Tapi di saat yang lain, gunung berapi juga dapat meletus, menimbulkan

memang membuat Indonesia kaya akan ragam bentukan alam seperti danau, gunung api, dan pantai. Namun di sisi yang lain, pertemuan antar lempeng itu dalam jangka panjang akan menghimpun energi yang dapat merusak saat energi itu dilepaskan. Bisa menimbulkan gempa bumi dengan atau tanpa potensi tsunami.

Bencana akibat perilaku alam tak dapat dicegah, hanya diminimalisir tingkat kerusakannya.

bencana, dan tentu saja memakan banyak korban. Belum lagi, negara ini dilalui oleh lempeng Eurasia, Australia dan Pasifik yang selalu bergerak. Hal yang

Sadar Geografis, Antisipasi Bencana Bencana, semisal gempa menurut Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geo-

fisika (BMKG) Ir. Sri Woro B. Harijono, MSc, tak dapat dicegah datangnya, namun demikian dapat diminimalisir dampaknya. Sampai saat ini saja, dari bencana yang terkait pergeseran lempeng bumi, hanya kedatangan tsunami yang bisa diprediksi, sementara perkiraan datangnya gempa bumi masih belum dapat dilakukan. �Kalau gempa kita bilang earthquake information system karena sudah terjadi. Sekadar info saja, tinggal dilihat berapa gedenya, kedalaman, begitu ada potensi kita informasikan,�

kata "doktor cuaca" ini menjelaskan. Oleh karena itu, kata Woro, masyarakat harus sadar geografis dalam melakukan upaya terkait evakuasi dan

Reaksi Cepat Tanggulangi Bencana Pemerintah akan membentuk satuan reaksi cepat penanggulangan bencana supaya setiap kejadian bencana bisa direspon secara cepat dan tepat sehingga jumlah korban dan kerugian bisa ditekan. "Targetnya awal Desember sudah terbentuk, sekaligus untuk memperingati tsunami di Aceh," kata Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat Agung Laksono. Personel satuan ini diambil dari lintas departemen dan instansi dan akan bekerja dibawah koordinasi Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). "Satuan ini akan bekerja pada masa awal bencana, karena dalam kondisi ini biasanya semua panik, jadi butuh tenaga profesional yang bisa berfikir jernih dan bergerak cepat," katanya. Kepala BNPB Syamsul Maarif menjelaskan, setiap satuan reaksi cepat tersebut akan terdiri atas 200 personil dari TNI/Polri dan petugas

dari lintas departemen dan instansi. "Satuan ini akan melakukan pemantauan 24 jam dan langsung bergerak jika ada kejadian bencana. Personil dan sumber daya yang digerakkan disesuaikan dengan besaran bencana," katanya. Menurut Syamsul, satuan itu nantinya akan terdiri atas tim-tim dengan keahlian khusus seperti tim penjernih air, tim listrik, tim komunikasi, tim penyelamatan dan tim yang bertugas menangani bangunan runtuh. Pemerintah, kata Agung, akan menempatkan satuan reaksi cepat penanggulangan pada dua basis yakni di Pangkalan Udara Halim Perdana Kusuma (Jakarta Timur) dan Pangkalan Udara Abdulrachman Saleh (Malang, Jawa Timur). Satuan reaksi cepat penanggulangan bencana di Halim Perdana Kusuma akan bekerja di wilayah Indonesia bagian Barat sementara satu-

an reaksi cepat di Malang akan bekerja di wilayah Indonesia Timur. Panglima TNI Jenderal Djoko Santoso siap menyediakan personil, peralatan dan fasilitas yang dibutuhkan satuan reaksi cepat. Lebih lanjut Syamsul menjelaskan, satuan reaksi cepat juga akan memberikan pendampingan kepada Badan Penanggulangan Bencana Daerah dan Pemerintah Daerah supaya selanjutnya mereka bisa secara mandiri menangani masalah pasca bencana. "Secara bertahap, mereka diharapkan bisa bekerja sendiri, tidak lagi tergantung pada pusat," katanya.

penanganan bencana. Ia mencontohkan, gelombang tsunami setelah terdeteksi, akan mencapai daratan dalam 25 menit, jika dikurangi dengan proses analisis data sampai pada sirine peringatan yang mencapai 7 menit, maka masyarakat hanya memiliki waktu kurang dari 18 menit untuk menyelamatkan diri. �Hanya 18 menit. Nah kalau tidak pernah latihan evakuasi, bagaimana? Ditambah lari tanpa tujuan, tidak tahu ke mana karena tidak ada peta, gak ada jalan khusus evakuasi, tidak ada lampunya. Grasakgrusuk. Saya katakan pada pemerintah daerah, coba dong bikin semuanya,� jelas dia kepada Komunika. Bersiap Sebelum Bencana Selain melakukan pelatihan dan edukasi bencana secara berkala, peran serta berbagai pihak juga dibutuhkan. Karena berbagai masalah kerap muncul dalam saat penanganan bencana. Mulai dari masalah teknis hingga psikologis, mulai dari masyarakat bahkan aparat pemerintah sendiri. Sebenarnya apa saja yang menjadi hal penting untuk dipersiapkan saat bencana menjelang, agar tak banyak menelan korban? Saat ini sebenarnya sudah ada Undang-undang No 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana yang mengatur kepastian bahwa pemerintah bertanggung jawab dalam pengelolaan dan manajemen penanganan bencana serta menjamin hak-hak warga negara yang mungkin hilang, lepas atau terkurangi sebagai akibat terkena bencana. Namun demikian, bukan berarti masyarakat tak memiliki andil dalam permasalahan ini. Pemerintah daerah dan masyarakat dapat berkerja sama dalam membuat pola kerja yang sistematis dan berkala. Bagaimana mengenal pasti, mengkaji, dan memantau ancaman, unsur, dan karakteristik yang menjadi mengancam masyarakat dan wilayah tertentu. "Ketika ada bencana pemerintah daerah yang menangani pertama kali, kemudian pemerintah pusat akan merapat (membantu atau mendukung, red) jika diperlukan," imbuh Kepala Badan Nasional Penanganan Bencana (BNPB) Syamsul Muarif. Tentu saja, inventarisasi dan persiapan aset yang diperlukan menjadi keharusan agar bisa dimobilisasi sewaktu-waktu dan dapat segera membantu mengurangi kesulitan yang dialami para warga korban bencana. (dimasnugraha@depkominfo.go.id)


4 www.bipnewsroom.info

komunika Edisi 17/Tahun V/November 2009

Kisah ini sudah lama, tapi tidak usang, karena bisa dijadikan teladan bagi seluruh anak bangsa kapanpun.

Yogyakarta, 26 Mei 2006, pagi pukul 09.30 WIB. Samidjan (67), warga Pleret, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, sedang duduk terpekur memandangi puing rumahnya yang ambruk dilanda gempa. Tiba-tiba sebuah truk penuh penumpang berhenti di sampingnya. “Perlu bantuan, Pak?” tanya seorang lelaki bertopi coklat. Samidjan yang memang sedang butuh tenaga untuk membersihkan puing, mengangguk lemah. Tanpa banyak cakap, rombongan bapak-bapak yang jumlahnya sekitar lima lusin itu turun dari truk. Dengan peralatan seadanya mereka langsung melakukan aksi, memberesi puing rumah dan menata sisa bahan-bahan bangunan yang masih bisa dipergunakan. Balok kayu dikumpulkan dengan balok kayu, papan dengan papan, bambu dengan bambu, besi, genting, seng, kaca, plastik, batu-bata, bahkan paku dan serpihan tembok, semua dikumpulkan menurut jenisnya masingmasing. Hanya dalam waktu lima jam, diselingi istirahat dua kali, seluruh puing rumah Samidjan sudah tertata rapi di pinggir halaman, siap digunakan kembali. Bekas rumah yang semula bak kapal pecah dan sempat terbengkalai selama dua hari, kini kondisinya tak lagi mengganjal pandangan mata. Sesaat kemudian, rombongan pun pamit pulang, dibekali ucapan terimakasih yang tak terhingga dari bibir Samidjan. Itulah gambaran kiprah rombongan relawan asal Parakan, Temanggung, Jawa Tengah, yang menyebut dirinya sebagai “Pasukan Berani Lelah”. Sesuai namanya, mereka bekerja tanpa diminta, dan tentu tanpa bayaran satu senpun. “Insya Allah, kelak Allah akan membayar kami dengan pahala yang sepadan dengan apa yang telah kami lakukan,” kata Djunaidi, kepala rombongan sekaligus sopir truk. Spontanitas Djunaidi bertutur, “Pasukan Berani Lelah” awalnya terbentuk secara spontan. Saat itu, ia

dan beberapa warga menonton televisi yang sedang menyiarkan kondisi Kota Yogyakarta sehari setelah gempa bumi berkekuatan 5,9 Skala Richter melanda. Ia melihat di televisi, suasana Kota Yogya begitu centang-perenang. Puing rumah berserakan tanpa ada satu orangpun mempedulikannya. “Mungkin karena semua orang rumahnya kena gempa, jadi ya tidak sempat memikirkan orang lain. Ngurusi rumah sendiri yang ambruk saja, saya kira tidak mampu. Mereka butuh pertolongan,” kenang lelaki yang punya dua truk di rumahnya ini. Seketika terlintas ide

yang diperlukan seperti linggis, palu, tang, cangkul, arit, sekop dan sebagainya. Mereka juga membawa konsumsi sendiri, baik minuman maupun makanan. Semua bahan makanan merupakan sumbangan dari ibu-ibu di Parakan dan sekitarnya. “Pokoknya kami berusaha agar tidak menambah susah orang yang sedang susah. Jika ditanggung pemilik rumah, bayangkan bagaimana susahnya memberi makan 60 orang pada saat kondisi mereka sendiri sedang membutuhkan pertolongan,” imbuh penggemar radio antar penduduk ini. Untuk menuju Kota Gudeg,

Hanya bersenjatakan peralatan seadanya, mereka terjun ke lokasi bencana gempa bumi. Berkat kiprah mereka, puing-puing rumah yang ambruk bisa segera dibersihkan. Pemilik rumah pun dapat segera membangun kembali rumahnya dengan bahan-bahan sisa rumah lama yang telah dipilah-pilah dan ditumpuk secara rapi.

di kepala Djunaidi untuk memberangkatkan warga kampungnya sebagai relawan ke Yogya, dengan truk miliknya. Saat ide ini disampaikan kepada para tetangganya, sambutan mereka ternyata luar biasa. Begitu dibuka pendaftaran, tak kurang 120 orang teken kontrak. “Kami akhirnya membentuk dua tim, masing-masing tim anggotanya 60 orang dan bertugas sehari penuh. Dua tim ini bertugas bergantian, sehari tugas sehari libur. Adapun misi kami adalah membantu merapikan puing rumah, satu hal yang saat itu belum banyak mendapatkan perhatian dari relawan lain,” kata pengusaha bahan bangunan ini. Agar tidak merepotkan pihak yang ditolong, rombongan membawa sendiri seluruh peralatan

rombongan menggunakan salah satu truk milik Djunaidi. Sang pemilik sendiri yang menjadi sopir. Soal bahan bakar, ada saja yang bersedia mengisi tanki sampai full, meskipun dengan cara patungan. “Para pemilik toko di sepanjang Jalan Raya Parakan biasanya membelikan solar secara patungan. Ada yang mengorganisir, saya tinggal terima cash-nya,” ujarnya.

