Pro:aktif Edisi 18/Desember 2017 Hidup Selaras dengan Alam

Page 1


TENTANG PRO:AKTIF Pro:aktif adalah majalah yang diterbitkan oleh Perkumpulan Kuncup Padang Ilalang (Kail) sebagai bacaan penambah wawasan inspiratif bagi para aktivis untuk mendorong proses transformasi sosial ke arah dunia baru yang lebih adil, setara dan berkelanjutan bagi umat manusia dan seluruh alam semesta.

Penanggungjawab: Navita K. Astuti

Majalah Pro:aktif diterbitkan pertama kali dalam bentuk cetak/fotokopi dengan nama Pro:aktif KAIL pada bulan Oktober 2003 hingga bulan Juni 2007 sebanyak 12 edisi. Berkat kemajuan teknologi, Pro:aktif hadir secara online di alamat proaktif-online.blogspot.co.id sejak tahun 2012 dengan nama Pro:aktif Online. Pro:aktif Online terbit tiga kali dalam satu tahun, yaitu pada bulan April, Agustus dan Desember. Pada tahun 2017, selain dalam format web log, Pro:aktif turut hadir dalam format zine* yang bentuk cetaknya dapat dipesan melalui kontak kami maupun dicetak swadaya sesuai dengan kebutuhan.

Tata Letak: Yuthika N. Addina

Tema-tema yang diusung dalam Pro:aktif antara lain seputar perempuan, anak, pendidikan, aktivisme, relawan, lingkungan hidup hingga seni. Semua tema ini ditulis dan diharapkan dapat memberikan inspirasi untuk terjadinya proses transformasi sosial ke arah kondisi masyarakat maupun lingkungan yang lebih baik. Kontak dan hubungi Pro:aktif di kanal-kanal berikut: Facebook: Pro: Aktif Online E-mail: proaktif.online@gmail.com Untuk mengenal lebih lanjut tentang Perkumpulan KAIL, silakan kunjungi: Blog: kail-bandung.co.id Facebook: Kuncup Padang Ilalang Twitter: @kail_bandung Instagram: @kail_bandung

Relawan Kontributor Editor: David Ardes Setiady

Administrator Blog: Navita K. Astuti Sampul: Sherika Penulis: David Ardes Setiady Ayu Wulandari Asra Wijaya Angga Dwiartama Fictor Ferdinand Eventus Ombri Kaho Ratna Ayu Wulandari Jenal Mustofa Umbu Keren Navita K. Astuti Any Sulistyowati (cc) 2017 Perkumpulan Kuncup Padang Ilalang (KAIL) @ Rumah KAIL Kampung Cigarugak, Rt. 03 Rw. 12 no. 37, Desa Giri Mekar, Kecamatan Cilengkrang, Kabupaten Bandung, INDONESIA.

*Zine adalah kependekan dari magazine (majalah) yang khususnya terkait publikasi bersifat antara lain nonkomersial, swakarya, dan online yang membahas isu-isu alternatif. (Disarikan dari Merriam-Webster Dictionary)

PRO : AKTIF

i


DAFTAR ISI

PIKIR I | Belajar tentang Pelucutan Makna dari Kisah Waduk Sepat Surabaya

1

PIKIR II | Kesakralan: Dasar Tindakan Moral Dalam Melestarikan Alam

4

PIKIR III | Antara Sains dan Agama

6

MASALAH KITA I | Krisis Ekologis: Sebuah Tantangan Peradaban

9

MASALAH KITA II | Suka Duka Menjadi Aktivis Lingkungan Hidup

12

MASALAH KITA III| Berdiri Idealis, Berjalan Realistis

14

OPINI | Memahami Inkompatibilitas Antara Kearifan Lokal Masyarakat Adat dan Pola Hidup Masyarakat Modern

17

TIPS | Memulai Hidup Selaras Alam

20

MEDIA| Mengalami “Bunga Rampai Film Dokumenter Tentang Perempuan Pejuang Tanah Air”

23

JALAN-JALAN I | Pulau Coron, Sebuah Catatan Perjalanan

26

JALAN-JALAN II | NUN DI BALIK JALINAN KABUT DAN LIRANG

29

Catatan Kecil Jelajah Geotrek Matabumi Gunung Patuha #2 PROFIL | Veronika Lamahoda – Pejuang Air dari Flores

31

RUMAH KAIL| Penerapan Prinsip-Prinsip Selaras Alam di Rumah Kail

33

TENTANG KONTRIBUTOR

35

PRO : AKTIF

ii


Editorial Proaktif Online Desember 2017 Pembaca yang budiman, Kalender 2017 telah sampai di lembaran terakhirnya untuk segera berganti dengan lembaran baru. Telah banyak peristiwa yang terjadi di tahun ini, baik di tingkat global maupun lokal, berbagai isu yang mungkin pernah hinggap di antaranya ada yang masih tetap teringat hingga saat ini. Salah satu isu yang masih menjadi perbincangan adalah isu lingkungan yang terasa berkejaran dengan waktu. Pembicaraan di antara negara-negara seolah berjalan di tempat, perdebatan soal pemanasan global malah seperti berjalan mundur ketika Presiden Amerika Serikat menyatakan tidak percaya akan fenomena tersebut. Di tingkat lokal, secara umum, untuk negara Republik Indonesia, isu lingkungan masih gencar disuarakan banyak pihak terutama menyikapi pola pembangunan yang digalakkan pemerintah saat ini. Pembangunan yang di satu sisi mendapatkan dukungan dari banyak pihak serta pujian dunia internasional, namun di sisi lain justru merampas hak masyarakat tradisional atas nama pembangunan itu sendiri. Perdebatan demikian, sekiranya kita tinggalkan sejenak untuk melihat kembali bagaimana hidup kita sendiri, apa yang sudah kita lakukan untuk menjaga alam ini agar tidak semakin menurun kualitasnya? Untuk itulah, sebagai pengantar menyambut tahun yang akan datang, Proaktif Online edisi Desember 2017 mengangkat tema Hidup Selaras dengan Alam. Berbagai tulisan yang sudah kami kumpulkan berupaya untuk mengangkat kembali konteks isu alam dan lingkungan dengan perspektif yang sedikit berbeda. Ada yang mengkritisi pola hidup dan pola pembangunan yang terjadi, namun juga sekaligus menawarkan sebuah jalan lain yang bisa diambil agar hidup kita bisa bermanfaat bagi peningkatan kualitas alam. Untuk rubrik MASALAH KITA kali ini, kami menyajikan 3 tulisan yang menggugah kesadaran tentang krisis alam dan lingkungan yang kian hari (sebenarnya) kian mendesak. Tulisan pertama adalah tulisan kolaboratif dari Any Sulistyowati dan Navita Astuti yang memperlihatkan hubungan perkembangan peradaban yang ditandai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan kerusakan alam di Indonesia. Perkembangan tersebut walau telah membuat kualitas hidup manusia menjadi lebih baik, namun di sisi lain, telah menghancurkan hidup sekelompok masyarakat di belahan dunia yang berbeda. Tantangan pemulihan lingkungan hidup masa kini yang makin mendesak adalah mengkampanyekan gaya hidup yang selaras dengan alam. Upaya untuk mengkampanyekan gaya hidup yang selaras dengan alam, beserta edukasi tentang dampak negatif dari gaya hidup konsumtif saat ini, sesungguhnya tidak sedikit. Aktivis-aktivis yang peduli akan isu lingkungan hidup mencoba berbagi kepedulian dengan masyarakat awam. Namun tantangan untuk bertahan dengan idealisme dan menghadapi realita kehidupan, menjadi sisi lain dari krisis

PRO : AKTIF

ekologis itu sendiri. Cerita dari Jenal Mustofa (tulisan kedua) bisa disebut sebagai salah satu contoh yang jamak terjadi dalam perjalanan hidup seorang aktivis lingkungan hidup, yang awalnya berjuang mati-matian menghidupi prinsip selaras alam dan menyuarakan kepedulian, bisa mendadak banting setir ke arah yang berlawanan ketika berhadapan dengan realita. Berlanjut kepada kisah hidup dari pengalaman Ratna Ayu Wulandari (tulisan ketiga) sebagai seorang aktivis yang masih bertahan di bidang lingkungan hidup. Kisahnya saat beraktivitas di Taman Nasional Bukit Duabelas, mendampingi salah satu komunitas Suku Anak Dalam, menggambarkan suka duka sebagai seorang aktivis lingkungan. Berbagai tantangan yang muncul, baik dari masyarakat dampingan maupun dari pemerintah, menunjukkan betapa terjal perjuangan terhadap isu lingkungan hidup ini. Perlu sikap yang positif agar isu lingkungan hidup dapat terus berkumandang dan semakin meluas menjangkau banyak orang. Rubrik PIKIR kali ini, kami juga sajikan 3 tulisan yang mengundang pertanyaan terhadap paradigma kita tentang pembangunan dan alam tempat kita hidup ini. Fictor Ferdinand, salah satu penulis, mengangkat kisah Waduk Sepat di Jawa Timur yang hari-hari ini harus berjuang mempertahankan diri dari pemerintah kota Surabaya. Penulis menunjukkan kepada kita bagaimana proses penghancuran waduk terjadi secara perlahan-lahan karena sikap manusia yang justru menjauhkan dirinya dari alam. Partisipasi pemerintah melalui regulasi yang mengubah fungsi peruntukan lahan waduk itu menjadi pemukiman kompleks perumahanlah yang memicu terjadinya kepanikan masyarakat, yang seolah baru tersadar, bahwa mereka akan kehilangan tempat hidupnya. Bergerak sedikit ke timur, di daerah Atambua-NTT, terdapat masyarakat Uma Kalisuk yang masih menjalankan adat nenek moyangnya yang memasukkan alam dalam konteks spiritual kepercayaannya. Penggambaran relasi alam dengan manusia sebagai tubuh, menjaga perilaku anggota masyarakat dari tindakan pengrusakan. Cara hidup masyarakat Uma Kalisuk dipotret oleh Eventus Ombri Kaho sebagai upaya merenungkan kembali relasi manusia dengan alam, bahwa praktek spiritualitas memiliki fungsi sebagai penjaga moral masyarakat dalam merawat alam lingkungan hidupnya. Umbu Justin, penulis lainnya, mengisi rubrik PIKIR dengan renungan filosofis tentang salah satu sisi kemanusiaan kita yang memang tidak dapat dilepaskan dari alam. Umbu menyoroti peran agama dan sains yang kurang berhasil mendekatkan manusia dengan alam, malah semakin menjauhkannya. Yang turut menjadi persoalan adalah peran agama dan sains yang justru memperkuat paradigma kita bahwa alam hanya sekedar tempat hidup manusia; bahwa manusia bukanlah bagian dari alam itu sendiri. Akibatnya manusia cenderung merasa berhak untuk mengatur alam, termasuk menghancurkannya demi kehidupan yang lebih

iii


baik (yang belum tentu benar menjadi baik). Any Sulistyowati kemudian memberikan TIPS bagaimana menerapkan prinsip hidup selaras dengan alam melalui caracara yang mudah dan murah. Kita perlu memperhatikan dan mengamati hal-hal yang sudah ada di sekeliling kita yang mungkin belum dimanfaatkan dengan maksimal. Memahami prinsip pembangunan berkelanjutan, mencari alternatif atas gaya hidup yang lebih ramah lingkungan, penggunaan barang, turut serta memproduksi bahan pangan, adalah beberapa tips yang dipaparkan dalam artikel ini. Tips yang paling penting adalah menikmatinya. Selanjutnya, masih dari penulis yang sama, kita akan berkenalan dengan seorang mama dari Flores bernama Veronika Lamahoda. Dari sosok beliau kita akan belajar tentang bagaimana perjuangan untuk “mencari� air kemudian berkembang menjadi sebuah pemberdayaan masyarakat. Pengalaman perjuangan itu membawa sosok Veronika Lamahoda menyadari bahwa banyak persoalan di negeri ini yang penyelesaiannya disederhanakan menjadi persoalan membuat undang-undang semata. Padahal untuk menjawab persoalan yang kompleks di masyarakat, justru lebih diharapkan inovasi di tingkat teknis dan sosial ekonomi. JALAN-JALAN kali ini akan dipandu oleh Ayu “Kuke� Wulandari dan saya sendiri, masing-masing ke tempat yang berbeda. Ayu akan membawa kita menjelajahi daerah Kawah Putih, Bandung bersama komunitas Matabumi sambil belajar tentang alam. Penjelajahan itu berakhir di Pinisi Resto yang sedang tren di masyarakat Bandung karena bentuknya adalah kapal pinisi yang dulu dipakai oleh nenek moyang pelaut kita. Sedangkan saya akan mengajak para pembaca mengunjungi Pulau Coron-Palawan di Filipina serta berkenalan sedikit dengan masyarakat adat Tagbanua yang mendiami pulau tersebut. Perjalanan ini membuka mata kita bahwa

PRO : AKTIF

pemerintah dapat mengambil peran sebagai fasilitator untuk merawat sebuah tradisi dapat tetap hidup dan memberikan kedaulatan kepada masyarakat itu sendiri untuk mengelola alam tempat hidup mereka. Pulau Coron ini adalah wujud kedaulatan dari sebuah masyarakat adat untuk melestarikan budaya mereka yang tetap terbuka dengan dunia luar. Rubrik MEDIA diisi oleh Asra Wijaya yang memberikan pelajaran tentang jenis film yang memiliki fungsi sosial sesuai dengan dinamika yang berkembang di masyarakat. Secara khusus, tulisan ini menyoroti isi film dokumenter tentang para pejuang perempuan di dalam konflik agraria di Indonesia. Umumnya, konflik itu sendiri sangat bernuansa maskulin karena dalam masyarakat tersebut, perempuan tidak memiliki suara dalam pengelolaan lahan pertanian. Pentingnya keberadaan perempuan dalam konflik agraria ini turut mencegah beralihnya kepemilikan lahan kepada pihak swasta yang didukung oleh pemerintah. Rubrik RUMAH KAIL akan memperlihatkan bagaimana prinsip hidup selaras dengan alam dapat diterapkan dalam praktek sehari-hari melalui pengalaman KAIL. Any Sulistyowati memaparkan cukup runut apa saja yang telah dilakukan oleh KAIL di dalam RUMAH KAIL, mulai dari proses pembangunan rumah hingga penyelenggaraan kegiatan, menerapkan prinsip tersebut. Bahkan kita akan terpapar dengan pemilihan bahan bangunan dan permakultur sebagai salah satu bentuk penerapannya. Akhir kata, tema Proaktif Online kali ini kiranya dapat menjadi perenungan kita bersama sekaligus mempersiapkan kita menyambut tahun yang akan datang dengan semangat yang semakin membara. Isu lingkungan akan selalu relevan selama manusia masih hidup di dalam bumi. Mari hidup selaras dengan alam. David Ardes Setiady (Editor)

iv


Screenshot/ Google Map

[PIKIR I] Belajar Tentang Pelucutan Makna dari Kisah Waduk Sepat Surabaya Oleh: Fictor Ferdinand Memasuki Kampung Sepat sebenarnya tak jauh beda dengan memasuki kampung lain di sekitaran Surabaya. Di akhir pekan saat saya berkunjung, orkes dangdut lokal sedang menggelar latihan ditonton puluhan tetangga. Request lagu dangdut, nyanyi dan tertawa bersama. Namun di balik kegembiraan itu, ada kesiapsiagaan warga. Siap siaga bila suatu saat perusahaan pengembang perumahan datang mengurug Waduk Sepat, icon yang menjadi asal nama Kampung Sepat. Beberapa bulan sebelum kedatangan saya, tahun 2015 lalu, krisis di Waduk Sepat mencapai puncaknya. Petugas keamanan mendampingi pekerja dari perusahaan pengembang mendirikan pagar beton yang membatasi Kampung Sepat dengan waduknya. Warga yang bertahan dan menolak pendirian tembok, ditangkap. Tak terkecuali ibu-ibu.

Status lahan di Waduk Sepat itu di atas kertas memang milik Pemerintah Kota Surabaya, yang ditukar-guling dengan tanah milik sebuah perusahaan pengembang di Kota Surabaya. Bagi warga, proses tukar guling dan pemindahan kepemilikan itu tak punya makna nyata. Sejak turun temurun, Waduk Sepat sudah menopang kehidupan warga di Kampung Sepat. Namun, satu demi satu fungsi penopang itu hilang. Disengaja atau tidak, proses penghilangan itu tidak disadari warga sampai saat mereka tahu bahwa Waduk itu akan diurug dan dijadikan apartemen. Bagaimana proses penghilangan makna itu yang bagi saya menarik untuk dikupas. Karena prosesnya tidak disadari dan wajar, sewajarnya proses pembangunan dan pengembangan daerah di tempat lain, bila dilihat dari kacamata pembangunan-seperti-biasanya (konvensional). *

Tak terbilang berapa banyak demonstrasi digelar warga sebelum kejadian pendirian tembok itu. Bahkan warga mengajukan tuntutan pada Pemerintah Kota Surabaya. Intinya, mereka menolak pengalihfungsian Waduk Sepat menjadi apartemen. Mereka merasa pengalihfungsian itu tindakan sewenang-wenang pemerintah, dan pemerintah telah melakukan kebohongan dengan menuliskan di atas kertas status lahan sebagai tanah tegalan (tanah yang kering).

PRO : AKTIF | PIKIR

Wilayah Surabaya Utara, dahulu kala, adalah kawasan rawa tempat air parkir sebelum masuk ke sungai. Beberapa kemudian beralih fungsi menjadi lahan persawahan dengan waduk alami dan buatan untuk menampung air dan mengairi persawahan itu. Salah satu kawasan itu adalah Waduk Sepat di daerah Wiyung, Surabaya Utara.

1


Tak ada yang tahu, kapan Waduk Sepat muncul. Yang jelas, sejak Pak Bani (saat ini 66 tahun) masih kecil, kakeknya bilang, saat sang kakek lahir waduk itu sudah ada. Mungkin buatan, mungkin juga bukan. Yang jelas Waduk Sepat telah memberi banyak pada warga Kampung Sepat. Waduk itu pernah menjadi sumber air untuk sawah-sawah warga Kampung Sepat. Juga menjadi sumber air minum, mandi dan mencuci warga. Kerbau-kerbau juga dimandikan di waduk tersebut setelah lelah membajak sawah. Pada tahun 80-an, saat status Kampung Sepat berubah dari Desa Sepat menjadi Kelurahan Sepat Lidah Kulon, banyak hal yang kemudian terjadi. Tak lama setelah peralihan status tersebut, tanah-tanah desa yang sejatinya adalah milik bersama warga Sepat (tanah bengkok) dialihkan kepemilikannya dari tanah desa menjadi Tanah Negara di bawah pemerintahan Kota Surabaya. Sang Mantri Air (petugas yang ditugasi mengawasi pengairan sawah di kampung oleh komunitas), diambil alih oleh Kelurahan, diangkat menjadi pegawai kelurahan. Wilayah persawahan di sebelah selatan Kelurahan Sepat juga satu demi satu beralih kepemilikan. Perlahan, waduk dan semua perangkatnya (pintu dan saluran irigasi) tak lagi berfungsi sebagai pengairan. Beberapa pintu air, masih ada sampai sekarang di antara perumahan warga, menandakan fungsinya dahulu. Sampai saat ini, meskipun tak lagi banyak sawah yang diairinya, Waduk Sepat masih berfungsi sebagai penahan air hujan agar tak membanjiri Kampung Sepat, karena posisinya yang memang lebih tinggi dari kampung. Saat orang menjual sawah-sawahnya, kerbau-kerbau yang juga biasa mandi di Waduk Sepat satu persatu kehilangan pekerjaannya. Si empunya kerbau, pun berganti pekerjaan: dari petani ke tukang bangunan. Tak lama terdengar berita tentang lahan-lahan sebelah selatan kampung yang akan dibangun menjadi perumahanperumahan. Tukang bangunan di Kampung Sepat memandang masa depan cerah. Meskipun mereka mesti bergantung dari proyek ke proyek. Dekade 90-an, air bersih dari Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Surabaya mengaliri Kampung Sepat. Warga senang, karena tak perlu lagi mengantri di sumur dekat Waduk Sepat untuk mengambil air. Dulu, antrian ember di dekat sumur bisa panjang sekali. Apalagi di musim kemarau. PDAM membuat Waduk Sepat perlahan mulai kehilangan makna lain kehadirannya. Dahulu, warga bergiliran memelihara waduk, membersihkankan dan menjaga kedalaman waduk. Setiap orang yang punya sawah, mendapatkan bagian dua meter persegi dari waduk. Anak-anak muda yang tak punya garapan, membersihkan satu meter persegi. Tradisi ini disebut gugur gunung. Waduk itu juga dipakai untuk memelihara ikan bersama. Sebelum panen, warga melarungkan sesaji tanda terimakasih untuk berkah Yang Maha Kuasa, dalam bentuk ikan yang mereka panen. Hasil panen dibagi untuk penduduk yang tak berpunya dan anakanak yatim. Tahun 2000-an, warga membuka usaha wisata

PRO : AKTIF | PIKIR

kolam pancing yang hasilnya masuk untuk kas desa, yang lagi-lagi sebagian diberikan untuk warga yang kurang mampu dan anak-anak yatim. Tradisi ini masih bertahan hingga sebelum kabar tiba: Waduk Sepat diambil alih oleh perusahaan pengembang untuk dijadikan perumahan mewah. Statusnya sebagai tanah negara, membuat Pemerintah Kota Surabaya merasa punya kewenangan untuk menukar-guling lahan dengan perusahaan. Bahkan deskripsi lahan, yang jelas-jelas waduk hingga saat ini, berubah menjadi tanah tegalan di atas Rencana Tata Ruang dan Wilayah kota Surabaya. * Kisah Waduk Sepat menggambarkan kegagalan proses perencanaan pemerintah. Perencanaan wilayah mestinya mengangkat status lahan dari fungsi dan penggunaan lahan, atau minimal menggambarkan pemanfaatan riil dari setiap petak lahan. Sesederhana karena kita tidak sedang merencana di ruang hampa. Ada manusia dan seluruh kisah hidupnya, jejalinan hubungan sosial dan hubungan dengan alam yang rumit. Bahkan berusia lebih dari satu generasi. Dimanakah, di kepuluauan ini, lahan kosong yang tanpa jalinan hubungan dengan manusia di sekitarnya? Namun jalinan hubungan yang membangun makna tersebut, secara tidak sadar dibongkar satu per satu, dilucuti dari manusia-manusianya. Tak ada yang sadar soal ini, ketika status Desa berpindah menjadi Kelurahan dan sang Mantri Air diangkat jadi pegawai negeri. Tak ada yang tahu apa dampaknya ketika mereka menjual lahan-lahan sawah yang diairi Waduk Sepat dan telah memberi makan mereka. Tak ada yang mengerti apa dampak jangka panjangnya ketika air PDAM mengaliri rumah-rumah warga. Semuanya tampak tak saling berhubungan. Jauh di bawah alam pikiran sadar, begitulah mimpi pembangunan: manusia yang berdiri sendiri, terbebas dari manusia lainnya, terbebas dari alam sekitarnya. Hubunganhubungan diganti menjadi transaksi rupiah. Tak butuh maksud yang terang-terangan, atau teori konspirasi. Semuanya akan terhubung dengan sendirinya mengikuti skenario bawah sadar itu. Dan cara pandang ini yang menjelma dalam proses perencanaan di waduk sepat: warga Kampung Sepat tak ada urusan lagi dengan Waduk Sepat. Ini yang terjadi di Kampung Sepat selama empat dekade ke belakang. Namun, hubungan-hubungan itu tak sepenuhnya terputus. Waduk Sepat masih punya makna bagi warga Kampung Sepat. Warga kampung masih punya ikatan antar sesamanya yang membuat mereka melawan dengan gigih. Bahkan salah seorang tokoh di kampung itu punya slogan: “Waduk Sepat, harga diri warga� Kisah pelucutan makna ini adalah modus utama pembangunan konvensional sekarang. Ada yang kasar, seperti kisah Warga Samin di Rembang dan berbagai kisah penggusuran warga kampung di ibukota. Ada yang lemah lembut tak terasa seperti Waduk Sepat dan peminggiran Suku Betawi keluar dari ibukota. Di tempat lain, bentuknya bisa dengan dalih pariwisata, transmigrasi, pacuan kuda, dan konservasi, yang dengan kasar mencekik ruang hidup penduduk aslinya, seperti kisah suku asli di pedalaman

2


Arso, Papua, yang tempat berburu-meramunya diambil alih untuk lahan transmigrasi. “Waduk Sepat harga diri warga� tak dikenal dalam kosakata pembangunan konvensional. Semuanya bisa di-mekanisasi. Takut banjir? Normalisasi aliran sungai jawabannya. Siapa yang menolak? Iming-imingi kerja di proyek perumahan mewah, jadi tenaga sekuriti, jadi tenaga kebersihan. Pekerjaan yang tak ada hubungannya lagi dengan Waduk Sepat, seperti mengganti pembagian ikan dari waduk yang pernah mereka dapatkan sebelumnya. Dengan harapan mendapat rupiah yang (mungkin) jauh lebih besar, warga terpecah. Sebagian warga yang memandang masa depan ada di proyek-proyek pembuatan perumahan, berbalik memusuhi sesamanya. Mengorbankan relasi-relasi sosial di antara warga.

akan mempermudah kerja-kerja advokasi di lapangan, dan mencegah permasalahan sebelum ia mengemuka.

