Pro:aktif Edisi 15/Desember 2016

Page 1


DESEMBER 2016

1 EDITORIAL Budaya Membaca Para Aktivis Pro:aktif 2 | PIKIR Membaca di Era Digital SOFIE DEWAYANI

Pro:Aktif 19 | OPINI Membaca dan Berpikir Kritis UMBU 25 | TIPS Membangun Kebiasaan Membaca Para Aktivis ANY SULISTYOWATI

6 | MASALAH KITA Aktivis Membaca KUKUH SAMUDRA 13 | PROFIL Menulis Buku Anak? Senangnya! EUGENIA RAKHMA 14 | PROFIL Perpustakaan Jalanan Bandung: Menerobos Malam, Menyebar LIterasi SENARTOGOK

30 | MEDIA POTRET, 14 Tahun Membangun Budaya Baca di Kalangan Perempuan TABRANI YUNIS 35 | JALAN-JALAN Membangun Mimpi Lewat Membaca YOSEPIN SRI


1 EDITORIAL

BUDAYA MEMBACA PARA AKTIVIS Pro:Aktif Tak terasa putaran waktu kini beranjak ke penghujung tahun 2016. Pada akhir tahun ini, Pro:aktif Online kembali hadir dengan tema “Budaya Membaca Buku”. Membaca adalah sebuah kegiatan penting dan utama di dalam kehidupan manusia. Dengan membaca, seseorang mendapatkan ilmu dan pengetahuan. Membaca merupakan jendela menuju dunia dan wawasan yang luas. Demikian pentingnya membaca sehingga mampu mendongkrak kualitas hidup manusia dan kesejahteraan suatu masyarakat. Dalam edisi kali ini, budaya membaca telah dipotret dari berbagai sudut pandang oleh para kontributor penulis Pro:aktif Online, dimulai dari rubrik Pikir yang dibawakan oleh So e Dewayani. Artikel yang dibawakannya mengajak pembaca untuk menyelami dan memahami perilaku dan pilihanpilihan generasi masa kini yang melek teknologi digital. Dengan pemahaman baru tersebut, pembaca diajak untuk menyikapi secara bijak perkembangan teknologi yang ada, serta mencari cara yang strategis agar kebiasaan membaca tidak tergerus oleh perkembangan teknologi tersebut. Rubrik Opini disajikan oleh Umbu, yang dengan indahnya memaparkan dunia yang membaca. Alam semesta terdiri dari peristiwa membaca yang tak pernah usai, dimulai dari pembacaan semesta terhadap awal mula dunia kepada insting 'membaca' pada manusia purba hingga terciptanya simbol-simbol yang kini digunakan oleh masyarakat modern dalam membaca. Secara menarik, Umbu mengajak pembaca untuk meninjau kembali budaya membaca dalam hubungannya dengan pola berpikir kritis. Ia menyandingkan membaca yang dilakukan Alice dalam kisah “Alice in

Wonderland” dengan membaca yang dilakukan Pinocchio, sang boneka kayu yang akhirnya menjadi manusia. Rubrik Masalah Kita dibawakan oleh Kukuh Samudera. Ia memaparkan tentang kebiasaan membaca buku di kalangan aktivis. Kukuh mengantarkan pembaca kepada pengalaman para aktivis dalam mengakses buku, yang dikaitkan dengan kiprah mereka di tempat karya masingmasing. Rubrik Jalan-Jalan dibawakan oleh Yosepin Sri Ningsih, mengisahkan tentang Perahu Pustaka Pattingaloang, sebuah perpustakaan yang dibangun di atas sebuah perahu layar dengan misi menjangkau wilayahwilayah terpencil untuk meningkatkan minat membaca masyarakat, terutama masyarakat di Indonesia bagian timur. Rubrik Media ditulis oleh Tabrani Yunis, direktur Center for Community Development and Education (CCDE) di Aceh, menuturkan tentang majalah POTRET yang merupakan majalah bagi aktivis dan kaum perempuan di Aceh. Rubrik Pro l diisi dengan dua artikel, pertama, tentang Perpustakaan Jalanan yang ditulis sendiri oleh pendirinya, Senartogok, yang mengisahkan jatuh bangun perjuangan mereka menyuarakan gema literasi di jalanan. Artikel kedua adalah pro l tentang seorang penulis bacaan anak, Eugenia Rakhma, yang mengisahkan pengalaman dalam menulis bacaan yang mampu memikat hati anakanak yang membacanya. []

Pro:aktif | DES 2016


2 PIKIR

Membaca di era digital Oleh SOFIE DEWAYANI Apa yang belum pernah ada di dunianya Newton ataupun Dostoyevski adalah tablet elektronik yang membuat penggunanya bisa menjelajah Eropa, Afrika, hingga Saturnus tanpa harus keluar kamar tidurnya sendiri.

Selamat datang di dunia Gen Z, dunianya generasi muda yang melek teknologi. Survei Nielsen di Indonesia pada Oktober 2016 memperkuat ungkapan ini. Survey ini menemukan bahwa anak (usia 10-14 tahun) dan remaja Indonesia (umur 15-19) lebih gemar mengakses internet ketimbang membaca buku. Survey ini lebih jauh menyebutkan bahwa persentase anak yang membaca buku hanya 11 %, dan remaja hanya 10 %. Sementara itu, hanya 4 % orang dewasa membaca buku. Anak-anak dan remaja mengakses internet untuk mencari informasi (8 % untuk anak-anak dan 17 % untuk remaja) ketimbang bermain (hanya sekitar 6 % pada kedua kelompok ini. Fakta bahwa media teknologi lebih banyak diakses ketimbang media cetak tak dapat dielakkan lagi. Perkembangan teknologi digital sering dianggap sebagai kambing hitam bagi kegemaran membaca. Orang khawatir bahwa ketika internet semakin mudah diakses, buku cetak tidak lagi menarik minat pembaca. Di Indonesia terutama, kekhawatiran ini muncul karena minat membaca belum tumbuh. Kekhawatiran yang sama mengemuka di dunia Barat di awal kemunculan teknologi visual, yaitu televisi dan lm. Namun kekhawatiran ini tidak terbukti. Buku-buku cetak tetap digemari saat itu, karena diproduksi dengan memenuhi tantangan teknologi visual. Buku-buku dibuat dengan kaya warna, ilustrasi dan desain yang menarik. Inovasi terjadi dalam dunia komik, novel gra s, dan buku bergambar, yang digarap

dengan kualitas konten, warna, dan desain yang lebih baik. Televisi sempat mencuri perhatian sesaat, namun orang tetap kembali kepada buku cetak. Hal ini membuktikan bahwa teknologi visual bahkan memberikan kontribusi bagi perkembangan dunia membaca. Budaya membaca untuk kesenangan (reading for pleasure) semakin tumbuh karena dipupuk dan dimanjakan oleh buku-buku yang baik. Perkembangan budaya membaca untuk kesenangan tumbuh seiring dengan inovasi dalam teknologi visual. Inovasi dalam produksi buku telah tampak di Indonesia dengan kemunculan bukubuku bergambar yang memperhatikan aspek desain, penataan, dan ilustrasi secara lebih serius. Penulis-penulis buku anak, misalnya, berpartisipasi dalam ajang kompetisi tingkat Asia dan internasional dan perhatian konsumen buku mulai diarahkan kepada buku-buku yang mendapatkan pernghargaan pada kompetisi ini. Sayangnya, buku-buku berkualitas hanya dapat diakses oleh kelas atas dan menengah di daerah perkotaan di Pulau Jawa. Rendahnya daya beli dan mahalnya ongkos ekspedisi serta distribusi menyebabkan buku-buku berkualitas ini tak dapat diakses oleh sebagian besar pembaca, terutama mereka yang tinggal di pedesaan, luar Jawa, dan daerah-daerah terluar di Indonesia. Karenanya kita memaklumi, apabila p erpust akaan perpustakaan SD masih menyimpan bukubuku Inpres atau DAK (Dana Alokasi Khusus) yang miskin kualitas serta cerita

Pro:aktif | DES 2016


3 rakyat yang tak sesuai dengan daya nalar dan pemahaman mereka. Inovasi dalam peningkatan kualitas dan distribusi buku anak terbukti kalah cepat dengan perkembangan teknologi internet dan gawai elektronik yang telah menyebar ke segala penjuru Indonesia. Informasi digital saat ini telah menjadi materi bacaan yang diakses secara masif. Kegiatan membaca digital mempengaruhi cara seseorang mencerna informasi, perilaku membaca, dan cara memahami bacaan. Karena itu, upaya menumbuhkan minat baca membutuhkan strategi khusus dan perlu memperhatikan perilaku dan preferensi membaca di era digital ini. Perilaku Membaca Gen Z Apabila kepada seorang anak balita diberikan perangkat gawai berlayar, biasanya ia akan menerima gawai itu dengan antusias, lalu menggeser-geserkan telunjuk dan ibu jarinya pada layar tersebut, mesk ip un p eran gkat t ersebut t i dak menggunakan teknologi 'touch sreen;. Salah satu karakteristik Gen Z adalah mereka t erlahir dengan kepi awaian menggunakan gawai karena mereka tumbuh menyaksikan, dikelilingi, dan terhibur oleh perangkat tersebut. Anakanak Gen Z dibesarkan oleh apa yang tersaji pada layar kaca dan layar digital sehingga

mereka berpikir dan membaca dengan logika dan cara yang berbeda dengan generasi pendahulunya. Salah satu perilaku membaca masa kini yang diamini oleh banyak peneliti adalah kebiasaan membaca teks-teks pendek dan kemampuan multitasking saat membaca. Pembaca di era digital jarang berfokus pada satu bacaan dalam jangka waktu yang lama. Mereka beralih perhatian dari bacaan satu kepada bacaan lain, kepada surel, kepada kegiatan berselancar di dunia maya, atau berkomunikasi di media sosial. Jenis teks dan cara membaca ini membuktikan berkurangnya rentang konsentrasi dan daya tahan membaca pada satu bacaan. T uj uan me mba c a men jad i s em ak in pragmatis; orang membaca hanya untuk mencari informasi tertentu yang spesi k. Banyak peneliti menempatkan kegiatan membaca buku cetak dan elektronik pada sisi yang berlawanan. Ziming Liu (2005) mengatakan bahwa ketika membaca informasi digital, pembaca cenderung mencari informasi yang spesi k dengan teknik memindai (scanning), m e n g g u n a k a n k a t a k un c i t e r t e n t u, membaca dengan alur yang nonlinear, dan membaca penggalan informasi secara selektif. Ketika melakukan ini, pembaca mengabaikan banyak informasi detail. Hal ini tentunya berbeda dengan pembacaan t erhadap buku c et ak yan g biasany a

Dua anak sedang menggunakan smartphone untuk mengambil gambar

sumbercityanalysts.blogspot.com

Pro:aktif | DES 2016


4 dilakukan dengan perhatian penuh, lebih terfokus, sehingga mendapatkan informasi secara lebih sistematis. Praktik menuliskan komentar pada marjin buku dan menggarisbawahi kalimat (teknik anotasi) yang sering dilakukan pembaca saat membaca buku cetak pun tidak dilakukan oleh pembaca konten digital, meskipun tur ini tersedia pada perangkat digital. Aktivitas memindai pun dilakukan oleh pembaca cetak dan digital dengan cara yang berbeda (Olsen, 1994). Saat membaca buku cetak, pembaca memindai bacaan untuk menemukan informasi tertentu sembari berusaha memahami keseluruhan teks. Pembaca pun dapat mengingat informasi yang dipindai tersebut dengan lebih baik karena ia dapat menandai letaknya dalam buku. Menurut Olsen (1994), ingatan visual ini tidak terjadi pada kegiatan menelusuri bacaan digital (scrolling up, scrolling down). Teks digital umumnya dibaca secara parsial, sehingga pembaca tidak membacanya sebagai satu kesatuan ide secara utuh. Dalam hal ingatan terhadap konten bacaan, Penelitian Anne Mangen dari Universitas Norwegia menemukan bahwa pembaca buku cetak untuk mengingat informasi dari materi bacaan den gan l ebi h bai k ket i mban g buk u elektronik. Studinya membuktikan bahwa pembaca buku cetak mampu menceritakan ulang isi bacaan dengan lebih baik dan lebih detil ketimbang pembaca buku elektronik. Meskipun demikian, kita tak mengelak fakta bahwa konten digital memiliki beberapa tur unggul. Pertama, teks digital menawarkan cara yang instan untuk mengakses informasi. Kedua, bacaan digital bersifat multimodal. Teks, gambar/elemen visual, suara, bahkan turtur interaktif menjadi elemen pemikat bacaan digital. Paket komplet ini memampukan teks digital untuk mengakomodasi kekhususan belajar; sesuai bagi pembaca berkebutuhan khusus atau pembaca dengan ragam gaya belajar: visual, auditori, dan kinestetik. Ketiga, membaca digital memungkinkan pembaca

untuk mengakses banyak materi dalam waktu yang singkat sehingga meningkatkan kemampuan sintesis mereka. Tentunya, kecakapan literasi informasi – yaitu kemampuan untuk memilah informasi berdasarkan akurasi dan kemanfaatannya – perlu ditingkatkan secara sistematis. Dengan semua potensi menarik ini, kemampuan membaca materi digital dapat ditumbuhkan seiring dengan minat dan budaya membaca materi cetak. Keduanya saling melengkapi. Membaca digital lebih sesuai untuk penelusuran informasi secara instan, sedangkan membaca materi cetak membantu untuk memahami informasi secara menyeluruh. Preferensi Bacaan Materi bacaan dalam bentuk digital dan cetak perlu dipahami sebagai alternatif yang tersedia untuk dipilih pembaca di era modern ini. Pembaca memiliki preferensi yang luas; yang menentukan pilihan material bacaan adalah keterikatan emosional terhadap material tersebut dan kebiasaan individu. Sebagian pembaca mungkin lebih nyaman membaca pada layar gawai. Sebagian yang lain tetap setia pada materi cetak. Preferensi terhadap materi cetak atau digital ini ternyata tak dipengaruhi oleh usia. Survei Ramirez (2003) membuktikan bahwa kebanyakan (68 %) remaja di Amerika lebih menyukai membaca bacaan cetak karena mereka mendapatkan dan mampu mengingat lebih banyak informasi. Penelitian lain oleh Hartzell (2002) menyebutkan bahwa remaja mengakui membaca lebih lambat pada layar monitor komputer dibandingkan apabila mereka membaca buku cetak. Preferensi ini menunjukkan bahwa invasi teknologi sesungguhnya bukanlah ancaman terhadap minat membaca, melainkan tantangan untuk meningkatkan kreativitas dan inovasi dalam meningkatkan kualitas buku dan kegiatan penumbuhan minat baca. Dengan mengetahui perilaku dan preferensi Gen Z, kita dapat menyikapi mereka dengan lebih bijak. Preferensi

Pro:aktif | DES 2016


5 mereka terhadap teknologi tak perlu disikapi dengan paranoid apabila kita tidak memperlakukan teknologi sebagai ancaman; melainkan, tantangan yang mengharuskan oran g dewasa unt uk semakin kreatif lagi. Daftar Referensi 1.Hartzell, G. (2002). Capitalizing on the school library's potential to positively affect the students' achievements. Diunduh dari http://eduscapes.com/sms/overview/hartze ll.html

