Edisi 04/Tahun VI/Maret 2010

Page 1

WAWANCARA Sikapi Keterbatasan dengan Berdayakan Warga 10 Perempuan Bukan Beban Halaman

Partisipasi masyarakat yang sangat besar bisa mendorong semangat para petugas kesehatan di desa terpencil. Kisah dari Kabupaten Samosir, Sumatera Utara.

Halaman

4

Jika perempuan diberdayakan dengan memberi kesempatan dan peluang yang sama dengan kaum laki-laki, tentu perempuan bukan jadi beban melainkan aset yang penting dalam pembangunan. Tapi harus mulai mengubah pola pikir dan perilaku.

Deputi Bidang Peningkatan Kualitas Hidup Perempuan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak

Dra. Setiawati J. Arifin, M.Sc.

Foto : Taofiq Rauf / Yudi Syahrial

Edisi 04/Tahun VI/Maret 2010

MENJAGA GIZI

LINDUNGI SATU GENERASI

B

erbagai survei tentang kondisi gizi di Indonesia menunjukkan bahwa anak balita, anak usia sekolah, ibu hamil dan menyusui memiliki potensi besar mengalami kekurangan gizi. Penyebabnya antara lain tingkat daya beli atas produk pangan bermutu dan bergizi serta minimnya pengetahuan untuk mengolah bahan makanan dengan baik serta bergizi. Penelitian dari World Health Organization (WHO) memperkirakan 54 persen kematian bayi dan anak berlatarbelakang akibat gizi buruk. Tak berlebihan jika kemudian dinyatakan bahwa gizi buruk berpotensi mengakibatkan kehilangan generasi (lost generation). Pada masa balita, perkembangan otak tidak bisa diperbaiki bila mereka kekurangan gizi. Demikian pula ibu hamil yang secara fisiologis sedang dalam kondisi tidak normal, janin yang dikandung akan menerima akibat buruk bila ibu kekurangan gizi. Bila ini terjadi, pertumbuhan fisik dan itntelektualitas bayi akan terganggu. Dan mereka menjadi sumber generasi hilang. Oleh karena itu, dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2010-2014, gizi buruk menjadi salah satu sasaran yang akan diturunkan. “Pada 2007, prevalensi gizi buruk mencapai 18,4 persen dan akan ditekan menjadi setidaknya 15 persen pada 2014 nanti," kata Menteri Kesehatan Endang Rahayu Sedyaningsih. Gizi buruk seringkali dikaitkan dengan tingkat kemiskinan.

Padahal, fakta menunjukkan, bahwa di tengah masyarakat yang memiliki perekonomian yang baik, gizi buruk masih berpotensi terjadi. Penyebab gizi buruk sebenarnya bervariasi, bisa akibat pemberian makanan yang kurang bergizi; lantaran kesibukan orang tua sehingga menyebabkan makanan yang diberikan kepada anak terkesan asal jadi atau asal anak kenyang. Dalam kondisi demikian dipastikan anak akan mengalami gizi buruk. Pada umumnya masyarakat Indonesia telah mampu mengkonsumsi makanan dalam jumlah yang mencukupi. Namun, kualitas makanan belum semua yang tercukupi gizi minimumnya. Jika kebutuhan gizi minimum tidak terpenuhi dalam waktu lama, meski tidak merasakan lapar, akan dapat mengakibatkan gangguan kesehatan. Kondisi itu dikenal sebagai kelaparan tersembunyi, kelaparan gizi atau malnutrisi. Lindungi Generasi Gizi buruk merupakan masalah yang kompleks, karena penyebabnya multidimensi. Penanganannya memerlukan pendekatan yang menyeluruh. "Selain penyembuhan dan pemulihan anak yang sudah menjadi penderita gizi buruk, hal terpenting adalah pencegahan penyakit dan peningkatan kesehatan terhadap anak yang sehat," kata Menkes dalam peresmian Rumah Pemulihan Gizi di Kota Yogyakarta, Februari

lalu. Berbagai upaya telah dikembangkan oleh pemerintah mulai dari program pemberian makanan tambahan hingga memberikan penyuluhan kepada ibu-ibu. “Sudah banyak perhatian masyarakat selama ini, tapi itu tidak sepenuhnya tanggungjawab pemerintah saja, masyarakat juga yang harus punya kesadaran sendiri,� katanya. Selama ini pula pemantauan pertumbuhan terhadap balita dilakukan di posyandu. Tinggal bagaimana masyarakat mau memanfaatkan kunjungan ke posyandu. Sebab banyak cara telah ditempuh agar menghidupkan kembali kegiatan posyandu, terutama daerah perkotaan, sehingga masyarakat kelas menengah atas mau berkunjung ke posyandu (modern). Dalam hal pencegahan, katanya, pemerintah kerap kali membimbing atau menyosialisasikannya. Namun, tidak didukung kesadaran masyarakat. “Sosialisasi sudah sangat sering, tapi kan kalau tidak didukung kesadaran masyarakat juga percuma,� kata menkes. Bagaimanapun lost generation tidak boleh terjadi, apalagi jika disebabkan oleh kekurangan gizi. Negara bakal kehilangan sumber daya manusia yang berkualitas. Oleh karena itu, menyelamatkan anak dari gizi buruk agar generasi mendatang memiliki kecerdasan yang baik mutlak dilakukan. Dan semua upaya ini tanggung jawab bersama pemerintah dan masyarakat. (m)


2

Beranda

www.bipnewsroom.info

Edisi 04

Tahun VI Maret 2010

Gizi Bukan Hanya Tanggungjawab Perempuan Sejak zaman prasejarah, urusan mengolah dan menyajikan makanan selalu dianggap sebagai ‘tugas’ perempuan. Hal tersebut tak lepas dari pandangan umum yang mendudukkan kaum laki-laki sebagai pemburu dan kaum perempuan sebagai peramu. Hingga kini, peran tradisional semacam itu pun masih langgeng, dimana urusan menyiapkan makanan masih sepenuhnya dibebankan kepada perempuan, khususnya para ibu. Kendati sering dipandang remeh oleh kaum laki-laki, akan tetapi sesungguhnya kegiatan mengolah dan menyajikan makanan tidak semudah yang dibayangkan. Perlu pengetahuan memadai untuk mendeteksi bahan makanan apa yang enak dan memiliki kandungan gizi seimbang, sehingga menyehatkan badan bila dikonsumsi. Sayang tidak semua perempuan memiliki pengetahuan paripurna tentang kandungan gizi bahan makanan. Banyak yang hanya tahu cara memasaknya, namun tidak terlalu paham apa manfaatnya bila dimakan. Hal tersebut di antaranya disebabkan oleh tingkat pendidikan perempuan yang rendah, serta kurangnya pengetahuan perempuan di bidang gizi. Keadaan seperti yang disebutkan di atas tentu tidak kita harapkan, karena imbas dari pengolahan makanan yang serampangan akan berpengaruh langsung terhadap gizi keluarga, terutama anak-anak. Jika perempuan salah mengatur komposisi pada saat mengolah dan menyajikan makanan, maka anak bisa mengalami defisiensi atau kekurangan salah satu atau beberapa jenis zat yang dibutuhkan tubuh. Jika yang kurang adalah jenis makanan sumber energi dan protein, maka dalam jangka panjang dapat menyebabkan gejala kurang energi protein (KEP) yang merupakan pemicu terjadinya gizi buruk dan gizi kurang. Ironisnya, karena yang dianggap ‘bertanggungjawab’ dalam pengolahan dan penyajian makanan adalah perempuan, saat

Soal Beasiswa Kominfo Soal beasiswa S2 ICT ke luar negeri bagi swasta dan umum mengapa sampai diurusi Kementerian Komunikasi dan Informatika? Kalau PNS instansi pemerintah (pusat dan daerah) saya kira baik. Tidak ada masalah. Namun kalau nanti penempatannya (re-entry training-nya) tidak tepat bisa terjadi BRAINDRAIN, apalagi yang dari umum dan swasta. Coba kaji ulang segi manfaatnya. Abdul Rahman Kadir via facebook bipdepkominfo@yahoo.com

Facebook Anak Negeri

desain: ahas/danang foto: bf-m, danag

Kabar gembira Indonesia punya FACEBOOK sendiri! Penasaran... klik aja di alamat

www.indogoo.com. Mari berpartisipasi dalam menghargai karya anak Bangsa. Indonesia juga bisa buat FACEBOOK. Agung Barlianto via facebook bipdepkominfo@yahoo.com

Kereta Api Tidak Aman Dari banyak rangkaian KA jurusan Jakarta ke wilayah timur, KA Gajayana lah yang paling baik. Gerbong baru tarif mahal tapi ternyata sungguh tidak aman! Saya harus rela kehilangan laptop, charger, HP beserta data di atas KA eksekutif itu. Kejadiannya ketika saya berangkat dari Purwokerto ke Kediri. Tas saya letakkan diatas tempat duduk (ada box tertutup) pas di atas kepala saya. Di atas KA saya harus "mengusir" yang duduk di kursi sesuai nomor saya; awalnya saya yang disuruh pindah ke kursi di depan (ada

terjadi kasus kekurangan gizi pada anak kesalahan cenderung ditimpakan kepada kaum perempuan. Padahal sejatinya terdapat banyak faktor yang menunjukkan bahwa kasus kekurangan gizi pun sering terjadi karena kesalahan laki-laki, misalnya karena kurangnya dukungan dana serta tidak adanya partisipasi aktif laki-laki dalam mengontrol asupan gizi anak-anak. Di samping itu, budaya patriarki yang mengutamakan kepala keluarga dalam konsumsi, disadari maupun tidak, sering menyebabkan perempuan dan anak-anak kehilangan kesempatan untuk mendapatkan asupan makanan yang berkualitas. Ke depan, pandangan bahwa pengolahan dan penyajian makanan adalah urusan perempuan hendaknya dibuang jauh-jauh. Selain tidak menguntungkan perempuan, juga berpotensi merugikan status gizi anak-anak karena kontrol tidak bisa dilakukan secara maksimal. Demikian pula kebiasaan mengutamakan laki-laki dalam stereotipe bahwa kegiatan konpengolahan dan sumsi hendaknya penyajian makanan disingkirkan. adalah urusan Justru peremperempuan hendaknya puanlah yang dibuang jauh-jauh. Selain seharusnya ditidak menguntungkan dahulukan agar perempuan, juga bermendapatkan potensi merugikan status asupan makangizi anak-anak an yang ber-gizi, karena perempuan yang sehat akan menghasilkan air susu yang sehat, yang merupakan makanan utama bagi generasi mendatang. Pencegahan gizi kurang dan gizi buruk memang juga harus dilakukan dengan mengembangkan pemberdayaan masyarakat. Pemberdayaan ini dimulai dari unit fungsional dan interaksi yang terkecil, yaitu keluarga.

Hidangan sehari-hari di keluarga menunjukkan kualitas gizi yang dibutuhkan tubuh dalam memenuhi kebutuhan zat gizi. Bila susunan hidangan memenuhi kebutuhan tubuh, baik dari segi kualitas maupun segi kuantitas, maka kebutuhan gizi tubuh akan terpenuhi. Keluarga yang demokratis tentu akan mengembangkan pemahaman tumbuh kembang seorang anak dan terpenuhinya kebutuhan gizi keluarga adalah tanggung jawab seluruh keluarga, terutama ibu dan bapak. Bapak sebagai pencari nafkah utama tidak bisa melepas tanggung jawab, menyerahkan sepenuhnya pengasuhan anak kepada ibu (istri). Apalagi, jika sebagian istri ternyata juga berkarier sebagai pekerja. Kita menyadari perempuan di seluruh dunia memainkan peran ganda, yakni sebagai ibu, pengatur rumah tangga untuk pemenuhan kebutuhan dasar keluarga, produsen dan kontributor penghasilan keluarga, dan pengatur organisasi kemasyarakatan yang berdampak pada kesejahteraan sosial. Inilah yang dikenal sebagai empat peran perempuan. Seiring dengan konsep kesetaraan gender, laki-laki perlu diberi tanggung jawab lebih besar dalam upaya meningkatkan status gizi keluarga. Laki-laki tidak lagi pasif menerima makanan matang yang telah diolah istri, akan tetapi harus pula terlibat dalam proses pembelian, pemilihan, pengolahan dan penyajian bahan makanan, agar sesuai dengan kebutuhan gizi seluruh anggota keluarga. Dengan cara tersebut, kasus kekurangan gizi dapat dihindari. Pertanyaan penting yang harus dijawab adalah, bisakah kaum laki-laki menempatkan diri sendiri untuk memainkan peran aktif dalam kegiatan konsumsi? Tidak mudah memang, karena selama ini laki-laki menjadi pihak yang dilayani. Namun demi kebaikan bersama, tidak ada salahnya para lelaki mencoba mulai saat ini juga. (g)

kursi kosong), saya tidak mau. Saya kemudian tertidur, tapi sempat bangun 2 kali, ke toilet, dan ambil air wudhu untuk shalat. Saya sempat membuka tas ambil sikat gigi, Sekitar jam 06.00 wib ketika sampai rumah, saat membuka tas... ternyata laptop dan HP beserta data, charger telah raib berganti bundel majalah. Saya khawatir PT KA sudah tahu hal ini dan tidak berani bertindak karena mereka sindikat.

telah sepenuhnya menghapuskan batas antara kedua hal tersebut. Contohnya saja paket Internet diiklankan dengan kecepatan 'up to 384 kbps' (ini kira-kira 48 kBps), tapi ternyata dalam 'terms and condition' disebutkan bahwa itu sepenuhnya tergantung pada banyak hal, termasuk banyaknya user lain di kawasan tersebut. Ternyata dalam kenyataannya di lapangan, dari seluruh area di Indonesia berapa banyak sih yang betul-betul mendapatkan kecepatan tersebut?

