Edisi 05/Tahun VI/April 2010

Page 1

Edisi 05/Tahun VI/APRIL 2010

Bukti Janji UMKM

Halaman

WAWANCARA

10 Perlu Komitmen Giatkan BLK

Dalam tatanan pengembangan industri Propinsi Jawa Barat, Kabupaten Tasikmalaya tidak termasuk kategori wilayah yang dikembangkan sebagai kawasan industri manufaktur.

Halaman

Foto : Taofiq Rauf / Yudi Syahrial

KIBAR DAERAH

4

Balai Latihan Kerja (BLK) selama ini dirancang untuk menjadi kawah “candradimuka� calon pekerja siap pakai. Namun sayangnya perhatian atas pengelolaan BLK ini cenderung tidak sama di setiap daerah.

Dirjen Pembinaan, Pelatihan dan Produktivitas Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi

Masri Hasyar

KELOLA KETENAGAKERJAAN SECARA TERPADU

Katakan

P

ersoalan ketenagakerjaan di tanah air cukup beragam. Mulai dari masih adanya penganggur, kesejahteraan buruh, peningkatan kualitas tenaga kerja, hingga perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di luar negeri. Data Kementerian Koordinator Kesejahteraan Rakyat menunjukkan bahwa angka pengangguran di Indonesia masih relatif tinggi yaitu 9,26 juta jiwa atau sebesar 8,14 persen. Meskipun demikian jumlah pengangguran tersebut termasuk rendah dalam kurun waktu lima tahun terakhir. Jelas, peran pemerintah sangat strategis dalam pengurangan jumlah penganggur serta mendorong penyelesaian beragam persoalan dalam dunia ketenagakerjaan pada umumnya, begitu pernah disampaikan oleh Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Muhaimin Iskandar. Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi mengakui telah berupaya mengelola potensi ketenagakerjaan dan mengembangkan kualitas tenaga kerja Indonesia, baik di dalam maupun di luar negeri. "Semua diarahkan untuk peningkatan pertumbuhan ekonomi dan kemakmuran baik untuk individu maupun masyarakat dengan berbagai program. Misalnya saja, transmigrasi yang dirancang sebagai salah satu jalur penyerapan tenaga kerja dan penataan pendudukan," jelas Muhaimin Iskandar. Sejak digagas, transmigrasi terbukti menjadi salah satu alternatif pembangunan yang mempertimbangkan kawasan serta potensi lokal. Terlebih sekarang kebijakan transmigrasi dirancang sebagai kebijakan yang lebih komprehensif. Sebut saja pengembangan Kawasan Terpadu Mandiri (KTM) yang memadukan pengembangan wilayah transmigrasi dengan desa

atau kota asli yang telah ada sebelum kawasan transmigrasi dibuka. Bahkan lebih dari itu, upaya mempersiapkan sumber daya manusia, dan pertumbuhan yang produktif juga dilakukan dengan penyediaan fasilitas pendidikan, kesehatan dan akses pasar bagi produksi pertanian. Tingkatkan Kualitas Seiring kebijakan penguatan industri dalam negeri, selain terus membuka peluang investasi yang diharapkan meningkatkan peluang lapangan kerja dalam negeri, pemerintah juga mengembangkan kebijakan kewirausahaan. "Peningkatan kualitas tenaga kerja juga menjadi perhatian pemerintah. Ada 11 Balai Latihan Kerja yang ditangani pusat langsung, ada yang ditangani daerah sekitar 208. Ini terus kita revitalisasi. Kita jadikan kesatuan dalam sistem pendidikan nasional menjadi sarana antara dari hubungan pendidikan dan pasar kerja," jelas Dirjen Pembinaan, Pelatihan dan Produktivitas Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Masri Hasyar. Melalui pengembangan wirausaha, Kementerian Nakertrans berupaya mendorong agar lulusan pendidikan tinggi bisa mendukung penciptaan kesempatan kerja. Hal itu dilakukan mengembangkan sertifikasi kompetensi tenaga kerja dan mengembangkan kurikulum pendidikan kewirausahaan. “Tanpa perubahan paradigma pendidikan, maka dipastikan jumlah pengangguran dari golongan pendidikan tinggi akan terus bertambah, bahkan hingga Februari 2009 jumlah pengangguran lulusan seluruh universitas mencapai lebih dari 600.000 orang. Ini

"TIDAK"

pada

Narkoba

yang kita coba kurangi,� tegas Menakertrans. Kerjasama Secara umum, kebijakan sektor ketenagakerjaan Kabinet Indonesia Bersatu II diarahkan untuk membuka lapangan kerja dan menyediakan pasar tenaga kerja yang fleksibel serta hubungan industri yang kondusif. Tentu, semua itu tidak bisa dilakukan oleh pemerintah sendiri. Perlu kerjasama lintas kementerian, program bahkan lintas sektor dan pelibatan seluruh stakeholders bidang ketenagakerjaan. Pengembangan program transmigrasi di berbagai daerah, misalnya, agar menjadi lebih komprehensif sebagai bangunan ekonomi baru menurut Muhaimin Iskandar membutuhkan kerja sama untuk menyambungkan pusat pertumbuhan-pertumbuhan yang selama ini terpisah, misalnya dengan pembangunan jalan, penyediaan infrastruktur pendidikan, kesehatan dan listrik sebagai salah satu alat utama produksi. Upaya penyelesaian masalah ketenagakerjaan yang bersifat nasional baik di tingkat pusat maupun daerah memang masih membutuhkan kerja keras dan kersama yang baik antar pihak. Baik melalui pendekatan top-down yaitu pembangunan tenagak kerja yang direncanakan dengan memperhatikan prioritas nasional dan diikuti partisipasi daerah. Ataupun, pendekatan bottom-up melalui penetapan kompetensi inti unggulan daerah agar tercipta peluang kerja lokal yang bisa diisi tenaga kerja yang kompeten. Semua akan bermuara pada upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat dan pada akhirnya mengurangi tingkat kemiskinan dan pengangguran di Indonesia. (m)


2

Beranda

www.bipnewsroom.info

Edisi 05

Tahun VI April 2010

Mencipta Sarjana Siap Kerja Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan jumlah penganggur lulusan perguruan tinggi (sarjana) naik hampir dua kali lipat dalam kurun waktu empat tahun. Pada awal tahun 2005, jumlah sarjana yang menganggur hanya 385.400 orang. Empat tahun kemudian, yakni awal tahun 2009, jumlahnya melonjak menjadi 626.600 orang. Jika tidak ada upaya untuk menghambat laju pertambahannya, pada awal tahun 2013 jumlah penganggur terdidik dari kelompok sarjana ini bisa mencapai 1,2 juta orang. Sarjana yang menganggur itu sebagian besar berasal dari jurusan sosial nonkependidikan, agama, dan sebagian lagi jurusan eksak (MIPA). Sementara dari jurusan eks ak dan teknik hanya sedikit menyumbang jumlah penganggur, karena sebagian besar terserap di berbagai industri dan perusahaan BUMN. Banyaknya jumlah sarjana yang menganggur, bagaimanapun, menimbulkan permasalahan tersendiri. Tenaga kerja jenis ini telah menghabiskan banyak uang untuk biaya pendidikan, akan tetapi karena keterampilan kurang mereka tidak terserap di pasar kerja. Pengalaman pelaksanaan job fair atau bursa kerja yang dirancang untuk mempertemukan perusahaan dan pencari kerja, ternyata hanya mampu menyerap sekitar 20 persen hingga 30 persen saja. Artinya masih ada kesenjangan antara keinginan pencari kerja dengan pasar kerja yang tersedia. Ketidakselarasan (mismatch) antara jenis lapangan kerja yang tersedia dengan jenis keahlian yang dibutuhkan, membuat lulusan perguruan tinggi sulit mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan pendidikannya. Di sisi lain, ‘keharusan’ dunia usaha untuk menggaji sarjana lebih besar daripada tenaga kerja yang pendidikannya lebih rendah membuat mereka enggan merekrut sarjana dengan alasan efisiensi. Para pengguna tenaga kerja memang selalu mencari tenaga kerja terdidik yang sekaligus juga terlatih. Namun jika alternatif itu tidak tersedia di bursa kerja, mereka cenderung lebih memilih tenaga kerja terlatih daripada mempekerjakan tenaga kerja

Merokok Sangat Memprihatinkan Amat memprihatikankan ada aksi bocah merokok, sebagaimana disiarkan beberapa media massa dan di online. Merokok jelas berbahaya, mematikan. Saya sepakat dengan rencana pemerintah daerah tertentu mencabut jaminan sosial bagi warga miskin perokok. Sebab dana pemerintah harusnya tidak perlu membiayai untuk perokok yang sakit karena ulahnya sendiri. Perokok sendiri telah boros tapi maunya ngirit untuk berobat. Semoga para perokok sadar, perokok pasif akan berkurang, perokok aktif akan menyusut.

desain: ahas/faridadewi foto: bf-m, danang

Apa tidak bisa juga diubah ada imbauan menjadi "Peringatan Pemerintah: Merokok dapat mengakibatkan PEROKOK dan ORANG SEKITAR: Kanker, Serangan Jantung dan seterusnya." Demikian hasungan kampanye anti rokok dari saya.

Berry, Yogya via bip@depkominfo.go.id

Buku Panduan KIP Buku Panduan Keterbukaan Informasi Publik bisa didapat dari mana ya? Rahadian P. Paramita via facebook

terdidik. Alasannya rasional, tenaga kerja terlatih lebih siap kerja, karena memang secara khusus telah dipersiapkan agar memiliki keterampilan yang dapat langsung diaplikasikan di dalam pekerjaan. Jelas kemudian bahwa tamatan sekolah kejuruan dan diploma ilmu-ilmu terapan lebih dipilih, karena dari sisi keterampilan kerja mereka lebih unggul dan mau digaji lebih

Banyaknya jumlah sarjana yang menganggur, bagaimanapun, menimbulkan permasalahan tersendiri. Tenaga kerja jenis ini telah menghabiskan banyak uang untuk biaya pendidikan, akan tetapi karena keterampilan kurang mereka tidak terserap di pasar kerja.

rendah. Sedangkan sarjana dari jurusan sosial nonkependidikan, agama dan sebagian jurusan eksak masih harus dilatih lagi agar benar-benar terampil dan siap kerja. Masalahnya adalah, jumlah angkatan kerja berpendidikan tinggi dari ilmu sosial nonkependidikan, agama, dan jurusan eksak jauh lebih besar dibanding dengan sarjana jurusan teknik dan diploma ilmu-ilmu terapan. Guna menekan kenaikan jumlah sarjana penganggur, tidak ada pilihan bagi perguruan tinggi dan dunia pendidikan selain mengubah

saya telah memenangkan 2010 AWARD LOTTRE...Yang isi bahwa ID email saya telah menang 1.500,000.00 US DOLLAR. Saya ingin meminta tolong untuk bisa di konfirmasi kebenarannya karena jika itu adalah spam tentunya email semacam itu sangat mengganggu.Terimakasih Myaku Shinobi

jawab : Silakan datang ke Pusat Informasi dan Humas, Kemkominfo. Jl Merdeka Barat No 9, Gedung Belakang Lt 1.

Spam Undian Lottre yang sangat meng­ gangu Tanggal 18 Februari 2010 saya mendapatkan email dari postcodeclaim national, bahwa

via facebook

Jawab : email seperti itu kebanyakan adalah email spam, yang menawarkan iklan dan lainnya. Namun ada pula sebagian yang berpotensi kejadian penipuan bagi penerima email. Pemerintah Daerah Harus Siap Sediakan Informasi Publik

Dengan

diberlakukannya

paradigma. Jika semula pendidikan lebih menekankan pada aspek kecerdasan konseptual (kognitif), kini harus dibarengi penanaman jiwa kewirausahaan (entrepreneurship), yakni kemampuan untuk menginternalisasikan bakat rekayasa dan memanfaatkan peluang yang ada. Pendidikan kewirausahaan pun tengah dikembangkan di Unit Pelaksana Teknis Balai Latihan Kerja (BLK) dibawah pengelolaan Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Melalui Program 3 in 1 BLK yang mencakup pelatihan, fasilitasi dan penempatan, diharapkan banyak sarjana yang memanfaatkan untuk meningkatkan kompetensi mereka. Jiwa kewirausahaan sejatinya sangat efektif ditanamkan melalui bangku pendidikan. Hanya saja, proses penanamannya harus dilakukan secara holistik dengan melibatkan ranah kognitif, afektif, dan psikomotorik. Mata kuliah terkait kewirausahaan seyogyanya diberikan dengan porsi lebih banyak dan dominan dibandingkan dengan mata kuliah lainnya yang berorientasi pada kecerdasan kognitif semata. Di sisi lain, mahasiswa harus diberi kesempatan untuk mempraktekkan teknik-teknik wirausaha yang ia dapatkan di bangku kuliah dalam praktek nyata di lapangan, sehingga memiliki kemampuan wirausaha di tataran praktis. Perubahan paradigma ini tentu tidak akan berjalan tanpa perhatian yang sangat serius dari seluruh pemangku kepentingan di bidang pendidikan dan dunia usaha. Di sisi lain, pemerintah sebagai pemegang kebijakan harus pula mendukung para sarjana yang berniat menjadi wirausahawan. Dukungan itu amat penting, sekaligus menunjukkan komitmen pemerintah dalam memerangi pengangguran. Dengan membangun sinergi tripartit antara pemerintah, perguruan tinggi dan pengguna tenaga kerja, diharapkan jumlah sarjana penganggur secara bertahap dapat terus dikurangi (g).