Documentation, 61 (6), pp. 700-712. 3.Olson, D. Z. (1994). The world on paper. New York: Cambridge University Press. Ramirez, E. (2003). The impact of the Internet on the reading practices of a university community: the case of UNAM. World Library and Information Congress: 69th IFLA General Conference and Council, August 1-9, 2003, Berlin, pp.1-13. Diunduh d a r i http://www.i a.org/IV/i a69/papers/019eRamirez.pdf []

2.Liu, Z. (2005). Reading behavior in the digital environment: Changes in reading behavior over the past ten years. Journal of

sumber-animalpolitico.com

Pro:aktif | DES 2016


6 MASALAHÂ KITA

Aktivis Membaca Oleh Kukuh Samudra

Membaca belum menjadi kebiasaan dan kebudayaan bangsa kita. Anies Baswedan mengatakan, hanya 1 dari 1000 orang Indonesia merupakan pembaca aktif. Pernyataan ini disampaikan ketika Anies memberikan sebuah sambutan di acara nal Gramedia Reading Community C o m p e t i t i o n 2 01 6 d i Per p us t a k aa n Nasion al, Sal emba, Jakarta, Sabtu (27/8/2016). Saat itu Anies masih menjabat sebagai Menteri Pendidikan[1]. M e n u ru t da t a y a n g dilansir oleh UNESCO, sesungguhnya angka buta huruf di Indonesia tergolong rendah. Di tahun 2015, 92.6 persen warga Indonesia berusia di atas 15 tahun telah mampu membaca aksara[2]. Namun, sayang kemampuan dasar membaca di sini tidak diimbangi dengan minat membaca masyarakat. Survei yang dilakukan oleh BPS pada tahun 2012 menunjukkan hanya 17,3 persen penduduk Indonesia yang membaca (baik buku, majalah, maupun koran) dalam rentang waktu satu minggu[3]. Hal ini bukan sebuah tren yang baik. Saat ini memang informasi dapat diperoleh dari mana saja. Namun, kedalaman informasi adalah sesuatu yang berbeda. Saat menont on tel ev i si , ki t a akan memp ero leh informasi dan gambar bergerak. Otak kita cenderung reseptif. Sementara jika kita membaca buku, otak kita dituntut mengolah informasi secara lebih aktif.

Sebuah penelitian yang dilakukan di Jepang, menunjukkan bahwa aktivitas otak kita memiliki perilaku seperti otot tubuh. Semaki n serin g kit a gun akan /lat ih, semakin besar dan kuat bagian tertentu yang berhubungan. Penelitian tersebut menghasilkan kesimpulan semakin banyak orang menonton TV, semakin besar bagian lobus frontal yang biasa digunakan sebagai indikasi bahwa seseorang memiliki kercerdasan verbal yang rendah. Sementara membiasakan membaca buku s e j a k k e c il m e n u r u t penelitian tersebut dapat meningkatkan keterampilan berbahasa[4]. Aktivis dan Membaca Kegiatan aktivis sebetulnya beragam. Ada yang lebih banyak melakukan kajian, tetapi ada juga yang mengharuskan mereka untuk bertemu langsung dengan masyarakat, meskipun sebenarnya tidak kenal dan akrab. Sebagai contoh, aktivis mahasiswa lebih banyak berinteraksi dengan mahasiswa sendiri. Pergaulan mereka sebatas pada mahasiswa yang secara intelektual dan kelas relatif homogen. Namun, di sisi lain, seperti orang-orang yang memiliki fokus di arsitektur komunitas, mereka mau tidak mau harus dapat menyesuaikan diri dengan warga yang mereka temui. Husein adalah alumni ITB yang baru saja lulus, sementara Okie saat ini sedang

Pro:aktif | DES 2016


7 berjuang menyelesaikan kuliah tahun terakhirnya di ITB. Keduanya sewaktu masih kuliah dikenal sebagai aktivis mahasiswa yang tidak hanya sibuk dengan kegiatan akademik, tetapi juga aktif berorganisasi. Mereka sama-sama pernah menjabat sebagai menteri/setingkat menteri dalam Kabinet Seru Keluarga Mahasiswa ITB. Okie pernah menjabat sebagai Menteri Kajian Strategis, s e da n gk a n H us e i n Pe r n ah me n j ad i Direktur Penelitian dan Pengembangan. Okie mengaku memiliki ketertarikan terhadap isu sosial-humaniora. Untuk menjawab pertanyaan seputar fenomena sosial yang berkembang dia tidak ragu untuk membaca buku-buku bertema sosial, ekonomi, hingga lsafat. Selain karena kegemaran, posisi yang diemban oleh Okie juga mendorong ia untuk lebih rajin membaca buku. "Membaca buku berguna untuk dapat memproblematisasi suatu masalah secara lebih mendalam", tutur Okie.

mendesain daripada melakukan kajian desain dan teori-teori. .. Kaya semiotika di arsitektur itu gak diajarin. Padahal ada implementasinya di desain. Kita harus baca sendiri” kata Usie. Usie mengaku banyak mendapatkan inspirasi setelah membaca buku. Namun menurutnya temuan itu harus tetap dikritisi dengan konteks lapangan. Hanya berpegang pada teori tanpa mau membenturkan dengan realita hanya akan berujung pada sikap anti-kritik. Dalam berkegiatan, Usie berpegang pada pola baca-penemuan-implementasi-re eksi.

Husein sendiri mengaku sebetulnya kurang senang membaca, meskipun setiap hari dia m e n y e m p a t k a n w a k t u 3 j am u n t u k membaca. Waktu 3 jam tersebut dia habiskan untuk membaca buku, koran, atau artikel di internet. Hanya buku dengan topik tertentu yang Husein gemari, misal sejarah dan legenda lokal.

”Teori kan gak semuanya kontekstual ya, contohnya kitab sucinya urbanis-kiri kan David Harvey yang Right to The City. Itu kalau ditabrak dengan realita Indonesia ya sulit untuk diimplementasikan. Harus kritis buat modi kasi. Harusnya orang bisa bikin buku dari proses itu. Buku ala konteks Indonesia”, Usie menerangkan.

Ketika menjabat sebagai menteri, Husein mengaku justru lebih jarang meluangkan waktu untuk membaca topik yang dia gemari. Di a lebih ban yak membac a makalah-makalah yang berhubungan dengan isu aktual yang sedang berkembang di kampus. "Misalnya saat isu larangan merokok berkembang di kampus, saya lebih banyak baca makalah yang berhubungan dengan isu tersebut.", kata Husein.

Alasan lain dikemukakan oleh Siska yang juga aktif di ASF. Dia menjelaskan manfaat membaca adalah mengetahui apa yang belum diketahui, atau memahami suatu konsep yang sudah kita ketahui; tapi belum pernah kita wujudkan dalam kata-kata.

Lain hal dengan Okie, saat ini Usie beraktivitas di ASF, yaitu sebuah LSM dengan basis kegiatan arsitektur komunitas. Menurutnya membaca buku tetap dibutuhkan karena menurutnya ilmu yang didapatkan di bangku kuliah tidaklah cukup. ”Mahasiswa lebih senang

Inspirasi tersebut didapatkan oleh Siska setelah membaca buku berjudul “Pendidikan Kaum Tertindas” karangan Paulo Freire. Dia memberikan contoh kata 'bangkrut' yang berkorelasi dengan kata hancur, pailit, kemunduran, kehancuran, dan sebagainya. Dari kata yang berkorelasi tersebut, akan muncul korelasi yang lain, dan seterusnya. Per da n a Put r i ada l ah s eo r an g y a n g memiliki perhatian terhadap isu hak asasi

Pro:aktif | DES 2016


8 manusia. Perempuan yang mengaku sangat cint a dengan ilmu pen getahuan in i menolak disebut sebagai aktivis. Menurutnya apa yang dia lakukan belum seberapa dibandingkan banyak seniornya yang telah mencurahkan konsentrasi serta tenaganya bagi isu HAM. Bagi perempuan yang akrab dipanggil Pepe ini membaca buku maupun jurnal dibutuhkan untuk memahami konteks wacana. Kurang pengetahuan dan informasi, menurut Pepe hanya akan membuat kita lupa mengenai akar permasalahan dan gagap dalam menanggapi banyak hal. Namun, ternyata tidak semua 'aktivis' ini sinkron antara yang dia baca dengan kesibukan dia sebagai aktivis. Anggika mengalami hal ini ketika dia diharuskan kantornya, sebuah organisasi non-pro t di Jakarta, untuk membaca buku yan g sesungguhnya tidak dia suka. Menurut pengakuan Anggika, awalnya dia kontra dengan ide besar buku-buku yang direkomendasikan atasannya. Meski demikian, Anggika tetap mau membaca sebagai bahan pembanding dan re eksi. M e mb a c a be r k ai t a n de n g an P ro s es Memperoleh Informasi dan Pengetahuan Proses membaca dalam artian yang luas adalah proses menggapai informasi dan pengetahuan. Sementara teks, dalam kaitannya yang paling luas pun bukan sekadar simbol alfabetis; seperti yang s udah m en j adi ke se p ak at an i st i l ah keseharian. Dia tersebar di seluruh alam semesta. Dia bisa tersirat dalam pola sosial, dalam gerak alam, maupun citra visual. Medium yang beraneka ragam tersebut kenyataannya tidak selalu menghasilkan di al o g y an g s am a. In t er ak s i an t a r a informasi dan pembaca, dengan kata lain, tergantung dari medium yang digunakan. Revolusi teknologi informasi yang terjadi sejak abad 20 akhir telah mengubah dunia secara signi kan. Teknologi informasi, dengan karakteristik multi-media seolah meluruhkan batas ruang-dan waktu. Sebagai contoh, kita bisa dengan lekas memperoleh gambaran realtime fenomena

yang terjadi di belahan dunia meski beribu kilometer jauhnya. Sebaran informasi yang semakin cepat ternyata berimplikasi juga pada perilaku. Manusia akan merasa sangat terlambat jika tidak membaca koran di pagi hari. Manusia akan merasa rugi tanpa peka terhadap tren terbaru, dan sebagainya. Untuk memenuhi kebutuhan akan informasi, banyak hal yang dilakukan oleh manusia. Terutama dengan beragam media yang ditawarkan saat ini. Melalui siaran radio, tayangan televisi, kicauan di media sosial, atau yang paling klasik, membaca buku. Saat ini kita bisa dengan mudah mengakses video atau lm dengan akses yang hampir tak terbatas. Cukup membuka situs pencarian, berita (news) atau kuliah dari orang-orang terkenal dapat kita nikmati di mana saja, kapan saja, bahkan berulangulang. Namun menurut Pepe, membaca buku tetap tidak tergantikan meskipun berbagai kemudahan pencarian informasi dengan internet, terutama video mudah kita dapatkan. Pepe memberikan penjelasan, “Kalau via video, informasi cenderung tidak terkendali, dalam artian, ada proses penundaan yang hilang/lebih lambat untuk si pembaca/penerima teks untuk mencerna. Hal ini tentu berbeda dengan membaca buku yang prosesnya lebih lama, dan memberikan waktu bagi yang menyerap untuk mengevaluasi apa yang dia baca.� Alasan lain untuk tetap membaca buku dikemukakan oleh Siska, “Literatur dan catatan adalah repositori yang menyimpan begitu banyak dimensi dan material, sehingga dengan membaca kita seperti melintasi jaman dan pemikiran.� Meski beragam media informasi menawarkan informasi yang lebih cepat dan menarik (secara citra visual), membaca buku bagi para aktivis tetap merupakan sebuah kebutuhan yang tidak tergantikan. Akses Memperoleh Bahan Bacaaan

Pro:aktif | DES 2016


9 Jumlah pembaca buku di Indonesia yang rendah berimbas pada industri buku. Melihat pasar yang minim membuat penerbit tidak berani menerbitkan banyak judul buku. Menurut data yang dirilis oleh International Publisher Associaton, rasio buku baru/cetak ulang per sejuta jumlah penduduk Indonesia per tahun berada pada angka 119. Angka ini termasuk rendah dibandingkan negara lain. Ambil contoh Norwegia yang memiliki angka rasio 1275 atau Prancis dengan angka 1008. Bahkan untuk kawasan Asia Tenggara, Indonesia masih kalah oleh Thailand (215), Vietnam (273), atau Malaysia (679)[5]. Jumlah buku yang diterbitkan menunjukkan seberapa besar pilihan buku yang ada di pasar. Semakin sedikit buku yang diterbitkan, semakin sedikit pilihan buku untuk dibaca. Semakin nestapa, jumlah buku yang dicetak per judul di Indonesia tergolong kecil. Ronny Agustinus adalah pendiri penerbit Marjin Kiri. Penerbit yang identik dengan penerbitan buku-buku kajian sosial humaniora dan sastra. Dalam wawancara dengan Indoprogress, Ronny menceritakan pengalamannya ketika harus mengurus hak cipta dan royalti terjemahan dengan penerbit luar negeri. Penerbit luar negeri terkejut ketika dia menyampaikan kondisi pasar buku di Indonesia. Mereka mulanya tidak percaya dengan jumlah penduduk Indonesia yang mencapai 260 juta jiwa, di sisi lain sebuah penerbit hanya mampu mencetak 1.000 eksemplar per judul buku. Sedikit pilihan buku di pasar tidak jarang membuat pembaca kesulitan mencari buku yang dia cari. Usie menceritakan kesulitannya memperoleh buku-buku karangan Pramoedya Ananta Toer yang tergabung dalam Trilogi Nusantara. Sesuai namanya, Trilogi Nusantara memuat tiga judul buku yaitu: Arok Dedes, Mata Pusaran, dan Arus Balik. Dari ketiga judul tersebut, hanya judul pertama yang saat ini mengalami cetak ulang dan tersedia di pasaran. Novel Arus Balik terakhir dicetak pada tahun 1995 dan belum pernah mengalami cetak ulang. Sementara judul

kedua, Mata Pusaran, nasibnya lebih naas lagi. Dia telah lenyap dihancurkan oleh p i hak milit er O rde Baru dan han y a menyisakan halaman 232-362. Itu pun didapatkan oleh pihak keluarga pengarang atas bant uan seorang Belanda yan g menemukannya di penjual buku bekas di Kwitang. Usie mengaku pernah kontak dengan seseorang di media sosial yang menjual beberapa buku karangan Pram, termasuk Mata Pusaran dan Arus Balik. Namun, belum sampai harga awal dibuka, si penawar tiba-tiba membatalkan niatnya. Dari riset yang kami lakukan di beberapa penjual buku daring yang saat ini menjamur, harga novel Arus Balik yang asli/legal mencapai 1,5 juta. Itu pun peredarannya terbatas. Sementara untuk Mata Pusaran, hanya keluarga Pram yang dipastikan masih memiliki naskahnya. Itu pun dalam keadaan yang cacat. Untuk dapat mengakses novel Arus Balik, Usie akhirnya tidak jadi membeli bukunya. Dia telah menemukan novel tersebut sebagai salah satu koleksi dari Kineruku, sebuah perpustakaan swasta di Kota Bandung. Kesulitan mencari buku juga pernah dialami oleh Pepe. Sekian lama dia mencari novel berjudul Semua Untuk Hindia karya Iksaka Banu dan Anti-Politics Machine karya James Ferguson. Meski novel Semua Untuk Hindia relatif baru diterbitkan (terbit tahun 2014), stok di pasaran ternyata sudah langka. Padahal, novel tersebut merupakan pemenang Kusala Sastra Khatulistiwa tahun 2014, salah satu penghargaan sastra paling bergengsi di negeri ini. Pepe mencoba untuk mencari kedua buku tersebut di perpustakaan. Dua perpustakaan yang terkenal memiliki koleksi lengkap dia kunjungi : perpustakaan kamp us UI dan perp ust akaan milik Freedom Institute. Dua perpustakaan yang dia andalkan tersebut ternyata tidak mengoleksi buku yang Pepe cari. Semua untuk Hin dia akhirnya Pepe dapatkan dari penjual buku daring.