Agung via email komunika@bipnewsroom.info

Tian via email komunika@bipnewsroom.info

Tertipu Iklan Layanan Seluler

Program Khusus

Seiring dengan meningkatnya persaingan di dunia usaha, garis batas antara 'iklan' dan 'penipuan' sudah menjadi semakin tipis. Tapi menurut saya, adalah industri telekomunikasi yang

Adakah Program Khusus mahasiswa yang bisa dilaksanakan sekitar bulan Mei atau Juni terkait dengan kegiatan diskusi atau sosialiasi tentang teknologi informasi. Terimakasih informasinya.

Bem FT UNY via facebook bipdepkominfo@yahoo.com

Anda bisa kontak di : aptel@depkominfo.go.id untuk informasi lebih lanjut. Minta Data Salam sejahtera, Apakah bisa minta data tentang Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 11/ PER/M.KOMINFO/02/2006 Tahun 2006. Sebab saya sudah mencari kemana-mana, belum pernah dapat. Untuk keperluan tugas akhir. Terima Kasih atas perhatiannya. Alfonso Gultom via facebook bipdepkominfo@yahoo.com

Tabloid komunika. ISSN: 1979-3480. Diterbitkan oleh Badan Informasi Publik KEMENTERIAN KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA Pengarah: Tifatul Sembiring (Menteri Komunikasi dan Informatika). Penanggung jawab: Freddy H. Tulung (Kepala Badan Informasi Publik) Pemimpin Redaksi: Bambang Wiswalujo (Kepala Pusat Pengelolaan Pendapat Umum). Wakil Pemimpin Redaksi: Supomo (Sekretaris Badan Informasi Publik); Ismail Cawidu (Kepala Pusat Informasi Politik Hukum dan Keamanan); Isa Anshary (Kepala Pusat Informasi Perekonomian); Gati Gayatri (Kepala Pusat Informasi Kesejahteraan Rakyat). Sekretaris Redaksi: Dimas Aditya Nugraha. Redaktur Pelaksana: M. Taufiq Hidayat. Redaksi: Lukman Hakim; Selamatta Sembiring; M. Abduh Sandiah; Asnah Sinaga; Mardianto Soemaryo. Reporter: Suminto Yuliarso; Lida Noor Meitania; Karina Listya; Elpira Indasari N; Taofik Rauf; Koresponden Daerah: Nursodik Gunarjo (Jawa Tengah), Yaan Yoku (Jayapura). Desain/Ilustrasi: D. Ananta Hari Soedibyo (TA); Farida Dewi Maharani, Danang Firmansyah. Alamat Redaksi: Jalan Medan Merdeka Barat No. 9 Jakarta Telp/ Faks. (021) 3521538, 3840841 e-mail: komunika@bipnewsroom.info atau bip@depkominfo.go.id. Redaksi menerima sumbangan tulisan, artikel dan foto yang sesuai dengan misi penerbitan. Redaksi berhak mengubah isi tulisan tanpa mengubah maksud dan substansi dari tulisan tersebut. Isi komunika dapat diperbanyak, dikutip dan disebarluaskan, sepanjang menyebutkan sumber aslinya.


Edisi 04

Pulihkan Gizi Balita

di “Rumah”

Foto : MTH

Perhatian dan perawatan di rumah menjadi kunci utama atasi gizi buruk dan kurang. Berdasar perawatan di rumah, Pemkot Yogyakarta berusaha tingkatkan kualitas gizi.

Fitri tampak sumringah dalam gendongan, Sri (32) ibunya. Tangan balita itu masih menunjuk mobil operasional Puskesmas Jetis, Kota Yogyakarta yang baru saja ditumpangi bersama empat anak balita dan ibu lainnya. Bergegas rombongan kecil itu masuk ke bekas gedung Sekolah Dasar Negeri Gading, Kecamatan Mantrijeron yang telah direnovasi. “Tiap hari kami ke sini untuk bantu pemulihan nduk-e (panggilan untuk anak perempuannya, red) agar tak terkena gizi buruk kata Bu Bidan,” tutur Sri, disambut anggukan empat ibu muda lainnya. Tak berapa lama, Fitri dan ibunya mengisi lembaran kertas yang disediakan Tim PKK Kota Yogyakarta. Sesekali tampak ibu-ibu muda itu saling melempar pertanyaan tentang apa yang dimakan oleh anak mereka pagi ini. “Kita setiap pagi diminta untuk menuliskan apa yang dimakan si nduk pagi ini. Nanti petugas gizi akan menilai dan memberikan nasehat tentang jenis makanan dan cara pengolahan agar kebutuhan gizinya terpenuhi,” jelas Sri. Sekira jam 9 pagi, rombongan itu antri masuk ke ruangan konsultasi dokter spesialis anak. “Hari Selasa dan Jum’at, ada konsultasi dengan dokter. Kemudian diisi dengan konsultasi dan penyuluhan serta bermain bagi anak-anak,” tutur Isti (28) bagian administrasi Rumah Pemulihan Gizi Kota Yogyakarta. Dampingi Penanganan Menurut Isti, banyak balita yang dirawat di fasilitas yang didirikan oleh Tim PKK Kota

3

Utama

Tahun VI Maret 2010

www.bipnewsroom.info

Tangani dengan Baik Alan Berg, pakar gizi internasional menyatakan banyak negara yang kian mengabaikan pembangunan gizi dan baru tersentak saat masalah gizi buruk merebak. "Upaya menyeluruh dalam pemecahan masalah gizi amat diperlukan. Masalah gizi bukan sekadar kurangnya asupan kalori dan protein. Banyak faktor penyebab mengapa masalah gizi muncul, tenggelam, lalu merebak lagi," jelasnya. Masalah gizi sebenarnya bukan sekadar masalah kesehatan, tetapi berkaitan dengan daya beli, ketersediaan pangan, pengetahuan gizi, dan faktor sosio-budaya. "Jadi, membaiknya status gizi, yang merupakan indikator capaian kinerja program pembangunan gizi, bukan merupakan hubungan linear dengan upaya yang dilakukan oleh sektor kesehatan saja," jelas Kepala Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta, Choirul Anwar. Diakui Choirul, dengan kebijakan desentralisasi pemerintahan menuntut para kepala daerah mengembangkan pembangunan gizi di daerah masing-masing. "Mulai dari Pemberian Makanan Tambahan untuk Anak Sekolah (PMT-AS), Kantin Sehat, hingga penyelenggaran Posyandu bagi balita," jelasnya. Menurut Menteri Kesehatan, Endang Rahayu, masalah gizi berbeda dengan masalah penyakit lain, di mana keadaan gizi kurang atau gizi buruk tidak terjadi secara tiba-tiba. Penelitian me¬nunjukkan bahwa sebagian besar anak bergizi kurang atau buruk berasal dari anak yang sehat. “Perjalanan anak yang sehat menjadi gizi kurang dan menjadi gizi buruk memerlukan waktu paling tidak tiga sampai enam bulan, yang ditandai dengan kenaikan berat badan yang tidak cukup,” jelas Endang. Oleh karena itu, Endang menyatakan kasus gizi buruk harus ditangani dengan baik dan tentu saja harus di tangan yang baik pula. Targetnya, kata Menkes, menurunkan angka kematian bayi dari 35 per 1.000 kelahiran hidup di 2007 menjadi 24 per 1000 kelahiran hidup.Kemudian penurunan prevalensi gizi kurang dari 18,4% (2007) menjadi 15 % (2014).(m)

Rumah Pemulihan Gizi Kota Yogyakarta

dan Pemkot Yogyakarta ini. “Selama ini banyak kasus setelah dirawat di rumah sakit, bayi yang kembali ke rumah justru terkena gizi buruk, karena penanganan yang salah,” tandas Isti. Rumah Pemulihan Gizi (RPG) diresmikan Februari lalu oleh Menteri Kesehatan, Endang Rahayu Sedyaningsih, awal Februari lalu. Saat ini perawatan dikhususkan bagi anak dibawah usia lima tahun. “Di sini selain dipantau perkembangan kesehatan gizinya, ibu atau pengasuhnya diajak diskusi dan dialog tentang bagaimana menyiapkan dan mengolah makanan yang bergizi. Jadi saat dikembalikan ke rumah, mereka dapat meneruskan program perbaikan gizi tersebut,” katanya. Konsep pemulihan gizi yang diterapkan di RPG ini disebut community based management of serve malnutrition. Kegiatan ini dikelola bersama masyarakat. Program utamanya adalah pemberian makanan tambahan pemulihan kepada balita gizi buruk yang sudah tidak terkomplikasi, pemeriksaan status gizi, dan kesehatan oleh petugas setiap minggunya. Kegiatan pemulihan gizi rawat jalan ini harus didukung puskesmas dan rumah sakit untuk proses rujukan. Selain pemulihan gizi balita, RPG juga menerapkan konsep tempat bermain dan belajar bagi anak. Sementara anak mendapatkan pemulihan gizi, orang tua balita akan mengikuti kelas tentang penyuluhan mengenai gizi yang baik bagi pertumbuhan balita. Pada praktiknya, penanganan seorang anak dengan gizi buruk yang sampai ke RPG melalui petugas Posyandu yang

konsultasi gizi

ada di setiap kampung di Kota Yogyakarta. “Apabila ditemukan seorang bayi dengan gizi tidak bagus oleh petugas diberi rujukan ke RPG. Di RPG si anak akan ditangani oleh dokter anak dan ahli gizi,” tegas Isti. Konsultasi gizi dan pemeriksaan dilaksanakan pada hari Senin - Sabtu pukul 09.00 -15.00 WIB. Ditambahkan Isti, apabila ditemukan gizi yang kurang baik pada anak yang dirujuk maka anak tersebut akan dirawat selama kurang lebih dua minggu untuk menerima asupan gizi yang berimbang. Fasilitasi Pemerintah Ketua PKK Kota Yogyakarta Dyah Suminar menjelaskan fasilitas yang disediakan meliputi tempat perawatan, tempat konsultasi orangtua dan masyarakat, aula yang digunakan untuk pelatihan gizi untuk ibu hamil dan pasangan usia subur (PUS), serta kader yang akan melaksanakan tugas sosialisasi kepada masyarakat. “Seorang anak dengan gizi buruk bisa dibawa ke rumah perbaikan gizi melalui posyandu, dan akan ditangani oleh dokter anak,” kata Dyah. Tenaga yang sudah disiapkan sebanyak 10 orang dan dipandu langsung oleh para ahli gizi dari Ikatan Dokter Anak Indonesia