*

Tembok-tembok pembatas dan plang nama hanya bangunan imajiner yang bertutur tentang pemutusan hubungan. Penuturan tembok-tembok dan plang itu hanya jadi punya makna bila ia kita gugu dan turuti. Selama alamnya masih utuh, selama itu pula kita bisa melawan krisis dan membangun relasi kembali dengan alam. Sambil berjuang mencegah kehancuran ruang-ruang hidup warga dengan satu-satunya bahasa yang sama-sama dipahami: Kami Menolak!

Memutus semua hubungan sosial yang kaya antara sesama manusia, dan memutus hubungan manusia dengan alam yang menopang hidupnya, dan mengganti semua hubungan itu dengan hubungan transaksional, adalah logika dasar pembangunan konvensional. Dalam bahasa seorang kawan, ia menyebutnya dengan logika krisis. Untuk melawan logika krisis ini, kita perlu berangkat dari mengenali tujuan dan cara mencapainya. Logika-logika ini perlu dibalik sehingga cara-caranya jadi sama sekali tak masuk akal. Ini

PRO : AKTIF | PIKIR

Bagi saya, membalik logika krisis dicapai dengan memperkuat hubungan-hubungan sosial alih-alih menggerusnya dengan transaksi (uang) yang mensyaratkan keterpisahan antara satu sama lain. Memperkuat kebergantungan dengan alam alih-alih melepaskan diri darinya. Petani-petani yang berhadapan dengan perusahaan penguasa lahan, mereka melawan dengan menanam. Saya sendiri melihat, ini bukan sekedar menanam, namun mempererat jalinan hubungan dengan alam. Di Kali Surabaya, contohnya, warga stren kali mengadakan ritual sedekah sungai dan membalik rumahnya. Mereka membangun kembali hubungan mereka dengan sungai.

***

3


[PIKIR II] Kesakralan: Dasar Tindakan Moral Dalam Melestarikan Alam Oleh: Eventus Ombri Kaho Di zaman sekarang yang ditandai dengan kemajuan teknologi dan informasi yang begitu pesat rupanya cenderung membuat manusia makin sulit mengendalikan hasrat membeli barang-barang yang hanya sedap dipandang mata.. Zaman berkembang maju luar biasa oleh karena perkembangan akal manusia yang semakin prioritas. Sehingga hati nurani tertinggal oleh akal budi yang saat ini seakan sulit untuk dikejar. Hasrat manusia yang tidak pernah terpuaskan menjadi pusat untuk segala sesuatu, sehingga paham antroposentrisme yang berpusat pada hasrat dan pemuasan diri seakan tak terkendali dan menyebabkan semua hal selain itu adalah objek dan cenderung dipahami sebagai hamba untuk melayani hasrat. Degradasi ekologi dan kehilangan makna akan “Roh” alam dengan hasrat manusia adalah dua wajah yang pada masa ini menjadi paradoks. Manusia modern nampak tidak manusiawi ketika ia dikontrol oleh hasratnya, sementara alam tetap meminta sebuah penghargaan. Hilangnya penghargaan terhadap lingkungan telah menyebabkan kemiskinan, kemelaratan dan kebodohan. Ini artinya bahwa aspek relasional sangat nampak dalam proses kehidupan manusia, ketika alam dirusak demi hasrat sebagian orang, maka akibatnya bukan hanya pada alam itu sendri, melainkan juga bagi manusia lainya dan bahkan generasi berikutnya (Dr. Leo Samosir, Agama dengan Dua Wajah, Jakarta: Obor, 2009, Hal. 135). Sesungguhnya ada apa di balik ini semua? Manusia seakanakan hanya menjadi hamba dari hasrat yang destruktif yang menunjukkan bahwa manusia itu telah kehilangan martabatnya. Begitu pula dalam relasinya dengan alam semesta. Saat ini kecenderungan yang paling tampak adalah bahwa alam semesta seolah-olah hanya menjadi objek dari hasrat manusia yang harus dipuaskan dan dipenuhi. Kemajuan teknologi, menawarkan kehidupan nikmat yang instan membuat manusia akhirnya kehilangan pengetahuan, kehilangan perasaan akan “Roh” alam semesta, “Roh” ibu semesta yang telah memberi hidup, merawat dan menjaga ribuan generasi yang hidup di dalam alam semesta. Persoalan lingkungan hidup seperti tidak menemukan solusi yang tepat. Persoalan mengenai lingkungan hidup ini seolah menjadi masalah sepanjang segala masa.

PRO : AKTIF | PIKIR

Banyak riset yang mencoba meneliti dan memberikan solusi namun, nyatanya tidak juga selesai (finish). Bahkan salah satu institusi religius, sebut saja Gereja Katolik yang melalui Bapa Paus Fransiskus mencoba memberi perhatian yang luar biasa akan lingkungan hidup melalui Ensiklik “Laudato Si”. Di dalam Ensiklik tersebut terdapat banyak nilai yang fundamental mengenai identitas dan “Roh” dari alam semesta ini. Walaupun Sri Paus telah mengeluarkan Ensiklik itu, toh juga tidak spontan dapat menyelesaikan persoalan dunia saat ini. Berbeda dengan Donald John Trump, yang mengatakan bahwa polusi, efek rumah kaca dan lain sebagainya yang berkaitan dengan lingkungan hidup adalah suatu “hoax”. Permasalahannya di sini ialah siapakah yang dibenarkan di sini, apakah Sri Paus atau Donald Trump? Masing-masing pribadi maupun institusi mengklaim diri “bukan” aktor permasalahan alam semesta ini. Lantas siapakah yang membuat alam ini tampak seperti ‘lumpuh’? Pola pikir yang rasional khas modern menjadi senjata pembelaan diri yang ampuh. Identitas dari alam semesta ini mungkin perlu diperjelas dan dipahami dalam konteks dan sudut pandang yang berbeda namun tetap dalam tujuan yang sama. Salah satu contohnya ialah bahwa alam semesta itu “ibu” dalam konteks budaya atau kultur tertentu, juga dapat dipahami sebagai “Wujud Tertinggi” dalam sudut pandang spiritual. Tujuannya ialah mengarahkan setiap pribadi kepada kesatuan di dalam berelasi. Relasi yang perlu dipahami ialah relasi antar subjek, bukan relasi subjek-objek. Jika yang dipahami ialah relasi subjek-objek, maka yang terjadi ialah eksploitasi yang besar-besaran. Selama ini, alam dipandang sebagai objek semata sedangkan manusia memandang diri mereka sebagai subjek yang perlu dipenuhi dan dipuaskan kebutuhannya. Mestinya ada relasi timbal balik antar subjek balik itu antara manusia dan alam. Lalu bagaimana membangun relasi itu sehingga bukan lagi sebagai “aku” dan “dia”, melainkan “kami”? Untuk sampai ke relasi yang intim itu, mungkin kita perlu belajar dari salah satu suku di daerah Atambua, Nusa Tenggara Timur, lebih tepatnya di Besikama. Orang Besikama terutama Uma Kalisuk (salah satu kampung yang juga merupakan bagian dari Besikama) sungguh masih percaya akan kekuatan yang ada di alam semesta ini. Mereka menghayati hukum keseimbangan hidup dengan mencoba

4


melandasi kehidupan untuk memelihara keseimbangan hubungan dengan Supranatural, manusia,dan alam. (Florens Maxi Un Bria, The Way To Happiness Of Belu People:Jalan Menuju Kebahagiaan Perspektif Orang Belu, Jakarta :Caritas Publishing House Indonesia, 2004, hal.76). Walaupun perkembangan zaman telah begitu maju dan canggih, tidak mempengaruhi cara hidup mereka. Mereka tetap percaya bahwa alam semesta ini memiliki suatu kekuatan. Mereka meyakini alam semesta ini digerakkan oleh “Wujud Tertinggi” yang dalam bahasa mereka ialah Maromak yang kemudian lebih dikenal sebagai Tuhan. Kepercayaan mereka didasarkan pada pertanyaan-pertanyaan yang jawabannya selalu tidak pasti, misalnya: “darimana munculnya bumi? Siapakah yang mampu menciptakan bumi? Untuk apa ada bumi? Mengapa harus hidup di bumi? Dan mengapa disebut sebagai bumi?” Pertanyaan-pertanyaan itulah yang membuat mereka terus-menerus percaya bahwa tidak ada kepastian selain dari “Wujud Tertinggi” itu. Sebab “Wujud Tertinggi/Maromak” tidak dapat dipahami oleh siapapun, kecuali dialami atau dihayati di dalam hidup. Bahkan mereka meyakini para leluhur yang telah meninggal tidak semuanya telah masuk surga sebelum empat puluh hari kematiannya. Untuk itulah mereka percaya bahwa arwah para leluhur itu masih berdiam di alam semesta. Mereka mengidentikkan alam semesta sebagai dunia baka. Dunia yang baka itu digambarkan sebagai sebuah tempat peristirahatan abadi yang suci, tenang dan damai. Arwah para leluhur itu masih menempati pohon atau daerah tertentu (Herman Yoseph Seran, Ema Tetun,Kupang, Timor:Gita Kasih, 2007, hal.57). Pohon-pohon itu dipercaya sebagai tempat peristirahatan arwah dan pohon-pohon itu tidak boleh ditebang atau dipetik daunnya. Persoalan yang dihadapi ialah anggapan bahwa semua itu hanyalah mitos untuk menakut-nakuti, bahkan dianggap tidak rasional atau dalam bahasa sekarang ‘lebay’. Tidak mudah untuk mengatakan bahwa itu semua tidak rasional. Sebab dari pertanyaan darimanakah asalmuasal bumi, dari situ tampak sangat jelas sikap kritis dari orang-orang Uma Kalisuk. Alam semesta ini hanya dapat dipahami secara total dalam “kacamata” spiritual. Jika hanya dipahami secara rasional, alam akhirnya hanya dapat dipahami sebagai objek yang perlu eskploitasi. Orangorang dari suku itu melihat alam sebagai suatu kesakralan. Alam itu sakral, karena alam itu adalah Allah dan tempat berdiamnya para leluhur. Nilai kesakralan ditempatkan pada tingkatan yang paling tinggi untuk maju atau melangkah ke arah moralitas. Bukan untuk menakut-nakuti kebebasan setiap individu. Jika setiap individu sudah percaya bahwa alam itu memiliki nilai kesakralan, maka orang tidak akan merusak alam itu. Bahkan jauh lebih mendalam lagi nilai kesakralan itu turut mempengaruhi moralitas dan pelestarian alam. Maka, ajakan yang tepat ialah “datanglah dan hiduplah bersama Maromak”. Pemahaman yang jauh lebih reflektif ialah pemahaman akan persoalan identitas dari alam semesta ini. Alam tidak lagi dipahami sebagai sesuatu yang fisikal semata, melainkan sesuatu yang mengandung nilai spiritualitas. Bila perlu harus sampai pada tingkat kesatuan atau keintiman dengan alam. Tentu saja tidak hanya melalui suatu proses pembelajaran atau perkuliahan, melainkan perenungan siapakah diri “saya” di hadapan alam semesta ini. Dalam istilah yang dipakai di dalam dunia filsafat mengenai kesatuan (unitas) itu ialah

PRO : AKTIF | PIKIR

suatu relasi yang sama-sama “bermain”. Di sana kedua belah pihak sama-sama aktif dan sangat berpartisipasi. Seharusnya sikap “unitas” di dalam alam menjadi spirit baru yang semakin merasuki bahkan menggerakkan setiap pribadi. Pada akhirnya masing-masing pribadi sadar bahwa betapa pentingnya memelihara semesta ini. Heidegger sendiri mengatakan bahwa memelihara merupakan dasar dari eksistensi (keberadaan manusia). Manusia memelihara karena ia mahkluk yg bermartabat sekaligus memiliki kebebasan. (David Ray Gryffin. Tuhan, Dan Agama Dalam Dunia Post Modern, Yogyakarta: Kanisius, 2009, hal.34). Maka kesimpulan yang dapat diambil dari apa yang dipercayai oleh Suku di Uma Kalisuk itu ialah alam sebagai Allah dan tempat peristirahatan para leluhur. Dengan demikian siapapun tidak boleh mengeksploitasi atau merusakan alam, karena merusak alam berarti mencoba melawan Allah dan mau mengusir para leluhur. Mereka tidak lagi berpikir tentang siapakah ‘aktor’ dari masalah yang dianggap tidak pernah selesai itu. Hubungan yang begitu dekat dengan alam itu membuat orang-orang Uma Kalisuk menganggap diri mereka sebagai bagian dari alam semesta ini. Inilah yang meyakini mereka, bahkan membuat mereka selalu berupaya untuk tetap menjaga alam. ***

5


[PIKIR III] Antara Sains dan Agama Oleh: Justin Coupertinho (Umbu) Kita Memang Tak Mempedulikan Alam Ketika kita diminta menggambarkan Alam, biasanya kita akan memilih obyek representatif seperti burung, pohon, hutan, samudra, bumi, rembulan,matahari, dan sebagainya. Bagi kita sekarang ini, Alam adalah lingkungan hidup, seluruh bentangan keberadaan benda-benda yang melingkupi kita, yang menopang kehidupan kita. Alam merupakan suatu semesta sistemik, sebuah dunia jejaring benda-benda yang menopang kehidupan kita. Kita sendiri, manusia, senantiasa menganggap Alam berada di luar kita sebagai tempat kita hidup. Gagasan bahwa kita manusia bukan bagian dari Alam, bisa dilihat pada akar gagasan ajaran agama-agama terwahyukan bahwa Alam Semesta hanyalah sebagai wadah perilaku hidup manusia yang pada saatnya akan dilenyapkan dan manusia akan diadili. Alam yang nilainya diletakkan pada tataran kesementaraan, dianggap tidak sebanding dengan hakekat rohani manusia yang berada pada tataran keabadian. Benak manusia pasti terganggu oleh kenyataan perubahan yang dialami tubuhnya, betapa mudah melenyap. Agama-agama bergantung pada kegelisahan manusia atas tubuhnya dan menghibur manusia dengan janji kehidupan di surga. Tubuh yang mudah berubah disejajarkan dengan Alam yang mengalami dinamika yang sama. Tubuh akan hancur dan pasti Alam pun akan menerima nasib kehancurannya, dalam doktrin hari kiamat. Roh, di lain pihak, sebagai sebuah konsep yang kontras terhadap tubuh, yang bersifat abadi, sama sekali terlepas dari proses dinamika dalam Alam. Roh inilah yang kemudian mendefinisikan hakekat kemanusiaan kita dalam perspektif agama-agama terwahyukan. Tuntunan bagi manusia sebagai mahluk rohani lantas dijabarkan ke dalam berbagai

PRO : AKTIF | PIKIR

dogma agama dan teologi. Alam semesta, dunia kehidupan ragawi, hanyalah sebuah bingkai sekunder yang mewadahi pelaksanaan tata kehidupan manusia yang dituntun oleh dogma dan teologi. Sains memiliki disiplinnya sendiri, jauh dari teologi-teologi. Sains memandang ke dalam Alam, memperhatikan fakta ragawi manusia dan membuktikan bahwa manusia berada dalam Alam. Sains berusaha menerjemahkan dinamika alam ke dalam rumusan-rumusan sistemik, dan memprediksi perilaku Alam secara akurat. Namun sekalipun Sains menjadikan Alam sebagai lahannya, Alam Semesta tidak pernah menjadi subyek dalam dirinya sendiri. Semesta bagi Sains adalah pelaksanaan formulasi sistematik, boneka yang dikendalikan oleh rumus - rumus matematis murni. Semesta maha luas ini tak lain adalah repetisi tak berhingga dari perilaku sistemik. Kehidupan tidak memiliki keistimewaan apapun, ‘hanyalah’ suatu kompleksitas pelaksanaan fungsi-fungsi matematis yang menggerakkan gejala-gejala fisik dan kimiawi. Hubungan antara manusia dengan Alam kemudian sangat bergantung dari kombinasi kontradiktoris antara gagasan sains dan agama, yakni peranan teknologi dalam rangka eksploitasi atas Alam demi kesejahteraan hidup manusia. Sains memang pembangun utama teknologi, namun gagasan dari agama-agama terwahyukan bahwa Alam ini hanyalah wadah bagi kesementaraan manusia, wadah yang pada akhirnya pun akan dihancurkan untuk mengantar manusia pada pengadilan akhir, adalah perangsang utama tata laksana kehidupan yang hanya menjunjung moral kerohanian, hanya mengatur hubungan antar yang rohani, sebuah etika yang tidak memberi tempat pada Alam Semesta yang bersifat, ‘fisik semata’. Dengan teknologi sebagai alat dalam tangannya, manusia menguasai alam, pergi melampaui daya-daya gravitasi,

6


melawan siklus gelap dan terang serta mengakali musimmusim. Teknologi memungkinkan manusia merelatifkan jarak, melunakkan kerasnya bebatuan serta membendung lautan dan sungai.

berada sejauh ia melaksanakan relasinya dengan semua yang lain, bukan sebagai subjek terhadap objek, tetapi sebagai sebuah kehadiran yang sekaligus menghadirkan semua yang lain.

Alam lantas hanya menjadi sekadar properti, milik manusia untuk dikuasai dan objek yang dimanfaatkan. Manusia membuat garis-garis batas dan titik-titik eksploratif di muka bumi, politis dan saintifik. Politik membuat manusia mengklaim bentangan-bentangan geografis. Semua itu berdasarkan keinginan pragmatis untuk mengelola, mengeruk dan memakai alam milik sendiri sebebasbebasnya tanpa diganggu. Alam dilihat sebagai fasilitas yang sudah tersedia, dipakai dan dimanipulasi sejauh mungkin untuk keleluasaan hidup manusia.

Kesadaran akan keberadaan yang berelasi, yang majemuk, plural karena berkaitan dengan semuanya sekaligus. Jika kita memanfaatkan pemikiran sederhana dari filsuf tersebut pada cara pandang terhadap alam, mungkin kita bisa keluar dari lingkaran setan narsistik di atas. Melihat kehidupan sebagai suatu fakta yang lebih luas dari sekadar kebernyawaan, melihat semuanya : atom, plankton, bakteri, ikan, banteng, pohon, sungai, samudra, rembulan, matahari, bunyi seruling, suara truk di kejauhan, dentuman quasar yang tak terdengar, suara ibu yang memanggil anaknya untuk makan, uap yang naik perlahan di atas aspal sehabis hujan, genangan air di dedaunan bromeliad, bau buku-buku tua di perpustakaan, keheningan biji-biji kopi dalam toples yang menanti untuk digiling, kelebat kucing di balik pintu, denting notifikasi di smartphone, semuanya lah dan denyut jantung kita serta seliweran pikiran yang bergantian...