Disebut ‘Malaikat’ Sambutan warga Yogya terhadap keberadaan “Pasukan Berani Lelah” ternyata sangat positif. Dari sekitar 30 KK yang ditolong selama satu bulan, semua menganggap kiprah rombongan ini sangat meringankan beban mereka. Salah seorang di antara mereka bahkan menganggap orangorang asal Parakan ini sebagai ‘para malaikat yang diutus Gusti Allah,’ karena datang pada saat yang tepat. “Mereka seperti malaikat yang datang pada saat saya sedang membutuhkan bantuan,” kata Kun Prasetyo (46), warga Sewon, Bantul, yang rumahnya hancur rata dengan tanah. Sementara Siti Fatimah (57) mengungkapkan, secara tidak langsung rombongan ini telah memberinya dana sebesar Rp 3 juta, walaupun ia tidak pernah menerima uang secara tunai. “Ceritanya

begini, saya pernah menghubungi seorang tukang untuk memborong memberesi reruntuhan rumah saya. Eh, dia minta ongkos Rp 3 juta. Sebelum terjadi kesepakatan dengan tukang itu, datang ‘Pasukan Berani Lelah’ dan membereskan puing rumah saya, gratis tis tis... Itu kan sama saja dengan mereka memberi bantuan Rp 3 juta kepada saya,” tutur Siti. Tak pelak, begitu pekerjaan memberesi puing usai dan rombongan berpamitan, Siti sekeluarga menangis karena haru sekaligus bahagia. “Ternyata di zaman yang serba material ini masih ada orang yang mau membantu sesama tanpa pamrih,” imbuhnya bangga. Ingin Berkembang Djunaidi mengungkapkan, ke depan ia ingin melebarkan kiprah “Pasukan Berani Lelah” ke wilayah lain yang dilanda bencana, bukan hanya di Yogya namun juga ke provinsi-provinsi lain di Indonesia. Hanya saja, ia mengaku terkendala masalah dana. “Kalau Yogya kan cuma dua jam dari sini, sementara kalau ke luar daerah harus menyediakan akomodasi bagi anggota tim, misalnya penginapan, makan, dan sebagainya yang tidak murah,” ujarnya. Menurutnya, tantangan mengirimkan tim ke luar daerah sangat besar. Ia pernah mengirimkan satu tim ke Pangandaran, dua hari setelah terjadi tsunami di daerah itu. Rencananya, tim akan berada di sana selama empat hari, namun baru dua hari tim sudah ia tarik pulang. “Bekal makanan dan uang saku menipis dengan cepat, karena harga makanan di sana membubung. Fisik anak-anak juga kurang baik, mungkin karena kelelahan. Selain itu, tidur di udara terbuka membuat banyak anggota tim masuk angin dan mengeluh badannya meriang,” urainya. Karena itu, ke depan ia akan mempersiapkan tim yang lebih andal, dengan bekal yang lebih banyak. Rencananya, tim akan ia buat sebagai tim siaga, yang sewaktu-waktu dapat dipanggil dan dimanfaatkan oleh mereka yang membutuhkan bantuan. “Saat ini saya sedang mempersiapkan dana dan sarana serta prasarananya. Syukurlah, beberapa donatur sudah menyatakan kesediaan untuk membantu mengembangkan ‘Pasukan Berani Lelah” ini. Ada yang membantu uang, ada pula bantuan berupa barang seperti peralatan memasak dan peralatan pertukangan,” imbuhnya. Ia tak menampik anggapan sulitnya mengkoordinasikan anggota yang latar belakang pekerjaannya sangat beraneka. Selain karena keanggotaan tim bersifat sukarela, tak semua anggota punya waktu luang saat bencana terjadi. “Tapi saya percaya, loyalitas anggota pada kemanusiaan akan mengalahkan kesibukan mereka sehari-hari. Sempat tidak sempat, mereka pasti akan mengalokasikan waktu untuk berlelah-lelah, meski cuma sehari,” pungkasnya. (wahyu)


5

Bumi bergoyang. Warga Kota Padang, Sumatera Barat panik dan takut. Kepanikan juga sempat menghinggapi perasaan Tuminah (30). Dia yang tengah berada di perjalanan, bergegas pulang ke rumahnya di kawasan Jati. Setelah memastikan tidak terjadi apa-apa terhadap keluarga dan rumahnya, perempuan itu tidak ikut-ikutan menyelamatkan diri ke tempat tinggi seperti kebanyakan orang lain. Tuminah langsung menuju Kantor Gubernur Sumatera Barat. Di situ Satkorlak PB (Satuan Koordinasi Pelaksana Penanggulangan Bencana) berada. Dia tak hendak mencari informasi, tapi melapor bahwa dirinya siap menjalankan tugas kemanusiaan. Bersama beberapa kawannya dia siap menjalankan tugas. Setelah tahu apa yang harus dikerjakannya, dia pulang sejenak.Pulang ke rumah, anak kedua dari empat bersaudara pasangan Suparman (49) dan Iyem (47) ini tak berleha-leha. Setelah berganti pakaian seragam PDL (pakaian dinas lapangan) warna khaki. Kini Tuminah terlihat makin siap membantu kerja para relawan. Di baju yang membalut tubuhnya ada sejumlah badge dan atribut melekat di baju itu. Di dada kiri, tertulis TAGANA. Tuminah memang anggota Tagana. Taruna Siaga Bencana. Dia merupakan salah seorang Angkatan I di awal pembentukan Tagana di Sumatera Barat pada akhir Desember 2006. Kisah Tuminah pernah dituliskan oleh Maryulis Max, pewarta Padang. Ia menyebutkan bahwa keikutsertaan Tuminah murni atas keinginan pribadi menjadi bagian dalam aksi kemanusiaan dan penanggulangan bencana yang bisa terjadi, kapan saja dan di mana saja. "Maka jangan heran, ketika dia pamit ke orang tuanya untuk kembali ke Satkorlak PB, tidak ada larangan sama sekali. Walau tetap ada kekhawatiran di hati orang tuanya, mereka mahfum bahwa sang anak tengah melaksanakan tugasnya sebagai unsur pertama yang memberi pertolongan dan peduli penanggulangan bencana," tulis Max. Hampir dua minggu lamanya Tuminah berada di lapangan. Tak hanya di Kota Padang, tapi singgah di beberapa kabupaten dan kota lain yang mengalami kerusakan akibat gempa. “Saya sempat dikirim ke daerah untuk membantu korban gempa di sana. Kembali ke Padang, saya cuma sempat pulang sebentar. Setelah itu kembali bekerja,” ceritanya. Satuan Komunitas Peran penanggulangan bencana dan bantuan sosial oleh Depsos terus diupayakan secara konkrit melalui pengembangan program penanggulangan bencana

berbasis masyarakat. Salah satunya dengan mencetak dan mengembangkan kemampuan tenaga terlatih dalam penanggulangan bencana dari unsur masyarakat yang disebut Taruna Siaga Bencana. Satuan ini dicanangkan Departemen Sosial RI melalui deklarasi di Lembang, Jawa Barat pada 2 Maret 2004. Tagana kini telah ada di seluruh provinsi di Indonesia, minimal masing-masing 200 orang per provinsi. Kelompok terbesar di Kalimantan Selatan sejumlah 480 orang dan Aceh 320 orang. Tagana didukung oleh RAPI, PMI, dan komunitas penanggulangan bencana internasional.

s a t u k a t a i n d o n e s i a

komunika Edisi 17/Tahun V/November 2009

pemulihan kejiwaan dan melakukan rehabilitasi bangunan dan rumah-rumah warga yang hancur. “Sementara p e r a n a n Ta g a n a dalam siklus penanggulangan bencana, melingkupi kesiapsiagaan, pencegahan, mitigasi, peringatan dini, tanggap darurat, restorasi, rehabilitasi, dan rekonstruksi,” papar Sekjen Depsos. Sekretaris Ditjen Bantuan dan Jaminan Sosial, Depsos,

menempati rumahnya kembali.

Berdayakan Warga Atasi Bencana “ P e n g i r i m a n Ta g a n a e lokasi bencana seperti ke Sumatera Barat kemarin j t k membantu b t tujuannya untuk percepatan pendistribusian logistik pada tingkat posko provinsi ke kabupaten dan ke lokasi bencana yang belum bisa terjangkau,” kata Sekjen Depsos Drs Chazali H. Situmorang, M.Sc.PH. Dijelaskan, berdasarkan pengalaman sebelumnya dalam pendistribusian logistik untuk korban bencana, Depsos tidak bisa mengharapkan bantuan masyarakat yang mengalami bencana. Misalnya pengalaman saat terjadi bencana gempa di Aceh, Yogyakarta dan Pangandaran, secara psikologis kondisi masyarakat setempat mengalami trauma yang luar biasa, sehingga tidak bisa diharapkan untuk meminta bantuan mereka dalam penanganan distribusi logistik. Mobilisasi Tagana pun tak sebatas di provinsi yang terjadi bencana bahkan mungkin didatangkan dari provinsi lain. “Untuk membantu Sumatera Barat kemarin, Depsos memberikan tugas dan tanggung jawab kepada tim Tagana dari DKI Jakarta dan Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial (STKS),” kata Situmorang. Dikemukakan, tugas utama Tagana adalah bagaimana membantu korban gempa sesuai tingkat kedaruratan yang terjadi, terutama bantuan yang bersifat logistik, evakuasi dan mendirikan tempattempat penampungan sesuai kemampuan yang ada. “Saya tahu persis kemamp u a n Ta g a n a d a n s a y a yakin mereka akan mampu menyiapkan lokasi-lokasi penampungan, menyiapkan logistik, dan juga memberikan pelayanan-pelayanan sosial,” kata Sekjen Depsos. Bantu Pemulihan Bencana Chazali Situmorang mengatakan, pemulihan akibat bencana tersebut diperkirakan akan memakan waktu cukup lama, terutama masalah