(IDAI) Yogyakarta serta dokter dan bidan Puskesmas. “Untuk perawatan bayi yang terkena gizi buruk, minimal diperlukan waktu selama dua minggu untuk menerima asupan gizi yang berimbang,” kata Dyah. Kepala Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta, Choirul Anwar, mengatakan pendirian rumah pemulihan gizi tersebut didanai dengan dana alokasi khusus (DAK) tahun 2010 sebesar Rp 1 miliar dan operasionalnya didanai dengan dana APBD Kota Yogyakarta sebesar Rp 500 juta per tahun. “Kalau keadaan anak yang terkena gizi buruk sudah parah, maka dirujuk ke rumah sakit, namun jika masih bisa diatasi di rumah pemulihan gizi, maka cukup diberi asupan gizi sesuai yang dibutuhkan,” kata Choirul. W a l i k o t a Yo g y a k a r t a , Herry Zudianto menyatakan, sebenarnya saat ini Kota Yogyakarta relatif aman dari permasalahan anak penderita gizi buruk. Meski demikian, RPG tetap didirikan untuk menekan gizi buruk tersebut hingga nol persen. “Kota Yogyakarta mempunyai persentase penderita gizi buruk kurang yang cukup baik, kurang dari satu persen, yakni hanya sekitar nol koma sekian. Sedangakan target nasional tahun 2015,

penderita buruk ditekan hingga hanya sebesar 1 persen,” ujarnya. Pemkot Yogyakarta juga menyiapkan dana Rp 257 juta demi mendukung berbagai kegiatan, termasuk pemberian uang pengganti transpor bagi orang tua yang membawa anaknya untuk dirawat sebesar Rp 15.000 per kunjungan. Jadi Percontohan Prestasi Tim Penggerak PKK Kota Yogyakarta ini juga menjadi perhatian beberapa pengurus PKK daerah lain. “Kami sangat terkesan dengan program TP PKK Kota Yogyakarta dan ingin belajar tentang Rumah Pemulihan Gizi,” ujar Nur Azizah, anggota Tim PKK Kota Depok yang pernah berkunjung ke Rumah Pemulihan Gizi. Menteri Kesehatan, dr Endang Sedyaningsih saat meresmikan rumah pemulihan gizi tersebut, menyatakan rumah gizi tersebut sebagai pionir yang bisa menjadi contoh bagi daerah lain untuk membangun fasilitas publik serupa. “RPG Yogyakarta ini bisa menjadi model percontohan bagi daerahdaerah lain di Indonesia agar target penurunan angka gizi buruk secara nasional bisa cepat tercapai,” harap Menkes. Menkes menambahkan, pemerintah mengapresiasi dan tentunya akan mendukung sepenuhnya keberadaan RPG. “Diharapkan dengan adanya Rumah Pemulihan Gizi tak akan ada lagi masalah kekurangan gizi dalam masyarakat. Pemerintah akan membangun fasilitas serupa dengan prioritas daerah Indonesia Timur,” jelas Menteri Endang Rahayu. (m)


4

Utama

www.bipnewsroom.info

Edisi 04

Tahun VI Maret 2010

Deputi Bidang Peningkatan Kualitas Hidup Perempuan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak

Dra. Setiawati J. Arifin, M.Sc.

Perempuan Bukan Beban

Bagaimana sebenarnya kondisi perempuan di Indonesia saat ini?

Perempuan masih dianggap nomor dua. Banyak faktor p e n y e b a b , m i s a l n ya a d a t istiadat satu daerah. Inilah yang akan kita bongkar. Dan, jika terbongkar, akan luar biasa kuat Indonesia ini. Anda bayangkan, hampir separuh dari keseluruhan jumlah penduduk Indonesia adalah perempuan. Jika perempuan diberdayakan dengan memberi kesempatan dan peluang yang sama dengan kaum laki-laki, tentu perempuan bukan jadi beban melainkan aset yang penting dalam pembangunan.

melakukan koordinasi serta fasilitasi terhadap upaya-upaya yang dilakukan para pemangku kepentingan yang diwujudkan dalam bentuk kebijakan Peningkatan Produktivitas Ekonomi Perempuan (PPEP). Pelaksanannya melalui forumforum diskusi terbuka. Ada juga Revitalisasi Peningkatan Peranan Wanita Menuju keluarga Sehat Sejahtera dan model desa Prima (Perempuan Indonesia Maju Mandiri). Belum lagi bidang politik dan sosial budaya. Kami juga konsen disini.

Upaya yang dilakukan? Kami berusaha meningkatkan kualitas hidup perempuan sesuai komitmen internasional. Salah satunya dengan menggalakkan penghapusan kekerasan dan diskriminasi terhadap perempuan. Di bidang pendidikan misalnya, kita memiliki prioritas pemberantasan buta aksara perempuan. Ini menjadi penting sebagai wujud akselerasi peningkatan indeks pembangunan manusia.

Di bidang kesehatan? Harus kita akui bahwa Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB) masih tertinggi di ASEAN. Data tahun 2007 AKI itu 228/100 ribu kelahiran hidup, sementara AKB adalah 34/1000 kelahiran hidup. Kami optimis ini bisa kita turunkan dengan salah satu program andalan Gerakan Sayang Ibu (GSI) yang melibatkan Kementerian Kesehatan dan Kementerian Sosial. GSI sudah berlangsung sejak tahun 1996. Gerakan ini dilaksanakan oleh masyarakat dan pemerintah untuk peningkatan kualitas hidup perempuan melalui berbagai kegiatan yang punya dampak terhadap upaya-upaya percepatan penurunan AKI dan AKB.

Bagaimana dengan ekonomi perempuan? Kami senantiasa mendorong keterlibatan perempuan dalam kegiatan ekonomi. P r i o r i t a s Kementerian P P d a n PA mendukung dan

Bagaimana sebenarnya pemberdayaan perempuan dilakukan? Kunci utamanya mengubah p o l a p i k i r, p e r i l a k u d a n mengurangi budaya yang tidak mendukung peningkatan kualitas hidup perempuan. Selain pendampingan sekaligus sosialisasi kepada semua anggota keluarga terutama lakilaki, kami juga mengajak pemerintah maupun

Foto : Taofiq Rauf / Yudi Syahrial

Dalam pembangunan ekonomi Indonesia, perempuan pada umumnya banyak memainkan peran dalam produksi subsisten, sektor informal dan bekerja secara sukarela di masyarakat. Kontribusi perempuan dalam sektor ini, menurut prakiraan Badan PBB untuk pembangunan, UNDP, di negara-negara maju setidaknya bisa menambah separuh dari Produk Domestik Bruto (GDP). Akan tetapi di Indonesia, perempuan masih cenderung dianggap nomor dua. Kaum perempuan hanya tahu menjalankan kodrat mereka sebagai wanita, hamil, melahirkan, punya anak, dan kegiatan domestik lain. “Akibatnya jumlah penduduk perempuan yang besar itu seolah tak berarti dalam memberikan sumbangan bagi pembangunan nasional,� tutur Deputi Bidang Peningkatan Kualitas Hidup Perempuan, Setiawati J. Arifin dalam perbincangan dengan Taofik Rauf dan Yudi Syahrial dari komunika. Bagaimana kementerian ini “membongkar� pakem nomor dua perempuan di Indonesia, berikut petikannya:

swasta serta masyarakat untuk ikut peduli. Kemeneg PP dan PA juga mengembangkan daerah percontohan sebagai model gerakan fasilitasi peningkatan kualitas hidup perempuan secara menyeluruh, utuh, terkoordinasi, terpadu dan berkelanjutan. Kita coba kembangkan di masing-masing provinsi secara bertahap. Bagaimana riilnya? Kami hanya sebatas mengeluarkan kebijakan dan selanjutnya pemerintah daerah yang melanjutkan. Memang ada dana stimulan yang kami berikan bahkan sampai tingkat kabupaten, tapi kan jumlahnya tidak banyak. Nah kalau kepala daerah misalnya tidak merespon, ya tetap percuma kan? Alhamdulillah sebagian besar daerah bahkan komit mengambil anggaran APBD untuk program pemberdayaan perempuan. Makanya seperti Kalimantan Selatan dan Kalimantar Barat kami jadikan percontohan. Mereka luar biasa. Kami hanya memberi bantuan di satu atau dua kabupaten,

tapi mereka merespon dan diteruskan sampai semua kabupaten. Jadi sebenarnya hal terpenting lainnya adalah komitmen para kepala daerah untuk ikut serta memberdayakan dan meningkatkan kualitas hidup perempuan di wilayahnya. Termasuk pemenuhan kebutuhan akan gizi? Tentu saja. Pemenuhan gizi yang cukup dan seimbang bagi ibu salah satu indikator terciptanya generasi yang berkualitas. Di sini pun perempuan bisa memainkan peran penting. Tapi ya itu tadi, perlu didukung oleh orang-orang di sekitarnya. Pemda yang berhasil meningkatkan kualitas hidup perempuan termasuk menurunkan angka kematian ibu dan bayi kami berikan penghargaan Parahita Eka Praya. Selain itu, setiap tahun Presiden juga memberikan penghargaan tersendiri kepada para kepala daerah yang mampu memacu peningkatan kualitas hidup khususnya perempuan dan anak. Banyak daerah jadi terpacu tentunya.***

Tingkatkan

Kualitas Hidup Perempuan

Selama dua dasawarsa terakhir ini, dunia telah mencatat banyak kemajuan dalam mendorong peningkatan kualitas perempuan dalam berbagai bidang. Mulai dari disepakatinya kebijakan penghapusan diskriminasi terhadap perempuan, kesetaraan gender, penanganan kekerasan terhadap perempuan, dan kebijakan strategis lain. Di Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten dan Kota, mengamanatkan program pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak menjadi urusan wajib yang harus diselenggarakan oleh pemerintahan daerah provinsi, kabupaten dan kota, terutama terkait dengan pelaksanaan pelayanan dasar. Peningkatan Kualitas Hidup Perempuan (PKHP) adalah upaya perbaikan kondisi fisik dan mental perempuan dalam pemenuhan hak dan kebutuhan hidupnya sebagai bagian hak asasi manusia dari berbagai bidang pembangunan, terutama pendidikan, kesehatan, ekonomi, ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK), sosial budaya, politik, hukum dan lingkungan hidup. "Kendala utama yang dihadapi adalah masih banyak pimpinan daerah yang memahami isu gender sebagai isu perempuan, bukan melihat perempuan sebagai modal sosial dan modal pembangunan yang harus ditingkatkan kualitasnya agar setara dengan laki-laki," kata Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Menneg PP dan PA), Linda Amalia Sari Gumelar suatu ketika. Namun demikian, Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak terus berupaya untuk meningkatkan kualitas hidup perempuan di Indonesia. "Salah satunya yaitu penandatanganan Standar Pelayanan Minimum (SPM) sebagai upaya perlindungan dan penanganan terhadap perempuan dan anak di tingkat kabupaten dan kota," jelas Menteri. (m)


7

Tabloid Tempel

Edisi 04 Tahun VI Maret 2010

Diterbitkan oleh :

BADAN INFORMASI PUBLIK

KEMENTERIAN KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA

Buruk Pengetahuan, Gizi Terbelah

Asupan gizi anak ternyata sangat dipengaruhi oleh faktor pengetahuan perempuan. Setidaknya, begitulah fakta yang didapatkan Komunika di wilayah perbatasan, tepatnya di Desa Sontas, Kecamatan Senggayam, Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat. Apa yang dimasak ibu, itulah yang dimakan anak. Maka jika ibu memasak makanan yang tidak bergizi, anak akan mengalami gizi kurang atau bahkan gizi buruk. Sudah enam bulan terakhir ini berat badan Ermani (2) tak kunjung naik. Petugas di pos pelayanan terpadu (Posyandu) Desa Sontas sudah berupaya menggenjot berat badan balita gizi buruk itu dengan memberikan makanan tambahan seperti susu, biskuit, telor, daging, dan makanan berprotein tinggi lainnya. Toh, berat badan Ermani tak kunjung bertambah. “Cukup sulit mengembalikan berat badan Ermani agar sesuai dengan usianya, karena sejak lahir sampai usia satu tahun ia mengalami KEP (kurang energi dan protein--red) cukup parah,” tutur Wanda (28), kader Posyandu Desa Sontas. Mengapa Ermani sampai mengalami KEP? Wanda menyatakan, hal tersebut disebabkan oleh minimnya asupan gizi yang diperoleh balita malang ini. Di samping kekurangan air susu ibu karena susu ibu tidak keluar secara maksimal, orangtuanya juga tidak memberikan makanan pendamping ASI dalam jumlah dan kadar yang memadai. “Kadang saya melihat anak ini hanya diberi makan nasi lembek dengan lauk alakadarnya. Kadang seharian hanya diberi pisang dan air putih,” imbuh perempuan berdarah Dayak Bidayuh ini.

