Edisi 19/Tahun VI/Oktober 2010

Page 1

Edisi 19/Tahun VI/Oktober 2010

Halaman

10

Kasus gizi buruk tidak disebabkan oleh konsumsi nasi jagung atau thiwul, melainkan karena kekurangan energi protein (KEP) akut dalam waktu panjang.

Wawancara Kepala Badan Ketahanan Pangan

Penganekaragaman Makanan Butuh Dukungan

Halaman

4

Banyak jenis bahan pangan yang beragam dan bergizi tinggi yang ada di sekitar kita.

Kepala Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian

Achmad Suryana

Kebersamaan

Menjaga Ketahanan Pangan Indonesia

dalam Keberagaman Tentu tak ada yang menyangkal bahwa jumlah penduduk dunia terus bertambah. Laju pertumbuhannya kian pesat. Namun, pertumbuhan penduduk tersebut tidaklah menambah luas tanah ataupun memperbesar ukuran bumi kita. Isu pangan, mulai beberapa tahun belakangan, dan diperkirakan akan terus bergaung, kian menjadi isu yang menarik perhatian masyarakat global. Saat ini, data menunjukkan, suplai pangan dunia tidak sebanding dengan permintaan. Stok beras dunia mencapai titik terendah yang mendorong harga mencapai level tertinggi selama 20 tahun terakhir, sedangkan stok gandum mencapai titik terendah selama 50

tahun terakhir. Harga seluruh pangan meningkat pada angka fantastis 75% dibandingkan dengan tahun 2000, beberapa komoditas bahkan naik lebih dari 200%. Bahkan beberapa negara, mulai menutup ekspor pangan dikarenakan menjaga stok kebutuhan dalam negeri yang jelas lebih wajib didahulukan. Memenuhi dan menjamin ketersediaan kebutuhan dasar manusia berupa pangan, dianggap lebih menjaga kestabilan dalam negeri sebuah Negara. Indonesia pun tak jauh beda. Beruntung lahan kita masih membentang luas, terutama di wilayah Indonesia Timur dan Tengah. Tak sekadar intensifikasi,

kita masih bisa bicara banyak tentang ekstensifikasi lahan pertanian. Namun demikian, bukan berarti tak akan menjadi masalah serius bila tak segera disikapi sejak dini. Perencanaan yang matang dengan sistem budidaya yang terarah, menjadi kuncinya. Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) merupakan jawaban pemerintah untuk memenuhi kebutuhan pangan Indonesia di masa datang. Dari ujung Timur Indonesia, Indonesia berharap banyak. Merauke diproyeksikan menjadi lumbung pangan nasional, bahkan berorientasi eksport pada 2030 mendatang. Mampu menambah cadangan pangan, yaitu padi 1,95 juta ton. jagung 2,02 juta ton,

kedelai 167 ribu ton, ternak sapi 64 ribu ekor, gula 2,5 juta ton, dan minyak sawit mentah (CPO) 937 ribu ton per tahun pada dua dasawarsa ke depan. Menuju ke arah itu tentu bukan perkara mudah. Ada masalah infrastruktur yang tentu saja berbiaya tak murah. Belum lagi potensi masyarakat yang juga wajib untuk diberdayakan. Belum lagi masalah sumber daya manusia yang juga harus dipersipkan. Banyak tahapan yang harus dilalui, banyak hambatan yang wajib diselesaikan, dan masih banyak tenaga yang harus dicurahkan. Semua menuntut perhatian dan kerja sama semua pihak. Mari bekerja untuk ketahanan pangan Indonesia Raya. Sukseskan MIFEE! (dan)

Foto : ABC rural

Makanan Pokok Nonberas, Mengapa Tidak!


2

Edisi 19

Beranda

www.bipnewsroom.info

Tahun VI Oktober 2010

Siasati La Nina dengan Diversifikasi Tanaman Anomali cuaca berupa hujan berkepanjangan yang sering disebut sebagai fenomena la nina, tahun 2010 ini sangat berpengaruh terhadap produksi pangan di sejumlah wilayah di Indonesia. Kendati secara teoritis makin banyak hujan makin mudah tanaman tumbuh, akan tetapi produktivitas tanaman pangan justru mengalami penurunan. Hujan berlebihan bukan saja membuat biji-bijian menjadi hampa, namun juga membuat tanaman sayuran dan buah mudah terserang hama dan penyakit. Perlu diketahui, tidak semua tanaman pangan tahan terhadap hujan. Tanaman makanan pokok seperti padi dan tanaman sayur-sayuran seperti tomat dan cabai, serta sebagian buah-buahan memang tidak tahan curah hujan tinggi. Berdasarkan data, tingkat kehampaan bulir padi karena tingginya curah hujan bisa mencapai 8%, jauh lebih tinggi dibandingkan efek kemarau yang hanya 4%. Sementara produksi sayuran dan buah juga diprediksi se akan menurun. Di tengah guyuran hujan, serangan hama D samping itu, dan penyakit biasanya meningkat tajam. Di ro bakal buah cenderung mudah rontok. Belum mengakib lagi banjir yang mengakibatkan ribuan p hektare tanaman pertanian puso tere karena terendam air. Jika tidak diantisipasi s secara baik, bukan tidak mu mungkin la nina yang melanda Indon Indonesia hingga

Turut Berduka Cita Atas Bencana Alam Indonesia Indonesia berduka, belum usai duka bencana banjir b a n d a n g Wa s i o r, P a p u a , Indonesia kembali dilanda bencana Tsunami Mentawai. Jumlah korban yang berjatuhan masih terus bertambah. Hanya berbeda beberapa jam, Indonesia diguncang oleh meletusnya Merapi di Jawa Tengah. Saat ini beberapa gunung apipun aktif kembali. Saatnya umat manusia mulai introspeksi diri, keseimbangan alam mulai terganggu, bumi sudah semakin tua. Kita harus menyadari manusia diberi rejeki melalui alam, sudah sepantasnya manusiapun menjaga alam sebagai ucapan terimakasih.

tindakan mbah Marijan menolak untuk di evakuasi dari letusan gunung Merapi. Saya pribadi menilainya sebagai contoh kepribadian layak dijadikan panutan untuk bangsa kita saat ini. Komitmennya terhadap tugas yang diembannya patut diajukan jempol. Padahal jika dilihat bayaran yang dia terima melalui Keraton Yogya amat sangat minim. Moment ini seperti mengingatkan kita untuk mulai berkomitmen dengan tanggung jawab kita, terutama bagi pemimpin bangsa yang harus berkomitmen untuk kepentingan rakyat. via bip depkominfo@yahoo.com

Banjir Bukan Saja Soal Infrastruktur Drainese tapi Juga Mental Masyarakat

via thewy@yahoo.com

Belajar Komit Dari Mbah Marijan

desain: f.dewi.m foto: ddt

Banyak pro-kontra terhadap

Bumi Indonesia saat ini rentan dengan banjir. Limbahan air hujan mampu melumpuhkan semua sendi kehidupan. Daerah yang semula bebas banjir saat ini

akhir tahun ini akan mengakibatkan merosotnya hasil produksi tanaman pangan, bahkan mengancam ketahanan pangan nasional. Sebagaimana yang telah terjadi di Rusia, Turki, China, India, Pakistan, dan beberapa negara di Eropa,

Jika tidak diantisipasi secara baik, bukan tidak mungkin la nina yang melanda Indonesia hingga akhir tahun ini akan mengakibatkan merosotnya hasil produksi tanaman pangan, bahkan mengancam ketahanan pangan nasional. Afrika terbukti Af ik dan d Amerika A ik Latin, L ti imbas i b dari d i cuaca ekstrem k t t b kti merusak infrastruktur pertanian yang berakibat pada penurunan produksi pangan secara signifikan. Mengantisipasi cuaca ekstrem sebagai imbas dari la nina, pemerintah Indonesia memang telah memutuskan menambah dana ketahanan pangan dari semula Rp 2 triliun menjadi Rp 3 triliun di 2011. Penambahan anggaran tersebut sebagai antisipasi dini apabila terjadi kerawanan pangan di tanah air. Rinciannya, Rp 2 triliun untuk antisipasi (kontigensi) dan Rp 1 triliun khusus untuk beras. Selain itu, pemerintah juga akan mencoba mengembalikan konsumsi masyarakat sesuai dengan tradisi daerah masing-masing. Langkah-langkah antisipasi yang dilakukan pemerintah sangat melegakan. Namun demikian, kita tidak boleh menggantungkan ketahanan pangan semata-mata kepada upaya yang dilakukan pemerintah. Berbagai upaya juga harus dilakukan oleh masyarakat sendiri sebagai produsen sekaligus konsumen pangan. Tujuannya jelas, yakni agar Indonesia tidak sampai mengalami defisit pangan sebagaimana yang telah terjadi di Bolivia dan sebagian negara di benua Afrika saat ini. Salah satu upaya yang dapat dilakukan masyarakat, terutama para petani, untuk menyiasati la nina adalah dengan melakukan diversifikasi tanaman pangan. Jika sebelumnya pada cuaca normal petani cenderung melakukan

sudah menjadi langganan banjir. Memang ada kesalahan dari tata ruang daerah yang tidak memperhatikan tata drainese dan ruang hijau. Fasilitas pembuangan air cenderung tidak diperhatikan. Belum lama ini saya sering melihat beberapa daerah di Jakarta mulai di bangun saluran pembuangan air, galian dimanamana, belum lagi pembangunan banjir kanal yang belum tuntas. Kemudian apakah itu memecahkan masalah banjir dikemudian hari? Bagaimana dengan sikap masyarakat yang acuh membuang sampah sembarangan di sungai juga disaluran air. Fasilitas pembuangan yang baguspun tidak akan terlihat dampaknya jika sampah masih banyak di temukan di tempatt e m p a t t e r s e b u t . Te n t u n y a sumbatan sampah akan mengganggu aliran air dan bajir tetap akan terjadi. Masyarakat harus sadar, buang lah sampah pada tempatnya agar lingkungan kitapun tetap terjaga Wahyu via bip@depkominfo.go.id