Pro:aktif | DES 2016


10 Sementara Anti-Politics Machine berhasil didapatkan Pepe setelah fotokopi buku milik ayah seorang temannya. Copyright atau Right-to-Copy? Dilema Aktivis memperoleh Bahan Bacaan Pendidikan tanpa ilmu pengetahuan tidak ada bedanya dengan pabrik pencipta manusia siap pakai (sesuai kebutuhan industri). Barangkali itu fakta yang terjadi saat ini. Pendidikan kita diatur sedemikian rupa, sehingga hanya orang-orang terbatas yang bisa mengakses ilmu pengetahuan. Dengan kata lain, ilmu pengetahuan direkayasa menjadi sebuah komoditas baru. Salah satu kedok komodi kasi ilmu pengetahuan adalah melalui hak cipta. Ada unsur yang dilematis sebetulnya: di satu sisi hak cipta adalah bentuk apresiasi terhadap kerja dan waktu yang dicurahkan oleh penulis, di satu sisi dia dimanfaatkan oleh industri untuk membatasi akses khalayak terhadap ilmu pengetahuan. Siapa yang mampu untuk mengakses ilmu pengetahuan jika harga sebuah buku atau akses terhadap jurnal berkali-kali lipat harga kebutuhan pokok mereka? Int ern et men awark an s ebuah akses terhadap informasi dan pengetahuan yang relatif tidak terbatas-dan tidak sedikit yang 'ilegal'. Melalui beberapa situs, kita bahkan bisa mendapatkan softcopy buku-buku laris dan terkenal secara gratis. Situs lain bahkan menawarkan unduh jurnal ilmiah t erakt ual sec ara grat is t an p a harus mendaftar atau berlangganan yang jika kita ingin mengakses secara legal bisa jadi harganya 10 kali lipat biaya sekali makan. Aaron Swartz adalah seorang hacker sekaligus aktivis. Dia mendukung penuh kebebasan manusia untuk memperoleh informasi dan akses terhadap pengetahuan. Dalam usia 26 tahun, meminjam istilah Goenawan Mohamad, dia adalah pemuda sekaligus sesepuh. Aaron telah meninggal pada tahun 2013 yang lalu. Motif kematian diduga adalah bunuh diri akibat ketakutan atas tuntutan kejaksaan yang menuntut hukuman berat

atas 'kejahatan' pelanggaran hak cipta yang dia lakukan. Goenawan Mohamad menulis Catatan Pinggir majalah Tempo edisI 27 Januari 2013[7] sebagai berikut: ‌ Empat tahun yang lalu Aaron menyusun sebuah manifesto yang menegaskan p a n d an g a n n ya : in f or m as i, te r u t ama informasi ilmu pengetahuan, tak boleh dikungkungi buat segelintir orang, khususnya di perpustakaan kalangan akademia di negeri-negeri kaya. Menyediakan karya ilmiah bagi universitasuniversitas elite di Dunia Pertama, tapi tidak untuk anak-anak di Dunia Selatan? Itu sama sekali tak pantas dan tak dapat diterima. ‌ Di minggu pertama Januari 2011, Aaron ditangkap karena ketahuan mengunduh 4 juta dokumen dari khazanah karya ilmiah yang disimpan JSTOR, perpustakaan digital terkenal itu. Ia menggunakan jaringan Massachusetts Institute of Technology melalui sebuah laptop yang disembunyikannya di lantai dasar Gedung 16. Ia bermaksud membagikan karya-karya ilmiah itu ke siapa saja yang butuh tapi tak punya akses. Ia menentang kebijakan JSTOR yang membayar penerbit dan bukan si penulis atau si pembuat karya bila karya itu diunduh. Masalah hak cipta bukan sekadar masalah legal hukum. Dia tidak mungkin bisa lepas dari relasi kekuasaan. Di satu sisi, frasafrasa dalam Bahasa Inggris seringkali membingungkan. Apa maksud dari freesugar? Gratis gula? Apa pula arti dari copyright? Apakah copyright = right to copy? Salah satu teman aktivis mencoba menyikapi hal ini dengan bijak. Dia mengaku bukan anti copyright, tapi di satu sisi tidak terlalu peduli dengan copyright.

Pro:aktif | DES 2016


11 Dengan beberapa trik 'umum' yang tersebar di internet, aktivis satu ini mengaku cukup terbantu untuk mendapatkan akses jurnal ilmiah maupun buku-buku berkualitas terbaik. Meski demikian, jika memungkinkan untuk membeli karya asli, teman saya tidak ragu untuk menyisihkan uang bulanan yang terbatas. Banyak buku bagus dan sebetulnya menjadi rujukan utama yang sayang hampir tidak mungkin bisa didapatkan di pasar buku Indonesia. Bahkan, beberapa perpustakaan tidak memiliki koleksi buku tersebut. Dengan akses internet yang menembus ba t as r ua n g dan wa kt u, bu ku- b uk u berkualitas dapat kita nikmati secara bebas. Situasi ini dilematis baik dari sisi pembaca, penulis, maupun penerbit. Meskipun tingkat literasi secara umum masyarakat Indonesia rendah, bukan berarti tidak ada pembaca yang serius di dalamnya. Beberapa kawan aktivis yang saya kenal dapat menamatkan 3-5 buku tiap bulan. Dia rela untuk membeli sebuah buku meski harganya 5 kali harga makan siang. Namun, masalahnya bagaimana jika meski dia telah mau menyisihkan uang tetapi barang tidak ada? Dari sisi penerbit, penerbitan buku berkualitas atau kajian kritis tidak bisa lepas dari hitung-hitungan bisnis. Penerbitan buku kajian kritis, bisa jadi sama sekali tidak menguntungkan dibandingkan jika menerbitkan buku-buku selfhelp, motivasi, atau manajemen. Marjin Kiri mungkin adalah salah satu penerbit yang cukup nekat. Meski tahu betapa memprihatinkan pasar buku kajian kritis di Indonesia, penerbit ini tetap menerbitkan buku-buku yang mungkin tidak pernah kita dengar judul buku maupun pengarangnya tetapi mereka yakini sebagai buku baik. Mungkin banyak juga penerbit dengan idealisme seperti ini. Namun, banyak juga di antara mereka - untuk mengakali dan menekan biaya produksi - mengelak dari pembayaran royalti baik kepada penulis

maupun penerbit asalnya (kebanyakan berkualitas ini masuk dalam kategori buku terjemahan). Eka Kurniawan adalah novelis Indonesia yang paling diperhitungkan saat ini. Novelnya yang berjudul “Lelaki Harimau” masuk dalam nominasi penghargaan international: Man Booker Prize 2016. Tahun ini Eka Kurniawan baru saja menerbitkan sebuah novel baru berjudul “O”. Baru beberapa bulan setelah peluncuran resmi, versi bajakan sudah tersebar luas di pasar. Segera setelah itu Eka Kurniawan mengemukakan kekecewaannya di blog pribadinya[8]: “Ya ampun pembajak, bahkan motong bukunya sembarangan, dan sisa scan masih keliatan. Mbok nunggu sampe terjual sejuta kopi gitu lho, mben penulise ngerasani sugih sek *sambil ngayal beli truk*. “Belilah yang aseli, biar pengarang hepi.” Pendapat lain dikemukakan oleh Seno Gumira Ajidharma. Penulis produktif yang telah menghasilkan setidaknya 6 buku kumpulan cerpen ini mengaku, siapa pun b e b as u n t u k m e m b aj a k b uk u h as il karyanya. Menurutnya, dia tidak mau terlalu pusing dengan urusan industri buku. Dia hanya ingin fokus menulis, karena baginya masih banyak hal di dunia ini yang belum dia tuliskan. Seorang kawan aktivis yang lain pernah mengalami posisi dilematis soal kepemilikan buku. Dia adalah remaja yang tumbuh bersama buku. Ketika dia pertama kali masuk kuliah dan memutuskan untuk indekos, yang menarik barang bawaan terbesarnya justru buku-buku yang selalu setia menemani. Suatu ketika dia mengalami kesulitan nansial. Harta yang dia miliki satu-satunya adalah buku. Dia harus mengambil keputusan sulit: menjual buku-buku yang selalu setia menemani. Setelah menjual buku-buku tersebut, rasa sedih tidak bisa lepas darinya. Pertama, buku-buku tersebut memiliki kesan pribadi. Kedua, kekhawatiran kehilangan akses informasi

Pro:aktif | DES 2016


12 dari buku tersebut di masa depan. Untuk alasan kedua, teman saya cukup bisa merelakan. Internet telah menjamin dia untuk mengakses informasi kapanpun dia butuhkan. Meski ilegal. Kumpulan Buku Beberapa buku populer mungkin bisa kita dapatkan (secara 'ilegal') di dunia maya. Namun, kebanyakan buku tersebut ditulis dalam Bahasa Inggris. Untuk beberapa buku karangan penulis Indonesia, terdapat beberapa kemungkinan untuk mengakses : beli di toko buku atau meminjam di perpustakaan. Membeli dan memiliki buku memiliki kesan sendiri. Selain akses terhadap buku yang lebih bebas, memiliki buku di sisi lain juga dilandasi oleh alasan yang lebih personal. Pepe dalam blognya menulis: ... “Hal lain yang menyadarkan saya adalah buku tidak melulu sebuah simbol rasionalitas (bukan karena ada buku semacam Udah Putusin, Aja! dan kompilasi fakta boleh-sadur dari blogspot tentang s e l e b r i t i Ko r e a ) b e t a p a p u n i s i n y a . Melainkan, yang paling penting juga dari artefak itu adalah perjalanan yang kita sadari penuh untuk ikut, dalam rangka menguak ketidaktahuan di dunia antah barantah di dalamnya.� Beberapa perpustakaan saat ini banyak yang menarik. Jauh dari kesan perpustakaan yang usang: terbatas, (wajib) hening, kaku, dan penuh debu (juga berhantu), perpustakaan yang baru ini menawarkan sebuah konsep yang lebih segar, santai, penuh interaksi, dan homy. Uniknya, perpustakaan seperti ini justru banyak dikembangkan oleh pihak swasta. Salah satu contoh adalah Kineruku. Perpustakaan yang dikelola oleh sepasang suami istri ini tersohor di kalangan anak muda hipster Bandung yang haus akan bahan bacaan bermutu. Berawal dari rumah peninggalan kakek salah satu pemilik, lantas disulap menjadi sebuah perpustakaan swasta yang menyediakan buku-buku bermutu.

Akses terhadap ilmu pengetahuan di masa sekarang semakin mudah. Para aktivis mengaku tidak mengalami kesulitan berarti dalam mencari bahan bacaan. Mungkin yang justru menjadi tantangan saat ini adalah, meningkatkan kegemaran para aktivis untuk membaca dan menularkan budaya membaca tersebut sehingga akses yang terbuka lebar tidak siasia. [1]http://edukasi.kompas.com/read/2016/0 8/29/07175131/minat.baca.indonesia.ada. di.urutan.ke-60.dunia [ 2] UN E S C O , U N E S C O I n s t it u t e f o r Statistics (2012). ADULT AND YOUTH LITERACY, 1990-2015 Analysis of data for 41 selected countries [Data File]. Diambil dari: http://www.uis.unesco.org/literacy/Docum ents/fs32-2015-literacy.pdf [3] Badan Pusat Statistik (2012). Proporsi Penduduk Berumur 10 Tahun ke Atas yang Membaca Selama Seminggu Terakhir menurut Provinsi, Jenis Bacaan, dan Tipe Daerah, 2012 [Data File]. Diambil dari: https://www.bps.go.id/website/tabelExcelI ndo/indo_27_4.xls [4] http://www.medicaldaily.com/neuralpat hways- wat ching-t v-human-brain reading-book-389744. Diakses tanggal 12 November 2016 pukul 22.00. [5] International Publishers Association. Annual Report October 2013-October 2014, 2014 [Data File]. Diambil dari: http://www.internationalpublishers.org/im ages/reports/2014/IPA-annual-report2014.pdf [ 6 ] http://www.tempo.co/read/caping/2013/01/ 27/128692/Prometheus. Diakses tanggal 12 November 2016 pukul 20.0. []

Pro:aktif | DES 2016


13 PROFIL

Menulis Buku Anak? Senangnya! Oleh Eugenia Rakhma Sekarang ini, buku bacaan untuk anak-anak sangat mudah ditemukan. Jenisnya pun beragam. Dari mulai buku bergambar (pictorial book), buku berilustrasi (illustrated book), sampai novel anak. Menulis buku anak, terutama bagi pembaca usia dini (2-5 tahun) merupakan hal yang mudah sekaligus sulit. Mudah karena alur ceritanya sederhana, teksnya tidak terlalu panjang, dan tokohnya pun hanya sedikit. Anda cukup terlibat dengan dunia anakanak, mengetahui ketertarikan mereka, lalu menuangkannya ke dalam sebuah cerita.

Sebelum fokus terjun ke dunia menulis, saya merupakan guru taman kanak-kanak. Maka cukup mudah bagi saya untuk menuliskan buku seri pertama saya yang berjudul Benji. Berpegang pada pengalaman sehari-hari bersama anakanak, mengetahui jangkauan tema tiap usia, dan target belajar mereka, saya pun menyusun buku pertama saya.

Misalnya, buku Benji dan Teman-Teman menceritakan keseharian Benji, bocah lakilaki berusia 4 tahun bersama temantemannya saat di sekolah. Melalui cerita ini, pembaca usia dini diajak untuk mengamati perbedaan sik antara Benji dan temantemannya. Ada yang bertubuh tinggi, bermata sipit, berambut lurus, sampai berkulit gelap. Namun, rupanya perbedaan itu tidak menjadi masalah. Di sekolah, mereka mau bermain bersama, saling berbagi mainan - bahkan juga bekal , serta menyapa menggunakan bahasa yang sopan.