Mardi, menambahkan, personil Tagana yang ditugaskan untuk membantu korban pascagempa di Sumbar saat ini sudah mencapai 600 orang yang tersebar di Sumatera Barat, Jambi, Riau dan Sumatera Selatan. P e r s o n i l Ta g a n a y a n g dikirim sebelumnya, katanya, sepenuhnya dari unsur masyarakat yang dibekali dengan kemampuan untuk tanggap darurat dan melakukan pelayanan yang sifatnya cepat dalam penanggulangan bencana. Atasi Trauma Secara khusus Sekjen Depsos menyatakan bahwa Tagana juga bisa memberikan pelayanan sosial, yaitu bagaimana membantu mengatasi kondisi masyarakat

yang mengalami trauma berat agar bisa tenang dan sabar dalam menghadapi musibah. Di Padang Pariaman, beberapa tim dari STKS yang berjumlah 20 orang memang mengadakan kegiatan proses pemulihan trauma anak-anak korban gempa. "Kegiatannya antara lain adalah mengajak bermain, menggambar, dan mengadakan pemutaran film untuk menghibur anak-anak dan warga masyarakat yang mengalami trauma agar tidak terus hanyut dalam kesedihan," jelas Sekjen Depsos. Ia menjelaskan, tim yang dipimpinnya dibagi dua, sebagian membantu pemulihan dari trauma, sebagian membantu masyarakat untuk membersihkan puing-puing bangunan yang roboh akibat gempa, yang sejak gempa pemiliknya mengungsi di tenda-tenda dan ingin segera

P a r a d i g m a Proaktif Menteri Sosial Dr Salim Segaf Al-Jufri, mengatakan paradigma penanggulangan g gg g bencana di dunia telah bergeser dari fatalistic responsive ke arah preventif proaktif atau dari kedaruratan ke kesiapsiagaan. Artinya, segala aspek dan proses penanggulangan bencana lebih diprioritaskan pada segala hal sebelum bencana terjadi agar lebih siap untuk menghadapi bencana yang terjadi. Wujud kesiapsiagaan itu k i i it tercermin t i pada penyediaan potensi dan sumber daya termasuk personil yang terlatih seperti Tagana. Disamping itu juga diperlukan dukungan sarana dan prasarana yang memadai. “Kunci utamanya adalah melakukan kegiatan latihan (kesiapsiagaan) secara terus menerus,” tegasnya. Ke depan Tagana akan terus berkembang, sesuai janji Menteri Sosial, ”Depsos juga akan terus meningkatkan sistem penanggulangan bencana, termasuk meningkatkan keahlian para relawan yang t e r g a b u n g d a l a m Ta r u n a Siaga Bencana (Tagana) yang jumlahnya sekitar 33.000 orang,” kata Menteri. (m/berbagai sumber)

TANGGAP TANGANI BENCANA Wilayah Indonesia memiliki resiko besar terjadi bencana. Hal itu menambah beban pemerintah dalam mengantisipasi dan melaksanakan penanggulangan bencana. Oleh karena itu, kehadiran Tagana diharapkan dapat membantu pemerintah menanggulangi bencana. Sejak 2004 lalu, Departemen Sosial (Depsos) menginstruksikan kepada seluruh provinsi di Indonesia membentuk Taruna Siaga Bencana (Tagana) sekaligus melakukan perekrutan anggotanya. P a r a a n g g o t a Ta g a n a mendapatkan pembelajaran metode, teknik, strategi, kelengkapan dan akses penanggulangan bencana terkini. Metode itu, mulai dari focus group discussion, semi delphy, bench marking, parcipatory rural appraisal, technical of participation, hingga simulasi atau gladi lapangan. Mereka digembleng selama lima hari berturut-turut. “Kami diajarkan teori search and

Basarnas, hingga instruktur andal dari Dinsos Sumbar. Tagana mempunyai beragam fungsi dan peran. Fungsi pencegahan, pengembangan atau pemberdayaan, rehabilitasi, perlindungan dan fungsi penunjang. Peran umum Tagana, mencakup informasi, partisipasi, pemberdayaan, fasilitasi, asistensi, mediasi, kemitraan, dan mobilisasi. rescue (SAR), vertical rescue, pengenalan dan praktek bongkar pasang DUMLAP (dapur umum lapangan) dan peralatan evakuasi, penggunaan alat komunikasi, PPGD (penanggulangan penderita gawat darurat), penggunaan perahu karet, dan banyak lagi yang berhubungan dengan penanggulangan bencana,” kenang Tuminah. Tidak sembarangan orang pula memberikan materi kepada mereka. Mulai dari Dinas Kesehatan, Satuan Polisi Air Udara Polda Sumatera Barat, RAPI, Kesbangpol dan Linmas,

Begitu banyak TaganaTagana baru yang terus dicetak, bagaimana menghimpun mereka saat terjadinya bencana? Jangan bingung, prosedur tetapnya (Protap) telah ada. Seluruh taruna itu tersebar di setiap kabupaten/kota. Di tiap daerah, ada koordinator yang bertugas mengkoordinir rekan-rekannya. Database mereka ada di Pemkab/Pemko dan Pemprov. Begitu terjadi bencana, para Tagana ini sudah tanggap dan tahu Protap apa yang akan mereka lalui untuk terjun di kawasan bencana. (maryulismax/m)


6 www.bipnewsroom.info

komunika Edisi 17/Tahun V/November 2009

A

dzan Subuh baru saja sayup-sayup terdengar di Masjid Darul Ulum, Komplek PGAI, Jati Padang, Kota Padang 10 menit yang lalu. Irwan (32), tampak keluar dari dalam masjid sambil membawa dua buah kardus. ”Saya bawa lampu togog (teplok/Jawa –red), mau jualan di pasar raya padang,” kata lelaki dengan perawakan tinggi kurus ini, lirih. Untuk menuju pasar raya, bapak tiga anak ini terpaksa harus berangkat pukul setengah empat pagi dari rumahnya di daerah Ulak Karang, Padang. Beristrirahat sebentar menghela nafas sambil Shalat Shubuh di daerah Jati Padang, dan kemudian kembali menempuh 30 menit perjalanan dengan berjalan kaki untuk mencari sedikit peruntungan. Irwan memang terpaksa harus pindah lokasi jualan, dari Pasar Ulak Karang menuju Pasar Raya Padang yang jaraknya hampir 20 Km. Bukan karena kiosnya telah habis masa kontrak atau tergerus pedagang bermodal besar, tapi karena lebih dari separuh bangunan di pasar tempatnya berjualan, hancur digoyang gempa 7,9 skala richter, Rabu (30/9) sore, beberapa waktu lalu. Ia beruntung, gempa tak menghancurkan sanak keluarganya. “Kata kawan, hari Jumat ini, banyak yang mau jualan di pasar raya, siapa tahu ada rejeki untuk anak saya,” kata Irwan ketika ditemui Komunika. Menolak Hanyut Aktivitas warga memang sudah berdenyut di hari Jumat itu. Dua hari paska gempa yang menelan hampir 1200 korban jiwa dan meluluhlantahkan tak kurang 85% infrastruktur

Sumatera Barat. Tak hanya pedagang yang menjajakan dagangannya, warga pun sudah berani keluar untuk memenuhi kebutuhannya. ”Kondisi semisal ini, pasti banyak yang butuh makanan, semisal kami juga butuh uang untuk membeli makanan. Sama-sama butuh, bukan kami tak peduli upaya evakuasi korban atau

membangun kembali rumah kami yang rubuh,” jelas Faisal (43) salah seorang pedagang yang juga sudah memulai aktivitas perniagaannya Jumat itu. Memang, puing bangunan masih berserakan, listrik masih belum ada, persediaan air mulai mengering, telekomunikasi pun belum tersambung, dan kekhawatiran akan isu gempa yang akan datang menghantam juga masih terdengar. Namun, suara-suara untuk bangkit juga mulai bersahutan. Adri Febriadi (29), warga Lolong, Padang, misalnya, tak lantas larut dengan keadaan yang ada. Ia sudah memprediksi, dengan kekuatan gempa sedahsyat itu, pasti akan membuat semuanya serba darurat. Berbagai krisis, semisal pangan, air, listrik,

merengek dan menyalahkan siapa-siapa. Kami berusaha. Kadang saya heran, untuk nonton evakuasi, banyak yang punya waktu berjam-jam, tapi untuk berusaha, orang sudah seperti akan mati besok. Kami di Padang masih beruntung, saudara kita di Pariaman, lebih parah. Tertimbun! Keluarga habis! Harus cepat sadar, cepat bangkit,” kata alumni Fakultas Pertanian Universitas Andalas ini sedikit emosional. Akan Lebih Baik Optimisme dan kemandirian tanah minang, ternyata tak hanya ditunjukkan oleh para warganya saja, tetapi juga oleh Gubernur Sumatra Barat yang kini menjabat sebagai Menteri

pengangguran bertambah. Menurutnya hal itu hanya akan terjadi sementara waktu. Mengingat, bantuan pemerintah pusat bisa mencapai empat hingga lima kali lipat karena akan banyak pembangunan di sektor infrastruktur, seperti jalan, jembatan, irigasi dan fasilitas umum lainnya.kerja di sektor pembangunan infrastruktur.