teknik menanam secara monokultur atau satu jenis tanaman pangan, pada cuaca ekstrem sebaiknya diganti dengan teknik multikultur. Padi yang tidak tahan hujan misanya, untuk sementara tidak ditanam dan diganti dengan tanaman makanan pokok lain yang biasa dimakan masyarakat s setempat seperti jagung, ubi jalar dan ubi kayu. Demikian p sayuran yang tidak tahan hujan seperti tomat dan pula c cabai, dapat diganti dengan jenis sayuran lain yang lebih ta tahan curah hujan tinggi. Pengalaman di beberapa daerah menunjukkan, mem maksakan menanam tanaman bahan pokok, sayur dan b buah-buahan yang tidak tahan hujan di tengah curah hujan t tinggi tidak akan menghasilkan produksi maksimal. Oleh k karena itu, masyarakat perlu segera mengubah pola tanam y yang selama ini mereka lakukan dengan pola tanam yang le tahan terhadap cuaca ekstrem. Hal ini patut menjadi lebih p perhatian, karena menurut prakiraan Badan Meteorologi Klim matologi dan Geofisika (BMKG) cuaca ekstrem di Indonesia b berpeluang bisa terjadi hingga Juni 2011. Di sisi lain, tekad pemerintah untuk mencoba mengemb balikan konsumsi masyarakat sesuai dengan tradisi daerah masing-masing perlu didukung oleh seluruh anggota masyarakat. Seperti diketahui, pada masa lalu berbagai daerah di Indonesia memiliki makanan pokok sendiri-sendiri. Sebagai contoh, sebagian masyarakat Jawa biasa memakan tiwul (nasi berbahan ubi kayu), masyarakat Madura dan Nusa Tenggara mengkonsumsi jagung, masyarakat Maluku biasa makan sagu dan sebagian masyarakat Papua mengkonsumsi ubi jalar. Sayang tradisi konsumsi tersebut telah berubah total, karena hampir semua masyarakat di seluruh wilayah Indonesia kini mengkonsumsi beras. Keadaan ini tentu tidak mendukung konsep ketahanan pangan yang salah satunya bersendikan keanekaragaman sumber makanan pokok. Oleh karena itu, kita sangat mendukung masyarakat daerah yang mau kembali menggalakkan konsumsi makanan pokok sesuai tradisi masing-masing, sehingga ketergantungan terhadap beras dapat terus dikurangi. Diversifikasi tanam yang diikuti dengan diversifikasi konsumsi, akan menjadi tiang penyangga utama ketahanan pangan di Tanah Air. Jika itu dapat terwujud, kita tidak perlu pusing lagi menghadapi gagal panen karena la nina, karena kemampuan tanaman makanan pokok nonberas dalam menghadapi perubahan iklim sudah teruji selama ratusan tahun (g).

Peningkatan Pengguna Kendaraan Bermotor Penigkatan volume pengguna sepeda motor meningkat tajam di tanah air, baik di kota atau di desa. Namun sangat disayangkan prilaku mereka berkendara membuat pengguna jalan lainnya tidak nyaman. Mereka cenderung menggunakan dengan kecepatan tinggi, dan tidak dilengkapai dengan kelengkapan berkendara yang aman. Sepeda motor menjadi penyumbang angka kematian yang signifikan dalam kecelakaan lalu lintas. Proses yang mudah untuk memperoleh kredit pinjaman kendaraan bermotor menjadi salah satu pencetusnya. Di pusat kota sepeda motor menyumbang kemacetan terbesar, kebisingan dan polusi udara. Posisi kedua penyebab macet adalah kendaraan pribadi yang diisi hanya 1-2 orang saja sedangkan mereka memakan badan jalan cukup besar. Sudah saatnya pemerintah memperbaiki sistem transportasi ditanah air agar lebih nyaman. Jika sistem transportasi

sudah nyaman, terjadwal, tertib semua orang akan memilih menggunakan transportasi publik dari pada harus bercapek-capek mengendarai kendaraan sendiri. Dari sisi ekonomis pun bisa menghemat jauh biaya bahan bakar, dan tentunya mengurangi jumlah polusi polutan. Vianto via bip@depkominfo.go.id

Perlu Keberanian Larangan Menggunakan Kendaraan Pribadi Diperlukan keberanian Pemerintah dan Aparat untuk melakukan uji coba terlebih dahulu dengan menetapkan larangan berkendaraan Pribadi ( baik mobil maupun motor) di Jakarta selama 1 minggu penuh. Jakarta hanya boleh dilalui kendaraan umum dan busway. Selanjutnya perbaiki pengadaan dan pelayanan dan tambah jumlah kendaraan umum yang layak dan nyaman. ronny sinambuala via bip@depkominfo.go.id

Tabloid komunika. ISSN: 1979-3480. Diterbitkan oleh Badan Informasi Publik KEMENTERIAN KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA Pengarah: Tifatul Sembiring (Menteri Komunikasi dan Informatika). Penanggung jawab: Freddy H. Tulung (Kepala Badan Informasi Publik) Pemimpin Redaksi: Bambang Wiswalujo (Kepala Pusat Pengelolaan Pendapat Umum). Wakil Pemimpin Redaksi: Supomo (Sekretaris Badan Informasi Publik); Ismail Cawidu (Kepala Pusat Informasi Politik Hukum dan Keamanan); Isa Anshary (Kepala Pusat Informasi Perekonomian); Gati Gayatri (Kepala Pusat Informasi Kesejahteraan Rakyat). Sekretaris Redaksi: Dimas Aditya Nugraha. Redaktur Pelaksana: M. Taufiq Hidayat. Redaksi: Lukman Hakim; Selamatta Sembiring; Mardianto Soemaryo. Reporter: Suminto Yuliarso; Lida Noor Meitania; Karina Listya; Elvira Indasari N; Taofik Rauf; Doni Setiawan. Koresponden Daerah: Nursodik Gunarjo (Jawa Tengah), Yaan Yoku (Jayapura). Desain/Ilustrasi: D. Ananta Hari Soedibyo (TA); Farida Dewi Maharani, Danang Firmansyah. Alamat Redaksi: Jalan Medan Merdeka Barat No. 9 Jakarta Telp/Faks. (021) 3521538, 3840841 e-mail: komunika@bipnewsroom.info atau bip@depkominfo.go.id. Redaksi menerima sumbangan tulisan, artikel dan foto yang sesuai dengan misi penerbitan. Redaksi berhak mengubah isi tulisan tanpa mengubah maksud dan substansi dari tulisan tersebut. Isi komunika dapat diperbanyak, dikutip dan disebarluaskan, sepanjang menyebutkan sumber aslinya.


Edisi 19

Tahun VI Oktober 2010

3

Utama

www.bipnewsroom.info

Istilah warung hidup kini tidak lagi dikenal luas di tengah masyarakat. Padahal upaya memenuhi kebutuhan sayuran dari hasil panen di sekitar rumah ini sangat bermanfaat. Selain dapat menghemat uang belanja, juga membuat lingkungan menjadi hijau dan asri.

Hemat dan Asri dengan Warung Hidup

Sudah tiga bulan ini Sri Mawarti (43 th) ‘libur’ belanja sayuran di supermarket. Jika biasanya dalam sebulan ibu rumahtangga ini mengeluarkan uang ratusan ribu rupiah untuk beli sayuran, kini ia bisa memanfaatkan uang itu untuk kebutuhan lain. Penghematan itu terjadi berkat kerja keras Riyanto (45 th), suaminya, yang menanam aneka jenis sayuran di sekeliling rumah. “Setiap kali membutuhkan sayuran, tinggal memetik sesuai kebutuhan. Tomat, kangkung, sawi, bayam, wortel, kacang panjang, cabai, semua tersedia di halaman,” tutur warga Pengasih, Kulonprogo, Daerah Istimewa Yogyakarta ini dengan wajah sumringah. Awalnya memang tak terpikir, warung hidup, istilah untuk sayur-mayur yang ditanam di sekitar rumah, bakal memangkas

pengeluaran rumah tangganya dalam jumlah yang cukup besar. Namun setelah mencoba memanfaatkan warung hidup selama tiga bulan, uang yang bisa dihemat ternyata lumayan besar. “Dulu saya belanja sayur di supermarket tiga hari sekali, dan setiap belanja menghabiskan Rp 15-17 ribu. Kalau dihitunghitung, dalam tiga bulan saya bisa berhemat hampir Rp 500 ribu. Jumlah yang cukup banyak untuk ukuran keluarga saya,” imbuh Sri. Riyanto, suami Sri yang juga PNS di Dinas Kesehatan Kab Kulonprogo, mengaku kegiatannya menanam warung hidup terinspirasi dari kebiasaan orangtuanya di Klaten yang juga melakukan hal yang sama. “Saya ingat dulu, setiap kali mau memasak, Simbok (ibu—red) pasti

pergi ke halaman untuk memetik daun singkong, bayam atau luntas untuk dimasak. Sayuran itulah yang membesarkan dan menjaga kesehatan saya dan adik-adik saya. Maka saya ingin meneruskan tradisi baik itu di keluarga saya,” katanya. Murah dan Mudah Menurut Riyanto, menanam sayuran di halaman ternyata tidak membutuhkan banyak biaya dan mudah dilakukan. Rumusnya, asal mau pasti bisa. Yang punya lahan bisa menanam di lahan dengan model tumpangsari, atau satu lahan diisi berbagai jenis sayuran. Sedangkan bagi yang tidak punya lahan, bisa menanam di pot seperti lazimnya menanam bunga. “Tapi ini bunga yang tidak hanya indah, melainkan juga enak dimakan dan bergizi,”

imbuh petugas gizi di Puskesmas Sentolo I ini. Pada dasarnya semua jenis sayuran bisa ditanam sebagai warung hidup, asal iklimnya sesuai untuk jenis sayuran tersebut. Hanya saja perlu dipilah mana yang bisa ditanam di lahan dan di pot. Jenis sayuran yang cocok ditanam di lahan di antaranya kangkung, tomat, terong, wortel, dan kacang panjang. Sedangkan sawi dan bayam selain bisa ditanam di lahan juga bisa ditanam di pot. “Saya juga pernah menanam cabai rawit dan terong di pot, ternyata hasilnya baik. Bisa berbuah lebat, sama seperti jika ditanam di lahan,” imbuh bapak satu anak ini. Soal biaya yang harus dikeluarkan untuk membuat warung hidup relatif sangat murah. Paling-paling butuh sedikit duit untuk beli bibit, pupuk dan obatobatan pemberantas hama. Itupun kalau mau bertanam dengan cara organik, biaya bisa dipangkas lagi, karena pupuk bisa diganti pupuk kandang atau kompos sisa limbah rumahtangga yang tentu gratis. Riyanto mencontohkan tanaman di halaman rumahnya hijau-subur kendati hanya dipupuk dengan pupuk kandang dan tak disemprot dengan pestisida apapun. “Asal rajin merawat tiap hari, hama dan penyakit akan menyingkir dengan sendirinya,” ujarnya. Halaman Makin Asri Imbas positif lain dari warung hidup adalah halaman makin tampak hijau dan asri. Jika dulu Riyanto mengandalkan aneka bunga dan tanaman hias untuk mendandani halaman rumahnya,