Sosietas Semesta , Alam sebagai masyarakat kehidupan Jika hati dan benak manusia mampu melihat kehidupan sebagai daya yang universal, maka segala sesuatu yang hadir di dunia bisa terlihat sebagai jejaring fungsional yang sangat kompleks. Pengertian fungsional di sini bukan dalam rangka kegunaan pragmatis yang berakhir bagi kepentingan manusia, tetapi juga bukan suatu sistem saintifik di mana semesta bergerak berdasarkan formulasi matematis. Jika manusia melihat alam hanya sebagai objek fungsional bagi kesejahteraannya, maka manusia dengan teknologi pada tangannya adalah jalan buntu bagi alam. Manusia hanya pemakai, pelahap, bukan pemelihara yang sejati, apalagi pencipta dalam suatu konsep yang transenden dan abstrak. Jika alam hanya berupa deskripsi saintifik, sebagai suatu sistem fisik-kimiawi yang bergerak sendiri berdasarkan formulasi matematis maka alam hanyalah figur tak berwajah, juga tanpa esensi, hanyalah repetisi yang bisa ditebak, impuls-impuls yang sama yang berulang, baik dalam skala yang amat kecil, kuantum, atau yang tercermati oleh manusia seperti pembelahan sel, kelahiran, kebernyawaan, kematian, letusan gunung atau pun pergerakan galaksi, atau skala-skala maha besar dan tak terkontemplasikan seperti denyut ada dan tiadanya alam semesta. Benak pragmatis dan tangan teknologi manusia selamanya hanya bersifat narsistik sekaligus sebuah penjara repetisional, yang selalu berlangsung di dalam hidup manusia. Kita hidup hanya memikirkan diri sendiri, berulangkali mematut-matut wajah fisik dan keagamaan kita di depan cermin eksistensi kita. Dan betapa kita tak mau lepas dari kegiatan berdandan itu, melayani ‘hidup’ dengan terus memantaskan kehadiran kita di depan cermin tersebut. Karena kita hidup dalam lingkaran setan tersebut, perulangan yang terus menerus itu, kita pasti tidak sadar kalau keyakinan kita, filsafat kita, keber-agama-an kita sesungguhnya sudah kadaluwarsa dan beracun. Tetapi karena kita melayani repetisi itu maka kita tetap ‘survive’ dan tidak menyadari kalau kita hadir sebagai virus, kanker di muka bumi. Martin Heidegger, filsuf, berbicara tentang keberadaan manusia sebagai ‘Dasein’, di mana manusia bisa

PRO : AKTIF | PIKIR

Kehidupan itu adalah kehadiran semuanya. Hanya dengan menyadari semua itu sekaligus, kita bisa bahagia melihat kehidupan, berjalan lebih perlahan, menyadari musimmusim dan mampu berteduh dengan damai tatkala hujan atau melangkah terus dan menyadari sentuhan dari langit yang basah dan dingin. Pada gilirannya Alam akan berada di depan kita dengan kisahnya yang menakjubkan, kehadiran total dari yang tersembunyi. Sains dan semua pengetahuan eksploratif tak dapat menjangkau pengalaman ‘Dasein’ tersebut. Agama, apalagi itu, juga tak mampu atau mungkin tak melihat ke sana. Immanuel Kant, yang memetakan dasar filsafat sains menunjukkan pada kita bahwa metodologi berpengetahuan kita hanya mampu melihat apa yang tampil mewakili ojyek pengetahuan itu; bukan objek itu sendiri. Kita melihat hanya apa yang terlihat, menjangkau hanya sampai pada fenomena keterlihatan, bukan keberadaan. Albert Einstein, fisikawan, mengumpamakan alam semesta sebagai sebuah jam dinding berbandul; sains berusaha mencermati ayunan bandul dan lintasan jarum penunjuk waktu, kemudian merumuskan teori yang paling logis tentang mekanisme kerja jam dinding tersebut, tanpa membuka dan membongkar jam tersebut. Agama mungkin akan berkata ada Immanuel Kant bahwa terlihat atau tidak terlihat, objek pengetahuan itu sia-sia sebab apa pun yang benar sudah termaktub dalam kitab suci. Atau kepada Einstein, bahwa jam dinding itu beserta waktu yang ditunjukkannya akan berlalu dan dibuang ke dalam api. Sains dan agama tidak menghadirkan etika bereksistensi yang sungguh berkesadaran semesta. Berkesadaran semesta, hadir sebagai anggota dalam masyarakat jagat raya, menjalankan etika kehidupan tanpa tujuan pragmatis, tanpa janji surga, hanya demi kehidupan yang total itu sendiri (Immanuel Kant: berbuat baik karena

7


perbuatan itu baik). Menjadi manusia hanya bisa dipahami lewat hadirnya lelautan, binatang lain, angin, gunung, matahari. Tak ada keberadaan tunggal yang bisa diisolasi dan dibakukan. Kehadiran kita beresonansi dengan semuanya. Lantas apa yang perlu dilakukan dalam rangka beretika ‘Dasein’? Heidegger menganalogikan keberadaan manusia sebagai gembala. Menjaga dan memelihara, bukan Tuan atas properti atau pemilik. Gembala hadir bersama yang

dirawat, memperhatikan dan bertindak seperlunya saja, dan menghabiskan waktunya dengan merenung atau meniup suling. Kita tak perlu berlebihan menangisi pohon yang ditebang, atau bersukacita karena sains menemukan sebuah planet yang bisa dihuni manusia. Kita hanya perlu berhenti sejenak dan menyadari ‘Dasein’ kita. Alam pasti tetap tumbuh, jauh lebih kuat dari apa pun, melampaui semua hari kiamat. ***

ILUSTRASI/ Vidya

PRO : AKTIF | PIKIR

8


[MASALAH KITA I] Krisis Ekologis: Sebuah Tantangan Peradaban Oleh: Navita K. Astuti & Any Sulistyowati Perkembangan peradaban Manusia adalah bagian dari alam. Manusia mencari dan mengolah bahan pangan, sandang dan papan dari alam untuk bertahan hidup. Melalui interaksinya dengan alam, manusia telah mengembangkan keterampilan, pengetahuan dan wawasan yang sangat berguna untuk peningkatan kualitas hidupnya. Krisis dan kreativitas telah mengembangkan kemampuan manusia dalam penyediaan, pengolahan dan pengawetan makanan. Kemampuan ini mengubah cara pemenuhan kebutuhan manusia, dari berburu dan meramu menjadi bertani dan beternak; dari berpindahpindah menjadi menetap. Mereka mulai membuka hutan dan mengubahnya menjadi tempat hunian dan kawasan produksi.

bahan tambangnya menjadi sasaran eksploitasi perusahaan tambang sekaligus menjadi sumber tenaga kerja murah. Eksploitasi alam di Benua Amerika dan Australia membuat Suku Indian dan Aborigin tersingkir dari tanah leluhur mereka. Di Asia, Indonesia pun menjadi salah satu wilayah yang diperebutkan. Hal ini ditandai dengan sejarah Indonesia mengalami masa-masa penjajahan berbagai bangsa mulai dari Belanda, Inggris dan akhirnya Jepang. Proses eksploitasi tersebut terus berlanjut sampai saat ini dan dilegalkan melalui kesepakatan perdagangan internasional yang memungkinkan perusahaan transnasional mengekspoitasi alam lintas batas negara. Hal tersebut bahkan didukung oleh kebijakan-kebijakan nasional yang mempermudah investasi untuk mengekspoitasi alam dengan dalih mengejar pertumbuhan ekonomi. Manfaat dan Dampak Tidak dipungkiri bahwa perkembangan di atas telah memberikan sumbangan besar bagi peningkatan kualitas hidup manusia. Intensifikasi pertanian memungkinkan peningkatan produksi pangan secara cepat dan masif. Perdagangan antar negara memungkinkan kita menikmati makanan yang berasal dari tempat-tempat yang jauh yang sebelumnya tidak dapat kita santap kecuali di tempat asalnya. Perkembangan teknologi memungkinkan kita membuat barang-barang dalam skala besar dengan harga yang lebih

Hubungan manusia dengan alam di Kelimutu

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi telah memungkinkan pembukaan hutan dan pengambilan sumberdaya makin meluas sampai melampaui batas-batas negara dan benua. Penemuan suatu wilayah baru dengan sumber daya alam yang kaya ditindaklanjuti dengan eksploitasi di wilayah itu. Proses eksploitasi alam terjadi dengan lebih cepat dan masif. Ditambah dengan motivasi untuk mengeruk keuntungan sebanyak-banyaknya dari perdagangan sumber daya alam, menyebabkan pembukaan lahan makin luas terjadi di wilayah-wilayah yang kaya sumberdaya alam tersebut. Benua Afrika dengan kekayaan

PRO : AKTIF | MASALAH KITA

Pak Nas - Tukang kayu terakhir di Kampung Cigarukgak.

9


murah. Perkembangan teknologi informasi memungkinkan kita terhubung satu sama lain dengan mudah dan cepat.

Tenun - semula menggunakan kapas lokal dan pewarna alam.

Sayangnya, di samping berbagai manfaat yang diperoleh, terdapat dampak-dampak yang harus ditanggung oleh seisi bumi. Kerusakan alam terjadi di mana-mana pada skala yang semakin besar dan memprihatinkan. Masalahnya, kerusakan alam pada akhirnya akan berdampak pada hidup manusia juga. Setidaknya, kerusakan-kerusakan itu akan (telah) mengurangi kualitas hidup manusia melalui beberapa cara. Pertama-tama adalah berkurangnya ketersediaan sumberdaya atau terjadi kelangkaan sumberdaya untuk memenuhi kebutuhan hidup. Kelangkaan sumberdaya seringkali menyebabkan hilangnya budaya yang telah berkembang terkait sumberdaya tersebut. Banyak kearifan lokal yang dibangun dari pengembangan budaya selama berabad-abad lenyap bersama hilangnya sumberdaya tersebut. Hal ini terjadi pada tenun dengan pewarna alam di berbagai daerah di Indonesia. Hilangnya hutan telah menyebabkan hilangnya spesies-spesies pewarna alam yang semula tumbuh di hutan itu. Tanpa bahan baku pewarna alam, maka seluruh kebudayaan terkait proses menenun dengan pewarna alam di daerah itu pun ikut hilang. Contoh lain yang mungkin lebih dekat dengan kehidupan kita di kota adalah budaya penggunaan rumah kayu. Kelangkaan kayu menyebabkan penggunaan kayu sebagai bahan baku rumah semakin berkurang. Kondisi ini menyebabkan berkurangnya kebutuhan akan tukang kayu yang berujung pada berkurangnya jumlah orang yang (mau/bisa) berprofesi sebagai tukang kayu. Jika kondisi ini terus berlanjut, maka profesi tukang kayu akan semakin menghilang. Akibatnya hilanglah ketrampilan bertukang kayu yang semula diwariskan secara turun-temurun. Di kampung kami, Cigarugak, tukang kayu ahli yang tersisa adalah orang-orang tua, yang sekarang tinggal satu orang. Dampak lain dari kecenderungan di atas adalah munculnya ketergantungan masyarakat pemilik budaya tersebut pada sumberdaya dan budaya baru yang tidak mereka hasilkan di tempat asal mereka. Dalam kasus tenun, menghilangnya pewarna alam menyebabkan digunakannya pewarna sintetis buatan pabrik maupun benang-benang pabrik yang sudah diberi pewarna sintetis yang tidak dihasilkan di daerahdaerah tenun. Sementara dalam kasus kayu, sebagai bahan

PRO : AKTIF | MASALAH KITA

bangunan pengganti, digunakanlah bahan-bahan tambang seperti cor beton untuk tiang, batu bata, pasir dan semen untuk dinding, dan baja ringan untuk rangka atap dan kusen. Seringkali bahan-bahan tambang ini berasal dari daerah yang jauh tempat eksploitasi penambangan, misalnya pada kasus semen dan baja, sebelum kemudian diproses di pabrik sampai akhirnya dapat digunakan sebagai bahan bangunan. Yang lebih memprihatinkan, apabila kecenderungan tersebut berlanjut, maka akan potensial menjadi sumber konflik antar kelompok kepentingan yang memanfaatkan sumberdaya tersebut. Sebagai contoh, lenyapnya hutan menyebabkan masyarakat yang semula mengambil makanan, kayu bakar dan bahan bangunan dari hutan kehilangan akses terhadap pemenuhan kebutuhan-kebutuhan tersebut. Kebutuhan-kebutuhan tersebut kemudian dipenuhi dengan cara lain, misalnya dengan bekerja di kota. Di kota terjadilah persaingan antara masyarakat lokal yang kehilangan akses terhadap hutan dengan para pendatang yang sudah lebih lama menetap di kota. Terjadilah konflik perebutan ruang hidup di antara semakin banyak kelompok kepentingan. Pada akhirnya, konflik ini seringkali dianggap sebagai konflik horizontal, antar etnis, suku, agama dan sebagainya. Padahal esensi konflik yang sebetulnya adalah perebutan ruang hidup akibat sistem sosial ekonomi yang meminggirkan masyarakat lokal dan alam. Jika konflik tersebut tidak dikelola dengan baik, maka dapat berujung pada perselisihan dan bahkan perang antar kelompok masyarakat. Dampak lain dari kerusakan alam adalah hilangnya manfaat langsung yang diperoleh manusia secara gratis dari alam. Manfaat ini disebut sebagai jasa lingkungan. Salah satu bentuk jasa lingkungan adalah ketersediaan air. Daerah bantaran sungai dengan kondisi alam yang masih bagus memungkinkan resapan air di wilayah itu terjadi dengan baik. Dalam kondisi ini, masyarakat bisa mendapatkan air sepanjang tahun, termasuk di musim kemarau. Jika alam di hulu rusak, maka kerusakan itu akan mempengaruhi stok air di hilir. Selain ketersediaan air, masih banyak lagi jasa lingkungan yang secara cuma-cuma telah disediakan alam untuk menopang kehidupan kita. Beberapa di antaranya adalah udara bersih, kestabilan cuaca dan iklim dan kesuburan tanah. Selain itu, kerusakan alam juga terjadi karena pertambahan produksi limbah yang melampaui batas daya urai alam. Saat ini pertambahan jumlah produksi limbah berbanding lurus dengan peningkatan konsumsi sumberdaya. Limbah-limbah yang tidak dapat terurai tersebut kemudian menumpuk dan mencemari alam, menimbulkan penurunan kualitas alam, bau tak sedap dan menjadi sumber penyakit yang menurunkan tingkat kesehatan masyarakat. Teknologi proses telah memungkinkan pencampuran berbagai bahan untuk menghasilkan efek rasa, warna dan tekstur yang diinginkan. Sayangnya, tidak semua bahan yang digunakan tersebut aman untuk digunakan dan apalagi untuk dikonsumsi. Banyak bahan yang digunakan, baik pada saat proses produksi, penggunaan maupun ketika diolah saat menjadi limbah, merupakan racun-racun yang berbahaya bagi tubuh kita. Selanjutnya racun-racun ini akan

10


menumpuk di alam, dan membahayakan semua makhluk hidup yang mengonsumsinya. Dengan masifnya pola konsumsi dan produksi terjadilah kerusakan dalam skala global yang menghasilkan dampak dalam skala global pula. Penggunaan bahan bakar fosil dan pembukaan lahan hutan yang sangat masif telah menyebabkan emisi karbon dan gas-gas rumah kaca lainnya. Berubahnya komposisi gas di atmosfir menyebabkan perubahan kemampuan bumi untuk mengatur suhu. Rentang antara suhu terendah dan tertinggi bumi makin besar. Perubahan ini menimbulkan perubahan pola angin, hujan dan musim di bumi. Sebaliknya perubahan pola angin, hujan dan musim juga menyebabkan perubahan rentang antara suhu terendah dan tertinggi tersebut. Akibatnya, bencana mulai lebih sering terjadi, antara lain dalam bentuk badai, hujan es, banjir dan kekeringan. Beberapa akibat turunannya adalah gagal panen serta munculnya berbagai hama dan penyakit terkait dengan cuaca . Tantangan upaya pemulihan krisis Saat ini, berbagai solusi telah diupayakan untuk menyelesaikan krisis tersebut. Berbagai teknologi yang selaras alam mulai banyak dikembangkan. Hanya saja teknologi tersebut terletak di dalam sistem ekonomi dan politik yang seringkali tidak membawa kita ke arah pilihan-pilihan hidup yang lebih selaras alam. Berbagai sistem insentif dan disinsentive melalui berbagai kebijakan ekonomi , keuangan dan industri yang berjalan saat ini, membuat barang-barang yang tidak ramah lingkungan menjadi lebih murah daripada barang-barang yang diproduksi dengan selaras alam. Hal yang sama berlaku juga untuk sektor energi dan transportasi. Kebijakan industri dan perbankan saat ini mendorong kita untuk lebih memilih menggunakan kendaraan pribadi yang boros penggunaan sumberdaya daripada kendaraan publik yang lebih efisien

dan hemat energi. Di sektor energi, lebih murah membeli energi dari bahan bakar fosil daripada memasang panel surya di atap rumah kita. Di sektor pangan, seringkali kita menemukan bahwa pangan impor dengan jejak ekologis yang besar harganya lebih murah daripada pangan lokal yang jejak ekologisnya lebih kecil. Lebih dari itu, secara umum, budaya yang berkembang di masyarakat global saat ini adalah gaya hidup boros yang mendorong lebih banyak konsumsi sumberdaya alam. Hal ini mencerminkan seolah eksistensi manusia dibangun oleh daya belinya. Semakin banyak membeli berarti semakin eksis. Hal-hal di atas tidak terlepas dari konflik berbagai kepentingan yang selama ini diuntungkan dari sistem yang selama ini berjalan. Perubahan ke pola hidup baru yang lebih selaras alam akan membutuhkan kreativitas dan kecerdasan dalam menghasilkan inovasi-inovasi sistem baru yang lebih menjamin keselamatan bumi dan seluruh ciptaan yang hidup di dalamnya. Implikasi dari inovasi tersebut adalah kita seringkali perlu menjalani hidup dengan cara yang sangat berbeda dari cara hidup kita sebelumnya. Semua itu akan membutuhkan kesadaran, kemauan dan kerja keras. Sayangnya, tidak semua dari kita memilikinya. Saat ini, krisis ekologis telah sampai pada kondisi yang sangat mengkuatirkan. Akankah kita melanjutkan pola hidup pribadi dan kolektif yang berujung pada kerusakan sumber-sumber kehidupan tersebut? Ataukah kita mulai memikirkan dan menerapkan pola-pola kehidupan baru, yang secara cerdas mampu meningkatkan kehidupan manusia tetapi sekaligus pula meningkatkan kualitas alam, yang menjadi sumber utama kehidupan kita? Bersediakah kita menerima tantangan untuk bergabung dalam barisan pembawa perubahan ke arah peradaban baru yang memulihkan kondisi bumi? Jawabannya akan berpulang pada kita, sebagai individu, sebagai warga masyarakat, warga negara dan penduduk bumi. ***

PRO : AKTIF | MASALAH KITA

11


[MASALAH KITA II] Suka Duka Menjadi Aktivis Lingkungan Hidup Oleh: Ratna Ayu Wulandari Menjadi seseorang yang bergerak di isu lingkungan memang tidak mudah. Awal masuk dunia perkuliahan belum terpikirkan nantinya akan menjadi apa. Sejalan dengan aktivitas perkuliahan, muncul keinginan untuk bisa menjadi lebih bermanfaat bagi orang lain. Terinspirasi ketika melihat iklan di TV tentang dedikasi seorang wanita untuk mengajar di pedalaman hutan di Taman Nasional Bukit Duabelas (TNBD). Semenjak saat itu selalu tertarik untuk melihat hal-hal yang berbau edukasi untuk anak-anak di pedalaman, sampai akhirnya terbuka peluang untuk melakukan studi akhir melengkapi tuntutan agar bisa menyelesaikan kuliah.Saya memilih untuk mengambil penelitian mengenai pendidikan konservasi untuk masyarakat di sekitar TNBD. Banyak hal baru yang bisa saya dapatkan, termasuk berkesempatan untuk mengenal lebih tentang masyarakat rimba atau suku Anak Dalam (begitu pemerintah kita menyebutnya). Selesai kuliah dengan idealisme yang masih tinggi, saya lebih memilih untuk bergabung dengan lembaga-lembaga yang bergerak untuk edukasi dan masyarakat. Saya tertarik mempelajari kearifan tradisional yang ada dan telah berakar lama di masyarakat. Sampai pada akhirnya,memilih bergabung dengan sebuah lembaga yang bergerak untuk perlindungan hutan dan satwaliar. Bergabung menjadi tim edukasi dan sosialisasi ke masyarakat termasuk untuk anak-anak sekolah. Pengalaman berkeliling desa untuk sosialisasi program telah mengguratkan berbagai pengalaman suka dan duka, beserta tantangannya, namun hal itu justru terkadang menerbitkan rindu untuk kembali ke perkampungan di pedalaman Sumatera. Berhadapan dengan warga yang tidak semua menerima dengan baik apa yang kita kerjakan, bahkan ada yang menolak dengan mendatangi saya dan tim begitu tiba di desa. Tentu saja ada juga yang meminta untuk meninggalkan desa. Rasa panik, takut yang muncul sampai akhirnya proses komunikasi dan negosiasi dilakukan dengan warga dan dibantu Bapak Kepala Desa. Sebenarnya warga sangat terbuka dengan hal-hal yang berbau edukasi terutama untuk anak-anak, saya dan tim memang menitik beratkan pada edukasi anak. Warga sudah bosan dan jenuh

PRO : AKTIF | MASALAH KITA

dengan janji-janji yang tidak jelas, begitu ungkap Bapak Kepala Desa. Lokasi desa itu berada di titik terujung dari Taman Nasional yang waktu itu hanya bisa dilalui dengan mobil double gardan. Entah apa alasan dimasukkannya desa Melayu Tua ke dalam kawasan Taman Nasional, padahal mereka telah lama ada jauh sebelum penetapan kawasan Taman Nasional itu sendiri. Di desa ini terdapat kecemburuan yang sangat tinggi dengan desa tetangga terdekat yang berjarak sekitar 23 km karena desa tetangga memiliki kesempatan untuk memiliki aktivitas produksi yang bernilai ekonomi, sedangkan mereka sendiri hanya bisa bertani secara alami dengan tanaman karet. Ternyata dari apa yang kita bawa menjadi penentu bisa diterima di masyarakat, dan yang terpenting jangan pernah menjanjikan sesuatu yang tidak jelas ke masyarakat. Bergerak untuk isu lingkungan, terutama yang berkaitan dengan konservasi hutan, banyak konflik kepentingan yang sering saya temukan di lapangan. Gesekan antara masyarakat dengan pemerintah atau sesama masyarakat. Pemicunya jelas peningkatan ekonomi masyarakat untuk pemenuhan kebutuhan hidup, kecemburuan dengan perusahaan-perusahaan yang ‘sepertinya mendapatkan ijin pengelolaan hutan lebih mudah’. Tingkat kebutuhan yang tinggi itu yang menjadikan masyarakat berani untuk membuka hutan, memanfaatkan lahan negara bahkan hutan lindung untuk menjadi area produksi. Tetapi tidak semua masyarakat membuka hutan baru itu untuk memenuhi kebutuhan utama, terkadang itu hanya sifat manusia yang tidak pernah merasa puas dan punya keinginan memilki lebih banyak dalam segala hal. Upaya konservasi yang banyak dilakukan oleh lembagalembaga baik lokal maupun internasional adalah upaya untuk mencegah kerusakan hutan yang hebat. Saya sadar secara pribadi tidak punya kuasa dan kewenangan untuk bisa berbuat lebih untuk kelestarian hutan, tetapi yakin apa yang saya lakukan ada manfaatnya. Sampai suatu saat saya memutuskan untuk berhijrah ke bandung, sekitar 2,5 tahun yang lalu dan masih bertahan untuk bekerja mengangkat isu lingkungan. Semua yang kita lakukan mempunyai tantangan dan

12


Tingkat pendidikan dan ekonomi tinggi pun tidak menjadi jaminan kita mudah diterima masyarakat kalau apa yang kita kerjakan tidak bermanfaat. Pernah merasakan bergerak untuk masyarakat pedalaman, pinggiran hutan, dan perkotaan menjadikan pengalaman hidup ini sangat berharga. Mungkin saya sendiri belum bisa membawa pengaruh besar dengan apa yang telah saya lakukan.