Meski alur cerita dan bahasa yang digunakan sederhana, seringkali justru di sanalah letak kesulitannya dan bagaimana menyederhanakan cerita agar sesuai untuk para pembaca usia dini. Ya, saya memang telah mengetahui keseharian mereka. Saya pun telah memegang target belajar agar isi cerita sesuai dengan perkembangan mereka, namun seringkali sebagai penulis dewasa saya terlalu asyik menulis. Saya melupakan bahwa pembaca saya masih memiliki keterbatasan bahasa dan pemahaman. Maka, saya harus selalu mengingatkan diri agar memakai kacamata seorang anak. Memposisikan diri sebagai anak-anak saat menulis agar cerita dapat dipahami pembaca. Tentu saja buku Benji pada akhirnya bukan

Pro:aktif | DES 2016


14 Kegiatan di Pustakalana dan Rumah KAIL

hasil kerja saya sendiri. Selesai menulis naskah dan mengirimkannya pada salah satu penerbit, saya menunggu keputusan untuk diterbitkan hampir dua tahun lamanya. Setelah berita baik itu datang, saya bersama tim dari Penerbit Bhuana Ilmu Populer-Gramedia bekerja keras mewujudkan Benji. Mulai dari merevisi naskah, membuat ilustrasi, merevisi kembali, lalu re-design tata letak sampai buku Benji siap naik cetak. Meski prosesnya terhitung lama, hampir satu tahun, saya menikmatinya. Pak Yogi dan Mbak Vidya selaku editor dengan senang hati memberi masukan agar naskah Benji lebih sesuai dengan target pembaca. Sama halnya dengan ilustrator Benji, Mbak Nita, yang selalu memberi pandangan dari sisi ilustrasi agar tercipta keseimbangan antara teks dan gambar. Terakhir, Pak Sul Nugroho dan Mbak Amygo Febry yang memperbaiki tata letak dan mengecek kesesuaian gambar dengan target usia pembaca.

kekhasan dunia anak-anak yang selalu mengajak kita untuk bermain sambil belajar di dalamnya, maka sambil menulis sebuah buku, saya tetap memiliki waktu u n t u k b e r ma in . Kal a u p u n d ib i l an g kesulitan, itu lebih kepada faktor internal. Semangat diri untuk terus belajar, terus peka terhadap kebutuhan anak-anak, dan terus mengembangkan cara-cara menuliskan cerita agar menarik dan mudah dipahami, sesulit apapun tema yang ingin disampaikan. Saya pikir, dunia anak-anak adalah dunia yang jujur dan sederhana. Dunia yang penuh rasa ingin tahu dan keinginan untuk belajar. Dunia yang menuntut orang dewasa yang terlibat di dalamnya untuk ikut memahami dan membantu memfasilitasi rasa ingin tahu mereka. Dan saya bersyukur dapat membagikan pengalaman-pengalaman belajar bersama mereka ke dalam sebuah buku. []

Saat ini saya tidak lagi mengajar, namun saya terus menulis, khususnya untuk pembaca anak-anak. Di pertengahan jalan, saya menemui kesulitan untuk tetap terlibat dalam dunia anak-anak. Beruntung, saya dipertemukan dengan teman-teman yang memiliki passion di dunia anak-anak. Maka sekarang, selain menulis, kegiatan utama saya adalah menjadi relawan bersama mereka. Setiap kali orang-orang bertanya, “Susah tidak sih jadi penulis buku anak-anak?� Saya selalu menggeleng. Menulis untuk anak-anak itu menyenangkan. Seperti

Pro:aktif | DES 2016


15

PROFIL

Perpustakaan Jalanan Bandung: Menerobos Malam, Menyebar Literasi Oleh Senartogok

Pro:aktif | DES 2016


16 Masa mudaku berkisar pada perpindahan kata jalanan. Selepas dari Rumah Belajar Sahabat Anak Jalanan, aku terdampar di sepetak omong kosong lain bernama Perpustakaan Jalanan. Enam tahun silam, tak ada yang bisa diharapkan dari sekelompok orang menongkrong yang mengatasnamakan literasi dalam kegiatannya ini. Lagipula keikutsertaanku pada mereka berawal dari bergabungnya aku sebagai vokalis dalam band mereka yang juga angin-anginan. Ya, kelompok ini hanyalah personil dari grup punk rock setengah hati yang namanya juga buruk: Masturbasi Distorsi. Band yang lebih banyak menebar bualan dalam setiap t e r b it an t a k be r k al a n y a k et i m b an g membuat musik, mengisi panggung, atau promosi rilisan sik yang sampai saat ini belum ada albumnya, kecuali demo versi lagu berkualitas murahan yang banyak disebar. Sial? Tak sepenuhnya kurasa, sebab dari sekawanan kecil pemuda, jauh lebih banyak faedah ketika hal tersebut merupakan representasi sebuah upaya dan da y a at a s k em ar a ha n , k eb an g ga an , kegenitan, kegelisahan, yang menjadi kehendak mereka. Saat itu, kami terpukau dengan kelompok Baader Meinhoff alias RAF yang bututnya juga kami telan mentahmentah dari tayangan layar lebar. Meskipun tak radikal, kami menganggap diri kami dapat mengubah keadaan; sesuatu yang banyak beredar di dada kaum muda ketika menginjak usia 23 tahunan mereka. Tak banyak yang kami lakukan. Hanya gerilya kecil, kekanak-kanakan, dan bersifat sesaat, dan paling lembutnya sekedar menghamparkan buku di pinggiran kota. Aku bukan orang pertama, akan tetapi keempat lain kawanku kala itu pastinya sepakat bahwasanya Perpustakaan Jalanan di awal s ejarahny a han yalah hasrat mendayu ketika buku dan semangat Iqra mengudara ke dalam keseharian. Ilustrasinya begini : apabila di perpustakaan umumnya, kita mesti diam dan tertib, tak bisa merokok, tak diperbolehkan membuat gaduh, tak bisa

sebebas-enak-jidat-nya meminjam buku, hingga tak bisa pula menyeduh kopi sambil guling-guling di lantai seraya menikmati Kejahatan Dan Hukuman-nya Fyodor Dostoyevski, kami ingin menggantikan penertiban itu di jalanan bersama bukubuku. Buku tak lagi jendela dunia, melainkan istana tak megah tanpa gapura, sehingga siapapun bisa masuk, menjelajah, menempatkan ego pula harapannya, pada sebaris kalimat, majas, metafor, dan bongkahan kisah dalam sebuah bacaan. Maka tak bisa disangkal lagi, Perpustakaan Jalanan hanyalah sebuah episode usang dari jutaan narasi yang membangun kokohnya kota Bandung. Kami berlima, kadang berempat, kadang berdua, meski tak selalu sendiri, selalu ada tukang cuanki, pejalan kaki, mungkin pencuri, mungkin pula p eri. Sin ggah, bertandang dan menikmati apa yang kami sajikan. Seperti gorengan yang terlalu dini matang, kami terlalu bangga mengatakan ini arena juang. Setidaknya kami tak ingin terlalu lama menatap jurang. Tidaklah sulit, sebab kami semua merupakan dekaden yang hampir membusuk, mengoleksi buku bukannya batu akik. Ratusan buku kala itu tidaklah sukar mengumpulkannya. Dengan kain putih calon kafan pembungkus salah satu dari kami yang lebih dulu mati nanti, dengan spidol tegas, perlak sederhana, kantong plastik besar penggenap pepatah Sedia Payung Sebelum Hujan, kami menuju Taman Cikapayang. Menjejerkan buku, barisan novel cinta dan tak cinta, majalah Sabili hingga 100 Teknik Menjadi Orang Kaya�, atau zine-zine yang dicetak mandiri, kusam warna, font teramat kecil, hingga komik bergambar yang jauh lebih menarik hati ketimbang epos panjang lsafat Madilog karya Tan Malaka. Siapa bilang banyak yang bertandang, orang-orang berlalu lalang, banyaknya melenggang dengan alis mata melintang. Terlalu sering pula, hanya kami berempat di sana, ditemani sosok tuhan yang entah di mana. Lambat laun, hari berganti hari,

Pro:aktif | DES 2016


17 bulan berganti bulan, tahun mendapat giliran, umur Perpustakaan Jalanan ditambal jumlah kawan yang datang. Dari lingkaran kami, jejaring, yang sempat patah hati di berbagai komunitas dan klub budaya berserak, kami kian ramai. Kami belajar bahwa Perpustakaan ternyata bukan urusan membaca buku dan menggali ilmu saja, tetapi memperluas arena perkawanan, saluran curahan hati, hingga mulainya perdebatan, saat-saat kami mulai terpukau dengan yang mereka sebut sastra, walaupun kami lebih sering bersitegang urat mempersoalkan janggut siapa yang lebih panjang, Karl Marx atau Mikhail Bakunin. Rupanya perjalanan ditandai dengan ratapan. Buku yang dipinjamkan banyak yang hilang, kawan yang datang banyak yang tak tahu jalan pulang, dan kami mulai sok tahu, bahwa ini semacam gerakan literasi. Sebuah riak kecil untuk men ghegemoni, menguti p Gramsci, sebuah tandingan yang seringnya menerima tendangan, dari kekerdilan, uang saku nan sulit disiasati, atau mimpimimpi melebarkan sayap walau dengan fakta kami tinggal tulang dan kentut saja. Sekelompok bajingan dari berbagai daerah, mantan petinju, jurnalis angin-anginan, musisi tak laku, seniman gagal, juga nabi palsu, bergabung. Seperti diserang wabah, kami semua mulai dirundung sakit, sejenis rindu, sejenis kebersamaan dan menginjak

kue ulang tahun tak berlilin, angka 3 tahun menandai, dan saat itu, kami memecah selsel Perpustakaan Jalanan menjadi kegiatan yang tak lagi membaca. Kadangkala ada pameran karya, ekshibisi seni, pajang lukisan, jualan murah, lapakan tak rutin, sehingga kami menemui aroma-aroma baru yang memberi wangi sekaligus bau dalam sepak terjang kami. Perpustakaan Jalanan adalah inisiatif beragam pemuda yang berniat memindahkan buku-buku ke jalanan agar bisa dinikmati makhluk-makhluk yang b e r k e l i a r a n d i s a n a . Ta k m e n u t u p kemungkinan ini semacam modus yang mengatasnamakan kolektif dan bersembunyi di balik jubah membaca untuk mencapai tujuannya: membuat dunia terpingkal-pingkal adanya. Sepanjang perjalanannya, yang akan menginjak angka 7 tahun tak berapa lama lagi, Perpustakaan Jalanan tak ubahnya sebuah rutinitas mingguan. Dikarenakan keyakinan kami tentang ke-jomblo-an teman-teman kami telah menjadi wabah, dipilihlah Sabtu malam sekitar pukul 7 dengan catatan sudah makan dan shalat maghrib, sebagai waktu berkumpul, dan mestilah di Taman Cikapayang tepat di depan huruf 'D' yang menandakan kami adalah Dinamit, lokasi dimana harus bersua. Terkadang kami berpikir, momen setiap malam minggu yang harus berebut

Suasana Malam di Perpustakaan Jalanan Bandung

Pro:aktif | DES 2016


18 tempat dengan klub motor atau nak-kanak sepeda/skateboard, merupakan muara pelepas lelah. Kebanyakan dari kami, mun gk i n p ul a t a mu, mun gk i n p ul a pengunjung yang intens datang menemui kami, datang dari kelas pekerja, buruh upahan, atau pegawai berpenghasilan paspas-an, yang lebih banyak waktunya dikuras deadline kantor daripada berisitirahat. Saat bertemu inilah kami melepaskan semuanya, ada yang membawa makanan, ada yang membawa judul-judul buku baru, ada yang memamerkan zine buatannya sendiri, ada pula yang menghiasi kami dengan kumpulan petuah atau kelakarnya. Dengan begini Perpustakaan Jalanan bisa jadi sebuah camp kecil tanpa tenda dimana rekreasi menjadi sajian utamanya. Selama bertumbuhnya, Perpustakaan Jalanan telah banyak berubah, wajahnya kini tak melulu dipulas kosmetik literasi, meskipun dengan sekuat tenaga kami akan terus bernaung di bawah panji tersebut, namun juga bertransformasi menjadi sepetak ruang bertukar informasi, wacana, kabar, juga lahan tempat solidaritas, inisiatif, agenda; atau imajinasi digarap, dengan cangkul kegembiraan, atau dengan pupuk semangat yang bersumber dari bacaan kami, musik-musik yang kami dengarkan, lm yang kami tonton, berita perjuangan sosial yang kami serap, sampai gosip-gosip receh yang mampu menelan petang hingga tak bersisa. Maka, kami menganggap, Perpustakaan Jalanan telah beranjak dari fungsi perdana sebagai hubun gan aksara den gan pembac a, menjadi hubungan manusia dan kesehariannya. Kami terhubung, lebih tepatnya masing-masing kehidupan kami terkorelasikan, sehingga sangat menarik untuk tetap berkumpul, menuangkan aspirasi dan tragisnya hari sesama kawankawan dan pengunjung kami.

Entahlah, rasanya kami memiliki dunia baru, dunia kerdil yang pantas dihidupi. S eak an t ak dir in i ber k isa r n iko t in , bungkusan Kapal Api, dan sederet puisipuisi Widji Thukul yang kami rengkuh sebelum kelam malam muncul. Sederhana dan berlangsung terus hingga angka 6 tahun, dimana perayaan ulang tahun yang kami agendakan cukup memadati Taman Cikapayang. Semua itu rapat di ingatanku, dan tak terasa 2016 datang menghampiri, dengan segudang kecewa, sepeti asa, aku mulai hanyut dalam keheningan, ketika banyak badai dan topan yang melanda di dalam dan di luar diri sang Perpustakaan Jalanan. Di titik ini, aku mengusap dada, meneriakkan sekali lagi sepenggal lirik Minor Threat. I was early to nish, I was late to start I might be an adult, but I'm a minor at heart Go to college, be a man, what's the f***ing deal? It's not how old I am, it's how old I feel

[]

Akhirnya kami mulai memberanikan diri mencetak pam et, menggurat pena untuk edisi zine kami, mengorganisasir pentaspentas musik mungil, mulai berani ikut solidaritas, menjadi partner dan lingkar dalam diskusi sampai menjadi pengisi acara ulang tahun kawan-kawan kami.

Pro:aktif | DES 2016

sumber: @matamerahcomix


19 OPINI

Membaca Dan Berpikir Kritis Oleh Umbu Evolusi berarti mengatasi krisis, karena interaksi antar bentuk-bentuk lama tidak lagi aktual, perlu adaptasi dan antisipasi untuk menghadirkan bentuk-bentuk interaksi baru. Membaca bagi semesta berart i tin dakan menjawab krisis, berubah menuju dinamika relasional baru.