Padi Varietas Lokal Kualitas Unggul Tujuh tahun yang lalu, Ika Suryanawati (44) berpikir, “Memprihatinkan. Tinggal di pulau Jawa, Java Dwipa, Pulau Beras. Tetapi tak satupun beras lokal kita yang dikenal dunia. Orang lebih kenal dengan Saigon, Bhasmati atau Jasmin Rice dari Thailand. Apa tidak ada beras kita yang populer? Padahal dari Ujung Anyer hingga Panarukan adalah hamparan sawah”. Berangkat dari keprihatinan itu, sarjana lulusan Budidaya Pertanian IPB (Institut Pertanian Bogor) ini tergerak untuk berbuat sesuatu. Bersama sang suami, Fleming Wong, ia membeli sebidang tanah seluas 6.500 meter persegi di di Desa Gasol, Kecamatan Cugenang, Kabupaten Cianjur, Provinsi Jawa Barat. Rencananya, tanah tersebut untuk masa pensiun nanti. “Saya ingin makan enak dengan beras enak, saya pun ingin menanam beras Cianjur”, tutur perempuan asli Cianjur ini ketika ditemui Komunika beberapa waktu lalu. Konsep pengelolaan tanahnya, kata dia, meniru arahan sebuah buku berjudul Revolusi Sebatang Jerami – Bertani Menurut Seorang Filsuf, karya Masanobu Fukuoka. Menurut Ika, metode pertaniannya beda dengan apa yang telah ia pelajari selama di bangku kuliah. “Tertulis bahwa bertani haruslah selaras dengan alam. Ka-

renanya saat itu saya pikir konsep organik ini lebih cocok untuk masa yang akan datang, saat itu bahkan belum ada isu go green, bahkan konsep organik juga belum populer. Singkatnya, jika keseimbangan ekosistem terjaga, semuanya akan berjalan dengan baik dan hasil panen pun akan baik,” tambahnya. Desa Bernama Gasol Menanam padi, merupakan hal baru bagi Ika. Pasalnya ia sudah terbiasa dengan tanaman holtikultura sejak kuliah dulu. Namun, karena sebagian besar warga Gasol yang berjumlah 6.736 jiwa itu, terbiasa menanam padi, maka ia pun turut serta. “Mengurus holtikultura, membutuhkan perhatian yang intensif ketimbang padi. Masyarakat Gasol tidak biasa dengan hal seperti itu, mereka sudah terbiasa turun temurun mengurus padi,” kata dia. Soal pilihan padi, Ika punya alasan sendiri. Menurut dia, beras Cianjur yang populer sejak tujuh tahun lalu hanya beras Pandan Wangi, sedangkan varietas lain seperti Omyok, Peuteuy, Cingkrik sejak tahun 1970-an sudah tidak ditanam oleh petani. Karena umur tanamnya yang lebih lama (enam bulan atau 180 hari dibandingkan varietas unggul yang hanya 100 hari) dan dengan harga gabah yang sudah

dipatok, maka membudidayakan padi varitas lokal Cianjur menjadi tidak menguntungkan bagi petani. Maka varietas padi lokal Cianjur perlahan punah dan hampir punah. “Jika tidak ada satu orangpun yang menyelamatkan, lama-lama akan hilang. Oleh karena itu kami tertarik untuk melestarikan”, jelas Ika. Ternyata karena jarang ditanam, mencari benih padi lokal tersebut pun tak mudah. Ika mendatangi Jambudipa, Warungkondang, dan Cibebeur, yang terkenal sebagai desa sentra beras Cianjur. Ternyata di desa tersebut pun tak ada. “Malah saya dapat di Desa Gasol itu sendiri. Ada seorang Kiai yang masih menanam beras varietas umur panjang itu. Dia hanya mau makan beras dari varietas tersebut karena katanya kenyangnya beda. Jika makan nasi dari padi varietas lokal cukup makan dua kali sehari, kalo dari beras lain harus makan tiga kali sehari supaya kenyang,” jelas dia. Antara idealisme dan mimpi Mulailah Ika mengembangkan pertanian padi varietas lokal Cianjur dengan metode pertanian organik dengan mengedepankan agroekosistim termasuk keragaman hayati, siklus biologi, dan aktivitas biologi tanah. Tanpa bahan kimia dan tak menggunakan benih hasil rekayasa genetika. Beberapa orang petani Gasol dijadikannya

mitra. “Petaninya malah bingung. Model pertanian kolot baheula (bahasa Sunda : jaman dulu – Red),” kenang Ika. Namun Ika maju terus. Karena bagi Ibu dua anak ini, ketergantungan terhadap pupuk dan pestisida kimia, telah mengakibatkan lahan menjadi gersang dan tandus. Reaksi pupuk kimia terhadap sifat fisik dan kimia tanah ditambah lagi dengan matinya organisme pengurai dalam tanah karena penggunaan pestisida kimia. Kondisi ini menjadi semakin buruk karena petani menjadi tergantung dengan bahan-bahan kimia tersebut. Sehingga dosis yang diberikan cenderung terus naik karena kekhawatiran gagal panen atau hasil yang kurang memuaskan, “ jelas Ika. Hasil panennya pun melimpah. Berbekal informasi dari internet, ia mencoba menjajaki bisnis tepung beras home made untuk pangan bayi. “Karena organik, lebih sehat. Saya namakan produk saya, tepung Gaso," kata dia bangga. Seiring waktu, untuk meningkatkan penjualan, ia mengembangkan bisnisnya dengan pengemasan yang menarik dan berjualan secara online. Sekarang, setelah lebih enam tahun berjalan, Gasol Pertanian Organik (GPO), begitu Ika memberi nama pertaniannya, telah mengembangkan varietas padi lokal Cianjur yang biasa disebut

kini jenis tanamannya ia rombak total dengan tanaman pangan dan sayur-sayuran. Kendati tak seindah bunga, namun rimbunan tanaman sayur-mayur yang terawat rapi menimbulkan daya tarik tersendiri bagi orang yang lewat. “Banyak yang komentar, halaman rumah saya sekarang justru tampak lebih indah dan asri setelah saya tanami sayuran. Namun yang paling penting bagi saya, selain asri juga fungsional,” kata lelaki berkulit kuning langsat ini. Kini, lahan seluas 200 meter persegi yang mengelilingi rumahnya telah dipenuhi sayursayuran berbagai jenis. Di teras dan samping rumah juga berderet puluhan pot berukuran sedang sampai besar berisi tanaman cabai, sawi dan terong. Beberapa di antaranya seperti kangkung, kacang panjang dan cabai rawit siap memasuki masa panen. “Kalau melihat volumenya, sepertinya tak akan habis jika dimakan sendiri. Mungkin sebagian nanti akan saya bagikan ke sanak-saudara, atau bahkan saya jual,” celetuk Riyanto. Ia mengaku banyak warga sekitar rumahnya mengikuti jejaknya menanam warung hidup. Tak kurang 20 kepala keluarga di RT-nya telah meniru idenya memanfaatkan halaman. Sri, istrinya juga rajin menggetoktularkan manfaat bertanam sayur di pekarangan melalui pertemuan ibu-ibu PKK dan forum lainnya seperti arisan dan pengajian. “Saya ingin ini (warung hidup— red) kembali menjadi gaya hidup warga seperti tahun 80-an,” pungkasnya (Wahyu H). Pareu Ageung. “Sekarang kami sudah memiliki varietas peutey dan ombyok di lahan yang terpisah. Bagaimanapun setiap varietas memiliki kelebihan masing-masing. Jika kita memiliki banyak varietas yang kita lestarikan tentunya akan mudah bagi kita untuk membuat suatu perkawinan unggul. Jika kita mempunyai lebih banyak koleksi bank genetik, akan lebih mudah bagi kita mengawinkan daripada kita sama sekali tidak memiliki bank genetik. Mungkin pemerintah punya tetapi kami ingin ikut melestarikannya,“ jelas dia. GPO kini telah bermitra dengan 40 petani sekitar. Pun terus mengedukasi petani untuk beralih ke organik dan menanam varietas lokal. Bahkan, tak jarang mengirim para petani ke Balai Besar Sungai Citarum untuk belajar pertanian hemat air. “Kami juga kembangkan kerjasama penjualan hasil panen, bantu suplai pupuk organik. Dan untuk pabrik tepung Gasol, kami usahakan penggunaan energi listrik dan gas seminimal mungkin. Pabrik menggunakan rumah kaca sebagai tempat pengeringan, bukan oven ataupun gas. Kami meminimalkan polusi udara dari gas buangan,“ jelas Ika. Ika berharap, varietas lokal dapat menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Karena, kata dia, Indonesia kaya produk, punya bahan baku yang baik. Dengan pengolahan, kemasan, dan distribusi yang profesional, maka nama Tepung Gasol yang mendunia, tinggal menghitung waktu. Maju terus varietas lokal. (Elvira/dan)


4

Utama

www.bipnewsroom.info

Edisi 19

Tahun VI Oktober 2010

Kepala Badan Ketahanan Pangan, Kementerian Pertanian

Achmad Suryana

Penganekaragaman Makanan Butuh Dukungan Tujuan Peraturan Presiden Nomor 22 Tahun 2009 mengenai Kebijakan Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan Berbasis Sumber Daya Lokal adalah untuk meningkatkan konsumsi pangan masyarakat yang beragam dan bergizi seimbang dan penurunan konsumsi beras per kapita. Banyak jenis bahan pangan yang beragam dan bergizi tinggi yang ada di sekitar kita, atau lebih luas lagi di daerah kita. Akan tetapi pengetahuan untuk mengolahnya menjadi berbagai menu yang menarik dan disukai, masih kurang. Ini juga mungkin yang mengakibatkan masyarakat kita seolah susah

mencari makanan alternatif, pengganti nasi. Berbagai penelitian seputar bahan pangan alternatif pengganti beras sebenarnya juga sudah banyak dihasilkan. P r o d u k olahannya pun sesungguhnya k e r a p dipamerkan. Makanan berbahan dasar singkong, ubi, jagung, sukun, atau

bahan dasar lainnya yang memiliki kandungan gizi hampir setara dengan beras, sering dijumpai. Namun masalahnya semuanya tak pernah diproduksi secara massal. "Memang butuh kampanye yang terus-menerus, karena tidak mudah mengubah selera orang," demikian kata Kepala Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian Achmad Suryana. Lalu strategi apa yang dilakukan pemerintah agar program diversifikasi pangan bisa mericapai sasaran? Berikut ini rangkuman pernyataan Kepala Badan Ketahanan Pangan dari berbagai kesempatan. Hasil dari berbagai upaya yang telah dilakukan dalam peningkatan konsumsi pangan yang beragam dan bergizi seimbang selain beras Sebenarnya itu sudah sejak zaman Presiden Soekarno. Tahun lalu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 22 Tahun 2009 mengenai Kebijakan Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan Berbasis Sumber Daya Lokal. Tujuannya ada dua, yakni untuk meningkatkan konsumsi pangan masyarakat yang beragam dan bergizi seimbang. Kedua,

Komitmen Pemerintah dalam mengembangkan pangan nonberas juga non terigu, kata Kepala Badan Ketahanan Pangan Dr Achmad Suryana antara lain melalui berbagai kebijakan seperti mendorong diversifikasi pola konsumsi berbasis pangan lokal; meningkatkan pengetahuan dan kesadaran masyarakat terhadap keanekaragaman pangan; dan mendorong pengembangan teknologi pengolahan pangan non beras dan non terigu. Kunjungan Ka. Badan Ketahanan Pangan di Pameran Industri Perumahan.

penurunan konsumsi beras per kapita, dan diharapkan bisa turun 1,5 persen per tahun. Sekarang ini konsumsi beras 139,15 kilogram per kapita per tahun, jauh lebih tinggi dari konsumsi dunia yang hanya sekitar 60 kg per kapita per tahun. Di Malaysia itu cuma 80 kilogram per kapita per tahun, Thailand 60 kilogram, Jepang 50 kilogram, dan Korea 40 kilogram. Selain tidak sehat untuk komposisi makanan, juga memberatkan secara ekonomi. Dengan pertumbuhan penduduk sekitar 1,37 persen per tahun, tentu permintaan beras sebagai makanan pokok akan meningkat juga. Padahal, di sisi lain, lahan pertanian justru menyempit. Nah, dengan diversifikasi pangan, konsumsi beras diharapkan turun dan digantikan melalui karbohidrat pangan lokal. Jadi kita bisa tetap swasembada beras dengan tingkat konsumsi yang trennya menurun.