6

Bukan karena Tak Mampu Anehnya, kekurangan gizi yang dialami Ermani terjadi bukan karena orangtuanya tidak mampu. S (32), ayah Ermani, adalah pedagang keliling yang penghasilannya cukup baik. Sementara W (21), sang ibu, membuka warung kelontong kecilkecilan di Sontas. Rumah mereka cukup bagus dan punya televisi pula. “Secara keseluruhan, pendapatan keluarga ini di atas pendapatan penduduk kebanyakan. Jadi, soal membeli makanan bergizi, sebenarnya mereka sangat

mampu. Tapi yang saya lihat, mereka sepertinya kurang hirau terhadap kebutuhan makanan anak-anaknya,” kata Maimun (45), warga Sontas. Maimun menduga, kasus kurang gizi Ermani terjadi karena orangtuanya tidak memiliki pengetahuan yang baik tentang makanan bergizi. Untuk diketahui, W memang tidak tamat SD, sehingga sangat mungkin pengetahuannya tentang gizi terbatas. Sementara S jarang di rumah karena sibuk mengurus usaha dagang kelilingnya. Di sisi lain, ketiadaan tenaga kesehatan di desa itu membuat mereka tidak pernah menerima informasi apapun tentang cara menyusun menu seimbang secara baik dan benar. Menurutnya, banyak warga Sontas yang tergolong berkecukupan justru anaknya menderita kurang gizi. Artinya, tak sepenuhnya kasus kurang gizi terkait dengan status ekonomi. Ia justru melihat, rendahnya pengetahuan keluarga tentang pangan dan gizilah yang menjadi biang keladinya. “Maka kalau pemerintah ingin kasus gizi buruk tidak terjadi lagi, tingkatkan saja pendidikan masyarakat perdesaan. Seiring dengan makin pintarnya warga, kasus gizi buruk pasti akan menghilang dengan sendirinya,” urai Maimun. Kerjasama Laki-laki Perempuan Pengamat pangan Universitas Gadjah Mada Dr Sri Peni menyatakan, dalam masyarakat patriarki, minimnya pengetahuan ibu tentang makanan bergizi masih dianggap sebagai penghambat utama peningkatan status gizi anak-anak. Padahal di banyak suku di Indonesia, perempuanlah yang secara langsung berhubungan

dengan penyiapan dan pengolahan nutrisi bagi anak. “Para ibulah yang menentukan apa yang akan dikonsumsi anak. Jika ibu tak paham makanan bergizi, maka ia akan mengolah dan menyajikan makanan secara serampangan. Akibatnya, anak akan makan makanan yang nilai gizinya tidak memadai atau tidak seimbang, sehingga dalam jangka panjang dapat menderita kurang gizi atau bahkan gizi buruk,” kata Peni. Menurut Peni, kunci utama untuk mencegah terjadinya kekurangan gizi adalah dengan meningkatkan pengetahuan para ibu tentang makanan bergizi dan menu seimbang. “Harus ada upaya sistematis untuk mencerdaskan perempuan di perdesaan di bidang gizi ini. Selain melalui jalur pendidikan formal, peningkatan pengetahuan tentang gizi juga bisa dilaksanakan melalui pendidikan informal, baik melalui kelompok kesehatan, kelompok informasi, maupun unit-unit kegiatan berbasis masyarakat lainnya.” Namun ia mengingatkan, meskipun secara tradisional kegiatan mengolah makanan masih sering dianggap sebagai ‘tugas’ perempuan, bukan berarti kegiatan ini tidak melibatkan kaum lelaki. Sebaliknya, kebutuhan gizi keluarga justru akan lebih terjamin apabila para pria terlibat aktif di dalamnya. Keterlibatan utama para pria tentu saja menyediakan dukungan dana agar perempuan bisa membeli bahan makanan bergizi yang dibutuhkan. “Para bapak harus paham, makan makanan bergizi itu perlu dana lebih besar. Oleh karena itu janganlah pendapatan yang ada dipergunakan untuk hal yang sia-sia seperti merokok atau kegiatan lain yang tidak perlu,” ujarnya. Selain itu, para bapak secara

proaktif diharapkan memberikan masukan tentang menu apa saja yang sekiranya perlu disajikan untuk menjaga kesehatan keluarga. Dan yang tak kalah penting, ikut mengontrol dan memantau apakah asupan gizi yang didapat anak-anak telah mencukupi atau sebaliknya. “Jika ada kerjasama yang baik antara laki-laki dan perempuan dalam pengolahan dan penyajian pangan, saya yakin kasus gizi kurang atau gizi buruk dapat dikurangi secara drastis,” ujar Peni. Ia memandang penting kerjasama ini, karena di beberapa daerah pengolahan dan penyajian pangan masih dibebankan seratus persen kepada kaum perempuan, persis seperti pada zaman prasejarah di mana lelaki bertugas berburu dan perempuan meramu. Oleh karena itu, jika seorang ibu kebetulan memiliki pengetahuan gizi rendah, anak-anaklah yang akan menjadi korbannya. “Ke depan harus ada share yang adil antara lelaki dan perempuan dalam hal pengolahan pangan ini. Kita telah sampai pada abad kesetaraan di mana peran lelaki dan perempuan di seluruh bidang tak jauh berbeda,” imbuhnya. Perempuan Harus Diutamakan Kendati demikian, peran sentral perempuan di dalam proses penyediaan pangan tak akan pernah bisa digantikan oleh laki-laki, khususnya kedudukannya yang luar biasa sebagai sumber pangan bagi generasi baru. Secara kodrati, perempuan menghasilkan air susu ibu (ASI) yang sangat diperlukan bagi proses pertumbuhan, perkembangan dan perlindungan kesehatan bayi. Melihat kedudukannya yang sangat penting dalam kehidupan, maka harus ada upaya untuk menyelamatkan ibu (safe

motherhood), di mana upaya ini juga sekaligus menjamin kesehatan bayi. “Logikanya, jika kesehatan ibu bisa dijamin dan asupan gizi ibu baik, maka ia akan menghasilkan ASI yang cukup dan berkualitas bagi pertumbuhan dan kesehatan generasi penerus,” kata Sri Peni. Sayang, budaya patriarki yang masih kental di Indonesia sering menafikan posisi perempuan dan sebaliknya mengutamakan lakilaki dalam hal pangan. “Kita masih melihat di beberapa suku, istri baru makan setelah suami dan anakanaknya makan terlebih dahulu. Makanan yang baik dan berkualitas diberikan kepada suami sebagai kepala keluarga, sementara istri makan makanan yang kurang berkualitas atau bahkan makanan sisa suami. Ini fakta yang sangat merugikan kesehatan perempuan,” katanya. Padahal, menurut Peni, perempuanlah yang seharusnya diutamakan agar menerima asupan gizi dan makanan yang baik. Karena jika ia sehat dan bugar, secara otomatis ia akan dapat menjalankan fungsi dan kedudukannya sebagai sumber pangan bagi generasi yang akan datang. “Namun harus kita akui, sebagian besar sistem budaya kita masih belum menghargai perempuan sampai pada taraf itu. Maka jangan heran jika akhirnya banyak perempuan kekurangan gizi, sampai-sampai tidak mampu menghasilkan air susu yang cukup bagi bayinya. Itu juga salah satu indikasi dari kuatnya budaya patriarki di negara kita,” imbuhnya. Jika pernyataan Peni benar, kita perlu bertanya, mungkinkah W, ibu Ermani, lebih mendahulukan kebutuhan pangan bagi suaminya, sehingga kebutuhan gizinya sendiri tak terpenuhi? Mungkinkah ASInya tidak keluar karena sikapnya yang mengalah membuatnya kekurangan gizi, sehingga tidak mampu menyusui anaknya dengan baik, sampai-sampai si anak menderita gizi buruk? Jika ya, kita perlu bertanya lebih lanjut, berapa banyak kasus semacam itu di Tanah Air tercinta ini? (gun)


Jaminan Hak Atas ASI Eksklusif Sari (28) teringat pengalaman dua tahun lalu, saat ibu muda ini baru saja melahirkan bayinya lewat operasi caesar. Niatnya memberikan air susu ibu (ASI) eksklusif sempat tertunda karena ASI belum keluar. Ketika itu, perawat menyarankan memberi bayinya susu formula. “Bayi bisa kehausan jika tak segera diberi ASI,” tutur Sari sambil menirukan nada menakutkan dari perawat. Mulanya, Sari kukuh dengan pilihan memberikan susu eksklusif bagi bayi laki-kalinya agar daya tahan tubuh sang anak kuat. Namun, mertua Sari malah menyarankan Sari menuruti saran rumah sakit memberikan susu formula. “Kasihan bayi mu,” kata Sari mengenang. Berharap mendapatkan dukungan keluarga dan orang tua, namun akhirnya Sari harus menyerah dengan pemberikan susu formula pada bayinya. Praktek di rumah sakit yang memberikan susu formula atau air putih pada bayi yang baru lahir, secara signifikan menurunkan jumlah ibu yang memberikan ASI secara eksklusif pada bayinya.

Padahal bayi baru lahir dapat bertahan hidup sampai 5 hari tanpa asupan makanan apapun. “Pada hari ke 1 dan 2, ASI memang kelihatannya tidak keluar. Tapi justru di tahap inilah, ada nutrisi yang jumlahnya sangat sedikit tapi sangat penting yaitu “collostrum”,” jelas Ketua Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Baidrul Hegar. Di Indonesia, menurut data Bina Gizi Kesehatan Masyarakat Kementerian Kesehatan, hanya 14 persen ibu yang memberikan ASI eksklusif kepada bayinya sampai enam bulan. Rata-rata bayi di Indonesia hanya menerima ASI eksklusif kurang dari dua bulan. Padahal fenomena ini akan berdampak buruk bagi kesehatan balita.

Penuhi Hak Bayi Penelitian di Ghana menunjukkan bahwa 16% kematian bayi baru lahir bisa dicegah bila bayi disusui pada hari pertama kelahiran. ‘’Angka harapan hidup bayi akan meningkat menjadi 22% jika bayi disusui pada 1 jam pertama setelah kelahiran,’’ kata Ketua Umum Sentra Laktasi Indonesia, dr. Utami Roesli Sp.A. “Oleh karena itu tenaga kesehatan, dokter maupun bidan hendaknya memberi kesempatan pada bayi baru lahir untuk menyusu pada ibunya satu jam pertama. Ini kesempatan emas, sebagai penentu berhasilnya seorang ibu untuk menyusui bayinya dengan optimal,” jelas dr. Tami, panggilan akrabnya. Ibu Negara Ny Kristiani Herawati Yudhoyono menyatakan pengalamannya memberikan ASI, sebagai makanan bayi cepat saji dan tidak basi. “ASI adalah gizi terbaik untuk bayi untuk tumbuh dan berkembang,” jelas Ani Yudhoyono yang juga Duta Nasional untuk Air Susu Ibu (ASI) sejak tahun 2006 lalu. Bagi para ibu, lanjut dia, menyusui dapat menurunkan risiko pendarahan, kanker payudara, dan kanker ovarium. Selain itu, dapat menunda kembalinya kesuburan sesudah melahirkan sehingga menjaga waktu hingga kehamilan berikutnya. Dukungan Orang Terdekat Menurut dr. Utami seorang ibu yang menyusui sangat membutuhkan dukungan keluarga

Deputi Bidang Peningkatan Kualitas Hidup Perempuan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak

Dra. Setiawati J. Arifin, M.Sc.

Perlu Sinergi Semua Pihak

Apa yang membuat hak perempuan terabaikan, khususnya di daerah terpencil? Pandangan tradisional mengenai peran laki-laki dan perempuan bisa jadi penyebab pemisahan yang tajam. Akibatnya perempuan selalu ditempatkan dalam kedudukan yang kurang menguntungkan dalam pengembangan dirinya

sebagai pribadi dan sebagai anggota masyarakat. Semakin miris lagi, dengan kondisi demikian perempuan juga belum banyak berperan dalam menentukan kehamilannya, pemilihan alat kontrasepsi, tempat pelayanan kesehatan serta berapa jumlah anak yang akan dilahirkan. Mengapa demikian? Karena semuanya itu lebih banyak merupakan keinginan suami. Tidak disadari hal ini mempunyai implikasi terhadap tingginya AKI karena hamil, melahirkan dan nifas serta kematian bayi. Ujung-ujungnya jelas kelihatan, ini menghambat upaya pengembangan potensi diri perempuan dalam meningkatkan kualitas hidupnya. Apa yang bisa dilakukan perempuan? Menghadapi kondisi tersebut, perempuan harus mempunyai kemandirian dalam memenuhi sendiri kebutuhannya. Tapi bukan berarti hidup soliter, serta hak asasi perempuan harus ditumbuhkan dan ditegakkan termasuk hak reproduksi. Nah, untuk membangun itu semua, tentunya dibutuhkan dukungan dan dorongan berbagai pihak, pemerintah, masyarakat dan tentunya keluarga. Diperlukan semua kalangan bebas dari bias nomor dua guna mewujudkan kemandirian perempuan.