UU No.14 tahun 2008, fungsi dan peranan Dinas Komunikasi dan Informatika sa­ngat men­ desak dioptimalkan. Hal ini demi kebutuhan publik akan informasi penyelenggaraan negara yang terkait dengan kepentingan mereka, sehingga tata pemerintahan menjadi le­ bih akuntabel, transparan, partisipatif, efektif, efisien, serta patuh dengan hukum. Ada beberapa pendekatan guna mengoptimalkan peran­ an Dinas Komunikasi dan Informatika tersebut. Pertama, memposisikan mereka secara mandiri sebagai pelaku sosiali­ sasi kebijakan pemerintah, serta pendorong daya kritis publik dengan menyediakan informasi terkait dengan hukum, keamanan, perekonomian, politik, serta sosial dan budaya. Kedua, meningkatkan koordinasi antarbadan publik meng­ enai informasi publik yang

difasilitasi oleh Dinas Komunikasi dan Informatika tersebut. Termasuk pula ber­koordiansi dengan Departemen Komunikasi dan Informatika di pemerintahan pusat. Ketiga, melakukan kerjasama yang meluas dengan agenagen informasi seperti media massa dan lembaga swadaya masyarakat, sehingga publik paham dan mematuhi batasan informasi publik, rahasia negara, dan privasi. Taufik Wijaya via link facebook *) Koordinator Koalisi Kebebasan Akses Informasi Sumatra Selatan (KOA-AIS), salah satu koalisi LSM pengusung UU Keterbukaan Informasi Publik (KIP) sejak tahun 2002.

Tabloid komunika. ISSN: 1979-3480. Diterbitkan oleh Badan Informasi Publik KEMENTERIAN KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA Pengarah: Tifatul Sembiring (Menteri Komunikasi dan Informatika). Penanggung jawab: Freddy H. Tulung (Kepala Badan Informasi Publik) Pemimpin Redaksi: Bambang Wiswalujo (Kepala Pusat Pengelolaan Pendapat Umum). Wakil Pemimpin Redaksi: Supomo (Sekretaris Badan Informasi Publik); Ismail Cawidu (Kepala Pusat Informasi Politik Hukum dan Keamanan); Isa Anshary (Kepala Pusat Informasi Perekonomian); Gati Gayatri (Kepala Pusat Informasi Kesejahteraan Rakyat). Sekretaris Redaksi: Dimas Aditya Nugraha. Redaktur Pelaksana/Editor: M. Taufiq Hidayat. Redaksi: Drs. Selamatta Sembiring, MM; Drs. M. Abduh Sandiah; Drs. Mardianto Soemaryo; Doni Setiawan. Reporter: Dra. Wiwiek Satelityowati; Drs. Suminto Yuliarso; Elpira Inda Sari N.K.,S.Kom; Lida Noor Meitania, SH,MH; Karina Listya Wisyasari, S.Si.; M. Taofik Rauf; Frans Sembiring; Koresponden Daerah: Nursodik Gunarjo (Jawa Tengah). Desain/Ilustrasi: Farida Dewi Maharani, SE; Danang Firmansyah, Syahril. Alamat Redaksi: Jalan Medan Merdeka Barat No. 9 Jakarta Telp/Faks. (021) 3521538, 3840841 e-mail: komunika@bipnewsroom.info atau bip@depkominfo.go.id. Redaksi menerima sumbangan tulisan, artikel dan foto yang sesuai dengan misi penerbitan. Redaksi berhak mengubah isi tulisan tanpa mengubah maksud dan substansi dari tulisan tersebut. Isi komunika dapat diperbanyak, dikutip dan disebarluaskan, sepanjang menyebutkan sumber aslinya.


Edisi 05

Tahun VI April 2010

Pekerja Outsourcing:

Antara Persaingan dan Perlindungan Yono (50), telah 18 tahun bekerja di Batam. Selama itu pula ia berpisah dengan keluarganya yang tinggal di Jakarta. Awalnya, tahun 1992, ia ke Batam sekadar mengunjungi seorang kerabat yang telah bekerja di sebuah perusahaan elektronik. "Bersama kakak dan sama adik saya, ditawari paman bekerja di sini, ya kenapa tidak sebab pelu­ a­ng dan gaji yang didapat lebih baik dari Jakarta," katanya mengenang. Kini, hanya Yono yang masih bertahan di Batam. Sementara kakak dan adiknya telah kembali ke Jakarta dan Surabaya. “Saya menikah lagi, dengan janda satu anak. Istri saya baru jadi PNS,” katanya menjelaskan bahwa terlalu lama jauh dari anak dan istri, membuat Yono memilih cerai dan menikah lagi serta tinggal di Batam. Bersaing Ketat Batam memang pernah menjadi primadona pencari kerja. Pengembangan kawasan industri dan perdagangan di Batam mendorong banyak kebutuhan tenaga kerja. Tentu saja peluang ini tidak disia-siakan pencari kerja dari luar Batam untuk mengadu nasib. “Cari kerja di Jakarta susah. Sudah ada kerja di sini ya lama-lama betah,” katanya beralasan. Untuk hidup di Batam, Yono menyewa sebuah rumah dengan 5 kamar di kawasan Jodoh. Tiga kamar diantaranya disewakan kepada para pendatang. “Saya sewakan ke karyawan perusahaan migas asing. Tidak sembarangan, yang penting karyawan tiap bulan pasti bayar. Lumayan uangnya bisa untuk nambah keperluan,” katanya. Usaha itu juga diambil Yono karena saat ini persaingan antar tenaga kerja di Batam makin ketat. Tenaga kerja asing menempati pos-pos kunci di perusahaan dan industri yang ada. Mayoritas ekspatriat menempati posisi manajer puncak dan menengah, sedangkan tenaga kerja lokal mayoritas menjadi tenaga pelaksana. "Mereka (tenaga kerja asing, red) berasal dari Singapura, Jepang, Amerika, Eropa, Malaysia dan Filipina," imbuh Yono. Sementara tenaga kerja dalam negeri lebih banyak dijadikan tenaga outsourcing. "Mungkin biar bayarnya lebih murah," timpal Yadi, karyawan yang mengontrak kamar di rumah Yono. Akomodasi Krisis Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan memang memperbolehkan tena­ ga kerja kontrak. “Waktu kontrak kerja maksimal dua tahun dan boleh diperpanjang maksimal satu tahun,” kata Direktur Jenderal Pembinaan Hubung­ an Industrial dan Jamsostek Kemenakertrans, Myra Hanartani. Pemerintah menoleransi hal itu demi menampung penganggur akibat krisis ekonomi 1998. "Akomodasi sistem kerja waktu tertentu juga tidak terlepas dari pengaruh global untuk meningkatkan daya saing ekonomi," tambah Myra. Sementara itu, pengamat ekonomi, A Prasetyantono menyebut sistem outsource ditujukan agar terjadi efisiensi melalui sistem pasar

3

Utama

tena­ga kerja fleksibel. Sistem itu diakuinya menjadi penguat daya saing nasional dalam meng­ hadapi produk impor. Prasetyantono mencontohkan sistem yang tidak flesibel misalnya pesangon yang dianggap membebani pengusaha saat harus mem-PHK, "Meski alasan itu harus diteliti lagi kebenarannya. Tapi secara umum, perdagangan bebas seperti ASEAN-China Free Trade Area akan menyuburkan alasan serta praktik PHK dan outsource,” tambah Prasetyantono. Bukan Sekadar Murah Jika selama ini yang dipersoalkan adalah upah pekerja outsourcing, Kementerian Tenaga Kerja tidak bisa mengatur lewat keputusan menteri, kecuali lewat undang-undang. Jadi hal ini kembali pada perjanjian antara pekerja dan pengusaha. “Jika kita membuat aturan seseorang yang di-PKWT (Perjanjian Kerja Waktu Tertentu) harus lebih tinggi upahnya, dasarnya apa kita membuat itu?. Intinya adalah, apakah itu pekerja outsourcing atau bukan, adalah gajinya tidak boleh dibawah upah minimum. Itu berlaku pada sebuah hubungan kerja. Pihak pengelola outsorcingpun tidak boleh misalnya memotong gaji yang sudah menjadi standar upah minimum. Karena apa? Kompensasi para pengusaha outsourcing sudah diberikan oleh para pengusaha pengguna jasa outsourcing itu,” tegas Myra. Secara khusus, tambah Myra, Kemenakertrans telah mengeluarkan keputusan yang memberikan gambaran secara umum alur produksi, mana pekerjaan yang core bussiness, mana yang bukan. “Tapi yang lebih penting yang seharusnya dilakukan adalah bagaimana outsourcing itu benar dan sehat. Ini yang harus dijaga. Bagaimana pekerja yang di-outsource ataupun yang tidak mendapatkan perlindungan dari perusahaan,” jelas Myra. Atur dan Awasi Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Muhaimin Iskandar menyatakan bahwa persoalan outsource bermula dari ketidakseimbangan penawaran dan permintaan. "Mungkin juga ketidakpadanan antara pendidikan dan kebutuhan lapangan kerja. Tapi Undang-undang mengatur outsource hanya boleh untuk pekerjaan bukan utama. Biasanya jasa kebersihan dan keamanan. Tetapi, kemudian jadi bola salju. Sekarang semua pekerjaan outsource,” kata Muhaimin di kantornya beberapa waktu lalu. Muhaimin mengakui lemahnya pengawasan menyebabkan adanya pelanggaran aturan terjadi tanpa sanksi. "Perlindungan tenaga kerja lokal pun terlihat lemah, termasuk perusahaan jasa outsource tidak mengangkat pekerja yang sudah tiga tahun bekerja, seperti ditentukan undangundang," kata Muhaimin. Hal itulah yang dinilai Myra menjadi penyebab konflik antara pengusaha dan pekerja. "Persoalannya lebih disebabkan pemahaman aspek regulasi hubungan ketenagakerjaan di Indonesia yang masih jauh dari harapan. Dari tiga pelaku utama dalam hubungan industrial yaitu pekerja, pengusaha dan pemerintah, ternyata bukan hanya dari kalangan pekerja yang belum memahami masalah aturan-aturan ataupun ketentuan-ketentuan dalam hubungan ketenagakerjaan, namun kalangan pengusaha ternyata banyak yang juga belum memahami hal tersebut,” pungkas Myra. (lida/tr)

www.bipnewsroom.info

Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jamsostek, Kemenakertrans. Myra Hanartani

Semua Berkepentingan Atas Masalah antara Pengusaha dan Pekerja

S

etiap kali ada masalah antara pengusaha dan pekerja industri selalu saja Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi menjadi sorotan. Sempat Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Muhaimin Iskandar membuat ibarat bahwa hubungan antara pengusaha dan pekerja ini seperti kawin cerai di KUA. “Pemerintah tidak akan bisa menitiknolkan jumlah hubungan industrial yang berkonflik.Karena itu, kenyataan alam,” kata Menteri. Hal senada disampaikan oleh Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jamsostek Kemenakertrans, Myra Hanartani. "Seringkali penyebab konflik lebih disebabkan pemahaman aspek regulasi hubungan ketenagakerjaan di Indonesia yang masih jauh dari harapan," katanya dalam wawancara dengan Taofiq Rauf dari Komunika. Ketika ada masalah pengusaha dan pekerja, Kemenakertrans selalu jadi tumpuan.Bagaimana sebenarnya? Kalau kita bicara hubungan industrial, ada tiga pihak terlibat, pelaku usaha, pekerja termasuk serikat pekerja dan pemerintah. Sehingga kita tidak bisa hanya membicarakan kepentingan pekerja dan pemberi kerja.Di sinilah posisi pemerintah dalam hal ini Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Pemerintah berkewajiban mengawal hubungan ini tetap “harmonis” karena memang kepentingan negara ada di sini.Jadi bukan hanya kepentingan antara pengusaha dan pekerja saja. Tugas pemerintah disini, adalah bagaimana usaha bisa berjalan dengan bagus, pekerja juga tidak dieksploitasi. Jadi pemerintah menjembatani? Ya, seperti itu. Tugas pemerintah kan regulasi, namun selain regulasi pemerintah juga bertanggungjawab untuk menegakkan regulasi itu. Misalnya aturan bahwa pekerja yang bekerja melebihi waktu kerja harus ada lembur. Ini kan regulasi dan tugas pemerintah menegakkan ini. Dalam hal aturan-aturan terkait Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) misalnya.Pengusaha tidak bisa sembarangan mem-PHK, karena ada mekanisme yang harus ditaati.Di sini ada tangggung jawab pemerintah yang diwakili oleh mediator di dinas-dinas tenaga kerja.Jadi selain regulasi juga mengawalnya sehingga hubungan pengusaha dan pekerja dapat berjalan dengan baik. Ada kecenderungan hubungan pengusaha dan pekerja masih kurang “harmonis”. Misalnya masih sering ada unjuk rasa? Dalam undang-undang ketenagakerjaan sebetulnya sudah ada instrumen untuk melancarkan komunikasi pihak perusahaan dan pekerja.Bunyinya begini, semua perusahaan yang punya pekerja di atas 50 orang harus membentuk lembaga kerjasama bipartit.Dalam lembaga ini ada wakil pekerja, dan wakil manajemen.Ini bisa digunakan untuk mendeteksi jika ada masalah-masalah yang terjadi. Setiap ada persoalan lembaga ini menjadi wadah penyelesaian. Nah, yang selalu menjadikan komunikasi ini tidak berjalan adalah penerapan-penerapan aturan baru perusahaan secara tiba-tiba sehingga pekerja merasa tidak siap. Sementara itu, pemerintah selalu berupaya agar perusahaanperusahaan jangan “anjlok”. Sebab begitu “anjlok”” akan ada banyak akibat yang terjadi, misalnya pengangguran. Ini kan masalah yang dampaknya bisa melebar ke berbagai hal. Jadi tugas berat Kemenakertrans tentunya? Nah ini yang keliru.Kalau ada masalah pekerja dan pengusaha yang diminta menyelesaikan kami.Sebenarnya, bukan hanya Kemenakertrans yang bekerja, tapi semuanya. Karena semuanya berkepentingan.Misalnya jika menyangkut industri, tentu harusnya jadi wilayah Kementerian Perindustrian untuk mengawal bagaimana regulasi industrinya. Selama ini hubungan pekerja dan pengusaha sudah saling terbuka? (Tertawa) Harus diakui, memang masih bermacam-macam. Ada yang terbukanya besar tapi ada juga yang terbukanya kecil. Inilah yang saya katakan tadi pentingnya semangat kebersamaan. Karena masing-masing semangatnya sendiri-sendiri bukan kebersamaan maka terbukanya juga tidak maksimal.Semangat yang dibangun harusnya perusahaan dan pekerja adalah”mitra”, mulai dari tingkat paling bawah hingga atas. (tr/lida)