Foto bersama anak-anak suku Talang Mamak.

kendala tersendiri, tidak bisa kita bandingkan dengan tempat lain, semua lokasi mempunyai tingkat kebutuhan yang berbeda. Saat ini berhadapan dengan masyarakat perkotaan, tingkat pendidikan, ekonomi dan sosial yang berbeda. Ini pengalaman baru, karena selama ini selalu berhadapan dengan masyarakat desa pinggiran hutan.

PRO : AKTIF | MASALAH KITA

Begitu banyak pengalaman hidup saya dapatkan, bertemu orang baru yang ternyata tidak seseram yang saya bayangkan, mempelajari sesuatu yang baru yang tidak sama untuk setiap lokasi yang saya datangi , menjadikan kendala dan tantangan sebagai motivasi untuk terus maju dan bergerak. Saya percaya dengan menyenangi pekerjaan dan menjadi bermanfaat bagi orang lain, pekerjaan yang berat pun akan terasa menjadi ringan, dan saya terus berusaha untuk melakukan itu. ***

13


[MASALAH KITA III] Berdiri Idealis, Berjalan Realistis Oleh: Jaenal Mustofa “Akh”, begitu suara keluhan yang terdengar dari belakang meja kerja, tempat seorang anak manusia dengan segudang cita akan kehidupan yang ideal. Hampir satu minggu belakangan ini, kata-kata penuh keluhan lazim keluar dari mulutnya disertai dengan hembusan nafas yang berat serta rebahan tubuh pada kursi seakan-akan mengisyaratkan dia sangat lelah. Akar, begitu dia biasa disapa oleh orang-orang yang mengenalinya dari media sosial. Tentu nama itu bukanlah nama yang tertulis di akta kelahiran yang diberikan oleh kedua orangtuanya. Nama itu dia dapatkan ketika mengikuti pendidikan pecinta alam saat dia masih terikat dengan sumpah tri dharma perguruan tinggi. Namun entah mengapa nama itu sangat berarti baginya. Akar pernah bercerita bahwa nama itu memang sengaja Tuhan berikan padanya agar dia sadar dari mana dia berasal, selain itu, sepertinya, nama itu mengisyaratkan bahwa setiap episode hidupnya akan selalu berhubungan dengan lingkungan. Baginya hidup selaras dengan alam bukanlah lagi sebuah pilihan. Melainkan kewajiban yang harus dijalnkan setiap manusia yang ada di muka bumi ini tanpa terkecuali. Akar kerap kali mengatakan “HablumminAllah, Hablumminannas, Hablumminalalam”, yang artinya, berhubungan baik dengan Allah, berhubungan baik dengan sesama manusia, dan berhubungan baik dengan alam. Kalimat terakhir sesungguhnya tidak menyertai dua kalimat awal, yakni Allah dan Manusia, namun para pendahulunya di organisasi pecinta alam menambahkan kalimat terakhir, dengan harapan agar tertanam pada diri setiap anggotanya. Aku pernah bertanya pada nya, “Kar, sejak kapan kau sangat tertarik dengan dunia lingkungan ini?”, “entahlah”, jawabannya singkat seraya berpikir. “mungkin, dari kecil, Ka”, tambahnya namun tak yakin. Akar sendiri tidak tahu secara pasti kapan dia mulai tertarik, semua mengalir begitu saja. Namun seingat dia, masa kecilnya selalu saja ada interaksi dengan alam. Seperti ketika pertama kali belajar berenang. Jika anak-anak lain belajar berenang di kolam renang dengan instruktur dan kedalaman kolam

PRO : AKTIF | MASALAH KITA

yang bisa diatur, tidak demikian dengan akar. Akar belajar berenang di lautan lepas. Hal ini terjadi ketika perjalanan menuju Kepulauan Seribu. Hanya dibantu oleh sang Ibu yang memegangi kedua tangannya, Akar kecil membiasakan tubuhnya bersahabat dengan air laut. Selain itu waktu kecil, acap kali akar ikut ayahnya memancing di danau, jika bosan, dia suka berjalan sendirian, memasuki hutan di belakang danau, dan dia sangat senang berada di antara pephonan tinggi, yang seakan-akan menyelimutinya. Kami berdua sudah bersahabat sejak dari SMA. Hanya saja kami tidak ditakdirkan satu kelas. Akar memilih untuk masuk kelas sosial, sedang aku masuk kelas eksakta. Alasan dia masuk kelas sosial karena dia sangat tertarik dengan manusia dan lingkungannya. Bagi Akar, manusialah penentu segala hal yang ada saat ini, manusia pula yang menjadi penentu masa depan akan seperti apa. Kepekaan sosial Akar semakin diasah ketika dia mengikuti komunitas baca dan teater. Di sanalah dia mulai berinteraksi dengan buku-buku tentang kapitalis, sosialis, komunis, ecofasis, ecopopulis. Dan pada saat itu dia mulai tertarik menyuarakan aspirasi dengan turun ke jalan, dari mulai isu kenaikan upah buruh, sampai isu korupsi. Di saat remaja lain termasuk aku sendiri, menikmati masa remaja dengan bermain basket, nongkrong di tempattempat gaul, pacaran, tidak dengan Akar. Setelah lulus SMA kami melanjutkan, pendidikan di perguruan tinggi yang berbeda, namun kami tetap berkomunikasi, untuk saling tahu keadaan masingmasing. Akar memilih melanjukan pendidikan di bidang seni, sedang aku di psikologi. Di tempat dia melanjutkan pendidikan, dia mengikuti organisasi pecinta alam, karena sesuai dengan kesenangan dia dari kecil. Di sanalah dia mendapatakan kalimat “HablumminAllah, Hablumminannas, Hablumminalalam”, yang kerap kali dia ucapkan setiap dia berdiskusi tentang lingkungan. Akar semakin gila akan dunia lingkungan ini, tidak cukup dia mengaktifkan dirinya di organisasi pecinta alam di kampus tercinta. Akar mengikuti organisasi lingkungan di luar kampus, mulai dari yang fokus di konservasi, fokus di isu sampah dengan semangat zero waste, sampai yang

14


fokus pada kebijakan-kebijakan. Pada akhirnya kami ditakdirkan bekerja di tempat yang sama. Di salah satu organisasi lingkungan terbesar dan tertua di Indonesia. Aku masuk ke sini ditawari oleh Akar yang sudah terlebih dulu aktif di sini. Aku masuk di bagian peningkatan sumber daya manusia sedang Akar berada di divisi kebencanaan, tepatnya bencana ekologis. Selama berada di satu organisasi ini, Akar banyak mengajarkanku agar hidup selaras dengan alam. Aku yang sebelumnya tidak pernah mengikuti pelatihan atau pun doktrin-doktrin tentang lingkungan, agak kesulitan menerima semuanya, seperti masalah zero waste. Akar mengatakan kepada ku, jika sampah yang selama ini kita hasilkan, sekali pun kita membuang pada tempatnya, namun sesungguhnya itu tidak menyelesaikan masalah, hanya memindahkan masalah. Karena ada masalah baru yang timbul, di tempat-tempat penampungan sampah sementara sampai sampah akhir. Akar bercerita tentang tragedi Leuwi Gajah dan Bandung lautan sampah, yang diakibatkan dari penolakan-penolakan beberapa tempat yang akan dijadikan tempat penampungan sampah akhir. Akibatnya, sampah-sampah tidak cepat diangkut, sehingga Bandung yang terkenal sebagai kota kembang justru bau oleh sampah-sampah. “Zero waste lah solusinya�, celoteh Akar meyakinkan. Akar selalu bersemangat setiap kali mengkampanyekan stop kantong kresek, stop air minum dalam kemasan, selain persoalan sampahnya, juga persoalan privatisasi air yang dilakukan oleh pihak swasta. Dan Akar membuktikannya dengan tidak pernah sekali pun, dia masuk ke mini market karena akan menimbulkan sampah jika dia masuk ke mini market, dan itu tidak sesuai dengan kampanyenya jika dia melakukan itu. Sampai akhirnya tiba pada waktu itu, dimana kata “akh� kerap kali keluar dari mulutnya, serta terlihat lelah tidak seperti biasanya. Seperti ada hal yang mengganjal dalam dirnya, yang dia sendiri tidak tahu jalan keluarnya. Nampak di wajahnya raut kekecewaan yang amat dalam, namun entah ditujukan pada siapa kekecewaan itu. Semakin jauh dia mencari semakin dalam dia menggali, dia semakin bertanya-tanya tentang apa tujuan dari semua ini. Tanpa sempat aku bertanya tentang keresahan yang dia alami, Akar memutuskan mundur dari dunia yang selama ini membentuk dirinya. Dia memilih untuk tidak terlibat lagi dengan isu-isu yang sudah menjadi bagian dari hidupnya. Dia mengatakan dia lelah dan dia ingin beristirahat, dan aku tidak berani bertanya apa alasannya. Setelah lima menit menunggu akhirnya secangkir kopi tubruk sampai juga di meja ku, dengan aromanya yang begitu menggoda, single origin dari Jawa Barat ini siap aku cicipi dengan penuh kesadaran. Di tengah lidah ini menikmati rasa yang dihasilkan, aku melihat sosok berjalan ke arahku sejauh mata memandang, sepertinya tidak asing bagiku. Betapa terkejutnya bahwa sosok itu adalah sosok idealis yang sangat aku kenal, yang menghilang tanpa ada tanya. Akar. Setelah dua tahun tidak bertemu akhirnya kami bertemu di sebuah kedai

PRO : AKTIF | MASALAH KITA

kopi yang baru enam bulan melayani para penikmat kopi. Kami pun langsung saling bertanya kabar, dan kesibukan masing-masing selama dua tahun tidak jumpa, dan tentunya aku masih menyimpan rasa penasaran mengapa Akar memutuskan keluar pada waktu itu. Akhirnya dia bercerita, mengapa dia memutuskan untuk istirahat. Ada hal yang membuatnya ragu untuk melanjutkan hidup di jalan ini. Dia melihat, entah dia yang teramat lebay atau dia tidak mampu memahami realita yang terjadi. Berawal dari ketidaksetujuan dia akan beberapa hal yang dilakukan oleh para pendahulunya di organisasi lingkungan yang cenderung berkompromi terkait beberapa persoalan lingkungan. Padahal, dulu merekalah yang menanamkan idealisme pada dirinya. Jika mereka mengatakan pemerintah jangan tebang pilih dalam hal penegakan hukum, seharusnya mereka pun tidak. Nyatanya banyak dari mereka yang melakukan hal tersebut. Contohnya salah satu kasus di sebuah gunung di Jawa Barat. Sebuah “petak� di dalam kawasan konservasi yang pada kenyataannya di lapangan, petak itu digunakan untuk pertanian atau diolah untuk tanaman industri. Lalu mengapa tidak diusut? Mungkin karena organisasi yang melakukan pendampingan adalah organisasi anggota, seakan-akan tidak mau ribut dengan internal sendiri. Sehingga pembiaran dilakukan. Padahal jelas-jelas melanggar hukum. Mereka berdalih bahwa pemerintah tidak pernah melibatkan mereka dalam penentuan status suatu kawasan, sehingga mereka menganggap hal yang mereka lakukan (mungkin) adalah pengecualian. Contoh yang lain adalah penggunaan dana CSR. Mereka berkata jika setiap program yang dilakukan pemerintah itu selalu jangka pendek. Padahal mereka sendiri melakukan hal tersebut. Penanaman untuk lahan kritis, revitalisasi lahan hanya terikat pada kontrak saja. Setelah kontrak program selesai, mereka seakan tidak peduli apakah program yang mereka lakukan itu berdampak atau tidak. Contoh lain pengaksessan dana-dana dari lembaga bermasalah. Secara kelembagaan menolak, namun personal atau pun lembaga anggota boleh mengaksesnya, karena ada pendapat diambil atau tidak toh lingkungan kita tetap dirusak, padahal dulu mereka mengajarkan bahwa harus selalu tegas menolak program-program yang secara jelas bersinggungan dengan lingkungan. Ada lagi beberapa senior-senior yang sudah purna jabatan yang dulunya mendemo perusahaan A sekarang malah menjadi bagian dari perusahaan tersebut, dengan dalih, dia tidak lagi di organisasi, dia punya anak istri, yang harus dinafkahi, toh kamu tidak akan mau menanggung hidupnya kan? Adalagi senior-senior mereka yang dulunya lantang menjadi oposisi pemerintah dan menentang kebijakan-kebijakan pemerintah, menjelang pilkada mereka justru menjadi juru bicara tidak resmi akan kebijakan-kebijakan pemerintah, karena mereka dilibatkan dalam tim pemenangan salah satu calon, yang secara kebetulan masih menjabat di pemerintahan. Ada lagi senior-senior yang dulunya menanamkan zero waste pada dirinya, namun dia sendiri tidak mengamalkan itu. Dia pernah bertanya mengapa demikian?. Jawabannya ini hanya peroalan peran. Ketika saya mengkampanyekan

15


tentang zero waste karena saya bagian dari organisasi tersebut, sedangkan saat ini saya sedang tidak menjadi bagian dari organisasi tersebut, saya individu yang merdeka. Akar sempat tidak heran jika organisasi-organisasi besar itu melakukan hal tersebut, karena banyak kepentingan politik pula orang yang terlibat di dalamnya. Namun kekecewaan bertambah ketika garda depan dari kelestarian lingkungan yakni kelompok pecinta alam pun sudah keluar dari jalur. Melihat banyak para pecinta alam yang hanya gagah-gagahan, mereka sudah jauh melenceng dari tujuan awal mereka dilahirkan. Gerakan-gerakan untuk tetap menjaga kelestaraian alam seakan-akan hilang dari diri mereka, mereka lebih mementingkan olahraganya bukan esensi dari kegiatannya Panja, naik gunung, arung jeram, susur gua, tidak lagi mereka melihat sisi konservasinya. Ditambah ketika ada suatu kejadian, dimana salah satu organisasi pecinta alam memakan korban (lagi) pada saat diklatsar. Pecinta alam se-Indonesia berkumpul atas nama solidaritas, dengan slogan panjang umur mapala. Tapi kemana mereka ketika alam ini dirusak oleh para penguasa, yang seharusnya merekalah menjadi yang berteriak paling lantang. Aku paham dengan yang Akar rasakan, sebagai manusia yang idealismenya dibangun dari kecil, tentulah tidak mudah menjadi manusia idealis di tengah kumpulan manusia munafik. Menjadi manusia jujur mengatakan apa adanya dianggap membuat ricuh. Akar pun bercerita, dari dua tahun ini, selama satu tahun dia sulit mencari kerja, bukan karena tidak mampu, namun karena takut dia melanggar idealisme yang dia bangun sendiri. Setelah Akar bercerita panjang lebar tentang alasan dia waktu itu mundur, aku pun bertanya, tentang pekerjaan

PRO : AKTIF | MASALAH KITA

dia saat ini. “Lalu bekerja dimana kau saat ini, Kar?” Tanya ku penasaran. “Di sini, Ka”, sambil melihat sekeliling. Ternyata tempat dimana aku menikmati kopi ini adalah usaha baru dia bersama temannya. Lalu Akar pun melanjutkan bahwa dia sama saja dengan orang-orang yang diceritakannya tadi. Aku sempat heran dengan perkataannya tentang “aku sama saja dengan mereka”. Akar langsung mengajakku memasuki dapur kedainya, dia memperlihatkan sampah-sampah dari makanan yang memang dijajakan di kedai kopinya ini. Bahwa dulu dia pernah mengkampanyekan, zero waste. Sekarang justru sebaliknya, semua hal yang Akar benci dan Akar selalu propagandakan ada dan Akar ikut mengkampanyekan dengan cara menjualnya. Lalu Akar bertanya “Raka, masih ingatkah kau tahun 2013 aku pernah mengkampanyekan apa?” aku hanya menjawab dengan tersenyum. Ya bahwa pada tahun itu Akar pernah mengkampanyekan bahwa kota ini tidak butuh lagi kedai atau pun café, kota ini butuh ruang terbuka hijau. Namun saat ini Akar mencari nafkah dari apa yang dulu dia tentang. Akar pernah bilang terkadang memang lebh baik tidak dilahirkan seperti kata Soe Hok Gie, kalau pun dilahirkan...ya mati muda. Namun andai kata Soe Hok Gie pun masih hidup hingga saat ini, dia tidak yakin Soe Hok Gie masih bisa seidealis masa mudanya. Idealisme yang telah dihidupi Akar untuk menyelamatkan alam lingkungan hidup ini mungkin belum selaras dengan lingkungan aktivismenya. Realita kehidupan telah menariknya dari idealisme itu, mungkin agar kelak ia lebih mampu mendorong alam ini seperti idealisme yang pernah ditanamkan kepadanya. Hal ini memberi dirinya kesadaran bahwa dia tidak bisa menyelesaikan seluruh persoalan lingkungan, seorang diri, atau pun pada generasinya. ***

16


[OPINI] Memahami inkompatibilitas Antara Kearifan Lokal Masyarakat Adat dan Pola Hidup Masyarakat Modern Oleh: Angga Dwiartama Kasus sengketa lahan dan diskriminasi terhadap masyarakat adat Sunda Wiwitan di Cigugur, Kabupaten Kuningan, beberapa bulan lalu (BBC Indonesia, 24/08/17) mewarnai serangkaian catatan hitam pemerintah atas ketidakmampuannya melindungi hak-hak masyarakat adat di Indonesia. Konflik antara masyarakat adat dengan pemerintah maupun pihak swasta seringkali bergulir di isu seputar kepemilikan lahan dan batas-batas kawasan adat. Seiring dengan pembukaan lahan-lahan untuk permukiman, perkebunan, dan industri, lahan masyarakat adat semakin terdesak, yang berujung pada terancamnya integritas masyarakat adat yang digempur oleh budaya modern. Hal ini mendasari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), sebuah lembaga advokasi masyarakat adat, untuk mendesak pemerintah dalam mengesahkan Rancangan UndangUndang (RUU) tentang Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat Adat, sebagaimana dilansir Kantor Berita ANTARA, September 2017 lalu.

Leuit di Ciptagelar.

Sejatinya, pemerintah telah berupaya untuk melindungi eksistensi masyarakat adat melalui berbagai perangkat perundang-undangan. Secara mendasar, hak tanah ulayat, misalnya, merupakan bagian penting di dalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA). Pemerintah juga mengukuhkan keberadaan hutan adat di tengah konstelasi kawasan hutan di Indonesia melalui UndangUndang No.41 tahun 1999 tentang Kehutanan dan berbagai turunan peraturannya. Pemerintah daerah, melalui

PRO : AKTIF | OPINI

perangkat Peraturan Daerahnya, berwenang menetapkan keberadaan dan batas-batas kawasan kampung adat, serta menguatkan kelembagaan masyarakat hukum adat. Perda ini menjadi dasar bagi penetapan hutan adat oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Di sisi lain, Dinas Pariwisata dan Kebudayaan di berbagai daerah telah berupaya melindungi kantung-kantung masyarakat adat dan tradisi yang ada di dalamnya melalui penetapan kawasan cagar budaya. Baru-baru saja, KLHK merilis peraturan baru tentang Perlindungan atas Kearifan Lokal (PermenLHK tahun 2017) sebagai ratifikasi terhadap pengakuan masyarakat tradisional di dalam Conventions on Biological Diversity (CBD) yang disepakati bersama di tingkat internasional tiga dasawarsa silam. Pertanyaannya, apabila pemerintah telah berupaya sedemikian rupa untuk melindungi hak-hak masyarakat adat, mengapa berbagai ancaman terhadap kelompok masyarakat ini terus saja terjadi? Agaknya, pernyataan Chief Seattle, seorang kepala suku Indian di Amerika Serikat, yang dikutip di atas, menggambarkan salah satu permasalahan mendasar atas inkompatibilitas tata nilai di dalam banyak masyarakat adat dengan norma-norma di dalam sistem masyarakat modern. Bagaimana bisa, katanya, manusia memperjualbelikan apa yang tidak dimilikinya? Ini, tentu saja, tidak hanya berlaku untuk tanah, air dan udara, tapi juga untuk pengetahuan dan kearifan lokal yang diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Di saat masyarakat modern disibukkan oleh permasalahan seputar hak atas kekayaan intelektual (HAKI), paten dan hak cipta, berbagai bentuk pengetahuan lokal ‘dicuri’ untuk dikomersialisasikan oleh pihak lain, hanya karena para ‘pemilik pengetahuan lokal’ ini tidak mempunyai bukti dan pengakuan atas pengetahuannya, atau sebatas karena mereka tidak merasa memiliki pengetahuan tersebut – bukankah pengetahuan yang dibangun secara kolektif menjadi milik bersama? Tentunya, pemerintah telah menunjukkan itikad baik dalam melindungi keberadaan masyarakat adat melalui perangkatperangkat perundang-undangan, penetapan pengakuan dan program-program pendukung. Kita pun, dalam banyak kasus, mengiyakan bahwa kehidupan masyarakat adat yang harmoni dengan alam mampu menjawab banyak masalah