Gali Karifan Lokal Indonesia sejatinya memiliki puluhan desain rumah tradisional tahan gempa yang dibangun berdasarkan kearifan lokal masyarakat setempat. Deputi Bidang Jasa Ilmiah LIPI, Prof. Dr. Ir. Jan Sopaheluwaken, MSc, menekanan, sudah saatnya masyarakat belajar rasional

Indonesia sejatinya memiliki berbagai kearifan lokal untuk mengantisipasi bencana alam. Salah satunya adalah desain rumah tradisional yang tahan gempa.

sampai BBM akan terjadi selama beberapa hari. Karenanya, ia bersama beberapa pemuda di wilayahnya, tak mau begitu saja menunggu bantuan atau menanti orang mengantar makanan ke tenda-tenda pengungsian mereka. ”Kami kekurangan air, listrik mati, bahan makanan habis, rumah hilang semua. Sama seperti yang lain. Tapi kami tidak

Dalam Negeri Kabinet Indonesia Bersatu II, Gamawan Fauzi. Ia memprediksi, jika semangat dan optimisme tetap ada, kemudian dibantu dukungan seluruh wagra Indonesia, pertumbuhan ekonomi Sumbar paska gempa 30 September bisa tumbuh lebih baik dari sebelum bencana. ”Kita optimistis, biasanya daerah pasca bencana pertumbuhan ekonominya akan lebih baik dibandingkan dari sebelum gempa, bahkan diprediksi tahun depan capai delapan persen,” kata dia. Pemprov Sumbar sendiri memprediksi pada 2009 pertumbuhan ekonomi Sumbar sedikit di bawah enam persen, masih berada di atas nasional. Bahkan, di tingkat nasional, pada 2010 Sumbar bisa tembus pertumbuhan ekonomi delapan persen karena banyak terserap tenaga Ia juga tak terlalu khawatir, paska gempa jumlah

dalam menyikapi bahaya bencana dengan melihat bencana dari segi manajemen resiko dan bukan hanya dari kerawanan saja. ”Karena bagaimanapun kenyataannya bahwa secara geografis, bencana, khususnya gempa, akan terus mengintai wilayah Indonesia,” katanya. Menurutnya, semua pihak harus dapat mengetahui resiko dari bencana yang frekuensinya rendah namun dampaknya tinggi, dan apa yang harus diperbuat oleh pemerintah pusat, pemda, sektor-sektor, komunikasi, LSM, keluarga, sampai ke tingkat individu. ”Sehingga dapat merekayasa sistem perekonomian baru yang berbasiskan pada kesiapsiagaan terhadap bencana yang berangkat dari

probabilitas terjadinya bencana di Indonesia,” katanya. Rumah Aceh, Batak, Gadang, Melayu, Nias, Panggung, Limas, Nuwo Sesat, Joglo, Loka Samawa, Panjang, Lamin, Betang, Honai, adalah contoh-contoh rumah adat yang memiliki kemampuan memadai untuk menahan guncangan bumi. Sayang, modernisasi telah menggusur rumah-rumah tradisional asli tersebut dari khazanah arsitektur masa kini. Memang di beberapa tempat masih terlihat corak desain rumah adat dipakai untuk bangunan modern, namun kebanyakan materialnya sudah diganti dengan besi dan beton. Padahal kayu memiliki kelenturan yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan besi dan beton. Belajar dari Yogya Belajar dari gempa Yogya tahun 2006, sebagian besar rumah yang rubuh adalah rumah yang desainnya tanggung, yakni campuran antara desain tradisional dan modern. “Bentuknya tradisional, tapi material yang dipergunakan untuk pembuatan dindingnya dari batu bata dan semen tanpa diperkuat kolomkolom dari besi. Inilah yang membuat rumah-rumah di Yogya gampang rubuh saat terkena gaya tarik dan gaya tekan. Ini beda dengan rumah Joglo asli yang terbuat dari kayu,” kata Yulius Prihatmaji, pakar arsitektur Yogya. Prihatmaji menemukan ada tiga alasan mengapa rumah Joglo asli lebih tahan terhadap gempa. Pertama, rangka utama (core frame) yang terdiri umpak, sokoguru, dan tumpang sari, dapat menahan beban lateral yang bergerak horizontal ketika terjadi gempa. Inilah kunci utama mengapa rumah Joglo asli masih dapat berdiri ketika gempa besar melanda, sementara rumah atau gedung


lain mengalami keruntuhan. Kedua, struktur rumah Joglo yang berbahan kayu menghasilkan kemampuan meredam getaran/guncangan yang efektif, lebih fleksibel, dan juga stabil. Struktur dari kayu inilah yang berfungsi meredam efek getaran/guncangan dari gempa. Ketiga, kolom rumah yang memiliki tumpuan sendi dan rol, sambungan kayu yang memakai sistem sambungan lidah alur, dan konfigurasi kolom anak (soko-soko emper) terhadap kolom-kolom induk (soko-soko guru) merupakan earthquake responsive building dari rumah Joglo. Oleh karenanya, dengan sistem ini, rumah Joglo lebih stabil pada frekuensi gempa tinggi dengan akselerasi rendah-tinggi. Sedangkan pada frekuensi gempa rendah, rumah Joglo lebih fleksibel. Selain rumah Joglo, rumah tradisional Nias juga termasuk dikategorikan rumah tahan gempa. Peristiwa gempa berkekuatan 8,6 SR pada Maret 2005 lalu telah membuktikan itu. Menurut Koen Meyers dan Puteri Watson dalam "Legend, Ritual and Architecture on the Ring of Fire" (2008), fleksibilitas rumah Nias yang membuatnya lebih tahan terhadap gempa adalah karena ikatan antara balok kayu saling mengunci tanpa dipaku. Selain itu, secara struktur, rangka rumah Nias terdiri dari kolom (enomo) dan balok (ndriwa). Kolom-

kolom bertumpu di atas batu besar sebagai penguat untuk menghadang terpaan angin. Diantara kolom utama, terdapat kolom-kolom diagonal yang saling kait mengait menyokong lantai rumah yang berbentuk oval atau persegi. Kolom inilah yang berfungsi sebagai

“Jangan coba-coba melawan alam, karena alam tidak bisa dilawan. Mencoba menaklukkannya akan membuatmu celaka. Bersahabatlah dengan alam, pelajari tabiatnya, selaraskan kehidupanmu dengannya, dengan begitu kamu akan selamat.”

lateral dan longitudinal bracing. Teknik pasak pada sambungan kayu membuat balok-balok kayu tidak patah ketika terjadi gempa. Menurut Meyers dan Watson, kolom diagonal inilah yang menjadi kunci mengapa rumah Nias bisa elastis dan

stabil dari guncangan gempa. Sementara Marco Kusumawijaya, arsitek dan pengamat tata kota, menyatakan hampir semua rumah tradisional fleksibel dan stabil terhadap gempa. Hal ini dikarenakan struktur kayu yang ada pada rumah tradisional tidak sekaku beton. Jika mengalami getaran atau gempa, ikatan antara balok dan kolom pada rumah tradisional mampu bergerak elastis, berayun mengikuti guncangan gempa tanpa mengalami kerusakan. Marco memberi contoh rumah Bali dan Minahasa. Perlu diketahui, rumah Minahasa adalah rumah tradisional yang didiami mereka yang bertempat tinggal di Sulawesi Utara, daerah yang paling sering mengalami gempa. Pendapat yang sama juga diungkapkan oleh pendiri Assosiasi Ahli Gempa Indonesia, Teddy Boen. Ketika melakukan survei gempa ke Nabire Papua pada tahun 2004, Boen menemukan bahwa dari 45 persen rumah yang rusak, semuanya adalah rumah konvensional yang terbuat dari struktur bata. Namun, yang masih bertahan adalah rumah tradisional dari kayu. Hal yang sama juga ditemui, ketika Boen berkunjung ke Alor Nusa Tenggara Timur, rumah tradisionallah yang dapat bertahan terhadap gempa. Budi Brahmatyo, ahli

rumah bergerak mengikuti irama gempa sehingga tidak roboh atau retak. Adapun gedung-gedung pemerintah, meskipun terbuat dari beton, namun sudah sepenuhnya mengikuti standar bangunan tahan gempa yang dikeluarkan Departemen Perumahan setempat,” ujar pria yang kini mengajar di Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta ini. Upaya membangun rumah tahan gempa adalah salah satu cara penduduk Ishikawa untuk berdamai dengan bencana, khususnya gempa bumi. Mereka tidak melawannya, namun justru membuat suasana kehidupan yang ‘kondusif’ agar saat gempa

Geologi dari ITB Bandung, juga menemukan fenomena serupa ketika berkunjung ke Sungaipenuh Kerinci pada tahun 1999. Rumah-rumah tradisional di daerah tersebut masih dapat berdiri tegak pada peristiwa gempa. Konstruksi rumah tradisional di sepanjang Bukit Barisan memang didesain untuk tahan terhadap gempa. Tiang-tiang rumah dihubungkan dengan palang-palang yang dapat berputar bebas seperti engsel pada jarak tertentu. Jadi ketika terjadi gempa, rumah ini dapat ikut bergoyang elastis tanpa harus runtuh. Demikian pula, di tahun 2005, Brahmatyo menemukan rumah panggung di daerah Pacet Bandung Selatan tetap saja berdiri, padahal rumah-rumah berdinding bata di sekitarnya sudah banyak yang runtuh. Sebenarnya sudah cukup banyak model rumah tahan gempa didesain pascagempa dan tsunami Aceh. Seperti model Smart Modula dan Risha. Akan tetapi, rumah tradisional nusantara menjadi alternatif yang sangat memungkinkan untuk dimasyarakatkan kembali. Terutama bagi mereka yang berdiam di daerah-daerah rawan gempa. Sudah saatnya kita kembali ke rumah tradisional, warisan nenek moyang kita. (g-dan dimas-multisumber/)

Memang tak ada paksaan untuk membangun rumah semacam itu, namun sepanjang pengamatan saya 60% lebih rumah di daerah itu mengadopsi desain rumah tradisional,” imbuh lelaki berputra dua ini. Jika ditelusur, proses terciptanya rumah tradisional memang berkaitan erat dengan keadaan alam di mana rumah tersebut didirikan. Sebagai daerah rawan gempa, warga Ishikawa secara turun-temurun mencoba membuat rumah yang tak gampang ambruk saat kena guncangan. Kearifan lokal yang tumbuh melalui trial and error, akhirnya menghasilkan desain rumah yang benar-benar teruji dan sesuai dengan karakter daerah gempa. Desain rumah tradisional di Ishikawa sendiri terbilang sederhana, hanya rumah bertiang dan berdinding kayu dengan banyak kolom, memiliki

Kembali ke Rumah Tradisional Kata-kata bijak itu diperoleh Ageng Setiawan (49), dari Profesor Hiroshi Tsujii, dosennya di Faculty of Natural Resource Environment, Ishikawa Prefectural University, Jepang, sesaat setelah gempa berkekuatan 6,1 SR melanda daerah itu. Satu hal yang sangat ia ingat, saat itu tak ada kepanikan di kalangan mahasiswa maupun warga. Pun tak ada kerusakan berarti pada rumah-rumah penduduk dan fasilitas umum. Gedung universitas tempatnya menimba ilmu juga tak rusak sedikitpun, hanya beberapa perlengkapan kantor tergeser dari tempatnya. Mengapa warga Ishikawa tidak heboh menghadapi gempa sebesar itu? Menurut Profesor Tsujii, semua tak lepas dari sikap dan perilaku warga yang sudah sangat ‘sadar gempa.’ Seluruh warga menganggap, gempa adalah bagian dari kehidupan sehari-hari, oleh karena itu mereka selalu siap kapanpun gempa akan terjadi. Bukan hanya siap mental, namun juga siap secara fisik dan material. “Contoh paling nyata, menurut Profesor Tsujii, adalah rumah penduduk yang didesain sedemikian rupa sehingga tahan guncangan. Konstruksi dari kayu dan bahan-bahan ringan, dengan banyak pintu dan ruang terbuka, memungkinkan

berlangsung korban harta benda maupun jiwa dapat ditekan. Tak heran, meskipun wilayah ini dilanda gempa berskala besar berkali-kali dalam sepuluh tahun terakhir, jumlah kerusakan harta benda maupun korban manusia terbilang sangat sedikit. “Gempa besar terakhir pada tahun 2007 yang mencapai 7,1 SR saja hanya menewaskan sepuluh orang. Berbeda dengan gempa Jogja yang hanya 5,9 SR namun korbannya mencapai ribuan orang,” imbuh Ageng. Rumah Tradisional Teruji Sebagaimana disampaikan Profesor Tsujii kepada Ageng, warga Ishikawa sangat menjunjung tinggi kearifan lokal yang mereka miliki. Salah satunya adalah keteguhan mereka mengikuti desain rumah tradisional yang sudah dibuat sejak zaman nenek-moyang. Tidak mengherankan jika rumah-rumah di sana bentuknya nyaris seragam, hanya ukuran dan aksesorisnya saja yang disesuaikan dengan kebutuhan zaman kini. “Mereka yakin, desain rumah semacam itu sudah mengalami uji kelayakan melalui ratusan kali gempa bumi, dan terbukti sanggup bertahan. Oleh karena, tanpa ragu masyarakat menetapkannya sebagai desain standar bagi rumah-rumah di Ishikawa.