Strategi Kementerian Pertanian untuk diversifikasi Pangan Kementerian Pertanian tak bisa jalan sendiri. Ini perlu sinergi dengan lembaga lain, seperti Kementerian Perindustrian, Pendidikan, Kesehatan, Dalam Negeri, serta kalangan swasta. Kementerian Pendidikan terkait karena ini menyangkut perubahan perilaku dan budaya yang perlu ditanamkan sejak dini melalui sekolah-sekolah, misalnya. Untuk membangun sinergi dan kesamaan pandangan tentu perlu saling tukar pikiran yang intens dan perlu waktu. Tapi ini yang sedang kami lakukan di tahun pertama. p Mengubah pola makan dan ketergantungan akan nasi ke k pangan lain yang mengandung p nilai gizi yang sama tentu tak n mudah. Kita punya jagung, m sukun, ubi, singkong, dan lainnya. s Tapi tidak mudah mengubah T selera orang. Butuh kampanye s yang terus-menerus melibatkan y para ahli sosiologi, antropologi, p psikologi, dan komunikasi massa. m Pihak yang terkait dalam program diversifikasi pangan p Masyarakat harus disiapkan dulu. Industri kan pasti selalu d melihat potensi keuntungannya. m Kalau sekarang dalam soal K penamaan, seperti tiwul, kan p terasa kurang bergengsi. Soal t penamaan produk pangan juga p harus lebih kreatif. Lalu muncul h istilah mocaf atau modified i ccassava flour, tepung singkong yang dimodifikasi, meski ssebaiknya tidak perlu banyak iistilah asing juga. Saya melihat kkata "nasi" itu sudah melekat di pikiran semua orang Indonesia. p Bisa saja kan kita bilang nasi B jjagung, nasi singkong, nasi sukun. Yang penting ada kata "nasi" biar Y llebih mudah daripada bikin nama llain yang susah dimengerti. Menurut saya, tetap yang

harus disiapkan adalah pasarnya. Kalau konsumen akhir sudah menerima secara umum mie dan kue-kue yang berasal dari singkong atau tepung campuran, nah itu akan tercipta. Mengenai insentif bagi industri atau pengusaha kecil-menengah menjadi urusan kementerian lain, makanya perlu sinergi. Kami paham, untuk mengimpor peralatan, misalnya, apakah bisa diberi pembebasan bea masuk impor. Atau pada saat hasil produksinya dikenakan PPN yang rendah atau nol. Dengan insentif itu, akan memungkinkan harga jual bahan baku lebih bersaing dengan tepung yang ada sekarang ini. Kalau demand sudah tercipta, subsidi atau insentif bisa dilepas karena bisa kompetisi lebih fair.

Kendala yang dihadapi Dilihat dari sisi produksi tidak ada masalah. Petani akan cepat merespons jika ada permintaan bahan baku ubi, singkong, jagung, sukun, dan lainnya. Dengan sedikit penyuluhan, mereka akan menanam yang sesuai permintaan. Tentu harga juga perlu diberi rangsangan. Tapi sekarang permintaan itu sudah terbentuk belum? Ada tidak industri yang membutuhkan bahan-bahan baku itu? Ada tidak industri pengolahannya? Kalau sudah diolah, ada tidak yang membelinya? Program "sehari tanpa beras" Ini merupakan salah satu proyek agar ada diversifikasi pangan di Indonesia. Di beberapa daerah sudah mulai, seperti di Nusa Tenggara Barat. Ya, seperti car free day-lah. Itu kan tidak sehari penuh dan tidak mengurangi polusi dan kemacetan secara signifikan. Tapi sebagai bentuk kampanye itu memberikan nilai pendidikan yang baik. Buktinya, kota-kota lain mengikuti, seperti Bandung. Nah, dalam hal pangan juga bisa demikian. Saya dengar dari cerita Pak Menteri, kalau ada rapat atau sidang kabinet itu menunya ubi rebus, jagung rebus. Buah juga bukan yang impor. Nah, kampanye semacam ini memang perlu tokoh-tokoh panutan. Sekarang ini kami coba dengan Ibu Negara Ani Yudhoyono sebagai ikon pemanfaatan pangan lokal, seperti talas. Selebritas lain tentu nanti dipikirkan. Kami sedang menyiapkan enam film dokumenter tentang kearifan lokal untuk disiarkan di televisi. Salah satunya kisah di Cireundeu-Cimahi, ada di Magelang yang makan jagung, Bangku Belitung (nasi aruk, dari singkong). Di komunitas itu, meski tidak makan beras, temyata sehat dan ada yang bisa jadi sarjana. Nanti filmnya kami sebar ke televisi di daerah-daerah. (Rf)


Edisi 19

Tahun VI Oktober 2010

9

Opini

www.bipnewsroom.info

Menjaga Ketahanan Pangan dan Keanekaragaman Pangan Ismet Rauf Banyak permasalahan yang dihadapi dalam menjaga produksi beras nasional agar dapat memenuhi kebutuhan dan persediaan siaga. Mulai dari makin maraknya alih fungsi sawah, tidak layaknya harga jual padi di tingkat petani, cuaca tak menentu, prosentase peningkatan jumlah penduduk lebih tinggi. Indonesia telah kembali swasembada beras sejak tahun 2008. Konsumsi nasional beras saat ini sebanyak 33 juta per tahun, sementara produksi beras 38 juta ton, sehingga sebetulnya ada surplus 5 ju ta ton, sebagaimana yang dikatakan Menteri Pertanian. Namun demikian pemerintah tak mau ambil risiko terjadinya rawan beras, harus tetap tersedia cadangan nasional 2,5 ton – 3 ton sesuai standar BULOG, karena itu Kementerian Perdagangan telah memberi izin impor beras sebanyak 300.00 ton dari Vietnam dan Thailand. Banyak permasalahan yang dihadapi dalam menjaga produksi beras nasional agar dapat memenuhi kebutuhan dan persediaan siaga. Mulai dari makin maraknya alih fungsi sawah yang ironisnya terutama sekali justru persawahan yang sudah mendapat irigasi teknis di dekat perkotaan atau dipinggir jalan raya, untuk dijadikan lahan perindustrian, tempat usaha, permukiman dsb. Permasalahan lainnya adalah tidak layaknya harga jual padi di tingkat petani dengan biaya produksi, sehingga belakangan ini Bulog gagal memenuhi target pembelian beras sebab petani lebih mau menahan padinya menunggu harga pasar yang lebih baik atau menjualnya ke pedagang, bahkan menjual ke tengkulak. Produksi beras tambah mengalami gangguan lagi dengan cuaca tak menentu apalagi dengan lebih banyaknya hujan yang di luar perkiraan normal. Tak kalah pentingnya adalah peringatan para pakar pangan dunia, sebagaimana dikutip Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI), mengenai makin terbatasnya persediaan pangan termasuk beras di dunia terutama sekali akibat perubahan iklim. Faktor yang juga harus diperhitungkan adalah prosentase peningkatan jumlah penduduk sebanyak 1,3 % setahun yang lebih tinggi dari kenaikan produksi pangan utamanya beras.

Berbagai usaha dilakukan di Indonesia untuk mencegah rawan pangan dan menjaga ketahanan pangan. Misalnya kebijakan untuk menggalakkan penganekaragaman pangan, dengan terbitnya Peraturan Pemerintah No. 22/2009 tentang Kebiijakan Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan Berbasis Sumber Daya Pangan Lokal. Kemudian dalam APBN tahun anggaran 2011 direncanakan akan disiapkan dana sebanyak Rp. 3 triliun, naik dari Rp. 2 triliun tahun ini, untuk program ketahanan pangan yang mencakup peningkatan produksi pangan mulai dari pembenihan dan pengadaan pupuk dengan sasaran meningkatkan produksi pangan dan meningkatkan kesejahteraan petani . Khusus mengenai usaha meningkatkan kesejahteraan petani ini, nampaknya merupakan jawaban atas kritik selama ini : pemerintah lebih memperhatikan peningkatan produksi pangan, tapi menomorduakan peningkatan kesejahteraan petani itu sendiri sehingga selama ini kesejahteraan petani tidak sertamerta ikut terangkat dengan meningkatnya produksi pangannya. Pada kurun 2010 -2014 direncanakan pembangunan baru dan peningkatan kualitas jaringan-jaringan irigasi vital yang seluruhnya akan mencakup seluas 500.000 ha dengan sasaran terus menjaga dan meningkatkan ketahanan pangan termasuk antisipasi pertambahan penduduk. Kebijakan penganekaragaman pangan ini sudah banyak menarik minat. Salah satu yang baru adalah usulan Pemprov.

Kalimantan Barat kepada pemerintah pusat untuk menetapkan rumput laut sebagai komoditi pangan non beras dan umbiumbian. Komoditi ini mengandung karbohidrat yang dibutuhkan manusia. Budidaya-nya jauh lebih lebih mudah dan lebih murah dibanding pangan lain. Tidak membutuhkan pupuk atau pakan karena dibudidayakan di laut. Lagipula yang jadi petaninya adalah nelayan yang sangat mendesak untuk ditingkatkan kesejahteraannya dan seringkali mengalami rawan pangan terutama saat cuaca buruk dan ekstrim

Ketahanan pangan adalah mutlak demi peningkatan kesejahteraan rakyat secara keseluruhan. sehingga tak dapat melaut. Bila pemerintah menetapkan rumput laut sebagai program penganekaragaman pangan, maka nelayan yang bertani rumput laut akan mendapat dana insentif, kata Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan Prov. Kalimantan Barat, Thomas Aquino Gatot Rudiyono. Negeri ini kaya dengan berbagai pangan non beras. Maka penggalakan pengembangan produksi pangan beras dan non beras lainnya mendesak, apalagi mengingat sampai saat ini nilai impor pangan masih sangat ting-

gi. Misalnya 100% kebutuhan gandum dan 70% kebutuhan kedele masih diimpor. Sangat riskan bagi negara berpenduduk banyak seperti Indonesia untuk menggantungkan diri pada pangan impor, karena akan banyak menyedot devisa asing, terutama sekali sebab pasar pangan dunia dikuasai segelintir pelaku yang cenderung oligopoly. Kalangan ini sudah biasa dengan mudah mempermainkan harga untuk menangguk untung sebesarbesarnya. Demikian banyak devisa yang terpaksa digunakan untuk impor pangan. Menurut data BPS, tahun 2008 misalnya impor gandum sebanyak 5,1 juta ton bernilai AS$ 2,2 miliar, dan impor kedelai sebanyak 3,4 juta ton bernilai AS$ 1,7 miliar. Maka sesungguhnya perlu diwaspadai ikhtiar-ikhtiar kasat mata atau terselubung yang membuat Indonesia tergantung atau makin tergantung pada impor pangan. Ketahanan pangan adalah sesuatu yang mutlak demi peningkatan kesejahteraan rakyat secara keseluruhan . Bila ada kekurangan atau kerawanan pangan maka imbasnya demikian luas dari terancamnya kehidupan keseharian rakyat kurang beruntung, dapat menggoncang perekonomian nasional, meningkatnya inflasi, sampai kepada imbas politik. Kalau begitu halnya, semua fihak terkait, harus bersamasama aktif dalam menjaga ketahanan pangan termasuk melalui penganekaragaman pangan. (IR)

