JURNAL ILKOM

Page 1

ISSN 1979-1232

Jurnal Ilmu Komunikasi

ULTIMA COMM Volume III, Nomor 2 • Desember 2011

Daya Komunikasi Paham Multikulturalisme Kritis di Ranah Politik Daring dalam Konteks Indonesia • Hendar Putranto Di antara Pusaran Gelombang Korea (Menyimak Fenomena K-Pop di Indonesia)

• AG. Eka Wenats Wuryanta

Is Cultural Imperialism a Thing of the Past ?

• Kristy Nelwan

Konstruksi Realitas Sosial atas Peristiwa Ambruknya Jembatan Kutai Kartanegara

• R. Masri Sareb Putra

Media Massa: Pencipta Industri Budaya Pencerahan yang Menipu Massa Studi Simulacra dan Hiperrealitas film AVATAR

• Yoyoh Hereyah Media and Politics: Examination on the Political Stance of Kompas in Gus Dur’s Impeachment Process • Ambang Priyonggo Keterbukaan Komunikasi pada Pelayanan Prima

• Emrus Games Online dan Katarsis Virtual Studi Kasus dengan Analisis Psikoanalisis Freud pada Kecenderungan Permainan Game Interaktif Point Blank dan Second Life • Keken Frita Vanri, Benni Yusriza Hasbiyalloh

Media Baru dan Fenomena Komunikasi Politik pada Pemilukada di Provinsi Banten 2011 • Afdal Makkuraga Putra


ISSN 1979-1232

Jurnal Ilmu Komunikasi

ULTIMA COMM

Volume III, Nomor 2 • Desember 2011


Jurnal Ilmu Komunikasi

UMN Volume III, Nomor 2• Desember 2011 ISSN 1979-1232 Jurnal Ilmu Komunikasi diterbitkan tiga kali dalam satu tahun oleh PUSKA (Pusat Kajian Ilmu Komunikasi ) UMN sebagai media informasi karya ilmiah untuk bidang kajian Ilmu Komunikasi di Indonesia. Redaksi menerima naskah berupa artikel ilmiah, ringkasan hasil penelitian atau resensi buku. Pelindung Rektor UMN Dr Ninok Leksono Penanggung jawab Dekan Ilkom Ir Andrey Andoko M.Sc Direktur LPPM Dr. Ir. P.M. Winarno, M.Kom. Ketua Jurusan Ilmu Komunikasi Dra Bertha Sri Eko M.Si Ketua Penyunting Drs Indiwan Seto Wahyu Wibowo M.Si Desain dan Layout Mohammad Rizaldi, S.T., M.Ds Edina Margaret Sekretaris Dra. Joice Caroll Siagian, M.Si Keuangan I Made Suteja, S.E Dewan Penyunting Ir.Sutopo, M.Sc., PhD., Ambang Priyonggo, M. A., Hendar Putranto, M. Hum., Dr Endah Muwarni, Masri Sareb Putra, Agustinus Roni Siahaan M.Si Sirkulasi & Distribusi Sularmin Alamat Redaksi : PUSKA ILKOM UMN Jl. Boulevard Gading Serpong Tangerang – Banten Telp : (021) 5422 0808/ 3703 9777 Fax : (021) 5422 0800


Jurnal Ilmu Komunikasi

UMN

Volume III, Nomor 2• Desember 2011 ISSN 1979-1232

KATA PENGANTAR Komunikasi dan budaya saling mengandaikan dan saling mengandalkan. Yang satu mengkonstitusi dan mempengaruhi yang lain. Budaya yang tidak dikomunikasikan bukanlah budaya yang dapat tumbuh berkembang dan dikenal—apalagi diapresiasi---orang, terutama di era Computer-Mediated Communication (CMC) dewasa ini. Komunikasi yang miskin konten budaya juga bukan termasuk komunikasi yang dapat dengan mudah dipahami oleh yang lain (the other), karena budaya merupakan penanda penting identitas dan makna. Dengan mentasnya New Media sebagai wahana komunikasi baru di era digital, komunikasi dan budaya saling berkelindan. Bukan hanya itu, penerimaan terhadap kemunculan dan penyebaran New Media di berbagai belahan dunia tidak bisa tidak dipandang sebagai keberhasilan budaya teknologi dan kerangka pikir yang melatarinya. Model komunikasi klasik yang diajukan Shannon dan Weaver di tahun 1940-an, yaitu proses penyampaian pesan secara linier dari sumber informasi yang lalu ditransmisikan, diterima serta dipahami tanpa ambiguitas oleh penerima pesan, tidak lagi memadai untuk menjelaskan praktik komunikasi dalam ruang budaya majemuk (multicultural setting) dan multimedia beberapa dekade terakhir ini. Hal ini pada gilirannya dapat menimbulkan kerisauan, karena faktor ketidakpastian yang semakin meningkat, namun juga senang karena merasa ditantang oleh sesuatu yang baru, yang belum sepenuhnya terpahami. Dengan perasaan risau sekaligus senang yang bercampur menjadi satu, jurnal UltimaComm edisi Desember 2011 hadir di saat yang tepat untuk membahas hal-hal yang diuraikan secara abstrak di atas. Ada tiga hal penting yang berbeda namun saling terkait di ranah teori dan praktik komunikasi kontemporer yang akan direfleksikan oleh para kontributor penulis. Pertama, perkembangan New Media dalam ranah praktik komunikasi, khususnya komunikasi politik dan komunikasi budaya. Dua artikel yang ditulis oleh Hendar Putranto (berjudul Daya Komunikasi Paham Multikulturalisme Kritis di Ranah Politik Daring dalam Konteks Indonesia) dan Afdal Makkuraga Putra (berjudul “Media Baru dan Fenomena Komunikasi Politik pada Pemilukada di Provinsi Banten 2011”) merupakan uraian yang cukup komprehensif guna melihat pemanfaatan New Media untuk kepentingan komunikasi politik. Ditinjau dari perspektif teori komunikasi klasik Mc Luhan, New Media bukan hanya dilihat sebagai alat (medium) belaka, namun juga sebuah pesan (message). Pesan-pesan tersebut

ii

Desember 2011 • Volume III, Nomor 2


UMN

Jurnal Ilmu Komunikasi

Volume III, Nomor 2• Desember 2011 ISSN 1979-1232

ternyata tidak hanya dikonstruksi secara tunggal dan satu arah, melainkan majemuk dan multi-arah. Untuk membuatnya lebih berdaya dan semakin melibatkan, pesan dan makna yang sudah dikonstruksi lalu dikomunikasikan secara soft power (persuasi rasional, pencitraan) serta interaktif (lewat situs media sosial, blog dan website). Satu artikel lagi membahas soal games online. “Games Online dan Katarsis Virtual: Studi Kasus dengan Analisis Psikoanalisis Freud pada Kecenderungan Permainan Game Interaktif Point Blank dan Second Life” yang ditulis oleh Keken Frita Vanri dan Benni Yusriza Hasbiyalloh menegaskan karakter New Media dalam bentuk games online di ranah praktik komunikasi kontemporer. Kedua, pandangan kritis tentang peran dan fungsi pers dalam pemberitaan. Ada dua tulisan yang membahas soal ini. Yang pertama diwakili oleh tulisan R. Masri Sareb Putra yang berjudul “Konstruksi Realitas Sosial atas Peristiwa Ambruknya Jembatan Kutai Kartanegara.” Dengan cermat Masri menggarisbawahi kecenderungan yang kurang disadari pembaca awam mengenai konstruksi sosial dari pemberitaan media, khususnya bagaimana media mengkonstruksi realita sesuai dengan latar belakang media yang bersangkutan (kepemilikan, kepentingan kekuasaan), pengalamannya, dan pengaruh significant others. Yang kedua diangkat oleh Ambang Priyonggo dalam tulisannya berjudul “Media and Politics: Examination on the Political Stance of Kompas in Gus Dur’s Impeachment Process.” Ambang mengajak sidang pembaca kilas balik satu dekade ke belakang, untuk mencermati peran politik pers (khususnya harian KOMPAS) sebagai agen pembangunan, agen penghambat, dan agen perubahan, secara spesifik dalam isu pemakzulan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) selama periode Juni – Juli 2001. Ketiga soal faktor-faktor penyebab, dampak dan pengaruh, dominasi dan imperialisme budaya. Tulisan pertama, yang sifatnya lebih teoretis dan komparatif, diangkat oleh Kristy Nelwan dalam artikelnya berjudul “Is Cultural Imperialism a Thing of the Past?” Secara kritis, Kristy menggugat pandangan yang menafikan peran dan pengaruh imperialisme budaya yang oleh sebagian orang dianggap sudah klise dan menjadi warisan peradaban masa lalu. Menurutnya, ide imperialisme budaya justru masih tertanam dalam konsep tandingan yang relatif baru, seperti globalisasi dan imperialisme media. Tulisan kedua merupakan kajian yang lebih menukik ke

Volume III, Nomor 2• Desember 2011

iii


Jurnal Ilmu Komunikasi

UMN

Volume III, Nomor 2• Desember 2011 ISSN 1979-1232

studi kasus atas fenomena yang belakangan ini menjadi tren budaya, yaitu K-Pop. “Di antara Pusaran Gelombang Korea: Menyimak Fenomena KPop di Indonesia” yang ditulis oleh AG. Eka Wenats Wuryanta mengupas lapisan-lapisan pemaknaan yang dapat ditemukan dalam tren Koreanisasi di Indonesia (dan di berbagai belahan dunia lainnya). Ternyata, bukan hanya motif budaya konsumtif plus hedonistik saja yang dapat ditemukan dalam tren Koreanisasi, melainkan juga motif ideologis dan ekonomis, yaitu pelanggengan ideologi Korea lewat tayangan hiburan yang relatif lebih gampang dicerna masyarakat massa yang pada gilirannya dapat meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi di Korea sendiri. Tulisan ketiga yang berjudul “Media Massa: Pencerahan yang Menipu Massa: Studi Simulacra dan Hiperrealitas Film AVATAR” menyoroti konsep kultivasi nilainilai budaya dalam ide, cerita, karakter, special effects dan distribusi film --- salah satu produk dominasi dan imperialisme budaya Barat yang cukup tersebar luas. Yoyoh Hereyah menunjukkan bahwa film Avatar menjunjung tinggi nilai dan ideology dari produsernya. Tulisan Emrus berjudul “Keterbukaan Komunikasi pada Pelayanan Prima” menjadi tulisan penutup dari rangkaian sumbangan pemikiran yang tertuang dalam UltimaComm edisi ini. Emrus menyoroti perlunya upaya sinergis pusat dan daerah untuk meningkatkan efektivitas komunikasi di setiap level birokrasi, khususnya birokrasi pelayanan publik, yang tercermin dalam konseo Pelayanan Prima Birokrat (PPB). Ini semua dilakukan guna menjawab tuntutan globalisasi, reformasi, keterbukaan informasi, menumbuhkan kembali kepercayaan sosial masyarakat terhadap pemerintah dan juga mendorong pertumbuhan ekonomi kerakyatan yang signifikan di Indonesia. Akhirul kata, Redaksi mengucapkan terimakasih atas partisipasi teman sejawat, baik dosen maupun praktisi di bidang ilmu Komunikasi, yang sudah meluangkan waktu dan pikirannya untuk ikut memajukan Jurnal Ilmu Komunikasi UltimaComm edisi ini. Kami masih menunggu sumbangan pemikiran dan refleksi Anda yang lain di jurnal terbitan berikutnya, dengan cara mengirimkan naskah hasil penelitian yang sudah memenuhi ketentuan format dan gaya selingkung penulisan jurnal UltimaComm (bisa dilihat di halaman paling akhir dari jurnal ini).

iv

Desember 2011 • Volume III, Nomor 2


UMN

Jurnal Ilmu Komunikasi

Volume III, Nomor 2• Desember 2011 ISSN 1979-1232

DAFTAR ISI Daya Komunikasi Paham Multikulturalisme Kritis di Ranah Politik Daring dalam Konteks Indonesia Hendar Putranto

1

Media Baru dan Fenomena Komunikasi Politik pada Pemilukada di Provinsi Banten 2011 Afdal Makkuraga Putra

23

Games Online dan Katarsis Virtual Studi Kasus dengan Analisis Psikoanalisis Freud pada Kecenderungan Permainan Game Interaktif Point Blank dan Second Life Keken Frita Vanri Benni Yusriza Hasbiyalloh

35

Konstruksi Realitas Sosial atas Peristiwa Ambruknya Jembatan Kutai Kartanegara R. Masri Sareb Putra

55

Media and Politics: Examination on the Political Stance of Kompas in Gus Dur’s Impeachment Process Ambang Priyonggo

60

Is Cultural Imperialism a Thing of the Past ? Kristy Nelwan

71

Di antara Pusaran Gelombang Korea (Menyimak K-Pop di Indonesia) AG. Eka Wenats Wuryanta

79

Media Massa: Pencipta Industri Budaya Pencerahan yang Menipu Massa Studi Simulacra dan Hiperrealitas film AVATAR Yoyoh Hereyah

95

Keterbukaan Komunikasi Pada Pelayanan Prima Emrus

105

Volume III, Nomor 2• Desember 2011

v



Daya Komunikasi Paham Multikulturalisme Kritis di Ranah Politik Daring dalam Konteks Indonesia

• Hendar Putranto

UMN

Daya Komunikasi Paham Multikulturalisme Kritis di Ranah Politik Daring dalam Konteks Indonesia 1 Hendar Putranto Universitas Multimedia Nusantara hendar.putranto2006@gmail.com ABSTRACT Indonesia is a fertile ground for flourishing respect towards differences as well as nurturing diversity, considering its unique history and genealogy of its formation. Despite the progress of information and communication technology for the last two decades, added with the emergence of informational politics or online politics after the reformation era 1998, there arose several radical groups and extreme social organization threatening the very foundation of multiculturalism in Indonesia, namely the freedom of religion/belief. Through analyzing and synthesizing the framework of critical multiculturalism and online politics, this research results in producing four parameters (accessibility, interactivity, criticality, solidarity) to measure the level of pro and anti-multiculturalism within certain websites. Here, the role and influence of sympathetic communication power is highly important because online politics depend more on the soft power rather than hard power, rational persuasion in communicative action framework rather than physical violence and politics-by-mass movement. Critical multiculturalism is properly needed in an era of information proliferation and easy access to various power relations. For the sake of a better future, critical multiculturalism should participate further and deeper in the context of emancipation, empowerment, and struggle for justice, especially justice for “those who have no voice, those who toil, those who live unappreciated, and those who die in silence.” Keywords: multiculturalism, critical multiculturalism, online politics, informational politics, Communication Power, “accesibility, interactivity, criticality and solidarity” parameters PENGANTAR Untuk mulai menganalisis dan memahami isu-isu yang terkait dengan praktik dan paham multikulturalisme, seseorang tidak bisa mulai dari ruang kosong dan nirwaktu. Persinggungan, ketertanaman dan keterlibatan---dengan segala frekuensi, intensitas, dan kompleksitasnya---sudah selalu diandaikan oleh subjek yang menulis, peneliti yang meriset, maupun pembaca yang Volume III, Nomor 2• Desember 2011

ingin mengetahui lebih jauh tentang multikulturalisme. Karenanya, ketika mengerjakan tulisan ini, multikulturalisme sudah selalu menjadi cakrawala pengalaman sekaligus pemahaman yang melatarbelakangi, melatar(s)dampingi maupun menjadi proyeksi identitas diri serta minat pribadi penulis. Sejak lahir hingga sekarang, secara alamiah dan terberi maupun dengan kehendak bebas dan pergulatan,multikulturalisme diterima sebagai 1


Daya Komunikasi Paham Multikulturalisme Kritis di Ranah Politik Daring dalam Konteks Indonesia

faktisitas yang diakui maupun normativitas yang dikontestasi. LATAR BELAKANG: DIRI DALAM LINTASAN ARUS MULTIKULTURAL YANG MENYEJARAH Sebagai seorang ‘putra Jawa kelahiran Sumatera’ (Pujakesuma), asal-usul multikultural sepertinya sudah tersurat di jalur keluarga, baik dari pihak bapak maupun dari pihak ibu. Kakek buyut saya, demikian diceritakan oleh Bapak, merupakan seorang opsir Belanda kelahiran Jerman yang menikah dengan seorang putri Sunda asli Ciamis pada masa pra-1900. Salah seorang putranya, yaitu kakek saya, memiliki perawakan fisik yang menunjukkan jejak percampuran ‘asing dan pribumi’ tersebut, yaitu rambut putih dan mata biru. Ketika usia muda dan mulai angkat senjata membantu perjuangan merebut kemerdekaan, kakek tidak lepas dibayangbayangi kecurigaan, baik dari pihak pejuang Indonesia maupun dari pihak penjajah Belanda sendiri, terutama karena ‘rambut putih dan mata biru’ tersebut. Sebagai konsekuensi perjuangan, terutama model gerilya, kakek harus sering berpindah-pindah tempat untuk menghindari sergapan musuh dan penangkapan. Salah satu efeknya adalah ketika sudah menikah dan memunyai anak. Terlahir di desa kecil Kulonprogo (Jawa Tengah) dalam situasi genting pasca Agresi Militer Belanda II 19 Desember 1948 dan Serangan Oemoem 1 Maret 1949, bapak sudah harus ‘mengungsi’ ke wilayah Metro, Lampung dan akhirnya tumbuh besar, sekolah, memulai awal karir sebagai PNS (sebelum pindah ke Jakarta pada 1986) dan menikah di Lampung. Demikianlah kisah dan ketegangan multikultural yang diwariskan dari jalur bapak. Dari jalur ibu, kakek buyut dari ibu yang bernama eyang Samadi Kasandikromo 2

• Hendar Putranto

UMN

merupakan seorang yang berpengaruh di daerah Ngijorejo, Gunung Kidul, DIY. Bersama adiknya, eyang Satijo Atmo Suparto, mereka berguru pada Kyai Kasan Iman, seorang guru spiritual yang disegani pada masa itu. Setelah berdebat tentang makna kehidupan dengan seorang muridnya yang sudah lebih dulu mengenal ajaran iman Katolik (Eustacius Puspo Utomo), mereka berdua menemukan ‘pencerahan’ dan akhirnya minta dibaptis menjadi seorang Katolik. Permintaan tersebut dikabulkan oleh Pater FX Strater, SJ. Tidak lama sesudah malih dan dibaptis tersebut, keluarga besar kakek buyut dari pihak ibu hijrah ke Lampung dan memulai hidup yang baru [versi lebih lengkap dari kisah ini bisa diakses di http://veronikacloset.wordpress. com/tag/sejarah-keuskupan-tanjungkaranglampung]. Anak-anak dan cucu-cucu dari eyang buyut Kasandikromo ada yang tetap memeluk agama Katolik sampai sekarang--bahkan ada satu saudara yang pada 1976 ditahbiskan sebagai Uskup Tanjungkarang, yaitu Mgr. Andreas Henrisoesanta, SCJ--dan ada juga yang masuk Islam. Kakek dan nenek saya dari jalur ibu adalah seorang haji dan hajah sejak tahun 1989. Enam orang om dan tante saya penganut agama Islam yang taat, beberapa sudah naik haji, sementara tiga orang lainnya memeluk agama Katolik. Cukup mengagetkan bagi saya karena beberapa orang om dan tante yang tadinya saya kenal mempraktekkan Islam secara sejuk dan toleran, namun beberapa tahun belakangan ini, semenjak mengikuti aliran, paham dan organisasi radikal tertentu, cenderung bersikap dan bertindak ekstrem serta intoleran terhadap mereka yang berbeda pandangan dan keyakinan iman. Yang saya maksud dengan “bersikap dan bertindak ekstrem dan intoleran” adalah tidak lagi mengucapkan selamat Natal dan Paskah kepada saudara yang merayakannya [padahal sebelumnya rajin dan tidak perDesember 2011 • Volume III, Nomor 2


• Hendar Putranto

UMN

nah absen], tidak mau meminjam uang di bank dengan alasan haram karena ada “riba,” [lalu meminjam uang pada keluarga], tidak mau menggunakan alat kontrasepsi (!) sehingga sekarang ada keluarga yang dilimpahi dengan lima orang anak dengan jarak umur yang dekat satu dengan lainnya, dan, seorang di antaranya, rajin mengirimi saya sms ‘dakwah’. Itulah sekelumit latar belakang dan pergulatan multikultural yang diwariskan dari jalur ibu. Di level pribadi menyangkut keluarga inti, dua tahun yang lalu saya menikah dengan seorang perempuan keturunan Tionghoa kelahiran Tulungagung (Jawa Timur), beragama Katolik, dan berbahasa ibu campuran Jawa, Indonesia dan Mandarin, namun sendirinya tidak bisa dan tidak suka berbahasa Mandarin--bertolak belakang dengan ibunya yang amat fasih berbahasa Mandarin (lisan dan tertulis) dan memiliki sikap fanatik chauvinistic tertentu sejauh menyangkut bahasa dan budaya Tionghoa serta ketidaksukaan yang laten terhadap orang Jawa atau pribumi. Pernikahan lintas budaya seperti ini membuat saya tertarik untuk mempelajari dan menghargai budaya Tionghoa, dengan segala praktikalitas, kompleksitas dan kedalamannya. Putri kami yang terlahir tahun lalu, menjadi wujud nyata persinggungan asal-usul multikultural yang mewarnai perjalanan hidup saya dulu dan sekarang. Semua latar belakang ini, dilihat secara evaluatif, seolah-olah menyiapkan diri saya menjadi seorang pribadi multikultural yang memiliki sensitivitas tertentu dan perhatian lebih menyangkut isu-isu multikultural. Di level akademis, ketertarikan dan keseriusan untuk menekuni tema multikulturalisme sudah dimulai sejak tahun 2003, saat menyunting dan menulis buku Hermeneutika Pasca-Kolonial: Soal Identitas bersama Prof. Mudji Sutrisno, SJ, (diterbitkan oleh Penerbit Kanisius, September 2004). Setelah itu dilanjutkan dengan proyek buku berikutnya, yaitu Volume III, Nomor 2• Desember 2011

Daya Komunikasi Paham Multikulturalisme Kritis di Ranah Politik Daring dalam Konteks Indonesia

Teori-teori Kebudayaan (Yogyakarta: Kanisius, 2005) dan Cultural Studies: Tantangan bagi Teori-teori Besar Kebudayaan (Depok: Koekoesan, 2007). Pada November 2006, saya mendapat tawaran dan kesempatan melakukan penelitian bersama Sri Endras Iswarini tentang isu Multikulturalisme, Jender, dan Feminisme dari LSM Kapal Perempuan (lih. www.kapalperempuan.org). Penelitian tersebut lalu diterbitkan menjadi buku panduan “Seminar Nasional Pendidikan Alternatif Perempuan untuk Keadilan Global dan Perdamaian” yang diadakan LSM Kapal Perempuan pada akhir Desember 2006. Selain itu, kesempatan mengajar paruh waktu MK Multikulturalisme di Universitas Atmajaya, Jakarta dilakukan selama periode Juli 2007 – Desember 2008. Persis pada periode ini, saya tidak hanya mengalami dan memahami multikulturalisme, baik secara praktis maupun teoretis, namun juga sudah mulai mengajarkannya secara resmi di mimbar akademis sebuah universitas. Di tahap kelindan antara sejarah dan masyarakat, tentu saja dalam konteks ruangwaktu Indonesia, multikulturalisme merupakan fakta hidup sehari-hari, yang dihayati rakyat sejak Indonesia masih berbentuk cikalbakalnya, yaitu kerajaan Sriwijaya dan Majapahit, sebelum akhirnya dirundingkan dalam sesi rapat Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (Dokuritsu Junbi Cosakai) antara Mei – Juni 1945 dan dikodifikasi menjadi semboyan NKRI, “bhinneka tunggal Ika.” Sebagai negara kepulauan (archipelagic state) terbesar di dunia, dari segi jumlah penduduk dan luas wilayah, Indonesia terdiri dari belasan ribu pulau, 1128 suku bangsa (http://www.jpnn.com/index.php?mib=berita. detail&id=57455), serta ratusan budaya dan bahasa asli. Lahirnya Indonesia sebagai negara modern konstitusional pertama di Asia Tenggara tidak bisa dilepaskan dari sejarah 3


Daya Komunikasi Paham Multikulturalisme Kritis di Ranah Politik Daring dalam Konteks Indonesia

panjang yang berlangsung dalam sejumlah fase penting multikultural seperti berdirinya Boedi Oetomo pada 20 Mei 1908 yang kemudian diperingati sebagai Hari Kebangkitan Nasional, Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 dan akhirnya Deklarasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 serta disahkannya Undangundang Dasar pada 18 Agustus 1945. Di level teoretis, multikulturalisme merupakan sebuah wacana (discourse) yang hangat diperdebatkan di antara para filsuf politik dan sosial, khususnya di negara-negara Eropa dan Amerika Utara, selama kurang lebih tiga dekade terakhir ini. Secara umum, para ahli tersebut terbagi menjadi dua kubu yaitu (1) mereka yang melihat multikulturalisme sebagai ide politis yang memiliki nilainilai positif dan perlu didukung (di antaranya adalah Charles Taylor, Bhikhu Parekh, Will Kymlicka, Seyla Benhabib, Amy Gutmann, Tariq Moodod, Kwame Anthony Appiah, Iris Marion Young, James Tully, Chandran Kukathas), dan (2) mereka yang bersikap kritis (bahkan beberapa di antaranya cenderung antagonistis!) terhadap ide multikulturalisme dan varian-variannya (seperti Brian Barry, Kenan Malik, dan Susan Moller Okin). Meskipun sinar terang paham dan kebijakan multikulturalisme sudah mulai meredup di benua Eropa (Vertovec dan Wessendorf, ed., 2010) dan Amerika (Delanty, 2010; Siapera, 2010) masih ada sepercik harapan baginya untuk bertumbuh dengan subur di Indonesia, mengingat sejarahnya yang panjang dan berliku, debat ideologis pro dan anti Multikulturalisme yang bernas saat perumusan dasar negara Pancasila, dan aktualisasi ketertanamannya dalam laku praktik rakyat Indonesia, baik sebelum menjadi negara modern konstitusional, maupun ketika msih berupa kerajaan-kerajaan Nusantara. Penting untuk disampaikan di bagian awal tulisan ini bahwa pertama-tama multikul4

• Hendar Putranto

UMN

turalisme di Indonesia lebih dipahami dan dipraktikkan bukan sebagai wacana filsafat dan politik yang diperdebatkan dalam lingkaran akademis dan dituangkan dalam jurnal-jurnal ilmiah, juga bukan sebagai kebijakan publik seperti “affirmative action” di Kanada, Australia, dan di beberapa negara Eropa, melainkan lebih sebagai “pengalaman dan perjumpaan yang hidup antar orang yang berbeda … keseharian multikultur yang menyenangkan. Bagaimana ideal kewarganegaraan multikultural dimainkan dalam konteks khusus tertentu, dengan cara-cara biasa di mana perbedaan budaya dipahami, dibentuk, dialami dan dihargai.” (Paul Gilroy dalam Siapera, 2010: 4 – 5; Benhabib, 2004: 210; Wise dan Selvaraj, 2009: 1 - 15). Selain itu, mencermati pelbagai tren yang sedang berlangsung baru-baru ini, praktik multikulturalisme di Indonesia juga disemarakkan lewat pelbagai kontestasi politis dan serangkaian perjuangan dari sejumlah kelompok minoritas dan mayoritas, terutama minoritas dan mayoritas dalam bingkai agama dan sentimen kesukuan, untuk mendapatkan pengaruh dan pengakuan yang lebih besar lagi. METODE RISET Artikel ini menggunakan metode riset kualitatif yang lebih menitikberatkan pada penafsiran data dan dokumen (Flick, 2007) yang tersedia dan diseleksi sejauh relevan dengan tema multikulturalisme kritis dan politik daring. Unit analisisnya berupa situs-situs yang menampilkan dua posisi ideologis yang berbeda, yaitu anti dan pro multikulturalisme kritis, yang masing-masing diwakili oleh dua situs. Multikulturalisme kritis sendiri digunakan sebagai payung teoretis maupun pisau analisis. Sementara itu, ranah politik daring merupakan media analisis yang di dalamnya keempat situs representatif pro dan anti multikulturalisme kritis tersebut meletak. Penulis akan mengelaborasi soal ini lebih jauh nanti. Desember 2011 • Volume III, Nomor 2


• Hendar Putranto

UMN

Dalam penelitian jenis kualitatif, baik materi riset maupun sikap reflektif (reflexivity) si peneliti merupakan bagian tak terpisahkan dari kegiatan penelitian tersebut. (Flick, 2007; Watt, 2007). Yang termasuk sikap refleksif peneliti di sini mencakup pelbagai gugus perasaan, kesan, komentar, emosi yang tergerak dan tersentuh, yang merupakan data penting pada dirinya sendiri dan menjadi bagian penting aktifitas penafsiran. Menurut Toulmin (dalam Flick, 2007: 12 – 13), penelitian kualitatif di era akhir modernitas mengikuti empat tren berikut ini, yaitu: 1) kembali pada yang lisan (oral), 2) kembali pada hal yang khusus (particular), 3) kembali pada hal yang setempat (local), dan 4) kembali pada yang actual (timely). Dengan demikian, penelitian kualitatif tidak berambisi menemukan dan menggariskan pola-pola universal dari sebuah materi atau problematika penelitian. Penelitian kualitatif mengarahkan diri pada analisis kasus-kasus yang konkret dalam bingkai temporalitas dan lokalitasnya yang khusus serta berangkat dari berbagai jenis ekspresi dan kegiatan orang-orang dalam konteks yang lokal, bukan yang umum (general), apalagi yang universal. Dalam artikel ini, baik teks maupun konteks yang dianalisis berciri lokal, yaitu Indonesia, baik dalam hal bahasa yang digunakan maupun lingkungan sosio-politik yang melatarbelakanginya. Akan tetapi, cakupan dan akses terhadap teks yang dijadikan unit analisis tersebut bisa melintasi batasan-batasan geografis lokal Indonesia. Dengan kata lain, empat situs yang akan diteliti dalam artikel ini pada dasarnya bisa diakses oleh siapapun asalkan terhubung dengan internet dan mengetahui alamatnya. Sementara itu, menyangkut poin keempat di atas (timely), batasan waktu yang digunakan adalah tahun 2010 dan 2011, dengan pilihan peristiwa-peristiwa yang dianggap mewakili tema sentral penelitian ini. Kedua tahun ini diVolume III, Nomor 2• Desember 2011

Daya Komunikasi Paham Multikulturalisme Kritis di Ranah Politik Daring dalam Konteks Indonesia

pilih karena tersedia cukup banyak peristiwa yang bisa dijadikan objek analisis yang menarik sekaligus relevan dengan tema maupun orientasi penelitian. Untuk membedakan penelitian kuantitatif dengan kualitatif, salah satunya adalah prinsip epistemologis yang digunakan. Dalam penelitian kuantitatif, prinsip epistemologis yang digunakan adalah penjelasan atas fenomena (dikenal dengan istilah Jermannya, erklären atau causal explanation). Peneliti yang menggunakan metode kuantitatif akan berupaya mencari hukum-hukum dan prinsip-prinsip yang memandu terjelaskannya suatu fenomena yang diteliti (Bransen, 2001). Sementara, dalam penelitian kualitatif, si peneliti berupaya memahami fenomena yang sedang dikajinya dengan mendalami makna yang mungkin muncul dari fenomena tersebut. Makna tentu saja tidak muncul begitu saja dengan sendirinya, namun sudah selalu melibatkan aktivitas penafsiran dari si penafsir, untuk mencapai pemahaman (verstehen) atas kebenaran inter-subjektif yang berupa penyingkapan. Kebenaran muncul dalam tindakan memahami, misalnya saat terjadi dialog yang hidup dengan tradisi atau dalam pengalaman hermeneutik. Kebenaran akan terus-menerus tersingkap sejauh gerak penafsiran tidak berhenti (Tjaya, 2005). Begitulah kurang lebih ringkasan dari dinamika verstehen dalam model hermeneutika Hans-Georg Gadamer yang diuraikan secara terperinci dalam bukunya Truth and Method (Gadamer, [1975] 2004). Agar suatu fenomena dianggap bermakna dan tepat (meaningful and appropriate) oleh si peneliti-sebagai-penafsir, maka fenomena (yang berupa fakta atau teks) tersebut harus relevan dengan topik utama yang menjadi payung penelitian. Seorang ahli fenomenologi asal Austria, Alfred Schßtz (dalam Flick 2007: 5


Daya Komunikasi Paham Multikulturalisme Kritis di Ranah Politik Daring dalam Konteks Indonesia

31), pernah mengatakan bahwa “semua fakta merupakan hasil seleksi dari konteksnya yang universal yang dilakukan oleh kegiatan pikiran kita. (Fakta) selalu merupakan fakta yang ditafsirkan, entah sebagai fakta yang dilihat dari kejauhan terlepas dari konteksnya dengan menggunakan cara abstraksi atau fakta yang dipertimbangkan dalam kekhususannya. Entah yang ini maupun yang itu, fakta membawa cakrawala penafsiran luar maupun dalamnya sendiri.” Sebagai rangkuman dari bagian metode penelitian ini, pantas dicatat bahwa refleksivitas, penafsiran dan pemahaman si peneliti tidak bisa direduksi begitu saja sebagai posisi yang teramat subjektif. Begitu juga dengan kesimpulan-kesimpulan yang dihasilkan dari pendekatan ini. Seperti digarisbawahi Malcolm Williams dalam bukunya Making Sense of Social Research (Williams, 2003: 55-56), “Refleksivitas, pemahaman dan penafsiran sudah selalu terjalin. Untuk memahami bagaimana atau mengapa sesuatu seperti itu membutuhkan tindak penafsiran, namun kedalaman dari penafsiran tersebut tergantung pada pertanyaan-pertanyaan yang diajukan dan cakupan sumbersumber daya sosial yang digunakan oleh si peneliti dan hal yang diteliti.” Bagaimana dengan pendekatan teori politik yang digunakan dalam artikel ini? Pertama-tama penulis mengamini saran dari Anthony Simon Laden dan David Owen (tim editor) dalam buku mereka, Multiculturalism and Political Theory (2007). Di bagian pengantar buku ini, Laden dan Owen sepakat mengenai kesulitan yang harus dihadapi untuk menerima teori politik yang ada dan dominan saat ini (yaitu kerangka ‘liberalisme’ dan wacana kekristenan Eropa) sebagai pisau analisis untuk membedah pelbagai jenis aliran mul-

6

• Hendar Putranto

UMN

tikulturalisme, dengan segala persoalan dan kompleksitasnya (Bdk. Parekh, 2001: 13 – 14). Karenanya, mereka cenderung bersikap terbuka dan lebih memperhatikan konteks sosial sekaligus kekhasan sekaligus kekhususan dari beraneka macam tuntutan dan kebutuhan budaya yang berbeda-beda (Laden dan Owen, 2007: 9). Hal ini dilakukan guna mendapatkan teori yang tepat-guna untuk menganalisis pelbagai isu keanekaragaman budaya, seperti konflik antar para pemeluk agama dalam bingkai pluralisme, juga soal ketidakadilan yang dialami kaum minoritas bahasa, suku bangsa, dan ras. Dengan demikian, eksplisitasi kisah keterlibatan pribadi dan akademis yang penulis sampaikan di awal artikel ini, juga konteks sosio-politis dan sosio-budaya yang melingkupi penulis, dalam hal ini budaya Jawa dan agama Katolik, dalam semangat nasionalisme Indonesia dan bingkai NKRI, merupakan titik berangkat bagi penulis untuk mendalami riset multikulturalisme ini. MULTIKULTURALISME DI INDONESIA: UPAYA KONTEKSTUALISASI GAGASAN DALAM PERISTIWA Meskipun sejumlah pemikir, di antaranya filsuf politik terkemuka dari Inggris, John Stuart Mill (1806 – 1873), cukup pesimis melihat ‘prospek pemerintahan yang demokratis di negeri-negeri yang begitu plural’ (Hefner, 2001: 1)---dan Indonesia, seperti sudah dijelaskan di bagian sebelumnya, adalah negeri yang begitu plural---multikulturalisme bertumbuh seiring sejalan dengan rezim demokratis di Indonesia, terutama paca lengsernya Presiden Soeharto (Mei 1998). Walau demikian, perlu dicermati bahwa paradigma multikulturalisme sebagai kebijakan resmi

Desember 2011 • Volume III, Nomor 2


• Hendar Putranto

UMN

negara tidak senantiasa harmonis dengan perspektif multikultural (Parekh, 2000: 338; Ujan, 2009: 15) yang dianut (sebagian besar) warga negara Indonesia. Salah satu contohnya adalah dengan terus terjadinya konflik antar agama dan antar etnis (ethno-religious conflicts) sebagai problem multikultural yang cukup laten terjadi di Indonesia selama enam dekade terakhir (Hefner, 2001). Selama lima puluh tahun terakhir ini, isu-isu perlakuan diskriminatif terhadap keturunan Tionghoa di Indonesia dan isu gesekan yang berujung pada konflik terbuka antara pemeluk agama mayoritas dan minoritas sudah berulangkali terjadi dan terdokumentasikan. Sayangnya, pelbagai konflik dan tindak diskriminasi tersebut jarang sekali yang diselesaikan secara komprehensif dari akar-akar permasalahannya, dimonitoring secara konsisten dan diantisipasi secara kordinatif, sehingga kembali muncul merebak dalam satu dan pelbagai bentuk dengan para pelaku, korban dan setting yang berbeda-beda. Untuk memberikan kekhasan dan fokus pada penelitian kali ini, penulis membatasi diri dengan mengambil sejumlah contoh tegangan dan konflik yang terjadi antara agama mayoritas dan minoritas di Indonesia sejak awal 2009 hingga akhir 2010, sebagaimana dibingkai oleh sejumlah situs di bawah ini. Berdasarkan penelitian dan pengamatan lembaga Setara Institute selama tiga tahun (2007 – 2009), yang lalu dituangkan dalam bentuk laporan (bisa diakses di http:// www.setara-institute.org/sites/setara-institute. org/files/laporan/2007-2009_beragama-id. pdf), dan juga data dan pengamatan selama tahun 2010 (bisa diakses di http://www. setara-institute.org/en/content/report-freedom-religion-and-belief-2010-0), munculnya sejumlah organisasi masyarakat yang mengibarkan panji-panji memperjuangkan agama mayoritas secara radikal nyata-nyata menanVolume III, Nomor 2• Desember 2011

Daya Komunikasi Paham Multikulturalisme Kritis di Ranah Politik Daring dalam Konteks Indonesia

tang sekaligus merongrong pondasi dasar NKRI yaitu ideologi Pancasila, khususnya sila pertama dengan segala konsekuensi logisnya. Selain itu, lemahnya negara (dalam pengertian aparat dan kewenangan yang dimiliki) dalam penegakan hukum dan hak asasi manusia berhadapan dengan sepak terjang ormas-ormas tersebut juga dituding sebagai faktor penguat buruknya penegakan prinsip kebebasan beragama tersebut. Harga yang harus dibayar dari muncul dan leluasa bertindaknya beberapa ormas radikal sekaligus lemahnya negara di hadapan sepak terjang dan tuntutan ormas tersebut adalah terlanggarnya sebuah hak asasi yang fundamental serta berkurangnya secara drastis rasa aman warga negara, khususnya kaum minoritas, untuk mempraktekkan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaan yang dianutnya. (Hasani & Naipospos, 2010). Laporan tahunan SETARA Institute dan the Wahid Institute yang menyoroti soal ancaman terhadap kebebasan beragama/berkeyakinan---dan dengan sendirinya ikut mengancam pondasi multikultural yang di atasnya negara dan bangsa Indonesia berdiri---bukan sekedar laporan di atas kertas tanpa dukungan data empiris. Kedua lembaga penelitian non-pemerintah ini secara konsisten menyuarakan komitmennya untuk mempromosikan dan memperjuangkan tercapainya pemenuhan hak-hak asasi manusia di Indonesia, termasuk namun tidak terbatas pada “kebebasan beragama/berkeyakinan.” Berikut dikutipkan secara cukup lengkap---dengan tekanan atau italic dibuat oleh peneliti---laporan SETARA Institute (www.setara-institute.org) tentang situasi kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia selama periode 2009 dan 2010 agar kita mendapatkan gambaran makro dan riil menyangkut hal tersebut. “Pada tahun 2009 SETARA Institute mencatat 200 peristiwa pelanggaran kebe7


Daya Komunikasi Paham Multikulturalisme Kritis di Ranah Politik Daring dalam Konteks Indonesia

basan beragama/ berkeyakinan yang mengandung 291 jenis tindakan. Terdapat 10 wilayah dengan tingkat pelanggaran tertinggi yaitu, Jawa Barat (57 peristiwa), Jakarta (38 peristiwa), Jawa Timur (23 peristiwa), Banten (10 peristiwa), Nusa Tenggara Barat (9 peristiwa), Sumatera Selatan, Jawa Tengah, dan Bali masing-masing (8 peristiwa), dan berikutnya Sulawesi Selatan dan Nusa Tenggara Timur masing-masing (7 peristiwa). Dari 291 tindakan pelanggaran kebebasan beragama/ berkeyakinan, terdapat 139 pelanggaran yang melibatkan negara sebagai aktornya, baik melalui 101 tindakan aktif negara (by commission), maupun 38 tindakan pembiaran yang dilakukan oleh negara (by omission). Tindakan pembiaran berupa 23 pembiaran aparat negara atas terjadinya kekerasan dan tindakan kriminal warga negara dan 15 pembiaran karena aparat negara tidak memproses secara hukum atas warga negara yang melakukan tindak pidana. Institusi negara yang paling banyak melakukan pelanggaran adalah kepolisian (48 tindakan), Departemen Agama (14 tindakan), Walikota (8 tindakan), Bupati 6 (tindakan), dan pengadilan (6 tindakan). Selebihnya adalah institusi-institusi dengan jumlah tindakan di bawah 6 tindakan. Dari 291 tindakan pelanggaran, sejumlah 152 merupakan tindakan yang dilakukan warga negara dalam bentuk 86 tindakan kriminal/ perbuatan melawan hukum, dan 66 berupa intoleransi yang dilakukan oleh individu/ anggota masyarakat. Pelaku tindakan pelanggaran terbanyak pada kategori ini tercatat, Masyarakat (46 tindakan), MUI (29 tindakan), Individu Tokoh Agama (10 tindakan), Front Pembela Islam (9 tindakan), dan Forum Umat Islam (6 tindakan). Pelanggaran kebebasan beragama/ berkeyakinan di tahun 2009 paling banyak masih menimpa Jemaat Ahmadiyah (33 tindakan pelanggaran), individu (16 tindakan), dan Jemaat Gereja (12 tindakan). Pelanggaran 8

• Hendar Putranto

UMN

yang berhubungan dengan Ahmadiyah antara lain meliputi upaya pembakaran masjid, intoleransi, dan pembatasan akses untuk melakukan ibadah. Sementara individu yang menjadi korban umumnya adalah korban penyesatan. Sedangkan Jemaat Gereja mengalami pelanggaran dalam bentuk pelarangan pendirian rumah ibadah, pembubaran ibadah dan aktivitas keagamaan, dan intoleransi.� Laporan SETARA Institute tahun 2010 (bisa diakses di http://setara-institute.org/ sites/setara-institute.org/files/Reports/110523110523-negaramenyangkal2010.pdf) mencatat bahwa terjadi 216 kasus pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan (artinya naik 16 kasus dari laporan 2009), yang tersebar di 20 provinsi di Indonesia (lima besarnya adalah Jawa Barat = 91 kasus, Jawa Timur = 28 kasus, Jakarta = 16 kasus, Sumatra Utara = 15 kasus, dan Jawa Tengah = 10 kasus). Dari 216 kasus tersebut, tercatat ada 286 bentuk pelanggaran, di mana 103 tindakan dilakukan oleh Negara (melibatkan pejabat atau aparat negara sebagai para pelanggar; 79 bentuk merupakan tindakan aktif (by commission) dan 24 kasus merupakan pembiaran (by omission). 183 bentuk pelanggaran lainnya dilakukan oleh warga negara, yang meliputi 119 tindak criminal, 12 tindak mendiamkan (condoning acts) yang dilakukan oleh figur publik, dan 52 tindak intoleransi. Dari angka-angka tersebut, para pelanggar berasal baik dari individu warga negara maupun dari sejumlah Ormas. Yang paling sering melakukan pelanggaran (70 tindakan) adalah individu warga negara atau, dalam laporan ini, dikategorikan sebagai masyarakat, selanjutnya MUI (22 tindakan), FPI (17 tindakan), GARIS (Gerakan Reformis Islam, 10 tindakan), GERAM (Gerakan Rakyat Anti-Ahmadiyah, 5 tindakan), dan lainnya berasal dari pelbagai organisasi (kurang dari 5 tindakan). Siapakah yang menjadi korban dari tindakan pelanggaran dan juga intoleransi ini? Pelanggaran kebebasan beragama/berkeyaDesember 2011 • Volume III, Nomor 2


• Hendar Putranto

UMN

kinan paling banyak ditujukan pada komunitas Kristiani (75 kasus dengan berbagai bentuk atau tindak pelanggaran). Korban kedua paling banyak adalah jemaat dan penghayat Ahmadiyah (50 kasus). Korban-korban lainnya terdiri dari para individu dan sejumlah kelompok minoritas lainnya. Senada dengan Laporan SETARA Institute, the Wahid Institute (www.wahidinstitute.org) juga mengeluarkan laporan tahunan tentang kondisi kebebasan beragama/berkeyakinan dan toleransi tahun 2009 (http:// wahidinstitute.org/files/_docs/EXECUTIVE_ SUMMARY-_ANNUAL_REPORT_RELI GIOUS_FREEDOM_2009_WI.pdf). Dalam laporan ini disebutkan bahwa organisasi massa yang paling bertanggungjawab terhadap tindak intoleransi adalah MUI dengan 12 kasus, terutama dalam bentuk fatwa sesat yang ditujukan terhadap kelompok-kelompok minoritas tertentu. Lalu FPI dengan 8 kasus, diikuti Forum Umat Islam (FUI) dengan 5 kasus. Laporan kebebasan beragama/berkeyakinan dan toleransi tahun 2010 dari the Wahid Institute (http:// www.wahidinstitute.org/files/_docs/EXECU TIVE_SUMARRY_ANNUAL_ REPORT_WI_2010.pdf) mencatat bahwa ada 64 kasus pelanggaran kebebasan beragama/ berkeyakinan serta 135 kasus diskriminasi dan tindak intoleransi. Dari 64 kasus pelanggaran tersebut, polisi dan aparat pemerintah lokal (tingkat propinsi ke bawah) adalah dua institusi yang paling banyak melakukan pelanggaran di mana polisi bertanggungjawab terhadap 32 kasus (37%) dan aparat pemerintah lokal 31 kasus (36%). Jika aparat kepolisian dianggap sebagai bagian dari pemerintah lokal---biasanya polisi pelanggar adalah polisi yang bekerja di tingkat kepolisian yang paling rendah seperti Polres atau polisi lapangan---maka angka pelanggar akan membengkak menjadi (73%). Dari 135 kasus Volume III, Nomor 2• Desember 2011

Daya Komunikasi Paham Multikulturalisme Kritis di Ranah Politik Daring dalam Konteks Indonesia

diskriminasi dan tindak intoleransi yang diamati di 13 provinsi di Indonesia, orang sipil (non aparat pemerintah) adalah para pelaku yang dominan, bertanggungjawab atas 118 kasus (84%), sementara aparat pemerintah sisanya (16%). Jika dicermati lebih jauh lagi, organisasi massa (ormas) adalah pelaku yang paling banyak melakukan tindak intoleransi dan diskriminasi (55% dari total 118 kasus). Diikuti oleh kelompok-kelompok terorganisir (20%) dan individu-individu (15%). Yang dimaksud dengan ormas di dalam laporan ini adalah kelompok berbasis atau beratribut relijius. Mereka juga menggunakan jargon-jargon relijius untuk membenarkan tindakan mereka. Dari sejumlah ormas yang teridentifikasi, FPI merupakan pelaku tindak intoleransi paling banyak (26 kasus atau 31%), diikuti oleh MUI (11 kasus atau 14%) dan FUI (9 kasus atau 11%). Berdasarkan dua versi laporan di atas, kita bisa mengambil kesimpulan sementara bahwa di level politik riil dalam kurun waktu 2009 - 2010, gangguan serta ancaman terhadap kebebasan beragama/berkeyakinan yang berbentuk pelanggaran (legal), tindak intoleransi, dan diskriminasi, sejauh dilakukan oleh warga sipil dan bukan aparat negara, paling sering dilakukan oleh ormas bernama FPI, diikuti oleh MUI, dan FUI. Bagaimana dengan kiprah tiga ormas ini di level politik daring? Sejauh mana situs web FPI, MUI dan FUI berkontribusi positif (atau negatif?) terhadap maju dan berkembangnya paham multikulturalisme secara umum dan multikulturalisme kritis secara khusus? Bagaimana dengan situs web setara institute atau the wahid institute sendiri? Katakanlah kita berasumsi bahwa mereka teramat pro terhadap paham multikulturalisme, mengingat platform, visi dan misi dari kedua lembaga ini. Namun pertanyaannya, sudah seberapa jauh dan konsisten kedua lembaga ini mempraktek9


Daya Komunikasi Paham Multikulturalisme Kritis di Ranah Politik Daring dalam Konteks Indonesia

kan dan menyiarkan paham “multikulturalisme kritis” dalam konten dan kemasan situs web mereka? Untuk menjawab pertanyaanpertanyaan berikut, marilah terlebih dahulu kita menelisik gagasan seputar politik daring sebelum masuk ke inti analisis dari artikel ini. POLITIK DARING DALAM BINGKAI GAGASAN DAN PERSOALAN Politik kontemporer, demikian ditegaskan Manuel Castells dalam bukunya The Internet Galaxy (2001), memasuki wilayah baru, dinamika politik baru, yaitu ranah daring yang disebutnya “informational politics” (Castells, 2001: 156). Ranah politik yang baru ini dicirikan oleh peran signifikan dan penggunaan Internet secara intensif. Alasan hadirnya fenomena baru dalam ranah politik ini adalah karena “internet menyediakan kanal komunikasi yang relatif murah, horizontal, tidak gampang dikontrol, dari orang-per-orang menjadi satu-ke-banyak. Internet juga menyimpan potensi yang luar biasa sebagai wadah ekspresi hak warga negara, serta mengkomunikasikan nilai-nilai manusia. Internet mendekatkan banyak orang dalam sebuah ruang publik, (sehingga di dalamnya dan lewatnya) orang bisa menyuarakan keprihatinan sekaligus berbagi harapan” (Castells 2001: 157, 164). Richard Rogers, seorang Web epistemologist, juga menyoroti tren informational politics ini dengan menarik garis batas antara politik pintu-depan dan politik pintubelakang (back-end and front-end politics), di mana politik pintu-belakang berurusan dengan “bagaimana mesin pencari menyeleksi dan memberikan indeks pada informasi yang bisa diakses” sementara politik pintu-depan mengurusi “prinsip-prinsip politik seperti inklusivitas, keadilan dan keterwakilan,” yang merupakan “batu ujian bagi keberadaan situs Web” (Rogers, 2005: 1-2). Keberadaan pel10

