H.B. Jassin: Kritikus dan Dokumentator Sastra

Page 1

d

DISKUSI SASTRA H.B. Jassin: Kritikus dan Dokumentator Sastra Bagus Takwin

Kamis, 22 September 2011 Pukul 19.00 – 21.00 WIB WISMA PROKLAMASI Jalan Proklamasi No 41 Jakarta Pusat


Bagus Takwin / Diskusi Sastra: H.B. Jassin: Kritikus dan Dokumentator Sastra

Hasrat dan Semesta Sastra H.B. Jassin Oleh Bagus Takwin

Apa yang menjadi hasrat H.B. Jassin?

I

Saya pernah iri kepada kritikus dan dokumentator sastra Indonesia yang lahir di Gorontalo tahun 1917 ini karena ia memiliki koleksi sastra yang luar biasa. Saya ingin seperti Jassin yang bisa membaca hampir semua karya sastra Indonesia, mengelompokkan dan membuat catatan tentang karya-karya itu. Saya sempat mengkliping tulisan-tulisan sastra Indonesia, mengelompokkannya dan sekali dua kali membuat catatan. Kegiatan itu hanya bertahan beberapa bulan. Setelah itu banyak tulisan yang tak sempat saya kliping, lalu mulai beberapa tak sempat saya baca, akhirnya saya hampir tak pernah melakukannya lagi. Saya hanya mempertahankan kebiasaan mengoleksi buku dengan topik yang menjadi bidang minat saya. Ketekunan dan ketabahan tak saya miliki, ternyata.

Kemudian saya sadar, apa yang dilakukan Jassin ternyata pekerjaan luar biasa. Pekerjaan itu bukan saja butuh ketekunan, ketabahan dan dedikasi besar, melainkan juga hasrat yang besar. Akhirnya, saya tidak iri lagi karena menyadari keterbatasan diri saya sekaligus menyadari betapa luar biasa H.B. Jassin. Saya menjadi kagum padanya dan tertarik untuk memahami hasratnya akan kesusastraan. Kita dapat mengenali H.B. Jassin sebagai orang yang punya hasrat kesusastraan. Teori manapun tentang hasrat dapat kita gunakan untuk menjelaskan bahwa hasrat Jassin adalah kesusastraan. Ia memenuhi semua kriteria untuk menjadi orang yang punya hasrat besar akan kesusastraan. Jassin bukan hanya menilai sastra sebagai hal yang baik, melainkan juga menikmati sastra. Ia melakukan aktivitas sastrawi dan aktivitas lainnya terkait sastra karena ia menilai aktivitas-aktivitas itu baik dan memperoleh kesenangan ketika melakukannya.

Berdasarkan teori konservatif tentang hasrat yang menyakat bahwa memiliki hasrat adalah memiliki kecenderungan bertindak, jelas sekali Jassin punya hasrat besar terhadap kesusastraan. Ia menampilkan tindakan yang mendekatkannya kepada sastra, mengkonsumsi dan menikmati sastra. Lebih dari itu, ia juga memproduksi sastra, mendorong orang-orang untuk menyukai dan menghasilkan sastra, dan ia menikmati semua kegiatan itu. Ia bertahan menekuni sastra bahkan ketika kegiatannya terkait sastra memberikan konsekuensi negatif kepadanya. Ia membela sastra dan bersedia di penjara untuk sastra. Ia mencintai sastra dalam hidupnya. Meski tak bisa dibilang kecintaan Jassin kepada sastra adalah bawaan lahir, kita tahu / 2 /


FREEDOM INSTITUTE

perkenalan Jassin dengan sastra dimulai sejak ia masih sekolah di HIS, dan sejak itu cintanya kepada sastra tak pernah berhenti selama hidup. Percintaan yang sangat lama, kesetiaan yang membutuhkan sekaligus menghasilkan energi besar. Saya tidak tahu persis seluk-beluk hubungan Jassin dan sastra di masa awal perkenalan mereka. Tetapi saya menduga hubungan itu disertai dengan kesan-kesan yang kuat, bahkan pengalaman batin yang menggugah terus menerus diri Jassin untuk mengindahkan sastra, menjadikan sastra sebagai bagian dari dirinya. Bukan hanya ia mendapatkan kesenangan dari sastra, melainkan juga ia menemukan sastra sebagai hal yang bernilai, patut diperjuangkan dan dikembangkan. Untuk sesuatu yang bernilai, orang berjuang bahkan ketika ia mendapatkan hukuman karenanya. Jassin rela bersusah-payah, rela mendapatkan hukuman, rela mengurangi bahkan kehilangan kenikmatan lain demi sastra. Pembiasaan dari ayahnya yang juga suka membaca fiksi saya kira ikut berperan menguatkan kecintaan Jassin terhadap sastra. Lalu, pengalaman menyenangkan bersama sastra selama ia bersekolah di HIS dan HBS memantapkan kecintaan kepada sastra.