Ketahanan Pangan, Tantangan Kita "Makanan sehat dan bergizi tak melulu harus berbandrol tinggi. Keragaman pangan alam Indonesia yang kaya asupan gizi bisa menambah khazanah Preferensi Pangan Masyarakat (PPM). Rendahnya pemanfaatan teknologi dalam pengelolaan produksi pertanian dan ketergantungan masyarakat pada beras, menjadi hambatannya." Mungkin karena itulah, peringatan Hari Pangan Sedunia (HPS) ke-30 yang dirayakan 20 Oktober lalu di desa Puyung Kabupaten Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat mengangkat tema ”Kemandirian Pangan untuk Memerangi Kelaparan”. Tema ini dinilai tepat karena relevan dengan kondisi ketahanan pangan saat ini, dimana pemenuhan kebutuhan pangan merupakan masalah krusial yang perlu mendapatkan perhatian serius dari semua pihak. Ini pula yang menjadikan Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat, Agung Laksono saat membuka perayaan di Puyung tersebut menegaskan komitmen pemerintah untuk terus fokus meningkatkan ketahanan pangan sehingga menghindarkan rakyat Indonesia pada ancaman kelaparan. Menko Kesra menegaskan, tidak akan ada kelaparan yang melanda rakyat Indonesia, meskipun jumlah penduduk miskin mencapai 31 juta orang dari total penduduk Indonesia 236 juta orang. “Pemerintah sangat serius dan terus fokus memeranginya. Tak akan ada kelaparan melanda rakyat Indonesia,” tegas Agung Laksono. Selain mencegah ancaman dalam negeri, peran lebih besar diemban Indonesia sebagai salah satu

negara dengan potensi sumber daya alam yang besar. Indonesia dikatakan Agung, juga dituntut berperan aktif bersama negara-negara lain mengatasi ancaman kelaparan dunia. Inilah mengapa isu pangan saat ini menjadi agenda negara-negara dunia, termasuk Indonesia. Akibatnya, Indonesia dituntut mampu menyediakan pangan bagi negerinya sendiri sekaligus pangan bagi dunia. “Di seluruh dunia pada tahun 2010, angka orang kelaparan mencapai satu miliar orang lebih. Ini keprihatinan dunia dan harus dihadapi secara bijak dan penuh kebersamaan tanpa mementingkan kelompokkelompok atau komunitas tertentu. Untuk itu, tidak ada pilihan kecuali terus meningkatkan ketahanan nasional dan pemerintah terus mendorong peningkatan ketersediaan pangan lokal,” ujar Agung Laksono pada Puncak peringatan Hari Pangan Sedunia (HPS) XXX 2010 yang juga dihadiri Duta Besar negara sahabat serta Perwakilan Lembaga Pangan Dunia (FAO) di Indonesia James McGrane tersebut. NTB Menjawab Tantangan Provinsi NTB sendiri seolah menjawab tantangan Menko Kesra dalam hal penguatan ketahanan pangan. Berdasarkan perhitungan Neraca Bahan Makanan (NBM) tahun 2010, Provinsi ini mampu menyediakan energi sebesar 3.570,90 kilokalori/kapita/hari dan protein sebesar 117,14 gram/kapita/hari bagi masyarakatnya. Walaupun memang bila dilihat dari indikator konsumsi yang dihitung berdasarkan skor Pola Pangan Harapan (PPH), tahun 2009 NTB baru mencapai 73,4, yang berarti masih di bawah skor PPH nasional yang mencapai 75,7. Salah satu sebabnya adalah ketergantungan yang tinggi masyarakat terhadap konsumsi beras. Untuk itulah, pemerintah provinsi ini menggelontorkan

berbagai upaya guna menjamin ketersediaan dan keberagaman pangan, selain beras, bagi masyarakat. Ada program NTB Bumi Sejuta Sapi, pengembangan agribisnis Pijar (sapi, jagung, rumput laut) hingga memantapkan program yang telah berjalan “desa mandiri pangan”. ”Pemda juga terus menggiatkan program gemar makan ikan di daerah ini. Semua upaya itu dilakukan untuk mempercepat diversifikasi pangan,” ujar Gubernur NTB, Zainul Majdi. Zainul dan rakyatnya optimis. Sebelumnya NTB dikenal sebagai salah satu daerah minus dan rawan pangan. Namun, berkat usaha pemerintah daerah yang didukung seluruh komponen dan rakyatnya, provinsi yang terkenal dengan keindahan pantai Sengiginya ini bangkit untuk melakukan revolusi pertanian guna melepaskan masyarakat NTB dari kerawanan pangan. Upaya ini sukses dan mencapai puncaknya ketika padi Gogo Rancah mengantar NTB yang sebelumnya kekurangan menjadi daerah swasembada beras bahkan surplus hingga saat ini. “Nah, untuk mengurangi ketergantungan beras yang terbilang sangat tinggi, kami kemudian juga membuat aturan bahwa setidaknya dalam tiap rapat pemerintahan makanan atau kudapan yang disajikan haruslah yang non beras dan terigu. Dan, sudah tentu murah namun bergisi tinggi,” tegas Zainul. Ya, Pemprov NTB memang juga terus mendorong berbagai panganan lokal non beras, namun bernilai gizi dan protein tinggi, untuk dikonsumsi masyarakat. Makanan yang sehat dan bergizi memang tidak harus mahal. Jadi tidak ada alasan lagi masyarakat kurang gizi, karena dengan menu sederhana dan harga terjangkau oleh masyarakat menegah kebawah, sesungguhnya kecukupan gizi tetap dapat terpenuhi. (tr/dan)


10

Edisi 19

Daerah

www.bipnewsroom.info

Jika anda melihat, mendengar dan memiliki kisah unik dari seluruh nusantara untuk dituliskan dan ingin berbagi dalam rubrik Kibar Daerah dan Lintas Daerah, silahkan kirimkan naskah kepada redaksi komunika melalui surat ke alamat redaksi atau melalui e-mail: komunika@bipnewsroom.info atau bip@depkominfo.go.id

Kibar Daerah

Makanan Pokok Nonberas, Mengapa Tidak! “Jangan dikira kami makan nasi jagung karena tak bisa beli beras. Bagi kami, nasi beras hanya mengenyangkan, tapi tidak membuat kami kuat bekerja.” Ungkapan lugas itu dikemukakan M Miranti (39 th), saat ditemui Komunika h e n d a k m menggilingkan jagung di penggilingan dekat balai d desa Jengkol, Kec Garung, K Wonosobo, Kab J a t e n g . Perempuan yang sedang h hamil 4 bulan i mengaku risi ini jika ada media massa memberitakan warga Jengkol kekurangan pangan sehingga terpaksa makan jagung. “Tidak benar itu, kami tidak pernah kekurangan pangan. Dari dulu kami terbiasa makan jagung. Bahkan kalau punya beras pun kami jual untuk beli jagung,” ujarnya sengit. Pengamatan Komunika, di desa yang terletak persis di lereng gunung Sindoro ini, mayoritas penduduknya memang sehari-hari mengkonsumsi nasi jagung sebagai makanan pokok. Yang makan nasi beras bisa dihitung dengan jari, di antaranya para perangkat desa dan pegawai negeri. Sementara masyarakat umum, hampir semuanya makan jagung. “Kalau mendapat jatah raskin (beras untuk masyarakat miskin--red) makannya dicampur dengan jagung atau yang oleh warga sini disebut beras woworan (campuran—red). Soalnya kalau hanya makan nasi beras murni, di badan rasanya tidak sentosa,” kata Herlambang Wattimena, Kepala Desa Jengkol, yang juga penggemar nasi jagung. Pola konsumsi seperti itu tak lepas dari kebiasaan masyarakat setempat menanam jagung sebagai selingan tanaman sayur-mayur. Kendati desa Jengkol bukan produsen jagung utama di Wonosobo, namun hampir seluruh warga menanam jagung dan memiliki simpanan jagung dalam jumlah banyak di atas para-para rumah. Jagung itulah yang sehari-hari mereka olah menjadi nasi. Lebih Marem Makan Thiwul Sekitar 50 km dari Jengkol ke arah selatan, ada desa bernama Tirip, Kec Wadaslintang, masih di kabupaten yang sama. Penduduk di desa ini terbiasa makan nasi yang terbuat dari singkong, yang oleh masyarakat setempat disebut thiwul. Nasi berwarna kecoklatan ini menjadi favorit warga karena selain rasanya enak, harganya juga sangat murah. Sama seperti warga Jengkol, Warga Tirip juga menolak disebut kekurangan pangan meskipun sehari-hari tidak makan beras. Bahkan ajaibnya, sebagian besar yang makan thiwul justru para petani padi. “Kalau mau, mereka bisa saja makan beras, tapi mereka menyatakan lebih marem (puas—red) jika mengkonsumsi thiwul,” kata Tugimun, Kades Tirip. Warga Tirip tidak menampik anggapan sebagian orang yang memandang rendah thiwul, namun bagi warga setempat makanan berbahan dasar gaplek itu sudah menjadi makanan pokok secara turun-temurun selama berabad-abad. Tak heran, jika mereka panen padi, padi itu justru dijual untuk membeli thiwul. “Dapatnya lebih banyak, hampir