Segala sesuatu membaca. Membaca adalah pusat keberadaan segala sesuatu, masingmasingnya dan totalitasnya. Berhenti membaca, berhenti menjadi sesuatu; berhenti mengada, hilang begitu saja ‌ Salah satu syair kuno Yunani tentang penciptaan bertutur bahwa Sang Pencipta itu, yakni Dia yang mula-mula adalah Kata. Kata adalah bacaan. Semesta adalah peristiwa membaca yang tak pernah usai. Berhenti membaca, semesta pun berakhir. Daya-daya purba semesta membaca kepadatan gravitasi tak berhingga, membaca dengan suara ledakan keras, dentuman purba, big-bang, lepas memancar, meluas membangun ruang tak bertepi hingga kini. Semesta, cerita tentang pembaca setia, membaca pesan intrinsik dalam dirinya dan membacakan lahirnya kejadian-kejadian baru, semesta-semesta baru, daya-daya baru, pusaran-pusaran cakram galaksi baru; berada, melenyap dan berpendar mengada lagi, semesta yang terus lahir, menjadi remaja, dewasa, menua dan mati dengan letusan cemerlang menjadi hembusan kabut gas warna-warni dan kepingan-kepingan mineral, emas, perak, besi, tembaga dan air raksa sebelum

melapuk hanyut dalam lautan luas ruang tak berbatas atau berlanjut ditarik ke dalam pusaran-pusaran galaksi baru. Terjadinya semesta tidak seperti narasi penciptaan biasa di mana sang pencipta bisa kemudian menaruh karyanya di e t al as e , me ma ja n g di din d in g at a u menjualnya kemudian melupakannya begitu saja. Semesta bertumbuh bagai pohon besar, meruang-luas, dan akarnya menjangkau jauh ke dalam hakekatnya sendiri, menimba pesan untuk terus berada dengan berevolusi memperbaharui diri. Evolusi berarti mengatasi krisis, karena interaksi antar bentuk-bentuk lama tidak lagi aktual, perlu adaptasi dan antisipasi untuk menghadirkan bentuk-bentuk interaksi baru. Membaca bagi semesta berarti tindakan menjawab krisis, berubah menuju dinamika relasional baru. Lahirnya kehidupan, dalam konteks kita, adalah narasi majemuk. Bumi memiliki kemiringan sumbu dan jarak yang pas terhadap matahari, sehingga air padanya senantiasa cair, sehingga dapat tercipta arus dan pasang-surut akibat gravitasi bulan. Pembacaan berulang kali berjuta

Pro:aktif | DES 2016


20

tahun, pasang-surut, arus lautan, rotasi, revolusi, siang-malam, pergantian musim, membacakan narasi baru: pemunculan kehidupan, sebuah narasi dengan intrikasi tenunan sebab akibat yang sangat kompleks; dari situ tak ada yang bisa diurai, dilepaskan menjadi kalimat tunggal untuk berdiri sendiri. Dinamika semesta raya terus berubah menuju pembacaan yang semakin kompleks, berevolusi menuju kesadaran, conscientia, kehidupan berbudaya, sebuah pencapaian kesetimbangan baru dengan hadirnya mahluk berbudi bahasa‌ Manusia, pengeja kesadaran, muncul dari jalan panjang evolusi, berkutat membaca pesan semesta dalam dirinya: mempertahankan hidup, bersosialisasi, bermigrasi, merespon bahaya, mengatasi kon ik dan seterusnya melalui kecakapan membaca intrinsik. Pada jutaan tahun pertama, setiap pengalaman manusia adalah reaksi langsung, di mana pengalaman nyata melekat erat pada seluruh penginderaannya dan dengan tubuhnya manusia mengambil respon yang sesuai untuk mempertahankan hidup. Ia hadir dengan canggung sebab tubuhnya tidak 'selengkap' mahluk lain yang leluasa berhadapan dengan tantangan alam liar, tak berbisa, tidak ber-mimicri, tidak

bertanduk atau memiliki cakar, tidak secepat , selincah yang lain. Manusia membutuhkan kecakapan sosial, kemampuan berinteraksi dalam keluarga, suku dan jaringan kebersamaan yang lebih kompleks. Manusia awal membutuhkan jenis pembacaan yang mendampingi pembacaan intrinsiknya, yakni daya baca abstrak, ekspresi dari conscientia, berupa tutur bahasa. Beruntung manusia awal berlindung dalam gua-gua alam yang menjorok ke dalam perut tebing-tebing batu. Kegelapan gua mampu 'mematikan' indera, melepaskan manusia dari dunia luar yang sangat menyita perhatian. Manusia 'melihat' kegelapan, meraba kekosongan dan mendengarkan keheningan. Kegelapan, tempat berhenti bereaksi, tempat tetirah dan merasakan dunia lain yang lebih luas, alam batiniah, tempat roh mengambil alih daya-daya jasmani dengan dinamika yang jauh lebih beraneka warna: re eksi, imajinasi dan abstraksi. Dalam kegelapan, mimpi dan imajinasi mendapatkan tempat, merasuk jauh ke dalam dasar batin. Pengalaman luar gua, penginderaan total yang serba konkret, muncul kembali sebagai gambar-gambar re ektif, tidak konkret, imajiner. Kegelapan gua menjadi terang paling cemerlang bagi

Pro:aktif | DES 2016


21 manusia: ruang kesadaran baru, abstraksi, imajinasi, pelepasan diri dari kejasmanian menuju yang spiritual. Manusia mulai membaca dengan bahasa, re ektif, tanpa terikat pengalaman konkret dunia luar. Gambar-gambar binatang dan gra s perburuan di dinding gua-gua purba seperti di Altamira, adalah ekspresi re ektif itu, lompatan besar dalam sejarah membaca. Kita melihat bison-bison di dinding gua berderap di padang-padang terbuka di batin kita. Imajinasi menjadi yang aktual. Dalam gua gelap kita butuh konkretisasi pengalaman batin. Maka lahirlah gambar, simbolisasi yang melepaskan kita dari persentuhan langsung dengan dunia luar dan sekaligus mengkonkretkan dunia batin. Simbol tidak terikat pada kenyataan namun simbol mampu mengarahkan respon manusia untuk mengatasi krisis pada situasi nyata dengan lebih terencana. Simbol menyimpan kenyataan dengan l e b i h a k t u a l d i ba n d i n g k a n d e n g a n peristiwanya sendiri. Simbol bison di dinding gua menyimpan dan menghadirkan kesan tentang semua bison di padang mana pun, yang sudah ada atau pun yang belum ada. Bagi para pemburu purba, gambar bison itu adalah seruan panggilan untuk menghadirkan kembali perburuan kawanan bison itu pada saatnya, sebuah ujud pengharapan, doa atau mantra. Sebelumnya kecerdasan membaca hanya berlangsung secara intrinsik, genealogis, dalam riwayat biologis badan kita, misalnya pada tubuh yang berjalan tegak, penglihatan panoramik, tangan yang bebas un t uk bi s a men c i p tak an p eral at an. Sementara abstraksi adalah daya membaca yang baru, kita dapat berbahasa, membuat simbol-simbol dan tanda-tanda, memberi nama pada sesuatu, generalisasi, menghitung, menyimpulkan dan membuat prediksi. Yang terpenting, kita mampu membahasakan pengalaman agar pengalaman itu dapat direka-ulang, diceritakan kembali. Kemampuan menceritakan kembali, menghadirkan pengalaman konkret atau

imajiner, merupakan perayaan sosial yang dulu sangat dihargai. Di sekitar api unggun, di bawah fresko bison dan kuda-kuda purba warna-warni ataupun di mulut gua, di bawah selimut bintang-bintang kekal, nenek moyang kita mendengarkan shaman atau tetua bercerita tentang riwayat kehidupan. Saat inilah daya membaca kita merumuskan arah dan orientasi baru, yakni kebebasan dan kreativitas yang sungguh hidup dari dunia batin kita. Membaca dengan bahasa membuat hidup tidak terikat pada urusan respon demi keamanan sik, nafsu, makan atau kelaparan. Membaca menjadi perayaan, menjadi representasi kemanusiaan yang berbudi bahasa. Hidup tiba-tiba menjadi lebih luas dari sekedar keberlangsungannya. Kita mungkin lupa pada daya baca intrinsik yang tersimpan dalam memori jasmani kita, tetapi kita telah mengangkat memori itu ke dalam daya ungkap bahasa dan melahirkannya sebagai budaya. Beriburibu tahun setelah api unggun di bawah fresko kawanan bison dan ringkik kuda purba, bahasa telah menjadi semakin kompleks. Semesta tetap membaca secara dinamis, bintang-bintang dan galaksi besar-kecil masih mengalir deras, meruang dalam arus sungai penciptaan yang abadi, dan pilihan terhadap manusia sebagai mahluk simbolik atau mahluk berakal budi menjadi narasi yang paling menakjubkan. Membaca Kritis : Antara Alice dan Pinocchio Kita tak pernah bisa membaca hal yang sama dua kali tetapi kita selalu membaca untuk mencari tahu tentang satu hal saja, yakni kebenaran eksistensi kita. "Segala sesuatu mengalir, semua berlalu", kata Heraclitus, lsuf dari kota Efesus, Yun an i kun o, "kit a tak pernah bisa menginjakkan kaki di sungai yang sama." Yang tak berubah adalah perubahan itu sendiri... Parmenides, lsuf Yunani kuno dari Elea membaca bahwa semesta tidak dapat berubah, hanya kesan pada kita saja yang

Pro:aktif | DES 2016


22 menantang semua percepatan perubahan. Mari kita kembali ke gua-gua purba kita, ketika kegelapan membutakan mata kita dan membuka mata batin kita, memandang gambar-gambar polychromos: bison-bison dan kuda-kuda yang berlarian di savana hati kita, mencari keniscayaan jadinya suatu lingkupan dunia yang sungguh bisa dilepaskan dari gejala badaniah kita kita melalui proses kebahasaan. Bison di dinding gua, apakah ia sungguh mewakili semua bison yang pernah ada, yang akan ada, bison dari tanah liat, atau awan berbentuk bison di mata kanak-kanak dan semua yang kita anggap bison? Sebuah gambar, sebuah simbol, se buah kat a, sebuah n ama, ap akah sungguh menunjuk pada realitasnya? berubah, semua hal sama saja, di balik tampilan yang bervariasi dan berubahubah, ada hanya yang sama senantiasa. Kita hidup saat ini, lebih dari 2500 tahun setelah Heraclitus dan Parmenides, di antara kedua kutub tersebut, antara mengejar perubahan yang sedemikian cepat dan kecenderungan untuk mempertahankan kenyamanan, keyakinan, nilai, kebenaran, dogma dan seluruh kehidupan. Dan dengan terjebak di antara kedua kutub tersebut kita sama sekali tidak sempat membaca dengan benar. Pada kutub Heraclitus, pembela perubahan, kita dikepung oleh tuntutan untuk meng-update pengetahuan dan cara hidup. Pengetahuan kita menjadi sangat ephemeral, berumur pendek, gampang kadaluarsa. Kita mengejar percepatan dengan bekerja lebih e sien, lebih mudah, lebih singkat namun tetap tak terpuaskan. Meski akses pada pengetahuan menjadi sangat mudah,semua menjadi tidak bernilai, tak sempat berakar, hati kita terganggu untuk mengejar percepatan. Di kutub Parmenides, pembela kemapanan, karena hati kita goyah dan waswas, takut pada arus perubahan yang menyapu semua milik kita, maka kita menegaskan kemurnian iman, keyakinan, adat istiadat, nilai-nilai dan dogma-dogma

Filsuf Plato dalam dialognya yang terkenal 'Cratylus' berkata: "Dalam kata Mawar, terkandung semua mawar‌" Dalam kata Nil, membentang seluruh alur-aliran sungai besar tersebut, semua keloknya yang mengukir tanah tandus afrika utara, semua bangsa yang mengikatkan sejarah mereka pada kesuburannya dan timbul tenggelamnya dinasti-dinasti perkasa pembangun piramida. Sebuah kata, sungguh penuh daya cipta menakjubkan. Maka bahasa adalah mantra pemanggil dunia dan setiap buku adalah semesta yang siap dilahirkan. Namun di balik keajaiban kata, nama, gambar, simbol, terdapat sebuah dinamika paradoksal, meski mengikat dan menghadirkan realitas, bahasa pun ternyata segera memisahkan manusia dari semesta. Di luar gua manusia berhadapan dengan kecenderungan pragmatis, untuk menjamin keberlangsungannya, manusia membut uhkan jarak yan g memadai terhadap semesta, untuk bisa menghindari ketak-terdugaan peristiwa, dan m e n g e n d a l ik a n k e j a d i a n - k e j a d i a n , membuat prediksi, membuat perencanaan agar hanya yang diinginkan yang bisa menjelma menjadi peristiwa. Manusia memisahkan diri dari totalitas semesta, menjadi individu dengan menciptakan lingkungan yang bisa dikendalikan.

Pro:aktif | DES 2016


23 Caranya adalah dengan membangun bahasa men jadi sebuah i ns tr um en. Gambar dan simbol disederhanakan menjadi tulisan dan tanda. Lambanglambang instrumental segera menjadi pengubah cara hidup. Manusia berani keluar gua, membangun kota dan peradaban, mengubah semesta menjadi landskap tekstual yang bisa dibaca, dikendalikan dan ditata. Manusia berkebudayaan telah mengubah pengalaman membaca yang intuitif dalam gua-gua menjadi instrumen komunikasi. Membaca kemudian kehilangan spontanitasnya, juga kehilangan kekuatan intuitifnya yang mampu memanggil semesta. Masyarakat bukanlah kelompok pemburu gua yang berkumpul di sekeliling api unggun. Masyarakat dibangun oleh day a- daya ar ti si al , agama, pol it ik, kebudayaan, kenangan-kenangan akan p e p e r a n g a n , b a t a s - ba t a s g e o g r a s , kepentingan-kepentingan ideologis, ekonomi, konstitusi, dengan konsekuensi yang efektif mena kan nilai individu. Konstituen masyarakat bukanlah individu melain kan daya-day a arti si al t adi. Individu harus bisa membaca, menginternalisasi daya-daya arti sal t er s e bu t u n t uk b i s a t e r h i n d a r d a r i ketiadaan; suatu ketiadaan arti sial, non p erso n, kehi lan gan pen gakuan jik a individu tidak mampu membaca teks konstituen masyarakat: agama, politik, ideologi dan seterusnya. Membaca yang sebenarnya Alberto Manguel yang memperkenalkan dirinya sebagai pembaca, menulis tentang perbedaan antara Pinocchio (Collodi 1883) dan Alice (Lewis Carroll, 1865) dalam membaca. Pinocchio boneka kayu miskin namun bercita-cita tinggi dengan segala nasib buruknya ia berusaha bersekolah supaya bisa membaca dan pada gilirannya bisa hidup layak dan diakui resmi dalam masyarakat. Alice di lain pihak adalah gadis kecil yang bertualang karena rasa penasaran yang kuat terhadap kelinci sedang bergegas. Petualangan Pinocchio tidak menyuguhkan cerita tentang

pengalaman membaca selain prestasi belajarnya yang baik dan membuat temantemannya iri hati. Alice sebaliknya berkutat dengan pengalaman eksistensial tentang kebenaran dan realitas dirinya akibat permainan makna kata dan tutur bahasa yang begitu majemuk, non-singular dan tidak stabil. Pinocchio mewakili hampir semua anak korban metodologi pembelajaran saat ini, yakni sekadar untuk melaksanakan transfer ilmu pengetahuan. Kita bersekolah dan m en gam b il s p es ia l is a si u n t u k bi s a membaca dengan keterampilan tertentu dan mendapatkan peran yang sesuai dalam masyarakat. Menjadi juara, memenangkan medali olimpiade matematika atau sika adalah kemewahan yang sangat diharapkan orang tua pada anaknya. Pinocchio yang menjadi brutal dan nakal kemudian mengalami berbagai nasib buruk karena menghindari sekolah yang memberi pesan moral untuk beretika terpelajar pada anakanak. Kisah Alice di lain pihak menggemakan kembali pengalaman kebahasaan yang sangat imajinatif di dalam gua-gua purba nenek moyang kita. Berbahasa adalah berdaya cipta, berkreasi, bermain dengan pengalaman, berbagi kekayaan batin dan memperkaya ruang-ruang simbolik di

Pro:aktif | DES 2016


24 dalam kehidupan.

hadapan misteri semesta.