(taofik rauf, yudi)

36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, Utami menyatakan bahwa ASI adalah hak bayi. “Undang-undang ini menjamin seorang anak yang baru dilahirkan dalam kondisi normal, artinya tidak memerlukan tidakan penanganan khusus berhak mendapatkan ASI secara eksklusif,” tandas dr. Utami yang kini aktif menjadi penggiat Program Inisiasi Menyusui Dini (IMD) ini. (Vira – dari berbagai sumber)

Sanksi

bagi Penghalang ASI Eksklusif Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan

Pasal 128 Ayat 1 Setiap bayi berhak mendapatkan air susu ibu eksklusif sejak lahir selama 6 (enam) bulan, kecuali atas indikasi medis.

Pasal 128 Ayat 2 Selama pemberian air susu ibu, pihak keluarga, pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat harus mendukung ibu bayi secara penuh dengan menyediakan waktu dan fasilitas khusus.

Pasal 200 Setiap orang yang dengan sengaja menghalangi program pemberian air susu ibu eksklusif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 128 Ayat (2) dipidana paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (Seratus Juta Rupiah). foto : m.kompas.com

Sapaan Ramah Kader Posyandu “Pagi Ibu! Pagi adik kecil!” Sapaan ramah petugas posyandu yang selalu menyambut Eva (25) dan anaknya sebulan sekali. Ingatan Eva, warga Desa Air Baru, Kecamatan Naulasa, Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur, akan keramahan petugas demikian kuat hingga membuatnya lebih memilih posyandu ketimbang ke rumah sakit. “Lebih mudah dijangkau karena dekat dari rumah, kemudian petugas kesehatan di posyandu juga lebih berpengalaman dan lebih bisa memahami masalah seputar kehamilan dan anak-anak,” jelas Eva panjang lebar. Sejak anaknya masih berada dalam kandungan, Eva setiap bulan datang ke posyandu. “Sebulan sekali saya ke posyandu periksa kehamilan. Saat melahirkan pun, saya dibantu bidan posyandu. Kini putra saya hampir berusia 2 tahun, saya tetap ke posyandu,” kata Eva. Meskipun posyandu dekat tempat tinggal Eva masih menggunakan rumah salah satu warga namun Eva lebih yakin untuk konsultasi keluarga berencana. “Saya senang berbicara (konsultasi) dengan petugas di posyandu, ramah dan mengerti apa yang saya butuhkan. Posyandu sangat penting to, bisa bantu kami tahu kesehatan ibu dan anak,” tutur Eva dengan logat khas Kupang. Melayani di Tengah Keterbatasan Mince Bunga (61), nenek seorang cucu ini sudah lebih dari 30 tahun bergelut mengelola posyandu Kasih Ibu, tempat Eva dan anaknya sering berkunjung. “Meski paspasan keadaannya, kami berusaha membantu masyarakat dalam menagani masalah kesehatan ibu dan anak,” ujar Mince. Kebahagiaan selalu tersirat di wajahnya saat melihat dan melayani anak untuk timbang badan dan

pemberian vitamin di posyandu. “Memang karung timbangan sudah perlu diganti dan alat ukur tinggi badan sebagian sudah sulit terbaca. Tapi ini bukan penghalang untuk posyandu tetap ada dan melayani,” jelas Mince. Selain, soal teknis, perekrutan kader baru juga jadi hambatan tersendiri. Menurut Mince, kader yang ideal pada sebuah posyandu berjumlah tiga sampai lima orang, “Namun yang ada hanya 1 atau 2 orang. Ini membuat kerja posyandu menjadi kurang efektif,” tuturnya seraya menambahkan bahwa dirinya pernah membuat kartu secara manual untuk memenuhi kebutuhan Kartu Menuju Sehat (KMS) yang kurang. Ibu dua anak itu menuturkan memang tak semua layanan bisa didapatkan di posyandu, “Biasanya kalau vaksin habis kita rujuk ke puskesmas pembantu, sama saja gratis juga dengan menggunakan jamkesmas,” katanya. Posyandu memang lebih banyak menggantungkan pada swadaya masyarakat. Stevanus (50), salah satu dokter Puskesmas Air Batu, Kupang Kota menuturkan bahwa puskesmas ini melayani dua posyandu, yaitu Posyandu Kasih Ibu dan Cendrawasih. “Dulu sebelum ada puskesmas induk, kami melayani tujuh posyandu. Namun, setelah ada puskesmas induk, hanya tinggal dua posyandu dengan demikian beban kerja menjadi lebih ringan,” jelasnya. Tidak jauh berbeda dengan posyandu di Kupang Kota, petugas medis maupun kader sering berkunjung ke rumah warga yang tidak dapat hadir, terutama saat pembagian vitamin A. “Bagi anak yang telah terdaftar dan tidak hadir saat pemberian vitamin A, kader dan petugas puskesmaslah yang datang ke rumah warga,” kata Stevanus. (rina)

5

Kesan yang masih berkembang, perempuan di daerah

terpencil kurang diperhatikan pemerintah? Sesungguhnya tidak seperti itu. Kami tak pernah membedakan apakah itu daerah terpencil atau tidak, perdesaan atau perkotaan. Pemerintah terus melakukan upaya dalam mempercepat penurunan AKI dan AKB. Namun memang semua sektor harus saling bersinergi, karena harus diakui kondisi geografis Indonesia begitu luas sehingga belum semua pusat pelayanan dapat menjangkau daerah terpencil atau perbatasan. Tapi diluar itu semua yang pasti pemerintah telah berkomitmen tidak menjadikan ini sebagai hambatan meningkatkan kalitas hidup perempuan. Bisa kita lihat Kementerian Kesehatan terus meningkatkan jumlah dokter di daerah-daerah terpencil disamping penyediaan Jamkesmas.

Foto : Taofiq Rauf / Yudi Syahrial

Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemeneg PPPA) tidak pernah membedakan apakah itu daerah terpencil atau tidak, perdesaan atau perkotaan. “Kami terus berupaya meningkatkan kualitas hidup perempuan. Misalnya mempercepat penurunan angka kematian ibu dan bayi,” kata Dra. Setiawati Arifin, Deputi Bidang Peningkatan Kualitas Hidup Perempuan. Karena kondisi geografis Indonesia yang luas, lanjut Setiawati, semua sektor harus saling bersinergi sehingga semua pusat pelayanan dapat menjangkau daerah terpencil atau perbatasan sekalipun. “Kita punya dana stimulan untuk seluruh provinsi dan beberapa kabupaten. Tapi jumlahnya tidak besar. Kami berharap dana ini dikembangkan masing-masing kepala daerah, untuk selanjutnya diteruskan hingga tingkat desa terkecil,” jelasnya. Pelatihan-pelatihan juga rutin dilakukan. Ini melibatkan seluruh elemen dan tokoh adat serta agama. Jadi Kemeneg PPPA hanya menyiapkan model, selanjutnya model ini harus diteruskan hingga pelosok.

dan orang-orang terdekatnya, “Suami, orang tua, dan mertua akan sangat berarti bagi sang ibu untuk menunjang kelancaran pemberian ASI bagi si kecil.” Bahkan menurut dr. Utami, jika ada orang yang dengan sengaja menghalangi program pemberian ASI eksklusif dapat dikenai pidana penjara paling lama satu tahun dan denda paling banyak seratus juta rupiah. Mengutip Undang-undang Nomor

8

Tingkatkan Gizi Bayi


Edisi 04

Tahun VI Maret 2010

Tanti (33) selalu was-was setiap kali anaknya yang masih kelas satu SD jajan di kantin sekolah. "Khawatir jadi penyakit, itulah sebabnya ia lebih banyak bawa bekal sendiri," kata Tanti. Jika di rumah, tentu ia bisa mengolah dan memasak makanan dengan baik dan bersih. "Tapi kalau di kantin sekolah, apalagi jajan jalanan siapa yang bisa menjamin," tandasnya. Tapi kini Tanti tak perlu khawatir

Tetap Sehat Saat Melepas Penat lagi, sebab pemerintah telah mengembangkan Kantin Sehat Sekolah (KSS). Program yang digagas Kementerian Pendidikan Nasional dan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) ini telah diluncurkan tahun lalu ditargetkan menjangkau ke seluruh provinsi di Indonesia. Sekretaris Jenderal Kementerian Pendidikan Nasional (Sesjen Kemendiknas) Dodi Nandika mengakui bahwa jajanan sekolah berpotensi tidak bergizi, mengandung bahan pewarna, dan bahan pengawet berbahaya. "Ini sebagai upaya agar generasi mendatang tidak hanya cerdas, tetapi juga sehat melalui pembiasaan budaya sehat di sekolah," katanya. Dodi mengatakan, Kemendiknas melalui Pusat Pengembangan Kualitas Jasmani Depdiknas melakukan upaya kesehatan sekolah dengan pemberdayaan kantin sekolah. "Program yang dijalankan adalah melakukan penyuluhan dan bimbingan teknis kepada kepala sekolah dan guru. Program selanjutnya adalah memberikan bantuan blockgrant untuk penyediaan sarana, serta melakukan monitoring dan evaluasi. “Pengelolaan kantin sehat sekolah melibatkan guru dan siswa,” katanya. Kepala Pusat Pengembangan Kualitas Jasmani Kemendiknas Widaninggar Widjajanti mengatakan, KSS adalah kantin yang memenuhi syarat kesehatan dari sarana dan prasarana. Adapun, kata dia, pangan jajanan yang tersedia adalah pangan yang sehat, bergizi dan aman dikonsumsi. “Ini merupakan upaya Kemendiknas dalam mengantisipasi banyaknya pangan jajanan anak sekolah yang tidak memenuhi syarat,” katanya. Kerjasama Diknas dan BPOM "Tahun ini kita harapkan seluruh provinsi sudah kita sentuh. Tahun lalu hampir 300 sekolah," kata Dodi Nandika pada acara penandatanganan nota kesepahaman bersama (MoU) tentang Program Pembinaan Keamanan Pangan Jajanan Anak Sekolah antara Kemendiknas dan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) di Kantor Kementerian Koordinator Kesejahteraan Rakyat, Jakarta, Kamis (11/2) lalu.

9

Opini Dodi mengatakan, Kemendiknas bersama BPOM akan melakukan pelatihan kepada kepada kepada sekolah dan guru tentang makanan yang bergizi dan memenuhi syarat-syarat kesehatan. Selain itu, kata dia, Kemendiknas akan memberikan dukungan pendanaan dalam bentuk blockgrant atau hibah senilai maksimal Rp 30 juta per sekolah. "Tahun lalu (total) maksimal Rp 10 miliar. Kami juga melakukan monitoring setiap secara berkala, sehingga terus dan terus kita memberikan dukungan supaya mereka makin sehat," katanya. Pada 2009 sebanyak 288 sekolah telah menerima blockgrant Kantin Sehat diantaranya 12 sekolah di Kota Pekanbaru, Provinsi Riau; 12 sekolah di Kabupaten Bantul, Provinsi D. I Yogyakarta ; 8 Sekolah di Kota Kupang, Provinsi Nusa Tenggara Timur; 12 sekolah di Kota Pontianak Provinsi Kalimantan Barat; 12 sekolah di Kota Palu, Provinsi Sulawesi Tengah ; 8 sekolah di Kota Ambon Provinsi Maluku; dan 9 sekolah di Kota Jayapura, Provinsi Papua. Standardisasi Deputi Bidang Pengawasan Produk Trapetik dan Napza Badan POM, Lucky S Slamet menyampaikan, pihaknya terus melakukan pembinaan kepada sekolah yang diharapkan akan memberikan efek yang lebih baik. Pembinaan lainnya, kata dia, juga dilakukan dengan pemerintah daerah. "Dalam tiga bulan ini kami sudah melakukan pembinaan ke sekolah-sekolah," katanya. Belum adanya standarisasi khusus mengenai kebersihan dan kesehatan makanan yang dijual di kantin sekolah, menuntut pihak sekolah untuk bisa berperan aktif dalam mewujudkan kantin yang sehat dan higienis. Kepala Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta, Choirul Anwar mengungkapkan, dirinya mengaku tertarik dengan pengajaran mengenai kesehatan makanan yang diterapkan di salah satu sekolah alam di Yogyakarta. Dimana pengetahuan mengenai makanan sehat tak hanya diberikan secara teoritis saja tetapi juga langsung dipraktekkan oleh siswanya. "Sepengetahuan saya, di sekolah alam tersebut diajarkan langsung kepada siswa mengenai penerapan konsumsi makanan sehat. Dimana dalam kesehariannya, siswa diberikan pekerjaan rumah untuk dapat membuat makanan sehat dan higienis bersama orang tuanya untuk dapat dibawa sebagai bekal di sekolah. Dengan cara tersebut, maka tidak ada anak yang jajan di luar. Sebab mereka sudah tahu secara langsung bagaimana dan seperti apa makanan yang sehat," ujarnya di Yogyakarta. Dikatakannya, konsep