4

Utama

www.bipnewsroom.info

Dirjen Pembinaan, Pelatihan dan Produktivitas Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi

Masri Hasyar

Perlu Komitmen Giatkan BLK Balai Latihan Kerja/BLK (terhitung mulai 1 Februari 2010 disempurnakan menjadi Lembaga Pelatihan Kerja/LPK) selama ini dirancang untuk menjadi kawah “candradimuka” calon pekerja siap pakai. Namun sayangnya perhatian atas pengelolaan BLK ini cenderung tidak sama di setiap daerah. Ada beberapa daerah yang terus menjaga kualitas layanan melalui BLK, tapi lebih banyak yang terkesan menomorduakan kehadiran dan fungsinya. Padahal BLK merupakan ujung tombak penciptaan tenaga kerja mahir dan potensial. “Memang perlu komitmen yang kuat dari para pemimpin daerah untuk memastikan BLK memiliki nilai penting,“ kata Dirjen Pembinaan, Pelatihan dan Produktivitas Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Masri Hasyar. Sebab, menurut Masri saat ini pengelolaan BLK yang ada di daerah sepenuhnya menjadi wewenang pemerintah daerah. Untuk mengetahui bagaimana memaksimalkan peran dan denyut BLK dalam mendidik tenaga kerja siap pakai, Dimas Aditya dan Danang Firman dari Komunika mewawancarai Masri Hasyar di kantornya. Saat ini dunia kerja hanya membutuhkan pekerja siap pakai, sementara lulusan SMK kita dirasa belum mampu memenuhi kebutuhan itu. Bagaimana sebenarnya? Tenaga kerja yang terampil dan siap pakai memang sedang hangat dibicarakan. Jadi memang harus diakui, kondisi saat ini pengangguran di negara kita masih tinggi. Penganggur salah satunya output dari dunia pendidikan, tapi bukan berarti sistem pendidikan kita keliru. Banyak faktor yang menyebabkan hal ini terjadi. Misalnya saja lapangan pekerjaan yang terbatas. Akibat keterbatasan tenaga kerja yang terampil mempenga­ ruhi kurangnya investasi. Tapi ada hal penting, di samping terbatasnya lapangan kerja atau minimnya tingkat penyerapan tenaga kerja. Pe­ ngalaman kita melakukan job fair, sebuah arena besar yang mempertemukan perusahaan dan pencari kerja, ternyata setiap t a -

hunnya hanya mampu menye­ rap sekitar 20 persen hingga 30 persen saja. Artinya sebagian besar pencari kerja tidak terekrut, padahal harapan perusahaan dan kami, peme­rintah, arena ini akan mampu menyerap 100 persen pencari kerja. Bisa dikatakan tidak ada titik temu antara keinginan pencari kerja dengan pasar kerja yang tersedia. Penyebabnya bisa bermacam-macam. Lowo­ ngan tersedia tapi pencari kerja tidak punya kompetensi. Ini karena bisa jadi karena pencari kerja baru tamat pendidikan atau bisa juga mereka yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK). Tapi jika dilihat ada faktor lain yaitu minat pencari kerja yang memang tidak ada. Tidak ada minat, yang disebabkan karena tidak tertarik dengan pekerjaan yang ditawarkan, atau bisa juga karena tidak punya kompetensi atas pekerjaan itu. Ini persoalannya. Secara formal ada sekolah kejuruan. Lalu apa yang digarap Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi? Kami punya Balai Latihan Kerja. Sasaran kami sebenarnya mereka-mereka yang berasal dari sekolah umum tapi ingin langsung b e k e r ­j a . Tentu mereka

belum terlalu terampil. Disinilah kami melakukan penajamanpenajaman kompetensi. Kami berikan pelatihan berdasarkan standar kompetensi yang ada untuk kemudian kita salurkan pada perusahaan yang siap menampung. Tapi masyarakat mengeluhkan susahnya mengakses BLK? Kami akui itu. Dulu BLK yang ada di seluruh Indonesia berada di bawah kami langsung. Tapi sejak otonomi daerah kami serahkan kepada daerah untuk mengelolanya. Ada sekitar 200 BLK di seluruh Indonesia. Memang masih ada sekitar 11 BLK daerah sebagai unit pelaksana teknis (UPT) di bawah kami langsung. Di UPT ini sudah dikembangkan sistem kios 3 in 1 atau kios yang di dalamnya berisi sistem pelatihan, fasilitasi dan penempatan. Artinya, ada pelayanan teknologi informasi dimana begitu orang mencari informasi di BLK ini akan tersedia informasi apa saja. Misalnya terkait sertifikat kompetensi sampai dengan lowongan pekerjaan semua data ada di sini. Ini sangat efektif karena ba­ nyak yang telah memanfaatkan ini, dan perusahaan-perusahan pencari tenaga kerja juga memasukkan segala informasi ke dalam sistem ini. Bagaimana kini skema kondisi pengelolaan yang ada di daerah? Kalau kita bicara BLK ini harus komprehensif. Harus kita akui hampir 85 persen kondisi BLK tidak layak lagi. Dilihat dari fisik kebutuhan ada BLK yang peralatannya tidak terawat maupun instrukturnya tidak ada. Kenapa demikian? Banyak sebab, mungkin BLK itu belum mendapat perhatian penting. Atau juga instrukturnya yang sudah masuk masa pensiun dan belum tergantikan. Atau bisa juga instruktur yang dipindahkan ke daerah lain karena itu wewenang daerah. Padahal untuk menjadi instruktur, biaya

yang dikeluarkan tidak murah, Kalau peralatan atau gedung tidak ada, bisa dibeli atau dibangun kapan saja. Tapi yang namanya instruktur berbeda. Untuk menjadi instruktur dibutuhkan waktu minimal 4 hingga 5 tahun pendidikan.

Edisi 05 Nah pengalaman kami selama ini ada instruktur kita karena dia “nganggur” maka dipindahkan ke tempat lain yang tidak membidani pelatihan se­hingga kemampuannya bisa sia-sia tidak digunakan. Yang lebih miris lagi, ada kepala BLK yang tidak memiliki kemampuan dan atau kompetensi di bidangnya. Tapi kita kan tidak bisa berbuat banyak karena sekali lagi ini menjadi kewenangan daerah Upaya apa saja yang telah dilakukan? Kami hanya bisa mendorong dan mengingatkan daerah untuk terus berpikir pentingnya BLK berkaitan dengan penciptaan kompetensi tenaga kerja. Wewenang kami hanya sebatas itu. Tapi jangan ditanya 11 BLK yang menjadi kewenangan UPT tadi, kami punya perencanaan yang terukur. Misalnya penambahan pegawai dan instruktur terus berkesinambungan. Meskipun demikian, kami juga tidak menepikan kepenting­ an pengembangan BLK yang lain. Sejauh pemerintah daerah konsisten atas kelangsungan hidup BLK, kami menyediakan pelatihan bagi para calon instruktur daerah. Kami juga memberikan dana meski jumlahnya tidak besar. Pemerintah daerah sebenarnya bisa mengambil contoh dari BLK yang kami kelola di bawah UPT dimana sebagian besar peserta pelatihan terserap menjadi pekerja-pekerja dengan kompetensi yang tinggi. Karena apa? Karena kebijakan kami di sini adalah pelatih­ an kerja berbasis penyerapan produktivitas. Artinya tidak aka nada pelatihan jika tidak ada penyerapan tenaga kerja. Kami mencari dimana pasar kerja yang terbuka. Bagaimana BLK yang ideal? Kalau dalam satu BLK ada 6 kejuruan berarti minimal ada 24 instruktur di setiap BLK karena BLK ini tidak di setiap kota. Saat ini ada sekitar 182 instruktur. Hanya saya tetap prihatin karena BLK yang masih ada sebagian besar tidak terawat. Yang aneh beberapa kabupaten misalnya malah ingin membangun BLK baru entah alasannya apa. Padahal kan BLK lama sendiri masih bisa dipertahankan atau dikembangkan lagi. Intinya yang kami inginkan adalah bagaimana konsep BLK berkembang untuk peningkat­ an kompetensi pekerja, ka­ rena anggaran kita terbatas. Ini sebenarnya juga konsen kami, bagaimana efisiensi dana yang ada untuk BLK. Saya secara pribadi me­ minta pada semua pihak agar tidak mengurangi perhatian pada potensi tenaga kerja. Mi­s alnya kepada anak yang se­telah tamat sekolah umum, agar mempertajam kompetensinya. Jika tidak dilakukan, sudah pasti penganggur di depan mata. BLK hanya dirancang untuk para pencari kerja? Tentu tidak. Kami juga melatih agar para lulusan BLK

Tahun VI April 2010

siap membuka peluang bagi pekerja lain, misalnya berwirausaha atau biasa di­sebut sektor informal. Sektor ini dampaknya sangat besar. Jadi kami memberikan pelatihan yang betulbetul bisa dijadikan modal, ka­ rena memang tidak semua yang dilatih ini kami arahkan bekerja di perusaha­an. Misalnya setelah selesai pelathan kami arahkan untuk membuka bengkel, atau apalah yang bersifat mandiri. Kita berharap satu orang misalnya yang membuka bengkel, pasti akan membawa atau mempekerjakan dua hingga tiga orang. Ini fokus kita sebenarnya karena efeknya akan sangat berlipat. Satu pekerja bisa memberi peluang pekerja lain. Di Padang bisa menjadi contoh, dimana kepala daerah mencanangkan satu desa harus ada satu bengkel sepeda motor. Jika ada ribuan desa berarti akan ada ribuan bengkel de­ ngan tenaga kerja terampil. Inilah konsep yang kita kembangkan di kios 3 in 1 sebenarnya. Ini berisi berbagai pelatihan dan semua akan saling terhubung dengan 11 UPTP, mulai dari Aceh, Medan, Serang, Sorong, Ternate, Samarinda, Makasar, Solo, Ban­ dung dan Semarang. Misalnya di Bandung ada pelatihan teknik sementara di Bekasi sudah penuh, ini akan terlihat dan terhubung, peserta bisa ikut yang di Bandung. Apa yang diharapkan dari pemerintah daerah? Kita terus mendorong dae­ rah untuk memberikan perhatian yang lebih serius lagi terhadap pembinaan dan pengembangan BLK-nya termasuk kemampuan instrukturnya. Kami bertanggung jawab meningkatkan kemampuan para instruktur tentu dengan permintaan daerah. Kami terus melakukan undangan kepada daerah-daerah agar mengirimkan instrukturinstruktur untuk kami latih. Ada tiga balai besar yang kami tetapkan menjadi tempat pelatihan para calon instruktur daerah, Bandung, Bekasi dan Serang. Kualitas para calon instruktur ini juga kami perhatikan. Jadi setelah latihan tidak serta merta mereka menjadi instruktur dan terjun ke lapangan. Ada proses lanjutan lagi. Intinya menjadi instruktur ini tidak gampang karena memang kualitas dan kemampuannya yang terasah. Bagaimana dengan daerah tertinggal atau perbatasan? Untuk daerah seperti itu persoalannya sangat kompleks. Tapi secara umum daerah ini juga menjadi perhatian kami. Idealnya di perbatasan juga terdapat BLK, tapi kembali lagi, kemampuan anggaran kami tidak mencukupi. Kami hanya mendorong pemerintah daerah terdekat untuk lebih aktif memberikan penerangan terkait BLK yang ada di daerah terdekat tersebut. Bagaimana agar kepala daerah peduli dengan pengelolaan BLK. Istilahnya le­bih memprioritaskan BLK, karena pembentukan kompetensi kerja siap pakai BLK-lah tempatnya. (dan/df)


7

Tabloid Tempel

Edisi 05 Tahun VI April 2010

Diterbitkan oleh :

BADAN INFORMASI PUBLIK

KEMENTERIAN KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA

Berharap Berkah

KTM

Sejak tahun 2006, Kementerian Tenaga Kerja dan Trans­ migrasi mengembangkan kawasan Telang sebagai Kota Terpadu Mandiri (KTM). Pengembangan lokasi transmi­ grasi ini diharapkan bisa mendorong investasi sekaligus menjadi penggerak ekonomi dengan menyerap tenaga kerja.