Tahun VI Oktober 2010

empat kali lipat, dan rasanya lebih adem di perut,” kata Yahya (50), petani padi yang kalau belum makan thiwul merasa belum makan. Dukung Kemandirian Pangan Bupati Wonosobo, Kholiq Arief, dalam kesempatan terpisah menyatakan, kebiasaan sebagian warganya mengkonsumsi makanan pokok nonberas harus didukung, karena akan membantu pemerintah dalam mewujudkan kemandirian pangan. “Desa Jengkol dan Tirip sangat potensial dijadikan Desa Mandiri Pangan, karena masyarakatnya telah mempunyai kemampuan untuk mewujudkan konsumsi dengan memanfaatkan sumberdaya setempat,” katanya. Menurutnya, jika di wilayahnya semakin banyak desa yang pola konsumsinya seperti dua desa tersebut, kemandirian pangan pasti akan semakin mudah tercapai. “Jika di daerah penghasil jagung penduduknya makan jagung, di daerah penghasil ubi kayu penduduknya makan ubi kayu, di daerah ubi jalar penduduknya makan ubi jalar, maka Indonesia tidak akan dipusingkan oleh menipisnya persediaan beras. Kerawanan pangan sering terjadi karena seluruh penduduk menggantungkan makanan pokok pada beras,” ujar bupati yang baru saja menjabat untuk kedua kalinya ini. Sebelumnya, di Kabupaten Wonosobo sudah ada dua desa mandiri pangan yakni desa Sitiharjo Kec Garung dan desa Glagah Kec Sapuran. Kedua desa mendapat predikat tersebut karena mampu mengembangkan produksi, distribusi dan konsumsi makanan secara mandiri tanpa tergantung kepada sumber bahan pangan dari wilayah lain. Tak Masalah Asal Gizi Seimbang Terkait dengan kebiasaan makan makanan pokok nonberas, Kepala Puskesmas Garung dr Lilis Handayani menyatakan tidak ada masalah sepanjang dikonsumsi bersama lauk-pauk yang kandungan gizinya seimbang. Menurut Lilis, baik jagung maupun thiwul bisa menjadi elemen makanan pokok untuk menu empat sehat lima sempurna. “Jagung justru kadar karbohidratnya lebih tinggi daripada beras, jadi energinya juga lebih tinggi. Namun untuk thiwul, karena kandungan karbohidrat, vitamin dan proteinnya lebih rendah, sebaiknya dikonsumsi dengan sayur dan lauk yang baik seperti tahu, tempe, telur, ikan, atau daging, dalam jumlah yang memadai,” katanya. Ia menyayangkan anggapan keliru sebagian masyarakat yang menganggap makan jagung dan thiwul akan menyebabkan gizi buruk. Menurut ibu satu anak ini, kasus gizi buruk tidak disebabkan oleh konsumsi nasi jagung atau thiwul, melainkan karena kekurangan energi protein (KEP) akut dalam waktu panjang. “Tidak bisa langsung dikaitkan dengan itu (makan jagung dan thiwul—red). Makan nasi beraspun bisa KEP kalau makannya hanya dengan garam atau sambal,” imbuhnya. Karena itu, Lilis menyatakan masyarakat tak perlu ragu mengkonsumsi jagung, thiwul, atau makanan pokok nonberas lainnya. Kuncinya makanan bergizi seimbang bukan pada makanan pokoknya, akan tetapi justru pada sayur dan lauk pendampingnya. “Lihat saja warga Jengkol yang biasa makan jagung, atau warga Tirip yang makan thiwul, mereka sehat-sehat saja kok. Itu karena mereka mendampinginya dengan sayur dan lauk yang bergizi dalam jumlah yang memadai,” tandasnya. Maka, mari kita beramairamai mengkonsumsi makanan pokok nonberas! (gun).

Katakan Tidak

!

pada Narkoba

Sumater Utara

Papua

Jawa Barat Jawa Tengah

Lintas Daerah Nusa Tenggara Barat

Sembalun akan jadi Sentral Pengembangan Kentang Nasional Lahan pertanian di Sembalun, Lombok Timur (Lotim) tengah dipersiapkan sebagai salah satu sentral bagi pengembangan produksi kentang nasional. Lahan di lembah Gunung Rinjani itu menjadi pilihan antara lain karena terbebas dari serangan hama cacing. Kabid Tanaman Pangan dan Hortikultura pada Dinas Pertanian dan Peternakan (Distanak) Lotim, Suhairi kepada Suara NTB, Selasa (2/11) kemarin mengutarakan, saat ini pihak Dirjen Hortikultura Kementerian Pertanian bersama lembaga donor dari luar negeri tengah melakukan uji coba pengembangan benih varietas Granula dan Atlantik untuk delapan kelompok petani di Sembalun. Program yang dimulai sejak 24 September 2010 itu telah melatih 160 orang petani, sedang benih kentang telah pula dipersiapkan. Sebagai tahap awal, pembenihan dilakukan di lahan milik petani seluas 16 hektar. Tanaman kentang menjadi salah satu primadona di lahan pertanian Sembalun sejak sekitar tahun 2005 lalu. Benih kentang selalu didatangkan dari Australia melalui Jawa Timur. Tersedia ribuan hektar potensi untuk penanaman kentang di Sembalun, namun yang dimanfaatkan hingga saat ini baru sekitar 271 hektar. (ntbprov.go.id)

Jawa Barat

Pemkab Subang Terapkan Pola Tanam Legowo Dua Semangat gotong royong merupakan suatu hal yang harus dipupuk guna melanjutkan perjuangan para pendahulu, khususnya dalam meningkatkan produk pertanian demi kepentingan rakyat. Hal tersebut dikatakan Bupati Subang, Eep Hidayat, pada pencanangan Bulan Bakti Gotong Royong tahun 2010 Bidang Pertanian di Desa Padamulya Kecamatan Cipunagara. Oleh sebab itu, kata Eep, bulan bakti Gotong Royong bukan semata-mata amanat Presiden tetapi amanat dari para pendiri bangsa dan pejuang Indonesia dalam memperjuangkan kemerdekaan RI. Pemkab Subang sendiri saat ini menggalakkan tiga program, pertama pola tanam padi - padi – palawija untuk memutus siklus hama yang biasa menyerang padi. Kedua, penanaman padi dengan sistem legowo dua supaya memberikan ruang masuknya sinar matahari sehingga bisa membunuh virus yang menyerang tanaman padi. Ketiga, pemupukan dilakukan berimbang. (Diskominfo/ Bag. Humas Subang)

Daerah Istimewa Yogyakarta

Pemkab Kulonprogo Kembangkan Energi Alternatif Mikrohidro Pemerintahan Kabupaten Kulonprogo mengembangkan listrik dengan energi alternatif mikrohidro atau Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro (PLTMH) dengan memanfaatkan air di selokan primer saluran irigasi Kalibawang di pedukuhan Kedungrong, desa Purwoharjo, Kecamatan Samigaluh dan pedukuhan Jurang desa Banjarharjo Kecamatan Kalibawang. Menurut Dukuh Kedungrong, Suprihatin, tenaga alternatif ramah lingkungan ini dikembangkan warga berawal dari kedatangan mahasiswa Kuliah Kerja Nyata (KKN) Universitas Gadjah Mada untuk mencari energi alternatif. Menurut Joko Satyo dari Dinas Perindag ESDM Kulon Progo, beberapa wilayah di Kabupaten Kulonprogo sangat potensial untuk pengembangan energi alternatif ini. Sedangkan hambatan untuk mengembangkan energi ini adalah adanya keterbatasan anggaran dari Pemkab. (MC kulonprogo)


Edisi 19

Tahun VI Oktober 2010

Lintas Lembaga

masih di bawah pertumbuhan produksi tahun lalu, masih lebih tinggi dari perkiraan pertumbuhan konsumsi (sesuai pertumbuhan penduduk 1,34%). (deptan.go.id)

Kementerian Pertanian Produksi Pertanian Diperkirakan Meningkat Kemarau basah sedang membawa berkah. Barangkali inilah yang sedang terjadi di Indonesia. Tatkala sejumlah negara –seperti Rusia, Australia, India, dan beberapa negara lain—khawatir dengan trend menurunnya produksi pangan mereka, produksi pertanian Indonesia justru diperkirakan meningkat cukup bermakna. Luas tanam padi per Juli 2010, menurut Dirjen Tanaman Pangan Kementerian Pertanian Gatot S. Irianto, sudah mencapai 12,257 juta ha. Artinya mencapai 101,5% atau lebih tinggi 180 ribu ha dibanding realisasi penanam padi pada periode yang sama tahun lalu. Dalam dua bulan ke depan, luas tanam dipastikan masih akan bertambah. Dengan asumsi masih cukup tersedia air karena kemarau basah, maka sasaran tanam bulan Agustus dan September masing-masing seluas 664 ribu ha dan 526 ribu ha akan dapat tercapai. Dengan demikian total luas tanam yang akan menentukan produksi tahun 2010 akan mencapai angka 13,45 juta ha. Dari capaian luas tanam tersebut, maka luas panen padi diperkirakan mencapai 13,08 juta ha. Dan, dengan produktivitas rata-rata 5,132 ton/ha maka produksi padi tahun ini akan mencapai 67,15 juta ton GKG alias naik 3,08% dari angka produksi tahun lalu. Kenaikan produksi 2010. Pertumbuhan 3,08%, mesi

Kementerian Pekerjaan Umum PU Bantu Penanganan Bencana di Wasior, Mentawai dan Merapi Kementerian Pekerjaan Umum hingga kini masih terus mendukung penanganan bencana yang terjadi di Indonesia, yakni di Wasior, Kepulauan Mentawai dan Merapi. Hingga hari ini (3/11), Kementerian PU melalui Ditjen Sumber Daya Air, Ditjen Bina Marga, Ditjen Cipta Karya dan Ditjen Penataan Ruang telah memberikan dukungan dan bantuan bagi para pengungsi. Dana yang dialokasikan untuk rehabilitasi dan rekonstruksi penanganan bencana di Wasior di bidang Bina Marga sekitar Rp 8 miliar yang digunakan untuk pembersihan puing dan jalan agar dapat difungsikan. Sedangkan untuk bidang Sumber Daya Air sebesar Rp 118 miliar digunakan untuk penyediaan air baku dan normalisasi sungai-sungai. Staf Ahli Menteri PU Bidang Keterpaduan pembangunan Ismanto mengatakan, Kementerian PU melalui Ditjen Cipta Karya dalam tanggap d a r u r a t d i Wa s i o r t e l a h merealisasikan diantarnya bantuan 2 unit Instalasi Penjernihan Air (IPA), 10 unit pengolahan air cepat (PAC), 3 unit mobil tangki air (MTA), 60 unit hidran umum (HU), 41 unit WC darurat, unir reservoir rat, 5 u

lipat, 30 rol pipa plastik spiral, 1.140 m pipa, 4 unit genset, 6 unit pompa alcon, 2 unit pompa lumpur, 1.410 unit jirigen 10 liter, 1 unit mobil tinja dan 2 unit truk pompa. Terjadinya gempa bumi 7.2 SR dan tsunami di Kabupaten Kepulauan Mentawai, Kementerian PU melalui Cipta Karya telah merealisasikan 2 unit IPA, 100 unit PAC, 3 unit HU, 1 unit perlengkapan operasional, 1.000 unit jerigen air, 15 unit tenda hunian darurat, 33 unit WC knockdown, 1 unit tenda operasional, 1 unit genset dan 10 unit velbed. Penanganan bencana erupsi Merapi yang meliputi kawasan Sleman, Magelang dan Yogjakarta Ditjen Sumber Daya Air telah melaksanakan pembangunan bangunan pengendali lahar hujan sebanyak 225 unit di 12 sistem sungai yang berhulu di Merapi, untuk antisipasi perubahan cuaca ekstrim di wilayah DIY dan Jateng dan bencana sekunder aliran lahar hujan. Selain itu, juga telah tersedia Sistim Peringatan Dini aliran lahar hujan yang dikelola di kantor Balai Sabo/STC. Sistem peringatan dini dilaksanakan berdasarkan data telemetri dari beberapa lokasi stasiun telemetri dan curah hujan. ( www.