• Hendar Putranto

UMN

bagai model informational politics ini semakin menggarisbawahi pentingnya “wajah alternatif dari kenyataan” agar pertanyaan seputar siapa dan kekuasaan macam apa yang membentuk, mendefinisikan dan menampilkan kenyataan virtual dapat ditinjau kembali. Akan tetapi, meskipun Internet dipercaya dapat membawa dimensi baru dalam politik---karena semakin banyak orang biasa yang saling terhubung dan berinteraksi, menyuarakan keprihatinan dan ekspektasi mereka, yang sebelumnya begitu didominasi oleh media massa atau oleh kanal-kanal resmi yang dipegang dan dikendalikan pemerintah---pertanyaan seputar kredibilitas politik yang menyangkut “seni, pendidikan, hukum dan ganjaran” (Coby, 1986) untuk mengatur hajat hidup orang banyak tidak sedemikian mudah dijawab. Politik daring ibaratnya rimba belukar yang masih dipenuhi dengan pelbagai jebakan dan jalan buntu, yang dalam hal ini misalnya diwakili oleh merebaknya blog-blog individu (yang cenderung narsistik tanpa mempedulikan urusan bersama, res publica) dan situs-situs yang radikal. Penulis mengamati beberapa situs yang radikal ini sebagai rujukan analisis serta menarik sejumlah implikasinya untuk multikulturalisme serta politik daring. Dibahasakan secara spesifik, politik daring adalah sebuah cara untuk mengkomunikasikan kekuasaan (power) secara lebih ‘lembut’, jika dibandingkan dengan politik riil yang berbasiskan organisasi massa dan pengerahan kekuatan massa, seperti nampak dalam pelbagai demonstrasi menolak kebijakan publik menaikkan harga Bahan Bakar Minyak, misalnya. Dalam bukunya Communication Power (2009), Castells mencetuskan ide menyangkut struktur dinamis dari daya komunikasi (communication power) dalam masyarakat kontemporer. Ia mengatakan bahwa “Kekuasaan lebih dari sekedar komunikasi dan komunikasi juga lebih dari sekedar kekuasaan. NaDesember 2011 • Volume III, Nomor 2


• Hendar Putranto

UMN

mun kekuasaan lumayan tergantung pada kontrol komunikasi, sementara konter-kekuasaan bergantung pada bagaimana mematahkan kontrol tersebut. Komunikasi massa—jenis komunikasi yang berpotensi menjangkau masyarakat secara luas--dibentuk dan dikelola oleh berbagai relasi kekuasaan, yang berakar pada bisnis media dan politik kenegaraan. Daya komunikasi berada di jantung struktur dan dinamika masyarakat sekarang.” (Castells, 2009: 3). Aspek daya komunikasi dalam politik daring dewasa ini ternyata cocok dengan kebutuhan komunikasi antar budayabudaya yang berbeda (yang disebut ‘dialog multikultural’) yang, salah satunya, bertujuan untuk membangun masyarakat yang lebih respek pada fakta keberagaman sekaligus peduli merawat ruang publik demokratis yang sejalan dengan fakta keberagaman tersebut. Ringkasnya, kekuasaan, jika dikomunikasikan dengan toleransi dan sikap yang simpatik, pada gilirannya akan menghasilkan respek dan kekaguman dari pihak lain, termasuk yang pada awalnya berseberangan. Selain itu, tidak hanya dikomunikasikan, kekuasaan juga perlu diawasi dan dikendalikan mengingat potensi korupnya, seperti pernah disinggung sejarawan, politisi dan penulis bernama Lord Acton (1834 – 1902) dalam suratnya kepada Uskup Mandell Creighton pada 1887. Kontestasi yang terjadi antara pelbagai sumber kekuasaan (kekuasaan dan konter-kekuasaan), dengan menggunakan model daya komunikasi yang berbeda-beda, di ranah politik daring di Indonesia, sambil melibatkan paham multikulturalisme kritis sebagai pi sau analisisnya, merupakan fokus dari kajian penelitian dalam artikel ini. SEJUMLAH ALASAN MEMILIH PAHAM MULTIKULTURALISME KRITIS Dalam perkembangan teoretisnya--yang tentu saja tidak bisa dipisahkan dari gugus praktiknya dalam masyarakat dengan Volume III, Nomor 2• Desember 2011

Daya Komunikasi Paham Multikulturalisme Kritis di Ranah Politik Daring dalam Konteks Indonesia

pelbagai budaya dan sub-budaya yang ada di dalamnya---ada sejumlah jenis atau varietas multikulturalisme. Keragaman jenis itu bukan sesuatu yang buruk, karena dalam sebuah payung ideologi yang relatif masih muda, keragaman tafsir (yang lalu menjadi sub-ideologi atau bahkan konter-ideologi) merupakan tanda bahwa ideologi tersebut ‘sehat’ dan terbuka terhadap masukan. Akan tetapi, keragaman jenis tersebut juga bisa dibaca secara berbeda, yaitu bahwa ideologi multikulturalisme merupakan sebuah ideologi politik yang masih mencari jati diri, dalam pengertian pondasi yang solid dan platform yang bisa disepakati bersama. Dengan landasan pemikiran seperti inilah maka kita perlu cermat dan berhati-hati ketika membedakan sejumlah ciri khas (yang esensial dan yang aksidental, dalam bahasa “logika”) dari pelbagai jenis multikulturalisme yang ada sebelum akhirnya memilih satu atau dua jenis saja dan menggunakannya untuk mendukung hipotesis serta klaim yang mau kita angkat dan buktikan, atau digunakan sebagai pisau analisis untuk menyingkapkan sepenggal kebenaran dalam realitas inter-subjektif. Bukan tujuan penulis dalam artikel ini untuk membahas secara panjang lebar tentang pelbagai jenis atau pendekatan terhadap multikulturalisme, karena hal tersebut sudah dikerjakan oleh cukup banyak pemikir yang menekuni soal multikulturalisme [meskipun masih dalam batas kerangka berpikir paham liberalisme dan kapitalisme], seperti Will Kymlicka, Charles Taylor, Andre Heywood, Bhikhu Parekh, Steven Vertovec dan Susanne Wessendorf, Gerard Delanty, dan Eugenia Siapera. Mengingat definisi “budaya” yang begitu kaya dan kompleks, dengan evolusi teorinya masing-masing, juga dengan kesadaran untuk fokus bahwa isu yang dibahas dalam artikel ini adalah tentang multikulturalisme kritis dalam politik daring, cukuplah disampaikan di sini bahwa konsep liberal dan 11


Daya Komunikasi Paham Multikulturalisme Kritis di Ranah Politik Daring dalam Konteks Indonesia

komunitarian tentang multikulturalisme, serta kritik dari aliran feminis (Okin, 1999; Anne, 2007), pasca-modern, pasca-kolonial dan pasca-strukturalisme, berpengaruh terhadap pembentukan dan pengembangan jenis multikulturalisme yang bernama multikulturalisme kritis. Sekurang-kurangnya, secara garis besar, ada dua cara yang berbeda namun saling melengkapi untuk memahami multikulturalisme kritis. Yang pertama datang dari analisis budaya dan politik, yang kedua datang dari ranah pedagogi dan pendidikan. Salah satu pemikir sosial budaya kenamaan dewasa ini, Douglas Kellner menyertakan “multikulturalisme kritis” dalam gagasannya tentang studi budaya dan media kontemporer dalam periode modernitas dan pasca-modernitas. Pada bab 3 dalam bukunya, Media Culture (1995), yang berjudul, “Untuk kajian budaya yang bercirikan kritis, multikultural dan multi-perspektif” Kellner menggarisbawahi bahwa “Teori sosial dan kajian budaya kritis yang melawan penindasan dan memperjuangkan kesamaan sosial niscaya bercirikan multikultural dan berikhtiar untuk menjawab persoalan perbedaan, keragaman budaya, dan keliyanan (otherness). Pendekatan multikultural kritis melibatkan analisis tentang relasi antara dominasi dan penindasan, cara-cara kerja stereotip, perlawanan dari pihak kelompok yang dilabeli terhadap representasi-representasi yang dominan, dan juga perjuangan kelompok-kelompok ini untuk menyuarakan dan mewakilkan diri mereka, mengkonter representasi yang dominan dan menyimpang, dan menghasilkan (representasi) yang lebih positif.” (Kellner 1995: 95). Para penghayat dan pelaku multikulturalisme kritis dalam budaya media sekarang perlu lebih memberikan perhatian pada cara mereka membaca dan menafsirkan politik dan juga situasi ekonomi, sosial, politis yang sedang berkembang. Kellner menunjukkan bahwa membaca konteks so12

• Hendar Putranto

UMN

sio-politis dan ekonomi secara polos dan tunggal saja tidaklah memadai. Kita perlu melihat lebih jauh lagi dari itu, terutama “bagaimana faktor-faktor internal penyusun teks bisa menyembunyikan relasi kekuasaan dan dominasi serta melayani kepentingan kelompok-kelompok yang dominan dan mengorbankan yang lain, atau melawan ideologi, lembaga dan gugus praktik yang hegemonik, atau mengandung campuran antara keduanya (a contradictory mixture of forms that promote domination and resistance).” (Kellner, 1995: 96; bdk. Joseph, 2002) Berdasarkan pengertian multikulturalisme kritis hasil analisis budaya dan politis di atas, kita dapat bertanya tujuan-tujuan apa saja yang mau dicapai oleh para penggagas multikulturalisme kritis (yang lebih dikenal dengan istilah critical multiculturalists)? Atau, lebih persisnya, para critical multiculturalists berpihak pada siapa? Michael Pavel (dalam Sleeter, 1995: 3) berbicara dengan hati ketika mengatakan, “Mereka yang mempromosikan multikulturalisme kritis memiliki kepedulian yang mendalam untuk memberdayakan mereka yang tidak memiliki suara, mereka yang banting tulang berjerih-payah, mereka yang hidup tidak dihargai, dan mereka yang mati dalam kebungkaman.” Diterjemahkan dalam ranah politik daring, “mereka yang tidak memiliki suara” adalah mereka yang tidak dapat meng-update status, sikap, dan keberpihakan mereka secara daring menyangkut isu-isu terbaru di bidang ilmu pengetahuan, sosial, seni-budaya, ekonomi dan politik. “Mereka yang banting tulang berjerih-payah” adalah orang-orang yang sedemikian bersemangat dan secara konsisten memelihara konektivitas dengan berbagai tautan dan laman, juga meskipun tautan dan laman tersebut berlawanan dan kontradiktif dengan paham yang mereka anut, karena meskipun berbeda, mereka selalu mendapatkan sesuatu untuk dipelajari, dihormati dan dibagikan. Mereka yang Desember 2011 • Volume III, Nomor 2


• Hendar Putranto

UMN

hidupnya tidak dihargai adalah orang-orang yang berada di luar jangkauan internet, mereka yang tinggal di tepi batas “digital divide” (Castells, 2001: 247-248; bdk. Daniels, 2009: 81; Monroe, 2004). Mereka yang “mati dalam kebungkaman” adalah orang-orang yang tidak lagi mengirimkan komentar-komentar di blog maupun situs web, tidak lagi mendapatkan ‘replies’ dan ‘likes’, dari jaringan pertemanan mereka, serta tidak lagi terlibat dalam tanggapan terhadap arus berita, foto, dan video terkini. Untuk bingkai multikulturalisme kritis yang kedua, kita perlu melihat kontribusi yang diberikan teori pedagogi dan pendidikan. Stephen May dalam bukunya Critical Multiculturalism: Rethinking Multicultural and Antiracist Education (1999) menyoroti fakta bahwa multikulturalisme masih memiliki banyak pekerjaan rumah yang belum diselesaikan, meskipun sejak tahun 1960 dan 1970-an sudah gencar disosialisasikan dan dipopulerkan di Amerika Serikat. Beberapa pekerjaan rumah tersebut di antaranya adalah “peluang hidup para siswa yang berasal dari kaum minoritas yang diabaikan, sikap rasialis dari para siswa mayoritas, praktek sekolah yang bertumpu pada pandangan monokulturalisme, dan berbagai proses relasi kekuasaan yang tidak seimbang yang menjadi dasar dari semua ini” (May 1999: 1). Dalam konteks persekolahan di Amerika Serikat dan Inggris, May amat sadar bahwa berbagai kebijakan multikulturalisme yang sudah dibuat dan diterapkan di lingkungan pendidikan tidak menjawab secara memuaskan keberatankeberatan dan protes yang diajukan oleh para kritikus baik dari sayap kanan maupun sayap kiri (May, 1999: 12 – 45). Para kritikus sayap kanan (biasanya berpaham liberalisme ortodoks) keberatan dengan agenda dan kurikulum multikultural karena kecenderungan dan preferensinya dapat merongrong rasa persatuan dan kebangsaan. Sementara sayap kiri mengVolume III, Nomor 2• Desember 2011

Daya Komunikasi Paham Multikulturalisme Kritis di Ranah Politik Daring dalam Konteks Indonesia

kritik multikulturalisme gagal memenuhi janji-janji perubahan dalam masyarakat yaitu mencapai kesamaan sosial dan menciptakan lingkungan yang non-diskriminatif, terutama terhadap para siswa minoritas. Setelah berhasil mengenali dan memetakan latar belakang persoalan seperti di atas, May mengusulkan tiga agenda untuk secara efektif memajukan politik perbedaan budaya yang non-esensialis, yaitu: (1) menyingkapkan dan mendekonstruksi konsep kewargaan (civism) yang nampaknya netral--yang meliputi seperangkat nilai dan praktik budaya yang dianggap universal dan netral atau tidak bias, yang menjadi landasan dari keberadaan dan aktivitas dalam ruang publik suatu negara-bangsa, (2) meletakkan perbedaan-perbedaan budaya yang ada dan ditemukan di dalam jejaring relasi kekuasaan yang lebih luas lagi karena perbedaan-perbedaan tersebut adalah bagian penting penyusun relasi kekuasaan, dan (3) menjaga dan memelihara sikap kritik refleksif terhadap sejumlah praktik budaya tertentu agar praktik-praktik tersebut tidak dianggap sakral dan tak tersentuh sekaligus membuka diri untuk diperbarui dan diubah seturut kebutuhan dan tuntutan zaman. Pada akhirnya, multikulturalisme kritis haruslah pertama-tama mendukung para siswa untuk terlibat secara kritis dengan semua latar belakang etnis dan budaya yang mereka jumpai, termasuk etnis dan budaya mereka sendiri.” (May 1999: 33-36) Lewat deskripsi di atas, meminjam kontribusi pemikiran dari Kellner dan May, kita dapat menggariskan beberapa ciri khas multikulturalisme kritis yang dapat dijadikan pisau analisis. (analytical tool). Pertama, sikap kritis terhadap semua jenis klaim yang berlindung di balik nama “budaya”, terutama ketika klaim-klaim tersebut ternyata melibatkan relasi kekuasaan, antara mayoritas dan minoritas misalnya, dan juga kritis terhadap 13


Daya Komunikasi Paham Multikulturalisme Kritis di Ranah Politik Daring dalam Konteks Indonesia

budaya homogen yang diterima dan dipraktikkan dalam komunitas atau keluarga sendiri. Sikap kritis ini penting untuk membongkar norma atau tradisi yang selama ini dianggap terberi, normal atau wajar, padahal mungkin terdapat jejak-jejak penindasan, dominasi dan hegemoni di dalamnya. Kedua, sadar akan keterbatasan pengetahuan dan pemahaman kita tentang dunia yang semakin terkoneksi dan mengglobal, maka artikulasi evaluasi kritis terhadap budaya, sub-budaya dan percampuran budaya yang sudah ada dan yang baru tercipta perlu terbuka terhadap ke-serba-cepat-berganti-nya bahasa yang digunakan dalam berkomunikasi, tidak terkaget-kaget dengan jenis komunikasi yang memeluk pandangan “karena kurangnya kata yang lebih baik untuk mewakili” dan “sampai ada konfirmasi lebih lanjut.” Mengutip pertanyaan Naomi S. Baron (Baron, 2008: 4), “How has the growing domestication of email, IM, text messaging on mobile phones, blogging, Facebook—and the rash of other forms of daring and mobile communication platforms—altered our communication landscape?” Ketiga, di bawah payung politik solidaritas (Rorty, 1989; Allen, 1999; Benhabib, 2004; Rundell, 2004; Min, 2005; Komter, 2005; Walhof, 2006; Armbruster-Sandoval, 2006) multikulturalisme perlu lebih ambil bagian lagi dalam konteks perjuangan emansipasi, pemberdayaan, perjuangan keadilan, khususnya keadilan bagi mereka yang “tidak punya suara, banting tulang berjerih payah, hidup tidak dihargai, dan mati dalam kebungkaman.” Setelah secukupnya menjelaskan kerangka teoretis, makna dan cakupan dari politik daring serta multikulturalisme kritis yang dirujuk dan digunakan dalam artikel ini, mari sekarang kita masuk ke bagian unit analisis. 14

• Hendar Putranto

UMN

Menggunakan Perspektif Multikulturalisme Kritis Sebagai Pisau Analisis untuk Membedah Politik Daring di Indonesia: Kajian terhadap Empat Situs (Unit Analisis Utama) Unit analisis yang dipakai dalam artikel ini adalah beberapa situs web yang oleh penulis dianggap mewakili posisi pro (2 situs web) dan kontra (2 situs web) terhadap paham multikulturalisme, yaitu (1) http://islamlib. com/id; (2) http://setara-institute.org (3) www. fpi.or.id; dan (4) http://www.mui.or.id/ Pilihan empat situs web ini didasarkan pada alasan-alasan berikut: Pertama, seperti sudah dibahas di bagian awal artikel ini, berdasarkan laporan tahunan SETARA Institute dan Wahid Institute 2009 - 2010, ditunjang pembacaan terhadap belasan artikel dan berita yang tersebar di dunia maya menyangkut isu kebebasan beragama/berkeyakinan sebagai salah satu isu fundamental dalam paham multikulturalisme, maka pilihan empat situs web tersebut bisa dipahami. Penulis sengaja tidak memilih situs web SETARA Instute dan Wahid Institute sekaligus, karena dari pembacaan atas data dan laporan yang ada, juga pengamatan atas berita sehari-hari baik lewat media massa cetak maupun elektronik, paham “islam liberal” (dengan segala penggiat dan buah-buah pemikirannya) lebih sering “dimusuhi” dan menjadi target serangan dari ormas radikal seperti FPI dan mendapatkan fatwa sesat dari MUI. Kedua, masing-masing organisasi yang dipilih di sini memiliki situs web yang jelas alamatnya (tidak bergantiganti setiap waktu) dan baik konten maupun tampilannya bisa diakses secara bebas oleh siapapun (tidak dibatasi waktu, juga tidak berbayar) dan juga bisa dipantau secara independen. Ketiga, ide multikulturalisme (entah mengambil sikap pro maupun kontra) ternyata memainkan peranan penting baik di latar deDesember 2011 • Volume III, Nomor 2


• Hendar Putranto

UMN

pan (front-end politics) maupun di latar belakang (back-end politics) dari keempat situs web yang dipilih. Periode pemantauan empat situs web dilakukan selama bulan Juni 2011, dengan frekuensi kunjungan rata-rata selama setengah jam per hari dan satu kali dalam seminggu. Skor penilaian dibedakan menjadi tiga, yaitu rendah (tidak ditemukan sama sekali atau hanya ditemukan satu artikel/teks berjalan/tagline), sedang (dua sampai lima teks) dan tinggi (lebih dari lima teks), kecuali untuk parameter aksesibilitas yang tidak bisa diukur seperti itu. Demikian matriks 4 x 4 yang digunakan untuk menganalisis empat situs web, dengan empat parameter multikulturalisme kritis yang diterapkan di ranah daring yaitu: aksesibilitas, interaktivitas, kritikalitas, dan solidaritas (untuk kaum minoritas). Parameter aksesibilitas merujuk pada tingkat kemudahan situs web tersebut diakses (kurang dari 10 detik dianggap sangat mudah; sementara lebih dari 10 detik dianggap cukup sulit) dengan asumsi bandwidth rata-rata 384kbps. Selain itu, jumlah bahasa yang ditampilkan dalam situs tersebut juga menjadi salah satu faktor penilai aksesibilitas (apakah hanya satu atau lebih dari satu bahasa?). Interaktivitas merujuk pada jumlah dan ketersediaan tautan antara situs web tersebut dengan situs web atau laman yang lain, termasuk laman atau situs web yang berbeda dalam perspektif. Di dalam parameter ini juga diukur jumlah komentar dan umpan balik dari pengguna atau pengunjung situs web. Parameter kritikalitas merujuk pada pemenuhan unsur-unsur berpikir logis serta asumsi yang tersampaikan secara eksplisit dalam berita atau artikel atau foto atau video yang ditampilkan. Solidaritas ditunjukkan ketika ditemukan artikel, berita, video atau gambar yang sengaja dibuat untuk membela kaum minoritas (minoritas dalam hal agama/ kepercayaan, suku bangsa dan ras, jender, Volume III, Nomor 2• Desember 2011

Daya Komunikasi Paham Multikulturalisme Kritis di Ranah Politik Daring dalam Konteks Indonesia

sosio-politis-ekonomis) dalam masyarakat Indonesia. Keempat tampilan situs web yang dikunjungi juga diakses secara hampir bersamaan (tidak ada time lag) supaya penilaian menjadi lebih objektif. Dilihat dari matriks penilaian ini, ada beberapa kesimpulan yang bisa kita tarik, yaitu: (1) Dalam hal aksesibilitas, situs web islamlib dan setara-institute bisa diakses dengan menggunakan dua bahasa, yaitu Indonesia dan Inggris. Sementara situs web FPI dan MUI hanya bisa diakses dengan menggunakan bahasa Indonesia. Durasi yang diperlukan untuk masuk dan menampilkan halaman utama secara utuh dari setiap situs web kurang dari 10 detik. (2) Dalam hal interaktivitas, situs web islamlib menyediakan ruang bagi pengunjung atau pengguna untuk meninggalkan komentar terkait dengan artikel yang dipublikasikan di dalamnya, namun islamlib tidak menyediakan laman tautan (hyperlink) ke situs web yang lain. Sementara itu, setara-institute menyediakan sejumlah laman tautan ke situs web lain, namun tidak disediakan ruang untuk berkomentar. Di situs web setarainstitute, orang harus login terlebih dulu menggunakan kata sandi sebelum bisa mengomentari artikel atau berita atau foto dan video yang dimuat. Situs web FPI dan MUI tidak menyediakan ruang untuk berkomentar, juga tidak mencantumkan laman tautan. Khusus untuk FPI, meskipun nampaknya disediakan ruang untuk memberikan kritik dan saran (http://fpi.or.id/?p=saran dan http://fpi. or.id/?p=kritik) namun ketika di-klik, laman tersebut kosong dan tidak bisa ditinggali pesan ataupun kritik. (3) Dalam hal kritikalitas, islamlib menyediakan ruang komentar yang bernada 15


Daya Komunikasi Paham Multikulturalisme Kritis di Ranah Politik Daring dalam Konteks Indonesia

Parameter Aksesibilitas Interaktivitas Kritikalitas Solidaritas

• Hendar Putranto

UMN

http://islamlib.com/id http://setara- www.fpi.or.id institute.org Tinggi Sedang Tinggi Tinggi

Tinggi Sedang Sedang Tinggi

positif dan membangun (consent), maupun komentar yang berlawanan (dissent) dari para pengguna dan pengunjung. Sebagian besar artikel yang dipublikasikan di situs web islamlib juga mengikuti aturan-aturan baku penulisan ilmiah, seperti adanya latar belakang, perumusan malasah, kutipan ilmiah, dan lainnya, dan tulisan juga dipandu oleh prinsip logika dan berpikir kritis. Artikel, berita, opini dan pers-rilis yang dipulikasikan di situs web setara-institute tidak menyediakan ruang untuk berkomentar sehingga membataasi kemampuan peneliti untuk mengevaluasi aspek kritis dari komentar pengunjung atau pengguna. Akan tetapi, sejumlah survey dan riset yang dilakukan oleh lembaga ini (dan dipublikasikan secara luring maupun daring serta bisa diunduh secara gratis!) sudah mengikuti ketentuan standar riset bidang sosial, sehingga masih ada poin kritikalitasnya. Sementara, baik situs web FPI maupun MUI tidak menampilkan argumen-argumen yang didasari riset atau dikonstruksi secara logis dalam berita-berita, opini maupun artikel-artikel yang ditampilkan. Nada dan tendensi dari artikel-artikel yang dipublikasikan FPI adalah berat sebelah, propagandis, dan menuduh atau menyalah-nyalahkan pihak yang berseberangan paham dengannya, tanpa ada suatu bukti keras atau bobot logika dalam premis-premis yang menyusun

16

Sedang Rendah Rendah Rendah

http://www.mui.or.id/ Sedang Rendah Rendah Rendah

argumen. Lebih sering ditemukan kasus “loncat ke kesimpulan� yang merupakan salah satu jenis sesat pikir dalam logika. Kolom yang disediakan situs web MUI untuk berita, meskipun mengutip sumber-sumber lain dari situs web yang umum (seperti inilah.com; detik.com; republika.co.id), namun tidak disediakan ruang bagi pengunjung situs untuk berkomentar (sehingga menyulitkan penulis untuk mengecek kadar kritikalitasnya) Dari sedikit artikel (hanya ada enam) yang dipublikasikan di situs web MUI, beberapa di antaranya ditulis oleh para cendekia Islam, akan tetapi, isi artikel masih jauh dari memenuhi standar dan syarat kekritisan (cenderung didaktik, kurang dialektik) (4) Dalam hal solidaritas, sudah cukup jelas bahwa artikel dan opini yang ditampilkan dalam situs web islamlib dan setarainstitute menyuarakan solidaritas terhadap kaum minoritas (agama/keyakinan, etnisitas, kesenjangan sosio-ekonomik), sementara artikel dan berita yang dipublikasikan di situs web FPI dan MUI tidak menunjukkan jejak solidaritas bagi kaum minoritas, bahkan cenderung mengancam, merendahkan dan menakutnakuti kaum minoritas. Dengan demikian, analisis terhadap empat situs web dengan menggunakan empat parameter multikulturalisme kritis yang diterapkan dalam politik daring menghasilkan

Desember 2011 • Volume III, Nomor 2


• Hendar Putranto

UMN

sejumlah kesimpulan sementara berikut ini: (1) Baik situs islamlib maupun setara-institute menyediakan ruang dan berpendirian lebih kritis ketika mempromosikan multikulturalisme di ranah kenyataan virtual, dan juga membuka diri terhadap akses lebih banyak orang dengan penggunaan dua bahasa yaitu Indonesia dan Inggris. Hal ini merupakan suatu keuntungan bagi islamlib dan setara-institute karena untuk mempromosikan nilai yang dianggap berharga seperti “perlindungan terhadap prinsip kebebasan beragama/berkeyakinan serta kebebasan untuk menjalankan ibadah seturut agama dan keyakinan tersebut” memerlukan dukungan baik dari pihak nasional maupun komunitas internasional. (2) Kontestasi diskursif yang berlangsung di dunia virtual antara kubu pro melawan kubu anti multikulturalisme ternyata dimenangkan secara simpatik oleh kubu pro karena mereka lebih tepercaya dalam penyediaan fakta dan data lewat survey dan riset, serta berhasil mengemas data dan fakta tersebut secara logis dan kritis untuk menunjang klaim dan argumen yang diajukan, serta mudah diakses oleh pengguna atau pengunjung situs web. (3) Masuk akal jika dikatakan bahwa politik daring, agar berhasil dikomunikasikan secara efektif dan mendapatkan pengaruh serta simpati dari pengunjung dan pengguna, dan dengan demikian jadi lebih signifikan untuk memicu terjadinya perubahan sosial dan transformasi struktural, haruslah dilengkapi dengan bukan hanya keterampilan teknis penguasaan IT yang memadai, namun juga dan terutama, harus ditunjang oleh keterampilan berpikir kritis dan kemampuan menulis secara akademis, dengan segala strategi dan jenrenya. (4) Daya komunikasi dalam politik daring lebih mengandalkan kekuatan yang lunak (soft power) alih-alih hard power, lebih condong pada daya persuasi rasional alih-alih daya gertak menakut-nakuti model sesat pikir ad baculum. Volume III, Nomor 2• Desember 2011

Daya Komunikasi Paham Multikulturalisme Kritis di Ranah Politik Daring dalam Konteks Indonesia

MULTIKULTURALISME KRITIS DALAM POLITIK DARING: MULTIKULTURALISME YANG BELUM SELESAI? Dalam artikel berjudul “Political Globalization” (dalam Ritzer, 2007: 414 – 428), Gerard Delanty dan Chris Rumford menafsirkan pemikiran sentral Jürgen Habermas yang tertuang dalam bukunya, The Structural Transformation of the Public Sphere – An Inquiry into a Category of Bourgeois Society (1989; terjemahan Inggris). Mereka percaya bahwa “Habermas mendukung ide bahwa komunikasi merupakan arena terbuka untuk kontestasi politis dan budaya serta tidak pernah sepenuhnya terlembagakan oleh negara ataupun dikontrol oleh elit politik dan badan-badan komunikasi politik mereka. Ruang publik adalah situs politik; bukan hanya soal lokasi meruang namun juga proses kontestasi diskursif.” Apa maksud perkataan Habermas dalam konteks multikulturalisme kritis? Seperti sudah diuraikan pada bagian sebelumnya, multikulturalisme kritis merupakan paham yang amat sadar diri (refleksif) dan sadar situasi, terutama ketika situasi tersebut berisi dominasi dan penguasaan secara halus (‘hegemoni’ dalam istilah Gramsci). Ketika ruang publik dipahami sebagai arena yang terbuka untuk kontestasi dan tidak pernah sepenuhnya dikontrol oleh elit politik, maka di situ terbuka kesempatan untuk melakukan perlawanan (resistensi), counter-movement, maupun negosiasi. Dalam politik daring, perlawanan tersebut bisa dicapai dengan menggunakan ‘kontestasi diskursif’, atau, dengan kata lain, “senjata” wacana dan pembentukan opini publik lewat konten yang kritis, menggugat stereotyping yang dominan, serta mencerdaskan. Meskipun ketidaksukaan Habermas terhadap dunia daring sudah banyak diketahui orang, namun ada juga sejumlah pemikir yang menafsirkan temuan ini secara berbeda. 17


Daya Komunikasi Paham Multikulturalisme Kritis di Ranah Politik Daring dalam Konteks Indonesia

Ada satu penafsiran yang menarik dan unik tentang pemikiran Habermas menyangkut “reflexive publicity” (istilah yang dapat ditemukan dalam bukunya the Structural Transformation) yang berasal dari Luke Goode dalam bukunya Jürgen Habermas: Democracy and the Public Sphere. Goode mengamati bahwa “Dengan naiknya budaya digital, kita menyaksikan mentasnya sejumlah besar bentuk dan jenre budaya yang menggantung, budaya yang belum selesai (the culture of unfinish): ada koneksi dengan teks lain untuk diikuti, ada tawaran sejumlah jalan yang berbedabeda untuk bereksperimen dalam teks, ada lingkungan dan platform yang berbeda-beda untuk mengakses teks, ada komentar yang harus disampaikan dan seterusnya... budaya yang belum selesai dapat membantu kita mengembangkan rasa nyaman yang perlu ketika berhadapan dan terlibat dalam cara melihat dunia yang berciri sementara, parsial dan menepi.” (Goode, 2005: 111-112). Dengan menggunakan hasil amatan dan penafsiran Goode di atas, ada dua hal yang bisa kita pelajari terkait dengan fokus kajian artikel ini. Pertama, “budaya yang belum selesai” yang diajukan Goode memperpanjang debat di antara para pemikir multikultural kritis tentang lingkaran penindasan dan perlawanan, tegangan-tegangan yang terjadi di antara kaum mayoritas dan minoritas, berbagai cara yang mungkin dan etis untuk menyikapi fakta keragaman, kompleksitas dan pluralitas, yang tidak selalu berjalan dalam keselarasan dan kesepakatan. Meskipun demikian, konsep “budaya yang belum selesai” dari Goode memiliki kekhasan dalam hal mengintroduksi munculnya budaya digital sebagai sebuah jenis budaya yang baru yang dengannya, budaya-budaya yang lebih tradisional dan primordial, seperti agama, etnisitas, ras, bahasa, ritus dan tradisi, harus siap mengambil sikap dan berinteraksi alih-alih lari dan menutup diri. 18

• Hendar Putranto

UMN

Kedua, persilangan antara “budaya yang belum selesai” dengan multikulturalisme kritis nampaknya tidak secara otomatis menawarkan sebuah ujung atau akhir yang jelas. Akan tetapi, persis di sinilah kita dihadapkan pada kesempatan dan peluang untuk melakukan negosiasi dan re-negosiasi hingga tercapai kesepakatan, betatapun “sementara, parsial dan menepi” sifatnya. Dengan demikian, masih dianggap relevan dan berguna menggunakan prosedur konsensus rasional (rationales Einverständnis) dengan menggunakan paradigma tindakan komunikatif yang diusulkan Habermas (Habermas, 1981; bdk. Pedersen, 2008). KESIMPULAN Dalam tulisan hasil penelitian ini, penulis sudah menjelaskan latar belakang untuk memahami dinamika multikulturalisme di Indonesia, mulai dari asal-usul, kesan dan keterlibatan baik secara pribadi maupun akademis dalam dunia multikultural, juga ketika multikulturalisme dipahami sebagai praktik seharihari dalam dunia yang nyata maupun sebagai wacana dan perjuangan untuk mendapatkan kekuasaan dan pengaruh di dunia maya. Penulis juga sudah menyoroti konteks sosio-historis maupun sosio-politis dari multikulturalisme di Indonesia, yang menjadikannya berbeda dan unik dari pendekatan soal multikulturalisme di kawasan Eropa dan Amerika Serikat. Analisis terhadap empat situs yang dipilih mewakili posisi anti maupun pro multikulturalisme kritis menunjukkan bahwa “posisi anti” ternyata berasal dari organisasi massa (ormas) berhaluan Islam radikal yaitu Front Pembela Islam, dan juga dari organisasi para ulama yang tergabung dalam Majelis Ulama Indonesia. Jika kekuasaan riil FPI terletak dalam pengerahan massa dan penggunaan kekuatan fisik, maka kekuasaan riil MUI terletak pada legitimasi relijius atas otoritas yang mereka miliki untuk menafsirkan huDesember 2011 • Volume III, Nomor 2


Daya Komunikasi Paham Multikulturalisme Kritis di Ranah Politik Daring dalam Konteks Indonesia

• Hendar Putranto

UMN

kum dan aturan Islam. Ketika diteliti lebih dekat dengan menggunakan empat matra multikulturalisme kritis, nampak bahwa baik situs FPI maupun MUI relatif mencatat skor rendah jika dibandingkan dengan situs setara-institute dan islamlib. Secara induktif orang dapat menyimpulkan bahwa skor rendah situs FPI dan MUI ini bisa jadi disebabkan oleh kurangnya keterampilan teknis web master dan pengelola konten untuk mengelola laman tampilan profil lembaga mereka secara profesional yang berujung pada jatuhnya skor mereka di matra interaktivitas dan aksesibilitas. Bisa juga hal ini memang disengaja (deliberate political intention) untuk mencegah masuknya kritik dari para pengguna dan pihak-pihak yang berbeda pandangan, terutama menyangkut sikap terhadap keragaman dan multikulturalisme. Satu caveat perlu disampaikan di sini. Pengamatan yang lebih dekat dan cermat menyangkut empat parameter ukur yang digunakan untuk menganalisis empat situs yang dipilih mewakili dua posisi (pro dan anti multikulturalisme kritis) akan menyingkapkan adanya sejumlah kelemahan internal maupun eksternal, seperti kurangnya tolok ukur penjelas yang tidak over-lapping dari masing-masing parameter, kurang dieksplisitkannya metode kuantifikasi data acuan, rentang sebaran amatan yang kurang begitu mewakili. Untuk itu, dibutuhkan riset-riset lanjutan untuk melengkapi dan mempercanggih parameter ukur tersebut sehingga bisa diterapkan untuk unit analisis yang lain di ranah dunia maya. Meskipun demikian, sebagai sebuah penelitian rintisan, empat parameter tersebut dapat dianggap berguna untuk mengklasifikasi dan membuat peringkat atau skor terhadap unit analisis. REFERENSI [1] Artikel ini merupakan rintisan awal dari paper berbahasa Inggris yang berjudul “Critical Multiculturalism in Daring Politics: The study of its significance Volume III, Nomor 2• Desember 2011

and applicability in Indonesian context” yang abstraknya diterima (call for paper) untuk disertakan dalam event The Fourth International Conference on Indonesian Studies (ICSSIS) di Bali, 9 – 10 Februari 2012.

DAFTAR PUSTAKA Abdullah, Taufik. (2009). Indonesia: Towards Democracy. Singapore: Institute of Southeast Asian Studies (ISEAS) Publishing. Alatas, Syed Farid. (2006). “From Jāmi`ah to University: Multiculturalism and Christian–Muslim Dialogue”, dalam jurnal Current Sociology. Vol 54(1): 112–132. Allen, Amy. (1999). “Solidarity after identity politics: Hannah Arendt and the power of feminist theory” dalam jurnal Philosophy & Social Criticism, vol 25 no 1, hlm. 97–118 Andre Ata Ujan, Benyamin Molan, Hendar Putranto. (2009). Multikulturalisme: Belajar Hidup Bersama dalam Perbedaan. Jakarta: PT Indeks. Armbruster-Sandoval, Ralph. (2006). Globalization and Cross-border Labor Solidarity in the Americas: The Anti-Sweatshop Movement and the Struggle for Social Justice. New York dan London: Routledge. Banks, J.A. (1995). “Multicultural education: Historical development, dimensions, and practice” dalam J.A. Banks & C.A.M. Banks. Tim editor. Handbook of research on multicultural education. New York: Macmillan. Baron, Naomi S. (2008). Always On: Language in an Daring and Mobile World. Oxford dan New York: Oxford University Press. Barry, Brian. (2001). Culture and Equality: An Egalitarian Critique of Multiculturalism. 19


Daya Komunikasi Paham Multikulturalisme Kritis di Ranah Politik Daring dalam Konteks Indonesia

Cambridge, UK: Polity Press. Benhabib, Seyla. (2004). The Rights of Others: Aliens, Residents, and Citizens. Cambridge: Cambridge University Press. Bennett, David. (1998). Multicultural States: Rethinking difference and identity. London dan New York: Routledge. Bransen, Jan. (2001). “Verstehen and erklären, philosophy of” dalam Smelser, N.J., & Baltes, P.B. tim editor. International Encyclopedia of the Social and Behavioral Sciences. Oxford: Elsevier Science Ltd. Artikel ini bisa diakses di www.ru.nl/ publish/pages/536984/verstehen.pdf Bunt, Gary R. (2003). Islam in the Digital Age: E-Jihad, Daring Fatwas and Cyber Islamic Environments, London&Sterling: Pluto Press. Castells, Manuel. (2001). The Internet Galaxy: Reflections on the Internet, Business, and Society. Oxford dan New York: Oxford University Press. ---.ed. (2004). The Network Society: A Crosscultural Perspective. Cheltenham, UK & Northampton, MA, USA: Edward Elgar Publishing Limited. ---. (2009). Communication Power. Oxford dan New York: Oxford University Press Coby, Patrick. (1986). “Aristotle’s Four Conceptions of Politics” dalam jurnal Political Research Quarterly vol. 39: 480 - 503 Cornell, Drucilla dan Murphy, Sara. (2002). “Anti-racism, multiculturalism and the ethics of identification”, dalam jurnal Philosophy & Social Criticism vol 28 no 4, hlm. 419–449. Daniels, Jessie. (2009). Cyber Racism: White Supremacy Daring and the New Attack on Civil Rights. New York, Toronto, Plymouth, UK: Rowman & Littlefield Publishers Inc. Delanty, Gerard. (2010). Community, 2nd edition. London dan New York: Routledge. 20

• Hendar Putranto

UMN

Dieter Plehwe, Bernhard Walpen dan Gisela Neunhöffer. Tim editor. (2006). Neoliberal Hegemony: A Global Critique. London dan New York: Routledge. Flick, Uwe. (2002). An Introduction to Qualitative Research. London, Thousand Oaks, New Delhi: SAGE Publications. Gadamer, Hans-Georg. [1975] 2004. Truth and Method. Edisi Revisi Kedua. Terjemahan direvisi oleh Joel Weinsheimer dan Donald G. Marshall. London dan New York: Continuum Press. Goode, Luke. (2005).. London dan Ann Arbor, MI: Pluto Press. Hefner, Robert W.ed. (2001). The Politics of Multiculturalism: Pluralism and Citizenship in Malaysia, Singapore, and Indonesia. Honolulu: University of Hawai‘i Press. Isar, Yudhishthir Raj. (2006). “Cultural Diversity” dalam jurnal Theory Culture Society, 23: 372. London: SAGE Publications. Habermas, Jurgen. (1981). The Theory of Communicative Action: Volume 1 (Reason and the Rationalization of Society). Boston: Beacon Press. Hasani, Ismail dan Naipospos, Bonar Tigor. Tim editor. (2010). The Faces of ISLAM ‘Defenders’: Religion Radicalism and Its Implications on Assurance of Religious/ Beliefs Freedom in Jabodetabek and West Java. Jakarta: Pustaka Masyarakat Setara. Jeffrey G. Reitz, Raymond Breton, Karen Kisiel Dion, Kenneth L. Dion. (2009). Multiculturalism and Social Cohesion: Potentials and Challenges of Diversity. Springer Science+Business Media B.V. Joseph, Jonathan. (2002). Hegemony: A realist analysis. London dan New York: Routledge. Kanpol, Barry dan McLaren, Peter. (1995). “Resistance Multiculturalism and the PoliDesember 2011 • Volume III, Nomor 2


• Hendar Putranto

UMN

tics of Difference” dalam Kanpol, Barry dan McLaren, Peter. Tim editor. Critical Multiculturalism: Uncommon Voices in a Common Struggle, Westport, CT (USA): Greenwood Publishing Group. Komter, Aafke E. (2005). Social Solidarity and the Gift. Cambridge: Cambridge University Press. Kymlicka, Will. (1995). Multicultural Citizenship: A Liberal Theory of Minority Rights. Oxford: Clarendon Press. ---. (2005). “Liberal Multiculturalism: Western Models, Global Trends, and Asian Debates” dalam Kymlicka, Will dan He, Baogang. Tim editor. Multiculturalism in Asia. Oxford: Oxford University Press. Kellner, Douglas. (1995). Media Culture: Cultural studies, identity and politics between the modern and the postmodern. London dan New York: Routledge. Laden, Anthony Simon dan Owen, David. eds. (2007). Multiculturalism and Political Theory. Cambridge: Cambridge University Press. Lima, María Herrera. (2005). “Who judges? Democracy and the dilemmas of multiculturalism: Commentary to ‘The Claims of Culture: Equality and Diversity in the Global Era, by Seyla Benhabib’” dalam jurnal Philosophy & Social Criticism, vol 31 no 7, hlm. 727–737. London, Thousand Oaks, CA dan New Delhi: SAGE Publications. Matustik, Martin J. B. (2002). “Contribution to a new critical theory of multiculturalism: A response to ‘Anti-racism, multiculturalism and the ethics of identification’” dalam jurnal Philosophy & Social Criticism vol. 28; 473 May, Stephen dan Sleeter, Christine E. Tim editor. (2010) Critical Multiculturalism: Theory and Praxis, London: Routledge. May, Stephen.ed. (1999). Critical MulticulturVolume III, Nomor 2• Desember 2011

Daya Komunikasi Paham Multikulturalisme Kritis di Ranah Politik Daring dalam Konteks Indonesia

alism: Rethinking Multicultural and Antiracist Education. London dan Philadelphia: Falmer Press. McLennan, Gregor. (2001). “Can there be a ‘critical’ multiculturalism?” dalam jurnal Ethnicities, Vol 1(3): 389–422, London, Thousand Oaks, dan New Delhi: SAGE Publications. Media Literacy Key Concepts bisa dilihat di alamat laman berikut: http://www.mediaawareness.ca/english/teachers/media_literacy/key_concept.cfm (diakses Hendar Putranto pada 24 Januari 2011) Min, Anselm K. (2005). “From difference to the solidarity of others: Sublating postmodernism” dalam jurnal Philosophy & Social Criticism, vol. 31 no. 7, hlm. 823–849 Monroe, Barbara. (2004). Crossing the Digital Divide: Race, Writing, and Technology in the Classroom. New York dan London: Teachers College Press (Columbia University). Parekh, Bhikhu. (2000). Rethinking Multiculturalism: Cultural Diversity and Political Theory. Houndmills, Basingstoke, Hampshire dan New York: Palgrave. Pedersen, Jørgen. (2008). “Habermas’ Method: Rational Reconstruction” dalam jurnal Philosophy of the Social Sciences 2008 38: 457 (dipublikasikan daring pertama kali 15 September 2008) Petrozza, Julia, “Critical Multicultural Education and the Media” bisa diakses di laman berikut: http://www.edchange.org/multicultural/papers/media.html Phillips, Anne (2007). Multiculturalism without Culture. Princeton (USA) dan Oxford (UK): Princeton University Press. Poole, Elizabeth, dan Richardson, John E. (2006). Muslims and the News Media. London: I.B.Tauris & Co Ltd. 21


Daya Komunikasi Paham Multikulturalisme Kritis di Ranah Politik Daring dalam Konteks Indonesia

Ritzer, George. (2007). The Blackwell Companion to Globalization. Oxford UK, Malden MA USA & Victoria Australia: Blackwell. Rogers, Richard. (2005). Information Politics on the Web. Boston. MA: The MIT Press. Rorty, Richard. (1989). Contingency, Irony, and Solidarity. Cambridge: Cambridge University Press. Rundell, John. (2004). “Strangers, Citizens and Outsiders: Otherness, Multiculturalism and The Cosmopolitan Imaginary in Mobile Societies” dalam jurnal Thesis Eleven, No. 78, Agustus 2004, hlm. 85–101. Siapera, Eugenia. (2004). “Asylum Politics in Cyberspace” dalam Joss Hands & Eugenia Siapera.Tim editor. At the Interface: Continuity and Transformation in Culture and Politics. Amsterdam & New York: Rodopi BV. ---. (2006). “Multiculturalism daring: The internet and the dilemmas of multicultural politics” dalam European Journal of Cultural Studies, Vol 9(1) 5–24; 13675494. London, Thousand Oaks CA dan New Delhi: SAGE Publications. ---. (2010). Cultural Diversity and Global Media: The Mediation of Difference. Wiley-Blackwell. Sitton, John F. (2003). Habermas and Contemporary Society. New York: Palgrave MacMillan. Sleeter, Christine E. (1995). Multicultural Education, Critical Pedagogy, and the Politics of Difference. New York: State University of New York Press. Tjaya, Thomas Hidya. 2005. “Hermeneutika Tradisi dan Kebenaran” dalam Thomas Hidya Tjaya dan Justinus Sudarminta.

22

• Hendar Putranto

UMN Tim editor. Menggagas Manusia sebagai Penafsir. Yogyakarta: Kanisius. van Dijk, Jan A.G.M. (2006). The Network Society: Social Aspects of New Media, Second edition. London, Thousand Oaks, New Delhi: SAGE Publications. Verkuyten, Maykel. (2004). “Everyday Ways of Thinking about Multiculturalism” dalam jurnal Ethnicities, Vol. 4(1): 53 – 74; 040328. London: SAGE Publications. Vertovec, Steven dan Wessendorf, Susanne. Tim editor. (2010). The Multiculturalism Backlash: European discourses, policies, and practices. London dan New York: Routledge. Walhof, Darren R. (2006). “Friendship, Otherness, and Gadamer’s Politics of Solidarity” dalam jurnal Political Theory, Volume 34 No. 5, Oktober 2006, hlm. 569-593 Watt, Diane. (2007). “On Becoming a Qualitative Researcher: The Value of Reflexivity” dalam The Qualitative Report Volume 12 Nomor 1 Maret 2007, hlm. 82-101 (bisa diakses di http://www.nova.edu/ssss/QR/QR12-1/ watt.pdf) White, Stephen K. (1995). The Cambridge Companion to Habermas. Cambridge UK: Cambridge University Press. Williams, Malcolm. (2003). Making Sense of Social Research. London, Thousand Oaks, New Delhi: SAGE Publications. Wise, Amanda dan Velayutham, Selvaraj. 2009. “Introduction: Multiculturalism and Everyday Life” dalam Wise, Amanda dan Velayutham, Selvaraj. Tim editor. Everyday Multiculturalism. Basingstoke, Hampshire dan New York: Palgrave Macmillan.