Menurut pengakuan Jassin dalam wawancara dengan Leila S.Chudory yang artikelnya dimuat di Tempo 30 September 1989, sejak ia berumur 7 tahun, ayahnya terus menerus mengkondisikannya untuk akrab dengan bacaan. Jassin juga diperkenalkan dengan perpustakaan oleh ayahnya. Ia sering disuruh ayahnya meminjam buku di sana. Setelah ia mulai bersekolah di HIS Gorontalo tahun 1926, di usia 9 tahun, kegemaran membaca mendapat tambahan penguatan di pelajaran Bahasa melalui tugas-tugas baca, salah satu membaca puisi di depan kelas. Kecintaannya kepada sastra, berdasarkan ingatannya, muncul kuat pertama kali ketika ia duduk di kelas 4 HIS mendengarkan kepala sekolahnya membacakan cerita Saijah dan Adinda yang dicuplik dari roman Max Havelaar karya Multatuli di muka kelas dengan mimik dan intonasi yang menurutnya sesuai dengan tuntutan cerita. Seingat Jassin, itulah saat ia jatuh cinta kepada buku sastra. Jassin juga mengingat dirinya dikenal sebagai voorlezen, si tukang baca cerita yang baik, ketika sekolah di HIS. Lalu, di HBS Medan sejak tahun 1933, pengetahuan dan kecintaan terhadap sastra semakin besar. Perkenalan dengan kesusastraan dunia berlangsung di situ. Ia membaca karya sastra Belanda, Inggris, Prancis dan Jerman. Dari sekolahnya saat itu, ia mendapat tugas membaca 24 buku sastra Belanda dan delapan buku masing-masing untuk bahasa lainnya. Di HBS belajar mengevaluasi karya sastra secara akademis, kemampuan yang mendasari pekerjaannya sebagai kritikus sastra di kemudian hari.

Pengalaman-pengalaman bercengkrama dengan sastra di masa muda itu membentuk disposisi atau kecenderungan kuat pada diri Jassin untuk merasakan sastra dengan cara tertentu, juga memikirkan sastra dengan cara tertentu, bertindak terhadap sastra dengan cara tertentu pula. Perasaan, pikiran, tindakan dan cara-cara itu bervalensi positif, tentunya, sehingga menarik dan mendorong Jassin untuk terus berlekatan dengan sastra. Ia terus menerus melakukan tindakan yang ia percayai dapat memungkinnya untuk mendekatkan dirinya kepada kesusastraan sekaligus mengembangkan kesusastraan. Kita dapat membaca cerita dan ulasan orang tentang Jassin; di sana ada kita temukan indikasi yang jelas dan kuat: Jassin terus menerus merasa, berpikir dan bertindak untuk kesusastraan. Jassin terus berusaha mengaktifkan mentalnya untuk berfungsi menghasilkan tindakan-tindakan sastra. Ia terus / 3 /


Bagus Takwin / Diskusi Sastra: H.B. Jassin: Kritikus dan Dokumentator Sastra

menerus memberi perhatian kepada sastra, mendekatkan dan melibatkan dirinya dengan sastra. Saya menduga, Jassin merasakan ada yang hilang atau hampa ketika ia jauh dari sastra. Apa yang ditampilkan Jassin sepanjang hidupnya, sejauh yang dapat dikenali, memenuhi kriteria orang yang memiliki hasrat kuat terhadap kesusastraan. Ia memberi perhatian besar dan khusus kepada sastra. Ia mengambil semua tindakan yang ia yakini mendekatkannya kepada sastra. Ia mendapatkan kenikmatan dari baik membaca, menulis maupun mengkritik sastra. Ia merasa tak nyaman jika jauh dari sastra. Ia menilai sastra sebagai hal yang baik dan menjaga kebaikan sastra. Ia memiliki alasan-alasan yang masuk akal untuk memperjuangkan dan mengembangkan sastra. II