17


dalam pengelolaan lingkungan hidup. Sebagai romantisme masa lalu, orangtua-orangtua kita seringkali mengingat masa-masa kecilnya bermain di tengah sawah dan mandi di sungai (laiknya lagu ‘Libur di Desa’ yang dipopulerkan Tasya). Hanya saja, kita sepertinya tidak mampu berbuat lebih dari itu. Seperti halnya yang dilakukan oleh pemerintah, kita melihat masyarakat adat sebagai sesuatu di luar kita -- sesuatu yang patut diisolasi dan dipreservasi agar nilai-nilainya tidak punah, itu saja. Menurut penulis, kita bisa berbuat lebih dari itu, dan ini dimulai dengan lebih dulu menyadari seberapa dalam inkompatibilitas antara masyarakat adat dan kehidupan modern telah terbangun, serta ancaman apa yang muncul sebagai akibat darinya. Gejala atas inkompatibilitas ini ditunjukkan dengan adanya komodifikasi budaya. Sejak tahun 2000-an, pemerintah daerah telah mendorong pelestarian budaya masyarakat adat melalui pencanangan cagar budaya, yang dikombinasikan dengan wisata budaya kampung adat. Rumah-rumah adat dan upacara-upacara tradisional menyita perhatian wisatawan lokal dan mancanegara. Orangorang berdatangan untuk mendokumentasikan keunikankeunikan ini. Tidak jarang, para wisatawan juga mendapat perlakuan sebagai tamu istimewa di dalam upacara-upacara adat yang digelar. Ini, oleh para antropolog sosial, disebut sebagai komodifikasi budaya – upaya menjadikan artefak budaya sebagai komoditas ekonomi. Di satu studi yang penulis lakukan di tahun 2005, penulis mendokumentasikan bagaimana di tengah euforia kampung adat, pengetahuan lokal tentang manfaat tumbuhan-tumbuhan secara tradisional justru semakin hilang di kalangan generasi muda di satu kampung adat di Jawa Barat. Salah satu alasannya, masuknya wisatawan ke kampung adat menyebabkan aliran uang dan produk-produk kota ke dalam kampung, warungwarung dibangun, menggeser produk-produk pangan dan obat-obatan lokal. Seiring dengan masuknya produk budaya kota adalah masuknya pengetahuan modern tentang penyakit dan kesehatan. Sebagai contoh, masyarakat dahulu percaya bahwa sakit perut disebabkan oleh udara buruk yang masuk ke dalam tubuh. Atas dasar itu, tumbuhtumbuhan seperti jambe dan kuciat dibalurkan pada perut untuk mengusir udara buruk tersebut – sejalan dengan kandungan senyawa volatile pada tumbuhan tersebut yang berperan dalam memperlancar peredaran darah di tubuh. Di kalangan anak muda, obat modern dan jamu instan, sesuatu dari luar yang asing bagi mereka, kini menjadi solusi praktis bagi sakit perut. Tidak ada yang salah dengan itu tentunya, tapi sesuatu yang eksternal ini menyebabkan keterputusan antara masyarakat dan alam. Pengetahuan lokal tersebut praktis memudar dari tata nilai masyarakat. Satu contoh lain dari inkompatibilitas budaya adalah apa yang diperlihatkan oleh Masyarakat Adat Kasepuhan Ciptagelar di Sukabumi Selatan. Kelompok masyarakat yang tersebar di dalam kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak ini hidup melalui pola pertanian padi tradisional yang khas. Pola pertanian yang mengangkat ratusan varietas padi lokal javanica ini telah diterapkan selama ratusan tahun dan mampu memenuhi kebutuhan pangan bagi sekitar 10.000 warganya. Pertanian padi, menurut mereka, adalah bagian dari filosofi hidup mereka. Padi sendiri

PRO : AKTIF | OPINI

merupakan sesuatu yang sakral – masyarakat tidak boleh menjual atau membuang padi dalam bentuk apapun. Pola pertanian padi tradisional yang dijalankan oleh masyarakat Ciptagelar dicirikan dengan padi javanica yang tumbuh lebih tinggi, memiliki batang lebih kokoh, gabah yang tidak rontok dari malainya, serta dengan periode tumbuh lebih lama. Berdasarkan karakteristik ini, pola tanam dan budaya pertanian masyarakat dibangun. Masyarakat Ciptagelar bercocok tanam padi hanya satu kali dalam setahun sesuai waktu yang diinstruksikan oleh kepala adat, menggunakan etem atau ani-ani untuk memotong tangkai batang padi (yang melalui itu membantu masyarakat ‘merasakan’ setiap individu padi yang mereka panen untuk menemukan varietas baru yang mungkin tercipta), serta menyimpan ikatan gabah (pocong) di dalam lumbung padi mereka yang disebut leuit. Beras yang masih tersimpan di dalam pocong dapat bertahan hingga 10 tahun. Gabah ini lalu ditumbuk secara manual menggunakan lesung dan dimasak secara tradisional.

Chief Seattle’s Quote

Di tahun 1970-an, pemerintah, atas dorongan Revolusi Hijau, memperkenalkan padi varietas unggul kepada masyarakat Ciptagelar. Varietas ini tidak kompatibel dengan pola budaya tani masyarakat di dalam berbagai aspek. Batang tanaman padi yang pendek tidak bisa lagi dipanen dengan etem karena memaksa pemanen untuk membungkuk – sesuatu yang jadi sangat melelahkan. Gabah varietas unggul sangat mudah rontok, sehingga tidak bisa lagi disimpan dalam leuit. Varietas unggul juga tumbuh dengan cepat dan membutuhkan asupan pupuk siap serap yang tinggi – jelas bertentangan dengan cara masyarakat Kasepuhan menjalankan pertaniannya. Upaya introduksi padi varietas unggul praktis gagal, karena menerapkan satu teknologi seperti varietas unggul berarti merubah secara menyeluruh cara masyarakat bertani, dan pada akhirnya pola budaya yang ada di masyarakat. Sementara sebagian besar masyarakat Ciptagelar hingga saat ini masih mentaati tata nilai yang dipegang secara turun temurun, sebagian kecil masyarakat di tepian kawasan mulai menerapkan pola pertanian modern karena desakan ekonomi (padi modern bisa ditanam dalam pola 2-3 kali setahun, sehingga dapat dijual lebih banyak keluar), dan berdasarkan wawancara yang dilakukan oleh penulis, kini menjadi lebih rentan terhadap hama padi. Masyarakat Kasepuhan Ciptagelar memberikan contoh yang baik tentang bagaimana kita bisa membangun hubungan yang terbuka antara masyarakat adat dan masyarakat perkotaan tanpa mengancam keberadaan dan nilai-nilai luhur masyarakat. Kepala Adat Kasepuhan Ciptagelar,

18


Abah Anom, yang digantikan oleh anaknya Abah Ugi, tidak tertutup oleh kemajuan teknologi. Dengan bantuan beberapa seniman dan pemerhati budaya dari luar, mereka mengadopsi teknologi dengan mendirikan radio komunitas di dalam kampung, membuka akses terhadap internet (seluruh aula kampung memiliki akses wifi) dan bahkan memiliki televisi lokalnya sendiri. Semua dilakukan juga untuk membangun keseimbangan antara budaya lokal dan budaya modern. Anak-anak SD belajar tentang budayanya melalui internet, televisi dan radio. Tapi di sisi lain, masyarakat Kasepuhan juga memelihara pola-pola budaya (seperti pola taninya) dari nilai-nilai baru yang berpotensi mentransformasi akar budaya masyarakat. Di akhir tulisan ini, penulis beropini bahwa masyarakat adat di Indonesia dan kearifan lokalnya memang secara nyata terancam. Akan tetapi, solusi yang bisa kita berikan bukanlah dengan mengisolasi budaya mereka di dalam kantung-kantung yang tersisa. Dengan menyadari apa yang kompatibel dan tidak di antara nilai budaya masyarakat adat dan nilai budaya modern (konsep kepemilikan, produktivitas, modernitas, dsb.), kita bisa membangun platform hubungan yang lebih selaras antara masyarakat adat dan masyarakat perkotaan. Di satu sisi, kita perlu belajar untuk lebih terbuka dan menyesuaikan diri dengan nilai-nilai luhur kearifan lokal. Di sisi lain, kita bisa membantu masyarakat adat untuk memperoleh hak-haknya dan mengawal dari ancaman nilai-

nilai modern yang tidak terkendali. *** Pustaka: BBC Indonesia (24 Agustus, 2017). Masyarakat Sunda Wiwitan tolak eksekusi lahan adat. http://www.bbc.com/ indonesia/indonesia-41033495 ANTARA News (27 September, 2017). AMAN: RUU Masyarakat Adat Harapan Penyelesaian Konflik. https://www.antaranews.com/berita/654954/aman-ruumasyarakat-adat-harapan-penyelesaian-konflik Referensi foto: Gambar 1. Kutipan surat Chief Seattle, kepala suku Suquamish, Amerika kepada Presiden AS, 1852 (Sumber: http://www.azquotes.com/quote/808968) Gambar 2. Aksi AMAN menuntut pengesahan RUU Masyarakat Adat (Sumber: https://www.antaranews. com/berita/654954/aman-ruu-masyarakat-adat-harapanpenyelesaian-konflik) Gambar 3. Leuit (lumbung padi) sebagai komponen penting kehidupan masyarakat adat Kasepuhan Ciptagelar, Sukabumi (Sumber: http://www.republika.co.id/berita/ inpicture/nasional-inpicture/15/05/24/notw11-kilasperjalanan-budaya-kasepuhan-ciptagelar)

ILUSTRASI/ Vidya

PRO : AKTIF | OPINI

19


[TIPS] Memulai Hidup Selaras Alam Oleh: Any Sulistyowati Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi telah membuat manusia mampu mengolah alam dengan semakin baik. Hasilnya adalah peningkatan kualitas hidup yang dapat kita nikmati saat ini. Masalahnya cara manusia mengolah alam seringkali kurang memperhatikan batas daya dukungnya. Penurunan kualitas alam, krisis sumberdaya dan penumpukan limbah terjadi di mana-mana, di seluruh dunia. Situasi ini telah menimbulkan masalah, baik bagi alam dan akhirnya bagi manusia sendiri. Banyak orang telah menyadari situasi ini dan kemudian melakukan inisiatif-inisiatif untuk pemulihan kualitas alam. Salah satu upaya yang dilakukan adalah dengan menerapkan dan mempromosikan gaya hidup selaras alam. Tidak sedikit persoalan-persoalan yang dihadapi dalam melaksanakan inisiatif ini. Salah satu tantangan yang dihadapi untuk hidup selaras alam adalah secara sadar memilih hidup dengan cara yang berbeda dengan cara hidup kebanyakan orang. Salah satunya adalah dalam penggunaan dan pemilihan sumberdaya. Gaya hidup yang dominan berjalan saat ini mendorong kita untuk mengonsumsi lebih banyak barang, mengikuti mode terbaru dan pola hidup instan yang tercermin dalam penggunaan barang-barang sekali pakai. Hal tersebut diperkuat dengan iklan-iklan yang ada di TV, Koran, majalah, papan reklame, dan juga berbagai saluran media sosial. Berhadapan dengan tawaran (seringkali kita rasakan sebagai tuntutan) gaya hidup tersebut, gaya hidup selaras alam seringkali terkesan kurang populer, ga asyik, aneh, pelit, ga up to date dan membosankan. Menanggapi hal ini, banyak inisiatif mempromosikan gaya hidup selaras alam mulai bermunculan. Mulailah muncul promosi-promosi mengenai pentingnya gaya hidup baru ini. Berbagai produk dimunculkan dengan label ramah lingkungan. Para artis dan tokoh masyarakat pun terlibat untuk memperlihatkan betapa pentingnya produk-produk tersebut di dalam mendukung gaya hidup yang baru dipromosikan ini. Masalahnya, produk-produk ini muncul di tengah gaya hidup di mana semakin banyak mengonsumsi berarti semakin keren. Para pembeli adalah raja. Akibatnya, meskipun produknya sendiri mungkin ramah lingkungan

PRO : AKTIF | TIPS

dan selaras alam, tetapi tanpa mengubah pola hidup yang boros penggunaan sumberdaya yang melekat pada masyarakat kita, krisis alam pun masih akan terus berlanjut. Persoalan lain dengan produk-produk tersebut adalah, dengan label ramah lingkungannya, biasanya harganya lebih mahal dari produk lain sejenis yang tidak berlabel ramah lingkungan. Harga ini tentu saja berpengaruh pada daya beli. Akhirnya yang dapat mengkonsumsi produkproduk tersebut adalah mereka-mereka yang memiliki uang lebih. Padahal mereka yang memiliki uang lebih hanyalah sebagian kecil dari masyarakat. Masyarakat kebanyakan tetap harus menggunakan produk-produk yang merusak alam. Akhirnya, kerusakan alampun masih terus berlanjut. Apakah benar bahwa gaya hidup ramah lingkungan itu sulit, ga asyik dan mahal pula? Jawabannya tidak selalu. Semua tergantung pilihan. Beberapa organisasi di Bandung, termasuk organisasi saya, Kail, mencoba menerapkan prinsip-prinsip keberlanjutan di dalam kegiatan maupun kehidupan sehari-hari kami. Kami berusaha membuat hidup selaras alam semudah mungkin, semurah mungkin dan seasyik mungkin. Kami berusaha mencapai kualitas hidup setinggi-tingginya, dengan dampak yang seminimal mungkin terhadap alam; dan juga dengan biaya yang sesuai dengan kantong kami, aktivis dengan penghasilan paspasan. Bagaimana caranya?

Kebun sebagai sumber pangan.

20


Menanam dan mengolah makanan sendiri Di zaman modern ini, makanan biasanya berasal dari hasil produksi pertanian. Kebanyakan dari produk pertanian itu diolah dengan cara pertanian modern yang menggunakan pestisida dan pupuk kimia. Pola pertanian ini tidak sehat baik bagi alam dan juga bagi manusia. Penggunaan pupuk kimia akan menyebabkan tanah makin tergantung pada pupuk dan mengalami penurunan kesuburan dalam jangka panjang. Penggunaan pestisida yang ditujukan untuk meracuni hama pada akhirnya akan meracuni hasil panen yang kita konsumsi. Salah satu cara mencapai hidup sehat adalah dengan mengonsumsi produk pertanian organis. Sayangnya, harga produk organis biasanya lebih mahal dari produk biasa. Untuk mengantisipasi hal itu, kita bisa menanam makanan kita sendiri. Dengan menanam sendiri, kita bisa mengontrol bahan-bahan apa saja yang kita gunakan di dalam produksi pangan kita. Menanam bahan makanan tidak terlalu sulit, asalkan kita memilih menanam produk-produk lokal yang mudah tumbuh serta sesuai dengan iklim di tempat kita menanam. Jika kita bisa menanam makanan sendiri, maka kita bisa menyediakan makanan sehat, lokal, organis dari kebun sendiri. Semua itu sama sekali tidak mahal, segar dan sekaligus sehat. Di Kail, kami memiliki sejumlah kebun yang berisi beraneka tanaman buah dan sayur. Kebun tersebut dikelola dengan cara yang tidak terlalu intensif. Para staf mengurusnya di waktu luang. Selain itu hanya ada satu petugas kebun yang memelihara kebun setiap hari. Sebagian dari makanan yang kami konsumsi selama kegiatan diambil dari kebun tersebut. Makanan yang dihasilkan memang makanan-makanan sederhana, sangat lokal tetapi yang pasti sehat dan segar. Menanam, memelihara dan memanen makanan sendiri tentu membutuhkan waktu. Tetapi pergi ke pasar, warung, toko dan restoran pun memerlukan waktu. Tinggal kita memilih, waktu yang ada akan digunakan untuk apa? Apakah untuk berjalan-jalan di mall untuk memilih di restoran mana kita akan makan malam ini, atau berjalan-jalan di kebun untuk memilih sayuran mana yang akan kita petik untuk makan malam kita? Untuk yang pertama, kita akan memerlukan sejumlah uang, yang kita dapatkan dari bekerja. Untuk yang kedua, kita dapatkan dari bekerja juga, tetapi di kebun sendiri. Semua itu adalah pilihan. Memilih barang yang awet dan menggunakan barang selama mungkin Di Kail, para staf menggunakan sedotan stainless sebagai pengganti sedotan plastik. Kami membawanya kemana pun sehingga kalau kami beli jus atau minuman lainnya, kami tidak perlu menggunakan sedotan plastik. Sedotan stainless tersebut bisa dicuci dan digunakan kembali. Jadi kami dapat mengurangi sampah. Pengurangan sampah sedotan terkesan sedikit, tetapi apabila banyak orang melakukannya maka akan berarti juga pengurangan itu. Harga sedotan ini tidak terlalu mahal. Jika pesan online, harganya sekitar Rp. 6000,sampai Rp. 10.000,- per batang, tergantung membelinya berapa banyak.

PRO : AKTIF | TIPS

Penggunaan sedotan stainless untuk mengurangi sampah pelastik.

Di Kail kami juga mempromosikan penggunaan barang bekas. Tujuannya adalah untuk memperpanjang umur barang-barang yang kita gunakan. Setiap tahun kami mengumpulkan barang bekas, dan menjualnya untuk warga sekitar. Kadang kami juga ikut membeli, jika masih ada yang tersisa. Hasil penjualannya kami gunakan untuk menjalankan kegiatan-kegiatan untuk warga sekitar. Rumah Kail pun banyak menggunakan bahan bekas, mulai dari kayu, kaca, genteng, keramik untuk lantai sampai kloset. Penggunaan barang-barang bekas ini lumayan menghemat biaya pembelian material. Tantangannya adalah ketika mencari barang material bekas, kadang kita tidak bisa mendapatkan barang dengan ukuran, warna dan corak yang sama sejumlah yang kita perlukan. Untuk itu kita perlu pandai-pandai memadu-padankan barang-barang yang beragam agar didapatkan kombinasi yang serasi dan enak dipandang. Kegiatan-kegiatan Kail banyak menggunakan bahan-bahan bekas. Kami mengumpulkan berbagai barang sisa, seperti kain perca, potongan kertas, kayu, daun dan banyak hal lagi untuk suatu saat dijadikan sesuatu yang berguna. Jika ada bahan dan barang yang tersisa, maka kami menyimpannya untuk kemudian hari. Siapa tahu masih bisa dipakai. Tantangannya adalah di sistem penyimpanan. Kadangkadang kami lupa telah menyimpan sesuatu. Lalu akhirnya kami menggunakan bahan lain, atau bahkan barang baru. Selain itu kami juga membutuhkan ruang untuk menyimpan barang-barang bekas tersebut. Nah, kedua hal tersebut masih dalam proses pemikiran untuk dapat dicarikan penyelesaiannya. Membeli dalam kemasan besar Kemasan merupakan salah satu sumber sampah. Kemasan digunakan untuk mempermudah penyimpanan, proses transportasi, serta memperindah tampilan benda. Ketika benda tersebut digunakan atau dikonsumsi, kemasan tidak digunakan lagi. Kebanyakan kemasan kemudian menjadi sampah dan dibuang. Ada banyak jenis kemasan. Beberapa

21


Pembelian barang dalam kemasan besar untuk mengurangi sampah.

Menggunakan wadah sendiri untuk pembelian makanan mentah dan jadi dapat mengurangi sampah plastik.

di antaranya sulit atau tidak dapat digunakan lagi. Kalaupun bisa, perlu usaha yang sangat keras atau biaya yang lebih mahal dibandingkan hasil yang didapatkan. Contoh-contoh kemasan seperti ini adalah kemasan sachet shampoo dan kantong plastik bumbu dalam mie instan. Untuk mengurangi kemasan yang kita buang dan meningkatkan penggunaan kembali kemasan tersebut, pilihlah kemasan yang paling besar yang tersedia di pasaran. Jerigen bekas minyak goreng lima liter, lebih bisa kita manfaatkan kembali dibandingkan botol minyak goreng yang satu liter. Selain lebih awet, jerigen lima liter bisa kita manfaatkan untuk berbagai hal ketimbang kemasan yang satu liter yang lebih cepat rusak. Demikian pula ketika kita jual ke tukang loak. Harga jerigen lima liter pastilah lebih mahal daripada botol plastik satu literan.

berbagi atau bertukar barang yang tidak kita perlukan lagi dan seribu satu macam berbagi lainnya. Dengan berbagi, kita bisa mengurangi barang-barang yang tidak kita perlukan lagi, meningkatkan nilai manfaat barang tersebut karena digunakan kembali oleh orang yang menerima sekaligus meningkatkan hubungan baik dengan kawan-kawan kita.