Desember 2011 • Volume III, Nomor 2


• Afdal Makkuraga Putra

Media Baru dan Fenomena Komunikasi Politik pada Pemilukada di Provinsi Banten 2011

UMN Media Baru dan Fenomena Komunikasi Politik pada Pemilukada di Provinsi Banten 2011 Afdal Makkuraga Putra Universitas Mercu Buana afdalraga@yahoo.com ABSTRACT: Political system in Indonesia after New Order regime has entered into a new phase, which is both fundamentally and practically different. With the growth of freedom of expression and the rise of information and communication technology (ICT), the use and practices of political communication is also striking a fair balance, two-ways direction, no longer dominated by government-only apparatuses. The use of internet and New Media in political communication realm has been pioneered since 1997, and has been growing ever since, thanks to the new practices of local election (Pilkada). This paper will address firstly, the theoretical framework of political communication in e-Democracy, and secondly, the application of New Media (website, blog, and social media sites) in local-based political communication, namely Pilkada in Banten at October 23, 2011. Having analysed the phenomenon in question, a surprising result appears. Even though all candidates of Governor and Deputy Governor of recent Pilkada Banten have used New Media as their communication and campaign media, nevertheless the interactivity factor embedded within those “New Media use” are largely neglected. Keywords: e-Democracy, political communication, New Media, interactivity. Sebagaimana kita ketahui era reformasi di Indonesia membawa perubahan sistem politik yang sangat mendasar. Bila di zaman Orde Baru sistem politik kita bercorak otoriter, kini sistem politik bersalin rupa menjadi sistem politik liberal. Hal yang sangat dirasakan dari perubahan tersebut adalah terbukanya iklim kebebasan. Bila di Orde Baru kebebasan berorganisasi dan kemerdekaan pers dikekang oleh penguasa, kini kebebasan tersebut dinikmati sepenuhnya. Kebebasan itu tentu berdampak pada sistem politik, pemilu dan pers.1 Dari sisi sistem kepartaian, kita saat ini menganut sistem multi partai, sangat berbeda dengan era Orde Baru yang membatasi warga negara membentuk partai politik.2 Dari sisi sistem pemilu, selain multi partai, Presiden dan Wakil Presiden juga dipiVolume III, Nomor 2• Desember 2011

lih secara bebas dan langsung. Sangat berbeda dengan Orde Baru yang menganut sistem pemilihan perwakilan. Kita saat ini juga sudah menganut sistem parlemen dua kamar (bi cameral) yakni Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD). DPR mewakili partai politik sedangkan DPD mewakili wilayah (provinsi). Melengkapi pemilihan presiden dan wakil presiden, kini bupati/walikota dan gubernur pun dipilih secara langsung, atau lebih dikenal dengan Pemilihan Kepada Daerah Langsung (Pilkada).3 Pers juga tak ketinggalan, setelah terbelenggu selama 32 tahun lebih kini insan pers di Indonesia sudah menikmati iklim kebebasan. Setiap warga negara di republik ini berkesempatan mendirikan institusi pers tanpa ada halangan dari pihak 23


Media Baru dan Fenomena Komunikasi Politik pada Pemilukada di Provinsi Banten 2011

• Afdal Makkuraga Putra

UMN

manapun. Insan pers pun bebas mengeritik penguasa. Fungsinya sebagai anjing penggonggong (watch dog) benar-benar dinikmati. Sejalan dengan iklim kebebasan dan perkembangan teknologi komunikasi kajian dan praktek komunikasi politik juga semakin menarik. Praktek komunikasi politik tidak lagi monoton dan dikontrol oleh pemerintah. Praktek komunikasi politik saat ini selain bentuk yang makin dinamis dan atraktif, juga kualitasnya sudah makin baik. Sekarang ini praktek komunikasi politik tidak hanya terjadi menjelang Pemilu lima tahunan, tetapi berlangsung hampir setiap saat sejalan dengan pemilihan Gubernur, Bupati/walikota dipilih secara langsung. Praktek tersebut bisa dilihat dari kampanye, debat kandidat, pencitraan sampai pada jajak pendapat. Aplikasi media baru4 (internet) dalam ranah praktek komunikasi politik Indonesia mulai terlihat sejak awal tahun 1997, kala itu terdapat tiga home page yang cukup aktif, yakni: situs apa kabar yang dikelola oleh John McDougal, �KDP.net� yang dikelola oleh beberapa aktivis pijar dan Joyo Indonesia News yang dikelola Gordon Bishop dari New York. Ketiga home page itu digunakan sebagai sarana kampanye bagi mahasiswa untuk melawan rezim Orde Baru. Home page tersebut berusaha memberi penyadaran politik bagi masyarakat kelas menengah saat itu.5 Pada Pemilu 1997 sebenarnya penggunaan Internet untuk kampanye telah dimulai oleh partai Politik kala itu (PPP, Golkar dan PDI). Golkar dengan alamat www.golkar. or.id, Partai Persatuan Pembangunan online beralamat di www.ppp.or.id dan PDI meluncurkan Banteng Yes di alamat www.banteng.org. Informasi yang tersaji pada ketiga website tersebut meliputi program partai, pernyataan politik, susunan pengurus di tingkat pusat dan daerah, AD/ART 24

dan kesempatan dialog antara pengguna dan pengurus partai politik. Penggunaan website bagi parpol kala itu memang memiliki keunikan tersendiri: Pertama dari segi biaya lebih murah dibanding dengan media cetak dan elektronik. Dengan membuat website kampanye di Internet bisa lebih murah dan efisien. Biaya yang dikeluarkan berupa membeli domain, desain website, pengelolaan dan maintenance website. Kedua, pesan-pesan yang terdapat dalam website dapat menjangkau seluruh dunia secara real time. Kemukinan pesan-pesan tersebut bisa disebarkan secara simultan melalui mailing list dan chatting room. Ketiga website parpol juga dapat memanfaatkan aplikasi-aplikasi interaktif untuk mendukung tujuan partai politik atau kandidat legislator. Pada Pemilu 2004 dan 2009 pemanfaatan internet sebagai medium komunikasi politik makin meningkat. Bukan saja partai politik yang memanfaatkannya, melainkan juga individu calon legislator (DPR dan DPD), pasangan calon Wapres dan Presiden ramai-ramai membangun website. E-DEMOKRASI DAN KOMUNIKASI POLITIK Asal mula demokrasi sebagai suatu system politik dapat ditelusuri ke belakang, yaitu sebelum abad ke-5 M ketika Yunani menciptakan the polis (the city-state atau the city-community),dan mencoba menjawab pertanyaan: bagaimana seharusnya sebuah system politik diorganisasikan guna memenuhi kepentingan dan kemakmuran rakyat. Secara terminology kata demokrasi berasal dari bahasa Yunani yakni demos yang bermakna rakyat dan kratos atau kratein yang berarti yang berarti kekuasaan, jadi kata demokrasi bermakna rakyat yang berkuasa (government by the people) Desember 2011 • Volume III, Nomor 2


• Afdal Makkuraga Putra

Media Baru dan Fenomena Komunikasi Politik pada Pemilukada di Provinsi Banten 2011

UMN

(Budiardjo, 2010:105). Meskipun kalimat tersebut terlihat sederhana, tetapi susah untuk diimplementasikan. Menurut Larry Diamond (dalam Zuhro, dkk, 2009:14), Ada tiga asumsi umum yang lekat dengan konsep demokrasi. Pertama, demokrasi tidak hanya penting dan mungkin merupakan bentuk terbaik pemerintahan yang bisa diciptakan, melainkan juga suatu doktrin politik yang menguntungkan banyak negara. Asumsi ini tidak hanya didukung olehAS, melainkan juga beberapa negara Eropa Barat lainnya yang memproklamasikan dirinya sebagai model demokrasi modern. Kedua, demokrasi sebagai sistem politik dan pemerintahan memiliki sejarah panjang, berakar dalam sejarah Yunani kuno. Sebagai bentuk yang ideal, meskipun mungkin bukan sebagai suatu sistem, demokrasi bertahan melalui lingkungan politik yang tidak ramah. Ketiga, demokrasi dipandang sebagai sistem yang natural/alami sehingga bila orang di negara manapun memenangkan kebebasan untuk memilih sistem politiknya, mereka akan memilih demokrasi. Meskipun demikian, asumsi tersebut di atas masih diperdebatkan. Dalam kenyataannya, terdapat perbedaan dalam mempraktikkan demokrasi dari suatu negara ke negara lainnya. Sebagai akibatnya, mendefinisikan demokrasi tidaklah mudah dan sederhana.Sebagaicontoh,suatunegaramungkin dipandang demokratis bila negara tersebut memiliki parlemen, sistem partai, dan pemilu. Kalau ciri-ciri tersebut digunakan untuk menilai demokrasi suatu negara, akan banyak negara yang mengklaim dirinya demokratis. Menurut Rosenberg, negara yang demokratis adalah suatu negara yang di dalamnya ada the democratic movement rules. Meskipun demikian, kiranya harus pula dibedakan antara bentuk dan substansi. Sebab, ada suatu negara yang memiliki lembaga politik Volume III, Nomor 2• Desember 2011

demokratis, sementara sikap yang ditunjukkannya adalah otoritarian atau anti-demokrasi.9 Feith berpendapat bahwa tuntutan prinsip demokrasi adalah kebebasan individu dan kelompok untuk mengontrol negara. Demokrasi menurutnya merupakan suatu rangkaian kelembagaan yang membuat pemerintah legitimate dalam masyarakat dimana sebagian besar rakyat dipengaruhi ideologi (liberalisme, sosialisme, nasionalisme, feminisme dan lingkungan) demokrasi modern (Zuhro, dkk, 2009:14). Lebih jauh Feith mengatakan bahwa munculnya kembali demokratisasi berkenan dengan industrialisasi dan ekonomi, politik dan transformasi sosial, naiknya tingkat pendidikan, dan meluasnya media massa serta bangkitnya kelas bisnis, profesional, dan buruh. Selain itu, demokrasi juga dikaitkan dengan penyelenggaraan pemerintahan yang baik atau sistem politik yang ideal dan bahkan nyaris ‘sempurna’. Akan tetapi, demokrasi sebenarnya juga terkait dengan gaya hidup serta tata masyarakat tertentu yang mengandung unsur-unsur moral. Oleh karena itu, demokrasi juga mengandung nilai-nilai (values) tertentu yang dianggap baik oleh masyarakat. Menurut Henry B. Mayo, demokrasi mencakup beberapa norma atau nilai, yaitu: penyelesaian perselisihan secara damai dan melembaga; terjadinya perubahan secara damai dalam suatu masyarakat yang sedang berubah; pergantian pimpinan secara teratur; pembatasan pemakaian kekerasan (paksaan) secara minimum; pengakuan dan penghormatan atas keanekaragaman serta jaminan penegakan keadilan (Budiardjo, 2010:117). 25


Media Baru dan Fenomena Komunikasi Politik pada Pemilukada di Provinsi Banten 2011

• Afdal Makkuraga Putra

UMN

Senada dengan Mayo, Carter dan Hertz mengkonseptualisasi tujuh ciri demokrasi, yaitu: pembatasan terhadap tindakan pemerintah dengan menjamin terjadinya pergantian pemimpin secara berkala, tertib, damai, melalui alat-alat perwakilan rakyat yang efektif; menghargai sikap toleransi terhadap perbedaan pendapatan yang berlawanan; menjamin perasamaan di depan hukum yang diwujudkan dengan sikap tunduk kepada rule of law tanpa membedakan kedudukan politik; kebebesan berpartisipasi dan beroposisi bagi partai politik, organisasi kemasyarakatan, masyarakat dan perorangan termasuk bagi pers dan media massa; penghormatan terhadap hak rakyat untuk memberikan pendapatnya betapapun tampak salah dan tidak populer; penghargaan terhadap hakhak minoritas dan perorangan;dan penggunaan cara persuasif dan diskursif ketimbang koersif dan represif (Budiardjo, 2010:117). Sedangkan Robert A. Dahl mengajukan lima kriteria demokrasi, yakni; persamaan hak pilih dalam menentukan keputusan kolektif yang mengikat; partisipasi efektif, yaitu kesempatan yang sama bagi semua warga negara dalam proses pembuatan keputusan secara kolektif; pembeberan kebenaran, yaitu adanya peluang yang sama bagi setiap orang untuk memberikan penilaian terhadap jalannya proses politik dan pemerintahan; kontrol terakhir terhadap agenda, yaitu adanya kekuasan eksklusif bagi masyarakat untuk menentukan agenda yang harus dan tidak harus diputuskan melalui pemerintahan; dan terliputnya masyarakat dalam kaitannya dengan hukum (Budiardjo, 2010:117). Selanjutnya. Andrews dan Chapman mengemukakan enam ciri demokrasi, yaitu hak suara yang luas; pemelihan umum yang bebas dan terbuka; kebebasan berbicara dan berkumpul; penghargaan atas rule of law; pemerintahan 26

yang bergantung pada parlemen; dan badan pengadilan yang bebas (Zuhro, dkk, 2009:19). E-DEMOKRASI Istilah e-Demokrasi sebenarnya merujuk pada penggunaan media baru (New Media) dalam ranah politik. Pengunaan media baru tersebut dianggap dapat memperkaya partisipasi warga dalam sosialisasi politik, sehingga pengambilan keputusan yang dilakukan oleh parlemen, dapat melibatkan warga lebih dalam karena akses terhadap informasi juga diketahui oleh warga, demikian juga bahwa akses warga untuk berkomunikasi dengan para pengambil kebijakan juga semakin terbuka, cepat dan murah. e-Demokrasi sering dikaitkan dengan pemanfaatan website oleh partai politik, lembaga eksekutif, eksekutif dan legislatif, pemungutan suara secara elektronik, mengirim email ke perwakilan politik dan diskusi-diskusi politik melalui internet serta pelayanan publik melalui internet (Thomas Zittel, 2004). e-Demokrasi juga dapat diartikan pada penggunaan teknologi informasi dan komunikasi dalam menyusun strategi pada proses politik dan pemerintahan. “e-Demokrasi senantiasa berkaitan dengan penggunaan teknologi informasi dan komunikasi dalam melibatkan warga untuk mendukung proses pengambilan keputusan demokratis dan memperkuat demokrasi perwakilan. e-Demokrasi bertujuan untuk menjaring partisipasi warga yang lebih luas dan lebih aktif melalui Internet, komunikasi bergerak, dan teknologi lainnya dalam sistem demokrasi. Penelitian Rutger University mengatakan bahwa pesan-pesan politik di website memiliki kontribusi pada demokrasi langsung yang lebih partisipatoris (Barber dalam Linda Lee Kaid, 2004). Kontribusi tersebut dapat terjadi karena: Desember 2011 • Volume III, Nomor 2


• Afdal Makkuraga Putra

Media Baru dan Fenomena Komunikasi Politik pada Pemilukada di Provinsi Banten 2011

UMN

1. Melekatnya sifat interaktivitas pada internet 2. Potensial untuk komunikasi yang lateral dan horizontal 3. Point to point komunikasi 4. Berbiaya murah 5. Sebagai medium komunikasi yang cepat 6. Hilang atau berkurangnya batas-batas nasional 7. Bebas dari Campur tangan Pengaplikasian media baru dalam dunia politik diharapkan memperkaya kualitas partisipasi politik itu sendiri. Kehadiran berbagai macam fitur-fitur di internet memungkinkan publik untuk terlibat lebih jauh dalam proses pemilihan atau pengambilan keputusan public. Oleh karena itu sebagian pakar percaya bahwa pengaplikasian new media dalam dunia politik dapat mewujudkan konsep ruang public (public sphere) seutuhnya seperti yang dicita-citakan oleh Jurgen Habermas. Habermas mengharapkan ruang publik memiliki peran yang cukup berarti dalam proses berdemokrasi. Ruang publik merupakan ruang demokratis atau wahana diskursus masyarakat, yang mana warga negara dapat menyatakan opini-opini, kepentingan-kepentingan dan kebutuhankebutuhan mereka secara diskursif. Ruang publik adalah tempat warga berkomunikasi mengenai kegelisahan-kegelisahan politis warga. Selain itu, ruang publik merupakan wadah yang mana warganegara dengan bebas dapat menyatakan sikap dan argumen mereka terhadap negara atau pemerintah. Ruang publik harus bersifat bebas, terbuka, transparan dan tidak ada intervensi pemerintah atau otonom di dalamnya. Ruang publik itu harus mudah diakses semua orang. Tak heran kemudian McQuail menaruh harapan besar lahirnya partisipasi politik yang utuh, oleh karena itu kata McVolume III, Nomor 2• Desember 2011

Quail media baru secara luas disambut sebagai cara yang potensial untuk lari dari politik “top-down� yang operesif dari demokrasi massa, di mana partai politik yang teroganisir secara ketat membuat kebijakan secara sepihak dan memobilisasi dukungan. Lanjut McQuail media baru menyediakan informasi publik yang sangat beragam dan banyak, akses yang tidak terbatas bagi semua sehingga memungkinkan dialog langsung antara pengurus partai dengan pengikutnya. Dialog yang berlangsung pun berjalan bebas karena kontrol aparatur negara hampir tidak ada. KOMUNIKASI POLITIK Fagen mendefinisikan komunikasi politik sebagai segala komunikasi yang terjadi dalam suatu sistem politik dan antara sistem tersebut dengan lingkungannya. Cakupannya meliputi studi mengenai jaringan komunikasi (organisasi, kelompok, media massa, dan saluran-saluran khusus) dan determinan sosial ekonomi dari pola-pola komunikasi yang ada pada sistem yang dimaksud (Nasution, 1990:24-26). Sedangkan menurut Galnoor komunikasi politik merupakan infrastruktur politik, yakni suatu kombinasi dari berbagai interaksi sosial di mana informasi yang berkaitan dengan usaha bersama dan hubungan kekuasaan masuk ke dalam peredaran (Nasution, 1990:24-26). Rumusan Galnoor tersebut sejalan dengan pendekatan Almond dan Powel yang menempatkan komunikasi sebagai suatu fungsi politik bersama-sama dengan dengan fungsi lainnya (artikulasi, agregasi, sosialisasi dan rekrutmen) yang terdapat dalam suatu sistem politik. McNair memberikan batasan komunikasi politik secara lebih luas yakni semua komunikasi yang bertujuan politik. Ia 27


• Afdal Makkuraga Putra

Media Baru dan Fenomena Komunikasi Politik pada Pemilukada di Provinsi Banten 2011

UMN

memberikan tiga batasan komunikasi politik: 1. Semua bentuk komunikasi yang dilakukan oleh politikus dan aktor politik lainnya untuk mencapai tujuan yang spesifik 2. Komunikasi yang ditujukan kepada aktor politik dari individu (non politik) seperti pemilih atau kolomnis di media 3. Komunikasi tentang aktoraktor politik dan aktivitas mereka baik yang termuat dalam pemberitaan media massa ataupun dalam bentukbentuk media lain. Singkatnya, menurut McNair semua wacana politik termasuk dalam definisi komunikasi politik. Wacana politik tersebut tidak hanya yang bersifat verbal atau pernyataan tertulis tetapi juga meliputi non verbal seperti, gaya pakaian, gerak-gerik tubuh (gesture) dan desain logo (McNair, 2003:4). Seperti bentuk-bentuk komunikasi yang lain, proses komunikasi politik berangkat dari formula yang dikemukakan oleh Harold Laswell yang berbunyi: siapa berkata apa, kepada siapa, melalui saluran apa dan bagaimana efeknya. Komunikasi politik berlangsung sebagai suatu proses penyampaian pesan-pesan tertentu yang berasal dari sumber (komunikator) kepada khalayak, dengan menggunakan media (channel) tertentu untuk mencapai tujuan yang tertentu pula. Unsur-unsur tersebutlah yang memungkinkan terjadinya suatu kegiatan komunikasi politik pada akhirnya ditentukan oleh semua unsur tersebut secara keseluruhan. McNair mengemukakan komponen komunikasi politik terdiri dari tiga unsur utama, sebagai berikut (McNair, 2003:6) : 1. Organisasi politik 2. Media 3. Warga negara (Citizens) 28

Sedangkan menurut Gurevitch dan Blumler (Nasution, 1990:42), komponen-komponen sistem komunikasi politik meliputi:19 1. Lembaga-lembaga politik dalam aspek komunikasinya 2. Institusi-institusi media dalam aspek-aspek politiknya 3. Orientasi khalayak terhadap komunikasi politik 4. Aspek-aspek budaya politik yang relevan dengan komunikasi. Untuk lengkapnya, elemen-elemen komunikasi politik dapat dilihat dari bagan berikut ini: Bagan I Elemen-elemen Komunikasi Politik

Organisasi politik:

Partai Organisasi publik Kelompok penekan Organisasi Teroris Pemerintah

Reportase Editorial Komentar Analisis

Tampilan Program Iklan Humas

Media Jajak Pendapat Surat pembaca

Reportase Editorial Komentar

Warga Negara

Analisis Dikutip dari Brian McNiar, 2003

Desember 2011 • Volume III, Nomor 2


• Afdal Makkuraga Putra

Media Baru dan Fenomena Komunikasi Politik pada Pemilukada di Provinsi Banten 2011

UMN

Dan Nimmo menguraikan bahwa cakupan komunikasi politik meliputi: komunikator politik, pesan politik, persuasi politik, media komunikasi politik, khalayak komunikasi politik dan akibat-akibat komunikasi politik. Dan Nimmo mengatakan setidaknya terdapat dua tujuan komunikasi politik (Nimmo dan Rakhmat, 2001:85): 1. Belajar tentang politik (political education). Belajar politik berlangsung sela-

ma sepanjang hidup manusia melalui proses yang disebut sosialisasi politik. Nah disinilah peranan komunikasi politik berguna untuk proses pembelajaran politik. Pembelajaran politik itu terjadi dari proses pertukaran informasi. Aktor-aktor politik dapat belajar memahami konstituen dan masyarakat dari pemberitaan media. Begitu juga sebaliknya masyarakat pun dapat belajar untuk meningkatkan pemahaman berpolitik melalui

Tabel 1 Dimensi Komunikasi Politik dalam E-Demokrasi Dimensi Public right to know

Partisipasi Publik

Transparansi dan Accountability

Pelaksanan independen

Pemilu

yang

Media yang Independen dan Bebas

Variabel  Tersedianya informasi tentang kandidat  Tersedianya informasi visi dan misi kandidat  Tersedianya informasi tentang program kerja yang akan dilakukan oleh kandidat bila terpilih  Tersedianya fasilitas yang memungkingkan masyarakat terlibat dalam proses pengambilan keputusan  Tersedianya informasi tentang jumlah harta dan kekayaan yang dimiliki oleh pejabat publik  Tersedianya informasi tentang besarnya dana kampanye yang digunakan dalam Pilkada/  Jaminan atas terselenggaranya pemilu untuk peralihan kekuasaan dari warga Negara ke pemimpin  Jaminan atas hak untuk memilih dan dipilih  Jaminan atas keterwakilan dalam parlemen  Jaminan atas independensi media dari control dan pengaruh Negara  Jaminan atas kepemilikan privat atas media

Indikator Tersedianya layanan interactive yang memungkinkan masyarakat memberikan respon terhadap kandidat

Tersedianya layanan yang memungkinkan memberikan respon kandidat Tersedianya layanan yang memungkinkan memberikan respon kandidat

 

 

  

Volume III, Nomor 2• Desember 2011

interactive masyarakat terhadap interactive masyarakat terhadap

Tersedianya informasi pemilu di berbagi medium media baru Tersedianya fasilitas e-election

Adanya akses terhadap media bagi public Kemampuan dan kemampuan media untuk merepresentasikan berbagai alur opini dan perspektif Kemampuan dan kemauan untuk bertindak sebagai pengawas pemerintahan Sejauh mana terjadinya pelecehan dan kekerasan terhadap media Sejauh mana adanya pembatasan atas kebebasan pers.

29


Media Baru dan Fenomena Komunikasi Politik pada Pemilukada di Provinsi Banten 2011

• Afdal Makkuraga Putra

UMN

pemberitaan-pemberitaan politik, debat publik yang ditayangkan oleh media massa. 2. Berpartisipasi dalam politik (political participation) ; melalui proses pembelajaran politik tersebut, orang mengembangkan kepercayaan, nilai dan pengharapan yang selanjutnya mendorong orang untuk berpartisipasi dalam politik. Wujud partisipasi tersebut berupa: partisipasi dalam pemilihan umum, identifikasi dengan partai politik, pendaftaran untuk memilih, pengambilan bagian dalam kampanye, mengikuti informasi tentang politik, terlibat dalam pengambilan keputusan publik, masuk organisasi kepentingan umum dan politik ANALISIS WEBSITE CALON PILKADA BANTEN Penjelasan dibawah ini merupakan analisis penggunaan media baru dalam Pemilihan Gubernur Kepala Daerah Provinsi Banten yang berlangsung Sabtu 23 Oktober 2011, Pilkada tersenut diikuti oleh tiga pasangan calon yaitu : Hj. Ratu Atut Chosiyah, SE berpasangan dengan H. Rano Karno. Pasangan ini didukung oleh 11 Partai Politik yakni.partai Golkar, PDIPerjuangan, Hanura, Gerindra, PKB, PBB, PAN, PKPB, PPNU, PDS, PPD. Pasangan Wahidin Halim-Irna Narulita didukung oleh Partai Demokrat, dan pasangan Jazuli Juwaini, MA dan Makmun Zakki yang didukung oleh empat partai: PKS, PPP, PBR dan PKNU.

30

Hj. Ratu atut Chosiyah, SE yang berpasangan dengan H.Rano Karno mencalonkan diri sebagai pasangan Gubernur dan wakil gubernur banten periode 2012-2017. Pasangan ini didukung oleh 11 partai yakni partai Golkar, PDI-Perjuangan, Hanura, Gerindra, PKB, PBB, PAN, PKPB, PPNU, PDS, PPD. Pasangan ini boleh dikatakan memanfaatkan hampir semua new media (termasuk media sosial) dalam mengkampanyekan diri mereka menuju Gubernur Banten 2012-2017. Pasangan ini tercatat memiliki website yakni: http://ratuatut.com, http://bantenbersatu.com dan http://ibuatut.com. Website ratuatut.com dan bantenbersatu.com memiliki tampilan dan konten yang persis sama. Boleh dikatakan tampilan kedua website tersebut cukup menarik dan atraktif. Disamping ketiga website tersebut, pasangan ini juga memiliki jejaringan di media sosial: facebook, twitter, blogger dan kompasiana. Tampilan ratuatut.com dan bantenbersatu.com, lebih menyerupai portal berita, tulisan-tulisan di dalam kedua website tersebut didesain seperti tulisan berita lurus (straight news). Website tersebut memiliki kategori yakni, Home, Berita, Artikel/Resensi, Sudut Banten, Pemilukada, Testimoni/aspirasi, Diary/Inspirasi, Profil dan Hubungi kami Secara umum website tersebut memiliki fasilitas “add comment” pada semua artikelnya yang memungkinkan pengunjung (visitor) memberikan umpan balik (komentar). Fasilitas ini merupakan ciri website 2,0 yang memungkinkan pengunjung berpartisipasi atau berinteraksi de-ngan si empunya website dan para pengunjung yang lain. Namun sayangnya fasilitas tersebut kurang terpakai oleh pengunjung. Dari amatan selintas, terlihat beberapa artikel tidak dikomentari oleh pengunjung. Desember 2011 • Volume III, Nomor 2


• Afdal Makkuraga Putra

Media Baru dan Fenomena Komunikasi Politik pada Pemilukada di Provinsi Banten 2011

UMN

Bila ditelisik lebih dalam, websitewebsite tersebut secara umum hanya berisikan informasi tentang, siapa kandidat dan apa yang telah kandidat lakukan (track record). Informasi tentang visi, misi dan program kerja kandidat hanya muncul dalam satu artikel berita. Visi dan misi tersebut termuat dalam artikel yang berjudul: Ratu Atut-Rano Karno Usung 12 Program Unggulan. Artikel ini diunggah pada 5 Oktober 2011, yang disimpan pada kategori Pemilukada. Ke 12 program unggulan tersebut terangkum dalam 5 Misi utama pasangan ini. Namun sekali lagi sangat disayangkan walaupun artikel ini telah menyediakan ruang komentar, namun sama sekali tidak terkomentari. Informasi tentang keterlibatan publik dalam pengambilan keputusan sama sekali tidak ada, begitu juga dengan harta dan kekayaan serta dana kampanye kandidat tidak ada sama sekali. Website tersebut lebih menyampaikan aspek pencitraan kandidat daripada mengajak warga untuk terlibat dalam proses partisipatif. Bagaimana dengan media sosial facebook: Hj. Ratu Atut Chosiyah, SE? postingan status/wall pada umumnya share link ke ratuatut.com. Numun, berbeda dengan website resmi, komentarkomentar untuk setiap postingan tersebut boleh dibilang berlimpah. Hasil amatan sekilas menunjukkan bahwa rata-rata yang memberikan komentar rata-rata di atas 20 komen. Namun lagi-lagi disayangkan Ratu Atut, sangat jarang bahkan hampir tidak pernah membalas komentar-komentar yang masuk, baik yang sifatnya mendukung maupun yang kontra. Tidak adanya respon yang berikan oleh Ratu Atut atau pengelolanya di Fan Page FB-nya selain mengingkari sifat FB yang interaktif juga merupakan Volume III, Nomor 2• Desember 2011

“dosa� media berbasis Internet yang memang berkarakter interaktif tersebut.

Pasangan Jazuli- Zakki juga membuat website resmi guna mendukung pencalonannya sebagai Gubernur Banten. Website mereka berdomain: http://jazulijuwaini.com. Tampilan website ini didominasi warna kuning warna identitas Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Dalam website tersebut berisi delapan kategori yakni: Beranda, Profil, Agenda, Berita, Press Realese, Galeri Foto Kegiatan, Al-Quran dan Video.

Tampilan Website Jazuli-Zakki memang tidak meriah dan semewah website Atut-Rano. Informasi yang disediakan di website ini lebih sedikit dari pada punya Atut-Rano. Pada kategori Beranda, berisi 7 headline berita. Dari 7 berita tersebut secara umum berisi dua kualifikasi yakni: berita kegiatan Jazuli dan fakta kegagalan pembangunan Banten. Secara sepintas terlihat bahwa website lebih dominan diisi oleh informasi tentang kandidat (siapa kandidat), track record 31


Media Baru dan Fenomena Komunikasi Politik pada Pemilukada di Provinsi Banten 2011

• Afdal Makkuraga Putra

UMN

kandidat. Artikel-artikel didalamnya berusaha ”membeberkan” unsur negatif kandidat lain ataupun pencapaian kandidat lain. Misalnya pada salah berita headline-nya yang berjudul Tingginya Inflasi Membebani Ekonomi Masyarakat Banten. Berita ini diunggah pada 03 Agustus 2011. Pada intinya berita tersebut menceritakan dengan Inflasi yang mencapai 1,24% dapat membebani masyarakat Banten yang tergolong masih tinggi tingkat pengangguran terbuka-nya yang 13, 50%.6 Di samping pada tampilan antar muka terdapat pula fasilitas jajak pendapat (polling) yang menanyakan siapa calon gubenur banten pilihan anda? Hasil polling menjukkan bahwa Jazuli menempati urutan pertama dengan 530 suara atau 84%, tempat kedua diduduki oleh Wahidin Halim dengan 68 suara atau 10,8% dan ketiga ditempati oleh Ratu Atut Chosiyah dengan 33 suara atau 5,2%. Tentu saja hasil polling ini belum menggambarkan pendapat masyarakat Banten secara keseluruhan. Bila dibandingkan dengan informasi visi dan misi Jazuli dan Atut; milik Jazuli lebih gampang ditemukan daripada milik Atut. Visi dan Misi Jazuli tersimpan dalam anak kategori profil, sehingga begitu ka-tegori profil diklik maka akan muncul bentangan visi dan misi tersebut. Selain itu visi misi tersebut ternarasi dengan detail dan disimpan dalam format adobe PDF dan pengunjung dapat pula mengunduhnya. Berbeda dengan Atut, visi dan misi tersebut berserak diantara belantara berita lain. Namun sayang sekali informasi visi dan misi Jazuli tidak memiliki fasilitas ”add comment” sehingga warga yang ingin melakukan dialog interaktif dengan kandidat Jazuli tidak terwujud. Padahal keberadaan fasilitas ”add comment” merupakan karakter dari interactivity tersebut. Sama dengan Ratu Atut, Informasi keterlibatan publik dalam pengam32

bilan keputusan dalam hal kebijakankebijakan yang akan diambil sama sekali tidak ada, begitu juga dengan informasi tentang harta dan kekayaan serta dana kampanye kandidat tidak ada sama sekali. Secara umum website tersebut lebih menguraikan aspek pencitraan kandidat daripada mengajak warga untuk terlibat dalam proses partisipatif. Pasangan kandidat yang didukung oleh PKS ini juga membuat hyperlink ke dua media sosial yakni Facebook dan Twitter. Pada fan-page FB Jazuli sampai dengan 10 November 2011 baru ter-like sebanyak 775 orang, jauh tertinggal dari FB Atut yang sudah mencapai 8,733 orang. Yang membedakan FB fan page Jazuli dan Ratu Atut adalah sisi jumlah komentar, komentar yang masuk ke Jazuli jauh lebih sedikit dari pada FB Atut. Pada FB Jazuli postingan status dan share link hanya di bawah 10 komentar. Meskipun begitu beberapa kali Jazuli merespon atas komentar yang masuk dari follower-nya.

Bagaimana dengan Pasangan Wahidin Halim? Walikota Tangerang ini juga tak ketinggalan menggunakan medium website guna mendukung pencalonannya sebagai Gubernur Banten. Website Wahidin beralamat: http://walikota.tangerangkota.go.id/. Apa saja sajian website Wahidin? Begitu kita membuka situsnya terlihat foto Wahidin dalam balutan pakaian dinas Desember 2011 • Volume III, Nomor 2


• Afdal Makkuraga Putra

Media Baru dan Fenomena Komunikasi Politik pada Pemilukada di Provinsi Banten 2011

UMN

resmi berwarna putih. Tampilan situs ini terlihat sangat sederhana dan polos. Pada tampilan antar muka terdapat dua kategori yakni Menu Utama dan Agenda. Keduanya diletakkan pada sisi kiri secara vertikal. dalam Menu Utama ini memiliki anak kategori; Halaman Utama, Masa Kecil, Keluarga, Pendidikan, Jabatan, Penghargaan, Organisasi, Karya tulis dan Kebijakan. Kategori lainnya bertajuk Agenda yang memiliki anak kategori: Keagamaan, Dialog, Kunjungan Kerja dan Peresmian/Pertemuan. Pada Halaman Utama berisi sekapur sirih atau kata sambutan Wahidin, pada halaman Masa Kecil berisikan informasi masa kecil Wahidin yang hidup sederhana dan penuh perjuangan dalam meraih cita-cita. Di sisi sebelah kiri terdapat lima teaser: yakni Interaktif; Buku Tamu, Galeri Foto, Polling, Statistik Pengunjung dan Tamu.

Secara umum informasi yang tersedia dalam situs Wahidin masih didominasi tentang siapa kandidat, pencapaian kandidat dan track record Wahidin. Situs ini sama sekali tidak menginformasikan visi dan misi sebagai Kandidat Gubenur Banten. Website ini juga kurang interaktif. Semua artikel yang ada di situs tersebut sama sekali tidak memili fasilitas �add comment�. Padahal fasilitas ini merupakan ciri interaktivitas sebagaimana ciri new media. Satu-satunya fasilitas

Volume III, Nomor 2• Desember 2011

interkatif di situs ini ada pada kategori interaktif. Kategori ini berisi respon dan unek-unek pengunjung yang disampaikan ke Wahidin. Namun sayang sekali, lagi-lagi Wahidin tidak menanggapi respon pengunjung tersebut. Tindakan ini sama saja menghianati sifat internet itu sendiri yakni interaktivitas. KESIMPULAN Berkaca pada pada kasus Pilkada Provinsi Banten semua kandidat memiliki situs resmi bahkan tak luput memanfaatkan situs-situs jejeraing sosial seperti facebook dan twitter. Namun sayang sekali meskipun sudah memiliki fasilitas interaktif, hampir semua situs tersebut kurang interaktif alias masih satu arah. Terlihat mereka hanya ingin menginformasikan, belum mendorong agar pengunjung menyampaikan pandangan dan aspirasinya dan kemudian berinteraksi. Barangkali ini juga terkait dengan sikap pengunjung dunia maya di Indonesia yang juga belum interaktif. REFERENSI [1] Dasar hukum kebebasan itu bisa dilihat dari sejumlah UU yang telah disahkan, misalnya, pasal 28 F UUD 1945, kebebasan pers UU No 40/99, UU No. 12 tentang Pemilu Legislatif, UU No. 23 Tentang Pilpres dan Wapres. UU No. 21/2002 tentang Parpol. [2] Di era Orde Baru, Pemilu 1971 diikuti oleh 10 partai politik, tahun 1973 pemerintah melakukan kebijakan fusi partai, sehingga pada pemilu 1977 peserta pemilu menjadi dua partai dan satu organisasi kekaryaan (PDI, PPP dan Golkar) [3] Dasar hukum Pilkada adalah UU No. 32/2004. [4] Memang belum ada formulasi yang tepat untuk menggambarkan tentang media baru, namun menurut McQuail

33


Media Baru dan Fenomena Komunikasi Politik pada Pemilukada di Provinsi Banten 2011

• Afdal Makkuraga Putra

UMN

media baru memiliki dua unsur utama yakni: Digitalisasi dan Konvergensi. Internet merupakan bukti konvergensi karena menggabungkan beberapa fungsi media lain seperti audio, video dan teks. Lihat McQuail’s Mass Communication Teory, 6th ed, Sage Publication [5] Lihat Media dan Pemilu terbitan SEAPA Jakarta bersama Koalisi Media Untuk Pemilu Bebas dan Adil, 2004, hal 96-98. [6] Pada tanggal 8 November 2011 di website www.ratuatut.com muncul berita berjudul Pemprov Banten Berhasil Turunkan Tingkat Pengangguran Terbuka. Berita ini seolah-olah merspon berita yang dipublikasi Jazuli diwebsitenya. DAFTAR PUSTAKA Budiardjo, Miriam. (2010). Dasar-dasar Ilmu Poli­tik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Lee Kaid, Linda. (2004). Handbook Political Com­munication Research. London (UK): Sage Publication.

34

Liliker, G Darren. (2006). Key Concepts In Politi­cal Communication. London (UK): Sage Publication. McNair, Brian. (2003). An Introduction to Political Communication. London dan USA: Routledge. McQuail, Denis. (2006). Mass Commu­nication Theory, 6th edition, London (UK): Sage Publication. Nasution, Zulakarimen. (1990). Komunikasi Politik: Suatu Pengantar. Jakarta: Ghalia Indonesia. Nimmo, Dan dan Jalaluddin Rakhmat. (2001). Komunikasi Politik: Khalayak & Efek. Bandung: Rosda. Zuhro, Siti, dkk. (2009). Demokrasi Lokal: Peruba­han dan Kesinambungan NilaiNilai Budaya Politik Lokal. Yogyakarta: Penerbit Ombak.

Desember 2011 • Volume III, Nomor 2


• Keken Frita Vanri, Benni Yusriza Hasbiyalloh

Games Online dan Katarsis Virtual : Studi Kasus dengan Analisis Psikoanalisis Freud pada Kecenderungan Permainan Game Interaktif Point Blank dan Second Life

UMN

Games Online dan Katarsis Virtual Studi Kasus dengan Analisis Psikoanalisis Freud pada Kecenderungan Permainan Game Interaktif Point Blank dan Second Life Keken Frita Vanri Benni Yusriza Hasbiyalloh1 Universitas Paramadina Jakarta kekenfritavanri@gmail.com ben.yusriza@gmail.com ABSTRACT Interactivity, digitality, and virtuality are three important aspects of Internet technology, among others. Thanks to its break-through characteristics, internet brings many changes into the lives of people. Due to its accessible features and loads of information, many people’s needs on information, entertainment and social interaction are necessarily answered. One of the most interesting and widely developed features on internet is online game. Online game promises its users the ability to connect with other fellow users in real time. This paper intends to view online game as a second reality, different with the real world we live in. By employing psychoanalysis theory initiated and developed by Sigmund Freud, this paper sees online game as a playing field for human Id (Freudian biological desire), constantly repressed in real world due to its persisting conflict with ego and super ego. Online game commonly perceived as “unreal virtual sphere” facilitates its users to freely conduct certain actions which, in normal and real life, are forbidden, such as killing and raping. Therefore, online game could be perceived as catharsis, or outlet for bestial desire of human being. The hypotheses needs to be proven in this paper is whether sexual and violent character of online game really possess catharsis function to release the biological desire of the users, or, the other way around, namely, repressing the Id. The methodology used in this paper is case study with both observation as well as literature study relevant with online game in question. The authors attempt to observe directly and also conduct interview with ten children in five different internet shop (warnet). The theoretical paradigm used is twofold, namely, catharsis theory and Freudian psychoanalysis. To support the main paradigm used, the authors also use media dependency theory proposed by DeFleur, including, but not limited to, arousal and aggressive cues. Keywords : Game online, katarsis, psikoanalisis LATAR BELAKANG MASALAH Internet yang muncul pada tahun 1969 sebagai sarana komunikasi dalam perang, telah membawa perubahan yang cukup besar bagi kehidupan manusia. Internet sebagai teknologi telah melakukan deteritorialisasi yang cukup Volume III, Nomor 2• Desember 2011

signifikan, sehingga dimensi ruang dan waktu tidak lagi hambatan bagi proses komunikasi. Internet yang mengandung unsur digitalitas, interaktivitas dan virtualitas telah mengembangkan sebuah pola komunikasi yang berbeda dengan pola komunikasi pada media tradisional. 35


Games Online dan Katarsis Virtual : Studi Kasus dengan Analisis Psikoanalisis Freud pada Kecenderungan Permainan Game Interaktif Point Blank dan Second Life

Pola komunikasi ini telah memindahkan kekuatan dari birokrasi media tradisional kepada kekuatan jaringan digital, dan mengubah otoritas elit para pemilik media menjadi otoritas individu (Des Freedman didalam Curran, 2006). Kekuatan media tradisional seperti TV dan koran tidak sekuat dulu, ketika internet mulai menyediakan ruang bagi kekuasaan individu untuk melakukan suatu yang mereka sukai, sekalipun hal itu tidak dibenarkan. Itulah yang membuat manusia-manusia modern mulai melirik internet sebagai sumber informasi dan ruang eksistensi baru. Tidak heran, jumlah pengguna internet terus bertambah setiap tahun hingga mencapai hampir dua miliar pengguna di dunia dan kurang lebih 30 juta pengguna di Indonesia pada tahun 2010. (lihat, http://www.internetworldstats.com/ asia/id.htm. diakses pada 22 April 2011 pukul 12.12 PM WIB). Internet mengakomodasi penggunanya untuk melakukan segala sesuatu yang diinginkan. Intenet bisa menjadi sumber informasi, tempat untuk menyalurkan ekspresi, sarana memperoleh eksistensi dan mencari kepuasan diri. Fitur yang ditawarkan pun berbeda dan sangat beragam sehingga pengguna dapat memilih fitur sesuai dengan kebutuhannya. Salah satu fitur yang menarik dan menjadi fokus pembahasan dari tulisan ini adalah Game Online. Kajian game online di Indonesia telah banyak berkembang sejak kemunculan Nexian: The Kingdom of The Wind pada tahun 2001. Game online mulai banyak dimainkan pada tahun 2004 ketika Counterstrike dan Ragnarok Online muncul. Perkembangan game di Indonesia menimbulkan berbagai dinamika sosial yang diawali dengan isu diskriminasi kelas ekonomi karena pemainnya diharuskan membayar. Hal ini menimbulkan kesan bahwa game hanya ditujukan bagi 36

• Keken Frita Vanri, Benni Yusriza Hasbiyalloh

UMN

kalangan ekonomi menengah atas, sedangkan kenyataannya, pemain games adalah anak-anak dan remaja berusia 15-24 (untuk sekarang rentang usia bisa jadi lebih luas) dari berbagai kalangan. Hal ini dapat terobati dengan munculnya game Defence of Ancient / DOTA, Angel Love Online/ALO dan Rising Force Online/RFO yang dapat dimainkan secara gratis atau Free to Play/F2P. Game online pun mengalami perkembangan dari segi cara bermain dan konsep/ genre. Kini, game online tidak hanya sekedar game yang disediakan oleh jaringan internet, namun game online juga memungkinkan pemainnya untuk berinteraksi atau bermain bersama dengan pemain-pemain lain dari seluruh belahan dunia. Dengan menggunakan sistem server dan client, server menyediakan ruang bagi gamers/ client untuk berinteraksi dalam sebuah permainan. Game online memiliki konsep permainan yang beragam. Ada game online yang menawarkan suatu konsep pepe-rangan, aksi kriminal dan sebagainya. Secara umum, game online terbagi menjadi beberapa jenis/genre yaitu Real Time Strategy (RTS), First Person Shooter (FPS), Role Playing Games (RPG), Life simulation Games, Adventure Games, dan lain-lain(lihat http:// www.tnol.co.id/id/games/4114-genre-gameonline.html diakses pada 22 April 2011 pukul 01.07 PM WIB). Masing-masing game ini memiliki sifat dan karakteristik yang disesuaikan dengan kebutuhan penggunanya. Namun menurut Malone (1980) and Malone and Lepper (1987) ada empat karakter dari game yang dapat meningkatkan motivasi pemain, yakni challenge (tantangan), fantasy (fantasi), curiosity (rasa penasaran), and control (kendali). Game online sama seperti halnya game yang lain, memiliki dua sisi mata koin ketika berbicara mengenai dampak yang ditimbulkan. Di satu sisi, games secara mengesankan memvariasikan sebuah pola keterlibatan, konten Desember 2011 • Volume III, Nomor 2


• Keken Frita Vanri, Benni Yusriza Hasbiyalloh

UMN

dan kemampuan untuk terus dimainkan berulang kali, kedua games bisa menjadi sumber dari ruang diskusi sosial dengan teman sebaya dan ketiga, dapat menjadi alat untuk belajar (lihat http://www.psychologytoday.com/blog/ great-kids-great-parents/201104/kids-parentsand-video-games. diakses pada tanggal 22 April 2011, pukul 5:48 PM). Games secara tidak langsung dapat meningkatkan konsentrasi pemainnya dan bahasa inggris yang biasa digunakan dalam game dapat memperkaya perbendaharaan bahasa asing bagi pemainnya. Melalui penelitian yang dilakukan ditemukan bahwa anak atau remaja yang memainkan video games cenderung akan meningkatkan daya akurasi berpikir untuk anak yang suka bermain tipe permainan teka-teki, serta kemampuan motorik seperti koordinasi tangan dan pikiran untuk tipe permainan petulangan (Newsroom, 2009) Melalui penelitian yang dilakukan ditemukan bahwa anak atau remaja yang memainkan video games cenderung akan meningkatkan daya akurasi berpikir untuk anak yang suka bermain tipe permainan tekateki, serta kemampuan motorik seperti koordinasi tangan dan pikiran untuk tipe permainan petulangan (Newsroom, 2009). Bagi pemainnya, game juga memberikan ruang baru bagi mereka sebagai escapism from reality atau pelarian dari kenyataan. Melalui game, pemain mendapatkan pengalaman yang berbeda dengan kehidupannya sehari-hari dan mungkin pemain juga dapat memenuhi kebutuhan yang tidak terpenuhi di dunia nyata. Game dapat menjadi pelarian bagi pemainnya yang merasa tidak nyaman dengan lingkungannya sekarang. Selain itu, game juga dapat digunakan untuk membentuk identitas bagi pemain yang masih mencari identitas diri. Misalkan di dalam game avatar, pemain dimungkinkan untuk memilih tokoh apa yang sesuai dengan dirinya. Namun seringkali, pemain tidak memilih tokoh yang sesuai dengan Volume III, Nomor 2• Desember 2011

Games Online dan Katarsis Virtual : Studi Kasus dengan Analisis Psikoanalisis Freud pada Kecenderungan Permainan Game Interaktif Point Blank dan Second Life

dirinya, melainkan mereka memilih karakter yang mereka sukai dan hasrati. Kecenderungan pemain dalam memilih avatar adalah memilih tokoh berdasarkan hasrat ingin menjadi sesuatu seperti avatar tersebut. Efek terakhir yang kami amati dari seorang pemain game adalah bahwa para pemain merasa memiliki kekuasaan dalam menggerakkan tokoh di dalam game. Pemain merasa memiliki otoritas penuh dalam melakukan sesuatu, semisal menentukan siapa kawan, siapa lawan, siapa yang harus dibunuh dan siapa yang harus dibantu. Disamping manfaat yang telah dijabarkan, game ternyata juga menimbulkan beberapa masalah sosial. Ketika seorang pemain atau gamer memainkan game secara berulang dan terus menerus, maka agresivitasnya akan meningkat. Sifat tersebut bisa saja mengarah pada perilaku agresi baik yang bersifat verbal, fisik atau kekerasan, dan relasi. Agresi verbal yang dimaksud disini adalah agresi yang melibatkan perkataan yang menyakitkan secara verbal seperti hinaan-hinaan atau kata kotor akibat dari konten yang ada di dalam permainan. Kemudian agresi secara fisik atau kekerasan adalah jenis yang paling banyak terjadi ketika melihat dari dampak permainan video atau permainan online. Jenis agresi fisik atau kekerasan seperti tindakan kekerasan secara langsung yaitu pemukulan, penusukan, penjegalan, atau penembakan. Kemudian jenis terakhir adalah agresi secara relasi, dimana kerusakan yang diterima lebih bersifat pada rusaknya hubungan atau relasi sosial, perasaan ditolak dari lingkungan, persahabatan atau penyertaan pada kelompok tertentu (Anderson, Gentle, & Buckley, 2007). Contohnya adalah seorang remaja (18 tahun) di Thailand berani merampok dan menembak seorang supir taksi pada Agustus 2008 karena terispirasi oleh game Grand Theft Auto (lihat http://m.inilah.com/ read/detail/98401/waspadai-game-gta, diakses pada 22 April 2011 pukul 09.22 PM WIB) . 37


Games Online dan Katarsis Virtual : Studi Kasus dengan Analisis Psikoanalisis Freud pada Kecenderungan Permainan Game Interaktif Point Blank dan Second Life

Perusahaan game online semakin meningkatkan kecanggihan teknologi di dalam game online. Game online tidak hanya untuk dimainkan sebagai pengisi waktu senggang, namun game telah menjadi ruang kehidupan baru bagi pemainnya. Situasi dalam game didesain senyata mungkin, sehingga penggunanya benar-benar merasa sedang berada dalam situasi di dalam game. Melalui kasus di Thailand kita dapat melihat bahwa game memfasilitasi keinginan seseorang untuk melakukan tindakan-tindakan yang mungkin sulit dia lakukan di dunia nyata, semisal memukul, membunuh, merampok, bahkan memerkosa. Game online semakin eksplisit dalam menyajikan konten-konten kekerasan dan seksualitas yang erat kaitannya dengan motivasi pemain dalam memainkan gamegame dengan konten tersebut. Menurut Sigmund Freud, seorang tokoh psikoanalisis, manusia memiliki Id atau hasrat, Super ego atau nilai dan norma dan ego, sebagai penengah antara Id dan Superego. Id atau hasrat manusia menurut Freud adalah dorongan-dorongan biologis yang muncul dari ketidaksadaran atau irasionalitas. Id merupakan insting yang pasti ada di dalam jiwa manusia yaitu insting seksualitas dan agresivitas. Kedua insting inilah yang lebih menjadi alasan seorang dalam melakukan se-suatu ketimbang pertimbangan atas efek dari hal yang dilakukan. Namun di dunia nyata, Id terbatasi oleh Super Ego, yakni hati nurani dan sistem nilai yang berlaku di lingkungan. Kita tidak bisa membunuh seseorang karena, pertama itu akan menyakiti orang lain, kedua kita akan dihukum oleh masyarakat dan hukum. Karena itulah manusia cenderung menekan Id-nya dan menyalurkannya melalui hal yang lain. Seperti yang dikatakan Gygax dalam buku Dungeon and Dreamer, “Games tend to answer a lot of deep instinctive things� (King 38

• Keken Frita Vanri, Benni Yusriza Hasbiyalloh

UMN

& Borland, 2003), maka dalam hal ini, game online menyediakan fasilitas untuk memenuhi insting tersebut. Ada beberapa pemain game yang mengaku bahwa ia bermain game ketika ia sedang kesal. Dengan bermain game, pemain merasa sedikit demi sedikit dapat melampiaskan emosinya dengan cara membunuh atau menembaki lawan di dalam game. Dalam tulisan ini, kami mengambil dua jenis game online yakni Point Blank dan Second Life, dimana Point blank kami asumsikan sebagai ruang bagi pemenuhan insting agresivitas dan Second life sebagai pemuas insting seksual manusia. Di dalam kehidupan nyata, menembak dan menusuk seseorang hanya menjadi sesuatu yang dapat dilakukan dalam pikiran dan imajinasi, atau dalam ruang ketidaksadaran. Sedangkan di dalam permainan Point Blank, memukul dan menusuk teroris adalah tindakan yang diharuskan jika ingin terus hidup. Begitu pula dan permainan Second life di mana seseorang diajak memainkan simulasi kehidupan di dunia nyata. Di dunia nyata seks merupakan hal yang hanya boleh dilakukan setelah menikah sehingga terkadang seseorang hanya mampu membayangkan bagaimana seks yang sesunggguhnya. Di dalam Second Life, pemain difasilitasi untuk melakukan hubungan seks dengan tokoh perempuan di dalam game tersebut untuk bertahan hidup dan memperoleh poin. Melalui Second Life, pemainnya mampu memenuhi hasrat menjadi dan hasrat memiliki (berdasarkan teori Lacan) melalui fasilitas Avatar. Pemain mampu menampilkan diri dengan re-presentasi paling ideal yang ia inginkan. Melalui Second Life juga, pemain mampu membeli barang-barang sebagai atribut avatar, seperti baju, sepatu dan aksesoris lain, yang menyerupai barang-barang sebenarnya di dunia nyata. Keinginan untuk bertahan hidup, keinginan untuk menjadi sosok yang Desember 2011 • Volume III, Nomor 2


• Keken Frita Vanri, Benni Yusriza Hasbiyalloh

UMN

idealdanmemperolehpoinjustrubermaindiranah kesadaran pemainnya yang merupakan rasionalitas instrumental dimana pemain menjalankan permainan yaitu memperoleh kepuasan dan memenangkan sesuatu. “Maybe be it’s men’s male aggressiveness that makes them want to play. There’s a competitive aggressiveness to games, even Monopoly. You’re there to win.” Menurut Gygax (King & Borland, 2003). Fenomena di atas adalah sebuah penggambaran bagaimana game online dapat digunakan sebagai ruang baru bagi pemainnya untuk menyalurkan ekspresi dan hasrat. Jika dikaitkan dengan teori efek komunikasi, maka hipotesis yang kami buat adalah game online sebagai katarsis virtual bagi Id pemainnya. Turunan dari hipotesis tersebut adalah, apakah game online benar-benar memfasilitasi pemainnya untuk menyalurkan insting agresivitas dan seksualitasnya atau justru, game online juga berperan untuk menekan Id tersebut. Permasalahan itu timbul karena ketika kita menilik kepada teori katarsis, teori tersebut hanya menjelaskan tentang kebiasaan menonton TV dan video (spectatorship), sedangkan di dalam game online, pemain tidak hanya menonton, melainkan ikut terlibat dan melakukan proses partisipasi di dalamnya. Apakah dalam proses keterlibatan itu si pemain benar-benar hanya menyalurkan agresivitasnya saja, atau dia justru menekan agresivitas itu sendiri. Adapun beberapa pertanyaan yang muncul dalam penelitian ini : Apakah pengaruh game online terhadap siklus 24 jam kehidupan pemainnya ? Seberapa jauh si pemain merasa terlibat dalam permainan Point Blank dan Second Life? Hasrat apa saja yang tersalurkan melalui game? Apakah dengan bermain game, insting agresivitas dan seksualitas pemainnya dapat dipenuhi, atau justru ditekan? Volume III, Nomor 2• Desember 2011

Games Online dan Katarsis Virtual : Studi Kasus dengan Analisis Psikoanalisis Freud pada Kecenderungan Permainan Game Interaktif Point Blank dan Second Life

WACANA TEORETIS 1. Game Culture Game memiliki pengertian yang beragam. Selama ini game secara umum hanya dianggap sebagai sebuah permainan yang terstruktur, memiliki aturan dan dimainkan dengan tujuan tertentu. Prensky mendefinisikan game sebagai “organized play” (Prensky, 2001). Dalam game tradisional dimana teknologi tidak berperan, pengertian game masih relevan dengan pemahaman tersebut. Ketika kita bermain Gobak Sodor atau Galasin, tentunya ada aturan-aturan yang dibuat dan dimainkan dengan tujuan kemenangan tim. Pengertian ini berubah ketika game menyatukan diri dalam teknologi, baik video game atau Online game. Ketika permainan game mulai masuk pada kajian komunikasi massa dan cultural studies, maka game tidak lagi hanya sebagai permainan semata, namun lebih kepada proses produksi dan konsumsi serta representasi. Teknologi game yang paling revolusioner adalah game online, dimana para pemainnya terhubung melalui jaringan internet. Game online menghubungkan dua atau lebih pemain yang sedang memainkan permainan tertentu pada saat yang sama. Melalui game online, pemain dapat berinteraksi secara langsung dengan pemain lain. Games provide a great deal of highly interactive feedback, which is crucial to learning (Prensky, 2001). Ini berarti, feedback yang diterima ketika bermain game online tidak semata-mata berasal dari program komputer semata, melainkan berasal dari program komputer yang dikendalikan oleh manusia. Interaktivitas menjadi sebuah faktor penyebab kenapa game online diminati oleh pemainnya. Interaktivitas dalam game online dilihat ketika pemain tidak hanya berada pada posisi viewers melainkan telah bertindak secara aktif dalam mengendalikan serangkaian 39


Games Online dan Katarsis Virtual : Studi Kasus dengan Analisis Psikoanalisis Freud pada Kecenderungan Permainan Game Interaktif Point Blank dan Second Life

teks di dalam game online. Teks dan simbol merupakan media antara pemain dengan game itu sendiri, karena melalui keduanya, pemain dapat menjalankan permainan. Proses konsumsi yang terjadi adalah proses aktif dimana pemain menginterpretasikan simbol-simbol tersebut dan dapat secara langsung menentukan tindakan untuk menanggapinya. Interaktivitas dalam game juga berarti bahwa pemainnya melakukan sebuah partisipasi dalam melakukan segala aktivitas semisal mempelajari tatap muka dengan layar, sistem kontrol dan aturan di dalam game itu sendiri. Partisipasi ini fokus pada kesenangan pemain dan akhirnya bermuara pada eksplorasi ruangruang virtual. Ketika pemain telah menguasai ruang tersebut, maka proses selanjutnya akan melibatkan unsur psikologis, emosi dan adrenalin pemain. Si pemain akan tercebur kedalam sebuah pengalaman baru yang berbeda dari kehidupannya yang biasa. Sehingga proses yang terjadi tidak hanya spectatorship, melainkan immersion. Immersion inilah yang ditawarkan dalam sebuah game: “Immersion is clearly offered as a fundamental aspect of gameplay experience and pleasure, yet it also figures as potentially the most problematic element within that experience.”