Hasrat Jassin terhadap sastra bukan sembarang hasrat. Secara intuitif kita dapat mengenali hasrat itu dari dimensi-dimensinya. Hasrat memang bukan sesuatu yang telanjang menampilkan dirinya di hadapan kita sehingga kita dapat mengindrainya langsung. Kita memahami dan menyimpulkan adanya hasrat dari indikator-indikator yang menurut akal sehat bersumber atau setidaknya berkait dengan hasrat. Indikator-indikator itu dapat dikelompokkan menjadi dimensi-dimensi hasrat. Saya ajak anda secara intuitif mengenali dimensi-dimensi hasrat akan kesusastraan yang ada pada Jassin.

Dimensi pertama adalah kemajuan atau kebaruan. Jassin menunjukkan keinginan adanya kemajuan dalam sastra. Kemajuan itu terjadi jika ada karya-karya baru di hasilkan dari waktu ke waktu. Jassin sangat mempertimbangkan kemajuan sastra, khususnya sastra Indonesia. Dalam memberi kritik, pertimbangan kemajuan sastra Indonesia, saya kira, berperan besar. Pada awal-awal berperan sebagai kritikus, ia tak jarang memberi kritik pedas, menunjuk keburukan-keburukan karya sastra yang dikritik. Tetapi belakangan ia lebih hati-hati memberi kritik. Dalam pengakuannya, ia pernah memberi kritik keras sehingga orang yang dikritik itu “mati�, tak berani berkarya lagi, akibatnya sastra Indonesia kehilangan kemungkinan untuk memperoleh karya yang baik dari orang itu. Kritik keras itu memperkecil kemungkinan berkembangnya sastra Indonesia. Tetapi, Jassin juga tak mau sembarangan memberi pujian atau penilaian positif. Ia biasanya menghindari membahas karya seseorang yang dinilainya tidak baik dan menolak memuat karya itu di media yang diasuhnya. Dimensi kedua dari hasrat Jassin akan kesusastraan adalah daya pikat sastra. Jassin memperjuangkan sastra yang memikat pembaca atau pendengarnya. Baik sebagai penulis, kritikus dan dokumenter, Jassin memberikan perhatian penting kepada kemampuan sastra untuk dapat menggugah perasaan, pikiran dan kehendak pemirsanya. Bisa jadi daya pikat itu adalah daya pikat naratif dalam prosa, yang membuat pemirsa sastra menghayati tuturan dalam sebuah prosa sebagai kejadian yang seolah-olah nyata, sesuatu yang meyakinkan orang yang membaca atau mendengarnya. Bisa juga daya pikat itu dari unsur-unsur puitis yang menggugah indra atau “pikiran yang mengindrai�. Jassin percaya sastra memiliki ukuran dan nilai-nilainya untuk dapat menggugah para pemirsanya. Meskipun ia menyatakan tak ingin pekerjaannya menganalisis sastra menjadi ilmiah dan mementingkan perasaan ketika / 4 /