Hal lain yang dapat digunakan untuk mengurangi kemasan adalah membeli barang tanpa kemasan. Di Kail, kami bekerjasama dengan warung-warung lokal agar ketika kami membeli, kami dapat membawa wadah sendiri. Pada awalnya mereka merasa tidak nyaman melayani pembeli tanpa memberikan kemasan, atau setidaknya kantong keresek. Tetapi setelah kami jelaskan, mereka mulai memahami dan mengikuti pola belanja tanpa kemasan yang kami inginkan. Memanfaatkan modal sosial Kadang-kadang kita tidak memiliki cukup banyak uang untuk membeli produk dalam kemasan besar. Untuk itu, kita perlu mengembangkan cara lain. Salah satu cara yang dapat dipilih adalah dengan membangun modal sosial. Di dalam kasus kemasan, kita dapat tetap membeli kemasan besar, kemudian kita berbagi atau patungan dengan teman-teman yang lain. Masing-masing dari kita kemudian membawa wadah sendiri. Dengan demikian kita akan mengurangi sampah sekaligus membangun persahabatan dengan temanteman. Kasus berbagi ini juga dapat diterapkan pada banyak hal lainnya, seperti menumpang di mobil atau motor kawan dan sebaliknya. Kita dapat berbagi biaya bahan bakar. Selain mengurangi biaya yang harus kita tanggung, hal ini juga mengurangi polusi udara dan emisi gas rumah kaca. Untuk itu, di dalam kegiatan-kegiatan Kail kami mendorong para staf dan peserta pelatihan untuk datang bersama untuk menghemat biaya transportasi dan emisi karbon. Kita juga dapat saling berbagi hasil kebun, hasil masakan,

PRO : AKTIF | TIPS

Menikmati gaya hidup kita Hal penting lain dalam mempromosikan gaya hidup selaras alam adalah sikap kita terhadap gaya hidup kita sendiri. Kita perlu menikmati pilihan gaya hidup ini dan secara konsisten menerapkannya. Untuk kami di Kail, merupakan sebuah kebanggaan jika kami dapat hidup selaras alam tetapi dengan biaya yang semurah mungkin serta proses yang semudah mungkin. Jadi kami terus mencari terobosan-terobosan baru untuk meningkatkan kualitas hidup sekaligus meningkatkan kualitas alam dengan biaya sesuai ketersediaan “kantong�. Seluruh proses ini kami nikmati dan bagikan kepada mereka yang berkunjung ke Rumah Kail. Jika kita sendiri tidak menikmati gaya hidup ini, bagaimana kita dapat mengajak orang lain bergabung? Demikianlah beberapa tantangan dan kiat hidup selaras alam. Di luar hal-hal di atas, tentu masih banyak lagi tantangan dan kiat-kiat lainnya. Apapun tantangan yang kita hadapi, kunci penyelesaiannya adalah sebagai berikut. Pertama-tama, kita perlu memahami prinsip-prinsip keberlanjutan alam. Kedua, kita perlu memiliki kreativitas untuk menerapkan prinsip-prinsip tersebut di dalam kehidupan sehari-hari. Kita perlu jeli melihat apa yang ada di sekitar kita. Semakin lokal semakin baik. Yang terbaik (paling lokal) tentu yang kita hasilkan sendiri di rumah kita sendiri. Untuk itu, yang ketiga, kita perlu belajar, mendidik diri sendiri untuk bisa menghasilkan produk-produk yang kita perlukan untuk kehidupan kita. Orang-orang tua dulu memiliki ketrampilan tersebut. Sayangnya ketrampilan tersebut semakin lama semakin menghilang. Semakin hari, kita semakin tercerabut dari ketrampilan-ketrampilan tersebut. Hidup kita menjadi semakin tergantung pada barang-barang pabrik. Jika krisis datang, kita menjadi tidak berdaya. Akhir kata, membangun hidup selaras alam pun berarti meningkatkan kemampuan kita memanfaatkan alam sekitar untuk pemenuhan kebutuhan dan peningkatan kualitas hidup kita. Dan lebih baik lagi, kalau kita juga mengajak kawan-kawan kita menjadi lebih berdaya untuk memilih hidup yang lebih berkualitas. ***

22


[MEDIA] Mengalami “Bunga Rampai Film Dokumenter Tentang Perempuan Pejuang Tanah Air� Oleh: Asra Wijaya Film berada di antara seni dan kehidupan (Jean Luc Godard) Sineas Perancis, Godard melihat fenomena teknologi film kini hadir dalam keseharian dalam genggaman di layar ponsel dan tidak lagi sekedar hiburan semata. Film kini digunakan sebagai komunikasi sosial, iklan, kampanye, ritual keagamaan, kuliah atau seminar akademis, hingga lainlainnya. Kemungkinan inilah yang kemudian menciptakan ilusi yang semakin tipis selaput pembedanya antara fiksi dan kenyataan. Godard pun menelurkan pernyataan yang dikutip oleh penulis di awal tulisan ini. Dalam Sejarah Sinema Dunia, dikenal beberapa mazhab atau style film. Misalnya Avant garde, cinema verite, neorealisme italia, cinema novo, nouvelle vague, german expressionism, sampai soviet sinema. Dua hal yang terkait dengan tema tulisan ini adalah neo-realisme italia dan cinema novo brazil. Neo-realisme Italia Neo-realisme Italia ialah mazhab film di Italia yang berkembang pasca keruntuhan diktator Mussolini. Kedok munafik dari pemerintahan yang fasis penting untuk dibuka. Seniman film kala itu ingin membuka kenyataan sosial Italia yang riil yaitu kondisi melarat dan getir kaum urban, terutama kaum buruhnya. Beberapa prinsip kerja neo-realisme italia: 1. Film harus menampilkan sepotong kehidupan nyata 2. Ia harus memotret kenyataan yang sebenarnya, terutama kenyataan sosial yang buruk dan pahit 3. Dialog dan bahasa senatural mungkin, kalau perlu gunakan pemain non-aktor 4. Gaya syuting sebaiknya ala dokumenter. Beberapa tokoh dalam neo-realisme Italia : Luchino Visconti, Roberto Rosselini, Vittorio de Sica. Cinema novo Cinema novo berkembang di Brazil tahun 1950-an dan kelak menjadi gelombang baru di Eropa kemudian. Situasi Brazil tahun 60-an diwarnai kemiskinan, kelaparan, dan kekerasan. Sineas Brazil kemudian menyadarkan masyarakat dengan

PRO : AKTIF | MEDIA

cara lantang menyerukan slogan macam estetika kelaparan, atau estetika kekerasan. Film Terra em Trase (tanah derita) karya Rocha (1967) menunjukkan keterbelakangan dan ketidakberdayaan di bawah rezim militer 1964. Film ini juga disebut Tropikalis, hendak menampilkan bagaimana Dunia Ketiga sesungguhnya makan dan hidup dari remah-remah atau sampah kapitalisme dunia pertama. Waktu sekolah dasar, penulis pernah mendapat cerita dari ibunya. Di desa sebelah, para ibu-ibu berada di garis depan ketika demo berhadapan dengan tentara. Konflik tanah antara warga dengan pemilik perkebunan di pedalaman Sumatera Barat. Waktu itu Ibu menambahkan: Mereka pikir, para warga itu, dengan memasang badan ibu-ibu para tentara itu tidak berani apa, jelas saja, mereka jadi bulanbulanan. Penulis yang kala itu belum punya nalar tidak bisa berargumen. Anggap saja tulisan ini adalah argumen yang tertunda untuk peristiwa masa silam itu. Ternyata peristiwa macam demikian terulang lagi. Sejarah mengulang-ulang kemalangan. Menciptakan cerita perjuangan dan melahirkan pejuang serta pahlawan. Lewat film bunga rampai ini penulis menyaksikan ibu-ibu memperjuangkan haknya, hak atas tanah airnya. Mama Aleta dari Mollo, Kabupaten Timor Tengah Selatan, NTT, memimpin perlawanan terhadap 4 tambang marmer. Mama Aleta mengungkapkan filosofi warga Mollo dalam berkehidupan. Konsep filosofis itu menganalogikan alam dengan manusia. Hutan adalah rambut dan pori-pori. Tanah adalah daging. Batu adalah tulang sementara Air adalah darah. Jika salah satu tidak dipunyai maka manusia bukan manusia lagi namanya. Itulah awal cerita perlawanannya dengan tambang marmer. Batu yang mulanya dianggap kosong dan bebas ditambang kemudian oleh Mama Aleta dikembalikan ke filosofi alam. Sederhana memang kedengarannya, akan tetapi konsep keseimbangan ekologis yang menganggap alam sebagai subjek yang berkesadaran layaknya manusia ini lantas diperjuangkan oleh Mama Aleta. Agar alam tetap lestari. Bukan tanpa halangan dan rintangan Mama Aleta menjalani

23


Mama Aleta dkk Sedang Berbagi Pengalaman soal Gerakan di Wilayah Masing-masing

Noer Fauzi Rachman membahas Panggilan Tanah Air

perjuangannya. Sudah melawan tambang, perempuan pula. Sebuah kenyataan ironi dalam melawan pola pikir patriarkis yang demikian mengakar dalam kehidupan kini. Tambang marmer yang beroperasi demi kemajuan, demi pembangunan dilawan keberadaannya oleh perempuan. Perempuan yang menjadi lembah berkumpulnya penindasan dalam budaya patriarkis. Perempuan di Mollo tidak punya suara untuk mengambil keputusan. Namun segala perbuatan dengan niatan Tulus ternyata didukung oleh alam, diuji juga oleh alam.

dari ketidakadilan ekonomi, ketidakadilan seksual, serta ketidakadilan lainnya yang berasal dari pola pikir patriarkis. Kapitalisme lanjut yang berakibat kepada rusaknya alam, terbunuhnya manusia-manusia petani demi mempertahankan tanahnya dirasa oleh sang moderator kurang radikal dan mendalam. Pola pikir patriarkis-lah yang mengakibatkan semua itu. Maka dari itu perlawanan perempuan pejuang ini adalah perjuangan yang menyasar akar patriarkis itu sendiri. Di dalam Panggilan Tanah Air, sang penulis memiliki tujuan agar masalah agraria lebih mudah untuk dilihat. Lantas memulihkan kondisi tanah air yang tengah porak poranda. Sebab hidup di zaman semua serba dipandang sebagai komoditas yang mesti diperdagangkan. Terjadi reorganisasi ruang oleh pasar yang sedemikian rupa besarnya bahkan didukung oleh negara.

Eva Bande di Banggai, Sulawesi Tengah memimpin perjuangan petani merebut kembali lahan pertanian yang dirampas perusahaan sawit. Beliau dipenjara karena dituduh memprovokasi petani. Nissa Wargadipura, Deklarator Serikat Petani Pasundan, Pemimpin Pesantren Agroekologis Ath-Thariq Garut-Jawa Barat memperjuangkan pertanian yang diklaim oleh PTPN. Opung Putra, pemimpin perempuan yang berjuang menyelamatkan hutan kemenyan yang dirampas perusahaan PT Toba Pulp Lestari di Padumaan Sipituhuta, Sumatera Utara. Panggilan Tanah Air Noer Fauzi Rachman, Ph.D.-Sajogyo Institute Bogor mengawali film ini dengan diskusi buku yang baru beliau rilis. Lewat diskusi Noer membeberkan fakta-fakta tentang konflik agraria. Mulai dari pasar yang bergeser menjadi pemaksa kebutuhan yang memproduksi terus menerus kebutuhan semu demi kemajuan. Sampai pengurangan jumlah rumah tangga tani dan pengurangan lahan. Fakta tentang rumah tangga tani yang berkurang sebanyak 5 juta dalam kurun waktu 10 tahun, atau 1 rumah tangga tani per menit beralih profesi. Bukan karena apa melainkan karena lahan pertanian yang beralih 1/4 hektar per menit dll. Beralih menjadi perumahan, perkebunan PT, pabrik dan tambang. Istilah ‘tanah air’ yang dulu diciptakan oleh para pejuang kemerdekaan demi mempersatukan rasa cinta kepada Indonesia kini sudah usang. Oleh karena itu, Noer lewat “Panggilan Tanah Air�-nya ingin mengembalikan rasa cinta terhadap ibu pertiwi. Lewat perjuangan melalui jalur agraria. Hal menarik lainnya untuk disoroti adalah peran wanita dalam konflik agraria. Tubuh wanita yang dianggap sebagai tempat segala ketidakadilan bersarang. Mulai

PRO : AKTIF | MEDIA

Gerakan Sosial Baru Gerakan Sosial Baru atau disingkat GSB (New Social Movement) terbentuk lewat aksi kolektif yang berdasarkan pengalaman individual. Seorang petani yang kemudian mengalami pendefinisian ulang identitasnya di tengah konflik agraria. Lantas muncullah aspek solidaritas bersama para petani pada keterlibatan dalam konflik dan menjadi aksi kolektif demi menembus batas dengan kesesuaian sistem. Demikianlah kerangka konseptual Gerakan Sosial Baru ala Melucci. Gerakan ini bisa terangkat menjadi objek tunggal yang memiliki ruangnya sendiri sebagai aksi kolektif di era masyarakat kontemporer karena tidak lagi dipandang sebagai hasil dari pertentangan basis produksi, tetapi sebuah hasil dari produksi sosial dan kultural. (Okie:2017) Dalam Bunga Rampai Film Dokumenter ini, potret GSB nyata terlihat lewat penuturan pengalaman Mama Aleta dkk. dalam bergerak bersama mempertahankan nilai-nilai sosial yang mereka miliki. Nilai-nilai yang berujung demi membela tanah air tempat mereka hidup dan melestarikan kehidupan itu sendiri. Ekofeminisme dan Perlawanan Simbolik Penggunaan beberapa simbol yang berusaha merepresentasikan oposisi biner dari apa yang mereka perjuangkan merupakan bentuk perlawanan simbolik. Nilainilai tersebut misalnya penolakan terhadap pabrik atau tambang yang dikontruksi sehingga menjadi tindakan moral atau pihak politik yang baik. Tentu saja dengan melakukan

24


upaya serupa terhadap tindakan pembangunan pabrik atau tambang dikontruksi sebagai tindakan yang tidak adil. Nah, hal menarik dari aksi simbolik untuk mempertahankan tanah air tidak hanya pada simbol atau konstruksi yang dilakukan, akan tetapi penggunaan simbol perempuan dalam aksinya. Lima perempuan perkasa ini : Eva, Nissa, Opung, Mama Aleta, Gunarti. Konflik ini kemudian diangkat bukan hanya sebagai penjaga alam (petani) versus perusak alam (tambang dan pabrik), namun juga penindasan oleh nilai maskulin terhadap nilai feminin. Adalah Vandana Shiva seorang ahli ekofeminisme yang berpendapat bahwa eksploitasi terhadap alam yang seringkali menghasilkan penindasan terhadap manusia lain dan alam berakar pada pertentangan antara dua ideologi, yaitu ideologi maskulin dan ideologi feminin. (Shiva:1993) Ideologi maskulin berakar dari zaman pencerahan dan teori kemajuan yang direpresentasikan melalui dua konsep yang diperkenalkan di seluruh dunia : Ilmu pengetahuan modern dan pembangunan ekonomi. Kedua konsep ini diperkenalkan di dunia melalui proses penjajahan oleh Barat dan diklaim sebagai kunci kesejahteraan bagi semua negara di bumi. Bagi Shiva (1997), klaim bahwa proyek pembangunan model Barat yang diilhami oleh proyek ilmu pengetahuan modern akan membawa kesejahteraan bagi semua negara dan dengan demikian bersifat universal tidak lebih merupakan sebuah mitos belaka. Baginya, proyek-proyek pembangunan tersebut pada hakikatnya tidak lebih dari proyek-proyek khusus yang bersumber dari model patriarki Barat modern. Pada kenyataannya, pembangunan model Barat tersebut malah menimbulkan kerusakan yang parah pada alamalam di negara-negara bekas jajahan perang (khususnya yang memilki sumber daya alam) menyingkirkan konsep kesejahteraan yang selama ini dipegang oleh masyarakat di pedalaman bumi selatan.

Diskusi Publik Perempuan dan Ekologi di UI.

ekofeminisme sudah tercetak jelas dalam masyarakat mereka masing-masing. Nilai kultural yang berupa aksi perlawanan simbolik kemudian bermunculan di daerah-daerah yang mengalami konflik agraria. Terakhir, penyampaian segala investigasi, aksi dalam film Bunga Rampai Film Dokumenter ini tentu akan menjadi realitas yang hadir ke hadapan masyarakat dengan lebih cepat dan lebih luas. *** Referensi: Fauzi R, Okie. (2016). Perempuan dan Pegunungan Kendeng: Ekofeminisme dalam Gerakan Sosial Baru di Indonesia. Jakarta: Konferensi internasional feminisme: Persilangan identitas, agensi dan Politik (20 tahun Jurnal PeremPuan) Melucci, A (1996). Challenging codes: Collective Action in the Information Age. Cambridge: Cambridge University Press. Shiva V, Mies M. (1993). Ecofeminism. New York: Zed Books. Shiva, V. (1997) Bebas dari Pembangunan: Perempuan, Ekologi dan Perjuangan Hidup di India; Penerjemah: Hira Jhamtani. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Kenyataannya, pembangunan model itu malah menimbulkan kerusakan parah pada alam di negara-negara bekas jajahan Barat. Pembangunan tersebut juga menyingkirkan konsep kesejahateraan a la negara-negara poskolonial ini. Sedangkan Ilmu pengetahuan modern yang dikalim bersifat universal ternyata bersifat reduksionis dan menyingkirkan berbagai pengetahuan lokal masyarakat selatan yang memiliki konsep bahwa semua hal di dunia ini, termasuk manusia dan alam adalah terkoneksi. Gerakan perlawanan yang dilakukan oleh perempuanperempuan ini sudah bisa dilihat hasil positifnya. Upaya untuk bebas dari cengkeraman pabrik dan tambang yang amat patriarkis berhasil menegaskan posisi perempuan itu sendiri. Representasi nilai ibu-ibu yang polos dan memiliki niatan baik menjaga alam dihadapkan dengan aparat dan tentara yang dominan dengan segala maskulinitasnya. Simbol afeksi dan non-kekerasan yang dimunculkan oleh perempuanperempuan ini juga menegaskan siapa sebenarnya yang menggunakan kekerasan dan memelihara ketidakadilan. Simbol pengetahuan yang feminin bernapaskan spirit

PRO : AKTIF | MEDIA

25


[JALAN-JALAN I] Pulau Coron, Sebuah Catatan Perjalanan Oleh : David Ardes Setiady Hari itu kalender di smartphone menunjukkan tanggal 15 September 2017, ketika langit tampak cerah nan teduh, matahari memancarkan sinarnya sembari kawanan awan memberi kesejukan atas teriknya. Saya bersama dengan rombongan beranjak dari penginapan menuju pelabuhan Coron Harbour, sekitar 30 menit lamanya melintasi pemukiman padat yang pemandangannya seperti perkampungan di Indonesia. Setibanya di pelabuhan, sebuah perahu sudah menanti kehadiran kami karena memang sudah disiapkan oleh rekan-rekan Samdhana Institute Filipina dan kami pun segera memasukinya. Lalu, ada sedikit proses loading barang dan berbagai persiapan, di antaranya pemeriksaan oleh penjaga pantai memastikan jumlah penumpang yang berangkat agar sesuai dengan yang kembali nantinya, kemudian sang penjaga pantai juga memeriksa bahwa di dalam perahu tersedia rompi pelampung yang wajib dipakai para penumpang selama perjalanan. Tak lama, perahu pun segera mengarah menuju ke tujuan, Pulau Coron. Perjalanan ini adalah bagian dari kegiatan workshop yang diselenggarakan oleh Samdhana Institute dalam rangka menyusun program capacity building. Di sana telah menanti komunitas suku Tagbanwa yang telah mendiami Pulau Coron sejak lama. Nantinya kami akan berinteraksi dengan mereka untuk belajar tentang kehidupan mereka serta bagaimana sinergi dapat terjalin dengan Samdhana.

Suasana di atas kapal. Foto Dok. Penulis

PRO : AKTIF | JALAN-JALAN

Perjalanan menyeberang pulau ini memakan waktu kurang lebih 45 menit, namun tak begitu terasa karena pemandangan yang tersedia di sekeliling perahu begitu indah. Rasanya ingin terus mengabadikan setiap bagian dari pemandangan yang tersaji dari perahu ini, namun saya harus menyimpan daya baterai ponsel ini karena masih ada berbagai kegiatan dan pemandangan lain yang bisa jadi tidak terabadikan ketika daya ponsel habis. Maka insting sajalah yang menentukan untuk mengambil pemandangan yang cocok di hati. Waktu yang mengalir tidak terasa ketika akhirnya perahu merapat ke dermaga sederhana di Pulau Coron. Kesederhanaan yang begitu serasi dengan keindahan alam yang terpahat di pulau ini, rasanya teknologi yang wah kurang pantas bersanding karena akan merusak kesahajaan yang terpancar. Rombongan pun segera mengarah ke lokasi pertemuan dimana telah menanti para tetua masyarakat Tagbanwa, yang komunitasnya bernama Tagbanwa Tribe of Coron Island Association (disingkat TTCIA). Ruangan itu tampak sudah melalui perjalanan panjang dan mencoba bertahan dengan kesederhanaannya dengan beberapa cat yang tampak sudah terkelupas. Ada beberapa bangku panjang yang tersedia, mungkin memang menjadi tempat nongkrong penduduk setempat yang bertugas mengelola kegiatan pariwisata. Tidak ada wifi di sini, pun sinyal internet dari provider lokal tidak mudah tertangkap, seolah kita dipaksa merendahkan hati menghayati kesederhanaan yang hidup di tempat ini. Listrik pun sepertinya tidak ada, hanya disediakan oleh sebuah generator yang tujuan penggunaannya tidak saya tanyakan pada saat itu. Pertemuan tersebut berlangsung guyub, para tetua dan rombongan saling berkenalan dengan bahasa Inggris seadanya. Toh, tidak ada yang perlu merasa malu dengan bahasa yang memang bukan bahasa sehari-hari. Yang penting, ada usaha saling berkomunikasi dan memahami. Adalah sang mantan kepala desa bernama Rudolfo “Kudol� Aguilar yang menjadi narasumber dalam pertemuan ini yang akhirnya berlangsung selayaknya sebuah konferensi pers. Bapak kepala desa mendapatkan pertanyaan lalu bercerita

26


sebagai jawabannya. Secara garis besar, pembelajaran yang didapatkan oleh rombongan adalah : 1. Perjuangan masyarakat Tagbanwa dalam mendapatkan kedaulatan wilayah adat mereka, lalu komitmen masyarakat untuk menjaga serta melestarikan adat beserta gaya hidup yang harmonis dengan alam. Perjuangan itu dimulai pada tahun 1985, ketika mereka membentuk Tagbanua Foundation of Coron Island (TFCI) dengan tujuan mengubah status lahan hutan seluas 7.748 ha sebagai wilayah adat mereka , sesuai dengan kebijakan Kementerian Kehutanan saat itu yang memberikan kesempatan kepada masyarakat adat untuk mengklaim hak ulayat mereka. Selanjutnya perjuangan tersebut adalah mengembalikan kesadaran budaya dan identitas sebagai suku Tagbanua kepada seluruh anggota suku, terutama generasi muda, yang pada saat itu sudah mulai lupa kebiasaan adat istiadatnya. Para tetua merasa akan percuma nantinya, bila wilayah adat ini berhasil diklaim kembali, tetapi generasi mudanya tidak memahami pentingnya mengelola wilayah adat tersebut. Maka mereka pun membagi tugas dan peran, dimana sebagian mengorganisir masyarakat Tagbanua di sekitar pulau untuk menghidupkan lagi adat istiadat dan budaya suku. Sebagian lagi, melanjutkan perjuangan administratif ke pemerintah Filipina atas wilayah adat yang juga mencakup perairan di sekitar pulau. Dengan demikian, masyarakat Tagbanua juga berhak mengelola wilayah perairan sekitar pulau sesuai dengan kebijaksanaan nenek moyang yang harmonis dengan alam. Tahun 1998, setelah perjuangan panjang yang diinisasi oleh Rudolfo Aguilar, Certificate of Ancestral Domain Claim (CADC) akhirnya diberikan atas wilayah adat masyarakat Tagbanua yang akhirnya mencapai puas 24.520 ha, tidak hanya daratan namun juga perairan. CADC adalah semacam dokumen resmi berkekuatan hukum yang diterbitkan oleh pemerintah Filipina yang menjamin hak atas sebuah wilayah adat kepada masyarakat setempat. Ref : http://pcsd.gov.ph/ protected_areas/coron.htm 2. Pengelolaan pariwisata, dimana para pengunjung harus menaati peraturan yang dibuat oleh masyarakat setempat. Peraturan tersebut dirumuskan oleh semacam dewan adat yang diisi oleh para tetua suku dengan pertimbangan kebiasaan adat istiadat yang mereka hidupi. Jadi secara tidak langsung, tamu diajak untuk menghargai tempat hidup masyarakat setempat. Wilayah adat TTCIA mencakup keseluruhan pulau Coron ini dan beberapa kepulauan kecil yang berada di sekitarnya, yang kebanyakan adalah daratan kecil yang tidak dapat ditinggali oleh manusia. Cerita perjuangan masyarakat Tagbanwa untuk mendapatkan kembali hak adat mereka, tertuang dalam sebuah spanduk yang sengaja dicetak dalam 3 bahasa (bahasa Inggris, Tagalog, Tagbanwa) agar dapat diketahui oleh para pengunjung. Cerita tersebut tidak hanya dibagikan kepada para pengunjung, namun terutama diteruskan kepada generasi muda mereka agar memahami bahwa perjuangan ini tidak akan pernah berakhir karena merekalah yang akan mempertahankan kelestarian wilayah adat ini.