www.bipnewsroom.info

pengetahuan makanan sehat yang diterapkan di sekolah alam tersebut bahkan mampu melatih siswa untuk membedakan mana makanan yang layak konsumsi dan mana yang tidak. Sehingga saat mereka berada di kantin sekolah, anak bisa memilah sendiri jajanan yang layak konsumsi dan yang merugikan kesehatan. "Inilah yang bisa ikut diterapkan di kantin-kantin sekolah. Karena siswa, guru dan orangtua bersama-sama memahami mengenai makanan yang sehat, tidak hanya secara teori, melainkan secara praktek. Demikian pula bagi pengelola kantin sekolah dan pemasok makanan juga harus mengetahui tentang makanan yang sehat," terangnya. Kerjasama Sekolah Dilain hal disebutkan, guna mewujudkan kantin di beberapa sekolah di Yogyakarta untuk menjadi kantin yang higienis, pihaknya mengaku telah menjalin link dengan para pedagang makanan di kantin sekolah. "Kami mulai ada link dengan pedagang makanan kecil di sekolah dan mereka bergabung dalam suatu paguyuban. Dimana mereka akan dilibatkan dalam pengayakan ilmu pengetahuan mengenai bagaimana makanan yang sehat, baik dan halal. Jadi diharapkan pengetahuan para pedagang makanan juga tidak ketinggalan," tuturnya. Dia mengatakan, sekolah sebagai tempat mendidik siswa semestinya mempraktikkan hal-hal yang benar dan baik, termasuk dalam pemahaman makanan sehat. Selain itu, sekolah juga harus menyajikan makanan yang baik dan halal. Karena itu, siswa, guru, dan orang tua diharapkan bersama-

sama memahami tentang makanan yang sehat.Demikian juga, dengan pengelola kantin sekolah dan pemasok makanan (para pedagang makanan). "Mereka juga harus mengetahui makanan yang sehat." katanya. Pentingnya Kantin Sehat “Kantin, sama penting dengan perpustakaan,” kata Kepala Sekolah SMA Nasrani I, Kota Medan, Adelina Silaen. Selama ini, SMA yang terletak di Jalan Kapten Pattimura No.14, hanya memiliki dua buah kantin sederhana dengan jajanan seadanya. "Ada bakwan, risol, tahu goreng, dan roti – rotian. Pada program tahun ini, SMA Nasrani I merencanakan akan membuat satu kantin sehat," katanya. Dikatakan ibu yang ramah ini, kantin sehat adalah kantin yang menjual makanan bersih, layak dan sesuai dengan gizi yang dibutuhkan. Nantinya, kantin SMA Nasrani I ini juga akan diisi dengan menu – menu makanan rumah, seperti nasi lengkap dengan sayur mayur dan lauk, yang dibungkus, dijual dengan harga murah. “Tidak perlu porsi yang banyak, karena kalau kekenyangan pun anak – anak akan susah berkonsentrasi. Pas pada porsinya saja,” kata Adelina. Rencananya, kantin akan dilengkapi dengan buku – buku ringan seperti buku motivasi, maupun buku – buku berisikan cerita – cerita pendek. Nah, jika program ini jadi, niscaya kantin di SMA Nasrani I Medan, tak sekadar tempat makan, tapi juga untuk beristirahat sekaligus menyegarkan kembali pikiran yang sudah penat. (m/berbagai

sumber)

Sehat dan Bergizi di Kantin Sehat Pemerintah menyediakan dana sekitar Rp10 miliar untuk membantu pembangunan kantin sehat di sekolah dasar (SD), sekolah menengah pertama (SMP) dan sekolah menegah atas (SMA) di seluruh Indonesia. “Tahun lalu dananya Rp 10 miliar, tahun ini hampir sama,” kata Sekretaris Jenderal Kementerian Pendidikan Nasional Dodi Nandhika di Jakarta, Kamis (11/2), seusai penandatanganan nota kesepahaman tentang pembinaan keamanan pangan jajanan anak sekolah antara Kementerian Pendidikan Nasional dan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Menurut Dodi, tahun ini pemerintah memberikan bantuan untuk sekitar 300 sekolah dan setiap sekolah yang terpilih akan mendapatkan bantuan dana Rp 30 juta per sekolah untuk membangun kantin sehat. “Di tiap kabupaten/kota akan dipilih lima sekolah yang terdiri atas tiga SD, satu SMP dan satu SMA. Dinas Kesehatan setempat yang menetapkan,” kata Deputi I BPOM Lucky S Slamet. Selain membantu pembangunan fisik kantin sekolah, kata Dodi, Kementerian Pendidikan Nasional bersama dengan BPOM juga melakukan pembinaan kepada pengelola kantin sekolah dan pedagang makanan di lingkungan sekolah. “Ada sosialisasi dan penjelasan mengenai kantin yang sehat, pentingnya ketersediaan air dan hal lain,” kata Dodi. BPOM, Lucky menambahkan, secara berkala juga memeriksa keamanan pangan jajanan sekolah dengan mobil pemeriksaan keliling. Ia menjelaskan pula bahwa program kantin sehat sudah dilakukan Kementerian Pendidikan Nasional dan BPOM pada 2009.(a)


10

www.bipnewsroom.info

Daerah

Edisi 04

Tahun VI Maret 2010

Jika anda melihat, mendengar dan memiliki kisah unik dari seluruh nusantara untuk dituliskan dan ingin berbagi dalam rubrik Kibar Daerah dan Lintas Daerah, silahkan kirimkan naskah kepada redaksi komunika melalui surat ke alamat redaksi atau melalui e-mail: komunika@bipnewsroom.info atau bip@depkominfo.go.id

Kibar Daerah

Sikapi Keterbatasan dengan Berdayakan Warga

Kab. Samosir

Kab. Bandung

Kab. Kebumen Kab. Lamongan

Lintas Daerah Jawa Barat

Foto : Frans

Bersalin di Puskesmas Gratis

Puskesmas Pembantu Desa Tomok, Kecamatan Simanindo, Kabupaten Samosir, Sumatera Utara.

Pesta Boru Sitanggang (33) sibuk meracik obat untuk balita yang tengah berobat di Puskesmas Pembantu (Pustu) Desa Tomok, Kecamatan Simanindo, Kabupaten Samosir, Sumatera Utara. Seperti bidan desa lain di Pulau Samosir, tak jarang Pesta melakukan pengobatan atas pasien, mulai balita hingga orang dewasa. “Padahal bidan desa sebetulnya hanya menolong persalinan, periksa hamil dan imunisasi. Namun karena keterbatasan tenaga kesehatan sementara masyarakat membutuhkan layanan jadi tidak ada pilihan lain,” tutur Pesta. Bidan desa, tak jarang merupakan satu-satunya tenaga kesehatan di Puskesmas Pembantu yang ada di desa. Pemkab Samosir sendiri telah berupaya menempatkan 225 bidan desa di seluruh wilayah kabupaten. “Dari segi jumlah memang bidan lebih banyak dari 111 desa dan 6 kelurahan di kabupaten ini. Tapi karena kondisi kawasan yang berbukit-bukit, waktu tempuh antar dusun dalam satu desa yang dipisahkan bukit bisa memakan waktu tiga sampai empat jam,“ jelas Daulat Nainggolan, SKM, M.Kes, Kasubbag Perencanaan, Evaluasi dan Pelaporan Dinkes Kab. Samosir. Kendala Geografis Faktor geografis memang menjadi kendala utama Pemkab Samosir dalam memberikan layanan kesehatan bagi masyarakat. Belum lagi keterbatasan anggaran Pemkab sehingga pembangunan fasilitas kesehatan tidak bisa sama dan harus dilakukan bertahap. “Kalaupun sekarang sudah ada puskesmas atau puskesemas pembantu, belum tentu peralatan kesehatan lengkap sebagaimana puskesmas di kota besar,” kata Rumintang Manik, staf Promosi Kesehatan Dinkes Kab. Samosir. Menurut Rumitang, ada beberapa dusun yang belum bisa dijangkau dengan kendaraan bermotor, bahkan di beberapa titik terdapat jembatan darurat yang dibangun karena jembatan yang lama rusak. “Belum lagi saat

hujan, akses ke dusun akan sulit, kontur tanah yang berbukit-bukit membuat kendaraan tak bisa jalan,” tambahnya. Sebenarnya dengan kondisi geografis yang ada, seharusnya Puskesmas atau Pustu bisa berfungsi sebagai rumah sakit minor, “Sehingga pasien yang dalam kondisi kritis bisa langsung ditangani terlebih dahulu sebelum di bawa RSU dr. Hadrianus Sinaga yang jarak tempuhnya membutuhkan waktu 2-3 jam,” jelas Rumintang. Berdayakan Warga Bagi Pesta, berada di tengah warga yang membutuhkan sangat menyenangkan. Apalagi jika bisa membantu para ibu hamil dalam persalinan. “Memang kami tak mendapat materi, tapi rasa bahagia mereka yang juga kita rasakan melebihi segalanya,” cetus Pesta. Dinkes Samosir pun berupaya melibatkan warga dalam membantu para bidan desa. “Di dusundusun tertentu dikembangkan mitra bidan yakni para dukun bayi,“ kata Rumintang. Selain itu, menurut Rumintang, Dinkes juga menjalankan Upaya Kesehatan Bersumberdaya Masyarakat (UKBM) seperti Posyandu (Pos Pelayanan Terpadu), Polindes (Pondok Bersalin Desa), Pos Kesehatan Desa dan Desa Siaga. Partisipasi masyarakat ini, dinilai Daulat sangat besar. “Saat ini ada 200 posyandu aktif di Kabupaten Samosir. Ini menandakan bahwa peran masyarakat dalam usaha meningkatkan kesehatan cukup tinggi. Demikian juga dari hasil pantauan dinas kesehatan terhadap Polindes dan Pos Kesehatan Desa, terlihat bahwa respon masyarakat cukup baik,” jelasnya bangga. Melihat semua ini, semangat para petugas kesehatan untuk melayani warga makin menyala, “Meski sebagian bidan desa enggan tinggal di dusun terpencil karena ketiadaan air bersih,” tutur Pesta. (Frans Sembiring)

Warga Kabupaten Bandung bisa berobat gratis di puskesmas asal menunjukkan KTP atau KK. "Aturan ini berlaku sejak 10 November 2009 lalu, kata Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) Kab. Bandung dr. H. Ahmad Kustijadi, M.Epid. di Lapangan Upakarti, Kab. Bandung, Rabu (17/3).Selama ini warga membayar Rp 2.000 ketika mendaftar di puskesmas untuk mendapatkan pelayanan kesehatan dan obat-obatan. Pelayanan kesehatan dasar sekarang digratiskan, termasuk pemeriksaan dan pengobatan gigi. Aturan tersebut sudah disosialisasikan ke aparat kecamatan agar diketahui masyarakat karena sudah tercantum dalam peraturan daerah. Selain itu, pemkab juga menanggung biaya persalinan normal untuk kelahiran anak pertama yang dilakukan di puskesmas maupun bidan desa. Biaya persalinan ditanggung Rp150.000 dari APBD Kab. Bandung. Sementara kalau ada persalinan dari keluarga kurang mampu yang membutuhkan operasi di rumah sakit, bidan desa bisa merujuk ke rumah sakit dengan fasilitas program Keluarga Miskin Daerah (Gakinda). Aturan pembebasan biaya pelayanan kesehatan dasar tersebut masih belum banyak diketahui warga. Puskesmas Soreang memiliki dua loket, yakni loket umum dan loket Jamkesmas atau Gakinda. Sebagian besar warga mendaftar ke loket umum dengan membayar uang pendaftaran Rp2.000. Apabila aturan itu berlaku sejak 10 November 2009 lalu, kata Yeti warga Desa Ciluncat, Kec. Cangkuang, seharusnya loket-loket di puskesmas tidak boleh ada pembedaan. Puskesmas juga harus menempel pengumuman mengenai pelayanan gratis itu asalkan warga menunjukkan KTP atau KK Kab. Bandung. (www.bandungkab.go.id) Jawa Tengah