FREEDOM INSTITUTE

membaca, bukan tak berarti ia tak punya kriteria atau patokan karya sastra yang baik. Ia tak sembarang menganalisis dan tak sekadar merasa secara emosional. Saya menilai, Jassin pasti punya semacam kerangka pikir yang digunakannya untuk menilai sastra. Jika tidak, bagaimana ia dapat membedakan mana karya sastra yang baik dan mana yang tidak? Ketika ia menilai sebuah karya sastra memberikan kebaruan, setidaknya ia punya prinsip dan kategori yang digunakan untuk mengevaluasi karya sastra itu. Jassin memang tidak merumuskan secara jelas dan tegas kriteria sastra yang baik, tetapi tersirat ia menunjukkan adanya standar sastra. Lebih menarik lagi, ia punya semacam konstruks (peralatan mental untuk mengenali dunia, khususnya dunia sastra) yang dapat digunakan untuk mengantisipasi lahirnya karya sastra yang baik. Jassin tidak menganalisis dan tidak menilai karya sastra dengan pikiran yang kosong. Cara kerjanya memang lebih mengandalkan intuisi (atau dalam sebutan Jassin: perasaan), fungsi mental yang memberikan pengetahuan dan petunjuk tindakan tanpa melalui observasi penalaran terlebih dahulu. Dalam hemat saya, dengan intuisi Jassin mengenali daya pikat sastra. Dimensi ketiga adalah universalitas. Jassin memperjuangkan sastra agar dapat diakses dan dinikmati oleh siapa saja. Lepas dari mana asal sebuah karya sastra, yang jelas karya itu harusnya dapat ditujukan kepada siapa saja, Siapa pun dapat membacanya. Tesisnya, sastra Indonesia sebagai bagian dari sastra dunia, yang disampaikannya saat ia menerima doktor honoris causa di UI, menunjukkan adanya dimensi universal dari hasrat Jassin terhadap sastra. Karya sastra ditujukan kepada siapa saja, kepada setiap manusia yang ada di dunia. Bagi Jassin, dalam hal bentuk sastra memiliki ukuran dan nilai-nilainya, tetapo isinya boleh apa saja. Sastra tak harus bicara tentang senjata atau perjuangan secara harfiah. Sastra itu bisa ditujukan untuk siapa saja. Isinya bisa bicara tentang sebuah keluarga, percintaan sepasang manusia, perang, situasi kerja di sebuah perusahaan, petani-petani di sebuah desa, dan sebagainya. Itulah sebabnya, saya kira, Jassin mengupayakan tersedianya pusat dokumentasi sastra yang dapat diakses oleh siapa saja tanpa biaya. Niat awalnya memiliki perpustakaan pribadi agar tidak tergantung kepada perpustakaan Balai Pustaka berkembang menjadi keinginan untuk membangun sebuah pusat dokumentasi sastra untuk umum. Ia ingin orangorang yang membutuhkan dokumentasi sastra mudah aksesnya kepada sastra Indonesia. Ia melarang istrinya untuk memungut biaya dari pengguna jasa Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin. Ia memperjuangkan sastra dengan dasar kemanusiaan universal, mendorong sastra Indonesia menjadi bagian sastra dunia, memfasilitasi munculnya karya sastra universal dari Indonesia, dan membantu penyebarannya bagi siapa saja. Dimensi sastra berikutnya adalah risiko. Dalam memperjuangkan kemajuan sastra, Jassin siapa mengambil risiko dan mau menanggung konsekuensi dari perjuangannya. Untuk membela sastra, ia siap diadili dan dihukum. Ia bertahan dengan pilihannya, memegang komitmen secara kuat, dan menunjukkan dedikasi terhadap sastra yang sulit ditandingi oleh kebanyakan orang. Ia setia kepada kesusastraan, rela berkorban jiwa dan raga. Ia berani mengambil posisi yang tegas dan bertahan dari gempuran pihak-pihak yang tak setuju dengan sikapnya. Ia berkorban demi sastra, mulai dari menyisihkan uang untuk membiayai pendokumentasian sastra sampai menyediakan diri sebagai sasaran tembak vonis pengadilan. Ia tak banyak bicara dan tak berkoar-koar membela sastra, tetapi tindakan, pola hidup, pikiran dan perasaan diintensikan untuk memajukan dan membela sastra. Bisa dibilang, ia / 5 /


Bagus Takwin / Diskusi Sastra: H.B. Jassin: Kritikus dan Dokumentator Sastra

berjuang sedemikian rupa membuat sastra Indonesia layak untuk dunia dan membuat dunia menghargai sastra Indonesia. Untuk, berbagai risiko siap ia terima. III

Bagaimana Jassin dapat mencapai sasaran hasratnya, atau setidaknya menghasilkan efek hasrat terhadap diri dan dunianya?

Hasrat Jassin tidak hanya mendorong atau menggerakkan dirinya, melainkan juga menjadi alasan bagi inisiatif dalam mencari tahu lebih jauh tentang sastra. Hasratnya akan sastra adalah alasan yang membuat inisiatifnya terkait sastra jadi cerdas dan bermakna. Keberadaan hasrat pada diri Jassin adalah sesuatu yang alami karena setiap orang punya hasrat, sekaligus juga merupakan pendorong dirinya untuk mengubah yang alami menjadi sesuatu yang baru. Hasrat Jassin menunjukkan bahwa dirinya sebagai agen merupakan bagian dari tatanan alam yang merupakan sumber hasrat, sekaligus bagian dari tatanan budaya atau pemaknaan yang menjadikan inisiatif masuk akal, baik untuk dirinya maupun orang lain yang menjadi sasaran dari pencapaian hal yang dihasrati.