(Dovey & Kennedy, 2006)

Proses ini akan menciptakan kualitas perhatian yang mendalam sehingga terkadang menimbulkan problematika semisal terputusnya koneksi antara pemain dimensi waktu, tempat dan rasa. Ini sering kita dapati ketika ada gamer yang menghabiskan waktu seharian untuk bermain game sampai-sampai ia lupa pada aktifitas makan, minum, pergi ke toilet dan tidur. Ketika pemain telah sampai pada tahap ini, maka kesadaran diri akan tereduksi dan segala keputusan untuk bertindak akan diambil alih oleh ranah ketidaksadaran. Namun yang menarik adalah konsep paradoxal William

40

• Keken Frita Vanri, Benni Yusriza Hasbiyalloh

UMN

Gibsonn dalam Game Culture, yang menjelaskan bahwa ketika pemain sangat fokus pada permainan dan tercebur dalam pengalaman game, maka ia akan menjadi semakin pasif di dunia nyata. Kekuatan konsentrasi dan perhatian terhadap game dapat menghilangkan jarak antara pemain dengan mesin komputer. Ketika pemain merasa menguasai jalannya permainan, ketika ia merasa mampu mengendalikan simbol-simbol di dalam game dengan baik , ia akan sulit membedakan antara dirinya dengan game yang sedang ia mainkan. Ia merasa menyatu dengan game tersebut dan merasa bahwa game yang ia mainkan adalah dirinya sendiri. Hal ini serupa dengan perspektif Aristotelian One of the biggest problems of Aristotelian poetics, as explained by such theorists as Bertolt Brecht, is that spectators get immersed in the stories and lose their critical distance from what is happening on the stage or screen . . . this effect is seen as narcotic only by authors whose intentions go further than simple entertainment and want to trigger critical thinking in their audience – for educational, social and/or political reasons

(Dovey & Kennedy, 2006).

Hal serupa berlaku pada game online dimana pemain / gamer sudah tidak mampu lagi berpikir secara kritis dan rasional dalam membedakan antara dirinya dengan konsep biner dari game itu sendiri. Ada kepuasan yang dirasakan seorang gamer ketika ia berhasil mengendalikan tokoh dalam game untuk menembak seseorang dengan tepat, seakanakan dirinya sendirilah yang melakukan tindakan tersebut. Dalam keadaan seperti ini, game memiliki istilah Rhetoric of the self, yang berarti “‘play is idealised by attention to the desirable experiences of the players – their fun, their relaxation, their escape – and the intrinsic or aesthetic satisfaction of the play performances’ (Sutton-Smith, 2001).

Desember 2011 • Volume III, Nomor 2


• Keken Frita Vanri, Benni Yusriza Hasbiyalloh

UMN

Keadaan di atas memang sengaja diciptakan oleh si pembuat game, untuk menciptakan keadaan dan situasi yang sangat mendekati keadaan sebenarnya di dunia nyata. Pemain sebenarnya dijeburkan ke dalam sebuah pengalaman baru dalam dunia simulasi dan representasi. Simulasi adalah sebuah keadaan yang dibuat menyerupai keadaan sebenarnya, sedangkan representasi adalah media bagi pemain untuk bisa terakses pada dunia simulasi tersebut. A simulation is defined as an interactive abstraction or simplification of some real life (Baudrillard, 1983). Berdasarkan kutipan tersebut, dapat diketahui bahwa simulasi merangkum keadaan real secara lebih sederhana. “Sederhanaâ€? berdasarkan interpretasi kami adalah penyederhanaan dari segi aturan, nilai-nilai yang berlaku, dan konsekuensi yang diambil berdasarkan tindakan dalam keadaan sebenarnya. Misalkan dalam game perang, pemain bebas menembak atau menjatuhkan bom di manapun. Sedangkan di dunia nyata, perang sekalipun memiliki aturan, apabila menembak wartawan atau tenaga medis, maka pihak si penembak akan dicap sebagai penjahat perang. Hal seperti itu yang tidak tersedia dalam game online. Nilai-nilai dan aturan itu disimplifikasi sedemikian rupa, dan konsekuensi dari tindakan di dalam game online hanya sebatas pada pengurangan poin atau berkurangnya nyawa. Simulasi atau dunia tiruan ini adalah cara yang paling efektif untuk membangun hubungan antara pemain dengan game. Bahkan , dengan konsep simulasi di dalam game, game kerap dijadikan sebagai sarana belajar/training sebelum memasuki dunia nyata. Semisal training yang dilakukan oleh militer US dengan memberikan simulasi game, yang dibahas dalam buku Digital Game Based Training : Volume III, Nomor 2• Desember 2011

Games Online dan Katarsis Virtual : Studi Kasus dengan Analisis Psikoanalisis Freud pada Kecenderungan Permainan Game Interaktif Point Blank dan Second Life

The military uses games to train soldiers, sailors, pilots, and tank drivers to master their expensive and sensitive equipment. It uses games to train command teams to communicate effectively in battle. It uses games to teach mid level officers how to employ joint force military doctrine in battle. It uses games to teach senior officers the art of strategy. It uses games for team work and team training of squads, fire teams, crews, and other units; games for simulating responses to weapons of mass destruction, terrorist incidents, and threats; games for mastering the complex process of military logistics and even games for teaching how not to fight when helping maintain peace

(Prensky, 2001).

Dari kutipan di atas kami berpendapat bahwa kekuatan dari efek tiruan di dalam simulasi game, dapat mempengaruhi struktur pikiran dan rasionalitas pemainnya untuk mengikuti proses yang terjadi di dalam permainan tersebut. Untuk memasuki dunia simulasi tersebut, pemain membutuhkan sebuah instrumen yang memungkinkan dia terkoneksi secara psikologis dan emosi. Karena itulah muncul istilah representasi dimana melalui representasi ini, pemain dapat menjalankan sebuah permainan dalam ruang virtual. Representasi ini berhubungan dengan tanda dan penanda, di mana tokoh yang dimainkan di dalam game merupakan penanda atau representasi dari pemain di dunia nyata. Semua hal yang digambarkan di dalam game online, misalnya tokoh lawan, senjata, peluru, situasi kota, mobil, tokoh perempuan, pakaian, dll, merupakan simbol yang menjadi representasi dari hal-hal tersebut di dunia nyata. Representasi ini dapat menimbulkan efek mimesis(meniru) dimana perilaku pemain di dunia nyata cenderung mengikuti atau meniru perilaku yang dilakukan si penandanya di dalam game. Ini dikarenakan apa yang dilakukan oleh si penanda di dalam game telah menjadi sebuah tindakan yang logis dalam 41


Games Online dan Katarsis Virtual : Studi Kasus dengan Analisis Psikoanalisis Freud pada Kecenderungan Permainan Game Interaktif Point Blank dan Second Life

UMN

pikiran si pemain. Bandura (Koeswara, 1988 di dalam Afrianti, 2009) juga menyatakan bahwa pengamatan atau observasi terhadap tingkah laku sebuah model akan membentuk tingkah laku pada sang pengamat. Perilaku agresif yang dilakukan oleh model juga akan membentuk agresivitas pada sang pengamat. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa bermain game online jenis agresif mempunyai hubungan yang positif dengan agresivitas pada pemainnya. Sebagai contoh, ketika seorang memainkan Point Blank maka hal yang harus dilakukan ketika melihat tokoh teroris dalam game itu adalah menembak atau menusuk dengan pisau. Ketika permainan itu dilakukan secara terus menerus, maka aturan tersebut akan tertanam di dalam benak pemain dan menjadi sebuah logika berpikir yang menentukan tindakan-tindakan si pemain. Seperti penuturan Friedman (1999) dalam buku Game Culture, “Computer simulations bring the tools of narrative to mapmaking, allowing the individual not simply to observe structures, but to become experientially immersed in their logic (Curran, 2006).” Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa pemain game, dalam hal ini game online tidak hanya mengamati sebuah struktur atau aturan di dalam game, melainkan ikut menanamkan struktur tersebut di dalam pikiran mereka. Hal ini berkaitan dengan perilaku agresif yang muncul di dalam diri pemain game yang sering memainkan game-game kekerasan.

tradisional seperti buku, koran, TV, radio,dll. Menurut Des Freedman dan Sarah kember dalam Media and Cultural Theory, new media memiliki beberapa karakteristik utama, yaitu Interaktivitas, Digitalitas, Virtualitas, Konvergensi, dan Acceleration Time and Compression Distance (Curran, 2006). Interaktivitas seperti yang telah dibahas di dalam game culture, merupakan bentuk partisipasi dari pengguna internet. Pengguna tidak hanya mengamati dan menonton namun ia juga terlibat aktif secara emosional dan psikologis dengan permainan itu sendiri. Dengan interaktivitas, pemain mampu mengontrol secara langsung apa yang terjadi di balik layar dan melakukan komunikasi dua arah melalui protokol-protokol yang tersedia di dalam jaringan komputer. Walaupun sebenarnya, hubungan atau interaksi adalah interaksi semu antara pengguna dengan komputer. Digitalitas mengacu pada penggunaan komputer sebagai media dimana data-data analog diubah menjadi rangkaian komposisi biner yang mudah diolah dan mudah dimanipulasi (Lister, 2003 didalam Curran, 2006). Virtualitas mengacu pada pemahaman Lister, dimana

2.

Virtualitas mengacu pada sebuah bentuk pencitraan dunia nyata yang telah disimplifikasi sedemikian rupa. Ruang virtual adalah hasil persepsi budaya terhadap sebuah objek material yang disatukan dengan pola-pola informasi (Hayles 1998, didalam Curran, 2006). Konvergensi adalah upaya penggabungan beberapa unsur menjadi satu kesatuan, sehingga menghasilkan sebuah kemudahan.

Teori New Media dan Media Online New media berkembang ketika computer mediated communication muncul atau ketika komunikasi mulai dimediasi oleh teknologi computer. Internet dan game online menjadi salah satu contoh media baru yang banyak dimanfaatkan oleh manusia. Media baru cenderung disukai karena ia memiliki karakteristik yang jauh berbeda dengan media 42

• Keken Frita Vanri, Benni Yusriza Hasbiyalloh

“Virtuality here is understood as an abstraction of virtual reality, jointly applied to different forms of imaging and media technologies, and to ‘the very character of everyday life in technologically advanced societies

(Lister(2003) di dalam Curran, 2006).

Desember 2011 • Volume III, Nomor 2


• Keken Frita Vanri, Benni Yusriza Hasbiyalloh

UMN

Konvergensi dengan kata lain dapat diartikan sebagai pengikisan batas-batas dari yang sebelumnya memisahkan jaringan, jasa, dan bisnis didalam wilayah TIK (Singh & Eaja, 2010). Konvergensi yang dimaksud sebagai kelebihan dari media baru adalah penggabungan beberapa bentuk media yang dapat digunakan dalam satu perangkat. Sebagai contoh, internet mengadopsi kemampuan dari beberapa media,seperti radio, telepon, TV, DVD, dan lain-lain. Acceleration Time and Compression Distance berarti media baru mampu menghapus dimensi jarak dan waktu. Ketika kita melakukan chatting dengan seseorang di belahan dunia lain, kita mengobrol secara realtime di waktu yang bersamaan. Kita tidak merasakan ada perbedaan waktu dan jarak yang begitu jauh, karena kita dapat mengobrol seakan-akan sedang bertatap muka. Bahkan teknologi Webcam, dapat memfasilitasi kita untuk berhubungan tatap muka dengan siapapun yang terkoneksi jaringan internet. Namun menurut Sarah Kember (dalam Vanri dan Astria, 2010), inti dari media baru adalah kebebasan personal dimana setiap individu bebas melakukan hal yang dia inginkan, tanpa terjebak atau terkekang pada aturanaturan yang bersifat moral. 3.

Katarsis Teori katarsis berasal dari bahasa Yunani yang berarti penyucian, pembersihan, atau purifikasi (Schement, 2002). Katarsis pertama kali dibahas dalam karya Aristoteles, Poetics,yang menjelaskan bahwa dengan melihat suatu peristiwa yang tragis maka seseorang dapat melepaskan, melampiaskan, mengendurkan atau membebaskan perasaan-perasaan negatif seperti takut, marah, jijik dan kesedihan. Hal ini sejalan dengan pengertian katarsis yang dimuat dalam Dictionary of media Studies, bahwa katarsis Volume III, Nomor 2• Desember 2011

Games Online dan Katarsis Virtual : Studi Kasus dengan Analisis Psikoanalisis Freud pada Kecenderungan Permainan Game Interaktif Point Blank dan Second Life

adalah “The idea that exposure to emotive media products such as violence on television, or a tragic play in a theatre, is therapeutic for the audience and releases emotions in a harmless way.” Menurut pengertian ini, katarsis adalah upaya melepaskan emosi dengan cara-cara yang tidak berbahaya. Bahkan, metode ini digunakan oleh Freud untuk mengobati pasien-pasiennya (Schement, 2002). Feshbach (1955, 1972) dalam Media Effect and Society juga mengungkapkan bahwa media dapat membangkitkan fantasi agresif yang dapat mengurangi tindakan agresif (Perse, 2008). Teori ini juga berpayung kepada teori psikoanalisa yang menjelaskan bahwa apabila seseorang menahan emosi dan perasaannya, maka akan ada suatu waktu dimana emosi tersebut meledak. Untuk menghindari hal tersebut, maka manusia membutuhkan sebuah sarana penyaluran. Satu hal yang menjadi persoalan adalah ketika katarsis dikaitkan dengan game online, apakah game online termasuk di dalam katarsis? Konsep katarsis bicara tentang spectatorship atau kebiasaan menonton. Sedangkan di dalam game online, ada aktivitas partisipasi yang berbeda dengan spectarorship. Namun hal ini sedikit terjawab dengan pernyataan dari Dr Bartha, seorang perancang game SegaSoft, “We kill. It’s OK. It’s not our fault any more than breathing or urinating”, dan sepenggal iklan komersial game Quake (game kekerasan) yang mengatakan “When the world pisses you off and you need a place to vent, Quake is a great place for it. You can kill somebody and watch the blood run down the walls, and it feels good. But when it‘s done, you’re rid of it” (Perse, 2008). Dari kedua pernyataan itu, ada klaim yang berkembang bahwa dengan bermain game kekerasan, maka perasaan yang semula buruk bisa menjadi lebih baik. Namun penelitian pada tahun 1960 justru menemukan bahwa menonton suatu tindakan kekerasan justru meningkatkan agresivitas si penonton. 43


Games Online dan Katarsis Virtual : Studi Kasus dengan Analisis Psikoanalisis Freud pada Kecenderungan Permainan Game Interaktif Point Blank dan Second Life

Katarsis merupakan salah satu teori efek kumulatif media massa. Ketika seseorang pertama kali menonton aksi kekerasan atau bermain game kekerasan, maka hal tersebut tidak akan memberi pengaruh yang signifikan. Namun ketika tayangan itu ditonton atau dimainkan terus menerus, maka terjadi sebuah kultivasi informasi yang menyebabkan dampak-dampak tertentu.Kecenderungann dari dampak tersebut bisa jadi agresivitas atau justru kebal rasa (desensitization). Dengan begitu, Chomstock dan beberapa pemikir lain mengatakan bahwa ada dua tipe katarsis, pertama Vicarious behavior catharsis, yang berarti membersihkan emosi dengan terlibat dalam suatu pementasan drama. Kedua, Overt behavior catharsis, yang menunjukkan pengaruh positif dari pelampiasan respon emosi secara langsung, yang dapat mengurangi dampak negatif. (Perse,2008 ) Pola katarsis yang ingin kami temukan adalah bagaimana seseorang tidak hanya menyalurkan emosi yang bersifat superficial, namun melampiaskan hasrat-hasrat yang terinternalisasi dalam dirinya secara tidak sadar dalam permainan game. 4.

Konsep Kunci Efek Media dalam Game Online Konsep efek yang dibahas dalam makalah ini adalah efek dari game online yang memuat unsur kekerasan dan seksualitas. Pertama adalah arousal yang dipahami sebagai sebuah respon psikologis yang tidak spesifik yang ditandai dengan semakin cepat tarikan napas dan detak jantung (Lang 1994 didalam Perse, 2008). Game memiliki kemampuan untuk arousing atau membangkitkan perasaan, emosi dan alam bawah sadar pemainnya melalui efek suara dan simbol-simbol tertentu di dalam game yang menyerupai bentuk aslinya. Ada tiga mekanisme yang menjelas44

• Keken Frita Vanri, Benni Yusriza Hasbiyalloh

UMN

kan bagaimana arousal dibangun melalui game horor dan kekerasan. Pertama, ketika seseorang mengalami arousing, seorang individu akan berlaku sebagaimana ia sebenarnya-tetapi dengan energi yang lebih besar (Tannenbaum & Zillman 1975 didalam Perse, 2008). Kembali ke sifat dasar manusia yang secara refleks membela diri jika terancam atau refleks jantung berdetak kencang ketika melihat tubuh perempuan tanpa busana, maka seseorang cenderung untuk memberikan respon yang spontan ketika mendapat sensasi yang berbeda dari sebuah tayangan. Kedua, kemampuan seseorang dalam merasakan arousal dipengaruhi oleh individual differences dimana faktor karakteristik personal dan demografis mempengaruhi arousal. Mekanisme ketiga adalah bahwa respon arousal bergantung pada penilaian seseorang terhadap sebuah konten media. Seseorang bisa merasakan kemarahan dan keinginan untuk membunuh ketika memainkan game peperangan karena ia tahu ada musuh yang harus diberantas. Atau, seseorang bisa merasa terangsang ketika melihat perempuan-perempuan menggunakan rok mini atau ketika mendengar suara perempuan berteriak ketakutan di dalam game online. Efek yang kedua adalah aggressive cues dimana terdapat respon-respon agresif yang muncul ketika memainkan sesuatu dan mendapati suatu hal yang membuat si pemain marah. Sebagai contoh adalah ketika si pemain memiliki partner dan ternyata partnernya dibunuh, hal ini akan menimbulkan respon-respon agresif dalam pikiran si pemain dan melampiaskannya ke dalam permainan. Ada beberapa sub tipe dari perilaku agresif yang berkorelasi dengan tema dari makalah yang dibahas. Sebelumnya sudah disunggung dilatar belakang, pertama adalah Jenis agresi fisik atau kekerasan seperti tindakan kekerasan secara langsung yaitu pemukulan, penusukan, penjegalan, atau penemDesember 2011 • Volume III, Nomor 2


• Keken Frita Vanri, Benni Yusriza Hasbiyalloh

UMN

bakan (Anderson, Gentle, & Buckley, 2007). Agresi verbal yang dimaksud disini adalah agresi yang melibatkan perkataan yang menyakitkan secara verbal seperti hinaan-hinaan atau kata kotor akibat dari konten yang ada di dalam permainan (Anderson, Gentle, & Buckley, 2007). Kemudian jenis terakhir adalah agresi secara relasi yang disebabkan oleh perasaan ditolak dari lingkungan, persahabatan atau penyertaan pada kelompok tertentu (Anderson, Gentle, & Buckley, 2007). Ketiga jenis perilaku agresif ini diakomodasi oleh game online melalui efek suara, dan fitur-fitur yang disediakan, misalnya peluru tambahan untuk menembak, pisau untuk menusuk dan lainnya. Agresi relasi, sangat dekat dengan model pengembangan agresi seksual. Agresi relasi adalah konsekuensi dari individu yang tidak dapat membentuk lingkungan keluarga, maupun sosial secara nyaman. Berdasarkan amatan tersebut, ternyata individu-individu yang terkena efek tersebut, berpotensi menjadi agresif secara seksual. Dalam model pengembangan dari agresi seksual, pemain sebelumnya pernah merasakan pengalaman penolakan orangtua, kegagalan mengembangkan kemampuan sosial, problem akademik, dan status pekerjaan yang rendah diantara lingkungan negatif tersebut, sehingga menyebabkan perilaku agresif secara seksual (Hall, 1996). Karena si pemain sulit menyalurkan agresivitasnya di dunia nyata, maka gamegame dengan konten seksualitas dan erotisme dapat menjadi solusi. 5.

Psikoanalisis Teori psikoanalisis yang digunakan dalam tulisan ini adalah psikoanalisi Sigmund Freud dan sedikit tambahan psikoanalisis strukturalis Jacques Lacan. Psikoanalisis adalah sebuah pendekatan yang menyatakan bahwa tindakan dan pikiran Volume III, Nomor 2• Desember 2011

Games Online dan Katarsis Virtual : Studi Kasus dengan Analisis Psikoanalisis Freud pada Kecenderungan Permainan Game Interaktif Point Blank dan Second Life

manusia banyak dipengaruhi oleh dorongandorongan, baik yang berasal dari dalam diri seseorang maupun dari lingkungan. Menurut Freud, tindakan manusia lebih banyak dipengaruhi oleh ketidaksadarannya. Kohut dalam buku Psychology menyatakan bahwa ketidaksadaran menuntut bagaimana kita bertindak dan merasakan (Kohut 1977 didalam Michael & Ronald, 2004). Freud membagi kepribadian manusia menjadi tiga komponen utama, yaitu Das es, das ich, das Uber Ich atau biasa dikenal sebagai Id, ego dan superego. Calvil S. Hall dan Lindzey dalam International Dictionary of Psychoanalysis menyatakan bahwa ketiganya memiliki fungsi dan karakteristik tv. Gerald Corey, seorang pemerhati Freud mengatakan bahwa menurut Aliran Freud ortodoks, manusia dilihat sebagai sebuah sistem energi yang harus mendistribusikan energi kepada Id, Ego dan Superego (http://darentana.multiply.com/ journal/item/1) . Tetapi karena energi terbatas, maka pendistribusian itu tidak merata dan salah satu komponen akan memegang kontrol atas yang lain. Id merupakan hasrat dorongan biologis yang bersifat libidinal / seksual. “The Id is the innermost core of personality, the only structure present at birth, and the source of all phychic energy” (Michael & Ronald, 2004). Id secara total berada dalam ruang ketidaksadaran dan berfungsi pada cara-cara yang irasional. Id tidak terhubung pada realitas dan dunia luar dan merupakan trigger (pemacu) of pleasure principle. Freud menyatakan“it seeks immediate gratification or release, regardless of rational consideration and environmental reality” (Sigmund Freud didalam Michael & Ronald, 2004) . Superego atau The moral Arm of the personality adalah nilai-nilai moral tradisional yang berasal dari keluarga dan masyarakat. Superego terinternalisasi seja kecil dalam diri 45


Games Online dan Katarsis Virtual : Studi Kasus dengan Analisis Psikoanalisis Freud pada Kecenderungan Permainan Game Interaktif Point Blank dan Second Life

manusia dan menjadi sensor untuk menentukan sesuatu baik atau buruk, salah atau benar (Michael & Ronald, 2004). Terakhir, ego adalah sesuatu yang menengahi antara Id dan Superego. Berkebalikan dengan Id, ego justru berada pada kesadaran atau rasionalitas manusia. Egolah yang menentukan mana yang memegang kendali lebih besar antara keduanya. “The ego has direct contact with reality and functions primarily at a conscious level� (Michael & Ronald, 2004). Apabila Id dalam diri seseorang lebih dominan, maka tindakannya akan bersifat primitive, impulsive dan agresif. Apabila ego memegang kendali, maka seseorang akan bertindak berdasarkan rasio-nalitas. Sedangkan ketika superego mengambil porsi paling besar, maka tindakan seseorang akan menuju pada kesempurnaan moralitas yang terkadang irasional. Id adalah bagian yang paling fundamental dalam kehidupan manusia, sehingga pada dasarnya, Id lah yang lebih dominan dibanding ego dan Super Ego. Id secara umum terdiri dari insting seksualitas dan agresifias. Namun, kondisi sosial masyarakat telah memberikan batasan dan kekangan yang jelas terhadap Id manusia. Dalam keadaan paling terangsang pun, seseorang tidak mungkin secara tiba-tiba melakukan aktivitas seksualnya di depan umum, karena ia tahu bahwa hal itu tidak benar menurut norma-norma di dalam masyarakatnya. Karena itulah fantasi seksual menjadi penting dalam komponen kehidupan manusia terutama bagi laki-laki (Martinez & Raul ,2000 didalam Michael & Ronald, 2004). Seseorang tidak akan memukul atau menampar orang sembarangan dalam keadaan semarah apapun, karena ia sadar bahwa hal tersebut bukanlah hal yang baik untuk dilakukan. Kondisi seperti ini justru membuat sebagian besar orang harus menekan Id nya demi memenangkan superego. Bagi sebagian yang lain, akan mencari pelampiasan di ruang lain yang nihil akan superego. 46

• Keken Frita Vanri, Benni Yusriza Hasbiyalloh

UMN

Freud juga menjelaskan tentang konsep kesadaran dan ketidaksadaran. Menurutnya, kesadaran manusia bagaikan gunung es di mana ranah ketidaksadaran berada di bawah lapisan air dan memuat porsi yang lebih besar daripada kesadaran. (Sigmund Freud oleh Iyus Yosep,2007 didalam Michael & Ronald, 2004). Menurut Freud, Ketidaksadaran merupakan ruang yang dihasilkan dari beberapa memori dan keinginan yang menyakitkan, konflik-konflik masa lalu yang tidak dikehendaki, emosi, pengalaman, hasrat dan perasaan trumatik dan tidak diinginkan yang cenderung direpresi (penekanan/ditekan) ke alam bawah sadar, hal ini akan terus mempengaruhi perilaku kita walau kita tidak menyadari. Apabila kita menilik kembali ke paragraph atas bahwa sebagian besar orang menekan Idnya, maka sebagian besar orang memiliki ruang ketidaksadaran yang lebih besar dari kesadarannya. Hal ini yang menyebabkan, banyak orang yang tidak menyadari faktor yang memotivasi mereka untuk melakukan hal yang mereka lakukan (Chartrand & Bargh, 2002 didalam Michael & Ronald, 2004) Meneruskan konsep konsep Freud, Jacques Lacan, seorang pembaca Freud, menambahkan sentuhan linguistik Saussure dalam psikoanalisis. Menurut Lacan, ketidaksadaran itu terstruktur layaknya bahasa dan hadir melalui bahasa (Fink, 1995). Menurut Lacan, bahasa adalah media yang merepresentasikan ketidaksadaran. Tanda atau simbol yang dibuat merupakan ekspresi dari ruang ketidaksadaran manusia. Misalnya ketika kita diminta menggambarkan suatu unsur alam dan kemudian kita menggambar api, maka gambar itu menunjukkan sebuah kemarahan yang ditahan dalam diri kita dan muncul melalui sistem simbol. Contoh lain adalah seseorang gamer yang memainkan game bermuatan seksual dan berperan sebagai seorang pemerkosa. Saat ia merasa tertarik pada Desember 2011 • Volume III, Nomor 2


• Keken Frita Vanri, Benni Yusriza Hasbiyalloh

UMN

simbolisasi perempuan berbadan seksi memakai rok pendek dan berkaki jenjang, maka si pemain melalui tokoh yang ia mainkan akan menggoda dan melakukan aktifitas seksual lainnya yang diakomodasi di dalam game. Hal tersebut menunjukkan bahwa Id, hasrat untuk menggoda dan melakukan aktifitas seksual, yang selama ini ditekan, dapat diekspresikan melalui sistem bahasa. Lacan juga membahas tentang hasrat menjadi (to be) dan hasrat memiliki (to have). Hasrat menjadi (to be) adalah hasrat yang mewujudkan dirinya sebagai cinta dan identifikasi Dalam hal ini hasrat menjadi obyek cinta -kekaguman, idealisasi, pemujaan, penghargaan- Liyan (the others). Orang merasa menjadi obyek cinta sang lain (penonton, fans, rakyat), oleh sebab itu ia akan bertingkah-laku dan menciptakan citra (image) dirinya sedemikian rupa agar ia tetap dicintai -narcissistic desire (Darmanto, 2011). Sedangkan hasrat memiliki (to have) adalah keinginan untuk memiliki hal-hal di luar diri (the other) untuk memenuhi kepuasan diri. Kebutuhan yang dproduksi tidak terbatas pada persoalan materi, melainkan merambah pada produksi hasrat dan dorongan itu sendiri (Darmanto, 2011). Kaitan antara game online, psikoanalisis dan katarsis virtual Fenomena game online menjadi bukti yang menguatkan sifat fundamental manusia sebagai homoluden, atau manusia yang suka bermain-main. Id mendorong manusia untuk bermain-main demi mendapatkan kesenangan (pleasure principle). Namun dengan adanya superego, manusia memiliki kecenderungan untuk bermain dalam tataran imajinasi dan fantasi semata, terutama tentang wacana seksualitas dan agresivitas. Superego menjadi pagar yang menghalangi tersalurkannya Id pada ruang-ruang kesadaran manusia. Hal ini memaksa manusia mencari cara alternatif agar Id tetap dapat 6.

Volume III, Nomor 2• Desember 2011

Games Online dan Katarsis Virtual : Studi Kasus dengan Analisis Psikoanalisis Freud pada Kecenderungan Permainan Game Interaktif Point Blank dan Second Life

tersalurkan tanpa harus bertabrakan dengan superego. Manusia membutuhkan tempat yang serupa dengan kondisi dunia sebenarnya, namun bersih dari segala atribut moral bentukan masyarakat. Menurut kami, game online sebagai sebuah simulasi dari dunia nyata, merupakan tempat alternatif yang tepat bagi manusia untuk bisa memenuhi Idnya. Game online merupakan bagian dari dunia virtual yang tidak mengakomodasi nilai moral baik/buruk dan benar/salah dalam setiap tindakan pemainnya. Game online hanya memuat protokol/aturan yang membantu pemain dalam menjalankan proses permainan. Protokol tidak membatasi pemain untuk melakukan hal-hal tertentu, bahkan hal-hal yang melanggar etika dan aturan-aturan masyarakat. Kelebihan game online adalah ketika pemain dapat melawan pihak musuh yang samasama dikendalikan oleh manusia, bukan mesin atau komputer. Hal ini membuat permainan menjadi sulit ditebak, karena strategi dibuat dan dijalankan melalui perantara layar monitor oleh si manusia sendiri. Permainan menjadi lebih menantang ketika si pemain merasa bahwa dengan memenangkan permainan, berarti ada pemain lain yang dikalahkan. Ada perasaan bangga yang muncul ketika si pemain mampu mengalahkan pemain lain, sekalipun mereka tidak saling bertemu. Kelebihan lain dari game online adalah situasi dan kondisi di dalam game yang dibuat sangat mirip dengan keadaan sebenarnya di dunia nyata. Sebagai contoh, dalam game bela diri seperti tekken, teknik beladiri yang digunakan merupakan rekaman dari gerakan atlit-atlit beladiri di dunia nyata. Sayangnya, tekken adalah game offline. Meskipun begitu, menurut penuturan seorang narasumber, tekken dapat menjadi tempat meluapkan emosi karena pemain bebas membanting, memukul, meninju dan menendang ikon-ikon di dalam game tersebut. Point Blank dan Second life menurut kami juga mampu menjadi ruang 47


Games Online dan Katarsis Virtual : Studi Kasus dengan Analisis Psikoanalisis Freud pada Kecenderungan Permainan Game Interaktif Point Blank dan Second Life

penyaluran hasrat biologis menurut Freud, sekaligus hasrat memiliki dan hasrat menjadi yang dibahas oleh Jacques Lacan. WACANA INTI 1. Deskripsi Game Permainan pertama yang akan diteliti adalah Point Blank (PB). Narasi yang dibangun dalam permainan ini cukup sederhana, dengan kelangkaan lapangan pekerjaan serta hilangnnya pengakuan dari masyarakat, kelompok imigran kemudian memulai jaringan kriminal terorganisir yang dinamakan dengan “Free Rebels� (lihat http://pb.gemscool.com/ index.php?act=2&sub=1#bottom.diakses pada tanggal 24 April 2011, pukul 8:59 PM WIB). Karakter dalam game ini terbagi menjadi 2, yaitu kelompok teroris dan kelompok tentara. Kelompok teroris terdiri dari orangorang yang ditolak dari lingkungan keluarga maupun dikhianati pemerintahnya sendiri. Sedangkan kelompok tentara adalah kumpulan orang-orang berprestasi dan pasukan terbaik dalam kelompoknya. Dalam permainan ini pemain diperkenalkan dengan berbagai jenis senjata-senjata canggih yang biasa digunakan dalam operasi militer resmi. Jenis-jenis senjata tersebut juga meliputi jenis assault riffle, sniper, hand gun, melee, shotgun, SMG, Machine Gun, dan throw. Kebanyakan senjata yang digunakan adalah jenis senjata mutakhir yang tingkat detilnya sama dengan senjata modern di dunia nyata. Permainan selanjutnya yang akan diteliti adalah Second Life (SL), jika kita membuka web site resmi dari permainan ini, dan menuju ke halaman What is Second Life, kita akan diberika beberapa kata kunci utama diantaranya adalah a place to connect, a place to shop, a place to work, a place to love, a place to explore, a place to be, be different, be yourself, free yourself, free your mind, change 48

• Keken Frita Vanri, Benni Yusriza Hasbiyalloh

UMN

your mind, change your look, love your look, love your life (Life, 2009). Second Life sendiri adalah permainan yang dirancang untuk kita atau masyarakat dunia merasakan pengalaman berbeda menjalankan dunia nyata didalam dunia virtual. Politisi bisa bertemu dengan konstituen, musisi dapat memainkan konsernya dengan penonton virtual, bahkan perusahaan sekelas Nike, IBM, Reuteurs, dan American Apparel dapat membuka toko virtualnya didalam permainan itu (Robbins & Bell, 2008). Dalam Second Life kita membutuhkan akun kita sendiri. sama dengan seluruh permainan jenis online lainnya kita membutuhkan akun sendiri baik yang bersifat gratis atau bayar atau Pay to Play (Robbins & Bell, 2008). Kemudian kita juga memerlukan avatar atau tubuh virtual yang bisa kita hiasi dengan berbagai macam pakaian bermerk yang memang tidak bisa kita gunakan di dunia nyata, seperti pakaian terbaru dari Gucci atapu pakaian bermerk lainnya (Robbins & Bell, 2008). Kemudian Second Life memliki fitur chatiing, mata uang sendiri (Linden dollar), dan dapat membangung dunia yang kita inginkan sendiri. Didalam Second Life, salah satu daya tariknya adalah kita bisa berimajinasi dengan tubuh kita dari kepala hingga kaki. Mulai dari memilih warna kulit, mengubah bentuk bibir dan tubuh lainnya sampai dengan menggunakan pakaian dari beberapa penjual terkenal yang kita inginkan (Robbins & Bell, 2008). Kemudian salah satu daya tarik lain dari Second Life dalam membawa kehidupan nyata kedalam dunia virtual adalah anda bisa membuka atau mengembangkan bisnis anda di dalam dunia virtual. Seperti Nike, Reebok, IBM, Merceds Benz, BBC, NBC, Playboy dan lainnya sudah masuk kedalam dunia ini dan memasarkan produknya di dalam Second Life (Robbins & Bell, 2008). Jadi intinya Second Life berhasil membawa keinginan-keinginan Desember 2011 • Volume III, Nomor 2


• Keken Frita Vanri, Benni Yusriza Hasbiyalloh

UMN

dunia nyata yang jarang sekali atau tidak bisa kita salurkan di dalam dunia nyata dan akhirnya dapat dilakukan didalam dunia virtual. 2.

Point Blank, Second Life dan Katarsis Virtual Hasrat-Hasrat tersembunyi Game online seperti PB dan SL tidak sama dengan pemain game-game individualistik atau offline game. Asumsi kami yang pertama, pemain game online memiliki intensitas bermain yang lebih sedikit. Alasannya, game online mengharuskan pemainnya terhubung ke internet. Pada kondisi Indonesia saat ini dimana jaringan internet terbatas, maka cara untuk mengakses game online adalah melalui internet cafÊ (warnet) atau melalui personal network di rumah. Dengan begitu, ada cost dan pengorbanan lebih yang harus dikeluarkan oleh game online, yang menghalangi kebebasan pemain. Tapi ternyata asumsi kami keliru, karena berdasarkan pengamatan dan hasil wawancara, pemain game online justru bisa menghabiskan waktu 5-20 jam per hari, terutama saat weekend (RM dan AK, Hasil Wawancara, 2011) Paket bermain yang murah dan permainan yang interaktif menyebabkan banyak orang menghabiskan waktu lebih banyak dalam permainan game online. Dari perbincangan yang kami lakukan, AK tertarik pada bidang bisnis. Dalam bermain game pun ia memilih game dimana ia bisa mengumpulkan bonus dan menjualnya di dunia nyata. Biasanya dia bermain game selama seminggu untuk mengumpulkan bonus dan menjualnya di hari minggu (AK, Hasil Wawancara, 2011) Berdasarkan hasil wawancara mendalam yang kami lakukan,ada beberapa alasan yang mendorong mereka (narasumber) bermain Point Blank dan Secondlife. Dari motivasi-motivasi itu kami menemukan hasrat-hasrat tersembunyi yang mereka coba Volume III, Nomor 2• Desember 2011

Games Online dan Katarsis Virtual : Studi Kasus dengan Analisis Psikoanalisis Freud pada Kecenderungan Permainan Game Interaktif Point Blank dan Second Life

salurkan melalui game. Adapun beberapa alasan atau hasrat tersembunyi yang mendorong seseorang bermain game, antara lain : 1. Untuk melupakan rutinitas sekolah, kuliah, dan pekerjaan. Ini menunjukkan ada perasaan takut terhadap tekanan superego dan standar-standar yang diettapkan oleh masyarakat. 2. Untuk menghilangkan stress, marah dan depresi atau untuk menghilangkan ketegangan. Ini menunjukkan bahwa game merupakan tempat untuk menyalurkan energi negatif dengan imbalan mendapatkan kesenangan (pleasure). 3. Untuk bisa merasakan menjadi sesuatu yang lain dan untuk melakukan hal-hal di luar kebiasaan. Hal ini juga menunjukkan adanya upaya untuk melangggar batas-batas superego yang selama ini menekan id 4. Untuk meraih level tertinggi dan mendapat rekognisi. Adanya keinginan untuk menjadi pemain yang diakui, disenangi dan dipuja oleh pemain lain 5. Untuk berinteraksi dengan temanteman baru di dunia virtual. Hal ini sedikit mengungkapkan bahwa ada rasa kesepian yang mendorong pemainnya mencari teman-teman virtual di dalam game. 6. Untuk mengisi waktu luang (iseng). 7. Untuk berbisnis. Ini menunjukkan bahwa sebenarnya si pemain tidak memiliki akses ekonomi di dunia nyata, dan menemukan cara-cara alternatif di dalam game. Katarsis Virtual Dari beberapa hasrat yang kami temukan di atas, muncul pertanyaan, apakah 49


Games Online dan Katarsis Virtual : Studi Kasus dengan Analisis Psikoanalisis Freud pada Kecenderungan Permainan Game Interaktif Point Blank dan Second Life

PB dan SL dapat memenuhi hasrat-hasrat tersebut. Melalui wawancara lebih dalam, kami menemukan fakta bahwa dalam beberapa hal, PB dan SL menjawab pertanyaan tersebut. Menurut beberapa narasumber, PB bisa menjadi penghilang pusing dan stress sepulang kerja, kuliah,atau sekolah. PB menjadi suatu bentuk refreshment atau penyegaran yang membuat pemainnya eskapis dari kejenuhan rutinitas kerja Sebagai contoh , alasan pertama dari AK dan IBK yang bermain game adalah untuk melupakan tugas kuliahnya dan menghilangkan stress sehabis kerja (AK dan IBK, Hasil Wawancara, 2011) Ketika AK merasa jenuh dengan tugas-tugas kuliah dan IBK merasa stress karena pekerjaan kantor yang menumpuk serta target banking yang tidak terkejar, mereka memilih bermain PB (AK dan IBK, Hasil Wawancara, 2011). Menurut kami, ada perasaan takut dalam diri keduanya terhadap standar-standar (super ego dan ego) seperti nilai mata kuliah yang harus bagus, target penjualan yang harus dicapai, dll. Mereka berusaha untuk keluar dari tekanan tersebut melalui PB. Ketika bermain, mereka dituntut memberikan perhatian dan konsentrasinya secara penuh ke dalam permainan sehingga halhal yang berhubungan dengan dunia luar menjadi terlupakan. Rasa lelah dan jenuh yang mereka rasakan tergantikan dengan perasaan puas yang muncul saat mereka berhasil membunuh dan menghabisi musuh di dalam game. Pemain merasa puas ketika ia mampu membunuh musuh-musuhnya di dalam PB tanpa harus memikirkan konsekuensi. Hampir sama dengan PB, pemain yang suka memainkan SL juga menemukan tempat dimana ia bisa melarikan diri dari segala aturan dan kekangan di dunia nyata. Di dalam SL, ia mampu melakukan segala hal yang selama ini ditentang di dunia nyata. AF berpendapat bahwa SL menyediakan tempat yang bebas nilai bagi Id untuk 50

• Keken Frita Vanri, Benni Yusriza Hasbiyalloh

UMN

bermain-main dan mewujudkan diri dalam bentuk aktifitas keseharian yang tidak dapat dilakukan secara leluasa di dunia nyata. Apabila si pemain sudah merasa nyaman dengan fasilitas dan aktivitas di dalam SL, maka ia tidak akan menyebut dirinya sebagai gamer, melainkan sebagai resident, atau penghuni (AF, Hasil Wawancara, 2011) Menurut beberapa narasumber, saat yang tepat untuk bermain game salah satunya ketika si pemain sedang marah, depresi atau merasa tegang. Ketika menghadapi situasi tersebut, ada energi besar yang tersimpan dan sulit untuk diekspresikan di dunia nyata. Biasanya mereka marah karena merasa tidak dihargai atau tidak diakui keberadaannya oleh teman, orang tua, dan lingkungan. Sebagai contoh IBK yang bekerja di bank selalu merasa bahwa bosnya tidak pernah menghargai usaha yang dia lakukan. Melalui PB dan SL, IBK berupaya menyalurkan emosi dan energi negatif dalam dirinya. IBK berusaha membuktikan keberadaan dan eksistensi dirinya di dunia virtual. Menurut analisa kami, IBK sesungguhnya mencari sebuah rekognisi atau pengakuan diri dari pihak lain. Karena hal itu sulit didapatkan di dunia nyata, maka IBK berupaya membuktikan melalui dunia virtual (IBK, Hasil Wawancara, 2011). PB juga menjadi ajang pembuktian diri bahwa pemain dengan level yang lebih tinggi tidak selamanya menjadi pemenang. Ada kepuasan dan perasaan bangga ketika pemain pemula berhasil mengalahkan musuh yang memiliki tingkat kemahiran lebih tinggi daripada dirinya (AK, Hasil Wawacara, 2011). Melalui PB, hasrat untuk mendapat pengakuan itu dapat dipenuhi ketika si pemain berhasil mengalahkan lawan yang lebih mahir. Secara otomatis ia akan mendapatkan pengakuan sosial dari pemain lain, atau dari komunitas game tersebut. Pengakuan itu yang dicari untuk menutupi kekecewaan dan Desember 2011 • Volume III, Nomor 2


• Keken Frita Vanri, Benni Yusriza Hasbiyalloh

UMN

kekurangannya di dunia nyata. Kami juga menemukan gejala bahwa pemain sadar dan khawatir atas kekurangan dan keterbatasan yang ada dalam diri mereka. Mereka merasa bahwa aturan, nilai moral dan standar-standar yang berlaku di dunia nyata terlalu membebani. Mereka merasa belum menjadi sosok yang diinginkan, belum menjadi sosok yang bisa memenuhi standar tersebut. Misalnya, masyarakat menetapkan standar perempuan cantik yaitu perempuan yang seksi, tinggi, berkulit putih, bermata besar, berambut panjang, berpakaian modis dan sebagainya. Ketika hal-hal tersebut tidak mampu diwujudkan dalam dunia nyata, maka hasrat untuk menjadi (desire to be) disalurkan melalui dunia virtual atau SL dengan menciptakan sosok avatar yang seideal mungkin. Ketika si pemain tidak mampu membeli barang-barang tertentu seperti Gucci, Reebok dll di dunia nyata, maka hasrat untuk memiliki (desire to have) juga akan tersalurkan melalui kegiatan berbelanja di SL. Di dalam SL, pemain dapat berinteraksi dengan pemain lain melalui ruang virtual. Interaksi tersebut sifatnya menggantikan interaksi yang seharusnya terjadi di dunia nyata. Id manusia mengatakan bahwa seseorang harus bersosialisasi dengan orang lain, teutama lawan jenis, untuk memenuhi kebutuhan biologisnya. Namun tidak setiap orang memiliki keberanian, fasilitas dan kesempatan untuk berinteraksi dengan pihak lain secara langsung. Hal ini menyebabkan pemain game yang tidak memiliki kesempatan dan keberanian itu, mengalihkan proses interaksinya ke ruangruang virtual melalui game SL. Sebagai contoh AF yang biasa bermain SL di malam minggu. Biasanya, malam minggu identik dengan kegiatan kencan dan sebagainya. Namun karena AF belum memiliki pacar sedangkan dia memiliki kebutuhan-kebutuhan biologis yang harus dipenuhi, maka ia mengisi waktu untuk Volume III, Nomor 2• Desember 2011

Games Online dan Katarsis Virtual : Studi Kasus dengan Analisis Psikoanalisis Freud pada Kecenderungan Permainan Game Interaktif Point Blank dan Second Life

bermain SL (AF, Hasil Wawancara, 2011). Representasi seksualitas dan aktivitas seksual yang dapat dinikmati di dalam SL adalah aktivitas berciuman, berpelukan, foreplay dan hubungan seks dapat memenuhi fantasi seksual si pemain. Seksualitas yang kami maksud adalah atribut-atribut yang melekat dengan perempuan Di dalam PB, tentara perempuan bernama Hide dan teroris bernama Viper Red digambarkan berdada besar, berpinggang ramping, berpinggul besar dan mengenakan pakaian-pakaian seksi. Sedangkan di dalam SL, seksualitas termanifestasikan dalam penampakan fisik karakter perempuan yang berdada besar, berkaki panjang, mengenakan baju-baju seksi dan berdandan. Inisiator SL Community Indonesia,RM mengatakan bahwa industri fashion adalah industri yang paling berkembang di SL. Ketika kami tanyakan mengapa baju-baju dalam SL cenderung mini dan seksi, RM mengatakan bahwa tren fesyen itu yang laku di SL. Di dunia nyata, pemain sulit merealisasikan fantasinya karena ia tidak memiliki sarana, atau terhalang dengan aturan-aturan yang ada (RM, Hasil Wawancara, 2011) Kepuasan juga diperoleh ketika pemain bisa mengendalikan karakter di dalam SL secara utuh. Pemain memiliki otoritas penuh dalam menggerakkan karakter, bisa memberikan perlakuan tertentu kepada karakter, dan dapat mengidentifikasi diri sebagai karakter di dalam game. Dalam PB yang menyediakan delapan jenis karakter, pemain dapat memilih karakter yang dirasa sesuai dengan dirinya. Game SL juga disukai karena ia dapat menjadi sarana untuk bertemu dan berkumpul dengan komunitas, baik komunitas sesama pemain di dunia nyata (misalkan temanteman bermain di warnet), atau komunitas virtual sesama pemain game online (contoh : Secondlife Community) SL community juga sering berkomunikasi melalui jejaring sosial 51


• Keken Frita Vanri, Benni Yusriza Hasbiyalloh

Games Online dan Katarsis Virtual : Studi Kasus dengan Analisis Psikoanalisis Freud pada Kecenderungan Permainan Game Interaktif Point Blank dan Second Life

lain, seperti FB atau Twitter. Ini menunjukkan bahwa interaksi pemain tidak berhenti sebatas di dalam permainan, namun juga bertemu dan bersosialisasi di jejaring sosial lain, bahkan di dunia nyata. Selain itu, SL tidak hanya sebatas game permainan semata, namun telah menjadi ruang alternatif bagi usaha kreatif, misalnya properti dan fesyen. Second Life didesain senyata mungkin dengan berafiliasi pada merekmerek yang ada di RL seperti Nike, Gucci, Reebok, bahkan ruang pamer Mercedez pun bisa ditemui. Melalui SL, pemain yang memiliki bakat kewirausahaan dapat menyalurkan bakat dan minatnya melalui SL. Terakhir, ada juga pemain yang memainkan PB dan SL karena iseng dan diajak oleh teman. Namun, beberapa dari mereka merasa nyaman dengan permainan dan lama kelamaan justru menjadi ketagihan. Seperti yang dituturkan oleh AF bahwa awalnya dia mau bermain karena ajakan temannya. (AF, Hasil Wawancara, 2011) 3.