PRO : AKTIF | JALAN-JALAN

Sejarah Perjuangan TTCIA Foto Dok. Penulis

Walaupun dikatakan sebagai masyarakat adat, tidak berarti mereka terbelakang karena juga mengenal teknologi yang berkembang di dunia saat ini namun memilih untuk tidak bergantung kepadanya. Sekilas hampir tidak ada yang ber-hape (handphone-red) ria saat kami berkeliling. Yang menggunakan hape juga kebanyakan adalah para pengoperasi perahu yang kebanyakan berasal dari luar pulau. Dalam hal pengelolaan pariwisata, masyarakat Tagbanwa bersikap cukup terbuka terhadap kehadiran turis, namun menerapkan aturan yang cukup ketat dan disiplin. Setiap rombongan akan didampingi oleh penduduk setempat saat berkeliling pulau. Adapun area yang dapat dieksplorasi sangatlah terbatas dan mereka yang menetapkannya demikian. O iya, pulau ini pun memiliki waktu berkunjung yang telah ditetapkan, yakni dari pukul 08.00 sampai dengan 17.00 waktu setempat. Di tempat ini juga tidak ada penginapan sehingga para pengunjung betul-betul hanya berkunjung. Pada saat itu kami hanya berkunjung ke 3 titik, yaitu : Danau Kayangan, Pantai Attuangan, dan Twin Lagoon. Dari salah seorang rekan Samdhana Filipina yang memang mendampingi komunitas ini, para tetua adat Tagbanwa sebenarnya ingin membatasi jumlah pengunjung sehari menjadi 100 orang, namun negosiasi dari pemerintah daerah membuat hal itu urung terjadi. Ada beberapa ketentuan yang harus ditaati oleh para pengunjung di pulau ini, yakni : • Wajib membawa rompi pelampung • Dilarang berenang menggunakan sunblock kimiawi (hanya boleh pakai yang sunblock dengan bahan alami) • Dilarang berenang tanpa rompi pelampung • Wajib didampingi oleh pemandu setempat

27


Kegiatan di Danau Kayangan. Foto Dok. Penulis

Di sana mereka juga mencoba hidup tanpa menggunakan plastik, sehingga kita akan mendapati warung (satu-satunya) yang menjual kelapa muda tanpa ada sedotan. Jadi, kita harus minum dengan seolah kelapa itu adalah gelas, kemudian setelah airnya habis dan kita ingin makan dagingnya, kita tinggal bilang sama si tukang untuk membelah kelapanya. Si tukang akan membuatkan sendok dari kulit kelapa untuk membantu kita memakan daging kelapa yang lembut. Dari sana, kami bertolak menuju pantai Attuangan untuk melanjutkan sesi refleksi. Pantai ini relatif tidak banyak pengunjung, waktu itu hanya ada 3 perahu lain dan ombaknya juga termasuk kecil. Pun tidak ada hiburan buatan manusia seperti banana boat, speedboat, parasailing, dan kawan-kawannya. Jadi, tempat ini benar-benar diperuntukkan bagi mereka, para penikmat alam. Tidak pula ada rumah makan yang menyajikan ala restoran barat, hanya ada warung sederhana, yang waktu itu kami hanya “meminta” air panas untuk membuat kopi yang dibawa oleh salah seorang rekan rombongan.

Hal lain yang mungkin perlu diketahui adalah di setiap perahu terdapat sebuah bilik yang bagi orang Indonesia dikenal sebagai kamar mandi, namun awak perahu menyebutnya sebagai CR, yakni comfort room. Di dalamnya air tidak selalu tersedia dan apabila habis, awak perahu akan mengambil air laut untuk kegiatan “bersih-bersih” (tentunya persepsi bersih akan menjadi sangat subjektif). Puas berkegiatan di Twin Lagoon, kami pun kembali ke Coron-Palawan, tempat dimana kami berdiam selama di Filipina. Perjalanan kembali, walau jalurnya sama dengan berangkat, menyajikan pemandangan yang tak kalah indah dan selalu menggugah hasrat berfoto yang tak hentihentinya pula. Komposisi awan dan matahari senja mungkin menjadi santapan juru foto pemandangan, ditambah gerak air laut yang tenang. Tentu saja, kita boleh hanya duduk menikmati terpaan angin yang “ditabrak” oleh perahu dan melihat pemandangan yang mengiringi perjalanan. Perjalanan yang cukup singkat ini, meninggalkan kenangan dan pembelajaran bagi saya, bahwa Pulau Coron adalah model pariwisata dimana pengunjung bukanlah raja yang dilayani sesuai gaya mereka. Melainkan, pengunjung adalah saudara dari jauh yang datang dan berkenan untuk memahami serta mengikuti adat setempat dalam menikmati alam. Kapan ya bisa kembali lagi? ***

Setelah sesi refleksi tuntas, kami bertolak ke Twin Lagoon yang terdiri dari batu-batu besar yang membuat perairan di sana sangat tenang. Lokasi ini relatif ramai dikunjungi, tampak ada sekitar 6 perahu lain yang ditambatkan di sekitar perahu kami. Penariknya adalah perairan yang tenang sehingga relatif nyaman untuk berenang, pun dari pemandu wisata menawarkan atraksi melakukan formasi manusiakelabang, dimana para pengunjung diminta mengambang saling berkait, kemudian pemandu akan menarik rantai manusia ini menyeberangi teluk kembar ini. Selebihnya, kita boleh bereksplorasi sendiri di sekitar area tersebut.

Pantai Attuangan. Foto Dok. Penulis

PRO : AKTIF | JALAN-JALAN

28


[JALAN-JALAN II] NUN DI BALIK JALINAN KABUT DAN LIRANG Catatan Kecil Jelajah Geotrek Matabumi Gunung Patuha #2 Oleh : Ayu Wulandari Pagi itu menjadi pagi ke sekian kalinya matahari banyak bersembunyi di balik awan-awan mendung. Terbuka lembar Oktober tahun 2016 di almanak, tertunjuk angka 22, itulah harinya Keluarga Matabumi kembali mengadakan Jelajah Geotrek – serangkaian singkat perjalanan belajar; perjalanan menyapa berbagai gejala kebumian sepaket dengan keragaman hayati, sejarah, juga budaya – ketiga tempat yang terbilang berdekatan beberapa puluh kilometer arah barat daya meninggalkan Bandung. Bahwa suasana akan sekelabu langit, tampaknya tak menjadi kecemasan. Sebab benih keceriaan telah dengan sendirinya bertaburan di pelataran Museum Geologi seiring ramai terulur senyum sapa berikut hangat tangan-tangan yang kembali berjabat erat. Sebelum keindahannya digaungkan oleh Franz Wilhem Junghuhn pada tahun 1837, Gunung Patuha telah lebih dahulu dikenal oleh masyarakat sekitarnya sebagai tempat yang disucikan. Tidak banyak orang bersedia menuai keberaniannya dengan sembarang melintas, utamanya di sepanjang kawasan kawah utama berona putih cerlang mempesona dan rawa yang berada di sebelah utara sebab kuat dugaan beracun akibat tingginya kandungan belerang. Meski demikian, potensi belerang di kawasan tersebut pun tercatat pernah membuat berdirinya dua Pabrik Belerang di dua masa pemerintahan, Belanda dan Jepang. Pada kisaran abad ke 15, seorang rahib pengelana yang dikenal dengan nama Bujangga Manik bahkan menggenapkan perjalanan ziarahnya ke sepanjang Pulau Jawa dan Bali di mandala yang dalam catatan lontarnya disebut sebagai Bukit Patuha. Lalu lebih dari seabad sejak kunjungan Junghuhn, tepatnya pada tahun 1991, Perhutani (Perusahaan Hutan Negara Indonesia) Unit III Jawa Barat dan Banten mengembangkan kawasan kawah yang dikeramatkan itu sebagai Kawasan Wisata Kawah Putih Ciwidey. Di sanalah kegiatan belajar Keluarga Matabumi bermula dengan interpretasi yang digulirkan bergantian oleh Budi Brahmantyo dan T. Bachtiar selaku dua interpreter tetap.

PRO : AKTIF | JALAN-JALAN

Kawah Putih. Foto Dok. Penulis

Gerak mencapai Kawah Putih pada dasarnya tak membutuhkan tenaga ekstra. Bagi anggota Keluarga Matabumi telah tersedia Ontang-anting – kendaraan roda empat yang didesain khusus agar para pengunjung tak perlu membawa sendiri kendaraannya mendekat ke arah kawah – di pelataran parkir utama kawasan yang letaknya tak jauh dari sisi Jalan Raya Ciwidey – Patengan. Namun, selayaknya masa akhir pekan, baik itu di saat hendak menuju kawah atau ketika berada di kawah, semua harus kenal berbagi dengan lebih dari puluhan pengunjung lain dari macammacam daerah yang hendak menikmati keindahan Kawah Putih dalam beragam cara. Walau pada akhirnya, kehadiran Keluarga Matabumi dan gelaran Kelas Kebumian Terbuka yang ada malah lebih mampu menarik perhatian. Ada berkali-kali “ooo..” panjang terdengar dari luar lingkaran peserta Jelajah Geotrek Patuha #2 ketika cerita tentang Gunung Patuha (merupakan Gunung api Strato Tipe B, terakhir kali meletus di kisaran 1600) dan proses terbentuknya Kawah Putih mengudara. Ada sejumlah langkah dan kegiatan swafoto terhenti ketika kisah berjatuhannya burung-burung yang melintasi kawah yang berada di ketinggian 2.194 m.dpl itu disampaikan, lengkap dengan faktor apa saja yang menyebabkan warna-

29


warninya mudah memikat mata, tanpa terkecuali apa yang menjadi alasan sehingga para pengunjungnya diwajibkan menggunakan masker dan tak boleh berlama-lama berada di sana. Ada sejumlah tangan yang ikut menjumput satudua lembar daun Cantigi berwarna merah agar merasakan sendiri sesepat apa daun tumbuhan yang selama beberapa saat menjadi perbincangan karena dinyatakan dapat memberikan efek awet muda. Tak sedikit pula pengunjung yang ikut mengambil beberapa bongkah batuan kecil berwarna putih dengan permukaan agak kasar (dikenal dengan nama tuf, memiliki sifat menyerap air) yang mampu memberi efek terisap jika ditempelkan di ujung lidah untuk menyamakan persepsi. Hal itu secara gamblang memberikan gambaran nyata betapa kian tak sedikitnya orang-orang bepergian ingin pulang dengan membawa pengetahuan, bukan sekadar rasa senang dan foto-foto yang mengundang kekaguman. Bahkan di balik tebal jalinan kabut dan lirang yang tak henti saling berkejaran. Lepas tengah hari, seusai makan siang, Keluarga Matabumi kembali bergerak sekitar 14 kilometer ke arah barat – barat daya Kawah Putih. Tujuan berikutnya berada di kaki Gunung Patuha dan masih kawah bentuknya: Kawah Cibuni – yang kemudian dipopulerkan dengan nama Kawah Rengganis – yang membangkitkan ingatan akan Pemandian Air-panas Alami di Negeri Sakura. Tak ada warna-warni mencolok di persinggahan kedua. Namun tampak lebih banyak aktivitas yang dapat dilakukan bersama di kawasan wisata yang terbuka selama 24 jam ini disebabkan lebih rendahnya kandungan belerang dan tingkat keasaman air di sekitarnya. Di beberapa sudut terlihat ada pengunjung yang tengah berendam dan membiarkan tubuhnya menerima curahan air hangat di pancuran-pancuran yang disediakan. Di sudut lain terlihat ada pengunjung yang menampung air di pertemuan aliran panas dan dingin untuk dibawa pulang. Sayangnya pada hari itu tak tampak ada yang mencerap khasiat lumpur hitam dengan berendam dalam kolam lumpur atau sebatas memoles wajah dengan materi masker alami tersebut sembari berharap kulit menjadi kencang serta mulus sesudahnya. Keluarga Matabumi menempati satu sudut yang cukup lapang dan tak banyak terpapar asap lirang (welirang, belerang) untuk kembali menyimak pemaparan muasal terbentuknya Kawah Rengganis juga gambaran besar tentang pemanfaatan potensi panas bumi yang dapat digunakan seluas-luasnya bagi masyarakat apabila dikelola dengan tepat. Perhatian tak banyak terpecah sebab pengunjung kawasan wisata yang kini dikelola Agrowisata Rancabali itu tak seramai Kawah Putih adanya.

Kawah Rengganis. Foto Dok. Penulis

gagahnya Patuha menjulang di timurlaut kendati harus rela turut antrian, membaur dengan tamu-tamu lainnya. Angin dingin di petang berkabut 22 Oktober itu sepertinya gagal menghilangkan kehangatan yang tercipta ketika setiap anggota Keluarga Matabumi berusaha mengekalkan kesan akan perjalanan belajar yang baru saja usai dilangsungkan dengan cara kesukaan masing-masing. Tatkala sesi bertukar tanya-jawab usai dan hadiah-hadiah menarik dibagikan, selepas doa bersama dilangitkan seiring kabut yang semakin menebal, dari dua peserta termuda – Raihan dan Farhan – dengan ringan segera lahir pertanyaan ditujukan pada Pak Bachtiar, “Terus nanti kita geotrek-nya ke mana lagi, Aki? Jadi naik kapal betulannya? Lihat batu-batu yang lebih besar?” Kian gamblang sudah kenyataan terpapar, betapa perjalananperjalanan belajar yang menyenangkan dan sarat tulus hangat persahabatan bukan mustahil mudah dirindukan. Bahkan selepas meninggalkan tebal jalinan kabut dan lirang yang masih saja terus berkejaran. ***

Sebagai penutup, seluruh rombongan Jelajah Geotrek Patuha #2 berpindah ke Situ Patengan yang berjarak sekitar 15 menit berkendara ke arah barat – baratdaya meninggalkan Rengganis, ikut meriuhkan suasana di Pinisi Resto yang baru mulai beroperasi sejak pertengahan 2016. Satu sama lain terlihat bergantian saling memotretkan karena nyaris tak ada yang hendak melewatkan kesempatan berfoto bersama ataupun sendirian di atas Kapal Layar Kayu berlatar

PRO : AKTIF | JALAN-JALAN

30


[PROFIL] Veronika Lamahoda – Pejuang Air dari Flores Oleh: Any Sulistyowati Veronika Lamahoda adalah seorang aktivis yang berasal dari Pulau Odonara di Flores. Ia merupakan Ketua Yayasan Tana Ile Bolem yang berkantor di Larantuka. Mengawali karirnya sebagai aktivis sejak tahun 1998, ketika diundang untuk mengikuti pelatihan gender yang diselenggarakan oleh YSSSL, sebuah LSM di Lembata. Sejak saat itu sampai dengan tahun 1998 menjadi relawan di organisasi tersebut sampai kemudian kembali ke kampungnya dan mendirikan Yayasan sendiri (yakni Tana Ile Bolem) yang dikelola sampai sekarang. Kecintaannya pada isu air dan isu lingkungan secara umum berawal dari keprihatiannya pada situasi krisis air di kampungnya di Pulau Odonara, Flores Timur, NTT pada tahun 2007. Ketika ia datang ke pulau itu, kampung tersebut sudah empat tahun kekurangan air. Mereka sampai terpaksa mengambil air dari pipa-pipa air yang bocor. Pada tahun 2007-2009 mereka bekerjasama dengan PIKUL, sebuah LSM yang berkantor di Kupang. Lewat proses tersebut, ia menemukan bahwa persoalan air, bukanlah persoalan lingkungan saja. Di dalam persoalan air tersebut, ia juga melihat banyak ketidakadilan di dalam proses distribusinya. Lewat proses ini, mereka mulai memikirkan beberapa hal, di antaranya: (1) Bagaimana keberlanjutan ketersediaan air di pulau tersebut? (2) Bagaimana membuat kesepakatan di antara hulu dan hilir yang memastikan keberlanjutan hidup semua pihak dan keberlanjutan sumber air itu sendiri. Di dalam proses ini mereka menemukan konflik kepentingan penggunaan lahan untuk keperluan konservasi air yang dibutuhkan oleh para konsumen air di hilir dengan kebutuhan penyediaan pangan dan tanaman yang bisa dijual untuk mendapatkan uang yang dibutuhkan oleh para pemilik tanah di lokasi sumber air. Di dalam proses tersebut, mereka mencoba mencari solusi yang dapat memenuhi kepentingan kedua belah pihak. Akhirnya penyelesaian yang mereka pilih adalah memilih

PRO : AKTIF | PROFIL

tanaman-tanaman yang berfungsi konservasi sekaligus dapat menghasilkan uang bagi para pemilik lahan. Dipilihlah tanaman durian, melinjo dan coklat. Masing-masing jenis ditanam sejumlah seribu pohon, sehingga total pohon yang ditanam seluruhnya mencapai tiga ribu pohon. Proses penanaman dilakukan bersama antara konsumen air dan pemilik lahan yang melibatkan 28 desa konsumen air dan dua desa dalam satu komunitas adat pemilik lahan sumber air dan juga keterlibatan pihak kehutanan. Melalui proses penyelesaian persoalan air ini, Ibu Vero melihat bahwa ada banyak sekali persoalan di negeri ini. Pemerintah menjawabnya dengan membuat peraturan dan undang-undang. Tetapi kadang-kadang ada banyak persoalan di negeri ini yang tidak bisa langsung dijawab dengan undang-undang. Dibutuhkan inovasi-inovasi untuk menyelesaikan berbagai persoalan secara teknis dan sosial ekonomi. Kiprah Ibu Vero untuk menyelesaikan persoalan air tidak berhenti di Pulau Odonara. Sejak dua tahun yang lalu, ia mulai terlibat dalam persoalan air di Pulau Solor, tepatnya di sebuah kampung terisolir bernama Lowo Tana Ole. Sebelum Ibu Vero masuk, telah ada empat proyek air di kampung tersebut. Semua proyek tersebut gagal menyelesaikan persoalan air di kampung itu. Karena kegagalan-kegagalan ini, masyarakat kampung tersebut sampai menjadi pasif dan putus asa. Mereka enggan mencoba lagi, dan lebih memilih cara yang telah mereka lakukan bertahun-tahun, yaitu mengangkut air secara manual. Meskipun melelahkan dan menghabiskan banyak waktu, setidaknya cara ini telah berhasil. Melihat situasi ini, Ibu Vero tidak putus asa. Ia justru menyemangati warga kampung untuk mau memikirkan persoalan air bersama-sama dan tidak tergantung pada proyek dari luar. Langkah-langkah yang ia lakukan adalah: (1) melakukan pendekatan ke suku dan marga yang mengurus air dan mempelajari tentang sejarah air di daerah tersebut. Ini dilakukan sebagai salah satu elemen dari proses

31


persiapan sosial untuk menyelesaikan persoalan air ini. (2) Melakukan dialog dengan para pihak untuk mencari penyelesaian bersama tentang persoalan air ini dalam sebuah pertemuan strategis. Beberapa rumusan yang disepakati di dalam pertemuan tersebut adalah : (1) Perlunya sebuah kendaraan untuk mengangkut air dari posisi mata air di lembah ke perkampungan penduduk yang posisinya di atas bukit. (2) Identifikasi barang-barang sisa proyek yang masih dapat dimanfaatkan untuk pengelolaan air selanjutnya, misalnya mesin-mesin dan sejumlah bangunan sipil. Mereka juga mendata berbagai kemungkinan solusi teknis persoalan air mereka, di antaranya: (a) pembuatan bak penampungan air hujan, (b) pemasangan pompa air tenaga surya, (c) pembuatan sumur bor dan beberapa usulan lainnya. Dari usulan-usulan tersebut, yang dipilih adalah pompa tenaga surya karena sumber air sebetulnya sudah ada dan kontinu, jadi fokus pengadaan air difokuskan dari sumber-sumber yang memang ada dan dicari solusi teknisnya, bukannya menggunakan teknologi yang ada untuk mencari sumber air baru, yang belum tentu ada atau adanya tidak menentu. Cita-cita untuk memiliki pompa tenaga surya tersebut akhirnya tercapai karena ada pihak Pamsimas yang ingin melakukan ujicoba pemasangan pipa tenaga surya. Kerja sama kemudian dilakukan karena memang sangat sesuai dengan keinginan warga. Proses ini memakan waktu tiga bulan.