Jassin menyadari kodrat dunia yang memungkinkan manusia melakukan perubahan di dalamnya, khususnya perubahan di semesta sastra. Jassin percaya bahwa dunia memiliki tatanan benda-benda sekaligus tatanan tingkahlaku manusia dan keduanya dapat saling mengintervensi dan mengganggu keberlangsungan masing-masing. Pebauran manusia dan alam memungkinkan terjadinya perubahan. Jassin juga percaya orang leluasa menampilkan inisiatif yang asli dari dirinya sendiri, khususnya melalui sastra. Pembauran manusia dan alam selalu bertujuan sehingga sebuah pembauran bukan hanya mempengaruhi dan membentuk agen, melainkan juga memberdayakannya sebagai pihak yang tujuannya menjadi motivasi dari pembaruan. Jassin juga menyadari kodrat tindakan manusia sebagai hal yag dapat mengubah dunia. Setiap tindakan mencakup inisiatif, bahkan tindakan yang dipaksakan oleh pihak luar untuk ditampilkan seseorang sebab setiap orang bisa memilih dalam situasi apapun, termasuk membuat putusan yang paling kecil risikonya. Intervensi Jassin dengan tindakannya ke dunia dapat secara efektif menyebabkan perubahan dalam dunia, khususnya dunia sastra. Inisiatif mensyaratkan kemampuan dan kerentanan dari tubuh Jassin untuk menjalani berbagai situasi dunia yang kongkret. Situasi ini, sebagai pelengkap ketubuhan Jassin sebagai agen, terbentuk dari benda-benda, peristiwa-peristiwa dan orang-orang lain. Dalam situasi ini tersedia konteks kesempatan dan hambatan bagi Jassin untuk melatih dan menampilkan daya inisiatifnya. Melalui tindakan, Jassin tidak hanya mengubah situasi materialnya, melainkan juga membangun hubungan baru dengan orang lain.

Dalam membangun pusat dokumentasi sastra, contohnya, Jassin berinisiatif membuat komitmen jangka panjang untuk memelihara dan memperlengkap dokumentasinya dengan segala kemampuan dan keterbatasan yang ia miliki. Ia mengubah situasi materialnya, misalnya dengan menyediakan ruang dan menyisihkan uang untuk biaya pendokumentasian, sekaligus ia membina hubungan baru dengan pihak-pihak yang terkait dengan aktivitas dokumentasi, seperti pengelola majalah, sastrawan Indonesia, pegawai pusat dokumentasi sastra, penjual / 6 /


FREEDOM INSTITUTE

buku, gubernur dan pegawai Pemda DKI Jakarta. Dengan tindakan atau inisiatifnya, Jassin mengarahkan dirinya kepada orang-orang dan benda-benda yang memberikan konteks baru kepadanya dan dengan demikian mengubah konteks terdahulu serta membuat alur cerita baru bagi hidup selanjutnya. Di sini Jassin menampilkan keberdayaannya dalam pembauran dengan orang lain dan benda-benda dengan menyebabkan terjadinya perubahan dalam dunia melalui kinerjanya. Inisiatif Jassin tampil sebagai sesuatu yang terpisah (disjunctive) sekaligus terhubung (conjunctive) dengan dunia. Di rentang waktu tertentu, inisiatifnya menjalani tahap terpisah dari dunia untuk menjadi karakter antagonistik dalam daya penyebab perubahan dunia, sebagai mode kausalitas; inisiatifnya mengandung penyebab yang efektif mengubah dunia. Untuk itu, Jassin siap menanggung risikonya bertentangan dengan dunia. Di rentang waktu lain, inisiatifnya terhubung dengan dunia pada saat daya kausalitasnya menyebabkan perubahan dalam dunia, pada saat ia mengusahakan tawaran perubahannya diterima oleh dunia. Di sini ada keniscayaan Jassin berkoordinasi dalam cara yang sinergistik dengan dunia. Jassin juga menyadari adanya keleluasaan-keleluasaan pada dirinya untuk menampilkan diri dan subyektivitasnya dalam masyarakatnya. Dengan kesadaran akan keleluasaankeleluasaannya itu, ia berinisiatif dan berkoordinasi secara sinergis dengan pihak-pihak lain untuk mengusahakan perubahan dan pembaruan dalam semesta sastra Indonesia.