harus mencerminkan situasi kemultibahasaan. Negara multikultural seperti Indonesia, pengembangan dan pembinaan bahasa perlu mempertimbangkan aspekaspek sosio-kultural. Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan Nasional (Dirjen Dikti Kemdiknas) Joko Santoso menyampaikan, melalui kebijakan nasional tentang perencanaan bahasa akan dapat dilihat usaha yang akan dilakukan demi meningkatkan kedudukan dan fungsi bahasa kebangsaan agar mampu mengungkapkan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni yang semakin meningkat. Lebih lanjut Joko mengatakan, ada empat kebijakan nasional kebahasaan yaitu status, pengembangan, pembinaan, dan perlindungan. Dalam kaitan dengan pembinaan, pengembangan, dan perlindungan bahasa, pemerintah telah mengeluarkan Undang-Undang No 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan. Dalam undang-undang tersebut kedudukan dan fungsi bahasa daerah, bahasa Indonesia, dan bahasa asing semakin jelas. (www.depdiknas.go.id)

pu.go.id/Pusat Komunikasi Publik)

Kementerian Pendidikan Nasional

Kementerian Komunikasi dan Informatika

Pengembangan Bahasa Perlu Aspek Sosio-Kultural

MoU Kemkominfo dan Kem. Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak

Negara yang memiliki banyak bahasa yang hidup berdampingan maka kebijakan dalam penanganan bahasa

Di tengah berlangsungnya Rakornas Tahun 2010, Senin (25/10) di Jakarta, Kementerian Komunikasi dan Informatika dan

11

www.bipnewsroom.info

Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak menandatangani Nota Kesepakatan Bersama tentang komitmen untuk melaksanakan Pengarusutamaan gender dan pengarusutamaan hak anak. Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Linda Amalia Sari Gumelar, usai penandatanganan tersebut mengatakan, dengan kesepakatan Bersama ini kedua belah pihak akan dapat bekerja lebih terkoordinasi dan bersinergi dalam upaya mewujudkan kesetaraan gender di bidang komunikasi dan informatika. “Saya menyambut baik Gerakan Nasional Internet Sehat dan Aman yang digagas oleh Kementerian Kominfo,” katanya.(www.depkominfo.go.id/cl)

Kementerian Kesehatan Peluncuran Buku Penuntun Hidup Sehat Kementrian Kesehatan meluncurkan buku "Penuntun Hidup Sehat" edisi empat sebagai panduan meningkatkan pengetahuan dan mengubah kebiasaan serta perilaku masyarakat untuk mau dan sadar akan pentingnya berperilaku hidup sehat, sehingga dapat menyelamatkan kehidupan generasi penerus bangsa. Sekjen Kemenkes Ratna Rosita berharap, dampak dari peluncuran buku ini dapat memberikan perubahan positif pada tata nilai dan keyakinan sosial tentang kehidupan pertumbuhan, pembelajaran, perkembangan, perlindungan, perawatan dan dukungan kesehatan bagi anak. (www.depkes. go.id/ Pusat Komunikasi Publik)

Wajah Kita

Harga

Siang terik itu, seorang lelaki tua melintas di depan rumah saya, memikul dua keranjang penuh labu siam. Ia, rupanya, hendak menjual hasil panen ladangnya ke rumah pengepul sayur yang rumahnya berjarak tiga blok dari rumah saya. Panas matahari membuat peluh bercucuran dari tubuh kerempengnya. Urat nadi yang bertonjolan di kening dan nafas terengah-engah menunjukkan ia sedang menanggung beban berat. Sumpah, saya tidak berani bertanya, karena saya yakin ia tak lagi memiliki sisa energi untuk menjawab.

Lima menit berselang, lelaki Lim tua itu ssudah kembali dari rumah pengepul sayur, dan melintas lagi di depan saya. Kali ini, wajahnya tampak banar. Seulas senyum tersungging di bibirnya. Kendati masih bersimbah keringat, nafasnya sudah lumayan tertata. Saat itulah saya memberanikan diri untuk menyapa. “Laku berapa, pak, labu siamnya?” “Sekilo Rp 200, nak. Tadi saya bawa 40 kg, jadi dapat uang Rp 8.000,” katanya sambil menunjukkan delapan lembar uang ribuan di genggamannya. Saya terkesiap mendengar jawaban si bapak. Delapan ribu rupiah, menurut saya, bukan harga yang pantas untuk 40 kg

la siam. Bahkan untuk ongkos labu memikul dari ladang ke rumah pengepul saja, saya kira terlalu murah. “Kok murah banget, pak? Apa bapak tidak rugi jual labu siam cuma segitu?” Si bapak mengambil nafas dalam. Melap keringat dengan kaus kumalnya, kemudian, masih dengan tersenyum, berkata, “Nak, harga memang penting. Tapi bagi saya, nilai lebih penting. Uang delapan ribu sudah bikin saya senang, tapi ratusan orang yang tidak menanam labu siam bisa makan labu siam dengan harga murah, bagi saya jauh lebih menyenangkan. Coba dihitung, jika sekilo isinya lima labu siam dan satu orang masing-masing makan satu labu, paling tidak ada 200 orang yang akan makan waluh tanaman saya. Bukankah itu hal yang sangat bernilai?” Saya tercengang mendengar jawaban si bapak. *** Lihatlah di mal-mal dan supermarket, betapa harga telah menjadi sarana kuasa bagi

pemilik barang. Ia dilabelkan pada komoditas secara masif, dan tak seorang pembelipun mampu menurunkannya. Di sana, harga adalah lambang supremasi penjual atas pembeli. Pembeli harus percaya bahwa harga barang yang ditawarkan memang “segitu”. Dan ia harus mengeluarkan uang sebanyak harga yang tertulis, tanpa bisa tahu apakah ia telah membayar terlalu banyak dari yang seharusnya ia bayar. Tapi siang itu, di depan mata, saya melihat paradoks yang begitu nyata: betapa pembeli memiliki kuasa yang demikian besar atas penjual. Pak tua harus rela melepas labu siam dengan harga yang ditentukan sepihak oleh pengepul, Rp 200 per kg. Ia tak punya pilihan karena pilihannya hanya dua, dijual atau labu siamnya akan membusuk di ladang. Di tingkat produsen pangan gurem seperti pak tua, begitulah kondisi realnya. Seharusnya pak tua menderita, merasa teraniaya oleh kejamnya sistem ekonomi

yang tak pernah berpihak kepada si lemah. Seharusnya ia berteriak, karena ia nyatanyata telah dieksploitasi untuk membubungkan margin keuntungan para juragan, sementara ia tetap hidup kekurangan. Tetapi tidak, pak tua tidak meratap, tidak pula mengeluh, apalagi berteriak marah. Ia bahkan bersyukur, karena banyak orang bisa membeli hasil panennya dengan harga murah. Malam itu, di meja makan saya, terhidang semangkuk sayur labu siam. Saya tahu, pembantu saya membeli labu siam itu di warung pengepul dengan harga Rp 350 per kg, labu siam yang pasti berasal dari ladang pak tua. Saat mengambil piring untuk mulai makan, tiba-tiba saya merasa malu pada diri sendiri. Saya, yang jauh lebih mampu dari si bapak tua, dalam urusan makan ternyata masih menggantungkan subsidi dari orang-orang seperti dia! (gun).


12

EEdisi disi 19 19

Tahun TTa ahhuun V VII Oktober 2010 Ok O ktto ob be er 2 20 01 10 0

www.bipnewsroom.info w ww ww. wb bip bipn ipn ip pn p ne ews ew w wsr ws ssrroo oom. oom o om m info nfo n fo o

Foto : Agus SB

Lautan Sebagai Lumbung Pangan Nasional Hari masih h gelap, gelap, bahkan hujan rintik-rintik mulai turun membas mem basahi ahi pantai pa panta ntaii Kadonganan, K Kado adonga nganan nan, membasahi sebuah desa di Kecamatan Kuta Selatan, bersebelahan dengan d esa a Jimbaran JJimb imbara aran n dan dan juga juga Kelan. K Kela elan. n desa Jarak dari Bandara Ngurah Rai Denpasar cuma 20 menit saja. Para pengepul ikan berdiri di pantai dengan pandangan tajam kelepas pantai menunggu perahu-perahu nelayan dengan gelisah. Kekhawatiran terbayang di benaknya karena khawatir boks warna oranye tempat menampung ikan hasil tangkapan tak berisi ikan dalam jumlah yang diharapkan. “Nelayan Kadonganan sekarang menangis� keluh Wayan Murda. Jaring yang

hampir ditebar hampi ir dua dua malam di d laut tak memberi hasil yang menggembirakan. Angin kencang dan hujan lebat di tengah laut mempengaruhi para nelaya layan n menangkap m mena enangk ngkap ap ikan. ikan ika n. nelayan Perubahan iklim belakangan ini juga membuat ribuan hektar sawah di tanah air rusak. Panen beras menurun sehingga dapat mempengaruhi stok beras nasional. Upaya menciptakan ke keanekaragaman pangan harus dilakukan, dan salahsatu di antaranya adalah yang bersumber dari lautan. Walaupun kondisi alam juga sangat mempengaruhi para nelayan mengekplorasi lautan baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun keperluan yang

lebih luas. Luas lautan kita yang mencap men capai ai 5,8 juta juta km2, km2, belum b belu elum m mencapai kita olah secara maksimal. Kekayaan laut yang luar biasa banyak ban yakn nya a seperti se seper perti ti ikan, ikan ik n, kerang kerang banyaknya dan rumput laut misalnya belum mampu memberikan daya tarik untuk menjadi pilihan lain sebagai salah satu pengganti bahan baku pangan nasional. Ikan laut, kerang-kerangan, udang kecuali rumput laut karena umumnya masih diolah secara tradisional. Demikian pula jika bicara ekspor, kekayaan laut kita belum dapat memberikan nilai tambah yang tinggi karena dijual dalam bentuk segar. Saat ini Indonesia belum dapat memanfaatkan potensi

sumber daya ikan i n secara ika optimal untuk mendukung terwujudnya ketahanan pangan nasional. Upaya untuk meningkatkan jumlah dan kkualitas ualit litas as pangan pangan yang ang bersumber bersum sumber ber dari lautan terus diupayakan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan. Hal ini perlu dilakukan guna mendukung kecukupan pasokan ikan bagi kebutuhan pasar dalam negeri maupun ekspor. Selain sebagai sumber pertumbuhan ekonomi dan penyerapan tenaga kerja, sektor kelautan dan perikanan juga berpeluang besar untuk mendukung terwujudnya ketahanan pangan nasional. Saat ini Indonesia belum dapat memanfaatkan potensi sumber

daya ikan secara optimal untuk mendukung terwujudnya ketaha ket ahanan nan pangan panga pa ngan n nasional. nasiona nasi onal. l. ketahanan Memberikan pengetahuan dan ketrampilan di bidang pen gelola l olaan an hasil h asil il produksi produk pro duksi si pengelolaan perikanan serta teknologi pengolahan ikan kepada para nelayan akan sangat bermanfaat. Dukungan teknologi dalam penyediaan coolbox penyimpanan ikan sehingga bisa lebih lama melaut dan teknologi untuk pasca tangkap sangat membantu menambah nilai tambah daripada sekedar menjual ikan hasil tangkapan kepada pengepul atau pedagang. (agussbudiawan)