Bagi Pinochio, membaca adalah mengeja tanda, lambang-lambang yang diturunkan masyarakat ke buku-buku sekolah agar ia bisa menjadi seperti yang diharapkan, menjadi person, pribadi yang diterima dalam masyarakat.

Ketegangan antara dunia Parmenides dan dunia Heraclitus, kecemasan akan runtuhnya nilai-nilai akibat perubahan pesat, adalah kecemasan masyarakat. Membaca ala Pinocchio akan menenangkan masyarakat namun merugikan humanitas yang bebas. Membaca seperti Alice, adalah menelusuri daya naratif humanitas kita. Manusia bukanlah elemen ideologis, pion agama, unsur kebudayaan atau obyek ekonomi yang membangun masyarakat. Manusia itu, tiap-tiap kita adalah sebuah buku, narasi, dinamis dan berharga sebagai bacaan yang senantiasa baru. Individu naratif inilah yang mengatasi polemik Heraclitus dan Parmenides. Narasi senantiasa berubah dan senantiasa tentang kebenaran eksistensi kita dalam semesta. []

Bagi Alice, membaca itu intuitif, menebak, mencari dalam kegelapan gua tempat bahasa dilahirkan. Membaca bukanlah untuk menjadi individu pandai, berkepribadian dan terpelajar, melainkan untuk bermain dengan semesta, menemukan kembali imajinasi, mencari makna-makna yang tak terhingga di balik kata-kata berdaya ci pta. Alice ti dak memperoleh tugas apapun untuk menjadi anak manusia, tidak seperti Pinocchio. Membaca berarti berada secara spontan di

Pro:aktif | DES 2016


25

TIPS

Membangun Kebiasaan Membaca Para Aktivis Oleh Ani Sulistyowati Adakah waktu yang rutin anda luangkan untuk membaca? Apakah bacaan tersebut berkontribusi pada peningkatan efektivitas kerja-kerja yang anda lakukan? Jika anda menjawab ya untuk kedua pertanyaan di atas, maka saya mengucapkan “SELAMAT� karena berarti anda telah memiliki kebiasaan membaca yang bermanfaat untuk peningkatan efektivitas kerja-kerja aktivis anda. Jika anda menjawab belum, maka tulisan ini mungkin bermanfaat untuk anda dalam membangun kebiasaan membaca.

Pro:aktif | DES 2016


26 Hambatan-hambatan dalam membangun kebiasaan membaca Ada banyak hambatan yang dihadapi banyak orang dalam membangun kebiasaan membaca. Hambatan-hambatan tersebut di antaranya adalah: kemauan , waktu, ketersediaan bacaan, ketersediaan sumberdaya untuk mengakses bacaan, berbagai hambatan teknis terkait ketrampilan membaca, masalah sik dan tidak ada teman. Dalam tulisan ini, akan diulas masing-masing hambatan dan beberapa alternatif penyelesaiannya satu per satu.

Kemauan Hal pertama yang dibutuhkan untuk membangun kebiasaan membaca adalah kemauan. Sebagaimana kata pepatah, “jika ada kemauan, di situ ada jalan�; hal yang sama berlaku pada kemauan membangun kebiasaan membaca. Masalahnya, bagaimana membangun kemauan? Untuk membangun kemauan, pertamatama diperlukan kesadaran. Kesadaran yang kemungkinan akan menumbuhkan kemauan antara lain kesadaran akan manfaat apa yang akan diperoleh melalui kebiasaan tersebut. Hal yang sama berlaku untuk kebiasaan membaca. Coba anda bayangkan manfaat apa yang anda akan dapatkan apabila anda meluangkan waktu secara rutin untuk membaca. Tuliskan semua manfaat itu di dalam sehelai kertas dan renungkanlah sejauh mana anda menginginkan manfaat tersebut anda peroleh. Jika An da meras a m anf aat -ma nf aat tersebut sangat penting untuk keberhasilan kerja-kerja aktivis anda, buatlah strategi tentang bagaimana Anda dapat mewujudkan niat Anda tersebut. Strategi yang Anda pilih perlu dibuat realistis. Artinya, strategi tersebut perlu mempertimbangkan kebiasaan Anda yang lain. Sebagai contoh, mungkin anda perlu mempertimbangkan langkah-langkah

bertahap untuk membangun kebiasaan membaca. Misalnya, pertama-tama Anda dapat menargetkan membaca satu artikel per bulan. Kemudian secara bertahap, jumlah tersebut bertambah menjadi satu artikel per minggu dan sampai akhirnya mungkin menjadi satu artikel perhari. Ketika strategi sudah ditetapkan, Anda perlu memperhitungkan bagaimana Anda dapat menerapkan strategi tersebut secara konsisten. Untuk itu Anda mungkin perlu mempertimbangkan ketersediaan waktu dan sumberdaya-sumberdaya lainnya seperti yang akan di bahas pada bagian selanjutnya dari artikel ini.

Waktu Setiap orang memiliki akses terhadap jumlah waktu yang sama setiap hari. Dua puluh empat jam sehari. Tidak lebih. Tidak kurang. Yang berbeda adalah bagaimana masing-masing memanfaatkan waktu yang dimilikinya. Jika Anda merasa kesulitan memperoleh waktu untuk membaca, maka yang perlu dilakukan adalah sebagai b er i k u t . Pe r t am a - t a ma , A n d a p e r l u memahami dulu pola penggunaan waktu Anda. Setelah itu barulah Anda mencari kemungkinan-kemungkinan di waktu mana Anda memiliki peluang melaksanakan kegiatan membaca sebagai kebiasaan baru Anda. Untuk memahami pola penggunaan waktu Anda, Anda mungkin dapat terbantu dengan menggunakan kerangka dari

Pro:aktif | DES 2016


27

Stephen Covey, penulis buku best seller, Seven Habits of Highly Effective People. Menurut Covey, penggunaan waktu dapat dikategorikan ke dalam empat kuadran. Yang termasuk kategori kuadran pertama adalah kegiatan-kegiatan yang penting dan mendesak. Contoh kegiatan-kegiatan kuadran satu di antaranya: mengejar batas akhir pengumpulan tugas. Termasuk dalam kategori kuadran dua adalah kegiatan-kegiatan yang penting tetapi tidak mendesak, misalnya berolah raga setiap hari untuk menjaga kesehatan tubuh. Kuadran tiga berisi kegiatan-kegiatan yang tidak penting tetapi mendesak, misalnya mengangkat telepon yang ternyata berisi iklan atau tawaran produk-produk yang tidak berguna untuk hidup kita. Sementara yang termasuk dalam kuadran keempat adalah kegiatan-kegiatan yang tidak penting dan tidak mendesak. Contoh kegiatan-kegiatan kuadran empat adalah menghabiskan waktu untuk menonton lm- lm tidak bermutu dan berbagai kegiatan tidak berguna lainnya. Stephen Covey menyarankan bahwa jika kita ingin hidup ki t a ef ek ti f , mak a k i t a p e rl u mengatur agar kegiatan-kegiatan kita sebanyak mungkin ada di kuadran dua. Untuk memperoleh waktu untuk kegiatankegiatan kuadran dua maka kita perlu mengurangi kegiatan-kegiatan yang berada di kuadran lainnya, khususnya kuadran empat dan kuadran tiga.

Kebiasaan membaca yang dimaksud dalam artikel ini adalah kegiatan yang termasuk di dalam kuadran dua. Agar dapat memperoleh waktu untuk kebiasaan membaca ini, maka kita perlu mendata kegiatan-kegiatan apa saja yang kita lakukan yang termasuk di kuadran empat dan tiga. Setelah kegiatan-kegiatan tersebut terkumpul, kita pilih kegiatan-kegiatan mana saja yang sebaiknya kita tinggalkan dan kita gantikan dengan kebiasaan membaca ini. Terutama bagi orang-orang yang sangat sibuk, sehingga tidak memiliki waktu lagi untuk kegiatan-kegiatan kuadran tiga dan empat, maka yang perlu dikurangi adalah kegiatan-kegiatan kuadran satu. Perlu dipahami, waktu untuk membaca tidak harus berupa blok waktu yang panjang. Jika Anda hanya memiliki waktu seperempat jam setiap hari s ebagai waktu yan g mungkin, maka gunakan itu. Seperempat jam sehari, berarti satu jam dalam empat hari, satu tiga perempat jam dalam seminggu, tujuh setengah jam dalam sebulan, sembilan puluh satu seperempat jam dalam setahun. Dalam seperempat jam, mungkin Anda hanya dapat membaca setengah halaman. Tetapi dalam sembilan puluh satu seperempat jam, mungkin Anda dapat menyelesaikan satu buku hampir dua ratus halaman. In tiny a man faatkan sumberdaya waktu yang anda miliki sebaik mungkin. Anda dapat memulai kebiasaan

Pro:aktif | DES 2016


28 membaca dari waktu yang ada.

atau menjual buku yang telah selesai mereka baca dengan harga lebih murah.

Ketersediaan bacaan Di zaman modern ini, bahan bacaan tersedia dari berbagai sumber. Anda dapat pergi ke toko buku dan membeli buku kesukaan Anda. Anda juga dapat pergi ke perpustakaan. Anda bahkan dapat menjelajahi dunia maya untuk memperoleh berbagai artikel dan buku elektronik yang dapat diunduh secara gratis. Anda juga dapat masuk ke klub membaca dan saling bertukar bahan bacaan.

Ketersediaan sumberdaya untuk mengakses bacaan Masalahnya, untuk mengakses bahan ba c a an t e r s eb ut A n d a me m er l u ka n sejumlah sumberdaya lainnya. Misalnya untuk mendapatkan buku kesayangan di toko buku, Anda membutuhkan sejumlah uang. Untuk pergi ke perpustakaan Anda memerlukan transportasi. Anda mungkin juga memperlukan uang untuk membayar iuran anggota atau biaya peminjaman buku di perpustakaan tersebut. Untuk mengunduh artikel atau buku elektronik Anda membutuhkan akses internet. Bagaimana jika kepemilikan Anda akan sumberdaya-sumberdaya tersebut sangat terbatas? Langkah pertama, Anda perlu mencari informasi bacaan yang Anda inginkan tersebut dapat diperoleh dari mana saja. Langkah kedua, pilihlah sumber yang paling sedikit membutuhkan sumberdaya. Misalnya untuk mendapatkan akses internet, Anda dapat pergi membawa laptop atau android Anda ke tempat-tempat umum yang memberikan layanan wi gratis. Jika ada tidak memiliki laptop atau android Anda dapat pergi ke warnet. Jika Anda sedang tidak memiliki uang untuk membeli buku, anda dapat pergi ke perpustakaan atau tetap ke toko buku dan membaca di sana. Anda juga dapat pergi ke kios buku bekas untuk mendapatkan harga buku yang lebih murah. Atau mencari teman yang rela meminjamkan bukunya

Berbagai hambatan teknis terkait ketrampilan membaca Berbagai hambatan teknis di sini antara lain adalah kecepatan membaca, kemampuan konsentrasi ketika membaca, durasi rasa nyaman dalam membaca, serta kemampuan berbahasa. Sebagaimana berbagai ketrampilan lainnya, ketrampilan membaca dapat dibangun dengan latihan sehingga menjadi kebiasaan. Ketrampilan ini dapat meningkat seiring dengan frekuensi latihan, tetapi juga dapat menurun apabila tidak digunakan setelah kurun waktu tertentu. Jika Anda mengalami hambatan-hambatan teknis semacam ini, jangan putus asa. Langkah pertama, pilihlah bacaan-bacaan yang Anda sukai, sehingga anda termotivasi kuat untuk tetap membaca di tengah segala hambatan teknis tersebut. Setelah Anda cukup nyaman dalam membaca barulah memilih bahan bacaan yang lebih sulit dipahami dan membutuhkan konsentrasi dan upaya lebih tinggi untuk mencernanya. Jika terdapat kendala bahasa atau istilahist ilah sulit , kamus mungkin dapat membantu. Sekarang bahkan tersedia kamus elektronik dan layanan penelusuran informasi yang berbasis internet. Anda tinggal mengetikkan kata-kata yang sulit tersebut di layar komputer, kemudian Anda akan terhubung dengan situs berisi i nf ormasi mengen ai kata- kata sulit tersebut. Dengan menggunakan fasilitas internet, banyak waktu dapat dihemat dan informasi dapat dicari secara simultan dan waktu yang relatif singkat.

Masalah sik Yang termasuk dalam masalah sik di sini antara lain: kondisi mata, daya konsentrasi, kondisi punggung dan berbagai persoalan sik lainnya. Masalah sik kebanyakan terkait dengan usia. Dengan bertambahnya usia seseorang, apalagi setelah melampaui umur 40, biasanya ada kemunduran sik di sana sini. Kemunduran ini bisa dicegah

Pro:aktif | DES 2016


29 dengan cara membangun kebiasaan hidup sehat, baik dari aspek konsumsi makanan, kecukupan istirahat dan olah raga. Sikap duduk juga berpengaruh terhadap kondisi punggung dan kenyamanan membaca. Selain pola hidup sehat, kenyamanan membaca juga dapat didukung dengan berbagai fasilitas seperti kacamata bagi mereka yang bermasalah dengan mata, kursi atau sofa nyaman untuk membaca, lampu yang cukup terang serta ukuran huruf yang nyaman dipandang mata. Dengan kebiasaan hidup sehat dan fasilitas pendukung membaca yang memadai diharapkan kegiatan membaca menjadi kegiatan yang menyenangkan dan menyehatkan.

Tidak ada teman Untuk mencari teman Anda dapat pergi ke klub membaca atau Anda membuat sendiri perkumpulan membaca tersebut. Dengan berada di dalam kelompok, Anda dapat memperoleh dukungan dalam berbagai bentuk. Salah satunya adalah bertambahnya akses buku melalui proses pertukaran dan peminjaman. Dengan peminjaman dan pertukaran, Anda dapat menghemat uang. Dengan uang yang ada, Anda dapat membeli buku yang lain, khususnya yang tidak dimiliki oleh temanteman Anda. Jadi dengan jumlah uang yang sama, Anda dapat membaca lebih banyak buku. Keberadaan teman juga memotivasi kita untuk terus membaca. Ketika kita dan teman menyukai buku yang sama, kita memiliki teman berdiskusi tentang buku tersebut. Kita punya teman yang memotivasi kita untuk terus membaca. Atau teman untuk membaca bersama.

tidak ada teman telah dibahas di atas. Sekarang Anda sudah mengetahui berbagai hambatan dalam membangun kebiasaan membaca dan cara-cara mengatasinya. Semoga informasi tersebut dapat membantu Anda membangun kebiasaan membaca yang dapat meningkatkan efektivitas kerja-kerja perubahan yang Anda lakukan. Dengan berjalannya waktu, mungkin Anda akan menemui berbagai hambatan lainnya yang masih perlu Anda atasi. Semoga dengan terbiasa mengatasi hambatan-hambatan yang dibahas di atas, Anda tetap bertahan dalam membangun kebiasaan membaca. Keberhasilan Anda membangun kebiasaan membaca akan tergantung dari sejauh mana anda dapat mengatasi hambatan-hambatan tersebut da n t e t a p k o n si s t e n me l ak s a n ak a n kebiasaan membaca di tengah segala hambatan yang anda hadapi. Selamat menikmati membaca. []

Penutup Berbagai hambatan dalam membangun kebiasaan membaca, yaitu kemauan , waktu, ketersediaan bacaan, ketersediaan sumberdaya untuk mengakses bacaan, berbagai hambatan teknis terkait ketrampilan membaca, masalah sik dan

Pro:aktif | DES 2016


30 MEDIA

POTRET, 14 Tahun Membangun Budaya Baca Di Kalangan Perempuan Oleh Tabrani Yunis Sebelas Januari 2017 Majalah POTRET genap berusia 14 tahun. Sebuah usia yang sudah lumayan lama untuk sebuah media. Majalah POTRET lahir dari sebuah keprihatinan terhadap nasib kaum perempuan yang menderita, terutama perempuan akar rumput yang ada di wilayah perdesaan.