Id, Super Ego dan Ego Di Dalam Game Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, game online menyediakan ruang immoral yang bebas nilai serta nihil akan super ego dan ego manusia. Hal ini diakui oleh para pemain sehingga mereka kerap menjadikan game sebagai tempat untuk melakukan hal-hal yang ditentang di dunia nyata. Namun bagi sebagian pemain, ternyata ego dan superego tidak ditentukan oleh ruang tempatnya diterapkan. Superego dan ego telah menjadi nilai-nilai yang terinternalisasi dalam diri sehingga otomatis muncul sekalipun kita berada di ruang virtual. Hal tersebut tersirat melalui hasil wawancara dengan MS yang menekankan bahwa dia tidak pernah menikmati melakukan hubungan seks didalam dunia virtual (SL). Salah satu alasan yang dikemukakan 52

UMN

oleh MS bahwa sesuatu yang pada dasarnya tidak etis walaupun dilakukan di dalam dunia maya sekalipun akan tetap tidak etis (MS, Hasil Wawancara, 2011). KESIMPULAN Munculnya internet sebagai New Media ternyata membawa dampak-dampak yang tidak pernah kita bayangkan sebelumnya. Interaktivitas yang ditawarkan dalam Internet telah membuka dimensi baru dalam ranah Game yang dahulu hanya bisa dikendalikan pemainnya tanpa dapat berinteraksi dengan pemain lain secara langsung keculai dimainkan secara multiple player, sekarang sudah berkembang menjadi games online. Fenomena games online ini juga ternyata memberikan pengalaman baru bagi para gamers maupun peneliti masalah-masalah sosial. Games online yang sudah membuka batasan-batasan dunia, kini memberikan kesempatan untuk terciptanya dunia virtual sebagai representasi dari individu yang ada di dunia nyata. disatu sisi, kemampuan tanpa batas itu telah mengembangkan komunikasi yang dahulu tersekat, namun sekarang dapat mengalir bebas sehingga terciptanya otoritas publik yang mulai menggeser otoritas elit. Namun, di sisi lainnya, berdasarkan penelitian yang kami lakukan, kami sampai pada kesimpulan bahwa Point Blank dan Second Life dapat menjadi katarsis virtual yang juga sebagai sarana bagi penyaluran Id menurut Sigmund Freud dan Jacques Lacan. PB dan SL dapat memfasilitasi tersalurnya hasrat-hasrat tersembunyi dalam diri pemainnya.

REFERENSI [1]

Penulis merupakan Mahasiswa Universitas Paramadina peminatan kajian media dan hubungan internasional dengan pembimbing karya tulis ilmiah A.G. Eka Wenats Wuryanta M,sc. Desember 2011 • Volume III, Nomor 2


• Keken Frita Vanri, Benni Yusriza Hasbiyalloh

UMN

BIBLIOGRAPHY

Afrianti,L.(2009).PerbedaanTingkatAgresivitas Pada Remaja Yang Bermain Game Online Jenis Agresif dan Non Agresif. Anderson, C. A., Gentle, D. A., & Buckley, K. E. (2007). Violent Video Games Effects on Children and Adolescents Theory, Research and Public Policy. New York: Oxford University Press. Baudrillard, J. (1983). Simulations. New York: Semiotext(e). Curran, J. (2006). Media and Cultural Theory. New York: Routledge. Darmanto, R. (2011, March 3). Kajian Hasrat Dalam Dua Novel ASIA: Sebuah Analisis Psikoanalisis Lacan. Retrieved April 23, 2011, from Kompasiana Sharing. Connecting: http://bahasa. kompasiana.com/2011/03/03/kajian hasrat-dalam-dua-novel-asia-sebuah analisis-psiko-analisis-lacan/ Dovey, J., & Kennedy, H. W. (2006). Game Cultures, Computer games as New Media. New York: Open University Press. Fink, B. (1995). The Lacanian Subject, Between Language and Jouissance. New Jersey: Princeton University Press. Hall, G. C. (1996). Theory-Based Assessment, Treatment, and Prevention of Sexual Aggression. New York: Oxford University Press. Internet World Stats. (2010, Juni 2010). Internet World Stats Asia Asia Marketing Research, Internet Usage, Population Statistics and Facebook Information. Dipetik April 22, 2011, dari Internet World Stats Usage and Population Statistic: http://www. internetworldstats. com/asia/id.htm Ito. (2011, April 22). Teknologi Waspadai Game GTA. Retrieved April 22, Volume III, Nomor 2• Desember 2011

Games Online dan Katarsis Virtual : Studi Kasus dengan Analisis Psikoanalisis Freud pada Kecenderungan Permainan Game Interaktif Point Blank dan Second Life

2011, from Inilah.com Inovasi Portal Berita: http://m.inilah.com/read/ detail/98401/waspadai-game-gta King, B., & Borland, J. M. (2003). Dungeons and dreamers:The Rise of Computer Game Culture from Geek to Chic. New Media: McGraw-Hill Osborne Media. Life, S. (Director). (2009). Second Life - The Online 3D Virtual World [Motion Picture]. Michael, P. W., & Ronald, S. E. (2004) Psychology. New York: Mc Graw Hill. Newsroom, R. (2009, Desember 30). Republika Online. Retrieved April 22, 2011, from Republika Online Web Site: http://republika. co.id:8080/berita/98995/Sisi_Positif Video_Game_untuk_Anak Paul C. Holinger, M. (2011, April 20). Great Kids, Great Parents Infant/ Child Development and the Importance of Children’s Feelings . Retrieved April 22, 2011, from Psychology Today: http://www. psychologytoday.com/blog/great kids-great-parents/201104/kids parents-and-video-games Perse, E. M. (2008). Media Effect and Society. New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates, Inc. Prensky, M. (2001). Digital game-based learning. New York: Mc Graw Hill. Robbins, S., & Bell, M. (2008). Second Life For Dummies. New Jersey: Wiley Publishing Inc. Schement, R. J. (2002). Encyclopedia of Communication and information. New York: Macmillan Reference USA. Scorviano, M. (2010, April 23). Genre Game Online. Retrieved April 22, 2011, from TNOL Portalnya Komunitas: http://www.tnol.co.id/id/games/ 53


Games Online dan Katarsis Virtual : Studi Kasus dengan Analisis Psikoanalisis Freud pada Kecenderungan Permainan Game Interaktif Point Blank dan Second Life

• Keken Frita Vanri, Benni Yusriza Hasbiyalloh

4114-genre-game-online.html Singh, R., & Eaja, S. (2010). Convergence In Information and Communication Technology Strategic And Regulatory Consideration. Washington DC: The World Bank.

Sutton-Smith, B. (2001). The Ambiguity of Play. Cambridge, MA: Harvard University Press. Vanri, K. F., & Astria, A. (2010). New Media, New Culture, New Society.

54

UMN

Desember 2011 • Volume III, Nomor 2


• R. Masri Sareb Putra

Konstruksi Realitas Sosial atas Peristiwa Ambruknya Jembatan Kutai Kartanegara

UMN

Konstruksi Realitas Sosial atas Peristiwa Ambruknya Jembatan Kutai Kartanegara R. Masri Sareb Putra Universitas Multimedia Nusantara masrisareb@yahoo.com

ABSTRACT To be truthful, human being is incapable to grasp and see reality as it is. Knowing this incapability, human being is only capable to create the so-called “perceived reality,” that is, reality as already perceived. This perceived reality is the result of social construction of reality, built within the limited horizon of a person. This kind of social construction of reality is on display by the media, regarding the news about the fall of Kutai Kartanegara bridge. Keywords: realitas, konstruksi, masyarakat, individu, media.

PENDAHULUAN Sebelum terjadi peristiwa ambruknya jembatan Kutai Kartanegara yang menghubungkan Tenggarong dan Tenggarong Sebrang pada Sabtu (26/11-2011) yang menewaskan paling tidak empat orang, tidak banyak diketahui oleh publik bagaimana organ Pemda Kutai Kartanegara memainkan fungsi dan peranannya masing-masing. Realita sosial di derah itu, terutama menyangkut masalah fasilitas umum dan pelayanan publik, tidak banyak muncul ke permukaan. Akan tetapi, realita sosial mengemuka, ketika sejumlah media memberitakan perisiwa tersebut. Apakah peristiwa yang disajikan media dapat menjelaskan, atau mewakili, realita yang Volume III, Nomor 2• Desember 2011

sesungguhnya? Apakah ambruknya jembatan Kutai Kartanegara yang disajikan oleh media murni peristiwa apa adanya (an sich), tanpa terlebih dahulu melalui konstruksi baik oleh jurnalis maupun oleh awak serta pemilik media? Yang menarik untuk diteliti ialah terjadi perbedaan persepsi antara tiga pihak mengenai usulan dana pemeliharaan Jembatan Kutai Kartanegara. Kepala Subdinas Program Dinas PU Kutai Kartanegara, Herdianto Arifien mengatakan bahwa ambruknya jembatan tersebut disebabkan pemeliharaan yang kurang dan usul untuk pemeliharaan selalu diabaikan oleh DPRD setempat dan bupati. Sementara anggota DPR Kutai Kartanegara, Marwan SP mengaku 55


Konstruksi Realitas Sosial atas Peristiwa Ambruknya Jembatan Kutai Kartanegara

• R. Masri Sareb Putra

UMN

bahwa DPRD tidak pernah menerima usulan anggaran perawatan jembatan. Lalu Kadis PU Kutai Kartanegara, Didi Ramyadi mengaku pihaknya pernah mengajukan anggaran, tetapi ditolak DPRD setempat. TINJAUAN PUSTAKA Leeuwenberg (1968) menegaskan bahwa persepsi manusia dan cara pandangnya dipengaruhi oleh suatu organisasi dan sistem. Sebagai sebuah organ, diandaikan bahwa unsur Pemda Kutai Kartanegara baik eksekutif, legislatif, maupun yudikatifnya dalam dinamika dan kehidupan sehari-hari saling berinteraksi dan memainkan fungsi dan peran masing-masing. Berger dan Luckmann (1966) dalam Social Construction of Reality menjelaskan bahwa sesungguhnya manusia tidak punya kemampuan untuk menangkap dan melihat realita dunia ini secara purna. Manusia tidak sanggup melihat realita yang sebenarnya, akan tetapi manusia hanya sanggup untuk menciptakan apa yang disebut dengan “perceived reality”, yakni realitas yang sudah dipersepsikan. Realita yang sudah dipersepsikan ini merupakan hasil dari konstruksi atas realita sosial yang dibangun menurut kacamata seseorang. Mengenai usulan dana pemeliharaan Jembatan Kutai Kartanegara, Kepala Subdinas Program Dinas PU Kutai Kartanegara, Herdianto Arifien mengatakan bahwa usulan untuk pemmeliharaan selalu diabaikan oleh DPRD setempat dan bupati. Sementara anggota DPR Kutai Kartanegara, Marwan SP mengaku bahwa DPRD tidak pernah menerima usulan anggaran perawatan jembatan. Di pihak lain, Kadis PU Kutai Kartanegara, Didi Ramyadi mengaku pernah mengajukan anggaran, tetapi ditolak oleh DPRD setempat. Ketiga pihak sama-sama berbicara mengenai objek yang sama, yakni usulan dana pemeliharaan Jembatan Kutai Kartanegara. Masih dalam kasus yang sama, hampir tidak terjadi 56

perbedaan persepsi antara pejabat Pemerintah Daerah Kutai Kartanegara dengan pemerintah pusat yang diwakili Menteri Pekerjaan Umum Djoko Kirmanto. Dari contoh kasus di atas, dapat dirumuskan dua permasalahan sebagai berikut: Pertama: Mengapa terjadi perbedaan persepsi antara Program Dinas PU Kutai Kartanegara, anggota DPR Kutai Kartanegara, dan Kadis PU Kutai Kartanegara mengenai usulan dana pemeliharaan jembatan Kutai Kartanegara? Kedua: Mengapa realita yang dipersepsikan baik oleh Pemda Kutai Kartanegara maupun oleh Menteri Pekerjaan Umum Djoko Kirmanto tidak jauh perbedaannya? Artikel ini, bertujuan menjawab dua rumusan permasalahan di atas. PEMBAHASAN Perbedaan persepsi antara tiga pejabat Pemda Kutai Kartanegara mengenai usulan dana pemeliharaan jembatan dan tidak terdapat perbedaan persepsi pemerintah darah dan pemerintah pusat menyangkut penyebab ambruknya jembatan Kutai Kartanegara, sangat menarik untuk diteliti. Mengapa? Mengapa terjadi perbedaan, sekaligus persamaan persepsi seseorang dengan orang lain terhadap objek atau peristiwa yang sama? Kerangka teori Teori konstruksi realita sosial yang digagas oleh Berger dan Luckmann dapat menjelaskan mengapa terjadi perbedaan dan persamaan persepsi seseorang dengan orang lain terhadap satu objek atau peristiwa yang sama. Seseorang tidak dapat membangun sendiri realita tanpa terkait dengan perceived reality yang dibangun oleh orang lain. Mengapa? Karena sesungguhnya orang lain juga memba-ngun realita atas objek yang sama. Orang lain juga mempersepsikan realita. Pada saat kita mengkonstruksikan realita, kita juga mesti memperhatikan seperti apakah realita yang Desember 2011 • Volume III, Nomor 2


• R. Masri Sareb Putra

Konstruksi Realitas Sosial atas Peristiwa Ambruknya Jembatan Kutai Kartanegara

UMN

dikonstruksikan oleh orang lain, terutama realita yang dikonstruksi oleh significant others. Dalam kehidupan riil, selalu ada orang lain sekitar yang kita percaya dan ikuti. Sadar atau tidak, orang lain tadi mempengaruhi cara kita memandang realita. Itulah significant others yang ketika kita bangun persepsi sendiri, sadar atau tidak, mau tidak mau, hasil konstruksi mereka juga mempengaruhi konstruksi kita terhadap realita. Menurut Berger dan Luckmann, sesungguhnya kita tidak bisa melihat realita sama dan sebangun. Realita memang nyata, akan tetapi manusia tidak bisa menangkap realita itu secara utuh. Yang dapat dilakukan manusia hanyalah: mengkonstruksi, atau membangun, gambaran mengenai suatu objek atau peristiwa. Pertanyaannya: bagaimana kita (manusia) mengkonstruksi realita? Konstruksi realita oleh manusia, terutama didasarkan atas pengalaman manusia itu sendiri, terjadi dalam proses dan dinamika interaksi manusia dengan realita. Manusia juga mengkonstruksi realita atas hasil konstruksi orang lain (significant others), yakni konstruksi yang dibuat orang lain yang punya arti tertentu buat kita. Realita yang dikonstruksi, terjadi atas pengalaman manusia itu sendiri atas realita pertama yang dapat berupa benda, peristiwa, orang, atau hal lainnya. Realita pertama inilah yang dikonstruksikan oleh pelaku konstruksi. Di dalam mengkonstruksi realita, pelaku konstruksi dipengaruhi oleh berbagai faktor. Tentu saja, latar belakang pelaku konstruksi mempengaruhi se-perti apa hasil konstruksi realita yang dibangun seseorang. Hil konstruksi realita yang dibangun seseorang, tidaklah terjadi dalam ruang yang hampa. Seseorang yang mengkonstruksi realita ada bersama (koeksistensi) dengan orang lain. Ini yang menyebabkan hasil konstruksi seseorang kemudian ditambah dengan hasil konstruksi orang lain. Proses terjadinya konstruksi tersebut Volume III, Nomor 2• Desember 2011

terjadi dalam suatu realita sosial. Inilah inti teori konstruksi realita sosial. Berger dan Luckmann membedakan dua macam realitas, yakni objective reality dan subjective reality. Realita yang sesungguhnya, realita an sich apa adanya, atau realita yang berada di luar diri manusia disebut “objective reality”. Pancaindera manusia tidak sanggup untuk menangkap realita an sich tersebut sebab manusia tidak punya kapasitas untuk itu. Manusia hanya sanggup membuat gambaran ihwal realita an sich tadi. Hasil realita yang kita bangun dari realita an sich tadi disebut dengan “subjective reality”. Meski objek atau peristiwanya sama, seseorang dengan orang lain dapat berbeda subjective reality-nya bergantung pada pengalamannya sendiri ketika berinteraksi dengan objek (realita) dan pengaruh dari significant others. Idealnya, hasil konstruksi realita yang kita bangun tidak banyak perbedaannya dengan orang lain. Semakin banyak persamaan, semakin baik. Akan tetapi, tidak jarang terjadi perbedaan yang jauh antara objective reality dan subjective reality. Sebaiknya, perbedaan tersebut semakin mendekat. Sebab semakin dekat kesenjangan antara objective reality dan subjective reality akan semakin baik, meskipun kedua realita ini tidak bisa klop sama dan sebangun. Berger dan Luckmann membeberkan adanya dua realita, yakni objective reality dan subjective reality. Akan tetapi, masih ada realita yang ketiga, yakni symbolic reality. Tidak jarang, terjadi distorsi dari objective reality ke subjective reality dan dari subjective reality ke symbolic reality. Pada bagian aplikasi teori (5.2), kita akan melihat distorsi yang dimaksud. Aplikasi Teori Sudah dipaparkan di muka bahwa Teori Social Construction of Reality ialah ihwal 57


Konstruksi Realitas Sosial atas Peristiwa Ambruknya Jembatan Kutai Kartanegara

• R. Masri Sareb Putra

UMN

bagaimana seseorang mengkonstruksi realita. Bahwa manusia tidak punya kemampuan untuk melihat realita objektif dan hanya sanggup menciptakan perceive reality. Teori Social Construction of Reality dapat menjelaskan realita di balik abruknya Jembatan Kutai Kartanegara dan dapat menjelaskan mengapa terjadi perbedaan realita yang dikonstruksi oleh Kepala Subdinas Program Dinas PU Kutai Kartanegara, anggota DPRD, dan Kadis PU Kutai Kartanegara. Teori ini juga dapat menjelaskan fenomena persamaan persepsi antara pemerintah daerah Kutai Kartanegara dan pemerintah pusat mengenai penyebab ambruknya jembatan. Peristiwa atau realita ambruknya jembatan Kutai Kartanegara adalah realita objektif. Artinya, realita sesungguhnya, realita an sich. Atas realita an sich tersebut, manusia coba atau berusaha untuk menangkapnya. Tentu saja, dalam usaha menangkap realita an sich tersebut, manusia punya keterbatasan. Inderanya yang terbatas, tidak dapat untuk menangkap objek secara utuh. Oleh karena itu, yang tertangkap ialah realita dari kacamatanya sendiri. Karena manusia adalah makhluk sosial (homo socius), dan koeksistensi dengan manusia lain sehingga manusia tidak bisa seorang diri membuat konstruksi realita. Seseorang juga melihat dan memperhatikan konstruksi realita orang lain yang juga pada saat bersamaan mempersepsikan realita yang sama dengan kita. Terkait konstruksi realita mengenai sebab terjadi ambruknya jembatan Kutai Kartane-gara antara Pemerintah Daerah dan Pemerintah Pusat, tidak terdapat banyak kesenjangan. Kedua pihak sama-sama mengkonstruksi realita bahwa penyebab ambruknya jembatan ialah karena kurangnya pemeliharaan. Menurut teori Social Construction of Reality, hasil konstruksi ini baik. Mengapa baik? Alasannya: karena tidak terdapat rongak di antara dua pihak atau lebih di dalam mengkonstruksi satu objek atau peristiwa yang sama. 58

Sebaliknya, terjadi perbedaan persepsi tiga pejabat Pemda Kutai Kartanegara mengenai usulan dana pemeliharaan jembatan. Kepala Subdinas Program Dinas PU Kutai Kartanegara, Herdianto Arifien mengatakan bahwa usul untuk pemmeliharaan selalu diabaikan oleh DPRD setempat dan bupati. Sementara anggota DPR Kutai Kartanegara, Marwan SP mengaku bahwa DPRD tidak pernah menerima usulan anggaran perawatan jembatan. Lalu, Kadis PU Kutai Kartanegara, Didi Ramyadi pernah mengajukan anggaran, tetapi ditolak DPRD setempat. Mengapa terjadi perbedaan persepsi di antara ketiganya? Teori Social Construction of Reality menjelaskan bahwa di dalam mengkonstruksi realita, individu hanya sanggup menciptakan perceive reality. Perbedaan persepsi terjadi karena masing-masing mempersepsikan objek/realita yang sama secara berbeda sesuai dengan pengalaman masing-masing. Kemampuan yang berbeda (indera) di antara ketiganya juga membuat perbedaan di dalam melihat realita sosial sehingga tidak mengherankan jika hasil konstruksi mereka atas realita berbeda. Selain itu, latar belakang pelaku konstruksi juga mempengaruhi seperti apa hasil konstruksi realita yang dibangun seseorang. Ketiga unsur Pemda Kutai Kartanegara berbeda latar belakangnya dan mereka tentu punya kepentingan. Kepentingannya ialah bahwa masingmasing tidak ingin dipersalahkan. Oleh karena itu, konstruksi yang mereka bangun pun berbeda. Konstruksi oleh media Baik kiranya jika dibahas juga bagaimana media mengkonstruksi realita dalam kasus ambruknya jembatan Kutai Kartanegara. Hal ini penting, sebab studi media tidak dapat lepas dari kajian bagaimana media mengkonstruksi realita. Dan yang paling penting, sesungguhnya media melakukan konstruksi realita. Desember 2011 • Volume III, Nomor 2


• R. Masri Sareb Putra

Konstruksi Realitas Sosial atas Peristiwa Ambruknya Jembatan Kutai Kartanegara

UMN

Baik dalam pemberitaan Viva News maupun Kompas, media melakukan konstruksi realita. Berita yang disajikan oleh media, sesungguhnya teks atau cerita tentang fenomena atau peristiwa atas realita pertama (dalam kasus kita ialah ambruknya jembatan Kutai Kartanegara) yang dijual ke publik itu sesungguhnya sifatnya subjektif. Akan tetapi, media kredibel yang mengedepankan responsibility seperti Kompas, berusaha untuk selalu meminimalisir subjektivitas di dalam mengkonstruksi realita pertama. Media, dengan demikian, dalam sepak terjangnya, sesungguhnya mengkonstruksi realita. Kita kerap mengamati bahwa peristiwa (objek) yang sama disajikan/dilaporkan secara berbeda oleh media. Mengapa demikian? Social Construction of Reality menjelaskannya karena tiap-tiap media mengkonstruksi realita sesuai dengan pengalamannya dan dipengaruhi oleh significant others. Dalam media, significant others ini dapat redaktur, pemimpin redaksi, atau bahkan owner. Bahkan, tidak dapat dihindari, kadang media justru lebih memperhatikan konstruksi realita oleh owner. Dalam contoh kasus ambruknya jembatan Kutai Kartanegara misalnya, pemilihan narasumber oleh media sudah merupakan hasil konstruksi. Wartawan (media) terlebih dahulu membangun konstruksi atas realita pertama mengenai (penyebab) ambruknya jembatan karena kurangnya pemeliharaan. Perceive reality oleh media dari realita pertama ini, kemudian ditambah dengan perceive reality yang dibangun significant others. Hasil konstruksi itu disebut “konstruksi realita oleh media”. Ketika hasil konstruksi realita oleh media mempengaruhi masyarakat pembaca, lalu masyarakat membangun perceive reality-nya terpengaruh oleh hasil konstruksi oleh media, itulah konstruksi realita sosial.

Volume III, Nomor 2• Desember 2011

SIMPULAN Teori Social Construction of Reality ini masih sangat relevan sampai hari ini. Teori ini dapat menjelaskan realita di balik ambruknya Jembatan Kutai Kartanegara dan dapat menjelaskan mengapa terjadi perbedaan realita yang dikonstruksi oleh Kepala Subdinas Program Dinas PU Kutai Kartanegara, anggota DPRD, dan Kadis PU Kutai Kartanegara. Teori ini juga dapat menjelaskan fenomena persamaan persepsi antara pemerintah daerah Kutai Kartanegara dan pemerintah pusat mengenai penyebab ambruknya jembatan. Apa yang disajikan oleh media, merupakan hasil konstruksi atas realita. Bagaimana hasil konstruksi oleh media, bergantung pada latar belakang media yang bersangkutan. Itulah sebabnya, peristiwa (objek) yang sama disajikan/dilaporkan secara berbeda oleh media. Hal ini disebabkan tiap-tiap media mengkonstruksi realita sesuai dengan pengalamannya dan dipengaruhi oleh significant others. DAFTAR PUSTAKA Berger, Peter L. dan Thomas Luckmann. (1966). The Social Construction of Reality: A Treatise in the Sociology of Knowledg. Garden City, NY: Anchor Books. Lesmana, Tjipta. (2011). Materi Perkuliahan “Media Theory”. Jakarta: Program Pascasarjana Ilmu Komunikasi, Universitas Pelita Harapan. Kompas, 3 Desember 2011. “Jembatan Kartanegara: Usul Pemeliharaan Selalu Diabaikan”. Leeuwenberg, E. L. J. (1968). Structural Information of Visual Patterns: An Efficient Coding System in Perception. The Hague: Mouton. Viva News. 1 Desember 2011. “Menteri PU Beber Titik Lemah Jembatan Kutai”. 59


• Ambang Priyonggo

Media and Politics: Examination on the Political Stance of Kompas in Gus Dur’s Impeachment Process

UMN

Media and Politics: Examination on the Political Stance of Kompas in Gus Dur’s Impeachment Process Ambang Priyonggo Universitas Multimedia Nusantara ambang@unimedia.ac.id ABSTRAK Riset ini mencoba menelaah peran politik pers—agen pembangunan, agen penghambat, dan agen perubahan—dalam isu pemakzulan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) di era awal Indonesia memasuki era demokrasi . Dari analisa yang dilakukan dengan metode analisis isi kuantitatif diketahui bahwa Kompas memerankan fungsi sebagai agen penghambat sekaligus juga agen pembangunan. Peran seperti ini menjadi efektif dan strategis bagi demokratisasi Indonesia. Kata kunci: Peran politik, pers, demokrasi

INTRODUCTION During the process to the democratic transition in 1990s (in the last years of Soeharto regime), Indonesian press has been recognized to have multiple political roles. In fact in the research done by a political scientist, Duncan McCargo (2003), the Indonesian press was deemed an actor in its own right that could adjust its political modes of agencies to avoid political and economic constraints. The shift of political agencies, from being an agent of stability (development journalism or conservative roles) to become an agent of restraint (progressive roles) and an agent of change (transformative roles) happened simultaneously during the last period of Soeharto’s semi-authoritarian government in the 1990s, in accordance to the mounting demand of democratisation. McCargo revealed that the political junctures in the country became the main factor of such multiple political roles of media that eventually contributed to the throes of Soeharto re60

gime in 1998. The downfall of the regime, indeed, marked the peak of the struggle to the democracy. Post Soeharto era, Indonesia is still learning the new democracy that turns out to be uneasy to implement under—many Indonesians call—the multidimensional crisis: political, economy, and social. The new democracy in some way resulted in the freedom of press; however, the complex set of political constellation remains. Since 1998 until present, there have been three presidential successions within 5 years: from a transitional president B.J Habibie (1999) to democratically elected president Abdurrahman Wahid (19992001), and eventually President Megawati Soekarnoputri (2001-2004), who replaced Wahid regime after he was impeached by parliament under the massive support of media. The rather messy political constellations were also worsened by ethnic/ religious conflicts and separatism issues in Desember 2011 • Volume III, Nomor 2


• Ambang Priyonggo

UMN

Media and Politics: Examination on the Political Stance of Kompas in Gus Dur’s Impeachment Process

some parts of the nations (Moluccas Islands, East Timor, Aceh, West Papua)—tensions that have often been allegedly thought to have connection with the political uncertainty in the capital. The writer feels that, under such complex set of political settings, the further scrutiny on the political roles of press needs to be done. The research, using a case study of the most influential and biggest newspaper Kompas Daily, therefore, will identify the roles of the press in the further process of Indonesian democratic transition. The research looks certain political setting essential to democracy—Abdurrahman Wahid impeachment process (Presidential Decree issue) in 2001and finds how it affects the political roles of Kompas. Abdurrahman Wahid’s impeachment is essential because it is another test of the country’s never ending political crisis in its early stage of democratic era.

institution and political actor in its own right. Although his research was United States centric, his arguments are essential to put a fundamental concept on the issue, since he comprehensively describes the process of institutionalisation of media from historical, theoretical, and practical point of views. The second is done by Duncan McCargo (2003). By putting Timothy E. Cook argument to the context of Pacific Asia, including Indonesia, McCargo analyses the process of the simultaneous political roles of media, identifying and elaborating three possible political modes of agencies: an agent of stability, an agent of restraint and an agent of change. The third significant research is done by Susan J. Pharr. In a rather specific context, in Japan, Pharr suggests that media is a trickster, a term she took from the symbolic anthropology (Pharr 1996, pp. 19-43).

LITERATURE REVIEW Several studies have been done in attempts to describe the political roles of media. However, most of the studies merely concentrate on the political communication of media such as election coverage and campaigning. Furthermore, most of the studies of the political roles of media are based upon Western Countries and sometimes have an inadequate relevance to the non-Western countries. Additionally, it is often the case that the study of political roles of media over-ride preoccupation with output, typically studied through content analysis, and often obscure the important process that generate the output (McCargo 2003, p.1) As the writer would elaborate, there are at least three remarkable works on the political roles of media that are very relevant to this research. The first is done by Timothy E. Cook (1998) who states an argument that media are actually a political

Press as a Political Actor Timothy E. Cook puts forward an argument to say that media are political actors or political institution in its own right. Cook draws his argument by firstly showing the idea whether the news media are institutional and, secondly, explaining whether it is also political. Cook defines the institutions as follow:

Volume III, Nomor 2• Desember 2011

Institutions are social patterns of behavior identifiable across the organizations that are generally seen within a society to preside over a particular social sphere. Although they make choice possible, the inherent cognitive difficulty of linking given practices to particular outcomes means that particular practices cannot be identified as the most beneficial, and all rules are valued in and of themselves unless and until they demonstrably harm the achievement of important goals. (Cook, 1998: 70)

61


Media and Politics: Examination on the Political Stance of Kompas in Gus Dur’s Impeachment Process

He further points out that the rules and procedures that comprise institution are valued as usual routines to accomplish certain task, and they also endure over time and extend over space. Such rule and procedure, Cook continues, are also recognizable within organizations that constitute the institution as well as from outside element as having a central part in society and polity (Ibid, 71). Cook takes the concept on institutions above at a time in his investigation on news media in the United States. Three important ideas of media institutionalization emerged. The first is news media create the news anchored in distinctive roles, routines, rules and procedures. Secondly, such practices evolved and endured over time and extend across news organizations. Thirdly, the news media are observed by newspersons and nonnewspersons as presiding over a given part of social and political life. The three issues of institutionalization of media has been used by Cook to justify that media is an institution. Further, he points out that the media is in fact a political actor as well. He argues by firstly pointing to the studies suggesting that political role of media lies in enhancing the reach of those powerful political elites, being influential in “buttressing official authority and less in the allocation of values” (ibid, 86). While in fact, Cook stresses, the case is not as simple as that since he argues that the news media is indeed partially independent from their sources in producing the news content. News media may be able to influence who is authoritative, what the values of politics are and which allocation should be made. Making an analogy that the independency of news media is as the same as the other three branches (Executive, Legislative, and Judicative), Cook suggests, “the news media share a similar fate 62

• Ambang Priyonggo

UMN

with the three constitutional branches being partially independent from and partially dependent from other institutions for themselves to accomplish their own task” (ibid). Three Modes of Agencies Responding to Cook, Duncan McCargo (2003) elaborates three possible functions of the media under the concept of “political actor/institution”. He uses the three possible functions—or McCargo also dubbed them as political mode of agencies—as parameters in determining the process of media roles in Asia Pacific context. Those three possible roles are: 1. Agent of stability Under this function, the media are prescribed with the task to help the government assist the process of nation building tool under the idea of development journalism. 2. Agent of Restraint The second function of the media is that of day-to-day monitoring of the political order as a watchdog providing checks and balances. As McCargo states, this kind of role “could range from critical editorializing about the government policies to full-scale investigative reporting about high-level of corruption” (McCargo, 2003: 3). 3. Agent of Change Media as Agent of Change put forward an idea as a fire-fighting one. In other words, it helps to shape political change during the time of crisis. In an extreme case, it contributes to the downfall of certain political regimes. Desember 2011 • Volume III, Nomor 2


• Ambang Priyonggo

UMN

McCargo also states that some of these three alternative roles of agencies—stability, restraint, and change—can actually contribute to the democratization process while the other can do just the opposite. He further states that these three roles are equivalent to the three adjective descriptions of the media’s alternative roles: conservative, progressive, and transformative (McCargo 2003, p. 4). Many may assume that the press implements a specific political role in a given society at a given junctures: an agent of stability in an authoritarian regime (Cuba, Burma); an agent of restraint in a wellestablished democratic state (US, Japan); an agent of change during a time to replace a certain regime (Philippines during Marcos era). However, in practice, the press is actually very polyvalent, multidimensional, and can even adopt the three roles simultaneously, depending on the certain situations. They can be cheering, reproving, and denouncing the power-holders in the same time (Ibid). McCargo’s research, therefore, urges the necessity to scrutinize the context of internal political constellations to be able to get a complete idea of the media political roles. McCargo elsewhere also argues that evaluating the nature of the political roles performed by the media in any given situation requires close examination of two factors: ownership and control of publications, and the relationships between owners, journalists, and power-holders (McCargo 1999, p.5). Those two factors, he would say are important to shape the modes of agencies of media in Pacific Asia to become polyvalent and—wisely to say—hypocrite. Such media hypocrisy also fits with the idea proposed by Susan J. Pharr (1996) Volume III, Nomor 2• Desember 2011

Media and Politics: Examination on the Political Stance of Kompas in Gus Dur’s Impeachment Process

who states that press is a trickster. She takes the term trickster from the terminology in a symbolic Anthropology in an agrarian society. The symbolic Anthropoly offers a compelling framework for thinking about the various contradictions in the media role…as a trickster. The trickster is a metaphor for a whole range of stranger-outsiders whose numbers historically have included artisants, artists, minstrel, monkey performers, healers and diviners, clowns and village idiots, along with many others. (Pharr 1996, 25)

Phar further says that the main characteristic of the trickster figure is its inconsistent social position in relation to the established order: it praises or mocks, badgers or satirizes, horrifies or cajoles (ibid). METHODOLOGY This research is written based on the case study of Kompas Daily conducted by doing content analysis and interviews, using a combination of quantitative and qualitative approach. The choosing of Kompas Daily as a case study is due to the fact that it is the most influential and the biggest circulation newspaper in Indonesia. Secondly, it is reputably known as a publication with a polished style of being objective, accurate, fair, and nonprovocative. The first primary data are the reports of Kompas Edition of 23 June-23 July 2001, a month period up to the day of impeachment of Abdurrahman Wahid (Presidential Decree issuance). Meanwhile the other primary data are interviews, and the secondary data are the media-watch bulletins, e-resources, journals, conference papers, and other library resources. Concerning the interviews, the writer used structured and semi-structured interviews with six sources. Those 63


Media and Politics: Examination on the Political Stance of Kompas in Gus Dur’s Impeachment Process

interviewees are 3 political/media experts, 2 activist journalists/media-watch activists, and 1 politician. DISCUSSION AND ANALYSIS Kompas’ Coverage on Presidential Decree A month up to 23 July 2001 was a critical moment for Indonesia’s fragile democratic transition. During the period, the incumbent president Abdurahman Wahid was in an intense dispute with the parliament that was about to impeach him through a Special Session (SI). The impeachment process was ignited by Wahid’s erratic style of government. Further the impeachment process was accelerated by two financial scandals involving US$4.2 million money (Bulogate and Bruneigate). The issue became crucial to the fate of Indonesian “experimental” democracy as Wahid planned to issue the state of emergency status—through a presidential decree (Dekrit)—that will mean he might have an absolute power, including the right to dissolve the parliament. During such a crisis, there were two broad main groups within the elite and public level: pro-decree and against decree. The pro-decree group was derived from Wahid’s faction in parliament (PKB Faction), Democracy activists (especially those who demand the cleansing of New Order people of Golkar) and NU Ulemas (clerics) and NU grassroots. The against-decree group comprises mostly of those pro-reforms faction in parliament, such as Megawati’s PDI-P faction, Amien Rais’s Reform Faction, and also the “unavoidable” Status Quo Golkar faction. Indeed, in many occasions, military/ police elites had declared their supports to the parliament’s impeachment process, being disloyal to the highest commander of Police/ Indonesian Armed Forces: the president. 64

• Ambang Priyonggo

UMN

The against-decree group states that the impeachment process through Special Session is something normal as a democratic mechanism of parliament’s check and balance toward the president’s performance. In contrast, pro-decree group states that the impeachment process was unconstitutional and a covert scenario of Status Quo Golkar within the parliament trying to collide the reformist politicians with each other. Decree was dubbed by them the best mechanism to dissolve the parliament and Golkar party and to have a new election which is free of New Order’s people. Apart from those two group of against and pro the decree, there is also another group—although politically is not significant—within the elite and public level: neutral. This group just simply calls for an end of the political tension (whether through decree or impeachment) peacefully without sacrificing further interest of the nation and Indonesian people. As a compromise with parliament was not reached, Wahid issued a presidential decree on July 22. However, as he lost support from military/police, the decree was not really in effect, and People’s Consultative Assembly impeached him through Special Session in the following day and replaced him with his then vice president Megawati Soekarnoputri. In accordance to the event, the period of 23 June – 23 July 2001 of Kompas’s edition is explored to find out the stance and role of the newspaper in this critical situation. Therefore, a closer look on the news focus of the articles related to the issue, type of sources being quoted, and sources’ focus is required. The data in Figure 1 shows that on its four type of articles (Main story, National page, Opinion/editorial/polling, and other pages), there are 48 articles related to the issue. Desember 2011 • Volume III, Nomor 2


• Ambang Priyonggo

UMN

Further, the data reveals an interesting fact regarding the focus of the articles. The distribution of the articles whose focuses are against and neutral are almost equally the same. There are 20 articles (41%) against decree and 19 articles (40%) neutral— while only 9 articles (19%) pro decree. Although the number of pro-decree articles is actually small in overall; however, it is not the case on its front page (main story).

Volume III, Nomor 2• Desember 2011

Media and Politics: Examination on the Political Stance of Kompas in Gus Dur’s Impeachment Process

Kompas turns out to be very cautious in reporting the issue on its front page, since the distribution of news focus (pro, against or neutral) is almost equally balance. Figure 2 shows that there are 6 articles (38%) prodecree, 5 articles (31%) against decree, and 5 articles (31%) neutral. This is probably due to the sensitivity of the event so that the newspaper tries to give all parties’ aspirations equally on front page.

Additionally, on its national and editorial/opinion pages, the news focus of the anti-decree articles dominates with 9 articles (56%) and 3 articles (60%) respectively (Figure 3 and 4). While regarding articles on other pages (regional/business etc), there are 8 articles (73%) neutral and 3 articles (27%) against the decree—there is, indeed, no article on supporting the decree (figure 5). 65


Media and Politics: Examination on the Political Stance of Kompas in Gus Dur’s Impeachment Process

• Ambang Priyonggo

UMN

much on the elite (political and military figures) as main sources being quoted most, apart from academicians/observers and the public. From total 199 sources, 66 of them (55%) are the elite; 21 of them (18%) are academicians/observers; and the remaining 32 of them (27%) are the public. It is also important to highlight that within those sources, it turned out that the majority of them are those with neutral views (53 sources). While those with the focus against and pro are 43 sources and 23 sources respectively (figure 6). As stated earlier, there are three board-groups: pro, against and neutral. All of the group have their own views and messages to exert: the pro group demand cancellation of Special Session and agree on the issuance of decree; the against group demand Special session and oppose to the decree; the neutral group just simply want all elites to think of the national interests, settling down the political dispute peacefully. While looking at the statistical result alone, Kompas indeed accommodates more of those who are against and neutral, showing its bivalent stance.

The fact that the news focus of the overall articles is frequently against the presidential decree has raised a question on how the paper accommodates its main sources. As a matter of fact, Figure 9 reveals data that Kompas relies so

66

Kompas’s Political Roles Before identifying the paper’s political role in this political nuance, it necessitates looking first at its stance and political perspective. The content analysis in sub chapter 4.5 indicates that Kompas’s stance is being against and neutral in responding to the president’s plan to issue decree. This fact implies the newspaper’s views that presidential decree on state of emergency was not a proper mechanism to solve the political dispute between the

Desember 2011 • Volume III, Nomor 2


• Ambang Priyonggo

UMN

Volume III, Nomor 2• Desember 2011

Media and Politics: Examination on the Political Stance of Kompas in Gus Dur’s Impeachment Process

67


Media and Politics: Examination on the Political Stance of Kompas in Gus Dur’s Impeachment Process

president and parliament. Kompas deemed Special Session of parliament a better solution, while in the same time the paper also wielded a neutral message to all the parties in dispute to put forward the interest of the nation’s unity. Has Kompas’s stance and political views led to the idea that the papers performs as agent of change? It is worth noting that Kompas’s support on the Special Session does not merely lead to the idea that the paper agreed with the impeachment to replace Wahid; rather, it saw the process as a democratic mechanism of check and balance of the president’s performance. After all, the Special Session was not always identical to succession, since in such a censure the president might still defend himself from any misdoings allegedly accused by the parliament. Asked about the matter, Ignatius Haryanto of LSPP, in fact justified such analysis: “I dare to say that Kompas is very close to Gus Dur (Wahid’s nick name) and [therefore] it is doubtful to think that the newspaper supported the impeachment [to topple him]. It was rather an impeachment like in the case of Clinton-Monica scandal…not to topple him down. It’s really not the style of Kompas to do that” (Ignatius Haryanto Interview)

It was indeed true that at first Kompas and other publications (including other media modalities) were very close to Wahid, with the reason that he and his vice-president Megawati were considered to be the perfect combination to bring a better future in Indonesia. Nearly a year later, however, as noted by Political Observer Aribowo, Wahid’s honeymoon period with press was on the brink of collapse in accordance to Wahid’s erratic

68

• Ambang Priyonggo

UMN

style of government (including blaming press of spinning his inconsistent and controversial statements) and sudden appearance of two financial scandals (Aribowo Interview). Apart from Kompas that was remain “patience, unprovoked, and cautious” (although still critical) to the situation, several big publications like Tempo magazine, Republika and Jawa Pos, for many times critically reported stories with the focus on the Wahid’s financial scandals—moves that incited angers of Wahid’s supporters to protest and also occupy several offices of the publications. Henry Subiakto, a media expert from Airlangga University, states that Kompas’s coverage was not as negative as other publications, “…rather Kompas’s critical stance was focusing on Wahid’s behaviors such as his high frequency of his official trips abroad, instead of centrally focusing on Bullogate and Bruneigate issues.” In fact, during the sudden announcement of the cabinet reshuffle of replacing the coordinating minister of political and security affairs, General Wiranto, Wahid only invited Kompas and the Jakarta Post, discriminating Jawa Pos and Republika which had no idea about the reshuffle. (ibid). Further, a prominent politician, Fadli Zon, states in an interview: “Kompas would rather not focus to such controversial and sensational issues like those two scandals without being supported by strong data”. Therefore, in the case when Kompas showed support to the parliament’s censure by Special Session and was against the presidential decree, it could not be interpreted as its being protagonist (agent of change) to demand regime change. In fact, Kompas actually performed the progressive role of press as an agent

Desember 2011 • Volume III, Nomor 2


• Ambang Priyonggo

UMN

of restraint, in accordance to the idea of providing check and balance to the established order. Furthermore, the neutral messages accommodated from neutral group by Kompas are in accordance to the conservative roles of press as an agent of stability, helping preserve of the social order. One point to note, the role of Kompas as an agent of stability was not similar to those media’s roles in Soeharto’s New Order era that eventually legitimate the power order; rather, the paper accommodated the alternative views that demand animmediate peaceful solution (be it by Special Session or by presidential decree) without scarifying national unity. Accommodating the least group’s views by Kompas, Media Watch Activist Sirikit observed, is valid and ideal. “Press, indeed, should accommodate such an alternative voice, although their number is small. That’s the essence of democracy…even the smallest voice counts/matters” (Sirikit Interview). Is such bivalent role of Kompas ideal in response to the political crisis at that time? In general, such a bivalent role is by and large ideal, however, there is one thing that needs to be critically noted. Three media analysts being interviewed by the writer contend that the press (including Kompas) during 2001 political crisis still lacked of investigation. Sirikit Syah notices that there was no effort from media to comprehensively investigate the parliament allegations against Wahid on two financial scandals (Bulloggate and Bruneigate) that eventually become the major-force leading to the conflict between parliament and the president. Sharing similar views, Henry Subiakto notes: “About (coverage on) corruption allegations, (press) still relied on information which leaks and abounds from the political elites in dispute…it’s not

Volume III, Nomor 2• Desember 2011

Media and Politics: Examination on the Political Stance of Kompas in Gus Dur’s Impeachment Process

from its own effort by investigating and revealing” While, Aribowo dubs the press at that time as merely critical but has yet performed investigative journalism (Aribowo Interview). The notably failure of doing investigation was that the press (including Kompas) was unable to seek the truth behind the scandals and to explain on why Wahid for long time remained defiant to attend and answer the censure in the Special Session and insisted a controversial and unconstitutional presidential decree. Wahid’s financial scandals was, in fact, legally unproven and he was stated free of the charges by the State Attorney Office. However, it was too late as the parliament had already issued the second censure. AndwhilewaitingforthefinalcensureintheSpecial Session, the impatience and angryWahid issued the unconstitutional presidential decree that consequently legitimated the parliament to withdraw his mandatory as a president. “Press should perform investigation to seek the truth behind the allegations. In the case of Gus Dur’s falling from power, press has done nothing except becoming repertoire of the political elite. No investigation! In the moments before the impeachment hundreds of people from NGOs supported Gus Dur [to issue presidential decree]…What kind of phenomenon is this? Press has been failed to uncover the truth!” (Sirikit Interview)

All in all, Kompas, being an agent of restraint to provide check and balance to the established order, still requires a role that is more than just being critical. It needs to perform investigations to reveal the truth to be able to “educate the audience to understand the problem comprehensively” (ibid).

69


Media and Politics: Examination on the Political Stance of Kompas in Gus Dur’s Impeachment Process

CONCLUSION This research begins with the idea that press is a political actor/institution in its own right. Under such concept, it can play and adopt variety of roles, as being an agent of stability, agent of restraint, and agent of change. Such political roles are not mutually exclusive since they are available to the same media outlets at a different political junctures. In the 1990-1998 (in the last years of Soeharto era), Indonesian political role of press was proven by Duncan McCargo (2003) to adopt the three roles simultaneously, which eventually brought a positive effect towards the nation’s transition to democracy. In this study, therefore, the writer tried to identify further such roles in the next transition era of democracy (19992002). Looking at the most influential and biggest newspaper, the Kompas Daily, as a case study by observing in 2001 Wahid’s impeachment process, the writer is able to prove that press is still a political actor. Under the political setting, Kompas indeed posed a bivalent role simultaneously: agent of restraint and agent of stability. It changed the role to become an agent of restraints, providing check and balance to the established order and in the meantime being an agent of stability, accommodating an alternative views in accordance to the idea of helping preserve social and political order. BIBLIOGRAPHY Cook, Timothy E. (1998). Governing With the News: the News Media as a Political Institution Chicago: University of Chicago Press. 70

• Ambang Priyonggo

UMN

International Institute for Democracy and Electoral Assistance (IDEA) 2000, ‘Democratization in Indonesia: An Assessment (Briefing Paper)’. Paper presented at IDEA Forum for Democratic Reform, Jakarta, 16 Nov. Mahdi, Waruno (2001). ‘Re: Mengapa Gus Dur Masih Satu Kubu Dengan Kita?’ in Wahana e-discussion board. Viewed and saved, 14 Feb 2001. Available email: wahana@polarhome.com McCargo, Duncan. (1999). ‘Media and Democratic Transition in South East Asia’. Paper for Panel Discussion on Democracy in the Third World: What should be done, ECPR Joint Session, Manheim, March 26-31. McCargo, Duncan. (2003). Media and Politics in Pacific Asia, London: Routledge. Nordholt, Henk Schulte and Irwan Abdullah. (2002). Indonesia in Search of Transition, Workshop paper online – Pustaka Pelajar, Jogjakarta. Viewed: 10 December 2002. http://www.knaw.nl/Indonesia/transition/ workshop/chapter1schultenordholt.pdf Pharr, Susan J. and Ellis S. Krauss. (1996). Media and Politics in Japan, Honolulu: University of Hawaii Press Sen, Krishna and David T. Hill. (2000). Media, Culture and Politics in Indonesia. South Melbourne: Oxford University Press. Siregar, Amir Effendi. (2002) ‘Indonesia: Democracy, Economic Development and the Media’. Paper presented for FIPP/ Asia-Pacific Magazine Media Regional Conference Seoul. Viewed: 17 October 2002. www.fippseoul.or.kr/fipp/down/amir.pdf

Desember 2011 • Volume III, Nomor 2


Is Cultural Imperialism a Thing of the Past ?