Foto Veronika Lamahoda

kebutuhan masyarakat lainnya, seperti persoalan pangan dan pengurangan beban kerja bagi perempuan. Dengan makin kompleksnya berbagai persoalan yang dihadapi masyarakat saat ini, dibutuhkan makin banyak orang seperti Ibu Vero, yang mampu menjadikan persoalan di masyarakat sebagai sebuah peluang untuk kemajuan. ***

Saat ini air tersedia berlimpah di kampung tersebut, dan bahkan sampai terbuang-buang. Untuk mengatasi ini, Ibu Vero sedang memikirkan pemanfaatan kelimpahan air ini dengan pengembangan pertanian pekarangan. Proses ini tidak mudah karena adanya ternak yang berkeliaran dan tanaman yang ditanam rentan dimakan ternak yang berkeliaran tersebut. Ibu Vero tidak putus asa, Ia membuat lomba pembuatan pagar agar warga terinspirasi untuk membuat pagar-pagar untuk ternak dan kebunnya. Saat ini air tersebut dikelola oleh Tim Pengelola Anggaran Desa. Untuk selanjutnya, mereka membentuk lembaga Badan Pengelola Air Lape Lame Bue. Nama tersebut dipilih karena menyesuaikan dengan legenda tentang air di kampung tersebut. Lembaga ini adalah bagian dari masyarakat adat dan didukung oleh desa, serta disahkan oleh Pemda. Untuk menjamin legalitas, lembaga ini didaftarkan dalam Kesbangpol. Hal-hal di atas hanyalah sebagian kecil dari kiprah Ibu Vero di dalam memperjuangkan kehidupan masyarakat sekaligus meningkatkan kualitas alam. Melalui titik masuk menyelesaikan persoalan air di masyarakat, Ibu Vero telah sekaligus menyelesaikan berbagai persoalan lainnya, seperti pemulihan kondisi alam dan pemenuhan berbagai

PRO : AKTIF | PROFIL

32


[RUMAH KAIL] Penerapan Prinsip-Prinsip Selaras Alam di Rumah Kail Oleh : Any Sulistyowati Bumi ini sangat kaya dengan sumber daya alam. Dari generasi ke generasi, manusia telah memanfaatkan alam untuk memenuhi berbagai kebutuhan hidupnya. Peningkatan jumlah penduduk telah meningkatkan kebutuhan akan konsumsi sumberdaya alam. Ketersediaan sumberdaya alampun semakin berkurang. Selain itu, sumberdaya yang ada pun kualitasnya makin lama makin berkurang. Untuk beberapa jenis sumberdaya, jumlahnya sampai pada batas yang sangat mengkhawatirkan. Seperti yang dapat kita lihat untuk sumberdaya yang dapat diperbarui, misalnya kayu-kayu hutan atau ikan-ikan di laut. Pemberian izin untuk pembukaan kawasan hutan alam untuk perkebunan, pertambangan dan pemukiman telah menyebabkan pengurangan luas hutan secara makin cepat. Kayu-kayu di hutan ditebang habis. Penebangan kayu ini tidak hanya mengurangi stok kayu di alam, tetapi juga merusak seluruh ekosistem yang terkait pohon-pohon kayu tersebut. Dengan hilangnya pohon-pohon tersebut, rusaklah habitat berbagai makhluk hidup yang tinggal di sana. Dengan rusaknya habitat, hilang pula keanekaragamaan hayati yang sangat kaya yang semula memenuhi hutan alam tersebut. Demikian juga penangkapan ikan telah menguras stok ikan di laut sekaligus merusak terumbu karang tempat berkembang biaknya ikan-ikan tersebut. Kondisi serupa terjadi untuk sumberdaya yang tidak dapat diperbarui. Tambang-tambang telah mengambil begitu banyak mineral dari perut bumi. Kecepatan pengambilannya semakin cepat, sehingga menyebabkan pengurangan ketersediaan sumberdaya secara besar-besaran serta berbagai kerusakan yang parah pada ekosistem di sekitarnya. Di sisi lain, konsumsi sumberdaya juga menghasilkan banyak sekali limbah, baik dari sisi jumlah dan ragamnya. Limbah-limbah tersebut tidak mampu lagi diurai oleh alam serta menimbulkan berbagai masalah seperti keracunan dan penurunan kualitas sumberdaya alam. Limbah-limbah ini merupakan buah dari gaya hidup modern yang penuh kemasan, mencari kemudahan dengan produk sekali pakai, serta nafsu berbelanja untuk mengejar tren terbaru. Pola hidup di atas telah menyebabkan eksploitasi alam yang masif serta kerusakan-kerusakan alam yang kian parah

PRO : AKTIF | RUMAH KAIL

dalam skala yang makin mengglobal. Krisis tersebut juga menghasilkan dampak-dampak negatif yang mengurangi kualitas hidup manusia. Diperlukan waktu yang cukup lama untuk memulihkan kondisi alam agar sehat kembali. Perbaikan situasi ini akan membutuhkan kontribusi aktif semua pihak di berbagai tingkatan, baik secara individu maupun secara kolektif. Menanggapi persoalan di atas, kami pun ingin berkontribusi dalam upaya pemulihan kondisi alam tersebut. Upaya tersebut antara lain dilakukan dengan menerapkan prinsip-prinsip selaras alam sebanyak mungkin di dalam perancangan Rumah Kail dan pengelolaan kegiatankegiatan yang kami selenggarakan . Kami berharap inisiatifinisiatif yang kami lakukan dapat memperlambat kerusakan alam sekaligus memperbaiki kualitas alam, minimal di lingkungan di sekitar kami. Dalam perancangan Rumah Kail, kami memutuskan untuk tidak menggunakan kayu-kayu hutan yang baru. Kami lebih memilih untuk menggunakan kayu-kayu bekas yang kami dapatkan dari tukang loak. Kami juga menggunakan rumah bekas yang dijual pemiliknya karena hampir roboh. Kayukayu rumah itu kami pilih bagian yang masih bagus, dikerok lagi dari kotoran-kotoran yang menutupinya sehingga kelihatan warna dan tekstur kayu aslinya. Hampir semua bagian Rumah Kail menggunakan bahan bekas. Selain kayu bekas, kami juga menggunakan barang bekas seperti genteng, keramik untuk lantai, kloset sampai kaca untuk jendela dan pintu. Tantangan dalam penggunaan barang bekas untuk rumah adalah seringkali kami tidak bisa mendapatkan barang dengan corak, warna dan ukuran yang sama. Menjadi tantangan tersendiri untuk memadupadankannya sehingga tetap berfungsi baik dan cantik. Misalnya dalam kasus atap, karena gentengnya berbeda-beda ukurannya, kami perlu menghabiskan cukup banyak waktu untuk bongkar pasang agar tidak bocor. Demikian juga dengan keramik untuk lantai. Untuk perabot, kami menggunakan kayu dari bekas peti kemas yang kami beli dengan harga murah sekali di pusat

33


Kebun KAIL - sumber pangan bersama

Rumah cacing di kebun KAIL

pembongkaran peti kemas. Peti-peti itu kemudian kami bongkar dan kami mendapatkan papan-papan dan balokbalok yang dapat digunakan untuk membuat meja, kursi dan lemari. Masalahnya kayu--kayu peti itu masih kasar, sehingga perlu diserut dulu sebelum dapat dijadikan perabot. Untuk itu, beberapa tukang lokal kami undang untuk menyerut dan membuat berbagai perabot di Rumah Kail. Selain perabot, kayu-kayu peti kemas ini juga diolah menjadi panel dinding dan pintu Rumah Kail.

makanan itu kemudian kami kembalikan ke kebun, lewat bak kompos, rumah cacing, atau diberikan sebagai pakan bebek dan marmut, yang kemudian menghasilkan kotoran untuk dijadikan pupuk untuk kebun.

Kami juga menanam banyak pohon di kebun Kail termasuk berbagai pohon kayu dan bambu untuk cadangan material apabila dibutuhkan perbaikan rumah atau perabot di masa yang akan datang. Saat ini ada beberapa tiang teras dan bangku-bangku taman menggunakan kayu-kayu yang kami panen dari kebun sendiri. Untuk menghemat listrik, Rumah Kail dirancang dengan banyak bukaan. Lewat bukaan tersebut, sinar matahari dapat masuk dan menerangi ruangan. Selain untuk mendapatkan cahaya, bukaan ini juga memungkinkan udara segar masuk ke ruangan. Dengan rancangan rumah semacam ini, kami dapat menghemat listrik untuk penerangan dan tidak memerlukan penyejuk udara. Untuk mengoptimalkan penggunaan sumberdaya di Rumah Kail, kami merancang pemenuhan berbagai kebutuhan rumah mengikuti siklus materi dan energi yang ada. Sebagai contoh, kami memasang biodigester di toilet, yang mendaur ulang tinja-tinja dan sampah makanan yang dihasilkan para pengunjung Rumah Kail menjadi pupuk untuk kebun dan gas yang kami gunakan memasak. Hanya saja, karena jumlah pengunjung yang menginap masih sedikit, maka gas yang dihasilkan pun masih sedikit. Jadi kami masih memperlukan bahan bakar cadangan dari gas LPG. Kami juga memanfaatkan siklus air dan siklus hasil kebun. Semua air limbah di Rumah Kail disalurkan ke kebun. Kami membuat sistem penampungan air hujan untuk menyirami kebun. Kebun-kebun itu akan menghasilkan makanan dan minuman yang kami konsumsi selama kegiatan. Sisa-sisa

PRO : AKTIF | RUMAH KAIL

Pemanfaatan siklus di dalam perancangan rumah merupakan salah satu upaya mengubah limbah yang menimbulkan masalah menjadi sumberdaya yang memberikan manfaat untuk alam dan manusia. Dengan memanfaatkan siklus, diharapkan jumlah limbah yang mencemari alam dapat berkurang. Selain lewat rancangan rumah, kami juga menerapkan prinsip yang sama untuk kegiatan-kegiatan Kail. Kami berusaha sedapat mungkin mengurangi jejak ekologis dari kegiatan kami, dengan cara: (1) menyajikan sebanyak mungkin makanan lokal, terutama produk dari kebun Kail, (2) menghindari penggunaan makanan kemasan plastik, sebaliknya digunakan daun pisang, yang pada akhir kegiatan akan diletakkan di tempat pengomposan atau diberikan ke hewan peliharaan kami, yaitu untuk marmut dan bebek, (3) mempromosikan penggunaan transportasi umum dan penggunaan mobil bersama (nebeng) untuk semua peserta yang datang ke Rumah Kail; (4) mendaur ulang limbah dari acara Kail sebanyak mungkin seperti kertas dll; (6) menghemat penggunaan sumber daya, misalnya dengan mengurangi penggunaan kertas dengan menggunakan materi kegiatan versi elektronik, survei dan evaluasi online, serta sertifikat elektronik. Semua acara di Rumah Kail, (walaupun materinya bukan mengenai isu lingkungan) merupakan media untuk memperlihatkan pilihan-pilihan gaya hidup yang lebih selaras alam bagi para peserta. Kami berharap bahwa lewat Rumah Kail dan kegiatan-kegiatan Kail, kami dapat menunjukkan betapa mudah dan asyiknya hidup selaras alam. Jadi ketika pulang dari Rumah Kail, semua akan berpikir, “Hidup selaras alam, mengapa tidak?� ***

34


TENTANG KONTRIBUTOR David Ardes Setiady, tertarik dengan tema pengembangan diri dan menyadari memiliki sisi introvert yang cukup kuat. Ia menjejakkan kaki di Bandung sejak tahun 2003 untuk menjalani pendidikan S1 di Fakultas Psikologi Universitas Padjadjaran. Pernah belajar tentang hipnoterapi yang seutuhnya dipergunakan membantu orang-orang yang membutuhkan. Ia menghabiskan waktu di KAIL selama 2 tahun dalam perannya sebagai staff untuk bidang dokumentasi. Selama di KAIL, David secara rutin menjadi trainer Cara Berpikir Sistem dan berbagai program Pengembangan Diri Kail. Saat ini David tinggal di Medan dan menjadi Sekretaris Pengurus KAIL. Ia memiliki mimpi agar setiap manusia dapat hidup seturut panggilan sejatinya. Ayu Wulandari (Kuke), penyuka perjalanan. Senang mengamati sekitaran lalu menuangkan hasilnya dalam bentuk foto juga tulisan. Sempat berbakti sebagai tenaga pengajar di beberapa institusi pendidikan tinggi sesuai dengan keilmuan Teknologi Informasi yang lebih dulu ditekuni. Pernah terlibat dalam lingkar redaksi majalah kebumian GeoMagz dan penyusunan buku Pesona Bumi Dieng yang diterbitkan pada tahun 2015 oleh Badan Geologi. Saat ini lebih memilih menikmati hidupnya dengan sesekali menjadi kontributor lepas artikel perjalanan untuk media cetak juga online dan mengambil peran sebagai pendokumentasi berbagai kegiatan anak, penjelajahan, serta perjalanan belajar. Asra Wijaya berasal dari Ujung Gading, sebuah desa di Sumatera Barat. Ayahnya seorang petani, Ibunya guru SD. Seingatnya, kebun mereka sudah berganti dari jeruk ke kakao, kemudian ke sawit. Hari-harinya dihabiskan dengan membaca buku dan menonton film. Setelah lulus dari Teknik Fisika ITB Oktober 2017 lalu, Asra (24) kabarnya akan terjun ke dunia tulis-menulis. Ia dapat ditemui di sekretariat ISH Tiben ITB. Kadang-kadang, apabila ada submisi, Asra juga kerap menjadi editor suka-suka di website ISH Review https:// medium.com/ish-review. Asra bisa dihubungi lewat akun FB Asra Wijaya. Angga Dwiartama adalah peneliti dan staf pengajar di Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati, ITB, Bandung. Ia sempat mengambil program doktoral di Centre for Sustainability, University of Otago, Selandia Baru (2011-2014), dengan spesialisasi sosiologi pertanian dan pangan. Saat ini mengembangkan fokus penelitian di bidang pertanian berkelanjutan, sistem pangan lokal dan pertanian kota. Angga tinggal di Bandung bersama istrinya, Dyah Anugrah Utanti dan putrinya, Pertiwi Matauranga, dan bersama-sama aktif sebagai relawan di Rumah Belajar Mentari. Navita Kristi Astuti adalah ibu dari dua anak yang berdomisili di Bandung. Menjalani masa perkuliahan di Jurusan Biologi ITB (1995-2001), kemudian terjun ke dunia sosial sebagai relawan untuk LSM Jesuit Refugee Service (JRS) di Timor Barat dan Timor Leste (2001-2004). Ia mengambil program Master of Arts di Rijksuniversiteit Groningen dengan spesialisasi Humanitarian Action (2004-2005). Sekembalinya ke tanah air, ia bergabung kembali di JRS Indonesia sebagai tenaga riset dan database (2006-2007). Ia juga pernah menjadi Koordinator Lapangan untuk Bridging Leadership Program (BLP) di Aceh (20082009). Saat ini, Ia menggeluti dunia tulis menulis. Beberapa karyanya yang telah diterbitkan antara lain : buku antologi Jembatan Air Mata, (Penerbit Galang Press, 2002) yang ditulis bersama rekan-rekan relawan yang berkecimpung di kamp pengungsi Timor. Buku 270 Mutiara Inspirasi Bagi Ibu Hamil (Penerbit Pustaka Rama, Yogyakarta, 2012) merupakan karya tunggalnya yang berisi bacaan motivasi bagi para ibu yang mengandung. Everyday English Conversation (2013), merupakan karya tunggal lainnya berisi percakapan Bahasa Inggris sehari-hari.Kini, Ia juga berperan sebagai Koordinator Pro:aktif Online, majalah online yang diterbitkan tiga kali dalam setahun oleh Kuncup Padang Ilalang (Kail). PRO : AKTIF | TENTANG KONTRIBUTOR

35


Catharina Any Sulistyowati adalah LEAD Indonesia Fellow (1998-2000) dan Donella Meadows Leadership Fellow (2007-2008). Sempat mengambil S1 di Jurusan Teknik Penerbangan, Institut Teknologi Bandung (1991-1995) dan S2 dalam Bidang Studi Pembangunan dari Institute of Social Studies, Den Haag, Belanda (2000-2001). Sejak lulus sampai sekarang fokus bekerja di sektor sosial. Pengalamannya antara lain: mengembangkan ELSPPAT (Lembaga Studi Pembangunan dan Pelayanan Teknologi) di Bogor (1995-2000), mendirikan dan mengembangkan KAIL (Kuncup Padang Ilalang) di Bandung (2002-sekarang). KAIL adalah LSM yang berfokus pada peningkatan kapasitas individu dan kelompok agar peduli dan secara efektif bertindak untuk penyelesaian persoalan-persoalan di masyarakat, antara lain persoalan sosial dan lingkungan. Sepanjang karirnya, ia telah memfasilitasi proses belajar dan perencanaan aksi untuk berbagai kalangan, seperti kaum muda, rakyat miskin kota, pemimpin kampung, ibu-ibu, pemerintah serta pekerja sosial baik di tingkat lokal sampai internasional. Peran utama yang sedang dijalani saat ini adalah: (1) memfasilitasi komunitas/ organisasi/ kelompok untuk membuat visi bersama dan perencanaan untuk membangun dunia yang lebih berkelanjutan, (2) menuliskan inisiatif-inisiatif untuk membangun dunia yang lebih berkelanjutan, (3) membangun pusat belajar (Rumah KAIL) untuk memfasilitasi proses berbagi dan belajar antar individu dan organisasi. Fictor Ferdinand, biasa dipanggil Piki. Lahir di Bandung, sekarang tinggal di Sidoarjo bersama si kecil Avani dan ibunya, Indah. Piki tertarik pada isu-isu kedaulatan dan bagaimana manusia berhubungan dengan alam. Sejak 2001 Piki berkenalan, menjadi relawan, dan bergabung dengan YPBB. Saat ini menjabat sebagai Direktur Harian YPBB, dengan program utama mempromosikan gaya hidup yang berkelanjutan melalui kegiatan kampanye, pelatihan dan pendampingan, membangun model komunitas organis dan advokasi kebijakan. Selain di YPBB, Piki juga aktif sebagai penggerak Koperasi Pendidikan Ura-Ura di Surabaya, dan beberapa jaringan belajar yang digagas Walhi Jawa Timur. Lewat Ura-ura, cita-cita kecil yang sedang digarapnya adalah membangun sekolah untuk memperluas kesadaran terhadap krisis dan mendorong upaya aktif untuk membangun wacana peradaban baru. Mimpi besarnya adalah membangun model masyarakat yang bertransisi secara sadar pada kehidupan yang selaras dengan alam. Piki bisa disapa di Whatsapp: 081331806993 atau di facebook Eventus Ombri Kaho. Saya lahir pada tahun 1995 di sebuah desa kecil tepatnya di desa Alkani, kecamatan Wewiku kabupatan Belu-Nusa Tenggara Barat. Setelah lahir beberapa bulan lalu saya dibaptis menjadi seorang Katolik. Waktu yang berjalan begitu cepat, mengantarkan saya ke bangku sekolah. Saya mengawali pendidikan di bangku paling dasar, yakni Sekolah Dasar Katolik (SDK) Hanemasin pada tahun 2000 sampai tahun 20007. Dengan rasa percaya diri yang tinggi saya mencoba melanjutka ke jenjang yang lebih tinggi yakni, ke Sekolah Lanjuta Tingkat Pertama (SLTP) Negeri 2 Malaka Barat pada tahun 2007 sampai 2010. Waktu tidak butuh siapa-siapa, melainkan hanya butuh proses mengikuti dan mengalami. Untuk mengalaminya, saya berkomitmen melangkah ke tingkat lebih tinggi dari pendidikan saat ini yakni ke Sekolah Menengah Atas (SMA) Bina Karya Atambua dari tahun 2010 sampai 2013. Di sinilah segala bentuk kepribadian saya dibentuk dan muncul suatu panggilan untuk menjadi seorang biarawan. Lantas panggilan itu bergema begitu kuat akhirnya saya mencoba menanggapinya dengan mencoba menginkorporasikan diri ke Ordo Sanctae Crucis di Bandung. Selama satu tahun, saya hidup di Novisiat untuk mengalami pembentukan diri. Hidup sebagai biarawan tidak hanya hidup dalam kesalehan dan kesucian, melainkan juga memiliki pengentahuan yang cukup memadai. Maka pada tahun 2014 saya masuk di Universitas Katolik Parahyangan dengan mengambil jurusan Filsafat. PRO : AKTIF | TENTANG KONTRIBUTOR

36


Ratna Ayu Wulandari Lahir dan besar di Lasem, Kabupaten Rembang- pesisir pantura yang berbatasan dengan Jawa Timur. Suka dengan petualangan dan alam liar, sesuai dengan jurusan yang diambil sewaktu kuliah yaitu Konservasi Sumberdaya Hutan, semenjak lulus tahun 2006 pernah bergabung dengan lembaga-lembaga yang bergerak di bidang pelestarian hutan dan satwaliar di luar pulau jawa sampai akhirnya memutuskan kembali ke pulau jawa (Bandung) pertengahan tahun 2015. Sekitar 1,5 tahun yang lalu bergabung dengan Perkumpulan YPBB dan menjadi staf parttime di Divisi Kampanye Zero Waste dan sisanya sebagai ibu rumah tangga. Justin Coupertinho (Umbu) adalah anak dari suku Umbu Karewa kampung Pala, Sumba Barat Daya. Sehari-hari ia membayangkan berada di Raja Ampat dekat laut. Ia suka berburu kerang di pantai. Ia bercita-cita memiliki kuda satu saja.

Terlahir dengan nama Jenal Mustofa, sangat mencintai ilmu pengetahuan, khususnya tentang budaya, lingkungan dan manusia. Pendidilkan formalnya tidak sejalan dengan aktivitas yang sering dilakukan. Belakangan, pria penggila buku ini, sedang tertarik dengan hal-hal yang berkaitan dengan pengmbangan diri.

Yuthika N. AddinaLulusan Studio Patung yang murtad jadi tukang foto untuk Tirto. id. Aktif bermain di Ilubiung Forum serta masih gemar hilir-mudik mencari objek foto sambil berusaha jadi seniman yang baik.  

SHERIKA. Lulus dari sekolah seni rupa swasta di Bandung. Pernah bekerja sebagai desainer produk di beberapa perusahaan, tapi kemudian memilih untuk menjadi freelancer saja, agar punya lebih banyak waktu untuk belajar dan berkarya sambil jalan-jalan dan bermain. Saat ini sedang membuat beberapa komik edukasi untuk anak dan memberi kursus privat cat air di Cher’s Studio, rumah sekaligus studionya di wilayah Cikutra, Bandung.

PRO : AKTIF | TENTANG KONTRIBUTOR

37


MARI BERKONTRIBUSI

Hari Relawan KAIL 2016 (Dok. KAIL)

Anda berminat menjadi relawan kontributor untuk Pro:aktif? Caranya mudah! Hubungi kami di proaktif.online@gmail.com atau kailnavitaastuti@gmail.com untuk mengetahui tema dan jadwal penerbitan edisi mendatang. Adapun kontribusi yang bisa diberikan antara lain adalah kontribusi (1) penulisan artikel, (2) tata letak, dan (3) ilustrasi sampul. Dengan menjadi relawan Pro:aktif, Anda akan turut menjadi bagian dari jaringan relawan KAIL. Di dalam wadah ini Anda bisa saling mengenal dan berbagi, terutama di dalam berbagai kegiatan-kegiatan KAIL yang antara lain terkait pengembangan diri dan masyarakat untuk proses perubahan sosial. Kami tunggu kontribusi Anda!

PRO : AKTIF

38


FOTO/ Yuthika N. Addina


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.