8

Foto: Frans

kelompok tani di desa itu, yang besarnya masing-masing Rp. 25 juta. Selain bantuan modal tani

Lumbung Pangan Untuk Kesejahteraan Petani Sergei

“Keberhasilan suatu daerah untuk meningkatkan ketahanan pangannya secara mandiri, tidak hanya terletak pada kegigihan dan keuletan para petaninya saja, melainkan harus didukung oleh kebijakan pemerintah yang pro petani juga”. Pagi itu Boirin (40) turun kesawah, memperhatikan bibit padi di tempat penyemaian kelompok Tani Bakti yang ada di Desa Kerapuh Kecamatan Dolok Masihul Kabupaten Serdang Bedagai Sumatera Utara. Boirin yang sudah bertani sejak usia 16 tahun ini, dipercaya oleh petani-petani didesanya untuk menyediakan bibit-bibit padi untuk lahan persawahan mereka. Selain mengembangkan penangkaran benih padi, Boirin juga sudah membuat penangkaran holtikultura seperti semangka, kacang panjang

dan bayam. Petani yang ulet, seperti Boirin inilah yang telah menjadikan Kabupaten Serdang Bedagai (Sergei) sebagai daerah lumbung pangan Provinsi Sumatra Utara. Sebutan ini diperoleh Sergei karena sejak tahun 2008 Pemerintah Kabupaten Sergei telah tiga kali berturut-turut menerima penghargaan ketahanan pangan tingkat Provinsi Sumut untuk kategori aparat kelembagaan pemerintah kabupaten/kota di Provinsi Sumut. Keberhasilan suatu daerah untuk meningkatkan ketahanan pangannya harus didukung oleh kebijakan pemerintah yang pro petani juga. Tanpa pendampingan yang intensif dari pemerintah, dapat dipastikan bahwa para petani kita yang pada umumnya hidup dari mengolah lahan sewaan ini akan sulit mempertahankan kehidupannya. Oleh karena itu langkah-langkah yang di ditempuh

oleh Pemerintah untuk menciptakan ketahanan pangan didaerahnya haruslah dimulai dari menciptakan ketahan pangan diantara keluarga petani-petani itu sendiri. Rosmeli Nasution, Kepala Badan Ketahanan Pangan Kabupaten Sergei mengatakan kalau saat ini Sergei dengan dana dari pusat menjalankan Program Desa Mandiri Pangan (DEMAPAN), yaitu suatu program untuk membangun Desa yang masyarakatnya mempunyai kemampuan untuk mewujudkan Ketahanan Pangan dan gizi melalui pengembangan sub-sistem ketersediaan, sub-sistem distribusi dan sub-sistem konsumsi dengan memanfaatkan sumberdaya setempat secara berkelanjutan di Desa Juhar. Setelah tahun 2009 lalu menjalankannya di Desa Sei Rejo dan Desa Sei Sarimah. Melalui program DEMAPAN ini, tiap desanya akan menerima bantuan penguatan modal tani sebesar Rp. 100 juta, yang kemudian dibagi ke pada empat

itu, Rosmeli menambahkan, pemerintah Kabupaten Sergei juga telah membangun Lumbung Pangan di 12 Desa. Lumbung Pangan ini adalah bangunan penyimpanan untuk gabah kering giling (GKG) ataupun jagung kering yang dilengkapi lantai penjemuran hasil panen petani baik untuk padi maupun jagung. Dengan adanya lumbung pangan ini, diharapkan para petani bisa menyimpan hasil panennya, menunggu dapat dipasarkan pada harga jual yang diinginkan oleh petani tersebut dan tidak bergantung lagi pada tengkulak yang memaksa petani menjual pada harga rendah, kata Rosmeli bersemangat. Pengelolaan lumbung pangan ini seluruhnya diserahkan kepada Gabungan Kelompok Petani (Gapoktan), yang ada didesa tersebut, kata Rosmeli sambil nyebutkan nama masing-masing Lumbung Pangan itu, “Seroja Jaya di Desa Sei Buluh, Anugrah di Desa Pegajahan, Sejahtera di

Merauke, Harapan Pangan Indonesia Seiring pertumbuhan jumlah penduduk di negara ini, tentu akan berimbas terhadap meningkatnya kebutuhan pangan. Kabupaten Merauke diproyeksikan untuk menjadi harapan pangan Indonesia di masa mendatang. Seberapa jauh persiapannya? KomunikA mewawancarai Plt Kepala Dinas Tanaman Pangan dan Holtikultura, Kab. Merauke, Harmini. Berikut petikannya : Seberapa siap Kab. Merauke menjadi lumbung pangan nasional? Kalau dikatakan siap, kami siap.

foto: dimas

Desa Kota Tengah, Cahaya Baru di Desa Pematang Ganjang, Berkah di Desa Kota Baru, Bernas di Desa Kerapu, Medan Jaya di

Terutama kalau dilihat dari potensi dan kesesuaian lahan. Semua jenis komoditas yang ada di Indonesia, mulai dari jagung, padi, palawija, sampai shorgum dan gandum, bisa tumbuh di Merauke. Daerah ini dipengaruhi iklim Australia, jadi variasi tanamannya lebih banyak. Potensi lahannya, luar biasa besar. Ada 4½ juta ha, dengan potensi untuk cadangan pangan seluas 2½ juta ha. Yang disetujui untuk food estate 552.316 ha, pemanfaatannya secara bertahap. Sudah sejauh apa? Proyek MIFEE ini kan jangka

panjang. Sampai 2030. Satu tahun pertama ini, 2010, kami sudah mengembangkan 38.402 ha. Angka tersebut sudah surplus untuk Merauke. Bahkan kami sudah bisa “ekspor” ke kabupaten tetangga, semisal Kab. Boven Digul, Kab. Asmat, Kab. Mapi dan Kab. Jayawijaya. Kami tidak muluk-muluk. Kami berjalan seiring pertumbuhan infrastruktur di Merauke. Perlahan tapi pasti. Kami coba dari memenuhi kebutuhan Merauke, kemudian naik mampu “ekspor” ke kabupaten tetangga. Dan coba untuk jadi lumbung pangan Papua dalam waktu dekat, sehingga kebutuhan pangan yang biasanya di stok dari luar Papua, mampu kami penuhi. Semoga bisa memenuhi kebutuhan pangan tingkat regional dan bahkan Indonesia. Apa saja hambatannya? Tentu saja masalah infrastruktur. Memang biayanya tinggi. Sehingga pendanaannya dari pemerintah pusat dan daerah. Sebagai contoh, dari lahan yang tengah dikembangkan, kami tanam padi 24.644 ha. Tapi angka itu ada pada musim hujan, kalau musim kemarau hanya mampu tanam 8 ribuan ha. Kalau dimaksimalkan dengan drainase, irigasi, dan pompa air, maka sepanjang tahun angkanya bisa stabil, bahkan terus dikembangkan. Kalau infrastruktur memang bertahap karena dananya besar sekali.

Pembangunan infrastruktur, sudah dimulai? Tentu. Tahun ini kami selesaikan perpanjangan landasan pacu di bandara, merampungkan Pelabuhan Perikanan Samudra (PPS), dan menggenjot Kota Terpadu Mandiri (KTM). Lainnya, rintisan Badan Pemeriksa Pengawasan Obat dan Makanan (BPPOM) dan rehabilitasi pasar. Kemudian persiapkan SDM dengan mengubah status Universitas Nusamus menjadi perguruan tinggi negeri agar ada peningkatan kualitas. Pemda juga mempersiapkan transportasi, misal dengan pengadaan 3 buah pesawat penumpang dan 1 pesawat perintis. Agar akses kian terbuka ke Merauke. Ke depan? Kami terus maju mempersiapkan berbagai perangkatnya. Semisal Perda RTRW (Rencana Tata Ruang dan Wilayah), Perda Tanah Ulayat, dan Perda Investasi yang saat ini masih dibahas DPRD. Masih diproses, mungkin akan disahkan pada akhir tahun ini. Kemudian kami juga mengajukan ijin pelepasan kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi ke Kementerian Kehutanan. Beberapa investor pun mulai masuk. Juga melibatkan swasta untuk ikut dalam kerjasama pembangunan infrastruktur. Jalannya masih panjang dan mungkin berliku, tapi kami siap maju terus. (dimas)

Desa Melati II, Sahabat Tani di Desa Paya Gambar, Harapan di Desa Pematang Pelintahan, Maju Bersama di Desa Lidah Tanah, Sumber Makmur di Desa Paya Lombang, Sri Sumana di Desa Mangga Dua”, jelasnya. Rosmeli juga menjelaskan bahwa selain pembangunan lumbung pangan, di Sergei juga telah dibangun gudang untuk penyimpangan komoditi primer bagi petani atau kelompok tani. Di gudang itu petani dapat menyimpan hasil panennya untuk diterbitkan resi gudang sebagai tunda jual menunggu harga membaik jelasnya, sambil menambahkan bahwa gudang tersebut dibangun oleh Kementerian Perdagangan dari dana APBN 2010. Resi gudang tersebut dapat digunakan untuk memperoleh pinjaman dari Bank/Lembaga Keuangan non Bank (LKNB) yang digunakan oleh petani untuk membeli bibit, pupuk dan biaya operasional harian. Diharapkan pengembangan sistem Resi Gudang ini dapat memberikan solusi dalam mengatasi masalah fluktuasi harga dan keterbatasaan pembiayaan petani dalam mengembangkan usaha agri bisnisnya, kata Rosmeli. Badan Ketahanan Pangan Kabupaten Sergei juga berusaha membantu masyarakat dan gapoktan yang ada untuk mengembangkan kerajinan olahan dari bahan pangan hasil pertanian dan holtikultura di Sergei. Sedangkan untuk pemasarannya pemerintah melakukan pembinaan terhadap para pedagang di kawasan Pasar Bengkel, Perbaungan, kata Rosmeli sambil menunjukkan makanan olahan yang akan dibawanya saat menyertai rombongan Bupati HT Erry Nuradi mengikuti mengikuti uji verivikasi dalam pemilihan kepala daerah penerima penghargaan ketahanan pangan dari Kementerian Pertanian di Hotel Salak Heritage Bogor pada tanggal 13 Oktober 2010 lalu. Demikianlah usaha untuk meningkatkan ketahanan pangan suatu daerah. Bukan hanya dilakukan dengan menjaga ketersediaan lahan pertanian, penyediaan bibit unggul, penyediaan tenaga petugas penyuluh lapangan, penyediaan pupuk tanaman, bantuan alat pengolahan tanah dan penyediaan sarana pengairan saja, tetapi juga membutuhkan dukungan permodalan untuk modal tanam, penyimpanan hasil panen dan terutama pemasaran hasil tanam para petani, sehingga kesejahteraan petani kita bisa tetap terjamin. Niscaya bila petani kita sejahtera, pastilah ketahanan pangan bangsa yang berkelanjutan dapat kita capai. (Frans.S)

5


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.