• Kristy Nelwan

UMN Is Cultural Imperialism a Thing of the Past ? Kristy Nelwan Universitas Multimedia Nusantara kristy.nelwan@gmail.com ABSTRAK Teori imperialisme budaya yang menjadi topik hangat perdebatan sosial di skala internasional di awal tahun 1970-an pernah dituduh sebagai paradigma yang bertanggungjawab terhadap serangkaian eksploitasi dan kehancuran budaya di dunia ketiga yang dilakukan oleh negaranegara maju. Sejalan waktu, teori imperialisme budaya dianggap sudah usang dan tidak lagi relevan, terutama berkat sukses berkembangnya industri film lokal serta pemerataan pendidikan lewat jalur beasiswa. Selanjutnya, untuk mencapai keseimbangan dan mengisi kekosongan teori yang ada menyangkut relasi budaya antara dunia pertama dengan dunia ketiga, sejumlah konsep tandingan diusulkan untuk menggantikannya, misalnya dengan konsep globalisasi, atau imperialisme media, yang dianggap tidak berat sebelah. Akan tetapi, dengan menggunakan analisis wacana, penulis akan menunjukkan bahwa ide imperialisme budaya masih tertanam dalam konsep globalisasi, dan terus hidup hingga sekarang, meskipun dalam bentukbentuk yang lebih canggih dan terpoles, sehingga tidak bisa dikatakan bahwa imperialisme budaya merupakan artefak masa lalu. Kata kunci: imperialisme budaya, globalisasi, imperialisme media. The cultural imperialism theory emerged as a debate topic among scholars in the early 1970 (Thussu, 2000; Christophers, 2007). Suggesting that the system worked through nations by that time could lead, or probably did already, into serious cultural damage particularly in the Third World countries, cultural imperialism theory gained attention. There were those who agreed with explanation that an imbalance flow of information was happening, with cultural damage as one of its consequences. Further research and discussions were then performed to, in general, minimize the impact. On the contrary, there were then some who argued that cultural imperialism theory was no longer relevant for many reasons, backed up by sensible case studies. One of the well known ways to demonstrate the irrelevancy of cultural Volume III, Nomor 2• Desember 2011

imperialism theory, popular under the term ‘counter cultural imperialism’, was through the local film industry (Oliveira, 1993; Jin, 2007). Nevertheless advance study performed by these scholars demonstrated that what happened in the movie industry was not really that promising as fights against cultural imperialism, but more like another shape of cultural imperialism. The other popular opposition hypothesizes that the same issues and matters are now discussed not under ‘cultural imperialism’ but the theory of ‘Globalisation’ (McQuail, 2005; Christophers, 2007; Tomlinson, Cultural Imperialism, 2002; Sakellaropoulos, 2009). Talked mostly about how distance is now not a big problem anymore, thanks to technology that has developed in brisk improvement, globalisation is indeed mentioned in various kind of discipline. Experts on economic/finance/ business, techno71


Is Cultural Imperialism a Thing of the Past ?

• Kristy Nelwan

UMN

logy, communication, art and of course, culture all discuss globalisation with their own analysis and sentiments. Using discourse analysis, this essay will scrutinize the history, definition, and impact of cultural imperialism and globalisation theories to see if cultural imperialism is actually a thing of the past, or not. I.

CULTURAL IMPERIALISM The development of cinema and television played an important role in raising concern from scholars about cultural matters. As McQuils pointed out, the cultural experience that used to be “mediated by personal contact, religious ceremonies and public performance” is now “produced by the major industries…even when it appears in local or national variants and languages” (2005, p.114). Through movies and television programmes formed by The First World countries in one place, with a traditional, passive audience, even the poorest areas in the Third World, were able to get information about what was happening in another place (Wunderlich & Warrier, 2007). That, ideally, should be something good, if only the flow were balance between both sides. Unfortunately, what happened was far from balance. Experts quickly spotted the imbalance condition right away with its effects, and that was when the discussion about cultural imperialism started. Basically the theory talks about how in many places in the world, Third World countries in particular, there were new forms of dependency emerging. This argument grew out from the fact that audience all over the world, from different cultures and background, were watching television programmes produced by only several countries. Motives of these producer countries, according to texts available on this subject, vary from profit to power. One scholar addressed clear opinion on “The United States cultural 72

imperialism goals” was Petras (1993; cited in Golding and Harris, 1997:6) who claimed the two major constrains are economic—that is “to capture markets for its cultural commodities”, and political—“to establish hegemony by shaping popular consciousness”. These goals were supported not just by the government and tools invented by the country, but also by the huge market that simultaneously operates hand in hand on spreading products, instruments and, unintentionally or hidden, ideology. Information from outside the Third World countries were flowing inside more rapidly, building worries for some who realized the further impacts, such as Schiller who became one of early scholars to write about and define cultural imperialism in the first edition of his book; Mass Communication and American Empire (1969; cited in Christophers, 2007, p.1). The sum of the processes by which a society is brought into the modern world system and how it’s dominating stratum is attracted, pressured, forced and sometimes bribed into shaping social institutions to correspond to, or even to promote the value and structures of the dominant centre of the system.

(Schiller 1976, cited in Thussu 2000, p.61) This definition was then revised in the second edition of Mass Communication and American Empire that was published in 1992. Seeing the changes that happened, Schiller no longer thinks that the term “cultural imperialism” provides a suffice explanation for what is happening worldwide. Instead, he suggested that those to blame were now narrowed to “transnational corporation” who he believed are “continuing heavy favour of US media know-how derived from long experience with marketing and entertainment skills and practices” (Schiller, 1992, pp. 14-15). When communication processes become too intense, it would not be wise to see it as a Desember 2011 • Volume III, Nomor 2


• Kristy Nelwan

Is Cultural Imperialism a Thing of the Past ?

UMN

normal condition, especially in regards on how it would influenced democratization process (Amin, 1997). Amin demonstrated how “intensification of communication” run by this “capitalist system” would not be a “liberating or democratizing factor” by giving example about “observer who does not see Western life on a daily basis is always struck by the incredible brain-washing of the dominant media” (Amin, 1997, p. 17). He argued, one need to remember that there is high possibility that a product would be accepted differently by people in different society because they were also facing different problems (Amin, 1997, p. 22). Encoding-decoding theory by Stuart Hall also highlighted the same issue saying that it is not just the matter of how the producer framed some information but it is also about how the audience accept it (1974/1980; cited in McQuils, 2005, p.112) Trying to fight back this domination, New World Information and Communication Order (NWICO) became noticeable in the early 1970s claiming that the First World countries were “conditioning the masses to the interest of those powers” and it caused people in the Third World countries into becoming “the victims of dominations in information”. Several key areas spotted through these meetings in order to minimize harmful impact of cultural imperialism were news flow, television flow, advertising and communication technology (Roach, 1997). In 1980 the MacBride Commission submitted another report on this matter to the United Nation Educational, Scientific, and Cultural Organization (UNESCO). It emphasized the support given from UNESCO to the movement and challenged the accused (First World) countries to give some soft to hard responses. Roach (1997) reviewed these responses, and sharply demonstrated how the reaction grew as the movement become visible. These countries’ reaction to cultural imperialism discourse reached its peak when The United States Volume III, Nomor 2• Desember 2011

(in 1984) and The United Kingdom (in 1985) withdrew from UNESCO (Unesco.org, 2006), accusing that the organization was trying “to prevent freedom of speech and freedom of press” (Margaret Thatcher to the Associated Press, 21 November 1984; cited in Roach, 1997). Fortunately for the cultural imperialism warriors, that tough reaction drew even more attention worldwide. However, critics also started to question some flaws founded in the theory. Sreberny-Mohammadi strongly criticized cultural imperialism as an “ill-defined” concept and suggested another better-constructed notion to address problems caused by imbalance flow of information between The First and Third World countries. What SrebernyMohammadi thought is “more narrowly focused” was the notion of media imperialism (SreberneyMohammadi, 1997), which actually related to John Tomlinson’s work earlier in 1991. In arguing how cultural imperialism actually worked, Tomlinson in Cultural Imperialism captured the term from four different angles; Cultural Imperialism as media imperialism, cultural imperialism as a discourse of nationality, cultural imperialism as the critique of global capitalism, and cultural imperialism as the critique of modernity. Media as “the most common focus for discussion of cultural imperialism” (p.23), led Tomlinson to propose two ways to centred cultural imperialism on the media: “either as the dominance of one culture’s media over another; or as the global spread of ‘mass-culture’ as such” (p.22). Even lately when many countries that used to be “television programmes importers” became able to produce their own series that then dominated the audience’s attention, many scholars succeeded in proving that it did not signify the death of cultural/media imperialism. In 1993 Oliveira started with very convincing statistical data that says Latin America’s film industry was free from imperialism for they did 73


Is Cultural Imperialism a Thing of the Past ?

• Kristy Nelwan

UMN

not just produce their own programmes, but they also exported these self-made soap operas to some other countries. However then the article developed and revealed the hidden truth about images of the characters in Brazilian soap operas that were pretty similar with the ones in American’s soap opera, only with Brazilian faces. The story lines which seemed originally local, after closer observation turned out to be American soap opera scripts translated to local language with some setting changes (Oliveira, 1993). The same thing happened to cinema industry in Korea (Jin, 2007) and India (Raj, 2004) where the successful local industries apparently were just echoing the previous player by repackaging same ideas in more local outer shell (Morley, 1997; in McQuils, 2005). Cultural imperialism also appeared in a very neutral form: Education (SreberneyMohammadi, 1997). Speaking about imperialism in African culture, Ali Mazrui (1975, cited in Sreberny-Mohammadi, 1997) commented on university as “the single most sophisticated instrument of cultural dependency”. Cultural imperialism on this matter could affect as far as ineffectiveness of Third World development plans, in a way that mapped by SrebernyMohammadi as follows. Institutionalization of Western-style education helped, if not to create ab initio, to widen the gap between local elites and the masses and between urban dwellers and the rural masses. Educational qualifications became a passport into government bureaucracy and a life of comparative luxury; even after independence, the lack of trust between elites and masses makes it very hard for many Third World development programmes to be effective.

(Sreberny-Mohammadi, 1997, p. 59) Another critique came from Garofalo (1993, p.18) who said that cultural imperialism

74

theory “overstates external determinants and undervalues the internal dynamics, not least those of resistance within dependent societies”. However, when it came in such a “sophisticated” form like education, it would be quite a challenge to sees it as a threat. Little would people think about cultural imperialism when they are offered opportunities to study abroad. There is only small chance for them to reject the offer usually formed as ‘scholarship’, because they would want to take it. They would not even ask ‘why most scholarship needed to make sure that candidates will be going back to their home country after they finished the scholarship program’, let alone to realize the possibility of ‘so they would become one instrument of cultural imperialism’ to be the answer for that question. This “ability to affect what other countries want” was what Nye (1990; cited in Schiller, 1992) meant by Soft Power that illustrates how skilled these dominant powers are in the art of manipulation. From movie industries to scholarship, from manufacture industries to many kind of ‘aid’; that is just how ‘creative’ a part could be in developing its domination, and also how wide and puzzling cultural imperialism theory is. Some scholars suggested the Third World countries be more aware of these offers that, according to these scholars’ analysis, are hiding the real truth about “continued Western exploitation of the Third World under the guise of so called ‘modernization’” (Roach, 1997). However, to see it as “the spread of modernity” is the most suggested way by Tomlinson (1991, p.173) in order to minimize confusion in discussing cultural imperialism before concluding his writing with the sharp statement: What replaces “imperialism” is “globalisation”. This one fromTomlinson and many other similar claims stimulated new questions among other scholars who follow the theory’s development: Is cultural imperialism a thing of the

Desember 2011 • Volume III, Nomor 2


Is Cultural Imperialism a Thing of the Past ?

• Kristy Nelwan

UMN

past? Should we than move on and discuss Globalisation theory for a change? II. GLOBALISATION Trying to be more careful and not too optimistic—if not pessimistic, in discussing “modernity” and “globalisation”, Lull (2000) saw them not just as “stages in world history but also as destructive, irreversible developments driven by First World economic interests”. Here we can sense some sentiments that seem familiar and remind us of the emotions in previous discussions: awareness and suspiciousness. Particularly for globalisation, Lull drew attention to the fact that for many critics, “globalisation is not just a flow”, it is “a world system of exploitation”. A slightly different tone comes from Anthony Giddens as the one who first used the term’ globalisation’: …the intensification of worldwide social relation which link distant localities in such a way that local happenings are shaped by events occurring many miles away and vice versa. This is such a dialectical process because such local happening may move in an observe direction from the very distanciated relations that shaped them. Local transformation is as much as a part of globalisation as the lateral extension of social connection across time and space.

(Giddens, 1990, p.64)

Roland Robertson (1992, p.8) combined “intensification of consciousness” and “compression of the world” in his definition of globalisation. There is also similar opinions from Held and McGrew (2007) who see globalisation as a “widening, deepening, and speeding up of worldwide interconnectedness”. All these outlooks on globalisation mentioned rapid growth in technology, economy etc., that silmutaneously bridge the gap in every aspect of human life, especially between nation states.

Volume III, Nomor 2• Desember 2011

Scholars have been in long, deep and complicated discussions about globalisation that the term has become so popular nowadays, used by people from differen diciplines for different purposes (Giddens, 2005). Debates are inevitable and brought out different arguments and questions on globalisation such as one from Hirst and Thompson (2002) who said that if globalisation is really about growing interconnectedness (increasing flows of trade, investements, and communication between nations), that means globalisation has been happening for the past fifty years.Yet then, they questioned it themselves: What are the differences of what we have experienced this last fifty years, in comparation with what happened in 1850-1914 ( (Hirst & Thompson, 2002, p. 1)? Does that mean globalisation has been going on since the 19th century? Some argue that it started even a lot earlier than the 19th century. In explaining the history of globalisation (1992; cited in Wunderlich and Warrier, 2007), Robertson suggested five phases to be examined. He marked the age of European exploration and the “global spread of the Roman Catholic Church” from 1400 to 1750 as the first phase, followed by The Enlightenment era together with European colonialism between 1750 and 1875 as the second phase. Then comes the era where many historical changes in technology happened from 1875 to 1925, which according to Hirst and Thompson (2002) could be compared with contemporer globalisation that has been happening for the past fifty years.The fourth one happened in 1925 to the late 1960s when what Robertson called “international regimes and institutions” such as United Nations and International Monetery Fund became parts of the world’s political and economic system. The last phase is still going on until today, with rapid growth in information and communication technology which “have increased the speed

75


Is Cultural Imperialism a Thing of the Past ?

• Kristy Nelwan

UMN

and volume of the circulation of goods, capital, services, ideas, and people”. As globalisation became popular, the fact became clearer how broad the concept is that to see it by phases like Robertson did helped a lot in understanding the term. Appadurai (1996) decided to slice “global cultural flow” into five scapes: ethnoscapes, mediascapes, tecnoscapes, financescapes and ideoscapes because global cultural flow as part of the globalisation process are often viewed as something too wide and complicated. Keohane and Nye (2003; cited in Wundrlich and Warrier, 2007) preferred to divide its process into thin and thick globalisation. Thin globalisation is what happened a long time ago when people from different nation states did trading through the Silk Route. That was still, according to Keohane and Nye (2003), a process of globalisation that involved limited amount of trade and a small number of people. Contrastingly, thick globalisation is what we are experiencing nowadays which has “created a dense network and an intensification of economic, social, cultural and political interdependencies.” However, Lull seems did not agree with the notion of ‘interdependencies’ in giving an explanation about globalisation. What really is happening, according to Lull (2000, p.226) is the exploitation of Third World countries who, for the First World countries were nothing more than “cheap labor sources and future markets” that are “desperate to attract capital” only to be included in the global system. As the result is one condition where “everything from food to sex to religion becomes more and more commercialized on a global scale”. Stronger critiques came from Michael Marx (2000; cited in Lull, 2000, p.226) who argued that globalisation in the end is just a conspiracy to make every part of the world sell American culture and bussines, without paying attention to possibility that it might lead to major cultural damage and “environmental 76

destruction”. Similar concern came from antiglobalisation movements who set their goal specifically to “fight the destruction of cultures and the degradation of nature” (Wunderlich and Warrier, 2007, p. 33). III. CULTURAL IMPERIALISM VS GLOBALISATION Three phases in international communication research according to Golding and Harris are happy optimism, cultural imperialism, and globalisation. It was obvious that for Golding and Harris, cultural imperialism and globalisation are two different theories in two different times. However, if we compare the way scholars from both theories tried to minimize the confusion we would begin to spot some similarities. Tomlinson (1991) suggested that we approach cultural imperialism with four different ways: cultural imperialism as media imperialism, cultural imperialism as a discourse of nationality, cultural imperialism as the critique of global capitalism, and cultural imperialism as the critique of modernity. The same method was applied by Appadurai (1996) who uses ethnoscapes, mediascapes, tecnoscapes, financescapes and ideoscapes in discussing global cultural flows. We can see there at least two points from each scholar that were actually talking about similar issues. First, what was discussed by Tomlinson when he sees cultural imperialism as media imperialism is how to placed media in the notion; if media was driving the changes or if media was just following. It has not that big difference with Appadurai’s explanation on how media works as crucial instrument in global culture flows process. Second, cultural imperialism as the critique of global capitalism from Tomlinson could also relate to description about financescape (Appadurai, 1996, p. 34) where Appadurai also addressed critic to global capitalism. Desember 2011 • Volume III, Nomor 2


• Kristy Nelwan

Is Cultural Imperialism a Thing of the Past ?

UMN

The previous paragraph demonstrates how under different terms, scholars were actually discussing similar problems. The concept of “time compression” (Waters, 2000) in globalisation was basically explaining “intensification of communication” in cultural imperialism only in a smoother and less offending way. NWICO and Antiglobalization movements were demanding the same order, only under different time and different terms. We can see that conflicts in society nowadays have not changed that much. The First World countries still dominate the system, as Third World countries are still the victim. This fact can be seen from critics against the system that was operating, no matter what the names were; in both cultural imperialism and globalisation the dominant spectrum was always First World countries caused same trouble for Third World countries. Golding and Harris (1997) pointed out that if we look behind all those critiques on cultural imperialism theory and the emerging of a new term that made “the dynamic of imperialism have become complex and inconsistent”, it is easy to notice that “the old forms of inequality and mendacity that lay behind them still remain”.

Either way, therefore I would suggest that the notion of cultural imperialism still exists and is not yet to be called ‘a thing of the past’. The term itself still makes appearances in discussion on related topics, but moreover the effect of cultural imperialism is far away from gone. As Sakellaropoulos (2009) argued, the so-called “transition to the new scale of capitalism” is nothing else but “imperialism in its modern phase”. After all it is not under what term we discuss the issue, but how aware are we of the real condition that is going on. Changes are happening, but not really toward the better end. The system has become more complicated; The media paints beautiful pictures of the world out there and makes us believe in it, yet exploitation still takes place, and majority of people in the Third World countries do not realize how they have been victimized (Golding and Harris, 1997; Lull, 2000). However, in regards to this “paradox with no happy solution in sight” (Lull, 2000), Amin (1997) tried to be more optimistic by saying that there is still “alternatives to this bleak future” namely “the struggle for a socialist alternative at all levels, national and international”.

IV.

BIBLIOGRAPHY Amin, S. (1997). Reflections on the International System. (P. Golding, & P. Harris, Eds.) Beyond Cultural Imperialism: Globalization, Communication and the New International Order . Appadurai, A. (1996). Modernity at Large: Cultural Dimension of Globalization. London, Minneapolis: University of Minnesota Press. Christophers, B. (2007). Ships in the night: Journeys in cultural imperialism and postcolonialism. International Journal of Cultural Studies , 10(3): 283–302 . Los Angeles, London, New Delhi and

CONCLUSIONS & SUGGESTIONS In defining globalisation, Robertson (1992) mentioned “the compression of the world” which according to Waters (2000) referred to the “increasing level of interdependence between national systems by way of trade, military alliance and domination and cultural imperialism” (Waters, 2000). Based on this demonstration we could then conclude that cultural imperialism theory is therefore a part of the globalisation concept, which should be translated carefully otherwise it would only make both concepts even more complicated and impossible. Volume III, Nomor 2• Desember 2011

77


Is Cultural Imperialism a Thing of the Past ?

• Kristy Nelwan

UMN

Singapore: SAGE. Retrieved from Sage Publication Web site. Giddens, A. (2005). Giddens and the ‘G’-word: An Interview with Anthony Giddens. (T. Rantanen, Interviewer) Sage Publication. Golding, P., & Harris, P., eds. (1997). Beyond Cultural Imperialism: Globalization, Communication and The New International Order. Held, D., & McGrew, A. (2007). Globalization/ Antiglobalization. Cambridge: Polity Press. Hirst, P. and Thompson, G. (2002) “The future of globalization” in Cooperation and Conflict, Journal of the Nordic International Studies Association, 37(3): 247-65. Jin, D. Y. (2007). Reinterpretation of cultural imperialism: emerging domestic market vs continuing US dominance. Media, Culture and Society , 29(5): 753–771. Lull, J. (2000). Media, Communication, Culture: A Global Approach. Cambridge and Malden: Polity Press. MacBride Commission. (1980). Many Voices, One World: The MacBride Report. Paris, London, New York: United Nation Educational, Scientific and Cultural Organization, Kogan Page Ltd, Unipub. McQuail, D. (2005). Mass Communication Theory. London, California, New Delhi, Singapore: Sage. Oliveira, O. (1993). Brazilian Soaps Outshine Hollywood: Is Cultural Imperialism Fading Out? (K. a. Noredenstreng, Ed.) Beyond National Sovereignty: International Communication in the 1990s , 116-131. Raj, A. (2004). The Curse of Globalised Culture: The Fall of Indian Cinema

78

Foretold. Elsevier Ltd. Roach, C. (1997). The Western World and the NWICO: United They Stand. Beyond Cultural Imperialism: Globalization, Communication and The New International Order . Sakellaropoulos, S. (2009). The Issue of Globalization through the Theory of Imperialism and the Priodization of Modes of Production. Sage Publication. Schiller, H. (1992). Mass Communications and American Empire. Boulder, San Fransisco, Oxford: Westview Press. Sreberney-Mohammadi, A. (1997). The Many Cultural Faces of Imperialism. (P. Golding, & P. Harris, Eds.) Beyond Cultural Imperialism: Globalization, Communication and The New International Order pp. 49 - 68. London and Thousand Oaks, CA: Sage. Staubhaar, J. (2007). World Television: From Global to Local. London: Sage Publication. Thussu, D.K. (2000). International Communication – Continuity and Change. London: Arnold. Tomlinson, J. (2002). Cultural Imperialism. Continuum. Unesco.org. (2006, October 18). Member States. Retrieved April 28, 2009, from Unesco.org: http://erc.unesco.org/portal/ UNESCOMemberStates.asp?language=en Waters, M. (2000). Globalization (2nd Edition ed.). London, New York: Routledge. Wunderlich, J.-U., & Warrier, M. (2007). A Dictionary of Globalization. London : Routledge.

Desember 2011 • Volume III, Nomor 2


Di antara Pusaran Gelombang Korea (Menyimak K-Pop di Indonesia)

• AG. Eka Wenats Wuryanta

UMN Di antara Pusaran Gelombang Korea (Menyimak Fenomena K-Pop di Indonesia) AG. Eka Wenats Wuryanta Universitas Paramadina eka.wenats@paramadina.ac.id

ABSTRACT Globalization is a special phenomenon in human civilization that moves on the global community and is part of the global human processes. The presence of information and communication technologies to accelerate the globalization of this. Globalization touches all the important aspects of life. Globalization creates new challenges and problems that must be answered, solved in an effort to harness globalization for the benefit of life. In general, globalization means the increasing linkages between the people and places as a result of advances in transportation technology, communications, and information that led to the convergence of political, economic, and cultural. The discourse of globalization as a process characterized by the rapid development of science and technology so that it can fundamentally change the world. International transport and communications have removed the boundaries of each nation’s culture. Marshall McLuhan’s global village pioneer idea in his book Understanding Media, 1964 said: “Today, after more than a century of electrictechnology, we have extended our central nervous system itself in a global embrace, abolishing both space and time as far as our planet is concerned. “ Key word: Globalisasi, Gelombang Korea, Media Televisi, K-Pop, informasi dan Komunikasi

PRAWACANA Budaya pop sekarang tidak identik dengan budaya Barat, tetapi belahan Asia mulai menunjukkan kemampuan kreatif budaya dengan menjadi pengekspor budaya pop. Selain Jepang, Korea pun mulai menunjukkan taring sebagai negara produsen budaya pop melalui tayangan hiburan dan menjadi saingan berat bagi Amerika dan Eropa. Hal ini sejalan dengan kemajuan industri hiburan Korea dan kestabilan ekonomi mereka. Dalam dekade terakhir, wabah budaya pop Korea melanda Indonesia. Fenomena ini

Volume III, Nomor 2• Desember 2011

dipicu dengan program Piala Dunia KoreaJepang 2002 yang berakhir dengan masuknya Korea sebagai kekuatan empat besar dunia dalam persepakbolaan dunia. Kesuksesan Korea di Piala Dunia 2002 semakin mempersohor nama Korea di mata dunia. Beberapa waktu menjelang, selama dan setelah hiruk-pikuk Piala Dunia, beberapa stasiun televisi swasta di tanah air bersaing menayangkan musik, film-film maupun sinetron-sinetron Korea. Berbeda budaya pop Jepang yang penikmatnya didominasi anak-anak dan remaja, budaya pop Korea ternyata mampu men-

79


Di antara Pusaran Gelombang Korea (Menyimak K-Pop di Indonesia)

• AG. Eka Wenats Wuryanta

UMN

jangkau segala umur, mulai dari anak-anak hingga orang dewasa sekalipun menjadi penikmat budaya pop Korea. Menurut Kim Song Hwan, seorang pengelola sindikat siaran televisi Korea Selatan, produk budaya Korea berhasil menjerat hati penggemar di semua kalangan terutama di Asia disebabkan teknik pemasaran bergaya Hollywood tapi dengan nilai asia. Artinya, mereka mengemas nilai-nilai Asia yang dipasarkan dengan gaya modern. Istilah ini mengacu pada ceritacerita yang dikemas bernuansakan kehidupan Asia, namun pemasarannya memakai cara interna-sional dengan mengedepankan penjualan nama seorang bintang atau menjual gaya hidup. Globalisasi budaya pop Korea atau yang lebih dikenal dengan gelombang Korea (Hallyu) ini berhasil mempengaruhi masyarakat. Beragam produk budaya Korea mulai dari drama, film, lagu, fashion, hingga produkproduk industri menghiasi ranah kehidupan masyarakat di berbagai belahan dunia. Bukan hanya di kawasan Asia tetapi sudah merambah ke Eramerika (Eropa-Amerika). Banyak film Korea diadopsi Hollywood dan di buat kembali seperti Il-Mare, My Wife is a Gangster, My Sassy Girl, Hi dan Dharma. Saat ini artis Korea pun sudah masuk jajaran artis Hollywood. Selain itu, produk-produk elektronik yang sering digunakan dalam tayangan Korea tak kalah tenarnya. Kita bisa berkaca dengan kesuksesan Samsung dan LG, dua merek elektronik internasional milik Korea. Kedua merek ini tentunya tidak asing lagi digunakan baik dalam sinetron maupun film Korea. Bahkan, Menurut komunitas Korea Lovers, penggemar Korea mengutarakan salah satu alasan mereka menggunakan dua produk ini karena selain memberikan kenyamanan dan kemudahan dalam penggunaan, juga karena produk ini digunakan oleh ikon pop Korea. 80

Tidak bisa dipungkiri, saat ini tengah berlangsung gelombang korea. Hal ini mengacu pada popularitas tayangan hiburan Korea Selatan yang meningkat secara signifikan di seluruh dunia tak terkecuali di Indonesia. Meluasnya gelombang Korea ini tidak bisa dilepaskan dari peran media massa yang secara sadar atau tidak telah membantu terjadinya aliran budaya ini. Bisa dikatakan bahwa karena media massa, gelombang korea dapat memasuki seluruh lini budaya negara-negara Asia tak terkecuali Amerika dan Eropa. Mengacu pada banyaknya jumlah penggemar Korea saat ini, maka terbentuklah basis penggemar Korea yang dikenal dengan sebutan Korea Lovers. Mereka secara rutin saling bertemu dan berkomunikasi, saling tukar menukar informasi. Bahkan mengganti nama-nama panggilan mereka dengan nama-nama Korea. Cara bicara mereka juga unik, yaitu dengan menyelipkan istilah-istilah dalam bahasa Korea. Tidak sampai disitu saja, mereka juga terobsesi untuk mempelajari bahasa Korea. Tak ketinggalan pula, segala atribut yang berlabel Korea menarik minat mereka, mulai dari produk-produk elektronik, alat make-up, fashion, restoran makanan khas Korea, festival budaya Korea menjadi incaran fandom. Mereka berusaha untuk menunjukkan identitas Korea mereka lewat produk-produk yang mereka gunakan. Gelombang Korea mampu mempengaruhi pola hidup dan cara berpikir masyarakat yang dipengaruhi. Hal ini lah yang disadari pemerintah Korea, bahwa dengan merebaknya Korean Wave, akan membuka jalan bagi kemajuan ekonomi Korea. Pemerintah Korea menyadari betul potensi Korean Wave sehingga rela mengucurkan dana untuk membiayai produksi hiburan mulai dari film, sinetron hingga musik. Desember 2011 • Volume III, Nomor 2


• AG. Eka Wenats Wuryanta

Di antara Pusaran Gelombang Korea (Menyimak K-Pop di Indonesia)

UMN

Biaya besar yang dikucurkan pemerintah Korea memang tidak sia-sia. Terbukti, setelah merebaknya gelombang Korea, pendapatan negara meningkat dari sektor pariwisata. Menurut situs www.kbs.co.kr, sekitar 8,5 juta wisatawan asing berkunjung ke Korea di akhir tahun 2010. Jumlah ini sangat jauh berbeda dibandingkan tahun 2000 saat Korean Wave belum setenar sekarang, yaitu sekitar 1,5 juta wisatawan asing saja. Belum lagi dari sektor industri. Peningkatan penjualan juga terjadi pada produk-produk Korea yang sering digunakan para artis Korea. Selain itu, secara tidak langsung hal ini tentunya dapat meningkatkan citra nasional Korea. Penyebaran pengaruh Korean Wave bukan hanya meningkatkan peluang untuk melaksanakan pertukaran budaya, meningkatkan interaksi budaya tetapi juga menjadi sarana untuk melegalkan ideologi Korea agar mudah diterima dunia Internasional. Berbicara tentang dominasi ideologi berarti juga terkait dengan hegemoni. Hegemoni adalah proses dominasi, di mana sebuah ide menumbangkan atau membawahi ide lainnya yang pada akhirnya dilihat dan dianggap sebagai sebuah kebenaran tanpa harus melakukan kritik ideology lagi. Hegemoni tercipta karena kemajuan media serta pengalaman populer kita terkait dengan konsumsi. Media menciptakan popularitas konsumsi barang-barang komoditi. Ini merupakan bagian dari kapitalisme konsumsi. Terjadi penyeragaman rasa, baik dalam konsumsi barang-barang fisikal sampai dengan ilmu. Homogenisasi selera dan rasa ini bisa menjadi salah satu landasan penting dalam kohesi sosial. GLOBALISASI KULTUR ATAU MONDIALISASI BUDAYA Globalisasi adalah suatu fenomena khusus dalam peradaban manusia yang bergerak terus dalam masyarakat global dan merupakan bagian dari proses manusia global itu. KehaVolume III, Nomor 2• Desember 2011

diran teknologi informasi dan teknologi komunikasi mengak selerasi globalisasi ini. Globalisasi menyentuh seluruh aspek penting kehidupan. Globalisasi menciptakan tantangan dan permasalahan baru yang harus dijawab, dipecahkan dalam upaya memanfaatkan globalisasi untuk kepentingan kehidupan. Secara umum, globalisasi berarti meningkatnya keterkaitan antara orang-orang dan tempat-tempat sebagai akibat dari kemajuan teknologi transportasi, komunikasi, dan informasi yang memunculkan konvergensi politik, ekonomi, dan budaya. Wacana globalisasi sebagai sebuah proses ditandai dengan pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sehingga ia mampu mengubah dunia secara mendasar. Komunikasi dan transportasi internasional telah menghilangkan batas-batas budaya setiap bangsa. Marshall McLuhan pelopor idea kampung global dalam bukunya Understanding Media, 1964 me-ngatakan: “Today, after more than a century of electric technology, we have extended our central nervous system itself in a global embrace, abolishing both space and time as far as our planet is concerned.� Kampung Global adalah konsep mengenai perkembangan teknologi komunikasi di mana dunia dianalogikan menjadi sebuah kampung yang sangat besar. Konsep ini berangkat dari pemikiran McLuhan bahwa suatu saat nanti informasi akan sangat terbuka dan dapat diakses oleh semua orang. Kampung Global menjelaskan bahwa tidak ada lagi batas waktu dan tempat yang jelas. Informasi dapat berpindah dari satu tempat ke belahan dunia lain dalam waktu yang sangat singkat, menggunakan teknologi media massa. McLuhan menyatakan bahwa kampung global terjadi sebagai akibat dari sebaran informasi yang sangat cepat dan massive di antara masyarakat. Sebaran yang cepat dan massive ini menggunakan teknologi informasi dan ko81


Di antara Pusaran Gelombang Korea (Menyimak K-Pop di Indonesia)

• AG. Eka Wenats Wuryanta

UMN

munikasi (media massa). Hal ini juga diamini oleh Galperin. Menurut Galperin, globalisasi budaya meningkat di berbagai negara seiring perkembangan di bidang teknologi komunikasi dan informasi, globalisasi ekonomi, juga globalisasi media televisi dan film. Bahkan, gencarnya perdagangan internasional programprogram televisi dan film membuat globalisasi budaya semakin tak terbendung (Vivian, 2009). Globalisasi secara intensif terjadi pada awal ke-20 dengan berkembangnya teknologi komunikasi melalui media massa. Kontak budaya tidak perlu melalui lagi dengan kontak fisik karena kontak melalui media telah memungkinkan sehingga tidak mengherankan bila globalisasi berjalan dengan cepat dan massal. Globalisasi dalam kebudayaan dapat berkembang dengan cepat. Hal ini tentunya dipengaruhi oleh adanya kecepatan dan kemudahan dalam akses informasi, komunikasi dan berita namun hal ini justru menjadi bumerang tersendiri dan menjadi suatu masalah yang paling krusial atau penting dalam globalisasi, yaitu kenyataan bahwa perkembangan ilmu pengetahuan dikuasai oleh negara-negara maju, bukan negara-negara berkembang seperti Indonesia. Mereka yang memiliki dan mampu menggerakkan komunikasi internasional justru negara-negara maju. Akibatnya, negara-negara berkembang, seperti Indonesia selalu khawatir akan tertinggal dalam  arus globalisasi dalam berbagai bidang seperti politik, ekonomi, sosial, budaya, termasuk kesenian kita. Kebudayaan setiap bangsa cenderung mengarah kepada globalisasi dan menjadi peradaban dunia sehingga melibatkan manusia secara menyeluruh. Simon Kemoni, sosiolog asal Kenya mengatakan bahwa globalisasi dalam bentuk yang alami akan meninggikan berbagai budaya dan nilai-nilai budaya. Dalam proses alami ini, setiap bangsa akan berusaha menyesuaikan budaya mereka 82

dengan perkembangan baru sehingga mereka dapat melanjutkan kehidupan dan menghindari kehancuran. Tetapi menurut Simon Kemoni, dalam proses ini negara-negara Dunia Ketiga harus memperkokoh dimensi budaya mereka dan memelihara struktur nilai-nilainya agar tidak dieliminasi oleh budaya asing. Dalam rangka ini, berbagai bangsa Dunia Ketiga haruslah mendapatkan informasi ilmiah yang bermanfaat dan menambah pengalaman mereka. Globalisasi budaya yang terus berkembang dan menelusup ke segala lingkup kehidupan kemudian memunculkan istilah baru yaitu global pop culture dimana budaya trend dalam suatu wilayah dipopulerkan dengan bantuan teknologi hingga ke taraf dunia atau lingkup global (Vivian, 2008). Global pop culture ( film, musik, pakaian, kuliner dan sebagainya) mengusung nilai ideologi dari negara asalnya yang mungkin saja jauh berbeda dari negara yang terkena imbas budaya pop. Budaya pop membuat mereka terlena akan hiburan yang ditawarkan. Transfer nilai budaya melalui hiburan ini mampu menciptakan kesamaan selera terhadap budaya pop tertentu yang dapat mengancam eksistensi budaya dan identitas masyarakat lokal. Semakin sering kita ditawarkan produk budaya pop tersebut, kita semakin tidak sadar bahwa hal tersebut bukanlah budaya dan identitas kita, sebaliknya, kita menganggap ini sebagai bagian dari keseharian kita. Norma, nilai dan gaya hidup kemudian diadaptasi dari hasil mengonsumsi budaya pop tersebut dan menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kita sehingga menyebabkan kita kehilangan karakteristik. Melihat begitu besarnya peran globalisasi memporak-porandakan batas-batas geografis, bahkan mampu menghilangkan identitas, tetap saja kita tidak boleh semenamena menilai negatif kehadiran globalisasi di tengah arus modernitas. Menurut para penganut globalis positif, globalisasi hanya sebagai Desember 2011 • Volume III, Nomor 2


• AG. Eka Wenats Wuryanta

Di antara Pusaran Gelombang Korea (Menyimak K-Pop di Indonesia)

UMN

pemicu yang mampu memperkecil budaya lintas teritorial agar lebih mudah untuk dipahami dan diakses. Walaupun globalisasi dianggap sebagai ancaman oleh sebagian besar orang, lantas tidak menjadikannya sebagai alasan utama ketika kehadirannya menimbulkan bermacam-macam kesempatan yang baik bagi individu dan masyarakat luas seperti: kesempatan ekonomi, wawasan lebih luas, kesempatan untuk keluar dari feodalisme, dan membukan diri terhadap nilai-nilai modernitas. Selain itu, globalisasi mampu menghasilkan masyarakat dunia yang toleran dan bertanggung jawab. Menurut penganut aliran hiperglobalisme, globalisasi budaya adalah “homogenization of the world under the auspices of American Popular Culture or Western consumerism in general”. Ini berarti bahwa globalisasi budaya adalah proses hegemonisasi di dunia di bawah sokongan budaya popular Amerika. Di era globalisasi kebanyakan media tidak hanya ditujukan pada pasar dalam negeri, melainkan mengalir ke konsumen atau pengguna yang secara geografis hidup berjauhan. Atau sebaliknya, media itu ditemukan dan digunakan oleh orang yang pada awalnya tidak diperkirakan sebagai pengguna. Namun saat ini, globalisasi yang sering diidentikkan dengan Amerikanisasi atau Westernisasi sepertinya hanya merupakan wacana perdebatan lama. Di Asia khususnya, masyarakat mulai bosan dengan budaya popular Amerika yang notabene bertahun-tahun telah menguasai pasar, sehingga muncullah budaya global alternatif yang tidak didominasi oleh budaya popular Amerika tetapi mulai menyisipkan nilai-nilai Asia. Munculnya budaya global alternatif ini disebabkan kelemahan pada asumsi-asumsi imperialisme budaya seperti tidak melakukan analisis dinamika yang terjadi pada tingkat individu. Peneliti imperialisme budaya memang lebih menekankan diri pada unsurunsur makro. Morley juga mengkritik moVolume III, Nomor 2• Desember 2011

del awal imperialisme budaya karena hanya mempertimbangkan secara ekslusif arus komunikasi internasional searah dari Amerika ke seluruh belahan dunia lain. Contoh nyata saat ini, banyak terdapat counter flow eksporter program televisi dari berbagai belahan dunia (Ibrahim, 2007). AMATAN AWAL: GLOBALISASI BUDAYA DAN TERBENTUKNYA BUDAYA MEDIA Fenomena McWorld adalah sebuah semboyan yang sangat dikenal pada telinga generasi yang lahir pada dekade 70-an dan 80-an. McWorld merupakan gabungan dari tiga ikon besar yang menggenggam dunia yaitu MTV untuk musik, McDonald untuk perut, dan MacIntosh sebagai pusat informasi. Fenomena McWorld merupakan salah satu fakta bahwa dunia mengalami globalisasi. Globalisasi merupakan suatu proses di mana antarindividu, antarkelompok, dan antarnegara saling berinteraksi, bergantung, terkait, dan mempengaruhi satu sama lain yang melintasi batas negara. Globalisasi bisa juga diartikan sebagai “penyusutan ruang dan waktu”, sehingga jarak dalam interaksi untuk motif-motif apapun menjadi tidak berarti. Globalisasi yang terjadi sejak akhir abad ke-20 mengharuskan masyarakat dunia bersiap-siap menerima masuknya pengaruh budaya barat terhadap seluruh aspek kehidupan. Aspek kebudayaan menjadi isu penting globalisasi karena budaya pop (film, musik, pakaian dan sebagainya) mengusung nilai-nilai dan ideologi barat seperti pleasure, hiburan, gaya hidup modern (Strinati, 2006; Ibrahim, 2007) Perdebatan lama tentang globalisasi yang berfokus pada bahaya amerikanisasi, menunjukkan keusangan wacana. Di Asia, masyarakat mulai tidak tertarik dengan budaya popular Amerika yang bertahun-tahun telah mendominasi pasar, sehingga memun83


Di antara Pusaran Gelombang Korea (Menyimak K-Pop di Indonesia)

• AG. Eka Wenats Wuryanta

UMN

culkan kultur global alternatif yang tidak didominasi oleh budaya popular Amerika tetapi mulai menyisipkan nilai-nilai Asia. Munculnya budaya global alternatif ini disebabkan kelemahan pada asumsi-asumsi imperialisme budaya seperti tidak melakukan analisis dinamika yang terjadi pada tingkat individu. Peneliti imperialisme budaya memang lebih menekankan diri pada unsur-unsur makro. Morley juga mengkritik model awal imperialisme budaya karena hanya mempertimbangkan secara ekslusif arus komunikasi internasional searah dari Amerika ke seluruh belahan dunia lain. (Ibrahim, 2007). Korea merupakan salah satu contoh dramatis produsen program televisi, khususnya di wilayah Asia bahkan mulai merambah Eropa dan Amerika. Tidak bisa dipungkiri, Korea pada abad 21 dapat dikatakan berhasil menjadi saingan berat Hollywood dan Bollywood dalam melebarkan sayap budayanya ke dunia internasional melalui tayangan hiburan seperti film, drama dan musik yang bernuansa Asia. Budaya pop Korea dengan segala kemajuan yang dialaminya tetap mengemas nilai-nilai Asia di dalamnya. Hal inilah yang menjadi daya tarik tersendiri, terutama bagi masyarakat Asia yang merasa ada kedekatan tersendiri saat menyaksikannya. Di tengah arus globalisasi dan modernisasi yang semakin memudarkan nilainilai budaya tradisional, tayangan Korea secara konsisten menampilkan nilai-nilai budaya Korea dan Asia, seperti sopan santun, penghormatan pada orang tua, pengabdian pada keluarga, nilai kolektivitas atau kebersamaan, serta nilai kesakralan cinta dan pernikahan. Nilai-nilai ini ditampilkan secara unik dalam situasi kehidupan sehari-hari masyarakat Korea modern yang telah mengalami kemajuan teknologi dan ekonomi yang pesat. Di dalam domain budaya yang telah lama didominasi oleh budaya populer dari 84

Hollywood, budaya pop dari Seoul ini menjadi fenomena yang unik, memukau dan mencengangkan. Para jurnalis dan media dari berbagai negara kini ramai membicarakan fenomena ini, sementara para akademisi dan peneliti mulai membuat teori-teori ilmiah untuk menjelaskan gelombang tersebut. Memang tidak terduga, Korea Selatan yang pada satu dasawarsa lalu tidak berpengaruh dalam bidang industri budaya populer dan bahkan berposisi marginal dalam bidang tersebut, kini telah berhasil menjadi salah satu Negara pengekspor budaya di Asia. Korea telah menjadi sebuah negara industri budaya yang kuat, mampu mengekspor produk-produk budaya populernya ke luar negeri dan menyebarkan pengaruh kultural. Tidak bisa dipungkiri, media menjadi pelaku utama globalisasi budaya. Sebuah budaya media telah hadir, dimana citra, suara dan lensa membantu menghasilkan rajutan kehidupan sehari-hari, mendominasi waktu luang dan memberikan bahan yang digunakan orang untuk membangun identitas pribadi, seperti yang diungkapkan Kellner dalam bukunya Budaya Media : “Radio, televisi, film dan berbagai produk lain dari industri budaya memberikan contoh tentang makna dari menjadi seorang pria atau wanita, dari kesuksesan atau kegagalan , berkuasa atau tidak berkuasa. Budaya media juga memberikan bahan yang digunakan banyak orang untuk membangun naluri tentang kelas mereka, tentang etnis dan ras, kebangsaan, seksualitas, tentang kita dan mereka. Budaya media membantu membentuk apa yang dianggap baik atau buruk, positif atau negatif bermoral atau biadabâ€? (Kellner,2010:1) Budaya media merupakan sebuah ketergantungan terhadap media. Media menempati posisi primer dalam kehidupan manusia. Orang menghabiskan amat banyak waktu mendengarkan radio, menonton televisi, pergi Desember 2011 • Volume III, Nomor 2


• AG. Eka Wenats Wuryanta

Di antara Pusaran Gelombang Korea (Menyimak K-Pop di Indonesia)

UMN

menonton bioskop, menikmati musik, membaca majalah dan koran, serta bentuk-bentuk budaya media lainnya. Maka, budaya media akhirnya mendominasi kehidupan sehari-hari sebagai latar belakang yang selalu hadir dan menggoda kita. ELABORASI TENTATIF: MENELISIK MEDIA DALAM KACAMATA BUDAYA POPULER Lahirnya modernisasi kehidupan telah banyak merubah cara pandang dan pola hidup masyarakat, sehingga peradaban yang terlahir adalah terciptanya budaya masyarakat konsumtif dan hedonis dalam lingkungan masyarakat kapitalis. Fenomena ini tidaklah dianggap terlalu aneh untuk dibicarakan, bahkan sudah menjadi bagian dari budaya baru hasil dari para importir yaitu para penguasa industri budaya yang sengaja memporakporandakan tatanan budaya yang sudah mapan selama bertahun tahun menjadi bagian dari jati diri bangsa Indonesia itu. Tergesernya budaya setempat dari lingkungannya disebabkan oleh kemunculannya sebuah kebudayaan baru yang konon katanya lebih atraktif, fleksibel dan mudah dipahami sebagian masyarakat, bahkan masyarakat rendah status sosialnyapun dapat dengan mudah menerapkannya dalam aktifitas kehidupan. Sebuah istilah ”Budaya Populer” atau disebut juga dengan ”Budaya Pop”, merujuk pada budaya yang dalam aktualisasinya mendapat dukungan dari penggunaan perangkat berteknologi tinggi ini, sehingga dalam penyebarannya begitu cepat dan mengena serta mendapat respon sebagian besar kalangan. Dalam perspektif industri budaya, budaya populer adalah budaya yang lahir atas kehendak media”. Hal ini dianggap bahwa media telah memproduksi segala macam jenis produk budaya populer yang dipengaruhi oleh budaya impor dan hasilnya Volume III, Nomor 2• Desember 2011

telah disebarluaskan melalui jaringan global media hingga masyarakat tanpa sadar telah menyerapnya. Dampak dari hal itu, menyebabkan lahirnya perilaku yang cenderung mengundang sejuta tanya, karena hadirnya budaya populer di tengah masyarakat kita, tak lepas dari induknya yaitu media yang telah melahirkan dan membesarkannya (Kellner, 2010). Media dalam menjalankan fungsi-nya, selain sebagai penyebar informasi dan hiburan, juga sebagai institusi pencipta dan pe-ngendali pasar produk komoditas dalam suatu lingkungan masyarakat. Dalam operasionalisasinya, media selalu menanamkan ideolo-ginya pada setiap produk hingga obyek sasaran terprovokasi dengan propaganda yang tersembunyi di balik tayangannya itu. Akibatnya, jenis produk dan dalam situasi apapun yang diproduksi dan disebarluaskan oleh suatu media, akan diserap oleh publik sebagai suatu produk kebudayaan, dan hal ini berimplikasi pada proses terjadinya interaksi antara media dan masyarakat. Kejadian ini berlangsung secara terus menerus hingga melahirkan suatu kebudayaan berikutnya. Kebudayaan populer akan terus melahirkan dan menampilkan sesuatu bentuk budaya baru, selama peradaban manusia terus bertransformasi dengan lingkungannya mengikuti putaran zaman. Kehadiran media massa sangat erat kaitannya dengan penyebaran budaya, karena melalui media massa lah orang-orang kreatif punya tempat yang tepat. Media massa dapat memperkaya masyarakat dengan menyebarkan karya kreatif dari manusia seperti karya sastra, musik, dan film. Meski media punya potensi menyebarluaskan karya kreatif tersebut, beberapa kritikus mengatakan bahwa media sangat obsesif terhadap subjek-subjek trendi yang kadang menggelikan. Para kritikus menemukan kesalahan serius dalam perhatian media terhadap budaya pop, karena budaya pop dianggap tidak mengandung isi 85


Di antara Pusaran Gelombang Korea (Menyimak K-Pop di Indonesia)

• AG. Eka Wenats Wuryanta

UMN

yang signifikan. Hal ini disebabkan waktu yang dimiliki untuk memproduksi produk budaya berbanding terbalik dengan keinginan konsumen yang beragam sehingga nilai yang terkandung dalam budaya pop telah tereduksi menjadi sebutan umum terendah rata-rata selera manusia (Vivian, 2008:505). Salah satu pandangan kritik media menyatakan bahwa media kurang memperhatikan karya besar dan lebih berkonsentrasi pada seni rendahan. Pandangan elitis ini menyatakan bahwa media massa merusak masyarakat dengan menjadi kaki tangan selera rendah. Untuk mendeskripsikan selera rendah ini, kubu elite terkadang menggunakan istilah Jerman, kitsch yang diterjemahkan sebagai ‘rongsokan’. Menurut pandangan klasik Marxisme, media merupakan alat produksi yang disesuaikan dengan tipe umum industri kapitalis beserta faktor produksi dan hubungan produksinya. Media cenderung dimonopoli oleh kelas kapitalis, yang penanganannya dilaksanakan baik secara nasional maupun internasional untuk memenuhi kepentingan kelas sosial tersebut. Para kapitalis melakukan hal tersebut dengan mengeksploitasi pekerja budaya dan konsumen secara material demi memperoleh keuntungan yang berlebihan. Para kapitalis tersebut bekerja secara ideologis dengan menyebarkan ide dan cara pandang kelas penguasa, yang menolak ide lain yang dianggap berkemungkinan untuk menciptakan perubahan atau mengarah ke terciptanya kesadaran kelas pekerja atas kepentingannya. Mobilisasi kesadaran semacam itu dihindari dengan menerapkan kebijakan politik tan-dingan secara aktif dan terorganisasi (McQuail,1989:63). Rosenberg dan White juga menambahkan bahwa isi yang lazim diproduksi dan disebarluaskan media massa selama berpuluh tahun disebut sebagai budaya massa. Istilah budaya massa mengandung konotasi buruk, 86

terutama karena ada kaitannya dengan aspek budaya yang disenangi oleh para orang “tidak terdidik” atau “orang yang tidak tahu membedakan” (McQuail,1989:37) Apabila kita menilik melalui kacamata teori masyarakat massa yang berkembang dari budaya pop, keberadaan media massa menjadi penting mengingat adanya hubungan timbal balik antara institusi yang memegang kekuasaan dan integrasi media terhadap sumber kekuasaan sosial dan otoritas. Melalui media, institusi pemegang kekuasaan, dalam hal ini kapitalis dan pemerintah, mengontrol arus informasi masyarakat massa dengan menggunakan media. Menurut Dennis McQuail dalam bukunya Teori Komunikasi Massa (1989:62), karena hubungan timbal balik tersebut, isi media cenderung melayani kepentingan pemegang kekuasaan politik dan ekonomi. Namun demikian, meskipun media tidak bisa diharapkan menyuguhkan pandangan kritis atau tinjauan lain menyangkut masalah kehidupan, media tetap memiliki kecenderungan untuk membantu publik bebas dalam menerima keberadaannya sebagaimana adanya. Tanpa disadari atau disadari industri media khususnya televisi telah memberikan banyak pengaruh pada manusia. Televisi mampu mempengaruhi alam pikiran manusia hingga pada akhirnya bisa merubah pola hidup, baik yang positif dan negatif dalam kehidupan manusia. Segala macam apa yang ditayangkan televisi akan berdampak pada psikologi manusia yang mempunyai kecenderungan untuk meniru apa saja dari pengalaman yang mereka lihat, dan korbannya pun tanpa pandang bulu dibuatnya, siapapun sasarannya entah anak-anak, remaja, eksekutif muda ataupun orang tua sekalipun, semua bisa terjebak dalam ikatannya. Dengan kreativitas tinggi media televisi dalam memvisualisasikan program taDesember 2011 • Volume III, Nomor 2