Dari sini, bisa dipahami, Jassin sebagai agen dengan dayanya untuk bertindak memiliki kapasitas penyebab distinktif yang berbeda dan terpisah dari jenis-jenis kausalitas lain. Tetapi kapasitas itu hanya dapat diejawantahkan dalam keterhubungannya dengan proses-proses sebab-akibat yang lain. Begitu pula Jassin sebagai agen hanya dapat melakukan perubahanperubahan dalam dunia dalam keterhubungannya dengan orang-orang lain. Itu sebabnya, barangkali, Jassin seringkali tampil sebagai orang yang selalu berusaha membina hubungan baik dengan orang lain, jarang bertentangan secara frontal dengan pihak yang tak sejalan dengannya kecuali jika berada dalam posisi diserang. Perubahan atau efek terhadap di dunia yang diinisiasi oleh Jassin tentu bukan proses yang langsung jadi dalam waktu singkat. Ikhtiar panjang dan lama dilakukannya untuk memberi pengaruh kepada dunia. Tindakan Jassin selalu bertujuan dan terhubung dengan tindakan-tindakannya yang lain. Tindakan Jassin selalu mengambil tempat dalam konteks kebermaknaan. Tindakannya di suatu saat merupakan respons terhadap tindakannya terdahulu sekaligus antisipasi terhadap respons-respons masa depan terhadapnya. Dengan demikian, tindakan Jassin selalu mengambil tempat dalam waktu historis. Jassin, dalam pencermatan saya, menyadari betapa sebuah perubahan yang berarti dalam masyarakat membutuhkan usaha keras dalam waktu lama. Itulah sebabnya, saya kira, ketekunan, kesabaran dan kegigihan ikhtiar sastra ditampilkan olehnya dalam rentang waktu 60 tahun. Dengan ikhtiar itu ia membangun sejarah dirinya sekaligus sejarah sastra Indonesia. Dalam sejarah sastra Indonesia kita temukan jejak-jejak tindakan dan momen-momen keberadaan Jassin. Selanjutnya, di masa depan sastra Indonesia akan bisa kita temukan juga harapanharapan Jassin mengejawantah.

/ 7 /


Bagus Takwin / Diskusi Sastra: H.B. Jassin: Kritikus dan Dokumentator Sastra

IV

Hasrat yang bertahan lama, tak padam-padam oleh gonjang-ganjingnya dunia, mengimplikasikan adanya citra ideal atau horison sastra universal yang memanggil terus. Saya duga Jassin punya citra semacam itu untuk sastra, meski seperti apa tepatnya tak dapat didefinisikannya. Dengan intuisinya, ia menangkap sastra yang universal dan bergerak ke arahnya. Cintanya kepada sastra, saya kira, didasari oleh putusan bahwa sastra itu bernilai dan universal, bahwa sastra yang sesuai dengan citra idealnya mungkin dicapai, meski entah kapan.

Sudah saya singgung terdahulu, intuisi adalah kemampuan manusia untuk memperoleh pengetahuan langsung atau wawasan langsung tanpa melalui observasi atau penalaran terlebih dahulu. Pemikiran intuitif seperti persepsi, sekelebat, tetapi mengarahkan tindakan. Dalam memahami dan menganalisis sastra, Jassin pertama-tama menggunakan intuisi, baru kemudian melibatkan fungsi mental lainnya. Tetapi intuisi yang digunakan bukan intuisi sembarangan, melainkan intuisi rasional, didasari oleh sebuah kerangka pemaknaan tertentu. Dengan kerangka pemaknaan itu, Jassin memilih intuisi mana yang akan ia ikuti.