Asupan gizi anak ternyata sangat dipengaruhi oleh faktor pengetahuan perempuan. Setidaknya, begitulah fakta yang didapatkan Komunika di wilayah perbatasan, tepatnya di Desa Sontas, Kecamatan Senggayam, Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat. Apa yang dimasak ibu, itulah yang dimakan anak. Maka jika ibu memasak makanan yang tidak bergizi, anak akan mengalami gizi kurang atau bahkan gizi buruk.

Usianya baru tujuh tahun ketika keluarganya pindah ke Telang, sebuah kawasan transmigrasi di Kabupaten Banyuasin, Provinsi Sumatera Selatan. “Kami ingin perbaiki nasib, sama orang tua pindah dari Ngawi Jawa Timur. Itu tahun 1980-an,” kata lelaki paruh baya itu. Namanya, Wakidi (37), kini menjabat Kepala Desa Mulyasari, desa transmigan di Kawasan Telang. “Dulu di sini masih hutan dan rawa. Banyak binatang buas,” katanya mengenang. Ia masih ingat sebagian warga transmigran me­ ninggalkan Telang karena kondisi alam yang berat. “Lebih kurang sepuluh persen transmigran kembali lagi ke daerah asal. Bapak saya juga sempat berpikir kembali ke Ngawi, tapi tekad yang kuat dan kondisi yang tidak lebih baik bagi keluarga jika kembali membuat bapak tetap bertahan,” tutur Wakidi.

6

Kawasan Mandiri Sejak tahun 2006, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi mengembangkan kawasan Telang sebagai Kota Terpadu Mandiri (KTM). “Kawasan transmigrasi dirancang menjadi pusat pertumbuhan melalui pengelolaan sumberdaya alam pertanian, pendidikan dan perdagangan,” jelas Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Menakertrans) Muhaimin Iskandar, saat pencanangan pembangunan KTM Lagita di Kabupaten Bengkulu Utara, Provinsi Bengkulu, awal Maret lalu. Pengembangan lokasi transmigrasi ini diharapkan bisa mendo­

rong investasi sekaligus menjadi penggerak ekonomi dengan menyerap tenaga kerja. “Ke depan, pengembangan KTM difokuskan untuk menarik investasi dan membuka lapangan kerja baru dengan mengembangkan konsep

Membangun sebuah kawasan KTM ternyata tidak semudah pe­ rencanaan. Banyak tahapan yang harus dilewati, ”Diantaranya kawasan yang calon KTM harus memenuhi unsur 2C atau clean and clear. Artinya kawasan harus sudah bebas dari masalah perta­ nahan yang dapat menghambat pembangunan KTM ke depan,”

wirausaha baru,” ujar Muhaimin. Pemerintah menargetkan mampu membangun 44 Kota Terpadu Mandiri (KTM). Menurut Muhaimin pengembangan kawasan transmigrasi melalui KTM menjadi kawasan transmigrasi yang bernuansa perkotaan diharapkan akan mempercepat pertumbuhan ekonomi di perdesaan yang pada gilirannya akan mengurangi penganggur­ an dan kemiskinan. “Pemerintah akan melakukan pemberdayaan masyarakat melalui penyuluhan dan pelatihan kewirausahaan, manajemen usaha tani, pembentukan kelompok tani dan koperasi serta penguatan kelembagaan keuangan mikro,” tambahnya.

Tidak Terbatas Administratif Saat ini sudah ada dua KTM di Sumatera Selatan, yaitu KTM Telang di Kabupaten Banyuasin dan KTM Belitang di Kabupaten Ogan Komering Ulu, ”Selain itu ada satu kawasan transmigrasi baru yang dibangun yaitu KTM Parit Rambutan di Kabupaten Ogan Ilir,” kata Adi Santoso, staf Bagian Peren­canaan Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi Sumatera Selatan. Menurut Adi, pengembangan dan pembangun­ an KTM lebih berorientasi kawasan bukan wilayah sehingga tidak terbatas dengan zona administrasi yang ada. “Dengan pola ini pengembangan KTM tidak terkendala oleh persoalan administratif karena perbedaan desa atau kecamatan,” jelasnya. Pengembangan KTM juga melibatkan desa lokal yang telah ada sebelum kawasan transmigrasi secara aktif melalui program pemugaran pemukiman (garpin). “Sebagai contoh kawasan KTM Telang dengan luas kawasan mencapai 95.540 ha terdiri dari 13 desa setempat dengan 7.800 kepala keluarga atau 71.397 jiwa dan 19 daerah bekas unit pelaksana teknis transmigrasi yang terdiri dari 9.149 kepala keluarga atau 41.745 jiwa,” jelas Adi ketika ditemui Komunika belum lama ini. Membangun sebuah kawasan KTM ternyata tidak semudah

peren­canaan. Banyak tahapan yang harus dilewati, ”Diantara­ nya kawasan yang calon KTM harus memenuhi unsur 2C atau clean and clear. Artinya kawasan harus sudah bebas dari masalah pertanahan yang dapat menghambat pembangun­ an KTM ke depan,” jelas Adi. Namun, keinginan pemerintah daerah cukup besar untuk menjadi pengembang KTM. “Tahun ini ada tiga kabupaten di Sumate­ ra Selatan yang mengusulkan agar di daerahnya dibangun KTM yaitu Kabupaten Musi Rawas, Lahat dan Ogan Komering Ilir,” kata Adi sambil menambahkan bahwa Kabupaten Lahat merupakan daerah yang paling siap untuk pembangunan KTM. ”Bahkan kemarin Bupatinya sudah mempresentasikan kesiapan daerahnya ke Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi,” lanjutnya. Berharap Berkah Bagi Wakidi, upaya pengembangan KTM Telang memang membawa banyak perubahan dan

kemajuan. Banyak pembagunan sarana umum, yaitu pusat bisnis dan perdagangan, rumah pintar hingga perbaikan akses jalan dilakukan di Desa Mulyasari sebagai pusat KTM Telang. “Memang saat ini pusat bisnis dan perdagangan belum beroperasi karena masih dalam tahap penyelesai­ an. Tapi mudah-mudahan tahun depan bisa beroperasi dan dapat membantu ekonomi masyarakat,” ujar Wakidi penuh harap. Di Desa Mulyasari juga telah dibangun SMK yang mulai bero­ perasi tahun 2010 ini. SMK ini menambah alternatif pendidikan dari tiga buah sekolah dasar, sebuah SMP dan sebuah SMA yang telah ada. “Kami saat ini masih menunggu puskesmas rawat inap yang dijanjikan dibangun sejak tahun 2008 tapi belum ada wujudnya,” tutur Wakidi seraya bercerita bagaimana selama ini masyarakat harus menempuh perjalanan lebih dari 35 kilometer ke rumah sakit di Palembang untuk mendapatkan perawatan yang lebih baik. Membangun KTM agar mandiri, menurut Adi membutuhkan waktu yang tak sedikit. “Pro­ ses menjadi kawasan mandiri diperkirakan berlangsung dalam kurun waktu 10 hingga 15 tahun,” kata Adi menegaskan. Bagaimanapun,kini setelah 30 tahun, Telang telah banyak berubah. “Tahun lalu ada dua warga kami yang menerima penghargaan transmigran teladan,” ujarnya bangga. Keberhasilan mereka, kata Wakidi, bukan di­ ukur dari sisi materi tetapi bisa mendidik anak-anaknya menjadi orang yang berhasil. (doni).


Impian Arya (21), mahasiswa tingkat akhir Institut Teknologi Bandung (ITB), untuk menjadi pengusaha sudah di ambang kenyataan. Upaya Arya sangat terbantu dengan “program penetasan” menjadi technopreneur atau wirausahawan sektor teknologi. Sudah hampir tiga tahun Arya menjadi tim tenant, sebutan bagi pencetus ide atau wirausahawan dalam Program Inkubasi Wira­ usahawan Inkubator Industri dan Bisnis (IIB) ITB. “Kami didampingi dari awal pembentukan usaha. Juga ada pelatihan yang tidak ha­ nya segi teknologinya tetapi juga bagaimana mengatur keuang­an dan memasarkan produk,” ujar le­ laki asal Jawa Tengah ini. Arya mengaku ingin meng­ asah kemampuan wirausaha se­ suai bidang ilmu yang didapatkan di kampus. “Tak banyak memang yang ingin jadi wirausahawan selepas kuliah. Sebagian besar dari mereka mencari kerja di ins­ tansi pemerintahan dan swasta,” tutur Arya yang meyakini bahwa kewirausahaan bisa dipelajari dan diajarkan. Ciptakan Wirausahawan Berada di kawasan Kampus ITB, Pusat Inkubator Bisnis ITB didi­

rikan agar menjadi penghubung pusat ilmu pengetahuan di pergu­ ruan tinggi dengan industri. “Di­ harapkan IIB mampu melahirkan dan membina industri mula yang berbasis atas berbagai kompetensi ITB dalam bidang ilmu pengeta­ huan, seni, dan teknologi,” jelas Nomo Ruswanto, Kepala Divisi Bisnis dan Kemitraan Inkubator Industri dan Bisnis ITB. Adalah Iskandar Alisyahbana, Ketua Majelis Wali Amanat ITB pertama, yang mencetuskan ide entrepreneural university. “Ide itu ditindaklanjuti dengan memben­ tuk Pusat Inkubator Bisnis,” jelas Nomo. Menurut Nomo, banyak produk perguruan tinggi yang bisa digu­ nakan untuk industri dan peru­ sahaan, namun hanya diam di kampus saja. Padahal jika dikelola dan dipasarkan dnegan baik tentu akan bisa lebih bermanfaat bagi masyarakat. “Disini kita belajar untuk berwirausaha, mencari sia­

Dua Sampai Tiga Tahun Nomo menyatakan saat ini ada 23 tenant yang mengikuti pro­ ses penggodokan. “Selama masa inkubasi yang berkisar dua sampai tiga tahun, tenant tersebut dapat menggunakan fasilitas infrastruk­ tur perkantoran IIB,” jelasnya. Menurut Nomo, fasilitas yang bisa digunakan meliputi pelatihan sesuai perkembangan usaha dan kebutuhan tenant, “Hingga soal manajemen perusahaan, laporan keuangan, dan pajak,” tambah le­ laki yang berlogat bicara Medan ini. Permasalahan awal yang mun­ cul bagi usaha baru, diakui Nomo memang karena keterbatasan permodalan. Apalagi bagi usaha di bidang teknologi yang cenderung berbiaya besar. Di sinilah IIB me­ mainkan peran fasilitasi permodal­ an. “Biasanya dicari dari alumni, investor, dan sistem joint ventura. Tenant juga boleh mencari sendiri dari pihak lain” ujar Nomo. Telah banyak wirusahawan yang lahir dari IIB ini, salah sa­

Dirjen Pembinaan, Pelatihan dan Produktivitas, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi

Masri Hasyar

Siapkan Pekerja,

Ya Dari BLK

Apa yang akan dilakukan Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi? Kami hanya bisa mendorong dan mengingatkan daerah ikut mengelola BLK guna peningkatan kompetensi tenaga kerja. Karena memang wewenang kami hanya sebatas itu. Kami berharap Pemda bisa menjadikan UPT Pusat yang kami kelola. Ada 11 BLK yang kami punya, di situ ada perencanaan yang terukur dan manajemen yang berkelanjutan. Misalnya penambahan pegawai dan instruktur terus berkesinambungan.

Untuk memaksimalkan peran daerah menyikapi ini? Kembali lagi, kita terus mendorong pemerintah daerah untuk memberikan perhatian lebih serius lagi terhadap pembinaan dan pengembangan BLK, termasuk kemampuan instrukturnya. Kami bertanggung jawab meningkatkan kemampuan para instruktur tentu dengan permintaan daerah. Kami juga rutin mengundang daerah agar mengirimkan instruktur-instruktur untuk kami latih. Ada tiga balai besar yang kami tetapkan menjadi tempat pelatihan para calon instruktur daerah, Bandung, Bekasi dan Serang. Setelah latihan tidak serta merta mereka menjadi instruktur dan terjun ke lapang­ an. Ada proses lanjutan lagi. Intinya kami lakukan pendampingan agar instruktur makin meningkat kualitasnya dan kemampuannya yang terasah.