banyak ruang terbuka, serta beratap sirap. Namun justru dari kesederhanaan inilah muncul kekuatan yang mencengangkan. Profesor Tsujii bahkan berani sesumbar, rumah-rumah kayu di Ishikawa yang lentur itu mampu menahan guncangan gempa hingga 8 SR. “Saat terkena guncangan, rumah itu memang akan bergerak dinamis, namun tidak akan rubuh,” kata Ageng, menirukan Tsujii. So, kenapa kita tidak meniru warga Ishikawa? (g)

s a t u k a t a i n d o n e s i a

7

komunika Edisi 17/Tahun V/November 2009


8 www.bipnewsroom.info

komunika Edisi 17/Tahun V/November 2009

Planas PRB tidak menghasilkan kebijakan substantif pengurangan risiko bencana yang mengikat, melainkan memberikan pandangan, pendapat dan masukan terhadap dan tentang agenda, kebijakan dan strategi atau rencana pengurangan risiko bencana. Indonesia oleh masyarakat internasional dikenal sebagai supermarket bencana karena hampir semua jenis bencana ada di Indonesia. Namun Kepala BNPB cenderung menjadikan Indonesia sebagai laboratorium bencana, "Artinya Indonesia tidak hanya sebagai tempat belanja namun tempat mencari hikmah di balik bencana, mendapatkan pelajaran untuk kepentingan kemanusiaan," kata Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Dr. Syamsul Muarif suatu ketika. Semakin tinggi kesiapsiagaan masyarakat maka diharapkan semakin sedikit korban bencana. Bangsa Indonesia tidak usah malu bahwa tanah tumpah darah kita selain kaya potensi alam namun juga rawan bencana. "Penanggulangan bencana harus ditangani secara komprehensif, multi sektor, terpadu dan terkoordinasi serta menekankan pada upaya penanganan secara sistemik," jelas Syamsul Maarif. Sementara itu, duta besar PBB untuk UNESCO Prof. Arief Rachman menilai bahwa bencana merupakan salah satu faktor penyebab menurunnya tingkat kesejahteraan masyarakat, "Untuk itu berbagai unsur terkait harus menjadikan pengurangan risiko sebagai prioritas pembangunan nasional, sehingga bencana dapat dicegah atau paling tidak dapat dikurangi dampaknya," jelasnya. Bermula dari Aksi Hyogo Platform Nasional Pengurangan Risiko Bencana atau Planas PRB secara resmi dibentuk pada akhir April 2009 lalu. Planas PRB ini menjadi wahana untuk memadukan wawasan, menampung

aspirasi dan kepentingan serta menjembatani berbagai pihak yang berkepentingan dalam pengurangan risiko bencana di Indonesia. "Dengan platform ini saya berharap sumber daya bisa kita hubungi dan membantu kita. Platform ini akan memperkuat sistem kita," kata Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Syamsul Maarif. Lebih lanjut Syamsul Maarif mengemukakan, Planas PRB merupakan suatu mekanisme koordinasi serta arahan kebijakan dalam pengurangan resiko bencana yang melibatkan multi-sektor dan disiplin. "Saya berharap Planas PRB akan mengawal pengarusutamaan pengurangan resiko bencana dalam setiap kebijakan dan perencanaan pembangunan." Planas PRB ini akan menjadi mekanisme nasional multi-pemangku kepentingan yang bertindak sebagai penganjur pengurangan risiko bencana di berbagai tataran dengan memberikan koordinasi, analisis, dan anjuran tentang bidang-bidang yang diprioritaskan. Pembentukan Planas PRB ini menunjukkan komitmen Indonesia bersama 167 negara lainnya di Konferensi Dunia Pengurangan Risiko Bencana di Kobe, Jepang, pada awal tahun 2005 yang melahirkan Kerangka Aksi Hyogo 2005-

2015. "Konferensi tersebut menyarankan suatu Platform Nasional Pengurangan Risiko Bencana. Suatu forum lintas pelaku di tingkat nasional yang memfasilitasi pertukaran informasi tentang programprogram dan kegiatan pengurangan risiko bencana,: jelas Arief. Lebih lanjut Arief Rachman menjelaskan bahwa aksi pengurangan risiko bencana mencakup penguatan kelembagaan, legislasi dan kebijakan guna memastikan PRB prioritas utama; identifikasi, kajian resiko dan pengembangan peringatan dini. "Termasuk pemanfaatan iptek dan pendidikan bagi pengembangan budaya aman; meredam akar permasalahan serta peningkatan kesiapsiagaan," jelasnya. Forum Wawasan Gagasan awal untuk membentuk Planas PRB Indonesia sudah muncul sejak tahun 2006. Terlebih Indonesia adalah bangsa yang hidup di daerah rawan bencana sehingga Indonesia membutuhkan suatu wahana untuk memadukan wawasan pemerintah dan para pemangku kepentingan penanggulangan bencana. Anggota Planas PRB adalah lembaga/institusi/

organisasi/forum PB/PRB yang menyatakan diri sebagai anggota dengan melalui proses pendaftaran sebagai anggota. Unsur-unsur keanggotaan antara lain lembaga pendidikan dan penelitian, media massa, lembaga usaha, masyarakat sipil, pemerintah, Palang Merah Indonesia, lembaga profesi, dan lembaga atau komunitas lainnya. Planas PRB sebagai forum juga tidak menyelenggarakan kegiatan atau menghasilkan produk teknis operasional pengurangan risiko bencana yang menjadi kewenangan, tugas, dan tanggung jawab lembaga-lembaga yang menjadi anggotanya. "Capaian utama tersebut menjadikan pemicu bagi para pemangku kepentingan PRB di Indonesia untuk terus berusaha mencapai hasil sesuai dengan Kerangka Kerja Aksi Hyogo untuk menurunkan secara berarti hilangnya nyawa dan aset sosial, ekonomi dan lingkungan karena bencana," jelas Arief Rachman. Gerakkan Potensi Masyarakat "Penanggulangan bencana tak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah. Inisiatif membentuk jejaring multisektor dan multidisiplin untuk pengurangan risiko bencana juga harus muncul dari masyarakat tingkat lokal," jelas Ketua Planas PB, Mar'ie Muhammad. Menurut Ketua Umum Palang Merah Indonesia ini, forum ini diharapkan dapat memperkuat jejaring guna perluasan koordinasi antara berbagai pihak. "Forum sejenis di tingkat lokal (provinsi) telah ada sebelumnya, seperti

forum Merapi yakni gabungan para stakeholder lintas kabupaten dan lintas provinsi di sekitar Gunung Merapi. Jadi inisiatifnya justru dari masyarakat, unsur pemerintah hanya memfasilitasi dan lebur di dalamnya," tuturnya. Sejalan dengan hal itu, Syamsul Muarif mengatakan pada daerah-daerah rawan bencana seperti banjir diharapkan juga akan membentuk forum sungai yang tidak berdasar pada batas administrasi tetapi mengikuti batas rezim sungai. "Yang mungkin bisa dibentuk ke depan di tingkat lokal, misalnya forum Sungai Bengawan Solo yang nantinya melibatkan seluruh elemen stakeholder di sepanjang aliran sungai tersebut. Ini juga dapat ditiru oleh daerah-daerah lain yang rawan bencana banjir," ujar Syamsul. Jadi Contoh Dunia Letak Indonesia pada posisi geogragis, geologis dan hidrologis, dan potensi kerusakan akibat perubahan iklim, keseluruhannya berpotensi berisiko menimbulkan bencana. Oleh karena itu pelatihan kesiapsiagaan yang dilakukan bangsa Indonesia menjadi sebuah keharusan Indonesia diundang dan diberi kesempatan untuk memaparkan proses pembentukan Planas PRB pada konferensi dunia tentang Global Platform di Geneva. "Proses pembentukan Planas PRB dijadikan contoh karena dilakukan melalui musyawarah dan partisipasi berbagai unsur terkait, khususnya masyarakat dan dunia usaha," tegas Syamsul. (m)


9 s a t u k a t a i n d o n e s i a

komunika Edisi 17/Tahun V/November 2009

Priya Utama

Pemerhati Masalah Sosial Kemasyarakatan

Indonesia memang diasuh oleh bencana yang setiap waktu dapat menyambangi kita. Bencana klasik yang sering menimpa adalah gempa bumi, letusan dan lahar gunung berapi, tanah longsor, banjir, kebakaran, dan tsunami atau gelombang pasang akibat gempa. Belakangan saja mungkin karena penyimpangan iklim dan kerusakan lingkungan, kita dapatkan juga serangan badai, kendati tak sesering Filipina, Hongkong, Taiwan, China, atau Jepang.