Alhamdulilah, pada tanggal 11 Januari 2017 ini, majalah POTRET, Media perempuan kritis dan cerdas ini genap berusia 14 tahun. Sebuah usia yang sudah lumayan lama untuk sebuah media, namun bila dianalogikan dengan usia manusia, ini adalah usia yang masih belia, bahkan masih di bawah umur. Namun, bila menelusuri lorong-lorong sejarah lahirnya, orientasinya dan bahkan cita-citanya, serta secara geogra s, usia 14 tahun bagi majalah POTRET, termasuk usia yang lumayan lama. Ini menjadi masa yang seharusnya berada pada masa yang matang. Dikatakan demikian, karena latar belakang (background) lahirnya majalah POTRET tidak sama dengan majalah-majalah yang terbit di ibu kota, dengan template dan patron yang bisa dikatakan business oriented. Ya, berbeda orientasinya dengan majalahmajalah yang terbit di pusat kota Jakarta. M aj a l ah P OT R E T l ah i r da r i s e b uah k e p r ih at i n a n t e rh a da p n as i b k au m perempuan yang menderita, terutama perempuan akar rumput yang ada di wilayah perdesaan. Majalah POTRET yang mulai terbit pada tanggal 11 Januari 2003, sebelum bencana tsunami meluluhlantakkan Aceh itu, terbit

dilatarbelakangi dari keprihatinan akan nasib kaum perempuan di Aceh yang hidup terbelenggu kemiskinan. Secara kasat mata, kemiskinan yang dialami perempuan adalah kemiskinan harta benda atau kemiskinan material. Namun, bila kita telusuri lebih dalam, kemiskinan yang menghimpit perempuan adalah kemiskinan intelektual dan spiritual, yang wujudnya, miskin ilmu pengetahuan, miskin keterampilan dan miskin sikap atau spirit untuk maju. Kemiskinan ini semakin memperkecil akses dan kontrol kaum perempuan, terutama perempuan akar rumput (grassroots) yang hidup di perdesaan di Aceh, terhadap pembangunan, akses terhadap pendidikan. Kondisi ini membuat perempuan tidak punya kemampuan membaca, tidak punya minat membaca dan bahkan sama sekali kehilangan semangat untuk maju dan keluar dari belenggu kemiskinan tersebut. Nah, berangkat dari keprihatinan tersebut, maka Center for Community Development and Education (CCDE), Banda Aceh, sebagai sebuah organisasi nirlaba (nonpro t), atau LSM yang peduli dan bekerja untuk perempuan, melakukan berbagai kegiatan pendidikan alternatif bagi kaum

Pro:aktif | DES 2016


31 perempuan di Aceh. Kegiatan-kegiatan itu mulai dari kegiatan pertemuan membangun konsolidasi, membangun kesadaran dan hingga pada kegiatan pelatihan dan lain sebagainya yang bisa membuka mata perempuan, serta mendorong perempuan untuk secara aktif berkarya di tengah-tengah masyarakat, agar bisa keluar dari belenggu kemiskinan dalam berbagai bentuk dan jenisnya. Akhirnya, karena niat dan komitmen untuk berbuat, mengubah kondisi kemiskinan dan kebodohan perempuan yang parah itu menjadi lebih baik, maka selain membe ri kan p el ayan an p en di di kan

menggunakan tagline “ media perempuan Aceh�. Artinya, masih terbatas pada k a l an g a n p e r e m p u a n d i A c e h s a j a. Sayangnya, baru tiga edisi terbit, bencana tsunami meluluhlantakkan Aceh dan POTRET berhenti terbit. Sementara impian me mban gu n buda ya dan ke biasa an membaca masih belum bergerak. Namun, impian itu tidak mati, walau semua yang dimiliki CCDE dan POTRET habis disapu tsunami. Nah, ketika trauma masih belum pulih, impian membantu perempuan keluar dari kemiskinan intelektual masih belum selesai, maka pada pertengahan 2006, Pelatihan Menulis Bagi Perempuan

alternatif, CCDE pada tahun 1998 menggagas lahirnya media belajar bagi kaum perempuan di Aceh. Lalu, setelah melalui proses yang panjang, mempersiapkan penulis-penulis perempuan, dengan melatih 25 perempuan dari 6 kabupaten di Aceh dengan membangun kesadaran membaca dan membuat karya tulis, penggalangan dana untuk penerbitan, maka untuk pertama kali majalah POTRET diterbitkan pada tanggal 11 Januari 2003 lalu. POTRET lahir dalam bentuk media yang sangat minim, karena bentuknya masih newsletter. Namun demikian, dengan semangat membaca, POTRET saat pertama kali terbit

tepatnya bulan Juli, POTRET kembali terbit dalam bentuk buletin setelah mendapat bantuan dari Hivos. Hadirnya POTRET saat itu menjadi amunisi baru untuk menyemangati kerja-kerja pencerdasan kaum perempuan lewat kegiatan membangun budaya baca di Aceh, pasca bencana tsunami tersebut. Sejak itu, upaya untuk menumbuhkan semangat membaca kaum perempuan, terutama yang menjadi penerima manfaat (bene ciaries) program CCDE semakin menggeliat. CCDE dengan terbitan POTRET mengadakan sejumlah pelatihan yang bertujuan meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan baca kaum perempuan Aceh dari 18 kabupaten di Aceh.

Pro:aktif | DES 2016


32

Sejak saat itu, hingga tahun 2011, lebih dari 1000 perempuan di Aceh dilatih dengan kemampuan membaca dan menulis, sebagai bagian dari upaya membangun gerakan menulis di kalangan perempuan di Aceh saat itu. CCDE dan POTRET membangun kemampuan membaca dan menulis kaum perempuan dengan memposisikan perempuan sebagai pelaku atau subjek media, bukan sebagai objek, sebagaimana layaknya dan banyaknya media yang terbit lainnya. Dengan cara ini, perempuan bukan hanya bis a m embuk a m at a m en i n gkat k an kemampuan atau daya baca, tetapi dibantu dan dibimbing untuk menjadi lebih produktif dalam mengekspresikan pikiran, permasalahan, menganalisis dan juga mencari jalan keluar dari sejumlah persoalan yang dialami atau dihadapi oleh kaum perempuan di Aceh khususnya dan m a s y a r ak at g l o b a l p a d a um u m n y a. POTRET, di samping sebagai media untuk membaca, sekaligus menjadi media belajar menulis, menuangkan ide atau pikiran secara tertulis. Metodologi yang digunakan oleh majalah ini, jauh berbeda dengan media-media

mainstream lainnya di tanah air. Bila majalah-majalah yang terbit di kota Jakarta, menerima naskah yang diketik dengan rapi dengan kriteria yang tinggi, maka majalah POTRET menerima kiriman karya tulis kaum perempuan yang ditulis tangan dan kemudian diketik dan dilakukan penyuntingan yang tidak mengganggu pesan yang ingin disampaikan oleh para penulis perempuan tersebut. Kemudian POTRET terus bermetamorfosis, dari majalah komunitas menjadi majalah umum yang tidak hanya diterima gratis oleh para perempuan yang menjadi bene ciaries dari program CCDE, akan tetapi kemudian masuk ke pasaran dan menjadi bacaan serta referensi bagi perempuanperempuan di luar perempuan akar rumput. POTRET menjadi satu-satunya majalah perempuan yang sangat peduli terhadap masalah perempuan. Satusatunya majalah perempuan yang terbit di Aceh dan masuk menembus ke level nasional, bahkan menjadi media bagi perempuan di tingkat global. Buktinya, semakin banyak penulis dan pembaca yang berasal dari mancanegara yang mengirimkan tulisan, baik dalam

Pro:aktif | DES 2016


33 Bahasa Indonesia, maupun Bahasa Inggris. Untuk memenuhi kebutuhan para perempuan yang berada di luar Aceh, majalah POTRET kemudian menyediakan versi online, yang kini bisa diakses di www.potretonline.com . Episode yang membahagiakan Sejalan dengan semakin meluasnya jangkauan atau capaian pembaca dan penulis POTRET, maka tagline “POTRET, Media Perempuan Aceh� menjadi tidak relevan lagi. Sehingga kemudian tagline itu disesuaikan dengan p er k emb an gan ya n g t e rj adi , b ahw a POTRET bukan lagi hanya menjadi media perempuan Aceh, akan tetapi menjadi media perempuan kritis dan cerdas, di mana saja berada. Jadi, walaupun terbit di Aceh, namun bukan hanya Aceh, akan tetapi juga semua perempuan di nusantara dan mancanegara. Tern yata dengan perubahan tersebut, kemudian semakin banyak perempuan di nusantara dan mancanegara yang terlibat aktif mengisi majalah ini untuk saling berbagi informasi, menyediakan bacaan yang menarik bagi para pembaca yang umumnya adalah perempuan. Meluasnya jangkauan majalah POTRET terkait dengan semakin banyaknya tulisan yang masuk dari para perempuan dari luar komunitas dan dari luar Aceh hingga ke mancanegara, membuat majalah POTRET menjadi semakin strategis bagi upaya membangun budaya baca di kalangan perempuan, baik di Aceh, maupun di luar Aceh. Bahkan dalam perjalanan selama 14 tahun, peran majalah POTRET membangun budaya baca dan budaya literasi di kalangan perempuan, kemudian meluas masuk ke ranah pendidikan formal, dimana majalah POTRET menjadi bahan bacaan bagi para pelajar di sejumlah sekolah, pesantren dan perpustakaan. Dengan demikian, fungsi majalah POTRET adalah sebagai media baca atau juga sumber bacaan perempuan dan masyarakat umum. Tentu saja, ketika majalah POTRET sebagai satu-satunya majalah perempuan yang terbit di Aceh untuk Indonesia ini, harus

menjadi media bersama yang bersinergi untuk membangun budaya membaca, budaya berkarya atau budaya literasi, bukan hanya di kalangan perempuan, tetapi juga di kalangan masyarakat umum di Aceh dan di tanah air. Oleh sebab itu, eksistensi majalah POTRET sebagai media perempuan kritis dan cerdas, harus selayaknya mendapat dukungan positif dari semua pihak yang peduli dan merasa penting membangun budaya baca di kalangan perempuan, hingga semua perempuan idealnya terbebas dari belenggu kebodohan dan kemiskinan, sebagaimana cita-cita atau impian awal majalah POTRET. Mari kita bangun sinergi membangun budaya baca di masyarakat kita. Ini adalah hal yang menggembirakan dari perjalanan panjang hadirnya majalah POTRET selama 14 tahun membangun gerakan literasi di kalangan perempuan di Aceh dan nusantara. Memilukan Banyak hal yang membahagiakan dan melegakan hati dari sejarah perjalanan terbitnya POTRET dan kerja-kerja membangun budaya baca selama 14 tahun tersebut. Bisa bertahannya majalah ini selama kurun waktu 14 tahun adalah sebuah fakta yang menakjubkan, karena banyak media yang terbit di Aceh bertumbangan karena banyak faktor. Sementara POTRET, walau seperti kerakap tumbuh di batu, hingga kini masih eksis, ya masih terbit. Namun, di balik cerita suka cita tersebut, tidak sedikit pula cerita duka yang menyelimuti majalah POTRET. Sebagaimana kita ketahui bahwa keberlanjutan sebuah media cetak, baik surat kabar maupun majalah ada pada ketersediaan pendanaan (sustainability of fund) dan ketersediaan tema dan artikel yang akan dipublikasikan. Ketersediaan dana, bisa dalam bentuk dukungan iklan dari berbagai pihak dan ketersediaan bahan untuk isi media yang dijadikan sebagai modal yang akan dijual kepada pembaca. Lalu, duka apa yang dialami oleh majalah POTRET? Salah satu duka nestapa yang dialami oleh

Pro:aktif | DES 2016


34 majalah ini adalah hilangnya kekuatan modal keuangan untuk semua proses produksi dan distribusi. Ketiadaan dana menjadikan kegiatan penerbitan terseokseok. M ajalah POTRET t erbi t tanp a didukung oleh sponsor iklan atau sumber pernapasan bagi sebuah media. Hal ini membuat majalah POTRET kesulitan dalam hal pembiayaan. Sehingga, majalah POTRET bagai kerakap tumbuh di batu; hidup enggan, mati tak mau. Kondisi ini semakin buruk ketika tidak ada lagi donatur yang ikut membantu. POTRET harus terbit secara mandiri. Jadi, ini memang memilukan dan semakin memilukan lagi, ketika Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang mendengungdengungkan kata sinergi, pada kenyataannya itu hanya ilusi. Begitu juga di

kalangan LSM yang bekerja untuk perempuan. Mereka tidak melihat keberadaan majalah POTRET sebagai sebuah potensi atau kekuatan yang menjadi bagian dari gerakan perempuan. Jadi memang memilukan. Karena saat ini, majalah POTRET masih belum dianggap sebagai sebuah media yang mencerdaskan dan diperlukan oleh semua orang. Padahal, cita-cita majalah ini adalah terbangunnya budaya baca dan berkarya di kalangan perempuan. []