• AG. Eka Wenats Wuryanta

Di antara Pusaran Gelombang Korea (Menyimak K-Pop di Indonesia)

UMN

yangannya yang dikemas secara menajubkan dalam alur dramatiknya sebuah cerita, telah mampu menghadirkan suatu realitas dunia maya, menjadi suatu realita baru yang seoalah-olah terlihat dalam kehidupan nyata. Itu semua karena peran media, bagaimana sebuah industri media menciptakan produknya dengan merekonstruksi nilai serta maknanya itu sedemikian rupa berdasarkan misi dari ideologi media tersebut hingga masyarakat tak berkutik dibuatnya. Media dianggap sebagai alat yang berkuasa dari ideologi yang dominan (dominant ideology). Mengutip perkataan Karl Marx dan Friderich Engels dalam German Ideology: “The ideas of the ruling class are in every epoch the ruling ideas, i.e. the class which is the ruling material force of society, is at the same time its ruling intellectual force. The class which has the means of material production at its disposal, has control at the same time over the means of mental production, so that thereby, generally speaking, the ideas who lack the means of mental production are subject to it.�

Kenyataan ini menjelaskan bahwa Ideologi yang disebarluaskan lewat tayangan televisi, adalah melalui sistem kekuasaan. Dengan kekuasan media yang ada dalam genggamannya, maka ideologi yang ditanam lewat tayangan tersebut dapat terserap dengan sendirinya bersamaan dengan penangkapan pesan yang dikomunikasikan kepada masyarakat hingga masyarakat menjadi korbannya atas penyerapan dari tayangannya sebagai representatif dari budaya populer yang dibawa oleh televisi tersebut. Bagi Industri media televisi, tentunya sudah tidak asing lagi menciptakan perangkap acara yang dikemas secara menarik lewat beragam program acara dengan pengkonstruksian nilai dan maknanya serta dilancarkan secara terus-menerus dalam setiap serial komoditas, sehingga pemirsa beVolume III, Nomor 2• Desember 2011

gitu tergila-gilanya mengikuti apa yang disuguhkan oleh industri media televisi yang pengaksesannya bisa dilakukan kapan saja secara gratis itu. Rentetan penjelasan di atas menggarisbawahi besarnya pengaruh media dalam kehidupan khalayak melalui hiburan. Banyak yang menganggap bahwa media merupakan pelaku utama perubahan sosial budaya yang terjadi dalam masyarakat akibat terpaan berbagai tayangan budaya pop. Namun, tidak sedikit pula teori yang menganggap bahwa media bukanlah faktor utama dan satu-satunya penentu perubahan sosial budaya yang terjadi pada khalayak media. Menurut McQuail, pada dasarnya media bukanlah penentu atau sumber utama dari perubahan sosial dan budaya. Media secara bersama dengan latar belakang sejarah seseorang sedikit banyak menjadi konsisten dan kemudian menjadi sumber kedua untuk pembentukan gagasangagasan tentang masyarakat dan lingkungan tempat ia tinggal. Hasil interaksi antara media dan perubahan sosial dan budaya sangat bervariasi, tak bisa diprediksi, dan sangat berbeda antara satu keadaan dengan keadaan lainnya. Pengaruh media pada umumnya tidak bisa langsung mengena pada khalayak. Media memang merubah harapan-harapan publik, peluang-peluang untuk memenuhi kebutuhan, dan khususnya cara-cara segala sesuatu diselesaikan dalam lembaga-lembaga sosial lainnya (Setiowati,2008:542) Stuart Hall dalam Setiowati (2008:542) juga memperkuat pernyataan tersebut dengan mengatakan bahwa dalam hubungan antara produksi pesan dan penerimaan pesan akan dipengaruhi oleh banyak hal. Penerimaan pesan oleh khalayak bergantung pada bagaimana khalayak melakukan proses dan interpretasi pesan. Sebab dalam proses dan interpretasi pesan, khalayak bersifat aktif, dan keaktifan dipengaruhi latar belakang khalayak, 87


Di antara Pusaran Gelombang Korea (Menyimak K-Pop di Indonesia)

• AG. Eka Wenats Wuryanta

UMN

sehingga efek yang didapatkan oleh seseorang akan amat berbeda dengan orang lain. Hall mengatakan bahwa teks media diinterpretasikan dengan banyak cara oleh khalayak. Pembacaan sebuah teks termasuk teks media, dapat melibatkan proses penerimaan, penolakan atau negosiasi, dan dalam beberapa teks penerimaan posisi yang sudah ditawarkan. Kemungkinan-kemungkinan yang bisa terjadi adalah: a. dominant atau preferred reading (pembacaan dominan), khalayak mengambil posisi yang ditawarkan oleh teks dan menerima posisi tersebut dengan menghormati mitos-mitos yang membentuknya b. negotiated reading (pembacaan negosiasi), khalayak tidak sepenuhnya mengambil posisi yang ditawarkan dan mempertanyakan beberapa mitosnya. c. oppositional reading, khalayak menolak sepenuhnya mitos-mitos dan peran yang disediakan. (Setiowati, 2008) Pernyataan di atas dipertegas oleh teori efek terbatas media yang dikembangkan oleh Lazarfeld semakin mempertegas bahwa media tidak sepenuhnya memiliki kekuatan untuk memberikan pengaruh kepada khalayak karena ada banyak faktor yang menjadi hambatan media untuk memberikan efek kepada khalayak. Beberapa kesimpulan penting yang dirangkum Lazarfeld mengenai efek terbatas media adalah: 1. Media jarang mempengaruhi secara langsung individu. Sebagian besar orang terlindungi dari manipulasi langsung media oleh keluarga, teman-teman, rekan kerja, dan kelompok sosial. Jika mereka menemukan idea tau informasi baru, maka mereka akan beralih ke orang lain untuk meminta saran dan kritik. 2. Ada dua langkah aliran dari pengaruh media. Media massa hanya akan berpengaruh jika opinion leader sebagai 88

seseorang yang mengarahkan pengikutnya dipengaruhi terlebih dahulu. Oleh karena opinion leader adalah pengguna media yang canggih dan kritis, tidak mudah dimanipulasi oleh konten media. Mereka bertindak secara efektif sebagai gatekeepers dan membuat halangan terhadap pengaruh media. 3. Ketika sebagian besar orang tumbuh dewasa, mereka memilih komitmen yang kuat terhadap kelompok seperti partai politik dan afiliasi agama. Afiliasi ini memberikan halangan yang efektif melawan pengaruh media. 4. Ketika efek media terjadi, biasanya sangat lemah dan terlalu spesifik. Terlepas dari besar atau tidaknya pengaruh media terhadap khalayak, sulit dibantahkan lagi bahwa pada kenyataannya hampir semua media menjalankan fungsi hiburan. Hal inilah yang dimanfaatkan Korea untuk mendapatkan berbagai keuntungan dari produk hiburan yang mereka tawarkan. Beberapa tahun terakhir ini, Korea sangat gencar memasarkan produk hiburan mereka berupa film, drama maupun musik ke berbagai negara Asia maupun Eropa dan Amerika. Hasilnya sangat menjanjikan, ekspor produk hiburan Korea menghasilkan keuntungan berlipatlipat dari segi finansial maupun citra Korea di mata dunia. WACANA KRITIS: MEDIA MASSA DAN PENGGEMAR BUDAYA POP KOREA Kehidupan masyarakat di awal abad ke-21 diwarnai dengan beragam cara manusia menerima dan menggunakan teknologi. Salah satu bentuk teknologi yang mewarnai kehidupan manusia di masa sekarang adalah bentuk-bentuk beragam alat yang dapat menjaring komunikasi antarmanusia di seluruh dunia yaitu media massa. Kehadiran media massa sangat erat kaitannya dengan penyebaran budaya, karena Desember 2011 • Volume III, Nomor 2


• AG. Eka Wenats Wuryanta

Di antara Pusaran Gelombang Korea (Menyimak K-Pop di Indonesia)

UMN

melalui media massa lah orang-orang kreatif punya tempat yang tepat. Media massa dapat memperkaya masyarakat dengan menyebarkan karya kreatif dari manusia seperti karya sastra, musik, dan film. (Vivian,2008:505). Budaya pop yang diproduksi secara massa untuk pasar massa dan dipublikasikan melalui media massa yang di dalamnya bersembunyi kepentingan-kepentingan kaum kapitalis maupun pemerintah disebut budaya massa. Pertumbuhan budaya ini berarti memberi ruang yang makin sempit bagi segala jenis kebudayaan yang tidak dapat menghasilkan uang, yang tidak dapat diproduksi secara massa (Strinati,2007:12). Media massa mempunyai peranan penting dalam menyosialisasikan nilai-nilai tertentu dalam masyarakat. Hal ini tampak dalam salah satu fungsi yang dijalankan media massa, yaitu fungsi transmisi, dimana media massa digunakan sebagai alat untuk mengirim warisan sosial seperti budaya. Melalui fungsi transmisi, media dapat mewariskan norma dan nilai tertentu dari suatu masyarakat ke masyarakat lain. Menurut Dominick, sebagai konsekuensi dari fungsi transmisi ini, media massa mempunyai kemampuan untuk menjalankan peran ideologis dengan menampilkan nilai-nilai tertentu sehingga menjadi nilai yang dominan. Fungsi ini dikenal sebagai fungsi sosialisasi yang merujuk pada cara orang mengdopsi perilaku dan nilai dari sebuah kelompok (Dominick, 2009). Budaya pop Korea yang marak di Indonesia pada mulanya ditujukan untuk menyaingi impor budaya luar ke dalam Korea serta menambah pendapatan ekonomi negara, namun karena pasar Asia ternyata potensial sejalan dengan pertumbuhan ekonomi negaranegara di Asia, maka penyebaran budaya pop Korea ini menjadi sarana untuk melanggengkan kapitalisme Korea. Dengan semakin Volume III, Nomor 2• Desember 2011

banyaknya penikmat budaya pop korea, maka akan memberikan dampak yang signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi di Korea sendiri. Hal inilah yang dimanfaatkan kapitalis untuk memproduksi budaya pop Korea secara massal di berbagai wilayah Asia termasuk Indonesia. Penyebaran budaya pop Korea yang begitu pesat merupakan andil besar dari para pemegang modal (kapitalis) dan pemerintah Korea sendiri. Para pemegang modal membiayai produksi missal tayangan hiburan Korea dan memudahkan dalam penyebarluasannya. Sementara pemerintah sendiri mendukung dengan pemberian bantuan modal bagi produksi tayangan tersebut. Hal ini dilakukan untuk melanggengkan ideologi Korea melalui tayangan hiburan agar Korea dapat dengan mudah diterima di mata dunia. PELUANG RISET LANJUTAN: BUDAYA PENGGEMAR DAN BUDAYA POPULER Para penggemar adalah bagian paling unik dan khas dari khalayak teks dan dan praktik budaya pop. Penggemar tidak jarang dicirikan sebagai suatu fanatisme. Hal ini berarti bahwa kelompok penggemar dilihat sebagai perilaku yang berlebihan dan berdekatan dengan kegilaan. Jenson menunjukkan dua tipe khas patologi penggemar; individu yang terobsesi dan kerumunan histeris. Ia berpendapat bahwa kedua figur itu lahir dari pembacaan tertentu dan kritik atas modernitas yang tak diakui di mana para penggemar dipandang sebagai simptom psikologis dari dugaan disfungsi sosial. Para penggemar ditampilkan sebagai salah satu dari ‘liyan’ yang berbahaya dalam kehidupan modern. ‘Kita’ ini waras dan terhormat, ‘mereka’ itu terobsesi dan histeris. (Storey,2003:157-158) Penggemar dipahami sebagai korbankorban pasif dan patologis dari media massa. Media massa mengkonstruksikan wacana kepada penggemar dan membentuk theatre of 89


Di antara Pusaran Gelombang Korea (Menyimak K-Pop di Indonesia)

• AG. Eka Wenats Wuryanta

UMN

mind mereka. Hal ini menyebabkan penggemar tidak bisa mendiskriminasikan dan menciptakan jarak antara diri mereka dan objekobjek kesenangan. Stereotip yang paling umum misalnya adalah kelompok-kelompok gadis dan perempuan histeris yang meneriaki para selebritis idola mereka, kelompok penggemar yang saling bersaing mengadopsi gaya idolanya atau kelompok penggemar yang rela melakukan apa saja demi bertemu idolanya. Kelompok penggemar (fandom) dipandang sebagai simptom (patologis) yang tampak dari kemungkinan runtuhnya budaya, moral dan sosial yang tak terelakkan lagi mengikuti transisi dari masyarakat pedesaan dan agrikultural menuju masyarakat industrial dan urban. Pada tahapnya yang paling lunak, kelompok penggemar merepresentasikan satu upaya yang putus asa untuk mengompensasikan kelemahan kehidupan modern. Fandom cenderung selalu mengejar kepentingan - kepentingan, memamerkan selera dan preferensi sehingga sangat pas untuk berbagai teks dan praktik budaya pop. Para khalayak ini dapat dikatakan memamerkan kesenangan mereka hingga menimbulkan rasa emosional, sementara khalayak dominan senantiasa mampu menjaga jarak dan kontrol estetik yang terhormat. Hal ini memperlihatkan bagaimana pasifnya khalayak penggemar budaya pop dalam menerima isi media, sehingga mereka mau ‘menggilai’ sesuatu yang dianggap tidak mempunyai nilai estetika seperti halnya budaya dominan. Namun Jenson tidak sependapat dengan istilah khalayak yang pasif sebab menurutnya, pandangan ini terbentuk karena adanya dominasi pemikiran sosial dari kelompok masyarakat yang lebih dominan. Menurut Jenson, terdapat tiga ciri utama dalam menandai moda pemberian makna budaya penggemar dalam teks-teks media, yaitu: (1) cara penggemar menarik teks mendekati 90

ranah pengalaman hidup mereka; (2) peran yang dimainkan melalui pembacaan kembali dalam budaya penggemar; (3) proses yang memasukkan informasi program ke dalam interaksi sosial secara terus menerus (Storey, 2003: 157-158) Paul Wills mengatakan bahwa kehidupan remaja adalah penggemar budaya pop. Mereka menciptakan suatu kreativitas simbolik dari apa yang mereka konsumsi dari media. Kreativitas simbolik sendiri merupakan bertumpuk cara di mana remaja menggunakan, memanusiakan, menghiasi, dan menobatkan makna-makna dalam ruang-ruang kehidupan dan praktek-praktek sosial yang umum. Mereka menciptakan gaya-gaya dan pilihan-pilihan pakaian, penggunaan musik, TV, majalah yang selektif dan aktif, hiasan kamar-kamar mereka, ritual-ritual percintaan dan gaya-gaya subkultural seperti gaya bicara dan senda gurau, serta penciptaan musik dan tarian. Untuk memuaskan hasrat sebagai bagian dari kelompok penggemar, individu dalam kelompok tersebut merasa dituntut untuk mengikuti gaya hidup kelompok penggemar tersebut. Tidak dapat dielakkan lagi, praktik konsumsi tidak bisa lepas dari mereka demi pemenuhan kebutuhan demi mendapat pengakuan dan menjadi bagian dari kelompok penggemar. Berbelanja menjadi sebuah solusi untuk memenuhi segala kebutuhan berupa atribut-atribut yang mencermikan mereka sebagai bagian dari kelompok penggemar. Praktik konsumsi yang dilakukan kelompok penggemar sepertinya sejalan dengan pernyataan Bre Redana “Aku membeli, maka aku ada...” Menurut Bre Redana, dalam konteks kehidupan masyarakat modern sekarang ini, faktor konsumsilah yang menjadi dasar untuk menjelaskan realitas sekaligus meletakkan eksistensi manusia dalam kehidupan sosialnya. Konsumsi di era yang disebut Bre Desember 2011 • Volume III, Nomor 2


• AG. Eka Wenats Wuryanta

Di antara Pusaran Gelombang Korea (Menyimak K-Pop di Indonesia)

UMN

sebagai kapitalisme mutakhir ini telah mengalami pergeseran nilai dari tingkat konsumsi barang-barang kebutuhan atau bendabenda yang mempunyai kegunaan langsung dan mendesak, menjadi konsumsi “simbolsimbol” atau “tanda-tanda”. Meaghan Morris menegaskan bahwa pusat perbelanjaan digunakan oleh kelompokkelompok berbeda secara berbeda.“Terdapat praktik-praktik yang berbeda dalam menggunakan suatu pusat perbelanjaan pada suatu hari; sejumlah orang bisa ada di sana sekali seumur hidup mereka; terdapat penggunapengguna yang sesekali memilih pusat perbelanjaan itu dan bukan yang ini pada hari itu untuk alasan-alasan khusus atau cukup manasuka saja; orang mungkin belanja di satu pusat perbelanjaan dan pergi ke pusat perbelanjaan lainnya untuk bersosialisasi atau berkeliling-keliling. Penggunaan pusatpusat perbelanjaan sebagai tempat pertemuan (dan kadang kala untuk berteduh dan bernaung gratis) oleh orang-orang muda, para pensiunan, pengangguran dan tunawisma adalah bagian familiar dari fungsi sosialnya yang kerap kali direncanakan, kini, oleh manajemen pusat perbelanjaan” Ada sebuah perumpamaan yang mengatakan bahwa pusat-pusat perbelanjaan tidak lain merupakan ‘katedral-katedral konsumsi’. Konsumsi tidak hanya dipandang sebagai aktivitas ekonomi belaka untuk memuaskan kebutuhan-kebutuhan material. Lebih dari itu, konsumsi juga berhubungan dengan mimpi dan hasrat, identitas dan komunikasi. Paul Willis dalam Storey (2003:171) berpendapat bahwa orang-orang membawa identitas hidup ke perdagangan dan konsumsi komoditas-komoditas kultural dan juga terbentuk di sana. Mereka membawa pengalaman, perasaan, posisi sosial, dan keanggotaan sosial ke pertemuan mereka dengan perdagangan. Karenanya, mereka Volume III, Nomor 2• Desember 2011

membawa tekanan simbolik kreatif yang dibutuhkan, tidak hanya untuk memahami komoditas kultural, tetapi sebagian melalui komoditas kultural itu mereka memahami kontradiksi dan struktur sebagaimana mereka mengalaminya di sekolah, college, produksi, pertetanggaan, dan sebagai anggota-anggota gender, ras, kelas, dan usia tertentu. Akibat dari kerja simbolik yang diperlukan ini boleh jadi cukup berbeda dengan apa pun yang pada awalnya terkode di dalam komoditas kultural. Willis berpendapat bahwa dorongan kapitalis akan keuntungan menghasilkan kontradiksikontradiksi yang bisa dimanfaatkan oleh kreativitas simbolik dalam ranah budaya bersama. Tetapi, lebih dari ini semua, dan lebih penting dari ini, dorongan kapitalis akan keuntungan menghasilkan kondisi-kondisi bagi produksi ranah budaya bersama itu sendiri. Barangkali catatan mutakhir paling menarik mengenai budaya penggemar dalam Cultural Studies adalah Textual Poachers karya Henry Jenkins. Dalam sebuah penelitian etnografis mengenai sebuah komunitas penggemar (yang sebagian besar, tetapi tidak semata-mata, perempuan kelas menengah kulit putih), Jenkins mendekati kelompok penggemar sebagai seorang akademikus (yang mengakses teori-teori budaya pop tertentu, seperangkat literatur kritis dan etnografis) maupun sebagai penggemar (yang memiliki akses terhadap pengetahuan tertentu dan tradisi-tradisi dalam komunitas tersebut). Sebagaimana Jenkins ingin tegaskan, kajian itu dituangkan dalam bentuk dialog aktif dengan komunitas penggemar: “Praktik saya dari permulaan adalah berbagi pengalaman dengan semua penggemar yang saya kutip pendapatnya di tiap-tiap bab serta mendorong kritisme mereka terhadap isinya. Saya telah menerima banyak surat dari para penggemar, yang menawarkan wawasan mereka mengenai isu-isu yang diangkat di sini dan saya sudah 91


Di antara Pusaran Gelombang Korea (Menyimak K-Pop di Indonesia)

• AG. Eka Wenats Wuryanta

UMN

banyak belajar dari reaksi mereka. Saya telah bertemu dengan kelompok-kelompok penggemar dalam diskusi-diskusi terbuka mengenai suatu teks dan menyertakan pendapat mereka dalam revisi teks tersebut. Pada sejumlah kasus, saya memasukkan reaksi-reaksi mereka ke dalam teks, tetapi ketika ini tidak terjadi secara langsung dan eksplisit, haruslah dipahami bahwa teks ini ada dalam dialog aktif dengan komunitas penggemar tersebut�. (Storey,2003:159-160) Penelitian Jenkins ini bertujuan untuk menentang stereotip negatif mengenai penggemar sebagai sosok-sosok yang menggelikan atau memprihatinkan serta mendorong satu kesadaran yang lebih besar akan kekayaan budaya penggemar. Kajian ini dapat dijadikan rujukan untuk meningkatkan pengetahuan akademis mengenai budaya penggemar serta menjadi sebuah penegasan bahwa kaum akademisi bisa belajar dari budaya penggemar. Melalui berbagai penelitian yang telah dilakukan selama ini oleh Jenkins, ia menyimpulkan tiga ciri utama yang menandai pemberian makna budaya penggemar dalam teks-teks media: pertama, cara penggemar menarik teks mendekati ranah pengalaman hidup mereka. Pembacaan penggemar dicirikan oleh sebuah intensitas keterlibatan intelektual dan emosional. Pembaca tidak ditarik ke dalam dunia fiksi yang belum ditetapkan, tetapi sebaliknya ditarik ke dalam suatu dunia yang telah dia ciptakan dari materi-materi tekstual. Hanya dengan mengintegritasikan isi media kembali dalam kehidupan sehari-hari mereka, hanya dengan keterlibatan yang karib dengan makna dan materinya, para penggemar bisa mengonsumsi fiksi dan menjadikannya sebagai sumber daya yang aktif. Kedua, peran yang dimainkan melalui pembacaan kembali dalam budaya penggemar. Penggemar tidak sekedar membaca teks, mereka senantiasa membaca kembali teks-teks 92

itu. Pembacaan kembali atas teks-teks dapat mengubah pengalaman pembaca mengenai suatu teks. Pembacaan kembali dapat meruntuhkan operasi ‘kode hermeneutik’ (cara di mana suatu teks mengajukan pertanyaan-pertanyaan untuk mendorong hasrat untuk terus membaca). Pembacaan kembali dengan begitu menggeser perhatian pembaca dari apa yang akan terjadi menuju bagaimana sesuatu itu terjadi, mempertanyakan hubungan antar tokoh, tema, narasi, produksi pengetahuan dan wacana sosial. Terakhir, proses yang dengannya informasi program dimasukkan ke dalam interaksi sosial yang terus-menerus. Sementara kebanyakan pembacaan adalah suatu proses soliter, yang dilakukan secara pribadi, para penggemar mengonsumsi teks-teks sebagai bagian dari suatu komunitas. Budaya penggemar berkenaan dengan penampilan publik dan sirkulasi produksi makna dan praktikpraktik pembacaan. Para penggemar mencipta makna-makna untuk berkomunikasi dengan para penggemar lain. Tanpa penampilan publik dan sirkulasi makna-makna ini, kelompok penggemar tidak akan menjadi kelompok penggemar. Seperti yang kita ketahui bersama, kelompok penggemar sifatnya terorganisir, barangkali pertama dan terutama, adalah suatu institusi teori dan kritik, suatu ruang semi-terstruktur dimana interpretasi-interpretasi yang bertanding dan evaluasi-evaluasi terhadap teks-teks bersama dikedepankan, diperdebatkan, dan dinegosiasikan serta ruang dimana pembaca berspekulasi mengenai hakikat media massa dan hubungan mereka sendiri dengan media massa. Sumber teoretis utama Jenkins adalah teoretikus budaya Perancis, Michel de Certeau yang membongkar istilah konsumen untuk menguak aktivitas yang terletak di dalam tindak konsumsi: apa yang dia sebut produksi sekunder. Konsumsi itu berliku-liku, Desember 2011 • Volume III, Nomor 2


• AG. Eka Wenats Wuryanta

Di antara Pusaran Gelombang Korea (Menyimak K-Pop di Indonesia)

UMN

ia tersebar, tetapi ia memperkenalkan dirinya di mana-mana, secara diam-diam dan hampir tidak kelihatan, sebab ia tidak memanifestasikan dirinya lewat produk-produknya sendiri, tetapi sebaliknya lewat caranya menggunakan produk-produk yang ditimpakan oleh tatanan ekonomi dominan. De Certeau mencirikan konsumsi aktif atas teks-teks itu sebagai ‘berburu’: para pembaca adalah orang yang bepergian, me-reka bergerak melintasi tanah milik orang lain, seperti orang-orang nomaden yang meretas jalan mereka melintasi medan-medan yang tidak mereka tulis. Gagasan de Certeau mengenai ‘berburu’ merupakan sebuah penolakan atas model tradisional pembacaan ini, di mana tujuan pembacaan adalah penerimaan pasif terhadap maksud tekstual. Ia adalah model dimana pembacaan disederhanakan menjadi sebuah pertanyaan tentang salah atau benar. Menurut Jenkins: “Apa yang signifikan dalam hubungannya dengan model de Certeau adalah bahwa mereka merupakan komunitas konsumen yang sangat aktif dan vokal yang aktivitas-aktivitasnya mengarahkan perhatian pada proses pemberian (makna) kultural ini...... Para penggemar bukan entitas yang unik dalam status mereka sebagai pemburu tekstual, kendati demikian, mereka telah mengembangkan tindakan berburu menjadi sebentuk seni”. (Storey,2003:161) Michel de Certeau berpendapat bahwa di dalam kelompok penggemar tidak terdapat pembedaan yang kaku antara pembaca dan penulis. Budaya penggemar adalah sebuah budaya konsumsi dan produksi. Kelompok penggemar tidak hanya soal konsumsi, ia juga berkenaan dengan produksi teks, lagu, puisi, novel, fanzine (majalah yang dikelola secara amatir dan ditujukan bagi subkultur yang antusias pada minat tertentu), video dan lain-lain yang dibuat secara respons atas teks media profesional mengenai kelompok penggemar (Storey,2003:162). Berbicara mengenai kelompok penggemar, bukan hanya mengenai Volume III, Nomor 2• Desember 2011

komunitas-komunitas kumpulan pembaca teks yang antusias, lebih daripada itu, budaya penggemar juga berkenaan dengan produksi budaya. Mereka mendaur-ulang teks yang dikonsumsinya dengan berbagai cara. Misalnya saja melalui karya fiksi yang terinspirasi dari berbagai teks yang telah mereka konsumsi, membuat video-video musik di mana citra dari program favorit menjadi semacam panduan, atau bahkan membuat majalah atau buletin khusus untuk para penggemar (fanzine). Menurut Jenkins, kelompok penggemar merupakan suatu ruang yang didefinisikan berdasarkan penolakannya atas nilai dan praktik biasa, perayaannya atas emosi yang digeluti secara mendalam dan kesenangan yang direngkuh dengan penuh gairah. Eksistensi kelompok penggemar itu sendiri merepresentasikan kritik terhadap bentuk-bentuk konvensional budaya konsumen (Storey,2003:166). Jenkins menemukan cara kelompok penggemar memberdayakan diri mereka yaitu dengan jalan perjuangan untuk menciptakan sebuah budaya partisipatoris dari kekuatan-kekuatan yang mengubah banyak orang menjadi penonton. Komunitas kelompok penggemar menurut Jenkins berjuang untuk menentang tuntutan terhadap yang biasa dan sehari-hari. Sementara berbagai subkultur kaum muda mendefinisikan diri mereka bertentangan dengan orang tua dan budaya-budaya dominan, komunitas kelompok penggemar menempatkan diri sebagai beroposisi dengan pasivitas budaya sehari-hari dari praktik biasa. DAFTAR PUSTAKA Agger, Ben. 2003. Teori Sosial Kritis: Kritik. Penerapan dan Implikasinya. Yogyakata; Kreasi Wacana. Appadurai, A. (1996) Modernity At Large: Cul tural Dimensions of Globalization. Min neapolis: University of Minnesota Press. Dominic, Joseph R. (2009). The Dynamics of 93


Di antara Pusaran Gelombang Korea (Menyimak K-Pop di Indonesia)

• AG. Eka Wenats Wuryanta

UMN

Mass Communication: Media in the Dig ital Age, Boston: McGraw Hill Giddens, Anthony (2000). Runaway World: How Globalization is Reshaping Our Lives. New York: Routledge. Hansen, C. H., & Hansen, R. D. (2000). Music and music videos dalam D. Zillman, & P. Vorderer (Eds.), Media entertainment: The psychology of its appeal (hlm. 175– 196). Mahwah, NJ: Lawrence Erlbaum Associates. Ibrahim, Idi Subandy, (2007), Budaya Populer Sebagai Komunikasi: Dinamika Popscape dan Mediascape di Indonesia Kontemporer, Bandung:Jalasutra Jameson, Frederik and Masao Miyoshi. 1998. The Cultures of Globalization. Durham/ London:Duke University Press Kellner, Douglas, (2010), Media Culture: Cultural Studies, Identity and Poli tics between the Modern adan the Post modern. London:Routlegde Littlejohn, Stephen, (2009) Theories of Human

94

Communications. Chicago:Thomson and Wadward McQuail, Denis, (1987), Teori Komunikasi Massa, Jakarta Pieterse, J.N. (1995) ‘Globalization as Hybridization’, dalam M. Featherstone, S. Lash and R. Robertson (eds) Global Modernities, pp. 45–68. London: Sage. Ritzer, G. (2003) ‘Rethinking Globalization: Glocalization/Grobalization and Somet hing/Nothing’,dalam jurnal Sociological Theory 21(3): 193–209. Robertson, Roland. 1992. Globalization. Social Theory and Global Culture. London: Sage Publication. Swyngedouw, Erik (2004). “Globalisation or ‘Glocalisation’? Networks, Territories and Rescaling.” Cambridge Review of International Affairs, 17(1): 25-48. Vivian, John, (2008), The Media of Mass Com munication, Boston: Pearson

Desember 2011 • Volume III, Nomor 2


Media Massa: Pencipta Industri Budaya Pencerahan yang Menipu Massa Studi Simulacra dan Hiperrealitas film AVATAR

• Yoyoh Hereyah

UMN

Media Massa: Pencipta Industri Budaya Pencerahan yang Menipu Massa Studi Simulacra dan Hiperrealitas Film AVATAR Yoyoh Hereyah Universitas Mercubuana Jakarta yoyohwibowo@yahoo.com

ABSTRACT Globalization affects virtually all aspects of the society, including cultural aspects. Culture can be defined as values embraced by society or perception held by citizens of various things. Globalization as a symptom of the range of the values and culture of particular overlooks the world (so that it becomes ‘world culture’) have been seen since long. The Film is a form of mass media that bring values, cultures and ideologi of his creator. The concept of cultivations of cultural values is embedded through the ideas, stories, characters, special effects and the distribution of a film. Avatar upholds the value and ideologi from its producers. Keywords: film studies, globalization, hegemony, hyperreality, simulacra

Globalisasi mempengaruhi hampir semua aspek yang ada di masyarakat, termasuk diantaranya aspek budaya. Kebudayaan dapat diartikan sebagai nilai-nilai (values) yang dianut oleh masyarakat ataupun persepsi yang dimiliki oleh warga masyarakat terhadap berbagai hal. Globalisasi sebagai sebuah gejala tersebarnya nilai-nilai dan budaya tertentu keseluruh dunia (sehingga menjadi budaya dunia atau world culture) telah terlihat semenjak lama. Cikal bakal dari persebaran budaya dunia ini dapat ditelusuri dari perjalanan para penjelajahan Eropa Barat ke berbagai tempat di dunia ini (Pye,1966). Di sisi lain, interaksi cultural melalui perkembangan media massa (terutama televisi, film, music, dan transmisi berita dan olahraga internasional), memungkinkan kita dapat mengonsumsi dan mengalami gagasan dan pengalaman baru mengenai hal-hal yang melintasi beVolume III, Nomor 2• Desember 2011

ranekaragam budaya, misalnya dalam bidang fashion, literatur, dan makanan. Dan berkah desa global ( Marshall Mc. Luhan, 1967: 36) telah menciptakan apa yang disebut dengan gaya hidup Global (The Global Life Style). Gaya hidup global yang dibawa oleh Media Massa ditandai dengan membanjirnya produk impor atau dari multinational corporation yang secara massal mengembangkan industrinya hampir di seluruh dunia, seperti pakaian, minuman, aksesoris, rumah tangga, parfum sampai pada jenis hiburan, musik, film, sinetron, lagu-lagu klasik dan popular, dalam bentuk vcd yang memungkinkan orang dapat memutar sendiri dirumah-rumah. Produk produk tersebut telah mendorong warga desa global sebagai konsumen aktif, lebih besar sebagai pengguna produk-produk tersebut daripada harus menjadi pembuatnya. 95


Media Massa: Pencipta Industri Budaya Pencerahan yang Menipu Massa Studi Simulacra dan Hiperrealitas film AVATAR

Terkait dengan hal di atas, salah satunya adalah film sebagai produk dan bentuk industri komunikasi massa yang memberi peranan tidak sedikit dalam ‘the global deal market’s tersebut. film Avatar, menjadi fenomenal untuk saat ini, dilihat dari jumlah penonton dan pemasukan uang yang melampaui film Titanic. Film adalah salah satu produk dari budaya massa yang juga memenuhi ruang gerak manusia. Setiap tahunnya film selalu diproduksi secara massal untuk memenuhi kebutuhan khalayak yang sengaja dicipta oleh produsen agar tetap dapat menguasai produk-produk budaya massa. Avatar adalah salah satu film ‘boom’ dari segi perolehan finansial dan jumlah penonton. Ketertarikan para menonton melihat film tersebut, salaah satunya dipicu oleh special effect yang diciptakan oleh produsen, sebagai daya tarik yang kuat dari film tersebut. Produk budaya massa sebagai hasil produk kapitalis senantiasa menangkap hal-hal yang dapat memuaskan selera imaji penontonnya. Dalam kondisi dunia yang demikian, budaya massa diproduksi besar-besaran berdasar perhitungan dagang belaka. Budaya massa mencakup seluruh produk terpakai atau barang konsumsi sebagai produk massal dan fashionable. Budaya massa tidak dapat lepas dari pola hiburan masyarakat. Istilah budaya massa sering dipertukarkan dengan budaya popular. Budaya massa tidak hanya bersifat hiburan, tetapi mencakup pula seluruh produk terpakai atau barang konsumsi sebagai produk massal dan fashionable yang formatnya terstandarisasi dan penyebaran dan penggunaannya bersifat luas (Ibrahim,1997:13) Standar-standar yang diberlakukan untuk melayani kebutuhan konsumen secara cepat dan untuk alasan itulah industri budaya diterima dan munculnya lingkaran dari manipulasi dan kebutuhan dimana sebuah kesatuan sistem bertumbuh dengan kuat. Konsep budaya massa menurut konsep barat bersifat komersial, menghibur, populer, mod96

• Yoyoh Hereyah

UMN

ern, merupakan paket, mempunyai audiens luas, dan dapat diperoleh secara ‘demokratis’ (Ibrahim,1997). Industri media massa dengan hasil produk-produknya disinyalir sebagai industri yang melahirkan kebudayaan pencerahan bagi masyarakat massa. Perkembangan teknologi komunikasi amat memperluas lapangan budaya dengan memperlancar interaksi sosial yang tidak terikat pada ruang fisik. Dengan kata lain, deliveri budaya massa yang mengandalkan teknologi komunikasi memperlancar interaksi sosial mengatasi jarak fisik mengalami bentuk barunya. Adanya kemajuan dan perkembangan dalam bidang teknologi komunikasi memungkinkan media massa sebagai media budaya (Paul Willis, 1990 dalam James Lull, hlm.194) Sejalan dengan pemikiran Paul Willis, Theodor Adorno (1903-1969) dan Max Horkheimer (1895-1973), yang berpendapat dalam bukunya “The Culture Industry: Enlightenment as Mass Deception,” menjelaskan tentang budaya industri yang diciptakan media sebagai budaya pencerahan bagi massa. ‘the culture industry claims to serve the consumers’ needs for entertainment, and is delivering what the consumer wants… Culture industries may cultivate false needs; that is, needs created and satisfied by capitalism”. Dalam pengertian keduanya, budaya popular adalah serupa dengan sebuah pabrik yang memproduksi barang standar budaya, kenikmatan yang mudah tersedia melali konsumsi budaya populer membuat orang patuh dan tidak protes, tidak peduli apakah keadaan ekonomi mereka sulit. Budaya industri memunculkan dan menumbuhkan kebutuhan palsu, yaitu kebutuhan dan kepuasan yang dibuat oleh kapitalisme. Di bawah monopoli, semua kebudayaan massa adalah identik, kekerasanya menjadi lebih terbuka sehingga kekuasaanya berkembang. Reproduksi tertentu adalah keniscayaan bahwa kebutuhan-kebutuhan identik perlu untuk Desember 2011 • Volume III, Nomor 2


• Yoyoh Hereyah

UMN

dipuaskan dengan barang-barang yang identik. Sebagai contoh film-film dan radio tidak butuh lagi berpretensi sebagai seni. Media terutama media massa adalah agen kebudayaan yang penting, mekanisme kerja media telah mengelola fakta menjadi berita yang memang telah diharapkan, media bukan hanya mempresentasikan realitas, ia juga memproduksinya. Bila berita adalah fakta plus makna, maka media telah mengubah fakta menjadi fakta yang lebih kuat daya persuasinya kepada masyarakat. Mereka merekayasa citra dari bahan data fakta ini secara kreatif menjadi citra yang kaya pesan, kenikmatan dan makna. Tidaklah mengherankan bila massa ini kerap disebut ‘the era of imagology’. Ketika citra menjadi lebih penting dari realitas empiriknya. Seperti kita maklumi, realitas citra tidak menginduk pada realitas empirik tetapi pada realitas simboliknya. Itulah kenapa pebisnis yang sukses ditayangkan dalam media massa bergaya dengan mobil BMW, yatch, heli atau bahkan jet pribadi mereka. Mereka inilah yang sering disebut selebritis. Dan, selebritis adalah ciptaan media. (Ibrahim, 1997: 85) Film dalam kerangka yang sama juga melakukan ‘imagology’ bagi penontonnya. Ketika citra menjadi lebih penting dari realitas sesungguhnya. Film Avatar menawarkan ‘imamology’ tertentu kepada penonton, sehingga penonton tidak bisa lagi melihat mana yang imagi dan realitas sesungguhnya. Kita mengenal jarak realitas empiric dan realitas mimpi yang dijembatani oleh media. Sejalan dengan pemikiran Baudrillard tentang teori hyper-reality dan simulation. Konsep ini sepenuhnya mengacu pada kondisi realitas budaya yang virtual ataupun artificial di dalam era berbagai bentuk simulasi (penggambaran dengan peniruan). Simulasi itulah yang mencitrakan sebuah realitas yang pada hakikatnya tidak senyata realitas yang sesungguhnya. Realitas yang “tidak sesungguhnya” tetapi diVolume III, Nomor 2• Desember 2011

Media Massa: Pencipta Industri Budaya Pencerahan yang Menipu Massa Studi Simulacra dan Hiperrealitas film AVATAR

citrakan sebagai realitas yang mendeterminasi kesadaran “kita” itulah yang disebut dengan realitas semu (hyper-reality). Realitas ini tampil melalui media-media yang menjadi “kiblat” utama masyarakat massa. Melalui media realitas-realitas dikonstruk dan ditampilkan dengan simulators, dan pada gilirannya menggugus menjadi gugusan-gugusan imaji yang “menuntun” manusia modern pada kesadaran yang ditampilkan oleh simulator-simulator tersebut, inilah yang disebut gugusan simulacra. Simulator-simulator itu antara lain muncul dalam bentuk iklan, film, cybernetics, kuis, sinetron, dan lain-lain yang tampil dalam TV atau media lain yang mengobrak kepuasan fashion,food, dan funs. (Jean Baudrillard, “Simulacra and Simulations”, dalam Jean Baudrillard, Selected Writings, ed. By Mark Poster (Cambgride: Polity Press, 1988) hal:166). Indonesia, merupakan negara dengan nilainilai dunia ketiga, yang dalam konteks struktur internasional disebut negara periphery. Arus informasi dari negara-negara pusat, khususnya Amerika, telah melaju dengan cepat ke Indonesia, bukan hanya dalam bentuk kegiatan perekonomian sekaligus juga budaya. Penyebaran budaya dari negara ‘core’ sangat terasa, terutama dengan adanya tayangan film dan media televisi. Hal ini mempengaruhi budaya yang diterima masyarakat melalui media massa seperti media televisi, film, media cetak, radio yang sedikit banyak bisa berpotensi mengubah perilaku dan persepsi masyarakat terhadap sesuatu nilai atau budaya yang selama ini dipegang teguh. Media massa di Indonesia sebagai alat yang memungkinkan penyebaran nilai, ideologi dan budaya sudah dikendalikan oleh kekuatan besar sebagai dampak globalisasi berbagai bidang kehidupan yang mau tidak mau harus dihadapi. Media pencerahan yang didengungkan menjadi adagium yang kontras dengan kenyataan. Fenomena ‘boomingnya’ film avatar termasuk di Indonesia mengindikasikan adanya pe97


Media Massa: Pencipta Industri Budaya Pencerahan yang Menipu Massa Studi Simulacra dan Hiperrealitas film AVATAR

nyitiran nilai, budaya dan ideologi yang ingin ditanamkan oleh produsen film tersebut. Fungsi media massa yang mencerdaskan sudah terkalahkan dengan ideologi kapitalis pengusaha media. Berangkat dari latar belakang tersebut, yang harus dicermati dalam hal ini adalah permasalahan bagaimana peran media massa film dalam penciptaan industri kebudayaan pencerahaan sebagai penipuan massa. Ini penting mengingat bahwa media massa film sebagai pencipta industri kebudayaan pencerahan dan di sisi yang lain, film berperan penting dalam penciptaan industri kebudayaan pencerahan yang melakukan penipuan massa melalui proses hegemoni, ideologi, dan simulacra sehingga terjadi krisis identitas karakter bangsa. KERANGKA PEMIKIRAN James Lull menjelaskan tiga konsep dalam analisis kajian kritis dan pendekatan cultural yaitu ideologi, kesadaran, dan hegemoni. Ideologi merupakan sistim pengetahuan yang berkaitan dengan pencapaian tujuan dan kepentingan tertentu, Dan menggunakan symbol untuk hadir ditengah-tengah masyarakat. Ideologi berkaitan dengan sistem imaji, yang dapat diuraikan sebagai berikut: Aspek Ideasional disini berkaitan dengan unsure (morphem), organisasi aturan kebahasaan dimana ideologi dihadirkan. Aspek mediasional yang meliputi aspek teknologi dan interaksi. Aspek teknologi berkaitan dengan media yang digunakan dalam menyampaikan ideologi. Jadi disini berkaitan dengan pendekatan mediated dalam proses komunikasi. Kesadaran adalah melihat bagaimana karakteristik media menentukan persepsi khalayak. Maka disini proses kesadaran berkaitan dengan jenis medium. Pengaruh media yang sangat kuat sehingga siapa pun yang mengendalikan media berarti mereka yang memiliki kemampuan dalam mempengaruhi kesadaran. Dalam kondisi kehidupan masyarakat yang masyarakat. Bahwa era media telah membuat persoalan 98

• Yoyoh Hereyah

UMN

tempat menjadi tidak berarti. Kehadiran media, juga berkaitan dengan nilai-nilai budaya tertentu. Bagaimana masyarakat mempersepsi dan member makna terhadap ‘sesuatu’, teknologi media ikut dipengaruhi nilai nilai yang telah ada disana. Demiian pulsa kehadiran teknologi media ikut membentuk budaya baru bagi suatu masyarakat. Hegemoni berkaitan dengan kemampuan pengetahuan dalam rangka melakukan pendudukan secara halus, di mana pihak yang ditundukkan menerima hal itu seolah-olah sebagai suatu yang wajar. Terdapat banyak fenomena hegemoni dalam keseharian sebagai akibat proses komunikasi, hegemoni sangat berkaitan dengan aspek ideologi dan kesadaran hegemoni menandakan tampilnya suatu ideologi dominan tertentu yang mampu mempengaruhi kesadaran orang banyak. Media di antaranya melakukan peran dalam proses membangun hegemoni ini. Ideologi, kesadaran dan hegemon membentuk pola hubungan median dengan massa. Menurut James Lull (1998:2) “manipulasi yang dilakukan tanpa henti terhadap informasi dan citra publik mengkonstruksikan suatu ideologi dominan yang kuat yang membantu menopang kepentingan material dan kultural para penciptanya. Para pembuat ideologi yang dominan menjadi suatu ‘elite informasi’. Kekuasaan dan dominasi mereka bergerak dari kemampuan mereka untuk mengartikulasikan kepada masyarakat sistem ide yang lebih mereka sukai. Ideologi mempunyai kekuatan apabila dapat dilambangkan dan dikomunikasikan. Dalam hal ini ideologi kapitalisme ditransmisikan dengan cara ”tatabahasa produksi” (grammar of production) yang melaluinya media menguniversalkan suatu gaya hidup. Raymond Williams menyebut ideologi sebagai himpunan ide-ide yang muncul dari seperangkat kepentingan material tertentu, atau secara lebih luas dari sebuah kelas atau kelompok tertentu. Hal tersebut ditegaskan oleh Stuart Desember 2011 • Volume III, Nomor 2


• Yoyoh Hereyah

UMN

Hall yang berpendapat bahwa ideologi, bukan hanya otoritas ekonomi, berfungsi membentuk dan mempertahankan pembagian kelas dalam masyarakat kapitalis. HEGEMONI ANTONIO GRAMSCI Menurut teori Gramsci mengenai Hegemoni, media massa adalah alat yang digunakan elit yang berkuasa untuk melestarikan, kekuasaan, kekayaan dan status mereka (dengan mempopulerkan) falsafah, kebudayaan dan moralitas mereka sendiri. Para pemilik dan pengelola industri media dapat memproduksi dan mereproduksi isi, dan nada dari ide-ide yang menguntungkan mereka dengan jauh lebih mudah ketimbang kelompok sosial lain (Ibrahim, 1997). Hegemoni sebenarnya sama dengan dominasi yang berarti penaklukan. Bedanya, dominasi merupakan penaklukan secara keras dengan menggunakan kekuatan koersi (memaksa) seperti pengadilan, kepolisian, dan militer. Sementara hegemoni adalah penaklukan secara halus yang menghasilkan keputusan kelas (yang sebenarnya ditindas) lewat kekuatan ideologis seperti pendidikan dan media massa. Hegemoni merupakan terminology penting yang digunakan Gramsci (1971), yang diartikan sebagai cara yang kuat atau kehadiran di manamana (omnipresence) sesuatu secara penuh. Lebih jauh teori ini menekankan bahwa dalam lapangan sosial ada pertarungan untuk memperebutkan penerimaan publik. Karena pengalaman sosial kelompok subordinat (bisa kelas,gender, ras, umur dan sebagainya) berbeda dengan ideologi dan kebenarannya tersebut agar diterima tanpa perlawanan. Salah satu strategi kunci dalam hegemoni adalah nalar awam (common sense). Jika idea atau gagasan dari kelompok dominan/ berkuasa diterima sebagai common sense (jadi tidak didasarkan pada kelas sosial), kemudian ideologi itu diterima, maka hegemoni telah terjadi. Hegemoni bekerja melalui konsensus daripada upaya penindasan satu kelompok terhadap Volume III, Nomor 2• Desember 2011

Media Massa: Pencipta Industri Budaya Pencerahan yang Menipu Massa Studi Simulacra dan Hiperrealitas film AVATAR

kelompok lain. Salah satu kekuatan hegemoni adalah bagaimana ia menciptakan cara berpikir atau wacanan tertentu yang dominan, yang dinggap benar, sementara wacana lain dianggap salah. Ada satu nilai atau consensus yang dianggap memang benar, sehingga ketika ada cara pandang atau wacana lain dianggap tidak benar. Media di sini secara tidak sengaja dapat menjadi alat bagaimana nilai-nilai atau wacana yang dipandang dominan itu disebarkan dan meresap dalam benak khalayak sehingga menjadi konsensus bersama. Menurut Gramsci, dalam hegemoni, media massa adalah alat yang digunakan elit berkuasa untuk melestarikan kekuasaan, kekayaan dan status mereka dengan mempopulerkan falsafah, kebudayaan dan moralitas mereka sendiri. Ideologi yang di-mediamassa-kan dibenarkan dan diperkuat oleh sebuah sistem keagenan yang saling terkait dan efektif dalam mendistribusikan informasi dan praktek-praktek sosial yang sudah dianggap semestinya, yang merembesi segala aspek realitas sosial dan budaya. Menurut seorang ahli sosial kebangsaan Inggris, Philip Elliot (dalam Lull, 1998:34), dampak media massa yang paling dahsyat adalah cara mereka memengaruhi audiens secara pelan dan halus (subtly) untuk mempersepsi peran sosial dan aktivitas pribadi yang rutin. SIMULACRA BAUDRILLARD Filosofi Baudrillard terpusat pada dua konsep “hyperreality” dan “simulation”. Terminology ini mengacu pada alam yang tidak nyata dan khayal dalam kebudayaan kontemporer pada zaman komunikasi massa dan konsumsi massa. Baudrillard menggambarkan realitas melalui empat tahap: (1) it (image) is the reflection of the basic reality, (2) it makes and pervert a basic reality, (3) it makes the absence of the basic reality, dan (4) it bears on relation on any reality whatever: it is its own pure simulacrum. Dari keempat tahap itu, tahap kedua adalah 99