Ada anggaran khusus untuk meningkatkan ini? Ada anggaran untuk itu. Tapi jumlahnya tidak besar. Namun yang perlu diingat dana ini sebenarnya hanya untuk mendorong, kembali lagi, Pemda untuk meneruskan dan mengembangkannya. Kami hanya punya wewenang membangkitkan selanjutnya wewenang penuh menjadi urusan Pemda karena era otonomi daerah. Intinya adalah kami terus membangkitkan para kepala daerah agar bagaimana peduli dan komitmen dengan peningkatan kompetensi pekerjanya khususnya peningkatan BKL-BLK.. Istilahnya lebih memprioritaskan BLK, karena pembentukan kompetensi kerja siap pakai BLK-lah tempatnya. (tr)

Foto : Dinas / Danang

Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi berupaya meningkatkan kualitas tenaga instruktur untuk sekitar 180-an Balai Latihan Kerja (BLK) di daerah. Sekitar 85 persen kondisi BLK yang tersebar di Indonesia kurang layak baik infrastruktur dan manajemennya. Tapi Kemenakertrans juga minta dukungan pemerintah daerah agar BLK menjadi pencetak tenaga kerja siap pakai. Harus diakui sejak era otonomi daerah sebagian besar BLK mati suri karena ada transisi alih wewenang dari pusat ke pemerintah daerah. “Kami hanya lembaga pembinaan. Sehingga apapun itu kewenangannya tetap menjadi bagian dari daerah sendiri,” kata Dirjen Pembinaan, Pelatihan dan Produktivitas Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Masri Hasyar. Berikut petikannya:

8

Saatnya Pengeraman Calon Wirausaha

pa dan produk apa yang akan bisa dijadikan basis wirausaha. Jadi kita memfasilitasi orang yang berjiwa marketing dan ingin berwirausaha tapi belum punya produk unggul­ an atau tidak tahu akan berbisnis apa,” tutur Nomo. IIB yang dibentuk sejak tahun 2003 juga menyediakan akses in­ formasi lembaga keuangan, pemi­ lik modal, dan masyarakat yang ing­in mencari potensi-potensi usa­ ha baru yang dikelola oleh IIB. tunya adalah PT. Cipta Tani Lestari yang memproduksi teknologi bio­ gas plastik dengan menggunkan limbah rumah tangga, industri ke­ cil, dan ternak. Wisuda dilakukan Februari tahun lalu, setelah men­ jalani masa inkubasi sejak tahun 2004. Saat ini PT. Cipta Tani Les­ tari memiliki karyawan sebanyak 30 orang dan berkantor di Jalan Setia Budi Bandung

“Jika usaha yang diinkubasi te­ lah berbadan hukum, perputaran produk sudah baik, manajemen sudah baik, dan sudah memiliki pola perusahaannya sendiri, ber­ arti usaha tersebut sudah dapat diwisuda atau dilepas pendam­ pingannya,” demikian Nomo tanpa bisa menyembunyikan nada bang­ ga. (elvira)

Sinergi Pengusaha dan Pemerintah

Atasi Persaingan dengan Kerjasama Empat tahun lalu, pengusaha sulaman bordir Bukittinggi, resah. Pasalnya, harga produk kerajinan di pasar internasional kian jatuh. Se­ lama puluhan tahun, produk bordir Bukittinggi terkenal sebagai produk berkelas dengan nilai jual tinggi. “Penyebabnya, ya para pengu­ saha sendiri. Ketika pameran di luar negeri, ada sisa barang. Daripada dibawa pulang, lebih baik diobral di hari terakhir. Karena terus berulang, pembeli di luar negeri lebih memilih datang dan membeli di hari terakhir. Semua ini mengakibatkan jatuhnya harga sulaman bordir Bukittinggi di luar negeri,” kata Anismar Asri, pengusaha Sulam Bordir Ambun Suri Bukittinggi, ketika ditemui Ko­ munika beberapa waktu lalu. Tapi, itu empat tahun lalu, ke­ tika antar pengusaha sulam bordir hanya memasarkan produk dengan mengandalkan kreatifitas pribadi. “Banyak diantara pengusaha yang menganggap pengusaha sulam lainnya sebagai saingan usaha. Pa­ dahal jumlah tenaga kreatif sulam bordir kian berkurang sementara pasar masih terbuka lebar,” kenang Anismar yang memproduksi Bordir Kerancang, sulaman lubang-lubang yang terbentuk dari jalinan halus benang bordir. Maju Bersama Kerjasama antar pengusaha su­ lam bordir Bukittinggi bermula dari perasaan senasib sepenanggungan. Sulaman bordir kian tidak dimina­ ti generasi muda, pasalnya untuk memproduksi satu hasil sulaman butuh keahlian dan kesabaran ting­ kat tinggi. “Menyulam masih meng­ andalkan keterampilan jari tangan. Justru di situlah letak ciri khas sula­ man bordir Bukittinggi,” jelas Zulfa Khairani, pengusaha Sulam Bordir Komala Sari. Berkat fasiltasi Pemkot Bukit­ tinggi, pengusaha bisa membentuk klaster Industri Kecil dan Menengah (IKM) Kerajinan Bordir dan Sulaman Bukittinggi pada Desember 2007 lalu. “Kita ingin bordir dan sulaman Bukittinggi punya daya saing di pasar global. Langkah awal, tentu saja dengan membangun industri sulam lokal yang kuat dan terjaga kualitasnya,” cetus Zulfa. Menurut Zulfa, klaster ini meng­ awali pembangunan dengan pe­ ningkatan kualitas perajin yang su­

dah ada. Terkadang, mereka tak segan berbagi keahlian, bahkan berbagi desain sulaman kepada pengusaha lain. “Bisnis memang ketat, tapi kami punya keinginan sama, bagaimana agar kebutuhan tenaga kreatif terpenuhi dan bisa memajukan kita bersama,” papar Zulfa. Didik Anak Muda Pelatihan untuk siswa-siswi sekolah menengah pun secara bergilir dilakukan. Anak-anak calon penerus kerajinan sulaman bordir ini mulai belajar menjahit garis, lingkaran, sugi (motif ping­ gir, red), hingga membuat bordir lukisan yang umumnya berbentuk bunga aneka warna, di atas kain. “Kami juga dibantu Ditjen Indusri Kecil dan Menengah, Departemen Perindustrian (saat ini Kementeri­ an Perindustrian,red) berupa ban­ tuan 300 mesin jahit yang diguna­ kan untuk pengembangan industri sulam bordir,” jelas Anismar Asri. Tak hanya itu, Kementerian Ko­ perasi dan UKM pun membantu pencairan bantuan pinjaman lu­ nak Rp1 miliar dikucurkan melalui Koperasi Lumbuang Pusako yang selama 24 tahun menjadi simpul keuangan 160 pengusaha dalam pengembangan sulaman bordir Bukittinggi. “Kami bisa memberi pinjaman Rp50 juta per anggota. Tapi jangan dibayangkan bahwa bantuan Rp1 miliar itu diberikan begitu saja untuk para pengusaha, itu dana hibah untuk masyarakat Bukittinggi. Uang itu pun harus dikembalikan ke pemerintah pusat agar bisa dinikmati pula oleh para pengusaha di daerah lain,” jelas Zulfa. Tapi jalan sukses masih panjang, sebab tantangan lain masih mem­ bayangi kerajinan sulam bordir. “Pasar dunia sekarang masih lesu, belum lagi harus bersaing dengan produk tekstil negara lain,” tutur Zulfa. Namun, Anismar dan Zulfa yakin, dengan kerjasama yang terjalin antara pengusaha dan pe­ merintah pembukaan pasar dan persaingan bisnis bisa diatasi. “Itu hanya kerikil kecil dalam perjalan­ an bisnis kita,” demikian Zulfa. (dimasnugraha@depkominfo.go.id)

5


Edisi 05

Tahun VI April 2010

Opini Lombok menggunakan pola kandang kolektif dan di pulau Sumbawa pola Lar (Sumbawa) atau So (Dompu dan Bima) yang penggembalaannya dilepas. “Pola Silvo Pastura atau penggembalaan di padang rumput di dalam kawasan hutan juga dikembangkan dengan dukungan Kementerian Kehutanan,” tegas Abdul Samad

“Kami ternak sapi selain menambah pendapatan juga sumber pupuk kandang bagi lahan pertanian,” kata M. Noor, warga Desa Brang Beji, Serading, Sumbawa. Warga Brang Beji memang menggantungkan hidupnya kebanyakan dari pertanian. Sapi bantuan Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat dirasakan sangat membantu untuk menambah penghasilan, “Jika anaknya sudah besar, dagingnya bisa kita jual,” imbuh Noor. Pengelolaan sapi ini, menurut Noor dilakukan secara berkelompok. “Kami ada 24 orang, katanya sapi 28 ekor ini bantuan Jepang” kata Noor yang juga ketua kelompok. Dalam pemeliharaan sapi, kelompok ini berbagi tugas mulai dari pembersihan kandang, menjaga keamanan, memandikan dan memberi makan sapi. “Kita semua pelihara Sapi Bali, karena mudah dilepas pun dirumput bisa hidup,” jelas Sahabuddin rekan Noor. Dua Pola Kepala Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Nusa Tenggara Barat, Abdul Samad menutukan, selain sapi, menurutnya dengan bantuan JICA, Pemprov NTB juga membantu pembuatan kandang sapi, gudang, tempat pertemuan, tempat minum hewan, kandang pejantan dan kandang betina. “Lokasi peternakan seluas 80 hektar milik kelompok tersebut,” jelas Abdul Samad. Abdul Samad menjelaskan bahwa ada dua pola pemeliharaan sapi di NTB. Untuk di pulau

Bumi Sejuta Sapi Peternakan sapi NTB berada di peringkat delapan nasional dengan jumlah populasi sapi mencapai 507.836 ekor. Rata-rata populasi s a p i sebanyak 93.500 ekor per tahun dan kerbau 27.000 ekor per tahun. "Jumlah ternak potong di NTB setiap tahun sekitar 55.000 ekor terdiri atas sapi dan kerbau, sebanyak 15.400 ekor di antaranya untuk kebutuhan lokal dan selebihnya dikirim ke berbagai daerah di Indonesia," kata Gubernur NTB, KH M Zainul Majdi. Banyak ragam sapi yang biasa dibudidayakan di NTB. “Mulai sapi ras Bali, Hissar, Sumental, Brangus, Limousin, Frisian Holstein dan hasil penyilangan berbagai jenis sapi itu,“ jelas Safii, Kepala Balai Pembibitan Ternak dan Hijauan Makanan Ternak, Serading, Sumbawa. Populasi ternak sapi pada 2008 mencapai 546.114 ekor dengan pertumbuhan rata-rata sebesar 6,41 % tiap tahun. Berdasarkan wilayah penyebarannya sebanyak 48 % ternak sapi dipelihara peternak di Pulau Lombok dan 52 % dipelihara peternak di Pulau Sumbawa. Populasi yang besar ini selain untuk konsumsi sendiri yang mencapai 35.000 ekor per tahun, selebihnya untuk memasok kebutuhan daerah-daerah lain di Indonesia, diantaranya Kalimantan, Sulawesi, Sumatera, Maluku dan Papua. Bahkan, sapi bali asal NTB pernah dilakukan ekspor ke negeri jiran Malaysia dan Timor Leste. "Sejak dulu NTB dikenal sebagai gudang ternak sapi, karena mampu mengirim ternak potong ke berbagai daerah di Indonesia termasuk Jakarta," kata Gubernur Majdi.

Orang yang tinggal di sekitar Rawa Pening, Salatiga, Jateng, menyebut tumbuhan air ini dengan nama bengok. Ada lagi yang menamainya genjer. Namun sebagian besar masyarakat Indonesia menyebutnya sebagai eceng gondok. Apapun namanya, selama bertahun-tahun gulma air ini memang bikin gondok dan membuat penduduk sekitar Rawa Pening semakin pening lantaran permukaan rawa nyaris tertutup karenanya. Itu cerita masa lalu. Sekarang warga sekitar Rawa Pening, khususnya warga Desa Tuntang, Salatiga, justru berterimakasih kepada si bengok. Lho, iya, karena berkat bengok itulah mereka bisa mendongkrak penghasilan. Kisah sukses warga desa Tuntang memanfaatkan bengok berawal dari kejengkelan seorang lelaki kerempeng bernama Nasikin. Saat itu, sekitar tahun 2001, ia yang menjadi tukang dayung perahu di lokasi wisata Rawa Pening merasa jengkel lantaran permukaan rawa dari hari ke hari makin dipenuhi eceng gondok. Ia mencoba membabat gulma air itu, hasilnya bukannya berkurang namun justru makin merimba. Dalam hitungan hari, perahu wisata yang ia dayungi makin sulit lewat. Para wisatawan pun mulai ogah menyewa perahu, karena rawa yang penuh

www.bipnewsroom.info

mewujudkan target tersebut, dibagikan 600 ekor sapi betina selain disediakan kredit ketahanan pangan dan energi yang bunganya 14 persen setahun tetapi pemerintah menanggung 8,25 persen. "Pembinaannya disyaratkan adanya lembaga penjamin sebagai mitra bimbingan teknis dan pemerintah," kata Abdul Samad. Berdasarkan wilayah penyebarannya sebanyak 48 persen ternak sapi dipelihara peternak di Pulau Lombok dan 52 persen dipelihara peternak di Pulau Sumbawa. Dari total jumlah produksi ternak sapi tersebut, 52 persen di antaranya berada di Pulau Sumbawa, dan sisanya di Pulau Lombok. Program itu, kata Gubernur Majdi kini menjadi program nasional, "Karena program tersebut dinilai mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat khususnya peternak. Presiden justru berjanji jika ada investor besar bidang peternakan akan diarahkan untuk meninjau peternakan sekaligus berinvestasi di NTB," kata Majdi. Sapi menjadi primadona unggulan karena memiliki beberapa kelebihan dibandingkan dengan produk pertanian yang lain. “Beternak sapi menurutnya akan menimbulkan multi efek player yang sama-sama menguntungkan. Selain akan menyerap lapangan kerja yang banyak,” kata Gubernur. Bahkan ia yakin jika program ini berhasil, maka keuntungannya akan lebih besar dari pertambangan.”Bahkan industri pesawat terbang IPTN pun kalah apabila program ini berhasil,” jelasnya. Kini Noor dan Sahabuddin sudah mulai bisa mengelola dan menambah pendapatannya. Sekaligus berperan dalam menguatkan kembali sejarah yang sudah dikenal sejak zaman Belanda, Lombok sebagai pengekspor sapi sejak tahun 1831. (wiwik)

Contoh Nasional Program Sejuta Sapi Nusa Tenggara Barat ditujukan untuk meningkatkan ekonomi, daya beli, kesehatan, kecerdasan dan kesejahteraan masyarakat Untuk

Tangguk Fulus Berbekal Kreatif Di tangan Nasikin (43), eceng gondok si gulma air tak berguna, bisa disulap menjadi aksesoris dan cinderamata nan cantik. Bahan yang berlimpah, ongkos tenaga kerja yang murah, ditambah sedikit kreativitas, membuatnya leluasa menangguk fulus. Omsetnya kini mencapai puluhan juta rupiah per bulan. Hmm...