Atasi Keluhan Pedagang Kecil Pendirian pasar modern di Kebumen dikeluhkan pedagang kecil dan eceran. "Pasar modern yang sudah menembus kota kecamatan dinilai memicu persaingan tidak sehat," kata Kabid Ekonomi Bappeda Kab. Kebumen, Rochmah Nurhidayati. Oleh karena itu, menurut Nurhidayati Pemkab Kebumen tengah menyiapkan Perda yang mengatur usaha modern itu. "Perda tersebut diharapkan bisa dijadikan dasar pengaturan pendirian pasar modern, namun tetap membuka peluang investasi," jelas Nurhidayati. Sementara itu, Kepala Disperindagkop Kebumen, Azam Fatoni mengatakan beberapa permohonan izin pendirian pasar modern khususnya mini market sempat ditolak. "Jam buka mini market juga sudah diatur untuk melindungi pedagang tradisional. Sampai saat ini telah diberikan izin bagi 24 mini market di Kebumen," papar Fatoni. Menurut Fatoni, Pemkab juga sangat selektif dalam memberikan ijin mini market. Selain harus memenuhi beberapa unsur antara lain usaha mini market dengan luasan 100 meter persegi dengan Izin Mendirikan Bangunan -IMB- dan Izin Gangguan (HO). "Juga ada peninjauan lapangan juga didukung Kades, Muspika dan unsur dari Lingkungan Hidup, Bagian Hukum serta Dinas perindagkop," tegasnya. Ditambahkan Fatoni, selain ada pengaturan pasar modern, peningkatan infrastruktur pasar tradisional juga terus dilakukan agar mampu bersaing dengan pasar modern.(Rin) Jawa Timur

Formula 3B Lengkapi Gizi Tidak ada satupun bahan makanan alami yang lengkap zat gizinya. Karena itu dalam penyajian makanan, diperlukan keanekaragaman pangan agar saling melengkapi kebutuhan tubuh manusia akan zat gizi. "Penganekaragaman itu dapat dilakukan dengan formula 3B (three B), yakni beragam, bergizi dan berimbang," kata Kasie Penganekaragaman Pangan dan Gizi Kantor Ketahanan Pangan Lamongan, Jawa Timur, Istinaroh. Formula 3B menurut Istinaroh, merupakan kelanjutan empat sehat lima sempurna. "Beragam artinya makanan itu harus tiga fungsi makanan yaitu sebagai sumber tenaga, sumber pengatur proses metabolisme tubuh dan sebagai sumber zat pembangun untuk pertumbuhan dan pemeliharaan jaringan tubuh,“ paparnya. Sementara bergizi, lanjut dia, artinya semua kebutuhan tubuh akan gizi harus terpenuhi. Selanjutnya berimbang adalah komposisi bahan makanan, baik jumlah maupun jenisnya, harus sesuai dengan kebutuhan. Tidak lebih dan tidak kurang. “Penganekaragaman pangan ini sangat penting sehingga nilai gizinya akan saling melengkapi. Selain itu akan dapat menghindari kebosanan dan sebagai satu sumber kreatifitas dan inovasi bagi ibu-ibu,“ ujar dia. Menurut, Istinaroh ada tiga permasalahan pola konsumsi makanan (malnutrisi/salah nutrisi) yang searing terjadi. Yakni kekurangan nutrisi, kelebihan nutrisi (over nutrisi) yang sering akibatkan obesitas dan diabetes militus serta masalah keamanan pangan yang sering akibatkan kerusakan organ tubuh manusia. Sementara itu, Ketua PKK Lamongan Endang Rijanti Masfuk menekankan pentingnya penganekaragaman pangan bagi tumbuh kembang anak dalam keluarga. “Sumber karbohidrat bukan hanya beras, tapi dapat dikombinasi dengan sumber lain seperti kentang dan umbiumbian. Variasi ini penting agar anak tidak bosan dengan sajian makanan di rumah sehingga anak tidak akan terlalu banyak jajan di luar rumah,“ jelasnya dalam Sosialiasi Diversifikasi Pangan Menuju Pola Konsumsi Pangan 3B di Kantor PKK Lamongan, belum lama ini. (mm)


Edisi 04

Tahun VI Maret 2010

Kementerian Koordinator Kesra

kelanjutan segi pendanaan baik oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. (wd)

Menko Kesra Agung Laksono mengatakan, pemerintah akan menerapkan kebijakan sosial yang berkeadilan bagi kelompok rentan yang termajinalkan. "Selama ini kebijakan itu ini dijalankan secara parsial. Ke depan, diupayakan integrasi agar memudahkan proses koordinasi, sinkronisasi dan pengendaliannya," kata Agung Laksono di Jakarta, Kamis (18/3). Agung menambahkan, hal yang paling penting untuk memastikan kebijakan yang diimplementasikan benarbenar memperhatikan aspek availabilitas, aksesibilitas, responsibilitas, dan kontuinitas, sehingga berdampak positif bagi kelompok marjinal. “Kita menyadari tenggat waktu tiga bulan yang diberikan Presiden tidak akan mengubah segalanya. Namun yang terpenting adalah bagaimana kita merancang pondasi sistem penanganan kelompok marjinal yang sesuai dengan kaidah normatif dan tepat sasaran,” katanya. Tugas Menko Kesra tidak dimaksudkan untuk mengurangi program-program penanganan kelompok marginal yang selama ini telah dilaksanakan. Tugas yang diberikan adalah untuk memformulasikan sistem penanganan yang lebih terintegrasi, saling mengisi dan memiliki kejelasan peran masing-masing, katanya. Dengan demikian kebijakan yang akan dilaksanakan memiliki dasar pertimbangan yang kuat untuk pentahapan program dan sasarannya serta

Kementerian Kesehatan

Terapkan Kebijakan Berkeadilan

Keberhasilan Pengobatan TB Capai 88,4 Persen Menteri Kesehatan RI Endang Rahayu Sedyaningsih mengatakan, angka keberhasilan pengobatan Tb saat ini mencapai 88,4 persen, sedangkan penemuan kasus sekitar 71 persen. Menurut penilaiannya, jumlah itu sudah memenuhi target global. “Jumlah kasus baru TB di Indonesia setiap tahunnya masih 528 ribu kasus, dan 91 ribu di antaranya mengakibatkan kematian. Angka keberhasilan itu sebenarnya sudah memenuhi target pengobatan global, meski harus diakui jumlah itu masih tinggi,” kata Menkes pada acara seminar sehari Memperingati Hari TB Sedunia 2010 di Jakarta, Rabu (24/3). Ia menjelaskan bahwa pemerintah telah menerapkan strategi pengobatan jangka pendek dengan pengawasan langsung (DOTS), meningkatkan kemampuan SDM kesehatan dalam upaya pemberantasan Tb, diagnosis Tb berkualitas, penyediaan obat anti-TB (OAT), p e n g o b a t a n O AT d e n g a n pengawasan, serta pencatatan dan pelaporan kasus sesuai standar. “Sekitar 98 persen puskesmas sudah menerapkan strategi penanggulangan Tuberkulosis melalui program DOTS ini, namun hanya sekitar 37 persen saja rumah sakit yang telah menerapkan strategi ini,” katanya. Selain itu, katanya, Kementerian Kesehatan RI juga telah meminta Konsil

http://daddycatchersrealm.files.wordpress.com

Miskin dan Kaya

Suatu ketika, seorang ayah yang kaya-raya mengajak anaknya mengunjungi sebuah kampung. Tujuannya sederhana: ia ingin memperlihatkan kepada anaknya betapa orang-orang desa bisa hidup dalam kondisi yang sangat miskin. Dengan melihat orang lain hidup susah, ia berharap anaknya akan lebih menghargai arti penting materi, dan tentu saja bersyukur bahwa mereka diberi kehidupan serba berkecukupan.

11

Lintas Lembaga

Mereka menginap beberapa hari di sebuah daerah pertanian, yang oleh banyak orang disebutsebut sebagai daerah miskin dan terbelakang. Sengaja sang ayah mengajak anaknya tinggal di rumah salah seorang warga, makan-minum dan melakukan aktivitas sehari-hari bersama warga setempat. Pada perjalanan pulang, sang Ayah bertanya kepada anaknya. "Bagaimana perjalanan kali

Kedokteran Indonesia (KKI) memasukkan materi tentang pemberantasan Tb dan strategi DOTS dalam kurikulum pendidikan kedokteran. Sementara itu, Kemenkes juga telah menandatangani nota kesepakatan (Memorandum of Understanding/MoU) di bidang pelayanan jaminan sosial penyakit tuberculosis (TB) bagi peserta jaminan pemeliharaan kesehatan (JPK) Jamsostek. Penandatangan naskah MoU dilakukan oleh Dirut PT Jamsostek (Persero) Hotbonar Sinaga dan Dirjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (P2PL) Kemenkes Tjandra Yoga Aditama disaksikan Menteri Kesehatan Endang Rahayu Sedyaningsih dan Menko Kesra Agung Laksono di Jakarta, Rabu (24/3).(Jul/Az) Kementerian Sosial

Dunia Usaha Harus Terima Pekerja Cacat Menteri Sosial RI Salim Segaf Al Jufri menginginkan para pengusaha dengan kesadarannya sendiri dapat menerima tenaga penyandang cacat untuk bekerja, "Banyak penyandang cacat yang mempunyai keterampilan yang tidak kalah dengan mereka yang sempurna. Kami merencanakan mengundang para pengusaha untuk menjelaskan hal itu,” katanya saat melakukan kunjungan kerja ke Pusat Pelayanan Kesejahteraan Sosial HM Djojomartono di Bekasi, Senin (22/3). Menurutnya, jumlah penyandang cacat di seluruh Indonesia sangat banyak, dan masyarakat, termasuk para pengusaha, harus mengerti bahwa kemampuan anggaran pemerintah sangat terbatas.

ini, Nak?" "Wah, sangat luar biasa, Ayah." "Kamu sudah melihat kan, betapa manusia bisa hidup sangat miskin," kata ayahnya. "Oh, benar sekali, Ayah" kata anaknya. "Jadi, pelajaran apa yang dapat kamu ambil?" tanya ayahnya. Si anak menjawab. "Saya saksikan bahwa kita hanya punya satu kucing, mereka punya empat. Kita punya kolam renang yang luasnya sampai ke tengah taman kita, mereka memiliki telaga yang tidak ada batasnya. Kita membeli lampulampu untuk taman kita, mereka memiliki bintang-bintang yang berpendar terang pada malam hari. Kita memiliki pagar sampai ke halaman depan, mereka memiliki cakrawala yang memanjang utuh hingga kaki langit. Kita memiliki sebidang tanah untuk tempat tinggal, mereka memiliki ladang yang melampaui pandangan. Kita punya pelayan-pelayan untuk melayani kita, tapi mereka melayani sesamanya. Kita membeli bahan pangan untuk makanan kita, mereka menumbuhkannya sendiri. Kita mempunyai tembok untuk melindungi kekayaan

www.bipnewsroom.info

“Kami yakin ke depan, pemerintah bersama-sama dengan pihak swasta, LSM dan badan usaha, bisa memberikan bantuan dan motivasi kepada para pengelola panti-panti sosial, sehingga semua kebutuhan panti-panti sosial itu bisa dipenuhi,” katanya. Pada kesempatan itu Mensos memberikan apresiasi dan penghargaan serta ucapan terima kasih kepada semua pihak yang terkait yang telah memberikan bantuan dan dukungan yang terbaik bagi lansia, serta membuka harapan bagi masa depan yang lebih baik kepada anakanak jalanan, gelandangan, dan pengemis untuk dibina, sehingga mempunyai peluang untuk bekerja. “Ja d i p e m e r i n t a h a k a n berusaha untuk mengentaskan dan memberikan yang terbaik untuk mereka yang marjinal/ lemah. Tapi langkah-langkah itu memerlukan dukungan semua pihak, seperti yang dilakukan di panti ini,” katanya. (Gs) Badan Perencanaan Pembangunan Nasional

Komitmen Pemda dalam Pencapaian MDGs Perlu Digenjot Komitmen pemerintah daerah dalam mewujudkan target Millenium Develpoment Goals (MDGs) dinilai masih rendah, "Kenyataan itu terlihat dari masih minimnya alokasi anggaran daerah untuk meningkatkan pembangunan kesehatan," kata Direktur Kesehatan dan Gizi Masyarakat Bappenas, Arum Atmawikarta, pada acara Orientasi Tujuan Pembangunan MDGs bagi wartawan di Hotel Santika Jakarta, Kamis (25/3).

kita, mereka memiliki sahabat-sahabat untuk saling melindungi." Mendengar ucapan anaknya, sang Ayah tak dapat berbicara. Kemudian sang anak menambahkan "Terimakasih Ayah, telah menunjukkan kepada saya, betapa miskinnya kita." *** Orang sering mengukur kekayaan dari apa yang ia miliki. Kehadiran benda-benda produk peradaban di sekeliling dianggap sebagai wakil dari keterpunyaan, sementara ketiadaan material dianggap sebagai kemiskinan. Padahal esensi kaya (the have) dan miskin (the have not) sejatinya berada pada rasa, bukan pada banyak-sedikitnya barang yang dipunyai. Adalah Bob Sadino yang secara satir mengaku merasa ”miskin” di tengah kekayaan yang dimilikinya. Uang bermilyarmilyar dan segunung kekayaan yang ia miliki—menurutnya—tak berarti, lantaran tak bisa membeli kebahagiaan yang ia butuhkan. Ia bahkan merasa jenuh dan sedikit muak ketika mengetahui tidak ada beda signifikan saat ia memiliki uang seratus juta dan