(1986) yang membuat 135.000 orang harus diungsikan karena zat radioaktif mengancam daerah seluas 1.600 mil. Demikian juga kebocoran di pembangkit tenaga nuklir di Three-mile Island, AS. Nampaknya bencana jenis ini akan berlanjut di masa depan seiring dengan kian banyaknya pusat pembangkit listrik bertenaga nuklir. Kerugian-kerugian akibat bencana tersebut kian membesar seiring dengan semakin tingginya tingkat pembangunan daerah-daerah, makin banyaknya aset yang dipunyai, serta tambah tingginya populasi daerah yang menderita. Secara internasional kerugian dapat dihubungkan pada aspek stabilitas ekonomi, politik serta sosial

pengaturannya, antara lain siapa bertugas apa dan harus berbuat bagaimana. Warga di daerah yang potensial mengalami bencana gempa maupun gunung berapi, dapat mengambil prakarsa guna mengatasinya. Masyarakat gunung berapi lebih siap oleh karena datangnya bencana umumnya dapat dideteksi, dan alur-alur bahaya telah dipahami sejak dulu. Daerah rawan gempa, seperti sisi selatan Sumatra, Jawa, Bali hingga Papua, lebih sulit karena meskipun gempa dapat diramalkan akan terjadi, tapi ketepatan waktunya belum bisa. Mereka perlu disiapkan tentang apa yang harus dilakukan jika mengalami bencana seperti itu. Masyarakat Jepang amat berpengalaman

perencanaan matang dan detail harus dilakukan dalam manajemen penanganan bencana agar menghindarkan masyarakat dari dampak merugikan dari bencana yang terjadi

Bencana tsunami paling terkenal di awal abad XXI terjadi di Aceh (2004) yang memakan korban ribuan jiwa, baik di Aceh sendiri, Thailand maupun Sri Langka. Setelah itu terjadi juga di Pangandaran (2006), dan sebelumnya menimpa Flores (1994). Tahun 1883 pernah terjadi tsunami raksasa yang melahap sebagian Jabar dan Lampung akibat letusan Gunung Krakatau. Batavia pun pernah diserang gelombang pasang seperti itu di abad XVII. Selain letusan Krakatau, maka G. Tambora di NTT membawa dampak cukup besar di abad Ke-XIX lalu. Letusanletusan lainnya banyak terjadi dan membawa penderitaan penduduk di sekitarnya, meski dibayar dengan kesuburan tanah laharnya. Akibat kerusakan lingkungan hidup, antara lain penggundulan hutan, peruntukan tanah yang tidak

sesuai, maka banjir bandang, galodo, sering mengancam daerah yang secara tradisional jarang menderitanya. Bencana klasik itu memakan korban banyak, akan tetapi sebagai negeri agraris, kita “beruntung” sebab bencana modern yang timbul akibat kemajuan teknologi sering sulit ditanggulangi, akibat lambatnya penemuan ‘anti-dot’ atau ‘obatnya’, karena eksploitasi atas bahanbahan kimia baru terlalu cepat dilakukan akibat tekanan kebutuhan industri . Kita ingat bagaimana bencana kebocoran zat kimia Union Carbide di Bhopal, India (1985) memakan korban 2.500 jiwa melayang, dan 100.000 lainnya cacat. Tragedi itu sekedar puncak gunung es, di mana banyak bencana teknologi semacam itu tidak terpublikasikan. Kejadian mengerikan lain adalah kebocoran Pusat Tenaga Nuklir Chernobyl, Rusia

di masa berikutnya. Jurang antara negara miskin dan k a y a b e r t a m b a h l e b a r, sehingga dunia merasa perlu meningkatkan penanggulangan akibat bencana sebagai kunci utamanya. Di tingkat nasional, dampak bencana itu umumnya membuat dua kemunduran besar yaitu adanya kerugian langsung terhadap aset publik dan privat dalam berbagai bentuk. Kedua, rusaknya usaha serta sumber daya nasional yang menjadikan pembangunan nasional mundur dan semakin jauh dari sasaran. Berdasarkan kenyataan tersebut maka tiap-tiap negara mengembangkan pendekatan komprehensif guna membangun suatu manajemen bencana. Ini perlu menyangkut seluruh aspek lingkaran manajemen bencana, serta perlu menyertakan keseimbangan yang

d l h d i gempa dalam menghadapi bumi, dan sangat terlatih, mulai dari penyelamatan nyawa, harta maupun konstruksi bangunannya. Sejak usia dini anak-anak perlu diberi pengertian dan kesadaran akan bencana, dan bagaimana serta apa yang harus mereka kerjakan bila menghadapi kejadian itu. Di tiap-tiap RT/RW hal itu bisa dikerjakan, terutama sekali membentuk organisasinya agar tugas dapat berjalan lancar, efektif. Ta m p a k n y a r o d a manajemen bencana negeri kita perlu diputar lebih kencang, karena terbukti dalam setiap bencana terjadi kekurangpahaman penduduk tentang apa dan bagaimana menyelamatkan diri, bagaimana menolong teman-temannya, dan bagaimana mengatasi akibat bencana, antara lain sering terjadi kekuranglancaran penyaluran bantuan, sehingga menimbulkan masalah. Dapat terjadi petugas-petugas itu sendiri korban bencana, sehingga sistem organisasi berlapis sangat diperlukan. Dengan adanya otonomi daerah sekarang ini, nampaknya Pemerintah Kabupaten semakin dituntut untuk bekerja keras menyiapkan warganya agar mampu mengatasi, atau mengurangi dampak dari bencana-bencana sesuai dengan sifatnya. Warga pun dituntut untuk proaktif , berinisiatif untuk melatih dan menyiapkan diri sebaikbaiknya mulai dari dirinya sendiri, keluarga maupun lingkungannya.***


www.bipnewsroom.info

10

komunika Edisi 17/Tahun V/November 2009

LINTAS LEMBAGA

LINTAS DAERAH Nangroe Aceh Darussalam

BAKOSURTANAL

Tidak Ada Alasan Laporan Program Terlambat

Antisipasi Bencana dengan Peta

Mutasi di kalangan pejabat Eselon II, III dan IV diharapkan tidak menjadi alasan untuk tidak terlambat dalam membuat laporan dan program. Proses mutasi kata Bupati Aceh Tengah, Ir. H. Nasaruddin, MM Senin, (2/11) merupakan hal yang wajar dan harus dilakukan dalam sebuah organisasi. “Langkah tersebut dilakukan untuk penyegaran dan menghilangkan kejenuhan. Makanya, dia berkali-kali meminta bagi pejabat yang baru tidak ada alasan untuk memperlambat membuat laporan dan program,” kata Bupati saat apel pagi di Lapangan Setdakab. Menurut Nasaruddin, masing-masing pimpinan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) untuk setiap saat melakukan perbaikanperbaikan di unit kerjanya masing-masing. ”Semua harus bertekad agar hari ini lebih baik dari hari esok”, sebut Nasaruddin. Berkaitan dengan akan berakhirnya tahun 2009, kepada seluruh pimpinan unit kerja diminta untuk segera mempercepat dan mempersiapkan serta membenahi laporan terhadap tugas dan lingkup masing-masing, terutama terhadap penggunaan anggaran. Hasil dari laporan dari masing-masing unit kerja dapat secepatnya disampaikan kepada pimpinan. Penyusunan laporan dan program berkait antara bagian yang satu dengan bagian lainnya. (Humas

Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (Bakosurtanal) membuat peta-peta kawasan bencana Berdasarkan pengalaman tanggap darurat kebencanaan sejak gempatsunami di Aceh pada Desember 2004, Bakosurtanal telah memetakan ulang kawasan Nanggroe Aceh Darussalam, Sumatera Utara dan kawasan pantai barat Sumatera selebar tiga kilometer dalam rangka membangun Tsunami Early Warning System (TEWS). Namun rupanya, perhatian masyarakat selama ini terlalu tertuju pada tsunaminya, sedang antisipasi pada gempa berkekuatan besar yang mestinya terwujud dalam bentuk penegakan aturan bangunan yang lebih ketat (building code) agak terabaikan. Semestinya, bangunan-bangunan di kawasan-kawasan yang telah teridentifikasi rawan bencana segera dievakuasi. Kalau bangunan tersebut terbukti belum memenuhi persyaratan dalam Building Code, maka bangunan tersebut segera direnovasi. “Mungkin proses ini memang memakan biaya, namun itu pasti lebih murah daripada ketika bangunan itu dirobohkan oleh gempa secara mendadak,” katanya. Perhatian pemerintah maupun masyarakat pada pemetaan kawasan bencana, baik selama masa pencegahan (mitigasi), masa tanggap darurat maupun masa rehabilitasirekontruksi memang masih perlu ditingkatkan. Hal itu terbukti, peta kebencanaan dalam UU No. 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana baru disebut dalam satu ayat tanpa penjelasan, dan kewajiban itupun dibebankan kepada pemerintah daerah. Akibatnya, baru sebagian kecil daerah yang dapat berbuat sesuatu dalam memulai menyiapkan peta kawasan rawan bencana. Dari sisi landasan hukum, UU tersebut memang perlu segera diamandemen. Bakosurtanal beserta komunitas-komunitas geospasial, semisal RS-GIS-Forum, Ikatan Surveyor Indonesia dan Masyarakat Penginderaan Jauh Indonesia sedang berupaya keras agar masyarakat Indonesia makin sadar spasial, sehingga juga makin sadar bencana. “Saat ini Pemerintah melalui Bakosurtanal juga sedang menggodok RUU Informasi Geospasial yang diharapkan akan membuat data geospasial lebih memasyarakat lagi,” katanya. (Gs)

Pemkab Aceh Tengah)

Bangka Belitung Berharap dari Visit Babel Archipelago 2010 Gubernur Kepulauan Bangka Belitung (Babel) Eko Maulana Ali mengharapkan program "Visit Babel Archipelago 2010" (Tahun Kunjungan Babel 2010) akan meningkatkan sumbangan sektor pariwisata bagi Produksi Domestik Bruto (PDB) provinsi tersebut. "Saat ini pariwisata dan perikanan belum masuk tiga besar penyumbang terbesar PDB Babel," kata Eko Maulana Ali. Berbagai persiapan menghadapi "Visit Babel Archipelago 2010" seperti kamar hotel dan prasarana lainnya terus dilakukan. Diharapkan segala kendala dalam menghadapi program tersebut dapat diatasi sehingga program terlaksana dengan baik. Eko mengatakan program yang mulai tahun 2010 tersebut hanyalah awal. Program tidak hanya berhenti pada 2010 namun akan dilanjutkan terus. (ant) Jawa Barat Tanam Ribuan Bibit Jambu Isteri Wakil Gubernur Jawa Barat, Ir. Hj. Sendy Yusuf, Kamis (11/11) di Cirebon menyerahkan bantuan 2.500 bibit jambu di Desa Serang Wetan, Kecamatan Babakan. Ny. Sendy Yusuf menyatakan keprihatinannya akan bencana gempa, tanah longsor dan banjir yang telah melanda sebagian wilayah Jawa Barat. "Walaupun Pemerintah telah mensosialisasikan “Gerakan Rehabilitasi Hutan”.Namun itu tidak akan mampu menutupi semua lahan kritis di Jawa Barat yang berjumlah 171.500 hektare. Karena itu, pemerintah berupaya memberikan stimulan berupa 2.500 bibit pohon jambu," ujarnya. Pohon jambu menurut dia, dipilih karena mengandung fungsi kesehatan, yakni pucuk daunnya untuk mengobati diare dan buahnya untuk mengobati demam berdarah. Menurut data tahun 2008, terdapat lahan seluas 4.450 hektare yang termasuk kategori lahan kritis di Kabupaten Cirebon. Dia berharap, dengan adanya program rehabilitasi berupa penanaman pohon ini, masyarakat semakin sadar akan pentingnya kesehatan lingkungan. (aries.b/mc diskominfo kab cirebon)