9

bengok tak lagi menarik pandangan mata. Tak ayal, mata pencahariannya pun terancam. Benar saja, sebulan kemudian usaha persewaan perahu ditutup pemiliknya. Suatu hari, di sela rasa gondoknya, ia membawa pulang segepok batang eceng gondok dan membiarkannya tertiup angin di sandaran bangku panjang teritis rumahnya. Beberapa hari kemudian ia takjub saat memegang batang gulma air yang sudah mengering itu, ternyata lentur dan liat tak ubahnya seperti tali rafia. Ia pun mencoba menganyamnya menjadi keranjang kecil, ternyata hasilnya sangat bagus! ‘Penemuan’ tak sengaja itu ia ceritakan kepada Darliah (64), neneknya yang memang ahli anyammenganyam. Sang nenek mencoba menganyam sisa bahan menjadi topi dan tas. Ternyata hasilnya sangat memuaskan, tak kalah dengan anyaman berbahan baku pandan atau bambu. “Saat saya coba jual di pasar Ambarawa, ternyata topi dan tas itu langsung laku. Sejak itu saya langsung punya pikiran merintis usaha kerajinan eceng gondok,” katanya kepada komunika. Ia lantas mengerahkan nenek dan saudarasaudaranya yang berjumlah 9 orang untuk membantu. Belakangan, setelah produknya merambah pasar Yogyakarta dan Solo, ia merekrut warga di desanya menjadi tukang anyam. “Ongkosnya mungkin tak seberapa, tapi karena di desa ini tidak ada pekerjaan lain, ya lumayanlah bisa membantu ekonomi rumahtangga,” tutur Nasikin merendah. Jika pada awalnya usahanya hanya menghasilkan topi dan tas, belakangan ia juga memproduksi tempat tisu, vas bunga, keranjang buah, keranjang bunga, dompet, sandal, alas makan, alas duduk, meja, kursi,

dan hiasan dinding. “Saya bahkan sedang mencoba membuat patung dari bahan eceng gondok. Mudahmudahan berhasil,” kata lelaki berputra dua yang kini punya sedan dan rumah mewah ini. Bukan hanya itu, ia juga memasok eceng gondok kering untuk bahan kerajinan ke Yogyakarta dan Pekalongan. Permintaan dari dua kota itu cukup tinggi, sekitar 25 ton per bulan. Keuntungannya, jangan tanya, sudah pasti lumayan besar. Siapa sangka, dari gulma air yang oleh banyak orang dianggap tak berguna itu kini ia bisa mempekerjakan 25 orang. Omset bengkel kreatifnya dalam sebulan kini mencapai puluhan juta rupiah, belum termasuk labanya dari penyediaan bahan baku. “Total omsetnya antara 20-30 jutaan lah. Pesanan datang dari Yogya, Solo, Makassar, dan kota-kota besar lain di Indonesia. Ada juga order dari Arab Saudi yang sedang saya kerjakan bulan ini,” ujarnya. Nasikin bertutur, kunci keberhasilannya adalah pantang menyerah dan kreatif. Pantang menyerah baginya adalah ia tidak mudah percaya bahwa manusia ditakdirkan menjadi fakir miskin. Asal mau berusaha, menurutnya, semua orang bisa bekerja dan keluar dari kubangan kemiskinan. Sedangkan kreativitas ia tunjukkan dengan sikap seratus persen percaya bahwa ciptaan Tuhan apapun bentuknya pasti ada gunanya, sehingga orang harus membuat benda di sekelilingnya memiliki nilai lebih. “Maka kepada pembaca komunika khususnya yang masih menganggur ia berpesan, jadilah wirausahawan sekarang juga. “Saya percaya, peluang bisnis itu sejatinya ada di sekitar kita. Berbagai potensi alam yang ada, semua bisa dimanfaatkan untuk memulai bisnis. Coba lihat peluang itu, dan berkreasilah. Tapi ya jangan usaha eceng gondok semua, nanti punya saya nggak laku!” pungkasnya sambil ketawa (gun).


10

www.bipnewsroom.info

Daerah

Kibar Daerah

Bukti Janji Sektor UMKM ede (26), pemuda berbadan kurus itu mengaku sejak lulus SMP sudah bergulat dengan kerajinan khas Tasik. Tak terhitung berulang kali ia pindah majikan. "Abdi baru setahun bekerja di sini. Alhamdulilah lebih baik dari tempat sebe­lumnya," aku pemuda yang sudah bergelut de­ngan kerajinan Tasik lebih dari 11 tahun ini. Proses belajar membuat produk kerajinan Tasik telah dijalani sejak duduk di bangku SMP. Kebetulan sekolahnya menyediakan mata pelajaran ekstra­ kurikuler kerajinan yang diikuti, "Di sekolah tidak diharuskan menjadi perajin, namun setidaknya mengetahui khas kerajinan daerah sendiri," kenangnya. Bagi Dede memang dunia kerajinan adalah pilihan terbaik. Sebab di sekitar tempat tinggalnya, tidak banyak pilihan mata pencaharian. Jika tidak jadi petani ya perajin, cetusnya. Sementara untuk menjadi buruh pabrik dirasakan sulit, “Pabrik terbatas persaingannya ketat. Tapi, Alhamdulilah, gaji perajin saat ini sama dengan UMR. Bahkan setahun saya kerja sudah mendapatkan motor dari bos," ucapnya bangga lantas menuturkan kebanggaan lain ketika buah karya bordirnya bisa diekspor ke Eropa dan Jepang. Buah Manis Bordir Kerajinan Bordir sudah ada sejak sejak jaman Belanda. Salah satu sentra kerajinan yang terkenal ber­ada di Kawalu Kota Tasikmalaya, Jawa Barat. Di kawasan ini terdapat sekitar 1000 unit usaha. "Kegiatan ekspor sudah berlangsung sejak tahun 1970-an. Tidak tanggung-tanggung hasil karya mereka mampu mensup­lai hingga kawasan Amerika Selatan, Eropa Barat, Asia, dan Arab Saudi," jelas Tantan Rustandi, Kepala Dinas Koperasi UMKM, Perindustrian dan Perdagang­an Kota Tasikmalaya. Sejak tahun 1970-an pula, perajin sekaligus pedagang bordir membawa barang produk bordir ke Jakarta. Setiap Senin dan Kamis, mereka berbondong-bondong dengan menggunakan sekitar 100 mobil untuk membawa bordir ke Tanah Abang, Jakarta. “Ini merupakan gerakan spontanitas para perajin. Mereka berangkat dari tasik Senin malam sekitar jam 1 malam dan sampai Tanah Abang sekitar jam 4 pagi, mereka menggelar barang dagangan mereka. Sekitar pukul

Edisi 05

Jika anda melihat, mendengar dan memiliki kisah unik dari seluruh nusantara untuk dituliskan dan ingin berbagi dalam rubrik Kibar Daerah dan Lintas Daerah, silahkan kirimkan naskah kepada redaksi komunika melalui surat ke alamat redaksi atau melalui e-mail: komunika@bipnewsroom.info atau bip@depkominfo.go.id

12 siang mereka kembali ke Tasikmalaya, Selasa pagi mereka siap berproduksi dan Rabu malam mereka berangkat lagi berdagang ke pasar Tanah Abang. Kegiatan tersebut masih tetap dilakukan hingga saat ini,” jelas Rustandi. Selain Jakarta, hasil kerajinan Tasik pun memasok toko souvenir di Yogyakarta, Ban­dung, Bali dan beberapa daerah lainnya. “Semua produk itu untuk pasar domestik, hampir 70 persen dikirim ke Jakarta untuk kemudian didistribusikan lagi ke Sumatera dan daerah lainnya,” tambahnya. Label Produk Ironisnya, beberapa hasil kerajinan Tasikmalaya tidak begitu dikenal sebagai hasil kerajinan warga Tasik. "Kebanyakan perajin bermental pedagang, yang penting dagangan mereka laku dan tidak peduli dengan peng­ akuan nama hasil karya mereka," tutur Rustandi. Kesadaran pencantuman label, menurut Rustandi mulai dipelopori Pemkot Tasikmalaya. “Terinspirasi kota budaya Bali dan Yogyakarta, yang terkenal de­ngan kreativitas dan hasil kera­jinan. Diharapkan dengan pencantum­an label, orang akan mengenal Tasikmalaya dan menggiring mereka untuk mengunjungi langsung sentra produksi di Tasikmalaya,” jelas Rustandi yang kini giat mengkampanyekan agar perajin diminta menambahkan label "Buatan Tasikmalaya" pada hasil produk mereka. Selain kerajinan Bordir, Kota Tasikmalaya juga memiliki ber­­a­gam produk industri kecil. Sebut saja Batik Tasik, Kelom Geulis, Mendong, kerajinan bambu, Payung Geulis, meubeler, batako, dan aneka makanan. "Saat ini kita sedang memperbaiki peta potensi untuk dijadikan wisata belanja", ungkap Rustandi. Pemkot Tasikmalaya sudah memetakan sentra produksi kerajinan. “Untuk menandakan, masing-masing sentra di pasang gapura besar bertuliskan sentra masing-masing produk,” tambah Rustandi. Utamakan Industri Kecil Pembenahan dan penataan sentra kerajinan terus dilakukan. Bahkan Rustandi menegaskan pemerintah sudah sepakat tidak mengembangkan industri manufaktur. "Industri yang dikembangkan di Kabupaten Tasikmalaya adalah industri kecil dan menengah, kita sudah punya potensinya," jelas Rustandi. "Tasik tidak kalah dengan Cirebon, Bandung dan daerah lain. Kalau Ibu Presiden tidak sempat berkunjung ke Tasikmalaya minimal Ibu Menkominfo sempatkan berkunjung," ucap Rustandi sambil tersenyum. Rustandi berharap kehadiran industri kerajinan bisa mendorong semua sektor ekonomi di Tasikmalaya lebih maju. (faridadewi)

Sulitnya Mencari Tenaga Kerja Sektor industri kerajinan di Tasikmalaya pernah membukukan nilai investasi lebih dari Rp 146 miliar. “Tahun 2000 ada sekitar 234 ribu orang yang bekerja di sektor ini,” kata Tantan Rustandi, Kepala Dinas Koperasi UMKM, Perindustrian dan Perdagangan Kota Tasikmalaya. Sejak dibukanya PMA batik printing, perajin Batik Tasik tersaingi. Belum lagi krisis keuangan global 2008 yang membawa akibat pada penurunan ekspor. “Batik Tasik kalah bersaing dengan batik printing. Harga batik printing dari tekstil lebih murah dan motif yang diproduksi juga lebih banyak,” jelas Rustandi. Pemerintah Kota Tasikmalaya pun ambil kebijakan mengangkat kembali Batik Tasik dengan mewajibkan semua pegawai PNS mengenakan batik setiap Kamis dan Jumat. Selain itu pemkot semakin gencar mempromosikan batik Tasik serta melakukan pembinaan untuk perajin batik.

Susut Pekerja Terampil Hal serupa terjadi pada perajin Payung Geulis. Industri payung Tasikmalaya itu sempat berjaya pada era `50 hingga `70an. Di generasi awal keluarga Yayan, Payung Geulis sangat laris, mampu memasok hingga keluar Tasik. Bisnis ini ambruk karena kalah bersaing dengan payung Jepang yang diproduksi massal. “Penurunan demand terjadi sejak mulai masuknya Payung Jepang. Saat ini Payung Geulis hanya difungsikan sebagai perlengkapan menari atau upacara adat Bali,” kata Yayat Sudrajat, pengusaha Payung Geulis yang memiliki sederet piagam penghargaan ini. Kini keturunan perajin lebih memilih profesi lain. Tak heran, jika perajin Payung Geulis sebagian besar telah berusia lanjut. Kondisi ini menambah kesulitan bagi Yayat.. "Pembuat payung geulis yang tetap hanya tiga orang, selebihnya pekerja paruh waktu. Dan ini adalah generasi tersulit dari dua generasi terdahulunya," jelas Yayat.