Jassin, sepertinya, juga punya intuisi tentang semesta sastra yang di dalamnya sastra Indonesia terhimpun. Sebagaimana umumnya tangkapan intuisi, semesta sastra itu tak tergambar lengkap. Intuisi menggerakkan dan menunjukkan arah tindakan. Jassin mengikuti arah itu, mengejar dan memperjuangkan sastra universal. Kita saksikan Jassin percaya dan setia kepada semesta sastra itu; semesta yang ikut membentuk semesta manusia. Bagi Jassin, sastra dan kemanusiaan tak terpisahkan. Memperjuangkan sastra berarti juga memperjuangkan kemanusiaan. Membangun semesta sastra berarti juga membangun semesta manusia, membangun dunia. Ikhtiar itu dimungkinkan oleh hasrat yang besar dan bertahan terus terhadap kesusastraan. Rangkaian tindakan yang ditampilkan Jassin, baik sebagai kritikus, dokumentator, maupun penerjemah adalah bentuk konkret dari ikhtiarnya memperjuangkan sastra. Kita juga sudah tahu, ia pembaca yang tekun. Semua itu dilakukan untuk memenuhi hasratnya akan sastra.

Menjadi dokumentator merupakan salah satu peran yang diambil Jassin untuk mewujudkan hasratnya. Pengertian dokumentasi yang menurut Sulistyo Basuki digunakan Jassin adalah memberikan keterangan berdasarkan bahan-bahan yang ada di perpustakaan. Kegiatan utama dalam dokumentasi adalah pembuatan dokumen baru berdasarkan literatur yang ada. Dasarnya adalah klasifikasi dan pembuatan informasi. Untuk dapat melakukan pendokumentasian diperlukan kemampuan kategorisasi untuk dapat mengklasifikasi dan abstraksi untuk menghasilkan informasi baru. Konsep dokumentasi ini, menurut Sulistyo Basuki (1987) dalam tulisannya “H.B. Jassin Sebagai Dokumentator Otodidak� yang dimuat dalam buku H.B. Jassin 70 Tahun, masih berpengaruh di Indonesia. Dalam pengertian ini, dokumentasi pada intinya merupakan kegiatan penalaran, yaitu membuat kesimpulan berdasarkan alasan-alasan yang relevan, dan Jassin secara optimal melakukannya. Kegiatan dokumentasi menjadi media berpikir bagi Jassin. Bisa dibilang juga, dokumentasi menjadi dasar dan bahan bagi Jassin untuk melakukan kritik sastra. Kalau tak salah, dasar kata akal dalam Bahasa Arab pun berarti mengklasifikasi, melakukan pemilahan berdasarkan kategori/ 8 /


FREEDOM INSTITUTE

kategori tertentu. Dalam penilaian saya, menjadi dokumentator bagi Jassin berarti menjadi orang yang berpikir, orang yang menggunakan akalnya.

Untuk dapat menghasilkan dokumen baru berdasarkan literatur yang ada, diperlukan kerangka pikir yang dapat digunakan untuk memahami dan membandingkan berbagai literatur. Pada Jassin, menurut saya, kerangka pikir itu adalah intuisinya tentang citra sastra ideal dan semesta sastra. Kerangka ini juga yang digunakannya untuk kritik sastra. Dokumentasi yang dilakukannya bukan sekedar mengumpulkan dan mengelompokkan, tetapi lebih jauh dari itu, untuk membangun dunia sastra. Itu terungkap dalam kata-katanya yang dikutip Leila S. Chudory untuk Tempo (30 September 1989), “Impian saya—meski tak seliar mimpi para seniman—ialah mendirikan dokumentasi sastra dunia. Bertingkat-tingkat. Sastra Asia, Afrika, Eropa, Amerika, Amerika Latin. Ya, semuanya. Jadi jika kita memasuki gedung itu, kita seperti memasuki dunianya sastra dunia. Dan itu saya usahakan di hari-hari saya yang tua ini.� Jassin dengan tindakan-tindakannya menampilkan indeks tentang pemahamannya mengenai dunia sastra dan sastra univesal. Ia memutuskan untuk hidup di dunia sastra dan membangun di sana. Hasratnya yang kuat ditujukan kepada sastra dan dengan keseluruhan dirinya ia menjaga hasrat itu, berusaha mewujudkannya dengan bermacam cara, menggugah kita untuk mencintai sastra. Jassin telah ikut membangun dunia sastra Indonesia, sekaligus membangun sastra dunia. Semesta sastra yang diyakininya dengan setia pelan-pelan menunjukkan bentuk konkret. Memang tak bisa ia sendirian saja mewujudkan semesta itu. Butuh sebanyak mungkin orang untuk terlibat di sana. Untuk itu pun ia melakukan usaha yang sangat berharga: menggugah orang untuk mencipta, membina satra Indonesia, membuka sastra untuk siapapun.

/ 9 /


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.