Departemen Perdagangan

Ajang Eksis Produk Nasional Pameran produk barang dan jasa hasil kreasi anak bangsa atau Trade Expo Indonesia 2009 yang berlangsung pada 28 Oktober hingga 1 November 2009 mampu membukukan rekor transaksi tertinggi. Perhelatan yang berlangsung selama lima hari di Jakarta International Expo, Kemayoran itu berhasil membukukan transaksi 285 juta dolar AS, lebih tinggi dari target awal yang ditetapkan pemerintah yaitu 230 juta dolar AS. Eksebisi tahunan tingkat dunia yang rutin digelar Badan Pengembangan Ekspor Nasional (BPEN) Departemen Perdagangan kembali mengisyaratkan bahwa produk Indonesia masih digemari oleh para konsumen Internasional. Selain itu, daya tarik produk barang dan jasa Indonesia dari segi kualitas

Jawa Tengah Jajaki Kerjasama Ekonomi dengan Timor Leste Pemerintah Kota (Pemkot) Solo dan Pemerintah Republik Demokratik Timor Leste menjajaki kemungkinan dilakukannya kerjasama dalam bidang pengembangan ekonomi. Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kota Solo Triyanto mengungkapkan, yang termasuk dalam kerjasama tersebut adalah rencana pendirian PT Tiga Pilar di Timor Leste guna menjajaki pangsa pasar setempat yang menurut informasi merupakan pintu gerbang ekspor ke Portugal dan negara-negara Eropa lainnya. Kerjasama lainnya adalah pengembangan industri batik melalui kerjasama dengan Kampung Batik Kauman dan Kampung Batik Laweyan Solo. Pemerintah Timor Leste ingin kerjasama alih teknologi pembuatan batik dari para perajin batik di Solo. Sejauh ini, produkproduk seperti biskuit, mie instan dan batik sangat diminati oleh pemerintah Timor Leste untuk dikembangkan di negara tersebut dengan kemungkinan ekspor ke Portugal dan negara lain. (toeb)

Telaga Ngebel, untuk membuang sebel Te r l e t a k d i k a k i s i s i barat Gunung Wilis, dan di perbatasan Kabupaten Madiun dan Ponorogo, Danau Ngebel nampak tenang, sejuk, nyaman. Dia tersisih dari kesibukan Kota Ponorogo, sebagai kota perlintasan antara Wonogiri, Trenggalek, dan

Pacitan menuju ke Madiun. Setiap bulan Suro (Muharam), ketika Pemkab Ponorogo mengadakan festival reog nasional, ada kegiatan lain di Danau Ngebel. Penduduk, pemuka masyarakat dan tokoh spiritual membuat upacara larung sesaji sebagai ekspresi

permohonan kepada Tuhan YME agar diberi keselamatan dan kesejahteraan. Danau seluas kurang lebih lima hektar ini menjadi

maupun desain terbukti telah mampu memenuhi selera dunia. Melalui sub tema ‘Unlimited Indonesia’, desain dan acara TEI disiapkan untuk menampilkan potensi Indonesia tanpa batas, mulai dari kekayaan alam hingga sumber daya manusia. (firmansyah/vey)

Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia

Kukuhkan Tiga Profesor Riset Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mengukuhkan tiga orang profesor riset, masing-masing Dr. Hary Harjono, Dr. Leonardus Broto Sugeng Kardono, dan Drs. Daliyo, dalam sidang Majelis Profesor Riset di Gedung Widya Graha LIPI, Jakarta, Jumat (13/11). Dr. Leonardus Broto Sugeng Kardono dikukuhkan sebagai Profesor Riset bidang Kimia Organik, Dr. Hery Harjono sebagai Profesor Riset Bidang Geologi dan Geofisika, dan Drs. Daliyo, MA dikukuhkan sebagai Profesor Riset Bidang Penduduk. (Gs) Kementerian Koordinator Perekonomian

Perkembangan Positif Realisasi Stimulus Fiskal Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Hatta Rajasa mengatakan realisasi belanja stimulus fiskal 2009 hingga saat ini terus menunjukkan perkembangan yang positif. "Laporan dari Departemen Pekerjaan Umum (Dep-PU) menunjukkan perkembangan realisasi stimulus yang bagus," kata Hatta di kantor Menko Perekonomian Jakarta, Jumat (13/11). Menurutnya, berdasarkan laporan terakhir dari Dep-PU, pada kuartal III-2009 realisasi belanja stimulus fiskal sudah mencapai 50 persen. Dengan demikian, akhir tahun 2009 diharapkan belanja stimulus fiskal akan terjadi penyerapan yang sesuai dengan harapan. "Untuk itu, pemerintah akan berusaha keras dan ingin mendorong agar tidak ada gangguan dalam kondisi transisi ini,"katanya. (Ia) Departemen Komunikasi dan Informatika

Menara Telekomunikasi Harus Tahan Gempa Departemen Komunikasi dan Informatika (Depkominfo) mensyaratkan agar pembangunan menara telekomunikasi harus tahan gempa bumi sebagai salah satu bentuk antisipasi bencana. “Kami sudah mensyaratkan secara sangat ketat tentang kewajiban pembangunan menara telekomunikasi yang tahan gempa bumi," kata Kepala Pusat Informasi dan Humas Departemen Kominfo, Gatot S. Dewa Broto. Persyaratan tersebut telah diberlakukan sejak 30 Maret 2009 di mana pihaknya bersama beberapa instansi lain menandatangani peraturan bersama Menkominfo, Mendagri dan Menteri Pekerjaan Umum serta Kepala BKPM. "Salah satu ketentuan tentang antisipasi terhadap gempa bumi tersebut diatur pada Pasal 11 ayat (1) yang menyebutkan bahwa permohonan Izin Mendirikan Bangunan Menara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 melampirkan persyaratan administratif dan teknis," katanya. Ia menambahkan, Peraturan Bersama tersebut juga mengatur tentang persyaratan struktur bangunan menara. "Sanksi jika terdapat pelanggaran, berupa teguran, peringatan, pengenaan denda, atau pencabutan izin," katanya. (ant)

danau terbesar di Kabupaten P o n o r o g o sebagai pemasok air bersih dan pernah jadi penggerak utama PLTA. Dongengd o n g e n g seram tentang keangkeran danau ini secara tak langsung menjamin kelestariannya. Orang tua di jaman Belanda masih menyaksikan sejenis uling (sidat) raksasa muncul

di tengah danau bila terusik. Legenda menyebutkan danau itu tempat munculnya tokoh reog Bujang Ganong dalam pelariannya dari Kediri. Banyak lagi dongeng tentang Danau Ngebel, yang kemudian menjadi salah satu unggulan wisata Kota Reog itu. Bila hati sebel, warga Ponorogo bisa menjadikan Ngebel sebagai pelarian, sambil menikmati duren Bajul yang besar-besar, wangi, dan legit khas sana. (Adji Subela)


Jawa Tengah Pertama di Jateng, Luncurkan KPE PNS Kota Pekalongan boleh berbangga hati karena Kartu Pegawai Elektronik (KPE) di wilayah Kota Pekalongan dikembangkan pertama kali untuk wilayah Eks Karesidenan Pekalongan, Jawa Tengah. “KPE dimaksudkan agar setiap PNS mempunyai kartu identitas multifungsi untuk kepentingan dinas maupun kepentingan pribadi yang bersangkutan,” kata Kepala Kantor Kepegawaian

Daerah (KKD) drg. Agust Sumarhaendayana, Rabu (14/10) saat melihat pemotretan dan pengambilan sidik jari untuk pembuatan KPE. Sri Sumartiningsih, PNS yang sehari-harinya bertugas di Bagian Humas dan Protokol menyambut baik jika pengambilan gaji langsung dikirimkan melalui KPE, sehingga tidak lagi antri di loket bendahara gaji. “Kalau menurut sosialisasi, maka KPE tersebut berlaku secara multifungsi. Artinya, selain untuk pengurusan data kepegawaian, juga bisa untuk transaksi keuangan, layaknya ATM,” ujar Sri. Sementara itu Kasi Dokumentasi dan Perundangundangan, Iqbal Khafid, SIP, MSi,

menjelaskan fungsi KPE yang lengkap. “Selain kartu identitas pegawai juga menjadikan satu identitas lain yaitu karis/karsu, karpeg, kartu taspen, dan kartu askes. Paling penting sebagai kartu ATM untuk pengambilan gaji. Dengan demikian, maka setiap PNS di lingkungan Pemerintah Kota Pekalongan secara otomatis akan memiliki rekening di Bank Jateng, selaku Kas Daerah, mengingat gaji dibayarkan melalui lembaga itu,” jelas Iqbal. Pembuatan KPE PNS dimulai tahun 2009 dan

ditargetkan selesai secara keseluruhan pada tahun 2015 mendatang. Dalam kegiatan ini juga dilakuan validasi data PNS, “Jumlah PNS Kota Pekalongan mencapai 4.382 orang, yang tersebar pada 35 SKPD, belum termasuk sekolah dan UPTD.” kata Iqbal. (tubagus ms)

Jawa Tengah Dari Sepeda Hingga Komunitas Percontohan Ta k k u r a n g d a r i 1 0 0 pengendara sepeda onthel, Jumat pagi (6/11), bersepeda santai mengelilingi kota Kebumen. Acara yang dikemas sebagai "Jumat Sepeda Bersama" tersebut dimotori