Sementara Ketua The Institute For Ecosoc Right, Sri Palupi, mengatakan, anggaran untuk akses pelayanan kesehatan dasar di daerah kecil bahkan belum menjadi prioritas hampir di rata-rata kabupaten/ kota. "Alokasi anggaaran selama ini banyak pada pembangunan infrastruktur dan birokrasi saja, sementara untuk hak dasar masyarakat relatif sangat kecil atau bahkan belum ada," kata Palupi. Menurut Arum, sasaran MDGs 2015 sulit dicapai jika tidak ada komitmen dari pemerintah daerah. Komitmen ini bisa diwujudkan dengan program yang terdokumentasi pada perencanaan dan anggaran daerah, sehingga mudah dalam menjalankan program-programnya, "Misalnya isu-isu kesehatan diatur dalam rencana pembangunan jangka menengah daerah (RPJMD) dengan bentuk kegiatan dan indikator yang jelas," kata Arum. Bidang kesehatan merupakan jantung pencapaian MDGs, karena lima dari delapan tujuan MDGs ada pada bidang kesehatan. "Ada delapan target pencapaian MDGs, yaitu memberantas kemiskinan dan kelaparan, mencapai pendidikan dasar untuk semua, mendorong kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan, dan menurunkan jumlah kematian anak," jelas Arum. Kemudian. lanjut Arum, meningkatkan kesehatan ibu, mengendalikan HIV/ AIDS, malaria dan penyakit menular, menjamin kelestarian lingkungan hidup, dan terakhir mengembangkan kemitraan pembangunan di tingkat global. (Jul)

dua ratus juta. Saat semua dengan mudah bisa ia beli, semua tiba-tiba menjadi datar dan biasa-biasa saja. Ia justru merasa bisa menikmati uang saat-saat miskin dulu, ketika ia memperoleh beberapa ribu rupiah dari pekerjaannya sebagai kuli bangunan dan sopir taksi. Karenanya, ia rindu suatu ketika ingin menjadi kuli bangunan atau sopir taksi lagi seperti dulu. Jelaslah bahwa jumlah harta yang banyak tak selalu berarti cukup, karena nilai kekayaan itu terletak pada rasa. Namun sangat mengherankan, semua orang berlomba-lomba mengeruk kekayaan sebanyakbanyaknya, kalau perlu dengan segala cara. Padahal mereka tahu, sebanyak apapun uang atau harta benda, tak akan mampu membeli kebahagiaan bagi hati yang rakus. Justru menjadi orang kaya akan membuat orang jadi tersiksa, karena hari demi hari berlalu hanya diisi dengan kegiatan mencari yang lebih banyak, lebih banyak, dan lebih banyak lagi. Tanpa menyadari bahwa mereka sedang menggali jurang rasa ketidakpuasan bagi diri mereka sendiri. (g-multisumber)


12

Edisi 04

Edisi 04/ Tahun VI/ Maret 2010

Tahun VI Maret 2010

Bidan Asih pantas marah pada bapak yang satu ini. Saat mengantarkan anak balitanya yang menderita gizi buruk periksa di Pos Kesehatan Desa (PKD) di Desa Panerusan, Kecamatan Wadaslintang, Kabupaten Wonosobo, Jateng, lelaki setengah baya ini asyik saja menyedot kreteknya di ruang periksa. Ia seperti tak peduli, asap tembakau yang bergumpal-gumpal dari hidungnya membuat anaknya—dan tentu Bu Bidan—terbatuk-batuk. Saat diminta mematikan rokoknya, si bapak dengan cuek bilang, “Tanggung, Bu. Masih Rp 500 nih,” katanya sambil menunjukkan batang rokok yang baru terbakar separuh.

anaknya, bapak ini selalu mengeluh tidak punya uang. Saat diminta membelikan daging, susu, telur, biskuit atau makanan berprotein tinggi lainnya untuk memperbaiki status gizi sang anak, ia selalu berkelit sambil menyodorkan Kartu Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) yang sudah habis masa lakunya, sekadar untuk meyakinkan bidan bahwa ia memang tergolong orang miskin. Dulu, Asih selalu kasihan melihat si bapak mengiba dan mengaku sebagai orang tak mampu. Akan tetapi kini rasa iba itu musnah begitu melihat rokok mahal tersembul di saku baju si bapak. “Bagaimana mungkin dia miskin, jika membeli dua bungkus rokok tiap hari ia mampu,” gerutu Asih.

Tapi bukan hanya sikap cuek si bapak yang membuat Bidan Asih berang. Tenaga kesehatan yang sudah bertugas di desa 12 tahun ini jengkel lantaran mengetahui rokok yang diisap si bapak adalah rokok kretek yang harganya mencapai Rp12.000 per bungkus. Lebih menjengkelkan lagi, saat ditanya satu hari habis berapa bungkus, bapak berkumis tebal ini dengan santai bilang antara 1,5 sampai 2 bungkus. “Sampean (anda--red) sungguh keterlaluan! Sehari menghabiskan banyak uang untuk beli rokok, tapi anak menderita gizi buruk dibiarkan saja!” semprot Asih. Yang dimarahi pura-pura tidak mendengar, berpaling, sambil terus menyedot asap kreteknya secara diam-diam. Olala! Padahal setiap memeriksakan

Keterlaluan Plus Boros Marilah kita berhitung, jika si bapak dalam sehari menghabiskan rokok 1,5 bungkus, maka sekurangnya ia harus merogoh kocek Rp 18.000 untuk membelinya. Uang sebesar itu di Pulau Jawa bisa dipergunakan untuk membeli 1 kg telur, atau 1 kg ikan air tawar, atau sebungkus susu ukuran 200 gr, atau 0,25 kg hati sapi, atau 0,75 kg daging ayam, atau 1,5 kg kacang hijau. Bahkan jika dibelikan tahu/tempe, bisa untuk lauk sekeluarga selama dua hari. Di luar Pulau Jawa pun harga bahan makanan bergizi tak beda jauh dari itu. To h s i b a p a k m e m i l i h mengasapi paru-parunya dengan nikotin daripada mengeluarkan uang untuk membelikan makanan bergizi buat sang anak. Sungguh perilaku yang—meminjam istilah Bu Bidan—keterlaluan

sekaligus boros. Dengan merokok, si bapak tidak saja membahayakan kesehatan diri sendiri, tapi juga membahayakan kesehatan keluarga dan orang lain. Ia juga berperilaku boros, membelanjakan sebagian besar pendapatannya untuk rokok, dan sebaliknya mengabaikan kebutuhan gizi anak-anak yang seharusnya menjadi tanggung jawabnya. “Padahal jika separuh saja dari anggaran rokok itu dialihkan untuk membeli makanan bergizi, anaknya tidak akan menderita gizi buruk. Saya yakin itu, karena sepanjang pengamatan saya anak balitanya tidak menderita kelainan bawaan maupun penyakit tertentu. Dengan kata lain, kekurangan gizi yang diderita anaknya murni terjadi karena kekurangan energi protein atau KEP,” kata Asih. Terjadi di Mana-mana Celakanya, fenomena ‘orang miskin namun mampu beli rokok mahal’ nyaris terjadi di seluruh wilayah Tanah Air. Pantauan komunika di ibukota Jakarta misalnya, mereka yang tinggal di permukiman kumuh sekitar rel kereta api dan nyata-nyata tergolong sebagai penduduk miskin, ternyata banyak pula yang royal beli pengasap paru ini. Bahkan pemulung, pengamen dan pengemis di tiga kota besar yakni Jakarta, Surabaya dan Makassar pun tak segan obral duit untuk beli rokok bermerek. Ferdi (38), pengamen di Terminal Grogol Jakarta misalnya, mengaku tak bisa meninggalkan madat nikotin, kendati ia tahu kebiasaan itu menyedot pendapatan yang seharusnya ia

Perempuan dan Pasar Berbelanja identik dengan aktivitas feminin, lebih dominan dilakukan oleh perempuan. Berjualan, sebaliknya lebih menonjol sifat maskulin, yang dominan diperankan oleh lelaki. Tapi tentu saja pasar tidak dimaksudkan demikian. Baik pasar tradisional atau yang lebih modern misalnya supermarket atau hipermarket, hanyalah wadah aktivitas manusia untuk transaksi jual beli beragam komoditi. Menjelajah Pasar Modern Bumi Serpong Damai (BSD) yang terletak di kawasan perumahan BSD, menggores kesan tersendiri. Memutari para penjual tersebut terdapat kios-kios kecil sebagai tempat menjual perlengkapan rumah tangga; kue-kue dan segala jenis makanan yang diharapkan dapat memenuhi selera pengunjung. Pada malam hari, lahan parkir yang luas disulap menjadi kafe tenda. Upaya dan tujuan lain dari pembangunan pasar modern yaitu dalam rangka mengembangkan wisata kuliner. (agus sb)

berikan buat anak-istri. “Biasanya ngamen sehari paling apes dapat Rp 30 ribu. Setelah dipotong untuk beli rokok, setor ke istri Rp 10 ribu,” ujarnya cengengesan. Tak adil bukan? Si bapak mengkonsumsi Rp 20 ribu sehari hanya untuk beli rokok, sementara istri dan anak hanya dijatah Rp 10 ribu. Itupun, istri harus pintar memutar uang Rp 10 ribu agar cukup untuk makan sekeluarga— termasuk si suami—dan membeli barang kebutuhan sehari-hari. Sementara Mahmud (55), pengemis di perempatan Tunjungan Surabaya, rata-rata membelanjakan Rp 10.000 hasil mengemisnya untuk membeli rokok secara eceran. “Kalau dihitung, hampir separuh pendapatan saya habis untuk beli rokok. Tapi tidak apa-apa, soalnya bagi saya merokok itu kebutuhan pokok,” ujarnya serius. Lebih parah lagi Sawan (28), pemulung di sekitar TPA Tamangapa Makassar, mengaku menghabiskan nyaris seluruh pendapatannya dalam sehari hanya untuk membeli rokok. “Saya memilih tidak makan daripada tidak merokok,” ujarnya. Saat ditanya apakah ia membagi pendapatannya untuk istri dan anaknya, lelaki kerempeng ini angkat bahu. “Mereka cari sendiri,” tukasnya pendek. Walah! Perempuan dan Anak Jadi Korban Jelas bahwa perempuan dan anak merupakan kelompok yang paling dirugikan oleh kebiasaan merokok para bapak. Mereka bukan saja terancam kesehatannya karena ‘dipaksa’ menjadi perokok pasif, namun juga terancam secara ekonomi.

“Apalagi posisi tawar mereka rendah, karena yang memiliki penghasilan kebanyakan adalah para pria. Mereka kebanyakan tak bisa menuntut banyak, meskipun sebagian besar pendapatan keluarga habis untuk beli rokok,” kata psikolog Tika Bisono, suatu ketika. Okelah, kelompok pro rokok bisa saja berkilah bahwa industri rokok dari hulu sampai hilir menyerap sekian puluh juta tenaga kerja, bahwa devisa yang didapat dari cukai tembakau sekian triliun dalam setahun. Tapi, bagaimanapun, tak baik membangun sesuatu yang di satu sisi bermanfaat tapi di sisi lain jelas-jelas berpotensi menghancurkan bangsa. Rokok adalah contoh nyata ‘pedang bermata dua’ ini. Tak heran beberapa waktu lalu Muhammadiyah mengeluarkan fatwa bahwa rokok adalah haram, setelah sebelumnya beberapa MUI daerah juga mengeluarkan fatwa yang sama. Bahkan Pemda DKI telah pula mengeluarkan perda larangan merokok di tempattempat umum. Intinya, mereka menganggap rokok lebih banyak ekses negatif atau mudlaratnya, ketimbang manfaatnya. Toh fatwa dan larangan yang ada tak kunjung membuat para ahli isap ini jera. Mereka masih saja ‘ngebul’, membakar rupiah demi rupiah, tanpa peduli ekonomi dan kesehatan keluarga terancam. Seperti ucapan enteng bapak yang anaknya menderita gizi buruk tadi, “Wah, kalau saya disuruh berhenti merokok agar anak saya bisa makan enak ya.. gak bisa lah. Namanya sudah kecanduan...” (wahyu h)

foto : meekaela.wordpress.com

www.bipnewsroom.info


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.