Tahun VI April 2010

Masih Ada Peluang Penurunan pekerja terampil juga terjadi di sektor batik, ”Peng­rajin batik yang bisa mempekerjakan ratusan pekerja, saat ini ha­nya pada kisaran 30-an pekerja“, tambah Rustandi. Namun demikian sektor bordir malah berbeda mencolok. Haji Yeyen, perajin bordir mengaku untung dengan kerajinan bordir yang kini bisa diekspor sampai Eropa dan Jepang. “Saat ini sudah mempekerjakan sekitar 70 orang pekerja tetap. Belum lagi pekerja part time yang disewa ketika pesanan melebihi kapasitas,” kata Yeyen. Pemkot Tasik sendiri menurut Rustandi terus memberikan dorongan perajin untuk mengeks­plorisasi fungsi Payung Geulis tidak hanya sebagai payung namun juga untuk hiasan. “Kita bekerja sama dengan ITB dalam pengembangan desain. Saat ini payung geulis bisa ditemukan sebagai hiasan lampu tempel ataupun lampu meja,” jelas Rustandi. (faridadewi)

DKI Jakarta

Makassar

Lintas Daerah Sulawesi Selatan

Diskon Bagi Anggota Perpustakaan Kota Makassar Kantor Arsip, Perpustakaan dan Pengolahan Data Kota Makassar membuat terobosan baru, yaitu seluruh anggota Perpustakaan Kota Makassar akan mendapat berbagai diskon untuk langganan surat kabar, pembelian buku dan majalah di toko buku. “Khususnya tokotoko yang menjadi mitra kerjasama Kantor Arsip, Perpustakaan dan Pengolahan Data Kota Makassar melalui MoU,” kata Kepala Kantor Arsip, Perpustakaan dan Pengolahan Data Kota Makassar, Daniel Kato, Senin (12/4). Kerjasama tersebut ditujukan untuk memberi nilai tambah atas layanan Kartu Anggota Perpustakaan Makassar, “Sekaligus menggugah kesadaran dan meningkatkan budaya membaca bagi warga Kota Makassar,” jelas Daniel Kato. Ia juga berharap melalui kerjasama ini jumlah anggota Perpustakaan Makassar bisa meningkat. Beberapa penerbit dan toko buku yang menjalin kerjasama itu adalah Penerbit Kompas Gramedia Sirkulasi Makassar, Toko Buku Bina Ilmu, Toko Buku Dunia Ilmu, dan Toko Buku Siswa, serta Toko Buku Arena Ilmu. Menurut Daniel, saat ini jumlah anggota Perpustakaan Makassar 4.374 orang, “Untuk mendapatkan kartu anggota perpustakaan tidak dipungut biaya sepeser pun,” tambah Daniel. (hesti) DKI Jakarta

Putih Penanganan Banjir Ala Jakarta Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, Kamis (15/4), meluncurkan buku putih penanganan banjir di Jakarta. Buku berjudul "Mengapa Jakarta Harus Banjir" ini berisi penjelasan berkaitan dengan berbagai usaha yang telah dilakukan Pemprov DKI Jakarta sejak 2007 hingga saat ini untuk menangani banjir di ibukota. “Buku tersebut juga menjelaskan, masalah banjir tidak mudah diatasi dalam waktu seketika karena memerlukan perencanaan serta komitmen jangka panjang,” jelas Kepala Bidang Informasi Publik Diskominfomas DKI Jakarta, Cucu Ahmad Kurnia. Di ibukota, banjir merupakan satu dari beberapa isu strategis yang masuk dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) 2007-2012. Melalui berbagai kebijakan yang dijalankan Pemprov DKI Jakarta selama ini, banjir sudah bisa berkurang sekitar 30 persen, “Di kawasan Timur dan Utara Jakarta dengan adanya Kanal Banjir Timur (KBT), banjir mulai bisa dikendalikan. Tidak akan separah tahun-tahun sebelumnya,” jelas Cucu. Pemprov DKI Jakarta menargetkan dapat mengurangi banjir di daerah DKI Jakarta sebanyak 40 persen di tahun 2011 dan sebanyak 75 persen di tahun 2016. Ke depan, upaya pengendalian banjir yang dilakukan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta akan jauh lebih mantap, karena saat ini Pemprov DKI sudah lebih siap dalam menangani banjir dibanding tahun-tahun sebelumnya. Terlebih pada tahun ini sistem peringatan dini banjir atau early warning system telah berjalan efektif. (beritajakarta.com)


Edisi 05

Tahun VI April 2010

Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi

Kembangkan Pasar Baru TKI Profesional Komitmen Kementerian Tena­ga Kerja dan Transmigrasi untuk meningkatkan perlin­ dungan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) dan pengembangan pasar kerja baru untuk sektor profesional terus dilakukan melalui hubungan bilateral bidang ketenagakerjaan. Salah satu upaya yang dilakukan, menurut Plt Direktur Jenderal Pembinaan dan Penempatan Tenaga Kerja (Dirjen Binapenta), Kemenakertrans RI, Abdul Malik Harahap dengan kunjungan kenegaraan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Muhaimin Iskandar ke beberapa negara di Timur Tengah belum lama ini. “Pemerintah Qatar telah berkomitmen melindungi TKI serta memberi kesempatan Indonesia untuk mengirim tenaga kerja di sektor migas, konstruksi dan tenaga medis. Mereka membutuhkan banyak tenaga medis untuk bekerja di rumah sakit di Qatar,” kata Abdul Malik, di Kantor Kemnakertrans RI, Jakarta, Selasa (13/4). Sementara, dalam kunjung­ an ke Abu Dhabi, Uni Emirat Arab (UEA), dihasilkan kese­ pakatan tentang penerimaan gaji TKI melalui sistem perbankan agar lebih menguntungkan dan menjamin hak para tenaga professional tersebut. Tak hanya itu, pemerintah UEA juga menyetujui pemberian fasilitas perumahan bagi tenaga kerja di sektor formal dan memberikan pelayanan kesehatan bagi pekerja sesuai dengan standar serikat buruh dunia (ILO). “Pertemuan dengan Menaker Arab Saudi, Abdul Waheed juga menggembirakan. Mulai dari penekanan perlindungan RIK, pengaturan jam kerja, waktu

cuti, one day off/week, dan hak-hak dasar pekerja asing lainnya,” ungkap Abdul Malik. Tak hanya itu, menurut Abdul Malik, pemberlakuan asuransi bagi TKI juga telah dibicarakan, dan pemerintah Saudi berjanji akan segera menyelesaikannya di tingkat internal. (Az) Kementerian Pendidikan

Angka Kredit Bagi Peserta Pendidikan Kewirausahaan Wakil Menteri Pendidikan Nasional Fasli Jalal mengatakan, siswa didik yang mengikuti pendidikan kewirausahaan harus memperoleh kredit nilai. "Kalau tidak ada penilaian dan angka kredit, maka tidak akan banyak siswa yang akan memperoleh insentif. Demikian juga dengan gurunya, karena itu, sekolah harus memberikan angka kredit itu," katanya usai Peluncuran Studi-Studi Pendidikan Kewirausahaan pada Jenjang Pendidikan Dasar, Menengah, dan Tinggi, di Kementerian Pendidikan Nasional (Kemendiknas) RI di Jakarta, Kamis (8/4). Angka kredit itu, menurut Fasli Jalal, diberikan kepada siswa yang terlibat dalam berbagai kegiatan kewirausahaan, baik pada waktu jam pelajaran, praktik kerja lapangan, maupun dalam kegiatan mandiri. Lebih lanjut, Fasli Jalal mencontohkan bahwa siswa SMK bisa dilibatkan dalam usaha kecil dan menengah atau aca­ ra tertentu, “Misalnya menjadi event organizer, kontraktor makanan, atau berjualan di bazaar. Mereka memerlukan dorongan untuk berusaha kecil-kecilan sejak dini," katanya. Sementara itu Kepala Pusat Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan, Badan Penelitian dan Pengembangan (Puslitjak­ nov Balitbang), Burhanuddin Tola, menyatakan bahwa pen-

Ora et Labora

“Berdoa dan bekerja”, begitulah arti pepatah lawas ini. Sangat menarik bagaimana dimensi spiritual—berdoa— disandingkan dalam satu rangkaian proses dengan dimensi

11

Lintas Lembaga

material—bekerja. Lebih unik lagi, ora diletakkan di depan, baru kemudian labora menyusul di belakang. Mengapa harus berdoa lebih dulu baru kemudian bekerja, tidak labora et

didikan kewirausahaan telah dilaksanakan secara nasional sejak 1997. “Di jenjang mene­ ngah pendidikan menengah lebih banyak pada program magang dan penempatan kerja, sementara di jenjang pendidikan tinggi ada enam bentuk program, yang telah dilaksanakan yakni kuliah kewirausahaan, kerja usaha, magang kewira­ usahaan, inkubator wirausaha baru, konsultasi bisnis dan penempatan kerja, serta sinergi bisnis-intelektual-pemerintah,” jelas Burhanuddin. (Ad)

Kementerian Koordinasi Kesra

Bappenas

Rp 400 Miliar Untuk Sistem Peringatan Tsunami Menko Kesra Agung Laksono mengatakan, pemerintah akan mengalokasikan anggaran sebesar Rp 400 miliar untuk membangun keberlanjutan

Bangun Tenaga Listrik Arus Laut Staf Ahli Kementerian B i d a n g Ta t a R u a n g d a n Kemaritima/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Sondi Amar mengatakan, pemerintah sedang mengkaji untuk membangun pembangkit listrik tenaga arus laut. "Saat ini sedang dikaji pembangunan tenaga listrik memanfaatkan arus laut untuk menambah sumber energi listrik di Indonesia, terutama di wilayah kepulauan," kata Sondi Amar usai menghadiri musyawarah rencana pembangunan ( M u s r e n b a n g ) Kepulauan Riau (Kepri) di Tanjungpinang, Rabu (14/4). Dia mengatakan, di Kepri sangat cocok dikembangkan tenaga listrik dari arus laut tersebut karena memiliki arus laut yang cukup kuat menggerakkan baling-baling untuk memutar turbin yang mengasilkan tenaga listrik."Dalam kajian yang sedang dilakukan saat ini, pembuatan pembangkit listrik tenaga arus laut tersebut ternyata jauh lebih murah dari pembangkit listrik yang ada saat ini seperti tenaga uap, gas, bahan bakar minyak," ujarnya. Wa k i l G u b e r n u r K e p r i , HM Sani, sangat mendukung apa yang dicanangkan oleh Bappenas untuk membangun sumber listrik arus laut tersebut. "Kami mendukung pembangunan itu agar krisis listrik di Kepri bisa diatasi, namun tentu harus melalui kajian-kajian yang mendalam oleh pihakpihak yang berkompeten agar dapat terlaksana dengan cepat dan baik," ujarnya.(Antara News)

Kementerian Kelautan dan Perikanan

Bantu Budidaya Udang dan Ikan Kementerian Kelautan dan Perikanan akan membantu budidaya ikan milik masyarakat yang dikemas untuk komoditi ekspor. Peningkatan perikanan budidaya diprioritaskan untuk ekstensifikasi dan intensifikasi perikanan budidaya, perbaikan konstruksi tambak, bantuan penyediaan alat produksi, serta pengembangan balai benih dan pembesaran ikan. “Udang dan ikan nila bukan hanya komoditi untuk dalam negeri, tapi juga merupakan komoditi ekspor dengan nilai tinggi, namun diakui bibitnya masih perlu didatangkan dari luar negeri seperti Thailand d a n Ta i w a n , ” k a t a D i r j e n Perikanan dan Budidaya Made L. Nurdjana. Ekstensifikasi perikanan budidaya diarahkan pada lima komoditas perikanan rakyat unggulan, yakni rumput laut, ikan nila, lele, bandeng, patin, dan udang windu. Bantuan itu diantaranya berupa penyaluran paket budidaya nila masingmasing paket senilai Rp15 juta, lele Rp7,5 juta, rumput laut Rp6 juta, dan patin Rp15 juta per paket. (mf)

www.bipnewsroom.info

sistem peringatan dini tsunami di Tanah Air. "Dana sebesar Rp 400 miliar itu akan dialokasikan dalam tiga tahun anggaran dari APBN dan APBN Perubahan," kata Agung Laksono Rabu (14/4). Untuk tahun anggaran 2010 ini, katanya, akan dialokasikan sebesar Rp 125 miliar. "Sebelumnya Indonesia banyak dibantu oleh negaran e g a r a d o n o r, n a m u n bantuan dari negara donor itu berakhir pada tahun 2010 ini, sehingga pemerintah akan menganggarkannya melalui APBN dan APBN-P," katanya. Dari total dana sebesar Rp 400 miliar tersebut, alokasinya di antaranya untuk pemeliharaan alat-alat pada sistem peringatan dini tersebut. Dikemukakan, alat sistem peringatan dini itu terus bekerja selama 1x24 jam dalam sehari, selama satu bulan, sepanjang tahun, sehingga memerlukan perawatan intensif. (wd)