Hikmah Seorang kawan jengkel bukan kepalang saat taksi yang ditumpanginya menuju bandara terjebak macet selama berjam-jam. Ia gusar, karena waktu check-in tinggal 15 menit lagi. Padahal siang itu juga ia harus tiba di kota X untuk bertemu relasi bisnisnya dari luar negeri. Kemungkinan mengejar pesawat makin tipis tatkala ban kiri depan taksi tiba-tiba meletus, sehingga sopir harus mengganti ban kurang lebih selama 15 menit. Sampai di bandara, benar, pesawat yang hendak ditumpanginya sudah take-off. Ia berupaya mengejar waktu dengan mencari maksapai penerbangan lain, tapi semua penerbangan hari itu sudah fully booked alias penuh. Ia pun kembali ke rumah dengan sumpah serapah berhamburan dari mulut dan juga hatinya. Ia menganggap, Tuhan yang Maha Mengatur telah melakukan kesewenangwenangan terhadap dirinya, karena membiarkan kemacetan terjadi sehingga ia kehilangan kesempatan mem-

peroleh laba miliaran rupiah yang sejatinya sudah berada di depan mata. Sore hari, saat menonton berita televisi, ia kaget. Ada breaking news yang memberitakan pesawat yang sedianya akan ditumpanginya mendarat darurat di bandara tujuan, dan terbakar. Sebagian besar penumpang tewas, puluhan luka-luka, dan hanya lima orang yang luput dari petaka. Belum hilang kagetnya, malam hari ia mendapat sms dari sahabatnya, yang mengabarkan bahwa calon rekan bisnisnya dari luar negeri ditangkap Interpol sesaat setelah pertemuan bisnis usai, karena melakukan tindak pidana money laundering dan penipuan valuta asing (valas) di berbagai negara. Ia termenung, menekuri semua yang terjadi dengan jernih. Tahulah ia sekarang, mengapa Tuhan membuat jalanan macet dan ban taksi meletus. Itu semua, tak lain, karena Tuhan Yang Maha Mengatur masih menyayanginya. Bayangkan bila perjalanan menuju bandara

oleh Kantor Lingkungan Hidup Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah. "Selain sebagai sarana menjalin silaturahmi dengan masyarakat Kecamatan Pejagoan, jumat sepeda bersama diharapkan bisa menjadi contoh bagi masyarakat dalam upaya mengurangi polusi di Kebumen dan menumbuhkan spirit kebersamaan dalam menjaga kesehatan," kata Kepala Kantor Lingkungan Hidup kabupaten Kebumen Djoko Soetrisno, ST. Sementara itu, upaya Pengembangan Lingkungan Pemukiman Berbasis Komunitas (PLP-BK) juga dilakukan. "PLPBK merupakan program lanjutan PNPM Mandiri perdesaan, di mana program tersebut mengambil konsep penataan tata ruang berbasis lingkungan dan peran serta masyarakat," jelas Soetrisno. Dalam Program PLP-BK juga dilakukan penataan pedagang kaki lima di kawasan Kelurahan Wonokriyo, "Termasuk kawasan pasar Gombong dan sekitarnya dan pengelolaan sampah di kawasan tersebut," jelas Soetrisno. Koordinator Kota Urban Planner PNPM Mandiri Perkotaan Zein Nur Munthoha mengatakan untuk menciptakan lingkungan pemukiman berbasis lingkungan, peran serta masyarakat dalam hal pengelolaan persampahan juga terus ditingkatkan. "Bahkan Kantor Lingkungan Hidup terus melakukan sosialisasi dan penyuluhan pengelolaan persampahan bagi masyarakat setempat, termasuk pengenalan pola 3R (Reduce,

Recycle, Reuse). Masyarakat juga semakin cerdas dalam mengelola sampah, dengan cara memilah-milah jenis sampah, apakah jenis organik maupun non organik," jelasnya.

tidak terhambat, bisa jadi ia sudah bergelar almarhum sekarang. Atau kalaupun selamat tak kurang suatu apa, ia pasti akan tertipu rekan bisnis abalabal yang siap memangsanya. Tapi syukurlah, semua itu tak terjadi.

masa depan. Apa yang terjadi kini, sering dianggap sebagai peristiwa dadakan yang tak berujung-pangkal. Padahal peristiwa masa kini adalah buah dari peristiwa masa lalu, dan sekaligus akan menjadi benih terjadinya peristiwa lain di masa datang. Jarang yang mau berpikir, bahwa semua yang menimpa pada hakikatnya membawa hikmah dan bahkan berkah tersembunyi. Apa yang dialami kawan saya, hanyalah satu di antara jutaan contoh yang bisa dikemukakan, bahwa selalu ada hikmah di balik peristiwa. Oleh karena itu, jangan melihat sesuatu secara hitam putih, benar-salah, baik-buruk. Karena dalam kenyataannya, tidak ada peristiwa yang benarbenar baik, dan sebaliknya tidak ada pula peristiwa yang benarbenar buruk. Di balik kebaikan, biasanya tersimpan benihbenih keburukan, sebaliknya di balik keburukan pun terdapat benih-benih kebaikan. Kadang seseorang bisa menemukan hikmah di balik peristiwa, langsung setelah peristiwa terjadi. Ada yang perlu waktu berjam-jam, berharihari, berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun, hanya untuk menggumamkan kata-kata, “Ooo, ternyata ini hikmahnya.”

***

Orang sering melihat hambatan, tantangan, gangguan, ancaman, atau yang lebih besar lagi penyakit dan bencana, sebagai bentuk ketidakadilan Tuhan terhadap dirinya. Banyak orang melihat apa yang terjadi pada dirinya secara linear, sehingga peristiwa sekadar dipahami sebagai akibat dari suatu sebab. Banyak orang lupa bahwa peristiwa sejatinya adalah cakra yang senantiasa berputar. Banyak orang tak peduli bahwa tesis akan melahirkan antitesis, kemudian memunculkan sintesis, dan sintesis akan menjadi tesis baru yang akan memunculkan antitesis dan sintesis berikutnya. Manusia memang suka memandang sesuatu secara potong-lintang (cross sectional), cenderung memusatkan perhatian pada masa kini dengan melupakan latar belakang dan sekaligus memandang remeh

(nn, kebumen)

Jawa Timur Ubah Lahan Tidak Produktif Banyaknya lahan tidak produktif yang ada di Kecamatan Ledokombo membuat masyarakat resah. Pasalnya masyarakat selama ini bergantung hidup dari bercocok tanam, sementara tanah yang ada tak bersahabat. Memang, Ledokombo terletak di kawasan Jember bagian utara yang secara geografis kurang subur, berbeda dengan kawasan Jember selatan yang jauh lebih subur. Ta p i k i n i k e c e m a s a n masyarakat Kecamatan Ledokombo bisa berangsur hilang. Aparat Kecamatan Ledokombo bekerja sama dengan Dinas Kehutanan Pemkab Jember mengembangkan Program Sengonisasi diatas lahan yang tidak produktif itu. “Sejak dilakukan sengonisasi, awalnya harga sewa tanah garapan itu rendah kini menjadi melonjak tajam,” jelas Camat Ledokombo Sidartawan, SH. Bupati Jember Ir. H. MZA. Djalal, M.Si. menyatakan prospek tanaman sengon cukup menjanjikan. “Tingginya permintaan kayu sengon oleh

pabrik pengolahan kayu harus bisa dibaca masyarakat sebagai peluang usaha yang bisa mendatangkan untung demi peningkatan kesejahteraan, sebab kayu sengon tersebut sangat dibutuhkan oleh para pengusaha properti perumahan,” jelas Bupati. Meski sengon baru bisa dirasakan hasilnya setelah enam tahun dari saat mula menanam, tapi paling tidak mampu mengubah wajah desa di Kecamatan Ledokombo yang dulunya gersang dan tandus menjadi hijau. “Kecamatan Ledokombo termasuk salah satu kecamatan di Jember yang rawan bencana alam. “Sengon Ledokombo ini kebanyakan dipasarkan di pabrik pengolahan kayu Kalibaru Banyuwangi, bahkan kualitas tidak kalah dengan daerah lain karena dihasilkan dari bibit sengon pilihan,” tukas Sidartawan. Bak mendayung dua tiga pulau terlampaui, kini dengan sengon masyarakat bisa terbantu mata pencahariannya dan terbebas dari ancaman bencana. “Di Desa Ledokombo sendiri hampir separuh luas tanah yang ada ditanami sengon, sengon memiliki nilai ekonomis yang tinggi yakni mampu menembus harga Rp.250.000 per pohon. Selain itu sengon juga mempunyai fungsi penyangga tanah dari erosi saat musim hujan tiba,” jelas Sidartawan. (mc_humas/jbr)

Jika anda melihat, mendengar dan memiliki kisah unik dari seluruh nusantara untuk dituliskan dan ingin berbagi dalam rubrik keliling nusantara, silahkan kirimkan naskah kepada redaksi komunika melalui surat ke alamat redaksi atau melalui e-mail: komunika@bipnewsroom.info atau bip@depkominfo.go.id

Namun tak jarang, hikmah itu tak terpahami manusia hingga akhir hayat, alias tetap menjadi rahasia Sang Pencipta Alam Semesta. Tapi bukan berarti hikmah itu tidak ada. Bencana alam misalnya, adalah peristiwa yang oleh banyak orang lazim dicap sebagai “buruk”. Tapi benarkah bencana alam seburuk dugaan banyak orang? Benarkah ia datang hanya membawa kesusahan dan penderitaan? Bagaimana jika bencana itu merupakan satusatunya cara bagi alam untuk mencapai titik ekuilibrium, titik keseimbangan, agar di masa depan tetap mampu menjalankan fungsinya dalam memberikan daya dukung terhadap kehidupan manusia? Siapa yang tahu, bahwa bencana yang terjadi adalah katup pengaman yang harus dibuka, agar tidak terjadi bencana yang sangat besar di masa datang? Mungkin kita tidak bisa menjawabnya sekarang. Tapi kita percaya, Tuhan yang Maha Mengatur memiliki master plan yang sangat baik dan sangat sempurna—yang mungkin karena kesempurnaannya menjadi tidak bisa dipahami oleh logika manusia. (gun)

s a t u k a t a i n d o n e s i a

11

komunika Edisi 17/Tahun V/November 2009


12 www.bipnewsroom.info

komunika Edisi 17/Tahun V/November 2009

Gempa 7,6 Skala Richter mengguncang Bumi Minang 30 September 2009 menebar nyanyian duka, menghantarkan ratusan nyawa menghadap Sang Pencipta, dan melantakkan ribuan bangunan. Pasar sebagai salah satu pusat urat nadi perekonomian kota Padang, tak dapat lagi digunakan, sekolah-sekolah pencetak pemimpin bangsapun teronggok menyisakan kekhawatiran. Beberapa kampung di Kabupaten Padang Pariaman dan Agam tak berwujud lagi setelah bukit yang digetarkan bumi longsor dan mengubur rumah-rumah dan makhluk yang ada di sekitarnya. Meski bencana telah meluluhlantakkan bumi minang, namun tidak mematikan semangat hidup dan perjuangan Urang Minang, “life must goes on� para pedagangpun kembali menggelar dagangan di sekitar reruntuhan pasar, dan pelajarpun kembali belajar meraih cita meski hanya menempati tenda darurat yang panas. Foto&teks: Fouri/AV-BIP


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.