Pro:aktif | DES 2016


35

JALANÂ JALAN

MEMBANGUN MIMPI LEWAT MEMBACA Oleh Yosepin Sri

Pro:aktif | DES 2016


36 Indonesia dan membaca, adalah tema dasar dari tulisan ini. Indonesia terdiri dari gugusan kepulauan yang membentang di garis khatulistiwa diapit oleh dua benua dan samudra luas, menjadikan negara ini begitu cantik dan menarik akan bentang alam serta keanekaragaman sukunya. Lalu bagaimana dengan masyarakatnya yang tinggal tersebar di pulau-pulau tersebut? Apakah mereka semua suka membaca? Buku merupakan sumber informasi dari hasil pemikiran penulisnya, baik itu buku yang berisi kumpulan cerita pendek, dongeng-dongeng, maupun buku yang berisi pengalaman langsung sang penulis, semuanya sama-sama membutuhkan usaha yang tidak mudah untuk menerbitkannya sebagai sebuah buku. Melalui buku, pembaca dapat mengembangkan imajinasinya serta membuka pintu-pintu di kepalanya akan pengetahuan baru yang telah ada di belahan dunia lain. Melalui buku, kita juga dapat mengetahui bagaimana cerita Indonesia bisa merdeka, usaha dari para tokoh di daerah yang bersatu melawan penjajah, hingga usaha dari berbagai ilmuwan untuk menciptakan peralatan yang ada sekarang ini seperti pesawat terbang, lampu, jam tangan, kamera, televisi hingga teknologi informasi seperti internet. Sehingga melalui buku, seorang anak akan bisa membangun mimpinya. Lahir dan tumbuh di kota besar seperti Jakarta, membuat penulis hidup dalam kemudahan mengakses buku. Toko-toko buku, baik itu bekas maupun baru, banyak terdapat di kota, perpustakaan keliling, perpustakaan di sekolah, hingga cafĂŠ-cafĂŠ cantik yang menyediakan buku menarik sekaligus akses internet tersedia di berbagai sisi jalan Ibu Kota. Namun bagaimana dengan kondisi daerah-daerah lainnya di Indonesia, khususnya daerahdaerah yang terletak di luar pulau Jawa, apakah masyarakat di sana juga mendapatkan fasilitas yang sama? Pengetahuan pen ulis akan kegiatan membaca di Indonesia banyak diberikan oleh tokoh-tokoh pustaka yang berkegiatan

Onthel Pustaka sumber: https://www.facebook.com/pg/OntelPustaka-Majene

di berbagai daerah di Indonesia. Beberapa tokoh tersebut adalah Nirwan Arsuka yang melakukan ekspedisi dengan berkuda membawa berbagai buku menarik ke daerah-daerah di Pulau Sumba hingga Papua, tidak terbayang sang kuda bisa berjalan menempuh ratusan kilometer dan menyeberang lautan dengan kapal sambil membawa buku-buku di sisi punggungnya. Aldo, kuda jantan Sumbawa bersama Asep sang pemilik, berkeliling 3 kali dalam seminggu membawa buku-buku di daerah Lebak, Banten. Juga Ontel Pustaka yang terdapat di Majene, Sulawesi Barat dan Sidoarjo, Jawa Timur, bersepeda sembari membawa buku-buku dan berhenti di desadesa hingga dikerumuni anak-anak yang penasaran ingin melihat buku. Serta perahu pustaka yang berlayar ke pulaupulau terpencil, membawa berbagai macam buku men arik pen uh warn a menghadirkan senyuman bagi anak-anak yang tinggal di pesisir pantai Sulawesi. Meskipun jenis kendaraan yang digunakan bervariasi namun tetap memiliki kesamaan tujuan, yakni memberi kesempatan kepada masyarakat untuk mengakses berbagai

Pro:aktif | DES 2016


37 buku menarik. Di balik tujuan tersebut, terdapat keunikan akan setiap jenis kendaraan yang digunakan. Dengan menunggang kuda pergerakan akan lebih perlahan melalui daerah pegunungan dan lembah, dengan bersepeda dapat melewati jalan kecil di kampung-kampung, dan dengan perahu layar akan dapat menjangkau pesisir-pesisir di pulau-pulau kecil di Indonesia. Pada artikel ini, karena sifatnya online, maka para pembacanya mungkin akan lebih banyak berada di kota-kota besar sehingga kurang mendapat bayangan akan kegiatan lantropi di daerah yang seringkali jauh dari akses baik itu listrik apalagi internet. Dengan alasan ini maka penulis akan lebih menceritakan tentang perahu pustaka yang digagas oleh salah satu tokoh literasi Indonesia yakni Nirwan Arsuka dan pergerakannya dalam memanfaatkan wilayah laut sebagai pemersatu pulau-pulau di Indonesia, karena sering kali 'orang kota' memandang laut sebagai pemisah pulau-pulau ini. Perahu Pustaka bernama Pattingalloang ini sering disingkat dengan P3, dikelola oleh Muhammad Ridwan Alimuddin, yang me mut usk an u nt uk b erp i n dah dar i pekerjaan tetapnya sebagai jurnalis berita lokal menjadi pekerja 'fulltime' berlayar membawa buku dengan perahu jenis ba'go k h a s M a n d a r. M u h a m m a d R i d w a n Alimuddin yang kerap disapa dengan Ridwan dalam berbagai tulisan yang mengulas pelayarannya, telah lama aktif melakukan penelitian terkait dengan topik

maritim dan menulis 10 buku mengenainya. Ridwan memilih jenis perahu ba'go dengan pertimbangan bentuk dan ukurannya, “Jenis perahu ba'go, kalau masuk sungai lebih aman, bentuk lambung perahu lebar, sehingga tidak khawatir kandas� ungkap Ridwan dalam artikel berjudul 'Perahu Pustaka Menyediakan Buku ke Pulau-Pulau' oleh BBC Indonesia. Perahu berukuran panjang 10 m dan lebar 3 m ini pun dibuat dengan menggunakan jenis kayu Tipuluh yang ditebang di hutan, ditunggu kering, lalu dilanjutkan dengan upacara membuat perahu tradisi Mandar. Upacara ini berisikan harapan dan doa, agar proses pembuatan perahu berjalan dengan baik dan juga perahu dapat berlayar dengan selamat bersama nahkodanya sesuai dengan kegunaannya yakni sebagai perahu pustaka. Setelah melalui proses pembuatan dengan menjaga tradisi Mandar, Perahu Pustaka Pattingalloang mulai berlayar pada Juni 2015. Perahu yang dapat mengangkut sekitar lima ribu buku ini, selain berfungsi sebagai perpustakaan perairan, juga dapat berfungsi sebagai sarana edukasi maritim, khususnya bagi wilayah Sulawesi yang sebagian besar terdiri dari wilayah perairan. Dengan melihat perahu yang membawa buku-buku bacaan berkualitas, anak-anak semakin tertarik, sebab perahu yang mungkin biasanya membawa ikan ataupun sebagai alat angkutan, ternyata juga bisa membawa sumber pengetahuan, dengan l a u t s e b a ga i j a l u r t r a n s p o r t a s i n y a. Mengelola perpustakaan berwujud perahu

Onthel Pustaka Sidoarjo

sumberhttps://www.facebook.com/pg /Onthel-Pustaka-Sidoarjo-RIM605558259594452/photos/?re f=page_internal

Pro:aktif | DES 2016


38 Perahu Pustaka

sumberhttp://www.bbc.com/travel/sto ry/20161013-a-library-thatbrings-books-by-sailboat

tentunyamembutuhkan skill yang tidak gampang , pengelola perlu memiliki pengetahuan akan perahu sebagai alat transportasi sekaligus tempat tinggalnya ketika di perairan, dan yang tidak kalah pentingnya adalah jam terbang dalam pelayarannya. Seorang nelayan Mandar sudah sangat awam dengan arah mata angin, arah angin berhembus sesuai waktu dan tempatnya, hingga pengetahuan akan rasi bintang. Walaupun telah melakukan penelitian selama 17 tahun akan kemaritiman, dan dapat mengoperasikan GPS serta kompas, Ridwan masih terus mempelajari cara berlayar lewat bertambahnya jam palayaran dengan Perahu Pustaka Pattingalloang. Perahu Pustaka yang telah lama digagas dan mulai dibangun semenjak awal 2015, telah menjadi isu menarik sedari acara MIWF (Makassar International Writers Festival) yang diadakan setahun sekali di Makassar. Pada tahun 2015 tersebut, MIWF mengangkat tema 'Karaeng Pattingalloang: Knowledge and Universe' yang juga sesuai dengan nama perahu pustaka yakni Perahu Pustaka Pattingalloang. Nama Pattingalloang sendiri dipilih dengan alasan bahwa beliau adalah salah satu pahlawan ilmu pengetahuan yang berasal dari Sulawesi . Keci ntaan akan ilmu pengetahuan mendorong Pattingalloang untuk dapat terus mengakses pengetahuan terbaru yang saat itu masih terpusat di Eropa. Bernama lengkap I Mangadacinna Daeng Sitaba Sultan Mahmud Karaeng Pattingalloang yang disebut sebagai 'The

Galilleo of Macassar', mampu berbicara dalam delapan bahasa asing : Latin, Yunani, Italia, Prancis, Belanda, Portugis, Denmark, Arab, serta memiliki perpustakaan pribadi yang menyimpan hampir semua buku pengetahuan pada zaman itu yang terbit di Eropa. Beliau juga merupakan orang yang memes an tel esko p p ert ama set el ah ditemukan oleh Galileo, serta globe terbesar dengan diameter 4 m, sehingga jarak dan waktu tidak menjadi penghalang bagi kekuatan niat Pattingalloang untuk dapat membaca serta memiliki berbagai buku dan peralatan. Berbagai tantangan ke depan, terutama pendanaan akan pelayaran P3 terus dihadapi oleh Ridwan dengan sikap optimistik. Buku-buku yang ia bawa sebagian merupakan hasil koleksi pribadi, sebagian berasal dari donasi. Begitupun dengan dana operasional pelayaran P3, donasi berdatangan dari pengusaha, teman-teman, serta dari orang-orang yang telah melihat kegiatan P3, baik secara langsun g maupun v ia so sial media. “Dengan melihat wajah anak-anak tersenyum lalu membuka buku, semua perasaan akan kekhawatiran mendadak lenyap�, tutur Ridwan dalam artikel BBC berjudul Library that Brings Books by A Sail Boat. Up ay a ya n g di lak uk an o l eh Ridw an merupakan salah satu dari sekian lantropi lainnya. Menyebarkan budaya literasi, s ema n gat m emb ac a, dan mem buk a berbagai jalan baru akan akses terhadap

Pro:aktif | DES 2016


39 dunia pengetahuan adalah ikhtiar dari Muhammad Ridwan Alimuddin sebagai pengelola perahu pustaka. Selagi mewujudkan mimpi, di lain pihak, kegiatan ini juga memunculkan mimpi-mimpi baru dalam diri anak-anak yang mendapatkan kesempatan melihat buku-buku dari perahu pustaka. Sangat mungkin, setelah melihat berbagai buku yang ada, cita-cita mereka menjadi lebih beragam akan

profesi yang belum mereka ketahui sebelumnya. Tulisan merupakan hasil olahan dari berbagai sumber: https://perahupustaka.com/ http://www.bbc.com/travel/story/20161013 -a-library-that-brings-books-by-sailboat []

Pro:aktif | DES 2016


penulis Pro:Aktif SOFIE DEWAYANI Penulis buku anak, cerpen, dan artikel pendidikan di media massa dan jurnal internasional. Salah satu buku anak bergambar yang ditulisnya, "Srinti, " tercatat dalam White Ravens 2016, katalog internasional sastra anak terpilih yang diterbitkan di Munchen. Selain mengajar mata kuliah penulisan akademik di ITB, saat ini So e mengetuai Yayasan Litara dan bergiat di Satgas Gerakan Literasi Sekolah (GLS) Kemendikbud.

KUKUH SAMUDRA Lahir di Kudus 21 tahun yang lalu. Memiliki hobi bermain tenis. Rekreasi yang paling dia gemari adalah pergi ke toko buku bekas. Masih berusaha untuk menyelesaikan studinya di jurusan elektro. Saat ini sibuk berjualan buku secara online agar memiliki cukup uang untuk membangun lapangan tenis di Karanganyar, kota tempat dia tumbuh-besar.

EUGENIA RAKHMA Lahir dan tinggal di Bandung. Setelah lulus kuliah Ilmu Komunikasi di Universitas Padjadjaran, ia terjun mengajar anak-anak usia dini. Empat tahun kemudian memutuskan untuk menjadi penulis sepenuhnya dan tetap berfokus pada dunia anak-anak. Selain menulis, ia masih sering meluangkan waktu menjadi pengajar sukarela bagi anak-anak, khususnya dalam kegiatan pendidikan dan literasi di kota Bandung. Email : eugeniarakhma0287@gmail.com Blog : www.eugeniarakhma.blogspot.com Facebook : Eugenia Rakhma Twitter/ IG : @eugeniarakhma


penulis Pro:Aktif SENARTOGOK Penulis adalah seorang pengamen yang sering berkeliaran sepanjang warung tenda Gelap Nyawang Bandung. Penikmat kopi sachet jarang mandi yang kini aktif mengelola www.zine.or.id dan Perpustakaan Jalanan Bandung. Penyuka hujan tak berumah yang sering menumpang nginap di kontrakan Asra Wijaya Facebook : Senartogok Website : www.senartogok.org Alamat : Jalan Kebon Bibit Utara 118/58 RT 06 RW 05 Tamansari Bandung, 40116

UMBU Anak dari suku Umbu Karewa kampung Pala, Sumba Barat Daya. Seharihari ia membayangkan berada di Raja Ampat dekat laut. Ia suka berburu kerang di pantai. Ia bercita-cita memiliki seekor kuda.

ANY SULISTYOWATI LEAD Indonesia Fellow (1998-2000) dan Donella Meadows Leadership Fellow (2007-2008). Sempat mengambil S1 di Jurusan Teknik Penerbangan, Institut Teknologi Bandung (1991-1995) dan S2 dalam Bidang Studi Pembangunan dari Institute of Social Studies, Den Haag, Negeri Belanda (2000-2001). Sejak lulus sampai sekarang fokus bekerja di sektor sosial. Pengalamannya antara lain: mengembangkan ELSPPAT (Lembaga Studi Pembangunan dan Pelayanan Teknologi) di Bogor (19952000), mendirikan dan mengembangkan KAIL (Kuncup Padang Ilalang) di Bandung (2002-sekarang). KAIL adalah LSM yang berfokus pada peningkatan kapasitas individu dan kelompok agar peduli dan secara efektif bertindak untuk penyelesaian persoalan-persoalan di masyarakat.


penulis Pro:Aktif TABRANI YUNIS Pemimpin Redaksi Majalah POTRET, Media Perempuan Kritis dan Cerdas

YOSEPIN SRI Lahir dan besar di Jakarta, merupakan desainer pada brand Putrisavu yang fokus terhadap produk budaya di Indonesia, aktif sebagai pengajar desain busana di Universitas Kristen Maranatha, Bandung.

HUSEIN ABDULSALAM S Desainer layout Pro:aktif ini lahir di Jakarta tahun 1992 silam, sekitar 2 tahun pasca Saddam Husein menggelorakan perang terhadap Kuwait. Sekarang aktif sebagai editor dan desainer layout di ISH Books, sebuah penerbit indie rintisan dia bersama kawan-kawannya yang kerap berteduh sambil berdiskusi di Institut Sosial Humaniora Tiang Bendera. Alumnus matematika ITB pengelola jurnal EPOS STREET cum freelance designer ini menerima jasa desain buku, website, brosur, spanduk, poster, dsb - dengan harga ramah aktivis. Facebook : Husein Abdulsalam LINE : @huseindulsalam IG : @huseinboltz Website : medium.com/@huseindulsalam Alamat : Gedung Tengah Sunkencourt, Sekretariat ISH Tiang Bendera ITB

Edisi Pro:aktif yang lain dapat dibaca di: http://proaktif-online.blogspot.co.id Untuk mengetahui kegiatan-kegiatan KAIL Anda dapat mengunjungi: web: kail-bandung.blogspot.co.id ig: @kail_bandung fb: kuncuppadang.ilalang


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.