Media Massa: Pencipta Industri Budaya Pencerahan yang Menipu Massa Studi Simulacra dan Hiperrealitas film AVATAR

yang paling penting bahwa image bahkan bisa mengelabui kita sehingga kita tidak sadar lagi akan ketidakhadirannya. Gambaran dalam media massa dan cyber seperti televisi, internet tidak lagi kita pahami dalam kerangka semiotic signifier dan signified tanda-petanda Jarak keduanya lenyap, sehingga yang tinggal hanyalah sebuah pengalaman langsung. Artinya, kita seolah-olah tidak senang menghadapi image atau gambaran tentang “realitas” itu sendiri. Inilah yang disebut Baudrillard dengan istilah immediate, the unsignified atau simulacrum yang berarti tiruan, imitasi, tidak nyata, tidak sesungguhnya. Konsep Baudrillard mengenai simulasi adalah tentang penciptaan kenyataan melalui model konseptual atau sesuatu yang berhubungan dengan “mitos” yang tidak dapat dilihat kebenaran dan kenyataannya. Model ini menjadi faktor penentu pandangan kita tentang kenyataan. Segala yang dapat menarik minat manusia – seperti seni, rumah, kebutuhan rumah tangga dan lainya – ditayangkan melalui berbagai media dengan model-model yang ideal, di sinilah batas antara simulasi dan kenyataan menjadi tercampur aduk sehingga menciptakan hyperreality di mana yang nyata dan yang tidak nyata menjadi tidak jelas. Hiperealitas menciptakan satu kondisi yang di dalamnya kepalsuan berbaur dengan keaslian; masa lalu berbaur masa kini; fakta bersimpang siur dengan rekayasa; tanda melebur dengan realitas; dusta bersenyawa dengan kebenaran. Kategori-kategori kebenaran, kepalsuan, keaslian, isu, realitas seakan-akan tidak berlaku lagi di dalam dunia seperti itu. Baudrillard menerima konsekuensi radikal tentang sesuatu yang dilihatnya merasuk dalam ‘kode’ di masa modern ini. Kode ini jelas terkait dengan komputerisasi dan digitalisasi, kode ini bisa mem-bypass sesuatu yang real dan membuka kesempatan bagi munculnya realitas yang disebut Baudrillard sebagai hyperreality.” (Lechte, 2001, hlm. 352) 100

• Yoyoh Hereyah

UMN

Keadaan dari hiperrealitas ini membuat masyarakat modern ini menjadi berlebihan dalam pola mengkonsumsi sesuatu yang tidak jelas esensinya. Kebanyakan dari masyarakat mengkonsumsi bukan karena kebutuhan ekonominya melainkan karena pengaruh model model dari simulasi yang menyebabkan gaya hidup masyarakat menjadi berbeda. Mereka jadi lebih perhatian terhadap gaya hidup dan nilai yang mereka junjung tinggi. PEMBAHASAN Studi simulacra dan hiperrealitas dalam film AVATAR berguna dalam pembongkaran peran media massa film sebagai pencipta industri kebudayaan pencerahan yang melakukan penipuan massa melalui proses hegemoni, ideologi dan simulacra sehingga terjadi krisis identitas karakter bangsa. Avatar adalah film yang menceritakan tentang sebuah satelit sebesar bumi yang dihuni oleh bangsa Na’vi yang peradabannya mulai diusik oleh manusia. Bangsa Na’vi adalah mahluk primitive yang sekilas mirip manusia, hanya saja mereka bertubuh besar, berwarna biru dan memiliki ekor. Avatar merupakan program pembuatan mahluk yang mirip dengan suku Na’vi sehingga memungkinkan Jake untuk bisa berjalan kembali. Saat mempelajari kehidupan bangsa Na’vi, Jake menemukan berbagai macam hal yang menakjubkan baik dari kebudayaan bangsa Na’vi itu sendiri maupun dari keindahan hutan Pandora. “Avatar” menceritakan perang untuk mempertahankan hidup antara kaum Na’vi yang tinggal di hutan, melawan operasi pertambangan kolonial di planet mereka. Terjebak di antara dua kubu yang bertikai memang tak pernah menyenangkan dan itulah yang dialami Jake Sully (Sam Worthington) saat ia setuju untuk dikirim ke Pandora. Di planet asing yang dihuni berbagai mahluk ini Jake yang semula berharap bisa memulai hidup baru malah terlibat masalah pelik yang mengDesember 2011 • Volume III, Nomor 2


• Yoyoh Hereyah

UMN

haruskan memilih pihak. Jake adalah mantan marinir yang mengalami luka parah dalam sebuah pertempuran di bumi. Akibatnya kaki Jake mengalami kelumpuhan total. Ada satu harapan untuk Jake. Jika ia mengikuti program Avatar dan dikirim ke planet Pandora maka ia akan kembali bisa berjalan seperti sedia kala meski konsekuensinya Jake akan menggunakan ‘tubuh baru’. Agar memungkinkan buat manusia untuk hidup di Pandora maka mereka dibuatkan satu tubuh buatan dan pikiran para manusia ini akan ditanamkan ke dalam tubuh yang disebut Avatar ini sehingga Avatar ini seolah-olah adalah tubuh mereka sendiri. Tugas Jake adalah menjadi pemandu bagi beberapa manusia yang menggunakan tubuh Avatar untuk mencari sumber mineral baru untuk kepentingan industri di bumi. Di tengah perjalanan, Jake bertemu Neytiri (Zoe Saldana), bangsa Na’vi penghuni planet Pandora. Seiring berjalannya waktu Jake pun jatuh cinta pada Neytiri. Berawal dari cinta inilah Jake lantas menghadapi dilema antara melanjutkan misinya mengeksplorasi Pandora atau membela kaum Na’vi melindungi Pandora. Secara keseluruhan film ini amat menarik.Kalaupun ada kekurangan yang terasa sebenarnya adalah ide cerita yang terasa generik. Kalau mau jujur, ide dasar cerita ini tak jauh beda dengan beberapa film yang mencoba mengungkap masalah yang sama seperti film The Last Samurai dan Dances With Wolves. DUNIA HIPERREALITAS Film adalah salah satu bentuk media massa yang membawa nilai, budaya, dan ideologi penciptanya. Konsep penanaman nilai-nilai budaya dilakukan melalui pemilihan dan ide, cerita, penokohan, special effect, hingga distribusi produk film yang dihasilkan. Avatar sebuah film yang mengusung nilai dan ideologi di mana film itu dibuat. Sukses film Avatar ditandai dengan suksesnya film tersebut mendulang ‘fulus’ di berbagai negara termasuk di Indonesia. Volume III, Nomor 2• Desember 2011

Media Massa: Pencipta Industri Budaya Pencerahan yang Menipu Massa Studi Simulacra dan Hiperrealitas film AVATAR

Berdasarkan catatan CNN, sebuah situs penggemar film Avatar di Amerika Utara menerima 1.000 posting terkait depresi penonton. “Setelah menonton Avatar, saya benar-benar depresi saat bangun di dunia nyata, saya berbagi cerita dengan orang lain untuk mengurangi depresi ini” “saya ingin menjadi bagian suku Na’vi” (Harian Sindo, Rabu 13 januari 2010) Kehidupan saat ini ditandai dengan simulasi. Proses ini mengarah kepada penciptaan simulacra atau “reproduksi objek atau peristiwa”. Dengan kaburnya perbedaan antara tanda dan realitas, maka semakin sukar mengenali yang tulen dari barang tiruan. Masyarakat saat ini sudah tidak lagi didominasi oleh produksi tetapi lebih didominasi oleh “media, model sibernetika dan sistem pengemudian, komputer, pemrosesan informasi, industri hiburan dan pengetahuan, dan lainya”. Kita menjadi budak simulasi,” yang membentuk sistem lingkaran yang tak berujung pangkal. Cerita Avatar yang disuguhkan mengharubiru, menggembirakan dan menghibur tidak jauh berbeda dengan sinetron atau drama sejenisnya dapat melarut pula perasaan dari pemirsa. Film Avatar yang disajikan memainkan peranan yang cukup dominan untuk mengharu biru penonton dengan special effect yang disajikan. Bila dikaitkan dengan konsep Baudillard inilah lukisan dari kehidupan saat ini yaitu terbentuknya hiperrealitas (realitas semu). Tidak ada lagi realitas yang ada hanyalah hiperrealitas. Dampak yang dihasilkan dari hiperrealitas adalah adanya kepercayaan masyarakat terhadap kenyataan yang sebenarnya bukan kenyataan. Pembodohan atas realitas ini dapat menghasilkan pola budaya yang mudah meniru (imitasi) apa yang dilihatnya sebagai sebuah kenyataan yang direalisasikan dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu, terbentuk pula pola pikir yang serba instan, membentuk manusia yang segala sesuatunya ingin cepat tersedia. 101


Media Massa: Pencipta Industri Budaya Pencerahan yang Menipu Massa Studi Simulacra dan Hiperrealitas film AVATAR

Adanya realitas yang tersajikan dengan citra yang menghibur itu dapat menumbuhkan semangat dalam masyarakat untuk berbuat demi kemanusiaan, namun komoditas atas kepentingan keuntungan yang tersaji dari bingkai realitas dalam media mengalahkan nilai, makna yang bermanfaat bagi masyarakat. Massa digiring pada suatu pemahaman, adanya identifikasi yang sama dan penyeragaman nilai. Mengacu pada konsep Luhan dan Gramsci tentang ideologi, hegemoni, dan dominasi, media massa adalah alat yang digunakan elit berkuasa untuk melestarikan kekuasaan, kekayaan, dan status mereka dengan mempopulerkan falsafah, kebudayaan dan moralitas mereka sendiri. Dalam hal ini senada dengan itu, proses pembuat film juga mengacu pada hal yang sama, adanya unsure ideologi, hegemoni, dan dominasi dari para pemilik dan pengelola industri media dalam mengontrol dan menguasai kelompok sosial lainnya serta melakukan ‘pemaksaan secara halus budaya mereka terhadap kelompok sosial lain dengan memproduksi dan memreproduksi isi, dan nada dari ide-ide yang menguntungkan mereka dengan jauh lebih mudah melalui caracara persuasi dengan dalih memenuhi kebutuhan merka dengan konsep-konsep berdasar pertimbangan kelompok sosial yang dominan. Secara perlahan tetapi pasti, para penonton terlena dengan segala kemudahan hidup, budaya konsumsi yang serba instan membuat mereka lupa bahwa hidup yang mereka hadapi mulai kabur dan tenggelam dalam realitas semu. Film adalah hasil rekayasa manusia, produksi film hasil karya yang mengharuskan padat modal, padat teknologi, dan sumber daya manusia yang terlatih. Modal besar diperlukan untuk membuat sebuah film yang berdurasi puluhan menit tersebut. Ketika berbicara tentang film dan teknologi canggihnya, maka kita akan berkiblat ke negara pemilik teknologi tersebut, AS dan negara daratan Eropa. 102

• Yoyoh Hereyah

UMN

Media termasuk juga film Avatar seakan menjadi alat industri yang memberi pencerahan kepada massa dengan memberikan ragam informasi dan media yang disodorkan kepada mereka. Perlu pula diwaspadai bahwa pemilik tetap menjadi penentu isi dari media tersebut. Jelas sekali isi sudah dikonstruksi sesuai dengan ideologi mereka, yaitu ideologi Kapitalis. Rekayasa, penyeragaman acara menjadi hal yang dapat kita rasakan dalam sistem yang seperti ini. Alihalih memberi pencerahan, media menjadi alat penipuan massa dan menjadi pelaku pembodohan yang massif terhadap masyarakat. Masyarakat dilenakan dengan sajian media yang dangkal dan artifisial bahkan mungkin mustahil ada dalam realitas sesungguhnya. Avatar, salah satu contoh film yang mengusung nilai-nilai kapitalis. Penonton dilenakan dengan imaji yang membius dan ide cerita yang fantastis. Yang penting penonton puas dengan sajian film tersebut, tanpa harus mengerutkan kening dan berpayah-payah memikirkan isi film tersebut. Di Indonesia saat ini film didominasi oleh film-film barat termasuk penayangan Avatar secara serentak di tanah air. Hal ini tidak lepas dari sistem kapitalis yang melanda industri perfilman, ketika Indonesia memasuki arus global. Ada standar-standar khusus yang diberlakukan dalam sistem tersebut. semisal standar gedungnya, ide ceritanya, sistem manajemennya. Dalam kondisi yang seperti inilah, mudah bagi bangsa lain untuk melakukan penetrasi hegemoni budaya dan ideologi kepada negara Indonesia. Hal ini ditengarai salah satunya dengan dikuasainya sistem perfilman Indonesia oleh negara pemasok film barat. Mudah bagi mereka untuk mendikte sesuai dengan kehendak dan selera mereka, selera ideologi kapitalis global. Krisis identitas karakter bangsa suatu yang bukan mustahil terjadi saat ini di Indonesia. Adakah budaya Indonesia yang dimiliki Indonesia saat ini? Nilai dan karakter suatu bangsa Desember 2011 • Volume III, Nomor 2


• Yoyoh Hereyah

UMN

akan tercermin dari budaya yang mereka usung dalam berbangsa dan bernegara. Indonesia sedang mengalami dilema dan krisis nilai saat ini. Film sebagai bentuk penyedia hiburan memang ampuh untuk menghilangkan segala kepenatan hidup, namun film pun dapat menjadi sebuah penanda terjadinya krisis nilai suatu bangsa. KESIMPULAN Mengacu pada konsep McLuhan dan Antonio Gramsci tentang ideologi, hegemoni dan dominasi, media massa adalah alat yang digunakan elit berkuasa untuk melestarikan kekuasaan, kekayaan dan status mereka dengan mempopulerkan falsafah, kebudayaan dan moralitas mereka sendiri. Ideologi merupakan sistem pengetahuan yang berkaitan dengan pencapaian tujuan dan kepentingan tertentu dan menggunakan symbol untuk hadir di tengah tengah masyarakat, kesadaran adalah melihat bagaimana karakteristik media menentukan persepsi khalayak. Maka di sini proses kesadaran berkaitan dengan jenis medium. Pengaruh media yang sangat kuat sehingga siapapun yang mengendalikan media berarti memiliki kemampuan dalam mempengaruhi kesadaran. Hegemoni berkaitan dengan kemampuan pengetahuan dalam rangka melakukan penundukan secara halus, di mana pihak yang ditundukkan menerima hal itu seolah olah sebagai sesuatu yang wajar. Terdapat banyak fenomena hegemoni dalam keseharian sebagai akibat proses komunikasi, hegemoni sangat berkaitan dengan aspek ideologi dan kesadaran. Dalam hal ini senada dengan itu, proses pembuatan film juga mengacu pada hal yang sama, adanya unsur ideologi, hegemoni dan dominasi dari para pemilik dan pengelola industri media dalam mengontrol dan menguasai kelompok sosial lain. Caranya dengan memproduksi dan mereproduksi isi, nada dari ide ide yang menguntungkan mereka dengan jauh lebih mudah Volume III, Nomor 2• Desember 2011

Media Massa: Pencipta Industri Budaya Pencerahan yang Menipu Massa Studi Simulacra dan Hiperrealitas film AVATAR

melalui cara-cara persuasui dengan dalih yang memenuhi kebutuhan merka dengan konsepkonsep berdasar pertimbangan kelompok sosial yang dominan. Globalisasi saat ini memungkinkan industri media massa menciptakan kebudayaan massa dan menyampaikan pesan kepada massa dengan massifnya, dimana kebudayaan massa umumnya hanya mengakomodir selera rendah masyarakat massa. Ideologi kapitalis melakukan pelanggengan kekuasaaan terhadap massa dengan penyeragaman dan homogenitas acara (identik). Akhirnya kebudayaan massa hanya mengakomodasi selera rendah masyarakat massa. Film sebagai bagian dari media massa dan produk budaya massa, memiliki pengaruh yang kuat dalam melahirkan masyarakat yang pasif. Lewat sajian film Avatar, terjadinya hegemoni, dominasi dan ideologi kapitalis dapat terlihat dari imaji yang sengaja dilakukan produsen untuk mengiring massa pada satu produk budaya massa. Isi media menyajikan simulacra, kebutuhan semu dan menciptakan dunia semu (hiperrealitas). Film Avatar menawarkan sesuatu yang sebetulnya tidak ada dalam dunia nyata namun disukai oleh penonton. Hegemoni terjadi atas kuasa dominasi pemilik modal terhadap penonton dengan mengebiri kebebasan berimajinasi. Kontrol sudah dilakukan oleh pihak produsen dengan pemilihan setting, cerita, special effect hingga jalur pendistribusian film tersebut. Penonton dan penikmat film dilenakan dengan segala pengaturan yang dilakukan oleh para pemodal industri media. Dalam situasi yang seperti itu krisis identitas karakter tercipta karena masyarakat menerima ideologi, nilai dan budaya yang disuguhkan media massa (budaya barat) dan tidak memahami lagi, realitas media dan realitas sesungguhnya bahwa sebenarnya industri media massa menjadi kendaraan bagi budaya pencerahan semu yang menipu massa yang menyebabkan krisis identitas karakter bangsa. 103


Media Massa: Pencipta Industri Budaya Pencerahan yang Menipu Massa Studi Simulacra dan Hiperrealitas film AVATAR

DAFTAR PUSTAKA Adorno, Theodor dan Max Horkheimer (1944). The Culture Industry: Enlightenment as Mass Deception (versi daring bisa diakses di: http://www.marxists.org/ref erence/archive/adorno/1944/culture-in dustry.htm) Agger, Ben. (1992). Cultural Studies as A Criti cal Theory. London: Palmer. ---. (1992). Teori Sosial Kritis: Kritik, Penerapan dan Implikasinya. Yogyakarta: Kreasi Wacana. Artz, Lee dan Yahya R. Kamalipour. (Tim editor). (2003). The Globalization of Corporate Media Hegemony. Albany: State University of New York Press. Baudrillard, Jean dan Marie Maclean. (1985). “The Masses: The Implossion of the Social in the Media” dalam jurnal New Literary History Vol. 16, No. 3, On Writing Histories of Literature (Spring, 1985), hlm. 577589. Baudrillard, Jean. (1988). “Simulacra and Simulations,” dalam Mark Poster (editor). Jean Baudrillard, Selected Writtings, Cambridge: Polity Press Gitlin, Todd. (1979). “Prime time ideologi: The Hegemonic process in Television”, dalam Horace Newcomb (ed). (1994). Television: The Critical View. Fifth edition. New York: Oxford University Press. Ibrahim, Idi Subandy. (1997). Lifestyle Ectasy:

104

• Yoyoh Hereyah

UMN

Kebudayaan Pop dalam Masyarakat Komunitas Indonesia. Yogyakarta: Jalasutra. Lechte, John. (2001). 50 Filsuf Kontemporer: Dari Strukturalisme sampai Postmodernitas. Yogyakarta: Kanisius. Lull, James. (1998). Media Komunikasi Kebudayaan, Suatu Pendekatan Global. Jakarta: Yayasan Obor. Pye. Lucian W. (1966). Aspects of Political Development. Boston: Little, Brown, and Co. Ritzer, George. (2006). Mengkonsumsi Kehampaan di Era Globalisasi. Yogyakarta: Universitas Atmajaya. Sutrisno, Mudji, dkk. (tim editor). (2007). Cultural Studies: Tantangan bagi Teori-Teori Besar Kebudayaan. Depok: Koekoesan. Non Buku: Simons, Gary. (2006). Tanpa tahun. “Stimulating Stimulation,” bisa diakses di http://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q= &esrc=s&source=web&cd=2&ved=0C EcQFjAB&url=http%3A%2F%2Fohas sta.org%2Fwordfiles%2Fconference20 06%2FStimulating%2520Simulations. doc&ei=pWgoUKjwO4mIrAeM_oH4Dg &usg=AFQjCNG53feZk7OjUzwtIbjlG4 AaDl5sCg http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Glob alisasi&action=edit (http://gosipboo.blogspot.com/2009/12/resensifilm-avatar.html)

Desember 2011 • Volume III, Nomor 2


Kerbukaan Komunikasi Pada Pelayanan Prima

•Emrus

UMN

Keterbukaan Komunikasi pada Pelayanan Prima Emrus Universitas Pelita Harapan emrus.sihombing@gmail.com

ABSTRACT Bureaucracy Service Excellence (PPB) is one of the crucial factors to push forward the progress of a certain state. State progress is reflected in the standard of bureaucracy service towards its people. Correlatively, the more developed the state, the more quality its bureaucracy service. As a matter of fact, poor countries often show their bureaucracy service as below the minimum standard. Meanwhile, developing countries demonstrate their bureaucracy service in line with minimum standard. The bureaucracy service above minimum standard is shown by highly developed countries. Knowing this fact, improving public service is a must for most government, especially during reformation era and public information transparency regime occurred recently in Indonesia. To achieve this feat, reforming bureaucracy administration is a goal to score for the sake of citizens’ wellbeing and a greater happiness for society. This means that bureaucrats should be ready to serve people by all means, and not vice versa. The true leader is one who proudly walks on the path of service. Essentially, bureaucracy service excellence (PPB) aims at empowering citizens to fully involve in various activities of state building. PPB, in turn, will nurture society’s trust toward its government. Consequently, this social trust will motivate people to actively participate in every development planning of the government to finally boost economic growth. In order to manifest those beliefs, it takes open communication as the main tools for increasing service excellence. Keywords: Service excellence, Bureaucracy, Social Trust, Progress, Participation.

MERESPON PERUBAHAN Sejak 1998 Indonesia mengalami perubahan dari rezim otoritarian ke rezim reformasi.Perubahan ini mendorong dinamika sosial dan politik di Indonesia.Demikian halnya dengan pelayanan birokrasi, juga mengalami perubahan, dari birokrasi alat kekuasaan menjadi melayani masyarakat. Sebenarnya, ada dua faktor utama mendorong perubahan di Indonesia, yaitu respon Volume III, Nomor 2• Desember 2011

terhadap globalisasi dan tuntutan reformasi. Globalisasi membuat dunia menjadi “satu”.Batas teritorial negara sekedar aspek legal. Interaksi antar manusia begitu cepat dan dinamis. Setiap daerah Indonesia menjadi bagian dari relasi antar bangsa di dunia yang tak terpisahkan. Sedangkan reformasi mendorong keterbukaan informasi dan komunikasi pada setiap pelayanan publik.Utamanya pelayanan birokrasi kepada masyarakat.Masyarakat mempunyai hak atas informasi publik. 105


Kerbukaan Komunikasi Pada Pelayanan Prima

•Emrus

UMN

Sebelum era reformasi, Indonesia berada pada sistem otoritarian di bawah rezim Orde Baru. Pada sistem otoritarian ini, birokrasi berfungsi sebagai perpanjangan tangan kekuasaan. Tidak heran muncul arogansi kekuasaan dan raja-raja “kecil” pada setiap pelayanan publik di birokrasi pemerintahan.Saat itu, para birokrat melaksanakan tugasnya dengan menggunakan kekuasaan hampir tanpa batas. Birokrat mempunyai otoritas penuh dalam menjalankan fungsi birokrasi. Rakyat hampir tidak mempunyai wewenang ketika berurusan dengan birokrat. Rakyat hanya mengikuti kehendak birokrat. Tidak heran muncul istilah “uang pelicin’ setiap kali berhubungan dengan birokrat. Lain halnya, pada era reformasi yang sedang berlangsung di Indonesia saat ini dan akan terus berlanjut. Para birokrat harus menjadi pelayan publik (rakyat). Publik berhak memperoleh pelayanan, sedangkan aparat pemerintah wajib memberi pelayanan yang baik. Untuk itu, dalam melakukan pelayanan publik yang prima perlu ditentukan Standar Operasional Prosedur (SOP) sebagai pedoman bersama antara aparat Pemda Banten dengan masyarakat. SPO ini harus dikomunikasikan secara terus menerus kepada semua warga negara, agar masyarakat yang berurusan dengan pelayanan publik oleh pemerintah tidak menjadi obyek para aparat yang berselera rendah. Untuk itulah semua sistem pelayanan birokrasi pemerintah, baik di pusat maupun di daerah, harus melakukan perubahan dengan orientasi pada kepuasan pelayanan kepada masyarakat.Untuk mencapai hal tersebut, semua lembaga peleyanan pemerintah harus menetapkan bahwa pelayanan prima sebagai hal yang urgen.Namun menjalankan pelayanan prima tidak semudah membalik tangan, tetapi sebagai suatu realitas sosial yang dikonstruksi secara terencana dan holistik melalui tindak komunikasi terbuka. 106

Sebab, untuk memproduksi realitas pelayanan prima dibutuhkan pengertian, kesadaran, pemahaman dan partisipasi dari semua tingkatan pemerintahan, mulai dari organisasi pemerintahan di tingkat desa (kepala desa) hingga pemerintah pusat (presiden), utamanya mereka yang menjadi tenaga front liner yang berhubungan langsung dengan masyarakat. Sehubungan dengan itu, pemerintah mempunyai kepentingan mengelola loyalitas masyarakat yang menjadi warganya dengan memberikan pelayanan prima. Pemilihan langsung oleh rakyat, siapa-siapa yang pantas menjadi kepala pemerintahan pusat (Presiden dan DPR) dan kepala pemerintahan daerah (Gubernur, Walikota, Bupati dan DPRD) menunjukkan bukti bahwa rakyat telah menjadi ”pelanggan” mereka. Tanpa dukungan rakyat mereka tidak akan terpilih menjadi kepala pemerintahan. Itulah sebabnya pelayanan prima menjadi penting dan wajib dilakukan oleh aparat pemerintah baik dari aspek politik maupun ekonomi. Untuk itu, para pemangku kekuasaan pemerintah perlu menyusun perencanaan,strategi dan program dalam rangka pelayanan prima (excellent service) kepada masyarakat. Dalam rangka merealisasikan pelayanan prima tersebut perlu sosialisasi dan pelatihan pelayanan prima bagi setiap aparat birokrasi. Dengan demikian, para birokrat mempunyai skill yang mampu melayani masyarakat secara profesional dan memberikan kepuasan kepada masyarakat. STRATEGI PELAYANAN PRIMA Setiap aktivitas manusia, termasuk pelayanan prima, selalu mewujudkan tujuan tertentu. Untuk itu, agar tujuan dapat tercapai dengan optimal, maka pelayanan prima harus dilakukan dengan suatu strategi. Strategi dapat didefinisikan sebagai suatu keseluruhan rencana yang baik, jelas, Desember 2011 • Volume III, Nomor 2


•Emrus

Kerbukaan Komunikasi Pada Pelayanan Prima

UMN

operasional, matang dan menyeluruh yang berbasis pada visi (seperangkap nilai atau citacita yang ingin dicapai), misi (cara merealisasikan visi)dalam rangka mendukung kepentingan publik. Jadi, strategi harus berdasarkan perhitungan yang matang tentang rangkaian kebijakan dan langkah-langkah yang harus diwujudkan. Karena itu, dalam suatu tindakan pelayanan publik harus terbangun hubungan yang kuat dengan masyarakat sebagai konsumen pelayanan publik. Untuk membangun hubungan yang kuat tersebut, Lucas (1996, 47-50) mengatakan, here are some suggestions for building stronger customer relationships: (1) discover customer needs; (2) avoid saying “no”; (3) seek opportunities for service; (4) focus on process improvement; (5) make customers feel special; (6) be culturally aware; (7) know your products and services; (8) continue to learn about people; prepare yourself. Sedangkan pelayanan prima sebagai suatu aktivitas yang dilakukan oleh seseorang atau organisasi dalam rangka memenuhi kebutuhan orang lain (publik) dengan “the right thing, at the right place, at the right time”, (Wright, 1999; 164). Dengan demikian, publik merasa puas karena kebutuhannya dapat terpenuhi secara optimal. Jadi, stategi pelayanan prima merupakan penyusunan rencana secara baik, jelas, operasional, matang dan menyeluruh dari seseorang atau organisasi dalam rangka memenuhi kebutuhan dan rasa puas kepada publik dengan melakukan sesuatu hal yang tepat, tempat yang tepat, dan pada saat yang tepat. Dengan demikian, perumusan strategi menjadi sesuatu yang penting dalam suatu kegiatan pelayanan prima. Untuk merumuskan strategi yang baik, termasuk dalam pelayanan prima, Supriyanto dan Ernawaty (2010; Volume III, Nomor 2• Desember 2011

35-36) mengemukakan, ada empat hal yang perlu diperhatikan: (1) pemahaman visi, misi, dan tujuan yang akan dilakukan strategi; (2) pemahaman akan perubahan dan tuntutan lingkungan eksternal organisasi (peluang dan ancaman); (3) pemahaman kemampuan sumber daya internal organisasi yang meliputi kemampuan sumberdaya manusia, finansial, dan teknologi (kekuatan dan kelemahan organisasi); (4) penguasan manajemen efektif yang meliputi kemampuan organisasi dalam perumusan strategi, perencanaan strategi, penyusunan program, penyusunan anggaran, implementasi, dan pengendalian yang efektif. Sehubungan dengan itu, strategi pelayanan prima tidak lepas dari penilaian terhadap realitas pelayanan yang sudah dilakukan oleh organisasi. Kemudian merumuskan peningkatan pelayanan prima yang akan direalisasikan pada kurun waktu yang definitif pada masa ke depan. Untuk itu, perlu dibuat suatu rencana yang baik dan operasional tentang berbagai hal dalam rangka merealisasikan peningkatan pelayanan prima. KENDALA PELAYANAN PUBLIK Pada konstitusi tertulis kita, UndangUndang Dasar 1945, jelas menyebutkan bahwa negara wajib memberikan pelayanan kepada setiap warga negara (publik) dalam rangka meningkatkan kesejahteraan rakyat. Merujuk pada konstitusi tersebut, aparat birokrasi pemerintah wajib dan harus memberi pelayanan terbaik kepada setiap warga, tanpa kecuali. Namun masih ada kecenderungan bagi mereka yang memiliki “uang“, mendapat pelayanan yang lebih baik dari pada orang miskin. Padahal, menurut konstitusi, setiap warga negara sama kedudukannya di depan hukum, termasuk memperoleh pelayanan publik. Karena itu, tidak ada alasan bagi aparat birokrasi untuk tidak melayani, apalagi menghambat segala urusan kepentingan publik 107


Kerbukaan Komunikasi Pada Pelayanan Prima

•Emrus

UMN

yang berkaitan dengan pelayanan administrasi pemerintahan atau negara. Seluruh kepentingan publik seharusnya memperoleh pelayanan dari seluruh pemangku jabatan publik dan aparat birokrasi. Namun di sisi lain, masih banyak terdapat keluhan dan pengaduan masyarakat tentang rendahnya kualitas pelayanan aparat pemerintah. Buktinya, buruknya pelayanan publik menjadi agenda harian media massa yang memuat perilaku aparat pemerintah yang memberikan pelayanan yang belum profesional. Bahkan parahnya masih terjadi pungutan liar yang berkaitan dengan urusan publik terhadap instasi pemerintah. Sehingga tidak heran terjadi korupsi struktural pada berbagai lembaga pemerintah. Praktek penyimpangan yang dilakukan oleh aparat pemerintah tersebut sebenarnya dapat dibongkar dengan pendekatan fenomenologi. Sebagai agenda media yang memuat pelayanan publik yang buruk di Indonesia, dapat menimbulkan kesan negatif dari masyarakat terhadap penyeleggaraan pemerintahan. Efek lanjutannya, informasi tersebut dapat mengkonstruksi realitas sosial yang kondusif tumbuhnya berbagai penyimpangan sosial di tengah-tengah masyarakat, seperti korupsi. Pengurusan identitas penduduk (KTP) yang menjadi hak sipil warga negara, misalnya, seharusnya dibantu dan dipermudah proses pembuatannya, tetapi kerap kali aparat birokrasi justru melakukan sebaliknya, mempersulit. Tidak asing lagi kita dengar di telinga kita ungkapan “kalau masih dapat dipersulit kenapa dipermudah”.Ungkapan tersebut dari perspektif komunikasi mengandung makna agar aparat birokrasi memperoleh “upeti” dari urusan pelayanan publik. Inilah suatu kenyataan sebagai kendala birokrasi yang memunculkan biaya siluman. Merosotnya pelayanan publik membuat masyarakat menjadi geram terhadap 108

pemerintah baik di pusat dan daerah. Hal ini dapat membuat rakyat tidak sabar dan cemas terhadap perilaku aparatur pemerintah. Ditambah lagi dengan aparat penegak hukum yang juga tidak berpihak kepada rasa keadilan masyarakat. Rakyat menjadi kecewa dan apatis. Kondisi semacam ini dapat menciptakan realitas sosial yang tidak produktif dalam rangka meningkatkan kesejahteraan suatu negara. Efek lanjutan dari kenyataan tersebut sangat berkontribusi menimbulkan konflik vertikal antara publik (rakyat) di satu sisi dengan aparat birokrasi pemerintah di pihak lain sebagai pelayan kepentingan publik. Lihat saja, setiap hari media massa memuat aksi demonstrasi yang melakukan protes terhadap instasi pemerintah sebagai pelayan kepentingan publik. Dengan demikian, sulit dihindarkan merosotnya kepercayaan masyarakat kepada pemerintah. Padahal, pelayanan prima yang seharusnya diberikan pemerintah kepada publik pastimendorong kemajuan suatu masyarakat. Jadi, pemerintah tidak lagi sebagai “baginda raja” yang selalu mendapat ‘hadiah” ketika rakyat berurusan dengan administrasi pemerintahan. Karena itu, aparat birokrasi pemerintah sebagai penyelenggara administrasi negara di harus berbenah dan menyusun strategi untuk memberikan pelayanan kepentingan umum. Selain itu, sejalan dengan globalisasi dan keterbukaan informasi publik, fungsi pemerintahan tidak hanya berkutat pada aturan normatif, tetapi harus kreatif menciptakan, membuat trobosan dan mendorong pelayanan publik yang lebih cepat dan bermutu. Namun, tak kalah pentingnya tidak menimbulkan biaya ekonomi tinggi. Prinsip parsimony (efisien) menjadi sesuatu yang penting untuk merealisasikan pelayanan kepentingan umum (public service). Aparat pemerintah tidak lagi melakukan pendekatan “perintah” tetapi Desember 2011 • Volume III, Nomor 2


•Emrus

Kerbukaan Komunikasi Pada Pelayanan Prima

UMN

menjadi pelayanan dengan sistem jemput “bola”. Pemerintah seharusnya menjadi pemimpin yang melayani, bukan yang dilayani. Bila kita menelisik penyelenggaraan birokrasi pemerintahan ke belakang, dan bahkan masih ada berlangsung saat ini, pelayanan publik menjadi “lahan” memperkaya diri bagi sebagian (tidak sedikit) aparat birokrasi pemerintahan. Tidak heran pelayanan sistem administrasi pemerintahan di pusat maupun di daerah tidak efektif dan bahkan menjadi sumber permasalahan yang menjadi penghambat utama peningkatan pertumbuhuan ekonomi nasional maupun daerah. Hal ini disebabkan oleh peta kognisi aparat birokrasi masih orientasi kekuasaan dan bahkan menambah pundi-pundi pribadi, sehingga perilaku mereka seolah menempatkan diri pada posisi lebih tinggi dari rakyat. Birokrat ”minta” dilayani rakyat. Mereka ibarat raja yang selalu dituruti. Sehubungan dengan itu, dalam rangka mewujudkan pelayanan prima, kepala pemerintahan di pusat maupun di daerah perlu melakukan perubahan total terhadap sistem administrasi publik dari orientasi kekuasaan menjadi berpusat pada pelayanan kebutuhan masyarakat. Jadi, diperlukan pergeseran model pelayanan publik oleh birokrasi pemerintah dari orientasi penyedia yang dapat diperjualbelikan, menjadi orientasi pelayanan kebutuhan publik. Suara publik penting didengar, disimak dan harus menjadi pedoman utama bagi sebuah pelayanan birokrasi. Dengan demikian, partisipasi masyarakat dipastikan meningkat dalam memacu pertumbuhan ekonomi nasional maupun lokal. Penyelenggaraan pelayanan publik yang buruk di Indonesia selama ini telah menjadi momok bagi rakyat ketika berurusan dengan birokrasi. Hal ini bertentangan dengan Undang-Undang Republik Indonesia No. 25 Tahun 2009 tentang pelayanan publik pada pasal 18 yang mengatakan, masyarakat Volume III, Nomor 2• Desember 2011

berhak: (1) mengetahui kebenaran isi standar pelayanan; (2) mengawasi pelaksanaan standar pelayanan; (3) mendapat tanggapan terhadap pengaduan yang diajukan; (4) mendapat advokasi, perlindungan dan/atau pemenuhan pelayanan; (5) memberitahukan kepada pimpinan penyelengggara untuk memperbaiki pelayanan apabila pelayanan yang diberikan tidak sesuai dengan standar pelayanan; (6) memberitahukan kepada pelaksana untuk memperbaikti pelayanan apabila pelayanan yang diberikan tidak sesuai dengan standar pelayanan; (7) mengadukan pelaksana yang melakukan penyimpangan standar pelayanan dan atau tidak memperbaiki pelayanan kepada penyelenggara dan ombudsman; (8) mengadukan penyelenggara yang melakukan penyimpangan standar pelayanan dan atau tidak memperbaiki pelayanan kepada pembina penyelenggara dan ombudsman; (9) mendapat pelayanan yang berkualitas sesuai dengan asas dan tujuan pelayanan. Dengan demikian, UUD 1945 dan Undang-Undang Republik Indonesia No. 25 Tahun 2009 tentang pelayanan publik mewajibkan aparat birokrasi pemerintah memberikan pelayanan yang dapat memuaskan setiap warga negara. Ukuran kepuasan pelayanan (nilai) merupakan selisih antara keuntungan (benefit) yang diperoleh dengan pengorbanan yang dikeluarkan (cost). Jadi, kepuasan (nilai) = benefit – cost. TEKNIK PERSUASI PELAYANAN PUBLIK Untuk merealisasikan pelayanan publik yang prima tidak lepas dari teknik komunikasi persuasi.Pada bagian ini diuraikan definisi, efek dan strategi persuasi yang dapat digunakan pada aktivitas pelayanan prima. Persuasi dapat diartikan sebagai usaha mempengaruhi dengan bujukan agar orang lain melakukan sesuatu dengan sukarela 109


Kerbukaan Komunikasi Pada Pelayanan Prima

•Emrus

UMN

sebagaimana yang dinginkan oleh si pelaku persuasi (persuader). Usaha pembujukan atau persuasi sering kita jumpai dalam berbagai konteks komunikasi, termasuk kegiatan pelayanan publik. untuk mempengaruhi khalayak sasaran. Saundra dan Richard (2001:556) berpendapat persuasi adalah proses yang terjadi ketika komunikator (pengirim) mempengaruhi nilai, kepercayaan, sikap, atau perilaku orang lain (penerima). Sedangkan efek persuasi Larry A. Samovar dan Jack Mills (1995, 281-282) menguraikan persuasi menuntut perubahan kepercayaan, nilai dan perilaku. Oleh karena itu, pembicara yang persuasif perlu memerhatikan empat variabel tersebut jika ingin mencapai tujuan persuasi. Mengenai empat variabel, Saundra dan Richard, menjelaskan berikut ini. Kepercayaan umumnya didefinisikan sebagai keyakinan yang pasti dalam pernyataan kebenaran atau keberadaan sesuatu. Kita percaya tentang agama, peritiwa, tentang orang lain dan bahkan diri kita sendiri. Sikap dapat didefinisikan sebagai pernyataan dari pikiran atau emosi terhadap seseorang atau situasi.Sikap kita cenderung menuntun kita ke dalam respon kita terhadap sesuatu dengan subyektif dan sesuai dengan orientasi. Sebagai pembicara, kita perlu menduga sikap khalayak sebab mereka menentukan apakah pendengar kita akan merespon dengan baik atau tidak terhadap tujuan kita yang spesifik dalam pembicaraan. Sebagai contoh, jika khalayak mempunyai sikap yang positif terhadap budaya jerman, mereka pasti mendukung rencana keberadaan mobil produk jerman di kota mereka. Nilai masih merupakan variabel lain yang mempengaruhi apakah orang dipastikan berfikir atau merasa tentang suatu subjek tertentu. Banyak kepercayaan dan sikap manusia dilatarbelakangi oleh sistem nilai dasar 110

mereka.Nilai disebut komponen evaluasi terhadap kepercayaan dan sikap. Perilaku merujuk pada aktivitas khalayak yang dapat diobservasi. Perubahan perilaku dapat dilihat dari suatu perilaku ke perilaku yang lain atau sebaliknya. Selanjutnnya Saundra dan Richard (2001:555), berpendapat pesan yang persuasi adalah pesan yang tepat dan pada waktu yang tepat.Selanjutnya mereka (2001:556) me-ngatakan kunci memahami persuasi adalah pengaruh. Pengaruh merujuk kepada kekuatan dari seseorang atau hal mempengaruhi yang lain. Pendapat senada dikemukakan William J. Seiler.Menurutnya (1996:346347) akhir dari semua tujuan persuasi adalah tindakan; itu berarti, kesuksesan persuasi adalah menguatkan perilaku yang terjadi, merubah perilaku yang terjadi, atau menentukan perilaku baru. Ketika tujuan utama pembicara adalah mencapai tindakan, maka yang akan dicari adalah satu dari empat tujuan berikut: (1) adopsi adalah suatu tujuan tindakan yang meminta pendengar mendemonstrasikan (melakukan) apa yang mereka terima dari sebuah sikap, kepercayaan, atau nilai dengan menunjukkan ; (2) discontinuance adalah kebalikan dari adopsi. Jika tujuan tindakan kita adalah diskontinu, kita ingin pendengar kita menghentikan melakukan sesuatu; (3) deterrence (penolakan) adalah sebuah tujuan tindakan yang meminta pendengar melakukan apa yang mereka terima dari sikap, kepercayaan, atau nilai dengan menghindari perilaku tertentu; (4) continuance adalah sebuah tujuan tindakan yang meminta pendengar mendemonstrasikan penerimaan mereka dari sebuah sikap, kepercayaan, atau nilai dengan melanjutkan perbuatan perilaku tertentu. Untuk mewujudkan tujuan persuasi perlu dilakukan strategi.Larry A. Samovar dan Jack Mills (1995, 284), mengemukakan Desember 2011 • Volume III, Nomor 2


•Emrus

Kerbukaan Komunikasi Pada Pelayanan Prima

UMN

persiapan persuasi melibatkan sebuah proses yang sama yang digunakan dapam persiapan pembicaraan yang informatif. Seorang pembicara (1) memilih topik, (2) menganalisa khalayak, (3) memformulasikan tujuan yang spesifik, (4) mengumpulkan bahan-bahan untuk mewujudkan pencapaian tujuan, (5) penyusunan pembicaraan, dan kemudian (6) melakukan komunikasi persuasi. Perloff (Antar Venus, 2004:43-47) menyarankan strategi persuasi yang dapat digunakan yakni: (1) pillihlah komunikator yang terpercaya; (2) kemaslah pesan sesuai keyakinan khalayak; (3) munculkan kekuatan diri khalayak; (4) ajak khalayak untuk berpikir: (5) gunakan strategi pelibatan; (6) gunakan strategi pembangunan inkonsistensi; (7) bangun resistensi khalayak terhadap pesan negatif. Khusus mengenai kemasan pesan yang sesuai dengan khalayak, materi pesan yang dirancang sesuai dengan kebutuhan khalayak sasaran. Saundra dan Richard (2001:565-578) berpendapat menentukan material tergantung pada materi itu sendiri; itu boleh tergantung pada ketertarikan atau tujuan kita, atau itu boleh tergantung pada situasi atau kewajiban. Pertimbangan yang penting, bagaimanapun, adalah sikap kahalayak, atau bagaimana kita mengharapkan khalayak memberi reaksi. Sekarang kita kemukakan beberapa topik yang berhubungan dengan persuasi dalam pembicaraan: menanyakan tentang fakta, nilai, dan kebijakan; argumen satu sisi versus dua sisi; dan urutan penyajian. Jelasnya, pesan harus dikemas sesuai kondisi khalayak. Perbagai kemasan pesan yang dapat dirancang adalah sebagai berikut: (1) induktif versus deduktif; (2) implisit versus eksplisit; (3) satu sisi versus dua sisi; (4) klimaks versus anti klimaks; (5) menyenangkan versus menakutkan; (6) emosional versus rasional; dan (7) hasil riset versus akal sehat. Volume III, Nomor 2• Desember 2011

Berhubungan dengan strategi persuasi, Antar Venus (2004: 48-49) mengemukakan prinsip-prinsip umum persuasi yang dapat digunakan untuk membantu merancang dengan melaksanakan berbagai tindakan persuasi yaitu: (1) Prinsip timbal balik. Jika manusia menerima sesuatu yang dipandang berharga. maka seketika ia akan menanggapi dengan memberikan sesuatu; (2) Prinsip kontras. Orang cenderung akan memilih yang terbaik dari dua buah pilihan yang hampir sama; (3) Prinsip karena teman. Orang akan melakukan hampir semua hal yang diminta oleh seorang ternan kepadanya. Ini terjadi karena teman adalah orang yang disukai dan biasanya rasa suka ini muncul karena teman tersebut juga mempunyai banyak kesamaan dengannya; (4) Prinsip harapan. Orang akan cenderung melakukan sesuatu yang menjadi harapan orang yang ia percayai dan ia hormati; (5) Prinsip asosiasi. Manusia cenderung menyukai produk, jasa, atau gagasan yang didukung oleh orang lain yang disukai atau dihormati; (6) Prinsip konsistensi. Orang akan melakukan sesuatu jika itu sesuai dengan pen­diriannya; (7) Prinsip kelangkaan. Orang akan melakukan sesuatu jika merasa bahwa kesempatan yang sama tidak akan ia dapatkan pada waktu dan tempat yang lain. Banyak kampanye promosi yang menggunakan prinsip kelangkaan untuk meningkatkan penjualan pada periode waktu tertentu. Ini dapat terlihat dari adanya pesan-pesan seperti “ berlaku hanya pada tanggal x hingga tanggal y”, “Selama persediaan masih ada”, atau “ produk x edisi hari kemerdekaan”; (8) Prinsip kompromi. Kebanyakan orang cenderung menyetujui usul, produk, atau jasa yang akan dipandang bisa diterima oleh mayoritas orang lain atau mayoritas anggota kelompoknya; (9) Prinsip kekuasaan. Semakin berkuasa seseorang dipandang oleh orang lain, semakin besar kemungkinan permintaannya akan dipertimbangkan dan diterima. 111


Kerbukaan Komunikasi Pada Pelayanan Prima

•Emrus

UMN

Penggunaan masing-masing prinsip tentunya disesuaikan dengan tujuan serta khalayak sasaran kampanye. KESIMPULAN Untuk menjawab tuntutan globalisasi, reformasi, keterbukaan informasi dan mendorong pertumbuhan ekonomi kerakyatan yang signifikan di Indonesia, aparat pemerintah dari desa sampai pusat wajib memberikan pelayanan publik yang prima kepada seluruh warga masyarakat Indonesia. SARAN Perlu grand design strategi pelayanan publik yang prima untuk memenuhi kebutuhan kepentingan publik masyarakat Indonesia.

Samavar, Larry A. dan Mills, Jack.(1995). Oral Communication Speaking Across Cultures, Iowa: Brown & Benchmark. Lucas, Robet W.(1996). Customer Service Skill and Concepts for Business, USA: Richard D. Irwin Inc. Hybels, Saundra dan Weaver, Richard L. II.(2001).Communications Effectively, New York:McGraw-Hill. Supriyanto, S dan Ernawati, M. (2010).Pemasaran Industri Jasa Kesehatan, Yogyakarta: Andi Yogyakarta. Seiler, William J. (1996).Communication Fundations, Skills, and Applications, New York:HarperCollinsCollegePublishers. Wright, J. Nevan. (1999). The Management of Service Operations, , London:Cassell

DAFTAR PUSTAKA Venus, Antar. (2004).Manajemen Kampanye, Bandung: Simbiosa Rekatama Media.

112

Desember 2011 • Volume III, Nomor 2


PEDOMAN PENULISAN JURNAL KOMUNIKASI

UMN 1.

Artikel berupa hasil penelitian, baik penelitian lapangan maupun kajian pustaka atau yang setara dengan hasil penelitian, serta kajian konseptual di bidang komunikasi 2. Bisa juga memuat hasil penelitian/skripsi dari mahasiswa yang sudah dinyatakan lulus tetapi dalam penulisannya didampingi oleh pembimbingnya dan disesuaikan dengan format yang ditentukan 3. Artikel ditulis dengan bahasa Indonesia atau bahasa Inggris. Bila artikel menggunakan bahasa Indonesia abstraknya menggunakan bahasa Inggris, sedangkan bila artikel menggunakan bahasa Inggris, abstraknya berbahasa Indonesia 4. Abstrak ditulis sebanyak 100-150 kata, ditulis dengan huruf miring serta dilengkapi dengan kata-kata kunci. Bila artikel yang ditulis merupakan hasil penelitian maka abstrak harus memuat latarbelakang,dan perumusan masalah,tujuan,metode,hasil atau kesimpulan penelitian 5. Panjang naskah sekitar 18-22 (maksimal) halaman Quarto, di luar bagan,gambar/foto dan referensi 6. Pengetikan naskah menggunakan program Microsoft Word, spasi ganda (Spasi 2), jenis huruf Times News Roman, ukuran 12. Marjin kanan-kiri, atas bawah 3 cm. 7. Setiap naskah diserahkan dalam bentuk 1 print out (hard copy) dan 1 soft copy yang dikirimkan via e-mail atau dikemas dalam CD dengan format rtf atau Doc 8. Komposisi artikel hasil penelitian : (1) Judul, (2) Nama Penulis (tanpa gelar), di bawah nama penulis dicantumkan afiliasi/alumni, (3) abstrak, (4) kata kunci, (5) Pendahuluan (tanpa sub judul), (6) Tinjauan Pustaka/Kerangka Teori , (7) Metodologi Penelitian, (8) Hasil dan Pembahasan (9) Simpulan dan Saran, (10) Daftar Pustaka (hanya memuat kepustakaan yang dirujuk dalam artikel 9. Komposisi artikel konseptual: (1) Judul, (2) Nama Penulis (tanpa gelar), (3) abstrak, (4) Kata kunci, (5) Pendahuluan (tanpa sub judul), (6) Sub judul- sub judul sesuai kebutuhan, (7) Penutup, (8) Daftar Pustaka (hanya memuat kepustakaan yang dirujuk dalam artikel). 10. Penulisan kutipan dibuat dengan catatan perut yang memuat nama belakang pengarang,tahun penulisan, dan halaman penulisan. Contoh: Satu penulis :…………….(McQuail,1994:43) Dua penulis :…………….(Green dan Vivian,2005:56) Lebih dari dua penulis :…………….( Chesney,dkk,1996:59) 11. Penulisan daftar pustaka menggunakan model: Nama Belakang, nama depan.Tahun Penerbitan,Judul Buku (cetak miring).Kota:penerbit. Contoh: Conboy,Martin.2003.The Press and Popular Culture.London:Sage Publication. 12. Print Out dan soft copy artikel ( dalam format RTF/doc) bisa dikirimkan paling lambat satu bulan sebelum periode penerbitan kepada : PUSKA (PUSAT KAJIAN KOMUNIKASI) PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI UNIVERSITAS MULTIMEDIA NUSANTARA (UMN) Jalan Boulevard Gading Serpong Tangerang Banten Telp + 6221 5422 0808 Fax +6221 5422 0800. Atau bisa dikirimkan via email ke: Ketua Penyunting Jurnal Komunikasi , Indiwan seto di alamat email: indiwan_seto@yahoo.co.id

Volume III, Nomor 2• Desember 2011

113


PUSKA (PUSAT KAJIAN KOMUNIKASI) Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Multimedia Nusantara (UMN) Jalan Boulevard Gading Serpong Tangerang Banten Telp + 6221 5422 0808 Fax +6221 5422 0800.


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.