ora—bekerja dan (kemudian) berdoa? Dalam agama apapun, sebelum melakukan sesuatu kita memang disarankan untuk berdoa terlebih dahulu. Ini bukan sekadar kegiatan ritual untuk memenuhi tuntunan syariat, namun juga sarana untuk mempersiapkan diri secara batiniah bahwa kita akan melakukan aktivitas dengan sepenuh hati, segenap perasaan, berdasarkan aturan, norma, dan hukum yang ditentukan Tuhan. Doa sebelum kerja adalah kesadaran, bahwa segala aktivitas yang akan dilakukan bukan saja dipertanggungjawabkan kepada sesama manusia, namun juga kepada pemilik otoritas tertinggi penentu proses alam semesta: Tuhan Yang Maha Esa. Oleh karena itu, pekerjaan haruslah dilakukan sebaik-baiknya dan sebenarbenarnya, dengan meminimalkan terjadinya kesalahan dan penyimpangan. Maka kerja bisa dianggap sebagai ibadah, tentu dengan syarat asal diawali dengan doa dan diniati sebagai

aktivitas mengabdi Tuhan. Pertanyaannya adalah, apakah semua orang selalu melakukan ora, sebelum labora? Pertanyaan ini layak dimunculkan karena dalam kenyataannya tak semua aktivitas manusia mendatangkan manfaat. Banyak perbuatan manusia justru menimbulkan kerugian, kesengsaraan, bahkan menjadi malapetaka bagi banyak orang. Kasus korupsi dan penggelapan pajak yang belakangan ini ramai diperbincangkan publik adalah bukti bahwa aktivitas seseorang bisa merugikan bukan saja orang per orang, namun juga penduduk senegara. Kita semua percaya, pekerjaan yang menimbulkan kerugian dan keburukan bagi banyak orang terjadi karena pelaku tidak berdoa sebelum be­kerja. Kalaupun berdoa, pasti dilakukan secara asal-asalan, sehingga doa yang ia ucapkan tak mampu menjadi benteng tingkah laku agar tidak terjerumus ke jalan kemungkaran. Logikanya sangat sederhana: mungkinkah orang yang selalu

mengingat Tuhan akan melawan hukum-Nya secara frontal? Tentu tidak! Doa yang terlupakan membuat jalinan hubungan transendental manusia dengan Sang Khalik terputus. Orang tidak takut melakukan penyeleweng­ an, karena merasa apa yang ia lakukan tidak berhubungan dengan Tuhan. Ia merasa Tuhan tidak mengawasi tindaktanduknya, sehingga ia bebas berbuat sekehendak hati. Pada akhirnya, ia hanya mempertanggungjawabkan pekerjaan yang dilakukannya kepada diri-sendiri, dengan mengabdi kepada gejolak hawa nasfu dan keinginan. Ora adalah keniscayaan bagi labora. Menafikan doa dalam kerja, sama saja deng­an membiarkan keinginan merajalela menjadi panglima perbuat­ an. Jika itu yang terjadi, tunggu saja, penyelewengan dalam pekerjaan—apapun jenisnya— akan terjadi di mana-mana (gun).


12

Edisi 05

Edisi 04/ Tahun VI/ Maret 2010

Tahun VI April 2010

www.bipnewsroom.info

Baru-baru ini, Departemen Ketenagakerjaan Taiwan menyatakan, tenaga kerja Indonesia (TKI) meru­pakan tenaga kerja terbaik di Asia. Selain terkenal giat be­ kerja, TKI juga dinilai bertanggungjawab dan berperilaku baik. Namun ke depan, kemampuan TKI harus terus digenjot agar memiliki kualitas memadai untuk bersaing di lapang­ an pekerjaan yang lebih kompetitif. Sepagi itu Sigit Pramana (35) sudah nongkrong di ruang karya­ wan. Koordinator pekerja sebuah pabrik elektronika di kota Kaoh­ siung Taiwan ini sedang mena­ ngani kasus seorang TKI yang ketahuan mabuk saat bekerja. Dengan hati-hati ia melakukan pendekatan. Setengah jam kemudian tahulah ia, TKI asal Kisaran Sumatera Utara itu mabuk karena putus dengan sang pacar. “Stres boleh saja, tapi jangan membuat malu nama TKI yang baru saja mendapat nilai baik dari Depnaker Taiwan,” nasihat Sigit yang berasal dari Jawa Tengah ini, sebagaimana disampaikan kepada Komunika melalui telepon. Si pekerja yang juga rekan seangkatannya manggut-manggut dan berjanji tidak akan mengulangi perbuatannya. Ia mengaku khilaf karena terbawa panas hati. Untunglah ia tidak mendapat sanksi apapun dari perusahaan, selain saran agar memperbaiki tabiat tak terpujinya saat bekerja. “Setelah dinyatakan sebagai pekerja terbaik di Asia, beban moral kita di sini makin bertambah.

Kita makin ketat menjaga rekanrekan agar tidak melakukan perbuatan yang menyimpang, makin disiplin dan tekun bekerja,” imbuh lulusan Universitas Diponegoro Semarang tahun 1997 ini. Diakui Sigit, masalah moral dan semangat kerja TKI sejatinya bukanlah masalah besar, karena ‘dari sononya’ TKI rata-rata bermoral baik dan memiliki gairah kerja lumayan tinggi. Akan tetapi ia belum puas terhadap kemampuan dan kualitas TKI di luar negeri, khususnya di Taiwan. “Sebagian besar kualitas skill-nya rendah, sehingga hanya kebagian pekerjaan yang tidak begitu penting, upahnya pun jadi rendah,” katanya. Ia mencontohkan, banyak di antara rekan-rekan seangkatannya kebagian pekerjaan di divisi finishing dan packing, bagian yang upahnya paling rendah. Penyebabnya apa lagi kalau bukan rendahnya tingkat pendidikan dan sedikitnya pengalaman kerja. “Kebanyakan teman-teman di sini hanya berpendidikan SMA dan tidak memiliki sertifikat keahlian apapun. Padahal kalau punya sertifikat keahlian dari BLK (Balai Latihan Kerja, sekarang disebut Lembaga Pelatihan Kerja/LPK-red) saja sangat dihargai di sini. Bisa menempati satu grade pekerjaan lebih tinggi, dengan selisih gaji yang jauh lebih besar daripada mereka yang bekerja di bagian packing,” imbuhnya. Karena itu, ia berharap agar pemerintah RI terus mengupayakan agar calon-calon TKI dibekali keahlian yang memadai agar mampu bersaing di tingkat pekerjaan yang lebih kompetitif. “Jangan sampai di negeri orang mereka sekadar menjadi buruh, tapi saya berharap mereka benar-benar bisa

menjadi pekerja profesional yang bergaji tinggi,” pungkasnya. LPK Berbasis Kompetensi Dae­ rah Tak lama lagi, harapan Sigit tampaknya akan menjadi kenyataan. Terhitung mulai 1 Februari 2010 lalu, pemerintah telah mengaktifkan Lembaga Pelatihan Kerja (LPK) berbasis kompetensi daerah. LPK merupakan penyempurnaan sistem BLK yang telah lama ada, dengan menambah kurikulum dan fasilitas pelatihan pekerjaan yang sesuai dengan potensi yang ada di daerah. Di Indonesia, model pelatihan berbasis kompetensi resmi dikembangkan sejak adanya Undangundang No 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan Undangundang No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. International Labor Organization (ILO) telah merekomendasikan pendidikan berbasis kompetensi sebagai model pengembangan kualitas sumber daya manusia melalui rekomendasi No 195 tahun 2004, ILO Recommendation on Human Resources Development. Hal ini sejalan pula dengan paradigma pendidikan terbaru yang dikembangkan UNESCO yang mengarah kepada konsep belajar mengetahui (learning to know), belajar mengerjakan (learning to do) belajar menjadi (learning to be) dan belajar hidup bersama (learning to live together). Dua konsep terakhir adalah paradigma baru yang membedakan sistem BLK dengan LPK. ‘Belajar menjadi’ akan mendorong alumni LPK untuk berwirausaha secara mandiri. Sedangkan ‘belajar hidup bersama’ adalah konsep belajar dengan cara magang di tempat-tempat usaha yang sudah

Rana

Kompetensi Tepat Tenaga Terampil Pagi itu, di sebuah sudut kawasan Laweyan, Kota Solo, Jawa Tengah, sesaat gelak tawa dan suara siulan nakal terdengar dari gedung berlantai dua tempat pembelajaran berlangsung. Sementara dari bengkel praktek, sesekali terde­ ngar derit gerinda dan kikir memecah kesunyian. “Kita merancang kurikulum agar apa yang dihasilkan para siswa layak jual. Setiap tahun kita sesuaikan dengan pesanan industri,” kata Wisnu Haryanto, Wakil Kepala Kurikulum Praktek dan Produksi SMK Katolik St Mikael Surakarta. Disekolah tersebut setiap tingkatan para siswa memperoleh kompetensi dasar yang berbeda. “Oleh karena itu, siswa sekolah ini tak pernah risau dengan masa depan sete­lah sekolahnya usai,” imbuh Sagana Mulyanto; Human Research and Development (HRD). Melalui Program Grassroot Training Centre (GTC) yang berdurasi 9 bulan bekerja sama dengan Akademi Teknik Mesin Industri Solo dan SoloTechnopark, setiap siswa memperoleh pelatihan dan dibantu penempatannya di perusahaan-perusahaan. Bidangnya pun beragam, ada manufacture mechanic, garment mechanic hingga pengelasan. “Sekolah Menengah Kejuruan dapat membantu memberikan solusi kepada bangsa khususnya dalam menyiapkan tenaga terampil di industri,” demikian T Agus Sriyono SJ,MA.MA,M Hum SMK Katolik St Mikael Surakarta, Kepala Sekolah Katolik St Mikael Surakarta. (asb) foto: agus s budiawan)

mapan untuk menyerap ilmu dalam tataran praktis. Intinya, para alumni LPK tidak hanya mendapatkan pengetahuan dan keterampilan, namun juga didorong untuk mempraktekkan ilmu yang diperoleh dalam kegiatan ekonomi produktif untuk mening­ katkan pendapatan. Konsep ini lebih mudah diterapkan karena adanya jalinan sinergi dengan potensi yang ada di setiap daerah, dimana masing-masing daerah mengembangkan keterampilan yang dibutuhkan oleh lapangan kerja setempat. Sigit tentu menyambut baik keberadaan LPK semacam itu, karena sangat bermanfaat bagi upaya peningkatan kompetensi tenaga kerja, khususnya tenaga kerja lokal. “Namun ke depan saya juga berharap ada juga LPK khusus bagi calon-calon TKI yang akan bekerja di luar negeri, agar tenaga kerja kita dapat bersaing di tingkat internasional,” imbuhnya. Standar Kompetensi Interna­ sional Syukurlah, Indonesia kini telah memiliki 108 standar kompetensi kerja nasional Indonesia (SKKNI) yang memiliki keterkaitan dengan standar internasional, untuk sembilan sektor usaha dengan total 6.015 unit kompetensi. Standar kompetensi tersebut merupakan acuan dan pedoman bagi dunia pendidikan dan pelatihan kerja yang diselenggarakan oleh peme­ rintah, swasta, maupun kalangan industri. Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Menakertrans) Muhaimin Iskandar menyatakan, sertifikat kompetensi bukan hanya menjamin tingkat keahlian tenaga kerja, akan tetapi juga memberikan pengakuan bagi tenaga kerja yang telah memenuhi standar kompetensi. "Pengakuan kompetensi itu akan berdampak pada peningkatan daya saing di pasar kerja, mobilitas kerja yang

lebih tinggi, terbukanya prospek karier, remunerasi yang lebih baik, dan memudahkan industri untuk mendapatkan pekerja yang berkualitas," ujarnya. Muhaimin menyatakan, SDM yang kompeten merupakan pembentuk daya saing yang akan menjamin tercapainya kemajuan daya saing pada masa depan. Oleh kare­n a itu, peningkatan kompetensi tenaga kerja adalah sesuatu yang tidak bisa ditawartawar lagi. Sementara itu, Kepala Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP) Tjepy F Aloewie mengatakan, mulai 2010 ini diharapkan ada BNSP tingkat provinsi. Saat ini baru ada Badan Koordinasi Sertifikasi Profesi (BKSP) Provinsi yang dibentuk atas kerja sama pemda dengan Kadin setempat. Itupun jumlahnya tidak lebih dari 10 buah, di antaranya ada di Semarang, Bali, dan di Sumatra Utara. Jika nantinya ada BNSP di seluruh provinsi, upaya peningkatan kompetensi tenaga kerja akan lebih mudah dilakukan. "Misi BNSP adalah meningkatkan kualitas SDM, baik untuk mengisi pasar kerja dalam negeri maupun luar negeri. Upaya dilakukan dengan memperluas jaringan kerjasama tidak hanya melalui pemerintah daerah, tetapi juga dengan lembaga internasional," paparnya. Menanggapi keberadaan LPK, BNSP maupun BKSP, Sigit menyatakan kegembiraannya. “Jika standar kompetensi benar-benar dapat diterapkan untuk seluruh tenaga kerja, termasuk yang akan berangkat ke luar negeri, saya yakin tenaga kerja Indonesia tak lagi dipandang sebelah mata di negeri orang. Paling tidak, TKI tak lagi hanya menjadi buruh di bagian packing atau finishing, namun bisa menjadi pekerja profesional yang memainkan peran sentral dalam proses produksi,” pungkasnya.

(g-multisumber).


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.